DARI REDAKSI Sidang Pembaca yang terhormat, Penasehat Ir. Ferry A. Soetikno, M.Sc., M.B.A. Ketua Pengarah/Penanggung Jawab Dr. Raymond R. Tjandrawinata Pemimpin Redaksi Dwi Nofiarny, Pharm., Msc Redaktur Pelaksana Tri Galih Arviyani, S.Kom. Staf Redaksi dr. Della Manik Worowerdi Cintakaweni Gelly Eka Prasasti, S.Si., Apt. Gunawan Raharja, S.Si., Apt. Drs. Karyanto, MM Liana W. Susanto, Mbiomed dr. Prihatini Hendri dr. Ratna Kumalasari Yohanes Wijaya Andre, S.Si, Apt Peer Review Prof. dr. Arjatmo Tjokronegoro, Ph.D., Sp.And. Prof. Dr. dr. Darmono, Sp.PD-KEMD Prof. Dr. dr. Djokomoeljanto, Sp.PD-KEMD Jan Sudir Purba, M.D., Ph.D. Prof. Dr. Med. Puruhito, M.D., F.I.C.S., F.C.T.S. Prof. dr. Sudradji Soemapraja, Sp.OG. Prof. Dr. dr. H. Sidartawan Soegondo, Sp.PD-KEMD, FACE Prof. dr. Wiguno Prodjosudjadi, Ph.D., Sp.PD-KGH Redaksi/Tata Usaha Jl. R.S. Fatmawati Kav. 33 Telp. (021) 7509575 Fax. (021) 75816588 Email: [email protected] Tanpa terasa kita sudah melalui tahun 2006 dan di awal tahun 2007 ini Dexa Media kembali hadir dengan penampilan yang baru. Dan kami berharap apa yang kami suguhkan selama ini kepada pembaca dapat bermanfaat dan memberikan tambahan informasi dalam bidang kedokteran dan farmasi. Tema utama pada edisi ini mengenai probiotik. Adapun Artikel Utama yang kami hadirkan berjudul “Mikroflora Saluran Cerna pada Kesehatan Anak”. Di samping itu kami juga menampilkan Artikel Penelitian yang berjudul “Hiperkoagulasi pada Pasien Kanker Paru Bukan Sel Kecil” dan ada pula Laporan Kasus mengenai Kondilomata Atipia. Kondilomata atipia merupakan infeksi Human Papillomavirus pada serviks atau juga disebut sebagai cervical warts. Kami juga menampilkan beberapa artikel menarik untuk dibaca pada tinjauan pustaka. Kami terus memuat artikel-artikel terbaru dari jurnal terbaru di rubrik penelusuran jurnal sebagai informasi terbaru di dunia kedokteran dan farmasi dan di rubrik Kalender Peristiwa, kami memuat jadwal-jadwal simposium di tahun 2007 ini. Kami dari redaksi terus mengundang para pembaca untuk berpartisipasi mengisi lembaran majalah Dexa Media dengan memberikan hasil karya tulisannya berupa Tinjauan Pustaka, Laporan Kasus, Artikel Penelitian. Salam! DAFTAR ISI Pengantar Redaksi Petunjuk untuk Penulisan Dexa Media 1 2 Artikel Utama: Mikroflora Saluran Cerna pada Kesehatan Anak Rekomendasi Depkes RI 0358/AA/III/88 3 Artikel Penelitian: Hiperkoagulasi pada Pasien Kanker Paru Bukan Sel Kecil Ijin Terbit 1289/SK/Ditjen PPG/STT/1988 9 Laporan Kasus: Kondilomata Atipia 16 Tinjauan Pustaka: Obat Inhibitor COX-2 dan Penyakit Kardiovaskuler Gambaran Histologis Hepar serta Kadar SGOT dan SGPT Darah Mencit yang Diberikan Alkohol Akut dan Alkohol Kronis Penggunaan Antibiotika Carbenicillin pada Infeksi Saluran Kemih oleh Bakteri Pseudomonas Species Infeksi Bakteri pada Pejamu Immunocompromised Sindrom Guillain-Barre: Kajian Pustaka Aplikasi Polimerase Chain Reaction dalam Deteksi Infeksi Klamidia dan Trikomoniasis Vaginal Cover: Mikroflora Saluran Cerna SUMBANGAN TULISAN Redaksi menerima partisipasi berupa tulisan, foto, dan materi lainnya sesuai dengan misi majalah ini. Tulisan yang tidak dimuat akan dikembalikan. Redaksi berhak mengedit atau mengubah metode penulisan, tanpa mengubah tulisan yang dimuat apabila dipandang perlu. No. 1, Vol. 20, Januari - Maret 2007 Profil: Prof. dr. Abdul Aziz Rani, SpPD-KGEH 19 23 27 36 44 48 52 Sekilas Dexa Medica Group OGBdexa Dukung Sosialisasi ASKESKIN HUT Inmark Ditandai “Detailing Day” 54 54 Penelusuran Jurnal Kalender Peristiwa Daftar Iklan: Lacidofil 55 56 PETUNJUK PENULISAN Redaksi menerima tulisan asli/tinjauan pustaka, penelitian atau laporan kasus dengan foto-foto asli dalam bidang Kedokteran dan Farmasi. 1. Tulisan yang dikirimkan kepada Redaksi adalah tulisan yang belum pernah dipublikasikan di tempat lain dalam bentuk cetakan. 2. Tulisan berupa ketikan dan diserahkan dalam bentuk disket, diketik di program MS Word dan print-out dan dikirimkan ke alamat redaksi atau melalui e-mail kami. 3. Pengetikan dengan point 12 spasi ganda pada kertas ukuran kuarto (A4) dan tidak timbal balik. 4. Semua tulisan disertai abstrak dan kata kunci (key words). Abstrak hendaknya tidak melebihi 200 kata. 5. Judul tulisan tidak melebihi 16 kata, bila panjang harap dipecah menjadi anak judul. 6. Nama penulis harap disertai alamat kerja yang jelas. 7. Harap menghindari penggunaan singkatan-singkatan 8. Penulisan rujukan memakai sistem nomor (Vancouver style), lihat contoh penulisan daftar pustaka. 9. Bila ada tabel atau gambar harap diberi judul dan keterangan yang cukup. 10. Untuk foto, harap jangan ditempel atau di jepit di kertas tetapi dimasukkan ke dalam sampul khusus. Beri judul dan keterangan yang lengkap pada tulisan. 11. Tulisan yang sudah diedit apabila perlu akan kami konsultasikan kepada peer reviewer. 12. Tulisan disertai data penulis/curriculum vitae, juga alamat email (jika ada), no. telp/fax yang dapat dihubungi dengan cepat. Contoh Penulisan Daftar Pustaka Daftar pustaka di tulis sesuai aturan Vancouver, diberi nomor sesuai urutan pemunculan dalam keseluruhan tulisan, bukan menurut abjad. Bila nama penulis lebih dari 6 orang, tulis nama 6 orang pertama diikuti et al. Jumlah daftar pustaka dibatasi tidak lebih dari 25 buah dan terbitan satu dekade terakhir. Artikel dalam jurnal 1. Artikel standar Vega KJ, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996; 124(11):980-3. Lebih dari 6 penulis: Parkin DM, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood leukaemia in Europe after Chernobyl: 5 years follow-up. Br J Cancer 1996; 73:1006-12 2. Suatu organisasi sebagai penulis The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical Exercise Stress Testing. Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996; 164:282-4 3. Tanpa nama penulis Cancer in South Africa (editorial). S Afr Med J 1994; 84:15 4. Artikel tidak dalam bahasa Inggris Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996; 116:41-2 5. Volum dengan suplemen Shen HM, Zhang QE. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational lung cancer. Environ Health Perspect 1994; 102 Suppl 1:275-82 6. Edisi dengan suplemen Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women’s psychological reactions to breast cancer. Semin Oncol 1996; 23(1 Suppl 2):89-97 7. Volum dengan bagian Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in non-insulin dependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6 8. Edisi dengan bagian Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap lacerations of the leg in ageing patients. N Z Med J 1990; 107(986 Pt 1):377-8 9. Edisi tanpa volum Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrode-sis in rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995; (320):110-4 10.Tanpa edisi atau volum Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of the cancer patient and the effects of blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen Surg 1993;325-33 11. Nomor halaman dalam angka romawi Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology. Introduction Hematol Oncol Clin North Am 1995; Apr; 9(2):xi-xii Buku dan monograf lain 12. Penulis perseorangan Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed. Albany (NY):Delmar Publishers; 1996 13. Editor sebagai penulis Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for eldery people. New York:Churchill Livingstone; 1996 14. Organisasi sebagai penulis Institute of Medicine (US). Looking at the future of the medicaid program. Washington:The Institute; 1992 15. Bab dalam buku Catatan: menurut pola Vancouver ini untuk halaman diberi tanda p, bukan tanda baca titik dua seperti pola sebelumnya). Phillips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM, editors. Hypertension: Patophysiology, Diagnosis and Management. 2nded. New York:Raven Press; 1995.p.465-78 16. Prosiding konferensi Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent Advances in clinical neurophysiology. Proceedings of the 10th International Congress of EMG and Clinical Neurophysiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan. Amsterdam:Elsevier; 1996 17. Makalah dalam konferensi Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security in medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, editors. MEDINFO 92. Proceedings of the 7th World Congress on Medical Informatics; 1992 Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam:North-Hollan; 1992. p.1561-5 18. Laporan ilmiah atau laporan teknis Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor: Smith P, Golladay K. Payment for durable medi-cal equipment billed during skilled nursing facility stays. Final report. Dallas(TX):Dept.of Health and Human Services (US), Office of Evaluation and Inspections; 1994 Oct. Report No.: HHSIGOEI69200860 Diterbitkan oleh unit pelaksana: Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Health Services Research: Work Force and Education Issues. Washington:National Academy Press; 1995. Contract No.: AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care Policy and Research 19. Disertasi Kaplan SJ. Post-hospital home health care: The eldery’s access and utilization [dissertation]. St. Louis (MO): Washington Univ.; 1995 20. Artikel dalam koran Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 admissions annually. The Washington Post 1996 Jun 21; Sept A:3 (col.5) 21. Materi audio visual HIV + AIDS: The facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO): Mosby-Year Book; 1995 Materi elektronik 22. Artikel jurnal dalam format elektronik Morse SS. Factors in the emergence of infection diseases. Emerg Infect Dis [serial online] 1995 jan-Mar [cited 1996 Jun 5];1(1):[24 screens]. Available from: URL:HYPERLINK 23. Monograf dalam format elektronik CDI, Clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves JRT, maibach H. CMEA Multimedia Group, producers. 2nd ed. Version 2.0. San Diego: CMEA; 1995 24. Arsip komputer Hemodynamics III: The ups and downs of hemodynamics [computer program]. Version 2.2. Orlando [FL]: Computerized Educational Systems No. 1, Vol. 20, Januari -Maret 2007 ARTIKEL UTAMA Mikroflora Saluran Cerna Pada Kesehatan Anak Badriul Hegar Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Pendahuluan ikroflora saluran cerna umumnya diartikan sebagai flora bakteri dari tinja karena flora saluran cerna bagian bawah hampir sama dengan flora yang terdapat dalam tinja. Mikroflora saluran cerna sangat bervariasi antara satu individu dengan individu lainnya. Pada beberapa individu, mikroflora selalu berubah, sedangkan pada individu lainnya dalam keadaan stabil. Mikroflora yang stabil dan seimbang merupakan petanda keadaan saluran cerna yang sehat.1,2 Berbagai laporan memperlihatkan bahwa saluran cerna yang sehat mempunyai dampak positif pada kesehatan anak pada umumnya. M Distribusi Bakteri Di Dalam Saluran Cerna Sebagian besar bakteri yang masuk ke saluran cerna akan dirusak oleh asam lambung, sehingga di dalam lambung hanya terdapat kurang lebih 103 bakteri per gram jaringannya. Satusatunya bakteri yang dapat hidup secara permanen di dalam lambung adalah Helicobacter pylori. Di usus halus terdapat kurang lebih 105 - 106 bakteri per-gram jaringan. Jumlah ini lebih besar dibandingkan di lambung, tetapi lebih sedikit dibandingkan di usus besar. Diperkirakan di usus besar terdapat 1011-1014 bakteri per gram jaringan.3 No. 1, Vol. 20, Januari - Maret 2007 Klasifikasi Mikroflora di saluran cerna dapat berupa (1) bakteri yang menguntungkan (misalnya Bifidobacteria, Lactobacillus, Eurobacteria), (2) bakteri yang merugikan (misalnya P. aeruginosa, Proteus, Staphylococcus, Clostridia, Veillonella), atau (3) bakteri yang mempunyai sifat keduanya (misalnya Bacteroides, Enterococcus, E. coli, Streptococcus).4 Bakteri-bakteri tersebut selalu berkompetisi, sehingga komposisi mikroflora saluran cerna sangat bervariasi. Sangatlah penting mempertahankan keberadaan bakteri menguntungkan di saluran cerna sehingga dapat menekan pertumbuhan bakteri merugikan.2,4 Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri di dalam saluran cerna, yaitu:2,3,5 1. Kadar oksigen mempengaruhi distribusi bakteri di saluran cerna. Kadar oksigen di saluran cerna sangat bervariasi, tergantung pada lokasinya. Lactobacillus berkembang biak terutama di usus halus, sedangkan Bifidobacteria ditemukan di usus besar. 2. Sisa makanan yang tidak tercerna di usus halus akan masuk ke usus besar. Adanya sisa makanan untuk waktu yang lama di usus besar merupakan lingkungan yang baik untuk pertumbuhan beberapa bakteri. ARTIKEL UTAMA Peran Mikroflora Di Dalam Saluran Cerna 1. Bifidobacteria dan Lactobacillus mempunyai peran menguntungkan bagi kesehatan manusia, antara lain:3,6-8 - Menghasilkan lingkungan saluran cerna yang asam. Lingkungan ini tidak cocok untuk pertumbuhan bakteri merugikan. - Mengaktivasi sistem imun tubuh terutama saluran cerna, sehingga berperan sebagai proteksi terhadap infeksi saluran cerna pada saat respon imun tubuh rendah dan meningkatkan toleransi tubuh terhadap berbagai alergen oral. - Berkompetisi dengan bakteri merugikan dengan menempel pada dinding saluran cerna. - Memproduksi berbagai enzim pencernaan (fosfatase, lisozim) dan vitamin (B1, B2, B6, asam folat, dan biotin) yang akan diserap di dalam usus halus dan dimanfaatkan oleh tubuh - Membantu mengabsorpsi kalsium - Menghasilkan zat yang mempunyai efek mematikan bakteri merugikan. 2. Peran merugikan Bakteri merugikan menghasilkan toksin yang dapat menyebabkan keracunan, di samping itu bakteri merugikan juga tidak mampu mengubah sisa makanan dan cairan saluran cerna sehingga dapat menyebabkan proses pembusukan saluran cerna.2,8,9 Keseimbangan Mikroflora Saluran Cerna Saluran cerna bayi pada saat baru lahir masih steril. Segera setelah lahir per vaginam, bayi akan dikelilingi oleh bakteri yang berasal dari ibu dan lingkungannya. Sampai pada hari ke 3-4, kolonisasi mikroflora pada semua bayi hampir sama dan perkembangan mikrofolora baru terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Bayi yang mendapat ASI didominasi oleh Bifidobacteria dan Lactobacillus, sedangkan bayi yang mendapat susu formula selain Bifidobacteria juga didominasi oleh Bacteroides.10 Di dalam ASI terkandung faktor bifidus yang membantu pertumbuhan dan perkembangbiakan Bifidobacteria di saluran cerna bayi. Bifidobacteria akan terus stabil sampai beberapa bulan, sehingga bayi yang mendapat ASI mempunyai daya tahan secara alamiah terhadap E.coli, Bacteriodes, dan Clostridium. Bifidobacteria juga dapat melakukan fermentasi laktosa (sumber utama karbohidrat di ASI), sehingga turut berperan dalam proses pencernaan susu. Dengan kata lain, ASI menciptakan suasana optimal untuk pertumbuhan bakteri menguntungkan.1,2 ASI mengandung banyak oligosakarida (fruktooligosakarida), yaitu suatu karbohidrat tidak dicerna yang merupakan makanan bagi bakteri menguntungkan.11 Bakteri menguntungkan tersebut dikenal dengan istilah probiotik, sedangkan makanan bagi probiotik disebut prebiotik. Selain itu, oligosakarida dilaporkan juga dapat memperbaiki bioavailabilitas kalsium.12 Kadar oligosakarida yang tinggi merupakan faktor protektif di dalam ASI.13,14 Pada saat penyapihan, di mana bayi mendapat jenis makanan yang sama dengan orang dewasa, berbagai bakteri mulai tumbuh di saluran cernanya, sehingga proporsi Bifidobacteria dan Lactobacillus di dalam saluran cerna berubah. Jumlah berbagai bakteri merugikan menjadi mirip dengan orang dewasa.2 Untuk mengembalikan komposisi bakteri menguntungkan tersebut dapat diupayakan dengan memberikan probiotik (seperti Bifidobacteria dan Lactobacillus).5 Satu penelitian yang membandingkan antara bayi yang mendapat ASI dan bayi yang mendapat susu formula yang mengandung Bifidobacteria dan Lactobacillus memperlihatkan kolonisasi bakteri yang mirip.15 Pengaruh jangka panjang dari pemberian susu yang mengandung Bifidobacteria meperlihatkan konsistensi tinja yang lebih lunak dan kejadian diaper rash yang lebih rendah.16 Pemberian susu bayi yang mengandung oligosakarida juga memperlihatkan komposisi mikroflora saluran cerna yang didominasi oleh Bifidobacteria dan Lactobacillus.17 Pemberian makanan bayi yang mengandung probiotik memperlihatkan kejadian diare yang memerlukan rawat inap lebih sedikit dibanding pada bayi yang tidak mendapat probiotik.18 Diare yang disebabkan oleh Rotavirus memperlihatkan durasi yang lebih singkat.19 Pemberian Lactobacillus kepada ibu yang mempunyai riwayat atopi pada saat hamil dan 6 bulan setelah melahirkan memperlihatkan kejadian eksim yang lebih rendah pada bayinya. Hal ini mendukung dugaan adanya hubungan antara alergi dan komposisi mikroflora probiotik di saluran cerna.20 Pemberian antibiotika pada beberapa penyakit dapat mengganggu keseimbangan mikroflora usus; bakteri yang ASI mengandung banyak oligosakarida (fruktooligosakarida), yaitu suatu karbohidrat tidak dicerna yang merupakan makanan bagi bakteri menguntungkan.11 Bakteri menguntungkan tersebut dikenal dengan istilah probiotik, sedangkan makanan bagi probiotik disebut prebiotik. No. 1, Vol. 20, Januari -Maret 2007 ARTIKEL UTAMA merugikan akan menimbulkan penyakit dan efek yang tidak diinginkan.22 Bayi yang mendapat ASI mempunyai mekanisme pertahanan tubuh yang lebih besar dibandingkan bayi yang mendapat susu formula. Kadar IgA dalam tinja bayi yang mendapat ASI jauh lebih tinggi dibandingkan bayi yang mendapat susu formula pada 1-3 bulan pertama kehidupannya (0,11 + 0,07 mg/ml vs 0,03 + 0.,1 mg/ml). Lactobacillus berperan dalam mekanisme pertahanan mukosa saluran cerna dengan adanya peningkatan sekresi IgA di dalam saluran cerna pada pemberian Lactobacilus casei. Peran probiotik dalam proses penyembuhan diare pada anak telah dibuktikan oleh banyak penelitian. Probiotik mengurangi risiko diare pada hari ketiga (RR 0,66 dan confidence interval 95% sebesar 0,55-0,77) dan durasi diare sebesar 30,48 jam (confidence interval 95% sebesar 18,5142,46) Upaya Memperoleh Keseimbangan Mikroflora Saluran Cerna Yang Optimal Keseimbangan mikroflora yang optimal dapat diperoleh bila saluran cerna didominasi oleh bakteri yang menguntungkan. Untuk mendapatkan hasil optimal, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Bakteri tersebut harus tahan terhadap asam lambung sehingga masuk ke dalam usus dalam keadaan hidup. Selanjutnya bakteri akan menempel pada sel epitel usus sehingga menghambat pertumbuhan bakteri merugikan. Probiotik harus stabil di dalam kemasannya agar saat masuk ke saluran cerna dapat berfungsi secara optimal.1,8 Jenis probiotik yang sering dan telah terbukti bermanfaat bagi kesehatan saluran cerna adalah dari strein Bifidobacteria, Lactobacillus atau kombinasi Bifidobacteria dan Lactobacillus. Lactobacillus sebagai probiotik meskipun bukan strein utama dalam saluran cerna bayi sehat, banyak digunakan sebagai probiotik karena bakteri ini lebih stabil sehingga proses penyiapannya lebih mudah dan stabilitasnya selama penyimpanan lebih terjamin. Di samping itu, kedua probiotik tersebut mempunyai sifat saling mempengaruhi. Beberapa laporan memperlihatkan bahwa pemberian Lactobacillus dapat meningkatkan jumlah dan aktivitas Bifidobacteria, begitu pula sebaliknya. Kesimpulan Sistem pencernaan berperan penting dalam mempertahankan kesehatan anak, karena itu penting untuk selalu mejaga kesehatan saluran cerna, salah satu caranya adalah dengan mempertahankan keseimbangan mikroflora saluran cerna yang didominasi oleh bakteri menguntungkan. Suplementasi probiotik dengan jumlah tepat dapat merupakan salah satu alternatif sebagai upaya menciptakan keseimbangan mikroflora saluran cerna yang optimal. Probiotik sudah terbukti sangat membantu dalam mengoptimalkan tata laksana diare pada anak. No. 1, Vol. 20, Januari - Maret 2007 Daftar Pustaka 11. Salminen S, Bouley C, Ruault Boutron MC, et al. Functional food science and gastrointestinal physiology and function. British Journal of Nutrition 1998; 80:S147-71 12. Mitsuoka T. Intestinal flora and human health. Asia Pacific J Clin Nutr 1996; 5:2-9 13. Gibson GR, Collins MD. Concept of balanced colonic microbiotica, prebiotica and synbiotica. Nestlee Nutrition Workshop Series, 1999; 42:139-56 14. Gibson GR, Roberford MP. Dietary modulation of the human colonic microbial; Introducing the concep of prebiotik. Am Food Technology 1994; 10:61-5 15. Catto-Smith AG. Gut flora and mucosal function. Asia Pacific J Clin Nutr 1996; 5:36-9 16. Vandenplas Y. Bacteria and yeasts in the treatment of acute and chronic infectious diarrhea. Clin Microbiol Infect 1999; 5:299-307 17. Kaila M, Isolauri E, Saxelin, et al. Viable versus inactivated Lactobacillus strain GG in acute rotavirus diarrhea. Arch Dis Childh 1995; 72:51-3 18. Patricia LC. Selection criteria for probiotic microoragnisms. Asia Pacific J Clin Nutr 1996; 5:10-4 19. Mishra C, Lambert J. Production of antimicrobial substances by probiotic. Asia Pacific J Clin Nutr 1996; 5:20-4 10. Harmsen HJM, Wideboer V, Raang GC. Analysis of intestinal flora development in breast fed and formula fed infants by using molecular identification and detection methods. J Peditr Gastroenterol Nutr 2000; 30:61-7 11. Young J. European market development in prebiotic and probiotic containing foodstuffs. Br J Nutr 1998; 80: S231-3 12. Jenkins DJ, Kendall CW, Vuksan V. Inulin, oligofructose and intestinal function. J Nutr. 1999 Jul;129(7 Suppl): S1431-3 13. Vandenplas Y. Oligosaccharides in human milk. Br J Nutr 2002;87 Suppl 2:S293-6 14. Sabharwal H, Sjoblad S, Lundblad A. Sialylated oligosaccharides in human milk and feces of preterm, full-term, and weaning infants. J Pediatr Gastroenterol Nutr 1991; 12(4):480-4 15. Langhendries JP. Effect of a fermented infant formula containing viable bifidobacteria in the fecal flora composition and pH of healthy fullterm infants. J Pediatr Gastroenterol Nutr 1995; 21:17781 16. Saavedra J. Clinical application of probiotic agents. Am J Clin Nutr 2001; 73:S1147-51 17. Gibson GR, Beatty ER, Wang X. Selective stimulation of bifidobacteria in the human colon by oligofructose and inulin. Gastroenterology 1995; 108(4):975-82 18. Saavedra JM, Bauman NA, Oung I, et al. Feeding of Bifidobacterium bifidum and Streptococcus thermophilus to infants in hospital for prevention of diarrheal and shedding of rotavirus. Lancet 1994; 344:1046-9 19. Guandalini S, Pensabene L, Zikri AM, et al. Lactobacillus GG administered in oral rehydration solution to children with acute diarrhea: a multicenter European trial. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2000; 30:54-60 20. Kalliomaki M, Salminen S, Arvilommi H, et al. Probiotic in primary prevention of atopic disease: a randomised placebo-controlled trial. Lancet 2001; 357:1076-9 21. Bird AR. Prebiotics: a role for dietary fibre and resistant starch?. Asia Pacific J Clin Nutr 1999; 8:S32-6 22. Savedra J. Probiotic and infectious diarrhea. Am J Gastroenterol 2000; 95:S16-18 23. Szajewska H, Mrukowicz JZ. Probiotics in the treatment and prevention of acute infectious diarrhea in infants and children: a systematic review of published randomised, double-blind, placebo-controlled trials. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2001; 33:S17-25 Lacidofil™ merupakan preparat probiotik berkualitas tinggi yang berisi bakteri hidup, dikembangkan untuk menyeimbangkan mikroflora intestin pada berbagai kasus gangguan intestinal, seperti kembung, rasa perut tidak nyaman dan diare. Lacidofil TM adalah kombinasi unik dari dua strain bakteri hidup : Lactobacillus rhamnosus R-11 & Lactobacillus acidophilus R-52, yang diseleksi untuk aksi spesifik yang komplementer.1 Sangat resisten Sangat resisten Tahan empedu Resisten Sangat resisten Adhesi Sangat adhesif pada sel intestinal manusia: memelihara tigh junction manusia Adhesif pada sel intestinal manusia & ekspresi musin Habitat Usus halus & kolon musokal Usus halus disital Jenis aksi Produksi substansi penghambat patogen Metabolisme laktose Blokadhesi E. coli Metabolisme laktosa Efek pada sistem imun meningkatkan produksi antibodi (lgG, lgm) Menurunkan regulasi pro-inflamasi interleukin & cytokin (IL-8, TNF-a) Lacidofil TM juga adalah sediaan probiotik yang memenuhi standar WHO/ FAO 2002 (Probiotics: Live micro-organisms which when administered in adequate amounts confer a health benefit on the host 2) karena: 1.HIDUP Hanya bakteri hidup yang dapat menyeimbangkan flora intestin 2.JUMLAH ADEKUAT Setiap kapsul mengandung total 2 MILIAR bakteri L. rhamnosus R-11 dan L. acidophilus R-52 3.MENYEHATKAN Teregistrasi di Amerika Utara dan Eropa dengan berbagai manfaat klinis yang telah terbukti FARMAKOLOGI L. rhamnosus R-11 dapat menstimulasi proliferasi sel-sel epitel intestin, memberikan efek protektif terhadap penetrasi agen patogenik, dengan cara mengganti sel epitel yang rusak. 1 0,3 0,2 0,1 0,0 L. rhamnosus R0011 Cell Control R0011 Percobaan in vitro menunjukkan L. rhamnosus R-11 dan L. acidophilus R-52 dapat menginhibisi adhesi patogen (enteropatogenik E. coli O127: H6 dan enterohemoragik E. coli O157:H7) pada sel epitel intestin, di mana kedua jenis patogen tersebut bertanggungjawab atas terjadinya diare panjang pada anak-anak dan kolitis hemoragik. % adhesi E. coli pada sel epitel intestin Tahan Asam L.acidophilus R0052 120% 100% 80% 60% 40% 20% 0% % adhesi E. coli pada sel epitel intestin LACIDOFIL® Tingkat proliferasi Optical Density (OD Units) SEKILAS PRODUK 0 106 108 1010 cfu/ml cfu/ml cfu/ml cfu/ml Konsentrasi L.acidophillus R0052 120% 100% 80% 60% 40% 20% 0% 0 106 108 1010 cfu/ml cfu/ml cfu/ml cfu/ml Konsentrasi L.rhamnosus R0011 No. 1, Vol. 20, Januari -Maret 2007 SEKILAS PRODUK Tingkat proliferasi Optical Density (OD Units) 0,2 ERADIKASI H. pylori4 Studi dilakukan pada 152 pasien dengan infeksi yang disebabkan H. pylori. Pada grup 1 diberikan terapi anti H.pylori standar (Pantograzol 40mg + amoxicillin 1g + claritromisin 500mg) selama 10 hari. Pada grup 2 diberi terapi standar +Lacidofil TM 3 x sehari 2 kapsul selama 20 hari. Hasilnya : Media control 6 2,5 X 10 6 5 X 10 1 X 107 0,1 2 X 107 8 X 107 0 R0011 +LACIDOFILTM GANGGUAN GASTROINTESTINAL LAINNYA 1. Perbaikan pada gejala-gejala Irritable Bowel Syndrome5 2. Perbaikan pada konstipasi kronis6 3. Mengurangi intoleransi laktosa7 R0052 LacidofilTM memiliki komposisi : Lactobacillus rhamnosus R-11 1,9 x 109 cfu Lactobacillus acidophilus R-52 0,1 x 109 cfu Total bakteri 2,0 x 109 (2 miliar) cfu (colony forming unit) Total 600 92 % 72 % Terapi anti H.pylori standar 4 X 107 L. acidophilus R-52 dapat menstimulasi produksi antibodi melalui aktivasi mitogenik dan poliklonal: Konsentrasi lgM (ng/ml) Terapi eradikasi H.pylori Studi in vitro menunjukkan Lacidofil™ memiliki efek positif pada sel-sel imun dengan meningkatkan jumlahnya dan kemampuannya untuk melawan agen patogen intestin. L. rhamnosus R-11 dan L. acidophilus R-52 secara bermakna mengaktivasi proliferasi sel-sel imun secara dosedependent: 500 400 Dosis : Dewasa: 2 x sehari 1 kapsul diberikan bersamaan dengan makanan Anak-anak: 1 x sehari 1 kapsul 300 200 100 Kemasan : Box, 6 botol @ 10 kapsul L.acidophillus R0052 cfu/ml DATA KLINIS DIARE3 Studi dilakukan pada 57 anak-anak usia 1-16 tahun yang diterapi dengan antibiotik jangka panjang. Grup 1 : 30 pasien diterapi dengan antibiotik saja Grup 2 : 27 pasien diterapi dengan antibiotik + Lacidofil™ Hasilnya : Referensi: 1. Institut Rosell – Internal Reports. (Product Monograph R-52 & R-11) 2. FAO/OMS. Guidelines for the evaluation of probiotics in food: Joint FAO/WHO Working Group Meeting. London Ontario, Canada, 30 April – 1 May 2002 3. Ivanko OG, et al. Lactobacillus acidophilus reduces frequency of diarrhea caused by toxins Clostridium difficile A+B in children % diare treated by antibiotics. Study report. 40 35 30 25 20 15 10 5 0 4. Bielanski W, et al. Improvement of anti-Helicobacter pylori therapy by the use of commercially available Probiotics. Gut 2002:5 (11). 36.7% A98 5. Benes Z et al. Evaluation of probiotics preparation for the treatment of irritable bowel syndrome. Study report. 2003 7.4% Antobiotik Antobiotik + LACIDOFILTM 6. Wojoik Z, et al. Clinical trial of L. acidophilus. Department of gastroenterological surgery, Medical Academy, Warsaw Poland. Report for Institut Rosell Inc., 1996 7. Kocian J. Further possibilities in the treatment of lactose intolerance. Praktiky Lekar 1994; 74: 212-14. No. 1, Vol. 20, Januari - Maret 2007 ARTIKEL PENELITIAN Hiperkoagulasi pada Pasien Kanker Paru Bukan Sel Kecil Eppy Departemen Penyakit Dalam FKUI/RSCM Abstrak. Kejadian tromboemboli pada kasus keganasan dilaporkan paling banyak kanker paru. Hiperkoagulasi mendasari terjadinya kelainan tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui proporsi hiperkoagulasi serta sebaran berbagai faktor yang mempengaruhinya pada pasien kanker paru bukan sel kecil. Sebanyak 42 subjek dari Rumah Sakit Kanker Dharmais (RSKD) dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang memenuhi kriteria antara Juli-Oktober 2005 diikutsertakan dalam penelitian ini. Pemeriksaan hemostasis dilakukan pada semua subjek untuk menentukan adanya hiperkoagulasi. Data mengenai stadium, jenis sito/histopatologi, pemberian terapi antikanker, dan kondisi penyerta didapatkan dari rekam medik. Pada penelitian ini, stadium kanker terbanyak adalah stadium IV (76,2%), sedangkan jenis sito/histopatologi terbanyak berupa adenokarsinoma (71,4%). Sekitar 54,8% subjek sudah mendapat terapi antikanker, sedangkan kondisi penyerta didapatkan pada 54,8% subjek. Pada pemeriksaan hemostasis didapatkan pemendekan PT 4,8%; peningkatan aktivitas pro-trombin 21,4%; penurunan INR 33,3%; pemendekan aPTT 14,3%; dan peningkatan Ddimer 35,7%. Proporsi hiperkoagulasi pada penelitian ini sebesar 64,3%. Kejadian hiperkoagulasi cenderung lebih tinggi pada kelompok dengan stadium IV, kelompok yang mendapat terapi antikanker, serta kelompok dengan kondisi penyerta. Tidak didapatkan kecenderungan peningkatan kejadian hiperkoagulasi pada kelompok dengan jenis sito/histopatologi adenokarsinoma. Kata kunci: kanker paru bukan sel kecil, hiperkoagulasi Pendahuluan romboemboli merupakan komplikasi yang biasa terjadi pada pasien kanker.1-10 Risiko tromboemboli pada pasien kanker adalah 2-4 kali dari populasi umum. Sekitar 8% pasien kanker meninggal akibat emboli paru. Studi otopsi memperlihatkan bahwa 20% pasien kanker mengalami trombosis.11 Risiko tromboemboli lebih besar pada jenis kanker yang menghasilkan musin, seperti kanker pankreas, paru, lambung, dan usus.3,6 Akan tetapi, secara keseluruhan kejadian tromboemboli paling banyak dijumpai pada kanker paru karena prevalensinya yang relatif lebih tinggi dibandingkan kanker lainnya.1 Rickles dkk pada tahun 1983 melaporkan bahwa 25,6% kasus tromboemboli pada keganasan terjadi pada T No. 1, Vol. 20, Januari - Maret 2007 kanker paru.2 Kanker paru merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel bronkus. Secara histopatologi, dibagi menjadi karsinoma sel kecil dan bukan sel kecil. Sekitar 80% kasus merupakan karsinoma bukan sel kecil.12 Saat ini, kanker paru merupakan keganasan yang paling sering menimbulkan kematian di seluruh dunia.12 Data di Rumah Sakit Kanker Dharmais tahun 2004, menyebutkan bahwa kanker paru merupakan keganasan terbanyak ke-4 dengan jumlah mortalitas nomor 2 terbanyak.13 Blom dkk pada tahun 2004 melaporkan bahwa insiden tromboemboli pada pasien kanker paru sebesar 4,4% (20 kali dari populasi umum), dengan angka yang lebih tinggi pada kelompok adenokarsinoma dibandingkan karsinoma ARTIKEL PENELITIAN sel skuamosa. Pada stadium IV, insiden meningkat menjadi 22%.14 Risiko tromboemboli makin tinggi dengan pemberian kemoterapi, radioterapi, pembedahan, maupun bila terdapat metastasis.11,14,15 Sebanyak 52% pasien yang mendapat kemoterapi atau radioterapi mengalami tromboemboli dalam waktu 4 minggu sesudah terapi.14 Studi retrospektif oleh Atmakusuma dkk pada tahun 1997 mendapatkan bahwa 23% pasien kanker paru mengalami Deep Vein Thrombosis (DVT), dengan angka kejadian lebih tinggi pada kelompok adenokarsinoma dibandingkan non adenokarsinoma, yaitu sebesar 35% dan 14%.16 Tromboemboli pada kanker terjadi terutama akibat adanya hiperkoagulasi yakni kecenderungan dari darah untuk lebih mudah membeku.10 Gabazza dkk pada tahun 1993 mendapatkan peningkatan bermakna kadar berbagai petanda hiperkoagulasi [D-dimer, thrombin-antithrombin complex (TAT), dan plasmin-antiplasmin complex (PAP)], baik pada kanker paru stadium dini (I-IIIA) maupun stadium lanjut (IIIB-IV).17 Seitz dkk pada tahun 1993 menemukan perbedaan bermakna antara kadar rerata TAT dan D-dimer pada kanker paru stadium dini dengan stadium lanjut.18 Unsal dkk pada tahun 2004 juga mendapatkan kadar rerata D-dimer kanker paru stadium IV yang lebih tinggi secara bermakna dari pasien stadium I-III. Akan tetapi, tidak terdapat perbedaan bermakna antara stadium IIIB dengan IV.19 Sementara itu, Ferrigno dkk dan Atmakusuma dkk, menemukan pemendekan prothrombin time (PT), pemendekan activated partial thromboplastin time (aPTT), dan peningkatan D-dimer pada pasien kanker paru.8,16 Berbagai kondisi penyerta pada pasien kanker, seperti usia tua, imobilisasi, disfungsi hepatik, sepsis, stasis vena, dan trauma juga dapat memperkuat hiperkoagulasi pada pasien kanker dan mempermudah terjadinya tromboemboli.15 Sampai saat ini, belum ada studi prospektif untuk mengetahui proporsi hiperkoagulasi pada pasien kanker paru, khususnya kelompok bukan sel kecil di Indonesia. Demikian pula, belum ada data mengenai sebaran faktor-faktor stadium, jenis sito/ histopatologi, pemberian terapi antikanker, dan kondisi penyerta terhadap kejadian hiperkoagulasi pada kelompok tersebut. Dengan diketahuinya data mengenai proporsi hiperkoagulasi serta sebaran faktor-faktor stadium, jenis sito/histopatologi, pemberian terapi antikanker, dan kondisi penyerta terhadap kejadian hiperkoagulasi pada pasien kanker paru bukan sel kecil, akan meningkatkan kewaspadaan kita terhadap timbulnya hiperkoagulasi pada kelompok pasien tersebut, sehingga dapat dilakukan pencegahan dini terhadap terjadinya tromboemboli. Metode Penelitian ini dilakukan dengan desain potong lintang deskriptif. Tempat penelitian di Rumah Sakit Kanker Dharmais (RSKD) dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), selama bulan Juli-Oktober 2005. Populasi target adalah seluruh pasien kanker paru bukan sel kecil di 10 Indonesia, sedangkan populasi terjangkau adalah semua pasien kanker paru bukan sel kecil di Rumah Sakit Kanker Dharmais (RSKD) dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dalam periode penelitian. Sampel pada penelitian ini adalah subjek yang memenuhi kriteria inklusi. Kriteria inklusi penelitian ini adalah pasien dengan diagnosis sito/histopatologi kanker paru bukan sel kecil dan sudah ditentukan stadiumnya, serta bersedia ikut serta dalam penelitian; sedangkan kriteria eksklusinya adalah pasien yang dalam terapi antikoagulan (heparin/ antikoagulan). Variabel bebas pada penelitian ini adalah stadium, jenis sito/histopatologi, pemberian terapi antikanker, dan kondisi penyerta; sedangkan variabel terikat adalah kejadian hiperkoagulasi. Pada subjek penelitian dilakukan pemeriksaan hemostasis, yang meliputi PT, aktivitas protrombin, international normalized ratio (INR), aPTT, fibrinogen, dan D-dimer. Data stadium, jenis sito/histopatologi, pemberian terapi antikanker, dan kondisi penyerta didapatkan dari rekam medik pasien. Pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan hemostasis dilakukan dari vena di fosa kubiti, menggunakan semprit steril 5 ml. Sebanyak 4,5 ml darah dimasukkan ke dalam tabung vacuntainer berisi 0,5 ml larutan natrium sitrat 3,5%, lalu di bawa ke laboratorium Pusat Trombosis Hemostasis FKUI/ RSCM. Kemudian dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit, hingga didapatkan serum sitrat. Serum sitrat digunakan untuk pemeriksaan hemostasis memakai alat Behring Coagulation Timer® dari Dade-Behring dengan metode kromogenik. Subjek dikatakan mengalami hiperkoagulasi, bila pada pemeriksaan hemostasis didapatkan salah satu atau lebih kelainan hemostasis berikut ini: pemendekan PT (<0,8 kali kontrol), peningkatan aktivitas protrombin (>130%), penurunan INR (<0,9), pemendekan aPTT (<0,8 kali kontrol), atau peningkatan D-dimer (>500 ng/dL). Data penelitian dicatat pada formulir penelitian yang telah diuji coba. Setelah melalui proses editing dan penerima kode, data penelitian direkam dalam cakram magnetik untuk dilakukan proses pembersihan data secara elektronik. Data yang telah teruji keabsahan kemudian diolah dan disusun dalam bentuk tabel distribusi dan tabel silang. Penelitian ini telah dinyatakan lolos kaji etik oleh Panitia Tetap Penilai Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sebelum dilakukan pemeriksaan darah untuk penelitian ini, setiap subjek penelitian diberi penjelasan terlebih dahulu dengan baik dan terperinci mengenai tujuan pemeriksaan. Persetujuan untuk ikut serta dalam penelitian ini dinyatakan dengan menandatangani lembar persetujuan. Hasil Pada penelitian terhadap pasien kanker paru bukan sel kecil yang berlangsung dari bulan Juli-Oktober 2005 ini didapatkan hasil sebagai berikut: No. 1, Vol. 20, Januari -Maret 2007 ARTIKEL PENELITIAN Karakterisik Subjek Tabel 1. Karakteristik demografik subjek (n=42) Karakteristik demografik n % Jenis kelamin Pria 31 73,8 11 26,2 Wanita Kelompok umur <40 tahun 3 7,1 40-59 ≥60 tahun 26 13 61,9 31 Tabel 4. Persentase lokasi metastasis menurut jenis sito/ histopatologi Sebagian besar subjek penelitian ini berjenis kelamin pria (73,8%) dengan perbandingan pria dan wanita sekitar 3:1. Kelompok usia terbanyak adalah 40-59 tahun, sebesar 61,9%. Adeno (n=24) Skuamosa (n=8) Seluruh (n=32) Tulang 31,6 75,0 39,1 Hati 15,8 13,0 Otak 18,4 16,7 Jaringan lunak 5,3 Paru kontralateral 13,2 % Lobus lain unilateral 2,6 2,2 Tabel 2. Karakteristik medik subjek (n=42) Karakteristik medik kontralateral dan hati. Tempat metastasis terbanyak pada kedua jenis sito/histopatologi adalah sama, yakni pada tulang. Dari 42 subjek penelitian, sebanyak 23 (54,8%) diantaranya mempunyai kondisi penyerta. Yang terbanyak berupa usia tua (56,5%), diikuti imobilisasi (43,5%), disfungsi hati (17,4%), sepsis dan stasis vena masing-masing 13% kemudian trauma (4,3%). n Stadium Lokasi metastasis 4,8 25,0 15,2 III A 1 2,4 Perikardium 5,3 4,3 III B 9 21,4 Diafragma 2,6 2,2 IV 32 76,2 KGB inguinal 2,6 2,2 Pelvis minor 2,6 2,2 Sito/histopatologi Adenokarsinoma 30 7 1,4 Karsinoma sel skuamosa 11 26,2 Karsinoma sel besar 1 2,4 Kemoterapi 13 31,0 Radioterapi 8 19,0 Kemoradiasi Belum ada 2 19 4,8 45,2 Terapi antikanker Sebagian besar subjek mempunyai stadium IV (76,2%). Selama penelitian tidak didapatkan pasien dengan stadium I maupun II. Jenis sito/histopatologi terbanyak adalah adenokarsinoma sebesar 71,4%. Sebagian besar subjek juga sudah mendapat terapi antikanker, sebanyak 54,8%. Modalitas terapi terbanyak berupa kemoterapi (31,0%). Tabel 5. Sebaran kondisi penyerta subjek (n=23) Kondisi penyerta n % Usia tua 13 56,5 Imobilisasi 10 43,5 Disfungsi hati 4 Sepsis 3 Stasis vena 3 13,0 Trauma 1 4,3 17,4 13,0 Tabel 6. Gambaran hemostasis subjek (n=42) Parameter hemostasis n % PT Tabel 3. Sebaran jenis sitostatika subjek (n=15) Memendek 2 4,8 Tidak memendek 40 95,2 Jenis sitostatika n % Aktivitas protrombin Cisplatin-etoposide Cisplatin-docetaxel 2 3 13,3 20 Meningkat 9 21,4 Tidak meningkat 33 78,6 Cisplatin-paclitaxel 1 6,7 Carboplatin-etoposide 1 6,7 Menurun 14 33,3 Docetaxel weekly 1 6,7 Tidak menurun 28 66,7 Gefitinib CHOP 6 1 40 6,7 Memendek 6 14,3 Tidak memendek 36 85,7 Meningkat 15 35,7 Tidak meningkat 27 64,3 Dari 15 subjek yang mendapat kemoterapi, sebagian besar mendapatkan gefitinib (40,0%). Satu pasien mendapat cyclophosphamid-hydroxydaunorubicyn-oncovin-prednison (CHOP) sebelum dirujuk dari daerah, karena pada awalnya didiagnosis sebagai timoma. Dari 32 subjek dengan stadium IV, didapatkan lokasi metastasis terbanyak pada tulang, diikuti otak, paru No. 1, Vol. 20, Januari - Maret 2007 INR aPTT D-dimer Dari tabel 5 terlihat bahwa pemendekan PT, peningkatan aktivitas protrombin, pemendekan INR, pemendekan aPTT, peningkatan D-dimer dijumpai masing-masing pada 4,8%; 21,4%; 33,3%; 4,3%; dan 35,7% subjek. 11 ARTIKEL PENELITIAN Tabel 9. Sebaran berbagai faktor risiko terhadap kejadian hiperkoagulasi (n=42) Bila antara pemberian kemoterapi dan radioterapi dibandingkan, maka terlihat Faktor risiko Hiperkoagulasi n(%) Tidak hiperkoagulasin (%) Stadium bahwa kejadian hiperkoagulasi cenderung lebih tinggi pada pemberian kemoterapi. III 6 (60,0) 4 (40,0) IV 21 (65,6) 11 (34,4) Adenokarsinoma 18 (60,0) 12 (40,0) Nonadenokarsinoma 9 (75,0) 3 (25,0) Jenis sito/histopatologi Pemberian terapi anti kanker Sudah 19 (82,6) 4 (17,4) Belum 8 (42,1) 11 (57,9) Kemoterapi 1 2 (92,3) 1 (7,70) Radioterapi 6 (75,0) 2 (25,0) Ada 16 (69,6) 7 (30,4) Tidak ada 11 (57,9) 8 (42,1) Kemoterapi vs radioterapi Tabel 7. Kejadian hiperkoagulasi pada subjek (n=42) Hiperkoagulasi n % Ya 27 64,3 Tidak 15 35,7 Kondisi penyerta Sebagian besar subjek pada penelitian ini mengalami hiperkoagulasi, yakni mencapai 64,3%. Pemendekan D-dimer Pemendekan aPTT Penururnan INR Peningkaan aktivitas protrombin Pemendekan PT 0 10 20 30 40 50 60 Gambar 1. Persentase kelainan hemostasis pada subjek dengan hiperkoagulasi (n=27) Dari 27 subjek yang mengalami hiperkoagulasi, manifestasi laboratorium terbanyak berupa peningkatan Ddimer (55,6%), diikuti penurunan INR (51,9%), peningkatan aktivitas protrombin (33,3%), pemendekan aPTT (22,2%), serta pemendekan PT (7,4%). Tabel 8. Jumlah kelainan hemostasis pada subjek dengan hiperkoagulasi (n=27) Jumlah kelainan n % Satu macam 16 59,3 Dua macam 6 22,2 Tiga macam 4 12,5 Empat macam 1 3,1 Dari 27 subjek dengan hiperkoagulasi, 59,3% hanya mempunyai 1 kelainan hemostasis, yakni mencapai 59,3%. Di antara subjek dengan hiperkoagulasi tersebut, didapatkan 2 orang dengan DVT klinis, masing-masing pada lengan dan tungkai. 12 Pada tabel berikut ini, terlihat ada kecenderungan bahwa kejadian hiperkoagulasi lebih tinggi pada kelompok yang sudah mendapat terapi antikanker dan kelompok dengan kondisi penyerta. Bila antara pemberian kemoterapi dan radioterapi dibandingkan maka terlihat bahwa kejadian hiperkoagulasi cenderung lebih tinggi pada pemberian kemoterapi. Diskusi Stadium terbanyak pada penelitian ini adalah stadium IV (76,2%). Paramita dan Unsal dkk juga mendapatkan hasil yang sama, sebesar 53,4% dan 45%. Penelitian ini dan Paramita tidak mendapatkan pasien stadium I-II, akan tetapi Unsal dkk, Gabazza dkk, dan Ferrigno dkk menemukan pasien stadium I-II sebanyak 14%, 28% dan 29%.8,17,19 Blom dkk, mendapatkan kanker paru bukan sel kecil stadium I, IIIII, dan IV masing-masing sebesar 26%, 30%, dan 38%.14 Hal ini, kemungkinan besar karena kegiatan deteksi dini di luar negeri lebih baik sehingga pasien-pasien yang masih dalam stadium awal bisa terjaring. Jenis sito/histopatologi terbanyak pada penelitian ini adalah adenokarsinoma (71,4%), diikuti karsinoma sel skuamosa (23,8%). Paramita dan Jusuf dkk juga mendapatkan hasil yang sama yakni 60,4 % dan 15,6%; serta 38% dan 26%. Penelitian Paramita dan Jusuf dkk mengikutsertakan juga pasien dengan karsinoma sel kecil.14,48 Pada penelitian Gabazza dkk juga didapatkan hasil yang sama, masing-masing 37,9% dan 34,5%. Sedangkan Ferrigno dkk dan Unsal dkk mendapatkan karsinoma sel skuamosa sebagai patologi terbanyak. Ferrigno dkk mendapatkan karsinoma sel skuamosa sebesar 36,4%; dan adenokarsinoma sebesar 23,3%. Namun pada penelitian tersebut juga terdapat kelompok yang tidak dapat ditentukan patologinya, dalam jumlah yang cukup besar, yakni 25,7%. Unsal dkk juga mendapatkan hasil yang hampir sama, yakni karsinoma sel skuamosa 38% dan adenokarsinoma 28%, dengan persentase No. 1, Vol. 20, Januari -Maret 2007 ARTIKEL PENELITIAN karsinoma sel kecil yang cukup besar, mencapai 34%.8,17,19 Sementara itu, Blom dkk mendapatkan karsinoma sel skuamosa sebanyak 57,9%; adenokarsinoma 29,4%; dan kanker paru bukan sel kecil lainnya 12,7%.14 Sebagian besar subjek penelitian juga sudah mendapat terapi antikanker. Modalitas terapi terbanyak berupa kemoterapi, sebesar 31,0%. Paramita juga mendapatkan kemoterapi sebagai modalitas terapi terbanyak, sebesar 27,6% dari seluruh diagnosis klinis kanker paru.48 Ferrigno dkk mendapatkan kemoterapi baik sendiri atau kombinasi sebagai modalitas terapi terbanyak yakni sebesar 51%, sementara itu yang mendapat pembedahan mencapai 19%. Pada penelitian Ferrigno dkk, cukup banyak pasien dengan stadium I-II sehingga pilihan terapinya adalah pembedahan.8,42 Blom dkk, mendapatkan pasien yang menjalani kemoterapi 15%, radioterapi 56%, dan pembedahan 35%.14 Jumlah siklus kemoterapi tidak diteliti pada penelitian ini karena kerusakan jaringan akibat kemoterapi umumnya akan pulih kembali dalam 3 minggu. Pada penelitian ini didapatkan proporsi hiperkoagulasi sebesar 64,3%. Peningkatan D-dimer dijumpai pada 35,7% subjek, sedangkan pemendekan PT dan aPTT sebesar 4,7% dan 14,3%. Hasil ini hampir sama dengan yang didapatkan oleh Atmakusuma dkk, yang mendapatkan peningkatan Ddimer 33%, pemendekan PT 13% dan pemendekan aPTT 6,5%. Pada penelitian ini, proporsi subjek dengan penurunan INR juga relatif tinggi mencapai 33,3%.16 Ferrigno dkk mendapatkan peningkatan D-dimer sebesar 55%, pemendekan PT 4% dan pemendekan aPTT 3%. Gabazza dkk mendapatkan peningkatan D–dimer pada stadium lanjut (IIIB dan IV) sebesar 89%, sedangkan pada stadium dini (I-IIIA) sebesar 76%.8,17 Perbedaan proporsi peningkatan D-dimer yang cukup besar dengan penelitian ini, kemungkinan karena pada kedua penelitian di luar negeri tersebut diikutsertakan juga kelompok sel kecil. Pada penelitian ini tidak didapatkan adanya kecenderungan kejadian hiperkoagulasi yang makin tinggi dengan bertambahnya stadium. Berbagai penelitian sebelumnya telah melaporkan adanya hubungan antara stadium dengan kejadian hiperkoagulasi. Seitz dkk & Gabazza dkk juga menemukan kadar D-dimer yang tinggi pada pasien kanker paru stadium IV.17,18 Hal ini didukung oleh Unsal dkk yang mendapatkan bahwa kadar rerata D–dimer stadium IV lebih tinggi dibandingkan stadium dibawahnya tanpa ada perbedaan yang bermakna antara stadium III B dan IV.19 Bila dikaji lebih lanjut, sebenarnya tidak ada pertentangan antara hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Pada penelitian ini tidak didapatkan pasien stadium I-II sehingga yang dibandingkan sebenarnya kejadian hiperkoagulasi pada stadium III dan IV. Sembilan puluh persen kasus stadium III pada penelitian ini adalah stadium IIIB. Jadi, sebenarnya hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Unsal dkk. Blom dkk, melaporkan bahwa setelah dikoreksi terhadap No. 1, Vol. 20, Januari - Maret 2007 faktor usia, jenis kelamin dan pemberian terapi antikanker maka risiko tromboemboli vena pada pasien stadium II-III hampir sama dengan stadium I (OR 1,2). Akan tetapi, risiko pada stadium IV 6 kali dibandingkan dengan pada stadium I (OR 6,5). Insiden tromboemboli vena pada stadium IV amat tinggi yang mencapai 22%.14 Pada penelitian ini tidak didapatkan kecenderungan peningkatan kejadian hiperkoagulasi pada pasien adenokarsinoma. Berbagai penelitian sebelumnya mendapatkan hasil yang masih kontroversi. Seitz dkk dan Unsal dkk tidak mendapatkan hubungan antara kejadian hiperkoagu-lasi dengan jenis sito/histopatologi.18,19 Sebaliknya Gabazza dkk mendapatkan bahwa kadar rerata D-dimer pada kelompok adenokarsinoma lebih besar daripada kelompok karsinoma sel skuamosa.17 Blom dkk, melaporkan bahwa risiko Sebenarnya tidak ada pertentangan antara hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Pada penelitian ini tidak didapatkan pasien stadium I-II, sehingga yang dibandingkan sebenarnya kejadian hiperkoagulasi pada stadium III dan IV. Sembilan puluh persen kasus stadium III pada penelitian ini adalah stadium IIIB. Jadi, sebenarnya hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Unsal dkk. tromboemboli vena 2,1 kali lebih tinggi pada adenokarsinoma dibandingkan karsinoma sel skuamosa (setelah dikoreksi terhadap faktor usia, jenis kelamin, stadium, dan pemberian terapi antikanker).14 Belum terlihatnya kecenderungan peningkatan kejadian hiperkoagulasi pada penelitian ini kemungkinan karena proporsi pasien dengan adenokarsinoma dan karsinoma sel skuamosa berbeda jauh, sedangkan pada berbagai penelitian di luar negeri tersebut proporsi keduanya tidak jauh berbeda. Pada penelitian ini terdapat kecenderungan peningkatan kejadian hiperkoagulasi dengan pemberian terapi antikanker. Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa berbagai terapi 13 ARTIKEL PENELITIAN kanker, seperti kemoterapi, radioterapi ataupun pembedahan akan meningkatkan risiko hiperkoagulasi melalui berbagai efek trombogeniknya.25 Obat–obat kemoterapi dapat menimbulkan hiperkoagulasi melalui pelepasan prokoagulan dan sitokin dari sel tumor yang rusak serta efek toksiknya terhadap endotel pembuluh darah dan hati.11 Radioterapi mempunyai efek trombogenik melalui pelepasan prokoagulan dan sitokin dari sel tumor yang rusak.11 Pada penelitian ini juga didapatkan kecenderungan bahwa kemoterapi lebih sering menimbulkan hiperkoagulasi dibandingkan radioterapi. Hal ini sesuai dengan penelitian Blom dkk yang mendapatkan risiko trombosis vena lebih tinggi pada pasien yang mendapatkan kemoterapi dibandingkan yang mendapat radioterapi. Setelah dikoreksi terhadap faktor usia, jenis kelamin, dan stadium maka pada pemberian kemoterapi didapatkan OR 2,9; sedangkan pada radioterapi didapatkan OR 1,9.14 Sebanyak 54,8% subjek mempunyai kondisi penyerta. Yang terbanyak berupa usia tua, sebesar 56,5%. Pada penelitian ini terdapat kecenderungan peningkatan kejadian hiperkoagulasi pada kelompok subjek dengan kondisi penyerta. Belum ada penelitian lain yang mengidentifikasi berbagai kondisi penyerta tersebut pada pasien kanker paru. Berbagai kondisi penyerta tersebut dapat menimbulkan aktivasi koagulasi melalui berbagai mekanisme. Pada usia tua cenderung terjadi peningkatan berbagai faktor koagulasi.44 Pada sepsis terjadi pelepasan faktor jaringan dan penghambatan antikoagulan alamiah, sedangkan pada disfungsi hati terjadi kegagalan untuk membersihkan faktor pembekuan yang teraktivasi serta berkurangnya antikoagulan alamiah.50 Pasien dengan stasis vena mengalami hambatan dalam dilusi dan pembersihan faktor pembekuan yang teraktivasi serta kerusakan hipoksik sel endotel yang dapat mengaktifkan faktor pembekuan. Pada imobilisasi juga terjadi stasis vena.15 Perlukaan pembuluh darah akibat trauma juga dapat menimbulkan aktivasi koagulasi.2 Adanya hiperkoagulasi pada penelitian ini diperkuat oleh temuan 2 kasus DVT, masing-masing pada lengan dan tungkai, yang telah dikonfirmasi dengan ultrasonografi Doppler. Pasien pertama, adenokarsinoma, stadium IV, belum mendapat terapi antikanker, dengan kondisi penyerta berupa usia tua. Pasien kedua, adenokarsinoma, stadium IV, dalam radioterapi dan terdapat kondisi penyerta, berupa sepsis dan imobilisasi. Adanya kondisi penyerta akan memperberat hiperkoagulasi pada pasien kanker sehingga dapat timbul manifestasi tromboemboli.25 Atmakusuma dkk mendapatkan 7 kasus DVT di antara pasien kanker paru dan metastasis paru, 4 pada lengan dan 3 pada tungkai.16 Blom dkk melaporkan bahwa waktu median dari saat didiagnosis kanker paru sampai timbulnya tromboemboli vena adalah 5,3 bulan, sedangkan insiden tromboemboli vena dalam 6 bulan pertama sesudah diagnosis 14 kanker paru adalah 11,3%.14 Penelitian ini tidak ditujukan untuk mencari proporsi DVT, sehingga kami hanya mengidentifikasi adanya DVT secara klinis. Blom dkk melaporkan bahwa harapan hidup pasien kanker paru bukan sel kecil yang mengalami tromboemboli vena lebih kecil dibandingkan dengan yang tanpa mengalami tromboemboli vena. Sesudah kejadian tromboemboli vena dan setelah dikoreksi terhadap faktor usia, jenis kelamin, stadium, dan pemberian terapi antikanker maka risiko kematian meningkat 3,1 kali. Risiko kematian pada pasien tanpa metastasis adalah 3,2 kali; sedangkan bila ada metastasis meningkat menjadi 4,5 kali.14 Terjadinya hiperkoagulasi pada pasien kanker paru perlu dicegah karena dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas melalui manifestasi tromboemboli yang ditimbulkannya. Berbagai kepustakaan menyebutkan bahwa pencegahan primer terhadap tromboemboli perlu dipertimbangkan pada pasien kanker selama dan segera sesudah kemoterapi atau radioterapi, terdapat metastasis, dilakukan pemasangan central venous catheter (CVC) jangka panjang, selama imobilisasi lama akibat berbagai sebab, trauma, serta sesudah pembedahan.15,36 Blom dkk merekomendasikan pemberian antikoagulan profilaksis hanya pada pasien karsinoma paru bukan sel kecil yang sedang menjalani kemoterapi atau radioterapi dan bila ada metastasis karena relatif tingginya insiden perdarahan mayor akibat antikoagulan.14 Akan tetapi, masih perlu dilakukan berbagai uji klinik untuk menilai manfaat dari pemberian antikoagulan profilaksis tersebut. Pilihan utama untuk pencegahan primer adalah low molecular weight heparin (LMWH), namun bisa juga dipakai heparin standar dosis kecil subkutan atau warfarin.50 Penelitian oleh Weitz dkk mendapatkan bahwa pemberian Dalteparin sodium 5000 unit efektif untuk mencegah aktivasi hemostasis pada pasien kanker paru yang mendapat kemoterapi.51 Karena keterbatasan jumlah sampel maka penelitian ini hanya deskriptif. Kejadian hiperkoagulasi pada penelitian ini tidak ditentukan dengan petanda yang lebih spesifik seperti F 1+2 dan TAT karena kerbatasan dana. Kesimpulan 1. Proporsi hiperkoagulasi di kalangan pasien kanker paru bukan sel kecil stadium III dan IV sebesar 64,3%. 2. Terdapat kecenderungan peningkatan kejadian hiperkoagulasi pada pasien kanker paru bukan sel kecil dengan stadium IV, terapi antikanker, atau dengan kondisi penyerta. 3. Tidak terdapat kecenderungan peningkatan kejadian hiperkoagulasi pada pasien kanker paru bukan sel kecil dengan jenis sito/histopatologi adenokarsinoma. Daftar Pustaka 1. Kakkar AK, Levine M, Pinedo HM, et al. Venous thrombosis in cancer patients: insight from the FRONTLINE survey. The Oncologist. No. 1, Vol. 20, Januari -Maret 2007 ARTIKEL PENELITIAN 2003; 8:381-8 2. Rickles FR, Edwards RL. Activation of blood coagulation in cancer: Trousseau’s syndrome revisited. Blood 1983; 62:14-31 3. Berkarda B. Thrombosis and cancer. Turk J Haematol. 2002; 19:283–6 4. Levine MN, Lee AY, Kakkar AK. From trousseau to targeted therapy: new insights and innovations in thrombosis and cancer. J Thromb Haemost. 2003; 1:1456–63 5. Levi M. Cancer and thrombosis. Clinical Advances in Hematology & Oncology 2003; 1:668-71 6. Lee AYY, Levine MN. Venous thromboembolism and cancer: risks and outcomes. Circulation 2003; 107:17-21 7. Bick RL. Cancer-associated thrombosis. N Engl J Med. 2003; 349: 109–11. 8. Ferrigno D, Buccheri G. Prognostic significance of blood coagulation tests in lung cancer. Eur Respir J. 2001; 17: 667-73. 9. Kies MS, Posch JJ, Giolma JP, et al. Hemostatic function in cancer patients. Cancer 1980; 46:831-7 10. Schafer AI, Levine MN, Konkle BA, et al. Thrombotic disorders: diagnosis and treatment. Haematology 2003; 520-39 11. Di Micco P, D’Uva M. To understand the two way clinical association between cancer and thrombophilia. Exp Oncol 2003; 25:243-4 12. Sethi T. Science, medicine, and the future: lung cancer. BMJ 1997; 314:652-8 13. Data registrasi kanker Rumah sakit Dharmais tahun 2004. 14. Blom JW, Osanto S, Rosendaal. The risk of a venous thrombotic event in lung cancer patient: higher risk for adenocarcinoma than squamous cell carcinoma. J Thromb Haemost 2004; 2:1-5 15. Prandoni P, Piccioli A. Venous thromboembolism and cancer: a two-way linical association. Frontiers in Bioscience 1997; 2: 12–21 16. Atmakusuma D, Reksodiputro AH, Muthallib A, et al. Gangguan hemostasis pada pasien kanker pra pengobatan. Konas PAPDI X Padang 1996 17. Gabazza EC, Taguchi O, Yamakami T, et al. Evaluating pre-thrombotic state in lung cancer using molecular markers. Chest 1993; 03: 196-200 18. Seitz R, Rappe N, Kraus M, et al. Activation of coagulation and fibrinolysis in patients with lung cancer: relation to tumour stage and prognosis. Blood Coagul Fibrinolysis 1993; 4: 249-54. 19. Unsal E, Atalay F, Atikcan S, Yilmaz A. Prognostic significance of hemostatic para-meters in patients with lung cancer. Respir Med 2004; 98:93-8 20. Strauss GM. Overview and clinical manifestations of lung cancer. [cited 2004 July 12]. Available from URL: http://www.uptodate.com 21. Jusuf A, Suratman E, Jayusman AM, et al. Diagnosis kanker paru di Rumah Sakit Pusat Kanker Nasional Dharmais, Jakarta. Maj Kedokt Indon 2001; 51:322-7 22. Nordstrom M, Lindblad B, Anderson H, et al. Deep venous thrombosis and occult malignancy: an epidemiological study. BMJ 1994; 308:891-4 23. Callander N, Rapaport SI. Trousseau’s syndrome. West J Med 1993; 158:364–71 24. Sorensen HT, Mellemkjaer L, Steffensen FH, et al. The risk of a diagnosis of cancer after primary deep venous thrombosis or pulmonary embolism. N Engl J Med 1998; 338:1169–73. 25. Bauer KA. Pathogenesis of the hypercoagulable state associated with malignancy. [cited 2004 July 14]. Available from URL: http://www. uptodate.com 26. ATS board of directors. Pretreatment evaluation of non–small-cell lung cancer. Am J Respir Crit Care Med 1997; 156:320–32 27. Taguchi O, Gabazza EC, Yasui H, et al. Prognostic significance of plasma D-dimer levels in patients with lung cancer. Thorax. 1997; 52:563–5 No. 1, Vol. 20, Januari - Maret 2007 28. Pedersen LM, Milman N. Prognostic significance of thrombocytosis in patients with primary lung cancer. Eur Respir J. 1996; 9:1826-30 29. Arnold SM, Patchell R, LowyAM, et al. Paraneoplastic syndromes. In: De Vita VT et al, editors. Cancer principles and Practice of Oncology, 6th edition. Philadelphia:JB Lippincott Co, 2001. p. 2511–32. 30. Piccioli A, Prandoni P, Ewenstein BM, et al. Cancer and venous thromboembolism. Am Heart J. 1996; 132:850-5 31. Thibaulth G, Achkar A, Samama M. The trombophilic state in cancer patients. Acta Haematologica. 2001: 106:33–42 32. Johnson BE, Chute J. Extrapulmonary syndromes associated with lung tumors. In: Fishman AP et al, editors. Pulmonary Diseases and Disorders, 3rd edition. New York: McGraw-Hill,1998. p.1841-9 33. Falanga A. Thrombosis and malignancy:an underestimated problem. Haematologica 2003; 88:607-10 34. Hu P, Yan J, Sharifi J, et al. Comparison of three different targeted tissue factor fusion proteins for inducing tumor vessel thrombosis. Cancer Res 2003; 63:5046–53 35. Rickles FR, Patierno S, Fernandez PM. Tissue factor, thrombin, and cancer. Chest 2003; 124:58-68 36. Prandoni P, Piccioli A, Girolami A. Cancer and venous thromboembolism: an overview. Haematologica 1999; 84:437-45 37. Lip GYH, Chin BSP, Blann AD. Cancer and the prothrombotic state. Br J Surg. 2002; 180:176–86 38. Bick RL. Disseminated intravascular coagulation: current concepts of etiology, patho-physiology, diagnosis and treatment. Hematol Oncol Clin N Am. 2003; 17:149–76 39. Goldenberg N, Kahn SR, Solymoss S. Markers of coagulation and angiogenesis in cancer-associated venous thromboembolism. J Clin Oncol. 2003; 21:4194-9 40. Lindahl AK, Sandset PM, Abildgaard U. Indices of hypercoagulation in cancer as compared with those in acute inflammation and acute infarction. Haemostasis 1990; 20:253-62 41. Mountain FM. Revisions in the International system for staging lung cancer. Chest 1997; 111:1710-7 42. Spira A, Ettinger DS. Multidisciplinary management of lung cancer. N Engl J Med. 2004; 350:379-92 43. Gorman WP, Davis KR, Donelly R. Swollen lower limb-1: General assestment and deep vein thrombosis. BMJ. 2000; 320:1453-6 44. Setiabudy RD, Komala I. Haemostasis and blood viscosity in the elderly: several parameters related to the risk of thrombosis. Maj Kedokt Indon. 2000; 50:174-82 45. Members of the American College of Chest Physician/Society of Critical Care Medicine Consensus Conference committe American College of Chest Physician/Society of Critical Care Medicine Consensus Conference: Definition for sepsis and organ failure and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis. Crit Care Med. 1992; 20:864-74 46. Thomas RH. Hypercoagulability syndromes. Arch Intern Med. 2001; 161:2433–9 47. Kuter DJ. Thrombotic complications of central venous catheter in cancer patients. The Oncologist 2004; 9:207–16 48. Paramita D. Gambaran umum penderita kanker paru di RS Kanker Dharmais Januari 2001 sampai Desember 2001. Subbagian Hematologi-Onkologik Medik IPD FKUI/RSCM, Jakarta. Juli 2002 49. Hambleton J, Leung LL, levi M. Coagulation: consultative hemostasis. Hematology 2002; 335-52 50. Smorenburg SM, Hettiarachchi RJ, Vink R, et al. The effects of unfracionated heparin on survival in patients with malignancy– a systematic review. Thromb Haemost. 1999; 82:1600-4 51. Weitz IC, Israel VK. Waisman JR, et al. Chemotherapy induced activation of hemostasis: effect of low moleculer weight heparin (Dalteparin sodium) on plasma markers of hemostatic activation. Thrombosis and Haemostasis 2002; 88:213-20 15 LAPORAN KASUS Kondilomata Atipia Ary Widhyasti Bandem, Satiti Retno Pudjiati Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin Fakultas Kedokteran UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta Abstrak. Kondilomata atipia merupakan infeksi Human Papilloma Virus (HPV) yang mengenai daerah serviks uteri atau disebut juga sebagai cervical warts. Infeksi ini lebih sering asimptomatis. Selain itu letak infeksi yang sulit diperiksa, bentuk lesi datar, sehingga menyulitkan dalam menegakkan diagnosis. Kondiloma atipia dengan infeksi HPV strain HPV 16, 18 dapat berkembang menjadi karsinoma serviks. Oleh karena itu kondilomata atipia perlu mendapatkan penanganan yang adekuat dan dilakukan follow-up. Pada tulisan ini akan disampaikan satu laporan kasus kondilomata atipia dengan beberapa faktor risiko karsinoma serviks, diterapi podofilin, albothyl® Echinacea dan zinc picolinate menyebabkan hilangnya lesi. Akan tetapi pada pemeriksaan apusan Papanicolau pasca terapi tetap ditemukan koilosit sebagai tanda patognomonis infeksi HPV. Kata kunci: Kondimata atipia, cervical warts, karsinoma serviks, Papanicolau Pendahuluan ondilomata atipia (KA) merupakan infeksi Human Papillomavirus (HPV) pada serviks atau juga disebut sebagai cervical warts. Infeksi KA sebagian besar asimptomatis dan bila disertai keluhan, penderita mengeluh gatal, rasa terbakar, nyeri dan kadang disertai perdarahan. Prevalensi KA diketahui secara pasti tetapi infeksi HPV 16 dan HPV 18 dikaitkan sebagai penyebab karsinoma serviks yang merupakan penyebab kematian tertinggi pada wanita di negara-negara yang sedang berkembang.1-5 Diagnosis kondilomata atipia sering mengalami kesulitan karena letak infeksi pada serviks yang sulit dilakukan pemeriksaan dan seringnya dijumpai bentuk lesi yang datar berupa makula dengan sedikit peninggian pada mukosa serviks (flat warts). Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan penunjang diagnosis seperti pemeriksaan acetowhite, apusan Papanicolau, kolposkopi bahkan biopsi. Pemeriksaan tersebut juga dipakai untuk follow-up hasil terapi dan penapisan adanya karsinoma serviks.2,3,5,7-10 Pada makalah ini disampaikan satu kasus kondilomata atipia pada wanita 55 tahun, P3A1, dan menderita diabetes melitus. Pembahasan kasus ini ditekankan pada penegakan diagnosis dan penapisan karsinoma serviks melalui apusan Papanicolau karena terdapatnya beberapa faktor risiko keganasan serviks pada penderita ini. K 16 Kasus Seorang wanita umur 55 tahun, MR 1 16 66 27, pada tanggal 10 Januari 2005 datang ke poliklinik kesehatan kulit dan kelamin RSS dengan keluhan pedih di sekitar kemaluan. Keluhan dirasakan sejak 3 hari sebelum ke RS, tidak disertai keputihan, nanah ataupun darah yang keluar dari alat kelamin. Penderita melakukan aktivitas seksual hanya dengan suami, hubungan seks terakhir dilakukan 2 hari sebelum keluhan. Penderita mengalami menopause 3 tahun yang lalu. Penderita menarche umur 14 tahun, kawin umur 21 tahun, mempunyai 3 orang anak, abortus 1 kali dan umur anak terkecil 23 tahun. Penderita menderita diabetes melitus sejak tahun 2001 dan rutin berobat ke dokter. Obat yang diminum rutin adalah glibenklamid tablet dan vitamin B kompleks. Riwayat pengobatan untuk keluhan saat ini belum ada. Penderita menggunakan kontrasepsi spiral selama 4 tahun, kemudian diganti dengan pil KB selama 5 tahun dan sejak 10 tahun terakhir suami menggunakan kondom. Penderita dan suami belum pernah menderita infeksi menular seksual. Kesadaran penderita kompos mentis, T 120/80 mmHg, N 80x/menit, T tidak febris. TB 158 cm, BB 62,5 kg. Pada vulva dan vagina tidak dijumpai kelainan maupun discar. Pada porsio serviks dijumpai erosi dan pada orifisium uteri eksternum dijumpai discar mukoid warna keputihan. Apusan Gram pada serviks menemukan adanya eritrosit, leukosit PMN lebih dari 30 dan tidak dijumpai DGNI. Apusan Gram dari cairan dan No. 1, Vol. 20, Januari -Maret 2007 LAPORAN KASUS dinding vagina tidak dijumpai sel polimorfonuklear maupun DGNI. Pemeriksaan NaCl tidak menemukan parasit dan pemeriksaan KOH tidak menemukan elemen jamur. Diagnosis kerja adalah observasi erosi porsio serviks dan servisitis non GO. Penderita ini diperiksakan gula darah puasa, 2 jam pp dan apusan Papanicolau karena kecurigaan adanya keganasan serviks. Terapi yang diberikan adalah albothyl® tutul pada daerah erosi dan doksisiklin 2 kali 100 mg selama 1 minggu. Penderita diminta kontrol 1 minggu kemudian. Keluhan pedih dan nyeri masih dirasakan saat penderita kontrol seminggu kemudian. Pemeriksaan venerologis tidak dijumpai peradangan vulva dan vagina. Pada porsio serviks ditemukan erosi dan pada posisi jam 3-4 dijumpai papul multipel sewarna mukosa. Pemeriksaan acetowhite positif. Apusan Gram pada serviks menemukan eritrosit, tanpa leukosit PMN dan DGNI. Apusan Gram dan NaCl dari dinding vagina tidak menemukan parasit, jamur maupun PMN. Diagnosis kerja adalah erosi porsio serviks dan kemungkinan kondilomata atipia. Porsio serviks yang mengalami erosi ditutul albothyl® dan daerah acetowhite positif ditutul podofilin 25%. Penderita juga diberi Echinacea 250 mg dan Zinc picolinate 10 mg, 3 kali 1 tablet sehari. Hasil laboratorium glukosa puasa 342 g/dL (+3) dan gula 2 jam pp 414 g/dL(+4). Hasil apusan Papanicolau JS 05 35 (10 Januari 2005) adalah sebagai berikut. Mikroskopis: dijumpai sel permukaan dan sel intermediat cukup, sel parabasal sedang, sel metaplasia sedang serta sel-sel koilosit. Displasia ringan, dan sel endoserviks cukup. Latar belakang leukosit, limfosit, histiosit, sel plasma dan eritrosit. Tidak didapatkan sel ganas. Kesimpulan: Kelas II: Radang dengan metaplasi, displasia ringan dan sel-sel koilosit. Diagnosis kerja adalah erosi porsio serviks dan kondilomata atipia pada orang tua (P3A1) dengan diabetes melitus. Selama 2 bulan penderita rutin kontrol ke poliklinik kulit dan kelamin RSS, dan mendapatkan pengobatan tutul albothyl® dan podofilin setiap minggu. Apusan Papanicolau kedua dilakukan pada tanggal 9 Maret 2005, dengan hasil, pemeriksaan mikroskopis dijumpai sedikit sel permukaan dan sel intermediat serta banyak sel parabasal dengan metaplasia dan displasia ringan. Latar belakang leukosit PMN dan limfosit, tampak leucocyte ball, sel koilosit dan sedikit sel endoserviks. Kesimpulan: Kelas II: Radang dengan metaplasia atipik dengan displasia ringan dan ditemukan sel-sel koilosit. Penderita pada tanggal 19 Maret 2005 dilakukan konsultasi ke poliklinik obstetri dan ginekologi. Penderita dilakukan pemeriksaan kolposkopi, dan diagnosis bagian obsgin adalah displasia serviks karena infeksi HPV. Penderita diberi terapi albothyl® suppositoria intravagina sekali sehari selama 5 hari dan selanjutnya direncanakan apusan Papanicolau ulang 3 bulan kemudian. Tiga bulan kemudian, penderita kontrol ke poli obsgin. Keluhan pedih sudah jarang dirasakan dan pada pemeriksaan No. 1, Vol. 20, Januari - Maret 2007 genetalia tak ditemukan kelainan. Hasil apusan Papanicolau pada kunjungan terakhir ini, mikroskopis: sediaan sitologi menunjukkan sedikit sel epitel superfisial dan cukup banyak sel parabasal dan basal. Dijumpai sel-sel dengan metaplasia skuamosa dan koilosit positif. Latar belakang leukosit cukup, limfosit dan histiosit. Tidak didapatkan sel ganas. Kesimpulan: Kelas II: Radang tidak khas, metaplasia skuamosa dan didapatkan koilosit. Diagnosis akhir kasus ini adalah kondilomata atipia pada orang tua (P3A1) dengan diabetes melitus. Penderita disarankan untuk melakukan apusan Papanicolau rutin tiap 6 bulan dan kontrol bila ada keluhan. Pembahasan Diagnosis kondilomata atipia pada penderita ini ditegakkan berdasarkan pemeriksaan venerologis dengan ditemukan papul multipel sewarna mukosa pada porsio serviks yang positif pada pemeriksaan asetowhite. Diagnosis ini dikuatkan oleh hasil apusan Papanicolau yang menemukan koilosit sebagai tanda patognomonis adanya infeksi HPV. Koilosit adalah sel skuamosa matur dengan halo perinuclear dan ukuran inti koilosit membesar, hiperkromatik dan kadang inti lebih dari satu. Koilosit merupakan efek sitopatik infeksi HPV. Perubahan sitologi yang ditemukan pada infeksi HPV selain koilosit adalah diskeratosis, binukleasi, multinukleasi, piknotik, sel parabasal kondilomatosa, sel metaplastik terinfeksi HPV dan makrositosis dengan proporsi inti sitoplasma menetap. Menurut penelitian apusan Papanicolau sebelumnya, koilosit hanya dijumpai pada 10 persen kasus infeksi HPV sehingga pada kasus-kasus yang tidak ditemukan koilosit, temuan sitologi infeksi HPV lainnya yang telah disebutkan di atas dapat dipakai sebagai acuan kemungkinan infeksi HPV secara sitologi.1,6,7,11-13 Pemeriksaan Papanicolau selain bermanfaat untuk membantu diagnosis peradangan dan identifikasi organisme penyebab peradangan seperti infeksi HPV, pemeriksaan ini juga bertujuan untuk penapisan lesi pra kanker dan karsinoma serviks. Adanya beberapa faktor risiko keganasan serviks pada penderita seperti usia tua, multiparitas, riwayat penggunaan kontrasepsi oral, dan diabetes melitus, maka dilakukan apusan Papanicolau pada penderita yang didiagnosis servisitis non GO dan erosi porsio serviks. Secara sitologi tanda keganasan tidak didapatkan pada penderita ini, akan tetapi apusan Papanicolau telah membantu penegakan diagnosis kondilomata atipia. Displasia adalah istilah dermatopatologi yang mempunyai arti adanya abnormalitas maturasi sel, sitomorfologi dan hubungan antar sel pada struktur epidermis. Displasia mempunyai konotasi adanya kemungkinan progresivitas ke arah keganasan. Displasia serviks ditandai dengan metaplasia atipikal pada epitel serviks dan diklasifikasikan menjadi displasia ringan, sedang dan berat. Displasia mengalami perjalanan alamiah sebagai berikut: 40% displasia dapat hilang spontan, 40% menetap dan 20% dapat berubah menjadi karsinoma. Terminologi Neoplasma Intraepiteal Serviks (NIS) 17 LAPORAN KASUS juga berdasarkan proses displasia yang dibagi menjadi kelas I, II, dan III. Derajat keparahannya berdasarkan diferensiasi sel epitel skuamosa dari lamina basal menuju permukaan epitel dan berdasarkan ketebalan relatif dari proporsi sel basal/ parabasal, intermediat dan superfisial.11,14,15 Semua hasil apusan Papanicolau pada kasus menemukan adanya displasia ringan, koilosit dan tidak ditemukan tanda keganasan. Oleh karena itu displasia yang terjadi pada penderita ini kemungkinan besar sebagai akibat infeksi HPV. Pemeriksaan kolposkopi merupakan alat penunjang diagnosis lain dalam mendiagnosis kelainan di serviks. Kolposkopi diindikasikan pada beberapa temuan sitologi seperti displasia serviks atau karsinoma insitu, kecurigaan infeksi HPV, inflamasi persisten pada serviks dan penderita dengan kutil anogenital.15 Hasil sitologi dan kolposkopi pada kasus saling mendukung terjadinya displasia serviks akibat infeksi HPV. Infeksi HPV terutama galur yang berisiko tinggi terjadinya keganasan seperti HPV 16 dan HPV 18 ditemukan pada 90-100% kasus karsinoma serviks yang diteliti di berbagai negara. Hal ini disebabkan karena HPV mempunyai gen E6 dan E7 yang merusak fungsi tumor supresor P53 dan Rb. Keadaan ini menyebabkan hilangnya hambatan pada siklus sel normal, dan sel berproliferasi terus menerus sehingga sel tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan DNA repair. Multiparitas, usia tua, merokok, diabetes melitus, pemakaian kontrasepsi oral dan lain sebagainya disebutkan sebagai kofaktor yang menyebabkan karsinoma serviks.2,3,6,16,17 Pada penderita ini faktor risiko usia tua, multiparitas, diabetes melitus, riwayat pemakaian kontrasepsi oral, dan adanya infeksi HPV, memungkinan terjadinya karsinoma serviks sehingga follow-up rutin diperlukan. Terapi yang diberikan pada penderita ini bertujuan untuk menghilangkan lesi kondilomata atipia dengan tutul podofilin 25%. Terapi untuk erosi serviks penderita diberikan tutul albothyl® dan albothyl® suppositoria vaginal. Albothyl® mengandung polikresulen sebagai hasil kondensasi dari asam sulfonik metakresol dan metanal. Selain untuk erosi serviks albothyl® dapat digunakan untuk inflamasi vagina dan serviks, trikomoniasis, kandidiasis, kutil genital dan untuk menghentikan perdarahan pasca biopsi serviks. Echinacea dan zinc picolinate sebagai imunomodulator diharapkan memperbaiki respon imun penderita terhadap infeksi HPV.1-3,5 Pada kontrol terakhir secara klinis sudah tidak dijumpai lesi KA akan tetapi hasil apusan Papanicolau masih menunjukkan adanya koilosit. Hal ini sesuai dengan perjalanan infeksi HPV yang sebagian besar masih terdeteksi walaupun lesinya sudah hilang dan dikenal sebagai infeksi laten atau sublinis. Kesimpulan Telah dilaporkan satu kasus kondilomata atipia pada wanita 55 tahun, P3A1, dan menderita diabetes melitus. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan 18 pada apusan Papanicolau ditemukan koilosit. Displasia serviks yang terjadi diperkirakan sebagai akibat dari proses peradangan HPV. Selain infeksi HPV, adanya faktor risiko usia tua, multiparitas, diabetes melitus, riwayat penggunaan kontrasepsi oral, apusan Papanicolau berkala perlu dilakukan untuk penapisan keganasan serviks. Terapi podofilin dan albothyl® yang diberikan mampu menghilangkan lesi KA secara klinis, akan tetapi pada apusan Papanicolau setelah terapi, koilosit masih tetap ditemukan sehingga kemungkinan infeksi HPV yang subklinis masih berlangsung. Daftar Pustaka 1. Lowy DR and Androphy DJ. Warts. In: Freeberg IM, Eisen AZ, Wolff K, et al (eds) Dermatology in General Medicine. 5th ed. New York: McGraw-Hill, 2003.p.2119-31 2. Koutsky LA and Kiviat NB. Genital human papillomavirus. In: Holmes KK (ed) Sexually Transmitted Diseases. 3rd ed. New York:Mc Graw Hill, 1999.p.347-59 3. Oriel JD and Walker PG. Genital papilloma virus infections. In: Csonka GW and Oates JK (eds) Sexually Transmitted Diseases. A Textbook of Genitourinary Medicine. London:Bailliere Tindall, 1990.p.153-66 4. Habib TP. Sexually transmitted viral infections. In: Habib TP (ed) Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy. 4th ed. Philadelphia:Mosby, 2004.p.336-67 5. Handsfield HH. Human papillomavirus infection and genital warts. In: Color Atlas and Synopsis of Sexually Transmitted Diseases. 2nd ed. New York:McGraw-Hill, 2001.p.87-99 6. Galloway DA. Biology of genital human papillomavirus. In: Holmes KK (eds). Sexually Transmitted Diseases. 3rd ed. New York:McGraw Hill, 1999.p.335-46 7. Tyring SK. Human papillomavirus infections: Epidemiology, pathogenesis, and host immune response. J Am Acad Dermatol 2000; 43:S18-26 8. Holmes KK and Stamm WE. Lower genital tract infection syndromes in women. In: Holmes KK (eds). Sexually Transmitted Diseases. 3rd ed. New York:McGraw Hill 1999.p.761-81 9. Handsfield HH. Mucopurulent cervicitis. In: Color Atlas and Synopsis of Sexually Transmitted Diseases. 2nd ed. New York:McGraw-Hill, 2001.p.155-62 10. Rawlins S. Nonviral sexually transmitted infections. JOGNN 2001; 30:324-31 11. Lestadi J. Penuntun diagnostik praktis Sitologi ginekologik apusan PAP. Jakarta:Widya Medika, 1997 12. Bollmann M, Bankfalvi A, Trosic A, et al. Can we detect cervical human papillomavirus(HPV) infection by cytomorphology alone? Diagnositc value of non-classic cytological signs of HPV effect in minimally abnormal Pap tests. Cytopathology 2005; 16:13-21 13. Husain OAN. Cervical cytology. In: Csonka GW and Oates JK (eds) Sexually Transmitted Diseases. A Textbook of Genitourinary Medicine. London:Bailliere Tindall, 1990.p.167-77 14. Prawirohardjo S. Radang dan beberapa penyakit lain. Dalam: Ilmu Kandungan. Cetakan ketiga. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1985.p.214-58 15. Evans BA. Colposcopy. In: Csonka GW and Oates JK (eds). Sexually Transmitted Diseases. A Textbook of Genitourinary Medicine. London: Bailliere Tindall, 1990.p.178-87 16. Schumann L and Mc Fadden SE. The role of human papillomavirus in screening for cervical cancer. Continuing Education 2001; 13(3):116-26. 17. Bertram CC. Evidence for practice: Oral contraception and risk of cervical cancer. J American Acad Nurse Practioners 2004; 16(10): 455-461. No. 1, Vol. 20, Januari -Maret 2007 TINJAUAN PUSTAKA Obat Inhibitor COX-2 dan Penyakit Kardiovaskuler JB Suharjo B Cahyono Bagian Penyakit Dalam RS RK Charitas, Palembang Abstrak.Pada tanggal 30 September 2004 tahun lalu perusahaan obat Merck baru saja menarik obat golongan coxib, yaitu dengan merek dagang Vioxx (rofecoxib), obat yang sering digunakan sebagai obat anti nyeri dan peradangan. Rofecoxib kini telah ditarik dari peredaran berdasarkan hasil studi APPROVE (the Adenomatous Polyp Prevention on Vioxx) karena terbukti meningkatkan risiko infark miokard dan serangan stroke. Obat golongan NSAIDs, seperti aspirin, indomethacin, naproxen, dsb, berperan dalam mengendalikan inflamasi melalui inhibisi COX-1 dan COX-2. Kelemahan NSAIDs adalah bahwa obat tersebut menekan prostaglandin yang bersifat proteksif bagi tubuh. Dengan menurunnya prostaglandin tersebut yang berperan sebagai agregasi platelet dan pelindung mukosa gaster, pemberian jenis obat ini menimbulkan risiko perdarahan lambung. NSAIDs generasi baru, yaitu golongan inhibitor COX-2, yang kerjanya secara selektif memblok enzim cyclooxygenase-2 (COX-2) tanpa mempengaruhi COX-1, banyak diminati para klinisi karena dibandingkan NSAIDs lain memberikan risiko efek samping gastrointestinal lebih minimal. Permasalahannya adalah bagaimana sikap kita dalam menggunakan dan memilih memilih obat inhibitor COX–2 bila diperlukan bagi pasien dengan problem nyeri reumatik? Kata kunci: Inhibitor COX-2, penyakit kardiovaskular Pendahuluan ada tanggal 30 September 2004 tahun lalu perusahaan obat Merck baru saja menarik obat golongan coxib, yaitu dengan merek dagang Vioxx (rofecoxib), obat yang sering digunakan sebagai obat anti nyeri dan peradangan.1 Rofecoxib kini telah ditarik dari peredaran berdasarkan hasil studi APPROVE (the Adenomatous Polyp Prevention on Vioxx) karena meningkatkan risiko infark miokard dan serangan stroke.2 Rofecoxib telah di setujui oleh FDA pada tahun 1999 setelah dalam trial klinis VIGOR (Vioxx Gastrointestinal Outcomes Research) yang melibatkan 8.076 pasien reumatoid atritis disimpulkan bahwa rofecoxib memberikan efek samping gastrointestinal lebih rendah secara bermakna (P<0,001) dibandingkan dengan naproxen.3 Demikian halnya dengan penelitian CLASS (Celecoxib Long Term Arthritis Safety Study) yang melibatkan 8.059 pasien osteoartritis dan reumatoid atritis. Disimpulkan bahwa celecoxib memberikan efek samping gastrointestinal lebih rendah dibandingkan golongan P No. 1, Vol. 20, Januari - Maret 2007 tradisional NSAIDs ibuprofen atau naproxen.4 Walaupun rofecoxib telah ditarik dari peredaran namun masih ada jenis coxib yang lain, bagaimana sikap kita dalam menggunakan obat tersebut dalam praktek? Dalam tulisan ini akan dibahas mekanisme pembentukan prostaglandin, jenis coxib, pengaruh inhibitor coxib terhadap kardiovaskuler dan sikap kita dalam memilih coxib dalam penggunaan klinis. Peran Cyclo-Oxygenase Para pasien yang menderita osteoartritis, reumatoid artritis atau nyeri otot lainnya merasakan betapa menderitanya mereka pada saat terkena serangan nyeri. Rasa nyeri dan proses peradangan yang terjadi timbul akibat terstimulasinya mediator inflamasi. Pada proses inflamasi dilepaskan berbagai mediator, salah satu diantaranya adalah prostaglandin. Prostaglandin disintesis dari asam arakidonat akibat adanya stimuli kimiawi, mediator inflamasi, fisik, dsb, dengan bantuan enzim cyclooxygenase, yaitu COX-1 dan COX-2 sehingga kemudian terbentuklah prostanoid. (lihat gambar 1)5 19 TINJAUAN PUSTAKA Jenis Coxib Dengan munculnya obat NSAIDs Membrane phospholipids generasi baru, yaitu golongan inhibitor COX-2, yang kerjanya secara selektif memblok enzim cyclooxygenase-2 (COX2) tanpa mempengaruhi COX-1, risiko Diverse physical, chemical, efek samping gastrointestinal dapat Phospholipase A2 inflammatory and mitogenic stimuli diturunkan. Berdasarkan data biokimia, farmakologi dan studi klinis, inhibitor COX Arachidonic Coxibs dapat diklasifikasikan menjadi:6 acid 1. Inhibitor spesifik COX-1. Obat jenis Prostaglandin G/H Prostaglandin G/H Prostaglandin G2 COX Prostaglandin G2 ini secara khusus menghambat COX-1 synthase 1 synthase 2 tanpa mempengaruhi COX-2. Aspirin (cyclooxygenase-1) (cyclooxygenase-2) HOX Prostaglandin H2 Prostaglandin H2 dosis rendah merupakan contoh kelompok tersebut, 2. Inhibitor non spesifik COX. Obat jenis Tissue-specific isomerases ini tidak mempunyai kekhususan dalam menghambat aktivitas baik Prostanoids Prostacyclin Thromboxane A2 Prostaglandin D2 Prostaglandin E2 Prostaglandin F2 COX-1 maupun COX-2. Kelompok Receptors IP Tpα, TPβ DP1, DP2 EP1, EP2, EP3, EP4 Fpα, FPβ obat ini biasa disebut sebagai NSAIDs, seperti: ibuprofen, naproxen dan Platelets, vascular Brain, kidney, Uterus, airways, Endothelium, Mast cells, smooth-muscle vascular vascular indometacin. kidney, brain, cells, macrophages, smoothmuscle smoothmuscle 3.Inhibitor mempunyai kecenderungan platelets, brain airways kidney cells, platelets cells, eye pada COX-2. Kelompok obat ini memberikan efek inhibisi COX-2 Gambar 1. Jalur pembentukan prostaglandin9 dan kurang menghambat COX-1, contoh kelompok obat tersebut adalah: meloxicam, nimesulide, etodolac dan Jenis prostanoid tersebut adalah: prostacyclin (PGI2), nabumeton. tromboxan A2, prostaglandin D, Prostaglandin E2 dan 4. Inhibitor spesifik COX-2. Obat golongan berikut prostaglandin F2. COX-1 sebagai enzim yang bertugas menghambat secara selektif COX-2 dan tidak mempunyai merubah prostaglandin H2 menjadi prostacyclin, PGE2 efek pada COX-1. dan thromboxan A2. Tromboxan A2 menyebabkan Penilaian kekuatan obat inhibitor COX dapat diketahui vasokonstriksi vaskuler, permeabilitas vaskuler dan agregasi melalui rasio COX-2/COX-1. Makin kecil nilai rasio platelet. Sedangkan prostacyclin, yang dihasilkan oleh dinding berarti makin besar kemampuan obat menghambat COX-2 pembuluh darah bersifat vasodilator dan mengurangi adesi sebagaimana terlihat dalam tabel 1. Dalam penerapan klinis trombosit (berlawanan dengan tromboxan). Sementara beberapa contoh jenis dan indikasi penggunaan inhibitor COX-2 sebagai enzim bertugas merubah prostaglandin H2 COX-2 (tabel 2). menjadi prostaglandin E2 yang berperan dalam kejadian inflamasi, nyeri dan demam. Pada nyeri inflamasi reumatik Tabel 1. Rasio COX-2/COX-1 dari beberapa jenis NSAIDs pada IC807 jenis prostaglandin yang berperan dalam kerusakan jaringan dan timbulnya nyeri terutama adalah prostaglandin E2. NSAIDs Rasio COX-2/COX-1 Nonsteroidal anti-inflammatory drugs/NSAIDs merupakan Ketorolac 294 Aspirin 3,8 kelompok obat-obatan yang sering digunakan sebagai anti Naproxen 3,0 nyeri dan radang. Obat golongan NSAIDs, seperti aspirin, Ibuprofen 2,6 Diclofenac 0,23 indomethacin, naproxen, dsb, berperan dalam mengendalikan Nimesulide 0,17 inflamasi melalui inhibisi COX-1 dan COX-2. Namun Celecoxib 0,11 Rofecoxib <0,05 NSAIDs memiliki kelemahan. Kelemahan NSAIDs adalah bahwa obat tersebut menekan prostaglandin yang bersifat Saat ini telah dikembangkan jenis coxibs; 3 coxibs proteksif bagi tubuh, antara lain adalah prostacyclin dan diantaranya adalah: celecoxib, rofecoxib dan valdecoxib yang tromboxan A2. Dengan menurunnya prostaglandin tersebut telah disetujui oleh FDA. Coxib keempat, etoricoxib, telah yang berperan sebagai agregasi platelet dan pelindung disetujui oleh European Regulatory Authority dan jenis ke 5, mukosa gaster, pemberian jenis obat ini menimbulkan risiko lumiracoxib, saat ini sedang dipelajari oleh FDA.9 Parecoxib perdarahan lambung. 20 No. 1, Vol. 20, Januari -Maret 2007 TINJAUAN PUSTAKA merupakan derivat valdecoxib yang bersifat larut dalam air sehingga diberikan dalam bentuk injeksi, dan kemudian secara cepat akan dirubah menjadi valdecoxib aktif di dalam tubuh. Baik parecoxib maupun valdecoxib (diberikan secara oral) merupakan inhibitor COX -2 selektif yang sangat kuat khususnya dapat diberikan pada nyeri post operatif.10 Tabel 2. Selektivitas, dosis dan inidikasi inhibitor COX-28 Inhibitor COX-2 Celecoxib Rasio selektivitasCOX-2 Rofecoxib Valdecoxib Etoricoxib 7,6 35 30 106 Sediaan Kapsul Tablet Tablet Tablet Dosis (mg) 100,2 12,5, 25, 50 10,2 60, 90, 120 - Osteoarthritis + + + + - Reumatoid art + + + + - Nyeri akut + + + + - Gout atritis akut + - Low back pain + - Nyeri gigi - Dismenore primer + + + + + + Indikasi: Coxib dan Penyakit Kardiovaskuler Rofecoxib kini telah ditarik dari peredaran berdasarkan hasil studi APPROVE (the Adenomatous Polyp Prevention on Vioxx).11 Studi APPROVE dirancang untuk mengevaluasi hipotesis bahwa terapi dengan rofecoxib selama 3 tahun dapat menurunkan risiko rekurensi polip adenoma pada pasien dengan riwayat adenoma colorectal. Sebanyak 2.586 penderita dengan riwayat adenoma colorectal (tidak memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler) menjalani randomisasi untuk medapatkan rofecoxib 25 mg (1.287 pasien) dan plasebo (1.299 orang). Selama evaluasi 18 bulan terapi didapatkan 46 pasien (3,6%) kelompok rofecoxib mendapatkan efek samping kardial (infark miokard, unstable angina, kematian mendadak akibat serangan jantung) dan stroke dibandingkan plasebo 26 orang (2%) (hazard ratio 95% CI; 1.92 : 1.19–3.11). Akhirnya penelitian tersebut dihentikan secara awal mengingat risiko dari rofecoxib. Berdasarkan penelitian tersebut paling tidak telah terjadi 16 kasus stroke/infark jantung/1.000 pasien yang mengkonsumsi rofecoxib.1 (lihat gambar 2) 100.000.000 No. of patients with MI or stroke Total patients exposed No. of Patients (log scale) 10.000.000 1.000.000 100.000 10.000 1.000 100 100 1 Risk in Colon Polyp Trial and VIGOR Trial Potential Risk in the Population Gambar 2. Risiko infark miokard dan stroke dikaitkan dengan penggunaan rofecoxib1 Solomon (2005)12 melakukan studi untuk menilai risiko kardiovaskuler pada pemakaian celecoxib yang digunakan No. 1, Vol. 20, Januari - Maret 2007 sebagai pencegahan adenoma kolorektal dengan melibatkan 2.035 pasien. Pada kelompok kontrol pasien yang meninggal akibat penyakit kardiovaskuler (infark miokard, stroke atau gagal jantung sebesar 7 dari 679 pasien (1%), pada kelompok yang mendapatkan 2x200 mg/hari jumlah kematian 16 dari 685 pasien (2,3%) dan kelompok yang memperoleh celecoxib 2x400 mh/hari jumlah yang meninggal 23 dari 671 (3,4%, hazard ratio, 3,4 : 95% CI: 1,4-7,8). Disimpulkan bahwa penggunaan inhibitor COX-2 meningkatkan risiko serius kejadian kardiovaskuler. Nussmeier (2005)13 melaporkan komplikasi inhibitor COX-2 (parecoxib dan valdecoxib) pada pasien nyeri post CABG (coronary-artery-bypass grafting), yang melibatkan 1.671 pasien, diteliti secara randomized, double-blind study (RCT). Kejadian kardiovaskuler (infark miokard, cardiac arrest, stroke dan emboli paru) lebih sering dijumpai pada kelompok COX-2 dibandingkan kelompok plasebo (2% berbanding 0,5%, dengan risk ratio, 3,7 : 95 & CI : 1,0–13,5; P=0,03). Campbell (2004)14 melaporkan dalam penelitiannya bahwa pemberian rofecoxib menyebabkan dekompensasi cordis akut. Coxib ini menyebabkan retensi sodium, menurunkan produksi prostaglandin dan resistensi efek natriuretik sehingga menimbulkan retensi cairan dan peningkatan tekanan darah. Dalam penelitian CLASS sebagaimana sudah disebutkan di atas bahwa celecoxib tidak meningkatkan risiko kejadian kardiovaskuler. Namun menurut FitzGerald,9 data yang dilaporkan hanya selama kurun waktu 6 bulan saja, bila data yang ditampilkan dalam waktu penuh satu tahun, dari analisis retrospektif didapatkan bahwa celecoxib juga meningkatkan risiko kardiovaskuler. Demikian halnya dengan penelitian COX-2 lainnya dalam penelitian TARGET (Therapeutic Arthritis Research and Gastrointestinal Events Trial), yang membandingkan lumiracoxib dengan naproxen atau ibuprofen. Diantara pengguna non-aspirin, walaupun tidak ada perbedaan signifikan dengan naproxen/ibuprofen, lumiracoxib meningkatkan kejadian infark miokard pada 1 tahun evaluasi. Prostaglandin I2 atau prostacyclin merupakan prostaglandin yang bersifat protektif terhadap tubuh. Peningkatan kadar prostacyclin akan diikuti dengan proses vasodilatasi vaskuler, mencegah proliferasi sel-sel otot vaskuler dan menghambat terjadinya agregasi tombosit. Selama ini dianggap bahwa prostacyclin hanya dibentuk melalui COX1. Namun menurut Fitzgerald9 COX-2 juga menstimulasi produksi prostacyclin. Pada penelitiannya pemberian baik rofecoxib maupun celecoxib menekan produksi prostacyclin pada sukarelawan sehat. Penurunan prostacyclin akibat pemberian COX-2 inhibitor berisiko meningkatkan tekanan darah, akselerasi atherogenesis, dan pemberian coxib memberikan respon secara berlebihan proses trombotik apabila terjadi ruptur pada plaque aterosklerotik. Pemberian COX–2 menyebabkan inhibisi kombinasi dengan antagonist reseptor thromboxane sehingga menyebabkan destabilisasi plaque atherom.11 Berdasarkan penelitian tidak semua outcome memberikan 21 TINJAUAN PUSTAKA kesimpulan yang sama. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa celecoxib relatif memberikan risiko kardiovaskuler lebih rendah dibandingkan rofecoxib. Penelitian Mamdani (2004)15 yang dilakukan secara cohort retrospective yang melibatkan kelompok celecoxib (n=18.908), rofecoxib (n=14.583), NSAIDs non selektif (n=5.391) dengan kontrol (n=100.000), menyimpulkan bahwa rofecoxib dan NSAIDs meningkatkan risiko gagal jantung kongestif, tetapi tidak bagi kelompok celecoxib. Penelitian lain menunjukkan hasil serupa bahwa rofecoxib meningkatkan risiko kejadian kardiovaskuler melalui peningkatan tekanan darah dan penurunan fungsi ginjal berbeda bermakna dibandingkan celecoxib.16,17 Berdasarkan studi matched case-controlled yang melibatkan 54.475 pasien usia diatas 65 tahun disimpulkan bahwa rofecoxib meningkatkan risiko secara bermakna kejadian infark miokard dibandingkan dengan celecoxib.18 Mengapa rofecoxib dan celecoxib yang sama-sama merupakan satu golongan COX-2 namun memberikan efek klinis yang berbeda? Salah satu kemungkinan sebabnya adalah rofecoxib memiliki waktu paruh lebih dari 17 jam dibandingkan celecoxib waktu paruhnya hanya 11 jam. Rofecoxib mengalami eliminasi non linier yang dapat mengakibatkan akumulasi obat dalam tubuh. Hal serupa tidak terjadi pada celecoxib. Namun apabila kedua obat tersebut digunakan pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal dapat memacu timbulnya efek negatif kardiovaskuler.15 Penutup Rofecoxib sudah ditarik dari peredaran karena menimbulkan risiko serangan jantung dan stroke. Lalu bagaimana dengan coxib yang lain, sedangkan berdasarkan penelitian inhibitor coxib memberikan efek samping kardiovaskuler yang berbeda-beda. Lalu bagaimana sikap kita dalam memilih obat inhibitor COX-2 bila diperlukan bagi pasien dengan problem nyeri reumatik? Sampai saat ini memang belum ada pedoman dari FDA dalam pemberian coxib. Namun dalam perspeptive di New England Journal Medicine19 disebutkan bahwa panel ahli FDA menyimpulkan bahwa berdasarkan bukti obat coxib: rofecoxib, celecoxib dan valdecoxib, masing-masing meningkatkan risiko secara signifikan kejadian kardiovaskuler, yaitu serangan jantung dan stroke. Namun pada prinsipnya berdasarkan pooling 31 : 1 peserta panel dari FDA masih mempertahankan celecoxib. Hanya mereka sepakat untuk melarang promosi obat secara langsung bagi masyarakat dan mengharuskan produsen obat mencantumkan label peringatan (black-box warning), dan ke depan diperlukan penelitian dengan skala besar untuk melihat segi keamanan coxib terhadap penyakit jantung. Walaupun belum ada pedoman khusus dari FDA paling tidak dalam pemakaian klinis penggunaan coxib dapat diberikan sesuai anjuran Fiztgerard yaitu; inhibitor COX-2 selektif masih merupakan pilihan rasional bagi pasien yang memiliki faktor risiko kardiovaskuler rendah dengan problem 22 serius gastrointestinal namun sebaiknya obat tersebut tidak diberikan pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler atau yang memiliki risiko terhadap penyakit kardiovaskuler. Daftar Pustaka 1. Topol EJ. Failing the public health-rofecoxib, merk, and the FDA. N Engl J Med. 2004; 351(17):1707-9 2. Mukherjee DM, Nissen SE, Topol EJ. Risk cardiovascular events associated with selective COX-2 inhibitor. JAMA 2001; 286(364):639-40 3. Bombardier C, Laine L, Reicin A, et al. Comparison of upper gastrointestinal toxicity of rofecoxib and naproxen in patients with reumathoid arthritis. N Engl J Med. 2000; 343(23):1520-8 4. Silverstein et al. Gastrointestinal toxicity with celecoxib nonteroidal anti-inflamatory drug for osteoarthritis and reumatoid arthritis. The CLASS study. JAMA 2000; 284(10):1247-55 5. FitzGerald GA, Patrono C. The coxibs, selective inhibitors of cyclooxygenase-2. N Engl J Med. 2001; 345(6): 433-42 6. Rehman Q, Sack KE. When to try COX–2 specific inhibitors. Postgrad. Med 1999; 106 7. Camu F, Shi L, Vanlersberghe. The role of COX–2 inhibitors in pain modulation. Drugs 2003; 63(Suppl 1):1-7 18. Fang YJ, Fok BSP, Tomlinson B. Etoricoxib–a new highly selective COX-2 inhibitor. MedProg 2003; 30(11):33–9 9. FitzGerald GA. Coxibs and cardiovascular disease. N Engl J Med 2004; 351(17):1709-11 10. Zhoa HL, Chen Q, Thomas N, et al. Oral valdecoxib and injected parecoxib in pain management. Medical Progress 2004; 31(1):31–6 11. Bresalier RS, Sandler RS, Quan H, et al. Cardiovascular events associated with rofecoxib in a colorectal adenoma chemoprevention trial. N Engl J Med. 2005; 352(11):1092-102 12. Solomon SD, McMurray JV, Pfeffer MA, et al. Cardiovascular risk associated with celecoxib in a clinical trial for colorectal adenoma prevention. N Engl J Med. 2005: 352: 11:1071-1080 13. Nussmeier NA, Whelton AA, Brown MT, et al. Complication of the COX 2 inhibitors paracoxib and valdecoxib after cardiac surgery. N Engl J Med. 2005: 352: 11:1081-1091 14. Campbell RJ., Sneed KB. Acute congestive heart failure induced by rofecoxib. J Am Board Fm Pract. 2004. 17:131-135 15. Mamdani M, Juurlink DN, Lee DS, et al. Cyclo-oxygenasse–2 inhibitors versus non-selective non-steroidal anti-inflammatory drugs and congestive heart failure outcomes in elderly patients: a population-based cohort study. Lancet 2004: 363:1751-56 16. Whelton A, Fort JG, Puma JA, et al. Cyclooxygenase-2 spesific inhibitors and cardiorenal function: a RCT of celecoxib and rofecoxib in older hypertensive osteoarthritis patients. Am J Ther 2001: 8 (2):85-89 17. Zhao SZ, Reynold MW, Lejkowith J, et al. A comparasion of renal related adverse drugs reaction between rofecoxib and celecoxib, based on the World Health Organization / Uppsala Monitoring Centre safety database. Clin Ther 2001: 23 (9):1478 -91 18. Solomon DH, Schneeweiss S, Glynn RJ, et al. Relationship between selective cyclooxygenase–2 inhibitors and acute myocardial infarction in older patients. Circulation 2004: 109:2068-73. 19. Susan O. Raising the safety bar – the FDA’s coxib meeting. N Engl J Med 2005: 352:13 (1283-85) No. 1, Vol. 20, Januari -Maret 2007 TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Histologis Hepar serta Kadar SGOT dan SGPT Darah Mencit yang diberikan Alkohol secara Akut dan Kronis I Made Jawi*, Wayan Putu Sutirta-Yasa** dan Herman Saputra*** * Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar Bali ** Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar Bali *** Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar Bali Abstrak. Penggunaan alkohol sebagai minuman saat ini sangat meningkat di masyarakat. Pengunaan alkohol terutama secara kronis dapat menimbulkan kerusakan jaringan hati melalui beberapa mekanisme seperti melalui induksi enzim dan radikal bebas. Efek terhadap hati akibat penggunaan alkohol secara akut tampaknya lebih ringan bila dibandingkan dengan pengunaan alkohol secara kronis, namun data yang pasti belum ada. Untuk mengetahui efek pengunaan alkohol secara akut dan kronis terhadap hati dilakukan penelitian pada mencit jenis Balb/C betina dewasa, dengan rancangan acak terkontrol. Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan 18 ekor mencit yang dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok warna terkontrol, kelompok alkohol akut dan kelompok alkohol kronik dengan masing-masing 6 ekor mencit. Pengamatan dilakukan terhadap kadar SGOT, SGPT dan gambaran histologis jaringan hati mencit. Data yang didapat diuji dengan uji nonparametrik Mann-Whitney U, masing-masing dibandingkan dengan kontrol. Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan kadar SGOT dan SGPT yang tidak bermakna (p>0,05) pada kedua kelompok perlakuan. Pada gambaran histologis hepar nampak terjadi peningkatan sel-sel yang mengalami degenerasi dan nekrosis serta peningkatan sel-sel radang pada kelompok yang diberikan alkohol secara akut dan kronis yang bermakna (p<0,05). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan pemberian alkohol secara akut dan kronis menyebabkan kenaikan kadar SGOT dan SGPT yang tidak bermakna namun menyebabkan peningkatan sel-sel yang mengalami degenerasi dan nekrosis serta peningkatan sel-sel radang yang bermakna. Kata kunci: Alkohol, SGOT, SGPT dan gambaran histologis hepar, mencit Pendahuluan ada masa global saat ini penggunaan alkohol sebagai minuman semakin meningkat. Alkohol/etanol merupakan zat kimia yang akan menimbulkan berbagai dampak terhadap tubuh oleh karena akan mengalami proses detoksifikasi didalam organ tubuh. Hepar merupakan organ tubuh yang penting untuk mendetoksifikasi zat kimia yang tidak berguna/merugikan tubuh, termasuk alkohol/etanol. Proses detoksifikasi dari etanol di hepar terjadi di dalam peroxisome melalui proses reaksi peroxidative dengan bantuan P No. 1, Vol. 20, Januari - Maret 2007 enzim peroxisomal catalase dengan menggunakan H202.1 Metabolisme etanol di dalam sel hepar menyebabkan peningkatan produksi radikal bebas dengan berbagai mekanisme sehingga terjadi stres oksidatif yang akan merusak jaringan hepar. Reaksi antara etanol dengan H202 dan radikal reaktif spesies yang lain akan menghasilkan radikal hidroksietil yang merupakan oksidan kuat. Radikal hidroksietil tersebut dapat mengoksidasi lipid dan protein sel hepar sehingga terjadi kerusakan jaringan hepar.2 Selain radikal hidroksietil pada peminum alkohol kronis terjadi peningkatan radikal 23 TINJAUAN PUSTAKA bebas yang lain yang sumbernya belum jelas. Diperkirakan sumber dari radikal bebas tersebut adalah xanthin oxidase dan NADPH sebab penghambatan enzim tersebut dapat menurunkan produksi radikal bebas pada tikus yang diberikan etanol.3 Peningkatan radikal bebas akibat alkohol juga terjadi melalui mekanisme enzim inducer. Alkohol akan menginduksi sitokrom P 450 sehingga enzim tersebut meningkat. Enzim sitokrom P 450 dapat meningkatkan radikal bebas secara langsung dengan membentuk radikal superoksid, maupun secara tidak langsung melalui NADPH.4 Peningkatan radikal bebas akibat pemberian alkohol akan mengaktifkan nuclear factor yang akan meningkatkan tumor necrosis factor (TNF alfa) yang berperan terhadap nekrosis dan inflamasi pada hepar. Penghambatan nuclear factor dengan curcumin ternyata dapat melindungi kerusakan hepar akibat alkohol.5 Peneliti lain menemukan terjadi peningkatan produksi radikal bebas di dalam hepar akibat induksi terhadap microsomal cytochrome P-450 oleh etanol6. Pada binatang percobaan yang diberikan etanol 0,8 gram/Kg BB/hari, terjadi peningkatan radikal bebas yang akan menimbulkan kerusakan pada sel-sel hepatosit dan menimbulkan inflamasi pada jaringan hepar2. Sebagian besar penelitian yang dilakukan hanya melihat efek alkohol terhadap hati tanpa membandingkan penggunaan secara alkohol akut dengan kronis serta tidak membandingkan dengan gambaran histologis hati. Sedangkan kenyataan dimasyarakat menunjukkan bahwa penggunaan alkohol sebagai minuman tidak selalu digunakan secara kronis, namun sering digunakan secara akut atau sewaktuwaktu sebagai selingan. Kadang-kadang pengguna alkohol akut minum alkohol sampai terjadi keracunan atau mabuk. Sehingga timbul masalah apakah pemberian alkohol secara akut menimbulkan efek pada hati dan apakah pemberian alkohol kronis benar-benar lebih parah dibandingkan dengan alkohol akut? Tujuan penelitian ini adalah membandingkan efek alkohol kronis dengan akut terhadap hati mencit. Bahan dan Cara Kerja Penelitian ini adalah eksperimental dengan rancangan acak terkontrol. Sampel dalam penelitian ini adalah mencit Balb/C betina dengan umur 4-5 bulan yang diperoleh dari kandang hewan coba Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Besar sampel dalam penelitian ini adalah 18 ekor. Sampel dibagi menjadi 3 kelompok masing-masing 6 ekor mencit. Kelompok pertama atau kelompok kontrol tanpa diberi perlakuan. Kelompok kedua diberi perlakuan alkohol sekali pemberian/akut secara oral dengan dosis 0,8 gram/Kg BB (32 mg/ekor). Kelompok ketiga diberi alkohol secara oral dengan dosis 0,8 gram/Kg BB (32 mg/ekor) setiap hari selama 14 hari. Perlakuan ini dilakukan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Setelah 24 jam perlakuan terakhir 24 darah diambil secara intrakardial dan dikirim ke Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana untuk dilakukan pemeriksaan kadar SGOT dan SGPT. Setelah mencit mati dilakukan laparatomi untuk mengambil hepar dan difiksasi dengan formalin 10 %, selanjutnya dikirim ke Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, untuk pembuatan sediaan jaringan hepar. Variabel dalam penelitian ini meliputi: (a) variabel bebas yaitu alkohol baik akut maupun kronis (b) Variabel tergantung yaitu kadar SGOT dan SGPT darah, dan gambaran histologis hepar mencit.(c) Variabel kendali yaitu jenis hewan coba, umur dan kandang hewan coba. Uji statistik yang digunakan adalah non parametrik yaitu Uji Mann Whitney. Hasil Penelitian. Hasil pengukuran kadar SGOT dan SGPT darah mencit pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dapat dilihat dalam grafik 1. Grafik. 1. Perbandingan SGOT dan SGPT kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, alkohol akut dan alkohol kronis. Pada Grafik 1 terlihat kadar SGOT dan SGPT kelompok kontrol sedikit lebih rendah dibandingkan dengan kelompok alkohol akut dan kelompok alkohol kronis. Kadar SGOT dan SGPT pada kelompok alkohol akut dan kelompok alkohol kronis hampir sama. Secara statistik ketiga kelompok tidak berbeda (p>0,05). Pemberian alkohol akut dan alkohol kronis (14 hari) tidak menimbulkan kenaikan SGOT dan SGPT secara bermakna. Hasil pemeriksaan PA dari jaringan hati mencit disajikan dalam bentuk grafik yang menunjukan rata-rata jumlah yang mengalami degenerasi dan nekrosis, serta rata-rata jumlah sel-sel radang PMN dan limfosit pada sediaan PA. Hasilnya dapat dilihat pada grafik 2. No. 1, Vol. 20, Januari -Maret 2007 TINJAUAN PUSTAKA hati mengalami degenerasi dan nekrosis (terlihat sel-sel dengan batas tidak jelas dan inti sel yang gelap pada gambar B dan C) A B C Grafik 2. Perbandingan gambaran Patologi Anatomi jaringan hati mencit pada kelompok kontrol dan ke empat kelompok perlakuan Pada grafik 2 terlihat bahwa sel-sel hepar yang mengalami degenerasi dan nekrosis pada kelompok perlakuan alkohol akut dan kronis lebih tinggi dari kontrol, dan secara statistik dibandingkan dengan kontrol perbedaan tersebut bermakna (p<0,05). Dari hasil penelitian ini menunjukan baik alkohol akut maupun alkohol kronis, sama-sama menimbulkan degenerasi dan nekrosis pada sel hati mencit. Sel-sel yang mengalami nekrosis pada kelompok perlakuan ternyata pada kelompok alkohol akut lebih rendah dari alkohol kronis dan bermakna secara statistik (p<0,05). Jumlah sel-sel radang pada kedua kelompok perlakuan meningkat secara bermakna dibandingkan dengan kontrol (p<0,05). Pada kelompok alkohol akut peningkatan selsel radang lebih rendah dibandingkan kelompok perlakuan dengan alkohol kronis dan secara statistik bermakna (p<0,05) Gambaran PA dari masing-masing kelompok percobaan (1 sediaan hati mencit tiap kelompok) dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini. Pada gambar tersebut terlihat gambaran hati normal pada kelompok kontrol. Pada kelompok perlakuan terlihat sel-sel No. 1, Vol. 20, Januari - Maret 2007 Gambar 1. Gambaran PA dari masing-masing kelompok percobaan Keterangan : A. Kontrol B. Alkohol akut C. Alkohol khronis Pembahasan Pada penelitian ini terjadi peningkatan kadar SGOT dan SGPT darah mencit setelah pemberian alkohol akut maupun kronis. Pada penelitian ini pemberian alkohol baik akut maupun kronis juga menyebabkan perubahan pada jaringan hati. Pemberian alkohol/etanol pada isolat sel hati yang masih segar akan menimbulkan blebs di permukaan sel yang bentuknya spesifik. Blebs tersebut akan menyusut dalam waktu 30 menit (reversible). Munculnya blebs pada 25 TINJAUAN PUSTAKA permukaan sel adalah merupakan indikasi dini hipoksia sel. Beberapa peneliti sepakat bahwa terbentuknya blebs akibat dari gangguan pada sitosklet karena keberadaan sitosklet dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ATP, Ion H , Thiol dan ion Ca. Perubahan pada hal hal tersebut menyebabkan perubahan sitosklet. Pemberian etanol pada tikus menyebabkan nekrosis pada jaringan hati karena terjadi peningkatan chemokines, lipid peroxidase dan endotoksin. Kerusakan sel akibat etanol disebabkan interaksinya dengan membran yang akan menyebabkan terpengaruhnya fungsi membran dalam menyampaikan signal antar sel. Diduga etanol merangsang terbentuknya asetaldehide serta menurunnya rasio NAD+ /NADH. Meningkatnya konsentrasi Ca menyebabkan kerusakan sitosklet dan menurunnya ATP meningkatkan keracunan etanol sehingga meningkatnya blebs.7 Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian pada tikus obese yang diberikan alkohol akut. Pada penelitian tersebut terjadi apoptosis dan kerusakan jaringan hepar, karena terjadi stress oksidatif dan nitrosative damage. Pada penelitian dengan tikus tersebut diberikan etanol 4 gram/Kg by gavage setap 12 jam selama 3 hari. Yang dilihat dalam penelitian ini adalah SGPT dan dengan pengecatan jaringan hati. Pemberian etanol menurunkan kadar antioksidan dan menurunkan aktivitas glutathione peroxidase. Etanol meningkatkan cytochrom P 450 2E1.8 Pada penelitian lain yang diberikan etanol diawali 10 gram/Kg/hari kemudian dinaikan menjadi 16 gram/hari selama 4 minggu, dengan intragastric infusion terjadi kerusakan jaringan hati akibat oxidative stress.10 Kerusakan sel hepar akibat alkohol akut terjadi melalui 3 mekanisme: oxidative stress, endotoksin dan TNF a yang meningkat. Meningkatnya endotoksin adalah akibat dari kerusakan mukosa dan meningkatnya permeabilitas mukosa akibat pemberian alkohol yang menyebabkan meningkatnya endotoksin yang diproduksi dalam saluran cerna.9 Pemberian etanol pada tikus menyebabkan nekrosis pada jaringan hati karena terjadi peningkatan chemokines, lipid peroxidase dan endotoksin. Peningkatan lipid peroxidation dan endotoxemia merangsang/mengaktifkan NF-kB 26 dan peningkatan produksi chemokines. Lipid peroksidase yang meningkat akibat peningkatan CYP2E1 juga penyebab kerusakan jaringan hepar. Chemokines juga dapat merangsang pelepasan radikal bebas dari sel Kupffer dan noutofil sehingga terjadi stres oksidatif.10 Kesimpulan. 1. Pemberian alkohol akut maupun kronis pada mencit dapat meningkatkan kadar SGOT dan SGPT walupun tidak bermakna. 2. Pemberian alkohol akut maupun kronis dapat menimbulkan degenerasi dan nekrosis sel-sel hati mencit serta peningkatan sel-sel radang yang bermakna. 3. Pemberian alkohol kronis lebih meningkatkan sel-sel degenerasi dan nekrosis (memperberat kerusakan) pada hati mencit dibandingkan alkohol akut. Saran 1. Untuk dapat mengaplikasikan hasil penelitian ini perlu dilakukan penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar. 2. Pemberian alkohol kronis perlu diperpanjang. Daftar Pustaka 1. Thannickal VJ, Fanburg BL Reactive oxygen species in cell signaling. AJP- Lung Cell and Mol Physiol 2000; 279:L1005-L1028 2. Chamulitrat W, Carnal J, Reed NM, Spitzer JJ. In vivo endotoxin enhances biliary etanol-dependent free radical generation. AJPGastrointest Liver Physiol. 1998; Vol 274 (4): G653-G661 3. Kono H, Rusyn I, Uesugi T, et al. Diphenyleneiodonium sulfate, an NADPH oxidase inhibitor, prevents early alcohol-induced liver injury in the rat. AJP-Gastrointestinal and Liver Physiology 2001; 280:G1005-G1012 4. Beckman KB, Ames BN. The Free Radical Theory of Aging Matures. Physiological Reviews 1998; 78(2): 547-581 5. Nanji AA, et al. Curcumin prevents alcohol-induced liver disease in rats by inhibiting the expresion of NF- kB-dependent genes. AJPGastrointestinal and Liver Physiology 2003; 284:G321-G327 6. Skrzydlewska E, Roszkowska A, Kozusko B. Influence of etanol on oxidative stress in the liver. Przegl Lek 2002; 59(10):848-53 7. Nelson Simanungkalit Pospos. L-Ornitin-L-Aspartat (LOLA) menghindari blebbing akibat keracunan etanol pada hepatosit. Cermin Dunia Kedokteran International Standard Serial Number: 0125-913x. 57-59. (2005) 8. Carmiel-Haggai M, Cederbaum AI, Nieto N. Binge etanol exposure increases liver injury in obese rats. Gastroenterology 2003; 125(6):1818-33 9. Zhou Z, Wang L, Song Z, et al. A critical involvement of oxidative stress in acute alcohol-induced hepatic tnf-a production. American Journal of Pathology 2003; 163:1137-46 10. Nanji A A, Jokelainen K, Fotouhinia M, et al. Increase severity of alcohol liver injury in female rats: role of oxidative stress, endotoxin, and chemokines. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol 2001; 281(6): G1348-G1356 No. 1, Vol. 20, Januari -Maret 2007 TINJAUAN PUSTAKA Penggunaan Antibiotika Carbenicillin Pada Infeksi Saluran Kemih Oleh Bakteri Pseudomonas Species Harry Kurniawan Gondo Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrak. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu masalah di dalam kedokteran klinik, karena kasusnya dapat terjadi pada neonatus sampai dengan geriatik. Untuk terapi ISK diperlukan pengetahuan yang baik, misalnya pengetahuan anatomi fisiologi, mikrobiologi dan farmakologi. Terapi ISK bersifat penting dan unik karena konsentrasi antibiotik didalam urin merupakan aturan yang utama dalam pengobatan ISK, bukan kumulasi antibiotik didalam plasma atau darah. Pseudomonas Sp. merupakan penyebab ISK yang umum dan sulit diobati, karena spesies yang resisten terhadap beberapa antibiotik. Carbenicillin dapat merupakan salah satu pilihan terapi ISK yang disebabkan oleh Pseudomonas, karena konsentrasi antibiotik yang tinggi di dalam urine dan Pseudomonas Sp. masih sensitif terhadap antibiotik ini. Kata Kunci: Urinary Tracts Infection, Carbenicillin, Pseudomonas Sp Pendahuluan nfeksi saluran kemih di Indonesia insiden dan prevalensinya masih cukup tinggi. Keadaan ini tidak terlepas dari tingkat dan taraf kesehatan masyarakat Indonesia yang masih jauh dari standart dan tidak meratanya tingkat kehidupan sosial ekonomi, yang mau tidak mau berdampak langsung pada kasus infeksi saluran kemih di Indonesia. Kasus infeksi saluran kemih (ISK) sangat menarik, karena selain faktor di atas, di mana angka kejadiannya yang tinggi di Indonesia, kasus ISK juga mempunyai perbedaan yang bermakna (significant) pada masing-masing usia. Pada neonatus ISK lebih sering terjadi pada bayi laki-laki (7080%), sedangkan pada usia 1 tahun ISK simptomatik lebih sering pada anak perempuan, yaitu 3 kali lebih banyak dibandingkan pada anak laki-laki. Menurut penelitian di Swedia, insidens pyelonefritis (ISK) atas meningkat pada usia I No. 1, Vol. 20, Januari - Maret 2007 1-2 tahun, kemudian menurun sesuai dengan pertumbuhan usia. Pada usia dewasa kasus ISK ini lebih sering timbul pada wanita dewasa muda (usia subur), salah satu kemungkinan adalah karena proses dari kehamilan (obsetri history). Tetapi pada usia tua, insidens ISK cenderung meningkat pada orang laki-laki, kemungkinannya adalah akibat penggunaan instrumen, misal: urethral catheter. Insiden terjadinya ISK di setiap negara mempunyai data stastistik yang berbeda, hal ini dipengaruhi oleh taraf kesehatan dan pelayanan medis di negara tersebut. Yang menambah unik kasus ISK ini adalah faktor penyebabnya. Di mana dimulai oleh tingkat kebersihan yang rendah, sampai dengan penggunaan instrumen medis dengan tingkat kesterilan yang standar dan dalam perawatan rumah sakit (hospitalization), sehingga dapat dikatakan ISK dapat timbul akibat infeksi nosokimial. 27 TINJAUAN PUSTAKA Selain itu ISK juga perlu mendapatkan perhatian khusus dari kalangan praktisi medis yang berjumpa langsung kasus ISK di klinik, karena apabila kasus ISK tidak dilakukan manajemen terapi yang baik dan benar, akan dapat menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan, mulai dari yang paling ringan (mis: febris generalisata) hingga yang fatal (mis: gagal ginjal akut ataupun gagal ginjal kronis). Hal ini juga perlu mendapat perhatian hampir semua displin ilmu kedokteran, karena penderita ISK ini akan datang ke berbagai unit pelayan fungsional (UPF) Rumah Sakit, antara lain UPF Pediatri, UPF Penyakit Dalam, UPF Urologi, UPF Geriatri, UPF Obstetri dan Ginekologi, dll. Melakukan terapi dengan penggunaan antibiotika, sebenarnya suatu “seni” dalam perawatan medis, karena hal itu merupakan manifestasi keseluruhan dari segala kemampuan dan merupakan gambaran kasar arus berpikir seorang praktisi medis (Dokter Umum, Dokter Spesialis). Penggunaan antibiotika dalam penanganan kasus ISK lebih “seni” karena yang dibutuhkan bukan konsentrasi antibiotika tertentu dalam plasma, seperti kasus infeksi pada umumnya. Tetapi yang diperlukan pada kasus ISK adalah konsentrasi antibiotika tertentu di dalam urin, dan tidak semua antibiotika dapat mempunyai konsentrasi terapi dalam urin. Secara singkat yang mendasari mengangkat topik ini adalah faktor-faktor di atas dan pemilihan antibiotika Carbenicillin, karena Carbenicillin merupakan antibiotik yang mempunyai kadar dalam urin yang paling tinggi dibandingkan dengan antibiotika lainnya.1 Definisi Singkat Bakteriuria: adanya bakteri dalam urin, yang berasal dari saluran kemih, dan tidak berasal dari vagina ataupun prepusium. Bakteriuria ini dapat dijumpai tanpa pyuria, dan dapat memberikan gejala ataupun tidak. Untuk mendeteksi kepastian adanya bakteri pada urin maka dilakukan screening bakteriuria. Screening bakteriuria ini merupakan diagnosa yang dapat digunakan untuk menegakkan kasus ISK, yaitu ISK dikatakan positif apabila didapatkan bakteri sejumlah ≥10s bakteri/mm³ urin. Klasifikasi infeksi saluran kemih : ISK secara sederhana dapat dibagi menjadi 4 kategori : 1. First Infection 2. Unresolved infection (Terapi belum sempurna, sehingga masih ada bakteri) 3. Bakteri resisten (Reccurent urinary tract infection) 4. Reinfection (Infeksi berulang) I.6 Deskripsi Bakteri Pseudomonas Genus: PSEUDOMONAS Merupakan bakteri: Gram Negatif 28 Berbentuk batang (Bacill) Aerob obligat, Motile Mempunyai flagel pada kutub polarnya Strain Pseudomonas termasuk bakteri gram negatif, berbentuk batang, bersifat mongoksidasi, dan mempunyai kemampuan untuk memfermentasi glukosa. Gambar : Flagella Pseudomonas Sumber: Tony hart & Paul Shears, Diagnosis in color Medical Microbiology, Mosby-Wolfe Spain-Barcelona 1996, page 15 Menunjukkan flagel pada kutub polarnya, ini mempunyai makna penting, terutama terhadap kasus ISK. Kuman pada umumnya motile dan mempunyai kemampuan bergerak (motile, oleh karena itu ISK sering terjadi secara ascending) Farmasi Carbenicillin Deskripsi Carbenicillin (=Disodium Alpha Caboxybenzyl Penicillin) CARBENICILLIN merupakan: derivat dari antibiotik Penicillin semisintetik yang merupakan asam organik terdiri dari satu siklik dengan satu rantai samping. Inti siklik terdiri cincin tiazolidin dan cincin betalaktam. Rantai samping merupakan gugus amino bebas yang dapat mengikat berbagai radikal pada gugus amino bebas tersebut akan diperoleh berbagai jenis Penicillin. Beberapa Penicillin akan berkurang aktivitas antimikrobanya dalam suasana asam (suasana lambung) sehingga Penicillin kelompok ini harus diberikan secara parental. Carbenicillin termasuk generasi ke-3 dari Penicillin di bawah ini merupakan pembagian Antibiotik Penicillin:19 Generasi I : Penicillinase-resistant Penicillin Cloxacillin Dicloxacillin Methicillin Nafcillin Oxacillin No. 1, Vol. 20, Januari -Maret 2007 TINJAUAN PUSTAKA 3. Geocillin: merupakan Carbenicillin Indanil sodium, tersedia dalam dosis 500 mg. 500 mg Carbenicillin indanil sodium eqivalent dengan 382 mg Carbenicillin. Generasi II : Penicillinase-Susceptible-Spectrum Penicillins Ampicillin Ampicillin plus sulbactam Amoxillin Amoxillin plus clavulanate Bacampicillin Generasi III : Extended-Spectrum CarboxyPenicillins Carbenicillin Ticarcillin Generasi IV : Extended-Spectrum AcylaminoPenicillin Azlocillin Mezlocillin Piperracillin Furazlocillin Apolcillin Sulbenicillin Sifat Kimia dan Sifat Fisika Sifat fisik bahan baku Carbenicillin berwarna putih, tidak berbau, higraskopik dan merupakan bubuk crystalline dengan rasa yang pahit. Sediaan Carbenicillin mengandung sedikitnya 89% C17H16N2Na2O6SNa2, substansi yang anhydrous. Setiap bahan baku Carbenicillin mengandung 4,7 mmol (4,7 mEq) Natrium (sodium) dengan berat molekul 422,4. Carbenicillin sodium 1,1 gram kurang lebih setara dengan 1 gram Carbenicillin. Carbenicillin 1 gram larut dalam 1,2 liter air atau 1 dalam 25 liter alkohol, maka dengan demikian Carbenicillin sukar larut dalm chlorofom atau ether. Carbenicillin 10% dalam larutan air menghasilkan pH 6-8 dalam 4,45% larutan air menghasilkan larutan isoosmotik dengan serum. Carbenicillin sebaiknya disimpan pada suhu tidak lebih dari 8 dan tempat kedap udara, steril dan jauhkan dari paparan cahaya. Carbenicillin Ada 2 macam : 1. Carbenicillin indanyl sodium (carindacillin) 2. Phenyl ester of carbenillin (carficillin) Penggunaan Carbenicillin pada umumnya secara parenteral, sebab Carbenicillin tidak dapat diserap pada Gastro Intestinal Tract (GIT), tetapi penggunaan Carbenicillin peroral dapat kasus infeksi saluran kemih (ISK) masih menunjukkan efek terapi yang baik, karena kadar antibiotik Carbenicillin dalam urin tinggi sekali dibandingkan Penicillin lainnya ataupun antibiotik golongan lain. Rumus kimia dari Carbenicillin sebagai: C 17 H 16 N 2 O 6 S N a M r 422.4 CH CO COOH Sumber: Cuuting’s Handbook of Pharmology The Actions and uses Drugs, Seveth edition p 17 Aplleton 1984 Sediaan Carbenicillin: 1. Carbenicillin Injection: merupakan larutan steril dari Carbenicillin Sodium, larutan dalam aqua untuk injeksi kemudian harus digunakan secep at mungkin. 2. Pyopen Carbenicillin: berupa bubuk dalam Vial berisi 1 dan 5 gram Carbenicillin sehingga penggunaannya perlu dilarutkan dalam aqua. No. 1, Vol. 20, Januari - Maret 2007 Kelarutan Carbenicillin Potensi Carbenicillin akan berkurang 10% pada solutio 5g dalam 500 ml larutan sodium laktat. Solutio yang mengandung 15 gram per 500 ml stabil selama 6 jam dalam larutan Aminosal Vitrum dan 24 jam dalam Aminosal Glucose dan Amonosol Fructose-Ethanol pada suhu 23°C. Solutio yang mengandung 1 gram per liter untuk peritoneal dialysis. (Dialaflek 62) stabil lebih dari 3 jam pada suhu 37°C. Solutio Carbenicillin 1 M yang mengandung 1 gram larutan sodium dalam 2 ml air, akan berkurrang 20% potensinya dalam 3 hari dalam suhu 23°C, dan akan berkurang potensinya kurang dari 5% dalam 6 hari. Apabila disimpan dalam suhu 5°C. Oleh karena itu sebaiknya semua preparat Carbenicillin untuk injeksi harus baru (recent partus). Degradasi Carbenicillin sodium minimal terjadi pada pH 6, Carbenicillin sodium juga stabil suasana asam, dengan waktu paruh 140 menit pada suhu 20°C-25°C. Carbenicillin mempunyai waktu paruh 30 menit pada pH 2,9 dan suhu 37°C. Intramuskular (IM) 1 gram Carbenicillin mencapai konsentrasi dalam plasma setelah 1 jam, didapatkan 30 µg/ml, dan 20 µg/ml dan lebih dari 10 µg/ml dalam 2 jam berikutnya. Penggunaan dosis Carbenicillin dapat diperoleh konsentrasi dalam plasma 2 kali lipat juga. Intramuskular (IM) 1 gram Carbenicillin mencapai konsentrasi dalam plasma setelah 1 jam, didapatkan 30 µg/ml, dan 20 µg/ml dan lebih dari 10 µg/ml dalam 2 jam berikutnya. Penggunaan dosis Carbenicillin dapat diperoleh konsentrasi dalam plasma 2 kali lipat juga. 29 TINJAUAN PUSTAKA Tabel 1. Periode stabilitas dari Carbapen-solutio (10 gram dalam 500 ml) pada suhu 23°C dalam larutan intravena Intra Venous Fluid 2. Stability Period Normal saline 24 jam 5% Dextrose Saline 24 jam Dextrose Saline 24 jam M/6 Sodium Lactate 6 jam Ringer’s Solution 24 jam 1,4% Sodium Bicarbonate 24 jam Dextran 40 in 5% Dextrose Injection 24 jam Dextran 40 in 10% Normal Saline 24 jam 3. 4. 5. 6. 7. Sumber: Jack Thomas, Ph D ed, Prescription Proprietaris Guide p 327, 1984 Australia. Carbenicilin 764mg = 1000mg Carbenillin Indanyl Sodium = 2 tablet peroral, 4 jam sekali diperoreh kandungan dalam urine 1000 unit/ml (Campbell’s Urology, sixth edition, WB Saunders 1992, p 743) Tabel 2. Kadar Carbenicillin, absorpsi dalam serum (µg/ml), setelah pemberian rute intramusular (IM) dan intravenous (IV) Dosis Carbenicillin ¼ Jam ½ Jam 1 Jam 2 Jam 4 Jam 6 Jam 1 gram IM - 26,8 29,4 22,2 10,8 3,3 1 gram IM+Probenesid - 25,7 39,9 04,0 27,4 19,4 1 gram IV 140,0 114,0 55,0 32,0 4,4 3,0 5 gram IV 315,0 210,0 168,0 125,0 60,0 15,0 5 gram IV+Probenesid 393,0 240,0 168,0 140,0 75,0 37,0 Sumber: Jack Thomas, Ph.D ed, Prescription Guide p 325, 1984 Australia Tabel 3: Kadar serum dan antimikroba saluran kemih pada tinggkat dewasa Antibiotik Dosis Peak Serum (µg/ml) Mean (Active) Level urine (µg/ml) Ampicillin 250 p.o.q 6 jam 3 at 2 jam 350 Carbenicillin 764 p.o.q 6 jam 11-17 at 1,5 jam 1000 Ciprofloxasin 500 p.o.q 12 jam 2.3 at 1,2 jam 800 Gentamicin 200 mg/hari 4 at 1 jam 125 Kanamycin 500 IM q 12 jam 18 at 1 jam 750 Penicillin G 500 p.o.q 6 jam 1 at 1 jam 300 Sulfamethizole 250 p.o.q 6 jam Tetracyclin HCL 250 p.o.q 6 jam 2-3 at 4 jam 500 Trimethoprim Sulfamethoxazole 160/800 p.o.q12 jam 1.7/32 at 2 jam 150/400 100µ p.o.q 12 jam 1.o at 2-4 jam 92 Trimethoprim 700 Sumber: Cambell`s Urology sixth edition page 734 Stamey T.A : Pathogenesis and Treatmet of Urinari Infection. Baltimore, William & Walkins 1980, (p59) with modification. These average concertrations are bases on the amount of biologically active drug excreated by normal kidneys t urine flow rate of 1200 ml/24 hours. Half life Carbenicillin meningkat pada pasien dengan : 1. Kelainan fungsi hati (liver disease), ini disebabkan penurunan kadar albumin darah yang merupakan salah 30 satu protein pengikat antibiotik Carbenicillin sehingga kadar obat bebas (aktif) meningkat dalam plasma. Kelainan fungsi ginjal (renal failure), hal ini berhubungan langsung dengan penurunan renal clearence. Pasien dengan nefroektomi. Bayi dengan berat badan yang ringan (Low Birth Weight). Penggunaan Probenesid. Pemberian parenteral terutama IV. Kolesistektomi. Konsentrasi plasma maksimal 4 kali lebih tinggi pada penggunaan IV dari pada IM Pemberian 1 gram Carbenicillin IV menghasilkan rata-rata konsentrasi puncak dalam plasma kurang lebih 150µg/ml, pada IM konsentrasi puncak dalam plasma 15-20 µg/ml dalam waktu ½-2 jam. Distrubusi Carbenicillin menyerupai distrubusi antibiotik golongan Penicillin lainnya. 50% terikat oleh protein. Difusi dalam cairan tubuh dan jaringan. Carbenicillin sodium dapat menembus subconjunctiva tidak mengalami inflamasi. Penggunaan Carbenicillin dalam dosis besar dan frekuensi yang cepat dapat berdifusi kedalam tulang. Difusi Carbenicillin dalam jaringan berhubungan erat dengan konsentrasi dalam protein tetapi boleh dikatakan difusi Carbenicillin dengan cairan tubuh cukup bagus. Dalam jumlah yang kecil dapat ditemukan dalam ASI (Air Susu Ibu) Berdifusi sangat kecil kedalam cerebro spinal fluid kecuali bila ada inflamasi meninges, maka difusi Carbenicillin akan meningkat seperti juga pada golongan antibiotik golongan Penicillin lainnya. Dapat ditemukan dengan konsentrasi yang kecil di bawah Minimal Inhibitory Concentration (MIC) untuk strain pseudomonas pada sekret dari bronkus. Pada keadaan normal dalam korteks ginjal ditemukan konsentrasi 3 kali lebih besar dari pada konsentrasi dalam plasma pada saat yang sama, dan konsentrasi pada papila ginjal mungkin 17 kali lebih tinggi dari pada konsentrasi dalam plasma saat itu. Keadaan ini ditemukan pada pasien dengan keadaan dehidrasi dan keadaan ini segera hilang dengan rehidrasi. Penyakit ginjal yang berat: Chronic Pyelonephritis atau gromerulonefritis, penetrasi Carbenicillin dalam parenkim ginjal menurun. Konsentrasi Carbenicillin pada korteks, medula, papila ginjal terjadi ½ dari konsentrasi plasma. Farmakokinetik Carbenicillin Absorpsi Carbenicillin Carbenicillin tidak diabsorpsi dengan baik pada Gastro Intestinal Tract (GIT), maka dari itu pemakaiannya sebagian besar parenteral. Carbenicillin pada kasus infeksi saluran No. 1, Vol. 20, Januari -Maret 2007 TINJAUAN PUSTAKA kemih (ISK) Carbenicillin masih dapat digunakan secara peroral karena ekskresi Carbenicillin dalam urin cukup besar. Metabolisme (Biotransformasi) Hanya 2% dari 500 mg Carbenicillin IM yang mengalami metabolisme dan mengalami perubahan menjadi asam penicilloic, dalam waktu 12 jam. Dan 82% dari dosis dikeluarkan melalui urin tanpa perubahan. Asam penicilloic merupakan metabolit dari benzylpenicillin (Carbenicillin) yang dapat digunakan untuk perantaraan respon antigen (pada kasus alergi). Karena itu benzylpeniciloyl polilysine dapat digunakan untuk tes sensitivitas terhadap Penicillin. Struktur dasar dari Penicillin dan lokasi kerja enzim yang menghidrolisis antibiotik golongan Penicillin: Carbenicillin tidak diabsorpsi dengan baik pada Gastro Intestinal Tract (GIT), maka dari itu pemakaiannya sebagian besar parenteral. Carbenicillin pada kasus infeksi saluran kemih (ISK) Carbenicillin masih dapat digunakan secara peroral karena ekskresi Carbenicillin dalam urin cukup besar. Piloic acid. Pada binatang percobaan perbandingan kadar plasma dari sekresi tubular ginjal terhadap Carbenicillin hanya ½ dari pada Penicillin G, oleh karena itu mengapa renal clearance dari Carbenicillin lebih lambat dari pada Penicillin G (half life ± 60 menit). Pada 3 jam pertama penggunaan peroral 1 gram Carbenicillin, konsentrasi Carbenicillin dalam urin didapatkan sebesar 1.000 µg/ml. Setelah dosis 1 g Carbenicillin, konsentrasi maksimal Carbenicillin ekskresi terjadi setelah 4 jam pertama, dengan konsentrasi antara 52-1020 µg/ml (rata-rata 434 µg/ ml) Dalam jumlah yang sedikit Carbenicillin dieliminasi oleh asam empedu. Pada pasien setelah kolesistektomi dengan T tube drainage, ±0,19% dosis Carbenicillin keluar dari jalur ini. Ekskresi Lewat Aktivitas Tubuh (Activation Body) Dalam jumlah kecil Carbenicillin menjadi tidak aktif di dalam hati, tetapi ini lebih lambat dari pada golongan Penicillin yang lain. Pada kasus uremia dan anuria yang berat, diperoleh half life dari Carbenicillin 13-14 jam berbeda 3 jam dari pada Penicillin dan 8 jam dari Ampicillin. Tabel 4 : Hubungan antara creatine clearance dan kadar creatine serum pada therapy dengan Carbenicillin Adult Dose 5 Gram Creatinin Clearence Rate (mL/min) Creatinin (µmoI/L) Frequency of administration >50 <140 4 hourly 35-49 140-165 6 hourly 24-34 166-240 8 hourly 10-23 241-455 12 hourly <10 >455 16 hourly Sumber : Jack Thomas, Ph. D ed, Prescription Proprietaris Guide p 326 1984 Ekskresi Ekskresi Lewat Urine Carbenicillin diekskresi dalam urin oleh glomerulus dan tubular sekresi. Probenezid menurunkan kecepatan ekskresi Carbenicillin, oleh karena mempunyai efek memblok sebagian sekresi dari tubular ginjal. Konsentrasi yang tinggi dari Carbenicillin dalam urin dapat dicapai setelah penggunaan Carbenicillin peroral, IM dan IV Hasil konsentrasi dari Carbenicillin merupakan hasil dari tingkat fungsional ginjal (tingkat kerusakan ginjal). Pada pasien dengan creatinine clearance rate sebesar 10 ml/menit maka konsentrasi Carbenicillin ditemukan antara range 2503.900 µg/ml (normal: 650-2475 µg/ml). Kurang lebih 95% Carbenicillin IV dapat ditemukan bentuk aktifnya dalam urin setelah 6 jam pemberian, konsentrasi ini lebih tinggi dari Ticarcillin, oleh karena itu Ticarcillin mengalami inaktivasi sebelum di ekskresi oleh ginjal. Kurang lebih 10% dari dosis Carbenicillin dikeluarkan dalam bentuk No. 1, Vol. 20, Januari - Maret 2007 Australia Farmakodinamik Berdasarkan mekanisme kerjanya antibiotik golongan Penicillin ß-Laktamase, termasuk antibiotika yang menghambat sintesa dinding sel bakteri (mikroba), efek bakterisidal ditujukan pada bakteri yang sedang aktif membelah, pada waktu berlangsungnya pembelahan, sebagian dari dinding sel induk dilisis oleh acetil muranidase. Dinding sel bakteri terdiri dari mukopeptida transpeptidase terlibat dalam pembentukan dinding sel baru. Enzim itu diblokir oleh antibiotik golongan Penicillin, sehingga pembentukan sel tidak sempurna yang menyebabkan kematian bakteri. Oleh karena dinding sel coccus gram positif terdiri dari 60%, sedangkan coccus gram negatif hanya mengandung 10%, maka spektrum antibiotik golongan Penicillin tidak begitu luas. Dari segi biokimia golongan antibiotik Penicillin menginhibisi katabolisme mononukleotida, maka sumber 31 TINJAUAN PUSTAKA Dari segi biokimia golongan antibiotik Penicillin menginhibisi katabolisme mononukleotida, maka sumber energi yang diperlukan oleh bakteri untuk metabolisme hilang, juga dalam dehidrogenase yang diperlukan untuk multiplikasi secara normal terganggu. Aktivitas antibiotik betaktamase (ß laktamase) ditentukan oleh kemampuannya mencapai dan berinteraksi dengan sasaran dalam membran sitoplasma. energi yang diperlukan oleh bakteri untuk metabolisme hilang, juga dalam dehidrogenase yang diperlukan untuk multiplikasi secara normal terganggu. Aktivitas antibiotik betaktamase (ß laktamase) ditentukan oleh kemampuannya mencapai dan berinteraksi dengan sasaran dalam membran sitoplasma. Masalah penetrasi ke dalam gram negatif diatas dengan mensubtitusikan pada C-alfa (rantai karbon pada gugus alfa) dari rantai samping hidrofob benzyPenicillin, suatu gugus amino (Ampicillin) atau gugus karboksil (Carbenicillin). Kedua senyawa tersebut lebih resisten terhadap betalaktamase. Carbenicillin diperoleh dari gugus amino Penicillin yang tersubsitusi dengan benzyl. Farmakoterapi: Carbenicillin Pada Infeksi Saluran Kemih Sensitif Pseudomonas Aktivitas perlawanan oleh organisme Pseudomonas Sp. hampir relatif kecil keberhasilannya maka dari itu penggunaan Carbenicillin merupakan sesuatu yang sangat penting. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian parenteral dengan 32 Carbenicillin dalam serum sebesar 50-60 µg/ml, konsentrasi itu sudah dapat menghambat Pseudomonas aeruginosa strain. Sebagian kecil dari strain Pseudomonas tidak dapat dihambat dengan Carbenicillin konsentrasi diatas 200 µg/ml. Keadaan ini akibat terjadinya peningkatan resistensi terhadap Carbenicillin. Resistensi dari strain Pseudomonas aeruginosa dapat terjadi akibat dari bentuk lain ß-laktamase (Carbenicillinase) Pada beberapa Pseudomonas yang diinduksi memproduksi kromosom yang membentuk ß-laktamase khusus untuk Carbenicillin, dimana enzim ini banyak merusak jenis antibiotik ß-laktamase Carbenicillin, maka potensi Carbenicillin juga akan berkurang pada strain ini. Carbenicillin menjadi tidak aktif oleh enzim ß-laktamase pada umumnya. Pada beberapa strain Pseudomonas aeruginosa dapat memproduksi R-plasmid, di mana ini akan mengkode untuk memproduksi ß-laktamase, yang dapat merusak Carbenicillin. R-plasmid juga dapat ditransfer dari membrane ke Pseudomonas aeruginosa. Sedikitnya ada 7 tipe yang bebeda dari R-plasmid yang memacu produksi ß-laktamase, yang dapat merusak Carbenicillin. Beberapa strain Pseudomonas aeruginosa lainnya, resisten terhadap Carbenicillin, mungkin hasil pergantian dari permeabilitas dinding sel atau berasal dari penurunan afinitas Carbenicillin binding protein pada membran sel bakteri. Pada kasus di mana terjadi persistensi Pseudomonas terhadap Carbenicillin yang tinggi, kemungkinan pada Pseudomonas tersebut terjadi dua mekanisme di atas. Patogenesis dari resistensi strain ini tidak cepat dan jarang akibat dari lesi Pseudomonas, dapat terjadi pada pasien yang mempunyai riwayat imunologis yang jelek, misalnya: pada pasien yang terapi dengan imuno supresan atau pada penderita AIDS. Penelitian dalam rumah sakit di United Kingdom of England menunjukkan 85% masih sensitif dengan Carbenicillin, Penelitian dari 24 rumah sakit di United Kingdom of England yang terbesar menunjukkan hanya 9,6% Pseudomonas aeruginosa yang resisten terhadap Carbenicillin. Indikasi Carbenicillin pada beberapa referensi diindikasikan terutama untuk infeksi saluran kemih oleh karena strain Pseudomonas dan strain Proteus. Terapi Carbenicillin dapat diberikan dengan: 1. Per oral (PO). Penyerapannya sedikit oleh karena Carbenicillin tidak tahan dalam suasana asam (asam lambung). Sebaiknya Carbenicillin diberikan pada saat lambung kosong, atau satu sampai dua jam setelah makan, dengan agak banyak air. 2. Intra Vena (IV) 3. Intra Muscular (IM) 4. Intrathecal: Pada kasus meningitis 5. Intraarticular No. 1, Vol. 20, Januari -Maret 2007 TINJAUAN PUSTAKA 6. 7. 8. 9. Intrapleura Sub konjungtiva Aerosal Inhalation Local irigation Kontraindikasi Kontraindikasi MUTLAK: Bagi pasien yang alergi (hipersensitivitas) terhadap semua antibiotik golongan Penicillin. Kontraindikasi FAKULTATIF : 1. Pasien di atas 60 tahun 2. Pasien yang bekerja berat 3. Pasien peminum alcohol 4. Kehamilan 5. Menyusui 6. Bayi 7. Pasien dengan gangguan eletrolit 8. Pasien gangguan jantung Dosis Carbenicillin Pada Isk Oleh Pseudomonas sp Beberapa literatur menganjurkan penggunaan Carbenicillin dalam terapi ISK. Sebagai antibiotic garis kedua (second line); apabila terjadi kegagalan terapi ISK, maka baru diberikan Carbenicillin sebagai penggunaan berikutnya. Dosis di bawah ini untuk pasien dalam keadaan fungsi ginjal yang normal. Dosis Neonatus Dosis awal: 100mg/kg (semua neonatus) Rute pemberian obat: IM; IV Dosis Anak-anak Infeksi saluran kemih sensitive : 1.200 mg/kg/hari; IV dripa. 2.1000 mg/kg/hari; Peroral setiap 6 jam sekali. Infeksi Uncomplete : 1-2 gram setiap 6 jam sekali. Interaksi Obat Obat yang meningkatkan efek Carbenicillin: 1. ß-adrenergik blocker 2. Probenecid 3. Gentamicin 4. Tobramicin 5. Amykacin Obat yang menurunkan efek Carbenicillin: 1. Chlorampenikol 2. Colestryramine 3. Colestipol 4. Erytromycin 5. Paramomycin 6. Tetracycline 7. Troleandomycine No. 1, Vol. 20, Januari - Maret 2007 8. Golongan vitamin B Obat yang menurun efeknya oleh karena Carbenicillin: 1. Pil kontrasepsi 2. Eryntromycin 3. Paramomycin Interaksi lain : 1. Alkohol: kadang-kadang meningkatkan iritasi pada lambung. 2. Buah yang asam, misalnya orange juice: menurunkan efek Carbenicillin. Efek Samping & Toksisitas Carbenicillin Efek samping dan toksisitas Carbenicillin ini perlu diperhatikan pada kasus tertentu. Misal: penderita dengan kelainan fungsi ginjal, selain itu juga pada penggunaan yang takar lajak (over dosis) atau penggunaan nya dalam jangka panjang. Maka dari itu ada baiknya kita mengetahui efek samping yang disebabkan oleh Carbenicillin. Adapun beberapa efek samping yang dapat ditimbulkan oleh Carbenicillin sebagai berikut: 1. Reaksi Hipersensitivitas (alergi) Carbenicillin dapat memprovokasi suatu reaksi yang sama, yang ditimbulkan oleh golongan antibiotik Penicillin. Penderita yang mengalami anafilaksispada penggunaan Carbenicillin pernah terjadi. (reported Silverblatt & turck, 1969). Maka dari itu Carbenicillin merupakan kontra indikasi pada pasien yang memiliki alergi terhadap Penicillin. Reaksi hipersensitivitas ini pada umumnya bermanifestasi berupa urtikaria dan skin rash. 2. Neurotoxicity Dosis Carbenicillin yang tinggi, dapat menyebabkan keadaan neurotoxicity. Keadaan ini sering timbul pada pasien dengan gangguan ginjal yang berat, sering timbul konvulsi dimana yang setiap harinya menerima Carbenicillin IV dengan dosis 4 gram. 3. Kelainan Perdarahan Pembekuan darah menjadi tidak efektif, karena gangguan fungsi trombosit pada semua proses tingkatan. Pada dosis yang rendah, Carbenicillin memberikan efek yang ringan pada fungsi trombosit, tetapi pada dosis 300 mg/kg dapat timbul gangguan yang serius pada proses hemostasis. Mekanisme gangguan hemostasis oleh Carbenicillin adalah Carbenicillin memblok membran trombosit, sehingga menurunkan agregasi trombosit dengan Adenosine dphospate (ADP). Adapun gangguan fungsi platelet oleh Carbenicillin terjadi pada: Pemanjangan waktu perdarahan (prolong action of the 33 TINJAUAN PUSTAKA bleeding time). Penurunan jumlah retraksi. Penurunan protrombine. Keadaan di atas pada umumnya menghilang dalam waktu 12 hari, setelah dosis Carbenicillin dalam plasma turun di bawah dosis terapi. Gangguan elektrolit oleh Carbenicillin pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan gangguan jantung harus diperhatikan, dosis Carbenicillin dan hipokalemia sebaiknya dimonitoring secara berkesinambungan dengan sarana yang memungkinkan. 4. Neutropenia Pada pasien dengan fungsi ginjal yang normal, yang diterapi dengan 50 gram Carbenicillin IV per hari, neutropenia akan tampak setelah terapi dan akan normal kembali satu minggu setelah terapi dihentikan, ini dikarenakan Carbenicillin menekan pada jalur mieloid pada sumsum tulang. 5. Hepatotoksisitas Peningkatan SGOT pada pasien yang terapi Carbenicillin tampak pada penelitian di laboratorium. Peningkatan enzim SGOT dapat ditemukan selama terapi Carbenicillin, tetapi umumnya keadaan ini akan kembali normal secara cepat setelah penggunaan obat dihentikan. 6. Gangguan asam-basa, elektrolit 1 (satu) gram Carbenicillin mengandung 4,7 meq (mmol) natrium. Beban natrium ini akan sangat berarti pada orang yang menerima Carbenicillin dalam dosis yang besar. Kemungkinan yang timbul adalah hipernatremia dan edema paru. Keadaan 34 ini juga berbahaya bagi penderita jantung dan gangguan fungsi ginjal. Pada beberapa pasien yang diterapi dengan dosis Carbenicillin yang benar dapat timbul hipokalemia dengan metabolik alkalosis, hipokalemia ini mungkin timbul akibat hilangnya natrium di tubulus ginjal, tetapi mungkin juga dari redistribusi natrium dalam tubuh. Keadaan hipokalemia ini pada umumnya dapat diatasi dengan natrium klorida (NaCl) secara IV dan segera hentikan terapi Carbenicillin. Gangguan elektrolit oleh Carbenicillin pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan gangguan jantung harus diperhatikan dosis Carbenicillin dan hipokalemia sebaiknya dimonitoring secara berkesinambungan dengan sarana yang memungkinkan. 7. Efek samping yang lain : a. Pseudomembranous colitis b. Haemorrage cystitis Tabel 5: Dosis Carbenicillin Pada Neonatus untuk kasus ISK DOSIS PERAWATAN Umur & Berat Total Dosis 1 hari Pemberian Dosis 1 hari <1 week, <2000 mg 225 mg/kg/hari 75 mg/kg 8 hourly >1 week, <2000 mg 400 mg/kg/hari 100 mg/kg 6 hourly <3 days, >2000 mg 300 mg/kg/hari 75 mg/kg 6 hourly >3 days, >2000 mg 400 mg/kg/hari 100mg/kg 6 hourly Sumber: Prescription Proprietaries Guide, 1984, Australia Jack Thomas, Ph.D.M.Sc.,F.P.S. ed, page 32 Kesimpulan Kasus ISK (infeksi saluran kemih) masih merupakan kasus yang penting di Indonesia karena kasusnya masih tinggi. Selain itu ISK masih memerlukan penanganan yang tepat karena ISK dapat menimbulkan sebagai komplikasi. Penanganan ISK di Indonesia pada saat ini boleh dikatakan kurang dari standar, tetapi karena berbagai alasan, terutama alasan biaya maka terapi terhadap ISK di Indonesia sebagian besar hanya berdasarkan dari kemampuan anamnesa dan pengalaman klinis dokter serta simtomatis dari penderita, dan dilakukan pemeriksaan mikroskopis urin. Untuk pemeriksaan kultur dan sensitifitas masih jarang dilakukan, meskipun ada indikasi untuk seharusnya dikerjakan. Untuk terapi pada umumnya diberikan antibiotika berspektrum luas, yang di mana apabila ini diterapkan dalam jangka waktu yang terus menerus dalam waktu yang panjang, tidak menutup kemungkinan akan terjadi resistensi terhadap antibiotik tertentu ini, misal: Ampicillin, Trimethoprim sulfamethoxazole, Penicillin G, Sulfamethizole, dan lain-lain. Carbenicillin untuk terapi ISK khususnya yang disebabkan oleh strain Pseudomonas. Sebenarnya Carbenicillin ini merupakan golongan antibiotik Penicillin generasi III, di mana sebenarnya juga mempunyai spektrum yang luas. Jadi sebenarnya Carbenicillin dapat digunakan untuk infeksi kasus- No. 1, Vol. 20, Januari -Maret 2007 TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR PUSTAKA Penggunaan Carbenicillin meskipun pada saat ini mempunyai sensitifitas yang masih baik (tinggi), tetapi kita harus tetap bijaksana dalam penggunaannya. kasus lainnya, misalnya infeksi oleh strain proteus. Carbenicillin tahan terhadap enzim ß-laktamase pada umumnya. Tetapi apabila strain Pseudomonas mengalami proses resistensi, dimana strain ini akan menghasilkan enzyme ß-laktamase khusus untuk menghancurkan enzim benzyl pada Carbenicillin (carbencillinase), maka seharusnya kita mengkombinasi Carbenicillin dengan gentamycin. Selain itu antibiotik Carbenicillin sebagai salah satu persiapan dalam menyongsong era globalisasi, di mana antibiotik Carbenicillin juga akan masuk ke Indonesia. Sehingga apabila preparat antibiotika Carbenicillin tersedia di Indonesia, kita semua sudah mengenal dan mengetahui diindikasikan untuk kasus dalam klinis sekaligus penerapannya berdasarkan farmakokinetiknya. Carbenicillin merupakan salah satu “antibiotik cadangan” dalam terapi infeksi saluran kemih, khususnya untuk strain Pseudomonas, karena Carbenicillin ini dapat ditemukan konsentrasinya yang tinggi dalam urin. Carbenicillin dalam terapi ISK dapat digunakan dengan jalan: o Peroral o Parenteral IV & IM Satu tablet Carbenicillin mempunyai kandungan 500 mg Carbenicillin Sodium Indanyl, di mana equivalen dengan 382 mg Carbenicillin. Penggunaan Carbenicillin juga harus diperhatikan faktor: 1. Indikasi 2. Kontraindikasi 3. Faktor farmakokinetik Carbenicillin (abspsorsi, distribusi, metabolisme, ekskresi) 4. Intereaksi Carbenicillin dengan obat yang lain Penggunaan Carbenicillin meskipun pada saat ini mempunyai sensitifitas yang masih baik (tinggi), tetapi kita harus tetap bijaksana dalam penggunaannya, karena tetap ada mekanisme dari strain Pseudomonas untuk membuat enzim ß laktamase khusus untuk Carbenicillin, yaitu Carbenicillinase. No. 1, Vol. 20, Januari - Maret 2007 1. Schaffer J. Athony, infection of the urinary tract. Campbell’s Urollogy vol. 1, 6th edition. Philadelphia: W.B. Sanders, 1992. p.729-45 2. Mandell L. Gerald, Sande A. Merle, Antimikrobial agents (penicillins, cephalosporins, and other ß-lactam antibiotics, Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics vol. 2, 8th ed. Singapore, McGraw-Hill Book Co, 1992. p.1065-81 3. Mandell L. Gerald, Sande A. Merle, Antmikrobial agents (Penicillins, Cephalosporin, and other lactam antibiotics, Goodan & Gilman`s the Pharmacological Basis of Therapeutics, vl. 2, 7th ed. Singapore, McGraw – Hill Book Co, 1992. p.1132-3 4. Alatas Husein, penatalaksanaan infeksi saluran kemih komplek pada anak. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XXIX Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 24-25 September 1993. p.107-125 5. Martindale, The extra pharmacopoeia. In. Ed James E.F.Reynolds. 28th edition. London: The Pharmaceutical Press, 1982. p.1110-3 6. Mark Gladwin, M.D., BillTrattler, M.D, Clinical Microbiology (made ridiculously simple). McGraw-Hill International Editions Singapore, 1997. p.117 7. A. Kucers and N. McK. Bennett. William heinemann medical books, the use of antibiotics a comprehensive review with clinical emphasis, 4th edition, London, 1987. p.197-217. 8. Kenneth L. Melmon & Howard F. Morrelli, eds, Clinical pharmacology, basic principles in therapeutics, Melmon & Morrelli’s 3th edition, USA: McGraw-Hill, Inc. 1992. p.706-7 9. Sulistia G. Ganiswarna, Farmakologi dan terapi, Bagian Farmakologi, Edisi 4 (dengan perbaikan) Fakultas Kedokteran-Universitas Indonesia, Jakarta, 1995. p.622-36 10. Jacquelyn G. Black, Microbiology principles & applications, 3th edition. Simon & Schuster / A Viacom Company Upper Saddle River, New Jersey, 1996. p.253 11. BG Katzung. Farmakologi dasar dan klinis, Edisi 3. Jakarta: EGC, 1989. p.615-27 12. Joseph D.C. YAO and Robert C. Moellering, JR. Antibacterial agents Chapter 108. In Albert Balows, William J. Hausler, Jr., eds. Manual of Clinical Microbiology, Fifth edition, Washington DC: American Society For Microbiology, 1991. p.1065-7 13. T.R. Harrison, Anthony S. Fuci. Harrison’s principles of internal medicine, 14th edition, vol.I. USA: McGraw-Hill, 1998. p.415-6 ; 819-23. 14. Jack Thomas. Precription proprietaries guide, Thirtteenth Issue Melbourne Australia, 1984. p.325-7 15. T.Z. Csaky, & Byron A. Barnes. Cutting’s handbook of pharmacology, the actions and uses of drugs, USA: Appleto-Century-Crofts,1984, p.11-19 16. Joke R Wattimena, Nelly C Sugiarso, eds. Farmakodinami dan terapi antibiotik. Gadjah Mada University press, p.68-69 17. Tan Hoan Tjay & Kirana Rahardja, eds. Obat-obat penting, khasiat, penggunaan dan efek-efek sampingnya. edisi ke-4, Departeman Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, 1986. p.65-74 18. Tony Hart & Paul Shear, eds. Color atlas of medical microbiology, Mosby-Wolfe, 1996. p. 76-7, 165 19. Scientic American Medicine July 2004, CD-ROM 20. The merk manual, IIIustrated Centerrial 17 edition, CD-ROM 21. Rx work CD ROM, Kasco Technologies, Inc 35 TINJAUAN PUSTAKA Infeksi Bakteri Pada Pejamu Immunocompromised Mangatas SM Manalu, H Sjaiful I Biran Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah Denpasar - Bali Abstrak. Dalam praktek sehari-hari sering ditemukan populasi penderita yang sangat rentan terhadap infeksi bakteri, virus maupun jamur. Para penderita ini umumnya dengan latar belakang penyakit inflamasi kronis tertentu ataupun sedang menjalani suatu program terapi khusus. Jika penderita mengalami infeksi bakteri, maka serangannya cepat memberat menjadi sepsis yang mengancam jiwa, dengan manifestasi klinis yang seringkali tidak khas. Penderita keadaan ini dinamakan pejamu immunocompromised. Untuk dapat mendiagnosis infeksi pada keadaan ini, diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang yang cermat, berdasarkan suspek terhadap keadaan tersebut jika terdapat clinical setting yang sesuai. Penatalaksanaan infeksi pada pejamu immunocompromised harus sesegera mungkin dan relatif lebih agresif dibanding dengan penatalaksanaan pada penderita infeksi tanpa keadaan tersebut. Untuk mencapai hal itu diperlukan pengetahuan, seni dan keterampilan klinis yang seharusnya terus ditingkatkan. Kata kunci: infeksi bakteri, pejamu immunocompromised, diagnosis Pendahuluan ejamu (host) dengan keadaan immunocompromised ialah individu yang mengalami penurunan kuantitas maupun kualitas komponen sistem imun, sehingga terjadi penurunan ketahanan terhadap berbagai infeksi. Keadaan ini dapat disebabkan oleh penyakit (kongenital atau didapat) maupun akibat terapi.1,2 Beberapa sarjana juga menggolongkan orang lanjut usia (lansia) dan wanita hamil sebagai pejamu immunocompromised.3,4 Keadaan immunocompromised juga dapat menyebabkan perubahan karakter bakteri komensal kearah patogen sehingga mengganggu keseimbangan flora tubuh.2,3 Berbagai modalitas terapi masa kini telah mampu mengatasi berbagai penyakit infeksi bakteri, tetapi sebaliknya juga menciptakan berbagai keadaan penurunan daya tahan tubuh akibat interference antara pertahanan tubuh normal dan prosedur medis seperti kemoterapi, kateterisasi, dan terapi imunosupresi. Hal tersebut menyebabkan semakin meningkatnya populasi pejamu immunocompromised.1,5 Bila suatu bakteri patogen berhasil menembus kulit dan selaput lendir tubuh, maka terjadi pengerahan empat komponen sistem imun tubuh yaitu fagosit, komplemen, antibodi dan sel-sel sistem imun seluler untuk menghancurkan bakteri itu. Gangguan kualitas dan kuantitas keempat komponen tersebut, seperti yang terdapat pada pejamu immunocompromised akan mengganggu reaksi imun tubuh sehingga manifestasi klinis infeksi lebih sukar dikenali.3,4 P 36 Untuk dapat mengantisipasi infeksi bakteri pada keadaan immunocompromised dan mengatasinya, diperlukan pemahaman mengenai sistem imun serta patogenesis dan manifestasi klinik infeksi bakteri pada pejamu immunocompromised. Pada tulisan ini yang dibahas ialah keadaan immunocompromised diluar infeksi HIV/AIDS. Sistem imun tubuh Untuk terjadinya infeksi, bakteri patogen mula-mula harus mampu melalui rintangan permukaan tubuh yang tergolong sistem imun alami (innate), baik yang bersifat fisik seperti kulit, epitel dan mukosa, maupun yang bersifat larutan kimiawi, misalnya enzim proteolitik dan sekret saluran nafas.3,4 Selanjutnya bakteri akan berhadapan dengan komponen seluler dan humoral sistem imun non spesifik. Sistem imun non spesifik tidak mempunyai memori terhadap bakteri yang masuk dan tidak dimodulasi oleh antigenisitas bakteri. Komponen pertama sistem imun non spesifik humoral ialah sistem komplemen, suatu enzim serum yang meningkatkan fagositosis bakteri dengan cara opsonisasi dan mengaktifkan reaksi inflamasi. Komplemen dapat menghancurkan membran sel bakteri serta melepaskan faktor kemotaktik untuk menggerakkan sel fagosit ke lokasi infeksi. Komponen kedua ialah protein fase akut plasma, misalnya C-reactive protein (CRP), yang mengikat berbagai molekul pada permukaan bakteri, mengikat komplemen dan mempermudah fagositosis bakteri. Komponen ketiga ialah interferon, yang dihasilkan No. 1, Vol. 20, Januari -Maret 2007 TINJAUAN PUSTAKA oleh monosit dan limfosit T pada infeksi virus.4,5 Komponen seluler imun non spesifik terdiri dari sel fagosit, makrofag, sel natural killer (NK-cell), sel killer (K-cell), interdigitating dendritic cell, serta sel mononuklea (limfosit dan monosit). Sel polimorfonuklea (PMN), misalnya netrofil, mengandung lisosom, hidrogen peroksida, myeloperoksidase dan laktoferin yang bersifat bakterisidal. Dalam 2-4 jam setelah infeksi, sel PMN telah sampai di tempat inflamasi dan dengan bantuan antibodi serta komplemen akan menghancurkan patogen. Sel ini berperan pada inflamasi akut dan memiliki masa hidup 2-3 hari. Makrofag, suatu derivat sel mononuklir yang terdapat di jaringan, memiliki masa hidup beberapa bulan akan tiba di lokasi dalam 7-8 jam setelah infeksi terjadi. Sel ini lebih berperan pada proses inflamasi kronis, membunuh bakteri secara intrasel, dan juga merupakan antigen-presenting cells (APC) yang menangkap dan memproses antigen. Sel APC lainnya ialah interdigitating dendritic cell.3-5 Sistem imun spesifik memiliki sel memori dan dimodulasi oleh antigenitas kuman pada paparan berulang dengan patogen. Yang berperan disini ialah limfosit. Sejumlah 15 % dari seluruh limfosit adalah limfosit B yang merupakan pelaksana sistem imun humoral melalui perubahan menjadi sel plasma yang memproduksi zat larut yang dinamakan antibodi. Proses opsonisasi oleh antibodi penting peranannya dalam menghadapi infeksi bakteri ekstraseluler dan menetralisir toksin yang dihasilkan mikroorganisme tersebut. Terdapat 5 kelas antibodi yaitu IgG, IgM, IgA, IgE dan IgD. Pada infeksi akut bakteri, yang paling berperan ialah IgM, sedangkan pada infeksi kronis yang berperan adalah IgG. Jika diperlukan, dapat terjadi perubahan kelas antibodi (class switching) saat reseptor cluster of differentiation 40 (CD40) sel B berikatan dengan costimulatory molecule CD154 sel T-helper (Th). Pembentukan antibodi sangat dipengaruhi oleh keberadaan dan fungsi sel T, meskipun antibodi juga dapat dihasilkan melalui mekanisme yang bersifat T-cell independent.4,5 Sel limfosit T merupakan pelaksana sistem imun spesifik seluler yang berperan sebagai pertahanan terhadap infeksi bakteri intraseluler, virus, jamur, parasit, serta terhadap keganasan. Limfosit T-naive adalah sel T yang belum pernah mengalami kontak dengan antigen endogen maupun eksogen. Sel T-naive dibentuk dalam sumsum tulang dan mengalami diferensiasi di kelenjar timus menjadi beberapa subsets, yaitu sel T supresor (Ts), sel T sitotoksik (Tc), dan sel Th. Limfosit T sitotoksik umumnya memiliki CD8+ pada permukaannya dan mengenali antigen yang dipresentasikan melalui major histocompatibility complex klas I (MHC class I). Sel T sitotoksik menghasilkan interferon gamma (IFN-γ) dan tumor necrosis factor alpha (TNF-α), yang berperan pada imunitas terhadap virus. Sel Th umumnya memiliki CD4+ dan mengenali antigen yang dipresentasikan melalui MHC class II. Sel Th1 menghasilkan sitokin antiinflamasi seperti IFN γ dan interleukin-2 (IL-2), yang merangsang makrofag No. 1, Vol. 20, Januari - Maret 2007 untuk membunuh mikroorganisme intraselular. Sel Th2 menghasilkan sitokin proinflamasi seperti IL4, IL5 dan IL6 yang akan merangsang pematangan limfosit B menjadi sel plasma dan kemudian menghasilkan antibodi untuk membunuh bakteri ekstraseluler. Sel Th2 juga mempunyai reseptor untuk berikatan dengan sejenis sel APC yaitu interdigitating dendritic cells.3 Sel APC dapat menangkap dan memproses antigen bakteri melalui pengenalan terhadap pathogenassociated molecular patterns (PAMP) pada permukaan bakteri tersebut. Antigen yang telah diproses lalu dipresentasikan pada permukaan sel APC melalui MHC class II bersamasama dengan co-stimulatory molecules B7 kepada reseptor sel Th2 (TCR). Dengan bantuan CD3 dan CD28, maka proses tersebut akan mengaktifkan sel Th2. Selain sel T dan sel B, sistem imun spesifik juga memiliki sel NK dan sel K yang merupakan pembunuh mikroorganisme patogen.4-6 Sistem imun spesifik sangat kompleks, bekerja simultan dan saling melengkapi. Seluruh komponen sistem kekebalan tubuh, spesifik dan non spesifik, bekerjasama secara kompak secara bersamaan. Pada infeksi bakteri ekstraseluler yang terutama aktif ialah sistem imun humoral, sedangkan pada infeksi bakteri intraseluler, virus, jamur dan keganasan, ialah sistem imun seluler. Proses imun spesifik humoral yang banyak berperan infeksi bakteri dijelaskan pada gambar 1 berikut ini Bacteria enter the body and are ingested by macrophage Bacterial antigens presented on surface of APC with MHC class II MHC/antigen complex is bound by a specific receptor on CD4 cell Activation of CD4 cell with release of cytokines B cells binds with whole antigen on surface of APC Antibodies opsonize bacteria (making them more easier to phagocytose by PMN’s and macrophage) CD4 memory cells B memory cells Bacterial destruction Complement and inflamatory cascades are activated Clinical manifestations of bacterial infection Gambar 1. Proses imun spesifik humoral.6 Reaksi inflamasi akut pada infeksi bakteri Infeksi bakteri patogen mencetuskan respons inflamasi akut untuk mengarahkan komponen sistem imun ke 37 TINJAUAN PUSTAKA lokasi infeksi. Terjadi juga aktivasi sistem komplemen yang menghasilkan komponen C3. untuk menyelubungi permukaan bakteri patogen (opsonisasi), sehingga mudah dikenali oleh antibodi. Faktor kemotaktik sistem komplemen yaitu C5a, C3a dan C4a akan ”memanggil” netrofil ke lokasi peradangan dan mengaktifkannya. Substansi biologis yang dilepaskan oleh bakteri patogen dan oleh kerusakan jaringan akan meningkatkan ekspresi molekul adhesi seperti vascular adhesion molecules (VCAM). Terjadi interaksi antara netrofil (yang bergerak secara rolling sepanjang pembuluh darah) dengan VCAM, sehingga gerakan rolling terhenti dan netrofil melekat pada endotel pembuluh darah di sekitar lokasi peradangan. Interaksi tersebut dimungkinkan karena adanya molekul L-selectin pada permukaan netrofil yang mengenali struktur karbohidrat sialyl-Lewis pada VCAM. Netrofil teraktivasi akan menanggalkan L-selectin dan berikatan dengan kelompok molekul integrins. Ikatan ini bergabung dengan intercellular adhesion molecule 1 (ICAM1). Hal tersebut terjadi akibat pengaruh beberapa mediator proinflamasi seperti lipopolysaccharide (LPS), leucotrienes, prostaglandin, serta berbagai sitokin dari limfosit T dan makrofag (IL-1, IL6, TNF-α). Faktor kemotaktik sistem komplemen juga menyebabkan aktivasi dan degranulasi sel mast untuk melepas histamin. Efek histamin ialah peningkatan aliran darah dan permiabilitas vaskuler sehingga sel-sel lekosit lebih mudah keluar dari pembuluh darah ke lokasi infeksi. Netrofil teraktivasi akan keluar dari pembuluh darah menuju ke jaringan tempat terjadinya infeksi, lalu memakan dan memasukkan bakteri yang telah diselubungi C3b ke dalam fagosomnya.4 Selanjutnya terjadi pelepasan berbagai spesies oksigen reaktif oleh netrofil untuk membunuh kuman. Berikutnya terjadi fusi fagosom dan lisosom yang disertai degranulasi kandungan lisosom. Hasil akhirnya adalah kematian dan degradasi bakteri patogen tersebut.3-6 Respons imun yang terjadi pada beberapa infeksi bakteri yang penting dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Respons imun yang umum terjadi pada infeksi bakteri yang penting.9 Jenis kuman Patogenesis Pertahanan umum C. diphteriae Faringitis, toksin non invasif Imunoglobulin yang enetralisir V. cholerae Enteritis, toksin non invasif Imunoglobulin yang menetralisir & antiadhesi N. Meningitidis Nasofaring à bakteriemia à meningitis Opsonisasi dan kuman dibunuh oleh imunoglobulin. S. aureus Invasif lokal dan toksik di kulit Opsonisiasi oleh imunoglobulin, kuman dibunuh oleh fagosit M. tuberculosis Invasif, toksik lokal, hipersensitifitas Aktivasi makrofag oleh sel T M. leprae Aktivasi makrofag oleh sel T 38 Invasif, hipersensitifitas Infeksi dan patogenisitas bakteri Syarat untuk terjadinya infeksi selain penurunan daya tahan tubuh, ialah adanya porte d’entrée, tercapainya jumlah tertentu dari suatu mikroorganisme patogen, dan patogenisitas/virulensi mikroorganisme yang tinggi. Pada infeksi bakteri ekstraseluler, patogenisitas terutama ditentukan oleh komponen dinding selnya, seperti lipopolysaccharyde (LPS) pada infeksi bakteri gram negatif serta peptidoglikan dan teichoic acid pada bakteri gram positif.6-9 Komponen dinding sel ini kemudian akan menginduksi pelepasan berbagai mediator pada saat terjadinya terjadinya bakteriemia. Patogenisitas bakteri juga ditentukan oleh faktor kapsul bakteri, yang menyebabkan bakteri yang telah teropsonisasi gagal dikenali oleh sel fagosit. Faktor lain yang berperan ialah toksin bakteri yang dapat merusak sel, serta ada/tidaknya adhesians yang meningkatkan daya lekat bakteri pada permukaan sel pejamu.8,10 Syarat untuk terjadinya infeksi selain penurunan daya tahan tubuh, ialah adanya porte d’entrée, tercapainya jumlah tertentu dari suatu mikroorganisme patogen, dan patogenisitas/ virulensi mikroorganisme yang tinggi. Infeksi bakteri dapat bersifat ekstraseluler seperti pada infeksi bakteri S. pneumoniae dan N. meningitidis, maupun intraseluler dalam sel fagosit (terutama dalam makrofag) seperti pada M. tuberculosis. Infeksi bakteri intraseluler terdiri dari infeksi intraseluler obligat di mana bakteri tidak dapat hidup diluar sel, misalnya infeksi Rickettsiae dan Chlamydiae, serta intraseluler fakultatif yang dapat hidup pada sel lain diluar habitat utamanya yaitu pada fagosit mononuklea. Contohnya adalah Mycobacteriaceae dan Legionellae. Bakteri intraseluler fakultatif seperti L. monocytogenes yang dapat hidup dalam hepatosit. Sifat infeksi bakteri intraseluler ialah persistensi infeksi meskipun interaksi dengan sistem imun terus berlangsung. Infeksi bakteri intraseluler tidak selalu menjadi penyakit. Kerusakan berat yang diakibatkannya sering terjadi pada tahap lanjut. 6,7,9 Karakteristik infeksi bakteri intraseluer dan ekstraseluler disampaikan pada tabel 2 berikut ini Tabel 2. Karakteristik bakteri intraseluler dan ekstraseluler.6 Karakteristik Bakteri intraseluler Bakteri ekstraseluler Habitat Sel imun yang berperan Hipersensitifitas Patologi jaringan Toksistas terhadap pejamu Masa inkubasi Patogenesis intrasel (dalam makrofag) sel T delayed type (tipe IV) granulomatus relatif rendah jelas/penyakit kronik keseimbangan antara sistem imun dan persistensi bakteri ekstrasel sel B/antibodiReaksi tipe II dan III nekrotik/purulen relatif tinggi kurang jelas/ penyakit akut kerusakan oleh patogenisitas bakteri No. 1, Vol. 20, Januari -Maret 2007 TINJAUAN PUSTAKA Demam dan lekositosis Demam dan lekositosis adalah manifestasi klinis yang sering dijadikan acuan para klinisi untuk menentukan adanya infeksi. Peningkatan netrofil matang dan muda pada infeksi akut bakteri adalah akibat langsung dari IL1, IL6, IFN-α, dan TNF-α yang dilepaskan oleh makrofag dan limfosit Th teraktivasi. Netrofilia yang terjadi pada infeksi akut dapat menetap yang akan menyebabkan infeksi kronik. Hal ini terjadi akibat pengaruh colony stimulating factors dari makrofag dan limfosit. Meskipun demikian pada infeksi tertentu seperti demam tifoid, dapat terjadi depresi sumsum tulang dengan manifestasi leukopenia. Pada infeksi bakteri yang sangat berat, sumsum tulang tak dapat memenuhi kebutuhan netrofil tersebut dan terjadilah netropenia, suatu tanda prognostik yang buruk. Terdapat juga keadaan peningkatan lekosit > 25-30 k/μl sampai sekitar 50 k/µl dalam sirkulasi, yang bersifat nonmalignant dan disebut sebagai reaksi leukemoid. Peningkatan ini mencerminkan respons yang baik dari sumsum tulang terhadap infeksi, inflamasi, atau trauma yang persisten.10-14 Demam didefenisikan sebagai peningkatan suhu tubuh >37,20 C pada pukul 00.00-12.00 dan >37,70 C di antara jam 12.00-00.00. Suhu tubuh yang dianggap normal ialah antara 36,1-37,70 C.12 Patofisiologi demam Substansi penyebab demam disebut pirogen. Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh, baik dari produk proses infeksi maupun non infeksi. Lipopolysaccharyde (LPS) pada dinding bakteri gram negatif atau peptidoglikan dan teichoic acid pada bakteri gram positif, merupakan pirogen eksogen. Substansi ini merangsang makrofag, monosit, limfosit, dan endotel untuk melepaskan IL1, IL6, TNF-α, dan IFNα, yang bertindak sebagai pirogen endogen.8,12,14 Sitokinsitokin proinflamasi ini akan berikatan dengan reseptornya di hipotalamus dan mengaktifkan fofsolipase-A2. Peristiwa ini akan menyebabkan pelepasan asam arakidonat dari membran fosfolipid atas pengaruh enzim siklooksigenase2 (COX-2). Asam arakidonat selanjutnya diubah menjadi prostaglandin E2 (PGE2). Rangsangan PGE2 baik secara langsung maupun melalui adenosin monofosfat siklik (c-AMP), akan mengubah setting termostat (pengatur suhu tubuh) di hipotalamus pada nilai yang lebih tinggi.12-14 Selanjutnya terjadi peningkatan produksi dan konservasi panas sesuai setting suhu tubuh yang baru tersebut. Hal ini dapat dicapai melalui refleks vasokonstriksi pembuluh darah kulit dan pelepasan epinefrin dari saraf simpatis, yang menyebabkan peningkatan metabolisme tubuh dan tonus otot. Suhu inti tubuh dipertahankan pada kisaran suhu normal, sehingga penderita akan merasakan dingin lalu menggigil dan menghasilkan panas.12 Skema patofisiologi demam secara umum dapat dilihat pada gambar 2. No. 1, Vol. 20, Januari - Maret 2007 Toksin mikroba, mediator inflamasi, reaksi imunologis Toksin mikroba DEMAM AMP Siklik Monosit, makrofag, sel endotel Konservasi panas, produksi panas ­ PGE2 2 COX-2 Asam arakhidonat Peningkatan set point termostat (dari membran fosfolipid) Aktivasi fosfolipase A2 Pirogen endogen : IL-1, IL-6, TNF α, IFN-g Endotel hipotalamus NUKLEUS PREOPTIK SIRKULASI Gambar 2. Patofisiologi demam secara umum.12 Pejamu immunocompromised Yang termasuk pejamu immunocompromised ialah keadaan defisiensi imun baik primer seperti pada severe combined imunodeficiency (SCID), maupun sekunder pada berbagai penyakit.4,15 Tabel 3 menjelaskan beberapa faktor predisposisi keadaan immunocompromised. Tabel 3. Faktor predisposisi keadaan immunocompromised.4 Faktor predisposisi Efek terhadap sistem imun Jenis infeksi yang menyerang Obat atau sinar X pada terapi imunosupresi, resipien allograft (ginjal, sumsum tulang, jantung), terapi keganasan Imunitas seluler dan humoral menurun Infeksi paru, infeksi jamur, infeksi saluran kencing yang sering disertai sepsis Virus (rubela, herpes, virus Epstein-Barr, virus hepatitis, HIV) Imunosupresan Replikasi virus dalam sel-sel limfoid yang mengakibatkan gangguan fungsi sel-sel tersebut Infeksi bakteri sekunder (juga jamur dan protozoa pada AIDS) Tumor Replacement sel sistem imun Pneumonia, infeksi saluran kencing,yang sering disertai sepsis Malnutrisi Hipoplasi limfoid Limfosit dalam sirkulasi menurun Kemampuan fagositosis menurun Campak, tuberkulosis, infeksi saluran nafas dan cerna Rokok, inhalasi partikel (silika, spora jamur) Inflamasi paru, endapan kompleks imun terhadap spora jamur Infeksi saluran nafas, respons alergi. Penyakit endokrin kronik (diabetes) Kemampuan fagositosis menurun Infeksi stafilokokus, tuberkulosis, infeksi saluran nafas yang sering disertai sepsis Defisiensi imun primer Imunitas seluler dan humoral menurun Infeksi berbagai bakteri,virus,parasit, jamur, penyakit keganasan 39 TINJAUAN PUSTAKA Defisiensi imun didapat Defisiensi komplemen didapat terjadi misalnya pada sirosis hati dan malnutrisi kalori-protein (MKP), anemia sel sabit, lupus eritematosus sistemik dan glomerulonefritis kronik. Adanya defisiensi interferon dan lisosom ditemukan pada MKP, sedangkan defisiensi sel NK sering akibat terapi imunosupresi dan radiasi.9 Defisiensi sistem fagosit sering disertai dengan infeksi berulang. Kerentanan terhadap infeksi piogenik berhubungan langsung dengan penurunan jumlah netrofil. Netropenia <500 /mm3 dapat menyebabkan infeksi yang mengancam jiwa. Karena pada penderita netropenia terjadi penurunan respons inflamasi, sering terjadi tanda-tanda infeksi yang minimal.14,15 Namun demikian tidak semua penderita netropenia memiliki risiko infeksi fatal yang sama. Beberapa hal yang menentukan terjadinya risiko tersebut ialah derajat netropenia, lamanya netropenia dan ada tidaknya kerusakan lain pada komponen sistem imun. Sebagai contoh ialah pasien yang mengalami netropenia setelah infeksi virus, tidak sama risikonya untuk mengalami infeksi bakteri akut dibandingkan dengan penderia netropenia pasca kemoterapi. Penderita pasca kemoterapi mengalami kerusakan rintangan pertahanan tubuh seperti mukositis oral dan gastrointestinal yang memudahkan invasi, kolonisasi dan infeksi kuman terlebih lagi jika terdapat juga penurunan fungsi dan jumlah CD4 serta hipogamaglobulinemia.1,16,17 Gangguan sistem imun spesifik yang sering ditemui pada kehamilan ialah defisiensi imun seluler. Gangguan ini mungkin “diperlukan” untuk kelangsungan hidup janin, yang merupakan allograft dengan antigen maternal. Keadaan itu antara lain terjadi akibat peningkatan aktivitas sel Ts atau akibat efek supresif humoral yang dihasilkan oleh trofoblas.9 Pada lansia kelenjar timus menjadi atrofi yang disertai dengan penurunan jumlah dan fungsi sel T. Hal ini terutama dicerminkan oleh ketidakmampuan sel T mensekresi dan merespons IL-2. Selain itu terdapat penurunan produksi Th dan prekusor sel T sitotoksik, serta perubahan distribusi sel T4 dan T8. Sel T pada pasien lansia juga hiporesponsif terhadap stimulasi yang di mediasi oleh koreseptor tertentu, misalnya oleh CD2 dan CD28. Terjadi pula peningkatan antigen experienced memory sel T dan penurunan sel T-naive. Kelainan sel T pada lansia ini diduga oleh berbagai sebab, salah satunya ialah proses stres oksidatif. Pada pasien lansia sebenarnya terjadi juga penurunan berbagai komponen sistem humoral, yaitu penurunan sel B yang responsif antigen dan penurunan sekresi IgM. Jumlah antibodi yang diproduksi tidak berubah bahkan terdapat kenaikan kadar IgG dan IgA akibat reaksi terhadap berbagai antigen intrinsik atau aktivasi poliklonal sel B oleh endotoksin bakteri. Berbagai kelainan sistem imun non spesifik juga terjadi seperti penurunan jumlah APC dan klirens antigen oleh makrofag, serta lambatnya pengaktifan sistem komplemen.9,16 Defisiensi imun spesifik didapat pada malnutrisi 40 Gangguan sistem imun spesifik yang sering ditemui pada kehamilan ialah defisiensi imun seluler. Gangguan ini mungkin “diperlukan” untuk kelangsungan hidup janin, yang merupakan allograft dengan antigen maternal. Keadaan itu antara lain terjadi akibat peningkatan aktivitas sel Ts atau akibat efek supresif humoral yang dihasilkan oleh trofoblas.9 diakibatkan oleh adanya atrofi timus dan jaringan limfoid sekunder, depresi respons sel T, dan pengurangan sekresi sitokin.9 Tindakan medis seperti kateterisasi saluran kemih menyebabkan gangguan sistem imun. Obat sitotoksik dan aminoglikosida mengganggu kemotaksis netrofil. Kloramfenikol mendepresi sumsum tulang dan menekan respons antibodi, sedangkan rifampisin menekan imunitas humoral dan seluler. Steroid dosis tinggi menekan fungsi sel T dan menghambat reaksi inflamasi. Jumlah netrofil diturunkan oleh kemoterapi, analgesik dan antihistamin, antiansietas, antikonvulsi dan antibiotika tertentu. Terapi radiasi menekan aktivitas sel Ts secara selektif. Uremia pada penyakit ginjal kronik menekan sistem imun seluler dan humoral.9,17 Manifestasi klinis infeksi bakteri pada keadaan immunocompromised Pada keadaan normal suatu infeksi bakteri akut ditandai oleh adanya demam, peningkatan jumlah lekosit, shift to the left pada hitung jenis lekosit, dan berbagai penanda inflamasi akut seperti peningkatan laju endap darah (LED) dan CRP, serta kelainan pemeriksaan penunjang misalnya infiltrat pneumonia pada foto toraks.11 Demam pada pejamu immunocompromised didefinisikan sebagai peningkatan suhu aksiler diatas 38,30C pada sekali pengukuran atau diatas 380C pada observasi selama 1 jam atau lebih. Ditemukan pola diurnal dengan puncak sekitar jam 4 sore dan terendah pada pagi hari.13,18 Infeksi pada pasien lansia sering tanpa demam yang bermakna. Beberapa sarjana menyatakan bahwa pada lansia, peningkatan suhu aksiler tubuh sebesar 1,10C atau lebih sudah merupakan respons demam, dan jika suhu tubuh mencapai >38,30C sudah merupakan infeksi yang mengancam jiwa. Pada keadaan ini penderita sebaiknya dirawat di rumah sakit. Penderita febril neutropenia sering mengalami demam tinggi tanpa diketahui dengan jelas penyebabnya meskipun jumlah netrofilnya No. 1, Vol. 20, Januari -Maret 2007 TINJAUAN PUSTAKA berkurang. Perlu diingat bahwa penderita yang tidak demam bukan berarti tanpa infeksi.1,12,16 Keadaan immunocompromised dengan defisiensi imun sering dengan manifestasi klinis yang tidak jelas. Sebagai contoh 20-40 % penderia lansia tidak mengalami peningkatan jumlah lekosit meskipun mengalami infeksi berat.1,16 Infiltrat paru pada pneumonia, yang merupakan kumpulan netrofil dan debris pada stadium hepatisasi, sering tidak tampak jelas pada penderita immunocompromised.18 Maldistribusi sitokin proinflamasi juga berperan, seperti misalnya terlihat pada manifestasi kebingungan (confusion) yang dialami lansia akibat penumpukan sitokin proinflamasi yang sebenarnya ditujukan ke pusat termostat tubuh (hipotalamus), pada pusat kognitif dan kesadaran.16,17 Para pakar memperkirakan bahwa gangguan fungsi netrofil, sistem kemotaksis, gangguan produksi dan reseptor sitokin proinflamasi merupakan faktor utama kelainan sistem imun pada keadaan immunocompromised.17,18 Anamnesis yang baik diperlukan untuk mengkaji secara komprehensif keadaan immunocompromised. Hal itu meliputi berapa lama keadaan immunocompromised telah dialami, riwayat infeksi terdahulu, serta obat yang pernah dan sedang dipakai, terutama kemoterapi, imunosupresan (untuk memperkirakan nadir granulosit) dan antibiotika. Pada penderita netropenia dengan riwayat penggunaan antibiotika profilaksis yang bersifat anti kuman gram negatif, maka infeksi yang terjadi diduga berhubungan dengan bakteriemia gram positif, khususnya streptokokus. Nyeri organ tanpa tandatanda lain dapat merupakan penentu lokasi infeksi. Penderita mungkin dapat mengidentifikasi lesi kulit yang baru sebagai tanda infeksi. Manifestasi saluran cerna sering didapatkan pada penderita kanker yang mengalami infeksi akut atau sepsis. Gejala pada sinus, terutama pada pasien netropenia harus diperhatikan, demikian juga dengan kemungkinan pneumonia.17,18 Pemeriksaan fisik ditujukan untuk mencari fokus infeksi. Pemeriksaan rongga mulut dan THT, seperti melihat adanya karies gigi, ginggivitis serta lesi ulseratif mukosa rongga mulut harus dilakukan. Sekret nasal yang tidak gatal, adanya daerah mukosa yang pucat dan lokus hiperestesia di mukosa nasal, dapat merupakan tanda sinusitis. Pemeriksaan kulit dapat merupakan tanda awal dan penting pada penderita immunocompromised dengan demam. Ektima gangrenosum yang dapat dijumpai pada aksila atau perineum mungkin disebabkan infeksi pseudomonas atau sepsis oleh berbagai bakteri gram negatif. Colok dubur dan pemeriksaan genitalia juga sangat diperlukan. Gangguan struktur barrier tubuh akibat tindakan medis seperti sistitis dan ureteritis karena pemasangan kateter Fowley serta tromboflebitis akibat pemasangan infus, merupakan fokus infeksi yang sering dilupakan.17,18 Anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pejamu immunocompromised dijelaskan pada tabel 4 dan 5 berikut ini. Tabel 4. Anamnesis pada pejamu immunocompromised.18 Immunocompromised state Duration Past infections Current therapies Past therapies Antibiotic use Transfusion Traditional symptoms Cough Shortness of breath Dysuria Sore throat Nausea, vomiting, diarrhea Sinus symptoms Fever Duration Degree Description Pain at any site Visual changes or Headaches New skin lesions Nosocomial exposure Invasive procedures or Indwelling devices Perirectal pain/Pain with defecation Tabel 5. Pemeriksaan fisik pada keadaan immunocompromised.18 Area Finding Pathogens Skin Widespread papular or nodular lesions Eschar or necrosis with surrounding erythema-ecthyma gangrenosum, any inflammation signs Dermatomal blistering lesions Catheter site inflammation or pain Disseminated fungal infections Black oral or nasal eschars White oral pseudomembranes Hyperemis, debris and pus on pharynxs and tonsil Enlargement, tender, with signs of inflammation or skin lession and adhesions. Asymetrical chest expansion and stem fremitus, dullness, any unusual breath sounds, crackles, wheezing Mucormycosis Candida albicans Streptococcus β-hemolyticus Perirectal tenderness or fluctuance Polymicrobial Head ENT Lymph nodes Thorax Para pakar memperkirakan bahwa gangguan fungsi netrofil, sistem kemotaksis, gangguan produksi dan reseptor sitokin proinflamasi merupakan faktor utama kelainan sistem imun pada keadaan immunocompromised.17,18 No. 1, Vol. 20, Januari - Maret 2007 Change in status or level of functioning Abdomen Gram-negative bacteremias Herpes zoster infection Gram-positive infection Mycobacterium tuberculosis, staphylococus, streptococcus Mycobacterium tuberculosis, viusesl, klebsiella, pseudomonas, staphylococcus, pneumococcus, anaerobic organisms. Pemeriksaan penunjang pada keadaan immunocompromised harus berdasarkan kecurigaan yang tinggi akan adanya fokus 41 TINJAUAN PUSTAKA infeksi berdasarkan data dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Setiap lokasi yang dicurigai sebagai fokus infeksi sebaiknya diperiksa dengan alat pencitraan yang sesuai atau dilakukan kultur sesegera mungkin. Jika lokalisasi gejala tidak dapat diketahui, workup diagnosis minimal mencakup urinalisis, foto polos dada (toraks), dan kultur darah serta urin.1,13,15 Beberapa penulis menganjurkan foto sinus pada penderita keganasan yang mengalami netropenia. Pemeriksaan darah lengkap dibutuhkan untuk melihat derajat netropenia selain sebagai data dasar untuk melakukan terapi. Pemeriksaan fungsi ginjal dan fungsi hati juga menentukan derajat penyakit dan sebagai parameter untuk memulai dan memantau terapi.13,15,18 Kultur darah dilakukan sebelum pemberian antibiotika. Kultur multipel dari berbagai lokasi (minimal dua) sangat ideal apabila dilakukan segera setelah demam terjadi. Jika sebelumnya penderita telah menggunakan antibiotika, dibutuhkan 4 kultur spesimen. Kerancuan antara infeksi dan kolonisasi pada kultur urin kateter, diatasi dengan intepretasi kultur berdasarkan jumlah koloni kuman menurut Marsh, serta minimal 1 peripheral culture.17,18 Pada penderita non immunocompromised kultur positif stafilokokus epidermidis adalah kontaminan, tetapi pada penderita dengan keadaan immunocompromised hal ini mungkin menyatakan infeksi. Jika isolat spesimen tumbuh pada lebih dari 1 kultur, maka diagnosis infeksi sangat kuat.8,18 Biopsi, terutama melalui bronkoskopi dapat menguatkan diagnosis dan menentukan adanya infeksi yang tidak terbukti dengan kultur spesimen. Foto toraks tanpa infiltrat khas atau dengan gambaran atipikal didapatkan pada 25% pneumonia yang immunocompromised, tetapi hal ini hendaknya tidak merubah manajemen awal pasien.17,18 CT-scan toraks dapat menjelaskan temuan foto toraks. CT-scan dan ultrasonografi abdomen dapat menentukan lokasi infeksi seperti misalnya pada abses hati. Penjelasan mengenai pemeriksaan penunjang dasar pada keadaan immunocompromised dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 6. Pemeriksaan penunjang dasar pada penderita immunocompromised.18 Test Blood cultures Urinalysis and urine culture Complete blood count Chest radiograph Beberapa penulis menganjurkan foto sinus pada penderita keganasan yang mengalami netropenia. Pemeriksaan darah lengkap dibutuhkan untuk melihat derajat netropenia selain sebagai data dasar untuk melakukan terapi. Pemeriksaan fungsi ginjal dan fungsi hati juga menentukan derajat penyakit dan sebagai parameter untuk memulai dan memantau terapi.13,15,18 Comment Always obtain Sinus films Consider routinely, especially in neutropenic patients Head CT/lumbar puncture Low threshold in any immunocompromsied patients with even mild CNS symptoms Chest CT May allow clarification of CXR findings in patients who do not responsd to initial antibiotic treatment Biopsy Aggressive use to define microbe 42 Terapi penderita dengan keadaan immunocompromised Terapi terhadap infeksi pada penderita immunocompromised ditentukan oleh berbagai hal antara lain: jenis defek pada komponen sistem imun, derajat dan lama terjadinya defek, gejala yang dijumpai, pola kuman dan resistensinya, faktor lingkungan yang mempengaruhi flora nosokomial, dan keadaan ekonomi pasien. Dianjurkan terapi empiris dengan antibiotika berspektrum lebar, baik monoterapi maupun kombinasi.1,18 Sefalosporin generasi ketiga atau karbapenem dapat diberikan dengan mengingat bahwa coverage antibiotika tersebut terhadap kuman gram positif adalah suboptimal serta kurang memiliki efek antipseudomonas. Kombinasi aminoglikosida dan penisilin antipseudomonas (tikarsilin, karbenisilin) atau aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga merupakan pilihan.1,17 Penambahan antianaerob (klindamisin atau metronidasol) dilakukan jika terdapat penyakit perirektal, gingivitis nekrotikans atau infeksi intraabdominal. Vankomisin diberikan pada penderita dengan infeksi akibat tindakan medis dan jika dicurigai adanya infeksi stafilokokus resisten metisilin (MRSA). Jika demam terus berlangsung lebih dari 1 minggu perlu dipertimbangkan pemberian antijamur sistemik. Jika terdapat herpes maka dapat No. 1, Vol. 20, Januari -Maret 2007 TINJAUAN PUSTAKA ditambahkan antivirus seperti asiklovir.1,18 Penderita dengan imunosupresi yang lama dapat mengalami episode demam multipel atau demam persisten meskipun mendapatkan terapi empiris. Keadaan ini memerlukan terapi antibiotika yang lama dan modifikasi regimen yang sering, serta pertimbangan untuk perawatan di ruang intensif yang steril.17,18 Penderita dengan imunosupresi yang lama dapat mengalami episode demam multipel atau demam persisten meskipun mendapatkan terapi empiris. Keadaan ini memerlukan terapi antibiotika yang lama dan modifikasi regimen yang sering, serta pertimbangan untuk perawatan di ruang intensif yang steril.17,18 Ringkasan Kondisi immunocompromised ialah keadaan penurunan kualitas maupun kuantitas komponen sistem imun tubuh, baik primer seperti pada penyakit kongenital, maupun sekunder akibat penyakit, tindakan medis atau keadaan fisiologis tertentu. Penderita immunocompromised jauh lebih rentan terinfeksi khususnya infeksi bakteri, dengan manifestasi klinis yang tidak khas. Sistem imun non spesifik terdiri dari komponen fisikokimiawi, sistem komplemen, sel lekosit PMN, makrofag, sel APC, sel K dan NK. Sistem imun spesifik dilakukan oleh limfosit B dan limfosit T. Reaksi fase akut pada infeksi bakteri berupa pelepasan berbagai sitokin, aktivasi sistem komplemen, degranulasi sel mast dan pengerahan sel fagosit ke lokasi infeksi. Imunitas spesifik terhadap bakteri intraseluler terutama dilakukan oleh limfosit T, sementara untuk bakteri ekstraseluler oleh limfosit B. Gangguan pada fungsi netrofil, sistem kemotaksis, produksi dan reseptor sitokin proinflamasi adalah mekanisme patogenesis utama keadaan immunocompromised. Patogenisitas suatu bakteri ditentukan oleh dinding sel, kapsul, toksin yang dihasilkan, dan adhesin. Infeksi bakteri intraseluler cenderung kronis dan manifestasi klinisnya tergantung sistem imun tubuh sedangkan infeksi bakteri eksraseluler cenderung akut dan gambaran kliniknya ditentukan oleh patogenisitas bakteri. Anamnesis untuk menentukan dan menjelaskan faktor predisposis keadaan immunocompromised, serta pemeriksaan fisik untuk mencari fokus infeksi secara teliti, perlu dilakukan. Ketepatan dalam pemeriksaan penunjang serta dilakukannya kultur kuman adalah keharusan. Penggunaan antibiotika empiris berdasarkan analisa klinis maupun pola kuman harus segera No. 1, Vol. 20, Januari - Maret 2007 dilakukan sebelum melakukan pembiakan kuman. Kombinasi sefalosporin generasi ketiga atau penisilin antipseudomonas dengan aminoglikosida merupakan obat terpilih. Daftar Pustaka: 1. Pizo PA. Fever in immunocompromised patients. N Eng J Med 1999; 341(12):893-9 2. Weerasinghel A. Investigating an immunocompromised child. Sri Lanka J Child Health 2000; 29:116-9 3. Delves PJ, Roitt IM. The immune system. First of two parts. N Eng J Med 2000; 343(1):37-49 4. Baratawijaya KG. Sistem imun tubuh. In : Baratawijaya KG. Imunologi Dasar, 4th ed. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2000.p.3-20. 5. Delves PJ, Roitt IM. The immune system. Second of two parts. N Eng J Med 2000;343(2); 108-17. 6. Kaufmann SE. Immunity to intracellular bacteria. In: Paul WE, editor Fundamental Immunology. 4th ed. Chapt 38 CD-ROM. New York: 2002. Lippincott, Williams & Wilkins. 7. Nahm MH, Apicella MA, Briles DE. Immunity to extracellular bacteria. In: Paul WE, editor. Fundamental Immunology. 4th ed. Chapt 39. CDROM. Baltimore: Lippincott, Williams & Wilkins; 2002 8. Wilson JW, Schurr MJ, LeBlanc CL, et.al. Mechanisms of bacterial pathogenicity. Postgrad Med J 2002; 78:216-24 9. Baratawijaya KG. Imunologi Infeksi. In: Baratawijaya KG. Imunologi Dasar, 4th ed. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2000.p.139-51 10. Peschel A. Virulence factors and their importance in pathology. The 14th Cellular and Molecular Microbiology Course. University of Tübingen Germany, 2005 11. Calle DJ. Bioloy of infectious disease. In: Beers MH, Berkow R, editors. Merck Manual of Diagnosis and Treatment, 17th edition. Chapt 150. CD-ROM. New York: Merck Publisher Division;1999 12. Nainggolan L, Widodo D. Demam : patofisiologi dan penatalaksanaan. In: Widodo D, Pohan HT, editors. Bunga Rampai Penyakit Infeksi. Jakarta: Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2004 13. Bedsine RW. Infection in the immunocompromised host. In: Beers MH, Berkow R, editors. Merck Manual of Diagnosis and Treatment, 17th edition, Chapt 151. CD-ROM. New York: Merck Publisher Division;1999 14. Mackowiack PA. Concepts of fever. Arch Intern Med 1998;158;1870-81 15. Bentley DW, Bradley S, High K. Practice guideline for evaluation of fever and infection in long-term facilities. Clin Infect Dis 2000; 31:640-53 16. Stiehm RW. Aging and the immune system. In: Beers MH, Berkow R, editors. Merck Manual of Geriatrics, 2nd edition, Chapt 31. CD-ROM. New York: Merck Publisher Division; 2000 17. Donowitz GR, Maki DG, Crnich CJ, et.al. Infections in the neutropenic patient–new views of an old problem. Hematol 2001; 1: 113-23 18. Mendelson M. Fever in the immunocompromised host. Emg Med Clin N Am 1998; 16(4):761-76 43 TINJAUAN PUSTAKA Sindrom Guillain-Barre: Kajian Pustaka Rizaldy Pinzon SMF Saraf RSUD Dr M Haulussy, Ambon Abstrak. Sindrom Guillain-Barre (SGB) adalah salah satu kelainan poliradikulopati menyangkut demielinasi inflamasi bisa akut maupun subakut yang mengarah pada paralisis ascenden dan ditandai oleh kelemahan, parestesia, dan hiporefleksia. Kegagalan respirasi bisa terjadi pada beberapa kasus. Sampai saat ini, SGB dipercaya sebagai respon autoimun yang dipicu oleh kondisi medis tertentu. Diagnosis ditetapkan berdasarkan gambaran klinik, dan ditunjang oleh beberapa pemeriksaan tambahan. Tujuan terapi SGB adalah mengurangi kesakitan dan mencegah komplikasi. Terapi IVIG digunakan dalam beberapa penelitian terdahulu untuk memperbaiki gejala SGB. Kata kunci: Sindrom Guillain-Barre, mekanisme, pengobatan, prognosis Pendahuluan indroma Guillain-Barre (SGB), atau Acute Inflammatory Demyelinating Plyradiculoneuropathy (AIDP), secara khas digambarkan dengan kelemahan motorik yang progresif dan arefleksia. Secara patologi SGB memiliki 2 pola gambaran patologi, yaitu: bentuk demielinisasi dan aksonopati. Demielinisasi segmental pada SGB dihubungkan dengan adanya infiltrasi sel-sel inflamasi.1 Kajian yang dilakukan oleh Winer (2001),2 Spies serta Sheikh (2001)3 menunjukkan bahwa SGB memiliki 5 varian klinik: (1) AIDP (Acute Inflammatory Demiyelinating Polyneuropathy); merupakan bentuk varian SGB yang paling banyak (mencapai 90% kasus), (2) AMAN (Acute Motor Axonal Neuropathy), (3) Sindroma Miller Fisher (Ataksia, Arefleksia, Oftalmoplegia) pada 5% kasus, (4) orafaringeal varian, dan (5) varian sensoris ataksia. Mekanisme imun seluler dan humoral tampak ikut berperan, lesi inflamasi awal akan menyebabkan infiltrasi limfosit dan makrofag pada komponen mielin.4 Pada S 44 gambaran dengan mikroskop elektron tampak bahwa makrofag merusak selubung mielin. Faktor imun humoral seperti antibodi, antimielin dan komplemen ikut berperan dalam proses opsonisasi makrofag pada sel Schwann. Proses ini dapat diamati baik pada radiks saraf, saraf tepi, dan saraf kranialis.4 Sitokin ikut pula berperan, hal ini ditunjukkan dengan korelasi klinik Tumor Necrotic Factor (TNF) dengan beratnya kelainan elektrofisiologik. Respon imun pada SGB dipercaya langsung menyerang komponen glikolipid dari aksolemma dan selubung mielin. Antibodi pada saraf perifer akan mengaktivasi sistem komplemen dan makrofag, sehingga akan muncul sitotoksisitas seluler yang tergantung pada antibodi terhadap komponen mielin dan aksolemma.5 Kerusakan seluung mielin akan menyebabkan demielinisasi segmental, yang menyebabkan menurunnya kecepatan hantar saraf dan conduction block.4 SGB tipe aksonal disebut pula sebagai Acute Motor Aaxonal Neuropathy (AMAN), yang terutama ditandai oleh kerusakan aksonal yang nyata, dan ditunjukkan dengan Compound Muscle Action Potential No. 1, Vol. 20, Januari -Maret 2007 TINJAUAN PUSTAKA (CMAP) distal yang rendah (Tabel 3)6 Kejadian SGB sering didahului oleh hal-hal berikut: (1) infeksi tractus respiratorius atau tractus gastrointestinal (pada 2/3 kasus), (2) vaksinasi, (3) malignancy, (4) obat-obatan, dan (5) kehamilan.7 Mekanisme yang mendasari munculnya SGB adalah respon abnormal sel T akibat infeksi. Sel T CD4 helper berperan banyak, bersama dengan antigen GM1 gangliosida.1 Telaah pustaka ini secara kualitatif akan membahas berbagai aspek klinis dan penatalaksanaan SGB. Ilustrasi Kasus Seorang laki-laki, 31 tahun, dengan kelemahan pada anggota gerak bawah (kelemahan dirasakan sebagai kesulitan memakai sandal dan sering tersandung apabila berjalan) sejak 10 hari yang lalu. Kelemahan disertai rasa kesemutan dan rasa baal pada ujung-ujung jari kaki. Rasa baal yang dikeluhkan, yaitu kurang merasa bila jari-jari tangan dan kaki disentuh. Kelemahan tidak disertai oleh gangguan buang air besar dan buang air kecil. Keluhan tidak disertai oleh demam, nyeri kepala, muntah, dan nyeri pada punggung bawah. Kelemahan pada anggota gerak bawah dirasakan semakin memberat dalam 3 hari (ketidakmampuan memakai sandal, kesulitan dalam berjalan, berjalan harus dipapah, dan ketidakmampuan bangkit dari tempat duduk sendiri). Keluhan disertai kelemahan pada anggota gerak atas (kesulitan dalam mengancingkan baju, memegang sendok, dan mengangkat gelas). Empat hari kemudian keluhan kelemahan anggota gerak dirasakan semakin memberat (ketidakmampuan mengangkat tungkai dalam posisi berbaring, ketidakmampuan mengangkat lengan dengan sempurna, dan makan sendiri dengan sendok). Penderita mengalami kesulitan dalam menelan (sering tersedak pada saat minum), bersuara sengau, wajah perot dan ketidakmampuan menutup mata secara sempurna pada sisi wajah sebelah kanan. Keluhan tidak disertai oleh demam, dan kesulitan bernafas. Keluhan didahului oleh riwayat faringitis satu minggu sebelumnya. Pembahasan Karakteristik Epidemiologi Guillain-Barré Syndrome merupakan penyakit neurologi yang cukup jarang, angka insidensi GBS dari 2 penelitian epidemiologi terdahulu8,9 dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 1. Angka insidensi GBS dari penelitian terdahulu Peneliti (tahun) Ress, dkk (1998) Casmiro, dkk (1998) Tempat Metode dan subjek Angka Insidensi (per 100.000) 95% CI Inggris Prospektif studi 1 tahun, 79 pasien didiagnosa GBS 1,2 0,9 – 1,4 Italia Prospektif studi 2 tahun, 87 kasus GBS 1,11 0,89 – 1,36 Penelitian yang dilakukan oleh Ress, dkk(1998)8 menunjukkan bahwa rasio laki-laki dan perempuan adalah 0.8/1. Rata-rata umur (SD) adalah 47.7 tahun (19.5) dan No. 1, Vol. 20, Januari - Maret 2007 Mekanisme yang mendasari munculnya SGB adalah respon abnormal sel T akibat infeksi. Sel T CD4 helper berperan banyak, bersama dengan antigen GM1 gangliosida.1 berkisar antara 5 sampai 85 tahun. Sementara penelitian Casmiro, dkk (1998)9 menunjukkan bahwa puncak insidensi adalah pada usia 60-69 tahun dengan angka insidensi 2,34/ 100.000 penduduk. Karakteristik Klinik Kelemahan motorik merupakan gambaran utama SGB. Kelemahan motorik memiliki pola yang khas, mulai dari anggota gerak bawah dan secara ascenden mempengaruhi pula anggota gerak atas (ascending paralysis). Progresivitas penyakit dapat berlangsung dalam beberapa jam, hari, atau minggu. Kelemahan yang terjadi bersifat simetris.1 Keterlibatan saraf kranial didapatkan pada 45%-75% kasus. Urutan saraf kranial yang sering terlibat adalah sebagai berikut: (1) nervus fascialis, (2) paresis bulbar, (3) otot-otot mastikasi, dan (4) okular. Berbeda dengan kejadian pada ekstremitas, pola penyakit pada saraf kranial sering memberi gambaran yang asimetris.7,10 Penegakan diagnosa SGB, yaitu secara klinis, berbagai pemeriksaan penunjang lain (LP, seroimunologi, dan neurofisiologi) yang dapat membantu dalam penegakan diagnosa.1 Kriteria klinik yang dipakai secara luas dalam diagnosa SGB adalah kriteria Asbury,11 yaitu sebagai berikut: Tabel 2. Kriteria diagnosa klinik GBS menurut Asbury Kriteria diagnosis Kriteria yang harus ada - Kelemahan progresif lebih dari 1 anggota gerak - Hiporefleksia atau arefleksia Menunjang diagnosa - Progresivitas sampai 4 minggu - Relatif simetris - Gangguan sensoris ringan - Keterlibatan saraf kranial (paling sering N VII) - Perbaikan dalam 4 minggu - Disfungsi autonom ringan - Tanpa demam - Protein LCS meningkat setelah 1 minggu - Leukosit LCS <10/mm3 - Pelambatan hantar saraf Meragukan diagnosa - Asiemtris - Disfungsi BAB dan BAK - Leukosit LCS >50/mm3 - Gangguan sensoris berbatas nyata Mengeksklusikan diagnosa - Gangguan sensoris saja - Terdiagnosa sebagai polineuropati lain 45 TINJAUAN PUSTAKA Tabel 3. Hughes functional scale for SGB6 Hughes Functional Grading Scale Keterangan Grade 1 Gejala dan tanda minimal; pasien dapat berlari Grade 2 Dapat berjalan 5 meter tanpa bantuan Grade 3 Dapat berjalan 5 meter dengan alat bantu Grade 4 Duduk atau berbaring Grade 5 Perlu ventilasi Gambaran LP pada SGB menunjukkan proses demielinisasi (peningkatan protein) tanpa tanda-tanda infeksi (tanpa pleositosis). Gambaran LCS dapat normal pada 48 jam pertama, peningkatan protein akan mulai pada minggu pertama, sebagian besar pasien menunjukkan leukosit yang kurang dari 10 per cc.1 Gambaran LP dari berbagai penelitian terdahulu10,12 dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 4. Gambaran LCS pasien SGB10,12 Peneliti (tahun) Lyu, dkk (1997) Tempat Subjek Disosiasi sitoalbumin Jumlah (%) Taiwan 135 dari 167 pasien dilakukan LP - Positif pada minggu I - Positif setelah minggu I 52% 78% 49 kasus SGB - Positif pada minggu I - Positif setelah minggu I 79% 97% Yuan dan Taiwan Tsou (2002) Pada minggu pertama dari onset SGB, studi elektrodiagnosis menunjukkan respon F yang absen atau diperpanjang (88%), distal latensi diperpanjang (75%), blok konduksi (58%), penurunan conduction velocity (50%). Pada minggu kedua, didapatkan penurunan Compound Muscle Action Potential (CMAP) 100%, dan perpanjangan latensi distal (92%)1 Diagnosa banding SGB yang harus pula diperhatikan adalah botulisme, yang ditunjukkan dengan kelemahan yang berat, keterlibatan otot ekstraokular, dan konstipasi (perjalanan penyakit cepat). Penyebab lain yang harus pula diperhatikan adalah keracunan logam berat dan obat dan keracunan organophosphate.1 Terapi Penatalaksanaan umum Sindrom Guillain-Barre meliputi terapi fisik yang agresif dan rehabilitasi jangka panjang, dan pencegahan komplikasi akibat immobilisasi.13 Pilihan terapi farmakologi yang direkomendasikan13 adalah sebagai berikut: Diagnosa banding SGB yang harus pula diperhatikan adalah botulisme, yang ditunjukkan dengan kelemahan yang berat, keterlibatan otot ekstraokular, dan konstipasi (perjalanan penyakit cepat). Penyebab lain yang harus pula diperhatikan adalah keracunan logam berat dan obat dan keracunan organophosphate.1 exchange.3 Kajian yang dilakukan oleh Bril, dkk (1999)14 menunjukkan bahwa penggunaan terapi Ig pada pasien SGB sama efektifnya dengan plasmaparesis, apabila terapi diberikan dalam 2 minggu pasca onset penyakit.15 Persatuan dokter spesialis saraf di Inggris. Kajian yang dilakukan oleh Abe, (1996)16 terhadap penggunaan Human Immunoglobulin menunjukkan bahwa sampai saat ini mekanisme aksi Human Immunoglobulin masih belum jelas benar. Kemungkinan mekanisme aksi Human Immunoglobulin adalah: (1) blokade Fc-reseptor pada monosit/makrofag dan neutrofil, (2) supresi produksi sitokin, dan (3) netralisasi sitokin. Mekanisme aksi yang lain meliputi penghambatan aktivitas komplemen, dan menekan fungsi sel T dan sel B.17 Penggunaan steroid masih kontroversial. Kajian yang dilakukan oleh Wijdicks, (2000)13 tidak menganjurkan pemberian terapi steroid. Penelitian oleh Ress dkk, (1998)8 menunjukkan bahwa steroid hanya digunakan pada 4% kasus saja, namun penelitian Lyu dkk, (1997)12 menunjukkan bahwa steroid digunakan pada 59% kasus. Prognosis Kajian yang dilakukan oleh Berger dan Pulley, (2000)5 memperlihatkan bahwa prognosis SGB tergantung pada progresivitas penyakit, derajat degenerasi aksonal, dan umur pasien. Kajian yang dilakukan Seneviratne, (2000)18 serta Spies dan Sheikh, (2001)3 terhadap berbagai penelitian terdahulu menghasilkan beberapa faktor prediktor prognosis SGB. Tabel 6. Faktor prediktor prognosis SGB yang buruk Tabel 5. Pilihan terapi medikametosa SGB13 Terapi Faktor prediktor Dosis Keterangan Plasma exchange Setiap hari selama 5 hari pertukaran 1.000 ml setiap kalinya untuk jumlah total 250 ml/kg 1. Prediktor klinik Usia tua, didahului oleh infeksi gastrointestinal, tergantung pada ventilator, progresivitas yang cepat, defisit motorik berat IVIG 0,4 mg/kg untuk 5 hari berurutan 2. Etiologi CMV dan Campylobacter jejuni 3. Marker biokimiawi Antibodi anti GM1 4. Neurofisiologi Derajat degenerasi aksonal dan CMAP rendah yang persisten Penggunaan terapi imunoglobulin (Ig) relatif lebih sederhana dan lebih mudah dibandingkan dengan plasma 46 No. 1, Vol. 20, Januari -Maret 2007 TINJAUAN PUSTAKA Faktor prediktor prognosis yang buruk dalam penelitian Lyu dkk, (1997)12 adalah : (1) usia > 40 tahun, (2) amplitudo CMAP yang rendah, dan (3) perlunya ventilasi mekanik. Sebuah penelitian prospektif lain dengan waktu follow-up 1 tahun terhadap 79 pasien SGB dilakukan oleh Ress dkk, (1998)8 memperlihatkan bahwa usia tua (>=60 tahun) merupakan faktor prediktor prognosis yang buruk untuk tidak tercapainya pemulihan sempurna (p=0.05; odds ratio 0.35; 95% CI 0.12-1.00). Penelitian lain oleh Kuwabara dkk, (2001)6 menunjukkan bahwa refleks tendo yang positif merupakan salah satu prediktor tercapainya pemulihan SGB yang cepat (skala Hughes meningkat 2 skor dalam waktu 14 hari) (44% : 9%, p=0,01). Penggunaan terapi imunoglobulin (Ig) relatif lebih sederhana dan lebih mudah dibandingkan dengan plasma exchange.3 Kajian yang dilakukan oleh Bril, dkk (1999)14 menunjukkan bahwa penggunaan terapi Ig pada pasien SGB sama efektifnya dengan plasmaparesis, apabila terapi diberikan dalam 2 minggu pasca onset penyakit.15 Kesimpulan Sindroma Guillain-Barre (SGB) secara khas digambarkan dengan kelemahan motorik yang progresif dan arefleksia. Mekanime autoimun dipercaya bertanggung jawab pada sindrome ini. Terapi meliputi farmakoterapi dan terapi fisik, prognosis SGB tergantung pada progresivitas penyakit, derajat degenerasi aksonal, dan umur pasien. Daftar Pustaka 11. Mack KJ. Guillain-Barre syndrome in childhood. eMedicine Journal 2001, 2(11) 12. Winer JB. Guillain Barré syndrome. J Clin Mol Pathol; 2001; 54:381–5 13. Spies JM, Sheikh K. Management of Guillain-Barre syndrome. Expert Rev Neurotherapeutics 2001; 1(1):119-29 14. Sater RA. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy. eMedicine Journal 2001, 2(11) 15. Berger AR, Pulley M. Current concepts in the diagnosis and treatment of peripheral neuropathies. Jacksonville Medical Park Online 2000, August 16. Kuwabara S, Mori M, Ogawara K. Indicators of rapid clinical recovery in Guillain-Barré syndrome. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2001; 70:560–2 17. Fanion D, Joyce DM. Guillain Barre syndrome. eMedicine Journal 2001, 2(12) 18. Rees JH, Thompson RD, Smeeton NC. Epidemiological study of Guillain-Barré syndrome in south east England. J Neurol Neurosurg Psychiatry 1998; 64:74–7 19. Casmiro M, Guarino M, Alessandro RD. Guillain-Barré syndrome variants in emilia-romagna, Italy, 1992–3: Incidence, clinical features, and prognosis, Emilia-Romagna study group on clinical and epidemiological problems in neurology. J Neurol Neurosurg Psychiatry 1998; 65:218–24 10. Yuan CL, Tsou HK. Guillain-Barré syndrome: A retrospective, hospitalbased study. Chinese Medical Journal (Taipei) 2002; 65:540-7 11. Aminoff MJ, Greenerg DA, Simon RP. Clinical neurology. 3rd edition. Lange Medical Publishing, 1996 12. Lyu RK, Tang LM, Cheng SY. Guillain-Barré syndrome in Taiwan: a clinical study of 167 patients. J Neurol NeurosurPsychiatr 1997; 63:494–500 Tabel 7. Prognosis SGB dari berbagai penelitian terdahulu6,8,12 Peneliti (tahun) Tempat Metode dan subjek Lyu, dkk (1997) Taiwan Ress, dkk (1999) Inggris Prospektif 1 tahun; 79 pasien SGB Kuwabara, dkk (2001) Prospektif (median follow-up 12,8 bulan); 145/167 follow-up lengkap Jepang Prospektif 6 bulan; 80 pasien SGB Gambaran prognosis Jumlah (%) - Pulih hampir sempurna - Independen 127 (87%) 18 (13%) Pulih hampir sempurna Tidak sempurna - Tidak dapat lari - Berjalan dengan bantuan - Tidak dapat bangun - Meninggal dunia 49 (62%) 30 (38%) 14 (18%) 7 (9%) 3 (4%) 6 (8%) - Pulih cepat (2 minggu) - Pulih dalam 6 bulan - Tidak dapat berjalan sendiri setelah 6 bulan 9 (11%) 65 (81%) 6 (8%) No. 1, Vol. 20, Januari - Maret 2007 13. Wijdicks EFM. Guillain Barre syndrome. Snow Tiger Medical System Inc, Mayo Foundation for Medical Education and Research, 2000 14. Bril V, Allenby K, Madroni G. IGIV in neurology: evidence and recommendations. Can J Neurol Sci 1999; 26:139-52 15. Barnes P, Hughes RAC, Morris RW, et al. Association of British Neurologists guidelines for the use of intravenous immunoglobulin in neurological diseases, 2002 16. Abe Y. Therapeutic application of intravenous human natural immunoglobulin preparation. Frontiers in Bioscience 1996; 1:26-33 17. Kazatchkine MD, Kaveri SV. Imunomodulation of autoimmune and inflammatory diseases with intravenous immune globulin. N Engl J Med 2001; 345(10):747-55 18. Seneviratne U. Guillain-Barré syndrome. Postgrad Med J 2000; 76:774–82 47 TINJAUAN PUSTAKA Aplikasi Polimerase Chain Reaction Dalam Deteksi Infeksi Gonore, Klamidia Dan Trikomoniasis Vaginal Dengan pengambilan sample spesimen secara SOLVS (Self Obtained Low Vaginal Swabs) Betty Ekawati Suryaningsih Bagian Ilmu Kesehatan kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta Abstrak. PCR (Polymerase Chain Reaction) merupakan suatu amplifikasi DNA enzimatik yang sangat sensitif dan spesifik terhadap suatu organisma tertentu berdasarkan target gen primer yang dimiliki. Sehingga dengan sedikit sample DNA sudah dapat dilakukan analisa untuk mendeteksi adanya suatu kelainan. SOLVS (Self Obtained Low vaginal Swabs) merupakan salah satu metode untuk pengambilan spesimen yang dapat dilakukan oleh penderita sendiri dengan cara memasukan lidi kapas ke dalam vagina dan lidi kapas tersebut diputar disekeliling liang vagina kemudian didiamkan sampai hitungan kesepuluh, dilakukan rotasi sekali lagi sebelum lidi kapas tersebut dikeluarkan. Metode SOLVS biasanya dikerjakan pada daerah terpencil yang mempunyai keterbatasan baik tenaga medis ataupun peralatan untuk pemeriksaan. Pemeriksaan PCR dengan pengambilan specimen menggunakan metode SOLVS lebih cepat untuk mendiagnosis penyakit menular seksual serta mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dibandingkan dengan pemeriksaan kultur atau sediaan langsung, meskipun spesimen yang diambil bukan dari endoserviks ataupun forniks Kata kunci: PCR, SOLVS, gonore, klamidia dan trikomonas vaginalis Pendahuluan lmu kedokteran pada saat ini telah memasuki suatu era di mana pemeriksaan terhadap tubuh manusia dapat dilakukan dengan berbagai teknologi canggih, salah satunya adalah pemeriksaan DNA (deoxyribonucleic acid). Pada tubuh manusia, DNA terdapat dalam setiap sel berinti yaitu di dalam inti sel dan di dalam mitokondria. Diagnosis penyakit infeksi dengan biologi molekuler adalah mendeteksi asam nukleat mikroorganisme penyebab dengan menggunakan pelacakan DNA. PCR (Polymerase Chain reaction) merupakan suatu teknik in vitro untuk penggandaan atau amplifikasi DNA secara enzimatis melalui rekayasa sintesis DNA baru secara berulang, Sehingga dengan sedikit sample DNA dapat dilakukan suatu analisa untuk mendeteksi adanya suatu kelainan.1,2 Beberapa cara pengambilan spesimen untuk pemeriksaan PCR dapat diperoleh dari endoserviks, forniks posterior atau anterior. Selain itu ada metode SOLVS (Self Obtained Low Vaginal Swabs) merupakan suatu metode pengambilan I spesimen yang dilakukan oleh penderita sendiri dengan memasukkan lidi kapas ke dalam vagina dan lidi kapas tersebut diputar disekeliling liang vagina kemudian didiamkan sampai hitungan kesepuluh, dilakukan rotasi sekali lagi sebelum lidi kapas tersebut dikeluarkan. Metode SOLVS ini biasanya dikerjakan pada daerah terpencil yang mempunyai keterbatasan baik tenaga medis ataupun peralatan untuk pemeriksaan3,4 Gonore merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh kuman neisseria gonorrhoeae yang merupakan kuman golongan diplokaus, negatif-gram dan bersifat tahan asam, tampak di luar dan di dalam leukosit. Daerah yang paling mudah terinfeksi ialah daerah dengan mukosa epitel kuboid atau lapis gepeng yang belum berkembang atau imatur, pada wanita kelainan ini jarang disertai dengan gejala objektif, pada umumnya penyakit ini baru memberikan keluhan jika sudah ada komplikasi atau pada saat pemeriksaan antenatal atau saat pameriksaan keluarga berencana. 3,4 Trikomoniasis adalah suatu penyakit menular seksual 48 No. 1, Vol. 20, Januari -Maret 2007 TINJAUAN PUSTAKA non viral yang disebakan oleh Trichomonas vaginalis, merupakan spesies Trichomonas yang bersifat patogen dan banyak dijumpai pada traktus urogenital. Kelainan ini pada wanita dapat memberikan gejala simptomatis ataupun non simptomatis berupa adanya vaginal discharge, vulvovaginal sorenes atau iritasi terkadang dapat juga disertai dengan disuria atau dispareunia. Gambaran trikomoniasis sangat luas, berbagai kuman penyebab penyakit menular seksual (PMS) dapat memberikan gejala yang sama.5 Chlamydia trachomatis merupakan penyebab tersering infeksi urogenital nonspesifik. Infeksi ini didapati pada wanita dengan aktivitas seksual pada usia muda dan sering melakukan hubungan seksual. Pada wanita sebagian besar infeksi ini tidak memberikan gejala namun demikian infeksi ini dapat menyebakan PID (pelvic inflammatory disease), infertilitas dan kehamilan ektopik.6 Untuk penegakan diagnosis PMS diperlukan suatu pemeriksaan laboratorium dengan spesimen yang diambil baik dari serviks atupun forniks posterior ataupun anterior dan untuk mendapatkan spesimen tersebut harus dikerjakan oleh seorang tenaga kesehatan atau diperlukan suatu alat pembantu khusus untuk mengambil spesimen tersebut. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai aplikasi PCR dan sedikit mengenai pengambilan spesimen dengan metode SOLVS untuk penegakkan diagnosis beberapa penyakit menular seksual. Prinsip PCR Dalam bidang DNA ada dua cara untuk pemeriksaan DNA, yaitu PCR dan LCR (Ligase chain reaction). Selain cara pemeriksaan tersebut ada juga metode probe DNA. PCR merupakan suatu teknik in vitro untuk penggandaan atau amplifikasi DNA secara enzimatik melalui proses sintesis di daerah DNA baru secara berulang. Sintesis DNA baru diawali dengan dengan penempelan primer di daerah tertentu DNA yang akan menjadi cetakannya. Sepasang primer akan digunakan dalam sintesis tersebut karena cetakan DNA berupa rantai ganda, proses pemisahan rantai ganda cetakan DNA menjadi rantai tunggal, proses penempelan primer dan proses sintesis DNA merupakan satu siklus. Sekuens DNA target spesifik pada setiap organisme berbeda, prinsip inilah yang dijadikan dasar penggunaan DNA sebagai pelacakan suatu penyakit. Prinsip kerja PCR dan LCR adalah memperbanyak jumlah salinan DNA target, sehingga dapat mendeteksi mikroorganisme meskipun dalam jumlah sedikit. 1,2,7 Probe DNA (Gen-probe) merupakan suatu tes untuk mendeteksi DNA melalui cara diperbanyak dengan proses hibridasasi. Bila dibandingkan dengan cara amplifikasi DNA atau PCR maka cara probe DNA kurang sensitif, karena PCR mampu mendeteksi satu copy gen sedangkan probe DNA memerlukan 103 copy gen untuk dapat mendeteksi suatu kelainan.1,2,7,18 Prinsip PCR dapat dijelaskan sebagai berikut : bila DNA dicampur dengan oligonukleotid yang komplementer dan diberi kondisi yang sesuai, maka oligonukleotid akan berperan No. 1, Vol. 20, Januari - Maret 2007 sebagai titik awal sintesis copy DNA target dengan DNA target sebagai template. Dengan menggunakan dua primer (5’ dan 3’), segmen DNA yang terletak diantara kedua primer tadi akan tergandakan. Primer adalah suatu rangkaian pendek DNA hasil sintesis yang urutan basanya komplementer dengan DNA cetakannya. Dalam pelaksanaannya, DNA bersama enzim Taq polimerase, garam, bufer dan sepasang primer dicampur dalam tabung reaksi, kemudian diberi suhu berselang seling. Mula-mula 940C selama satu menit, pada suhu ini DNA untai ganda akan terurai menjadi DNA untai tunggal (proses denaturasi), kemudian diturunkan menjadi 550C selama satu menit, di mana pada suhu ini primer akan menempel pada segmen DNA yang komplementer (annealing) dan selanjutnya suhu dinaikan lagi menjadi 720C di mana pada suhu ini di bawah pengaruh enzim polimarase primer akan mengalami pemanjangan (extension). Ketiga langkah tersebut merupakan satu siklus untuk menghasilkan satu untai DNA tunggal yang komplementer dengan segmen DNA target. Dari satu siklus, satu untai tunggal DNA akan tergandakan menjadi dua untai, dengan n siklus secara teoritis dari satu untai DNA tunggal akan dihasilkan 2n untai, sehingga cukup banyak copy untai DNA untuk proses analisis selanjutnya, semua proses PCR ini dilakukan dalam DNA thermocycler.1,2,8 Prosedur PCR dapat dilakukan terhadap setiap sel berinti yang mengandung DNA seperti sel mukosa pipi, leukosit, sel dalam cairan amnion, vili korealis ataupun bahan fosil yang masih mengandung DNA. Ada dua jenis amplifikasi, yaitu (1) single PCR adalah perlakuan terhadap satu kali PCR dengan menggunakan sepasang primer, (2) nested PCR adalah perlakuan terhadap dua kali PCR berturutturut menggunakan hasil amplifikasi pertama sebagai target untuk reaksi kedua, dan sebagai target digunakan 16S-like ribosomal DNA. Kerugian mengunakan nested PCR adalah memerlukan prosedur ganda sehingga akan meningkatkan positif semu. Karena itu Metode PCR ini mempunyai sensitivitas yang sangat tinggi, sehingga DNA kontaminan yang amat sedikitpun akan ikut tergandakan sehingga terbentuk sejumlah copy dari DNA kontaminan, karena itu pengerjaan PCR harus benar-benar teliti.1,2 Analisa DNA hasil amplifikasi dapat dilakukan dengan teknik elektroforesis gel agarosa dengan konsentrasi agarosa 1.5% - 2%, dalam larutan penyangga TBE (Tris-Borat-EDTA). Pewarnaan DNA hasil elektroforesis dilakukan dengan menggunakan larutan etidium bromida dengan konsentrasi 0.5 mg/ml. Setelah diwarnai divisualisasikan melalui ultraviolet transilluminator. Untuk menentukan fragmen DNA, digunakan penanda berat molekul yang dinyatakan dengan pasangan basa bp (basepair). Hasil positif ditunjukkan dengan adanya pita fragmen DNA pada gel agarosa setelah diwarnai dan divisualisasi. 8,9 Beberapa Cara Pengambilan Spesimen Pengambilan spesimen untuk pemeriksaan PMS dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya pengambilan 49 TINJAUAN PUSTAKA spesimen langsung dari endoserviks terutama pada wanita usia subur, forniks posterior atau forniks anterior yang pengambilannya dilakukan langsung oleh tenaga kesehatan dan diperlukan suatu peralatan khusus untuk pengambilan dengan cara ini. Pengambilan spesimen dapat dengan cara memasukan tampon vaginal atau dengan menampung urin yang keluar pertama kali (first void urine), swab perineal atau swab introital. Selain cara tersebut di atas dikenal juga metode SOLVS, metode ini biasanya dilakukan pada daerah yang terpencil dengan tenaga kesehatan yang terbatas.3,4,7 SOLVS merupakan suatu metode pengambilan spesimen vagina yang dilakukan sendiri oleh penderita dengan menggunakan lidi kapas yang dimasukan ke dalam vagina kemudian diputar pada sekeliling vagina dan dibiarkan sampai hitungan kesepuluh lalu diputar sekali lagi sebelum dikeluarkan. Selanjutnya terhadap sampel atau spesimen pada lidi kapas tersebut akan dilakukan pemeriksaan untuk mendiagnosis PMS pada penderita tersebut dengan menggunakan metode PCR. Metode SOLVS ini tidak memerlukan tenaga kesehatan untuk pengambilan sampel dan tidak diperlukan suatu peralatan khusus, namun demikian tetap diperlukan suatu pengarahan terhadap penderita bagaimana cara pengambilan sampel tersebut. Selain dapat dilakukan sendiri, keuntungan dari metode SOLVS adalah acceptable, praktis dan sensitiv untuk mendiagnosis gonokok, klamidia dan trikomonas, serta memberikan rasa lebih nyaman terhadap penderita. Metode ini dapat diterapkan pada daerah terpencil yang tidak mempunyai cukup banyak tenaga kesehatan tetapi diduga mempunyai prevalensi PMS yang tinggi.3,4 Gambar 1. Cara pengambilan sampel dengan SOLVS3 PCR pada Gonore Gonore merupakan PMS yang paling sering dijumpai, kelainan ini disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae yang termasuk golongan diplokokus, berbentuk seperti ginjal dengan diameter 0.8 u, bersifat tahan asam, dan secara morfologik terdiri dari empat tipe, yaitu tipe 1 dan 2 mempunyai pili yang bersifat virulen, serta tipe 3 dan 4 tidak mempunyai pili dan bersifat tidak virulen. Pili akan melekat pada mukosa epitel dan menyebabkan terjadinya reaksi peradangan.10 Gambaran klinis gonore pada wanita asimptomatis. Pada umumnya wanita datang berobat jika sudah terjadi komplikasi. Sasaran primer Gonokokus adalah endoserviks. Diagnosis gonore ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium, baik sediaan langsung maupun 50 kultur, dengan sediaan yang diambil dari serviks, muara kelenjar bartolini, uretra.11 Untuk mendapatkan spesimen tersebut dibutuhkan seorang tenaga kesehatan dan juga posisi tertentu yang terkadang membuat penderita kurang nyaman. Dengan SOLVS tidak dibutuhkan tenaga kesehatan untuk pengambilan spesimen dan penderita merasa lebih nyaman karena melakukan sendiri.3 Pemeriksaan yang lebih sensitif untuk penegakkan diagnosis gonore adalah dengan metode PCR, di mana pada metode ini spesimen cukup diambil dari vagina dengan menggunakan metode SOLVS, Garrow et al.,3 dalam penelitiannya membuktikan metode SOLVS mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk mendiagnosis adanya infeksi yang disebabkan N.gonorroeae, Chlamydia dan T. vaginalis.3 Terhadap spesimen pada kapas lidi dilakukan ektraksi DNA, kemudian dilakukan amplifikasi DNA sebanyak 40 siklus lalu dilakukan analisa dengan elektroforesis gel agaros 2 %, Gen target primer untuk Gonokokus adalah 23S rRNA,nspA dan orf1. Pada proses PCR tersebut akan dihasilkan Hind III untuk orf1 dan Hinf1 untuk 23s rRNA. Setelah semua proses amplifikasi selesai, dilakukan pewarnaan dengan etidiumbromida, hasil positif ditunjukkan dengan adanya pita fragmen DNA pada gel agarosa.7,9 Tiga DNA sekuens dari N. gonorrhoeae yaitu orf1 sebagai frame, 23S rRNA sebagai gen sekuens dan nspA sebagai kode gen outer membrane protein. Gen pasangan primer orf1 (Ngu1 dan Ngu2) merupakan gen yang khas untuk N.gonorrhoae dan tidak didapatkan pada spesies Neisseria lainnya termasuk N.meningitidis, pasangan primer ini mempunyai spesifitas yang tinggi untuk Nesseria Gonorrhoae, sementara pasangan primer gen 23S r RNA (Ngu3 dan Ngu4) merupakan gen yang menunjukkan spesies Nesseria. Berdasarkan referensi WHO, untuk pemeriksaan PCR N.gonorrhoae optimal jika menggunakan ketiga gen primer tersebut7 PCR pada Klamidia Chlamydia merupakan mikroorganisme parasit obligat seluler yang erat hubunganya dengan kuman gram negatif dan merupakan penyebab infeksi genital nonspesifik yang paling sering. Kuman ini dibagi dalam tiga spesies (1) Chlamydia psittaci, (2) Chlamydia trachomatis, (3) Chlamydia pneumoniae. Dinding sel bagian luar mirip dengan kuman gram negatif, banyak lipid dan todak mengandung peptidoglikan kuman yang khas. Pembentukkan dinding sel dihambat oleh kuman penisilin, siklosporin dan zat-zat yang menghambat sintesa peptidoglikan. DNA dan RNA terdapat dalam partikel kecil dan besar.12,13 PMS karena Chlamydia trachomatis pada wanita menyebabkan servisitis, uretritis, salpingitis dan peyakit peradangan pada pelviks. Infeksi ini dapat memberikan gejala, tetapi kurang lebih 70% kelainan ini asimptomatik, dan dapat ditularkan pada pasangannya. Kurang lebih 50% uretritis non gonokokus atau uretritis setelah infeksi gonokokus disebabkan No. 1, Vol. 20, Januari -Maret 2007 TINJAUAN PUSTAKA oleh klamidia.6,14 Manifestasi kinik berupa disuria, keluarnya cairan yang tidak bernanah, sering buang air kecil, dapat juga menimbulkan konjungtivitis inklusi akibat inokulasi sendiri oleh cairan kelaminnya. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan laboratorium. Dengan pembiakan atau pewarnaan iodin akan didapatkan badan inklusi yang berwarna coklat akibat matriks menyerupai glikogen yang terdapat di sekitar partikel-partikel atau pemeriksaan mikroskop langsung dengan pengecatan giemsa akan terlihat badan elementer berwarna ungu.6,13 Lokasi infeksi klamidia paling sering pada endoserviks, di samping juga dapat menginfeksi uretra, nasofaring dan anus, sehingga untuk pemeriksaan diperlukan swab dari endoserviks dalam jumlah banyak. Pemeriksaan PCR pada klamidia ditujukan untuk melihat major outer membrane protein (MOMP) dari Chlamydia trachomatis. Target gen primer yang mengkode MOMP Chlamydia trachomatis adalah omp1.15 Dengan metode PCR ini sampel yang diambil tidak harus dalam jumlah banyak dan tidak harus dari endoservik, pengambilan spesimen dengan metode SOLVS mempunyai nilai sensitivitas tinggi dalam mendiagnosis klamidia dengan PCR. 2,16 PCR pada Trikomoniaisis Vaginal Trichomonas vaginalis merupakan patogen tersering sebagai penyebab vaginitis, eksoservisitis dan uretritis pada wanita dan biasanya ditularkan melaui hubungan seksual. Pada wanita kelainan ini sering asimptomatis. Mengingat dampak yang ditimbulkan, infeksi ini perlu diagnosis secara cepat dan tepat. Pada beberapa kasus dapat juga timbul keluhan berupa adanya discar yang berwarna kehijauan dan berbusa disertai rasa gatal. Pada pemeriksaan serviks didapatkan strawberry cervix yang merupakan gambaran khas untuk trikomoniasis. Diagnosis ditegakkan setelah ditemukan T.vaginalis pada sediaan langsung spesimen yang diambil dari forniks anterior atau posterior.17,18 Target gen primer T.vaginalis dengan PCR adalah gen betatubulin dan famili 650 bp yang merupakan DNA spesifik, adapun prosedur dan pembacaan hasil PCR sama dengan prosedur pada PMS lainnya. Madico et al.,5 dalam penelitiannya dengan 350 sampel spesimen vagina dan dilakukan kultur untuk T.vaginalis ternyata hanya 23 yang positif. Dari 23 yang positif yang dilakukan pemeriksaan langsung sediaan basah hanya 12 yang positif. Kemudian dilakukan pemeriksaan PCR didapatkan 22 spesimen positif terhadap T.vaginalis. Hal ini menunjukkan PCR sensitif untuk kelainan ini.6,18 KESIMPULAN PCR merupakan suatu amplifikasi DNA enzimatik yang sangat sensitif dan spesifik terhadap suatu organisme tertentu berdasarkan target gen primer yang dimiliki. Kelebihan dari pemeriksaan PCR adalah dapat mendeteksi DNA organisma tertentu walaupun dengan spesimen dalam jumlah yang sangat No. 1, Vol. 20, Januari - Maret 2007 sedikit dan pengambilan spesimen dapat diambil dari tempat mana saja yang kita duga mempunyai suatu kelainan. PCR mempunyai nilai akurasi yang tinggi untuk diagnosis suatu PMS sekalipun spesimen yang diperiksa diambil dengan cara SOLVS. Metode SOLVS dengan pemeriksaan PCR lebih cepat untuk mendiagnosis PMS, meskipun spesimen yang diambil bukan dari endoservik ataupun forniks serta mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dibandingkan dengan pemeriksaan kultur atau sediaan langsung. Daftar Pustaka 1. Jones E, Morris A. Principle of medical genetic. Dalam Biology and Genetic. Mosby, Philadelphia, 1998. p.135-7 2. John B, David J, David R. Molecular techniques. Dalam Molecular Medicine. Oxford: Black well Science. 1995. p.63-7 3. Garrow C, Smith D, Harnett G. The diagnosis of C.Trachomatis, gonorrhoae, and Trichomonas infection by SOLVS, in remote northern australian clinical practice. Sexually transmitted infection 2002. 78:278-81 4. R.Rene, O.Gerrie, J Arjan et al., Evaluation of an in house PCR for detection of N. Gonorrhoeae in urogenital samples. J Clin Pathol 1999, 52:411-14 5. Madico G, Quinn T, Rompalo A et al. Diagnosis of TV infection by PCR using Vaginal swabs. J of Clinical Microbiology. 1998 Nov : 3205-10 6. O Lars, A.Berit, M.K jens, O Frada. Home smpling versus conventional swabs sampling for screening of C. Trachomatis, in women: a cluster randomized one year follow-up study. Clinical Infec Diseases 2000: 31:951-7 7. Chaundry U, Ray K, Bala M, Saluja D. Multiplex PCR assay for the detectio of N.Gonorrhoeae in urogenital specimens. Current science, 2002; 83:634-40 8. RL Maria, Sudarmono P, Ibrahim F. Sensitivitas metode PCR dalam mendeteksi isolat klinis M.tuberculosis. J Kedokteran Trisakti 2002; 21:7-14 9. Chaundy U. Detection of N.Gonorrhoeae by PCR using orf1 gene as target. Sexually transmitted Infection 2002; 78:72-78 10. Sparling FP. Biology of N.Gonorrhoeae. Dalam Holmes KK, Sparling F, Mardh P, Lemon S, Stam w, Piot P, Wasserheit J. Sexually Transmitted Diseases. 3rd ed MC Graw-Hill 1999: p.433-44 11. Hook III. E, Handsfield H. Gonococcal infections in the adult. Dalam Holmes KK, Sparling F, Mardh P, Lemon S, Stam w, Piot P, Wasserheit J. Sexually Transmitted Diseases. 3rd ed MC Graw-Hill 1999: p. 451-63 12. Stamm W. Chlamydia trachomatis infection of the adult. Dalam Holmes KK, Sparling F, Mardh P, Lemon S, Stam w, Piot P, Wasserheit J. Sexually Transmitted Diseases. 3rd ed MC Graw-Hill 1999:407-14 13. Rasyid.A. Aspek Mikrobiologi Chlamydia. Majalah Kedokteran Sriwijaya 2002; 4:8-14 14. P.jeann, C Mike, Gray M et al.,Evidence base health policy report screening for genital chlamydia infection. BMJ 2002; 321:629-31 15. Wilcox M, Reynold M, Hoy C, Brayson J. Combined cervical swab and urine specimens for PCR diagnosis of genital Chlamydia trachomatis infection. Sexually transmitted Infection 2000; 76:177-8 16. Tait A, Hart C. Chlamydia trachomatis in non-gonococcal urethtritis patient and their heterosexual partners: routine testing by PCR. Sexually Transmitted Infection 2002; 78:286-8 17. Shaio M,Lin P,Liu J. Colorimetric one-tube nested PCR for detection of T.vaginalis in vaginal Discharge. J of Clinical Microbiology 1997 Jan:132-8 18. Sirait P, Daili F, Rata I. Perbandingan hasil deteksi Chlammydia Trachomatis cara probe dan ELISA Chalamydiazyme® pada endoserviks pekerja seks komersial wanita dip anti social karya wanita di Jakarta. MDVI 2002; 2:53-8 51 PROFIL Prof. dr. Abdul Aziz Rani, SpPD-KGEH Guru Besar Tetap Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI K ali ini kami berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan Prof. dr. Abdul Aziz Rani, SpPD-KGEH yang merupakan seorang yang ahli dibidang penyakit dalam dan juga merupakan Guru Besar Tetap Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI. Prof. Aziz Rani dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dalam bidang Ilmu Penyakit Dalam pada tanggal 20 Desember 2003. Pada saat acara pengukuhan, beliau berkesempatan untuk menyampaikan pidato pengukuhan dengan judul “Penatalaksanaan Mutakhir Infeksi Helicobacter pylori di Indonesia dan Dampaknya bagi Kesehatan Masyarakat”. Dari pidato yang Prof. Aziz Rani sampaikan beliau berharap, apa yang beliau paparkan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman tentang masalah penanganan infeksi Helicobacter pylori dalam masyarakat kita. Lebih jauh, beliau juga berharap mudah-mudahan dapat diambil hikmahnya terutama oleh sejawatnya yang lebih muda, peserta PPDS dan mahasiswanya. Tambahan lainnya Beliau juga mengatakan bahwa “saya yakin para peneliti muda kita dengan dasar minat keilmuwan akan mampu mencapai prestasi dan jenjang akademik yang 52 setinggi-tingginya, menjadi scientific leader nasional maupun internasional. Sungguh merupakan kewajiban kita bersama, kewajiban institusi, kewajiban negara untuk terus menerus mendukung dan menciptakan lingkungan keilmuwan yang kondusif untuk mencapai puncak keilmuwan di masa depan”. Pengalaman organisasi yang pernah Prof. Aziz ikuti sebagai pengurus dalam organisasi profesi antara lain sebagai Ketua Perhimpunan Helicobacter pylori Indonesia tahun 1995 sampai sekarang, Ketua Perhimpunan Endoskopi Gastroenterologi Indonesia untuk kurun waktu 2000 - 2003. Kemudian sebagai Ketua Perhimpunan Gastroenterologi Indonesia (PGI) dari tahun 2003 sampai sekarang. Sebagai Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PN PAPDI) dari tahun 2003 sampai 2006. Sedangkan pengalaman organisasi yang pernah diikuti sebagai anggota dalam organisasi profesi antara lain sebagai Anggota IDI (Ikatan Dokter Indonesia), Anggota PAPDI (Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia), Anggota PGI (Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia), Anggota PEGI (Perhimpunan Endoskopi Gastroenterologi Indonesia), No. 1, Vol. 20, Januari -Maret 2007 PROFIL “orang-orang diluar negeri memang mengharapkan ada orang Indonesia yang bisa berkomunikasi menyampaikan dalam forum-forum ilmiah apa yang sebenarnya ada atau apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia karena sebenarnya negara Indonesia ini merupakan negara besar tetapi dalam komunikasi ilmiah relatif masih merupakan daerah yang silent (sunyi) sehingga hal ini harus digiatkan”. Anggota PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia), Councellor APCDE, Councellor ADCDE, Councellor APGDE, International editor helicobacter USA dan International editor Chinese Medical Journal, China. Prof. Aziz Rani mempunyai beberapa karya ilmiah baik itu hasil penelitian maupun bukan hasil penelitian yang dipublikasikan baik itu sebagai penulis utama ataupun penulis pembantu baik di jurnal internasional maupun nasional. Adapun tanda penghargaan yang beliau peroleh selama ini adalah Satya Lancana Karya Satya XX tahun 23 Juni 1999; memperoleh piagam penghargaan sebagai pemenang Harapan I penerima penghargaan Sudjono Pusponegoro dengan judul “Helicobacter pylori dan penyakit gastroduodenal usulan penatalaksanaan di Indonesia 1997; memperoleh penghargaan sebagai pemenang penulis makalah terbaik I dengan judul “Kaitan infeksi Helicobacter pylori dengan dispepsia non ulkus: suatu tinjauan klinik, diagnostik dan pengobatan”. Prof. Aziz juga terlibat dalam LSM kesehatan, namanya PMR (PAPDI Medical Relief). LSM ini didirikan oleh dokterdokter di Indonesia dan dibentuk dalam rangka banyaknya bencana-bencana yang besar yang terjadi di Indonesia. “Jadi setiap terjadi bencana-bencana yang besar kita mengirimkan tim-tim kesehatan kesana,” ujarnya. Di samping itu beliau juga mempunyai pengalaman yang paling berkesan ketika waktu pertama kali menjadi pembicara bersama-sama dengan tokoh gastro internasional dari Belanda Prof. Tytgatt yang mana pernah menjadi presiden gastro sedunia. Apalagi pada saat itu Prof. Aziz Rani merupakan pembicara termuda sehingga beliau merasakan pengalaman yang sangat penting ditambah lagi bisa mendapatkan banyak kenalan baik di regional maupun internasional. Beliau juga mengatakan bahwa “orang-orang diluar negeri memang mengharapkan ada orang Indonesia yang bisa berkomunikasi menyampaikan dalam forum-forum ilmiah apa yang sebenarnya ada atau apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia karena sebenarnya negara Indonesia ini merupakan negara besar tetapi dalam komunikasi ilmiah relatif masih merupakan daerah yang silent (sunyi) sehingga hal ini harus digiatkan”. No. 1, Vol. 20, Januari - Maret 2007 Menurutnya salah satu cara berkontribusi dalam forumforum ilmiah adalah kinerja penelitian sehingga kita bisa berkomunikasi dan berkontribusi pada tingkat internasional. Barangkali itu yang mungkin bisa dilakukan di masa depan dalam waktu dekat ini. Lagipula ilmu sangat berkembang, kalau kita konsisten mengembangkan salah 1 aspek dari keilmuan pasti akhirnya akan dicari di dalam forum-forum komunikasi ilmiah dimanapun. Beliau juga berpendapat bahwa kalau kita tidak mengikuti perkembangan dalam keilmuwan dan ikut berkontribusi dalam pengembangan keilmuwan dalam penelitian, kita akan kurang dipandang di dunia kesehatan internasional. Sehingga ini menjadi tantangan bangsa Indonesia kedepannya. Salah satu syaratnya adalah kemampuan untuk berkomunikasi, baik komunikasi dalam bentuk tulisan, komunikasi verbal dalam forum-forum dunia harus diakui bahwa kemampuan dalam berbahasa Inggris merupakan salah satu kelemahannya terutama di Indonesia sampai saat ini. Bisa juga kelemahan dalam berbahasa Inggris itu ditutupi dengan kinerja. Seperti contohnya, orang Jepang tidak semuanya bisa berbahasa Inggris tapi karena mereka melakukan penelitian yang mendalam dan berkualitas walaupun mereka kesulitan dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris tapi orang melihat bahwa hasil penelitiannya itu memiliki nilai yang sangat tinggi jadi mestinya hal ini juga tidak menjadi halangan mutlak. Ketika ditanya mengenai hobinya, sambil tersenyum Prof. Aziz Rani mengatakan bahwa dia sangat hobi tidur selain hobinya yang lain bermain tenis. Karena menurutnya dengan tidur kita bisa memulihkan badan menjadi bugar kembali. Impian Prof. Aziz Rani yang ingin diraih adalah beliau ingin generasi yang lebih muda harus jauh lebih baik, baik itu sebagai ilmuwan maupun profesional medik merupakan tantangan yang besar dimasa depan karena dunia pendidikan tinggi di Indonesia masih menghadapi banyak kendalakendala. Indonesia mempunyai orang-orang muda yang sangat potensial tapi pengembangannya pula, didukung sistem pengembangan karir dan fasilitas peralatan yang memadai, sehingga tercipta suasana yang lebih kondusif. Apabila kemampuan penelitian sudah tinggi baik pada tingkat peneliti maupun institusinya akan lebih mudah dalam mencari dana research dari luar negeri. Beliau berharap sistem pendukung penelitian dibidang kedokteran perlu dikembangkan lagi terutama untuk para peneliti-peneliti muda. Pada akhir bincang-bincang, Prof. Aziz Rani ingin memberikan pesan-pesan untuk para dokter-dokter muda bahwa memang diperlukan kinerja dan etos kerja yang tinggi untuk meraih kemajuan bidang ilmu pengetahuan dan jenjang profesi kedokteran. Konsistensi di dalam melaksanakan pengembangan keilmuwan ini dalam jangka panjang ditunjang dengan etos kerja yang baik dan kemampuan bersaing yang tinggi. Karena apabila kita semua berpikir seperti itu, tentunya negara kita akan menjadi negara yang maju. 53 SEKILAS DEXA MEDICA GROUP OGBdexa Dukung Sosialisasi ASKESKIN T im OGBdexa Medan bersama Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPPKI), PT ASKES, IDI Sumut, RS. Pirngadi dan Dinkes Kota Medan mengadakan sosialisasi program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM) pada 5 Desember 2006, di Medan. Acara ini dihadiri sekitar 50 pasien penerima Asuransi Kesehatan rakyat Miskin (ASKESKIN), dokter, tokoh masyarakat, pemuka agama, dan rumah sakit. Kegiatan ini berlangsung lancar dan sukses. Kegiatan Live Talk Show ini menampilkan pembicara Dr. Umbu Mari SE dari PT. ASKES Pusat dengan Topik “ Teknis Operasional Program Askin“. Dilanjutkan “Penyelenggaraan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin” oleh Drg. U. Polita Nasution dari Dinkes Kota Medan, dan Dr. Marius Widjajarta dari YPKKI membawakan topik “Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin di Indonesia“. Bapak Tarcisius Tanto Randy, Head of Marketing and Sales OGB PT. Dexa Medica menyampaikan topik Proses Pembuatan obat Generik di PT. Dexa Medica dengan teknologi tinggi dan canggih. Pak Tarcisius menekankan kepada pasien untuk tidak ragu lagi menggunakan Obat generik karena proses pembuatannya sama dengan obat Paten dan Kualitas serta khasiatnya juga tidak kalah dengan obat Paten. Pada saat itu juga diputarkan video Bagaimana Proses Pembuatan Obat Generik di Dexa Medica. Selanjutnya dilakukan tanya jawab secara interaktif, dan audience antusias menanyakan hal-hal yang mereka alami saat memakai program Askeskin. Usai makan siang, Bapak Kamaruzaman Perwakilan Dari Depkes RI. membawakan topik, Sekitar Pelaksanaan Askeskin, dilanjutkan ibu Surtati wakil dari RS Pirngadi Medan dengan topik “Pelaksanaan Program Askeskin di Rumah Sakit“. Pembicara terakhir Dr. Rahmat Nasution, DTM&H Msc SpParK.dengan tema“ Peranan IDI dalam mensukseskan Program Askin“. Setelah itu dilakukan tanya jawab. Moderator ibu Rosa dari LSM YPKKI memimpin acara ini dengan lancar. Usai acara dibagikan souvenir Tas dan Payung Cantik dari OGBdexa. Ali HUT Inmark Ditandai ’Detailing Day’ T im Kantor pusat PT Inmark Pharmaceuticals merayakan ulang tahun ke-1, pada 2 Januari 2007,di Graha Elnusa, Lantai 7, Jakarta ditandai ditandai pemotongan kue oleh Bapak Tjan T. Moniaga, GM Inmark Pharmaceuticals. Pada saat yang bersamaan, Tim Inmark yang berada di cabang-cabang juga serentak merayakan ulang tahun Inmark yang pertama dengan memotong tumpeng. Pada hari yang sama dijadikan hari “Detailing Day”, yaitu melakukan detailing dengan seragam khusus. Sukamto dan Nines 54 No. 1, Vol. 20, Januari -Maret 2007 PENELUSURAN JURNAL Pembaca yang budiman, Di bawah ini akan diberikan daftar isi beberapa jurnal terbaru yang dapat anda pilih. Bila anda menginginkannya, mohon halaman ini difotokopi, artikel yang dimaksud diberi tanda p dan dikirimkan ke alamat redaksi. Squalene synthase inhibitors. Clinical pharmacology and cholesterol-lowering potential. Drugs 2007; 67(1):11-6 Practical issues and challenges in the diagnosis and treatment of pulmonary sarcoidosis. Drugs 2007; 67(1):17-26 Ocular adverse effects associated with systemic medications. Recognition and management. Drugs 2007; 67(1):75-93 Primary pneumocystis infection in infants hospitalized with acute respiratory tract infection. Emerging Infectious Diseases 2007; 13(1):66-72 Inhibition of microsomal triglyceride transfer protein in familial hypercholesterolemia. The New England Journal of Medicine 2007; 356:148-56 Sunitinib versus interferon alfa in metastatic renal-cell carcinoma. The New England Journal of Medicine 2007; 356:115-24 Effects of folic acid supplementation on hearing in older adults. Annals of Internal Medicine 2007; 146:1-9 Rosiglitazone in diabetes control in hemodialysis patients with and without viral hepatitis infection. Diabetes Care 2007; 30:3-7 Problem solving and diabetes self-management. Diabetes Care 2007; 30:33-7 Celiac disease: pathogenesis of a model immunogenetic disease. The Journal of Clinical Investigations 2007; 117:41-9 Gastrointestinal regulation of food intake. The Journal of Clinical Investigation 2007; 117:13-23 Lung cancer: diagnosis and management. American Academy of Family Physicians 2007; 75:56-63 Leukotriene Inhibitors in the treatment of allergy and asthma. American Academy of Family Physicians 2007; 75:65-70 Vascular surgery: an update. American Academy of Family Physicians 2007; 75:85-90 Headache prevalence related to smoking and alcohol use. European Journal of Neurology 2006; 13(11):1233-8 Stroke complicating pregnancy and the puerperium. European Journal of Neurology 2006; 13(11):1256-60 No. 1, Vol. 20, Januari - Maret 2007 55 KALENDER PERISTIWA FEBRUARI - MARET 2007 1) PIPKRA 2007: The Future Challenges in Respiratory Medicine Tempat: Hote Borobudur, Jakarta Tanggal: 08 - 11 Februari 2007 Sekretariat: Departmen of Pulmonology and Respiratory Medicine FKUI, Persahabatan Hospital, Jl. Persahabatan Raya, Rawamangun, Jakarta E-mail: [email protected] atau [email protected] Telp: 62-21-4893536/0744 Faks: 62-21-4890744 Contact: Narti, Yenni dan Zaenal 2) Pelatihan HYPERKES Tempat: IKK FKUI Tanggal: 12 - 22 Februari 2007 Sekretariat: Sekretariat CDC-FKUI Telp: 62-21-31930371-3/08137424420 Contact: Yani 3) 21thCentury Challenge to Improve Professionalism and Quality of Anesthesia Service in Indonesia Tempat: Grand Melia Hotel, Jakarta Tanggal: 16 - 17 Februari 2007 Sekretariat: Department of Anesthesiology Faculty of Medicine National General Hospital Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Jl. Diponegoro 71, Jakarta 10430, Indonesia E-mail: [email protected] Telp: 62-21-3143736, 3148865 Faks: 62-21-3912526, 79198812 Website: http://www.indoanesthesia.org 4) The 2nd International Symposium & the 5th International Course on Metabolism & Clinical Nutrition 2007 Tempat: Hotel Borobudur, Jakarta Tanggal: 22 - 28 Februari 2007 Sekretariat: CME-PDU FKUI Salemba No. 6 Jakarta 10430 Telp: 62-21-3106737, 3106443 Faks: 62-21-3106443 Contact: dr. Luciana, dr. Dessy Website: http://cme.fk.ui.ac.id 5) Symposium on Chest and Critical Internal Medicine 2007 Tempat: Hotel Borobudur, Jakarta Tanggal: 09 - 11 Maret 2007 Sekretariat: Divisi Paru Departemen Ilmu Penyakit 56 Dalam RSCM Salemba E-mail: [email protected] Telp: 62-21-3149704, 31902461, 081311408931 Faks: 62-21-3149704 Contact: Siti Cholisha (Lisa) 6) KPPIK FKUI 2007 Early Diagnosis & Prompt Treatment in Medicine: Improving Quality Assurance Tempat: Hotel Borobudur, Jakarta Tanggal: 15 - 18 Maret 2007 Sekretariat: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Continuing Professional Development Unit E-mail: [email protected] Telp: 62-21-3106737, 70752375, 3106443 Website: http://cmefkui.com/kegiatan.php?kode=03 Contact Person: Ibu Teti, Wafi, Fiona, Yaya 7) PIT Fetomaternal 2007 Practicing Evidence Based Fetomaternal Medicine Tempat: Yogyakarta Tanggal: 17 - 21 Maret 2007 Sekretariat: Subbagian Fetomaternal Bagian/SMF Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RS Dr. Sardjito Yogyakarta, Jl. Kesehatan 1, Sekip Yogyakarta 55284 E-mail: [email protected] Telp: 62-74-511329, 587333 pesawat 295, 544003 Faks: 62-74-544003, 511329 Contact Person: dr. Irwan T Rachman, SpOG (081578700347) dr. Diah Rumekti, SpOG(K) (0811286614) Website: http://www.pit8fm.com 8) Simposium Nasional 2007, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Cab. Jabar Update on Tuberculosis and Respiratory Disorders Tempat: Hotel Horison, Bandung Tanggal: 23 - 25 Maret 2007 Sekretariat: PT. Blesslink Rema Jl. Sunda No. 50A Bandung 40112 E-mail: [email protected] Telp: 62-22-4262063 Faks: 62-22-4262065 Contact Person: Tina Lusiana Website: http://www.klikpdpi.com No. 1, Vol. 20, Januari -Maret 2007