BAB I PENDAHULUAN

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam tifoid atau thypus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya
mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan
pada saluran cerna dan gangguan kesadaran. Dalam masyarakat penyakit ini
dikenal dengan nama tipes atau thypus (Zulkoni, 2010: 42). Penyakit ini disebabkan
oleh Salmonella typhosa dan hanya didapatkan pada manusia. Penularan penyakit
ini hampir selalu terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi
bakteri Salmonella typhi (Rampengan, 2007:46).
Penelitian epidemiologi yang dilakukan di Indonesia menunjukkan kurangnya
sarana air bersih, sempitnya lahan tempat tinggal keluarga, kebiasaan makan
dengan tangan yang tidak dicuci lebih dulu, pemakaian ulang daun-daun dan
pembungkus makanan yang sudah dibuang ke tempat sampah, sayur-sayur yang
dimakan mentah, penggunaan air sungai untuk berbagai kebutuhan hidup (mandi,
mencuci bahan makanan, mencuci pakaian, berkumur, gosok gigi, yang juga
digunakan sebagai jamban) dan penggunaan tinja untuk pupuk sayuran,
meningkatkan penyebaran penyakit menular yang menyerang sistem pencernaan
(Soedarto, 2009: 2).
Angka kejadian kasus demam tifoid diperkirakan rata-rata 900.000 kasus pertahun
dengan lebih dari 20.000 kematian (WHO, 2003: 3). Penyakit ini tersebar di seluruh
wilayah dengan insidensi yang tidak berbeda jauh antar daerah. Serangan penyakit
lebih bersifat sporadis bukan epidemik. Dalam suatu daerah terjadi kasus yang
berpencar-pencar dan tidak mengelompok. Sangat jarang ditemukan kasus pada
satu keluarga pada saat bersamaan (Widoyono, 2011:41). Dari telaah kasus demam
tifoid dirumah sakit besar Indonesia, menunjukkan angka kesakitan cenderung
1
2
meningkat setiap tahun dengan rata-rata 500 per 100.000 penduduk. Angka
kematian diperkirakan sekitar 6-5% sebagai akibat dari keterlambatan mendapat
pengobatan serta kurang sempurnanya proses pengobatan. Secara umum insiden
demam tifoid dilaporkan 75% didapatkan pada umur kurang dari 30 tahun. Pada
anak-anak biasanya diatas 1 tahun dan terbanyak di atas 5 tahun (Depkes RI,
2006:6).
Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2004 dari hasil Survei
Kesehatan Nasional (Surkesnas) tahun 2001, tifus abdominalis menempati urutan
ke-8 dari 10 pola penyebab kematian umum di Indonesia dengan proporsi sebesar
4,3% (WHO, 2005). Berdasarkan data dari Profil Kesehatan Indonesia tahun 2010
tifus abdominalis menempati urutan ke 3 dari 10 besar penyakit rawat inap di
rumah sakit Indonesia dengan CFR 0,67% (KEMENKES, 2012).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Sumatera Utara (RISKESDAS) tahun
2007, penyakit tifus abdominalis terdeteksi di Propinsi Sumatera Utara dengan
proporsi 0,9% dan tersebar di seluruh kabupaten atau kota dengan proporsi sebesar
0,2 - 0,3%. Proporsi tertinggi kasus tifus abdominalis dilaporkan dari Kabupaten
Nias Selatan sebesar 3,3% sedangkan proporsi tifus abdominallis di Kota Sibolga
sebesar 0,6% (Depkes, 2009).
Menurut Survei Departemen Kesehatan RI, frekeunsi kejadian demam tifoid di
Indonesia pada tahun 2010 demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan
penting di banyak negara berkembang. Secara global, diperkirakan 17 juta orang
mengidap penyakit ini tiap tahunnya. Di Indonesia diperkirakan insiden demam
tifoid adalah 300-810 kasus per 100.000 penduduk pertahun, dengan angka
kematian 2%. Demam tifoid merupakan salah satu dari penyakit infeksi terpenting
(Depkes RI, 2010).
3
Menurut penelitian Saragih (2005) di Rumah Sakit Herna Medan, proporsi
penderita tifus abdominalis yang dirawat inap sebesar 4,41% dan menurut
penelitian Harahap (2009) di Rumah Sakit Deli Serdang Lubuk Pakam terdapat
jumlah kasus tifus abdominalis yang dirawat inap sebanyak 344 kasus dari 9807
kasus rawat inap dengan proporsi 3,5%.
Demam tifoid atau thypus abdominalis banyak ditemukan dalam kehidupan
masyarakat Indonesia, baik diperkotaan maupun di pedesaan. Penyakit ini sangat
erat kaitannya dengan higiene pribadi dan sanitasi lingkungan seperti higiene
perorangan yang rendah, lingkungan yang kumuh, kebersihan tempat-tempat umum
(rumah makan, restoran) yang kurang serta perilaku masyarakat yang tidak
mendukung untuk hidup sehat (Depkes RI, 2006: 1).
Menurut Seta (2013) yang mengutip hasil penelitian Yanuar, pencegahan tifoid
adalah biasakan makan makanan yang sudah dimasak, biasakan minuman yang
sudah dimasak, lindungi makanan dari lalat, kecoa dan tikus, cuci tangan dengan
sabun setelah ke WC dan sebelum makan, hindari jajan di tempat-tempat yang
kurang bersih. Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara : umum
dan khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene
dan sampah. Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk ke mulut
(diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi. Pemutusan rantai
tranmisi
juga
penting
dan
pengawasan
terhadap
penjual
(keliling)
minuman/makanan.
Kejadian demam tifoid berkaitan dengan faktor sanitasi lingkungan dan higiene
perorangan. Suatu penelitian Alladany (2010), menunjukkan bahwa sanitasi
lingkungan dan perilaku kesehatan merupakan faktor risiko kejadian demam tifoid.
Sanitasi lingkungan dan perilaku kesehatan itu meliputi kualitas sumber air bersih,
kualitas jamban keluarga, pengelolaan sampah rumah tangga, praktek kebersihan
diri, pengelolaan makanan dan minuman rumah tangga. Dalam hal pencegahan
4
demam tifoid pada anak, sangat dibutuhkan partisipasi orang tua dalam menjaga
perilaku dan kebiasaan anak terkait dengan faktor resiko untuk terjangkit demam
tifoid tersebut.
Berdasarkan penelitian Ade (2010), dengan judul hubungan antara tingkat
pengetahuan Ibu tentang demam tifoid terhadap kebiasaan jajan anak sekolah dasar
menjelaskan bahwa untuk menunjang perilaku positif orang tua untuk menjaga
anak mereka dari kebiasaan buruk seperti jajan sembarangan, sekaligus
memberikan pembelajaran mengenai pencegahan demam tifoid maka seharusnya
diperlukan pengetahuan yang cukup tentang demam tifoid.
Pada pencegahan demam tifoid, pengetahuan yang harus dimiliki oleh Ibu adalah:
(1) pengetahuan tentang vaksinasi untuk mencegah agar seseorang terhindar dari
penyakit ini dilakukan vaksinasi, kini sudah ada vaksin tipes atau tifoid yang
disuntikan atau diminum dan dapat melindungi seseorang dalam waktu 3 tahun dan
pendidikan kesehatan pada masyarakat : hygiene, sanitasi, personal hygiene; dan
(2) pengetahuan tentang penyediaan air minum yang memenuhi syarat kesehatan,
pembuangan kotoran manusia yang higienis, pemberantasan lalat, pengawasan
terhadap masakan dirumah dan penyajian pada penjual makanan (Zulkoni, 2010:
48).
Dari berbagai penelitian tersebut dapat diketahui bahwa pengetahuan ibu tentang
demam tifoid di tiap negara sangat bervariasi. Pengetahuan ibu yang berbeda ini
akan mengakibatkan cara ibu mencegah demam tifoid pada anak berbeda pula.
Tingkat pengetahuan ibu tentang demam tifoid bervariasi karena dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain : pekerjaan, pengalaman, pendidikan, sosial ekonomi
dan keterbatasan informasi (Wawan & Dewi, 2010).
Menurut Ade (2010), menjelaskan bahwa hasil uji statistik penelitian sebelumnya
menunjukkan faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan ibu adalah
5
tingkat pendidikan ibu. Sedangkan yang tidak berpengaruh terhadap tingkat
pengetahuan ibu adalah umur dan status pekerjaan ibu. Penelitian mengenai
hubungan pengetahuan ibu mencegah penyakit demam tifoid pada anak usia
sekolah di Indonesia masih terbatas.
Berdasarkan data yang diperoleh peneliti dari Medikal Record RSU Sari Mutiara
Medan diketahui bahwa penderita demam tifoid masuk dalam 10 (sepuluh)
penyakit terbesar di RSU Sari Mutiara Medan pada urutan pertama dan tercatat
sejak bulan Januari sampai dengan bulan Desember 2013 jumlah penderita demam
tifoid sebanyak 700 orang, dari 700 kasus 206 kasus adalah anak usia sekolah.
Hasil wawancara yang dilakukan peneliti pada 10 orang Ibu yang mempunyai anak
usia sekolah yang menderita demam tifoid dirawat di lantai II-C gedung lama RSU
Sari Mutiara Medan, ada 7 orang Ibu yang mengatakan bahwa mereka tidak tahu
apa itu demam tifoid dan bagaimana cara mencegahnya serta 3 orang Ibu lainnya
mengatakan mereka tahu apa itu demam tifoid dan cara mencegahnya. Oleh karena
itu, penulis tertarik untuk meneliti hubungan pengetahuan Ibu tentang demam tifoid
dengan tindakan pencegahan penyakit pada anak usia sekolah di RSU Sari Mutiara
Medan.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang, maka yang menjadi rumusan masalah adalah apakah
ada hubungan antara pengetahuan Ibu tentang demam tifoid dengan tindakan
pencegahan penyakit pada anak usia sekolah di RSU Sari Mutiara Medan tahun
2014.
C. Tujuan Penelitian
1.
Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara pengetahuan Ibu tentang demam tifoid dengan
tindakan pencegahan penyakit pada anak usia sekolah.
6
2.
Tujuan Khusus
a.
Mengetahui pengetahuan Ibu tentang demam tifoid pada anak usia
sekolah.
b.
Mengetahui tindakan pencegahan penyakit pada anak usia sekolah.
D. Manfaat Penelitian
1.
Bagi Pasien
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan pasien dalam pencegahan penyakit
demam tifoid agar tidak terulang kembali.
2.
Bagi Perawat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi tambahan
bagi perawat dalam melakukan pengkajian yang tepat tentang pengetahuan Ibu
terhadap suatu penyakit dan membuat suatu perencanaan untuk meningkatkan
tindakan Ibu dalam pencegahan penyakit tersebut.
3.
Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi
rumah sakit untuk dapat memfasilitasi keluarga dalam memberikan informasi
tentang penyakit yang dialami oleh anggota keluarga dan membuat suatu
kebijakan untuk meningkatkan tindakan keluarga mencegah penyakit tersebut.
4.
Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data tambahan bagi
penelitian berikutnya yang terkait dengan pengetahuan Ibu dan tindakan
pencegahan penyakit.
Download