BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KERANGKA TEORI 1. Tinjauan Tentang Keuangan Negara a. Pengertian Keuangan Negara Secara konsepsional, sebenarnya definisi keuangan negara bersifat plastis dan tergantung pada sudut pandang, sehingga apabila kita berbicara mengenai makna dari keuangan negara dari sudut pemerintah, maka yang dimaksud keuangan negara adalah membicarakan perihal APBN. Sementara itu, maksud keuangan negara apabila dilihat dari sudut pemerintah daerah, yang dimaksud dengan keuangan daerah adalah membicarakan perihal APBD. Demikian juga dengan BUMN yang terbagi atas dua bentuk perusahaan yaitu perusahaan umum (perum) dan perseroan terbatas (PT). Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa berdasarkan konsepsi dari keuangan negara, definisi keuangan negara adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan APBN, APBD, keuangan negara pada semua BUMN (Adrian Sutedi, 2010: 16). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, yang dimaksud dengan keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut (Pasal 1 angka 1). Pengertian tersebut secara historis konseptual sebenarnya mengikuti rumusan pengertian keuangan negara yang pernah dihasilkan dalam seminar Indische Comptabilities Wet (ICW) tanggal 30 Agustus-5 September 1970 di Jakarta yang sebelumnya dalam teori hukum keuangan negara pernah pula dikemukakan pula oleh Van der Kemp (Riawan Tjandra, 2014: 9). Definisi keuangan negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 diderivasi dari teori negara kesejahteraan (Welfare 13 14 State) yang secara eksplisit dianut dalam UUD NRI Tahun 1945, sejak dari pembukaan hingga pasal-pasalnya. Pembentuk UUD NRI Tahun 1945 yang diwarnai pemikiran negara kesejahteraan (Welfare State) mencitacitakan pembentukan suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan mampu memajukan kesejahteraan umum dan seterusnya (Riawan Tjandra, 2014: 9). Selain itu, pengertian keuangan negara memiliki substansi yang dapat ditinjau dalam arti luas maupun dalam arti sempit. Keuangan negara dalam arti luas mencakup: 1) APBN 2) APBD 3) Keuangan negara pada BUMN/BUMD Sementara itu, keuangan negara dalam arti sempit hanya mencakup keuangan negara yang dikelola oleh tiap-tiap badan hukum dan dipertanggungjawabkan masing-masing (Muhammad Djafar Saidi, 2008: 3). Pendekatan yang dipakai dalam merumuskan keuangan negara dapat dilihat dari sisi objek, subjek, proses dan tujuan dijelaskan sebagai berikut. Pengertian keuangan negara dilihat dari sudut pandang: 1) Objek: semua hak, kewajiban, negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Selain itu juga segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. 2) Subjek: keuangan negara meliputi negara, dan/atau Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. 3) Proses: seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan pertanggungjawaban. keputusan sampai dengan 15 4) Tujuan: seluruh kebijakan, kegiatan, dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintah negara. Menurut pendapat Soepomo (https://korup5170.wordpress.com/ opiniartikel-pakar-hukum/pemahaman-keuangan-negara/, diakses tanggal 18 November 2015 Pukul 11.:52): “Keuangan negara itu adalah dalam pengertian keuangan negara dalam arti luas, yakni termasuk di dalamnya keuangan yang berada dalam APBN, APBD, BUMN atau BUMD dan pada hakikatnya seluruh kekayaan negara merupakan objek pemeriksaan dan pengawasan. Di dalam penafsiran inilah yang tampak paling esensial dan dinamis dalam menjawab berbagai perkembangan yang ada di dalam masyarakat. Bagaimanapun, penafsiran demikan akan sejalan dengan perkembangan masyarakat dewasa ini yang menuntut adanya kecepatan tindakan dan kebijakan, khususnya pemerintah, baik yang berdasarkan atas hukum (rechtshandaling) maupun yang berdasarkan atas fakta (feitelijke handeling)”. Menurut pendapat Arifin Soeria Atmadja yang dikutip dalam buku Ronny Sautma Hotma Bako, bahwa pada dasarnya hukum keuangan negara harus diletakkan pada konsep pertanggungjawaban pengguna keuangan negara yang membawa implikasi yuridis yang cukup signifikan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia (Ronny Sautma Hotma Bako, 2013: 8). b. Landasan Hukum Keuangan Negara Landasan hukum keuangan negara terdapat dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang memiliki arti sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Pandangan hidup tersebut berimplikasi pada adanya keuangan negara dalam rangka pencapaian tujuan negara. Tujuan negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dam keadilan sosial. Selain dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, terdapat juga pasal-pasal UUD 16 NRI Tahun 1945 yang berkaitan dengan keuangan negara. (Muhammad Djafar Saidi, 2008: 8-10). Pengaturan keuangan negara menurut pendapat Adrian Sutedi bahwa dalam UUD NRI Tahun 1945 dengan sangat singkat diatur dalam satu pasal, yaitu Pasal 23 Bab VIII tentang hal keuangan dimana yang menjadi titik awal pengaturan hukum keuangan negara di Indonesia. Pengaturan keuangan negara yang singkat dalam UUD NRI Tahun 1945 membawa masalah yuridis terhadap definisi keuangan negara, sehingga membuka penafsiran yang berbeda-beda terhadap definisi tersebut (Adrian Sutedi, 2010: 16). Selain itu di dalam bukunya Rony Sautma Hotma Bako (Ronny Sautma Hotma Bako, 2013: 7-8) menjelaskan bahwa sebagai amanat dari Pasal 23 C Bab VIII UUD NRI Tahun 1945, “Keuangan negara harus diatur dalam undang-undang terkait dengan pengelolaan hak dan kewajiban negara”. Atas amanat ini kemudian dituangkan dalam bentuk Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Berangkat dari landasan konstitusional itulah berbagai upaya dilakukan untuk dapat menghadirkan Undang-Undang Keuangan Negara yang mulai diundangkan keberlakuannya pada tanggal 5 April 2003. Undang-Undang ini mencabut beberapa ketentuan sebelumnya sepanjang yang diatur, yaitu Indische Comptabiliteitswet yang selanjutnya disebut dengan ICW Stbl. 1925 No. 448 sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan UU Nomor 9 Tahun 1968 tentang Perbendaharaan Negara, Indische Bedrijvenswet yang selanjutnya dengan IBW Stb. 1927 Nomor 419 jo. Stbl. 1993 Nomor 381 (Alfin Sulaiman, 2011: 37). Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara professional, terbuka, dan bertanggungjawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD NRI Tahun 1945. Sesuai dengan amant Pasal 23 C UUD NRI Tahun 1945, UndangUndang Keuangan Negara perlu menjabarkan aturan pokok yang telah 17 ditetapkan dalam UUD tersebut ke dalam asas-asas umum yang meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best practice (penerapan kaidah-kaidah yang baik). Terdapat empat prinsip dasar pengelolaan keuangan negara, yaitu sebagai berikut : 1) Akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja; 2) Keterbukaan dalam setiap transaksi pemerintah; 3) Pemberdayaan manajer professional; dan 4) Adanya lembaga pemeriksa eksternal yang kuat, professional dan mandiri serta dihindarinya duplikasi dalam pelaksanaan pemeriksaan. Selain itu, pengelolaan keuangan negara tertuang dalam paket Undang-Undang Keuangan Negara, yaitu: 1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara 2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara 3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara c. Ruang Lingkup Keuangan Negara Ruang lingkup dari keuangan negara diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 yaitu: 1) Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; 2) Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintah negara dan membayar tagihan pihak ketiga; 3) Penerimaan negara; 4) Pengeluaran negara; 5) Penerimaan daerah; 6) Pengeluaran daerah; 18 7) Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hakhak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah; 8) Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah dan/atau kepentingan umum; 9) Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Kemudian, ruang lingkup keuangan negara tersebut di atas dikelompokkan ke dalam tiga bidang pengelolaan yang bertujuan untuk memberi pengklasifikasian terhadap pengelolaan keuangan negara. Adapun pengelompokan pengelolaan keuangan negara menurut UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara adalah: 1) Bidang pengelolaan fiskal 2) Bidang pengelolaan moneter 3) Bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan Sub bidang fiskal dan sub bidang moneter merupakan kelompok keuangan negara dalam hal negara sebagai pemilik otoritas dalam pembentukan kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk sepenuhnya kemakmuran rakyat. Adapun sub bidang kekayaan negara yang dipisahkan merupakan lingkup keuangan negara dalam hal negara sebagai individu/private yang dalam setiap tindakannya ditujukan untuk penyediaan layanan publik. Definisi dan ruang lingkup keuangan negara yang dirumuskan secara luas tersebut dimaksudkan untuk mencegah adanya loopholes dalam regulasi yang bisa berimplikasi terhadap terjadinya kerugian negara dalam hal pengelolaan keuangan negara. Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena (Riawan Tjandra, 2014: 12): 19 1) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat maupun di daerah; 2) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. 2. Tinjauan Tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) a. Pengertian Badan Usaha Milik Negara Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang BUMN yang selanjutnya disebut dengan UU BUMN menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara. Selanjutnya di dalam Pasal 1 angka 2, yang dimaksud dengan perusahaan perseroan atau yang disebut persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Undang-Undang mengenai BUMN juga menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada persero dan/atau perum serta perseroan terbatas lainnya. Yang dimaksud dengan “dipisahkan” adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namum pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. 20 Penjelasan dari Pasal 4 UU BUMN itu mempertegas bahwa modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang pisahkan. Sedangkan sesuai dengan Pasal 2 huruf g Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengenai ruang lingkup keuangan negara disebutkan bahwa keuangan negara adalah kekayaan negara atau kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah. Sedangkan kedudukan negara dalam BUMN yang merupakan pemilik saham, baik seluruhnya maupun sebagian, adalah sebagai badan hukum perdata biasa. Menurut pendapat Ari Mulianta Ginting (Ari Mulianta Ginting, 2013: 63), dalam konsep hukum dari sudut kewenangan yang dimilikinya, badan hukum ada dua, yaitu: 1) Badan hukum publik yang mempunyai kewenangan mengeluarkan kebijakan publik, baik yang mengikat umum (contoh, undang-undang perpajakan) maupun yang tidak (undang-undang APBN); 2) Badan hukum perdata yang tidak memiliki kewenangan mengeluarkan kebijakan publik yang mengikat masyarakat umum. Dalam menjalankan kegiatan usaha, kadangkala BUMN diberikan kekuasaan usaha awal yang tidak diminati swasta dengan maksud menarik investasi, sehingga lambat laun menjadi perusahaan yang lebih kompetitif. Dengan demikian, harus diakui BUMN seringkali tidak diarahkan tetapi lebih menjamin kontinuitas peranan ekonomi yang ditunjukkan negara untuk pelayanan kebutuhan publik. Akan tetapi dalam era kompetinsi global dewasa ini, BUMN secara integral diarahkan tidak hanya menjadi aktor usaha ekonomi yang melayani akan tetapi sekaligus mencari laba. Jadi disini BUMN memiliki peran yang penting dalam pembangunan 21 negara karena negara selalu memperoleh pembagian keuntungan atau deviden dari BUMN setiap tahunnya (Dian P Simatupang, 2011: 236). Menurut pendapat Sheila B. Kamerman dan Alfred J. Khan yang dikutip dari buku Ari Mulianta Ginting, bahwa menurut UU BUMN menyatakan bahwa salah satu tujuan dari BUMN adalah untuk mengejar keuntungan. Akan tetapi tetapi makna dari mengejar keuntungan pada dasarnya membuat BUMN tidak hanya sebagai badan usaha yang hanya menjalankan misi sosial pemerintah. Namun, BUMN secara tidak langsung memiliki ikatan sebagai patner pemerintah dalam menjalankan program ekonomi yang bersifat mengejar keuntungan untuk menambah dividen negara (Ari Mulianta Ginting, 2013: 64). Sehingga dapat disimpulkan bahwa berdasarkan pada definisi yuridis mengenai BUMN menurut pendapat Ridwan Khairandy (Ridwan Khairandy, 2009:11) sebagaimana juga terdapat di dalam UU BUMN maka terdapat beberapa kriteria bagi suatu perusahaan agar dapat disebut sebagai BUMN, yakni: 1) Merupakan badan usaha atau perusahaan; 2) Memiliki modal yang seluruhnya atau sebagian besar dimiliki oleh negara. Kepemilikan modal minimum oleh negara harus sebesar 51%; 3) Negara melakukan penyertaan langsung ke dalam permodalan BUMN tersebut; 4) Penyertaan oleh negara berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. b. Tujuan Pendirian BUMN Ada 5 tujuan pendirian BUMN yang diatur dalam Pasal 2 UU BUMN, yaitu sebagai berikut: 1) Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya. BUMN diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan pada masyarakat sekaligus memberikan kontribusi dalam meningkatkan 22 pertumbuhan ekonomi nasional dan membantu penerimaan keuangan negara. 2) Mengejar keuntungan. Meskipun maksud dan tujuan persero adalah mengejar keuntungan, namun dalam hal-hal tertentu untuk melakukan pelayanan umum., persero dapat diberikan tugas khusus dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan yang sehat. Dengan demikian, penugasan pemerintah harus disertai dengan pembiayaannya (kompensasi) berdasarkan perhitungan bisnis atau komersial, sedangkan untuk perum yang tujuannya menyediakan barang dan jasa untuk kepentingan umum, dalam pelaksanaannya harus memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. 3) Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan jasa yang bermutu tinggi serta memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. Dengan maksud dan tujuan seperti ini, setiap hasil usaha dari BUMN, baik barang maupun jasa, dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. 4) Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi. Kegiatan perintisan merupakan suatu kegiatan usaha untuk menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat, namun kegiatan tersebut belum dapat dilakukan oleh swasta dan koperasi karena secara komersial tidak menguntungkan. Oleh karena itu, tugas tersebut dapat dilakukan melalui penugasan kepada BUMN. Dalam hal adanya kebutuhan masyarakat luas yang mendesak, pemerintah dapat pula menugasi suatu BUMN yang mempunyai fungsi pelayanan kemanfaatan umum untuk melaksanakan program kemitraan dengan pengusaha golongan ekonomi lemah. 5) Turut aktif memberikan bimibingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. 23 c. Modal BUMN BUMN dalam menjalankan kegiatan usahanya mendapatkan modal yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan (Pasal 4 ayat (1) UU BUMN). Yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Pemisahan itu sesuai dengan kedudukannya sebagai badan hukum, yang harus mempunyai kekayaan sendiri terlepas daripada kekayaan umum negara dan dengan demikian, dapat dikelola terlepas dari pengaruh APBN. Pemisahan kekayaan negara untuk dijadikan penyertaan modal negara ke dalam modal BUMN hanya dapat dilakukan dengan cara penyertaan langsung negara ke dalam BUMN tersebut, sehingga setiap penyertaan tersebut perlu ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Demikian juga setiap dilakukan perubahan penyertaan modal negara, baik berupa penambahan maupun pengurangan, termasuk perubahan struktur kepemilikan negara atas saham persero atau perseroan terbatas, ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Hal ini dilakukan dengan tujuan mempermudah memonitor dan penatausahaan kekayaan negara yang tertanam pada BUMN dan perseroan terbatas. Namun demikian, bagi penambahan penyertaan modal negara yang berasal dari kapitalisasi cadangan dan sumber lainnya tidak perlu ditetapkan dengan peraturan pemerintah, melainkan cukup melalui keputusan Rapat Umum Pemegang Saham selanjutnya disebut RUPS bagi perusahaan perseroan (persero) dilaporakan kepada Menteri Keuangan (Mulhadi, 2010: 165). 3. Tinjauan Tentang Penyertaan Modal a. Pengertian Penyertaan Modal “Secara umum penyertaan modal adalah suatu usaha untuk memiliki perusahaan yang baru atau yang sudah berjalan dengan 24 melakukan setoran modal ke perusahaan tersebut” (Yanuar Syaripulloh, 2012: 143). Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah yang dimaksud dengan penyertaan modal adalah bentuk investasi pemerintah pada badan usaha dengan mendapat hak kepemilikan, termasuk pendirian perseroan terbatas dan/atau pengambilalihan perseroan terbatas. Pasal 1 angka 7 Peraturan Pemerinta Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas dijelaskan mengenai pengertian dari penyertaan modal negara. Penyertaan modal negara adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN atau penetapan cadangan perusahaan atau sumber lain untuk dijadikan sebagai modal BUMN dan/atau perseroan terbatas lainnya, dan dikelola secara korporasi. Selanjutnya pengertian penyertaan modal pemerintah pusat/daerah berdasarkan Pasal 1 angka 19 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara atau Daerah adalah pengalihan kepemilikan barang milik negara/daerah yang semula merupakan kekayaan yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan yang dipisahkan untuk diperhitungkan sebagai modal/saham negara atau daerah pada BUMN, BUMD atau badan hukum lainnya yang dimiliki negara. Secara substansi penyertaan modal negara sama dengan penyertaan modal pemerintah. Istilah penyertaan modal negara yang terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas, sedangkan istilah penyertaan modal pemerintah/daerah terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Barang Milik Negara/Daerah. Dalam undang-undang tidak ada pengertian khusus mengenai penyertaan modal negara/pemerintah dan hanya terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 saja (Yanuar Syaripulloh, 25 2012: 628). Hanya di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara penyebutannya hanya penyertaan modal saja. b. Landasan Hukum Penyertaan Modal Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 3 ayat (7) dan (8) menyatakan surplus penerimaan negara/daerah dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran negara/daerah tahun anggaran berikutnya dan penggunaan surplus penerimaan negara/daerah membentuk dana sebagaimana cadangan atau dimaksud penyertaan adalah pada untuk perusahaan negara/daerah yang harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPR/DPRD. Dalam hubungan antara pemerintah dan perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan swasta, dan badan pengelola dana masyarakat ditetapkan bahwa pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/penyertaan modal kepada dan menerima pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD. Pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/penyertaan modal kepada dan menerima pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah (Pasal 24 ayat (1)). Pemberian pinjaman/hibah/penyertaan modal dan penerimaan pinjaman/hibah sebagaimana dimaksud diatas terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN/APBD (Pasal 24 ayat (2)). Disamping itu, dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, pemerintah pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR (Pasal 24 ayat (7)). Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut dengan UUPT juga menjelaskan, dalam hal pendiri adalah badan hukum negara atau daerah, diperlukan peraturan pemerintah tentang penyertaan dalam perseroan atau peraturan daerah tentang penyertaan daerah dalam perseroan (Penjelasan Pasal 8 ayat (2) huruf a). 26 Pemerintah daerah dapat melakukan penyertaan modal pada suatu badan usaha milik pemerintah dan/atau milik swasta. Penyertaan modal tersebut dapat ditambah, dikurangi, dijual kepada pihak lain, dan/atau dapat dialihkan kepada badan usaha milik daerah. Pemerintah daerah dapat memiliki BUMD yang pembentukan, penggabungan, pelepasan kepemilikan, dan/atau pembubarannya ditetapkan dengan peraturan daerah yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan. c. Ruang Lingkup Penyertaan Modal Tujuan penyertaan modal negara/daerah kepada BUMN/BUMD menurut AA Oka Mahendra yang dikutip dalam jurnalnya Yanuar Syaripulloh (Yanuar Syaripulloh, 2012: 629) adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang adil dan berkesinambungan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum. Sehubungan dengan itu, penyertaan modal negara diberikan kepada BUMN/BUMD yang dalam jangka panjang dapat: 1) Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara/daerah pada khususnya; 2) Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak; 3) Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi; 4) Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. Adapun di dalam Pasal 5 PP Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan penyertaan modal, negara/daerah dapat melakukan penyertaan modal untuk: 1) Pendirian BUMN/Perseroan Terbatas 27 2) Penyertaan modal negara pada perseroan terbatas yang di dalamnya belum terdapat saham milik negara, yang dilakukan dalam keadaan tertentu untuk menyelamatkan perekonomian nasional; dan 3) Penyertaan modal negara pada BUMN atau perseroan terbatas yang di dalamnya telah terdapat saham milik negara, dalam rangka (Pasal 7 PP Nomor 44 Tahun 2005): a. Memperbaiki struktur permodalan BUMN/Perseroan Terbatas; b. Meningkatkan kapasitas usaha BUMN/ Perseroan Terbatas. Penyertaan modal negara tersebut dilakukan dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara. d. Bentuk-Bentuk Penyertaan Modal Bentuk dari penyertaan modal negara adalah (Sekjen DPR RI, 2013: 9): 1) Tunai Pemerintah memberikan sejumlah uang pada BUMN 2) Konversi Piutang Pemerintah Pemerintah mengkonversi utang BUMN kepada pemerintah menjadi penyertaan modal negara. 3) Hibah Saham/Asset dari pihak lain Pemerintah mendapat hibah saham/asset dari pihak lain untuk mendirikan BUMN baru atau perpindahan kepemilikan perusahaan dari pihak ketiga menjadi milik pemerintah. 4. Tinjauan Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyertaan Modal a. Pengertian Tata Cara Pelaksanaan Penyertaan Modal Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan Dan Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN dan Perseroan Terbatas menjelaskan bahwa, dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945, ditegaskan bahwa salah satu tujuan 28 yang harus diwujudkan oleh negara adalah meningkatkan kesejahteraan umum. Dalam upaya mewujudkan tujuan tersebut, maka pemerintah berkewajiban untuk menciptakan perkembangan perekonomian negara antara lain dengan cara menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. Kewajiban tersebut dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah, baik melalui instansi pemerintah maupun badan usaha yang dibentuk oleh pemerintah, dan dapat pula dilakukan oleh masyarakat. Untuk mewujudkan kesejahteraan umum melalui badan usaha, maka pemerintah melakukan penyertaan modal negara untuk BUMN. Selanjutnya untuk menyelamatkan perekonomian nasional, pemerintah dapat pula melakukan penyertaan modal negara ke dalam perseroan terbatas yang di dalamnya belum terdapat saham milik negara. Penyertaan modal negara seperti ini dilakukan oleh pemerintah dengan mengelurkan dana dari APBN. Usaha untuk memperbaiki struktur permodalan dan meningkatkan kapasitas usaha BUMN dan perseroan terbatas, pemerintah dapat pula melakukan penambahan penyertaan modal negara ke dalam BUMN dan perseroan terbatas tersebut yang dananya dapat berasal dari APBN, konversi cadangan perusahaan dan sumber lainnya, seperti keuntungan revaluasi asset dan agio saham. Disamping negara dapat melakukan penambahan penyertaan modal, negara juga dapat melakukan pengurangan penyertaan modal pada BUMN dan perseroan terbatas antara lain dengan melakukan penjualan saham milik negara pada persero dan perseroan terbatas. Sebagai rangka upaya untuk mewujudkan tertib administrasi dan tertib hukum dalam setiap penyertaan modal negara pada BUMN dan perseroan terbatas berikut segala perubahannya, maka perlu melakukan penatusahaan untuk mengetahui posisi modal negara pada BUMN dan perseroan terbatas. Mengingat modal negara pada BUMN dan perseroan terbatas merupakan bagian dari kekayaan negara yang dikenal sebagai kekayaan negara yang dipisahkan, maka penatausahaannya dilakukan oleh 29 Menteri Keuangan selaku menteri yang mempunyai kewenangan melakukan penatausahaan kekayaan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan (PP Nomor 44 Tahun 2005). b. Sumber Dana Pasal 2 PP Nomor 44 Tahun 2005 menjelaskan bahwa penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN bersumber dari: 1) APBN; a) Dana Segar yaitu dana yang secara langsung ditetapkan dengan APBN b) Proyek-Proyek yang dibiayai dari APBN Termasuk dalam pengertian ini adalah proyek yang dikelola oleh BUMN maupun instansi pemerintah. Penetapan proyek tersebut menjadi penyertaan modal negara harus dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan BUMN dan hasil kajian, yang nilainya ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh Menteri Keuangan. Menteri dan Menteri Teknis yang bersangkutan dalam rangka perhitungan atas nilai asset eks proyek tersebut. Menteri Keuangan dapat menunjuk penilai independen untuk melaukan penilaian dimaksud yang biayanya dibebankan kepada BUMN yang bersangkutan tanpa mengurangi nilai asset. c) Piutang Negara pada BUMN atau PT d) Asset-Asset Negara lainnya Yaitu asset negara yang tidak termasuk dalam kategori dana segar, proyek-proyek yang dibiayai dari APBN dan piutang negara pada BUMN atau PT. Apabila asset negara lainnya yang akan dijadikan penyertaan modal negara belum direncanakan dalam APBN, maka pelaksanaannya harus mengikuti mekanisme APBN. Yang dimaksud dengan 30 mekanisme APBN dalam hal ini adalah pencatatan nilai asset dimaksud dalam APBN sebagai penerimaan dan sekaligus dikeluarkan sebagai penyertaan modal negara. 2) Kapitalisasi cadangan; 3) Sumber lainnya. a) Keuntungan revaluasi asset yaitu selisih revaluasi asset yang berakibat naiknya nilai asset b) Agio Saham adalah selisih lebih dari penjualan saham dengan nilai nominalnya c. Prosedur Penyertaan Modal Negara pada BUMN Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas, penyertaan modal negara untuk pendirian BUMN atau perseroan terbatas dan pada perseroan terbatas yang di dalamnya belum terdapat saham milik negara diusulkan oleh Menteri Keuangan kepada Presiden disertai dengan dasar pertimbangan setelah dikaji bersama dengan Menteri dan Menteri Teknis yang dikoordinasikan oleh Menteri Keuangan. Selanjutnya rencana penyertaan modal negara tersebut dapat dilakukan atas inisiatif Menteri Keuangan, Menteri, atau Menteri Teknis. Berdasar Pasal 10 PP Nomor 44 Tahun 2005 tersebut adapun penjelasan lebih rinci mengenai tata cara penambahan atau penyertaan modal negara adalah sebagai berikut: 1) Penyertaan modal negara diusulkan oleh Menteri Keuangan kepada Presiden disertai dengan dasar pertimbangan setelah dikaji bersama dengan Menteri BUMN dan Menteri Teknis; 2) Rencana penyertaan modal negara tersebut dapat dilakukan atas inisiatif Menteri Keuangan, Menteri BUMN, atau Menteri Teknis. Dalam hal inisiatif berasal dari Menteri atau Menteri Teknis, maka inisiatif tersebut disampaikan kepada Menteri Keuangan untuk dikoordinasikan pengkajiannya; 31 3) Apabila berdasarkan hasil pengkajian, menyatakan rencana penyertaan modal negara tersebut layak dilakukan, maka Menteri Keuangan menyampaikan usul penyertaan modal negara dimaksud kepada Presiden untuk mendapatkan persetujuan penetapan penyertaan modal negara. Koordinasi dilakukan oleh Menteri Keuangan sehubungan dengan kedudukannya selaku bendahara umum negara; 4) Setiap penyertaan modal negara atau penambahan penyertaan modal negara ke dalam BUMN dan perseroan terbatas yang dananya berasal dari APBN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; 5) Setiap penambahan penyertaan modal negara ke dalam BUMN dan perseroan terbatas yang berasal dari kapitalisasi cadangan dan sumber lainnya ditetapkan dengan keputusan RUPS untuk persero dan PT, dan Keputusan Menteri BUMN untuk perum. Pasal 11 PP Nomor 44 Tahun 2005 mejelaskan bahwa pengkajian dapat pula mengikutsertakan menteri lain dan/atau pimpinan instansi lain yang dianggap perlu atau menggunakan konsultan independen. Keterlibatan menteri lain dan/atau pimpinan instansi lain tergantung pada kompleksitas aset yang akan dijadikan sebagai penyertaan dan penambahan penyertaan modal negara serta keterkaitannya dengan kebijakan sektoral yang menjadi kewenangan menteri lain dan/atau pimpinan instansi lain tersebut. Apabila hasil pengkajian menyatakan rencana penyertaan modal negara tersebut layak dilakukan, maka Menteri Keuangan menyampaikan usul penyertaan modal negara dimaksud kepada Presiden untuk mendapatkan persetujuan. Usul penyertaan modal negara dalam rangka pendirian BUMN dan penyertaan pada perseroan terbatas yang di dalamnya belum terdapat saham milik negara, disampaikan oleh Menteri Keuangan kepada Presiden disertai dengan dasar pertimbangan, hasil kajian dan rancangan peraturan pemerintah tentang penyertaan modal negara. Penyertaan modal negera ke 32 dalam modal saham perseroan terbatas ditetapkan dengan peraturan pemerintah yang memuat maksud penyertaan dan besarnya kekayaan negara yang dipisahkan untuk penyertaan modal tersebut. Perubahan penyertaan modal negara, baik berupa penambahan maupun pengurangan, termasuk perubahan struktur kepemilikan negara atas saham Persero atau perseroan terbatas, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 4 ayat (4) PP Nomor 44 Tahun 2005). Setiap penyertaan modal negara ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah secara tersendiri. Barang milik negara/daerah yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan negara/daerah tidak dapat dipindahtangankan. d. Penambahan dan Pengurangan Penyertaan Modal Negara dalam BUMN Penambahan dan pengurangan penyertaan dalam BUMN dan perseroan terbatas diatur dalam PP Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas, Pasal 3 ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap penambahan penyertaan modal negara ke dala BUMN dan perseroan terbatas ditetapkan dengan keputusan RUPS untuk perseroan terbatas. Sedangkan untuk penyertaan yang bersumber dari APBN ditetapkan dengan peraturan pemerintah dan mengikuti mekanisme APBN. Penambahan penyertaan modal negara dilakukan dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara. Penambahan penyertaan modal negara ke dalam suatu BUMN dan perseroan terbatas sebagaimana dilakukan dalam rangka (Pasal 7 PP Nomor 44 Tahun 2005): 1) Memperbaiki struktur permodalan BUMN dan perseroan terbatas; dan/atau 2) Meningkatkan kapasitas usaha BUMN dan perseroan terbatas. Pengurangan penyertaan modal negara pada BUMN dan perseroan terbatas dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan BUMN dan perseroan terbatas yang bersangkutan dan tidak boleh merugikan pihak yang terkait. 33 Pengurangan penyertaan modal negara tersebut dilakukan dalam rangka (Pasal 9 PP Nomor 44 Tahun 2005): 1) Penjualan saham milik negara pada persero dan perseroan terbatas; 2) Pengalihan asset BUMN untuk penyertaan modal negara pada BUMN lain atau Perseroan Terbatas, pendirian BUMN baru, atau dijadikan kekayaan negara yang tidak dipisahkan 3) Pemisahan anak perusahaan BUMN menjadi BUMN; dan/atau 4) Restrukturisasi perusahaan Restrukturisasi adalah upaya yang dilakukan dalam rangka penyehatan BUMN yang merupakan salah satu langkah strategis untuk memperbaiki kondisi internal perusahaan guna memperbaiki kinerja dan meningkatkan nilai perusahaan, yang bertujuan untuk: meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan; memberikan manfaat berupa dividen dan pajak kepada negara; menghasilkan produk dan layanan dengan harga yang kompetitif kepada konsumen; dan memudahkan pelaksanaan privatisasi (Pasal 72 ayat (2) UU BUMN). e. Penatausahaan Penyertaan Modal Negara dalam BUMN Dalam rangka upaya untuk mewujudkan tertib administrasi dan tertib hukum dalam setiap penyertaan modal negara pada BUMN dan perseroan terbatas, maka perlu adanya penatausahaan untuk mengetahui posisi modal negara pada BUMN dan perseroan terbatas yaitu dengan adanya PP Nomor 44 Tahun 2005. Mengingat modal negara yang terdapat pada BUMN dan perseroan terbatas ini lah merupakan bagian dari kekayaan negara yang dipisahkan, oleh karenanya penatausahaannya dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku Menteri yang mempunyai kewenangan melakukan penatausahaan kekayaan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang 34 Perbendaharaan Negara, mewajibkan pemerintah menyusun laporan keuangan yang harus dipertanggungjawabkan kepada DPR. Laporan keuangan tersebut terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan. Dari sisi akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN merupakan salah satu aktiva yang harus tercatat dalam nerca pemerintah tersebut. Penatausahaan penyertaan modal negara dimaksudkan dalam rangka tertib administrasi penyertaan modal negara. Penatausahaan penyertaan modal negara ditujukan untuk menyediakan informasi tentang nilai penyertaan modal negara beserta dokumen pendukungnya pada BUMN (Sekjen DPR RI, 2013: 11). 5. Tinjauan Umum Implikasi Orang seringkali mengunakan istilah implikasi tanpa benar-benar memikirkan apa arti dan definisinya. Penggunaan kata implikasi memang masih jarang digunakan dalam kalimat-kalimat percakapan sehari-hari. Penggunaan kata implikasi biasanya umum digunakan dalam sebuah bahasa penelitian. Maka dari itu masih sedikit kajian yang membahas tentang arti dari kata implikasi. Namun jika mendengar istilah implikasi, hal pertama yang terpikirkan pada umumnya adalah sebuah akibat atau sesuatu hal yang memiliki dampak secara langsung (http://www.ciputra- uceo.net/blog/2016/1/18/arti-kata-implikasi, diakses pada tanggal 28 Maret 2016 Pukul 19.25). Arti kata implikasi itu sendiri sesungguhnya memiliki cakupan yang sangat luas dan beragam, sehingga dapat digunakan dalam berbagai kalimat dalam cakupan bahasa yang berbeda-beda. Kata implikasi dapat dipergunakan dalam berbagai keadaan maupun situasi yang mengharuskan seseorang untuk berpendapat atau berargumen. Hingga saat ini, masih belum terdapat pembahasan secara lengkap dan menyeluruh mengenai arti dan definisi kata implikasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti kata implikasi adalah keterlibatan atau keadaan terlibat. Sehingga setiap kata imbuhan dari 35 implikasi seperti kata berimplikasi atau mengimplikasikan yaitu berarti mempunyai hubungan keterlibatkan atau melibatkan dengan suatu hal. Kata implikasi memiliki persamaan kata yang cukup beragam, diantaranya adalah keterkaitan, keterlibatan, efek, sangkutan, asosiasi, akibat, konotasi, maksud, siratan, dan sugesti. Persamaan kata implikasi tersebut biasanya lebih umum digunakan dalam percakapan sehari-hari. Hal ini karena kata implikasi lebih umum atau cocok digunakan dalam konteks percakapan bahasa ilmiah dan penelitian. Pengertian implikasi menurut ahli belum ada yang dapat menjelaskannya secara jelas, hal ini dikarenakan cakupan arti implikasi yang luas. Menurut para ahli, pengertian implikasi adalah suatu konsekuensi atau akibat langsung dari hasil penemuan suatu penelitian ilmiah. Pengertian lainnya dari implikasi menurut para ahli adalah suatu kesimpulan atau hasil akhir temuan atas suatu penelitian. Telah disebutkan sebelumnya bahwa kata implikasi lebih erat kaitannya dengan kajian ilmiah atau hal-hal yang berhubungan dengan penelitian. Tujuan implikasi penelitian adalah membandingkan hasil penelitian yang sudah ada sebelumnya dengan hasil penelitian yang terbaru atau baru dilakukan melalui sebuah metode (http://www.ciputra-uceo.net/blog/2016/1/18/arti-kata-implikasi, diakses pada tanggal 28 Maret 2016 Pukul 19.25). 36 B. KERANGKA PEMIKIRAN Prinsip Negara Kesejahteraan (Welfare State) Amanat UUD NRI Tahun 1945 Pasal 23: APBN sebagai wujud pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Keuangan Negara Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Kekayaan Negara Kekayaan Negara yang tidak dipisahkan yang dipisahkan (APBN/APBD) (BUMN/BUMD) Penyertaan Modal Pemerintah Penambahan Pengurangan PT Semen Indonesia (Persero) Tbk Pelaksanaan Implikasi 37 Keterangan: Bagan kerangka pemikiran di atas menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah, dan menjabarkan, serta menemukan jawaban atas rumusan masalah penelitian hukum yang disusun, yaitu mengenai Pelaksanaan Penyertaan Modal Pemerintah Pada Badan Usaha Milik Negara di Perseroan Terbatas Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Studi di PT Semen Indonesia (Persero) Tbk). Berawal dari konsep negara kesejahteran (Welfare State) yaitu pemerintah mempunyai kewajiban sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya. Atas konsep tersebut, sesuai dengan amanat UUD NRI Tahun 1945 dijelaskan pada Pasal 23: APBN sebagai wujud pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya. Berdasarkan amanat dari UUD NRI Tahun 1945 tersebutlah, kemudian lahir Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Hal ini membuat keuangan negara mempunyai 2 penafsiran yaitu merupakan kekayaan yang tidak dipisahkan dan kekayaan yang dipisahkan. Kekayaan yang tidak dipisahkan yaitu meliputi APBN dan APBD. Sedangkan kekayaan yang dipisahkan yaitu meliputi BUMN dan BUMD. Kekayaan negara yang dipisahkan yang meliputi BUMN adalah suatu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan yang dipisahkan. Penyertaan ini lah yang disebut dengan penyertaan modal negara. Penyertaan modal negara adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN atau penetapan cadangan perusahaan atau sumber lain untuk dijadikan sebagai 38 modal BUMN dan/atau perseroan terbatas lainnya, dan dikelola secara korporasi. BUMN yang dimaksud dalam hal ini adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas dimana modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Dimana setiap tahunnya BUMN memberikan keuntungan atau dividennya kepada negara sebagai bentuk adanya penyertaan modal yang diberikan oleh pemerintah kepada BUMN. Oleh karenanya penulis ingin mengetahui pelaksanaan dan implikasi dari adanya penyertaan modal pemerintah pada BUMN di perseroan terbatas (Studi di PT Semen Indonesia (Persero) Tbk) ini jika dikaitkan dengan adanya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.