BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Pemahaman konsep sangat penting dimiliki oleh siswa SMP. Di dalam
Permendikbud nomor 64 tahun 2013 telah disebutkan bahwa siswa memahami
konsep berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni,
dan budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata yang membuat belajar
menjadi bermakna (Mendikbud, 2013), sehingga penting. Selain itu, Anderson &
Krathwohl (2010) mengemukakan bahwa dengan memahami konsep, siswa akan
memiliki kemampuan mendasar untuk mentransfer pengetahuan yang biasa
ditekankan di sekolah-sekolah. Yang terpenting lagi yaitu bahwa pemahaman
konsep menjadi bekal bagi mereka untuk menggunakan apa yang telah dipelajari
atau mengaplikasikan pengetahuan guna mengerjakan soal latihan atau
menyelesaikan masalah (Anderson & Krathwohl, 2010, hlm. 116). Pemahaman
konsep
merupakan
kemampuan
membangun
makna
dari
pesan-pesan
pembelajaran yang ada, baik yang diucapkan, ditulis, ataupun yang digambar oleh
guru (Bloom dalam Hamalik, 2007, hlm. 78; Makmun, 2009, hlm. 167; Makmun,
2009, hlm. 187; Anderson & Krathwohl, 2010, hlm. 100). Pemahaman konsep
termasuk ke dalam dimensi proses kognitif tingkat kedua (C2) dan memiliki
empat dimensi pengetahuan, yaitu pengetahuan faktual, konseptual, prosedural,
dan metakognitif (Anderson & Krathwohl, 2010, hlm. 40). Pemahaman konsep
terdiri atas menafsirkan, mencontohkan, mengklasifikasikan, merangkum,
menyimpulkan, membandingkan, dan menjelaskan (Anderson & Krathwohl,
2010). Fasilitas untuk melatihkan pemahaman konsep dapat dikatakan optimal
apabila proses kognitif yang dialami oleh siswa diperoleh melalui proses
pengetahuan yang sesuai (Anderson & Krathwohl, 2010).
Berdasarkan hasil observasi terhadap proses pembelajaran di dalam kelas
pada materi suhu dan kalor, ditemukan bahwa fasilitas untuk melatihkan
pemahaman konsep belum optimal. Fasilitas untuk melatihkan pemahaman
konsep yang dimaksudkan di sini adalah berupa proses dari berbagai dimensi
pengetahuan yang merupakan cara bagi siswa untuk memperoleh pengetahuan
Nokadela Basyari, 2015
Penerapan Levels Of Inquiry Pada Tingkat Interactive Demonstration Untuk Meningkatkan
Pemahaman Konsep Pesawat Sederhana Siswa Smp
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
2
(Anderson & Krathwohl, 2010). Contohnya, baik pada bagian awal maupun pada
bagian akhir pembelajaran tentang kalor yang melatihkan aspek mencontohkan,
siswa tidak diberi contoh secara faktual yang menunjukkan bahwa sewaktu
menguap zat memerlukan kalor. Dalam arti kata, siswa mencontohkan dengan
cara mengetahui bahwa hal-hal yang disampaikan merupakan contoh dari
penguapan zat. Padahal proses kognitif mencontohkan itu seharusnya diperoleh
siswa melalui proses pengetahuan faktual. Contoh lainnya, dalam melatihkan
aspek menyimpulkan, siswa tidak mengalami kesimpulan melalui dimensi
pengetahuan yang seharusnya mengenai penguapan yang dapat terjadi pada suhu
sembarang. Dalam arti kata, siswa menyimpulkan dengan mengetahui bahwa halhal yang disampaikan adalah kesimpulan dari penguapan zat. Padahal, proses
kognitif menyimpulkan itu seharusnya diperoleh siswa melalui proses
pengetahuan konseptual (pada bagian proses menggeneralisasi). Begitupula
dengan aspek yang lainnya. Ini berdampak pada hasil tes kemampuan kognitif
siswa pada materi suhu dan kalor di dalam kelas tersebut yaitu ditemukan 49%
siswa memiliki nilai di bawah 65.38 (lebih kecil dari KKM).
Dampak dari masalah di atas diperkuat dengan temuan berdasarkan hasil
angket tentang tanggapan siswa terhadap fisika, yaitu terdapat beberapa kendala
yang dialami oleh siswa. Hasil angket menunjukkan 52.86% siswa sulit
memahami konsep-konsep fisika dan 44.29% siswa menyatakan bahwa konsepkonsep fisika tidak bertahan lama dalam ingatan mereka.
Hasil angket tanggapan siswa diperkuat dengan hasil wawancara penulis
dengan salah seorang guru fisika pada salah satu SMP di Bandung. Hasil
wawancara tersebut menunjukkan bahwa siswa kebanyakan sulit dalam dua
proses kognitif, yaitu menyimpulkan dan menjelaskan.
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti selama melaksanakan praktek
mengajar pada salah satu SMP di Bandung, diketahui bahwa siswa-siswa SMP
yang pada umumnya berusia 11 tahun ke atas memang sulit dalam memahami
konsep. Menurut Piaget (dalam Dahar, 1989), siswa yang berusia 11 tahun ke atas
berada pada tingkat perkembangan intelektual operasional formal. Menurut Flavel
(dalam Dahar, 1989), siswa yang berada pada tingkat perkembangan ini ditandai
dengan munculnya kemampuan berpikir adolesensi (hipotesis-deduktif), berpikir
Nokadela Basyari, 2015
Penerapan Levels Of Inquiry Pada Tingkat Interactive Demonstration Untuk Meningkatkan
Pemahaman Konsep Pesawat Sederhana Siswa Smp
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
3
proporsional, dan berpikir kombinatorial. Dengan memanfaatkan ketiga
kemampuan ini, seharusnya siswa telah memiliki kemampuan kognitif untuk
memahami konsep.
Untuk
mengatasi
masalah
yang
sudah
dipaparkan
tadi,
proses
pembelajaran yang biasanya adalah berupa proses kognitif yang diperoleh melalui
penyampaian-penyampaian secara lisan, harus diperbaiki. Pembelajaran tersebut
harus sesuai dengan standar proses Kurikulum 2013 yang tercantum dalam
Permendikbud nomor 65 tahun 2013 (Mendikbud, 2013), bahwa untuk mencapai
kemampuan kognitif memahami sebaiknya dilakukan dengan cara menerapkan
proses inquiry. Dalam Permendikbud nomor 65 tahun 2013 (Mendikbud, 2013)
tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah telah disebutkan bahwa
pemerintah menghendaki pembelajaran yang menggunakan pendekatan ilmiah
(scientific approach). Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan ilmiah
dipandang dapat memfasilitasi proses kognitif memahami. Penerapan proses
inquiry ternyata sulit dilakukan. Siswa yang terbiasa belajar dengan menerima
konsep atau tidak mengalami konsep melalui proses pengetahuan dari dimensi
faktual maupun konseptual telah mengalami kesulitan dalam menghadapi
beberapa pertanyaan menyelidik pada proses inquiry. Sehingga membuat guru
terpaksa mengambil kendali pada kegiatan yang dihadapi oleh siswa.
Siswa belum optimal dalam memanfaatkan kemampuan-kemampuan yang
mendasari proses inquiry. Untuk siswa SMP, tingkatan levels of inquiry yang
mungkin dapat diterapkan adalah terbatas pada tingkatan inquiry lab. Sedangkan
tingkatan sesudah itu (yaitu real world application dan hypothetical inquiry)
membutuhkan intellectual sophistication yang lebih tinggi, yang dapat diterapkan
pada jenjang SMA (Wenning, 2005). Selain itu, karakteristik siswa SMP yang
berusia 11 tahun ke atas yaitu memiliki kemampuan intelektual pada tingkat
operasional formal sulit diajak untuk melakukan real world application dan
hypothetical inquiry yang membutuhkan kemampuan intelektual yang lebih
tinggi.
Wenning (2005) menawarkan sebuah hirarki mengajar yang dinamakan
dengan levels of inquiry untuk diterapkan dalam pembelajaran sesuai dengan
intellectual sophistication dan locus of control sebagai cara untuk membelajarkan
Nokadela Basyari, 2015
Penerapan Levels Of Inquiry Pada Tingkat Interactive Demonstration Untuk Meningkatkan
Pemahaman Konsep Pesawat Sederhana Siswa Smp
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
4
proses inquiry secara lebih efektif. Latar belakang munculnya levels of inquiry
oleh Wenning adalah bahwa cara-cara inquiry berupa demonstration, lesson, dan
lab yang sebelumnya tidak memiliki kerangka atau tampak tidak teratur dalam
tubuh pengetahuan kemudian dikembangkan oleh Wenning (2005) agar dapat
disatukan dan tampak teratur dalam sebuah kerangka/hirarki. Kerangka/hirarki
dari tubuh pengetahuan yang dikembangkan tersebut dinamakan dengan levels of
inquiry yang terdiri atas enam tingkatan (yaitu discovery learning, interactive
demonstration, inquiry lesson, inquiry lab, real world application, dan
hypothetical inquiry). Kerangka/hirarki tersebut dikembangkan berdasarkan kadar
kemampuan intellectual sophistication siswa dan locus of control di dalam kelas
dengan tujuan agar proses inquiry dapat dilaksanakan secara efektif (Wenning,
2005). Semakin tinggi tingkatan levels of inquiry-nya, maka semakin
meningkatlah kemampuan intellectual sophistication yang dibutuhkan dan
semakin berkurang locus of control yang diberikan oleh guru dalam pembelajaran.
Levels of inquiry membelajarkan proses inquiry dari tingkatan yang paling
sederhana sampai pada tingkatan yang paling kompleks.
Cara-cara inquiry dalam levels of inquiry dipandang dapat melatihkan
pemahaman konsep (Wenning, 2005). Berdasarkan karakteristiknya, levels of
inquiry sudah memfasilitasi untuk memahami bagaimana mengajarkan proses
penyelidikan ilmiah (Wenning, 2005). Carin & Sund dalam Putra (2013, hlm. 61)
mengemukakan bahwa siswa perlu difasilitasi pembelajaran yang dapat
melatihkan siswa tentang cara-cara untuk melakukan sesuatu sehingga mereka
secara aktif dapat mengkonstruksi/membangun konsep, prinsip, dan generalisasi
melalui proses ilmiah. Dengan demikian, levels of inquiry dipandang penting dan
memiliki nilai tambah dalam melatihkan siswa memahami konsep.
Penerapan levels of inquiry yang sudah teruji masih jarang dilakukan di
Indonesia. Siswa SMP di Indonesia tentu belum terbiasa belajar dengan levels of
inquiry. Keterampilan-keterampilan yang mungkin dapat dilakukan oleh siswa
SMP di Indonesia masih dalam persentase 24.32% dari persentase maksimal
intellectual sophistication dalam levels of inquiry. Berdasarkan data ini, siswa
SMP yang keadaannya masih tahap awal dalam melakukan levels of inquiry
Nokadela Basyari, 2015
Penerapan Levels Of Inquiry Pada Tingkat Interactive Demonstration Untuk Meningkatkan
Pemahaman Konsep Pesawat Sederhana Siswa Smp
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
5
dipandang dapat belajar dengan levels of inquiry pada tingkat interactive
demonstration.
Materi pokok yang digunakan pada penelitian ini adalah pesawat
sederhana. Materi tersebut dikembangkan dari Kompetensi Dasar 3.5, yaitu
mendeskripsikan kegunaan pesawat sederhana dalam kehidupan sehari-hari dan
hubungannya dengan kerja otot pada struktur rangka manusia. Gagasan
penggunaan materi pesawat sederhana dalam menerapkan levels of inquiry pada
tingkat interactive demonstration untuk meningkatkan pemahaman konsep
dilandasi oleh beberapa contoh teoritis. Pertama, kata kerja operasional
mendeskripsikan berdasarkan kompetensi dasar untuk materi ini termasuk ke
dalam
kategori
memahami
(Permendikbud
Nomor
68,
2013).
Kedua,
mendeskripsikan dapat dijabarkan menjadi menunjukkan, mengurutkan, menulis
ulang, menafsirkan, mendefinisikan, dll. sesuai dengan aspek-aspek memahami
menurut Anderson (Mulyasa, 2006). Ketiga, salah satu contoh materi yang cocok
dengan levels of inquiry pada tingkat interactive demonstration adalah gaya apung
(Wenning, 2005). Materi pesawat sederhana yang di dalamnya terdapat konsep
gaya, usaha, dan energi juga cocok dengan levels of inquiry pada tingkat
interactive demonstration sebagaimana yang dicontohkan oleh Wenning dalam
jurnalnya.
Penelitian ini mensintesis RPP levels of inquiry pada tingkat interactive
demonstration yang telah teruji penerapannya pada materi pesawat sederhana
siswa SMP.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis melaksanakan penelitian ini
dengan judul: “Penerapan Levels of Inquiry Pada Tingkat Interactive
Demonstration
untuk
Meningkatkan
Pemahaman
Konsep
Pesawat
Sederhana Siswa SMP”.
B. Rumusan Masalah Penelitian
Bertitik tolak dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian
ini adalah bagaimanakah penerapan levels of inquiry pada tingkat interactive
demonstration dapat meningkatkan pemahaman konsep pesawat sederhana siswa
SMP?
Nokadela Basyari, 2015
Penerapan Levels Of Inquiry Pada Tingkat Interactive Demonstration Untuk Meningkatkan
Pemahaman Konsep Pesawat Sederhana Siswa Smp
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
6
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka beberapa pertanyaan yang
dapat dikembangkan adalah sebagai berikut.
a. Bagaimanakah penerapan levels of inquiry pada tingkat interactive
demonstration dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa pada setiap sub
materi pesawat sederhana?
b. Bagaimanakah penerapan levels of inquiry pada tingkat interactive
demonstration dapat meningkatkan profil pemahaman konsep pesawat
sederhana siswa SMP?
c. Bagaimanakah keterlaksanaan penerapan levels of inquiry pada tingkat
interactive demonstration untuk materi pesawat sederhana?
C. Batasan Masalah Penelitian
Batasan masalah penilitian ini adalah sebagai berikut.
1. Berdasarkan karakteristik siswa SMP, maka tingkatan levels of inquiry yang
diterapkan dalam penelitian ini adalah interactive demonstration.
2. Aspek pemahaman konsep yang diteliti meliputi aspek menafsirkan,
mencontohkan, mengklasifikasikan, menyimpulkan, membandingkan, dan
menjelaskan.
3. Untuk melihat peningkatan pemahaman konsep dibatasi dengan mengukur
peningkatan persentase skor pemahaman konsep. Keterbatasan ini kemudian
dilengkapi dengan analisis berdasarkan hasil pengukuran effect size untuk
melihat pengaruh penerapan levels of inquiry pada tingkat interactive
demonstration terhadap peningkatan pemahaman konsep siswa.
D. Tujuan Penelitian
Bertitik tolak dari rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1. Memperoleh gambaran tentang penerapan levels of inquiry pada tingkat
interactive demonstration untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa pada
setiap sub materi pesawat sederhana.
Nokadela Basyari, 2015
Penerapan Levels Of Inquiry Pada Tingkat Interactive Demonstration Untuk Meningkatkan
Pemahaman Konsep Pesawat Sederhana Siswa Smp
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
7
2. Memperoleh gambaran tentang penerapan levels of inquiry pada tingkat
interactive demonstration untuk meningkatkan profil pemahaman konsep
pesawat sederhana siswa SMP.
3. Memperoleh gambaran tentang keterlaksanaan levels of inquiry pada tingkat
interactive demonstration untuk materi pesawat sederhana.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Dari segi teori, penelitian ini bermanfaat untuk memberi gambaran mengenai
keterkaitan antara levels of inquiry pada tingkat interactive demonstration
dengan pemahaman konsep.
2. Dari segi kebijakan, penelitian ini bermanfaat untuk membahas perkembangan
pendekatan pembelajaran di sekolah dalam melatihkan pemahaman konsep.
3. Dari segi praktik, penelitian ini bermanfaat untuk memberi alternatif sudut
pandang atau solusi dalam memecahkan masalah terkait kurangnya fasilitas
untuk memahami konsep.
4. Dari segi isu serta aksi sosial, penelitian ini bermanfaat untuk memberi
informasi tentang cara-cara melatihkan pemahaman konsep melalui levels of
inquiry pada tingkat interactive demonstration.
F. Defenisi Operasional
a. Levels of Inquiry Pada Tingkat Interactive Demonstration
Levels of inquiry pada tingkat interactive demonstration merupakan
sebuah cara inquiry untuk diterapkan pada siswa SMP di salah satu kota Bandung
yang mengikuti langkah-langkah levels of inquiry pada tingkat interactive
demonstration menurut Sokoloff & Thornton dalam Wenning (2005). Untuk
melihat keterlaksanaan penerapan levels of inquiry pada tingkat interactive
demonstration, digunakan format observasi berdasarkan RPP yang telah
dirancang. Untuk melihat pengaruh penerapan levels of inquiry pada tingkat
interactive
demonstration
terhadap
pemahaman
konsep,
diukur
dengan
menggunakan effect size. Dalam penelitian ini dilakukan dua macam pengukuran
effect size, yaitu untuk melihat pengaruh levels of inquiry pada tingkat interactive
Nokadela Basyari, 2015
Penerapan Levels Of Inquiry Pada Tingkat Interactive Demonstration Untuk Meningkatkan
Pemahaman Konsep Pesawat Sederhana Siswa Smp
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
8
demonstration terhadap peningkatan pemahaman konsep pada setiap sub materi
pesawat sederhana dan untuk melihat pengaruh levels of inquiry pada tingkat
interactive demonstration terhadap profil pemahaman konsep.
b. Peningkatan Pemahaman Konsep
Pemahaman konsep yaitu kemampuan siswa untuk mengkonstruksi pesanpesan pembelajaran dengan cara menjelaskan dan merangkum berbagai fakta,
beragam peristiwa, dan banyak pengalaman menjadi sebuah definisi berdasarkan
hasil berfikir abstrak sehingga menghasilkan produk pengetahuan berupa prinsip,
hukum, dan teori. Untuk mengukur pemahaman konsep pada setiap sub materi
pesawat sederhana siswa SMP, digunakan tes pemahaman konsep. Kemudian
untuk melihat peningkatan persentase tes pemahaman konsep maka dilakukan
dengan cara menghitung selisih skor posttest dengan skor pretest.
c. Peningkatan Profil Pemahaman Konsep
Profil pemahaman konsep yaitu gambaran khusus pemahaman konsep
berdasarkan setiap aspeknya. Untuk mengukur profil pemahaman konsep,
digunakan tes pemahaman konsep. Kemudian untuk melihat peningkatan
persentase tes pemahaman konsep pada setiap aspeknya (maksudnya peningkatan
profil pemahaman konsep) maka dilakukan dengan cara menghitung selisih skor
posttest dengan skor pretest. Adapun aspek-aspek pemahaman konsep yang
diukur
adalah
aspek
menafsirkan,
mencontohkan,
mengklasifikasikan,
menyimpulkan, membandingkan, dan menjelaskan dalam dimensi pengetahuan
faktual dan konseptual.
G. Struktur Organisasi Skripsi
Bab I merupakan bagian pendahuluan yang terdiri atas latar belakang
penelitian yang membahas tentang hal-hal yang mendasari pelaksanaan penelitian;
rumusan masalah penelitian; batasan masalah penelitian yang meliputi batasan
tingkatan dari levels of inquiry yang digunakan dalam penelitian, batasan aspekaspek pemahaman konsep yang diukur, dan batasan cara mengukur; tujuan
penelitian; defenisi operasional berisi tentang penjelasan mengenai variabelNokadela Basyari, 2015
Penerapan Levels Of Inquiry Pada Tingkat Interactive Demonstration Untuk Meningkatkan
Pemahaman Konsep Pesawat Sederhana Siswa Smp
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
9
variabel penelitian secara operasional; dan struktur organisasi skripsi. Bab II
merupakan bagian kajian pustaka terhadap variabel-variabel penelitian yang telah
dirumuskan dalam bentuk rumusan masalah pada Bab I yaitu levels of inquiry
pada tingkat interactive demonstration dan pemahaman konsep. Selain membahas
kedua variabel penelitian, hubungan antara kedua variabel penelitian juga
dijelaskan dalam kajian pustaka ini. Bab III merupakan bab metode penelitian
yang terdiri atas metode dan desain penelitian, partisipan, populasi dan sampel
penelitian, instrumen penelitian dan pengembangannya, teknik pengumpulan data,
prosedur penelitian, analisis uji coba instrumen penelitian, dan teknik pengolahan
data. Bab IV merupakan bagian temuan penelitian dan pembahasan dari temuan
penelitian tersebut dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian pada Bab I
dan mengkaitkannya dengan kajian teori pada Bab II. Bab V merupakan bagian
penutup yang terdiri atas simpulan berdasarkan temuan dan pembahasan
penelitian, serta implikasi kepada dan rekomendasi untuk para pembuat kebijakan,
para pengguna hasil penelitian bersangkutan, para peneliti berikutnya yang
berminat untuk melakukan penelitian selanjutnya, dan pemecahan masalah di
lapangan atau follow up dari hasil penelitian.
Nokadela Basyari, 2015
Penerapan Levels Of Inquiry Pada Tingkat Interactive Demonstration Untuk Meningkatkan
Pemahaman Konsep Pesawat Sederhana Siswa Smp
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Download