APAKAH ILMU HUKUM ADALAH ILMU ? Oleh : Amir Syarifudin, S.H., M.Hum dan Indah Febriani, S.H., M.H (Dosen Fakultas Hukum Unsri) Abstrak Ilmu diciptakan manusia untuk membantunya mengatasi masalah dalam kehidupan nya. Sebagai alat ilmu diyakini dapat mengantarkan manusia menemukan kebenaran dan atas dasar itu manusia mempergunakan nya untuk menjelaskan masalah, mengendalikan, serta meramalkan. Setiap ilmu hanya menkaji salah satu dimensi kehidupan manusia dan dari dimensi itulah lantas ilmu menciptakan metode untuk memahami dimensi tersebut. Oleh sebab itu, dalam memahami objek itu ilmu menciptakan sistematika dan metode yang merupakan dua syarat dasar dari suatu ilmu. Metode siklis, yaitu metode yang diterapkan oleh fisika dengan langkah-langkah yaitu (1) observasi, (2) induksi, (3) deduksi, (4) eksperimentasi, dan (5) evaluasi dijadikan standar untuk menentukan keabsahan suatu ilmu. Jika ilmu hukum tidak mempergunakan metode siklis tersebut maka ia belum dapat dianggap ilmu. Namun pandangan tersebut memiliki kelemahan yaitu akan terdapat objek formal yang tidak dapat dijelaskan seperti objek yanh dihasilkan fikiran, kemauan, dan rasa manusia. Oleh karena itu para ahli mempergunakan kriteria lain yaitu mendasarkan pada apa adanya dari objek tersebut. Bila suatu objek, seperti hukum, dapat diselidiki apa tujuannya, cara-cara mencapai tujuan itu, serta derajad keberhasilan yang telah dicapainya, maka ia dapat dikategorikan sebagai ilmu. Kata Kunci : Objek Formal, Dimensi, Sistematika, dan Metode. 1. Pengantar Istilah ilmu adalah terjemahan dari kata science. Ilmu memiliki tiga dimensi yaitu (1) sebagai masyarakat, (2) proses/kegiatan, dan (3) produk1. Sebagai masyarakat ilmu menampakan diri sebagai kehidupan yang didasarkan norma-norma keilmuan. Sebagai proses/kegiatan, ilmu terlihat pada kegiatan penelitian, sebagai produk ilmu terlihat pada diketemukannya teori, hukum, dalil, dan lain-lain. Pengertian ilmu lebih banyak diartikan sebagai produk yaitu hasil dari kegiatan penelitian. Sebagai salah satu 1 Koento Wibisono, Hubungan Filsafat, Ilmu Pengetahuan dan Budaya, makalah pada intership dosen-dosen Filsafat Pancasila se Indonesia, Yogyakarta, 1996. 1 hasil kegiatan penelitian, teori dapat berasal dari (1) hipotesis yang teruji benar, (2) hasil generalisasi/induksi, (3) penjelasan/eksplanasi , dan (4) semua penalaran atau pemikiran intelek. Dilihat dari gradasinya dapat dibedakan (1) teori yang universal (grandtheory), dan (2) teori yang partikular. Hukum adalah salah satu dimensi kehidupan manusia. Manusia adalah individu yang berhakikat sosial. Dalam kesosialannya itu ia memerlukan hukum. Sebagai salah satu dimensi kesosialan manusia, hukum menjadi objek formal dari ilmu hukum. Objek formal itu menentukan metode yang dipergunakan dalam memahami objek tersebut. Selanjutnya metode akan menentukan produk yang dihasilkan. Produk itu dinamakan teori hukum. Masalah yang timbul adalah sifat dari hukum itu sendiri. Sebagai perbandingan, objek formal dari fisika adalah atom atau sub-atomik, jiwa sebagai objek formal dari psikologi. Objek-objek tersebut dijelaskan menurut paradigma kausalitas, akan tetapi hukum tidak dapat dijelaskan secara kausalitas. Hakikat hukum itu adalah standar atau patokan2 tentang apa yang seyogya nya harus dilakukan. Dengan alasan itu lalu timbul pandangan yang menyatakan hukum itu bersifat preskriptif. Sifat preskriptif dari hukum tidak dapat dijelaskan manurut paradigma kausalitasan, dan karena itu timbul pendapat bahwa karena objeknya abersifat preskriptif, tidak dapat dijelaskan melalui penjelasan kausal dan karena itu ia tidak dapat disebut ilmu. 2 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Alumni, Bandung, 1985. Hal. 30. 2 2.Penggolongan Ilmu Auguste Comte3 membuat gradasi ilmu dengan tolak ukur dari kerumitan objek formalnya (gegenstand), dari objek yang sederhana sampai yang paling rumit, lantas disusun oleh gradasi ilmu sebagai berikut (1) Matematika, (2) Astronomi, (3) Fisika, (4) Kimia, (5) Biologi, dan (6) Fisika Sosial (Sosiologi). Karena itu ilmu-ilmu tersebut baru dapat disebut ilmu, jika ilmu-ilmu telah menggunakan Metode Ilmu Alam, yang langkahnya dimulai (1) observasi, (2) eksperimentasi, dan (3) komparasi. Sesuai dengan Filsafat Positivisme yang diciptakannya, maka kebenaran ilmiah haruslah konkret, eksak, akurat, dan bermanfaat 4. Dengan perkataan lain bahwa yang ilmiah itu harus nyata, lawan dari abstarak, harus pasti (eksak) lawan dari reka-reka, harus tepat sebagai lawan dari kabur dan harus bermanfaat sebagai lawan dari sia-sia. Wilhem Delthey (1833-1911) mengajukan klasifikasi lain, dengan membagi ilmu itu menjadi (1) Ilmu Pengetahuan Alamiah (natuurwissenchaft) dan (2) Pengetahuan kerohanian (geisteswissenchaft), masing-masing menggunakan metode siklis dan metode linier. Metode siklis bersifat erklaren yaitu berusaha menjelaskan dan menggambarkan objek, sedangkan metode linier bukan untuk menjelaskan objek akan tetapi berusaha untuk menemukan “makna”, “nilai” dan “tujuan” yang terkandung di dalam objek. UNESCO membagi ilmu menjadi (1) Ilmu Eksakta Alam, (2) Ilmu Sosial, dan (3) Ilmu Humaniora. Ilmu Eksakta Alam terdiri dari Fisika, Kimia, Biologi, dan lainlain. Ilmu Sosial terdiri dari politik, ekonomi, psikologi, sosiologi, dan antropologi. Humaniora terdiri dari filsafat, bahsa dan hukum. Humaniora adalah ilmu yang 3 Koento Wibisono, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, Gajah Mada University Press, 1996. 4 Koento Wibisono, Ibid. 3 diciptakan manusia untuk membuat agar manusia itu lebih manusiawi. Di lain pihak ilmu dapat dilihat dari fungsinya dapat dibedakan menjadi ilmu dasar dan ilmu pembantu. Ilmu pembantu bertujuan untuk membantu ilmu pokok. Ilmu pembantu itu antara lain matematika, bahasa, etika, sedangkan ilmu dasarnya seperti fisika, kimia, sosiologi, dan lain-lain. Dilihat dari ruang lingkupnya ilmu dapat dibedakan menjadi (1) ilmu murni, dan, (2) ilmu terapan. Ilmu murni adalah untuk pengembangan ilmu itu sendiri, sedangkan ilmu terapan adalah yang mengambil manfaat dari ilmu murni. Ilmu hukum adalah ilmu murni, sedangkan perundang-undangan adalah ilmu terapan, ilmu kimia adalah ilmu murni, dan ilmu farmasi adalah terapan. 3. Ilmu Hukum Jika ilmu diartikan sebagai produk, yang berupa teori, dan teori itu berasal dari hasil penalaran/pemikiran intelek, maka ilmu hukum dapat disebut disiplin hukum. Disiplin adalah sistem ajaran tentang kenyataan yang mencakup disiplin preskriptif dan disiplin analitis5. Disiplin preskriptif adalah menyorot sesuatu (objek) yang dicitacitakan atau yang seharusnya, sedangkan disiplin analitis menyorot sesuatu (objek) sebagai kenyataan. Atas dasar itulah maka terdapat dua disiplin hukum yaitu disiplin preskriptif dan disiplin analitis. Hukum yang dirumuskan dalam undang-undang merupakan hukum dalam norma atau kaedah yang di dalamnya memuat sesuatu yang dicita-citakan, sebaliknya hukum adat merupakan bentuk kebiasaan yang hidup dalam masyarakat, merupakan kenyataan atau realitas hukum6. Hukum sebagai norma, dikaji 5 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Press, Jakarta, 1990. Hal. 2. 6 Ibid., Hal. 3 4 oleh ilmu kaedah dan ilmu pengertian, yang lazim nya bila digabung disebut dogmatik hukum. Sedangkan hukum sebagai kenyataan dikaji ilmu kenyataan hukum seperti sosiologi hukum, antropologi hukum, psikologi hukum, sejarah hukum, dan perbandingan hukum. Suatu masalah yang timbul adalah mengapa hukum itu memiliki dua dimensi yaitu dimensi normatif dan dimensi realitas ? . Pernyataan Immanuel Kant yang menyatakan bahwa kesulitan membuat definisi hukum disebabkan oleh (1) hukum itu memiliki ruang lingkup luas dan , (2) hukum itu banyak dimensi, juga tidak dapat menjawab masalah itu. Sebagaimana diketahui bahwa objek kajian ilmu itu adalah objek empiris, yaitu objek yang dapat dialami, dalam arti objek itu dapat diketahui melalui panca indera. Objek itu sendiri masih memiliki banyak dimensi . Adakalanya objek itu benda-benda alamiah seperti batu, rumah, tanah, gunung , dan lain-lain, akan tetapi objek itu bukan benda-benda alamiah, tetapi produk karya manusia, seperti bahasa, sastra, ilmu, hukum, etika, logika, estetika, dan lain-lain. Dalam objek hasil pemikiran pemikiran manusia itu terkandung “nilai”, „tujuan”, “makna” yang berwujud ke dalam objek tersebut. Wilhem Delthey7 setelah melihat objek sebagaimana diuraikan di atas ia lantas membedakan ilmu menjadi (1) Natuurwissenchaft yang berobjekan benda-benda alamiah, sedangkan Natuurwissenchaft Geisteswissenchaft bertujuan untuk yang berobjek menjelaskan pemikiran (erklaeren), manusia. sedangkan Geisteswissenchaft bertujuan untuk memahami (verstehen) nilai, tujuan, dan makna yang terkandung dalam objek itu. Dengan demikian norma hukum yang merupakan produk pemikiran manusia (ratio scripta) terdapat nilai-nilai hukum, tujuan hukum, dan 7 Koento Wibisono, Loc.Cit., Hal. 8 5 makna tersirat dalam norma, tergolong dalam Geisteswissenchaft. Ilmu hukum yang tergolong dalam geisteswissenchaft yang bertujuan memahami makna, menggunakan metode linier dengan langkah-langkah yaitu (1) persepsi (penangkapan data melalui panca indera), (2) persepsi (pengelolaan dan penyususnan data dalam suatu sistem), (3) prediksi (penyimpulan dan peramalan). Memahami (verstehen) itu mencakup memahami perasaan, keadaan batin seseorang (introspeksi) dan mengetahui makna tersirat di balik teks dan sekaligus menafsirkan ( hermeneutik) teks tersebut. Lantas apakah kita sudah benar menarik kesimpulan bahwa ilmu hukum tergolong ilmu pengetahuan kerohanian (Geisteswissenchaft) ?. Sebelum kesimpulan itu ditetapkan perlu dikaji lebih lanjut apakah pengertian science dalam ilmu hukum sama dengan pengertian science dalam pengertian ilmu alamiah dan ilmu sosial?. Untuk menjawab masalah ini, sebagai pembanding, ada pendapat yang menyatakan bahwa sifat norma itu adalah preskriptif, dan terapan. Sifat preskriptif bermakna yaitu apa yang seharusnya dilakukan, bukan apa yang senyatanya dilakukan. Sifat terapan itu terlihat dari standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan hukum. Karena kedua sifat ini yaitu preskritif dan terapan itulah maka ilmu hukum tidak dapat digolongkan sebagai ilmu dalam pengertian ilmu alam dan ilmu sosial 8. Jika sifat preskriptif dan terapan dijadikan tolak ukur untuk menentukan golongan mana norma hukum itu, apakah masuk kategori ilmu alam atau ilmu sosial, tidaklah terlalu tepat. Sebagaimana diketahui objek kajian ilmu yaitu objek empiris, dimana objek itu dapat dijelaskan menurut paradigma mekanistik 9 atau menurut hukum sebab akibat, dan penjelasan ini tidak dapat diterapkan pada objek ilmu hukum yaitu 8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005. Hal. 22. 9 Fritcof Capra, Titik Balik Peradaban, Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. Benteng Budaya, Yogyakarta, 1997 6 berupa norma yang bersifat preskriptif dan terapan10. Dalam kenyataannya Kita dapat menyaksikan bahwa norma hukum juga menggunakan perumusan hipotetis, yaitu perumusan yang mengandung hubungan sebab-akibat atau kausalitas, sebagaimana yang terjadi pada ilmu alamiah dan ilmu sosial. Sebagai contoh perumusan pasal 362 KUHP yang rumusannya sebagai berikut ; “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain , dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah” Bagian yang menyatakan “barang siapa mengambil barang kepunyaan orang lain….adalah sebab, sedangkan dihukum paling lama lima tahun adalah akibat. Akan tetapi hubungan sebab-akibat dalam objek ilmu alam berbeda dengan hubungan sebabakibat dalam hukum. Dalam ilmu alam hubungan itu adalah hubungan keniscayaan (keharusan) artinya jika terjadi panas (sebab) pasti diikuti oleh terjadi logam memuai (akibat). Dengan demikian setiap masalah pada ilmu dapat dijelaskan secara mekanistik atau kausalitas. Dalam hukum, hubungan sebab-akibat itu adalah hubungan pertanggungjawaban (zurechnung)11, artinya jika terjadi pencurian oleh A (sebab), belum tentu terjadi akibat yaitu berupa hukuman 5 tahun terhadap A. Tidak terjadinya akibat ini, karena adanya teori penyimpangan kaedah hukum12. A tidak dapat dihukum mungkin karena ia orang gila yang tidak dapat bertanggung jawab. 10 Peter Mahmud Marzuki., Loc. Cit. Hal. 21. Maria Farida Indriani S, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, jakarta, 2007. Hal. 38. 12 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum Citra Aditya Bakti, 11 Bandung, 1993. Hal. 60. Jika penyimpangan memiliki dasar hukum, maka ia deisebut pengecualian. Jika penyimpangan itu tidak mempunyai dasar hukum, ia dinamakan penyelewengan, yang dapat berupa (1) excess de pouvoir, (2) detaurnement de pouvoir, (3) onrechtmatige daad, dan (4) delict atau starfbaarfeit. 7 Disamping mengguanakan perumusan hipotetis, norma hukum juga dirumuskan secara kategoris, yaitu perumusan yang dipergunakan dalam UUD 1945 dan perundangundangan lainnya. Dengan perkataan lain, perumusan kategoris hanaya merumuskan sebabya saja, tidak merumuskan akibat. Contoh perumusan kategoris terlihat pada pasal 7 UUD 1945 : “presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Disamping itu tidak semua norma hukum bersifat terapan, kita dapat menyaksikan beberapa ketentuan bukan untuk diterapkan melainkan hanya amemberikan penjelasan dalam bentuk definisi atau uraian, seperi yang terlihat pada bab Ketentuan Umum dalam setiap undang-undang. Sebagai contoh ketentuan pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 sebagai berikut : “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia” Kenyataan yang demikian mengantarkan kita menyaksikan ilmu hukum itu hanya mengkaji pengertian, essensi, perumusan norma, dan seterusnya dan ini dinamakan ilmu murni. Sebaliknya kita juga menyaksikan adanya ilmu hukum yang mengkaji normanorma untuk diterapkan dalam kehidupan, seperti ilmu perundang-undangan, adalah ilmu terapan. Dimulai dari pandangan Auguste Comte yang mengemukakan gradasi ilmu yaitu (1) matematika, (2) astronomi, (3) fisika, (4) kimia, (5) biologi, dan (6) fisika sosial (sosiologi), didasarkan pada kerumitan objek formal dari ilmu yang bersangkutan, dan baru dapat disebut ilmu apabila telah menggunakan metode ilmu fisika dengan langkah-langkah : observasi, eksperimentasi, dan komparasi. Jika metode ini menjadi 8 tolak ukur suatu ilmu, maka ilmu hukum tidak dapat dikategorikan sebagai ilmu. Namun di lain pihak Chalmer 13 menyatakan bahwa setiap bidang pengetahuan, termasuk hukum dapat dianalisis sebagai mana apa adanya, artinya kita dapat menyelidiki apa tujuannya, cara-cara mencapai tujuan tersebut, dan derajat keberhasilan yang telah dicapainya. Pandangan ini kelihatannya lebih realistis dengan pendapat bahwa objek materiel ilmu adalah objek empiris, bukan objek transenden, yaitu objek yang dialami manusia. Setiap objek materiel memiliki banyak dimensi dan setiap ilmu hanya mengkaji salah satu dimensi saja. Jika hukum adalah salah satu dimensi dari kehidupan manusia dan hukum itu memiliki tujuan, cara-cara mencapai tujuan (metode), serta memiliki derajat keberhasilan metode tersebut, maka ilmu hukum tersebut terkategori ilmu. Dari uraian di atas terlihat bahwa tidak semua norma hukum itu bersifat preskriptif dan terapan. Ini bermakna bahwa hukum di samping bersifat preskriptif juga bersifat analitis dan juga sebagai ilmu terapan juga sebagai ilmu murni. 4. Hukum Sebagai Sistem Suatu pernyataan atau pendapat atau konsep dikatakan ilmiah apabila memiliki (1) sistematik, dan (2) metodologi. Sistem adalah suatu keseluruhan yang terdiri dari beberapa bagian dan diantara bagian-bagian itu terdapat hubungan satu sama lainnya. Sistem memiliki dimensi luas yang mencakup (1) sistem fisik dan sistem non fisik, (2) sistem terbuka dan sistem tertutup, (3) sistem rumit dan sistem sederhana, (4) sisem bertingkat dan sistem linier, (5) sistem rigit dan sistem fleksibel, dan (6) sistem tetap dan sistem berubah. Sebagai suatu sistem, maka setiap subsistem tidak boleh bertentangan satu sama lain, dan setiap subsistem harus berkontribusi kepada sistem 13 AF. Chalmer, Apa Itu Yang Dinamakan Ilmu?. Hasta Mitra, Jakarta, 1982. Hal. 184. 9 keseluruhan. Jika terdapat pertentangan di antara subsistem akan berpengaruh negatif atau kontra produktif dalam sistem itu. Untuk menjaga agar kelangsungan relasi antara subsistem berjalan normal, maka diperlukan mekanisme kontrol yang juga merupakan subsistem pula dari sistem tersebut. Mekanisme kontrol merupakan sistem pengendalian sebagaimana dikemukakan dalam teori sibernetik 14. Mekanisme kontrol agar sistem hukum dapat terjaga, dikenal dengan istilah judicial review. Judcial review dapat dilakukan terhadap prosedur, tata cata pembentukan undang-undang dan terhadap ketentuan bab, pasal dan ayat yang bertentangtan dengan peraturan yang lebih tinggi. Cara pengujian pertama disebut sebagai uji formil, sedangkan cara kedua disebut uji materil 15. Sebagai suatu sistem hukum terdiri dari tiga subsistem yaitu struktur, substansi, dan budaya hukum. Ketiga subsistem itu memiliki hubungan satu sama lain. Struktur yang mencakup badan-badan pelaksana perundang-undangan seperti kepolisisan, kehakiman, kejaksaan, dan kepengacaraan. Selanjutnya struktur yang tugasnya melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut juga diatur oleh substansi. Struktur yang tidak diatur oleh substansi adalah struktur yang “illegal”. Dalam substansi itu diatur tentang kedudukan, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum, objek hukum yang kesemuanya dinakmakan “pengertian-pengertian dasar daripada hukum” yang menjadi ciri dari sistem hukum16. Pengertian-pengertian dasar tersebut kadang-kadang tersebar dalam beberapa perundang-undangan atau beberapa kebiasaan 14 Fritjop Capra, Jaring-Jaring Kehidupan, Visi Baru Epistimologi dan Kehidupan , Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2002. Hal. 97. Mengemukakan bahwa sisyem pengendalian (cybernetic) terwujud dalam (1) bidang ekonomi yang dikenal dengan konsep “invisible hands”, (2) dalam bidang kekuasaan, yang terwujud dalam konsep check and balances di konstitusi Amerika, (3) di bidang berfikir, yang terwujud dalam cara berfikir Hegel, yaitu tesis-antitesis, seintesis. 15 Jimly Assidiqie, Konstitusi Ekonomi, Penerbit Kompas, Jakarta. 16 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Alumni, Bandung, 1985. Hal. 50. 10 (konvensi) di bidang ketatanegaraan. Perundang-undangan itu mencakup bidang “hukum materiel” dan juga bidang cara-cara struktur tersebut melaksanakan hak dan kewajibannya (hukum formil). Sebaliknya budaya hukum (legal culture) yang di dalamnya termuat nilai-nilai hukum, yaitu sesuatu yang dianggap baik atau buruk , sehingga ia dianut baik oleh substansi hukum maupun oleh struktur hukum. Bisa jadi budaya hukum yang dianut oleh substansi hukum akan berbeda dengan budaya hukum yang dianut oleh struktur hukum, terutama para pejabat pelaksana hukum. Bisa jadi budaya hukum yang hidup di masyarakat berbeda dengan budaya hukum yang dirumuskan dalam substansi. Dengan perkataan lain, bisa terjadi antara ketiga subsistem dalam sistem hukum tidak serasi. Bila ketiga subsistem itu berada dalam keadaan tidak serasi, sangat berpotensi besar berakibat sistem hukum itu tidak efektif. Suatu contoh klasik tentang hal ini dapat kita lihat kejadian di Indonesia pada masa Orde Lama17 dan Orde Baru18. Pada masa pemerintahan tersebut semuanya berlandaskan pada UUD 1945 yang menganut asas kedaulatan rakyat, yang pada intinya menganut budaya hukum nilai kesamaan. Namun kedua pemerintahan tersebut justeru menganut budaya hukum nilai ketidaksamaan dan itu termanifestasi dalam konfigurasi politik yang otoriter. Suatu kelemahan konfigurasi politik terakhir adalah pelaksanaan kekuasaannya sulit bdiawasi atau dikontrol dan pada akhirnya bermuara kepada korupsi. Kekuasaan cenderung korup, tetapi kekuasaan yang otoriter pasti korup (power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely). Mekanisme untuk menjaga agar sistem berjalan sesuai dengan patokan serta mengarah kepada tujuan, merupakan subsistem 17 Orde lama adalah sebutan untuk masa pemerintahan presiden Soekarno yang dimulai dari tahun 1959-1965, yang oleh para ahli digolongkan sebagai konfigurasi politik yang otoriter. 18 Orde baru adalah sebuta untuk masa pemerintahan presiden Soeharto dari tahun 1967-1999, yang oleh para ahli juga digolongkan sebagai konfigurasi politik yang otoriter. 11 sendiri dari sistem itu. Mekanisme itu terwujud dalam berbagai istilah seperti check and balances, kontrol, pengendalian, pengawasan, dan sebagainya. 5. Epistimologi Hukum Hukum adalah salah satu aspek kehidupan manusia. Hukum adalah objek formal dari ilmu hukum. Setiap objek formal akan menentukan metode penelitian setiap ilmu. Sebaliknya metode akan menentukan produk yang didapat. Sebagai objek formal ilmu hukum memiliki ruang lingkup yang luas dan memiliki banyak dimensi dan karena itulah hukum itu sulit didefinisikan19. Ruang lingkup yang luas itu dapat dilihat dari bidang kehidupan manusia yaitu bidang politik, bidang ekonomi, dan bidang sosial20. Oleh karena itu kita bisa menyaksikan adanya hukum politik, hukum ekonomi dan hukum sosial21. Dilihat dari dimensi hukum yang luas tersebut mengakibatkan hukum meiliki banyak arti22. Jika hukum diartikan sebagai norma atau kaidah, lantas tercipta metode penelitian hukum normatif. Sebaliknya jika hukum diartikan sebagai perikelakuan yang ajek atau sikap tindak yang teratur maka terciptalah metode penelitian hukum sosiologis23.Namun dilain pihak terdapat keberatan terhadap pembagian metode penelitian sebagaimana tersebut di atas, dengan menyatakan bahwa 19 .J. Van Apeldoorn. Inleideng tot de Studie van Nederlandse Recht. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Oetarid Sadino dengan judul Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005. Hal. 1. 20 Pada Garis-Garis besar haluan Negara (GBHN) dulu, ketiga bidang itu dirinci lebih lanjut menjadi ideology, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan nasional (IPOLEKSOSBUDHANKAMNAS). 21 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum. Alumni, Bandung, 1985. Hal. 18. 22 Hukum diberi arti tergantung dari sudut atau dimensi orang melihatnya. Lihat Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Seokanto., Ibid. 23 Lihat juga Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1981. Hal. 5. Yang membedakan penelitian hukum menjadi penelitian hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis atau empiris. 12 penelitian hukum itu hanya satu yaitu penelitian hukum saja 24. Penelitian hukum sosiologis atau penelitan socio-legal, bukan penelitian hukum, melainkan penelitian ilmu sosial bagi kajian hukum. Karena hukum itu multi dimensi, maka penelitiannya juga haruslah sesuai dengan dimensi tersebut. Jika penelitian ditujukan terhadap hukum secara instrinsik dinamakan penelitian hukum normatif, yang mencakup (1) penelitian terhadap asas-asas hukum, (2) penelitian terhadap sistematika hukum, (3) penelitian terhadap tingkat sinkronisasi hukum, (4) penelitian sejarah hukum, dan (5) penelitian perbandingan hukum. Sebaliknya jika hukum dilihat dari luar, hukum dipandang sebagai gejala sosial, hukum sebagai sarana pengendalian masyarakat, hukum sebagai sikap tindak atau perilaku, maka penelitiannya adalah penelitian hukum sosiologis atau empiris, yang mencakup (1) penelitian terhadap identifikasi hukum tidak tertulis, (2) penelitian terhadap efektivitas hukum25. Ketiga penelitian hukum yang disebut terdahulu tergolong penelitian hukum doktrinal, hal ini disebabkan ilmu hukum itu bersifat preskriptif, bukan deskriptif sebagaimana ilmu-ilmu alamiah dan ilmu-ilmu sosial. Sedangkan tipe ke-4 termasuk dalam kategori penelitian hukum sosiologis karena memandang hukum sebagai gejala sosial. Penelitian hukum di samping untuk kebutuhan teoritis, juga untuk praktik hukum. Penelitian terhadap praktik hukum seperti telaah atas kontrak, audit hukum atas suatu perusahaan, atau naskah akademik dari suatu rancangan undang-undang. Hasil penelitian terhadap hal tersebut di atas dibuat opini atau pendapat hukum yang bersifat 24 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group. Jakarta, 2005. Hal. 11-18. 25 Lihat juga Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1981. Hal. 50. 13 preskriptif. Sifat preskriptif dari hukum bukan deskriptif berakibat bahwa metode penelitian ilmu alamiah dan sosial tidak dapat diterapkan dalam penelitian hukum. Pendekatan dalam penelitian hukum dimana objeknya berupa norma yang sifatnya preskriptif, dapat dilakukan melalui (1) pendekatan undang-undang (statute approach), (2) pendekatan kasus (case approach), (3) pendekatan historis (historical approach), (4) pendekatan komparatif (comparative approach), dan (5) pendekatan konseptual (conceptual approach). Hasil pendekatan-pendekatan tersebut dipergunakan untuk menelaah masalah atau isi hukum yang sedang dihadapi. Penelitian hukum sosiologis, hukum sebagai variabel terikat (dependent variable), sedangkan faktor-faktor non hukum dipandang sebagi variabel bebas (independent variable). Hasil yang hendak didapat dari penelitian ini ialah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan 26 : 1. Apakah ketentuan hukum tertentu efektif di suatu daerah tertentu? 2. Apakah ketentuan hukum tertentu efektif untuk seluruh Indonesia? 3. Faktor-faktor non hukum apakah yang mempengaruhi terbentuknya suatu undang-undang? 4. Apakah peranan lembaga tertentu efektif dalam menegakan hukum? 5. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi penegakan hukum? 27. Penelitian hukum sosiologis yang melihat korelasi antar dua variabel dimulai dengan hipotesis, untuk membuktikan hipotesis tersebut diperlukan data yang diperoleh dengan sampling secara random, atau purposive sampling atau stratified random sampling atau bahkan sampel bergantung pada sifat populasi yang diteliti. Tehnik 26 Peter Mahmud Marzuki., Op. Cit. Hal. 87. Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum., Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum UI. 1986. 27 14 pengumpulan data dimulai mungkin dengan wawancara, observasi, kuisioner, atau cara lain. Data yang telah terkumpul dianalisis secara kuantitatif atau kualitatif. Jika analisis kuantitatif menggunakan metode statistik. Hasil yang diperoleh adalah menerima atau menelaah hipotesis. Jika diterima maka berubah menjadi tesis yang dapat berupa teori atau hukum. 6. Dimensi Sosial dari Norma Norma hukum diciptakan manusia , karena norma sosial (religi, kesusilaan, dan sopan santun) tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup yang bertambah kompleks. Hukum adalah alat masyarakat untuk mengendalikan perilaku warganya (hukum sebagai alat pengendalian sosial) agar perilaku warga itu mengarah kepada tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan masyarakat antara lain kesejahteraan, kedamaian, keadilan, dan kemajuan. Jika hukum berhasil mengarahkan perilkau warganya, sehingga dapat mencapai tujuan di atas, maka hukum dinamakan hukum yang efektif. Efektivitas hukum tergantung kepada banyak faktor atau variabel. Jika kita menggunakan kerangka sistem hukum menurut Lawrence Friedman 28 maka faktor itu mencakup substansi, struktur dan budaya hukum. Dalam berbagai penelitian dan kajian di Indonesia, karya Friedman sering dijadikan semacam rujukan standar dalam mendeskripsikan sistem hukum. Efektivitas sistem hukum sangat tergantung dari ketiga elemen dasar tersebut. Jika kita hanya mengkaji substansi (materi hukum) berarti kita mengkaji hukum itu secara instrinsik, mengkaji hukum dari dalam dan ini termasuk penelitian hukum normatif. Akan tetapi sebagai sistem hukum tidak hanya dapat dikaji dari segi substansi saja, tetapi juga harus dikaji dari segi struktur (tatanan kelembagaan 28 Satya Arinanto, Politik Pembangunan Hukum Nasional Dalam Era Reformasi, Pidato Pengukuhan Guru Besar di Aula Fakultas Kedokteran UI, 18 Maret 2006. 15 dan kinerja lembaga) dan budaya hukum, dan jika ini dilakukan , kita telah memasuki arena melihat hukum dari luar. Penelitian hukum sosiologis (socio-legal) sering dikatakan sebagai penelitian ilmu-ilmu sosial yang diterapkan pada hukum29. Efektivitas hukum tertulis (undang-undang) juga dipengaruhi banyak faktor30 yaitu (1) undang-undangnya sendiri, (2) penegak hukum, (3) sarana dan prasarana, (4) masyarakat, dan (5) budaya hukum. Kelima faktor baik sendiri-sendiri maupun bersamasama dapat menyebabkan undang-undang itu menjadi efektif atau tidak efektif. Jika undang-undang tidak efektif, sangatlah perlu diadakan penelitian faktor-faktor mana di antara nya yang tidak mendukung pencapaian tujuan. Dari hasil penelitian itu pula dapat diajukan rekomendasi berupa efektifikasi suatu undang-undang. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa penelitian hukum memiliki dua dimensi yaitu hukum normatif (meneliti substansi hukum atau perundang-undangan) maupun penelitian hukum sosiologis (socio-legal research) yaitu meneliti struktur dan udaya hukum, termasuk fasilitas dan pandangan masyarakat terhadap hukum. 7. Penutup Hukum merupakan salah satu dimensi kehidupan manusia. Sebagai salah satu dimensi, hukum memiliki keterkaitan dengan dimensi lainnya. Karena itu kajian terhadap hukum secara utuh paling sedikit dilakukan dari dimensi notmatif dan dimensi kenyataan. Dengan perkataan lain hukum harus dilihat secara instrinksik, dari dalam, juga dilihat dari luar. Dengan kajian dari dua dimensi itu masing-masing menjadi “gegenstand” 29 30 dari ilmu dogmatik hukum dan ilmu kenyataan Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum., Op. Cit. Hal. 87-88. Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum., Loc. Cit. 16 hukum (tatsachenwissenchaft). Dengan demikian ilmu hukum itu adalah ilmu yang objeknya dapat berupa norma dan juga kenyataan. ------------------------ DAFTAR BACAAN AF. Chalmer, Apa Itu Yang Dinamakan Ilmu?. Hasta Mitra, Jakarta, 1982. Fritcof Capra, Titik Balik Peradaban, Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. Benteng Budaya, Yogyakarta, 1997. J. Van Apeldoorn. Inleideng tot de Studie van Nederlandse Recht. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Oetarid Sadino dengan judul Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005. Koento Wibisono, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, Gajah Mada University Press, 1996. Koento Wibisono, Hubungan Filsafat, Ilmu Pengetahuan dan Budaya, makalah pada Intership dosen-dosen Filsafat Pancasila se Indonesia, Yogyakarta, 1996. Maria Farida Indriani S, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, jakarta, 2007. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Alumni, Bandung, 1985. ----------------------, dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993 Satya Arinanto, Politik Pembangunan Hukum Nasional Dalam Era Reformasi, Pidato Pengukuhan Guru Besar di Aula Fakultas Kedokteran UI, 18 Maret 2006. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1981. 17 -----------------------, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum UI. 1986. ----------------------, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Press, Jakarta, 1990. 18