1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini bahasan mengenai topik Hak Kekayaan Intelektual selanjutnya disebut HKI sedang menghangat dengan adanya kasus diklaimnya karya cipta di bidang seni batik Indonesia oleh negara tetangga Malaysia. Hal ini sungguh membuat resah rakyat Indonesia dan menyulut berbagai macam reaksi di dalam negeri, pasalnya kasus ini bukan kali pertama Malaysia mengklaim dirinya sebagai pemilik karya cipta terutama di bidang kesenian, baik seni musik, kesenian reog, batik tradisional hingga makanan khas Indonesia “tempe”. Pemerintah Indonesia tentunya dapat lebih tegas mengamankan aset-aset seni dan budaya milik Bangsa Indonesia itu sendiri, karena Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi pembentukan World Trade Organization (WTO) melalui Undang-Undang No. 7 tahun 1994. Konsekuensinya adalah Indonesia harus melaksanakan kewajiban untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasionalnya dengan ketentuan WTO, termasuk yang berkaitan dengan Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs-WTO).1 Hak Kekayaan Intelektual disebut pula dengan Intellectual Property Right selanjutnya disebut dengan IPR. World Intellectual Property Organization 1 Afrillyanna Purba, dkk, TRIPs-WTO dan Hukum HKI Indonesia, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hal 1 2 (WIPO) merumuskan Intellectual Property sebagai “The Legal Right which result from intellectual activity in the industrial, scientific, literary, or artistic fields” dengan demikian IPR merupakan suatu perlindungan terhadap hasil karya manusia baik hasil karya yang berupa aktifitas dalam ilmu pengetahuan, industri, sastra dan seni. Persetujuan TRIPs-WTO memuat berbagai norma dan standar perlindungan bagi karya-karya intelektual. Di samping itu juga mengandung pelaksanaan penegakan hukum di bidang HKI. HKI dalam ilmu hukum dimasukkan dalam golongan hukum benda (zakenrecht) yang mempunyai obyek benda intelektual yaitu benda (zaak) tidak berwujud.2 Secara garis besar Hak Kekayaan Intelektual dibagi dalam 2 (dua) kelompok, yaitu: 1. Hak Cipta (Copy Rights) 2. Hak Kekayaan Perindustrian (Industrial Property Rights). Hak cipta dapat diklasifikasikan ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu : a. Hak cipta; b. Hak yang berkaitan dengan Hak Cipta (neighbouring rights).3 Menurut WIPO hak kekayaan Perindustrian dapat diklasifikasikan menjadi : a. Patent (paten) b. Utility Models (Model dan Rancang Bangun) atau dalam hukum Indonesia dikenal dengan istilah paten sederhana (simple patent) c. Industrial Design (Desain Industri) d. Trade Mark (Merek Dagang); 2 Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang, UII Press, Yogyakarta, 2006, hlm. 226 H.OK, Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal 13 3 3 e. Trade Names (Nama Niaga atau Nama Dagang) f. Indication of Source or Applelation of Origin (sumber tanda atau sebutan asal)4 Hak Cipta sebagai salah satu bagian dari bidang Hak Kekayaan Intelektual, diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dalam Pasal 1 disebutkan sebagai berikut: Angka 1 : Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku. Angka 2 : Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, ketrampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. Angka 3 : Ciptaan adalah menunjukkan hasil setiap keasliannya karya dalam Pencipta lapangan yang ilmu pengetahuan , seni, atau sastra Angka 4 : Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut. 4 Ibid, hal 14 4 Pasal 12 ayat (1) dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Ciptaan yang dilindungi dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup: a. Buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain; b. Ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu; c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; d. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks; e. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim; f. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan; g. Arsitektur; h. Peta; i. Seni batik; j. Fotografi; k. Sinematografi; l. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan. Mengenai sejarah ciptaan batik pada awalnya merupakan “ciptaan” khas bangsa Indonesia yang dibuat secara konvensional. Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra. Karya-karya cipta tersebut memperoleh perlindungan hukum 5 karena mempunyai nilai seni, baik pada motif, gambar, maupun komposisi warnanya. Menurut terminologi, batik adalah gambar yang dihasilkan dengan menggunakan alat canting atau sejenisnya dengan bahan lilin sebagai penahan.5 Sebagai kebudayaan tradisional (Traditional Knowledge) yang turun temurun, maka Hak Cipta seni batik harus dilindungi seperti yang diamanatkan oleh Pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta yakni “Negara memegang hak cipta atas folklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya”. Dalam penjelasan pasal di atas yang dimaksud dengan folklore adalah sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh kelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang menunjukkan identitas sosial dan budayanya berdasarkan standard dan nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun temurun termasuk hasil seni antara lain berupa lukisan, gambar, ukir-ukiran, pahatan, mozaik, perhiasan, kerajinan tangan, pakaian, instrument musik dan tenun tradisional. Menurut Pasal 1 angka 1 UU Hak Cipta, hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi ijin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasanpembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak eksklusif adalah hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa ijin pemegangnya. Pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta, atau pihak yang 5 Suyanto, A.N, Sejarah Batik Yogyakarta, Merapi, Yogyakarta, 2002, hal 101 6 menerima hak tersebut dari pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut. Hak eksklusif tersebut menurut Pasal 2 UU Hak Cipta meliputi hak untuk mengumumkan. Tidak dapat dipungkiri budaya merupakan salah satu aspek yang membentuk jatidiri Bangsa. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk dengan kekayaan keanekaragaman budayanya. Arus globalisasi seringkali menyebabkan kebudayaan Bangsa Indonesia terancam, baik itu musnah karena keengganan untuk melestarikan dari generasi Bangsa maupun diakui oleh bangsa lain sebagai kebudayaan mereka. Salah satu karya asli Bangsa Indonesia adalah batik. Batik merupakan karya cipta nenek moyang Bangsa Indonesia sejak berabad-abad lalu. Batik dengan berbagai ragam dan coraknya adalah kekayaan Bangsa yang penting dan perlu terus dijaga dan dilindungi. Perlindungan di bidang Hak Kekayaan Intelektual sudah bukan merupakan hal yang baru bagi Bangsa Indonesia, oleh karena itu masih perlu terus dimasyarakatkan, agar dalam masyarakat timbul minat dan kebanggaan untuk menciptakan karya intelektual dan penemuan terutama dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan tekhnologi. Selain itu ditanamkan rasa tanggung jawab dan perasaan sosial, agar memanfaatkan karyanya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan tidak hanya mengejar terjaminnya kepastian dan perlindungan hukum bagi pribadi saja.6 6 www. Info hukum.com, diakses 5 April 2011 7 Berdasarkan dari fakta di atas maka penulis bermaksud mengadakan penelitian tentang “Perlindungan Hukum Atas Hak Cipta Batik Banyumas berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap Batik Banyumas berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta? C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap ciptaan Batik Banyumas berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum khususnya dapat menambah referensi, masukan pemikiran dan bahan kajian tentang proses pendaftaran hak ciptaan dalam bidang Hak Kekayaan Intelektual. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan masyarakat pada umumnya dan bagi perajin batik pada khususnya mengenai pentingnya pendaftaran suatu ciptaan dalam bidang Hak Kekayaan Intelektual serta diharapkan dapat mengenalkan batik Banyumas ke lingkup yang lebih luas. 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hak Kekayaan Intelektual 1. Pengertian dan Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual Hak Kekayaan Intelektual merupakan hak yang diberikan kepada orang-orang atas hasil dari buah pikiran mereka. Biasanya hak eksklusif tersebut diberikan atas penggunaan dari hasil buah pikiran si pencipta dalam kurun waktu tertentu. Buah pikiran tersebut dapat terwujud dalam tulisan, kreasi artistik, simbol-simbol, penamaan, citra, dan desain yang digunakan dalam kegiatan komersil. Menurut Bambang Kesowo: HKI dapat diartikan sebagai Hak atas kepemilikan terhadap karyakarya yang timbul atau lahir karena adanya kemampuan intelektualitas manusia dalam bidang ilmu pengetahuan teknologi. Karya-karya tersebut merupakan kebendaan yang merupakan hasil kemampuan intelektualitas seseorang manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi melalui daya cipta, rasa, karsa dan karyanya yang memiliki nilai-nilai moral, praktis dan ekonomi.7 Menurut Eddy Damian: Secara substantif, pada hakikatnya pengertian HKI dapat dideskripsikan sebagai hak-hak atas harta kekayaan yang merupakan produk olah pikir manusia (kemampuan intelektual manusia). Dengan perkataan lain , HKI adalah hak atas harta kekayaan yang timbul dari kemampuan intelektual manusia.8 7 Bambang Kesowo, Pengantar Umum Mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di Indonesia, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1995, hal 4 8 hal 34 Eddy Damian , Hukum Hak Cipta (UUHC No 19 Tahun 2002) , Alumni , Bandung , 2004, 9 Dari sekian banyak pengertian hak kekayaan intektual yang dirumuskan oleh para sarjana, belum ada definisi yang dapat diterima secara universal, dikarenakan hak kekayaan intelektual yang merupakan hasil dari kemampuan intelektualitas manusia selalu terus berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. a. Pengaturan HKI Internasional Tonggak sejarah pengaturan masalah HKI dimulai dengan disetujuinya Paris Convention pada tahun 1883 di Brussels, yang mengalami perubahan terakhir di Stockholm pada tahun 1979. Paris Convention ini mengatur mengenai perlindungan hak milik perindustrian yang meliputi inventions, trademarks, service marks, industrial design, utility model (small paten), trade nomes (designations under which an industrial or commercial activity is carried on), geographical indications (indications of source and appellations of origin) dan the repression of unfaircompetition). Beberapa tahun kemudian, yaitu pada tahun 1886 disahkan Berne Convention yang mengatur mengenai perlindungan terhadap karya-karya di bidang ilmu pengetahuan, seni dan kesusasteraan, yang meliputi semua ciptaan-ciptaan di bidang sastra (literary works), musik (musical works), drama tari (choreographic works), artistik (artistic works), fotografi (photographic works), audiovisual (audiovisual works), program komputer (computer programs), rekaman suara (sound recording), karya siaran (broadcasts) dan perwajahan tipografi penerbitan (typographical arrangements of publication). 10 Pada awalnya kedua konvensi tersebut masing-masing membentuk union yang berbeda, yaitu Union Internasional untuk perlindungan Hak Milik Perindustrian (The International Union for the Protection of Industrial Property) dan Union Internasional untuk perlindungan Hak Cipta (International Union for the Protection of Literary and Artistic Works). Perkembangan selanjutnya timbul keinginan untuk membentuk suatu organisasi dunia tentang HKI. Melalui konferensi Stockholm pada tahun 1967, telah diterima suatu konvensi khusus untuk membentuk organisasi dunia tentang HKI, yaitu Convention Establising the World Intellectual Property Organization (WIPO). WIPO sebagai organisasi HKI , yang kemudian menjadi pengelola tunggal dari kedua konvensi tersebut di atas. Adapun tugas WIPO dalam rangka perlindungan terhadap HKI, antara lain: 1) Mengurusi kerjasama administrasi pembentukan perjanjian atau traktat internasional 2) Mengembangkan dan melindungi hak kekayaan intelektual di seluruh dunia 3) Melakukan kerjasama di antara negara-negara di seluruh dunia 4) Melakukan kerjasama dengan organisasi internasional lainnya, hal ini meliputi: 11 a) Mendorong dibentuknya perjanjian atau traktat internasional dan memodernisasi legislasi nasional b) Memberikan bantuan teknik pada negara-negara berkembang dalam rangka pengembangan perlindungan HKInya c) Mengumpulkan dan menyebarluaskan informasi d) Memberikan bantuan pelayanan guna menyediakan fasilitas untuk memperoleh perlindungan terhadap penemuan, merk dan desain produk industri yang diperlukan oleh negara-negara anggota e) Mengembangkan kerjasama administrasi di antara negara-negara anggota WIPO. Namun demikian ada beberapa kelemahan WIPO yang menyebabkan lembaga ini dianggap tidak mampu lagi dalam melindungi HKI, antara lain: 1) Belum bisa mengadaptasi perubahan struktur perdagangan internasional, tingkat inovasi ekonomi dan teknologi 2) Tidak dapat memberlakukan ketentuan-ketentuan internasional terhadap bukan anggotanya 3) Tidak memiliki mekanisme untuk berkonsultasi menyelesaikan dan melaksanakan penyelesaian sengketa yang timbul 4) Tidak memiliki mekanisme untuk mengendalikan dan menghukum pelaku pelanggaran terhadap hak milik intelektual baik pelaku negara anggota WIPO ataupun negara yang bukan anggota WIPO. 12 Menurut Fidel S. Djaman (dalam bukunya Rachmadi Usman), WIPO mempunyai kelemahan-kelemahan antara lain: 1) WIPO hanya merupakan organisasi yang anggotanya terbatas (tidak banyak), sehingga ketentuan-ketentuannya tidak dapat diberlakukan terhadap non anggota 2) WIPO tidak memiliki mekanisme untuk menyelesaikan dan menghukum setiap pelanggaran di bidang HKI; 3) WIPO dianggap juga tidak mampu mengadaptasi perubahan struktur perdagangan internasional dan perubahan tingkat inovasi teknologi.9 Adanya kelemahan WIPO tersebut, menyebabkan tidak mampu lagi melindungi HKI, maka timbul gagasan untuk melakukan pertemuanpertemuan General Agreement on Trariff and Trade (GATT) untuk membahas masalah HKI. Pada konvensi GATT Putaran Uruguay di Marakesh (Maroko) tentang hak milik intelektual pada bulan September tahun 1990 ditetapkan Agreement on Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights (TRIPs), yaitu tentang aspek-aspek dagang yang terkait dengan hak milik intelektual dan pembentukan World Trade Organization (WTO), yang di dalamnya mempunyai struktur organisasi yang berkaitan dengan HKI. TRIPs merupakan bagian dari WTO, sedangkan WTO dimaksudkan sebagai pengganti sekretariat GATT. 9 hal.15 Rahmadi Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual, PT.Alumni, Bandung, 2003, 13 TRIPs merupakan tonggak dalam perkembangan standar-standar internasional dalam sistem HKI. TRIPs mempunyai karateristik – karakteristik antara lain:10 1) Pengertian bahwa perlindungan HKI yang seimbang dan efektif merupakan suatu masalah perdagangan dan untuk itu diarahkan ke dalam sebuah aturan perdagangan multilateral yang lebih luas 2) Lingkup pengaturan hukum yang telah menyeluruh mencakup Hak Cipta, Hak Terkait dan Kekayaan Industri dalam suatu perjanjian internasional 3) Pengaturan-pengaturan yang terperinci mengenai penegakan dan administrasi HKI dalam sistem hukum nasional 4) Penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa dalam sengketa WTO 5) Pembuatan proses-proses yang transparan secara terstruktur untuk mendorong pemahaman yang lebih rinci dari hukum HKI nasional dari negara-negara anggota WTO. Secara garis besar persetujuan TRIPs mengandung tiga ciri utama, yaitu: 1) Memuat kewajiban negara-negara anggota untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasional dengan berbagai perjanjian internasional di bidang HKI sebagai persyaratan minimal, hal ini disebabkan TRIPs menggunakan prinsip kesesuaian penuh atau full compliance sebagai syarat minimal pesertanya. 10 hal. 31 Tim Lindsey, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, PT.Alumni, Bandung, 2002, 14 2) Dibanding dengan persetujuan internasional di bidang HKI yang sudah ada, persetujuan TRIPs memuat norma-norma yang baru dan menerapkan standard perlindungan yang lebih tinggi. 3) Memuat ketentuan mengenai penegakan aturan yang ketat disertai mekanisme penyelesaian sengketa melalui panel dan ancaman tindakan balasan di bidang perdagangan yang bersifat silang. Menurut TRIPs Hak Kekayaan Intelektual terdiri dari: 1) Copy Right and Related Right (Hak Cipta dan Hak terkait di dalamnya). 2) Trademark (Merek). 3) Geographycal Indications (Indikasi Geografis) 4) Industrial Design (Desain Industri) 5) Patent (Paten) 6) Lay-out Design Tophographic of Circuits (Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu) 7) Protection of Undisclosed Information (Rahasia Dagang) 8) Control of Anti-Competitive Practices in Contractual Licenses (Perlindungan Terhadap Persaingan Curang). b. Pengaturan HKI di Indonesia Pengaturan perundangan HKI di Indonesia dimulai sejak jaman penjajahan Belanda dengan diundangkan Octrooi Wet No.136 Staatzblad No.1911 No.313 Industrieel Eigendom 1912 dan Auterswet 1912 Staatblad 1912 No.600. Setelah Indonesia merdeka, Menteri Kehakiman RI mengeluarkan pengumuman No.JG 1/2/17 tanggal 29 Agustus 1953 tentang Pendaftaran Sementara Paten. 15 Sedangkan Pengaturan HKI dalam Undang-Undang di Indonesia pertama kali diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Perniagaan. Pengaturan HKI di Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan seiring dengan tumbuh dan berkembangnya perjanjian internasional, yaitu: 1) Hak Cipta diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 2) Merek diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek 3) Paten diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten 4) Desain Industri diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri 5) Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu 6) Rahasia Dagang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang 7) Varietas Tananam diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 tentang Varietas Tananam 2. Ruang Lingkup Hak Kekayaan Intelektual Pengelompokan Hak Kekayaan Intelektual dapat dikategorikan dalam kelompok sebagai berikut: a. Hak Cipta (Copy Right) b. Hak Kekayaan Perindustrian (Industrial Property Right) 16 Hak cipta itu sendiri dapat diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu: a. Hak Cipta; b. Hak yang berkaitan dengan hak cipta (neighbouring rights).11 Menurut Otto Hasibuan: Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dibagi atas dua kelompok besar, yakni Hak Milik Perindustrian (Industrial Property Right) dan Hak Cipta (Copyright). Yang termasuk kelompok Hak Milik Perindustrian, antara lain Paten (Patents), Merek Dagang (Trademarks), Desain Industri (Industrial Design), Rahasia Dagang (Undisclosed Information), Indikasi Geografis (Geographical Indication), Model dan Rancang Bangun (Utility Models), dan Persaingan Curang (Unfair Competition), sedangkan yang termasuk kelompok Hak Cipta dibedakan antara Hak Cipta (atas seni, sastra dan ilmu pengetahuan) dan hak-hak yang terkait dengan hak cipta (Neighbouring Rights).12 Berdasarkan Convention Establishing The World Intellectual Property Organization, selanjutnya hak kekayaan perindustrian dapat diklasifikasikan lagi menjadi: a. Patent (Paten); b. Utility Models (Model dan Rancangan Bangunan) atau dalam hukum Indonesia dikenal dengan istilah paten sederhana (Simple Patent); c. Industrial Design (Desain Industri); d. Trade Merk (Merek Dagang); e. Trade Names (Nama Niaga atau Nama Dagang) f. Indication of Source or Appelation of Origin (Sumber Tanda atau sebutan asal).13 11 OK, Saidin, Op.Cit, hal.13 12 Otto Hasibuan, Hak Cipta Di Indonesia (Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu, Neighbouring Rights) dan Collecting Society), PT.Alumni, Bandung, 2008, hal 21. 13 H. OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PT.Raja Grafindo, Jakarta, 2004, hal13 17 Berdasarkan beberapa literatur, khususnya literatur yang ditulis oleh para pakar dari Negara yang menganut system anglo saxon, bidang hak kekayaan perindustrian yang dilindungi tersebut, masih ditambah lagi beberapa bidang lain. Menurut William T. Frayer , hak atas kekayaan perindustrian itu dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Patent b. Utility Models c. Industrial Designs d. Trade Secrets e. Trade Marks f. Service Marks g. Trade Names or Commercial Names h. Appleation of Origin i. Indication of Origin j. Unfair Competition Protection.14 Berdasarkan kerangka WTO/TRIPs, ada dua bidang lagi yang perlu ditambahkan yaitu: a. Perlindungan varietas baru tanaman, dan b. Integrated Circuit (rangkaian elektronika terpadu).15 Apabila dicermati dalam ketentuan TRIPs, HKI dapat digolongkan dalam 8 (delapan) golongan16, yaitu: 14 Ibid, hal 15 15 Loc.cit 16 Djubaidah dan Muhamad Jumhana, Hak Milik Intelktual (Sejarah, Teori dan Prekteknya di Indonesia), Citra Adiyta Bhakti, Bandung1997, hal 123 18 a. Hak cipta dan Hak terkait lainnya; b. Merek dagang; c. Indikasi Geografis; d. Desain produk industri; e. Paten; f. Desain Lay Out (topografi) dari rangkaian elektronik terpadu; g. Perlindungan terhadap informasi yang dirahasiakan; h. Pengendalian atas praktik persaingan curang. Menurut Saidin dalam Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, pengelompokan di atas dapat disederhanakan menjadi bagan berikut ini:17 Material (Benda berwujud) Hak Cipta (Copy rights) Hak Cipta Benda Immaterial (Benda tidak berwujud) Hak Atas Kekayaan Intelektual Hak Atas Kekayaan Perindustrian 17 H.OK Saidin, Op.Cit, hal 16 Hak yang bersempadan dengan hak cipta atau hak terkait Patent Utility Models Industrial Designs Trade Secrets Trade Marks Service Marks Trade Names or Commercial Names Appelations of Origin Unfair Competition Protection New Varieties of Plants Protection Integrated Circuits 19 3. Tujuan Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Permasalahan mengenai HKI akan menyentuh berbagai aspek seperti teknologi, industri, sosial, budaya dan berbagai aspek lainnya. Namun aspek yang terpenting jika dihubungkan dengan upaya perlindungan bagi karya intelektual adalah aspek hukum. Hukum diharapkan mampu memberikan perlindungan bagi karya intelektual. Perlindungan hukum menurut Andi Hamzah adalah perlindungan mencangkup keseluruhan kaidah atau norma dan nilai mengenai suatu segi kehidupan masyarakat yang bertujuan untuk mencapai kedamaian dan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan perlindungan hukum menurut kamus bahasa Indonesia yaitu perlindungan adalah melindungi atau peraturan, hukum adalah aturan yang secara resmi dianggap mengikat dan dibuat oleh pemerintah. Jadi perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatau peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk melindungi dan mengatur pergaulan hidup masyarakat dalam berbagai bidang18. HKI sebagai hak milik dalam penguasaan dan penggunaan hak tersebut harus dibatasi agar tidak merugikan orang lain. Hak milik menurut ketentuan Pasal 570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) disebutkan bahwa: Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang, atau peraturan umum yang ditetapkan oleh sesuatu kekuasaan yang berhak 18 Djubaidah dan Muhamad Jumhana , Op.Cit, hal 126 20 menetapkannya dan tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka dapat diketahui bahwa setiap hak milik mempunyai unsur: a. Kemampuan untuk menikmati atas benda atau hak yang menjadi objek hak milik tersebut; b. Kemampuan untuk mengawasi atau menguasai benda yang menjadi objek hak milik itu, yaitu misalnya untuk mengalihkan hak milik itu kepada orang lain atau memusnahkannya.19 Namun demikian, hukum pun memberikan pembatasan kepada pemiliknya untuk menikmati maupun menguasai atas benda, atau hak yang merupakan miliknya tersebut. Ketentuan Pasal 27 ayat (2) Deklarasi Hak Asasi Manusia se Dunia menyebutkan bahwa: “Setiap orang memiliki hak untuk mendapat perlindungan (untuk kepentingan moral dan materi) yang diperoleh dari ciptaan ilmiah, kesusastraan atau artistik dalam hal dia sebagai pencipta” Argumen moral ini direfleksikan oleh tersedianya hak moral yang tidak dapat dicabut bagi para pencipta di banyak Negara. Berdasarkan ketentuan bahwa perlindungan terhadap karya intelektual adalah merupakan hak bagi setiap orang. 19 Ibid, hal 31 21 Beberapa keuntungan dan manfaat yang dapat diharapkan dengan adanya perlindungan HKI, baik secara ekonomi makro maupun ekonomi mikro yaitu: a. Perlindungan HKI yang kuat dapat memberikan dorongan untuk meningkatkan landasan teknologi nasional guna memungkinkan pengembangan teknologi yang lebih cepat lagi. b. Pemberian perlindungan hukum terhadap HKI pada dasarnya dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan iklim yang lebih baik lagi bagi tumbuh dan berkembangnya gairah mencipta atau menentukan sesuatu di bidang ilmu pengtahuan, seni, dan sastra. c. Pemberian perlindungan hukum terhadap HKI bukan saja merupakan pengakuan Negara terhadap hasil karya dan karsa manusia, melainkan secara ekonomi makro merupakan penciptaan suasana yang sehat untuk menarik penanaman modal asing, serta memperlancar perdagangan internasional. Begitu besar manfaat yang dapat dirasakan dengan terlindungnya HKI pada warga negaranya, maka setiap negara akan memberikan perlindungan yang ketat.20 B. Hak Cipta 1. Sejarah Perkembangan Hak Cipta di Indonesia Keaslian suatu karya, baik berupa karangan atau ciptaan merupakan suatu hal esensial dalam perlindungan hukum melalui hak cipta. Hal ini berarti bahwa karya tersebut harus benar-benar merupakan hasil karya orang yang mengakui karya tersebut sebagai karangan atau 20 Ibid, hal.32-33 22 ciptaanya. Hak pengarang atau pencipta di Indonesia disebut author right. Istilah ini digunakan sejak diberlakukannya Auteurswet 1912 Stb. 1912 No. 600, yang kemudian dalam peraturan perundang-undangan selanjutnya menggunakan istilah hak cipta. Dalam kepustakaan hukum Indonesia yang pertama kali dikenal istilah Hak pengarang ( author right ), setelah diberlakukannya undang – undang hak pengarang (auteurswet 1912 ) atau Stb. 1912 No. 600, kemudian menyusul istilah hak cipta, istilah inilah yang kemudian dipakai dalam peraturan perundang–undangan selanjutnya. Pengertian kedua istilah tersebut menurut sejarah perkembangannnya mempunyai perbedaan yang cukup besar. Pengenalan terhadap pengertian hak cipta sebagai definisi dalam bahasa Indonesia dari kata copyright. Penggunaan istilah tersebut dalam masyarakat termasuk dalam perkembangan kurikulum dalam fakultas hukum untuk studi ilmu hukum. Hak cipta ( copyright ) sebagai satu bidang studi lainnya dalam kerangka perlindungan hak atas kekayaan intelektual atau intellectual property right. Berikut ini adalah perkembangan hak cipta di Indonesia: a. Zaman Penjajahan Belanda Sebagaimana diketahui Indonesia dijajah Belanda selama 3 ½ abad. Sebagai negara jajahan, masalah hak cipta termasuk masalah hukum, sosial, ekonomi, politik, budaya semuanya dikuasai dan ditentukan oleh penjajah. Kedaulatan, termasuk dalam hubungan internasional dikendalikan oleh pemerintah kolonial tersebut. 23 Belanda menandatangani naskah Konvensi Bern pada tanggal 1 April 1913, dengan mengikutsertakan Indonesia dalam konvensi tersebut. Ketika Konvensi Bern ditinjau kembali di Roma pada tanggal 2 Juni 1928, peninjauan kembali ini dinyatakan pula berlaku di Indonesia (Staatblad tahun 1931 No. 325). Konvensi inilah yang kemudian berlaku di Indonesia sebagai jajahan Belanda dalam hubungannya dengan dunia internasional khususnya mengenai hak cipta. Pengaturan secara formal hak cipta di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda ini berdasarkan Auteurswet Tahun 1912, sebagaimana tersebut dalam Staatsblad tahun 1912 No. 600 yang dinyatakan berlaku mulai tanggal 23 September 1912. Walaupun Indonesia pada waktu itu telah memberlakukan Auteurswet 1912, dalam kenyataannya pentaatan dan penegakan hukum ketentuan-ketentuan belumlah diaktualisasikan sebagaimana mestinya. Hal ini tampak dari adanya buku-buku terbitan Balai Pustaka berupa terjemahan buku-buku yang para pengarangnya berasal dari beberapa negara eropa, tanpa meminta izin menerjemahkan terlebih dahulu dari pengarang aslinya.21 b. Zaman Penjajahan Jepang Pada masa Indonesia dijajah Jepang selama 3 ½ tahun, secara de facto kekuasaan dalam pemerintahan, politik, ekonomi, sosial dan juga dalam bidang hukum, termasuk dalam hal hak cipta ini juga 21 Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, PT. Alumni, Bandung, 2002, hal. 138-139 24 dikendalikan oleh pemerintah Jepang. Namun karena pergolakan dan kemelut peperangan, hukum perang yang berlaku waktu itu seakan tidak memungkinkan pelaksanaan dan pemeliharaan hak cipta. Hak Cipta di Indonesia berada dalam keadaan status quo pada masa pendudukan Jepang ini. Sebagai konsekuensi peperangan, pemerintah Jepang tidak berkesempatan untuk mengurus dan menata perkembangan dengan masalah hak cipta ini. c. Zaman Kemerdekaan Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia menyatakan dirinya sebagai bangsa dan negara yang merdeka, berdaulat dan bersatu. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menetapkan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945. Pasal II Aturan Peralihannya menyatakan: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Pasal ini diperjelas dengan Peraturan Presiden No. 2 Tahun 1945 yang ditetapkan tanggal 10 Oktober 1945. Setelah dicantumkan Konvensi lagi dalam Bern daftar diperbaharui, negara-negara Indonesia tidak yang menjadi pesertanya. Naskah resminya diumumkan dalam “Document de la COnfernce de Brucelles du 5 au 28 Juni 1948”. Piagam ini ternyata menghapuskan Indonesia dari daftar anggotanya, karena dinilai perjanjian yang diadakan Belanda pada masa yang lampau untuk bekas Hindia Belanda dahulu, tidak otomatis 25 beralih kepada Indonesia. Sebab lain, bahwa Indonesia sebagai negara yang telah merdeka dan berdaulat, tidak pernah menyatakan dirinya secara tegas untuk terikat dengan Konvensi Bern tersebut. Keputusan Kabinet Karya dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia tidak ikut serta menjadi anggota Perjanjian Bern untuk Perlindungan Karya Sastra Seni (The Bern Convention for Protection of Literary and Artistic Works). Istilah hak cipta berasal dari negara yang menganut Common Law, yaitu copyright. Berbeda dengan negara Inggris, penggunaan istilah copyright dikembangkan untuk melindungi penerbit, bukan untuk melindungi si pencipta. Namun, seiring dengan perkembangan hukum dan teknologi, maka perlindungan diberikan kepada pencipta serta cakupan hak cipta diperluas, tidak hanya mencakup bidang buku, tetapi juga drama, musik, artistic work, fotografi, dan lain-lain. Perkembangan pengaturan hukum hak cipta sejalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat dewasa ini, bahkan perkembangan perdagangan internasional, artinya bahwa konsep hak cipta telah sesuai dengan kepentingan masyarakat untuk melindungi hak-hak si pencipta berkenaan dengan ciptaanya, bukan kepada penerbit lagi. Di sisi lain, demi kepentingan perdagangan, pengaturan hak cipta telah menjadi materi yang penting dalam TRIPs agreement yang menyatu dalam GATT/WTO. Selain itu, konsep hak cipta telah berkembang menjadi keseimbangan antara kepemilikan pribadi (natural justice) dan kepentingan masyarakat atau sosial. 26 2. Pengertian dan pengaturan Hak Cipta Pengertian hak cipta asal mulanya menggambarkan hak untuk menggandakan atau memperbanyak suatu karya cipta. Istilah hak (copyright) tidak jelas siapa yang pertama kali menggunakannya, tidak ada satupun perundang-undangan yang secara jelas menggunakannya pertama kali. Menurut Stanlay Rubenstain, sekitar 1740 tercatat pertama kali orang menggunakan istilah copyright22 Pengertian menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) UndangUndang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta menyatakan bahwa: “Hak cipta adalah hak ekslusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Berdasarkan ketentuan pasal ini, maka hak cipta dapat didefinisikan sebagai suatu hak monopoli untuk memperbanyak atau mengumumkan ciptaan yang dimiliki oleh pencipta atau pemegang hak cipta lainnya yang dalam implementasinya memperhatikan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan Auteurswet 1912 Pasal 1 menyatakan: “Hak cipta adalah hak tunggal dari pencipta, atau hak dari yang mendapat hak tersebut, atas hasil ciptaannya dalam lapangan kesusasteraan, pengetahuan dan kesenian, untuk mengumumkan dan memperbanyak dengan mengingat pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang.”23 22 Djubaedilah dan Muhamad Djumhata, OP.Cit, hal 47 23 H.OK Saidin, Op.Cit, hal 58-59 27 Berbeda dengan ketentuan Auteurswet 1912, berdasarkan Universal Copyright Convention dalam Pasal 5 menyatakan sebagai berikut: “Hak cipta meliputi hak tunggal si pencipta untuk membuat, menerbitkan dan memberi kuasa untuk membuat terjemahan dari karya yang dilindungi perjanjian ini.”24 Ketentuan Auteurswet 1912 maupun Universal Copyright Convention menggunakan istilah “hak tunggal” sedangkan UUHC Indonesia menggunakan istilah “hak khusus” bagi pencipta. Pengertian hak cipta berdasarkan ketentuan Auteurswet 1912 maupun Universal Copyright Convention, mencakup pengertian yang lebih luas, karena memuat kata-kata “menerbitkan terjemahan” yang pada akhirnya tidak saja melibatkan pencipta tetapi juga pihak penerbit dan penerjemah. Mengacu pada pengertian hak cipta berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UUHC, maka terdapat dua unsur penting sebagai hak-hak yang dimiliki si pencipta, yaitu: a. Hak ekonomis (economic rights). Hak ekonomis adalah hak yang dimiliki oleh seorang pencipta untuk mendapatkan keuntungan atas ciptaannya. Undang-undang Hak Cipta Indonesia memberi hak ekonomis kepada pencipta, antara lain; hak untuk memperbanyak, hak untuk adaptasi, hak untuk distribusi, hak untuk pertunjukan, hak untuk display. 24 Ibid, hal.59 28 b. Hak moral (moral rights). Hak moral adalah hak khusus serta kekal yang dimiliki si pencipta atas hasil ciptaannya, dan hak itu tidak dipisahkan dari penciptanya. Hak moral ini adalah hak pencipta atau ahli warisnya, untuk menuntut kepada Pemegang Hak Cipta supaya nama Pencipta tetap dicantumkan pada Ciptaannya; Memberi persetujuan dalam perubahan hak Ciptaannya; Memberi persetujuan terhadap perubahan atau nama samaran pencipta; Menuntut seseorang yang tanpa persetujuannya meniadakan nama Pencipta yang tercantum pada ciptaannya. Ketentuan mengenai hak moral diatur dalam Pasal 24 UU No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta . Ada dua unsur penting yang terkandung dari rumusan pengertian hak cipta yang termuat dalam ketentuan UUHC Indonesia, yaitu: a. Hak yang dapat dipindahkan, dialihkan kepada pihak lain atau hak ekonomi. b. Hak moral yang dalam keadaan bagaimanapun, dan dengan jalan apapun tidak dapat ditinggalkan daripadanya (mengumumkan karyanya, menetapkan judulnya, mencantumkan nama sebenarnya atau nama samarannya dan mempertahankan keutuhan atau integritas ceritanya.25. Hak yang dapat dipindahkan atau dialihkan itu sekaligus merupakan bukti nyata bahwa hak cipta itu merupakan hak kebendaan. Dalam terminologi UUHC Indonesia, pengalihan itu dapat 25 Racmadi Usman, Op.Cit, hal.86 29 berupa pemberian izin (lisensi) kepada pihak ketiga. Misalnya untuk karya film dan program computer, pencipta ataupun penerima hak (produser) berhak untuk memberi izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan ciptaannya tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersil. Selanjutnya mengenai hak moral merupakan kekhususan yang tidak ditemukan pada hak manapun di dunia ini. Berkaitan dengan hak moral, dalam Pasal 6 Konvensi Bern tercantum mengenal hak-hak moral, yang menyatakan bahwa: “…Pencipta memiliki hak untuk mengklaim kepemilikan atas karyanya dan mengajukan keberatan atas distorsi, mutilasi atau perubahan-perubahan serta perbuatan pelanggaran lain yang berkaitan dengan karya tersebut yang dapat merugikan kehormatan atau reputasi si pengarang atau si pencipta”. Menurut Rooseno Harjowidigdo keberadaan hak moral dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu: 1) Attribution Right, yang bertujuan untuk meyakinkan nama pencipta dicantumkan di dalam ciptaannya; 2) Integrity Right, yang bertujuan untuk melindungi ciptaan pencipta dari penyimpangan, pemenggalan atau pengubahan yang merusak integritas (kehormatan atau nama baik) pencipta.26 Menurut Tim Lindsey dkk: Hak Moral adalah hak-hak pribadi pencipta/pengarang untuk dapat mencegah perubahan atas karyanya dan untuk tetap disebut sebagai pencipta karya tersebut.27 26 Rooseno Harjowidigdo, Perjanjian Lisensi Hak Cipta Musik, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 2005, hal. 51 30 Makna hak moral seperti yang diatur dalam Pasal 24 UUHC adalah bahwa hak moral, pencipta dari suatu karya cipta memiliki hak untuk: a. Dicantumkan nama atau nama samarannya di dalam ciptaannya ataupun salinannya dalam hubungan dengan pengguna secara umum; b. Mencegah bentuk-bentuk distorsi, mutilasi atau bentuk pemotongan, perusakan, penggantian yang berhubungan dengan karya cipta yang pada akhirnya akan merusak apresiasi dan reputasi pencipta. Hak-hak moral adalah hak-hak pribadi pencipta atau pengarang untuk dapat mencegah perubahan atas karyanya dan untuk tetap disebut sebagai pencipta karya tersebut. Hak-hak ini menggambarkan hidupnya hubungan berkelanjutan dari si pencipta dengan karyanya walaupun kontrol ekonomi atas karyanya tersebut hilang, karena telah diserahkan sepenuhnya kepada Pemegang Hak Cipta atau lewat jangka waktu perlindungannya seperti yang diatur dalam UUHC yang berlaku. Hak moral dalam keadaan bagaimanapun dan dengan jalan apapun tidak dapat ditinggalkan daripadanya , seperti mengumumkan karyanya , menetapkan judulnya , mencantumkan nama sebenarnya atau nama samarannya dan mempertahankan keutuhan atau integritas ceritanya.28 27 Tim Lindsey, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, PT.Alumni, Bandung, 2006, hal. 118 28 Rachmadi Usman, Op.Cit, hal 86 31 3. Ciptaan yang Dilindungi UUHC Tahun 2002 telah merinci dua belas kelompok ciptaan sesuai dengan jenis dan sifat ciptaan. Ciptaan-Ciptaan yang dikelompokkan merupakan ciptaan-ciptaan yang tergolong tradisional dan yang tergolong baru. Pada dasarnya yang dilidungi UUHC adalah pencipta yang atas inspirasinya menghasilkan setiap karya dalam bentuk yang khas dan menunjukkan keasliannya di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Perlu ada keahlian pencipta untuk dapat melakukan karya cipta yang dilindungi hak cipta. Ciptaan yang lahir harus mempunyai bentuk yang khas dan menunjukkan keaslian sebagai ciptaan seseorang atas dasar kemampuan dan kreativitasnya yang bersifat pribadi pencipta. Keseluruhan uraian tersebut tercermin dari ketentuan Pasal 1 angka (3) UUHC 2002 yang menetapkan: “Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta dalam bentuk yang khas dan menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.” Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, jelaslah bahwa ciptaan yang mendapat perlindungan hak cipta, yaitu: a. Ciptaan yang merupakan hasil proses penciptaan atas inspirasi, gagasan, ide berdasarkan kemampuan dan kreativitas pikiran, imajinasi, kecekatan, ketrampilan atau keahlian pencipta. 32 b. Dalam penuangannya harus memiliki bentuk yang khas dan menunjukkan keaslian (orisinal) sebagai ciptaan seseorang yang bersifat pribadi.29 Ciptaan-ciptaan yang dilindungi hak cipta terdapat dalam ketentuan Pasal 12 ayat (1), yang menyatakan bahwa ciptaan-ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup: a. Buku, program computer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya. b. Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu. c. Alat peraga yang digunakan untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan. d. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks. e. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, atau pewayangan, dan pantonim. f. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase dan seni terapan. g. Arsitektur. h. Peta. i. Seni batik. j. Fotografi. k. Sinematografi. l. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan. 29 Rachmadi Usman, Op.Cit, hal.121 33 Ketentuan Pasal 12 ayat (2) menyatakan bahwa: “Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf 1 dilindungi sebagai ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi hak cipta atas ciptaan yang asli”. Ketentuan Pasal 12 ayat (3) menyatakan bahwa: “Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan perbanyakan hasil karya itu.” Berdasarkan ketentuan Pasal 12 UUHC tersebut maka dapat dipahami bahwa yang dilindungi oleh UUHC adalah yang termasuk dalam karya ilmu pengetahuan, kesenian, kesusastraan. Satu hal yang dapat dicermati bahwa yang dilindungi dalam hak cipta ini adalah haknya, bukan benda yang merupakan perwujudan dari hak tersebut sehingga bukan buku, patung dan lukisan yang dilindungi, tetapi hak untuk menerbitkan atau memperbanyak atau mengumumkan buku, patung atau lukisan tersebut. Buku, patung, kain batik, kepingan VCD, program computer yang terekam dalam kepingan CD Rom, dilindungi sebagai hak atas benda berwujud, benda materiil yang dalam terminologi Pasal 499 KUH Perdata dirumuskan sebagai “barang”. Dengan demikian semakin jelas bahwa benda yang dilindungi dalam hak cipta ini adalah benda immaterial (benda tak berwujud) yaitu dalam bentuk hak. 34 Selain ciptaan yang dilindungi dalam Pasal 12 UUHC, ada beberapa ciptaan yang dilindungi UUHC, sebagaimana dituangkan dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan (2) menyatakan: (1) Negara memegang hak cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya. (2) Negara memegang hak cipta atas folklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadikan milik bersama seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. Ciptaan yang ada dalam ketentuan Pasal 12 UUHC, ciptaan tersebut dilindungi dalam wilayah dalam negeri maupun luar negeri, sementara itu untuk ciptaan yang terdapat pada ketentuan Pasal 10 UUHC sifat perlindungannya hanya berlaku ketika ciptaan itu digunakan oleh orang asing. Selain mengatur ciptaan yang diberikan perlindungan, UUHC juga mengatur ciptaan-ciptaan yang tidak diberikan perlindungan hukum. Beberapa ciptaan yang tidak mendapatkan perlindungan hukum berdasarkan UUHC, yaitu: a. Hasil rapat terbuka lembaga-lembaga negara; b. Peraturan perundang-undangan; c. Pidato kenegaraan atau pidato pejabat pemerintah; d. Putusan pengadilan atau penetapan hakim; e. Keputusan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya. 35 4. Jangka Waktu Pemilikan Hak Cipta Sejarah perkembangan hak cipta di Indonesia sama seperti di luar negeri, yaitu dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan (science) dan teknologi, namun landasan berpijaknya tetap dipengaruhi oleh landasan filosofi dan budaya hukum suatu negara. Berdasarkan Auteurswet 1912, hak cipta hanya dibatasi jangka waktunya sampai 50 tahun, tetapi dalam UUHC 1982, hak cipta dibatasi hanya 25 tahun. Kemudian dalam UUHC No. 7 tahun 1987 dan UUHC No. 12 Tahun 11997 kembali dimajukan menjadi selama hidup pencipta dan 50 tahun mengikuti ketentuan Berne Convention Tahun 1967 yang diadopsi oleh Auterswet 1912. Perubahan-perubahan dalam ketentuan tersebut membuktikan begitu kuatnya pengaruh budaya hukum asing ke dalam budaya hukum Indonesia. Ide mengenai pembatasan jangka waktu hak cipta, sebenarnya didasarkan atas landasan filosofis tiap-tiap hak kebendaan termasuk hak cipta mempunyai fungsi sosial. Masa perlindungan hukum yang diatur dalam UUHC sifatnya sangat variatif. UUHC mengatur masa perlindungan tersebut dengan membagi ke dalam tiga bagian, yaitu: a. Ciptaan berupa buku, pamflet, dan semua karya tulis lain, drama atau drama musikal, tari dan koreografi, segala bentuk seni rupa seperti seni lukis, seni pahat dan seni patung, seni batik, lagu atau musik dengan atau tanpa teks, arsitektur, ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan sejenis 36 lainnya, alat peraga; peta; terjemahan, tafsir, saduran dan bunga rampai dilindungi selama hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah pencipta meninggal dunia; b. Ciptaan berupa program komputer, sinematografi, fotografi, database, dan karya hasil pengalihwujudan dilindungi selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diterbitkan; c. Ciptaan yang ada dalam Pasal 10 ayat (2) UUHC dilindungi tanpa batas waktu dan Pasal 11 ayat (1) dan (3) UUHC dilindungi sejak ciptaan tersebut pertama kali diumumkan. Selain UUHC, pembatasan masa perlindungan hak cipta juga dikenal dalam Auteurswet 1912, Konvensi Bern, Universal Copy Rights Convention dan berbagai Konvensi dan kesepakatan internasional lainnya. Berdasarkan Auteurswet 1912, hak cipta dibatasi sampai 50 tahun setelah meninggalnya si pencipta, ketentuan ini dijumpai pada Pasal 37, yang merupakan pengambilalihan dari ketentuan Konvensi Bern. Pada awalnya Konvensi Bern menentukan jangka waktu 50 tahun, namun setelah direvisi di Stokholm tahun 1967 jangka waktu tersebut dikurangi menjadi 25 tahun. Hal ini dimaksudkan memberikan kesempatan kepada negara berkembang untuk dapat menikmati karya cipta orang asing. Berdasarkan revisi Konvensi Bern ini UUHC 1982 memberikan batasan perlindungan hak cipta selama 25 tahun. Namun dengan adanya perubahan UUHC 1982, jangka waktu pemilikan hak cipta itu diperpanjang menjadi 50 tahun, begitu juga dalam UUHC 2002 memberikan jangka waktu selama 50 tahun. 37 Pembatasan jangka waktu pemilikan hak cipta perlu diberikan karena diharapkan hak cipta itu tidak dikuasai dalam jangka waktu yang panjang di tangan si pencipta yang sekaligus sebagai pemiliknya, sehingga dengan berakhirnya jangka waktu pemilikan hak cipta si pencipta maka orang lain dapat menikmati hak tersebut secara bebas, yaitu diperbolehkan untuk mengumumkan atau memperbanyak tanpa harus minta izin kepada si pencipta atau si pemegang hak. 5. Pendaftaran Hak Cipta Menurut Prof. Kollewijn sebagaimana dikutip oleh Sekardono mengatakan ada 2 jenis cara atau stesel pendaftaran, yaitu: a. Stelsel konstitutif, berarti bahwa hak atas ciptaan baru terbit karena pendaftaran yang telah mempunyai kekuatan. b. Stelsel deklaratif, berarti bahwa pendaftaran itu bukanlah menerbitkan hak, melainkan hanya memberikan dugaaan atau sangkaan saja menurut undang-undang bahwa orang yang hak ciptanya terdaftar itu adalah si berhak sebenaranya sebagai pencipta dari hak yang didaftarkan.30 Sistem pendaftaran hak cipta menurut UUHC disebutkan bahwa pendaftaran ciptaan dilakukan secara pasif artinya bahwa, semua permohonan pendaftaran diterima dengan tidak terlalu mengadakan penelitian mengenai hak pemohon, kecuali sudah jelas ada pelanggaran hak cipta. Hal ini dikuatkan dengan Pasal 36 UUHC yang menentukan: 30 Soekardono R.,Hukum Dagang Indonesia I, Dian Rakyat,1981,hlm 151 38 “Pendaftaran ciptaan dalam daftar umum ciptaan tidak mengandung arti sebagai pengesahan atas isi, arti, maksud atau bentuk dari ciptaan yang didaftarkan” Pasal 2 ayat (1) UUHC 2002 menjelaskan bahwa: “Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku.” Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUHC 2002, bahwa hak cipta itu timbul secara otomatis setelah ciptaan dilahirkan, sehingga pendaftaran hak cipta bukan merupakan suatu keharusan karena tanpa didaftarkan pun hak cipta secara otomatis dilindungi oleh UUHC. Kendala apabila ciptaan tidak didaftarkan adalah apabila ada pelanggaran hak cipta maka pembuktiannya akan lebih sulit. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUHC 2002 menyatakan bahwa kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai pencipta adalah: a. Orang yang namanya terdaftar dalam daftar umum ciptaan pada Direktur Jenderal; atau b. Orang yang namanya tersebut dalam ciptaan atau diumumkan sebagai pencipta pada suatu ciptaan. Apabila dicermati, maka ketentuan pasal tersebut menjelaskan agar hasil karya cipta seseorang didaftarkan untuk mempermudah dalam hal pembuktian apabila ada sengketa atau pelanggaran hak cipta itu sendiri. Hak cipta seseorang yang sudah terdaftar dalam daftar ciptaan, maka sebagai pemegang hak cipta telah terjamin, apabila ada pihak lain yang mengklaim bahwa yang terdaftar tersebut adalah miliknya, maka pihak yang mengklaim tersebut yang wajib membuktikan kebenaran haknya. 39 6. Perlindungan Hukum terhadap Hak Cipta Secara filosofis, perlindungan terhadap karya cipta sangat diperlukan, karena karya cipta merupakan hasil pemikiran, karya dan karsa seseorang yang diwujudkan dalam bentuk ciptaan, sehingga diperlukan sikap hidup yang menghormati dan menghargai karya cipta yang diwujudkan dalam pengakuan atas hak seseorang terhadap ciptaannya. Pengakuan dan penghormatan atas hak cipta menjadi tidak memadai apabila tidak diikuti dengan upaya dan tindakan perlindungan hukum. Berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap hak cipta, terlebih dahulu perlu diketahui mengenai perlindungan hukum pada umumnya. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa: Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Adapun pengertian perlindungan hukum tidak diatur secara khusus, akan tetapi Sudikno Mertokusumo, memberikan gambaran terhadap perlindungan hukum, yaitu: Segala upaya yang dilakukan untuk menjamin adanya kepastian hukum yang didasarkan pada keseluruhan peraturan atau kaidah-kaidah yang ada dalam suatu kehidupan bersama. Keseluruhan peraturan itu dapat dilihat baik dari Undang-undang maupun ratifikasi Konvensi Internasional.31 31 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 2008, hal.70 40 Perlindungan hukum memberikan perlindungan lebih lanjut terhadap kepentingan-kepentingan manusia yang sudah mendapat perlindungan dari ketiga kaidah lainnya, yaitu kaidah agama, kesusilaan dan kesopanan, kaidah hukum juga memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia yang belum mendapat perlindungan dari ketiga kaidah tadi. Permasalahan mengenai HKI akan menyentuh berbagai aspek seperti teknologi, industri, sosial, budaya dan berbagai aspek lainnya. Namun aspek terpenting jika dihubungkan dengan upaya perlindungan bagi karya intelektual adalah aspek hukum. Hukum diharapkan mampu mengatasi berbagai permasalahan yang timbul berkatian dengan HKI tersebut. Hukum harus dapat memberikan perlindungan bagi karya intelekutal, sehingga mampu mengembangkan daya kreasi masyarakat yang akhirnya bermuara pada tujuan berhasilnya perlindungan hukum. Perlindungan hukum terhadap suatu ciptaan dimulai sejak ciptaan tersebut ada atau berwujud, bukan karena pendaftaran. Artinya, suatu ciptaan baik yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar tetap mendapat perlindungan hukum. Hak cipta tidak melindungi ide–ide atau gagasan, tetapi hak cipta melindungi perwujudan ide atau expression of ideas, dalam hal ini hak cipta melindungi hak cipta yang dapat dilihat, dibaca dan didengar. Berkenaan dengan persoalan ruang lingkup “ ciptaan atau karya “ apa saja yang mendapat perlindungan hak cipta adalah ciptaan tersebut dalam bentuk (karya tersebut dapat dilihat, dibaca, maupun didengar). Hak cipta 41 dilindungi secara sendiri dengan tidak mengurangi hak cipta atau karya asli, termasuk kesatuan nyata (real) yang dapat diperbanyak. Ketentuan Pasal 12 UUHC, menyatakan bahwa ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pemgetahuan,seni dan sastra yang meliputi: a. Buku, program computer, pamflet, susunan perwujudan (lay out) karya tulis yang diterbitkan dan semua hasil karya tulis lainnya; b. Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan yang lain sejenis dengan itu; c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; d. Ciptaan lagu atau musik dengan atau tanpa teks; e. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan dan pantonim; f. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase dan seni terapan; g. Arsitektur; h. Peta; i. Seni batik; j. Fotografi; k. Sinematografi; l. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, data base dan karya lain dari hasil pengalihanwujudan. Berdasarkan keterangan dari Dirjen HKI dalam situsnya menjelaskan bahwa: 42 Pendaftaran hak cipta bersifat sukarela dan lebih merupakan sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila di kemudian hari timbul sengketa. Apabila terdapat sengketa di bidang hak cipta terhadap ciptaan yang tidak terdaftar, maka hakim dapat menentukan siapa yang memiliki hak cipta atas ciptaan yang dipersengketakan berdasarkan pemeriksaan di muka pengadilan dengan melihat pihak mana yang dapat menunjukkan sumber dari ciptaannya.32 UUHC 2002 telah membuka upaya memaksimalkan perlindungan terhadap hak cipta melalui perubahan status tindak pidana hak cipta dari delik aduan menjadi delik umum (delik biasa), artinya pihak aparat penegak hukum dapat dengan serta merta menindak dan memproses pelaku tindak pidana hak cipta tanpa harus menunggu laporan atau aduan dari masyarakat atau pihak yang merasa dirugikan oleh pelaku tindak pidana hak cipta. Pasal 29 UUHC 2002 Ayat (1) menyatakan bahwa Hak Cipta atas Ciptaan: a. Buku, pamflet dan semua karya tulis lain; b. Drama atau drama musikal, tari dan koreografi; c. Segala bentuk seni rupa seperti seni lukis, seni pahat dan seni patung; d. Seni batik; e. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks; f. Arsitektur; g. Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan sejenis lainnya; h. Alat peraga; i. Peta; 32 www.Info.HKI.com, diakses 7 Oktober 2011 43 j. Terjemahan, tafsir, saduran dan bunga rampai, berlaku selama hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah pencipta meninggal dunia. Ayat (2) Untuk Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dimiliki oleh 2 (dua) orang atau lebih, Hak Cipta berlaku selama hidup Pencipta yang meninggal dunia paling akhir dan berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun sesudahnya. Kemudian Pasal 30 UUHC 2002 Ayat (1) menyatakan bahwa Hak Cipta atas ciptaan: a. Program Komputer; b. Sinematografi; c. Fotografi; d. Database; e. Karya hasil pengalihwujudan, berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan. Ayat (2) Hak cipta atas perwajahan karya tulis yang diterbitkan berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diterbitkan. Ayat (3) Hak cipta atas ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pasal ini serta Pasal 29 ayat (1) yang dimiliki atau dipegang oleh suatu badan hukum berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan. Pasal 33 UUHC 2002 menyebutkan bahwa jangka waktu perlindungan bagi hak pencipta sebagaimana dimaksud dalam: a. Pasal 24 ayat (1) berlaku tanpa batas; 44 b. Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) berlaku selama berlangsungnya jangka waktu hak Cipta atas Ciptaan yang bersangkutan, kecuali untuk pencantuman dan perubahan nama atau nama samaran Penciptanya. Mengenai kapan perlindungan hukum terhadap hak cipta diberikan, diatur dalam Pasal 34 UUHC 2002 yang menyebutkan: Tanpa mengurangi hak pencipta atas jangka waktu perlindungan hak cipta yang dihitung sejak lahirnya suatu Ciptaan, penghitungan jangka waktu perlindungan bagi Ciptaan yang dilindungi: a. Selama 50 (lima puluh) tahun; b. Selama hidup Pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia. Dimulai sejak 1 Januari untuk tahun berikutnya setelah Ciptaan tersebut diumumkan, diketahui oleh umum, diterbitkan, atau setelah Pencipta meninggal dunia. Perlu di pahami bahwa perlindungan hukum yang diberikan oleh UU terhadap hak cipta tidak lain bertujuan untuk merangsang aktivitas para Pencipta agar terus menghasilkan karya cipta yang lebih kreatif. C. Batik 1. Sejarah Batik Batik (atau kata Batik) berasal dari bahasa Jawa "amba" yang berarti menulis dan "nitik". Kata batik sendiri merujuk pada teknik pembuatan corak Motif Batik - menggunakan canting atau cap dan pencelupan kain dengan menggunakan bahan perintang warna. Motif batik pada baju batik "malam" (wax) yang diaplikasikan di atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna. Dalam bahasa Inggris teknik ini dikenal dengan istilah wax-resist dyeing. 45 Jadi kain baju batik adalah kain yang memiliki ragam hias atau corak yang dibuat dengan canting dan cap dengan menggunakan malam sebagai bahan perintang warna. Teknik ini hanya bisa diterapkan di atas bahan yang terbuat dari serat alami seperti katun, sutra, wol dan tidak bisa diterapkan di atas kain dengan serat buatan (polyester). Kain yang pembuatan corak dan pewarnaannya tidak menggunakan teknik ini dikenal dengan kain bercorak batik, biasanya dibuat dalam skala industri dengan teknik cetak (print). Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Secara historis batik sangat erat hubungannya dengan Kerajaan Majapahit dan kerajaan-kerajaan Islam di Pulau Jawa pada masa dulu. Pengembangan batik dengan gencar berlangsung di masa Kerajaan Mataram pada tahun 1600 sampai tahun 1700. Pada kurun waktu itulah batik meluas ke seantero Jawa. Sejarah pembatikan di Indonesia berkaitan erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta. Kesenian batik di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerjaan dan raja-raja berikutnya. Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik busana batik dan blus batik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik 46 adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya "Batik Cap" yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak "Mega Mendung", dimana di beberapa daerah pesisir, pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki. Ragam corak dan warna Desain Busana Batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing. Awalnya, batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak busana batik dan blus batik hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh orang Tionghoa. Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik, dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru. Batik tradisonal tetap mempertahankan coraknya, dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan masing-masing. Teknik Desain Busana Batik dan membatik telah dikenal sejak ribuan tahun yang silam. Tidak ada keterangan sejarah yang cukup jelas tentang asal-usul Batik. Ada yang menduga teknik ini berasal dari bangsa Sumeria, kemudian dikembangkan di Jawa setelah dibawa oleh para pedagang India. 47 Saat ini batik bisa ditemukan di banyak negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, India, Sri Lanka, dan Iran. Selain di Asia, batik juga sangat populer di beberapa negara di benua Afrika. Walaupun demikian, batik yang sangat terkenal di dunia adalah batik yang berasal dari Indonesia, terutama dari Jawa. Setelah Perang Dunia, industri batik mundur karena kurang bahan bakunya, tetapi membangun kembali di bawah orde Sukarno yang melontarkan kebijaksanaan “Sandang Pangan Rakyat” yang memandang batik sebagai pakaian umum. Pada tahun 1955, GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia) yang dibentuk pada tahun 1948 di Yogyakarta mendapat perlindungan seperti tunjangan harga kain putih dan hak peredaran monopoli. Pemerintah menargetkan menyuplai batik cap yang murah kepada orang awam. Para pembatik di berbagai daerah menghasilkan banyak keuntungan di bawah kebijaksanaannya. Akan tetapi, dari tahun 1956 sampai tahun 1957 bermacam-macam pakaian yang harganya murah mulai diimpor seiring dengan pengenduran pembatasan impor, jadi zaman keemasan pengusaha batik sudah selesai. Kemudian, kesadaran rakyat terhadap pakaian menujukan perubahan yang pesat di kalangan penduduk kota, anak-anak, dan pria. Oleh karena itu, orang yang mengenakan pakaian Barat bertambah lebih lanjut. Di bawah orde Soeharto, kebijaksanaan kemajuan ekonomis dijalankan maka kebijaksanaan perlindungan pengusaha batik dihapuskan. Ironisnya target kebijaksanaan Soekarno itu, direalisasikan oleh perusahaan pakaian dan tekstil yang berkembang di lingkungan 48 ekonomi baru. Kemudian, sebagian besar pengusaha batik yang menjadi biasa pembuatan batik cap murah terdesak oleh perusahaan tersebut di atas, terpaksa beralih ke usaha yang lain atau menutup usaha. Pada awal tahun 1970-an, teknologi print batik muncul. Oleh sebab itu, batik tulis dan batik cap semakin tergeser oleh print batik. Tanpa perlu dikatakan, pasaran batik tulis dan batik cap kalah bersaing dengan print batik yang dapat diproduksi masal. Di dalam keadaan itu pembatik tulis dan cap khawatir akan masa depannya. Jika kain-kain tersebut dihadapkan kepada konsumen, apa bedanya antara print batik dan batik yang dibuat secara tradisional? Dasarnya print batik tidak dibuat sebagai barang yang bermutu tinggi, tetapi dibuat barang yang bermutu rendah.Sebaliknya, Iwan Tirta, Josephine Komara, dan sebagainya membuat “batik generasi baru” yang mempunyai kemewahan dan rasa kelas tinggi yang misalnya dipakai benang emas dan perak serta digunakan sutera bukan katun. Batik yang mereka buat menjadi populer di kalangan wanita kota-kota Indonesia dan luar negeri. Pengusaha batik generasi baru biasanya dinamakan“pencipta tekstil” atau“kreator tekstil”. Makin lama makin terang pada awal tahun 1990-an, secara garis besar permintaan batik terbagi tiga pasaran, yaitu kelas tinggi, kelas menengah, dan kelas rendah. Di dalam pasaran tersebut, segi kuantitas pasaran kelas rendah menduduki perbandingan secara mutlak karena sebagian besar penduduknya tinggal di desa-desa, kemudian ada banyak wanita yang riwayat pendidikan dan pendapatan rendah. Oleh karena itu, 49 pasaran batik kelas rendah menjadi terbesar. Permintaan batik kelas tinggi masih kukuh sebab ada adat yang memakai batik tulis bermotif dan berwarna tradisional waktu berdandan di Jawa. Batik yang menarik dunia ini tidak hanya batik generasi baru, batik tulis, dan batik cap saja. Selain itu, jangan melupakan pakaian, barang kelongtong, dan produksi interior yang mencetak motif batik seperti bunga, garuda, parang, dan lain-lain. Barang-barang tersebut sudah menjadi populer di kalangan baik orang Indonesia maupun orang asing karena dapat menegaskan kembali identitasnya bagi orang Indonesia. Untuk orang asing seperti turis, barang-barang tersebut di atas menjadi kenang-kenangan perjalanannya. Akhirnya, daya tarik batik bukan hanya pada tiga pasaran (batik tulis, batik cap, batik print) dan barang-barang bermotif batik saja, melainkan saling merangsang, meningkatkan nilai keadaannya, dan memainkan harmoni, yaitu hidup berdampingan dan makmur bersama. 2. Ragam Corak Batik Indonesia Batik secara historis berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal sejak abad XVII yang ditulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif atau pola batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan tanaman. Namun dalam sejarah perkembangannya, batik mengalami perkembangan, yaitu dari corak-corak lukisan binatang dan tanaman lambat laun beralih pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan sebagainya. Selanjutnya melalui penggabungan 50 corak lukisan dengan seni dekorasi pakaian, muncul seni batik tulis seperti yang kita kenal sekarang ini. Jenis dan corak batik tradisional tergolong amat banyak, namun corak dan variasinya sesuai dengan filosofi dan budaya masing-masing daerah yang amat beragam. Khasanah budaya Bangsa Indonesia yang demikian kaya telah mendorong lahirnya berbagai corak dan jenis batik tradisioanal dengan ciri kekhususannya sendiri. Indonesia adalah negara kepulauan yang paling luas di seluruh dunia. Terletak di Asia Tenggara dan terdiri atas bermacam-macam pulau, serta jumlahnya lebih dari dua ratus ribu. Luas tanahnya kira-kira lima kali lipat daripada Jepang dan penduduknya lebih dari dua ratus juta orang. Mengenai teknik celup dan tenun tradisional, kata orang tekniknya juga mencapai sebanyak jumlah pulau atau suku. Motifnya atau warnanya berbeda berdasarkan masing-masing desa. Oleh karena itu, Indonesia adalah negara terkemuka dalam bidang celup dan tenun tradisional. Selain batik yang sangat disenangi oleh orang Jepang dengan namanya “Jawa Sarasa”, di Indonesia ada teknik celup dan tenun seperti ikat, simbut, tritik, pelangi, pentol, dan lain-lain. Diantaranya, batik, ikat, pelangi, dan tritik (semua itu memang bahasa Indonesia) sudah menjadi kata-kata internasional. Latar belakang yang penginternasionalan katakata bahasa Indonesia tersebut berdasarkan hasil usaha peneliti ilmu Antropologi orang Belanda seperti Rouffaer, Jasper, dan sebagainya. Sejak akhir abad XIX sampai permulaan abad XX, hal itu mulai diperkenalkan oleh Rouffer di Eropa. 51 Daerah penghasil batik adalah sekitar Sumatera selatan (Palembang dan Jambi), Pulau Jawa, Pulau Madura, dan sebagian Pulau Bali. Di dalam Pulau Jawa, daerah pedalaman Yogyakarta dan Surakarta, dan daerah pesisir yaitu Pekalongan dan Cirebon merupakan dua daerah penghasil batik terbesar. Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad XVIII atau awal abad XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam, banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian batik menjadi alat perjuangan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedagang Muslim melawan perekonomian Belanda. Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam keraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal di luar keraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar keraton dan dikerjakan di tempatnya masing-masing. 52 Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri. Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuhtumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanah lumpur. Ciri khas dari batik Kalangbret dari Mojokerto adalah hampir sama dengan batik-batik keluaran Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua. Yang dikenal sejak lebih dari seabad yang lalu tempat pembatikan didesa Majan dan Simo. Desa ini juga mempunyai riwayat sebagai peninggalan dari zaman peperangan Pangeran Diponegoro tahun 1825. Meskipun pembatikan dikenal sejak jaman Majapahait namun perkembangan batik mulai menyebar sejak pesat di daerah Jawa Tengah Surakarta dan Yogyakata, pada jaman kerajaan di daerah ini. Hal itu tampak bahwa perkembangan batik di Mojokerto dan Tulung Agung berikutnya lebih dipengaruhi corak batik Solo dan Yogyakarta. Batik Solo terkenal dengan corak dan pola tradisionalnya dalam proses cap maupun dalam batik tulisnya. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk pewarnaan masih tetap banyak memakai bahan- 53 bahan dalam negeri seperti soga Jawa yang sudah terkenal sejak dari dahulu. Polanya tetap antara lain terkenal dengan “Sidomukti” dan “Sidoluruh”. Sedangkan asal-usul pembatikan di daerah Yogyakarta dikenal semenjak kerajaan Mataram ke-I dengan rajanya Panembahan Senopati. Daerah pembatikan pertama ialah di desa Plered. Pembatikan pada masa itu terbatas dalam lingkungan keluarga kraton yang dikerjakan oleh wanita-wanita pembantu ratu. Dari sini pembatikan meluas pada trap pertama pada keluarga kraton lainnya yaitu istri dari abdi dalem dan tentara-tentara. Pada upacara resmi kerajaan keluarga kraton baik pria maupun wanita memakai pakaian dengan kombinasi batik dan lurik. Oleh karena kerajaan ini mendapat kunjungan dari rakyat dan rakyat tertarik pada pakaian-pakaian yang dipakai oleh keluarga kraton dan ditiru oleh rakyat dan akhirnya meluaslah pembatikan keluar dari tembok kraton. Akibat dari peperangan waktu zaman dahulu baik antara keluarga raja-raja maupun antara penjajahan Belanda dahulu, maka banyak keluarga-keluarga raja yang mengungsi dan menetap di daerah-daerah baru antara lain ke Banyumas, Pekalongan, dan ke daerah Timur Ponorogo, Tulungagung dan sebagainya. Meluasnya daerah pembatikan ini sampai ke daerah-daerah itu menurut perkembangan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dimulai abad ke-18. Keluarga-keluarga kraton yang mengungsi inilah yang mengembangkan pembatikan seluruh pelosok pulau Jawa yang ada sekarang dan berkembang menurut alam dan daerah baru itu. 54 Perang Pangeran Diponegoro melawan Belanda, mendesak sang pangeran dan keluarganya serta para pengikutnya harus meninggalkan daerah kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di daerah-daerah baru itu para keluarga dan pengikut pangeran Diponegoro mengembangkan batik. Ke Timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang telah ada di Mojokerto serta Tulung Agung. Selain itu juga menyebar ke Gresik, Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkembang di Banyumas, Pekalongan, Tegal, Cirebon. 3. Cara Pembuatan Batik Ditinjau dari cara pembuatannya, proses pembuatan batik dapat ditempuh melalui dua cara : a. Pertama, yaitu proses pembuatan dilakukan oleh perajin batik dengan menggunakan tangan dibantu alat tradisional yakni canting, maka hasil produksi tersebut dinamakan batik tulis. b. Kedua, yaitu proses pembuatan dilakukan oleh perajin dengan menggunakan alat cap, maka produksi tersebut dinamakan batik cap. Untuk membuat batik, peralatan yang diperlukan adalah: kain mori (bisa terbuat dari sutra, katun atau campuran kain polyester), pensil untuk membuat desain kain batik, canting yang terbuat dari bambu, berkepala tembaga serta bercerat atau bermulut, canting ini berfungsi seperti sebuah pulpen. Canting dipakai untuk menyendok lilin cair yang panas, yang dipakai sebagai bahan penutup atau pelindung terhadap zat warna, gawangan (tempat untuk menyampirkan kain), lilin, panci dan kompor kecil untuk memanaskan. 55 Langkah- langkahnya adalah sebagai berikut: a. Langkah pertama kita membuat desain kain batik di atas kain mori dengan pensil atau biasa disebut molani. Dalam penentuan motif, biasanya tiap orang memiliki selera berbeda-beda. Ada yang lebih suka untuk membuat motif sendiri, namun yang lain lebih memilih untuk mengikuti motif-motif umum yang telah ada. b. Langkah kedua adalah menggunakan canting yang telah berisi lilin cair untuk melapisi motif yang diinginkan. Disesuaikan dengan kebutuhan, misalnya sarung batik berbeda dengan celana. Tujuannya adalah supaya saat pencelupan bahan kedalam larutan pewarna, bagian yang diberi lapisan lilin tidak terkena. Setelah lilin cukup kering, celupkan kain ke dalam larutan pewarna. c. Proses terakhir adalah nglorot, dimana kain yang telah berubah warna direbus dengan air panas. Tujuannya adalah untuk menghilangkan lapisan lilin, sehingga motif yang telah digambar sebelumnya terlihat jelas. Pencelupan ini tidak akan membuat motif yang telah digambar terkena warna, karena bagian atas kain tersebut masih diselimuti lapisan tipis (lilin tidak sepenuhnya luntur). Nglorot misalnya pada kain baju batik, sarung batik, baju kebaya, kain bordir, dan lain-lain. 56 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Pendekatan Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan menggunakan konsep legis positivies, yang mengemukakan bahwa hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Konsep tersebut meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif yang mandiri, bersifat otonom serta mengabaikan norma lain yang bukan norma hukum.33 B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian ini adalah diskriptif, yaitu suatu penelitian yang menggambarkan keadaan atau gejala yang akan diteliti juga dengan keyakinan-keyakinan tertentu, mengambil kesimpulan dari bahan-bahan tentang obyek-obyek masalah yang akan diteliti juga dengan keyakinankeyakinan tertentu.34 C. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Perpustakaan Unsoed dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. 33 Soemitro Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998, hal 15 34 Soeryono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 1994, hal. 12 57 D. Sumber Data Di dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Sedangkan jenis-jenis data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan. b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan keterangan atau penjelasan tentang bahan hukum primer, yaitu permasalahan yang sedang diteliti. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu antara lain kamus. E. Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini data dikumpulkan dengan melakukan inventarisasi dan studi pustaka terhadap data sekunder yang berhubungan dengan permasalahan yang sedang diteliti. F. Metode Penyajian Data Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk teks naratif yang disusun secara sistematis sebagai satu kesatuan yang utuh, yang didahului dengan pendahuluan yang berisi latar belakang, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan diteruskan dengan analisa data dan hasil pembahasan serta diakhiri dengan simpulan. Penyusunan antara bahan yang satu dengan bahan yang lain harus relevan dengan permasalahan sebagai satu kesatuan, saling berhubunganserta urut dan beraturan. 58 G. Metode Analisis Data Data dianalisis dengan metode normatif kualitatif. Normatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai norma hukum positip. Sedangkan kualitatif dimaksudkan analisis data yang bertitik tolak pada usaha-usaha penemuan asas-asas dan informasi-informasi yang bersifat ungkapan, monografis dan responden.35 35 Soemitro, Ronny Hanitijo, Op.Cit, hal 98 59 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil sebagai berikut: 1. Pengertian Batik Secara etimologis, kata “batik” berasal dari bahasa Jawa ”tik” yang berarti kecil, yang dapat diartikan sebagai gambar yang serba rumit. Dalam kesusasteraan Jawa kuno dan pertengahan, proses batik diartikan sebagai “serat nitik”. Riyanto, dkk. (1997) dalam “Katalog Batik Indonesia, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Indrustri Kerajinan dan Batik” menjelaskan bahwa setelah Keraton Kartosuro pindah ke Surakarta, muncul istilah “mbatik” dari Jarwo Dosok “ngembat titik” yang berarti membuat titik. Batik juga disebut sebagai kain bercorak. Kata batik dalam bahasa Jawa berasal dari akar kata “tik”. Mempunyai pengertian berhubungan dengan suatu pekerjaan halus, lembut, dan kecil, yang mengandung unsur keindahan. Indria (2008) dalam “Katalog Pameran Batik Bandung Kontemporer” menyebutkan bahwa batik berarti menitikkan malam dengan canting sehingga membentuk corak yang terdiri dari susunan titikan dan garisan. Batik sebagai kata benda merupakan hasil penggambaran corak di atas kain dengan menggunakan canting sebagai alat gambar dan malam sebagai perintang. 60 Menurut Iwan Tirta (2009) dalam Quo Vadis Batik Indonesia mendefinisikan batik sebagai teknik mengolah kain atau tekstil dengan menggunakan lilin dalam proses pencelupan warna, dimana semua proses tersebut menggunakan tangan. Pengertian lain dari batik adalah serentang warna yang meliputi proses pe-malaman (lilin pencelupan atau pewarnaan dan pelorotan atau pemanasan), hingga menghasilkan motif yang halus yang semuanya ini memerlukan ketelitian yang tinggi. Pengertian batik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kain bergambar yang pembuatannya secara khusus dengan menuliskan atau menerakan malam pada kain itu, kemudian pengolahannya diproses dengan cara tertentu. Malam dalam hal ini berarti lilin cair yang digunakan dalam proses pembuatannya. Lebih lanjut dijelaskan oleh Santosa Doellah (2002) dalam bukunya “Batik: Pengaruh Zaman dan Lingkungan” menyatakan bahwa batik adalah sehelai was yakni sehelai kain yang dibuat secara tradisional dan teruntai juga digunakan dalam matra tradisional beragam hias pola tertentu yang pembuatannya menggunakan teknik celup rintang dengan malam (lilin batik) sebagai bahan perintang warna. Oleh karena itu, suatu wastra dapat disebut batik apabila mengandung dua unsur pokok, yaitu teknik celup rintang yang menggunakan lilin sebagai perintang warna dan pola yang beragam hias khas batik. 2. Latar Belakang Penciptaan Batik Banyumas Penciptaaan batik Banyumas diawali dengan adanya Kademangankademangan atau Kadipaten di wilayah Banyumas. Berdirinya Kademangankademangan atau Kadipaten telah memunculkan tradisi membatik di daerah 61 Banyumas. Selain para Demang, para pengikut Pangeran Diponegoro dalam memenuhi kebutuhan sandang (pakaian), mereka juga membuat batik. Salah seorang pengikut Pangeran Diponegoro yang terkenal bernama Najendra merupakan tokoh seni batik Banyumas. Beliau telah mengembangkan seni batik di daerah Banyumas, dimana karya-karya yang diciptakannya sedikit banyak telah mempengaruhi kekhasan batik Banyumas hingga saat ini. Tahun 1913 hingga 1933 merupakan periode pemerintahan Bupati Banyumas yang bernama Pangeran Aria Gandasubrata. Pada masa itu, motif batik Banyumas kembali diperkaya dengan diciptakannya motif Parang Gandasubrata. Motif batik tersebut diciptakan oleh Pangeran Aria Gandasubrata yang merupakan kombinasi dari motif Parang Gandasuli (bunga putih yang harum) dengan motif Madu Broto yang melambangkan kasih sayang. Selanjutnya, pada masa pendudukan Belanda seni batik Banyumas dipengaruhi corak batik yang diciptakan oleh seorang nyonya Belanda bernama Matheron, keponakan dari seorang janda Belanda bernama Van Oosterom yang tinggal di Banyumas untuk melakukan misi membaca ayatayat Alkitab kepada perempuan-perempuan yang bekerja di studio batiknya. Sebelumnya ia memproduksi batik sambil berdakwah di Semarang, lalu setelah pindah ke Banyumas, ia membawa warna-warna dari gaya batiknya bang biru ungon (merah-biru-ungu) dan mencampurnya dengan warna coklat lokal. Setelah meninggal, usaha batiknya diserahkan kepada Nyonya Matheron dan Nona Willemse. Dari Nyonya Matheron inilah, tercipta motif batik “Matheros” atau “Mantelon” (sesuai dengan lidah orang Banyumas) 62 yang terkenal, dan banyak ditiru serta dikembangkan di wilayah Banyumas hingga saat ini. Setelah masa pendudukan Belanda berakhir, usaha batik di wilayah Banyumas mayoritas dilakukan oleh masyarakat keturunan Tionghoa, antara lain Ibu Kwee Hoe Loei, Kho Siang Kie dan Lian Kheng. Selain kualitas, motif juga menjadi daya tarik batik Banyumas. Salah satu ciri khas batik Banyumas terletak pada keindahan motifnya yang menggunakan warna utama coklat soga dan biru wedelan yang dahulu menggunakan zat warna alam. Kedua warna tersebut, diproses menggunakan teknik lorodan yang dapat dikembangkan menjadi beratus-ratus motif. Keindahan batik Banyumas terlihat pada paduan warna yang serasi antara bidang-bidang, garis dan isian yang beraneka ragam. Terdapat ratusan kreasi motif batik Banyumas, di antaranya adalah: a. Motif Lumbon Lumbon adalah daun lumbu yang merupakan bahan dasar makanan khas “buntil”. b. Motif Jayan atau Jahean Jahe merupakan tanaman apotek hidup, digunakan sebagai bumbu masakan tertentu, bahan campuran minuman, atau permen. c. Motif Ayam Puger Motif ini menyimbolkan kondisi sosial di Banyumas, ayam jago, bangunan tikelan, garis, menggambarkan bangunan tradisional. d. Motif Babon Angrem Babon angrem merupakan sebutan orang Banyumas pada ayam yang sedang mengerami telurnya. 63 e. Motif Kekayon Motif ini diciptakan oleh keturunan Bupati Banyumas Pangeran Aria Gandasubrata yang merupakan motif khusus untuk keluarga. f. Motif Gandasubrata Motif ini merupakan perpaduan antara motif Parang Gandasuli dan motif Madu Bronto yang merupakan motif batik dari Solo. g. Motif Sida Mukti Motif ini biasanya dipakai untuk acara pernikahan, mempunyai makna sida (menjadi) dan mukti (mulia) atau berarti: menjadi mulia, sukses dalam berkarir, dan bahagia dalam menjalani hidup. h. Gabah Mawur, diharapkan si pemakai motif ini melimpah rejekinya gabah-beras mawur/mambrah-mambrah alias banyak. i. Jagadan, diharapkan si pemakai bisa menjalani atau menguasai kehidupan yang lebih baik di jagad raya (dunia) ini. j. Duda Brengos, berkembang anggapan bahwa pembuat motif batik ini adalah seorang duda yang brengosan (duda yang berjenggot dan berkumis). Masih terdapat banyak motif batik Banyumas lainnya, diantaranya Jahe Srimpang, Sungai Serayu, Gunungan, Sekarsurya, Sidoluhung, Kopi Pecah, Dawet Ayu, Cebong Kumpul, Parung Salak, dan lain-lain. Para penggiat batik Banyumas saat ini juga menghasilkan motif-motif lain dengan melakukan kombinasi, terobosan motif baru sehingga tercipta suatu karakter seni batik kontemporer yang khas dan indah. 64 B. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disusun pembahasan hasil penelitian sebagai berikut: 1. Konsep Perlindungan Hukum Menurut Sudikno Mertokusumo (2010) dalam bukunya “Mengenal Hukum Suatu Pengantar”, perlindungan hukum adalah suatu hal atau perbuatan untuk melindungi subjek hukum berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku disertai dengan sanksi-sanksi bila ada yang melakukan wanprestasi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa perlindungan hukum adalah adanya jaminan hak dan kewajiban manusia dalam rangka memenuhi kepentingan sendiri maupun di dalam hubungan dengan manusia lain. Kehadiran hukum dalam masyarakat adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa bertentangan satu sama lain. Berkaitan dengan hal tersebut, hukum harus mampu mengintegrasikannya sehingga benturan-benturan kepentingan itu dapat ditekan sekecil-kecilnya. Perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi kepentingan lain pihak. Perlindungan terhadap masyarakat mempunyai banyak dimensi yang salah satunya adalah perlindungan hukum. Adanya perlindungan hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali telah termaktub dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NKRI Tahun 1945), untuk itu setiap produk yang dihasilkan oleh 65 legislatif harus senantiasa mampu memberikan jaminan perlindungan hukum bagi semua orang, bahkan harus mampu menangkap aspirasi-aspirasi hukum dan keadilan yang berkembang di masyarakat. Hal tersebut, dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur tentang adanya persamaan kedudukan hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali. Perjanjian multilateral, baik Berne Convention maupun TRIP’s Agreement mengatur tentang konsep dasar perlindungan hukum tentang Hak Cipta. Salah satu konsep dasar pengakuan lahirnya hak atas Hak Cipta adalah sejak suatu gagasan itu dituangkan atau diwujudkan dalam bentuk yang nyata (tangible form). Pengakuan lahirnya hak atas Hak Cipta tersebut tidak diperlukan suatu formalitas atau bukti tertentu, berbeda dengan hak-hak dari pada hak atas kekayaan intelektual lainnya, seperti paten, merek, desain industri dan desain tata letak sirkuit terpadu. Timbulnya atau lahirnya hak tersebut diperlukan suatu formalitas tertentu yaitu dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan pemberian hak. Selain prinsip yang paling fundamental tersebut, di dalam perlindungan Hak Cipta juga dikenal prinsip atas asas originalitas (keaslian). Asas originalitas ini merupakan suatu syarat adanya perlindungan hukum di bidang Hak Cipta. Originalitas ini tidak bisa dilakukan seperti halnya novelty (kebaruan) yang ada dalam paten, karena prinsip originalitas adalah tidak meniru ciptaan lain, jadi hanya dapat dibuktikan dengan suatu pembuktian oleh Penciptanya. Di dalam penjelasan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri dijelaskan bahwa original berarti sesuatu 66 yang langsung berasal dari sumber asal orang yang membuat atau yang mencipta atau sesuatu yang langsung dikemukakan oleh orang yang dapat membuktikan sumber aslinya. Penjelasan Umum Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dan penjelasan Undang-Undang No. 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1987, Pasal 1 menyebutkan bahwa suatu karya cipta harus memiliki bentuk yang khas dan menunjukkan keaslian sebagai ciptaan seseorang atas dasar kemampuan dan kreatifitasnya yang bersifat pribadi. Dalam bentuk yang khas, artinya karya tersebut harus telah selesai diwujudkan dalam bentuk yang nyata, sehingga dapat dilihat, didengar atau dibaca. 2. Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta atas Batik Banyumas Berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Berdasarkan uraian tentang pengertian batik, maka dapat dijelaskan bahwa batik Banyumas merupakan kain bergambar yang dibuat dengan menuliskan atau menerakan malam hingga membentuk suatu motif yang menggambarkan kebiasaan masyarakat Banyumas, dibuat secara bolak-balik dengan cara lorodan. Dalam selembar kain batik Banyumas, akan dapat diketahui nilai filosofi masyarakat Banyumas yang “cablaka” yaitu apa yang tampak di depan harus sama seperti apa yang tampak di belakang (njaba njero pada). 67 Secara definitif, dalam penciptaan batik Banyumas mengandung beberapa unsur yaitu Pencipta, Ciptaan, motif, unsur seni dan originalitas. Unsur-unsur tersebut dapat dijelaskan melalui Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2002 Pasal 1 angka (2), yang menyatakan bahwa: Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. Terkait dengan Ciptaan, bunyi Pasal 1 angka (3) Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta sebagai berikut: Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra. Rachmadi Usman (2001) menyatakan bahwa dalam penuangannya suatu ciptaan harus memiliki bentuk yang khas dan menunjukkan keaslian (original) sebagai ciptaan seorang yang bersifat pribadi. Adapun pengertian Hak Cipta diatur dalam Pasal 1 angka (1) UU No. 19 tahun 2002, yang menyatakan: Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku. Terkait dengan hak ekslusif, Pasal 2 ayat (1) UU No. 19 tahun 2002, menyatakan bahwa: Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku. Lebih lanjut tentang hak eksklusif, Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2002 menyatakan bahwa: 68 Yang dimaksud dengan hak eksklusif adalah hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya. Dalam pengertian “mengumumkan atau memperbanyak”, termasuk kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan Ciptaan kepada publik melalui sarana apa pun. Konsep yang mendasar dari hukum hak cipta adalah bahwa hak cipta bukan melindungi suatu ide atau konsep, tetapi melindungi bagaimana ide atau konsep itu diekspresikan dan dikerjakan. Tidak diperlukan pengujian, tetapi karya harus original, dibuat sendiri, bukan hasil copy dari sumber lain, dan penciptanya harus berkontribusi tenaga dan keahlian. Dengan demikian, hak cipta tidak melindungi ide-ide atau informasi sampai ide atau informasi tersebut dituangkan dalam bentuk yang dapat dihitung atau dalam bentuk materi, dan dapat diproduksi ulang. Hal ini tercermin dalam Pasal 2 TRIPs yang menyatakan bahwa perlindungan hak cipta diberikan untuk “pengungkapan bukan ide-ide, tata cara, metode dari pengoperasian konsep matematika”. Selanjutnya menurut Suyud Margono (2003) dalam bukunya yang berjudul “Hukum dan Perlindungan Hak Cipta” menyatakan bahwa: Hak cipta tidak melindungi ide-ide/gagasan, tetapi Hak Cipta melindungi perwujudan atau gagasan tersebut (expression of ideas), dalam hal ini Hak Cipta melindungi ciptaan yang dapat dilihat, dibaca atau didengar. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka jika dihubungkan antara pengertian batik dengan Pasal 1 angka (2), Pasal 1 angka (3), Pasal 1 angka (1), Pasal 2 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2002 dan Penjelasannya, serta pendapat Rachmadi Usman dan Suyud Margono, maka dapat dideskripsikan 69 bahwa batik Banyumas merupakan hasil karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya di bidang seni yang dapat dilihat, dimana Pencipta memperoleh Hak Cipta. Hak cipta merupakan terminologi hukum yang menggambarkan hak-hak yang diberikan kepada Pencipta atas suatu Ciptaan dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra yang dapat dilihat, dibaca atau didengar. Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang yang mewujudkan suatu ciptaan untuk pertama kali berdasarkan ide yang dimilikinya dan seseorang itu mempunyai hak-hak sebagai Pencipta atas Ciptaannya. Menurut Copinger dalam buku karangan Damian (2002) yang berjudul “Hukum Hak Cipta UUHC No. 19 Tahun 2002”, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Pencipta adalah: …the “author” of the work is to be the first owner of the copyright there in. (Pencipta dari suatu ciptaan merupakan pemiliki pertama dari ciptaan itu sendiri. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka jika dihubungkan antara penciptaan batik Banyumas dengan bunyi Pasal 1 angka (2) dan pendapat Copinger, maka dapat dideskripsikan bahwa batik Banyumas yang dibuat oleh pengrajin batik, baik oleh perorangan maupun bersama-sama merupakan salah satu bentuk ciptaan, dimana pengrajin batik tersebut dinyatakan sebagai pencipta yang sekaligus memegang Hak Cipta hasil karya batik tersebut. Batik Banyumas merupakan karya cipta yang memerlukan keterampilan dan keahlian yang spesifik. Sebagai hasil karya intelektual, batik Banyumas mendapat perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Secara historis, dapat diidentifikasi beberapa pencipta motif batik Banyumas yaitu: 70 a. Matheron, seorang Nyonya Belanda yang menciptakan motif “Materos” yang hingga saat ini masih diproduksi di wilayah Banyumas. Motif batik Materos menggunakan warna biru-hitam-krem dengan menambahkan pinggiran dengan motif bunga-bunga berwarna merah. b. Pangeran Aria Gandasubrata, Bupati Banyumas periode 1913-1933 yang menciptakan motif Parang Gandasubrata. Motif batik ini merupakan kombinasi dari motif Parang Gandasuli (bunga putih yang harum) dengan motif Madu Broto yang melambangkan kasih sayang. Karya motif batik yang diciptakan oleh Matheron dan Pangeran Aria Gandasubrata tersebut merupakan wastra batik yang dibuat secara tradisional dan mengandung makna filosofis, simbolis dan nilai kesakralan. Motif batik tersebut juga digunakan sebagai busana dalam tatanan dan tuntunan budaya yang telah terpelihara secara turun-menurun, sehingga karya seni batik tersebut merupakan bagian dari folklor (ekspresi budaya) yang dilindungi Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2002 pasal 10 ayat (2), yang berbunyi: Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. Terdapat adanya perbedaan perlindungan karya seni batik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 10 dengan Pasal 12 UUHC Tahun 2002. Dalam Pasal 10, karya seni batik yang dimaksud adalah wastra batik yang dibuat secara tradisional yang mengandung makna filosofis, simbolis dan nilai kesakralan serta digunakan sebagai busana dalam tatanan dan tuntunan budaya yang merupakan bagian dari folklor (ekspresi budaya). 71 Terdapat motif batik tradisional Banyumas yang memang telah diwariskan secara turun-temurun, dan hingga saat ini tidak dapat diketahui siapa penciptanya. Batik yang dilindungi dalam Pasal 10 UUHC 2002 ini dimasukkan dalam kategori hasil seni berupa gambar, karena yang dilindungi adalah motif batiknya. Adapun karya seni batik yang dilindungi dalam Pasal 12 UUHC 2002 adalah batik yang dibuat secara konvensional untuk tujuan komersil atau industri, di mana dalam pasal ini tidak disebutkan bahwa batik tersebut harus tradisional atau bukan tradisional yang pada umumnya batik yang dilindungi dalam Pasal 12 ini sudah diketahui penciptanya, dengan kata lain disebut dengan batik kontemporer yang bukan merupakan folklor. Motif batik Banyumas hasil kreasi dan inovasi dari perajin batik saat ini merupakan batik kontemporer yang dilindungi menurut Pasal 12 Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta sebagai berikut: (1) Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup: a. Buku, Program Komputer, Pamflet, Perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain; b. Ceramah, Kuliah, Pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu; c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; d. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks; e. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, pantomime; f. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan; g. Arsitektur; h. Peta; i. Seni batik; j. Fotografi; k. Sinematografi; l. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan. 72 (2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atau Ciptaan Asli. (3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan perbanyakan hasil karya itu. Pasal 12 ayat (1) huruf i No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta telah memasukkan seni batik sebagai salah satu ciptaan yang dilindungi, karena termasuk dalam lingkup seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Perlindungan hukum terhadap hak cipta atas batik Banyumas berdasarkan Undang-Undang Hak Cipta tahun 2002, dapat dijelaskan melalui penjelasan Pasal 12 ayat (1) huruf i, bahwa batik yang dibuat secara konvensional dilindungi sebagai bentuk ciptaan tersendiri. Karya-karya seperti itu memperoleh perlindungan karena mempunyai nilai seni, baik pada ciptaan motif atau gambar maupun komposisi warnanya. Disamakan dengan pengertian seni batik adalah karya tradisional lainnya yang merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang terdapat di berbagai daerah, seperti seni songket, ikat, dan lain-lain yang dewasa ini terus dikembangkan. Dengan demikian, maka seni batik termasuk di dalamnya batik Banyumas telah mendapat perlindungan hukum di dalam hukum positif di Indonesia. Ciptaan yang ada dalam ketentuan pasal tersebut dilindungi dalam lingkup wilayah dalam negeri maupun luar negeri. Pada dasarnya, hak cipta merupakan “hak untuk menyalin suatu ciptaan”. Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas. Terkait dengan masa berlaku hak cipta, bunyi Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta tahun 2002 menyatakan bahwa: 73 (1) Hak Cipta atas Ciptaan: a. buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lain; b. drama atau drama musikal, tari, koreografi; c. segala bentuk seni rupa, seperti seni lukis, seni pahat, dan seni patung; d. seni batik; e. lagu atau musik dengan atau tanpa teks; f. arsitektur; g. ceramah, kuliah, pidato dan Ciptaan sejenis lain; h. alat peraga; i. peta; j. terjemahan, tafsir, saduran, dan bunga rampai, berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia. Berdasarkan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta tahun 2002 dapat dijelaskan bahwa seni batik sebagai ciptaan yang dilindungi, maka pemegang hak cipta atas karya batik memperoleh perlindungan selama hidupnya dan terus berlangsung hingga 50 tahun setelah meninggal dunia. Adapun bagi hak cipta yang dimiliki oleh 2 (dua) orang atau lebih, maka hak cipta berlaku selama hidup pencipta yang meninggal dunia paling akhir, dan berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun sesudahnya. Selama jangka waktu perlindungan tersebut, pemegang hak cipta memiliki hak ekslusif untuk melarang pihak lain mengumumkan dan memperbanyak ciptaannya, atau memberi ijin kepada orang lain untuk melakukan pengumuman dan perbanyakan ciptaan tanpa mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 ayat (1) UUHC 2002). Terkait dengan ciptaan batik tradisional yang penciptanya tidak diketahui secara pasti (anonim), maka termasuk folklor yang dilindungi Undang-Undang No. 19 Tahun 2002, sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 10 ayat (2) yang menyatakan bahwa:”Negara memegang hak cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadikan milik bersama seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, 74 tarian, kaligrafi dan karya seni lainnya”. Dalam penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan folklor adalah sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh kelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang menunjukkan identitas sosial dan budayanya berdasarkan standard dan nilainilai yang diucapkan atau diikuti secara turun-temurun termasuk hasil seni antara lain berupa lukisan, gambar, ukir-ukiran, pahatan, mozaik, perhiasan, kerajinan tangan, pakaian, instrumen musik dan tenun tradisional. Masa perlindungan hak cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama berlaku tanpa batas waktu. Hal ini tertuang dalam Pasal 31 Ayat 1a yang menyatakan bahwa: (1) Hak Cipta atas Ciptaan yang dipegang atau dilaksanakan oleh Negara berdasarkan: a. Pasal 10 ayat (2) berlaku tanpa batas waktu. Jangka waktu perlindungan tersebut diberikan terhadap seni batik tradisional, misalnya Sidoluhur, Parang Rusak, Udan Riwis, Kawung dan Elar Mabur, Ayam Puger, Truntum, Lumbon dan motif batik tradisional lainnya. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa batik tradisional tersebut telah diciptakan dan dihasilkan secara turun-temurun oleh masyarakat Indonesia sehingga diperkirakan perhitungan jangka waktu perlindungan hak ciptanya telah melewati jangka waktu perlindungan yang ditetapkan dalam undang-undang. Karena itu, batik tradisional yang ada menjadi milik bersama masyarakat Indonesia (public domein), dimana hak cipta batik tradisional tersebut dipegang oleh Negara. Hal ini berarti bahwa Negara menjadi wakil bagi seluruh masyarakat Indonesia dalam menguasai kekayaan tradisional yang ada. Perwakilan oleh Negara dimaksudkan untuk menghindari sengketa 75 penguasaan atau kepemilikan yang mungkin timbul di antara individu atau kelompok masyarakat tertentu. Selain itu, penguasaan oleh Negara menjadi penting, khususnya apabila terjadi pelanggaran hak cipta atas batik tradisional Indonesia yang dilakukan oleh pihak negara lain. Tiap hak kekayaan intelektual memiliki pembatasan jangka waktu. Tetapi, pembatasan jangka waktu tersebut hanya membatasi hak ekonomi atas suatu ciptaan (dalam hal ini adalah motif batik). Artinya, hak ekonomi berupa hak eksklusif (untuk menggunakannya dalam bisnis) yang dimiliki oleh pencipta berlaku selama hidup pencipta dan 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Adapun hak moral atau hak untuk tetap dicantumkannya nama pencipta dalam motif batik akan tetap melekat sampai kapan pun. Seni batik Banyumas yang dibuat dengan cara-cara yang konvensional layak untuk dilindungi sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 12 Ayat (1) huruf i Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Penjiplakan terhadap batik Banyumas jelas merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap hak cipta. Pada dasarnya, sekalipun seni batik di Indonesia telah mendapat perlindungan, namun hal ini tidak berarti bahwa para pencipta batik, khususnya batik Banyumas telah memanfaatkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta tersebut dalam upaya mendapatkan perlindungan bagi hasil karya cipta batiknya. Masih banyak para penggiat Batik Banyumas yang belum memahami undang-undang tersebut, khususnya para pengusaha batik skala kecil. Di sisi lain, sebagian penggiat maupun pengusaha batik yang telah mengetahui Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta pun belum menganggap penting keberadaan undangundang tersebut. 76 Banyak faktor yang menyebabkan pencipta maupun pengrajin batik Banyumas enggan untuk memanfaatkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002, diantaranya adalah masih rendahnya tingkat kesadaran hukum masyarakat terhadap hak cipta, mereka juga belum menganggap penting perlindungan hukum terhadap pendaftaran hak cipta batik, di samping karena biaya pendaftaran hak cipta yang relatif mahal dan prosedur pendaftaran yang berbelit-belit juga dikarenakan banyaknya syarat permohonan pendaftaran ciptaan yang harus dipenuhi. Muhamad Firmansyah (2008) dalam bukunya “Tata Cara Mengurus HAKI”, menuliskan syarat- syarat permohonan pendaftaran ciptaan sebagai berikut: a. Mengisi formulir pendaftaran ciptaan rangkap tiga (formulir dapat diminta secara cuma-cuma pada Kantor DJHKI), lembar pertama dari formulir tersebut ditandatangani di atas materai Rp.6.000 (enam ribu rupiah); b. Surat permohonan pendaftaran ciptaan mencantumkan hal-hal berikut: 1) Nama, kewarganegaraan dan alamat pencipta; 2) Nama, kewarganegaraan dan alamat pemegang hak cipta (nama, kewarganegaraan dan alamat kuasa) jenis dan judul ciptaan; 3) Tanggal dan tempat ciptaan diumumkan untuk pertama kali; 4) Uraian ciptaan rangkap tiga; c. Surat permohonan pendaftaran ciptaan hanya dapat diajukan untuk satu ciptaan; d. Melampirkan bukti kewarganegaraan pencipta dan pemegang hak cipta berupa fotocopy KTP atau paspor e. Jika pemohon badan hukum, maka pada surat permohonannya harus dilampirkan turunan resmi akta pendirian badan hukum tersebut f. Melampirkan surat kuasa, bilamana permohonan tersebut diajukan oleh seorang kuasa, beserta bukti kewarganegaraan kuasa tersebut g. Jika permohonan tidak bertempat tinggal di dalam wilayah RI, maka untuk keperluan permohonan pendaftaran ciptaan ia harus memiliki tempat tinggal dan menunjuk seorang kuasa di dalam wilayah RI h. Jika permohonan pendaftaran ciptaan diajukan atas nama lebih dari seorang dan atau suatu badan hukum, maka nama-nama pemohon harus ditulis semuanya, dengan menetapkan satu alamat pemohon i. Melampirkan bukti pemindahan hak jika ciptaan tersebut telah dipindahkan j. Melampirkan contoh ciptaan yang dimohonkan pendaftarannya atau penggantinya k. Membayar biaya permohonan pendaftaran ciptaan Rp.75.000, khusus untuk permohonan pendaftaran ciptaan program komputer sebesar Rp.150.000. 77 Kendala lain terkait dengan masih rendahnya pemanfaatan instrumen pendaftaran Hak Cipta seni batik oleh para pengrajin batik Banyumas adalah karena faktor budaya dari para pengrajin batik yang menganggap bahwa suatu penjiplakan atau peniruan motif batik merupakan suatu hal yang biasa. Bahkan pengusaha batik skala kecil cenderung merasa bangga jika hasil karya cipta motif batik mereka ditiru atau dinikmati oleh pihak lain sehingga mudah tersebar luas di masyarakat, yang secara tidak langsung dapat meningkatkan penjualan kain batik mereka. Menurut Parlugutan Lubis dalam buku karangan Abdulkadir Muhammad (2001) yang berjudul “Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual”, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi warga masyarakat untuk melanggar HKI antara lain: a. Pelanggaran HKI dilakukan untuk mengambil jalan pintas guna mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari pelanggaran tersebut; b. Para pelanggar menganggap bahwa sanksi hukum yang dijatuhkan oleh pengadilan selama ini terlalu ringan bahkan tidak ada tindakan preventif maupun represif yang dilakukan oleh para penegak hukum; c. Ada sebagian warga masyarakat sebagai pencipta yang bangga apabila hasil karyanya ditiru oleh orang lain, namun hal ini sudah mulai hilang berkat adanya peningkatan kesadaran hukum terhadap HKI; d. Dengan melakukan pelanggaran, pajak atas produk hasil pelanggaran tersebut tidak perlu dibayar kepada pemerintah; dan e. Masyarakat tidak memperhatikan apakah barang yang dibeli tersebut asli atau palsu (aspal), yang penting bagi mereka harganya murah dan terjangkau dengan kemampuan ekonomi. Sistem pendaftaran hak cipta berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 bersifat deklaratif artinya, pendaftaran bukan merupakan suatu keharusan. Menurut Rachmadi Usman (2003) dalam bukunya “Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual” menyatakan bahwa pendaftaran hanya untuk pembuktian, bukan untuk menerbitkan hak melainkan hanya memberikan 78 dugaan atau sangkaan hukum (rechtsvermoeden) atau presumption iuris yaitu pihak yang haknya terdaftar adalah pihak yang berhak atas hak tersebut dan sebagai pemakai pertama atas hak yang didaftarkan. Berdasarkan sistem tersebut, maka pendaftaran karya seni batik bukan merupakan suatu keharusan bagi pencipta atau pemegang hak cipta sebagaimana tersirat dalam penjelasan Pasal 35 Ayat (4) yang menyatakan bahwa ketentuan tentang pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak merupakan kewajiban untuk mendapatkan hak cipta. Hak cipta timbul secara otomatis setelah ide pencipta dituangkan dalam suatu karya cipta yang berwujud, misalnya dalam karya seni batik. Hal ini berarti bahwa suatu ciptaan, baik yang terdaftar maupun tidak terdaftar, akan tetap dilindungi oleh undang-undang. Pendaftaran hak cipta akan bermanfaat untuk membuktikan kebenaran pihak yang dianggap sebagai pencipta yang sebenarnya apabila terjadi sengketa kasus di pengadilan. Artinya pendaftaran yang dilakukan oleh pencipta dijadikan sebagai dasar pembuktian untuk menentukan kebenaran pencipta dan bukan sebagai dasar kepemilikan pencipta yang bersangkutan. Apabila terjadi sengketa terkait dengan hak cipta, pengajuan tuntutan dapat dilakukan secara pidana. UU No. 19 Tahun 2002 telah merumuskan perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana hak cipta. Undang-undang tersebut juga telah membuka upaya memaksimalkan perlindungan terhadap hak cipta melalui perubahan status tindak pidana hak cipta dari delik aduan menjadi delik umum (delik biasa), artinya pihak aparat 79 penegak hukum dapat dengan serta merta menindak dan memproses pelaku tindak pidana hak cipta tanpa harus menunggu laporan atau aduan dari masyarakat atau pihak yang merasa dirugikan oleh pelaku tindak pidana hak cipta. Selain itu, ancaman pidananya pun diperberat, guna lebih melindungi pemegang hak cipta dan sekaligus memungkinkan dilakukan penahanan sebagaimana diatur dalam KUHAP. Pelaku pelanggaran hak cipta dapat dipidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Jika ditinjau dari ketentuan pidana dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Pasal 72 ayat (1) tersebut, cukup sesuai apabila diterapkan pada para pelaku pelanggaran hak cipta, khususnya pada karya seni batik. 80 BAB V SIMPULAN Perlindungan hukum terhadap Hak Cipta atas batik Banyumas berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 mencakup batik kontemporer dan batik tradisional. Batik kontemporer merupakan seni batik hasil kreasi dan inovasi dari perajin batik saat ini yang dibuat secara konvensional untuk tujuan komersil atau industri. Seni batik tersebut mendapat perlindungan hukum karena termasuk dalam lingkup seni menurut ketentuan Pasal 12 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Adapun seni batik tradisional yang mengandung makna filosofis, simbolis dan nilai kesakralan serta digunakan sebagai busana dalam tatanan dan tuntunan budaya yang merupakan bagian dari folklor dilindungi oleh Undangundang Nomor 19 Tahun 2002 Pasal 10 ayat (2). 81 DAFTAR PUSTAKA Buku-buku: Anonim, Katalog Batik Banyumasan, Disperindagkop, Kabupaten Banyumas, 2008. Damian, Eddy, Hukum Hak Cipta UUHC No. 19 Tahun 2002, Alumni, Bandung, . 2002. Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2008. Djubaidah dan Muhamad Jumhana, Hak Milik Intelktual (Sejarah, Teori dan Prekteknya di Indonesia), Citra Adiyta Bhakti, Bandung, 1997. Doellah, Santosa, Batik: Pengaruh Zaman dan Lingkungan, Danar Hadi, Surakarta, 2002. Firmansyah, Muhamad, Tata Cara Mengurus HAKI, Visi Media, Jakarta, 2008. Hamzuri, Batik Klasik, Djambatan, Jakarta, 1981. Hanitijo, Soemitro Ronny, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998. Harjowidigdo, Rooseno, Perjanjian Lisensi Hak Cipta Musik, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 2005. Hidayat, Komaruddin dan Putut Widjanarko, Reinventing Indonesia: Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa, Mizan, Bandung, 2008. Indria, Alga, Katalog Pameran Batik Bandung Kontemporer, Yogyakarta, 2008. Kesowo, Bambang, Pengantar Umum Mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di Indonesia, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1995. Khairandy, Ridwan, Pengantar Hukum Dagang, UII Press, Yogyakarta, 2006. Lindsey, Tim, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, PT.Alumni, Bandung, 2006. Margono, Suyud, Hukum dan Perlindungan Hak Cipta, Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2003. Mertokusumo, Sudikno, 2010, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Universitas Atmajaya, Yogyakarta 2010. 82 Muhammad, Abdulkadir, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. Otto Hasibuan, Hak Cipta di Indonesia (Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu, Neighbouring Rights) dan Collecting Society), PT. Alumni, Bandung, 2008. Purba, Afrillyanna, TRIPs-WTO dan Hukum HKI Indonesia Kajian Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2005. Rahmadi Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual, PT.Alumni, Bandung, 2003. Riyanto, D., Cahyo B., dan Widyanto, M., Katalog Batik Indonesia, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Indrustri Kerajinan dan Batik, Yogyakarta, 1997. Saidin, O.K., Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003. Situngkir, Hokky dan Rolan Dahlan, 2009. Fisika Batik: Implementasi Kreatif Melalui Sifat Fraktal pada Batik secara Komputasional. Soekanto, Soeryono dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 1994. Suyanto, A.N, Sejarah Batik Yogyakarta, Merapi, Yogyakarta, 2002. Tirta, Iwan, 2009. Quo Vadis Batik Indonesia, Makalah dalam Konferensi Intemasional Dunia Batik, Kerjasama antara International Centre for Culture and To ism (ICCT) dan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2-6 November, 2009. Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Referensi Internet www. Info hukum.com, diakses 5 April 2011 www.Info.HKI.com, diakses 7 Oktober 2011