ANALISIS VARIABEL PENENTU PENDAPATAN PERKAPITA SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN GROWTH SLOWDOWN (STUDI DI CHINA, FILIPINA, INDIA, INDONESIA, MALAYSIA, DAN THAILAND) JURNAL ILMIAH Disusun oleh : Raisal Fahrozi Lubis 105020100111021 JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014 LEMBAR PENGESAHAN PENULISAN ARTIKEL JURNAL Artikel Jurnal dengan judul : ANALISIS VARIABEL PENENTU PENDAPATAN PERKAPITA SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN GROWTH SLOWDOWN (STUDI DI CHINA, FILIPINA, INDIA, INDONESIA, MALAYSIA, DAN THAILAND) Yang disusun oleh : Nama : Raisal Fahrozi Lubis NIM : 105020100111021 Fakultas : Ekonomi dan Bisnis Jurusan : S1 Ilmu Ekonomi Bahwa artikel Jurnal tersebut dibuat sebagai persyaratan ujian skripsi yang dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 2 Mei 2014 Malang, Dosen Pembimbing, 13 Mei 2014 Putu Mahardika A.S. SE., M.Si, MA., PhD NIP. 19760910 200212 1 003 Analisis Variabel Penentu Pendapatan Perkapita Sebagai Upaya Pencegahan Growth Slowdown (Studi di China, Filipina, India, Indonesia, Malaysia, dan Thailand) Raisal Fahrozi Lubis Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Email: [email protected] ABSTRACT The rapid growthexperienced byAsian countriesin thepast decadehad raisedsomeAsian countriesrose tomiddle-income countries. However, it does not meanthateconomic developmentshave been successful, sincethe purposeof economic developmentis to improve thewelfare of the communityitselfwitha highstandardofliving, or becomea high-income country.The success ofeconomic developmentto becomedeveloped countryis a hardworksincestudies have shownfrom101countries that haveachieved middle incomecountries statusin 1960, only 13countriesable totransition becomehigh-income countries.The phenomenon ofthese countriesto be unsuccsessful transitionto becomehigh-income countriesoftencounted bythe termof middle incometrap.Some countries thathaveindicatedstuck ina middle incometrapisthe LatinAmerican countriesin general, whilethe countries thatmanaged toescapingthis threatisthe Asian tigercountriessuch asJapan, SouthKorea, Hong Kong, Singapore, andTaiwan.Some studies said that the middle income trap can be explained by a significant slowdown in the growth of some middle-income countries. Therefore, this studywilldiscusson variables thathave a significant influenceon the some countrie`s GDP percapita.Some determinantvariables of income percapita to be discuss is aexpenditure shares factors, human capital factors, demography, high technology exports, and the exchange rate. With panel data regression analysis, this study will be able to explain the effect of each variable. It will be focuss on some Asian developing countries such as China, India, Indonesia, Malaysia, the Philippines, and Thailand and thestudyperiodis1997 to2011.Understandingonthe effectofdeterminantvariables of income percapitacan be formulatedseveralpolicy recommendationsthatshould betaken to ensure thatthese countriesable toavoid the slowdwongrowth. Keywords :middle income countries, middle income trap, growth slowdwon, determinant variables of income percapita, panel data. A. LATAR BELAKANG Peningkatan status beberapa negara Asia menjadi negara berpendapatan menengah harus dapat menjadi momentum dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar mampu bertransisi lagi menjadi negara berpendapatan tinggi. Akan tetapi perjuangan untuk bertransisi menjadi negara maju bukan perkara mudah. Penelitian Agenor (2012) menjelaskan bahwa dari 101 negara yang berhasil mencapai status middle income countries pasca Perang Dunia II hingga sampai saat ini hanya 13 negara saja yang berhasil bertransisi menjadi negara berpendapatan tinggi. Contoh negara yang berhasil bertransisi tersebut adalah negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Hongkong SAR China, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan. Adapun negara yang terjebak dalam status middle income countries sebagian besar adalah negara-negara Amerika Latin. Fenomena tersebut sering disebut dengan middle income trap dan pertama kali diperkenalkan oleh Gill dan Kharas (2007). Dalam menjelaskan fenomena middle income trap, Eichengreen, Pak, dan Shin (2013) menggunakan istilah growth slowdown sebagai indikasi bawha suatu negara dapat terjebak dalam status middle income trap. Perlambatan pertumbuhan merupakan suatu kondisi dimana tingkat pertumbuhan perkapita tidak meningkat secara signifikan ketika suaut negara telah mencapai status middle income countries. Oleh karena itu, terjadinya perlambatan pertumuhan atau growth slowdown dapat dijelaskan dengan menganalisis variabel-variabel yang memliki pengaruh terhadap pendapatan perkapita. Beberapa penelitian mengenai growth slowdown dan middle income trap seperti peneltian Aiyar (2013) dan Egawa (2013) juga menggunakan analisis variabel penentu pendapatan sebagai analisanya dalam menjelaskan fenomena perlambatan pertumbuhan di beberapa negara. Tabel 1. Pertumbuhan Tertinggi Terakhir dan Perkembangan Pendapatan di Beberapa Negara Asia dan Amerika Latin Negara Pertumbuhan Tertinggi Terakhir Chile 1986 China 1978 India 1982 Indonesia 1967 Jepang 1958 Korea Selatan 1962 Malaysia 1988 Paraguay 1974 Thailand 1957 Sumber : Carnovale (2012) Sebelum Upper Middle Low Low Low Upper Middle Lower Middle Lower Middle Lower Middle Low Tingkat Pendapatan Sesudah Kondisi Saat ini Upper Middle Upper Middle Low Upper Middle Low Lower Middle Low Lower Middle High High Lower Middle High Upper Middle Upper Middle Lower Middle Lower Middle Low Upper Middle Dalam Eichengreen, Park, dan Shin (2013)growth slowdown memiliki korelasi dengan pertumbuhan yang tinggi pada periode sebelumnya, dengan struktur demografi yang tidak menguntungkan (tingkat rasio ketergantugan usia tua dan muda yang tinggi), rasio investasi yang tinggi (pertumbuhan didorong oleh pembentukan modal secara terus menerus yang akhirnya mengakibatkan ketidakstabilan), dan dengan nilai tukar yang kurang berharga (sebagai akibat kurangnya insentif terhadap nilai tukar untuk meningkatkan penggunaan teknologi dari tenaga kerja yang tidak terampil, rendahnya nilai tambah sektor dan kemudian sulit untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi). Gambar 2. Pertumbuhan PDB Perkapita di Beberapa Negara Berkembang Asia 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 China India Indonesia Malaysia Philippines 2012 2010 2005 2000 1995 1990 1985 1980 1975 1970 Thailand Sumber : Peneliti (2014) Asian Development Bank (2013) menjelaskan bahwa hampir semua negara-negara middle income di Asia mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada pertengahan tahun 1970an hingga 1997, demikian juga dengan pertumbuhan ekonomi India dan China (Gambar 2). Namun setelah terjadinya krisis Asia pada 1997, negara-negara berkembang Asia justru mengalami perlambatan pertumbuhan atau growth slowdown jika dibandingkan periode sebelumnya. Pada tahun 1985-1997 tingkat GDP percapita Malaysia dan Thailand tumbuh cepat terhadap GDP percapita Amerika Serikat, tetapi mulai berkurang sejak tahun 1998-2008. Begitu juga dengan performa Indonesia yang berkurang dari periode sebelumnya, sedangkan Filipina sudah melambat hingga tahun 1970an. Berdasarkan hasil analisis IMF Working Paper dalam peneltian Aiyar (2013) terhadap negaranegara berkembangAsia pada tahun 2013, Malaysia, Filipina, dan China harus mewaspadai perlambatan pertumbuhan dari institusi. Dari hasil empiris tersebut IMF menyimpulkan bahwa peran istitusi dari segi peran hukum yang kuat dan sedikit peran pemerintah dalam peraturan memiliki pengaruh terhadap perekonomian sebuah negara. Hasil analisa IMF juga mencakup China, India, Indonesia, dan Vietnam. Dimana variabel yang lebih diwaspadai dari empat negara tersebut dari perlambatan pertumbuhan atau growth slowdown adalah dari segi transportasi dan infrastruktur. Transportasi dan Infrastruktur yang baik dapat meningkatkan kegiatan perekonomian sebuah negara karena dengan konektivitas yang baik dan infrastruktur yang memadai akan memperlancar kegiatan produktivitas sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, jika dilihat secara keseluruhan, Thailand dan Filipina lebih terintegrasi dengan baik melalui beberapa variabel penentu pendapatan perkapita yang dianalisis oleh IMF. Dengan demikian, adanya pengaruh beberapa variabel penentu pendapatan perkapita tersebut dapat dijadikan suatu indikasi mengenai upaya pencegahan terjadinya growth slowdown di beberapa negara yang telah mencapai status middle income countries, khususnya negara-negara berkembang Asia. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut dalam menganalisis pengaruh variabelvariabel penentu pendapatan perkapitadi negara-negara berkembang Asia perlu dilakukan agar negara-negara tersebut dapat terhindar dari ancaman growth slowdown yang dapat menurunkan produktivitas dan daya saing sehingga terjebak dalam kondisi middle income trap.Penelitian ini akan menganalasis beberapa variabel penentu pendapatan perkapita seperti faktor expenditure shares, faktor human capital, demography, high technology export, dan exchange rate. Dengan melihat pengaruh beberapa variabel pendapatan perkapita tersebut, maka dapat dianalisis sebagai upaya pencegahan grwoth slowdown di beberapa negara berkermbang Asia seperti China, Filipina, India, Indonesia, Malaysia, dan Thailand. B. KERANGKA TEORI Growth Slowdown Sebagai Indikasi Middle Income Trap Istilah growth slowdown pertama kali digunakan oleh Gill dan Kharas (2007) dalam menganalisis middle income trap. Berdasarkan hasil analisis dari Eichengreen, Park dan Shin (2012) menyebutkan bahwa terdapat tiga kondisi dalam menjelaskan terjadinya growth slowdown. Adapun ketiga kondisi tersebut dapat dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut : gt,t-n ≥ 0,035 gt,t-n - gt,t+n ≥ 0,02 yt > 10000 (1) (2) (3) Dimana : yt : PDB perkapita denga harga konstan 2005 gt,t+n : Rata-rata tingkat pertumbuhan antara tahun t dan t+n gt,t-n : Rata-rata tingkat pertumbuhan antara tahun t dan t-n Berdasarkan tiga persamaan diatas, dapat diketahui bahwa terdapat tiga kondisi sebagai kriteria suatu negara mengalami growth slowdown sehingga dapat terjebak dalam middle income trap. Persamaan pertama menjelaskan bahwa pertumbuhan rata-rata PDB perkapita selama tujuh tahun hanya sebesar 3,5 persen atau lebih (walaupun periode sebelumnya dapat tumbuh lebih cepat). Adapun persamaan kedua menujukkan bahwa pertumbuhan rata-rata dalam tujuh tahun terus menurun hingga 2 persen (diperlukan perhatian besar). Dan persamaan ketiga menjelaskan bahwa growth slowdown terjadi pada negara yang telah berpendapatan 10.000 USD lebih dengan harga internasional PPP konstan 2005. Dengan demikian, analisis growth slowdown tersebut tidak dapat menjelaskan kondisi pada negara berpendapatan rendah yang mengalami perlambatan pertumbuhan. Analisis growth slowdown lebih fokus pada negara berpendapatan menengah sehingga sering sangat berkaitan dengan middle income trap. Kegagalan Koordinasi Sebagai Penyebab Growth Slowdown Menurut Todaro (2009) dalam bukunya tentang Pembangunan Ekonomi, pemahaman tentang perangkap pendapatan menengah atau middle income trap dapat dijelaskan dengan kerangka pikir kegagalan koordinasi, sehingga kerangka pikir tersebut juga dapat diterapkan pada analisis growth slowdown. Analisis kegagalan koordinasi dapat menjelaskan potensi terjadinya kegagalan pasar sehingga dapat mempengaruhi prospek keberhasilan pembangunan ekonomi secara lebih luas dan lebih dalam daripada yang telah dipahami sebelumnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa kegagalan koordinasi adalah suatu keadaan hubungan yang dicirikan dengan ketidakmampuan para agen ekonomi untuk mengoordinasikan perilaku (pilihan) mereka, sehingga menimbulkan hasil (ekuilibrium) yang membuat semua agen ekonomi berada dalam keadaan lebih buruk dibandingkan dengan di suatu situasi lain yang juga merupakan ekulibirum. Sebagai contoh kasus kegagalan koordinasi adalah kehadiran perusahaan-perusahaan yang menggunakan keterampilan khusus dan ketersediaan pekerja yang telah memiliki keterampilan itu. Suatu perusahaan tidak akan memasuki sebuah pasar yang berlokasi di wilayah yang tenaga kerjanya tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan. Sebaliknya tenaga kerja di lokasi tersebut juga tidak akan mendapatkan keterampilan jika perusahaan itu tidak memperkerjakan mereka. Masalah kegagalan koordinasi tersebut dapat akan membuat suatu perkeonomian terjebak pada ekulibrium yang buruk, dimana tingkat pertumbuhan akan rendah (karena investasi tidak terjadi) sehingga akan menyebabkan terjadinya middle income trap (Todaro, 2009). Model Kontemporer Pembangunan Sebagai Pencegahan Growth Slowdown Terdapat dua model utama dalam menjelaskan model kontemporer pembangunan sebagai pencegahan growth slowdown. Adapun kedua model tersebut adalah model dorongan besar (big push) dan model cincin O. Model dorongan besar pertama kali dikemukakan oleh Ronstein dan Rodan dimana moderl dorongan besar adalah sebuah model yang menjelaskan bagaimana kegagalan pasar dapat menimbulkan kebutuhan akan perekonomian yang terencana dan kebijakan pemerintah yang dapat menjadikan proses pembangunan ekonomi yang berlangsung dalam jangka panjang dapat berjalan dengan cepat. Dengan kata lain, kegagalan koordinasi yang menyebabkan perangkap bagi negara-negara berpendapatan menengah telah menghambat keberhasilan industrialisasi dan merupakan kendala bagi dorongan pembangunan di negara-negara tersebut. Pada intinya, model pembangunan dorongan besar menjelaskan tentang bagaimana kebutuhan akan sebuah kebijakan yang tepat melalui sebuah dorongan besar dalam mengatasi permasalahan kegagalan koordinasi dan mengarahkanya pada kondisi ekuilibrium yang lebih baik. Contoh nyata adanya model dorongan besar dalam sebuah pembangunan negara dapat dilihat dari kesuksesan pembangunan yang dilakukan di China. Menurut Reza (2009) pembangunan China dapat terjadi karena adanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomiannya (dorongan besar). Berbagai insentif diberikan oleh pemerintah China untuk menarik minat investor melakukan investasi di pasar. Sebagai contoh adalah pembangunan kawasan industri khusus di pesisir tenggara China. Hal ini menjadi bukti bahwa model dorongan besar sebenarnya dapat dijadikan contoh bagi peningkatan produktivitas suatu negara sehingga dapat terhindar dari growth slowdown dan jebakan pembangunan, khusunya jebakan negara berpendapatan menengah (Todaro, 2009). Model pembangunan ekonomi lainya yang dapat menjelaskan tentang perangkap ekulibrium yang rendah (seperti growth slowdown) dapat dijelaskan dengan menggunakan teori yang dikemukakan oleh Michael Kremer, yaitu model cincin O. Model ini menjelaskan bagaimana terjebakanya sebuah negara dalam perangkap pembangunan (growth slowdown dan middle income trap) yang dapat diakibatkan karena tingkat pendapatanya yang sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara yang berpendapatan tinggi.Jika dikaitkan dengan hasil outputnya, maka produk-produk berkualitas tinggi hanya terkonsentrasi pada negara-negara maju karena negaranegara maju memiliki pekerja yang memiliki keterampilanyang tinggi. Oleh karena itu, investasi pada sumber daya manusia sangat penting bagi pembangunan ekonomi sebuah bangsa. Sebagai contoh bagaimana ketika perekonomian tertutup seperti China dan India sebelum tahun 1980-an tidak mengalami kemajuan dibandingkan dengan negara-negara yang perekonomiannya lebih terintegrasi seperti Korea Selatan. Hal ini kemungkinan dapat diakibatkan karena kegagalan koordinasi seperti memanfaatkan input atau investasi internasional (Todaro, 2009). Variabel Penentu Pendapatan Perkapita Dalam papernya, Eichengreen, Park, dan Shin (2013)menganalisis perlambatan pertumbuhan ekonomi yang dialami suatu negara dengan istilah growth slowdown.Penelitian tersebut menganalisis pengaruh variabel penentupendapatan perkapita sebagai upaya dalam analisis growth slowdownyang mencakup beberapa Negara di dunia pada tahun 1956mengalami pertumbuhan yang cepat (dimana PDB perkapitanya mengalami pertumbuhan rata-rata pertahun 3,5 persen dalam 7 tahun atau lebih) tetapi mengalami perlambatan secara signifikan (dimana PDB perkapita mulai turun dibawah 2 persen setelah 7 tahun mengalami pertumbuhan tinggi). Selain analisis growth slowdown dijadikan sebagai indikasi middle income trap dilakukan oleh Eichengreen, Park, dan Shin, analisis growth slowdown juga dianalisis dalam penelitian Egawa (2011), dan Aiyar dkk (2013). Adapun beberapa variabel penentu pendapatan perkapita tersebut sebagai analisis growth slowdowndalam penelitian ini adalah faktor expenditure shares, faktor human capital, demography, high technology export, dan exchange rate. a) Pendapatan Perkapita Pendapatan perkapita suatu negara dapat diukur dengan menghitung jumlah total Produk Domestik Bruto dibandingkan dengan total perkapita atau jumlah penduduk dalam suatu Negara. Menurut Mankiw (2007) menjelaskan bahwa faktor utama yang mempengaruhi perbedaan standard of living atau pendapatan perkapita antara negara-negara maju dengan negara berkembang adalah tingkat produktivitas.Produktivitas mengacu pada jumlah barang dan jasa yang dapat dihasilkan oleh seorang pekerja dalam setiap jam.Sehingga negara-negara dengan standard of living yang tinggi adalah suatu negara yang mampu memproduksi barang dan jasa dengan efisien dalam jumlah yang besar. b) Faktor Expenditure Shares Faktor expenditure shares merupakan sebuah variabel laten yang dibentuk oleh beberapa variabel seperti consumption share of GDP, investment share of GDP, dan government share of GDP.Produk Domestik Bruto dapat dihitung dengan menjumlahkan total pengeluran (expenditureshares) dari masing-masing sector, antara lain sektor Konsumen (C), Produsen (P), Pemerintah (G), Ekspor (E) dan Impor (I) dimana sektor tersebut merupakan sektor pembentuk pendapatan nasional atau PDB suatu negara.Oleh karena itu, pengeluaran di masing-masing sektor sebenarnya dapat menentukan nilai dari Produk Domestik Bruto sebuah negara dan pendapatan perkapita sendiri merupakan total dari pendapatan nasional atau Produk Domestik Bruto suatu negara dibandingkan dengan total penduduk suatu negara. Berdasarkan analisa dari OECD (2014) kebijakan dalam makroekonomi yang tepat dapat membantu dalam meningkatkan pertumbuhan konsumsi di negara-negara berkembang. Peningkatan jumlah penduduk kelas menengah atau middle class di negara-negara berkembang dapat membantu peningkatan pada investasi di berbagai sektor publik karena permintaan semakin meningkat. Oleh karena itu dibutuhkan stabilitas makroekonomi agar dapat meningkatkan investasi di dalam negeri, seperti FDI atau Foreign Direct Investment yang lebih banyak. Selain itu, peran kebijakan pemerintah dalam perekonomian, khususnya reformasi kebijakan fiskal dan moneter untuk memperkecil selisih pendapatan atau income gap akan menciptakan pertumbuhan yang lebih merata dan sangat penting dalam pembangunan ekonomi dalam jangka menengah, investasi di bidang infrastruktur dalam jangka panjang. Sehingga sinergi antara sektor-sektor makroekonomi suatu negara terutama tingkat konsumsi, investasi dan peran pemerintah dapat menciptakan pembangunan ekonomi lebih stabil dan merata sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. c) Faktor Human Capital Faktor human capital merupakan salah satu faktor penting dalam sebuah perekonomian karena menyangkut kemampuan sumber daya manusia dalam melakukan kegiatan produktifitas yang lebih efisien.Hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat pendapatan dapat dilihat dengan kurva incremental earnings dari Campbell dan Stanley.Kurva incremental earnings dapat menggambarkan peningkatan pendapatan seseorang akibat tingkat pendidikanya. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka tingkat pendapatannya juga akan semakin tinggi. Selain itu menurut Indrawati (2004) pendidikan dapat memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi berdasarkan asumsi bahwa pendidikan akan melahirkan tenaga kerja yang produktif, karena memiliki kompetensi, pengetahuan, dan keterampilan yang memadai. Tenaga kerja terdidik dengan kualitas yang memadai merupakan faktor determinan bagi peningkatan kapasitas produksi, sehingga memberikan stimulasi bagi pertumbuhan ekonomi. Sehingga nilai ekonomi pendidikan terletak pada sumbangannya dalam menyediakan atau memasok tenaga-tenaga kerja terdidik, terampil, berpengetahuan, dan berkompetensi tinggi sehingga lebih produktif. Ekspansi besar-besaran dalam pendidikan tingkat menengah dan tinggi yang dilakukan oleh Korea Selatan telah membantu negara tersebut keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah. Menurut Jankowska (2012) Korea Selatan dapat berhasil karena melakukan investasi besar-besaran di berbagai tingkat pendidikan, khususnya pada tingkat pendidikan menengah dan tinggi. Hal ini sesuai dengan konsep Model Pembangunan Ekonomi Kontemporer ketika tingkat keterampilan atau skill tenaga kerja semakin tinggi akan dapat menarik perusahaan untuk melakukan investasi karena tenaga kerja dengan skill yang tinggi memiliki tingkat produktivitas yang lebih besar dari pada tenaga kerja yang berskill rendah. d) Demography Rasio ketergantungan merupakan salah satu isu demografi penting yang dapat mempengaruhi perekonomian suatu negara. Rasio ketergantungan usia tua atau age dependency ratio, old adalah tingkat beban ketergantungan penduduk dengan usia lebih tua (pada usia lebih dari 64 tahun) dengan penduduk dalam usia kerja (pada usia 15-64 tahun). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rasio ketergantungan orang tua merupakan perbandingan dari penduduk yang bekerja/produktif dengan penduduk yang tidak bekerja/tidak produktif. Sehingga penduduk pada usia kelompok kerja harus memberikan hasil kerjanya karena memiliki tanggungan terhadap penduduk kelompok umur konsumen. Berdasarkan bukti empiris tentang data rasio ketergantugan usia muda di negara-negara berkembang di Asia dan Afrika, tingkat rasio ketergantungan usia muda lebih tinggi jika dibandingkan rasio penduduk usia tua. Hal ini mungkin dikarenakan jumlah penduduk usia produktif dan tingkat kelahiran atau fertilitas di negara-negara berkembang pada umumnya lebih tinggi. Berbeda dengan negara-negara berkembang, tingkat rasio ketergantungan usia tua di negara-negara maju justru lebih tinggi jika dibandingkan rasio ketergantungan usia muda. Hal ini dikarenakan tingkat kelahiran di negara-negara maju justru lebih kecil jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang. f) High Technology Export Menurut Davis dalam Mani (2001) mendefenisikan high technology sebagai produk manufaktur yang memiliki nilai dari hasil R & D atau Research and Development yang tinggi atau mahal jika dibandingkan dengan biaya pengirimannya. Sedangkan menurut Hatzhichronoglou dalam Mani (2001) menyebutkan bahwa produk-produk yang termasuk dalam high technology adalah produk yang termasuk dalam kategori three digit SITC Revision 3. Beberapa literatur tentang perubahan dalam teknologi telah membahas tentang spesialisasi teknologi dalam intensitas aktivitas perekonomian.Dalam literatur Schumpterian telah dijelaskan bahwa tingkat produktivitas berbeda-beda dalam berbagai aktivitas karena perbedaan dalam penggunaan teknologi.Selain itu, dalam perspektif Post-Keynesian menjelaskan bahwa dengan melakukan spesialisasi pada dalam beberapa segmen dari di pasar internasional dapat memberikan prospek yang baik bagi pertumbuhan ekonomi karena elastisitas pendapatan yang tinggi dapat juga dihasilkan dengan intensitas dari kualitas dan teknologi produk (Shrloec, 2005). Selain itu, komoditas ekspor berupa produk berteknologi tinggi atau high technology export merupakan produk yang saat ini sangat diunggulkan dalam ekspor karena memiliki nilai produk yang tinggi di pasar internasional. Pengembangan komoditas produk berteknologi tinggi tentu akan memberikan pengaruh positif pada peningkatan eksporsuatu negara karena memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Dengan meningkatnya ekspor, maka Produk Domestik Bruto negara tersebut juga akan meningkat. Hal ini dikarenakan ekpor merupakan salah sektor dalam penghitungan pendapatan nasional atau PDB = C + I + G (X-M). Dengan demikian, jika terjadi kenaikan pada ekpor produk berteknologi tinggi atau high technology export, maka PDB akan meningkat, dan pendapatan perkapita masyarakat juga akan meningkat. g) Exchange Rate Nilai tukar merupakan salah satu indikator penting untuk mengukur kondisi perekonomian suatu negara, terutama dalam hal perdagangan antar negara. Menurut Simorangkir dan Suseno (2004) exchange rate atau nilai tukar adalah harga satu unit mata uang asing dalam mata uang domsetik atau dapat juga dikatakan harga mata uang domestik terhadap mata uang asing.Sedangkan menurut Mankiw (2007) Nilai tukar adalah tingkat harga yang disepakati oleh penduduk kedua negara untuk saling melakukan perdagangan. Pengaruh nilai tukar terhadap pendapatan perkapita dapat dijelaskan dengan konsep dalam teori paritas daya beli (Purchasing Power Parity Theory sebagai determinasi nilai tukar.Paritas Daya Beli menggambarkan nilai tukar dengan model kurs riil (Mankiw, 2007). Dimana ketika terjadi depresiasi pada kurs riil suatu negara, maka akan terjadi penurunan harga barang dan jasa domestik terhadap harga barang dan jasa di luar negeri. Hal tersebut akan mengakibatkan pedagang abritase lebih memilih untuk melakukan ekspor dari pada impor. Dalam teori makro Keynes, inflasi atau tingkat harga adalah salah satu indikator yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya kenaikan pada inflasi akan menyebabkan penurunan konsumsi dan kegiatan investasi. Hal ini diakibatkan karena tingkat harga barang dan jasa yang mahal dan biaya investasi yang meningkat ketika terjadi inflasi. Sehingga, kenaikan inflasi tentu akan berdampak pada penurunan Produk Domestik Bruto suatu negara karena sektor pengeluaran konsumsi dan investasi akan berkurang. Hal ini akan berdampak pada penurunan pendapatan perkapita karena tingkat pendapatan perkapita (Boediono, 2008). Penelitian Tedahulu Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang menjadi rujukan dan berkaitan dengan pengaruh beberapa variabel penentu pendapatan perkapita dalam analisis growth slowdown.Penelitian pertama adalah penelitian Eichengreen, Park, dan Shin (2013) dengan judul Growth Slowdown Redux : New Evidence on the Middle Income Trap. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa beberapa variabel penentu pendapatan perkapita seperti variabelConsumption Share of GDP, Investment share of GDP, Government share of GDP, Positive Political Regime, High Technology Export, Inflation, Total Year of Schooling, Year of Schooling at secondary and higher danExcange RateberpengaruhpostifterhadapGDP per capita. SedangkanvariabelAge Dependency Young and Old, Trade Openness, World GDP growthberpengaruh negatif terhadapGDP per capita. Penelitian Aiyar dkk (2013) menghasilkan bahwa beberapa variabel penentu pendapatan perkapita seperti variabelInstitutions, Demography, Macroeconomic Environment and Policies Economic Structure danvariabellainsepertiWars and Civil Conflicts danCountries area in the Tropics berpengaruhsignifikan. SedangkanvariabelInfrastructure berpengaruhtidaksignifikan.Kedua penelitian ini mejadi rujukan utama dalam menganalisis beberapa variabel penentu pendapatan perkapita. Adapun penelitian dari Tran Van Tho (2013) dengan judul The Middle Income Trap : Issuses for member of ASEAN (ADB Working Paper) membahas mengenai kebijakan yang disarankanuntukmenghindarimiddle income trap adalahdenganmeningkatkanaktivitasResearch and Development, Human Capital, International Competitiveness, Dynamic Comparative Advantage, danmembangunkualitasInstitusi yang tinggi.Penelitian tersebut berguna dalam merumuskan upaya pencegahan dalam menghindari ancaman growth slowdown. Kerangka Pikir Berdasarkanpenjelasan teori dan konsep sebelumnya, maka dapat digambarkan kerangka pikir penelitian sebagai berikut : Gambar 3.KerangkaPikir Indikasiadanya Middle Income Trap PerlambatanPertumbuhan (Growth Slowdown) Expenditure Shares Human Capital Demography High Technology Export Exchage Rate PendapatanPerkapita AnalisisGrowth Slowdown Sumber : Peneliti (2014) C. METODOLOGI PENELITIAN Sumber Data Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitan ini adalah dengan pendekatan metode kuantiatif. Penelitian ini bertujuan untu menganalisis pengaruh antara variabel penentu pendapatan perkapita dengan menggunakan beberapa variabel sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. PDB Perkapita (GGDP), yaitu PDB Perkapita Harga Konstan Tahun 2005 Faktor Expenditure Shares(FEX), yaitu faktor yang terbentuk dari beberapa variabel seperti consumption share of GDP, investment share of GDP, dan government share of GDP. Faktor Human Capital (FHC), yaitu faktor yang dibentuk dari beberapa variabel yaitu persentase partisipasi di pendidikan menengah dan persentase di pendidikan tinggi. Demography (DPR), yaitu persentase dari rasio penduduk usia non produktif (15 tahun kebawah dan 64 tahun keatas) terhadap penduduk usia produktif (15-64 tahun) High Technology Export (HTEX), yaitu total ekspor produk-produk berteknologi tinggi Exchange Rate (EXCR), harga relatif suatu mata uang lokal terhadap Dollar US. Model Regresi Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diambil dari beberapa sumber relevan seperti world bank, penn world table 8, dan unesco institute statistics. Penelitian akan dilakukan dengan mengambil populasi negara-negara di Asia yang telah berpendapatan menegah atau middle income countries. Adapun sampel yang akan diambil dari populasi tersebut terdiri dari6 negara antara lain China, India, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand. Selain itu, jangka waktu yang ditentukan dalam penelitian ini adalah selama 15 tahun (1997-2011). Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif berupa regresi data panel. Adapun model regresi dapat diformulasikan sebagai berikut : GDPPit = ß0 + ß1 FEXit + ß2 FHCit + ß3 DPRit + ß4 HTEX + ß5 EXCR + eit Dimana, GDPPit FEXit FHCit DPRit HTEXit EXCRit βo βn eit = = = = = = = = = (4) PDB Perkapita di Negara i padaperiode t; FaktorExpenditure Shares di Negara i padaperiode t; FaktorHuman Capital di Negaraipadaperiode t; Variabel Demography di Negara i padaperiode t; Variabel High Technology Export di Negaraipadaperiode t; Variabel Exchage Rate di Negaraipadaperiode t; Konstanta; Koefisien regresi; Koefisienpengganggu. Metode Analisis a. Step 1 : Analisis Faktor Sebelum melakukan analisis regresi data panel, terdapat beberapa variabel yang akandireduksi terlebih dahulu dengan menggunakan analisis faktor. Analisis faktor adalah analisis statistika yang bertujuan untuk mereduksi dimensi data dengan cara menyatakan variabel asal sebagai kombinasi linear sejumlah faktor, sedemikian hingga sejumlah faktor tersebut mampu menjelaskan sebesar mungkin keragaman data yangdijelaskan oleh variabel asal. Beberapa variabel yang akan dianalisis faktor antara lain variabel consumption share of GDP, investment share of GDP, dan government share of GDPmenjadi faktor expenditure shares dan variabel persentase partisipasi di pendidikan menengah dan persentase di pendidikan tinggi menjadi faktor human capital. b. Step 2 : Pemilihan Model Dalampengolahan data denganmenggunakan data panel terdapatbeberapatahappengujian yang bertujuanuntukmenentukan model terbaik yangakan digunakandalamsebuahpenelitian data panel. Tiga model yang terdapat dalam pengolahan regresi data panel adalah model common effect, model fixed effect, dan model random effect. Selain itu terdapat 3 tahappengujianpemilihan model pada data panel, yaituUji Chow, UjiHasumann, danterakhirUji LM. Uji Chow berguna untuk menguji pemilihan model antara model common effect dengan model fixed effect. Adapun uji hausman digunakan untuk menguji pemilihan model antara model fixed effect dengan model random effect. Sedangkan uji LM digunakan untuk menguji pemilihan model antara model random effect dan model common effect.Setelah mengetahui model terbaik yang akan digunakan dalam penelitian, maka akan dilakukan pengujian hipotesis seperti koefisien determinasi dan uji signifikansi parsial dan simultan. c. Step 3 : Pengujian Asumsi Klasik Pengujian asumsi klasik akan dilakukan dengan tiga tahapan yaitu uji asumsi klasik heterokedastisitas, autokorelasi, dan multikolinieritas. Ketiga tahapan tersebut harus terpenuhi agar data yang digunakan teruji keabsahannya. Heterokedasisitas mengakibatkan nilai koefisien tidak berbias, tetapi varian estimasi koefisien regresi tidak minimal lagi. Keberadaan Heteroskedastisitas dapat diuji dengan White General Heteroscedasticityatau lebih dikenal dengan uji White. Untuk membuktikan adanya heteroskedastisitas dengan uji white dapat dilakukan dengan membandingkan nilai n (jumlah data) dan Rsquare dari nilai unadjusted Rsquare pada model auxiliary.Sehingga jika nilai n.R > maka tolak Ho dan tidak terdapat heterokedastisitas, dan jika nilai n.R < maka terim Ho dan terdapat heterokedastisitas. Autokorelasi menunjukkan sifat residual regresi yang tidak bebas dari suatu observasi ke observasi lainnya.Autokorelasi dapat timbul dari spesifikasi yang tidak tepat terhadap hubungan antara variabel endogenus dengan variabel penjelas.Keberadaan autokorelasi dapat dideteksi melalui Durbin Watson Test yang membandingkan nilai DW hitung dengan nilai batas bawah (d1) dan batas atas (du) dari tabel Durbin Watson berdasarkan jumlah observasi dan variabel bebas.Multikolinieritas muncul ketika variabel-variabel bebasnya saling berkorelasi. Variabelvariabel bebas yang berkorelasi membuat kita sulit untuk mengambil kesimpulan mengenai masing-masing koefisien regresi dan masing-masing dampaknya terhadap variabel terikat. Multikolinearitas adalah hubungan antara variabel bebas, yaitu suatu kondisi adanya korelasi yang kuat antara variabel bebas X1=f (X2) atau X2=f (X3) atau sebaliknya. Untuk menentukan adanya multikolinearitas dapat ditentukan melalui matriks korelasi atau meregresi antar variabel bebas dalam model persamaan. D. HASIL Gambaran Umum Variabel Penentu Pendapatan Perkapita Pertumbuhan ekonomi tinggi yang dialami oleh negara-negara berkembang Asia merupakan sebuah catatan penting dalampembangunan ekonomi dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan masyarakat banyak di abad ke 21 saat ini.Namun demikian, bukan berarti negara-negara berkembang Asiadapat aman dari resiko growth slowodown tersebut.Banyak praktisi ekonomi yang mengkhawatirkan berapa lama laju pertumbuhan yang cepat dapat dipertahankan oleh negara-negara berkembang.Sebagai contoh salah satu kekuatan utama emerging market Asia seperti Chinadalam beberapa tahun terakhir cenderung mengalami perlambatan pertumbuhan dibandingkan periode sebelumnya.Perlambatan pertumbuhan ekonomi tidak hanya dialami oleh negara China.Negara-negara berkembang Asia lainnya seperti India, Indonesia, Malaysia, Thailand. Pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut lebih rendah dari pada periode tahun 1970-an. Pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut cenderung menurun dalam beberapa tahun terkahir dan berbeda dengan periode sebelum negara-negara tersebut mengalami krisis Asia tahun 1998 (Asian Development Bank, 2013). Gambar 4.Expenditure Shares di Beberapa Negara Berkembang Asia Tahun 2000 dan 2010 China India Indonesia Malaysia Filipina Thailand Sumber : Data Diolah dari World Bank Data (2014) Dalam penelitian Eichengreen, Park, dan Shin (2013) memberikan hasil bahwa terdapat beberapa variabel penentupendapatan perkapitayang memiliki pengaruh terhadap pendapatan perkapita suatu negara. Beberapa variabel yang memiliki pengaruh signifikan terhadap pendapatan perkapita tersebut antara lain adalah faktror expenditure shares, faktor human capital, demography, high technology exports, dan exchange rate.Perkembangan Expenditure Shares masing-masing sektor di negara-negara berkembang Asiasecara umum memiliki karakteristik yang sama. Tingkat investasi di negara-negara berkembang Asiasecara umum dari tahun 2000 hingga tahun 2010 mengalami peningkatan dan memberikan hasil yang beragam, dimana tingkat investasi China merupakan yang tertinggi dibandingkan negara-negara yang lain, disusul India, Indonesia, Thailand, Malaysia, dan terendah Filipina. Selain itu, tingkat konsumsi hampir seluruh negaranegara berkembang Asiadari tahun 2000 hingga 2010 mengalami penurunan, tetapihanya Malaysia yang dapat tumbuhnamun relatif lebih rendah. Adapun Filipina memiliki tingkat konsumsi yang lebih tinggi disusul oleh India, Indonesia, Thailand, Malaysia, dan China. Tingkat konsumsi merupakan sektor terbesar dalam pengeluran atau expenditure shares terhadap produk domestik bruto di beberapa negara berkembang Asia. Tingkat pengeluaran pemerintah di negara-negara berkembang Asiarelatif lebih rendah jika dibandingkan pengeluaran di ketiga sektor lainnya.Secara umum pengeluaran pemerintah di negara-negara berkembang Asiamengalami peningkatan dari tahun 2000 ke tahun 2010.Adapun negara dengan pengeluaranpemerintah tertinggi dibandingkan negara-negara berkembang Asialainnya adalah China, disusul oleh Thailand, Malaysia, India, Indonesia, dan Filipina. Gambar 5. Tingkat Partisipasi Pendidikan Tinggi dan Menengah di Beberapa Negara Berkembang Asia Tahun 2011 100 80 Secondary 60 Education 40 Enrolment 20 Rate 0 Tertiary Education Enrolment Rate Sumber : Data Diolah dari Unesco Institute of Statistics (2014) Tingkat partisipasi pendidikan menengah di negara-negara pendapatan perkapitapada umumnya cukup tinggi karena sudah mencapai diatas 50%. Tingkat partisipasi pendidikan menengah tertinggi di tahun 2011 adalah Thailand, disusul Filipina, China, Indonesia, Malaysia, dan India. Adapun tingkat partisipasi pendidikan tinggi di negara-negara berkembang Asiamasih tergolong rendah karena masih berada di bawah 50% kecuali Thailand. Tingkat partisipasi pendidikan tinggi yang paling tinggi adalah Thailand, disusul oleh Malaysia, Filipina, Indonesia, China, dan India. Gambar 6. Perbandingan Rasio Ketergantungan Penduduk Usia Muda dan Tua di Beberapa Negara Berkembang Asia Tahun 2011 100% 80% 60% 40% 20% 0% Sumber : Data Diolah dari World Bank Data (2014) Age Dependency Ratio, Young Age Dependency Ratio, Old Berdasarkan gambaran mengenai tingkat ketergantungan penduduk usia muda dan tua (Gambar .6) dapat diketahui bahwa hampir seluruh negara-negara berkembang Asiadidominasi oleh jumlah penduduk yang masih muda atau belum produktif, yaitu usia 15 tahun kebawah. Adapun rasio ketergantungan penduduk dengan usia tua masih tergolong kecil. Hal ini membuktikan bahwa sebagian besar negara-negara berkembang Asiamemiliki struktur penduduk muda, berbeda dengan negara-negara maju yang pada umumnya memiliki struktur penduduk tua. Total ekspor high technology di negara-negara berkembang Asia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Peningkatan paling signifikan terjadi pada negara China, dimana peningkatan signifikan tersebut mulai terjadi pada tahun 2000.Hal ini dibuktikan dengan serbuan produkproduk China ke berbagai belahan dunia. Di tahun 2009, China telah didaulat sebagai negara pengekspor terbesar di dunia dan pada tahun 2010 menjadi negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat menggantikan Jepang (Berger dan Martin, 2011). Hal ini berbeda dengan negara-negara berkembang Asialainnya yang masih relatif lebih rendah. Data ekspor tahun 2011 menunjukkan ekspor produk berteknologi tinggi setelah China adalah Malaysia, disusul oleh Thailand, Filipina, Indonesia, dan India. Tabel 2.Total Ekspor Produk (Million USD) Tahun China India 1997 20.477 1.685 2000 41.735 2.062 2005 215.928 4.139 2010 406.089 10.086 2011 457.106 12.870 Berteknologi Tinggi di Beberapa Negara Berkembang Asia Indonesia 2.611 5.774 6.671 5.742 5.727 Malaysia 29.501 47.025 57.700 59.331 61.126 Filipina 14.367 25.255 26.019 16.121 12.949 Thailand 12.657 17.293 22.553 34.156 33.264 Sumber : Data Diolah dari World Bank Data (2014) Dalam beberapa tahun terakhir, nilai mata uang negara-negara berkembang Asiamengalami peningkatan.Hampir seluruh negara-negara berkembang Asiasaat ini telah memiliki nilai mata uang yang cukup tinggi, yaitu telah berada di atas 50%.Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nilai mata uang negara-negara berkembang Asia tidak termasuk kategori undervalued exchange rate. Adapun negara dengan peningkatan tertinggi pada tahun 2011 adalah Indonesia, disusul oleh China, Malaysia, Thailand, Filipina, dan paling rendah adalah India. Gambar 7.Nilai Mata Uang Beberapa Negara Diukur dengan Paritas Daya Beli di Beberapa Negara Berkembang Asia 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 China India Indonesia Malaysia Philippines Thailand Sumber : Data diolah dari World Bank Data (2014) Step 1 : Hasil Analisis Faktor Dalam penjelasan sebelumnya telah disebutkan terdapat 2 faktor yang akan dibentuk dari beberapa variabel penentu pendapatan perkapita. Faktor pertama adalah faktor expenditure shares yang dibentuk oleh variabel consumption share of GDP, investment share of GDP, dan government share of GDP. Adapun faktor human capital dibetuk oleh variabel secondary education enrolment rate dan tertiary education enrolemnt rate Berikut hasil analisis fakor dengan menggunakan SPSS .15. Tabel 3.Hasil KMO and Bartlett`s TestFaktor Expenditure Shares(Kiri) dan Human Capital (Kanan) Kaiser-Meyer-Olkin Measure of ,686 Kaiser-Meyer-Olkin Measure of ,500 Sampling Adequacy. Sampling Adequacy. Bartlett's Test of Approx. Chi50,03 Bartlett's Test of Approx. Chi- 86,0 Sphericity Square 9 Sphericity Square 51 Df 1 Df 3 Sig. ,000 Sig. ,000 Sumber : Peneliti (2014) Berdasarkan hasil analisis Bartletts test of sphericity faktor expenditure shares dan faktor human capital diatas dengan masing-masingChi-Square sebesar 86,051 (df 3) dan 50,03 (df 1) dihasilkan masing-masing nilai siginifikansi sebesar 0,000 (<0,05) menunjukkan bahwa matriks korelasi bukan matriks identitas, sehingga layak untuk dianalisis lebih lanjut. Selain itu, nilai KMO dari hasil analisis diatas sebesar 0,686 dan 0,500 lebih besar dan sama dengan dari setengah (0,5). Dengan demikian hasil analisis ini layak untuk diteliti lebih lanjut. Anti-image Matrices memberikan penjelasan apakah variabel-variabel yang dianalisi layak untuk diteliti lanjut atau dikeluarkan. Dari tabel dibawah dapat diketahui bahwa hampir semua variabel baik faktor expenditure shares dan faktor human capital memiliki nilai MSA diatas dan sama dengan 0,5. Dengan demikian ketiga variabel layak untuk dianalisis lebih lanjut. Tabel 4.Hasil Anti Image-MarticesFaktor Expenditure Shares(Kiri) dan Human Capital (Kanan) Antiimage Corre Lation CGDP IGDP GGDP CGDP IGDP GGDP ,643(a) ,527 ,375 ,527 ,681(a) -,187 ,375 -,187 ,762(a) Anti-image Correlation SEER TEER SEER TEER ,500(a) -,660 -,660 ,500(a) Sumber : Peneliti (2014) Tabel Communalities digunakan untuk melihat besarnya korelasi variabel dengan faktor yang terbentuk. Dari tabel dibawah dapat disimpulkan bahwa masing-masing variabel baik dari faktor expenditure shares maupun faktor human capital memiliki hubungan yang kuat dengan faktor yang terbentuk karena masing-masing variabel memiliki nilai lebih besar dari 0,5. Tabel 5.Hasil Communalities Faktor Expenditure Shares (Kiri) dan Faktor Human Capital (Kanan) Initial Extraction CGDP 1,000 ,782 SEER Initial 1,000 Extraction ,830 IGDP 1,000 ,721 TEER 1,000 ,830 GGDP 1,000 ,642 Sumber : Peneliti (2014) Tabel Total Variance Explained digunakan untuk melihat besarnya keragaman total yang mampu diterangkan oleh keragaman faktor-faktor yang terbentuk. Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui bahwa hanya terbentuk 1 faktor dari masing-masing analisis faktor, yaitu faktor 1 (faktor expenditure shares) dan faktor 1 (faktor human capital) dan masing-masing memiliki nilai eigenvalue lebih besar dari 1.Banyaknya keragaman yang dapat dijelaskan oleh faktor 1 (faktor expenditure shares) dan faktor 1 (faktor human capital) masing-masing sebesar sebesar 71,474% dan 82,997.Sehingga dengan keragaman yang cukup tinggi dan dengan nilai eigenvalue diatas 1 maka faktor 1 (faktor expenditure shares) dan faktor 1 (faktor human capital) sudah cukup untuk mewakili keragaman variabel-variabel. Tabel 6.Hasil Total Variance ExplainedFaktor Expenditure Shares(Kiri) dan Faktor Human Capital (Kanan) Component Total 1 2 3 2,144 ,524 ,331 Initial Eigenvalues % of Cumulative Variance % 71,474 71,474 17,479 88,953 11,047 100,000 Component Initial Eigenvalues Total 1 1,660 % of Variance 82,997 2 ,340 17,003 Cumulative % 82,997 100,000 Sumber : Peneliti (2014) Hasil analisis tabel diabawah dapat disimpulkan bahwa masing-masing variabel memiliki nilai yang tinggi atau lebih besar dari 0,5, sehingga masing-masing variabel memiliki korelasi dengan faktor 1. Dengan demikian, faktor 1 (faktor expenditure shares) dapat dibentuk oleh variabel consumption share of GDP, investment share of GDP, dan government share of GDP dan faktor 1 (faktor human capital) dapat dibentuk oleh variabel secondary education enrolment rate dan variabel tertiary education enrolment rate. Tabel 7.Hasil Component Matrix Faktor Expenditure Shares (Kiri) dan Faktor Human Capital (Kanan) Component Component 1 1 CGDP IGDP GGDP -,884 ,849 ,801 SEER TEER ,911 ,911 Sumber : Peneliti (2014) Step 2 : Hasil Pemilihan Model a) Uji Chow Berdasarkan hasil uji Chow dibawah, dapat disimpulkan bahwa model terbaik yang akan digunakan adalah model fixed effect. Hal ini dapat diketahui dengan nilai F statistik sebesar 323,138208 lebih besar dari pada nilai F tabel sebesar 2,32. Selain itu, nilai p-value yang lebih kecil dari signifikansi α sebesar 5% (0,05) menandakan bahwa model fixed effect adalah model yang terbaik untuk digunakan. Hasil model common effect juga dianggap terlalu sederhana dan diperlukan hubungan yang lebih spesifik lagi dari masing-masing individu antara cross section. Tabel 8.Hasil Uji Chow Effects Test Cross-section F Statstic 323.138208 d.f. (5,79) Prob. 0.0000 Sumber : Peneliti (2014) b) Uji Hausman Berdasarkan hasil uji hasuman diatas, nilai Chi-square statistic sebesar 1615.691039, lebih besar daripada Chi-square table sebesar 11,07048. Dengan nilai Chi-square lebih besar daripada nilai Chi-square table maka H0 ditolak dan H1 diterima, sehingga dapat disimpulkan bahwa model terbaik yang akan digunakan adalah model fixed effect dibandingkan dengan model random effect. Selain itu, dengan nilai p-value sebesar 0,000 lebih kecil dari α (0,05), sehingga model terbaik yang digunakan adalah model fixed effect. Tabel 9.Hasil Uji Hasuman Test Summary Chi-sq statistic Cross-section random 1615.691039 Chi-sq d.f. 5 Prob. 0.000 Sumber : Peneliti (2014) c) Pengujian Hipotesis Tabel 10. Hasil Analisis Regresi Data Panel dengan Model Fixed Effect Variabel Dependen : GDPP (1997-2011) Variabel Konstanta FEXit FHCit DPRit HTEXit EXCRit CHINA INDIA INDONESIA MALAYSIA FILIPINA THAILAND Koefisien Std.Eror t statistik Prob. 8.016888 0.098869 0.077028 -0.047632 0.096580 -0.694574 -1.156177 -0.138790 1.370065 -0.175233 0.570884 -0.470749 R-square : 0.9835 Observasi : 90 0.536270 0.018299 0.017543 0.003536 0.036639 0.077440 14.94935 5.402915 4.390829 -13.47092 2.636002 -8.969140 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0101 0.0000 F statistik : 473.7686 Prob(F statistik) : 0,0000 Sumber : Peneliti (2014) Hasil uji hausman sebelumnya telah merekomendasikan bahwa model fixed effect merupakan model terbaik yang digunakan dalam penelitian nantinya. Oleh karena itu, fokus penelitian akan dilakukan pada analisa dari hasil regresi data panel dengan metode fixed effect. Mengacu pada hasil regresi data panel diatas, maka dapat diperoleh model dari penelitian sebagai berikut : GDPPit = 8.016888 + 0.098869 FEXit+ 0.077028 FHCit - 0.047632 DPRit + 0.096580 HTEXit – 0.694574 EXCRit + ԑit (5) Hasil regresi data panel dengan metode fixed effect diatas juga menghasilkan nilai R2 sebesar 0,98. Dengan nilai R2 tersebut, maka dapat disimpulkan juga bahwa variabel dependen (FEX, FHC, DPR, HTEX, EXCR) dapat menjelaskan variabel independennya (GDPP) sebesar 98 %, adapun sisanya sebesar 0,2% dapat dijelaskan oleh variabel lainnya selain dalam model. Dengan nilai R2 yang cukup tinggi, variabel independen yang dibentuk cukup baik untuk menjelaskan variabel dependennya. Berdasarkan uji signifikansi secara simultan, nilai F statistik diperoleh sebesar 473,7686, lebih besar daripada nilai F tabel sebesar 2,32, maka dapat disimpulkan bahwa nilai F statistik lebih besar dari pada nilai F tabel. Dengan demikian, Hipotesis nol akan ditolak dan Hipotesis satu akan diterima, sehingga variabel independen (FEX, FHC, DPR, HTEX, dan EXCR) secara simultan dapat mempengaruhi variabel dependennya (GDPP). Selain itu, dengan nilai p-value sebesar 0,000 dan lebih kecil dari pada α sebesar 5% (0,05) maka dapat disimpulkan juga bahwa variabel independen secara simultan berpengaruh terhadap variabel dependen. Hasil analisis uji signifikansi secara parsial diperoleh bahwa variabel pertama adalah variabel FEXit atau variabel faktor expenditure shares pada negara i dan periode t. berdasarkan hasil regresi data panel pada tabel 4.2., dengan nilai t statisitik sebesar 5.402915 dan lebih besar dari pada t tabel sebesar 1,98861, dapat disimpulkan bahwa variabel faktor expenditure shares memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap variabel GDP Percapita. Dengan demikian, ketika terjadi kenaikan 1 satuan faktor expenditure shares pada suatu negara dan dalam periode tertentu maka akan meningkatkan GDP Percapitasebesar 0.098869. Selain itu, variabel yang kedua adalah variabel FHCit atau variabel faktor human capital pada negara i dan periode t. dari hasil regresi data panel diatas dapat diketahui nilai t statistic sebesar 4.390829 lebih besar dari pada t tabel sebesar 1,98862. dengan demikian, variabel faktor human capital berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel GDP Percapita.Sehingga, ketika terjadi kenaikan 1 satuan pada faktor human capital suatu negara pada periode tertentu maka akan mengakibatkan kenaikan pada GDP Percapitasebesar 0.077028. Variabel yang ketiga adalah variabel DPRit atau variabel demography pada negara i dan periode t. Hasil regresi data panel diatas menghasilkan nilai t statistik sebesar 13.47092 dan lebih besar dari pada nilai t tabel sebesar 1,98861. Sehingga terdapat pengaruh negatif dan signifikan dari variabel demography terhadap variabel GDP Percapita.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketika terjadi kenaikan 1 satuan pada demography maka akan menurunkan GDP Percapita sebesar 0.047632 dari suatu negara pada periode tertentu. Variabel keempat adalah variabel HTEXit atau variabel high technology export dari negara i pada periode t. Berdasarkan hasil regresi data panel diatas dapat diketahui bahwa nilai t statistic sebesar 2.636002 lebih besar dari pada nilai t tabel sebesar 1,98861. Sehingga variabel high technology export memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap variabel GDP Percapita. Sehingga dapat disimpulkan juga bahwa ketika terjadi kenaikan 1 satuan pada high technology export suatu negara pada periode tertentu maka akan meningkatkan GDP Percapita sebesar 0.096580. Variabel terakhir adalah variabel EXCRit atau variabel exchange rate dari negara i pada periode t. dari hasil regresi data panel pada tabel 4.2 dapat diketahui bahwa nilai t statistik sebesar 8.969140 lebih besar dari pada t tabel sebesar 1,98861. dengan demikian, variabel exchange rate memiliki pengaruh negatif dan signifikan pada variabel GDP Percapita.Dengan demikian dapat disimpulkan juga bahwa ketika terjadi kenaikan 1 satuan pada exchange rate dari negara i pada periode t maka akan menurunkan GDP Percapitasebesar 0.694574. Step 3 : Hasil Pengujian Asumsi Klasik Berdasarkan hasil regresi data panel dengan menggunakan model fixed effect sebelumnya dapat disimpulkan bahwa model regresi terbebas dari persyaratan uji asumsi klasik. Hasil regresi persamaan auxiliary diperoleh nilai R2 sebesar 0,516 dan nilai n.R2 akan diperoleh sebesar 46,44. Dengan demikian nilai n.R2 sebesar 46,44 dan lebih besar dari pada tabel Chi-square (X2tabel) sebesar 11,0705. Selain itu, dari hasil regresi diperoleh bahwa semua variabel independen (FEX, FHC, DPR, HTEX, dan EXCR) memiliki nilai VIF (Variance Inflation Factor) lebih kecil dari pada angka 10 dan dengan nilai tolerance semua variabel independen lebih besar dari 10% dan tidak ada yang melebihi nilai 90%. Nilai Durbin-Watson pada hasil analisis regresi diperoleh sebesar 1,825102 dan berada di kisaran nilai Durbin Watson tabel sebesar 1,77580 < DW-Stat < 2,2242. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa model regresi data panel dengan menggunakan fixed effect tersebut terbebas dari tiga tahapan pengujian asumsi klasik, yaitu heterokedastisitas, autokorelasi, dan multikolinieritas. E. PEMBAHASAN Berdasarkan analisa statistik pada hasil regresi data panel dengan fixed effect model diperoleh hasil bahwa variabel independen faktor expenditure shares memiliki pengaruh positif dan signifikan. Hasil tersebut sesuai dengan teori yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa ketika terjadi kenaikan pada consumption share of GDP, investment share of GDP, dan government share of GDP maka akan meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat. Hal ini dikarenakan salah satu pengukuran Produk Domestik Bruto suatu negara dapat diukur dengan menghitung pengeluaran di masing-masing sektor, yaitu pengeluaran di sektor konsumsi (C), sektor investasi (I), sektor pemerintah (G), dan sektor luar negeri (X-M). Pendapatan perkapita atau PDB perkapita dapat diukur dengan membandingkan jumlah Produk Domestik Bruto suatu negara terhadap jumlah penduduk suatu negara. Oleh karena itu, ketika terjadi kenaikan pengeluaran pada sektor konsumsi (C), investasi (I), dan pemerintah (G) maka akan meningkatkan pendapatan perkapita juga. Dengan demikian, indeks atau faktor expenditure shares dapat menjelaskan fenomena perlambatan pertumbuhan dan upaya pencegahnnya. Menurut Zhuang dan Vandenberg (2011) Peningkatan Konsumsi sebagai agregat permintaan dapat dilakukan dengan meningkatkan upah tenaga kerja, termasuk upah minimum tenaga kerja, meningkatkan program-program pelayanan publik, dan stabilisasi penerimaan pajak sehingga dapat menyediakan program-program pelayanan publik tersebut. Sehingga akan tercipta perkeonomian yang stabil dan peningkatan pada konsumsi. Pengeluran fiskal harus fokus pada proyek-proyek invetasi pada pelayanan publik dan meregulasi peraturan untuk lebih mempermudah investasi, terutama investasi pada sektor pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian, dibutuhkan keseimbangan dalam pengeluaran masing-masing sektor sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, hasil regresi data panel dengan metode fixed effect menyatakan bahwa faktor human capital memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap PDB perkapita suatu negara pada periode tertentu. Peran pendidikan sangat penting karena pendidikan sebagai sumber investasi penduduk dimasa mendatang, dan juga sebagai input produksi karena digolongkan sebagai peningkatan skill dan pengenalan teknologi, dengan meningkatnya kualitas pendidikan penduduk akan meningkatkan tata produktifitas individu penduduk. Dengan meningkatnya produktifitas penduduk, maka produktivitas nasional juga akan. Meningkatnya produk domestik bruto suatu negara tentu akan meningkatkan pendapatan perkapita negara tersebut (Silalahi, 2008). Human capital yang baik dapat membantu suatu negara dalam menghindari growth slowdown. Contoh keberhasilan Korea Selatan dalam meningkatkan partisipasi pendidikan penduduknya, khususnya pendidikan menengah dan tinggi menjadikan Korea Selatan memiliki tenaga kerja dengan skill tinggi yang melimpah. Banyaknya tenaga kerja dengan tingkat keterampilan yang tinggi akan menarik perusahan untuk melakukan investasi karena produktivitas tenaga kerja dengan skill tinggi lebih besar dari pada produktivitas tenaga kerja dengan skill rendah. Investasi yang meningkat akan membantu meningkatkan produktivitas suatu negara sehingga dapat terhindar dari growth slowdown. Berdasarkan hasil regresi juga dapat diketahui bahwa demographymemiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat pendapatan perkapita suatu negara pada periode tertentu.Tingginya tingkat ketergantungan di suatu negara dapat menghambat laju perekonomian suatu negara. Hal ini dikarenakan ketika jumlah penduduk usia tidak produktif (usia dibawah 15 tahun dan diatas 64 tahun) lebih banyak dari pada jumlah penduduk usia produktif (usia 15-64 tahun) maka produktivitas dari suatu negara juga akan berkurang. Hal ini dikarenakan penduduk dalam usia produktif harus menanggung beban yang tinggi pada penduduk tidak usia produktif, sehingga sebagian pendapatan yang didapat akan dialokasikan untuk menanggung penduduk usia tidak produktif tersebut. Akan tetapi jika tingkat ketergantungan rendah dan jumlah penduduk usia produktif lebih banyak dari pada jumlah penduduk usia tidak produktif, maka pendapatan yang didapat akan lebih digunakan untuk investasi yang lebih produktif karena tanggungan penduduk usia produktif rendah. Sehingga produktivitas suatu negara akan meningkat, dan pendapatan masyarakat juga akan meningkat. Menurut Vandenberg dan Zhuang (2011) pertumbuhan ekonomi yang cepat di negara-negara berkembang seperti negara-negara berkembang Asia mengakibatkan tingkat urbanisasi yang cukup tinggi. Hal ini diakibatkan oleh income gap yang terjadi antara kota dan pedesaan. Penduduk desa yang sebagian besar memiliki keterampilan rendah akan mengakibatkan pengangguran yang tinggi, sehingga tingkat rasio ketergantungan yang semakin meningkat. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang tepat agar permasalahan demography tersebut dapat diatasi, seperti meningkatkan investasi sumber daya manusia dengan cara menigkatkan keterampilan atau skill penduduk sehingga produktivitas akan meningkat. Menekan tingkat fertilitas agar rasio ketergantungan penduduk usia muda dapat berkurang serta mengatur manajemen fiskal lebih baik, khususnya pada sistem jaminan pensiun bagi penduduk usia tua seperti meningkatkan usia tenaga kerja yang mengundurkan diri atau pensiun sehingga dapat mengurangi permintaan akan jaminan pensiun. Berdasarkan hasil regresi data panel dengan menggunakan metode fixed effect, high technology export atau ekspor produk berteknologi tinggi suatu negara pada periode tertentu berpengaruh positif dan signifikan. Produk berteknologi tinggi merupakan sebuah produk yang dihasilkan dari kegiatan R & D atau Research and Develpmentsehingga memiliki kualitas yang tinggi dibandingkan produk-produk teknologi lainnya. Dalam persepektif Keynesian (Shrolec, 2009) menjelaskan bahwa dengan melakukan spesialisasi dalam beberapa segmen pasar internasional akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari negara tersebut. Sehingga jika ekspor produk tersebut ditingkatkan tentu akan berdampak pada peningkatan Produk Domestik Bruto suatu negara. Hal ini dikarenakan ekspor (E) merupakan salah satu sektor dalam penghitungan pendapatan nasional (Y) atau produk domestik bruto dan produk-produk berteknologi tinggi memiliki nilai jual yang tinggi dibandingkan produk lainnya. Dengan meningkatnya produktivitas negara tersebut tentu akan meningkatkan pendapatan perkapita dari negara itu sendiri. Kebijakan mendiversifikasi dan meningkatkan kualitas produk seperti produk-produk berteknologi tinggi dapat membantu negara-negara Asia Timur meningkatkan produktivitasnya. Hal ini berbeda dengan negara-negara Amerika Latin pada umumnya melakukan spesialisasi pada produk-produk yang tidak memiliki nilai yang tinggi seperti produk high technology. Oleh karena itu, dengan meningkatkan pengeluaran pada research and development akan dapat meningkatkan inovasi pada produk, sehingga produksi pada barang dan jasa yang memiliki nilai lebih tinggi dapat membantu perekonomian bertransisi pada aktivitas perekonomian yang lebih tinggi, sehingga dapat terhindar dari growth slowdown (Vandenberg dan Zhuang, 2011). Berdasarkan hasil analisis regresi data panel dengan metode fixed effect diperoleh hasil bahwa exchange rate atau nilai tukar suatu negara dan periode tertentu berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pendapatan perkapita. Hasil analisis tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan sebelumnya bahwa ketika terjadi kenaikan nilai pada nilai tukar (dalam hal ini nilai tukar mengalami depresiasi) maka akan menurunkan pendapatan perkapita suatu negara. Hal ini sesuai dengan konsep paritas daya beli, dimana ketika terjadi depresiasi atau nilai tukar yang melemah, maka tingkat harga barang dan jasa domestik lebih murah dari pada harga barang dan jasa di luar negeri dan pedagang abritase akan memilih untuk melakukan kegiatan ekspor dari pada impor. Sehingga ketika harga barang dan jasa domestik rendah atau inflasi rendah, maka tingkat konsumsi dan investasi suatu negara akan meningkat sehingga produktivitas juga akan meningkat.Selain itu, nilai mata uang yang cenderung rendah atau undevalued exchange rate merupakan indikasi suatu negara dapat terjebak dalam growth slowdown. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan moneter yang tepat dalam pengaturan nilai tukar dan tingkat harga dalam negeri agar daya beli masyarakat dan investasi dapat terus meningkat sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat juga meningkat. E. KESIMPULAN DAN SARAN Growth Slowdown merupakan suatu kondisi pertumbuhan rata-rata PDB perkapita selama tujuh tahun hanya sebesar 3,5 persen atau lebih (walaupun periode sebelumnya dapat tumbuh lebih cepat), pertumbuhan rata-rata dalam tujuh tahun terus menurun hingga 2 persen (diperlukan perhatian besar), dan growth slowdown terjadi pada negara yang telah berpendapatan 10.000 USD lebih dengan harga internasional PPP konstan 2005. Variabel faktor expenditure shares memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan perkapita. Negara-negara berkembang Asia dapat fokus pada upaya meningkatkan upah tenaga kerja, meningkatkan program-program pelayanan publik, stabilisasi penerimaan pajak, proyek-proyek invetasi pada pelayanan publik dan meregulasi peraturan untuk lebih mempermudah investasi sehingga dapat terhindar dari growth slowdown.Variabel faktor human capital memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan perkapita.Investasi pada sumber daya manusia dapat menghasilkan tenaga kerja dengan tingkat keterampilan yang tinggi karena tenaga kerja dengan keterampilan tinggi memiliki produktivitas yang lebih tinggi sehingga akan membantu meningkatkan produktivitas suatu negara dan dapat terhindar dari growth slowdown. Variabel demography memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap pendapatan perkapita.Tingkat ketergantungan penduduk usia non produktif yang tinggi terhadap penduduk usia produktif dapat menghambat pembangunan ekonomi negara, sehingga diperlukan kebijakan yang tepat dalam menekan tingkat fertilitas agar negara-negara berkembang Asia dapat mencegah growth slowdown.Variabel high technology exports memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan perkapita.Diversifikasi dan spesialisai ekspor pada produk-produk yang memiliki nilai tinggi seperti high technology export dapat memberikan keuntungan lebih sehingga dapat meningkatkan produktivitas yang lebih efisien.Variabel exchange rate memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap pendapatan perkapita suatu negara.Diperlukan kebijakan moneter yang tepat dalam mengawas pergerakan nilai tukar, terutama pengarunya terhadap tingkat harga (inflasi) dan suku bunga. Selain itu, nilai mata uang yang cenderung rendah atau undervalued exchange rate juga mengindikasikan suatu negara dapat terjebak pada kondisi growth slowdown. Ancaman growth slowdown seharusnya dapat dapat menjadi perhatian sejak dini agar negaranegara berkembang Asia dikarenakan yang saat ini telah berhasil bertransisi menjadi negara berpendapatan menengah tidak dapat terjebak dalam kondisi middle income trap. Diperlukan upaya yang lebih besar karena banyak negara yang justru mengalami kegagalan dalam meningkatkan pembangunan ekonomi ketika telah mencapai status middle income countries.Kebijakan makroekonomi yang tepat dari masing-masing sektor harus saling berkesinamambungan, dimana konsumsi, investasi dan pengeluaran pemerintah harus seimbang agar tidak terjadi ketimpangan pada struktur perkeonomian suatu negara sehingga dapat meningkatkan produktvitas yang lebih efisien. Investasi sumber daya manusia mutlak harus ditingkatkan agar kualitas produktivitas semakin meningkat dan lebih efisien. Hal ini dikarenakan dengan sumber daya manusia yang memadai dapat meningkatkan produktivitas yang lebih efiisien. Jumlah tenaga kerja dengan keterampilan tinggi yang melimpah akan dapat menarik investasi lebih banyak sehingga jumlah pengangguran dapat ditekan dan produktivitas dapat ditingkatkan.Negara-negara berkembang Asia harus dapat belajar dari beberapa pengalaman oleh negara-negara Asia Timur seperti Korea Selatan karena mampu bertransisi dari middle income countries menjadi high income countries hanya dalam jangka waktu 15 tahun. DAFTAR PUSTAKA Asian Development Bank. 2011.Asia 2050: Realizing the Asian Century. Manila. Asian Development Bank 2012. Tracking the Middle Inocome Trap : Who is it, Who is in it, and Why. ADB Economic Working Paper Series No. 307 Agenor dkk. 2012. Avoiding Middle-Income Growth Trap. World Bank Framework. Aiyar dkk. Growth Slowdown and the Middle Income Trap. IMF Working Paper. Berger dan Martin. 2011. The Growth of Chinese Export : An Examination of Detailed Trade of Data. Boards of Governors of Federal Reserve System, Number 1033. Boediono. 1985.Teori Pertumbuhan Ekonomi, BPFE, Yogyakarta. Egawa. 2013. Will Income Inequality Cause a Middle Income Trap in Asia?. Bruegel Working Paper. Eichengreen, Park, dan Shin. 2013. Growth Slowdown Redux : New Evidence on the Middle Income Trap. National Beureu of Economic ResearchCambridge. Gill dan Kharas. 2007.An East Asian Renaissance: Ideas for Economic Growth. Washington,DC: World Bank. Indrawati, Neni. 2008. Analisis Kausalitas Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Universitas Brawijaya. Malang. Jankowska dkk. 2012. The Middle Income Trap : Comparing Asian and Latin American Experience. OECD Policy Insight. Mani. 2001. Exports of High Technology Product in Developing Countries.Institute for New Technologies.The United Nation University. Mankiw, N.Gregory, 2007, Makroekonomi, Edisi Keenam, Jakarta. Erlangga. OECD. 2014. Economic Outlook for Southeast Asia, China, and India 2014 Beyond the Middle Income Trap. OECD Development Centre Pocket Edition. Reza. (2009). Starting Economics Development : http://rezaldialife1404.blogspot.com . diakses pada 4 April 2014. the Big Push. Srholec. 2005. High-tech exports from developing countries : A symptom of technology spurts or statistical illusion?. Centre for Technology, Innovation and Culture (TIK).University ofOslo Todaro. 2009. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga : Jilid 1. Jakarta. Erlangga Tran Van Tho. 2013. The Middle Income Trap : Issues for Asocoation of South East Asian Nastion. Asian Development Bank Institute. Tokyo Vandenberg dan Zhuang. 2011. How can China avoid the Middle Income Trap. Asian Development Bank Working Paper.