- Repository Publikasi Penelitian Universitas

advertisement
i
KATA PENGANTAR
Bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Provinsi Aceh pada bulan
Desember tahun 2014 merupakan bencana alam yang cukup besar dan menyebabkan
165.708 nyawa melayang dan sebagian masih hilang belum diketemukan. Setelah bencana
gempa bumi dan tsunami di Aceh, berbagai badan usaha baik pemerintah maupun non
pemerintah datang ke Aceh dalam rangka membantu proses rehabilitasi dan rekonstruksi
berbagai infrastruktur di Aceh. Salah satu program adalah the German-Indonesian
Tsunami Early Warning System for the Indian Ocean (GITEWS). Program GITEWS
adalah salah satu transfer ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka mengurangi
dampak buruk dari bencana alam dan sudah mulai diterapkan di berbagai daerah di
Indonesia. Mengingat begitu besarnya peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
rangka mengurangi resiko bencana, maka Perhimpunan Alumni Jerman Aceh (PAJ) Aceh
bekerja sama dengan DAAD mengadakan seminar tentang „Science and Technology
Application for Disaster Risk Reduction‟ kegiatan dalam rangka memperingati 10 tahun
terjadinya gempa bumi dan tsunami di samudra Hindia terutama di Provinsi Aceh.
Seminar berlangsung pada tanggal 22 November 2014 di Hermes Hotel, Banda
Aceh. Adapun tujuan dari seminar adalah untuk mengevaluasi proses belajar mengajar
sebagai dampak dari tsunami yang terjadi di Aceh. Dimana dengan kegiatan ini
diharapkan dapat mencari solusi untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat dari
bencana alam melalui penerapan ilmu pengetahun dan teknologi Dengan seminar ini
diharapkan akan menghasilkan rekomendasi yang berguna bagi pemerintah dan institusiinstitusi terkait berkaitan dengan pengurangan dampak yang terjadi akibat dari bencana
alam.
Kegiatan ini selain diikuti oleh alumni Jerman yang ada di Aceh juga diikuti oleh
alumni Jerman dari berbagai provinsi yang ada di Indonesia. Hasil dari kegiatan ini
diwujudkan dalam bentuk prosiding. Pelaksanaan seminar dan penyusunan prosiding
didukung oleh berbagai pihak, karena itu ucapan terima kasih disampaikan kepada:
1. Perhimpunan Alumni Jerman (PAJ) Cabang Aceh
2. The German Academic Exchange Service (DAAD)
3. Pemerintah Provinsi Aceh
4. Para narasumber : Dr. Horst Letz (Zentrum fuer Tsunami-Fruehwarnung GFZ
Potsdam, Germany) Prof. Dr. Edvin Aldrian (Director of Centre For Research and
Development, BMKG), Said Rasul (The Head of Disaster Management Agency in
Aceh Province) dan Dr. Ella Meilianda, MSc. (Program Manager Tsunami and
Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Syiah Kuala University)
5. Pemakalah yang telah ikut berpartisipasi dalam kegiatan yang diselenggarakan
oleh PAJ Aceh.
6. Teman seperhimpunan dari berbagai provinsi yang telah berpartisipasi pada acara
ini.
7. Berbagai pihak yang telah telah ikut membantu baik moril maupun material demi
suksesnya acara ini.
8. Syiah Kuala University Press
i
Prosiding ini diharapkan dapat bermanfaat serta dapat mamberi kontribusi positif
bagi semua pihak yang berkepentingan dalam rangka mengurangi risiko yang ditimbulkan
akibat dari bencana alam.
Banda Aceh, Januari 2015
Editor
ii
GUBERNUR ACEH
Sambutan
Pada
Seminar Perhimpunan Alumni Jerman
Sabtu, 22 November 2014
“BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM”
Assalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh
Alhamdulillahi Rabbil„alamin, Wassalatu Wasalamu„ala Asyrafil Ambiai Walmursalin. Wa‟ala alihi Washahbihi ajma‟in.
Yang Kami hormati (disesuaikan);
Pimpinan dan Anggota DPR Aceh,
Keluarga Besar Perhimpunan Alumni Jerman–wilayah Aceh,
Para nara sumber, akademisi dan perwakilan dari berbagai institusi yang ada
di Indonesia,
Hadirin hadirat serta undangan yang berbahagia.
Puji syukur tak henti-hentinya kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga atas izin-Nya jua, kita dapat bersilaturrahmi dan
berdiskusi di forum ini dalam sebuah Seminar tentang Kebencanaan dengan judul
“Science and Technology Application for Disaster Risk Reduction” atau dalam
bahasa Indonesia kita artikan sebagai “Upaya penerapan teknologi dan ilmu
pengetahuan untuk menanggulangi dampak bencana”.
Shalawat dan salam marilah kita sanjungkan ke pangkuan Alam Nabi Besar
Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabat Beliau sekalian.
Sebagaimana kita ketahui, kegiatan ini merupakan salah satu rangkaian untuk
memperingati 10 tahun bencana Tsunami di Aceh. Harapan kita, dari seminar ini kita
semakin meningkatkan pengetahuan tentang kebencanaan, di samping memperkuat
pemahaman tentang kemungkinan penggunaan teknologi untuk mendukung programprogram mitigasi bencana.
iii
Pemerintah Aceh sangat memberi apresiasi atas gagasan pelaksanaan seminar
ini. Setidaknya ini menjadi bukti betapa partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan
dalam memperkuat pembangunan yang ada di Aceh. Untuk itu, pada kesempatan ini
kami mengucapkan terimakasih atas dukungan yang telah diberikan keluarga besar
Perhimpunan Alumni Jerman –wilayah Aceh atas pelaksanaan acara ini. Kepada para
nara sumber serta seluruh undangan yang berasal dari luar Aceh, kami mengucapkan
Selamat datang. Semoga kontribusi saudara-saudari dapat memperkuat penyadaran
masyarakat Aceh tentang pentingnya pengetahuan di bidang kebencanaan.
Hadirin yang berbahagia,
Sebagaimana tercantum dalam RPJM Aceh 2012-2017, penanganan bencana
merupakan salah satu program prioritas Pemerintah Aceh sebagaimana yang
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan
Aceh dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.
Program itu menegaskan bahwa penanggulangan bencana mesti dilaksanakan secara
terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh. Masyarakat juga dituntut tanggap terhadap
bencana, sehingga tingkat kerugian akibat bencana dapat kita minimalisir.
Bagi kita yang tinggal di Aceh, masalah bencana ini perlu mendapat perhatian
serius mengingat wilayah ini termasuk salah satu kawasan rawan bencana. Masih
belum hilang dari ingatakan kita semua, betapa dahsyatnya bencana Tsunami yang
pernah melanda wilayah ini 10 tahun silam. Kita tentu berdo‟a kepada Allah agar
bencana itu tidak lagi terjadi di Aceh.
Selain berdo‟a, langkah preventif juga harus kita persiapkan mengingat
Tsunami adalah sebuah gejala alam yang tidak bisa ditebak. Wilayah Aceh termasuk
rawan dengan bencana Tsunami, karena perairan Aceh merupakan jalur patahan
gempa, di mana dasar lautnya kerap mengalami pergeseran. Tapi situasi ini tidak
perlu membuat kita dicekam ketakutan. Yang penting adalah bagaimana kita memiliki
wawasan tentang kebencanaan, sehingga ketika bencana datang, kita tahu cara
meresponnya.
Untuk mengantisipasi potensi bencana ini, ada beberapa langkah yang telah
kita lakukan, di antaranya:
1.
2.
3.
4.
Memasang alat Early Warning System di beberapa lokasi sebagai bentuk peringatan
dini.
Menyediakan sarana dan prasarana untuk penyelamatan diri. Misalnya, kita telah
memasang jalur lalu lintas untuk penyelamatan Tsunami serta membangun gedunggedung sebagai tempat penyelamatan di berbagai tempat.
Memberi pelatihan bagi para relawan, tim penanganan bencana dan pekerja sosial
untuk penanggulangan bencana ini.
Mengkampanyekan kesadaran akan bencana kepada masyarakat lewat berbagai
media. Tujuannya agar masyarakat paham tentang kebencanaan dan mengerti
langkah-langkah yang mesti dilakukan manakala terjadi bencana.
Di samping empat langkah itu, pembahasan dan diskusi penerapan teknologi
dalam membaca gejala alam terkait potensi Tsunami, selayaknya kita bahas secara
iv
terus menerus. Walau sampai saat ini belum ada alat yang mampu memastikan kapan
bencana itu datang, tapi setidaknya ada analisis ilmiah yang mampu memprediksi dan
melihat gejala-gejala yang tampak. Dalam kaitan ini, tentu peran para tenaga ahli
sangat kita harapkan bisa memberi kontribusi untuk penerapan teknologi ini.
Saya kira inilah salah satu daya tarik seminar yang dilaksanakan hari ini.
Berbeda dengan seminar-seminar sebelumnya yang banyak membahas tanda-tanda
alam atau sosialisasi kebencanaan, seminar ini justru mencoba mengupas dari sisi
teknologi untuk membaca potensi Tsunami.
Kami sendiri belum bisa menebak teknologi yang dimaksud. Sejauh ini kita
hanya mengandalkan peralatan sederhana untuk melihat gejala alam ini, yaitu alat
Early Warning System yang sudah dipasang di enam lokasi di Kota Banda Aceh dan
Aceh Besar. Jika memang ada teknologi terbaru untuk memantau atau mereduksi
Tsunami, tentu sangat menarik untuk kita diskusikan bersama.
Karena itulah, di forum ini telah hadir beberapa ahli di bidang kebencanaan
yang diharapkan bisa meningkatkan wawasan kita tentang aplikasi teknologi ini. Jika
memungkinkan, teknologi kebencanaan yang ada di Aceh bisa terus kita up date,
sehingga perlindungan kepada masyarakat bisa lebih maksimal.
Hadirin yang berbahagia,
Itu saja sambutan singkat dari saya sebagai pengantar seminar ini. Selanjutnya
saya ucapkan selamat berdiskusi kepada saudara-saudari sekalian. Semoga
perjuangan kita memperkuat sistem penanggulangan bencana di Aceh mendapat ridha
dari Allah SWT.
Sebagai penutup, dengan mengucapkan “Bismillahirrahmanirrahim”,
“Seminar Nasional Disaster Risk Reduction” dengan judul “Science and Technology
Application for Disaster Risk Reduction–The Reflection of 10 Years Indian Ocean
Tsunami in Aceh, dengan ini resmi saya nyatakan dibuka.
Wabillahitaufiqwalhidayah
Wassalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh
GUBERNUR ACEH
dr. H. ZAINI ABDULLAH
v
Seminar Nasional
Aplikasi Sain dan Teknologi pada Pengurangan Resiko Bencana
(Refleksi 10 Tahun Tsunami Samudra Hindia, Di Aceh, Indonesia)
(Science and Technology Application for Disaster Risk Reduction (DRR) -The Reflection
of 10 Years Indian Ocean Tsunami in Aceh, Indonesia)
Ringkasan
M. Rokhis Komaruddin mengkaji tentang penggunaan teknologi penginderaan
jauh (remote sensing) untuk memberikan peringatan darurat sebelum dan sesudah bencana
melanda. Data hasil penginderaan jauh tersedia cukup banyak misalnya dapat diakses
melalui skema pemerintah tunggal, skema Sentinel Asia, International Charter for Space
and Major Disaster, penyediaan data gratis oleh provider tertentu, dan lain sebagainya.
Pengetahuan tentang ketersediaan data ini penting untuk memungkinkan akses dan
pemanfaatannya dalam upaya tanggap darurat kebencanaan. Dalam sesi yang lain Dr.
Widjo Kongko memaparkan tentang penggunaan model numeric untuk mendukung
perencanaan infrastruktur di daerah rawan tsunami. Hasil pemodelan adalah berupa peta
bahaya tsunami yang disusun berdasarkan persamaan numeric air dangkal 2D, simulasi
propagasi dan rendaman tsunami. Agus Setiawan melanjutkan topik bahasan tentang
penerapan data oceanografi yang mengombinasikan teknologi penginderaan jauh dan
komputasi numeric di bawah sebuah proyek bernama INDESO. Fungsi data tersebut dapat
digunakan untuk prediksi masa lampau, kini, dan akan datang. Terdapat 7 aplikasi rintisan
yaitu pemantauan kawasan budidaya udang dan rumput laut, kawasan terumbu karang dan
hutan bakau, pengelolaan terpadu wilayah pesisir, pemantauan tumpahan minyak dan IUU
fishing (illegal, unregulated and unreported), serta pengelolaan stok ikan.
Aplikasi smartphone dapat digunakan untuk memberikan informasi terkait
kebencanaan, terutama sekali secara cepat pasca bencana terjadi. Dr. Luis Mota
menyampaikan tentang kemungkinan dan kemudahan penggunaan aplikasi smartphone
tersebut untuk membantu masyarakat segera pasca bencana. Metode ini dapat
dikembangkan melalui media sosial seperti google, yahoo, big, dan lain sebagainya.
Aplikasi tersebut misalnya Emergency 2.0 wiki yang telah digunakan di Amerika Serikat,
Australia, New Zealand, dan Singapura. Contoh lain adalah Facebook Safety Check yang
dapat digunakan untuk menghubungkan orang-orang pasca bencana. Beberapa alasan
yang dikemukakanya antara lain bahwa fasilitas tersebut sudah familiar dalam
masyarakat, informasinya dapat disebar secara cepat serta menjangkau banyak orang. Arie
Budiansyah membahas bahwa layar televisi, telepon genggam, tablet dan jam pintar dapat
digunakan untuk mendisplay dan mendistribusikan data dan informasi pra dan pasca
bencana.
Peran mesium tsunami Aceh dalam memberikan pengetahuan tentang tsunami
kepada masyarakat adalah salah satu cara dalam pengurangan dampak resiko bencana. Hal
ini disampaikan oleh Ramadhani M. Bus. Mesium bukan hanya berfungsi sebagai
monument namun lebih jauh berfungsi untuk mitigasi kebencanaan, rekreasi dan evakuasi.
Mesium berperan untuk meneruskan cerita dari korban hidup kepada pengunjung. Sealin
mesium, sekolah berbasis DRR model seperti YES for Safer School juga patut
direplikasikan menjadi sekolah yang siaga bencana. Demikian disampaikan oleh Edi
Wahyu Sri Mulyono. Melalui gerakan YES untuk sekolah, dapat dwujudkan sebuah
sekolah yang aman dan ramah anak. Anak-anak mendapat ilmu dan keahlian untuk
mengatasi situasi darurat pasca bencana dengan teratur dan tanpa kepanikan.
vi
Teuku Reza Ferasyi membahas tentang pengamatan terhadap perilaku binatang
yang dapat digunakan untuk memprediksikan gempa bumi atau bencana alam lainnya.
Hasil interview terhadap 200 responden dari Pulau Simeulue, Aceh Jaya dan Banda Aceh
menunjukkan bahwa angsa memberikan respon terhadap gempa 12 jam sebelum kejadian.
Bagaimana tingkat akurasi dari respon binatang ini masih memerlukan kajian lebih lanjut.
Retno Iswarin Pujaningsih membahas tentang skema diversifikasi tanaman, system
asuransi tanaman, penggunaan varietas tanaman yang tahan banjir, tersedianya fasilitas
penyimpanan dan penggudangan yang baik, cadangan pakan ternak yang strategis,
biosecurity system produksi ternak, cadangan air dan peternakan yang tangguh. Aspek
keanekaragaman hayati tersebut apabila berfungsi dengan baik maka akan menjamim
ketahanan pangan terutama pada masa tanggap darurat. Mendukung hal tersebut,
Muhammad Bata menginisiasikan penggunaan tanaman waru (Hibiscus tilaceus) yang
tumbuh di pesisir pantai sebagai pakan baru yang dikombinasikan dengan jerami. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa penggunaan daun dan bunga waru dapat meningkatkan
efesiensi penggunaan pakan dan meningkatkan produktifitas ternak. Peningkatan
produktifitas sapi lokal dengan modifikasi pakan local daerah pesisir pada akhirnya akan
mendukung ketersediaan makanan pra dan pasca bencana. Adapun Nurhayati mengambil
tema tentang mitigasi bencana untuk mempertahankan produktifitas ternak unggas
sehingga kebutuhan protein hewani masyarakat tercukupi pasca bencana. Mitigasi yang
dilakukan berupa peringatan dini kebencanaan, dan pendidikan dan pelatihan manajemen
kebencanaan kepada peternak. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa upaya mitigasi ini
dapat mempertahankan keberlangsungan usaha peternakan, bertahannya produktifitas, dan
tersedianya produk ternak di pasar.
Farah Mulyasari mengangkat tentang peran rumah sakit pasca bencana.
Kesiapsiagaan rumah sakit di Jepang merupakan sebuah pembelajaran bagi Indonesia
sehingga standar operasionalnya dapat direplikasi pada rumah sakit di Indonesia.
Kesiapsiagaan yang baik menghasilkan kinerja rumah sakit yang maksimal dalam
melayani masyarakat pasca bencana. Sedangkan Tristia Rinanda mengkaji tentang kasus
Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR-TB) sebagai salah satu masalah penting yang
perlu ditanggulangi pasca bencana. Untuk mengurangi kasus MDR-TB, perlu dilakukan
sosialisasi dan diseminasi kepada masyarakat untuk segera mendapatkan pengobatan di
rumah sakit terdekat.
Pindi Patana membahas tentang fenomena hutan mangrove, antara konservasi dan
deforastasi. Fungsi hutan mangrove sendiri sangat penting untuk melindungi wilayah
pesisir dari abrasi maupun dari bencana alam seperti tsunami. Hal ini terbukti dengan
kontrasnya dampak tsunami pada wilayah pesisir yang dilindungi mangrove dan wilayah
pesisir yang mangrovenya sudah terdegradasi. Dengan demikian upaya rehabilitasi
mangrove perlu diintensifkan sebagai salah satu upaya untuk mengurangi resiko bencana.
Semeidi Husrin mengambil tema tentang peran hutan pantai untuk mitigasi kebencanaan.
Ketika hutan pantai tidak dapat melindungi Jepang dari tsunami 2011 pengkajian
mendalam dilakukan dengan memperhatikan aspek lingkungan lainnya di pantai yang
berfungsi untuk meredam tsunami. Semua aspek diperhitungkan misalnya aspek
morfologi hutan, hidrodinamika, orientasi garis pantai, batimetri dan topografi.
Azwar menggambarkan kondisi pasca tsunami dengan kehancuran infrastruktur
nelayan seperti perahu. Selama ini masyarakat membuat perahu dari bahan kayu
berkualitas yang semakin langka untuk ditemui apalagi kalau diperlukan dalam jumlah
besar. Pembuatan perahu nelayan dari bahan komposit adalah kecerdasan lain yang patut
dikembangkan dalam rangka mempercepat rekonstruksi pasca bencana sekaligus dalam
rangka konservasi sumber daya alam.
vii
Aspek mental adalah suatu dampak dari kebencanaan yang membutuhkan recovery
dalam masa yang panjang dan menyangkut dengan satu generasi manusia. Marthoenis
memimpin diskusi dengan tema ini. Dia menyampaikan bahwa training, edukasi, dan
simulasi perlu dilakukan untuk menghilangkan trauma dan membangun semangat baru
untuk meneruskan perjuangan hidup.
Muzli mendiskusikan tentang klasifikasi tanah permukaan yang diperlukan untuk
menjamin keutuhan sebuah bangunan setelah hentakan gempa bumi karena data
menunjukkan bahwa jatuhnya korban adalah karena tertimpa oleh bangunan runtuh. Hasil
kajian mereka menunjukkan bahwa tipe tanah permukaan di wilayah Banda Aceh adalah
tipe D (stiff soil) dan E (soft soil).
Karakteristik letusan freaktif Gunung Merapi dilakukan berdasarkan analisis
seismogram jarak dekat dan jauh. Ade Anggraini memaparkan bahwa hasil analisis
mereka antara lain tipe gempa vulkanik dan kandungan frekuensi letusan freatik tersebut.
Karakteristik ini berguna untuk membedakan berbagai jenis letusan yang mungkin terjadi
akibat aktifitas gunung Merapi, memprediksikan dampaknya dan mengatur strategi
antisipasinya.
Syaifuddin Yana mengkhawatirkan tentang penumpukan limbah plastik sehingga
pengolahan sampah plastik diharapkan dapat dilakukan dalam usaha konservasi alam yang
dapat menghasilkan nilai tambah secara ekonomi kepada masyarakat. Aksi ini juga akan
mendukung pengurangan resiko bencana.
M. Abdul Kholiq mengambil tema tentang teknologi penanganan tumpahan
minyak berbasis bahan lokal. Tumpahan minyak ini berdampak negative berkepanjangan
bagi lingkungan. Teknik yang diperkenalkannya adalah dengan bioremediasi,
biodispersan berbasis mikroba, oil absorbent dan oil skimmer.
viii
Rekomendasi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Dengan kajian komprehensif yang melibatkan multidisiplin ilmu pengetahuan
ini, seminar nasional Perhimpunan Alumni Jerman memberikan beberapa
rekomendasi sebagai berikut:
Aceh sebagai daerah dalam kawasan rawan bencana harus optimis untuk terus
membangun dan memanfaatkan situasi kerawanan ini sebagai suatu peluang untuk
bangkit menjadi bangsa yang maju.
Seluruh Alumni Jerman dan masyarakat Aceh diharapkan untuk menumbuhkan rasa
tanggung jawab dan berpartisipasi aktif dalam upaya pengurangan resiko bencana.
Ketersediaan data dan aplikasinya untuk pra dan pasca bencana perlu dibuka secara luas
sehingga dalam hal ini Pemerintah melalui skema tunggalnya atau dengan skema lain
perlu menjamin ketersediaan data dan informasi tersebut.
Pemerintah Aceh perlu mendukung penelitian-penelitian berbasis pengurangan resiko
kebencanaan.
Pemerintah, NGO dan Swasta perlu mendukung eksistensi mesium tsunami dan sekolah
siaga bencana.
Pemerintah Aceh perlu melakukan rehabilitasi hutan mangrove di sepanjang pesisir
Aceh.
Pemerintah Aceh perlu menetapkan peraturan-peraturan yang tegas terkait konservasi
sumber daya alam.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PEGANTAR……………………………………………………………….....
KATA SAMBUTAN GUBERNUR PROVINSI ACEH …………………………..
RINGKASAN DAN REKOMENDASI……………………..………………………
DAFTAR ISI……………………………………………………………………...…...
BAGIAN I .
1.
i
iii
vi
x
INVITED PAPERS
Reducing the Risk with InaTEWS German-Indonesian Cooperation on
Tsunami Early Warning System
Horst Letz and GITEWS Team…………………………………………...……… 1-6
2. Future Research Direction of Earthquake and Tsunami Detection in BMKG
T. Hardy dan E. Aldrian………………………………………………………...... 7-21
BAGIAN 2. PENGEMBANGAN TEKNOLOGI UNTUK MITIGASI
KEBENCANAAN
1.
Penginderaan Jauh dan Bencana: Ketersediaan Data dan Aplikasinya untuk
Tanggap Darurat
M. Rokhis Khomarudin dan M. Priyatna………………………….…...……… 22-26
2.
Pemodelan Tsunami untuk Mendukung Perencanaan Infrastruktur di Pesisir
Selatan Yogyakarta
Widjo Kongko........................................................................................................ 27-34
3.
Penerapan Oseanografi Operasional Melalui Infrastructure Development of
Space Oceanography (INDESO) Project untuk Mendukung Program Disaster
Risk Reduction (DRR) di Indonesia
Agus Setiawan …………………………………………………………...………. 35-41
4.
Mobile Apps and Post-Disaster Safety Check: Examples of Existing
Technology
Mota, L., Sugianto, S. and Rizal, S.…………………………………………….. 42-45
5.
Pemanfaatan Layar Perangkat TIK Masyarakat Untuk Penanganan Data dan
Informasi Bencana (Studi kasus integrasi perangkat Digital Signage dan SMS
Gateway)
Arie Budiansyah.………………………………………………………………… 46-53
6. Roles of Aceh Tsunami Museum Towards Global Disaster Risk Reduction
Efforts: A Local Knowledge-Based Approach of Future Community‟s
Resilience
R. Fahlevi dan Rahmadhani…………………………….............................……. 54-66
x
7. Prakarsa Gerakan Yes for Safer School: Suatu Model Pengurangan Risiko
Bencana Berbasis Sekolah
di Indonesia
E. W. S. Mulyono and Y. Sriyulianti…………………………………………… 67-75
8. Survey of Potential Animals for Earthquake Predictor in Banda Aceh:
A Study Toward Development of Alternative Technology for
Disaster Risk Reduction
T. R. Ferasyi, M. Sabri, Hamdani, Azhari and Razali………………………... 76-79
BAGIAN 3. PENDEKATAN MULTIDISIPLIN UNTUK PENGURANGAN
RESIKO KEBENCANAAN
1. Penggunaan Keanekaragaman Hayati pada Pengurangan Dampak Bahaya :
Studi pada Penerapan Teknologi Pangan dan Pakan Berdasarkan Kearifan
Lokal
Retno I. Pujaningsih……………………..……………………………………… 80-85
2. Peningkatan Produktifitas Sapi Lokal Sebagai Penyedia Pangan Berkualitas
pada Saat Bencana Melalui Perbaikan Pakan dengan Aditif Alami
Muhammad Bata………………………………….……………………………... 86-93
3. Mitigasi Bencana untuk Mempertahankan Produktivitas Ternak Unggas dan
Aksesibilitas Terhadap Protein Hewani
Nurhayati………………………………………………..……………………….. 94-100
4. Kesiapsiagaan Rumah Sakit di Jepang: Pembelajaran Untuk Aceh
Farah Mulyasari…................................................................................................. 101-112
5. The Use of Multidrug Resistant Tuberculosis Clinical Criteria as an Effective
Instrument in Early Case Detection after Disaster
T. Rinanda and Mulyadi.……………… ………..…..…..................................... 113-118
6. Pelajaran dari Hutan Mangrove: Rehabilitasi, Konservasi dan Konversi
P. Patana dan Yunasfi………………………………………….……………….. 119-129
7. Hutan Pantai Untuk Mitigasi Tsunami: Mitos, Realitas dan Tantangan ke Depan
Semeidi Husrin ….................................................................................................. 130-144
8. Rekayasa Bahan Komposit Sandwich Serbuk Kayu Dan Fiberglass Sebagai
Bahan Perahu Nelayan
Azwar , Saifuddin dan A. S. Ismi……………………………………….…........ 145-154
9. Reducing Risks from Disaster by Building The Psychological Resilience
M. Marthoenis and M. Schouler-Ocak………………………………….……… 155-158
10. Studi Klasifikasi Tanah Permukaan untuk Wilayah Banda Aceh
M. Muzli, A. Rudyanto, A.P. Sakti, F.S. Rahmatullah, K.R. Dewi, E.
Santoso, Muhajirin, S. Pramono, R. Pandhu Mahesworo, A. Jihad, T.
Ardiyansyah, L.A. Satria, R.N. Akbar dan R.Madijono…………………….. 159-167
xi
11. Karakteristik Erupsi Freatik Merapi Berdasarkan Analisis Seismogram Nearfield dan Far-field: Sebuah Hasil Awal
A. Anggraini, W. Suryanto, A. Rahman, B. Luehr dan
K. Sri Brotopuspito................................................................................................ 168-172
12. Pengelolaan Limbah Plastik Sebagai Nilai Tambah Ekonomi dan Sebagai
Upaya Pengurangan Dampak Resiko Bencana
S. Yana, Badaruddin dan H. Syahputra……….………………………..……... 173-178
13. Pengembangan Teknologi Penanganan Tumpahan Minyak Berbahan Baku
Lokal
M. A. Kholiq, Nida Sopiah, Insan N. Sulistiawan, F. E. Priyanto
dan D. A. Sarasputri............................................................................................... 179-184
xii
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Reducing the Risk with InaTEWS German-Indonesian Cooperation on
Tsunami Early Warning System
Horst Letz1 and GITEWS Team1
1
DAAD Seminar on Science & Technology Applications for Disaster Risk Reduction
Banda Aceh, 22-23 November 2014
STATUS OF THE PROJECT
The German-Indonesian Tsunami Early Warning System for the Indian Ocean
(GITEWS) was fully handed over to Indonesia on 29 March 2011. Since then, the
responsible system operator responsible has been the Meteorological, Climatological and
Geophysical Services (BMKG) in Jakarta. Since going into operation, the warning system
has successfully registered thousands of earthquakes and more than ten tsunamis in
Indonesia. Earthquake news and tsunami warnings are issued less than five minutes after a
quake, followed by updates or an all-clear.
GITEWS has been successfully completed. It issues a warning very quickly and
precisely, or signals the all-clear and its enhancement capability for the entire Indian
Ocean is also a part of this development work. More than 30 people work at the warning
centre in Jakarta in 24/7 shifts. The system has been internationally evaluated and
recognized as one of the most advanced tsunami warning systems worldwide. This is the
result of major efforts since the disaster of 2004.
GITEWS phase (2005 to 2011)
On 26 December 2004 at 7:58 local time (00:58 universal time UT), the secondstrongest earthquake measured to date occurred at the northwestern tip of Sumatra, with a
fracture length of around 1200 kilometers and a magnitude Mw = 9.3. More than 250
people lost their lives; 5 million people required immediate assistance and 1.8 million
were left homeless. Indonesia alone suffered 170,000 deaths. Germany was also affected 537 citizens lost their lives, the highest loss from a single event since the Second World
War. The extent of the disaster, the intense devastation of other regions and the associated
suffering, particularly in Indonesia, Thailand and Sri Lanka, eclipsed all previously
experienced scales. The main reason for the high number of victims: there was no
organizational or structural possibility for early warning in the entire India Ocean.
The international community of states, including Germany, responded with
immediate support. With the GITEWS project (German-Indonesian Tsunami Early
Warning System, 2005-2011), Germany provided a significant contribution - over and
above the immediately aid for flood victims - setting up the heart of an integrated, stateof-the-art, efficient Tsunami early warning system in Indonesia. Through the PROTECTS
(Project for Training, Education and Consulting for Tsunami Early Warning Systems,
2011-2014), it was subsequently ensured that the employees of the participating
institutions could independently continue operating the early warning system and the
diverse technical and organizational components under their own responsibility.
Under the auspices of the Intergovernmental Oceanographic Commission of
UNESCO and with the cooperation of international partner institutions from Germany, the
United States, China and Japan, a concept was developed for a tsunami early warning
system for Indonesia, which presently performs its service as InaTEWS (Indonesian
Tsunami Early Warning System). On 11 November 2008, InaTEWS was ceremoniously
1
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
inaugurated by the President of the Republic of Indonesia, Dr. Susilo Bambang
Yudhoyono.
The installation phase of InaTEWS was characterized by the development of
required hardware and control programs as well as appropriate strategies and procedures,
the development of standards and processes. The Indonesian Meteorological,
Climatological and Geophysical Service BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan
Geofisika), which is responsible for the operation of the early warning system, reached the
operational condition step-by-step and via various phases of the system setup by March
2011. During the GITEWS phase (2005 to 2011), a series of German institutions were
involved, whose task was the ("upstream") technical setup of the system. The local
administration and population were involved step-by-step in pilot regions ("downstream").
After successful practical implementation, this resulted in an end-to-end system.
PROTECTS phase (2011 to 2014)
The operation and maintenance of the system and the implementation of an alarm
require a high level of competence and practical experience. This made it necessary to
train scientific and technical staff of the BMKG and BIG (Badan Informasi Geospasial)
services professionally on site. To achieve this goal, the participating institutions received
training and advanced training in the sustainable operation of InaTEWS in selected
training courses, internships and drills with the PROTECTS program, from June 2011.
More than 192 training courses, which covered all aspects of the operation and
maintenance of the tsunami early warning system, were successfully implemented. The
training courses were conducted with the aim of capacity development: In order to
successfully and permanently maintain a tsunami early warning system, the persons and
technical experts who operate, maintain functionality and enhance the system must
receive advanced training and advice. The political decision-makers, who are responsible
for the warnings and responses, as well as the population itself, must also be involved in
the process.
In addition to the technical development, it is primarily "soft skills", for which
training was provided, to correctly assess the situations in an emergency and then make
decisions, which save human lives. With the development of measures, regulations and
technical instructions, PROTECTS provided advice that serves to implement the BMKG
warnings in terms of practical protective actions at the local level. This also includes the
development of risk and evacuation maps, programs for training local decision-makers
and planners, as well as for enlightening the affected population.
On 12 October 2011, IOWAVE11 drill was conducted in the Indian Ocean, with
which the functionality and capability of InaTEWS was tested in taking of the role of the
Regional Tsunami Service Provider (RTSP). The course of the drill and the successful
evaluation led to Indonesia administering a dual function since then, alongside Australia
and India, as a National Tsunami Warning Centre and as an RTSP, therefore having the
responsibility for warning 28 Indian Ocean rim countries in good time about a threatened
tsunami. In this way, another important functional level was successfully realized, which
was the result of the continuous enhancement and complete upgrade of InaTEWS.
GITEWS/PROTECTS made an impressive contribution to this success and the associated
international visibility.
2
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
CONCEPT
New scientific processes and innovative technologies distinguish this system from
the previous tsunami warning systems. Due to the specific geological situation in
Indonesia, the previously used, established tsunami warning systems are not optimal for
Indonesia. The earthquakes in the Indian Ocean at Indonesia originate along the Sunda
Trench, a subduction zone which extends in an arch from the northwest tip of Sumatra to
Flores in eastern Indonesia. If a tsunami originates here, in an extreme case, the waves
reach the coast within 20 minutes, so that only very little time remains for an early
warning. Therefore, the concept of the entire system was based on this prevailing
condition.
TECHNICAL IMPLEMENTATION
Due to the local geology, the advance warning time is extremely short. Therefore,
an alarm must be triggered within five minutes after a strong earthquake. That is why a
new approach was developed, which is primarily based on model-based coupling of
seismological data with GPS measurements and level measurements.
More than 300 sensors are distributed across all of Indonesia and supply their data to
the warning centre in real time. From this, a newly developed, automated Decision
Support System (cf. below Decision Support System DSS) compiles a picture of the
situation from this, on the basis of which the decision is made whether to issue an alarm.
Therefore, the following steps are taken in the process:
Quake location and strength: Ascertainment with seismological data; all earthquakes
(worldwide) are recorded. All earthquakes M≥2 are evaluated in the national warning
centre. Earthquake information is basically provided. Tsunami warning alerts are only
issued if a tsunami is expected (earthquake magnitude >7).
Fracture mechanism: only strong sub-oceanic earthquakes with a distinct vertical
component can cause tsunamis. An initial assessment as to whether the ocean floor
has moved vertically can be determined using land fixed points (cf. below GPS
Shield).
Ascertainment of a tsunami: On the coasts and on the offshore islands of Indonesia,
tide gauges were installed with GPS components, which monitor the sea level. The
data are integrated into the warning process (cf. below GPS Level).
Decision-making: within less than five minutes, the decision can be made as to
whether a warning needs to be issued and - if so - to which coastal sections (cf. below
DSS).
TECHNICAL INNOVATION, MODERNIZED APPROACH
GITEWS forms the core structure of the InaTEWS Indonesian Tsunami Early
Warning System. With the setup of GITEWS, due to the specific conditions of Indonesia,
with its extremely short advance warning times, the experiences of the previously existing
tsunami early warning systems for the Pacific in the USA and Japan could only be
exploited to a limited extent. As a result of this challenge, the newly developed
components and procedures and their interaction in GITEWS/InaTEWS make the system
one of the most state-of-the-art tsunami early warning systems worldwide.
3
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Seiscomp3
The basic requirement for the early warning system is fast and reliable
ascertainment of the site and magnitude of an earthquake. SeisComp3 was developed by
the GEOFON working group of the GFZ and can reliably determine earthquake strength
and location within around four minutes, even with strong earthquakes. This makes
SeisComp3 unique worldwide. GFZ provided this system to the community free of
charge, so that all countries bordering the Indian Ocean have implemented this system
quasi as standard.
GPS-Shield
Strong quakes cause a considerable horizontal and vertical displacement on the
Earth's surface, which can be several meters long, both horizontally and vertically and can
be measured with GPS. Subject to an accordingly dense measurement network, this "GPS
Shield", together with the seismological data, is able to characterize the earthquake
fracture within 5 minutes, so that the strength and expansion of a tsunami can be
calculated. This new procedure has been made ready for use in GITEWS and is now used
as a standard method for tsunami identification in the near field.
GPS Tide Gauges
GPS tide gauges monitor the sea level. The changes in water level caused by a
tsunami are recorded and integrated into the warning process. The GITEWS gauges
record the changes using three types of sensors: Pressure, radar and floaters and are
additionally equipped with GPS receivers to determine a possible vertical displacement of
the surface. In the meantime, reliable level data are not only available in Indonesia, but
also in other countries bordering the Indian Ocean. The data are also available in public
databases of the IOC. Webcams are also installed for observation at individual exposed
sections of coastline.
DSS Decision Support System
The Decision Support System is one of the key elements of the warning centre in
Jakarta. The results of the sensor data networks merge here, are compared to precalculated modeling and thereby create a picture of the situation and propose a warning
alert, if necessary, which must then be released by the scientists on duty. If necessary, precalculated risk maps can also be displayed for decision-making. The DSS was developed
by the German Aerospace Centre (DLR) within the context of the GITEWS.
Modeling System
The situation assessment and generation of warning alerts is based on modeling
results. From a small amount of data, which is available within the first approx. 5 minutes
after the occurrence of an earthquake (earthquake location, magnitude, information of the
GPS Shield, if applicable), an extensive situation status can only be generated using
modeling. This takes place, on the one hand, with pre-calculated, high-resolution
scenarios in a database and on the other hand (and only in the last few years) through a
less high-resolution, but online calculating computer process. In addition to the tsunami
calculation (running time to the coast, wave height at the coast), the high-resolution
scenarios also contain calculations of the subsequent floods, which is a crucial input factor
for all risk assessments and e.g. evacuation measures. This is supplemented with constant
updates using the online tool. Therefore, both options (pre-calculated scenarios and online
tool) will always be used. The dispatch of the warning alerts by BMKG takes place
4
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
through various and technically autonomous communication channels and is defined by
"standard operating procedures".
Buoy System
Tsunami buoys (also referred to as tsunameters) are not autonomous WARNING
systems! In all tsunami warning systems worldwide, they are MEASUREMENT
instruments for the verification of a tsunami. The most important information, namely, the
fast earthquake location and magnitude, without which either a simulation or a warning
can be generated, can NOT be supplied by buoy systems.
Buoy systems for the direct measurement of a tsunami were initially part of the
research concept. The further development of the GPS Shield made it possible to
discontinue pursuing the buoy concept. Therefore, buoys have no longer by part of the
operational warning system since 2010, so that the high maintenance cost of buoy
installations near coastlines can also be omitted.
Chronological sequence of the warning process
The system is based on 300 different land-based sensor systems. The data from
these sensors are transferred in real-time to the control room in the warning centre and are
aggregated there in the state-of-the-art Decision Support System (DSS) and implemented
into a situation status. The warning takes place on the basis of very fast, precise
earthquake recording and evaluation, which forms the heart of the warning system. The
fast determination of earthquake parameters (location, depth, magnitude) through 160
seismometers on land is the first and most important basis for the tsunami preview
through modeling and the generation of a warning alert, which is based on this. The first
situation status is then substantiated further through additional data from GPS stations and
tide gauges along the coast of Indonesia. The verification of a tsunami takes place with
tide gauges, which are also equipped with GPS sensors.
Implementation process
Right from the start, GITEWS was planned with an end-to-end approach. This is
comprised of setting up instrument networks for measuring the natural disaster (tsunami,
earthquake), the decision-making support on the basis of a modeling system for
generating situation assessments, a country-wide risk assessment with the creation of
hazard, vulnerability and risk maps and the capacity development with authorities, local
decision-makers and administrations, as well as affected local companies and the hotel
industry. This work on the various fields of activity was performed in parallel right from
the start, whereas constant coordination took place between the fields of activity and the
national and international partners involved.
The installation phase of GITEWS was characterized by the development of
necessary system components, on the one hand, and by the development of appropriate
strategies, information materials, standards and approaches, on the other hand. BMKG,
operator of the early warning system, reached the operational status step-by-step over
various phases of setting up the system. During the GITEWS phase (2005 to 2011), a
series of German institutions were involved, under the auspices of the German Centre for
Geosciences GFZ, whose task was the technical setup of the system. The contributions of
other donor countries were integrated. Capacity development measures in the downstream
area (Disaster Reduction Strategy) were implemented in pilot regions, in cooperation with
the local administrations and the population. The approaches, processes and products, e.g.
the TsunamiKiT are transferable to other parts of Indonesia and form the bases for
country-wide implementation.
5
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Warning Centre
The data from the numerous measuring instruments (seismometers, tide gauges,
GPS instruments) converge in the Warning Centre in Jakarta. Here, they are evaluated and
processed by specialized and partially newly developed sensor systems.
Furthermore, a simulation system is available in the Warning Centre, which can
access a large database with pre-calculated tsunami scenarios for the Sunda Arch and can
select the most appropriate scenarios within seconds on the basis of current sensor
measurement values. This database has been updated and enhanced several times over the
years. A second simulation system makes it possible to calculate the tsunami effects of a
sea-quake for other larger coverage areas in lower detail online.
To support the warning room staff with the assessment of whether a tsunami has
been generated, when and where which wave height can be anticipated and whether and
which coast-specific warning information needs to be issued, an innovative Decision
Support System (DSS) has been developed and put into operation. The DSS has extensive
databases regarding geobasis, risk and vulnerability data and can create a situation status
and generate decision-making recommendations on the basis of pre-processed sensor data
and using both simulation systems. If the warning room staff issues a warning, the DSS
produces relevant warning products that are forwarded to the disaster protection
authorities, emergency services and media. These can be used to warn the population
quickly and in a targeted manner and evacuation measures can be initiated.
The potential of state-of-the-art earth observation technologies in the event of a
tsunami disaster has been evaluated on the basis of studies. The system has been in
operation since 2008 and has been optimized and further enhanced since then. The DSS,
approved for operational implementation since August 2010, was adapted on the basis of
the practical experience and requests of the operators. Among other things, the database
has been updated and significantly enhanced with new tsunami scenarios and a DSS
upgrade was put into operation in October 2011 to supply all countries bordering the
Indian Ocean, which allows Indonesia to administer the role of a UNESCO/IOC Regional
Tsunami Service Provider (RTSP).
6
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Future Direction Of Earthquake and Tsunami Detection Research
T. Hardy1 dan E. Aldrian1
1
Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG,
Jl. Angkasa 1 No. 2 Kemayoran Jakarta Pusat 10720
ABSTRAK
Letak indonesia yang diapit oleh lempeng-lempeng tektonik raksasa yang saling
bertumbukan satu sama lain dan juga banyaknya sesar-sesar yang membentang di
sepanjang wilayah telah menempatkan indonesia pada kerawanan yang tinggi terhadap
bencana gempa bumi dan tsunami. Tingginya kejadian gempa bumi dan tsunami di
Indonesia menumbuhkan kesadaran kita akan arti pentingnya penelitian yang intensif di
bidang gempa bumi dan tsunami. Tulisan ini mencoba merangkum penelitian-penelitian
tentang gempa bumi dan tsunami yang telah dilaksanakan di Puslitbang BMKG, maupun
yang akan direncanakan untuk dilakukan pada tahun-tahun selanjutnya. Puslitbang BMKG
telah melakukan beberapa penelitian dan pengembangan terkait upaya deteksi gempa bumi
dan tsunami, antara lain upaya monitoring precursor gempa bumi melalui parameter
geofisika, geo-atmosferik, geokimia (radon) dan geodetik (TEC-GPS), sistem monitoring
gempa bumi JISVIEW, sistem penentuan potensi tsunami menggunakan perhitungan
durasi rupture, periode dominan, dan T50Ex. Arah penelitian ke depannya adalah upaya
early warning tsunami menggunakan jaringan data GPS yang diharapakan bisa lebih
memperkuat sistem InaTEWS yang selama ini sudah berjalan.
Kata kunci: Gempa bumi, tsunami, early warning, GPS
ABSTRACT
Location of Indonesia which is flanked by giant tectonic plates that collide with
one another and also the number of faults that spreads along the region has put Indonesia
on a high vulnerability of earthquake and tsunami disaster. The high frecuency of
earthquake and tsunami in Indonesia raise our awareness of the importance of intensive
research in the field of earthquake and tsunami. This paper attempts to summarize the
research on earthquake and tsunami that have been implemented in the Central Research
Institute for BMKG, and which are planned to be done in subsequent years. Research and
Development BMKG has been doing some research and development efforts related to the
earthquake and tsunami detection, i.e monitoring efforts of earthquake precursors
through geophysical parameters, geo-atmospheric, geochemical (radon) and geodetic
(TEC-GPS), JISVIEW earthquake monitoring system, system of determining tsunami
potency using rupture duration calculation, dominant period, and T50Ex. The direction of
future research is an attempt to use a tsunami early warning network of GPS data that is
expected to further strengthen InaTEWS system that has been running.
Key words: Earthquake, tsunami, early warning, GPS
7
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
PENDAHULUAN
Gempa bumi tektonik adalah gempa bumi yang diakibatkan oleh aktifitas lempeng
tektonik benua dan samudera (gempa subduksi), maupun oleh pergerakan patahan (sesar)
yang ditimbulkan oleh interaksi lempeng tektonik tersebut (gempa kerak dangkal).
Sunarjo, et al., (2010) Indonesia berada dalam zona interaksi 4 lempeng utama dunia,
yakni: lempeng Samudera India-Australia, lempeng benua Eurasia, lempeng Pasifik serta
lempeng mikro Filipina seperti ditunjukan dalam Gambar 1. Akibat interaksi lempeng
tektonik, timbul patahan (sesar) di sepanjang wilayah Indonesia seperti ditunjukkan dalam
Gambar 2. Pergerakan patahan ini pada akhirnya juga menjadi sumber gempa tektonik.
Beberapa diantara sesar tersebut yaitu: Sesar Besar Sumatera, Sesar Cimandiri (Sukabumi)
dan Sesar Opak (Jogjakarta).
Gambar 1. Kondisi tektonik Indonesia (Bock, et al., 2004)
Gambar 2. Sesar sepanjang wilayah Indonesia dan slip rate-nya (Irsyam, et al., 2010)
Letak Indonesia yang diapit oleh lempeng-lempeng tektonik raksasa yang saling
bertumbukan satu sama lain dan juga banyaknya sesar-sesar yang membentang di
sepanjang wilayah telah menempatkan indonesia pada kerawanan yang tinggi terhadap
bencana gempa bumi dan tsunami. Tingginya kejadian gempa bumi di Indonesia dapat
8
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
dilihat dari kejadian gempa bumi merusak dan menimbulkan korban yang sangat besar
yang terjadi di Indonesia pada dekade terakhir antara lain gempa bumi dan tsunami Aceh,
2004; Nias, 2005; Yogyakarta, 2006; gempa bumi dan tsunami Pangandaran, 2006;
Tasikmalaya, 2009; Padang, 2009 serta gempa bumi dan tsunami Mentawai, 2010.
Tingginya aktifitas kegempaan di Indonesia dapat terlihat dari hasil rekaman dan
catatan 1900-2009 yang menunjukan lebih dari 50.000 kejadian gempa bumi dengan
magnituda (M) > 5.0 SR (Skala Richter), bila dalam analisa setelah gempa bumi
dihilangkan gempa ikutannya, terdapat 14.000 gempa utama (Main Shocks) seperti yang
ditunjukan dalam Gambar 3.
Gambar 3. Distribusi gempa bumi M > 5 yang terjadi di Indonesia tahun 1900-2009
(Irsyam, et al., 2010)
Tingginya kejadian gempa bumi dan tsunami di Indonesia menumbuhkan
kesadaran kita akan arti pentingnya penelitian yang intensif di bidang gempa bumi dan
tsunami. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika sebagai instansi yang mempunyai
tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Meteorologi, Klimatologi, Kualitas
Udara dan Geofisika juga telah melaksanakan fungsi penelitian bidang geofisika
khususnya penelitian di bidang gempa bumi dan tsunami
METODE PENELITIAN
Tulisan ini mencoba merangkum penelitian-penelitian tentang gempa bumi dan
tsunami yang telah dilaksanakan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, maupun yang akan direncanakan untuk dilakukan
pada tahun-tahun selanjutnya. Puslitbang BMKG melalui litbang bidang Geofisika
mempunyai tugas melaksanakan penelitian, pengkajian, dan pengembangan, pengendalian
pelaksanaan pengkajian, penelitian dan pengembangan, koordinasi dan kerjasama serta
diseminasi hasil penelitian, pengkajian, dan pengembangan di bidang geofisika.
9
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
HASIL DAN PEMBAHASAN
Prekursor Gempa Bumi dan Tsunami
Tuntutan masyarakat awam tentang prediksi gempa bumi dan datangnya isu-isu
heboh yang meresahkan seputar ramalan gempa bumi yang akan datang pada waktu
tertentu di suatu daerah membuat penelitian tentang prediksi gempa bumi menjadi topik
yang sangat menarik. Jadi, ”Apakah gempa bumi dapat diprediksi?”. Para ahli kebumian
sendiri sampai sekarang masih sering bersilang pendapat tentang hal ini. Sebagian percaya
bahwa gempa bumi dapat diramalkan, tetapi sebagian besar pesimis atau bahkan yakin
bahwa gempa tidak dapat diramalkan.
Kecenderungan baru yang muncul akhir-akhir ini adalah penggunaan konsep
bahwa tidak mungkin gempa terjadi tanpa ada tanda-tanda pendahulu/gejala awal
(prekursor). Fenomena ini dirumuskan berdasarkan hipotesa bahwa gempa terjadi ketika
akumulasi strain energi menyebabkan tingkat stress yang mendekati batas maksimum
stress di kerak bumi. Akumulasi strain di sekitar pusat gempa dapat menyebabkan
perubahan volumetrik dan mengarah pada semua jenis prekursor yang teramati.
Tegangan/regangan tinggi di batuan kerak dapat menghasilkan setiap jenis prekursor yang
dapat diamati sebagai representasi dari anomali kondisi normal.
Perdebatan internasional masih terus berlangsung tentang rasional dan akurasi metodemetode prediksi yang telah dikembangkan selama ini, sehingga perlu adanya suatu
penelitian yang terpadu dan kontinyu untuk mendapatkan hasil terbaik dan saling
mendukung berdasarkan pengamatan-pengamatan prekursor gempa bumi ini.
Maksud dari penelitian studi precursor gempa bumi secara terpadu ini adalah
mencari data-data anomali yang diharapkan dapat digunakan sebagai tanda-tanda awal /
prekursor gempa bumi dari berbagai data pengamatan. Selanjutnya adalah menganalisis
konsistensi pola anomali yang diduga sebagai prekursor gempa bumi (Nurdiyanto, et al.,
2011).
Puslitbang BMKG telah memulai penelitian mengenai prediktabilitas gempa bumi
yang dimulai pada tahun 2006 dengan kajian tentang struktur 3D bumi, pola rambat
gelombang gempa bumi, pengembangan teknik penentuan hiposenter gempa bumi dengan
menggunakan model kecepatan 3D, selanjutnya mengkaji dan menerapkan teknik wavelet
untuk usaha prediksi periodisitas pelepasan energi gempa bumi, dan pengembangan
teknik pemetaan TEC di ionosfer sebagai prekursor gempa bumi. Mulai tahun 2010,
Puslitbang BMKG mulai melakukan studi prekursor gempa bumi secara terpadu yang
difokuskan berdasarkan parameter-parameter geofisika, geo-atmosferik, geokimia dan
geodetik. Penelitian studi precursor gempa bumi secara terpadu tentunya membutuhkan
berbagai data pengamatan dengan beberapa metode, sehingga perlu suatu tahapan
penelitian secara berkesinambungan (Gambar 4) (Nurdiyanto, et al., (2013).
Sistem Monitoring secara Real Time
Monitoring data Radon di Observatory Geofisika Pelabuhan Ratu telah dapat
dilakukan secara real time di jaringan milik Puslitbang menggunakan teamviewer. Namun
diperlukan kapasitas komunikasi data yang besar sedangkan paket internet yang ada di
Stasiun Observatory Pelabuhan Ratu terbatas, sehingga pengambilan data masih dilakukan
sebulan sekali (semi real time). Sedangkan data magnet dan MT dari Observatory
Geofisika Pelabuhan Ratu dan MT dari Kotabumi telah dapat diakses secara online dari
server milik Puslitbang melalui sharing jaringan dengan Bidang Geofisika Potensial dan
Tanda Waktu dengan pengambilan data semi real time dilakukan tiap bulan. Setiap bulan,
dilakukan pengamatan dan pengolahan data untuk melihat pola anomali pada masingmasing parameter.
10
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Gambar 4. Tahapan studi prekursor gempa bumi terpadu
Pengembangan Software Pengolahan Data Prekursor Gempa Bumi
Pengembangan software yang dilakukan pada kegiatan tahun 2013 berupa
penambahan beberapa aplikasi perhitungan danpenggabungan software yang sudah
dibuat pada tahun sebelumnya, yaitu software pengolahan data magnetik, MT dan
Vp/Vs kedalam satu software aplikasi yang bernama "PRECURSOR 2013" (Gambar
5).Perhitungan yang ditambahkan yaitu perhitungan untuk menghilangkan spike pada
data magnet dan MT menggunakan perhitungan statistik Inter Quartile Range (IQR).
Pada pengolahan data MT juga ditambahkan fasilitas daily average, yaitu fasilitas
untuk menghitung nilai rata-rata harian hasil pengolahan data MT (Nurdiyanto, et al.,
2013).
Gambar 5. Tampilan software PRECURSOR 2013 (lingkaran merah merupakan fasilitas
yang ditambahkan pada tahun 2013
11
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Tabel 2. Rekapitulasi kemunculan anomali parameter seismik, elektromagnetik, geoatmosferik dan geokimia serta kejadian gempa bumi di Observatory Geofisika
Pelabuhan Ratu dari bulan Januari - Nopember 2013 (Nurdiyanto, et al.,
2013).
Rekapitulasi kemunculan anomali parameter seismik, elektromagnetik, geoatmosferik dan geokimia serta kejadian gempa bumi ditunjukkan pada Tabel 2. Tampak
pada bulan Januari ada anomali pada parameter Vp/Vs yang diikuti anomali pada
parameter elektromagnetik pada akhir Januari dan awal Februari, tampak pula anomali
pada parameter geo-atmosferik dan geokimia pada pertengahan Januari. Lalu 2 dan 26
Februari terjadi gempa bumi dengan kekuatan 5.3 dan 5.3 SR. Pada bulan Agustus juga
ditemukan anomali pada Vp/Vs diikuti anomali pada parameter elektromagnetik pada
akhir Agustus hingga awal Oktober. Pada 24 Oktober terjadi gempa bumi dengan M 4.7
SR. Lalu pada anomali parameter Vp/Vs bulan Oktober 2013 diikuti anomali parameter
elektromagnetik dan geokimia pada awal November 2014 dan tidak lama kemudian pada
13 November terjadi gempa bumi M4.9 SR.
Pengembangan Sistem Observasi TEC-GPS Untuk Prekursor Gempa Bumi dan
Tsunami
Aktivitas gempa bumi banyak mempengaruhi keadaan ionosfer bumi. Litosfer
bumi berinteraksi dengan atmosfer sebelum terjadi peristiwa seismik yang kuat, akibat dari
adanya anomali medan listtrik yang mempengaruhi jumlah elektron di ionosfer.
Bagaimanapun, interaksi seismo-ionosfer adalah peristiwa lokal, yang berarti bahwa
daerah tersebut dipengaruhi oleh gempa bumi dan besarnya adalah fungsi dari magnitude
kejadian gempa tersebut. Berbeda dengan aktivitas matahari, yang merupakan penyebab
utama variasi ionosfer, mempengaruhi seluruh ionosfer. Variasi ionosfer secara global ini
bisa digunakan untuk membandingakan fenomena global dengan kejadian seismo-ionosfer
pada suatu daerah tertentu (http://geofisika43.blogspot.com/2010).
Total elektron content ionosfer (TEC) dapat diperoleh dari sebuah observasi dasar
Global Positioning System (GPS). Kumpulan GPS terdiri dari 24 jumlah satelit., yang
terdistribusi pada 6 orbit mengelilingi bumi pada ketinggian ~20200 km. masing-masing
satelit menstranmisikan sinyal pada dua frekuensi (f1 = 1575,42 MHz dan f2 = 1227,60
12
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
MHz) dengan dua kode yang berbeda, C/A dan P(Y) dan dengan dua fase pengangkut
yang berbeda, L1 dan L2.
Tujuan dari penelitian TEC-GPS sebagai precursor gempa bumi dan tsunami
adalah menemukan hubungan anomali variasi harian dengan gempa-gempa besar di
Indonesia dan area sekitarnya, menggunakan analisis harmonik dari pengamatan TEC pada
beberapa stasiun GPS. Hasil dari analisis harmonik menampakkan bahwa amplitudo
variasi harian dari TEC mengalami penurunan (anomali negatif) atau peningkatan
(anomali positif) beberapa hari setelah gempa bumi utama, dan menggunakan analisis
spasial dari anomali amplitudo, magnitude beberapa gempa besar dapat diperkirakan.
Pengukuran GPS di permukaan menunjukkan juga variasi yang konsisten dengan
gelombang gravity atmosfer yang disebabkan oleh gelombang tsunami (Galvan et al.,
2011).
Sebagai contoh, gempa bumi besar terjadi di pesisir barat Sumatera Utara,
Indonesia pada 26 Desember 2004. Variasi harian GPS TEC diperoleh dari stasiun SAMP
selama Desember 2004 yang diperlihatkan oleh Gambar 2. Pada 21 Desember 2004, 5 hari
sebelum gempa Aceh, variasi harian GPS TEC ionosfer memiliki amplitudo minimum
kira-kira 11 TECU. Penyimpangan amplitudo minimum dari amplitudo rata-rata kira-kira 4.7 TECU. Amplitudo variasi harian TEC diperoleh dari stasiun BAKO pada 21 Desember
2004, kira-kira 15 TECU dan penyimpangan ini dari rata-rata bulanan amplitudo variasi
harian TEC ionosfer, yaitu kira-kira -4.5 TECU. Sementara itu dari stasiun IISC,
penyimpanagn amplitudo variasi harian TEC kira-kira -3.9 TECU.
Gambar 6. Variasi harian ionosfer TEC diperoleh dari SAMP (bagan atas) BAKO (bagan
tengah)
dan
IISC
(bagan
bawah)
pada
Desember
2004
(http://geofisika43.blogspot.com/2010).
Penelitian terbaru tentang prekursor gempa bumi adalah pengembangan sistem
observasi TEC-GPS untuk mendeteksi prekursor gempa bumi. Berikut adalah gambaran
sistem observasi TEC-GPS untuk prekursor gempa bumi di Puslitbang BMKG yang
memanfaatkan yang bekerjasama dengan penyedia data GPS-TEC yaitu Badan Informasi
Geospasial (BIG) dan LAPAN. (Gambar 7)
13
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Gambar 7. Sistem observasi TEC-GPS yang dikembangkan.
Gambar 8. Berikut ini adalah data luaran sistem observasi TEC-GPS yang berkaitan
dengan Gempa bumi 10 September 2014 M 6.2 Maluku.
Gambar 8. Hasil pengamatan TEC_GPS terkait gempa bumi 10 September 2014 Penelitian
prekursor gempa bumi dan tsunami dengan menggunakan pengamatan TECGPS akan terus dilakukan dengan menggunakan jaringan GPS yang lebih
banyak dan rapat.
14
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Pengembangan Sistem Monitoring Gempa Bumi dan Tsunami
Sistem Monitoring Gempa bumi dan Tsunami yang saat ini sudah berjalan di
Indonesia adalah InaTEWS. InaTEWS merupakan proyek nasional yang melibatkan
berbagai institusi dalam negeri di bawah koordinasi Kementerian Negara Riset dan
Teknologi (RISTEK), Institusi lain yang terlibat antara lain: Kementerian Koordinator
Kesejahteraan Rakyat (Kemkokesra), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
(BMKG), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
(BAKOSURTANAL), Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional
(BAPPENAS, Kementerian Komunikasi dan Informasi (KEMKOMINFO), Tentara
Nasional Indonesia (TNI), Polisi Republik Indonesia (POLRI), Kementerian Dalam
Negeri (KEMDAGRI), Kementerian Luar Negeri (KEMLU), Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional (LAPAN), dan serta dukungan tenaga-tenaga ahli dari Institut Teknologi
Bandung (ITB). BMKG, BAKOSURTANAL dan BPPT merupakan institusi teknis yang
melaksanakan operasional pengamatan unsur-unsur gempa bumi, gerakan kerak bumi dan
perubahan permukaan air laut, sedangkan Kementerian Negara Ristek, LIPI, DEPDAGRI
dan BNPB melaksanakan peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat. Peran
Pemerintah Daerah sangat besar baik dalam pembangunan system operasionalnya apalagi
pada peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat (Pengantar InaTEWS,
2015).
Pembangunan InaTEWS dilakukan Pemerintah RI melalui berbagai institusi
tersebut di atas dan mendapatkan bantuan yang cukup signifikan dari negara dan
organisasi donor, yang meliputi : Pemerintah Jerman, Cina, Jepang, Amerika, Perancis,
UNESCO, UNDP, UNOCHA, ISDR. Jerman memberikan kontribusi pada pembangunan
InaTEWS dari hulu sampai ke hilir, yang meliputi sistem pemantauan, pengolahan dan
analisa, penyebaran, pembangunan kapasitas, peningkatan kewaspadaan dan
kesiapsiagaan masyarakat.
InaTEWS saat ini sudah beroperasional meskipun belum semua sistemnya
terpasang dengan sempurna. Sistem pemantauan muka tengah laut baru 3 terpasang dari
rencana 23, system support untuk pengambilan keputusan (Decission Support System –
DSS) juga masih memerlukan penyempurnaan. Demikian pula dengan peningkatan
kapasitas SDM. Langkah lanjut setelah peresmian InaTEWS adalah pembangunan system
maintenance/pemeliharaan dan pembangunan system backup sebagai antisipasi manakala
secara tiba-tiba system utama early warning “off”. Setelah melalui operasional
pendahuluan yang cukup panjang yakni mulai pertengahan tahun 2005, maka tiba
InaTEWS diluncurkan pada bulan November 2008 oleh Presiden Republik Indonesia.
15
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Gambar 9. Desain Sistem InaTews (Pengantar InaTEWS, 2015).
Kita semua tahu dan yakin bahwa tsunami pasti akan terjadi lagi di bumi pertiwi
ini, hanya kapan, di mana dan berapa besarnya yang kita tidak tahu. Harapannya adalah
InaTEWS benar-benar bermanfaat semaksimal mungkin dan memberikan peringatan dini
tsunami sebelum kedatangan sehingga bisa meminimkan jumlah korban jiwa. Selanjutnya
manfaat InaTEWS tidak hanya bagi masyarakat Indonesia, namun juga masyarakat
internasional baik yang berada di kawasan ASEAN, di sekitar Samudera India maupun
Pasifik Barat Daya dan Laut Cina Selatan.
Sistem Monitoring Gempa Bumi JISVIEW
Untuk monitoring kejadian gempa bumi yang bersifat lokal dan regional di
Indonesia, dengan magnitude < 5, maka perlu dibuat sistem yang bisa mewadahinya,
terutama untuk stasiun-stasiun geofisika di daerah untuk mempercepat diseminasi
informasi kejadian gempa bumi kepada masyarakat, maka pada tahun 2011 Puslitbang
BMKG telah melakukan pembuatan software JISView untuk penentuan mekanisme
sumber gempa bumi. Setelah itu pada tahun 2012 telah dilakukan pula pengembangan
lebih lanjut software JISView dengan mengujicobakannya pada beberapa stasiun
geofisika dan membuat kajian untuk membangun Sistem Monitoring Gempa Bumi yang
dapat memberikan informasi parameter dan mekanisme sumber gempa bumi secara
otomatis. Sistem monitoring gempa bumi ini meliputi penentuan parameter dan
mekanisme sumber gempa bumi. Melalui kegiatan ini diharapkan dapat terbangun sistem
monitoring gempa bumi yang otomatis untuk mendukung operasional dalam
meningkatkan pelayanan informasi gempa bumi dan tsunami.
Pada tahun 2013 dilakukan penyempurnaan dalam Sistem Monitoring Gempa
Bumi JISVIEW dengan sistem informasi terintegrasi yang dapat digunakan untuk
menghitung, menganalisa serta menampilkan informasi sebaran mekanisme sumber
gempa bumi di wilayah Indonesia yang cepat dan akurat dibandingkan dengan sistem
yang ada sebelumnya.
Pada tahun 2014 dilakukan penyempurnaan picking otomatis Gelombang P dan
penentuan Magnitudo, kemudian selanjutnya pada tahun 2015 dilakukan ujicoba
operasionalisasi dan juga pembangunan Server Sistem Monitoring Gempa bumi di
Puslitbang. Pada tahun 2016 direncanakan pembangunan sistem berbasis Web.
16
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Gambar 10. Tampian GUI Sistem Monitoring (Nugraha et al., 2013)
Analisis Parameter Gempa Bumi
Analisa perbandingan hasil keluaran JISView dengan SeisComP-3 BMKG
dilakukan untuk mengetahui tingkat akurasi hasil perhitungan sistem.
Grafik perbandingan parameter gempa bumi yang berupa waktu kejadian dan
koordinat lokasi (bujur dan lintang) yang dihasilkan oleh sistem terhadap hasil analisa
SeisComP-3 BMKG menunjukkan korelasi yang yang sangat baik. Untuk parameter
waktu kejadian berkorelasi 0,999 dengan error atau biasnya 0,089, lintangnya berkorelasi
0,999 dengan error atau bias 0,016 dan adapun untuk bujur berkorelasi 0,998 dengan bias
atau error 1.513.Hal ini menunjukkan bahwa bila ditinjau dari aspek keakuratan hasil
analisa sistem yang berupa lokasi dan waktu kejadian relatif terhadap hasil analisa
SeisComP-3 BMKG dapat dikatakan memiliki korelasi yang bagus.
Sistem Penentuan Potensi Tsunami dengan Perhitungan Durasi Rupture (Tdur),
Periode Dominan(Td) dan T50Ex.
Ina-TEWS membuat kriteria gempa bumi yang menimbulkan tsunami dengan
syarat magnitudo ≥ 7, episenter di laut, dan kedalaman < 100 km. Fakta telah
menunjukkan bahwa walaupun kriteria tersebut sudah terpenuhi, tetapi tidak semua gempa
bumi tersebut dapat menimbulkan tsunami yang signifikan, contohnya gempa bumi
Padang 30 September 2009 Mw= 7.6. Sementara itu gempa bumi dengan magnitudo
kurang dari 7 bisa menimbulkan tsunami, contohnya gempa bumi Flores 14 Mei 1995
dengan Mw= 6.9 (Madlazim, 2011).
Besar dan dampak tsunami sangat terpengaruh oleh pergeseran lantai dasar laut
yang berhubungan dengan panjang (L), lebar (W), mean slip (D), dan kedalaman (z), dari
rupture gempa bumi. Lomax dan Michelini, (2011) telah menemukan bahwa parameter
panjang rupture dari suatu gempa bumi merupakan parameter yang paling dominan
sebagai penyebab tsunami. Untuk mengukur panjang rupture diperlukan metode yang
komplek dan membutuhkan waktu komputasi yang lebih lama, sehingga tidak layak
digunakan untuk peringatan dini tsunami. Lomax dan Michelini (2012) juga telah
menemukan hubungan antara L dan durasi rupture yang bisa dinyatakan bahwa durasi
rupture sebanding dengan panjang rupture. Untuk mengestimasi durasi rupture (To atau
Tdur) bisa dilakukan dengan cara menganalisis seismogram-seismogram grup gelombang
P yang dominan dari seismogram frekuensi tinggi dari gempa bumi, sehingga durasi
rupture gempa bumi bisa digunakan untuk peringatan dini dari tsunami.
17
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Parameter lain yang bisa dijadikan parameter peringatan dini tsunami adalah
periode dominan dari gelombang P, yang merupakan nilai puncak dari Time Domain (τc)
(Lomax dan Michelini, 2010). Parameter yang lain adalah T50 Exceedance (T50EX)
adalah nilai perbandingan RMS ampiltudo saat durasi rupture (Tdur) mencapai 50-60s
dengan rmsamplitude saat durasi rupture 0–25 s. Madlazim (2011) telah mengembangkan
kriteria potensi tsunami untuk kejadian gempa bumi dengan menggunakn staisiun sesimik
lokal yaitu dengan kriteria: Tdur > 65, Td > 10, T50Ex > 1, Tdur * Td > 650, Td * T50Ex
> 10.
Pada tahun 2013, Puslitbang BMKG telah mengembangkan program aplikasi
penentuan potensi tsunami menggunakan perhitungan Tdur, Td dan T50Ex dengan data
real time waveform dari stasiun pengamatan yang masuk jaringan Ina-TEWS. Aplikasi
penentuan potensi secara manual juga telah dibuat supaya bisa dilakukan perhitungan
manual terhadap gempa bumi-gempa bumi yang sudah terjadi. Hasil penelitian
menunjukkan dari 81 kejadian gempa bumi pada tahun 2013 yang sudah dihitung oleh
aplikasi peringatan potensi tsunami secara real time, memberikan hasil 97.53% konsisten
(79 kejadian), yaitu parameter dibawah kriteria potensi tsunami, dan kondisi sebenarnya
tidak terjadi tsunami. Dari hasil ujicoba terhadap 171 kejadian gempa bumi dengan
magnitude kecil secara manual, dapat dilihat bahwa aplikasi memberikan hasil 96.5 %
(166 kejadian) konsisten, yaitu parameter dibawah kriteria potensi tsunami, dan kondisi
sebenarnya juga tidak terjadi tsunami (Hardy, et al., 2014).
Ujicoba dengan data gempa bumi yang membangkitkan tsunami di Indonesia dari
tahun 1992-2012 dari katalog tsunami dari NOOA (National Oceanic and Atmospheric
Administration) menyatakan bahwa untuk kejadian gempa bumi yang membangkitkan
tsunami 0-1 m, dari 11 kejadian terdapat 8 kejadian (72,7%) yang tepat, sedangkan untuk
kejadian gempa bumi yang membangkitkan tsunami lebih dari 1 m dari 17 kejadian
terdapat 10 kejadian (58.82%) yang tepat sesuai nilai parameter potensi tsunami.
Gambar 11 menunjukan tampilan aplikasi sistem penentuan potensi tsunami
menggunakan data sinyal secara real time yang sudah diaplikasikan di Puslitbang.
Rencananya di tahun 2015 setelah secara terus menerus diuji, aplikasi ini bisa
dioperasionalkan untuk mendukung sistem InaTEWS.
Gambar 11. Aplikasi sistem penentuan potensi tsunami secara real time
18
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Early Warning Tsunami Menggunakan Data GPS
Sebagian besar tsunami yang pernah terjadi termasuk Sumatera Indonesia 2004,
Chile 2010, dan Tohuku Jepang 2011 dipicu oleh gerakan dasar laut yang disebabkan oleh
gempa bumi di zona subduksi. Sistem peringatan dini tsunami yang ada selama ini masih
menggunakan informasi seismologi, yang kemudian harus mampu memberikan peringatan
5 sampai 10 menit setelah gempa bumi terjadi, tetapi seringkali kekuatan gempa bumi
yang diinformasikan tidak sesuai dengan dampak ketinggian gelombang tsunami yang
terjadi di pesisir yang lebih besar, contohnya adalah kejadian tsunami Tohuku 2011
(Hoechner, et al., 2013).
Metode baru dikembangkan oleh para peneliti di GFZ German Research Centre for
Geoscience yaitu menggunakan jaringan Global Positioning System (GPS) untuk
keperluan early warning tsunami. Dengan menempatkan istrumen GPS kira-kira setiap 40
kilometer sepanjang pantai, untuk mengukur deformasi dasar laut secara real time.
Instrumen ini kemudian mengirimkan data mentah ke data center untuk dilakukan
pemodelan resiko tsunami. (Gambar 11)
Prinsip kerja dari pemanfaatan data GPS untuk early warning tsunami adalah
sebagai berikut:
 Gempa bumi menimbulkan deformasi bawah laut sebagai sumber tsunami dan
permukaan bumi
 Deformasi diukur dengan jaringan real time GPS yang rapat di dekat pantai dan di
darat
 Inversi non-linier terhadap sumber gempa untuk perhitungan deformasi/uplift
bawah permukaan laut
 Tinggi gelombang tsunami maksimum dan waktu tiba gelombang dihitung dengan
perhitungan model penjalaran dan run-up tsunami.
Gambar 11. Gambaran konsep early warning tsunami menggunakan data GPS
Dengan menggunakan data jaringan GPS yang dimiliki oleh Badan Informasi
Geospasial, walaupun belum teralalu rapat, maka kesempatan untuk mengembangkan
penelitian early warning tsunami menggunakan data GPS di Indonesia terbuka lebar. Oleh
karena itu Puslitbang mencoba mewadahi penelitian ini di tahun 2015
19
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
KESIMPULAN
Puslitbang BMKG telah melakukan beberapa penelitian dan pengembangan terkait
upaya deteksi gempa bumi dan tsunami, antara lain upaya monitoring precursor gempa
bumi melalui parameter geofisika, geo-atmosferik, geokimia (radon) dan geodetik (TECGPS), sistem monitoring gempa bumi JISVIEW, sistem penentuan potensi tsunami
menggunakan perhitungan durasi rupture, periode dominan, dan T50Ex. Arah penelitian
ke depannya adalah upaya early warning tsunami menggunakan jaringan data GPS yang
diharapakan bisa lebih memperkuat sistem InaTEWS yang selama ini sudah berjalan.
DAFTAR PUSTAKA
Bock, Y., Prawirodirdjo, L., Genrich, J. F., Stevens, C. W., McCaffrey, R., C. Subarya, S.
S. O. Puntodewo, and Calais, E., 2004. Crustal motion in Indonesia from Global
Positioning System measurements, Journal Of Geophysical Research, Vol. 108,
No. B8, 2367, doi:10.1029/2001JB000324.
Galvan, D. A., Komjathy, A., Song, Y. Tony, Stephens, P., Hickey, M.P. and Foster, J.,
2011. Observing Tsunamis in the Ionosphere Using Ground Based GPS
Measurements, Proceedings of the 24th International Technical Meeting of The
Satellite Division of the Institute of Navigation (ION GNSS 2011), Portland, OR,
September 2011, pp. 3172-3182.
Hardy, T, et al., 2014. Pengembangan dan Automatisasi Sistem Penentuan Potensi
Tsunami Dengan Perhitungan Durasi Rupture (Tdur), Periode Dominan(Td) dan
T50Ex. Laporan Tahunan Hasil-hasil Kegiatan Puslitbang BMKG Tahun 2013,
105-113.
Hoechner, A., M. Ge, A. Y. Babeyko, and Sobolev, S. V.,2013. Instant tsunami early
warning based on real-time GPS – Tohoku 2011 case study, Nat. Hazards Earth
Syst. Sci., 13, 1285–1292, doi:10.5194/nhess-13-1285-2013
Irsyam, M., Sengara, I.W., Aldiamar, F., Widiyantoro, S., Triyoso, W., Natawidjaja, D.H.,
et Al., 2010. Ringkasan Hasil Studi Tim Revisi Peta Gempa Indonesia 2010,
Laporan Penelitian, 43 hal.
Lomax, A and Michelini, A., 2011. Tsunami Early Warning Using Earthquake Rupture
Duration and P-Wave Dominant period: the important of length and depth of
faulting, Geophysical Journal International. 185, 283-291, doi: 10.1111/j.1365246X.2010.04916.x.
Lomax, A and Michelini, A., 2012. Tsunami Early Warning Within 5 minutes, Pure and
Applied Geophysics, 169, nnn-nnn, doi: 10.1007/s00024-012-0512-6
Madlazim, 2011. Toward Indonesian Tsunami Early Warning System By Using Rapid
Rupture Duration Calculations, Journal of Tsunami Society International, ISSN
8755-6839, Vol. 30, No. 4.
Nurdiyanto, B., et al., 2011. Integration of Geophysical Parameter Observation in the
Earthquake Predictability, JCM2011-031, Proceedings of the 36th HAGI and
40th IAGI Anual Convention and Exhibition, Makasar.
Nurdiyanto, B., et al., 2013. Studi Prekursor Gempa bumi secara Terpadu Tahun 2012,
Laporan Tahunan Hasil-hasil Kegiatan Puslitbang BMKG, 104-115.
20
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Nugraha, Jimmi, et al., 2013. Pembangunan Sistem Monitoring Gempa bumi Jisview,
Laporan Tahunan Hasil-hasil Kegiatan Puslitbang BMKG, hal.126-137.
Pakpahan, S., et al., 2014. Pengembangan Sistem Monitoring Studi Prekursor Gempa
Bumi Terpadu Tahap I, Laporan Tahunan Hasil-hasil Kegiatan Puslitbang
BMKG Tahun 2013, 138-148.
Prediksi
gempa bumi - Anomali Variasi Harian GPS TEC Ionosfer,
http://geofisika43.blogspot.com/2010/08/prediksi-gempa-bumi-anomalivariasi.html#, diakses 6 januari 2014.
Pengantar InaTEWS, https://inatews.bmkg.go.id/new/about_inatews.php?urt=1, diakses 9
Januari 2015.
Sunarjo, Gunawan, M.T. and Pribadi, S., 2010. Gempa bumi Edisi Populer, Jakarta: Pusat
Penelitian dan Pengembangan BMKG, 228 hal.
21
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Penginderaan Jauh dan Bencana: Ketersediaan Data dan Aplikasinya
untuk Tanggap Darurat
M. Rokhis Khomarudin1 dan M. Priyatna1
1
Peneliti, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh – LAPAN
ABSTRAK
Penginderaan jauh adalah suatu ilmu atau teknologi untuk mengidentifikasi suatu
objek di permukaan bumi dengan tanpa menyentuk objek tersebut. Penginderaan jauh
sudah dimanfaatkan secara luas untuk kebencanaan baik pada masa pra-bencana, saatbencana, maupun pasca bencana. Namun, secara umum, data penginderaan jauh biasanya
digunakan untuk identifikasi daerah yang mengalami kerusakan akibat bencana. Analisa
data sebelum dan sesudah bencana merupakan hal yang sering dilakukan dalam
pemanfaatan penginderaan jauh untuk bencana. Selebihnya, data yang dihasilkan dari
penginderaan jauh seperti Digital Elevation Model (DEM), Batimetri, Indek vegetasi dan
Pengunaan/penutup lahan banyak digunakan untuk pemodelan banjir, tsunami,
kekeringan, peringatan dini kebakaran lahan dan hutan, dan lain sebagainya. Tulisan ini
menyajikan ketersediaan data penginderaan jauh untuk kegiatan kebencanaan baik melalui
skema lisensi pemerintah tunggal, skema Sentinel Asia, Internasional Charter for Space
and Major Disaster, penyediaan data gratis oleh provider data penginderaan jauh, dan
skema-skema lainya yang digunakan untuk kebencanaan. Tulisan ini dapat memberikan
pengetahuan mengenai ketersediaan data penginderaan jauh untuk kegiatan tanggap
darurat bencana.
Kata kunci: Penginderaan jauh, bencana, ketersediaan data, tanggap darurat
ABSTRACT
Remote sensing is a science and technology to identify the earth surface object
without touching those objects. Remote sensing is already widely used for disaster analysis
especially on before, during, and after disaster. Generally, remote sensing is used for
identify the damage area, but some data which can be generated by remote sensing such
as Digital Elevation Model (DEM), Bathymetry, Vegetation Index, Land use/cover, and etc
are commonly used for flood, tsunami, drought, fire warning modeling. This paper
presents the availability of data for disaster emergency response. There are some schemes
that can be applied for this activities, for example of the single government license,
Sentinel Asia, International Charter for Space and Major Disaster, free available remote
sensing data for download, and others. This paper can share knowledge about the
availability of remote sensing data for disaster emergency response.
Key words: Remote Sensing, disaster, data availability, emergency response
PENDAHULUAN
Penggunaan data penginderaan jauh sudah sangat meluas. Pemetaan sumberdaya
alam, lingkungan, dan mitigasi bencana sangat tergantung dari data penginderaan jauh.
Tanpa data penginderaan jauh, pemetaan dengan survey lapangan atau observasi lapangan
memerluakan biaya yang lebih mahal. Terutama di daerah-daerah yang tidak dapat
dijangkau oleh masyarakat, penginderaan jauh sangat efektif digunakan. Semakin
murahnya data penginderaan jauh karena semakin banyak data penginderaan jauh yang
22
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
gratis bisa di download dari provider data di dunia. Data seperti Landsat, Terra/Aqua
Modis, dan DEM SRTM resolusi 90 meter adalah contoh data yang dapat di download
dari internet. Instruksi presiden No. 6 tahun 2012 mengamanatkan untuk pengadaan data
penginderaan jauh dengan lisensi pemerintah republik Indonesia sudah berjalan, sehingga
untuk instansi pemerintah, data resolusi tinggi sudah bisa diperoleh dengan mudah.
Pemerintah Indonesia yang akan menyediakan data tersebut untuk keperluan inventarisasi
sumberdaya alam, lingkungan, tata ruang, dan mitigasi bencana.
Terkait dengan masalah bencana, data penginderaan jauh sudah efektif digunakan
untuk kegiatan pemetaan daerah rentan dan resiko bencana, pemetaan daerah yang rusak
akibat bencana, dan bahkan untuk peringatan dini bencana. Banyak skema yang telah
dilakukan baik tingkat asia maupun internasional untuk memperoleh data penginderaan
jauh dengan tanpa biaya. Sentinel Asia contohnya, skema ini menyediakan data
penginderaan jauh dari provider data di Asia seperti dari lembaga antariksa Jepang-JAXA,
India-ISRO, dan juga Korea Selatan-KARI. Selain itu, jika bencananya sangat besar,
melalui skema Internasional Charter for Space and Major Disaster data resolusi tinggi
seperti Pleiades, Ikonos, Quickbird, TerraSAR-X, dan lain-lain bisa didapatkan. Namun
perolehan data tersebut melalui mekanisme tertentu dan data terikat dengan lisensi data
yang tidak boleh dilanggar.
Tulisan ini akan membahas mengenai ketersediaan data penginderaan jauh untuk
kegiatan kebencanaan dan juga peran lembaga penerbangan dan antariksa nasional dalam
penyediaan data tersebut. Tujuannya adalah agar masyarakat maupun peneliti memahami
tentang ketersediaan data penginderaan jauh di dunia disertai dengan batasan-batasan
yang ada, bagaimana cara memperolehnya dan juga terkait dengan peraturan-peraturan
tentang lisensi data. Pengetahuan ini akan menjadikan masyarakat atau peneliti dapat lebih
mudah dalam mencari data atau sumber data yang dapat digunakan untuk kepentingannya.
Aplikasi-aplikasi yang telah dilakukan di Indonesia juga disajikan dalam tulisan ini.
INVENTARISASI PENYEDIA DATA PENGINDERAAN JAUH
Beberapa dekade yang lalu, data penginderaan jauh merupakan data yang sangat
mahal dan penggunaan eksklusif untuk militer di Amerika atau Negara-negara yang maju
dan telah mengembangkan satelit sumberdaya alamnya sendiri. Beberapa akhir tahun ini,
data penginderaan jauh semakin murah bahkan gratis bisa didownload dari beberapa
provider data. Berkembangnya sistem google earth dan googlemap, orang semakin mudah
untuk mengetahui wilayahnya dari data satelit penginderaan jauh. Berikut ini disajikan
ketersediaan data penginderaan jauh dari provider-provider data internasional maupun
nasional baik untuk kegiatan bencana dan non kebencanaan.
PEMBAHASAN
Tabel . 1 merupakan sebagian daftar penyedia yang dapat digunakan untuk
penyediaan data penginderaan jauh yang ada di dunia, masih banyak penyedia lain yang
menyediakan data penginderaan jauh terutama untuk data resolusi rendah dengan temporal
yang tinggi seperti suhu permukaan laut, tinggi permukaan laut, klorofil, dan lain
sebagainya. Berikut pembahasan dari ke-9 penyedia data yang disajikan pada Tabel 1.
23
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Tabel 1. Daftar penyedia data penginderaan jauh yang bisa diperoleh tanpa biaya
Alamat Website/cara
No.
Jenis Data Penyedia
Aplikasi
mendapatkan
1.
Landsat
USGS
www.usgs.gov
Berbagai
keperluan,
5/7/8
data belum cloud free
dan koreksi radiometric
2.
Terra/Aqua
MODIS
USGS
www.usgs.gov
Untuk keperluan cepat,
data berbagai macam
termasuk sampai level-2
Data terlamnbat 2-3
hari
3.
DEM
SRTM
USGS
www.usgs.gov
Untuk
pemodelan
ketinggian
tempat,
model banjir, dan juga
tsunami
4.
Sentinel-1
ESA
https://scihub.esa.int
Data
SAR
untuk
berbagai
macam
keperluan
terutama
untuk bencana dan
pertanian
5.
SPOT-6
Lapan
Lihat catalog:
http://www.bdpjncatalog.lapan.go.id surat
permohonan diajukan kepada
Kepala Pusat Teknologi dan
Data Lapan, minimal eselon-2
Berbagai
macam,
khusus utk pemerintah
Indonesia
6.
Landst
5/7/8
Lapan
Lihat catalog: http://landsatcatalog.lapan.go.id/Catalogue
surat permohonan diajukan
kepada Kepala Pusat Teknologi
dan Data Lapan
Berbagai
macam,
melalui
pemesanan,
data sudah cloud free,
dan
terkoreksi
radiometric
dan
geometrik
7.
Terra Aqua
Modis dan
turunannya
Lapan
http://modiscatalog.lapan.go.id/
8.
Beberapa
data
Sentinel
Asia
Melalui skema yang sdh diatur
http://aprsaf.org/initiatives/senti
nel_asia/
Untuk keperluan cepat,
data berbagai macam
termasuk sampai level2. Data harian
Kebencanaan
9.
Beberapa
data
Internatio
nal
charter
Melalui skema yang sdh diatur
https://www.disasterscharter.org
24
Kebencanan
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
1. Landsat – USGS
United States Geological Survey (USGS) menyediakan data landsat dengan gratis
bisa di download untuk data seluruh dunia. Download dilakukan denga registrasi terlebih
dahulu dengan menggunakan software khusus yang mereka sediakan seperti Global
Visualisation dan Earth explore. Data dapat diperoleh dengan mudah dengan memasukan
Path/raw citra landsat yang akan digunakan dan juga tanggal yang diperlukan. Download
bisa dilakukan dengan ftp, dan memerlukan waktu yang cepat setelah dilakukan
pemesanan. Namun kadang data datang dalam bisa lebih sehari dari waktu pemesanan.
Data yang ada dalam Landsat USGS masih ada apa adanya dengan keawanan seperti
waktu pemotretan permukaan bumi. Ukuran satu scene Landsat adalah 185 km x 185 km
sekali potret dengan resolusi spasial 30 m.
2. Terra/Aqua MODIS – USGS
Sama seperti halnya dengan Landsat, USGS juga menyediakan data penginderaan
jauh yang bisa di download dalam sistemnya dengan gratis. Data MODIS merupakan data
yang melintas dua kali di wilayah Indonesia. Data yang tersedia adalah data MODIS dari
satelit Terra/Aqua di seluruh dunia hingga level 2. Disediakan juga data cloud free dengan
menggabungkan data pada wilayah yang sama dalam waktu 8 harian dan 16 harian. Data
ini memiliki resolusi spasial 250 m, 500 m, dan 1000 m, sehingga dapat digunakan untuk
pemantauan wilayah Indonesia skala global sekitar 1 : 500.000. Produk yang dihasilkan
dari data ini misalnya adalah pemantauan fase pertumbuhan padi, prediksi potensi
kekeringan, dan informasi kebakaran lahan/hutan.
3. DEM SRTM-USGS
Data digital topography untuk seluruh dunia juga disediakan oleh USGS dan
dengan mudah didownload. Walaupun resolusi spasialnya masih 90 m, namun secara
global data ini bisa digunakan untuk menggambarkan topografi suatu wilayah. Dalam
perkembangannya USGS akan menyediakan data DEM SRTM dengan resolusi 30.
Beberapa potensi data DEM yang lain nantinya adalah dengan ALOS PALSAR dan juga
Sentinel-1.
4. Sentinel 1 – ESA
Produk ini baru diluncurkan beberapa bulan yang lalu dan download masih gratis
dapat dilakukan untuk data sentinel 1 dengan sensor SAR. ESA akan menyediakan data
gratis lainnya yang bersensor optis seperti Sentinel 2A dan 2B yang satelitnya belum
diluncurkan. Resolusi dari data ini adalah 20-30 m dengan temporal sekitar 12 hari dapat
digunakan untuk pemantauan kondisi lahan pertanian selama 12harian. Data SAR
merupakan data bebas awan, sehingga pemantauan dapat dilakukan dengan jenis satelit
ini.
5. SPOT 6 – Lapan
Untuk memenuhi instruksi presiden No. 6 tahun 2012, Lapan membuat bank data
penginderaan jauh nasional yang berisi catalog data pengideraan jauh SPOT-6 yang
berlisensi Pemerintah Republik Indonesia. Karena ini catalog, maka yang tersedia hanya
quicklook dari data yang tersedia. Kementerian dan lembaga atau pemerintah daerah yang
ingin mendapatkan data harus melihat catalog ini terlebih dahulu kemudian melakukan
pemesanan. Jika data sudah tersedia bisa dapat memesannya, namun jika belum ada bisa
melakukan pemesanan setahun sebelumnya untuk dapat diprogramkan. Permintaan data
25
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
harus melalui surat permohonan yang ditandangani minimal oleh pejabat eselon 2
dilengkapi dengan lokasi dan proposal penggunaan data tersebut. Selain data SPOT-6,
catalog ini juga menyediakan data resolusi tinggi lainnya seperti Pleiades, dan TerraSARX.
6. Landsat 5/7/8 – Lapan
Selain data SPOT-6, Lapan juga menyediakan catalog data landsat. Sama seperti
catalog SPOT-6, catalog ini menampilkan ketersediaan data Landsat yang disimpan oleh
bank data Lapan. Permohonan lebih mudah, setiap orang dapat melakukan permohonan
dari internet dan data akan dilayani.
7. Modis catalogue – Lapan
Sama seperti catalog Landsat, catalog ini dibuat untuk penyediaan data Modis
hingga level 2 dan mudah dilakukan download hanya dengan login dari website yang
disediakan. Data yang tersedia berupa data harian hingga level 2.
8. Sentinel Asia
Skema sentinel asia dibentuk untuk penyediaan data penginderaan jauh dari
provider data di tingkat Asia jika terjadi bencana. Aktivasi hanya dapat dilakukan oleh
Data Analisis Node (DAN) untuk mendapatkan data tersebut. Di Indonesia terdapat 2
DAN yaitu Lapan dan BPPT. Kementerian dan Lembaga lain dapat melakukan
permintaan melalui Lapan atau BPPT jika terjadi bencana di Indonesia.
9. International Charter
Sama seperti halnya Sentinel Asia, International charter juga menyediakan data
penginderaan jauh resolusi tinggi dari provider data seluruh dunia jika terjadi bencana
yang sangat besar. Aktivasi hanya dilakukan oleh authorized user yang untuk asia di
wakili oleh sentinel asia. Dalam wadah sentinel asia dapat ditunjukkan project manager
untuk mengatur flow dari data yang akan disediakan. Data mengandung perjanjian lisensi,
jadi hanya dapat digunakan untuk kegiatan aktivasi kejadian bencana yang terjadi.
KESIMPULAN
Dari paparan tulisan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa data
penginderaan jauh untuk beberapa kegiatan terutama kebencanaannya sudah tersedia
dengan baik. Hanya pemanfaatannya untuk keperluan mitigasi bencana masih belum
dilakukan dengan baik, sehingga data penginderaan jauh hanya digunakan untuk
menyajikan daerah yang sudah terkena setelah kejadian bencana.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang banyak kepada pengurus
perhimpunan alumni Jerman cabang Aceh yang mengundang dalam acara seminar. Hal ini
menjadikan paper ini dibuat dan diselesaikan dengan baik. Tulisan ini merupakan uraian
singkat tentang penyediaan data penginderaan jauh untuk kepentingan kebencanaan.
26
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Pemodelan Tsunami untuk Mendukung Perencanaan Infrastruktur di
Pesisir Selatan Yogyakarta2
Widjo Kongko1
1
Perekayasa Balai Pengkajian Dinamika Pantai, - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
2
Materi ini pernah disampaikan dalam seminar refleksi gempa bumi 17 Juni Yogyakarta
ABSTRAK
Dua gempabumi disertai tsunami pada tahun 1994 dan 2006 terjadi di zona
subduksi Jawa menimbulkan ratusan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur dan
lingkungan yang besar. Hal ini menunjukkan bahwa Selatan Jawa termasuk salah satu
daerah yang paling rawan tsunami di dunia. Untuk mendorong percepatan, perluasan,
pembangunan ekonomi Indonesia, khususnya untuk memperkuat konektivitas nasional,
yang meliputi konektivitas intra dan antar pusat-pusat pengembangan, intra-pulau
(koridor), dan perdagangan internasional, Yogyakarta berencana mengembangkan
prasarana transportasi, yaitu Bandara Internasional dan Jalur Lintas Selatan. Mengingat
lokasi infrastruktur tersebut sebagian di daerah rawan tsunami, maka untuk meminimalkan
dampak terhadap infrastruktur dan masyarakat di masa datang, penyusunan peta bahaya
tsunami diperlukan. Peta disusun dari hasil pemodelan berdasarkan persamaan numerik air
dangkal nonlinear 2D, mensimulasikan propagasi dan rendaman tsunami. Parameter
sumber dominan yang divalidasi dari model tsunami tahun 2006 digunakan untuk
memprediksi ancaman masa depan. Skenario terburuk dipakai dengan menambahkan
besaran magnitudo gempabumi dari kajian terkini di Selatan Jawa. Dalam kajian ini,
disajikan peta bahaya tsunami hasil dari pemodelan dari skenario di atas dengan
menggunakan data geometrik detil. Zona rencana infrastruktur yang terdampak tsunami
ditinjau dan langkah-langkah mitigasi alternatif diusulkan serta dibahas.
Kata kunci: Tsunami Selatan Jawa, pembangunan infrastruktur pesisir, data geometrik
detil, skenario terburuk, peta bahaya, langkah-langkah mitigasi.
ABSTRACT
Two earthquake-generated remarkable tsunamis in 1994 and 2006 occurred in the
Java subduction zone remaining hundreds fatalities and great damages. It indicates that
the south off Java-Indonesia is one of the most tsunami prone areas in the world. To
accelerate and expand economic developmentof Indonesia, especialy strengthening the
national connectivity, which includes intra and inter connectivity of centres development,
intra-islands (corridors), and international trade, Yogyakarta plans to develop
transportation infrastuctures, i.e. the Airports and Southern Cross Road Network.
Unfortunately, partly site plans of such infrastructures are planed located in areas prone
to tsunamis.Thus, to minimise the impact of tsunami hazard against such infrastructures
and communities, the hazard map in this area is highly required. The map derived from
the tsunami inundation model by improving the sources & model performance based on
detil geometric data and worst case scenario. A numerical code based on the 2D
nonlinear shallow water equations was used to simulate tsunami propagation, and its runup. The dominant source parameter which was validated from tsunami model of 2006
event, used for estimating the future hazard under worst scenario by adding plausible
magnitude of earthquake in this area. In this study the tsunami hazard map derived from
27
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
numerical model is presented. The area of infrastructures site plans that inundated by
tsunami is reviewed. The alternative mitigation measures are proposed and discussed.
Key words : South of Java tsunami, tsunami earthquake, development of coastal
infrastructures, detail geometric data, worst scenario, hazard map,
mitigation measures
PENDAHULUAN
Dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi kawasan pantai utara dan pantai
selatan Pulau Jawa serta untuk menghadapi tantangan kepadatan jalur pantura, upaya yang
dilakukan pemerintah adalah dengan pembangunan dan peningkatan prasarana
transportasi baik darat, laut dan udara di pesisir selatan. Dalam upaya pengembangan ini
diperlukan perencanaan yang matang sehingga penyelenggaraan dan pembangunan
transportasi dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
Tantangan yang dihadapi dalam upaya ini antara lain kondisi fisik / kontur selatan
Pulau Jawa yang berat, keterbatasan dana untuk pengadaan lahan dan pembangunan
infrastruktur, dan juga potensi bencana yang mengancam di wilayah tersebut. Ruas jalur
transportasi, lahan daerah pesisir, dan daerah pelabuhan serta muara-muara sungai adalah
daerah rawan bencana, seperti longsor, sedimentasi dan abrasi akibat gelombang laut,
hingga bencana gempa-tsunami.
Untuk mendukung program tersebut di atas, perlu dilakukan kajian potensi bencana
gempa-tsunami dan upaya mitigasinya secara terintegrasi dalam perencanaan
pembangunan infrastuktur yang sedang dan akan dilaksanakan.
POTENSI GEMPA BUMI - TSUNAMI
Perairan pantai selatan DIY dan Jawa Tengah termasuk kategori perairan terbuka
(open sea) yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Oleh karena itu energi
gelombang menuju pantai sangat berpengaruh terhadap dinamika pantai di daerah
tersebut. Energi gelombang selain menimbulkan abrasi, juga berfungsi sebagai komponen
pembangkit arus sejajar pantai (longshore current) yang dapat menyebabkan sedimentasi
di daerah-daerah tertentu (Birda and Ongkosongo,1980).
Daerah subduksi selatan Jawa mempunyai aktifitas seismik yang lebih rendah
dibandingkan dengan yang ada di Sumatra (Coburn et al., 1994). Berdasar data historis,
gempa yang terjadi di daerah subduksi selatan Jawa antara periode 1977–2007 pada areal
di Gambar 1 dengan M>5 dan berkategori dangkal (<40 km) adalah sebanyak >400
kejadian. Dalam periode tersebut, 2 gempa yang terjadi di tahun 1994 Banyuwangi dan
2006 Pengandaran bermagnitude signifikan dan menimbulkan tsunami dengan ketinggian
rerata 5-8 m dan menewaskan lebih dari 800 orang (Fritz et al., 2007., Abidin et al.,
2009., Kongko et al., 2006., ITDB/WLD, 2007). Sementara berdasar data dari USGS,
dalam kurun waktu 1978-2008, telah terjadi gempa besar (M>6.5) sebanyak 20 kali
dimana 2 diantaranya menimbulkan tsunami (USGS, 2010). Dengan demikian daerah
selatan Jawa secara rata-rata berpotensi 1 sd 10 kali gempa sedang-besar setiap tahun dan
diantara gempa-gempa tersebut berpotensi menimbulkan tsunami.
28
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Gambar 1. Historis gempa dan tsunami (1977-2008) dan "seismic gap"
Berdasar data sebagaimana ditampilkan di Gambar 1, juga jelas terlihat
kekosongan aktifitas seismik (“seismic Gap”- gambar dengan kotak hitam terputus) di
daerah selatan Jawa di antara koordinat bujur 109ºBT-112ºBT. Fenomena ini masih
menjadi misteri oleh para ahli dan tetap ada kemungkinan berpotensi terjadi gempatsunami. Disamping itu, berdasar data historis dan kajian mutakhir gempa-tsunami yang
terjadi di tahun 2006 Pengandaran menunjukan karakteristik gempa-tsunami yang unik
yang disebut sebagai “tsunami earthquake” (Ammon et al., 2006., Kanamori, 1972).
Gempa-tsunami dengan kategori ini prosesnya lambat, terjadi di daerah dangkal dekat
palung samudra dan menimbulkan tsunami yang lebih besar (2-3 kali) dibandingkan
dengan gempa-tsunami pada umumnya (Hanifa et al., 2007., Kongko and Schlurmann,
2011). Oleh karena proses kejadiannya lambat, goncangan akibat gempa yang dirasakan
relatif kecil dan diabaikan oleh masyarakat di daerah pesisir sehingga banyak
menimbulkan korban sebagaimana yang terjadi di gempa-tsunami 2006 Pengandaran dan
2010 Mentawai (Abidin et al., 2009., Newman et al., 2011).
SIMULASI MODEL TSUNAMI
Ilmu pengetahuan sampai saat ini belum dapat memprediksi kapan, dimana, dan
besaran gempa yang akan terjadi. Oleh karena itu, untuk mengkaji terjadinya gempatsunami dimasa datang dan dampaknya berupa landaan tsunami dan waktu penjalarannya
menuju daerah pesisir di lokasi kajian tertentu menggunakan beberapa pendekatan dan
skenario.
Skenario Gempa-Tsunami
Simulasi gempa-tsunami di selatan Jawa menggunakan skenario sumber
pembangkitan tunggal dengan lokasi pusat dan parameter gempa, seperti kedalaman dan
mekanisme fokal, dengan kemungkinan kondisi terburuk berdasar data historis.
Magnitude gempa diasumsikan terjadi di daerah “megathrust” di selatan Jawa dengan
magnitude ~M8.2. Dimensi „fault‟ berdasarkan perhitungan empiris (Papazachos et al.,
2004., Kongko, 2012) dengan perincian parameter gempa ditampilkan di Tabel 1.
29
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Tabel 1 Parameter Gempa dan Dimensi „fault‟
epicenter
L
W
Angle Parameters
Du
Depth
X
y
(km)
(km)
Strike
Dip
Slip
(m)
(km)
110.0277
-9.74115
300
150
280
10
90
4.46
15
Data Topografi-Batimetri
Data batimetri di perairan dalam (>-1000m) menggunakan data GEBCO 2008 dan
di perairan dangkal menggunakan TCARTA dengan masing-masing beresolusi 30” dan 3”
busur-detik. Data topografi menggunakan data SRTM dengan resolusi 1” busur-detik.
Sebagian besar data ini tersedia di internet dan di repository proyek kegiatan. Sampai saat
ini, sepengetahuan penulis, belum tersedia data yang lebih detil (seperti data
ITERMAP/LIDAR) daripada data tersebut di atas di lokasi kajian.
Model Numerik - Setup Model
Model numerik yang dipakai dalam kajian ini adalah TUNAMI yang merupakan
model 2 dimensi berdasar persamaan gelombang dangkal non-linier dengan penyelesaian
numerik beda-hingga. Model ini telah terkalibrasi baik dan dijadikan standar oleh IOCUNESCO dan telah dipakai untuk kajian tsunami di lebih 22 negara (Imamura et al.,
2006., Shuto and Fujima, 2009).
Untuk kajian ini dipakai model tersarang (nested grid) sebanyak 5 tingkat dengan
dimensi spasial dan waktu masing-masing 1851m(2d), 617m(1d), 206m(0.6d), 69m(0.4d),
dan 23m(0.2d) dengan waktu simulasi 5400 detik / 1.5 jam. Kekasaran dasar yang dipakai
untuk daerah dangkal dan daratan menggunakan tetapan “Manning” n=0.025 yang
mewakili tutupan lahan berupa pantai pasir alami terbuka/daerah perairan pantai (Imamura
et al., 2009).
Gambar 2. Sumber tsunami dengan gempa ~M8.1 sesuai skenario di Tabel 1
30
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Hasil Simulasi
Hasil simulasi adalah berupa ketinggian sumber tsunami, ketinggian maksimum
tsunami dan landaan tsunami di daerah studi, serta waktu penjalarannya.
Ketinggian sumber tsunami berdasar skenario sebagaimana Tabel 1 di atas adalah berkisar
-0.9m sd 1.8m seperti dalam Gambar 2. Untuk ketinggian tsunami maksimum dengan
waktu simulasi 5400 detik / 1.5 jam adalah ~22.5m sebagaimana ditampilkan di Gambar 3
di bawah. Sedangkan luas landaan tsunami di daerah studi di pesisir selatan DI
Yogyakarta (Kabupaten Bantul dan Kulonprogo) kurang lebih 20 km2 / 2000 Ha dengan
penetrasi maksimum hingga 2 km dan ketinggian >6m. Daerah terpapar terparah adalah
daerah sekitar muara Kaliprogo - Opak ke arah timur sampai ke Parang Tritis, dengan luas
genangan kurang lebih 13 km2 / 1300 Ha. Peta landaan tsunami untuk daerah Kab. Bantul
berdasar skenario pada Tabel 1 di atas ditampilkan di Gambar 4.
Untuk waktu penjalaran tsunami, 6 titik virtual lokasi yaitu di P.Trisik, P.
Pandansimo1, P.Pandansimo2, P.Samas, P.Depok, P.Parangtritis, dan P.Parangendok telah
disimulasikan. Titik-titik tersebut diambil di dekat pantai dengan kedalaman bervariasi 2m sd -7m. Waktu tiba tsunami pertama dengan ketinggian > 2m adalah pada menit ke 3340 tergantung lokasi. Grafik penjalaran waktu tiba tsunami ditampilkan pada Gambar 5.
Gambar 3 Ketinggian tsunami maksimum dengan gempa ~M8.1 simulasi 1 jam
31
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Gambar 4 Peta landaan tsunami gempa ~M8.1 di Kab. Bantul
Gambar 5. Waktu tiba tsunami di 6 titik lokasi di daerah pantai
UPAYA MITIGASI
Secara umum mitigasi bencana diartikan sebagai upaya/tindakan mengurangi
dampak dari suatu bahaya sebelum hal tersebut terjadi (Wells and Coppersmith,1994).
Terkait dengan upaya mitigasi bencana tsunami, secara garis besar dibedakan menjadi 2:
alami, yaitu penanaman vegetasi pantai dan pelestarian/perlindungan terumbu karang dan
32
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
buatan seperti pembangunan breakwater, sea wall serta mengadopsi konsep adaptasi
dengan membangunan infrastruktur yang lebih tinggi.
Berdasarkan pengalaman beberapa kali melakukan survei paska tsunami dan
belajar dari kejadian bencana tsunami terakhir di Mentawai 2010 dan Jepang 2011, penulis
berpendapat, tidak ada „single solution‟ yang efektif mengurangi dampak yang
ditimbulkan tsunami yang besar, kecuali dengan pendekatan masalah dari berbagai aspek.
Kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap potensi bencana, morfologi fisik
setempat yang unik di setiap daerah, serta kearifan lokal yang telah berkembang turun
temurun didukung oleh penentu kebijakan di tingkat lokal menjadi faktor yang dominan
dalam keberhasilan program mitigasi bencana tsunami.
KESIMPULAN
Potensi gempa-tsunami di selatan Jawa lebih rendah dibanding baratdaya Sumatra.
Namun demikian berdasar data historis kejadian di daerah ini masih tetap cukup tinggi.
Jika gempa berpusat di dekat palung dengan kedalaman dangkal, gempa yang terjadi
berpotensi dengan karakteristik „tsunami earthquake‟, dimana goncangan yang dirasakan
relatif pelan namun tsunami yang terjadi di daerah pesisir lebih tinggi dari tsunami akibat
gempa normal. Kajian tsunami melalui simulasi model dengan skenario terbatas untuk
daerah selatan Jawa dengan fokus daerah studi pesisir selatan DIY menunjukan landaan
tsunami yang terjadi signifikan. Gempa berskala ~M8.2 menyebabkan ketinggian tsunami
>6m di daerah pesisir selatan DIY dengan landaan tsunami bisa mencapai ~2km masuk
daratan dan menggenangi areal seluas kurang-lebih 20 km2. Waktu penjalaran tsunami
dari pusat gempa sampai di daerah pesisir selatan DIY berkisar antara 33-40 menit setelah
gempa terjadi.
Mempertimbangkan bahwa data yang dipakai dalam kajian ini menggunakan
resolusi medium-kasar, Untuk desain perencanaan infrastruktur di daerah pesisir dan
prediksi landaan tsunami untuk keperluan perencanaan evakuasi diperlukan data yang
lebih detil dengan mempertimbangkan beberapa skenario/multi scenario. Kombinasi
mitigasi berupa penempatan infrastruktur pada jarak yang aman di pantai, gumuk pasir,
dan sabuk hijau perlu juga dilakukan menggunakan data dengan resolusi yang lebih detil.
DAFTAR PUSTAKA
Bird, E.C.F. and Ongkosongo, O.S.R., 1980, Environmental Changes on the Coast of
Indonesia, The United Nations University, printed in Japan.
Fritz, H., Kongko, W., Moore, A., McAdoo, B., Goff, J., Harbitz, C., Uslu, B., Kalligeris,
N., Suteja, D., Kalsum, K., Titov, V., Gusman, A., Latief, H., Santoso, E., Sujoko,
S., Djulkarnaen, D., Sunendar, H. and Synolakis, C., 2007. Extreme run-up from
the 17 July 2006 Java Tsunami. Geophysical Research Letters, 34(L12602), pp.1-5.
Abidin, H.Z., Andreas, H., Kao, T., Ito, T., Meilano, I., Kimata, F., Natawidjaya, D.H. and
Harjono, H., 2009. Crustal deformation studies in Java (Indonesia) using GPS.
Journal of Earthquake and Tsunami, 3(2), pp.77-88.
Kongko, W., Suranto, S., Chaeroni, C., Aprijanto, A., Zikra, Z. and Sujantoko, S., 2006.
Rapid Survey on Java Tsunami 17 July 2006. Available at:
http://ioc3.unesco.org/itic/files/tsunami-Java170706_e.pdf.
ITDB/WLD, 2007. Integrated Tsunami Database for the World Ocean, ver.6.52 of Dec.31
2007, Tsunami Lab. ICMMG SD RAS, Novosibirsk, Russia.
33
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
USGS, 2010. Source Parameters of Earthquake Mw 6.5 above at Java Subduction Zone.
Available at: http://earthquake.usgs.gov/earthquakes/eqarchives/sopar/.
Ammon, C., Kanamori, H., Lay, T. and Velasco, A., 2006. The 17 July 2006 Java Tsunami
Earthquake. Geophysical Research Letters, 33(L24308), pp.1-5.
Kanamori, H., 1972. Mechanism of Tsunami Earthquakes. Physics of the Earth and
Planetary Interiors, 6(5), pp.346-359.
Hanifa, R.N., Meilano, I., Sagiya, S., Kimata, F. and Abidin, H.Z., 2007. Numerical
Modeling of The 2006 Java Tsunami Earthquake. Advances in Geosciences, 13,
pp.231-248.
Kongko, W. and Schlurmann, T., 2011. The Java Tsunami Model: Using Highly-Resolved
Data To Model The Past Event And To Estimate The Future Hazard Proceedings of
the International Conference on Coastal Engineering, No. 32(2010), Shanghai,
China. Paper : management.26. Retrieved from http://journals.tdl.org/ICCE/.
Newman, A.; Hayes, G.; Wei, Y. and Convers, J., 2011. The 25 October 2010 Mentawai
tsunami earthquake, from real-time discriminants, finite-fault rupture, and tsunami
excitation. Geophysical Research Letters, 38, 1-7.
Papazachos, B. C., Scordilis, E. M., Panagiotopoulos, D. G., Papazachos, C. B. and
Karakaisis, G. F., 2004. Global relations between seismic fault parameters and
moment magnitude of earthquakes. Tenth Congress Hellenic Geol Soc, XXXVI,
pp.539-540.
Imamura, F., Yalciner, A.C. and Ozyurt, G., 2006. Tsunami Modeling Manual, Disaster
Control Research Center, Tohoku University, Sendai, Japan.
Shuto, N. and Fujima, K., 2009. A short history of tsunami research and countermeasures
in Japan. Proceedings of the Japan Academy Series B: Physical and Biological
Sciences, 85(8), pp.267-275.
Newcomb, K.R. and McCann, W.R., 1987. Seismic History and Seismotectonic of the
Sunda Arc. Journal of Geophysical Research, 92(No. B1), pp.421-439.
Coburn, A.W., Spence, R.J.S., and Pomonis, A., 1994. Mitigasi Bencana. Cambridge
Architectural Research Limited, Edisi ke dua. UNDP Program Pelatihan
Manajemen Bencana
Wells, D.L. and Coppersmith, K.J., 1994. New empirical relationships among magnitude,
rupture length, rupture width, rupture area, and surface displacement. Bulletin Seismological Society of America, 84(4), pp.974-1002.
Kongko, W., 2012. Mitteilungen Heft 99: South Java Tsunami Model Using Resolved
Data Tsunamigenic Sources. Doctoral Dissertation at Franzius Institut, Leibniz
Universitaet Hannover Germany.
Imamura, F., Bernard, E. N. and Robinson, A., 2009. (Eds.) Tsunami Modeling:
Calculating Inundation and Hazard Maps. The Sea, the President and Fellows of
Harvard College, 321-329.
34
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Penerapan Oseanografi Operasional Melalui Infrastructure
Development of Space Oceanography (INDESO) Project untuk
Mendukung Program Disaster Risk Reduction (DRR) di Indonesia
Agus Setiawan1
1
Balai Penelitian dan Observasi Laut
Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan
ABSTRAK
Perkembangan teknologi penginderaan jauh dan komputasi numerik telah
memungkinkan dilakukannya interpretasi dan prakiraan terhadap fenomena yang terjadi di
laut dan potensial dampaknya bagi manusia. Penerapan oseanografi operasional dengan
memanfaatkan kombinasi dari teknologi tersebut dapat memberikan data dan informasi
mengenai fenomena laut dapat diberikan secara rutin dan menerus. Bahkan data dan
informasi tersebut dapat diperkirakan baik untuk masa lampau (hindcast), kondisi saat ini
(nowcast), maupun di masa yang akan datang (forecast) dan dimanfaatkan untuk
menganalisis potensial dampak dari suatu bencana alam di laut dan kawasan pesisir.
Berdasarkan pada pertimbangan tersebut, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan
dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mengimplementasikan
oseanografi operasional melalui Infrastructure Development of Space Oceanography
(INDESO) Project, yang tersusun atas 3 inti, yaitu model numerik oseanografi, pusat
sistem informasi, dan stasiun penerima data satelit. Kegiatan ini memiliki 7 aplikasi
rintisan, yaitu pemantauan di kawasan budidaya udang dan rumput laut, pemantauan
kawasan terumbu karang dan hutan bakau, pengelolaan terpadu wilayah pesisir,
pemantauan tumpahan minyak dan illegal, unregulated, and unreported (IUU) fishing,
serta pengelolaan stok ikan. Makalah ini menjelaskan beberapa pemanfaatan INDESO
Project dalam mendukung program disaster risk reduction (DRR) di Indonesia.
Kata kunci:
Oseanografi operasional, space oceanography, disaster risk reduction,
INDESO Project
ABSTRACT
The development of remote sensing technology and numerical computation has
already allowed the interpretation and forecasts of the phenomena occurring in the ocean
and its potential impact on human. The application of operational oceanography by
utilizing a combination of these technologies can provide data and information on marine
phenomena routinely and continuously. Moreover, the data and the information can be
predicted well for the past (hindcast), the current state (nowcast), and in the future
(forecast) and used to analyse the potential impact of a natural disaster in the marine and
coastal areas. Based on these considerations, the Agency for Marine and Fisheries
Research and Development, Ministry of Marine Affairs and Fisheries has implemented
operational oceanography through the Infrastructure Development of Space
Oceanography (INDESO) Project, which is composed of three cores, namely numerical
oceanographic models, central information system, and satellite receiving station. This
activity has 7 pilot application, namely monitoring the shrimp and seaweed farms, coral
reefs and mangroves, integrated coastal zone management, monitoring of oil spills and
illegal, unregulated, and unreported (IUU) fishing, as well as the management of fish
35
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
stocks. This paper explains some utilizations of INDESO Project in order to support
disaster risk reduction (DRR) programs in Indonesia.
Key words : Operational oceanography, space oceanography, disaster risk reduction,
INDESO Project
PENDAHULUAN
Penginderaan jauh dan komputasi numerik saat ini telah banyak digunakan untuk
menginterpretasikan dan memperkirakan fenomena-fenomena yang terjadi di laut dan
potensial dampaknya bagi manusia. Dengan menjalankan oseanografi operasional, yang
menurut definisi umum adalah kegiatan pengukuran di laut dan atmosfer yang bersifat
sistematis dan rutin termasuk di dalamnya kegiatan interpretasi yang cepat beserta
diseminasinya, maka data dan informasi hasil interpretasi dan prakiraan tersebut dapat
dimanfaatkan baik untuk kegiatan yang bersifat rutin, evaluasi terhadap perencanaan dan
pengelolaan yang sudah berjalan, maupun untuk perencanaan dan pengelolaan ke depan.
Hal ini memungkinkan untuk dilakukan karena secara umum oseanografi operasional
dapat menghasilkan produk-produk nowcast, forecast, dan hindcast. Adapun, secara
umum, komponen utama yang ada di dalam oseanografi operasional adalah sistem
observasi laut (yang menggabungkan antara pengukuran dengan menggunakan platform di
laut dan pantai seperti mooring buoy, teknologi satelit, dan kapal riset), sistem transmisi
dan data asimilasi yang dilengkapi dengan alat komputasi berkecepatan tinggi (untuk
mengolah data dan melakukan pemodelan numerik sehingga data yang dikumpulkan oleh
sistem observasi laut dapat memiliki nilai tambah) dan sistem diseminasi data (yang
berfungsi untuk meneruskan produk-produk yang dihasilkan ke para pengguna). Tsunami
Early Warning System (TEWS) adalah salah satu sistem yang mengacu pada konsep
oseanografi operasional ini yang khusus didedikasikan untuk peringatan dini bencana
tsunami.
Sebagai sebuah negara maritim, Indonesia sangat membutuhkan fasilitas yang
berbasis pada oseanografi operasional ini, baik untuk peringatan dini tsunami maupun
untuk hal-hal lain yang bersifat strategis seperti perhubungan laut, penangkapan ikan dan
budidaya laut, serta pencemaran laut. Terkait dengan hal tersebut, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) – Kementerian Kelautan dan
Perikanan berinisiatif untuk menerapkan konsep oseanografi operasional ini melalui
Infrastructure Development of Space Oceanography (INDESO) Project. Project ini
merupakan tindaklanjut dari Indonesia Global Ocean Observing System (Ina GOOS) yang
telah diluncurkan pada tahun 2005 oleh Menteri Kelautan dan Perikanan yang bertujuan
untuk lebih memahami lingkungan laut Indonesia dan kehidupan yang lebih baik di tengah
komunitas Internasional dan Deklarasi Manado (Manado Ocean Declaration) yang
dihasilkan di World Ocean Conference tahun 2009.
INDESO Project tersusun atas 3 inti, yaitu model numerik oseanografi, pusat
sistem informasi, dan stasiun penerima data satelit. Kegiatan ini memiliki 7 aplikasi
rintisan, yaitu pemantauan di kawasan budidaya udang dan rumput laut, pemantauan
kawasan terumbu karang dan hutan bakau, pengelolaan terpadu wilayah pesisir,
pemantauan tumpahan minyak dan illegal, unregulated, and unreported (IUU) fishing,
serta pengelolaan stok ikan. Mengacu pada definisi tentang Disaster Risk Reduction
(DDR) yang merupakan sebuah konsep dan praktik dalam rangka mengurangi resiko
bencana melalui upaya sistematis menganalisis dan mengurangi faktor penyebabnya, maka
produk-produk yang dihasilkan oleh INDESO Project dapat digunakan untuk mendukung
pelaksanaan DDR di Indonesia, terutama dalam hal yang berkaitan dengan pembangunan
berkelanjutan.
36
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
TENTANG INDESO PROJECT
INDESO Project merupakan project yang didukung oleh Pemerintah Perancis
dalam menyediakan solusi melalui teknologi space oceanography untuk mendukung
pengelolaan secara berkelanjutan sumberdaya kelautan dan perikanan di Indonesia yang
mencakup antara lain perikanan, budidaya laut dan lingkungan pesisir dan laut. Kegiatan
yang tercakup dalam INDESO Project adalah pembangunan, pengembangan dan
pengoperasian pusat pemantauan dan prakiraan, pengembangan sumberdaya manusia,
transfer teknologi dan ilmu pengetahuan, serta penerapan teknologi satelit dan pemodelan
laut yang berorientasi pada pembangunan sektor kelautan dan perikanan secara
berkelanjutan.
Gambar 1. Diagram Skematik dari INDESO Project
INDESO mencoba mengabungkan antara teknologi satelit dan komputasi numerik
untuk menghasilkan produk-produk yang dapat digunakan dalam berbagai aplikasi di
wilayah pesisir dan laut Indonesia. Project ini memiliki 7 aplikasi rintisan yaitu illegal,
unregulated, and unreported (IUU) fishing, pemantauan stok ikan (khususnya untuk 3
spesies tuna, yaitu tuna mata besar, tuna sirip kuning, dan cakalang), pemantauan terumbu
karang (khususnya di kawasan segitiga karang), pemantauan kegiatan budidaya udang dan
rumput laut, pengelolaan kawasan pesisir yang terintegrasi dan hutan bakau, serta
pemantauan tumpahan minyak di laut. Pusat operasional dari INDESO Project adalah di
Balai Penelitian dan Observasi Laut (BPOL) yang berada di Kabupaten Jembrana, Bali.
BPOL sendiri adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang didirikan tahun 2005 dan berada
di bawah Balitbang KP yang memiliki tugas dan fungsi melaksanakan kegiatan penelitian
dan pemantauan sumberdaya laut.
INDESO memiliki 3 sistem inti, yaitu stasiun penerima data satelit, model numerik
oseanografi, dan pusat data dan informasi. Stasiun penerima data satelit berfungsi untuk
mengakuisisi hasil pemantauan dari satelit RADAR yang mampu memberikan data secara
near real time dengan maksimum waktu akuisisi sekitar 30 menit. Sistem inti yang
pertama ini akan menghasilkan data RADAR yang mampu merekam citra dalam segala
cuaca baik siang maupun malam yang dapat digunakan untuk mendeteksi terjadinya
tumpahan minyak serta objek tertentu di laut (salah satunya adalah kapal) yang sangat
efektif untuk memantau terjadinya IUU Fishing.
Sistem inti yang kedua, yaitu model numerik oseanografi mengintegrasikan antara
model fisika oseanografi, biogeokimia laut, dan dinamika populasi ikan. Pemodelan ini
didukung oleh data masukan dari pengukuran satelit dan insitu serta bersifat operasional.
37
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Proses produksi dilakukan setiap pekannya (setiap hari Rabu) dengan kemampuan
peramalan (forecast) hingga 10 hari ke depan dan hindcast (memperkirakan kondisi di
masa lampau) hingga 15 hari ke belakang. Data dan informasi yang dihasilkan dari sistem
inti kedua ini adalah pola arus, suhu, salinitas, konsentrasi klorofil-a, konsentrasi nutrien,
oksigen terlarut, konsentrasi zooplankton, alkalinitas, pH yang kesemuanya dalam 3dimensi, dan biomassa ikan untuk jenis makanan tuna, tuna mata besar (bigeye), tuna sirip
kuning (yellowfin), dan cakalang (skipjack).
Sistem inti yang ketiga adalah pusat data dan informasi yang melingkupi
penyimpanan dan pengkatalogan seluruh produk INDESO Project beserta diseminasinya
melalui web-portal ke para pengguna. Melalui sistem inti yang ketiga inilah seluruh
produk INDESO dapat diakses oleh para pengguna sesuai dengan kebutuhannya. Adapun
alamat web-portal yang disediakan adalah http://www.indeso.web.id. Melalui sistem inti
yang ketiga ini para calon pengguna dapat mendaftarkan diri secara online untuk menjadi
pengguna dengan mengisi form yang tersedia dan menunggu persetujuan dari
Administrator INDESO yang akan dikirimkan melalui e-mail. Berikut adalah tampilan dari
web-portal tersebut:
Gambar 2. Web-portal INDESO
PRODUK INDESO DALAM MENDUKUNG PROGRAM DRR DI INDONESIA
Sebagaimana telah disampaikan pada bagian Pendahuluan bahwa mengacu pada
definisi tentang Disaster Risk Reduction (DRR), maka produk-produk yang dihasilkan oleh
INDESO Project secara garis besar dapat digunakan untuk mendukung pelaksanaan DDR
tersebut di Indonesia, khususnya dalam kaitannya dengan pembangunan yang
berkelanjutan. Sebagai sebuah negara maritim yang terletak di antara Samudera Hindia
dan Pasifik serta Benua Asia dan Australia, selain Ring of Fire yang menyebabkan
Indonesia rawan terhadap bencana alam berupa gempa bumi dan tsunami, terdapat pula
potensi lainnya yang disebabkan oleh dinamika laut dan atmosfer seperti digambarkan
pada Gambar 3 berikut:
38
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Gambar 3. Dinamika atmsofer dan laut di Benua Maritim Indonesia
Secara umum kondisi cuaca dan iklim di Benua Maritim Indonesia sangat
dipengaruhi oleh adanya interaksi laut dan atmosfer yang membentuk fenomena-fenomena
seperti monsun, El Nino Southern Oscillation (ENSO), Indian Ocean Dipole (IOD) dan
Siklon Tropis. Fenomena ENSO dan IOD dapat menyebabkan terjadinya anomali musim
di sebagian besar wilayah Indonesia, dimana pada saat terjadi El Nino hampir sebagian
besar wilayah Indonesia mengalami kekeringan yang berpotensi menyebabkan terjadinya
gagal panen, kebakaran hutan, krisis air bersih, dan lain-lain. Sebaliknya, pada saat La
Nina (fasa dingin dari ENSO), curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia menjadi
lebih tinggi dan berpotensi menyebabkan terjadinya banjir. Dampak negatif dari ENSO
tersebut ternyata sangat signifikan pada perekonomian negara-negara yang mengalaminya
(Cashin et al., 2014).
Pada sektor perikanan tangkap dampak ENSO juga sangat signifikan. Di Samudera
Pasifik khatulistiwa bagian barat, migrasi ikan tuna (khususnya Cakalang) sangat
dipengaruhi oleh pergerakan zona konvergensi yang diindikasikan oleh front suhu dan
salinitas permukaan laut, dimana pergerakan zona konvergensi ini memiliki korelasi yang
sangat kuat dengan Indeks Osilasi Selatan (IOS) (Lehodey et al., 1997) seperti ditunjukkan
pada Gambar 4. Pada saat El Nino (yang diindikasikan oleh nilai IOS yang negatif pada
panel sebelah kiri), zona konvergensi akan bergerak ke arah timur, sebaliknya pada saat La
Nina (diindikasikan oleh nilai IOS yang positif) zona konvergensi tersebut akan bergerak
ke barat. Rentang perpindahan front SST adalah antara 160°BT dan 160°BB (garis putusputus pada Gambar 4 panel tengah) sedangkan untuk SSS adalah antara 140°BT dan
160°BB (garis putus-putus pada Gambar 4 panel kanan). Adapun pola migrasi ikan
Cakalang, berdasarkan Catch Per Unit Effort (CPUE) memiliki korelasi 0,75 dengan
isotermal 29°C (Lehodey et al., 1997). Dengan demikian, pergerakan ikan Cakalang ke
perairan Indonesia bagian timur di Samudera Pasifik khatulistiwa akan banyak terjadi pada
saat La Nina, dan sebaliknya pada saat El Nino ikan Cakalang akan cenderung berpindah
ke Samudera Pasifik khatulistiwa bagian tengah dan timur. Jika kondisi ini sudah dapat
dipahami dan diperkirakan, maka pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap akan dapat
39
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
dilakukan dengan lebih baik, dan ancaman ENSO terhadap ketahanan pangan dan kegiatan
ekonomi perikanan tangkap di Indonesia sudah dapat diperkirakan lebih awal sehingga
dampak negatif dari penyimpangan yang terjadi dapat diminimalkan. Produk INDESO
berupa data SST dan SSS tentu saja dapat dimanfaatkan untuk memperkirakan kondisi ini.
Gambar 4. Pergerakan Zona Konvergensi di Samudera Pasifik Khatulistiwa Bagian Barat
yang Diindikasikan oleh Front Suhu Permukaan Laut (SST) dan Salinitas
Permukaan Laut (SSS) dan Keterkaitannya dengan Indeks Osilasi Selatan
(SOI).
Sementara itu, di Samudera Hindia selatan Jawa dampak negatif ENSO terhadap
perikanan tangkap justru terjadi pada saat La Nina, dimana La Nina cenderung
melemahkan upwelling yang umum terjadi di wilayah perairan ini. Sementara itu pada saat
El Nino upwelling yang terjadi justru semakin kuat. Sebagaimana diketahui, upwelling
yang terjadi dapat meningkatkan kesuburan perairan, dan hal ini lebih lanjut akan
meningkatkan jumlah tangkapan ikan karena ikan akan bergerak ke perairan yang subur
untuk mencari makanan. Produk INDESO berupa profil suhu air laut terhadap kedalaman
dan juga konsentrasi klorofil-a serta beberapa parameter biogeokimia yang dihasilkan dari
model biogeokimia dapat dimanfaatkan untuk menganalisis fenomena ini. Dengan
demikian, masyarakat atau pelaku penangkapan ikan yang beroperasi di Samudera Hindia
selatan Jawa dapat mengetahui lebih awal kondisi-kondisi yang dapat berdampak negatif
pada hasil tangkapan mereka.
Siklon tropis dapat membahayakan kegiatan yang dilakukan di wilayah pesisir dan
laut. Sebagaimana diketahui, pada saat terjadi siklon tropis, angin dan gelombang yang
terjadi bisa sangat ekstrim dan membahayakan bagi keselamatan pelayaran. Kejadian
siklon tropis dapat dideteksi melalui satelit meteorologi dan oseanografi. INDESO dengan
fasilitas antena penerima data satelit dapat berperan dalam memberikan informasi
mengenai kondisi cuaca ekstrim ini dan menginformasikannya melalui web-portal kepada
masyarakat. Dengan adanya informasi ini, maka diharapkan dampak negatif dari bencana
siklon tropis ini terhadap keselamatan jiwa manusia dapat dikurangi.
Hal serupa juga dapat dimanfaatkan untuk fenomena alam lainnya seperti monsun yang
kadangkala mengalami penyimpangan yang diakibatkan oleh ENSO dan IOD, dan IOD
40
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
yang juga dapat meningkatkan curah hujan di wilayah Jawa dan Sumatera ketika SST di
Samudera Hindia barat Sumatera berada di atas rata-rata (anomali positif).
PENUTUP
Selain dianugerahi laut yang luas dengan segala sumberdayanya yang berlimpah,
masyarakat Indonesia harus tetap waspada akan potensi bencana yang ada seperti tsunami,
gelombang badai, arus laut yang kuat, pencemaran laut, serta fenomena alam yang terjadi
di laut akibat adanya interaksi antara laut dan atmosfer di atasnya seperti ENSO, IOD,
monsun, dan siklon tropis. Ketersediaan data dan informasi dapat membantu kita lebih
mengetahui fenomena-fenomena tersebut beserta mekanisme terjadinya dan potensi
dampaknya, sehingga peringatan dini dapat dibuat dan disebarkan untuk mengurangi
dampaknya kepada manusia. Mengacu pada definisi Disaster Risk Reduction (DDR),
upaya sistematis untuk menganalisis dan mengurangi faktor penyebab bencana merupakan
salah satu kunci utama keberhasilan. Untuk itu sinergitas antar lembaga dalam melakukan
kegiatan dan pemanfaatan segala fasilitas yang tersedia di lembaga-lembaga tersebut harus
dilakukan untuk keberhasilan program DDR di Indonesia. Terkait dengan hal tersebut,
produk-produk yang dihasilkan oleh INDESO Project merupakan salah satu aset yang
dapat digunakan untuk mendukung pelaksanaan DDR di Indonesia, terutama dalam hal
yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Cashin, P., Mohaddes, K. and Raissi, M., 2014. Fair Weather or Foul? The
Macroeconomic Effects of El Niño. Cambridge Working Papers in Economics.
Lehodey, P., Bertignac, M., Hampton, J., Lewis, A., and Picaut, J., 1997. El Nino Southern
Oscillation and Tuna in the Western Pacific. Nature 389, 715-718.
41
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Mobile Apps and Post-Disaster Safety Check: Examples of Existing
Technology
Mota, L.1, Sugianto, S2 and Rizal, S.3
1
Corresponding author: University of Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia
2
University of Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia
3
University of Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia
ABSTRACT
Mobile technology has become easy affordable to purchase, allowing people to
send and receive information directly to someone using compatible devices, and also realtime monitoring of events, procedures or even meteorological circumstances. Although
communication systems can be struck during a natural disaster, as soon as mobile
networks are reestablished people try to use their furthermore devices to report they
condition or ask be rescued. Now a days, apps and social networking are commonly used
to share moments, feelings and mood states, but it can be used furthermore for postdisaster risk management. Internet search engines were used to find digital applications
related to tsunami warnings, and by typing specific keywords such as 'android+iphone
tsunami app' the most popular applications were listed for exploring features and postdisaster information. Software runs in different operational systems but all use the same
methodology for navigation through different functions and menus. All include an alert
message with information stored in cash data updated within a certain time period. The
most relevant findings are the Emergency 2.0 Wiki web-site with a list of emergency
smart-phone apps for Android and iOS, focused on global applications, and also for
specific countries such United Sates of America, New Zealand, Australia, and Singapore.
Furthermore, it includes five apps for people with a disability. The appcrawlr web-site
has 14 apps related with earthquake and tsunami alerts, and the facebook safety check
application is manly developed for social networking, to inform and check for other in
case of a tsunami, earthquake or crisis.
Key words: app, communication, information, post-disaster, social network
INTRODUCTION
The last five years has been revolutionary for the development of mobile
applications related with disaster-communication, making it more accessible through
smart-phones and tablets‟ digital applications (apps). Information rapidly reaches more
people at the same time without the need to be handled by media or a disaster agency.
George and Kim (2014) referred the use of social media on post-disaster situation as
becoming more common and on demand for useful apps to spread information about a
potential threat, communicate the user's current situation or checking on other people.
Post-disaster mobile apps have a huge variety of possible application such as help people
to find shelter, food, or fuel. Although mobile phones are mainly to talk and messaging,
Shih, Seneviratne, and Ilaria (2013) recorded smartphones being widely used for
operations including, chatting and acceding to social networks; they can get us further in
communication and be quite handy for disaster-risk reduction. Apps allow users to get
involved in crisis situations whenever they can connect to their network.
George and Kim (2014) studied previous cases related to the 2013 Boston
Marathon Bombing, Hurricane Sandy in 2012, the 2011 Great East Japan Earthquake and
42
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
the 2010 earthquake in Haiti, have been used for describing the level of use of digital
communication by governmental and non-governmental groups to try to find and identify
suspicious people. Another case reports to Nepal, where after the avalanche occurred on
October 15, 2014, social networking was used by the Annapurna Nepal Avalanche and
Blizzard Info Share Community (n.d.), creating a Facebook (FB) page to share updated
information about the natural disaster and help Internet users to track hikers. The
community site has published a link to a blogspot containing a list of people trekking on
the Annapurna at that time, and as well helpful information related to last known locations
and status update of the rescue efforts.
The objective of this paper is to give examples of mobile apps for post-disaster
safety check available for typical smartphones or tablets. Mobile apps work based on
server updates to feed mobile devices whenever connected to a network, and usually done
through subscribed data pack or Wi-Fi connection. The self-contained program
downloaded to the device, the app, is intuitive to allow users to navigate through different
menus and use the powerful web browser specifically designed to list selected information.
Niroshinie, Seng and Wenny (2013) has observed some programs requiring location data
in order to combine with specific Features and Samantha (2014) described Post-disaster
apps as able to triangulate information collected from the user's profile, Internet Protocol
address (IP address) from the last login registered, and GPS coordinates from the rescue
team or where the disaster has happened. Furthermore, user's profile with a registered
phone number might have the possibility to receive notification via SMS with updated
information related to the disaster. For more advanced devices, apps can be set to record
sound and video to be sent together with GPS location to the server. Once uploaded, the
information is resent to local emergency service.
METHODOLOGY
An extensive research was conducted on-line to expose the three most popular
search engines used for finding mobile apps related with post-disaster risk management.
Elbel Consulting Services (2014) states Google and Yahoo search engines as the most
common to be used, with 50% and 25% of the market share. Web sites get ranked
according to their users‟ preference, visibility and clicks. Also different operational
systems equipping mobile devices, tablets and personal computers were analyzed based
on Internet reviews to find relevance and usability for suitable apps related to subject in
study.
RESULTS
Post-disaster mobile apps
At the time of this research, and based on Internet reviews, the three most popular
search engines used to find post-disaster mobile apps were Google, Yahoo and Bing, and
from a list of four relevant operational systems running digital applications only Android
and iOS for iPhone/iPad were found relevant by user's preference. Windows Operational
System for phone and tablets, Blackberry Operational System for the same brand
company name, and web Open Source (webOS) a Linux kernel-based operating system
used by Hewlett-Packard, Palm, and now LG were not relevant for the study.
To reduce bias when typing the keywords 'android+iphone tsunami app', each search
engine was tested on three different days and on three different computers using different
IP address. Although they were tested four different operational systems, the list revealed
interesting links only for Android and iOS. Their play store called Google Play and iTunes
was also listed among interesting pages such as Emergency 2.0 Wiki apps, Appcrawlr,
43
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
sites directed to inform the public about preparedness, response and recovery from natural
disasters. Another interesting site was the new application developed by FB, called
Facebook Safety Check which was launched right when the avalanche in Nepal has
occurred.
Emergency 2.0 Wiki Apps
The site is a global source for users of new technologies and social media applied
to emergencies allowing user's interaction with software using web 2.0. The general
overview is divided in general apps and some other specifically designed for countries
like United States of America, Australia, New Zealand, and Singapore. Seven global apps
developed for iOS related with disaster alert can be downloaded for earthquake, tsunami,
storm surge, emergency SOS, crowd sourcing and emergency recovery, and only three for
Android. Regarding individual countries listed, apps give alert for first aid, emergency
awareness and preparation, hurricane, emergency recovery, emergency SOS, bus-fire, and
volunteering. An interesting fact is that Emergency wiki 2.0 has four apps for people with
disability where in some cases apps have a screen reader suitable to visual disability, and
assists to navigate through the different functions to give relevant information, apps for
deaf and hearing impaired users. There is one app specifically designed to assist
individuals with Autism Spectrum Disorders (ASD) and communicate in case of
emergency.
Appcrawlr
The website is an app discovery engine and a keyword filter can be applied to be
more specific on the type of applications users are looking for. The best key-wording to
find apps related with post-tsunami safety check is simply writing 'tsunami alert' and 14
apps were displayed with print-screens and some information about individual features for
each app. For indecisive users, there is the possibility to compare different apps and a new
table will be displayed with key points for comparison, such as price, users rating, the
number of reviews each app has, and even a popularity trend is shown for appreciation.
Facebook Safety Check
October 16, 2014 was the official day for FB to launch a new digital application
for natural disaster or crisis information. The safety check is an application included on
facebook, and can be acceded on-line though the FB personal page or in any mobile
device with web browser or FB app. The tool uses personal information and location from
the user's profile, and in case of a natural disaster, or crisis, FB sends a notification to the
user asking if he/she is safe. After answering this question, the whole personal network
can be immediately informed about the status. The FB tool is set for post-quake, posttsunami or post-bush-fire checking, and based on the last login information, IP address,
and local updates, FB issues a notification asking if the user is safe, and only after
receiving an answer is then generated a feed to the user's personal friends list linked to the
tool. In case the user is not in the affected area, there is an option to inform that he/she is
outside the affected area. The use of social networks has reference to the 2011 Japanese
earthquake-tsunami and, when people tried to communicate and tell about their situation.
Three simple functions give chance to check notifications, say they are safe and check on
others. For sure during natural disasters, communications go down, although as soon as
users manage to have reception on their phones or connect to the Internet, he/she can start
the feed.
44
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
CONCLUSION
New technologies can be very handy for users seeking safety and also be a good
asset for post-disaster risk management, the actual demand for mobile apps shows the
interest on safety and what concerns have become more common. Currently, software
developers design apps suitable to provide precise information about a certain subject, for
example alerts can be displayed on smarphones and users can share the same message by
adding a feed in their social network. Information spreads very fast and is able to reach
more people at the same time, although since the moment the mobile device is not
connected to a network, or does not have data pack service, the apps is not accurate, or
does not work, requiring connection for data update from the server.
Likewise on Chan's (2012) study, there are also concerns about failure to
communicate in case networks are down due to a disaster, forcing users to relocate to
coverage areas to communicate and report their situation. Although, there are also apps
able to provide information to mitigate impacts and provide guidance to find shelters or
deliver first aid to someone in the need. Apps can also be educative.
ACKNOWLEDGMENT
This article is part of the EXPERTS4Asia post-doc consortium grant # 20123916
at the University Syiah Kuala, in Indonesia, with the research permit #
281/SIP/FRP/SM/IX/2014 to conduct research for tourism development on post-disaster
affected areas.
REFERENCES
Chan, Wen Kai (2012). Operational effectiveness of smartphones and app’s for
Humanitarian Aid and Disaster Relief (HADR) operations – a systems
Engineering study. (Master‟s thesis, Naval postgraduate school, Monterey,
California). Retrieved from http://www.hsdl.org/?view&did=725983
Elbel Consulting Services, LLC (2014). Retrieved November 14, 2014, from
http://www.elbelconsultingservices.com/index.html
George, H., & Kim, H. (2014). Disaster Communications in a Changing Media World.
Waltham, MA, USA: Butterworth-Heinemann.
Niroshinie, F., Seng, L., & Wenny, R. (2013). Mobile cloud computing: A survey. Future
Generation Computer Systems, 29, pp. 84–106. doi:10.1016/j.future.2012.05.023
Shih, F., Seneviratne, O., Ilaria L., Evan, P., Patrick, M. & Carlos, C. (2013).
Democratizing Mobile App Development for Disaster Management. In Sebastian
B., Anika S., Stephan S., Freddy L., Biplav S., Zaiqing N., & Christian G. (Eds.).
Joint Proceedings of the Workshop on AI Problems and Approaches for Intelligent
Environments and Workshop on Semantic Cities (AIIP '13), ACM (pp. 39-42), New
York, NY, USA.
Samantha, R. (2014, November 16). An „App‟ for everything; But can Apps for Disaster
save
lives?
Risk
Management
Magazine.
Available:
http://www.risktaisaku.com/sys/enarticle/?p=59
The Annapurna Nepal Avalanche and Blizzard Info Share Community (n.d.). In Faebook
[Fan page]. Retrieved from https://www.facebook.com/pages/Annapurna-NepalAvalanche-and-Blizzard-Info-Share/336895043154367
45
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Pemanfaatan Layar Perangkat TIK Masyarakat Untuk Penanganan
Data dan Informasi Bencana
(Studi kasus integrasi perangkat Digital Signage dan SMS Gateway)
Arie Budiansyah1
1
Perekayasa, Jurusan Informatika FMIPA, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia
ABSTRAK
Pengetahuan mengenai bencana sangat penting dalam kehidupan manusia.
Informasi bencana selama ini diberikan oleh BMKG dan BNPB melalui peralatanperalatan yang mengobservasi situasi di suatu tempat. Jika informasi bencana perlu
disampaikan kepada masyarakat maka digunakan 2 cara yaitu sirene suara dan broadcast
pesan melalui siaran televisi. Penelitian ini mengusulkan pemanfaatan layar perangkat
TIK seperti televisi, komputer, HP, Tablet, dan sebagainya yang ada dimasyarakat atau
yang dimiliki masyarakat agar dapat menerima informasi bencana tanpa mengganggu
aplikasi yang sedang tampil di layar perangkat tersebut. Sasaran penelitian ini adalah
memanfaatkan layar perangkat TIK yang ada dimasyarakat atau dimiliki masyarakat dan
dapat diintegrasikan ke perangkat yang sudah ada milik BMKG dan BNPB. Tujuan
penelitian ini agar penanganan informasi bencana semakin luas dan baik yang berdampak
pada dapat meminimalisir resiko atau dampak bencana (Disaster Risk Reduction).
Kata kunci: Informasi bencana, penanganan informasi bencana, layar perangkat TIK
masyarakat, digital signage, SMSGateway
ABSTRACT
Knowledge of disaster is very important in human life. Disaster information has
been provided by the BMKG and BNPB through equipment that observing situation
somewhere. If information needs to be conveyed to the public then it will broadcast in 2
ways, siren sound and broadcast messages on television. This research proposes the use
of ICT devices such as television screens, computers, mobile phones, tablets, and so on
that exist in the community in order to receive disaster information without interrupting
the application that is being displayed on the screen of the device. The target of this
research is to utilize the existing ICT devices screen in the community or communityowned and can be integrated into existing devices belonging BMKG and BNPB. The
purpose of this study are handling of the disaster information more widely and better to
minimize impact of disasters (Disaster Risk Reduction).
Key words: Disaster information, disaster information management, screen of ICT
devices, digital signage, SMSGateway
46
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
PENDAHULUAN
Konsep dasar sistem pada dasarnya terdiri dari 3 bagan utama. Bagan pertama
pemberi input, bagan kedua proses atau observasi, bagan ketiga adalah keluaran berupa
informasi yang perlu diteruskan ke masyarakat atau informasi yang perlu diobservasi.
Relasinya diterapkan pada tiga tahap dalam penanganan kebencanaan. Pertama
pencegahan atau peringatan dini, kedua tahap penanganan bencana, dan tahap ketiga
pemulihan setelah terjadi bencana (Cioca, et al., 2008 dan Ang, et al.,2010)
Penelitian ini fokus pada penanganan informasi seperti publikasi atau sosialisasi
dan kordinasi di ketiga tahap penanganan bencana tersebut. Data dan informasi memiliki
posisi penting agar dampak resiko bencana dapat dihindari atau diminimalisir.
Berdasarkan pengalaman sering kita lihat tidak adanya atau keterlambatan data atau
informasi dalam tahap penanganan bencana menimbulkan berbagai dampak dari
ketidakteraturan penanganan, kerusakan alam yang luas, pemetaan yang tidak jelas,
ketidaktepat sasaran, dan lain sebagainnya. Persoalan ini muncul bermula dari dari
penanganan informasi yang kurang baik salah satunya kurangnya fasilitas penanganan
data dan informasi sehingga kita minim terhadap pengetahuan kebencanaan.
Spesifikasi Objektif
Bencana adalah kejadian yang berdampak terhadap kehidupan makhluk hidup.
Oleh karena itu pengetahuan terhadap hal ini sangat penting. Untuk pemanfaatan
teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dibutuhkan tetapi masalahnya hal ini
memerlukan investasi besar (Narman, et al., 2009 dan Xia, et al., 2009). Jadi mengapa
tidak menggunakan perangkat TIK yang ada di masyarakat atau milik masyarakat sebagai
media informasi bencana? Keberadaan perangkat TIK ini alangkah baiknya jika dapat
dimanfaatkan atau diikut sertakan dalam sistem penanganan bencana. Hasil dari penelitian
ini dapat dipergunakan tidak hanya untuk informasi bencana tetapi secara luas terhadap
penanganan data dan informasi di berbagai aktifitas masyarakat.
Penelitian ini menyimpulkan penanganan informasi bencana harus memenuhi 2
sasaran utama. Pertama, pemanfaatan perangkat TIK yang ada dimasyarakat atau milik
masyarakat agar dapat menerima informasi di 3 tahap penanganan bencana. Kedua,
mengintegrasikan sistem bencana yang sudah ada ke sistem ini sehingga memperluas
penyebaran informasi. Dengan pemanfaatan perangkat TIK dimasyarakat maka data dan
informasi bencana diharapkan langsung digenggaman masyarakat untuk meminimalisir
resiko bencana.
Untuk mewujudkan sasaran utama tersebut, kami merancang sistem tanggap
darurat berbasis teknologi open source yaitu digital signage (Bauer, et al., 2011; Huang
and Tsou, 2010; Huh, et al., 2014; Hyun, et al., 2014 dan Kim, et al., 2013) dan
SMSGateway (Saleem and Doh, 2009; Siang, et al., 2003 dan Firdaus, 2010). Digital
signage adalah sebuah teknologi informasi dan komunikasi yang dapat menampilkan dan
mengendalikan informasi digital berbentuk teks, gambar, video, atau suara di layar
perangkat digital seperti televisi, komputer, laptop, hp, tab dan lain sebagainnya. Software
Digital Signage dikembangkan oleh organisasi non-profit Digital Signage Federation dan
Digital Screenmedia Association (Wikipedia, 2014). Oleh karena itu bisa dikembangkan
termasuk termasuk dikomersilsasikan oleh siapa saja. SMSGateway adalah sebuah
teknologi pengelolahan pesan singkat teks SMS (short messaging service). Penelitian ini
adalah penelitian awal merancang sistem penanganan data dan informasi bencana oleh
group riset digital signage Jurusan Informatika Unsyiah.
47
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Spesifikasi Teknis
a. Perangkat keras (Hardware) TIK
Perangkat keras atau lebih dikenal dengan istilah hardware adalah alat berbentuk
fisik yang dipergunakan mengirim dan menerima informasi dan komunikasi. Secara garis
hardware yang dibutuhkan adalah hadware yang sering digunakan oleh masyarakat,
namun jika alat tersebut jarang tetapi dimungkinkan dapat dipergunakan dalam sistem ini.
Adapun hardware tersebut adalah komputer, laptop, televisi, HP, tablet, jam digital,
videotron, LCD proyektor.
b. Perangkat Lunak (Software)TIK
Perangkat lunak atau lebih dikenal dengan nama software adalah sebuah program
non fisik yang mengendalikan hardware dalam proses mengirim, memproses, dan
menerima informasi dan komunikasi. Berbagai program di TIK diproduksi secara
komersial maupun open source. Program komersial artinya pengguna harus membeli
sebelum menggunakan sedangkan open source pengguna tidak perlu membeli, dapat
mengembangkan lebih lanjut termasuk mengkomersilkannya. Program open source
dikembangkan oleh banyak orang untuk tujuan pendidikan. Pada penelitian ini pemilihan
program open source dipergunakan agar dapat dikembangkan sistem bencana ini. Adapun
software yang dipergunakan adalah software yang telah dijelaskan pada sub bab objektif
diatas yaitu software digital signage dan SMSGateway.
c. Jaringan komunikasi data (Communication Data Network)
Jaringan komunikasi data yang digunakan pada sistem ini adalah suatu jaringan
yang menghubungkan hardware dan software yang digunakan agar terbentuk sistem
bencana. Ada 3 jenis jaringan yang dipergunakan saat ini pertama jaringan internet, kedua
jaringan cloud, ketiga jaringan BTS (Base Transmitter Service) atau jaringan operator
seluler GSM/CDMA. Jaringan internet digunakan untuk layanan RSS (Rich Site
Summary) yang bertugas mengambil pesan teks yang dikirim melalui protocol HTTP,
jaringan cloud digunakan untuk menjangkau software digitalsignage yang diletakan di
terminal-terminal atau perangkat informasi dan komunikasi masyarakat sedangkan
jaringan BTS GSM diperuntukan untuk transmisi pesan singkat teks SMS. Namun
dimungkinkan juga penggunaan jaringan operator seluler satelit BYRU, pengiriman pesan
MMS (Multimedia Message Service) seperti gambar, yang mengambil konten internet ke
HP, dan jaringan radio FM/AM untuk pengembangan penelitian di masa yang akan
datang.
RANCANGAN SISTEM
Sistem bencana yang diusulkan pada penelitian ini harus dapat mencapai 2 sasaran
yang ditetapkan yaitu memanfaatkan perangkat informasi dan komunikasi yang
dipergunakan masyarakat dan dapat diintegrasikan ke sistem bencana yang sudah ada.
Secara skema rancangan dapat dilihat sebagai berikut.
Skema rancangan sistem bencana ini dibentuk berdasarkan menurut fungsi
jaringan komunikasi datanya. Pertama fungsi jaringan cloud digital signage, kedua
jaringan RSS dengan protokol HTTP/HTTPS, dan jaringan SMSGateway berbasis
jaringan BTS GSM dan jaringan client-server.
48
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Gambar 6. Skema rancangan sistem penanganan data dan informasi bencana
a. Jaringan Cloud Digital Signage
Jaringan cloud digital signage yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
jaringan cloud digitalsignage (http://www.digitalsignage.com). Layanan cloud yang
digunakan ada SaaS (Software as a service) maksudnya adalah pengguna dapat
mempergunakan aplikasi software berikut databasenya melalui aplikasi cloud client.
Pengguna tidak perlu membangun infrastruktur, platform, aplikasi karena semua fasilitas
tersebut telah disediakan oleh digitalsignage. Namun penggunaan SaaS perlu registrasi
dan tetap gratis dengan batasan. Kapasitas konten digital yang dapat ditampung sebesar
1000Mbytes atau 1 GigaBytes.
Gambar 7. Pengendalian konten digital di jaringan cloud digital signage
Pada jaringan ini, setiap perangkat informasi dan komunikasi masyarakat
contohnya televisi, monitor yang akan dipergunakan untuk menampilkan informasi
bencana harus dinstal aplikasi cloud client yaitu signage player. Kemudian kita perlu
aplikasi cloud client lain yang berfungsi mengelola konten dan tampilan layar model layar
berbagi penuh, layar berbagi 2, layar berbagi 3, dan seterusnya.
1. Aplikasi Signage Studio merupakan aplikasi software yang berfungsi mengelola
konten digital yang akan ditampilkan pada layar perangkat digital. Sebuah layar
dapat dibagi peruntukan informasinya seperti scene satu untuk siaran televisi, scene
49
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
2 untuk poster gambar, scene 3 untuk menampilkan pesan singkat teks SMS berupa
teks berjalan.
2. Aplikasi Signage Client adalah aplikasi software yang diinstal pada layar perangkat
digital. Fungsi aplikasi ini adalah menampilkan hasil pengolaan konten berikut form
template scene yang telah disusun sebelumnya.
3. Layar media adalah layar media perangkat digital seperti televisi, monitor, laptop,
HP, Tablet, videotron.
b. Jaringan RSS protokol HTTP/HTTPS
Zhu and Wang, (2010) Jaringan RSS) merupakan ringkasan informasi atau berita
sebuah website yang dikirim melalui protocol HTTP/HTTPS sebuah protocol yang
mengelola data HTML. Pada jaringan ini akan mengambil pesan singkat teks SMS dari
sistem SMSGateway yang terbuka secara public ke internet. Setiap pesan singkat teks
SMS yang dikirimkan melalui jaringan operator BTS GSM akan kelola di sistem
SMSGatewat. Oleh karena itu konektivitas jaringan operator BTS GSM/CDMA dan
jaringan cloud digitalsignage terbentuk.
1. Aplikasi Web Server adalah aplikasi untuk mengelola konten di jaringan web
internet WWW dengan protocol HTTP/HTTPS. Pada sistem ini digunakan apache
web server (http://www.apache.org).
2. RSS atau Rich Site Summary adalah ringkasan informasi atau berita sebuah
website. RSS dikompilasi dalam bentuk XML (extensible markup language)
sehingga dapat berbentuk teks tanpa kode HTMLnya.
3. IP Publik digunakan untuk penomoran alamat web server agar dapat dihubungi
darimana saja.
c. Jaringan SMS Gateway
Jaringan SMSGateway adalah jaringan operator BTS GSM/CDMA yang
dihubungkan dengan jaringan data WWW berbasis protocol HTTP/HTTPS untuk
mempublikasi pesan singkat teks SMS yang didapat agar dapat dibaca oleh jaringan cloud
digital signage.
Perangkat yang digunakan pada jaringan ini adalah sebagai berikut:
1. Perangkat BTS milik operator seluler GSM/CDMA. Perangkat ini hanya dapat
dikendalikan oleh operator seluler namun kita dapat memnafaatkan keluarannya
yang berupa konten teks, gambar, suara, dan video.
2. Modem GSM/CDMA adalah sebuah alat transmisi data internet melalui jaringan
operator seluler biasanya 2G, 3G, 3,5 G, dan 4G.
3. Aplikasi GAMMU (http://wammu.eu) adalah aplikasi pengelola pesan singkat teks
SMS di sebuah komputer atau laptop. Setiap SMS yang diterima akan disimpan ke
sebuah database.
4. Aplikasi Kalkun (http://kalkun.sourceforge.net) adalah aplikasi GAMMU berbasis
web. Dengan aplikasi ini monitoring dan pengelolaan pesan singkat teks SMS
50
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
menjadi lebih menarik, interaktif dan mudah (tidak memerlukan aplikasi database
klien).
5. Database MySQL (http://www.mysql.com) adalah aplikasi penyimpanan data pesan
singkat SMS, GAMMU, dan Kalkun
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sistem penanganan data dan informasi bencana yang dirancang dalam penelitian
ini berhasil menggabungkan 3 buah jaringan komunikasi data yaitu jaringan data WWW
(World Wide Web) berbasis internet, jaringan BTS seluler GSM/CDMA, dan jaringan
cloud digital signage. Investai perangkat hardware untuk membentuk sistem ini hanya 3
buah yaitu modem GSM/CDMA, TV Tuner, mini PC, sewa jaringan internet, dan
pemanfaatan jaringan BTS seluler GSM/CDMA yang jika dinilai nominalnya dibawah
Rp. 5 juta rupiah tetapi dapat menjangkau seluruh daerah yang ada jaringan internet.
Investasi perangkat software yang digunakan open source atau gratis digunakan dan
dikembangkan yang bernilai Rp.0,-.
Gambar 8. Layar monitor yang terbagi 3 scene. Scene 1, siaran tv kabel, scene 2, poster
gambar, scene 3, pesan singkat sms dalam bentuk teks berjalan. Pada ujung
kiri terdapat logo unsyiah.
Kehadiran sistem ini memungkinkan mengirim data dan informasi dari mana saja,
kapan saja, melalui fitur pengiriman pesan singkat teks SMS kemudian disebar ke
perangkat TIK di masyarakat atau milik masyarakat tanpa menganggu aplikasi yang ada
diperangkat TIK tersebut. Uji coba telah dilakukan dengan menerapkan penanganan
informasi di Gp. Rukoh dan Pustaka Unsyiah. Pada implementasi di Gp. Rukoh, aparat
gampong dapat menyebar informasi melalui HPnya sendiri ke televisi di warung kopi
yang telah diset aplikasi sistem ini tanpa mengganggu siaran televisi yang sedang
berlangsung. Pada implementasi di pustaka unsyiah pun berlaku hal yang sama.
51
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Gambar 9. Implementasi digital signage dan SMSGateway
KESIMPULAN
Sistem penanganan informasi bencana ini sangat bermanfaat luas, mudah
diimplementasi tidak mengganggu aplikasi yang sedang berjalan dan memiliki nilai
investasi perangkat TIK (hardware ataupun software) yang kecil. Dimungkinkan kedepan
dilakukan penelitian untuk mengembangkan fitur-fitur layanan informasi seperti MMS,
pemanfaatan jaringan satelit BYRU, radio FM/AM, hingga kode morse seperti telegram.
Pengembangan ini dimungkinkan karena penggunaan software yang berbasis open source
yang banyak tersedia di internet.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kami ucapkan kepada Jurusan Informatika Unsyiah sebagai lembaga
yang memfasilitasi penelitian ini serta rekan-rekan kerja atas kerjasama dan dukungannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ang H. China‟s Emergency Management Mechanisms for Disaster Prevention and
Mitigation. IEEE; 2010 [cited 2014 Nov 7]. p. 2403–7. Available from:
http://ieeexplore.ieee.org/lpdocs/epic03/wrapper.htm?arnumber=5592712
Bauer C, Dohmen P, Strauss C. Interactive Digital Signage - An Innovative Service and Its
Future Strategies. 2011 International Conference on Emerging Intelligent Data and
Web Technologies (EIDWT). 2011. p. 137–42
Cioca M, Cioca L-I, Buraga S-C. SMS disaster alert system programming. 2nd IEEE
International Conference on Digital Ecosystems and Technologies, 2008 DEST
2008. 2008. p. 260–4.
Firdaus bin Haji Sidek S. The development of the short messaging service (SMS)
application for the school usage. Information Technology (ITSim), 2010
International Symposium in. 2010. p. 1382–6.
52
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Huh MY, Hyun W, Kim SH, Kang SG. Design of disaster alerting functionality for digital
signage service. 2014 16th International Conference on Advanced Communication
Technology (ICACT). 2014. p. 618–21.
Huang Y-T, Tsou C-W. Adoption of digital signage and application technology in
medium-sized enterprises in Taiwan. 2010 40th International Conference on
Computers and Industrial Engineering (CIE). 2010. p. 1–5.
Hyun W, Huh MY, Kim SH, Kang SG. Study on design and implementation of audience
measurement functionalities for digital signage service using Kinect camera. 2014
16th International Conference on Advanced Communication Technology (ICACT).
2014. p. 597–600.
Kim E, Lee HJ, Lee DH, Jang U, Kim HS, Cho KS, et al. Efficient contents sharing
between digital signage system and mobile terminals. 2013 15th International
Conference on Advanced Communication Technology (ICACT). 2013. p. 1002–5.
Narman P, Sommestad T, Sandgren S, Ekstedt M. A framework for assessing the cost of
IT investments. Portland International Conference on Management of Engineering
Technology, 2009 PICMET 2009. 2009. p. 3154–66. Saleem M, Doh K-G. Generic
Information System Using SMS Gateway. Fourth International Conference on
Computer Sciences and Convergence Information Technology, 2009 ICCIT ‟09.
2009. p. 861–6.
Siang BK, Bin Ramli AR, Prakash V, Bin Syed Mohamed SAR. SMS gateway interface
remote monitoring and controlling via GSM SMS. 4th National Conference on
Telecommunication Technology, 2003 NCTT 2003 Proceedings. 2003. p. 84–7.
Wikipedia, the free encyclopedia. 2014 [cited 2014 Nov 19]. Available from:
http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Digital_signage&oldid=633684125
Xia W, Chunjing G, Xianjun G. Analysis of Urban Disaster Prevention Engineering
Investment: Cost-Benefit Analysis and Cost-Effectiveness Analysis Approaches.
International Conference on Management and Service Science, 2009 MASS ‟09.
2009. p. 1–4. Kim E, Lee HJ, Lee DH, Jang U, Kim HS, Cho KS, et al. Efficient
contents sharing between digital signage system and mobile terminals. 2013 15th
International Conference on Advanced Communication Technology (ICACT).
2013. p. 1002–5.
Zhu J, Wang H. Application of e-commerce personality searching based on RSS. 2010 The
2nd IEEE International Conference on Information Management and Engineering
(ICIME). 2010. p. 197–9.
53
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Roles of Aceh Tsunami Museum Towards Global Disaster Risk
Reduction Efforts: A Local Knowledge-Based Approach of Future
Community‟s Resilience
R. Fahlevi1, Rahmadhani2
1
2
Head for Aceh Culture and Tourism Agency, Aceh Government,
Director for Programming, Aceh Culture & Tourism Agency/Secretary for Taskforce Team
for Aceh Tsunami Museum, Aceh Government
ABSTRACT
The Indian Ocean disasters of December 26th, 2004 measuring 9.2 on the Richter
scale triggered a massive Tsunami disaster, devastating shores of several countries, such
as Indonesia, Sri Lanka, India, Thailand and other countries along the Asia Pacific rim.
The coastal areas of Aceh, one of Indonesia’s most western provinces, were heavily
ravaged. As a result, the loss of life and destruction were tragic and Aceh’s economy was
seriously brought into shambles. As we are now living in the areas of shifting tectonic
plates “ring of fire”, which are constantly vulnerable of future unforeseen disaster threats,
it is a priority to live harmony with disasters by building communities’ awareness through
the establishment of the Aceh Tsunami Museum (ATM) as one of effective media towards
the disaster risk mitigation or preparedness. This paper investigates the effective and
productive roles of the ATM as a center for mitigation, recreation and evacuation. As a
symbol of strength, patience, and resilience of the Acehnese during the past catastrophic
Indian Ocean disasters, the ATM has served not only as a 2004 symbolic reminder, but
also as a fundamental media for education and reconstruction in preserving and
disseminating the live stories and lessons learnt known as “TeLL-Net” from past disaster
experiences by always engaging the survivors and visitors. This method and other various
methods of using IT for sharing experiences towards global disaster risk reduction efforts
of future disaster hazards will also serve as a tool for future community’s resilience.
Key words: Tsunami, Museum, Disaster, TeLL-Net, Risk and Reduction
INTRODUCTION
In mere moments, natural disasters have the power to devastatingly destroy the
livelihood, human communities and human cultures built over generations. The Indian
Ocean disaster of December 26th, 2004, for an example, the powerful earthquake
measuring 9.2 on the Richter scale triggered a massive Tsunami disaster, destructing
shores of several countries encompassing Indonesia, Sri Lanka, India, Thailand and other
countries along the Asia Pacific rim.
The coastal areas of Aceh, one of Indonesia‟s most western provinces, was also
ravaged by the Tsunami. As a result, the loss of life and destruction were tragic and
unavoidable, and Aceh‟s economy with its population of approximately 4.1 million in
2003 was badly affected with a large scale devastation of physical capitals, human
resources and livelihood.
As the devastation was massive, the reconstruction efforts were mainly aimed at
providing humanitarian aids, rebuilding the shattered economy and creating a politically
stable environment. In the face of emergency, Aceh‟s post disaster recovery was not all
about stones, cements and other physical issues, but also encompassed other non physical
54
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
issues of impacted communities, as they seriously experienced grievous feelings, such as
hopelessness, missing, pressure, fear, anger, sadness, pain and guilt.
The feelings eventually resulted in deep internal traumas and need to be humanly
adopted and accommodated in order to help them move forward and regain their spirit, not
only to sustain and live better economically and socio-culturally but also to mitigate their
life of future unforeseen disaster threats (Rahmadhani, 2010).
Geographically, we are now living in the areas of shifting tectonic plates “ring of
fire”. Consequently, they are quite prone to future similar disaster threats, such as
earthquakes, Tsunami and other disaster hazards. As a matter of fact, following the
catastrophic Indian Ocean Tsunami disaster in late December 2004, our life has become
more vulnerable with a sequence of earthquakes and Tsunami threats. As highlighted by
Liem (2014) that over the last 10 years Indonesia hit by approximately 11.274 disasters
and resulted in large scale devastation and fatalities. The disasters has also created loss
approximately IDR. 420 Trillion.
Hence, disaster risk mitigation efforts are urgent and need to be widely encouraged
and socialized, one of them through the establishment and strengthening the Aceh
Tsunami Museum or “ATM‖ as a center for mitigation, recreation and evacuation and
media for sharing live stories or lessons learnt of past disaster experiences known as
“TeLL-NeT”.
The ATM built during the reconstruction of Aceh as a symbol of strength, patience
and resilience of the Acehnese during the powerful disaster has so far served, not only as a
2004 symbolic reminder for the whole communities, but also as a fundamental media for
sharing live stories or lessons learnt from past disasters by always remembering and
conveying the stories of survivals through museum-based learning or other various
methods, such as oral story-telling, films, images, artifacts, music, cultural events,
monuments/memorials, artistic works and Tsunami heritage tourism towards disaster risk
reduction efforts.
As a global disaster museum and media for sharing live stories or lessons learnt of
past disaster experiences, it is hoped to be one of effective media for enhancing
individuals‟ preparedness in safeguarding communities from harmful effects of future
disaster risks.
MATERIALS AND METHODS
Research methods comprise office and field stages. At the office stage, literatures
were collected. At the field stage, first-handed observation and data collection at Aceh
Tsunami Museum and all Tsunami-related sites in Aceh were undertaken during the focus
group discussion (FGD), interviews and site visits. All images or photos were taken both
directly from Aceh Tsunami Museum and other sources and literatures.
DISCUSSION
Indian Ocean Disasters and Impacts for Communities
The catastrophic Indian Ocean Tsunami disaster of late December 2004 had made
global communities shocked and watched in disbelief and drew global media to coverage
as their headlines. As it was massively catastrophic, it became the most lethal natural
disasters in the history of humanity and even in the history of Indonesia. As a data
recorded at least 126,741 people were dead, 93,285 people were missing, 500,000
survivors were homeless and 750,000 people lost their livelihoods, not to mention other
55
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
serious deep internal trauma experienced by the communities as a direct cause of the
disasters (BRR Book Series-Book 8, 2009).
The disasters eventually resulted in unprecedented reaction of global solidarity and
sympathy in order to lighten up the sufferings of impacted communities through large
scale humanitarian aids. At the same time, the tragedy also paved the way to end the
armed political conflict between the Free Aceh Movement (GAM) and the Government of
Indonesia (GoI) that had taken a long period and a greater number of casualties since
1976. It also became a momentum to rebuild Aceh known as Aceh‟s Redevelopment with
challenging global slogans “Let‟s build Aceh back better” and “No Peace without
Reconstruction, No Reconstruction without Peace”. At the end, the disaster proved to be a
“blessing in disguise”, which transformed the tragedy into an opportunity for the
Acehnese to leading a better life in peace.
As the loss and devastation was massive, the recovery programs were not only
aimed at urgent physical issues like rebuilding homes, roads, schools, hospitals and other
supporting infrastructure, but also non-physical issues like rebuilding a livelihood and
mental state of disaster affected communities towards a stronger foundation for a new
future redevelopment.
Since the armed political conflict broke out in 1976, most Acehnese were
unfortunately isolated from the outside world for many years. The community‟s life was
badly affected during the conflict and the condition was worsened by the Indian Ocean
Tsunami disaster. During the reconstruction process and the presence of international aid
workers for a humanitarian mission with different nationalities, cultures and beliefs, the
time changed and the socio-cultural structures of the Acehnese also changed dramatically.
This sudden change threw the Acehnese into a serious confusion and euphoria.
They were shocked and watched in disbelief a new phenomenal situation of life, which
was very different from what they experienced before the Tsunami event. As the deep
wounds were seriously caused by the armed political conflict and exacerbated by post
disaster trauma, the process of socio-cultural transformation become more challenging
and even more complicated.
Nevertheless, as the Acehnese are mostly Moslem, Islamic values strongly
influence their daily life. Thus, rebuilding socio-cultural structures based on the values in
order to facilitate a more successful process of socio-cultural transformation in Acehnese
community became crucial. In addition, rebuilding the identity, morality and selfconfidence of the Acehnese was also a priority, so that they could develop and maintain a
progressive religious society capable of responding to future challenges (BRR Book
Series-Book 10, 2009).
The success of Aceh‟s recovery through the process of rehabilitation and
reconstruction as initiated by the BRR with thorough supports of national and international
community has made the Acehnese fully aware that there were not alone. Otherwise, they
not only felt proud and thankful, but regained their spirit and confidence to move forwards
to leading a better life. The establishment of the ATM, for an example, is evident as one of
the most important remains of the succesful reconstruction of Aceh, not only as a
fundamental center for mitigation, recreation and evacuation, but also as a symbolic
reminder of 2004 Tsunami disaster that will always show hope, pride, resilience and global
human spirits.
The Roles of ATM as Media for Mitigation, Recreation and Evacuation
Aceh‟s Redevelopment post Tsunami was proved to be successful and resulted in
many achievements and lessons learnt in various developmental sectors. These
achievements, however, are the results of a steadfast commitment of the local, national
56
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
and international community, which was combined with the resilience and spirit of the
Acehnese who lost so much. The establishment of the ATM has whatsoever been one of
the achievements among others as an iconic global disaster museum.
Table 1. Profile of Aceh Tsunami Museum
FLOOR
WIDTH
USAGE
2
Ground Floor
560 m
Memorial Hall, Tsunami Alley, Praying Hall, Panic
Path
st
2
1 Floor
525.25 m
Open Theater, Ticketing, Lobby, Aceh Map, Public
Toilet, Café, Pool, Open Stage
nd
2
2 Floor
2,529.58 m
Lobby, Audio Visual Room, Temporal/Permanent
Exhibition, Management Room, Meeting Room,
Control Room
rd
2
3 Floor
2,460.49 m
Geological Room, 4 D Movies, TeLL-Net Room,
Library, Souvenir, Storage, Praying Room
2
Roof top
2,460.49 m
Evacuation (Escape Hill)
Total Area
± 10,000 m2
Landscape, Parking, Resto and Supporting
Buildings
Total Cost
IDR 66,445,421,000 or US$ 664,454,211
Located strategically along the Tsunami heritage areas or disaster‟s most stricken
areas in Banda Aceh, the 2,500 m2 four storey structure was uniquely designed by a
prominent local Indonesian architect named Ridwan Kamil from Bandung Institute of
Technology (ITB), West Java Province through a nationwide design contest. He finally
won the contest because of its unique and typical architecture of Acehnese traditional
house on stilts as a symbol of local wisdom as an escape hill building (Hasan, 2009).
Adopting Aceh‟s cultural and Islamic values, the iconic museum establishment
was aimed at commemorating the 2004 Indian Ocean Tsunami disasters, serving as a long
lasting tribute to the victims of Tsunami and functioning as a fundamental media for
mitigation, recreation and evacuation purposes towards disaster risk reduction (DRR) of
future larger society (Figure 1). Since its first opening for public on May 8th, 2011, the
museum has so far been visited by approximately 1,378,606 visitors domestically and
internationally.
Figure 1: ATM has unique and typical architecture of Acehnese traditional house on stilts
57
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Media for Mitigation
From a building design concept, the ATM building adopts three famous
philosophical values, namely disaster, religion and culture. The values are strongly
correlated one to another offering significant uniqueness, beauty and civic pride of the
museum building for the Acehnese as a fascinating global disaster museum that will draw
visitors‟ attention nationally and internationally (Figure 2).
Figure 2: ATM with three philosophical values: Disaster, Culture and Religion
Disaster value can be recognized if the ATM is seen through an aerial view or
bird‟s eye view. The museum building design uniquely resembles a sea-wave or a tidal
wave right in the middle of the sea reflecting a similar catastrophic Tsunami disaster in
late December 2004, which heavily ravaged Aceh and resulted in a massive loss and
devastation.
In the point of view of culture, the building was designed with a unique
architecture of “Acehnese traditional house on stilts” as an escape hill building adopting
local cultural and Islamic value. The exterior walls are beautifully adorned with images or
patterns of the Acehnese performing the Saman Dance or ―Thousand Hand Dance”, as
symbolic gestures reflecting the strength, resilience, discipline and religious belief of the
Acehnese during the tragedy. The Aceh Saman Dance has become one of Aceh‟s most
popular dances worldwide and officially been recognized by the UNESCO as the world‟s
intangible cultural heritage since 2011.
The museum building design is vertically and horizontally shaped. Mostly the
Acehnese are Moslem and the Islamic values are strongly reflected in their daily life and
the museum building itself as well. The vertical design reflects the strong relationship
between humans and God or “Habluminallah”. As an illustration during the hardship, the
Acehnese surrendered to God for what happened with a strong belief that the disaster just
happened surely as God‟s will and there would be a mercy or best lessons behind it.
Amazingly, the tragedy eventually turned out to be a “blessing in disguise”, transforming
the tragedy into a significant opportunity for Acehnese to move forward and lead a better
life. The horizontal design reflects the strong relationship between human and human or
“Habluminannas”. The past devastating disaster was proved that the Acehnese were not
alone. The disaster created not only a global sympathy and friendship, but also the
presence of global community to Aceh with different nationalities, cultures and beliefs for
the only humanity mission “humanity‖ in assisting the impacted communities through
humanitarian aids.
In addition to the design concept, four psychological spaces were divided inside
the museum building as an essential part of a disaster learning center, which were
58
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
purposefully designed for museum visitors, namely Space of Fear, Space of Sorrow,
Space of Hope and Space of Mitigation. Every space has their each meaning, message and
philosophy. In order to emotionally and effectively experience the museum facilities as a
fundamental media for mitigation, recreation and evacuation towards future disaster risk
reduction (DRR), the visitors are challenged to enter through each the space with different
experiences (Figure 3).
Figure 3: ATM as Space of Fear, Space of Sorrow, Space of Hope and Space of
Mitigation
Space of Fear. Visitors are encouraged to enter through a 19 m long Tsunami Alley
located on the ground floor. It is a long dark alley with a man-made waterfall design on the
left and right hand sides with thundering water sound, reminding visitors on atmosphere of
past Tsunami event. Those with a strong adrenalin or mentality are encouraged to enter
through the alley or they can directly walk up stairs to the second floor instead of entering
through the alley due to possibly traumatic reasons.
Space of Sorrow. Visitors are introduced to a dark memorial hall located on the
ground floor, which is equipped with 26 media panels reflecting a date of the catastrophic
event of December 26th, 2004. The media panels will exhibit visitors with photographs,
documentaries or images on the loss and the destruction as a direct cause of past disasters.
They also exhibit the humanitarian aid activities by donor countries and NGO‟s during the
emergency.
Space of Hope. Prior to entering through the space of mitigation, museum visitors
will be directed to a Praying Hall located on the ground floor with a dark atmosphere. It is
a hall with cylinder-shaped wells shining a light over a hole with an Arabic written word
"Allah" "the Almighty". It also reflects the religious nature of Acehnese people who
believe that God holds supreme might and power over all things (Hasan, 2009). The well
wall is filled up with names of victims, which indicates a religious value reflecting a
concept of human relationships with God. In this hall the visitors are also encouraged to
express their deep condolence and sympathy by sending prayers for those who are dead,
lost and survived during the past tragedy.
Space of Mitigation. The visitors will enter through the fourth space or the last
important space of Tsunami museum tour or called ―space of mitigation‖ located on 2nd
and 3rd floors. At the space, the visitors are introduced to diverse disaster learning media
toward the disaster risk reduction efforts in the forms of museum facilities, such as oral
story-telling, films, images, artefacts, music, cultural events, artistic works, dioramas,
library, documentaries and geological space with simulation tools (Figure 4).
59
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Figure 4: Geological Space with simulation tools for disaster learning
Prior to entering through this space, visitors will pass through a 19 m long bridge,
which reflects a ―global friendship‖ or ―bridge of friendship‖ between the Acehnese, the
donor countries and NGO‟s during Aceh’s Redevelopment. In addition, there are also 53
flags of donor countries suspended above the bridge reflecting the strong friendship among
the nations (Figure 5).
Figure 5: Bridge of friendship and 53 flags among donor countries
Media for Recreation
Wars and other catastrophic events have created negative impacts to human lives.
They can heavily damage all aspects of lives -economic, socio-cultural, political and
environmental-. The 1st and 2nd World Wars and other catastrophic natural disasters are
such horrific examples that have become unforgettable frightening nightmares within our
human life. The events had created the deepest misery, loss and devastation for those
living within the periods, not to mention thousands of people were tragically killed and
their family members were torn apart during the tragedy.
From a tourism perspective as one of world‟s rapid growing industries, such
remains of bygone wars or other catastrophic events will also result in positive long term
impacts of future people‟s livelihood. Maintaining and promoting post-war and disaster
heritage sites, for examples, have become a new significant niche market for a tourist
destination, not only to create job opportunities for the locals, to remind succeeding
generations of the worse impacts of the tragedy, but also to enhance people‟s awareness on
disaster risk reduction worldwide (Rahmadhani, 2011).
Obviously, the 2004 Indian Ocean Tsunami disaster with massive devastation and
loss, for another example, has created not only a deep internal trauma for the Acehnese,
but also Tsunami remains. The remains, which if carefully managed will be future
60
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
important Tsunami heritage as scientific purposes and also new unique tourism
destination, such as the Stranded Ship, the Boat Atop the House, Tsunami Mass
Graveyards, Stranded Mosque Dome, Tsunami Heritage Trails, Baiturrahman Grand
Mosque, Baiturrahim Mosque and Survivors with their Tsunami Stories.
As the Tsunami remains are considered unique, specific and rarely found in other
places, Aceh with its past massive disaster event has been designated as a uniquely
Tsunami-based tourism destination in the westernmost part of Indonesia, which is well
integrated with other Aceh‟s natural beauty and its vibrant sense of cultural heritage.
Nevertheless, it is worth bearing in mind that promoting Aceh as a Tsunami-based
tourism destination does not merely mean to commercialize the sufferings and the pains of
the Acehnese for business purposes only. Otherwise, apart from the livelihood
improvement in a long term, it will be another effective media aimed at showing the
global tourists on the strength, resilience and patience of the Acehnese during the past
hardship and conveying an appreciation for the outpouring of generosity and sympathy of
the global community and promoting a global sense of social togetherness and mitigation
awareness among communities. It is also an effective media for sharing live stories or
lessons learnt of past disaster experiences on how to explore ways of coping with disasters
and rebuilding stricken communities by showing residents what happens in the past and
the needs to get to high ground for self-mitigation (Kusakawa, 2012).
The ATM as an important iconic Tsunami tourism and other Tsunami-related sites
―Tsunami heritage‖ has so far turned into popular tourist attractions among visitors.
These sites are mostly preferred as weekend recreation spots, where powerful memories
of past Indian Ocean Tsunami disaster still endure. Amazingly, a growing numbers of
domestic and international tourists are coming to see and enjoy these sites while studying
about the Tsunami and Tsunami destruction in Aceh. This new kind of tourism has
economically generated a significant income and open up employment opportunity for the
locals (Nazaruddin and Rahmadhani, 2013).
The ATM with its unique philosophy and design has been one of a few Tsunami
museums built worldwide. The others include the Pacific Tsunami Museum in Hilo,
Hawai, the Disaster Reduction and Human Renovation Institution (DRI) in Kobe, Japan,
the National Museum of Natural Science and 921 Earthquake Museum of Taiwan in
Taichung, Taiwan, Adapazan Earthquake and Cultural Museum in Sakarya, Turkey and
the International Tsunami Museum in Khao Lak, Thailand.
Media for Evacuation
Building communities with disaster risk mitigation efforts also means to prepare
them with a strong knowledge, mentality and vigilance in taking any prompt and effective
measures on prior, ongoing and post disaster events. These measures are important in
order to prepare self-mitigation or preparedness for communities. These measures also
educate them on how, when and where to escape when a disaster will occur and threaten
their livelihood and to stay calm and vigilant from a mass panic situation and fears in the
efforts to avoiding casualties.
Past mega earthquake events that struck off the coastal areas of Sumatera and
Simeuleu Islands on April 11th, 2012 was the other important lessons learnt to always
remember. The earthquakes measuring 8.5 and 8.2 on the Richter scale that were
predicted to trigger an Indian Ocean Tsunami alarmed the Acehnese who still have fresh
memories and trauma of the 2004 Tsunami disaster throughout the region.
These powerful earthquakes not only created fears, mass panic and serious traffic
jams for them living along coastal areas of Sumatera, particularly coastal areas of Aceh,
but they also made the communities frantically run into inland as fast as they could and
61
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
flee to higher elevation of hilly areas for their self-mitigation purposes. Amazingly, the
ATM had become a most preferred evacuation center by the communities, especially
young students than escape hill buildings for emergency disaster shelter purposes from the
possibility of the 2012 Tsunami threats (Rahmadhani, 2012). Based on the spot interviews
conducted by the staff of the ATM during the panic evacuation, it is evident that their
frequent visits to the museum for learning the disaster risk reduction management had
made them aware of fleeing to the museum building for an emergency disaster shelter
when caught by a disaster.
However, escaping to the ATM merely for their self-mitigation has reminded us
on a particular local knowledge on Tsunami or known as ―Smong‖ that has long
contributed as an early warning media for the Simeulue people toward the danger of
Tsunami waves. The knowledge about the Smong has been adopted and passed down
from one generation to the next generation by the community to escape when a
tremendous earthquake occurs. According to an official report issued by the district
government that the total population of Simeulue Island was over 78,000 in 2004, but the
number of dead victims in Tsunami 2004 was 7 people.
The success story Simeulue people, not only has inspired the Acehnese and
Indonesian people living in the mainland, but also the global communities overall on how
to mitigate from the hazardous disaster threats through disseminating past catastrophic
disaster experiences to future modern communities, especially to succeeding generations
on future disaster risk reduction efforts.
In addition, the local wisdom of the Smong has fully inspired the ATM as a global
disaster museum to better strengthen its mission, not only as a fundamental center for
mitigation and recreation, but also as an alternative strategic center for evacuation
purposes other than escape hill buildings and higher elevations of hilly areas by promoting
effective activities of sharing live stories of past disaster experiences between the past
Tsunami survivors and the communities.
Sharing Live Stories or Lessons Learned of Past Disaster Experiences
The disaster risk mitigation efforts need to be widely socialized and promoted
among the community in terms of disseminations, disaster drills, focus group discussions
and sharing live stories or lessons learned of past disaster experiences. Sharing live stories
or lessons learned of past disaster method, for an example, can positively contribute to
disaster preparedness, mitigation and recovery that will build back better. This also has a
great value as a way to create monuments and memorials and can be transformative and
therapeutic activities for individuals and whole communities as well. Through various
methods of sharing experiences directly, the power of the story shared by the survivors
who experienced the disaster themselves can have multiple impacts, not only for
themselves, but also for the future generation (International Recovery Platform, 2014).
Through their live stories of the past disasters, they can evaluate what worked and
what did not work. From the process of sharing and learning, the community not only can
prevent from future disaster damages and loss, but also in the tragic event of a disaster,
they can also learn from the lessons of recovery and engage in a recovery process that is
the most beneficial to the community of the stricken areas.
The ATM, which was specifically designed and its present challenges has
effectively served as a means of education and reconstruction in preserving and
disseminating the real live stories and lessons learnt from the experiences of disaster
responses towards global disaster risk reduction efforts by introducing the survivors as
disaster storytellers.
62
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Their live stories are lively shared in the hope of promoting disaster awareness
among future generations and help them to embody the behavior when caught by a future
earthquake or Tsunami. Equally importantly, they also remind us of the trauma that one
suffers when trying to mourn for their relatives in a disaster context. Survivors not only
need emergency food and shelter, but also temporary places and times where they care for
and remember the dead (Boret, 2014).
In addition, sharing live stories or lessons learned of past disaster experiences will
psychologically result in positive impacts, especially for the survivors as disaster
storytellers to emotionally express their heartbreaking experiences, to build a sense of
social togetherness among communities, to always remember their loved ones who have
become ―Tsunami martyrs‖, and to build a self-confidence and regain their spirit to
always move forwards.
Figure 6: Promoting sharing live stories of past disaster experience in the ATM
At the beginning, promoting sharing live stories or lessons learned of past disaster
experience at the museum was not without challenges. The writer had to convince various
stakeholders from the Government of Aceh, the communities, the museum staff to
museum visitors on the philosophy and importance of the program to our future global
disaster risk reduction efforts. Without a doubt, the program of ―TeLL-Net‖ has received
positive responses and supports, not only from the survivors, the museum visitors, but also
from the international community (Figure 6).
Ironically, it becomes our serious concerns that many survivors of 2004 Indian
Ocean Tsunami with past diverse disaster experience stories tend to forget their tragic
experiences, which should be important moral messages to be transmitted to the next
generation for building a preparedness towards a disaster risk reduction of future disaster
threat as what the Simeulue people have done with their ―Smong07‖ to the next
generation.
Therefore, enormous efforts are required in sustaining such activities. Traces and
lessons of a disaster often disappear very quickly from people's minds and the whole
communities. As Yamamoto (2010) mentioned that if the method for passing on the
disaster is not established until fifteen years since the event of the past tragedy,
unfortunately, it will not be connected to the future.
In order to help maximize the benefits of the live stories or lessons learned of the
past disaster experiences shared by the survivors at the ATM, a video recording on the
storytelling is also used. At the first stage, there are five survivors, whose various stories
of past disaster experiences were successfully video recorded in partnership with the local
TV Media known as “TVRI”.
63
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Located on 3rd floor covering an area of 36 m2, the TeLL-Net has become the most
preferred program by visitors in order to listen directly to the survivors‟ stories of past
disaster experiences. In order to create a specific nuance of the TeLL-Net, the space is
also equipped with interactive disaster-related exhibits, such as information displays,
photos on past reconstruction activities, photo album, Tsunami paintings and local
therapeutic instrumental music.
Yet, live stories or lessons learnt of past disaster experience that will contribute to
disaster preparedness, mitigation and recovery is not merely limited to the museum
facilities, but they are also kept alive through other effective popular media, such as the
preservation of physical disaster damage, the memorials, monuments, the memory transfer,
the storytelling and folk media.
Additionally, post the Indian Ocean Tsunami disaster, it created not only a deep
internal trauma for the Acehnese, but also important Tsunami remains and the buildings
established by the BRR during the reconstruction of Aceh. The remains include the
Stranded Ship, the Thanks to the World Park, the fishing boat stranded atop of a ruined
house, the Tsunami Mass Graveyards, the Stranded Mosque Dome, the Tsunami Heritage
Trails, the Baiturrahman Grand Mosque, the Baiturrahim Mosque, the “Survivors with
Tsunami Stories and damaged buildings.
The buildings established during the reconstruction of Aceh include Aceh Tsunami
Museum, Tsunami and Disaster Mitigation Research Center “TDMRC”, Escape Hill
Buildings, past disaster experience or “lessons learned”, memorials, monuments and folk
media.
All the remains should be maintained and developed, not only can be socioculturally and economically promoted for scientific and tourism purposes, but also can be
for global disaster risk reduction efforts of future disaster threats through sharing live
stories or lessons learnt of past disaster experience between survivors and communities,
especially modern generations.
A solid museum management with credible staff needs to be established in order to
satisfy visitors‟ demands and expectation towards future disaster risk reduction efforts,
especially on building strong working partnerships between all stakeholders –
communities, local and national government, governmental and non-governmental
organizations and the private sector. These working partnerships are critical to widely
promote our museum in transferring experiences and lessons of past disasters across
borders in the hope of reducing future damages and casualties.
However, the 10 years of Indian Ocean Tsunami Disaster Commemoration to be
conducted on December 26th, 2014 will be an appropriate momentum, not only to reflect
and remember the past tragic Tsunami event, but also to promote global disaster risk
reduction towards disaster resilient community.
CONCLUSION
The past disaster should not remain as it was. It should be an important
learning for everyone. As we are now living in the areas of shifting tectonic plates or
“ring of fire, which are constantly prone for future disaster threats, living harmony with
the disasters and better understanding disaster characteristics is a priority in minimizing
harmful impacts of future disaster hazards by building communities‟ awareness.
Conducting media campaigns, school campaigns, disseminations, disaster drills, FGD and
sharing live stories or lessons learnt on coping strategies and survival techniques among
communities, for an example, is also crucial in order to always remember the impacts
resulted from the 2004 Indian Ocean Tsunami disasters and other current global disaster
64
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
events. The ATM as a global disaster museum for mitigation, recreation and evacuation
center in collaboration with other various methods of sharing experiences has been proved
as one of effective media for educating communities in reducing risks from future natural
hazard-related disasters. Strong working partnerships among all stakeholders –
communities, local and national government, governmental and non-governmental
organizations and private sector are therefore required in order to better promote the ATM
in transferring experiences and lessons learnt of past disasters across borders in the hope
of reducing disaster impacts. Strong coordination among governmental and nongovernmental organizations is also important in order to help support the future‟s disaster
emergency responses more effectively and efficiently.
REFERENCES
Boret, S., 2014. Remembering And Preventing Disasters. The Politics of Disaster
Memorialisation
and
Prevention
in
Japan
and
Indonesia.
http://rememberingdisasters.com/2014/06/30/disaster-witness-network-in-acehtellnet-jaringan-saksi-bencana-di-aceh-lihat-cerita-ini/.
BRR Book Series-Book 10, 2009. Religion, Social & Culture: Revitalizing the Dignity of
Society. The Executing Agency of Rehabilitation and Reconstruction for Aceh and
Nias (BRR NAD-Nias).
BRR Book Series-Book 8, 2009. Infrastructure: Stimulating the Triggering Sector. The
Executing Agency of Rehabilitation and Reconstruction for Aceh and Nias (BRR
NAD-Nias).
Hasan, N., 2009. Memorial for Tsunami Victims Pays Tribute to Acehnese Culture. The
Jakarta Globe. 2.24. 2009. http://thejakartaglobe.com/news/memorial-for-tsunamivictims-pays-tribute-to-acehnese-culture/308397.
International Recovery Platform, 2014. Guidance Note on Recovery: Telling Live
Lessons. Chuo-ku, Kobe, Japan. URL: www.recoveryplatform.org,
Kusakawa, M., 2012. Indonesia Tsunami Survivor Says 'Tourism' Can Educate Coastal
Residents.
The
Asahi
Shimbun
Newspaper.
http://ajw.asahi.com/article/behind_news/social_affairs/AJ201212180006.
Liem, I., 2014. Siaga Menghadapi Bencana. Kompas Newspaper. Edukasi. June 27, 2014.
Nazaruddin, A. & Rahmadhani, 2013. Introduction to Tsunami Tourism: Notes from
Aceh, Indonesia. International Journal of Sciences Research Article (ISSN 23053925) Volume 2, Issue Mar 2013 http://www.ijSciences.com. Geoscience
Programme, Faculty of Earth Science, Universiti Malaysia Kelantan, UMK Jeli
Campus, Locked Bag No. 100, 17600 Jeli, Kelantan.
Rahmadhani, 2010. Telling Live Lessons and Aceh Tsunami Museum. The Int‟l Forum on
Telling Live Lessons from Disasters. Disaster Reduction & Human Renovation
Institution. Kobe – Japan. 3.21.2010. Conference Presentation.
Rahmadhani,
2011.
Memajukan
Wisata
Tsunami
Aceh.
Mungkinkah?.
http://aceh.tribunnews.com/2011/12/29/memajukan-wisata-Tsunami,
Serambi
Indonesia Newspaper, December 29th, 2011, Banda Aceh.
Rahmadhani, 2011. Disaster Heritage & Creative Economy: From Perspective of Area
Informatics: Disaster Heritage, Museum & Tourism. International Symposium &
65
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Workshop: Center for Integrated Area Studies (CIAS), Kyoto University –
TDMRC, Banda Aceh – Indonesia. Conference Presentation.
Rahmadhani, 2012. How to Archive Tsunami Memories & Roles of Aceh Tsunami
Museum Towards Disaster Lesson Transference. International Forum on Telling
Live Lessons from Disasters. Disaster Reduction & Human Renovation Institution.
Kobe – Japan. 2. 28.2012. Conference Presentation.
Rahmadhani,
2012.
Museum
Tsunami
sebagai
Media
Evakuasi,
http://www.analisadaily.com/news/read/2012/05/05/49209/museum_Tsunami_seb
agai_media_evakuasi/, Analisa Newspaper, 5 May 5th, 2012, Medan.
Rahmadhani, 2012. Efforts on Recovering & Safeguarding Aceh‟s Cultural Heritage Post
Disaster. International Symposium on “Catastrophes & Constructing
Communities. National Museum of Ethnology. Osaka – Japan. 11.16. 2012.
Conference Presentation.
Yamamoto, K., 2010. Human Renovation Institution, Kobe, Japan. The International
Forum on Telling Live Lessons from Disasters. Disaster Reduction & Human
Renovation Institution. 3.21.2010. Kobe – Japan. Conference Presentation.
66
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Prakarsa Gerakan Yes for Safer School:
Suatu Model Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Sekolah
di Indonesia
E. W. S. Mulyono1,2 and Y. Sriyulianti2
1
Chemical Engineering Department, Bandung State Polytechnic
2
KerLiP (Keluarga Peduli Pendidikan) Society
ABSTRAK
Indonesia terletak di salah satu hot spot bencana alam di dunia yang secara
insidental mengalami gempa bumi, tsunami dan letusan gunung api serta terkena banjir
dan atau tanah longsor yang terkait dengan periode reguler curah hujan. Hampir 75%
sekolah di Indonesia berada di daerah rawan bencana. Kondisi ini mengakibatkan siswa
menjadi kelompok yang paling rentan pada saat terjadi bencana. Dalam inisiatif
penanggulangan bencana, sekolah dijadikan sebagai lokasi strategis untuk tanggap darurat
dan pemulihan bencana. Namun, perlahan tapi pasti paradigma tersebut harus digeser dan
bergerak menjauh dari bantuan kedaruratan menuju kesiapsiagaan akan bencana. Untuk
memperkuat paradigma baru ini, KerliP (Keluarga Peduli Pendidikan) dan Green SMILe
menginisasi suatu gerakan yang disebut YES (Youth Evacuation Simulation) untuk
Sekolah Aman: suatu simulasi evakuasi secara simultan yang direncanakan, dilaksanakan,
didokumentasikan dan disampaikan oleh anak dan remaja di sekolah tempat mereka
belajar. Adapun tujuan gerakan adalah menjadikan sekolah sebagai komunitas pembelajar
dalam pengurangan risiko bencana melalui pendidikan. Melalui gerakan YES untuk
Sekolah Aman, siswa diharapkan membentuk gerakan terpadu menuju terwujudnya
Sekolah Aman serta Sekolah Ramah Anak. Gerakan ini telah dideklarasikan pada Oktober
2013 dan hendaknya dipraktikkan ulang setidaknya satu kali dalam setahun.
Kata Kunci: Pengurangan risiko bencana, prakarsa manajemen bencana, simulasi, sekolah
ramah anak
ABSTRACT
Indonesia is situated in one of the most natural disaster hot spots in the world and
suffers regular incidences of earthquakes, tsunamis and volcanic activity as well as being
exposed to periodic monsoonal rainfall and related floods and or landslides. Almost 75%
of schools in Indonesia located in disaster prone areas. It poses students become the most
vulnerable groups in times of disaster. Within disaster management initiative, schools
have become strategic locations for emergency response and disaster recovery. However,
slowly but surely these paradigms should shifted and moving away from emergency relief
to disaster preparedness. To strengthen this new paradigm, KerLiP (Keluarga Peduli
Pendidikan - Family Forum Concerned with Education) Society and Green SMILe initiate
an action that called YES (Youth Evacuation Simulation) for Safer School: a simultaneous
evacuation simulation that planned, implemented, documented and narrated by children
and young people in schools where they learn. The goal is to make schools as a
community of learners in disaster risk reduction through education. Through YES for
Safer School movements, students are expected to form a unified movement toward the
realization of child-friendly school principals as well as Safe Schools. This movement has
been declared in October 2013 and should be done at least one time in a year.
67
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Key words: Disaster Risk Reduction, disaster management initiative, simulation, childfriendly school.
PENDAHULUAN
Indonesia terletak di salah satu hot spot bencana alam paling aktif di dunia.
Bencana seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor,
kekeringan dan atau kebakaran hutan acapkali terjadi. Menurut hasil analisis risiko global
dari Bank Dunia, di antara 35 negara di dunia, Indonesia menduduki urutan ke-12 dengan
risiko angka kematian yang tinggi akibat berbagai bencana tersebut. Dari sekitar 230 juta
penduduk, sebanyak 40 persennya tinggal di daerah berisiko. Dengan demikian, potensi
ancaman bencana yang bisa menimpa para penduduk tersebut sedemikian nyata (World
Bank, 2010).
Posisi Indonesia di salah satu area bencana alam yang paling aktif di dunia
berhubungan erat dengan karakter Indonesia sebagai negara kepulauan. Secara geografis
Indonesia berada di daerah dengan gejolak cuaca dan fluktuasi iklim yang cukup dinamis.
Hal ini menyebabkan Indonesia rawan akan bencana alam kebumian seperti badai siklon
tropis, badai El Nino yang disertai kekeringan, atau badai La Nina yang disertai banjir dan
tanah longsor. Berdasarkan letak geologisnya, Indonesia menjadi tempat pertemuan tiga
lempeng tektonik, yaitu lempeng Eurasia, Pasifik, dan IndoAustralia. Dengan posisi
sebagai tempat pertemuan lempeng bumi tersebut, maka bagian luar permukaan bumi
wilayah Indonesia diberkahi dengan tanah yang subur. Sementara itu, berbagai jenis
mineral tersimpan di bagian dalam perut buminya. Akan tetapi, pada sisi lain posisi
sebagai tempat pertemuan lempeng bumi tersebut menyebabkan negara kita labil dan
lapisan tanahnya mudah bergeser. Sebagai akibatnya, berbagai wilayah Indonesia rentan
akan bencana gempa bumi, kecuali Kalimantan. Gempa-gempa tektonik banyak dijumpai
di jalur subduksi Sunda (Sumatra-Jawa-Bali-Nusa Tenggara), subduksi Banda (wilayah
Laut Banda), ataupun Zone Tumbukan Maluku dan Papua.
Dengan kondisi dan posisi sedemikian itu, maka Indonesia adalah negeri yang -mau tidak mau, suka tidak suka-- rawan akan bencana. Berbagai bencana alam, khususnya
gempa bumi, tsunami dan atau tanah longsor telah memakan korban jiwa yang besar.
Masifnya korban jiwa yang timbul di antaranya disebabkan karena penduduk di daerah
yang terkena bencana tidak siap dalam menghadapi datangnya bencana. Peristiwa gempa
bumi di Aceh pada bulan Desember 2004 yang disusul kemudian dengan tsunami yang
menyebabkan jatuhnya korban jiwa sampai ratusan ribu menjadi tonggak dalam
penanggulangan bencana serta memberikan kesadaran akan pentingnya pendidikan
pengurangan risiko bencana.
PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Terjadinya bencana di banyak tempat di belahan dunia ini sering meninggalkan
cerita pilu terkait dengan nasib anak-anak. Dalam banyak kejadian mereka bukan hanya
menjadi korban langsung, tetapi juga kehilangan hak atas pendidikan. Sebagai dampak
terjadinya bencana, anak-anak dapat mengalami tekanan psikis (takut, stress) dan bahkan
trauma. Gempa bumi di Pakistan (2005) telah merenggut nyawa 17.000 anak-anak
(UNICEF,2005). Gempa di China (2008) menyebabkan hampir 10.000 siswa meninggal
terkena reruntuhan bangunan sekolah dan atau terperangkap di dalam reruntuhan
bangunan (Metronews.com: 2010). Bencana gempa dan Tsunami Aceh (2004)
mengakibatkan sedikitnya 300 ribu anak-anak menjadi korban, dengan 75 ribu di
68
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
antaranya terpisah dari keluarga, kehilangan orang tua, dan menjadi yatim piatu (Komnas
PA, 2005).
Pengurangan Risiko Bencana (PRB) adalah suatu konsep sekaligus praktik
pengurangan dampak dari terjadinya bencana melalui upaya-upaya yang sistematis untuk
menganalisis dan mengurangi faktor-faktor penyebab bencana (www.unisdr.org). Yang
termasuk ke dalam PRB di antaranya adalah mengurangi paparan akan bahaya yang
mungkin timbul, mengurangi kerentanan orang dan harta benda, pengelolaan lahan dan
lingkungan secara bijak, serta meningkatkan kesiapsiagaan dan peringatan dini akan
potensi munculnya kejadian buruk.
Setelah terjadinya gempa bumi dan tsunami di Aceh, muncul kesadaran akan
pentingnya upaya pengurangan risiko bencana. Dengan latar belakang banyaknya bencana
di berbagai penjuru dunia yang terjadi pada awal abad ke-21, sebanyak 168 negara,
termasuk di dalamnya Indonesia, menyadari betapa pentingnya membangun komitmen
bersama secara global demi pengurangan risiko bencana. Upaya bersama tersebut pada
tahun 2005 kemudian dituangkan dalam Hyogo Framework for Action (HFA).
Peristiwa Desember 2004 di Aceh dan keterlibatan Indonesia pada HFA telah
menyadarkan bangsa Indonesia untuk mewujudkannya menjadi komitmen nasional dalam
penanggulangan bencana. Untuk itu, pemerintah dengan persetujuan DPR telah membuat
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undangundang tersebut disusun dengan berlandaskan paradigma bahwa penanggulangan bencana
harus dilakukan secara terencana, terpadu dan terkordinasi dengan melibatkan seluruh
pemangku kepentingan. Undang-undang No.24/2007 ini juga memberi mandat kepada
pemerintah agar melindungi masyarakat dari ancaman segala bencana sebagai
pengejawantahan Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yakni “melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.
PENGARUSUTAMAAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA DI SEKOLAH
Sebagai tindak lanjut dan sekaligus amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana, serta adanya Peraturan Pemerintah Nomor 21
tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, maka Kementerian
Pendidikan Nasional kemudian menyusun suatu dokumen berupa “Strategi Pengurangan
Risiko Bencana di Sekolah” yang kemudian dilengkapi dengan “Modul Ajar dan
Pelatihan Pengintegrasian Pengurangan Risiko Bencana”.
Dalam Undang-Undang No. 24/2007 secara jelas telah dinyatakan bahwa setiap
orang berhak mendapatkan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan keterampilan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana, baik dalam situasi tidak terjadi bencana
maupun situasi terdapat potensi bencana. Di samping itu, melalui jalur pendidikan
diharapkan agar upaya pengurangan risiko bencana dapat mencapai sasaran yang lebih
luas dan dapat dikenalkan secara lebih dini kepada seluruh peserta didik dengan cara
mengintegrasikan pendidikan pengurangan risiko bencana ke dalam kurikulum yang
diberikan di sekolah.
Upaya pengintegrasian pendidikan pengurangan risiko bencana tersebut sejalan
dengan salah satu butir dalam Hyogo Framework for Action yang menyatakan bahwa
prioritas pengurangan risiko bencana perlu dimasukkan ke dalam sektor pendidikan.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
khususnya pada pasal 32 ayat 2, juga telah mengakomodasi kebutuhan pendidikan di
daerah bencana yang dituangkan ke dalam terminologi pendidikan layanan khusus.
Pendidikan layanan khusus didefinisikan sebagai pendidikan bagi peserta didik di daerah
69
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana
alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Dokumen “Strategi Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana di Sekolah”
dimaksudkan sebagai suatu pedoman bagi para pengambil kebijakan dan para pengelola
pendidikan di tingkat satuan pendidikan (seperti kepala sekolah, guru, dan komite
sekolah) dalam menyiapkan program pengurangan risiko bencana bagi para siswa jenjang
pendidikan dasar dan menengah. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan strategi
pengarusutamaan pengurangan risiko bencana di sekolah secara umum adalah rencana
kegiatan jangka panjang yang diutamakan untuk pendidikan pengurangan risiko bencana
di sekolah agar dapat digunakan sebagai acuan pengintegrasian materi pembelajaran
pendidikan kebencanaan ke dalam kurikulum di tingkat satuan pendidikan.
Sebagai suatu kegiatan yang berdimensi jangka panjang, maka pengurangan risiko
bencana (PRB) dilaksanakan dengan menggunakan pengetahuan dan inovasi untuk
membangun budaya selamat dan tangguh, termasuk di dalamnya adalah pengakuan dan
penggunaan kearifan tradisional dan pengetahuan lokal bagi perlindungan terhadap
bencana alam. Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana perlu dilaksanakan di
sekolah karena siswa (termasuk yang berkebutuhan khusus) merupakan
anggotamasyarakat yang rentan terhadap bencana alam. Selain itu, komunitas sekolah,
khususnya siswa, dapat berfungsi sebagai agen sekaligus komunikator untuk
menyebarluaskan pengetahuan tentang pendidikan bencana kepada orangtua dan
lingkungannya. Siswa juga merupakan aset pembangunan dan masa depan bangsa,
sehingga harus dilindungi dari berbagai ancaman bencana.
Bagi bangsa Indonesia, pengarusutamaan pengurangan risiko bencana di sekolah
sangat penting untuk diwujudkan mengingat sebagian besar sekolah yang tersebar di
seluruh pelosok wilayah NKRI berada pada posisi geografis, geologis, hidrologis, dan
demografis yang memungkinkan terjadinya bencana setiap saat, mulai dari bencana yang
sifatnya ringan sampai dengan bencana yang sifatnya berat. Selain itu, pendidikan
pengurangan risiko bencana merupakan implementasi dari Undang-Undang
Penanggulangan Bencana, yang mencakup tiga tahap penanggulangan bencana, yaitu:
sebelum (pra) bencana, saat terjadi bencana, dan sesudah (pasca) kejadian bencana.
Pengarusutamaan pengurangan risiko bencana di sekolah dijalankan melalui 3
(tiga) strategi, yakni, pertama, pemberdayaan peran kelembagaan dan kemampuan
komunitas sekolah; kedua, Pengintegrasian PRB ke dalam kurikulum satuan pendidikan
formal; dan ketiga pembangunan kemitraan dan jaringan antar berbagai pihak untuk
mendukung pelaksanaan PRB di sekolah.
SEKOLAH / MADRASAH AMAN DARI BENCANA
Dalam inisiatif penanggulangan dan pengurangan risiko bencana, sekolah
dijadikan sebagai lokasi strategis untuk tanggap darurat dan pemulihan bencana. Namun,
perlahan tapi pasti paradigma tersebut harus digeser dan bergerak menjauh dari bantuan
kedaruratan menuju kesiapsiagaan akan bencana. Pada Rencana Nasional Penanggulangan
Bencana 2010-2014 yang diterbitkan BNPB, (2010) telah direncanakan adanya
implementasi kesiapsiagaan bencana di sekolah/madrasah. Hal ini penting, mengingat
banyak sekolah/madrasah yang berada di wilayah rawan bencana.
Berdasarkan data Bank Dunia, pada tahun 2010, jumlah sekolah di Indonesia
termasuk ke dalam empat besar di dunia. Dari 144.507 Sekolah Dasar, sebanyak 76 %
atau 109.401 sekolah berada di provinsi dengan risiko gempa tinggi. Untuk SLB,
sebanyak 1.147 sekolah dari total 1.455 atau 79 % sekolah berisiko gempa tinggi,
sedangkan SMP sebanyak 18.855 sekolah dari total 26.277 sekolah atau 72 %. Sementara
70
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
SMA sebanyak 7.237 sekolah dari total 10.239 sekolah atau 71 % yang berada di kawasan
dengan risiko kegempaan yang tinggi. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
menunjukan sampai tahun 2011 terdapat 194.844 ruang kelas SD dan SMP rusak berat.
Sedangkan data Kementerian Agama menunjukan sejumlah dari 208,214 ruang kelas yang
ada di Madrasah Ibtidaiah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), 13,247 ruang kelas
rusak berat dan 51,036 ruang kelas rusak ringan. Kondisi sarana prasarana sekolah/
madrasah yang buruk akan meningkatkan risiko bencana (BNPB, 2013).
Pada 29 Juli 2010, bertepatan dengan peluncuran kampanye sejuta Sekolah dan
Rumah Sakit aman, telah diikrarkan sebanyak 3.156 Sekolah untuk menjadi sekolah
aman. Peluncuran kampanye tersebut sejalan dengan Surat Edaran Mendiknas Nomor
70a/MPN/SE/2010 yang ditujukan kepada para Gubernur, Walikota/Bupati di seluruh
Indonesia yang berisi permohonan untuk memperhatikan penyelenggaraan
penanggulangan bencana melalui pelaksanaan strategi pengarusutamaan pengurangan
risiko bencana di sekolah baik secara struktural maupun non-struktural. Setelah berjalan
setahun, kampanye berhasil meningatkan jumlah sekolah/ madrasah yang diikrarkan
sebagai sekolah/ madrasah aman menjadi 13.860 sekolah.
Upaya sinkronisasi kebijakan dan program untuk mendukung inisiatif
sekolah/madrasah aman terus dilakukan baik melalui Kementerian / Lembaga / Instansi /
pemerintah daerah maupun program yang diinisiasi oleh lembaga masyarakat, kalangan
dunia usaha, mitra pembangunan internasional, atau oleh praktisi pendidikan. Peraturan
Kepala BNPB no. 4 tahun 2012 tentang penerapan sekolah/madrasah aman merupakan
upaya sinkronisasi kebijakan di antara para pemangku kepentingan tersebut.
Sinkronisasi kebijakan dan program tersebut diperkuat dengan upaya peningkatan
partisipasi publik terutama anak-anak sebagai penerima manfaat terbesar dari kebijakan
dan program ini. Selain peningkatan partisipasi publik, pelembagaan menjadi faktor
penting agar upaya sosialisasi, kordinasi dan advokasi penerapan sekolah / madrasah
aman terus berlanjut dan memberikan kemajuan yang positif bagi terwujudnya
sekolah/madrasah aman hak anak bangsa bermartabat. Banyak anak akan bertahan saat
terjadi bencana jika mereka memiliki informasi serta keterampilan yang berkaitan dengan
pengurangan risiko bencana. Inisiatif yang melibatkan anak-anak akan menguntungkan
tidak hanya bagi mereka sendiri, melainkan juga bagi keluarga dan masyarakat luas.
Anak-anak dan orang muda bukanlah korban pasif. Mereka memiliki peran penting dalam
mengomunikasikan risiko, pencegahan serta peresponan Bencana.
Dalam hal ini, pengertian umum tentang sekolah/madrasah yang aman adalah
sekolah/ madrasah yang mengakui dan melindungi hak-hak anak dengan menyediakan
suasana dan lingkungan yang menjamin proses pembelajaran, kesehatan, keselamatan dan
keamanan siswanya setiap saat. Secara khusus, sekolah/madrasah tersebut mampu
menerapkan standar sarana dan prasarana serta budaya yang mampu melindungi warga
sekolah dan lingkungan di sekitarnya dari bahaya ancaman. Sedangkan jika dilihat dalam
kaitannya dengan PRB, maka sekolah/madrasah yang aman merupakan komunitas
pembelajar yang berkomitmen akan budaya aman, sehat dan sadar akan risiko, memiliki
rencana matang dan mapan sebelum, saat, dan sesudah bencana, dan selalu siap merespon
pada saat darurat dan bencana.
DASAR PENERAPAN SEKOLAH / MADRASAH AMAN
Penerapan sekolah/madrasah yang aman dari bencana didasarkan pada 8
(delapan) nilai, 3 (tiga) prinsip, dan 3 (tiga) strategi. Sekolah/madrasah yang aman
dari bencana akan mempertimbangkan nilai-nilai sebagai berikut:
71
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
a. Perubahan Budaya. Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana ditujukan
untuk menghasilkan perubahan budaya yang lebih aman dari bencana dan
perubahan dari aman menjadi berketahanan dalam upaya mewujudkan masyarakat
Indonesia yang tangguh bencana.
b. Berorientasi
Pemberdayaan.
Meningkatkan
kemampuan
pengelolaan
sekolah/madrasah dan warga sekolah/madrasah termasuk anak untuk menerapkan
Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana dalam pengembangan kurikulum, sarana
prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan, pengelolaan dan pembiayaan di
sekolah/madrasah.
c. Kemandirian. Mengoptimalkan pendayagunaan sumberdaya yang dimiliki sekolah/
madrasah.
d. Pendekatan berbasis hak. Hak-hak asasi manusia termasuk hak-hak anak sebagai
pertimbangan utama dalam upaya penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari
Bencana.
e. Keberlanjutan. Mengutamakan terbentuknya pelembagaan aktivitas warga sekolah/
madrasah termasuk anak dalam upaya penerapan sekolah/madrasah dari bencana
dengan mengaktifkan lembaga yang sudah ada seperti TP UKS, Komite Sekolah,
OSIS, Ekstrakurikuler, dsb.
f. Kearifan lokal. Menggali dan mendayagunakan kearifan lokal yang mendukung
upaya penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana.
g. Kemitraan. Berupaya melibatkan pemangku kepentingan termasuk anak secara
individu maupun dalam kelompok untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan
berdasarkan prinsip-prinsip sekolah/madrasah Aman dari bencana.
h. Inklusivitas. Memperhatikan kepentingan warga sekolah/madrasah terutama anak
berkebutuhan khusus.
Pelaksanaan sekolah/madrasah yang aman dari bencana juga akan
mempertimbangkan 3 (tiga) prinsip sebagai berikut:
a. Berbasis hak. Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana harus didasari
sebagai pemenuhan hak pendidikan anak dalam menerapkan keempat prinsip hak
anak, yakni (1) Tidak ada satu anak pun yang sampai menderita akibat diskriminasi
dan sikap tidak hormat yang menyangkut SARA, jenis kelamin, sikap, bahasa,
pendapat, kebangsaan, kepemilikan, kecacatan fisik dan mental, status kelahiran
dan lainnya, (2) Anak-anak memiliki hak atas kelangsungan dan tumbuh
kembangnya dalam semua aspek kehidupannya, termasuk aspek fisik, emosional,
psikososial, kognitif, sosial dan budaya, (3) Kepentingan terbaik anak harus selalu
menjadi pertimbangan didalam seluruh keputusan atau aksi yang mempengaruhi
anak dan kelompok anak, termasuk keputusan yang dibuat oleh pemerintah,
pemerintah daerah, aparat hukum, bahkan yang diatur didalam keluarga anak itu
sendiri, dan (4) Anak-anak memiliki hak untuk berkumpul secara damai,
berpartisipasi aktif dalam setiap aspek yang mempengaruhi kehidupan mereka,
untuk mengekspresikan dengan bebas dan mendapatkan pendapat mereka didengar
dan ditanggapi dengan sungguh-sungguh.
b. Interdisiplin dan Menyeluruh. Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana
terintegrasi dalam standar pelayanan minimum pendidikan. Menyeluruh
dimaksudkan bahwa penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana dilaksanakan
secara terpadu untuk mencapai standar nasional pendidikan.
c. Komunikasi Antar-Budaya (Intercultural Approach). Pendekatan Penerapan
sekolah/ madrasah Aman dari Bencana harus mengutamakan komunikasi antar72
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
pribadi yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda (ras, etnik, atau sosioekonomi) sesuai dengan jati diri bangsa dan nilai–nilai luhur kemanusiaan.
Dalam rencana penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana untuk jangka
panjang, digunakan tiga tema strategis, yaitu:
a. Sinkronisasi Kebijakan. Pemetaan kebijakan dari berbagai K/L/D/I menjadi bahan
pertimbangan utama dalam tema strategi sinkronisasi kebijakan. Dasar hukum
dalam pedoman ini disusun berdasarkan hasil sinkronisasi kebijakan yang
menjunjung tinggi nilai-nilai dan prinsip-prinsip penerapan sekolah/madrasah aman
dari bencana.
b. Peningkatan Partisipasi Publik termasuk Anak. Tema strategis peningkatan
partisipasi publik termasuk anak dalam pedoman ini adalah menjadikan anak dan
kaum muda mitra dalam Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana.
Kegiatan penerapan sekolah/madrasah aman terintegrasi dengan pengetahuan dan
keterampilan yang sudah dimiliki warga sekolah seperti Sekolah Sehat, Sekolah
Hijau, Sekolah Adiwiyata, Lingkungan Inklusi dan Ramah Pembelajaran serta
model-model Pendidikan Ramah Anak lainnya.
c. Pelembagaan. Penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana sejalan dengan
peran dan fungsi masing-masing K/L/D/I terkait melalui pembentukan Forum
Kordinasi Sekolah/Madrasah Aman sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Untuk mewujudkan rasa aman, maka sekolah/madrasah perlu berkomitmen penuh
untuk menerapkan penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan standar nasional
pendidikan dan budaya sekolah yang mampu melindungi warga sekolah dan lingkungan
di sekitarnya dari bahaya bencana. Selain itu, guru memiliki komitmen penuh untuk
mengembangkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang mendorong peserta didik
aktif dalam upaya pengurangan risiko bencana. Adapun metoda peningkatan kapasitas
disesuaikan dengan minat, bakat dan kemampuan peserta didik. Peserta didik perempuan
dan laki-laki termasuk yang berkebutuhan khusus hendaknya terlibat secara aktif dalam
menyusun rencana aksi di sekolah/madrasah tersebut. Terakhir, orang tua berpartisipasi
secara aktif dalam penyusunan rencana dan simulasi evakuasi sekolah/madrasah.
„YES‟ FOR SAFER SCHOOL
Untuk memperkuat paradigma baru yang ingin ditumbuhkembangkan, yakni
sekolah/ madrasah dengan kesiapsiagaan akan bencana, KerliP (Keluarga Peduli
Pendidikan) dan Green SMILe menginisasi suatu gerakan yang disebut YES (Youth
Evacuation Simulation) untuk Sekolah Aman. Gerakan YES for safer school ini pada
dasarnya merupakan suatu simulasi evakuasi secara simultan yang direncanakan,
dilaksanakan, didokumentasikan dan disampaikan oleh anak dan remaja di sekolah tempat
mereka belajar. Gerakan ini telah dideklarasikan pada tanggal 13 Oktober 2013 bertepatan
dengan peringatan Hari Pengurangan Risiko Bencana Sedunia.
Mengapa gerakan ini menitikberatkan kepada siswa di sekolah/madrasah? Hal ini
didasarkan akan sejumlah alasan, yakni, pertama, jumlah siswa di sekolah/madrasah yang
banyak memungkinkan untuk tersebarnya pengetahuan tentang penanggulangan bencana
secara lebih luas. Kedua, jumlah guru yang tidak mungkin membantu seluruh siswa dalam
keadaan darurat sementara siswa punya kemampuan sendiri jika dilatih. Ketiga, melalui
pendidikan formal di sekolah, keberlanjutan informasi bisa dijaga dan dipertahankan.
73
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Peluncuran gerakan YES for safer school ini menjadi salah satu target capaian
dalam kampanye advokasi tentang sekolah/madrasah aman untuk rentang waktu 20102013 (Direktori Sekolah Aman, BNPB). Adapun Pengembangan konsep
Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana ini sendiri merupakan hasil sinkronisasi antara
praktik baik dan kebijakan yang mendukung aktivitas PRB di Indonesia. Konsorsium
Pendidikan Bencana (KPB) mengembangkan kerangka kerja Sekolah Siaga Bencana
(SSB) yang didasarkan pada praktik-praktik baik beberapa anggotanya seperti LIPI,
Kogami, UNESCO, YTBI, PMI, MDMC, ASB, Perkumpulan Lingkar dan Perkumpulan
KerLiP. Tujuan gerakan ini sendiri adalah menjadikan sekolah sebagai komunitas
pembelajar dalam pengurangan risiko bencana melalui pendidikan. Dalam kegiatannya,
ssetiap anak secara individu/kelompok menuliskan rencana aksi nyata untuk mengurangi
kerentanan dan meningkatkan kapasitas di tempat favorit di sekolah/madrasah. Setelah
itu, mereka diminta mengenali jalur evakuasi yang paling aman dari tempat favorit
tersebut ke titik kumpul aman yang sudah ditetapkan. Untuk mempersiapkan “YES for
Safer School/Madrasah” di tempat masing-masing, mereka diminta mendiskusikan hasil
kegiatan penilaian kerentanan dan rencana aksi di hadapan Dewan Guru dan Komite
Sekolah/Madrasah. Kemudian mereka menyusun rencana evakuasi terintegrasi bersama
warga sekolah/madrasah dan membuat berita acara penetapan Rencana Evakuasi
Terintegrasi. Berita acara itu ditandatangani oleh setiap anak dan kepala
sekolah/madrasah. Kegiatan ditutup dengan suatu ikrar bersama untuk mengerahkan
segala sumber daya yang ada untuk melaksanakan, mendokumentasikan dan melaporkan
YES for Safer School/Madrasah di tempat tersebut.
PENUTUP
Gerakan YES for safer school, yang merupakan hasil kerjasama antara KerliP (Keluarga
Peduli Pendidikan) dengan Green SMILe, ini adalah suatu model pendidikan pengurangan
risiko bencana berbasis sekolah yang dimaksudkan untuk memperkuat paradigma baru,
dari bantuan kedaruratan menuju kesiapsiagaan akan bencana. Shiwaku dan Fernandez
(2011) menyatakan bahwa pendidikan kebencanaan memainkan peran yang signifikan
dalam mengembangkan budaya pengurangan risiko bencana dalam jangka panjang.
Dalam gerakan ini para siswa bersama-sama merencanakan suatu simulasi evakuasi secara
simultan yang kemudian akan dilaksanakan, didokumentasikan dan disampaikan oleh
siswa-siswa itu sendiri di sekolah tempat mereka belajar. Adapun tujuan gerakan YES for
safer school adalah menjadikan sekolah sebagai komunitas pembelajar dalam
pengurangan risiko bencana melalui pendidikan. Melalui gerakan YES untuk Sekolah
Aman, siswa diharapkan membentuk gerakan terpadu menuju terwujudnya Sekolah Aman
serta Sekolah Ramah Anak. Gerakan ini telah dideklarasikan pada Oktober 2013 dan
hendaknya dipraktikkan ulang setidaknya satu kali dalam setahun.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua rekan dan relawan di KerLiP
yang telah menyediakan data untuk keperluan penulisan makalah ini. EWSM juga
berterima kasih kepada DAAD yang telah memberikan dukungan finansial dalam rangka
mengikuti acara seminar nasional yang diadakan oleh PAJ-Aceh.
74
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
DAFTAR PUSTAKA
BNPB, 2010. Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014.
BNPB, 2013. Direktori 2013, Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana.
Kemdiknas, 2010. Strategi Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana Di Sekolah.
Shiwaku, S. and G. Fernandez., 2013 Role of School in Disaster Education.
UNICEF, 2012. Disaster Risk Reduction in School Curricula.
World Bank, 2010. Building Disaster Resilient Future. Indonesia Rising: Policy Priorities
for 2010 and beyond.
75
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Survey of Potential Animals for Earthquake Predictor in Banda Aceh:
A Study Toward Development of Alternative Technology for
Disaster Risk Reduction
T. R. Ferasyi1, M. Sabri1, Hamdani1, Azhari1 and Razali1
1
Faculty of Veterinary Medicine, Syiah Kuala University, Darussalam, Banda Aceh, Indonesia
ABSTRACT
This paper presents a result of survey for animals that has potency as earthquake
predictor in Aceh. A study were conducted in three seismically active districts in Aceh
those hits by earthquake and tsunami 2004, they are Banda Aceh, Aceh Jaya, and
Simeulue. The survey was conducted by using an approach of purposive sampling. A
number of 200 respondents were selected in each district. They were selected with the
criteria of at least 10 years old when the earthquake and tsunami 2004 happened and has
experienced at least two earthquakes in their lives. The interview was conducted by using a
questionnaire, which contains general and specific questions related to their memory on
animals observed that showing unusual behavior before earthquake. The results showed
that several animals were observed with unusual behavior before earthquakes in the three
districts. Among of them are cattle, buffalo, goat, poultry, and birds. Most of respondent
were answered that poultry and birds are more sensitive to the increase of seismic activity
as compared to larger animals. In addition, they said that those animals are expressed an
unusual behavior earlier than other animals before the earthquake strike. In poultry, geese
were reported showing precursor time earliest as compared to other animal species, which
is at least 12 hours before earthquake. In conclusion, some animals were observed with
unusual behavior before earthquakes and they have potency for earthquake predictor in
Aceh. This result is expected will allow us to develop an alternative technology of
earthquake early warning system for disaster risk reduction based on unusual behavior of
potential animals for earthquake predictor.
Key words: Survey, earthquake, animal, behavior, predictor.
ABSTRAK
Dalam tulisan ini ditampilkan hasil survey hewan yang memiliki potensi sebagai
predikto gempa di Aceh. Penelitian ini dilaksanakan di tiga kabupaten yang aktifitas
seismiknya tergolong tinggi, yaitu Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Jaya dan Kabupaten
Simeulue. Survei dilakukan dengan pendekatan puspossive sampling. Sejumlah 200 orang
responden dipilih di setiap wilayah kabupaten/kota. Kriteria dari responden tersebut
adalah telah berusia 10 tahun saat gempa dan tsunami 2004 terjadi dan pernah
mengalami paling sedikit 2 kali gempa dalam hidupnya. Wawancara terhadap responden
dilakukan dengan menggunakan kuesioner terstruktur, yang berisi pertanyaan umum dan
khusus terkait dengan ingtaan mereka tentang hewan yang memperlihatkan perubahan
perilaku sebelum gempa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa jensi hewan
pernah terlihat oleh responden menunjukkan perilaku yang tidak biasanya sebelum gempa
di ketiga wilayah kabupaten/kota. Diantara hewan-hewan tersebut adalah sapi, kerbau,
kambing, unggas dan burung. Sebagian besar responden menyebutkan bahwa unggas dan
burung lebih sensitif terhadap peningkatan aktifitas seismik jika dibandingkan dengan
hewan yang lainnya. Selain itu juga dikatakan bahwa unggas dan burung memperlihatkan
76
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
perubahan perilaku lebih cepat daripada jenis hewan lainnya sebelum hentakan gempa
dirasakan. Jenis unggas yang paling cepat menunjukkan perubahan perilaku adalah itik
angsa, yaitu sekitar 12 jam sebelum gempa terjadi. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa sbeberapa jenis hewan telah pernah diamati menunjukkan perubahan perilaku
sebelum terjadi gempa, sehingga kemungkinan dapat dijadikan sebagai predictor gempa
di Aceh. Hasil yang telah diperoleh ini diharapkan akan mendukung upaya pengembangan
tekhnologi alternatif untuk sistem peringatan dini gempa guna pengurangan risiko
bencana berbasis perilaku abnormal dari hewan yang berpotensi sebagai predictor
gempa.
Kata kunci : Servey, gempa, hewan, perilaku, prediktor
INTRODUCTION
Nowadays, many studies have been conducted to design an appropriate method for
earthquake prediction. Both by using high- or simple technology. However, none of their
results were able to predict the time and location of earthquake (Berberich et al. 2013).
On the other hand, a number of research have studied the possibility of using
natural signs for an indicator of upcoming earthquake. Among of them is an indicator
based on a change in animal behavior before earthquake. Most of the anecdotal evidence
and stories were obtained from China and Japan (Carrayanis, 2014; Lakhsmi et al., 2014).
Scientific reports of unusual animal behavior before earthquake is increased in the
last 15 years. An observation based on experiment by using catfish was conducted by
Yamanaka et al., (2002). They found that the catfish were very active several days before
the earthquake of magnitude of 7.3 in Western Tottori (6 October 2000) and of magnitude
of 6.7 in Geiyo (24 March 2001), Japan. Recently, Ferasyi et al.,(2013) have suggested that
the change of animal behavior, such as african catfish, prior the shake is might depend on
the distance of the epicenter to the observational station and the magnitude of earthquake.
However, the response of african catfish to the increase of seismic activity is very close to
the time of earthquake, that is less than 3 hours before the shake. Therefore, more effort is
still needed in finding an appropriate animals for earthquake predictor as early as possible
for disaster risk reduction.
The information of potential animals for earthquake predictor perhaps can be
obtained through interviewing people in seismically active region. In this report we
presents a preliminary result of our survey of potential animals for earthquake predictor in
three seismically active regions in Aceh.
METHODS
Survey Locations
This study was conducted in three seismically active regions in Aceh Province,
Indonesia. The locations of survey were in Banda Aceh, Aceh Jaya, and Simeulue
Districts.
Methods
The survey was conducted by using a purposive sampling apprtoach. A number of
200 respondents were selected in each district. They were selected with the criteria of at
least 10 years old when the earthquake and tsunami 2004 happened and has experienced at
least two earthquakes in their lives. The interview was conducted by using a questionnaire,
77
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
which contains general and specific questions related to their memory on animals observed
that showing unusual behavior before earthquake.
Data analysis
Data obtained were analysed descriptively.
RESULTS AND DISCUSSION
The results of survey showed that among 600 respondents, a few of them were
observed or had heard story of abnormal animals behavior preceding earthquake in the
three districts.
Among animals were observed are cattle, buffalo, goat, poultry, and birds
(Table 1). Most of respondent were answered that poultry and birds are more sensitive to
the increase of seismic activity as compared to larger animals. In addition, they said that
those animals are expressed an unusual behavior earlier than other animals before the
earthquake strike. In poultry, geese is reported as showing unusual behavior earlier as
compared to chicken when the increase of seismic activity, which is at least 12 hours
before earthquake. Several types of unusual behavior observed before the earthquakes are
animal gathering together in one site, anxiety, screaming, running or silent.
The findings in this study for the list of animal species that showing abnormal
behavior before earthquake is almost similar with the report from Dr. B.G. Deshpande
(The Stanford Research Institute, California, under the „Pro- ject Earthquake Watch‟)
(cited by Lakhsmi et al., (2014). In addition, in our study we found that buffalo is also
sensitive to the increase of seismic activity. Buffalo is a native animal in the District of
Aceh Jaya and Simeulue. So, their sensitivity might be a result of their experience to the
earthquakes in this seismically active region. Although, the precursor time for this animal
is shorter than cow.
The variation of precursor time between different animal species in this study is in
agreement with the result of observation by The Group of Earthquake Research Institutes
of Biophysics, China (1979) (cited by Lakhsmi et al., (2014). They have reported that
mainly the precursor time is within 24 h prior the earthquake.
Table 1. Result of questionnaire for animal species and time of observation of abnormal
behavior preceding earthquake.
Time of observation for abnormal behavior of animal
Animal species
prior earthquake (h)
Buffalo
3
Cow
6
Goat
1
Dog
2
Geese
12
Chicken
6
Bird
10
Our result for the earliest precursor time for geese is interesting. The mechanism of
how geese could detect the increase of seismic activity is unclear. Perhaps, a thought from
(Schaal, 1988). Might help us to understand how geese could respond before the
earthquake. He said that, based on Cooke (1984), this animal has a tiny crystals of
78
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
magnetite incorporated in sense organs in their heads that regulate their movement by
earth's magnetic field. It is similar to aquatic animals, such as tuna and salmon. Possibly,
that organ makes them able to detect the increase of seismic activity. However, a further
study is needed to disclose the mystery in the mechanism of animals sensitivity preceding
the earthquake in seismically active region, such as in Aceh Province, Indonesia.
CONCLUSION
Based on the results above, it can be concluded that:
1. Some people in three seismically active regions in Aceh have observed unusual
animal behavior from several animal species preceding earthquakes.
2. Geese is observed has earliest precursor time as compared to other animal species,
which is at least 12 hours before earthquake.
3. This result is expected will allow us to develop an alternative technology of
earthquake early warning system for disaster risk reduction based on unusual
behavior of potential animals for earthquake predictor in Aceh.
ACKNOWLEDGEMENT
I would like to grateful for all great supports from the Research Institute of Syiah
Kuala University, the Project of Development and Upgrading of Seven Universities in
Improving the Quality and Relevance of Higher Education in Indonesia (7 in 1) of Syiah
Kuala University, Banda Aceh, Indonesia, and Terramath Indonesia.
REFERENCES
Berberich, G., Berberich, M., Grumpe, A., Wöhler, C. and Schreiber, U., 2013. “Early
Results of Three-Year Monitoring of Red Wood Ants‟ Behavioral Changes and
Their Possible Correlation with Earthquake Events”, Animals, vol. 3, no. 1, pp. 6384.
Carrayanis,
G.P.,
2014.
Earthquake
prediction
in
China.
http://www.drgeorgepc.com/ Earthquake Prediction China. html.
Available:
Ferasyi, T.R., Sabri, M., Razali., Azhari., Amiruddin., Hambal, M., Straka, W. and Faber,
R., 2013. An Indication of African Catfish‟s (Clarias gariepinus) Behavioral
Changes As A Response for Increased Seismic Activity. Jurnal Natural, vol. 13, no.
1.
Lakhsmi, K.R., Nagesh, Y. and Krishna, M.V., 2014. Analysis on Predicting Earthquakes
through an Abnormal Behavior of Animals, International Journal of Scientific &
Engineering Research, vol. 5, issue 4, pp. 845-857.
Schaal, R.B., 1988. An Evaluation of the Animal Behavior Theory for Earthquake
Predictio. California Geology, vol. 41, no. 2.
Yamanaka C., Asahara, H., Matsumoto, H. and lkeya, M., 2002. Wideband Environmental
Electromagnetic Wave Observation Searching for Seismo- electromagnetic Signals
and Simultaneous Observation of Catfish Behavior - The Cases for the Western
Tottori and the Geiyo Earthquakes. Journal of Atmospheric Electricity, vol. 22, no.
3, pp. 277-290.
79
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Penggunaan Keanekaragaman Hayati pada Pengurangan Dampak
Bahaya : Studi pada Penerapan Teknologi Pangan dan Pakan
Berdasarkan Kearifan Lokal
Retno I. Pujaningsih1
1
Academic staff of Animal and Agriculture Faculty, Diponegoro University Semarang
ABSTRAK
Makalah ini meninjau pengaruh keanekaragaman hayati pada upaya pengurangan
dampak bencana. Bagi petani, tidak ada perbedaan antara pengurangan risiko dan
adaptasi. Dari sudut pandang mereka, yang ada hanyalah ancaman terhadap kehidupan
dan ketahanan pangan keluarga yang perlu dilindungi, system, peningkatan pola pakan
dan pengurangan kerugian akibat penyakit pada budidaya perairan, mengurangi kegagalan
pascapanen dan kerugian produksi dan pengembangan lebih lanjut dari perdagangan
regional. Sebenarnya bahaya tidak akan menjadi bencana, kecuali jika masyarakat yang
terkena bencana tidak siap untuk menghadapinya. Singkatnya, ketahanan terhadap
bencana harus diwariskan sebagai budaya nasional kita dan menjadi hak alami bagi semua
orang. Sejumlah studi kasus pada pengetahuan tentang kearifan lokal dalam hal
pengurangan risiko dampak bencana telah didokumentasikan. Ada banyak teknologi dan
aplikasinya untuk mengurangi kerentanan sistem pertanian dan membangun ketahanan
mereka dengan menggunakan keanekaragaman hayati. Beberapa contoh termasuk:
diversifikasi tanaman, skema asuransi tanaman, varietas tanaman yang toleran terhadap
kekeringan atau banjir, fasilitas penyimpanan biji-bijian dan tempat penampungan ternak
yang aman, cadangan pakan ternak yang strategis, bio-security sistem produksi ternak,
cadangan air untuk buffer kekeringan dan peternakan yang tangguh. Keberhasilan dalam
upaya mengurangi dampak bencana tergantung pada penanaman pengertian secara
berkelanjutan dalam mengenali bahaya yang melekat pada lingkungan, pembangunan,
pertanian, politik, dan sistem sosial kita.
Kata kunci: Keanekaragaman hayati, pencegahan bencana, pengurangan resiko, sistem
pertanian
ABSTRACT
This paper will review the influence of biodiversity on mitigate hazard impact. For
farmers, there is no distinction between risk reduction and adaptation. From their
perspective, there are only threats to livelihoods and family food security from which they
need to be protected; systems; improved feeding and reduced losses from disease in
aquaculture; the reduction of postharvest and production losses; and the further
development of regional trade. After all, hazards do not become disasters unless the
communities they touch are unprepared to deal with them. In short, disaster resilience
must become inherent to our national culture and a natural right of all people. Numerous
case studies on indigenous knowledge of risk reduction have been documented. There are
an extensive number of technologies and practices for reducing the vulnerability of
farming systems and building their resilience by using biodiversity. Some examples
include: crop diversification, crop insurance schemes, drought or flood-tolerant crop
varieties, hazard-proof grain storage facilities and livestock shelters, strategic fodder
reserves, bio-security of animal production systems, water reserves to buffer droughts and
80
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
resilient animal breeding. Successfully reducing disasters depends upon sustained
investment in recognizing that hazards are inherent on our complex environmental,
constructed, agricultural, political, and social systems.
Key words: Biodiversity, mitigate hazards, risk reduction, farming systems
PENDAHULUAN
Integrasi Sains dan Teknologi dalam pengurangan dan manajemen risiko bencana
merupakan kunci untuk menciptakan masyarakat yang tahan terhadap bencana. Jenis-jenis
risiko bencana di Asia Tenggara seperti misalnya perubahan cuaca yang ekstrim, termasuk
angin topan, banjir, air bah dan kekeringan dapat diminimalisir dengan penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Selain itu, kerusakan akibat bencana seperti misalnya
kebakaran hutan, gempa bumi, tsunami, tanah longsor, dan wabah penyakit dapat
diminimalisir melalui aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Pengenalan
teknologi baru yang efektif menciptakan standar kualitas teknologi yang lebih baru untuk
mengurangi bencana.
Meskipun demikian, aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang hanya
mengutamakan aspek ekonomi dan mengabaikan kelestarian sumber daya alam akan
menimbulkan permasalahan-permasalahan bagi masyarakat adat, yaitu: 1) menurunnya
kualitas sumber daya alam dan lingkungan sekitar permukiman masyarakat adat, yang
menyebabkan kemiskinan dan masalah sosial; 2) masyarakat adat merupakan kelompok
yang rentan terhadap perubahan sosial budaya dan lingkungan, termasuk bencana alam
dan penyakit; 3) pendidikan yang masih rendah dan keterbatasan akses informasi,
menjadikan masyarakat adat menjadi pihak yang dirugikan ketika terjadi kegiatan yang
mencemari dan merusak lingkungan; 4) kelangkaan sumber daya dan keterbatasan lahan
garapan, mengakibatkan terganggunya siklus perladangan, yang dapat mempercepat laju
degradasi tanah; serta 5) kearifan tradisional yang tidak digunakan masyarakat dalam
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, serta peran kepengurusan adat makin
lemah.
Nilai luhur dalam pengelolaan dan pelestarian lingkungan yang dapat dijadikan
kajian dari masyarakat adat adalah nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom). Kelestarian
alam tersebut bukan merupakan gejala alam yang alami tetapi merupakan wujud dari
kesadaran akan pelestarian alam dan lingkungan yang dihasilkan dari budaya lokal atau
kearifan lokal yang sampai saat ini masih dipertahankan. Konsepsi-konsepsi kearifan
lokal ini diwariskan secara turun temurun melalui : dongeng, legenda, dan petuah-petuah
adat. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menjaga nilai-nilai luhur yang dipandang
penting yang harus dipahami
dan dipatuhi oleh semua warga. Beberapa studi literatur tentang nilai-nilai kearifan lokal
di beberapa daerah di Indonesia mengarah pada pelestarian dan pemanfaatan
keanekaragaman hayati yang bila diabaikan akan mendatangkan bencana bagi masyarakat
setempat.
METODE PENELITIAN
Sumber data kajian ini diperoleh dari beberapa referensi terutama dari hasil-hasil
penelitian serta sebagian data disertasi penulis. Data dan informasi terkait dampak
bencana dari beberapa sumber, antara lain melalui multi media dan surat kabar terkini
selanjutnya dianalisis secara deskriptif untuk memperoleh informasi tentang peranan
keanekaragaman hayati dalam menanggulangi dampak bencana.
81
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam pertanian tradisional, ada satu aspek penting yang disebut sebagai “Lokal atau
Indigenous Knowledge (IK)” atau sering disebut sebagai “Kearifan Lokal/tradisional”.
Sistem kearifan lokal dalam bidang pertanian merupakan suatu pengetahuan yang utuh
berkembang dalam budaya atau kelompok etnik tertentu untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya secara subsistem sesuai kondisi biodiversitas yang ada pada lingkungan
tersebut. Pertanian dengan pendekatan ekologis (agroekologi) mengajak kita untuk
mengembangkan biodiversitas pertanian (agroekosistem) dalam wujud integrasi aneka
jenis hewan dan tanaman. Integrasi hewan dan tanaman yang sukses akan memperkuat
interaksi positif dan mengoptimalkan fungsi serta proses yang terjadi di dalam ekosistem,
seperti misalnya pengendalian hama berbahaya, daur ulang unsur hara, produksi biomassa
dan penyediaan asupan bahan-bahan organik. Kearifan lokal sebagai bentuk tradisi
masyarakat tradisional kini mulai terpinggirkan karena pengaruh modernitas yang
cenderung menganggap hal-hal yang tradisional selalu statis. Kondisi seperti ini tidak
dapat dibenarkan sebab kearifan lokal yang tercipta dari kehidupan keseharian masyarakat
telah berlangsung dari generasi kegenerasi dan ternyata bersifat dinamis. Kearifan lokal
merupakan perwujudan dari daya tahan dan daya tumbuh yang dimanifestasikan melalui
pandangan hidup, pengetahuan, dan pelbagai strategi kehidupan yang berupa aktivitas
yang dilakukan oleh masyarakat lokal untuk menjawab berbagai masalah dalam
pemenuhan kebutuhan hidupnya, sekaligus memelihara kebudayaannya. Pada
kenyataannya kearifan lokal selalu bisa berjalan beriringan dengan perkembangan
kemajuan manusia itu sendiri asalkan mereka tetap berpegang teguh pada norma, adat dan
tradisi yang ada. Hal ini sebagai bentuk perwujudan dari kearifan lokal itu sendiri yang
senantiasa menjaga manusia untuk dapat terus hidup selaras, serasi dan seimbang dengan
alam sekitarnya.
Diversifikasi Tanaman Pangan
Secara perlahan masyarakat Indonesia perlu diajak kembali menerapkan pola
pangan zaman sebelum orde baru. Dimana masyarakat Sulawesi, Maluku, dan Papua
kembali mengandalkan sagu sebagai bahan makanan utama. Selain itu, masyarakat Jawa
dapat kembali mengkonsumsi tanaman palawija, seperti misalnya singkong, kentang dan
ubi. Hal yang sama perlu dilakukan pada daerah lainnya, di mana keanekaragaman
kebutuhan pangan menjadi fokus utama. Dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan
pada satu jenis komoditas pertanian saja. Apalagi ketidaktentuan cuaca karena perubahan
iklim tidak jarang memicu terjadinya gagal panen. Selain itu, langkah ini merupakan salah
satu cara meredam ketergantungan Indonesia terhadap pangan impor.
Meskipun diversifikasi pangan bukan merupakan program baru, program ini
merupakan langkah jitu untuk meredam gejolak pangan dunia dan nasional ditengah
ancaman perubahan iklim. Selain itu, diversifikasi pangan menjadi cara mengembangkan
kearifan lokal melalui pengoptimalan sumber daya yang ada. Rao et al., (2004)
mengatakan bahwa diversifikasi usaha pertanian dapat digunakan sebagai strategi
pengentasan kemiskinan, peningkatan lapangan kerja, konservasi lingkungan, dan
meningkatkan pendapatan usaha tani.
Dalam adopsi pola tanam menurut Rusastra et al., (2004) perlu diupayakan
perbaikan beberapa hal sebagai berikut: (a) Penciptaan, penyediaan dan distribusi bibit
palawija dan sayuran sebagai komponen penting penyusun pola tanam; (b) Fasilitasi
kredit program secara khusus bagi program diversifikasi mengingat dibutuhkannya total
biaya produksi yang lebih besar; (c) Penciptaan dan pemanfaatan teknologi hemat tenaga
kerja yang menyangkut aspek pengolahan tanah, tanam, dan penyiangan; (d) Konsolidasi
82
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
dan koordinasi penyediaan air irigasi mengingat palawija dan hortikultura membutuhkan
air irigasi secara periodik dalam internal waktu tertentu; dan (e) Peningkatan kinerja
penyuluhan yang terkait dengan teknik budidaya baru usahatani padi dan pengembangan
komoditas non-padi.
Pola Asuransi Tanaman
Aktifitas pertanian memiliki keterkaitan erat dengan kondisi alam dan lingkungan
serta sulit dihindarkan dari bencana alam yang terjadi terlebih dengan perubahan iklim
yang sering terjadi akhir-akhir ini sehingga banyak merugikan petani dan menurunkan
minat bertani masyarakat. Hal ini tentu mengancam keberlanjutan pertanian di Indonesia.
Aktifitas bertani yang semakin berkurang tentu akan berdampak pada kualitas
lingkungan yang semakin rendah mengingat pembangunan fisik (rumah, gedung, kantor
dan lain-lain) terus bertambah sementara kegiatan bercocok tanam semakin berkurang
akibat risiko bertani yang semakin tinggi, oleh karena itu menurut Nnadi et al., (2013)
asuransi pertanian merupakan bentuk manajemen risiko usaha tani yang dapat memicu
terjadinya keseimbangan dalam pemanfaatan alam dan memicu perbaikan kualitas
lingkungan hidup.
Terlepas dari model asuransi yang akan dilaksanakan, pemerintah bersama-sama dengan
sektor swasta harus meningkatkan upaya dalam mendidik petani tentang fitur dan manfaat
dari asuransi tanaman tidak hanya untuk meningkatkan serapan tetapi untuk membangun
kepercayaan. Selain itu, menurut Sumner dan Zulauf (2013)
penting untuk
mempertimbangkan pengintegrasian asuransi tanaman bagi petani kecil dengan produk
lain dan jasa, yaitu keuangan mikro dan / atau input supplies. Pada akhirnya, asuransi
pertanian tidak harus dilihat sebagai solusi tunggal untuk memecahkan masalah
manajemen risiko rumah tangga pertanian dengan sendirinya. Solusi non-keuangan
lainnya pun penting untuk membantu masyarakat miskin mengelola risiko usaha
pertanian, misalnya meningkatkan sistem teknologi irigasi, meningkatkan peluang
ekonomi di daerah pedesaan, dan mendukung praktek-praktek pertanian yang baik.
Varietas Tanaman yang Toleran terhadap Kekeringan atau Banjir
Pemilihan varietas unggul (flora maupun fauna) adalah perpaduan kearifan lokal dengan
teknologi modern. Kearifan lokal penduduk merupakan sistem pengetahuan penduduk
setempat yang didapatkan sebagai warisan (blueprint) dari generasi ke generasi dan
merupakan proses pengalaman hidup yang dijalani dan teruji. Sistem pengetahuan itu
beroperasi dalam tataran kehidupan sehari-hari sebagai upaya diri individu maupun
kolektif untuk menyelesaikan persoalan hidupnya (Wahyu, 2001). Aplikasi teknologi
adaptif, terutama pada tanaman pangan, seperti misalnya penggunaan varietas unggul
adaptif terhadap kekeringan, genangan/banjir, salinitas dan umur genjah, serta teknologi
pengelolaan lahan, pupuk, air, diversifikasi pangan, teknologi pemanfaatan limbah dan
lain-lain merupakan upaya adaptasi terhadap mitigasi dampak bencana alam (Dewan
Nasional Perubahan Iklim, 2012).
Fasilitas Penyimpanan Biji-Bijian dan Tempat Penampungan Ternak yang Aman
Menyimpan pakan dan bahan pakan harus berdasarkan tata cara yang biasa
dilakukan oleh para peramu pakan atau peternak yang sudah berpengalaman. Selain itu,
bahan pakan yang akan digunakan juga harus dipilih agar kondisinya tidak banyak
berubah ketika disimpan di dalam gudang. Gudang merupakan tempat untuk menyimpan
bahan pakan dan pakan jadi yang sangat menentukan kualitas yang diperoleh setelah
terjadi penyimpanan. Sebaiknya, gudang untuk menyimpan bahan pakan berbeda dengan
gudang pakan jadi.
83
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Gudang pakan juga sebaiknya tidak jauh dari kandang/tempat penampungan
ternak. Jaman dahulu orang membuat rumah panggung untuk menghindari binatang buas.
Kolong atau bagian bawah rumah biasanya digunakan untuk memelihara ternak. Secara
teknik fungsi rumah panggung adalah supaya tidak mengganggu bidang resapan air,
kolong sebagai media pengkondisian ruang dengan mengalirnya udara secara silang,
sehingga baik untuk kehangatan (malam hari) dan kesejukan (siang hari). Akan tetapi
model rumah panggung ini relatif mahal sehingga penduduk mulai jarang mendirikan
rumahnya dalam bentuk panggung.
Cadangan Pakan Ternak yang Strategis Menuju Peternakan yang Tangguh
Iklim yang tak menentu atau bencana alam membuat perhatian mengenai kearifan
lokal yang dimiliki masyarakat setempat perlu ditingkatkan. Selain kearifan lokal, petani
juga membutuhkan teknologi untuk :
Pengembangan ternak yang adaptif pada lingkungan dan iklim ekstrim
(kekeringan, suhu tinggi, genangan).
Pengembangan teknologi silase untuk mengatasi kelangkaan pakan musiman.
Pengembangan sistem integrasi tanaman-ternak (crop livestock system, CSL) untuk
mengurangi resiko dan optimalisasi penggunaan sumberdaya lahan.
Petani etnis Jawa di Kalimantan Barat memanfaatkan berbagai limbah seperti
misalnya tepung kulit udang, tepung ikan kering, gulma dan gambut kering setempat dan
kotoran ayam yang dijadikan abu untuk kemudian digunakan sebagai pupuk. Pupuk
organik ini cukup baik bagi sayuran misalnya seledri, tomat, cabai dan kuchai tanpa
menggunakan pupuk anorganik. Kandungan hara abu ini cukup baik dibandingkan
dengan pupuk kandang konvensional (Wahyu dan Nasrulloh, 2010).
Bio-security Sistem Produksi Ternak
Biosekuritas atau biosecurity merupakan pertahanan terdepan dalam mencegah
masuknya agen-agen penyakit ke dalam suatu peternakan. Untuk mendukung serta
memaksimalkan kemampuan biosekutitas atau biosecurity adalah dengan meningkatkan
kekebalan tubuh atau sistem imun ternak untuk mencegah ternak terjangkit atau terinfeksi
penyakit. Nutrisi ternak memegang peranan penting untuk menciptakan atau membentuk
sistem imun atau kekebalan tubuh yang kuat karena hanya dengan nutrisi yang
berkualitaslah perkembangan organ serta sistem imunitas ternak ternak dapat berlangsung
dengan optimal. Dengan perkembangan sistem kekebalan tubuh yang optimal, performa
ternak akan jauh lebih baik.
Cadangan Air untuk Buffer Kekeringan
Masalah cekaman kekeringan dapat diatasi melalui dua cara, yaitu dengan
mengubah lingkungan agar cekamannya dapat diminimumkan serta memperbaiki genotipe
tanaman agar tahan terhadap cekaman kekeringan. Upaya pertama antara lain dapat
dilakukan dengan cara :
Penyesuaian waktu dan pola tanam berdasarkan kalender tanam
Aplikasi teknologi panen hujan
Aplikasi teknologi irigasi
84
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
KESIMPULAN
Sesungguhnya bahaya selalu ada di lingkungan sekitar kita (pada areal perkebunan,
pertanian, perindustrian, kultur budaya) dan menjadi bagian dari kehidupan manusia
secara turun temurun. Mitigasi bencana harus diperkenalkan sejak usia dini sehingga
penanaman pengertian secara berkelanjutan dalam mengenali bahaya yang melekat pada
lingkungan, pembangunan, pertanian, politik, dan sistem sosial kita dapat diupayakan
antisipasinya dengan cermat tanpa mengabaikan kearifan lokal dan dukungan
keanekaragaman hayati.
REFERENCES
Dewan Nasional Perubahan Iklim. 2012. Direktori Data dan Informasi Adaptasi
Perubahan Iklim. Kelompok Kerja Adaptasi – DNPI.
Nnadi, FN, Chikaire, J.,Echetama, AJ., Ihenacho, R.A., Umunnakwe, C.P. and Utazi, OC.
2013. Agricultural insurance: A strategic tool for climate change adaptation in the
agricultural sector. Net Journal of Agricultural ScienceVol. 1(1), pp. 1-9
Rao, S. V. R. ., Raju, M. V. L. N. ., Reddy, M. R. and Panda, A. K., 2004. Replacement of
yellow maize with pearl millet (Pennisetum typhoides), foxtail millet (Setaria
italica) or
finger millet (Eleusine coracana) in broiler chicken diets containing
supplemental enzymes. Asian-Aust. J. Anim. Sci., 17 (6): 836-842.
Rusastra, I.W, Handewi P.S, Supriati dan Saptana. 2004. Prospek Pengembangan Pola
Tanam dan Diversifikasi Tanaman Pangan di Indonesia. Forum Penelitian Agro
Ekonomi.
Volume 22 No. 1, Juli 2004 : 37 – 53
Sumner, AD and
Zulauf, C., 2012. Economic and environmental effects of
agricultural effects of agricultural insurance programs: The Council of Food
Agriculture and economic
Sumner, AD and Zulauf, C., 2013. Economic and environmental effects of agricultural
effects of agricultural insurance programs: The Council of Food Agriculture and
Economic.
Wahyu dan Nasrulloh. 2010. Kearifan Lokal Petani Dayak Bakumpai dalam Pengelolaan
Padi di Lahan Rawa Pasang Surut Kabupaten Barito Kuala. Diktat kuliah pada
Program Studi Pendidikan Sosiologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin. (tidak diterbitkan).
Wahyu. 2001. Kemampuan Adaptasi Petani dalam Sistem Usahatani Sawah Pasang Surut
dan Sawah Irigasi di Kalimantan Selatan. Etnovisi, Jurnal Antropologi Sosial
Budaya, 1 (2).
85
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Peningkatan Produktifitas Sapi Lokal Sebagai Penyedia Pangan
Berkualitas pada Saat Bencana Melalui Perbaikan Pakan dengan
Aditif Alami
Muhammad Bata1
1
Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto
ABSTRAK
Waru merupakan tanaman pepohonan yang sering ditanam di pesisir pantai
sebagai salah satu upaya untuk menahan gelombang pasang. Kandungan bahan aktif
seperti saponin yang cukup tinggi pada tanaman ini memungkinkan daun dan bunga waru
dapat digunakan sebagai aditif fitogenik untuk meningkatkan produktifitas sapi lokal
melalui defaunasi protozoa sehingga dapat menekan populasi bakteri metanogenik dan
meningkatkan jumlah bakteri selulolitik. Sebanyak 20 ekor sapi bali asal pulau Sumbawa
dengan bobot hidup 175 ± 0,25 kg yang diacak secara sempurna untuk diberi 3 jenis
pakan dari A, B dan C. Pakan A adalah kontrol dengan imbangan bahan kering jerami
padi amoniasi dan konsentrat masing-masing 65 : 35. Pakan B dan C sama dengan A,
akan tetapi konsentrat disuplementasi dengan tepung daun waru berturut –turut 240 dan
480 mg per kg bahan kering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan tepung
daun waru sebanyak 240 mg per kg bahan kering konsentrat mampu memperbaiki
pertambahan sapi bali asal Pulau Sumbawa dengan PBBH dari 0,38 kg menjadi 0,69 kg.
Hasil tersebut menunjukan bahwa penggunaan daun waru dalam pakan mampu
meningkatkan efisiensi penggunaan pakan dan meningkat produktfitas ternak sapi potong,
sehingga mampu menyediakan pangan berkualitas pada saat bencana. Selain itu mampu
mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan melalui pengurangan emisi methane.
Kata kunci: Waru, methan, sapi, rumen, energi
ABSTRACT
Hibiscus tileaceus is a plant that is often planted trees on the coast in an effort
to hold back the tide. The content of active ingredients such as saponins are quite high in
this plant enables Hibiscus leaves and flowers can be used as an additive fiogenic to
improve the productivity of local cattle through defaunasi protozoa that can reduce the
population of methanogenic bacteria and increases the amount of selulolitic bacteria.
There were twenty of Bali Cattle from Sumbawa Islands with average of initial body
weigh of 175 ± 0,25 kg. They received three kinds of diet (A, B,and C). Diet A was control
consisted of rice straw ammnoniation and consentrates with dry matter ratio of 65 : 35.
Diet B and C same as Diet A, but consentrate in the diet A and B were suplemented wit
Hibiscus tileaceus leaves 0f 240 mg and 480 mg per kg of dry matter. The result showed
that the addition of hibiscus leaf meal as much as 240 mg per kg of dry matter concentrate
(diet B) increased average daily gain of Bali cattle from 0.38 kg to 0.69 kg. These results
indicated that the use of the leaves of hibiscus in feed can improve feed efficiency and
increased produktfitas cattle, so as to provide quality food in times of disaster. In addition
it is able to reduce the negative impact on the environment through the reduction of
methane emissions.
Key words:Hibiscus, methane, cattle, rumen, energy.
86
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
.
PENDAHULUAN
Ternak ruminansia seperti sapi mampu mempertahan kehidupan jutaan manusia di
dunia, karena mampu menghasilkan bahan pangan yang berkualitas dengan menggunakan
pakan berserat yang tidak dapat dimanfaatlan secara langsung oleh ternak monoggastrik
termasuk (Morgavi et al., 2010). Salah satu pakan berserat yang sering digunakan untuk
sapi adalah jerami padi. Namun demikian jerami padi mempunyai kelemahan-kelemahan
antara lain kandungan protein atau nitrogen rendah (Khan et al., 2006, dan Orden et al.,
2000). dan karbohidrat fermentable rendah, ligninnya tinggi serta ikatan ligno-selulosa
sangat kuat sehingga sulit untuk dicerna oleh mikroba rumen (Nisa et al., 2004). Sapi yang
hanya diberi jerami padi saja mengalami pertumbuhan dan produktifitas yang rendah
bahkan mengalami penyusutan.
Beberapa perlakuan kimia telah diuji untuk melarutkan lignin atau menghancurkan
keberadaan komplek lignin-karbohidrat. Salah satu diantaranya adalah amoniasi yang
menggunakan urea sangat cocok karena dapat meningkatkan kandungan nitrogen dan
degradasi selulosa (Zorilla-Rios et al., 1991).
Perlakuan kimiawi jerami padi
menggunakan urea bukan metode yang efisien, karena hanya 30-35% NH3 yang terlepas
dari urea dapat terretensi pada jerami, dan 65-70% terlepas ke udara (Sarwar et al., 2004
and Khan et al. 2006b) dan waktu yang lama, NH3 dapat menyebabkan kebutaan bahkan
kematian ternak (Khan et al., 2004 dan Sarwar et al., 2003).
Penggunaan sumber
karbohidrat yang mudah fermentasi dapat digunakan sebagai aditif untuk mengikat N
yang terbuang tersebut (Khan et al., 2004 dan Nisa et al., 2004). Berbagai limbah sumber
karbohidrat non struktural (non structural carbohydrates = NSC) seperti limbah cair
tapioka (onggok), limabah pati aren dan molases sebagai aditif pada amoniasi jerami padi
dapat menurunkan poduksi NH3 (Basyari, 2009), meningkatkan kecernaan bahan kering
dan organik (Widiarsih, 2007 dan Maryati, 2008) dan penggunaannya (45-55% dari total
kebutuhan bahan kering) mampu meningkatkan pertambahan bobot badan sapi potong
lokal hingga 0.9-1.3 kg/hari (Bata dan Rustomo, 2009 dan Bata et al., 2010). Namun
penggunaan pakan berbasis jerami padi amoniasi berpotensi meningkatkan emisi gas
metan yang merupakan hasil fermentasi oleh mikroba rumen dari 1.05 menjadi 5.35
Mkal/hari, sehingga menurunkan efisiensi pakan dan berkontribusi terhadap pemanasan
global (Stanfield et al., 2006). Oleh karena itu upaya penurunan gas metan menjadi
perhatian utama sebagai upaya untuk meningkatkan produktifitas ternak dan mencegah
terjadinya pemanasan global serta perubahan iklim.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, ada peningkatan perhatian terhadap eksploitasi
bahan alami sebagai aditif pakan untuk mengurangi produksi metan untuk melindungi
lingkungan dan meningkatkan efisiensi konversi pakan pada ternak ruminansia (Yurtseven
et al. 2009). Ekstrak tanaman yang mengandung saponin sebagai aditif alami untuk pakan
ruminansia menarik perhatian karena berefek positif terhadap penurunan metan,
menghambat atau membunuh protozoa dan mengatur pola fermentasi rumen (Hristov et
al., 1999 dan Pen et al., 2006).
Bata et al., (2011) telah mengkaji efek berbagai pelarut terhadap komponen
fitogenik yang terdapat dalam daun dan bunga Waru (Hibiscus tiliaceus). Hasilnya, pelarut
etanol menghasilkan substansi bioaktif terbaik dibandingkan pelarut air, etil eter, etil asetat
ditinjau dari kadar asam fumarat, saponin dan polifenol (total fenol dan flavonoid).
Puspitasari (2012) melaporkan bahwa terdapat interaksi (P<0,01) antara rasio jerami padi
amoniasi dan konsentrat dengan penambahan taraf ekstrak bunga waru terhadap total
protozoa dan produk fermentasi rumen secara in vitro dengan tingkat penurunan yang
berbeda-beda. Bata et al., (2012) penambahan ektrak daun waru pada konsentrat dengan
jerami padi amoniasi sebagai pengganti hijauan dapat juga menurunkan total protozoa, gas
metan dan peningkatan propionat serta efisiensi konversi energi dari glukosa menjadi
87
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
VFA. Tujuan penelitian ini adalah memperbaiki pertumbuhan sapi lokal sebagai upaya
untuk meningkatkan pendapatan peternak dan menyediakan pangan berkualitas pada saat
terjadinya bencana alam.
MATERI DAN METODE
Sebanyak 20 ekor sapi bali asal pulau Sumbawa dengan bobot hidup 175 ± 0,25 kg.
Sapi tersebut ditempatkan pada kandang individu dan diberi obat cacing yang disuntik
secara sub kutan. Sapi diberi 3 jenis pakan dari A, B dan C secara acak, sehingga
Rancangan Acak Lengkap digunakan pada penelitian ini. Pakan A adalah kontrol dengan
imbangan bahan kering jerami padi amoniasi dan konsentrat masing-masing 65 : 35. Pakan
B dan C sama dengan A, akan tetapi konsentrat disuplementasi dengan tepung daun waru
berturut–turut 240 dan 480 mg per kg bahan kering. Konsentrat dibuat dari campuran
yang terdiri dari bran polar, dedak, onggok, tetes, bungkil kelapa, Soyxyl, strvit, kapur dan
mineral. Komposisi dan kandungan nutrien pakan tertera pada Tabel 1
Jerami padi diamoniasi menggunakan urea dengan aditf onggok kering sesuai
dengan petunjuk Bata dan Rustomo (2009). Tepung daun waru dibuat dari waru yang telah
dikeringkan di bawah sinar matahari selama 2 – 3 hari dan kemudian digiling dengan
menggunakan mesin giling. Pencampungan tepung daun waru dengan konsentrat
dilakukan dengan menggunakan mixer horisontal.
Tabel 1. Kompoisisi dan Kandungan Nutrien Ransum Percobaan
% Bahan Kering
Komposisi Bahan
A
B
Jerami Padi Amoniasi
35
35
Konsentrat
65
65
Tepung Daun Waru (gr/kg BK konsentrat)
0
0.24
Kandungan Nutrien (% Bahan Kering)
Protein kasar
11.25.
11.79
Lemak Kasar
9.64
9.80
Abu
4.50
4.34
NDF
34.58
35.95
ADF
22.61
23.31
C
35
65
0.48
11.83
10.09
4.16
36.29
24.64
Sapi diberikan pakan dengan metode pemberian antara jerami padi dan konsent
secara terpisa dan diberikan pada waktu yang berbeda (Component Feeding). Konsentrat
diberikan duluan pada jam 07.00 dan satu jam kemudian diberi jerami padi amoniasi untuk
pemberian pertama. Pemberian kedua dilakukan pada jam 13.00 untuk konsentrat dan jam
15.00 untuk jerami padi amoniasi. Air minum disediakan secara ad libitum. Total
kebutuhan bahan kering untuk individu sapi adalah sama yaitu 3,2% dari bobot hidup.
Peubah yang diukur adalah pertambahan berat harian, konsumsi pakan dan efisiensi
pakan. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diukur dilakukan
sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji BNJ.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Suplementasi tepung daun waru pada konsentrat dan meningkatkan pertambahan berat
badan harian (PBBH) dan efisiensi pakan seperti tertera pada Tabel 2. Hasil penelitian
menunjukan bahwa penambahan tepung daun waru pada konsentrat dapat memperbaiki
performa sapi Bali. Tepung waru mengandung saponin yang berfungsi sebagai agen
88
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
defaunasi. Hasil ini sama seperti yang dilaporkan oleh Zinn et al., (1998)
bahwa penggunaan saponin sebanyak 0,430 g/kg bahan kering (BK) dapat meningkatkan
pertumbuhan sapi jantan muda.
Sementara penelitian lain melaporkan bahwa
penambahan saponin tidak berefek terhadap pertumbuhan Lovett et al., (2006). Pengaruh
saponin terhadap mikroba rumen sangat tergantung pada struktur saponin, komposisi
pakan, adaptasi terhadap mikroba, biokimia rumen, dosis saponin dan komunitas mikroba
rumen (Patra and Sakena. 2009)
Tabel 2. Rataan Pertambahan Berat Badan Harian (PBBH) dan Efisiensi Pakan Sapi Bali yang
Diberi Pakan Jerami Padi Amoniasi dan Konsentrat yang Disuplementasi dengan Tepung
Daun waru
Peubah
PBBH (kg)
Konsumsi BK (kg)
Efisiensi (%)
Taraf Penambahan Tepung Daun Waru (mg/kg BK konsentrat)
0
0,38 ± 0,17
5,83 ± 0,59
240
0,69 ± 0,23
5.39 ± 0.37
480
0,47 ± 0,28
5.39 ± 0.53
7.17
12.80
7.95
Hal ini disebabkan daun waru mengandung saponin sebagai agen defaunasi yang
secara tidak langsung dapat membunuh sebagian bakteri metanogenik, sehingga produksi
metan dalam rumen akan berkurang. Gas metan dalam rumen dibentuk melalui reaksi
reduksi CO2 oleh H2 (gas hydrogen) dengan bantuan bakteri metanogenik rumen. Proses
fermentasi anaerobik di dalam rumen menghasilkan volatile fatty acids/VFA (asam asetat,
propionat, butirat) dan biomasa mikroba sebagai sumber energi dan protein bagi ternak
ruminan
sia itu sendiri. Normalnya gas metan dibentuk untuk menangkap kelebihan
gas hidrogen atau elektron yang dihasilkan oleh aktivitas mikroorganisme rumen.
Akumulasi gas metan rumen dapat diturunkan melalui proses eruktasi dan respirasi yang
kemudian dilepaskan ke atmosfer bumi sebagai emisi gas dan merupakan energi yang
terbuang, sehingga tingginya gas metan akan berdampak negatif baik terhadap ternak
maupun lingkungan. Oleh karena itu tingginya metan yang dihasilkan dari rumen akan
menyebabkan efisiensi energi menjadi rendah sehingga berdampak negatif terhadap
performa dari ternak. Ekstrak aditif alami yang berasal dari tanaman mengandung saponin,
fumarat dan malat yang dapat digunakan sebagai alternatif untuk menurunkan emisi metan
(Cheeke, 2000; Teferedegne, 2000 dan Benchaar et al., 2007). Saponin sebagai agens
defaunasi akan menurunkan produksi metan (Hess et al., 2004; Santoso et al., 2004),
karena 25% bakteri metanogenik hidup bersimbiosis dengan protozoa (Newbold et al.,
1997).
Kebreab et al. (2006) menjelaskan siklus gas metan di dalam rumen meliputi
pembentukan dan penggunaannya kembali. Pada saat pola fermentasi bergeser dari asam
asetat (2 karbon) menjadi propionat (3 karbon) maka gas hydrogen dan metan akan turun
(Gambar 1). Hungate (1966) melaporkan adanya relasi antara emisi metan dan rasio VFA
dan hal ini membuka peluang menurunkan emisi metan melalui manipulasi proses reaksi
di dalam rumen. Dengan demikian penurunan gas metan dapat dilakukan melalui berbagai
pendekatan baik langsung maupun tidak langsung. Pendekatan tak langsung misalnya
menekan aktivitas mikroba metanogenik dengan menurunkan jumlah protozoa yang
menjadi induk semangnya, meningkatkan penggunaan hydrogen melalui pembentukan
propionate dan biohidrogenasi asam lemak tidak jenuh. Penggunaan tepung daun waru
89
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
dalam penelitian ini merupakan pendekatan tak langsung karena kandungan saponin dapat
menekan jumlah protozoa dalam rumen.
Gambar 1. Reaksi pembentukan & penggunaan H2 dan pembentukan metan
(Kebreab et al., 2006)
Daun waru juga mengandung senyawa-senyawa lain yang juga berperan dalam
proses metabolisme rumen. Agens bioaktif yang ditemukan dalam daun Waru adalah
amida, asam vanilat, skotoletin, saponin dan asam fumarat. Bata et al., (2012)
melalporkan kandungan asam fumarat pada daun waru sebesar 48.18 ppm. Asam fumarat
sebagai prekursor sintesis propionat akan menekan produksi gas metan dengan cara
menggunakan gas hidrogen untuk sintesis propionat.
Asam propionat merupakan
senyawa glukogenik yang berperan penting dalam metabolism dan deposisi lemak pada
sapi potong. Prayitno et al., (2014) melaporkan suplementasi tepung daun waru pada
konsentrat yang diberikan pada sapi Peranakan Ongole meningkatkan kadar glukosa darah
secara liner sejalan dengan peningkatan level tepung daun waru. Peningkatan glukosa
tersebut menyebab sapi yang diberi tepung daun waru mempunyai kecenderungan PBBH
yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol.
Beberapa studi melaporkan penggunaan substansi tanaman sebagai aditif alami
untuk manipulasi fungsi rumen (Wallace et al., 2002). Pemakaian aditif alami seperti
asam fumarat dan malat dari ekstrak tanaman sebagai penghambat metan telah dibuktikan
secara in vitro (Carro and Ranilla. 2003 dan Newbold et al., 2005) maupun in vivo (Lila et
al., 2004 and Wallace et al., 2006). Asam organik dari ekstrak tanaman digunakan sebagai
prekursor pembentukan propionat melalui jalur succinat-propionat dan pembentukan
propionate sebagai alternatif H2 sinks, cara ini berpotensi menurunkan produksi metan
rumen (Newbold et al., 2005). Ekstrak saponin asal tanaman yang ditambahkan ke dalam
pakan sapi perah dan potong dilaporkan mampu menghambat populasi protozoa siliata
(Cheeke, 2000; Teferedegne, 2000 dan Benchaar et al., 2007). Pengurangan produksi
metan akan menyebabkan efisiensi energi meningkat, sehingga energi tersebut dapat
digunakan baik untuk pertumbuhan maupun untuk penimbunan lemak. Hal inilah
menyebabkan penggunaan tepung daun waru mampu memperbaiki pertumbuhan sapi bali.
90
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
KESIMPULAN
Tepung daun waru dapat digunakan sebagai aditif alami untuk memperbaiki efisiensi
fermentasi dalam rumen sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan sapi dan dapat
menyediakan pangan yang berkualitas yang bebas dari residu bahan kimia maupun
antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA
Basyari, A. 2009. Peningkatan kualitas amoniasi jerami padi dengan penambahan limbah
pati aren terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organic secara in-vitro
modifikasi. Skripsi. Fakultas Peternakan, Unsoed, Purwokerto.
Bata, M. dan B. Rustomo. 2009. Peningkatan kinerja sapi potong local melalui rekayasa
amoniasi jerami padi menggunakan molasses dan limbah cair tapioka. Laporan
Hasil Penelitian. Riset Strategis Nasional. Universitas Jenderal Soedirman,
Purwokerto
Bata, M. B. Rustomo dan J. Sumarmono. 2010 Peningkatan Kinerja Produksi Sapi Lokal
di Pedesaan Melalui Strategi Pemberian Pakan dan Total Mixed Ration Berbasis
Limbah Pertanian dan Agroindustri. Laporan Hasil Penelitian, Fakultas Peternakan
Unsoed, Purwokerto.
Bata, M., B. Rustomo, S. Rahayu and A.R. Alimon. 2011. Evaluation of Bioactive
Substances of Hibiscus Tiliaceus and Its Potency to Minimize Methane Emission
and Rumen Efficiency. Result Report of International Collaboration Research.
Faculty Of Animal Science. Unsoed, Purwokerto
Bata, M., B. Rustomo, SNO. Suwandyastuti dan S. Rahayu. 2012. Potensi ekstrak etanol
daun waru dan bunga waru (Hibiscus tiliaceus) sebagai aditif pakan fitogenik
untuk meningkatkan performa sapi lokal. Laporan Hasil Penelitian, Fakultas
Peternakan, Unsoed Purwokerto.
Benchaar, C., Y. Wang, A. V. Chaves, T. A. McAllister, and K. A.Beauchemin. 2007.
Use of plant extracts in ruminant nutrition.Pages 465–489 in Advances in
Medicinal Plant Research. S. NAcharya and J. E. Thomas, ed. Research Signpost,
Kerala, India.
Carro, M. D., and M. J. Ranilla. 2003. Influence of different concentrations of disodium
fumarate on methane production and fermentation of concentrate feeds by rumen
micro-organisms invitro. Br. J. Nutr. 90:617–623.
Cheeke, P. R. 2000. Actual and potential applications of Yuccaschidigera and Quillaja
saponaria saponins in human and animalnutrition. J. Anim. Sci. 77:1–10.
Hess, H. D., M. Kreuzer, T. E. Diaz, C. E. Lascano, J. E. Carulla, & C. R.Solvia. 2003.
Saponin rich tropical fruitsaff ect fermentation and methanogenesis in faunated and
defaunated fl uid. Anim. Feed Sci. Tech. 109:79–94.
Hristov AN, T.A.McAllister and F>H. Van Herk. 1999.Effect of Yucca schidigera on
ruminal fermentation and nutrient digestion in heifers. J Anim Sci 77, 2554–2563.
Hungate, R. E. 1966. The rumen and its microbes. Academic Press,New York, USA.
Kebreab, E., France, J., McBride, B.W., Bannink, A., Mills J.A.N. & J. Dijkstra, 2006.
Evaluation of models to predict methane emissions from enteric fermentation in
North American Cattle. In: Modelling Nutrient Utilization in Farm Animals, Eds, E.
91
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Kebreab, J. Dijkstra, J. France, A. Bannink & W.J.J. Gerrits,. CAB International,
Wallingford, UK.
Khan, M.A., M. Sarwar, M. Nisa and M.S. Khan. 2004. Feeding value of urea treated
corncobs ensiled with or withouth enzose (corn dextrose) for lactating crossbred
cow. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 17:1093 – 1097
Khan, M.A., M. Sarwar, M. Nisa, M.S Khan, S.A. Bhatti, Z. Iqbal, W.S. Lee, H.J. Lee,
H.S. Kim and K.S. Ki. 2006a. Feeding value of urea treated wheat straw ensiled
with or without acidified molasses in Nili-Ravi Buffloes. Asian-Aust. J. Anim. Sci.
19:645 – 650.
Khan, M.A., Z. Iqbal, M. Sarwar, M.S. Nisa, M. Khan, H.J. Lee, W.S. Lee, H.S. Kim and
K.S. Ki. 2006b. Urea treated corncobs ensiled with or without additives for
buffaloes, ruminal characteristics, digestibility and nitrogen metabolism. AsianAust. J. Anim. Sci. 19:705 – 712
Lila, Z. A., N. Mohammed, N. Tatsuoka, S. Kanda, Y. Kurokawa, and H. Itabashi. 2004.
Effect of cyclodextrin diallyl maleate on methane production, ruminal fermentation
and microbes in vitro and in vivo. Anim. Sci. J. 75:15–22.
Lovett DK, Stack L, Lovell S, et al. 2006. Effect of feeding Yucca schidigera extract on
performance of lactating dairy cows and ruminal fermentation parameters in
steers. Livest Sci 102, 23–32.
Maryati. D. 2008. Penambahan molasses untuk meningkatkan kualitas amoniasi jerami
padi dan pengaruhnya terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organic. Skripsi.
Fakultas Peternakan, Unsoed, Purwokerto
Morgavi,D.P., E. Forano, C. Martin and C. J. Newbold. 2010. Microbial ecosystem and
methanogenesis in ruminants. Animal. 4:7: 1024–1036
Nisa, M., M.Sarwar and M. Ajmal Khan. 2004. Nutritive value of urea treated wheat
straw ensiled with or without corn steep liquor for lactating Nili-ravi Buffaloes.
Asian-Aust. J. Anim. Sci. Vol 17, 6:825 – 829.
Newbold, C. J., S. M. El Hassan, J. Wang, M. E. Ortega, and R.J. Wallace. 1997.
Influence of foliage from African multipurposetrees on activity of rumen protozoa
and bacteria. Br. J. Nutr.78:237–249.
Newbold, C. J., S. Lopez, N. Nelson, J. O. Ouda, R. J. Wallace, and A. R. Moss. 2005.
Propionate precursors and other metabolic intermediates as possible alternative
electron acceptors to methanogenesis in ruminal fermentation in vitro. Br. J. Nutr.
94:27–35.
Orden, E.A., K. Yamaki, T. Ichinohe and T.Fujihara. 2000. Feeding value of
ammoniated rice straw supplemented with rice bran in sheep: II. In Situ rumen
degradation of untreated and ammonia treated rice straw. Asian-Aus. J. Anim. Sci.
13: 906 – 912
Patra, A.K and Sakena, J. 2009. The effect and mode of action of saponins on the
microbial populations and fermentation in the rumen and ruminant production.
Nutrition Research Reviews (2009), 22, 204–219
Pen B, Sar C, Mwenya B, Kuwaki K, 2006. Effects of Yucca schidigera and Quillaja
saponaria extracts on in vitro ruminal fermentation and methane emission. Anim
Feed Sci Technol 129, 175–186
92
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Prayitno, M.Bata, SNO. Suwandyastuti dan I. Haryoko. Pengaruh penambahan adtif
tepung daun waru dalam pakan konsentrat terhadap kadar glukosa darah, urea dan
performa sapi Peranakan Ongole (PO). Laporan Hasil Penelitian, Fakultas
Peternakan, Unsoed, Purwokerto
Puspitasari, D. 2012. Suplementasi Ekstrak Bunga Waru Pada Ransum Sapi Potong
Dengan Rasio Jerami Padi Amoniasi dan Konsentrasi Berbeda Pengaruhnya
Terhadap Produk
Fermentasi
Rumen.
Thesis.
Pascasarjana
Ilmu
Peternakan-Fapet UNSOED.
Santoso, B., B. Mwenya, C. Sar, Y. Gamo, T. Kobayashi, R. Morikawa,K. Kimura, H.
Mizukoshi, and J. Takahashi. 2004. Effects of supplementing galactooligosaccharides, Yucca schidigera or nisinon rumen methanogenesis, nitrogen and
energy metabolism insheep. Livest. Prod. Sci. 91:209–217.
Sarwar, M., M.A. khan and M. Nisa. 2003. Nitrogen retention and chemical composition
of urea treated wheat straw ensiled with organic acids or fermentable
carbohydrates. Asian- Aust. J. Anim. Sci. 16:1583 - 1590
Sarwar, M., M.A. khan and M. Nisa. 2004. Effect of organic acids or fermentable
carbohydrates on digestibility and nitrogen utilization of urea treated wheat straw
in buffalo bulls. Aust. J. Agric. Res.. 55:223 – 228
Steinfeld, H., P. Gerber, T. Wassenaar, V. Castel, M. Rosales, C.deHaan. 2006.
Livestock‟s Long Shadow; environmentalissues and options. FAO, 2006.
Teferedegne, B. 2000. New perspectives on the use of tropical plants to improve ruminant
nutrition. Proc. Nutr. Soc. 59:209–214.
Wallace, R. J., N. R. McEwan, F. M. McIntosh, B. Teferedegne, & C.JNewbold. 2002.
Natural products as manipulators of rumen fermentation. J. Anim. Sci. 15:14581468.
Wallace, R. J., T. A. Wood, A. Rowe, J. Price, D. R. Yanez, S.P. Williams, and C. J.
Newbold. 2006. Encapsulated fumaricacid as a means of decreasing ruminal
methane emissions. Int.Congr. Ser. 1293:148–151.
Widiarsih, L. 2007. Penambahan onggok basah pada ensilase jerami padi amoniasi
terhadap kandungan NDF dan ADF. Skripsi. Fakultas Peternakan, Unsoed,
Purwokerto
Yurtseven, S., M. Cetin, I. Ozturk. A. Can, M. Boga, T. Sahin amd H. Turkoglu. 2009.
Effect of different feeding method on methane and carbon dioxide emissions milk
yield and composition of lactating awassi sheep. Asian. Anim. Vet. Adv. 4:278 287
Zinn RA, Alvarez EG, Montano MF, et al. (1998) Influence of tempering on the feeding
value of rolled corn in finishing diets for feedlot cattle. J Anim Sci 76, 2239–2246.
Zorrilarios, J, G.W. Horn, W.A. Philips and R.W. McNew. 1991. Energy and protein
supplementation of ammoniated wheat straw diets for growing steers. J. Anim. Sci
69: 1809 – 1819
93
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Mitigasi Bencana untuk Mempertahankan Produktivitas Ternak
Unggas dan Aksesibilitas Terhadap Protein Hewani
Nurhayati1
1
Fakultas Peternakan Universitas Jambi
ABSTRAK
Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsi dan menganalisis upaya mitigasi
bencana yang dilakukan untuk mempertahankan produktivitas ternak unggas dan
aksesibilitas terhadap sumber protein hewani. Peternakan merupakan sektor yang paling
rentan terhadap bencana disamping sub sektor pertanian lainnya. Produktivitas ternak
terutama ternak unggas sangat rentan terhadap gangguan perubahan cuaca yang ekstrim,
banjir, angin kencang, serangan penyakit, dan bencana alam lainnya. Produk ternak
unggas merupakan sumber protein hewani yang bergizi dan murah sehingga hampir
seluruh lapisan masyarakat memiliki kemampuan untuk mengakses produk ini. Akan
tetapi akibat terjadinya bencana, terjadi kelangkaan bahan pakan, penurunan
produktivitas, kelangkaan sumber protein hewani di pasaran, meningkatnya harga produk
ternak dan penurunan aksesibilitas masyarakat terhadap produk tersebut. Hasil
pengamatan pada usaha peternakan unggas, tindakan
mitigasi bencana dapat
mempertahankan keberlangsungan usaha peternakan, produktivitas ternak, ketersediaan
produk ternak di pasaran dan aksesibilitas terhadap protein hewani. Upaya mitigasi yang
dilakukan diantaranya peringatan dini datangnya bencana, pendidikan dan pelatihan
manajemen bencana kepada peternak. Perubahan tingkah laku ternak menjadi pertanda
akan munculnya bencana. Pendidikan dan pelatihan yang diberikan kepada peternak dan
seluruh lapisan masyarakat dapat meningkatkan kewaspadaan, kesiagaan dan antisipasi
terhadap bencana seperti wabah serangan penyakit dan tindakan evakuasi dalam
penyelamatan ternak dan warga. Penyelamatan ternak dapat mempertahankan
ketersediaan sumber protein hewani dan aksesibilitasnya. Penyelamatan ternak menjadi
tanggung jawab bersama; pengguna dan pemangku kepentingan.
Kata kunci : Mitigasi bencana, produktivitas ternak, aksesibilitas protein hewani
ABSTRACT
The paper is aimed to describe and analyse mitigation disaster to maintain poultry
productivity and animal protein accessibility. Animal husbandry is the most vulnerable
sector to disaster besides other agricultural sub-sectors. Poultry productivity is the most
disrupted by extreme weather, flood, high winds, disease, and other natural disasters.
Poultry products are the nutritious and inexpensive animal protein sources, thus, almost
all people have an ability to access them. However, because of disaster, there will be
scarcity of animal feedstuffs, decreased poultry productivity, limited animal protein in the
market, increased animal product prices and decreased people accessibility on those
products. Result of observation on the poultry farming, disaster mitigation could maintain
a continuity of livestock production and productivity, availability animal protein sources
in the market and their accessibility. The disaster mitigation was such as early warning of
disaster, training and education on disaster management to the farmers. Changes in
animal behaviour might be a sign of impend disaster. Training and education to the
farmers and all stakeholders will improve their awareness, alertness and anticipation on
disaster such as diseases and evacuation activity on livestock and people. Rescued
94
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
livestock could maintain the animal protein availability and accessibility. Rescued
livestock is our responsibility, consumers and stakeholders.
Key words : Animal protein accessibilty, animal production, disaster mitigation
PENDAHULUAN
Kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi protein hewani menjadi tantangan untuk
pengembangan dan peningkatan produktivitas ternak. Pengembangan usaha peternakan
sangat dipengaruhi oleh faktor bibit, pakan dan manajemen. Oleh karena pentingnya
ketiga faktor tersebut maka ketiga faktor ini merupakan faktor utama. Faktor pendukung
berupa faktor lingkungan juga turut mempengaruhi perkembangan dan produktivitas
ternak. Diantara jenis ternak yang ada, peternakan unggas paling rentan terhadap
perubahan faktor utama dan pendukung. Perubahan salah satu dari faktor utama atau
pendukung baik karena alam maupun akibat ulah manusia akan mengakibatkan penurunan
produktivitas ternak sehingga ketersediaan protein hewani menjadi terganggu atau
terbatas. Dampak selanjutnya adalah kenaikan harga produk ternak di pasaran dan
menurunnya aksesibilitas masyarakat terhadap sumber protein hewani. Bencana pada
peternakan unggas meliputi gangguan pada bibit, pakan, terjadinya wabah penyakit,
perubahan suhu yang ekstrem, banjir, angin kencang.
Handewi et al., (2000) menyatakan bahwa produk unggas lebih disukai untuk
dikonsumsi oleh anggota keluarga Indonesia dibandingkan produk ternak lainnya ataupun
ikan olahan karena harganya yang lebih murah dan kandungan gizinya yang baik.
Diwyanto (2005) menyatakan bahwa produk ternak unggas merupakan solusi yang murah
dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan protein masyarakat. Laporan dari Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Republik Indonesia
menyatakan bahwa daging dan telur ayam lebih banyak dibeli oleh masyarakat sebagai
sumber protein hewani dibandingkan daging sapi atau kambing dikarenakan harganya
yang terjangkau. Hal senada juga disampaikan oleh Sundu (2005) yang menyatakan
bahwa unggas merupakan ternak yang potential untuk dikembangkan di Indonesia.
Perkembangan penduduk yang cepat, tidak ada budaya ataupun agama yang ada di
Indonesia yang melarang mengkonsumsi ayam dan produknya, kondisi geografis dan
alam yang mendukung perkembangannya serta sumber daya pakan yang tersedia terutama
dari limbah dan hasil sampingan pertanian yang masih mengandung zat makanan cukup
baik seperti protein dan energi merupakan daya dukung yang kurang diperhitungkan.
Penggunaan bahan pakan lokal dapat menekan biaya produksi karena hampir 70 % dari
biaya produksi merupakan biaya pakan.
Akan tetapi, bencana alam yang terjadi di Indonesia telah mengakibatkan
perubahan pada faktor utama sehingga terjadi penurunan populasi ternak unggas yang
cukup signifikan. Oleh karena itu perlu ada upaya untuk mencegah atau mengatasi
dampak yang mungkin ditimbulkan oleh bencana, gangguan yang terjadi. Berdasarkan hal
tersebut maka penulisan makalah ini bertujuan untuk untuk mendeskripsi dan
menganalisis upaya mitigasi bencana yang dilakukan untuk mempertahankan
produktivitas ternak unggas dan aksesibilitas terhadap sumber protein hewani. Diharapkan
dari tulisan ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan
terutama untuk pengembangan ternak di daerah rawan bencana sehingga produktivitas
ternak unggas dapat dipertahankan.
95
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
METODE PENULISAN
Penulisan makalah ini dilakukan berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan kajian
pustaka yang relevan. Data yang digunakan merupakan hasil pengamatan pada peternak
unggas, data sekunder dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan
Badan Pusat Statistik serta sitasi dari jurnal. Data yang diperoleh di analisis dan
dideskripsikan untuk mendapatkan tindakan atau metode yang dapat dilakukan guna
mencegah dampak bencana atau mitigasi bencana terhadap produktivitas ternak unggas
yang pada akhirnya dapat mempengaruhi aksesibiltas terhadap sumber protein hewani asal
unggas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Usaha ternak unggas merupakan usaha ternak yang paling potensial untuk dikembangkan
dalam rangka pemenuhan kebutuhan protein hewani dan peningkatan ketahanan pangan
nasional. Yuwanta (2005) menyatakan bahwa perunggasan merupakan usaha peternakan
yang mampu bertumbuh secara mengesankan dan paling siap menghadapi pasar global
sehingga industri perunggasan perlu dilihat untuk 20 tahun kedepan. Dawami (2005)
menyatakan bahwa usaha perunggasan merupakan ujung tombak perbaikan gizi, penentu
kecerdasan dan kesehatan bangsa, kekuatan ketahanan pangan nasional, menciptakan
lapangan pekerjaan, menumbuhkan ekonomi dan meningkatkan income per kapita. Hal ini
dikarenakan masyarakat lebih mudah mengakses produk unggas dibandingkan produk
ternak lainnya, harganya yang relatif murah dan terjangkau.
Peningkatan produksi unggas di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun sejak
35 tahun terakhir sejak pemerintah mencanangkan program BIMAS ayam pada tahun
1979. Program BIMAS ayam merupakan program pemberian kredit untuk usaha
pengembangan ternak unggas guna memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat,
perubahan regulasi perdagangan yang berkaitan dengan industri perunggasan, penyediaan
pakan dan pemasaran produk unggas. Dampak positif dari program ini yaitu peningkatan
konsumsi protein hewani dimana pada tahun 1980 konsumsi daging baru 3,92
g/kapita/tahun dan pada 1996 mencapai 8,41 g/kapita/tahun (Direktorat Jenderal
Peternakan, 2005). Selanjutnya adanya kebijakan pemerintah untuk mendukung
pengembangan usaha perunggasan seperti Keppres No. 22 Tahun 1990 tentang
pembinaan usaha peternakan ayam ras, PP No. 7 Tahun 2007 tentang tentang impor dan
atau penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari
pengenaan pajak pertambahan nilai sehingga peternak tidak perlu khawatir akan adanya
pemotongan pajak terhadap usaha ternak yang dilakukan. Pemerintah juga mengeluarkan
kebijakan yang mendukung perkembangan populasi dan produksi ternak yaitu Program
Kemitraan Terpadu (PKT) dimana pengusaha besar mendukung peternak usaha kecil
untuk mengembangkan usaha perunggasannya.
Akan tetapi akibat bencana yang terjadi baik bencana alam maupun akibat penyakit terjadi
penurunan populasi ternak dan konsumsi protein hewani. Di Indonesia tercatat pada tahun
1996 /1997 terjadi penurunan populasi unggas sebagai dampak terjadinya El Nino dan
yang terburuk terjadi di Indonesia bagian Timur. El Nino mengakibatkan terjadinya
penurunan produksi pertanian termasuk penurunan ketersediaan bahan pakan ternak.
Tidak sedikit peternakan unggas yang harus menghentikan usahanya akibat
ketidakmampuan membeli pakan, biaya produksi meningkat sedangkan harga jual daging
dan telur ayam tidak meningkat signifikan. Perusahaan unggas yang tidak memiliki
kemitraan tidak dapat bangkit kembali. Bencana berikutnya bagi dunia perunggasan yaitu
tahun 1998 terjadi krisis moneter diawal reformasi sehingga harga dolar melonjak dari Rp.
96
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
2.500,00 per dolar Amerika menjadi Rp. 15.000,00. Akibatnya harga pakan dan bibit juga
meningkat. Peternak tidak sanggup untuk menjaga keberlangsungan usaha dan
produktivitas ternak (Sjaf, 2010).
Tahun 2003 pertama kali terjadi wabah flu burung di Indonesia sehingga populasi
ayam menurun dan penurunan drastis terjadi pada tahun 2005 (Gambar 1) serta penurunan
produksi daging unggas dan telur (Gambar 2). Tanpa ada aba-aba atau tanda-tanda, tibatiba ayam dikandang mati mendadak dan dalam waktu singkat kematian terjadi di seluruh
kandang yang berdekatan. Flu burung tidak saja menyebabkan kematian pada ayam tetapi
juga pada manusia. Flu burung saat ini sudah menjadi endemis pada populasi ayam di
beberapa daerah di Indonesia dimana jutaan unggas mati karena penyakit ini. Disamping
itu tidak sedikit unggas dimusnahkan total (stamping out) sebagai wujud penanganan
kasus penularan flu burung. Pembatasan jumlah ayam dalam satu kandang pemeliharaan
juga menjadi upaya mengantisipasi merebaknya flu burung yang berdampak kepada
penurunan pendapatan peternak. Kepadatan populasi ayam mengakibatkan kesulitan
dalam pengendalian flu burung.
Pada akhir-akhir bulan Januari 2014, terjadi banjir besar di beberapa wilayah di
Indonesia yang menyebabkan ribuan ternak unggas mati dan dalam dua minggu
mengakibatkan kerugian mencapai 10 miliar sebagaimana dilaporkan oleh Republika
online edisi 4 Februari 2014. Selanjutnya dilaporkan bahwa daerah-daerah yang paling
besar kematian unggas lokalnya yaitu Pati, Pemalang, Tegal dan Brebes dengan jumlah
ternak yang hilang di Pemalang mencapai 10 ribu ekor ayam dan 50 ribu ekor itik.
Gambar 1. Populasi Ternak Unggas di Indonesia Pasca Krisis Moneter (Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2014)
Dari kejadian tersebut, terlihat bahwa akibat bencana terjadi penurunan populasi
dan produksi ternak unggas. Kunreuther (2006) menyatakan bahwa banyaknya korban
atau kerugian yang terjadi akibat bencana dan kurangnya perlindungan diri terhadap
bencana antara lain disebabkan karena tidak siapnya individu akan datangnya bencana,
tidak mempercayai jika bencana dapat saja terjadi pada mereka dan terbatasnya
pengetahuan dan anggaran tentang bencana. Peternak tidak mengetahui apa yang akan
terjadi dan upaya yang harus dilakukan. Tidak tersedianya peringatan dini akan
munculnya bencana (Sundu, 2005) dan terbatasnya informasi yang disampaikan oleh
97
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
media massa (Sigit, 2005) turut memperparah keadaan ini. Hal ini tidak saja merugikan
produsen atau peternak tetapi juga konsumen. Penurunan produktivitas ternak
mengakibatkan keterbatasan ketersediaan sumber protein hewani, peningkatan harga di
pasar tetapi tidak meningkat secara signifikan pada peternak terutama yang menjalankan
usaha peternakan dengan pola kemitraan dimana harga jual ditetapkan oleh perusahaan
mitra. Akibatnya aksesibilitas terhadap sumber protein hewani menjadi menurun. Oleh
karena itu perlunya upaya pencegahan terhadap bencana atau mitigasi bencana untuk
mempertahankan produktivitas ternak unggas dan aksesibilitas terhadap sumber protein
hewani.
Gambar 2. Produksi Telur dan Daging Unggas di Indonesia pada 2007 – 2014 (Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2014)
Pencegahan atau mitigasi merupakan kata yang bersinonim yang sama-sama
bertujuan untuk mengurangi resiko, kerusakan pada barang dan kerugian pada manusia
akibat bencana. Upaya yang dapat dilakukan untuk pencegahan bencana diantaranya
melalui pendidikan dan pelatihan serta penguatan kemampuan otoritas lokal (WHO/EHA,
1988). Laframboise and Loko (2012) menyatakan bahwa ada berbagai cara yang dapat
dilakukan untuk memperkuat kerangka kebijakan guna meningkatkan ketahanan terhadap
bencana alam diantaranya mengidentifikasi bencana yang mungkin terjadi dan resiko yang
mungkin ditimbulkan akibat bencana alam tersebut. Permana et al., (2011) melaporkan
bahwa pada masyarakat Baduy sangat jarang terjadi kerusakan akibat bencana
dikarenakan mereka memanfaatkan kearifan lokal dalam mitigasi bencana yang didasari
oleh pikukuh (ketentuan adat) yang arif dan bijaksana dalam berladang, membangun
rumah, menjaga hutan dan air.
Untuk sektor peternakan, berbagai upaya mitigasi bencana yang dapat dilakukan
untuk menyelamatkan ternak, peternak dan konsumen, mempertahankan produktivitas
ternak dan aksesibilitas terhadap sumber protein hewani. Biosekuritas dan perbaikan tata
kelola usaha peternakan merupakan upaya pencegahan penurunan populasi dan
produktivitas ternak akibat ulah manusia. Tindakan yang dapat dilakukan diantaranya
yaitu menjaga agar ternak unggas dalam kondisi baik, selalu selalu berada dalam
lingkungan yang terlindung dan memeriksa setiap barang dan orang yang akan masuk ke
lokasi peternakan. Hal ini untuk mencegah masuknya bibit penyakit ke dalam areal
kandang. Upaya mitigasi bencana alam dapat dilakukan diantaranya dengan memberikan
98
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
peringatan dini akan datangnya bencana dan pendidikan pelatihan tanggap bencana.
Peringatan dini dapat pula diketahui dengan melihat perubahan tingkah laku ternak.
Ternak akan memperlihatkan tingkah laku yang tidak seperti biasanya ketika akan terjadi
bencana atau menandakan ada yang tidak sesuai dengan kondisi normal kehidupan ternak
seperti suara gaduh yang ditimbulkan yang tidak biasanya. Selanjutnya perlu dicurigai jika
terjadi kematian yang tinggi dan cepat pada ternak unggas karena ini berarti ada wabah
yang menyerang ternak. Menghindari kontak langsung dengan ternak yang tiba-tiba mati
dan membakar ternak yang tiba-tiba mati sebelum dikuburkan merupakan upaya
pencegahan terhadap penyebaran penyakit.
Pendidikan dan pelatihan manajemen dan tanggap bencana kepada peternak dan
generasi muda atau duta peternakan merupakan upaya yang perlu dilakukan untuk
meningkatkan kewaspadaan, kesiagaan dan antisipasi terhadap bencana seperti wabah
serangan penyakit dan tindakan evakuasi dalam penyelamatan ternak dan warga. Dalam
pendidikan dan pelatihan, peternak akan diberikan informasi tentang tanda-tanda akan
terjadinya bencana baik bencana alam maupun tanda-tanda penyakit yang dapat menjadi
wabah, upaya pengobatan pertama terhadap penyakit serta upaya penyelamatan diri,
keluarga dan ternak saat terjadinya bencana. Diharapkan dengan pendidikan pelatihan
yang diikuti, produktivitas ternak tetap dapat dipertahankan dan penurunan yang terjadi
tidak signifikan.
Disamping mitigasi bencana dan penyelamatan ternak saat bencana, aksesibilitas
terhadap sumber protein hewani juga dapat dilakukan dengan menggiatkan kembali usaha
memelihara ayam buras pada setiap rumah tangga. Usaha ternak yang baik dengan
memperhatikan biosekuritas dapat menjamin ketersediaan sumber protein hewani bagi
anggota keluarga dalam setiap rumah tangga.
KESIMPULAN
Disimpulkan bahwa 1) produktivitas ternak dipengaruhi faktor ternak, pakan,
peternak dan lingkungan, 2) Aksesibilitas protein hewani tergantung ketersediaan sumber
protein hewani, harga jual dan daya beli masyarakat, 3) Penyelamatan ternak dapat
mempertahankan populasi dan produktivitas ternak, dan 4) Penyelamatan ternak menjadi
tanggung jawab bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Dawami, A. 2005. Perunggasan Indonesia Sekarang dan Masa Depan. Makalah Seminar
Nasional Perunggasan Indonesia Sekarang dan Masa Depan. Fakultas Peternakan
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 26 Pebruari 2005.
Diwyanto, K. 2005. Pembangunan peternakan dengan berbasis sumber daya lokal. Kajian
Sehari Peternakan Nasional. Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran, Bandung.
26 Pebruari 2005.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2005. Statistik Peternakan 2005. Direktorat Jenderal
Peternakan Departemen Pertanian Republik Indonesia, Jakarta.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2014. Statistik Peternakan Tahun
2014.
Kementerian
Pertanian
Republik
Indonesia,
Jakarta.
http://ditjennak.pertanian.go.id/index.php?page=statistik&action=info
99
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Handewi, P., S. Rachman, Wahida and M. Ariani. 2000. The impact of economic crisis on
food and non-food consumption for low income households. Gizi Indon 24 : 53 –
64.
Kunreuther, H. 2006. Disaster Mitigation and Insurance: Learning from Katrina.
ANNALS, AAPSS. 604 : 208 – 227.
Laframboise, N and B. Loko. 2012. Natural Disasters: Mitigating Impact, Managing
Risks. IMF Working Paper. October 2012.
Permana, R.C.E., I.P. Nasution dan J. Gunawijaya. 2011. Kearifan Lokal Tentang
Mitigasi Bencana Pada Masyarakat Baduy. Makara, Sosial Humaniora 15 (1) : 67
– 76.
Sigit, S.W. 2005. Pola pengembangan dan budidaya peternakan nasional. Makalah
Seminar Peran Media dalam Pembangunan Peternakan dan Kesehatan Hewan
Nasional. FKH-IPB dan IMAKAHI, Bogor. 19 Maret 2005.
Sjaf, S. 2010. Kajian Sosiologi Ekonomi Perunggasan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sundu. B. 2005. Membangun dunia perunggasan yang tangguh di Indonesia. Poultry
Indonesia Edisi Juni 2005.
WHO/EHA. 1988. Emergency Health Training Programme for Africa. Panafrican
Emergency Training Centre, Addis Ababa, July 1998.
Yuwanta, T. 2005. Perunggasan di Indonesia. Makalah Seminar Nasional Perunggasan
Indonesia Sekarang dan Masa Depan. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta. 26 Pebruari 2005.
100
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Kesiapsiagaan Rumah Sakit di Jepang: Pembelajaran Untuk Aceh
Farah Mulyasari1
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat – Institut Teknologi Bandung
1
ABSTRAK
Fasilitas penting, seperti Rumah Sakit, memainkan peran penting dalam pemulihan
sosial ekonomi dan psikologis penduduk setelah bencana. Rumah Sakit dianggap penting
karena peranannya dalam menyelamatkan nyawa pada populasi yang terkena dampak dan
harus mampu menahan bahaya dan tetap berfungsi selama dan setelah bencana. Studi ini
mengkaji kesiapsiagaan Rumah Sakit menghadapi gempa bumi di kota-kota Jepang
menggunakan survei kuesioner. Kuesioner ini terdiri dari "empat pilar kesiapan Rumah
Sakit" termasuk sumber daya struktural, non struktural, fungsional, dan manusia. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa mayoritas Rumah Sakit responden memenuhi kesiapan
fungsional, yang berguna selama periode darurat bencana, sementara tiga pilar lainnyastruktural, non struktural, dan sumber daya manusia-perlu diperkuat. Penelitian ini
membantu untuk menilai status kesiapsiagaan bencana serta kesenjangan Rumah Sakit di
daerah rawan tsunami, mengambil pelajaran dari gempa bumi dan tsunami di wilayah
Tohoku. Status dan kesenjangan tersebut digunakan sebagai titik tolak bagaimana
meningkatkan kesiapan dan ketahanan terhadap risiko bencana di masa mendatang.
Metode ini mungkin penting bagi Aceh untuk diadopsi dan belajar tentang bagaimana
mempersiapkan fasilitas penting pada sebelum, saat, dan setelah bencana.
Kata kunci: Kesiapsiagaan rumah sakit, gempa bumi, tsunami, Jepang, Aceh
ABSTRACT
Critical facilities, such as hospitals, play a crucial role in the socioeconomic and
psychological recovery of the population after a disaster. Hospitals are considered
important due to their roles in saving lives in the affected population and must be able to
withstand hazards and remain functioning during and after a disaster. The study assesses
earthquake preparedness of hospitals in Japanese cities using a questionnaire survey. The
questionnaire consists of ―four pillars of hospital preparedness‖ including structural,
non-structural, functional, and human resources. The results show that the majority of the
respondent hospitals fulfil the functional preparedness, which is useful during the
emergency period of a disaster, while the other three pillars—structural, non-structural,
and human resources—need to be strengthened. This study helps to assess the status of
disaster preparedness as well as the gaps for these hospitals in the tsunami prone regions,
drawing lessons from the Great East Japan Earthquake and Tsunami of the Tohoku area.
The status and the gaps are used as a departure point to indicate how to enhance
preparedness and resilience to future disaster risks. This method might be of importance
for Aceh to adopt and learn on how to prepare such critical facility before, during, and
after a disaster.
Key words: Hospital preparedness, earthquake, tsunami, Japan, Aceh
101
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
PENDAHULUAN
Fasilitas kesehatan memainkan peranan penting dalam pemulihan ekonomi dan
psikologis sosial ekonomi penduduk dari bencana dan dianggap sangat penting karena
peran mereka dalam menyelamatkan nyawa pada populasi yang terkena dampak bencana.
Peran mereka tidak hanya untuk memberikan perawatan medis, tetapi juga untuk
menyelamatkan pasien pada saat bencana. Rumah Sakit, sebagai salah satu jenis fasilitas
kesehatan di kota-kota harus mampu menahan bahaya dan harus tetap berfungsi. Sebagai
contoh, selama dan setelah Badai Ivan melanda pulau Grand Cayman, Cayman Islands
Rumah Sakit tetap berfungsi dan memberikan perlindungan bagi lebih dari 1.000 orang,
seperti yang ditetapkan untuk Kategori 5 standar badai (UNISDR, 2012). Kerusakan
fasilitas ini juga dapat menghambat operasi bantuan dan pemulihan, seperti pada kasus di
Great East Earthquke and Tsunami Japan 2011 (GEJET) di Tohoku, Jepang. Kejadian ini
menyebabkan kehancuran 11 Rumah Sakit, dan lebih dari 200 runtuhnya parsial dari
Rumah Sakit di tiga prefektur (Iwate, Miyagi, dan Fukushima) (World Bank, 2012).
Hilangnya fasilitas Rumah Sakit menyoroti investasi besar yang diperlukan untuk
membangun kesiapsiagaan bencana.
Meskipun dengan adanya kemajuan Rumah Sakit di seluruh dunia, mereka sering
dianggap tak berguna karena kegagalan struktural pada instalasi penting yang diperlukan
untuk menyelamatkan nyawa orang yang terkena bencana pada saat bencana terjadi.
Dalam kasus-kasus di mana bangunan Rumah Sakit secara struktural aman, kapasitas
untuk memberikan bantuan pada saat-saat yang paling diperlukan juga kurang. Hal itu
terjadi mungkin dikarenakan jumlah tempat tidur yang tidak memadai, kurangnya staf
medis dan pendukungnya, kurang atau tidak adanyanya peralatan dan fasilitas medis pada
saat darurat, atau peningkatan jumlah pasien yang membutuhkan perhatian medis. Dengan
demikian kesiapsiagaan ini penting untuk melindungi dan memperkuat Rumah Sakit
tersebut. Rumah Sakit sering dikaitkan dengan penanggulangan bencana, namun mereka
memiliki peran yang lebih besar dalam memastikan keselamatan klien mereka yang sangat
rentan (PAHO / WHO 2005). Kai, Ukai, dan Ohta (1994) melakukan penelitian untuk
menyelidiki kesiapansiagaan Rumah Sakit – Rumah Sakit dalam menghadapi bencana di
Prefektur Osaka, Jepang dan menemukan bahwa dari 265 Rumah Sakit yang disurvei,
tidak ada yang bisa memenuhi kriteria untuk kesiapsiagaan bencana, termasuk pasokan
listrik, gas, air, makanan, dan obat-obatan yang cukup pada saat keadaan darurat, seperti
bencana.
Jumlah kejadian bencana yang dilaporkan di seluruh dunia telah menurun dalam
satu dekade terakhir, namun jumlah orang yang secara langsung maupun tidak langsung
dipengaruhi oleh bencana, dan biaya yang terkait, meningkat (Laframboise dan Loko,
2012 dalam Mulyasari et al., 2013). Hal ini menuntut Rumah Sakit di kota – kota untuk
lebih aman di seluruh dunia. Dalam mempertimbangkan tantangan penting seperti itu,
tulisan ini membahas kesiapsiagaan Rumah Sakit di kota-kota terhadap bencana dan
tantangannya, melalui studi kasus di Jepang.
Dampak bencana pada sektor kesehatan menyebabkan bencana sekunder akibat
kerusakan fasilitas kesehatan termasuk Rumah Sakit. Tsunami Samudra Hindia tahun 2004
sangat mempengaruhi 61 persen Rumah Sakit di Aceh dalam hal kemampuan berfungsinya
yang terhenti dalam situasi krisis (UN, 2009). Dampak pasca bencana di Rumah Sakit
berbeda karena beberapa faktor, seperti jenis bencana, kerentanan dan kapasitas sistem
kesehatan, serta kondisi risiko terkait. Dalam mengembangkan fasilitas kesehatan,
investasi yang sangat besar diperlukan, seperti biaya rekonstruksi dan pemulihan yang
membebani ekonomi yang besar terhadap perekonomian suatu negara setelah bencana.
Bencana tidak hanya membawa biaya langsung dalam hal kerusakan bangunan Rumah
102
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Sakit, peralatan, fasilitas pengganti, dan perlengkapannya tetapi juga membawa biaya tidak
langsung, yang sering tidak sepenuhnya diperhitungkan dan bisa lebih tinggi dari biaya
langsung (UN, 2009). Sebagai contoh, biaya tidak langsung dari sektor kesehatan akibat
bencana diperkirakan sekitar USD 13 miliar di Amerika Latin dan Karibia antara 19912002, yang mana lebih tinggi daripada biaya kerusakan langsung (UN, 2009). Kegagalan
Rumah Sakit untuk bertahan dari bencana membawa implikasi sosial besar seperti efek
pada moral masyarakat sebagai akibat dari kematian yang sakit, lanjut usia, dan anak-anak
di Rumah Sakit selama bencana, serta kegagalan layanan darurat untuk mereka yang
paling membutuhkan (UN, 2009). Dampak sosial ekonomi pada sektor kesehatan seperti
biaya korban mengobati, biaya sanitasi, dan intervensi epidemiologi dan efek lainnya pada
penyediaan perawatan kesehatan setelah bencana secara kolektif dapat mengangkat isu-isu
sosial dan memicu ketidakpuasan politik (PAHO/WHO, 2003).
Kegagalan Rumah Sakit untuk bertahan dari bencana juga menciptakan dampak
yang besar pada sistem kesehatan karena kematian dan cedera, keterlambatan dalam
operasi pencarian dan penyelamatan, runtuhnya pelayanan kesehatan, kemungkinan wabah
penyakit, keterlambatan dalam pengobatan luka trauma, runtuhnya fungsi darurat, serta
obstruksi kampanye kesehatan masyarakat dan sanitasi yang berkelanjutan (UN, 2009).
Keterlambatan atau runtuhnya pelayanan kesehatan yang lebih lanjut menciptakan dampak
jangka panjang pada kemampuan untuk mencapai Development Millenium Goals dan
memperlambat proses pemulihan setelah bencana.
METODE PENELITIAN
Sebuah Rumah Sakit yang aman tidak boleh runtuh akibat bencana dan menimbulkan
korban jiwa pasien dan staf, tetapi harus terus berfungsi dan memberikan pelayanan
sebagai fasilitas penting untuk masyarakat yang paling membutuhkan. Sebuah Rumah
Sakit harus dilengkapi dengan rencana kontingensi dan memiliki jaringan operasional di
tempat. Untuk memastikan bahwa Rumah Sakit di Jepang memenuhi kriteria tersebut dan
siap dalam menghadapi bencana, penelitian ini meneliti Empat Pilar Kesiapsiagaan
Rumah Sakit berdasarkan pendekatan Indeks Keselamatan Rumah Sakit (Hospital Safety
Index/HSI) (PAHO/WHO, 2008) dan penilaian Elemen Kerentanan Rumah Sakit.
Indeks Keselamatan Rumah Sakit (Hospital Safety Index/HIS)
Menurut PAHO/WHO (2012 dalam Mulyasari et al., 2013), sebuah "Rumah Sakit aman"
adalah sebuah fasilitas kesehatan yang pelayanannya tetap dapat diakses dan berfungsi
pada kapasitas maksimum dan dalam infrastruktur yang sama segera setelah bencana
alam. Pan American Health Organization (PAHO) dan WHO (PAHO/WHO 2008)
mengembangkan Indeks Keselamatan Rumah Sakit (HSI), yaitu alat kajian untuk
memberikan gambaran tentang kelayakan Rumah Sakit yang dapat terus berfungsi dalam
situasi darurat, yanitu dalam hal struktur, non-struktural, dan isu-isu sumber daya manusia
serta fungsional, termasuk jaringan pelayanan, lingkungan dan kesehatan yang Rumah
Sakit tersebut miliki. HSI merupakan langkah awal menuju investasi dan kesiapan skala
prioritas untuk kesiapsiagaan Rumah Sakit terhadap bencana. Dengan menentukan indeks
keselamatan Rumah Sakit tersebit, pengambil keputusan akan memiliki gagasan mengenai
keseluruhan kemampuan Rumah Sakit untuk merespon keadaan darurat dan bencana
besar, yang memungkinkan tingkat keselamatan Rumah Sakit tersebut dapat dipantau dari
waktu ke waktu. HSI dikembangkan oleh PAHO bidang Penanggulangan Bencana
Advisory Group (PAHO DiMAG) dan spesialis di Amerika Latin dan Karibia dan pernah
diterapkan di negara-negara seperti Meksiko, Bolivia, Ekuador, Peru, dan di Karibia.
103
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Elemen Kerentanan Rumah Sakit
Menurut PAHO dan WHO, elemen kerentanan Rumah Sakit untuk potensi bahaya
seperti gempa bumi adalah sebagai berikut (PAHO/WHO tahun 1996, 2003; WHO 2007
dalam Mulyasari et al., 2013):
Bangunan: Kerentanan bangunan terdiri dari desain, ketahanan bahan, dan kerentanan
fisik, yang menentukan kemampuan Rumah Sakit dalam bertahan menghadapi peristiwa
bencana alam yang merugikan. Runtuh atau kegagalan yang kecil dari elemen struktur
atau arsitekturnya dapat menimbulkan kerugian finansial dan manusia.
Pasien: Untuk melayani pasien, adalah wajib untuk fasilitas kesehatan untuk bekerja
24 jam sehari sekitar 50 persen dari kapasitas layanannya. Setiap bencana akan
meningkatkan potensi jumlah pasien dan memperkuat tingkat risiko. Daftar tunggu untuk
pasien yang membutuhkan perawatan rutin akan menjadi lebih lama, karena akan mustahil
untuk menangani baik perawatan rutin dan permintaan yang dihasilkan oleh situasi
darurat. Para pasien juga rentan dalam hal penyediaan layanan yang menurun, sebagai
akibat dari fasilitas Rumah Sakit yang rusak dan/atau sebagian yang dievakuasi atau tidak
dapat beroperasi.
Tempat Tidur Rumah Sakit: Sebagai akibat dari bencana, ketersediaan tempat tidur
Rumah Sakit sering akan menurun, karena permintaan akan meningkat karena kasus
darurat.
Staf Medis dan Pendukung: Korban di kalangan ahli medis dapat menimbulkan
kerugian besar bagi negara yang terkena bencana dan bisa menambah beban ekonomi
secara keseluruhan. Agar tidak menimbulkan kerugian yang lanjut, harus ada jaminan
dalam kapasitas respon outsourcing, yang harus dapat bekerja sementara.
Peralatan dan Fasilitas: Kerusakan elemen non-struktural (seperti peralatan, furnitur,
fitur arsitektur, dan obat-obatan) kadang-kadang dapat menjadi parah dan melampaui
biaya elemen struktur. Bahkan pada kerusakan yang lebih kecil pun, kerusakana tersebut
cukup penting untuk memaksa Rumah Sakit tersebut untuk menghentikan operasi mereka.
Layanan Jaringan Hidup Dasar: Kemampuan Rumah Sakit untuk berfungsi
tergantung pada layanan jaringan hidup dasar, seperti tenaga listrik, air dan sanitasi,
komunikasi, serta pengelolaan limbah dan pembuangan sampah. Tidak semua fasilitas
kesehatan dapat dilengkapi dengan layanan darurat cadangan; ketika bencana alam terjadi,
itu dapat mempengaruhi beberapa layanan tersebut, sehingga dapat mempengaruhi kinerja
seluruh Rumah Sakit tersebut.
Empat Pilar Kesiapsiagaan Rumah Sakit
Menggabungkan pendekatan Indeks Keselamatan Rumah Sakit dan Elemen
Kerentanan Rumah Sakit, parameter dan indikator kesiapsiagaan Rumah Sakit di daerah
penelitian dikembangkan (Tabel 1). Ini kemudian diubah menjadi kuesioner, yang
dibagikan kepada Rumah Sakit sasaran di daerah, dan dilengkapi oleh seseorang dari
departemen manajemen di setiap Rumah Sakit. Informasi umum seperti nama Rumah
Sakit (tidak didentifikasi di sini) dan jumlah tempat tidur, bangunan, jumlah lantai, staf
Rumah Sakit, dokter, perawat, dan teknisi Rumah Sakit (departemen X-ray, laboratorium
darah, dan sebagainya) diminta keterangannya. Ini adalah informasi penting untuk menilai
kapasitas Rumah Sakit dalam hal sumber daya fisik dan manusia. Perawat, terutama para
pemimpin perawat, berada dalam posisi yang unik karena kemampuan mereka untuk
mengawasi beberapa tugas secara bersamaan, mendorong partisipasi personil, dan
melakukan perubahan pada saat bencana (Fahlgren dan Drenkard, 2002 dalam Mulyasari
et al., 2013). Rumah Sakit tidak hanya memiliki batas kapasitas fisik tetapi juga hubungan
antar sumber daya manusia (tenaga ahli) dalam kapasitas mereka untuk mengelola
104
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
lonjakan tiba-tiba orang-orang yang mungkin membutuhkan pelayanan dalam waktu
bencana (Rebmann et al., 2009 dalam Mulyasari et al., 2013 ).
Rumah Sakit juga ditanya tentang pengalaman mereka pada kejadian bencana
masa lalu dan pelajaran yang telah diambil. Penilaian ini ditujukan pada dua daerah di
Jepang, yaitu daerah Tohoku dan wilayah Nankai Trough.
Rumah Sakit di wilayah Tohoku ditanya tentang pengalaman mereka di GEJET
2011, seperti sejauh mana dampak bencana terjadap Rumah Sakit tersebut, apa pelajaran
yang dipelajari, dan jenis pesan Rumah Sakit tersebut ingin disampaikan ke Rumah Sakit
di kota-kota lain. Rumah Sakit di wilayah Nankai Trough ditanya tentang pengalamannya
pada kejadian bencana di masa lalu, dampak dari bencana tersebut, dan kesiapan khusus
mereka dalam menghadapi tantangan bencana di masa depan. Terlepas apakah Rumah
Sakit secara langsung terkena dampak bencana masa lalu seperti Gempa Bumi Besar 1995
Hanshin-Awaji dan GEJET 2011, Rumah Sakit ditanya tentang apa perubahan yang telah
dilaksanakan dalam hal kesiapsiagaan bencana mereka akibat pengaruh bencana besar di
yang masa lalu.
Tabel 1. Empat Pilar Kesiapsiagaan Rumah Sakit
Elemen
Kerentanan
Bangunan
Peralatan
dan
Fasilitas
Pasien
Tempat
Tidur
Layanan
Jaringan
Hidup
Dasar
Peralatan
dan fasilitas
Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan
Struktural
[Kemampuan struktur
bangunan untuk
bertahan atas peristiwa
bahaya: lokasi
bangunan, bahan,
desain]
Kesiapsiagaan
Non-Struktural
[Kemampuan elemen
non-struktural
bangunan untuk
bertahan atas kejadian
bahaya (peralatan,
partisi, dinding, langitlangit, kaca jendela,
dan sebagainya]
Kesiapsiagaan
Fungsional
[Kemampuan Rumah
Sakit untuk beroperasi
dengan baik:
aksesibilitas, tempat
tidur Rumah Sakit,
pasokan yang
diperlukan tersedia di
wilayahnya, layanan
jaringan hidup dasar,
langkah-langkah
Parameter
Indikator
Bangunan
Konstruksi bangunan
tahan gempa bumi dan
api
Cek lokasi ancaman
bahaya alam
Ketersediaan ruang untuk
evakuasi darurat
Pengelolaan
Penyimpanan
Obat
Pengelolaan
penyimpanan obatobatan/bahan-bahan
kimia yang berbahya
Material Safety Data
Sheets (MSDS) standards
Persediaan
dalam keadaan
Darurat
Peralatan Medis untuk
pelayanan medis darurat
Obat untuk keadaan
darurat
Tenda darurat untuk
pelayanan medis
Generator
Air minum bersih
Makanan
Tempat tidur lipat
Triage Tags
Sistem informasi medis
105
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
keamanan/keselamatan]
Komunikasi
Transportasi
Staf Medis
dan
Pendukung
Sumber Daya Manusia
[Keberadaan dan
kemampuan tenaga
medis, seperti dokter,
perawat, teknisi
laboratorium daman
mempersiapkan
terhadap kejadian
bencana)
Sumber: Mulyasari et al. (2013)
Kesiapsiagaan
Bencana dari
Staf Medis dan
Pendukungnya
darurat
Peralatan komunikasi
darurat lainnya
Tempat Helipad
Aksesibilitas [jalan]
Kendaraan untuk Tim
Medis Tanggap Darurat
Bencana [Disaster
Medical Assistance
Team/DMAT]
Ketersediaan/pelaksanaa
n pendidikan/pelatihan
untuk layanan medis
darurat
Pelaksanaan pelatihan
bencana bagi staf Rumah
Sakit/pekerja dan pasien
Ketersediaan kerangka
kerja DMAT
Pengumpulan Data
Data dikumpulkan melalui survei kuesioner kepada Rumah Sakit sasaran (55) di
delapan kota-kota prefektur di Jepang (Mulyasari et al., 2013). Kriteria pemilihan Rumah
Sakit sasaran adalah sebagai berikut: (1) terletak di ibukota prefektur; (2) memiliki lebih
dari lima departemen; dan (3) rentan terhadap gempa bumi Nankai Trough dan / atau telah
mengalami GEJET 2011. Sebagian besar kuesioner dibagikan melalui surat dan beberapa
melalui fax dengan jangka waktu beberapa hari yang untuk menyelesaikan kuesioner
tersebut. Dari 55 Rumah Sakit, 14 Rumah Sakit menanggapi survei: empat Rumah Sakit
(dua Hub - Rumah Sakit dan dua Rumah Sakit Umum) dari salah satu kota di wilayah
Tohoku dan 10 Rumah Sakit (lima Hub - Rumah Sakit dan lima Rumah Sakit Umum) dari
tujuh kota di wilayah Nankai.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kesiapsiagaan Struktural
Dalam hal kesiapsiagaan struktural, elemen kerentanan yang terkait adalah
pembangunan gedung dalam hal gempa bumi dan keselamatan kebakaran, pemetaan
bahaya, dan ketersediaan ruang untuk evakuasi darurat. Dari 14 responden Rumah Sakit,
hanya satu Rumah Sakit yang belum membangun gedung mereka akan tahan gempa bumi
dan api yang aman, sementara 13 Rumah Sakit lainnya telah memasukkan kode bangunan
seismik dalam konstruksi. Rumah Sakit yang tahan gempa dan mampu bertahan akan
peristiwa bencana secara mandiri dapat memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik
kepada penerima manfaat mereka. Pemetaan bahaya juga tidak selalu dipertimbangkan.
Setengah dari responden Rumah Sakit menjawab bahwa mereka belum memeriksa apakah
Rumah Sakit tersebut terletak di daerah rawan bahaya atau tidak. Ini berarti bahwa Rumah
Sakit tersebut melaksanakan pemetaan risiko bahaya gempa bumi atau pemetaan risiko
bahaya lainnya, yang berarti mereka menganggap bahwa lokasi Rumah Sakit tidak berada
106
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
dalam zona bahaya meskipun bangunan tahan gempa telah dibangun. Kemungkinan yang
rentan terhadap bahaya selain gempa bumi juga belum diketahui, oleh karena itu
pemetaan bahaya sangat dianjurkan dan diperlukan sebelum konstruksi. Isu lain untuk
kesiapsiagaan struktural adalah ketersediaan ruang untuk evakuasi di daerah Rumah Sakit
dalam keadaan darurat. Sebesar 80 persen Rumah Sakit menjawab bahwa mereka
memiliki beberapa ruang yang tersedia untuk evakuasi dalam keadaan darurat. Sisa
Rumah Sakit menjawab bahwa mereka tidak memiliki cukup ruang yang tersedia untuk
kondisi darurat serta tidak dapat menampung sejumlah besar pengungsi selama keadaan
darurat, dan dengan demikian mereka kurang siap dalam menghadapi bencana (Mulyasari
et al., 2013).
Kesiapsiagaan Non-struktural
Dalam hal kesiapan non-struktural, elemen kerentanan adalah pengelolaan obat,
seperti seperti penyimpanan obat-obatan/bahan kimia yang berpotensi berbahaya dan
standar Material Safety Data Sheets (MSDS). Sebagian besar Rumah Sakit responden
mengikuti panduan mereka sendiri untuk pengelolaan obat dan perbekalan berbahaya dan
belum menerapkan standar MSDS. Beberapa mengikuti standar MSDS dan satu Rumah
Sakit tidak memiliki manual untuk pengelolaan obat-obatan sama sekali. Hal tersebut
dapat menyebabkan bencana lain, seperti pertumpahan bahan berbahaya yang akan
memicu kebakaran dan bangunan runtuh (PAHO, 2000 dalam Mulyasari et al., 2013). Hal
ini bisa mengganggu pelayanan kesehatan dan menimbulkan korban jiwa tambahan
(Mulyasari et al., 2013).
Kesiapsiagaan Fungsional
Dalam hal kesiapsiagaan fungsional, elemen kerentanan adalah persediaan bahan
untuk keadaan darurat, komunikasi, dan transportasi. Mereka ditunjukkan oleh beberapa
faktor termasuk: (1) persediaan sarana Rumah Sakit (peralatan medis darurat, obat
darurat, tenda untuk layanan medis darurat, cadangan/generator listrik, air minum,
makanan, tempat tidur dilipat, triage tag); (2) komunikasi (sistem informasi medis darurat
dan alat komunikasi / perangkat lain untuk darurat); dan (3) transportasi (spasi heliport,
aksesibilitas jalan, dan mobil untuk DMAT).
Persediaan Sarana Rumah Sakit: semua Rumah Sakit responden memiliki rumah
pembangkit listrik untuk pasokan listrik selama darurat, persediaan makanan, dan tag
triase yang cukup. Dalam hal pasokan air untuk minum dan keperluan lainnya, beberapa
Rumah Sakit menjawab bahwa mereka mungkin tidak memiliki cukup bekal dalam hal
terjadi bencana. Sesuai peralatan medis untuk layanan darurat, saham obat, tenda darurat,
dan tempat tidur dilipat, hanya beberapa Rumah Sakit menjawab bahwa mereka tidak
memiliki cukup bekal persediaan yang cukup. Ketersediaan peralatan medis, tenda, dan
tempat tidur dilipat diukur dengan berapa banyak set (tanggapan berkisar 1-120 set)
Rumah Sakit bisa memberikan, dan penyediaan obat diukur dengan berapa banyak orang
dan hari (tanggapan berkisar dari 500 -900 orang dalam 3 hari) Rumah Sakit bisa
memberikan pelayanan. Listrik, makanan, dan air yang diukur dengan berapa hari
(tanggapan berkisar 3-14 hari) Rumah Sakit dapat menyediakan pasokan dalam keadaan
darurat. Triage Tag diukur dengan berapa banyak tag per orang (satu Rumah Sakit di
wilayah Nankai telah menyiapkan hingga 3000 tag) Rumah Sakit dapat memberikan
selama periode darurat. Hampir semua 14 Rumah Sakit memiliki berbagai bekal
persediaan yang cukup untuk digunakan selama bencana. Persediaan bekal bahan dalam
keadaan darurat dapat mendukung Rumah Sakit tersebut dalam kesiapsiagaan bencana.
Persediaan yang cukup untuk masa kritis sangat penting untuk setiap harinya selama masa
bencana (PAHO 2000).
107
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Komunikasi: Semua 14 Rumah Sakit telah memasang sistem informasi medis
darurat dan memanfaatkan alat komunikasi alternatif, seperti telepon satelit, radio, dan
transmitter/receiver. Ini berarti bahwa semua responden Rumah Sakit telah siap untuk
menggunakan perangkat komunikasi yang memadai selama periode darurat, diluar
komunikasi pada masa normal. Ketergantungan pada satu metode komunikasi akan rentan
terhadap bencana, karena hal ini mungkin gagal, overload, atau menjadi tidak cukup
(Aitken dan Leggat 2012). Memiliki alat komunikasi alternatif sebagai cadangan adalah
salah satu indikator penting untuk kesiapsiagaan Rumah Sakit terhadap bencana.
Transportasi: Delapan dari 14 Rumah Sakit memiliki helipad di lokasi. Hal ini
menunjukkan sejauh mana Rumah Sakit siap dan mampu memberikan pelayanan medis
tambahan untuk pasien. Pelayanan kesehatan ini sebagian besar diberikan oleh HubRumah Sakit yang ditunjuk yang memiliki ketersediaan sumber daya manusia yang lebih,
kapasitas tempat tidur, dan ukuran konstruksi bangunan yang besar. Banyak Rumah Sakit
responden memiliki mobil DMAT. Parameter transportasi menunjukkan apakah sebuah
Rumah Sakit memiliki kendaraan transportasi yang memadai dalam kasus bencana.
Semua Rumah Sakit responden dapat dengan mudah diakses melalui jaringan jalan yang
luas. Kualitas ini menunjukkan seberapa baik Rumah Sakit disiapkan dalam hal
transportasi yang memungkinkan mereka untuk diakses melalui darat dan udara, jika
terjadi bencana (Mulyasari et al., 2013).
Sumber Daya Manusia
Dalam hal sumber daya manusia, unsur kerentanan meliputi kesiapsiagaan
bencana staf medis dan pendukungnya, ditandai dengan ketersediaan atau pelaksanaan
pendidikan/ pelatihan untuk layanan darurat, pelaksanaan latihan bencana untuk staf
Rumah Sakit/ pekerja dan pasien, dan ketersediaan Standard Operation Procedure (SOP)
untuk DMAT. Sebagian besar responden Rumah Sakit memiliki pendidikan atau pelatihan
program untuk pelayanan medis darurat dan melakukan latihan kesiapsiagaan dan
penyadaran bencana untuk staf Rumah Sakit setidaknya sekali dalam setahun. Salah satu
Rumah Sakit di wilayah Tohoku sedang melakukan latihan bencana tidak hanya
melibatkan staf tetapi pasien juga. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden
Rumah Sakit telah disiapkan untuk menghadapi bencana dengan meningkatkan kapasitas
sumber daya manusia. Sepuluh Rumah Sakit menyambut positif kepimilikan SOP untuk
DMAT, yang berarti mereka memiliki Standard Operation Procedure yang jelas. Tiga
Rumah Sakit menjawab bahwa mereka tidak memiliki SOP yang jelas (apakah mereka
memiliki SOP sama sekali untuk DMAT tidak diketahui), dan satu Rumah Sakit di
wilayah Nankai menjawab bahwa ia memiliki salah satu Tim Bantuan Medis untuk
Bencana, tapi apakah itu memiliki SOP yang jelas untuk DMAT tidak diketahui. Sebagian
besar responden Rumah Sakit telah memenuhi persyaratan yang paling mendasar dari
kesiapsiagaan seperti perbekalan dasar darurat Rumah Sakit, khususnya makanan, air
minum, dan generator untuk listrik, diikuti oleh bangunan tahan gempa dan api,
aksesibilitas, pelatihan bencana, dan persyaratan Triage Tag. Memenuhi persyaratan
tersebut menunjukkan tingkat yang tinggi dalam kesiapsiagaan bencana. Beberapa Rumah
Sakit lemah dalam pelaksanaan mempersiapkan ruang untuk keadaan darurat evakuasi,
mereka telah menyediakan beberapa ruang, tetapi dianggap tidak cukup. Pemanfaatan
MSDS standards juga kurang ditanggapi. Sebagian besar responden Rumah Sakit banyak
menggunakan petunjuk mereka sendiri untuk pengelolaan obat-obatan dan bahan
berbahaya.
Pengalaman Pasca Bencana: Responden Rumah Sakit di wilayah Tohoku berbagi
pengalaman mereka dari kejadian GEJET 2011, yang sebagian besar mempengaruhi
bangunan Rumah Sakit dan instalasi layanan jaringan hidup dasar. Instalasi yang paling
108
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
berpengaruh adalah pipa untuk suplai air dan jaringan pasokan listrik. Salah satu Rumah
Sakit telah bertahan dua hari tanpa air, dua hari tanpa listrik dari generator sendiri, dan
satu setengah bulan tanpa pasokan gas. Dalam hal pembelajaran, satu Rumah Sakit
mengidentifikasi pentingnya kerjasama dan jejaring yang baik dengan pihak
luar/stakeholder yang lain dari sudut pandang logistik. Mereka bekerja sama dengan
Rumah Sakit dari kelompok yang sama dalam mengangkut obat-obatan dan makanan.
Untuk pesan yang ditujukan kepada Rumah Sakit di kota-kota lain, Rumah Sakit di
Tohoku menekankan pentingnya melakukan latihan bencana yang rutin atau pelatihan
dalam berbagai situasi kondisi darurat, sehingga fleksibilitas dan tanggapan situasi yang
berbeda dalam kondisi bencana yang berbeda akan membuat mereka bertahan. Masalah
genting lainnya adalah jejaring dengan Rumah Sakit dan logistik lainnya, karena ini akan
menjadi tulang punggung pelayanan kesehatan dalam situasi bencana.
Rumah Sakit di wilayah Nankai menunjukkan pentingnya menyesuaikan rencana
kesiapsiagaan bencana Rumah Sakit berdasarkan pengalaman dari peristiwa bencana yang
terjadi pada akhir akhir ini, terutama kejadian bencana GEJET 2011. Perubahan yang
mereka telah terapkan mencakup bidang jaringan hidup dasar, stok/perbekalan makanan
dan air, obat-obatan, dan komunikasi. Sebagian besar responden Rumah Sakit telah
meningkatkan frekuensi latihan bencana dan jumlah perbekalan yang diperlukan seperti
Triage Tag. Salah satu responden Rumah Sakit di Nankai telah disetujui sebagai HubRumah Sakit. Salah satu Rumah Sakit merevisi panduan bencana gempa bumi mereka
yang akan meliputi Empat Pilar Kesiapsiagaan. Perubahan ini mengindikasikan bahwa
peristiwa bencana baru-baru ini memicu peningkatan kesiapan Rumah Sakit di daerah
lain. Rumah Sakit di Jepang yang tidak mengalami bencana, saat ini lebih sadar akan
pentingnya kesiapsiagaan mereka terhadap bencana (Mulyasari et al., 2013).
KESIMPULAN
Rumah Sakit adalah baris pertama fasilitas kesehatan dalam kesiapsiagaan bencana
yang harus aman dengan kemampuan operasional seratus persen setiap harinya sepanjang
tahun. Penilaian kesiapsiagaan bencana Rumah Sakit sangat penting, karena telah ada
semakin banyak bencana di seluruh dunia dan kesiapan Rumah Sakit sangat signifikan
terutama setelah kejadian GEJET tahun 2011. Meskipun tingkat respon survei dalam
penelitian ini adalah rendah, studi ini menyajikan penilaian awal kesiapsiagaan Rumah
Sakit terhadap bencana dari beberapa wilayah rawan gempa bumi di Jepang dan
mengidentifikasi kesiapsiagaan serta kesenjangan kesehatan fasilitas kesehatan daerah ini.
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai titik tolak untuk membangun ketahanan lebih
lanjut dari Rumah Sakit untuk menghadapi risiko bencana di masa mendatang. Studi ini
menyoroti kurangnya ruang yang tersedia untuk evakuasi darurat, rendahnya cakupan
pemetaan bahaya, dan kekurangan dalam manajemen penyakit yang dapat mengganggu
penyediaan pelayanan dasar kesehatan. MayoritasRumah Sakit memiliki cukup perbekalan
dan persediaan obat-obatan, makanan, tempat tidur, Triage Tage, dan tenda, alat
komunikasi yang memadai, serta layanan transportasi yang akan berguna pada saat darurat.
Penelitian ini dibatasi dalam ruang lingkup bahaya gempa bumi. Menindaklanjuti studi ini
diperlukan pada jenis bencana lainnya, seperti letusan gunung api dan banjir. Terlepas dari
adanya pasien pada keadaan normal, berbagai staf Rumah Sakit dan pengunjung belum
dipertimbangkan di salah satu dari Empat Pilar Kesiapsiagaan Rumah Sakit dalam
menghadapi bencana. Penelitian ini juga tidak memasukkan unsur kesehatan mental,
psikososial kesejahteraan, dan pemulihan setelah bencana.
Kolaborasi antara sektor swasta dan publik dalam rangka efisiensi dan pelayanan
medis yang efektif yang tersedia untuk masyarakat harus dipromosikan sebanyak
109
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
mungkin. Kebijakan tersebut tidak berlaku unttuk merujuk pasien biasa ke departemen
korban, melainkan merujuk pada pasien yang memerlukan perawatan darurat di Rumah
Sakit, dan merujuk pasien non-darurat ke layanan kesehatan lainnya. Dokter setempat,
yang juga bisa menjadi korban bencana, memainkan peran utama dalam memberikan
perawatan bagi penduduk lokal, meskipun kelelahan tenaga medis adalah permasalahan
yang umum tapi penting untuk diperhatikan. Kekurangan dari tenaga medis (dokter dan
perawat) terus menjadi tantangan di Jepang, bahkan tanpa adanya bencana (NBR, 2011
dalam Mulyasari et al., 2013). Kurangnya sistem yang kuat untuk mendukung informasi
dan berbagi sumber daya antara Rumah Sakit dan jejaring lainnya juga berdampak negatif
terhadap kesiapsiagaan Rumah Sakit dalam menghadapi bencana. Studi ini menekankan
perlunya bimbingan standar perawatan krisis untuk sistem perawatan kesehatan bangsa
yang menguraikan peran kesehatan, tanggung jawab, dan tindakan sebelum, selama, dan
setelah bencana.
Mempersiapkan segala sesuatunya terhadap bencana adalah tugas yang rumit,
tidak hanya karena kedalaman masalahnya tetapi karena luasnya permasalahan tersebut.
Namun hal ini tetap menjadi penting bagi Rumah Sakit untuk melakukan penilaian risiko
dan penilaian kesiapsiagaannya. Setelah itu dilakukan, itu akan menjadi tugas yang jauh
lebih mudah dikelola dalam memperbaiki kesenjangan yang telah diidentifikasi. Hal ini
juga penting untuk mengintegrasikan relawan ke dalam sistem tanggap darurat di bencana
Rumah Sakit. Pertemuan dengan masyarakat setempat, menyebarkan kesadaran tentang
langkah-langkah segera untuk dilakukan selama dan pasca bencana, dan pelatihan oleh/
untuk tenaga kesehatan sebelum bencana berkontribusi dalam membuat masyarakat lebih
tahan terhadap bahaya. Ini adalah kewajiban bagi Rumah Sakit untuk mengambil inisiatif
dalam masalah ini karena hal tersebut jatuh antara celah permasalahan kesehatan dan
sistem keselamatan publik. Tenaga medis lokal yang berlatih di luar Rumah Sakit perlu
berlatih tanggap bencana dan bekerja sama dengan rekan-rekan di Rumah Sakit mereka.
Seperti Smith, Gorski, dan Vennelakanti (2010, 218 dalam Mulyasari et al., 2013)
nyatakan, "isu-isu yang berkaitan dengan akreditasi Rumah Sakit, kurikulum pelatihan
kesiapsiagaan bencana, teknisi ahli dan sumber daya yang memadai, termasuk
pengeluaran budget kesehatan untuk bencana dan penilaian kemampuan respon,
merupakan kebutuhan universal." Pemerintah berada dalam posisi untuk memberikan
arahan tetapi membutuhkan kerjasama antar sektor kesehatan publik dan swasta, dan
Rumah Sakit individu dan kelompok Rumah Sakit dalam melindungi dan merawat
penduduk yang terkena bencana. Meningkatkan kesiapsiagaan Rumah Sakit merupakan
kebutuhan global (Mulyasari et al., 2013).
Dengan demikian, mengacu kepada studi kasus penelitian kesiapsiagaan Rumah
Sakit dalam menghadapi bencana, khususnya pada Rumah Sakit di Jepang, pembelajaran
apa yang dapat diambil untuk Aceh? Mengingat daerah Tohoku di Jepang dan Aceh
memiliki persamaan, yaitu Jepang mengalami bencana Tsunami 2011 seperti di Aceh
pada tahun 2004. Apakah Rumah Sakit - Rumah Sakit di Aceh telah melakukan kajian
kerentanan dalam mengembangkan kesiapsiagaannya terhadap bencana alam? Jika belum,
penelitian diatas mengenai Empat Pilar Kesiapsiagaan Rumah Sakit dalam menghadapi
bencana dirasa perlu dilakukan untuk mengkaji seluruh Rumah Sakit – Rumah Sakit di
Aceh, mengingat Aceh rawan terhadap bahaya gempa bumi dan tsunami. Hal ini sangat
penting, dikarenakan temuan dari penilaian kesiapsiagaan Rumah Sakit ini yang tercakup
dalam Empat Pilar Kesiapsiagaan Rumah Sakit menguat sebagai titik tolak dan acuan
untuk membangun ketahanan lebih lanjut dari Rumah Sakit akan risiko bencana alam di
masa mendatang. Salah satu faktor yang patut diperhatikan pada saat ini di Indonesia pada
umumnya dan di wilayah – wilayah rawan bencana pada khususnya, seperti Aceh; adalah
kurangnya sistem yang kuat untuk mendukung informasi dan berbagi sumber daya antara
110
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Rumah Sakit dan jejaring koalisi kesehatan lainnya yang akan berdampak negatif terhadap
kesiapsiagaan Rumah Sakit dalam menghadapi bencana. Oleh karena itu, sangat
disarankan untuk Aceh kebutuhan panduan tentang standar pelayanan krisis untuk sistem
perawatan kesehatan bangsa yang menguraikan peranan fasilitas kesehatan seperti Rumah
Sakit, tanggung jawabnya, dan tindakannya pada sebelum, saat, dan setelah bencana.
Sudah saatnya bagi fasilitas pelayanan kesehatan publik di Indonesia, seperti Rumah
Sakit, sebagai salah satu fasilitas yang genting, untuk mengambil bagian penting dari
kesiapsiagaan bencana.
UCAPAN TERIMA KASIH
Sumber data dan informasi tulisan ini berasal dari penelitian yang telah dilakukan
oleh penulis dengan berbagai pihak, yaitu dengan kolega-kolega di Kyoto University,
Jepang selama penulis menempuh program S3 serta Rumah Sakit-Rumah Sakit di Jepang
yang telah menjadi responden dalam penelitian ini. Untuk itu disampaikan terimakasih
kepada International Environment and Disaster Management Laboratory, Graduate School
of Global Environmental Studies, Kyoto University, Jepang, Pihak Rumah Sakit - Rumah
Sakit di daerah Nankai dan Tohoku, Jepang, dan Institut Teknologi Bandung yang telah
mengijinkan dan memberikan dukungan kepada penulis dalam rangka mengikuti acara
Seminar Nasional Alumni Jerman yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Alumni
Jerman-Aceh.
DAFTAR PUSTAKA
Aitken, P., and P. Leggat. 2012. Considerations in Mass Casualty and Disaster
Management. In: Emergency Medicine: An International Perspective, edited by B.
Michael, 145–182. http://cdn.intechopen.
com/pdfs/31947/InTechConsiderations_in_mass_casualty_and_
disaster_management.pdf.
Kai, T., T. Ukai, and M. Ohta. 1994. Hospital Disaster Preparedness in Osaka, Japan.
Prehospital Disaster Medicine 9 (1): 29-34.
Mulyasari, F., Inoue, S., Prashar, S., Isayama, K., Basu, M., Srivastava, N., and Shaw, R.,
2013. Disaster Preparedness: Looking through the Lens of Hospitals in Japan.
International Journal of Disaster Risk and Science, 4 (2): 89–100.
PAHO (Pan American Health Organization). 2000. Principles of Disaster Mitigation in
Health Facilities. Disaster Mitigation
Series. http://www.paho.org/english/dd/PED/mit3-intro.pdf.
PAHO/WHO (Pan American Health Organization/World Health Organization). 2003.
Protecting New Health Facilities from Natural Disasters: Guidelines for the
Promotion of Disaster Mitigation.
http://www.preventionweb.net/files/629_10343.pdf.
PAHO/WHO (Pan American Health Organization/World Health Organi- zation). 2005.
Safe Hospitals: A Collective Responsibility, a Global Measure of Disaster
Reduction. http://www1.paho.org/english/dd/ ped/SafeHospitalsBooklet.pdf.
PAHO/WHO (Pan American Health Organization/World Health Organization). 2008.
Hospital Safety Index: Evaluation Forms for Safe Hospitals. Hospitals Safe from
Disasters. Washington DC: Pan American Health Organization.
111
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
UNISDR (United Nations International Strategy for Disaster Risk Reduction). 2012. How
to Make Cities More Resilient – A Handbook for Local Government Leaders. A
contribution to Global Campaign 2010–2015, Making Cities Resilient - My City is
Getting Ready! Geneva: UNISDR.
UNISDR (United Nations International Strategy for Disaster Risk Reduction). 2009.
UNISDR Terminology on Disaster Risk Reduction. Geneva: UNISDR.
World Bank. 2012. Protecting Significant and Sensitive Facilities. Knowledge Note 1-5.
Cluster 1: Structural Measures.
http://wbi.
worldbank.org/wbi/Data/wbi/wbicms/files/drupal-acquia/wbi/
drm_kn1-5.pdf.
112
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
The Use of Multidrug Resistant Tuberculosis Clinical Criteria as an
Effective Instrument in Early Case Detection after Disaster
T. Rinanda1 and Mulyadi2
1
Microbiology Department, Faculty of Medicine, University of Syiah Kuala
Pulmonology Department, Faculty of Medicine, University of Syiah Kuala
2
ABSTRACT
Earthquake and Tsunami in Aceh have tremendous impacts in health sector, one of
which was the rise of antibiotic resistant-infectious diseases. In our previous study, we
found Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR-TB) cases in Aceh, which was absolutely
distressing phenomenon. In order to combat MDR-TB, early detection of the cases in
population is very important. This paper will discuss about the use of MDR-TB clinical
criteria provide by Indonesia Association of Lung Doctors in MDR-TB case finding as an
effort to prevent and reduce the transmission, morbidity and mortality caused by MDR-TB
in disaster affected areas.
Key words: Multidrug, resistant, tuberculosis, detection
ABSTRAK
Gempa bumi dan Tsunami di Aceh memberikan dampak di bidang kesehatan,
salah satunya adalah munculnya kasus penyakit infeksi yang telah resisten terhadap
antibiotika. Pada penelitian sebelumnya kami telah menemukan sejumlah kasus Multidrug
Resistant Tuberculosis (MDR-TB) di Aceh yang merupakan fenomena yang sangat
meresahkan. Dalam pemberantasan MDR-TB, deteksi dini kasus dalam populasi adalah
hal yang sangat penting. Tulisan ini akan membahas mengenai penggunaan kriteria klinis
MDR-TB dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dalam deteksi dini kasus
sebagai salah satu upaya untuk mencegah dan menekan transmisi penyakit, morbiditas
dan mortalitas akibat MDR-TB di daerah yang terkena bencana.
Kata kunci: Multidrug, resistant, tuberkulosis, deteksi
INTRODUCTION
It has been almost 10 years since tsunami struck Aceh, but its impact on people's
lives has remained present up to today. In the health sector, especially in terms of
infectious disease control, we are facing the emergence of antibiotics resistant cases.
There is an increasing concern over the emergence of Multidrug Resistant Tuberculosis
(MDR-TB). Despite the fact that MDR-TB has so far been referred to as a man-made
phenomenon, there are other factors contributing to its emergence, one of which is the
environmental factor such as natural disasters (World Health Organization, 2005).
In 2012, eight years after the tsunami, we conducted research to detect cases of
MDR-TB that had not been previously recorded and reported in Aceh. We used the 9
clinical criteria of MDR-TB provided by the Indonesian Lung Doctor Association to
screen and detect the patients and we found 11 cases (Rinanda and Yunita, 2013). Based
on our experience and findings, in this article we recommend the use of clinical criteria
for MDR-TB by health workers in early case detection especially in the disaster affected
areas. Cases screening and detection through clinical criteria is an easy and inexpensive
113
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
method that can be utilized in affected areas with limited sources and diagnosis supporting
facilities
TSUNAMI AND DRUG RESISTANT TUBERCULOSIS
Multidrug Resistant Tuberculosis is defined as a resistance to Rifampicin and
Isoniazid with or without resistance to other first-line drugs. It is predicted that nowadays
there are 480.000 people with MDR-TB. Approximately 20% of cases are Tuberculosis
with history of previous anti-tuberculosis treatment and 3.5% are new drug resistant
Tuberculosis cases. WHO also estimates that approximately 9% of the cases have evolved
into Extensively Drug Resistant Tuberculosis (XDR-TB), which is defined as a resistance
to Rifampicin, Isoniazid, any fluoro-quinolone, and resistance to one or more of the
following injectable anti-TB drugs such as Kanamycin, Amikacin, and Capreomycin. By
2011, the cure rate had only reached 48% and the XDR-TB cases had been found in
almost 100 countries in the world (Word Health Organization, 2014). Those numbers
showed that we need robust and comprehensive efforts in order to combat the
Tuberculosis resistant cases.
World Health Organization on Global Tuberculosis Report 2014 has performed the
five priority actions in order to combat MDR-TB, consisting of 1) high quality treatment
of drug susceptible-TB to prevent MDR-TB, 2) expansion of rapid testing and detection of
MDR-TB cases, 3) immediate access to quality care, 4) prevention of the disease
transmission through infection control, and 5) increased political commitment, including
adequate funding for current intervention and research (Word Health Organization, 2014).
Indonesia is one of the five high MDR-TB burden countries. The number of MDRTB cases amongst previously treated Tuberculosis patients (secondary resistance) was
12% and new MDR-TB (primary resistance) cases was 1,9% (Ministry of Health, 2013).
Before the disaster, WHO in collaboration with other partners, ensured that there were
technical support and mobilized funding resources at the international level. As a result,
Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) program had been able the cover the
population with Tuberculosis and had significantly progressed. Tuberculosis case
detection and cure had improved. However, this progress may have not only been
compromised by the disaster but also been set back many years (Word Health
Organization, 2014).
Tsunami as a natural disaster has become one of the major contributing factors in
the emergence of MDR-TB in Aceh, despite of the other factor such as conflict in Aceh
from 1998 to 2005. These conditions had an impact on the implementation of National TB
program, anti-tuberculosis drugs supply and distribution to affected areas, health care
access and patients‟ medical adherence (Rinanda and Mulyadi, 2014). The crowded living
condition of displaced population in the evacuation camps posed a potential risk
associated with the increase of TB cases in the tsunami affected areas (Connoly, et al,
2004; World Health Organozation, 2005). Rough estimates suggest that up to ten thousand
TB patients might have been directly affected by the consequences of the tsunami. Due to
the collapse of health services, many TB patients may have been unable to be located and
thus remained untreated. In turn, many TB suspects may not have been investigated and
could continue to infect others (Word Health Organization, 2014). Previous study by
Toole, et al., (1993) showed that during the Bosnian conflicts, the disruption of therapy
and drugs supply in lengthy period had caused the fourfold increases in Tuberculosis
cases Connoly (2004) mentioned that the rise of MDR-TB cases in disaster affected areas
was caused by low case detection, high defaulters and high cure rates.
114
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
In the days and weeks after the devastating disaster, the threat of infectious disease
outbreak was high. Preventing the epidemics and improving the deterioration of health
condition among the affected population was the goal of emergency health. Several
infectious diseases that could potentially cause excess morbidity and mortality following
the disaster were the highest priority (USAID, 2002).
Following the 2004 earthquake and tsunami in Aceh, the incidence rate of
Tuberculosis has not been excessively reported (Health Departmen of Aceh Province,
2011). This is similar to the previous study by Jafari, et al., (2007) who conducted the
infectious diseases survey in an emergency setting after Bam earthquake in Iran. The
study showed 7856 cases dominated by diarrhea and respiratory tract infection. However,
only 11 people or 1.2% were suffering Tuberculosis. There were two major reasons for
that: 1) there was sufficient supervision of previous tuberculosis patients by health care
centers, 2) there was no sufficient time to develop the clinical manifestation of
tuberculosis in contacted people in this study because of the short study period (Jafari, et
al., 2007).
MDR-TB CLINICAL CRITERIA AS AN INDICATOR OF RESISTANCE CASES
AND THEIR APPLICATION IN MDR-TB DETECTION IN DISASTER
AFFECTED AREAS
Mycobacterium tuberculosis resistance is a state where the bacteria can no longer
be killed by anti-tuberculosis drugs. Drug resistant Tuberculosis is essentially a man-made
phenomenon as a result of inadequate treatment of Tuberculosis or the transmission from
drug resistant tuberculosis patients. The management of drug resistant tuberculosis case is
more complicated and requires more attention than non-resistant case. Drug resistance can
be caused by a number of factors such as; 1) health providers (related to improper
diagnosis, dosage and time of administration and also drug taking education), 2) patient
(related to non-compliant in taking medication as well as other health problems that
interfere the drugs absorption and metabolism), and 3) national tuberculosis program
(related to disruption of drugs availability and supply and also low quality of
drugs/pharmaco-vigilance (Ministry of Health, 2013).
Mutations in the genome of Mycobacterium tuberculosis that can confer resistance
to anti-TB drugs occur spontaneously with an estimated frequency of 3.5 × 10–6 for INH
and 3.1 × 10–8 for RIF. Because the chromosomal loci responsible for resistance to
various drugs are not linked, the risk of a double spontaneous mutation is extremely low;
there are 9 × 10–14 for both Isoniazid and Rifampicin (Dooley and Simone, 1994). Since
the probability of naturally occurring resistant mutants is very low, a large bacterial load
(e.g., in lung cavities) is needed for MDR-TB strains to emerge (Johnson et al, 2008;
National Department of Health, 2013).
Concomitantly resistant to both potent bactericidal drugs, Rifampicin and
Isoniazid tend to occur as a result of inadequate treatment. In certain circumstances, the
mutant and the sensitive strains can be found in the same patients. Inadequate doses of
drugs will kill the sensitive strains, but not the resistant. Thus the selection process will
occur that the sensitive strain will be vanished but resistant strains will remain and win the
competition in terms of nutrition and become overgrowth. This selection process explains
the acquired resistance (in previously treated tuberculosis patient). The Patients can
transmit Mycobacterium tuberculosis resistant strain to other patients who have never
received anti-tuberculosis treatment. This resistance is called primary resistance (Johnson
et al, 2008)
115
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Previously treated patients may be at higher risk for transmitting drug-resistant TB
than individuals without previous treatment. This is because individuals with prior disease
represent a subpopulation that is especially vulnerable to TB disease once infected and
also because they may more likely come into contact with patients with drug-resistant TB
in hospitals or clinic settings (Verver et al., 2005 dan Li et al., 2007).
Multidrug Resistant Tuberculosis diagnosis is based on culture of the organism
followed by Drug Susceptibility Testing (DST). These tests cannot be performed in
conventional microbiology laboratory setting due to the risk of transmission and advanced
technical procedures. Culture and DST in MDR-TB-suspected patient must be performed
in specialized laboratories equipped to minimize biosafety risk. DST to first-line drugs
requires additional expertise beyond culture, whereas testing for second-line drug
resistance remains a highly specialized activity that is reliably conducted at relatively few
national and supranational reference laboratories. In high-resource settings, culture and
DST are the standard of care and are conducted on all patients, and thus drug-resistance
data from these countries represent all notified cases. In limited-resource setting, doctors
will recommend the examination only on suspected resistance cases (Cohen et al, 2008).
Drug resistant cases are strongly correlated to the treatment failure. Therefore it is
very necessary to recognize clinical symptoms which probably indicate the development
of the resistant cases. There is no single indicator that determines whether treatment is
failing; however, a point is reached when it is clear that the patient is not going to
improve. Signs that indicate treatment failure include 1) Persistent positive smears or
cultures after 8 months of treatment; 2) Extensive and bilateral lung disease with no
option for surgery; 3) High-grade resistance with no option to add additional agents; and
4) Deteriorating clinical condition that usually includes weight loss and respiratory
insufficiency. All these signs need not be present to declare failure of the treatment
regimen; nevertheless, cure is highly unlikely when they all exist (Johnson, et al, 2008).
Indonesia Lung Doctor Association has performed several clinical criteria which
indicate the resistance based on history of previous treatment. These clinical criteria are 1)
cases of pulmonary TB with treatment failure in category 2, evidenced by previous
medical records and previous medical history, 2) Second category pulmonary
Tuberculosis patients whose sputum microscopic examination results remain positive after
7 months-continuation phase, 3) Tuberculosis patients previously undergoing treatment in
a non-DOTS facility, including receiving second line anti-tuberculosis drugs as
quinolones and kanamycin, 4) First category of pulmonary Tuberculosis patients with
treatment failure, 5) First category pulmonary Tuberculosis patients whose sputum
microscopic examination results remain positive after 7 months-continuation phase, 6)
Relapse cases of pulmonary Tuberculosis, 7) Tuberculosis patients who are inattentive in
taking medication both in first or second category, 8) Suspected TB with clinical
manifestation who live close to the confirmed case of MDR TB patients, including health
workers who serve in MDR-TB ward and 9) Tuberculosis with HIV co-infection
(Ministry of Health, 2013).
In the implementation of the DOTS program, the patients‟ treatment history is
documented in TB-04 form. This form records categories of treatment, drug provision
date, results of microscopic examination of sputum, and treatment completion. From this
data, the patients can be classified MDR-TB clinical criteria. The patients who fulfill the
criteria will be recommended for further investigation.
This effort must be executed systematically and programmed well. Health workers
should be able to process the data in order to detect the suspected MDR-TB so they can be
referred for further examination to obtain a precise diagnosis. The data contained in the
TB 04 form must also be integrated with the Programmatic Management Drug Resistant
116
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Tuberculosis (PMDT) program which has been run by the WHO. Therefore, socialization
and training of health workers, especially in primary care centers and hospitals (DOTS
clinic) in terms of recognizing and using the MDR-TB clinical criteria as an instrument in
early case detection is very important.
Clinical criteria are not a diagnostic method. Tuberculosis patients who meet the
clinical criteria will undergo further tests such as culture and DST. These tests are gold
standard of MDR-TB diagnosis, but the cost of the tests is still quite expensive. Therefore,
cases screening through clinical criteria will be very useful in determining the cases that
need special attention and further investigation to establish the precise diagnosis. Rapid
and precise diagnosis is very important in reducing the transmission rate in the population.
Post-tsunami recovery and rehabilitation should encompass all aspects of the lives
of the people of Aceh, including health. Efforts to combat the infectious diseases,
especially the resistant cases such as MDR-TB play a very important role in decreasing
the morbidity and mortality, as well as in relieving the financial burden caused by MDRTB expensive treatment. Combating the MDR-TB and other drug resistant cases is a vital
effort in preventing the apocalypse brought about by incurable infectious diseases.
REFERENCES
Cohen T, Caroline C, Abigail W, Matteo Z, Alexander P and Megan M. 2008. Challenge
in Estimating the Total Burden of Drug Resistant Tuberculosis. Am J Respir Crit
Care Med. 177: 1302-06
Connoly MA, M. Gayer, MJ Ryan, P. Salama, P. Spiegel and DL Heymann. 2004.
Communicable Diseases in Complex Emergencies: Impact and Challenge. Lancet.
364: 1974-83
Dooley SW AND Simone PM. 1994. The Extent and Management of Drug Resistant
Tuberculosis: The America Experiences. Clinical tuberculosis.London. Chapman
and Hall. 171-189.
Health Department of Aceh Province. 2011. Aceh Health Profile 2011.
Jafari JN, Radfar MH and Ghofrani H. 2007. Incidens of Infectious Disease one month
after the bam Erathquake (2004). J. Med. Sci. 7 (4): 597-602.
Johnson R, Elizabeth MS, Gail EL, Robin MR, Paul DH and Thomas CV. 2008. Drug
Resistance in Mycobacterium tuberculosis. Curr Issues Mol. Biol. 8: 97-112.
Li X, Zhang Y, Shen X, Shen G, Gui X, Sun B, Mei J, DeRiemer K, Small PM, Gao Q.
Transmission of drug-resistant tuberculosis among treated patients in Shanghai,
China. J Infect Dis 2007;195:864–869.
Ministry of Health, Republic of Indonesia. 2013. Technical Guidelines of Programmatic
Management of Drug Resistant Tuberculosis. Jakarta.
National Department of Health, Republic of South Africa. 2013. Management of Drug
Resistant Tuberculosis: Policy Guidelines.
Rinanda, T and Yunita A. 2013. Molecular analysis of Isoniazid, Rifampicin,
Pirazinamide, Ethambutol and Streptomycin of Mycobacterium tuberculosis
Isolates in Suspected Mulltidrug Resistant Tuberculosis Patients in Aceh. Risbin
Iptekdok Final Report. Ministry of Health of Indonesia.
Rinanda T and Mulyadi. 2014. Combating Tuberculosis in Disaster Affected Areas:
Lesson Learnt from Multidrug Resistant Tuberculosis Phenomenon after 8 Years
117
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
of Tsunami in Aceh. Proceeding of International Seminar “Behavioral and
Earthquake Science – From Geology to Animal Perception” Universitas Syiah
Kuala-University of Vienna, Austria. Banda Aceh, Banda Aceh, 18 February
2014.
Toole MJ, S. Galson, w. Brady. 1993. Are War and Public Health Compatible?. Lancet.
341:1193-96.
US Agency for International Development, USAID. 2002. Disaster Reduction: A
Practitioner‟s Guide. Office of US Foreign Disaster Assistance. Washington DC.
Verver S, Warren RM, Beyers N, Richardson M, van der Spuy G,Borgdorff MW, Enarson
DA, Behr MA, van Helden PD. 2005. Rate of reinfection tuberculosis after
successful treatment is higher than rate of new tuberculosis. Am J Respir Crit Care
Med;171:1430–1435.
World Health Organization. 2005. Tsunami recovery process focuses on long-term health
capacity development. available at
http://www.who.int/mediacentre/news/releases/2005/pr30_searo/en/
World Health Organization. 2005. Strategic approach to maintain appropriate tuberculosis
control activities in countries affected by the Asian tsunami disaster. Available at
http://www.who.int/TB/features_archive/tsunami/en/
World Health Organization. 2014. Global Tuberculosis Report. Available at
http://www.who.int/gpsc/5may/tools/9789241597906/en/
118
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Pelajaran dari Hutan Mangrove: Rehabilitasi, Konservasi dan Konversi
P. Patana 1 dan Yunasfi 1
1
Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Bencana Tsunami di Aceh tahun 2004 yang menimbulkan kerugian materil dan
non material yang sangat besar memberikan gambaran betapa dahsyatnya efek tsunami
tersebut. Bukan hanya perairan Aceh yang terkena dampak tsunami, tetapi beberapa
wilayah pantai di Sumatera Utara dan beberapa Negara Asia bahkan sampai ke pantai
Timur Afrika. Di antara banyak kerusakan di wilayah terdampak, terdapat pemandangan
yang kontras dimana di beberapa wilayah yang memiliki hutan mangrove, dampak
kerusakan justru relatif lebih kecil dibandingkan wilayah pantai tanpa vegetasi hutan
pantai atau mangrove. Nilai mangrove secara ekologis tidak kalah pentingnya dengan
nilai sosial ekonomi dan budaya. Namun sangat disayangkan di beberapa wilayah justru
terjadi deforestasi atau konversi hutan mangrove menjadi peruntukkan lain seperti
tambak, pemukiman dan bahkan perkebunan. Tulisan ini dibuat dengan maksud
mengambarkan nilai penting konservasi mangrove, dampak yang ditimbulkan akibat
konversi hutan mangrove di wilayah rawan bencana seperti Provinsi Aceh dan Sumatera
Utara serta upaya yang perlu dilakukan dalam rehabilitasi mangrove.
Kata kunci: Mangrove, konservasi, bencana, konversi
ABSTRACT
Aceh tsunami disaster in 2004 implicated to huge material and non material loss
which described how terrible that tsunami effects. Not only in Aceh coast was affected by
tsunami, but also in other places such as North Sumatera, some Asian countries even till
eastern coast of Africa. Among many damage areas, there was a contrast view in the area
where vegetation covered, the damage impact was lower than coastal areas without
vegetation of coastal forest or mangrove. Ecologically the value of mangrove is very
important as well as social, economic and culture. Unfortunately in some areas,
mangrove deforestation raised significantly that was concomitant with conversion into
other land uses such as fishponds, settlements and mostly plantations. This paper
describes the importance of mangrove conservation, the impact of conversion especially
to the high risk disaster area such as Aceh and North Sumatera and effort should be
conducted for mangrove rehabilitation.
Key words: Mangrove, conservation, disaster, conversion
PENDAHULUAN
Bencana tsunami pada 2004 silam selain menjadi musibah yang sangat dahsyat,
juga memberikan pengalaman berharga bagi kita tentang model interaksi antara manusia
dengan alam itu sendiri. Salah satunya adalah fakta menarik tentang peranan vegetasi
pantai dan mangrove dalam mereduksi gelombang energi tsunami. Penelitian FAO, (2007),
Alongi, (2008)., Das, dan Vincent, (2009), Bayasa, et al. (2011) menjelaskan nilai penting
hutan mangrove dalam mengurangi tingkat kerusakan, kerugian serta korban jiwa di
wilayah terdampak tsunami atau bencana alam lainnya. Dengan kata lain, kawasan pesisir
dengan formasi hutan pantai atau mangrove yang baik, relatif mengalami kerusakan yang
119
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
lebih sedikit dibandingkan dengan pesisir yang sudah rusak atau sedikit vegetasi
mangrovenya pada saat tsunami terjadi. Kerusakan mangrove akibat tindakan manusia
yang merubah atau mengkonversi hutan mangrove dengan penggunaan lainnya, pada
akhirnya akan merugikan manusia itu sendiri.
Dari sisi interaksi dengan alam, pengalaman sebagian masyarakat dalam menjaga
hutan mangrove dan pengetahuan tentang tsunami dari leluhurnya yang diwariskan secara
turun temurun merupakan kearifan lokal yang harus dilestarikan. Sebagai contoh di
Kepulauan Simeulue, masyarakat secara umum sudah memiliki pemahaman yang baik
tentang tsunami sehingga mereka segera menyelamatkan diri ketempat yang lebih tinggi
ketika gempa terjadi dan terlihat adanya gejala tsunami. Kearifan lokal seperti itu bisa
ditularkan kepada masyarakat pesisir lainnya, misalnya melalui program penyuluhan dan
pendidikan lingkungan yang harus terus dilakukan mengingat potensi dan bahaya tsunami
yang bisa mengancam masyarakat pesisir kapan saja.
Kerusakan habitat mangrove pasca tsunami merupakan salah satu pekerjaan besar
yang harus segera diselesaikan untuk pemulihan alam dan keseimbangan ekosistem.
Rehabilitasi mangrove tentu bukan sekedar pekerjaan menanam bibit di lahan mangrove
tetapi juga harus memperhatikan ekologi mangrove itu sendiri. Sebagai contoh penelitian
Suryawan, (2007) dan Onrizal, (2012) menemukan kecenderungan penurunan nilai
keanekaragaman dan kegagalan proyek rehabilitasi. Begitu pun hasil penelaahan UNEP
(United Nation Environmental Programme), (2007) menyatakan banyak kegiatan
rehabilitasi mangrove di Aceh hanya difokuskan pada jumlah bibit yang ditanam, bukan
berapa tingkat keberhasilan dari bibit yang ditanam tersebut. Sehingga setelah 18 bulan
rehabilitasi mangrove, hasilnya sudah mulai terlihat, dimana sebagian besar program
rehabilitasi tersebut gagal. Secara sederhana kegagalan tersebut dapat dijelaskan sebagai
akibat rendahnya laju ketahanan hidup bibit tanaman di lapangan yang disebabkan oleh
beberapa faktor, diantaranya: kesalahan dalam seleksi pemilihan lokasi penanaman,
ketidaksesuaian jenis tanaman yang dipilih, kurangnya persiapan, tidak tersedianya
petunjuk, serta rendahnya kualitas tanaman dan kapasitas sumberdaya manusia.
Kerusakan hutan mangrove akibat tsunami baik secara fisik, biologi dan kimiawi
tentu harus dipulihkan kembali dengan berbagai cara. Salah satu upaya yang bisa
dilakukan untuk mendukung keberhasilan rehabilitasi tersebut adalah pemanfaatan fungi
pada media bibit tanaman mangrove. Secara umum tulisan ini menitik beratkan pada
pentingnya upaya konservasi mangrove, rehabilitasi mangrove dengan memanfaatkan
fungi serta peningkatan kapasitas masyarakat serta penyadartahuan masyarakat terhadap
dampak perusakan (konversi) mangrove ke bentuk penggunaan lainnya melalui
pendidikan lingkungan.
METODE
Sumber data kajian ini diperoleh dari beberapa referensi terutama dari jurnal dan
hasil penelitian. Data atau informasi tersebut selanjutnya dianalisis secara deskriptif
untuk memperoleh informasi tentang kondisi mangrove pasca tsunami. Data primer
diperoleh dari hasil pemanfaatan fungi dalam media tanam bibit untuk rehabilitasi
mangrove. Jumlah bibit mangrove Rhizophora stylosa yang di tanam di lapang dalam
kegiatan ini adalah 600 bibit yang terdiri atas 150 bibit yang telah diberi perlakuan
Aspergillus sp 1, 150 bibit yang telah diberi Aspergilllus sp. 2, 150 bibit yang telah diberi
perlakukan Aspergillus sp. 4 dan 150 bibit yang dijadikan kontrol. Penanaman bibit yang
sudah ada di lapangan dilakukan dengan jarak tanam 2 x 1 m. Lokasi penenaman
mangrove adalah kawasan hutan mangrove Sicanang Medan Belawan Sumatera Utara.
120
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rehabilitasi Mangrove: Pembelajaran dan Ancaman
Perubahan fisik lahan pasca tsunami diantaranya pengikisan pantai sehingga
mengekspos batuan pantai. Tsunami tidak efektif dalam mengikis karang (hard rock) tapi
menghancurkan morfologi pantai dan rawa (Liew, et al., 2008). Menurut Wibisono dan
Suryadiputra, (2006) efek dari tsunami Aceh antara lain perubahan landskap pasisir,
degradasi hutan mangrove, degradasi lahan gambut, degradasi rawa dan degradasi vegetasi
pantai. Oleh karena itu sangat penting upaya rehabilitasi mangrove harus memperhatikan
faktor tempat tumbuh dan jenis tanaman mangrove sehingga akan diketahui perlakuan apa
yang harus diberikan di lokasi rehabilitasi. Gambaran kerusakan hutan mangrove akibat
tsunami Aceh di pantai barat Aceh disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Kerusakan hutan mangrove sepanjang pantai barat Aceh
Kawasan
Kabupaten
Luas Kerusakan
Calang
Aceh Jaya
100 persen hutan mangrove rusak atau kemudian mati.
Samatiga
Aceh Barat
Sekitar 50 persen pohon mangrove tercabut.
Kebanyakan tegakan mangrove rusak bagian atas
tajuknya. Bagian dari pohon yang rusak dibawa ke
tambak, kerusakan sampai ke formasi Nypa.
Pulau Tuangku Aceh Singkil Sekitar 70 persen kerusakan pohon. Garis terdepan
Rhizopora rusak sangat parah. Tegakan mangrove
yang tersisa akhirnya mati.
Pulau Bangkaru Aceh Singkil 30 sampai 40 persen pohon rusak. Sebagian dari
bagian pohon mangrove terbawa pantai pasir yang
mengancam tempat bersarang penyu belimbing yang
terancam punah (endangered leatherback back turtles)
Pulau-pulau kecilAceh
Tergantung lokasi dan jarak dari laut, sampai 100
Sekitar Pulau
Singkil
persen mangrove mati akibat terendam
Banyak
Sumber: Kanagaratnam et al, (2006)
Pada tahap awal rehabilitasi mangrove pasca tsunami di Aceh ternyata banyak
yang mengalami kegagalan. Banyak dari kegiatan rehabilitasi tersebut tidak didukung
oleh pemahaman yang baik tentang ekologi mangrove (UNEP, 2007). Sebagai contoh
para pelaksana rehabilitasi tidak mengetahui secara pasti tentang derajat keberhasilan yang
dicapainya, hal ini akibat dari kurangnya data dan informasi tentang persentasi bibit yang
bertahan hidup. Hanya sebagian kecil saja dari para pelaksana yang memiliki data tentang
perkembangan aktifitas rehabilitasinya, termasuk laju kelangsungan hidup bibit di
lapangan. Menurut Wibisono dan Suryadiputra, (2007) kebanyakan dari pelaksana
rehabilitasi tidak melakukan monitoring, sehingga tidak mengetahui jumlah bibit yang
tumbuh. Hal ini termasuk salah satu aktifitas pengelolaan alam yang terfragmentasi,
sebagimana kegiatan rehabilitasi berakhir hanya sampai tahap penanaman bibit saja.
Perhitungan kasar dari observasi lapangan keberhasilan hidup mangrove (40%-60%) lebih
tinggi dibandingkan dari spesies pantai yang lain (20%-50%).
Saat ini ancaman utama mangrove hasil rehabilitasi bukan datang dari alam tetapi
justru dari tindakan manusia. Sebagai contoh di pantai utara Aceh kegiatan penebangan
dan reklamasi untuk dijadikan permukiman atau mati secara alami yang diduga karena
ketidaksesuaian jenis yang ditanam dengan kondisi tapak. Penebangan dan alih fungsi
areal rehabilitasi mangrove tersebut diduga terjadi karena (a) tahapan perencanaan
121
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
rehabilitasi yang kurang matang, (b) penataan tata ruang yang belum dipahami secara
bersama dengan baik, (c) status kepemilikan lahan yang belum jelas, (d) kurangnya
pemahaman akan pentingnya mangrove dalam melindungi kehidupan penduduk pesisir
dari tsunami atau (e) kombinasi dari berbagai faktor tersebut (Onrizal, 2012). Bila masalah
di atas tidak ditangani dengan benar, hal itu berarti sama dengan kita mengabaikan
pengetahuan yang kita miliki saat ini tentang manfaat mangrove bagi kehidupan dan juga
terkait dengan perannya sebagai pereduksi bencana alam. Permasalahan ini terjadi akibat
tarik menarik kepentingan dari berbagai pihak (multi stakeholders). Oleh karena itu perlu
upaya dari semua pihak untuk duduk bersama memikirkan masa depan ekologi pesisir
yang memperhatikan keseimbangan ekologi, ekonomi serta sosial dan budaya masyarakat
setempat.
Kawasan pantai timur Aceh secara umum mengalami kerusakan lebih kecil
dibandingkan kawasan pantai barat dan utara Aceh, karena tidak berhadapan langsung
dengan pusat datangnya tsunami (Wong, 2009 dalam Onrizal, 2012). Di pantai timur
Aceh, tepatnya di pantai Lhokmee terdapat tegakan mangrove jenis Sonneratia alba
berdiameter lebih dari 1 m.Tegakan mangrove tersebut berada di depan pantai (laut)
dengan jarak antara 30-50 m dari pantai dan selalu tergenang. Oleh karena itu, saat ini
tidak ditemukan permudaan yang tumbuh di lantai hutan karena buah yang jatuh langsung
terbawa ombak laut. Pada bagian tertentu tegakan hutan mangrove di pantai timur ini
ditemukan banyak pohon Sonneratia alba yang mati. Mengingat kondisinya saat ini sudah
berada di depan pantai (laut), diperkirakan seluruh tegakan S. alba tersebut akan mati,
meskipun saat pengamatan masih dijumpai pohon-pohon yang berbunga dan berbuah
(Onrizal, 2012). Fakta ini menunjukkan bahwa kegiatan rehabilitasi bukan saja pada
kawasan yang rusak, tetapi juga pada kawasan yang awalnya hanya terdampak, tetapi
perubahan landskap alam akan menjadi tantangan baru yang dapat berakibat gangguan
proses suksesi alami hutan mangrove.
Pemanfaatan Fungi dalam Rehabilitasi Mangrove
Salah satu permasalahan lahan mangrove pasca tsunami adalah kondisi sifat fisik
dan kimiawi tanah. Permasalahan akan muncul ketika kita akan memulai rehabilitasi
dengan kondisi tanah yang mungkin sudah mengalami banyak perubahan, baik secara fisik
maupun kimiawi. Kegagalan pada tahap awal program rehabilitasi mangrove harus
dijadikan pelajarn berharga untuk menghindari inefesiensi dan pemborosan. Oleh sebab
itu pemanfaatan teknologi diharapkan mampu menyelesaikan kendala tersebut. Salah satu
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan tehnologi diantaranya dengan mengintroduksikan
fungi pada media bibit mangrove. Introduksi ini diharapkan mampu meningkatkan daya
tahan hidup tanaman dan membantu pertumbuhannya pada tahap awal, meskipun pada
lahan yang sangat miskin hara. Pengujian terhadap manfaat fungi tersebut diantaranya
melalui penelitian yang dilakukan di muara sungai yang tercemar limbah industri yang
terbawa aliran sungai di Sumatera Utara.
Keberadaan jenis fungi dapat mempengaruhi kecepatan proses dekomposisi
serasah. Berdasarkan hasil penelitian Yunasfi, et al., (2006) terdapat empat jenis fungi
yang dominan dilahan tercemar, yaitu Aspergillus sp. 1. Aspergillus sp. 2, Aspergillus sp.
4 dan beberapa Trichodema sp. Hasil pengamatan terhadap pertambahan tinggi rata-rata
bibit, pertambahan diameter rata-rata bibit R. stylosa dan jumlah daun disajikan dalam
Tabel 2.
Berdasarkan hasil penelitian pada bibit-bibit tanaman yang diberi perlakuan pada
pembibitan diperoleh hasil pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol baik
pada parameter tinggi tanaman, jumlah daun dan diameter batang. Perbedaan respons
pertumbuhan tanaman pada aplikasi fungi yang berbeda menunjukkan bahwa masing122
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
masing fungi memiliki peran yang berbeda dalam proses dekomposisi serasah mangrove.
Pertambahan tinggi bibit yang berasal dari propagul R. stylosa yang telah diberi
perlakuan dengan berbagai jenis fungi menunjukkan, aplikasi fungi Aspergillus sp. 1 dan
Aspergillus sp. 2 setelah 7 minggu perlakuan menunjukkan pertambahan tinggi rata-rata
1.63 cm dan 1.65 cm. Demikian juga dengan pertambahan diameter dan jumlah helai
daun yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Menurut Rao, (1994) Aspergillus
mampu merombak selulosa menjadi bahan senyawa-senyawa monosakarida, alkohol, CO2
dan asam-asam organik lainnya dengan dikeluarkannya enzim selulase. Sisa-sisa tanaman
memiliki kandungan selulosa dan lignin yang tinggi yang merupakan sumber makanan
bagi sebagian fungi termasuk didalamnya Aspergillus.
Tabel 2. Pertambahan rata-rata tinggi bibit, pertambahan rata-rata diameter bibit dan
jumlah daun R. Stylosa (Leidonald, et al., 2014)
Perlakuan
Parameter pengamatan
Kontrol Aspergillus
Aspergillus
Aspergillus sp
sp 1
sp 2
4
Pertambahan tinggi rata0,25
1,63
1,65
1,98
rata (cm)
Pertambahan diameter
0,23
0,33
0,30
0,35
rata-rata (cm)
Jumlah daun (helai)
4
6
6
6
Penelitian lain tentang pemanfaatan fungi pada pembibitan mangrove dilakukan
oleh Sihite et al., (2014) yaitu pengaruh aplikasi fungi terhadap pertumbuhan semai
Avicennia marina di Desa Nelayan, Kecamatan Medan Labuhan kawasan yang berdekatan
dengan industri. Kawasan industri dipilih untuk mengukur peranan fungi terhadap
kelangsungan hidup tanaman di lahan yang tercemar limbah. Keanekaragaman jenis fungi
dari hasil isolasi fungi di laboratorium diperoleh 4 (empat) jenis fungi pada ekosistem
A.marina di Desa Nelayan. Dari hasil uji di lapangan terdapat perbedaan setiap parameter
baik tinggi, diameter, luas daun dan biomassa total bibit A.marina seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil pengamatan bibit A.marina 12 minggu setelah tanam (Sihite et al., 2014)
Perlakuan
Parameter
Pengamatan
Kontrol A flavus Penicillum sp A tereus T harzianum
Tinggi rata-rata (cm)
19,22
20,90
21,74
24,66
26,66
Diameter rata-rata
0,18
0,20
0,18
0,21
0,23
(cm)
Luas daun (cm2)
390,26
497,82
443,31
466,77
444,69
Berat kering total (g) 10,61
16,16
14,54
16,09
17,91
Pohon A. marina mampu mengakumulasikan logam berat dengan baik untuk
menurunkan logam beracun di kawasan perairan. Tinggi rendahnya tingkat faktor
biokonsentrasi suatu ekosistem mangrove disebabkan oleh unsur logam berat yang
tersimpan dalam bentuk senyawa organik di dalam jaringan tumbuhan. Mangrove
memiliki kemampuan menyerap bahan-bahan organik dan non organik dari lingkungannya
ke dalam tubuh melalui membran sel. Proses ini merupakan bentuk adaptasi mangrove
terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim (Mastaller, 1996 dalam Sihite, et al., 2014).
123
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Untuk dapat bertahan dalam kondisi tempat tumbuh yang sudah terakumulasi logam berat
vegetasi mangrove dibantu oleh fungi yang menetralisir akumulasi logam berat tersebut
sampai kondisi tanahnya menjadi sesuai untuk pertumbuhan mangrove. Pemberian fungi
yang berbeda pada tanaman A.marina memberikan reaksi pertumbuhan dan pertambahan
tinggi, diameter rata-rata, luas daun dan berat kering total yang lebih baik dibandingkan
dengan kontrol tanpa fungi. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan kemampuan antara
beberapa jenis fungi dalam menyediakan unsur hara bagi A.marina serta perbedaan enzim
yang dikeluarkan oleh fungi untuk mendekomposisikan serasah.
Rasti dan Sumarsono, (2008) dalam Sihite et al., (2014) menyatakan bahwa
penggunaan mikroba fungi penyubur tanah dapat memberikan berbagai manfaat yaitu
untuk menyediakan sumber hara bagi tanaman, melindungi akar dari gangguan hama dan
penyakit, menstimulir sistem perakaran agar berkembang sempurna dan memperpanjang
usia akar, memacu mitosis jaringan meristem pada titik tumbuh pucuk, kuncup bunga, dan
stolon, sebagai penawar racun beberapa logam berat, sebagai metabolit pengatur tumbuh,
dan sebagai bioaktivator.
Pemanfaatan fungi untuk daerah terdampak tsunami perlu diuji lebih lanjut,
mengingat kondisi fisik lahan mangrove yang berubah memerlukan kajian lebih
mendalam agar hasilnya bisa lebih maksimal. Oleh karena itu keterlibatan perguruan
tinggi dalam kegiatan rehabilitasi diharapkan bisa mengintegrasikan kegiatan penelitian
dan rehabilitasi mangrove itu sendiri.
Pendidikan Lingkungan: Antara Konservasi dan Konversi Mangrove
Pengalaman dalam proyek awal rehabilitasi yang mengalami banyak kegagalan
telah memberi banyak pelajaran bahwa mengembalikan kondisi hutan mangrove seperti
sedia kala tidak semudah yang dibayangkan. Perbaikan perlakuan dan penerapan sistem
monitoring dalam rangkaian rehabilitasi akhirnya menghasilkan tingkat keberhasilan
tanaman relatif meningkat, seperti survey yang dilakukan Onrizal, (2012) di pantai utara
Aceh, tingkat keberhasilan rehabilitasi mencapai 60-80% dengan umur 4 atau 5 tahun
memiliki tinggi tanaman antara 3-4 m. Bahkan pada tambak-tambak yang direhabilitasi
dengan pola silvofishery, sebagian nelayan tambak telah beberapa kali melakukan panen
dengan hasil yang cukup memuaskan. Burung-burung air juga sudah mulai banyak
mendatangi kawasan tersebut, sebagai indikator mulai pulihnya fungsi hutan mangrove
setelah direhabilitasi.
Upaya konservasi hutan mangrove hasil rehabilitasi dan regenerasi alami
sepertinya akan berhadapan dengan konversi hutan mangrove untuk keperluan lain seperti
pengamatan Onrizal, (2012) di pantai utara Aceh terjadi penebangan dan reklamasi
mangrove untuk infrastruktur dan permukiman (Gambar 1). Selain ancaman dari
manusia, kondisi lingkungan yang berubah diperkirakan akan mengganggu kelestarian
vegetasi mangrove itu sendiri. Permasalahan akan semakin rumit bila pemerintah tidak
cepat mengambil tindakan untuk menyelamatkan hutan mangrove
di kawasan
rehabilitasi.
Kegiatan konversi akan berdampak tidak hanya pada perubahan keseimbangan
ekosistem pesisir, tetapi juga kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Di samping itu
hilangngnya hutan mangrove bila dikaitkan dengan mitigasi bencana, akan sangat
mengurangi kemampuan alam dalam mereduksi dampak bencana seperti tsunami.
Menurut FAO, (2007) di kawasan pesisisr integrasi antara fungsi perlindungan hutan dan
pembangunan harus menjadi sebuah norma atau aturan. Fakta bahwa tsunami 2004
dampaknya tidak hanya dirasakan oleh penduduk diperkotaan, tetapi juga masayarakat
pedesaan yang tinggal di sepanjang garis pantai. Pada wilayah dimana hutan mangrove
dan pantai tidak lagi ada, kerusakan tsunami jauh lebih besar. Sementara pada wilayah
124
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
dimana hutan masih ada, dalam banyak kasus dampak tsumani dapat dikurangi. Sistem
peringatan dini juga akan dapat menyelamatkan banyak nyawa manusia.
(a)
(b)
(d)
(c)
Gambar 1. Penebangan pohon mangrove hasil rehabilitasi dan penimbunan tanaman
mangrove rehabilitasi di Pantai Utara Aceh (a,b); Hutan mangrove jenis
Sonneratia alba berdiamater lebih dari 1 m yang saat ini sudah berada di laut di
Pantai Timur Aceh (c,d) (Foto: Onrizal)
Penyadartahuan tentang dampak konversi hutan mangrove perlu diberikan kepada
semua pihak yang berkepentingan bukan hanya masyarakat sekitar pesisir, tetapi juga
pihak-pihak yang berpotensi mengkonversi hutan, seperti kepada pihak pengembang
(developer), industry dan tambak. Pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional juga
harus berani tidak mengeluarkan ijin bagi pihak yang ingin merubah fungsi hutan
mangrove. Pengalaman yang terjadi di daerah lain seperti Sumatera Utara dalam konversi
hutan dapat menjadi pembelajaran tentang dampak konversi bagi kehidupan.
Gambar 2. Konversi hutan mangrove di Kec. Gebang, Kab. Langkat, Sumatera
Utara 203-2013c
Konversi hutan mangrove di pesisir timur Sumatera tepatnya di Kecamatan
Gebang, Kabupaten Langkat Sumatera Utara antara tahun 2003 sampai 2012 mencapai
2.052,83 hektar, dengan rincian perubahan terbesar menjadi perkebunan 1.520,46 ha,
125
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
pertanian lahan kering 313,10 ha dan tambak 276,96 ha. Perubahan fungsi hutan
mangrove menjadi bentuk pemanfaatan lainnya terus berlangsung sampai pada tarap yang
menghawatirkan.seperti disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Perubahan tutupan lahan Kec. Gebang, Kab.Langkat dari tahun 2003 sampai
2012
Tahun 2003
Tahun 2012
Perubahan
Tutupan
No
Luas
Luas
Lahan
%
%
Luas (Ha)
%*)
(Ha)
(Ha)
1
Tanah
370,43
2,10
918,83
5,21
548,40
148,04
Terbuka
2
Hutan
Mangrove
2.567,25 14,54
514,42
2,91
-2.052,83
-79,96
Sekunder
3
Sawah
1.108,32
6,30
1.286,21
7,30
177,88
16,04
4
Tambak
2.944,18 16,67 2.734,93
15,50
-209,25
-7,10
5
Perkebunan
3.947,83 22,36 4.716,93
26,74
769,10
19,48
6
Pertanian
4.545,25 25,74 4.840,22
27,44
294,28
6,47
Lahan Kering
7
Belukar
1.928,23 10,92 1.940,41
11.00
12,19
0,63
8
Tubuh Air
243,63
1,38
613,76
3,50
370,13
151,92
9
Pemukiman
69,50
0,40
69,50
100,00
17.655,1
100
17.635,2
Total
100,00
2
,00
1
*)-: penurunan terhadap luas masing-masing penutupan lahan tahun 2003 (Wirani, et al.,
2013)
Dampak konversi mangrove antara lain menurunnya hasil tangkapan nelayan di
lokasi penelitian. Rata-rata hasil tangkapan nelayan per bulan pada tahun 2003 yaitu
457,44 kg/bulan dan pada tahun 2012 yaitu 140,48 kg/bulan. Hasil tangkapan nelayan
mengalami penurunan sebesar 30,71%. Penurunan hasil tangkapan ikan nelayan dapat
dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil tangkapan ikan per bulan nelayan di Kec. Gebang, Kab.Langkat tahun
2003-2012
Tahun
Tahun
Hasil Tangkapan Ikan
No.
2003
%
2012
%
Selisih
(kg/bulan)
(KK)
(KK)
1.
> 200
82
90,10
13
14,28
69
2.
≤ 200
9
9,90
78
85,72
-69
Sumber: Wirani, et al, 2013
Pendapatan nelayan di lokasi penelitian mengalami penurunan. Rata-rata
pendapatan nelayan per bulan pada tahun 2003 yaitu Rp. 2.739.780 dan pada tahun 2012
yaitu Rp. 1.407.637. Pendapatan nelayan mengalami penurunan sebesar 51,37%. Kategori
pendapatan nelayan berdasarkan upah minimum Kabupaten Langkat pada tahun 2012
yaitu Rp. 1.202.000 menunjukkan bahwa tingkat kehidupan nelayan tidak lebih baik pada
126
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
saat hutan mangrove lebih kecil penutupannya. Tingkat pendapatan nelayan pasca konversi
hutan mangrove dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Tingkat pendapatan nelayan per bulan di Kec. Gebang, Kab.Langkat tahun
2003-2012
Pendapatan
Tahun 2003
Tahun 2012
No.
%
%
Selisih
(Rp)
(KK)
(KK)
1.
> 1.202.000
81
89,01
52
57.,14
29
2.
≤ 1.202.000
10
10,99
39
42,86
-29
Sumber: Wirani, et al., 2013
Lebih jauh tentang manfaat dari masing-masing vegetasi hutan mangrove bagi
kehidupan dapat dijadikan bahan atau materi penyadartahuan kepada masyarakat.
Manfaat mangrove di Aceh disarikan oleh Kanagaratnam, et al., (2006) dari hasil
wawancara dengan masyarakat di wilayah terdampak tsunami di Samatiga seperti pada
Tabel 7.
Tabel 7. Manfaat mangrove bagi kehidupan
Nama
Nama Species
Manfaat
Lokal
Pembungkus tembakau, sapu lidi, buah, atap sirap,
Nypa fruticans
Nipah
keranjang anyaman dan penutup
Rhizophora spp.
Bakau
Rumpon ikan, kayu bakar, arang, bahan bangunan
Sonneratia sp.
Langade
Pagar, kayu olahan, kerangka kapal bagan
Sonneratia alba
Berambang Wooden crushers, buah
Pagar, bahan bangunan, koleksi madu, bangunan
Avicennia sp.
Api-api
kapal (haluan/busur kapal)
Tidak
Meri
Kulit untuk memperkuat jala ikan
teridentifikasi
Cerops tagal
Tengar
Pagar, konstruksi rumah
Pandanus
Pandan
Tikar
Metroxylon sagu
Rumbia
Tepung sagu
Sumber: Kanagaratnam, et al., (2006)
Dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat dalam menjaga hutan mangrove
diharapkan dapat mengurangi laju konversi hutan mangrove itu sendiri sehingga
keseimbangan ekosistem tetap terjaga. Pekerjaan rumah dalam rehabilitasi mangrove
akan semakin menumukan tangtangan ketika masyarakat sudah memarginalkan fungsi
hutan mangrove itu sendiri bagi kehidupan. Oleh karena itu kegiatan rehabilitasi harus
dibarengi dengan upaya penyadartahuan masyarakat.
KESIMPULAN
Mangrove memiliki peranan dalam mengurangi resiko kerusakan akibat bencana alam
tsunami. Keberhasilan rehabilitasi sangat tergantung pada banyak faktor seperti jenis
tanaman, tehnik penanaman, monitoring. Pemberian fungi pada media tanam bibit
mangrove memberi respons pertumbuhan bibit yang lebih baik dibandingkan tanpa fungi
sehingga dapat dipertimbangkan penggunaannya dalam kegiatan rehabilitasi mangrove
127
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
pasca tsunami Aceh. Konversi hutan mangrove menjadi penggunaan lainnya akan menjadi
ancaman serius bagi keberhasilan program rehabilitasi pasca tsunami di Aceh. Upaya
untuk mengurangi laju konversi dapat dilakukan melalui penyuluhan atau penyadartahuan
kepada pihak-pihak yang terkait.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Zulham Apandi Harahap, Rika Wirani,
Rusdi Leidonald yang telah banyak membantu penulis dalam hal data dan pihak
Perhimpunan Alumni Jerman (PAJ) Aceh khususnya Prof. Ir. Samadi, M.Sc, Ph.D yang
sudah memberi kesempatan kepada penulis dalam kegiatan Seminar Disaster Risk
Reduction dalam rangka satu dekade Tsunami Aceh. Semoga Allah SWT membalas
kebaikan semuanya dengan yang lebih baik. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
Alongi, D.M., 2008. Mangrove forests: Resilience, protection from tsunamis, and
responses to global climate change. Elsevier. Estuarine, Coastal and Shelf Science
76 (2008), p. 1-13.
Bayasa, J. C. Laso, Carsten Marohna, Gerd Dercona,1, Sonya Dewib, Hans Peter Piephoc,
Laxman Joshib, Meine van Noordwijkb, and Georg Cadischa, 2011. Influence of
coastal vegetation on the 2004 tsunami wave impact in west Aceh. PNAS vol. 108,
No.46. p. 18612–18617. www.pnas.org/cgi/doi/10.1073/pnas.1013516108
Das, S. and Jeffrey R. Vincent. 2009. Mangroves protected villages and reduced death toll
during Indian super cyclone.
www.pnas.org/cgi/content/full/0810440106/DCSupplemental, p 1-4.
FAO, 2007. The Role of Coastal Forests in The Mitigation of Tsunami Impacts. RAP
Publication 2006-07
Kanagaratnam,U., A.M. Schwarz, D. Adhuri and M.M. Dey. 2006. Mangrove
Rehabilitation in the West Coast of Aceh – Issues and PerspectivesNAGA,
WorldFish Center Quarterly Vol. 29 No. 3 & 4 Jul-Dec 2006
Leidonald, R., Yunasfi, Pindi Patana. 2014. Aplikasi Berbagai Jenis Fungi Untuk
Meningkatkan Pertumbuhan Mangrove Rhizophora Stylosa di Secanang Belawan
Medan. Lapaoran Kemajuan Penelitian PNBP USU. Medan
Liew. S.C., Avijit Gupta, Poh Poh Wong, Leong Keong Kwoh. 2008. Coastal Recovery
following the destructive tsunami of 2004: Aceh,Sumatra,Indonesia. Society for
Sedimentary Geology. Vol.6. No.3. www.sepm.org
Onrizal, 2012. Tujuh Tahun Pasca Tsunami 2004: Profil Pemulihan Mangrove Aceh.
Warta Konservasi Lahan Basah. Wetland International. Vol 20 No. 3, Halaman 45,16.
Rao, N.S.S. 1994. Soil Microorganisms and Plant Growth dalam Pemanfaatan
Biofertilizer Pada Pertanian Organik. USU Repository. Rahmawati, N. Medan,
2006. http://library.usu.ac.id [13 Juli 2008]
Sihite, E. D., Yunasfi dan Miswar, B. M., 2014. Jenis-Jenis Fungi dan Pengaruh
Aplikasinya Terhadap Pertumbuhan Semai Avicennia Marina.Jurnal Penelitian,
Repository USU. Medan
128
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Suryawan, F. 2007. Keanekaragaman Vegetasi Mangrove Pasca Tsunami di Kawasan
Pesisir Pantai Timur Nangroe Aceh Darussalam. Biodiversitas. Volume 8, Nomor
4. Halaman: 262-265
UNEP, 2007. Coastal Ecosystem Restoration: Lessons Learned in Aceh since the Tsunami.
Wibisono, I. T.C and I Nyoman N. Suryadiputra. 2006. Study of Lessons Learned from
Mangrove/Coastal Ecosystem Restoration Efforts in Aceh since the Tsunami.
Wetlands nternational – Indonesia Programme. Bogor. xiii + 83.
Wirani,R., Yunasfi, Zulham Apandy Harahap, 2013. Analisis Konversi Hutan Mangrove
di Kecamatan Gebang Kabupaten Langkat. Jurnal Penelitian Manajemen
Sumberdaya Perairan USU. Repository USU. Medan
Yunasfi, S. Hadi, C. Kusmana, L.I. Sudirman dan B. Tjahjono. 2006. Dekomposisi
Serasah Daun A. marina oleh Bakteri dan Fungi pada Berbagai Tingkat Salinitas.
(Disertasi). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
129
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Hutan Pantai Untuk Mitigasi Tsunami: Mitos, Realitas dan Tantangan
ke Depan
Semeidi Husrin1
1
Peneliti, Balitbang Kelautan dan Perikanan - Kementerian Kelautan dan Perikanan
ABSTRAK
Pasca kejadian tsunami Aceh 2004, penelitian untuk melihat kemampuan hutan
pantai dalam meredam tsunami semakin gencar dilakukan baik itu dengan cara
interpretasi citra satelit, observasi lapangan, percobaan laboratorium fisik maupun
pemodelan numerik. Namun, latar belakang ilmiah dan proses-proses fisik yang terjadi di
dalamnya masih belum dapat disimpulkan secara menyeluruh. Kejadian tsunami di Jepang
pada Maret 2011 dan beberapa kejadian tsunami sebelumnya semakin memperlihatkan
bahwa hutan pantai tidak selamanya memberikan perlindungan terhadap gelombang
tsunami. Mitos hutan pantai sebagai peredam tsunami dan kondisi realitas di lapangan
didiskusikan secara mendalam berdasarkan hasil penelitian terkini dengan
memperhitungkan aspek morfologi hutan, hidrodinamika, dan aspek lingkungan seperti
orientasi garis pantai, batimetri, dan topografi. Berdasarkan kajian ilmiah dan informasi
terkini, tulisan ini bertujuan menganalisis secara sistematis efektifitas hutan pantai sebagai
peredam tsunami di mana salah satu tantangan terbesarnya adalah cara menentukan
kontribusi dari aspek - aspek lingkungan selain hutan pantai pada nilai redaman tsunami
yang kerap terabaikan. Lebih jauh lagi, aspek – aspek penting untuk pengembangan dan
pemanfaatan hutan pantai dalam kerangka mitigasi tsunami di masa yang akan datang
berhasil dirangkum untuk bahan rekomendasi.
Kata kunci: Hutan pantai, mitigasi, tsunami, kemampuan meredam, mitos
ABSTRACT
After the 2004 Aceh Tsunami, researches on the damping performance of coastal
forests against tsunami have been conducted either by means of satellite image, field
survey, physical laboratory and numerical simulation analyses. However, a
comprehensive conclusion still could not be drawn due to so many unexplained critical
aspects related to the physical processes involved. The 2011 Japan Tsunami and previous
events showed us that coastal forests do not always provide protections. Myths
surrounding the effectiveness of coastal forest in reducing the impact of tsunami and its
factual data based on a systematic analysis were discussed thoroughly based on forest
morphology, hydrodynamics, and other environmental aspects such as coastline
orientation, bathymetry and topography of the region. Considering the latest scientific
findings, the main objective of the paper is to analyse tsunami damping performance of
coastal forests and how to determine the contribution of other environmental aspects to
the total tsunami attenuation which are often neglected. Moreover, influencing aspects for
the development and the use of coastal forests in the frame work of tsunami mitigation are
successfully summarised for recommendations.
Key words: Coastal forest, mitigation, tsunami, damping performance, myth
130
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
PENDAHULUAN
Gempa bumi dan Tsunami merupakan salah satu bencana alam yang kerap melanda
kawasan pesisir di Indonesia. Keberadaan zona subduksi yang tersebar di Barat Sumatera
dan selatan Jawa serta kawasan Timur Indonesia menjadikan kawasan tersebut secara
alami menjadi sangat rentan dimana bencana gempabumi dan tsunami dan telah banyak
menyebabkan kerusakan dan korban jiwa. Kejadian tsunami yang kerap terjadi belum
mampu menggugah kepekaan pemerintah dan masyarakat Indonesia hingga bencana
Gempa Bumi dan Tsunami Aceh terjadi pada 26 Desember 2004. Pasca bencana tsunami
Aceh 2004, investasi besar – besaran dalam kerangka upaya mitigasi bencana gempabumi
dan tsunami di kawasan pesisir gencar dilakukan di mana - mana mulai dari pembangunan
infrastruktur sistem peringatan dini hingga pengembangan sistem pendidikan (kurikulum)
berwawasan kebencanaan. Salah satu upaya mitigasi yang gencar dilakukan pemerintah
Indonesia adalah penghijauan kawasan pesisir atau “greenbelt” untuk mitigasi tsunami.
Bahkan, dalam Master Plan Pengurangan Resiko Bencana (PRB) tsunami 2012-2014,
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengingdikasikan kebutuhan prioritas
mitigasi tsunami dengan greenbelt di 127 kota/kabupaten pesisir dengan nilai mencapai 50
Milyar rupiah (BNPB, 2012).
Munculnya kebijakan greenbelt untuk mitigasi tsunami dilatar belakangi oleh
adanya anggapan dan pendapat yang menyebutkan bahwa hutan pantai memiliki
kemampuan yang cukup signifikan dalam mereduksi gelombang tsunami. Berbagai
publikasi dalam bentuk jurnal paper, laporan teknis, dan pemberitaan media banyak yang
mendukung anggapan tersebut dengan menampilkan data - data lapangan, hasil percobaan
laboratorium, gambar satelit dan simulasi numerik (Shuto, 1987, Dahdouh-Guebas (2005),
UNEP (2005), Tanaka et al., 2007). Namun demikian, temuan lapangan yang
menunjukkan ketidakmampuan hutan pantai dalam mereduksi gelombang tsunami juga
banyak dijumpai, seperti yang terjadi pada hutan mangrove di Ule Lheu, Banda Aceh di
mana hutan bakau yang cukup lebat dan luas habis tersapu oleh tsunami dan kayu – kayu
nya terbawa hingga beberapa kilometer ke daratan (EJF, 2006). Hal – hal tersebut jelas
memperlihatkan bahwa sebetulnya masih banyak hal – hal penting terkait proses fisik
interaksi hutan pantai dan gelombang tsunami serta lingkungan sekitarnya yang belum
diketahui sehingga efektifitas hutan pantai dalam meredam gelombang tsunami belum bisa
disimpulkan. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang
latar belakang teknis dan non-teknis pada anggapan hutan pantai yang mampu meredam
tsunami berdasarkan hasil-hasil penelitian terkini dengan memperhitungkan tidak hanya
morfologi hutan pantai tetapi juga aspek-aspek lingkungan lainnya seperti topografi,
batimetri dan orientasi hutan pantai terhadap arah gelombang datang.
METODE PENELITIAN
Sumber data dari penelitian ini diperoleh dari studi literatur terkait efektifitas hutan
pantai dalam meredam gelombang tsunami dan data lapangan di Pangandaran (Husrin et
al., 2013). Metoda penelitian, penentuan parameter hutan pantai, pendekatan atau
formulasi numerik dan empiris dari nilai tahanan hidraulik hutan pantai serta kesimpulan
akhir kemampuan hutan pantai dalam meredam tsunami didiskusikan secara mendalam.
Selanjutnya, hasil penelitian terkini dari penulis tentang parameterisasi hutan pantai serta
kemampuan hutan pantai dalam meredam tsunami berdasarkan percobaan laboratorium
akan ditampilkan di mana pohon bakau dan pohon cemara laut diskalakan sedemikian rupa
sehingga nilai redaman antar model dan prototipe memiliki kesamaan sifat hidraulik.
Model yang didapat dari hasil penelitian di laboratorium divalidasi dengan data lapangan
131
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
di Pangandaran, pasca kejadian tsunami 2006. Beberapa hasil penelitian di laboratorium
(Husrin, 2013) dan hasil – hasil sebelumnya serta data lapangan dari Pangandaran
dianalisis kembali untuk selanjutnya diformulasi ulang untuk membedakan mitos dan
kenyataan dari kemampuan hutan pantai dalam meredam tsunami.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bagaimana Mitos Terbangun ?
Hutan pantai sebagai peredam tsunami sudah diterapkan di Jepang pada abad ke-19
tepatnya pasca kejadian gempa dan tsunami Nankai pada tahun 1854. Goryo Hamaguchi
memimpin penduduk Desa Hiro (sekarang Kota Hirogawa, Wakayama) untuk membangun
sebuah sistem perlindungan buatan terhadap bencana tsunami dengan membangun tanggul
laut yang diatasnya ditanami tanaman pantai (Gambar 1). Sistem ini jelas memperlihatkan
pentingnya sebuah kombinasi antara dua jenis sistem mitigasi bencana tsunami, yaitu
tanggul pelindung dan hutan pantai. Sistem seperti ini terbukti ampuh menurunkan dampak
kejadian tsunami yang terjadi pada tahun 1946 sehingga memacu daerah lain untuk
melakukan hal serupa. Kegiatan penanaman “sistem greenbelt” untuk mitigasi tsunami
terus berlangsung hingga bencana Tsunami Chile menerjang pesisir timur Jepang pada
tahun 1960. Kejadian tsunami Chile pada tahun 1960 menggeser kecenderungan Jepang
dalam membangun sistem mitigasi yang mengutamakan sistem perlindungan struktural
(hard measures) disamping sistem peringatan dini tsunami. Hal ini bisa terlihat dari
pembangunan beberapa pemecah gelombang lepas pantai (misal Breakwater Kamaishi dan
Oofunato) dan pembangunan tembok laut yang banyak dibangun di kawasan – kawasan
yang rawan bencana tsunami seperti kawasan pesisir Timur Tohoku.
Gambar 1. Sistem pelindung pantai terhadap bencana tsunami di desa Hiro (Shuto, 2010)
Secara ilmiah, Shuto (1987) adalah di antara yang pertama yang menjelaskan
secara sistematis peran penting dari hutan pantai dalam meredam gelombang tsunami
berdasarkan data dari lima kejadian tsunami besar di Jepang yang terjadi pada tahun 1896,
1933, 1944, 1960, dan 1983. Shuto (1987) menyebutkan bahwa hutan pantai mungkin
dapat berfungsi mengurangi tinggi rendaman dan laju tsunami, menyediakan pegangan
bagi korban yang hanyut, sebagai fasilitas evakuasi vertikal dan menyediakan gundukkan
tanah sebagai penghalang alami tsunami. Hasil kajian Shuto (1987) memperlihatkan
pentingnya peran dari geometri pohon pantai dan dimensi dari hutan pantai termasuk
132
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
derajat ketebalannya (kerapatan pohon). Sebagaimana terangkum dalam Oumeraci (2006),
peran dari hutan pantai dalam meredam tsunami terlihat cukup signifikan untuk kasus –
kasus tsunami relatif kecil (Gambar 2).
Gambar 2. Formulasi Shuto (1987) untuk redaman tsunami oleh hutan pantai (Oumeraci,
2006)
Hutan pantai pada umumnya merupakan solusi yang tepat untuk menahan angin
ekstrim, badai, dan semburan garam. Namun, kemampuan untuk menahan dampak tsunami
telah menjadi kontroversi di kalangan peneliti sehingga diskusi mengenai peran hutan
pantai (misalnya mangrove dan vegetasi pantai lainnya seperti Cemara Laut) sebagai
penghalang tsunami alami yang efektif masih terus berlangsung. Banyak laporan dan hasil
survei (observasi lapangan, laporan kerusakan, dan citra satelit) telah menunjukkan bukti
bahwa hutan pantai memainkan peran penting sebagai perlindungan alami terhadap
tsunami (Shuto (1987), Dahdouh-Guebas et al., (2005), Danielsen et al., (2005), UNEP
(2005), Kathiresan & Rajendran (2005). Temuan-temuan tersebut juga didukung oleh
pendekatan semi-analitis dan empiris berdasarkan serangkaian percobaan pada model fisik
dan numerik (Harada et al., (2002), Istiyanto et al., (2003), Hiraishi & Harada (2003),
Harada & Kawata (2004), Imai dan Matsutomi (2005), Latief & Hadi. (2006), dan Tanaka
et al., (2007). Namun, pendapat lain percaya bahwa masih banyak aspek yang tidak
diketahui untuk menarik kesimpulan untuk efektivitas vegetasi pantai sebagai “greenbelt
mitigation system”. Perambatan tsunami di pantai, efek batimetri dan topografi yang
kompleks, dan kemampuan vegetasi dalam menahan kekuatan tsunami adalah beberapa
aspek yang kurang dipahami. Bukti lapangan (pengamatan kerusakan) juga menunjukkan
bahwa tidak semua hutan pantai secara efektif melindungi kawasan pesisir dari
kehancuran. Bahkan di beberapa daerah dengan hutan mangrove yang lebat dan sehat,
133
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
hutan pantai tidak memberikan perlindungan sama sekali terhadap tsunami (FAO / MOAC
(2005), Bappenas (2005), Latief & Hadi. (2006), EJF (2006), Forbes & Broadhead (2007).
Tiga peristiwa tsunami terbaru (Tsunami Chili 2009, Tsunami Mentawai 2010 dan
Tsunami Jepang 2011) mengungkapkan banyak bukti yang menunjukkan kerusakan berat
pada hutan pantai dan daerah sekitarnya. Morton et al., (2010) melaporkan bahwa banyak
pohon ditemukan tumbang, rusak atau roboh dalam peristiwa Tsunami Chili 2010.
Penyebab kerusakan bervariasi dan tergantung pada banyak aspek lingkungan seperti arah
gelombang datang, karakteristik pantai dan jenis/karakteristik pohon. Kerusakan serupa
juga ditemukan di Pagai Selatan Kepulauan Mentawai Indonesia dimana sebagian besar
pohon di lini depan mengalami kerusakan berat akibat tsunami. Kejadian tsunami di
Jepang tahun 2011 yang untuk pertama kalinya disiarkan secara langsung menunjukkan
bagaimana tsunami menghancurkan banyak infrastruktur setelah melewati hambatan hutan
pantai. Selain itu, seperti dilansir media, 2 km lebar hutan di sepanjang garis pantai
Prefektur Iwate dengan 70000 pinus merah dan pinus hitam hancur dan hanyut sehingga
menyisakan satu pohon berdiri dan sekarat. Penelitian awal dari ADRC (2011) juga
menyebutkan bahwa hutan pantai di sepanjang garis pantai Sendai sebagian besar
diratakan dan hampir tidak memberikan perlindungan apapun.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 3. Parameterisasi model pohon (a) kumpulan silinder dari Petryk & Bosmaijan
(1975) (b) model terdiri dari media berpori dari Harada dan Kawata (2004) (c)
Model kawat menyerupai struktur pohon bakau (Istiyanto et al., 2003) (d)
Model terdiri dari silinder (Kongko, 2004) (e) model pohon Cemara Laut dari
Imai & Matsutomi (2005), (f) model pohon plastik (Irtem et al., 2009)
Model-model gelombang tsunami dan interaksi mereka dengan vegetasi telah
diteliti oleh para peneliti menggunakan asumsi dan metodologi yang berbeda - beda.
Akibatnya, beberapa model berbeda telah dikembangkan dalam upaya untuk
menggambarkan efektifitas hutan pantai untuk mengurangi dampak tsunami. Konsep
perbandingan volume (rasio biomasa terendam terhadap volume kendali), dimensi pohon,
karakteristik hutan, dan berbagai bentuk koefisien tahanan hidroulik seperti koefisien seret
dan inersia serta koefisien Manning telah umum diperkenalkan oleh Hiraishi & Harada
(2003), Harada dan Kawata (2004), Istiyanto et al., (2003), dan Kongko (2004) dengan
metoda parameterisasi pohon yang berbeda – beda (Gambar 3). Pengembangan model ini
di mana tsunami disimulasikan sebagai Persamaan Nonlinier Shallow Water Equations
(NSWE) dalam persamaan momentum 1-D telah dimodifikasi, khususnya dalam
menggambarkan hambatan hidraulik akibat keberadaan hutan pantai (Latief & Hadi.,
2006). Selain itu, metodologi penelitian tentang bagaimana jenis vegetasi hutan pantai
dimodelkan dalam skala laboratorium terkadang masih sangat sederhana dan jauh dari
mewakili kondisi nyata, khususnya, parameter vegetasi yang berkaitan dengan tahanan
hidraulik (Oumeraci, 2006). Oleh karena itu, interaksi hutan pantai dan gelombang
134
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
tsunami masih memerlukan penelitian lebih lanjut yang diarahkan untuk peningkatan
pemahaman dari hutan pesisir sebagai peredam dan pengembangan model prediksi yang
tepat, termasuk parameterisasi fisik yang tepat dari setiap jenis vegetasi hutan pantai.
Dari diskusi di atas, meskipun potensi hutan pantai dalam meredam dampak
tsunami dapat saja terjadi. Kamampuan hutan pantai masih tebatas pada skala dan kondisi
tertentu dari tsunami. Oleh karena itu, pendapat yang menyatakan hutan pantai mampu
meredam dampak tsunami merupakan pendapat yang memiliki resiko tinggi dan dalam
beberapa kasus dapat dikategorikan sebagai sebuah mitos (informasi yang belum tentu
kebenarannya). Lahirnya mitos hutan pantai untuk mitigasi tsunami dipengaruhi oleh
aspek – aspek sebagai berikut:
- Kajian dari interaksi gelombang angin / aliran sungai dengan vegetasi yang
mengindikasikan kemampuan vegetasi dalam mereduksi gaya - gaya hidraulik
- Kajian efektifitas hutan pantai dalam meredam tsunami yang masih parsial di mana
aspek lingkungan sekitar, morfologi hutan pantai, serta kestabilan struktural pohon
kurang mendapat perhatian atau belum dilibatkan
- Metoda dan pendekatan yang berbeda dalam menurunkan redaman hidraulik yang
diakibatkan oleh keberadaan hutan pantai
- Dukungan yang cukup kuat dari pegiat lingkungan yang menghendaki penghijauan
di kawasan pesisir
Kerusakan Hutan Pantai Akibat Tsunami
Pengamatan dari peristiwa tsunami baru-baru ini (misalnya Tsunami Aceh 2004
dan Tsunami Selatan Jawa 2006) telah menunjukkan gambaran efektifitas hutan pantai
dalam meredam tsunami. Tsunami Mentawai 2010 dan Tsunami Jepang 2011
menunjukkan bahwa hutan pantai hancur total akibat tsunami (Gambar 4). Besarnya skala
tsunami mungkin berkontribusi terhadap kerusakan hutan pantai sepanjang garis pantai.
Namun, aspek lain yang belum diteliti secara lebih rinci seperti topografi tepi pantai,
batimetri, karakteristik vegetasi, dll mungkin juga memainkan peran penting. Vegetasi
hutan pantai dapat menjadi efektif dalam mitigasi tsunami jika stabilitas struktural dari
pohon-pohon pembentuk hutan pantai terjaga (tidak tergerus, tetap berdiri). Selain itu,
serpihan pohon-pohon yang hancur juga dapat terbawa aliran tsunami dan menjadi puingpuing terapung yang mematikan (Latief & Hadi, 2006).
Tipe kerusakan yang paling umum terjadi pada vegetasi hutan pantai setelah
diterjang tsunami adalah patah batang. Patah batang telah banyak dilaporkan di awal
penelitian terhadap efektivitas hutan pantai dalam mitigasi tsunami (Shuto, 1987).
Pengikisan (scouring), usia hutan, luas hutan dan densitas hutan juga secara statistik
teridentifikasi sebagai faktor penting yang berpengaruh dalam meredam dampak tsunami.
Berdasarkan data statistik lapangan, batang yang rusak dengan kondisi seperti terlihat
pada Gambar 4 adalah tipe kerusakan yang kerap ditemui. Setelah tsunami Aceh 2004,
banyak laporan yang menggambarkan kerusakan hutan pantai telah diselidiki. Tanaka et
al., (2007) mengumpulkan delapan species vegetasi berbeda di kawasan pantai Sri Lanka
dan Thailand setelah tsunami Aceh 2004. Ditemukan bahwa banyak aspek berkontribusi
terhadap kerusakan vegetasi pantai. Batang patah biasanya ditemukan di hutan yang
didominasi oleh pohon berdiameter lebih kecil atau usia muda atau di daerah di mana
ketinggian tsunami yang sangat besar. Pentingnya peran distribusi lateral pohon yang
membentuk suatu hutan terhadap arah datangnya tsunami juga sangat berperan dalam
meredam gelombang.
135
Tsunami ~3 - 7 m
Bengkulu
City
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
b) The damage of coastal forest in Pagai Island, Mentawai
Gambar 4. Kerusakan hutan pantai di Pulau Pagai pasca Tsunami Mentawai 2010 (sumber
foto: tim survey GITEWS)
Kasus batang patah juga dilaporkan oleh Bappenas (2005) dan Yanagisawa et al.,
(2009). Survei lapangan dilakukan dalam hutan yang didominasi Rhizophora di Pakarang
Cafe, Thailand dimana ketinggian tsunami diperkirakan sekitar 5-10 m. Mereka
menemukan bahwa 70% dari total hutan hancur. Berdasarkan data tersebut, Rhizophora
kehilangan 77% populasinya sedangkan Avicennia hampir 100%. Sekitar 72% hutan
mangrove dengan diameter batang 0,15 - 0,20 m selamat sementara sisanya mengalami
kerusakan yang didominasi batang patah di atas akar Rhizophora sp. Species ini memiliki
sistem akar yang luas dan membuatnya kuat secara alami untuk tetap berdiri di tanah
tetapi tidak untuk batang (lihat Gambar 5). Pepohonan yang tercabut (uprooted) dari
akarnya biasanya ditemukan di garis depan hutan pada sebagian besar kasus kejadian
tsunami. Kasus pohon yang tercabut dipengaruhi oleh usia pohon, karakterisasi spesies
vegetasi oleh sistem akar dangkal, karakteristik tanah, dan densitas hutan. Berdasarkan
aspek-aspek tersebut, semua vegetasi kecuali Rhizophora sp. dan khususnya bagi yang
memiliki sistem akar menyebar akan rentan terhadap kasus tercabut dari akar (Latief &
Hadi, 2006; Tanaka et al., 2007). Spesies Rhizophora sp. juga rentan tercabut ketika
pepohonan masih pada usia muda.
Tipe kerusakan lain yang berpengaruh pada efektivitas vegetasi hutan pantai
terhadap tsunami adalah pohon tumbang (tilted). Pohon yang miring juga dianggap
sebagai tipe kerusakan pohon dalam kategori ini. Kasus-kasus seperti ini bisa ditemukan
pada hampir semua jenis vegetasi dan terkait dengan kekuatan gelombang tsunami,
karakteristik tanah, spesies vegetasi, kekakuan batang dan umur pohon (Yanagisawa et
al., 2009). Singkatnya, kerusakan hutan pantai yang terkait dengan efektivitas mereka
untuk meredam tsunami dapat dikategorikan menjadi tiga tipe kegagalan yang berbeda
berdasarkan integritas struktural dan karakteristik morfologi. Tabel 1 menunjukkan
ringkasan tipe kerusakan untuk Mangrove (Rhizophora sp.) dan Cemara laut (C.
equisetifolia).
136
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Gambar 5. Batang patah merupakan tipe dampak kerusakan yang paling umum untuk
mangrove (Rhizophora sp.) (Yanagisawa et al., 2009)
Tabel 1. Ringkasan tipe kerusakan Mangrove dan Cemara Laut
No. Tipe kerusakan
Species
Aspek yang berpengaruh
1. Batang/cabang
Mangrove (rhizophora
Sistem akar kompleks, tajuk,
patah
sp.)
diameter batang and kekakuan
berhubungan dengan usia pohon
Cemara laut
Diameter batang dan kekakuan
(c. Equisetifolia)
berhubungan dengan usia pohon
2. Tercabut
Cemara laut
Karakteristik tanah, system akar
(c. Equisetifolia)
dangkal, usia muda, densitas tegak
hutan,dan lokasi
(kebanyakan
kasus ditemukan di bagian depan)
3.
Tumbang
Mangrove (rhizophora
sp.)
Mangrove dan cemara
laut
Usia muda, karakteristik tanah, dan
densitas hutan
Diameter batang dan kekakuan
berhubungan dengan usia pohon
Hambatan Hidraulik Hutan Pantai Terhadap Tsunami
Pengukuran lapangan, percobaan laboratorium serta pendekatan teoritis dan
numerik telah banyak dilakukan untuk menurunkan hambatan hidraulik (hydraulic
resistance) dari hutan pantai terhadap tsunami dan gelombang badai. Umumnya hambatan
hidraulik hutan pantai terhadap tsunami berupa sbb:
- Kehilangan energi seret dan inersia yang dapat digambarkan dengan koefisien seret
dan inersia (CD dan CM) sebagai fungsi dari kedalaman air, rezim aliran (misal
Bilangan Reynolds, Re ), dan densitas hutan.
- Friksi dasar/permukaan yang dapat direpresentasikan oleh nilai kekasaran Manning
(n) sebagai fungsi dari tipe lanskap pantai dari dasar pantai (seperti pasir atau
lumpur), dan semak.
- Viskositas Eddy dan kehilangan energi vortex karena aliran turbulen melalui hutan
Sejauh ini, koefisien seret CD, koefisien inersia CM dan kekasaran Manning 'n'
telah banyak digunakan dalam model teoritis maupun numerik untuk menyelidiki peran
hutan pantai dalam mengurangi dampak tsunami. Selain pendekatan dan metodologi yang
berbeda, koefisien hambatan untuk menggambarkan resistensi hidrolik vegetasi hutan
dihasilkan dari percobaan laboratorium dengan memodifikasi koefisien kekasaran
137
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Manning (n) sebagai fungsi dari koefisien tarik dan koefisien inersia (CD dan CM).
Koefisien seret dan inersia sangat dipengaruhi oleh karakteristik geometris dari pohon,
kekakuan vegetasi, dan rezim aliran ditandai dengan angka Reynolds (Re ). CD dan CM
telah diturunkan langsung dari kecepatan dan elevasi permukaan yang didapat dari
percobaan laboratorium (atau pengukuran lapangan) menggunakan persamaan Morison
(Morison et al., 1950.) sbb:
Ft
1
u
CD Avu 2 CM Vv
2  t

Drag force
Inertia force
(1)
Dimana:
Ft : total gaya hidraulik [N]
: densitas air [kg/m3]
Av : area bagian melintas dari subyek badan untuk mengalir [m2]
Vv : volume subyek badan untuk mengalir [m3]
u : kecepatan aliran [m/s]
u
t
CD
CM
: percepatan aliran air [m/s2]
: koefisien seret [-]
: Koefisien inersia [-]
Umumnya koefisien hambatan hidraulik dalam bentuk koefisien seret CD,
koefisien inersia CM dan kekasaran Manning 'n' diturunkan dari percobaan laboratorium
menggunakan model pohon dengan bahan dan metoda yang berbeda-beda. Hasilnya, saat
ini kita menemukan berbagi rumus dan nilai dari Cd, CM dan n yang berbeda-beda
(Gambar 3). Dalam studi kali ini, metodologi pendekatan yang diterapkan oleh
Yanagisawa et al., (2009) dan Husrin, (2013) untuk mendapatkan nilai kekasaran
permukaan dan koefisien seret dari hutan akan diterapkan. Formula yang sudah diterapkan
oleh Yangisawa dkk (2009) cukup praktis untuk dapat diterapkan pada pemodelan
numerik menggunakan Nonlinear Shallow Water Equation (NLSWE) model. Sementara
itu, pemilihan hambatan hidraulik berdasarkan metoda yang dipakai oleh Husrin (2013)
memberikan panduan praktis dalam estimasi nilai CD berdasarkan estimasi ketinggian
tsunami dan geometri dari pohon pantai. Persamaan nilai koefisien kekasaran Manning
sebagai fungsi dari koefisien seret (CD) berdasarkan Yanagisawa et al., (2009) adalah sbb:
ne
Hr4/3
(CD Af ) nb2
2 gV
(2)
Dimana:
CD : Koefisien seret [-]
g : percepatan gravitasi [m/s2]
Af : luas bidang depan dari pohon yang terendam [m2]
nb : kekasaran Manning roughness untuk permukaan dasar [s/m1/3]
V : volume kontrol sebagai fungsi dari kedalaman air [m3]
Hr : kedalaman air keseluruhan (h+η) [m]
138
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Contoh Kasus Pangandaran 2006 (Realitas Lapangan dan Tantangan ke Depan)
Gempa yang terjadi di selatan Pangandaran pada tanggal 17 Juli 2006 telah
membangkitkan tsunami yang melanda sebagian pesisir Selatan Jawa Barat dan Jawa
Tengah. Gempa tersebut terjadi pada pukul 15:19:73 WIB, dan 20 menit kemudian
gelombang tsunami melanda sebagian pesisir selatan Jawa Barat dan Jawa Tengah,
kerusakan paling parah terjadi di pesisir Pangandaran. Ketinggian tsunami di pantai
bervariasi dari 1 – 3,5 meter dan rambahan 75 – 500 meter (Badan Geologi, 2014). Akibat
tsunami tersebut dilaporkan telah menelan korban jiwa sekitar 668 jiwa, 65 orang hilang,
dan 9.299 jiwa dirawat karena bencana tersebut (Lavigne et al., 2006). Pasca kejadian
tsunami, tim survey baik itu dari komunitas nasional dan internasional berdatangan ke
Pangandaran dan sekitarnya. Tim survey pasca tsunami dari BMKG menyatakan bahwa
tsunami sama sekali tidak diperkirakan akan datang oleh sebagian besar masyarakat pesisir
karena gempa yang relatif terasa kecil. Suara ledakan dari arah lautan terdengar jelas
beberapa saat sebelum tsunami tiba yang diikuti oleh surutnya muka air laut 50 – 100 m.
Survey yang dilakukan oleh Tim BMKG dari Pameumpeuk Garut hingga Yogyakarta
mencatat ketinggian maksimun hingga 6,96 m di Pantai Suwu (Kebumen) di mana
gelombang tsunami menerjang pesisir tiga kali. Gelombang yang kedua merupakan
gelombang yang paling tinggi dan merusak (BMKG, 2006).
Dari sekian banyak paparan karakteristik tsunami di Pangandaran, gambaran yang
diberikan oleh Lavigne et al., (2007) memberikan data dan informasi yang lebih lengkap
dan mencakup wilayah yang lebih luas dibanding sumber-sumber lainnya (Gambar 6).
Selain mengkompilasi beberapa hasil survey sebelumnya, Lavigne et al., (2007) juga
memaparkan karakteristik fisik tsunami dan waktu kedatangannya dengan sangat rinci
berdasarkan temuan di lapangan, wawancara dan rekaman video dari PLTU di Cilacap.
Pangandaran mengalami ketinggian tsunami hingga 8 m sementara ketinggian maksimum
terukur mencapai 15,7 m di Pulau Nusa Kambangan. Disebutkan pula bahwa Pantai Timur
Pangandaran mengalami sedikit kerusakan yang diakibatkan oleh padatnya bangunan di
sepanjang pantai barat yang mereduksi sebagian besar gelombang tsunami yang datang
dari arah barat menuju timur. Berbeda dengan temuan Hawkes et al.,(2006) yang
melaporkan waktu kedatangan tsunami sekitar 20 menit setelah kejadian gempa, Lavigne
et al., (2007) menyimpulkan bahwa gelombang tsunami yang pertama tiba di Pangandaran
sekitar 1 jam setelah kejadian gempa (jam 16.20 WIB, gempa terjadi pada jam 15.19
WIB). Hal ini, diperkuat dengan data-data lapangan seperti jam dinding yang berhenti
karena terendam tsunami, foto-foto dari saksi mata dan rekaman video PLTU Cilacap.
Kejadian tsunami pangandaran 2006 juga melahirkan anggapan tentang peran dari
hutan pantai dalam meredam dampak tsunami. Hutan pantai di sepanjang pesisir
Pangandaran telah lama mengalami kerusakan akibat pembukaan lahan untuk berbagai
kepentingan ekonomi. Beberapa publikasi seperti dilaporkan oleh Latief dan Hadi (2006)
masih mempertanyakan apakah hutan antai benar – benar mampu meredam dampak
tsunami mengingat berbagai kajian dengan hanya membandingkan kondisi dengan dan
tanpa keberadaan hutan pantai dikaitkan dengan tingkat kerusakan belum cukup untuk
menarik kesimpulan tersebut.
Sistem hutan pantai berlapis yang menitikberatkan pada pengaturan jenis tanaman
di mana tanaman kecil berada di depan dan tanaman lebih besar ditempatkan di belakang
diharapkan mampu memberikan redaman tsunami yang lebih baik (Mile, 2007). Pada
sistem ini, aspek estetika juga diterapkan untuk lokasi wisata dan non-wisata, di mana
untuk lokasi wisata, beberapa spesies dengan nilai estetika lebih baik banyak ditanam.
Kondisi saat ini atau enam tahun setelah penanaman, hutan pantai Pangandaran didominasi
pohon dengan usia muda dengan jenis Ketapang, Waru laut, Kelapa, dan Pandan laut
sangat mendominasi (Gambar 7). Namun, pola tanam yang direncanakan pada tahun 2007
139
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
tidak terlihat di lapangan karena tingginya aktifitas manusia di daerah tersebut dan
tingginya kematian pohon – pohon pasca penanaman.
Simulasi numerik menggunakan model tsunami Nonlinear Shallow Water Equation
Model (NLSWE) untuk melihat efektifitas dari hutan pantai serta parameter – parameter
lingkungan lainnya telah dilakukan dengan merekonstruksi kejadian tsunami tahun 2006
dan dengan mempertimbangkan kondisi pantai dengan dan tanpa kehadiran hutan pantai.
Nilai kekasaran dari hutan pantai diambil dari persamaan 2 di mana data lapangan hasil
survey tahun 2013 menjadi acuan dalam penentuan koefisien seret (CD) dan parameter –
parameter lainnya (Husrin et al., 2013). Analisis numerik memperlihatkan bahwa peran
batimetri dan topografi jauh lebih penting dibanding hutan pantai. Kontribusi dari hutan
pantai terhadap atenuasi total tsunami kurang dari 5 %, sementara peran dari topografi
serta orientasi dari garis pantai mencapai lebih dari 90%. Hal ini terjadi karena
karakteristik hutan pantai yang tidak terlalu rapat (jarak tanaman sekitar 4 m x 4 m) dan
lebarnya hanya sekitar 100 m (Husrin et al.,2013).
Gambar 6. Tinggi tsunami di Pesisir Selatan Jawa. Tsunami mencapai ketinggian 15,7 m
di Pulau Nusa Kambangan (Lavigne et al., 2007)
Hasil yang didapat dari lapangan dan simulasi numerik di Pangandaran sesuai
dengan data – data lapangan sebelumnya sebagaimana terangkum dalam Gambar 8. Dari
Gambar 8 terlihat bahwa tsunami dengan ketinggian pada atau melebihi tajuk pohon
(canopy) akan cenderung merusak hutan pantai. Atau dengan kata lain, efektifitas hutan
pantai dalam meredam tsunami dengan ketinggian mencapai tajuk atau lebih tidak dapat
diandalkan. Namun, untuk tsunami dengan ketinggian di bawah tajuk pohon, kemungkinan
hutan pantai dalam meredam tsunami mungkin terjadi dengan mempertimbangkan aspek
jenis pohon, kerapatan serta keutuhan strukturalnya. Lebih rinci lagi, untuk tsunami kecil
tersebut, peran topografi terlihat lebih signifikan dalam mereduksi gelombang tsunami
dibanding hutan pantai. Walaupun, peran hutan pantai tidak terlalu besar, peran lingkungan
hutan pantai (topografi) yang merupakan satu kesatuan tidak bisa dikesampingkan. Hutan
mangrove merupakan salah satu habitat penting yang berperan banyak dalam hal meredam
gelombang tsunami karena hutan mangrove terletak di daerah yang sudah terlindung baik
itu oleh batimetri yang dangkal maupun wilayahnya yang terisolasi dari gelombang
140
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
ekstrim. Oleh karena itu, kebijakan untuk penanaman hutan pantai untuk mitigasi tsunami
sebaiknya memperhatikan aspek jenis vegetasi hutan pantai, pemanfaatan/kesesuaian
lahan, topografi, batimetri dan orientasi garis pantai yang berperan cukup penting dalam
efektifitas hutan pantai dan lingkungannya dalam meredam tsunami. Penggunaan hutan
pantai sebagai sistem pelindung pelapis (bukan sistem mitigasi utama) seperti yang
dicontohkan di Jepang mungkin bisa dijadikan sebagai acuan. Peninggian topografi hutan
pantai akan memberikan efek tambahan dalam mereduksi tsunami. Namun demikian, dari
sekian banyak usaha yang telah dilakukan tantangan terbesar pada upaya mitigasi dengan
hutan pantai adalah perawatan dan budaya sosial dari masyarakat untuk menjaga
lingkunganya. Pendidikan atau informasi kepada masyarakat bahwa hutan pantai tidak
dapat menjamin reduksi tsunami perlu sosialisasikan.
a) Tourism area
The design in 2007
(Mile, 2007)
Real condition in 2013
b) Non-tourism area
The design in 2007
(Mile, 2007)
Real condition in 2013
Gambar 7. Skema kondisi hutan pantai di Pangandaran berdasarkan perencanaan tahun
2007 dan kondisi di lapangan tahun 2013 (Husrin et al., 2013)
0 % (4)
> 10 m
0.0 % (2)
0.0 % (1)
0% (7)
canopy, forest density,
no reduction, tsunami is
too strong
20% (6)
< 10 m
<4m
0 % (3)
50 % (1)
50% (2)
70 % (1)
55% (2)
74% (2)
50% (5)
topography, geometry,
density & forest widht,
tsunami reduction
possible
topography,
significant reduction
<2m
Bathymetry reduction
1. Yanagisawa et al., (2010), 2. Yanagisawa et al., (2009), 3. Tanaka et al., (2006), 4. Fritz et al.,
(2012), 5. Cyranoski (2012), 6. World bank (2012), 7. Imamura & Anawat (2012)
Gambar 8. Peran hutan pantai dan lingkungannya dalam meredam gelombang tsunami
berdasarkan data lapangan
141
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
KESIMPULAN
Dari diskusi di atas dapat disimpulkan bahwa efektifitas hutan pantai dalam
mereduksi dampak gelombang tsunami dapat menjadi mitos jika tidak
mempertimbangkan aspek morfologi hutan pantai serta parameter – parameter lingkungan
seperti topografi, batimetri dan orientasi garis pantai. Hutan pantai tidak dapat sepenuhnya
diandalkan untuk kasus – kasus tsunami dengan ketinggian melebihi tajuk pohon karena
kekuatan gelombang tsunami terlalu besar untuk diredam oleh barisan hutan pantai yang
mudah mengalami patah, tercabut atau runtuh. Namun demikian, hutan pantai tetap dapat
diandalkan untuk untuk kasus – kasus tsunami yang tidak terlalu besar di mana faktor
lingkungan berperan jauh lebih besar dibanding hutan pantai itu sendiri. Oleh karena itu,
pendidikan serta informasi kepada masyarakat tentang efektifitas hutan pantai dalam
meredam tsunami perlu disosialisasikan secara menyeluruh. Perawatan, kepastian hukum
serta kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan menjadi tantangan terbesar ke
depan dalam pemanfaatan hutan pantai sebagai salah satu upaya mitigasi bencana tsunami
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami ucapkan kepada Loka Penelitian Sumberdaya dan
Kerentanan Pesisir (LPSDKP) – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang telah
mendanai kegiatan penelitian di Pnagandaran pada tahun 2013. Ucapan terimakasih juga
kami ucapkan kepada Persatuan Alumni Jerman (PAJ) Aceh dan DAAD yang telah
mendanai kegiatan Seminar Nasional di Banda Aceh dalam rangka memperingati 10
tahun bencana Tsunami Aceh.
DAFTAR PUSTAKA
ADRC & IRP. 2011. Great east japan earthquake – preliminary oberservation, (GLIDE:
EQ-2011-000028-JPN), May 2011.
BAPPENAS, 2005. Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias,
Sumatera Utara: Buku 1 Rencana Bidang Tata Ruang dan Pertanahan, Jakarta,
Indonesia (Indonesian).
BMKG, 2006. Survey tsunami pantai selatan jawa, Laporan tim survey BMKG, Jakarta
BNPB, 2012. Master Plan Pengurangan Resiko Bencana Tsunami: Menuju Indonesia
Tangguh Menghadapi Bencana Tsunami, Badan Nasional Penanggulangan
Bencana BNPB, Jakarta
Cyranoski, D. 2012. Rebuilding Japan: After the deluge, news feature, Nature 483, 141–
143 (08 March 2012)
Dahdouh-Guebas, F., L.P. Jayatissa, D. Di Nitto, J.O. Bosire, D. Lo Seen & N. Koedam,
2005.How effective were mangroves as a defence against the recent tsunami ?
Current Biology 15(12): R443-447
Danielsen, M.K., Sorensen, M.F. Olwig, V. Selvam, F. Parish, N.D. Burgess, T. Hiralshi,
V.M. Karunagaran, M.S. Rasmussen, L.B. Hansen, A. Quarto & N. Suryadiputra,
.2005. „The Asian tsunami: a protective role for coastal vegetation‟, Science 310 p.
643
EJF, 2006. Mangroves: Nature's defence against Tsunamis - A report on the impact of
mangrove loss and shrimp farm development on coastal defences‟. Environmental
Justice Foundation, London, UK, pp. 30.
142
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
FAO/MOAC, 2005. Report of Joint FAO/MOAC Detailed Technical Damages and Needs
Assessment Mission in Fisheries and Agriculture Sectors in Tsunami Affected Six
Provinces in Thailand 11-24 January 2005‟, FAO/MOAC
Forbes, K., Broadhead, J., 2007. The role of coastal forests in the mitigation of tsunami
impacts‟, Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), FAO,
Bangkok, 20 pp.
Harada, K., Kawata, Y., 2004. Study on Tsunami Reduction Effect of Coastal Forests due
to Forest Growth‟, Annuals of Disaster Prevention Research Institute, Tokyo
Universty - Japan.
Hawkes, A.D., engelhard, S., & horton, B.P., 2007. Tsunami: A white cobra hits
Pangandaran – West Java‟, Geology Today Vol.23, No.1, Blacwell pubs, ltd.
Hiraishi, T., & Harada, K., 2003. Greenbelt Tsunami Prevention in South-Pacific Region‟.
Report of the Port and Airport Research Institute, 42, 1–23
Husrin, H, Jaya Kelvin, Aprizon Putra, Joko Prihantono, Yudhi Cara, Aditya Hani, 2013.
Assessment on the characteristics and the damping performance of coastal forests
in Pangandaran after the 2006 Java Tsunami, presented paper on 3rd International
Symposium on Earthquake and Disaster Mitigation, Yogyakarta - Indonesia
Husrin, S., 2013. Attenuation of solitary waves and wave trains by coastal forests, PhD
thesis, TU Braunschweig, Germany
Imai, K.; Matsutomi, H., 2005. Fluid force on vegetation due to the tsunami flow on sand
spit‟. K. Satake (ed.), Tsunamis: Case Studies & Recent Developments, pp. 293304.
Irtem, E.,Gedik, N.,Kabdasli, M.S.,& YaSA, N.E., 2009. Coastal forest effects on tsunami
run-up heights‟, Ocean Engineering 36 (2009) 313–320.
Istiyanto, D.C., Utomo K.S., & Suranto, 2003. Pengaruh Rumpun Bakau Terhadap
Perambatan Tsunami di Pantai‟, Seminar Mengurangi Dampak Tsunami:
Kemungkinan Penerapan Hasil Riset, BPPT – JICA, 11 March 2003, Yogyakarta
Kathiresan & Rajendran, 2005. Coastal mangrove forests mitigated tsunami, Estuarine,
Coastal and Shelf Science 65 (2005), pp. 601–606.
Kongko, W., 2004. Study On Tsunami Energy Dissipation In Mangrove Forest, Master
Thesis Report, Iwate University, Japan.
Latief, H., & Hadi, S., 2006. Protection from Tsunamis, Coastal Protection in the
Aftermath of the Indian Ocean Tsunami‟: What role for forests and trees?;
proceedings of the regional technical workshop, FAO, Khao Lak, Thailand.
Lavigne, F., Gomes, C., Giffo, M., Wassmer, P., Hoebreck, C., Mardiatno, D., Prioyono,
J., & Paris R., 2007. Field Observation of the 17 July 2006 Tsunami in Java,
Natural Hazards and Earth Systems Sciences, 7: 177-183.
Mile, YM, 2007. The Development of CoastalSpecies for Rehabilitation and Protection
Coastal Regions After Ttsunami, INFO TEKNIS Vol. 5 no. 2, September 2007,
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (In
Indonesian)
Morison, J.R. , O‟brien, M.P., Johnson, J.W. & Shaaf, S.A. 1950. The force exerted by
surface waves on piles, AIME Petroleum Transactions 189 (1950), pp. 149–154.
143
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Morton, R.A., Buckley, ML., Gelfenbaum, G., Richmond, BM., Cecioni, A., Artal, O.,
Hoffmann, C., and Perez, F. 2010. „Geological Impacts and Sedimentary Record
of the February 27, 2010, Chile Tsunami-La Trinchera to Concepcion‟,
USGS/ITST
Oumeraci, H. 2006. Tsunami Attenuation performance of Coastal Forest (TAFPOR)‟,
DFG Research Proposal, TRIAS Project, Braunschweig – Germany.
Petryk, S. and G. Bosmaijan., G. 1975. Analysis of flow through vegetation, Journal of
Hydraulics Div., ASCE: pp:871–884.
Shuto, 2010. Structure-prefered tsunami countermeasures after the chile tsunami of 1960,
Presentation slide, International Tsunami Field Symposium (ITFS) - Sendai 2010.
Shuto, N., 1987. The effectiveness and limit of tsunami control forests, Coastal
Engineering in Japan 30: pp.143-153.
Tanaka, N., Sasaki, Y., Mowjood, M.I.M., Jinadasa, K.B.S.N. and Homchuen, S., 2007.
Coastal vegetation structures and their functions in tsunami protection: experience
of the recent
UNEP, 2005. After the tsunami - Rapid Environmental Assessment. Thailand, pp. 301304.
World Bank, 2012. Greenbelts and coastal risk management, cluster 2: Nonstructural
measures, Knowledge Note 2-7 World Bank report 2012.
Yanagisawa, H., Koshimura, S., Goto, K., Miyagi,T., Imamura, F., Ruangrassamee, A.
and Tanavud, C., 2009. The reduction effects of mangrove forest on a tsunami
based on field surveys at Pakarang Cape, Thailand and numerical analysis,
Estuarine, Coastal and Self Sciences 81 (2009) pp. 27–37.
144
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Rekayasa Bahan Komposit Sandwich Serbuk Kayu dan Fiberglass
sebagai Bahan Perahu Nelayan
Azwar 1, Saifuddin1 dan A. S. Ismi1
1
Teknik Mesin Politeknik Negeri Lhokseumawe
ABSTRAK
Pada fase awal penanggulangan dampak bencana, dibutuhkan perahu baru dalam
jumlah banyak yang menyebabkan kesulitan bahan baku kayu berkualitas sehingga
kualitas perahu menurun. 10 tahun pasca bencana, masalah tersebut terus berlangsung
sehingga kekuatan dan umur pakai efektif perahu menjadi tidak ekonomis. Penelitian ini
bertujuan melakukan rekayasa proses pembuatan bahan komposit sandwich antara serbuk
kayu dengan serat gelas dengan mempelajari pengaruh jenis dan dimensi serbuk kayu
serta jenis serat gelas terhadap kekuatan lenturnya, serta pengaruh air laut terhadap
stabilitas mekaniknya. Spesimen uji dibuat dengan mencampur resin polyester dan serbuk
kayu dan diperkuat dengan lapisan serat gelas pada masing-masing permukaannya dan
diuji dengan standart ASTM C 1341-06 (pengujian bending 3 titik). Hasilnya
menunjukkan bahwa ukuran dan jenis serbuk kayu mempengaruhi kekuatan bending yaitu
serbuk kayu agak kasar memberi efek penguatan yang lebih baik dibanding yang halus.
Komposit sandwich serbuk kayu jenis meranti dan serat gelas type CSM menghasilkan
kekuatan bending yang paling tinggi yaitu 81 MPa, disusul serbuk kayu jenis Sentang
79,88 Mpa, serbuk kayu Seumaram 74,25 MPa dan serbuk kayu Merbo 70,50 MPa.
Kemudian Serat gelas tipe anyaman (Roving) memiliki efek penguatan yang lebih baik
hingga 45 % dibandingkan 1 lapis serat gelas type CSM, namun penggunaan 2 lapis serat
gelas type CSM memiliki kekuatan bending yang sebanding dengan 1 lapis serat tipe
anyaman. Sedangkan perendaman sekitar 400 jam dalam air laut belum memberi efek
terhadap stabilitas mekaniknya, sehingga daya guna efektif perahu meningkat dibanding
perahu kayu. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa bahan komposit sandwich serbuk
kayu dan serat gelas potensial dan unggul untuk menggantikan kayu pada pembuatan
perahu nelayan sehingga bernilai ekonomis bagi para nelayan.
Kata kunci: Komposit, serbuk, kayu, fiberglass dan perahu
PENDAHULUAN
Kayu digunakan secara luas pada hampir semua sisi kehidupan manusia untuk
berbagai keperluan seperti perumahan, perabotan, struktur jembatan, kenderaan, perahu,
kapal laut, bahan baku kertas, dll. Sehingga permintaan kayu semakin meningkat
sementara ketersediannya semakin berkurang karena berbagai alasan, konsekuensinya
kayu dengan kualitas yang baik menjadi mahal dan sulit diperoleh. Kondisi tersebut
menjadi semakin parah ketika terjadi bencana alam dimana kebutuhan dan ketersediaan
kayu menjadi tidak seimbang. Bencana Tsunami Aceh tahun 2004 telah menimbulkan
korban jiwa, harta serta ekonomi sosial pasca bencana bagi masyarakat Aceh, khususnya
para Nelayan tradisional yang secara langsung menerima imbas dari bencana tersebut
terutama bidang ekonomi sosial. Pada fase awal penanggulangan dampak bencana,
dibutuhkan perahu baru dalam jumlah banyak yang menyebabkan kesulitan bahan baku
kayu berkualitas sehingga kualitas perahu menurun. 10 tahun pasca bencana, masalah
tersebut terus berlangsung sehingga kekuatan dan umur pakai pakai efektif perahu
menjadi tidak ekonomis. Salah satu solusinya adalah merekayasa suatu bahan inovatif
145
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
melalui pemanfaatan sumberdaya disekitar kita yaitu mengoptimalkan penggunaan serbuk
kayu sisa pengolahan kayu menjadi bahan komposit sandwich dengan serat gelas untuk
bahan baku perahu.
Lavalette et al., (2012) menyebutkan bahwa dalam 50 tahun belakangan,
pembuatan kapal modern secara dominan menggunakan bahan kontruksi dari kayu
komposit jenis plywood karena sifat mekaniknya yang bisa di up grade dan mudah
diproses sedangkan untuk kebutuhan kapal tradisional masih dominan menggunakan kayu
organic biasa. Demikian halnya dengan kondisi di daerah Aceh, dimana perahu atau kapal
yang berukuran sedang sampai kecil, pembuatannya masih menggunakan bahan kayu
sehingga dikenal dengan sebutan kapal atau perahu kayu. Pasca bencana Tsunami, usaha
pembuatan perahu nelayan secara umum mengalami kesulitan bahan baku kayu, sehingga
harga perahu meningkat. Maka salah satu solusi yang kami tawarkan adalah
memaksimalkan bahan sisa pemrosesan kayu menjadi komposit serbuk kayu yaitu
dengan memanfaatkan serbuk kayu yang tersedia secara melimpah untuk dicampur
dengan polimer resin sebagai bahan inti (core). Rekayasa bahan ini difokuskan untuk
mengatasi kelangkaan bahan pembuatan perahu nelayan, tentunya juga bisa dimanfaatkan
untuk keperluan lainnya seperti kebutuhan papan rumah dan kusen.
Callister (2007) menyatakan bahwa komposit merupakan gabungan dua jenis
bahan atau lebih yang masing-masing memilki sifat yang berbeda secara makroskopik
dan digabung secara bersama membentuk suatu bahan yang memiliki sifat yang lebih baik
dari unsure-unsur penyusunnya. Sedangkan komposit sandwich memiliki 2 lapisan tipis
pada kedua permukaannya dengan sifat yang lebih kuat untuk melindungi bagian intinya
yang cenderung lebih tebal dan lemah dengan kerapatan yang lebih rendah. Hariyanto
(2008) menyimpulkan bahwa ketebalan inti (core) dapat meningkatkan kekuatan komposit
sandwich.
Sedangkan Komposit Serbuk Kayu adalah jenis komposit yang berbasis polimer
yang menggunakan partikel serbuk kayu sebagai penguat atau pengisi yang disebut
dengan filler. Pembuatan komposit serbuk kayu merupakan penggabungan antara resin
polyester sebagai matrik dengan serbuk kayu sebagai filler , dimana resin jenis polyester
dapat memberikan efek penguatan dan ketangguhan yang lebih disamping itu jenis serbuk
dan ukuran serbuk kayu juga dapat memberi pengaruh (Cerbu dan Motoc, 2010). Nunez
(2006) menyebutkan bahwa penambahan filler kedalam matrik dapat mengurangi
densitas dan biaya per unit volume; disamping itu secara mekanik dapat meningkatkan
kekakuan, kekuatan dan modulus elastisitas bahan serta dapat menurunkan pengkerutan
resin dan mencegah keretakan pada proses pengerasan (curing).
Bila dibandingkan dengan komposit serat, maka komposit serbuk kayu cenderung
lebih getas karena serbuk kayu tidak mampu menyerap energy sebaik yang dilakukan oleh
serat. Namun serbuk kayu dalam ukuran yang lebih panjang yang membentuk serat
pendek memiliki daya serap energy yang lebih baik sehingga lebih ulet dibandingkan
dengan komposit serbuk kayu yang berbentuk persegi (Cerbu dan Motoc, 2010). Maka
membuat komposit sandwich antara komposit serbuk kayu sebagai core dan lapisan tipis
komposit serat gelas pada kedua sisinya dapat meningkatkan sifat mekanik kedua.
Pemakaian serbuk kayu sebagai filler juga akan meningkatkan efisiensi pemanfaatan kayu
yang selama ini belum dimanfaatkan secara maksimal bahkan banyak yang terbuang
secara percuma. Di daerah NAD potensi kayu sebagai filler sangat besar, terutama limbah
serbuk kayu hasil gergajian yang pemanfaatannya masih belum optimal. Jenis filler dari
serbuk kayu sangat ekonomis dalam pemakaiannya, karena mudah didapat dan murah,
juga sifatnya dapat mencegah terjadinya slip di dalam resin serta dapat diikat dengan baik
oleh resin.
146
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Cerbu (2010) menyatakan bahwa proses Absorbsi air ke dalam bahan komposit
merupakan fungsi waktu dan ketebalannya, dimana dalam kondisi terendam air yang lama
akan berpengaruh terhadap penurunan kekuatan interface sehingga dapat menyebabkan
delaminasi pada lapisan dan menurunkan kekuatan. Material komposit yang digunakan
dalam lingkungan air yang agresive seperti air laut dalam kurun waktu lama, akan sangat
mempengaruhi sifat mekaniknya. Secara umum telah diteliti bahwa bahan komposit yang
digunakan di dalam air kekuatan mekaniknya lebih rendah dibandingkan dengan komposit
dalan kondisi kering. Namun laju penurunan kekuatan mekaniknya masih menjadi
tantangan untuk dibuktikan. Karena tingkat absobsi air memungkin bahan komposit rusak
dengan beberapa cara yaitu : delaminasi, kerusakan serat, timbulnya retakan kecil pada
serat yang dapat bermuara pada kegagalan material.
Adapun secara khusus, tujuan penelitian ini untuk melihat pengaruh ukuran dan
jenis fillers serbuk kayu terhadap sifat mekanik (kekuatan bending) dan pengaruh type
fiber glass (CSM dan Roving) terhadap sifat mekanik. Kemudian melakukan investigasi
mekanisme kegagalan spesimen dan makanisme sambungan pada bagian interface serta
pengaruh perendaman dalam air terhadap perubahan sifat mekaniknya.
METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan
Adapun bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Resin Polyester tak jenuh
(Unsaturated Polyester Resin) BQTN 157-EX, Hardener (peroxide) sebagai pengeras.
Serat glass (fiber glass) type chopped strand mat (CSM) 300 gr/m2, Serat glass type
Roving (tenunan) 550 gr/m2. Sedangkan peralatan yang digunakan adalah Universal
testing mesin (UTM) untuk pengujian sifat mekanik, Mikroskop optic dan Kamera digital
resolusi tinggi untuk foto makro struktur dan patahan; Cetakan, Timbangan digital,
ayakan, Fiber glass roller, Kuas (fiberglass brush), Gelas Ukur dan Gunting untuk
pembuatan specimen; serta Mikrometer, Jangka sorong, Mesin Jig Saw, mesin ketam, dan
Mesin Milling untuk proses pembentukan specimen uji.
Prosedur Penelitian
Penelitian ini dirancang melalui tahapan yaitu (1) mempersiapkan cetakan terbuka
dan serbuk kayu jenis sembarang dengan memvariasikan ukuran mesh : halus (0.6 – 1
mm) dan kasar (1 – 2 mm) melalui pengayakan, (2) mempersiapkan resin polyester tak
jenuh, hardener Mekpo dalam wadah pencampur dan serat gelas, (3) mencampur antara
resin dengan serbuk kayu dengan fraksi volume 40 % dan diaduk sampai merata selama ±
3 menit, kemudian didiamkan selama ± 3 menit agar gelembung udara hilang, kemudian
mencampur dengan hardener Mekpo sebagai pengeras ± 1-2 % berat resin dan diaduk
secara perlahan selama ± 3 menit, (4) mempersiapkan cetakan, kemudian membuat 1 lapis
lapisan komposit serat gelas (tebal ± 1 mm) pada dasar cetakan. Kemudian campuran
resin polyester dan serbuk kayu dan hardener dituangkan ke atas lapisan komposit
polyester serat gelas dengan ketebalan 8 mm; kemudian pada permukaan bagian atas
dibuat 1 lapisan komposit polyester serat gelas dengan ketebalan 1 mm, sehingga
ketabalan spesimen uji menjadi 10 mm, (5) proses pengerasan (curing time) yang
membutuhkan waktu antara 10-15 jam, tergantung volume hardener, kemudian cetakan
dibuka. Urutan proses 1 sampai 5 diulang dengan memvariasikan ukuran dan jenis serbuk
kayu serta jenis serat gelas.
147
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Pembuatan Spesimen Uji
Spesimen uji bending 3 titik dibuat dengan menggunakan standart ASTM C 1341 –
06 (Standart Test Method for Flexural Properties of Continuos Fiber-Reinforced Advance
Ceramic Composites) dengan ukuran spesimen mengacu pada L/d = 16/1; yaitu tebal (d) =
10 mm, panjang tumpuan (L) = 16 mm, panjang spesimen = 18 mm dan lebar spesimen =
20 mm. Spesimen uji absobsi air mengikuti bentuk spesimen uji bending, hanya saja
kedua permukaan sisi spesimen yang terekspose akan dicoating menggunakan resin
polyester sehingga penyerapan air melalui sisi dapat dihindari. Gambar 3.1. menunjukkan
proses Uji bendin 3 titik mangacu pada ASTM C 1341 – 06.
Gambar 1. Uji bending 3 titik
Menghitung tegangan bending permukaan (face bending stress) struktural sandwich
menggunakan persamaaan :
σ =
Ket : F
L
b
d
=
=
=
=
3F L
2 bd2
Beban bending (N)
Jarak tumpuan (mm)
Lebar spesimen (mm)
Tebal spesimen (mm)
Menghitung persentase absorbsi air dengan persamaan :
%M=
100 ( M akhir M awal )
M awal
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Ukuran Serbuk Kayu Terhadap Kekuatan Bending
Ada 2 jenis ukuran serbuk kayu yang kami pakai yaitu kategori halus dan seragam
(0,6 - 1 mm), serta kategori kasar dengan ukuran variatif (1 dan 2 mm). Hasil perhitungan
kekuatan terhadap ke 2 jenis serbuk kayu tersebut dalam bentuk tegangan bending di
tampilkan pada Gambar 2
148
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Gambar 2. Pengaruh ukuran serbuk kayu terhadap kekuatan bending
Gambar tersebut menjelaskan bahwa ukuran serbuk kayu yang dijadikan filler
pada pembuatan komposit sandwich antara serbuk kayu dan serat gelas berpengaruh
terhadap kekuatan bending bahan yang dihasilkan. Komposit polyester serat gelas CSM
yang di sandwich dengan komposit serbuk kayu yang berukuran kasar mempunyai
tegangan bending 74,25 MPa dibanding dengan bahan sejenis yang dibuat dengan serbuk
kayu halus yaitu 63,38 MPa. Kenaikan tegangan bending sekitar 10 % akibat pengaruh
dari ukuran filler cukup baik sehingga memungkinkan penggunaan langsung serbuk kayu
dari tempat pengolahan kayu yang masih dalam ukuran kasar dan variatif.
Dimensi dan bentuk dari serbuk kayu yang dijadikan pengisi/penguat pada
komposit serbuk kayu memberi efek terhadap bahan yang dihasilkan, dimana bentuk
serbuk kayu yang lebih kasar dan dimensi yang panjang meyerupai serat pendek akan
menghasilkan kompisit dengan struktur yang lebih kompak, dimana filler serbuk kayu
memberikan efek penguatan menyerupai efek penguatan yang diberikan oleh serat
pendek. Sebagaimana diketahui kegagalan spesimen diinisiasi oleh adanya retak, dan
penjalaran retak tersebut terjadi oleh pembebanan yang dialami oleh bahan. Nah, serbuk
kayu sebagai filler dapat menjadi penghambat penjalaran retak atau dapat merubah arah
jalarannya. Dalam hal ini, ukuran serbuk kayu yang kasar dan lebih panjang yang
terbenam dengan baik didalam matrik akan memberikan efek penghambat penjalaran
retakan sehingga membuat bahan menjadi lebih kuat, sebagaimana diperlihatkan pada
Gambar 3.
matrik
arah jalaran
retak
Serbuk kayu
Gambar 3. Serbuk kayu dapat menghambat arah penjalaran retak
149
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Pengaruh Jenis Filler Serbuk Kayu Terhadap Kekuatan Bending
Ada 4 jenis kayu yang ditinjau yaitu Kayu Seumaram, Kayu Meuranti, Kayu
Seuntang dan Kayu Merbo. Ke 3 jenis kayu yang pertama digolongkan sebagai kayu
lunak, sedangkan kayu Merbo digolongkan sebagai kayu keras. Pengaruh jenis kayu
tersebut terhadap kekuatan bahan komposit sandwich yang dihasilkan di jelaskan dalam
Gambar 4.
Gambar 4. Pengaruh jenis serbuk pada komposit terhadap tegangan bending
Ke- 4 Jenis fillers serbuk kayu menunjukkan efek penguatan yang cukup baik,
dimana fillers kayu merbo berada pada tingkat terendah dengan nilai tegangan bending
70.50 Mpa, dan fillers kayu Meuranti menujukkan sifat yang lebih superior dengan
tegangan bending mencapai 81 Mpa. Sedangkan fillers kayu Seumaram dan Seuntang
berada diantara ke duanya. Fenomena ini berhubungan erat dengan kondisi ikatan yang
terbentuk antara serbuk kayu dan matrik (resin polyester). Dimana ikatan yang baik
adalah ketika resin polyester dapat masuk meresap kedalam serbuk kayu membentuk
ikatan ‟cross lingking’ antara resin dan serbuk kayu. Bila Ikatan yang terbentuk adalah
ikatan adhesiv, maka kualitas sambungan pada interface kurang baik yang bermuara pada
penurunan sifat mekaniknya. Disamping itu, kemampuan fillers serbuk kayu dalam
meresap resin juga sangat berpengaruh terhadap kekompakan ikatan antara keduanya,
dalam hal ini fillers serbuk kayu lunak memiliki efek penyerapan resin yang lebih baik
dibandingkan dengan serbuk kayu keras. Maka oleh karena itu, filers kayu jenis Meuranti
memiliki tegangan bending yang paling tinggi yang disusul oleh kayu jenis Sentang.
Kedua jenis kayu ini memilki sifat yang hampir sama sebagai kayu jenis lunak dan banyak
digunakan sebagai peralatan perabotan dan perahu nelayan.
Pengaruh Type Fiber Glass (Csm Dan Roving) Terhadap Sifat Mekanik
Ada 2 jenis serat gelas (fiberglass) yang dijual dan digunakan secara luas oleh
masyarakat yaitu tipe serat Chopped Strant Mat (CSM) dan tipe serat ayaman (Roving).
Perbedaan mendasar antara keduanya adalah mode ayamannya, dimana tipe roving
memiliki ayaman yang lebih rapi dengan pola tertentu secara berulang dan meiliki
150
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
densitas yang lebih besar sehingga lebih berat (tergantung jenis ayaman). Sedangkan tipe
CSM memiliki ayaman yang kurang rapi dan cederung acak dengan densitas yang lebih
kecil sehingga lebih ringan. Efek penguatan yang dihasiilkan oleh kedua jenis serat ini
terhadap komposit serbuk kayu sangat berbeda sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 5.
Gambar 5.
Pengaruh type serat penguat pada komposit sandwich antara komposit
serbuk kayu semaram dan komposit serat gelas terhadap kekuatan bending
Gambar tersebut menunjukkan bahwa ada peningkatan kekuatan dari komposit
polyester serbuk kayu akibat penguatan dengan menggunakan serat gelas pada kedua
permukaannya membentuk sandwich. Komposit polyester serbuk kayu jenis Semaram
yang berukuran kasar dengan komposisi 40 % volume serbuk kayu berbanding 60 % resin
polyester memiliki tegangan bending 43,31 Mpa. Akibat penguatan dengan serat gelas
type CSM, tegangan bending meningkat tajam mencapai 74,25 Mpa dengan peningkatan
mencapai angka 70 %. Peningkatan yang lebih signifikan diatas 100 % terjadi pada
komposit polyester serbuk kayu yang diperkuat dengan serat gelas type roving dengan
kekuatan bending 106,5 MPa. Demikian juga dengan komposit polyester serbuk kayu
yang diperkuat dengan 2 lapis serat gelas type CSM yang memiliki kekuatan hampir sama
dengan komposit serbuk kayu yang diperkuat dengan serat gelas type Roving yaitu 105,38
Mpa. Ini membuktikan bahwa penguatan dengan serat gelas type Roving memberikan
efek penguatan yang lebih besar dibanding dengan serat gelas type CSM. Namun bila
serat gelas CSM di berikan dua lapis (double) maka peningkatan kekuatannya sebanding
dengan 1 lapis serat gelas type roving. Hal ini mengindikasikan bahwa densitas serat
memiliki pengaruh yang besar terhadap efek penguatan yang dihasilkan.
Pengaruh Perendaman dan Pemaparan Terhadap Perubahan Kekuatan Bending
Perahu yang merupakan kenderaan air harus terbuat dari bahan yang mampu
menjaga stabilitas fisik dan stabilitas mekanik di dalam lingkungan air tersebut.
Disamping stabilitas, bahan juga tidak menyerap air. Oleh karena itu, perendaman dalam
air merupakan salah satu cara untuk mengetahui stabilitas mekanik mekanik bahan
151
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
sebagaimana dilakukan dalam penelitian ini. Perubahan sifat mekaniknya yaitu kekuatan
bending bahan yang mengalami perendaman ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Pengaruh Perendaman dalam air terhadap tegangan bending Material
komposit sandwich antara komposit serbuk kayu semaram dan komposit serat
gelas type CSM
Gambar tersebut tidak menunjukkan adanya pengaruh terhadap kekuatan
bahan akibat perendaman yang dipaparkan ke sinar matahari. Penurunan kekuatan
disebabkan oleh penurunan kualitas dari bahan-bahan penyusunya bahan tersebut dalam
hal ini matrik (resin polyester), serbuk kayu dan serat gelas.
Pola Kegagalan Spesimen
Secara garis besar ada 3 macam modus kegagalan bahan komposit yaitu; patah
matrik, patah/putus penguat (serat), delaminasi atau terkelupasnya penguat/pengisi dari
matrik dan modus gabungan patah matrik/penguat dan delaminasi. Adapun bentuk
kegagalan spesimen dalam penelitian ini merupakan modus gabungan. Patah matrik masih
mendominasi modus kegagalan spesimen sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 7 dan 8.
Gambar 7. Pola patahan modus gabungan pada spesimen yang diperkuat serat gelas type
CSM
152
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Gambar 8. Pola patahan modus gabungan pada spesimen yang diperkuat serat gelas type
Roving
Kedua gambar tersebut diatas menunjukkan bahwa kekompakan pola sambungan
pada bagian interface, kemudian pola kegagalan pada bagian inti menunjukkan pola patah
matrik yang tegak lurus gaya dan memotong filler, juga terlihat ada perubahan arah
retakan akibat filler tersebut. Patah filler juga terlihat pada komposit serbuk kayu yang
menunjukkan bahwa ikatan yang terbentuk cukup padu dan kuat. Sehingga secara
fraktografy menunjukkan bahwa bahan tersebut memiliki pola patahan yang normal
dengan modus gabungan.
KESIMPULAN
Ukuran fillers serbuk kayu dan jenisnya mempengaruhi kekuatan bending bahan
komposit sandwich. Disamping itu serbuk kayu yang dikategorikan lunak menghasilkan
kekuatan bending yang lebih baik dibandingkan dengan serbuk kayu keras. Serat gelas
type anyaman (Roving) memiliki efek penguatan yang lebih baik hingga 45 %
dibandingkan serat gelas type CSM, namun 2 lapis serat CSM menunjukkan kekuatan
bending yang hampir sama dengan 1 lapis serat Roving. Analisa fraktography
mengindikasikan bahwa permukaan patah menunjukkan pola kegagalan modus
gabungan dan normal, hal ini menunjukkan proses sandwich terjadi dengan baik.
Sedangkan perendaman selama ± 400 jam belum memberikan efek perubahan stabilitas
mekanik bahan. Bahan komposit sandwich antara komposit polyester serbuk kayu dan
serat gelas menunjukkan perilaku mekanik yang cukup baik untuk digunakan sebagai
bahan pembuatan perahu nelayan dan kebutuhan structural lainnya seperti papan kontruksi
perumahan. Keberadaan bahan alternatif ini dapat menjadi salah satu teknologi inovatif
dan konstruktif saat terjadinya bencana alam.
DAFTAR PUSTAKA
ASTM C 1341-06. 2006. Standard Test Method for Flexural properties of continuous
Fiber-reinforces Advance Ceramic Composites
Callister W. D. 2007. Fundamentals of Materials Science and Engineering, seventh
edition, Wiley
Cerbu, C., dan D. Motoc. 2010. Solution for Improving of The Mechanical Behaviour of
the Composite Materials Filled with Wood Flour, Proceedings of the world
Congress on Engineering, London, U.K.
Cerbu, C. 2010, Effect of the Long-Immersion on the Mechanical Behaviour in Case od
Some E-glass/Resin Composite Materials, Faculty of Mechanical Engineering,
Romania
153
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Hariyanto, A. 2008. Rekayasa Bahan Komposit Hybrid Sandwich Berpenguat serat kenaf
dan serat gelas Dengan core kayu pinus, MEDIA MESIN, Vol. 9, No. 2, ISSN
1411-4348, Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Surakarta
Lavalette, A. and R. Pommier. 2012. Tension-Shear (TS) failure Criterion For a Wood
Composite Designed for Shipbuilding Application, WCTE, Auckland
Nunez, A. J. 2006. Toughening of Wood Particle Coposites-Effects of Sisal Fibers,
Journal of Applied Polymers Science, Vol. 101.
154
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Reducing Risks from Disaster by Building The Psychological Resilience
M. Marthoenis1 and M. Schouler-Ocak1
1
Psychiatric University Clinic of Charité at St. Hedwig Hospital Berlin, Germany
ABSTRACT
Aceh is considered as a one of natural disaster prone area in Indonesia. After the
massive earthquake and the devastating Tsunami in 2004, natural disasters occur so
frequently. The repeating earthquakes traumatize the citizens. Disaster Risk Reduction
(DRR) tasks are, therefore, important to minimize the impacts of the unexpected upcoming
disasters in Aceh. A variety of programs have been initiated and implemented,
nevertheless the majority focus on the building of infrastructures and environmental
modifications. Psychological Resilience Building (PRB) is a psychological approach that
focuses on improving the individual ability to properly adapt to stress and adversity.
Through PRB, communities living in the disaster prone areas are expected to be able to
reduce the risks from such of disaster. The PRB in DRR includes acknowledging the
personal (mental) problem, treating of the problem, enhancing the personal psychological
condition and improving the relationship with the environment. The PRB in DRR is also
aiming at gaining more supports from the surrounding such as the peer, family and
neighbor, all of which is expected to improve personal ability to adapt and face the
unexpected disasters. By having good psychological resilience, an individual could reduce
the risk from disaster.
Key words: Aceh, disaster, reduction, resilience and psychological
ABSTRAK
Aceh dianggap sebagai salah satu provinsi yang sangat rentan terhadap bencana
alam di Indonesia. Setelah bencana gempa dan Tsunami tahun 2004, bencana gempa
sangat sering terjadi di daerah ini. Gempa yang berulang membuat penduduknya trauma.
Penerapan Disaster Risk Reduction (DRR) atau pengurangan resiko bencana dirasa
penting yang bertujuan untuk mengurangi dampak dari bencana yang tak diharapkan
kedepannya di Aceh. Berbagai kegiatan yang bersangkutan telah diinisiasi dan
diimplementasikan, namun sebagian besarnya masih berfokus pada pembangunan
infrastruktur dan modifikasi lingkungan. Psychological Resilience Building (PRB) atau
pembangunan ketahanan psikologis merupakan suatu pendekatan psikologis yang befokus
pada peningkatan kemampuan individu untuk beradaptasi dengan tepat terhadap stress
dan kemalangan. Melalui PRB, masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana
diharapkan dapat mengurangi resiko dari bencana. Pembangunan ketahanan psikologis
dalam pengurangan resiko bencana termasuk mengenali masalah jiwa individu,
mengobati masalah tersebut, meningkatkan kondisi psikologis individu dan meningkatkan
hubungan individu dengan lingkungan. Pembangunan ketahanan psikologis dalam
pengurangan resiko bencana juga bertujuan untuk mendapatkan lebih banyak suppor dari
sekitar seperti pasangan, keluarga, dan tetangga, yang semuanya diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan individu dalam beradaptasi dan menghadapi bencana yang tak
diharapkan. Dengan memiliki ketahanan psikologis yang baik, seorang individu
diharapkan dapat mengurangi resjkonya dari bencana.
Kata kunci: Aceh, bencana, pengurangan, ketahanan dan psikologi
155
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
INTRODUCTION
The World Health Organization emphasized the importance of promoting mental
health and preventing mental disorders as part of the international agenda (Hermann et al.,
2005). Mental health is a level of an individual psychological well-being. This includes the
individual positive interaction with various aspects of life and the absence of any mental
illness. Mental health is also considered the psychological state of someone who is
functioning at a satisfactory level of emotional and behavioral adjustment. The personal
capability to enjoy the daily life and to establish a balance between life activities and effort
to achieve psychological resilience is also part of mental health.
Mental disorders, on the other hand, consist of various mental and psychological
problems that change, adjust, interfere, disturb and disable an individual mental health
status. The disorders are ranging from a mild, simple but annoying condition such as
phobia, to a severe, complex and disturbing condition such as schizophrenia. Different
levels of stressor or triggering factors and different level of coping ability of an individual
cause the different level of mental disorders. Preventions and treatments of mental
problems, therefore, should be adjusted according to the need, the coping ability of an
individual and the environmental condition.
A good mental condition is an important aspect in building an individual
psychological resilience. Psychological resilience is defined as an individual capability to
appropriately adapt to stress and adversity. Building an individual psychological resilience
thus means to improve or enhance the individual adaptation ability. In the case of the
Acehnese, their experience with long lasting military conflict, devastating tsunami in 2004
and repeating earthquakes afterwards is considered as the sources of trauma that may
intrude an individual mental health status. Evaluating the sources of trauma is necessary
before discussing the building of psychological resilience.
One of triggering factors that may lead someone to have a mental problem is
disaster, either natural or man-made disaster. The case of long lasting military conflict in
Aceh for instance, can be considered to be a man-made disaster. This military conflict has
severely impacted the mental condition of the Acehnese population. The prevalence of
mental disorder increased significantly during the conflict (Grayman et al., 2009) and the
consequence lasting longer since the person with mental illness is rarely treated. A case of
schizophrenia catatonic due to conflict traumatic events was still found in 2010 in Aceh
psychiatric hospital, even though the military conflict lasted in 2005.
METODOLOGY
This case report is based on the writer analysis on the needs of psychological aspect
in reducing the risks from the unexpected upcoming disasters in Aceh. The report is also
formulated based on the previous experience of the Acehnese community with the
repeating disasters and the current government programs. Based on the analyses, the
authors proposed some important elements of psychology, all of which are expected to
meet the goal of reducing the risks of disaster in Aceh.
DISCUSSION
Tsunami and Adaptation
The massive earthquake and the devastating Tsunami that hit Aceh in 2004 are
relevant example of natural disasters that cause the escalation of mental disorder
prevalence among the affected population (Doocy et al., 2007). Losing a loving one,
accommodation, occupation and wealth from the disaster are the obvious sources of
156
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
trauma that leads someone to have a mental problem. Unceasing grieving, without
treatment or lack of support from the surrounding, may lead to a more severe mental
problem such as depression. However, the Acehnese have shown good coping mechanism
to deal with the uncounted lost during the tsunami disaster. Sharing and talking between
refugees was helpful to relieve their feeling of traumatic experience and the loss of their
family. Many Tsunami survivors also have a positive attitude toward future life and
consider the disaster as the turning point towards a better life. This positive attitude should
be maintained and improved so that they can properly adapt to the unexpected future
calamities. Improving individual adaptation ability is the objective of PRB.
Repeating earthquakes in Aceh can traumatize the citizens. During the earthquake,
the people become panic, chaotic and uncontrollable. Feeling panic can injure someone
because the people spontaneously attempt to escape from the building where they are
staying in. Panic can also kill someone in a traffic accident when they attempt to escape to
a safer place right after the earthquake, fearing of the Tsunami. The risks from the disaster,
therefore, not only can reduce by mitigation and advocacy, but also with the disaster
preparedness. In the case of Aceh, disaster preparedness plan should include building the
psychological resilience among the population.
Disaster Risk Reduction in Aceh
The principle of disaster risk reduction (DRR) approach includes the analysis of the
potential hazard and analysis of vulnerability from the disaster. Different type of disaster
has distinct potential hazard and vulnerability, thus the management should also be
adjusted according to the condition of the population. Nevertheless, the three approaches
in managing the DRR are somehow reliable in various conditions. These approaches
include mitigation, advocacy and preparedness plan. Disaster mitigation has to some extent
been implemented in Aceh. Building escape buildings, signs for escape plans, mangrove
plantation and even escaping exercise of the unexpected tsunami have been implemented,
all of which is expected to reduce the risk from the disaster in Aceh. Concerning the
advocacy, Qanun Aceh on disaster management should play a significant role as an
advocacy tool to meet the goal of DRR.
Preparedness plan can be implemented in a number of different levels including the
provincial, district, village or community level. Capacity building to these different levels
should accommodate all aspects required to minimize the impact of such catastrophe. In
practice, delivering information on evacuation plan, training the rescue teams,
establishment early warning system and preparing the emergency rescue can be part of
preparedness plans. Considering the individual or community as the target group of
interventions, building the psychological resilience can also be part of a preparedness plan
to reduce the risk from disaster.
Psycological Resilience
The psychological resilience building in disaster risk reduction in Aceh should be
aims to improve the personal capacity of the individual. The improvement of personal
capacity can be achieved by acknowledging the person (mental) problem, treating the
problem, enhancing the personal psychological condition and improving the relationship
with the environment. Acknowledging the personal mental problem can be implemented
by conducting the awareness raising campaigns on mental health and mental illness.
During the campaign, information on the signs and the symptom of mental disorders
should be delivered to the people and to the community. Specific information that related
to the trauma, disaster and effect of disaster such as the anxiety disorder should be listed.
157
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Treatment of people with mental problem is another important task that has not
been currently addressed in DRR. Numerous patients with psychotics are left untreated on
the street and they can be the first victim of such disaster. “Normal” people with mild to
moderate mental problem such as those with anxiety disorder–post traumatic stress
disorder, panic disorder and generalized anxiety disorder should also receive a proper
treatment. People with these problems usually have difficulty to stay focus and therefore
difficult to build their individual psychological resilience. Psychological resilience
building in Aceh should therefore concentrate on both PWMI and the normal individual.
Whilst the PRB among PWMI focused on all aspects of treatment, rehabilitation and
promotion. PRB among normal individual can be started by promoting a proper mental
health. There are a lot of approaches to build someone resilience. Nevertheless, the
American Psychological Association suggestion on “10 ways to build resilience” might be
considered (APA, 2014).
There are (1) to maintain a good relationship with family, friend, and neighbor, (2) to
avoid crises or stressful events as unbearable problem, (3) to accept circumstances that
cannot be changed, (4) to develop realistic goals and move towards them, (5) to take
decisive actions in adverse situation, (6) to look for opportunities of self-discovery after a
struggle with loss, (7) to develop self confidence, (8) to keep a long-term perspective and
consider the stressful event in a broader context, (9) to maintain a hopeful outlook,
expecting good things and visualizing what is wished, and finally to take good care of
one‟s mind and body, exercising regularly, paying attention to one‟s own needs and
feelings.
CONCLUSIONS
Psychological Resilience Building (PRB) is an approach to improve the individual
ability to properly adapt to stress and adversity. Through PRB, communities living in the
disaster prone areas are expected to be able to reduce the risks from such of disaster, both
individually and collectively.
REFERENCES
American Psychological Association (APA)., 2014. 10 ways to build resilience.
http://www.apa.org/helpcenter/road-resilience.aspx (6 November 2014)
Doocy, S., Rofi, A., Moodie, C., 2007. Tsunami mortality in Aceh Province, Indonesia.
Bull World Health Organ.
Grayman, J., Good, M., Good, B., 2007. Conflict nightmares and trauma in Aceh. Cult
Med Psychiatry.
Herrman, H., Saxena, S., Moodie, R., 2005. Promoting Mental Health: Concepts,
Emerging evidence, Practice. Addiction. Geneva: World Health Organization.
158
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Studi Klasifikasi Tanah Permukaan untuk Wilayah Banda Aceh
M. Muzli1, A. Rudyanto1, A.P. Sakti1, F.S. Rahmatullah1, K.R. Dewi1, E. Santoso1,
Muhajirin1, S. Pramono1, R. Pandhu Mahesworo1, A. Jihad1, T. Ardiyansyah1,
L.A. Satria1, R.N. Akbar1 dan R. Madijono1
1
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
ABSTRAK
Salah satu upaya antisipasi bencana gempa bumi dapat dilakukan dengan
pembangunan infrastruktur dengan konstruksi yang tahan terhadap gempa bumi.
Disamping magnitudo dan jarak hyposenter gempa bumi, faktor lain yang sangat penting
dalam perhitungan konstruksi bangunan tahan gempa adalah karakteristik atau klasifikasi
tanah permukaan setempat. Paper ini menyajikan hasil studi klasifikasi tanah permukaan
di wilayah Banda Aceh dengan menggunakan metode MASW (Multichannel Analysis of
Surface Waves). Pengukuran dilakukan pada pertengahan tahun 2014 terhadap 49 lokasi
yang tersebar di wilayah Banda Aceh dengan radius sekitar 1 km. Metode MASW
menggunakan data kecepatan gelombang permukaan untuk interpretasi klasifikasi tanah.
Data kecepatan gelombang permukaan hingga kedalaman sekitar 30 meter (Vs30)
diperoleh dengan memberikan sumber getaran buatan dan direkam oleh sebanyak 24
sensor geofon dalam jarak bentangan 52 meter. Interpretasi klasifikasi tanah mengacu
pada tabel SNI 1726-2012. Hasil studi ini menunjukkan bahwa wilayah Banda Aceh pada
umumnya memiliki tipe tanah permukaan dengan klasifikasi D (stiff soil) dan E (soft soil).
Hasil ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu referensi dalam konstruksi
bangunan yang tahan gempa di wilayah Banda Aceh.
Kata kunci: Klasifikasi tanah, bangunan tahan gempa, gempa bumi, MASW, Vs30
ABSTRACT
The anticipation of earthquake disaster can be done with infrastructure
development with the construction of earthquake-resistant. Besides the magnitude and
hyposenter distance, another very important factor in the calculation of earthquakeresistant building construction is characteristic of the local surface or soil classification.
This paper presents the results of studies on the classification of the land surface area of
Banda Aceh using MASW (Multichannel Analysis of Surface Waves) method.
Measurements were made in mid-2014 to 49 locations in the Banda Aceh area with a
radius of each site about 1 km apart. MASW method using surface wave velocity data for
the interpretation of soil classification. Surface wave velocity data to a depth of about 30
meters (Vs30) is obtained by providing a source of artificial vibration and recorded by 24
geophone sensors within a distance of 52 meters. Interpretation of soil classification
refers to the table of SNI 1726-2012. The results of this study indicate that the region of
Banda Aceh in general has the typical surface soil with the classification D (stiff soil) and
E (soft soil). These results are expected to be used as one of the references in the
construction of earthquake-resistant buildings in the region of Banda Aceh.
Key words: Site classification, buildings earthquake resistant, earthquake, MASW, Vs30
159
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
PENDAHULUAN
Gempa bumi merusak adalah salah satu bencana yang sering terjadi di Indonesia.
Hal ini disebabkan oleh letak Indonesia pada jalur pertemuan beberapa lempeng utama.
Gempa bumi kuat menimbulkan paling tidak dua dampak besar yaitu korban jiwa dan
kerusakan fisik pada bangunan atau infrastruktur. Korban jiwa tidak disebabkan secara
langsung oleh goncangan gempa bumi, meskipun gempa bumi yang terjadi cukup kuat.
Pada umumnya gempa bumi kuat meruntuhkan bangunan. Runtuhan bangunan inilah
yang paling sering menimbulkan korban jiwa karena terjadi secara tiba-tiba sehingga
sebagian masyarakat tidak sempat keluar dari rumah atau bangunan.
Upaya yang dapat dilakukan dalam rangka mitigasi bencana gempa bumi atau
mengurangi korban jiwa atau kerugian materil akibat gempa bumi adalah dengan
pembangunan bangunan tahan gempa. Salah satu parameter yang dibutuhkan dalam
perancangan bangunan tahan gempa adalah klasifikasi tanah permukaan pada lokasi
bangunan.
Data klasifikasi tanah permukaan dipakai bersamaan dengan data Peak Ground
Acceleration (PGA). Data PGA umumnya diperoleh dari hasil perhitungan menggunakan
rumusan empiris. Data tersebut menggambarkan percepatan tanah maksimum yang terjadi
pada batuan dasar (Irsyam, 2010).
Proses penjalaran gelombang dari sumber gempa bumi hingga mencapai batuan
dasar mengalami atenuasi atau pelemahan. Amplitudo gelombang gempa bumi pada
batuan dasar menjadi lebih kecil relatif terhadap amplitudo pada sumber gempa bumi.
Pada sisi yang lain, setelah melewati batuan dasar, gelombang pada umumnya mengalami
amplifikasi. Hal ini ditandai dengan pembesaran amplitudo gelombang seiring dengan
berkurangnya kecepatan. Pembesaran amplitudo gelombang sangat berbahaya terhadap
bangunan.
Besar kecil amplifikasi gelombang pada tanah permukaan ditentukan oleh
klasifikasi tanah setempat. Untuk itu pengukuran klasifikasi tanah permukaan sangat
diperlukan sebagai bahan pertimbangan untuk pembangunan gedung dengan konstruksi
tahan terhadap gempa bumi.
Aceh merupakan salah satu wilayah yang memiliki tingkat aktifitas gempa bumi
yang tinggi. Hal ini dikarenakan bahwa secara tektonik lokasi Aceh berhadapan langsung
dengan zona tumbukan dua lempeng utama yaitu lempeng Indo-Australia dan Eurasia.
Disamping lempeng utama, Aceh juga dilewati oleh patahan Sumatra. Selain itu, beberapa
patahan lokal yang lain juga terdapat di Aceh seperti patahan Seulimum, patahan Aceh,
patahan Batee dan patahan Tripa (Wulandari dan Hurukawa, 2013., dan Muzli et al.,
2014). Lokasi Aceh yang sangat rawan terhadap gempa bumi berpotensi sangat tinggi
untuk timbul bencana akibat gempa bumi. Untuk itu salah satu antisipasi atau
pengurangan dampak bencana yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan
pembangunan dengan konstruksi yang tahan terhadap gempa bumi dengan memanfaatkan
data klasifikasi tanah permukaan.
Paper ini menyajikan hasil penelitian terhadap klasifikasi tanah permukaan untuk
wilayah Banda Aceh. Harapan kami hasil penelitian ini bermanfaat untuk masyarakat
banyak dan dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam pembangunan dengan
konstruksi tahan terhadap gempa bumi khususnya untuk wilayah Banda Aceh.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Multichannel
Analysis of Surface Waves (MASW). Metode MASW pertama kali diperkenalkan pada
160
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
tahun 1961 (Jones,1961), yang kemudian didokumentasikan dan menjadi booming pada
pertengahan tahun 1980 (Aki dan Richards, 1980). Metode ini adalah salah satu metode
untuk identifikasi klasifikasi tanah permukaan dengan menggunakan sumber aktif.
Sumber aktif yang dimaksud adalah dengan memberikan getaran melalui pukulan palu.
Getaran akan direkam oleh 24 geofon pada permukaan yang dibentangkan dalam jarak 50
meter. Jarak antara satu geofon dengan geofon yang lain masing masing dua meter (lihat
Gambar 1).
Gambar 1. Susunan geofon pada pengukuran Vs30 dengan menggunakan metode MASW.
Panjang bentangan sejauh 50 meter dengan jarak antara masing-masing sensor
adalah 2 meter. Jarak sumber getaran aktif dengan sensor pertama adalah 2
meter (modifikasi dari http://www.parkseismic.com).
Prinsip kerja metode MASW adalah memanfaatkan data waktu penjalaran
gelombang permukaan Rayleigh yang direkam oleh geofon. Gelombang permukaan yang
bersumber dari pukulan palu dan melewati geofon merambat dengan kecepatan dan
frekuensi yang berbeda dengan perbedaan kedalaman lapisan dan struktur tanah
permukaan. Pada dasarnya gelombang dengan frekuensi tinggi merambat pada bagian
tanah permukaan yang dangkal dengan kecepatan yang rendah. Sedangkan gelombang
dengan frekuensi relatif rendah merambat pada bagian tanah permukaan yang lebih dalam
(lihat Gambar 1). Metode ini dapat mengidentifikasi klasifikasi tanah permukaan hingga
kedalaman 30 meter. Metode MASW sering juga disebut pengukuran Vs30 (velocity of
shear wave sampai kedalaman 30 meter).
Kelebihan metode MASW dibandingkan dengan metode lain adalah:
Lebih mudah, lebih cepat dan lebih murah karena tidak memerlukan lubang bor.
Tidak terganggu oleh adanya jalur pipa maupun struktur lain di dalam tanah.
Memiliki kemampuan untuk menggambarkan profil Vs30 terhadap kedalaman
secara kontinyu.
Memiliki rasio sinyal-bising (signal-noise, S/N) yang lebih baik dikarenakan
gelombang permukaan memiliki amplitudo yang lebih besar dibanding gelombang
badan (reflection test, refraction test) sehingga tidak ada masalah untuk dilakukan
pada daerah dengan tingkat gangguan tinggi (daerah perkotaan dan industri).
Geofon dalam metode MASW tidak hanya merekam getaran yang diberikan dari
sumber aktif melainkan juga merekam semua getaran yang terjadi disekelilingnya.
Getaran-getaran gangguan biasanya terjadi dari aktifitas lingkungan sekitar lokasi
161
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
pengukuran. Aktifitas yang dimaksud adalah seperti getaran dari pohon akibat angin dan
aktifitas manusia seperti getaran akibat lalu-lintas kendaraan dan aktifitas industri.
Metode MASW diterapkan dengan membedakan berbagai frekuensi yang terekam
pada geofon. Picking waktu tiba gelombang dilakukan terhadap frekuensi yang
teridentifikasi sebagai gelombang permukaan atau gelombang geser (shear wave).
Peralatan utama yang digunakan dalam survei MASW adalah:
Palu 3 kg dan tatakan besi
24 buah sensor geofon dengan frekuensi 4.5Hz
Kabel data dan kabel take-out
Seismograf dilengkapi software akuisisi dan analisa data
Perangkat komputer: keyboard, mouse, dan flashdisk
Sumber daya accu 12V 24Ah
Dalam metode MASW, setiap sinyal yang diterima oleh geofon diakuisisi dan
dikonversi oleh digitizer seismograf hingga menghasilkan kurva jarak sumber getaran ke
tiap sensor geofon dan waktu tiba gelombang di tiap sensor geofon dengan berbagai
variasi frekuensi. Kurva yang diperoleh dari akuisisi seismograf diplot untuk setiap
frekuensi hingga dihasilkan kurva dispersi. Dari kurva dispersi ini kemudian dilakukan
analisa inversi untuk memperoleh profil kecepatan rambat gelombang permukaan
terhadap kedalaman. Analisa inversi menggunakan hubungan frekuensi gelombang dan
kecepatan rambat gelombang sebagai fungsi dari waktu tiba dan jarak geofon ke sumber
getaran untuk memperkirakan ketebalan lapisan tanah. Dengan proses iterasi maka dapat
dihasilkan kurva hubungan ketebalan lapisan tanah dengan kecepatan rambat gelombang
geser yang menunjukkan profil Vs30. Analisa data dilakukan dengan bantuan program
komputer Pickwin dan WaveEQ dari Seisimager OYO Japan.
Rata-rata kecepatan rambat gelombang geser (Vs30) dihitung dengan pembobotan
besaran dengan tebal lapisan tanah sebagai besaran pembobotnya yang dihitung dengan
persamaan (1) sebagai berikut:
(1)
dimana :
Vs30
=
hi
Vsi
=
=
Kecepatan rambat gelombang geser rata-rata pada kedalaman 30
m lapisan tanah teratas
Tebal lapisan ke-i
Kecepatan rambat gelombang geser di lapisan-i
Pengukuran MASW dapat dilakukan dalam 1D, 2D atau 3D. Pengukuran 1D
menghasilkan kecepatan rata-rata gelombang permukaan hingga kedalaman 30 meter
dalam 1 dimensi. Pengukuran 1D dapat dilakukan lebih efisien dan sederhana.
Dalam studi ini dilakukan pengukuran MASW 1D terhadap 49 lokasi di wilayah
Banda Aceh. Jarak antara satu lokasi dengan lokasi lainnya kurang lebih 1 km. Gambar 2
menunjukkan lokasi titik-titik pengukuran yang dilakukan di wilayah Banda Aceh. Tabel
1 menunjukkan koordinat lokasi pengukuran.
162
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Gambar 2. Lokasi titik-titik pengukuran Vs30 untuk wilayah Banda Aceh.
Tabel 1. Titik-titik koordinat pengukuran Vs30 wilayah Banda Aceh
No
Lintang
Bujur
No
Lintang
Bujur
A01
A02
A03
A04
A05
A06
A07
A08
A09
A10
A11
A12
A13
A14
A15
A16
A17
A18
A19
A20
A21
A22
A23
A24
5.52375
5.52554
5.522
5.53331
5.531944
5.536441
5.533961
5.531
5.535
5.540989
5.540584
5.546925
5.543689
5.540
5.538
5.542
5.55042
5.547635
5.5491
5.54946
5.550
5.550
5.551
5.550
95.30154
95.30899
95.3194
95.293411
95.301872
95.31087
95.317184
95.329
95.339
95.292439
95.300752
95.307758
95.319299
95.329
95.340
95.347
95.29307
95.299619
95.31413
95.318793
95.333
95.338
95.347
95.355
A25
A26
A27
A28
A29
A30
A31
A32
A33
A34
A35
A36
A37
A38
A39
A40
A41
A42
A43
A44
A46
A47
A49
163
5.560
5.55805
5.559456
5.562
5.563
5.556
5.559
5.562
5.570
5.568
5.569
5.568
5.568
5.568
5.573
5.5774
5.580428
5.581
5.577
5.585
5.586134
5.594794
5.603388
95.293
95.29648
95.305596
95.315
95.324
95.331
95.337
95.345
95.314
95.320
95.329
95.339
95.349
95.356
95.322
95.3289
95.336349
95.349
95.356
95.367
95.346682
95.332169
95.346037
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Interpretasi klasifikasi tanah permukaan dilakukan berdasarkan pada tabel
klasifikasi situs SNI 1726-2012 mengenai Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa
untuk Bangunan Gedung dan Non Gedung sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi Tanah permukaan berdasarkan pada SNI 1726-2012
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebagian besar pengukuran Vs30 dengan metode MASW yang dilakukan di
wilayah Banda Aceh terlaksana sesuai pada titik-titik lokasi yang direncanakan. Pada
beberapa lokasi harus dipindahkan karena kendala izin atau lokasi ditumbuhi vegetasi.
Kendala seperti ini menjadi pengalaman untuk kita bahwa dalam menentukan lokasi
pengukuran harus mendapatkan informasi awal yang lebih teliti tentang kondisi lapangan
khususnya terkait dengan vegetasi dan masalah perizinan.
Hasil pengukuran Vs30 (lihat Tabel 3) menunjukkan bahwa wilayah Banda Aceh
secara umum memiliki kondisi tanah permukaan dengan klasifikasi tanah lunak dan tanah
sedang. Berdasarkan nilai Vs30 yang diperoleh dari pengukuran di lapangan, nilai
minimum adalah 126.5 m/s yang terukur pada koordinat geografis 5.57 LU dan 95.36 BT.
Lokasi tersebut berada pada bagian barat laut (mendekati pantai) wilayah kota Banda
Aceh. Nilai maksimum Vs30 terukur pada bagian tenggara Banda Aceh yaitu pada
koordinat 5.54 LU dan 95.34 BT dengan nilai 312.66 m/s. Secara keseluruhan wilayah
Banda Aceh nilai rata-rata Vs30 adalah 182.27 m/s.
Gambar 3 menunjukkan hasil kontur Vs30 wilayah Banda Aceh. Dominasi nilai
Vs30 berada di bagian barat laut dengan nilai kurang dari 175 m/s, dimana berdasarkan
tabel SNI 1726-2012, nilai ini diinterpretasikan sebagai wilayah dengan klasifikasi tanah
permukaan yang lunak. Sedangkan dominasi yang kedua adalah dengan nilai Vs30
berkisar antara 175 m/s sampai dengan 350 m/s. Nilai ini merepresentasikan wilayah
dengan kondisi tanah permukaan dengan klasifikasi tanah sedang.
Jika melihat letak geografis dan juga data topografi wilayah Banda Aceh, hasil
pengukuran Vs30 dalam studi ini bersesuaian satu sama lain. Bagian barat laut Banda
Aceh merupakan wilayah dengan topografi rendah dan wilayah pantai. Hal ini sesuai
dengan hasil Vs30 dimana secara umum kondisi tanahnya relatif lebih lunak. Sedangkan
pada arah Selatan, wilayah Banda Aceh memiliki topografi relatif rebih tinggi. Pada
wilayah dengan topografi tinggi pada umumnya kondisi tanah permukaan relatif lebih
keras dibandingkan dengan daerah yang memiliki topografi lebih rendah.
164
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Gambar 3. Kontur Vs30 untuk wilayah Banda Aceh.
Tabel 3. Hasil pengukuran Vs30 wilayah Banda Aceh (interpretasi klasifikasi tanah
berdasarkan pada tabel SNI 1726-2012)
Vs30
Kla
Vs30
No
Lt
Bj
No
Lt
Bj
Klas
(m/s)
s
(m/s)
A01
5.524 95.302 219.94
D
A25 5.560
95.293 154.04
E
A02
5.526 95.309 171.27
D
A26 5.558
95.296 161.10
E
A03
5.522 95.319 151.49
E
A27 5.559
95.306 151.70
E
A04
5.533 95.293 204.36
D
A28 5.562
95.315 149.69
E
A05
5.532 95.302 238.51
D
A29 5.563
95.324 196.27
D
A06
5.536 95.311 215.55
D
A30 5.556
95.331 138.80
E
A07
5.534 95.317 194.00
D
A31 5.559
95.337 130.32
E
A08
5.531 95.329 222.40
D
A32 5.562
95.345 204.86
D
A09
5.535 95.339 237.64
D
A33 5.570
95.314 175.07
D
A10
5.541 95.292 152.04
E
A34 5.568
95.320 126.50
E
A11
5.541 95.301 166.60
E
A35 5.569
95.329 163.23
E
A12
5.547 95.308 240.95
D
A36 5.568
95.339 147.96
E
A13
5.544 95.319 195.40
D
A37 5.568
95.349 140.97
E
A14
5.540 95.329 201.68
D
A38 5.568
95.356 145.66
E
A15
5.538 95.340 312.66
D
A39 5.573
95.322 173.87
E
A16
5.542 95.347 175.54
D
A40 5.577
95.329 233.92
D
A17
5.550 95.293 191.16
D
A41 5.580 95.336 261.78
D
A18
5.548 95.300 177.51
D
A42 5.581 95.349 142.15
E
A19
5.549 95.314 148.16
E
A43 5.577 95.356 141.85
E
A20
5.549 95.319 143.16
E
A44 5.585 95.367 137.02
E
A21
5.550 95.333 157.22
E
A46 5.586 95.347 194.28
D
A22
5.550 95.338 205.99
D
A47 5.595 95.332 258.60
D
A23
5.551 95.347 163.37
E
A49 5.603 95.346 199.11
D
A24
5.550 95.355 151.23
E
165
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Sebagai referensi yang lain, kami juga membandingkan hasil pengukuran Vs30 di
wilayah Banda Aceh dengan peta Geologi wilayah Banda Aceh (Bennet,1981). Sesuai
peta Geologi sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4. Dapat dipelajari bahwa kondisi
Geologi wilayah kota Banda Aceh didominasi oleh Aluvium yang terdiri dari kerikil, pasir
dan lumpur.
Gambar 4. Peta geologi wilayah Aceh (Bennet et al., 1981)
Hal ini bersesuaian dengan hasil pengukuran Vs30 yang dilakukan. Meskipun peta
Geologi hanya memberikan satu kondisi jenis tanah di wilayah Banda Aceh, sedangkan
hasil yang kami lakukan kondisi tanah permukaan wilayah banda Aceh di bagi dalam dua
klasifikasi tanah permukaan yaitu tanah lunak dan sedang.
KESIMPULAN
Dari hasil studi ini kami dapat menunjukkan bahwa kondisi tanah permukaan
wilayah Kota Banda Aceh memiliki klasifikasi tanah yang lunak dan sedang. Klasifikasi
tanah yang lunak pada umumnya berada pada bagian utara wilayah kota Banda Aceh
dengan nilai Vs30 kurang dari 175 m/s. Sedangkan klasifikasi tanah sedang dengan nilai
Vs30 berkisar antara 175 sampai dengan 350 berada pada bagian selatan wilayah kota
Banda Aceh.
Kondisi ini menjadi perhatian untuk kita bahwa klasifikasi tanah permukaan di
wilayah Kota Banda Aceh baik itu pada bagian utara maupun bagian selatan memiliki
resiko tinggi untuk terjadi amplifikasi gelombang atau getaran jika terjadi gempa bumi.
Hal ini dapat menyebabkan tingkat kerusakan terhadap bangunan menjadi lebih buruk.
Antisipasi yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pembangunan gedung atau
infrastruktur dengan memperhatikan kaidah konstruksi bangunan tahan gempa dengan
mempertimbangkan kondisi tanah permukaan.
Data hasil klasifikasi tanah permukaan yang kami tunjukkan dalam studi ini tentu
saja tidak menjadi satu-satunya bahan pertimbangan yang digunakan untuk pembangunan
infrastruktur dengan konstruksi tahan gempa. Parameter lain yang harus dipertimbangkan
166
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
diantaranya adalah kedalaman bedrock dan nilai perrcepatan tanah maksimum wilayah
kota Banda Aceh.
Saran kami untuk studi selanjutnya adalah penggunaan aplikasi mikrotremor array
untuk identifikasi kedalaman bedrock. Kombinasi dari nilai Vs30 dalam studi ini dengan
hasil identifikasi kedalaman bedrock menggunakan mikrotremor array akan menjadi
parameter masukan yang sangat penting untuk rancangan bangunan tahan gempa atau
taksiran resiko bencana gempa bumi di wilayah kota Banda Aceh.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini menggunakan dana dari DIPA Sekretariat Utama BMKG dengan
nomor: 075.01.1.436766/2014 Tanggal 5 Desember 2012 dan POK Program Pengelolaan
Seismologi Teknik Geofisika Potensial dan Tanda Waktu dengan nomor POK:
Kep.25/KB/I/2014. Terima kasih kepada Stasiun Geofisika BMKG Mata Ie Banda Aceh
atas bantuan yang diberikan selama proses pengukuran di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Aki, K. dan Richards, P.G., 1980. Quantitative Seismology, 1st edn, Freeman and Co.
Press, New York
Bennet, J.D., Bridge, D. McC., Cameron, N.R., Djunuddin, A., Ghazali, S.A., Jeffery,
D.H., Kartawa, W., Keats, W., Rock, N.M.S., Thomson, S.J., and Whandoyo, R.,
1981. Peta Geologi Lembar Banda Aceh, Sumatra Skala 1:250.000, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung
Irsyam, M., Sengara, I.W., Aldiamar, F., Widiyantoro, S., Triyoso, W., Natawidjaja, D.H.,
Kertapai, E., Meilano, I., Suhardjono, Asrurifak, M. and Ridwan, M., 2010. Peta
Hazard Gempa Indonesia 2010, Kementerian Pekerjaan Umum.
Jones, J., 1961. Rayleigh wave in a porous elastic saturated solid, J. acoust. Soc. Am., 33,
959-962
Muzli, M., Muksin U., Bauer K., Masturyono, Murjaya J., Mahesworo R.P., Pramono S.,
2014. AcehSeis, a local seismic experiment in Bener Meriah and Central Aceh.
Proceeding of The ASEAN Conference on Science and Technology.
Wulandari, B.R. dan Hurukawa N., 2013. Relocation of large earthquakes along the
Sumatran fault and their fault planes. Bulletin of the International Institute of
Seismology and Earthquake Engineering ISSN 0074-655X CODEN IISBB2,
vol. 47, pp. 25-30 [6 page(s) (article)] (1/4 p.)
167
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Karakteristik Erupsi Freatik Merapi Berdasarkan Analisis Seismogram
Near-field dan Far-field: Sebuah Hasil Awal
A. Anggraini1, W. Suryanto1, A. Rahman1, B. Luehr2 dan K. Sri Brotopuspito1
1
Program Studi Geofisika Jurusan Fisika FMIPA Universitas Gadjah Mada
2
Sec.2.1 Physics of Earthquakes and Volcanoes GFZ Potsdam
ABSTRAK
Sejak erupsi besar 2010, gunung Merapi telah meletus beberapa kali. Kejadian
letusan ini muncul tanpa prekursor yang jelas dan sebagian besar merupakan letusan
freatik. Letusan freatik biasanya ditandai dengan minimnya kontak langsung dengan
magma sehingga menyebabkan retaknya batuan yang ada. Meskipun Merapi sangat aktif
dan pemantauan aktifitas maupun riset mendalam mengenai erupsi Merapi sangat
beragam, namun penelitian mengenai karakter erupsi freatiknya belum banyak dilakukan.
Untuk memahami lebih jauh karakter erupsi freatik ini, dilakukan analisis seismogram
near-field dan far-field dari sensor broadband yang dipasang di lereng maupun di daerah
sekitar Merapi. Seismogram dipilih dari beberapa kejadian erupsi freatik terkonfirmasi
yang terjadi pada tahun 2012-2014. Dari analisis seismogram ini dijumpai beberapa
karakteristik erupsi freatik Merapi, antara lain: tipe gempa VT yang mengawali kejadian
erupsi freatik dan kandungan frekuensi even freatik tersebut. Karakteristik ini kelak dapat
digunakan untuk membedakan kejadian erupsi freatik dari jenis erupsi maupun even
vulkanik lainnya di gunung Merapi.
Kata kunci: Erupsi freatik Merapi, seismometer broadband, seismogram near field
dan far field, analisis kandungan frekuensi
ABSTRACT
Since the 2010 explosive eruption, Merapi volcano has erupted several times.
These events occurred without any clear precusors and mostly phreatic. The defining
feature of phreatic eruption is the lack of direct contact with magma resulting in phreatic
eruptions causing fragmentation of pre-existing rock. Although Merapi is highly active
and monitoring system as well as research on Merapi eruption are highlighted, its
phreatic eruption characteristics remain unclear. In order to have a new insight on
phreatic event of Merapi, we analyze seismograms recorded by near-field and far-field
broadband seismometers located in Merapi's flank and its surrounding area for confirmed
phreatic events occurred in 2012-2014. We observe several characteristics of Merapi
phreatic eruption, among others: VT event commencing the phreatic event and the
frequency content of phreatic event. These characteristics can be used later on to
distinguish unconfirmed phreatic events from any other volcanic events taking place in
Merapi.
Key words: Merapi phreatic eruption, broadband seismometer, near-field seismogram,
far-field seismogram, frequency analysis
168
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
PENDAHULUAN
Indonesia terletak pada zona pertemuan lempeng-lempeng tektonik. Interaksi antar
lempeng ini menjadikan kondisi geologi Indonesia yang sangat kompleks. Implikasi
kondisi tektonik dan geologi Indonesia bukan saja menjadikan negara kepulauan ini
sebagai daerah yang kaya sumber daya alam dan memiliki bentang alam yang luar biasa
indah, namun juga menjadi tempat dengan potensi bencana alam yang besar. Beberapa
diantaranya adalah gempabumi, tsunami, tanah longsor, dan erupsi gunungapi seperti yang
dibahas dalam tulisan ini.
Gunung Merapi yang terletak di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu gunungapi teraktif di dunia. Sejarah
letusan Merapi mulai tercatat pada masa kolonial Belanda di awal abad 17. Berdasarkan
data yang tercatat sejak tahun 1600-an, gunung Merapi telah meletus lebih dari 80 kali
dengan masa istirahat antara 1-18 tahun. Pada abad ke-18 dan ke-19, letusan gunung
Merapi umumnya relatif besar dibanding letusan pada abad ke-20, adapun masa
istirahatnya cenderung lebih panjang (http://www.vsi.esdm.go.id ).
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, sedikitnya tercatat dua peristiwa erupsi besar
Merapi yaitu di tahun 2006 dan di tahun 2010. Letusan 2010 yang diawali dengan
peningkatan aktifitas vulkanik baik aktifitas kegempaan maupun penggelembungan tubuh
gunung sejak beberapa bulan sebelumnya, mencapai puncaknya dengan terjadinya erupsi
eksplosif (VEI VI) pada 26 Oktober 2010 dan 5 November 2010. Erupsi tersebut
memuntahkan sedikitnya 100 juta m3 material dari perut bumi. Krisis erupsi 2010 juga
memaksa lebih dari 300.000 penduduk yang tinggal di lereng Merapi pergi meninggalkan
rumahnya dan mengungsi ke daerah yang lebih aman. Walaupun aktifitas Merapi saat itu
telah dipantau melalui suatu sistem pemantauan gunungapi modern terpadu dan didukung
dengan sistem tanggap darurat bencana milik otoritas setempat, namun tak urung kedua
letusan di tahun 2010 tersebut menelan ratusan korban jiwa termasuk diantaranya juru
kunci gunung Merapi Mbah Maridjan.
Pada 18 November 2013 Merapi kembali membumbungkan asap tebal berwarna
hitam setinggi 2000 m. Letusan ini juga menyebabkan turunnya hujan abu di wilayah
kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Balai Penyelidikan dan Pengembangan
Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta menyatakan letusan itu bersifat freatik, yaitu
erupsi yang berasal dari dalam lapisan litosfer akibat meningkatnya tekanan uap air.
Berbeda dengan letusan Merapi di 2006 dan 2010 yang melibatkan pergerakan magma dari
bawah dan menyebabkan deformasi di tubuh Merapi yang terdeteksi pada alat pemantauan
yang ada, letusan freatik sepanjang tahun 2013 tidak menampakkan pre-kursor yang jelas.
Di sisi lain, ketidakjelasan prekursor dari erupsi freatik dapat meningkatkan resiko bencana
pada masyarakat yang berada di lereng Merapi. Atas dasar itu maka penelitian untuk
memahami pre-kursor dan karakteristik letusan freatik Merapi ini sangat diperlukan.
METODE PENELITIAN
Sejak tahun 2012, laboratorium geofisika FMIPA Universitas Gadjah Mada
bersama dengan GFZ Potsdam Jerman, mendirikan satu stasiun pengamatan geofisika
permanen di Kaliurang sebagai bagian dari riset terpadu di bidang seismologi dan
vulkanologi (Gambar 1). Sebagai awal di stasiun tersebut ditempatkan satu seismometer
Guralp dengan tipe sensor broadband 120 sec (Gambar 2). Seismometer ini merekam
secara kontinyu aktifitas kegempaan di maupun di sekitar Merapi. Sejak bulan Maret 2014,
seismometer broadband ini teregistrasi secara online pada jaringan seismometer global
169
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
GEOFON network (GE) dengan kode stasiun KALI. Melalui jaringan GEOFON ini pula
data waveform dari KALI dapat diakses secara bebas dari seluruh dunia.
Gambar 1. Lokasi stasiun Kaliurang tempat diletakkannya seismometer broadband dan
posisi relatifnya terhadap Merapi
Data yang terekam pada seismometer berbentuk seismogram digital yang
memungkinkan kita untuk melakukan analisis secara cepat dan akurat. Data atau
seismogram dari stasiun KALI ini dipakai untuk keperluan analisis kejadian freatik di
Merapi. Adapun prosedur yang dilakukan dalam pengolahan data yaitu ketika BPPTKG
melaporkan adanya even freatik, maka dilakukan pengecekan secara visual pada
seismogram stasiun KALI. Selajutnya data mentah tadi dipotong sedemikian rupa pada
kurun waktu tertentu sehingga memuat kejadian freatik (atau diduga freatik) seperti yang
dilaporkan oleh BPPTKG. Data digital ini selanjutnya diolah menggunakan script pendek
berbasis MATLAB.
Gambar 2. Seismometer Broadband Guralp 120 sec beserta unit kontrol, digitizer dan data
logger seperti yang ditempatkan di stasiun Kaliurang
HASIL DAN ANALISIS
Even freatik yang telah dianalisis adalah kejadian pada tanggal 22 Juni 2013, 21
Juli 2013, 17 November 2013, 9 Maret 2014 dan 27 Maret 2014 dimana semua even
freatik tersebut menyebabkan hujan abu tipis di daerah Merapi dan sekitarnya. Namu pada
makalah ini hanya ditampilkan satu contoh event saja yaitu freatik 21 Juli 2013.
170
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Contoh rekaman data mentah event freatik Merapi 21 Juli 2013 diberikan pada
gambar 3 dan gambar 4. Secara visual event freatik yang terlihat pada data mentah belum
tampak jelas. Setelah diterapkan filter bandpass 0.5-5 Hz maka event freatik menjadi
lebih jelas secara visual (Gambar 5). Bentuk sinyal event ini tidak mempunyai onset fase
gelombang P maupun S yang jelas seperti yang dimiliki oleh sinyal volcano-tectonic
(VT). Hal menarik lain yang dapat diamati pada seismogram tersebut adalah kejadian
freatik di tersebut didahului oleh event lain yang kenampakannya mencirikan bentuk
sinyal event gempa tektonik. Bentuk sinyal ini kemungkinan berasal dari pelepasan uap
air yang didahului dengan merekahnya batuan di sekitarnya. Proses merekah inilah yang
terekam sebagai gempa VT.
Gambar 3. Seismogram yang merekam letusan diduga freatik 22 Juli 2013 dalam kawasan
waktu (bawah), seismogram dalam kawasan frekuensi (atas). Kotak merah kiri
even tektonik yang mendahului letusan freatik, kotak merah kanan adalah
even freatik menurut BPPTKG.
Gambar 4. Seismogram yang merekam letusan freatik 22 Juli 2013
171
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Gambar 5. Zoom in even freatik 22 Juni 2013 setelah melalui filter bandpass 0.5-5 Hz.
Prosedur pengolahan data seperti yang digambarkan diatas juga diterapkan pada
beberapa event freatik lain sepanjang tahun 2013 dan 2014. Pada umunya karakteristik
yang ditunjukkan adalah serupa, yaitu event freatik didahului oleh event lain yang
kenampakan sinyalnya seperti event tektonik.
KESIMPULAN
Hampir semua even freatik ternyata didahului oleh event gempa tektonik. Namun
demikian sumber dari event tektonik ini belum dapat ditentukan sehingga perlu dilakukan
studi lebih lanjut. Analisis yang lebih detil dan komprehensif sangat diperlukan untuk
mengidentifikasi dan mengkarakterisasi even freatik Merapi dalam kaitannya dengan
mitigasi bencana gunungapi.
Seismometer broadband KALI kini bisa diakses dari seluruh dunia secara online
melalui jaringan global Geofon. Hal ini sangat memudahkan dalam mengakses data
terutama pada saat krisis di mana tidak memungkinkan untuk mendekati Merapi.
Kemudahan akses data secara global ini juga membuka kesempatan bagi semua pihak
yang tertarik untuk melakukan analisis terhadap data dari gunung Merapi. Pada akhirnya
diharapkan juga perkembangan ilmu kegunungapian bias terimas dari sini dan member
kemaslahatan tidak hanya bagi penduduk sekitar Merapi namun juga bagi seluruh umat
manusia.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih dan penghargaan yang mendalam dihaturkan pada GFZ Potsdam dan
Laboratorium Geofisika Jurusan Fisika FMIPA Universitas Gadjah Mada yang telah
memungkinkan terselenggaranya penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.vsi.esdm.go.id/index.php/gunungapi/data-dasar-gunungapi/542-gmerapi?start=1 diakses pada 15 Oktober 2014
172
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Pengelolaan Limbah Plastik Sebagai Nilai Tambah Ekonomi dan
Sebagai Upaya Pengurangan Dampak Resiko Bencana
S. Yana1, Badaruddin1 dan H. Syahputra1
1
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Manajemen Universitas Syiah Kuala Banda Aceh – Indonesia
ABSTRAK
Pertambahan jumlah penduduk khususnya di Aceh mengakibatkan produksi
limbah plastik menjadi meningkat. Hal ini akan berdampak buruk apabila limbah plastik
tersebut tidak dikelola sebagaimana mestinya. Jika tidak di kendalikan atau dikelola
dengan benar, maka berbagai permasalahan akan munculnya misalnya menyumbat saluran
air, pencemaran lingkungan dan dapat mengakibatkan pada resiko bencana. Apabila
dibakar di alam terbuka juga menyebabkan gangguan kesehatan dan polusi udara. Agar
dapat mengurangi dampak risiko bencana, maka diperlukan suatu pengelolaan yaitu
kegiatan yang dapat memiliki nilai tambah ekonomi. Proses ini tidak terlalu rumit dan
dapat dilakukan oleh masyarakat dengan peralatan yang sederhana. Proses pengolahan
plastik cacah melalui beberapa tahapan yaitu pengumpulan, pemilahan, penghancuran,
pengeringan, pengepakan dan transportasi. Permintaan pasar untuk plastik yang cukup
tinggi merupakan peluang untuk dikembangkannya industri pencacah limbah plastik.
Kata kunci: Limbah plastik, plastik cacah, dan nilai tambah
ABSTRACT
Population growth, especially in Aceh has increased the production of plastic
waste. The plastic waste would give negative impact if it is not managed properly. The
problems caused by plastic waste for example reduce the function of drainages,
environmental pollution and can lead to increase disaster risk such as flood. When it is
burned in the open air, it also causes health problems and air pollution. In order to
reduce the disaster risk, it is required to process the wastes as well as to add its economic
value. The simple processing technology to produce plastic chip can be implemented. The
procedures are collecting, sorting, crushing, drying, packing, and transporting. The high
market demand for plastic is a challenge to build a plastic chip industry.
Key words: Plastic waste, plastic chips, and added value
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari manusia seringkali memanfaatkan sumberdaya yang
tersedia dilingkungan sekitarnya seperti proses pengambilan, pengolahan dan pemanfaat
sumber daya alam itu sendiri. Disamping itu, terdapat sisa yang tidak digunakan lagi dari
pemakaian barang-barang yang diolah dari sumber daya alam tersebut. Tentunya, sisa-sisa
dari pemanfaatan tersebut kemudian akan tertinggal, yang apabila tidak diperlakukan
dengan sebaik-baiknya kemudian akan menjadi sampah dan tersebar di alam sekitarnya.
Tentunya limbah/sampah-sampah tersebut akan mencemari lingkungan tempat dimana
kita berada yaitu seperti perairan, udara dan daratan, tergantung dari jenis dan sifat dari
limbah itu sendiri, dan bagaimana kita memperlakukan limbah-limbah tersebut sehingga
jika limbah itu dibiarkan begitu saja secara terus-menerus akan mengakibatkan
lingkungan menjadi rusak dan tercemar.
173
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Limbah plastik dewasa ini menjadi permasalahan bagi masyarakat, dimana
keberadaannya jika tidak dapat ditanggulangi secara benar dan dengan metode yang
komprehensif maka dapat menyebabkan berbagai permasalahan seperti tersumbatnya
selokan yang dapat menyebabkan banjir, menimbulkan penyakit dan dapat menyebabkan
kerusakan lingkungan seperti pencemaran darat, air dan udara seperti: CO2 (karbon
dioksida), NO (nitrogenmonoksida), S2 (gas belerang), amoniak, dan lainnya.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup; Bab III Hak, Kewajiban, Dan Peran Masyarakat; Pasal 6 butir 1:
Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta
mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Selanjutnya
Pasal 7 butir 1: Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas luasnya untuk
berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Berdasarkan Undang-undang tertera di
atas jelas bahwa baik individu maupun masyarakat wajib untuk menjaga kelestarian
lingkungan hidup yang dapat berdampak luas kepada masyarakat apabila diabaikan dan
tidak menjadi perhatian bersama dalam penanggulangan terhadap dampak lingkungan.
Kerusakan lingkungan dapat berdampak terhadap pencemaran lingkungan hidup
dan juga berdampak pada menurunnya kemampuan lingkungan dalam menjaga
keseimbangan serta menurunnya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam
hal memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari yang bergantung pada ketersediaan
sumberdaya yang tersedia di lingkungan sekitarnya.
Secara umum, sampah plastik yang dihasilkan dari seluruh total sampah yaitu
memiliki rata-rata atau memiliki porsi sekitar 10 % dari total volume sampah. Dari jumlah
tersebut, hanya sedikit yang dapat didaur ulang. Sampah plastik berbahan polimer sintetik
tidak mudah diurai organisme dekomposer. Butuh 300-500 tahun agar bisa
terdekomposisi atau terurai sempurna. Membakar plastik pun bukan pilihan baik. Plastik
yang tidak sempurna terbakar, di bawah 800 °C, akan membentuk dioksin. Senyawa inilah
yang berbahaya (Vedder, 2008).
METODOLOGI
Kajian ini dilakukan berdasarkan analisis kepustakaan dari berbagai sumber seperti
berita di surat kabar, bahan pelatihan dan materi dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun
1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
PEMBAHASAN
Gambaran Umum Terhadap Pasar Permintaan Produk Plastik Jadi
Berdasarkan pemberitaan data bisnis Jakarta Post 29 September 2009, penjualan
industri plastik tahun tersebut mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya yaitu dari Rp 10 triliun menjadi Rp 5 triliun. Salah satu penyebab terjadinya
penurunan industri dan penjualan adalah karena krisis global yang tidak hanya melanda
industri plastik, akan tetapi hampir disemua sektor mengalami lesu darah. Menurut ketua
Asosiasi Plastik Indonesia (Aphindo) Tjokro Gunawan, 80% estimasi pendapatan
diperoleh dari pasar rumah tangga.
Untuk pasokan produk plastik jadi khususnya di daerah Aceh (untuk jenis produk
plastik tertentu), sebagian besar dipasok oleh industri Medan disamping itu juga dari
Jakarta, Surabaya dan lainnya. Hal ini dikarenakan tidak adanya industri pengolahan
plastik menjadi produk plastik jadi di Aceh. Proporsi dari permintaan pasar di beberapa
daerah di Sumatera terhadap produk plastik yang dihasilkan oleh beberapa industri besar
di Sumatera yaitu di Kota Medan dapat dilihat pada Tabel 1.
174
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Tabel 1: Serapan Pasar Terhadap Produk Plastik
Serapan Pasar (%)
No.
Nama Pabrik
Medan
Aceh
Jambi
1
Duta Plastik
50
20
10
2
Maju Plastik
90
10
0
3
Sabang Plastik
50
15
20
4
Jakarta Plastik
20
15
25
5
Golgon
50
20
15
6
Makmur Plastik
80
20
0
7
Dunia Plastik
40
30
20
8
Pentaco Plastik
65
5
15
Rata-rata
55
17
15
Sumber: Data Survey Pasar oleh Palapa Plastic Recycle, (2008)
Pekan Baru
10
0
15
40
15
0
10
15
13
Alternatif Pengolahan Limbah Plastik
Ada banyak pendekatan proses pengolahan limbah yang umumnya adalah
menghasilkan produk yang diinginkan oleh prosesor. Limbah plastik dapat diolah menjadi
plastik cacahan dan kemudian selanjutnya melalui proses pencetakan tertentu (molding)
dihasilkan produk pelet (butiran plastik). Kojima dan Jain (2008) merekomendasikan
tahapan pembersihan dan pemilahan, lalu pencacahan (grinding), dilanjutkan dengan
pembersihan dan pengeringan, dan pencetakan serta pengemasan. Proses daur ulang
limbah plastik oleh sharp new technology (2004) dapat dilihat pada Gambar 1.
Pemakai Produk Plastik (User)
Pengumpulan Produk Plastik
Produk Plastik Baru
Pembongkaran
Produk
Percetakan dan Perakitan
Produk Plastik
Desain Produk Plastik
Produk Pelet
Pengelompokkan
Bagian Plastik
Proses Pelelehan
dan Tekanan
Pencampuran dgn
Bahan Additif
Pembersihan
Proses
Grinding
Gambar 1: Pengolahan Limbah Plastik Close-Loop
Dengan melakukan pendekatan yang benar yaitu pengelolaan limbah plastik dan
mentrasformasikannya menjadi plastik cacah (plastic chip), maka hal ini akan berdampak
dimana keberadaan limbah plastik di alam terbuka kuantitasnya akan menjadi berkurang
(menurun). Kondisi yang demikian tentunya akan sekaligus mengendalikan limbah plastik
yang tersebar di alam terbuka dan yang lebih penting lagi adalah membantu untuk
mencipkan lingkungan yang bersih, hijau dan sehat dan sekaligus mengurangi dampak
potensi resiko bencana jika limbah plastik ini tidak dikendalikan (dikelola) dengan sebaikbaiknya.
175
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Disamping itu, ada banyak pendekatan dan cara dalam proses pengolahan limbah
plastik baik menjadi plastik cacah, biji plastik sampai dengan menjadi produk plastik jadi
(end plastic product). Secara garis besar kegiatan pengolahan limbah plastik sederhana
yang memiliki nilai ekonomi yaitu menjadi plastik cacah dapat dilihat pada Gambar 2.
Collecting
Sorting
Crushing
Drying
Packing
Transportin
g
Gambar 2. Tahapan proses pengolahan limbah plastic (Palapa Plastic Recycle)
Perolehan bahan baku yaitu dengan cara membeli melalui agen pengumpul
ataupun pemulung dimana harga jual yang disepakati adalah sesuai dengan jenis dan
harga pasar pada saat transaksi tersebut.
Plastik yang telah dibeli dari Agen
pengumpul dan pemulung selanjutnya akan ditempatkan atau dikelompokkan sesuai
dengan jenis, warnanya dalam satu wadah yang sama misal keranjang atau goni besar
sebelum dilakukan proses selanjutnya. Bahan baku plastik yang akan diolah sebelumnya
dilakukan pemilahan/ pemisahan (penyortiran). Hal ini dilakukan untuk memisahkan
limbah plastik sesuai dengan jenisnya masing-masing yaitu seperti plastik PP, PE, HD,
dan lainnya dan disesuaikan dengan warnanya. Proses ini dilakukan secara manual karena
lebih mudah untuk dikerjakan. Disamping itu pemilahan ini dilakukan agar mendapatkan
bahan baku limbah plastik yang bersih dan tidak tercampur misalnya aqua gelas dengan
tutup birunya yang berbeda jenis klasifikasi plastiknya dan juga berbagai macam jenis
plastik lainnya. Dengan demikian, maka akan didapatkan bahan baku limbah plastik yang
bersih sesuai jenisnya dan selanjutnya akan siap untuk dimasukkan ke mesin cacah
(grinding).
Selanjutnya plastik yang sudah disortir dan telah dibersihkan siap dinaikkan ke
pengerjaan mesin untuk melakukan proses penghancuran dengan menggunakan mesin
grinding yaitu untuk dijadikan plastik cacah (chips). Pada proses grinding ini sekaligus
dengan pencucian plastik cacah hasil produksi tersebut agar hasil produksi dapat memiliki
kualitas yang diinginkan oleh pembeli akhir. Setelah plastik cacahan dihasilkan dan
dicuci, kemudian untuk mendapatkan hasil plastik cacahan yang diinginkan dan sesuai
dengan permintaan pasar, maka perlu dilakukan penjemuran. Penjemuran yang paling
sederhana adalah dengan menggunakan lantai jemur yaitu dikeringkan dengan
memanfaatkan panas/terik matahari. Kekurangan dengan menggunakan lantai jemur
176
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
melalui panas matahari adalah sangat tergantung pada cahaya matahari. Pada musim
penghujan maka kegiatan produksi akan sangat terganggu. Setelah plastik cacahan
tersebut kering, kemudian dikumpulkan, dimasukkan kedalam karung, ditimbang dan
kemudian dikemas (packing) siap untuk di kirim ke pembeli selanjutnya. Biasanya terjadi
penyusutan pada saat penimbangan plastik cacahan dibandingkan dengan pada saat awal
proses pencacahan/penghancuran oleh mesin grinding tersebut. Hal ini dapat terjadi
karena unsur ataupun kotoran yang melekat pada plastik tersebut sudah dicuci bersih,
sehingga berat plastik cacahan tersebut dapat berkurang. Disamping itu terdapat benda,
ataupun plastik jenis lain yang terikut dalam proses penggilingan, sehingga diperlukan
quality control dalam proses produksi dan setelah produksi, agar hasil plastik cacahan
yang diperoleh sesuai dengan yang diharapkan.
Setelah dikemas (packing) dalam karung-karung yang telah disiapkan, kemudian
dibuat kode tertentu, ditulis jenis dan berat dari masing-masing packing tersebut, untuk
kemudian dijual ke pembeli selanjutnya dengan menggunakan armada transportasi yaitu
truk barang. Pemuatan kemasan plastik cacahan tersebut, harus dapat memenuhi
permintaan/pemesanan pembeli selanjutnya, oleh karena itu biasanya tonase harus
mencapai jumlah tertentu misalnya mencapai sepuluh ton, sehingga dapat memenuhi
permintaan dan memudahkan dalam proses pengiriman ke pembeli berikutnya. Penjualan
produk plastik cacahan biasanya diluar Provinsi Aceh yaitu di industri pengolahan plastik
yang berada di Kota Medan Provinsi Sumatera Utara.
Gambar 3: Plastik cacah
KESIMPULAN
Industri pengolahan limbah plastik dapat dikembangkan di Aceh mengingat
potensi limbah plastik yang sangat besar, yang ditunjang pula dengan permintaan produk
plastik jadi yang tinggi. Hal ini juga akan mendukung kelestarian lingkungan hidup dari
sampah plastik dan pengurangan resiko bencana utama yaitu banjir.
DAFTAR PUSTAKA
Jakarta Post. 2009. Plastics Makers Expect Zero Growth in Sales. Selasa, 29 September
2009
Kojima, Michikaju dan Jain, A. 2008. Controlling Pollution in Small-scale Recycling
Industries: Experiences in India and Japan.
Palapa Plastic Recycle Foundation. 2008. Materi Pelatihan dan Petunjuk Praktis Untuk
Pemulung, Kota Lhokseumawe.
177
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Sharp Environmental Report. 2004. Plastic Find New Life Using an Industry-First
Technology. Collected Plastic and Pellete Recycled based on Sharp‟s ClosedLoop Material Recycling Technology.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Vedder, T. 2008. Edible Film. http://japemethe.port5.com (diakses 26 Agustus 2009).
178
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Pengembangan Teknologi Penanganan Tumpahan Minyak
Berbahan Baku Lokal
M. A. Kholiq1, Nida Sopiah1, Insan N. Sulistiawan1, F. E. Priyanto1,
dan D. A. Sarasputri2
1
Balai Teknologi Lingkungan - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BTL-BPPT)
2
Teknik Lingkungan – Universitas Indonesia
ABSTRAK
Tumpahan minyak adalah terjadinya pelepasan minyak ke lingkungan, khususnya
di laut dan pantai, yang terjadi dari berbagai rantai kegiatan seperti ekploitasi,
transportasi/distribusi, dan pengilangan minyak bumi dengan skala tumpahan yang
berbeda-beda. Tumpahan minyak ini dapat mengakibatkan cemaran yang bisa berdampak
negatif terhadap lingkungan dan sering dianggap sebagai bencana lingkungan yang
berkepanjangan. Untuk itu, teknologi penanganan tumpahan minyak berbahan baku lokal
perlu dikembangkan. Tulisan ini membahas pengembangan teknologi penanganan
tumpahan minyak di BTL-BPPT, yaitu bioremediasi dan mikroba dan oil absorbent.
Kata kunci: Tumpahan minyak, bioremediasi, oil absorbent
ABSTRACT
An oil spill is the release of a liquid petroleum hydrocarbon into the environment,
especially marine areas, due to human activites such as exploitation,
transport/distribution, or refinery of petroleum hydrocarbon. The effects of oil spills can
have serious impacts on environment that are often portrayed as long lasting
environmental disasters. Therefore, it is important to develope response technology with
local raw materials. This paper describes the development of oil spill response technology
at BTL-BPPT such as bioremediation and oil absorbent.
Key words: Oil spill, bioremediation, oil absorbent
PENDAHULUAN
Tumpahan minyak yang berasal dari kegiatan transportasi minyak kapal tangker,
aktivitas ekploitasi minyak lepas pantai, dan berbagai kegiatan lainnya, biasanya
mengandung bahan kimia yang dapat menggangu ekosistem laut dan pesisir dan
menyebabkan masalah lingkungan. Dalam jumlah yang banyak, tumpahan minyak dalam
jumlah besar bisa menimbulkan bencana lingkungan yang luar biasa dan berkepanjangan.
Beberapa dampak lingkungan yang dapat ditimbulkan oleh pencemaran minyak
bumi di laut dan pesisir antara lain mencakup rusaknya estetika pantai berupa residu
berwarna gelap, efek letal dan efek subletal berupa kerusakan biologis pada makhluk hidup
terpapar termasuk pada terumbu dengan waktu pemulihan yang lama, terhambatnya
pertumbuhan fitoplankton laut akibat pencemaran minyak, penurunan populasi alga dan
protozoa akibat kontak dengan racun slick, kematian burung-burung laut, dan sebagainya.
Beberapa contoh kasus yang terjadi akibat tumpahan minyak yang disebabkan
kecelakaan kapal tanker, antara lain karena adanya kebocoran lambung, kapal yang
kandas, terjadi ledakan atau kebakaran maupun tabrakan kapal. Beberapa kasus
pencemaran akibat tumpahan minyak di laut akibat dari kecelakaan kapal tanker terjadi
179
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
pada tahun 2006 di lepas pantai Libanon. Prestige pada tahun 2002 di lepas pantai
Spanyol, dan sebagainya.
Ledakan anjungan minyak yang terjadi di teluk meksiko sekitar 80 kilometer dari
Pantai Louisiana pada 22 April 2010. Pencemaran laut yang diakibatkan oleh pengeboran
minyak di lepas pantai itu dikelola perusahaan minyak British Petroleum (BP) tahun 2009.
Ledakan itu memompa minyak mentah 8.000 barel atau 336.000 galon minyak ke perairan
di sekitarnya. Perusahaan pengeboran minyak PTTEP Australasia yang melakukan
pengeboran minyak di kilang Montara. tumpahan minyak di Laut Timor berdampak pada
Indonesia.
Pencemaran Laut Timor tersebut meluas ke perairan di sekitar Kabupaten Rote
Ndao, bahkan hingga Laut Sawu, terutama sekitar Kabupaten Sabu Raijua dan pantai
selatan Pulau Timor. Tumpahan minyak itu mencemari sekitar 16.420 km per segi wilayah
Laut Timor yang tercakup dalam zona ekonomi eksklusif Indonesia.
Bencana tumpahan minyak seperti tersebut di atas tidak dapat diperkirakan
sebelumnya dan dapat terjadi kapan saja, walaupun upaya-upaya pencegahan sudah
dilakukan. Oleh sebab itu, kesiapan dan penguasaan teknologi penanganan tumpahan
minyak sangat penting. Untuk itulah dilakukan pengembangan dan penerapan beberapa
teknologi penganan tumpahan minyak yang meliputi bioremediasi dan oil absorbent.
METODE PENELITIAN
Bioremediasi
Ujicoba bioremediasi cemaran minyak di pesisir (berpasir) dilakukan pada skala
laboratorium untuk membandingkan teknik biostimulasi dan bioaugmentasi masingmasing pada kondisi dengan dan tanpa pasang surut. Pada biostimulasi dan bioaugmentasi
diberikan nutrisi untuk pertumbuhan mikroba pendegradasi. Bedanya, pada biostimulasi
sumber mikroba yang sudah ada pada campuran pasir dan cemaran, sedangkan pada
bioaugmentasi mikroba yang sudah disiapkan ditambahkan pada campuran pasir dan
minyak. Pada setiap percobaan digunakan 5 kg pasir dari pantai utara Pulau Jawa, dan 5%
atau 250 gram minyak mentah (dari Riau) dengan dua kali pengulangan atau duplo.
Selain pada laboratorium, ujicoba bioremediasi juga dilakukan pada skala pilot di
Pantai Cilacap dengan menggunakan model pasir tercemar minyak, yaitu area ujicoba
bioremediasi yang sudah disiapkan dan menggunakan model pasir tercemar buatan.
Ujicoba bioremediasi skala pilot ini dilakukan dengan teknik landfarming secara
bioaugmentasi tanpa pasang surut di pantai Cilacap, yaitu dengan penambahan nutrisi dan
mikroba pendegradasi dengan pengadukan dan pengaturan kadar air (pelembaban)
campuran secara berkala. Untuk memastikan bahwa penurunan minyak karena aktivitas
mikroba maka digunakan kontrol, yaitu tanpa penambahan nutrisi dan mikroba.
Oil Sorbent
Bahan oil sorbent dapat berupa limbah organik seperti sabut kelapa sawit, sabut
kelapa, serbuk gergaji, jerami, dan lain-lain. Pada percobaan pertama dilakukan proses
aktivasi pada sabut kelapa sawit. Proses aktivasi dilakukan untuk meningkatkan daya serap
bahan organik terhadap minyak, bisa secara kimia maupun fisika. Aktivasi secara kimia
dilakukan dengan mereaksikan dengan zat-zat kimia yang memiliki gugus fungsional yang
dapat bereaksi dengan gugus hidroksil pada selulosa sehingga akan menambah sifat
hidrofobisitas dari selulosa tersebut, sedangkan aktivasi secara fisik dapat dilakukan
dengan cara proses pemanasan.
180
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Pada penelitian ini dilakukan uji aktivasi fisik pada sabut kelapa sawit dengan cara
pemanasan pada berbagai variasi suhu (200ºC, 250ºC, dan 300ºC) dan waktu pemanasan
(30 menit, 60 menit, 120 menit dan 180 menit). Setelah itu masing-masing perlakuan
dilakukan proses pendinginan selama 30 menit menggunakan es. Untuk menghilangkan
kadar airnya dilakukan pemanasan dalam oven 105ºC. Pada oil sorbent yang diperoleh
dilakukan pengujian kapasitas menyerap minyak.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bioremediasi
Hasil ujicoba bioremediasi cemaran minyak di pasir pantai skala laboratorium
untuk membandingkan teknik biostimulasi dan bioaugmentasi masing-masing pada
kondisi dengan dan tanpa pasang surut dapat dilihat pada Gambar 1 berikut:
Gambar 1. Grafik Penurunan TPH pada ujicoba bioremediasi skala laboratorium. Kode
percobaan: a dengan pasang surut, b tanpa pasang surut
Grafik penurunan TPH di atas menunjukkan, bahwa kadar TPH terrendah dimiliki
oleh metode bioaugmentasi pasang surut yaitu 2,189 % pada minggu ke 8 dan kadar TPH
tertinggi yaitu 4,078 % yang dimiliki blanko tanpa pasang surut pada minggu ke 8.
Kondisi pasang surut ini disimulasikan dengan menambahkan air laut dan
mengosongkannya lagi secara berkala. Semua percobaan dengan pasang surut (kode
percobaan a) menunjukkan kadar TPH yang lebih rendah dibanding dengan tanpa pasang
surut. Kemungkinan besar penyebab dari kondisi ini adalah larutnya sebagian minyak oleh
air laut, sedikit demi sedikit. Pada kondisi sama-sama dengan pasang surut dan sama-sama
tanpa pasang surut, bioaugmentasi terlihat menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding
dengan biostimulasi, dan biostimulasi lebih baik dari blanko (tanpa nutrisi, diasumsikan
tidak ada aktivitas mikroba) yang ditunjukkan dengan nilai TPH yang lebih rendah.
Ujicoba bioremediasi skala pilot dilakukan dengan teknik landfarming secara
bioaugmentasi tanpa pasang surut di pantai Cilacap dengan menggunakan pasir tercemar
buatan dengan volume 1,4 ton pasir dengan kadar minyak awal 3%.
181
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Gambar 2. Ujicoba bioremediasi skala pilot dengan volume 1,4 ton pasir dengan
kadar minyak awal 3%.
Monitoring selama ujicoba bioremediasi skala pilot antara lain dilakukan dengan
melakukan pengukuran suhu campuran. Aktivitas mikroba bersifat eksoterm atau
menghasilkan panas, sehingga suhu campuran lebih tinggi jika aktivitas mikroba sedang
tinggi. Hal ini terlihat pada Gambar 3 yang menunjukkan bahwa aktivitas mikroba pada
reaktor percobaan lebih tinggi daripada pada reaktor kontrol.
Gambar 3. Pengamatan temperatur media selama percobaan (Ta: kontrol tanpa
penambahan nutrisi dan mikroba, Tb: dengan penambahan nutrisi dan
mikroba)
Penurunan kadar minyak (TPH atau Total Petroleum Hydrocarbon) dapat dilihat
pada Gambar 3 berikut.
182
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Gambar 4. Hasil Pengukuran TPH (%) dengan trendline masing-masing
Secara umum dapat dilihat, bahwa proses biodegradasi mempercepat penurunan
kandungan minyak pencemar. Namun demikian, terlihat bahwa tidak semua minyak
terukur pada pengukuran TPH, terlihat pada pengukuran pada minggu ke-0, yaitu pada
awal percobaan yang menunjukkan sekitar 0,85%. Hal ini disebabkan karena minyak yang
digunakan adalah minyak jenis ringan (light oil). Pada proses pengukuran TPH, pada tahap
pemisahan pelarut dengan evaporasi, fraksi ringan dari minyak ikut terbawa.
Oil Absorbent
Pada penelitian ini bahan uji kelapa sawit yang digunakan sebagai bahan baku
pembuatan oil absorbent adalah sabut kelapa sawit Pemilihan pada bagian ini disebabkan
pada sabut kelapa sawit memiliki komposisi utama. berupa hemiselulosa 34,78 %, selulosa
sebesar 28,28 %, lignin 27,86 %, dimana komponen utama tersebut termasuk senyawa
hidrokarbon yang memiliki sifat hidrofobik, sehingga sabut kelapa sawit ini dapat
digunakan sebagai bahan alternatif pembuatan absorbent.
Gambar 5. Kapasitas menyerap minyak dari oil sorbent dari bahan sabut kelapa
sawit pada berbagai suhu dan waktu pemanasan
183
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan Teknologi Pada Pengurangan Resiko Bencana
Banda Aceh, 22 November 2014
Sabut kelapa sawit yang diaktivasi dengan proses pemanasan dapat meningkatkan
nilai kapasitas menyerap minyak dari sabut kelapa sawit tersebut. Kapasitas menyerap
minyak yang paling tinggi diperoleh pada aktivasi dengan pemanasan pada suhu 200°C
selama 60 menit dengan kapasitas menyerap minyak sebesar 16,18 gram minyak/gram
sorben, sedangkan pada pemanasan 105°C (kontrol) mempunyai kapasitas menyerap
minyak sebesar 3,34 gram minyak/gram sorben.
KESIMPULAN
Pada proses bioremediasi dengan biostimulasi cukup untuk menurunkan
kandungan minyak pencemar, namun dapat dipercepat dengan cara bioaugmentasi yaitu
dengan menambahkan mikroba pendegradasi yang sudah dikembangkan. Hal tersebut juga
terlihat pda bioremediasi skala pilot, bahwa penambahan nutrisi dan mikroba dapat
mempercepat penurunan kadar minyak pencemar. Proses aktivasi secara fisik dengan
proses pemanasan dapat meningkatkan nilai kapasitas menyerap minyak dari sabut kelapa
sawit secara signifikan, dari 3,34 gram minyak/ gram orben menjadi 16,18 gram minyak/
gram sorben.
Kedua teknologi penanganan tumpahan minyak dengan bahan baku lokal, yaitu
bioremediasi dengan memanfaatkan mikroba lokal dan absorbent berbahan baku limbah
organik lokal berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut untuk penanganan jika terjadi
bencana tumpahan minyak di pesisir pantai.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami ucapkan kepada seluruh tim remediasi tumpahan minyak
dan kepada pimpinan dan staf Balai Teknologi Lingkungan yang telah membantu sehingga
program pengembangan teknologi penanganan tumpahan minyak ini dapat terlaksana.
Ucapan terima kasih juga kepadapara mitra terkait, khususnya PT Pertaminan Cilacap
yang telah membantu menyiapkan lokasi dan bahan-bahan percobaan.
184
Download