uploads/9_PAPARAN TUADA MILITER(1)

advertisement
1
PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PEMECATAN PRAJURIT TNI DARI
DINAS MILITER DAN AKIBATNYA
Disampaikan oleh
H. M. Imron Anwari, SH., Spn., Mkn
TUADA ULDILMIL MARI
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagaimana telah kita ketahui pindana tambahan pemecatan dari dinas
Militer bagi seorang Prajurit hanya diatur dalam kitab undang-undangh hukum
pidana Militer (KUHPM). Dilihat dari perspektif hukum pidana KUHPM dapat
dikategorikan sebagai hukum pidana khusus, hal tersebut disebabkan KUHPM
dibentuk dan diberlakukan bagi orang-orang tertentu misalnya anggota angkatan
bersenjata yang pengaturannya dilakukan secara khusus. Dengan demikian
KUHPM merupakan kitab hukum pidana yang diberlakukan khusus bagi anggota
TNI mengandung arti bahwa hukum pidana tersebut mengatur suatu perbuatan
yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu (Prajurit).
Kekhususan hukum pidana Militer tidak dapat dilepaskan dari sifat dan
hakekat anggota Militer itu sendiri yang bersifat khusus, sehingga hukum pidana
Militer
bisa
saja
menyimpang
dari
azas-azas
hukum
pidana
umum,
penyimpangan tersebut antara lain menyangkut sanksi pidana yang berbeda
dengan stelsel pemidanaan yang lazim berlaku bagi masyarakat umum.
Bentuk penyimpangan sanksi hukum pidana dalam KUHPM dapat dilihat
dalam pasal 6 huruf b ke-1 KUHPM yang menyatakan bahwa salah satu jenis
hukum pidana tambahan yang dapat dikenakan terhadap anggota Militer adalah
pemecatan dari dinas kemiliteran dengan atau tanpa pencabutan haknya untuk
memasuki angkatan bersenjata. Jenis pidana pemecatan ini bersifat murni
2
kemiliteran (van zuiver militaire aard) yang tidak ada dalam hukum pidana umum
(KUHP).
Eksistensi hukum pidana pemecatan dalam KUHPM tidak mencantumkan
secara eksplisit mengenai syarat yang harus dipenuhi dan dipertimbangkan oleh
Hakim dalam penjatuhan pidana tambahan pemecatan. Pasal 26 (1) KUHPM
hanya menyatakan bahwa pidana tambahan pemecatan dapat dijatuhkan oleh
Hakim terhadap anggota Militer yang melakukan tindak pidana apabila Hakim
memandang anggota Militer tersebut tidak layak lagi untuk dipertahankan dalam
dinas Militer, sedangkan mengenai kriteria atau parameter layak tidaknya
anggota Militer untuk tetap dipertahankan dalam dinas Militer yang dijadikan
sebagai dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana tambahan
pemecatan tidak dijelaskan dalam KUHPM.
Pengertian tidak layak (ongeschikt) sebagai dasar oleh Hakim dalam
menjatuhkan pidana tambahan pemecatan tersebut sudah tidak atau sangat
kurang mempunyai sifat-sifat yang seharusnya bagi seorang Militer, jadi bukan
sama sekali dimaksudkan terpidana tidak mempunyai kecakapan (onbekwaam)
untuk menjalankan dinas Militer. Dengan demikian penilaian dan pertimbangan
bahwa terpidana benar-benar tidak layak lagi berdinas sebagai anggota Militer
menjadi kewenangan dan kebebasan Hakim sepenuhnya.
Dampak yang timbul dalam praktek peradilan akibat tidak adanya parameter
berkaitan layak tidaknya Prajurit TNI untuk dipertahankan dalam dinas Militer,
dimungkinkan dapat terjadi perbedaan penafsiran dan pemahaman tentang
kriteria atau parameter tidak layak yang menjadi dasar pertimbangan Hakim
dalam penjatuhan pidana pemecatan dari dinas Militer. Oleh sebab itu mengingat
kekurangan formulasi yang tercantum dalam KUHPM tersebut, maka Hakim
dalam menjatuhkan pidana tambahan pemecatan harus juga menggunakan
parameter lain seperti Undang-undang dan Peraturan-peraturan yang berlaku di
lingkungan TNI.
3
Hal lain yang perlu menjadi kajian adalah bagaimana dampak yang
ditimbulkan sebagai akibat penjatuhan pidana tambahan pemecatan terhadap
Prajurit, baik ditinjau dari aspek sosiologis, psikologis terhadap Terdakwa juga
ditinjau dampak negatif dan positif terhadap Kesatuan, walaupun dari aspek dari
pengawasan dan pengamatan terhadap mantan Prajurit TNI yang menjalani
pidana di Lembaga Pemasyarakatan Umum belum ada aturan khusus tentang
hal tersebut.
B. Perumusan Masalah
Bertolak
dari
latar
belakang
pemikiran
diatas
terdapat
4
(empat)
permasalahan pokok:
1. Dasar hukum penjatuhan pidana tambahan pemecatan terhadap Prajurit TNI
yang melakukan tindak pidana.
2. Penjatuhan pidana tambahan pemecatan ditinjau dari aspek sosiologis dan
psikologis terhadap Terdakwa dan dampak positif serta negatif terhadap
Kesatuan.
3. Dasar pertimbangan Hakim dalam putusan terhadap penjatuhan pidana
pemecatan.
4. Siapakah yang berwenang melakukan pengawasan dan pengamatan
terhadap Prajurit TNI yang telah dipecat dari dinas Militer dan menjalani
pidana di Lembaga Pemasyarakatan Umum.
4
II.
PEMBAHASAN
A. Dasar hukum penjatuhan pidana tambahan pemecatan terhadap Prajurit TNI
yang melakukan tindak pidana
1. Hakekat penjatuhan pidana bagi Prajurit TNI.
Pemidanaan bagi seorang Prajurit pada dasarnya merupakan suatu
tindakan pendidikan atau pembinaan dari pada tindakan penjeraan atau
pembalasan, selama Terpidana berada didalam Pemasyarakatan Militer sampai
akan diaktifkan kembali dalam dinas Militer selesai menjalani pidana.
Bagi seorang Prajurit Militer (eks narapidana) yang akan kembali aktif
melaksanakan tugas pada prinsipnya harus menjadi seorang Militer yang baik
dan berguna, baik karena kesadarannya sendiri maupun sebagai hasil tindakan
pendidikan yang diterima selama berada di pemasyarakatan Militer. Oleh sebab
itu pemidanaan tidak mempunyai arti apabila tindakan berupa pendidikan atau
pembinaan tidak mempunyai manfaat dalam rangka pengembaliannya dalam
masyarakat Militer. Terhadap Prajurit TNI yang akan dijatuhi pidana tambahan
pemecatan perlu adanya pertimbangan Hakim secara khusus tentang tidak
layaknya seorang Prajurit TNI untuk tetap dipertahankan dalam dinas Militer,
selain itu harus diuraikan juga dalam sifat, hakekat serta akibat perbuatan
Terdakwa untuk menentukan perlu tidaknya pidana tambahan pemecatan
terhadap Terdakwa.
Disamping itu Hakim dalam menjatuhkan pidana tambahan pemecatan juga
harus memperhatikan ketentuan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang menyatakan Peradilan Militer
merupakan pelaksanaan kekuasaan kehakiman di lingkungan TNI untuk
menegakkan hukum dan keadilan dengan
memperhatiikan kepentingan
penyelenggaran pertahanan keamanan Negara. Dalam penjelasan UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 menyatakan untuk menyelengarakan pertahanan
5
dan keamanan Negara maka kepentingan Militer diutamakan melebihi dari pada
kepentingan golongon dan perorangan.
Penjatuhan pidana tambahan pemecatan terhadap Prajurit TNI juga
didasarkan penilaian Hakim Militer mengenai kejahatan yang dilakukan oleh
Terdakwa sehingga dianggap tidak layak lagi dipertahankan dalam kehidupan
kalangan Militer. Kepercayaan yang diberikan kepada Hakim Militer tidak dapat
dialihkan kepada Hakim Peradilan Umum dalam penjatuhan pidana tambahan
pemecatan. Penjatuhan pidana tambahan pemecatan oleh Hakim Militer harus
tercakup dan tersirat dalam pertimbangan hukum putusan Hakim dan hal yang
paling essensial apabila tidak dijatuhkan pidana pemecatan maka kehadiran
terpidana nantinya dalam kalangan Militer setelah ia selesai menjalankan pidana
akan
menggoyahkan
sendi-sendi
ketertiban
dalam
masyarakat
Militer.
Pertanyaan yang timbul berapakah batas minimum jangka waktu pidana penjara
yang dijatuhkan untuk dapat menambahkan pidana pemecatan? Untuk
menjawab hal ini Hakim didalam mempertimbangkan layak tidaknya Prajurit TNI
untuk tetap dipertahankan dalam kalangan Militer, selain berpedoman kepada
aspek sosiologis dan psikologis bagi Terdakwa, juga berpedoman pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ketentuan interen di
lingkungan TNI.
Hakekat yang menjadi dasar mengapa Hakim sipil tidak berwenang
menjatuhkan pidana tambahan pemecatan dari dinas Militer, hal ini disebabkan
wewenang penjatuhan pidana tambahan pemecatan bersifat khas Militer dan
menjadi kewenangan Hakim Militer, walapun mungkin terjadi bahwa seseorang
Militer yang diperiksa dalam perkara koneksitas dan diperiksa di lingkungan
peradilan umum pemecatan terhadap Prajurit dapat dilakukan mengingat dalam
perkara koneksitas Hakim Militer juga turut duduk dalam memeriksa dan
mengadili perkara tersebut, sehingga penjatuhan pidana pemecatan dapat
dilaksanakan.
6
2. Dasar hukum penjatuhan pidana tambahan pemecatan dari dinas Militer.
Beberapa ketentuan yang dijadikan dasar hukum pemecatan kepada
Prajurit TNI dapat kita lihat sebagai berikut:
1) Pasal 6 huruf b ke-1 KUHPM, menyatakan; “Pidana tambahan dipecat
dari Dinas Militer dengan atau tanpa pencabutan haknya untuk memasuki
Angkatan Bersenjata."
2) Pasal 26 KUHPM, menyatakan;
(1) Pemecatan dari dinas Militer dengan atau tanpa pencabutan hak untuk
memasuki Angkatan Bersenjata, selain dari pada ditentukan dalam
pasal 39, dapat dijatuhkan oleh Hakim berbarengan dengan setiap
putusan penjatuhan pidana mati atau pidana penjara kepada
seseorang Militer yang berdasarkan kejahatan yang dilakukan di
pandangnya tidak layak lagi tetap dalam kalangan Militer.
(2) Pemecatan tersebut menurut hukum berakibat hilangnya semua hakhak yang diperolehnya dari angkatan bersenjata selama dinasnya
yang dahulu, dengan pengecualian bahwa hak pensiun akan hilang
dalam hal-hal yang disebutkan dalam peraturan pensiun yang berlaku
bagi terpidana.
(3) Apabila pemecatan tersebut berbarengan dengan pencabutan hak
untuk memasuki angkatan bersenjata, menurut hukum juga berakibat
hilangnya hak untuk memiliki dan memakai bintang-bintang, tandatanda kehormatan, medali-medali atau tanda-tanda pengenalan,
sepanjang keduanya yang tersebut terakhir diperoleh berkenaan
dengan dinas yang terdahulu.
3) Pasal 29 Ayat (1) KUHPM, menyatakan;
(1)
Pidana tambahan mengenai pemecatan dari dinas Militer dengan
atau tanpa pencabutan hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata
dan mengenai penurunan pangkat mulai berlaku pada hari saat
putusan itu dapat dilaksanakan.
7
(2)
Apabila salah satu pidana tambahan yang disebutkan pada ayat (1)
dijatuhkan, apabila Terpidana tidak berada dalam penahanan
sementara pada saat pidana itu di tetapkan untuk menjalaninya,
maka menurut hukum terpidana ditahan.
(3)
Penahanan yang dimaksudkan pada Ayat (2), dijalani pada suatu
tempat yang ditentukan Panglima/Perwira Komandan Iangsung yang
membawakan terpidana, dengan cara sedemikian rupa, sehingga
Terpidana tidak boleh berhubungan dengan para Militer Iainnya.
Selama penahanan ini Terpidana tidak diperkenankan untuk
melaksanakan dinas.
Ketentuan Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3) KUHPM mengandung
pengertian adalah:
-
Perkara tersebut telah BHT (Berkekuatan hukum tetap) kerena
menggunakan kata terpidana.
-
Kewenangan penahanan ada pada komandan satuan (Ankum)
karena menunjuk secara tegas Panglima/perwira komandan
langsung.
4) Pasal 35 Ayat (1) UU RI Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin
Prajurit
ABRI,
menyatakan:
"Prajurit
yang
telah
berulang-ualang
melakukan pelanggaran hukum disiplin dan /atau nyata-nyata tidak
memperdulikan segala hukum disiplin yang dijatuhkan sehingga di
pandang tidak patut lagi di pertahankan sebagai Prajurit, maka Prajurit
yang demikian diberhentikan tidak dengan hormat dari dinas keprajuritan."
5) Pasal 53 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010.
(1). Prajurit diberhentikan tidak dengan hormat dari dinas Keprajuritan
karena :
a. Dijatuhi pidana tambahan dipecat dari dinas Militer berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap:
atau
b. Mempunyai tabiat dan/atau perbuatan yang nyata-nyata dapat
merugikan disiplin keprajuritan atau TNI.
8
6) Pasal 53 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010 tentang
Administrasi Prajurit TNI menyatakan kewenangan penjatuhan hukuman
administrasi ada pada pejabat yang ditentukan oleh Peraturan Pemerintah
tersebut, sehingga apabila penjatuhan pidana oleh Pengadilan Militer
terhadap Prajurit TNI tidak disertai pidana tambahan pemecatan, namun
di Kesatuan Terdakwa, Ankum/Papera menilai bahwa Prajurit tersebut
tidak dapat dipertahankan lagi sebagai Prajurit, maka Kesatuan dapat
memproses secara administrasi, Prajurit TNI tersebut dapat dipecat
secara administrasi dengan syarat telah dijatuhi pidana lebih 2 (dua) kali
berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum yang tetap.
7) Pasal 62 UU RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
(1) Prajurit diberhentikan dengan tidak hormat karena mempunyai tabiat
dan/atau perbuatan yang nyata-nyata dapat merugikan disiplin
keprajuritan atau TNI.
(2) Pemberhentian sebagaimana yang dimaksud pada Ayat (1) terhadap
Perwira setelah mempetimbangkan pendapat Dewan Kehormatan
Perwira.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
Iebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
8) Surat Telegram Panglima TNI Nomor: STR/198/2005, menyatakan; "
Tentang usul pemberhentian dengan tidak hormat (pemecatan) bagi
Anggota TNI yang melakukan pelanggaran susila terhadap sesama
Prajurit, isteri/suami/anak atau yang melibatkan PNS, isteri/suami di
Iingkungan TNI."
Dari beberapa ketentuan yang dijadikan dasar hukum pemecatan kepada
Prajurit TNI ditinjau dari ketentuan Pasal 26 ayat (1) KUHPM dan ketentuan
yang diatur dalam KUHP dapat dijelaskan sebagai berikut:
9
1. Ditinjau dari ketentuan Pasal 26 ayat (1) KUHPM
Norma dasar bagi Hakim Militer untuk menjatuhkan pidana tambahan
kepada Terdakwa berupa pemecatan dari dinas Militer dengan atau tanpa
pencabutan haknya untuk memasuk Angkatan Bersenjata adalah ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) KUHPM. Ketentuan pasal 26
ayat (1) KUHPM mengatur bahwa pemecatan dari dinas Militer (dengan atau
tanpa pencabutan hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata) harus
diperhatikan ketentuan Pasal 39 KUHPM, sehingga ketentuan penjatuhan
pidana tambahan pemecatan dari dinas Militer harus memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
a. Dapat dijatuhkan oleh Hakim berbarengan dengan penjatuhan pidana
pokok berupa pidana mati atau pidana seumur hidup kepada seorang
Militer.
b. Dapat dijatuhkan kepada seorang Militer yang berdasarkan kejahatan
yang dilakukan dijatuhi pidana pokok penjara sementara yang
dipandang tidak layak lagi tetap berada dalam kalangan Militer.
Menurut SR. Sianturi, SH yang dimaksud tidak layak adalah tidak
pantas atau sudah tidak ada atau sangat kurang mempunyai sifat-sifat
yang
seharusnya
bagi
seorang
Militer,
bukan
karena
yang
bersangkutan tidak mempunyai kecakapan lagi untuk menjalankan
dinas Militer. Jadi dengan kata lain apabila yang bersangkutan tetap
dipertahankan dalam dinas Militer akan membawa dampak yang tidak
baik sehingga akan menggangu pembinaan Kesatuan dikaitkan
dengan pelanggaran atau tindak pidana yang dilakukannya.
c. Penjatuhan pidana tambahan pemecatan dari dinas Militer tidak hanya
karena yang bersangkutan melakukan kejahatan tertentu melainkan
setiap bentuk kejahatan.
Dengan demikian apabila Hakim akan menjatuhkan pidana tambahan
pemecatan dalam putusan perlu dicantumkan pasal 26 KUHPM sebagai
dasar penjatuhan pidana tambahan pemecatan, namun ketentuan pasal 26
10
KUHPM bukan merupakan unsur dari suatu tindak pidana yang harus
dibuktikan oleh Hakim, tetapi merupakan ketentuan yang bersifat mutatis
mutandis yang seharusnya digunakan oleh Hakim dalam menjatuhkan
pidana tambahan pemecatan dari dinas Militer.
2. Ditinjau dari ketentuan yang diatur dalam KUHP
Norma dasar penjatuhan pidana tambahan pemecatan dari jabatan dalam
KUHP diatur dalam ketentuan pasal 35 ayat (2) KUHP yang menyatakan
Hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya jika dalam
aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lain untuk pemecatan, sehingga
ketentuan tersebut mengakui azas lex specialis terhadap ketentuan KUHPM
yang menjadi dasar hukum bagi Hakim Militer dalam menjatuhkan pidana
tambahan pemecatan terhadap Prajurit TNI.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketentuan penjatuhan pidana
tambahan pemecatan dari dinas Militer yang diatur dalam pasal 26 ayat (1)
KUHPM sistemnya berbeda dengan ketentuan penjatuhan pidana tambahan
pemecatan dalam jabatannya yang diatur dalam Pasal 35 ayat (2) KUHP,
ketentuan yang diatur dalam pasal 26 ayat (1) KUHPM merupakan ketentuan
yang lebih khusus (lex specialis).
B. Penjatuhan pidana tambahan pemecatan ditinjau dari aspek sosiologis dan
psikologis terhadap Terdakwa dan dampak positif serta negatif terhadap
Kesatuan
Penjatuhan pidana tambahan pemecatan dari dinas Militer bagi Prajurit
TNI dirasakan lebih berat dari pada pidana pokok berupa perampasan
kemerdekaan, hal ini dapat dilihat dari aspek sosiologis dan psikologis
terhadap Terdakwa akan tetapi penjatuhan pidana tambahan pemecatan
terhadap Prajurit dapat menimbulkan dampak positif maupun negatif
terhadap Kesatuan.
11
1. Aspek sosiologis dan psikologis terhadap Terdakwa
Prajurit TNI yang dijatuhi pidana tambahan pemecatan dari dinas
Militer akibat permasalahan hukum yang dilakukannya maka akan
mempunyai dampak sosiologis dan psikologis.
Adapun dampak sosiologis dan psikologis bagi Prajurit yang dijatuhi
hukuman tambahan pemecatan dari dinas Militer antara lain:
-
Setelah
dipecat
maka
Prajurit
tersebut
akan
kehilangan
kebanggaannya yang berdampak psikologis berupa rasa malu yang
dapat
menimbulkan
kompensasi
negatif
dalam
kehidupan
dimasyarakat termasuk kepada keluarga si Prajurit.
-
Secara sosiologis Prajurit tersebut akan sulit untuk beradaptasi
dengan masyarakat maupun mencari pekerjaan yang lain, sebab telah
dijustifikasi sebagai seorang narapidana
-
Akan merasa diasingkan dari lingkungan Kesatuan semula dan apabila
yang
bersangkutan
menempati
rumah
dinas
maka
harus
meninggalkan rumah dinas yang dihuni, sehingga hal ini berpengaruh
pada kebutuhan ekonomi keluarga karena harus mencari tempat
tinggal baru dan lingkungan yang baru.
-
Akan kehilangan hak pensiun akibatnya secara psikologis yang
bersangkutan akan merasa rendah diri dan kehilangan kepercayaan
karena kehilangan mata pencaharian padahal kebutuhan hidup
keluarga masih menjadi tanggung jawabnya.
2. Dampak terhadap Kesatuan
a. Dampak positif;
Pidana tambahan pemecatan akan berdampak positif terhadap
Kesatuan Prajurit yang bersangkutan apabila putusan tersebut sesuai
harapan komandan Kesatuannya misalnya Prajurit tersebut memang
betul-betul tidak bisa dibina lagi sehingga pantas dijatuhi hukuman
tambahan pemecatan. Adapun dampak positif yang ada diantaranya:
12
-
Dapat menimbulkan efek jera terhadap Pajurit yang lain, sehingga
akan menimbulkan kepatuhan para Prajurit terhadap peraturan
yang ada.
-
Meningkatkan citra dan wibawa institusi TNI ditengah masyarakat
menimbulkan opini positif ditengah masyarakat dan menambah
kepercayaan publik terhadap Peradilan Militer.
-
Memudahkan Komandan Kesatuan dalam pembinaan personil di
Kesatuannya.
-
Memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa pemecatan
tersebut adalah tindakan tegas terhadap Prajurit TNI yang
melakukan tindak pidana.
b. Dampak negatifnya;
Apabila Prajurit yang dipecat dari dinas Militer tersebut memiliki
keahlian khusus, seperti keahlian menggunakan senjata api (sniper)
maka akan berpengaruh kepada Kesatuannya karena keahlian
tersebut sangat dibutuhkan untuk mendukung pelaksanaan tugasnya.
C. Pertimbangan Hakim dalam putusan terhadap penjatuhan pidana tambahan
pemecatan dari dinas Militer
Bahwa norma penjatuhan pidana tambahan pemecatan oleh Hakim dalam
sidang pengadilan adalah Pasal 26 ayat (1) KUHPM yang menegaskan
bahwa Terdakwa berdasarkan kejahatan yang dilakukannya dipandang tidak
layak lagi untuk tetap berada di kalangan Militer. Ukuran layak atau tidak
layak tersebut tidak diberikan defenisi yang jelas dalam Undang-Undang,
sehingga Hakim diberikan kebebasan untuk menafsirkan ukuran layak atau
tidak layak yang dijadikan dasar penjatuhan hukuman tambahan pemecatan
dari dinas Militer.
Pertimbangan mengenai layak tidaknya anggota TNI untuk dapat
dipertahankan sebagai Prajurit TNI secara umum menggunakan kriteria yang
13
menunjuk kepada dasar hukum yang termuat dalam KUHPM maupun
Peraturan Pemerintah dan Surat Telegram pimpinan TNI sebagaimana telah
dijelaskan pada bab II tersebut diatas antara lain sebagai berikut:
-
Anggota TNI tersebut adalah pribadi yang tidak perduli dengan aturan
hukum dan merupakan sosok individu yang menyepelekan ketentuan
hukum atau perundang-undangan serta petunjuk pimpinan TNI.
-
Anggota TNI melakukan pelanggaran susila terhadap sesama Prajurit,
istri/suami/anak atau yang melibatkan PNS, istri/suami di lingkungan TNI.
-
Perbuatan-perbuatan yang dianggap dapat mencemarkan nama baik dan
kepentingan TNI.
-
Perbuatan Terdakwa dihadapkan dengan ukuran-ukuran tata kehidupan
dan nilai yang berlaku di lingkungan TNI ditinjau dari aspek edukatif,
prefentif, korektif, maupun represif, sehingga dinilai Terdakwa tidak layak
lagi untuk dipertahankan dalam dinas Militer.
Adapun tindak pidana yang dapat dijatuhkan pidana tambahan pemecatan
dari dinas Militer sesuai dengan penekanan Pimpinan TNI sebagai berikut:
1. Tindak pidana narkotika;
2. Penyalahgunaan senjata api;
3. Tindak pidana illegal loging;
4. Desersi;
5. Insubordinasi;
6. Pelanggaran susila dengan keluarga besar TNI;
7. Perkelahian antar Angkatan;
8. Pembunuhan dengan ancaman hukuman 15 tahun ke atas;
Sebagai contoh dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana
tambahan pemecatan dalam perkara narkotika dan susila sebagai berikut:
1. Dalam perkara narkotika;
-
Tindak pidana narkotika dianggap sebagai kejahatan transnasional
yang banyak menimbulkan korban terutama di kalangan generasi
14
muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat,
bangsa dan Negara, disamping itu tidak sesuai dengan program
pemerintah yang saat ini sedang gencar-gencarnya memberantas
penyalahgunaan narkotika.
-
Bahwa penggunaan narkotika akan sangat berpengaruh pada susunan
pusat syaraf dalam hal ini akan merusak pikiran dan jiwa seseorang
yang dapat berpengaruh pada kinerja seseorang, apalagi Terdakwa
dalam menggunakan narkotika tidak seijin Dokter padahal Terdakwa
sebagai aparat yang seharusnya membantu pemerintah dalam
memberantas peredaran dan pemakaian narkotika tetapi justru terlibat
dalam memperlancar peredaran dan pemakaian narkotika.
-
Bahwa penyalahgunaan narkotika sangat tidak pantas dilakukan oleh
seorang Prajurit TNI yang seharusnya menjadi contoh dan teladan
dalam penegakan hukum dan mendukung program pemerintah dalam
pemberantasan penyalahgunaan obat-obatan terlarang.
2. Tindak pidana susila dengan keluarga besar TNI;
-
Bahwa perbuatan Terdakwa yang melakukan pelanggaran susila
dengan istri bawahan atau istri atasan (Keluarga
Besar TNI)
sesungguhnya telah merusak citra dan martabat status dan
kepangkatan yang disandangnya, disamping itu dapat menimbulkan
citra negatif nama baik Kesatuan di masyarakat apabila kepada
Terdakwa tidak diberikan hukuman yang setimpal sesuai dengan
kualitas kesalahan Terdakwa.
-
Bahwa pelanggaran susila yang dilakukan oleh Terdakwa dengan
keluarga besar TNI merupakan perbuatan yang secara nyata tidak
sepatutnya dilakukan, karena dapat berakibat keretakan/ketegangan
dikalangan Prajurit, menurunkan kepercayaan bawahan kepada
atasan atau sebaliknya sehingga dapat menyulitkan pimpinan dalam
melakukan pembinaan di Kesatuan.
15
-
Bahwa berdasarkan ketentuan ST Pangab No. STR/197/1998 jo STR
Pang TNI No. STR/198/2005, tentang usul pemecatan Prajurit TNI
yang melanggar susila dengan sesama Prajurit TNI dan keluarga
besar TNI. Tindakan tegas terhadap pelaku tindak pidana susila
dengan anggota TNI karena perbuatan tersebut dipandang tidak
patut, tidak layak dan tidak boleh terjadi di dalam kehidupan Prajurit
TNI, apabila dibiarkan akan diikuti oleh Prajurit TNI lainnya yang
mengakibatkan goyahnya sendi-sendi disiplin di Kesatuannya dan
akan berdampak negatif terhadap pembinaan di Kesatuan TNI. Oleh
karenanya harus dipecat dari dinas Militer.
D. Wasmat bagi terpidana mantan Prajurit yang menjalani pidana di Lembaga
Pemasyarakatan Umum.
Dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer
tidak ditentukan secara jelas kewenangan pengawasan dan pengamatan oleh
Hakim terhadap mantan Prajurit TNI yang dijatuhi pidana tambahan
pemecatan dari dinas Militer dan setelah BHT menjalani pidana dilembaga
pemasyarakat umum.
Pada ketentuan pasal 262 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997
menyatakan Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan
guna memperoleh kepastian bahwa putusan Pengadilan telah dilaksanakan
sebagaimana mestinya. Dari ketentuan tersebut tugas Hakim pengawas
hanya memonitoring apakah eksekusi telah dilaksanakan sesuai dengan
bunyi putusan.
Pengawasan dan pengamatan terhadap Prajurit TNI yang telah dipecat
dari dinas Militer tidak berlanjut dilakukan oleh Hakim pengawas, sesuai
dengan ketentuan pasal 262 ayat (4) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997
Hakim pengawas mengadakan pengamatan selama Terdakwa menjalani
pidana di lembaga pemasyarakatan Militer termasuk juga pengamatan tetap
16
dilaksanakan setelah terpidana selesai menjalani pidana. Dengan demikian
pengawasan terhadap Prajurit TNI yang telah dipecat dalani pidana di
Lembaga Pemasyarakatan Umum dilakukan oleh Hakim pengawas terbatas
pada lingkup pelaksanaan pidana, sedangkan pengamatan tidak menjadi
tanggung jawab Hakim pengawas.
Diharapkan kedepan pengawasan dan pengamatan bagi Prajurit TNI yang
dipecat memiliki peraturan-peraturan yang khusus dengan alasan;
a. Seorang mantan Prajurit yang menjalani pidana badan di Lembaga
Pemasyarakatan Umum akan jauh berbeda pembinaannya dengan
pembinaan di Masmil sehingga Hakim Wasmat masih punya
kewenangan
untuk
melakukan
pengawasan
di
Lembaga
Pemasyarakatan Umum.
b. Pengamatan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
Umum diperlukan untuk tujuan penelitian mengenai kemanfaatan
pemidanaan di Lembaga Pemasyarakatan Umum agar mantan Prajurit
tersebut dapat kembali menyesuaikan diri di lingkungan masyarakat.
Sebagai contoh seorang mantan Prajurit yang ahli di bidang
persenjataan dan bahan peledak, apabila tidak dilakukan pembinaan
yang tepat maka akan membahayakan kepentingan publik dengan
keahlian
yang
dimiliki,
atau
disalahgunakan untuk kejahatan.
17
keahlian
yang
dimiliki
dapat
III.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kewenangan Hakim Militer dalam menjatuhkan pidana tambahan
tersebut harus memperhatikan ketentuan-ketentuan penjatuhan pidana
tambahan baik yang diatur dalam KUHPM maupun yang diatur diluar
KUHPM.
2. Ketentuan Pasal 26 ayat (1) KUHPM dicantumkan sebagai dasar
penjatuhan pidana tambahan pemecatan, ketentuan Pasal 26 ayat (1)
KUHPM bukan merupakan unsur dari suatu tindak pidana yang harus
dibuktikan oleh Hakim, tetapi merupakan ketentuan yang bersifat
mutatis mutandis yang seharusnya digunakan sebagai dasar oleh
Hakim apabila menjatuhkan pidana tambahan pemecatan dari dinas
Militer, sehingga ketentuan yang diatur dalam pasal 26 ayat (1)
KUHPM merupakan ketentuan yang lebih khusus (lex specialis)
sebagaimana diamanatkan Pasal 35 ayat (2) KUHP.
3. Penjatuhan pidana tambahan pemecatan merupakan pidana yang
sangat berat bagi Prajurit TNI sehingga Hakim Militer sebelum
menjatuhkan pidana tambahan pemecatan terhadap Prajurit TNI harus
dengan bijak, tidak hanya melihat dari sisi materiilnya saja dari tindak
pidana yang dilakukan namun juga harus melihat dari aspek sosiologis
dan psikologis bagi Terdakwa.
4. Ukuran layak atau tidak layak sebagai dasar penjatuhan pidana
tambahan diberikan sepenuhnya kebebasan kepada Hakim untuk
melakukan penilaian.
5. Pengawasan terhadap Prajurit TNI yang telah dipecat dilakukan oleh
Hakim
pengawas
terbatas
pada
lingkup
pelaksanaan
pidana,
sedangkan pengamatan di Lembaga Pemasyarakatan Umum tidak
menjadi tanggung jawab Hakim pengawas.
18
B. Saran
1. Pasal 26 ayat (1) jo Pasal 6 huruf b ke-1 KUHPM sebagai dasar
hukum pemecatan dari dinas Militer bukan merupakan ketentuan yang
harus dicantumkan dalam surat dakwaan apabila Terdakwa akan
dijatuhkan pidana tambahan pemecatan.
2. Pidana tambahan pemecatan dari dinas Militer dapat diajukan upaya
hukum kasasi dengan mengesampingkan ketentuan Pasal 45 A
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Jakarta, Oktober 2012
19
Download