10 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori a. Hakikat Pendidikan

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
a.
Hakikat Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan anak usia dini adalah salah satu usaha atau upaya pembinaan yang
ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun. Pendidikan
anak usia dini dilakukan melalui rangsangan-rangsangan atau stimulus pendidikan
untuk membantu mengembangkan perkembangan dan membantu pertumbuhan
anak.
Pendidikan anak usia dini ini juga merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan
pendidikan bagi anak usia dini yang lebih menitikberatkan pada peletakan dasar
pertumbuhan dan perkembanga fisik motorik, kognitif, bahasa, moral dan agama,
serta sosial emosional.
Sebagai contoh, jika ada anak yang tidak mendapatkan gizi sebagaimana
mestinya, nutrisi yang cukup interaksi dan perhatian dari orang tua dan
masyarakat sekitar, sehingga dapat menyebabkan anak tersebut menjalani masa
pertumbuhan dan perkembangannya dengan tidak optimal. Disinilah pentingnya
lembaga pendidikan anak usai dini, bekerja sama dengan orang tua dan
masyarakat untuk mengarahkan dan membentuk pribadi anak yang baik dan
10
diharapkan oleh masyarakat sekitar, yang tidak hanya tangguh sebagai personal,
tetapi juga baik secara sosial.
Berhubungan dengan istilah pendidik pada pendidikan anak usia dini, maka
terdapat berbagai sebutan yang berbeda tetapi memiliki makna yang sama,
diantaranya sering terdengar adalah tutor, fasilitator, bunda, dan lain-lainnya.
Menurut Piaget dalam Sujiono (2007: 9) mengatakan bahwa peran guru lebih
sebagai mentor atau fasilitator, dan bukan penstranfer ilmu pengetahuan semata,
karena ilmu tidak dapat ditransfer dari guru kepada anak tanpa keaktifan anak itu
sendiri.
Menurut Sujiono (2007) dalam proses pembelajaran, tekanan harus
diletakkan pada pemikiran guru. Oleh karena itu penting bagi guru untuk
dapat: (1) mengerti cara berfikir anak; (2) mengembangkan dan
menghargai pengalaman anak; (3) memahami bagaimana anak mengatasi
suatu persoalan; (4) menyediakan dan memberikan materi sesuai dengan
taraf perkembangan kognitif anak agar lebih berhasil membantu anak
berfikir dan membentuk pengetahuan; (5) menggunakan berbagai metode
belajar yang bervariasi yang memungkinkan anak aktif mengkonstruksi
pengetahuan. Sejalan dengan itu Sujiono (2007: 254) juga berpendapat
bahwa Program Pendidikan Anak Usia Dini memiliki multi dimensi
pertimbangan,
baik
dipandang
dari
segi
kesehatan,
gizi,
psikososial/pendidikan, ekonomi maupun segi hukum dan hak asasi
manusia.
Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa PAUD sangat
memiliki peran penting dalam pendidikan nasional. Pendidikan anak usia dini dari
usia 0-8 tahun yang mencakup pertumbuhan dan perkembangan anak dari dalam
kandungan hingga usia 8 tahun sangat menentukan kualitas kesehatan, kognitif,
emosional dan produktivitas manusia pada tahap berikutnya. Pendidikan anak usia
dini juga melakukan pendidikan yang merupakan investasi yang sangat penting
bagi pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas untuk membangun
Indonesia menjadi negara yang lebih maju. Untuk membentuk pendidikan anak
11
usia dini yang berkualitas tidak terlepas dari peran pemerintah dan peran non
pemerintah dalam pengembangan anak usia dini.
b. Hakikat Anak Usia Dini
Anak usia dini adalah anak yang berada pada rentan usia 0-6 tahun (Undang
Undang Sisdiknas tahun 2003) dan 0-8 tahun menurut NAEYC, 1992. Anak usia
dini adalah sekelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan yang bersifat unik. Mereka memiliki pola pertumbuhan dan
perkembangan
yang
khusus
sesuai
dengan
tingkat
pertumbuhan
dan
perkembangannya. Biechler dan Snowman dalam Yus (2011: 16) menegaskan
bahwa anak prasekolah yaitu anak yang berusia 3-6 tahun, sedangkan pemerintah
Indonesia menetapkan bahwa anak usia TK dan RA adalah anak yang berada pada
rentang usia 4 tahun sampai 6 tahun.
Setiap anak memiliki karakteristik yang berbeda dan setiap anak unik, dan masa
anak usia dini adalah masa golden age (masa keemasan) yang sedang mengalami
perkembangan yang sangat pesat.
Menurut Berk (1992) dalam Sujiono (2007: 4) pada masa proses pertumbuhan dan
perkembangan dalam berbagai aspek sedang mengalami masa yang cepat dalam
rentang perkembangan hidup manusia.
Usia dini dari lahir sampai enam tahun merupakan usia yang sangat menentukan
dalam pembentukan karakter dan kepribadian seorang anak, dan sedang
mengalami pertumbuhan yang sangat cepat. Usia dini merupakan usia yang
12
penting bagi pengembangan intelegensi permanen dirinya, mereka juga mampu
menyerap informasi yang sangat tinggi.
Dalam pendidikan anak usia dini, terdapat masa-masa yang secara tidak langsung
mempengaruhi bagaimana seorang pendidik, orang tua dan masyarakat
menghadapi anak usia dini. Masa-masa tersebut antara lain:
a.
Masa Peka
Masa peka adalah masa yang paling tepat untuk memberikan stimulasi pada
anak, karna pada masa ini stimulasi yang diberikan akan membekas kuat.
Keslahan dalam memberikan stimulasi pada masa ini akan memebrikan dampak
negati yang sulit untuk diperbaiki.
Sebagian pendidik dan orangtua mengalami kesulitan dalam menciptakan kondisi
kondusif dalam memberikan stimulus.
b.
Masa Egosentris
Pendidik dan orang tua,dan bahkan masyarakat sekitar harus memahami masa
egosentris yang terjadi pada anak usia dini. Orang tua, masyarakat dan pendidik
diharapkan dapat menghadapi masa egosentris pada anak usia dini dengan
memberikan pengertian kepada anak agar dapat menjadi makhluk sosial yang baik
dan dapat diterima dikehidupan bermasyarakat, dan menjelaskan penting dan
indahnya berbagi.
c.
Masa Meniru
Pada masa meniru diharapkan para orang tua, pendidik dan masyarakat dapat
menjadi tokoh panutan bagi anak usia dini khusunya dalam berperilaku, karena
13
pada masa ini anak akan meniru semua yang dilihatnya, baik dari orang-orang
sekitarnya, maupun tokoh-tokoh khayal atau animasi yang ditayangkan ditelevisi.
Semua yang dilihat anak akan ditiru, karena anak usia dini mempunyai masa
meniru segala yang dilihatnya.
d.
Masa Berkelompok
Anak usia dini sangat senang bermain, karena bermain merupakan dunia anak.
Bersosialisa harus diterapkan sejak dini, dengan tidak melarang anak untuk
bermain diluar
salah satu cara agar anak dapat bersosialisasi dengan baik
dilingkungannya.
e.
Masa Bereksplorasi
Biarkan anak memanfaatkan benda-benda yang ada disekitarnya dan biarkan
anak melakukan trial and error, karena memang anak adalah penjelajah yang
ulung.
f.
Masa Pembangkangan
Saat anak membangkang, orang tua atau pendidik tidak boleh selalu
memarahi anak karena bagaimanapun juga masa ini merupakan suatu masa yang
akan dilalui oleh setiap anak. Jika terjadi pembangkangan sebaiknya diberi waktu
pendinginan (cooling down) antara anak dan orang tua maupun pendidik. Sebagai
orang tua ataupun pendidik kita tidak boleh mendiamkan anak saat anak
membangkang.
14
Pada masa ini anak usia dini membutuhkan pendampingan yang tepat dan cukup
dari orang-orang dewasa di sekitar mereka, sehingga semua aspek perkembangan
anak dapat berkembang secara optimal.
Pada kenyataannya, masih banyak orang tua atau pendidik yang belum memahami
akan potensi luar biasa yang dimiliki oleh anak usia dini. Orang tua dan pendidik
masih minim pengetahuan dan informasi sehingga menyebabkan pertumbuhan
dan perkembangan anak tidak berkembang secara optimal.
c.
Kemampuan Kognitif Anak Usia 5-6 Tahun
Dalam aspek kognitif anak usia dini terdapat tiga lingkup perkembangan yaitu:
pengetahuan umum / sains; konsep bentuk, warna, ukuran dan pola; dan konsep
bilangan, lambang bilangan dan huruf. Didalam penelitian ini peneliti lebih
mengarah kedalam lingkup perkembangan konsep bilangan, lambang bilangan
dan huruf.
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
Dilihat dari aspek perkembangan kognitif anak usia dini, Piaget
berpendapat bahwa masa ini berada pada tahap operasi konkret, yang
dapat
ditandai
dengan
kemampuan
(1)
mengklasifikasikan
(mengelompokkan berdasarkan ciri yang sama); (2) menyusun atau
mengasosiasikan (menghubungkan atau menghitung) angka atau bilangan;
dan (3) memecahkan masalah (problem solving) yang sederhana. Di bawah
ini terdapat beberapa turunan dari tahap perkambangan kognitif anak usia
dini menurut Piaget, diantaranya, sebagai berikut:
Sudah dapat memahami jumlah dan ukuran.
Anak sudah dapat membilang atau menyebutkan urutan bilangan 1-20.
Anak sudah dapat menghubungkan konsep bilangan dengan lambang
bilangan.
Anak menyatakan waktu yang dikaitkan dengan kegiatan, seperti kapan
harus berangkat / pergi kesekolah dan pulang sekolah, mengetahui namanama hari dalam satu minggu.
Mengenal konsep bilangan sama dan tidak sama, lebih banyak dan lebih
sedikit.
Mengenal penjumlahan dan pengurangan dengan benda-benda 1-10.
Sebagian anak sudah dapat menulis atau menyalin, serta menghitung
15
8) Pada akhir usia 6 tahun anak sudah mulai bisa membaca, menulis, dan
berhitung.
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada usia ini anak berada pada
tahap operasi konkret, diantaranya anak sudah dapat mengklasifikasikan,
mengelompokkan, mencocokkan lambang bilangan dengan bilangan, serta
memecahkan masalah sederhana, dan pada usia 6 tahun anak sudah mulai bisa
membaca, menulis, dan berhitung. Dalam setiap perkembangan manusia,
perkembangan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Banyak faktor yang dapat
mempengaruhi perkembangan kognitif seseorang, baik faktor internal maupun
faktor eksternal.
d. Kemampuan Berhitung Permulaan Anak Usia 5-6 Tahun
Istilah kemampuan dapat didefinisikan dari berbagai arti, dalam mendefinisikan
kemampuan harus diawali dari sudut mana kita memandang kemampuan itu
sendiri. Munandar (1999) dalam Susanto (2011: 97) mengatakan bahwa
kemampuan merupakan daya untuk melakukan suatu tindakan sebagai hasil dari
pembawaan dan latihan. Sejalan dengan itu, Robin (1978) dalam Susanto (2011:
97) juga menyatakan bahwa kemampuan merupakan suatu kapasitas berbgai
tugas dalam suatu pekerjaan tertentu. Dengan demikian, dari pendapat di atas,
dapat kita pahami bahwa kemampuan merupakan suatu kesanggupan dalam diri
setiap individu dimana kesanggupan ini merupakan pembawaan sejak lahir dan
juga latihan yang mendukung setiap individu.
Menurut J. Tombokan Runtukahu dan Selpius Kandou (2014: 84) anak-anak
mengembangkan pengertiannya tentang bilangan jauh sebelum mereka mulai
menghitung. Misalnya, anak dapat menjawab pertanyaan: “kamu punya
16
kakak/adik berapa?” “umur kamu berapa?” dan lain sebagainya yang berkaitan
bilangan. Menurut J. Tombokan Runtukahu dan Selpius Kandou (2014: 84) juga
mengatakan bahwa sebelum mereka belajar tentang bilangan, mereka perlu
diberikan pengalaman-pengalaman tentang pra-bilangan dan menghitung.
Salah satu kemampuan yang sangat penting bagi anak usia dini yang perlu
dipertimbangkan dalam rangka mengembangkan kemampuan dan membekali
anak untuk bekal kehidupan masa depannya dan masa usia dini (golden age)
merupakan masa yang paling tepat dan masa ini merupakan masa yang tepat
dalam membekali anak baik kemampuan berhitung maupun kemampuan lainnya,
ini dikarenakan usia dini merupakan individu yang sedang mengalami
perkembangan yang sangat cepat dan fundamental bagi kehidupan selanjutnya.
Menurut Susanto (2011: 98) berhitung merupakan dasar dari beberapa ilmu yang
dipakai dalam setiap kehidupan manusia.
Sedangkan Sriningsih, N (2008:63) mengungkapkan bahwa kegiatan
berhitung untuk anak usia dini disebut juga sebagai kegiatan menyebutkan
urutan bilangan atau membilang buta. Anak menyebutkan urutan bilangan
tanpa menghubungkan dengan benda-benda konkret. Pada usia 4 tahun
mereka dapat menyebutkan urutan bilangan sampai sepuluh. Sedangkan usia
5 sampai 6 tahun dapat menyebutkan bilangan sampai seratus. Sejalan
dengan itu Susanto (2011:98) menyebutkan bahwa kemampuan berhitung
permulaan adalah kemampuan yang dimiliki setiap anak untuk
mengembangkan kemampuannya, karakteristik perkembangannya dimulai
dari lingkungan yang terdekat dengan dirinya, sejalan dengan
perkembangan kemampuannya anak dapat meningkat ke tahap pengertian
mengenai jumlah, yang berhubungan dengan penjumlahan dan
pengurangan.
Dari pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan berhitung
permulaan pada anak usia dini adalah kemampuan yang dimiliki oleh setiap
individu anak untuk mengembangkan aspek kognitifnya, perkembangan kognitif
selalu terjadi pada setiap organisme selama hidupnya. karakteristik perkembangan
17
anak usia dini dimulai dari dunia sekitar yang dimulai dari lingkungan terdekat
dengan anak. Sejalan dengan perkembangan kemampuannya anak dapat
meningkatkan kemapuan berhitung permulaannya ketahap pengertian mengenai
jumlah, yaitu yang berhubungan dengan penjumlahan dan pengurangan.
Perkembangan merupakan suatu perubahan yang bersifat kualitatif. Menurut
Yusuf Syamsu (2001) dalam Susanto (2011:19) bahwa perkembangan adalah
perubahan-perubahan yang dialami oleh individu atau organisme menuju tingkat
kedewasaannya atau kematangannya (maturation) yang berlangsung secara
sistematis, progresif dan berkesinambungan, baik menyangkut fisik (jasmaniah)
maupun psikis (rohaniah). Sejalan dengan itu Oemar Hamalik (2004) dalam
Susanto (2011:19)
juga berpendapat bahwa perkembangan merujuk kepada
perubahan progresif dalam organisme bukan saja perubahan dalam segi fisik
(jasmaniah) melainkan juga dalam segi fungsi, misalnya kekuatan dan koordinasi.
Demikian pula dengan M. Solehuddin dalam Susanto (2011: 64) mengatakan
bahwa, aspek kognisi atau kemampuan berpikir, pada masa usia dini (0-6 tahun)
terjadi perubahan yang dramatis. Perkembangana yang terjadi bukan hanya secara
kuantitatif tetapi juga kualitatif.
Dengan demikian perkembangan adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada
setiap individu yang bersifat kualitatif untuk menuju kepada kedewasaan atau
kematangan yang berlangsung secara berkelanjutan yang berkaitan dengan
perkembangan fisik maupun psikis.
Salah satu perkembangan yang lazim terjadi pada anak usia dini adalah berkaitan
dengan kognitif. Perkembangan kognitif pada anak usia dini adalah
terkait
18
dengan bagaimana kemampuan berpikir mereka. Pemikiran anak usia dini sangat
berbeda dengan pemikiran orang dewasa. Kemampuan kognitif berkembang
secara bertahap selama siklus kehidupan manusia. Pada dasarnya pengembangan
kognitif dimaksudkan agar anak mampu melakukan eksplorasi terhadap
lingkungan sekitar, sehingga dengan pengetahuan yang didapatkan oleh anak
tersebut anak dapat bertahan hidup dan menjadi manusia yang utuh sesusai
dengan kodrat makhluk hidup.
Gagne (1976) dalam Jamaris (2006: 18) menjelaskan bahwa kognitif adalah
proses yang terjadi secara internal didalam pusat susunan syaraf pada waktu
manusia sedang berpikir. Sejalan dengan itu Anita E. Woolfolk (1995) dalam
Susanto (2011:57) berpendapat bahwa definisi kognitif kepada tiga kategori,
yaitu: 1) kemampuan untuk belajar; 2) keseluruhan pengetahuan yang harus
diperoleh; dan 3) kemampuan untuk beradaptasi secara berhasil dengan situasi
baru atau lingkungan pada umumnya dengan berhasil.
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa kognitif
adalah proses yang terjadi secara internal dalam diri manusia pada saat manusia
berpikir, kemampuan kognitif harus dikembangkan pada setiap anak sejak dini
agar anak mampu untuk mempelajari sesuatu yang baru dan mendapatkan
pengetahuan yang harus diperoleh oleh anak, sehingga anak dapat beradaptasi
pada lingkungan sosialnya dan berhasil menjadi masyarakat yang diinginkan oleh
lingkungan.
Kognitif atau yang berhubungan dengan daya pikir atau IQ dalam perkembangan
anak usia dini lebih sering disebut kognitif atau intelektual adalah suatu
19
kemampuan individu untuk mengklasifikasikan, membilang angka, mengurutkan
angka, mengenal konsep bilangan, lambang bilangan, bentuk, ukuran, pola,
memecahkan masalah sederhana, menciptakan suatu karya, dan menyebutkan
lambang bilangan 1-20.
Pada rentang usia 3-6 tahun, anak memasuki masa prasekolah yang merupakan
pondasi awal untuk menyiapkan anak memasuki pendidikan formal di sekolah
dasar. Kemampuan kognitif anak usia 5-6 tahun diantaranya anak sudah dapat
memahami jumlah ukuran, anak sudah dapat membilang urutan bilangan, anak
telah mengenal sebagian warna, anak mulai mengerti tentang waktu, kapan harus
berangkat / pergi kesekolah, nama-nama hari dalam satu minggu, anak sudah
mulai mengenal konsep bilangan dengan benda-benda sampai 10, pada akhir usia
6 tahun anak sudah mulai bisa membaca, menulis dan berhitung.
Intelegensi memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia,
namun kehidupan seseorang sangatlah kompleks sehingga intelegensi bukanlah
satu-satunya faktor yang menentukan sukses atau tidaknya seseorang, dimana
seharusnya semua aspek perkembangan anak harus dikembangkan secara optimal.
Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud dengan kemampuan berhitung
permulaan anak usia dini adalah menunjuk lambang bilangan, menghubungkan
atau memasangkan lambang bilangan dengan jumlah gambar (anak tidak
diperintahkan untuk menulis), membedakan dan membuat dua kumpulan benda /
gambar yang sama jumlahnya, dan tidak sama jumlahnya, dan lebih banyak, serta
lebih sedikit, membuat urutan bilangan 1-10 dengan benda-benda.
20
e.
Teori Pembelajaran Anak Usia Dini
Jean Piaget lahir pada tanggal 9 Agustus 1896 di Neuchatel, Swiss. Jean Piaget
adalah seorang psikolog dan pendidik berkebangsaan Swiss. Ia merupakan salah
seorang yang merumuskan teori yang dapat menjelaskan fase-fase perkembangan
kognitif. Menurut Piaget, intelegensi anak berkembang melalui suatu proses
active learning.
Piaget (1972) dalam Jamaris (2006: 19) membagi perkembangan kognitif kedalam
empat fase, yaitu fase sensorimotor, fase
praoperasional, fase operasional
konkret, dan fase operasional formal.
a.
Fase Sensori-Motorik (usia 0-2 tahun)
Pada usia 0-2 tahun, anak berinteraksi dengan dunia sekitar dengan aktifitas
sensoris (melihat, mendengar, mencium, meraba dan merasa) dan gerakan refleks
yang sudah dimiliki sejak lahir (menghisap, menggenggam, dll).
Pada usia ini anak juga mengembangkan permanensi objek (mulai menyadari
sebuah objek masih ada bahkan saat tak terlihat lagi), anak juga mulai menguasai
pola-pola sensorimotorik, misal seperti bagaimana cara mendapatkan suatu benda
yang diinginkannya anak akan mencoba menarik, menggenggam, dsb, dengan
benda yang ada digenggaman tangannya, ia melakukan apa yang diinginkannya.
Kemampuan ini merupakan awal dari mengembangkan kemampuan berpikir
simbolis, berpikir simbolis adalah kemampuan untuk memikirkan suatu objek
tanpa kehadiran objek tersebut secra empiris (permanensi objek), anak mulai
belajar mengingat ciri fisik sebuah objek.
21
b.
Fase Praoperasional (usia 2-7 tahun)
Pada fase ini, merupakan masa permulaan bagi anak untuk membangun
kemampuannya dalam menyusun pikirannya. Pada fase ini juga anak mulai
menyadari bahwa benda-benda disekitarnya tidak hanya dapat dilakukan melalui
kegiatan sensori motorik saja, akan tetapi dapat juga dilakukan melalui kegiatan
simbolis. Contoh kegiatan simbolis dapat berbentuk anak melakukan percakapan
melalui telepon mainan, berpura-pura menjadi penjual atau pembeli, pura-pura
menjadi ayah, ibu, atau pura-pur menjadi tokoh kartun yang digemari oleh anak.
c.
Fase Operasional Konkret (usia 7-12 tahun)
Pada fase ini anak sudah dapat mengklasifikasikan objek, mengurutkan benda
sesuai dengan tata urutnya, mengklasifikasikan benda sesuai dengan ukuran
maupun warna, memahami cara pandang orang lain dan berpikir secara logis.
d.
Fase operasional formal (usia 12 tahun +)
Pada fase operasional formal ini dapat ditandai dengan perpindahan dari cara
berpikir konkret ke cara berpikir abstrak. Kemampuan berpikir abstrak salah
satunya dapat dilihat dari kemampuan anak saat mengemukakan pendapat.
f.
1.
Metode Pembelajaran Make a Match
Metode Pembelajaran
Dalam proses belajar dan mengajar seorang pendidik membutuhkan model-model
pembelajaran yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran yang cocok dan
sesuai dengan perkembangan anak didik, yang dimana di dalam model-model
pembelajaran tersebut terdapat metode-metode dari model pembelajaran itu
22
sendiri. Sebelum kita lebih jauh membahas tentang metode pembelajaran, maka
terlebih dahulu kita perlu mengenal istilah model.
Menurut Pribadi (2009: 86) model adalah sesuatu yang menggambarkan adanya
pola berpikir. Sebuah model biasanya menggambarkan keseluruhan konsep yang
saling berkaitan. Dari pendapat diatas dapat kita simpulkan bahwa model
merupakan upaya mengkonretkan gambaran keseluruhan konsep yang saling
berkaitan.
Sedangkan pembelajaran menurut Gagne (Pribadi, 2009: 9) mendefinisikan
istilah pembelajaran sebagai “a set of events embedded in purposeful
activities that facilitate learning” (pembelajaran adalah serangkaian
aktivitas yang sengaja diciptakan dengan maksud untuk memudahkan
terjadinya proses belajar. Yusuf Miarso, 2005 (Pribadi, 2009: 9) memaknai
istilah pembelajaran sebagai aktivitas atau kegiatan yang berfokus pada
kondisi dan kepentingan pembelajar (learning centered).
Sedangkan menurut Walter Dick dan Lou Carey, 2005 (Pribadi, 2009:11)
mendefinisikan pembelajaran sebagai rangkaian peristiwa atau kegiatan
yang disampaikan secara terstruktur dan terencana dengan menggunakan
sebuah atau beberapa jenis media.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah
serangkaian aktivitas yang sengaja dirancang untuk memudahkan proses belajar
mnegajar agar terjadi proses kegiatan interaksi dan kegiatan aktivitas belajar
antara peserta didik dengan pendidik secara terstruktur dan fokus pada
kepentingan peserta didiknya.
Sehingga model pembelajaran adalah suatu pendekatan yang digunakan untuk
memudahkan terjadinya proses belajar yang dapat mendukung mengorganisasikan
pengalaman belajar sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran.
Pribadi (2009: 42) mengungkapkan bahwa metode pembelajaran merupakan
proses atau prosedur yang digunakan oleh guru atau instruktur untuk mencapai
23
tujuan atau kompetensi. Sejalan dengan itu Pribadi (2009: 42) juga
mengungkapkan bahwa ada beberapa metode pembelajaran yang dapat dipilih
untuk digunakan dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran. Setiap pembelajaran
memiliki ciri khas tersendiri yang penggunaannya perlu disesuaikan dengan
tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Ragam metode pembelajaran yang dapat
digunakan antara laian persentasi, diskusi, permainan, simulasi, bermain peran,
tutorial, demonstrasi, penemuan, latihan dan kerja sama.
Dari pendapat di atas tentang metode pembelajaran dapat kita simpulkan bahwa
metode pembelajaran merupakan prosedur atau langkah-langkah yang digunakan
untuk mencapai kompetensi, dan setiap metode pembelajaran mempunyai ciri
khasnya tersendiri, seperti metode make a match yang memiliki ciri khas anak
mencari pasangan kartu yang merupakan jawaban atau pertanyaan materi tertentu.
Ada banyak ragam metode pembelajaran yang dapat digunakan salah satunya
adalah permainan, seperti halnya dalam penelitian ini dimana metode make a
match ini diterapkan dengan cara bermain.
Dari penjelasan di atas mengenai model dan metode pembelajaran maka dapat kita
simpulkan bahwa setiap model dan metode pembelajaran adalah baik dan tidak
lebih baik dari model dan metode pembelajaran yang lainnya. Model
pembelajaran adalah suatu tata cara yang sistematis dalam menciptakan
pengalaman belajar dan mencapai tujuan belajar. Model pembelajaran itu sendiri
berfungsi sebagai pedoman yang sangat penting bagi para pengajar dalam
merencanakan dan melaksanakan kegiatan proses belajar mengajar, sedangkan
metode adalah prosedur atau langkah-langkah pembelajaran yang akan digunakan
dalam proses belajar mengajar. Sehingga model pembelajaran tidak dapat
dipisahkan karena didalam model pembelajaran terdapat metode-metode
pembelajaran yang akan digunakan.
24
2.
Metode Make A Match
Make a match merupakan model pembelajaran yang dikembangkan oleh Lorna
Curran pada tahun 1994. Ciri utama dari model make a match adalah siswa
mencari pasangan kartu yang merupakan jawaban atau pertanyaan materi tertentu
dalam pembelajaran (Shoimin, 2014). Teknik ini dapat diterapkan dalam setiap
proses belajar mengajar
dalam setiap tema dan untuk semua tingkatan usia,
pendidik tinggal menyesuaikan dengan tingkatan usia anak didik.
Metode pembelajaran make and match
adalah sistem pembelajaran yang
mengutamakan penanaman kemampuan sosial terutama kemampuan bekerja
sama, kemampuan berinteraksi disamping kemampuan berpikir cepat melalui
permainan mencari pasangan dengan dibantu kartu (Wahab, 2007 : 59), sejalan
dengan itu Suyatno (2009 : 72) mengungkapkan bahwa model make and match
adalah model pembelajaran dimana guru menyiapkan kartu yang berisi soal atau
permasalahan dan menyiapkan kartu jawaban kemudian siswa mencari pasangan
kartunya.
Berdasarkan pengertian yang di atas maka dapat disimpulkan bahwa model make
a match adalah salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan di dalam
setiap proses belajar mengajar serta dapat diterapkan dalam setiap tema dan dapat
diaplikasikan untuk semua tingkatan usia yang dimana model make a match ini
menggunakan media berupa kartu yang dibagi menjadi dua kelompok kartu, yaitu
kelompok kartu jawaban dan kelompok kartu pertanyaan, didalam model ini anak
didik dituntut untuk aktif dan berpikir cepat untuk menemukan pasangan kartu
yang dipegang oleh masing-masing anak. Didalam model make a match itu
25
sendiri selain mengasah kemampuan kognitif yang dimana anak dituntut untuk
berpikir cepat agar menemukan pasangan kartu yang dipegang, model ini juga
mengutamakan penanaman kemampuan sosial anak didik.
Karateristik dari metode pembelajaran make a match adalah memiliki hubungan
erat dengan karakteristik anak yang suka bermain. Make a match adalah model
pembelajaran dengan metode mencari pasangan dengan menggunakan kartu, satu
kartu berisi pertanyaan dan satu kartu berisi jawaban dari kartu pertanyaan
tersebut. Di dalam penelitian ini model pembelajaran make a match diterapkan
dengan metode bermain didalam proses pembelajaran yang mana pembelajaran
anak usia dini dilakukan melalui bermain. Bermain merupakan pendekatan dalam
mengelola kegiatan belajar anak usia dini dengan menggunakan metode, strategi,
sarana dan media yang menarik agar mudah diikuti oleh anak, dari bermain anak
belajar mengamati, mengukur, membandingkan, bereksplorasi, meneliti dan
masih banyak lagi yang dapat dilakukan anak dalam bermain. Menurut Linda
dalam Yus (2011:33) bermain merupakan peluang bagi anak untuk melakukan
berbagai hal. Sedangkan menurut ahli psikologi Schiller dan Spencer dalam Yus
(2011:33) menyatakan bahwa bermain merupakan wahana untuk menggunakan
energi berlebih sehingga anak terlepas dari tekanan.
seperti yang telah
dikemukakan oleh Bruner dalam Mutiah (2012:105) bermain adalah suatu
kegiatan yang dilakukan berulang-ulang dan menimbulkan kesenangan / kepuasan
bagi diri seseorang. Sejalan dengan itu Vygotsky dalam Mutiah (2012:104)
menjelaskan bahwa dalam bermain anak dapat menciptakan scaffolding, secara
mandiri baik dalam kontrol diri, penggunaan bahasa, daya ingat dan kerja sama
dengan teman lain.
26
Dari pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa bermain merupakan
pengalaman belajar yang sangat berguna dan bermakna bagi perkembangan anak,
selain menciptakan kesenangan dan kepuasan pada pribadi anak dengan bermain
perkembangan anak dapat berkembang secara optimal dan situasi yang sering
dilakukan tanpa disadari bahwa anak telah melatih dirinya dalam beberapa
kemampuan sehingga anak memiliki kemampuan baru.
Sedangkan permainan menurut Pribadi (2009: 43): metode pembelajaran ini
bersifat kompetitif dan mengarahkan siswa untuk dapat mencapai prestasi atau
hasil belajar tertentu. Permainan harus menyenangkan dan memberi pengalaman
belajar baru bagi siswa. Pada umumnya, dalam metode pembelajaran permainan,
ada pihak yang menang dan ada pihak yang kalah. Pihak yang menang akan
mendapat reward, sedangkan pihak yang kalah perlu berlatih lebih keras untuk
memenangkan permainan.
Penerapan metode make a match harus didukung dengan keaktifan siswa untuk
bergerak mencari pasangan dengan kartu yang sesuai dengan jawaban atau
pertanyaan dalam kartu tersebut.
Model Pembelajaran Make A Match (lorna curran, 1994)
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
KEGIATAN
Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang
cocok untuk sesi review, sebaliknya satu bagian kartu soal, dan bagian lainnya
kartu jawaban.
Setiap siswa mendapat satu buah kartu.
Tiap siswa memikirkan jawaban / soal dari kartu yang dipegang.
Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan
kartunya. Artinya siswa yang kebetulan mendapat kartu ‘soal’ maka harus
mencari pasangan yang memegang kartu ‘jawaban soal’ secepat mungkin.
Demikian juga sebaliknya.
Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin.
Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang
berbeda dari sebelumnya.
Demikian seterusnya sampai semua kartu soal dan jawaban jatuh kesemua siswa.
Demikian seterusnya sampai semua kartu soal dan jawaban jatuh kesemua siswa.
Sumber : Aisyah, Siti. Tahun 2014 “pengembangan model pembelajaran
cooperative learning tipe make a match mata pelajaran pendidikan
kewarganegaraan kelas VII sekolah menengah pertama di Bandar Lampung”.
Tesis. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Lampung. Bandar
Lampung.
27
2.
Penggunaan Metode Make A Match
Langkah-langkah yang harus dipersiapkan oleh guru saat menerapkan metode
pembelajaran make a match dalam Kelas kelompok B1 Tk Asiatic Persada adalah
sebagai berikut:
1) Guru membuat indikator-indikator yang akan dicapai dari permainan make a
match.
2) Setelah itu guru menyiapkan kartu-kartu yang akan dimainkan oleh anak.
3) Kartu-kartu yang telah disiapkan dibagi dua, sebagian kartu dibuat sebagai
kartu pertanyaan dan sebagian lagi dibuat sebagai kartu jawaban.
4) Setelah kartu disiapkan lalu guru menulis pertanyaan dan jawaban.
Langkah-langkah bermain make a match :
1) Guru menyiapkan beberapa kartu yang telah berisi pertanyaan dan jawaban.
2) Anak dibagi menjadi dua kelompok, satu kelompok untuk mendapatkan kartu
pertanyaan dan satu kelompok lagi mendapatkan kartu jawaban.
3) Setiap anak mendapatkan sebuah kartu yang berisi pertanyaan / jawaban.
4) Tiap anak yang mendapat kartu pertanyaan berusaha mencari jawaban dari
kartu yang dipegang dengan dibimbing guru.
5) Setiap anak mencari pasangan kartu yang cocok dengan kartunya. Misalnya:
pemegang kartu yang bertuliskan nama angka lima akan berpasangan dengan
lima gambar buah-buahan, benda, hewan atau yang lainnya.
6) Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi
poin, dalam pendidikan anak usia dini point biasa berbentuk bintang.
28
7) Jika siswa tidak dapat mencocokkan kartunya dengan kartu temannya (tidak
dapat menemukan kartu soal atau kartu jawaban) akan mendapatkan
hukuman, yang telah disepakati bersama.
8) Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang
berbeda dari sebelumnya, demikian seterusnya dan hari berikutnya dengan
tema kartu yang berbeda dari hari sebelumnya.
9) Diakhir permainan guru dan murid melakukan evaluasi.
3.
Kelebihan dan Kekurangan Metode Make a Match
Tidak ada model dan metode pembelajaran terbaik. Setiap model dan metode
pembelajaran pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Bisa jadi,
suatu model pembelajaran cocok untk mengembangkan aspek tertentu, tetapai
bisa kurang cocok untuk mengembangkan aspek lainnya. Begitu pula dengan
metode pembelajaran make a match mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan metode make a match adalah sebagai berikut:
a
Suasana gembira dan menyenangkan akan tercipta dalam proses
pembelajaran.
b
Melatih rasa sosial anak.
c
Kerja sama antar sesama siswa terwujud dengan dinamis.
d
Dapat meningkatkan keaktifan siswa, baik secara kognitif dan fisik; karena
ada diaplikasikan dengan bermain.
29
Kekurangan metode make a match adalah sebagai berikut:
a
Memerlukan bimbingan dari guru untuk melakukan proses pembelajaran.
b
Suasana kelas yang sedikit gaduh.
c
Guru perlu mempersiapkan bahan dan alat yang memadai.
d
Menggunakan metode pembelajaran ini secara terus menerus akan
mengakibatkan kebosanan pada anak.
e
Guru harus hati-hati saat memberikan hukuman pada anak yang tidak
mendapatkan pasangan kartunya.
Berdasarkan kajian di atas yang dimaksud dengan model pembejaran make a
match merupakan model pembelajaran yang dimana metodenya dilakukan dengan
anak mencari pasangan, pembelajaran dengan menggunakan media kartu, setiap
anak mendapatkan kartu, kartu-kartu yang dipegang oleh anak terdiri dari kartu
soal dan kartu jawaban, dan anak mencari pasangan kartu pada anak yang lain
sesuai dengan kartu yang dipegang. Media pembelajaran adalah sebuah alat yang
digunakan untuk membantu dalam proses kegiatan belajar mengajar. Seperti yang
dikemukakan oleh Aqib (2013:50) media pembelajaran adalah segala sesuatu
yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dan merangsang terjadinya
proses belajar pada si pembelajar (siswa).
B. Penelitian yang Relevan
1.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ratna Widianti (2014) dengan judul
“Upaya
Meningkatkan
Kemampuan
Berhitung
Permulaan
Melalui
Permainan Tradisional Congklak Pada Anak Kelompok B di TK Kridawita
Kecamatan Klaten Tengah”. Dalam penelitian ini variabel nya adalah
30
kemampuan berhitung karena kemampuan berhitung anak selama ini masih
rendah. Hal ini disebabkan karena metode pembelajaran yang dilakukan
oleh guru masih konvensional hanya menggunakan lembar kerja. Dari
penelitian yang dilakukan maka dapatlah hasil akhir yang menunjukkan
bahwa melalui penggunaan permainan congklak dalam pembelajaran dapat
meningkatkan kemampuan berhitung anak kelompok B TK Kridawita
Klaten tahun pelajaran 2013/2014. Ini terbukti dari adanya kenaikan hasil
rata-rata 32% pada kondisi awal menjadi 57% pada siklus I dan menjadi
82% pada siklus II.
2.
Menurut penelitian yang dilaksanakan oleh Etik Kurniawati (2014) yang
berjudul
“Upaya
Meningkatkan
Kemampuan
Berhitung
Permulaan
Menggunakan Strategi Bermain Stick Angka pada Anak Kelompok B TK
Mojorejo 2 Tahun Ajaran 2013/2014”. Berdasarkan hasil yang diperoleh ,
maka dapat disimpulkan bahwa bahwa melalui strategi bermain stick angka
dapat meningkatkan kemampuan berhitung permulaan anak kelompok B TK
Mojorejo 2 kecamatan Karangmalang Kabupaten Sragen. Hal ini terlihat
dari peningkatan selalu terjadi dari mulai prasiklus, siklus 1, dan siklus 2
dengan presentase peningkatan kemampuan berhitung permulaan anak yang
sudah berkembang pada prasiklus yang hanya 39,28% Kemudian meningkat
pada siklus 1 sebesar 75% dan pada siklus 2 meningkat menjadi 85,71%.
C. Kerangka Pikir.
Anak yang berada pada rentang usia 5-6 tahun adalah anak yang mulai memasuki
masa prasekolah yang merupakan masa kesiapan untuk memasuki penidikan yang
lebih lanjut, masa ini juga disebut golden age.
31
Piaget berpendapat bahwa anak yang berada pada rentang usia ini adalah rentang
usia yang masuk kedalam perkembangan berpikir pra-operasional konkret. Pada
masa ini juga sifat egosentris anak semakin jelas terlihat.
Dalam pendidikan anak usia dini terdapat beberapa aspek perkembangan yang
perlu dikembangkan diantaranya aspek perkembangan moral dan agama, aspek
perkembangan kognitif, aspek perkembangan fisik motorik, aspek perkembangan
sosial emosional dan aspek perkembangan bahasa. Dalam penelitian ini peneliti
lebih fokus pada aspek kognitif dengan fokus masalah pada berhitung permulaan.
Dalam usaha meningkatkan berhitung permulaan ini diperlukan metode dalam
proses pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan anak serta media yang
menarik. Sebuah media dan metode yang menarik menjadi suatu hal yang penting
dalam sebuah pembelajaran terutama pada pembelajaran anak usia dini, sehingga
anak akan lebih tertarik dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran baik didalam
kelas maupun diluar kelas. Ketika anak sudah tertarik dengan media dan metode
yang akan diterapkan maka kemampuan anak akan berkembang secara optimal.
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode make a match yang ciri
khas nya adalah siswa diminta untuk mencari pasangan kartu jawaban atau
pertanyaan yang sesuai dengan instruksi guru.
X
Metode make a match
Y
Kemampuan berhitung
permulaan anak usia 56 tahun
Gambar 1. Kerangka Pikir
32
D. Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
“Ada pengaruh penerapan metode make a match terhadap kemampuan berhitung
permulaan pada anak kelompok B TK Asiatic Persada Bajubang Tahun Pelajaran
2014/2015”.
33
Download