Ekonomi-Politik Indonesia Pasca Orde Baru Ketika Orde Baru runtuh, janji tentang kebebasan, demokrasi dan kesejahteraan mulai menyeruak di seantero Indonesia. Ia mulai menjadi harapan semua orang. Harapan tentang pemerintahan yang baik, yang tak despotik dan berkeadilan menjadi pembicaraan utama ditengah ruang publik yang baru saja lepas dari jerat otoritarian. Namun ketika program reformasi berjalan, harapan itu sedikit demi sedikit mulai disangsikan. Kita bersama-sama melihat bahwa ternyata janji-janji agung itu tak juga muncul di kehidupan kita sehari-hari. Kita nulai melihat bahwa kehidupan pasca Orde Baru justru membawa kita pada kenyataan yang menyedihkan. Dimana kesenjangan ekonomi antara yang kaya dan yang miskin justru semakin lebar. Demokrasi dimonopoli oleh segelintir orang. Pendidikan justru menjadi area bisnis dan perdagangan jasa. Hukum hanya adil untuk mereka yang kuat. Media massa hanya menjadi saluran dan corong para pemilik modal. Janji reformasi tentang demokrasi, pemerintahan yang baik dan kesejahteraan justru semakin jauh dari kenyataan. Kita justru melihat bahwa kehidupan bangsa ini justru semakin tergerus, mengalami dekadensi dan kemerosotan. Yang menjadi pertanyaan, apa yang salah dari semua ini? Munculnya Orde Baru dan Kejatuhannya Pada mulanya di tahun 1950, Kabinet Natsir menerapkan kebijakan Program Benteng sebagai upaya untuk menumbuhkan kapitalis pribumi, khususnya importir, dengan memberikan hak-hak istimewa berupa lisensi, dan kemudahan bisnis lainnya yang difasilitasi oleh Negara. Namun lisensi, kredit, dan konsesi yang diberikan justru hanya disalurkan ke perusahaan milik sanak saudara atau sekutu politik, sebagian besar digunakan untuk pembiayaan partai politik, dan pribadi para birokrat. Sehingga strategi ini berjalan tidak sesuai dengan harapan pemerintah. Ketidakberhasilan Program Benteng dalam menumbuhkan sekaligus memperkuat kapitalis pribumi tersebut kemudian “membelah” perpolitikan domestik menjadi dua kubu yang saling berseberangan. Partai Sosialis Indonesia (PSI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), dan Partai Nasional Indonesia (PNI) sayap moderat, mewakili kubu yang menghendaki Indonesia dibuka selebar mungkin bagi penanaman modal asing sebagai sumber 1 utama akumulasi. Di sisi lain, PNI sayap kiri, Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Presiden Soekarno menghendaki nasionalisme ekonomi dipandu oleh negara. Di lain sisi, kubu Militer mulai naik daun baik secara politik dan ekonomi ketika undangundang tentang nasionalisasi diterbitkan pada 1958, militer, khususnya Angkatan Darat, sudah menguasai bank-bank dan perkebunan besar bekas milik Belanda, distribusi beras, alokasi valuta asing, serta perusahaan tambang minyak bumi di Sumatera Utara. Sejumlah petinggi militer juga memegang posisi kunci di birokrasi. Pergeseran-pergeseran yang terjadi dalam periode tak menentu ini ternyata merupakan bayangan bagi penataan kekuatan-kekuatan ekonomi dalam periode Orde Baru. Hingga membawa Indonesia ke dalam Malapetaka 30 September 1965 yang menjadi penanda awal memudarnya negara Orde Lama. Soekarno digulingkan. Militer mengambil alih negara. Negara Orde Baru lahir dengan mendapuk Jenderal Soeharto ke tampuk kekuasaan. Citacita sosialis ala Soekarno kandas. Bandul perekonomian sosialisme-nasionalis berbalik arah. Negara Orde Baru mengintegrasikan perekonomian Indonesia ke dalam jejaring kapitalisme internasional. Konsekuensinya, Orde Baru dituntut untuk merawat dan melanggengkan kapitalisme dengan menjadi fasilitator dalam mengonsolidasikan kelas-kelas kapitalis. Bagaimana negara Orde Baru mengonsolidasi dan memfasilitasi kelas-kelas kapitalis itu? Rezim Orde Baru adalah rezim korporatisme negara dimana terjadi aliansi kekuatan bisnis-politik di bawah patronase kekuatan tunggal Soeharto. Para kroni Soeharto, baik sanak famili, birokrat dan militer memupuk dan mengembangkan kapital dengan membangun bisnis bersama kapital pribumi, asing, dan Tionghoa. Mereka menguasai dan mengelola berbagai bidang usaha mulai dari perusahaan otomotif hingga konsesi hutan. Melalui usaha patungan dengan kapital asing dan Tionghoa, posisi kroni sebagai pemilik kapital menjadi penting, baik kelembagaan maupun pribadi. Pemeliharaan kondisi yang tepat bagi akumulasi kapital akhirnya menjadi kepentingan politiknya sendiri. Indonesia di era Orde Baru ini dinamakan oleh Jeffrey A Winters sebagai era kekuasaan Oligarki Sultanik. Dimana kekuasaan ekonomi-politik Indonesia berpusat di tangan Soeharto dan lingkaran kroninya. 2 Namun ketika IMF mulai memaksa Indonesia untuk menjalankan reformasi struktural yang berisi pembukaan ekonomi dan liberalisasi politik. Soeharto dilarang untuk melakukan proteksi terhadap kekuatan bisnis yang dijalankan oleh sanak famili dan kroninya. Hal ini telah menembak tepat jantung rezim Soeharto dan kekuatan patronase kroninya. Dan merupakan pertanda peringatan kepada rezim Orde Baru untuk segera berbenah. Namun bagi Soeharto, melindungi bangunan kekuasaan jelas lebih menjadi prioritas ketimbang menjalankan reformasi IMF. Akan tetapi, tekanan dunia internasional kian bertambah yang mengucilkan Indonesia di mata internasional, badai krisis ekonomi sudah di depan mata, demonstrasi mahasiswa kian meluas. Hingga akhirnya Soeharto memilih mundur dari kursi panasnya. Reorganisasi Kekuasaan Oligarki Pasca Orde Baru Periode Reformasi pun berjalan, Indonesia mengalami liberalisasi ekonomi tahap lanjut, liberalisasi politik dan demokratisasi secara meluas. Namun seperti apa yang dikatakan Richard Robison dan Vedi R Hadiz, bahwa Oligarki di Indonesia pada dasarnya tidak tumbang pasca reformasi atau jatuhnya Soeharto. Oligarki yang dibesarkan oleh rejim Soeharto terus bertransformasi dengan menyesuaikan konteks politik di Indonesia yang didorong oleh skema Neoliberalisme, misalnya demokratisasi, desentralisasi, dan deregulasi. Pasca krisis ekonomi di tahun 1998, Oligarki dengan beragam cara mampu bertahan dan kembali menjadi pemain utama dalam dunia bisnis di Indonesia. Untuk itu, konfigurasi tatanan yang Oligarkis sebanarnya tetap menjadi kekuatan ekonomi politik yang dominan di Indonesia pasca Orde Baru. Oligarki bisnis politik yang dulu hidup nyaman di bawah ketiak Negara Orde Baru kini dipaksa untuk beroperasi dalam suatu arena dimana tarik-menarik politik dimediasi melalui partai-partai dan parlemen, dimana saluran kekuasaannya adalah para pialang dan bandar politik. Pergeseran ini ternyata mengarah pada suatu sistem politik uang yang lebih cair dan terdesentralisasi, dimana kepentingan-kepentingan lama dapat menemukan cara baru untuk menata kembali diri mereka melalui aliansi baru. perubahan institusional pasca Soeharto pada awalnya ditujukan untuk mengakhiri rejim yang otoritarian, sentralisasi, dan praktek KKN, ternyata dimanfaatkan oleh kekuatan lama untuk mempertahankan kekuasaannya. Kekuatan ekonomi di jaman Orde Baru menguasai demokratisasi dengan terlibat dalam partai politik, bahkan menjadi petingginya. Mereka kemudian selain menjadi pebisnis juga menjadi politisi. 3 Hilangnya patron politik (Soeharto), membuat para Oligark harus menjadi pemain dalam politik secara langsung guna mempertahankan kekayaannya. Demokrasi elektoral membuat partai memerlukan uang dalam jumlah besar untuk memenangkan kontestasi pemilu bersamaan dengan itu akhirnya membawa para Oligark bisa menjadi petinggi partai. Dengan desentralisasi, kekuatan ekonomi ini berubah lokus patron-klien-nya. Kekuatan ekonomi ini beralih pada relasi patronase yang terdesentralisasi. Apalagi karena adanya Pemilukada yang membutuhkan uang sangat banyak untuk kontestasi. Keterlibatan ini pun bisa secara langsung maupun tidak langsung. Kemudian, dengan deregulasi, mereka tetaplah yang paling diuntungkan karena merupakan kekuatan ekonomi yang paling kuat sehingga saat pengaturan dibebaskan di pasar, mereka telah menguasai pasar tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa Oligarki tidak banyak dipengaruhi oleh reformasi non-material atau prosedur politik. Hal ini tentu karena konsep Oligarki didasarkan pada kekuasaan sumber daya material yang membuatnya memiliki pengaruh signifikan pada proses politik. Sehingga, demokrasi pun tidak menghilangkan Oligark, dan juga tidak membuat Oligarki hilang dalam kenyataan sosial di dalam sistem politik tersebut. Hal tersebut dikarenakan sistem demokrasi elektoral tidak memberi pembatas yang efektif untuk membatasi bentuk kekuasaan material yang dipegang Oligark. Dalam hal ini, lembaga politik hanya dapat mengatur, menjinakkan, dan mengubah bentuk Oligarki, tetapi tak bisa menghilangkannya. Karena itulah, apapun bentuk pemerintahannya, ketidaksetaraan ekonomi ekstrem merupakan kembaran dari ketidaksetaraan politik yang ekstrem pula. Seperti apa yang dikatakan Jeffrey Winters, bahwa Indonesia pasca Orde Baru tidak mengalami perubahan yang fundamental, namun hanya berganti dari “Oligarki Sultanik” menjadi “Oligarki Liar”. 4