TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENGENAI KEJAHATAN PERANG Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi Persyaratan Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh: Dian Kemala Sari 106045201525 KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M/1432 H LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul: “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Kejahatan Perang ” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada t anggal 20 Juni 2011. Skripsi telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Ketatanegaran Islam ( Siyasah Syari’iyyah). Jakarta, 22 Juni 2011 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MH, MM NIP. 19550505 198203 1 012 Panitia Ujian Munaqasyah 1. Ketua : Dr. Asmawi, M. Ag NIP. 19721010 199703 1 008 (……………..…) 2. Sekretaris : Afwan Faizin, MA NIP. 19721026 200312 1 008 (…….……….…) 3. Pembimbing I : Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, MA NIP. 19691216 199603 1 001 (……………..…) 4. Penguji I : Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah NIP. 19581222 198903 1 001 (…………..……) 5. Penguji II : Nahrowi, SH, MH NIP. 19730215 199903 1 002 (………….…….) KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah Dzat yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, yang telah memberikan banyak nikmat dan senantiasa memberikan hidayahnya kepada setiap makhluk ciptaan -Nya. Sehingga dengan izinnya akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul: “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Konvensi Perserikatan Bangsa -Bangsa Mengenai Kejahatan Perang ”. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya minadzulumati illa nur dan kesejahtraan semoga selalu tercurahkan kepada keluarga besar beliau, sahabat -sahabatnya-Nya, tabi’intabi’uttabiin, dan kita sebagai umatnya semoga mendapatkan syafaatnya kelak. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari masih jauh dari sempurna baik dalam proses maupun isinya. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis mendapat banyak bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada pihak -pihak yang telah membimbing, membantu dan memotivasi penul is, antara lain: 1. Prof. Dr. Drs. H.M. Amin Suma, SH, MA, MM, selaku dekan Fakultas Syariah dan Hukum, dan beserta staf -staf nya. 2. Dr. Asmawi, M.Ag dan Afwan faizin, M.Ag, selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah yang telah ban yak membantu i penulis selama masih dalam masa kuliah. Serta ibu Sri Hidayati, M. Ag selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah terdahulu yang telah memberikan semangat kepada penulis untuk segera menyelesaikan tugas akhir. 3. Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, MA selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya disela -sela kesibukan untuk memberikan bimbingan, pengarahan, dan dorongan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Kepada orangtuaku tercinta, Papa Burhanudin dan Mama Yarniati, yang sangat berperan dalam mendidik, mengasuh dan membimbing penulis dengan kesabaran dan pengertian serta tiada henti memberikan dukungan secara moril maupun materil. Terimakasih yang teramat sangat atas cinta dan kasih sayangnya. 5. Kepada seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membekali penulis dengan ilmu yang berharga, nasehat -nasehat penyemangat yang memberikan motivasi kepada penulis, kesabaran dalam mendidik penulis selama penulis melakukan studi. 6. Bagian administrasi dan tata usaha yang telah banyak membantu memberikan kelancaran kepada penulis dalam proses penyelesaian prosedur kemahasiswaan, serta pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan khususnya Perpustakaan FSH, terima ii kasih atas penyediaan buku -buku penunjang sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 7. Untuk adik-adikku, Dian Amami Burhani dan Ari Rahman Maulana, tetap semangat untuk belajar terus menerus, jangan pernah bosan mendengar nasehat plus omelan dari Mama-Papa, Kakak, Guru-guru kalian, tunjukan prestasi kalian dan jangan kecewakan Papa-Mama dan Kakak. Kalian bisa lebih dari Kakak dan harus! Dan untuk keluarga besarku di Jakarta, Padang, Lombok dan Sampit, terimakasih dukungan dari kalian,. Love ya! 8. Mein Schatzi, Trisna Piliandy. Terimakasih atas dukungannya, motivasinya, omelannya dan marahnya supaya terus bersemangat untuk menyelesaikan skrispsi ini. Insya Allah yang kita impikan dan cita -citakan tercapai karena kita sedang berusaha. Lakukan yang terbaik da n bertawakal, Insya Allah, kita mendapat restu-Nya. Amiin. 9. Para sahabatku Siyayah Syar’iyyah angkatan 2006, Esha, Rifko, Uthi, Yudha, Supardi, Boim (yang heboh di detik -detik terakhir buat daftar kompre dan pendaftaran skripsi, makasih teman) , Eri dan Luthfi cepet lulus biar cepet meminang gadis pujaan, Echa yang udah jadi mama, Apri yang sibuk cari kerja, Lina, Achiy, Ziah, Atiqoh, Alif, Bowo, Ridwan, Ade, Irsyad, Bangkit dan teman-teman yang lain. Terimakasih kebersamaan nya selama menjadi mahasiswa SS di kampus ini, semoga kita tetap bisa menjalin silahturahmi dan kita semua menjadi orang -orang yang sukses dimasa depan. A miin. iii 10. Para sahabatku di FORSA UIN, teh Lulu yang selalu kasih semangat, selalu berbagi suka dan duka bersama. Oky, Tika, Tiara, Isma, Kak Ayu, Kak Fitri, Kak Ozy, Kak Dede, Kak Soleh, Kak Ibnu, Kak Zainal, Kak Febri dan para senior-senior serta teman-teman yang lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih telah mencurahkan perhatian dan pengajaran baik tentang kuliah, berorganisasi di FORSA maupun teknik voli di lapangan. 11. Para sahabatku di SMAN 1 Sampit, Yunis Triana, Harliana, Annisa Soraya, Puspita Sari, Danny Sundari, Herli Agustina, yang memberi semangat dan doa untuk proses tugas akhir. Terimakasih telah memberi warna dalam usia remajaku, sangat berharap bisa bertemu kalian lagi. Para sahabatku di SMAN 1 Ciputat, Nur Fadhila Juwita , Wansri Handayani, Ayu Inggar Reswari, Windy, Gita. Terimakasih doa dan semangatnya. Demikianlah beberapa pihak yang mendukung skripsi ini, teri ma kasih penulis ucapkan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat besar bagi keperluan pengembangan ilmu syariah dan hukum khususnya ketatanegaraan Islam. Depok, 13 Juni 2011 Dian Kemala Sari iv DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ...............................................................................................i DAFTAR ISI ..............................................................................................................v BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1 A. Latar Belakang Masalah .....................................................................1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................................8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...........................................................8 D. Tinjauan Kajian Terdahulu.................................................................9 E. Metode Penelitian ...............................................................................11 F. Sistematika Penulisan .........................................................................14 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERANG ..........................................16 A. Perang Dalam Hukum Humaniter Internasional ................................16 B. Pengertian Perang Dalam Islam .........................................................19 C. Etika Dalam Perang ............................................................................25 D. Perdamaian Pasca Perang ...................................................................34 BAB III KEJAHATAN PERANG DALAM ISLAM DAN KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (PBB) ....................................41 A. Pengertian Kejahatan Perang .............................................................41 v B. Bentuk-bentuk Kejahatan Perang .......................................................47 C. Perlakuan Terhadap Tawanan Perang dan Penduduk Sipil ................51 D. Sanksi Kejahatan Perang ....................................................................65 BAB IV ANALISA HUKUM ISLAM MENGENAI KEJAHATAN PERANG DALAM KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA -BANGSA (PBB) A. Hak-Hak Asasi Manusia.....................................................................71 B. Analisa Kejahatan Perang Menurut Hukum Islam .............................81 BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan.........................................................................................86 B. Saran-saran .........................................................................................87 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................89 LAMPIRAN vi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peperangan yang marak terjadi dalam beberapa tahun terakhir yang menimpa beberapa negara bagian di belahan dunia, banyak sekali menimbulkan kerugian baik fisik maupun mental. Tujuan peperangan umumnya sebagai upaya pencaplokan suatu wilayah, memperluas kekuasaan dengan mengerahkan kekuatan militer yang dilengkapi persenjataan yang lengkap dan canggih. Perang mengakibatkan kejahatan kemanusiaan bagi generasi saati ini dan akan datang. Sejarah mencatat perang merupakan fenomena yang mempengaruhi nilai-nilai kemanusiaan, karena selama berlangsungnya perang sering terjadi pelanggaran hak hak individu dan masyarakat. Sehing ga manusia yang mulia menjadi sosok yang tidak bernilai. Perang seperti apapun bentuknya selalu men datangkan kerugian dan penderitaan bagi kedua belah pihak yang berperang. Baik yang menang maupun yang kalah selalu dirugikan oleh kekejaman dan kebengisan senjata dan kekerasan selama perang berlangsung. 1 Setidaknya ada beberapa akibat yang disebabkan oleh perang. Selain kerugian materi seperti mengakibatkan kelaparan, kekurangan pangan dan mewabahnya penyakit dan jiwa, perang juga senantiasa melahirkan dendam . Ekses 1 Radjab Suryadi, Dasar-Dasar Hak Asasi Manusia (Jakarta: Lembaga Penerbitan PBHI, 2002), cet.I, hal. 20. 1 2 sosiologinya mengakibatkan kemiskinan massal, kebodohan dan mewariskan permusuhan. Lebih jauh peperangan juga melahirkan resesi dunia dan krisis ekonomi dunia.2 Sejarah Islam mencatat, perang yang terjadi sepanjang sejarah Islam bukanlah perang untuk memperluas wilayah dan mencari harta rampasan. Namun, perang yang terjadi ialah memerangi orang-orang musyrik dan penganut paganisme 3. Walaupun demikian, Islam sangat menjunjung tinggi hak -hak asasi manusia, hak-hak minoritas dan non-Islam. Contohnya, memberikan perlindungan terhadap kaum Harbi dan Kaum Musta’min yang sedang berada di wilayah dar al-islam.4 Tidak dapat disangkal besarnya jumlah korban dan dampak dari perang terutama Perang Dunia II yang banyak sekali memakan korban. Selain korban dari pasukan perang (combatant) yang ditawan dan ditahan bahkan dieksekusi, banyak diungkap pengalaman pahit dan penderitaan yang dialami oleh kelompok masyarakat yang tidak terlibat langsung dalam perang. E tnis Yahudi, Polandia, Swiss dan Yugoslavia di Eropa sebagai penduduk sipil yang menjadi korban peperangan, termasuk pula harta benda mereka yang dirampas , hilang, hangus dan musnah. 5 Bentuk tindakan pelanggaran inilah yang disebut dengan kejahatan perang, dalam 2 Ratno Lukito, Saddam dalam Hukum Internasional , Kompas, (Jakarta), Rabu, 17 Desember 2003, hal. 4. 3 Sebuah kepercayaan/praktek spiritual penyembahan terhadap berhala yang pengikutnya disebut Pagan. Pagan pada zaman kuno percaya bahwa terdapat lebih dari satu dewa dan dewi dan untuk menyembahnya mereka menyembah patung, contoh Mesir Kuno, Yunani Kuno, Romawi Kuno, dan lain-lain. Istilah ini telah meluas, meliputi semua Agama Abrahamik, Yahudi, Kristen, dan Islam. 4 Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, Alih Bahasa: Samson Rahman, (Jakarta: Pustaka al Kautsar,2000), cet.I, hal. 19. 5 Radjab Suryadi, Dasar-Dasar Hak Asasi Manusia , (Jakarta; Lembaga Penerbitan PBHI, 2002), cet.I, hal. 20. 3 cakupan hukum internasional, ialah pelanggaran terhadap hukum perang oleh satu atau beberapa orang, baik militer maupun sipil. Setiap pelanggaran hukum perang pada konflik antar bangsa merupakan kejahatan perang. Pelanggaran yang terjadi pada konflik internal suatu negara, belum tentu bisa dianggap kejahatan perang. Perlakuan semena-mena terhadap tawanan perang atau penduduk sipil, pembunuhan massal dan genosida kadang dianggap juga sebagai suatu kejahatan perang . 6 Dan tidak sesuai dengan prinsip dasar Hukum Humaniter bahwa pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, dimana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu. 7 Dalam konvensi dinyatakan bahwa kejahatan-kejahatan perang dan kejahatan-kejahatan kemanusiaan merupakan kejahatan -kejahatan yang paling gawat dalam hukum internasiona l. Dan pelaku kejahatan perang dimungkinkan untuk dituntut dan dipidana di forum mahkamah militer nasional maupun mahkamah kejahatan internasional. 8 Di pasal 3 dari empat Konvensi Jenewa tentang hukum humaniter 1949 menyatakan bahwa pada masa pertikaian be rsenjata seseorang yang dilindungi konvensi “dalam kondisi apapun diperlakukan secara manusiawi, tanpa pembedaan yang merugikan berdasarkan ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, 6 Di akses pada tanggal 3 Februari 2010 , http://id.wikipedia.org/wiki/Kejahatan_perang Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (Penyunting/Editor), Hukum Hak Asasi Manusia/Rhona K. M. Smith, at.al.---Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008 , h. 377 8 Konvensi tentang Tidak Dapat Ditetapkannya Pembatasan Statuta pada Kejahatan Perang dan Kejahatan Kemanusiaan, hal. 1 7 4 jenis kelamin, keturunan atau kejayaan, atau kriteria sejenis lainnya”. 9 PBB telah menetapkan peraturan bagi kerja sama Internasional untuk pencegahan dan hukuman tindak kejahatan terhadap perdamaian, tindak kejahatan dalam perang dan tindak kejahatan terhadap kemanusiaan. Konvensi sepakat bahwa genosida, baik yang dilakukan pada saat damai maupun perang, merupakan tindak kejahatan berdasarkan hukum Internasional yang mesti dicegah dan dihukum Negara Pihak. 10 Dan merupakan kejahatan yang mencapai status jus cogens 11 atau hukum yang harus ditaati (compelling law). Artinya, menurut pendapat kebanyakan pengadilan di dunia, kejahatan tersebut dianggap sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional. Juga dari fakta bahwa kebanyakan negara telah meratifikasi perjanjian -perjanjian yang berkaitan dengan kejahatan ini; dan telah dijalankan nya pengadilan internasional ad hoc terhadap pelaku kejahatan-kejahatan tersebut. 12 Untuk kejahatan perang, Hukum humaniter mengatur perilaku Negara pada saat konflik. Awalnya hanya pada situasi konflik internasional (antara sedikitnya 2 negara), tetapi akhirnya mencakup konflik internal ( Common Article 3, Konvensi Jenewa 1949), pertanggungjawaban individu atas tindakan pelanggaran berat (grave 9 Jurnal Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia, Hukum Humaniter Internasi onal dan Hak Asasi Manusia; Lembar Fakta No.13, h. 2. 10 Ibid., h. 11. 11 Serangkaian prinsip atau norma yang tidak dapat diubah yang tidak boleh diabaikan,dan dapat berlaku membatalkan suatu traktat atau perjanjian antar negara -negara,dalam hal perjanjian tersebut tidak sesuai dengan salah satu prinsip tersebut. 12 Komisi Nasional Perempuan, Hukum Pidana Internasional dan Perempuan; Sebuah Resource Book Untuk Praktisi , t.t., Komisi Nasional Perempuan, t.th., h. 1. 5 breaches), dan kewajiban Negara untuk mencari, mengekstradisi atau mengadili pelaku pelanggaran berat .13 Begitu pula dalam hukum Islam, ada beberapa hak -hak yang ditetapkan Islam sebagai perlindungan terhadap korban perang dan konflik bersenjata antara lain para korban yang luka dan cidera dari pihak musuh harus segera diamankan dari segala bentuk tindakan pelanggaran, harus dilindungi dan diperlakukan secara manusiawi. Kemudian, Islam memberikan perhatian istimewa bagi tawanan dimana kehormatan dan hak-hak tawanan terjaga dan terhindar dari segala bentuk tindakan pelanggaran. Serta Islam memberikan hak pada tawanan untu k melaksanakan ritual agama yang dianut selama menjadi tawanan. 14 Islam menekankan pentingnya menghormati tawanan. Dalam al-Quran, pemberian pangan untuk para tawanan merupakan salah satu dari kebajikan, dan terhitung sebagai salah satu sifat mu'min yang ba ik. Islam menekankan pentingnya menghormati tawanan. Allah swt . berfirman mengenai sifat-sifat mu'min yang merdeka: "Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan " (QS. Al-Insan: 8). Dalam ayat ini mem berikan suatu gambaran langsung bahwa seorang tawanan seakan disambut layaknya seorang tamu, bukan sebagai tawanan yang lantas dijadikan budak. Pimpinan perang dibawah naungan panji Islam, tawanan diperlakukan secara terhormat dan manusiawi, tidak membuat mereka haus dan lapar. 13 Ibid., h. 9. Prof. Dr. Zayyid bin Abdel K arim al-Zayyid, Pengantar Hukum Humaniter Internasional dalam Islam, (Jakarta: ICRC Delegasi Regional Indonesia, 2008), hal. 30. 14 6 Sholahuddin Al-Ayyubi menorehkan sejarah dengan tinta emas: saat berperang, Sholahuddin menangkap pasukan Salib yang berjumlah sangat besar sedangkan makanan yang tersedia tidak cukup buat mereka. Dengan lapang dada, akhirnya Sholahuddin membebaskan mereka tanpa syarat. Muhammad Abu Zahrah, dalam bukunya "nazariyat al-harb fi al-Islam" (Teori Perang dalam Islam) menulis: "motivasi perang dalam Islam itu reagresi, atau membalas serangan lawan ".15 Sejumlah perang yang terukir dalam seja rah Islam bukan perang melawan rakyat, melainkan perang menghadapi prajurit yang menindas rakyat dan orang -orang yang memiliki otoritas mengambil kekuatan senjata sebagai alat untuk memusuhi kebenaran. Berdasarkan itu, simpul -simpul ukhuwah umat Islam deng an pemimpin wilayah tidak terputus jika komunikasi tetap prospektif dan memungkinkan. Sedangkan perang yang menimpa umat Islam seperti terjadi sekarang ini tidak demikian, karena hanya invasi atau agresi antarnegara, sebab pertama kali yang dilakukan sang agresor itu kini tidak segan -segan menangkap para pemimpin negara yang ia perangi, serta men yita habis harta mereka. Dalam Islam tidak menghendaki tindakan sewenang-wenang terhadap pihak musuh. Bahkan Islam menganjurkan bahwa , contohnya, dalam hubungan dagang antar-negara tidak bisa diputuskan hanya oleh perang, hubungan dagang antar pebisnis itu akan masih tetap terjalin. Karena itu para pengusaha yang memasuki dar al-islam akan merasa aman, sebab mereka diberikan 'transaksi' kontrak keamanan 15 Dewan Asatidz, “Tawanan dalam Persepsi Islam”, artikel diakses pada 02 Februari 2011 dari http://www.pesantrenvirtual.com/983 :tawanan–dalam-persepsi-islam 7 yang memadai. Dengan cara pandang ini, jika dilihat apa yang terjadi dengan para tawanan di Irak, atau berbagai macam barisan perlawanan Irak yang ada di sana, atau operasi penculikan terhadap orang yang tidak berkaitan langsung dengan perang, itu sama sekali tidak relevan dengan kesepakatan Jenewa mengenai hak -hak perlindungan tawanan, terlebih lagi dengan prinsip dan nilai -nilai ajaran Islam. 16 Untuk itu, baik dalam hukum Islam dan hukum internasional, khususnya konvensi-konvensi Perserikatan Bangsa -Bangsa (PBB), mengatur bagaimana cara berperang yang sesuai dengan peraturan yang dibuat dan cara memperlakukan tawanan perang maupun penduduk sipil. Merupakan suatu keharusan bagi pihak yang berperang untuk melindungi dan menjaga keselamatan tawanan perang dan penduduk sipil yang tidak terlibat langsung maupun yang terlibat langsung dalam peperangan. Karena tawanan perang dan penduduk sipil mempunyai hak untuk hidup dalam keadaan aman dan tentram. Sungguh sangat menarik hal -hal yang berkaitan dengan peperangan termasuk kejahatan perang. Dan hal ini menarik untuk diteliti, sehingga penulis menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul: “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Konvensi Perserikatan Bangsa -Bangsa Mengenai Kejahatan Perang” 16 Ibid., http://www.pesantrenvirtual.com/983:tawanan –dalam-persepsi-islam. 8 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Dalam penulisan skripsi ini, pembahasan akan difokuskan pada kejahatan perang dalam perspektif Islam. Oleh kar ena itu, masalah pokok dalam pem bahasan ini adalah Bagaimana Pandangan Hukum Islam Mengenai Kejahatan Perang Dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa. 2. Perumusan Masalah Mengingat tema skripsi maka penulis perlu membuat rumusan masalah yang dianggap penting dan berkesinambungan yang akan dicari jawabannya dalam penelitian ini. Maka berdasarkan paparan dalam latar belakang diatas, maka d iantara rumusan masalahnya yaitu: a) Apa yang dimaksud dengan kejahatan perang? b) Bagaimana pandangan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai kejahatan perang? c) Bagaimana tinjauan hukum Islam mengenai kejahatan perang ? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini disusun bermaksud untuk menjelaskan mengenai kejahatankejahatan perang yang perlu dihapuskan baik menurut Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa maupun Hukum Islam. Secara rinci penelitian ini bertujuan untuk: 9 a) Untuk mengetahui dan me njelaskan bentuk-bentuk kejahatan perang menurut konvensi. b) Menjawab pertanyaan pokok diatas untuk mengetahui ketentuan mengenai peraturan perang dalam konvensi. c) Mengetahui ketentuan hukum Islam tentang perang dan kejahatan perang. 2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dan kegunaan penelitian ini sebagai berikut: a) Untuk memberikan jawaban yang relevansi dan aktual. b) Untuk menambah khasanah pengetahuan dan wawasan terutama mengenai hukum Islam tentang perang dan pengaturan dan etika berperang dalam konvensi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). c) Bisa menjadi acuan bagi peneliti berikutnya. D. Tinjauan Kajian Terdahulu Penulis menemukan beberapa karya ilmiah dan judul skripsi yang pernah ditulis oleh mahasiwa sebelumnya yang berkaitan erat dengan judul skripsi yang diteliti oleh penulis. Akan tetapi, setelah penulis membaca beberapa karya ilmiah dan skripsi tersebut ada perbedaan yang cukup signifikan dalam penulisan skripsi ini, dan nantinya tidak akan ada timbul kecurigaan plagiasi. Peneliti memfokuskan perhatian pada bidang yang berkaitan tentang satu atau lebih dari variabel yang berkaitan tentang penghapusan kejahatan perang . Untuk itu dibawah ini akan penulis kemukakan karya ilmiah dan skripsi yang pernah ada, diantarannya sebagai berikut: 10 1. Konvensi tentang Pencegahan d an Penghukuman Kejahatan Genosida . Temuan pokok dalam konvensi ini ialah kejahatan genosida yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan tujuan merusak begitu saja, dalam keseluruhan ataupun sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, rasial atau agama. Dari semua periode sejarah kejahatan genosida membawa kerugian kerugian besar bagi manusia , baik itu dilakukan pada masa damai maupun pada masa perang, dan menurut hukum internasional, kejahatan ini perlu dicegah dan menghukum pelakunya. 2. Karya Majid Khadduri dalam bukunya yang berjudul War and Peace in the Law of Islam. Temuan pokok dalam karya ini menyatakan bahwa Allah telah mengatur jihad yang boleh dilakukan oleh umat Islam dan tata cara berjihad. Perdamaian tetap menjadi tujuan utama, walaupun peperangan se dang berlangsung tetapi Islam memperlakukan para tawanan dan jenasah secara baik-baik. Bahkan dalam pembagian rampasan perang, Islam memberikan aturan yang jelas dan adil bagi seluruh umat. 3. Karya Prof. Dr. Zayyid bin Abdel Karim al -Zayyid dalam bukunya yang berjudul Pengantar Hukum Humaniter Internasional Dalam Islam . Temuan pokok dalam karya ini ialah para korban luka dan cidera dari pihak musuh, bila sudah tidak sanggup memikul senjata untuk memerangi umat Islam, harus segera diamankan dari segala bentuk pelanggaran. Bahkan harus dilindungi dan diperlakukan secara kemanusiaan. Tidak dibenarkan melakukan siksaan 11 terhadap korban luka, karena tindakan tersebut sama sekali bukan termasuk etika berperang yang baik. 4. Judul: “Sanksi Kejahatan Perang (Tinjauan Huku m Islam dan Hukum Humaniter Internasional)” Penulis: Ahmad Maulana /PMH/2005 Sesungguhnya Islam selalu ingin m enghindarkan diri dari peperangan karena perang akan menimbulkan penjajahan, perbudakan dan berbagai sikap negatif serta ambisi buruk dari negara -negara penakluk, dengan cara pemanfaatan situasi seperti mencari keuntungan pribadi, menciptakan pasar pasar baru, merampas sumber bahan baku dan memperbudak sesama manusia. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Untuk menyelesaikan sebuah permasalahan yang a kan diteliti maka tentunya penulis harus mengumpulkan data -data yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti. Secara tipologis, penelitian penulis ini menggunakan studi kepustakaan yaitu memperoleh dan mengumpulkan data untuk mendapatkan data sesu ai harapan penulis dan seperti yang digambarkan dalam data kepustakaan. Sifat data dalam penelitian ini merupakan model penelitian deskriptif analitis yang memaparkan kejahatan dalam perang, yakni penelitian yang menggambarkan data dan informasi yang diper oleh dari penelitian kepustakaan 12 secara mendalam agar dapat memberikan informasi kepada pembaca secara optimal. Dalam pendekatan ini peneliti menggunakan metode kualitatif. Analisis ini digunakan untuk mengetahui secara kualitatif tentang penghapusan kejahatan perang sehingga dapat membantu memecahkan dan menemukan solusi terhadap persoalan yang diteliti dalam skripsi ini. Ditinjau dari sudut metodologi penelitian hukum pada umumnya, studi ini merupakan studi hukum Islam dengan menggunakan pendekatan normat if doktriner yaitu menurut undang -undang, konvensi dan pemikiran para ulama. 2. Sumber Penelitian Hukum Dalam penelitian hukum tidak mengenal data. Untuk memecahkan isu hukum maka diperlukan sumber-sumber penelitian diantaranya sumber penelitian hukum yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dibawah ini akan dirinci satu yang termasuk ke dalam data primer dan data sekunder. a. Bahan Primer Bahan primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif dan mempunyai otoritas. Bahan hukum primer dalam penelitian ini terdiri dari ki tabkitab Al-Qur’an, Hadits, Konvensi-konvensi, Buku-buku dan bila diperlukan pidato-pidato. 13 b. Bahan Sekunder Bahan sekunder merupakan bahan yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi dokumen yang berhubungan dengan masa lah yang dikaji, seperti paparan pendapat-pendapat para ahli. 3. Pengumpulan Data Peneliti melakukan penelusuran untuk mencari bahan -bahan hukum yang relevan terhadap isu yang dihadapi. Karena didalam penelitian penulis menyebutkan pendekatan terhadap konven si maka peneliti harus mencari beberapa konvensi-konvensi atau yang berkaitan dengan isu kejahatan perang. Oleh karena itu untuk memecahkan suatu isu kejahatan perang peneliti harus menelusuri sekian banyak berbagai konvensi-konvensi yang bersangkutan dengan kejahatan perang. Maka dalam penelitian ini, pengumpulan data menggunakan teknik studi dokumen dengan mengumpulkan bahan dari sumber -sumber bahan primer, sekunder, dan tersier seperti yang telah dijelaskan diatas. 4. Analisis Data Dalam menganalisis data, diterapkan tekhnik analisis isi secara kualitatif. Metode data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data -data tersebut secara jelas dan mengambil isinya dengan menggunakan content analysis. Kemudian melakukan bongkar pasang dan menata kembali secara s istematis data-data yang telah terkumpul sebelumnya dengan menggambarkan satu kesatuan yang utuh. 14 Penulis menginterpretasikan dengan menggunakan bahasa penulis sendiri, dengan demikian akan nampak rincian jawaban atas pokok permasalahan yang diteliti. Sementara untuk teknis penulisan ini penulis berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2009.” F. Sistematika Penulisan Sebagaimana layaknya laporan hasil ilmiah yang standar dalam bentuk skripsi, maka laporan ini menjelaskan secara teknis prosedural. Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok penulisan skripsi ini dan agar memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan ini sebagai berikut : Bab pertama yaitu pendahuluan. Dalam bab ini dikemukakan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisa n. Bab kedua yaitu tinjauan umum tentang perang. Dalam bab ini penulis membagikan pengertian perang dalam dua perspektif hukum. Yang pertama, perang dalam perspektif hukum Islam dan yang kedua dalam perspektif hukum internasional. Disini penulis ingin memp erlihatkan bahwa dalam hukum Islam dan hukum internasional juga memberikan pemahaman yang sama tentang perang, bagaimana tata cara dan etika dalam perang. 15 Bab ketiga yaitu kejahatan perang dalam Islam dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Penulis memberikan uraian mengenai apa itu yang disebut dengan kejahatan perang, bentuk-bentuknya seperti apa, hak -hak tawanan yang seperti apa yang harus dilindungi. Bab keempat yaitu analisa hukum Islam mengenai kejahatan perang dalam Konvensi Perserikatan Bangsa -Bangsa (PBB). Bab ini merupakan hasil penelitian yang akan menjelaskan penghapusan kejahatan perang dalam konvensi PBB dalam kacamata hukum Islam. Serta bagaimana seharusnya pengaturan yang baik untuk berperang. Bab kelima akhir dari seluruh rangkaian pembahas an dalam penulisan skripsi yang menyajikan hasil-hasil temuan yang dilakukan oleh peneliti berisi kesimpulan dan saran-saran. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERANG A. Perang dalam Hukum Humaniter Internasional Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perang adalah suatu permusuhan antara dua negara (bangsa, agama, suku, dan sebagainya) atau pertempuran bersenjata antara dua pasukan tentara dan laskar.1 Dalam pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dijelaskan bahwa perang adalah kekerasan terhadap kehidupan orang, khususnya pembunuhan dari segala jenis, pemotongan anggota tubuh, perlakuan kejam, dan penyiksaan. Perang juga bisa diartikan suatu kesengajaan melakukan serangan terhadap penduduk sipil atau serangan terhadap gedung material, satuan, angkutan dan lain-lain.2 Perang adalah sebuah aksi fisik dan non fisik (dalam arti sempit, adalah kondisi permusuhan dengan menggunakan kekerasan) antara dua atau lebih kelompok manusia untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan. Perang secara purba dimaknai sebagai pertikaian bersenjata, di era modern, perang lebih mengarah pada superioritas teknologi dan industri, hal ini tercermin dari doktrin angkatan 1 2 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1989, cet. 1, h. 323. Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional, Jakarta, Elsam, 2000, h. 15 16 17 perangnya seperti "Barang siapa menguasai ketinggian maka menguasai dunia", hal ini menunjukkan bahwa penguasaan atas ketinggian harus dicapai oleh teknologi.3 Manusia telah mengenal konflik sejak lama, yaitu sejak manusia mengenal manusia lainnya pada saat interaksi inidividu satu dengan kelompok masyarakat sosial lainnya, sebagaimana teori kontrak sosial (social contract).4 Konflik adalah suatu pertentangan, perselisihan, percekcokan. Dan pada fase tertentu akan muncul tarik-menarik kepentingan (vasted interest) antar individu dan pada titik yang paling pasif terhadap tarik-menarik kepentingan yang akan menyebabkan peperangan yang terjadi dalam berbagai ragam dan bentuk. Perang menurut Jean Jacques Rosseau bukanlah hubungan antara manusia dengan manusia, tetapi antar negara dan negara dimana orang-orang yang terlibat permusuhannya didalamnya hanyalah bersifat kebetulan (by accident). Orang-orang yang terlibat dalam perang itu tidak bertindak sebagai manusia (human), bukan pula sebagai warga negara (citizen), melainkan sebagai tentara (soldier) sebagai kekuatan negara. Oleh karena itu, tujuan dan sasaran yang hendak dicapai dengan perang adalah menghancurkan lawan atau musuh, yaitu negara yang satu menyerang dengan senjata dengan maksud menghancurkan atau melumpuhkan, dan yang lain bertahan juga dengan cara berusaha menghancurkan atau melumpuhkan lawan atau musuh. Dengan demikian, sah bagi para pihak untuk saling berusaha membunuh karena mereka menggunakan senjata yang memamg mematikan. Akan tetapi, apabila mereka 3 www.wikipedia.com, diakses pada tanggal, 10 Maret 2010. Cheppy Harcahyono, Ilmu Politik dan Perspektifnya, Yogyakarta, Tiara Kencana, 1996, Cet. 1, h. 46 4 18 menyerah atau meletakkan senjata, segera sesudah itu, mereka bukan lagi berstatus sebagai musuh atau agen dari musuh. Mereka secara serta-merta berubah statusnya menjadi manusia biasa dan tidak terdapat lagi dasar legitimasi untuk membunuh mereka. Jika mereka dibunuh, menurut ketentuan hukum yang berlaku saat ini, hal itu termasuk kategori kejahatan perang yang harus ditindak menurut hukum internasional.5 Dan di dalam U.S. Army Field Manual of the law of Landwarfare dijelaskan pula beberapa tujuan perang, yaitu: 1. Melindungi baik kombat maupun noncombat dari penderitaan yang tidak perlu. 2. Menjamin hak-hak asasi tertentu dari orang yang jatuh ke tangan musuh. 3. Memungkinkan dikembalikannya perdamaian. 4. Membatasi kekuasaan pihak yang berperang.6 Hak asasi manusia adalah hak dimana setiap orang/manusia sejak lahir memiliki hak utama yang melekat dan suci, yaitu hak hidup dari Tuhan dan hak-hak lainnya demi pemenuhan kebutuhan lahir batinnya. Oleh karena itu, tidak seorangpun yang berhak mengambil dan mencabutnya. Hanya dengan landasan hukum dan kontitusional, adil dan benar dengan melalui proses yang legal, pencabutan baik untuk waktu sementara ataupun seterusnya dapat dibenarkan. Dalam piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan tegas memasukkan unsur penghormatan hak asasi manusia dan mengakui iindividu sebagai subjek Hukum Internasional. 5 6 h. 7. Jimly Assiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Jakarta, Rajawali Press, 2007, cet. 1, h. 197 KGPH Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2007, 19 Piagam PBB juga memberikan kewenangan kepada Majelis Umum untuk memprakarsai kajian dan membuat rekomendasi bagi terpacunya perkembangan progresif terhadap Hukum Internasional dan kodifikasinya serta untuk membantu pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi semua orang tanpa pandang ras, jenis kelamin, bahasa maupun bangsa.7 Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dicetuskan tiga tahun setelah PBB terbentuk dan disahkan oleh Majelis Umum PBB tanggal 10 Desember 1948, telah dianggap deklarasi HAM Universal. Pada hakekatnya, Deklarasi HAM Universal ini dimunculkan sebagai akibat dari porak porandanya kehidupan kemanusiaan setelah Perang Dunia II. Sebelumnya konsep mengenai HAM ini sudah tercantum dalam beberapa pasal dari Piagam PBB serta preamble Piagam itu. Meskipun rekomendasi PBB tidak mengikat negara-negara anggota tetapi negara anggota wajib mengkaji rekomendasi secara sungguh-sungguh, sehingga bagi negara yang menolaknya dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap piagam PBB.8 B. Pengertian Perang dalam Islam Kata jihad sudah tidak asing lagi di telinga kita, apalagi akhir-akhir ini Islam sedang menjadi sorotan dunia dengan tuduhan aksi terorismenya yang mengatasnamakan jihad. Jihad berasal dari kata jahada yang berarti berusaha, 7 8 Lihat Pasal 13 Piagam PBB Lihat Pasal 56 Piagam PBB 20 berusaha sekuat tenaga di jalan Allah untuk menyebarkan keimanan dan firman Allah ke seluruh dunia.9 Menurut bahasa, al-Jihad berasal dari kata jahada-yajhadu-jahda atau juhdan, yaitu keluasan atau kekuatan.10 Dalam Islam, Allah mewajibkan manusia untuk menyebarkan ajaran-Nya ke seluruh penjuru dunia. Ketika penyebaran ini menemui berbagai hambatan berupa penolakan terhadap masuknya ajaran agama Islam di tanah mereka, dengan kondisi ini jihad pun diperlukan. Jihad, dalam arti luas, tidak selalu bermakna perang atau mengobarkan peperangan, sebab melangkah di jalan Allah bisa dicapai dengan cara damai ataupun tindak kekerasan. Jihad dianggap sebagai suatu propaganda religius yang dilakukan persuasif ataupun pedang.11 Islam tidak membenarkan peperangan yang bertujuan menaklukan suatu negara, atau perluasan wilayah, dan mendiktekan kehendak (offensive war), perang yang diajarkan oleh ajaran Islam (masyru’iyah/legal) adalah perang untuk menolak serangan musuh, atau mempertahankan hak yang sah yang dilanggar oleh musuh atau untuk melindungi keamanan dakwah (depensive war).12 Artinya, dakwah kepada kebenaran dan keadilan serta kepada prinsip-prinsip yang mulia tidak boleh dihalangi dan ditindas oleh penguasa manapun. Dan perang yang sah di dalam Islam ialah perang pembelaan diri yakni untuk membalas serangan yang benar-benar telah terjadi 9 Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam, Yogyakarta, Tarawang Press, 2002, h. 46. 10 Dr. Abdullah Azzam, Perang Jihad Di Jaman Modern, (Jakarta: Gema Insani Press), 1992, hal. 11 11 Khadduri, War and Peace, Yogyakarta, Tarawang Press, 2002, h. 46. Prof. H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslhatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syariah, Jakarta, Kencana, 2003, Cet. 3, h. 146 12 21 terhadap kaum muslimin. Dan perang yang tidak sah ialah perang yang bermaksud merampas, atau menduduki, atau membuat kerusakan.13 Para ahli hukum membedakan 4 (empat) cara bagi umat untuk memenuhi panggilan jihad yaitu: dengan hati, dengan lidah, dengan panggilan dan dengan pedang. Cara pertama (hati) berkenaan dengan perintah melawan setan dan berusaha menghindari bujuk rayu setan dan jihad ini bagi nabi Muhammad dianggap sebagai jihad terbesar. Cara kedua (lidah) dan ketiga (tangan) dilakukan untuk penegakan kebenaran serta mengoreksi kesalahan. Cara keempat (pedang) setara dengan makna perang dan dititikberatkan pada peperangan melawan orang kafir serta musuh Islam atas nama iman.14 Berikut ayat-ayat al-Qur’an mengenai perintah perang: (#θã_Ì÷zé& tÏ%©!$# ∩⊂∪ íƒÏ‰s)s9 óΟÏδÎóÇtΡ 4’n?tã ©!$# ¨βÎ)uρ 4 (#θßϑÎ=àß öΝßγ¯Ρr'Î/ šχθè=tG≈s)ムtÏ%©#Ï9 tβÏŒé& ( :) 3 ª!$# $oΨš/‘u (#θä9θà)tƒ χr& HωÎ) @d,ym ÎötóÎ/ ΝÏδÌ≈tƒÏŠ ÏΒ Artinya: “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (Yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampong halaman mereka tanpa alas an yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”… ” Ayat ini merupakan ayat yang pertama kali diturunkan Allah berkenaan dengan peperangan. Menurut al-Sarakhi, sebelum memerintahkan perang, Allah lebih dulu memberikan beberapa tuntutan menghadapi orang-orang yang menganggu Islam 13 14 h. 47. Ibid., h. 144 Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam, Yogyakarta, Tarawang Press, 2002, 22 dan umatnya. Pertama, Allah memerintahkan kepada Nabi untuk membuat pernyataan sikap dan menarik diri dari mereka (kaum musyrik), jika mereka masih melakukan penolakan terhadap Islam dan menggangu umat Islam. Hal ini dinyatakan Allah dalam surat al-Hijr ayat 94, “Maka sampaikanlah olehmu secara terangterangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orangorang yang musyrik.”. Kedua, Allah memerintahkan Nabi untuk mengadakan perdebatan-perdebatan dengan baik, seperti yang dijelaskan dalam surat an-Nahl,”… (kalau kamu berdebat) bantahlah mereka dengan cara-cara yang baik pula.”. Ketiga, apabila mereka (kaum musyrik) tidak mau menerima dan menggangu umat Islam, maka Allah mengizinkan Nabi dan orang mukmin untuk mempertahankan diri, seperti halnya dimaksudkan dalam surat al-Hajj di atas.15 yŠ$|¡ x ø9$# =Ïtä† Ÿω ª!$#ρu 3 Ÿ≅ó¡¨Ψ9$#ρu y^öysø9$# y7Î=ôγãƒuρ $yγŠÏù y‰Å¡øã‹Ï9 ÇÚö‘F{$# ’Îû 4tëy™ 4’¯<uθs? #sŒÎ)uρ ( :) ∩⊄⊃∈∪ Artinya: “Dan apabila ia berpaling darimu ia berjalan di muka bumi untuk mengadakan kerusakan, menghancurkan tanaman-tanaman dan binatang ternak, sedangkan Allah tidak menyukai kerusakan.” 15 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2007, Cet. 2, h. 250. 23 èπt7É)≈yèø9$#ρu 4 #YŠ$|¡ùs Ÿωρu ÇÚö‘F{$# ’Îû #vθè=ãæ tβρ߉ƒÌムŸω tÏ%©#Ï9 $yγè=yèøgwΥ äοtÅzFψ$# â‘#¤$!$# y7ù=Ï? (:) ∩∇⊂∪ tÉ)−Fßϑù=Ï9 Artinya: “Kampung akhirat itu akan dijadikan bagi orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan akhir yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” Sejarah peperangan Nabi Muhammad merupakan awal dari kehormatan dari sebuah perikemanusiaan karena Nabi Muhammad mengajarkan etika perang yang beradab dan berperikemanusiaan. Agenda perjanjian gencatan senjata, pengiriman delegasi keluar negeri, dan strategi Nabi di medan perang itu mempunyai pengertian yuridis yang secara tidak langsung sama dan mendukung Hukum Internasional, yaitu meminimalisir jatuhnya korban dan menghindari kerusakan-kerusakan. Pada dasarnya peperangan Nabi Muhammad merupakan respon terhadap tindakan-tindakan resisten yang dilakukan oleh lawan-lawan politiknya atau tindakan untuk mempertahankan diri (self defence) dari segala bentuk serangan.16 Rasulullah saw. tidak akan memerangi suatu kaum kecuali berdakwah dan menyerukan agama Islam. Hal ini sesuai dengan Hadits Nabi, ”Bisyr bin As-Sirry menceritakan dari Sufyan dari Ibnu Abi Najih dari ayahnya dari Ibnu Abbas ra., ia berkata: Rasulullah SAW tidak 16 http://psktti-ui.com. 24 akan memerangi suatu kaum melainkan terlebih dahulu ia berdakwah mengajak mereka kepada Islam. (HR. Ahmad).”17 Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abdullah ibn Abi Awfa, Nabi menyatakan, “Janganlah kalian berharap bertemu musuh, dan berdoalah kepada Allah untuk perdamaian. Namun bila kalian bertemu musuh, hadapilah dengan kesabaran.” Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa damai adalah prinsip utama dalam Islam, sedangkan penggunaan kekuatan senjata dikarenakan keadaan yang sangat terpaksa untuk mempertahankan kedamaian tersebut. Seperti yang dijelaskan di atas tujuan perang dalam Islam ialah untuk memelihara perdamaian, keamanan dan kesejahteraan umat serta untuk melindungi kemerdekaan penyiaran dakwah islamiyah. Selain tujuan tersebut, adapun tujuan yang lainnya, yaitu: 1. Untuk menolak permusuhan kepada Islam dan kaum Muslimin, yang dilakukan oleh kaum musyrik, kafir, pembangkangan dan orang-orang yang dendam terhadap Islam. 2. Untuk mengokohkan dakwah Islam agar bisa sampai kepada orang-orang yang berhak mengetahuinya. 3. Untuk menawarkan Islam kepada kaum musrikin, kaum kafirin, orang-orang yang zhalim dan orang-orang yang mempunyai prasangka buruk kepada Allah. 4. Untuk mengokohkan agama dan syariat Allah.18 17 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Riyadh, Darul Hadits, 1997, h. 173, hadis no. 2001 25 C. Etika dalam Perang 1. Perintah Perang Khalifah, secara hukum, merupakan pimpinan yang membawahi kekuasaan sipil dan militer. Ahli hukum berpendapat, kekuatan militer sebagai kekuatan dasar kekuasaan, suatu sudut pandang yang mencerminkan kecenderungan terhadap pengaturan lembaga diserahkan kepada seorang komandan militer. Perintah militer ada dua jenis, khusus dan umum. Penggolongan pertama, hanya berkaitan dengan kebijakan militer angkatan perang, sedangkan yang lain berhubungan dengan aspek diiplomatik yang juga menyangkut aspek militer. Berikut jabaran secara umum mengenai kewajiban yang berhubungan dengan perintah khusus: a) Memimpin angkatan perang, termasuk didalamnya memperhatikan kepribadian prajuritnya, pemeriksaan pasukan berkuda, dan perlengkapan persenjataan. b) Mengatur jalannya peperangan serta memberi dukungan semangat tempur kepada para prajurit. c) Menerapkan kemampuan dan teknik militer, sesuai dengan sabda nabi yang berbunyi, “Perang adalah usaha tipu daya”, untuk melindungi pasukan dari serangan mendadak dan meraih 18 Ali Abdul Halim Mahmud, Rukun Jihad, Jakarta, Al’ithisom Cahaya Umat, h. 97. 26 kemenangan. Dan seorang komandan juga harus memilih posisi yang strategis dan terbaik yang memungkinkan untuk menyerang. d) Tugas observasi militer seperti melihat aspek ketabahan, daya juang dalam melawan musuh dan mengontrol para prajurit apabila ada yang meninggalkan pasukan. Di pihak lain, prajurit jihad ini berkewajiban mematuhi perintah komandan serta menerima keputusannya dalam menyelesaikan masalah-masalah pribadi.19 Perang dimulai dengan dikeluarkannya perintah dari komandan angkatan perang. Perintah tersebut diikuti dengan takbir (Allahu Akbar) atau do’a sebagai pertanda baik sebelum peperangan di mulai. Sebagian khalifah dan para komandan perang dinasehatkan unutk menjauhkan diri dari peperangan pada hari-hari tertentu atau saat terjadi musibah, sekaligus memilih waktu yang lebih baik.20 Oleh karenanya, tidak diperkenankan memasuki wilayah peperangan kecuali setelah adanya pengumuman/pernyataan perang di dalam rentan waktu yang memungkinkan sampainya berita itu kepada musuh. Walaupun, peperangan tidak bisa dielakkan lagi, maka diberi tiga pilihan: a) Masuk Islam. 19 Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam, Yogyakarta, Tarawang Press, 2002, 20 Ibid., h. 74 h. 71 27 b) Mengadakan perjanjian agar damai dan dapat mengamankan dakwah. c) Berperang, pernyataan perang untuk memilih, ini merupakan pengumuman, agar tidak ada serangan tiba-tiba sebelum perang dimulai. Dengan tidak bermaksud menjajah atau memperbudak tapi hanya sekeradar memberikan pilihan kebebasan kepada manusia untuk memilih kepercayaannya.21 Berikut ayat-ayat yang memerintahkan kaum Muslimin untuk berperang, dan ini terbagi dalam 2 (dua) tahap, pertama melancarkan perang terhadap orang-orang yang lebih dulu menyerang dan memerangi mereka: =ÅsムŸω ©!$# $χÎ) 4 (#ÿρ߉tG÷è?s Ÿωρu óΟä3tΡθè=ÏG≈s)ムtÏ%©!$# «!$# È≅‹Î6y™ ’Îû (#θè=ÏG≈s%uρ ∩⊇⊃∪ šÏ‰tG÷èßϑø9$# Artinya: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas ” Al-Ustadz Sayyid Quthb mengatakan bahwa menurut sebagian riwayat, ayat ini merupakan ayat awal yang diturunkannya perintah berperang – kepada kaum Muslimin – setelah sebelumnya turun ayat yang memuat izin dari Allah kepada mereka untuk memerangi orang-orang kafir karena mereka telah dianiaya (dizhalimi) dan kaum Muslimin pun telah mengetahui bahwa 21 Prof. H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslhatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syariah, Jakarta, Kencana, 2003, Cet. 3, h. 146 28 izin tersebut merupakan pendahuluan (muqaddimah) bagi kewajiban berjihad atas mereka yang bertujuan untuk memantapkan kedudukan mereka di muka bumi. (Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an juz I hlm. 265).22 Kemudian firman Allah dalam surah At-Taubah ayat (36): (6 :-45) ,-./$% &'"( )* "+% ,-./$% "01%23)+ !"#... Artinya: “… dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya…”. Menurut sebagian ulama, perintah dalam ayat ini ditujukan kepada orangorang musyrik bangsa Arab karena mereka selalu memusuhi kaum Muslimin. Allah SWT. memerintahkan Rasul untuk memerangi mereka agar dapat menolak kejahatan, memusnahkan kejuwudan dan sikap keras kepala mereka di dalam mempertahankan tradisi nenek moyang serta kecurangan yang melampaui batas. Sejarah telah membuktikan bahwa kaum Muslimin tidak pernah menggunakan kekuatan senjata untuk memerangi kelompok lain yang menghalangi. Apalagi memaksa seseorang atau kelompok untuk memeluk agama islam. Seperti yang dinyatakan tegas dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 256, bahwa tidak ada paksaan dalam agama:23 22 Debby M. Nasution, Kedudukan Militer dalam Islam dan Peranannya pada Masa Rasulullah saw., Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 2002, cet. 1, h. 21. 23 Ibid., h. 22. 29 -∅ÏΒ÷σãƒuρ ÏNθäó≈©Ü9$$Î/ öàõ3tƒ yϑsù 4 Äcxöø9$# zÏΒ ß‰ô©”9$# t¨t6¨? ‰s% ( ÈÏe$!$# ’Îû oν#tø.Î) Iω ∩⊄∈∉∪ îΛÎ=tæ ìì‹Ïÿxœ ª!$#ρu 3 $oλm; tΠ$|ÁÏΡ$# Ÿω 4’s+øOâθø9$# Íοuρó,ãèø9$$Î/ y7|¡ôϑtGó™$# ωs)sù «!$$Î/ (:6/) Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”. 2. Etika dan Aturan Perang Dalam teori hukum Islam, perang tidak bertujuan untuk mencapai kemenangan atau merampas harta kekayaan musuh. Perang lebih bertujuan untuk menjalankan kewajiban jihad di jalan Allah dengan cara penyebaran agama Islam. Orang-orang yang melakukan jihad diminta untuk menahan diri dari pertumpahan darah atau penghancuran kekayaan yang tidak perlu dilakukan demi mencapai tujuan. Aturan ini didasarkan pada ucapan Abu Bakar yang diucapkan pada ekspedisi pertama perbatasan Syria dan juga dilakukan oleh khalifah sesudahnya.24 Sebelum berperang, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan pasukan. Ini dimaksudkan supaya taktik dan strategi yang direncanakan dalam peperangan berjalan efektif dan tentara muslim berhasil memenangkan peperangan. Menurut Ali Wahbah, pertama, percaya sepenuhnya pada 24 h. 83. Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam, Yogyakarta, Tarawang Press, 2002, 30 komando pimpinan perang. Prajurit muslim harus mempercayakan segala keputusan dan tindakan di tangan komandan perang. Kedua, bersabar menghadapi musuh. Ini penting, Karena bersabar merupakan kunci untuk meningkatkan moral dan semangat prajurit dalam pertempuran. Ketiga, tetap konsekuen dan teguh pendirian dalam menghadapi musuh di medan pertempuran. Keempat, taat pada komando komandan pasukan. Komandan adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap pasukan muslim. Karena itu, bila komandan telah memutuskan suatu sikap dan perintah, wajib hukumnya bagi tentara untuk mematuhinya. Hal ini didasarkan pada al-Quran surat al-Nisa (4) ayat (58), “…taatilah Allah, taatilah Rasul dan para pemimpin di antara kamu….”. Kelima, mempersiapkan bekal yang cukup.25 Berikut 10 (sepuluh) perilaku mulia yang dipegang oleh Islam di dalam peperangan, antara lain: a) Dilarang membunuh anak-anak, dalam kasus ini pernah sahabat bertanya kenapa dilarang membunuh anak-anak musyrik? Nabi menjawab: bukanlah di antara kamu juga dahulu anak-anak orangorang musyrik. b) Dilarang juga membunuh wanita-wanita yang tidak ikut berperang juga dilarang memperkosa, apabila memperkosa di waktu perang, maka orang yang memperkosa tersebut harus bertanggung jawab 25 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001, Cet. II, h. 257. 31 secara pidana; artinya mendapat sanksi zina bahkan ditambah dengan sanksi takzir. c) Dilarang membunuh orang yang sudah tua apabila orang-orang tua tersebut tidak ikut berperang, anak kecil, perempuan dan orangorang tua dilarang dibunuh adalah menunjukkan ajaran Islam penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan yaitu penghormatan kepada nilai kemanusiaannya. d) Tidak memotong dan merusak pohon-pohon, sawah, dan ladang. Hal ini semakna dengan al-Quran: 3 Ÿ≅ó¡¨Ψ9$#ρu y^öysø9$# y7Î=ôγãƒuρ $yγŠÏù y‰Å¡øã‹Ï9 ÇÚö‘F{$# ’Îû 4tëy™ 4’¯<uθs? #sŒÎ)uρ ( : ) ∩⊄⊃∈∪ yŠ$|¡x ø9$# =Ïtä† Ÿω ª!$#ρu Artinya: “Dan apabila berpaling dia berusaha di muka bumi untuk membuat kerusakan dan menghancurkan tanaman dan binatang ternak.”. e) Tidak merusak binatang ternak baik sapi, domba dan lain-lain kecuali untuk dimakan. f) Tidak menghancurkan gereja, biara, dan rumah-rumah ibadat. Hal ini tersirat dari firman-Nya: Óìu‹Î/ρu ßìÏΒ≡uθ|¹ ôMtΒÏd‰çλ°; <Ù÷è7t Î/ Νåκ|Õ÷è/t }¨$¨Ζ9$# «!$# ßìøùyŠ Ÿωöθs9uρ ...3 ( :) ߉Éf≈|¡Βt uρ ÔN≡uθn=|¹uρ 32 Artinya: “Dan sekiranya Allah tidak menolak keganasan sebagian manusia terhadap yang lain, pasti telah dirobohkan, biara-biara, gereja-gereja, dan masjid-masjid”. g) Dilarang pula mencincang-cincang mayat musuh, bahkan bangkai binatang pun tidak boleh dicincang. h) Dilarang membunuh pendeta dan para pekerja yang tidak ikut berperang, karena para pekerja itu adalah orang-orang yang lemah yang ada di bawah tindasan dan pemerasan penguasa-penguasa yang rakus;juga dilarang membunuh tentara yang luka dan tidak melawan. i) Bersikap sabar, berani dan ikhlas di dalam melakukan peperangan, membersihkan niat dari mencari keuntungan duniawi. j) Tidak melampaui batas, dalam arti batas-batas aturan hukum dan moral di dalam peperangan, karena Allah di dalam al-Quran berulang kali menyatakan bahwa: “Allah tidak menyukai orangorang yang melampaui batas”.26 Selain perihal pengaturan mengenai larangan-larangan dalam peperangan, Altaf Gaufar dalam bukunya yang berjudul “The Challenge Of Islam” menegaskan mengenai peraturan-peraturan hukum Islam yang mengizinkan tindakan-tindakan berikut di medan perang, diantaranya: 26 Djazuli, Fiqh Siyasah, h. 146. 33 a) Kaum muslimin boleh membunuh, melukai, mengejar, dan melawan musuh. Namun dalam keadaan terpaksa dan dalam usaha membela diri maka diperbolehkan membunuh musuh yang bukan tentara. b) Kaum muslimin boleh menggunakan tipu muslihat atau kid’ah di medan perang untuk memperoleh kemenangan. c) Kaum muslimin boleh melakukan peperangan terhadap musuh pada malam hari dengan memakai segala macam persenjataan. Dan dimungkinkan juga untuk mengadakan serangan-serangan kepada pihak musuh dari jarak jauh asalkan tidak diarahkan kepada penduduk sipil/bukan tentara. d) Dalam keadaan tentara musuh membaurkan diri dengan penduduk sipil bahkan berlindung dibelakang perempuan-perempuan atau anak-anak ataupun orang-orang Islam yang mereka tawan, disamping itu tentara Islam harus melancarkan serangan-serangan dari jarak jauh maka dalam situasi seperti ini dapat diperintahkan untuk tidak membidik kan senjata kepada pihak yang netral atau pihak musuh bukan tentara. e) Harta kekayaan musuh boleh dirampas atau dihancurkan bahkan perbekalan-perbekalan musuh boleh dilumpuhkan dengan berbagai cara dan bahan pangan dan ternak boleh diambil dengan dibeli 34 secara paksa atau kekerasan apabila rakyat di negeri musuh itu berkeberatan.27 D. Perdamaian Pasca Perang Dalam siyasah dauliyah, diyakini bahwa peperangan terjadi karena sistem politik yang ada sudah tidak mampu lagi menyerap dan memecahkan masalah ketegangan yang timbul di antara dua negara atau lebih. Konsekuensi dari asas bahwa hubungan internasional dalam Islam adalah perdamaian saling membantu dalam kebaikan, maka: 1. Perang tidak dilakukan kecuali dalam keadaan darurat. Sesuai dengan persyaratan darurat, hanya dilakukan seperlunya (tuqadaru biqadariha). 2. Orang yang tidak ikut berperang tidak boleh diperlakukan sebagai musuh. 3. Segera menghentikan perang apabila salah satu pihak cenderung kepada damai. 4. Memperlakukan tawanan perang dengan cara manusiawi. Peperangan dapat berakhir dengan menyerahnya musuh dan perjanjian damai atau genjatan senjata. Apabila musuh telah menyerah, maka tidak diperkenankan untuk diserang lagi dan mereka diberikan pilihan. Pertama, ajak mereka masuk Islam. Apabila diterima, ajak mereka untuk pindah ke negeri Islam dengan status dan 27 L. Amin Widodo, Fiqih Siasah dalam Hubungan Internasional, Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 1994, h. 75. 35 kedudukan sama dengan umat Islam lainnya, dan mereka berhak mendapatkan harta rampasan. Tapi kalau mereka enggan untuk hijrah maka mereka tidak berhak mendapat rampasan perang, kecuali mereka ikut berperang bersama tentara muslim. Atau kedua, mereka membayar jizyah. Jiwa dan harta benda mereka wajib dilindungi bila mereka telah membayar jizyah.28 Dalam hukum internasional sekarang pakta perdamaian merupakan hasil persetujuan internasional di antara negara-negara yang menciptakan hak-hak dan kewajiban yang legal bagi semua pihak yang bersifat mengikat. Dulu pakta perdamaian sebagian besar terdiri dari peraturan-peraturan hukum kebiasaan internasional yang tertulis (convention) berdasar hasil konferensi Wina tanggal 22 Mei 1969, yang sekarang dikenal dengan Konvensi Wina. Dalam Islam pakta perdamaian (muhadana atau muwada’a) merupakan suatu prinsip ikatan atau semacam hubungan kemasyarakatan yang bersifat internal dan universal yang sangat didambakan. Muwadana’a semacam aqad (secara harfiah, yaitu sebuah ikatan atau hubungan yang ditandai dengan sebuah persetujuan adanya tindakan-tindakan nyata dengan maksud menciptakan konsekuensi dan kepastian hukum29) hubungan antara kaum muslimin dengan orang-orang non muslimin yang dibolehkan sebagai suatu bentuk persetujuan bersama antara kedua belah pihak mengenai suatu perbuatan 28 29 167. Iqbal, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, h. 261. Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam, Yogyakarta, Tarawang Press, 2002, h. 36 tertentu yang bertujuan untuk menciptakan akibat-akibat hukum tertentu secara legal.30 Dari fakta sejarah telah dapat kita saksikan bahwa Rasulullah SAW tidak sedikit telah merealisasikan berbagai pakta prinsip perdamaian dalam segala bentuk perjanjian damai sesuai dengan tujuan-tujuan politik dan faktor-faktor situasi serta kondisi yang menjadi penentu. Sebagai contoh: 1. Pakta perdamaian yang diadakan antara suku Auz dengan suku Khajraj yang kemudian diabadikan dalam “Piagam Nabi”, sehingga ditaati oleh orang Yahudi di Madinah. 2. Perjanjian Hudaibiyah yang merupakan perjanjian damai (sementara) antara segenap kaum muslimin di Madinah dengan para kaum politisi Quraisy di Mekah. 3. Berbagai bentuk perjanjian yang diadakan antara Nabi Muhammad SAW dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menjadi warga negara Islam seperti yang kemudian diabadikan pada bagian pasal dari “Piagam Madinah”.31 Kewenangan untuk membuat perjanjian terletak di tangan Nabi Muhammad dan para penggantinya, tetapi kekuasaan dan kewenangan ini secara berkala diberikan kepada para komandan di lapangan yang diberi wewenangan untuk merundingkan perjanjian dengan lawan, apabila musuh akan mengadakan hubungan dengan Islam. 30 31 Widodo, Fiqih Siasah dalam Hubungan Internasional, h. 107. Ibid., h. 109. 37 Meskipun demikian, nabi dan para penggantinya selalu menyiapkan dasar hukum untuk membatalkan perjanjian atau rencana-rencana yang menurut pertimbangan akan berbahaya bagi umat Islam, dimana persetujuan atau ratifikasi yang mereka buat merupakan prasyarat agar membuat kaum Muslimin terikat dalam sebuah masyarakat, yaitu masyarakat Islam.32 Allah lebih menyukai jika kaum muslimin berdamai dengan musuh, seperti dijelaskan dalam al-Quran surat al-Anfal (8) ayat 61, “Jika mereka (musuh) itu cenderung kepada perdamaian, maka berdamailah dan tawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.33 Di dalam Islam, perjanjian terjadi karena adanya penawaran dan persetujuan, tidak terlalu terikat pada bentuk atau prosedur apapun. Setiap ketetapan perjanjian disetujui, perjanjian menjadi sesuatu yang mengikat kedua belah pihak. Jika perjanjian telah ditandatangani oleh penguasa Islam, berarti perjanjian tersebut harus dilaksanakan dalam kehidupan sesuai denga pasal-pasal yang disetujui. Al-Qur’an memerintahkan umat Islam agar “jangan melanggar sumpah setelah membuatnya”34 dan apabila kaum non-Islam juga mematuhinya, maka “penuhilah janjinya sampai batas waktunya.”35.36 Dalam perjanjian, menurut Abu Zahrah, masing-masing pihak berada pada posisi yang sama. Tidak boleh ada pihak yang mensyaratkan perjanjian yang 32 Khadduri, War and Peace, h. 167. Iqbal, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, h. 261. 34 Q.S. An-Nahl ayat 91. 35 Q.S. At-Taubah ayat 4. 36 Khadduri, War and Peace, h. 168. 33 38 memberatkan bagi pihak lain, seperti menuntut ganti rugi kepada rakyat, menahan pasokan bahan makanan atau syarat-syarat lain yang tidak adil. Umat Islam wajib menerima dan mematuhi perdamaian tersebut. Karena dengan perjanjian genjatan senjata ini, maka berakhirlah pertumpahan darah di kedua belah pihak. Di samping itu juga akan menahan terjadinya kerusakan yang lebih parah akibat perang.37 Berikut minimal 3 syarat dalam memenuhi pakta perdamaian dalam Islam: 1. Perjanjian diadakan dasar persetujuan antara kedua belah pihak tanpa adanya unsur pemaksaan dan initimidasi, unsur kerelaan merupakan syarat mutlak yang harus terpenuhi. 2. Perjanjian diselenggarakan dengan tujuan dan cara-cara yang jelas. Harus jelas tujuannya untuk mengusahakan terwujudnya perdamaian abadi. Dan harus jelas batas-batas komitmen dan hak-haknya untuk menjunjung tinggi dan menghormati hak-hak asasi kemanusiaan yang sangat didambakan oleh seluruh bangsa didunia. 3. Isi perjanjian tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan jiwa syariat Islam, sehingga tidak ada kemungkinan-kemungkinan musuh-musuh Islam mempunyai kesempatan untuk menerobos kubu-kubu pertahanan Islam.38 Namun dalam suasana damai, Allah juga mengingatkan dan mengisyaratkan supaya umat Islam tetap waspada dan siaga, kalau-kalau perjanjian damai ini hanya menjadi siasat musuh untuk memukul kembali tentara muslim. Dalam surah Al- 37 38 Iqbal, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, h. 262. Widodo, Fiqih Siasah dalam Hubungan Internasional, h. 113. 39 Anfaal ayat 62, Allah menegaskan jika mereka bermaksud menjadikan gencatan senjata sebagai kedok untuk menipu umat Islam, maka untuk umat Islam agar meminta perlindungan kepada Allah untuk menghadapi mereka. Artinya, apabila mereka mengingkari perjanjian gencatan senjata tersebut, maka tidak ada artinya lagi umat Islam mempertahankan isi perjanjian. Umat Islam harus bangkit melawan mereka yang mengingkari perjanjian tersebut.39 Sebagai contoh, dari sirah Nabi, fakta sejarah menunjukkan bahwa Rasulullah SAW menyerang Mekkah walaupun telah mengadakan perjanjian damai dengan penduduk Mekkah. Karena penduduk Mekkah telah melanggar janji damai dengan tindakan mereka mengirimkan bantuan militer meraka kepada Bani Kinanah untuk menyerbu Bani Khazi’ah yang notabene ialah sekutu Rasulullah SAW.40 Islam sangat mengedepankan sebuah perdamaian, Islam adalah agama dunia, berlaku universal, dan untuk kebaikan semua manusia dan alam. Karena itu, setiap Muslim memandang hubungan antar sesama manusia adalah atas dasar cinta, persahabatan, kerjasama untuk kebaikan dan perdamaian. Hanya mereka yang dangkal imannya, sempit ilmunya, perasaan benci dan dendam, serta mereka yang tidak sabarlah yang cenderung membuat permusuhan dan perperangan sesama manusia. Islam yang suci, sering dinodai oleh segelintir kelompok yang memaksakan keyakinannya kepada pihak lain dengan menebar teror dan kekerasan dengan dalih 39 40 Iqbal, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, h. 262. Widodo, Fiqih Siasah dalam Hubungan Internasional, h. 114. 40 agama. Mereka harus kembali pada prinsip Islam dalam menata hubungan dengan sesama manusia yang berbeda keyakinan dan agama.41 Ada tiga karamah (kemuliaan) yang dianugerahkan Allah kepada manusia terlepas dari latar belakang etnik, agama dan politik, yaitu: 1. Karamah fardiyyah (kemuliaan individual) yang berarti bahwa Islam melindungi aspek-aspek kehidupan manusia baik aspek spiritual maupun aspek material 2. Karamah ijtima’iyyah (kemuliaan kolektif) yaitu Islam menjamin sepenuhnya persamaan di antara individu-individu. 3. Karamah siyasiyyah (kemuliaan secara politis) yaitu Islam memberi hak politik pada individu-individu untuk memilih atau dipilih pada posisi-posisi politik, karena mereka adalah wakil Allah.42 Karena itu, golongan nonMuslim di tengah masyarakat Muslim secara sosial diperlakukan sama dengan orang-orang Muslim sendiri. Antara mereka dibolehkan untuk melakukan interaksi dalam berbagai bidang kehidupan, seperti perdagangan, perkawinan dan belajar mengajar. . 41 http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A3260_0_3_0_M, di akses pada tanggal 21 Juni 2011 pukul. 22.56 WIB 42 Masykuri Abdillah, Demokrasi Di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1996), Yoogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999, h. 99 BAB III KEJAHATAN PERANG DALAM ISLAM DAN KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (PBB) A. Pengertian Kejahatan Perang 1. Kejahatan Perang dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kejahatan adalah perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku yang telah disahkan oleh hukum tertulis (hukum pidana).1 Perkataan kejahatan menurut pengertian tata bahasa adalah suatu tindakan atau perbuatan yang jahat adalah pembunuhan, pencurian, perampokan, dan lain sebagainya yang dilakukan oleh manusia. Para pakar ilmu kriminologi banyak membuat rumusan tentang kejahatan. Antara lain seperti yang diungkap oleh W.A. Bonger (1963), seperti yang dikutip oleh Soedjono mengemukakan bahwa kejahatan merupakan perbuatan anti sosial yang secara sadar mendapat reaksi dari rumusan-rumusan hukum mengenai kejahatan. Pengertian ini sama dengan yang diutarakan oleh Sutherland yang menekankan bahwa ciri pokok dari kejahatan ialah perilaku yang dilarang oleh negara dan perbuatan tersebut dapat 1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1989, cet. 2, h. 344. 41 42 menimbulkan reaksi dari negara, yaitu dengan hukuman sebagai suatu upaya yang ampuh.2 Kejahatan perang adalah segala pelanggaran terhadap hukum-hukum perang atau hukum humaniter internasional yang mendatangkan tanggung jawab kriminal individu. Pengadilan Militer Internasional di Nuremberg mendefinisikan kejahatan perang sebagai “pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan hukum”, termasuk pembunuhan, perlakuan buruk, atau deportasi penduduk sipil dalam wilayah yang telah diduduki, pembunuhan atau perlakuan buruk terhadap tahanan perang, pembunuhan sandera; perampasan barang-barang publik atau harta milik pribadi; perusakan tanpa alasan atas kota-kota; dan penghancuran tanpa kepentingan militer.3 Bagi tujuannya sendiri, Mahkamah Kejahatan Internasional bagi Bekas negara Yugoslavia (ICTY atau Internasional Criminal Tribunal for the former Yugoslavia) mendefinisikan sebagai sesuatu yang berkonsekuensi berat bagi korbannya dan melanggar aturan yang melindungi nilai-nilai penting. Contoh kecilnya, membakar hasil panen sebuah desa merupakan sebuah pelanggaran serius, tetapi mencuri sepotong roti bukanlah sebuah pelanggaran serius.4 Tindakan ilegal yang paling serius adalah pelanggaran-pelanggaran berat atas Konvensi-Konvensi Jenewa tahun 1949. Tindakan ilegal mencakup: penggunaan cara 2 Soedjono D. Soekamto, Kriminologi Suatu Pengantar, Bandung, Ghalia Indonesia, 1986, cet. Ke-11, h. 21 3 Steven R.Ratner, Kategori Kejahatan Perang, dalam Roy Gutman dan David Reff, ed., Kejahatan Perang yang Harus Diketahui Publik, t.t., Program Pelatihan Jurnalistik Televisi, 2004, h. 462. 4 Ewen Allison dan Robert K.Goldman, Tindakan Ilegal dan Dilarang (Ilegal or Prohibited Acts), dalam Roy Gutman & David Reff, ed., Kejahatan Perang yang Harus Diketahui Publik, t.t., Program Pelatihan Jurnalistik Televisi-Interviews Europe, 2004, h. 231. 43 dan metode peperangan yang dilarang, termasuk racun atau senjata lain yang terhitung menyebabkan pernderitaan yang tidak seharusnya; serangan curang yang tidak melibatkan penyalahgunaan lambang yang dilindungi atau lambang maupun seragam negara-negara netral; gagal mengenakan suatu seragam untuk mengidentifikasi diri sendiri sebagai kombatan yang sah; penjarahan; terorisme; campur tangan dalam kiriman kapal untuk bantuan kemanusiaan; perusakan serius, yang tidak dibenarkan terhadap harta milik; serangan atau pembombardiran terhadap kota yang tidak dipertahankan, pemikiman, atau bangunan-bangunan; tindakan perusakan sengaja dilakukan terhadap lembaga-lembaga kebudayaan tertentu, seperti bangunan yang diperuntukkan untuk keagamaan, pendidikan, amal, seni, ilmu pengetahuan, atau monument sejarah dan karya seni; tindakan balasa terhadap orang atau objek yang dilindungi; dan tiap bentuk pelanggaran kesepakatan gencatan senjata. Protokol Tambahan I tahun 1977 memperluas wilayah proteksi Konvensi Jenewa untuk konflik internasional dengan memasukkan hal-hal berikut sebagai pelanggaran perang antara lain, eksperimen medis tertentu, membuat penduduk sipil atau suatu tempat sebagai obyek atau korban serangan yang tidak dapat dihindarkan, berlaku curang dalam penggunaan lambang Palang Merah Internasional, apartheid, dan mencabut hak seorang yang dilindungi dari pengadilan yang adil.5 5 Steven R.Ratner, Kategori Kejahatan Perang, dalam Roy Gutman & David Reff, ed., Kejahatan Perang yang Harus Diketahui Publik, t.t., Program Pelatihan Jurnalistik Televisi-Interviews Europe, 2004, h. 462. 44 Kejahatan perang terbagi menjadi empat kategori, yang merefleksikan evolusi historis dari subjek dengan membedakan antara kejahatan yang dilakukan pada saat konflik internasional dan pada saat konflik bersenjata internal. Kategori pertama – pasal 8 (2) (a) – meliputi semua ‘pelanggaran berat’ Konvensi Jenewa, 1949. Kategori kedua – pasal 8 (2) (b) – meliputi ‘pelanggaran yang berat terhadap hukum dalam kerangka hukum internasional’. Kategori ini meliputi serangan atas pasukan penjaga perdamaian atau mereka yang memberikan bantuan kemanusiaan di bawah naungan PBB; serangan yang dilakukan dengan sengaja dan mengetahui bahwa serangan tersebut dapat menimbulkan kematian atau cidera terhadap penduduk sipil; serangan secara sengaja terhadap target non-militer seperti tempat ibadah, museum, rumah sakit, dan tempat-tempat bersejarah atau yang memiliki nilai kebudayaan. Kategori ketiga – pasal 8 (2) (c) – memperluas yuridiksi atas konflik bersenjata internasional yaitu serangan tidak manusiawi kepada warga sipil atau orng yang sedang sakit atau prajurit yang sudah menyerah. Dan kategori keempat – pasal 8 (2) (e) – kejahatan yang mencakup penggunaan anak-anak sebagai tentara atau keterlibatan dalam kejahatan seksual. 2. Kejahatan Perang dalam Hukum Islam Pada awalnya Islam memang melarang adanya peperangan, pada masa periode awal dakwah Islam di Mekkah yang berlangsung selama kurang lebih 13 tahun, dimana kaum kafir Quraisy selalu menghalangi, memusuhi dan menindas kaum Muslimin secara kejam, karena al-Qur’an menyebutkan dalam QS. An-Nisa ayat (77): 45 |=ÏGä. $¬Ηs>sù nο4θx.¢•9$# (#θè?#uuρ nο4θn=¢Á9$# (#θßϑŠÏ%r&uρ öΝä3tƒÏ‰÷ƒr& (#þθ’ä. öΝçλm; Ÿ≅ŠÏ% tÏ%©!$# ’n<Î) ts? óΟs9r& $oΨ−/‘u (#θä9$s%uρ 4 Zπu‹ô±z y £‰x©r& ÷ρr& «!$# Ïπu‹ô±‚ y .x }¨$¨Ζ9$# tβöθt±øƒs† öΝåκ÷]ÏiΒ ×,ƒÌsù #sŒÎ) ãΑ$tFÉ)ø9$# ãΝÍκön=tã äοtÅzFψ$#ρu ×≅‹Î=s% $u‹÷Ρ‘‰9$# ßì≈tFtΒ ö≅è% 3 5=ƒÌs% 9≅y_&r #’n<Î) !$oΨ?s ö¨zr& Iωöθs9 tΑ$tFÉ)ø9$# $uΖøŠn=tã |Mö6tGx. zΟÏ9 ( :) ∩∠∠∪ ¸ξ‹ÏGsù tβθßϑn=ôàè? Ÿωρu 4’s+¨?$# ÇyϑÏj9 ×ö)yz Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tanganmu (dari berperang), Dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!" setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. mereka berkata: "Ya Tuhan kami, Mengapa Engkau wajibkan berperang kepada Kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?" Katakanlah: "Kesenangan di dunia Ini Hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.” Oleh karena itu, al-Quran melarang umat Islam menyerang suatu bangsa yang tidak menunjukkan sikap permusuhan terhadap Islam. Di samping dapat memberikan jaminan keselamatan, umat Islam harus selalu bersikap adil dan penuh hormat, belas kasihan serta menjunjung harga diri. Seperti yang ditegaskan oleh Allah dalam alQuran bahwa tujuan mulia dari jihad atau perang yaitu menolak keganasan manusia serta pemeliharaan hak-hak hidup agama samawi lainnya serta perlindungan terhadap rumah-rumah ibadah.6 Prof. Dr. Marcel A. Boisard dalam bukunya “L’Humanisme De L’Islam” menegaskan beberapa prinsip-prinsip fundamental dan sistem hukum Islam yang 6 Afzalur Rahman, Nabi Muhammad sebagai Seorang Pemimpin Militer, Jakarta, Amzah, 2002, h. 306. 46 dapat diterapkan sebagai kaedah-kaedah dalam sengketa bersenjata antar negara atau dalam suatu negara, secara ringkas dikemukakan sebagai berikut: a) Dalam peperangan dilarang membuat ekses, pengkhianatan dan ketidakadilan dalan segala bidang. b) Dalam peperangan dilarang melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat menyebabkan musuh menderita secara berlebihan seperti memberikan hukuman-hukuman yang keji. Dan melakukan perbuatan penghancuran yang sia-sia, khususnya pengrusakan tanaman-tanaman dan lain sebagainya. c) Dalam peperangan harus memberikan perlakuan yang berperikemanusiaan terhadap tawanan-tawanan perang yang akan ditukar atau dibebaskan secara sepihak, apabila perang sudah selesai dan tidak ada lagi tawanan perang muslim di pihak musuh. d) Dalam peperangan harus memberi perlindungan kepada penduduk sipil dengan menghormati agama dan kebudayaan mereka. Untuk syariah Islam membenarkan untuk menghukum orang yang melakukan pembunuhan terhadap penduduk sipil. e) Syariat Islam melarang segala bentuk tindakan yang dilakukan bertentangan dengan ketentuan-ketentuan perjanjian damai yang telah 47 dibuat. Pakta perdamaian harus dipegang teguh sejauh pihak musuh masih menghormati isi perjanjian damai tersebut.7 B. Bentuk-Bentuk Kejahatan Perang 1. Bentuk-bentuk Kejahatan Perang dalam Konvensi Perserikatan BangsaBangsa Suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai tindakan ilegal atau dilarang berdasarkan aturan-aturan hukum humaniter yang dilanggar atau berdasarkan konsekuensinya bagi si pelaku. Beberapa tindakan tersebut melibatkan cara atau metode peperangan yang dilarang (menurut “hukum Den Haag,” yaitu, hukum yang berasal dari Konvensi-Konvensi Den Haag tahun 1899 dan 1907). Tindakan lainnya adalah tindakan yang menyakiti orang-orang yang dilindungi—yang sakit dan terluka, korban kapal karam atau rakyat sipil (menurut “hukum jenewa”, yaitu hukum yang berasal dari Konvensi-Konvensi Jenewa). Berikut bentuk-bentuk kejahatan perang: a) Kejahatan perang pada jiwa dan raga, seperti pembunuhan; perlakuan kejam dan penganiayaan kepada tawanan perang (termasuk eksperimen medis); perkosaan; tindakan sengaja yang menyebabkan penderitaan berat atau luka serius pada tubuh atau kesehatan; dan mutilasi. 7 L. Amin Widodo, Fiqih Siyasah dalam Hubungan Internasional, Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 1994, h. 69. 48 b) Kejahatan perang pada harta dan benda, seperti membakar hasil panen; perampasan barang-barang publik atau harta milik pribadi; perusakan pada kota-kota tanpa ada alasan; penghancuran tanpa kepentingan militer; serangan atau pembombardiran terhadap kota yang tidak dipertahankan, pemukiman, atau bangunan-bangunan; tindakan perusakan sengaja dilakukan terhadap lembaga-lembaga kebudayaan tertentu. c) Kejahatan perang pada kehormatan dan keadilan, seperti deportasi penduduk sipil dalam wilayah yang telah diduduki; memaksa tahanan perang atau penduduk sipil untuk masuk angkatan bersenjata dari penguasa musuh; dengan sengaja menghilangkan hak tawanan perang atau warga sipil yang dilindungi untuk mendapat pengadilan regular yang adil; dan eksekusi tanpa pengadilan. d) Kejahatan perang pada aturan dalam peperangan, seperti berlaku curang dalam penggunaan lambang Palang Merah Internasional; penggunaan senjata beracun atau senjata lain yang terhitung menyebabkan penderitaan yang tidak seharusnya. Akhirnya, pembentukan badan hukum kejahatan terhadap pelanggaran tertentu dalam hukum perang tidak berarti pelaku kejahatan perang sebenarnya kan dituntut. Ini tetap menjadi persoalan bagi negara-negara dan PBB serta organisasi internasional lainnya. Konvensi Jenewa mewajibkan semua pihak untuk mencari dan atau mengekstradisi atau mengadili seluruh tersangka pelaku pelanggaran berat dan hukum internasional memberikan hak sah kepada negara-negara untuk menuntut 49 pelaku-pelaku kejahatan perang berdasarkan teori yuridiksi internasional. Sementara beberapa negara beberapa kali menuntut pelaku kejahatan perang, contohnya Pengadilan Amerika Serikat terhadap penyerang My Lai, dengan pola yang lebih tidak begitu umum, meski ada kewajiban dari Konvensi Jenewa, biasanya sekedar hukuman administratif belaka atau pengampunan. Pengadilan ad hoc untuk Yugoslavia dan Rwanda memiliki yuridiksi terhadap kedua pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa dan kejahatan lain yang dilakukan dalam konflik tersebut dan ICC akan mempunyai yuridiksi terhadap hampir semua kejahatan perang.8 2. Bentuk-bentuk Kejahatan Perang dalam Hukum Islam Selain bentuk-bentuk kejahatan perang menurut Konvensi-Konvensi Jenewa, berikut bentuk-bentuk kejahatan perang menurut Hukum Islam: a) Membunuh atau memenggal kepala para tawanan perang, menjagal orang dan binatang, membinasakan tanaman-tanaman dan menebangi pohonpohon dengan semena-mena. b) Melakukan perbuatan-perbuatan pengkhianatan dan kecurangan. Demikian juga dengan berbuat zina sekalipun terhadap wanita-wanita tawanan perang. c) Membunuh pihak-pihak musuh yang tidak ikut berperang termasuk didalamnya seperti wanita, anak-anak, pelayan dan budak, orang-orang 8 Steven R.Ratner, Kategori Kejahatan Perang, dalam Roy Gutman & David Reff, ed., Kejahatan Perang yang Harus Diketahui Publik, t.t., Program Pelatihan Jurnalistik Televisi-Interviews Europe, 2004, h. 462. 50 jompo/buta, orang-orang cacat badan, para pemuka agama, biarawan dan biarawati, dan orang gila. d) Membunuh para saudara pihak musuh sebagai tindakan pembalasan meskipun sandera-sandera dari pihak Islam mungkin telah dibunuh oleh pihak musuh. e) Melakukan pembantaian missal setelah musuh dapat dikalahkan atau setelah suatu daerah diduduki. f) Membakar para tawanan perang, membunuh para petani dan pedagang yang tidak ikut memerangi kaum muslimin. g) Melakukan perbuatan yang dapat menyebabkan musuh menderita secara berlebihan. h) Menggunakan senjata-senjata beracun, melakukan penghancuran dan serangan membabi buta. i) Melakukan perbuatan-perbuatan penghancuran yang tidak berarti, seperti menghancurkan tempat-tempat ibadah, bangunan-bangunan pendidikan, perpustakaan, benda-benda budaya dan sarana-sarana umum lainnya. j) Agresi, atau serangan tanpa alasan yang dapat dibenarkan dan tanpa pernyataan perang atau peringatan terlebih dahulu.9 9 230. Altaf Gauhar, Tantangan Islam, Alih Bahasa: Anas Mahyudin, Bandung, Pustaka, 1982, h. 51 C. Perlakuan terhadap Tawanan Perang dan Penduduk Sipil 1. Tawanan Perang dan Penduduk Sipil dalam Hukum Humaniter Internasional Dalam Hukum Humaniter Internasional (HHI), ada dua jenis kelompok komunitas yang dapat dikategorikan sebagai tawanan perang: a) Tentara Reguler dan Kombatan Sejenis Tentara regular (yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Hukum Humaniter Internasional seperti menghormati hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang) dapat menikmati jaminan hukum yang telah ditetapkan bagi tawanan perang pada saat meninggalkan peperangan dengan cara terpaksa seperti mengalami cidera, atau karena keinginannya sendiri dengan membuang senjata. Kriteria ini juga diberikan bagi angkatan perang regular yang tunduk pada suatu pemerintahan atau kekuasaan yang tidak diakui oleh negara yang menahan. b) Kelompok Lain yang Dikategorikan Sebagai Tawanan Perang Istilah tawanan perang juga berlaku bagi kelompok lain yang tidak dianggap sebagai prajurit regular (kombatan), yaitu: 1) Orang-orang yang menyertai angkatan perang yang mencakup; para pemasok bertanggungjawab perbekalan, atas anggota-anggota kesejahteraan dan unit yang kenyamanan angkatan perang, orang-orang sipil yang menjadi awak pesawat 52 terbang militer, wartawan atau koresponden perang, dengan syarat mereka dibekali surat-surat pengesahan dan identitas pribadi angkatan perang. 2) Anggota awak kapal pelayaran niaga, para taruna dan awak pesawat terbang sipil dari pihak-pihak yang bersengketa yang tidak menerima perlakuan yang menguntungkan menurut ketentuan-ketentuan lain dalam hukum internasional.10 Dalam Konvensi Den Haag IV 1907 mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat, tawanan perang ialah mereka yang berada dalam kekuasaan pemerintah musuh, bukan berada dalam kekuasaan individu atau kelompok-kelompok yang menangkap mereka.11 Seluruh negara yang berperang diwajibkan memperlakukan tawanan secara manusiawi, mengizinkan mereka menyimpan barang-barang pribadi, beribadah, dan membebaskan petugas dari tugas-tugas yang berhubungan dengan dinas militer.12 Serupa dengan Konvensi Den Haag, dalam Konvensi Jenewa tahun 1949 yang disebut tawanan perang adalah tawanan negara musuh, bukan tawanan orang-orang atau kesatuan militer yang telah menahan mereka. Negara penahan bertanggung jawab atas perlakuan yang diberikan kepada mereka. Tawanan hanya dapat dipindahkan oleh negara penahan ke suatu negara yang menjadi peserta konvensi. 10 Abdul Ghani A. Hamid Mahmud, Perlindungan Korban Konflik Bersenjata dalam Perspektif Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam, t.t., Komite Internasional Palang Merah: ICRC Delegasi Regional Indonesia, 2008, h. 24. 11 Konvensi Den Haag Iv 1907 Mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang Di Darat, h. 6. 12 Suhartono, ed., Kejahatan Terhadap Kemanusiaan: Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Jakarta, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2002, h. 215. 53 Sama halnya dengan Konvensi Den Haag, dalam konvensi ini para tawanan perang harus diperlakukan dengan manusiawi. Setiap perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau kelalaian negara penahan yang mengakibatkan kematian atau yang membahayakan kesehatan seorang tawanan perang yang berada di bawah pengawasannya adalah terlarang dan harus dianggap sebagai pelanggaran berat dari Konvensi ini. Tawanan perang juga harus selalu dilindungi dari tindakan-tindakan kekerasan, ancaman-ancaman dan penghinaan-penghinaan serta tontonan umum. Tawanan perang dalam segala keadaan berhak mendapat penghormatan. Terutama wanita harus mendapat perlakuan segala penghormatan yang patut diberikan dan perlakuan sebaik-baiknya dari kaum laki-laki. Dan negara yang menahan tawanan wajib menjamin pemeliharaan dan perawatan kesehatan yang dibutuhkan oleh keadaan kesehatan dengan cuma-cuma.13 Hukum Humaniter Internasional mewajibkan pihak-pihak yang bersengketa untuk membedakan antara penduduk sipil dan kombatan. Istilah penduduk sipil mencakup semua orang yang berstatus sipil. Yang dimaksud dengan orang sipil adalah setiap orang yang tidak ikut berperang. Bila ada keraguan apakah seseorang itu seorang sipil atau kombatan, maka ia harus dianggap sebagai orang-orang yang berkerja sebagai penolong, wartawan dan pesonel organisasi pertahanan sipil. Penduduk sipil akan menerima perlindungan umum dari berbagai serangan militeryang bersifat defensif maupun ofensif di wilayah mana saja terjadi 13 Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah Tahun 1949 mengenai Perlindungan Korban Perang, Bandung, Binacita, 1986, h. 177. 54 penyerangan. Mereka tidak boleh menjadi sasaran serangan, mereka berhak mendapat perlindungan menghadapi serangan yang diarahkan terhadap sasaran militer, orangorang sipil atau obyek-obyek sipil tanpa pembedaan.14 Pasal 3 Konvensi Jenewa cocok untuk melindungi semua pihak yang tidak ikut berperang tapi terjebak didalamnya. Pasal ini secara khusus melarang pembunuhan, penyiksaan, penawanan, pelanggaran atas harga diri seseorang dan eksekusi di luar putusan pengadilan. Pasal ini juga berlaku untuk semua aksi gerilya, polisional, atau militer yang dengan sengaja mengakibatkan korban atau mencederai warga sipil atau tawanan. Ditegaskan pula, perlindungan harus diberikan pada pengungsi, perempuan, anak, wartawan, serta siapa saja yang mendapat kartu identitas dari pemerintahnya. Mereka dianggap warga sipil dengan tugas khusus sepanjang tidak melakukan aksi yang bertentangan dengan status mereka (seperti harus memiliki surat keterangan, tidak boleh memotret hanya dari satu sisi, tidak memperbanyak informasi yang salah untuk menyudutkan satu pihak). Secara umum, Pasal 3 memang hanya mewajibkan negara peserta untuk mengawasi hak asasi manusia selama berlangsung konflik, sehingga bersifat netral terhadap konflik di dalam suatu negara.15 14 15 Abdul Ghani, Perlindungan Korban Konflik Bersenjata, h. 53 Suhartono, Kejahatan terhadap Kemanusian, h. 220 55 2. Perlindungan Tawanan Perang dan Penduduk Sipil dalam Hukum Internasional Tawanan perang bukan tawanan orang-perorang atau kesatuan-kesatuan militer yang menahannya, tetapi mereka adalah tawanan dari negara musuh yang berhasil menahannya. Negara yang melakukan penahanan berkewajiban menghormati tawanan perang yang tunduk di bawah kekuasaannya dengan memberikan mereka jaminan perlindungan dan perlakuan yang manusiawi. Tujuan penahan hanya sebatas untuk mencegah pihak yang ditawan berada di suatu tempat yang memungkinnya menerima gangguan atau ancaman, bukan dengan tujuan untuk membalas dendam. Tindakan-tindakan yang keluar dari tujuan awal dianggap telah melanggar batas-batas yang harus dihormati dalam suatu konflik bersenjata.16 Berikut perlindungan tawanan perang pada masa tahanan, antara lain: a) Hak Mendapatkan Perlakuan Manusiawi Pasal 13 Konvensi Jenewa III menyebutkan tentang kewajiban memperlakukan tawanan perang dengan perlakuan yang manusiawi kapan dan dalam kondisi apapun. Pasal ini melarang memperlakukan tawanan dengan perlakuan yang dapat mengakibatkan kematian atau membahayakan kesehatan. b) Hak Kehormatan Martabat dan Harga Diri Tawanan perang berhak atas kehormatan martabat dan harga dirinya dan berhak mendapatkan hak-hak sipil yang mereka miliki pada 16 Abdul Ghani, Perlindungan Korban Konflik Bersenjata, h. 27 56 saat mereka tertangkap sebagai tawanan dan hak. Hak-hak yang diberikan harus sesuai dengan hukum yang berlaku di negara asal mereka bukan berdasarkan hukum negara penahan. Mengenai tawanan wanita, mereka juga harus diperlakukan dengan perlakuan yang baik dan terhormat mengingat jenis kelamin mereka, perasaan mereka tidak boleh dinodai dan tempat khusus bagi mereka harus disiapkan. c) Hak Perawatan Medis Pasal 15 dalam Konvensi Jenewa III mewajibkan negara yang melakukan penahanan untuk memenuhi perawatan medis yang menjadikan kebutuhan kondisi kesehatan para tawanan. Pada pasal 29 disebutkan bahwa negara penahan diharuskan untuk mengambil tindakan dan prosedur kesehatan yang diperlukan untuk menjamin kebersihan, kesehatan, sanitasi kamp-kamp tawanan perang, serta untuk mencegah tersebarnya wabah dan penyakit-penyakit menular.17 d) Hak Melaksanakan Ritual Keagamaan Dalam Konvensi Jenewa III dijelaskan bahwa diwajibkan bagi negara yang melakukan penahanan agar memberikan kebebasan penuh kepada para tawanan perang untuk melakukan kewajiban ibadah ritual keagamaan mereka dengan syarat dapat memenuhi peraturan disiplin yang ditentukan oleh penguasa-penguasa militer. Demikian pula, negara 17 Lihat Konvensi Jenewa III tahun 1949, pasal 15 dan pasal 29. 57 penahan berkewajiban menyediakan tempat-tempat yang memadai untuk kelangsungan ritual-ritual keagamaan tersebut.18 Negara dapat mempekerjakan para tawanan perang dan tidak boleh berlebihan serta tidak ada hubungannya dengan peperangan. Apabila pekerjaan dilakukan dengan tujuan untuk pelayanan publik atau untuk kepentingan perorangan, maka persyaratan-persyaratannya harus ditentukan dalam perjanjian dengan pihak penguasa Militer. Tawanan perang harus tunduk pada hukum, aturan-aturan dan perintah resmi dari pasukan bersenjata negara yang menangkap mereka. Tawanan perang dapat dibebaskan sesuai dengan masa percobaan dan terikat dengan perjanjian. Tawanan yang sudah dibebaskan dengan masa percobaan dan tertangkap kembali, maka tawanan tersebut akan kehilangan haknya sebagai tawanan perang dan dapat diajukan ke pengadilan.19 Sama halnya dengan tawanan perang, penduduk sipil juga perlu diberikan perlindungan. Orang-orang sipil juga harus diperlakukan dengan perlakuan yang manusiawi tanpa suatu pembedaan diskriminatif yang didasarkan atas jenis kelamin, warna kulit, ras, agama atau kepercayaan, pandangan politik atau pandanganpandangan lainnya, asal kebangsaan dan sosial, kekayaan, keturunan, dan standarstandar pembedaan serupa lainnya. Dalam kondisi apa pun, orang-orang sipil harus menerima perlindungan berkaitan dengan kehormatan, kemuliaan, hak-hak keluarga, 18 19 Abdul Ghani, Perlindungan Korban Konflik Bersenjata, h. 28 Konvensi Den Haag Iv 1907 Mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang Di Darat, h. 6. 58 ideologi dan pelaksanaan ritual keagamaan serta adat istiadat dan tradisi. Tidak boleh melakukan aksi-aksi perampokan, pencurian, atau penyiksaan terhadap mereka dan harta benda milik mereka. Semua pihak yang bertikai berkewajiban melakukan upaya-upaya yang memudahkan pelacakan anggota-anggota keluarga yang tercerai berai sebagai akibat sengketa bersenjata dengan tujuan menyatukan mereka kembali. Orang-orang sipil yang berdomisili di salah satu wilayah pihak yang bersengketa atau dalam wilayah yang diduduki salah satu pihak yang bersengketa, harus diperbolehkan menyampaikan dan menerima kabar yang benar-benar bersifat pribadi kepada dan dari keluarga mereka dimana pun berada. Hukum Humaniter Internasional (HHI) menaruh perhatian khusus berkaitan dengan perlindungan ekstra bagi para wanita dan anak-anak di tengah-tengah berkecamuknya konflik bersenjata. HHI juga memberikan jaminan perlindungan bagi warganegara asing yang tengah berada di wilayah salah satu pihak yang bertikai. Warganegara asing tersebut diberi hak meninggalkan negara di tengah-tengah terjadinya peperangan. Pemulangan harus disertai keterangan tentang status mereka sebagai warga sipil yang harus dilindungi dalam situasi yang kondusif dari aspek keamanan, kesehatan dan ketersediaan pangan.20 3. Tawanan Perang dan Penduduk Sipil dalam Hukum Islam Dalam Islam, tawanan perang ialah orang kafir atau musyrik yang dalam peperangan berhasil ditangkap oleh tentara Islam. Dalam fiqh, tawanan perang dapat 20 Abdul Ghani, Perlindungan Korban Konflik Bersenjata, h. 53. 59 dikelompokkan menjadi al-asra dan al-sabiyy. Al-asra adalah tawanan perang yang berasal dari tentara musuh yang ikut berperang melawan tentara Islam. Sedangkan alsabiyy ialah anak-anak dan wanita musyrik yang berhasil ditangkap oleh tentara Islam.21 Adapun yang dimaksud dengan tawanan perang dalam Hukum Islam adalah kombatan dari kalangan orang-orang nonmuslim yang berhasil ditangkap hidup-hidup oleh kaum muslim. Adapun yang dimaskud dengan kombatan dalam persperktif Hukum Islam adalah mereka laki-laki yang mampu melakukan peperangan dan ikut serta dalam aksi perlawanan/permusuhan terhadap negara muslim. Demikian pula halnya kaum wanita, anak-anakm dan tokoh-tokoh agama yang berada di medan pertempuran. Secara umum, orang-orang yang tidak ikut serta dalam aksi peperangan dan aksi perlawanan harus diperlakukan seperti layaknya warga sipil, dan tidak termasuk dalam kategori tawanan perang.22 4. Perlindungan Tawanan Perang dan Penduduk Sipil dalam Hukum Islam Jaminan perlindungan tawanan perang berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan sebenarnya sangat jelas dikukuhkan oleh Hukum Islam. Oleh karena itu, Islam telah memberikan jaminan perlakuan yang manusiawi terhadap tawanan perang, serta menghormati hak dan kebebasan mereka sejak mereka jatuh dalam kekuasaan kaum muslim, sampai para tawanan kembali ke negara dan keluarga masing-masing. Dalam hukum Islam, tawanan perang tidak tunduk pada kekuasaan 21 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2007, Cet.2, h. 262 22 Abdul Ghani, Perlindungan Korban Konflik Bersenjata, h. 26 60 orang-perorang atau kesatuan militer yang menahan mereka. Tawanan perang hanya tunduk terhadap kekuasaan pemerintahan Islam atau pejabat yang diberikan wewenang untuk mengurus tawanan perang.23 Al-Quran menganjurkan kepada kaum Muslimin agar memberi bantuanbantuan apa saja yang paling baik yang dimiliki dan memperlakukan tawanantawanan secara manusiawi. Seperti yang dicontohkan oleh para sahabat, mereka bersedia mendahulukan kepentingan para tawanan daripada kepentingan pribadi. Islam melarang keras melakukan pembunuhan, menyiksa atau melampiaskan dendam terhadap tawanan. Tujuan para kaum Muslimin menahan para tawanan agar mereka tidak turut serta kaum musyrikin lainnya untuk memerangi umat Islam.24 Ada beberapa perlindungan dan hak tawanan perang yang ditetapkan dalam Islam, antara lain: a) Hak Tempat Tinggal Tawanan Perang Dalam sejarah Islam, para tawanan perang yang berada di bawah naungan pemerintahan Islam telah menikmati penempatan dan penampungan yang baik selama masa tawanan berlangsung. Sejarah mencatat bahwa seringkali Rasulullah saw. mendistribusikan penampungan para tawanan perang di rumah-rumah kaum muslimin. Tidak jarang juga ditempatkan di masjid sampai berakhirnya masa penahanan. Memuliakan tawanan dapat diwujudkan dengan baik dengan 23 Ibid., h. 34 L. Amin Widodo, Fiqih Siyasah dalam Hubungan Internasional, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1994, h. 96. 24 61 cara menyediakan tempat tinggal yang layak, disamping makan dan minum, serta memberikan mereka perlakuan-perlakuan yang sesuai dengan prinsip kemuliaan manusia yang dijunjung tinggi oleh Islam, berdasarkan firman Allah SWT: ÏM≈t7ÍhŠ©Ü9$# š∅ÏiΒ Νßγ≈oΨø%y—u‘ρu Ìós7t ø9$#uρ Îhy9ø9$# ’Îû öΝßγ≈oΨù=uΗxquρ tΠyŠ#u ûÍ_t/ $oΨøΒ§x. ô‰s)s9uρ * (:) ∩∠⊃∪ WξŠÅÒøs? $oΨø)n=yz ô£ϑÏiΒ 9)ÏVŸ2 4’n?tã óΟßγ≈uΖù=Òsùuρ Artinya: “Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan[862], kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.” b) Hak Pakaian Rasulullah saw berpesan kepada para sahabatnya agar memuliakan dan berbuat baik kepada tawanan yang berada di bawah kekuasaan kaum muslim, dan jangan dibiarkan terlantar tanpa pakaian atau memakai pakaian yang compang-camping. Dan karena Islam juga tidak memperkenankan aurat yang seharusnya tertutup dilihat oleh orang lain. c) Hak Bersatu dan Berkumpul dengan Keluarga Para pakar hukum Islam sepakat berpendapat bahwa tawanan yang masih kecil tidak boleh ditempatkan terpisah dengan ibunya. Kesepakatan ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw., “Tidak boleh memisahkan seorang ibu dengan anaknya”. Larangan pemisahan ini berlaku juga bagi dua tawanan lelaki bersaudara atau dua tawanan wanita bersaudara. Jika 62 seorang anak dianggap dewasa, telah mencapai usia akil baligh, diperbolehkan memisahkannya dari ibunya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ubadah bin al-Shamit bahwa Rasulullah saw. bersabda25: “Tidak boleh memisahkan seorang anak kecil dengan ibunya”. Lalu ada seorang sahabat yang bertanya, “Sampai usia berapa anak itu tidak boleh berpisah dengan ibunya?”, Nabi saw. menjawab, “Sampai seorang anak laki-laki mencapai akil baligh dan anak perempuan mendapatkan haid”. Dalam sejarah, Nabi tidak pernah memperlakukan tawanan perang dengan kasar apalagi membunuhnya, kecuali hal-hal yang prinsip, seperti tawanan perang melakukan tindak pidana (jarimah) atau sangat berbahaya apabila dibiarkan hidup, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi dalam kasus Perang Badr. Selain yang dibunuh, masih banyak tawanan Perang Badr yang dibebaskan, bahkan tanpa meminta tebusan dari mereka. Dan Nabi berpesan agar memperlakukan para tawanan dengan sebaik-baiknya. Dalam Al-Quran, Allah juga mengajarkan memperlakukan tawanan secara manusia: ö/ä3ãΚÏèôÜçΡ $oÿ©ςÎ) ∩∇∪ #·)Å™r&uρ $VϑŠÏKtƒuρ $YΖŠÅ3ó¡ÏΒ ÏµÎm7ãm 4’n?tã tΠ$yè©Ü9$# tβθßϑÏèôÜãƒuρ ( :) ∩∪ #·‘θä3ä© Ÿωuρ [!#t“y_ óΟä3ΖÏΒ ß‰ƒÌçΡ Ÿω «!$# ϵô_uθÏ9 Artinya: “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” 25 Abdul Ghani, Perlindungan Korban Konflik Bersenjata, h. 34 63 Dalam kasus Yahudi Bani Quraizhah, Nabi pernah membunuh tawanan perang tapi dalam kasus ini bukan termasuk tawanan perang. Mereka ialah warga negara Madinah yang terikat dengan Piagam Madinah untuk taat dan patuh kepada Nabi serta mendapat perlindungan dari Nabi. Akan tetapi mereka mengingkari isi perjanjian dan melakukan tindakan makar ingin menggulingkan Nabi dan bekerjasama dengan kaum kafir Mekkah. Mereka bersekongkol membantu tentara sekutu (ahzab). Oleh karena itu, Nabi mengambil tindakan membunuh mereka bukan sebagai tawanan tapi sebagi kaum pemberontak yang melakukan penghianatan. Dan ini sesuai dengan penghukuman bagi kaum bughah dan pelaku makar.26 Setelah selesai pertempuran, sesuai dengan yang tersurat dalam Surat Muhammad ayat 427, penguasaan negeri Darus Salam dalam mengambil sikap terhadap para tawanan yaitu membebaskan tawanan tanpa syarat atau menukarkan tawanan dengan tebusan. Membebaskan tawanan tanpa syarat, berarti mengampuni atau membebaskan tawanan tanpa syarat tebusan apapun. Hal ini dilakukan apabila tawanan sudah tidak lagi memiliki harta apapun untuk menebusnya. Melakukan penukaran tawanan dengan tebusan, kadang dilakukan dengan menukar tawanan kaum muslimin dengan tawanan musuh atau tawanan ditebus dengan harta sampai ia 26 Iqbal, Fiqh Siyasah, h. 263. “Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) Maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu Telah mengalahkan mereka Maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.” 27 64 bebas. Pernah Rasulullah saw membebaskan tawanan dengan memberikan syarat pada setiap tawanan harus menebus dirinya dengan mengajar membaca dan menulis sepuluh anak-anak muslim.28 Banyak pesan Rasulullah dan sahabat besar seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab yang dapat dijadikan petunjuk dan ketentuan-ketentuan jihad dalam Islam, khususnya yang berkaitan dengan perlakuan terhadap tawanan. Pesan-pesan Abu Bakar yang diriwayatkan Imam Ahmad menyatakan dari sahabat Yahya bin Sa’ad bahwa Abu Bakar pernah menngirimkan pasukan ke Syam, kemudian mengangkat Yaziu bin Abu Sofyan sebagai Amir Syam. Pesan beliau kepada Yahya bin Sa’ad yaitu: a. Janganlah engkau bunuh wanita-wanita, anak-anak dan orang-orang yang sudah tua. b. Jangan kamu tebangi pohon-pohon yang sedang berbuah dan kurmakurma. c. Jangan engkau rusak dan membakar bangunan-bangunan. d. Jangan engkau bunuh domba-domba dan sapi-sapi kecuali untuk dimakan. e. Jangan engkau menjadi pengecut dan pendendam. Umar bin Khattab pernah juga berpesan seperti yang diucapkan Abu Bakar As-Shiddieqy dan pesan-pesan Rasulullah SAW dan juga pesan Khulafa ar-Rasyidin lainnya.29 28 29 Widodo, Fiqih Siyasah, h. 96. Ibid., h. 98 65 D. Sanksi Kejahatan Perang 1. Sanksi dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Ketika Perang Dunia I pecah, seluruh aturan perang dilanggar dengan sengaja. Para penjahat perang, bahkan dari pihak Jerman yang kalah perang, lolos dari hukuman. Tahun 1921 pengadilan di Jerman memang mengadili kasus yang dikenal dengan sebutan the Llandovery Castle, yakni pengadilan terhadap tentara yang membantai nelayan-nelayan tak bersenjata setelah kapal mereka ditenggelamkan. Pembelaan para tersangka bahwa operasi dijalankan dengan dalih perintah atasan tidak dapat diterima pengadilan. Menurut pengadilan, perintah yang diterima para prajurit tersebut secara universal sudah diketahui melanggar hukum.30 Sesuai pasal-pasal dalam empat konvensi yang mengatur represi terhadap penyalahgunaan dan pelanggaran, salah satunya pasal 4931: 1. Mewajibkan pihak-pihak penandatanganan untuk mengadakan tindakan legislative, yaitu menetapkan undang-undang yang mengatur pemberian sanksi pidana efektif terhadap orang-orang, baik yang melakukan maupun yang memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat. 2. Mengatur kewajiban negara penandatangan untuk mencari dan mengadili orang-orang yang telah melakukan atau memerintahkan untuk melakukan sesuatu pelanggaran berat, tanpa memperhatikan kebangsaannya. Dan 30 Suhartono, ed., Kejahatan Terhadap Kemanusiaan: Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Jakarta, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2002, h. 216. 31 Lihat Geneva Convention I. 66 mengatur kemungkinan diadakannya ekstradisi yang harus dipenuhi beberapa syarat, yaitu: a) Adanya suatu pelanggaran berat yang nyata (prima facie case). b) Adanya ketentuan dalam perundang-undangan nasional mengenai penyerahan orang-orang yang melanggar Konvensi Jenewa 1949. c) Adanya perjanjian (ekstradisi) dengan negara yang bersangkutan. 3. Pihak penandatangan harus mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk memberantas segala perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan konvensi. 4. Mengatur jaminan bagi tertuduh agar mendapat perlakuan yang wajar pada waktu ia diadili. Jaminan tersebut tidak boleh kurang dari jaminan yang terdapat dalam artikel 105 Konvensi III yang berbunyi32: Tawanan perang berhak akan bantuan salah seorang kawan tawannya, pembelaan seorang pembela atau pengacara yang cakap pilihannya sendiri, memanggil saksi-saksi dan apabila dianggap perlu, jasa-jasa seorang penerjemah yang cakap. Ia harus diberitahukan tentang hak-haknya itu oleh negara penahan pada waktunya sebelum peradilan dimulai. Pelanggaran tersebut tidak saja yang mencakup pelanggaran terhadap Pasal 3 dalam era perang saudara, namun meliputi kejahatan berikut jika dilakukan dalam konflik internasional33: pembunuhan dengan sengaja, penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk eksperimen biologis yang secara sengaja menyebabkan penderitaan 32 KGPH. Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2007, h. 108. 33 Suhartono, ed., Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, h. 222. 67 yang hebat atau cidera serius pada tubuh atau kesehatan seseorang, penghancuran meluas atas hak milik seseorang, yang tidak dilakukan demi keperluan militer dan dilakukan tanpa alasan dan tanpa pengakuan yang sah. Kejahatan yang paling berat menghasilkan hukuman yang paling berat, sesuai dengan perjanjian-perjanjian hak asasi manusia. Pasal 7734 menyatakan bahwa hukuman bagi pelanggaran terburuk adalah hukuman penjara seumur hidup. Sebagai tambahan, tertuduh mungkin akan dikenakan denda dan harta milik serta asset yang diperoleh terdakwa karena melalukan kejahatan. Pasal 109 menyatakan negara-negara pihak harus bekerja sama dalam pembekuan dan penyitaan aset yang berada dalam yuridiksi mereka.35 2. Sanksi dalam Hukum Islam Hukum Islam telah meletakkan kaedah-kaedah yang tegas dalam semua aspek kehidupan yang tidak boleh dilanggar. Kaedah-kaedah Hukum Islam ini memiliki keunggulan yang menjadikannya terlihat unik dibandingkan dengan hukum positif secara umum, dimana pelanggaran terhadap kaedah-kaedah tersebut dapat mengakibatkan dua sanksi; sanksi duniawi yang akan diberlakukan suatu pemerintah muslim, dan sanksi ukhrawi yang akan diterima pada Hari Kiamat kelak.36 Hukum pidana Islan dalam syariah atau fikih disebut dengan jinayah atau jarimah. Secara umum, hukum pidana dalam syariah terdiri dari tiga: pertama, qishash, yaitu 34 Lihat Rome Statute Of The International Criminal Court,17 July 1998. Suhartono, ed., Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, h. 439. 36 Abdul Ghani A. Hamid Mahmud, Perlindungan Korban Konflik Bersenjata dalam Perspektif Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam, t.t., Komite Internasional Palang Merah: ICRC Delegasi Regional Indonesia, 2008, h. 5 35 68 hukuman balas yang sebanding dengan tindak pidana yang dilakukan. Jenis hukuman ini berlaku terutama tindak pidana pembunuhan disengaja yang bentuk hukuman bagi pelakunya adalah hukuman mati. Kedua, hudud, yaitu hukuman yang ketetapannya sudah ditentukan dalam al-Quran dan Hadits. Ada banyak bentuk hudud dalam syariah, yaitu hukum potong tangan bagi tindak pencurian yang barang curiannya senilai dengan 93,6 gram emas; hukum cambuk 100 kali bagi pezina gadis dan bujangan; rajam (dilempari dengan batu hingga mati) bagi tindak perzinahan yang dilakukan oleh duda, janda, atau seorang berstatus menikah; hukuman cambuk 40/80 kali bagi tindak pidana meminum minuman beralkohol; hukum cambuk 80 kali mati bagi tindak menuduh zina orang baik-baik; dan hukuman mati bagi tindak pidana murtad. Ketiga, ta’zir, yaitu hukuman yang bentuknya ditentukan oleh ijtihad hakim, karena tidak dijelaskan oleh al-Quran dan Hadits.37 Sanksi-sanksi kejahatan perang menurut Hukum Islam, ialah: 1. Sanksi Melanggar Perjanjian Firman Allah swt, βÎ*sù ∩⊇⊃∪ šχρ߉tG÷èßϑø9$# ãΝèδ šÍׯ≈s9'ρé&uρ 4 Zπ¨ΒÏŒ Ÿωρu ~ωÎ) ?ÏΒ÷σãΒ ’Îû tβθç7è%ötƒ Ÿω ã≅Å_ÁxçΡuρ 3 ǃÏe$!$# ’Îû öΝä3çΡ≡uθ÷zÎ*sù nο4θŸ2¨“9$# (#âθs?#uuρ nο4θn=¢Á9$# (#θãΒ$s%r&uρ (#θç/$s? (:) 37 ∩⊇⊇∪ tβθßϑn=ôèƒt 5Θöθs)Ï9 ÏM≈tƒFψ$# Sukron Kamil, ed., Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim, Jakarta, Center fot the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007, h. 89. 69 Artinya: “Mereka tidak memelihara (hubungan) kerabat terhadap orangorang mukmin dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. dan mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas. Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. dan kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang Mengetahui.” Dari ayat al-Quran ini dapat ditarik kesimpulan bahwa orang Muslim harus melancarkan perang terhadap orang yang melanggar perjanjian yang telah dibuat. Sebagaimana Rasulullah saw memerangi pihak musuh yang melanggar perjanjian dengan beliau, seperti kasus Yahudi bani Qainuqa, Yahudi bani Nadhir, Yahudi bani Quraidhoh dan pelanggaran perjanjian oleh Bani Bakr (sekutu Quraisy) terhadap Bani Khuza’ah (sekutu Rasulullah). 38 2. Sanksi Spionase Pendapat Imam Malik adalah menta’zir seorang mata-mata Muslim dengan hukuman mati (sebagian pengikut Ahmad bin Hambal menyepakatinya). Sebagian pengikut Imam Syafi’I juga menyebutkan hal itu. Sedangkan pendapat Imam Abu Hanifah adalah menjauhkan para imam dari hukum ta’zir ke hukuman mati. Boleh menta’zir untuk maslahat seperti membunuh pembunuh karena hal tersebut setimpal. Al-Qadhi Abu Yusuf, pengikut Abu Hanifah (dalam Kitab AlKharraj) berkata, “Aku bertanya pada Amirul Mukminin tentang beberapa 38 Afzalur Rahman, Nabi Muhammad sebagai Seorang Pemimpin Militer, t.t., Amzah, 2002, cet 1, h. 322. 70 mata-mata yang termsuk ahlu-dzimmah, atau dari golongan yang diperangi atau dari golongan Muslim”. Beliau menjawab, “Apabila mereka dari golongan (kafir) yang diperangi atau dari golongan (kafir) yang dilindungi dari Yahudi dan Nasrani atau dari Majusi yang membayar jizyah, maka pancunglah mereka. Apabila mereka dari pemeluk Islam yang dikenal, maka beratkanlah hukuman mereka dan penjarakan yang lama sampai mereka bertaubat.” Dalam kasus mata-mata terhadap umat Islam dan membocorkan rahasia pada pihak musuh, hukuman yang dijatuhkan tidak sampai dibunuh, tetapi Syafi’I dan Malik meminta imam untuk menghukumnya. Awza’I menyarankan hukuman pembelangan atau siksaan fisik. Sedangkan Abu Hanifa memerintahkan untuk diperjara sampai orang tersebut menyesali perbuatannya. Aturan yang sama diterapkan pada mata-mata dari golongan Ahli kitab.39 39 h. 88. Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam, Yogyakarta, Tarawang Press, 2002, BAB IV ANALISA HUKUM ISLAM MENGENAI KEJAHATAN PERANG DALAM KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA A. Hak-Hak Asasi Manusia Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang telah dipunyai oleh semua orang sesuai dengan kondisi yang manusiawi.1 Hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau negara.2 Hak asasi dalam Islam berbeda dengan hak asasi menurut pengertian yang umum dikenal. Dalam Islam seluruh hak merupakan kewajiban bagi negara maupun individu yang tidak boleh diabaikan. Rasulullah saw pernah bersabda: "Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu." (HR. Bukhari dan Muslim). Maka negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-hak asasi ini, melainkan mempunyai kewajiban memberikan dan menjamin hak-hak ini.3 Sebagai contoh, negara berkewajiban menjamin perlindungan sosial bagi setiap individu tanpa ada perbedaan jenis kelamin, tidak juga perbedaan muslim dan 1 Adam Kuper dan Jesicca Kuper, Ensiklopedia Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I,Rajawali Pers, Jakarta, 2000, h. 464 2 Abdul Rozak, ed., Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi MAnusia dan Masyarakat Madani, Cet ke II, Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005, h. 200. 3 MAhfudz Shiddiq, Hak Asasi Manusia, http://www.angelfire.com, di akses pada tanggal 20 maret 2011. 71 72 non-muslim. Islam tidak hanya menjadikan itu kewajiban negara, melainkan negara diperintahkan untuk berperang demi melindungi hak-hak ini. Dari sinilah kaum muslimin di bawah Abu Bakar memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Negara juga menjamin tidak ada pelanggaran terhadap hak-hak ini dari pihak individu. Sebab pemerintah mempunyai tugas sosial yang apabila tidak dilaksanakan berarti tidak berhak untuk tetap memerintah. Allah berfirman4: Å∃ρã÷èϑ y ø9$$Î/ (#ρãtΒr&uρ nο4θŸ2¨“9$# (#âθs?#uuρ nο4θn=¢Á9$# (#θãΒ$s%r& ÇÚö‘F{$# ’Îû öΝßγ≈¨Ψ©3¨Β βÎ) tÏ%©!$# (:) ∩⊆⊇∪ Í‘θãΒW{$# èπt6É)≈tã ¬!uρ 3 Ìs3Ζßϑø9$# Çtã (#öθyγtΡuρ Artinya: "Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukannya di muka bumi, niscaya mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar. Dan kepada Allah-lah kembali semua urusan." (QS. Al-Hajj ayat (41)) Pelanggaran hak asasi manusia merupakan ancaman besar terhadap perdamaian, keamanan dan stabilitas suatu negara. Oleh beberapa ahli mendefinisikan pelanggaran hak asasi manusia itu sebagai suatu “pelanggaran terhadap kewajiban negara yang lahir dari instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia”. Pelanggaran negara terhadap kewajibannya dapat dilakukan baik dengan perbuatannya sendiri (acts of commission) maupun oleh karena kelalaiannya sendiri (acts of ommission). Dalam rumusan yang lain, pelanggaran hak asasi manusia adalah “tindakan atau kelalaian oleh negara terhadap norma yang belum dipidana dalam 4 Ibid., h. 2. 73 hukum pidana nasional tetapi merupakan norma hak asasi manusia yang diakui secara internasional”.5 Konsep tanggung jawab negara dalam hukum hak asasi manusia internasional, ialah tanggung jawab yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran terhadap kewajiban untuk melindungi dan menghormati hak asasi manusia oleh negara. Kewajiban yang dimaksud ialah kewajiban yang lahir dari perjanjian-perjanjian internasional hak asasi manusia, maupun dari hukum kebiasaan internasional (international customary law), khususnya norma-norma hukum kebiasaan internasional yang memiliki sifat jus cogens.6 Sepanjang sejarah, telah diketahui selama berlangsungnya peperangan banyak sekali terjadi pelanggaran hak-hak individu dan masyarakat yang mendatangkan kerugian dan penderitaan bagi kedua belah pihak yang berperang.7 Kejahatan perang yang terjadi seperti pembunuhan yang disengaja, penyiksaan, eksperimen medis, membunuh wanita, anak-anak dan orang-orang cacat serta masih banyak lagi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan.8 Begitu banyak pelanggaran yang dilakukan dalam perang, baik pelanggaran terhadap hukum perang maupun terhadap hak asasi manusia. Dan hal tersebut bertolak belakang dengan apa yang diatur dalam Hukum Islam dan Deklarasi 5 C. de Rover, To Serve and to Protect , International Committee of the Red Cross, 1988, hlm. 455. 6 Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi, ed., Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta, PUSHAM UII, 2008, h. 77 7 Soedjono D. Soekamto, Kriminologi Suatu Pengantar, Bandung, Ghalia Indonesia, 1986, cet. Ke-II, h. 21. 8 Altaf Gaufar, Tantangan Islam, Alih Bahasa: Anas Mahyudin, Bandung, Pustaka, 1982, h. 230. 74 Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Contohnya, dalam DUHAM pasal 3 dan 5, menjelaskan bahwa setiap manusia berhak atas kehidupannya, mendapatkan kemerdekaan dan keamanan pribadi. Dan tidak seorangpun bisa menyiksa atau menghukum secara keji, tidak manusiawi bahkan merendahkan martabatnya sebagai seorang manusia yang merdeka.9 Sependapat dengan DUHAM, dalam hukum Islampun tidak mengakui pelanggaran yang dirincikan di atas jelas adalah perbuatan yang mulia. Kejahatan perang merupakan hal yang sangat tidak diinginkan terjadi. Dan ini melanggar hakhak manusia yang dilindungi dalam Islam, yaitu: 1. Hak Hidup Hak untuk memelihara jiwa atau hak untuk hidup merupakan suatu yang paling pokok dan mendasar bagi manusia. Hak ini harus ada dan setara bagi setiap manusia tanpa melihat perbedaan-perbedaan yang ada diantara sesama manusia. Tidak ada seorang atau sekelompok manusia yang hak hidupnya lebih diprioritaskan dari hak hidup seseorang atau sekelompok manusia yang lainnya.10 Perlindungan hukum Islam terhadap hak hidup manusia dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan syariah yang melindungi dan menjunjung tinggi darah dan nyawa manusia, melalui larangan membunuh, ketentuan qishash, dan larangan bunuh 9 Lihat Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 3 dan 5. Ikhwan, Hak Asasi Manusia dalam Islam, Jakarta, Logos, 2004, h. 23. 10 75 diri. Membunuh adalah dosa besar yang diancam dengan balasan neraka, sesuai firman Allah SWT dalam al-Maidah ayat (32)11: …çµuΖyè9s uρ ϵø‹n=tã ª!$# |=ÅÒxîuρ $pκ'Ïù #V$Î#≈yz ÞΟ¨Ψγ y y_ …çνäτ!#“t f y ùs #Y‰ÏdϑyèGt •Β $YΨÏΒ÷σãΒ ö≅çFø)tƒ tΒuρ (:) ∩⊂∪ $VϑŠÏàtã $¹/#x‹tã …çµs9 £‰tãr&uρ Artinya: “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” Ayat ini mengajarkan kesamaan nilai jiwa setiap manusia. Penghilangan jiwa seseorang tanpa alasan yang dibenarkan berarti tidak menghargai nilai jiwa setiap manusia dan itu sama artinya dengan membunuh kesucian dan kehormatan jiwa seluruh manusia. Sebaliknya, pemeliharaan kepada satu jiwa manusia berarti pemeliharaan terhadap nilai, kesucian, dan kehormatan jiwa manusia secara umum sehingga dapat diartikan sebagai pemeliharaan terhadap jiwa manusia seluruhnya. Firman Allah lainnya dalam surat Al An’am ayat (151): ( :) .... Èd,ysø9$$Î/ ωÎ) ª!$# tΠ§ym ÉL©9$# š[ø¨Ζ9$# (#θè=çGø)s? Ÿωρu Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” Ayat ini mempertegas keberadaan dan ketinggian nilai hak hidup setiap manusia. Tidak dibenarkan menghilangkan nyawa orang atas dasar alasan-alasan subyektif. Menghilangkan nyawa seseorang hanya dapat dilakukan atas alasan-alasan 11 T. Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Islam dan Hak Asasi Manusia, Semarang, PT. Rizki Putra, 1999, h. 40. 76 obyektif, yaitu alasan-alasan yang dibenarkan oleh Allah swt sebagai pencipta dan pemberi hak hidup seluruh manusia.12 Ketentuan qishash merupakan kolerasi dari larangan membunuh. Qishash adalah sanksi hukum kejahatan terhadap diri dan jiwa orang lain. Qishash ini diwajibkan oleh Allah terhadap pembunuhan yang disengaja, mewajibkan diyat dan fidyah dalam hal yang tak sengaja. Dan sebagai pencegahan, untuk memelihara kelangsungan hidup manusia yang adil, aman dan tentram. Pengaturan mengenai qishash ini dituangkan dalam surah al-Baqarah ayat (178): ωö7yèø9$$Î/ ߉ö6yèø9$#uρ Ìhçtø:$$Î/ ”çtø:$# ( ‘n=÷Fs)ø9$# ’Îû ÞÉ$|ÁÉ)ø9$# ãΝä3ø‹n=tæ |=ÏGä. (#θãΖtΒ#u tÏ%©!$# $pκš‰r'¯≈tƒ 3 9≈|¡ômÎ*Î/ ϵø‹s9Î) í!#Šy r&uρ Å∃ρã÷èϑ y ø9$$Î/ 7í$t6Ïo?$$sù Öóx« ϵŠÅzr& ôÏΒ …ã&s! u’Å∀ãã ôyϑsù 4 4s\ΡW{$$Î/ 4s\ΡW{$#ρu ∩⊇∠∇∪ ÒΟŠÏ9r& ë>#x‹tã …ã&s#sù y7Ï9≡sŒ y‰÷è/t 3“y‰tGôã$# Çyϑsù 3 ×πyϑôm‘u ρu öΝä3În/§‘ ÏiΒ ×#‹ÏøƒrB y7Ï9≡sŒ (:) Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih”. Islam melarang semua bentuk pembunuhan kecuali yang dilakukan berdasarkan hukum. Selama perang dan pemberontakan, hanya pemerintah yang sah 12 Ikhwan, Hak Asasi Manusia dalam Islam, h. 24. 77 dan bijaksana, yang mengikuti syariah, yang dapat memutuskan pembenaran pencabutan nyawa. Islam mengharamkan tindakan bunuh diri untuk menjamin hidup, sebagaimana sabda Nabi saw13: “Barang siapa yang menerjunkan dirinya dari suatu bukit, maka dia kekal dalam neraka jahanam. dan barang siapa menegak racun lalu mati, maka racunnya tetap berada ditangannya yang akan diteguknya dalam api neraka jahanam, dia kekal didalamnya. dan barang siapa membunuh diri dengan sepotong besi, maka besi itu tetap berada ditangannya, dan akan ditusuk-tusuk perutnya dengan besi itu dalam neraka jahanam dan dia kekal didalamnya”. Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam Tahun 1990 mengatur tentang hak hidup dalam pasal 2 yang berbunyi: a) Kehidupan adalah berkah Tuhan dan hak untuk hidup dijamin bagi setiap ummat manusia, dan ngara-negara untuk melindungi hak-hak ini dari setiap pelanggaran apapun dan dilarang untuk mencabut kehidupan kecuali berdasarkan syariat. b) Dilarang untuk memilih jalan yang dapat mengakibatkan pemusnahan missal suatu bangsa. c) Perlindungan kehidupan manusia sampai akhir masa merupakam kehendak Tuhan dan suatu kewajiban yang ditetapkan syariat.14 13 14 Hasbi Ash Shiddieqy, Hak Asasi Manusia, , h. 40. Ikhwan, Hak Asasi Manusia dalam Islam, h. 25. 78 2. Hak Kebebasan Beragama Dalam Islam, kebebasan dan kemerdekaan merupakan HAM, termasuk didalamnya kebebasan menganut agama sesuai keyakinannya. Oleh karena itu, Islam melarang keras adanya pemaksaan keyakinan agama kepada orang yang telah menganut agama lain. Seperti yang dijelaskan dalam surah al-Baqarah ayat (256): -∅ÏΒ÷σãƒuρ ÏNθäó≈©Ü9$$Î/ öàõ3tƒ yϑsù 4 Äcxöø9$# zÏΒ ß‰ô©”9$# t¨t6¨? ‰s% ( ÈÏe$!$# ’Îû oν#tø.Î) Iω (:) Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. ” Kemerdekaan beragama terwujud dalam bentuk-bentuk yang meliputi: a) Tidak ada paksaan untuk memeluk suatu agama atau kepercayaan tertentu atau paksaan untuk menanggalkan agama yang telah diyakininya. b) Islam memberikan kekuasaan kepada orang-orang Ahli Kitab untuk melakukan apa yang menjadi hak dan kewajiban atau apa saja yang dibolehkan selama tidak bertentangan dengan hukum Islam. c) Islam menjaga kehormatan Ahli Kitab, bahkan lebih dari itu mereka diberikan kemerdekaan untuk mengadakan perdebatan dan bertukat pikiran serta pendapat dalam batasan-batasan etika perdebatan serta menjauhkan kekerasan dan pemaksaan. 15 15 32 Dalizar Putra, Hak Asasi Manusia menurut Al-Quran, Jakarta, PT. al-Husna Zikra, 1995, h. 79 3. Hak atas Keadilan Keadilan adalah dasar dari cita-cita Islam dan merupakan disiplin mutlak untuk menegakkan kehormatan manusia. Dalam hal ini ada ayat al-Quran dalam surat al-Nahl ayat (90) mengajak untuk menegakkan keadilan: Ï!$t±ós x ø9$# Çtã 4‘sS÷Ζtƒuρ 4†n1öà)ø9$# “ÏŒ Ç›!$tGƒÎ)uρ Ç≈|¡ômM}$#ρu ÉΑô‰yèø9$$Î/ ããΒù'tƒ ©!$# ¨βÎ) * (#$: !") ∩⊃∪ šχρã©.x‹s? öΝà6¯=yè9s öΝä3ÝàÏèƒt 4 Äøöt7ø9$#uρ Ìx6Ψßϑø9$#uρ Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” Keadilan adalah hak setiap manusia dan menjadi dasar bagi setiap hubungan individu. oleh karena itu, merupakan hak setiap orang untuk meminta perlindungan kepada penguasa yang sah, dengan menjadi kewajiban bagi para pemimpin atau penguasa untuk menegakkan keadilan dan menberikan jaminan keamanan yang cukup bagi warganya. 4. Hak Persamaan Islam tidak hanya mengakui prinsip kesamaan derajat mutlak diantara manusia tanpa memandang warna kulit, ras, atau kebangsaan, melainkan menjadikannya realitas yang penting. Al-Quran menjelaskan mengenai persamaan manusia dalam surat al-Hujarat ayat (13): 80 ¨βÎ) 4 (#þθèùu‘$yèGt Ï9 Ÿ≅Í←!$t7s%uρ $\/θãèä© öΝä3≈oΨù=yè_ y ρu 4s\Ρé&uρ 9x.sŒ ÏiΒ /ä3≈oΨø)n=yz $¯ΡÎ) â¨$¨Ζ9$# $pκš‰r'¯≈tƒ (:%&) ∩⊇⊂∪ ×8GÎ7yz îΛÎ=tã ©!$# ¨βÎ) 4 öΝä39s)ø?r& «!$# y‰ΨÏã ö/ä3tΒtò2r& Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. Adanya pengakuan terhadap persamaan dalam Islam juga mencakup persamaan didepan hukum. Islam memberikan kepada umatnya hak atas kedudukan yang sama dihadapan hukum, artinya setiap manusia mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama. Dengan demikian, setiap orang harus diperlakukan dan diberikan sanksi yang sama dalam menjalankan suatu hukum. 5. Hak Kepemilikan Islam menjamin hak kepemilikin yang sah dan mengharamkan penggunaan cara apapun untuk mendapatkan hak orang lain yang bukan haknya. Firman Allah swt yang artinya, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.”16 16 Ibid., h. 64. 81 B. Analisa Kejahatan Perang Menurut Hukum Islam Pengertian dan model perang dalam Islam dapat merujuk pada informasi atau sejarah perang yang dilakukan oleh Nabi dan sahabatnya. Peperangan dalam zaman Nabi Muhammad merupakan sebuah lembaran yang pertama kali berhasil mereformasi dari perang yang tidak beradab menjadi perang yang beradab dengan menetapkan kode etik yang berdasarkan perikemanusiaan dan keberadaban. Nabi Muhammad menetapkan kaidah-kaidah dalam berperang, seperti melarang membunuh orang yang tidak ikut dan tidak aktif dalam peperangan, atau yang biasa disebut non-combatant, serta melarang menghancurkan sumber penghidupan. Disamping pengaturan kepada etika dalam perang, Nabi juga menganjurkan untuk memperlakukan tawanan perang dengan manusiawi.17 Islam merupakan agama perdamaian yang menuntun kaum muslim untuk bekerja demi terwujudnya perdamaian yang hakiki. Perang dalam Islam berpijak pada prinsip perang yang adil (bellum justum) berdasarkan perintah Allah SWT yang terdapat dalam al-Quran, Hadits dan sumber-sumber Hukum Islam tentang perlindungan terhadap para tawanan perang secara manusiawi, adil dan kesetaraan. Para pemikir barat menyatakan Hukum Islam lebih manusiawi dalam memberikan perlindungan terhadap para tawanan perang.18 Menurut teori Hukum Islam, maksud perang bukanlah memperoleh kemenangan atau harta benda musuh, tetapi terutama menjalankan kewajiban yaitu 17 http://adakabarapa.wordpress.com, diakses pada tanggal 20 Maret 2011 Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, Alih Bahasa: Samson Rahman, (Jakarta: Pustaka alKautsar,2000), cet.I, hal. 19 18 82 berjihad dengan jalan yang ditunjukkan Allah, supaya agama Islam menjadi agama universal. Dengan begitu, maka kepada umat Islam yang berjihad dianjurkan supaya menghindarkan pertumpahan darah yang berlebihan dan jangan merusak harta benda. Jika hal itu tidak diperlukan untuk mencapai maksudnya. Para ahli hukum bersepakat, bahwa mereka yang turut serta bertempur, seperti perempuan, anak-anak, pendeta dan pertapa, orang tua/lansia, buta dan sakit jiwa tidak boleh dianiaya. ‘Abdullah ibn Umar menerangkan: “Bahwasanya seorang perempuan dijumpai telah mati terbunuh dalam salah satu peperangan Nabi saw. Maka Rasul sangat tidak membenarkan orang membunuh wanita dan anak-anak”(Muslim 22:8) Para ulama sependapat menetapkan, bahwa haram untuk membunuh wanita dan anak-anak dalam penyerangan ke wilayah musuh jika wanita dan anak-anak tidak ikut serta dalam peperangan. Bila mereka turut serta dalam perang maka hukum membunuh mereka sama dengan membunuh musuh laki-laki. Orangtua/lansia jika mereka tidak ikut berperang atau tidak mencampuri peperangan, maka mereka tidak boleh dibunuh juga.19 Beberapa ahli hukum aliran Hanafi dan Syafi’I bahkan berpendapat bahwa umat petani dan pedagang yang tidak turut serta bertempur tidak boleh dianiaya. Umat Islam yang berjihad dinasehatkan pula oleh ahli-ahli hukum, supaya tidak membunuh ayahnya yang musyrik, jika sang ayah ikut bertempur melawan Islam. Seorang ahli hukum mazhab Maliki yaitu Khalil, memberi nasehat kepada umat Islam 19 178 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jakarta, Bulan Bintang, 1979, cet ke-I, h. 83 yang berjihad supaya jangan menggunakan panah beracun. Khalil bahkan melarang racun dipakai dengan cara apapun terhadap musuh. Disamping ditentukan tentang larangan-larangan yang harus dijauhi oleh umat Islam yang berjihad, di dalam Hukum Islam ditentukan pula perlakuan-perlakuan yang dapat dilakukan terhadap musuh. Misalnya, jika orang-orang kafir penduduk dar al-harb sudah dinasehati supaya menganut agama Islam dan menolak salah satu usul baik menganut agama Islam maupun membayar pajak, maka diperbolehkan untuk membunuhnya, baik prajurit maupun bukan prajurit, asal pembunuhan itu tidak dilakukan dengan cara mencederai.20 Perang membutuhkan pertimbangan rasional. Pada zaman Rasul, Nabi Muhammad saw setiap akan pergi berperang sebelumnya selalu melakukan musyawarah dengan para sahabat untuk mengambil keputusan teknis dalam peperangan. Untuk mengatur strategi, persenjataan, kalkulasi kekuatan, penetapan situasi darurat, dan bahkan perlakuan manusiawi terhadap musuh.21 Tujuan mulia dari jihad atau perang yaitu menolak perilaku manusia yang tidak manusiawi agar terpelihara hak-hak hidup agama samawi dan memberi perlindungan terhadap rumah-rumah ibadah. Berikut hadis yang menerangkan tentang melepaskan tawanan dan memberinya kelonggaran: 20 Pusat Studi Hukum Humaniter, Hukum Humaniter Suatu Perspektif, Jakarta, PSH USAKTI, 1997, cet. Ke-I, h. 148 21 http://indonesia.irib.ir/politk/2005/desember05/oki.htm, diakses pada tanggal 18 Maret 20011. 84 “Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa rasulullah mengirim pasukan berkuda kea rah Najed, lalu mereka menangkap seorang laki-laki dari bani Hanifah yang bernama Tsumamah bin Utsal, pemimpin orang Yamamah. Mereka mengikat Tsumamah bin Utsal di salah satu tiang masjid, lalu Rasulullah keluar mendekatinya, kemudian beliau bertanya kepada Tsumamah, “Apa yang kau miliki hai Tsumamah?” Dia menjawab, “Hai Muhammad! Saya memiliki kebaikan. Jika kau membunuh saya, maka berarti kau membunuh orang yang terhormat. Jika kau membebaskan saya, berarti kau membebaskan orang yang akan membalas budi. Jika kau menginginkan harta sebagai tebusan, maka mintalah sesukamu pasti kau akan diberi”. Rasulullah meninggalkan Tsumamah sampai esoknya lagi, lalu Rasulullah bertanya lagi, “Apa yang kau miliki hai Tsumamah?” Dia menjawab, “Saya memiliki apa yang telah saya katakan kepadamu. Jika kau membebaskan saya, berarti kau membebaskan orang yang membalas budi. Jika kau membunuh saya, maka kau membunuh orang yang terhormat. Jika kau menginginkan harta sebagai tebusan, maka mintalah kehendakmu, pasti kau akan diberi”. Lalu Rasulullah meninggalkan Tsumamah sampai esok harinya. Kemudian Rasulullah bertanya lagi, “Apa yang kau miliki hai Tsumamah?” Dia menjawab, “Saya memiliki apa yang telah saya katakan kepadamu. Jika kau membebaskan saya, berarti kau akan membebaskan orang yang membalas budi. Jika kau membunuh saya, berarti kamu membunuh orang yang terhormat. Jika kau menginginkan harta sebagai tebusan, pasti kau akan diberi”. Maka, Rasulullah bersabda, “Bebaskanlah Tsumamah!” Setelah itu Tsumamah pergi ke dekat pohon kurma di dekat masjid, lalu mandi, kemudian masuk ke masjid dan mengucapkan, “Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Hai Muhammad! Demi Allah! Semula di atas bumi tidak ada wajah yang lebih saya benci daripada wajahmu, tapi sekarang wajahmu paling saya cintai. Demi Allah! Dia atas bumi ini tadinya tidak ada agama yang paling saya benci daripada agamu, tapi sekarang agamamulah yang paling saya senangi. Demi Allah! Semula tidak ada negeri yang lebih saya benci daripada negerimu, tapi sekarang negerimulah yang paling saya cintai. Sungguh pasukanmu yang berkuda menangkap saya ketika saya hendak berumrah. Bagaimana menurutmu?” Maka, Rasulullah manghiburnya dan menyuruhnya berumrah. Setelah Tsumamah tiba di Mekkah, ada seseorang bertanya, “Apakah kamu pindah agama?” Tsumamah menjawab, “Tidak, tapi saya masuk Islam menyertai Rasulullah. Demi Allah! Tidak ada sampai kepada kalian sebutir gandum pun dari Yamamah kecuali setelah diizinkan oleh Rasulullah.”” (Muslim 32:19) 85 Dalam hadits ini diceritakan bahwa Nabi Muhammad menahan seorang lelaki dari Bani Hanifah yang bernama Tsumamah ibn Utsal, mengikatnya pada salah satu tiang masjid. Nabi memberi pertanyaan sebanyak 3 kali dan dijawab pula dengan jawaban yang sama setiap pertanyaan tersebut terlontar. Dan Rasulullah memerintahkan untuk melepas ikatan Tsumamah. Kemudian Tsumamah pergi untuk mandi dan kembali lagi ke masjid lalu mengucapkan kalimat syahadat dan Nabi memerintahkannya untuk umrah. Ia pun bersumpah dengan tidak akan kembali kepada agama yang dulu dan tidak akan mengirim barang sebutir gandum ke Mekkah tanpa seizin Rasulullah. Hadits ini memberikan pengertian dan pencerminan, bahwa kita boleh menahan tawanan dan memenjarakannya dan kita juga boleh membebaskannya tanpa ada tebusan.22 22 Ash-Shiddieqy, Hadist, h. 235 BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan Dari pembahasan dan uraian di bab -bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kejahatan perang adalah segala pelanggaran terhadap hukum -hukum perang atau hukum humaniter internasional yang mendatangkan tanggung jawab kriminal individu. Kejahatan perang merupakan pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan hukum, termasuk pembunuhan, perlakuan buruk terhadap tawanan dan penduduk sipil, perampasan barang-barang publik atau harta milik pribadi, dan perusakan bangunan-bangunan tanpa alasan. Dan pelaku kejahatan perang dimungkinkan untuk dituntut dan dipidana di forum mahkamah militer nasional maupun mahkamah kejahatan internasional. Dalam Islam tidak menghendaki adanya tindakan sewenang -wenang baik terhadap musuh maupun terhadap tawanan perang dari pihak musuh. Dalam Islam, dalam ketentuan-ketentuan syariah, melindungi dan menjunjung tinggi darah dan nyawa manusia. Karena perang dalam Islam bertujuan bukan untuk mencapai kemenangan atau merampas harta kekayaan musuh melainkan untuk memerangi orang-orang musyrik yang melakukan penyerangan terhadap umat Islam terlebih 86 87 dahulu. Setiap perang perlu ada pengaturan atau etika dalam berperang, agar terhindar dari perbuatan-perbuatan yang dilarang agama, seperti: 1. Sengaja membunuh wanita, anak -anak, orang yang sudah tua, dan penduduk lainnya yang tidak ikut serta dalam perang. 2. Sengaja merusak tanaman dan pohon -pohon, binatang ternak, dan bangunan-bangunan seperti rumah-rumah ibadah. Dalam Konvensi PBB juga menetapkan perbuatan -perbuatan yang dilarang dilakukan dalam keadaan berperang yaitu pembunuhan yang disengaja ; penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi (termasuk eksperimen medis); dengan sengaja menyebabkan penderitaan berat atau luka serius pada tubuh atau kesehatan, memaksa tahanan perang atau orang sipil untuk masuk angkatan bersenjata dari penguasa musuh, dengan sengaja menghilangkan hak tawanan perang atau warga sipil yang dilindungi untuk mendapat pengadilan regular yang adil, deportasi atau pemindahan penduduk sipil yang tidak berdasark an hukum, penahanan penduduk sipil yang dilindungi tanpa ada dasar hukum dan menyandera. B. Saran-saran 1. Negara wajib untuk mencari dan menangkap pelaku kejahatan perang agar pelaku kejahatan perang dapat diminta pertanggungjawaban oleh hukum, guna menghindari kejahatan-kejahatan serupa terulang lagi di masa yang akan datang. 88 2. Peraturan yang dibuat oleh Hukum Internasional maupun Hukum Islam dapat membuat pihak yang berperang menaati peraturan untuk melindungi keselamatan tawanan perang dan penduduk sipil yang tidak ikut berperang. DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an al-Kariem Abdillah, Masykuri, Demokrasi Di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966 -1996), Yoogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999. Aidid, Hasyim, Konsep Islam tentang Hukum Humaniter I nternasional, Makasar: November 2001. Amin, L. Widodo, Fiqih Siasah dalam Hubungan Internasional , Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994. Ash Shiddieqy, T. Muhammad Hasbi, Islam dan Hak Asasi Manusia , Semarang: PT. Rizki Putra, 1999. ---------, 2002 Mutiara Hadist, Jakarta: Bulan Bintang, 1979 Asplund, Knut D., Suparman Marzuki, Eko Riyadi, (Editor), Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008 . Assiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara Darurat , Jakarta: Rajawali Press, 2007 . Azzam, Abdullah, Perang Jihad Di Jaman Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 1992. Djazuli, H. A., Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu Rambu Syariah, Jakarta: Kencana, 2003. 89 90 Faqih, Maryadi, MH, SH., et. al., Perang sebagai Pelanggaran HAM , Surabaya: Lembaga Penerbitan Fak. Hukum Universitas Islam Malang, 2003, cet. I . Gauhar, Altaf, Tantangan Islam, Alih Bahasa: Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka, 1982. Gutman, Roy, David Reff. (Editor), Kejahatan Perang Yang Harus Diketahui Publik , Program Pelatihan Jurnalistik Televi si, 2004. Harcahyono, Cheppy, Ilmu Politik dan Perspektifnya , Yogyakarta: Tiara Kencana, 1996. Haryomataram, KGPH, SH., Pengantar Hukum Humaniter , Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007. Ikhwan, Hak Asasi Manusia dalam Islam , Jakarta: Logos, 2004. Iqbal, Afzal, Diplomasi Islam, Alih Bahasa: Samson Rahman, Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2000, cet.I. Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah: Kontekstual Doktrin Politik Islam , Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007. Kamil, Syukron, (Editor)., Syariah dan HAM: Dampak Perda Syar iah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim, Jakarta, Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. Khadduri, Majid, War and Peace in the law of Islam , Yogyakarta: Tarawang Press, 2002, cet. I. 91 Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (Penyunting/Editor), Hukum Hak Asasi Manusia/Rhona K. M. Smith, at.al. ---Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008. Kuper, Adam, Jessica Kuper, Ensiklopedia Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta: Rajawali Pers, 2000. Kusumaatmadja, Mochtar, Konvensi-Konvensi Palang Merah Tahun 1949 Mengenai Perlindungan Korban Perang , Bandung: Binacita, 1986. Nasution, Debby M., Kedudukan Militer Dalam Islam Dan Peranannya Pada Masa Rasulullah saw., Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002 . Mahmud, Abdul Ghani A. Hamid, Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Dalam Perspektif Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam , t.t., Komite Internasional Palang Merah: ICRC Delegasi Regional Indonesia, 2008 . Mahmud, Ali Abdul Halim, Rukun Jihad, Jakarta: Al’ithisom Cahaya Umat. Pusat Studi Hukum Humaniter, Hukum Humaniter Suatu Perspektif , Jakarta: PSH USAKTI, 1997. Putra, Dalizar, Hak Asasi Manusia menurut Al -Quran, Jakarta: PT. Husna Zikra, 1995. Rahman, Afzalur, Nabi Muhammad sebagai Seorang Pemimpin Militer , Jakarta: Amzah, 2002. Rusman, Rina, Hukum Kejahatan Perang dan Posisinya dalam Hukum Nasional , Jakarta: News Letter ICRC, Edisi 01 (Maret, 2004) . Rover, C. de, To Serve and protek, International Committee of the Red Cross, 1988 . 92 Rozak, Abdul, (Editor)., Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani , Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005 . Shiddiq, Mahfudz, Hak Asasi Manusia, http://angelfire.com, di akses pada tanggal 20 Maret 2011. Soekamto, Soedjono D., Kriminologi Suatu Pengantar , Bandung : Ghalia Indonesia, 1986. Suhartono. (Editor)., Kejahatan Terhadap Kemanusiaan: Perjuangan umtuk Mewujudkan Keadilan Global , Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2002. Suryadi, Radjab, Dasar-Dasar Hak Asasi Manusia, Jakarta: Lembaga Penerbitan PBHI, 2002. Widodo, L. Amin, Fiqih Siasah Dalam Hubungan Internasional , Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994. Zayyid bin Abdel Karim al -Zayyid, Prof. Dr., Pengantar Hukum Humaniter Internasional dalam Islam , Jakarta: ICRC Delegasi Regional Indonesia, 2008. INTERNET http://adakabarapa.wordpress.com http://id.wikipedia.org/wiki/Kejahatan_perang http://indonesia.irib.ir/politik 93 http://www.cmm.or.id/cmm -ind_more.php?id=A3260_0_3_0_M http://psktii-ui.com http://www.pesantrenvirtual.com/983:tawanan -dalam-persepsi-islam SUMBER LAIN Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Jakarta: Balai Pustaka, 1989 Jurnal Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia, Hukum Huma niter Internasional dan Hak Asasi Manusia; Lembar Fakta No.13 Komisi Nasional Perempuan, Hukum Pidana Internasional dan Perempuan; Sebuah Resource Book Untuk Praktisi Konveksi Den Haag IV 1907 Mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang Di Darat Konvensi Jenewa I Konvensi Jenewa III Tahun 1949 Konvensi Tentang Tidak Dapat Ditetapkannya Pembatasan Statuta pada Kejahatan Perang dan Kejahatan Kemanusiaan Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional, Jakarta: Elsam, 2000