BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penurunan fungsi kognitif tidak hanya dialami oleh orang lanjut usia, namun juga dialami oleh anak-anak dan usia produktif. Hal tersebut akan berakibat buruk terhadap proses belajar. Pada manusia dan tikus, terdapat korelasi antara penurunan fungsi kognitif dengan akumulasi senyawa oksidatif pada lemak, protein, asam nukleat, dan berbagai neurotransmitter sehingga terjadi penumpukan senyawa radikal dalam tubuh yang menyebabkan kerusakan oksidatif. Penelitian telah membuktikan bahwa patogenesis dari penyakit-penyakit degeneratif dan proses penuaan melibatkan pembentukan radikal bebas atau ROS. Radikal bebas merupakan senyawa yang tidak stabil dan sangat reaktif karena mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Untuk memperoleh pasangan elektron, suatu radikal bebas akan menyerang secara acak (Sunarno, 2009). Bagian otak yang berperan dalam proses konsolidasi memori adalah hippocampus. Akson yang terdapat pada etorhinal cortex bersinapsis dengan neuron yang terdapat pada dentate gyrus. Informasi masuk ke hippocampus dengan cara menyebrangi celah antara subiculum dan dentate gyrus yang dikenal dengan perforant path. Neuron-neuron dentate gyrus mengirim mossy fiber (akson dengan terminal bulbous yang besar dan tidak berhubungan 1 2 dengan cerebrum) ke CA3. Informasi kemudian diteruskan akson Schaffer collateral ke CA1 yang kemudian mengirimkan serabut lain ke subiculum. Informasi direspon sebagai output dari hippocampus serta dapat mengirim informasi ke hipothalamus dan korpus mamilar melalui forniks atau meneruskan informasi kembali ke etorhinal cortex. Etorhinal cortex menyampaikan semua informasi ke korteks sensoris. Pada dasarnya terjadi aliran yang berlanjut dimulai dari korteks sensoris hippocampus (loop-theloop) dan kembali ke korteks sensoris (Molavi, 1997). Konsentrasi antioksidan yang rendah menyebabkan jaringan otak lebih rentan terhadap kerusakan akibat adanya stres oksidatif. Hippocampus dan cerebelum merupakan bagian otak yang paling rentan mengalami kerusakan karena memiliki kapasitas antioksidan paling rendah (Henderson et al., 1999). Hal ini memunculkan berbagai usaha untuk mencegah stres oksidatif pada otak. Salah satunya adalah dengan mengkonsumsi suplemen yang terbukti mampu meningkatkan kapasitas memori. Masyarakat sekarang ini cenderung mengikuti tren back to nature sehingga penggunaan suplemen herbal banyak diminati. Hal ini disebabkan karena anggapan masyarakat bahwa obat herbal memiliki efek samping yang lebih sedikit. Oleh sebab itu, diperlukan penelitian mengenai efek obat herbal, baik efek terapetiknya maupun toksisitasnya. Brotowali merupakan tanaman yang mudah ditemukan di Indonesia. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa brotowali mempunyai efek farmakologi sebagai antioksidan, antihiperglikemik, antineoplastik, antistres, antidot, antispasmodik, antipiretik, antialergi, antiinflamasi, antihiperlipidemia, 3 dan juga sebagai imunomodulator (Sharma et al., 2010). Dua et al., (2009) menyebutkan bahwa brotowali telah dikenal lama untuk meningkatkan learning dan memori dalam pengobatan tradisional di India. Uji farmakologi dan penelitian klinis menyatakan bahwa ekstrak air akar brotowali meningkatkan kemampuan verbal selama 21 hari (Bairy, 2004). Penelitian lain menyebutkan bahwa brotowali mampu meningkatkan intelegensi pada anakanak yang mengalami retardasi mental dan gangguan perilaku (Singh et al., 2003). Senyawa aktif yang diduga berperan dalam meningkatkan memori adalah flavonoid. Flavonoid merupakan antioksidan alami yang terdapat dalam tanaman. Flavonoid diketahui dapat menghambat radikal oksigen dengan cara mendonorkan atom hidrogen atau elektron kepada radikal bebas. Penelitian Suryani (2010) menyatakan bahwa aktivitas antioksidan dari flavoinoid pada batang brotowali paling tinggi terdapat dalam fraksi etil asetat. Sehingga, dalam penelitian ini digunakan fraksi etil asetat batang brotowali untuk mengetahui efek neuroprotektifnya. Efek neuroprotektif ditunjukkan oleh peningkatan memori dan fungsi kognitif, serta kepadatan sel piramidalis CA1 hippocampus. 4 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaruh pemberian fraksi etil asetat batang brotowali terhadap peningkatan memori dan fungsi kognitif pada mencit serta pengaruhnya terhadap profil histologi lamina piramidalis CA1 hippocampus? 2. Bagaimana pengaruh variasi dosis yang diberikan terhadap peningkatan memori dan fungsi kognitif mencit setelah diberi shock listrik berdasarkan metode passive avoidance test? 3. Bagaimana korelasi antara tampilan memori mencit dengan profil histologi lamina piramidalis CA1 hippocampus mencit setelah diberi shock listrik dan fraksi etil asetat batang brotowali? C. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai efek fraksi etil asetat batang brotowali di bidang neurofarmakologis dan menjadi terapi alternatif dalam mencegah penurunan memori dan fungsi kognitif. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberi manfaat berupa : 1. Diperoleh informasi mengenai efek fraksi etil asetat batang brotowali untuk meningkatkan memori dan fungsi kognitif melalui pemberian shock listrik pada passive avoidance test serta profil histologi lamina piramidalis CA1 hippocampus. 5 2. Diperoleh informasi mengenai pemberian dosis yang esensial sebagai dasar ilmiah pemberian brotowali kepada manusia. D. Tujuan Penelitian Pengaruh brotowali terhadap fungsi farmakologis telah banyak diketahui. Namun, belum terdapat pengkajian mengenai efek fraksi etil asetat batang brotowali. Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengkaji pengaruh pemberian fraksi etil asetat batang brotowali terhadap peningkatan memori dan fungsi kognitif pada mencit dan pengaruhnya terhadap profil histologi lamina piramidalis CA1 hippocampus. 2. Membandingkan pengaruh variasi dosis yang diberikan terhadap peningkatan memori dan fungsi kognitif mencit setelah diberi shock listrik berdasarkan metode passive avoidance test. 3. Mengetahui korelasi antara tampilan memori mencit dengan profil histologi lamina piramidalis CA1 hippocampus mencit setelah diberi shock listrik dan pemberian fraksi etil asetat batang brotowali. 6 E. Tinjauan Pustaka 1. Brotowali a. Taksonomi Klasifikasi tanaman brotowali dalam kategori taksa adalah sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Suku : Menispermaceae Marga : Tinospora Jenis : Tinospora crispa (L.) Miers ex Hook.f. & Thoms. (Backer dan Brink, 1965) Gambar 1. Brotowali (Tinospora crispa (L.) Miers ex Hook.f. & Thoms) (Praman et al., 2011) Sinonim dari tanaman brotowali adalah Cocculus crispus DC, Cocculus cordifolius Walp., Cocculus villosus DC., Menispermum crispum 7 Linn., Menispermum tuberculatum Lamk, Menispermum verrucosum flem, Menispermum rimosum Blanco, Tinospora cordifolia F.-Vill., Tinospora rumphii Boerl, Tinospora perculata Beumee, Tinospora tuberculatum Lamk. (Dweck dan Cavin, 2007; Heyne, 1987; Sudarsono et al., 2006). Di daerah Jawa, tanaman brotowali dikenal sebagai antawali, putrawali, daun gadel, dan bratawali. Di Sunda, Nusa Tenggara, Bali, dan Madura, disebut dengan antawali (Depkes, 1978). b. Morfologi tumbuhan Perdu memanjat, tinggi batang sampai 2,5 cm, berkutil-kutil yang rapat, pepagannya mudah terkelupas. Daun tunggal, bertangkai, tersebar, panjang sampai 16 cm, bentuknya seperti jantung atau agak membundar telur tapi berujung runcing, lebar 6 cm sampai 13 cm. Daun menebal pada pangkal dan ujung. Perbungaan majemuk, berbentuk tandan semu dengan 1 sampai 3 bunga bersama – sama, menggantung panjang 7 cm sampai 25 cm. Bunga (jantan) bergagang pendek 3 mm sampai 4 mm, kelopak 6, hijau, panjang lebih kurang 3,5 cm, daun mahkota 3, panjang lebih kurang 8 mm. Buah berupa buah batu, kecil, dan berwarna hijau. Akar tunggang berwarna putih kotor (Depkes, 1978; BPOM, 2008). c. Ekologi Brotowali tersebar di daerah tropis dan sub tropis, seperti Afrika, Madagaskar, Asia yang tersebar hingga ke Australia dan Pasifik. Tumbuh di hutan, semak, dan pagar hingga ketinggian 1.000 dpl (BBPPTOOT, 2010). 8 d. Budidaya Brotowali mudah diperbanyak dengan stek batang yang biasanya memanjat melingkari tumbuhan lain. Tanaman ini memerlukan pohon sandaran sebagai tumpuan untuk memanjat ke atas (Depkes, 1978). e. Kandungan kimia Daun dan batang brotowali mengandung zat pahit berupa alkaloid, saponin, tanin, polifenol, pati, dan glikosida, sedangkan batangnya mengandung flavonoid (Depkes, 1978). Alkaloid yang terdapat dalam brotowali antara lain aporfin, berberin, N-asetilnornusiferin, N-formil-annonian, N-formil-nornusiferin, dan palmatin. Alkaloid berberin hanya ditemukan pada akar tetapi tidak ditemukan pada daun dan batang (Sudarsono et al., 2006). Kandungan brotowali adalah flavonoid antara lain diosmetin, apigenin O-glikosida (apiin) dan pikroretosida. Glikosida yang terkandung dalam brotowali yaitu kolumbin, tinokrisposid, dan pikroretosida. Komponen alifatik berupa oktakosanol, heptakosanol, nonakosan-15-on. Komponen lain yang terkandung dalam brotowali berupa senyawa fenolik antara lain 3,(α- 4 - dihidroksi - 3 - metoksi - benzil) - 4 - (4 - hidroksil - 3 - metoksi benzil) tetrahidrofuran, jatrorrihizin, tinosporidin, kordifol, kordifelon, giloin, giloinin, N-cis-feruloiltiamin, N-trans-feruloiltiamin, dan sekoisolarisiresinol (fenil propanoid). Sedangkan komponen steroid terdiri dari giloinsterol, β-sitosterol, δ-sitosterol, 20-α-hidroksi ekdison, 20β- 9 hidroksi ekdison, ekdisteron, dan makisteron A. (Ling et al., 2009; BBPPTOOT, 2010; Singh et al., 2003; Dweck dan Cavin, 2007). Apigenin merupakan antioksidan, antialergenk, dan antivirus. N-cis feruloiltiramin, N-trans-feruloiltiramin, dan sekoisolarisiresinol yang diisolasi dari ekstrak dikloretan memiliki aktivitas antioksidan berdasarkan metode β-karoten-linoleat. Isolat bergenin dari ekstrak etanol batang brotowali memiliki aktivitas sebagai penangkap radikal bebas (Dweck dan Cavin, 2007). Berdasar penelitian Chantong et al. (2008) ekstrak etanolik batang brotowali memiliki aktivitas antioksidan dengan IC50 0,141±0,033 mg/ml pada uji penangkapan radikal 2,2-Difenil-1-Pikrilhidrazil (DPPH). f. Efek farmakologi Brotowali telah lama dikenal sebagai tanaman obat tradisional. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa brotowali memiliki efek sebagai antioksidan, antihiperglikemik, antineoplastik, antistres, antidot, antispasmodik, antipiretik, antialergi, antiinflamasi, antihiperlipidemia, dan juga sebagai imunomodulator (Sharma et al., 2010). Tiap-tiap bagian dari tanaman brotowali mempunyai efek farmakologi yang luas. Batang brotowali dapat dimanfaatkan untuk merangsang sekresi getah empedu, menyembuhkan penyumbatan pada saluran empedu, serta mengatasi penyakit infeksi saluran kemih dan saluran pernapasan bagian atas (Vedavathy dan Rao, 1991). Ekstrak air batang brotowali digunakan untuk mengatasi penyakit kulit (Aiyer dan Kolammal, 1963). Akar dan batang brotowali dapat digunakan sebagai antidotum pada gigitan ular dan 10 sengatan kalajengking (Zhao et al., 1991). Pemberian ektrak metanolik brotowali diketahui dapat menurunkan kadar glukosa darah pada tikus (Rajalakshmi et al., 2009). Daun dan batang brotowali mempunyai aktivitas hepatoprotektif. Keduanya dapat menurunkan kadar enzim super oxide dismutase (SOD) dan enzim katalase. Selain itu, juga mampu meningkatkan kadar aspartate aminotransferase (AST), alanine aminotransferase (ALT), alkaline phosphatase (ALP), dan acid phosphatase (ACP) (Sharma dan Pandey, 2010). Ekstrak air tanaman brotowali dapat menurunkan kadar kolesterol dalam serum dan menurunkan HDL pada level normal. Selain itu, ekstrak air, ekstrak metanolik, dan ekstrak metilen klorida mempunyai manfaat sebagai antineoplastik dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen kokemoterapi (Jagetia et al., 1998). Ektrak kental batang brotowali mampu meningkatkan sistem imun dengan cara meningkatkan jumlah leukosit dan sifat fagositasi sel. Selain itu, ekstrak kental batang brotowali juga mempuyai aktivitas sebagai antiinflamasi yang kemudian dikembangkan untuk pengobatan rheumatoid arthritis (Sharma et al., 2010). 2. Ekstraksi dan fraksinasi Ekstraksi atau penyarian adalah kegiatan penarikan atau pemindahan zat yang dapat larut dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Faktor yang mempengaruhi penyarian adalah kecepatan difusi zat yang larut melalui lapisan – lapisan batas antara cairan penyari dengan bahan yang 11 mengandung zat tersebut. Dalam suatu simplisia terkandung banyak bahan aktif dengan struktur kimia berbeda-beda sehingga mempengaruhi kelarutannya. Cairan penyari yang digunakan akan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif dan zat aktif yang larut dengan penyari akan keluar dari sel akibat perbedaan konsentrasi di dalam dan di luar sel. Peristiwa itu terjadi secara berulang hingga terjadi kesetimbangan antara larutan di dalam dan di luar sel (Depkes, 1986). Salah satu metode ekstraksi adalah sokhletasi. Sokhletasi digunakan untuk menyari bahan-bahan yang terdapat dalam jumlah kecil dalam tanaman. Kelebihan metode ini antara lain membutuhkan pelarut yang lebih sedikit, ekstrak langsung terpisah dari sampel, dan waktu yang dibutuhkan sebentar. Kekurangannya adalah tidak dapat digunakan untuk senyawa termolabil. Sampel diletakkan di dalam kantung ekstraksi (kertas saring atau karton) dan dimasukkan pada alat sokhlet. Wadah gelas yang mengandung kantung diletakkan di antara labu suling dan suatu pendingin balik dan dihubungkan dengan pipa. Labu tersebut kemudian diberi pelarut. Pemanasan akan menyebabkan pelarut menguap. Uap yang terbentuk kemudian diembunkan oleh pendingin udara membentuk tetesan-tetesan dan terkumpul kembali bila melewati batas lubang sirkulasi. Sirkulasi terjadi secara berulang sehingga penyarian lebih baik (Silvia et al., 1998). Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani yang kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa 12 diperlakukan sedemikian rupa sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes, 1995). Untuk mendapatkan senyawa yang diharapkan, perlu dilakukan pemisahan dan pemurnian. Mengingat ada banyak senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman. Tujuan pemisahan dan pemurnian adalah menghilangkan atau memisahkan senyawa yang tidak dikehendaki semaksimal mungkin tanpa berpengaruh pada kandungan senyawa yang dikehendaki, sehingga didapatkan ekstrak yang lebih murni (Depkes, 2009). 3. Antioksidan dan stres oksidatif Senyawa antioksidan memainkan peranan penting dalam mengatasi pengaruh buruk radikal bebas. Antioksidan merupakan senyawa yang mampu menghilangkan, menangkap, menahan pembentukan ataupun meniadakan efek spesies oksigen reaktif (Lestariana, 2003). Berdasar fungsi mekanismenya dalam tubuh, antioksidan dapat digolongkan ke dalam antioksidan pencegahan, penangkapan radikal, perbaikan dan de novo serta antioksidan adaptasi. Pada antioksidan pencegahan, proses pertahanan tubuh dilakukan dengan menekan pembentukan oksigen reaktif dan spesies nitrogen (ROS/RNS), misalnya dengan mereduksi hidrogen peroksida, lipid hidroperoksida, dan lipid hidroksida, atau menginaktivasi ion metal. Antioksidan yang termasuk golongan ini adalah enzim SOD, katalase, glutation peroksidase, ferritin, selenoprotein, dan katekin (Benzie, 2003). Antioksidan penangkap radikal seperti kerotenoid, fenolik, dan amina aromatik bekerja dengan cara 13 menekan inisiasi maupun memutus propagasi rantai radikal sehingga dapat menghilangkan spesies aktif tersebut menyerang molekul biologis penting. Antioksidan perbaikan merupakan enzim untuk memperbaiki kerusakan fungsi biologis serta membersihkan sampah hasil reaksi oksidan dan antioksidan, misalnya enzim proteolitik dan enzim perbaikan DNA. Fungsi mekanisme adaptasi mempunyai peran sebagai pembawa pesan sinyal kepada sel untuk memproduksi dan mengatur level antioksidan dalam tubuh (Niki et al., 1995). Antioksidan dapat dibedakan menjadi antioksidan alami dan sintetik berdasar sumber perolehannya. Antioksidan alami dapat berupa komponen fenolik (flavonoid, asam fenolat, dan tanin), komponen yang mengandung nitrogen (alkaloid, derivat klorofil, asam amino, peptida, dan amina), karotenoid, tokoferol, serta asam askorbat dan derivatnya (Velioglu et al., 1998 cit Amarowicz et al., 2004). Antioksidan alami mampu membantu menjaga kesehatan dan memproteksi tubuh dari penyakit, misalnya penyakit jantung koroner dan kanker (Kumaran dan Karunakaran, 2007). Antioksidan sintetik mempunyai efektifitas yang tinggi, namun kurang aman bagi kesehatan. Contoh antioksidan sintetik antara lain butil hidroksi anisol (BHA), butil hidroksi toluen (BHT), propil galat (PG), dan tert-butil hidrokuinon (TBHQ) (Yanishlieva-Maslarova, 2001). Senyawa fenolik diketahui dapat menghambat radikal oksigen dengan cara mendonorkan atom hidrogen atau elektron kepada radikal bebas. Fenolik alam dapat menghambat oksidasi lipid dan dekomposisi 14 hidroperoksida baik dalam makanan maupun jaringan hidup (Wettasinghe dan Shahidi, 1999). Berdasar penelitian Suryani (2010), batang brotowali diketahui mengandung senyawa fenolik seperti flavonoid dan kumarin. Fraksi etil asetat dari batang brotowali memiliki aktivitas antioksidan tertinggi dimana pada konsentrasi 200 µg/mL sudah mampu menangkap 53,57 % radikal DPPH. Spesies oksigen reaktif (ROS) secara alamiah diproduksi oleh tubuh melalui metabolisme sel. ROS merupakan senyawa turunan oksigen yang lebih reaktif dibandingkan oksigen dalam bentuk triplet (diradikal). Pada sel yang normal, terdapat kesetimbangan antara produksi ROS dengan pertahanan oleh antioksidan. Stres oksidatif terjadi apabila terjadi ketidakseimbangan yang diakibatkan oleh produksi ROS yang berlebihan atau kurangnya mekanisme pertahanan antioksidan intraseluler (Pizarro, 2009). Kepekaan sistem saraf terhadap stres oksidatif disebabkan oleh metabolisme, struktur molekul, dan kandungan senyawa metabolik yang berperan secara fisiologis. Ketiga komponen tersebut secara bersamaan maupun terpisah akan meningkatkan pembentukan ROS dan menurunkan kapasitas antioksidan. Dibandingkan dengan organ lain, otak merupakan organ yang lebih rentan terhadap stres oksidatif. Hal ini berkaitan dengan tingginya aktivitas metabolisme oksidatif dan derajat pembentukan ROS. Tingginya aktivitas metabolisme tersebut disebabkan oleh penggunaan 20% oksigen oleh sel otak manusia. Pada keadaan tersebut, sebanyak 5% dari 15 oksigen yang dikonsumsi tereduksi tidak sempurna pada saat fosforilasi oksidatif di otak. Reduksi tidak sempurna dari oksigen tersebut akan menghasilkan senyawa turunan oksigen yang bersifat radikal atau nonradikal. Di sisi lain, sistem saraf memiliki struktur molekul dengan kandungan asam lemak tak jenuh dan besi yang sangat tinggi. Hal ini menyebabkan sistem saraf peka terhadap peroksidasi lipid. Senyawa metabolik yang dihasilkan otak turut memegang peranan terjadinya stres oksidatif. Otak mengandung metal transisi dengan kadar yang tinggi, misalnya besi. Besi mempunyai kemampuan untuk mengkatalisis reaksi pembentukan radikal yang reaktif. Tingginya kandungan besi sangat berperan dalam perkembangan otak. Akan tetapi apabila terjadi cidera otak, ion besi akan dilepaskan. Pelepasan ion besi dapat memicu stres oksidatif akibat adanya daya katalisator besi. Bagian tertentu pada otak juga kaya katekolamin yang sangat potensial membentuk ROS. Adrenalin, noradrenalin, dan dopamin secara spontan mengalami autooksidasi membentuk ROS atau termetabolisme oleh enzim endogen, misalnya mono amine oksidase (MAO), menjadi produk radikal (Fachir et al., 2005). Etanol merupakan salah satu senyawa yang telah banyak dikenal dapat menimbulkan efek neurotoksik yang dapat menginduksi apoptosis neuron otak akibat peningkatan stres oksidatif (Heaton et al., 2000). Etanol yang masuk ke dalam tubuh akan dioksidasi menjadi asam asetat. Proses oksidasi etanol utamanya terjadi di hepar. Selain itu, oksidasi etanol juga terjadi di otak (Zakhari et al., 2006). Oksidasi etanol akan menghasilkan asetaldehid. 16 Produksi asetaldehid oleh enzim katalase (dalam komponen internal sel dikenal dengan peroksisom) dibantu oleh hidrogen peroksida (H2O2). Enzim sitokrom P450 2E1 terdapat dalam sel otak khususnya pada retikulum endoplasma halus (mikrosom). Alkohol dehidrogenase (ADH) merupakan enzim yang terdapat dalam sitosol. Enzim aldehid dehidrogenase (ALDH) terdapat dalam mitokondria dan sitosol yang akan mengubah asetaldehid menjadi asam asetat (Deitrich et al., 2006). Gambar 2. Jalur Oksidatif Metabolisme Etanol (Zakhari, 2006) Kerusakan akibat etanol pada otak dewasa menyebabkan defisit kognitif seperti gangguan belajar dan memori (Butterfield et al., 1999). Hal ini disebabkan adanya stres oksidatif yang menginduksi terbentuknya radikal bebas yang menyebabkan kerusakan dan kematian sel (Heaton et al., 2000). Paparan etanol yang secara kronis akan mengakibatkan kerusakan sistem saraf pusat, seperti frontal lobe, sistem limbik, thalamus, hipothalamus, formasio hippocampus, neocortex, dan sistem neurotransmitter. Lesi pada hippocampus, frontal lobe, dan sistem limbik 17 menyebabkan gangguan proses belajar dan memori jangka pendek (Lundqvist et al., 1995; Oscar-Breman dan Marinkovic, 2003). 4. Fungsi kognitif dan memori Neisser (1976) mengemukakan bahwa kognitif adalah aktivitas mengetahui, memperoleh, mengorganisasi, dan menggunakan pengetahuan. Sedangkan menurut Shaffer (1989), yang diartikan dengan perkembangan kognitif adalah perubahan yang terlihat pada kemampuan dan keterampilan mental pada selang waktu tertentu, secara khusus perubahan yang timbul pada kegiatan mental seperti perhatian, persepsi, belajar, berpikir, dan mengingat. Dua fungsi penting dari sistem saraf antara lain proses belajar dan memori. Proses belajar atau learning dapat diartikan sebagai modifikasi yang permanen dari perilaku yang terjadi sebagai akibat dari latihan, pengalaman, dan observasi. Sedangkan memori dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menerima informasi dan mengubah perilaku sesuai dengan kondisi lingkungan. Memori merupakan kemampuan seseorang untuk menyimpan dan menggunakan kembali pengetahuan yang telah dipelajari sebelumnya secara sadar (Jared, 2010). a. Klasifikasi memori Klasifikasi memori secara umum berdasarkan aspek temporal atau waktu dibagi menjadi tiga macam yaitu memori jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Memori jangka pendek adalah memori yang berlangsung beberapa detik atau paling lama beberapa menit dan bertahan 18 selama seseorang terus-menerus memikirkan informasi tersebut. Memori jangka menengah yaitu memori yang berlangsung selama beberapa hari hingga beberapa minggu tetapi kemudian menghilang. Percobaan menunjukkan memori jenis ini merupakan hasil dari perubahan fisik atau kimiawi atau keduanya yang bersifat sementara, baik pada terminal sinaps presinaptik atau pada membran sinaps postsinaptik. Sedangkan memori jangka panjang merupakan memori yang sekali disimpan, dapat diingat kembali selama bertahun-tahun kemudian atau bahkan seumur hidup. Memori jangka panjang merupakan hasil dari perubahan struktural pada sinaps-sinaps yang memperkuat penghantaran sinyal (Guyton dan Hall, 2005). Memori jangka panjang selanjutnya dibagi lagi menjadi dua, yaitu memori deklaratif dan memori non deklaratif. Memori deklaratif adalah ingatan yang meliputi beragam detail yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, memori deklaratif terbagi dalam memori episodik yaitu memori yang spesifik seperti peristiwa tertentu dan memori semantik yaitu memori mengenai perbendaharaan kata dan pengetahuan mengenai dunia. Memori deklaratif dapat digunakan kembali secara sadar, relatif mudah dibentuk dan dilupakan. Pembentukan memori episodik berhubungan langsung dengan fungsi lobus temporalis medialis (khususnya hippocampus) dan neocortex, sedangkan pembentukan memori semantik berhubungan dengan area asosiasi korteks (Troster,1998). 19 Sedangkan memori non deklaratif adalah memori yang berhubungan dengan keterampilan seseorang dan terbagi menjadi procedural memory (keterampilan dan perilaku), priming, conditioning, dan nonassociative memory, yang masing-masing secara berurutan berhubungan dengan striatum, neocortex, amygdala, dan reflex pathway (Gluck dan Myers, 2001; Bear et al., 2007). Jenis memori lainnya yang dikenal adalah working memory atau memori aktif. Working memory merupakan kemampuan untuk mengolah informasi yang sedang berlangsung dalam waktu tertentu. Working memory digunakan selama pemikiran intelektual dan berakhir jika permasalahan sudah terselesaikan. Sebagai contohnya adalah mengingat rute jalan yang pernah dilalui sebelumnya atau berdasar informasi yang baru saja diterima. Working memory tidak hanya penting sebagai kemampuan memori dasar, namun juga sebagai dasar untuk proses kognitif yang lebih kompleks, misalnya pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah. Working memory dapat menjadi memori jangka panjang apabila dilatih dan diulang sehingga menjadi memori yang lebih stabil (Baddeley et al., 2002). Memori spasial termasuk dalam jenis memori episodik karena berkaitan dengan ruang dan tempat, serta termasuk dalam memori jangka pendek apabila dilihat dari sisi waktu. Memori jangka pendek yang dimaksudkan adalah memori yang harus diaktivasi melalui recall menjadi sebuah memori aktif atau working memory yang berlangsung selama 20 beberapa detik hingga menit sesuai dengan keinginan dan kebutuhan individu (Budson dan Price, 2005). b. Pembentukan memori Memori disimpan sebagai akibat pengalaman fisiologis sebagai respon dari neuron. Memori tidak disimpan dalam sel otak. Memori ada karena penjalaran sinaptik diantara neuron. Hal ini terjadi sebagai akibat adanya aktivitas neuron dalam membentuk alur sinaptik baru atau adanya modifikasi terhadap alur sinaptik yang telah ada sebelumnya pada sinaps yang dikenal sebagai memory traces (Guyton dan Hall, 2008). Perubahan yang terjadi pada alur sinaptik neuron yang terjadi berkaitan dengan pengalaman atau kebiasaan yang didapat disebut dengan plastisitas (Byrne dan Roberts, 2004). Proses pembentukan memori sangat bergantung pada perubahan pola sinaps yang dipercaya mampu mengubah dan memperkuat koneksi antar neuron (Hergenhahn dan Olson, 2008; Lynch, 2004). Memori dapat mengalami habituasi atau sensitisasi. Proses habituasi atau inhibisi sinapsis terjadi jika informasi yang didapat tidak memberikan akibat dan merupakan tipe ingatan negatif. Sedangkan proses sensitisasi atau fasilitasi sinapsis terjadi jika informasi yang didapat memberikan efek seperti rasa nyeri atau rasa senang atau informasi dalam pembelajaran yang merupakan ingatan positif. Regio limbik (bagian amigdala) pada basal otak dianggap berperan untuk menentukan apakah informasi dianggap penting atau tidak (Guyton dan Hall, 2008). 21 Bliss dan Lomo (1973) menemukan proses learning secara neurobiologi dan neurokimiawi dengan mengamati adanya transmisi berfrekuensi rendah yang diikuti oleh stimulasi berfrekuensi tinggi pada presinaptik serat input hippocampus yang menghasilkan transmisi berkepanjangan (Pinel, 2009). Sedangkan Vanderwolf et al. (1975) mengamati serangkaian transmisi berfrekuensi rendah secara internal pada presinaptik perforant path dan mempengaruhi sel-sel di sekitar gyrus dentatus saat tikus mempelajari lingkungan baru (Hergenhahn dan Olson, 2008). Fenomena ini dikenal dengan long-term potentiation (LTP) karena potensiasinya bisa berlangsung beberapa menit hingga beberapa jam dengan frekuensi 100 Hz per detik. Selain itu, juga dikenal adanya long-term depression (LTD) yaitu aktivitas sinaptik yang dapat menurunkan kekuatan sinaptik, dengan frekuensi 1 Hz per detik (Hudmon, 2005). LTP dan LTD merupakan plastisitas sel saraf. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pembentukan memori melibatkan dua macam reseptor glutamat, yaitu N-methyl-D-aspartate receptor (NMDAR) dan α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazole propionic acid receptor (AMPAR). Kanal ion kalsium yang terdapat pada reseptor NMDA diblok oleh ion magnesium pada keadaan istirahat. Sehingga, apabila ada glutamat yang dilepaskan ion kalsium tidak dapat memasuki neuron pascasinaptik. Sedangkan reseptor AMPA memiliki kanal natrium. Kedua reseptor tersebut memfasilitasi influks ion kalsium yang merupakan second messenger untuk mengaktifkan protein-protein kinase pada dendrit 22 pascasinaptik. Keduanya terletak pada permukaan neuron pascasinaptik di sel-sel piramidal hippocampus (Saladin, 2003; Li dan Tsien, 2009). LTP dapat terjadi selama stimulasi berfrekuensi tinggi dalam periode singkat. LTP terdiri dari dua fase, yaitu fase induksi dan fase maintenance. Fase induksi berlangsung selama 1-20 detik serta sangat bergantung terhadap voltase dan NMDA. Stimulasi frekuensi tinggi pada membran pascasinaptik akan menginduksi Schaffer collateral pada hippocampus untuk melepaskan glutamat. Glutamat yang dilepaskan akan berikatan dengan reseptor AMPA sehingga kanal natrium terbuka. Natrium akan memasuki neuron pascasinaptik. Apabila ambang batas tercapai, terjadi depolarisasi lokal yang mengakibatkan terlepasnya ion magnesium dari reseptor NMDA. Hal ini memungkinkan glutamat berikatan dengan reseptor NMDA dan mengakibatkan terbukanya kanal kalsium. Influks kalsium akan mengaktivasi protein kinase pascasinaptik. Ion kalsium akan berikatan dengan calmoduline dan mengaktifkan CAM kinase II serta adenylate cyclase. Kedua protein tersebut akan memodulasi protein-protein yang berperan dalam perubahan sinaps misalnya cAMP, MAP kinase, dan PKA. Aktivasi reseptor NMDA akibat adanya perubahan voltase dan ikatan dengan glutamat dapat menginduksi pembentukan LTP (Kandel et al., 2000; Lynch, 2004; Hammond, 2008; Li dan Tsien 2009). Fase maintenance berguna untuk menjaga voltase dan keberlangsungan LTP. Pada fase ini, neuron mengeluarkan beberapa senyawa retrograde messenger, seperti asam arakhidonat dan nitrit oksid 23 (NO). Senyawa-senyawa tersebut berperan untuk meningkatkan pengeluaran glutamat dan menurunkan re-uptake glutamat oleh sel glial (Bliss dan Collingridge, 1993). Gambar 3. Mekanisme Induksi Long-term Potentiation dan Long-term Depression (Hudmon, 2005) LTD terjadi pada stimulasi frekuensi rendah untuk periode yang panjang. Stimulasi frekuensi rendah menyebabkan neuron pascasinaptik mengalami peningkatan ion kalsium, namun konsentrasinya jauh di bawah LTP. Protein fosfatase pascasinaptik teraktivasi dan menyebabkan internalisasi reseptor NMDA sehingga menurunkan sensitivitas terhadap glutamat. LTD pada hippocampus berfungsi untuk mengembalikan sinapsis yang telah mengalami LTP ke level normal sehingga informasi baru dapat disimpan (Hudmon, 2005; Bear et al., 2007). c. Hippocampus Hippocampus terletak bilateral di dalam lobus temporalis medialis dan berperan penting pada memori jangka panjang dan navigasi spasial. Hippocampus merupakan bagian dari sistem limbik pada otak, yaitu 24 sekelompok struktur yang terletak di area perbatasan antara korteks cerebri dan hipothalamus dan berada di bagian basal cereberum. Hippocampus terbentang dari amigdala hingga septum, sepanjang lobus temporal. Hippocampus membentuk formasi yang dikenal dengan formasio hippocampus, terdiri dari gyrus dentatus, hippocampus, subiculum, presubiculum, parasubiculum, dan entorhinal cortex. Struktur hippocampus tersusun atas substansia grisea yang berbentuk kuda laut pada manusia atau berbentuk pisang pada hewan pengerat (Andersen et al., 2007). Gambar 4. Letak hippocampus proper di otak (Paxinos dan Watson, 2007) Hippocampus terbagi menjadi dua daerah yaitu gyrus dentatus dan Cornu Ammonis (CA). Bagian CA terbagi lagi menjadi beberapa subbagian CA1, CA2, dan CA3. Gyrus dentatus tersusun atas sel-sel granul. Struktur hippocampus memiliki 6 lapisan molekuler yang terdiri dari: 1) stratum lacunosum-moleculare yang mengandung serabut dari Schaffer collateralis dan juga serabut perforant path yang bersinaps di dendrit apikal sel piramidal; 2) stratum radiatum yang berisi Schaffer collateralis jalur CA3CA1; 3) stratum lucidum yang merupakan daerah terminasi mossy fiber; 4) 25 stratum piramidal yang berisi neuron-neuron piramidal; 5) stratum oriens yang terdiri dari sel basket dan dendrit basal dari neuron piramidal; 6) alveus yang memiliki serabut komisura sel piramidal melalui fimbria. Gambar 5. Potongan sagital hippocampus (Paxinos dan Watson, 2007) Sedangkan gyrus dentatus hanya memiliki 3 lapisan yaitu : lapisan polimorfik yang berhubungan dengan asosiasi-asosiasi di dalam gyrus dentatus; 2) lapisan granular yang merupakan kumpulan dari neuron-neuron berbentuk oval atau bulat dan merupakan tempat asal mossy fibers yang berakhir pada dendrit dari sel piramidal hippocampus; 3) lapisan molekuler yang merupakan daerah terminasi perforant pathway (Taupin, 2008; Wieshmann et al., 1999; Waxman, 2009) Serabut aferen ke hippocampus berasal dari gyrus dentatus (via mossy fibers), septum (via cornix), dan lobus lymbicus (via cingulum). Sedangkan serabut eferen dari hippocampus menuju corpus mamillaris, thalamus anterior, area septalis, dan tuber cinereum (via fornix), serta area subcallosus (via striae longitudinale). Sel granuler dari gyrus dentatus mengirimkan akson (mossy fibers) yang berakhir pada neuron piramidal di 26 CA3 hippocampus. Neuron ini akan memproyeksikan aksonnya ke fornix sebagai serabut eferen utama. Cabang kolateral (kolateral Schaffer) dari neuron CA3 akan memproyeksikan aksonnya ke daerah CA1 hippocampus (Waxman, 2009). d. Hippocampus dan memori Hippocampus memiliki tiga fungsi utama yang terkait dengan fungsi inhibisi, memori, dan spasial. Fungsi inhibisi diperoleh dari hasil observasi yang menyebutkan bahwa hewan dengan kerusakan hippocampus akan lebih hiperaktif. Hasil observasi lain menyebutkan bahwa hewan dengan kerusakan hippocampus akan mengalami kesulitan untuk menghambat respon yang sebelumnya telah dipelajari (Gray dan McNaughton, 2000). Penelitian yang dilakukan Gruart et al (2006) menunjukkan bahwa terjadi perubahan yang tergantung aktivitas pada sinapsis CA3 dengan CA1 hippocampus tikus selama proses acquisition, extinction, recall, dan reconditioning. Hal ini membuktikan adanya hubungan antara plastisitas dengan learning dan memori. Berdasarkan penelitian O’Keefe dan Dostrovsky (1971), sel-sel piramidal hippocampus teraktivasi ketika tikus mulai mengenali sebuah tempat yang baru dan menempatkan diri pada medan tempatnya. Saat tikus bergerak ke ruangan yang lain, sel yang teraktivasi tersebut menjadi diam dan sel piramidal lain menjadi teraktivasi. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa hippocampus memiliki sel yang menginduksi lokasi yang spesifik terhadap lingkungan. Sel piramidal ini disebut dengan place cells (O’Keefe 27 dan Nadel, 1978; Mizumori, 2008). Penelitian selanjutnya mengemukakan bahwa place cells paling baik dikarakterisasi pada area CA1 dan korteks entorhinal (Nakazawa et al., 2004). Penemuan mengenai place cells mengindikasikan bahwa hippocampus berperan sebagai suatu peta kognitif, merupakan suatu reprsentasi neural dari tatanan lingkungan (O’Keefe dan Nadel, 1978). e. Stres dan pengaruhnya terhadap memori Stres dapat diartikan sebagai suatu ketegangan fisiologis atau psikologis yang disebabkan oleh stimuli fisik atau emosi yang berasal dari internal dan eksternal serta mengganggu fungsi suatu organisme. Stres dapat mempengaruhi fungsi kognitif seperti learning dan memori (Tak et al., 2007). Struktur CA1 hippocampus merupakan bagian yang rentan terhadap efek stres karena memiliki 2 kelas reseptor kortikosteroid. Plastisitas sinaptik yang berperan dalam learning dan memori adalah long-term potentiation dan long-term depression yang terjadi pada area CA1 hippocampus. Aktivasi reseptor glukokortikoid mengganggu pembentukan LTP, sedangkan aktivasi reseptor mineralokortikoid dapat memfasilitasi LTP. Faktor yang teraktivasi akan bertindak sebagai faktor transkripsi, oleh sebab itu protein yang berhubungan dengan reseptor mineralokortikoid berperan mempertahankan LTP (Korz dan Frey, 2003; Taupin, 2008). Struktur hippocampus mengandung banyak reseptor kortisol yang dapat menyebabkan stres oksidatif. Fenomena ini dapat menyebabkan 28 fenomena stres oksidatif. Fenomena ini adalah suatu keadaan dimana terdapat ketidakseimbangan antara radikal bebas dan aktivitas netralisasi (antioksidan) oleh neuron. Jika keadaan ini terjadi terus-menerus, degenerasi dari neuron hippocampus dapat terjadi sehingga berdampak pada penurunan memori (Simonian, 1996). Di sisi lain, jenis stres yang berupa aliran listrik dapat mengakibatkan kejang otak dan mengganggu proses konsolidasi memori baik secara mekanik maupun kimiawi. Hal ini dapat menyebabkan informasi baru tidak dapat diingat sama sekali (Guyton, 2008). 5. Passive Avoidance Test Passive avoidance test adalah uji one-trial learning secara cepat. Passive avoidance test merupakan suatu prosedur untuk meneliti fungsi memori pada mencit. Pada uji jenis ini, hewan uji dilatih untuk menghindar dari hukuman (shock listrik) dengan melawan kebiasaan alamiah (Vohora et al., 2000). Ingatan dari pengalaman tunggal merupakan bentuk belajar yang cepat dan memungkinkan untuk mengingat kembali pengalaman tersebut serta bersifat adaptif. Hewan uji diberi shock listrik dan kemudian diuji ulang untuk mengetahui ingatan mencit terhadap shock yang diberikan. Pada dasarnya proses mengingat kembali didasarkan pada kemampuan masing-masing mencit untuk menghindari kondisi uji yang berbahaya bagi mencit. Pengujian ini dapat dilakukan dalam rentang waktu yang bervariasi, mulai sangat singkat (5 menit) hingga beberapa bulan. 29 Alat uji passive avoidance terdiri atas dua kompartemen, yaitu kompartemen gelap dan kompartemen terang. Lantai tiap kompartemen terbuat dari stainless steel dan mempunyai sebuah pintu geser yang memisahkan kedua kompartemen. Kedua kompartemen terbuat dari kaca gelap. Pada kompartemen terang dilengkapi oleh lampu, sedangkan kompartemen gelap memungkinkan untuk pengaliran shock listrik (Rodriguiz dan Wetsel, 2006). F. Landasan Teori Stres oksidatif mampu menginduksi terbentuknya radikal bebas dalam jaringan. Radikal bebas yang terbentuk mampu menginduksi peroksidasi lipid dan menyebabkan kematian sel (Heaton et al., 2000). Otak merupakan organ yang rentan terhadap kerusakan akibat stres oksidatif karena memiliki tingkat metabolisme oksidatif yang tinggi dengan kapasitas antioksidan yang rendah (Hendersen et al., 1999; Pizzaro, 2009). Hippocampus merupakan bagian otak yang berperan dalam fungsi kognitif dan penyimpanan memori. Platisitas pada lamina piramidalis CA1 hippocampus berperan dalam pembentukan memori. O’Keefe dan Dostrovsky (1971) menyebutkan bahwa place cells dalam lamina piramidalis CA1 hippocampus berperan sebagai peta kognitif. Kematian sel-sel piramidal hippocampus yang diinduksi stres oksidatif akan menyebabkan penurunan fungsi kognitif dan pembentukan memori baru. 30 Flavonoid merupakan antioksidan alami yang mampu memberikan efek neuroprotektif. Uji farmakologi dan klinis yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pemberian ektrak air dan ekstrak etanolik brotowali menunjukkan perbaikan fungsi kognitif (Bairy et al., 2004). Penelitian Suryani (2010) menunjukkan bahwa fraksi etil asetat batang brotowali memiliki kandungan antioksidan yang paling tinggi. Peningkatan memori dan fungsi kognitif pada mencit ditunjukkan dengan meningkatnya waktu latensi untuk menghindari kompartemen gelap. G. Hipotesis 1. Pemberian fraksi etil asetat batang brotowali mampu meningkatkan memori dan fungsi kognitif pada mencit yang terinduksi etanol. 2. Adanya kenaikan variasi dosis fraksi etil asetat batang brotowali yang diberikan menimbulkan efek yang lebih baik terhadap peningkatan memori dan fungsi kognitif dibandingkan terhadap pemberian dosis yang lebih rendah. 3. Terdapat korelasi positif yang kuat antara tampilan memori dan fungsi kognitif dengan profil histologi lamina piramidalis CA1 hippocampus.