newsletter #15 Melawan Oligarki Melalui Pemilu Opini Pilkada Langsung/Tak Langsung dan Oligarki Sistem Proporsional Terbuka VS Oligarki OLEH DONNY ARDYANTO OLEH USEP HASAN SADIKIN #pustakapemilu Menyerentakan Pemilu Melawan Oligarki OLEH USEP HASAN SADIKIN Kaleidoskop Pemilu 2014 (September) Rekrutmen #PerludeMuda NEWSLETTER #15 pengantar Melawan Oligarki Melalui Pemilu dijinakkan Soeharto menjadi oligarki kekuasaan yang belum dijinakkan semenjak Soeharto jatuh. Oligarki yang dijalankan kaum oligark inilah yang menguasai politik dan kontestasi pemilu Indonesia pascaReformasi. Merujuk rentang penyelenggaraan Pemilu 1999 sampai 2014 oligarki partai justru terus berlangsung. Malah, dalam beberapa kasus, cenderung menguat. Yang paling vulgar saat Jusuf Kalla dan Abu Rizal Bakrie bergantian memimpin Golkar. Bahkan, sebagai oligark, Jusuf Kalla berkuasa memegang poros eksekutif sebagai wakil presiden dan poros legislatif karena Golkar merupakan fraksi dengan kursi terbanyak di 2004-2009. Penyelenggaraan pilkada langsung di beberapa daerah bisa dinilai berhasil memutus oligarki legislatif ke eksekutif. Sayangnya, kepala-kepala daerah yang dinilai bukan bagian dari relasi oligarki di partai atau legislatif lebih banyak berupa penguatan personalitas tokoh melalui terma profesionalitas dibandingkan kematangan ideologi politik. Keadaan ini malah semakin menjauhkan masyarakat dari partai sebagai kelembagaan penting dalam demokrasi. Pemilu legislatif dengan sistem proporsional daftar terbuka pun coba diterapkan untuk melawan oligarki partai. Melalui cara memilih caleg (bukan partai) ini menunjukan sejumlah dewan terpilih bukan bagian oligarki tapi di sejumlah lainnya justru menggambarkan perluasan oligarki. Dalam afirmasi perempuan, caleg perempuan terpilih di 2004-2019 menunjukan kecenderungan oligarki yang menguat. Pemilu serentak 2019 merupakan satu pilihan prosedur demokrasi yang dikalkulasi bisa mengurangi oligarki. Penyatuan pemilu eksekutif-legislatif ini akan mempermalukan peserta pemilu bermodal kekerabatan. Tapi oligark akan punya cara lagi untuk menguasai demokrasi sehingga terus jauh dari rakyat. [] 2004 merupakan tahun pertama Indonesia menyelenggarakan pemilihan presiden secara langsung melalui pemilu. Penerapan demokrasi elektoral di poros eksekutif secara langsung ini berdasar amandemen Undang-undang Dasar 1945 di tahun 2002. Setelah hampir setengah abad Indonesia menerapkan sistem pemerintahan parlementer, 2004 pemilu pertama presidensialisme Indonesia. Salah satu alasan beralihnya sistem pemerintahan presidensial dengan ciri presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu adalah untuk melawan oligarki partai yang tetap kuat pascaReformasi. Memilih langsung presiden saat itu dinilai dapat memotong pengaruh oligarki di tubuh partai dan parlemen terhadap presiden/eksekutif. Benarkah oligarki berkurang atau hilang? Hilang, jelas tidak. Berkurang? Kita perlu tahu apa itu ukuran berkurang. Yang pasti, partai cenderung dipimpin elite partai beruang banyak. Donny Ardiyanto dalam “Pilkada dan Oligarki” (hal. 2-4) menuliskan, selain transisi dari kediktatoran ke demokrasi, oligarki sultanistik yang dijinakkan Soeharto menjadi oligarki kekuasaan yang belum dijinakkan semenjak Soeharto jatuh. Oligarki yang dijalankan kaum oligark inilah yang menguasai Newsletter rumahpemilu.org politik kontestasi pemilu Maharddhika, Indonesia pascaRedaksi:dan Usep Hasan Sadikin, Nelvia Gustina, Bagus Purwoadi; Reformasi. Layout: Usep Hasan Sadikin; Ilustrasi: Usep Hasan Sadikin. Merujuk rentang penyelenggaraan Pemilu 1999 sampai 2014 oligarki partai tulisan justru berita, terus opini, resensi film, feature seputar pemilu. Tulisan Redaksi rumahpemilu.org menerima berlangsung. Malah, dalam beberapa kasus, akan dimuat untuk kebutuhan publikasi www.rumahpemilu.org dan newsletter. Tulisan dikirim cenderung Yang paling vulgar saat Jusuf berformat menguat. word ke [email protected]. Kalla dan Abu Rizal Bakrie bergantian memimpin Golkar. Bahkan, sebagai oligark, Jusuf Kalla berkuasa NEWSLETTER #15 opini Pilkada Langsung/Tak Langsung dan Oligarki OLEH DONNY ARDYANTO Undang-undang yang mengatur pilkada langsung maupun tidak langsung, mereka telah disahkan pada Oktober 2004. Pertama kali mendominasi lembaga-lembaga politik yang diterapkan dalam pemilihan Bupati Kutai dibangun dengan tujuan awal untuk memperkuat Kartanegara (Juni 2005). Artinya, rakyat demokrasi. Indonesia baru merasakan pengalaman pilkada Apakah oligark ini? Oligark adalah langsung di masing-masing wilayahnya tidak individu yang menguasai dan mengendalikan lebih dari 2 kali. Di sisi lain, pengalaman pilkada konsentrasi besar sumber daya material, yang bisa melalui DPRD di era reformasi (1998-2004) juga digunakan untuk mempertahankan atau baru 1-2 kali dialami masing-masing daerah. meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial Dengan pengalaman yang masih sangat ekslusifnya. Sedangkan oligarki adalah politik terbatas tersebut sebenarnya menjadi terlalu dini pertahanan kekayaan dari kaum oligark. untuk menilai sejauh mana pengaruh pilkada Postur oligarki Indonesia tergambar dari langsug terhadap kemajuan demokrasi Indonesia. fakta bahwa jumlah kekayaan dari 40 orang Jika kita hanya melihat berdasarkan hak warga terkaya di Indonesia pada tahun 2010 merupakan negara untuk memilih pemimpinnya secara 10,3% dari GDP, dengan rata-rata kekayaan langsung, tentunya kembali pada pilkada melalui mereka mencapai Rp 21,36 trilyun. Jika DPRD merupakan sebuah kemunduran. Namun dibandingkan rata-rata kekayaan 40 orang terkaya kemajuan serta kualitas demokrasi tak bisa diukur di Indonesia, Thailand, Malaysia dan Singapura, semata-mata hanya dari memilih langsung/tak Indonesia berada di posisi paling tinggi. langsung itu. Satu hal yang membedakan antara oligark Dari berbagai metode yang dilakukan Indonesia dengan kaum oligark dalam rumusan untuk mengukur demokrasi (Indeks Demokrasi teori oligarki Winters adalah oligark Indonesia Indonesia, Global Democracy Ranking, dan tidak menggunakan (apalagi mengupayakan) rule Freedom in the World), mekanisme pilkada hanya of law dalam mempertahankan/meningkatkan merupakan satu indikator dari puluhan indikator kekayaan mereka. Oligark Indonesia demokrasi. Jadi, selain terlalu dini dan sumir memanfaatkan absennya rule of law bukan untuk melakukan semacam evaluasi terhadap semata-mata mempertahankan kekayaan namun perkembangan demokrasi Indonesia berdasarkan juga untuk mengakumulasi kekayaan yang lebih mekanisme pilkada. Ada aspek lain yang lebih besar dengan cara yang melanggar hukum. relevan dalam memandang transisi demokrasi ini. Cara-cara yang biasa dilakukan kaum Menurut Jeffrey Winters dalam “Oligark” oligark dengan mempengaruhi perumusan (2011), selain transisi dari kediktatoran ke kebijakan, seperti UU Penanaman Modal, UU demokrasi, ada transisi lain yang tidak kalah Pajak, UU Minerba, UU Perseroan Terbatas, dan penting, yaitu transisi dari oligarki sultanistik lainnya. Semuanya demi mempertahankan yang dijinakkan oleh Soeharto menjadi oligarki kekayaannya yang sudah merupakan sebuah kekuasaan yang belum dijinakkan semenjak bentuk penyalahgunaan kekuasaan, meskipun Soeharto jatuh. Oligarki yang dijalankan oleh dengan cara yang bisa dikatakan “halus” dan kaum oligark inilah yang menguasai perpolitikan canggih. Melalui UU dan kebijakan tersebut Indonesia di era reformasi. Secara langsung mereka berhasil mempertahankan kekayaan maupun tidak langsung, mereka telah dengan perlindungan legal dari peraturan mendominasi lembaga- lembaga politik yang perundang-undangan. Ternyata cara itupun masih 3 dibangun dengan tujuan awal untuk memperkuat belum mencukupi bagi sebagian oligark NEWSLETTER #15 dengan perlindungan legal dari peraturan langsung. Di satu sisi, publik dibuat seolah-olah perundang-undangan. Ternyata cara itupun masih sebagai demos yang kratos melalui direct-onebelum mencukupi bagi sebagian oligark man-one-vote, padahal umur kratos mereka hanya Indonesia, sehingga kemudian cara-cara “kasar” sekejap ketika mereka berada di dalam bilik pun dilakukan dengan mengambil proyek-proyek suara. Selebihnya, mereka tidak punya akses pembangunan untuk bisa dijalankan oleh sama sekali terhadap kekuasaan. Jarak antara perusahaan yang mereka miliki. publik dengan partai diperlebar, baik atas hasil Menghadapi cara kasar kaum oligark, kita rekayasa oligark, maupun reaksi publik sendiri bisa berharap pada institusi penegakan hukum, berdasarkan pengalaman traumatik mereka khususnya KPK. Namun menghadapi oligarki terhadap partai. yang menggunakan instrument demokrasi dalam Problem kegagalan fungsi representasi mempertahankan kepentingan privat mereka partai, dan ketidakpercayaan publik terhadap itulah yang menurut Winters menjadi problem partai tidak ada kaitan langsung, dan tidak akan penting bangsa ini. Uang dan kekayaan memang bisa diselesaikan melalui model pilkada langsung. bisa menghasilkan kekuasaan, namun di Akar dari kedua problem tersebut yaitu oligarki. Indonesia kemampuan itu menjadi berlipat ganda Ini sekalipun, tidak bisa diselesaikan dengan karena tidak adanya hambatan (berupa aturan, pilkada langsung. dll.) bagi penggunaan uang untuk kepentingan Winter menegaskan bahwa penjinakan kekuasaan. terhadap oligark tidak ada hubungannya dengan Menurut Rahman Tolleng (2014), kebebasan ataupun partisipasi politik masyarakat. konsolidasi kaum oligark pasca-Orde Baru sudah Penjinakan terhadap oligark hanya dapat membajak demokrasi yang dicita-citakan pada dilakukan melalui rule of law, dan harus disadari tahun 1998, dan “membekukan” masyarakat. bahwa demokrasi tidak selalu identik dengan rule Politik secara perlahan diambil alih dan dikuasai of law. Indonesia adalah contoh demokrasi tanpa kembali oleh mereka. Kali ini tanpa adanya lagi rule of law, sehingga disebut Winters sebagai kediktatoran Soeharto yang membatasi ruang “criminal democracy”; berbanding terbalik gerak oligark. Arena pertarungan politik dibuat dengan Singapura yang dia sebut sebagai sedemikian rupa sehingga hanya dengan restu dan “authoritarian legalism” (Winters 2011). campur tangan mereka, politik bisa berjalan. Kita berada dalam situasi di mana politik Politik hanya bisa berjalan dengan biaya elektoral sudah diberlakukan, namun partai besar. Biaya besar ini bukan hanya dalam dikuasai oleh oligark sementara publik kerangka kontestasi di pemilu. Dari awal untuk mengambil sikap anti terhadap (partai) politik. bisa masuk dalam ruang kontestasi pemilu saja Dengan kesediaan untuk menjadi demos hanya sebuah partai harus menyiapkan biaya minimal sekejap dalam bilik suara, kecenderungan publik Rp 35-60 miliar. Itu belum termasuk biaya adalah berpolitik sebagai kumpulan gerombolan kampanye, sehingga juga belum menjamin partai tanpa isi kepala. Padahal kita membutuhkan yang bersangkutan bisa memperoleh suara yang publik dengan kualitas demos yang permanen signifikan. sehingga benar-benar bisa memegang kratos Penguasaan oligark terhadap partai secara permanen pula. Institusi-institusi yang membuat pemimpin partai tidak lagi melakukan dianggap sebagai pilar demokrasi, terutama “leading”, namun melakukan dominasi, dan peran partai politik dan pers, sudah menjadi bagian dari mereka pun bersifat personal. Personalisasi dalam oligarki yang alih-alih menjalankan fungsi politik, yang juga kompatibel dengan pendidikan politik, malah menjejali publik individualism oligark, kemudian dipadukan dengan segala jenis survei dan kampanye dengan populisme oleh sistem pemilihan personalisasi politik. langsung. Di satu sisi, publik dibuat seolah-olah Pendalaman demokrasi membutuhkan peran aktif sebagai demos yang kratos melalui direct-onewarga negara dalam politik. Peran aktif ini harus 4 man-one-vote, padahal umur kratos mereka hanya lebih dari sekedar aktif mengikuti isu politik di NEWSLETTER #15 Pendalaman demokrasi membutuhkan peran aktif warga negara dalam politik. Peran aktif ini harus lebih dari sekedar aktif mengikuti isu politik di media massa atau media sosial, kemudian mengambil sikap (juga melalui media sosial) berdasarkan informasi-informasi dangkal yang diterima dari media massa. Politik harus mulai dipahami dan disikapi bukan berdasarkan figur ataupun hasil polling, namun berdasarkan gagasan dan platform dari aktor politik. Rekayasa politik diperlukan untuk mengubah pemahaman tersebut, dan mau tidak mau diawali dengan kesadaran bahwa segala hiruk pikuk politik yang terjadi selama ini tidak lain merupakan pertarungan antar oligark dalam memanfaatkan serta memperebutkan kendali atas institusiinstitusi demokrasi. Agenda untuk melahirkan kewarganegaraan yang aktif memerlukan rekayasa melalui pendidikan. Pemilihan secara langsung tentunya juga bisa dianggap sebagai suatu bentuk pembelajaran politik, learning by doing. Asumsinya pengalaman adalah guru yang terbaik, publik akan belajar dari kesalahan maupun keberhasilan yang mereka peroleh ketika terlibat langsung dalam proses voting. Namun ada resiko ketika momentum belajar yang hanya sekali dalam lima tahun itu kalah cepat dengan proses pengambilalihan institusi demokrasi oleh kaum oligark, sehingga instrumen hukum yang merupakan alat utama untuk menjinakkan kaum oligark akan semakin sulit diciptakan dengan makin kuatnya cengkraman oligarki. Pilkada langsung maupun melalui DPRD tidak berpengaruh terhadap fenomena oligarki politik. Bahkan pertarungan wacana mengenai mekanisme pilkada bisa jadi menguntungkan oligark karena masih jauh dari subtansi yang diperlukan untuk menjinakkan mereka. Menjinakkan oligark sangatlah sulit, namun jauh lebih sulit lagi untuk bisa menghancurkan mereka melalui pemecahan konsentrasi kekayaan. Meskipun sulit, namun cengeraman oligarki memang hanya bisa diatasi dengan aturan hukum (rule of law). Menurut Winters, hal itu harus dimulai dengan masyarakat mempunyai organisasi dan pemimpin 5 di luar struktur yang dikuasai para oligark dan Menurut Winters, hal itu harus dimulai dengan masyarakat mempunyai organisasi dan pemimpin di luar struktur yang dikuasai para oligark dan elite. Organisasi dan pemimpin politik inilah yang akan menjadi agen dan alat dalam menantang oligarki. Oleh karena itu, jauh lebih penting untuk mendorong kewarganegaraan yang aktif dengan keterlibatan langsung warga negara di institusi-institusi demokrasi, dimulai dengan partai. Contoh pilihan sederhananya: Masuk partai yang sudah ada dan melawan oligarki dari dalam; atau membuat partai baru yang terbebas dari kaum oligark. [] DONNY ARDYANTO Peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) NEWSLETTER #15 opini Pemilu Proporsional Terbuka VS Oligarki OLEH USEP HASAN SADIKIN Sistem pemilu proporsional daftar terbuka diterapkan pertama kali di Pemilu 2004. Latar belakang penerapan pemilu dengan memilih caleg ini salah satunya untuk melawan oligarki partai. Slogan "saya gak mau beli kucing dalam karung" saat pertamakali sistem ini disosialisasikan menekankan, ikatan caleg terpilih akan lebih terikat kepada rakyat/pemilih dibandingkan pada partai yang cenderung oligarkis. Sebelumnya, sistem proporsional daftar tertutup di Pemilu 1999 dinilai memungkinkan partai dikuasai oligark atau elite untuk menentukan caleg yang mendapatkan kursi. Pada penerapannya, sistem proporsional daftar terbuka banyak dipermasalahkan dan dikritik. Lebih masifnya politik uang antarcaleg, kanibalisme caleg, stigma liberalisme dan individual, boros anggaran, dan rumit, semuanya menjadi penilaian negatif sistem ini. Tapi hingga Pemilu 2014 sistem ini dipertahankan bahkan menjadi utuh terbuka di 2009 dan 2014. Meski persentase suara sah dan pemilih di Pileg 2014 meningkat dari 70 persen ke 75 persen bahkan melawan kecenderungan menurunnya persentase pemilih di pemilu berikutnya, sistem proporsional daftar terbuka tetap dipermasalahkan. serta UU No. 2/2008 tentang partai dan UU No. 10/2008 untuk Pemilu 2009. Pemilu 2014 sendiri didasari UU No. 8/2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Dari kebijakan itu jumlah perempuan mengalami kenaikan di Pemilu 2009 dan mengalami penurunan di Pemilu 2014. Di 2004, jumlah caleg perempuan 2.507 (33% dari jumlah caleg lelaki dan perempuan), yang terpilih 61 (11,09%) dari 550. Di 2009 DPR RI, jumlah caleg perempuan 3910 (34,7 % dari jumlah caleg lelaki dan perempuan), yang terpilih 103 (17,86%) dari 560. Di Pemilu 2014, jumlah caleg 2.467 (37% dari jumlah caleg lelaki dan perempuan dan menghasilkan 98 (17%) dari 560. Parlemen untuk 2009-2014 hasil pemilu 2009 disimpulkan lebih sebagai euforia kenaikan jumlah legislator. Pusat Kajian Ilmu Politik (Puskapol) Universitas Indonesia menilai, capaian kuantitas masih menyisakan banyak persoalan dan tantangan. Masih tingginya angka korban KDRT, kematian ibu dan anak, perdagangan perempuan dan anak, dan perempuan buta huruf merupakan bentuk nyata yang harus dijadikan dasar agenda perjuangan politik perempuan. Di 2014, hasil kuantitasnya justru makin sedikit perempuan yang terpilih. Oligarki yang ingin dihindari dari sistem proporsional terbuka Oligarki di afirmasi perempuan Jika mengevaluasi hasil Pemilu DPR, DPD, dan malah menguat sebagai faktor perempuan duduk DPRD (Legislatif) 2009 dan 2014, kita akan di parlemen. Jika mengevaluasi hasil Pemilu menemukan paradoks keterwakilan di sistem DPR, DPD, dan DPRD (Legislatif) 2014, kita proporsional daftar terbuka. Sistem proporsional akan menemukan relevansi kekhawatiran Ani daftar terbuka yang bertujuan memutus oligarki Soetjipto dalam bukunya “Politik Harapan”. partai ternyata malah menguatkan bentuk oligarki Menurut Ani, kebijakan afirmasi itu sendiri. Ini terjadi terutama dalam afirmasi perempuan dalam pencalonan 30 persen perempuan. perempuan setiap partai setiap dapil menyertakan Regulasi mengenai kebijakan afirmasi zyper system dalam nomor urut di sistem pemilu perempuan di arena politik diadopsi melalui proporsional terbuka justru merupakan pelemahan Undang-undang No. 31/2002 tentang Partai perempuan berpolitik. Kompetisi bebas terbuka, Politik dan UU No. 12/2003 tentang Pemilu 2004, oligarki, patriarkisme caleg perempuan, psikologi serta UU No. 2/2008 tentang partai dan UU No. pemilih yang cenderung memilih nomor urut 1, 10/2008 untuk Pemilu 2009. Pemilu 2014 sendiri akan menghasilkan caleg perempuan terpilih yang 6 didasari UU No. 8/2012 tentang Pemilu DPR, berkurang dan minim kualitas. NEWSLETTER #15 pemilih yang cenderung memilih nomor urut 1, akan menghasilkan caleg perempuan terpilih yang berkurang dan minim kualitas. Puskapol UI melalui hasil pencermatan hasil Pileg 2014 menyimpulkan, berdasarkan profil dan basis keterpilihan anggota legislatif DPR RI 2014-2019, sangat berpeluang kuatnya dominasi fraksi terhadap otonomi anggota. Hal ini terutama disebabkan pola basis rekrutmen yang mengandalkan kekuatan finansial dan kekerabatan untuk mendukung elektabilitas yang tinggi. Antara lain ditunjukkan oleh 7 dari 77 anggota terpilih yang memiliki jaringan kekerabatan termasuk dalam 10 besar peraih suara tertinggi. Selain itu, kecenderungan semakin kuatnya dominasi fraksi atas anggota legislatif ditunjukkan pula oleh berimbangnya jumlah inkumben terpilih dan anggota baru terpilih. Sebagian inkumben yang tidak terpilih dapat diidentifikasi sebagai anggota yang kritis terhadap posisi dan kebijakan partai/fraksi. Dengan kondisi ini, harapan agenda reformasi parlemen dan lahirnya kebijakan yang pro kepentingan publik akan berhadapan dengan kepentingan oligarki (elite politik/fraksi). Oligarki di partai dan partai oligarkis Jeffrey Winters dalam “Oligark” (2011) menjelaskan, oligark adalah individu yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi. Sementara oligarki adalah politik pertahanan kekayaan dari kaum oligark. Orde Baru Soeharto membatasi oligark bermain politik secara aktif. Pasca-Reformasi, pada rentang penyelenggaraan Pemilu 1999 sampai 2014, oligarki partai justru terus berlangsung. Malah, dalam beberapa kasus, cenderung menguat. Yang paling vulgar saat Jusuf Kalla dan Abu Rizal Bakrie bergantian memimpin Golkar. Bahkan, sebagai oligark, Jusuf Kalla memegang poros eksekutif sebagai wakil presiden dan poros legislatif karena Golkar merupakan fraksi dengan kursi terbanyak di 2004-2009. Menguatnya oligarki Fakta itu merupakan bentuk oligarki di Arena politik sistem proporsional daftar ini tubuh partai. Bentuk lainnya bisa menyertakan ternyata bisa dimasuki semua kalangan. Alih-alih modal kekerabatan yang tujuannya sama, di dalam keterbukaan ini kita bisa memasukan mempertahankan atau memperluas penguasaan orang-orang baik jadi peserta pemilu dan sumber daya material melalui partai dan dikampanyekan dan diharapkan masuk parlemen kekuasaan. Megawati Soekarno Putri dengan untuk melawan oligarki, malah orang-orang yang gurita bisnis pom bensinnya menyertakan minim kualitas terpilih menyertakan pengaruh kekerabatan dalam menjalankan partai. oligarki. Oligarki di partai berbeda penjelasannya Seiring itu, partai sebagai intitusi dengan partai oligarkis. Ini yang terjadi di demokrasi, secara internal tidak dikelola secara semua partai. Sifat partai seperti oligark. Partai demokratis. Partai menghadapi permasalahan dengan penguasaan sumber daya material serius seperti pragmatisme, lemah ideologi, hendak mempertahankan atau meningkatkan institusionalisasi tidak berjalan, tingginya biaya kekayaannya dalam kontestasi pemilu dan organisasi, biaya pemilu dan kampanye, sehingga jalannya pemerintahan hasil pemilu. Aktivis tak ada kedaulatan yang berdasar pada rakyat. perempuan, Lies Marcoes dalam “Perempuan dan Sistem proporsional daftar terbuka yang Langkah Afirmatif” (Kompas 21/4 2014) menekankan pada personal caleg pun semakin menjelaskan, yang terjadi dalam mekanisme menjauhkan masyarakat terhadap partai. Padahal, rekrutmen caleg di partai cenderung bersifat pada dasarnya partai membutuhkan masyarakat instans dan diwarnai nepotisme. NPWP (Nomor dan juga sebaliknya. Partai dalam konteks Piro Wani Piro) menjadi pengetahuan bersama demokrasi merupakan institusi penyampai bakal caleg. aspirasi masyarakat yang dikonversi menjadi Puskapol UI melalui hasil pencermatan kebijakan. Karena itu partai membutuhkan hasil Pileg 2014 menyimpulkan, berdasarkan 7 masyarakat untuk mendukung orang di dalam profil dan basis keterpilihan anggota legislatif partai yang juga wakil masyarakat masuk ke NEWSLETTER #15 kebijakan. Karena itu partai membutuhkan masyarakat untuk mendukung orang di dalam partai yang juga wakil masyarakat masuk ke parlemen. Kerja partai membutuhkan keterlibatan masyarakat termasuk pendanaan partai. Di sistem proporsional daftar terbuka, saat partai tak dipercaya masyarakat pendaaan dari masyarakat hilang. Akhirnya partai dengan kebutuhan kerja lembaga dan kampanye menerima uang besar dari oligark yang cenderung berkeinginan memesan kebijakan yang bisa mengamankan atau memperbesar bisnis yang dikuasai oligark. Pada akhirnya, dasar menguatkan ikatan caleg terpilih dengan pemilih dan melawan oligarki melalui sistem yang rumit ini malah lemah berfungsi. [] USEP HASAN SADIKIN Penggiat pemilu Perludem 8 NEWSLETTER #15 F #pustakapemilu Melawan Oligarki Melalui Pemilu Serentak OLEH USEP HASAN SADIKIN 2004 merupakan tahun pertama Indonesia menyelenggarakan pemilihan presiden secara langsung melalui pemilu. Penerapan demokrasi elektoral di poros eksekutif secara langsung ini berdasar amandemen Undang-undang Dasar 1945 di tahun 2002. Setelah hampir setengah abad Indonesia menerapkan sistem pemerintahan parlementer, Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama presidensialisme Indonesia. Salah satu alasan beralihnya sistem pemerintahan presidensial dengan ciri presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu adalah untuk melawan oligarki partai yang tetap kuat pasca-Reformasi. Memilih langsung presiden saat itu dinilai dapat memotong pengaruh oligarki di tubuh partai dan parlemen terhadap presiden/eksekutif. Pengantar: Titi Anggraini; Benarkah oligarki berkurang atau hilang? Penerbit: Perludem (Jakarta 2013); Halaman: xii+188. Hilang, jelas tidak. Berkurang? Kita perlu tahu apa itu ukuran berkurang. Yang pasti, partai Kalla memegang poros eksekutif sebagai wakil cenderung dipimpin oligark. presiden dan poros legislatif karena Golkar Jeffrey Winters (2011) menjelaskan, merupakan fraksi dengan kursi terbanyak di oligark adalah individu yang menguasai dan 2004-2009. mengendalikan konsentrasi besar sumber daya Di daerah, oligark daerah pun pada material yang bisa digunakan untuk Rezim Soeharto tak terlibat aktif dalam mempertahankan atau meningkatkan kekayaan kontestasi pemilu. Kita bisa merujuk Banten pribadi. Sementara oligarki adalah politik dan Sulawesi Selatan. Oligark di kedua daerah pertahanan kekayaan dari kaum oligark. ini saat Orde Baru tak ikut aktif dalam Faktanya, makin lama politik Indonesia pascakontestasi politik lokal. Mereka hanya Reformasi berlangsung, elite partai merupakan berupaya menjamin bagaimana bisnisnya bisa politisi yang memiliki uang sangat banyak. aman di periode pemerintahan berikutnya Orde Baru Soeharto membatasi oligark melalui mekanisme pemilu bersistem bermain politik secara aktif. Pasca-Reformasi, parlementer. pada rentang penyelenggaraan Pemilu 1999 Pasca-Reformasi, pembatasan itu hilang. sampai 2014, oligarki partai justru terus Kita menyaksikan bagaimana oligarki berlangsung. Malah, dalam beberapa kasus, menggurita dalam keaktifan kontestasi pemilu cenderung menguat. Yang paling vulgar saat dan perolehan jabatan eksekutif. Di Banten ada Jusuf Kalla dan Abu Rizal Bakrie bergantian Dinasti Chasan Sochib melalui Ratu Atut-nya. memimpin Golkar. Bahkan, sebagai oligark, Jusuf Di Sulsel ada Dinasti Yasin Limpo. Kalla berkuasa memegang poros eksekutif Melawan bentuk oligarki itu melalui sebagai wakil presiden dan poros legislatif karena 9 larangan kekerabatan pejabat eksekutif akan Golkar merupakan fraksi dengan kursi terbanyak dinilai diskriminatif. Dalih hak berpolitik, NEWSLETTER #15 Konsep pemilu serentak hanya dikenal di negara-negara penganut sistem pemerintahan presidensial. Karena, salah satu yang khas dari pemerintahan presidensial adalah adanya dua pemilu, pemilu legislatif dan pemilu eksekutif. Berbeda dengan pemerintahan parlementer yang menyelenggarakan satu pemilu legislatif lalu pejabat eksekutif dipilih legislatif. Penyelenggaraan pemilu serentak menurut buku ini dibagi menjadi dua, pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah. Mulai dari Bab B. Solusi Strategis Pemilu Pemilu serentak Nasional dan Pemilu Daerah (hal. 109) Buku “Menata Ulang Penjadwalan Pilkada” tak dijelaskan dalam kebutuhan memilih pejabat membahas langsung oligarki bisa dilawan eksekutif berupa Presiden-Wakil Presiden, melalui pemilu serentak. Jika merujuk pada Gubernur-Wakil Gubernur, Bupati-Wakil munculnya disain pemilu serentak yang Bupati, dan Walikota-Wakil Walikota beserta dijelaskan dalam Pengantar Buku, jelas, disain pejabat legislatif di DPR, DPD, dan DPRD pemilu yang menggugurkan doktrin “sistem Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pemilu nasional presidensial tak akan cocok dengan sistem memilih Presiden-Wakil Presiden beserta kepartaian multipartai” bukan khusus bertujuan pejabat DPR dan DPD. Sedangkan pemilu untuk melawan oligarki. Dari pengalaman nasional memilih Gubernur-Wakil Gubernur, penyelenggaraan pemilu di Brasil pembaca Bupati-Wakil Bupati, dan Walikota-Wakil didorong membayangkan implementasi pemilu Walikota beserta pejabat DPRD Provinsi dan serentak di Indonesia di konteks realitas politik Kabupaten/Kota. menyertakan oligarki. Bayangkan jika pemilu serentak Pada halaman 27 dijelaskan, pemilu diselenggarakan! Kita akan menemukan serentak adalah penggabungan pelaksanaan penampakan jajaran kekerabatan di kertas suara pemilu parlemen dan pemilu presiden dalam sebagai bentuk oligarki daerah dalam pemilihan satu hari H pemungutan suara. Tujuannya untuk pimpinan eksekutif. Misal jika pemilu serentak menciptakan pemerintahan kongruen atau sudah diterapkan, warga Banten dan Sulsel akan menghindari pemerintahan terbelah (divided menerima surat suara pemilu serentak daerah government) yang berwujud jumlah kursi yang menawarkan kandidat berkekerabatan di mayoritas parlemen bukan dimiliki partai atau setiap tingkat. Rakyat, sebagai pemilik koalisi partai yang mengusung presiden terpilih. kedaulatan, bisa mencegah menguatnya oligarki Mengapa pemilu serentak bisa dengan tak memilih anggota kekerabatan itu. menghindari pemerintahan terbelah? Pada Format itu pun akan mempermalukan halaman 10 dijelaskan, pemilu serentak oligark. Bersama para kerabatnya yang menimbulkan efek menarik kerah diberikan modal, ia akan sadar, publik bisa (coattail effeck). Efek menarik kerah menilai nafsunya berkuasa. Di sisi lain, keadaan adalah tingkat keterpilihan tokoh yang ini pun akan mempermalukan partai yang diusung sebagai calon pimpinan eksekutif mengusung. Jika partai menyadari oleh partai atau koalisi partai akan memalukannya hal ini partai akan banyak mempengaruhi suara partai atau partai mempertimbangkan jika mau menerima oligarki partai di dalam koalisi yang mengusung si berwujud kekerabatan ini dan cenderung tokoh. menolak. Konsep pemilu serentak hanya Berdasarkan format pemilu serentak pun, dikenal di negara-negara penganut sistem 10 oligark lebih menghitung-hitung, di daerah atau pemerintahan presidensial. Karena, salah satu kabupaten/kota mana yang diprioritaskan untuk yang khas dari pemerintahan presidensial adalah Melawan bentuk oligarki itu melalui larangan kekerabatan pejabat eksekutif akan dinilai diskriminatif. Dalih hak berpolitik, kesempatan, kemampuan, dukungan, dan popularitas/elektabilitas akan menjadi dasar penolakan. Faktanya, para kerabat pejabat eksekutif itu terpilih dan di pemilihan berikutnya didukung dan tinggi elektabilitas. Demokrasi selalu menjadikan “atas nama rakyat” sebagai pembenaran. NEWSLETTER #15 Berdasarkan format pemilu serentak pun, oligark lebih menghitung-hitung, di daerah atau kabupaten/kota mana yang diprioritaskan untuk menempatkan kandidat. Selain mempermaluan kekerabatan yang dicalonkan, pemilu serentak membatasi daya oligark dalam memberikan modal dan menempatkan kandidatnya di suatu atau beberapa pemilihan eksekutif kabupaten/kota. Salah satu penulis buku ini, Didik Supriyanto dalam opininya “Cegah Politik Dinasti dengan Pemilu Serentak” (Kompas 21/3 2013) menjelaskan sebab pemilu serentak bisa mencegah oligarki. Pertama, bila pemilu legislatif dan pemilu eksekutif dilaksanakan bersamaan, setiap orang (termasuk petahana dan kerabatnya) memiliki peluang terbatas untuk mencalonkan diri. Mereka harus memilih salah satu jabatan yang hendak digapai: anggota legislatif atau jabatan eksekutif. Baik yang terpilih maupun yang tidak berada dalam posisi sama dalam kurun lima tahun ke depan. Bandingkan dengan keadaan belum diterapkannya pemilu serentak. Pada saat pemilu legislatif, setiap orang memburu kursi DPR, DPD, dan DPRD. Selang satu atau dua tahun kemudian, mereka yang sudah mendapat kursi parlemen maupun yang gagal bergerak ke arena eksekutif berebut kursi kepala daerah dalam pilkada. Bagi pemilik kursi parlemen yang gagal bisa kembali menduduki kursinya; sedangkan yang berhasil akan meninggalkan kursinya untuk orang lain, yang bisa jadi adalah kerabatnya. Penjelasan ini bisa kembali merujuk Chasan Shochib di Banten dan Yasin Limpo di Sulsel. Kedua, penggabungan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif memaksa partai-partai membangun koalisi sejak dini. Mereka sadar, keterpilihan calon pejabat eksekutif yang mereka usung akan memengaruhi keterpilihan calon-calon anggota legislatif. Hal ini mendorong partai-partai akan membangun koalisi besar sehingga pascapemilu menghasilkan blocking politic: di satu pihak, terdapat koalisi besar yang memenangi jabatan eksekutif sekaligus menguasai kursi parlemen; 11 di pihak lain terdapat koalisi gagal meraih jabatan eksekutif yang menjadi kelompok terdapat koalisi besar yang memenangi jabatan eksekutif sekaligus menguasai kursi parlemen; di pihak lain terdapat koalisi gagal meraih jabatan eksekutif yang menjadi kelompok minoritas parlemen sehingga mau tidak mau menjadi oposisi. Berdasarkan disain tersebut, pemilu serentak bisa melawan oligarki. Keadaan ini mendorong partai/atau koalisi partai memilih pasangan calon pejabat eksekutif berelektabilitas paling tinggi. Tujuannya untuk mengatrol perolehan kursi legislatif. Mau tak mau oligarki tak memaksa untuk mencalonkan. Paling mungkin oligark akan memodalkan calon atau pasangan calon untuk mengamakan atau memperluas kekuasaan ekonominya. Jika asumsi penyerentakan pemilu itu dikonkretkan dalam sekala nasional, itu terjadi di Pemilu 2014. Tanpa diserentakan saja elektabilitas Joko Widodo bisa mengurangi oligarki Megawati. PDIP rela mencalonkan Jokowi sebagai kontestan pilpres. Dan tanpa diserentakan saja elektabiltas PDIP menjadi tinggi dan melebihi elektabilitas partai lainnya. Terpilihnya pemerintahan efektif dan berdampak baik pada rakyat merupakan tujuan pemilu. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pemilu serentak yang diselenggarakan 2019 semakin menguatkan relasi sistem pemerintahan presidensial Indonesia dengan sistem kepartaian multi partai dan sistem pemilu proporsional. Dengan menjelaskan bentuk pemilu serentak 2019 berdasar pengertian di buku ini, presidensialisme Indonesia berkecenderungan membaik dan berdaya mengurangi oligarki. [] USEP HASAN SADIKIN Penggiat pemilu Perludem NEWSLETTER #15 Kaleidoskop Pemilu 2014 September 2014 1. Komisi II DPR mengeluarkan rekomendasi pembentukan Panitia Khusus Pemilu 2014. Rekomendasi ini disepakati dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPR dengan KPU dan Bawaslu dengan agenda evaluasi pemilu. Pansus Pemilu dibentuk untuk melakukan penyelidikan terkait data pemilih, penghitungan dan pergerakan suara dari TPS ke KPU, penggunaan anggaran hingga sistem teknologi dan informasi. 2. Dalam persiapan pelantikan anggota dewan, KPU menyiapkan pelantikan 560 anggota DPR dan 132 anggota DPD periode 2014-2019 pada 1 Oktober. Ada pembatalan pelantikan beberapa caleg terpilih akibat meninggal dunia dan mengundurkan diri. Pembatalan pelantikan yang sedang diproses karena meninggal dunia dilakukan atas caleg terpilih dari Partai Amanat Nasional (PAN), Laurens Bahang Dama. Ketua KPU Husni Kamil Manik mengatakan, DPP PAN sudah ajukan pergantian. Yang lainnya belum, termasuk pengunduran Lukman Hakim Saifuddin sebagai caleg terpilih Partai Persatuan Pembangunan (PPP). 3. Lima dari enam fraksi di DPR yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih mendadak berubah sikap terkait mekanisme pilkada. Jika sebelumnya mereka menginginkan gubernur, bupati, dan wali kota dipilih langsung, kini mereka usul dipilih DPRD. Kelima fraksi ini adalah Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PAN, Fraksi PPP, dan Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya. Satu fraksi anggota KMP lainnya, yakni Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, tetap mengusulkan gubernur, bupati, dan wali kota dipilih langsung. Sementara itu, KPU akan mengembalikan Rp 2,8 triliun kepada pemerintah pada Oktober. Duit merupakan sisa anggaran sementara dari pelaksanaan plieg dan pilpres. Nur Wahid, mengatakan fraksinya bersepakat dengan KMP yang tak menginginkan kepala daerah dipilih langsung rakyat. Ia mengklaim pemilihan oleh DPRD lebih berkualitas dan jauh dari korupsi. 8. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Saldi Isra mengingatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar tidak lepas tangan begitu saja melihat perkembangan di dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pilkada di DPR tersebut. 11. Sejumlah bupati dan wali kota yang diusung partai atau gabungan partai KMP menentang opsi pemilihan melalui DPRD. Sikap mereka berseberangan dengan keputusan enam fraksi anggota KMP di DPR, yang sampai kemarin ngotot mengegolkan RUU Pilkada. 14. Presiden SBY terjepit dua opsi mekanisme pilkada dalam pembahasan RUU Pilkada di DPR. Pemerintah, yang diwakili Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menginginkan pilkada langsung. SBY, dalam wawancara pribadi yang diunggah ke media sosial YouTube, menyatakan partainya belum mengambil sikap. 22. Tim Perumus RUU Pilkada akan melaporkan kerja mereka ke Panitia Kerja RUU Pilkada DPR, Sikap setiap fraksi di DPR terkait mekanisme pilkada akan kembali terlihat. Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Dodi Riyadmadji mengatakan, tim perumus bersama pemerintah akan melaporkan dua versi draf RUU Pilkada ke panitia kerja (panja). Pertama, draf RUU pilkada langsung. Kedua, draf RUU pilkada tak langsung. Dengan dua draf itu, panja akan membahas dan sekaligus akan diketahui sikap terbaru setiap fraksi. 7. Kekuatan pendukung pemilihan kepala daerah 26/9. Keputusan Sidang Paripurna DPR yang oleh dewan perwakilan rakyat daerah kian besar. 12 mengesahkan pemilihan kepala daerah oleh Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Hidayat DPRD dikecam luas oleh publik. Pengesahan UU NEWSLETTER #15 24. Anggota Fraksi Partai Demokrat di DPR diminta mendukung pilkada langsung dalam voting untuk RUU Pilkada, 25 September. Dengan sikap Partai Demokrat pilkada langsung oleh rakyat tetap bisa dipertahankan tahun-tahun mendatang, tak bisa digantikan pilkada oleh DPRD. Dengan dukungan Partai Demokrat, jumlah kursi yang mendukung tetap dipertahankannya pilkada langsung mencapai 287 kursi, terdiri dari F-PDIP (94), F-PKB (28), FHanura (17), dan F-PD (148). Sementara kursi pendukung pilkada lewat DPRD menjadi 273 kursi, terdiri dari F-Gerindra (26), F-PKS (57), FPPP (38), F-Golkar (106), dan F-PAN (46). Kursi di DPR total berjumlah 560. 26. Keputusan Sidang Paripurna DPR yang mengesahkan pilkada oleh DPRD dikecam luas publik. Pengesahan UU Pilkada itu juga dinilai sebagai bukti warisan buruk demokrasi Indonesia pada akhir rezim Presiden SBY. Keputusan itu tak lepas dari usul pemerintah di bawah Presiden Yudhoyono tentang pilkada oleh DPRD serta langkah Partai Demokrat, yang juga dipimpin Yudhoyono sebagai ketua umum. Fraksi Partai Demokrat DPR meninggalkan rapat (i) saat keputusan diambil via voting. Pandangan ini diserukan kelompok masyarakat sipil di Tanah Air yang tengah mengikuti pertemuan puncak Kemitraan Pemerintahan Terbuka (Open Government Partnership/OGP) di New York, Amerika Serikat. Mereka antara lain International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), MediaLink, Transparency International Indonesia (TII), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan Yayasan TIFA. Pembukaan pertemuan puncak itu juga dihadiri Presiden SBY selaku Ketua OGP. 28. Ketua MK Hamdan Zoelva menyatakan, dirinya dihubungi Presiden SBY, sore. Presiden, seperti dikutip Hamdan, mengungkapkan, pihaknya tidak mendapatkan aktualisasi terakhir dan konfirmasi terakhir RUU itu sehingga Presiden merasa kecewa atas putusan DPR. 13 Dalam jawabannya kepada Presiden, Hamdan mengungkapkan, dalam praktik ketatanegaraan di dan konfirmasi terakhir RUU itu sehingga Presiden merasa kecewa atas putusan DPR. Dalam jawabannya kepada Presiden, Hamdan mengungkapkan, dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia, proses pengambilan keputusan terhadap RUU didahului pendapat DPR melalui fraksi-fraksinya, lalu diikuti sambutan pemerintah. Presiden tak mengungkapkan permintaan khusus kepada dirinya, seperti untuk membatalkan UU Pilkada. Di kasus UU MD3, MK menolak seluruh permohonan yang diajukan PDI-P dan sejumlah calon anggota DPR terpilih dari PDI-P. Dengan demikian, pemilihan ketua dan wakil ketua DPR, seperti diatur dalam UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, sah dan konstitusional. Mekanisme pengisian jabatan pimpinan DPR, menurut MK, merupakan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka yang dapat ditentukan pembuat UU. Konstitusi tidak mengatur secara spesifik susunan organisasi kelembagaan DPR, termasuk tata cara pengisian jabatan pimpinannya. Pasal 19 Ayat (2) UUD 1945 menyerahkan persoalan tersebut kepada pembentuk UU. Dua hakim konstitusi, Arief Hidayat dan Maria Farida, mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion. Keduanya berpendapat, permohonan PDI-P seharusnya dikabulkan. [] Rekrutmen Perludem Muda adalah komunitas pemilu muda yang dibentuk Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Perludem Muda dibentuk bertujuan menciptakan dan menumbuhkan minat kepemiluan di kalangan pemuda (15 sampai 35 tahun). Minat pemuda di pemilu penting agar bisa kuat terlibat di pemilu dan demokrasi. Secara umum, tak hanya bagi pemuda, pemilu memang masih belum dekat dengan masyarakat. Menjadi permasalahan khusus bagi pemuda, secara jumlah pemuda berjumlah 30-an persen dari total penduduk. Jumlah ini menjadikan pemuda mempengaruhi keterpilihan di pemilu. Sayangnya, kebijakan yang dihasilkan pemerintah tepilih sering tak berpihak kepada pemuda. Masalahnya pemuda belum banyak aktif di partai dan mempengaruhi kebijakan partai. Selain itu, pemuda sangat sedikit yang duduk di parlemen sehingga kebijakan yang dihasilkan tak sesuai dengan kebutuhan pemuda. Perludem Muda menjalankan sejumlah kegiatan berdasarkan perspektif afirmasi pemuda di pemilu. Pemuda harus belajar dari afirmasi perempuan di pemilu yang cukup berhasil diterapkan beserta capaian kebijakan. Wujudnya bisa melalui kuota anggota partai, kuota kandidasi, kuota kursi di parlemen, penurunan usia minimal caleg serta capres, dan lainnya. Bentuk kegiatannya berbasis komunitas hobi dengan melakukan: 1. pendidikan pemilu, 2. pelatihan menulis dan jurnalistik kepemiluan, 3. kampanye pemilu, 4. berdiskusi, 5. nobar film pemilu, 6. klub pustaka pemilu, 7. roadshow, 8. dll. Cara keikutsertaan di Perludem Muda dengan cara/tahapan berikut: 1. Mengirim biodata/CV (jika ada, nomor telepon, email, twitter, FB, dan blog dicantumkan); 2. Tulisan bertema pemilu; 3. Wawancara oleh Perludem; 4. Pendidikan awal pemilu oleh Perludem; 5. Mengikuti kegiatan Perludem Mueda dan Perludem. Aplikasi diri calon aktivis Perludem Muda dikirim ke [email protected] cc: [email protected]. Perludem akan memberikan sertifikat Perludem Muda berdasar karya dan capaian dari keikutsertaan Perludem Muda. Perludem Muda tak dikenakan biaya dan aktivitasnya tak berdasarkan bayaran. Komunitas ini murni sebagai gerakan berprinsip relawan (volunteerism). Dasar aktivitasnya adalah menciptakan, menumbuhkan, dan menjaga minat dan tanggung jawab terhadap (ke)pemilu(an). []