BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sanitasi Lingkungan Rumah

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sanitasi Lingkungan Rumah
Lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang berada di dalam rumah.
Lingkungan
rumah terdiri dari lingkungan fisik serta lingkungan sosial.
Lingkungan rumah menurut WHO adalah suatu struktur fisik dimana orang
menggunakannya untuk tempat berlindung. Lingkungan dari struktur tersebut juga
semua fasilitas dan pelayanan yang diperlukan, perlengkapan yang berguna untuk
kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosial yang baik untuk keluarga dan
individu.
Lingkungan rumah yang sehat dapat diartikan sebagai lingkungan yang
dapat memberikan tempat untuk berlindung atau bernaung dan tempat untuk
beristirahat serta dapat menumbuhkan kehidupan yang sempurna baik fisik,
psikologis maupun sosial.
Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang memberikan
pengaruh besar terhadap status kesehatan penghuninya (Notoatmodjo, 2003).
Rumah disamping merupakan lingkungan fisik manusia sebagai tempat tinggal,
juga dapat merupakan tempat yang menyebabkan penyakit, hal ini akan terjadi
bila kriteria rumah sehat belum terpenuhi.
Menurut Winslow dan APHA, rumah yang sehat harus memenuhi
beberapa persyaratan antara lain (Suyono,2010 : 84-86):
a. Memenuhi Kebutuhan Fisiologis
1). Pencahayaan yang cukup, baik cahaya alam (sinar matahari) maupun
cahaya buatan (lampu). Pencahayaan yang memenuhi syarat sebesar 60 –
120 lux. Luas jendela yang baik minimal 10 % - 20 % dari luas lantai.
2). Perhawaan (ventilasi) yang cukup untuk proses pergantian udara dalam
ruangan. Kualitas udara dalam rumah yang memenuhi syarat adalah
bertemperatur ruangan sebesar 18o – 30o C dengan kelembaban udara
sebesar 40 % - 70 %. Ukuran ventilasi memenuhi syarat 10% luas lantai.
3). Tidak terganggu oleh suara-suara yang berasal dari luar maupun dari
dalam rumah (termasuk radiasi).
4). Cukup tempat bermain bagi anak-anak dan untuk belajar.
b. Memenuhi Kebutuhan Psikologis
1). Setiap anggota keluarga terjamin ketenangannya dan kebebasannya.
2). Mempunyai ruang untuk berkumpulnya anggota keluarga.
3). Lingkungan yang sesuai, homogen, tidak telalu ada perbedaan tingkat
yang ekstrem di lingkungannya. Misalnya tingkat ekonomi.
4). Mempunyai fasilitas kamar mandi dan WC sendiri.
5). Jumlah kamar tidur dan pengaturannya harus disesuaikan dengan umur
dan jenis kelaminnya. Orang tua dan anak dibawah 2 tahun boleh satu
kamar. Anak diatas 10 tahun dipisahkan antara laki-laki dan perempuan.
Anak umur 17 tahun ke atas diberi kamar sendiri.
6). Jarak antara tempat tidur minimal 90 cm untuk terjaminnya keleluasaan
bergerak, bernapas dan untuk memudahkan membersihkan lantai.
7). Ukuran ruang tidur anak yang berumur  5 tahun sebesar 4,5 m3, dan
umurnya 5 tahun adalah 9 m3. Artinya dalam satu ruangan anak yang
berumur 5 tahun ke bawah diberi kebebasan menggunakan volume
ruangan 1,5 x 1 x 3 m3, dan  5 tahun menggunakan ruangan 3 x 1 x 3 m3.
8). Mempunyai halaman yang dapat ditanami pepohonan.
9). Hewan/ternak yang akan mengotori ruangan dan ribut/bising hendaknya
dipindahkan dari rumah dan dibuat kandang tersendiri dan mudah
dibersihkan.
c. Pencegahan Penularan Penyakit
1). Tersedia air bersih untuk minum yang memenuhi syarat kesehatan
2). Tidak memberi kesempatan serangga (nyamuk, lalat), tikus dan binatang
lainnya bersarang di dalam dan di sekitar rumah.
3). Pembuangan kotoran/tinja dan air limbah memenuhi syarat kesehatan.
4). Pembuangan sampah pada tempat yang baik, kuat dan higienis.
5). Luas kamar tidur maksimal 3,5 m2 perorang dan tinggi langit-langit
maksimal 2,75 m. Ruangan yang terlalu luas akan menyebabkan mudah
masuk angin, tidak nyaman secara psikologis, sedangkan apabila terlalu
sempit akan menyebabkan sesak napas dan memudahkan penularan
penyakit karena terlalu dekat kontak.
6). Tempat masak dan menyimpan makanan harus bersih dan bebas dari
pencemaran atau gangguan serangga, tikus dan debu.
d. Pencegahan terjadinya Kecelakaan
1). Cukup ventilasi untuk mengeluarkan gas atau racun dari dalam ruangan
dan menggantinya dengan udara segar.
2). Cukup cahaya dalam ruangan untuk mencegah bersarangnya serangga atau
tikus,mencegah terjadinya kecelakaan dalam rumah karena gelap.
3). Bahan bangunan atau konstruksi rumah harus memenuhi syarat bangunan
sipil, terdiri dari bahan yang baik dan kuat.
4). Jarak ujung atap dengan ujung atap tetangga minimal 3 m, lebar halaman
antara atap tersebut minimal sama dengan tinggi atap tersebut. Hal ini
tidak berlaku bagi perumahan yang bergandengan (couple).
5). Rumah agar jauh dari rindangan pohon- pohon besar yang rapuh/ mudah
patah.
6). Hindari menaruh benda-benda tajam dam obat-obatan atau racun serangga
sembarangan apabila didalam rumah terdapat anak kecil.
7). Pemasangan instalasi listrik (kabel-kabel, stop kontak, fitting dll) harus
memenuhi standar PLN.
8). Apabila terdapat tangga naik/ turun, lebar anak tangga minimal 25cm,
tinggi anak tangga maksimal 18 cm, kemiringan tangga antara 30 o-36.
Tangga harus diberi pegangan yang kuat dan aman.
2.1.1. Tipe Rumah
Berdasarkan kondisi fisik bangunannya, rumah dapat digolongkan menjadi
3 golongan, yaitu:
1. Rumah permanen, memiliki ciri dinding bangunannya dari tembok,
berlantai semen atau keramik, dan atapnya berbahan genteng.
2. Rumah semi-permanen, memiliki ciri dindingnya setengah tembok dan
setengah bambu, atapnya terbuat dari genteng maupun seng atau asbes,
banyak dijumpai pada gang-gang kecil.
3. Rumah non-permanen, ciri rumahnya berdinding kayu, bambu atau gedek,
dan tidak berlantai (lantai tanah), atap rumahnya dari seng maupun asbes.
2.1.2. Faktor Lingkungan Rumah
Adapun faktor lingkungan rumah yang dimaksud sebagai variabel
penelitian yaitu :
a). Kelembaban Udara
Kelembaban udara adalah presentase jumlah kandungan air dalam udara
(Depkes RI). Kelembaban terdiri dari 2 jenis yaitu Kelembaban Absolut dan
Kelembaban Nisbi (Relatif). Kelembaban absolut adalah berat uap air per unit
volume udara, sedangkan kelembaban nisbi adalah banyaknya uap air dalam udara
pada suatu temperatur terhadap banyaknya uap air pada saat udara jenuh denga
uap air pada temperatur tersebut.
Secara umum penilaian kelembaban dalam rumah dengan menggunakan
hygrometer. Menurut indikator pengawasan perumahan, kelembaban udara yang
memenuhi syarat kesehatan dalam rumah adalah 40-70 % dan kelembaban udara
yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 40 % atau > 70 % (Depkes RI,
survei kesehatan rumah tangga 2001)
Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat kesehatan
akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Rumah yang lembab merupakan
media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme, antara lain bakteri, spiroket,
ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui
udara. Selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa
hidung
menjadi
kering
sehingga
kurang
efektif
dalam
menghadang
mikroorganisme. Bakteri Mycobacterium tuberculosa seperti halnya bakteri lain,
akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban tinggi karena air
membentuk lebih dari 80 % volume sel bakteri dan merupakan hal yang esensial
untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri (Gould & Brooker, 2003).
Selain itu menurut Notoatmodjo (2003), kelembaban udara yang meningkat
merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk bakteri
tuberkulosis.
b). Ventilasi Rumah
Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang
menyenangkan dan menyehatkan manusia. Berdasarkan kejadiannya, maka
ventilasi dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu:
1. Ventilasi Alam
Ventilasi alam berdasarkan pada tiga kekuatan, yaitu : daya difusi dari gasgas, gerakan angin dan gerakan massa di udara karena perubahan temperatur.
Ventilasi alam ini mengandalkan pergerakan udara bebas (angin), temperatur
udara dan kelembabannya. Selain melalui jendela, pintu dan lubang angin, maka
ventilasi pun dapat diperoleh dari pergerakan udara sebagai hasil sifat poros
dinding ruangan, atap dan lantai.
2. Ventilasi Buatan
Pada suatu waktu, diperlukan juga ventilasi buatan dengan menggunakan
alat mekanis maupun elektrik. Alat-alat tersebut diantaranya adalah kipas angin
dan AC (air conditioner). Persyaratan ventilasi yang baik adalah sebagai berikut :
a. Luas lubang ventilasi tetap minimal 5% dari luas lantai ruangan,
sedangkan luas lubang ventilasi insidentil ( dapat dibuka dan ditutup)
minimal 5% dari luas lantai. Jumlah keduanya menjadi 10% dari luas
lantai rumah.
b. Udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap dari sampah atau
pabrik, knalpot kendaraan, debu dan lain-lain.
c. Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan menempatkan lubang
ventilasi berhadapan antar dua dinding. Aliran udara ini jangan sampai
terhalang oleh barang-barang besar, misalnya lemari, dinding, sekat dan
lain-lain.
Secara umum, penilaian ventilasi rumah dengan cara membandingkan
antara luas ventilasi dan luas lantai rumah dengan menggunakan Role meter.
Menurut indikator pengawasan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat
kesehatan adalah 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi
syarat kesehatan adalah < 10% luas lantai rumah (Depkes RI, 2001). Rumah
dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan membawa
pengaruh bagi penghuninya.
Menurut Azwar (1990) dan Notoatmodjo (2003), salah satu fungsi
ventilasi adalah menjaga aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Luas
ventilasi rumah yang < 10 % dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan)
akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya
konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Disamping itu,
tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan
karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban
ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan
berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen termasuk kuman tuberkulosis. Selain
itu, fungsi kedua ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteribakteri, terutama bakteri patogen seperti tuberkulosis, karena di situ selalu terjadi
aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu
mengalir (Notoatmodjo, 2003).
c). Suhu Rumah
Suhu adalah panas atau dinginnya udara yang dinyatakan dengan satuan
derajat tertentu. Suhu udara dibedakan menjadi suhu kering dan suhu basah. Suhu
kering yaitu suhu yang ditunjukan oleh termometer suhu ruangan setelah di
adaptasi selama kurang lebih sepuluh menit, umumnya suhu kering antara 24 –
34 ºC. Suhu basah yaitu suhu yang menunjukkan bahwa udara telah jenuh oleh
uap air, umumnya lebih rendah daripada suhu kering yaitu antara 22-30 ºC.
Secara umum, penilaian suhu rumah dengan menggunakan termometer
ruangan. Berdasarkan indikator pengawasan perumahan, suhu rumah terutama
suhu kamar yang memenuhi syarat kesehatan adalah antara 22-30 ºC dan yang
tidak memenuhi syarat adalah < 22 ºC atau > 30 ºC. Suhu dalam rumah akan
membawa pengaruh bagi penghuninya.
Menurut Walton, suhu berperan penting dalam metabolisme tubuh,
konsumsi oksigen dan tekanan darah. Sedangkan Lennihan dan Fletter,
mengemukakan bahwa suhu rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan
meningkatkan kehilangan panas tubuh dan tubuh akan berusaha menyeimbangkan
dengan suhu lingkungan melalui proses evaporasi. Kehilangan panas tubuh ini
akan menurunkan vitalitas tubuh dan merupakan predisposisi untuk terkena
infeksi terutama infeksi saluran nafas oleh agen yang menular.
Sedangkan menurut Gould an Brooker (2003), bakteri Mycobacterium
tuberculosa memiliki rentan suhu yang disukai, tetapi di dalam rentan ini terdapat
suatu suhu optimum saat mereka tumbuh pesat. Mycobacterium tuberculosa
merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 25-40 º C, akan
tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31-37 º C (Gould & Brooker, 2003;
Girsang, 1999, Salvato dalam Lubis 1989).
d). Pencahayaan Alami
Pencahayaan alami ruangan rumah adalah penerangan yang bersumber
dari sinar matahari (alami), yaitu semua jalan yang memungkinkan untuk
masuknya cahaya alamiah. Misalnya melalui jendela atau genting kaca (Depkes
RI, Notoatmodjo, 2003). Cahaya berdasarkan sumbernya dibedakan menjadi 2
jenis, yaitu cahaya alamiah dan cahaya buatan.
Cahaya matahari sangat penting, karena dapat membunuh bakteri-bakteri
patogen di dalam rumah, misalnya bakteri penyebab penyakit TBC. Oleh karena
itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Jalan
masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 15% sampai 20% dari luas
lantai yang terdapat di dalam ruangan rumah. Perlu diperhatikan dalam membuat
jendela diusahakan agar sinar matahari dapat langsung masuk ke dalam ruangan,
tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela disini, disamping sebagai
ventilasi, juga sebagai jalan masuk cahaya (Notoatmodjo,2007).
Lokasi penempatan jendela pun harus diperhatikan dan diusahakan agar
sinar matahari lebih lama menyinari lantai (bukan menyinari dinding), maka
sebaiknya jendela itu harus di tengah-tengah tinggi dinding (tembok). Jalan
masuknya cahaya alamiah juga diusahakan dengan genteng kaca. Genteng kaca
pun dapat dibuat secara sederhana, yakni dengan melubangi genteng biasa pada
waktu
pembuatannya,
kemudian
menutupnya
dengan
pecahan
kaca
(Notoatmodjo,2007:171).
e). Kepadatan Penghuni Rumah
Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan
jumlah anggota keluarga dalam suatu rumah tinggal. Persyaratan kepadatan
hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m² per orang. Luas
minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas
yang tersedia. Untuk perumahan sederhana, minimum 9 m²/orang. Untuk kamar
tidur diperlukan minimum 3 m²/orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2
orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah dua tahun. Apabila ada anggota
keluarga yang menjadi penderita penyakit tuberkulosis sebaiknya tidak tidur
dengan anggota keluarga lainnya.Secara umum penilaian kepadatan penghuni
dengan menggunakan ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni
yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai
dengan jumlah penghuni 9 m²/orang dan kepadatan penghuni tidak memenuhi
syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah
penghuni -9 m²/orang (Lubis dalam penelitian Evi Naria, 2008).
Kepadatan penghuni dalam suatu rumah tinggal akan memberikan
pengaruh bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah
penghuninya akan menyebabkan perjubelan (overcrowded). Hal ini tidak sehat
karena disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu
anggota keluarga terkena penyakit infeksi, terutama tuberkulosis akan mudah
menular kepada anggota keluarga yang lain (Lubis, 1989; Notoatmodjo, 2003).
Menurut penelitian Atmosukarto dari Litbang Kesehatan (2000), didapatkan data
bahwa :
a. Rumah tangga yang penderita mempunyai kebiasaan tidur dengan balita
mempunyai resiko terkena TB 2,8 kali dibanding dengan yang tidur
terpisah.
b. Tingkat penularan TB di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi,
dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di
dalam rumahnya.
c. Besar resiko terjadinya penularan untuk tangga dengan penderita lebih dari
1 orang adalah 4 kali dibanding rumah tangga dengan hanya 1 orang
penderita TB.
2.2. Penyakit Tuberkulosis Paru
2.2.1 Pengertian Tuberkulosis Paru
Penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam
sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama
kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk
mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama Baksil Koch. Bahkan, penyakit
TBC pada paru – paru kadang disebut sebagai Koch Pulmonum (KP).
Jenis kuman tersebut adalah mycobacterium tuberculosis, mycobacterium
africanum dan mycobacterium bovis. Basil tuberkulosis termasuk dalam genus
mycobacterium, suatu anggota dari family dan termasuk dalam ordo
Actinomycetales. Mycobacterium tuberculosis menyebabkan sejumlah penyakit
berat pada manusia dan juga penyebab terjadinya infeksi tersering.
Basil-basil tuberkel didalam jaringan tampak sebagai mikroorganisme
berbentuk batang, dengan panjang bervariasi antara 1 – 4 mikron dan diameter 0,3
– 0,6 mikron. Bentuknya sering agak melengkung dan kelihatan seperti manik –
manik atau bersegmen. Basil tuberkulosis dapat bertahan hidup selama beberapa
minggu dalam sputum kering, ekskreta lain dan mempunyai resistensi tinggi
terhadap antiseptik, tetapi dengan cepat menjadi in aktif oleh cahaya matahari,
sinar ultraviolet atau suhu lebih tinggi dari 60oC. Sehingga itu bakteri tersebut
sangat menyukai tempat – tempat yang gelap dan lembab, yang jauh dari sinar
matahari secra langsung.
Mycobacterium tuberculosis masuk kedalam jaringan paru melalui saluran
napas ( droplet infection ) sampai alveoli, terjadilah infeksi primer. Selanjutnya
menyebar ke getah bening setempat dan terbentuklah primer kompleks. Infeksi
primer dan primer kompleks dinamakan TB primer, yang dalam perjalanan lebih
lanjut sebagian besar akan mengalami penyembuhan.
2.2.2 Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis Paru
Epidemiologi penyakit tuberkulosis paru adalah ilmu yang mengkaji
frekwensi, distribusi serta determinan. Kajian tersebut menyangkut interaksi
antara Mycobacterium tuberculosis sebagai bakteri (agent), manusia (host) dan
lingkungan (environment). Disamping itu mencakup perkembangan dan
penyebarannya, termasuk didalamnya juga mencakup prevalensi dan insidensi
penyakit tersebut yang timbul dari populasi yang tertular ( Depkes RI,2006 ).
a). Agent
Agent adalah penyebab yang esensial yang harus ada, apabila penyakit
timbul atau manifest, tetapi agent sendiri tidak sufficient/memenuhi syarat untuk
menimbulkan penyakit, agent memerlukan dukungan faktor penentu agar penyakit
dapat manifest. Agent yang mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis
adalah kuman Mycobacterium tuberculosis. Agent ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya pathogenesis, infektifitas dan virulensi.
Pathogenesis adalah daya suatu mikroorganisme untuk menimbulkan
penyakit pada host. Pathogenesis kuman tuberkulosis paru termasuk pada tingkat
rendah. Infektifitas adalah kemampuan mikroba untuk masuk ke dalam tubuh host
dan berkembang biak di dalamnya. Berdasarkan sumber yang sama infektifitas
kuman tuberkulosis paru termasuk pada tingkat menengah. Virulensi adalah
keganasan suatu mikroba bagi host. Berdasarkan sumber yang sama virulensi
kuman tuberkulosis termasuk tingkat tinggi.
b). Host
Manusia merupakan reservoir untuk penularan bakteri Mycobacterium
tuberculosis, bakteri tuberkulosis paru menular melalui droplet. Seorang penderita
tuberkulosis paru dapat menularkan pada 10 – 15 orang.
Menurut penelitian pusat ekologi kesehatan, menunjukan tingkat penularan
tuberkulosis paru di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana seorang
penderita rata – rata dapat menularkan pada 2 – 3 orang di dalam rumahnya. Di
dalam rumah dengan ventilasi yang baik, bakteri ini dapat hilang terbawa angin
dan akan lebih baik jika ventilasi ruangannya menggunakan pembersih udara yang
bisa menangkap bakteri
penyebab tuberkulosis. Beberapa
faktor
yang
mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis paru adalah :
1). Jenis Kelamin
Beberapa penelitian menunjukan bahwa laki – laki lebih banyak menderita
tuberkulosis paru. Hal ini disebabkan laki – laki lebih banyak melakukan
mobilisasi dan mengkonsumsi alkohol dan rokok (Depkes RI, 2005).
2). Umur
Variabel umur berperan dalam kejadian tuberkulosis paru. Resiko untuk
mendapatkan tuberkulosis paru dapat dikatakan seperti halnya kurva normal
terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun karena diatas 2 tahun hingga
dewasa memiliki daya tahan terhadap tuberkulosis paru dengan baik. Puncaknya
tentu dewasa muda dan menurun kembali ketika seseorang atau kelompok
menjelang usia tua.
3). Kondisi Sosial Ekonomi
Banyaknya penderita tuberkulosis paru terjadi pada masyarakat kelas
ekonomi rendah dengan tingkat pendidikan rendah dan pekerjaan yang tidak tetap
sehingga pengetahuan tentang penyakit menular juga rendah. WHO (2003)
menyebutkan 90 % penderita tuberkulosis paru di dunia menyerang pada
kelompok dengan kondisi sosial ekonomi yang lemah atau miskin.
4). Status Gizi
Kaitan penyakit infeksi dengan keadaan gizi kurang merupakan hubungan
timbal balik, yaitu hubungan sebab akibat. Penyakit infeksi dapat memperburuk
keadaan gizi dan keadaan gizi yang buruk dapat mempermudah terkena penyakit
infeksi. Hal ini dapat menyebabkan meningkatnya kasus penyakit tuberkulosis
karena daya tahan tubuh yang rendah.
5). Status Imunisasi BCG
Salah satu upaya pengendalian infeksi Mycobakterium tuberkulosis adalah
dengan imunisasi Bacille Calmette Guerin (BCG). Imunisasi BCG meningkatkan
daya tahan tubuh terhadap infeksi bakteri. Imunitas yang terbentuk dengan
imunisasi BCG untuk mencegah penyebaran TB secara hematogen bukan
mencegah penyebaran secara perkontinuitatum dan limfogen.
6). Lingkungan (Enviroment)
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host (pejamu) baik
benda mati, benda hidup, nyata dan abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat
interaksi semua elemen – elemen termasuk host yang lain. Faktor lingkungan
memegang peranan penting dalam penularan, terutama lingkungan rumah yang
tidak memenuhi syarat atau jauh dari kelayakan.
2.2.3 Etiologi Penyakit Tuberkulosis Paru
Bakteri ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap
asam. Oleh karena itu di sebut pula sebagai basil tahan asam (BTA). Bakteri
tuberkulosis paru cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan
hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh
bakteri ini dapat dorman, tertidur lama selama beberapa tahun.
2.2.4 Gejaja – Gejala Tuberkulosis Paru
Menurut Mason et al (2005) dalam texbook of repiratory medicine, di
sebutkan bahwa batuk adalah gejala yang paling umum dari TB paru. Peradangan
pada parenkim paru yang berdekatan dengan permukaan pleura dapat
menyebabkan nyeri pleuritik tanpa penyakit pleura jelas. Pneumotoraks spontan
juga dapat terjadi, sering dengan nyeri dada dan mungkin dyspnea bahwa hasil
dari keterlibatan parenkim tidak biasa kecuali ada penyakit yang lain.
Menurut Muherman, dkk dalam retno (2007) gejala- gejala tuberkulosis
paru yaitu: batuk, sering flu, berat badan turun, sakit dinding dada, demam dan
berkeringat, nafas pendek dan rasa lelah. Sedangkan menurut Tjokronegoro dan
utama dalam retno (2007), bahwa gajala-gejala yang terbanyak adalah demam,
sesak nafas, batuk, batuk berdarah dan nyeri dada.
Menurut Depkes RI, 2001 gejala umum dari tuberkulosis paru adalah
batuk berdahak selama 2 – 3 minggu atau lebih, sedangkan gejala tambahan
adalah batuk bercampur darah, batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu
makan berkurang, berat badan menurun, malaise, berkeringat di malam hari dan
meriang lebih dari 1 bulan.
2.2.5
Diagnosis Tuberkulosis Paru
Penegakan diagnosis pada penyakit tuberkulosis paru dapat dilakukan
dengan melihat keluhan atau gejala klinis, pemeriksaan biakan, pemeriksaan
mikroskopis, radiologi dan tuberculin test. Pada pemeriksaan biakan hasilnya akan
di dapat lebih baik, namun waktu pemeriksaannya biasanya memakan waktu yang
terlalu lama. Sehingga pada saat ini pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih
banyak dilakukan karena sensitivitas dan spesivitasnya tinggi disamping biayanya
rendah.
Seorang penderita atau tersangka dinyatakan sebagai penderita paru
menular berdasarkan gejala batuk berdahak selama 3 kali. Kuman ini baru
kelihatan di bawah mikroskopis bila jumlah kuman paling sedikit sekitar 5000
batang dalam 1 ml dahak. Dalam pemeriksaan ini dahak yang baik adalah dahak
mukopurulen berwarna hijau kekuningan dan jumlahnya harus 3 – 5 ml tiap
pengambilan. Untuk hasil yang baik specimen dahak sebaiknya sudah dapat
dikumpulkan dalam 2 hari kunjungan berurutan. Dahak yang dikumpulkan
sebaiknya dahak yang keluar sewaktu pagi hari.
2.2.6
Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru
a). Penemuan penderita tuberkulosis paru pada orang dewasa
Penemuan penderita tuberkulosis paru dilakukan secara pasif, artinya
penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang
berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut di
dukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun
masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Selain
itu semua kontak penderita tuberkulosis paru BTA positif dengan gejala sama,
harus diperiksa dahaknya. Semua tersangka penderita di periksa tiga spesimen
dahak dalam waktu dua hari berturut-turut, yaitu sewaktu-pagi-waktu/SPS
(Depkes RI,2002).
b). Penemuan penderita tuberkulosis paru pada anak
Penemuan penderita tuberkulosis paru pada anak merupakan hal yang sulit.
Sebagian besar tuberkulosis paru anak di dasarkan atas gambaran klinis, gambaran
radiologis dan uji tuber kulin (Depkes RI,2002). Berdasarkan penemuan penderita
tuberkulosis paru, maka di lakukan klasifikasi penyakit dan tipe penderita
tuberkulosis paru sebagai berikut
1. Tuberkulosis paru Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis paru yang
menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru).
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, tuberkulosis paru dibagi dalam:
a. Tuberkulosis paru BTA positif. Sekurang-kurangnya dua dari tiga
spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif atau satu spesimen dahak SPS
hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukan gambaran
tuberkulosis paru aktif.
b. Tuberkulosis patu BTA negatif. Pemeriksaan tiga spesimen dahak SPS
hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukan tuberkulosis paru
aktif. Tuberkulosis paru negatif tetapi rontgen positif dibagi berdasarkan
tingkat keparahan penyakitnya, yaitu berat atau ringan.
2. Tuberkulosis paru ekstra paru. Tuberkulosis Paru ekstra paru adalah
tuberkulosis paru yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung, kelenjar linfe, tulang, persendian,
kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
Tuberkulosis paru ekstra paru di bagi lagi pada tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu tuberkulosis paru ekstra paru ringan dan tuberkulosis
paru ekstra paru berat (Depkes RI,2002). Tipe penderita di tentukan
berdasarkan riwayat pengobatan sebelunya. Menurut Tjoktonegoro dan
Utama dalam retno (2007), tipe penderita di bagi dalam:
a. Kasus baru adalah penderita yang tidak mendapat obat anti tuberkulosis
paru (OAT) lebih dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps) adalah penderita yang pernah di nyatakan sembuh
dari tuberkulosis paru tetapi kemudian timbul lagi tuberkulosis paru
aktifnya.
c. Gagal adalah penderita BTA positif yang masih positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau lebih. Gagal adalah penderita dengan hasil BTA negatif
rontgen positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
d. Kasus kronik adalah penderita yang BTA-nya tetap positif setelah
mendapat pengobatan ulang lengkap yang di superfisi dengan baik.
Menurut Depkes RI (2002), tipe penderita dibagi kedalam beberapa tipe,
yaitu kasus baru, kambuh (relaps), pindahan (transfer in), setelah lalai (drop-out),
gagal dan kasus kronik.
2.2.7
Patogenesis Penyakit Tuberkulosis Paru
Patogenesis penyakit tuberkulosis paru berawal dari penderita tuberkulosis
paru BTA positif sebagai sumber penularan. Pada waktu batuk atau bersin,
penderita menebarkan bakteri dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet
yang mengandung bakteri dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama
beberapa jam. Orang dapat terinfeksi apabila droplet tersebut terhirup kedalam
saluran pernafasan. Daya penularan dari seseorang penderita di tentukan oleh
banyaknya bakteri yang di keluarkan dari parunya. Pathogenesis penyakit
tuberkulosis paru dibedakan berdasarkan proses terjadinya, sebagai berikut:
a). Infeksi Primer
Infeksi primer terjadi pada seseorang yang terpapar pertama kali dengan
bakteri tuberkulosis paru. Droplet yang tersisa sangat kecil ukuranya sehingga
dapat melewati sistem pertahanan mukosiller broncus dan terus berjalan sampai di
alveolus terminalis dan menetap di sana. Infeksi di mulai saat bakteri tuberkulosis
paru berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru yang
mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa bakteri
tuberkulosis paru ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini di sebut sebagai
kompleks primer. Waktu antara terjadi infeksi sampai pembentukan kompleks
primer adalah 4 – 6 minggu (Depkes RI,2006).
b). Tuberkulosis Paru Pasca Primer ( Post Primary Tuberculosis )
Tuberkulosis paru pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan
atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun
akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis paru
pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi
pleura (Depkes RI, 2002).
c). Koplikasi Pada Penderita Tuberkulosis Paru
1) Pneumutoraks spontan terjadi bila udara memasuki rongga pleura sesudah
terjadi robekan pada kavitas tuberkulosis paru.
2) Cor pulmonale adalah gagal jantung kongestif karena tekanan balik akibat
kerusakan paru, dapat terjadi bila terdapat destruksi paru yang amat
luas.Aspergilomata dimana kavitas tuberkulosis paru yang sudah di obati
dengan baik dan sudah sembuh kadang-kadang tinggal terbuka dan dapat
terinfeksi dengan jamur aspergillus fumigtus.
3) Hemoptis berat (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya
jalan nafas.
4) Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial.
5) Bronkhiektasis (pelebaran broncus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan) pada paru.
6) Insufisiensi cardio pulmoner.
7) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal
dan sebagainya (Depkes RI,2002).
Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular
penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan negatif (tidak terlihat bakteri), maka
penderita tersebut di anggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfesi TB
Paru di tentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup
udara tersebut.
2.2.8
Pencegahan Penyakit Tuberkulosis Paru
Dalam pencegahan penyakit TB Paru sangat perlu menjaga lingkungan
yang sehat seperti pengaturan syarat – syarat rumah yang sehat diantaranya luas
bangunan rumah, ventilasi pencahayaan dengan jumlah anggota keluarga serta
kebersihan lingkungan tempat tinggal.
1). Pencegahan Tuberkulosis Paru Berbasis Lingkungan
Pencegahan penyakit Tuberkulosis Paru berbasis lingkungan dapat
dilakukan dengan :
1. Satu kamar di huni tidak lebih dari 2 orang atau sebaiknya luas kamar
lebih atau sama dengan 10 m²/orang.
2. Lantai rumah sebaiknya di semen dan memperbaiki ventilasi serta
menambah ventilasi buatan.
3. Selalu membuka pintu atau jendela terutama di pagi hari agar pencahayaan
alami dapat masuk ke dalam rumah.
4. Menutup mulut bila batuk atau bersin bagi penderita maupun bukan
penderita jika salin berdekatan.
5. Tidak meludah di sembarang tempat, upayakan meludah pada tempat yang
terkena sinar matahari atau I tempat khusus seperti tempat sampah.
6. Menjemur tempat tidur bekas penderita secara teratur karena kuman
tuberkulosis akan mati bila terkena sinar matahari.
7. Menjaga kebersihan diri, baik perorangan maupun keluarga serta menjaga
kesehatan badan agar agar sistem imun senantiasa terjaga & kuat.
8. Di usahakan tidur terpisah dengan penderita dan menjaga jarak aman
ketika berhadapan dengan penderita TB Paru.
9. Bagi penderita di usahakan istirahat yang cukup dan makan makanan yang
bergizi.
10. Hindari melakukan hal-hal yang dapat melemahkan sistem imunitas,
seperti begadang dan kurang istirahat.
2). Pencegahan Berdasarkan Pengawasan Penderita dan Kontak
1. Meningkatkan Daya tahan tubuh, terhadap bayi harus diberikan vaksinasi
BCG.
2. Memberikan penyuluhan tentang penyakit TB Paru yang meliputi gejala,
bahaya dan akibat yang akan ditimbulkan
3. Isolasi, pemeriksaan kepada orang-orang yang terinfeksi, pengobatan
khusus TBC. Pengobatan di rumah sakit hanya bagi penderita yang
kategori berat yang memerlukan pengembangan program pengobatannya
yang karena alas an-alasan sosial, ekonomi dan medis tidak dikehendaki
pengobatan jalan.
4. Tuberkulin test bagi seluruh anggota keluarga dengan foto rontgen yang
bereaksi positif, apabila cara-cara ini negativ, perlu di ulang pemeriksaan
tiap bulan selama 3 bulan.
5. Pengobatan khusus bagi penderita aktif. Obat-obat kombinasi yang telah di
tetapkan oleh dokter diminum secara teratur selama 6-12 bulan.
2.3. Kerangka Berpikir
Penderita TB Paru
Sanitasi Rumah
kelembaban
Ventilasi
Memenuhi Syarat
Suhu
pencahayaan
Tidak Memenuhi Syarat
Kepadatan
Hunian
2.4. Kerangka Konsep
Kelembaban
ventilasi
Sanitasi Rumah
Penderita TB Paru
Suhu Rumah
Pencahayaan
Kepadatan
Hunian
Dari kerangka konsep dapat dilihat gambaran tentang sanitasi lingkungan
rumah penderita TB Paru yaitu kelembaban rumah, ventilasi, suhu rumah,
pencahayaan dan kepadatan hunian.
Download