Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya - iced

advertisement
Pembiayaan Pembangkit Listrik
Tenaga Surya
Pembiayaan Pembangkit Listrik
Tenaga Surya
PAKET PELATIHAN
Keuangan Berkelanjutan dalam Pembiayaan Energi Bersih
DISCLAIMER:
PEMBUATAN NASKAH INI DIKOORDINASIKAN DENGAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK).
SERANGKAIAN DISKUSI TELAH DILAKUKAN MELIBATKAN INSTITUSI TERKAIT, DAN PARA
AHLI YANG TELAH MEMBANTU MEMPERSIAPKAN NASKAH INI. MENJADI SUATU KEBANGGAAN BAGI KAMI UNTUK DAPAT MENYAMPAIKAN RASA TERIMAKASIH KEPADA SEMUA
PIHAK YANG TELAH TERLIBAT DALAM PENYUSUNAN NASKAH INI DARI AWAL HINGGA SELESAI.
PEDOMAN INI TIDAK BERSIFAT MENGIKAT BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN (LJK) NAMUN
DAPAT DIJADIKAN SEBAGAI SALAH SATU ACUAN BAGI LJK DALAM HAL BERINVESTASI DI SEKTOR ENERGI BARU TERBARUKAN.
PENYUSUNAN NASKAH INI MEMPEROLEH DUKUNGAN KONSULTASI DAN MASUKAN DARI
THE UNITED STATES AGENCY FOR INTERNATIONAL DEVELOPMENT – INDONESIA CLEAN
ENERGY DEVELOPMENT (ICED) ROJECT BEKERJA SAMA DENGAN LEMBAGA PENDIDIKAN
EKONOMI DAN MASYARAKAT FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS INDONESIA
(LPEM UI)
2
DAFTAR ISI
Tata Kelola Aspek Resiko Sosial & Lingkungan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Biogas
3
TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari modul ini, diharapkan peserta dapat:
1. Memahami pentingnya bank untuk terlibat dalam pembiayaan berkelanjutan (sustainable finance)
2. Memahami model bisnis proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)
3. Memahami aspek penting dalam pembiayaan proyek PLTS
4. Menerapkan analisis kredit proyek PLTS yang memasukkan analisis aspek-aspek risiko sosial dan
lingkungan hidup (ASRI)
5. Memahami mitigasi risiko kredit dalam pembiayaan proyek PLTS
6. Memahami pentingnya aspek ASRI dalam pengawasan kredit bagi bank
7. Memahami aspek penting dalam pengawasan kredit PLTS
8. Memahami penerapan sistem pengawasan kredit PLTS yang memerhatikan ASRI
4
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Biogas
PENDAHULUAN
S
ejak sekitar satu dekade yang lalu, pemerintah Indonesia sudah mulai
mencanangkan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Hal ini dapat
dilihat diantaranya pada salah satu misi dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 yang memuat dua hal, yaitu (1) pengelolaan
pelaksanaan pembangunan yang dapat menjaga keseimbangan antara
pemanfaatan, keberlanjutan, keberadaan, dan kegunaan sumber daya alam
(SDA) dan lingkungan hidup, serta (2) pemanfaatan ekonomi SDA dan lingkungan
hidup yang berkesinambungan. Kemudian, sebagai salah satu wujud pelaksanaan
misi tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada akhir tahun 2014 menerbitkan
Roadmap Keuangan Berkelanjutan di Indonesia. Roadmap yang dikeluarkan oleh
regulator lembaga keuangan di Indonesia ini dapat dikatakan sebagai arahan awal
bagi lembaga keuangan untuk juga mulai memerhatikan aspek-aspek sosial dan
lingkungan hidup dalam menjalankan bisnisnya.
Bentuk perhatian lembaga keuangan, terutama bank, terhadap aspek-aspek
sosial dan lingkungan hidup dalam menjalankan bisnisnya diantaranya adalah
dengan memberikan porsi yang semakin besar terhadap penyaluran kredit ke
sektor energi terbarukan. Penggunaan energi terbarukan (seperti tenaga surya)
untuk menghasilkan listrik misalnya, terbukti lebih ramah lingkungan karena tidak
menggunakan bahan bakar fosil sehingga dapat meminimalkan emisi gas buang.
Dengan demikian, sebuah PLTS diharapkan tidak hanya dapat menghasilkan
listrik dengan biaya operasi yang rendah dalam jangka panjang, namun juga
dapat memberikan kontribusi dalam menjaga keseimbangan antara pemanfaatan
dengan pelestarian lingkungan hidup dan lingkungan sosial.
Untuk itu, tantangan awal dalam penyaluran kredit ke sektor energi terbarukan
khususnya PLTS, perlu mendapatkan prioritas penanganan. Tantangan awal
tersebut berupa minimnya gambaran mengenai proyek PLTS bagi perbankan di
Indonesia. Padahal walau bagaimanapun, perbankan tetap harus berpegang teguh
pada prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kreditnya.
6
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Biogas
Oleh karena itu, modul ini berusaha memberikan gambaran mengenai hal-hal yang
harus diperhatikan dalam pembiayaan proyek PLTS, dengan harapan dapat menjadi
panduan awal untuk mendorong pengembangan sektor energi terbarukan pada
umumnya, dan PLTS pada khususnya.
Pembahasan dalam modul ini akan diawali dengan pemaparan mengenai konsep
sustainable finance dan green lending. Berikutnya diberikan gambaran umum
mengenai proyek PLTS, yang dilanjutkan dengan pembahasan mengenai aspekaspek penting dalam analisis pembiayaan PLTS. Aspek-aspek penting tersebut
dapat dikelompokkan menjadi aspek hukum, keuangan, dan teknis. Tidak
ketinggalan dalam modul ini juga akan dibahas mengenai manajemen risiko proyek
PLTS, sebelum diakhiri dengan ulasan mengenai keputusan pencairan kredit dan
pengawasannya untuk proyek PLTS.
Sebagai catatan, modul ini akan menggunakan pendekatan sustainable finance
dan green financing, sehingga tidak akan membahas secara terperinci aspek
kuantitatif dalam analisis pembiayaan proyek. Aspek kuantitatif dalam analisis
pembiayaan proyek PLTS secara teknis keuangan tidak berbeda dengan analisis
pembiayaan untuk proyek-proyek infrastruktur lainnya yang sudah lebih dikenal
(familiar) oleh bank. Analisis pembiayaan proyek PLTS dalam modul ini akan lebih
menekankan pada aspek-aspek sosial dan lingkungan hidup.
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
7
8
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
POINT 1
Sustainable Finance &
Green Financing
S
xxxxxxxxustainable
finance
atau
keuangan berkelanjutan merupakan
suatu terminologi yang merujuk pada
pengembangan dari manajemen keuangan,
dimana tujuan dari pengelolaan keuangan tidak
lagi berorientasi untuk memaksimalkan kekayaan
pemilik modal (seperti pemegang saham)
dalam jangka pendek, melainkan berorientasi
untuk menjaga keberlangsungan usaha secara
berkelanjutan dalam jangka panjang dengan
memerhatikan
dampak
dari
keputusankeputusan keuangan terhadap lingkungan hidup
dan masyarakat umum. Salah satu aspek spesifik
yang diputuskan dalam manajemen keuangan
adalah pembiayaan, dimana pembiayaan
yang sudah mengadopsi semangat keuangan
berkelanjutan disebut sebagai green financing
atau pembiayaan “hijau” (pinjaman ramah
lingkungan).
Sustainable finance dapat didefinisikan
sebagai praktik untuk menciptakan nilai ekonomi
dan sosial melalui model, produk dan pasar
keuangan yang berkelanjutan sepanjang waktu
. Modul ini akan membahas model keuangan
untuk pembiayaan proyek PLTS sebagai salah
satu proyek yang diharapkan dapat berkontribusi
dalam menjaga keberlanjutan bukan hanya
manfaat ekonomi namun juga manfaat sosial
dan lingkungan hidup bagi masyarakat.
Sedangkan
green
financing
dapat
didefinisikan sebagai keputusan oleh bank
(lembaga keuangan) untuk menyediakan
produk dan jasa (pinjaman, penyertaan
modal)
hanya
kepada
nasabah
yang
mempertimbangkan dampak lingkungan dan
sosial dalam menjalankan aktivitas operasinya
. Berdasarkan definisi tersebut, sebuah bank
yang ingin menerapkan green financing harus
memasukkan analisis ASRI (lingkungan dan
sosial) sebagai bagian dari analisis kredit dan
manajemen risikonya. Pentingnya analisis ASRI
menjadi bagian dari analisis kredit dalam green
financing atau pinjaman yang ramah lingkungan
dapat ditinjau baik secara teoritis, maupun dari
sisi regulasi dan potensi.
Secara teoritis, pinjaman untuk proyek
yang ramah lingkungan (memperhitungkan
ASRI) memiliki ukuran laba yang berbeda
dengan pinjaman untuk proyek yang tidak
ramah lingkungan. Ukuran laba untuk proyek
yang tidak ramah lingkungan adalah laba
finansial yang hanya dihasilkan dari pendapatan
dikurangi dengan beban komersial. Dengan
kata lain, pengertian laba finansial ini sama
dengan pengertian laba rugi yang terdapat
dalam laporan keuangan komersial. Sedangkan
ukuran laba untuk proyek yang ramah
lingkungan adalah laba ekonomi yang tidak
hanya memperhitungkan pendapatan dan
beban komersial, namun juga memperhitungkan
opportunity cost. Contoh opportunity cost
antara lain adalah biaya kerusakan lingkungan
hidup dan biaya penanggulangan dampak sosial,
termasuk kerugian akibat terganggunya operasi
yang dipicu oleh faktor sosial dan lingkungan.
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
9
Dengan demikian, suatu proyek yang tidak ramah lingkungan mungkin memiliki laba finansial yang
lebih besar daripada suatu proyek yang ramah lingkungan, namun dengan opportunity cost yang lebih
tinggi, proyek yang tidak ramah lingkungan akan memiliki laba ekonomi yang lebih kecil dibandingkan
proyek yang ramah lingkungan. Sebaliknya, suatu proyek yang ramah lingkungan mungkin memiliki
laba finansial yang lebih kecil daripada suatu proyek yang tidak ramah lingkungan (misalnya karena
biaya depresiasi yang lebih tinggi untuk membangun sarana pengolahan limbah, pengeluaran yang
lebih besar untuk tanggung jawab sosial perusahaan), namun dengan opportunity cost yang lebih kecil,
proyek yang ramah lingkungan akan memiliki laba ekonomi yang lebih besar dibandingkan proyek yang
tidak ramah lingkungan. Hal ini akan memengaruhi keberlanjutan proyek, dimana keberlanjutan proyek
ramah lingkungan dalam jangka panjang dapat diharapkan lebih baik daripada proyek tidak ramah
lingkungan.
Selanjutnya dari sisi regulasi, analisis ASRI (lingkungan dan sosial) menjadi penting untuk memenuhi
ketentuan dalam peraturan yang berlaku. Beberapa peraturan di Indonesia yang meminta perhatian
terhadap aspek-aspek sosial dan lingkungan hidup dirangkum dalam Tabel 1.
Kewajiban Bank untuk memperhatikan isu lingkungan dan sosial sudah diatur melalui Undang-Undang,
Peraturan Bank Indonesia (sekarang OJK). Berikut adalah beberapa peraturan pada Bank terkait aspek
lingkungan yang harus diperhatikan oleh Bank, sebagaimana terangkum dalam Dokumen Lingkungan
Hidup Sektor Energi Bersih, suatu Pedoman untuk LJK yang dipublikasikan oleh OJK:
1. UU No. 7/1992 tentang Perbankan
Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan
menggunakan prinsip kehati-hatian
2. UU No. 10/1998 (perubahan UU No. 7/1992)
Prinsip kehati-hatian harus dipegang teguh, sedangkan ketentuan mengenai kegiatan usaha bank
perlu disempurnakan terutama yang berkaitan dengan penyaluran dana, termasuk di dalamnya
peningkatan peranan AMDAL bagi perusahaan berskala besar dan atau berisiko tinggi
3. UU No. 21/1998 tentang Perbankan Syariah
Bank syariah menjalankan usahanya berdasarkan prinsip syariah, demokrasi ekonomi dan prinsip
kehati-hatian. Salah satu prinsip syariah adalah melakukan kegiatan yang berkesinambungan dan
berkeseimbangan. Salah satu prinsip keseimbangan adalah pendekatan kelestarian alam
4. PBI No. 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum
Dalam melaksanakan prinsip kehati-hatian, Direksi wajib menilai, memantau, mengambil langkahlangkah yang diperlukan agar kualitas aset senantiasa baik. Bank melakukan analisa kualitas kredit
berdasarkan prospek usaha, kinerja debitur dan kemampuan membayar. Salah satu penilaian prospek
usaha adalah upaya debitur dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai peraturan berlaku.
10
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
5. SE BI No. 15/28/DPNP, 2013 tentang Bank Umum Konvensional dan SE BI No.13/10/DPBS,
2011 tentang Bank Umum Syariah
Mewajibkan Bank untuk melakukan evaluasi terhadap usaha pengelolaan lingkungan hidup dari
debitur atau calon debitur, dalam rangka penilaian kualitas aset (kredit) yang diberikan. Salah satu
komponen penilaian prospek usaha adalah memastikan adanya AMDAL. Bank harus memperhatikan
jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL. Bank juga harus memperhatikan
hasil penilaian Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dikeluarkan oleh
Kementrian Lingkungan Hidup.
Sedangkan dari sisi potensi, teknik analisis ASRI (lingkungan dan sosial) “wajib” dikuasai oleh analis
kredit perbankan dan lembaga keuangan sebagai bagian dalam analisis pembiayaan proyek energi
terbarukan, mengingat potensi energi terbarukan yang begitu besar di Indonesia. Potensi listrik yang
dapat dihasilkan dari energi terbarukan di Indonesia dalam MegaWatt (MW) dan GigaWatt (GW) dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Potensi Listrik dari Energi Terbarukan di Indonesia
Energi Terbarukan
Potensi
Tenaga Air (Hydropower)
75.000 MW
Panas Bumi (Geothermal)
29.164 MW
Biomassa
49.810 MW
Surya (Solar)
112.000 GWp = 89.600 GW
Keterangan: 1 GW = 1.000 MW
Sumber: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, telah diolah kembali
Kapasitas terpasang pembangkit listrik nasional, baik yang berbahan bakar fosil maupun
yang sudah menggunakan energi terbarukan, sampai dengan pertengahan tahun 2015
adalah 51.620 MW. Angka ini baru mencapai 33,52% dari total potensi listrik yang dapat
dihasilkan oleh energi terbarukan dari tenaga air, panas bumi, dan biomassa (sebesar
153.974 MW). Adapun untuk tenaga surya sendiri, berpotensi dapat menghasilkan listrik
hingga sebesar 112.000 GWp atau setara 89.600.000 MW.
Dengan potensi sebesar itu, jika 10% saja dari potensi tenaga surya di Indonesia dapat dimanfaatkan menjadi kapasitas terpasang PLTS, maka potensi pendapatan yang
mungkin diperoleh per jam operasi PLTS dapat mencapai USD1.164.800.000 hingga
USD2.240.000.000. Jumlah tersebut dihitung menggunakan Feed-In Tariff (FIT) berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 17 / 2013
tentang FIT PLN untuk PLTS Fotovoltaik yang menetapkan harga pembelian energi listrik
dari PLTS Fotovoltaik untuk semua kapasitas sebesar USD0,25 per kiloWatthour (kWh) untuk sepuluh tahun pertama dan USD0,13 per kWh untuk sepuluh tahun kedua. PendapaModul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
11
tan yang mungkin diperoleh sebuah PLTS dapat lebih besar lagi jika menggunakan modul
tenaga surya fotovoltaik dengan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) sekurangkurangnya 40%, karena akan diberikan insentif berupa harga pembelian energi listrik yang
lebih tinggi hingga menjadi sebesar USD0,30 per kWh.
FIT PLN untuk PLTS Fotovoltaik kemudian diperbarui dengan Permen ESDM No. 19 / 2016.
Dalam Permen ESDM No. 19 / 2016, besaran harga pembelian listrik dari PLTS Fotovoltaik
untuk semua kapasitas, dibagi berdasarkan wilayah di Indonesia sebagaimana terdapat
pada Tabel 3.
Tabel 3 Harga Pembelian Listrik dari PLTS Fotovoltaik
No. Wilayah
1
Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Jawa Barat
Banten
Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
Jawa Timur
Bali
Lampung
Sumatera Selatan, Jambi, dan Bengkulu
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau dan Kepulauan Riau
Bangka-Belitung
Kalimantan Barat
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara
Sulawei Utara, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi
Barat
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku dan Maluku Utara
Papua dan Papua Barat
19
20
21
22
Harga Pembelian (sen USD
per kWh)
14,5
16,0
15,0
15,0
17,0
16,0
15,5
17,0
17,0
17,0
16,0
16,0
17,0
16,0
18,0
23,0
23,0
25,0
Sumber: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, telah diolah kembali
12
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
Permen ESDM No. 19 / 2016 juga memperbarui ketentuan TKDN dimana harga pembelian
tenaga listrik akan dikoreksi jika tidak dapat memenuhi persentase TKDN minimal menurut Permen yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian. Koreksi tersebut dihitung menggunakan formula berikut.
Dimana:
a = Persentase TKDN minimal menurun Permen yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian
b =
Persentase TKDN hasil verifikasi oleh verifikator resmi yang ditunjuk oleh
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian
c
=
Persentase sanksi penurunan harga pembelian tenaga listrik
d
=
Harga pembelian tenaga listrik
d’ =
Harga pembelian tenaga listrik terkoreksi
Meskipun FIT dalam Permen ESDM No. 17 / 2013 dan Permen ESDM No. 19 / 2016 di atas
berlaku untuk semua kapasitas PLTS (hanya dibedakan berdasarkan wilayah dalam Permen
ESDM No. 19 / 2016), namun masih terdapat keterbatasan dalam kemampuan sistem PT
PLN (Persero) untuk menyerap produksi PLTS on-grid, sehingga pada praktiknya kapasitas
PLTS yang realistis untuk dibangun saat ini di Indonesia adalah berkisar 1 MW hingga 20
MW. Walaupun demikian, keterbatasan kapasitas PLTS yang dapat dibangun tersebut dapat dikompensasi dengan peluang pembangunan PLTS di hampir sebagian besar wilayah
Indonesia. Hal ini berhubungan dengan letak wilayah Indonesia di khatulistiwa, sehingga
memiliki sebaran potensi energi surya yang luas, sebagaimana terlihat pada Gambar 1.
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
13
Pada Gambar 1 terlihat bahwa sebagian besar wilayah Indonesia memiliki rata-rata jangka
panjang intensitas cahaya matahari yang potensial untuk menghasilkan listrik setara lebih
dari 1.600 kWh per meter persegi. Hal ini menunjukkan bahwa potensi pengembangan
energi surya di Indonesia memang sedemikian besar, terutama di daerah Nusa Tenggara
dan Jawa Timur. Khusus untuk daerah Nusa Tenggara, pembangunan PLTS dapat menjadi
alternatif prioritas untuk mengatasi kekurangan pasokan listrik di daerah tersebut. Melihat
begitu besarnya potensi pemanfaatan tenaga surya sebagai PLTS di Indonesia, berikut ini
akan diberikan gambaran umum proyek PLTS.
14
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
15
POINT 2
Gambaran Umum
Proyek Pembangkit Listrik
Tenaga Surya
P
ada dasarnya terdapat dua tipe PLTS yaitu photovoltaic (PV) dan solar thermal. Gambar 2
memberikan gambaran perbandingan bentuk fisik panel surya yang digunakan pada kedua
PLTS tersebut.
Photovoltaic
Solar Thermal
Gambar 2 Perbandingan Panel Surya Pada Dua Tipe PLTS
PLTS PV menggunakan panel surya yang dapat langsung mengubah tenaga surya menjadi
listrik. Sedangkan PLTS solar thermal mengumpulkan panas dari matahari untuk memanaskan sejumlah besar liquid hingga menghasilkan uap yang kemudian akan digunakan untuk
memutar turbin guna menghasilkan listrik. Prinsip kerja sederhana dari PLTS solar thermal
digunakan pada pemanas air rumah tangga (biasanya dipasang pada atap rumah dan digunakan untuk memanaskan air mandi).
Secara umum, PLTS PV saat ini adalah pilihan yang lebih populer dengan market size yang
jauh lebih besar dibandingkan PLTS solar thermal. Hal ini terutama karena keterbatasan
teknis PLTS solar thermal yang menyebabkan lokasi pemasangan harus di tempat-tempat
tertentu yang memiliki direct irradiation (tidak fleksibel) dan secara hitungan ekonomis
hanya bisa jika dipasang dalam skala besar di atas 20 MW (tidak bisa dipasang dengan
sistem terdistribusi ala PLTS PV yang umum). Oleh karena itu, maka lingkup pembahasan
dalam modul ini adalah untuk PLTS PV. Gambaran sistem PV dapat dilihat pada Gambar 3.
16
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Biogas
Gambar 3 Sistem Fotovoltaik
Sumber: Fraas dan Partain (2010) dalam
Kei (2011)
Pertama, modul/panel mengubah tenaga
surya menjadi listrik. Arus listrik yang dihasilkan pada tahap ini masih berupa arus
listrik searah atau direct current (DC). Kedua, inverter mengubah DC menjadi arus
listrik bolak-balik atau alternating current
(AC) agar arus listrik dapat dialirkan dan
digunakan lebih lanjut. Ketiga, kotak sekering atau fusebox membagi sebagian arus
listrik untuk penggunaan rumah tangga
atau pembangkit sendiri. Keempat, sistem
dapat dilengkapi dengan baterai untuk
menyimpan kelebihan energi listrik yang
belum digunakan atau disalurkan. Namun
saat ini, nilai investasi untuk komponen
baterai masih sangat tinggi sehingga dapat membuat sebuah PLTS menjadi tidak
ekonomis, terutama PLTS berkapasitas kecil. Oleh karena itu, pada praktiknya banyak
PLTS yang tidak menggunakan baterai dan
langsung menyalurkan seluruh listrik yang
dihasilkan (setelah dikurangi penggunaan
sendiri). Kelima, meteran mencatat jumlah
listrik yang disalurkan dari PLTS ke jaringan
atau grid. Keenam, jika PLTS menggunakan jaringannya sendiri untuk menyalurkan listrik hingga ke rumah tangga, maka
jaringan yang digunakan disebut off-grid.
Sedangkan jika PLTS menggunakan jaringan dari perusahaan listrik lainnya, seperti
PT PLN (Persero) di Indonesia, maka jaringan yang digunakan disebut on-grid.
Angka listrik disalurkan yang dicatat pada
meteran menjadi dasar untuk menghitung
penjualan listrik dari PLTS, dimana penjualan tersebut diperoleh dengan mengalikan
kuantitas listrik disalurkan yang tercatat
pada meteran dengan FIT. Perlu menjadi
catatan, bahwa meteran biasanya dipasang sedekat mungkin dengan jaringan
(on-grid), sehingga sebuah PLTS perlu
memperhatikan jarak antara area pembangkitnya dengan titik jaringan tempat
meteran dipasang atau disebut point of
connection (POC). Semakin jauh jarak
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
17
tersebut, semakin besar nilai investasi yang
harus disediakan PLTS untuk membangun
penghubung dari pembangkit ke POC dan
semakin besar risiko “menguapnya” listrik
yang sudah dihasilkan pembangkit selama
perjalanan menuju POC (susut jaringan).
Rule of thumb untuk “penyusutan” atau
“penguapan” listrik ini adalah sebesar 5%
untuk jarak dari pembangkit ke POC sekitar 10 kilometer (km).
PLTS PV adalah sistem pembangkit tenaga
listrik energi terbarukan yang paling banyak dikembangkan oleh negara-negara di
dunia. Pengembangan PLTS PV memiliki
beberapa keunggulan yang sudah diakui
secara internasional, diantaranya:
1.
Cukup banyak tersedia produsen
(skala besar maupun kecil) yang dapat menyediakan produk berkualitas mulai dari
panel surya, inverter, electrical balance of
systems, monitoring systems, hingga jasa
konstruksi teknis dan pengadaan.
2.
Lini produk terkait PLTS yang terus
berkembang.
3. Sudah terdapat pengembangan
protokol pengujian dan standar internasional yang berkelanjutan.
4.
Kecenderungan penurunan harga
komponen utama (panel surya, inverter).
5.
Meningkatnya pemahaman teknis
dari penyedia jasa.
6.
Berkembangnya pemodelan yang
dapat diandalkan dan jumlah sumber data
tenaga matahari.
7.
Meningkatnya kepercayaan lembaga jasa keuangan internasional terhadap
bankability dari proyek PLTS. Contohnya,
Bloomberg sebagai perusahaan raksasa
penyedia data dan analisis bisnis serta
keuangan, telah memiliki lini yang bernama Bloomberg New Energy Finance untuk
menyediakan data dan analisis di bidang
energy, khususnya energy terbarukan.
18
Data yang disediakan di antaranya adalah
data harga komponen utama PLTS beserta
daftar pemasok atau penyedia komponen
dengan kategori tier 1.
Pengembangan sistem PLTS PV di Indonesia pun juga memiliki beberapa keunggulan tertentu bila dibandingkan dengan
pengembangan sistem pembangkit listrik
lainnya. Keunggulan-keunggulan tersebut
di antaranya adalah:
1.
Indonesia memiliki cahaya matahari
yang konsisten sepanjang tahun.
2. Tidak membutuhkan pengiriman
bahan bakar maupun air (liquid) dalam
jumlah besar.
3. Kebutuhan pemeliharaan yang
relatif minimal.
4.
Pengawasan sistem dapat dilakukan dari jauh (remote).
5. Area tanpa grid interconnectivity tetap dapat menggunakan stand-alone
systems.
Secara umum, pengembangan proyek energi terbarukan (termasuk PLTS) dilakukan
dalam beberapa tahap, mulai dari project
initiation hingga operation and maintenance (O&M). Selengkapnya, keseluruhan
tahapan dalam pengembangan proyek energi terbarukan dapat dilihat pada Gambar
4.
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
Gambar 4 Proses Umum Pengembangan
Proyek Energi Terbarukan
Sumber: Clean Energy Handbook for Financial Service Institutions , telah diolah kembali
Sebuah proyek energi terbarukan dimulai
dari fase desain dan perencanaan yang
diawali dengan project initiation. Selanjutnya dilakukan studi kelayakan (feasibility study) yang normalnya memakan waktu
6-12 bulan, tergantung skala proyeknya.
Jika hasil dari studi tersebut menyatakan
bahwa proyek layak dilanjutkan, tahap
berikutnya dilakukan penandatanganan
Power Purchase Agreement (PPA) atau Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL). Tahap PPA/
PJBL dapat memakan waktu antara 7-8
bulan. Namun untuk proyek PLTS, sebagaimana diatur dalam Permen ESDM No.
19 / 2016, PT PLN (Persero) dan pengembang PLTS wajib menandatangani PJBL
dalam jangka waktu paling lama 1 bulan
sejak penetapan sebagai pemenang pele-
langan kuota kapasitas PLTS. Sehingga
untuk proyek PLTS, tahap PPA/PJBL ini
seharusnya hanya memakan waktu tidak
lebih dari sebulan. Dalam hal PJBL belum
ditandatangani oleh PT PLN (Persero) dan
pengembang PLTS dalam jangka waktu 1
bulan, maka Menteri ESDM melalui Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan
Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) memfasilitasi penandatanganan PJBL. Apabila PJBL
tidak ditandatangani dalam waktu 3 bulan, maka penetapan sebagai pemenang
pelelangan kuota kapasitas PLTS dicabut.
Berbekal PPA/PJBL yang telah ditandatangani, pengembang kemudian mencari
pembiayaan yang waktunya dibatasi maksimal hingga 1 tahun. Namun untuk proyek
PLTS, pengembang PLTS wajib mencapai
pemenuhan pembiayaan (financial close)
untuk kebutuhan pembangunan fisik PLTS
dalam jangka waktu paling lambat 6 bulan
sejak ditandatanganinya PJBL. Dalam hal
setelah jangka waktu 6 bulan sejak ditandatanganinya PJBL, pengembang PLTS
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
19
tidak dapat mencapai financial close, maka
penetapan sebagai pengembang PLTS dicabut.
Memasuki fase konstruksi, sebuah pembangkit listrik energi terbarukan biasanya membutuhkan waktu sekitar 2 tahun
untuk pembangunannya. Namun untuk
proyek PLTS, pelaksanaan pembangunan
PLTS wajib mencapai commercial operation date (COD) paling lambat dalam jangka waktu 12 bulan untuk kapasitas sampai
dengan 10 MW dan 24 bulan untuk kapasitas lebih dari 10 MW, sejak Izin Usaha
Penyediaan Tenaga Listrik (IUPTL) diterbitkan. Pelaksanaan pembangunan PLTS
yang tidak mencapai COD (mengalami keterlambatan), dikenakan penurunan harga
pembelian listrik dengan ketentuan:
•
Keterlambatan sampai dengan 3
bulan dikenakan penurunan harga sebesar
3%;
•
Keterlambatan lebih dari 3 bulan
sampai dengan 6 bulan dikenakan penurunan harga sebesar 5%;
•
Keterlambatan lebih dari 6 bulan
s/d 12 bulan dikenakan penurunan harga
sebesar 8%; dan
•
Keterlambatan lebih dari 12 bulan,
maka penetapan sebagai pengembang
PLTS dicabut.
Dalam hal penetapan sebagai pengembang PLTS dicabut karena tidak memenuhi
ketentuan financial close atau COD maka
kepada pengembang tersebut dikenakan
larangan untuk mengajukan permohonan
sebagai pengembang PLTS untuk jangka
waktu 2 tahun berturut-turut sejak pencabutan.
Fase operasional dimulai setelah konstruksi
selesai dan mencapai COD. Pada fase ini,
aktivitas utama yang dilakukan adalah aktivitas operasi dan pemeliharaan (O&M).
Fase operasional sebuah pembangkit dapat berkisar antara 15-30 tahun, tergan20
tung pada perjanjian terutama PPA/PJBL.
Namun untuk PLTS, PJBL berlaku untuk
jangka waktu 20 tahun dimulai sejak COD
dan dapat diperpanjang.
ASRI (lingkungan dan sosial) harus menjadi aspek yang diperhatikan dalam keseluruhan fase pengembangan proyek energi
terbarukan. Selain ASRI, aspek-aspek hukum, finansial/keuangan, dan teknis juga
perlu diperhatikan dengan bobot penekanan yang berbeda-beda untuk masingmasing fase. Aspek hukum dan finansial
memiliki bobot yang lebih besar pada fase
desain dan perencanaan. Sementara aspek
teknis dan keuangan memiliki bobot yang
lebih besar pada fase konstruksi dan fase
operasional.
Aspek hukum misalnya berhubungan dengan perizinan, struktur perusahaan, dan
koordinasi dengan pemerintah. Aspek
keuangan misalnya berhubungan dengan
kecukupan model, alternatif sumber pembiayaan, manajamen risiko, dan struktur
transaksi. Sedangkan aspek teknis misalnya berhubungan dengan kualitas data,
kelaikan operasi, penilaian lingkungan dan
sosial, serta desain teknis, sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 5.
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
Gambar 5 Aspek Penting Dalam Analisis
Pembiayaan PLTS
Sumber: Clean Energy Handbook for Financial Service Institutions
Tidak dapat dipungkiri bahwa pengembangan proyek energi terbarukan memiliki
potensi yang besar untuk dimanfaatkan
oleh lembaga keuangan, di samping juga
menyimpan tantangan yang harus diantisipasi. Beberapa tantangan bagi lembaga
keuangan, khususnya bank, dalam pembiayaan energi bersih di antaranya adalah:
1.
Kurangnya ketersediaan informasi
mengenai proyek energi bersih. Hal ini dapat disebabkan karena proyek energi bersih masih dalam tahap awal pengembangan pasar.
2.
Terbatasnya proyek energi bersih
yang telah dibiayai secara komersial atau
sukses diimplementasikan sebagai rujukan.
3.
Kurangnya konsistensi dalam penyebaran informasi diantara pemangku
kepentingan (pengembang proyek, penyedia teknologi, pemerintah, PLN, lembaga
pembiayaan).
4. Kurangnya
personel
lembaga
keuangan yang berpengalaman dalam
mengevaluasi proposal proyek energi bersih. Evaluasi proposal proyek energi bersih
kebanyakan masih dilakukan oleh PT PLN
(Persero) sebagai pembeli utama sehingga
kurang independen.
Selanjutnya pada bagian berikut akan dijelaskan dengan lebih rinci aspek-aspek penting yang harus diperhatikan dalam pembiayaan PLTS. Aspek-aspek tersebut meliputi
aspek hukum, keuangan, dan teknis
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
21
22
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
POINT 3
Aspek Hukum
H
al pertama yang harus dievaluasi dalam aspek hukum pembiayaan PLTS adalah evaluasi terhadap
perusahaan yang akan dibentuk dan kepemilikannya. Evaluasi terhadap perusahaan yang akan
dibentuk meliputi evaluasi terhadap badan hukum dan perizinan PLTS, dimana bank harus
memastikan bahwa perusahaan sebagai badan hukum PLTS sudah memenuhi seluruh dokumen legal
yang disyaratkan, termasuk AMDAL, Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL), dan Upaya Pemantauan
Lingkungan (UPL). Selain itu bank juga harus memperhatikan apakah terdapat kasus hukum / litigasi
menyangkut PLTS yang akan dikembangkan. Dokumen-dokumen legal yang harus dipenuhi dalam
tahapan-tahapan pengembangan proyek PLTS ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6 Dokumen Proyek PLTS
Sumber: Clean Energy Handbook for Financial Service Institutions
Selanjutnya evaluasi terhadap kepemilikan dalam PLTS meliputi evaluasi terhadap pemegang
saham dan kepemilikannya dalam PLTS, dimana peluang keberhasilan PLTS juga ditentukan
oleh pengalaman pemegang saham dalam proyek energi terbarukan, bonafiditas pemegang saham pengendali, dan kepemilikan lokal yang cukup. Evaluasi juga harus dilakukan
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
23
terhadap perjanjian pemegang saham dengan perhatian lebih ditujukan pada klausul
seperti jenis transfer modal saham yang diberikan (apakah berupa uang, aset tetap,
atau aset lainnya), terdapatnya opsi atau
hak untuk membeli saham tambahan (bagi
pemegang saham lama), dan kemungkinan masuknya pemegang saham baru
(termasuk kemungkinan untuk masuk ke
pasar modal). Di samping itu, evaluasi perlu dilakukan terhadap manajemen badan
usaha (perusahaan) PLTS dengan melihat
profil dan pengalaman personelnya.
Bank harus pula mengevaluasi proyeksi
keuangan sebagai bagian dari dokumen legal pembiayaan proyek PLTS. Evaluasi terhadap proyeksi keuangan meliputi kewajaran asumsi yang digunakan (dibahas lebih
detil dalam aspek keuangan), hasil analisis
sensitivitas dan hasil analisis skenario, serta keandalan estimasi struktur biaya dan
produksi (bantuan dari technical specialist
mungkin dibutuhkan untuk menghasilkan
estimasi biaya proyek dan produksi yang
andal). Rencana pengembangan bisnis pun
perlu dievaluasi untuk menilai pencapaian
economies of scale dan kemungkinan pembentukan portofolio bisnis, terutama yang
bersifat green portfolio. Tak luput dilakukan adalah evaluasi terhadap kebijakan
keuangan seperti kebijakan reinvestasi dan
kebijakan dividen.
Hal berikutnya yang harus dievaluasi dalam
aspek hukum pembiayaan PLTS adalah
evaluasi terhadap kontrak dan perjanjian
proyek, terutama PPA/PJBL. Evaluasi terhadap PPA/PJBL sangat penting untuk dilakukan sebab:
•
PPA/PJBL menentukan arus pendapatan pembangkit karena mengatur
tentang harga, kuantitas, dan durasi pembelian listrik oleh PT PLN (Persero). Saat
ini teradapat dua skema PPA/PJBL yaitu
24
skema take-and-pay (TNP) dan skema takeor-pay (TOP). Skema TNP diterapkan untuk pembangkit dengan kapasitas 15 MW
atau kurang, dimana dalam skema ini PT
PLN (Persero) hanya akan membayar listrik sebesar yang dihasilkan pembangkit.
Sedangkat skema TOP diterapkan untuk
pembangkit dengan kapasitas diatas 15
MW, dimana dalam skema ini, terdapat
minimal pembayaran bersifat tetap yang
harus dilakukan PT PLN (Persero) sampai
dengan batas jumlah listrik tertentu yang
dihasilkan pembangkit dan terdapat pembayaran bersifat variabel untuk pembelian
listrik yang melebihi batas tersebut.
•
PT PLN (Persero) adalah pembeli
(off-taker) utama.
•
Penandatanganan PPA/PJBL menentukan jadwal proyek secara keseluruhan.
•
PPA/PJBL menentukan dokumentasi yang harus dipenuhi agar PPA/PJBL
dinyatakan efektif.
•
PT PLN (Persero) tidak bertanggung
jawab atas risiko proyek (perancangan,
konstruksi, operasi).
PPA/PJBL dapat diputus atau dibatalkan
jika terjadi salah satu dari dua kondisi berikut. Pertama, kegagalan Independent
Power Provider (IPP) untuk mulai melakukan konstruksi pembangkit melewati 90
hari kalender setelah tanggal pembiayaan,
yang dibuktikan dengan tidak dilakukannya aktivitas lapangan seperti umumnya
dilakukan oleh kontraktor pada proyek
sejenis. Kedua, kegagalan IPP mencapai
tanggal operasi komersial pembangkit
atau COD lebih dari 12 bulan setelah target
tanggal operasi komersial.
Perjanjian lain yang perlu dievaluasi adalah
perjanjian lahan. Untuk PLTS, lahan yang
digunakan seharusnya bukan merupakan
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
lahan pertanian produktif, lahannya datar, dan memiliki sifat sebagai solid land fill. Terkait
perjanjian lahan, harus dipastikan bahwa PLTS memiliki rights of way sebagai akses ke lahan yang akan digunakan oleh PLTS dan hak untuk membangun transmission lines, dengan
jarak area lahan PLTS ke POC yang ekonomis adalah kurang dari 10 km. Selanjutnya, bank
harus mengevaluasi perjanjian interkoneksi dan transmisi dengan PT PLN (Persero), disamping mengevaluasi terdapatnya perjanjian asuransi oleh pengembang dan kontraktor PLTS.
Daftar dokumen yang dibutuhkan dalam pengembangan proyek tenaga listrik di Indonesia
beserta instansi penerbitnya diberikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Daftar Dokumen Proyek Tenaga Listrik dan Instansi Penerbit
No.
Dokumen
Instansi
1
Memorandum of Understanding (MoU)
Pemda
2
MoU
PT PLN (Persero)
3
Persetujuan / Izin Prinsi
Pemda
4
Appointment Letter
PT PLN (Persero)
5
Letter of Intent (LoI)
Bank
6
IUPTL Sementara
Kementerian ESDM
7
Persetujuan Penetapan Harga Jual Energi Lis- Kementerian ESDM
trik
8
PPA/PJBL
PT PLN (Persero)
9
UKL-UPL
Kementerian Lingkungan Hidup (LH)
10
Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
Pemda
11
Angka Pengenal Importir (API) Umum
Kementerian Perdagangan (Kemendag)
12
Penanaman Modal Asing (PMA) / Penanaman Badan Koordinasi Penanaman Modal
Modal Dalam Negari (PMDN)
(BKPM) / Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD)
13
IUPTL Tetap
Kementerian ESDM
14
Izin Lokasi
Pemda
15
Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Kementerian LH
16
Setifikat Laik Operasi
PT PLN (Persero)
17
Sertifikat Commisioning
PT PLN (Persero)
18
Berita Acara COD
PT PLN (Persero)
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
25
Selain dokumen-dokumen wajib pada Tabel 4 di atas, bank juga dapat mengevaluasi dokumen-dokumen berikut dalam
sebuah proyek PLTS. Dokumen-dokumen
yang bersifat sebagai dokumen pelengkap
dapat terdiri dari:
1.
Kontrak penjualan produk sampingan hasil pemanfaatan lahan.
2.
Kontrak carbon trading (jika ada).
3.
Perjanjian jual beli atau sewa jangka
panjang atas lahan.
4.
Izin lingkungan / lokasi dan konstruksi khusus.
5. Dokumen perpajakan, terutama
yang berkaitan dengan pembebasan dari
bea masuk dan pajak impor.
6. Engineering, Procurement, and
Construction (EPC) contract yang memuat
setidaknya pertanggungjawaban atas keterlambatan dan kehilangan material, penalti atas nonperformance jika kinerja berada dibawah standar atau suatu Service
Level Agreement (SLA), dan garansi atau
asuransi kerusakan jika terjadi kegagalan
peralatan dalam konstruksi.
7.
Garansi fisik, peralatan, dan proses
pembangkit setelah beroperasi.
8.
Kewajiban membuka escrow / reserved account (minimal setara 6 bulan
debt service).
9. Perlindungan kredit tambahan
(perlakuan sebagai senior debt, asuransi
kredit).
10. Perjanjian paket asuransi.
Pada akhirnya, dalam aspek hukum
terkait proyek tenaga listrik di Indonesia ini
terdapat beberapa tantangan yang perlu
diatasi. Harus diakui bahwa saat ini peraturan pelaksana terkait proyek tenaga listrik
di Indonesia masih belum sepenuhnya jelas dan lengkap. Peraturan di bidang pertanahan dan perhutanan juga masih perlu
diseimbangkan antara kebutuhan untuk
mendorong pertumbuhan tenaga listrik
26
dengan kebutuhan untuk menjaga keberlanjutan lingkungan dan keharmonisan
sosial. Transparansi penetapan biaya untuk pengurusan dokumen masih perlu ditingkatkan agar tidak menyuburkan praktik pungutan liar (pungli). Pengetahuan
pemerintah lokal/daerah (Pemda) mengenai peraturan dari pemerintah pusat
terkait proyek tenaga listrik belum merata,
demikian juga pengetahuan Pemda mengenai prosedur pembiayaannya yang berdampak pada minimnya dukungan Pemda
untuk memperlancar proses pengembangan proyek tenaga listrik. Selain itu, yang
tidak kalah pentingnya untuk diatasi adalah risiko yang timbul karena lemahnya
pemahaman tentang kebiasaan dan tradisi
sosial dalam masyarakat lokal di sekitar
lokasi proyek.
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
27
POINT 4
Aspek Keuangan
G
ambaran ringkas aspek keuangan dalam suatu proyek energi terbarukan disajikan pada
Gambar 7. Pada gambar tersebut dapat dilihat faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan
pembangkit beserta komponen-komponen biayanya. Di bagian pendapatan (revenue)
terlihat bahwa produksi sebuah pembangkit dipicu oleh faktor seperti debit air berdasarkan
analisis hidrologi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) atau jaminan ketersediaan feed stock
untuk Pembangkit Listri Tenaga Bio Massa/Gas (PLTBM/PLTBG). Dalam kasus PLTS, faktor pemicu
produksi dimaksud adalah berupa intensitas cahaya matahari. Sementara di bagian machinery
and equipment, power turbine dan gas engine menjadi bagian mesin dan peralatan utama untuk
PLTA dan PLTBG. Sedangkan dalam kasus PLTS, komponen mesin dan peralatan utamanya adalah
berupa panel surya dan inverter.
28
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Biogas
Gambar 7 Rangkuman Komponen Aspek
Keuangan Proyek Energi Terbarukan
Sumber: Clean Energy Handbook for Financial
Service Institutions, telah diolah kembali
Hal pertama yang harus dievaluasi dalam
aspek keuangan pembiayaan PLTS adalah
evaluasi terhadap kewajaran asumsi yang
digunakan. Asumsi umum dari sebuah proyek
PLTS dapat dijelaskan sebagai berikut.
Normalnya diasumsikan bahwa lahan yang
akan digunakan untuk PLTS diperoleh dengan
cara sewa untuk jangka panjang. Biaya
pembangunan struktur PLTS berkisar antara
USD2.500.000 -USD3.000.000 per MWp (di
luar lahan/tanah) yang dapat dibagi menjadi:
•
Biaya panel surya senilai USD0,46
per Wp untuk kategori tier 1 berdasarkan
Bloomberg New Energy Finance.
•
Inverter berkisar antara USD0,06USD0,08 per Wp.
•
Lain-lain (balance of system) memiliki
nilai biaya setara dengan nilai biaya panel
surya dan inverter .
Asumsi Debt-to-Equity Ratio (DER) yang
wajar untuk sebuah proyek PLTS adalah
70:30. Rasio ini dapat disesuaikan menjadi
50:50 jika pengembang memutuskan untuk
menggunakan peralatan dan komponen
dengan kualitas kategori tier 2. Jangka
waktu pembiayaan proyek dengan skema
project finance maksimum adalah 10 tahun,
sementara umur ekonomis PLTS diperkirakan
dapat mencapai 25 tahun.
Standar nilai Levelled Cost of Energy (LCOE)
adalah USD0,04 per kWh (untuk kapasitas
antara 1 MW hingga 100 MW). Sedangkan
standar nilai biaya operasi dan pemeliharaan
adalah USD12-USD15 per tahun per kWp
terpasang. Meskipun demikian, untuk kondisi
di Indonesia, nilai-nilai tersebut dapat lebih
tinggi antara 10%-20%.
Hal kedua yang harus dievaluasi dalam
aspek keuangan pembiayaan PLTS adalah
evaluasi terhadap proyeksi laporan keuangan,
terutama laporan laba rugi, beserta hasil
analisis sensitivitas dan analisis skenarionya.
Evaluasi terhadap laporan laba rugi berfokus
pada pendapatan dan biaya. Evaluasi
pendapatan tidak hanya dilakukan dengan
memperhitungkan penjualan dari tenaga
listrik, namun juga dapat memperhitungkan
penghematan dari biaya bahan bakar yang
lebih mahal (seperti diesel) dan penghasilan
dari carbon trading (jika ada). Sementara
evaluasi biaya yang dilakukan meliputi baik
beban operasi maupun biaya persiapan
proyek, konstruksi sipil, serta mesin dan
peralatan yang menjadi bagian dari komponen
investasi awal (initial outlay).
Hal ketiga dalam evaluasi aspek keuangan
pembiayaan PLTS adalah melakukan financial
due diligence. Poin-poin yang perlu mendapat
perhatian lebih ketika melakukan financial
due diligence adalah:
•
Rincian
biaya
proyek
harus
memasukkan kontinjensi dan jaminan
penyelesaian yang nilai standarnya adalah
5% dari total biaya dengan setidaknya
1% dicadangkan sebagai loss in mounting
structure dan 3% dicadangkan sebagai loss in
solar panel.
•
Proyeksi laporan keuangan harus
mencerminkan mitigasi dari cost overruns
berdasarkan hasil analisis sensitivitas dan
analisis skenario serta mengakomodasi
kemungkinan
dibutuhkannya
modal
kontinjensi.
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
29
•
Rencana pembiayaan harus mempertimbangkan waktu penyetoran modal pemilik dan debt
covenants.
•
Asumsi yang digunakan, termasuk asumsi makroekonomi, harus realistis dan berasal dari
sumber terpercaya. Asumsi-asumsi suku bunga pinjaman, kapitalisasi Interest During Construction
(IDC), dan rate of return menjadi perlu fokus asumsi bagi bank.
Dalam melakukan financial due diligence, bank perlu memeriksa kelengkapan komponen dari
model keuangan yang digunakan pengembang. Komponen model keuangan yang lebih lengkap
dari sebuah proyek PLTS adalah sebagai berikut:
1.
Nilai investasi awal dan belanja modal selanjutnya (peralatan utama, konstruksi sipil,
mekanikal dan instalasi, transmisi), dengan memerhatikan perbandingan kewajaran antara biaya
dan kualitas teknologi yang digunakan
2.
Asumsi operasional, dengan minimal efisiensi operasi sebesar 80%
3.
Penjualan tenaga listrik dan pendapatan lain, dengan memerhatikan kemungkinan
penyesuaian FIT
4.
Biaya operasi, administrasi, pemeliharaan, dan sewa
5.
Pajak dan retribusi
6.Depresiasi
7.
Suku bunga dan IDC
8.Asuransi
9.
Rasio keuangan (profitabilitas, likuiditas, solvabilitas)
10.Dividen
11.
Cash flow schedule
Ilustrasi rincian biaya sebuah proyek PLTS dengan skala kapasitas 1 MW dan sekitar 5 MW diberikan
pada Tabel 5.
30
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
Pada akhirnya, dalam aspek keuangan terkait proyek tenaga listrik di Indonesia ini terdapat beberapa
tantangan yang perlu diatasi. Terdapatnya pungutan yang tidak transparan, pengeluaran biaya
yang tidak dapat dilengkapi dengan bukti, dan cost overruns, adalah beberapa diantara tantangan
dimaksud. Termasuk tantangan bagi lembaga keuangan khususnya bank, kurangnya akses terhadap
skema project finance, dimana bank lebih menyukai skema corporate finance yang mengandalkan
sponsor’s balance sheet, padahal sebuah proyek PLTS maupun proyek pengembangan energi
terbarukan lainnya seharunya dibiayai dengan skema project finance.
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
31
32
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
POINT 5
Aspek Teknis
H
al pertama yang harus dievaluasi dalam aspek teknis pembiayaan PLTS adalah kelayakan teknis
dari proyek itu sendiri. Kelayakan teknis proyek meliputi baik rancangan layout, pemilihan
teknologi (general and detailed engineering), kepantasan estimasi biaya proyek yang dapat
dihitung dengan bantuan independent engineer, maupun organisasi dan penanggung jawab
proyek, serta terdapatnya asuransi proyek (surety bonds) dan garansi.
Hal kedua yang harus dievaluasi dalam aspek teknis pembiayaan PLTS adalah evaluasi
terhadap ASRI (lingkungan dan sosial). Poin-poin evaluasi ASRI meliputi diantaranya:
• Fasilitasi terhadap kondisi lingkungan sekitar, seperti vegetasi, satwa (pembangunan
pagar dan animal housing), akses lalu lintas publik, penyimpanan/pembuangan material
konstruksi, dan pemukiman pegawai untuk lokasi terpencil.
• Pemenuhan izin lingkungan, dengan ketentuan untuk proyek pembangkit listrik kapasitas
lebih dari 10 MW dan/atau terletak dalam kawasan lindung harus dilengkapi dengan
AMDAL (waktu pengurusan 125 hari kerja), sementara untuk proyek pembangkit listrik
kapasitas sampai dengan 10 MW cukup dilengkapi dengan UKL-UPL (waktu pengurusan
14 hari kerja).
• Akomodasi isu lingkungan dan sosial dalam biaya proyek.
• Ketersediaan prosedur dan dokumentasi hasil konsultasi publik dengan masyarakat di
sekitar lokasi proyek.
• Keberhasilan memperoleh dukungan dari masyarakat sekitar.
Setiap pembangkit listrik memiliki profil teknisnya masing-masing. Profil teknis umum
sebuah proyek PLTS adalah sebagai berikut:
1. Kebutuhan lahan berkisar 1,5-2,3 hektar (ha) per MWp, bergantung pada letak geografis
dan peralatan konstruksi yang digunakan.
2. Panel surya standar industri yang digunakan berukuran 2x1 m per unit dengan kapasitas
310 Wp dan efisiensi panel 16%, sehingga untuk PLTS dengan kapasitas 5 MWp akan
membutuhkan sekitar 16.130 panel surya dan cakupan area 8.065 m2.
3. Efisiensi minimal dari inverter adalah 85%.
4. Mounting structure dibuat dari bahan anti karat dengan foundation yang bersifat
galvanic dan upper structure menggunakan sea grid aluminium. Selain itu, struktur juga
harus menggunakan baut dan mur yang sesuai serta tidak boleh dilakukan pengeboran
dalam proses pemasangan panel surya.
5. Run test harus dilakukan selama 30 hari setelah COD untuk menguji kesiapan operasi
pembangkit.
6. Electrical losses saat operasi yang dapat ditolerir maksimal adalah 1% untuk DC dan 3%
untuk AC.
7. Performance ratio minimal adalah 80% yang dapat dijaga melalui kerja sama dengan
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
33
operation and maintenance company yang mampu memberikan jaminan performa dan
SLA kurang dari empat hari.
Salah satu sumber data teknis untuk menghitung nilai penjualan tenaga listrik dari sebuah
PLTS ditunjukkan pada Gambar 8. Pada gambar tersebut, untuk kapasitas PLTS sebesar 1
MWp (1.000 kWp), proyeksi nilai penjualan tenaga listriknya per tahun adalah 1.500.000
kWh x FIT (misal USD0,16) = USD240.000.
Gambar 8 Contoh Sumber Data Radiasi Matahari
Sumber: http://re.jrc.ec.europa.eu, telah diolah kembali
Dalam aspek teknis PLTS, terdapat kekeliruan-kekeliruan instalasi yang harus dihindari.
Contoh kekeliruan instalasi PLTS ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6 Contoh Kekeliruan Instalasi PLTS
34
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
Tabel 6 Contoh Kekeliruan Instalasi PLTS Contoh Kekeliruan Penjelasan Pemasangan baut dengan cara dibor (drilled) dan pemasangan panel surya yang menempel dengan mounting structure dapat memicu karat yang akan menyebar dan merusak struktur. Penyambungan panel surya dan mounting structure dengan baut menyebabkan tinggi yang tidak sama. Tanaman liar dibiarkan tumbuh hingga lebih tinggi dari panel surya. Pemasangan kabel dan inverter yang terlalu dekat dengan tanah menimbulkan risiko arus pendek jika terkena cipratan air hujan. Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
35
Contoh Keke
eliruan Penje
elasan Penopaang struktur yang tidak kuat sehinggga memerrlukan pen
nyangga tambah
han. Kemirin
ngan panel surya yan
ng tidak seragam
m sistem memengaruhi panel surya efisiensi secara keseluruhan. Pemasaangan paneel surya yan
ng tidak rata/daatar. Kotoran
n dan samp
pah yang dibiarkan menutu
upi p
panel surya mengakkibatkan teenaga listrik yang dihasilkkan tidak maaksimal. 36
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
Pada akhirnya, dalam aspek teknis terkait proyek tenaga listrik di Indonesia ini terdapat
beberapa tantangan yang perlu diatasi. Titik interkoneksi yang dapat berubah di kemudian
hari, kompatibilitas koneksi dengan jaringan PT PLN (Persero), waktu pengecekan dokumen oleh PT PLN (Persero) yang tidak sebentar, dan prosedur perizinan untuk proyek yang
terletak di kawasan hutan adalah beberapa di antara tantangan dimaksud.
Manajemen Risiko Proyek PLTS
Peta potensi risiko umum dari sebuah proyek pembangkit listrik ditunjukkan pada Gambar 9. Untuk proyek PLTS, tahap konstruksi pembangkit hingga operasi dapat berlangsung
lebih singkat dari 24 bulan menjadi hanya berkisar 12-18 bulan.
Gambar 9 Peta Potensi Risiko Umum
Sumber: Indonesia Clean Energy Development (ICED)
Pada peta potensi risiko umum di atas dapat terlihat titik-titik risiko dalam sebuah proyek
pembangkit listrik. Titik-titik risiko tersebut adalah:
1.
Studi kelayakan yang berkualitas rendah.
2.
Ketentuan perizinan yang tidak efisien dan tidak terkoordinasi.
3.
PT PLN (Persero) secara praktis masih memonopoli evaluasi proposal proyek tenaga
listrik.
4.
Kepemilikan lahan dan perolehannya.
5.
Klausul PPA/PJBL, terutama yang menggunakan skema TNP dan terdapatnya klausul
undefined conditions for dispatching.
6.
Pemberian kredit atas dasar kolateral (sponsor’s balance sheet).
7.
Estimasi biaya proyek yang terlalu optimistis (tidak memperhitungkan cost overruns
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
37
dalam konstruksi proyek).
8.
PT PLN (Persero) hanya berkewajiban membeli tenaga listrik, tidak melakukan operasi dan pemeliharaan.
Selain risiko-risiko umum yang disebutkan sebelumnya, sebuah proyek PLTS juga memiliki
risiko-risiko spesifik. Tabel 7 memuat risiko-risiko spesifik dari sebuah proyek PLTS beserta
langkah mitigasinya.
Tabel 7 Risiko Spesifik PLTS
38
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
39
40
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
POINT 6
Keputusan Pencairan dan
Pengawasan Kredit
Keputusan pencairan pembiayaan untuk sebuah proyek PLTS diberikan dengan
pertimbangan-pertimbangan yang didasari pada hasil analisis aspek hukum, keuangan,
teknis, serta ASRI (lingkungan dan sosial). Pertimbangan-pertimbangan yang utama
dalam keputusan pencairan pembiayaan untuk sebuah proyek PLTS adalah:
• Net Present Value (NPV) bernilai positif, Internal Rate of Return (IRR) di atas required
rate of return untuk skema penyertaan modal, dan payback period untuk PLTS tercapai
dalam 10-12 tahun. Gambaran required rate of return bagi investor dalam sebuah proyek
PLTS diilustrasikan pada Tabel 8.
• Suku bunga disesuaikan dengan risiko untuk kredit.
• Credit covenants mencakup baik mitigasi risiko keuangan maupun mitigasi ASRI.
• Desain rencana pengawasan kredit yang memperhitungkan ASRI.
• Optimalisasi portofolio.
Tabel 8 Required Rate of Return Investor PLTS
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
41
Setelah keputusan pencairan pembiayaan untuk proyek PLTS, ASRI (lingkungan dan sosial)
menjadi komponen yang penting untuk diawasi. Pentingnya pengawasan ASRI dalam
credit monitoring diilustrasikan pada Gambar 10.
Gambar 10 Pengawasan ASRI (Lingkungan dan Sosial)
Sumber: Clean Energy Handbook for Financial Service Institutions
Kurangnya pengelolaan terhadap isu lingkungan dan sosial dalam operasi pembangkit oleh
debitor dapat memicu risiko seperti gangguan operasi, pengenaan denda dan penalti,
kehilangan pangsa pasar, serta munculnya liabilitas (kewajiban) tambahan. Risiko-risiko
tersebut akan membawa dampak bagi lembaga keuangan yang membiayai pembangkit
dimaksud. Dampak bagi lembaga keuangan, khususnya bank, dapat bersifat langsung
maupun tidak langsung. Dampak langsung dapat berupa “tanggung renteng”
liabilitas debitor yang ditimbulkan akibat kerusakan lingkungan dan sosial. Sedangkan
dampak tidak langsung dapat berupa menurunnya kapasitas debitor untuk melakukan
pembayaran kepada bank (risiko kredit), berkurangnya nilai jaminan (risiko pasar), dan
publisitas negatif bagi bank (risiko reputasi). Konsekuensinya, bank dapat mengalami
kehilangan aset, penurunan laba, hingga kerusakan reputasi. Hal inilah yang mendasari
pentingnya pengawasan ASRI (lingkungan dan sosial) dalam credit monitoring.
Guna memastikan bahwa debitor memasukkan pengelolaan ASRI dalam pengembangan
dan pengoperasian PLTS, bank dapat memasukkan klausul pengelolaan lingkungan
dan sosial dalam covenants. Contoh environmental and social covenants diberikan
pada Gambar 11. Selain itu, bank juga dapat meminta debitor untuk memiliki asuransi,
mewajibkan debitor membuat laporan pengelolaan lingkungan dan sosial, serta
membuat rencana tindakan manajemen.
42
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
Gambar 11 Contoh Environmental and Social Covenants
Laporan pengelolaan lingkungan dan sosial yang disinggung diatas dapat berbentuk laporan
yang harus disampaikan dengan segera maupun laporan yang cukup disampaikan secara
tahunan. Laporan yang harus dipenuhi/disampaikan dengan segera meliputi:
• Notifikasi yang diterima dari otoritas LH, kesehatan, dan keselamatan (misalnya
pemenuhan pembayaran denda).
• Penyampaian (submission) kepada otoritas LH, kesehatan, dan keselamatan (misalnya
laporan berkala untuk periode yang kurang dari satu tahun serta respon terhadap
permintaan data dan informasi).
• Pelaporan insiden yang material akibat ketidakpatuhan terhadap peraturan lingkungan
dan sosial.
• Laporan komplain yang diterima terkait masalah lingkungan, sosial, kesehatan, dan
keamanan.
Laporan yang cukup disampaikan secara tahunan, dapat disajikan secara terpisah ataupun
digabungkan sebagai komponen dalam annual report perusahaan. Komponenkomponen pengelolaan lingkungan dan sosial yang dapat disampaikan dalam laporan
tahuan meliputi sertifikasi kepatuhan terhadap standar pengelolaan lingkungan dan
sosial, status dari rencana tindakan manajemen, investasi untuk pengelolaan lingkungan
dan sosial yang telah dilakukan, serta peluang dari pengelolan lingkungan dan sosial
yang dapat diidentifikasi. Ilustrasi dari rencana tindakan manajemen terkait pengelolaan
lingkungan dan sosial ditunjukkan pada Gambar 12.
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
43
Pada akhirnys, outcomes yang diharapkan dari manajemen ASRI (lingkungan dan sosial)
adalah berkurangnya risiko bagi lembaga keuangan, baik risiko yang bersifat langsung
maupun tidak langsung. Gambaran integrasi manajemen ASRI dalam siklus kredit bank
diilustrasikan dengan Gambar 13.
Langkah pertama yang harus dilakukan oleh lembaga keuangan, khususnya bank, dalam
siklus kredit adalah memahami operasi dari calon debitornya. Berdasarkan pemahaman
terhadap operasi dari calon debitor, bank melakukan transaction screening untuk
memastikan bahwa operasi calon debitor tidak termasuk dalam operasi yang dilarang sesuai
dengan kebijakan lingkungan dan sosial bank (misalnya operasi dalam industri militer,
persenjataan, dan minuman keras. Selanjutnya, bank melakukan due diligence terhadap
kelayakan aspek sosial dan lingkungan dari proyek, disamping kelayakan dari aspek-aspek
lainnya (seperti hukum, keuangan, dan teknis). Bank kemudian menentukan apakah risiko
lingkungan dan sosial dari proyek dapat diterima dengan memertimbangkan langkahlangkah mitigasi yang akan ditempuh calon debitor. Terakhir, bank melakukan pengawasan
terhadap kinerja pengelolaan lingkungan dan sosial oleh debitor, sesuai dengan rencana
dan langkah mitigasi yang disepakati. Hasil yang diharapkan dari proses integrasi ini adalah
berkurangnya risiko, baik yang bersifat langsung maupunn tidak langsung, seperti timbulnya
liabilitas (kewajiban) tambahan akibat kerusakan lingkungan dan sosial, bertambahnya
risiko kredit, serta munculnya risiko reputasi bagi bank.
44
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
45
46
2016 © USAID
Modul Keuangan Berkelanjutan – Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
Download