GAMBARAN SEL DARAH PUTIH (LEUKOSIT) DOMBA LOKAL (Ovis

advertisement
GAMBARAN SEL DARAH PUTIH (LEUKOSIT) DOMBA
LOKAL (Ovis aries) YANG DIIMMUNISASI DENGAN
EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus
SUTRISNO EKI PUTRA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
ABSTRAK
SUTRISNO EKI PUTRA. Gambaran Sel Darah Putih (Leukosit) Domba
Lokal (Ovis aries) yang diimmunisasi dengan Ekstrak Caplak Rhipicephalus
sanguineus. Dibimbing oleh RETNO WULANSARI dan TUTUK ASTYAWATI.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat respon sistem imun melalui
penghitungan jumlah leukosit dan diferensial leukosit domba dengan pemberian
vaksin ekstrak Rhipicephalus sanguineus. Penelitian ini menggunakan 3 ekor
domba lokal. Domba diimmunisasi (vaksin) sebanyak 2 kali dengan selang waktu
2 minggu. Pengambilan darah dilakukan sesaat sebelum dan setelah vaksinasi
yang dilanjutkan dengan uji tantang satu minggu setelah vaksinasi terakhir.
Jumlah leukosit setelah pemberian vaksin maupun uji tantang mengalami
peningkatan, tetapi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0.05) setelah
diuji statistik dengan ANOVA. Jumlah limfosit, monosit, eosinofil dan basofil
setelah pemberian vaksin pertama mengalami peningkatan, sedangkan jumlah
neutrofil mengalami penurunan. Setelah pemberian vaksin ke-2 (minggu ke-4)
jumlah limfosit mengalami peningkatan, sedangkan sel darah putih lainnya
mengalami penurunan. Satu minggu setelah uji tantang, jumlah neutrofil, monosit
dan eosinofil mengalami peningkatan namun jumlah limfosit dan basofil
mengalami penurunan. Dua minggu setelah uji tantang, jumlah monosit, eosinofil
dan basofil mengalami penurunan, sedangkan jumlah limfosit dan neutrofil
mengalami peningkatan. Secara umum pemberian vaksin ekstrak caplak R.
sanguineus pada domba cukup efektif berpengaruh terhadap reaksi tanggap kebal
tubuh.
Kata kunci: Rhipicephalus sanguineus, domba, imunisasi (vaksin), limfosit,
monosit, neutrofil, eosinofil, dan basofil.
GAMBARAN SEL DARAH PUTIH (LEUKOSIT) DOMBA
LOKAL (Ovis aries) YANG DIIMMUNISASI DENGAN
EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus
SUTRISNO EKI PUTRA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
Judul Skipsi
Nama
NIM
: Gambaran Sel Darah Putih (Leukosit) Domba Lokal (Ovis
aries) yang diimmunisasi dengan Ekstrak Caplak
Rhipicephalus sanguineus
: Sutrisno Eki Putra
: B04104059
Disetujui,
Drh. Retno Wulansari, MSi, PhD
Dosen Pembimbing I
Drh. Hj.Tutuk Astyawati, MS
Dosen Pembimbing II
Diketahui,
Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal lulus :
PRAKATA
Penulis memanjatkan puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah
menganugerahkan rahmad dan hidayahNya melalui kasih sayang, ketenangan,
kemudahan dan kelancaran yang diberikan sehingga penulisan skripsi ini dapat
terselesaikan. Shalawat beserta salam hendaknya selalu tercurah kepada junjungan
Nabi besar Muhammad SAW atas safa’atnya serta menjadi panutan penulis dalam
setiap hembusan nafas dan detakan jantung sehingga penelitian yang berlangsung
dari bulan Juli 2007 sampai Februari 2008 yang berjudul Gambaran Sel Darah
Putih (Leukosit) Domba Lokal (Ovis aries) yang diimmunisasi dengan Ekstrak
Caplak Rhipicephalus sanguineus, dapat terselesaikan.
Penulis sadar tulisan ini tidak dapat terselesaikan dengan kesendirian,
nama-nama berikut yang hendaknya penulis sampaikan terimakasih sebagai
hadiah atas semua yang telah diberikan, antara lain kepada Drh. Retno Wulansari,
MSi, PhD dan Drh. Tutuk Astyawati, MS selaku dosen pembimbing skipsi atas
kesabaran ibu dalam menuntun dan memberi masukan kepada kami saat
penelitian dan penyelesaian penyusunan skipsi ini, serta kepada dosen-dosen
Klinik dan tenaga penunjang (Bapak Jajad, Bapak kosasih). Ir. Etih Sudarnika,
M.Si selaku dosen pembimbing akademik, terimakasih atas bimbingan, dorongan
dan do’anya selama penulis menjalani studi di Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Ucapan terimakasih kepada orangtua tercinta, Bapak dan Ibu yang telah
memberikan semangat, do’a dan kasih sayang serta adik-adikku tercinta Into, Sari
dan Rivo dengan motivasi yang diberikan, untuk rekan penelitianku Budi,
Muhammad, Harry, Mbak Siti, dan Arin atas kerjasamanya, Sahabat di Sekret,
Keluarga Besar HMI Komisariat FKH dan HMI se-cabang Bogor, Keluarga Besar
SUNRISE CORPORATION dan Asteroidea.
Demikian penulis berharap, semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat
dan menambah pengetahuan bagi penulis maupun pembaca.
Bogor, September 2008
Sutrisno Eki Putra
RIWA
AYAT HID
DUP
Penullis dilahirkan
n di Sumpurr Kudus padaa tanggal 4
Februari
F
1986 dari ayah Katimo dan ibu Jasmannidar, SMT.
Penulis
P
meruupakan putraa pertama dari
d empat bersaudara.
b
Tahun
T
19922 penulis masuk
m
SD Negeri 31
1 Tanjung
Harapan.
H
Taahun 1998 penulis meelanjutkan ke
k Sekolah
Lanjutan
L
Tinngkat Pertam
ma (SLTP) Negeri
N
03 Koto
K
Baru.
P
Pada
tahun 2001
2
penulis menjadi uttusan sekolaah untuk Perrkemahan peersahabatan
I
Indonesia,
Malaysia,
M
daan Singapuraa di Dumai,, Riau, mew
wakili Kwarttir Ranting
S
Sawahlunto
Sijunjung. Tahun
T
2004 penulis luluus dari SMA
A Negeri 1 Sitiung
S
dan
p
pada
tahun yang sama lulus
l
seleksii masuk IPB
B (USMI) m
melalui jalur Undangan
S
Seleksi
Massuk IPB. Pen
nulis Memiliih Program Studi Kedokkteran Hewaan, Jurusan
K
Kedokteran
Hewan, Fakkultas Kedokkteran Hewann.
Selam
ma menjadi mahasiswaa penulis meenjadi penguurus Himpu
unan Minat
P
Profesi
Hew
wan Ruminaansia divisi kkewiraswasttaan periodee 2005-20066, pengurus
I
Ikatan
Mah
hasiswa Keddokteran Heewan Indoneesia (IMAK
KAHI) divissi zoonosis
p
periode
2005-2006, dan
d
menjaddi Sekretaris Departem
men
Inforrmasi dan
K
Komunikasi
i Badan Ekssekutif Mahaasiswa FKH
H IPB periodde 2006-200
07. Penulis
a
aktif
dalam organisasi eksternal
e
Him
mpunan Mahhasiswa Islam
m Komisariat Fakultas
K
Kedokteran
Hewan IPB dan Ikatan Mahasiswa
M
d Pelajar Minang
dan
M
(IPM
MM).
Padaa tahun 20005 penulis magang keerja libur di
d Balai Beesar Diklat
A
Agribisnis
Peternakan
P
d Kesehaatan Hewan Bogor. Padda tahun 20
dan
007 penulis
m
melakukan
Pengabdian
P
Mahasiswaa Veteriner di
d Kawasan Sulawesi Selatan
S
dan
m
menjadi
petu
ugas superviisor eliminassi filariasis di
d Kota Bogoor.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .............................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ....................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
x
PENDAHULUAN
Latar Belakang ..................................................................................
Tujuan Penelitian ..............................................................................
Manfaat Penelitian ............................................................................
1
2
2
TINJAUAN
Caplak Rhipicephalus sanguineus ....................................................
Klasifikasi dan Morfologi ............................................................
Siklus Hidup .................................................................................
Tick-Born Disease oleh Rhipicephalus sanguineus pada Domba.
Sel Darah Putih (Leukosit) ...............................................................
Histologi Leukosit ........................................................................
Leukosit Polimorfonuklear ..........................................................
Neutrofil ..................................................................................
Basofil .....................................................................................
Eosinofil ..................................................................................
Leukosit Mononuklear .................................................................
Limfosit ...................................................................................
Monosit ...................................................................................
Domba ..............................................................................................
Klasifikasi dan Morfologi ............................................................
Fisiologi Domba ...........................................................................
Sejarah ..........................................................................................
3
3
4
7
7
7
8
9
10
11
12
12
13
14
14
14
14
MATERI DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian ...........................................................
Alat dan Bahan .................................................................................
Ekstrak Rhipicephalus sanguineus ...................................................
Metode Penelitian .............................................................................
Pembuatan Preparat Ulas Darah ..................................................
Pewarnaan Sediaan Ulas Darah ...................................................
Penghitungan Jumlah Leukosit ....................................................
Penghitungan Diferensial Leukosit ..............................................
Analisis Data ................................................................................
16
16
16
16
18
18
18
19
20
HASIL DAN PEMBAHASAN
Leukosit ............................................................................................
Neutrofil ............................................................................................
21
23
Monosit .............................................................................................
Limfosit ............................................................................................
Eosinofil ............................................................................................
24
26
27
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan .......................................................................................
Saran .................................................................................................
31
31
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................
32
LAMPIRAN ..............................................................................
35
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Rata-rata jumlah leukosit domba sebelum dan setelah vaksin ...........
21
2 Rata-rata jumlah neutrofil domba sebelum dan setelah vaksin ..........
23
3 Rata-rata jumlah monosit domba sebelum dan setelah vaksin ...........
25
4 Rata-rata jumlah limfosit domba sebelum dan setelah vaksin ...........
26
5 Rata-rata jumlah eosinofil domba sebelum dan setelah vaksin ..........
28
6 Rata-rata jumlah basofil domba sebelum dan setelah vaksin .............
29
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Berbagai stadium Rhipicephalus sanguineus .....................................
6
2 Bagan siklus hidup Rhipicephalus sanguineus ...................................
6
3 Telur-telur Rhipicephalus sanguineus ................................................
6
4 Jenis-jenis leukosit Polimorfonuklear ................................................
9
5 Jenis-jenis leukosit Mononuklear .......................................................
12
6 Jadwal perlakuan dan pengambilan sampel darah ..............................
17
7 Kamar hitung neubauer ......................................................................
19
8 Metode pengamatan zigzag ................................................................
20
9 Perbandingan rata-rata jumlah leukosit ( x103/μl) pada domba
sebelum dan setelah vaksin .................................................................
22
3
10 Perbandingan rata-rata jumlah neutrofil ( x10 /μl) pada domba
sebelum dan setelah vaksin .................................................................
24
3
11 Perbandingan rata-rata jumlah monosit ( x10 /µl) pada domba
sebelum dan setelah vaksin .................................................................
25
3
12 Perbandingan rata-rata jumlah limfosit ( x10 /µl) pada domba
sebelum dan setelah vaksin .................................................................
27
3
13 Perbandingan rata-rata jumlah eosinofil ( x10 /µl) pada domba
sebelum dan setelah vaksin .................................................................
28
14 Perbandingan rata-rata jumlah basofil ( x103/µl) pada domba
sebelum dan setelah vaksin .................................................................
30
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Hasil Analisis Data Dengan Anova dan dilanjutkan dengan
uji duncan ............................................................................................
36
2 Foto-Foto Penelitian ...........................................................................
38
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Domba merupakan salah satu hewan ternak yang menghasilkan daging dan
beberapa jenis domba juga diambil bulunya (wol). Daging domba merupakan
salah satu sumber protein hewani. Kebutuhan akan protein hewani membutuhkan
perhatian yang serius terhadap peningkatan kualitas daging. Peningkatkan kualitas
daging memerlukan manajemen pemeliharaan yang baik. Manajemen kandang,
manajemen pakan, dan yang paling penting adalah manajemen kesehatan hewan.
Bagi peternak domba masalah kesehatan domba menjadi salah satu faktor
penting yang perlu diperhatikan. Salah satu faktor yang merugikan peternak
secara langsung maupun tidak langsung adalah timbulnya penyakit pada hewan.
Infestasi ektoparasit pada domba menjadi salah satu kendala pada kesehatan
hewan. Salah satu ektoparasit yang terdapat pada domba adalah caplak
Rhipicephalus sanguineus. Menurut Lord (2001), caplak memiliki siklus hidup
yang terdiri dari empat tahap yaitu telur, larva, nympa dan dewasa. Masingmasing stadium caplak harus menemukan induk semang. Pada lingkungan
domestik, caplak bisa hidup ada anjing yang sama, tetapi bisa juga memiliki
kesempatan untuk bisa hidup pada beberapa hewan yang berbeda (Teel 1985).
Rhipicephalus sanguineus dapat hidup pada kelinci pada stadium larva dan
stadium nympa dapat hidup pada hewan lain yaitu domba, sapi, dan anjing
(Astyawati 2002). Ektoparasit ini dapat menyebabkan hewan menjadi tidak
tenang, gatal-gatal, reaksi alergi, dan sebagai agen suatu penyakit. Selain sebagai
pengganggu, caplak merupakan penghisap darah yang ganas sehingga inang dapat
terserang anemia dan teriritasi. Garukan yang hebat dapat menimbulkan infeksi
sekunder oleh bakteri. Selain sebagai vektor berbagai penyakit, beberapa jenis
caplak keras ini juga menghasilkan toksin (ixovotoxin) yang mempengaruhi
susunan syaraf pusat dan neuromuscular junction sehingga menimbulkan
kelumpuhan (tick paralisis).
Penanggulangan masalah ektoparasit ini salah satunya dengan imunisasi
(vaksinasi). Menurut Guyton (1995), tubuh memiliki kemampuan untuk melawan
organisme atau toksin yang cenderung untuk merusak jaringan dan organ tubuh.
Kemampuan ini dikenal dengan kekebalan atau immunitas. Sebagian besar dari
immunitas disebabkan oleh suatu sistem imun khusus yang membentuk antibodi
dan limfosit yang diaktifkan dan akan menyerang serta menghancurkan organisme
atau toksin tertentu. Kekebalan semacam ini disebut dengan kekebalan
buatan/kekebalan yang didapat (aquired immunity). Imunitas yang didapat inilah
yang dapat memberikan perlindungan hebat. Aquired immunity ini penting dalam
mempelajari epidemiologi suatu penyakit parasit dan pengembangan pembuatan
vaksin (Gandahusada et al. 2000). Menurut Tizard (1982), vaksinasi melibatkan
pemberian antigen sehingga bisa meningkatkan tanggap kebal hewan tersebut.
Metode ini sudah dilakukan saat pertama kali sebelum ditemukannya obat yang
bisa menghambat pertumbuhan penyakit. Banyak dan kompleknya parasit yang
menyerang hewan dengan berbagai stadium dalam siklus hidupnya serta
banyaknya spesies
maupun
strain
menjadikan
hambatan
utama
dalam
pengembangan vaksin penyakit yang disebabkan oleh parasit (Young 1991).
Dari penelitian ini diharapkan bisa diperoleh gambaran seberapa efektif R.
sanguinieus bisa menginvasi domba yang sudah diimmunisasi dengan ekstrak R.
sanguinieus berdasarkan gambaran sel darah putih domba tersebut.
Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat perubahan gambaran sel darah putih
domba pada imunisasi (vaksin) ekstrak caplak R. sanguineus sebagai reaksi
tanggap kebal tubuh.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah pengetahuan
tentang vaksinasi yang menggunakan caplak dan sebagai pengetahuan dasar
tentang gambaran darah pada domba yang diimunisasi dengan ekstrak R.
sanguineus.
TINJAUAN PUSTAKA
Caplak Rhipicephalus sanguineus
Klasifikasi dan Morfologi
Caplak Rhipicephalus sanguineus memiliki klasifikasi sebagai berikut (Teel
1985):
Filum
: Arthropoda
Sub filum
: Chelicerrata
Kelas
: Arachnida
Sub Kelas
: Acari
Ordo
: Parasitoformes
Sub Ordo
: Metastigmata
Super Family : Ixodoidea
Family
: Ixodidae
Genus
: Rhipicephalus
Spesies
: Rhipicephalus sanguineus
Rhipicephalus sanguineus digolongkan kedalam family Ixodidae atau
caplak keras. Genus yang banyak ditemui pada family Ixodidae adalah Boophilus,
Dermacetor, Haemaphysalis, Rhipicephalus, Amblyoma dan Ixodes. Caplak keras
jumlahnya banyak dan sering ditemukan pada hewan-hewan domestik seperti
sapi, kerbau, kuda, domba, kambing, anjing, dan unggas di berbagai wilayah di
Indonesia (Hadi dan Soviana 2000). Caplak hidup sebagai ektoparasit yang dapat
menyerang mamalia, reptil, dan burung. Secara umum memang caplak tersebut ditemukan
pada anjing tetapi sering juga terdapat pada mamalia lainnya. Menurut Audy et al. (1960) diacu
dalam Seregeg et al. (1997), R. sanguineus tidak saja pada anjing bahkan pada manusia, dan
satwa yang lebih beraneka ragam yaitu pada sapi (Bos javanicus), kerbau (Bubalus bubalis), dan
ayam.
Family Ixodidae atau caplak keras bentuknya bulat telur dan mempunyai
kulit luar (integumen) yang liat. Bagian dorsal caplak ini mempunyai skutum atau
perisai yang menutupi seluruh bidang dorsal tubuh pada caplak jantan, sedangkan
pada caplak betina hanya menutupi sepertiga bagian tubuh depan (Hadi dan
Soviana 2000). Menurut Gandahusada et al. (2000), skutum terdiri dari lapisan
kitin yang tebal dan keras). Oleh karena itu caplak betina mampu berkembang
lebih besar daripada caplak jantan setelah mengisap darah. Capak jantan tidak
menghisap darah. Sedangkan caplak betina menghisap darah untuk keperluan
reproduksinya. Caplak jantan mati setelah kopulasi. Caplak betina bertelur di
tanah dan kemudian mati (Hadi dan Soviana 2000).
Menurut Teel 1985, tubuh caplak dibagi menjadi dua daerah utama, bagian
anterior terdiri atas kepala dan toraks yang disebut gnathosoma, sedangkan bagian
posterior terdiri atas abdomen yang bersegmen dan bagian badan merupakan
tempat menempelnya kaki disebut idiosoma, bagian gnatosoma bisa dijumpai
kepala (kapitulum) dan bagian-bagian mulut yang terletak pada suatu rongga yang
disebut kamerostom. Menurut Hadi dan Soviana (2000) bagian mulut caplak
terdiri dari sepasang hipostom, kelisera dan pedipaltus. Pada hipostom dan
kelisera terdapat kait yang berfungsi untuk memperkokoh pertautan tubuh caplak
dengan inangnya. Sedangkan pada pedipaltus terdapat organ sensoris sederhana
untuk membantu dalam proses makan pada caplak.
Bagian posterior caplak (idiosoma) yaitu daerah abdomen terdapat kaki.
Menurut Gandahusada et al. (2000), larva caplak memiliki tiga pasang kaki,
sedangkan nympa dan caplak dewasa memiliki empat pasang kaki. Kaki bersendi,
komponen utama tubuh dilapisi kitin, yang berbeda antara satu sama lain.
Menurut Hadi dan Soviana (2000), pada pasangan kaki pertama terdapat organ
sensoris yang disebut dengan organ haller. Organ ini berfungsi sebagai reseptor
kelembaban, kimia, olfaktori dan mekanis. Melalui organ haller ini caplak dapat
mendeteksi adanya inang yang cocok serta dapat menterjemahkan bau feromon
yang dikeluarkan oleh caplak lain.
Siklus hidup
Menurut Lord (2001), caplak memiliki siklus hidup yang terdiri dari empat
tahap yaitu telur, larva, nympa dan dewasa. Rhipicephalus sanguineus memiliki
tiga inang, hal ini menunjukkan bahwa caplak harus berpindah dari satu hewan ke
hewan yang lain untuk tumbuh dan berkembang antara larva, nympa dan sampai
tahap dewasa. Masing-masing stadium harus berada pada inang. Pada lingkungan
domestik caplak dapat hidup pada anjing yang sama, tetapi bisa juga memiliki
kesempatan untuk bisa hidup pada beberapa hewan yang berbeda (Teel 1985).
Menurut Astyawati (2002), Rhipicephalus sanguineus dapat hidup pada kelinci
pada stadium larva dan stadium nympa dapat hidup pada hewan lain yaitu domba,
sapi, dan anjing.
Menurut Lord (2001), seekor R. sanguineus betina yang menghisap darah
bisa bertelur sebanyak 5000 telur, banyaknya telur yang diproduksi dipengaruhi
oleh ukuran caplak dan jumlah darah yang dihisap. Waktu yang diperlukan pada
tiap-tiap tahap menghisap darah, untuk tumbuh dan berganti stadium dipengaruhi
oleh temperatur. Waktu makan dan berkembang akan lebih cepat pada suhu yang
lebih hangat.
Hadi dan Soviana (2000) menjelaskan, R. sanguineus betina akan makan
dari inang sekitar satu minggu, kemudian akan meninggalkan inang dan mencari
tempat kedua untuk meletakkan telurnya. Salah satu tempat yang bagus adalah
pada sela-sela dan retakan di dinding kandang, dan terus berlangsung selama 15
hari (Lord 2001). Selama bertelur, caplak akan meletakkan telur di atas porose
area (tempat khusus di belakang dari basis capituli), untuk melindungi telur dari
kondisi yang kering (gambar 3). Setelah menetaskan telurnya, caplak akan mati.
Telur tersebut akan berubah menjadi larva setelah dua sampai lima minggu
kemudian, dan mulai mencari inang berikutnya. Lord (2001) melanjutkan, Larva
akan menghisap darah sekitar tiga sampai tujuh hari, kemudian memerlukan
sekitar dua minggu untuk berkembang menjadi nympa. Nympa kemudian makan
selama lima sampai sepuluh hari dan kemudian memerlukan dua minggu untuk
menjadi dewasa. Setelah dewasa, baik caplak jantan maupun betina akan melekat
pada inang dan memperolah makanan, walaupun caplak jantan makan dalam
waktu yang singkat. Secara keseluruhan siklus hidup dari caplak akan lengkap dan
sempurna selama dua bulan tapi akan lebih lama lagi jika caplak tidak
menemukan inang atau dalam suhu yang rendah. Caplak terkenal sebagai longlived, dan dapat hidup selama tiga sampai lima bulan dimasing-masing stadium
tanpa makanan. Bagan siklus hidup caplak ini dapat dilihat pada gambar 2.
G
Gambar
1 Berbagai
B
staddium Rhipicephalus sang
guineus
(
(Sumber:
Lorrd 2001)
G
Gambar
2 Bagan
B
siklus hidup Rhipiicephalus saanguineus
(
(Sumber:
Lorrd 2001)
G
Gambar
3 Telur-telur
T
Rhipicephalus
R
s sanguineuss
(
(Sumber:
Lorrd 2001)
Tick-born disease oleh Rhipicephalus sanguineus pada domba
Beberapa jenis virus dan rikettsiae bisa diisolasi dari caplak, dan hanya
beberapa kasus yang menyebabkan penyakit pada domba. Caplak bisa berperan
sebagai inang antara maupun vektor suatu penyakit. Hal ini tidak saja
menyebabkan penyakit pada domba juga akan menyebabkan penurunan produksi.
Caplak dapat menularkan penyakit melalui dua cara yaitu secara transdial
dan transovarial. Secara transidal artinya, semua stadium caplak seperti larva,
nympha dan dewasa mampu menjadi penular patogen, sedangkan secara
transovarial yaitu caplak dewasa betina yang terinfeksi patogen akan dapat
menularkannya pada generasi berikutnya melalui sel-sel telur (Hadi dan Soviana
2000).
Manurut Cavassani et al. (2005), saliva dari vektor arthtropod seperti
nyamuk, lalat tse-tse, dan R. sanguineus pada tahap awal dari respon kekebalan
mampu menghambat diferensiasi dan perkembangan sel dendrit yang memiliki
fungsi sebagai antigen-presenting cell. Rhipicephalus sp. pada domba berperan
sebagai vektor Nairobi Sheep Disease, merupakan penyakit yang disebabkan
oleh Nairovirus sp. dan dapat menyebabkan demam, diare, dan meningkatkan
angka kematian. Selain itu Rhipicephalus sp. juga menyebabkan Ovine
Babesiosis. Beberapa kasus babesiosis pada domba disebabkan oleh Babesia ovis,
B. motasi dan B. crassa. Babesia ovis lebih patogen daripada B. motasi dan B.
crassa. Babesia ini ditransmisikan secara vertikal pada tiap-tiap stadium caplak
dari genus Rhipicephalus, Dermatocenter, Ixodes, dan Haemophysalis. Infeksi
babesia dapat menyebabkan demam, jaundise, haemoglobulinuria dan anemia
(Woldehiwet 2007).
Sel darah putih (Leukosit)
Histologi leukosit
Menurut Kelly (1984), leukosit terdiri dari dua tipe yaitu polimorfonuklear
leukosit (granulosit) dan mononuklear leukosit (agranulosit). Terdapat tiga jenis
leukosit granuler yaitu: neutrofil, basofil, dan eosinofil. Sedangkan leukosit
agranuler dibagi menjadi dua yaitu limfosit dan monosit yang dapat dibedakan
berdasarkan afinitas granula terhadap zat warna netral basa dan asam. Granula
dianggap spesifik bila ia secara tetap terdapat dalam jenis leukosit tertentu dan
sebagian besar prekursor (pra zatnya).
Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral
organisme terhadap zat-zat asing. Tubuh menciptakan berbagai sistem yang
dikembangkan untuk menjerat kemudian menyingkirkan setiap bahan yang
berhasil menghindari pertahanan luar. Suatu sistem sel yang mampu mengikat,
menelan dan menghancurkan bahan asing yaitu melalui suatu proses yang
dinamakan fagositosis (Brown 1980).
Sedikit dari leukosit dikeluarkan dari tubuh masuk ke saliva, susu, dan
sistem pernafasan dan traktus alimentarius. Ini menunjukkan bahwa keberadaan
leukosit pada berbagai rute tersebut adalah sebuah mekanisme perlindungan dari
melawan penyakit. Secara komparatif, leukosit memiliki jangka waktu hidup yang
pendek.
Untuk memeriksa variasi dan patologi sel-sel darah, tidak hanya
persentase, penghitungan jumlah absolut masing-masing sel per unit volume darah
juga harus dilakukan.
Leukosit Polimorfonuklear
Menurut Kelly (1984), ketiga leukosit tipe polimorfonuklear; neutrofil,
eosinofil dan basofil, diproduksi oleh ekstravaskularisasi dari sumsum tulang
panjang. Bentuk awal polimorfonuklear disebut dengan mieloblast. Mieloblas
kemudian berkembang dan mengalami proses ploriferasi menjadi progranulosit
yang kemudian membentuk generasi berikutnya yaitu mielosit. Pada tahap ini,
mielosit dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya oleh pembentukan
granuler dan memungkinkan untuk identifikasi neutrofil, eosinofil dan basofilik
mielosit. Tahap selanjutnya setelah mielosit dewasa adalah metamielosit. Pada
tahap ini menurut (Leavel and Thorup 1960), struktur kromatin nukleus menjadi
lebih kasar, proses pembentukan granul terus berlanjut lebih spesifik, dan nukleus
bisa teridentifikasi. Metamielosit selanjutnya akan berkembang menjadi band cell
dan segmented cell. Menurut Tizard (1982), sel utama dalam sistem mieloid
adalah sel granulosit polimorfonuklear neutrofil (neutrofil).
Secaara normal sel darah puttih yang bellum matang dalam sirkuulasi darah
j
jumlahnya
s
sangat
sedik
kit. Gambarran ini bergguna dalam mengidentiifikasi dan
m
menggolong
gkan berbaggai jenis leuukosit serta untuk mennaksir keberradaan dan
t
tingkat
dari respon
r
jaringgan mieloid terhadap suuatu penyakitt (Kelly 1984
4).
a
b
c
G
Gambar
4 Jenis-jenis
J
leeukosit Polim
morfonuklearr (a. neutrofi
fil; b. basofil;
c eosinofil). (Sumber: Annonim 2008d))
c.
N
Neutrofil
Menuurut Tizard
d (1982), diidalam sirkuulasi darah,, neutrofil berupa
b
sel
b
bundar
denggan diameterr 12 μm. Meemiliki granuula halus dann ditengahnyya terdapat
n
nukleus
berrsegmen yaang terdiri ddari 2-5 loobus atau seperti sosiss. Didalam
s
sitoplasma
terdapat
t
duaa macam grranula yangg berbeda. Granula
G
perrtama, atau
l
lisosom,
mem
miliki strukttur padat eleektron yang berisi
b
enzim myeloperokksidase dan
h
hidrolase
asam. Sedangkan menuruut Brown (19980) terdapaat beberapa enzim lagi
y
yaitu
muram
midase dann antibakterrial protein.. Granula yang keduaa (granula
s
spesifik),
yang
y
berisi enzim fossfatase alkaali, enzim lisozim alk
kali, serta
a
aminopeptid
dase, collageenase, laktooferin dan teerdapat jugaa muramidaase (Tizard
1982). Menuurut Tizard (1982) neuttrofil memilliki aparatuss golgi yang
g kecil dan
b
beberapa
miitokondria teetapi tidak m
memiliki rib
bosom atau rretikulum enndoplasmik
k
kasar.
Jumlaah neutrofil dalam
d
sel daarah domba berkisar
b
700-6000/µl (Jaain 1993).
Sel neutrofil
n
akkan bergerakk dari pool marginal keedalam pool sirkulasi.
N
Neutrofil
keemudian akann ikut alirann darah dan berpindah
b
kee jaringan seerta rongga
t
tubuh.
Neuttrofil memiliki fungsi fa
fagositosis yaitu
y
menghaancurkan baahan asing.
P
Proses
ini dibagi
d
menjaadi empat taahap yaitu kemotaksis,
k
perlekatan, penelanan
d pencern
dan
naan (Tizardd 1982). Sellanjutnya menurut
m
Brow
wn (1980), apabila
a
ada
i
infeksi,
neu
utrofil yang ada di daerrah marginaal akan berggerak dengann cepat ke
p
pembuluh
d
darah
langsu
ung menujuu tempat innfeksi. Pergeerakan ini dinamakan
proses kemotaksis. Respon yang terjadi apabila ada substansi yang dihasilkan oleh
bakteri sehingga merangsang neutrofil untuk mendekat. Selain itu opsonin atau
antibodi juga akan merangsang proses kemotaksis.
Setelah neutrofil menemukan partikel yang akan ditelannya, pertikel
tersebut akan diikatnya kuat-kuat. Perlekatan ini tidak terjadi secara spontan,
karena baik sel maupun partikel asing yang tersuspensikan dalam cairan tubuh
memiliki muatan bersih negatif dan kerenanya saling menolak satu sama lain.
Menurut Brown (1980), ketika neutrofil memfagosit bakteri, membran sel
akan menarik bakteri tersebut kedalam sel dan menutupnya di dalam sitoplasma
dan membentuk vakuola fagosit (phagostome), dan tidak akan keluar sebelum
terjadi proses fagositosis. Sama seperti neutrofil yang memfagositosis, laju
metabolisme sel juga akan meningkat dan pH di dalam phagosom akan menurun.
Granul neutrofil menghasilkan enzim digestin (lysosom) kemudian melebur
dengan fagosom membran dan mengosongkan kandungannya ke dalam
phagosom. Ketika lisosom kontak dengan phagosom, membran akan rupture dan
enzim ini akan aktif. Mieloperoksidase dari granul akan berkombinasi dengan
hidrogen peroksidase serta intraseluler halide dan membentuk antibakterial yang
kuat. Penurunan pH akan menyebabkan proses ini meningkat. Ketika bakteri
sudah terbunuh, phagosom ini akan membentuk lisosom sekunder. Sel akan
mengeluarkan residu (exocytosis).
Basofil
Basofil adalah sel mieloid yang jumlahnya paling sedikit di dalam darah
hewan. Jumlahnya sekitar 0.5 % dari leukosit darah. Sedangkan menurut Jain
(1993) jumlah basofil dalam leukosit domba < 1% atau 0-300 butir/μl. Basofil
memiliki granula yang bersifat basofilik seperti hematoksilin (Tizard 1982).
Karakteristik dari sel basofil yaitu ada banyak granul yang berwarna hitam
keunguan kelihatan hampir memenuhi seluruh sel (Leavell and Thorup 1960).
Basofil akan meningkat pada kondisi kronik myelogenus leukemia,
myelofibrosis, dan polycythemia vera. Granul tidak memiliki lysosom dan
menghasilkan histamin, heparin atau substansi seperti heparin dan aryl sulfatase.
Kira-kira separuh dari histamin darah akan dipengaruhi oleh granul basofil
(Brown 1980). Heparin merupakan suatu bahan yang dapat mencegah koagulasi
darah dan dapat juga mempercepat perpindahan partikel darah (Guyton 1995).
Basofil ada yang berada pada jaringan disebut sel mast. Secara normal sel
mast tidak terlihat di peredaran darah. Sel mast berbeda dengan basofil dimana
granulnya tidak larut dalam air. Granulnya lebih banyak, lebih kecil dan
ukurannya lebih seragam. Sel mast juga menghasilkan histamin dan heparin, tapi
berbeda dengan sel basofil, sel mast menghasilkan e5-hydroxytryptamine dan
enzym hidrolitik.
Sel mast dan basofil sangat berperan dalam beberapa macam reaksi alergi.
IgE memiliki kecendrungan melekat pada sel tersebut dan menyebabkan reaksi
alergi. Antigen akan bereaksi dengan antibodi akibat perlekatan antara antigenantibodi akan menyebabkan sel mast dan basofil akan rupture dan akan
mengeluarkan banyak sekali histamin, serotonin, bradikinin, heparin dan sejumlah
sel lisosomal.
Bahan-bahan tersebut kemudian akan menyebabkan reaksi
pembuluh darah lokal dan reaksi jaringan, yang akan menimbulkan reaksi alergi
(Guyton 1995).
Eosinofil
Jumlah eosinofil hanya 1-10% leukosit darah domba (Kelly 1984),
mempunyai garis tengah 9μm (sedikit lebih kecil dari neutrofil). Inti biasanya
berlobus dua, retikulum endoplasma, mitokondria dan apparatus golgi kurang
berkembang. Mempunyai granula ovoid dengan eosin asidofik. Granula adalah
lisosom yang mengandung fosfatse asam, katepsin, ribonuklase, tapi tidak
mengandung lisosim (Effendi 2008).
Eosinofil dihasilkan dalam sumsum tulang, sebelum bermigrasi kedalam
aliran darah tempat beredar dengan waktu paruh hanya 30 menit. Kemudian
bermigrasi kedalam jaringan tubuh dan memiliki waktu paruh 12 hari.
Eosinofil memiliki dua fungsi istimewa. Pertama, eosinofil secara unik
cocok untuk menyerang dan menghancurkan larva cacing yang menyusup. Enzim
eosinofil terutama efektif dalam menghancurkan kutikula larva cacing. Fungsi
kedua yaitu enzim eosinofil mampu menetralkan faktor radang yang dilepaskan
oleh sel mast dan basofil. Menurut (Guyton 1995) eosinofil dianggap mampu
m
mendetoksif
fikasi toksin yang dapat menyebabkan radang yaang dihasilk
kan oleh sel
m dan bassofil yang ruusak, jadi meencegah pennyebaran proses radang.
mast
L
Leukosit
M
Mononuklear
r
Leuk
kosit mononnuklear terdiiri dari limfo
fosit dan moonosit. Sel monuklear
m
memiliki
sitoplasma
s
yang tidakk memiliki granul seperti padaa leukosit
p
polimorfonu
uklear dan haanya memiliiki satu buahh inti.
a
b
G
Gambar
5 Jenis-jenis
J
Leeukosit Monnonuklear (a. limfosit; b.. monosit).
(
(Sumber:
Anoonim 2008d)
L
Limfosit
Limffosit memiliiki garis tenngah 6-8 μm
m, jumlah leukosit darrah domba
a
adalah
55-75% (Kelly 1984). Limffosit normall memiliki iinti relatif besar,
b
bulat
s
sedikit
cekungan pada satu sisi, krom
matin inti paadat, anak innti baru terlihat dengan
e
elektron
miikroskop. Siitoplasma sedikit sekalli, sedikit bbasofilik, mengandung
m
g
granula-gran
nula
azurofilik,
yangg
berwarnaa
ungu
ddengan
Roomanowsky
m
mengandung
g ribosom bebas
b
dan ppoliribisom. Klasifikasi lainnya daari limfosit
t
terlihat
denngan ditemuuinya tandaa-tanda mollekuler khuusus pada permukaan
p
m
membran
sel-sel tersebut. Beberaapa diantaraanya membbawa resepttor seperti
i
imunoglobu
p
membrrannya. Limffosit dalam
lin yang mengikat antigen spesifik pada
s
sirkulasi
daarah normal dapat beruukuran 10-112 μm ukuuran yang lebih besar
d
disebabkan
s
sitoplasmany
ya yang lebiih banyak.
Menuurut Brown (1980) limffosit dihasilk
kan dari stem
m sel di folik
kel limfatik
d
dari
limfonnodus, tonsiil, limpa, tthymus, dann jaringan limforetikular (Peyer
p
patches)
di usus.
u
Limfosit kecil lebiih banyak beerada dalam
m aliran darahh pada saat
s
sehat.
Limfoosit kecil yaang dewasa aakan istirahaat bila mereeka tidak meemproduksi
a
antibodi
dann melawan infeksi.
i
Limfosit besar akan
a
kelihatan di dalam
m pembuluh
darah secara normal dan akan kembali aktif bila ada stimulus dari reaksi antigen.
Limfosit adalah sel yang motil dan secara umum bisa bergerak seperti neutrofil.
Limfosit setelah dewasa akan memproduksi antibodi yang disebut dengan
immunology complement lymphosit. Limfosit dapat digolongkan menjadi dua
yaitu limfosit B dan lomfosit T. Limfosit B akan bereaksi sebagai pertahanan,
terutama saat ada antigen yang masuk kedalam tubuh. Limfosit B akan bekerja
dengan batuan makrofag dan limfosit T. Limfosit B akan mengirimkan reseptor
berupa interleukin-1 yang akan mengaktifkan munculnya limfosit T. Setelah itu
limfosit akan T akan memperbanyak diri dan menuju tempat benda asing tersebut.
Selain menghasilkan interleukin-1, limfosit B juga menghasilkan sel memori. Apa
bila ada paparan terhadap tanggal kebal sekunder, memori ini dengan cepat bisa
mengenali dan akan dihasilkan antibodi lebih banyak daripada pada saat tanggap
kebal yang pertama (Guyton 1995).
Monosit
Monosit berjumlah 3-8% dari total leukosit normal, memiliki diameter 910 μm, tetapi pada sediaan darah kering diameternya mencapai 20μm, atau lebih
(Tizard 1982). Inti biasanya eksentris, adanya lekukan yang dalam berbentuk tapal
kuda. Monosit memiliki kromatin kurang padat dan susunannya lebih fibril.
Granula azurofil, merupakan lisosom primer, lebih banyak tapi lebih kecil.
Ditemui retikulum endoplasma sedikit. Juga ribosom, pliribosom sedikit, banyak
mitokondria. Aparatus Golgi berkembang dengan baik, ditemukan mikrofilamen
dan mikrotubulus pada daerah identasi inti (Effendi 2003).
Monosit dapat ditemukan di dalam darah, jaringan penyambung, dan
rongga-rongga
tubuh.
Monosit
tergolong
mononuklear
fagosit
(sistem
retikuloendotel) dan mempunyai tempat-tempat reseptor pada permukaan
membrannya untuk imunoglobulin dan komplemen. Monosit memfagosit
mikroorganisme, sel mati, partikel asing (contohnya debu yang masuk kedalam
paru-paru). Monosit beredar melalui aliran darah, menembus dinding kapiler
kemudian masuk kedalam jaringan penyambung.
Domba
Klasifikasi
Domba memiliki klasifikasi sebagai berikut (Anonim 2008b) :
Kingdom
: Anamalia
Phylum
: Chordata
Class
: Mammalia
Order
: Artiodactyla
Family
: Bovidae
Subfamily
: Caprinae
Genus
: Ovis
Spesies
: Ovis aries
Fisiologis domba
Domba termasuk kedalam hewan ruminansia kecil. Seekor domba mampu
hidup hingga 10-12 tahun walau ada beberapa jenis domba yang dapat hidup
sampai 20 tahun. Domba memiliki suhu tubuh normal 38.9-40o C, denyut jantung
60-90 permenit dan respirasi 12-20 permenit (Anonim 2008b), 20-30 permenit
(Kelly 1984).
Sejarah
Domba merupakan hewan domestikasi untuk persediaan daging. Hewan
domestikasi pertama yaitu anjing sedangkan yang kedua dan ketiga yaitu domba
dan kambing (Anonim 2008a). Sebelum didomestikasi pada awalnya domba
hidup dipegunungan. Domba diburu untuk kebutuhan daging. Kemudian karena
pasokan daging berkurang, domba mulai didomestikasi. Bangsa domba yang ada
sekarang yaitu domba tipe perah, pedaging dan penghasil wol (Salamena 2003).
Di Indonesia sendiri tidak diketahui dengan pasti kapan domba mulai
dipelihara. Akan tetapi dengan ditemukannya relief domba pada candi Borobudur
pada 800 SM menunjukkan bahwa domba telah dikenal pada saat itu. Terdapat
tiga jenis domba berdasarkan asalnya (bagian Barat dan Selatan Asia), yaitu Ovis
musimon, Ovis ammon, dan Ovis orientalis. Sebelum terjadi pemisahan daratan
antara kepulauan Indonesia dan jazirah Melayu, maka domba yang ada dikawasan
tersebut boleh jadi menyebar dari kawasan Asia Tengah (sekarang Tibet dan
Mongolia), kemudian ke daerah Kamboja, Thailand, Malaysia dan kawasan Barat
Indonesia seperti Sumatera yang pada saat itu masih bersatu dengan Malaysia.
Hal ini terbukti dari jenis domba yang dijumpai adalah dari jenis ekor tipis dengan
penutup tubuh berupa rambut (Salamena 2003)
Pada masa kolonial Belanda, berbagai impor ternak dilakukan oleh
pemerintah Hindia Belanda, diantaranya adalah kambing dan domba, terutama ke
pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan pada saat itu dan Sumatera Barat dengan
tujuan untuk meningkatkan kualitas domba lokal yang ada. Selain itu, kedatangan
pedagang Arab ke Wilayah Nusantara memberikan kontribusi pada keragaman
jenis ternak domba yang ada, yaitu dengan membawa domba ekor gemuk ke
propinsi Sulawesi Selatan dan Pulau Madura. Demikian pula setelah masa
kemerdekaan, dapat dilihat dari banyaknya importasi jenis domba pada masa Orde
Baru dengan tujuan utama meningkatkan produktivitas ternak domba lokal. Bisa
disebut antara lain domba yang berasal dari daerah bermusim empat seperti
Merino, Suffolk, Dorset, Texel (Natasasmita et al. 1979), maupun domba dari
daerah tropis dengan penutup tubuh berupa rambut, seperti domba St. Croix dan
Barbados Blackbelly (Subandryo et al. 1999).
MATERI DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik Bagian Penyakit
Dalam, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi dan Laboratorium
Protozoologi Bagian Parasitologi Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan
Kesmavet. Pemeliharaan domba dilakukan di kandang hewan percobaan yang
dikelola oleh Unit Pelayanan Teknis Hewan Lab (UPT Helab) FKH IPB. Waktu
penelitian mulai dari bulan Juli 2007- Maret 2008.
Alat dan Bahan
Hewan yang digunakan adalah 3 ekor domba betina lokal dengan umur 11.5 tahun dan bobot badan 30-40 kg. Larutan Pengencer Turk digunakan dalam
pemeriksaan
leukosit.
Ethylendiaminetetracetic
acid
(EDTA)
sebagai
antikoagulan. Minyak emersi, metanol, pewarna Giemsa 10%, aquades, alkohol
70%, kapas, dan ekstrak caplak Rhipicephalus sanguineus.
Peralatan yang digunakan adalah kandang, tempat minum domba,
mikroskop, syringe 3 ml, object glass, cover glass, shaker, tabung mikro, satu set
hemositometer, tissue dan kertas label.
Ekstrak Rhipicephalus sanguineus
Caplak yang digunakan adalah Rhipicephalus sanguineus betina berasal
dari anjing lokal sekitar FKH-Kampus IPB Darmaga. Ekstrak caplak dipersiapkan
berdasarkan metode Heller-Haupt (Astyawati 2002). Caplak betina dewasa yang
siap bertelur diseksi kemudian diambil organ ususnya dan direndam dalam larutan
phosphate-buffered saline (PBS, pH 7.4) dan disimpan pada suhu -20oC sampai
digunakan. Caplak disentrifuge pada 5000 x g selama 15 menit. Supernatan
dibuang dan filtrat caplak disuspensikan dengan PBS. Prosedur ini diulang sampai
diperoleh supernatan yang jernih. Filtrat caplak kemudian dilarutkan dalam Tris
buffer (pH 6.8) 0.1 M. Supernatan kemudian difiltrasi dengan miliophore (0.22
μm) dan disimpan pada suhu -20oC sampai digunakan.
Persiapan Hewan Coba
Tahap pertama dari persiapan hewan coba (domba) adalah memeriksa
kesehatan domba, pemberian obat cacing dan beberapa multivitamin. Pada tahap
adaptasi, domba diadaptasikan dengan lingkungan (kandang) barunya yang
bertujuan untuk menekan tingkat stress seoptimal mungkin. Kandang di bersihkan
dan didesinfeksi untuk meminimalisir terinvestasi parasit. Selain itu kondisi
mikroklimat (suhu, kelembaban, dan paparan sinar matahari) juga disesuaikan
dalam kondisi normal.
Pakan yang yang diberikan hijauan. Pakan diberikan dua kali sehari, pagi
dan sore hari. Siang hari domba dilepas beberapa saat supaya mendapat sinar
matahari yang cukup dan penyegaran. Air minum diberikan secara ad libitum, hal
ini untuk mencegah terjadinya dehidrasi.
Perlakuan Dan Pengambilan Sampel Darah
Pada penelitian ini domba diimmunisasi ekstrak R. sanguineus sebanyak
dua kali, kemudian dilakukan uji tantang pada semua domba (gambar 6).
Gambar 6 Jadwal perlakuan dan pengambilan sampel darah
Ketiga ekor domba diimmunisasi (vaksin) ekstrak R. sanguineus pada
minggu ke-0. Vaksinasi diberikan sebanyak dua kali secara subkutan dengan
interval 2 minggu, kemudian dilakukan uji tantang pada minggu ke-5. Dosis yang
diberikan yaitu 250 μg ekstrak R. sanguineus dalam 50 μg oil adjuvan.
Pengambilan darah dilakukan sebelum dan setelah vaksinasi. Pengambilan darah
berikutnya dilakukan berturut-turut dengan selang 1 minggu setelah uji tantang
dilakukan. Uji tantang dilakukan dengan menanamkan caplak di sekitar leher
domba yang dimasukkan kedalam tabung plastik dan difiksasi menggunakan
selotip.
Sampel darah diambil melalui vena jugularis sebanyak 2 ml dari ketiga
ekor domba. Sebelum pengambilan darah, bulu dicukur dan dibersihkan dengan
kapas alkohol. Sampel darah dimasukkan kedalam tabung mikro yang telah
dibasahi dengan antikoagulan (EDTA), kemudian langsung dibawa ke lab untuk
dibuat preparat ulas darah pada gelas objek dan diambil untuk penghitungan
jumlah sel darah putih.
Pembuatan Preparat Ulas Darah
Preparat ulas darah dibuat dengan cara diambil dua buah gelas objek yang
telah dibersihkan dengan alkohol. Darah diambil sedikit menggunakan ujung
gelas objek dan taruh di atas gelas objek. Kedua gelas objek ditempelkan sampai
darah menyebar sepanjang permukaan gelas objek. Kemudian gelas objek digeser
dengan cepat sehingga didapat ulasan darah yang tipis. Preparat kemudian
dikeringkan di udara.
Pewarnaan Sediaan Ulas Darah
Preparat ulas darah yang telah dibuat tadi kemudian difiksasi dengan
metanol (metil alkohol) selama 5 menit kemudian diwarnai dengan pewarna
giemsa 10%. Setelah dibiarkan selama 60 menit dilakukan pembilasan
menggunakan aquadest lalu dikeringkan di udara terbuka. Sediaan ulas darah yang
telah diwarnai diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 10 x 100 untuk
dilakukan penghitungan diferensial leukosit.
Penghitungan Jumlah Leukosit
Sampel darah yang telah diberi antikoagulan EDTA dihomogenisasi
supaya sel darah tercampur merata. Kemudian darah dihisap menggunakan pipet
aspirator sampai tera sejumlah 0.5 ditambah dengan pelarut turk sampai angka 11.
Pipet diletakkan pada shaker selama 1 menit untuk menghomogenkan antara
darah dan pelarut turk. Pada ujung pipet aspirator
ditempelkan tissue untuk
membersihkan darah pada ujung pipet yang tidak terhomogenkan. Sementara itu
dipersiapkan kamar hitung hemositometer neubauer. Pipet kemudian ditempelkan
pada kamar hitung neubauer dan ditutup dengan cover glass sampai darah
menyebar dipermukaan cover glass. Lalu diamati dibawah mikroskop dengan
pembesaran 10 x 10. Setelah mendapatkan sel darah lalu dilakukan pengamatan
dengan pembesaran 10 x 40. Penghitungan leukosit dilakukan pada daerah W di
kamar hitung hemositometer neubauer (gambar 7). Leukosit dihitung hanya yang
berada sebagian besar sel di dalam kotak maupun yang berada di garis. Setelah
selesai satu kotak dilanjutkan pada kotak W berikutnya sampai keempat kotak
terhitung.
Penghitungan jumlah total leukosit dijabarkan sebagai berikut:
Jumlah total leukosit =
W
. Sehingga
Jadi jumlah leukosit per mm3 darah = jumlah sel terhitung x 20 x 10/4 = 200/4 =
50 x a = 50a butir leukosit. Jadi jumlah total leukosit = 50 x jumlah leukosit
masing-masing kotak.
Gambar 7 Kamar hitung neubauer (Kelly 1984)
Penghitungan Diferensial Leukosit
Penghitungan diferensial leukosit berdasarkan hasil pengamatan dengan
menghitung jumlah neutrofil, basofil, eosinofil, limfosit dan monosit. Preparat
ulas darah yang sudah diwarnai tadi kemudian diamati dibawah mikroskop
dengan pembesaran 10 x 100 dan menambahkan minyak emersi pada sediaan ulas
darah tersebut. Pengamatan leukosit menggunakan metode zig-zag (Gambar 8).
Dengan metode ini diharapkan tidak ada pengulangan penghitungan pada tempat
yang sudah diamati. Hasil penghitungan dinyatakan dalam persen dengan total
diferensiasi leukosit dihitung per 100 butir leukosit. Pengamatan dilakukan
pengulangan pada tiga buah preparat dan kemudian diambil rata-ratanya.
Gambar 8 Metode pengamatan zigzag (Brown 1980)
Analisis Data
Analisis data menggunakan uji analisis of variance (ANOVA) dan
dilanjutkan dengan uji Duncan (Mattjik dan Sumertajaya 2002).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Leukosit
Secara umum jumlah leukosit domba tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata (P>0.05). Jumlah rata-rata leukosit domba yang normal adalah 4 – 12 x
103/μl (Kelly 1984). Perubahan gambaran sel darah putih domba lokal yang
diimunisasi (vaksinasi) ekstrak R. sanguineus dapat dilihat sebgai berikut.
Tabel 1 Rata-rata jumlah leukosit domba sebelum dan setelah vaksin
Minggu ke0
Jumlah Rata-rata Leukosit ( x103/µl)
9.58 ± 1.88a
2
4
10.10 ± 1.65a
10.37 ± 7.77a
6*
7
11.50 ± 7.77a
15.13 ± 2.21a
Keterangan: Huruf superscript yang sama dibelakang nilai rata-rata menyatakan perbedaan yang
tidak nyata (P>0.05). *Uji tantang dilakukan pada minggu ke-5
Jumlah leukosit meningkat baik setelah vaksin maupun uji tantang. Pada
minggu ke-0 jumlah leukosit sebelum diberi perlakuan 9.58 ± 1.88 x 103 /µl.
Pemberian vaksin menyebabkan gertakan terhadap sistem kekebalan tubuh
sehingga menyebabkan peningkatan jumlah leukosit. Leukosit kembali meningkat
setelah vaksin kedua. Menurut Tizard (1982), pada umumnya vaksinasi
melibatkan pemberian antigen yang diperoleh dari agen menular pada hewan
sehingga tanggap kebal dapat meningkat.
Setelah dilakukan uji tantang pada minggu ke-5, jumlah leukosit
mengalami peningkatan pada minggu ke-6 dan 7.
Hewan yang divaksinasi
sebelumnya telah memiliki kekebalan terhadap antigen yang masuk kedalam
tubuh hewan tersebut. Di dalam tubuh hewan, terbentuk sel memori, sehingga
pada infeksi kedua kalinya antibodi telah mengenali antigen yang sama. Hal ini
menyebabkan produksi antibodi berjalan cepat dan lebih banyak (Tizard 1982).
Jumlah leukosit (x 103/µl)
16.00
14.00
12.00
10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
0.00
0
2
4
6
7
Minggu Ke‐
Gambar 9 Perbandingan rata-rata jumlah leukosit ( x103/μl) pada domba sebelum
dan setelah vaksin
Peningkatan jumlah sel darah putih setelah diberi perlakuan terjadi karena
terjadi rangsangan pembentukan leukosit pada sumsum tulang yang dimobilisasi
menuju pembuluh darah karena adanya reaksi tanggap kebal yang dihasilkan baik
oleh vaksin maupun pada pemberian caplak (Jain 1993). Pada uji tantang, terjadi
kontak langsung antara caplak dan inang. Kontak langsung ini terjadi saat caplak
menghisap darah dari tubuh inang. Pada saat menghisap darah, caplak
mensekresikan imunogen dan akan masuk kedalam tubuh inang. Tidak hanya
antigen caplak yang bisa teridentifikasi di jaringan sekitar infeksi, tetapi ektrak
caplak yang sederhana bisa digunakan untuk menstimuli sistem kekebalan tubuh
inang. Tanggap kebal juga terjadi karena pengaruh saliva yang dihasilkan oleh
caplak. Menurut Turni et al. (2002), saliva dari caplak dapat berpengaruh terhadap
limfosit T, makrofag, neutrofil, natural cell killer dan berpengaruh terhadap kelas
immunoglobulin.
Saliva
caplak
dapat
menyebabkan
adanya
respon
hipersensitifitas (Wikel 1999), dimana merupakan komponen penting dalam
respon kekebalan dapatan pada infestasi caplak. Selain itu juga mampu
memodulasi sistem kekebalan berperantara sel (Wikel et al. 1994).
Pada minggu ke-7 jumlah leukosit berada diatas normal. Tizard (1982)
menjelaskan,
peningkatan
jumlah
leukosit
(leukositosis)
menunjukkan
peningkatan jumlah seluruh sel darah putih, tapi biasanya terjadi peningkatan
hanya pada beberapa dari jenis leukosit seperti peningkatan neutrofil (neutrofilia)
atau limfosit (limfositosis).
Neutrofil
Secara umum jumlah neutrofil domba tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata (P>0.05). Jumlah neutrofil normal pada domba adalah 0.7-6 x 103/µl dari
total sel darah putih (Jain 1993). Neutrofil merupakan tanggap kebal pertama
dalam tubuh.
Apabila ada antigen asing yang masuk kedalam tubuh maka
neutrofil akan bereaksi menuju tempat antigen tersebut berada. Fungsi utama dari
neutrofil adalah memfagosit dan membunuh mikroorganisme asing. Neutrofil
tidak mengolah antigen sebagai persiapan guna disajikan pada sel yang peka
antigen (Jain 1993).
Tabel 2 Rata-rata jumlah neutrofil domba sebelum dan setelah vaksin
Minggu ke0
2
4
6*
7
Jumlah Rata-rata Neutrofil ( x103/µl)
4.91 ± 1.54a
4.03 ± 0.69a
3.95 ± 0.76a
7.18 ± 5.60a
7.31 ± 0.82a
Keterangan: Huruf superscript yang sama dibelakang nilai rata-rata menyatakan
perbedaan yang tidak nyata (P>0.05). *Uji tantang dilakukan pada minggu
ke-5.
Pada minggu ke-0, 2, dan 4 jumlah neutrofil masih berada dalam kisaran
normal. Jumlah neutrofil setelah pemberian vaksin relatif stabil, diduga neutrofil
belum berespon terhadap antigen dari vaksin tersebut. Penurunan jumlah neutrofil
Setelah dilakukan vaksinasi bila dibandingkan dengan sebelum perlakuan diduga
neutrofil belum berespon terhadap benda asing tersebut. Menurut Tizard (1982),
neutrofil memiliki cadangan energi yang terbatas dan tidak dapat diisi kembali.
Karena itu
walaupun neutrofil dapat sangat aktif segera setelah dilepas dari
sumsum tulang, akan cepat lelah dan biasanya hanya mampu berbuat terbatas
pada peristiwa fagositosis.
Setelah dilakukan uji tantang, pada minggu ke-6 dan 7 terjadi peningkatan
jumlah neutrofil yang disebabkan adanya infestasi caplak. Peningkatan jumlah
neutrofil biasanya dihubungkan dengan adanya agen infeksius (Lawhead 2005).
Jumlah neutrofil pada minggu ke-6 dan 7 berada diatas jumlah normal. Kasus ini
disebut dengan neutrofilia. Neutrofilia disebabkan oleh meningkatnya pergerakan
sel dari pool marginal, menurunnya perpindahan sel ke jaringan dan berkurangnya
pengeluaran dan produksi neutrofil dari susum tulang (Jain 1993). Faktor lain
yang menyebabkan neutrofilia secara fisiologis disebabkan oleh peningkatan
epinefrin, stress (kortikosteroid), dan inflamasi (Messick 2006). Menurut Guyton
(1995), neutrofil akan terus menerus memfagosit benda asing sampai substansi
toksik dari dari partikel asing membunuh neutrofil itu sendiri. Makrofag
Jumlah Neutrofil ( x 103/µl)
kemudian berperan dalam memfagosit neutrofil yang mati.
8.00
7.00
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
0
2
4
6
7
Minggu Ke‐
Gambar 10
Perbandingan rata-rata jumlah neutrofil ( x103/μl) pada domba
sebelum dan setelah vaksin
Monosit
Monosit berfungsi sebagai fagositik mononuklear.
Monosit didalam
jaringan disebut dengan makrofag. Makrofag memiliki peran melakukan
fagositosis dan menghancurkan partikel asing dan jaringan mati serta mengolah
bahan asing tersebut untuk dapat merangsang sistem tanggap kebal di tubuh
sehingga terbentuk komplek antigen antibodi (Tizard 1982). Jumlah monosit
normal pada domba adalah 0-750/µl dari total sel darah putih (Jain 1993). Secara
umum jumlah monosit berada dalam kisaran normal. Perubahan jumlah monosit
sebelum dan setelah vaksin menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05).
Tabel 3 Rata-rata jumlah monosit domba sebelum dan setelah vaksin
Jumlah Rata-rata Monosit ( x103/µl)
0.44 ± 0.07a
0.54 ± 0.55a
0.10 ± 0.07a
0.36 ± 0.38a
0.14 ± 0.11a
Minggu ke0
2
4
6*
7
Keterangan: Huruf superscript yang sama dibelakang nilai rata-rata menyatakan
perbedaan yang tidak nyata (P>0.05). * Uji tantang dilakukan pada minggu
ke-5
Jumlah monosit setelah divaksinasi mengalami peningkatan pada minggu
ke-2 dan turun pada minggu ke-4. Setelah dilakukan uji tantang, jumlah monosit
meningkat menjadi 0.36 ± 0.38 x 103 /µl dan kembali turun pada minggu ke-7.
Peningkatan jumlah monosit pada minggu ke-2 dan 6 karena adanya peradangan
dan faktor yang dikeluarkan oleh neutrofil yang menyebabkan makrofag bergerak
secara kemotaktik menuju tempat peradangan (Tizard 1982). Setelah memfagosit
benda asing, jumlah monosit kembali turun. Hal ini menunjukkan bahwa benda
asing sudah mulai berkurang baik di jaringan dan sirkulasi darah. Monosit
merupakan reaksi tanggap kebal kedua setelah neutrofil. Neutrofil mampu bekerja
dengan baik dalam tanggap kebal terhadap infeksi sehinga jumlah monosit relatif
Jumlah Monosit (x 103
/µl)
rendah pada minggu ke-7, namun masih berada dalam kisaran normal.
0.60
0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
0.00
0
2
4
6
7
Minggu Ke‐
Gambar 11
Perbandingan rata-rata jumlah monosit ( x103/µl) pada domba
sebelum dan setelah vaksin
Menurut Guyton (1995), monosit dan makrofag memiliki kerja fagositosis
yang lebih hebat daripada neutrofil. Selain itu monosit dan makrofag juga
menghasilkan Interferon (Brown 1980). Kerja makrofag dipengaruhi oleh adanya
aktivasi oleh reseptor yang dihasilkan oleh benda asing, selain itu limfosit T
(limfokin) juga mempengaruhi pergerakan makrofag untuk menuju tempat
inflamasi (Anonim 2008c).
Limfosit
Dari hasil pengamatan, secara umum jumlah limfosit domba masih berada
dalam kisaran normal yaitu 2-9 x 103/μl dari total sel darah putih (Jain 1993).
Tabel 4 Rata-rata jumlah limfosit domba sebelum dan setelah vaksin
Minggu ke0
2
4
6*
7
Keterangan:
Jumlah Rata-rata Limfosit ( x103/µl)
3.50 ± 0.45a
4.67 ± 0.90ab
5.85 ± 0.42bc
3.24 ± 0.92a
7.09 ± 1.90c
Huruf superscript yang berbeda dibelakang nilai rata-rata menyatakan
perbedaan yang nyata (P<0.05). *Uji tantang dilakukan pada minggu ke-5.
Jumlah limfosit pada minggu ke-0 (sebelum perlakuan) yaitu 3.50 ± 0.45 x
3
10 /µl. Pada minggu ke-2 dan 4, limfosit mengalami peningkatan yang tidak
berbeda nyata (P>0.05). Menurut Tizard (1982), apabila dosis antigen kedua
diberikan pada hewan, maka akan merangsang lebih banyak lagi sel peka antigen
daripada dosis pertama. Karena itu tanggap kebal sekunder secara kuantitatif
lebih besar dan cepat daripada tanggap kebal primer. Setelah dilakukan uji
tantang, terjadi penurunan jumlah limfosit menjadi 3.24 ± 0.92 x 103 /µl dan
terjadi peningkata yang berbeda nyata (P<0.05) pada minggu ke 7 menjadi 7.09 ±
1.90 x103 /µl.
Menurut Tizard (1982), limfosit terdiri dari limfosit T dan limfosit B.
Limfosit B menghasilkan antibodi sedangkan limfosit T menimbulkan kekebalan
berperantara sel. Antigen yang terikat pada sel-sel ini merupakan mula kejadian
pada tanggap kebal. Dalam menghadapi sebuah antigen limfosit B tidak langsung
sendiri. Kondisi pertama bahwa antigen diolah oleh makrofag sebagai Antigen
Presenting Cell (APC). Antigen yang telah diolah ini akan dikenali oleh limfosit
T, kemudian memperbanyak diri. Sel T juga akan mengeluarkan Interleukin yang
memberikan informasi pada sel B. kemudian sel B menghasilkan antibodi untuk
mengikat antigen. Fungsi antibodi yaitu sebagai penetral antigen dengan cara
pengendapan, penggumpalan dan bloking. Selain itu menghasilkan opsonin untuk
Jumlah Limfosit (x 103/µl)
mempermudah eliminasi antigen oleh fagosit.
8.00
7.00
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
0
2
4
6
7
Minggu Ke‐
Gambar 12
Perbandingan rata-rata jumlah limfosit ( x103/µl) pada domba
sebelum dan setelah vaksin
Peningkatan limfosit bisa terjadi secara fisiologis yaitu dengan
meningkatnya epineprin. Peningkatan jumlah limfosit bisa terjadi pada hewan
muda lebih banyak dari pada hewan tua (contoh: kucing) dan hewan tua lebih
banyak dari pada hewan muda (contoh: kuda). Limfosit juga meningkat sebagai
respon terhadap antigen asing yang masuk kedalam tubuh. Kadang-kadang bisa
terjadi pada kondisi inflamasi kronis (Jain 1993).
Eosinofil
Secara umum perubahan jumlah eosinofil sebelum dan setelah vaksin
menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05). Jumlah neutrofil normal pada
domba adalah 0-1 x 103/µl dari total sel darah putih (Jain 1993).
Tabel 5 Rata-rata jumlah eosinofil domba sebelum dan setelah vaksin
Jumlah Rata-rata Eosinofil ( x103/µl)
0.72 ± 0.58a
0.80 ± 0.96a
0.41 ± 0.36a
0.71 ± 0.93a
0.59 ± 0.46a
Minggu ke0
2
4
6*
7
Keterangan: Huruf superscript yang sama dibelakang nilai rata-rata menyatakan
perbedaan yang tidak nyata (P>0.05). * Uji tantang dilakukan pada minggu
ke-5
Jumlah eosinofil setelah di vaksin mengalami penurunan pada minggu ke2 dan 4 terhadap bila dibandingkan sebelum diberi perlakuan. Menurut Martini
(1992), eosinofil bekerja memfagosit, tetapi secara umum mengabaikan bakteri
dan sel debris. Eosinofil merupakan sel fagosit terhadap komponen asing yang
telah bereaksi dengan antibodi. Setelah dilakukan uji tantang pada minggu ke-6
dan menurun kembali pada minggu ke-7. Kortikosteroid menyebabkan turunnya
jumlah eosinofil darah dengan cepat. Hal ini disebabkan kortikosteroid
mengganggu pelepasan granulosit dari sumsum tulang ke dalam aliran darah
Jumlah Eosinofil (x103
/µl)
(Anonim 2008c).
0.90
0.80
0.70
0.60
0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
0.00
0
2
4
6
7
Minggu Ke‐
Gambar 13
Perbandingan rata-rata jumlah eosinofil ( x103/µl) pada domba
sebelum dan setelah vaksin
Menurut Tizard (1982), eosinofil memfagosit tidak seefisien neutrofil,
tetapi memiliki lisosom dan mengadakan letupan pernafasan bila terangsang
dengan tepat. Eosinofil memiliki fungsi yang istimewa yaitu menyerang dan
menghancurkan larva cacing yang menyusup. Jumlah sel eosinofil akan
meningkat pada saat terjadi reaksi alergi atau infeksi oleh parasit. Eosinofil dapat
menetralisir kerja histamin yang dihasilkan dari basofil (Tizard 1982). Dalam
jaringan, eosinofil ditemukan dalam jaringan ikat di bawah epitel kulit, bronkus,
saluran cerna, uterus, dan vagina. Jika terjadi infeksi cacing parasit maka akan
dapat ditemukan eosinofil yang mengelilinginya (Anonim 2008c).
Basofil
Jumlah basofil normal pada domba adalah 0-0.3 x 103/µl (Jain 1993).
Gambaran darah pada minggu ke-0, 2,4, 6 dan 7 dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 6 Rata-rata jumlah basofil domba sebelum dan setelah vaksin
Minggu ke
0
2
4
6*
7
Jumlah Rata-rata Eosinofil (x103/µl)
0.01 ± 0.01a
0.06 ± 0.03b
0.06 ± 0.03b
0.02 ± 0.03a
0.00 ± 0.00a
Keterangan: Huruf superscript yang berbeda dibelakang nilai rata-rata menyatakan
perbedaan yang nyata (P<0.05). * Uji tantang dilakukan pada minggu ke-5
Jumlah basofil pada setelah divaksinasi terjadi peningkatan yang berbeda
nyata (P<0.05) pada minggu ke-2 yaitu 0.06 ± 0.03 x103 sel/μl dibandingkan
dengan minggu ke-0 sebelum perlakuan.
Lalu jumlahnya relatif tetap pada
minggu ke-4. Peningkatan jumlah basofil pada minggu ke-2 setelah diimunisasi
dengan ektrak R. sanguineus diduga adanya reaksi hipersensitifitas atau alergi.
Kejadian hipersensitifitas ini bisa disebabkan oleh faktor lingkungan. Reaksi
hipersensitifitas ini terjadi akibat reaksi yang timbul ketika caplak menghisap
darah pada tubuh inang. Jumlah basofil cenderung meningkat didalam darah
perifer pada keadaan dimana terdapat juga peningkatan jumlah eosinofil (Jain
1993). Setelah dilakukan uji tantang, terjadi penurunan jumlah basofil yang
berbeda nyata (P>0.05) pada minggu ke-6. Penurunan yang tidak berbeda nyata
(P>0.05) terjadi kembali pada minggu ke-7. Penurunan jumlah basofil
menunjukkan bahwa reaksi hipersensitifitas dan alergi yang disebabkan oleh
caplak sudah mulai berkurang.
Jumlah Basofil (x 103
/µl)
0.08
0.06
0.04
0.02
0.00
0
2
4
6
7
Minggu Ke‐
Gambar 14 Perbandingan rata-rata jumlah Basofil ( x103/μl) pada domba sebelum
dan setelah vaksin
Menurut Swenson (1984), secara histologi basofil mirip dengan sel mast.
Di daerah inflamasi, basofil akan menghasilkan heparin, histamin, bradykinin,
serotonin, dan enzim lisosom. Basofil dan mast sel memiliki reseptor untuk
immunoglobulin E (IgE) yang diproduksi pada reaksi alergi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :
•
Setelah pemberian vaksin pertama terjadi peningkatan jumlah total leukosit,
limfosit, monosit, eosinofil dan basofil.
•
Setelah uji tantang, jumlah leukosit, neutrofil, monosit dan eosinofil
mengalami peningkatan.
•
Berdasarkan perubahan gambaran sel darah putih, pemberian vaksin ekstrak
caplak R. sanguineus cukup efektif berpengaruh terhadap reaksi tanggap
kebal tubuh.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan hewan yang
lebih banyak untuk memperoleh hasil yang lebih akurat. Diperlukan pengamatan
lebih lanjut mengenai pengaruh terhadap perubahan imunoglobulinnya seperti IgE
dan IgG.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil Analisis Data Dengan Anova dan dilanjutkan dengan uji duncan
ANOVA
Sum of
Squares
leukosit
limfosit
Between
Groups
Within Groups
Between
Groups
Within Groups
Between
Groups
Within Groups
Total
eosinofil
basofil
4
15011291.667
1.040
.434
144363333.333
10
14436333.333
204408500.000
14
31490632.512
4
7872658.128
6.976
.006
11285583.105
10
1128558.311
42776215.617
14
442807.858
4
110701.965
1.180
.377
937856.447
10
93785.645
1380664.305
14
33076954.380
4
8269238.595
1.167
.381
7083250.959
.143
.962
5.524
.013
Total
Total
neutrofil
F
60045166.667
Total
monosit
Mean Square
Between
Groups
Within Groups
df
70832509.587
10
103909463.967
14
Between
Groups
Within Groups
282680.957
4
70670.239
4942698.989
10
494269.899
Total
5225379.946
14
10690.446
4
2672.612
4838.576
10
483.858
15529.023
14
Between
Groups
Within Groups
Total
Post Hoc Tests
Homogeneous Subsets
Sig.
leukosit
neutrofil
Duncan
Duncan
perlakuan
Subset for
alpha =
.05
Subset for
alpha = .05
N
kontrol
3
1
9575.0000
vaksin 1
3
10100.0000
vaksin 2
3
10366.6667
tantang 1
3
tantang 2
3
perlakuan
vaksin 2
1
3
3946.7667
vaksin 1
3
4025.1000
kontrol
11500.0000
3
4905.9667
tantang 1
15133.3333
3
7180.0000
tantang 2
3
7307.2500
Sig.
.130
Sig.
Means for groups in homogeneous subsets
are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size =
3.000.
.185
Means for groups in homogeneous subsets
are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size =
3.000.
eosinofil
limfosit
Duncan
Duncan
perlakuan
N
N
Subset for
alpha =
.05
Subset for alpha = .05
1
2
tantang 1
3
3240.4500
kontrol
3
3497.8417
vaksin 1
3
vaksin 2
3
tantang 2
3
4665.9333
4665.9333
5854.1667
Sig.
.147
.201
Means for groups in homogeneous subsets
are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size =
3.000.
monosit
3
perlakuan
vaksin 2
N
tantang 2
5854.1667
tantang 1
7094.5000
kontrol
.183
vaksin 1
1
3
406.0000
3
589.1667
3
712.9333
3
715.8667
3
801.0500
Sig.
.538
Means for groups in homogeneous subsets
are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size =
3.000.
Duncan
Subset for
alpha =
.05
basofil
Duncan
Subset for alpha = .05
perlakuan
vaksin 2
N
1
3
1
.0000
kontrol
3
9.8250
tantang 1
444.5917
3
15.1667
vaksin 2
544.3500
3
vaksin 1
3
3
99.5667
tantang 2
3
142.4167
tantang 1
3
360.4333
kontrol
3
vaksin 1
3
Sig.
.133
Means for groups in homogeneous subsets
are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size =
3.000.
perlakuan
tantang 2
Sig.
N
2
60.1667
63.5667
.439
Means for groups in homogeneous subsets
are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size =
3.000.
.854
Lampiran 2 Foto-foto Penelitian
L
Tim
mbangan
Alat S
Sonifikasi (U
Ultrasonic
Homoogenizer)
Alat Homogenisas
H
si Darah
(Shakeer)
Download