kajian faktor pembentuk emotional branding pada

advertisement
KAJIAN FAKTOR PEMBENTUK EMOTIONAL BRANDING
PADA PELANGGAN ROTIBOY YANG DITINJAU DARI
TEORI GOBE
Oleh:
Alinda Francisca
Ika Adita Silviandari, S.Psi., M.Psi
Yunita Kurniawati, S.Psi., M.Psi
Program Studi Psikologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
[email protected]
ABSTRACT
This research was done to know what kind of factors that can do for construct in
emotional branding for Rotiboy customer based on basically concepts in
emotional branding according to Gobe such as relationship, sensorial experiences,
imagination and vision. This research used qualitative research method with
fenomenology approach for understand the experience every research subject
deeply. The selection of subjet was done with purposive sampling technique.
Subjet that was included was 10 people that makes regular repeat purchase at least
twice a week, purchases across product and service lines, refers others and
demonstraters in immunity to the pull of the competition. Data gathering
technique that used is interview and observation. Data analysis used Miles and
Hubberman data analysis technique. Data validation checked used triangulation
technique. The result of research showed that sensorial experiences and vision are
make up two basic concept of emotional branding that protude the most in
construction of emotional branding to Rotiboy customer. The research also show
that the experience was unpleasant that was felt has connection with to basic
concepts of emotional branding which is relationship and imagination
approachment did not have impact too much in construction of emotional
branding in Rotiboy customer.
Keyword : emotional branding, Rotiboy customers, Gobe theory
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor apa saja yang berperan
dalam membentuk emotional branding pada pelanggan Rotiboy berdasarkan
empat konsep dasar emotional branding menurut Gobe yaitu hubungan,
pengalaman panca indera, pendekatan imajinatif, dan visi. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi
untuk memahami pengalaman setiap subjek penelitian secara mendalam.
Pemilihan subjek dilakukan menggunakan teknik purposive sampling. Subjek
yang terlibat sebanyak 10 orang yang melakukan pembelian ulang secara teratur
minimal dua kali dalam satu minggu, melakukan pembelian terhadap variasi
1
produk Rotiboy, memberikan referensi kepada orang lain, dan menunjukkan
ketahanan terhadap tarikan pesaing. Teknik pengumpulan data yang digunakan
adalah wawancara dan observasi. Analisis data menggunakan teknik analisis data
Miles dan Hubberman. Pemeriksaan keabsahan data menggunakan teknik
triangulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep pengalaman panca
indera dan konsep visi merupakan dua konsep dasar emotional branding yang
paling menonjol dalam pembentukan emotional branding pada pelanggan
Rotiboy. Penelitian ini juga menunjukkan, pengalaman kurang menyenangkan
yang dirasakan subjek berkaitan dengan dua konsep dasar emotional branding
yaitu hubungan dan pendekatan imajinatif tidak terlalu berdampak besar pada
pembentukan emotional branding pada pelanggan Rotiboy.
Kata kunci : emotional branding, pelanggang Rotiboy, teori Gobe
LATAR BELAKANG
Konsumen saat ini diberikan banyak pilihan yang semakin beragam mulai
dari segi harga, desain hingga kualitas. Terlebih lagi promosi produk saat ini dapat
dilakukan melalui berbagai cara. Keadaan ini menunjukkan semakin ketatnya
persaingan antar bisnis retail. Dalam keadaan persaingan yang ketat, peran merek
sebagai pembeda antara satu produk dengan produk lainnya menjadi semakin
penting, selain itu merek juga dapat membantu konsumen untuk mengingat suatu
produk sehingga mempermudah mereka untuk mengambil keputusan saat
melakukan pembelian (Susanto & Wijanarko, 2004). Melihat pentingnya peran
merek bagi sebuah produk, maka seorang pengusaha diharapkan mampu
menciptakan merek yang benar-benar melekat pada konsumennya. Merek yang
kuat diyakini merupakan aset tak berwujud (intangible asset) yang sangat
berharga bagi perusahaan dan merupakan alat pemasaran strategis utama (Susanto
& Wijanarko, 2004).
Seiring dengan perkembangan ekonomi terutama dalam bidang bisnis ritel,
muncul pula strategi-strategi baru untuk membangun merek yang kuat. Menurut
Gobe (2001), agar tidak ketinggalan jaman dan dapat bertahan, sangat penting
bagi merek untuk memahami perubahan pesat yang sedang terjadi dan bersaing
dengan cara yang berbeda. Model ekonomi tradisional mengenai penawaran atau
permintaan telah di evaluasi dan kini perusahaan telah menyadari bahwa peluang
pasar baru bukanlah pada pengurangan biaya dan peningkatan keuntungan, tetapi
pengembangan sumber pendapatan yang benar-benar baru dengan ide-ide yang
inovatif.
Berdasarkan perubahan model ekonomi tersebut, muncullah sebuah
paradigma baru untuk mendekatkan merek dengan konsumen, paradigma baru
tersebut adalah emotional branding. Sebagai paradigma baru, kajian teori
berkaitan dengan emotional branding masih jarang ditemui. Gobe sebagai penulis
buku emotional branding, menjadi tokoh paling dikenal sebagai pencetus
emotional branding, didalam bukunya Gobe menulis secara lengkap berbagai hal
mengenai emotional branding sehingga dapat dengan mudah dimengerti oleh
semua kalangan. Menurut Gobe, emotional branding merupakan alat serta
metodologi untuk menghubungkan produk ke konsumen secara emosional.
2
Konsep dasar dari proses emotional branding didasarkan pada empat pilar
penting yaitu hubungan, pengalaman panca indera, imajinasi, dan visi. Menurut
Gobe (2001), dalam persaingan pasar yang sangat tinggi di mana barang atau jasa
saja tidak cukup untuk menarik pelanggan baru atau mempertahankan pelanggan
yang sudah ada, maka aspek emosional dari produk serta sistem distribusilah yang
akan menjadi kunci perbedaan antara pilihan akhir konsumen dengan harga yang
akan mereka bayar. “Emosional” yang dimaksud adalah bagaimana suatu merek
menggugah perasaan dan emosi konsumen, bagaimana suatu merek menjadi hidup
bagi masyarakat dan membentuk hubungan yang mendalam dan tahan lama.
Persaingan dalam usaha ritel telah merambah ke berbagai bidang. Strategi
membangun emotional branding tidak hanya dapat diterapkan pada produk
fashion atau elektronik, namun sebuah toko roti juga mampu melakukan strategi
membangun emotional branding. Toko roti dapat ikut melakukan strategi
membangun emotional branding dengan memanfaatkan pengalaman panca indera
yang merupakan salah satu konsep dasar emotional branding. Pengalaman panca
indera dalam sebuah toko roti dapat diwujudkan melalui desain toko yang
menarik, kemasan yang unik, rasa roti yang nikmat, serta aroma yang menggugah
selera. Akhir-akhir ini banyak toko roti yang didesain kembali, di mana proses
pembuatan roti didesain dekat dengan pelanggan karena itu pelanggan dapat
melihat proses pembuatan roti secara langsung. Hal ini mempunyai maksud agar
aroma roti dapat dirasakan langsung oleh pelanggan karena merupakan salah satu
upaya memberikan pengalaman emosional yang menyenangkan kepada pelanggan
(Suratna & Pujiastuti, 2008).
Aroma sangat identik dengan bisnis makanan seperti restoran atau toko
roti. Rotiboy merupakan salah satu toko roti yang memiliki aroma khas. Jika
diamati, toko Rotiboy memiliki beberapa keunikan yang membuatnya berbeda
dari toko roti yang lain. Saat berjalan mendekati toko Rotiboy, konsumen akan
dapat menghirup aroma roti yang nikmat. Aroma tersebut bahkan bisa tercium
dari jarak yang cukup jauh dari toko Rotiboy. Dapur tempat pembuatan roti dibuat
dekat dengan konsumen agar konsumen dapat langsung mencium aroma roti yang
nikmat sesaat setelah roti dikeluarkan dari oven. Uniknya aroma roti yang
dihasilkan setiap toko Rotiboy memiliki kesamaan, hal ini menimbulkan satu ciri
yang membedakan Rotiboy dengan toko roti yang lain, aroma ini membuat
konsumen lebih mudah mengingat Rotiboy. Menurut Gobe (2001), penggunaan
aroma yang direncanakan dengan baik akan mendorong penjualan.
Toko dan kemasan Rotiboy juga dibuat dengan warna yang cukup
mencolok yaitu kuning. Warna kuning adalah warna yang paling cerah dan mudah
menarik perhatian. Kemasan Rotiboy juga dibuat berbeda dengan toko roti
biasanya yang umumnya selalu menggunakan kemasan berupa kotak atau kantong
plastik. Rotiboy juga selalu memprioritaskan kenikmatan rasa pada setiap roti
yang diproduksinya, setiap roti yang dijual selalu diproduksi pada hari yang sama
dan selalu disajikan kepada konsumen saat masih hangat. Beberapa keunikan
yang diciptakan Rotiboy memiliki kaitan dengan empat pilar penting yang
merupakan konsep dasar emotional branding.
3
RUMUSAN MASALAH
1. Faktor apa saja yang berperan dalam membentuk emotional branding pada
pelanggan Rotiboy berdasarkan empat konsep dasar emotional branding
menurut Gobe?
2. Bagaimana emotional branding yang dipersepsi oleh pelanggan Rotiboy?
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian secara umum menjawab rumusan masalah yaitu untuk
mengetahui faktor apa saja yang berperan dalam membentuk emotional branding
pada pelanggan Rotiboy dan juga mengetahui emotional branding yang dipersepsi
oleh pelanggan Rotiboy.
TINJAUAN PUSTAKA
Merek (Brand)
Merek adalah nama, istilah, desain, simbol atau fitur lainnya yang
mengidentifikasi perbedaan antara satu pedagang atau penjual jasa dengan
pedagang lain (Wood, 2000). Menurut Aaker dan Joachimstahler, merek
menawarkan dua jenis manfaat, yaitu (Ferrinadewi, 2008) :
a) Manfaat fungsional mengacu pada kemampuan fungsi produk yang
ditawarkan.
b) Manfaat emosional adalah kemampuan merek untuk membuat penggunanya
merasakan sesuatu selama proses pembelian atau selama konsumsi.
Heggelson dan Suphelan berpendapat bahwa manfaat yang ditawarkan
merek adalah manfaat simbolis yang mengacu pada dampak psikologis yang akan
diperoleh konsumen ketika konsumen menggunakan merek tersebut artinya merek
tersebut akan mengkomunikasikan siapa dan apa konsumen pada konsumen lain
(Ferrinadewi, 2008).
Emosi
Berdasarkan definisi emosi dari beberapa ahli psikologi, Chaplin
mendefinisikan emosi sebagai reaksi yang kompleks yang mengandung aktivitas
dengan derajat yang tinggi dan adanya perubahan dalam kejasmanian serta
berkaitan dengan perasaan yang kuat (Walgito, 2004). Berikut ini adalah fungsifungsi penting dari emosi (Feldman, 2012) :
a. Mempersiapkan kita untuk bertindak.
b. Membentuk perilaku kita di masa depan.
c. Membantu kita berinteraksi secara lebih efektif dengan orang lain.
Proses terjadinya emosi dimulai dengan adanya stimulus. Stimulus
tersebut kemudian ditangkap oleh reseptor atau alat indera dan diteruskan ke otak.
Sistem limbik merupakan bagian otak yang memiliki hubungan dengan emosi,
struktur dari sistem limbik secara bersamaan mengontrol berbagai fungsi dasar
terkait dengan emosi dan pemuasan diri. Sistem limbik terdiri dari satu rangkaian
struktur yang berbentuk seperti kue donat yang di dalamnya termasuk amigdala
dan hippocampus. Amigdala memberikan keterkaitan antara persepsi terhadap
stimulus yang menghasilkan emosi dan pengingatan terhadap stimulus tersebut
nanti (Feldman, 2012).
4
Emotional Branding
Emotional branding merupakan suatu campuran yang dinamis dari
antropologi, imajinasi, pengalaman panca indra, dan pendekatan visioner menuju
perubahan. Emotional branding merupakan alat serta metodologi untuk
menghubungkan produk ke konsumen secara emosional (Gobe, 2001).
Konsep dasar dari proses emotional branding didasarkan pada empat pilar
penting, yaitu (Gobe, 2001) :
a. Hubungan
Hubungan adalah tentang menumbuhkan hubungan yang mendalam dan
menunjukkan rasa hormat pada jati diri konsumen serta memberikan
pengalaman emosional yang benar-benar mereka inginkan.
b. Pengalaman Panca indera
Pengalaman panca indera merupakan suatu area yang memiliki potensi sangat
besar untuk merek. Menawarkan suatu pengalaman merek yang berhubungan
dengan panca indera dapat menjadi perangkat branding merek yang sangat
efektif.
c. Pendekatan Imajinatif
Imajinasi dalam penetapan desain merek adalah upaya yang membuat proses
emotional branding menjadi nyata. Pendekatan imajinatif dalam desain produk,
kemasan, toko ritel, iklan, dan situs web memungkinkan merek menembus
batas harapan dan meraih hati konsumen dengan cara yang baru dan segar.
d. Visi
Visi adalah faktor utama kesuksesan merek dalam jangka panjang. Merek
berkembang melalui suatu daur hidup yang alami dalam pasar dan untuk
menciptakan serta memelihara keberadaan merek dalam pasar saat ini, merek
harus berada dalam kondisi keseimbangan sehingga bisa memperbarui dirinya
kembali secara terus-menerus. Merek memiliki siklus hidup. Merek yang
populer saat ini belum tentu tetap menjadi populer selamanya. Masa depan
suatu merek ditentukan setiap waktu dan seberapa baik merek tersebut dapat
menjaga nilai-nilai yang membuatnya menjadi sukses. Merek dipilih setiap hari
berdasarkan relevansi emosionalnya dengan publik dan komitmennya terhadap
kualitas (Suratna & Pujiastuti, 2008).
Persepsi
Keempat konsep emotional branding tersebut tidak lepas dari proses
persepsi dan belajar konsumen dalam proses mempengaruhi konsumen, karena
pembelajaran dan persepsi merupakan 2 konsep yang erat kaitannya. Proses
persepsi yang terdiri dari paparan hingga interpretasi menyediakan bahan-bahan
mentah bagi berlangsungnya proses belajar (Ferrinadewi, 2008). Persepsi
merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu proses
diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut proses
sensoris (Walgito, 2004). Di dalam kegiatan pemasaran terdapat istilah stimuli
pemasaran, stimuli pemasaran adalah setiap komunikasi atau stimuli fisik yang
didesain untuk mempengaruhi konsumen. Produk dan komponen-komponennya
adalah stimuli utama (Setiadi, 2003).
Persepsi terjadi melalui suatu proses, berikut ini adalah proses terjadinya
persepsi : Objek menimbulkan stimulus, dan stimulus mengenai alat indera atau
5
reseptor. Stimulus yang diterima oleh alat indera ditentukan oleh syaraf sensoris
ke otak. Kemudian terjadilah proses di otak sebagai pusat kesadaran sehingga
individu menyadari apa yang dilihat, atau apa yang didengar, atau apa yang
diraba. Taraf terakhir dari proses persepsi ialah individu menyadari tentang hal-hal
seperti apa yang dilihat, apa yang didengar atau apa yang diraba, yaitu stimulus
yang diterima melalui alat indera. Proses ini merupakan proses terakhir dari
persepsi dan merupakan persepsi sebenarnya (Walgito, 2004).
Pembelajaran Konsumen
Menurut Assael, pembelajaran konsumen adalah suatu perubahan dalam
perilaku yang terjadi sebagai hasil dari pengalaman masa lalunya. Konsumen
memperoleh berbagai pengalamannya dalam pembelian produk dan produk apa
yang disukainya. Konsumen akan menyesuaikan perilakunya dengan
pengalamannya di masa lalu (Setiadi, 2003). Terdapat dua kelompok teori belajar
yaitu, (Ferrinadewi, 2008) :
a. Behavioral Learning Theories
1. Classical Conditioning
Pemasar dapat menggunakan pendekatan ini dalam memasarkan produknya
dengan beberapa cara, yaitu:
a) Pengulangan
b) Generalisasi Stimulus
c) Stimulus Pembeda
2. Instrumental Conditioning
Instrumental conditioning terjadi ketika konsumen menghubungkan
stimulus dengan respon bila terdapat sesuatu yang mendorongnya atau
insentif misalnya rasa puas.
3. Cognitive Learning Theories
Teori ini menekankan pada proses mental yang terjadi, artinya proses belajar
terjadi ketika seseorang memproses informasi dengan menggunakan proses
mental yang disadari.
Pelanggan
Pelanggan (customer) berbeda dengan konsumen (consumer), seorang dapat
dikatakan sebagai pelanggan apabila orang tersebut mulai membiasakan diri untuk
membeli produk atau jasa yang ditawarkan oleh badan usaha. Griffin berpendapat
bahwa seseorang pelanggan dikatakan setia atau loyal apabila pelanggan tersebut
menunjukkan perilaku pembelian secara teratur atau terdapat suatu kondisi dimana
mewajibkan pelanggan membeli paling sedikit dua kali dalam selang waktu tertentu
(Musanto, 2004).
Berikut ini adalah ciri-ciri pelanggan menurut Griffin (Griffin, 2003),
yaitu:
a. Makes regular repeat purchase (melakukan pembelian ulang secara teratur).
b. Purchases across product and service lines (melakukan pembelian lini produk
yang lain dari perusahaan yang bersangkutan).
c. Refers others (memberikan referensi kepada orang lain).
d. Demonstraters in immunity to the pull of the competition (menunjukkan
kekebalan terhadap penawaran pesaing).
6
KERANGKA PEMIKIRAN
Pelanggan Rotiboy
Hubungan
Pengalaman
Panca indera
Imajinasi
Visi
Emotional Branding
Penjelasan :
Pelanggan Rotiboy adalah konsumen Rotiboy yang telah berulang kali
mengkonsumsi Rotiboy, seorang pelanggan tentunya memiliki banyak
pengalaman konsumsi yang menjadi alasan bagi mereka untuk memilih lebih
menyukai Rotiboy daripada produk yang lain.
Keputusan pelanggan Rotiboy untuk menyukai produk Rotiboy tidak dapat
dilepaskan dari berbagai konsep yang diciptakan Rotiboy untuk mempengaruhi
konsumennya. Jika diamati konsep yang diterapkan Rotiboy dapat dikaitkan
dengan empat konsep dasar emotional branding yaitu hubungan yang berkaitan
dengan menumbuhkan hubungan yang mendalam dan menunjukkan rasa hormat
kepada konsumen serta memberikan pengalaman emosional yang benar-benar
mereka inginkan, pengalaman panca indera yang berkaitan dengan usaha untuk
memberikan kepuasan terhadap lima pancaindra yang dimiliki konsumen,
pendekatan imajinatif yang berkaitan dengan cara baru untuk meraih hati
konsumen dan menembus batas harapan konsumen dan visi yang berkaitan
dengan bagaimana suatu merek mampu mempertahankan kualitas dari waktu ke
waktu dan terus melakukan evaluasi agar dapat menuju perubahan yang lebih
baik.. Konsep-konsep ini tentunya ikut berperan dalam menciptakan pengalamanpengalaman konsumsi pada pelanggan Rotiboy, sehingga dapat membuat
pelanggan merasakan emotional branding yang ada pada konsep-konsep yang
diterapkan oleh Rotiboy.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Adapun jenis
penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian fenomenologi. Penelitian ini
menggunakan jenis penelitian fenomenologis karena penelitian ini berhubungan
erat dengan pengalaman individu yang pernah mengkonsumsi Rotiboy.
Pemilihan Subjek Penelitian
Pengambilan sampel dalam penelitian menggunakan teknik purposive
sampling Penelitian ini melibatkan sepuluh orang subjek, subjek ini dipilih
berdasarkan kriteria subjek yang mengacu pada ciri-ciri pelanggan menurut
Griffin (2003), yaitu:
a. Melakukan pembelian ulang secara teratur. Subjek dalam penelitian ini
minimal melakukan pembelian sebanyak dua kali dalam satu minggu. Standard
minimal pembelian ulang ini diperoleh dari survey awal yang dilakukan oleh
7
peneliti terhadap 100 orang pengunjung Rotiboy. Hasil survey tersebut
menunjukkan 28 orang membeli Rotiboy kurang dari 1 kali dalam 1 minggu,
40 orang membeli Rotiboy 1 kali dalam 1 minggu, 23 orang membeli Rotiboy
2 kali dalam 1 minggu, sisanya sebanyak 9 orang membeli Rotiboy sebanyak 3
kali atau lebih dalam 1 minggu.
b. Melakukan pembelian terhadap variasi produk yang diproduksi oleh Rotiboy.
c. Memberikan referensi kepada orang lain. Memberi referensi kepada orang lain
berarti menyarankan atau mengajak orang lain untuk ikut mengkonsumsi
Rotiboy.
d. Menunjukkan ketahanan terhadap tarikkan pesaing. Maksudnya disini subjek
memiliki kesetiaan terhadap produk Rotiboy dan tidak memiliki ketertarikan
untuk membeli produk serupa selain yang diproduksi oleh Rotiboy.
Proses pencarian subjek dilakukan dengan beberapa cara yaitu melalui
media sosial, wawancara secara langsung kepada individu yang diperkirakan
memiliki potensi menjadi subjek penelitian, serta dengan menggunakan survey
yang dibagikan kepada 100 orang konsumen Rotiboy.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara dan observasi. Wawancara yang digunakan adalah wawancara bebas
terpimpin, sedangkan berdasarkan sasaran penjawabnya wawancara yang
digunakan adalah wawancara perorangan. Berdasarkan tujuannya, wawancara
dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam. Wawancara dalam penelitian
ini digunakan untuk menggali pengalaman apa saja yang dirasakan oleh
konsumen Rotiboy yang berhubungan dengan empat konsep emotional branding
yaitu hubungan, pengalaman panca indera, imajinasi, dan visi. Alat pengumpulan
data yang digunakan berupa pedoman wawancara atau daftar pertanyaan yang
ditujukan kepada konsumen Rotiboy.
Berdasarkan tingkat pengontrolan, observasi dalam penelitian ini adalah
observasi sederhana. Berdasarkan peran peneliti, observasi dalam penelitian ini
adalah observasi non-partisipan. Pencatatan hasil observasi dalam penelitian
menggunakan dua metode, yaitu metode anecdotal record untuk observasi
selama wawancara dengan subjek penelitian dan catatan berkala (incidental
record), untuk observasi saat subjek berada didalam toko Rotiboy.
Bila dilihat dari sumber datanya, maka pengumpulan data dapat
menggunakan sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer dalam
penelitian ini adalah sepuluh subjek penelitian, sedangkan sumber sekunder
adalah keluarga atau teman dari subjek penelitian.
Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis
reduksi data dari Miles dan Huberman. Penelitian ini berhubungan erat dengan
pengalaman individu yang sangat bervariasi karenanya perlu analisis reduksi data
yang merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan,
mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data dengan
cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi
(Miles & Huberman, 1992). Menurut Miles dan Huberman terdapat tiga macam
kegiatan dalam analisis data kualitatif, yaitu (Emzir, 2012):
8
1) Reduksi Data
2) Penyajian Data
3) Penarikan Kesimpulan
PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini menggambarkan suatu dinamika psikologi yang dapat
didiskusikan sebagai berikut. Konsep dasar emotinonal branding didasarkan pada
empat pilar penting yaitu hubungan, pengalaman panca indera, pendekatan
imajinatif, dan visi. Penelitian ini menggali pengalaman apa saja yang didapatkan
konsumen Rotiboy saat mereka mulai memasuki toko Rotiboy, mendapatkan
pelayanan dari karyawan Rotiboy, melakukan pembelian, dan kemudian
merasakan rasa roti yang khas dari Rotiboy. Pengalaman-pengalaman tersebut
kemudian akan disaring dan dibagi-bagi dalam empat konsep dasar emotional
branding untuk melihat empat komponen dasar tersebut dalam membentuk
emotional branding pada konsumen Rotiboy.
1) Hubungan
Komponen dasar emotional branding yang pertama adalah hubungan.
Hubungan adalah tentang menumbuhkan hubungan yang mendalam dan
menunjukkan rasa hormat pada jati diri konsumen serta memberikan pengalaman
emosional yang benar-benar mereka inginkan (Gobe, 2001).
Subjek NO, LP, DA, KL, RS, dan FN merasakan pengalaman yang baik
dalam hal pelayanan yang diberikan Rotiboy. Keenam subjek tersebut merasa
senang, dihargai, dan dihormati dengan pelayanan yang diberikan Rotiboy.
Berdasarkan percakapan antara peneliti dengan subjek NO dan KL, kedua subjek
tersebut secara jelas menyebutkan bahwa bentuk pelayanan yang diberikan oleh
Rotiboy mampu mempengaruhi loyalitas mereka dan membuat mereka bersedia
kembali untuk membeli Rotiboy. Subjek DD, GP dan NZ juga memiliki
pengalaman yang berkaitan dengan konsep hubungan namun pengalaman tersebut
merupakan pengalaman yang kurang baik, menurut ketiga subjek tersebut Rotiboy
masih memiliki beberapa kekurangan dalam pelayanan.
Berdasarkan hasil wawancara terlihat bahwa tidak semua konsumen
Rotiboy memiliki pengalaman yang baik berkaitan dengan pelayanan Rotiboy,
namun hal tersebut ternyata tidak mengurangi minat mereka untuk membeli
Rotiboy dan bahkan mereka tetap menjadi pelanggan Rotiboy. Hal tersebut
menandakan bahwa faktor pelayanan bukanlah faktor terpenting terutama bagi
subjek DD, GP, dan NZ.
Ryu dan Han (Sahari, 2012) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa yang
paling penting bagi pelanggan makanan cepat saji adalah kualitas makanan,
diikuti oleh kualitas lingkungan fisik dan layanan. Pendapat Ryu dan Han (Sahari,
2012) tersebut selaras dengan apa yang terjadi pada subjek DD, GP, dan NZ,
ketiga subjek tersebut merasakan adanya kekurangan pada layanan Rotiboy
namun hal tersebut ternyata tidak mengubah kesetiaan mereka pada Rotiboy.
2) Pengalaman Panca Indera
Konsep dasar emotional branding yang kedua adalah pengalaman panca
indera. Kesepuluh subjek dalam penelitian ini memiliki pengalaman yang
9
berkaitan dengan pengalaman panca indera. Berdasarkan hasil wawancara
diketahui bahwa pengalaman panca indera yang paling dirasakan oleh kesepuluh
subjek berkaitan dengan tiga indera yaitu indera penglihatan, indera penciuman
dan indera pengecap.
Berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa pengalaman panca
indera yang berkaitan dengan indra penglihatan dapat diperoleh oleh konsumen
melalui pemilihan warna didalam toko, pencahayaan didalam toko, serta penataan
interior. Kesembilan subjek memiliki pendapat yang sama bahwa Rotiboy
memiliki luas toko yang kurang memadai. Menurut subjek NO, LP, DA, RS, DD,
NZ dan FN toko Rotiboy kurang cocok jika dipakai sebagai tempat nongkrong
yang umumnya membutuhkan waktu lama, menurut mereka toko Rotiboy tetap
nyaman namun hanya untuk tempat singgah sebentar misalnya untuk sekedar
singgah setelah lelah berbelanja atau memakan roti selagi hangat.
Subjek NO, LP, RS, DD, GP, NZ dan FN berpendapat bahwa warna khas
Rotiboy adalah kuning, namun masing-masing subjek memiliki pendapat berbeda
mengenai pengaruh warna tersebut pada diri mereka sebagai konsumen. Subjek
NO secara lebih spesifik berpendapat bahwa warna kuning mampu membuat
lapar. Subjek NO, LP, KL, RS, dan NZ berpendapat bahwa warna kuning adalah
warna yang mencolok dan menarik perhatian. Subjek LP, RS, dan DD secara jelas
berpendapat bahwa warna kuning mampu membuat mereka lebih mudah
mengingat Rotiboy. Hal ini selaras dengan pendapat Suratna dan Pujiastuti bahwa
warna dapat mengaktifkan pikiran, memori dan persepsi tertentu (Suratna &
Pujiastuti, 2008). Warna yang dipilih secara tepat mengidentifikasikan logo,
produk, tampilan merek, serta merangsang ingatan yang lebih baik terhadap
merek (Gobe, 2001). Menurut Singh (2006), warna kuning digunakan oleh
makanan cepat saji untuk mendapatkan perhatian pelanggan, meningkatkan nafsu
makan konsumen, dan mendorong mereka untuk makan. Cimbalo dkk, menguji
hubungan antara warna dan emosi, dan menunjukkan bahwa warna kuning,
oranye, dan biru sebagai warna bahagia (Singh, 2006).
Pengalaman pancaindera yang berkaitan dengan indera penciuman dapat
diperoleh konsumen melalui aroma yang diciptakan oleh Rotiboy. Berdasarkan
hasil wawancara antara peneliti dengan sepuluh subjek penelitian, kesepuluh
subjek penelitian tersebut memiliki pengalaman panca indera yang berkaitan
dengan indera penciuman. Kesepuluh subjek berpendapat bahwa mereka
menyukai aroma yang dimiliki oleh Rotiboy. Menurut kesepuluh subjek tersebut,
Rotiboy memiliki aroma yang sedap dan sering kali membuat mereka tergoda
untuk membeli Rotiboy. Kemampuan aroma Rotiboy membuat kesepuluh subjek
tersebut tergoda untuk kembali membeli Rotiboy dikarenakan adanya proses
belajar, dimanan kesepuluh subjek tersebut telah memiliki pengalaman
mengkonsumsi dan merasakan rasa Rotiboy, sehingga setiap kali mencium aroma
khas Rotiboy mereka akan langsung terbayang dengan rasa Rotiboy yang enak,
hal itulah yang membuat mereka tergoda untuk kembali membeli Rotiboy hanya
dengan mencium aroma Rotiboy saja. Proses pengulangan melalui aroma yang
diciptakan Rotiboy sesuai dengan konsep Classical Conditioning. Pendekatan
classical conditioning berpendapat bahwa organisme termasuk manusia adalah
bentuk yang pasif yang dapat dipertunjukkan sejumlah stimuli secara berulang-
10
ulang. Hingga akhirnya stimuli tersebut terkondisikan dan manusia pasti akan
menunjukkan respon yang sama untuk stimuli tersebut
Subjek NO secara spesifik menyebutkan bahwa aroma Rotiboy merupakan
stimuli penciuman yang tepat dan memiliki khas dibandingkan aroma roti yang
lain. Prinsip rangsangan penciuman dalam mempengaruhi perilaku seseorang
adalah sebagai berikut, konsumen memahami hubungan antara produk tertentu
dengan bau melalui belajar dan mengalaminya. Hal tersebut dibangun oleh
respons biologis dan prinsip pengkondisian klasik melalui proses pengulangan,
rangsangan penciuman dapat mempengaruhi sikap seseorang secara langsung.
Secara tidak sadar informasi dari organ penciuman dapat mempengaruhi perilaku
seseorang melalui hipotalamus yang mengontrol saraf otonom dan sistem
endokrin (Oh & Kim, 2009). Informasi semacam ini akan tersimpan dalam alam
bawah sadar dan ketika mereka mencium aroma yang sama di lain waktu, mereka
akan terpicu kembali ke restoran tersebut (Ferrinadewi, 2008). Aroma atau bau
tertentu dapat mempengaruhi emosi apakah itu rasa suka, rasa sebal, atau bahkan
perasaan tenang. Pemasar dapat memanfaatkan stimuli bau ini sebagai diferensiasi
produk, mempengaruhi perasaan, dan perilaku konsumen (Setiadi, 2003).
Pengalaman panca indera yang berkaitan dengan indera pengecap dapat
diperoleh konsumen melalui rasa makanan yang mereka konsumsi. Berdasarkan
hasil wawancara antara peneliti dengan kesepuluh subjek diketahui bahwa
kesepuluh subjek tersebut memiliki pengalaman panca indera yang berkaitan
dengan indera pengecap. Rata-rata kesepuluh subjek berpendapat Rotiboy
memiliki rasa yang enak dan unik, Rotiboy mampu membuat campuran yang tepat
antara rasa mocca, asin dari mentega yang ada didalamnya, serta rasa manis.
Subjek NO, GP dan NZ sama-sama memiliki pengalaman mencoba roti yang
serupa dengan Rotiboy yang dijual ditempat lain dan mereka berpendapat bahwa
rasa Rotiboy tidak bisa secara sempurna ditiru oleh tempat lain, Rotiboy tetap
memiliki rasa yang lebih enak bagi mereka.
Subjek DP dan NZ juga menambahkan bahwa keunggulan lain dari
Rotiboy yang tidak bisa mereka dapatkan ditempat lain adalah karena Rotiboy
selalu dibuat fresh setiap hari, konsumen dapat menikmati Rotiboy yang baru
matang dan masih hangat sehingga mereka dapat merasakan kerenyahan lapisan
luar Rotiboy yang tidak bisa mereka dapatkan toko roti lain. Hal ini selaras
dengan hasil penelitian Namkung dan Jang (Sahari, 2012) yang menunjukkan
bahwa cara penyajian makanan dan rasa adalah dua hal yang paling signifikan
terhadap kepuasan pelanggan dan intensi pembelian ulang. Bahkan, untuk
memuaskan pelanggan, penting untuk memastikan kisaran suhu makanan yang
tepat selama konsumsi. Subjek DA dan NZ memperlihatkan bahwa konsumen
lebih menyukai makanan yang masih hangat.
Kesepuluh subjek berpendapat bahwa kualitas rasa Rotiboy membuat
mereka lebih menyukai Rotiboy daripada roti yang serupa dengan Rotiboy yang
dibuat ditempat lain. KL dan DD secara lebih spesifik memperlihatkan kecintaan
mereka pada rasa Rotiboy, KL berpendapat bahwa Rotiboy memiliki rasa yang
mampu membuatnya ketagihan, sedangkan DD menyatakan bahwa dirinya
memiliki kefanatikan tersendiri dengan Rotiboy dan tidak ingin mencoba roti
yang serupa dengan Rotiboy yang dijual ditempat lain. Subjek LP, DP, KL, RS,
11
dan YM juga tidak memiliki ketertarikan untuk mencoba roti lain yang serupa
denga Rotiboy yang dijual ditempat lain. Ryu dan Han (Sahari, 2012), meneliti
kualitas makanan, yang meliputi rasa, nilai gizi, dan daya tarik visual. Penelitian
tersebut menunjukkan bahwa kualitas makanan merupakan komponen signifikan
dari kepuasan pelanggan di sektor makananan cepat saji. Sensory reseptor
konsumen berperan penting ketika mereka berinteraksi dengan produk bahkan
konsumen seringkali memiliki rasa suka yang tinggi untuk rasa tertentu
(Ferrinadewi, 2008).
3) Pendekatan Imajinatif
Konsep emotional branding yang ketiga adalah pendekatan imajinatif.
Pendekatan imajinatif dalam emotional branding dapat diwujudkan melalui desain
produk, kemasan, toko ritel, iklan, dan situs web, pendekatan imajinatif ini
memungkinkan sebuah merek menembus batas harapan dan meraih hati
konsumen dengan cara yang baru dan segar. Pendekatan imajinatif dapat
diperoleh konsumen Rotiboy melalui konsep dapur terbuka serta desain website
yang diterapkan Rotiboy.
Berdasarkan hasil wawancara antara peneliti dengan sembilan subjek
diketahui bahwa konsep dapur terbuka yang diterapkan oleh Rotiboy merupakan
sebuah konsep yang membuat Rotiboy menjadi menarik bagi mereka, konsep
tersebut mampu menjadi daya tarik tersendiri bagi Rotiboy. Subjek NO, LP, DA,
KL, RS, DD, dan FN mengakui bahwa konsep dapur terbuka tersebut cukup
mampu menjawab rasa penasaran konsumen tentang proses pembuatan Rotiboy.
Secara lebih jelas subjek NO, DA, LP, DD, dan NZ mengakui bahwa konsep
tersebut jarang dapat mereka temukan ditempat lain. Subjek NO juga
menambahkan bahwa konsep yang diterapkan Rotiboy sudah cukup menjawab
keinginan yang unik yang tidak bisa didapatkan di toko lain. Konsep dapur
terbuka ini juga diakui oleh kesembilan subjek tersebut mampu membuat mereka
lebih percaya akan kualitas dan kebersihan proses pembuatan roti. Pendekatan
imajinatif juga dapat diperoleh konsumen Rotiboy melalui website Rotiboy.
Bedasarkan hasil wawancara antara peneliti dengan kesepuluh subjek didapatkan
bahwa hanya subjek NO, LP, DA, KL dan RS yang pernah melihat website
Rotiboy. Kelima subjek tersebut menyatakan bahwa Rotiboy memiliki website
yang unik, subjek LP menyatakan bahwa bangunan-bagunan khas yang
ditampilkan di website Rotiboy untuk mewakili setiap cabang Rotiboy di setiap
negara membuat LP terkesan diajak berkeliling dunia.
Melalui konsep dapur terbuka serta konsep websitenya, Rotiboy terlihat
ingin berusaha menarik hati konsumennya dengan cara yang baru, Rotiboy
berusaha mewujudkan keinginan atau imajinasi konsumen misalnya untuk
mengetahui bagaimanan proses pembuatan roti atau makanan yang mereka
konsumsi. Rotiboy ingin membuat konsep yang unik yang kemudian dapat
membuat konsumen mereka mendapatkan pengalaman emosional yang tidak biasa
mereka dapat ditempat lain, dan berdasarkan hasil wawancara hal tersebut sudah
cukup tersampaikan pada konsumen mereka. Hal ini selaras dengan pendekatan
imajinatif dalam konsep emotional branding, yang bertujuan untuk mewujudkan
harapan dan meraih hati konsumen dengan cara yang baru dan segar.
12
4) Visi
Konsep dasar emotional branding yang keempat adalah visi. Visi dalam
emotional branding merupakan faktor utama kesuksesan merek dalam jangka
panjang. Merek berkembang melalui suatu daur hidup yang alami dalam pasar dan
untuk menciptakan serta memelihara keberadaan merek dalam pasar saat ini,
merek harus berada dalam kondisi keseimbangan sehingga bisa memperbarui
dirinya kembali secara terus-menerus. Pengalaman konsumen yang berkaitan
dengan visi dapat diperoleh konsumen salah satunya melalui kualitas produk.
Berdasarkan hasil wawancara antara peneliti dengan kesepuluh subjek,
diketahui bahwa menurut kesepuluh subjek tersebut Rotiboy memiliki rasa yang
konsisten. Kesepuluh subjek juga menambahkan pendapat mereka tentang
penerapan visi Rotiboy, menurut mereka Rotiboy sudah menerapkan visinya
dengan cukup baik, kesepuluh subjek tersebut menilainya dari sisi yang berbedabeda ada yang menilai dari sisi jumlah cabang, ada pula yang menilai dari sisi
produk, bentuk layanan, serta nilai misalnya melalui kemasan Rotiboy yang
terbuat dari kertas yang menurut subjek NO dan DA merupakan suatu wujud
kepedulian Rotiboy pada lingkungan hidup. Berdasarkan hasil wawancara antara
peneliti dengan sepuluh subjek tentang pengalaman konsumsi mereka yang
berkaitan dengan empat konsep dasar emotional branding dapat diketahui bahwa
setiap subjek memiliki pendapat dan persepsi yang berbeda mengenai emotional
branding.
Emotional branding dirasakan subjek NO melalui bentuk pelayanan yang
ramah dan cepat sehingga membuat NO merasa dihargai dan meningkatkan
loyalitasnya sebagai konsumen. Perasaan nyaman dan betah yang dirasakan NO
saat berada didalam toko Rotiboy dapat timbul karena adanya penataan interior
yang baik didalam toko serta penerapan konsep dapur terbuka. Melalui konsep
dapur terbuka NO dapat melihat secara langsung proses pembuatan roti,
penerapan konsep ini merupakan hal yang menarik bagi NO serta membuatnya
semakin percaya dengan kualitas Rotiboy. NO juga menambahakan bahwa
pemilihan warna khas Rotiboy mampu menimbulkan rasa lapar, menarik, dan eyes
cathcing. Rasa dan aroman roti yang enak, membuat NO tergoda untuk kembali
membeli Rotiboy. Kecintaan NO terhadap Rotiboy semakin bertambah karena
konsistensi kualitas yang selalu diberikan Rotiboy serta penerapan visi Rotiboy
berupa kepeduliannya terhadap lingkungan sekitar serta beberapa kegiatan amal
yang pernah diikuti Rotiboy. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa
NO dapat merasakan emotional branding yang diterapkan oleh Rotiboy.
Emotional branding dirasakan subjek LP melalui pelayanan yang ramah,
cepat, dan adil. Bentuk pelayanan tersebut membuat LP merasa dihargai sebagai
konsumen. Ketertarikan LP terhadap Rotiboy semakin bertambah karena adanya
penerapan konsep dapur terbuka yang membuat LP dapat melihat proses
pembuatan roti dan berpengaruh terhadap semakin meningkatkan kepercayaan LP
terhadap kebersihan Rotiboy. LP merasa bahwa rasa dan aroma Rotiboy yang
enak serta konsistensi kualitas yang selalu diberikan Rotiboy membuat LP ingin
kembali membeli Rotiboy dan bersedia membayar berapapun untuk mendapatkan
Rotiboy. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa LP dapat merasakan
emotional branding yang diterapkan oleh Rotiboy.
13
Emotional branding dirasakan subjek DA melalui pelayanan yang ramah
dan sigap. Bentuk pelayanan tersebut membuat DA merasa senang dan dihargai
sebagai konsumen. Kesetiaan DA untuk selalu memilih Rotiboy dibandingkan roti
serupa yang dijual ditoko lain dapat timbul karena rasa dan aroma Rotiboy yang
enak serta roti yang selalu disajikan hangat setiap hari. Penataan interior yang
baik didalam toko Rotiboy membuat DA merasa nyaman saat berada didalam toko
Rotiboy, selain itu ketertarikan DA saat berada didalam toko Rotiboy semakin
bertambah karena adanya penerapan konsep dapur terbuka yang mampu
menambah kepercayaan DA terhadap Rotiboy. Menurut DA, konsistensi kualitas
serta penerapan visi Rotiboy yang baik mampu mendatangkan banyak pelanggan
baru bagi Rotiboy. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa DA dapat
merasakan emotional branding yang diterapkan oleh Rotiboy.
Emotional branding dirasakan KL melalui pelayanan yang adil, ramah,
dan cepat. Bentuk pelayanan tersebut membuat KL sebagai konsumen merasa
senang dan dihargai. Perasaan senang KL terhadap Rotiboy semakin bertambah
karena konsistensi kualitas produk Rotiboy yang merupakan salah satu bentuk
nyata penerapan visi Rotiboy. Keinginan KL untuk terus kembali membeli
Rotiboy timbul karena aroma dan rasa Rotiboy yang enak, selain itu aroma
Rotiboy juga mampu membuat KL semakin mudah mengingat Rotiboy. Penerapan
konsep dapur terbuka, pemilihan warna khas Rotiboy, serta penataan interior yang
baik menjadi hal yang menarik bagi KL dan membuatnya nyaman saat berada
didalam toko Rotiboy. Semakin meningkatnya kepercayaan KL terhadap kualitas
Rotiboy juga dapat bertambah karena adanya penerapan konsep dapur terbuka.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa KL dapat merasakan
emotional branding yang diterapkan oleh Rotiboy.
Emotional Branding dirasakan RS melalui pelayanan yang ramah, sopan,
dan sigap. Bentuk pelayanan tersebut membuat RS merasa nayaman dan
dihormati sebagai konsumen. Pemilihan warna khas, penataan interior, serta
penerapan konsep dapur terbuka mampu menarik perhatian RS sebagai konsumen.
Penerapan dapur terbuka mampu menambah kepercayaan RS terhadap kebersihan
Rotiboy. Keinginan RS untuk kembali membeli Rotiboy dapat timbul karena rasa
dan aroma Rotiboy yang enak serta konsistensi kualitas produk Rotiboy, bahkan
RS bersedia membayar berapapun untuk bisa mendapatkan Rotiboy. Berdasarkan
penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa RS dapat merasakan emotional branding
yang diterapkan oleh Rotiboy.
Emotional branding dirasakan YM melalui rasa roti yang enak, unik, dan
aroma roti yang khas dengan aroma kopi. Hal inilah yang membuat YM yang
sebelumnya sama sekali tidak menyukai roti yang diproduksi toko manapun
menjadi tertarik untuk mencoba Rotiboy dan kemudian menyukainya. Konsistensi
kualitas produk Rotiboy serta perasaan menemukan kembali roti yang biasa dijual
di jaman dahulu melalui tekstur roti yang dimiliki Rotiboy membuat YM selalu
setia dengan Rotiboy dan tidak tertarik untuk mengkonsumsi produk roti yang
lain. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa YM dapat merasakan
emotional branding yang diterapkan oleh Rotiboy.
Emotional branding dirasakan DD melalui penataan desain interior yang
unik serta penerapan konsep dapur terbuka yang merupakan hal menarik bagi DD,
14
konsep dapur terbuka juga mempu membuat DD merasa lebih percaya dengan
kualitas Rotiboy. Keinginan untuk kembali membeli Rotiboy serta persaan fanatik
terhadap Rotiboy yang dirasakan DD timbul karena rasa dan aroma Rotiboy yang
enak dan unik serta konsistensi kualitas produk Rotiboy. Berdasarkan penjelasan
tersebut dapat dilihat bahwa DD dapat merasakan emotional branding yang
diterapkan oleh Rotiboy.
Emotional branding dirasakan GP melalui pelayanan yang cepat, bentuk
pelayanan tersebut mampu menyenangkan hati GP sebagai konsumen karena tidak
perlu harus menunggu lama saat kondisi antri. Perasaan senang sebagai konsumen
Rotiboy juga timbul karena konsistensi kualitas produk yang selalu dipegang oleh
Rotiboy. Perasaan nyaman yang dirasakan GP saat berada didalam toko Rotiboy
timbul karena desain interior toko Rotiboy yang unik. Rasa dan aroma roti yang
enak, gurih, dan khas membuat GP ingin kembali membeli Rotiboy. Kepercayaan
GP terhadap kualitas Rotiboy semakin bertambah karena penerapan dapur
terbuka. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa GP dapat merasakan
emotional branding yang diterapkan oleh Rotiboy.
Emotional branding dirasakan NZ melalui aroma dan rasa Rotiboy yang
enak serta roti yang selalu dibuat baru dan disajikan hangat setiap hari. Hal ini
membuat NZ setia dengan Rotiboy, NZ tidak mau membeli roti yang serupa
dengan Rotiboy yang dibuat oleh toko roti lain. Ilustrasi berupa gambar adonan
roti sampai roti tersebut mengembang yang ada didalam iklan Rotiboy merupakan
suatu daya tarik yang mampu membuat NZ membayangkan rasa Rotiboy yang
enak. Kepercayaan NZ terhadap kualitas produk Rotiboy semakin bertambah
karena adanya penerapan dapur terbuka. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat
dilihat bahwa NZ dapat merasakan emotional branding yang diterapkan oleh
Rotiboy.
Emotional branding dirasakan FN melalui pelayanan yang cepat dan
sopan, bentuk pelayanan ini dapat memunculkan perasaan senang pada diri FN
sebagai kosumen. Aroma dan rasa roti yang enak, mampu membuat FN setia
dengan Rotiboy, FN tidak tertarik untuk membeli roti yang serupa dengan Rotiboy
yang dijual di toko lain. Pengalaman FN yang pernah mencoba beberapa roti yang
serupa dengan Rotiboy yang dijual di toko lain mampu membuat FN
menyimpulkan bahwa Rotiboy tetap memiliki rasa yang paling enak. Penerapan
konsep dapur terbuka didalam toko Rotiboy mampu mebuat FN semakin percaya
dengan kualitas Rotiboy. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa FN
dapat merasakan emotional branding yang diterapkan oleh Rotiboy.
Keempat konsep emotional branding tidak lepas dari proses persepsi dan
belajar konsumen dalam proses mempengaruhi dan memunculkan emosi pada
konsumen, karena pembelajaran dan persepsi merupakan 2 konsep yang erat
kaitannya. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa dalam proses persepsi
faktor-faktor yang paling terlihat berperan sebagai stimuli pemasaran adalah
aroma, rasa, dan desain interior didalam ruangan.
Saat menerima stimuli berupa aroma, muncul banyak persepsi dari subjek
beberapa diantaranya adalah manis, enak, gurih dan rasa kopi. Persepsi-persepsi
rasa yang muncul karena aroma tersebut kemudian memunculkan emosi berupa
keinginan untuk membeli Rotiboy. Dalam hal desain interior pemilihan warna
15
serta penerangan didalam toko juga menimbulkan persepsi konsumen yang
diantaranya adalah warna kuning dapat membuat lapar, warna cream
menimbulkan kesan hangat dan penerangan yang tidak terlalu terang
menimbulkan kesan dingin. Persepsi tersebut membuat subjek cukup nyaman
berada didalam toko. Cimbalo dkk, menguji hubungan antara warna dan emosi,
dan menunjukkan bahwa warna kuning, oranye, dan biru sebagai warna bahagia
(Singh, 2006).
Proses persepsi yang terdiri dari paparan hingga interpretasi menyediakan
bahan-bahan mentah bagi berlangsungnya proses belajar (Ferrinadewi, 2008).
Persepsi-persepsi konsumen yang muncul karena adanya aroma Rotiboy yang
selalu mereka dapatkan setiap kali sedang melewati toko Rotiboy memunculkan
kembali ingatan mereka mengenai rasa enak Rotiboy, hal tersebut kemudian
membuat subjek kembali ingin membeli Rotiboy setiap kali menghirup aroma
tersebut. Hal ini merupakan bentuk dari penerapan classical conditioning dalam
pemasaran dimana ada sebuah stimulus yang diberikan secara berulang sehingga
membuat konsumen selalu ingat dengan pengalaman mereka setiap kali bertemu
dengan stimulus tersebut. Penerapan cognitive learning theories juga terlihat
dalam proses belajar konsumen, hal tersebut terlihat dari bagaimana subjek
menerima konsep hubungan dan konsep visi yang berupa pelayanan dan kualitas
serta penerapan visi Rotiboy. Teori cognitive learning theories menekankan pada
proses mental yang terjadi, artinya proses belajar terjadi ketika seseorang
memproses informasi dengan menggunakan proses mental yang disadari.
Menurut Setiadi (2003), konsumen berhubungan dengan informasi produk
atau jasa melalui tiga cara yaitu melalui pengalaman penggunaan pribadi secara
langsung, pemasar menggunakan berbagai macam strategi seperti uji coba di toko
atau contoh gratis agar konsumen mendapat kesempatan mengalami sendiri
penggunaan suatu produk, dan melalui pencerminan pengalaman penggunaan
produk, yaitu konsumen mendapatkan suatu pengetahuan secara tidak langsung
melalui pengamatan terhadap orang yang telah menggunakan produk tersebut.
Berdasarkan wawancara dapat diketahui bahwa subjek NO, DA, KL, YM, DD,
GP, NZ dan FN mengalami proses belajar dengan mendapatkan informasi
mengenai Rotiboy melalui pengalaman mereka sendiri dalam mengkonsumsi
Rotiboy. Subjek LP dan RS mengalami proses belajar dengan mendapatkan
informasi melalui cerita orang lain dan pengamatan mereka terhadap orang
disekitar mereka yang mengkonsumsi Rotiboy yang kemudian mendorong mereka
untuk ikut mengkonsumsi Rotiboy.
Keempat konsep dasar emotional branding juga tidak lepas dari proses
terjadinya emosi dalam mempengaruhi konsumen. Berdasarkan hasil wawancara
terdapat beberapa faktor yang berperan sebagai stimulus yaitu pelayanan, aroma,
rasa, penataan interion didalam toko dan kualitas produk. Stimulus berupa
pelayanan yang ramah yang ditandai dengan seyuman dari karyawan Rotiboy,
sopan, adil dan cepat, memunculkan emosi positif berupa perasaan senang pada
konsumen yang kemudian membuat mereka bersedia untuk kembali membeli
Rotiboy. Stimulus berupa aroma yang memunculkan banyak persepsi seperti
gurih, manis, dan enak memunculkan emosi berupa keinginan untuk membeli
Rotiboy. Stimulus berupa rasa roti yang enak memunculkan emosi positif pada
16
konsumen berupa rasa senang karena menikmati rasa roti yang enak.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan dalam hal faktor
emotional branding yang dominan dalam pembentukan emotional branding pada
masing-masing subjek. Jika pada konsep dasar emotional branding terdapat empat
konsep dasar utama untuk membentuk emotional branding, penelitian ini
menunjukkan tidak semua konsep dasar tersebut berperan sama besar dalam
membentuk emotional branding pada setiap subjek. Hal tersebut dikarenakan
beberapa subjek yang memiliki pengalaman kurang menyenangkan yang
berkaitan dengan salah satu konsep dasar emotional branding, selain itu ada
seorang subjek yang justru tidak sepenuhnya memiliki pengalaman yang berkaitan
dengan empat konsep dasar tersebut.
Keseluruhan konsep emotional branding terlihat memiliki peran yang
sama besar dalam pembentukan emotional branding pada subjek NO, LP, DA,
KL, RS dan FN. Faktor yang dominan dalam membentuk emotional branding
pada subjek YM adalah pengalaman panca indera dan visi. Faktor dominan yang
membentuk emotional branding pada subjek DD adalah pengalaman panca
indera terutama yang berkaitan dengan indera penciuman dan indera pengecap,
pendekatan imajinatif dan visi, sedangkan pada subjek GP faktor yang dominan
dalam pembentukan emotional branding adalah pengalaman panca indera dan
visi. Faktor yang dominan dalam pembentukan emotional branding pada subjek
NZ adalah pengalaman panca indera terutama yang berkaitan dengan indera
penciuman dan indera pengecap, pendekatan imajinatif, dan visi.
Konsep pengalaman panca indera serta visi merupakan dua faktor yang
selalu muncul sebagai faktor dominan dalam pembentukan emotional branding
pada setiap subjek. Melalui hasil wawancara dapat diperoleh gambaran bahwa
bagi kesepuluh subjek pengalaman panca indera terutama dalam hal rasa dan
aroma serta visi yang berkaitan dengan kualitas makanan merupakan prioritas
utama bagi mereka dalam memilih makanan termasuk saat mereka memilih
Rotiboy sebagai salah satu makanan favorit mereka, karena menurut kesepuluh
subjek tersebut Rotiboy sudah memenuhi kriteria makanan yang mereka cari.
Bahkan bagi subjek DD, NZ, dan GP yang pernah memiliki pengalaman kurang
menyenangkan selama menjadi pelanggan Rotiboy yang berkaitan dengan konsep
hubungan, hal tersebut tidak terlalu mempengaruhi keterikatan mereka dengan
Rotiboy. Hal tersebut selaras dengan pendapat Ryu dan Han (Sahari, 2012) yang
meneliti kualitas makanan, yang meliputi rasa, nilai gizi, dan daya tarik visual.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kualitas makanan merupakan komponen
signifikan dari kepuasan pelanggan di sektor makananan cepat saji. Namkung dan
Jang (Sahari, 2012) menunjukkan bahwa cara penyajian makanan dan rasa adalah
dua hal yang paling signifikan terhadap kepuasan pelanggan dan intensi
pembelian ulang. Bahkan, untuk memuaskan pelanggan, penting untuk
memastikan kisaran suhu makanan yang tepat selama konsumsi. Menurut
kesepuluh subjek Rotiboy memiliki rasa yang enak dan unik, ditambah lagi
Rotiboy selalu disajikan kepada konsumen saat masih hangat, hal tersebut diakui
subjek sebagai salah satu keunikan Rotiboy yang tidak dapat diperoleh di toko roti
yang lain.
17
Pengalaman-pengalaman yang menyenangkan yang didapatkan subjek dari
penerapan konsep dasar emotional branding menciptakan satu ikatan emosional
antara subjek sebagai pelanggan dengan Rotiboy. Setiap subjek dalam penelitian
ini mendapatkan berbagai stimulus yang berhubungan dengan empat konsep dasar
emotional branding, stimulus tersebutlah yang kemudian membentuk emotional
branding pada diri mereka melalui proses terjadinya emosi yang kemudian
memunculkan emosi-emosi positif yang salah satunya berupa rasa senang selama
proses pembelian maupun saat mengkonsumsi Rotiboy.
VALIDITAS DAN RELIABILITAS
Validitas dan reliabilitas data yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan metode triangulasi data yaitu triangulasi sumber dan triangulasi
metode.
1) Triangulasi Sumber
Triangluasi sumber dilakukan dengan mengumpulkan data dan mengecek
kesabsahan informasi melalui sumber yang berbeda (Bachri, 2010). Triangulasi
sumber dilakukan dengan melakukan wawancara pada kesepuluh subjek dan
juga melakukan wawancara dengan subjek sekunder yang adalah orang-orang
terdekat kesepuluh subjek tersebut. Setiap subjek dalam penelitian ini memiliki
subjek sekunder untuk memastikan kebenaran informasi yang didapat dari
kesepuluh subjek.
2) Triangulasi Metode
Triangulasi metode dilakukan dengan menggunakan lebih dari satu teknik
pengumpulan data untuk mendapatkan data yang sama (Bachri, 2010).
Penelitian ini menggunakan dua teknik pengumpulan data yaitu wawancara
dan observasi. Peneliti mencocokan hasil wawancara dengan hasil observasi.
3) Triangulasi Waktu
Triangulasi waktu digunakan untuk validitas data yang berkaitan dengan
perubahan suatu proses dan perilaku manusia, karena perilaku manusia
mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Wawancara dalam penelitian ini
dilakukan sebanyak dua kali, hal tersebut dimaksudkan untuk memperoleh
konsistensi jawaban dari subjek.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh dari penelitian ini, dapat
ditarik kesimpulan mengenai hasil penelitian, bahwa:
1. Kesembilan subjek dalam penelitian ini memiliki pengalaman konsumsi yang
berkaitan dengan empat konsep dasar emotional branding yaitu hubungan,
pengalaman panca indera, pendekatan imajinatif, dan visi, sedangkan satu
orang subjek hanya memiliki pengalaman yang berkaitan dengan dua konsep
dasar emotional branding yaitu pengalaman panca indera dan visi.
2. Konsep hubungan yang dirasakan subjek didapatkan melalui pelayanan yang
adil dan cepat. Konsep pengalaman panca indera yang dirasakan subjek
didapatkan melalui aroma dan rasa Rotiboy. Konsep pendekatan imajinatif
yang dirasakan oleh subjek didapatkan melalui konsep dapur terbuka yang
diterapkan oleh Rotiboy. Konsep visi yang dirasakan subjek didapatkan melalui
18
kualitas Rotiboy yang selalu konsisten.
3. Konsep pengalaman panca indera dan konsep visi merupakan dua konsep dasar
emotional branding yang paling menonjol dalam pembentukan emotional
branding pada pelanggan Rotiboy. Hal ini didasarkan pada pengalaman subjek,
dimana kesepuluh subjek memiliki pengalaman yang baik berkaitan dengan
konsep pengalaman panca indera dan konsep visi. Berkaitan dengan konsep
hubungan dan konsep pendekatan imajinatif, terdapat satu orang subjek yang
tidak memiliki pengalaman yang berkaitan dengan kedua konsep tersebut dan
tiga orang subjek yang memiliki pengalaman kurang menyenangkan yang
berkaitan dengan konsep hubungan dan satu orang subjek yang kurang
memiliki ketertarikan terhadap konsep pendekatan imajinatif.
4. Penelitian ini menunjukkan, pengalaman kurang menyenangkan yang
dirasakan subjek berkaitan dengan dua konsep dasar emotional branding yaitu
hubungan dan pendekatan imajinatif tidak terlalu berdampak besar pada
pembentukan emotional branding pada pelanggan Rotiboy. Hal ini dikarenakan
kesepuluh subjek lebih memperhatihakan kualitas, aroma, dan keunikan rasa
Rotiboy.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka peneliti
mengemukakan beberapa saran. Saran-saran ini diharapkan dapat berguna untuk
perkembangan kelanjutan studi ilmiah dalam bidang kajian yang sama.
1. Saran Metodologis
Berkaitan dengan kekuatan setiap konsep dasar emotional branding dalam
berperan membentukan emotional branding perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut dengan menggunakan metode kuantitatif sehingga dapat melibatkan
lebih banyak subjek agar dapat lebih memperkaya data. Emotional branding
tergolong hal yang baru, karena itu dibutuhkan lebih banyak penelitian untuk
dapat mengetahui lebih banyak lagi mengenai emotional branding. Peneliti
selanjutnya diharapkan untuk memberbanyak referensi yang berkaitan dengan
emotional branding sehingga dapat memperkaya kajian teori yang berkaitan
dengan emotional branding.
2. Saran Praktis
Diharapkan setelah mengetahui bagaimana konsep dasar emotional branding
dalam membentuk emotional branding pada konsumen Rotiboy, pihak Rotiboy
dapat lebih memperhatikan kualitas pelayanan serta fasilitas didalam toko
terutama dalam hal luas toko yang masih perlu diperbaiki berkaitan dengan
empat konsep dasar emotional branding agar kedepannya perbaikan tersebut
dapat semakin memperkuat ikatan antara Rotiboy dengan konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
Bachri, B.S. (2010). Meyakinkan Validitas Data Melalui Triangulasi Data Pada
Penelitian Kualitatif. Jurnal Teknologi Pendidikan Universitas Negeri
Surabaya. Vol. 10. No.1 Diunduh dari : http://jurnal-teknologipendidikan.tp.ac.id/meyakinkan-validitas-data-melalui-triangulasi-padapenelitian kualitatif. pdf. Tanggal : 11 April 2012
Emzir. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif : Analisis Data. Jakarta : PT.
19
Rajagrafindo Persada.
Feldman, R. (2012). Pengantar Psikologi : Understanding Psychology. Jakarta :
Salemba.
Ferrinadewi, E. (2008). Merek dan Psikologi Konsumen. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Gobe, M. (2001). Emotional Branding : Paradigma Baru Menghubungkan Merek
Dengan Pelanggan. Jakarta : Erlangga.
Griffin, J. (2003). Customer Loyalty : Menumbuhkan dan Mempertahankan
Kesetiaan Pelanggan. Jakarta : Erlangga
Miles, M. B., & Huberman, A.M. (1992). Analisis Data Kualitatif : Buku Sumber
Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta : UI-Press.
Musanto, T. (2004). Faktor-Faktor Kepuasan Pelanggan dan Loyalitas Pelanggan :
Studi Kasus pada CV. Sarana Media Advertising Surabaya. Jurnal
Manajemen dan Kewirausahaan. Vol. 6. No. 2. Diunduh dari :
http://www.google.com/url. Tanggal : 17 April 2013.
Oh, H., Lee, W., & Kim, M.S. (2009). A Study on an Effect of Olfactory
Stimulation on Product Image by the Type of the Product : Focused on
scent-related, fashion, and high technology products. Diunduh dari :
http://gsct3237.kaist.ac.kr/. Tanggal : 22 Februari 2013.
Singh, S. (2006). Current Research Development Impact Of Color on Marketing.
Management Decision. Vol.44. No.6. Diunduh dari : http://personal.
Stevens.edu/~rchen/creativity/impact%20of%20color%20on%20
marketing.pdf. Tanggal : 24 Februari 2013.
Sahari, N., Basir, N.M., & Jangga, R . (2012). Factors Of Food Dimension
Affecting Customer Satisfaction In Family Restaurants. 3rd International
Conference On Business And Economic Research ( 3rd Icber 2012 )
Proceeding. Diunduh dari : http://www.internationalconference.com.my
/proceeding/3rd_icber2012_proceeding/194_257_3rdICBER2012_Proceed
ing_PG2831_2846.pdf.
Setiadi, N.I. (2003). Perilaku Konsumen : Konsep dan Implikasi untuk Strategi
dan Penelitian Pemasaran. Jakarta : Prenada Media Group.
Suratna., & Pujiastuti, E.E. (2008). Membangun Kepercayaan Investor Melalui
Emotional Branding. Jurnal Masalah Sosial. Vol. 12. No. 1 Diunduh dari :
http://isjd.pdii.lipi.go.idatauadminataujurnalatau21085266.pdf. Tanggal : 7
Februari 2013.
Susanto, A.B., & Wijanarko, H. (2004). Power Branding : Membangun Merek
Unggul Dan Organisasi Pendukungnya. Jakarta : Quantun Bisnis dan
Manajemen.
Walgito, B. (2004). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta : Andi Offset
Wood, L. (2000). Brands and Brand Equity: Definition and Management.
Management
Decision.
Vol.
38.
No.9.
Diunduh
dari:
http://www.metroas.no/ Artikler/33Brandsmanagement.pdf. Tanggal : 13
Maret 2013.
20
Download