PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tidak ada seni, bahkan yang

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak ada seni, bahkan yang murni sekalipun, dapat diciptakan atau dipahami
secara terpisah dari politik pada masanya.
Mary Ginsberg (The Art of Influence, Asian Propaganda), 2013
Karya seni merupakan bagian dari ekspresi kebudayaan yang unik. Bukan
hanya karena dilihat dari kajian rupa visualnya saja, tetapi juga kajian - kajian
yang menyangkut eksistensi karya itu sendiri. Bagaimana hubungan kesenian
dengan konteks sosial di sekitarnya, politik kekuasaan yang mempengaruhi,
budaya konsumerisme, ruang publik, hingga praktik representasi dari perjuangan
kelas, adalah hal - hal yang tidak bisa dipisahkan dari eksistensi suatu karya seni.
Kota Yogyakarta menjadi salah satu tempat -atau katakanlah ruang- dimana kita
bisa melihat eksistensi kesenian sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
perkembangan sosio-kultur masyarakat perkotaan. Yogyakarta sendiri merupakan
salah satu pusat perkembangan kesenian di Indonesia yang salah satunya ditandai
dengan banyaknya pelaku kesenian yang produktif, baik yang berkelompok atau
perorangan. Para seniman - seniman ini bahkan seringkali memanfaatkan ruang
publik untuk membuat kegiatan ataupun acara - acara kesenian, sehingga
membuat masyarakat Yogyakarta menjadi terbiasa dengan kehadiran karya seni.
Salah satu contoh nyata yang dapat dilihat adalah tumbuh suburnya seni jalanan di
Yogyakarta dalam berbagai rupa seperti grafiti, mural, poster, dan seni instalasi.
1 Adapun seni jalanan atau street art sendiri sebenarnya merupakan bagian
dari seni publik yang termasuk ke dalam ranah seni rupa. Beberapa macamnya
yang sering dijumpai adalah grafiti, mural, stensil, poster jalanan atau dikenal juga
dengan wheatposter, dan seni instalasi. Ciri khas yang terdapat dalam seni jalanan
adalah penekanannya pada ekspresi kebebasan yang dituangkan dalam ruangruang publik. Tidak ada pakem khusus didalam jenis kesenian ini, sehingga hasil
bentukan karyanya pun sangat beragam. Namun hampir semua seni jalanan
memiliki kecenderungan untuk memuat wacana yang subversif, menyampaikan
ketidakpuasan atas kondisi sosial, atau digunakan sebagai ungkapan perlawanan
dan media propaganda.
Istilah seni jalanan untuk menyebut karya - karya seni yang ada di ruang
publik mulai populer pada awal tahun 1980, dan awal kemunculannya didahului
dan dipengaruhi oleh pergolakan sosial yang terjadi di Amerika Serikat. Pada
tahun 1970-an di tengah situasi perang dingin pasca perang dunia kedua, terjadi
gejolak sosial yang sangat tinggi akibat kentalnya diskriminasi rasial terhadap
orang-orang Afro-Amerika (ras kulit hitam keturunan Afrika) oleh orang kulit
putih. Sebagai bentuk luapan penolakan atas kondisi sosial tersebut, orang-orang
kulit hitam melakukan suatu perlawanan kebudayaan, salah satunya dengan seni
jalanan. Karenanya, seni jalanan dapat dinyatakan sebagai ungkapan perlawanan
terhadap wacana ataupun realita perkembangan sosial budaya yang terbaca
sebagai kekangan atau ancaman atau juga menjadi bentuk representasi dari
perjuangan kelas yang terdominasi.
2 Bila pernah menyusuri beberapa ruas jalan di Kota Yogyakarta, sempatkah
menemukan poster bergambar potret siluet wajah Wakil Presiden Indonesia 20102014, Boediono bertuliskan “ANTARA ADA DAN TIADA”, tertempel di dinding
Gambar 1.1 Poster Anti-­‐Tank “Antara Ada dan Tiada” (2012)
1
pertokoan? Atau poster bergambar potret siluet wajah aktivis HAM, Munir
bertuliskan “MENOLAK LUPA!”, tertempel di dinding jembatan dan papan
reklame - reklame iklan? Poster-poster yang memuat isu politis semacam ini
sering tampak menghiasi sudut-sudut dinding kota, di tiang - tiang listrik, dan
tempat publik lainnya selama beberapa tahun belakangan di Yogyakarta.
Pembuatnya adalah seorang seniman jalanan bernama Andrew Lumban Gaol,
seorang mahasiswa Akademi Seni Rupa dan Disain, Modern School of Design
(MSD) Yogyakarta, yang juga dikenal dengan nama alias “Anti-Tank.” Nama
Anti-Tank sekaligus juga menandai identitas poster dan aksi yang ia lakukan.
1
Anti-­‐Tank Project, “Antara Ada dan Tiada”, gambar diunduh dari http://antitankproject. wordpress.com, pada tanggal 14 Agustus 2014. 3 Poster - poster Anti-Tank sering menyuarakan ketidakadilan dan kesenjangan
sosial, diskriminasi terhadap minoritas dan perempuan, budaya politik yang
korup, atau penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah. Poster semacam ini
merupakan salah satu bentuk seni jalanan yang sering disebut dengan wheatpaste
poster, dan memang cenderung memuat pesan - pesan propaganda yang subversif.
2
Gambar 1.2 Poster Anti-­‐Tank “Menolak Lupa!” (2008) Apa yang membuat peneliti tertarik untuk membawa Anti-Tank kedalam
studi penelitian adalah bahwa Andrew menjadikan Anti-Tank sebagai sebuah
gerakan yang berusaha membagikan ide - ide kritis kepada publik (baca:
masyarakat) menyangkut isu sosial dan politik yang menrutnya penting untuk
disuarakan melalui media poster. Upaya Andrew dalam menjadikan Anti-Tank
sebagai
sebuah
gerakan
tidak
hanya
sekedar
membuat
poster
dan
menempelkannya di jalanan, tapi juga dengan caranya memanfaatkan media sosial
2
Anti-­‐Tank Project, “Menolak Lupa!”, gambar diunduh dari http://antitankproject. wordpress.com, pada tanggal 14 Agustus 2014. 4 seperti situs web blog dan Facebook untuk menularkan aksinya kepada banyak
orang. Dalam situs webnya, antitankproject.wordpress.com, Andrew mengunggah
seluruh desain poster buatannya dengan tujuan agar dapat diunduh oleh siapapun
untuk kemudian melakukan aksi serupa seperti menempelkan poster-poster di
tempat - tempat lain di luar Kota Yogyakarta. Dengan begitu, poster-poster yang
berisi propaganda ini dapat tersebar tidak hanya di Yogyakarta namun juga
daerah-daerah lain, sekaligus juga memperluas usaha mengajak publik untuk peka
dan kritis dengan fenomena keseharian yang terjadi. Selain mengunggah desain
karya, Andrew juga memakai websitenya untuk mempublikasikan aksi kegiatan
yang telah ia lakukan bersama proyek Anti-Tank ataupun me-review liputan dari
media cetak dan televisi yang membahas mengenai profil dan proyek Anti-Tanknya.
Aksi propaganda lewat seni jalanan terus dilakukan Andrew sejak tahun
2008 hingga sekarang. Dapat dibilang Andrew merupakan seniman jalanan di
Yogyakarta yang secara konsisten menyuarakan kritik sosial dan politik dalam
karyanya sekaligus mengajak publik untuk ikut memikirkan isu - isu yang tengah
terjadi di ruang publik mereka. Bila seniman jalanan memiliki kecenderungan
untuk menyembunyikan identitasnya sebagai pembuat karya dan hanya
menampilkan nama alias atau simbol tertentu sebagai perwakilan subyektivitas
atas dirinya, maka lain halnya dengan Andrew yang justru secara terang-terangan
dan terbuka menampilkan dirinya kepada publik sebagai dalang dari aksi
propaganda Anti-Tank-nya.
5 Apa yang dilakukan oleh Andrew lewat poster Anti-Tank-nya bisa jadi
merupakan sebuah bentuk praktik representasi atas spirit perlawanan lewat media
kesenian berupa poster jalanan (wheatpaste) dengan tujuan mengajak masyarakat
untuk bebas berbagi opini di ruang publik dengan kesadaran yang kritis dalam
merespon persoalan-persoalan sosial-politik yang mengarah pada dikotomi kelas,
sebagai upaya membangkitkan kesadaran kolektif di masyarakat. Menurut Mary
Ginsberg dalam bukunya The Art of Influence, Asian Propaganda (2013), karya karya seni yang memiliki muatan politis yang kuat, yang disebut seni
revolusioner, cenderung memilki pesan propaganda yang kuat. Propaganda tidak
selalu identik dengan nilai negatif, namun propaganda justru memiliki kekuatan
untuk membangkitkan kesadaran kolektif. Dalam kondisi masyarakat yang penuh
dengan gejolak sosial, propaganda dianggap sebagai bagian penting dari
pendidikan dan partisipasi politik. Propaganda punya kekuatan untuk mengecam,
membentuk dan menguatkan suatu sikap dan perilaku, serta meningkatkan
solidaritas kebangsaan. Karenanya, peneliti tertarik untuk membawa Anti-Tank
kedalam studi penelitian untuk mencari tahu bagaimana pesan propaganda bekerja
pada media kesenian untuk menyuarakan isu - isu sosial politik ke masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Peneliti menemukan fenomena menarik pada poster - poster jalanan yang
dibuat oleh Anti-Tank karena memuat dan menyuarakan isu - isu sosial politik di
ruang publik. Andrew Lumban Gaol, sebagai sosok dibalik Anti-Tank, tidak
hanya sekedar membuat dan menempel poster dengan muatan pesan sosial politik,
6 namun juga menjadikan aksinya sebagai proyek kolektif dengan mengajak publik
(baca: masyarakat) untuk ikut terlibat menyebarkan ide - ide kritis. Hal ini
dilakukannya dengan memanfaatkan media internet melalui situs web blog, untuk
menyebarkan poster - poster Anti-Tank beserta ideologi yang diusungnya ke
ruang yang lebih luas.
Dari gambaran diatas, peneliti melihat bahwa poster Anti-Tank termasuk
ke dalam bentuk seni revolusioner karena memiliki muatan politis dan memuat
pesan propaganda. Oleh Mary Ginsberg dalam bukunya The Art of Influence,
Asian Propaganda (2013) mengatakan bahwa seni revolusioner yang memiliki
muatan politis dan pesan propaganda dapat membangkitkan kesadaran kolektif.
Fenomena ini kemudian peneliti angkat ke dalam studi penelitian ilmiah dengan
rumusan masalah sebagai berikut; Bagaimana pesan propaganda ditampilkan
pada seni poster jalanan Anti-Tank untuk menyuarakan isu sosial politik ke
masyarakat?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan riset ilmiah berjudul Anti-Tank Project, Seni Poster Jalanan Politis
Sebagai Media Propaganda Menyuarakan Isu Sosial &Politik adalah;
1. Berupaya untuk menjelaskan bahwa seni jalanan menjadi salah satu
contoh bahwa eksistensi kesenian tidak dapat dipisahkan dari konteks
sosial, budaya, bahkan politik.
7 2. Berupaya menceritakan poster - poster Anti-Tank sebagai media
propaganda
dalam
upaya
membangkitkan
kesadaran
kolektif
di
masyarakat.
3. Berupaya menjelaskan proyek Anti-Tank sebagai praktik representasi
spirit
perlawanan
lewat
media
kesenian
berupa
poster
jalanan
(wheatpaste), karena menggunakan basis kebudayaan lewat makna dan
simbol untuk menyuarakan isu - isu sosial politik dari sudut pandang yang
terdominasi sebagai upaya melawan kekuasaan yang mendominasi melalui
sudut pandang cultural studies.
4. Berupaya membaca dan menceritakan simbol - simbol yang ada pada
poster - poster Anti-Tank untuk melihat makna dan pesan propaganda
didalamnya.
5. Berupaya menarik kesimpulan atas temuan dari praktik representasi yang
ditampilkan Anti-Tank dan simbol - simbol yang bekerja pada poster AntiTank untuk menyuarakan isu sosial & politik ke masyarakat.
D. Manfaat Penelitian
Seni poster jalanan Anti-Tank memiliki kekuatan pesan propaganda yang
berpotensi untuk membangkitkan kesadaran kolektif di masyarakat. Poster- poster
yang dibuat selalu konsisten menyuarakan isu sosial dan politik kepada publik.
Beberapa karya Anti-Tank terbilang cukup simpel bila dilihat dari kacamata
estetika seni, namun justru tidak terbawa arus perkembangan manifestasi seni
jalanan di era modern yang tengah mengedepankan unsur estetika dan kreatifitas
8 sebagai patron. Muatan politis dan pesan propaganda yang menjadi karakter kuat
dalam poster Anti-Tank justru memunculkan keunikan tersendiri. Adapun manfaat
yang dapat diperoleh dari riset ilmiah ini adalah;
1. Memberikan sumbangan kepada ilmu sosiologi mengenai hubungan antara
kesenian dengan konteks sosial, budaya, dan politik.
2. Menunjukkan poster propaganda Anti-Tank sebagai sebuah aksi atau
gerakan untuk menyuarakan isu - isu sosial politik dari kelompok yang
terdominasi sebagai upaya melawan kekuasaan yang mendominasi melalui
sudut pandang cultural studies.
3. Memberikan pemahaman baru tentang kesenian sebagai media propaganda
yang
ternyata
berpotensi
membangkitkan
kesadaran
kolektif
di
masyarakat.
E. Teori Pendukung
Secara umum, penggunaan teori dalam suatu penelitian berfungsi sebagai
pisau analisis yang berguna untuk menjelaskan fenomena dan rumusan masalah
yang diangkat, sehingga mampu mendukung pembahasan hasil penelitian.
Pemilihan teori juga perlu memperhatikan kesesuaian topik penelitian agar
mampu menjelaskan fenomena secara mendetail dan mendalam. Pada riset ilmiah
ini, peneliti mengangkat topik penelitian tentang kesenian sebagai bentuk ekspresi
budaya yang tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial yang ada di sekitarnya.
Poster dan gerakan Anti-Tank menjadi manifestasi dari hubungan antara kesenian
dengan konteks sosial yang mempengaruhi dan dipengaruhi. Bahkan aksi yang
9 dilakukan oleh Andrew lewat proyek Anti-Tank-nya dapat dilihat sebagai praktik
representasi atas ungkapan perlawanan, karena menggunakan basis kebudayaan
lewat makna dan simbol untuk menyuarakan isu - isu sosial politik dari sudut
pandang yang terdominasi sebagai upaya melawan kekuasaan yang mendominasi.
Berangkat dari gambaran tersebut, peneliti memakai pemikiran estetika dari
Walter Banjamin yang dipengaruhi oleh ideologi Marxis dan Neo-Marxis sebagai
teori pendukung untuk menjelaskan pentingnya penggunaan teknik artistik dalam
menciptakan karya seni yang bermuatan politis. Selain itu, peneliti juga
menyisipkan penjelasan paradigma tentang konsepsi seni sebagai media
propaganda sebagai penunjuk bahwa poster Anti-Tank merupakan empirisasi dari
seni sebagai media propaganda.
1. Teori Estetika Neo-Marxis Dari Walter Benjamin
Pada riset ilmiah ini, peneliti menggunakan pemikiran teori estetika dari
filsuf dan pemikir Neo-Marxis, Walter Benjamin sebagai teori pelengkap yang
juga masih relevan dengan konsep cultural studies. Walter Benjamin (1892 –
1940) merupakan salah satu pemikir terkenal di era Frankfurt School yang banyak
membahas tentang estetika dan kaitannya dengan muatan politik. Untuk
mendukung penjelasan poster - poster Anti-Tank dalam riset ilmiah ini, peneliti
hanya mengambil beberapa pemikiran dari dua esainya yang berjudul “The Author
as Producer” dan “The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction”.
Dasar pemikiran Walter Benjamin terletak pada pemahaman sastra atau
seni sebagai suatu kenyataan dan aktivitas sosial yang dapat menentukan sifat seni
itu sendiri. Dengan kata lain, seni tidak lagi dibatasi oleh nilai - nilai estetika
10 semata melainkan juga harus mampu mewakili sifat-sifat dan makna yang berakar
pada konteks sosial dimana ia dihasilkan. Benjamin percaya bahwa pembuatan
dan pengadaan karya seni harus dilakukan secara esoteris, demokratis, dan
memiliki muatan politis (politicising effect) yang kuat3. Sebuah karya sastra (seni)
mempunyai tendensi politik yang benar jika karya tersebut juga mempunyai
kualitas sastra (seni) yang baik4, begitupun juga sebaliknya. Bagaimana sebuah
karya mampu memiliki muatan politis yang kuat ialah terletak pada seberapa jauh
seniman memperlakukan bentuk dan teknik artistik yang tersedia baginya,
sehingga sang seniman dan penonton dapat bersama - sama menjadi kolabolator
seninya.
Lebih lanjut Benjamin mengatakan bahwa sastra atau seni, bergantung
pada penggunaan teknik – teknik produksi tertentu. Penggunaan teknik – teknik
ini juga mencakup serangkaian hubungan sosial antara antara produsen (seniman)
dengan audiensnya (penonton)5. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pandangan
marxisme yang melihat bahwa tahap perkembangan suatu model produksi
mencakup hubungan - hubungan produksi sosial tertentu. Dengan kata lain,
Benjamin hendak menegaskan bahwa ada proses dialektik dalam eksistensi suatu
karya seni. Bagi Benjamin, seorang seniman atau pengarang progresif seharusnya
tidak menerima begitu saja kekuatan - kekuatan artistik yang ada, melainkan
mengembangkan dan lebih mereveolusionerkan kekuatan - kekuatan artistik
3
A. Zaim Rofiqi, “Labirin Pemikiran Benjamin”, Majalah Basis, Tahun Ke-­‐50, September-­‐Oktober 2001, hal. 50. 4
Ibid, hal. 51. 5
Ibid, hal. 52. 11 tersebut. Dengan mengembangkan dan merevolusionerkan kekuatan - kekuatan
artistik yang tersedia baginya, berarti pengarang telah menciptkan hubungan
sosial antara pengarang dan pembacanya6.
2. Paradigma Tentang Konsepsi Seni Sebagai Media Propaganda
Peneliti menyertakan paradigma tentang konsepsi seni ke dalam riset
ilmiah ini karena dalam perkembangan sejarah kebudayaan terutama kesenian,
dikenal beberapa paradigma tentang konsepsi seni yang berkenaan dengan nilai nilai penciptanya. Untuk menjelaskan paradigma - paradigma konsepsi kesenian
ini, penulis berpedoman pada analisis Soeprapto Soedjono tentang Seni Sebagai
Media Propaganda (1993).
Ada dua paradigma besar tentang konsepsi seni, salah satunya menyatakan
bahwa nilai utama suatu karya seni terletak pada eksistensinya sebagai sesuatu
yang bebas dari pengaruh - pengaruh eksternal. Seni berada dalam dunianya
sendiri sementara hal-hal yang terkait dengan hubungan sosial dan politik berdiri
sendiri. Paradigma ini mendasarkan diri pada paham “seni untuk seni” yang
populer pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Pemahaman ini diambil dari
gagasan seorang politikus liberal klasik asal Prancis, Benjamin Constant (17671830) yang menyatakan “l’art pour l’art” dalam salah satu artikelnya yang dimuat
di Journal Time pada tahun 1895 dalam kaitannya dengan teori estetik Kant7.
6
A. Zaim Rofiqi, “Labirin Pemikiran Benjamin”, Majalah Basis, Tahun Ke-­‐50, September-­‐Oktober 2001, hal. 52. 7
Lihat: Soeprapto Soedjono, Seni Sebagai Media Propaganda: Studi Banding Karya Lukis El Greco dan Karya Drama Calderon (Yogyakarta: Institut Seni Indonesia, 1993), Hal 1. 12 Teori estetik Kant melihat bahwa karya seni harus memiliki kedudukan otonomi
tanpa harus mempedulikan tujuan dan fungsi keberadaannya.
Sementara ada paradigma lain yang menyatakan bahwa nilai utama suatu
karya seni tercermin pada kemampuannya untuk mengekspresikan perasaan atau
ide - ide tertentu. Pandangan ini dipengaruhi oleh teori - teori seperti teori estetika
Marxis dan Neo-Marxis yang menyatakan bahwa karya seni tidak dapat
dipisahkan dari konteks sosial, serta dapat dijadikan alat untuk menyampaikan
pesan dan ide tertentu dari seniman kepada masyarakat untuk pencapaian tujuan tujuan tertentu. Berangkat dari paradigma ini, maka seni dapat digunakan sebagai
media propaganda, dalam artian bahwa keberadaan seni dengan segala potensi
karakteristiknya, mampu berfungsi sebagai alat atau media penyampai ide atau
pesan, dan juga dapat mempengaruhi pemirsa dan penikmatnya.
Propaganda merupakan bagian dari bentuk komunikasi. Charles Larson
dalam bukunya Persuasion, Reception, and Responsibility (1989 : 360)
mengidentifikasi karakteristik propaganda sebagai berikut;
a. Sesuatu yang mengandung ideologi dan yang mencoba menawarkan
sistem kepercayaan (belief) atau dogma.
b. Dalam praktiknya menggunakan berbagai bentuk media komunikasi
massa dalam menawarkan ideologinya.
c. Bertujuan untuk menciptakan kesamaan (uniformity), baik dalam
kepercayaan (belief), sikap (attitudes), dan tingkah laku (behaviour)
dari para sasaran penerimanya.
13 Paradigma seni sebagai media propaganda menunjukkan bahwa karya seni
tidak hanya diciptakan untuk kepentingan artistik saja tapi juga untuk pencapaian
tujuan tertentu. Fenomena Anti-Tank telah menunjukkan bahwa kesenian dapat
digunakan sebagai media propaganda yang memiliki kemampuan untuk
membangkitkan
kesadaran
kolektif
di
masyarakat.
Karenanya,
peneliti
menggunakan paradigma seni sebagai media propaganda, yang berakar dari
pemahaman bahwa nilai utama suatu karya seni tercermin pada kemampuannya
untuk mengekspresikan perasaan atau ide - ide tertentu untuk pencapaian tujuan tujuan tertentu.
F. Tinjauan Pustaka
Dalam riset ilmiah ini, penulis menggunakan empat sumber pustaka
sebagai literatur acuan dan referensi. Ada satu sumber pustaka dari karya ilmiah
tesis yang dibuat oleh Syamsul Barry dengan judul Seni Jalanan Yogyakarta,
yang kemudian diterbitkan ke dalam sebuah buku berjudul Jalan Seni Jalanan
Yogyakarta. Peneliti juga menggunakan sumber pustaka dari buku tentang
beragam karya seni propaganda di akhir abad ke-19 berjudul The Art of Influence,
Asian Propaganda yang ditulis oleh Mary Ginsberg. Sementara sumber pustaka
yang lain, penulis menggunakan web blog Anti-Tank Project yang berisi karya karya poster Anti-Tank, esai singkat yang ditulis Andrew tentang poster posternya, informasi tentang agenda aksi dan gerakan Anti-Tank, serta arsip
artikel - artikel yang memberitakan Anti-Tank. Penulis juga memakai beberapa
14 artikel dari harian surat kabar yang memberitakan tentang poster - poster dan
gerakan Anti-Tank.
1. Syamsul Barry, Jalan Seni Jalanan Yogyakarta (2008)
Buku ini semula adalah tesis dengan judul Seni Jalanan Yogyakarta yang
dibuat oleh Syamsul Barry untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar
Magister Humaniora pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta. Apa yang dibahas dalam buku ini secara menyeluruh
bercerita tentang dinamika seni jalanan yang muncul dan berkembang di
Yogyakarta. Buku ini dibagi menjadi enam bab, dimana setiap bab memaparkan
hubungan seni jalanan dengan gerakan sosial lewat ekspresi - ekspresi sosial dan
budaya yang berbeda - beda.
Beberapa hal yang dijelaskan oleh Barry dalam bukunya antara lain;
sejarah kemunculan seni jalanan di dunia, perkembangan seni jalanan di
Yogyakarta dari masa ke masa dan konteks sosial politik yang mempengaruhi dan
dipengaruhinya, kromonisasi atau pergesearan seni jalanan menjadi salah satu
bagian dari fine art8, seni jalanan sebagai salah satu aktor dalam perebutan ruang
publik, dan seni jalanan sebagai bagian dari gerakan sosial dan perlawanan
terhadap dominasi politik dan budaya kapitalisme.
Buku ini mengangkat tema yang sama dengan riset ilmiah tentang poster
dan gerakan Anti-Tank, yaitu seni jalanan sebagai bentuk ekspresi budaya yang
tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial dimana dia berada. Pemaparannya yang
8
Sebutan untuk kesenian yang dianggap memenuhi kaidah-­‐kaidah seni dan ditempatkan dalam galeri. 15 gamblang tentang sejarah dan dinamika seni jalanan, membantu penulis dalam
menyusun pembahasan riset ilmiah ini. Apa yang kemudian memebedakan
dengan antara buku ini dengan riset ilmiah tentang poster dan gerakan Anti-Tank
adalah terletak pada fokus masalah yang diangkat. Buku ini menceritakan semua
bentuk ekspresi seni jalanan; grafiti, mural, poster, stiker dalam kaitannya sebagai
gerakan sosial dan dinamika sosial politik yang mempengaruhi dan dipengaruhi.
Sementara riset ilmiah ini memfokuskan pada penggunaan ekspresi - ekspresi
budaya pada poster Anti-Tank untuk menyuarakan isu - isu sosial politik ke
masyarakat.
2. Mary Ginsberg, The Art of Influence, Asian Propaganda (2013)
Sebuah buku berisi studi kontekstual yang menarik mengenai seni politik
di Asia, mencakup periode 1900 – 1976, disertai paparan analisis tentang
dinamika dari sejarah dan kebudayaan yang membentuk proses penciptaan karya karya tersebut. Buku ini sekaligus juga merupakan katalog pameran yang memuat
karya-karya seni politik yang muncul di negara - negara Asia, yang dipamerkan
dalam pameran seni di British Museum pada 30 Mei 2013 hingga 1 September
2013.
Lebih lanjut, buku berjudul The Art of Influence: Asian Propaganda yang
ditulis oleh Mary Ginsberg ini menerangkan bahwa seni yang dipadu dengan
muatan politik -disebut revolutionary art atau seni revolusioner- karena muncul
dari adanya suatu pergolakan sosial, umumnya memiliki sifat propaganda dengan
pesan politik yang dimaksudkan untuk memotivasi atau menghasut. Propaganda
sendiri tidak selalu bernilai negatif, yang terkadang oleh sebagian orang dipahami
16 sebagai suatu kejahatan atau tindakan yang bersifat manipulatif. Namun lebih dari
itu, propaganda memiliki kekuatan untuk membangkitkan kesadaran kolektif.
Dalam kondisi masyarakat yang penuh kecamuk revolusi atau berada
dalam masa perang, propaganda dianggap sebagai bagian penting dari pendidikan
dan partisipasi politik. Propaganda punya kekuatan untuk mengecam; membentuk
dan menguatkan suatu sikap dan perilaku; dan meningkatkan solidaritas
kebangsaan, kelas sosial atau unit kerja. Mary Ginsberg, penulis buku ini
mengeksplorasi tema - tema karya seni propaganda dalam kehidupan sehari - hari,
semisal tentang kepahlawanan, reproduksi sejarah kultural tertentu, simbol-simbol
sosial, perselisihan, gender dan hak asasi manusia, dan nilai - nilai semangat
revolusi yang menginspirasi.
Ada lebih dari 100 karya seni dari China, Jepang, Vietnam, India, dan
negara-negara lain yang dimuat dalam buku ini. Diantaranya memamerkan karya
seni produksi 1900 – 1930 yang penuh dengan pesan revolusioner, era perang
Asia Pasifik pada tahun 1931 – 1945, rekonstruksi pasca perang di pasca era
1945, dinamika masyarakat modern pada era 1976 – sekarang, serta tema karya karya seni lainnya yang disisipi muatan propaganda tentang kehidupan sehari hari. Karya - karya seni yang ditampilkan memiliki beragam bentuk dan sering
mengungkapkan seni sebagai agen budaya politik, diantaranya seperti poster,
cetakan gambar, kartun, kaligrafi, keramik, papercut atau seni potongan kertas,
tekstil, dan ukiran - ukiran seni dimana semua karya tersebut sengaja dirancang
dan dibentuk untuk menggugah hati dan pikiran.
17 3. Web Blog Anti-Tank Project
Peneliti menjadi sangat terbantu karena Andrew sebagai pembuat poster
Anti-Tank dan penggagas gerakan ini, secara terbuka memanfaatkan media online
berupa web blog untuk berbagi dan menyebarluaskan poster - poster dan aksi
gerakan Anti-Tank. Blog dengan nama Anti-Tank Project yang beralamat di situs
http://antitankproject.wordpress.com ini memuat karya - karya desain poster AntiTank, esai singkat yang ditulis Andrew tentang poster - posternya, informasi
tentang agenda aksi dan gerakan Anti-Tank, serta arsip artikel - artikel dan media
informasi lain yang memberitakan Anti-Tank yang diambil dari berbagai media
cetak seperti harian surat kabar, surat kabar online, majalah, dan video
dokumenter.
Peneliti menggunakan informasi - informasi yang ada pada web blog AntiTank Project sebagai salah satu pedoman dan data informasi untuk analisis
pembahasan pada riset ilmiah ini. Bahkan beberapa diantaranya dipakai sebagai
sumber informasi utama seperti desain - desain poster Anti-Tank yang juga ikut
diunduh oleh peneliti, postingan arsip-arsip artikel tentang Anti-Tank dari media
cetak dan media online seperti harian surat kabar dan majalah, serta berbagai
tulisan esai dan cerita tentang muatan pesan pada poster - poster Anti-Tank.
4. Harian Surat Kabar Cetak dan Surat Kabar Online
Sejak tahun 2012, gerakan Anti-Tank semakin sering dipublikasikan lewat
media massa terutama harian surat kabar. Peneliti beberapa kali menjumpai harian
surat kabar lokal seperti Tribun Jogja, Kedaulatan Rakyat, dan Harian Jogja yang
memuat berita tentang Anti-Tank selama tahun 2013. Berita yang dimuat
18 memaparkan gerakan Anti-Tank lewat poster-posternya, seperti contoh artikel
berita bertajuk Andrew Sadar Tak Pandai Menulis – Anti Tank Sukses Buat
Propaganda Melalui Media Poster yang dimuat di Harian Tribun Jogja edisi
Jumat, 4 Oktober 2013 halaman 15; atau artikel lainnya yang berjudul Bangkitkan
Kesadaran Lewat Poster dalam Harian Jogja edisi Minggu, 25 Agustus 2013
halaman 4.
Artikel - artikel tentang Anti-Tank yang dimuat dalam harian surat kabar
ini biasanya menceritakan latar belakang dan misi Andrew menciptakan gerakan
Anti-Tanknya atau mengupas soal isu-isu yang diangkat oleh Andrew ke dalam
posternya. Selain harian surat kabar, media online juga sering meliput dan
mempublikasikan berita - berita menyangkut Anti-Tank, bahkan dengan intenitas
yang lebih tinggi. Beberapa media online terkait yang pernah peneliti jumpai
adalah surat kabar elektronik seperti TEMPO.CO yang memuat berita bertajuk
Posters of Protest tertanggal 12 Agustus 2013, dan jurnal elektronik milik Asian
Wall Street Journal yang memuat tulisan singkat dengan judul Jogja’s Political
Street Art Flourishes tertanggal 11 Agustus 2013.
Informasi - informasi terkait Anti-Tank yang diberitakan lewat berbagai
surat kabar cetak dan online membantu peneliti untuk memperoleh lebih banyak
data penelitian tentang latar belakang dan gerakan Anti-Tank. Disamping itu,
catatan atau tulisan di media massa terlebih media cetak dan media online juga
merupakan sumber literatur yang bisa dipertanggungjawabkan. Oleh karena dua
hal tersebut, peneliti menjadikan berbagai berita dan tulisan terkait Anti-Tank di
19 media cetak maupun media online sebagai salah satu tinjuan pustaka dalam
penelitian ini.
G. Metodologi Penelitian
Secara garis besar, penelitian ini menggunakan cara pandang cultural
studies. Chris Barker dalam bukunya Cultural Studies, Theory and Practice
(2000), menyebut bahwa cultural studies merupakan suatu arena interdisipliner
yang menggunakan banyak perspektif dari disiplin yang berlainan dalam rangka
menguji
hubungan
antara
kebudayaan
dengan
kekuasaan.
Tidak
ada
pengkategorian yang umum dan diterima secara universal tentang apa itu cultural
studies. Stuart Hall menyebutkan bahwa ada yang dipertaruhkan dalam cultural
studies yang kemudian membedakan dirinya dari wilayah disiplin lain yaitu
hubungan cultural studies dengan persoalan kekuasaan dan politik, serta
hubungannya dengan praktik representasi dari dan untuk kelompok - kelompok
sosial yang terpinggirkan (kelas, gender, dan ras)9.
Ada perdebatan dalam merumuskan metodologi seperti apa yang dipakai
dalam studi cultural studies sebagai bidang pengetahuan yang kompleks. Dalam
buku Cultural Studies, Theory and Practice (2000 : 29) disebutkan bahwa ada tiga
pendekatan yang biasa digunakan dalam cultural studies sebagai acuan
metodologi yaitu pendekatan etnografi, pendekatan tekstual atau semiotika, dan
beberapa studi resepsi. Bila mengacu pada rumusan masalah yang telah ditetapkan
dalam studi penelitian ini, yaitu hendak membaca simbol - simbol simbol pada
9
Chris Barker, Nurhadi (Terj), Cultural Studies, Teori & Praktik, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2013, hal. 6. 20 poster Anti-tank, maka peneliti memilih pendekatan semiotika sebagai metode
yang paling relevan digunakan.
Menurut Umberto Eco dalam bukunya A Theory of Semiotics (1976:7),
semiotika berkaitan dengan segala hal yang dapat dimaknai sebagai suatu tandatanda10. Dalam penjelasan selanjutnya, Umberto Eco menambahkan bahwa
sebuah tanda adalah segala sesuatu yang dapat dilekati (dimaknai) sebagai
penggantian yang signifikan untuk sesuatu yang lainnya. Sementara Chris Barker
dalam bukunya Cultural Studies, Theory and Practice (2000) mengatakan bahwa
semiotika mengeksplorasi bagaimana makna yang terbentuk oleh teks diperoleh
melalui penataan tanda dengan cara tertentu dan melalui penggunaan kode - kode
kultural11.
Semiotika sebagai pendekatan untuk melihat tanda di dalam suatu
kebudayaan, juga dipakai untuk melihat bentuk - bentuk komunikasi yang tercipta
atas tanda-tanda. Semiotika ingin melihat bahwa ada maksud tidak langung dari
suatu bentuk komunikasi. Ada suatu kepercayaan dalam pendekatan semiotika
bahwa tanda - tanda merupakan fenomena yang kompleks dan menuntut untuk
dipahami secara teliti dan penuh pertimbangan. Tanda memiliki arti dan fungsi
baik yang tampak maupun yang tersembunyi.
Untuk menganalisis simbol-simbol pada poster Anti-Tank, peneliti lebih
memilih untuk menggunakan analisis semiotika pascastrukturalisme. Istilah
pascastrukturalisme memiliki pengertian kritik dan dekonstruktif. Dalam cultural
10
Baca: Arthur Asa Berger (terj: M. Dwi Marianto & Sunarto), Tanda-­‐Tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer: Suatu Pengantar Semiotika (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), hal. 4. 11
Baca: Chris Barker (terj: Nurhadi), Cultural Studies, Teori & Praktik, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2013, hal. 33. 21 studies, pascastrukturalisme menolak ide tentang struktur stabil yang melandasi
makna melalui pasangan biner tetap (hitam-putih; baik-buruk)12. Disini makna
justru dilihat sebagai sesuatu yang tidak stabil. Barker menyebutkan bahwa makna
tidak stabil karena tidak memiliki sumber asal-usul yang tunggal, namun ia adalah
hasil dari hubungan antarteks yang kemudian disebut dengan intertekstualitas
(Barker, 2000:17).
Selanjutnya peneliti berpedoman pada pemikiran Jacques Derrida yang
mendasarkan analisis teks pada semiotika pascastrukturalisme. Derrida sendiri
merupakan seorang analis semiotika yang mengamini intertekstualitas namun
dengan penegasan bahwa makna selalu tidak stabil (tidak ada makna yang tetap
dan bersifat universal), fokus pemikirannya ada pada bahasa dan dekonstruksi.
Dalam tekstualitas, Derrida menyebut bahwa tanda adalah segala-galanya bahkan
melebihi kebenaran itu sendiri, tidak ada makna yang beredar diluar representasi,
sehingga tulisan atau teks adalah satu-satunya sumber makna. Secara sederhana,
analisis semiotika yang mengacu pada pemikiran Derrida ialah membebaskan diri
dari pola struktur hubungan tanda dan makna. Sebuah teks dapat dipahami secara
bebas oleh setiap pembaca dengan interpretasi makna yang bisa berbeda-beda
karena teks adalah sumber makna itu sendiri. Dalam menganalisis simbol - simbol
pada poster Anti-Tank, peneliti ikut memposisikan diri sebagai pembaca.
12
Baca: Chris Barker (terj: Nurhadi), Cultural Studies, Teori & Praktik, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2013, hal. 20. 22 1. Lokasi Penelitian
Anti Tank menggunakan seni poster jalanan sebagai media propaganda
menyuarakan isu sosial-politik muncul pertama kali di wilayah Kota Yogyakarta
dan sekitarnya. Andrew Lumban Gaol sebagai pembuat poster dan penggagas
gerakan ini, adalah seorang mahasiswa tingkat akhir Akademi Seni Rupa dan
Disain, Modern School of Design (MSD) Yogyakarta ketika riset ini sedang
berjalan. Oleh karena itu, lokasi penelitian ini mengambil ruang publik yang ada
di Kota Yogyakarta dan sekitarnya yaitu daerah perbatasan Kabupaten Sleman
dengan kota dan perbatasan Kabupaten Bantul dengan kota.
Namun dikarenakan riset ilmiah ini lebih ingin mengkaji penggunaan
ekspresi - ekspresi budaya pada poster Anti-Tank dengan cara membaca dan
menginterpretasi simbol - simbol yang ada melalui sudut pandang peneliti, maka
batasan lokasi penelitian dalam riset ini tidak akan terlalu siginifikan
mempengaruhi hasil penelitian. Selain itu, proyek Anti-Tank merupakan bentuk
proyek kolektif dimana poster - poster ini disebarkan melalui internet sehingga
poster - poster Anti-Tank dapat ditemui di banyak tempat hingga di luar wilayah
Kota Yogyakarta. Adapun pembatasan lokasi penelitian di Yogyakarta dilakukan
hanya untuk mencari data - data pelengkap, yaitu dengan mendatangi tempat tempat yang sering dijadikan Andrew bergaul dan bersosialisasi seperti di Garage
Survive (Kasihan, Bantul), Titik Nol Kilometer, dan gedung - gedung pameran
seni.
23 2. Teknik Pemilihan Informan
Seperti telah disebutkan sebelumnya, studi penelitian ini lebih ingin
mengkaji penggunaan simbol - simbol pada poster Anti-Tank lewat pendekatan
semiotika pascastrukturalisme yang memposisikan peneliti sebagai pembaca.
Sehingga interpretasi dari sudut pandang penulis merupakan data primer dalam
penelitian ini. Sementara informasi dan data - data dari orang lain digunakan
sebagai data pendukung dan pelengkap. Andrew sebagai seniman yang membuat
poster - poster Anti-Tank dan aktor penggagas gerakan tetap dipilih menjadi
informan kunci dalam riset ini. Namun, peneliti menaruh batasan dan memberi
jarak untuk tidak menanyakan atau berdiskusi tentang simbol dan gambar pada
poster Anti-Tank agar tidak mempengaruhi sudut pandang peneliti untuk
menginterpretasi simbol - simbol tersebut.
Peneliti juga akan menyertakan beberapa informan diluar informan kunci
untuk mendukung dan melengkapi data - data yang sekiranya dibutuhkan dalam
penelitian ini. Informan - informan pendukung yang dipilih adalah orang - orang
yang dekat atau berada dalam lingkaran sosial Andrew, termasuk juga rekan rekan peneliti yang telah mengenal Andrew lebih dulu. Pemilihan informan
pendukung ini sifatnya opsional, tergantung pada kebutuhan peneliti dalam
mencari informasi - informasi tambahan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pada studi penelitian ini, peneliti lebih banyak mengumpulkan data lewat
literatur - literatur dan referensi yang membahas dan menceritakan tentang seni
sebagai media propaganda, hubungan antara kesenian dengan konteks sosial dan
24 politik, serta poster dan gerakan Anti-Tank. Adapun data - data lapangan hanya
difungsikan sebagai data pendukung dan pelengkap. Berikut ini adalah beberapa
teknik pengumpulan data yang dipakai oleh peneliti;
a. Mengumpulkan dan Membaca Literatur
Peneliti menggunakan beberapa tinjauan pustaka sebagai salah satu
sumber data utama dalam membahas dan menganalisis poster dan gerakan
Anti-Tank. Beberapa diantaranya adalah buku dengan judul Jalan Seni
Jalanan Yogyakarta dan The Art of Influence, Asian Propaganda seperti
yang telah dijelaskan pada bagian tinjauan pustakan. Literatur lain yang
dipakai adalah artikel - artikel dari harian surat kabar yang pernah memuat
berita tentang Anti-Tank.
Adanya web blog Anti-Tank Project juga menjadi salah satu
sumber data dan informasi bagi peneliti. Blog dengan nama Anti-Tank
Project yang beralamat di situs http://antitankproject.wordpress.com ini
memuat karya - karya desain poster Anti-Tank, esai singkat yang ditulis
Andrew tentang poster - posternya, informasi tentang agenda aksi dan
gerakan Anti-Tank, serta arsip artikel - artikel dan media informasi lain
yang memberitakan Anti-Tank yang diambil dari berbagai media cetak
seperti harian surat kabar, surat kabar online, majalah, dan video
dokumenter.
Web blog Anti-Tank Project dibuat dan dikelola sendiri oleh
Andrew, sehingga blog ini menjadi semacam arena komunikasi antara
Andrew dengan publik. Karena blog ini menjadi salah satu arena
25 komunikasi Andrew terkait proyek Anti-Tank-nya, maka segala data dan
informasi yang ada di blog tersebut merupakan bentuk informasi langsung
dari Andrew.
b. Observasi Partisipatoris
Observasi partisipatoris atau pengamatan terlibat dipilih sebagai
metode pengumpulan data untuk mendapatkan penggambaran data secara
detail yang mungkin tidak tersampaikan oleh informan lewat wawancara.
Pada dasarnya, observasi membantu peneliti untuk dapat memahami kodekode, tanda-tanda, dan tingkah laku dari subyek atau obyek yang diteliti.
Dalam riset ilmiah ini, observasi partisipatoris digunakan untuk
mendapatkan data - data yang ada di lapangan sebagai data pendukung dan
pelengkap, serta membantu proses korelasi data yang didapat dari literatur
dengan data di lapangan.
Observasi partisipatoris dilakukan pada setiap kali pertemuan
peneliti dengan Andrew, hal ini dilakukan untuk mengetahui lingkaran
sosialnya, dengan komunitas apa saja dan seperti apa dia bergaul,
bagaimana cara pergaulan dan interaksinya dengan orang lain, bagaimana
dan seperti apa ketika Andrew sedang membuat karya, dan lain - lain.
c. Wawancara
Teknik pengumpulan data juga akan dilakukan dengan wawancara
untuk mendapatkan informasi pendukung dan pelengkap. Jika berpedoman
pada teknik pemilihan informan, maka khusus untuk Andrew, peneliti
hanya melakukan wawancara seperlunya dan sebisa mungkin selama masa
26 penelitian tidak terlibat dalam diskusi panjang apalagi hingga menyangkut
soal pemakaian simbol, makna, dan alasan pemilihan simbol tersebut. Hal
ini dilakukan agar cara pandang peneliti tidak terpengaruh oleh pemikiran
Andrew saat nanti membaca dan menginterpretasi simbol - simbol pada
poster Anti-Tank.
Peneliti hanya membatasi pertanyaan wawancara pada identitas
Andrew, latar belakang proyek Anti-Tank dan tujuan - tujuan yang
mendasarinya, ideologi yang dipegang oleh Andrew, cara pandang
Andrew terhadap seni jalanan dan gerakan sosial, dan cerita - cerita
tentang pengaruh apa yang muncul di publik oleh karena kehadiran
posternya. Teknik wawancara juga dilakukan secara spontan, sebagaimana
adanya bersosialisasi, menghilangkan kesan sebagai peneliti dengan
informan yang diteliti.
27 
Download