BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori a. Hakikat Pendidikan Anak Usia Dini Pendidikan anak usia dini adalah salah satu usaha atau upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun. Pendidikan anak usia dini dilakukan melalui rangsangan-rangsangan atau stimulus pendidikan untuk membantu mengembangkan perkembangan dan membantu pertumbuhan anak. Pendidikan anak usia dini ini juga merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan bagi anak usia dini yang lebih menitikberatkan pada peletakan dasar pertumbuhan dan perkembanga fisik motorik, kognitif, bahasa, moral dan agama, serta sosial emosional. Sebagai contoh, jika ada anak yang tidak mendapatkan gizi sebagaimana mestinya, nutrisi yang cukup interaksi dan perhatian dari orang tua dan masyarakat sekitar, sehingga dapat menyebabkan anak tersebut menjalani masa pertumbuhan dan perkembangannya dengan tidak optimal. Disinilah pentingnya lembaga pendidikan anak usai dini, bekerja sama dengan orang tua dan masyarakat untuk mengarahkan dan membentuk pribadi anak yang baik dan 10 diharapkan oleh masyarakat sekitar, yang tidak hanya tangguh sebagai personal, tetapi juga baik secara sosial. Berhubungan dengan istilah pendidik pada pendidikan anak usia dini, maka terdapat berbagai sebutan yang berbeda tetapi memiliki makna yang sama, diantaranya sering terdengar adalah tutor, fasilitator, bunda, dan lain-lainnya. Menurut Piaget dalam Sujiono (2007: 9) mengatakan bahwa peran guru lebih sebagai mentor atau fasilitator, dan bukan penstranfer ilmu pengetahuan semata, karena ilmu tidak dapat ditransfer dari guru kepada anak tanpa keaktifan anak itu sendiri. Menurut Sujiono (2007) dalam proses pembelajaran, tekanan harus diletakkan pada pemikiran guru. Oleh karena itu penting bagi guru untuk dapat: (1) mengerti cara berfikir anak; (2) mengembangkan dan menghargai pengalaman anak; (3) memahami bagaimana anak mengatasi suatu persoalan; (4) menyediakan dan memberikan materi sesuai dengan taraf perkembangan kognitif anak agar lebih berhasil membantu anak berfikir dan membentuk pengetahuan; (5) menggunakan berbagai metode belajar yang bervariasi yang memungkinkan anak aktif mengkonstruksi pengetahuan. Sejalan dengan itu Sujiono (2007: 254) juga berpendapat bahwa Program Pendidikan Anak Usia Dini memiliki multi dimensi pertimbangan, baik dipandang dari segi kesehatan, gizi, psikososial/pendidikan, ekonomi maupun segi hukum dan hak asasi manusia. Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa PAUD sangat memiliki peran penting dalam pendidikan nasional. Pendidikan anak usia dini dari usia 0-8 tahun yang mencakup pertumbuhan dan perkembangan anak dari dalam kandungan hingga usia 8 tahun sangat menentukan kualitas kesehatan, kognitif, emosional dan produktivitas manusia pada tahap berikutnya. Pendidikan anak usia dini juga melakukan pendidikan yang merupakan investasi yang sangat penting bagi pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas untuk membangun Indonesia menjadi negara yang lebih maju. Untuk membentuk pendidikan anak 11 usia dini yang berkualitas tidak terlepas dari peran pemerintah dan peran non pemerintah dalam pengembangan anak usia dini. b. Hakikat Anak Usia Dini Anak usia dini adalah anak yang berada pada rentan usia 0-6 tahun (Undang Undang Sisdiknas tahun 2003) dan 0-8 tahun menurut NAEYC, 1992. Anak usia dini adalah sekelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang bersifat unik. Mereka memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan yang khusus sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangannya. Biechler dan Snowman dalam Yus (2011: 16) menegaskan bahwa anak prasekolah yaitu anak yang berusia 3-6 tahun, sedangkan pemerintah Indonesia menetapkan bahwa anak usia TK dan RA adalah anak yang berada pada rentang usia 4 tahun sampai 6 tahun. Setiap anak memiliki karakteristik yang berbeda dan setiap anak unik, dan masa anak usia dini adalah masa golden age (masa keemasan) yang sedang mengalami perkembangan yang sangat pesat. Menurut Berk (1992) dalam Sujiono (2007: 4) pada masa proses pertumbuhan dan perkembangan dalam berbagai aspek sedang mengalami masa yang cepat dalam rentang perkembangan hidup manusia. Usia dini dari lahir sampai enam tahun merupakan usia yang sangat menentukan dalam pembentukan karakter dan kepribadian seorang anak, dan sedang mengalami pertumbuhan yang sangat cepat. Usia dini merupakan usia yang 12 penting bagi pengembangan intelegensi permanen dirinya, mereka juga mampu menyerap informasi yang sangat tinggi. Dalam pendidikan anak usia dini, terdapat masa-masa yang secara tidak langsung mempengaruhi bagaimana seorang pendidik, orang tua dan masyarakat menghadapi anak usia dini. Masa-masa tersebut antara lain: a. Masa Peka Masa peka adalah masa yang paling tepat untuk memberikan stimulasi pada anak, karna pada masa ini stimulasi yang diberikan akan membekas kuat. Keslahan dalam memberikan stimulasi pada masa ini akan memebrikan dampak negati yang sulit untuk diperbaiki. Sebagian pendidik dan orangtua mengalami kesulitan dalam menciptakan kondisi kondusif dalam memberikan stimulus. b. Masa Egosentris Pendidik dan orang tua,dan bahkan masyarakat sekitar harus memahami masa egosentris yang terjadi pada anak usia dini. Orang tua, masyarakat dan pendidik diharapkan dapat menghadapi masa egosentris pada anak usia dini dengan memberikan pengertian kepada anak agar dapat menjadi makhluk sosial yang baik dan dapat diterima dikehidupan bermasyarakat, dan menjelaskan penting dan indahnya berbagi. c. Masa Meniru Pada masa meniru diharapkan para orang tua, pendidik dan masyarakat dapat menjadi tokoh panutan bagi anak usia dini khusunya dalam berperilaku, karena 13 pada masa ini anak akan meniru semua yang dilihatnya, baik dari orang-orang sekitarnya, maupun tokoh-tokoh khayal atau animasi yang ditayangkan ditelevisi. Semua yang dilihat anak akan ditiru, karena anak usia dini mempunyai masa meniru segala yang dilihatnya. d. Masa Berkelompok Anak usia dini sangat senang bermain, karena bermain merupakan dunia anak. Bersosialisa harus diterapkan sejak dini, dengan tidak melarang anak untuk bermain diluar salah satu cara agar anak dapat bersosialisasi dengan baik dilingkungannya. e. Masa Bereksplorasi Biarkan anak memanfaatkan benda-benda yang ada disekitarnya dan biarkan anak melakukan trial and error, karena memang anak adalah penjelajah yang ulung. f. Masa Pembangkangan Saat anak membangkang, orang tua atau pendidik tidak boleh selalu memarahi anak karena bagaimanapun juga masa ini merupakan suatu masa yang akan dilalui oleh setiap anak. Jika terjadi pembangkangan sebaiknya diberi waktu pendinginan (cooling down) antara anak dan orang tua maupun pendidik. Sebagai orang tua ataupun pendidik kita tidak boleh mendiamkan anak saat anak membangkang. 14 Pada masa ini anak usia dini membutuhkan pendampingan yang tepat dan cukup dari orang-orang dewasa di sekitar mereka, sehingga semua aspek perkembangan anak dapat berkembang secara optimal. Pada kenyataannya, masih banyak orang tua atau pendidik yang belum memahami akan potensi luar biasa yang dimiliki oleh anak usia dini. Orang tua dan pendidik masih minim pengetahuan dan informasi sehingga menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan anak tidak berkembang secara optimal. c. Kemampuan Kognitif Anak Usia 5-6 Tahun Dalam aspek kognitif anak usia dini terdapat tiga lingkup perkembangan yaitu: pengetahuan umum / sains; konsep bentuk, warna, ukuran dan pola; dan konsep bilangan, lambang bilangan dan huruf. Didalam penelitian ini peneliti lebih mengarah kedalam lingkup perkembangan konsep bilangan, lambang bilangan dan huruf. 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) Dilihat dari aspek perkembangan kognitif anak usia dini, Piaget berpendapat bahwa masa ini berada pada tahap operasi konkret, yang dapat ditandai dengan kemampuan (1) mengklasifikasikan (mengelompokkan berdasarkan ciri yang sama); (2) menyusun atau mengasosiasikan (menghubungkan atau menghitung) angka atau bilangan; dan (3) memecahkan masalah (problem solving) yang sederhana. Di bawah ini terdapat beberapa turunan dari tahap perkambangan kognitif anak usia dini menurut Piaget, diantaranya, sebagai berikut: Sudah dapat memahami jumlah dan ukuran. Anak sudah dapat membilang atau menyebutkan urutan bilangan 1-20. Anak sudah dapat menghubungkan konsep bilangan dengan lambang bilangan. Anak menyatakan waktu yang dikaitkan dengan kegiatan, seperti kapan harus berangkat / pergi kesekolah dan pulang sekolah, mengetahui namanama hari dalam satu minggu. Mengenal konsep bilangan sama dan tidak sama, lebih banyak dan lebih sedikit. Mengenal penjumlahan dan pengurangan dengan benda-benda 1-10. Sebagian anak sudah dapat menulis atau menyalin, serta menghitung 15 8) Pada akhir usia 6 tahun anak sudah mulai bisa membaca, menulis, dan berhitung. Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada usia ini anak berada pada tahap operasi konkret, diantaranya anak sudah dapat mengklasifikasikan, mengelompokkan, mencocokkan lambang bilangan dengan bilangan, serta memecahkan masalah sederhana, dan pada usia 6 tahun anak sudah mulai bisa membaca, menulis, dan berhitung. Dalam setiap perkembangan manusia, perkembangan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan kognitif seseorang, baik faktor internal maupun faktor eksternal. d. Kemampuan Berhitung Permulaan Anak Usia 5-6 Tahun Istilah kemampuan dapat didefinisikan dari berbagai arti, dalam mendefinisikan kemampuan harus diawali dari sudut mana kita memandang kemampuan itu sendiri. Munandar (1999) dalam Susanto (2011: 97) mengatakan bahwa kemampuan merupakan daya untuk melakukan suatu tindakan sebagai hasil dari pembawaan dan latihan. Sejalan dengan itu, Robin (1978) dalam Susanto (2011: 97) juga menyatakan bahwa kemampuan merupakan suatu kapasitas berbgai tugas dalam suatu pekerjaan tertentu. Dengan demikian, dari pendapat di atas, dapat kita pahami bahwa kemampuan merupakan suatu kesanggupan dalam diri setiap individu dimana kesanggupan ini merupakan pembawaan sejak lahir dan juga latihan yang mendukung setiap individu. Menurut J. Tombokan Runtukahu dan Selpius Kandou (2014: 84) anak-anak mengembangkan pengertiannya tentang bilangan jauh sebelum mereka mulai menghitung. Misalnya, anak dapat menjawab pertanyaan: “kamu punya 16 kakak/adik berapa?” “umur kamu berapa?” dan lain sebagainya yang berkaitan bilangan. Menurut J. Tombokan Runtukahu dan Selpius Kandou (2014: 84) juga mengatakan bahwa sebelum mereka belajar tentang bilangan, mereka perlu diberikan pengalaman-pengalaman tentang pra-bilangan dan menghitung. Salah satu kemampuan yang sangat penting bagi anak usia dini yang perlu dipertimbangkan dalam rangka mengembangkan kemampuan dan membekali anak untuk bekal kehidupan masa depannya dan masa usia dini (golden age) merupakan masa yang paling tepat dan masa ini merupakan masa yang tepat dalam membekali anak baik kemampuan berhitung maupun kemampuan lainnya, ini dikarenakan usia dini merupakan individu yang sedang mengalami perkembangan yang sangat cepat dan fundamental bagi kehidupan selanjutnya. Menurut Susanto (2011: 98) berhitung merupakan dasar dari beberapa ilmu yang dipakai dalam setiap kehidupan manusia. Sedangkan Sriningsih, N (2008:63) mengungkapkan bahwa kegiatan berhitung untuk anak usia dini disebut juga sebagai kegiatan menyebutkan urutan bilangan atau membilang buta. Anak menyebutkan urutan bilangan tanpa menghubungkan dengan benda-benda konkret. Pada usia 4 tahun mereka dapat menyebutkan urutan bilangan sampai sepuluh. Sedangkan usia 5 sampai 6 tahun dapat menyebutkan bilangan sampai seratus. Sejalan dengan itu Susanto (2011:98) menyebutkan bahwa kemampuan berhitung permulaan adalah kemampuan yang dimiliki setiap anak untuk mengembangkan kemampuannya, karakteristik perkembangannya dimulai dari lingkungan yang terdekat dengan dirinya, sejalan dengan perkembangan kemampuannya anak dapat meningkat ke tahap pengertian mengenai jumlah, yang berhubungan dengan penjumlahan dan pengurangan. Dari pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan berhitung permulaan pada anak usia dini adalah kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu anak untuk mengembangkan aspek kognitifnya, perkembangan kognitif selalu terjadi pada setiap organisme selama hidupnya. karakteristik perkembangan 17 anak usia dini dimulai dari dunia sekitar yang dimulai dari lingkungan terdekat dengan anak. Sejalan dengan perkembangan kemampuannya anak dapat meningkatkan kemapuan berhitung permulaannya ketahap pengertian mengenai jumlah, yaitu yang berhubungan dengan penjumlahan dan pengurangan. Perkembangan merupakan suatu perubahan yang bersifat kualitatif. Menurut Yusuf Syamsu (2001) dalam Susanto (2011:19) bahwa perkembangan adalah perubahan-perubahan yang dialami oleh individu atau organisme menuju tingkat kedewasaannya atau kematangannya (maturation) yang berlangsung secara sistematis, progresif dan berkesinambungan, baik menyangkut fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah). Sejalan dengan itu Oemar Hamalik (2004) dalam Susanto (2011:19) juga berpendapat bahwa perkembangan merujuk kepada perubahan progresif dalam organisme bukan saja perubahan dalam segi fisik (jasmaniah) melainkan juga dalam segi fungsi, misalnya kekuatan dan koordinasi. Demikian pula dengan M. Solehuddin dalam Susanto (2011: 64) mengatakan bahwa, aspek kognisi atau kemampuan berpikir, pada masa usia dini (0-6 tahun) terjadi perubahan yang dramatis. Perkembangana yang terjadi bukan hanya secara kuantitatif tetapi juga kualitatif. Dengan demikian perkembangan adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada setiap individu yang bersifat kualitatif untuk menuju kepada kedewasaan atau kematangan yang berlangsung secara berkelanjutan yang berkaitan dengan perkembangan fisik maupun psikis. Salah satu perkembangan yang lazim terjadi pada anak usia dini adalah berkaitan dengan kognitif. Perkembangan kognitif pada anak usia dini adalah terkait 18 dengan bagaimana kemampuan berpikir mereka. Pemikiran anak usia dini sangat berbeda dengan pemikiran orang dewasa. Kemampuan kognitif berkembang secara bertahap selama siklus kehidupan manusia. Pada dasarnya pengembangan kognitif dimaksudkan agar anak mampu melakukan eksplorasi terhadap lingkungan sekitar, sehingga dengan pengetahuan yang didapatkan oleh anak tersebut anak dapat bertahan hidup dan menjadi manusia yang utuh sesusai dengan kodrat makhluk hidup. Gagne (1976) dalam Jamaris (2006: 18) menjelaskan bahwa kognitif adalah proses yang terjadi secara internal didalam pusat susunan syaraf pada waktu manusia sedang berpikir. Sejalan dengan itu Anita E. Woolfolk (1995) dalam Susanto (2011:57) berpendapat bahwa definisi kognitif kepada tiga kategori, yaitu: 1) kemampuan untuk belajar; 2) keseluruhan pengetahuan yang harus diperoleh; dan 3) kemampuan untuk beradaptasi secara berhasil dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya dengan berhasil. Berdasarkan pengertian di atas maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa kognitif adalah proses yang terjadi secara internal dalam diri manusia pada saat manusia berpikir, kemampuan kognitif harus dikembangkan pada setiap anak sejak dini agar anak mampu untuk mempelajari sesuatu yang baru dan mendapatkan pengetahuan yang harus diperoleh oleh anak, sehingga anak dapat beradaptasi pada lingkungan sosialnya dan berhasil menjadi masyarakat yang diinginkan oleh lingkungan. Kognitif atau yang berhubungan dengan daya pikir atau IQ dalam perkembangan anak usia dini lebih sering disebut kognitif atau intelektual adalah suatu 19 kemampuan individu untuk mengklasifikasikan, membilang angka, mengurutkan angka, mengenal konsep bilangan, lambang bilangan, bentuk, ukuran, pola, memecahkan masalah sederhana, menciptakan suatu karya, dan menyebutkan lambang bilangan 1-20. Pada rentang usia 3-6 tahun, anak memasuki masa prasekolah yang merupakan pondasi awal untuk menyiapkan anak memasuki pendidikan formal di sekolah dasar. Kemampuan kognitif anak usia 5-6 tahun diantaranya anak sudah dapat memahami jumlah ukuran, anak sudah dapat membilang urutan bilangan, anak telah mengenal sebagian warna, anak mulai mengerti tentang waktu, kapan harus berangkat / pergi kesekolah, nama-nama hari dalam satu minggu, anak sudah mulai mengenal konsep bilangan dengan benda-benda sampai 10, pada akhir usia 6 tahun anak sudah mulai bisa membaca, menulis dan berhitung. Intelegensi memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia, namun kehidupan seseorang sangatlah kompleks sehingga intelegensi bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan sukses atau tidaknya seseorang, dimana seharusnya semua aspek perkembangan anak harus dikembangkan secara optimal. Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud dengan kemampuan berhitung permulaan anak usia dini adalah menunjuk lambang bilangan, menghubungkan atau memasangkan lambang bilangan dengan jumlah gambar (anak tidak diperintahkan untuk menulis), membedakan dan membuat dua kumpulan benda / gambar yang sama jumlahnya, dan tidak sama jumlahnya, dan lebih banyak, serta lebih sedikit, membuat urutan bilangan 1-10 dengan benda-benda. 20 e. Teori Pembelajaran Anak Usia Dini Jean Piaget lahir pada tanggal 9 Agustus 1896 di Neuchatel, Swiss. Jean Piaget adalah seorang psikolog dan pendidik berkebangsaan Swiss. Ia merupakan salah seorang yang merumuskan teori yang dapat menjelaskan fase-fase perkembangan kognitif. Menurut Piaget, intelegensi anak berkembang melalui suatu proses active learning. Piaget (1972) dalam Jamaris (2006: 19) membagi perkembangan kognitif kedalam empat fase, yaitu fase sensorimotor, fase praoperasional, fase operasional konkret, dan fase operasional formal. a. Fase Sensori-Motorik (usia 0-2 tahun) Pada usia 0-2 tahun, anak berinteraksi dengan dunia sekitar dengan aktifitas sensoris (melihat, mendengar, mencium, meraba dan merasa) dan gerakan refleks yang sudah dimiliki sejak lahir (menghisap, menggenggam, dll). Pada usia ini anak juga mengembangkan permanensi objek (mulai menyadari sebuah objek masih ada bahkan saat tak terlihat lagi), anak juga mulai menguasai pola-pola sensorimotorik, misal seperti bagaimana cara mendapatkan suatu benda yang diinginkannya anak akan mencoba menarik, menggenggam, dsb, dengan benda yang ada digenggaman tangannya, ia melakukan apa yang diinginkannya. Kemampuan ini merupakan awal dari mengembangkan kemampuan berpikir simbolis, berpikir simbolis adalah kemampuan untuk memikirkan suatu objek tanpa kehadiran objek tersebut secra empiris (permanensi objek), anak mulai belajar mengingat ciri fisik sebuah objek. 21 b. Fase Praoperasional (usia 2-7 tahun) Pada fase ini, merupakan masa permulaan bagi anak untuk membangun kemampuannya dalam menyusun pikirannya. Pada fase ini juga anak mulai menyadari bahwa benda-benda disekitarnya tidak hanya dapat dilakukan melalui kegiatan sensori motorik saja, akan tetapi dapat juga dilakukan melalui kegiatan simbolis. Contoh kegiatan simbolis dapat berbentuk anak melakukan percakapan melalui telepon mainan, berpura-pura menjadi penjual atau pembeli, pura-pura menjadi ayah, ibu, atau pura-pur menjadi tokoh kartun yang digemari oleh anak. c. Fase Operasional Konkret (usia 7-12 tahun) Pada fase ini anak sudah dapat mengklasifikasikan objek, mengurutkan benda sesuai dengan tata urutnya, mengklasifikasikan benda sesuai dengan ukuran maupun warna, memahami cara pandang orang lain dan berpikir secara logis. d. Fase operasional formal (usia 12 tahun +) Pada fase operasional formal ini dapat ditandai dengan perpindahan dari cara berpikir konkret ke cara berpikir abstrak. Kemampuan berpikir abstrak salah satunya dapat dilihat dari kemampuan anak saat mengemukakan pendapat. f. 1. Metode Pembelajaran Make a Match Metode Pembelajaran Dalam proses belajar dan mengajar seorang pendidik membutuhkan model-model pembelajaran yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran yang cocok dan sesuai dengan perkembangan anak didik, yang dimana di dalam model-model pembelajaran tersebut terdapat metode-metode dari model pembelajaran itu 22 sendiri. Sebelum kita lebih jauh membahas tentang metode pembelajaran, maka terlebih dahulu kita perlu mengenal istilah model. Menurut Pribadi (2009: 86) model adalah sesuatu yang menggambarkan adanya pola berpikir. Sebuah model biasanya menggambarkan keseluruhan konsep yang saling berkaitan. Dari pendapat diatas dapat kita simpulkan bahwa model merupakan upaya mengkonretkan gambaran keseluruhan konsep yang saling berkaitan. Sedangkan pembelajaran menurut Gagne (Pribadi, 2009: 9) mendefinisikan istilah pembelajaran sebagai “a set of events embedded in purposeful activities that facilitate learning” (pembelajaran adalah serangkaian aktivitas yang sengaja diciptakan dengan maksud untuk memudahkan terjadinya proses belajar. Yusuf Miarso, 2005 (Pribadi, 2009: 9) memaknai istilah pembelajaran sebagai aktivitas atau kegiatan yang berfokus pada kondisi dan kepentingan pembelajar (learning centered). Sedangkan menurut Walter Dick dan Lou Carey, 2005 (Pribadi, 2009:11) mendefinisikan pembelajaran sebagai rangkaian peristiwa atau kegiatan yang disampaikan secara terstruktur dan terencana dengan menggunakan sebuah atau beberapa jenis media. Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah serangkaian aktivitas yang sengaja dirancang untuk memudahkan proses belajar mnegajar agar terjadi proses kegiatan interaksi dan kegiatan aktivitas belajar antara peserta didik dengan pendidik secara terstruktur dan fokus pada kepentingan peserta didiknya. Sehingga model pembelajaran adalah suatu pendekatan yang digunakan untuk memudahkan terjadinya proses belajar yang dapat mendukung mengorganisasikan pengalaman belajar sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran. Pribadi (2009: 42) mengungkapkan bahwa metode pembelajaran merupakan proses atau prosedur yang digunakan oleh guru atau instruktur untuk mencapai 23 tujuan atau kompetensi. Sejalan dengan itu Pribadi (2009: 42) juga mengungkapkan bahwa ada beberapa metode pembelajaran yang dapat dipilih untuk digunakan dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran. Setiap pembelajaran memiliki ciri khas tersendiri yang penggunaannya perlu disesuaikan dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Ragam metode pembelajaran yang dapat digunakan antara laian persentasi, diskusi, permainan, simulasi, bermain peran, tutorial, demonstrasi, penemuan, latihan dan kerja sama. Dari pendapat di atas tentang metode pembelajaran dapat kita simpulkan bahwa metode pembelajaran merupakan prosedur atau langkah-langkah yang digunakan untuk mencapai kompetensi, dan setiap metode pembelajaran mempunyai ciri khasnya tersendiri, seperti metode make a match yang memiliki ciri khas anak mencari pasangan kartu yang merupakan jawaban atau pertanyaan materi tertentu. Ada banyak ragam metode pembelajaran yang dapat digunakan salah satunya adalah permainan, seperti halnya dalam penelitian ini dimana metode make a match ini diterapkan dengan cara bermain. Dari penjelasan di atas mengenai model dan metode pembelajaran maka dapat kita simpulkan bahwa setiap model dan metode pembelajaran adalah baik dan tidak lebih baik dari model dan metode pembelajaran yang lainnya. Model pembelajaran adalah suatu tata cara yang sistematis dalam menciptakan pengalaman belajar dan mencapai tujuan belajar. Model pembelajaran itu sendiri berfungsi sebagai pedoman yang sangat penting bagi para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan proses belajar mengajar, sedangkan metode adalah prosedur atau langkah-langkah pembelajaran yang akan digunakan dalam proses belajar mengajar. Sehingga model pembelajaran tidak dapat dipisahkan karena didalam model pembelajaran terdapat metode-metode pembelajaran yang akan digunakan. 24 2. Metode Make A Match Make a match merupakan model pembelajaran yang dikembangkan oleh Lorna Curran pada tahun 1994. Ciri utama dari model make a match adalah siswa mencari pasangan kartu yang merupakan jawaban atau pertanyaan materi tertentu dalam pembelajaran (Shoimin, 2014). Teknik ini dapat diterapkan dalam setiap proses belajar mengajar dalam setiap tema dan untuk semua tingkatan usia, pendidik tinggal menyesuaikan dengan tingkatan usia anak didik. Metode pembelajaran make and match adalah sistem pembelajaran yang mengutamakan penanaman kemampuan sosial terutama kemampuan bekerja sama, kemampuan berinteraksi disamping kemampuan berpikir cepat melalui permainan mencari pasangan dengan dibantu kartu (Wahab, 2007 : 59), sejalan dengan itu Suyatno (2009 : 72) mengungkapkan bahwa model make and match adalah model pembelajaran dimana guru menyiapkan kartu yang berisi soal atau permasalahan dan menyiapkan kartu jawaban kemudian siswa mencari pasangan kartunya. Berdasarkan pengertian yang di atas maka dapat disimpulkan bahwa model make a match adalah salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan di dalam setiap proses belajar mengajar serta dapat diterapkan dalam setiap tema dan dapat diaplikasikan untuk semua tingkatan usia yang dimana model make a match ini menggunakan media berupa kartu yang dibagi menjadi dua kelompok kartu, yaitu kelompok kartu jawaban dan kelompok kartu pertanyaan, didalam model ini anak didik dituntut untuk aktif dan berpikir cepat untuk menemukan pasangan kartu yang dipegang oleh masing-masing anak. Didalam model make a match itu 25 sendiri selain mengasah kemampuan kognitif yang dimana anak dituntut untuk berpikir cepat agar menemukan pasangan kartu yang dipegang, model ini juga mengutamakan penanaman kemampuan sosial anak didik. Karateristik dari metode pembelajaran make a match adalah memiliki hubungan erat dengan karakteristik anak yang suka bermain. Make a match adalah model pembelajaran dengan metode mencari pasangan dengan menggunakan kartu, satu kartu berisi pertanyaan dan satu kartu berisi jawaban dari kartu pertanyaan tersebut. Di dalam penelitian ini model pembelajaran make a match diterapkan dengan metode bermain didalam proses pembelajaran yang mana pembelajaran anak usia dini dilakukan melalui bermain. Bermain merupakan pendekatan dalam mengelola kegiatan belajar anak usia dini dengan menggunakan metode, strategi, sarana dan media yang menarik agar mudah diikuti oleh anak, dari bermain anak belajar mengamati, mengukur, membandingkan, bereksplorasi, meneliti dan masih banyak lagi yang dapat dilakukan anak dalam bermain. Menurut Linda dalam Yus (2011:33) bermain merupakan peluang bagi anak untuk melakukan berbagai hal. Sedangkan menurut ahli psikologi Schiller dan Spencer dalam Yus (2011:33) menyatakan bahwa bermain merupakan wahana untuk menggunakan energi berlebih sehingga anak terlepas dari tekanan. seperti yang telah dikemukakan oleh Bruner dalam Mutiah (2012:105) bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan berulang-ulang dan menimbulkan kesenangan / kepuasan bagi diri seseorang. Sejalan dengan itu Vygotsky dalam Mutiah (2012:104) menjelaskan bahwa dalam bermain anak dapat menciptakan scaffolding, secara mandiri baik dalam kontrol diri, penggunaan bahasa, daya ingat dan kerja sama dengan teman lain. 26 Dari pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa bermain merupakan pengalaman belajar yang sangat berguna dan bermakna bagi perkembangan anak, selain menciptakan kesenangan dan kepuasan pada pribadi anak dengan bermain perkembangan anak dapat berkembang secara optimal dan situasi yang sering dilakukan tanpa disadari bahwa anak telah melatih dirinya dalam beberapa kemampuan sehingga anak memiliki kemampuan baru. Sedangkan permainan menurut Pribadi (2009: 43): metode pembelajaran ini bersifat kompetitif dan mengarahkan siswa untuk dapat mencapai prestasi atau hasil belajar tertentu. Permainan harus menyenangkan dan memberi pengalaman belajar baru bagi siswa. Pada umumnya, dalam metode pembelajaran permainan, ada pihak yang menang dan ada pihak yang kalah. Pihak yang menang akan mendapat reward, sedangkan pihak yang kalah perlu berlatih lebih keras untuk memenangkan permainan. Penerapan metode make a match harus didukung dengan keaktifan siswa untuk bergerak mencari pasangan dengan kartu yang sesuai dengan jawaban atau pertanyaan dalam kartu tersebut. Model Pembelajaran Make A Match (lorna curran, 1994) NO 1 2 3 4 5 6 7 8 KEGIATAN Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok untuk sesi review, sebaliknya satu bagian kartu soal, dan bagian lainnya kartu jawaban. Setiap siswa mendapat satu buah kartu. Tiap siswa memikirkan jawaban / soal dari kartu yang dipegang. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya. Artinya siswa yang kebetulan mendapat kartu ‘soal’ maka harus mencari pasangan yang memegang kartu ‘jawaban soal’ secepat mungkin. Demikian juga sebaliknya. Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin. Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya. Demikian seterusnya sampai semua kartu soal dan jawaban jatuh kesemua siswa. Demikian seterusnya sampai semua kartu soal dan jawaban jatuh kesemua siswa. Sumber : Aisyah, Siti. Tahun 2014 “pengembangan model pembelajaran cooperative learning tipe make a match mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan kelas VII sekolah menengah pertama di Bandar Lampung”. Tesis. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 27 2. Penggunaan Metode Make A Match Langkah-langkah yang harus dipersiapkan oleh guru saat menerapkan metode pembelajaran make a match dalam Kelas kelompok B1 Tk Asiatic Persada adalah sebagai berikut: 1) Guru membuat indikator-indikator yang akan dicapai dari permainan make a match. 2) Setelah itu guru menyiapkan kartu-kartu yang akan dimainkan oleh anak. 3) Kartu-kartu yang telah disiapkan dibagi dua, sebagian kartu dibuat sebagai kartu pertanyaan dan sebagian lagi dibuat sebagai kartu jawaban. 4) Setelah kartu disiapkan lalu guru menulis pertanyaan dan jawaban. Langkah-langkah bermain make a match : 1) Guru menyiapkan beberapa kartu yang telah berisi pertanyaan dan jawaban. 2) Anak dibagi menjadi dua kelompok, satu kelompok untuk mendapatkan kartu pertanyaan dan satu kelompok lagi mendapatkan kartu jawaban. 3) Setiap anak mendapatkan sebuah kartu yang berisi pertanyaan / jawaban. 4) Tiap anak yang mendapat kartu pertanyaan berusaha mencari jawaban dari kartu yang dipegang dengan dibimbing guru. 5) Setiap anak mencari pasangan kartu yang cocok dengan kartunya. Misalnya: pemegang kartu yang bertuliskan nama angka lima akan berpasangan dengan lima gambar buah-buahan, benda, hewan atau yang lainnya. 6) Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin, dalam pendidikan anak usia dini point biasa berbentuk bintang. 28 7) Jika siswa tidak dapat mencocokkan kartunya dengan kartu temannya (tidak dapat menemukan kartu soal atau kartu jawaban) akan mendapatkan hukuman, yang telah disepakati bersama. 8) Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya, demikian seterusnya dan hari berikutnya dengan tema kartu yang berbeda dari hari sebelumnya. 9) Diakhir permainan guru dan murid melakukan evaluasi. 3. Kelebihan dan Kekurangan Metode Make a Match Tidak ada model dan metode pembelajaran terbaik. Setiap model dan metode pembelajaran pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Bisa jadi, suatu model pembelajaran cocok untk mengembangkan aspek tertentu, tetapai bisa kurang cocok untuk mengembangkan aspek lainnya. Begitu pula dengan metode pembelajaran make a match mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan metode make a match adalah sebagai berikut: a Suasana gembira dan menyenangkan akan tercipta dalam proses pembelajaran. b Melatih rasa sosial anak. c Kerja sama antar sesama siswa terwujud dengan dinamis. d Dapat meningkatkan keaktifan siswa, baik secara kognitif dan fisik; karena ada diaplikasikan dengan bermain. 29 Kekurangan metode make a match adalah sebagai berikut: a Memerlukan bimbingan dari guru untuk melakukan proses pembelajaran. b Suasana kelas yang sedikit gaduh. c Guru perlu mempersiapkan bahan dan alat yang memadai. d Menggunakan metode pembelajaran ini secara terus menerus akan mengakibatkan kebosanan pada anak. e Guru harus hati-hati saat memberikan hukuman pada anak yang tidak mendapatkan pasangan kartunya. Berdasarkan kajian di atas yang dimaksud dengan model pembejaran make a match merupakan model pembelajaran yang dimana metodenya dilakukan dengan anak mencari pasangan, pembelajaran dengan menggunakan media kartu, setiap anak mendapatkan kartu, kartu-kartu yang dipegang oleh anak terdiri dari kartu soal dan kartu jawaban, dan anak mencari pasangan kartu pada anak yang lain sesuai dengan kartu yang dipegang. Media pembelajaran adalah sebuah alat yang digunakan untuk membantu dalam proses kegiatan belajar mengajar. Seperti yang dikemukakan oleh Aqib (2013:50) media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dan merangsang terjadinya proses belajar pada si pembelajar (siswa). B. Penelitian yang Relevan 1. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ratna Widianti (2014) dengan judul “Upaya Meningkatkan Kemampuan Berhitung Permulaan Melalui Permainan Tradisional Congklak Pada Anak Kelompok B di TK Kridawita Kecamatan Klaten Tengah”. Dalam penelitian ini variabel nya adalah 30 kemampuan berhitung karena kemampuan berhitung anak selama ini masih rendah. Hal ini disebabkan karena metode pembelajaran yang dilakukan oleh guru masih konvensional hanya menggunakan lembar kerja. Dari penelitian yang dilakukan maka dapatlah hasil akhir yang menunjukkan bahwa melalui penggunaan permainan congklak dalam pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan berhitung anak kelompok B TK Kridawita Klaten tahun pelajaran 2013/2014. Ini terbukti dari adanya kenaikan hasil rata-rata 32% pada kondisi awal menjadi 57% pada siklus I dan menjadi 82% pada siklus II. 2. Menurut penelitian yang dilaksanakan oleh Etik Kurniawati (2014) yang berjudul “Upaya Meningkatkan Kemampuan Berhitung Permulaan Menggunakan Strategi Bermain Stick Angka pada Anak Kelompok B TK Mojorejo 2 Tahun Ajaran 2013/2014”. Berdasarkan hasil yang diperoleh , maka dapat disimpulkan bahwa bahwa melalui strategi bermain stick angka dapat meningkatkan kemampuan berhitung permulaan anak kelompok B TK Mojorejo 2 kecamatan Karangmalang Kabupaten Sragen. Hal ini terlihat dari peningkatan selalu terjadi dari mulai prasiklus, siklus 1, dan siklus 2 dengan presentase peningkatan kemampuan berhitung permulaan anak yang sudah berkembang pada prasiklus yang hanya 39,28% Kemudian meningkat pada siklus 1 sebesar 75% dan pada siklus 2 meningkat menjadi 85,71%. C. Kerangka Pikir. Anak yang berada pada rentang usia 5-6 tahun adalah anak yang mulai memasuki masa prasekolah yang merupakan masa kesiapan untuk memasuki penidikan yang lebih lanjut, masa ini juga disebut golden age. 31 Piaget berpendapat bahwa anak yang berada pada rentang usia ini adalah rentang usia yang masuk kedalam perkembangan berpikir pra-operasional konkret. Pada masa ini juga sifat egosentris anak semakin jelas terlihat. Dalam pendidikan anak usia dini terdapat beberapa aspek perkembangan yang perlu dikembangkan diantaranya aspek perkembangan moral dan agama, aspek perkembangan kognitif, aspek perkembangan fisik motorik, aspek perkembangan sosial emosional dan aspek perkembangan bahasa. Dalam penelitian ini peneliti lebih fokus pada aspek kognitif dengan fokus masalah pada berhitung permulaan. Dalam usaha meningkatkan berhitung permulaan ini diperlukan metode dalam proses pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan anak serta media yang menarik. Sebuah media dan metode yang menarik menjadi suatu hal yang penting dalam sebuah pembelajaran terutama pada pembelajaran anak usia dini, sehingga anak akan lebih tertarik dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran baik didalam kelas maupun diluar kelas. Ketika anak sudah tertarik dengan media dan metode yang akan diterapkan maka kemampuan anak akan berkembang secara optimal. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode make a match yang ciri khas nya adalah siswa diminta untuk mencari pasangan kartu jawaban atau pertanyaan yang sesuai dengan instruksi guru. X Metode make a match Y Kemampuan berhitung permulaan anak usia 56 tahun Gambar 1. Kerangka Pikir 32 D. Hipotesis Penelitian Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: “Ada pengaruh penerapan metode make a match terhadap kemampuan berhitung permulaan pada anak kelompok B TK Asiatic Persada Bajubang Tahun Pelajaran 2014/2015”. 33