newsletter - rumah pemilu

advertisement
newsletter
#15
Melawan Oligarki Melalui Pemilu
Opini
Pilkada Langsung/Tak Langsung dan Oligarki
Sistem Proporsional Terbuka VS Oligarki
OLEH DONNY ARDYANTO
OLEH USEP HASAN SADIKIN
#pustakapemilu
Menyerentakan Pemilu Melawan Oligarki
OLEH USEP HASAN SADIKIN
Kaleidoskop Pemilu 2014 (September)
Rekrutmen #PerludeMuda
NEWSLETTER #15
pengantar
Melawan Oligarki Melalui Pemilu
dijinakkan Soeharto menjadi oligarki kekuasaan yang
belum dijinakkan semenjak Soeharto jatuh. Oligarki
yang dijalankan kaum oligark inilah yang menguasai
politik dan kontestasi pemilu Indonesia pascaReformasi.
Merujuk rentang penyelenggaraan Pemilu
1999 sampai 2014 oligarki partai justru terus
berlangsung. Malah, dalam beberapa kasus,
cenderung menguat. Yang paling vulgar saat Jusuf
Kalla dan Abu Rizal Bakrie bergantian memimpin
Golkar. Bahkan, sebagai oligark, Jusuf Kalla berkuasa
memegang poros eksekutif sebagai wakil presiden
dan poros legislatif karena Golkar merupakan fraksi
dengan kursi terbanyak di 2004-2009.
Penyelenggaraan pilkada langsung di beberapa
daerah bisa dinilai berhasil memutus oligarki legislatif
ke eksekutif. Sayangnya, kepala-kepala daerah yang
dinilai bukan bagian dari relasi oligarki di partai atau
legislatif lebih banyak berupa penguatan personalitas
tokoh melalui terma profesionalitas dibandingkan
kematangan ideologi politik. Keadaan ini malah
semakin menjauhkan masyarakat dari partai sebagai
kelembagaan penting dalam demokrasi.
Pemilu legislatif dengan sistem proporsional
daftar terbuka pun coba diterapkan untuk melawan
oligarki partai. Melalui cara memilih caleg (bukan
partai) ini menunjukan sejumlah dewan terpilih bukan
bagian oligarki tapi di sejumlah lainnya justru
menggambarkan perluasan oligarki. Dalam afirmasi
perempuan, caleg perempuan terpilih di 2004-2019
menunjukan kecenderungan oligarki yang menguat.
Pemilu serentak 2019 merupakan satu pilihan
prosedur demokrasi yang dikalkulasi bisa mengurangi
oligarki. Penyatuan pemilu eksekutif-legislatif ini
akan mempermalukan peserta pemilu bermodal
kekerabatan. Tapi oligark akan punya cara lagi untuk
menguasai demokrasi sehingga terus jauh dari rakyat.
[]
2004 merupakan tahun pertama
Indonesia
menyelenggarakan pemilihan presiden secara
langsung melalui pemilu. Penerapan demokrasi
elektoral di poros eksekutif secara langsung ini
berdasar amandemen Undang-undang Dasar 1945 di
tahun 2002. Setelah hampir setengah abad Indonesia
menerapkan sistem pemerintahan parlementer, 2004
pemilu pertama presidensialisme Indonesia.
Salah satu alasan beralihnya sistem
pemerintahan presidensial dengan ciri presiden dipilih
langsung oleh rakyat melalui pemilu adalah untuk
melawan oligarki partai yang tetap kuat pascaReformasi. Memilih langsung presiden saat itu dinilai
dapat memotong pengaruh oligarki di tubuh partai
dan parlemen terhadap presiden/eksekutif.
Benarkah oligarki berkurang atau hilang?
Hilang, jelas tidak. Berkurang? Kita perlu tahu apa itu
ukuran berkurang. Yang pasti, partai cenderung
dipimpin elite partai beruang banyak.
Donny Ardiyanto dalam “Pilkada dan
Oligarki” (hal. 2-4) menuliskan, selain transisi dari
kediktatoran ke demokrasi, oligarki sultanistik yang
dijinakkan Soeharto menjadi oligarki kekuasaan yang
belum dijinakkan semenjak Soeharto jatuh. Oligarki
yang
dijalankan kaum
oligark inilah yang menguasai
Newsletter
rumahpemilu.org
politik
kontestasi
pemilu Maharddhika,
Indonesia pascaRedaksi:dan
Usep
Hasan Sadikin,
Nelvia Gustina, Bagus Purwoadi;
Reformasi.
Layout: Usep Hasan Sadikin; Ilustrasi: Usep Hasan Sadikin.
Merujuk rentang penyelenggaraan Pemilu
1999
sampai
2014 oligarki
partai tulisan
justru berita,
terus opini, resensi film, feature seputar pemilu. Tulisan
Redaksi
rumahpemilu.org
menerima
berlangsung.
Malah,
dalam
beberapa
kasus,
akan dimuat untuk kebutuhan publikasi www.rumahpemilu.org dan newsletter. Tulisan dikirim
cenderung
Yang paling vulgar saat Jusuf
berformat menguat.
word ke [email protected].
Kalla dan Abu Rizal Bakrie bergantian memimpin
Golkar. Bahkan, sebagai oligark, Jusuf Kalla berkuasa
NEWSLETTER #15
opini
Pilkada Langsung/Tak Langsung dan Oligarki
OLEH DONNY ARDYANTO
Undang-undang yang mengatur pilkada langsung
maupun
tidak
langsung,
mereka
telah
disahkan pada Oktober 2004. Pertama kali
mendominasi lembaga-lembaga politik yang
diterapkan dalam pemilihan Bupati Kutai
dibangun dengan tujuan awal untuk memperkuat
Kartanegara (Juni 2005). Artinya, rakyat
demokrasi.
Indonesia baru merasakan pengalaman pilkada
Apakah oligark ini? Oligark adalah
langsung di masing-masing wilayahnya tidak
individu yang menguasai dan mengendalikan
lebih dari 2 kali. Di sisi lain, pengalaman pilkada
konsentrasi besar sumber daya material, yang bisa
melalui DPRD di era reformasi (1998-2004) juga
digunakan
untuk
mempertahankan
atau
baru 1-2 kali dialami masing-masing daerah.
meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial
Dengan pengalaman yang masih sangat
ekslusifnya. Sedangkan oligarki adalah politik
terbatas tersebut sebenarnya menjadi terlalu dini
pertahanan kekayaan dari kaum oligark.
untuk menilai sejauh mana pengaruh pilkada
Postur oligarki Indonesia tergambar dari
langsug terhadap kemajuan demokrasi Indonesia.
fakta bahwa jumlah kekayaan dari 40 orang
Jika kita hanya melihat berdasarkan hak warga
terkaya di Indonesia pada tahun 2010 merupakan
negara untuk memilih pemimpinnya secara
10,3% dari GDP, dengan rata-rata kekayaan
langsung, tentunya kembali pada pilkada melalui
mereka mencapai Rp 21,36 trilyun. Jika
DPRD merupakan sebuah kemunduran. Namun
dibandingkan rata-rata kekayaan 40 orang terkaya
kemajuan serta kualitas demokrasi tak bisa diukur
di Indonesia, Thailand, Malaysia dan Singapura,
semata-mata hanya dari memilih langsung/tak
Indonesia berada di posisi paling tinggi.
langsung itu.
Satu hal yang membedakan antara oligark
Dari berbagai metode yang dilakukan
Indonesia dengan kaum oligark dalam rumusan
untuk mengukur demokrasi (Indeks Demokrasi
teori oligarki Winters adalah oligark Indonesia
Indonesia, Global Democracy Ranking, dan
tidak menggunakan (apalagi mengupayakan) rule
Freedom in the World), mekanisme pilkada hanya
of law dalam mempertahankan/meningkatkan
merupakan satu indikator dari puluhan indikator
kekayaan
mereka.
Oligark
Indonesia
demokrasi. Jadi, selain terlalu dini dan sumir
memanfaatkan absennya rule of law bukan
untuk melakukan semacam evaluasi terhadap
semata-mata mempertahankan kekayaan namun
perkembangan demokrasi Indonesia berdasarkan
juga untuk mengakumulasi kekayaan yang lebih
mekanisme pilkada. Ada aspek lain yang lebih
besar dengan cara yang melanggar hukum.
relevan dalam memandang transisi demokrasi ini.
Cara-cara yang biasa dilakukan kaum
Menurut Jeffrey Winters dalam “Oligark”
oligark dengan mempengaruhi perumusan
(2011), selain transisi dari kediktatoran ke
kebijakan, seperti UU Penanaman Modal, UU
demokrasi, ada transisi lain yang tidak kalah
Pajak, UU Minerba, UU Perseroan Terbatas, dan
penting, yaitu transisi dari oligarki sultanistik
lainnya. Semuanya demi mempertahankan
yang dijinakkan oleh Soeharto menjadi oligarki
kekayaannya yang sudah merupakan sebuah
kekuasaan yang belum dijinakkan semenjak
bentuk penyalahgunaan kekuasaan, meskipun
Soeharto jatuh. Oligarki yang dijalankan oleh
dengan cara yang bisa dikatakan “halus” dan
kaum oligark inilah yang menguasai perpolitikan
canggih. Melalui UU dan kebijakan tersebut
Indonesia di era reformasi. Secara langsung
mereka berhasil mempertahankan kekayaan
maupun
tidak langsung, mereka telah
dengan perlindungan legal dari peraturan
mendominasi lembaga- lembaga politik yang
perundang-undangan. Ternyata cara itupun masih
3
dibangun dengan tujuan awal untuk memperkuat
belum mencukupi bagi sebagian oligark
NEWSLETTER #15
dengan perlindungan legal dari peraturan
langsung. Di satu sisi, publik dibuat seolah-olah
perundang-undangan. Ternyata cara itupun masih
sebagai demos yang kratos melalui direct-onebelum mencukupi bagi sebagian oligark
man-one-vote, padahal umur kratos mereka hanya
Indonesia, sehingga kemudian cara-cara “kasar”
sekejap ketika mereka berada di dalam bilik
pun dilakukan dengan mengambil proyek-proyek
suara. Selebihnya, mereka tidak punya akses
pembangunan untuk bisa dijalankan oleh
sama sekali terhadap kekuasaan. Jarak antara
perusahaan yang mereka miliki.
publik dengan partai diperlebar, baik atas hasil
Menghadapi cara kasar kaum oligark, kita
rekayasa oligark, maupun reaksi publik sendiri
bisa berharap pada institusi penegakan hukum,
berdasarkan pengalaman traumatik mereka
khususnya KPK. Namun menghadapi oligarki
terhadap partai.
yang menggunakan instrument demokrasi dalam
Problem kegagalan fungsi representasi
mempertahankan kepentingan privat mereka
partai, dan ketidakpercayaan publik terhadap
itulah yang menurut Winters menjadi problem
partai tidak ada kaitan langsung, dan tidak akan
penting bangsa ini. Uang dan kekayaan memang
bisa diselesaikan melalui model pilkada langsung.
bisa menghasilkan kekuasaan, namun di
Akar dari kedua problem tersebut yaitu oligarki.
Indonesia kemampuan itu menjadi berlipat ganda
Ini sekalipun, tidak bisa diselesaikan dengan
karena tidak adanya hambatan (berupa aturan,
pilkada langsung.
dll.) bagi penggunaan uang untuk kepentingan
Winter menegaskan bahwa penjinakan
kekuasaan.
terhadap oligark tidak ada hubungannya dengan
Menurut
Rahman
Tolleng
(2014),
kebebasan ataupun partisipasi politik masyarakat.
konsolidasi kaum oligark pasca-Orde Baru sudah
Penjinakan terhadap oligark hanya dapat
membajak demokrasi yang dicita-citakan pada
dilakukan melalui rule of law, dan harus disadari
tahun 1998, dan “membekukan” masyarakat.
bahwa demokrasi tidak selalu identik dengan rule
Politik secara perlahan diambil alih dan dikuasai
of law. Indonesia adalah contoh demokrasi tanpa
kembali oleh mereka. Kali ini tanpa adanya lagi
rule of law, sehingga disebut Winters sebagai
kediktatoran Soeharto yang membatasi ruang
“criminal democracy”; berbanding terbalik
gerak oligark. Arena pertarungan politik dibuat
dengan Singapura yang dia sebut sebagai
sedemikian rupa sehingga hanya dengan restu dan
“authoritarian legalism” (Winters 2011).
campur tangan mereka, politik bisa berjalan.
Kita berada dalam situasi di mana politik
Politik hanya bisa berjalan dengan biaya
elektoral sudah diberlakukan, namun partai
besar. Biaya besar ini bukan hanya dalam
dikuasai
oleh oligark sementara publik
kerangka kontestasi di pemilu. Dari awal untuk
mengambil sikap anti terhadap (partai) politik.
bisa masuk dalam ruang kontestasi pemilu saja
Dengan kesediaan untuk menjadi demos hanya
sebuah partai harus menyiapkan biaya minimal
sekejap dalam bilik suara, kecenderungan publik
Rp 35-60 miliar. Itu belum termasuk biaya
adalah berpolitik sebagai kumpulan gerombolan
kampanye, sehingga juga belum menjamin partai
tanpa isi kepala. Padahal kita membutuhkan
yang bersangkutan bisa memperoleh suara yang
publik dengan kualitas demos yang permanen
signifikan.
sehingga benar-benar bisa memegang kratos
Penguasaan oligark terhadap partai
secara permanen pula. Institusi-institusi yang
membuat pemimpin partai tidak lagi melakukan
dianggap sebagai pilar demokrasi, terutama
“leading”, namun melakukan dominasi, dan peran
partai politik dan pers, sudah menjadi bagian dari
mereka pun bersifat personal. Personalisasi dalam
oligarki yang alih-alih menjalankan fungsi
politik,
yang
juga
kompatibel
dengan
pendidikan politik, malah menjejali publik
individualism oligark, kemudian dipadukan
dengan segala jenis survei dan kampanye
dengan populisme oleh sistem pemilihan
personalisasi politik.
langsung. Di satu sisi, publik dibuat seolah-olah
Pendalaman demokrasi membutuhkan peran aktif
sebagai demos yang kratos melalui direct-onewarga negara dalam politik. Peran aktif ini harus
4
man-one-vote, padahal umur kratos mereka hanya
lebih dari sekedar aktif mengikuti isu politik di
NEWSLETTER #15
Pendalaman demokrasi membutuhkan
peran aktif warga negara dalam politik. Peran
aktif ini harus lebih dari sekedar aktif mengikuti
isu politik di media massa atau media sosial,
kemudian mengambil sikap (juga melalui media
sosial) berdasarkan informasi-informasi dangkal
yang diterima dari media massa. Politik harus
mulai dipahami dan disikapi bukan berdasarkan
figur ataupun hasil polling, namun berdasarkan
gagasan dan platform dari aktor politik. Rekayasa
politik diperlukan untuk mengubah pemahaman
tersebut, dan mau tidak mau diawali dengan
kesadaran bahwa segala hiruk pikuk politik yang
terjadi selama ini tidak lain merupakan
pertarungan antar oligark dalam memanfaatkan
serta memperebutkan kendali atas institusiinstitusi demokrasi.
Agenda
untuk
melahirkan
kewarganegaraan yang aktif memerlukan
rekayasa melalui pendidikan. Pemilihan secara
langsung tentunya juga bisa dianggap sebagai
suatu bentuk pembelajaran politik, learning by
doing. Asumsinya pengalaman adalah guru yang
terbaik, publik akan belajar dari kesalahan
maupun keberhasilan yang mereka peroleh ketika
terlibat langsung dalam proses voting. Namun ada
resiko ketika momentum belajar yang hanya
sekali dalam lima tahun itu kalah cepat dengan
proses pengambilalihan institusi demokrasi oleh
kaum oligark, sehingga instrumen hukum yang
merupakan alat utama untuk menjinakkan kaum
oligark akan semakin sulit diciptakan dengan
makin kuatnya cengkraman oligarki.
Pilkada langsung maupun melalui DPRD
tidak berpengaruh terhadap fenomena oligarki
politik. Bahkan pertarungan wacana mengenai
mekanisme pilkada bisa jadi menguntungkan
oligark karena masih jauh dari subtansi yang
diperlukan
untuk
menjinakkan
mereka.
Menjinakkan oligark sangatlah sulit, namun jauh
lebih sulit lagi untuk bisa menghancurkan mereka
melalui pemecahan konsentrasi kekayaan.
Meskipun sulit, namun cengeraman oligarki
memang hanya bisa diatasi dengan aturan hukum
(rule of law).
Menurut Winters, hal itu harus dimulai dengan
masyarakat mempunyai organisasi dan pemimpin 5
di luar struktur yang dikuasai para oligark dan
Menurut Winters, hal itu harus dimulai
dengan masyarakat mempunyai organisasi dan
pemimpin di luar struktur yang dikuasai para
oligark dan elite. Organisasi dan pemimpin
politik inilah yang akan menjadi agen dan alat
dalam menantang oligarki. Oleh karena itu, jauh
lebih penting untuk mendorong kewarganegaraan
yang aktif dengan keterlibatan langsung warga
negara di institusi-institusi demokrasi, dimulai
dengan partai. Contoh pilihan sederhananya:
Masuk partai yang sudah ada dan melawan
oligarki dari dalam; atau membuat partai baru
yang terbebas dari kaum oligark. []
DONNY ARDYANTO
Peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
NEWSLETTER #15
opini
Pemilu Proporsional Terbuka VS Oligarki
OLEH USEP HASAN SADIKIN
Sistem pemilu proporsional daftar terbuka
diterapkan pertama kali di Pemilu 2004. Latar
belakang penerapan pemilu dengan memilih caleg
ini salah satunya untuk melawan oligarki partai.
Slogan "saya gak mau beli kucing dalam karung"
saat pertamakali sistem ini disosialisasikan
menekankan, ikatan caleg terpilih akan lebih
terikat kepada rakyat/pemilih dibandingkan pada
partai yang cenderung oligarkis. Sebelumnya,
sistem proporsional daftar tertutup di Pemilu
1999 dinilai memungkinkan partai dikuasai
oligark atau elite untuk menentukan caleg yang
mendapatkan kursi.
Pada penerapannya, sistem proporsional
daftar terbuka banyak dipermasalahkan dan
dikritik. Lebih masifnya politik uang antarcaleg,
kanibalisme caleg, stigma liberalisme dan
individual, boros anggaran, dan rumit, semuanya
menjadi penilaian negatif sistem ini. Tapi hingga
Pemilu 2014 sistem ini dipertahankan bahkan
menjadi utuh terbuka di 2009 dan 2014. Meski
persentase suara sah dan pemilih di Pileg 2014
meningkat dari 70 persen ke 75 persen bahkan
melawan kecenderungan menurunnya persentase
pemilih di pemilu berikutnya, sistem proporsional
daftar terbuka tetap dipermasalahkan.
serta UU No. 2/2008 tentang partai dan UU No.
10/2008 untuk Pemilu 2009. Pemilu 2014 sendiri
didasari UU No. 8/2012 tentang Pemilu DPR,
DPD, dan DPRD.
Dari kebijakan itu jumlah perempuan
mengalami kenaikan di Pemilu 2009 dan
mengalami penurunan di Pemilu 2014. Di 2004,
jumlah caleg perempuan 2.507 (33% dari jumlah
caleg lelaki dan perempuan), yang terpilih 61
(11,09%) dari 550. Di 2009 DPR RI, jumlah
caleg perempuan 3910 (34,7 % dari jumlah caleg
lelaki dan perempuan), yang terpilih 103
(17,86%) dari 560. Di Pemilu 2014, jumlah caleg
2.467 (37% dari jumlah caleg lelaki dan
perempuan dan menghasilkan 98 (17%) dari 560.
Parlemen untuk 2009-2014 hasil pemilu
2009 disimpulkan lebih sebagai euforia kenaikan
jumlah legislator. Pusat Kajian Ilmu Politik
(Puskapol) Universitas Indonesia menilai, capaian
kuantitas masih menyisakan banyak persoalan
dan tantangan. Masih tingginya angka korban
KDRT, kematian ibu dan anak, perdagangan
perempuan dan anak, dan perempuan buta huruf
merupakan bentuk nyata yang harus dijadikan
dasar agenda perjuangan politik perempuan.
Di 2014, hasil kuantitasnya justru makin
sedikit perempuan yang terpilih. Oligarki yang
ingin dihindari dari sistem proporsional terbuka
Oligarki di afirmasi perempuan
Jika mengevaluasi hasil Pemilu DPR, DPD, dan
malah menguat sebagai faktor perempuan duduk
DPRD (Legislatif) 2009 dan 2014, kita akan
di parlemen. Jika mengevaluasi hasil Pemilu
menemukan paradoks keterwakilan di sistem
DPR, DPD, dan DPRD (Legislatif) 2014, kita
proporsional daftar terbuka. Sistem proporsional
akan menemukan relevansi kekhawatiran Ani
daftar terbuka yang bertujuan memutus oligarki
Soetjipto dalam bukunya “Politik Harapan”.
partai ternyata malah menguatkan bentuk oligarki
Menurut
Ani,
kebijakan
afirmasi
itu sendiri. Ini terjadi terutama dalam afirmasi
perempuan dalam pencalonan 30 persen
perempuan.
perempuan setiap partai setiap dapil menyertakan
Regulasi mengenai kebijakan afirmasi
zyper system dalam nomor urut di sistem pemilu
perempuan di arena politik diadopsi melalui
proporsional terbuka justru merupakan pelemahan
Undang-undang No. 31/2002 tentang Partai
perempuan berpolitik. Kompetisi bebas terbuka,
Politik dan UU No. 12/2003 tentang Pemilu 2004,
oligarki, patriarkisme caleg perempuan, psikologi
serta UU No. 2/2008 tentang partai dan UU No.
pemilih yang cenderung memilih nomor urut 1,
10/2008 untuk Pemilu 2009. Pemilu 2014 sendiri
akan menghasilkan caleg perempuan terpilih yang
6
didasari UU No. 8/2012 tentang Pemilu DPR,
berkurang dan minim kualitas.
NEWSLETTER #15
pemilih yang cenderung memilih nomor urut 1,
akan menghasilkan caleg perempuan terpilih yang
berkurang dan minim kualitas.
Puskapol UI melalui hasil pencermatan
hasil Pileg 2014 menyimpulkan, berdasarkan
profil dan basis keterpilihan anggota legislatif
DPR RI 2014-2019, sangat berpeluang kuatnya
dominasi fraksi terhadap otonomi anggota. Hal
ini terutama disebabkan pola basis rekrutmen
yang mengandalkan kekuatan finansial dan
kekerabatan untuk mendukung elektabilitas yang
tinggi. Antara lain ditunjukkan oleh 7 dari 77
anggota terpilih yang memiliki jaringan
kekerabatan termasuk dalam 10 besar peraih
suara tertinggi. Selain itu, kecenderungan
semakin kuatnya dominasi fraksi atas anggota
legislatif ditunjukkan pula oleh berimbangnya
jumlah inkumben terpilih dan anggota baru
terpilih. Sebagian inkumben yang tidak terpilih
dapat diidentifikasi sebagai anggota yang kritis
terhadap posisi dan kebijakan partai/fraksi.
Dengan kondisi ini, harapan agenda reformasi
parlemen dan lahirnya kebijakan yang pro
kepentingan publik akan berhadapan dengan
kepentingan oligarki (elite politik/fraksi).
Oligarki di partai dan partai oligarkis
Jeffrey Winters dalam “Oligark” (2011)
menjelaskan, oligark adalah individu yang
menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar
sumber daya material yang bisa digunakan
untuk mempertahankan atau meningkatkan
kekayaan pribadi. Sementara oligarki adalah
politik pertahanan kekayaan dari kaum oligark.
Orde Baru Soeharto membatasi oligark
bermain politik secara aktif. Pasca-Reformasi,
pada rentang penyelenggaraan Pemilu 1999
sampai 2014, oligarki partai justru terus
berlangsung. Malah, dalam beberapa kasus,
cenderung menguat. Yang paling vulgar saat
Jusuf Kalla dan Abu Rizal Bakrie bergantian
memimpin Golkar. Bahkan, sebagai oligark, Jusuf
Kalla memegang poros eksekutif sebagai wakil
presiden dan poros legislatif karena Golkar
merupakan fraksi dengan kursi terbanyak di
2004-2009.
Menguatnya oligarki
Fakta itu merupakan bentuk oligarki di
Arena politik sistem proporsional daftar ini
tubuh partai. Bentuk lainnya bisa menyertakan
ternyata bisa dimasuki semua kalangan. Alih-alih
modal kekerabatan yang tujuannya sama,
di dalam keterbukaan ini kita bisa memasukan
mempertahankan atau memperluas penguasaan
orang-orang baik jadi peserta pemilu dan
sumber daya material melalui partai dan
dikampanyekan dan diharapkan masuk parlemen
kekuasaan. Megawati Soekarno Putri dengan
untuk melawan oligarki, malah orang-orang yang
gurita bisnis pom bensinnya menyertakan
minim kualitas terpilih menyertakan pengaruh
kekerabatan dalam menjalankan partai.
oligarki.
Oligarki di partai berbeda penjelasannya
Seiring itu, partai sebagai intitusi
dengan partai oligarkis. Ini yang terjadi di
demokrasi, secara internal tidak dikelola secara
semua partai. Sifat partai seperti oligark. Partai
demokratis. Partai menghadapi permasalahan
dengan penguasaan sumber daya material
serius seperti pragmatisme, lemah ideologi,
hendak mempertahankan atau meningkatkan
institusionalisasi tidak berjalan, tingginya biaya
kekayaannya dalam kontestasi pemilu dan
organisasi, biaya pemilu dan kampanye, sehingga
jalannya pemerintahan hasil pemilu. Aktivis
tak ada kedaulatan yang berdasar pada rakyat.
perempuan, Lies Marcoes dalam “Perempuan dan
Sistem proporsional daftar terbuka yang
Langkah Afirmatif” (Kompas 21/4 2014)
menekankan pada personal caleg pun semakin
menjelaskan, yang terjadi dalam mekanisme
menjauhkan masyarakat terhadap partai. Padahal,
rekrutmen caleg di partai cenderung bersifat
pada dasarnya partai membutuhkan masyarakat
instans dan diwarnai nepotisme. NPWP (Nomor
dan juga sebaliknya. Partai dalam konteks
Piro Wani Piro) menjadi pengetahuan bersama
demokrasi merupakan institusi penyampai
bakal caleg.
aspirasi masyarakat yang dikonversi menjadi
Puskapol UI melalui hasil pencermatan
kebijakan. Karena itu partai membutuhkan
hasil Pileg 2014 menyimpulkan, berdasarkan 7 masyarakat untuk mendukung orang di dalam
profil dan basis keterpilihan anggota legislatif
partai yang juga wakil masyarakat masuk ke
NEWSLETTER #15
kebijakan. Karena itu partai membutuhkan
masyarakat untuk mendukung orang di dalam
partai yang juga wakil masyarakat masuk ke
parlemen.
Kerja partai membutuhkan keterlibatan
masyarakat termasuk pendanaan partai. Di sistem
proporsional daftar terbuka, saat partai tak
dipercaya masyarakat pendaaan dari masyarakat
hilang. Akhirnya partai dengan kebutuhan kerja
lembaga dan kampanye menerima uang besar dari
oligark yang cenderung berkeinginan memesan
kebijakan yang bisa mengamankan atau
memperbesar bisnis yang dikuasai oligark. Pada
akhirnya, dasar menguatkan ikatan caleg terpilih
dengan pemilih dan melawan oligarki melalui
sistem yang rumit ini malah lemah berfungsi. []
USEP HASAN SADIKIN
Penggiat pemilu Perludem
8
NEWSLETTER #15
F
#pustakapemilu
Melawan Oligarki Melalui Pemilu Serentak
OLEH USEP HASAN SADIKIN
2004 merupakan tahun pertama Indonesia
menyelenggarakan pemilihan presiden secara
langsung melalui pemilu. Penerapan demokrasi
elektoral di poros eksekutif secara langsung ini
berdasar amandemen Undang-undang Dasar
1945 di tahun 2002. Setelah hampir setengah
abad
Indonesia
menerapkan
sistem
pemerintahan parlementer,
Pemilu
2004
merupakan pemilu pertama presidensialisme
Indonesia.
Salah satu alasan beralihnya sistem
pemerintahan presidensial dengan ciri presiden
dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu
adalah untuk melawan oligarki partai yang tetap
kuat pasca-Reformasi. Memilih langsung
presiden saat itu dinilai dapat memotong
pengaruh oligarki di tubuh partai dan parlemen
terhadap presiden/eksekutif.
Pengantar: Titi Anggraini;
Benarkah oligarki berkurang atau hilang?
Penerbit: Perludem (Jakarta 2013); Halaman: xii+188.
Hilang, jelas tidak. Berkurang? Kita perlu tahu
apa itu ukuran berkurang. Yang pasti, partai
Kalla memegang poros eksekutif sebagai wakil
cenderung dipimpin oligark.
presiden dan poros legislatif karena Golkar
Jeffrey Winters (2011) menjelaskan,
merupakan fraksi dengan kursi terbanyak di
oligark adalah individu yang menguasai dan
2004-2009.
mengendalikan konsentrasi besar sumber daya
Di daerah, oligark daerah pun pada
material
yang
bisa
digunakan
untuk
Rezim Soeharto tak terlibat aktif dalam
mempertahankan atau meningkatkan kekayaan
kontestasi pemilu. Kita bisa merujuk Banten
pribadi. Sementara oligarki adalah politik
dan Sulawesi Selatan. Oligark di kedua daerah
pertahanan kekayaan dari kaum oligark.
ini saat Orde Baru tak ikut aktif dalam
Faktanya, makin lama politik Indonesia pascakontestasi politik lokal. Mereka hanya
Reformasi berlangsung, elite partai merupakan
berupaya menjamin bagaimana bisnisnya bisa
politisi yang memiliki uang sangat banyak.
aman di periode pemerintahan berikutnya
Orde Baru Soeharto membatasi oligark
melalui
mekanisme
pemilu
bersistem
bermain politik secara aktif. Pasca-Reformasi,
parlementer.
pada rentang penyelenggaraan Pemilu 1999
Pasca-Reformasi, pembatasan itu hilang.
sampai 2014, oligarki partai justru terus
Kita
menyaksikan
bagaimana
oligarki
berlangsung. Malah, dalam beberapa kasus,
menggurita dalam keaktifan kontestasi pemilu
cenderung menguat. Yang paling vulgar saat
dan perolehan jabatan eksekutif. Di Banten ada
Jusuf Kalla dan Abu Rizal Bakrie bergantian
Dinasti Chasan Sochib melalui Ratu Atut-nya.
memimpin Golkar. Bahkan, sebagai oligark, Jusuf
Di Sulsel ada Dinasti Yasin Limpo.
Kalla berkuasa memegang poros eksekutif
Melawan bentuk oligarki itu melalui
sebagai wakil presiden dan poros legislatif karena 9 larangan kekerabatan pejabat eksekutif akan
Golkar merupakan fraksi dengan kursi terbanyak
dinilai diskriminatif. Dalih hak berpolitik,
NEWSLETTER #15
Konsep pemilu serentak hanya dikenal di
negara-negara penganut sistem pemerintahan
presidensial. Karena, salah satu yang khas dari
pemerintahan presidensial adalah adanya dua
pemilu, pemilu legislatif dan pemilu eksekutif.
Berbeda dengan pemerintahan parlementer yang
menyelenggarakan satu pemilu legislatif lalu
pejabat eksekutif dipilih legislatif.
Penyelenggaraan
pemilu
serentak
menurut buku ini dibagi menjadi dua, pemilu
serentak nasional dan pemilu serentak daerah.
Mulai dari Bab B. Solusi Strategis Pemilu
Pemilu serentak
Nasional dan Pemilu Daerah (hal. 109)
Buku “Menata Ulang Penjadwalan Pilkada” tak
dijelaskan dalam kebutuhan memilih pejabat
membahas langsung oligarki bisa dilawan
eksekutif berupa Presiden-Wakil Presiden,
melalui pemilu serentak. Jika merujuk pada
Gubernur-Wakil
Gubernur,
Bupati-Wakil
munculnya disain pemilu serentak yang
Bupati, dan Walikota-Wakil Walikota beserta
dijelaskan dalam Pengantar Buku, jelas, disain
pejabat legislatif di DPR, DPD, dan DPRD
pemilu yang menggugurkan doktrin “sistem
Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pemilu nasional
presidensial tak akan cocok dengan sistem
memilih Presiden-Wakil Presiden beserta
kepartaian multipartai” bukan khusus bertujuan
pejabat DPR dan DPD. Sedangkan pemilu
untuk melawan oligarki. Dari pengalaman
nasional memilih Gubernur-Wakil Gubernur,
penyelenggaraan pemilu di Brasil pembaca
Bupati-Wakil Bupati, dan Walikota-Wakil
didorong membayangkan implementasi pemilu
Walikota beserta pejabat DPRD Provinsi dan
serentak di Indonesia di konteks realitas politik
Kabupaten/Kota.
menyertakan oligarki.
Bayangkan
jika
pemilu
serentak
Pada halaman 27 dijelaskan, pemilu
diselenggarakan! Kita akan menemukan
serentak adalah penggabungan pelaksanaan
penampakan jajaran kekerabatan di kertas suara
pemilu parlemen dan pemilu presiden dalam
sebagai bentuk oligarki daerah dalam pemilihan
satu hari H pemungutan suara. Tujuannya untuk
pimpinan eksekutif. Misal jika pemilu serentak
menciptakan pemerintahan kongruen atau
sudah diterapkan, warga Banten dan Sulsel akan
menghindari pemerintahan terbelah (divided
menerima surat suara pemilu serentak daerah
government) yang berwujud jumlah kursi
yang menawarkan kandidat berkekerabatan di
mayoritas parlemen bukan dimiliki partai atau
setiap tingkat. Rakyat, sebagai pemilik
koalisi partai yang mengusung presiden terpilih.
kedaulatan, bisa mencegah menguatnya oligarki
Mengapa pemilu serentak bisa
dengan tak memilih anggota kekerabatan itu.
menghindari pemerintahan terbelah? Pada
Format itu pun akan mempermalukan
halaman 10 dijelaskan, pemilu serentak
oligark. Bersama para kerabatnya yang
menimbulkan
efek
menarik
kerah
diberikan modal, ia akan sadar, publik bisa
(coattail effeck). Efek menarik kerah
menilai nafsunya berkuasa. Di sisi lain, keadaan
adalah tingkat keterpilihan tokoh yang
ini pun akan mempermalukan partai yang
diusung sebagai calon pimpinan eksekutif
mengusung.
Jika
partai
menyadari
oleh partai atau koalisi partai akan
memalukannya hal ini partai akan banyak
mempengaruhi suara partai atau partai mempertimbangkan jika mau menerima oligarki
partai di dalam koalisi yang mengusung si
berwujud kekerabatan ini dan cenderung
tokoh.
menolak.
Konsep pemilu serentak hanya
Berdasarkan format pemilu serentak pun,
dikenal di negara-negara penganut sistem
10 oligark lebih menghitung-hitung, di daerah atau
pemerintahan presidensial. Karena, salah satu
kabupaten/kota mana yang diprioritaskan untuk
yang khas dari pemerintahan presidensial adalah
Melawan bentuk oligarki itu melalui
larangan kekerabatan pejabat eksekutif akan
dinilai diskriminatif. Dalih hak berpolitik,
kesempatan, kemampuan, dukungan, dan
popularitas/elektabilitas akan menjadi dasar
penolakan. Faktanya, para kerabat pejabat
eksekutif itu terpilih dan di pemilihan
berikutnya didukung dan tinggi elektabilitas.
Demokrasi selalu menjadikan “atas nama
rakyat” sebagai pembenaran.
NEWSLETTER #15
Berdasarkan format pemilu serentak pun,
oligark lebih menghitung-hitung, di daerah atau
kabupaten/kota mana yang diprioritaskan untuk
menempatkan kandidat. Selain mempermaluan
kekerabatan yang dicalonkan, pemilu serentak
membatasi daya oligark dalam memberikan
modal dan menempatkan kandidatnya di suatu
atau
beberapa
pemilihan
eksekutif
kabupaten/kota.
Salah satu penulis buku ini, Didik
Supriyanto dalam opininya “Cegah Politik
Dinasti dengan Pemilu Serentak” (Kompas 21/3
2013) menjelaskan sebab pemilu serentak bisa
mencegah oligarki. Pertama, bila pemilu
legislatif dan pemilu eksekutif dilaksanakan
bersamaan, setiap orang (termasuk petahana dan
kerabatnya) memiliki peluang terbatas untuk
mencalonkan diri. Mereka harus memilih salah
satu jabatan yang hendak digapai: anggota
legislatif atau jabatan eksekutif. Baik yang
terpilih maupun yang tidak berada dalam posisi
sama dalam kurun lima tahun ke depan.
Bandingkan dengan keadaan belum
diterapkannya pemilu serentak. Pada saat pemilu
legislatif, setiap orang memburu kursi DPR,
DPD, dan DPRD. Selang satu atau dua tahun
kemudian, mereka yang sudah mendapat kursi
parlemen maupun yang gagal bergerak ke arena
eksekutif berebut kursi kepala daerah dalam
pilkada. Bagi pemilik kursi parlemen yang gagal
bisa kembali menduduki kursinya; sedangkan
yang berhasil akan meninggalkan kursinya
untuk orang lain, yang bisa jadi adalah
kerabatnya. Penjelasan ini bisa kembali merujuk
Chasan Shochib di Banten dan Yasin Limpo di
Sulsel.
Kedua, penggabungan pemilu legislatif
dan pemilu eksekutif memaksa partai-partai
membangun koalisi sejak dini. Mereka sadar,
keterpilihan calon pejabat eksekutif yang
mereka usung akan memengaruhi keterpilihan
calon-calon anggota legislatif. Hal ini
mendorong partai-partai akan membangun
koalisi
besar
sehingga
pascapemilu
menghasilkan blocking politic: di satu pihak,
terdapat koalisi besar yang memenangi jabatan
eksekutif sekaligus menguasai kursi parlemen; 11
di pihak lain terdapat koalisi gagal meraih
jabatan eksekutif yang menjadi kelompok
terdapat koalisi besar yang memenangi jabatan
eksekutif sekaligus menguasai kursi parlemen;
di pihak lain terdapat koalisi gagal meraih
jabatan eksekutif yang menjadi kelompok
minoritas parlemen sehingga mau tidak mau
menjadi oposisi.
Berdasarkan disain tersebut, pemilu
serentak bisa melawan oligarki. Keadaan ini
mendorong partai/atau koalisi partai memilih
pasangan calon pejabat eksekutif berelektabilitas
paling tinggi. Tujuannya untuk mengatrol
perolehan kursi legislatif. Mau tak mau oligarki
tak memaksa untuk mencalonkan. Paling
mungkin oligark akan memodalkan calon atau
pasangan calon untuk mengamakan atau
memperluas kekuasaan ekonominya.
Jika asumsi penyerentakan pemilu itu
dikonkretkan dalam sekala nasional, itu terjadi
di Pemilu 2014. Tanpa diserentakan saja
elektabilitas Joko Widodo bisa mengurangi
oligarki Megawati. PDIP rela mencalonkan
Jokowi sebagai kontestan pilpres. Dan tanpa
diserentakan saja elektabiltas PDIP menjadi
tinggi dan melebihi elektabilitas partai lainnya.
Terpilihnya pemerintahan efektif dan
berdampak baik pada rakyat merupakan tujuan
pemilu. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
mengenai pemilu serentak yang diselenggarakan
2019 semakin menguatkan relasi sistem
pemerintahan presidensial Indonesia dengan
sistem kepartaian multi partai dan sistem pemilu
proporsional. Dengan menjelaskan bentuk pemilu
serentak 2019 berdasar pengertian di buku ini,
presidensialisme Indonesia berkecenderungan
membaik dan berdaya mengurangi oligarki. []
USEP HASAN SADIKIN
Penggiat pemilu Perludem
NEWSLETTER #15
Kaleidoskop Pemilu 2014
September 2014
1. Komisi II DPR mengeluarkan rekomendasi
pembentukan Panitia Khusus Pemilu 2014.
Rekomendasi ini disepakati dalam rapat dengar
pendapat Komisi II DPR dengan KPU dan
Bawaslu dengan agenda evaluasi pemilu. Pansus
Pemilu dibentuk untuk melakukan penyelidikan
terkait data pemilih, penghitungan dan
pergerakan suara dari TPS ke KPU, penggunaan
anggaran hingga sistem teknologi dan informasi.
2. Dalam persiapan pelantikan anggota dewan,
KPU menyiapkan pelantikan 560 anggota DPR
dan 132 anggota DPD periode 2014-2019 pada 1
Oktober. Ada pembatalan pelantikan beberapa
caleg terpilih akibat meninggal dunia dan
mengundurkan diri. Pembatalan pelantikan yang
sedang diproses karena meninggal dunia
dilakukan atas caleg terpilih dari Partai Amanat
Nasional (PAN), Laurens Bahang Dama. Ketua
KPU Husni Kamil Manik mengatakan, DPP
PAN sudah ajukan pergantian. Yang lainnya
belum, termasuk pengunduran Lukman Hakim
Saifuddin sebagai caleg terpilih Partai Persatuan
Pembangunan (PPP).
3. Lima dari enam fraksi di DPR yang tergabung
dalam Koalisi Merah Putih mendadak berubah
sikap terkait mekanisme pilkada. Jika
sebelumnya mereka menginginkan gubernur,
bupati, dan wali kota dipilih langsung, kini
mereka usul dipilih DPRD. Kelima fraksi ini
adalah Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai
Golkar, Fraksi PAN, Fraksi PPP, dan Fraksi
Partai Gerakan Indonesia Raya. Satu fraksi
anggota KMP lainnya, yakni Fraksi Partai
Keadilan
Sejahtera,
tetap
mengusulkan
gubernur, bupati, dan wali kota dipilih langsung.
Sementara itu, KPU akan mengembalikan
Rp 2,8 triliun kepada pemerintah pada Oktober.
Duit merupakan sisa anggaran sementara dari
pelaksanaan plieg dan pilpres.
Nur Wahid, mengatakan fraksinya bersepakat
dengan KMP yang tak menginginkan kepala
daerah dipilih langsung rakyat. Ia mengklaim
pemilihan oleh DPRD lebih berkualitas dan jauh
dari korupsi.
8. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas
Andalas, Padang, Saldi Isra mengingatkan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar tidak
lepas tangan begitu saja melihat perkembangan di
dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang
Pilkada di DPR tersebut.
11. Sejumlah bupati dan wali kota yang diusung
partai atau gabungan partai KMP menentang opsi
pemilihan melalui DPRD. Sikap mereka
berseberangan dengan keputusan enam fraksi
anggota KMP di DPR, yang sampai kemarin
ngotot mengegolkan RUU Pilkada.
14. Presiden SBY terjepit dua opsi mekanisme
pilkada dalam pembahasan RUU Pilkada di DPR.
Pemerintah, yang diwakili Menteri Dalam Negeri
Gamawan Fauzi menginginkan pilkada langsung.
SBY, dalam wawancara pribadi yang diunggah ke
media sosial YouTube, menyatakan partainya
belum mengambil sikap.
22. Tim Perumus RUU Pilkada akan melaporkan
kerja mereka ke Panitia Kerja RUU Pilkada DPR,
Sikap setiap fraksi di DPR terkait mekanisme
pilkada akan kembali terlihat. Kepala Pusat
Penerangan Kementerian Dalam Negeri Dodi
Riyadmadji mengatakan, tim perumus bersama
pemerintah akan melaporkan dua versi draf RUU
Pilkada ke panitia kerja (panja). Pertama, draf
RUU pilkada langsung. Kedua, draf RUU pilkada
tak langsung. Dengan dua draf itu, panja akan
membahas dan sekaligus akan diketahui sikap
terbaru setiap fraksi.
7. Kekuatan pendukung pemilihan kepala daerah
26/9. Keputusan Sidang Paripurna DPR yang
oleh dewan perwakilan rakyat daerah kian besar. 12 mengesahkan pemilihan kepala daerah oleh
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Hidayat
DPRD dikecam luas oleh publik. Pengesahan UU
NEWSLETTER #15
24. Anggota Fraksi Partai Demokrat di DPR
diminta mendukung pilkada langsung dalam
voting untuk RUU Pilkada, 25 September.
Dengan sikap Partai Demokrat pilkada langsung
oleh rakyat tetap bisa dipertahankan tahun-tahun
mendatang, tak bisa digantikan pilkada oleh
DPRD. Dengan dukungan Partai Demokrat,
jumlah
kursi
yang
mendukung
tetap
dipertahankannya pilkada langsung mencapai 287
kursi, terdiri dari F-PDIP (94), F-PKB (28), FHanura (17), dan F-PD (148). Sementara kursi
pendukung pilkada lewat DPRD menjadi 273
kursi, terdiri dari F-Gerindra (26), F-PKS (57), FPPP (38), F-Golkar (106), dan F-PAN (46). Kursi
di DPR total berjumlah 560.
26. Keputusan Sidang Paripurna DPR yang
mengesahkan pilkada oleh DPRD dikecam luas
publik. Pengesahan UU Pilkada itu juga dinilai
sebagai bukti warisan buruk demokrasi Indonesia
pada akhir rezim Presiden SBY. Keputusan itu
tak lepas dari usul pemerintah di bawah Presiden
Yudhoyono tentang pilkada oleh DPRD serta
langkah Partai Demokrat, yang juga dipimpin
Yudhoyono sebagai ketua umum. Fraksi Partai
Demokrat DPR meninggalkan rapat (i) saat
keputusan diambil via voting.
Pandangan ini diserukan kelompok
masyarakat sipil di Tanah Air yang tengah
mengikuti
pertemuan
puncak
Kemitraan
Pemerintahan Terbuka (Open Government
Partnership/OGP) di New York, Amerika Serikat.
Mereka antara lain International NGO Forum on
Indonesian Development (INFID), MediaLink,
Transparency International Indonesia (TII),
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(Walhi), dan Yayasan TIFA. Pembukaan
pertemuan puncak itu juga dihadiri Presiden SBY
selaku Ketua OGP.
28. Ketua MK Hamdan Zoelva menyatakan,
dirinya dihubungi Presiden SBY, sore. Presiden,
seperti dikutip Hamdan, mengungkapkan,
pihaknya tidak mendapatkan aktualisasi terakhir
dan konfirmasi terakhir RUU itu sehingga
Presiden merasa kecewa atas putusan DPR. 13
Dalam jawabannya kepada Presiden, Hamdan
mengungkapkan, dalam praktik ketatanegaraan di
dan konfirmasi terakhir RUU itu sehingga
Presiden merasa kecewa atas putusan DPR.
Dalam jawabannya kepada Presiden, Hamdan
mengungkapkan, dalam praktik ketatanegaraan di
Indonesia, proses pengambilan keputusan
terhadap RUU didahului pendapat DPR melalui
fraksi-fraksinya,
lalu
diikuti
sambutan
pemerintah. Presiden tak mengungkapkan
permintaan khusus kepada dirinya, seperti untuk
membatalkan UU Pilkada.
Di kasus UU MD3, MK menolak seluruh
permohonan yang diajukan PDI-P dan sejumlah
calon anggota DPR terpilih dari PDI-P. Dengan
demikian, pemilihan ketua dan wakil ketua DPR,
seperti diatur dalam UU No 17/2014 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD, sah dan
konstitusional. Mekanisme pengisian jabatan
pimpinan DPR, menurut MK, merupakan open
legal policy atau kebijakan hukum terbuka yang
dapat ditentukan pembuat UU.
Konstitusi tidak mengatur secara spesifik
susunan organisasi kelembagaan DPR, termasuk
tata cara pengisian jabatan pimpinannya. Pasal 19
Ayat (2) UUD 1945 menyerahkan persoalan
tersebut kepada pembentuk UU. Dua hakim
konstitusi, Arief Hidayat dan Maria Farida,
mengajukan pendapat berbeda atau dissenting
opinion. Keduanya berpendapat, permohonan
PDI-P seharusnya dikabulkan. []
Rekrutmen
Perludem Muda adalah komunitas pemilu muda yang
dibentuk Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi
(Perludem). Perludem Muda dibentuk bertujuan
menciptakan dan menumbuhkan minat kepemiluan di
kalangan pemuda (15 sampai 35 tahun). Minat
pemuda di pemilu penting agar bisa kuat terlibat di
pemilu dan demokrasi.
Secara umum, tak hanya bagi pemuda,
pemilu memang masih belum dekat dengan
masyarakat. Menjadi permasalahan khusus bagi
pemuda, secara jumlah pemuda berjumlah 30-an
persen dari total penduduk.
Jumlah ini
menjadikan pemuda mempengaruhi keterpilihan
di pemilu.
Sayangnya, kebijakan yang dihasilkan
pemerintah tepilih sering tak berpihak kepada
pemuda. Masalahnya pemuda belum banyak aktif
di partai dan mempengaruhi kebijakan partai.
Selain itu, pemuda sangat sedikit yang duduk di
parlemen sehingga kebijakan yang dihasilkan tak
sesuai dengan kebutuhan pemuda.
Perludem Muda
menjalankan sejumlah
kegiatan berdasarkan perspektif afirmasi pemuda di
pemilu. Pemuda harus belajar dari afirmasi
perempuan di pemilu yang cukup berhasil
diterapkan beserta capaian kebijakan. Wujudnya
bisa melalui kuota anggota partai, kuota
kandidasi, kuota kursi di parlemen, penurunan
usia minimal caleg serta capres, dan lainnya.
Bentuk kegiatannya berbasis komunitas hobi
dengan melakukan:
1. pendidikan pemilu,
2. pelatihan menulis dan jurnalistik kepemiluan,
3. kampanye pemilu,
4. berdiskusi,
5. nobar film pemilu,
6. klub pustaka pemilu,
7. roadshow,
8. dll.
Cara keikutsertaan di Perludem Muda
dengan cara/tahapan berikut:
1. Mengirim biodata/CV (jika ada, nomor
telepon, email, twitter, FB, dan blog
dicantumkan);
2. Tulisan bertema pemilu;
3. Wawancara oleh Perludem;
4. Pendidikan awal pemilu oleh Perludem;
5. Mengikuti kegiatan Perludem Mueda dan
Perludem.
Aplikasi diri calon aktivis Perludem Muda
dikirim
ke
[email protected]
cc:
[email protected].
Perludem
akan
memberikan sertifikat Perludem Muda berdasar
karya dan capaian dari keikutsertaan Perludem
Muda.
Perludem Muda tak dikenakan biaya dan
aktivitasnya tak berdasarkan bayaran. Komunitas
ini murni sebagai gerakan berprinsip relawan
(volunteerism). Dasar aktivitasnya adalah
menciptakan, menumbuhkan, dan menjaga minat
dan tanggung jawab terhadap (ke)pemilu(an). []
Download