BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. DNA (Deoxyribonuleic Acid) Deoxyribonucleic acid (DNA) adalah suatu materi yang terdapat pada tubuh manusia dan semua makhluk hidup yang diwarisi secara turun menurun. Semua sel pada tubuh memiliki DNA yang sama dan sebagian besar terdapat pada nukleus. DNA juga dapat ditemukan pada mitokondria (Campbell et al., 2004). Struktur dari DNA terdiri dari gugus fosfat, gula deoksiribosa dan basa nitrogen. Informasi yang dibawa oleh DNA bergantung pada urutan basa nitrogen yang terdiri dari Adenin (A), Timin (T), Guanin (G) dan Sitosin (C). Basa pada DNA selalu berpasangan yaitu A-T dan G-C (Stansfield et al., 2002; Lewis, 2003). Masing-masing pasangan basa melekat pada molekul gula (deoksiribosa) dan fosfat membentuk unit nukleotida. Nukleotida tersusun berpasangan pada baris panjang yang berbentuk spiral yang sering disebut double helix (Suryo, 2011). DNA dapat bereplikasi dan memperbanyak jumlahnya ketika akan terjadi pembelahan sel sehingga tiap sel baru akan memiliki DNA yang sama seperti sel yang lama. Proses replikasi DNA dimulai ketika untaian DNA dibuka dan dipisahkan oleh enzim helikase sehingga terjadi pemisahan antara untaian satu dengan untaian lainya (Stanfield et al., 2002). Selanjutnya, tiap untaian DNA yang terpisah tersebut menjadi dasar cetakan (template) pasangan basa baru yang prosesnya dibantu oleh enzim DNApolymerase. Enzim ini akan memasangkan basa-basa yang sesuai dengan templatnya (Yuwono, 2005). Fungsi DNA adalah untuk bereplikasi dan mensintesis protein. Replikasi diperlukan untuk 1 memberikan informasi yang sama pada tiap sel baru ketika terjadi pembelahan. Dalam proses sintesis protein, DNA menyediakan informasi genetik yang diperlukan oleh sel untuk dapat berfungsi secara fungsional dan struktural. Informasi dari DNA diturunkan dari generasi ke generasi dan merupakan kombinasi dari ayah dan ibu (Butler, 2005). 2.2. DNA mikrosatelit DNA mikrosatelit merupakan pengulangan dari beberapa pasang basa (Butler, 2006b). Mikrosatelit pada DNA juga sering disebut Simple Sequence Repeats (SSRs) atau Short Tandem Repeats (STRs). DNA mikrosatelit merupakan pasangan basa sederhana yang urutannya berulang. Pengulangannya bisa dari hanya beberapa kali sampai ribuan kali. Pasangan basa yang berulang dapat berbentuk mono-, di-, tri-, atau tetranukleotida, bahkan juga sampai penta- dan hexa-. Kebanyakan dari basa sederhana yang berulang ini adalah DNA non-coding yang terletak pada bagian intron (Ellegren, 2004). Keunikan dari penanda DNA mikrosatelit adalah polimorfismenya terletak pada jumlah pengulangannya (Ellegren, 2004). Jumlah ulangan pada mikrosatelit berbeda-beda antar individu (Butler and Hill., 2012). Penanda mikrosatelit juga memiliki sifat yang mudah bermutasi (Di Lonardo et al., 2004) dengan kecepatan mutasi yang relatif tinggi yaitu 10 -2-10-5/lokus/gamet/generasi (Lehmann et al., 1996) sehingga terjadi perbedaan antar individu. Karena hal tersebut, mikrosatelit sering digunakan untuk kepentingan identifikasi manusia (Gill et al., 1994), pemetaan kromosom (Hearn et al., 1992), studi evolusi molekuler (Meyer et al., 1995) dan 2 dalam genetika populasi (Bowcook et al., 1994). Bersama dengan munculnya teknik PCR di akhir 1980-an, analisis polimorfisme mikrosatelit menjadi semakin mudah dilakukan (Ellegren, 2004). Menurut Ellegren (2004), telah ada ribuan lokus mikrosatelit yang teridentifikasi pada DNA manusia, namun sangat sedikit lokus yang sudah dapat dimanfaatkan untuk kepentingan forensik dan identifikasi manusia (Butler, 2006b). Dalam dunia forensik, lokus mikrosatelit yang digunakan sebagai penanda biasanya bersifat tetranukleotida, yaitu penanda dengan pengulangan yang dasarnya mengandung 4 pasang basa bergandeng. Lokus mikrosatelit yang digunakan sebagai penanda dalam dunia forensik harus bersifat global (Butler, 2006b). FBI telah menetapkan 13 set lokus yang biasa digunakan dalam investigasi forensik pada tahun 1997 yang telah dimasukkan ke dalam daftar sebuah perangkat lunak yang disebut CODIS (Combined DNA Index System). Ke-13 set lokus tersebut diantaranya CSF1PO, FGA, TH01, TPOX, vWA, D3S1358, D5S818, D7S820, D8S1179, D13S317, D16S539, D18S51, dan D21S11 (Butler and Hill, 2012). Menurut Easswarkhanta et al. (2009), kecepatan mutasi yang tinggi pada mikrosatelit menyebabkan penanda mikrosatelit banyak digunakan dalam penelitian keragaman genetik dan kekerabatan antar populasi, namun untuk investigasi paternitas, terjadinya mutasi pada penanda mikrosatelit akan menyebabkan timbulnya kebingungan dalam penentuan hasil. Dalam investigasi paternitas, perbedaan hasil pada penanda mikrosatelit antara orang tua (biasanya ayah) dan anak menunjukkan bahwa orang tua dan anak tersebut tidak memiliki hubungan biologis. Tetapi, bila 3 terjadi mutasi pada salah satu penanda mikrosatelit, maka akan menimbulkan kebingungan pada penetuan hasil apakah terdapat hubungan biologis antara orang tua dan anak tersebut atau tidak. Setidaknya diperlukan lebih dari tiga perbedaan hasil pada penanda mikrosatelit antara orang tua dan anak sebagai bukti tidak terdapatnya hubungan biologis (Kayser and Sajantilla, 2001). Menurut Jacewicz et al. (2004), semakin banyak penanda mikrosatelit yang digunakan dalam investigasi paternitas akan meningkatkan kemungkinan ditemukannya mutasi alel antar orang tua dan anak. Mutation rate (rasio mutasi) dapat diartikan sebagai kemungkinan sebuah alel berubah (bermutasi) menjadi alel lain dengan ukuran yang berbeda dalam satu generasi. Mutation rate dapat dihitung dari banyaknya kejadian mutasi berbanding dengan jumlah pembelahan meiosis (Geada et al., 2003). Mutation rate juga dapat diartikan banyaknya mutasi yang terjadi per pembelahan sel, per generasi atau per satuan waktu (Baer et al., 2007). Mutasi pada mikrosatelit berkisar dari 10-6 sampai 10-2 per generasi (Fan and Chu, 2007). Macam mutasi mikrosatelit yang lain adalah null alel. Null alel merupakan suatu alel yang tidak teramplifikasi pada suatu lokus karena disebabkan oleh beberapa hal diantaranya kegagalan penempelan (annealing) primer secara sempurna ketika PCR, kegagalan amplifikasi terhadap pasangan alel yang lebih panjang (pada heterozigot) yang disebabkan karena efektivitas PCR yang secara alami lebih baik pada alel yang lebih pendek, serta rendahnya kualitas dan kuantitas DNA cetakan (template) (Dakin and Avise, 2004). Keberadaan null alel telah banyak dilaporkan dan sebelumnya masih membingungkan para peneliti terutama dalam analisis 4 genetika populasi (Chapuis and Estoup, 2007), namun pada penelitian terbaru menyebutkan keberadaan null alel dapat benar-benar mempersulit tes paternitas karena null alel tidak memiliki fenotip pada populasi manusia di Afrika Selatan dimana keberadaan null alel terdeteksi pada 15 lokus yang digunakan dengan frekuensi ~ 0,3% – 1% (Lane, 2013). 2.3. Ekstraksi DNA Ekstraksi DNA merupakan suatu kegiatan untuk memisahkan DNA dari kandungan lain dari sebuah sampel sehingga didapatkan DNA murni. DNA yang diekstraksi dapat bersumber dari darah, sperma, tulang, gigi, rambut, air liur, urin, feses, atau kuku (Butler, 2005). Ada beberapa metode ekstraksi DNA yang umum digunakan, namun prinsip dasar dari semua metode tersebut sama yakni memisahkan protein serta materi-materi lainnya dari molekul DNA. Selain itu langkah-langkah dasar pada ekstraksi DNA adalah, pertama pelisisan sel untuk melepas molekul DNA, kedua memisahkan molekul DNA dari materi seluler lainnya, ketiga pengisolasian DNA sehingga memungkinkan untuk dilakukan amplifikasi Polymerase Chain Reaction (PCR) (Butler and Hill., 2012). Beberapa metode yang umum dalam ekstraksi DNA terutama pada laboratorium forensik diantaranya adalah metode fenol-kloroform, metode chelex dan metode FTA (Flitzco/Flinder Technology Agreement). Prosedur dari tiap metode juga bisa bervariasi tergantung dari mana sumber DNA yang akan diekstraksi. Misalnya sampel darah dapat diperlakukan berbeda dengan sampel noda darah atau sampel tulang (Butler and Hill., 2012). 5 Metode yang paling umum dan telah dikenal sejak lama dalam ekstraksi DNA adalah metode organik atau metode fenol-kloroform (Sambrook and Russell, 2001). Beberapa bahan kimia digunakan dalam metode ini diantaranya sodium dedosilsulfat (SDS) dan proteinase K yang digunakan untuk menghancurkan membran sel dan protein yang menyelimuti molekul DNA di dalam kromosom. Selanjutnya campuran fenol-kloroform ditambahan untuk memisahkan protein dari DNA itu sendiri. Proses berikutnya adalah sentrifugasi yaitu pemisahan molekul DNA dengan molekul lainnya dengan memberikan gaya sentrifugal sehingga molekul-molekul akan terpisah berdasarkan berat jenisnya. Metode ini memiliki beberapa kelemahan diantaranya memakan waktu yang lama sampai mendapatkan DNA murni, menggunakan banyak zat-zat kimia berbahaya, dan memerlukan proses pemindahan sampel dari satu mikrotube ke mikrotube lain berkali-kali sehingga meningkatkan resiko kontaminasi DNA dari zat-zat lain (Butler and Hill., 2012). Salah satu metode yang dapat menjadi alternatif dan tidak mahal adalah metode chelex. Metode ini menggunakan suspensi resin pengikat ion yang langsung dicampurkan ke dalam sampel. Suspensi resin pada chelex merupakan larutan difinil benzena yang mengandung ion imino diasetat yang dapat mengikat ion-ion metal seperti magnesium dengan mengikat magnesium, enzim penghancur DNA akan tidak aktif sehingga molekul DNA akan tetap terlindungi. Hasil yang didapat dari metode ini merupakan DNA single strand sehingga perlu dilanjutkan analisis PCR. Metode ini sangat baik digunakan untuk analisis PCR karena dapat menghilangkan inhibitor PCR serta hanya memerlukan satu mikrotube sehingga kemungkinan adanya 6 kontaminasi sangat kecil. Selain itu, metode chelex tidak memerlukan sampel dalam jumlah besar dan langkah kerja yang banyak dibandingkan dengan metode organik (Butler and Hill., 2012). Flitzco/Flinder Technology Agreement (FTA) merupakan sebuah kertas yang mengandung empat substansi kimia yang dapat melindungi molekul DNA dan mencegah pertumbuhan bakteri. Sampel yang diletakkan pada kertas FTA akan mengalami lisis pada membran sel dan mengering. Selanjutnya, setitik sampel dari kertas diambil dan dimasukkan ke dalam mikrotube yang sudah terisi dengan reagen penjernih khusus dari inhibitor PCR (Butler and Hill., 2012). Kertas FTA yang sudah berisi sampel dapat disimpan pada suhu ruangan dalam waktu yang cukup lama sampai delapan tahun dan menghasilkan hasil PCR dengan kualitas yang baik (Mullen et al., 2009). 2.4. Amplifikasi DNA Amplifikasi DNA merupakan suatu proses perbanyakan DNA sehingga dapat dianalisis secara kualitatif. Perbanyakan DNA dilakukan dengan teknik PCR, yaitu suatu proses enzimatis pada suatu DNA yang spesifik yang direplikasi secara berulang-ulang sehingga didapatkan banyak kopian urutan DNA yang sama. Proses PCR mencakup proses pemanasan dan pendinginan berulang yang dilakukan sampai sekitar 30 siklus (Butler and Hill., 2012). Ketika pemanasan, ikatan hidrogen pada polinukleotida akan terputus, sedangkan pada pendinginan DNA akan membentuk kembali pasangan basanya, sehingga dalam proses annealing ketika suhu diturunkan 7 dalam mesin PCR, maka primer akan menempel pada template DNA untuk suhu optimalnya (Suryo, 2005). Komponen utama pada PCR adalah primer yang mengawali proses pemanjangan pada sampel DNA yang diperbanyak. Primer yang digunakan harus sesuai dengan sampel DNA yang akan diamplifikasi. Komponen-komponen diantaranya adalah trifosfat deoksinukleotida (dNTPs), DNA polymerase, magnesium klorida, PCR buffer, dan template DNA (Butler and Hill., 2012). 8