TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KONVENSI

advertisement
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KONVENSI PERSERIKATAN
BANGSA-BANGSA MENGENAI KEJAHATAN PERANG
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk memenuhi Persyaratan Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
Dian Kemala Sari
106045201525
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011 M/1432 H
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi berjudul: “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Mengenai Kejahatan Perang ” telah diujikan dalam Sidang
Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada t anggal 20 Juni 2011. Skripsi telah diterima sebagai salah
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) pada Program Studi Jinayah
Siyasah Konsentrasi Ketatanegaran Islam ( Siyasah Syari’iyyah).
Jakarta, 22 Juni 2011
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MH, MM
NIP. 19550505 198203 1 012
Panitia Ujian Munaqasyah
1. Ketua
: Dr. Asmawi, M. Ag
NIP. 19721010 199703 1 008
(……………..…)
2. Sekretaris
: Afwan Faizin, MA
NIP. 19721026 200312 1 008
(…….……….…)
3. Pembimbing I
: Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, MA
NIP. 19691216 199603 1 001
(……………..…)
4. Penguji I
: Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah
NIP. 19581222 198903 1 001
(…………..……)
5. Penguji II
: Nahrowi, SH, MH
NIP. 19730215 199903 1 002
(………….…….)
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Dzat yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, yang
telah memberikan banyak nikmat dan senantiasa memberikan hidayahnya kepada
setiap makhluk ciptaan -Nya. Sehingga dengan izinnya
akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan judul: “Tinjauan Hukum Islam Terhadap
Konvensi Perserikatan Bangsa -Bangsa Mengenai Kejahatan Perang ”. Shalawat
dan salam selalu tercurahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad SAW, yang
telah membawa umatnya minadzulumati illa nur dan kesejahtraan semoga selalu
tercurahkan kepada keluarga besar beliau, sahabat -sahabatnya-Nya, tabi’intabi’uttabiin, dan kita sebagai umatnya semoga mendapatkan syafaatnya kelak.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari masih jauh dari sempurna baik
dalam proses maupun isinya. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis mendapat
banyak bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan rasa terima kasih kepada pihak -pihak yang telah membimbing,
membantu dan memotivasi penul is, antara lain:
1. Prof. Dr. Drs. H.M. Amin Suma, SH, MA, MM, selaku dekan Fakultas
Syariah dan Hukum, dan beserta staf -staf nya.
2. Dr. Asmawi, M.Ag dan Afwan faizin, M.Ag, selaku Ketua Program Studi dan
Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah yang telah ban yak membantu
i
penulis selama masih dalam masa kuliah. Serta ibu Sri Hidayati, M. Ag selaku
Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah terdahulu yang telah memberikan
semangat kepada penulis untuk segera menyelesaikan tugas akhir.
3. Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, MA selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya disela -sela kesibukan untuk
memberikan bimbingan, pengarahan, dan dorongan semangat kepada penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Kepada orangtuaku tercinta, Papa Burhanudin dan Mama Yarniati, yang
sangat berperan dalam mendidik, mengasuh dan membimbing penulis dengan
kesabaran dan pengertian serta tiada henti memberikan dukungan secara moril
maupun materil. Terimakasih yang teramat sangat atas cinta dan kasih
sayangnya.
5. Kepada seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membekali
penulis dengan ilmu yang berharga, nasehat -nasehat penyemangat yang
memberikan motivasi kepada penulis, kesabaran dalam mendidik penulis
selama penulis melakukan studi.
6. Bagian administrasi dan tata usaha yang telah banyak membantu memberikan
kelancaran
kepada
penulis
dalam
proses
penyelesaian
prosedur
kemahasiswaan, serta pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Umum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan khususnya Perpustakaan FSH, terima
ii
kasih atas penyediaan buku -buku penunjang sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
7. Untuk adik-adikku, Dian Amami Burhani dan Ari Rahman Maulana, tetap
semangat untuk belajar terus menerus, jangan pernah bosan mendengar
nasehat plus omelan dari Mama-Papa, Kakak, Guru-guru kalian, tunjukan
prestasi kalian dan jangan kecewakan Papa-Mama dan Kakak. Kalian bisa
lebih dari Kakak dan harus! Dan untuk keluarga besarku di Jakarta, Padang,
Lombok dan Sampit, terimakasih dukungan dari kalian,. Love ya!
8. Mein Schatzi, Trisna Piliandy. Terimakasih atas dukungannya, motivasinya,
omelannya dan marahnya supaya terus bersemangat untuk menyelesaikan
skrispsi ini. Insya Allah yang kita impikan dan cita -citakan tercapai karena
kita sedang berusaha. Lakukan yang terbaik da n bertawakal, Insya Allah, kita
mendapat restu-Nya. Amiin.
9. Para sahabatku Siyayah Syar’iyyah angkatan 2006, Esha, Rifko, Uthi, Yudha,
Supardi, Boim (yang heboh di detik -detik terakhir buat daftar kompre dan
pendaftaran skripsi, makasih teman) , Eri dan Luthfi cepet lulus biar cepet
meminang gadis pujaan, Echa yang udah jadi mama, Apri yang sibuk cari
kerja, Lina, Achiy, Ziah, Atiqoh, Alif, Bowo, Ridwan, Ade, Irsyad, Bangkit
dan teman-teman yang lain. Terimakasih kebersamaan nya selama menjadi
mahasiswa SS di kampus ini, semoga kita tetap bisa menjalin silahturahmi
dan kita semua menjadi orang -orang yang sukses dimasa depan. A miin.
iii
10. Para sahabatku di FORSA UIN, teh Lulu yang selalu kasih semangat, selalu
berbagi suka dan duka bersama. Oky, Tika, Tiara, Isma, Kak Ayu, Kak Fitri,
Kak Ozy, Kak Dede, Kak Soleh, Kak Ibnu, Kak Zainal, Kak Febri dan para
senior-senior serta teman-teman yang lain yang tidak bisa disebutkan satu
persatu. Terimakasih telah mencurahkan perhatian dan pengajaran baik
tentang kuliah, berorganisasi di FORSA maupun teknik voli di lapangan.
11. Para sahabatku di SMAN 1 Sampit, Yunis Triana, Harliana, Annisa Soraya,
Puspita Sari, Danny Sundari, Herli Agustina, yang memberi semangat dan doa
untuk proses tugas akhir. Terimakasih telah memberi warna dalam usia
remajaku, sangat berharap bisa bertemu kalian lagi. Para sahabatku di SMAN
1 Ciputat, Nur Fadhila Juwita , Wansri Handayani, Ayu Inggar Reswari,
Windy, Gita. Terimakasih doa dan semangatnya.
Demikianlah beberapa pihak yang mendukung skripsi ini, teri ma kasih penulis
ucapkan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat besar bagi keperluan pengembangan
ilmu syariah dan hukum khususnya ketatanegaraan Islam.
Depok, 13 Juni 2011
Dian Kemala Sari
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...............................................................................................i
DAFTAR ISI ..............................................................................................................v
BAB I
PENDAHULUAN...................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah .....................................................................1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................................8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...........................................................8
D. Tinjauan Kajian Terdahulu.................................................................9
E. Metode Penelitian ...............................................................................11
F. Sistematika Penulisan .........................................................................14
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERANG ..........................................16
A. Perang Dalam Hukum Humaniter Internasional ................................16
B. Pengertian Perang Dalam Islam .........................................................19
C. Etika Dalam Perang ............................................................................25
D. Perdamaian Pasca Perang ...................................................................34
BAB III
KEJAHATAN
PERANG
DALAM
ISLAM
DAN
KONVENSI
PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (PBB) ....................................41
A. Pengertian Kejahatan Perang .............................................................41
v
B. Bentuk-bentuk Kejahatan Perang .......................................................47
C. Perlakuan Terhadap Tawanan Perang dan Penduduk Sipil ................51
D. Sanksi Kejahatan Perang ....................................................................65
BAB IV
ANALISA HUKUM ISLAM MENGENAI KEJAHATAN PERANG
DALAM KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA -BANGSA (PBB)
A. Hak-Hak Asasi Manusia.....................................................................71
B. Analisa Kejahatan Perang Menurut Hukum Islam .............................81
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan.........................................................................................86
B. Saran-saran .........................................................................................87
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................89
LAMPIRAN
vi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peperangan yang marak terjadi dalam beberapa tahun terakhir yang menimpa
beberapa negara bagian di belahan dunia, banyak sekali menimbulkan kerugian baik
fisik maupun mental. Tujuan peperangan umumnya sebagai upaya pencaplokan suatu
wilayah, memperluas kekuasaan dengan mengerahkan kekuatan militer yang
dilengkapi persenjataan yang lengkap dan canggih. Perang mengakibatkan kejahatan
kemanusiaan bagi generasi saati ini dan akan datang.
Sejarah mencatat perang merupakan fenomena yang mempengaruhi nilai-nilai
kemanusiaan, karena selama berlangsungnya perang sering terjadi pelanggaran hak hak individu dan masyarakat. Sehing ga manusia yang mulia menjadi sosok yang
tidak bernilai. Perang seperti apapun bentuknya selalu men datangkan kerugian dan
penderitaan bagi kedua belah pihak yang berperang. Baik yang menang maupun yang
kalah selalu dirugikan oleh kekejaman dan kebengisan senjata dan kekerasan selama
perang berlangsung. 1 Setidaknya ada beberapa akibat yang disebabkan oleh perang.
Selain kerugian materi seperti mengakibatkan kelaparan, kekurangan pangan dan
mewabahnya penyakit dan jiwa, perang juga senantiasa melahirkan dendam . Ekses
1
Radjab Suryadi, Dasar-Dasar Hak Asasi Manusia (Jakarta: Lembaga Penerbitan PBHI,
2002), cet.I, hal. 20.
1
2
sosiologinya mengakibatkan kemiskinan massal, kebodohan dan mewariskan
permusuhan. Lebih jauh peperangan juga melahirkan resesi dunia dan krisis ekonomi
dunia.2
Sejarah Islam mencatat, perang yang terjadi sepanjang sejarah Islam bukanlah
perang untuk memperluas wilayah dan mencari harta rampasan. Namun, perang yang
terjadi ialah memerangi orang-orang musyrik dan penganut paganisme 3. Walaupun
demikian, Islam sangat menjunjung tinggi hak -hak asasi manusia, hak-hak minoritas
dan non-Islam. Contohnya, memberikan perlindungan terhadap kaum Harbi dan
Kaum Musta’min yang sedang berada di wilayah dar al-islam.4
Tidak dapat disangkal besarnya jumlah korban dan dampak dari perang
terutama Perang Dunia II yang banyak sekali memakan korban. Selain korban dari
pasukan perang (combatant) yang ditawan dan ditahan bahkan dieksekusi, banyak
diungkap pengalaman pahit dan penderitaan yang dialami oleh kelompok masyarakat
yang tidak terlibat langsung dalam perang. E tnis Yahudi, Polandia, Swiss dan
Yugoslavia di Eropa sebagai penduduk sipil yang menjadi korban peperangan,
termasuk pula harta benda mereka yang dirampas , hilang, hangus dan musnah. 5
Bentuk tindakan pelanggaran inilah yang disebut dengan kejahatan perang, dalam
2
Ratno Lukito, Saddam dalam Hukum Internasional , Kompas, (Jakarta), Rabu, 17 Desember
2003, hal. 4.
3
Sebuah kepercayaan/praktek spiritual penyembahan terhadap berhala yang pengikutnya
disebut Pagan. Pagan pada zaman kuno percaya bahwa terdapat lebih dari satu dewa dan dewi dan
untuk menyembahnya mereka menyembah patung, contoh Mesir Kuno, Yunani Kuno, Romawi Kuno,
dan lain-lain. Istilah ini telah meluas, meliputi semua Agama Abrahamik, Yahudi, Kristen, dan Islam.
4
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, Alih Bahasa: Samson Rahman, (Jakarta: Pustaka al Kautsar,2000), cet.I, hal. 19.
5
Radjab Suryadi, Dasar-Dasar Hak Asasi Manusia , (Jakarta; Lembaga Penerbitan PBHI,
2002), cet.I, hal. 20.
3
cakupan hukum internasional, ialah pelanggaran terhadap hukum perang oleh satu
atau beberapa orang, baik militer maupun sipil. Setiap pelanggaran hukum perang
pada konflik antar bangsa merupakan kejahatan perang. Pelanggaran yang terjadi
pada konflik internal suatu negara, belum tentu bisa dianggap kejahatan perang.
Perlakuan semena-mena terhadap tawanan perang atau penduduk sipil, pembunuhan
massal dan genosida kadang dianggap juga sebagai suatu kejahatan perang .
6
Dan
tidak sesuai dengan prinsip dasar Hukum Humaniter bahwa pihak yang bersengketa
diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, dimana mereka dilarang untuk
menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan
yang tidak perlu. 7
Dalam konvensi dinyatakan bahwa
kejahatan-kejahatan perang dan
kejahatan-kejahatan kemanusiaan merupakan kejahatan -kejahatan yang paling gawat
dalam hukum internasiona l. Dan pelaku kejahatan perang dimungkinkan untuk
dituntut dan dipidana di forum mahkamah militer nasional maupun mahkamah
kejahatan internasional. 8 Di pasal 3 dari empat Konvensi Jenewa tentang hukum
humaniter 1949 menyatakan bahwa pada masa pertikaian be rsenjata seseorang yang
dilindungi konvensi “dalam kondisi apapun diperlakukan secara manusiawi, tanpa
pembedaan yang merugikan berdasarkan ras, warna kulit, agama atau kepercayaan,
6
Di akses pada tanggal 3 Februari 2010 , http://id.wikipedia.org/wiki/Kejahatan_perang
Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (Penyunting/Editor), Hukum Hak Asasi
Manusia/Rhona K. M. Smith, at.al.---Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008 , h. 377
8
Konvensi tentang Tidak Dapat Ditetapkannya Pembatasan Statuta pada Kejahatan Perang
dan Kejahatan Kemanusiaan, hal. 1
7
4
jenis kelamin, keturunan atau kejayaan, atau kriteria sejenis lainnya”. 9 PBB telah
menetapkan peraturan bagi kerja sama Internasional untuk pencegahan dan hukuman
tindak kejahatan terhadap perdamaian, tindak kejahatan dalam perang dan tindak
kejahatan terhadap kemanusiaan. Konvensi sepakat bahwa genosida, baik yang
dilakukan pada saat damai maupun perang, merupakan tindak kejahatan berdasarkan
hukum Internasional yang mesti dicegah dan dihukum Negara Pihak. 10 Dan
merupakan kejahatan yang mencapai status jus cogens 11 atau hukum yang harus
ditaati (compelling law). Artinya, menurut pendapat kebanyakan pengadilan di dunia,
kejahatan tersebut dianggap sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional. Juga
dari fakta bahwa kebanyakan negara telah meratifikasi perjanjian -perjanjian yang
berkaitan dengan kejahatan ini; dan telah dijalankan nya pengadilan internasional ad
hoc terhadap pelaku kejahatan-kejahatan tersebut. 12
Untuk kejahatan perang, Hukum humaniter mengatur perilaku Negara pada
saat konflik. Awalnya hanya pada situasi konflik internasional (antara sedikitnya 2
negara), tetapi akhirnya mencakup konflik internal ( Common Article 3, Konvensi
Jenewa 1949), pertanggungjawaban individu atas tindakan pelanggaran berat (grave
9
Jurnal Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia, Hukum Humaniter Internasi onal dan
Hak Asasi Manusia; Lembar Fakta No.13, h. 2.
10
Ibid., h. 11.
11
Serangkaian prinsip atau norma yang tidak dapat diubah yang tidak boleh diabaikan,dan
dapat berlaku membatalkan suatu traktat atau perjanjian antar negara -negara,dalam hal perjanjian
tersebut tidak sesuai dengan salah satu prinsip tersebut.
12
Komisi Nasional Perempuan, Hukum Pidana Internasional dan Perempuan; Sebuah
Resource Book Untuk Praktisi , t.t., Komisi Nasional Perempuan, t.th., h. 1.
5
breaches), dan kewajiban Negara untuk mencari, mengekstradisi atau mengadili
pelaku pelanggaran berat .13
Begitu pula dalam hukum Islam, ada beberapa hak -hak yang ditetapkan Islam
sebagai perlindungan terhadap korban perang dan konflik bersenjata antara lain para
korban yang luka dan cidera dari pihak musuh harus segera diamankan dari segala
bentuk tindakan pelanggaran, harus dilindungi dan diperlakukan secara manusiawi.
Kemudian, Islam memberikan perhatian istimewa bagi tawanan dimana kehormatan
dan hak-hak tawanan terjaga dan terhindar dari segala bentuk tindakan pelanggaran.
Serta Islam memberikan hak pada tawanan untu k melaksanakan ritual agama yang
dianut selama menjadi tawanan. 14
Islam menekankan pentingnya menghormati tawanan. Dalam al-Quran,
pemberian pangan untuk para tawanan merupakan salah satu dari kebajikan, dan
terhitung sebagai salah satu sifat mu'min yang ba ik. Islam menekankan pentingnya
menghormati tawanan. Allah swt . berfirman mengenai sifat-sifat mu'min yang
merdeka: "Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin,
anak yatim dan orang yang ditawan " (QS. Al-Insan: 8). Dalam ayat ini mem berikan
suatu gambaran langsung bahwa seorang tawanan seakan disambut layaknya seorang
tamu, bukan sebagai tawanan yang lantas dijadikan budak. Pimpinan perang dibawah
naungan panji Islam, tawanan diperlakukan secara terhormat dan manusiawi, tidak
membuat mereka haus dan lapar.
13
Ibid., h. 9.
Prof. Dr. Zayyid bin Abdel K arim al-Zayyid, Pengantar Hukum Humaniter Internasional
dalam Islam, (Jakarta: ICRC Delegasi Regional Indonesia, 2008), hal. 30.
14
6
Sholahuddin Al-Ayyubi menorehkan sejarah dengan tinta emas: saat
berperang, Sholahuddin menangkap pasukan Salib yang berjumlah sangat besar
sedangkan makanan yang tersedia tidak cukup buat mereka. Dengan lapang dada,
akhirnya Sholahuddin membebaskan mereka tanpa syarat. Muhammad Abu Zahrah,
dalam bukunya "nazariyat al-harb fi al-Islam" (Teori Perang dalam Islam) menulis:
"motivasi perang dalam Islam itu reagresi, atau membalas serangan lawan ".15
Sejumlah perang yang terukir dalam seja rah Islam bukan perang melawan rakyat,
melainkan perang menghadapi prajurit yang menindas rakyat dan orang -orang yang
memiliki otoritas mengambil kekuatan senjata sebagai alat untuk memusuhi
kebenaran. Berdasarkan itu, simpul -simpul ukhuwah umat Islam deng an pemimpin
wilayah tidak terputus jika komunikasi tetap prospektif dan memungkinkan.
Sedangkan perang yang menimpa umat Islam seperti terjadi sekarang ini tidak
demikian, karena hanya invasi atau agresi antarnegara, sebab pertama kali yang
dilakukan sang agresor itu kini tidak segan -segan menangkap para pemimpin negara
yang ia perangi, serta men yita habis harta mereka.
Dalam Islam tidak menghendaki tindakan sewenang-wenang terhadap pihak
musuh. Bahkan Islam menganjurkan bahwa , contohnya, dalam hubungan dagang
antar-negara tidak bisa diputuskan hanya oleh perang, hubungan dagang antar pebisnis itu akan masih tetap terjalin. Karena itu para pengusaha yang memasuki dar
al-islam akan merasa aman, sebab mereka diberikan 'transaksi' kontrak keamanan
15
Dewan Asatidz, “Tawanan dalam Persepsi Islam”, artikel diakses pada 02 Februari 2011
dari http://www.pesantrenvirtual.com/983 :tawanan–dalam-persepsi-islam
7
yang memadai. Dengan cara pandang ini, jika dilihat apa yang terjadi dengan para
tawanan di Irak, atau berbagai macam barisan perlawanan Irak yang ada di sana, atau
operasi penculikan terhadap orang yang tidak berkaitan langsung dengan perang, itu
sama sekali tidak relevan dengan kesepakatan Jenewa mengenai hak -hak
perlindungan tawanan, terlebih lagi dengan prinsip dan nilai -nilai ajaran Islam. 16
Untuk itu, baik dalam hukum Islam dan hukum internasional, khususnya
konvensi-konvensi Perserikatan Bangsa -Bangsa (PBB), mengatur bagaimana cara
berperang yang sesuai dengan peraturan yang dibuat dan cara memperlakukan
tawanan perang maupun penduduk sipil. Merupakan suatu keharusan bagi pihak yang
berperang untuk melindungi dan menjaga keselamatan tawanan perang dan penduduk
sipil yang tidak terlibat langsung maupun yang terlibat langsung dalam peperangan.
Karena tawanan perang dan penduduk sipil mempunyai hak untuk hidup dalam
keadaan aman dan tentram. Sungguh sangat menarik hal -hal yang berkaitan dengan
peperangan termasuk kejahatan perang. Dan hal ini menarik untuk diteliti, sehingga
penulis menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul: “Tinjauan Hukum
Islam Terhadap Konvensi Perserikatan Bangsa -Bangsa Mengenai Kejahatan
Perang”
16
Ibid., http://www.pesantrenvirtual.com/983:tawanan –dalam-persepsi-islam.
8
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam penulisan skripsi ini, pembahasan akan difokuskan pada kejahatan
perang dalam perspektif Islam. Oleh kar ena itu, masalah pokok dalam pem bahasan
ini adalah Bagaimana Pandangan Hukum Islam Mengenai Kejahatan Perang Dalam
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
2. Perumusan Masalah
Mengingat tema skripsi maka penulis perlu membuat rumusan masalah yang
dianggap penting dan berkesinambungan yang akan dicari jawabannya dalam
penelitian ini. Maka berdasarkan paparan dalam latar belakang diatas, maka d iantara
rumusan masalahnya yaitu:
a) Apa yang dimaksud dengan kejahatan perang?
b) Bagaimana pandangan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai
kejahatan perang?
c) Bagaimana tinjauan hukum Islam mengenai kejahatan perang ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini disusun bermaksud untuk menjelaskan mengenai kejahatankejahatan perang yang perlu dihapuskan baik menurut Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa maupun Hukum Islam. Secara rinci penelitian ini bertujuan untuk:
9
a) Untuk mengetahui dan me njelaskan bentuk-bentuk kejahatan perang
menurut konvensi.
b) Menjawab pertanyaan pokok diatas untuk mengetahui ketentuan
mengenai peraturan perang dalam konvensi.
c) Mengetahui ketentuan hukum Islam tentang perang dan kejahatan perang.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dan kegunaan penelitian ini sebagai berikut:
a) Untuk memberikan jawaban yang relevansi dan aktual.
b) Untuk menambah khasanah pengetahuan dan wawasan terutama mengenai
hukum Islam tentang perang dan pengaturan dan etika berperang dalam
konvensi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa).
c) Bisa menjadi acuan bagi peneliti berikutnya.
D. Tinjauan Kajian Terdahulu
Penulis menemukan beberapa karya ilmiah dan judul skripsi yang pernah
ditulis oleh mahasiwa sebelumnya yang berkaitan erat dengan judul skripsi yang
diteliti oleh penulis. Akan tetapi, setelah penulis membaca beberapa karya ilmiah dan
skripsi tersebut ada perbedaan yang cukup signifikan dalam penulisan skripsi ini, dan
nantinya tidak akan ada timbul kecurigaan plagiasi. Peneliti memfokuskan perhatian
pada bidang yang berkaitan tentang satu atau lebih dari variabel yang berkaitan
tentang penghapusan kejahatan perang . Untuk itu dibawah ini akan penulis
kemukakan karya ilmiah dan skripsi yang pernah ada, diantarannya sebagai berikut:
10
1.
Konvensi tentang Pencegahan d an Penghukuman Kejahatan Genosida .
Temuan pokok dalam konvensi ini ialah kejahatan genosida yaitu setiap
perbuatan yang dilakukan dengan tujuan merusak begitu saja, dalam
keseluruhan ataupun sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, rasial atau
agama. Dari semua periode sejarah kejahatan genosida membawa kerugian kerugian besar bagi manusia , baik itu dilakukan pada masa damai maupun
pada masa perang, dan menurut hukum internasional, kejahatan ini perlu
dicegah dan menghukum pelakunya.
2.
Karya Majid Khadduri dalam bukunya yang berjudul War and Peace in the
Law of Islam. Temuan pokok dalam karya ini menyatakan bahwa Allah telah
mengatur jihad yang boleh dilakukan oleh umat Islam dan tata cara berjihad.
Perdamaian tetap menjadi tujuan utama, walaupun peperangan se dang
berlangsung tetapi Islam memperlakukan para tawanan dan jenasah secara
baik-baik. Bahkan dalam pembagian rampasan perang, Islam memberikan
aturan yang jelas dan adil bagi seluruh umat.
3.
Karya Prof. Dr. Zayyid bin Abdel Karim al -Zayyid dalam bukunya yang
berjudul Pengantar Hukum Humaniter Internasional Dalam Islam . Temuan
pokok dalam karya ini ialah para korban luka dan cidera dari pihak musuh,
bila sudah tidak sanggup memikul senjata untuk memerangi umat Islam, harus
segera diamankan dari segala bentuk pelanggaran. Bahkan harus dilindungi
dan diperlakukan secara kemanusiaan. Tidak dibenarkan melakukan siksaan
11
terhadap korban luka, karena tindakan tersebut sama sekali bukan termasuk
etika berperang yang baik.
4.
Judul: “Sanksi Kejahatan Perang (Tinjauan Huku m Islam dan Hukum
Humaniter Internasional)”
Penulis: Ahmad Maulana /PMH/2005
Sesungguhnya Islam selalu ingin m enghindarkan diri dari peperangan
karena perang akan menimbulkan penjajahan, perbudakan dan berbagai sikap
negatif serta ambisi buruk dari negara -negara penakluk, dengan cara
pemanfaatan situasi seperti mencari keuntungan pribadi, menciptakan pasar pasar baru, merampas sumber bahan baku dan memperbudak sesama manusia.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Untuk menyelesaikan sebuah permasalahan yang a kan diteliti maka
tentunya penulis harus mengumpulkan data -data yang berkaitan dengan
permasalahan yang akan diteliti. Secara tipologis, penelitian penulis ini
menggunakan studi kepustakaan yaitu memperoleh dan mengumpulkan data
untuk mendapatkan data sesu ai harapan penulis dan seperti yang digambarkan
dalam data kepustakaan.
Sifat data dalam penelitian ini merupakan model penelitian deskriptif
analitis yang memaparkan kejahatan dalam perang, yakni penelitian yang
menggambarkan data dan informasi yang diper oleh dari penelitian kepustakaan
12
secara mendalam agar dapat memberikan informasi kepada pembaca secara
optimal.
Dalam pendekatan ini peneliti menggunakan metode kualitatif. Analisis
ini digunakan untuk mengetahui secara kualitatif tentang penghapusan kejahatan
perang sehingga dapat membantu memecahkan dan menemukan solusi terhadap
persoalan yang diteliti dalam skripsi ini. Ditinjau dari sudut metodologi
penelitian hukum pada umumnya, studi ini merupakan studi hukum Islam dengan
menggunakan pendekatan normat if doktriner yaitu menurut undang -undang,
konvensi dan pemikiran para ulama.
2. Sumber Penelitian Hukum
Dalam penelitian hukum tidak mengenal data. Untuk memecahkan isu hukum
maka diperlukan sumber-sumber penelitian diantaranya sumber penelitian hukum
yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dibawah ini akan
dirinci satu yang termasuk ke dalam data primer dan data sekunder.
a. Bahan Primer
Bahan primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif dan
mempunyai otoritas. Bahan hukum primer dalam penelitian ini terdiri dari ki tabkitab Al-Qur’an, Hadits, Konvensi-konvensi, Buku-buku dan bila diperlukan
pidato-pidato.
13
b. Bahan Sekunder
Bahan sekunder merupakan bahan yang diperoleh dengan jalan mengadakan
studi dokumen yang berhubungan dengan masa lah yang dikaji, seperti paparan
pendapat-pendapat para ahli.
3. Pengumpulan Data
Peneliti melakukan penelusuran untuk mencari bahan -bahan hukum yang
relevan terhadap isu yang dihadapi. Karena didalam penelitian penulis
menyebutkan pendekatan terhadap konven si maka peneliti harus mencari
beberapa konvensi-konvensi atau yang berkaitan dengan isu kejahatan perang.
Oleh karena itu untuk memecahkan suatu isu kejahatan perang peneliti harus
menelusuri sekian banyak berbagai konvensi-konvensi yang bersangkutan
dengan kejahatan perang.
Maka dalam penelitian ini, pengumpulan data menggunakan teknik studi
dokumen dengan mengumpulkan bahan dari sumber -sumber bahan primer,
sekunder, dan tersier seperti yang telah dijelaskan diatas.
4. Analisis Data
Dalam menganalisis data, diterapkan tekhnik analisis isi secara kualitatif.
Metode data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data -data tersebut secara
jelas dan mengambil isinya dengan menggunakan content analysis. Kemudian
melakukan bongkar pasang dan menata kembali secara s istematis data-data yang
telah terkumpul sebelumnya dengan menggambarkan satu kesatuan yang utuh.
14
Penulis menginterpretasikan dengan menggunakan bahasa penulis sendiri, dengan
demikian akan nampak rincian jawaban atas pokok permasalahan yang diteliti.
Sementara untuk teknis penulisan ini penulis berpedoman pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2009.”
F. Sistematika Penulisan
Sebagaimana layaknya laporan hasil ilmiah yang standar dalam bentuk
skripsi, maka laporan ini menjelaskan secara teknis prosedural. Untuk mendapatkan
gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok penulisan skripsi ini dan agar
memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata urutan penulisan ini, maka
penulis menyusun sistematika penulisan ini sebagai berikut :
Bab pertama yaitu pendahuluan. Dalam bab ini dikemukakan latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisa n.
Bab kedua yaitu tinjauan umum tentang perang. Dalam bab ini penulis
membagikan pengertian perang dalam dua perspektif hukum. Yang pertama, perang
dalam perspektif hukum Islam dan yang kedua dalam perspektif hukum internasional.
Disini penulis ingin memp erlihatkan bahwa dalam hukum Islam dan hukum
internasional juga memberikan pemahaman yang sama tentang perang, bagaimana
tata cara dan etika dalam perang.
15
Bab ketiga yaitu kejahatan perang dalam Islam dan Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Penulis memberikan uraian mengenai apa itu yang disebut dengan
kejahatan perang, bentuk-bentuknya seperti apa, hak -hak tawanan yang seperti apa
yang harus dilindungi.
Bab keempat yaitu analisa hukum Islam mengenai kejahatan perang dalam
Konvensi Perserikatan Bangsa -Bangsa (PBB). Bab ini merupakan hasil penelitian
yang akan menjelaskan penghapusan kejahatan perang dalam konvensi PBB dalam
kacamata hukum Islam. Serta bagaimana seharusnya pengaturan yang baik untuk
berperang.
Bab kelima akhir dari seluruh rangkaian pembahas an dalam penulisan skripsi
yang menyajikan hasil-hasil temuan yang dilakukan oleh peneliti berisi kesimpulan
dan saran-saran.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERANG
A. Perang dalam Hukum Humaniter Internasional
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perang adalah suatu
permusuhan antara dua negara (bangsa, agama, suku, dan sebagainya) atau
pertempuran bersenjata antara dua pasukan tentara dan laskar.1 Dalam pasal 3
Konvensi Jenewa 1949 dijelaskan bahwa perang adalah kekerasan terhadap
kehidupan orang, khususnya pembunuhan dari segala jenis, pemotongan anggota
tubuh, perlakuan kejam, dan penyiksaan. Perang juga bisa diartikan suatu
kesengajaan melakukan serangan terhadap penduduk sipil atau serangan terhadap
gedung material, satuan, angkutan dan lain-lain.2
Perang adalah sebuah aksi fisik dan non fisik (dalam arti sempit, adalah
kondisi permusuhan dengan menggunakan kekerasan) antara dua atau lebih kelompok
manusia untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan. Perang secara
purba dimaknai sebagai pertikaian bersenjata, di era modern, perang lebih mengarah
pada superioritas teknologi dan industri, hal ini tercermin dari doktrin angkatan
1
2
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1989, cet. 1, h. 323.
Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional, Jakarta, Elsam, 2000, h. 15
16
17
perangnya seperti "Barang siapa menguasai ketinggian maka menguasai dunia", hal
ini menunjukkan bahwa penguasaan atas ketinggian harus dicapai oleh teknologi.3
Manusia telah mengenal konflik sejak lama, yaitu sejak manusia mengenal
manusia lainnya pada saat interaksi inidividu satu dengan kelompok masyarakat
sosial lainnya, sebagaimana teori kontrak sosial (social contract).4 Konflik adalah
suatu pertentangan, perselisihan, percekcokan. Dan pada fase tertentu akan muncul
tarik-menarik kepentingan (vasted interest) antar individu dan pada titik yang paling
pasif terhadap tarik-menarik kepentingan yang akan menyebabkan peperangan yang
terjadi dalam berbagai ragam dan bentuk. Perang menurut Jean Jacques Rosseau
bukanlah hubungan antara manusia dengan manusia, tetapi antar negara dan negara
dimana orang-orang yang terlibat permusuhannya didalamnya hanyalah bersifat
kebetulan (by accident). Orang-orang yang terlibat dalam perang itu tidak bertindak
sebagai manusia (human), bukan pula sebagai warga negara (citizen), melainkan
sebagai tentara (soldier) sebagai kekuatan negara.
Oleh karena itu, tujuan dan sasaran yang hendak dicapai dengan perang
adalah menghancurkan lawan atau musuh, yaitu negara yang satu menyerang dengan
senjata dengan maksud menghancurkan atau melumpuhkan, dan yang lain bertahan
juga dengan cara berusaha menghancurkan atau melumpuhkan lawan atau musuh.
Dengan demikian, sah bagi para pihak untuk saling berusaha membunuh karena
mereka menggunakan senjata yang memamg mematikan. Akan tetapi, apabila mereka
3
www.wikipedia.com, diakses pada tanggal, 10 Maret 2010.
Cheppy Harcahyono, Ilmu Politik dan Perspektifnya, Yogyakarta, Tiara Kencana, 1996,
Cet. 1, h. 46
4
18
menyerah atau meletakkan senjata, segera sesudah itu, mereka bukan lagi berstatus
sebagai musuh atau agen dari musuh. Mereka secara serta-merta berubah statusnya
menjadi manusia biasa dan tidak terdapat lagi dasar legitimasi untuk membunuh
mereka. Jika mereka dibunuh, menurut ketentuan hukum yang berlaku saat ini, hal itu
termasuk kategori kejahatan perang yang harus ditindak menurut hukum
internasional.5 Dan di dalam U.S. Army Field Manual of the law of Landwarfare
dijelaskan pula beberapa tujuan perang, yaitu:
1. Melindungi baik kombat maupun noncombat dari penderitaan yang tidak
perlu.
2. Menjamin hak-hak asasi tertentu dari orang yang jatuh ke tangan musuh.
3. Memungkinkan dikembalikannya perdamaian.
4. Membatasi kekuasaan pihak yang berperang.6
Hak asasi manusia adalah hak dimana setiap orang/manusia sejak lahir
memiliki hak utama yang melekat dan suci, yaitu hak hidup dari Tuhan dan hak-hak
lainnya demi pemenuhan kebutuhan lahir batinnya. Oleh karena itu, tidak seorangpun
yang berhak mengambil dan mencabutnya. Hanya dengan landasan hukum dan
kontitusional, adil dan benar dengan melalui proses yang legal, pencabutan baik
untuk waktu sementara ataupun seterusnya dapat dibenarkan. Dalam piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan tegas memasukkan unsur penghormatan
hak asasi manusia dan mengakui iindividu sebagai subjek Hukum Internasional.
5
6
h. 7.
Jimly Assiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Jakarta, Rajawali Press, 2007, cet. 1, h. 197
KGPH Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2007,
19
Piagam PBB juga memberikan kewenangan kepada Majelis Umum untuk
memprakarsai kajian dan membuat rekomendasi bagi terpacunya perkembangan
progresif terhadap Hukum Internasional dan kodifikasinya serta untuk membantu
pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi semua orang tanpa pandang
ras, jenis kelamin, bahasa maupun bangsa.7
Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
yang dicetuskan tiga tahun setelah PBB terbentuk dan disahkan oleh Majelis Umum
PBB tanggal 10 Desember 1948, telah dianggap deklarasi HAM Universal. Pada
hakekatnya, Deklarasi HAM Universal ini dimunculkan sebagai akibat dari porak
porandanya kehidupan kemanusiaan setelah Perang Dunia II. Sebelumnya konsep
mengenai HAM ini sudah tercantum dalam beberapa pasal dari Piagam PBB serta
preamble Piagam itu. Meskipun rekomendasi PBB tidak mengikat negara-negara
anggota tetapi negara anggota wajib mengkaji rekomendasi secara sungguh-sungguh,
sehingga bagi negara yang menolaknya dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap
piagam PBB.8
B. Pengertian Perang dalam Islam
Kata jihad sudah tidak asing lagi di telinga kita, apalagi akhir-akhir ini Islam
sedang
menjadi
sorotan
dunia
dengan
tuduhan
aksi
terorismenya
yang
mengatasnamakan jihad. Jihad berasal dari kata jahada yang berarti berusaha,
7
8
Lihat Pasal 13 Piagam PBB
Lihat Pasal 56 Piagam PBB
20
berusaha sekuat tenaga di jalan Allah untuk menyebarkan keimanan dan firman Allah
ke seluruh dunia.9 Menurut bahasa, al-Jihad berasal dari kata jahada-yajhadu-jahda
atau juhdan, yaitu keluasan atau kekuatan.10 Dalam Islam, Allah mewajibkan manusia
untuk menyebarkan ajaran-Nya ke seluruh penjuru dunia. Ketika penyebaran ini
menemui berbagai hambatan berupa penolakan terhadap masuknya ajaran agama
Islam di tanah mereka, dengan kondisi ini jihad pun diperlukan. Jihad, dalam arti
luas, tidak selalu bermakna perang atau mengobarkan peperangan, sebab melangkah
di jalan Allah bisa dicapai dengan cara damai ataupun tindak kekerasan. Jihad
dianggap sebagai suatu propaganda religius yang dilakukan persuasif ataupun
pedang.11
Islam tidak membenarkan peperangan yang bertujuan menaklukan suatu
negara, atau perluasan wilayah, dan mendiktekan kehendak (offensive war), perang
yang diajarkan oleh ajaran Islam (masyru’iyah/legal) adalah perang untuk menolak
serangan musuh, atau mempertahankan hak yang sah yang dilanggar oleh musuh atau
untuk melindungi keamanan dakwah (depensive war).12 Artinya, dakwah kepada
kebenaran dan keadilan serta kepada prinsip-prinsip yang mulia tidak boleh dihalangi
dan ditindas oleh penguasa manapun. Dan perang yang sah di dalam Islam ialah
perang pembelaan diri yakni untuk membalas serangan yang benar-benar telah terjadi
9
Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam, Yogyakarta, Tarawang Press, 2002, h.
46.
10
Dr. Abdullah Azzam, Perang Jihad Di Jaman Modern, (Jakarta: Gema Insani Press), 1992,
hal. 11
11
Khadduri, War and Peace, Yogyakarta, Tarawang Press, 2002, h. 46.
Prof. H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslhatan Umat Dalam Rambu-Rambu
Syariah, Jakarta, Kencana, 2003, Cet. 3, h. 146
12
21
terhadap kaum muslimin. Dan perang yang tidak sah ialah perang yang bermaksud
merampas, atau menduduki, atau membuat kerusakan.13
Para ahli hukum membedakan 4 (empat) cara bagi umat untuk memenuhi
panggilan jihad yaitu: dengan hati, dengan lidah, dengan panggilan dan dengan
pedang. Cara pertama (hati) berkenaan dengan perintah melawan setan dan berusaha
menghindari bujuk rayu setan dan jihad ini bagi nabi Muhammad dianggap sebagai
jihad terbesar. Cara kedua (lidah) dan ketiga (tangan) dilakukan untuk penegakan
kebenaran serta mengoreksi kesalahan. Cara keempat (pedang) setara dengan makna
perang dan dititikberatkan pada peperangan melawan orang kafir serta musuh Islam
atas nama iman.14
Berikut ayat-ayat al-Qur’an mengenai perintah perang:
(#θã_Ì÷zé& tÏ%©!$# ∩⊂∪ íƒÏ‰s)s9 óΟÏδÎóÇtΡ 4’n?tã ©!$# ¨βÎ)uρ 4 (#θßϑÎ=àß öΝßγ¯Ρr'Î/ šχθè=tG≈s)ムtÏ%©#Ï9 tβÏŒé&
(
:) 3 ª!$# $oΨš/‘u (#θä9θà)tƒ χr& HωÎ) @d,ym ÎötóÎ/ ΝÏδÌ≈tƒÏŠ ÏΒ
Artinya: “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena
sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha
Kuasa menolong mereka itu. (Yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampong
halaman mereka tanpa alas an yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan
kami hanyalah Allah”… ”
Ayat ini merupakan ayat yang pertama kali diturunkan Allah berkenaan
dengan peperangan. Menurut al-Sarakhi, sebelum memerintahkan perang, Allah lebih
dulu memberikan beberapa tuntutan menghadapi orang-orang yang menganggu Islam
13
14
h. 47.
Ibid., h. 144
Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam, Yogyakarta, Tarawang Press, 2002,
22
dan umatnya. Pertama, Allah memerintahkan kepada Nabi untuk membuat
pernyataan sikap dan menarik diri dari mereka (kaum musyrik), jika mereka masih
melakukan penolakan terhadap Islam dan menggangu umat Islam. Hal ini dinyatakan
Allah dalam surat al-Hijr ayat 94, “Maka sampaikanlah olehmu secara terangterangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orangorang yang musyrik.”. Kedua, Allah memerintahkan Nabi untuk mengadakan
perdebatan-perdebatan dengan baik, seperti yang dijelaskan dalam surat an-Nahl,”…
(kalau kamu berdebat) bantahlah mereka dengan cara-cara yang baik pula.”. Ketiga,
apabila mereka (kaum musyrik) tidak mau menerima dan menggangu umat Islam,
maka Allah mengizinkan Nabi dan orang mukmin untuk mempertahankan diri,
seperti halnya dimaksudkan dalam surat al-Hajj di atas.15
yŠ$|¡
x ø9$# =Ïtä† Ÿω ª!$#ρu 3 Ÿ≅ó¡¨Ψ9$#ρu y^öysø9$# y7Î=ôγãƒuρ $yγŠÏù y‰Å¡øã‹Ï9 ÇÚö‘F{$# ’Îû 4tëy™ 4’¯<uθs? #sŒÎ)uρ
( :) ∩⊄⊃∈∪
Artinya: “Dan apabila ia berpaling darimu ia berjalan di muka bumi untuk
mengadakan kerusakan, menghancurkan tanaman-tanaman dan binatang ternak,
sedangkan Allah tidak menyukai kerusakan.”
15
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta, Gaya
Media Pratama, 2007, Cet. 2, h. 250.
23
èπt7É)≈yèø9$#ρu 4 #YŠ$|¡ùs Ÿωρu ÇÚö‘F{$# ’Îû #vθè=ãæ tβρ߉ƒÌムŸω tÏ%©#Ï9 $yγè=yèøgwΥ äοtÅzFψ$# â‘#¤$!$# y7ù=Ï?
(:) ∩∇⊂∪ tÉ)−Fßϑù=Ï9
Artinya: “Kampung akhirat itu akan dijadikan bagi orang-orang yang tidak ingin
menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan akhir yang baik
adalah bagi orang-orang yang bertakwa.”
Sejarah peperangan Nabi Muhammad merupakan awal dari kehormatan dari
sebuah perikemanusiaan karena Nabi Muhammad mengajarkan etika perang yang
beradab dan berperikemanusiaan. Agenda perjanjian gencatan senjata, pengiriman
delegasi keluar negeri, dan strategi Nabi di medan perang itu mempunyai pengertian
yuridis yang secara tidak langsung sama dan mendukung Hukum Internasional, yaitu
meminimalisir jatuhnya korban dan menghindari kerusakan-kerusakan. Pada
dasarnya peperangan Nabi Muhammad merupakan respon terhadap tindakan-tindakan
resisten yang dilakukan oleh lawan-lawan politiknya atau tindakan untuk
mempertahankan diri (self defence) dari segala bentuk serangan.16 Rasulullah saw.
tidak akan memerangi suatu kaum kecuali berdakwah dan menyerukan agama Islam.
Hal ini sesuai dengan Hadits Nabi, ”Bisyr bin As-Sirry menceritakan dari Sufyan dari
Ibnu Abi Najih dari ayahnya dari Ibnu Abbas ra., ia berkata: Rasulullah SAW tidak
16
http://psktti-ui.com.
24
akan memerangi suatu kaum melainkan terlebih dahulu ia berdakwah mengajak
mereka kepada Islam. (HR. Ahmad).”17
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abdullah ibn
Abi Awfa, Nabi menyatakan, “Janganlah kalian berharap bertemu musuh, dan
berdoalah kepada Allah untuk perdamaian. Namun bila kalian bertemu musuh,
hadapilah dengan kesabaran.” Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa damai adalah
prinsip utama dalam Islam, sedangkan penggunaan kekuatan senjata dikarenakan
keadaan yang sangat terpaksa untuk mempertahankan kedamaian tersebut.
Seperti yang dijelaskan di atas tujuan perang dalam Islam ialah untuk
memelihara perdamaian, keamanan dan kesejahteraan umat serta untuk melindungi
kemerdekaan penyiaran dakwah islamiyah. Selain tujuan tersebut, adapun tujuan
yang lainnya, yaitu:
1. Untuk menolak permusuhan kepada Islam dan kaum Muslimin, yang
dilakukan oleh kaum musyrik, kafir, pembangkangan dan orang-orang
yang dendam terhadap Islam.
2. Untuk mengokohkan dakwah Islam agar bisa sampai kepada orang-orang
yang berhak mengetahuinya.
3. Untuk menawarkan Islam kepada kaum musrikin, kaum kafirin, orang-orang
yang zhalim dan orang-orang yang mempunyai prasangka buruk kepada
Allah.
4. Untuk mengokohkan agama dan syariat Allah.18
17
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Riyadh, Darul Hadits, 1997, h. 173, hadis no. 2001
25
C. Etika dalam Perang
1. Perintah Perang
Khalifah, secara hukum, merupakan pimpinan yang membawahi
kekuasaan sipil dan militer. Ahli hukum berpendapat, kekuatan militer sebagai
kekuatan dasar kekuasaan, suatu sudut pandang yang mencerminkan
kecenderungan terhadap pengaturan lembaga diserahkan kepada seorang
komandan militer. Perintah militer ada dua jenis, khusus dan umum.
Penggolongan pertama, hanya berkaitan dengan kebijakan militer angkatan
perang, sedangkan yang lain berhubungan dengan aspek diiplomatik yang
juga menyangkut aspek militer.
Berikut jabaran secara umum mengenai kewajiban yang berhubungan
dengan perintah khusus:
a) Memimpin
angkatan
perang,
termasuk
didalamnya
memperhatikan kepribadian prajuritnya, pemeriksaan pasukan
berkuda, dan perlengkapan persenjataan.
b) Mengatur jalannya peperangan serta memberi dukungan semangat
tempur kepada para prajurit.
c) Menerapkan kemampuan dan teknik militer, sesuai dengan sabda
nabi yang berbunyi, “Perang adalah usaha tipu daya”, untuk
melindungi pasukan dari serangan mendadak dan meraih
18
Ali Abdul Halim Mahmud, Rukun Jihad, Jakarta, Al’ithisom Cahaya Umat, h. 97.
26
kemenangan. Dan seorang komandan juga harus memilih posisi
yang strategis dan terbaik yang memungkinkan untuk menyerang.
d) Tugas observasi militer seperti melihat aspek ketabahan, daya
juang dalam melawan musuh dan mengontrol para prajurit apabila
ada yang meninggalkan pasukan. Di pihak lain, prajurit jihad ini
berkewajiban mematuhi perintah komandan serta menerima
keputusannya dalam menyelesaikan masalah-masalah pribadi.19
Perang dimulai dengan dikeluarkannya perintah dari komandan
angkatan perang. Perintah tersebut diikuti dengan takbir (Allahu Akbar) atau
do’a sebagai pertanda baik sebelum peperangan di mulai. Sebagian khalifah
dan para komandan perang dinasehatkan unutk menjauhkan diri dari
peperangan pada hari-hari tertentu atau saat terjadi musibah, sekaligus
memilih waktu yang lebih baik.20 Oleh karenanya, tidak diperkenankan
memasuki
wilayah
peperangan
kecuali
setelah
adanya
pengumuman/pernyataan perang di dalam rentan waktu yang memungkinkan
sampainya berita itu kepada musuh. Walaupun, peperangan tidak bisa
dielakkan lagi, maka diberi tiga pilihan:
a) Masuk Islam.
19
Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam, Yogyakarta, Tarawang Press, 2002,
20
Ibid., h. 74
h. 71
27
b) Mengadakan perjanjian agar damai dan dapat mengamankan
dakwah.
c) Berperang, pernyataan perang untuk memilih, ini merupakan
pengumuman, agar tidak ada serangan tiba-tiba sebelum perang
dimulai. Dengan tidak bermaksud menjajah atau memperbudak
tapi hanya sekeradar memberikan pilihan kebebasan kepada
manusia untuk memilih kepercayaannya.21
Berikut ayat-ayat yang memerintahkan kaum Muslimin untuk
berperang, dan ini terbagi dalam 2 (dua) tahap, pertama melancarkan perang
terhadap orang-orang yang lebih dulu menyerang dan memerangi mereka:
=ÅsムŸω ©!$# $χÎ) 4 (#ÿρ߉tG÷è?s Ÿωρu óΟä3tΡθè=ÏG≈s)ムtÏ%©!$# «!$# È≅‹Î6y™ ’Îû (#θè=ÏG≈s%uρ
∩⊇⊃∪ šωtG÷èßϑø9$#
Artinya: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu,
(tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas ”
Al-Ustadz Sayyid Quthb mengatakan bahwa menurut sebagian
riwayat, ayat ini merupakan ayat awal yang diturunkannya perintah berperang
– kepada kaum Muslimin – setelah sebelumnya turun ayat yang memuat izin
dari Allah kepada mereka untuk memerangi orang-orang kafir karena mereka
telah dianiaya (dizhalimi) dan kaum Muslimin pun telah mengetahui bahwa
21
Prof. H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslhatan Umat Dalam Rambu-Rambu
Syariah, Jakarta, Kencana, 2003, Cet. 3, h. 146
28
izin tersebut merupakan pendahuluan (muqaddimah) bagi kewajiban berjihad
atas mereka yang bertujuan untuk memantapkan kedudukan mereka di muka
bumi. (Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an juz I hlm. 265).22
Kemudian firman Allah dalam surah At-Taubah ayat (36):
(6 :-45)
,-./$% &'"( )* "+% ,-./$% "01%23)+ !"#...
Artinya: “… dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana
merekapun memerangi kamu semuanya…”.
Menurut sebagian ulama, perintah dalam ayat ini ditujukan kepada orangorang musyrik bangsa Arab karena mereka selalu memusuhi kaum Muslimin.
Allah SWT. memerintahkan Rasul untuk memerangi mereka agar dapat
menolak kejahatan, memusnahkan kejuwudan dan sikap keras kepala mereka
di dalam mempertahankan tradisi nenek moyang serta kecurangan yang
melampaui batas.
Sejarah telah membuktikan bahwa kaum Muslimin tidak pernah
menggunakan kekuatan senjata untuk memerangi kelompok lain yang
menghalangi. Apalagi memaksa seseorang atau kelompok untuk memeluk
agama islam. Seperti yang dinyatakan tegas dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah
ayat 256, bahwa tidak ada paksaan dalam agama:23
22
Debby M. Nasution, Kedudukan Militer dalam Islam dan Peranannya pada Masa
Rasulullah saw., Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 2002, cet. 1, h. 21.
23
Ibid., h. 22.
29
-∅ÏΒ÷σãƒuρ ÏNθäó≈©Ü9$$Î/ öàõ3tƒ yϑsù 4 Äcxöø9$# zÏΒ ß‰ô©”9$# t¨t6¨? ‰s% ( ÈÏe$!$# ’Îû oν#tø.Î) Iω
∩⊄∈∉∪ îΛÎ=tæ ìì‹Ïÿxœ ª!$#ρu 3 $oλm; tΠ$|ÁÏΡ$# Ÿω 4’s+øOâθø9$# Íοuρó,ãèø9$$Î/ y7|¡ôϑtGó™$# ωs)sù «!$$Î/
(:6/)
Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu,
barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang
tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”.
2. Etika dan Aturan Perang
Dalam teori hukum Islam, perang tidak bertujuan untuk mencapai
kemenangan atau merampas harta kekayaan musuh. Perang lebih bertujuan
untuk menjalankan kewajiban jihad di jalan Allah dengan cara penyebaran
agama Islam. Orang-orang yang melakukan jihad diminta untuk menahan diri
dari pertumpahan darah atau penghancuran kekayaan yang tidak perlu
dilakukan demi mencapai tujuan. Aturan ini didasarkan pada ucapan Abu
Bakar yang diucapkan pada ekspedisi pertama perbatasan Syria dan juga
dilakukan oleh khalifah sesudahnya.24
Sebelum berperang, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan
pasukan. Ini dimaksudkan supaya taktik dan strategi yang direncanakan dalam
peperangan berjalan efektif dan tentara muslim berhasil memenangkan
peperangan. Menurut Ali Wahbah, pertama, percaya sepenuhnya pada
24
h. 83.
Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam, Yogyakarta, Tarawang Press, 2002,
30
komando pimpinan perang. Prajurit muslim harus mempercayakan segala
keputusan dan tindakan di tangan komandan perang. Kedua, bersabar
menghadapi musuh. Ini penting, Karena bersabar merupakan kunci untuk
meningkatkan moral dan semangat prajurit dalam pertempuran. Ketiga, tetap
konsekuen dan teguh pendirian dalam menghadapi musuh di medan
pertempuran. Keempat, taat pada komando komandan pasukan. Komandan
adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap pasukan muslim.
Karena itu, bila komandan telah memutuskan suatu sikap dan perintah, wajib
hukumnya bagi tentara untuk mematuhinya. Hal ini didasarkan pada al-Quran
surat al-Nisa (4) ayat (58), “…taatilah Allah, taatilah Rasul dan para
pemimpin di antara kamu….”. Kelima, mempersiapkan bekal yang cukup.25
Berikut 10 (sepuluh) perilaku mulia yang dipegang oleh Islam di
dalam peperangan, antara lain:
a) Dilarang membunuh anak-anak, dalam kasus ini pernah sahabat
bertanya kenapa dilarang membunuh anak-anak musyrik? Nabi
menjawab: bukanlah di antara kamu juga dahulu anak-anak orangorang musyrik.
b) Dilarang juga membunuh wanita-wanita yang tidak ikut berperang
juga dilarang memperkosa, apabila memperkosa di waktu perang,
maka orang yang memperkosa tersebut harus bertanggung jawab
25
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta, Gaya
Media Pratama, 2001, Cet. II, h. 257.
31
secara pidana; artinya mendapat sanksi zina bahkan ditambah
dengan sanksi takzir.
c) Dilarang membunuh orang yang sudah tua apabila orang-orang tua
tersebut tidak ikut berperang, anak kecil, perempuan dan orangorang tua dilarang dibunuh adalah menunjukkan ajaran Islam
penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan yaitu penghormatan kepada
nilai kemanusiaannya.
d) Tidak memotong dan merusak pohon-pohon, sawah, dan ladang.
Hal ini semakna dengan al-Quran:
3 Ÿ≅ó¡¨Ψ9$#ρu y^öysø9$# y7Î=ôγãƒuρ $yγŠÏù y‰Å¡øã‹Ï9 ÇÚö‘F{$# ’Îû 4tëy™ 4’¯<uθs? #sŒÎ)uρ
( : ) ∩⊄⊃∈∪ yŠ$|¡x ø9$# =Ïtä† Ÿω ª!$#ρu
Artinya: “Dan apabila berpaling dia berusaha di muka bumi untuk
membuat kerusakan dan menghancurkan tanaman dan binatang
ternak.”.
e) Tidak merusak binatang ternak baik sapi, domba dan lain-lain
kecuali untuk dimakan.
f) Tidak menghancurkan gereja, biara, dan rumah-rumah ibadat. Hal
ini tersirat dari firman-Nya:
Óìu‹Î/ρu ßìÏΒ≡uθ|¹ ôMtΒÏd‰çλ°; <Ù÷è7t Î/ Νåκ|Õ÷è/t }¨$¨Ζ9$# «!$# ßìøùyŠ Ÿωöθs9uρ ...3
(
:) ߉Éf≈|¡Βt uρ ÔN≡uθn=|¹uρ
32
Artinya: “Dan sekiranya Allah tidak menolak keganasan sebagian
manusia terhadap yang lain, pasti telah dirobohkan, biara-biara,
gereja-gereja, dan masjid-masjid”.
g) Dilarang pula mencincang-cincang mayat musuh, bahkan bangkai
binatang pun tidak boleh dicincang.
h) Dilarang membunuh pendeta dan para pekerja yang tidak ikut
berperang, karena para pekerja itu adalah orang-orang yang lemah
yang ada di bawah tindasan dan pemerasan penguasa-penguasa
yang rakus;juga dilarang membunuh tentara yang luka dan tidak
melawan.
i) Bersikap sabar, berani dan ikhlas di dalam melakukan peperangan,
membersihkan niat dari mencari keuntungan duniawi.
j) Tidak melampaui batas, dalam arti batas-batas aturan hukum dan
moral di dalam peperangan, karena Allah di dalam al-Quran
berulang kali menyatakan bahwa: “Allah tidak menyukai orangorang yang melampaui batas”.26
Selain
perihal
pengaturan
mengenai
larangan-larangan
dalam
peperangan, Altaf Gaufar dalam bukunya yang berjudul “The Challenge Of
Islam” menegaskan mengenai peraturan-peraturan hukum Islam yang
mengizinkan tindakan-tindakan berikut di medan perang, diantaranya:
26
Djazuli, Fiqh Siyasah, h. 146.
33
a) Kaum muslimin boleh membunuh, melukai, mengejar, dan
melawan musuh. Namun dalam keadaan terpaksa dan dalam usaha
membela diri maka diperbolehkan membunuh musuh yang bukan
tentara.
b) Kaum muslimin boleh menggunakan tipu muslihat atau kid’ah di
medan perang untuk memperoleh kemenangan.
c) Kaum muslimin boleh melakukan peperangan terhadap musuh
pada malam hari dengan memakai segala macam persenjataan.
Dan dimungkinkan juga untuk mengadakan serangan-serangan
kepada pihak musuh dari jarak jauh
asalkan tidak diarahkan
kepada penduduk sipil/bukan tentara.
d) Dalam keadaan tentara musuh membaurkan diri dengan penduduk
sipil bahkan berlindung dibelakang perempuan-perempuan atau
anak-anak ataupun orang-orang Islam yang mereka tawan,
disamping itu tentara Islam harus melancarkan serangan-serangan
dari jarak jauh maka dalam situasi seperti ini dapat diperintahkan
untuk tidak membidik kan senjata kepada pihak yang netral atau
pihak musuh bukan tentara.
e) Harta kekayaan musuh boleh dirampas atau dihancurkan bahkan
perbekalan-perbekalan musuh boleh dilumpuhkan dengan berbagai
cara dan bahan pangan dan ternak boleh diambil dengan dibeli
34
secara paksa atau kekerasan apabila rakyat di negeri musuh itu
berkeberatan.27
D. Perdamaian Pasca Perang
Dalam siyasah dauliyah, diyakini bahwa peperangan terjadi karena sistem
politik yang ada sudah tidak mampu lagi menyerap dan memecahkan masalah
ketegangan yang timbul di antara dua negara atau lebih. Konsekuensi dari asas bahwa
hubungan internasional dalam Islam adalah perdamaian saling membantu dalam
kebaikan, maka:
1. Perang tidak dilakukan kecuali dalam keadaan darurat. Sesuai dengan
persyaratan darurat, hanya dilakukan seperlunya (tuqadaru biqadariha).
2. Orang yang tidak ikut berperang tidak boleh diperlakukan sebagai musuh.
3. Segera menghentikan perang apabila salah satu pihak cenderung kepada
damai.
4. Memperlakukan tawanan perang dengan cara manusiawi.
Peperangan dapat berakhir dengan menyerahnya musuh dan perjanjian damai
atau genjatan senjata. Apabila musuh telah menyerah, maka tidak diperkenankan
untuk diserang lagi dan mereka diberikan pilihan. Pertama, ajak mereka masuk
Islam. Apabila diterima, ajak mereka untuk pindah ke negeri Islam dengan status dan
27
L. Amin Widodo, Fiqih Siasah dalam Hubungan Internasional, Yogyakarta, Tiara Wacana
Yogya, 1994, h. 75.
35
kedudukan sama dengan umat Islam lainnya, dan mereka berhak mendapatkan harta
rampasan. Tapi kalau mereka enggan untuk hijrah maka mereka tidak berhak
mendapat rampasan perang, kecuali mereka ikut berperang bersama tentara muslim.
Atau kedua, mereka membayar jizyah. Jiwa dan harta benda mereka wajib dilindungi
bila mereka telah membayar jizyah.28
Dalam hukum internasional sekarang pakta perdamaian merupakan hasil
persetujuan internasional di antara negara-negara yang menciptakan hak-hak dan
kewajiban yang legal bagi semua pihak yang bersifat mengikat. Dulu pakta
perdamaian sebagian besar terdiri dari peraturan-peraturan hukum kebiasaan
internasional yang tertulis (convention) berdasar hasil konferensi Wina tanggal 22
Mei 1969, yang sekarang dikenal dengan Konvensi Wina. Dalam Islam pakta
perdamaian (muhadana atau muwada’a) merupakan suatu prinsip ikatan atau
semacam hubungan kemasyarakatan yang bersifat internal dan universal yang sangat
didambakan. Muwadana’a semacam aqad (secara harfiah, yaitu sebuah ikatan atau
hubungan yang ditandai dengan sebuah persetujuan adanya tindakan-tindakan nyata
dengan maksud menciptakan konsekuensi dan kepastian hukum29) hubungan antara
kaum muslimin dengan orang-orang non muslimin yang dibolehkan sebagai suatu
bentuk persetujuan bersama antara kedua belah pihak mengenai suatu perbuatan
28
29
167.
Iqbal, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, h. 261.
Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam, Yogyakarta, Tarawang Press, 2002, h.
36
tertentu yang bertujuan untuk menciptakan akibat-akibat hukum tertentu secara
legal.30
Dari fakta sejarah telah dapat kita saksikan bahwa Rasulullah SAW tidak
sedikit telah merealisasikan berbagai pakta prinsip perdamaian dalam segala bentuk
perjanjian damai sesuai dengan tujuan-tujuan politik dan faktor-faktor situasi serta
kondisi yang menjadi penentu. Sebagai contoh:
1. Pakta perdamaian yang diadakan antara suku Auz dengan suku Khajraj yang
kemudian diabadikan dalam “Piagam Nabi”, sehingga ditaati oleh orang
Yahudi di Madinah.
2. Perjanjian Hudaibiyah yang merupakan perjanjian damai (sementara) antara
segenap kaum muslimin di Madinah dengan para kaum politisi Quraisy di
Mekah.
3. Berbagai bentuk perjanjian yang diadakan antara Nabi Muhammad SAW
dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menjadi warga negara Islam
seperti yang kemudian diabadikan pada bagian pasal dari “Piagam
Madinah”.31
Kewenangan untuk membuat perjanjian terletak di tangan Nabi Muhammad
dan para penggantinya, tetapi kekuasaan dan kewenangan ini secara berkala diberikan
kepada para komandan di lapangan yang diberi wewenangan untuk merundingkan
perjanjian dengan lawan, apabila musuh akan mengadakan hubungan dengan Islam.
30
31
Widodo, Fiqih Siasah dalam Hubungan Internasional, h. 107.
Ibid., h. 109.
37
Meskipun demikian, nabi dan para penggantinya selalu menyiapkan dasar hukum
untuk membatalkan perjanjian atau rencana-rencana yang menurut pertimbangan
akan berbahaya bagi umat Islam, dimana persetujuan atau ratifikasi yang mereka buat
merupakan prasyarat agar membuat kaum Muslimin terikat dalam sebuah
masyarakat, yaitu masyarakat Islam.32
Allah lebih menyukai jika kaum muslimin berdamai dengan musuh, seperti
dijelaskan dalam al-Quran surat al-Anfal (8) ayat 61, “Jika mereka (musuh) itu
cenderung kepada perdamaian, maka berdamailah dan tawakallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.33 Di dalam Islam,
perjanjian terjadi karena adanya penawaran dan persetujuan, tidak terlalu terikat pada
bentuk atau prosedur apapun. Setiap ketetapan perjanjian disetujui, perjanjian
menjadi sesuatu yang mengikat kedua belah pihak. Jika perjanjian telah
ditandatangani oleh penguasa Islam, berarti perjanjian tersebut harus dilaksanakan
dalam kehidupan sesuai denga pasal-pasal yang disetujui. Al-Qur’an memerintahkan
umat Islam agar “jangan melanggar sumpah setelah membuatnya”34 dan apabila
kaum non-Islam juga mematuhinya, maka “penuhilah janjinya sampai batas
waktunya.”35.36
Dalam perjanjian, menurut Abu Zahrah, masing-masing pihak berada pada
posisi yang sama. Tidak boleh ada pihak yang mensyaratkan perjanjian yang
32
Khadduri, War and Peace, h. 167.
Iqbal, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, h. 261.
34
Q.S. An-Nahl ayat 91.
35
Q.S. At-Taubah ayat 4.
36
Khadduri, War and Peace, h. 168.
33
38
memberatkan bagi pihak lain, seperti menuntut ganti rugi kepada rakyat, menahan
pasokan bahan makanan atau syarat-syarat lain yang tidak adil. Umat Islam wajib
menerima dan mematuhi perdamaian tersebut. Karena dengan perjanjian genjatan
senjata ini, maka berakhirlah pertumpahan darah di kedua belah pihak. Di samping
itu juga akan menahan terjadinya kerusakan yang lebih parah akibat perang.37 Berikut
minimal 3 syarat dalam memenuhi pakta perdamaian dalam Islam:
1.
Perjanjian diadakan dasar persetujuan antara kedua belah pihak tanpa adanya
unsur pemaksaan dan initimidasi, unsur kerelaan merupakan syarat mutlak
yang harus terpenuhi.
2.
Perjanjian diselenggarakan dengan tujuan dan cara-cara yang jelas. Harus
jelas tujuannya untuk mengusahakan terwujudnya perdamaian abadi. Dan
harus jelas batas-batas komitmen dan hak-haknya untuk menjunjung tinggi
dan menghormati hak-hak asasi kemanusiaan yang sangat didambakan oleh
seluruh bangsa didunia.
3.
Isi perjanjian tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan jiwa syariat Islam,
sehingga
tidak
ada
kemungkinan-kemungkinan
musuh-musuh
Islam
mempunyai kesempatan untuk menerobos kubu-kubu pertahanan Islam.38
Namun dalam suasana damai, Allah juga mengingatkan dan mengisyaratkan
supaya umat Islam tetap waspada dan siaga, kalau-kalau perjanjian damai ini hanya
menjadi siasat musuh untuk memukul kembali tentara muslim. Dalam surah Al-
37
38
Iqbal, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, h. 262.
Widodo, Fiqih Siasah dalam Hubungan Internasional, h. 113.
39
Anfaal ayat 62, Allah menegaskan jika mereka bermaksud menjadikan gencatan
senjata sebagai kedok untuk menipu umat Islam, maka untuk umat Islam agar
meminta perlindungan kepada Allah untuk menghadapi mereka. Artinya, apabila
mereka mengingkari perjanjian gencatan senjata tersebut, maka tidak ada artinya lagi
umat Islam mempertahankan isi perjanjian. Umat Islam harus bangkit melawan
mereka yang mengingkari perjanjian tersebut.39 Sebagai contoh, dari sirah Nabi, fakta
sejarah menunjukkan bahwa Rasulullah SAW menyerang Mekkah walaupun telah
mengadakan perjanjian damai dengan penduduk Mekkah. Karena penduduk Mekkah
telah melanggar janji damai dengan tindakan mereka mengirimkan bantuan militer
meraka kepada Bani Kinanah untuk menyerbu Bani Khazi’ah yang notabene ialah
sekutu Rasulullah SAW.40
Islam sangat mengedepankan sebuah perdamaian, Islam adalah agama dunia,
berlaku universal, dan untuk kebaikan semua manusia dan alam. Karena itu, setiap
Muslim memandang hubungan antar sesama manusia adalah atas dasar cinta,
persahabatan, kerjasama untuk kebaikan dan perdamaian. Hanya mereka yang
dangkal imannya, sempit ilmunya, perasaan benci dan dendam, serta mereka yang
tidak sabarlah yang cenderung membuat permusuhan dan perperangan sesama
manusia. Islam yang suci, sering dinodai oleh segelintir kelompok yang memaksakan
keyakinannya kepada pihak lain dengan menebar teror dan kekerasan dengan dalih
39
40
Iqbal, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, h. 262.
Widodo, Fiqih Siasah dalam Hubungan Internasional, h. 114.
40
agama. Mereka harus kembali pada prinsip Islam dalam menata hubungan dengan
sesama manusia yang berbeda keyakinan dan agama.41
Ada tiga karamah (kemuliaan) yang dianugerahkan Allah kepada manusia
terlepas dari latar belakang etnik, agama dan politik, yaitu:
1.
Karamah fardiyyah (kemuliaan individual) yang berarti bahwa Islam
melindungi aspek-aspek kehidupan manusia baik aspek spiritual maupun
aspek material
2.
Karamah ijtima’iyyah (kemuliaan kolektif) yaitu Islam menjamin sepenuhnya
persamaan di antara individu-individu.
3.
Karamah siyasiyyah (kemuliaan secara politis) yaitu Islam memberi hak
politik pada individu-individu untuk memilih atau dipilih pada posisi-posisi
politik, karena mereka adalah wakil Allah.42
Karena itu, golongan nonMuslim di tengah masyarakat Muslim secara sosial
diperlakukan sama dengan orang-orang Muslim sendiri. Antara mereka dibolehkan
untuk melakukan interaksi dalam berbagai bidang kehidupan, seperti perdagangan,
perkawinan dan belajar mengajar.
.
41
http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A3260_0_3_0_M, di akses pada tanggal 21
Juni 2011 pukul. 22.56 WIB
42
Masykuri Abdillah, Demokrasi Di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim
Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1996), Yoogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999, h. 99
BAB III
KEJAHATAN PERANG DALAM ISLAM DAN KONVENSI
PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (PBB)
A. Pengertian Kejahatan Perang
1. Kejahatan Perang dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kejahatan adalah perilaku yang
bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku yang telah disahkan
oleh hukum tertulis (hukum pidana).1 Perkataan kejahatan menurut pengertian tata
bahasa adalah suatu tindakan atau perbuatan yang jahat adalah pembunuhan,
pencurian, perampokan, dan lain sebagainya yang dilakukan oleh manusia. Para pakar
ilmu kriminologi banyak membuat rumusan tentang kejahatan. Antara lain seperti
yang diungkap oleh W.A. Bonger (1963), seperti yang dikutip oleh Soedjono
mengemukakan bahwa kejahatan merupakan perbuatan anti sosial yang secara sadar
mendapat reaksi dari rumusan-rumusan hukum mengenai kejahatan. Pengertian ini
sama dengan yang diutarakan oleh Sutherland yang menekankan bahwa ciri pokok
dari kejahatan ialah perilaku yang dilarang oleh negara dan perbuatan tersebut dapat
1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai
Pustaka, 1989, cet. 2, h. 344.
41
42
menimbulkan reaksi dari negara, yaitu dengan hukuman sebagai suatu upaya yang
ampuh.2
Kejahatan perang adalah segala pelanggaran terhadap hukum-hukum perang
atau hukum humaniter internasional yang mendatangkan tanggung jawab kriminal
individu. Pengadilan Militer Internasional di Nuremberg mendefinisikan kejahatan
perang sebagai “pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan hukum”, termasuk
pembunuhan, perlakuan buruk, atau deportasi penduduk sipil dalam wilayah yang
telah diduduki, pembunuhan atau perlakuan buruk terhadap tahanan perang,
pembunuhan sandera; perampasan barang-barang publik atau harta milik pribadi;
perusakan tanpa alasan atas kota-kota; dan penghancuran tanpa kepentingan militer.3
Bagi tujuannya sendiri, Mahkamah Kejahatan Internasional bagi Bekas negara
Yugoslavia (ICTY atau Internasional Criminal Tribunal for the former Yugoslavia)
mendefinisikan sebagai sesuatu yang berkonsekuensi berat bagi korbannya dan
melanggar aturan yang melindungi nilai-nilai penting. Contoh kecilnya, membakar
hasil panen sebuah desa merupakan sebuah pelanggaran serius, tetapi mencuri
sepotong roti bukanlah sebuah pelanggaran serius.4
Tindakan ilegal yang paling serius adalah pelanggaran-pelanggaran berat atas
Konvensi-Konvensi Jenewa tahun 1949. Tindakan ilegal mencakup: penggunaan cara
2
Soedjono D. Soekamto, Kriminologi Suatu Pengantar, Bandung, Ghalia Indonesia, 1986,
cet. Ke-11, h. 21
3
Steven R.Ratner, Kategori Kejahatan Perang, dalam Roy Gutman dan David Reff, ed.,
Kejahatan Perang yang Harus Diketahui Publik, t.t., Program Pelatihan Jurnalistik Televisi, 2004, h.
462.
4
Ewen Allison dan Robert K.Goldman, Tindakan Ilegal dan Dilarang (Ilegal or Prohibited
Acts), dalam Roy Gutman & David Reff, ed., Kejahatan Perang yang Harus Diketahui Publik, t.t.,
Program Pelatihan Jurnalistik Televisi-Interviews Europe, 2004, h. 231.
43
dan metode peperangan yang dilarang, termasuk racun atau senjata lain yang
terhitung menyebabkan pernderitaan yang tidak seharusnya; serangan curang yang
tidak melibatkan penyalahgunaan lambang yang dilindungi atau lambang maupun
seragam
negara-negara
netral;
gagal
mengenakan
suatu
seragam
untuk
mengidentifikasi diri sendiri sebagai kombatan yang sah; penjarahan; terorisme;
campur tangan dalam kiriman kapal untuk bantuan kemanusiaan; perusakan serius,
yang tidak dibenarkan terhadap harta milik; serangan atau pembombardiran terhadap
kota yang tidak dipertahankan, pemikiman, atau bangunan-bangunan; tindakan
perusakan sengaja dilakukan terhadap lembaga-lembaga kebudayaan tertentu, seperti
bangunan yang diperuntukkan untuk keagamaan, pendidikan, amal, seni, ilmu
pengetahuan, atau monument sejarah dan karya seni; tindakan balasa terhadap orang
atau objek yang dilindungi; dan tiap bentuk pelanggaran kesepakatan gencatan
senjata.
Protokol Tambahan I tahun 1977 memperluas wilayah proteksi Konvensi
Jenewa untuk konflik internasional dengan memasukkan hal-hal berikut sebagai
pelanggaran perang antara lain, eksperimen medis tertentu, membuat penduduk sipil
atau suatu tempat sebagai obyek atau korban serangan yang tidak dapat dihindarkan,
berlaku curang dalam penggunaan lambang Palang Merah Internasional, apartheid,
dan mencabut hak seorang yang dilindungi dari pengadilan yang adil.5
5
Steven R.Ratner, Kategori Kejahatan Perang, dalam Roy Gutman & David Reff, ed.,
Kejahatan Perang yang Harus Diketahui Publik, t.t., Program Pelatihan Jurnalistik Televisi-Interviews
Europe, 2004, h. 462.
44
Kejahatan perang terbagi menjadi empat kategori, yang merefleksikan evolusi
historis dari subjek dengan membedakan antara kejahatan yang dilakukan pada saat
konflik internasional dan pada saat konflik bersenjata internal. Kategori pertama –
pasal 8 (2) (a) – meliputi semua ‘pelanggaran berat’ Konvensi Jenewa, 1949.
Kategori kedua – pasal 8 (2) (b) – meliputi ‘pelanggaran yang berat terhadap hukum
dalam kerangka hukum internasional’. Kategori ini meliputi serangan atas pasukan
penjaga perdamaian atau mereka yang memberikan bantuan kemanusiaan di bawah
naungan PBB; serangan yang dilakukan dengan sengaja dan mengetahui bahwa
serangan tersebut dapat menimbulkan kematian atau cidera terhadap penduduk sipil;
serangan secara sengaja terhadap target non-militer seperti tempat ibadah, museum,
rumah sakit, dan tempat-tempat bersejarah atau yang memiliki nilai kebudayaan.
Kategori ketiga – pasal 8 (2) (c) – memperluas yuridiksi atas konflik bersenjata
internasional yaitu serangan tidak manusiawi kepada warga sipil atau orng yang
sedang sakit atau prajurit yang sudah menyerah. Dan kategori keempat – pasal 8 (2)
(e) – kejahatan yang mencakup penggunaan anak-anak sebagai tentara atau
keterlibatan dalam kejahatan seksual.
2. Kejahatan Perang dalam Hukum Islam
Pada awalnya Islam memang melarang adanya peperangan, pada masa
periode awal dakwah Islam di Mekkah yang berlangsung selama kurang lebih 13
tahun, dimana kaum kafir Quraisy selalu menghalangi, memusuhi dan menindas
kaum Muslimin secara kejam, karena al-Qur’an menyebutkan dalam QS. An-Nisa
ayat (77):
45
|=ÏGä. $¬Ηs>sù nο4θx.¢•9$# (#θè?#uuρ nο4θn=¢Á9$# (#θßϑŠÏ%r&uρ öΝä3tƒÏ‰÷ƒr& (#þθ’ä. öΝçλm; Ÿ≅ŠÏ% tÏ%©!$# ’n<Î) ts? óΟs9r&
$oΨ−/‘u (#θä9$s%uρ 4 Zπu‹ô±z
y £‰x©r& ÷ρr& «!$# Ïπu‹ô±‚
y .x }¨$¨Ζ9$# tβöθt±øƒs† öΝåκ÷]ÏiΒ ×,ƒÌsù #sŒÎ) ãΑ$tFÉ)ø9$# ãΝÍκön=tã
äοtÅzFψ$#ρu ×≅‹Î=s% $u‹÷Ρ‘‰9$# ßì≈tFtΒ ö≅è% 3 5=ƒÌs% 9≅y_&r #’n<Î) !$oΨ?s ö¨zr& Iωöθs9 tΑ$tFÉ)ø9$# $uΖøŠn=tã |Mö6tGx. zΟÏ9
( :) ∩∠∠∪ ¸ξ‹ÏGsù tβθßϑn=ôàè? Ÿωρu 4’s+¨?$# ÇyϑÏj9 ×ö)yz
Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka:
"Tahanlah tanganmu (dari berperang), Dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah
zakat!" setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari
mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada
Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. mereka berkata: "Ya Tuhan kami,
Mengapa Engkau wajibkan berperang kepada Kami? Mengapa tidak Engkau
tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu
lagi?" Katakanlah: "Kesenangan di dunia Ini Hanya sebentar dan akhirat itu lebih
baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.”
Oleh karena itu, al-Quran melarang umat Islam menyerang suatu bangsa yang
tidak menunjukkan sikap permusuhan terhadap Islam. Di samping dapat memberikan
jaminan keselamatan, umat Islam harus selalu bersikap adil dan penuh hormat, belas
kasihan serta menjunjung harga diri. Seperti yang ditegaskan oleh Allah dalam alQuran bahwa tujuan mulia dari jihad atau perang yaitu menolak keganasan manusia
serta pemeliharaan hak-hak hidup agama samawi lainnya serta perlindungan terhadap
rumah-rumah ibadah.6
Prof. Dr. Marcel A. Boisard dalam bukunya “L’Humanisme De L’Islam”
menegaskan beberapa prinsip-prinsip fundamental dan sistem hukum Islam yang
6
Afzalur Rahman, Nabi Muhammad sebagai Seorang Pemimpin Militer, Jakarta, Amzah,
2002, h. 306.
46
dapat diterapkan sebagai kaedah-kaedah dalam sengketa bersenjata antar negara atau
dalam suatu negara, secara ringkas dikemukakan sebagai berikut:
a) Dalam
peperangan
dilarang membuat
ekses,
pengkhianatan
dan
ketidakadilan dalan segala bidang.
b) Dalam peperangan dilarang melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
menyebabkan musuh menderita secara berlebihan seperti memberikan
hukuman-hukuman yang keji. Dan melakukan perbuatan penghancuran
yang sia-sia, khususnya pengrusakan tanaman-tanaman dan lain
sebagainya.
c) Dalam peperangan harus memberikan perlakuan yang berperikemanusiaan
terhadap tawanan-tawanan perang yang akan ditukar atau dibebaskan
secara sepihak, apabila perang sudah selesai dan tidak ada lagi tawanan
perang muslim di pihak musuh.
d) Dalam peperangan harus memberi perlindungan kepada penduduk sipil
dengan menghormati agama dan kebudayaan mereka. Untuk syariah Islam
membenarkan untuk menghukum orang yang melakukan pembunuhan
terhadap penduduk sipil.
e) Syariat Islam melarang segala bentuk tindakan yang dilakukan
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan perjanjian damai yang telah
47
dibuat. Pakta perdamaian harus dipegang teguh sejauh pihak musuh masih
menghormati isi perjanjian damai tersebut.7
B. Bentuk-Bentuk Kejahatan Perang
1. Bentuk-bentuk Kejahatan Perang dalam Konvensi Perserikatan BangsaBangsa
Suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai tindakan ilegal atau dilarang
berdasarkan aturan-aturan hukum humaniter yang dilanggar atau berdasarkan
konsekuensinya bagi si pelaku. Beberapa tindakan tersebut melibatkan cara atau
metode peperangan yang dilarang (menurut “hukum Den Haag,” yaitu, hukum yang
berasal dari Konvensi-Konvensi Den Haag tahun 1899 dan 1907). Tindakan lainnya
adalah tindakan yang menyakiti orang-orang yang dilindungi—yang sakit dan
terluka, korban kapal karam atau rakyat sipil (menurut “hukum jenewa”, yaitu hukum
yang berasal dari Konvensi-Konvensi Jenewa).
Berikut bentuk-bentuk kejahatan perang:
a) Kejahatan perang pada jiwa dan raga, seperti pembunuhan; perlakuan
kejam dan penganiayaan kepada tawanan perang (termasuk eksperimen
medis); perkosaan; tindakan sengaja yang menyebabkan penderitaan berat
atau luka serius pada tubuh atau kesehatan; dan mutilasi.
7
L. Amin Widodo, Fiqih Siyasah dalam Hubungan Internasional, Yogyakarta, Tiara Wacana
Yogya, 1994, h. 69.
48
b) Kejahatan perang pada harta dan benda, seperti membakar hasil panen;
perampasan barang-barang publik atau harta milik pribadi; perusakan
pada kota-kota tanpa ada alasan; penghancuran tanpa kepentingan militer;
serangan atau pembombardiran terhadap kota yang tidak dipertahankan,
pemukiman, atau bangunan-bangunan; tindakan perusakan sengaja
dilakukan terhadap lembaga-lembaga kebudayaan tertentu.
c) Kejahatan perang pada kehormatan dan keadilan, seperti deportasi
penduduk sipil dalam wilayah yang telah diduduki; memaksa tahanan
perang atau penduduk sipil untuk masuk angkatan bersenjata dari
penguasa musuh; dengan sengaja menghilangkan hak tawanan perang
atau warga sipil yang dilindungi untuk mendapat pengadilan regular yang
adil; dan eksekusi tanpa pengadilan.
d) Kejahatan perang pada aturan dalam peperangan, seperti berlaku curang
dalam penggunaan lambang Palang Merah Internasional; penggunaan
senjata beracun atau senjata lain yang terhitung menyebabkan penderitaan
yang tidak seharusnya.
Akhirnya, pembentukan badan hukum kejahatan terhadap pelanggaran
tertentu dalam hukum perang tidak berarti pelaku kejahatan perang sebenarnya kan
dituntut. Ini tetap menjadi persoalan bagi negara-negara dan PBB serta organisasi
internasional lainnya. Konvensi Jenewa mewajibkan semua pihak untuk mencari dan
atau mengekstradisi atau mengadili seluruh tersangka pelaku pelanggaran berat dan
hukum internasional memberikan hak sah kepada negara-negara untuk menuntut
49
pelaku-pelaku kejahatan perang berdasarkan teori yuridiksi internasional. Sementara
beberapa negara beberapa kali menuntut pelaku kejahatan perang, contohnya
Pengadilan Amerika Serikat terhadap penyerang My Lai, dengan pola yang lebih
tidak begitu umum, meski ada kewajiban dari Konvensi Jenewa, biasanya sekedar
hukuman administratif belaka atau pengampunan. Pengadilan ad hoc untuk
Yugoslavia dan Rwanda memiliki yuridiksi terhadap kedua pelanggaran berat atas
Konvensi Jenewa dan kejahatan lain yang dilakukan dalam konflik tersebut dan ICC
akan mempunyai yuridiksi terhadap hampir semua kejahatan perang.8
2. Bentuk-bentuk Kejahatan Perang dalam Hukum Islam
Selain bentuk-bentuk kejahatan perang menurut Konvensi-Konvensi Jenewa,
berikut bentuk-bentuk kejahatan perang menurut Hukum Islam:
a) Membunuh atau memenggal kepala para tawanan perang, menjagal orang
dan binatang, membinasakan tanaman-tanaman dan menebangi pohonpohon dengan semena-mena.
b) Melakukan
perbuatan-perbuatan
pengkhianatan
dan
kecurangan.
Demikian juga dengan berbuat zina sekalipun terhadap wanita-wanita
tawanan perang.
c) Membunuh pihak-pihak musuh yang tidak ikut berperang termasuk
didalamnya seperti wanita, anak-anak, pelayan dan budak, orang-orang
8
Steven R.Ratner, Kategori Kejahatan Perang, dalam Roy Gutman & David Reff, ed.,
Kejahatan Perang yang Harus Diketahui Publik, t.t., Program Pelatihan Jurnalistik Televisi-Interviews
Europe, 2004, h. 462.
50
jompo/buta, orang-orang cacat badan, para pemuka agama, biarawan dan
biarawati, dan orang gila.
d) Membunuh para saudara pihak musuh sebagai tindakan pembalasan
meskipun sandera-sandera dari pihak Islam mungkin telah dibunuh oleh
pihak musuh.
e) Melakukan pembantaian missal setelah musuh dapat dikalahkan atau
setelah suatu daerah diduduki.
f) Membakar para tawanan perang, membunuh para petani dan pedagang
yang tidak ikut memerangi kaum muslimin.
g) Melakukan perbuatan yang dapat menyebabkan musuh menderita secara
berlebihan.
h) Menggunakan senjata-senjata beracun, melakukan penghancuran dan
serangan membabi buta.
i) Melakukan perbuatan-perbuatan penghancuran yang tidak berarti, seperti
menghancurkan tempat-tempat ibadah, bangunan-bangunan pendidikan,
perpustakaan, benda-benda budaya dan sarana-sarana umum lainnya.
j) Agresi, atau serangan tanpa alasan yang dapat dibenarkan dan tanpa
pernyataan perang atau peringatan terlebih dahulu.9
9
230.
Altaf Gauhar, Tantangan Islam, Alih Bahasa: Anas Mahyudin, Bandung, Pustaka, 1982, h.
51
C. Perlakuan terhadap Tawanan Perang dan Penduduk Sipil
1. Tawanan Perang dan Penduduk Sipil dalam Hukum Humaniter
Internasional
Dalam Hukum Humaniter Internasional (HHI), ada dua jenis kelompok
komunitas yang dapat dikategorikan sebagai tawanan perang:
a) Tentara Reguler dan Kombatan Sejenis
Tentara regular (yang memenuhi syarat-syarat yang telah
ditetapkan oleh Hukum Humaniter Internasional seperti menghormati
hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang) dapat menikmati jaminan
hukum yang telah ditetapkan bagi tawanan perang pada saat meninggalkan
peperangan dengan cara terpaksa seperti mengalami cidera, atau karena
keinginannya sendiri dengan membuang senjata. Kriteria ini juga
diberikan bagi angkatan perang regular yang tunduk pada suatu
pemerintahan atau kekuasaan yang tidak diakui oleh negara yang
menahan.
b) Kelompok Lain yang Dikategorikan Sebagai Tawanan Perang
Istilah tawanan perang juga berlaku bagi kelompok lain yang tidak
dianggap sebagai prajurit regular (kombatan), yaitu:
1) Orang-orang yang menyertai angkatan perang yang mencakup;
para
pemasok
bertanggungjawab
perbekalan,
atas
anggota-anggota
kesejahteraan
dan
unit
yang
kenyamanan
angkatan perang, orang-orang sipil yang menjadi awak pesawat
52
terbang militer, wartawan atau koresponden perang, dengan
syarat mereka dibekali surat-surat pengesahan dan identitas
pribadi angkatan perang.
2) Anggota awak kapal pelayaran niaga, para taruna dan awak
pesawat terbang sipil dari pihak-pihak yang bersengketa yang
tidak menerima perlakuan yang menguntungkan menurut
ketentuan-ketentuan lain dalam hukum internasional.10
Dalam Konvensi Den Haag IV 1907 mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang
di Darat, tawanan perang ialah mereka yang berada dalam kekuasaan pemerintah
musuh, bukan berada dalam kekuasaan individu atau kelompok-kelompok yang
menangkap mereka.11 Seluruh negara yang berperang diwajibkan memperlakukan
tawanan secara manusiawi, mengizinkan mereka menyimpan barang-barang pribadi,
beribadah, dan membebaskan petugas dari tugas-tugas yang berhubungan dengan
dinas militer.12
Serupa dengan Konvensi Den Haag, dalam Konvensi Jenewa tahun 1949 yang
disebut tawanan perang adalah tawanan negara musuh, bukan tawanan orang-orang
atau kesatuan militer yang telah menahan mereka. Negara penahan bertanggung
jawab atas perlakuan yang diberikan kepada mereka. Tawanan hanya dapat
dipindahkan oleh negara penahan ke suatu negara yang menjadi peserta konvensi.
10
Abdul Ghani A. Hamid Mahmud, Perlindungan Korban Konflik Bersenjata dalam
Perspektif Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam, t.t., Komite Internasional Palang
Merah: ICRC Delegasi Regional Indonesia, 2008, h. 24.
11
Konvensi Den Haag Iv 1907 Mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang Di Darat, h. 6.
12
Suhartono, ed., Kejahatan Terhadap Kemanusiaan: Perjuangan untuk Mewujudkan
Keadilan Global, Jakarta, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2002, h. 215.
53
Sama halnya dengan Konvensi Den Haag, dalam konvensi ini para tawanan perang
harus diperlakukan dengan manusiawi. Setiap perbuatan yang bertentangan dengan
hukum, atau kelalaian negara penahan yang mengakibatkan kematian atau yang
membahayakan kesehatan seorang tawanan perang yang berada di bawah
pengawasannya adalah terlarang dan harus dianggap sebagai pelanggaran berat dari
Konvensi ini. Tawanan perang juga harus selalu dilindungi dari tindakan-tindakan
kekerasan, ancaman-ancaman dan penghinaan-penghinaan serta tontonan umum.
Tawanan perang dalam segala keadaan berhak mendapat penghormatan. Terutama
wanita harus mendapat perlakuan segala penghormatan yang patut diberikan dan
perlakuan sebaik-baiknya dari kaum laki-laki. Dan negara yang menahan tawanan
wajib menjamin pemeliharaan dan perawatan kesehatan yang dibutuhkan oleh
keadaan kesehatan dengan cuma-cuma.13
Hukum Humaniter Internasional mewajibkan pihak-pihak yang bersengketa
untuk membedakan antara penduduk sipil dan kombatan. Istilah penduduk sipil
mencakup semua orang yang berstatus sipil. Yang dimaksud dengan orang sipil
adalah setiap orang yang tidak ikut berperang. Bila ada keraguan apakah seseorang
itu seorang sipil atau kombatan, maka ia harus dianggap sebagai orang-orang yang
berkerja sebagai penolong, wartawan dan pesonel organisasi pertahanan sipil.
Penduduk sipil akan menerima perlindungan umum dari berbagai serangan
militeryang bersifat defensif maupun ofensif di wilayah mana saja terjadi
13
Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah Tahun 1949 mengenai
Perlindungan Korban Perang, Bandung, Binacita, 1986, h. 177.
54
penyerangan. Mereka tidak boleh menjadi sasaran serangan, mereka berhak mendapat
perlindungan menghadapi serangan yang diarahkan terhadap sasaran militer, orangorang sipil atau obyek-obyek sipil tanpa pembedaan.14
Pasal 3 Konvensi Jenewa cocok untuk melindungi semua pihak yang tidak
ikut berperang tapi terjebak didalamnya. Pasal ini secara khusus melarang
pembunuhan, penyiksaan, penawanan, pelanggaran atas harga diri seseorang dan
eksekusi di luar putusan pengadilan. Pasal ini juga berlaku untuk semua aksi gerilya,
polisional, atau militer yang dengan sengaja mengakibatkan korban atau mencederai
warga sipil atau tawanan. Ditegaskan pula, perlindungan harus diberikan pada
pengungsi, perempuan, anak, wartawan, serta siapa saja yang mendapat kartu
identitas dari pemerintahnya. Mereka dianggap warga sipil dengan tugas khusus
sepanjang tidak melakukan aksi yang bertentangan dengan status mereka (seperti
harus memiliki surat keterangan, tidak boleh memotret hanya dari satu sisi, tidak
memperbanyak informasi yang salah untuk menyudutkan satu pihak). Secara umum,
Pasal 3 memang hanya mewajibkan negara peserta untuk mengawasi hak asasi
manusia selama berlangsung konflik, sehingga bersifat netral terhadap konflik di
dalam suatu negara.15
14
15
Abdul Ghani, Perlindungan Korban Konflik Bersenjata, h. 53
Suhartono, Kejahatan terhadap Kemanusian, h. 220
55
2. Perlindungan Tawanan Perang dan Penduduk Sipil dalam Hukum
Internasional
Tawanan perang bukan tawanan orang-perorang atau kesatuan-kesatuan
militer yang menahannya, tetapi mereka adalah tawanan dari negara musuh yang
berhasil menahannya. Negara yang melakukan penahanan berkewajiban menghormati
tawanan perang yang tunduk di bawah kekuasaannya dengan memberikan mereka
jaminan perlindungan dan perlakuan yang manusiawi. Tujuan penahan hanya sebatas
untuk mencegah pihak yang ditawan berada di suatu tempat yang memungkinnya
menerima gangguan atau ancaman, bukan dengan tujuan untuk membalas dendam.
Tindakan-tindakan yang keluar dari tujuan awal dianggap telah melanggar batas-batas
yang harus dihormati dalam suatu konflik bersenjata.16
Berikut perlindungan tawanan perang pada masa tahanan, antara lain:
a) Hak Mendapatkan Perlakuan Manusiawi
Pasal 13 Konvensi Jenewa III menyebutkan tentang kewajiban
memperlakukan tawanan perang dengan perlakuan yang manusiawi kapan
dan dalam kondisi apapun. Pasal ini melarang memperlakukan tawanan
dengan
perlakuan
yang
dapat
mengakibatkan
kematian
atau
membahayakan kesehatan.
b) Hak Kehormatan Martabat dan Harga Diri
Tawanan perang berhak atas kehormatan martabat dan harga
dirinya dan berhak mendapatkan hak-hak sipil yang mereka miliki pada
16
Abdul Ghani, Perlindungan Korban Konflik Bersenjata, h. 27
56
saat mereka tertangkap sebagai tawanan dan hak. Hak-hak yang diberikan
harus sesuai dengan hukum yang berlaku di negara asal mereka bukan
berdasarkan hukum negara penahan. Mengenai tawanan wanita, mereka
juga harus diperlakukan dengan perlakuan yang baik dan terhormat
mengingat jenis kelamin mereka, perasaan mereka tidak boleh dinodai dan
tempat khusus bagi mereka harus disiapkan.
c) Hak Perawatan Medis
Pasal 15 dalam Konvensi Jenewa III mewajibkan negara yang
melakukan
penahanan
untuk
memenuhi
perawatan
medis
yang
menjadikan kebutuhan kondisi kesehatan para tawanan. Pada pasal 29
disebutkan bahwa negara penahan diharuskan untuk mengambil tindakan
dan prosedur kesehatan yang diperlukan untuk menjamin kebersihan,
kesehatan, sanitasi kamp-kamp tawanan perang, serta untuk mencegah
tersebarnya wabah dan penyakit-penyakit menular.17
d) Hak Melaksanakan Ritual Keagamaan
Dalam Konvensi Jenewa III dijelaskan bahwa diwajibkan bagi
negara yang melakukan penahanan agar memberikan kebebasan penuh
kepada para tawanan perang untuk melakukan kewajiban ibadah ritual
keagamaan mereka dengan syarat dapat memenuhi peraturan disiplin yang
ditentukan oleh penguasa-penguasa militer. Demikian pula, negara
17
Lihat Konvensi Jenewa III tahun 1949, pasal 15 dan pasal 29.
57
penahan berkewajiban menyediakan tempat-tempat yang memadai untuk
kelangsungan ritual-ritual keagamaan tersebut.18
Negara dapat mempekerjakan para tawanan perang dan tidak boleh berlebihan
serta tidak ada hubungannya dengan peperangan. Apabila pekerjaan dilakukan
dengan tujuan untuk pelayanan publik atau untuk kepentingan perorangan, maka
persyaratan-persyaratannya harus ditentukan dalam perjanjian dengan pihak penguasa
Militer. Tawanan perang harus tunduk pada hukum, aturan-aturan dan perintah resmi
dari pasukan bersenjata negara yang menangkap mereka. Tawanan perang dapat
dibebaskan sesuai dengan masa percobaan dan terikat dengan perjanjian. Tawanan
yang sudah dibebaskan dengan masa percobaan dan tertangkap kembali, maka
tawanan tersebut akan kehilangan haknya sebagai tawanan perang dan dapat diajukan
ke pengadilan.19
Sama halnya dengan tawanan perang, penduduk sipil juga perlu diberikan
perlindungan. Orang-orang sipil juga harus diperlakukan dengan perlakuan yang
manusiawi tanpa suatu pembedaan diskriminatif yang didasarkan atas jenis kelamin,
warna kulit, ras, agama atau kepercayaan, pandangan politik atau pandanganpandangan lainnya, asal kebangsaan dan sosial, kekayaan, keturunan, dan standarstandar pembedaan serupa lainnya. Dalam kondisi apa pun, orang-orang sipil harus
menerima perlindungan berkaitan dengan kehormatan, kemuliaan, hak-hak keluarga,
18
19
Abdul Ghani, Perlindungan Korban Konflik Bersenjata, h. 28
Konvensi Den Haag Iv 1907 Mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang Di Darat, h. 6.
58
ideologi dan pelaksanaan ritual keagamaan serta adat istiadat dan tradisi. Tidak boleh
melakukan aksi-aksi perampokan, pencurian, atau penyiksaan terhadap mereka dan
harta benda milik mereka.
Semua pihak yang bertikai berkewajiban melakukan upaya-upaya yang
memudahkan pelacakan anggota-anggota keluarga yang tercerai berai sebagai akibat
sengketa bersenjata dengan tujuan menyatukan mereka kembali. Orang-orang sipil
yang berdomisili di salah satu wilayah pihak yang bersengketa atau dalam wilayah
yang
diduduki
salah
satu
pihak
yang
bersengketa,
harus
diperbolehkan
menyampaikan dan menerima kabar yang benar-benar bersifat pribadi kepada dan
dari keluarga mereka dimana pun berada.
Hukum Humaniter Internasional (HHI) menaruh perhatian khusus berkaitan
dengan perlindungan ekstra bagi para wanita dan anak-anak di tengah-tengah
berkecamuknya konflik bersenjata. HHI juga memberikan jaminan perlindungan bagi
warganegara asing yang tengah berada di wilayah salah satu pihak yang bertikai.
Warganegara asing tersebut diberi hak meninggalkan negara di tengah-tengah
terjadinya peperangan. Pemulangan harus disertai keterangan tentang status mereka
sebagai warga sipil yang harus dilindungi dalam situasi yang kondusif dari aspek
keamanan, kesehatan dan ketersediaan pangan.20
3. Tawanan Perang dan Penduduk Sipil dalam Hukum Islam
Dalam Islam, tawanan perang ialah orang kafir atau musyrik yang dalam
peperangan berhasil ditangkap oleh tentara Islam. Dalam fiqh, tawanan perang dapat
20
Abdul Ghani, Perlindungan Korban Konflik Bersenjata, h. 53.
59
dikelompokkan menjadi al-asra dan al-sabiyy. Al-asra adalah tawanan perang yang
berasal dari tentara musuh yang ikut berperang melawan tentara Islam. Sedangkan alsabiyy ialah anak-anak dan wanita musyrik yang berhasil ditangkap oleh tentara
Islam.21
Adapun yang dimaksud dengan tawanan perang dalam Hukum Islam adalah
kombatan dari kalangan orang-orang nonmuslim yang berhasil ditangkap hidup-hidup
oleh kaum muslim. Adapun yang dimaskud dengan kombatan dalam persperktif
Hukum Islam adalah mereka laki-laki yang mampu melakukan peperangan dan ikut
serta dalam aksi perlawanan/permusuhan terhadap negara muslim. Demikian pula
halnya kaum wanita, anak-anakm dan tokoh-tokoh agama yang berada di medan
pertempuran. Secara umum, orang-orang yang tidak ikut serta dalam aksi peperangan
dan aksi perlawanan harus diperlakukan seperti layaknya warga sipil, dan tidak
termasuk dalam kategori tawanan perang.22
4. Perlindungan Tawanan Perang dan Penduduk Sipil dalam Hukum Islam
Jaminan
perlindungan
tawanan
perang
berdasarkan
prinsip-prinsip
kemanusiaan sebenarnya sangat jelas dikukuhkan oleh Hukum Islam. Oleh karena itu,
Islam telah memberikan jaminan perlakuan yang manusiawi terhadap tawanan
perang, serta menghormati hak dan kebebasan mereka sejak mereka jatuh dalam
kekuasaan kaum muslim, sampai para tawanan kembali ke negara dan keluarga
masing-masing. Dalam hukum Islam, tawanan perang tidak tunduk pada kekuasaan
21
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta, Gaya
Media Pratama, 2007, Cet.2, h. 262
22
Abdul Ghani, Perlindungan Korban Konflik Bersenjata, h. 26
60
orang-perorang atau kesatuan militer yang menahan mereka. Tawanan perang hanya
tunduk terhadap kekuasaan pemerintahan Islam atau pejabat yang diberikan
wewenang untuk mengurus tawanan perang.23
Al-Quran menganjurkan kepada kaum Muslimin agar memberi bantuanbantuan apa saja yang paling baik yang dimiliki dan memperlakukan tawanantawanan secara manusiawi. Seperti yang dicontohkan oleh para sahabat, mereka
bersedia mendahulukan kepentingan para tawanan daripada kepentingan pribadi.
Islam melarang keras melakukan pembunuhan, menyiksa atau melampiaskan dendam
terhadap tawanan. Tujuan para kaum Muslimin menahan para tawanan agar mereka
tidak turut serta kaum musyrikin lainnya untuk memerangi umat Islam.24 Ada
beberapa perlindungan dan hak tawanan perang yang ditetapkan dalam Islam, antara
lain:
a) Hak Tempat Tinggal Tawanan Perang
Dalam sejarah Islam, para tawanan perang yang berada di bawah
naungan
pemerintahan
Islam
telah
menikmati
penempatan
dan
penampungan yang baik selama masa tawanan berlangsung. Sejarah
mencatat
bahwa
seringkali
Rasulullah
saw.
mendistribusikan
penampungan para tawanan perang di rumah-rumah kaum muslimin.
Tidak jarang juga ditempatkan di masjid sampai berakhirnya masa
penahanan. Memuliakan tawanan dapat diwujudkan dengan baik dengan
23
Ibid., h. 34
L. Amin Widodo, Fiqih Siyasah dalam Hubungan Internasional, Yogyakarta, Tiara
Wacana, 1994, h. 96.
24
61
cara menyediakan tempat tinggal yang layak, disamping makan dan
minum, serta memberikan mereka perlakuan-perlakuan yang sesuai
dengan prinsip kemuliaan manusia yang dijunjung tinggi oleh Islam,
berdasarkan firman Allah SWT:
ÏM≈t7ÍhŠ©Ü9$# š∅ÏiΒ Νßγ≈oΨø%y—u‘ρu Ìós7t ø9$#uρ Îhy9ø9$# ’Îû öΝßγ≈oΨù=uΗxquρ tΠyŠ#u ûÍ_t/ $oΨøΒ§x. ô‰s)s9uρ *
(:) ∩∠⊃∪ WξŠÅÒøs? $oΨø)n=yz ô£ϑÏiΒ 9)ÏVŸ2 4’n?tã óΟßγ≈uΖù=Òsùuρ
Artinya: “Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam,
kami angkut mereka di daratan dan di lautan[862], kami beri mereka
rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan
yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.”
b) Hak Pakaian
Rasulullah saw berpesan kepada para sahabatnya agar memuliakan
dan berbuat baik kepada tawanan yang berada di bawah kekuasaan kaum
muslim, dan jangan dibiarkan terlantar tanpa pakaian atau memakai
pakaian
yang compang-camping.
Dan
karena
Islam
juga tidak
memperkenankan aurat yang seharusnya tertutup dilihat oleh orang lain.
c) Hak Bersatu dan Berkumpul dengan Keluarga
Para pakar hukum Islam sepakat berpendapat bahwa tawanan yang
masih kecil tidak boleh ditempatkan terpisah dengan ibunya. Kesepakatan
ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw., “Tidak boleh memisahkan
seorang ibu dengan anaknya”. Larangan pemisahan ini berlaku juga bagi
dua tawanan lelaki bersaudara atau dua tawanan wanita bersaudara. Jika
62
seorang anak dianggap dewasa, telah mencapai usia akil baligh,
diperbolehkan memisahkannya dari ibunya. Hal ini berdasarkan hadits
yang diriwayatkan oleh ‘Ubadah bin al-Shamit bahwa Rasulullah saw.
bersabda25:
“Tidak boleh memisahkan seorang anak kecil dengan ibunya”.
Lalu ada seorang sahabat yang bertanya, “Sampai usia berapa anak itu
tidak boleh berpisah dengan ibunya?”, Nabi saw. menjawab, “Sampai
seorang anak laki-laki mencapai akil baligh dan anak perempuan
mendapatkan haid”.
Dalam sejarah, Nabi tidak pernah memperlakukan tawanan perang dengan
kasar apalagi membunuhnya, kecuali hal-hal yang prinsip, seperti tawanan perang
melakukan tindak pidana (jarimah) atau sangat berbahaya apabila dibiarkan hidup,
sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi dalam kasus Perang Badr. Selain yang
dibunuh, masih banyak tawanan Perang Badr yang dibebaskan, bahkan tanpa
meminta tebusan dari mereka. Dan Nabi berpesan agar memperlakukan para tawanan
dengan sebaik-baiknya. Dalam Al-Quran, Allah juga mengajarkan memperlakukan
tawanan secara manusia:
ö/ä3ãΚÏèôÜçΡ $oÿ©ςÎ) ∩∇∪ #·)Å™r&uρ $VϑŠÏKtƒuρ $YΖŠÅ3ó¡ÏΒ ϵÎm7ãm 4’n?tã tΠ$yè©Ü9$# tβθßϑÏèôÜãƒuρ
( :) ∩∪ #·‘θä3ä© Ÿωuρ [!#t“y_ óΟä3ΖÏΒ ß‰ƒÌçΡ Ÿω «!$# ϵô_uθÏ9
Artinya: “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin,
anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan
kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki
balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.”
25
Abdul Ghani, Perlindungan Korban Konflik Bersenjata, h. 34
63
Dalam kasus Yahudi Bani Quraizhah, Nabi pernah membunuh tawanan
perang tapi dalam kasus ini bukan termasuk tawanan perang. Mereka ialah warga
negara Madinah yang terikat dengan Piagam Madinah untuk taat dan patuh kepada
Nabi serta mendapat perlindungan dari Nabi. Akan tetapi mereka mengingkari isi
perjanjian dan melakukan tindakan makar ingin menggulingkan Nabi dan
bekerjasama dengan kaum kafir Mekkah. Mereka bersekongkol membantu tentara
sekutu (ahzab). Oleh karena itu, Nabi mengambil tindakan membunuh mereka bukan
sebagai tawanan tapi sebagi kaum pemberontak yang melakukan penghianatan. Dan
ini sesuai dengan penghukuman bagi kaum bughah dan pelaku makar.26
Setelah selesai pertempuran, sesuai dengan yang tersurat dalam Surat
Muhammad ayat 427, penguasaan negeri Darus Salam dalam mengambil sikap
terhadap para tawanan yaitu membebaskan tawanan tanpa syarat atau menukarkan
tawanan dengan tebusan. Membebaskan tawanan tanpa syarat, berarti mengampuni
atau membebaskan tawanan tanpa syarat tebusan apapun. Hal ini dilakukan apabila
tawanan sudah tidak lagi memiliki harta apapun untuk menebusnya. Melakukan
penukaran tawanan dengan tebusan, kadang dilakukan dengan menukar tawanan
kaum muslimin dengan tawanan musuh atau tawanan ditebus dengan harta sampai ia
26
Iqbal, Fiqh Siyasah, h. 263.
“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) Maka pancunglah
batang leher mereka. Sehingga apabila kamu Telah mengalahkan mereka Maka tawanlah mereka dan
sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir.
Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah
hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. dan orang-orang yang syahid pada
jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.”
27
64
bebas. Pernah Rasulullah saw membebaskan tawanan dengan memberikan syarat
pada setiap tawanan harus menebus dirinya dengan mengajar membaca dan menulis
sepuluh anak-anak muslim.28
Banyak pesan Rasulullah dan sahabat besar seperti Abu Bakar dan Umar bin
Khattab yang dapat dijadikan petunjuk dan ketentuan-ketentuan jihad dalam Islam,
khususnya yang berkaitan dengan perlakuan terhadap tawanan. Pesan-pesan Abu
Bakar yang diriwayatkan Imam Ahmad menyatakan dari sahabat Yahya bin Sa’ad
bahwa Abu Bakar pernah menngirimkan pasukan ke Syam, kemudian mengangkat
Yaziu bin Abu Sofyan sebagai Amir Syam. Pesan beliau kepada Yahya bin Sa’ad
yaitu:
a. Janganlah engkau bunuh wanita-wanita, anak-anak dan orang-orang yang
sudah tua.
b. Jangan kamu tebangi pohon-pohon yang sedang berbuah dan kurmakurma.
c. Jangan engkau rusak dan membakar bangunan-bangunan.
d. Jangan engkau bunuh domba-domba dan sapi-sapi kecuali untuk dimakan.
e. Jangan engkau menjadi pengecut dan pendendam.
Umar bin Khattab pernah juga berpesan seperti yang diucapkan Abu Bakar
As-Shiddieqy dan pesan-pesan Rasulullah SAW dan juga pesan Khulafa ar-Rasyidin
lainnya.29
28
29
Widodo, Fiqih Siyasah, h. 96.
Ibid., h. 98
65
D. Sanksi Kejahatan Perang
1. Sanksi dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Ketika Perang Dunia I pecah, seluruh aturan perang dilanggar dengan sengaja.
Para penjahat perang, bahkan dari pihak Jerman yang kalah perang, lolos dari
hukuman. Tahun 1921 pengadilan di Jerman memang mengadili kasus yang dikenal
dengan sebutan the Llandovery Castle, yakni pengadilan terhadap tentara yang
membantai nelayan-nelayan tak bersenjata setelah kapal mereka ditenggelamkan.
Pembelaan para tersangka bahwa operasi dijalankan dengan dalih perintah atasan
tidak dapat diterima pengadilan. Menurut pengadilan, perintah yang diterima para
prajurit tersebut secara universal sudah diketahui melanggar hukum.30
Sesuai pasal-pasal dalam empat konvensi yang mengatur represi terhadap
penyalahgunaan dan pelanggaran, salah satunya pasal 4931:
1. Mewajibkan pihak-pihak penandatanganan untuk mengadakan tindakan
legislative, yaitu menetapkan undang-undang yang mengatur pemberian
sanksi pidana efektif terhadap orang-orang, baik yang melakukan maupun
yang memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat.
2. Mengatur kewajiban negara penandatangan untuk mencari dan mengadili
orang-orang yang telah melakukan atau memerintahkan untuk melakukan
sesuatu pelanggaran berat, tanpa memperhatikan kebangsaannya. Dan
30
Suhartono, ed., Kejahatan Terhadap Kemanusiaan: Perjuangan untuk Mewujudkan
Keadilan Global, Jakarta, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2002, h. 216.
31
Lihat Geneva Convention I.
66
mengatur kemungkinan diadakannya ekstradisi yang harus dipenuhi
beberapa syarat, yaitu:
a) Adanya suatu pelanggaran berat yang nyata (prima facie case).
b) Adanya ketentuan dalam perundang-undangan nasional mengenai
penyerahan orang-orang yang melanggar Konvensi Jenewa 1949.
c) Adanya perjanjian (ekstradisi) dengan negara yang bersangkutan.
3. Pihak penandatangan harus mengambil tindakan-tindakan yang perlu
untuk memberantas segala perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan
konvensi.
4. Mengatur jaminan bagi tertuduh agar mendapat perlakuan yang wajar
pada waktu ia diadili. Jaminan tersebut tidak boleh kurang dari jaminan
yang terdapat dalam artikel 105 Konvensi III yang berbunyi32:
Tawanan perang berhak akan bantuan salah seorang kawan
tawannya, pembelaan seorang pembela atau pengacara yang
cakap pilihannya sendiri, memanggil saksi-saksi dan apabila
dianggap perlu, jasa-jasa seorang penerjemah yang cakap. Ia
harus diberitahukan tentang hak-haknya itu oleh negara
penahan pada waktunya sebelum peradilan dimulai.
Pelanggaran tersebut tidak saja yang mencakup pelanggaran terhadap Pasal 3
dalam era perang saudara, namun meliputi kejahatan berikut jika dilakukan dalam
konflik internasional33:
pembunuhan dengan sengaja, penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi,
termasuk eksperimen biologis yang secara sengaja menyebabkan penderitaan
32
KGPH. Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada,
2007, h. 108.
33
Suhartono, ed., Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, h. 222.
67
yang hebat atau cidera serius pada tubuh atau kesehatan seseorang,
penghancuran meluas atas hak milik seseorang, yang tidak dilakukan demi
keperluan militer dan dilakukan tanpa alasan dan tanpa pengakuan yang sah.
Kejahatan yang paling berat menghasilkan hukuman yang paling berat, sesuai
dengan perjanjian-perjanjian hak asasi manusia. Pasal 7734 menyatakan bahwa
hukuman bagi pelanggaran terburuk adalah hukuman penjara seumur hidup. Sebagai
tambahan, tertuduh mungkin akan dikenakan denda dan harta milik serta asset yang
diperoleh terdakwa karena melalukan kejahatan. Pasal 109 menyatakan negara-negara
pihak harus bekerja sama dalam pembekuan dan penyitaan aset yang berada dalam
yuridiksi mereka.35
2. Sanksi dalam Hukum Islam
Hukum Islam telah meletakkan kaedah-kaedah yang tegas dalam semua aspek
kehidupan yang tidak boleh dilanggar. Kaedah-kaedah Hukum Islam ini memiliki
keunggulan yang menjadikannya terlihat unik dibandingkan dengan hukum positif
secara umum, dimana pelanggaran terhadap kaedah-kaedah tersebut dapat
mengakibatkan dua sanksi; sanksi duniawi yang akan diberlakukan suatu pemerintah
muslim, dan sanksi ukhrawi yang akan diterima pada Hari Kiamat kelak.36 Hukum
pidana Islan dalam syariah atau fikih disebut dengan jinayah atau jarimah. Secara
umum, hukum pidana dalam syariah terdiri dari tiga: pertama, qishash, yaitu
34
Lihat Rome Statute Of The International Criminal Court,17 July 1998.
Suhartono, ed., Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, h. 439.
36
Abdul Ghani A. Hamid Mahmud, Perlindungan Korban Konflik Bersenjata dalam
Perspektif Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam, t.t., Komite Internasional Palang
Merah: ICRC Delegasi Regional Indonesia, 2008, h. 5
35
68
hukuman balas yang sebanding dengan tindak pidana yang dilakukan. Jenis hukuman
ini berlaku terutama tindak pidana pembunuhan disengaja yang bentuk hukuman bagi
pelakunya adalah hukuman mati. Kedua, hudud, yaitu hukuman yang ketetapannya
sudah ditentukan dalam al-Quran dan Hadits. Ada banyak bentuk hudud dalam
syariah, yaitu hukum potong tangan bagi tindak pencurian yang barang curiannya
senilai dengan 93,6 gram emas; hukum cambuk 100 kali bagi pezina gadis dan
bujangan; rajam (dilempari dengan batu hingga mati) bagi tindak perzinahan yang
dilakukan oleh duda, janda, atau seorang berstatus menikah; hukuman cambuk 40/80
kali bagi tindak pidana meminum minuman beralkohol; hukum cambuk 80 kali mati
bagi tindak menuduh zina orang baik-baik; dan hukuman mati bagi tindak pidana
murtad. Ketiga, ta’zir, yaitu hukuman yang bentuknya ditentukan oleh ijtihad hakim,
karena tidak dijelaskan oleh al-Quran dan Hadits.37
Sanksi-sanksi kejahatan perang menurut Hukum Islam, ialah:
1. Sanksi Melanggar Perjanjian
Firman Allah swt,
βÎ*sù ∩⊇⊃∪ šχρ߉tG÷èßϑø9$# ãΝèδ šÍׯ≈s9'ρé&uρ 4 Zπ¨ΒÏŒ Ÿωρu ~ωÎ) ?ÏΒ÷σãΒ ’Îû tβθç7è%ötƒ Ÿω
ã≅Å_ÁxçΡuρ 3 ÇƒÏe$!$# ’Îû öΝä3çΡ≡uθ÷zÎ*sù nο4θŸ2¨“9$# (#âθs?#uuρ nο4θn=¢Á9$# (#θãΒ$s%r&uρ (#θç/$s?
(:)
37
∩⊇⊇∪ tβθßϑn=ôèƒt 5Θöθs)Ï9 ÏM≈tƒFψ$#
Sukron Kamil, ed., Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan
Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim, Jakarta, Center fot the Study of Religion and Culture
(CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007, h. 89.
69
Artinya: “Mereka tidak memelihara (hubungan) kerabat terhadap orangorang mukmin dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. dan mereka
Itulah orang-orang yang melampaui batas. Jika mereka bertaubat,
mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka (mereka itu) adalah
saudara-saudaramu seagama. dan kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi
kaum yang Mengetahui.”
Dari ayat al-Quran ini dapat ditarik kesimpulan bahwa orang
Muslim harus melancarkan perang terhadap orang yang melanggar
perjanjian yang telah dibuat. Sebagaimana Rasulullah saw memerangi
pihak musuh yang melanggar perjanjian dengan beliau, seperti kasus
Yahudi bani Qainuqa, Yahudi bani Nadhir, Yahudi bani Quraidhoh dan
pelanggaran perjanjian oleh Bani Bakr (sekutu Quraisy) terhadap Bani
Khuza’ah (sekutu Rasulullah). 38
2. Sanksi Spionase
Pendapat Imam Malik adalah menta’zir seorang mata-mata
Muslim dengan hukuman mati (sebagian pengikut Ahmad bin Hambal
menyepakatinya). Sebagian pengikut Imam Syafi’I juga menyebutkan hal
itu. Sedangkan pendapat Imam Abu Hanifah adalah menjauhkan para
imam dari hukum ta’zir ke hukuman mati. Boleh menta’zir untuk maslahat
seperti membunuh pembunuh karena hal tersebut setimpal.
Al-Qadhi Abu Yusuf, pengikut Abu Hanifah (dalam Kitab AlKharraj) berkata, “Aku bertanya pada Amirul Mukminin tentang beberapa
38
Afzalur Rahman, Nabi Muhammad sebagai Seorang Pemimpin Militer, t.t., Amzah, 2002,
cet 1, h. 322.
70
mata-mata yang termsuk ahlu-dzimmah, atau dari golongan yang
diperangi atau dari golongan Muslim”. Beliau menjawab, “Apabila
mereka dari golongan (kafir) yang diperangi atau dari golongan (kafir)
yang dilindungi dari Yahudi dan Nasrani atau dari Majusi yang
membayar jizyah, maka pancunglah mereka. Apabila mereka dari
pemeluk Islam yang dikenal, maka beratkanlah hukuman mereka dan
penjarakan yang lama sampai mereka bertaubat.”
Dalam kasus mata-mata terhadap umat Islam dan membocorkan
rahasia pada pihak musuh, hukuman yang dijatuhkan tidak sampai
dibunuh, tetapi Syafi’I dan Malik meminta imam untuk menghukumnya.
Awza’I menyarankan hukuman pembelangan atau siksaan fisik.
Sedangkan Abu Hanifa memerintahkan untuk diperjara sampai orang
tersebut menyesali perbuatannya. Aturan yang sama diterapkan pada
mata-mata dari golongan Ahli kitab.39
39
h. 88.
Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam, Yogyakarta, Tarawang Press, 2002,
BAB IV
ANALISA HUKUM ISLAM MENGENAI KEJAHATAN PERANG
DALAM KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
A. Hak-Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang telah dipunyai oleh semua
orang sesuai dengan kondisi yang manusiawi.1 Hak yang melekat pada diri manusia
yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah yang harus
dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau negara.2 Hak
asasi dalam Islam berbeda dengan hak asasi menurut pengertian yang umum dikenal.
Dalam Islam seluruh hak merupakan kewajiban bagi negara maupun individu yang
tidak boleh diabaikan. Rasulullah saw pernah bersabda: "Sesungguhnya darahmu,
hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu." (HR. Bukhari dan Muslim). Maka
negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-hak asasi ini, melainkan
mempunyai kewajiban memberikan dan menjamin hak-hak ini.3
Sebagai contoh, negara berkewajiban menjamin perlindungan sosial bagi
setiap individu tanpa ada perbedaan jenis kelamin, tidak juga perbedaan muslim dan
1
Adam Kuper dan Jesicca Kuper, Ensiklopedia Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I,Rajawali Pers,
Jakarta, 2000, h. 464
2
Abdul Rozak, ed., Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi
MAnusia dan Masyarakat Madani, Cet ke II, Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005, h.
200.
3
MAhfudz Shiddiq, Hak Asasi Manusia, http://www.angelfire.com, di akses pada tanggal 20
maret 2011.
71
72
non-muslim. Islam tidak hanya menjadikan itu kewajiban negara, melainkan negara
diperintahkan untuk berperang demi melindungi hak-hak ini. Dari sinilah kaum
muslimin di bawah Abu Bakar memerangi orang-orang yang tidak mau membayar
zakat.
Negara juga menjamin tidak ada pelanggaran terhadap hak-hak ini dari pihak
individu. Sebab pemerintah mempunyai tugas sosial yang apabila tidak dilaksanakan
berarti tidak berhak untuk tetap memerintah. Allah berfirman4:
Å∃ρã÷èϑ
y ø9$$Î/ (#ρãtΒr&uρ nο4θŸ2¨“9$# (#âθs?#uuρ nο4θn=¢Á9$# (#θãΒ$s%r& ÇÚö‘F{$# ’Îû öΝßγ≈¨Ψ©3¨Β βÎ) tÏ%©!$#
(:)
∩⊆⊇∪ Í‘θãΒW{$# èπt6É)≈tã ¬!uρ 3 Ìs3Ζßϑø9$# Çtã (#öθyγtΡuρ
Artinya: "Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukannya di muka bumi,
niscaya mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf
dan mencegah perbuatan munkar. Dan kepada Allah-lah kembali semua urusan."
(QS. Al-Hajj ayat (41))
Pelanggaran hak asasi manusia merupakan ancaman besar terhadap
perdamaian, keamanan dan stabilitas suatu negara. Oleh beberapa ahli mendefinisikan
pelanggaran hak asasi manusia itu sebagai suatu “pelanggaran terhadap kewajiban
negara yang lahir dari instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia”.
Pelanggaran
negara
terhadap
kewajibannya
dapat
dilakukan
baik
dengan
perbuatannya sendiri (acts of commission) maupun oleh karena kelalaiannya sendiri
(acts of ommission). Dalam rumusan yang lain, pelanggaran hak asasi manusia adalah
“tindakan atau kelalaian oleh negara terhadap norma yang belum dipidana dalam
4
Ibid., h. 2.
73
hukum pidana nasional tetapi merupakan norma hak asasi manusia yang diakui secara
internasional”.5
Konsep tanggung jawab negara dalam hukum hak asasi manusia internasional,
ialah tanggung jawab yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran terhadap
kewajiban untuk melindungi dan menghormati hak asasi manusia oleh negara.
Kewajiban yang dimaksud ialah kewajiban yang lahir dari perjanjian-perjanjian
internasional hak asasi manusia, maupun dari hukum kebiasaan internasional
(international
customary
law),
khususnya
norma-norma
hukum
kebiasaan
internasional yang memiliki sifat jus cogens.6
Sepanjang sejarah, telah diketahui selama berlangsungnya peperangan banyak
sekali terjadi pelanggaran hak-hak individu dan masyarakat yang mendatangkan
kerugian dan penderitaan bagi kedua belah pihak yang berperang.7 Kejahatan perang
yang terjadi seperti pembunuhan yang disengaja, penyiksaan, eksperimen medis,
membunuh wanita, anak-anak dan orang-orang cacat serta masih banyak lagi
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan.8
Begitu banyak pelanggaran yang dilakukan dalam perang, baik pelanggaran
terhadap hukum perang maupun terhadap hak asasi manusia. Dan hal tersebut
bertolak belakang dengan apa yang diatur dalam Hukum Islam dan Deklarasi
5
C. de Rover, To Serve and to Protect , International Committee of the Red Cross, 1988, hlm.
455.
6
Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi, ed., Hukum Hak Asasi Manusia,
Yogyakarta, PUSHAM UII, 2008, h. 77
7
Soedjono D. Soekamto, Kriminologi Suatu Pengantar, Bandung, Ghalia Indonesia, 1986,
cet. Ke-II, h. 21.
8
Altaf Gaufar, Tantangan Islam, Alih Bahasa: Anas Mahyudin, Bandung, Pustaka, 1982, h.
230.
74
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Contohnya, dalam DUHAM pasal 3 dan 5,
menjelaskan bahwa setiap manusia berhak atas kehidupannya, mendapatkan
kemerdekaan dan keamanan pribadi. Dan tidak seorangpun bisa menyiksa atau
menghukum secara keji, tidak manusiawi bahkan merendahkan martabatnya sebagai
seorang manusia yang merdeka.9
Sependapat dengan DUHAM, dalam hukum Islampun tidak mengakui
pelanggaran yang dirincikan di atas jelas adalah perbuatan yang mulia. Kejahatan
perang merupakan hal yang sangat tidak diinginkan terjadi. Dan ini melanggar hakhak manusia yang dilindungi dalam Islam, yaitu:
1. Hak Hidup
Hak untuk memelihara jiwa atau hak untuk hidup merupakan suatu yang
paling pokok dan mendasar bagi manusia. Hak ini harus ada dan setara bagi setiap
manusia tanpa melihat perbedaan-perbedaan yang ada diantara sesama manusia.
Tidak ada seorang atau sekelompok manusia yang hak hidupnya lebih diprioritaskan
dari hak hidup seseorang atau sekelompok manusia yang lainnya.10
Perlindungan hukum Islam terhadap hak hidup manusia dapat dilihat dari
ketentuan-ketentuan syariah yang melindungi dan menjunjung tinggi darah dan
nyawa manusia, melalui larangan membunuh, ketentuan qishash, dan larangan bunuh
9
Lihat Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 3 dan 5.
Ikhwan, Hak Asasi Manusia dalam Islam, Jakarta, Logos, 2004, h. 23.
10
75
diri. Membunuh adalah dosa besar yang diancam dengan balasan neraka, sesuai
firman Allah SWT dalam al-Maidah ayat (32)11:
…çµuΖyè9s uρ ϵø‹n=tã ª!$# |=ÅÒxîuρ $pκ'Ïù #V$Î#≈yz ÞΟ¨Ψγ
y y_ …çνäτ!#“t f
y ùs #Y‰ÏdϑyèGt •Β $YΨÏΒ÷σãΒ ö≅çFø)tƒ tΒuρ
(:) ∩⊂∪ $VϑŠÏàtã $¹/#x‹tã …çµs9 £‰tãr&uρ
Artinya: “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka
balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan
mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.”
Ayat ini mengajarkan kesamaan nilai jiwa setiap manusia. Penghilangan jiwa
seseorang tanpa alasan yang dibenarkan berarti tidak menghargai nilai jiwa setiap
manusia dan itu sama artinya dengan membunuh kesucian dan kehormatan jiwa
seluruh manusia. Sebaliknya, pemeliharaan kepada satu jiwa manusia berarti
pemeliharaan terhadap nilai, kesucian, dan kehormatan jiwa manusia secara umum
sehingga dapat diartikan sebagai pemeliharaan terhadap jiwa manusia seluruhnya.
Firman Allah lainnya dalam surat Al An’am ayat (151):
( :) .... Èd,ysø9$$Î/ ωÎ) ª!$# tΠ§ym ÉL©9$# š[ø¨Ζ9$# (#θè=çGø)s? Ÿωρu
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.”
Ayat ini mempertegas keberadaan dan ketinggian nilai hak hidup setiap
manusia. Tidak dibenarkan menghilangkan nyawa orang atas dasar alasan-alasan
subyektif. Menghilangkan nyawa seseorang hanya dapat dilakukan atas alasan-alasan
11
T. Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Islam dan Hak Asasi Manusia, Semarang, PT. Rizki
Putra, 1999, h. 40.
76
obyektif, yaitu alasan-alasan yang dibenarkan oleh Allah swt sebagai pencipta dan
pemberi hak hidup seluruh manusia.12
Ketentuan qishash merupakan kolerasi dari larangan membunuh. Qishash
adalah sanksi hukum kejahatan terhadap diri dan jiwa orang lain. Qishash ini
diwajibkan oleh Allah terhadap pembunuhan yang disengaja, mewajibkan diyat dan
fidyah dalam hal yang tak sengaja. Dan sebagai pencegahan, untuk memelihara
kelangsungan hidup manusia yang adil, aman dan tentram. Pengaturan mengenai
qishash ini dituangkan dalam surah al-Baqarah ayat (178):
ωö7yèø9$$Î/ ߉ö6yèø9$#uρ Ìhçtø:$$Î/ ”çtø:$# ( ‘n=÷Fs)ø9$# ’Îû ÞÉ$|ÁÉ)ø9$# ãΝä3ø‹n=tæ |=ÏGä. (#θãΖtΒ#u tÏ%©!$# $pκš‰r'¯≈tƒ
3 9≈|¡ômÎ*Î/ ϵø‹s9Î) í!#Šy r&uρ Å∃ρã÷èϑ
y ø9$$Î/ 7í$t6Ïo?$$sù Öóx« ϵŠÅzr& ôÏΒ …ã&s! u’Å∀ãã ôyϑsù 4 4s\ΡW{$$Î/ 4s\ΡW{$#ρu
∩⊇∠∇∪ ÒΟŠÏ9r& ë>#x‹tã …ã&s#sù y7Ï9≡sŒ y‰÷è/t 3“y‰tGôã$# Çyϑsù 3 ×πyϑôm‘u ρu öΝä3În/§‘ ÏiΒ ×#‹ÏøƒrB y7Ï9≡sŒ
(:)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu
pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi
ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu,
Maka baginya siksa yang sangat pedih”.
Islam melarang semua bentuk pembunuhan kecuali yang dilakukan
berdasarkan hukum. Selama perang dan pemberontakan, hanya pemerintah yang sah
12
Ikhwan, Hak Asasi Manusia dalam Islam, h. 24.
77
dan bijaksana, yang mengikuti syariah, yang dapat memutuskan pembenaran
pencabutan nyawa.
Islam mengharamkan
tindakan bunuh diri untuk menjamin hidup,
sebagaimana sabda Nabi saw13:
“Barang siapa yang menerjunkan dirinya dari suatu bukit, maka dia kekal
dalam neraka jahanam. dan barang siapa menegak racun lalu mati, maka racunnya
tetap berada ditangannya yang akan diteguknya dalam api neraka jahanam, dia
kekal didalamnya. dan barang siapa membunuh diri dengan sepotong besi, maka besi
itu tetap berada ditangannya, dan akan ditusuk-tusuk perutnya dengan besi itu dalam
neraka jahanam dan dia kekal didalamnya”.
Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam Tahun 1990
mengatur tentang hak hidup dalam pasal 2 yang berbunyi:
a) Kehidupan adalah berkah Tuhan dan hak untuk hidup dijamin bagi setiap
ummat manusia, dan ngara-negara untuk melindungi hak-hak ini dari
setiap pelanggaran apapun dan dilarang untuk mencabut kehidupan
kecuali berdasarkan syariat.
b) Dilarang untuk memilih jalan yang dapat mengakibatkan pemusnahan
missal suatu bangsa.
c) Perlindungan kehidupan manusia sampai akhir masa merupakam
kehendak Tuhan dan suatu kewajiban yang ditetapkan syariat.14
13
14
Hasbi Ash Shiddieqy, Hak Asasi Manusia, , h. 40.
Ikhwan, Hak Asasi Manusia dalam Islam, h. 25.
78
2. Hak Kebebasan Beragama
Dalam Islam, kebebasan dan kemerdekaan merupakan HAM, termasuk
didalamnya kebebasan menganut agama sesuai keyakinannya. Oleh karena itu, Islam
melarang keras adanya pemaksaan keyakinan agama kepada orang yang telah
menganut agama lain. Seperti yang dijelaskan dalam surah al-Baqarah ayat (256):
-∅ÏΒ÷σãƒuρ ÏNθäó≈©Ü9$$Î/ öàõ3tƒ yϑsù 4 Äcxöø9$# zÏΒ ß‰ô©”9$# t¨t6¨? ‰s% ( ÈÏe$!$# ’Îû oν#tø.Î) Iω
(:)
Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. ”
Kemerdekaan beragama terwujud dalam bentuk-bentuk yang meliputi:
a) Tidak ada paksaan untuk memeluk suatu agama atau kepercayaan tertentu
atau paksaan untuk menanggalkan agama yang telah diyakininya.
b) Islam memberikan kekuasaan kepada orang-orang Ahli Kitab untuk
melakukan apa yang menjadi hak dan kewajiban atau apa saja yang
dibolehkan selama tidak bertentangan dengan hukum Islam.
c) Islam menjaga kehormatan Ahli Kitab, bahkan lebih dari itu mereka
diberikan kemerdekaan untuk mengadakan perdebatan dan bertukat
pikiran serta pendapat dalam batasan-batasan etika perdebatan serta
menjauhkan kekerasan dan pemaksaan. 15
15
32
Dalizar Putra, Hak Asasi Manusia menurut Al-Quran, Jakarta, PT. al-Husna Zikra, 1995, h.
79
3. Hak atas Keadilan
Keadilan adalah dasar dari cita-cita Islam dan merupakan disiplin mutlak
untuk menegakkan kehormatan manusia. Dalam hal ini ada ayat al-Quran dalam surat
al-Nahl ayat (90) mengajak untuk menegakkan keadilan:
Ï!$t±ós
x ø9$# Çtã 4‘sS÷Ζtƒuρ 4†n1öà)ø9$# “ÏŒ Ç›!$tGƒÎ)uρ Ç≈|¡ômM}$#ρu ÉΑô‰yèø9$$Î/ ããΒù'tƒ ©!$# ¨βÎ) *
(#$: !") ∩⊃∪ šχρã©.x‹s? öΝà6¯=yè9s öΝä3ÝàÏèƒt 4 Äøöt7ø9$#uρ Ìx6Ψßϑø9$#uρ
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran.”
Keadilan adalah hak setiap manusia dan menjadi dasar bagi setiap hubungan individu.
oleh karena itu, merupakan hak setiap orang untuk meminta perlindungan kepada
penguasa yang sah, dengan menjadi kewajiban bagi para pemimpin atau penguasa
untuk menegakkan keadilan dan menberikan jaminan keamanan yang cukup bagi
warganya.
4. Hak Persamaan
Islam tidak hanya mengakui prinsip kesamaan derajat mutlak diantara
manusia tanpa memandang warna kulit, ras, atau kebangsaan, melainkan
menjadikannya realitas yang penting. Al-Quran menjelaskan mengenai persamaan
manusia dalam surat al-Hujarat ayat (13):
80
¨βÎ) 4 (#þθèùu‘$yèGt Ï9 Ÿ≅Í←!$t7s%uρ $\/θãèä© öΝä3≈oΨù=yè_
y ρu 4s\Ρé&uρ 9x.sŒ ÏiΒ /ä3≈oΨø)n=yz $¯ΡÎ) â¨$¨Ζ9$# $pκš‰r'¯≈tƒ
(:%&) ∩⊇⊂∪ ×8GÎ7yz îΛÎ=tã ©!$# ¨βÎ) 4 öΝä39s)ø?r& «!$# y‰ΨÏã ö/ä3tΒtò2r&
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Adanya pengakuan terhadap persamaan dalam Islam juga mencakup
persamaan didepan hukum. Islam memberikan kepada umatnya hak atas kedudukan
yang sama dihadapan hukum, artinya setiap manusia mempunyai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang sama. Dengan demikian, setiap orang harus diperlakukan
dan diberikan sanksi yang sama dalam menjalankan suatu hukum.
5. Hak Kepemilikan
Islam menjamin hak kepemilikin yang sah dan mengharamkan penggunaan
cara apapun untuk mendapatkan hak orang lain yang bukan haknya. Firman Allah
swt yang artinya, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian
yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian
daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
Mengetahui.”16
16
Ibid., h. 64.
81
B. Analisa Kejahatan Perang Menurut Hukum Islam
Pengertian dan model perang dalam Islam dapat merujuk pada informasi atau
sejarah perang yang dilakukan oleh Nabi dan sahabatnya. Peperangan dalam zaman
Nabi Muhammad merupakan sebuah lembaran yang pertama kali berhasil
mereformasi dari perang yang tidak beradab menjadi perang yang beradab dengan
menetapkan kode etik yang berdasarkan perikemanusiaan dan keberadaban. Nabi
Muhammad
menetapkan
kaidah-kaidah
dalam
berperang,
seperti
melarang
membunuh orang yang tidak ikut dan tidak aktif dalam peperangan, atau yang biasa
disebut non-combatant, serta melarang menghancurkan sumber penghidupan.
Disamping pengaturan kepada etika dalam perang, Nabi juga menganjurkan untuk
memperlakukan tawanan perang dengan manusiawi.17
Islam merupakan agama perdamaian yang menuntun kaum muslim untuk
bekerja demi terwujudnya perdamaian yang hakiki. Perang dalam Islam berpijak pada
prinsip perang yang adil (bellum justum) berdasarkan perintah Allah SWT yang
terdapat dalam al-Quran, Hadits dan sumber-sumber Hukum Islam tentang
perlindungan terhadap para tawanan perang secara manusiawi, adil dan kesetaraan.
Para pemikir barat menyatakan Hukum Islam lebih manusiawi dalam memberikan
perlindungan terhadap para tawanan perang.18
Menurut teori Hukum Islam, maksud perang bukanlah memperoleh
kemenangan atau harta benda musuh, tetapi terutama menjalankan kewajiban yaitu
17
http://adakabarapa.wordpress.com, diakses pada tanggal 20 Maret 2011
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, Alih Bahasa: Samson Rahman, (Jakarta: Pustaka alKautsar,2000), cet.I, hal. 19
18
82
berjihad dengan jalan yang ditunjukkan Allah, supaya agama Islam menjadi agama
universal. Dengan begitu, maka kepada umat Islam yang berjihad dianjurkan supaya
menghindarkan pertumpahan darah yang berlebihan dan jangan merusak harta benda.
Jika hal itu tidak diperlukan untuk mencapai maksudnya.
Para ahli hukum bersepakat, bahwa mereka yang turut serta bertempur, seperti
perempuan, anak-anak, pendeta dan pertapa, orang tua/lansia, buta dan sakit jiwa
tidak boleh dianiaya. ‘Abdullah ibn Umar menerangkan:
“Bahwasanya seorang perempuan dijumpai telah mati terbunuh dalam salah
satu peperangan Nabi saw. Maka Rasul sangat tidak membenarkan orang
membunuh wanita dan anak-anak”(Muslim 22:8)
Para ulama sependapat menetapkan, bahwa haram untuk membunuh wanita
dan anak-anak dalam penyerangan ke wilayah musuh jika wanita dan anak-anak tidak
ikut serta dalam peperangan. Bila mereka turut serta dalam perang maka hukum
membunuh mereka sama dengan membunuh musuh laki-laki. Orangtua/lansia jika
mereka tidak ikut berperang atau tidak mencampuri peperangan, maka mereka tidak
boleh dibunuh juga.19
Beberapa ahli hukum aliran Hanafi dan Syafi’I bahkan berpendapat bahwa
umat petani dan pedagang yang tidak turut serta bertempur tidak boleh dianiaya.
Umat Islam yang berjihad dinasehatkan pula oleh ahli-ahli hukum, supaya tidak
membunuh ayahnya yang musyrik, jika sang ayah ikut bertempur melawan Islam.
Seorang ahli hukum mazhab Maliki yaitu Khalil, memberi nasehat kepada umat Islam
19
178
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jakarta, Bulan Bintang, 1979, cet ke-I, h.
83
yang berjihad supaya jangan menggunakan panah beracun. Khalil bahkan melarang
racun dipakai dengan cara apapun terhadap musuh.
Disamping ditentukan tentang larangan-larangan yang harus dijauhi oleh umat
Islam yang berjihad, di dalam Hukum Islam ditentukan pula perlakuan-perlakuan
yang dapat dilakukan terhadap musuh. Misalnya, jika orang-orang kafir penduduk
dar al-harb sudah dinasehati supaya menganut agama Islam dan menolak salah satu
usul baik menganut agama Islam maupun membayar pajak, maka diperbolehkan
untuk membunuhnya, baik prajurit maupun bukan prajurit, asal pembunuhan itu tidak
dilakukan dengan cara mencederai.20
Perang membutuhkan pertimbangan rasional. Pada zaman Rasul, Nabi
Muhammad saw setiap akan pergi berperang sebelumnya selalu melakukan
musyawarah dengan para sahabat untuk mengambil keputusan teknis dalam
peperangan. Untuk mengatur strategi, persenjataan, kalkulasi kekuatan, penetapan
situasi darurat, dan bahkan perlakuan manusiawi terhadap musuh.21
Tujuan mulia dari jihad atau perang yaitu menolak perilaku manusia yang
tidak manusiawi agar terpelihara hak-hak hidup agama samawi dan memberi
perlindungan terhadap rumah-rumah ibadah.
Berikut hadis yang menerangkan tentang melepaskan tawanan dan
memberinya kelonggaran:
20
Pusat Studi Hukum Humaniter, Hukum Humaniter Suatu Perspektif, Jakarta, PSH
USAKTI, 1997, cet. Ke-I, h. 148
21
http://indonesia.irib.ir/politk/2005/desember05/oki.htm, diakses pada tanggal 18 Maret
20011.
84
“Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa rasulullah mengirim pasukan berkuda
kea rah Najed, lalu mereka menangkap seorang laki-laki dari bani Hanifah
yang bernama Tsumamah bin Utsal, pemimpin orang Yamamah. Mereka
mengikat Tsumamah bin Utsal di salah satu tiang masjid, lalu Rasulullah
keluar mendekatinya, kemudian beliau bertanya kepada Tsumamah, “Apa
yang kau miliki hai Tsumamah?” Dia menjawab, “Hai Muhammad! Saya
memiliki kebaikan. Jika kau membunuh saya, maka berarti kau membunuh
orang yang terhormat. Jika kau membebaskan saya, berarti kau
membebaskan orang yang akan membalas budi. Jika kau menginginkan harta
sebagai tebusan, maka mintalah sesukamu pasti kau akan diberi”.
Rasulullah meninggalkan Tsumamah sampai esoknya lagi, lalu
Rasulullah bertanya lagi, “Apa yang kau miliki hai Tsumamah?” Dia
menjawab, “Saya memiliki apa yang telah saya katakan kepadamu. Jika kau
membebaskan saya, berarti kau membebaskan orang yang membalas budi.
Jika kau membunuh saya, maka kau membunuh orang yang terhormat. Jika
kau menginginkan harta sebagai tebusan, maka mintalah kehendakmu, pasti
kau akan diberi”.
Lalu Rasulullah meninggalkan Tsumamah sampai esok harinya.
Kemudian Rasulullah bertanya lagi, “Apa yang kau miliki hai Tsumamah?”
Dia menjawab, “Saya memiliki apa yang telah saya katakan kepadamu. Jika
kau membebaskan saya, berarti kau akan membebaskan orang yang
membalas budi. Jika kau membunuh saya, berarti kamu membunuh orang
yang terhormat. Jika kau menginginkan harta sebagai tebusan, pasti kau akan
diberi”.
Maka, Rasulullah bersabda, “Bebaskanlah Tsumamah!”
Setelah itu Tsumamah pergi ke dekat pohon kurma di dekat masjid,
lalu mandi, kemudian masuk ke masjid dan mengucapkan, “Saya bersaksi
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad
adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Hai Muhammad! Demi Allah! Semula di
atas bumi tidak ada wajah yang lebih saya benci daripada wajahmu, tapi
sekarang wajahmu paling saya cintai. Demi Allah! Dia atas bumi ini tadinya
tidak ada agama yang paling saya benci daripada agamu, tapi sekarang
agamamulah yang paling saya senangi. Demi Allah! Semula tidak ada negeri
yang lebih saya benci daripada negerimu, tapi sekarang negerimulah yang
paling saya cintai. Sungguh pasukanmu yang berkuda menangkap saya ketika
saya hendak berumrah. Bagaimana menurutmu?” Maka, Rasulullah
manghiburnya dan menyuruhnya berumrah.
Setelah Tsumamah tiba di Mekkah, ada seseorang bertanya, “Apakah
kamu pindah agama?” Tsumamah menjawab, “Tidak, tapi saya masuk Islam
menyertai Rasulullah. Demi Allah! Tidak ada sampai kepada kalian sebutir
gandum pun dari Yamamah kecuali setelah diizinkan oleh Rasulullah.””
(Muslim 32:19)
85
Dalam hadits ini diceritakan bahwa Nabi Muhammad menahan seorang lelaki
dari Bani Hanifah yang bernama Tsumamah ibn Utsal, mengikatnya pada salah satu
tiang masjid. Nabi memberi pertanyaan sebanyak 3 kali dan dijawab pula dengan
jawaban yang sama setiap pertanyaan tersebut terlontar. Dan Rasulullah
memerintahkan untuk melepas ikatan Tsumamah. Kemudian Tsumamah pergi untuk
mandi dan kembali lagi ke masjid lalu mengucapkan kalimat syahadat dan Nabi
memerintahkannya untuk umrah. Ia pun bersumpah dengan tidak akan kembali
kepada agama yang dulu dan tidak akan mengirim barang sebutir gandum ke Mekkah
tanpa seizin Rasulullah. Hadits ini memberikan pengertian dan pencerminan, bahwa
kita boleh menahan tawanan dan memenjarakannya dan kita juga boleh
membebaskannya tanpa ada tebusan.22
22
Ash-Shiddieqy, Hadist, h. 235
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Dari pembahasan dan uraian di bab -bab sebelumnya, dapat disimpulkan
bahwa kejahatan perang adalah segala pelanggaran terhadap hukum -hukum perang
atau hukum humaniter internasional yang mendatangkan tanggung jawab kriminal
individu. Kejahatan perang merupakan pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan
hukum, termasuk pembunuhan, perlakuan buruk terhadap tawanan dan penduduk
sipil, perampasan barang-barang publik atau harta milik pribadi, dan perusakan
bangunan-bangunan tanpa alasan. Dan pelaku kejahatan perang dimungkinkan untuk
dituntut dan dipidana di forum mahkamah militer nasional maupun mahkamah
kejahatan internasional.
Dalam Islam tidak menghendaki adanya tindakan sewenang -wenang baik
terhadap musuh maupun terhadap tawanan perang dari pihak musuh. Dalam Islam,
dalam ketentuan-ketentuan syariah, melindungi dan menjunjung tinggi darah dan
nyawa manusia. Karena perang dalam Islam bertujuan bukan untuk mencapai
kemenangan atau merampas harta kekayaan musuh melainkan untuk memerangi
orang-orang musyrik yang melakukan penyerangan terhadap umat Islam terlebih
86
87
dahulu. Setiap perang perlu ada pengaturan atau etika dalam berperang, agar terhindar
dari perbuatan-perbuatan yang dilarang agama, seperti:
1. Sengaja membunuh wanita, anak -anak, orang yang sudah tua, dan
penduduk lainnya yang tidak ikut serta dalam perang.
2. Sengaja merusak tanaman dan pohon -pohon, binatang ternak, dan
bangunan-bangunan seperti rumah-rumah ibadah.
Dalam Konvensi PBB juga menetapkan perbuatan -perbuatan yang dilarang
dilakukan dalam keadaan berperang yaitu pembunuhan yang disengaja ; penyiksaan
atau perlakuan yang tidak manusiawi (termasuk eksperimen medis); dengan sengaja
menyebabkan penderitaan berat atau luka serius pada tubuh atau kesehatan, memaksa
tahanan perang atau orang sipil untuk masuk angkatan bersenjata dari penguasa
musuh, dengan sengaja menghilangkan hak tawanan perang atau warga sipil yang
dilindungi untuk mendapat pengadilan regular yang adil, deportasi atau pemindahan
penduduk sipil yang tidak berdasark an hukum, penahanan penduduk sipil yang
dilindungi tanpa ada dasar hukum dan menyandera.
B. Saran-saran
1. Negara wajib untuk mencari dan menangkap pelaku kejahatan perang agar
pelaku kejahatan perang dapat diminta pertanggungjawaban oleh hukum, guna
menghindari kejahatan-kejahatan serupa terulang lagi di masa yang akan
datang.
88
2. Peraturan yang dibuat oleh Hukum Internasional maupun Hukum Islam dapat
membuat pihak yang berperang menaati peraturan untuk melindungi
keselamatan tawanan perang dan penduduk sipil yang tidak ikut berperang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Kariem
Abdillah, Masykuri, Demokrasi Di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim
Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966 -1996), Yoogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1999.
Aidid, Hasyim, Konsep Islam tentang Hukum Humaniter I nternasional, Makasar:
November 2001.
Amin, L. Widodo, Fiqih Siasah dalam Hubungan Internasional , Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1994.
Ash Shiddieqy, T. Muhammad Hasbi, Islam dan Hak Asasi Manusia , Semarang: PT.
Rizki Putra, 1999.
---------, 2002 Mutiara Hadist, Jakarta: Bulan Bintang, 1979
Asplund, Knut D., Suparman Marzuki, Eko Riyadi, (Editor), Hukum Hak Asasi
Manusia, Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008 .
Assiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara Darurat , Jakarta: Rajawali Press, 2007 .
Azzam, Abdullah, Perang Jihad Di Jaman Modern, Jakarta: Gema Insani Press,
1992.
Djazuli, H. A., Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu Rambu Syariah, Jakarta: Kencana, 2003.
89
90
Faqih, Maryadi, MH, SH., et. al., Perang sebagai Pelanggaran HAM , Surabaya:
Lembaga Penerbitan Fak. Hukum Universitas Islam Malang, 2003, cet. I .
Gauhar, Altaf, Tantangan Islam, Alih Bahasa: Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka,
1982.
Gutman, Roy, David Reff. (Editor), Kejahatan Perang Yang Harus Diketahui Publik ,
Program Pelatihan Jurnalistik Televi si, 2004.
Harcahyono, Cheppy, Ilmu Politik dan Perspektifnya , Yogyakarta: Tiara Kencana,
1996.
Haryomataram, KGPH, SH., Pengantar Hukum Humaniter , Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2007.
Ikhwan, Hak Asasi Manusia dalam Islam , Jakarta: Logos, 2004.
Iqbal, Afzal, Diplomasi Islam, Alih Bahasa: Samson Rahman, Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2000, cet.I.
Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah: Kontekstual Doktrin Politik Islam , Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2007.
Kamil, Syukron, (Editor)., Syariah dan HAM: Dampak Perda Syar iah Terhadap
Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim, Jakarta, Center for
the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2007.
Khadduri, Majid, War and Peace in the law of Islam , Yogyakarta: Tarawang Press,
2002, cet. I.
91
Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (Penyunting/Editor), Hukum Hak
Asasi Manusia/Rhona K. M. Smith, at.al. ---Yogyakarta: PUSHAM UII,
2008.
Kuper, Adam, Jessica Kuper, Ensiklopedia Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta: Rajawali Pers,
2000.
Kusumaatmadja, Mochtar, Konvensi-Konvensi Palang Merah Tahun 1949 Mengenai
Perlindungan Korban Perang , Bandung: Binacita, 1986.
Nasution, Debby M., Kedudukan Militer Dalam Islam Dan Peranannya Pada Masa
Rasulullah saw., Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002 .
Mahmud, Abdul Ghani A. Hamid, Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Dalam
Perspektif Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam , t.t., Komite
Internasional Palang Merah: ICRC Delegasi Regional Indonesia, 2008 .
Mahmud, Ali Abdul Halim, Rukun Jihad, Jakarta: Al’ithisom Cahaya Umat.
Pusat Studi Hukum Humaniter, Hukum Humaniter Suatu Perspektif , Jakarta: PSH
USAKTI, 1997.
Putra, Dalizar, Hak Asasi Manusia menurut Al -Quran, Jakarta: PT. Husna Zikra,
1995.
Rahman, Afzalur, Nabi Muhammad sebagai Seorang Pemimpin Militer , Jakarta:
Amzah, 2002.
Rusman, Rina, Hukum Kejahatan Perang dan Posisinya dalam Hukum Nasional ,
Jakarta: News Letter ICRC, Edisi 01 (Maret, 2004) .
Rover, C. de, To Serve and protek, International Committee of the Red Cross, 1988 .
92
Rozak, Abdul, (Editor).,
Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education):
Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani , Jakarta: ICCE
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005 .
Shiddiq, Mahfudz, Hak Asasi Manusia, http://angelfire.com, di akses pada tanggal 20
Maret 2011.
Soekamto, Soedjono D., Kriminologi Suatu Pengantar , Bandung : Ghalia Indonesia,
1986.
Suhartono. (Editor)., Kejahatan Terhadap Kemanusiaan: Perjuangan umtuk
Mewujudkan Keadilan Global , Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, 2002.
Suryadi, Radjab, Dasar-Dasar Hak Asasi Manusia, Jakarta: Lembaga Penerbitan
PBHI, 2002.
Widodo, L. Amin, Fiqih Siasah Dalam Hubungan Internasional , Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1994.
Zayyid bin Abdel Karim al -Zayyid, Prof. Dr., Pengantar Hukum Humaniter
Internasional dalam Islam , Jakarta: ICRC Delegasi Regional Indonesia,
2008.
INTERNET
http://adakabarapa.wordpress.com
http://id.wikipedia.org/wiki/Kejahatan_perang
http://indonesia.irib.ir/politik
93
http://www.cmm.or.id/cmm -ind_more.php?id=A3260_0_3_0_M
http://psktii-ui.com
http://www.pesantrenvirtual.com/983:tawanan -dalam-persepsi-islam
SUMBER LAIN
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Jakarta:
Balai Pustaka, 1989
Jurnal Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia, Hukum Huma niter Internasional
dan Hak Asasi Manusia; Lembar Fakta No.13
Komisi Nasional Perempuan, Hukum Pidana Internasional dan Perempuan; Sebuah
Resource Book Untuk Praktisi
Konveksi Den Haag IV 1907 Mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang Di Darat
Konvensi Jenewa I
Konvensi Jenewa III Tahun 1949
Konvensi Tentang Tidak Dapat Ditetapkannya Pembatasan Statuta pada Kejahatan
Perang dan Kejahatan Kemanusiaan
Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional, Jakarta: Elsam, 2000
Download