MENYEBARKAN KEBENCIAN ATAS DASAR AGAMA ADALAH KEJAHATAN Kertas Kerja untuk Advokasi Kebebasan Beragama di Indonesia i MENYEBARKAN KEBENCIAN ATAS DASAR AGAMA ADALAH KEJAHATAN Kertas Kerja untuk Advokasi Kebebasan Beragama di Indonesia TIM PENYUSUN Uli Parulian Sihombing Febionesta Ali Akbar Tanjung Pultoni PENERBIT Tthe Indonesia Legal Resources Center (ILRC) Jalan Tebet Timur I No. 4, Jakarta Selatan Phone : +62 21 93821173 Fax : +62 21 8356641 e-mail : [email protected] website : www.mitrahukum.org - www.mitrahukum.or.id Perpustakaan Nasional RI, Data Katalog dalam Terbitan (KDT) Menyebarkan Kebencian atas Dasar Agama adalah Kejahatan, Kertas Kerja untuk Advokasi Kebebasan Beragama di Indonesia vi + 18halaman, 20.5 cm x 18.5 cm Jakarta ILRC, Mei 2012 Cetakan pertama (c) 2012 - ISBN : xxx xxx xxxxx x x, hak cipta dilindungi undang-undang Design, Layout and printed by Delapan Cahaya Indonesia Printing - Canting Press isi diluar tanggungjawab percetakan MENYEBARKAN KEBENCIAN ATAS DASAR AGAMA ADALAH KEJAHATAN Kertas Kerja untuk Advokasi Kebebasan Beragama di Indonesia Daftar Isi Kata Pengantar Bagian Pertama Pendahuluan Bagian Kedua Penyebaran Kebencian atas Dasar Agama dalam Konteks Internasional Bagian Ketiga Penyebaran Kebencian atas Dasar Agama di Indonesia Bagian Keempat Peran Negara dalam Pencegahan dan Penindakan terhadap Penyebaran Kebencian atas Dasar Agama Bagian Kelima Rekomendasi iii MENYEBARKAN KEBENCIAN ATAS DASAR AGAMA ADALAH KEJAHATAN Kertas Kerja untuk Advokasi Kebebasan Beragama di Indonesia iv MENYEBARKAN KEBENCIAN ATAS DASAR AGAMA ADALAH KEJAHATAN Kertas Kerja untuk Advokasi Kebebasan Beragama di Indonesia KATA PENGANTAR Advokasi kebencian atas dasar agama (religious hate speech) hampir terjadi di semua negara dan merupakan fenomena global. Pasal 20 ayat (2) Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (Sipol) telah menegaskan larangan religious hate speech, pasal tersebut juga melarang kebencian atas dasar ras dan kebangsaan. Dengan demikian negara yang meratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipol tersebut terikat oleh kewajibannya untuk melarang segala bentuk praktik-praktik kebencian atas dasar agama. Hukum harus melarang praktik-praktik kebencian atas dasar agama secara efektif. Di sisi yang lain, aparat penegak hukum harus melakukan penegakan hukum atas kasus-kasus kebencian atas dasar agama. Praktik-praktik hasutan kebencian atas dasar agama yang mengakibatkan diskriminasi, kekerasan dan permusuhan terjadi juga di negara kita. Individu-individu dari minoritas keagamaan sering dijadikan sasaran kebencian atas dasar agama. Sementara penegakan hukum atas kasus-kasus kebencian atas dasar agama masih minim. Kemudian, kami melihat peraturan perundang-undangan yang ada belum secara layak, seperti dimandatkan di dalam pasal 20 ayat (2) Kovenan hak-hak sipol, mengatur kebencian atas dasar agama. Kebencian atas dasar agama menggangu toleransi masyarakat/kohesi sosial dan menciptakan kerenggangan/disharmoni di dalam kehidupan sosial. Di dalam sebuah masyarakat yang plural seharusnya tidak mengakomodir praktik-praktik kebencian atas dasar agama. Demikian pula sebaliknya, masyarakat yang mengakomodir atau bahkan mentoleransi praktik-praktik kebencian atas dasar agama bukanlah sebuah masyarakat yang demokratis. Kebencian atas dasar agama merupakan kekerasan verbal, kekerasan itu sendiri lahir dari rasa tidak aman (insecurity), rasa tidak nyaman (discomfort), dan rasa rapuh (vulnerability). Kita lebih suka menutup diri dengan pemikiran kita sendiri atau menyingkirkan apa yang membuat kita mengalami perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan, sehingga orang lain menjadi korban kekerasan kita (Emamanuel Levinas : 2011). Berdasarkan hal tersebut di atas, Indonesia Legal Resource Center (ILRC) membuat kertas posisi kebencian atas dasar agama. Adapun tujuan pembuatan kertas posisi tersebut adalah melakukan penyadaran (awareness) kepada negara, masyarakat dan semua pihak yang terkait tentang pentingnya larangan advokasi kebencian atas dasar agama berupa hasutan yang mengakibatkan diskriminasi, kekerasan dan permusuhan. Kertas posisi ini merupakan dokumen yang hidup (living document), sehingga mungkin diperlukan penambahan atau perbaikan atas kertas posisi ini di masa depan. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Freedom House dan para penulis yang sudah memberikan kontribusinya masing-masing dalam mendukung penerbitan kertas posisi ini. Jakarta, Mei 2012 Uli Parulian Sihombing Direktur Eksekutif Indonesian Legal Resource Center (ILRC) v MENYEBARKAN KEBENCIAN ATAS DASAR AGAMA ADALAH KEJAHATAN Kertas Kerja untuk Advokasi Kebebasan Beragama di Indonesia vi MENYEBARKAN KEBENCIAN ATAS DASAR AGAMA ADALAH KEJAHATAN Kertas Kerja untuk Advokasi Kebebasan Beragama di Indonesia Bagian Pertama Pendahuluan A. Bahayanya Penyebaran Kebencian atas Nama Agama bagi Toleransi Antar Umat Bergama Masyarakat Indonesia dahulu sangat dikenal sebagai masyarakat yang ramah dan toleran terhadap perbedaan baik dari suku, agama, ras, dan antar golongan. Semboyan Bhineka Tunggal Ika dipedomani sebagai prinsip yang fundamental dalam kehidupan bermasyarakat. Sikap ramah dan toleran dalam menerima perbedaan itulah yang membuat Indonesia mampu untuk tetap mempertahankan kesatuan dan persatuan bangsa. Di masa lalu, kelompok-kelompok minoritas keagamaan, seperti Kristen, Katolik, bahkan Ahmadiyah, Syiah, ataupun aliran keagamaan lainnya, dapat hidup berdampingan dengan kelompok keagamaan mayoritas. Kelompok keagamaan minoritas tersebut dapat hidup tenang dan bebas menjalankan agama atau keyakinannya tanpa takut akan intimidasi atau penyerangan. Seiring dengan berlalunya waktu, sikap ramah dan toleran masyarakat Indonesia tampak semakin luntur. Hasil survey menunjukan, bahwa toleransi terhadap keberagaman semakin menurun. Berdasarkan hasil survey Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada 2010 menunjukan, bahwa ada kenaikan pembenaran kekerasan atas dasar agama dari survey yang sama pada tahun 20051. Survey yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LAKIP) di daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi juga menunjukkan hasil yang kurang lebih sama. Hasil survey menunjukkan, bahwa situasi pendidikan keagamaan di Indonesia cenderung radikalisme dan intoleran yang terdapat pada guru Pendidikan Agama Islam dan siswa-siswi SMP-SMA. Salahsatu contoh, hasil survey tersebut menyebutkan, bahwa menyangkut toleransi, 62,7% responden guru Pendidikan Agama Islam keberatan nonmuslim membangun tempat ibadah di lingkungan tempat tinggal mereka, sedangkan siswa yang keberatan 40,7%. Disamping itu, 57,2% guru dan 45,2% siswa tidak setuju jika nonmuslim menjadi kepala sekolah. LKAIP menyebutkan hasil survey ini merupakan sinyal bahaya bagi kehidupan berbangsa dalam bingkai pluralitas di Indonesia2. 1. http://www.antaranews.com/berita/1286882876/survei-lsi-toleransi-keberagaman-menurun 2. Survei itu dilakukan pada Oktober 2010-Januari 2011, penelitian dilakukan di 59 sekolah swasta dan 41 sekokah negeri dengan melibatkan 590 dari total 2.639 guru Pendidikan Agama Islam dan 993 siswa beragama Islam dari jumlah 611.678 murid sekolah menengah di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, sebagai responden. Sumber Koran Media Indonesia, 27 Februari 2011. 1 MENYEBARKAN KEBENCIAN ATAS DASAR AGAMA ADALAH KEJAHATAN Kertas Kerja untuk Advokasi Kebebasan Beragama di Indonesia Aksi intoleransi berbasis agama semakin marak terjadi di berbagai daerah. Perbedaan disikapi dengan resistensi bahkan kekerasan. Kelompok-kelompok minoritas keagamaan menjadi bulan-bulanan aksi intoleransi. Intimidasi, koersi, perusakan properti, penutupan paksa tempat ibadah, penjarahan, penganiayaan, dan bentuk kekerasan lainnya menjadi fenomena mereka sehari-hari. Mereka juga diasingkan dari kehidupan sosial kemasyarakatan. Tidak ada lagi ketenangan dalam menjalani kehidupan, terlebih dalam menjalani agama atau keyakinannya. Meningkatnya intoleransi berbasiskan agama disinyalir akibat dari maraknya praktik penyebaran kebencian di tengah-tengah masyarakat terhadap kelompok keagamaan tertentu. Kelompok minoritas keagamaan sering menjadi target dari tindakan pernyataan kebencian yang mengakibatkan kekerasan, diskriminasi dan permusuhan seperti kasus pernyataan kebencian terhadap Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten, yang mengakibatkan pembunuhan, penyerangan dan bahkan pengusiran terhadap warga Ahmadiyah di desa tersebut. Artinya, kekerasan verbal yang biasanya dilakukan oleh kelompok-kelompok intoleran, menjadi pemicu adanya kekerasan, diskriminasi, dan permusuhan terhadap kelompok-kelompok minoritas. B. Penyusunan Kertas Kerja Ada tiga hal yang melatari disusunnya kertas kerja ini. Pertama, begitu nyatanya dampak yang besar dari tindakan penyebaran kebencian berbasis agama bagi munculnya aksi-aksi kekerasan dan tindakan diskriminatif terhadap kelompok agama tertentu; Kedua, potensi munculnya tindakan kekerasan dan diskriminatif dari penyebaran kebencian berbasis agama, tidak diimbangi dengan proses penegakan hukum yang memadai bagi para pelakunya, sehingga dapat menimbulkan konflik sosial yang lebih besar; Ketiga, masih minimnya pemahaman berbagai kalangan, khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum terhadap konsep dan praktik-praktik penyebaran kebencian berbasis agama. Adapun tujuan dari penyusunan kertas kerja ini adalah; (i) memberikan gambaran tentang dampak buruk tindakan penyebaran kebencian berbasis agama bagi toleransi umat beragama; (ii) memberikan pemahaman tentang konsep pemidanaan terhadap tindakan penyebaran kebencian berbasis agama, baik yang diatur dalam instrumen internasional maupun praktik-praktik di beberapa negara; dan (iii) memberikan rekomendasi untuk mendorong pencegahan dan penindakan terhadap penyebaran kebencian berbasis agama. 2 MENYEBARKAN KEBENCIAN ATAS DASAR AGAMA ADALAH KEJAHATAN Kertas Kerja untuk Advokasi Kebebasan Beragama di Indonesia Bagian Kedua Penyebaran Kebencian atas Dasar Agama dalam Konteks Internasional A. Kerangka Hukum Internasional tentang Tindak Pidana Penyebaran Kebencian atas Dasar Agama Secara historis, masyarakat internasional sudah sejak lama memperjuangkan agar tindakan propaganda perang/ advokasi kebencian terhadap agama/ras/bangsa berupa hasutan mengakibatkan diskriminasi, kekerasan, permusuhan menjadi tindak pidana. Belajar dari pengalaman pasca perang dunia ke dua, dan juga peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat di dunia seperti kasus genocida di Rwanda, maka perlu menjadikan tindakan-tindakan propaganda perang/advokasi berupa kebencian terhadap agama menjadi sebuah tindak pidana. Kasus Rwanda menjadi tonggak pentingnya mengkriminalkan tindakan propaganda perang/advokasi kebencian rasial yang merupakan hasutan menimbulkan kekerasan. Di dalam kasus Rwanda, Radio Mille Collines digunakan sebagai media yang menyerukan Etnis Hutu untuk melakukan pembunuhan terhadap Etnis Tutsi (Heiner Bielefield et all : 2011). Upaya tersebut baru mencapai klimaksnya, ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berhasil mengadopsi pasal 20 ayat (2) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (Sipol) yang mengakomidir larangan propaganda perang/advokasi berupa hasutan kebencian terhadap agama/ ras/bangsa yang mengakibatkan diskriminasi, kekerasan, permusuhan terhadap kelompok agama/ras/bangsa atau anggota dari kelompok tersebut. Kemudian, angka ke 7 (tujuh) komentar umum atas pasal 18 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipol menegaskan kembali larangan manifestasi keagamaan yang merupakan propaganda perang/ advokasi hasutan kebencian terhadap suatu agama/anggota kelompok agama tersebut yang mengakibatkan diskriminasi, permusuhan/kekerasan. Tindakan propaganda advokasi/perang kebencian terhadap agama bukan lagi merupakan tindakan intoleransi, bahkan menurut pasal 20 ayat (2) dan komentar umumnya negara mempunyai kewajiban untuk membuat aturan hukum yang menghukum tindakan propaganda perang/advokasi berupa kebencian terhadap agama. Larangan penyebaran kebencian berbasis agama juga tertuang dalam berbagai instrumen internasional lain seperti Kovenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya atau International Covenant of Economic, Social, and Culture Rights (ICESCR), Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan dan Penghukuman Lain yang Kejam, Merendahkan Martabat Kemanusiaan atau International Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishmen (ICAT), Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial atau International Convention of Racial Dicrimina3 MENYEBARKAN KEBENCIAN ATAS DASAR AGAMA ADALAH KEJAHATAN Kertas Kerja untuk Advokasi Kebebasan Beragama di Indonesia tion (ICERD), Konvensi Hak-hak Anak atau International Convention of the Rights of The Child (ICRC) dan Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan atau International Convention of the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (ICEDAW). Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial atau Convention of Racial Dicrimination (CERD) dan ICCPR secara jelas mewajibkan pelarangan terhadap segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum3. Lebih spesifik Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD) menyebutkan, bahwa negaranegara pihak yang meratifikasi Konvensi ini harus mengutuk semua propaganda dan organisasi yang dilandasi pemikiran atau teori keunggulan suatu ras atau kelompok orang dengan warna kulit atau asal bangsa yang sama, atau yang mencoba membenarkan atau menyebarkan kebencian dan diskriminasi ras dalam bentuk apapun, dan secepatnya membuat tindakan-tindakan positif yang dirancang untuk menghapus semua hasutan atau tindakan diskriminatif tersebut4. Konvensi ini juga mewajibkan kepada negara pihak yang meratifikasinya menyatakan bahwa setiap penyebarluasan gagasan berdasarkan keunggulan atau kebencian terhadap ras tertentu, maupun semua tindak kekerasan atau hasutan untuk melakukan tindakan semacam itu terhadap ras atau kelompok orang dengan warna kulit atau asal bangsa yang berbeda, dan juga pemberian bantuan bagi kegiatan-kegiatan rasis, termasuk bantuan keuangan, adalah kejahatan yang dapat dituntut secara hukum5. Bahkan konvensi ini juga mewajibkan kepada negara yang 3. Pasal 20 ayat (2) ICCPR 4 Pasal 4 CERD 5 Pasal 4 (a) CERD 4 meratifikasinya untuk menyatakan tidakk sah secara hukum giatan propaganda dan melarang semua organisasi dan kegiatan yang menyebarluaskan dan mendorongg diskriminasi ras, dan menyatakan bahwa keikutsertaan dalam organisasi dan kegiatan semacam itu adalah sebagai gai kejahatan yang 6 dapat dihukum . Selain itu, konvensi ini tidak hanyaa melarang organamun lebih dari itu isasi untuk menyebarkan kebencian, namun konvensi ini juga melarang pejabat/pegawai egawai pemerintah baik ditingkat nasional maupun daerah,, untuk menyebarluaskan dan mendorong diskriminasi ras as7. B. Kriminalisasi Penyebaran Kebencian an atas Dasar Agama di Beberapa Negara Di dalam konteks demostik, beberapa rapa negara sudah menjadikan tindakan kebencian atas dasar agama/ras/ bangsa sebagai tindak pidana. Inggris dan Irlandia Utara membuat Undang-Undang (UU) yang melarang kebencian agama/ras sejak 1 Oktober 2007 melaluii the Racial and Religious Hatred Act. Bahkan menurut Laporan poran Pelapor khusus PBB tentang Kebebasan Beragama (KBB), KBB), UU tersebut mendefinisikan kebencian atas agama juga termasuk kebencian terhadap kelompok/individu non-believer on-believerr (bukan penganut agama). Lebih jauh, UU ini lebih menekankan pada larangan pernyataan-pernyataan/tindakan-tindakan tindakan-tindakan yang mengancam, dan bukan membatasi asi diskusi, kritik/ ekspresi/antipati/ketidaksukaan/menghina ina (Id.). Di tingkat regional, Majelis Parlemen men Dewan Eropa telah mengeluarkan rekomendasi nomorr 1805 (2007) yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut ikut : a. Menyetujui laporan dari Komisi Viena ena dan juga setujui bahwa di dalam sebuah masyarakat arakat demokratis, kelompok agama harus mentolelir pernyataan publik 6 Pasal 4 (b) CERD 7 Pasal 4 (c) CERD MENYEBARKAN KEBENCIAN ATAS DASAR AGAMA ADALAH KEJAHATAN Kertas Kerja untuk Advokasi Kebebasan Beragama di Indonesia yang mengkritik kegiatan, pengajaran dan kepercayaan agamanya dan hal tersebut bukanlah penghinaan ataupun kebencian terhadap agama tersebut; b. Merekomendasikan komite menteri-menteri luar negeri negara-negara anggota Dewan Eropa untuk menjamin hukum-hukum domestiknya dan praktik-praktik hukumnya untuk mengkriminalkan pernyataan-pernyataan yang ditujukan/diserukan kepada seseorang atau kelompok dari orang-orang tersebut yang menjadi target dari permusuhan, diskriminasi atau kekerasan atas dasar kebencian terhadap agama mereka; c. Merekomendasikan agar hukum-hukum domestik dan praktik-praktik hukum untuk ditinjau ulang dan mendekriminalisasi aturan penghinaan terhadap agama (religious defamation/blasphemy); d. Komite Menlu-Menlu Dewan Eropa melalui pemerintahnya harus mengecam tindakan ancaman-ancaman mati dan hasutan [seruan kekerasan] yang dilakukan oleh pemimpin dan kelompok keagamaan yang ditujukan kepada orang-orang yang sedang menjalankan kebebasan beragama. Di Amerika Serikat (AS), lebih dari 200 universitas telah membuat aturan internal (code) yang melarang pernyataan-pernyataan kebencian atas dasar ras. Yang lebih menarik lagi, pernyataan kebencian tersebut harus dilarang atas alasan sebagai berikut (Chemerinsky : 2011) ; a. Konstitusi AS menjamin prinsip persamaan/kesetaraan (equality), pernyataan kebencian mengakibatkan kelompok-kelompok minoritas tidak nyaman dan terekslusi; b. Pernyataan kebencian merupakan kekerasan verbal (verbal assault). Di dalam praktik pengadilan, Mahkamah Agung AS, di dalam kasus Beauharnais versus Illinois, memutuskan mendukung hukum negara bagian (Illinois) yang melarang publikasi [yang intinya] menggambarkan kebencian terhadap agama/ras/kepercayaan. Bahkan Hakim Agung Frankfurter, di dalam concurring opinion-nya (pendapat yang mendukung putusan MA tersebut, menegaskan kebencian atas dasar agama/ras tidak membutuhkan test untuk menentukan/mengkatogikan apakah itu tindak pidana atau bukan. Menurutnya, sudah jelas pernyataan kebencian atas dasar ras/agama tidak dilindungi oleh Konstitusi AS. Dari uraian tersebut diatas menunjukkan, bahwa pelarangan penyebaran kebencian atas dasar agama adalah salah sarana untuk melindungi hak-hak kelompok agama minoritas di suatu negara untuk beragama dan menjalankan keyakinannya. Kelompok agama mayoritas sudah sepatunya menjadi pelopor bagi pelarangan terhadap penyebaran kebencian atas dasar agama, untuk menjamin keberlangsungan hidup secara harmonis antar umat beragama, dan keyakinan. C. Mendefinisikan Tindak Pidana Penyebaran Kebencian atas Dasar Agama Di dalam perkembangan Hak Azasi Manusia (HAM), terdapat kesulitan untuk menentukan tindakan-tindakan apa saja yang merupakan pernyataan kebencian atas dasar agama/ras/bangsa, yang mengakibatkan permusuhan (hostility). Hal ini juga diakui oleh para pelapor khusus PBB (pelapor khusus KBB, Kebebasan Berekspresi dan Anti Rasisme) (Id. Bielefeld at all). Bahkan para pelapor khusus mengritik ketidakjelasan perumusan permusuhan di dalam pasal 20 ayat (2) Kovenan Hak-Hak Sipol tersebut. Untuk mencegah penerapan sewenang-wenang ketentuan pidana pernyataan kebencian tersebut, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah membuat panduan untuk penerapan pasal-pasal pernyataan kebencian tersebut yaitu : 5 MENYEBARKAN KEBENCIAN ATAS DASAR AGAMA ADALAH KEJAHATAN Kertas Kerja untuk Advokasi Kebebasan Beragama di Indonesia 1. Harus ada maksud jahat secara umum (public intent) dari hasutan yang menimbulkan kekerasan, permusuhan, diskriminasi; 2. Pembatasan atas kebebasan berekspresi harus jelas, didefinisikan sempit, dan diatur oleh aturan hukum. Lebih jauh pembatasan itu memang perlu dan proporsional terhadap tujuan pembatasan itu sendiri; 3. Pembatasan itu tidak membahayakan pelaksanaan hak itu sendiri, dan merupakan tindakan paling akhir; 4. Persidangan atas kasus pernyataan kebencian tersebut harus dilakukan oleh pengadilan yang independen dan imparsial. Panduan penerapan ketentuan pidana tentang pernyataan kebencian agama tersebut sangat rasional dengan mempertimbangkan berbagai aspek termasuk substansi ketentuan pernyataan kebencian tersebut dan prosedural proses persidangan yang adil. Di dalam sebuah masyarakat yang demokratis, panduan ini penting untuk mencegah penggunaan ketentuan pidana pernyataan kebencian secara sewenang-wenang, yang justru panduan ini dimaksudkan untuk mencegah pelanggaran baik atas pelaksanaan kebebasan beragama maupun kebebasan berkekspresi. 6 MENYEBARKAN KEBENCIAN ATAS DASAR AGAMA ADALAH KEJAHATAN Kertas Kerja untuk Advokasi Kebebasan Beragama di Indonesia Bagian Ketiga Penyebaran Kebencian atas Dasar Agama di Indonesia A. Peraturan Perundang-Undangan terkait Pernyataan Kebencian atas Dasar Agama Dalam konteks Indonesia, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 khususnya perubahan kedua UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara menjamin prinsip persamaan/kesetaraan, non-diskriminasi, keadilan sosial dan keragaman, dan falsafah bangsa yaitu Bhineka Tunggal Ika juga mengakui keragaman termasuk keragaman agama. Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 menjamin setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, dan perlakuan hukum yang sama dihadapan hukum. Kemudian pasal 28 ayat (2) menjelaskan setiap orang bebas atas perlakuan yang diskriminatif atas dasar apapun dan berhak atas perlindungan terhadap perlakuan yang yang bersifat diskriminatif. Pancasila juga menjamin prinsip kemanusian yang adil dan beradab, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, prinsip persamaan/kesetaraan, non-diskriminasi, keadilan sosial dan keragaman merupakan landasan untuk melarang tindakan pernyataan kebencian atas dasar agama. Jadi sudah jelas ada landasan konstitusi, dasar negara dan falsafah bangsa yang melarang tindakan kebencian agama. Selain Konstitusi, pentingnya larangan terhadap penyebaran kebencian atas dasar agama juga dapat dilihat dari ketentuan dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1999 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Pasal 6 dari UU tersebut memberikan pedoman agar setiap orang yang menyampaikan pendapat dimuka umum berkewajiban dan bertanggungjawab untuk; a. menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain; b. menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum; c. menaati hukum dan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku; d. menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; dan e. menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. Dari ketentuan tersebut diatas terlihat, bahwa siapapun dan untuk kepentingan apapun dalam menyampaikan pendapat harus menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain, dan juga harus menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. Pada tingkat undang-undang, ada beberapa peraturan yang melarang adanya tindakan yang dapat dikategorikan sebagai penyebaran kebencian, diantaranya adalah UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Sayangnya, undang-undang ini hanya spesifik mengatur penyebaran kebencian berdasarkan ras dan etnis. Berdasarkan Undang-Undang ini, praktik penyebaran ke7 MENYEBARKAN KEBENCIAN ATAS DASAR AGAMA ADALAH KEJAHATAN Kertas Kerja untuk Advokasi Kebebasan Beragama di Indonesia bencian berdasarkan ras dan etnis diancam pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak sebesar 500.000.000,-. Ancaman pidana atau denda itu diberikan, apabila seseorang dengan sengaja menunjukkan kebencian kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis dengan membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain; atau berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain; mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain; atau melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis8. Peraturan lain adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 156 KUHP menyebutkan; “Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara”. Pasal 156 KUHP sebagaimana tersebut diatas, membuat rumusan tentang kebencian, permusuhan, dan bahkan juga penghinaan. Ketentuan pasal ini merupakan dasar hukum pemidanaan yang dapat diterapkan ter8. Pasal 4 huruf b Jo Pasal 16 UU No.40/2008 8 hadap praktek-praktek syiar kebencian yang banyak terjadi belakangan ini. Ketentuan pasal 156 KUHP menjadi satu-satunya instrumen hukum yang bisa mengkriminalisasi praktik-praktik penyebaran kebencian berdasarkan agama/keyakinan. Namun demikian, pengaturan dalam pasal 156 KUHP belum memadai sebagai instrumen hukum untuk menyebarkan kebencian atas dasar agama jika dikaitkan dengan instrumen internasional dan praktik-praktik di beberapa negara. Terdapat beberapa alasan kenapa pasal 156 KUHP belum secara layak mengadopsi pernyataan kebencian agama yaitu : 1. Di dalam konteks panduan PBB tentang penggunaan ketentuan pidana atas pernyataan kebencian atas dasar agama menjelaskan ketentuan pidana tersebut harus jelas dan didefinisikan secara sempit. Pasal 156 KUHP tersebut terlalu luas mengaturnya yaitu memasukan juga penghinaan, padahal penghinaan terhadap golongan termasuk agama bukanlah kriminal. Kemudian memasukan kata “permusuhan” menimbulkan dilimatis karena seperti penyataan tiga pelapor khusus PBB mendefinisikan “permusuhan” tergantung pada perspektifnya. Inilah menimbulkan tafsiran yang luas; 2. Pasal 156 KUHP tidak merumuskan perkataan ”hasutan yang mengakibatkan diskriminasi dan kekerasan” sebagai akibat ekspresi kebencian agama sesuai dengan pasal 20 ayat (2) Kovenan Hak-Hak Sipol; 3. Ancaman maksimal penjara di bawah lima tahun di dalam pasal 156 KUHP, mengakibatkan tersangka tidak wajib ditahan oleh penyidik sesuai dengan aturan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pelaku tindak pidana kebencian atas dasar agama tidak ditahan, punya potensi pelaku melakukan tindak pidana sama di lain tempat. MENYEBARKAN KEBENCIAN ATAS DASAR AGAMA ADALAH KEJAHATAN Kertas Kerja untuk Advokasi Kebebasan Beragama di Indonesia Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu merumuskan kembali ketentuan pidana yang melarang pernyataan kebencian agama. Selain itu, harus ada upaya edukasi kepada masyarakat, pemerintah, dunia pendidikan dan aparat penegak hukum untuk melarang pernyataan kebencian agama ini. Meskipun memiliki keterbatasan, aparat penegak hukum khususnya kepolisian, masih dapat menggunakan peraturan tersebut sebagai dasar untuk memproses pelaku penyebaran kebencian atas dasar agama. B. Tindakan-Tindakan yang Dapat Dikategorikan Sebagai Penyebaran Kebencian atas Dasar Agama Praktik-praktik penyebaran kebencian atas dasar agama cukup beragam. Bisa disampaikan secara langsung atau terbuka dihadapan publik, forum-forum terbatas atau menggunakan media-media lain seperti internet. Uraian berikut adalah beberapa contoh tindakan yang dapat dikategorikan sebagai penyebaran kebencian atas dasar agama. 1. Penyebaran Kebencian Terhadap Jemaat Ahmadiyah Tindakan yang dapat dikategorikan sebagai penyebaran kebencian yang dilakukan oleh seorang pimpinan Ormas Keagamaan terhadap komunitas Ahmadiyah, yang dilakukan dalam sebuah Tablik Akbar, berlokasi di Banjar, Tasikmalaya, Jawa Barat pada Februari 2008. Dalam tablik tersebut, ia mengatakan dihadapan masa; ”Kami ajak umat Islam ayo mari kita perangi Ahmadiyah, BUNUH Ahmadiyah di mana pun mereka berada, saudara! ALLAHU AKBAR!! Bunuh, bunuh, bunuh, BUNUH! Tidak apa-apa bunuh ... Kamu merusak akidah, darah kamu halal! Ahmadiyah halal darahnya untuk ditumpahkan. Persetan HAM! Tai kucing HAM!” dan ”PERANGI AHMADIYAH, BUNUH AHMADIYAH, BERSIHKAN AHMADIYAH DARI INDONESIA! ALLAHU AKBAR! Tidak apa-apa, kami yang bertang- gungjawab! ….Kalau ada yang membunuh Ahmadiyah, bilang saja disuruh saya ... Tidak masalah. Kami siap tanggungjawab dunia-akhirat! BUNUH AHMADIYAH di manapun mereka berada!”. “Sekarang banyak tokoh berusaha mencari muka membela Ahmadiyah. Coba lihat Wapres Jusuf Kalla. Dia bilang, biarkan Ahmadiyah beribadah sesuai dengan kehendak mereka ... Nauzubillah min dzalik ...” dan “Coba lihat, Gus Dur ikut-ikutan membela Ahmadiyah. Dalam rangka apa? Dalam rangka menjilat Barat untuk dapat duit supaya nanti dapat dukungan agar bisa ikut jadi calon presiden yang didukung sama iblis Amerika dan setan Inggris.” Dan “Kita ingatkan kepada Presiden dan juga Wakil Presiden, jangan coba-coba mengambil kesempatan dalam kesempitan. Justru kalau kamu membela aliran sesat, kita akan nyatakan, “Hey umat Islam, haram memilih calon-calon yang membela aliran sesat di negara ini.” Penyebaran kebencian ini mendorong aksi intoleransi terhadap Ahmadiyah di Tasik dan bahkan juga di wilayahwilayah lainnya. 2. Penyebaran Kebencian Terhadap Jemaat HKBP Filadelfia Tindakan yang dapat dikategorikan sebagai penyebaran kebencian ini terjadi pada kasus penolakan gereja HKBP Filadelfia di Desa Jejalenjaya Tambun Bekasi, Minggu 15 April 2012. Seorang Ustadz yang memimpin aksi penolakan gereja melakukan penyebaran kebencian dihadapan aparat pemda dan kepolisian. Di muka umum ia mengatakan: “..yang saya sangat sayang, mereka (HKBP Filadelfia) tidak menghargai pemerintah. Adanya pemerintah buat apa. Bangsat dia tuh. Ga menghargai orang pemerintahan. Sudah melecehkan pemerintah. Pemerintah harus 9 MENYEBARKAN KEBENCIAN ATAS DASAR AGAMA ADALAH KEJAHATAN Kertas Kerja untuk Advokasi Kebebasan Beragama di Indonesia bertindak. Saya akan tetap menolak orang ini. Undang dari vatikan noh, dari Amerika, jemaat lu bawa sini. Mau berantem sama gua hayo. Udah jangan dikasih ampun. Pemerintah sendiri harus dihargai. Lu bangsa apa lu. Bubar udah bubar,”. Seorang anak dari Ustadz tersebut juga menyebarkan kebencian di depan massa penolak dengan menyatakan: “Palti Panjaitan lu siap kalo besok masih kebaktian. Besok kalo masih kebaktian, kita habisin saja. Kita hajar kebaktiannya. Kita habisin. Palti panjaitan, pala lu, orang nomor satu, gua habisin lu. Untuk besok gua pasti, gua sering nyembelih.” Aksi penyebaran kebencian tersebut mendorong aksi intoleransi dan kekerasan yang semakin menjadi-jadi pada minggu-minggu berikutnya. 3. Condoning Praktik penyebaran kebencian yang berujung pada aksi intoleransi dan kekerasan berbasiskan agama, terkadang dimaklumi oleh pejabat negara (condoning). Pejabat negara semestinya bersikap lebih menghormati segala agama ataupun keyakinan yang ada dan eksis di masyarakat, bahkan pejabat negara berkewajiban memberikan jaminan dan perlindungan bagi setiap warga negara untuk menjalankan agama dan kepercayaannya. Contoh berikut adalah tindakan seorang pejabat yang dapat dikategorikan sebagai condoning. Ia mengatakan dalam sebuah forum resmi dalam rangka memberikan tanggapan terhadap keberadaan Jamaah Ahamdiyah. “Ahmadiyah harus dihentikan karena bertentangan dengan ajaran pokok agama Islam. Kalau harus dihentikan, kan tidak boleh lagi lanjutkan aktivitas-aktivitasnya”dan juga “Ahmadiyah telah menyulut amarah masyarakat karena masih terus melanjutkan aktivitasnya. Namun, kondisi itu masih bisa diredam kepolisian. Ajaran Ahmadiyah membuat banyak umat Islam merasa ajaran Islam dihina dan dinistakan. Lagipula, lanjutnya, ajaran ini sudah dilarang di sejumlah negara.” Serta “Kalau enggak segera ambil keputusan tegas, potensi konflik akan termaintain dan meningkat serta bisa menimbulkan konflik sosial. Dengan demikian, menurut saya, Ahmadiyah harus dibubarkan,”9. Pernyataan-pernyataan tersebut sungguh disayangkan, karena selaku pejabat negara, pernyataannya justru tidak mencerminkan sikap menjaga kerukunan antar umat beragama dan sebaliknya akan menyuburkan konflik yang sedang terjadi sehingga dapat menyulut aksi kelompok yang kontra untuk melakukan tindak kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah. Padahal, seharusnya seorang pejabat negara berdiri di atas semua kelompok umat beragama dan berkeyakinan. 9. Dikutip dari www.voa-islam.com 10 MENYEBARKAN KEBENCIAN ATAS DASAR AGAMA ADALAH KEJAHATAN Kertas Kerja untuk Advokasi Kebebasan Beragama di Indonesia Bagian Keempat Peran Negara dalam Pencegahan dan Penindakan Terhadap Penyebaran Kebencian atas Dasar Agaman A. Kebijakan Legislasi Peraturan perundang-undangan sangat menentukan tingkat efektivitas pencegahan dan penindakan terhadap penyebaran kebencian atas dasar agama, dan mencegah terjadinya tindakan kekerasan dan diskriminasi yang lebih meluas. Berbagai kalangan menilai, bahwa maraknya penyebaran kebencian di masyarakat, karena Indonesia tidak memiliki kerangka hukum yang memadai untuk mencegah penyebaran kebencian, sehingga penyebaran kebencian terus dibiarkan dan terjadi tanpa ada tindakan dari aparat penegak hukum. Seperti sudah diulas dalam pembahasan terdahulu, ada beberapa instrumen internasional seperti ICCPR10 dan CERD11 yang mengatur tentang larangan penyebaran kebencian atas dasar agama, dan Indonesia telah meratifikasi kedua konvensi tersebut. Konsekwensinya, negara mempunyai kewajiban untuk menerapkan ketentuan konvensi pada ranah kebijakan legislasi, baik melalui upaya harmonisasi ataupun penyusunan peraturan baru yang merefleksi10. Ratifikasi ICCPR melalui UU No.12 tahun 2005 11. UU No.22 tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965) kan prinsip-prinsip yang ada dalam konvensi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai satu-satunya peraturan yang dapat digunakan oleh aparat penegak hukum dalam menindak pelaku penyebaran kebencian atas dasar agama, dianggap belum memadai, karena belum mengatur secara komprehensip tentang larangan penyebaran kebencian atas dasar agama berdasarkan ketentuan internasional maupun pengalaman praktik di beberapa negara. Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR perlu segera melakukan pembaruan terhadap KUHP khususnya yang terkait dengan penyebaran kebencian atas dasar agama, sehingga pelaku-pelakunya dapat diproses secara efektif dan mencegah terjadinya konflik agama yang meluas. Pemerintah dan DPR saat ini sedang menyiapkan rancangan undang-undang yang akan mengatur tentang jaminan kebebasan beragama dan memperkuat kerukunan antar umat beragama. Pemerintah dan DPR perlu menyadari, bahwa penyebaran kebencian atas dasar agama adalah ancaman terbesar bagi terwujudnya kerukunan antar umat beragama di Indonesia, oleh karenanya Pemerintah dan DPR harus memastikan, bahwa tindakan tersebut merupakan larangan dan menjadi sebuah tindak pidana. 11 MENYEBARKAN KEBENCIAN ATAS DASAR AGAMA ADALAH KEJAHATAN Kertas Kerja untuk Advokasi Kebebasan Beragama di Indonesia B. Proses Peradilan Penegakan hukum yang adil bagi pelaku penyebaran kebencian atas dasar agama, menjadi mekanisme yang efektif untuk mencegah terjadinya eskalasi konflik agama yang lebih meluas. Penegakan hukum diperlukan untuk menimbulkan kejeraan bagi pelaku dan orang lain, serta memberikan keadilan bagi korban. Dengan demikian, polisi, jaksa, dan hakim menjadi kunci utama bagi proses penegakan hukum dan berkontribusi dalam menjaga kerukunan antar umat beragama, dan lebih jauh menjaga keutuhan dalam berbangsa dan bernegara. Dalam praktik, banyak tindakan-tindakan yang sebenarnya dapat dikategorikan sebagai penyebaran kebencian atas dasar agama sebagaimana dimaksud Pasal 156 KUHP justru tidak diproses secara hukum. Kepolisian seringkali gamang dalam menindak praktik penyebaran kebencian yang dilakukan oleh kelompok agama mayoritas. Pelaku dibiarkan hidup bebas oleh aparat, sebaliknya dalam beberapa kasus korban-korban dari tindakan tersebut malah dijadikan tersangka dengan tuduhan penodaan agama, ataupun perbuatan tidak menyenangkan. Lemahnya political will dari aparat penegak hukum dianggap sebagai persoalan, sehingga para pelaku penyabaran kebencian atas dasar agama dibiarkan tanpa proses hukum, sebaliknya kriminalisasi terhadap korban terus terjadi. Aparat penegak hukum, khususnya kepolisian sebenarnya dapat melakukan tindakan preventif untuk mencegah terjadinya aksi-aksi kekerasan dengan menghentikan meluasnya kebencian terhadap kelompok agama tertentu melalui penindakan yang tegas kepada pelaku penyebaran kebencian. Para pelaku penyebaran kebencian harus mendapatkan penghukuman yang efektif dari sebuah mekanisme peradilan yang efektif dan independen. Dalam kenyataan, tidak ada tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, sehingga menimbulkan akumulasi ke12 bencian yang berujung pada aksi intoleransi yang sulit dihindarkan. Pada sisi lain, penanganan hukum oleh aparat paska terjadinya aksi intoleransi, seringkali tidak menyentuh para pelaku penyebaran kebencian, sehingga tindakan tersebut terus terjadi dan semakin meluas. Selain itu, para pelaku kekerasan yang disidang dalam proses peradilan seringkali mendapatkan hukuman yang ringan, sehingga tidak memberikan efek jera kepada pelaku atau kelompoknya. Aspek lain yang menjadi tanggungjawab negara dalam pencegahan dan penindakan terhadap penyebaran kebencian berdasarkan agama/keyakinan adalah ketersediaan akses bagi korban untuk mendapatkan pemulihan (remedies) yang efektif melalui mekanisme-mekanisme formal di pengadilan. Dalam konteks nasional, mekanisme remedies melalui pengadilan bagi korban diskriminasi rasial diatur dalam Pasal 13 dan 14 UU No.40/2008 tentang Penghapusan Diskriminas Rasial dan Etnis yang menjamin setiap orang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama berhak mengajukan gugatan ganti kerugian melalui pengadilan atas tindakan diskriminasi ras dan etnis yang mengajukan ruginya. Mekanisme/jaminan seperti ini yang penting untuk diciptakan buat korban penyebaran kebencian berdasarkan agama/keyakinan. Dalam praktik diskriminasi berdasarkan rasial, tahun 2007 Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial mengkritik laporan pemerintah Indonesia tentang tidak adanya praktek diskriminasi rasial baik langsung maupun tidak langsung di Indonesia, dan mencatat tidak adanya laporan kasus diskriminasi yang dibawa ke pengadilan. Komite mengingatkan bahwa tidak adanya atau kecilnya jumlah pengaduan, persidangan dan penghukuman terkait diskriminasi rasial tidak dapat serta merta dipandang sebagai sesuatu yang positif. Komite merekomendasikan kepada Pemerintah Indonesia harus menyelidiki apakah situasi ini MENYEBARKAN KEBENCIAN ATAS DASAR AGAMA ADALAH KEJAHATAN Kertas Kerja untuk Advokasi Kebebasan Beragama di Indonesia disebabkan para korban tidak mempunyai informasi yang memadai terkait dengan hak-hak mereka, atau dikarenakan rasa takut akan kritik sosial dan pembalasan, rasa takut akan biaya dan kerumitan dalam proses pengadilan, atau dikarenakan suatu bentuk kurangnya kepercayaan terhadap polisi dan pejabat pengadilan, atau dikarenakan tidak memadainya tingkat kesadaran oleh pihak berwajib akan pelanggaran-pelanggaran yang melibatkan rasialisme. Dan oleh karena itu Komite merekomendasikan kepada pemerintah harus mengambil, seluruh langkah-langkah untuk memastikan bahwa korban-korban diskriminasi rasial memiliki akses terhadap pemulihan yang efektif12. C. Kebijakan Administratif Sampai saat ini belum ada peraturan yang bersifat internal dibuat oleh instansi pemerintah atau aparat penegak hukum terkait dengan tindakan penyebaran kebencian berdasarkan agama atau keyakinan. Kebijakan pemerintah dari segi administratif sangat diperlukan untuk mencegah atau melarang terjadinya praktik-praktik penyebaran kebencian atas dasar agama. Tindakan administratif tersebut bisa berbentuk Instruksi Presiden atau peraturan internal lain yang dibuat oleh departemen dan institusi di lingkungan pemerintahan atau institusi penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Adapun tujuan diterbitkannya kebijakan internal ini adalah untuk memastikan, bahwa para pejabat atau pegawai di lingkungan pemerintahan tidak melakukan tindakan yang dapat dikategorikan sebagai penyebaran kebencian atas dasar agama. Sebagai pelayan masyarakat, kebijakan internal dapat menjadi acuan bagi mereka untuk memberikan pelayanan secara adil dan tidak diskriminatif. Peraturan internal ini sangat mungkin dilakukan mengingat masing-masing institusi mempunyai kewenan12. CERD/C/IDN/CO/3 15 Agustus 2007, Para 23 gan dalam mengeluarkan kebijakan internal sebagaimana yang sering dilakukan oleh Presiden dalam isu pemberantasan korupsi13. Dilingkungan Kepolisian juga dikeluarkan Perkap No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian R.I. Dengan berbagai kekurangan dan kritik atas efektifitas Perkap ini, namun disisi lain Perkap ini merupakan salah satu langkah administratif bagi anggota kepolisian dalam mengimplementasikan prinsip hak asasi manusia dalam menjalankan tugasnya. Selain institusi pemerintahan, langkah-langkah administratif juga perlu dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan, seperti sekolah atupun universitas dengan mengeluarkan peraturan internal yang melarang pernyataan-pernyataan menyebarkan kebencian atas dasar agama. Lembaga pendidikan menjadi media yang efektif untuk menyuburkan spirit toleransi, dan melawan intoleransi. D. Penyadaran Masyarakat Negara, khususnya pemerintah bertanggungjawab untuk melakukan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya toleransi antar umat beragama, dan bahayanya tindakan pernyataan kebebencian atas dasar agama bagi kerukunan antar umat beragama. Pemerintah, baik di pusat maupun di daerah perlu membuat program-program yang dapat menumbuhkembangkan sikap toleransi antar umat beragama. Pemerintah juga bertanggungjawab untuk mendorong agar ceramah atau kegiatan keagamaan dilakukan dengan mengedepankan toleransi dan penghormatan terhadap agama dan keyakinan agama atau kelompok lain. Rasa kebencian terhadap kelompok agama tertentu, dan berujung pada tindakan kekerasan, seringkali berawal dari ceramah 13. Misalnya Inpres No.5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi 13 MENYEBARKAN KEBENCIAN ATAS DASAR AGAMA ADALAH KEJAHATAN Kertas Kerja untuk Advokasi Kebebasan Beragama di Indonesia atau kegiatan keagamaan. Selain itu, Pemerintah juga bertanggungjawab untuk menjaga warisan nasional berupa “kebhinekaan” Indonesia, dengan lebih menyebarluaskan informasi tentang Pancasila dan ide kebangsaan Indonesia terbentuk, sehingga diharapkan dapat merekatkan kembali rajutan persaudaraan antar sesama bangsa yang selama ini memudar. “Indonesia adalah kita, dan kita adalah bersaudara”. 14 MENYEBARKAN KEBENCIAN ATAS DASAR AGAMA ADALAH KEJAHATAN Kertas Kerja untuk Advokasi Kebebasan Beragama di Indonesia Bagian Kelima Rekomendasi A. Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah representasi dari rakyat, yang di dalamnya juga mewakili kelompokkelompok minoritas. Untuk menjamin kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan setiap warga negara, khususnya pencegahan bagi terjadinya penyebaran kebencian atas dasar agama, maka DPR perlu melakukan tindakantindakan sebagai berikut; 1. DPR perlu segera merealisasikan Undang-Undang yang menjamin kebebasan Bergama, dan memastikan, bahwa tindakan penyebaran kebencian atas dasar agama adalah kejahatan (criminal). 2. DPR sebagai pengawas Pemerintah perlu melakukan tindakan-tindakan evalutif terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, yang mengandung muatan diskriminatif, khususnya dalam kaitannya dengan jaminan kebebasan beragama. 3. DPR perlu mendorong pembaruan Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) untuk mengakomodir prinsip-prinsip yang lebih demokratis, termasuk di dalamnya untuk memperkuat ketentuan yang terkait dengan penyebaran kebencian atas dasar agama. 4. Anggota DPR dalam melakukan kunjungan terhadap konstituennya harus meliputi pula penyerapan aspirasi bagi kelompok-kelompok minoritas, yang selama ini hak-haknya masih terdiskriminasi, khususnya dalam isu agama dan kepercayaan. B. Pemerintah Pemerintah memegang peranan penting bagi terjaganya keutuhan dan keharmonisan dalam berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Kebijakan pemerintah berpengaruh signifikan bagi pemenuhan hak-hak setiap warga negara, termasuk dalam bidang kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan. Oleh karena itu, Pemerintah perlu melakukan tindakan-tindakan sebagi berikut; 1. Pejabat pemerintah sebagai pelayan masyarakat, harus bertindak atas dan untuk semua golongan. Setiap kebijakan yang dikeluarkan harus mencerminkan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan memberikan perlindungan bagi kelompok-kelompok minoritas. 2. Pemerintah, khususnya Departemen Agama harus menjadi inisiator bagi tumbuh dan berkembangnya kehidupan yang harmoni antar umat beragama, melalui berbagai aktivitas yang dapat mendorong bagi lahirnya toleransi dan kebersamaan. 3. Pemerintah harus mewaspadai berkembangnya penyebaran kebencian atas dasar agama yang dilakukan 15 MENYEBARKAN KEBENCIAN ATAS DASAR AGAMA ADALAH KEJAHATAN Kertas Kerja untuk Advokasi Kebebasan Beragama di Indonesia oleh kelompok-kelompok keagamaan tertentu, dengan melakukan pendekatan dan dialog secara intensif dan menjelaskan tentang pentingnya hidup secara berdampingan dan menghargai perbedaan. 4. Departemen pendidikan dan kebudayaan perlu lebih mempromosikan pendidikan yang menekankan pada toleransi, dan mendorong lembaga-lembaga pendidikan untuk menyusun kebijakan internal yang melarang adanya tindakan yang dikategorikan penyebaran kebencian atas dasar agama. C. Aparat Penegak Hukum Penyebaran kebencian atas dasar agama adalah kejahatan. Tegaknya keadilan, khususnya bagi korban berada di tangan aparat penegak hukum. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah atau tindakan sebagai berikut; 1. Aparat penegak hukum, khususnya kepolisian harus tegas terhadap pelaku penyebaran kebencian atas dasar agama. Tindakan tegas itu dibutuhkan untuk mencegah terjadinya eskalasi konflik yang lebih meluas atas dasar agama. KUHP dapat menjadi dasar bagi kepolisian untuk menindak pelaku penyebaran kebencian atas dasar agama. 2. Kepolisian Republik Indonesia harus menghentikan kriminalisasi terhadap korban, sebaliknya menindak para pelaku yang melakuan tindakan kekerasan terhadap kelompok minoritas agama. Sebagai penjaga ketertiban, Kepolisian harus bersikap adil dengan menjamin perlindungan bagi kelompok manapun yang terancam oleh tindakan kelompok-kelompok lain karena perbedaan pandangan. 3. Karena seringnya terjadi kekerasan atas dasar agama, kepolisian perlu membuat aturan internal yang bersifat khusus dalam rangka penanganan kasus yang terkait dengan kebebasan berama, dengan memperkuat per16 lindungan kepada korban. 4. Aparat penegak hukum, baik polisi, jaksa dan hakim harus lebih peka terhadap isu-isu kebebasan Bergama di masyarakat. Pelatihan atau training perlu diberikan agar mereka memahami pentingnya kebebasan beragama, dan sehingga mampu memberikan proteksi atau perlindungan dalam rangka terpenuhi hak asasi manusia. D. Organisasi Masyarakat Bagi organisasi masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap isu kebebasan beragama perlu melakukan tindakan-tindakan berikut; 1. Perlu ada penguatan jaringan lintas stakeholder yang meliputi NGO, akademisi, komunitas, dan perseorangan yang peduli dengan isu-isu kebebasan beragama. Dengan jaringan itu diharapkan akan terjadi sinergi untuk melakukan aktivitas dalam rangka penguatan perlindungan bagi kelompok agama minoritas. 2. Perlu dibentuk simpul-simpul di tingkat komunitas yang dapat memberikan update tentang berbagai permasalahan yang terjadi di komunitas agama dan dapat memantau berbagai pelanggaran, baik yang dilakukan aparat penegak hukum, pemerintah, atau kelompok masyarakat yang lain. 3. Perlu dibentuk media komunikasi lintas stakeholder yang dapat mewadahi berbagai informasi dan perkembangan yang terjadi di masyarakat terkait dengan isu kebebasan beragama, dan memenuhi kebutuhan stakeholder terhadap bahan-bahan yang terkait dengan kebebasan beragama. 4. Perguruan tinggi, khususnya Fakultas Hukum perlu memberikan perhatian secara khusus terhadap isu kebebasan beragama dengan mentransformasikan prinsip kebebasan beragama dan toleransi selama pembelaja- MENYEBARKAN KEBENCIAN ATAS DASAR AGAMA ADALAH KEJAHATAN Kertas Kerja untuk Advokasi Kebebasan Beragama di Indonesia ran berlangsung. Dukungan fakultas hukum diharapkan dapat memperkuat perlindungan bagi kelompok agama miniritas untuk menjalankan ajaran agamanya secara bebas. E. Organisasi Keagamaan Organisasi-organisasi keagamaan berperan penting dalam menjaga keutuhan dalam berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu organisasi kegamaan perlu melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut; 1. Organisasi keagamaan berperan penting dalam memberikan pemahaman tentang keyakinan dan cara pandang umatnya terhadap kelompok umat yang lain. Oleh karena itu, organisasi keagamaan perlu memberikan pemahaman keagamaan yang dapat menumbuhkan empati dan toleransi antar umat beragama. Pemahaman yang ekslusif akan dapat mengancam spirit kebinekaan Indonesia. 2. Organisasi-organisasi keagamaan perlu melakukan banyak dialog baik dalam internal agama, ataupun dengan agama lain untuk menjembatani berbagai perbedaan dan menemukan titik temu perbedaan itu. Organisasi keagamaan harus mempelopori penolakan terhadap cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan berbagai perbedaan pandangan dalam beragama dan menjalankan agama. 17 MENYEBARKAN KEBENCIAN ATAS DASAR AGAMA ADALAH KEJAHATAN Kertas Kerja untuk Advokasi Kebebasan Beragama di Indonesia 18