BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KERANGKA TEORI 1. Tinjauan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KERANGKA TEORI
1. Tinjauan Tentang Keuangan Negara
a. Pengertian Keuangan Negara
Secara konsepsional, sebenarnya definisi keuangan negara
bersifat plastis dan tergantung pada sudut pandang, sehingga apabila kita
berbicara mengenai makna dari keuangan negara dari sudut pemerintah,
maka yang dimaksud keuangan negara adalah membicarakan perihal
APBN. Sementara itu, maksud keuangan negara apabila dilihat dari sudut
pemerintah daerah, yang dimaksud dengan keuangan daerah adalah
membicarakan perihal APBD. Demikian juga dengan BUMN yang terbagi
atas dua bentuk perusahaan yaitu perusahaan umum (perum) dan perseroan
terbatas (PT). Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa
berdasarkan konsepsi dari keuangan negara, definisi keuangan negara
adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan APBN, APBD, keuangan
negara pada semua BUMN (Adrian Sutedi, 2010: 16).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, yang
dimaksud dengan keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban
negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa
uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut (Pasal 1 angka 1).
Pengertian tersebut secara historis konseptual sebenarnya mengikuti
rumusan pengertian keuangan negara yang pernah dihasilkan dalam
seminar Indische Comptabilities Wet (ICW) tanggal 30 Agustus-5
September 1970 di Jakarta yang sebelumnya dalam teori hukum keuangan
negara pernah pula dikemukakan pula oleh Van der Kemp (Riawan
Tjandra, 2014: 9).
Definisi keuangan negara yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 diderivasi dari teori negara kesejahteraan (Welfare
13
14
State) yang secara eksplisit dianut dalam UUD NRI Tahun 1945, sejak dari
pembukaan hingga pasal-pasalnya. Pembentuk UUD NRI Tahun 1945
yang diwarnai pemikiran negara kesejahteraan (Welfare State) mencitacitakan pembentukan suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan mampu memajukan kesejahteraan umum
dan seterusnya (Riawan Tjandra, 2014: 9). Selain itu, pengertian keuangan
negara memiliki substansi yang dapat ditinjau dalam arti luas maupun
dalam arti sempit. Keuangan negara dalam arti luas mencakup:
1) APBN
2) APBD
3) Keuangan negara pada BUMN/BUMD
Sementara itu, keuangan negara dalam arti sempit hanya mencakup
keuangan negara yang dikelola oleh tiap-tiap badan hukum dan
dipertanggungjawabkan masing-masing (Muhammad Djafar Saidi, 2008:
3).
Pendekatan yang dipakai dalam merumuskan keuangan negara
dapat dilihat dari sisi objek, subjek, proses dan tujuan dijelaskan sebagai
berikut. Pengertian keuangan negara dilihat dari sudut pandang:
1) Objek: semua hak, kewajiban, negara yang dapat dinilai dengan
uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal,
moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
Selain itu juga segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa
barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
2) Subjek: keuangan negara meliputi negara, dan/atau Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan
badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.
3) Proses: seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan
pengelolaan objek tersebut di atas mulai dari perumusan
kebijakan
dan
pengambilan
pertanggungjawaban.
keputusan
sampai
dengan
15
4) Tujuan: seluruh kebijakan, kegiatan, dan hubungan hukum yang
berkaitan
dengan
pemilikan
dan/atau
penguasaan
objek
sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan
pemerintah negara.
Menurut
pendapat
Soepomo
(https://korup5170.wordpress.com/
opiniartikel-pakar-hukum/pemahaman-keuangan-negara/, diakses tanggal
18 November 2015 Pukul 11.:52):
“Keuangan negara itu adalah dalam pengertian keuangan negara dalam arti
luas, yakni termasuk di dalamnya keuangan yang berada dalam APBN,
APBD, BUMN atau BUMD dan pada hakikatnya seluruh kekayaan negara
merupakan objek pemeriksaan dan pengawasan. Di dalam penafsiran
inilah yang tampak paling esensial dan dinamis dalam menjawab berbagai
perkembangan yang ada di dalam masyarakat. Bagaimanapun, penafsiran
demikan akan sejalan dengan perkembangan masyarakat dewasa ini yang
menuntut adanya kecepatan tindakan dan kebijakan, khususnya
pemerintah, baik yang berdasarkan atas hukum (rechtshandaling) maupun
yang berdasarkan atas fakta (feitelijke handeling)”.
Menurut pendapat Arifin Soeria Atmadja yang dikutip dalam
buku Ronny Sautma Hotma Bako, bahwa pada dasarnya hukum keuangan
negara harus diletakkan pada konsep pertanggungjawaban pengguna
keuangan negara yang membawa implikasi yuridis yang cukup signifikan
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia (Ronny Sautma Hotma Bako,
2013: 8).
b. Landasan Hukum Keuangan Negara
Landasan hukum keuangan negara terdapat dalam Pembukaan
UUD NRI Tahun 1945 yang memiliki arti sebagai pandangan hidup
bangsa Indonesia. Pandangan hidup tersebut berimplikasi pada adanya
keuangan negara dalam rangka pencapaian tujuan negara. Tujuan negara
adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dam keadilan sosial. Selain
dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, terdapat juga pasal-pasal UUD
16
NRI Tahun 1945 yang berkaitan dengan keuangan negara. (Muhammad
Djafar Saidi, 2008: 8-10).
Pengaturan keuangan negara menurut pendapat Adrian Sutedi
bahwa dalam UUD NRI Tahun 1945 dengan sangat singkat diatur dalam
satu pasal, yaitu Pasal 23 Bab VIII tentang hal keuangan dimana yang
menjadi titik awal pengaturan hukum keuangan negara di Indonesia.
Pengaturan keuangan negara yang singkat dalam UUD NRI Tahun 1945
membawa masalah yuridis terhadap definisi keuangan negara, sehingga
membuka penafsiran yang berbeda-beda terhadap definisi tersebut (Adrian
Sutedi, 2010: 16).
Selain itu di dalam bukunya Rony Sautma Hotma Bako (Ronny
Sautma Hotma Bako, 2013: 7-8) menjelaskan bahwa sebagai amanat dari
Pasal 23 C Bab VIII UUD NRI Tahun 1945, “Keuangan negara harus
diatur dalam undang-undang terkait dengan pengelolaan hak dan
kewajiban negara”. Atas amanat ini kemudian dituangkan dalam bentuk
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Berangkat dari landasan konstitusional itulah berbagai upaya dilakukan
untuk dapat menghadirkan Undang-Undang Keuangan Negara yang mulai
diundangkan keberlakuannya pada tanggal 5 April 2003. Undang-Undang
ini mencabut beberapa ketentuan sebelumnya sepanjang yang diatur, yaitu
Indische Comptabiliteitswet yang selanjutnya disebut dengan ICW Stbl.
1925 No. 448 sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan UU
Nomor 9 Tahun 1968 tentang Perbendaharaan Negara, Indische
Bedrijvenswet yang selanjutnya dengan IBW Stb. 1927 Nomor 419 jo.
Stbl. 1993 Nomor 381 (Alfin Sulaiman, 2011: 37).
Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam
penyelenggaraan
negara,
pengelolaan
keuangan
negara
perlu
diselenggarakan secara professional, terbuka, dan bertanggungjawab
sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD NRI Tahun
1945. Sesuai dengan amant Pasal 23 C UUD NRI Tahun 1945, UndangUndang Keuangan Negara perlu menjabarkan aturan pokok yang telah
17
ditetapkan dalam UUD tersebut ke dalam asas-asas umum yang meliputi
baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan
negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas
spesialitas maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best practice
(penerapan kaidah-kaidah yang baik). Terdapat empat prinsip dasar
pengelolaan keuangan negara, yaitu sebagai berikut :
1) Akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja;
2) Keterbukaan dalam setiap transaksi pemerintah;
3) Pemberdayaan manajer professional; dan
4) Adanya lembaga pemeriksa eksternal yang kuat, professional dan
mandiri
serta
dihindarinya
duplikasi
dalam
pelaksanaan
pemeriksaan.
Selain itu, pengelolaan keuangan negara tertuang dalam paket
Undang-Undang Keuangan Negara, yaitu:
1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara
2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara
3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara
c. Ruang Lingkup Keuangan Negara
Ruang lingkup dari keuangan negara diatur dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 yaitu:
1) Hak
negara
untuk
memungut
pajak,
mengeluarkan
dan
mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
2) Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintah negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
3) Penerimaan negara;
4) Pengeluaran negara;
5) Penerimaan daerah;
6) Pengeluaran daerah;
18
7) Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh
pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hakhak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;
8) Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintah dan/atau kepentingan umum;
9) Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas
yang diberikan pemerintah.
Kemudian, ruang lingkup keuangan negara tersebut di atas
dikelompokkan ke dalam tiga bidang pengelolaan yang bertujuan untuk
memberi pengklasifikasian terhadap pengelolaan keuangan negara.
Adapun pengelompokan pengelolaan keuangan negara menurut UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara adalah:
1) Bidang pengelolaan fiskal
2) Bidang pengelolaan moneter
3) Bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan
Sub bidang fiskal dan sub bidang moneter merupakan kelompok keuangan
negara dalam hal negara sebagai pemilik otoritas dalam pembentukan
kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk sepenuhnya kemakmuran
rakyat. Adapun sub bidang kekayaan negara yang dipisahkan merupakan
lingkup keuangan negara dalam hal negara sebagai individu/private yang
dalam setiap tindakannya ditujukan untuk penyediaan layanan publik.
Definisi dan ruang lingkup keuangan negara yang dirumuskan
secara luas tersebut dimaksudkan untuk mencegah adanya loopholes dalam
regulasi yang bisa berimplikasi terhadap terjadinya kerugian negara dalam
hal pengelolaan keuangan negara. Keuangan negara yang dimaksud adalah
seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang
tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan
segala hak dan kewajiban yang timbul karena (Riawan Tjandra, 2014: 12):
19
1) Berada
dalam
penguasaan,
pengurusan,
dan
pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat
maupun di daerah;
2) Berada
dalam
penguasaan,
pengurusan,
dan
pertanggungjawaban BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum,
dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau
perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan
perjanjian dengan negara.
2. Tinjauan Tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
a. Pengertian Badan Usaha Milik Negara
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
BUMN yang selanjutnya disebut dengan UU BUMN menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau
sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara
langsung yang berasal dari kekayaan negara. Selanjutnya di dalam Pasal 1
angka 2, yang dimaksud dengan perusahaan perseroan atau yang disebut
persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas modalnya
terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu
persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan
utamanya mengejar keuntungan.
Undang-Undang mengenai BUMN juga menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan
negara yang berasal dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara
pada persero dan/atau perum serta perseroan terbatas lainnya. Yang
dimaksud dengan “dipisahkan” adalah pemisahan kekayaan negara dari
APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk
selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada
sistem APBN, namum pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada
prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.
20
Penjelasan dari Pasal 4 UU BUMN itu mempertegas bahwa
modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang pisahkan. Sedangkan
sesuai dengan Pasal 2 huruf g Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara mengenai ruang lingkup keuangan negara disebutkan
bahwa keuangan negara adalah kekayaan negara atau kekayaan daerah
yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang,
barang serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk
kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah.
Sedangkan kedudukan negara dalam BUMN yang merupakan pemilik
saham, baik seluruhnya maupun sebagian, adalah sebagai badan hukum
perdata biasa.
Menurut pendapat Ari Mulianta Ginting (Ari Mulianta Ginting,
2013: 63), dalam konsep hukum dari sudut kewenangan yang dimilikinya,
badan hukum ada dua, yaitu:
1)
Badan
hukum
publik
yang
mempunyai
kewenangan
mengeluarkan kebijakan publik, baik yang mengikat umum
(contoh, undang-undang perpajakan) maupun yang tidak
(undang-undang APBN);
2)
Badan hukum perdata yang tidak memiliki kewenangan
mengeluarkan kebijakan publik yang mengikat masyarakat
umum.
Dalam menjalankan kegiatan usaha, kadangkala BUMN diberikan
kekuasaan usaha awal yang tidak diminati swasta dengan maksud menarik
investasi, sehingga lambat laun menjadi perusahaan yang lebih kompetitif.
Dengan demikian, harus diakui BUMN seringkali tidak diarahkan tetapi
lebih menjamin kontinuitas peranan ekonomi yang ditunjukkan negara
untuk pelayanan kebutuhan publik. Akan tetapi dalam era kompetinsi
global dewasa ini, BUMN secara integral diarahkan tidak hanya menjadi
aktor usaha ekonomi yang melayani akan tetapi sekaligus mencari laba.
Jadi disini BUMN memiliki peran yang penting dalam pembangunan
21
negara karena negara selalu memperoleh pembagian keuntungan atau
deviden dari BUMN setiap tahunnya (Dian P Simatupang, 2011: 236).
Menurut pendapat Sheila B. Kamerman dan Alfred J. Khan yang
dikutip dari buku Ari Mulianta Ginting, bahwa menurut UU BUMN
menyatakan bahwa salah satu tujuan dari BUMN adalah untuk mengejar
keuntungan. Akan tetapi tetapi makna dari mengejar keuntungan pada
dasarnya membuat BUMN tidak hanya sebagai badan usaha yang hanya
menjalankan misi sosial pemerintah. Namun, BUMN secara tidak
langsung memiliki ikatan sebagai patner pemerintah dalam menjalankan
program ekonomi yang bersifat mengejar keuntungan untuk menambah
dividen negara (Ari Mulianta Ginting, 2013: 64).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa berdasarkan pada definisi
yuridis mengenai BUMN menurut pendapat Ridwan Khairandy (Ridwan
Khairandy, 2009:11) sebagaimana juga terdapat di dalam UU BUMN
maka terdapat beberapa kriteria bagi suatu perusahaan agar dapat disebut
sebagai BUMN, yakni:
1) Merupakan badan usaha atau perusahaan;
2) Memiliki modal yang seluruhnya atau sebagian besar dimiliki
oleh negara. Kepemilikan modal minimum oleh negara harus
sebesar 51%;
3) Negara melakukan penyertaan langsung ke dalam permodalan
BUMN tersebut;
4) Penyertaan oleh negara berasal dari kekayaan negara yang
dipisahkan.
b. Tujuan Pendirian BUMN
Ada 5 tujuan pendirian BUMN yang diatur dalam Pasal 2 UU
BUMN, yaitu sebagai berikut:
1) Memberikan
sumbangan
bagi
perkembangan
perekonomian
nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya.
BUMN diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan pada
masyarakat sekaligus memberikan kontribusi dalam meningkatkan
22
pertumbuhan ekonomi nasional dan membantu penerimaan
keuangan negara.
2) Mengejar keuntungan. Meskipun maksud dan tujuan persero adalah
mengejar keuntungan, namun dalam hal-hal tertentu untuk
melakukan pelayanan umum., persero dapat diberikan tugas khusus
dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan yang sehat.
Dengan demikian, penugasan pemerintah harus disertai dengan
pembiayaannya (kompensasi) berdasarkan perhitungan bisnis atau
komersial, sedangkan untuk perum yang tujuannya menyediakan
barang dan jasa untuk kepentingan umum, dalam pelaksanaannya
harus memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang
sehat.
3) Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang
dan jasa yang bermutu tinggi serta memadai bagi pemenuhan hajat
hidup orang banyak. Dengan maksud dan tujuan seperti ini, setiap
hasil usaha dari BUMN, baik barang maupun jasa, dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat.
4) Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat
dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi. Kegiatan perintisan
merupakan suatu kegiatan usaha untuk menyediakan barang dan
jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat, namun kegiatan tersebut
belum dapat dilakukan oleh swasta dan koperasi karena secara
komersial tidak menguntungkan. Oleh karena itu, tugas tersebut
dapat dilakukan melalui penugasan kepada BUMN. Dalam hal
adanya kebutuhan masyarakat luas yang mendesak, pemerintah
dapat pula menugasi suatu BUMN yang mempunyai fungsi
pelayanan kemanfaatan umum untuk melaksanakan program
kemitraan dengan pengusaha golongan ekonomi lemah.
5) Turut aktif memberikan bimibingan dan bantuan kepada pengusaha
golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
23
c. Modal BUMN
BUMN dalam menjalankan kegiatan usahanya mendapatkan
modal yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan (Pasal 4 ayat (1)
UU BUMN). Yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan
kekayaan dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada
BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi
didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan pengelolaannya
didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Pemisahan itu
sesuai dengan kedudukannya sebagai badan hukum, yang harus
mempunyai kekayaan sendiri terlepas daripada kekayaan umum negara
dan dengan demikian, dapat dikelola terlepas dari pengaruh APBN.
Pemisahan kekayaan negara untuk dijadikan penyertaan modal
negara ke dalam modal BUMN hanya dapat dilakukan dengan cara
penyertaan langsung negara ke dalam BUMN tersebut, sehingga setiap
penyertaan tersebut perlu ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Demikian juga setiap dilakukan perubahan penyertaan modal negara, baik
berupa penambahan maupun pengurangan, termasuk perubahan struktur
kepemilikan negara atas saham persero atau perseroan terbatas, ditetapkan
dengan peraturan pemerintah. Hal ini dilakukan dengan tujuan
mempermudah memonitor dan penatausahaan kekayaan negara yang
tertanam pada BUMN dan perseroan terbatas. Namun demikian, bagi
penambahan penyertaan modal negara yang berasal dari kapitalisasi
cadangan dan sumber lainnya tidak perlu ditetapkan dengan peraturan
pemerintah, melainkan cukup melalui keputusan Rapat Umum Pemegang
Saham selanjutnya disebut RUPS bagi perusahaan perseroan (persero)
dilaporakan kepada Menteri Keuangan (Mulhadi, 2010: 165).
3. Tinjauan Tentang Penyertaan Modal
a. Pengertian Penyertaan Modal
“Secara umum penyertaan modal adalah suatu usaha untuk
memiliki perusahaan yang baru atau yang sudah berjalan dengan
24
melakukan setoran modal ke perusahaan tersebut” (Yanuar Syaripulloh,
2012: 143). Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah
Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah yang dimaksud dengan
penyertaan modal adalah bentuk investasi pemerintah pada badan usaha
dengan mendapat hak kepemilikan, termasuk pendirian perseroan terbatas
dan/atau pengambilalihan perseroan terbatas.
Pasal 1 angka 7 Peraturan Pemerinta Nomor 44 Tahun 2005
tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada
Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas dijelaskan mengenai
pengertian dari penyertaan modal negara. Penyertaan modal negara adalah
pemisahan kekayaan negara dari APBN atau penetapan cadangan
perusahaan atau sumber lain untuk dijadikan sebagai modal BUMN
dan/atau perseroan terbatas lainnya, dan dikelola secara korporasi.
Selanjutnya pengertian penyertaan modal pemerintah pusat/daerah
berdasarkan Pasal 1 angka 19 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006
tentang Pengelolaan Barang Milik Negara atau Daerah adalah pengalihan
kepemilikan barang milik negara/daerah yang semula merupakan
kekayaan yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan yang dipisahkan untuk
diperhitungkan sebagai modal/saham negara atau daerah pada BUMN,
BUMD atau badan hukum lainnya yang dimiliki negara.
Secara substansi penyertaan modal negara sama dengan
penyertaan modal pemerintah. Istilah penyertaan modal negara yang
terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata
Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha
Milik Negara dan Perseroan Terbatas, sedangkan istilah penyertaan modal
pemerintah/daerah terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2006 tentang Barang Milik Negara/Daerah. Dalam undang-undang tidak
ada pengertian khusus mengenai penyertaan modal negara/pemerintah dan
hanya terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 saja (Yanuar Syaripulloh,
25
2012: 628). Hanya di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara penyebutannya hanya penyertaan modal saja.
b. Landasan Hukum Penyertaan Modal
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara Pasal 3 ayat (7) dan (8) menyatakan surplus penerimaan
negara/daerah
dapat
digunakan
untuk
membiayai
pengeluaran
negara/daerah tahun anggaran berikutnya dan penggunaan surplus
penerimaan
negara/daerah
membentuk
dana
sebagaimana
cadangan
atau
dimaksud
penyertaan
adalah
pada
untuk
perusahaan
negara/daerah yang harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari
DPR/DPRD. Dalam hubungan antara pemerintah dan perusahaan negara,
perusahaan daerah, perusahaan swasta, dan badan pengelola dana
masyarakat
ditetapkan
bahwa
pemerintah
dapat
memberikan
pinjaman/hibah/penyertaan modal kepada dan menerima pinjaman/hibah
dari perusahaan negara/daerah setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD.
Pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/penyertaan modal kepada
dan menerima pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah (Pasal 24
ayat (1)).
Pemberian pinjaman/hibah/penyertaan modal dan penerimaan
pinjaman/hibah sebagaimana dimaksud diatas terlebih dahulu ditetapkan
dalam APBN/APBD (Pasal 24 ayat (2)). Disamping itu, dalam keadaan
tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, pemerintah pusat
dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan modal
kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR (Pasal 24
ayat (7)). Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas yang selanjutnya disebut dengan UUPT juga menjelaskan, dalam
hal pendiri adalah badan hukum negara atau daerah, diperlukan peraturan
pemerintah tentang penyertaan dalam perseroan atau peraturan daerah
tentang penyertaan daerah dalam perseroan (Penjelasan Pasal 8 ayat (2)
huruf a).
26
Pemerintah daerah dapat melakukan penyertaan modal pada suatu
badan usaha milik pemerintah dan/atau milik swasta. Penyertaan modal
tersebut dapat ditambah, dikurangi, dijual kepada pihak lain, dan/atau
dapat dialihkan kepada badan usaha milik daerah. Pemerintah daerah dapat
memiliki
BUMD
yang
pembentukan,
penggabungan,
pelepasan
kepemilikan, dan/atau pembubarannya ditetapkan dengan peraturan daerah
yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
c. Ruang Lingkup Penyertaan Modal
Tujuan penyertaan modal negara/daerah kepada BUMN/BUMD
menurut AA Oka Mahendra yang dikutip dalam jurnalnya Yanuar
Syaripulloh (Yanuar Syaripulloh, 2012: 629) adalah untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi yang adil dan berkesinambungan dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan umum. Sehubungan dengan itu, penyertaan
modal negara diberikan kepada BUMN/BUMD yang dalam jangka
panjang dapat:
1)
Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian
nasional pada umumnya dan penerimaan negara/daerah pada
khususnya;
2)
Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan
barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi bagi pemenuhan hajat
hidup orang banyak;
3)
Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat
dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi;
4)
Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada
pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
Adapun di dalam Pasal 5 PP Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata
Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha
Milik Negara dan Perseroan Terbatas menjelaskan bahwa dalam
pelaksanaan penyertaan modal, negara/daerah dapat melakukan penyertaan
modal untuk:
1) Pendirian BUMN/Perseroan Terbatas
27
2) Penyertaan modal negara pada perseroan terbatas yang di
dalamnya belum terdapat saham milik negara, yang dilakukan
dalam keadaan tertentu untuk menyelamatkan perekonomian
nasional; dan
3) Penyertaan modal negara pada BUMN atau perseroan terbatas
yang di dalamnya telah terdapat saham milik negara, dalam
rangka (Pasal 7 PP Nomor 44 Tahun 2005):
a.
Memperbaiki
struktur
permodalan
BUMN/Perseroan
Terbatas;
b.
Meningkatkan kapasitas usaha BUMN/ Perseroan Terbatas.
Penyertaan modal negara tersebut dilakukan dengan memperhatikan
kemampuan keuangan negara.
d. Bentuk-Bentuk Penyertaan Modal
Bentuk dari penyertaan modal negara adalah (Sekjen DPR RI,
2013: 9):
1) Tunai
Pemerintah memberikan sejumlah uang pada BUMN
2) Konversi Piutang Pemerintah
Pemerintah mengkonversi utang BUMN kepada pemerintah
menjadi penyertaan modal negara.
3) Hibah Saham/Asset dari pihak lain
Pemerintah mendapat hibah saham/asset dari pihak lain untuk
mendirikan
BUMN
baru
atau
perpindahan
kepemilikan
perusahaan dari pihak ketiga menjadi milik pemerintah.
4. Tinjauan Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyertaan Modal
a. Pengertian Tata Cara Pelaksanaan Penyertaan Modal
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan Dan Penatausahaan Modal
Negara Pada BUMN dan Perseroan Terbatas menjelaskan bahwa, dalam
pembukaan UUD NRI Tahun 1945, ditegaskan bahwa salah satu tujuan
28
yang harus diwujudkan oleh negara adalah meningkatkan kesejahteraan
umum. Dalam upaya mewujudkan tujuan tersebut, maka pemerintah
berkewajiban untuk menciptakan perkembangan perekonomian negara
antara lain dengan cara menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu
tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. Kewajiban
tersebut dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah, baik melalui instansi
pemerintah maupun badan usaha yang dibentuk oleh pemerintah, dan
dapat pula dilakukan oleh masyarakat. Untuk mewujudkan kesejahteraan
umum melalui badan usaha, maka pemerintah melakukan penyertaan
modal
negara
untuk
BUMN.
Selanjutnya
untuk
menyelamatkan
perekonomian nasional, pemerintah dapat pula melakukan penyertaan
modal negara ke dalam perseroan terbatas yang di dalamnya belum
terdapat saham milik negara. Penyertaan modal negara seperti ini
dilakukan oleh pemerintah dengan mengelurkan dana dari APBN.
Usaha untuk memperbaiki struktur permodalan dan meningkatkan
kapasitas usaha BUMN dan perseroan terbatas, pemerintah dapat pula
melakukan penambahan penyertaan modal negara ke dalam BUMN dan
perseroan terbatas tersebut yang dananya dapat berasal dari APBN,
konversi cadangan perusahaan dan sumber lainnya, seperti keuntungan
revaluasi asset dan agio saham. Disamping negara dapat melakukan
penambahan penyertaan modal, negara juga dapat melakukan pengurangan
penyertaan modal pada BUMN dan perseroan terbatas antara lain dengan
melakukan penjualan saham milik negara pada persero dan perseroan
terbatas.
Sebagai rangka upaya untuk mewujudkan tertib administrasi dan
tertib hukum dalam setiap penyertaan modal negara pada BUMN dan
perseroan terbatas berikut segala perubahannya, maka perlu melakukan
penatusahaan untuk mengetahui posisi modal negara pada BUMN dan
perseroan terbatas. Mengingat modal negara pada BUMN dan perseroan
terbatas merupakan bagian dari kekayaan negara yang dikenal sebagai
kekayaan negara yang dipisahkan, maka penatausahaannya dilakukan oleh
29
Menteri Keuangan selaku menteri yang mempunyai kewenangan
melakukan penatausahaan kekayaan negara sesuai dengan peraturan
perundang-undangan (PP Nomor 44 Tahun 2005).
b. Sumber Dana
Pasal 2 PP Nomor 44 Tahun 2005 menjelaskan bahwa penyertaan
modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN
bersumber dari:
1) APBN;
a)
Dana Segar yaitu dana yang secara langsung ditetapkan
dengan APBN
b)
Proyek-Proyek yang dibiayai dari APBN
Termasuk dalam pengertian ini adalah proyek yang dikelola
oleh BUMN maupun instansi pemerintah. Penetapan
proyek tersebut menjadi penyertaan modal negara harus
dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan BUMN dan
hasil kajian, yang nilainya ditetapkan oleh Menteri
Keuangan berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan
oleh Menteri Keuangan. Menteri dan Menteri Teknis yang
bersangkutan dalam rangka perhitungan atas nilai asset eks
proyek tersebut. Menteri Keuangan dapat menunjuk penilai
independen untuk melaukan penilaian dimaksud yang
biayanya dibebankan kepada BUMN yang bersangkutan
tanpa mengurangi nilai asset.
c)
Piutang Negara pada BUMN atau PT
d)
Asset-Asset Negara lainnya
Yaitu asset negara yang tidak termasuk dalam kategori dana
segar, proyek-proyek yang dibiayai dari APBN dan piutang
negara pada BUMN atau PT. Apabila asset negara lainnya
yang akan dijadikan penyertaan modal negara belum
direncanakan dalam APBN, maka pelaksanaannya harus
mengikuti mekanisme APBN. Yang dimaksud dengan
30
mekanisme APBN dalam hal ini adalah pencatatan nilai
asset dimaksud dalam APBN sebagai penerimaan dan
sekaligus dikeluarkan sebagai penyertaan modal negara.
2) Kapitalisasi cadangan;
3) Sumber lainnya.
a)
Keuntungan revaluasi asset yaitu selisih revaluasi asset
yang berakibat naiknya nilai asset
b)
Agio Saham adalah selisih lebih dari penjualan saham
dengan nilai nominalnya
c. Prosedur Penyertaan Modal Negara pada BUMN
Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang
Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan
Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas, penyertaan modal negara
untuk pendirian BUMN atau perseroan terbatas dan pada perseroan
terbatas yang di dalamnya belum terdapat saham milik negara diusulkan
oleh Menteri Keuangan kepada Presiden
disertai dengan dasar
pertimbangan setelah dikaji bersama dengan Menteri dan Menteri Teknis
yang dikoordinasikan oleh Menteri Keuangan. Selanjutnya rencana
penyertaan modal negara tersebut dapat dilakukan atas inisiatif Menteri
Keuangan, Menteri, atau Menteri Teknis.
Berdasar Pasal 10 PP Nomor 44 Tahun 2005 tersebut adapun
penjelasan lebih rinci mengenai tata cara penambahan atau penyertaan
modal negara adalah sebagai berikut:
1)
Penyertaan modal negara diusulkan oleh Menteri Keuangan
kepada Presiden disertai dengan dasar pertimbangan setelah
dikaji bersama dengan Menteri BUMN dan Menteri Teknis;
2)
Rencana penyertaan modal negara tersebut dapat dilakukan atas
inisiatif Menteri Keuangan, Menteri BUMN, atau Menteri
Teknis. Dalam hal inisiatif berasal dari Menteri atau Menteri
Teknis, maka inisiatif tersebut disampaikan kepada Menteri
Keuangan untuk dikoordinasikan pengkajiannya;
31
3)
Apabila berdasarkan hasil pengkajian, menyatakan rencana
penyertaan modal negara tersebut layak dilakukan, maka
Menteri Keuangan menyampaikan usul penyertaan modal
negara
dimaksud
kepada
Presiden
untuk
mendapatkan
persetujuan penetapan penyertaan modal negara. Koordinasi
dilakukan
oleh
Menteri
Keuangan
sehubungan
dengan
kedudukannya selaku bendahara umum negara;
4)
Setiap penyertaan modal negara atau penambahan penyertaan
modal negara ke dalam BUMN dan perseroan terbatas yang
dananya berasal dari APBN ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah;
5)
Setiap penambahan penyertaan modal negara ke dalam BUMN
dan perseroan terbatas yang berasal dari kapitalisasi cadangan
dan sumber lainnya ditetapkan dengan keputusan RUPS untuk
persero dan PT, dan Keputusan Menteri BUMN untuk perum.
Pasal 11 PP Nomor 44 Tahun 2005 mejelaskan bahwa pengkajian
dapat pula mengikutsertakan menteri lain dan/atau pimpinan instansi lain
yang
dianggap
perlu
atau
menggunakan
konsultan
independen.
Keterlibatan menteri lain dan/atau pimpinan instansi lain tergantung pada
kompleksitas aset
yang akan dijadikan sebagai penyertaan dan
penambahan penyertaan modal negara serta keterkaitannya dengan
kebijakan sektoral yang menjadi kewenangan menteri lain dan/atau
pimpinan instansi lain tersebut. Apabila hasil pengkajian menyatakan
rencana penyertaan modal negara tersebut layak dilakukan, maka Menteri
Keuangan menyampaikan usul penyertaan modal negara dimaksud kepada
Presiden untuk mendapatkan persetujuan.
Usul penyertaan modal negara dalam rangka pendirian BUMN
dan penyertaan pada perseroan terbatas yang di dalamnya belum terdapat
saham milik negara, disampaikan oleh Menteri Keuangan kepada Presiden
disertai dengan dasar pertimbangan, hasil kajian dan rancangan peraturan
pemerintah tentang penyertaan modal negara. Penyertaan modal negera ke
32
dalam modal saham perseroan terbatas ditetapkan dengan peraturan
pemerintah yang memuat maksud penyertaan dan besarnya kekayaan
negara yang dipisahkan untuk penyertaan modal tersebut. Perubahan
penyertaan modal negara, baik berupa penambahan maupun pengurangan,
termasuk perubahan struktur kepemilikan negara atas saham Persero atau
perseroan terbatas, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 4 ayat
(4) PP Nomor 44 Tahun 2005). Setiap penyertaan modal negara ditetapkan
dengan
Peraturan
Pemerintah
secara
tersendiri.
Barang
milik
negara/daerah yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan
negara/daerah tidak dapat dipindahtangankan.
d. Penambahan dan Pengurangan Penyertaan Modal Negara dalam
BUMN
Penambahan dan pengurangan penyertaan dalam BUMN dan
perseroan terbatas diatur dalam PP Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata
Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha
Milik Negara dan Perseroan Terbatas, Pasal 3 ayat (2) yang menyatakan
bahwa setiap penambahan penyertaan modal negara ke dala BUMN dan
perseroan terbatas ditetapkan dengan keputusan RUPS untuk perseroan
terbatas. Sedangkan untuk penyertaan yang bersumber dari APBN
ditetapkan dengan peraturan pemerintah dan mengikuti mekanisme APBN.
Penambahan
penyertaan
modal
negara
dilakukan
dengan
memperhatikan kemampuan keuangan negara. Penambahan penyertaan
modal negara ke dalam suatu BUMN dan perseroan terbatas sebagaimana
dilakukan dalam rangka (Pasal 7 PP Nomor 44 Tahun 2005):
1) Memperbaiki struktur permodalan BUMN dan perseroan
terbatas; dan/atau
2) Meningkatkan kapasitas usaha BUMN dan perseroan terbatas.
Pengurangan penyertaan modal negara pada BUMN dan perseroan terbatas
dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan BUMN dan perseroan
terbatas yang bersangkutan dan tidak boleh merugikan pihak yang terkait.
33
Pengurangan penyertaan modal negara tersebut dilakukan dalam rangka
(Pasal 9 PP Nomor 44 Tahun 2005):
1) Penjualan saham milik negara pada persero dan perseroan
terbatas;
2) Pengalihan asset BUMN untuk penyertaan modal negara pada
BUMN lain atau Perseroan Terbatas, pendirian BUMN baru,
atau dijadikan kekayaan negara yang tidak dipisahkan
3) Pemisahan anak perusahaan BUMN menjadi BUMN; dan/atau
4) Restrukturisasi perusahaan
Restrukturisasi adalah upaya yang dilakukan dalam rangka
penyehatan BUMN yang merupakan salah satu langkah strategis
untuk
memperbaiki
kondisi
internal
perusahaan
guna
memperbaiki kinerja dan meningkatkan nilai perusahaan, yang
bertujuan untuk: meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan;
memberikan manfaat berupa dividen dan pajak kepada negara;
menghasilkan produk dan layanan dengan harga yang kompetitif
kepada konsumen; dan memudahkan pelaksanaan privatisasi
(Pasal 72 ayat (2) UU BUMN).
e. Penatausahaan Penyertaan Modal Negara dalam BUMN
Dalam rangka upaya untuk mewujudkan tertib administrasi dan
tertib hukum dalam setiap penyertaan modal negara pada BUMN dan
perseroan terbatas, maka perlu adanya penatausahaan untuk mengetahui
posisi modal negara pada BUMN dan perseroan terbatas yaitu dengan
adanya PP Nomor 44 Tahun 2005. Mengingat modal negara yang terdapat
pada BUMN dan perseroan terbatas ini lah merupakan bagian dari
kekayaan negara yang dipisahkan, oleh karenanya penatausahaannya
dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku Menteri yang mempunyai
kewenangan melakukan penatausahaan kekayaan negara sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara
dan
Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
2004
tentang
34
Perbendaharaan Negara, mewajibkan pemerintah menyusun laporan
keuangan yang harus dipertanggungjawabkan kepada DPR. Laporan
keuangan tersebut terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, laporan
arus kas, dan catatan atas laporan keuangan. Dari sisi akuntabilitas
pengelolaan keuangan negara, kekayaan negara yang dipisahkan pada
BUMN merupakan salah satu aktiva yang harus tercatat dalam nerca
pemerintah
tersebut.
Penatausahaan
penyertaan
modal
negara
dimaksudkan dalam rangka tertib administrasi penyertaan modal negara.
Penatausahaan penyertaan modal negara ditujukan untuk menyediakan
informasi tentang nilai penyertaan modal negara beserta dokumen
pendukungnya pada BUMN (Sekjen DPR RI, 2013: 11).
5. Tinjauan Umum Implikasi
Orang seringkali mengunakan istilah implikasi tanpa benar-benar
memikirkan apa arti dan definisinya. Penggunaan kata implikasi memang
masih jarang digunakan dalam kalimat-kalimat percakapan sehari-hari.
Penggunaan kata implikasi biasanya umum digunakan dalam sebuah bahasa
penelitian. Maka dari itu masih sedikit kajian yang membahas tentang arti dari
kata implikasi. Namun jika mendengar istilah implikasi, hal pertama yang
terpikirkan pada umumnya adalah sebuah akibat atau sesuatu hal yang
memiliki
dampak
secara
langsung
(http://www.ciputra-
uceo.net/blog/2016/1/18/arti-kata-implikasi, diakses pada tanggal 28 Maret
2016 Pukul 19.25).
Arti kata implikasi itu sendiri sesungguhnya memiliki cakupan yang
sangat luas dan beragam, sehingga dapat digunakan dalam berbagai kalimat
dalam cakupan bahasa yang berbeda-beda. Kata implikasi dapat dipergunakan
dalam berbagai keadaan maupun situasi yang mengharuskan seseorang untuk
berpendapat atau berargumen. Hingga saat ini, masih belum terdapat
pembahasan secara lengkap dan menyeluruh mengenai arti dan definisi kata
implikasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti kata implikasi
adalah keterlibatan atau keadaan terlibat. Sehingga setiap kata imbuhan dari
35
implikasi seperti kata berimplikasi atau mengimplikasikan yaitu berarti
mempunyai hubungan keterlibatkan atau melibatkan dengan suatu hal.
Kata implikasi memiliki persamaan kata yang cukup beragam,
diantaranya adalah keterkaitan, keterlibatan, efek, sangkutan, asosiasi, akibat,
konotasi, maksud, siratan, dan sugesti. Persamaan kata implikasi tersebut
biasanya lebih umum digunakan dalam percakapan sehari-hari. Hal ini karena
kata implikasi lebih umum atau cocok digunakan dalam konteks percakapan
bahasa ilmiah dan penelitian. Pengertian implikasi menurut ahli belum ada
yang dapat menjelaskannya secara jelas, hal ini dikarenakan cakupan arti
implikasi yang luas. Menurut para ahli, pengertian implikasi adalah suatu
konsekuensi atau akibat langsung dari hasil penemuan suatu penelitian ilmiah.
Pengertian lainnya dari implikasi menurut para ahli adalah suatu kesimpulan
atau hasil akhir temuan atas suatu penelitian. Telah disebutkan sebelumnya
bahwa kata implikasi lebih erat kaitannya dengan kajian ilmiah atau hal-hal
yang berhubungan dengan penelitian. Tujuan implikasi penelitian adalah
membandingkan hasil penelitian yang sudah ada sebelumnya dengan hasil
penelitian yang terbaru atau baru dilakukan melalui sebuah metode
(http://www.ciputra-uceo.net/blog/2016/1/18/arti-kata-implikasi, diakses pada
tanggal 28 Maret 2016 Pukul 19.25).
36
B. KERANGKA PEMIKIRAN
Prinsip Negara Kesejahteraan
(Welfare State)
Amanat UUD NRI Tahun 1945
Pasal 23: APBN sebagai wujud pengelolaan
keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan
undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka
dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat
Keuangan Negara
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
Kekayaan Negara
Kekayaan Negara
yang tidak dipisahkan
yang dipisahkan
(APBN/APBD)
(BUMN/BUMD)
Penyertaan Modal
Pemerintah
Penambahan
Pengurangan
PT Semen Indonesia (Persero) Tbk
Pelaksanaan
Implikasi
37
Keterangan:
Bagan kerangka pemikiran di atas menjelaskan alur pemikiran penulis
dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah, dan menjabarkan, serta
menemukan jawaban atas rumusan masalah penelitian hukum yang disusun,
yaitu mengenai Pelaksanaan Penyertaan Modal Pemerintah Pada Badan
Usaha Milik Negara di Perseroan Terbatas Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Studi di PT Semen
Indonesia (Persero) Tbk). Berawal dari konsep negara kesejahteran (Welfare
State) yaitu pemerintah mempunyai kewajiban sebagai pihak yang
bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya. Atas konsep tersebut, sesuai
dengan amanat UUD NRI Tahun 1945 dijelaskan pada Pasal 23: APBN
sebagai wujud pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan
undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab
untuk sebesar-besarnya.
Berdasarkan amanat dari UUD NRI Tahun 1945 tersebutlah, kemudian
lahir Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang
yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban tersebut. Hal ini membuat keuangan negara mempunyai 2
penafsiran yaitu merupakan kekayaan yang tidak dipisahkan dan kekayaan
yang dipisahkan. Kekayaan yang tidak dipisahkan yaitu meliputi APBN dan
APBD. Sedangkan kekayaan yang dipisahkan yaitu meliputi BUMN dan
BUMD.
Kekayaan negara yang dipisahkan yang meliputi BUMN adalah suatu
badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara
melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan yang
dipisahkan. Penyertaan ini lah yang disebut dengan penyertaan modal negara.
Penyertaan modal negara adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN atau
penetapan cadangan perusahaan atau sumber lain untuk dijadikan sebagai
38
modal BUMN dan/atau perseroan terbatas lainnya, dan dikelola secara
korporasi.
BUMN yang dimaksud dalam hal ini adalah BUMN yang berbentuk
perseroan terbatas dimana modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau
paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara
Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Dimana
setiap tahunnya BUMN memberikan keuntungan atau dividennya kepada
negara sebagai bentuk adanya penyertaan modal yang diberikan oleh
pemerintah kepada BUMN. Oleh karenanya penulis ingin mengetahui
pelaksanaan dan implikasi dari adanya penyertaan modal pemerintah pada
BUMN di perseroan terbatas (Studi di PT Semen Indonesia (Persero) Tbk) ini
jika dikaitkan dengan adanya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara.
Download