1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penurunan fungsi kognitif tidak hanya dialami oleh orang lanjut usia,
namun juga dialami oleh anak-anak dan usia produktif. Hal tersebut akan
berakibat buruk terhadap proses belajar. Pada manusia dan tikus, terdapat
korelasi antara penurunan fungsi kognitif dengan akumulasi senyawa oksidatif
pada lemak, protein, asam nukleat, dan berbagai neurotransmitter sehingga
terjadi penumpukan senyawa radikal dalam tubuh yang menyebabkan
kerusakan oksidatif.
Penelitian telah membuktikan bahwa patogenesis dari penyakit-penyakit
degeneratif dan proses penuaan melibatkan pembentukan radikal bebas atau
ROS. Radikal bebas merupakan senyawa yang tidak stabil dan sangat reaktif
karena mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbit
terluarnya. Untuk memperoleh pasangan elektron, suatu radikal bebas akan
menyerang secara acak (Sunarno, 2009).
Bagian otak yang berperan dalam proses konsolidasi memori adalah
hippocampus. Akson yang terdapat pada etorhinal cortex bersinapsis dengan
neuron yang terdapat pada dentate gyrus. Informasi masuk ke hippocampus
dengan cara menyebrangi celah antara subiculum dan dentate gyrus yang
dikenal dengan perforant path. Neuron-neuron dentate gyrus mengirim mossy
fiber (akson dengan terminal bulbous yang besar dan tidak berhubungan
1
2
dengan cerebrum) ke CA3. Informasi kemudian diteruskan akson Schaffer
collateral ke CA1 yang kemudian mengirimkan serabut lain ke subiculum.
Informasi direspon sebagai output dari hippocampus serta dapat mengirim
informasi ke hipothalamus dan korpus mamilar melalui forniks atau
meneruskan informasi kembali ke etorhinal cortex. Etorhinal cortex
menyampaikan semua informasi ke korteks sensoris. Pada dasarnya terjadi
aliran yang berlanjut dimulai dari korteks sensoris hippocampus (loop-theloop) dan kembali ke korteks sensoris (Molavi, 1997).
Konsentrasi antioksidan yang rendah menyebabkan jaringan otak lebih
rentan terhadap kerusakan akibat adanya stres oksidatif. Hippocampus dan
cerebelum merupakan bagian otak yang paling rentan mengalami kerusakan
karena memiliki kapasitas antioksidan paling rendah (Henderson et al., 1999).
Hal ini memunculkan berbagai usaha untuk mencegah stres oksidatif pada
otak. Salah satunya adalah dengan mengkonsumsi suplemen yang terbukti
mampu meningkatkan kapasitas memori. Masyarakat sekarang ini cenderung
mengikuti tren back to nature sehingga penggunaan suplemen herbal banyak
diminati. Hal ini disebabkan karena anggapan masyarakat bahwa obat herbal
memiliki efek samping yang lebih sedikit. Oleh sebab itu, diperlukan penelitian
mengenai efek obat herbal, baik efek terapetiknya maupun toksisitasnya.
Brotowali merupakan tanaman yang mudah ditemukan di Indonesia.
Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa brotowali mempunyai efek
farmakologi sebagai antioksidan, antihiperglikemik, antineoplastik, antistres,
antidot, antispasmodik, antipiretik, antialergi, antiinflamasi, antihiperlipidemia,
3
dan juga sebagai imunomodulator (Sharma et al., 2010). Dua et al., (2009)
menyebutkan bahwa brotowali telah dikenal lama untuk meningkatkan
learning dan memori dalam pengobatan tradisional di India. Uji farmakologi
dan penelitian klinis menyatakan bahwa ekstrak air akar brotowali
meningkatkan kemampuan verbal selama 21 hari (Bairy, 2004). Penelitian lain
menyebutkan bahwa brotowali mampu meningkatkan intelegensi pada anakanak yang mengalami retardasi mental dan gangguan perilaku (Singh et al.,
2003).
Senyawa aktif yang diduga berperan dalam meningkatkan memori adalah
flavonoid. Flavonoid merupakan antioksidan alami yang terdapat dalam
tanaman. Flavonoid diketahui dapat menghambat radikal oksigen dengan cara
mendonorkan atom hidrogen atau elektron kepada radikal bebas. Penelitian
Suryani (2010) menyatakan bahwa aktivitas antioksidan dari flavoinoid pada
batang brotowali paling tinggi terdapat dalam fraksi etil asetat. Sehingga,
dalam penelitian ini digunakan fraksi etil asetat batang brotowali untuk
mengetahui efek neuroprotektifnya. Efek neuroprotektif ditunjukkan oleh
peningkatan memori dan fungsi kognitif, serta kepadatan sel piramidalis CA1
hippocampus.
4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana pengaruh pemberian fraksi etil asetat batang brotowali terhadap
peningkatan memori dan fungsi kognitif pada mencit serta pengaruhnya
terhadap profil histologi lamina piramidalis CA1 hippocampus?
2. Bagaimana pengaruh variasi dosis yang diberikan terhadap peningkatan
memori dan fungsi kognitif mencit setelah diberi shock listrik berdasarkan
metode passive avoidance test?
3. Bagaimana korelasi antara tampilan memori mencit dengan profil histologi
lamina piramidalis CA1 hippocampus mencit setelah diberi shock listrik dan
fraksi etil asetat batang brotowali?
C. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai efek
fraksi etil asetat batang brotowali di bidang neurofarmakologis dan menjadi
terapi alternatif dalam mencegah penurunan memori dan fungsi kognitif. Selain
itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberi manfaat berupa :
1. Diperoleh informasi mengenai efek fraksi etil asetat batang brotowali untuk
meningkatkan memori dan fungsi kognitif melalui pemberian shock listrik
pada passive avoidance test serta profil histologi lamina piramidalis CA1
hippocampus.
5
2. Diperoleh informasi mengenai pemberian dosis yang esensial sebagai dasar
ilmiah pemberian brotowali kepada manusia.
D. Tujuan Penelitian
Pengaruh brotowali terhadap fungsi farmakologis telah banyak diketahui.
Namun, belum terdapat pengkajian mengenai efek fraksi etil asetat batang
brotowali. Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengkaji pengaruh pemberian fraksi etil asetat batang brotowali terhadap
peningkatan memori dan fungsi kognitif pada mencit dan pengaruhnya
terhadap profil histologi lamina piramidalis CA1 hippocampus.
2. Membandingkan
pengaruh
variasi
dosis
yang
diberikan
terhadap
peningkatan memori dan fungsi kognitif mencit setelah diberi shock listrik
berdasarkan metode passive avoidance test.
3. Mengetahui korelasi antara tampilan memori mencit dengan profil histologi
lamina piramidalis CA1 hippocampus mencit setelah diberi shock listrik dan
pemberian fraksi etil asetat batang brotowali.
6
E. Tinjauan Pustaka
1. Brotowali
a. Taksonomi
Klasifikasi tanaman brotowali dalam kategori taksa adalah sebagai
berikut :
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Suku
: Menispermaceae
Marga
: Tinospora
Jenis
: Tinospora crispa (L.) Miers ex Hook.f. & Thoms.
(Backer dan Brink, 1965)
Gambar 1. Brotowali (Tinospora crispa (L.) Miers ex Hook.f. & Thoms)
(Praman et al., 2011)
Sinonim dari tanaman brotowali adalah Cocculus crispus DC,
Cocculus cordifolius Walp., Cocculus villosus DC., Menispermum crispum
7
Linn., Menispermum tuberculatum Lamk, Menispermum verrucosum flem,
Menispermum rimosum Blanco, Tinospora cordifolia F.-Vill., Tinospora
rumphii Boerl, Tinospora perculata Beumee, Tinospora tuberculatum
Lamk. (Dweck dan Cavin, 2007; Heyne, 1987; Sudarsono et al., 2006).
Di daerah Jawa, tanaman brotowali dikenal sebagai antawali,
putrawali, daun gadel, dan bratawali. Di Sunda, Nusa Tenggara, Bali, dan
Madura, disebut dengan antawali (Depkes, 1978).
b. Morfologi tumbuhan
Perdu memanjat, tinggi batang sampai 2,5 cm, berkutil-kutil yang
rapat, pepagannya mudah terkelupas. Daun tunggal, bertangkai, tersebar,
panjang sampai 16 cm, bentuknya seperti jantung atau agak membundar
telur tapi berujung runcing, lebar 6 cm sampai 13 cm. Daun menebal pada
pangkal dan ujung. Perbungaan majemuk, berbentuk tandan semu dengan 1
sampai 3 bunga bersama – sama, menggantung panjang 7 cm sampai 25 cm.
Bunga (jantan) bergagang pendek 3 mm sampai 4 mm, kelopak 6, hijau,
panjang lebih kurang 3,5 cm, daun mahkota 3, panjang lebih kurang 8 mm.
Buah berupa buah batu, kecil, dan berwarna hijau. Akar tunggang berwarna
putih kotor (Depkes, 1978; BPOM, 2008).
c. Ekologi
Brotowali tersebar di daerah tropis dan sub tropis, seperti Afrika,
Madagaskar, Asia yang tersebar hingga ke Australia dan Pasifik. Tumbuh di
hutan, semak, dan pagar hingga ketinggian 1.000 dpl (BBPPTOOT, 2010).
8
d. Budidaya
Brotowali mudah diperbanyak dengan stek batang yang biasanya
memanjat melingkari tumbuhan lain. Tanaman ini memerlukan pohon
sandaran sebagai tumpuan untuk memanjat ke atas (Depkes, 1978).
e. Kandungan kimia
Daun dan batang brotowali mengandung zat pahit berupa alkaloid,
saponin, tanin, polifenol, pati, dan glikosida, sedangkan batangnya
mengandung flavonoid (Depkes, 1978).
Alkaloid yang terdapat dalam brotowali antara lain aporfin, berberin,
N-asetilnornusiferin,
N-formil-annonian,
N-formil-nornusiferin,
dan
palmatin. Alkaloid berberin hanya ditemukan pada akar tetapi tidak
ditemukan pada daun dan batang (Sudarsono et al., 2006).
Kandungan brotowali adalah flavonoid antara lain diosmetin, apigenin
O-glikosida (apiin) dan pikroretosida. Glikosida yang terkandung dalam
brotowali yaitu kolumbin, tinokrisposid, dan pikroretosida. Komponen
alifatik berupa oktakosanol, heptakosanol, nonakosan-15-on. Komponen
lain yang terkandung dalam brotowali berupa senyawa fenolik antara lain
3,(α- 4 - dihidroksi - 3 - metoksi - benzil) - 4 - (4 - hidroksil - 3 - metoksi benzil) tetrahidrofuran, jatrorrihizin, tinosporidin, kordifol, kordifelon,
giloin,
giloinin,
N-cis-feruloiltiamin,
N-trans-feruloiltiamin,
dan
sekoisolarisiresinol (fenil propanoid). Sedangkan komponen steroid terdiri
dari giloinsterol, β-sitosterol, δ-sitosterol, 20-α-hidroksi ekdison, 20β-
9
hidroksi ekdison, ekdisteron, dan makisteron A. (Ling et al., 2009;
BBPPTOOT, 2010; Singh et al., 2003; Dweck dan Cavin, 2007).
Apigenin merupakan antioksidan, antialergenk, dan antivirus. N-cis feruloiltiramin,
N-trans-feruloiltiramin,
dan
sekoisolarisiresinol
yang
diisolasi dari ekstrak dikloretan memiliki aktivitas antioksidan berdasarkan
metode β-karoten-linoleat. Isolat bergenin dari ekstrak etanol batang
brotowali memiliki aktivitas sebagai penangkap radikal bebas (Dweck dan
Cavin, 2007). Berdasar penelitian Chantong et al. (2008) ekstrak etanolik
batang brotowali memiliki aktivitas antioksidan dengan IC50 0,141±0,033
mg/ml pada uji penangkapan radikal 2,2-Difenil-1-Pikrilhidrazil (DPPH).
f. Efek farmakologi
Brotowali telah lama dikenal sebagai tanaman obat tradisional.
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa brotowali memiliki efek
sebagai antioksidan, antihiperglikemik, antineoplastik, antistres, antidot,
antispasmodik, antipiretik, antialergi, antiinflamasi, antihiperlipidemia, dan
juga sebagai imunomodulator (Sharma et al., 2010).
Tiap-tiap bagian dari tanaman brotowali mempunyai efek farmakologi
yang luas. Batang brotowali dapat dimanfaatkan untuk merangsang sekresi
getah empedu, menyembuhkan penyumbatan pada saluran empedu, serta
mengatasi penyakit infeksi saluran kemih dan saluran pernapasan bagian
atas (Vedavathy dan Rao, 1991). Ekstrak air batang brotowali digunakan
untuk mengatasi penyakit kulit (Aiyer dan Kolammal, 1963). Akar dan
batang brotowali dapat digunakan sebagai antidotum pada gigitan ular dan
10
sengatan kalajengking (Zhao et al., 1991). Pemberian ektrak metanolik
brotowali diketahui dapat menurunkan kadar glukosa darah pada tikus
(Rajalakshmi et al., 2009).
Daun dan batang brotowali mempunyai aktivitas hepatoprotektif.
Keduanya dapat menurunkan kadar enzim super oxide dismutase (SOD) dan
enzim katalase. Selain itu, juga mampu meningkatkan kadar aspartate
aminotransferase (AST), alanine aminotransferase (ALT), alkaline
phosphatase (ALP), dan acid phosphatase (ACP) (Sharma dan Pandey,
2010). Ekstrak air tanaman brotowali dapat menurunkan kadar kolesterol
dalam serum dan menurunkan HDL pada level normal. Selain itu, ekstrak
air, ekstrak metanolik, dan ekstrak metilen klorida mempunyai manfaat
sebagai antineoplastik dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen kokemoterapi (Jagetia et al., 1998). Ektrak kental batang brotowali mampu
meningkatkan sistem imun dengan cara meningkatkan jumlah leukosit dan
sifat fagositasi sel. Selain itu, ekstrak kental batang brotowali juga
mempuyai aktivitas sebagai antiinflamasi yang kemudian dikembangkan
untuk pengobatan rheumatoid arthritis (Sharma et al., 2010).
2. Ekstraksi dan fraksinasi
Ekstraksi atau penyarian adalah kegiatan penarikan atau pemindahan
zat yang dapat larut dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair.
Faktor yang mempengaruhi penyarian adalah kecepatan difusi zat yang larut
melalui lapisan – lapisan batas antara cairan penyari dengan bahan yang
11
mengandung zat tersebut. Dalam suatu simplisia terkandung banyak bahan
aktif dengan struktur kimia berbeda-beda sehingga mempengaruhi
kelarutannya. Cairan penyari yang digunakan akan masuk ke dalam rongga
sel yang mengandung zat aktif dan zat aktif yang larut dengan penyari akan
keluar dari sel akibat perbedaan konsentrasi di dalam dan di luar sel.
Peristiwa itu terjadi secara berulang hingga terjadi kesetimbangan antara
larutan di dalam dan di luar sel (Depkes, 1986).
Salah satu metode ekstraksi adalah sokhletasi. Sokhletasi digunakan
untuk menyari bahan-bahan yang terdapat dalam jumlah kecil dalam
tanaman. Kelebihan metode ini antara lain membutuhkan pelarut yang lebih
sedikit, ekstrak langsung terpisah dari sampel, dan waktu yang dibutuhkan
sebentar. Kekurangannya adalah tidak dapat digunakan untuk senyawa
termolabil. Sampel diletakkan di dalam kantung ekstraksi (kertas saring atau
karton) dan dimasukkan pada alat sokhlet. Wadah gelas yang mengandung
kantung diletakkan di antara labu suling dan suatu pendingin balik dan
dihubungkan dengan pipa. Labu tersebut kemudian diberi pelarut.
Pemanasan akan menyebabkan pelarut menguap. Uap yang terbentuk
kemudian diembunkan oleh pendingin udara membentuk tetesan-tetesan dan
terkumpul kembali bila melewati batas lubang sirkulasi. Sirkulasi terjadi
secara berulang sehingga penyarian lebih baik (Silvia et al., 1998).
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi
zat aktif dari simplisia nabati atau hewani yang kemudian semua atau
hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa
12
diperlakukan sedemikian rupa sehingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan (Depkes, 1995). Untuk mendapatkan senyawa yang diharapkan,
perlu dilakukan pemisahan dan pemurnian. Mengingat ada banyak senyawa
kimia yang terkandung dalam tanaman. Tujuan pemisahan dan pemurnian
adalah menghilangkan atau memisahkan senyawa yang tidak dikehendaki
semaksimal mungkin tanpa berpengaruh pada kandungan senyawa yang
dikehendaki, sehingga didapatkan ekstrak yang lebih murni (Depkes, 2009).
3. Antioksidan dan stres oksidatif
Senyawa antioksidan memainkan peranan penting dalam mengatasi
pengaruh buruk radikal bebas. Antioksidan merupakan senyawa yang
mampu menghilangkan, menangkap, menahan pembentukan ataupun
meniadakan efek spesies oksigen reaktif (Lestariana, 2003).
Berdasar fungsi mekanismenya dalam tubuh, antioksidan dapat
digolongkan ke dalam antioksidan pencegahan, penangkapan radikal,
perbaikan dan de novo serta antioksidan adaptasi. Pada antioksidan
pencegahan,
proses
pertahanan
tubuh
dilakukan
dengan
menekan
pembentukan oksigen reaktif dan spesies nitrogen (ROS/RNS), misalnya
dengan mereduksi hidrogen peroksida, lipid hidroperoksida, dan lipid
hidroksida, atau menginaktivasi ion metal. Antioksidan yang termasuk
golongan ini adalah enzim SOD, katalase, glutation peroksidase, ferritin,
selenoprotein, dan katekin (Benzie, 2003). Antioksidan penangkap radikal
seperti kerotenoid, fenolik, dan amina aromatik bekerja dengan cara
13
menekan inisiasi maupun memutus propagasi rantai radikal sehingga dapat
menghilangkan spesies aktif tersebut menyerang molekul biologis penting.
Antioksidan perbaikan merupakan enzim untuk memperbaiki kerusakan
fungsi biologis serta membersihkan sampah hasil reaksi oksidan dan
antioksidan, misalnya enzim proteolitik dan enzim perbaikan DNA. Fungsi
mekanisme adaptasi mempunyai peran sebagai pembawa pesan sinyal
kepada sel untuk memproduksi dan mengatur level antioksidan dalam tubuh
(Niki et al., 1995).
Antioksidan dapat dibedakan menjadi antioksidan alami dan sintetik
berdasar sumber perolehannya. Antioksidan alami dapat berupa komponen
fenolik (flavonoid, asam fenolat, dan tanin), komponen yang mengandung
nitrogen (alkaloid, derivat klorofil, asam amino, peptida, dan amina),
karotenoid, tokoferol, serta asam askorbat dan derivatnya (Velioglu et al.,
1998 cit Amarowicz et al., 2004). Antioksidan alami mampu membantu
menjaga kesehatan dan memproteksi tubuh dari penyakit, misalnya penyakit
jantung koroner dan kanker (Kumaran dan Karunakaran, 2007). Antioksidan
sintetik mempunyai efektifitas yang tinggi, namun kurang aman bagi
kesehatan. Contoh antioksidan sintetik antara lain butil hidroksi anisol
(BHA), butil hidroksi toluen (BHT), propil galat (PG), dan tert-butil
hidrokuinon (TBHQ) (Yanishlieva-Maslarova, 2001).
Senyawa fenolik diketahui dapat menghambat radikal oksigen dengan
cara mendonorkan atom hidrogen atau elektron kepada radikal bebas.
Fenolik alam dapat menghambat oksidasi lipid dan dekomposisi
14
hidroperoksida baik dalam makanan maupun jaringan hidup (Wettasinghe
dan Shahidi, 1999). Berdasar penelitian Suryani (2010), batang brotowali
diketahui mengandung senyawa fenolik seperti flavonoid dan kumarin.
Fraksi etil asetat dari batang brotowali memiliki aktivitas antioksidan
tertinggi dimana pada konsentrasi 200 µg/mL sudah mampu menangkap
53,57 % radikal DPPH.
Spesies oksigen reaktif (ROS) secara alamiah diproduksi oleh tubuh
melalui metabolisme sel. ROS merupakan senyawa turunan oksigen yang
lebih reaktif dibandingkan oksigen dalam bentuk triplet (diradikal). Pada sel
yang normal, terdapat kesetimbangan antara produksi ROS dengan
pertahanan oleh antioksidan. Stres oksidatif terjadi apabila terjadi
ketidakseimbangan yang diakibatkan oleh produksi ROS yang berlebihan
atau kurangnya mekanisme pertahanan antioksidan intraseluler (Pizarro,
2009).
Kepekaan sistem saraf terhadap stres oksidatif disebabkan oleh
metabolisme, struktur molekul, dan kandungan senyawa metabolik yang
berperan secara fisiologis. Ketiga komponen tersebut secara bersamaan
maupun terpisah akan meningkatkan pembentukan ROS dan menurunkan
kapasitas antioksidan. Dibandingkan dengan organ lain, otak merupakan
organ yang lebih rentan terhadap stres oksidatif. Hal ini berkaitan dengan
tingginya aktivitas metabolisme oksidatif dan derajat pembentukan ROS.
Tingginya aktivitas metabolisme tersebut disebabkan oleh penggunaan 20%
oksigen oleh sel otak manusia. Pada keadaan tersebut, sebanyak 5% dari
15
oksigen yang dikonsumsi tereduksi tidak sempurna pada saat fosforilasi
oksidatif di otak. Reduksi tidak sempurna dari oksigen tersebut akan
menghasilkan senyawa turunan oksigen yang bersifat radikal atau
nonradikal. Di sisi lain, sistem saraf memiliki struktur molekul dengan
kandungan asam lemak tak jenuh dan besi yang sangat tinggi. Hal ini
menyebabkan sistem saraf peka terhadap peroksidasi lipid. Senyawa
metabolik yang dihasilkan otak turut memegang peranan terjadinya stres
oksidatif. Otak mengandung metal transisi dengan kadar yang tinggi,
misalnya besi. Besi mempunyai kemampuan untuk mengkatalisis reaksi
pembentukan radikal yang reaktif. Tingginya kandungan besi sangat
berperan dalam perkembangan otak. Akan tetapi apabila terjadi cidera otak,
ion besi akan dilepaskan. Pelepasan ion besi dapat memicu stres oksidatif
akibat adanya daya katalisator besi. Bagian tertentu pada otak juga kaya
katekolamin
yang
sangat
potensial
membentuk
ROS.
Adrenalin,
noradrenalin, dan dopamin secara spontan mengalami autooksidasi
membentuk ROS atau termetabolisme oleh enzim endogen, misalnya mono
amine oksidase (MAO), menjadi produk radikal (Fachir et al., 2005).
Etanol merupakan salah satu senyawa yang telah banyak dikenal dapat
menimbulkan efek neurotoksik yang dapat menginduksi apoptosis neuron
otak akibat peningkatan stres oksidatif (Heaton et al., 2000). Etanol yang
masuk ke dalam tubuh akan dioksidasi menjadi asam asetat. Proses oksidasi
etanol utamanya terjadi di hepar. Selain itu, oksidasi etanol juga terjadi di
otak (Zakhari et al., 2006). Oksidasi etanol akan menghasilkan asetaldehid.
16
Produksi asetaldehid oleh enzim katalase (dalam komponen internal sel
dikenal dengan peroksisom) dibantu oleh hidrogen peroksida (H2O2). Enzim
sitokrom P450 2E1 terdapat dalam sel otak khususnya pada retikulum
endoplasma halus (mikrosom). Alkohol dehidrogenase (ADH) merupakan
enzim yang terdapat dalam sitosol. Enzim aldehid dehidrogenase (ALDH)
terdapat dalam mitokondria dan sitosol yang akan mengubah asetaldehid
menjadi asam asetat (Deitrich et al., 2006).
Gambar 2. Jalur Oksidatif Metabolisme Etanol
(Zakhari, 2006)
Kerusakan akibat etanol pada otak dewasa menyebabkan defisit
kognitif seperti gangguan belajar dan memori (Butterfield et al., 1999). Hal
ini disebabkan adanya stres oksidatif yang menginduksi terbentuknya
radikal bebas yang menyebabkan kerusakan dan kematian sel (Heaton et al.,
2000). Paparan etanol yang secara kronis akan mengakibatkan kerusakan
sistem saraf pusat, seperti frontal lobe, sistem limbik, thalamus,
hipothalamus,
formasio
hippocampus,
neocortex,
dan
sistem
neurotransmitter. Lesi pada hippocampus, frontal lobe, dan sistem limbik
17
menyebabkan gangguan proses belajar dan memori jangka pendek
(Lundqvist et al., 1995; Oscar-Breman dan Marinkovic, 2003).
4. Fungsi kognitif dan memori
Neisser (1976) mengemukakan bahwa kognitif adalah aktivitas
mengetahui, memperoleh, mengorganisasi, dan menggunakan pengetahuan.
Sedangkan menurut Shaffer (1989), yang diartikan dengan perkembangan
kognitif adalah perubahan yang terlihat pada kemampuan dan keterampilan
mental pada selang waktu tertentu, secara khusus perubahan yang timbul
pada kegiatan mental seperti perhatian, persepsi, belajar, berpikir, dan
mengingat.
Dua fungsi penting dari sistem saraf antara lain proses belajar dan
memori. Proses belajar atau learning dapat diartikan sebagai modifikasi
yang permanen dari perilaku yang terjadi sebagai akibat dari latihan,
pengalaman, dan observasi. Sedangkan memori dapat diartikan sebagai
kemampuan untuk menerima informasi dan mengubah perilaku sesuai
dengan kondisi lingkungan. Memori merupakan kemampuan seseorang
untuk menyimpan dan menggunakan kembali pengetahuan yang telah
dipelajari sebelumnya secara sadar (Jared, 2010).
a. Klasifikasi memori
Klasifikasi memori secara umum berdasarkan aspek temporal atau
waktu dibagi menjadi tiga macam yaitu memori jangka pendek, jangka
menengah, dan jangka panjang. Memori jangka pendek adalah memori yang
berlangsung beberapa detik atau paling lama beberapa menit dan bertahan
18
selama seseorang terus-menerus memikirkan informasi tersebut. Memori
jangka menengah yaitu memori yang berlangsung selama beberapa hari
hingga
beberapa
minggu tetapi kemudian
menghilang. Percobaan
menunjukkan memori jenis ini merupakan hasil dari perubahan fisik atau
kimiawi atau keduanya yang bersifat sementara, baik pada terminal sinaps
presinaptik atau pada membran sinaps postsinaptik. Sedangkan memori
jangka panjang merupakan memori yang sekali disimpan, dapat diingat
kembali selama bertahun-tahun kemudian atau bahkan seumur hidup.
Memori jangka panjang merupakan hasil dari perubahan struktural pada
sinaps-sinaps yang memperkuat penghantaran sinyal (Guyton dan Hall,
2005).
Memori jangka panjang selanjutnya dibagi lagi menjadi dua, yaitu
memori deklaratif dan memori non deklaratif. Memori deklaratif adalah
ingatan yang meliputi beragam detail yang digunakan dalam kehidupan
sehari-hari. Selanjutnya, memori deklaratif terbagi dalam memori episodik
yaitu memori yang spesifik seperti peristiwa tertentu dan memori semantik
yaitu memori mengenai perbendaharaan kata dan pengetahuan mengenai
dunia. Memori deklaratif dapat digunakan kembali secara sadar, relatif
mudah
dibentuk
dan
dilupakan.
Pembentukan
memori
episodik
berhubungan langsung dengan fungsi lobus temporalis medialis (khususnya
hippocampus) dan neocortex, sedangkan pembentukan memori semantik
berhubungan dengan area asosiasi korteks (Troster,1998).
19
Sedangkan memori non deklaratif adalah memori yang berhubungan
dengan keterampilan seseorang dan terbagi menjadi procedural memory
(keterampilan dan perilaku), priming, conditioning, dan nonassociative
memory, yang masing-masing secara berurutan berhubungan dengan
striatum, neocortex, amygdala, dan reflex pathway (Gluck dan Myers, 2001;
Bear et al., 2007).
Jenis memori lainnya yang dikenal adalah working memory atau
memori aktif. Working memory merupakan kemampuan untuk mengolah
informasi yang sedang berlangsung dalam waktu tertentu. Working memory
digunakan selama pemikiran intelektual dan berakhir jika permasalahan
sudah terselesaikan. Sebagai contohnya adalah mengingat rute jalan yang
pernah dilalui sebelumnya atau berdasar informasi yang baru saja diterima.
Working memory tidak hanya penting sebagai kemampuan memori dasar,
namun juga sebagai dasar untuk proses kognitif yang lebih kompleks,
misalnya pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah. Working
memory dapat menjadi memori jangka panjang apabila dilatih dan diulang
sehingga menjadi memori yang lebih stabil (Baddeley et al., 2002).
Memori spasial termasuk dalam jenis memori episodik karena
berkaitan dengan ruang dan tempat, serta termasuk dalam memori jangka
pendek apabila dilihat dari sisi waktu. Memori jangka pendek yang
dimaksudkan adalah memori yang harus diaktivasi melalui recall menjadi
sebuah memori aktif atau working memory yang berlangsung selama
20
beberapa detik hingga menit sesuai dengan keinginan dan kebutuhan
individu (Budson dan Price, 2005).
b. Pembentukan memori
Memori disimpan sebagai akibat pengalaman fisiologis sebagai respon
dari neuron. Memori tidak disimpan dalam sel otak. Memori ada karena
penjalaran sinaptik diantara neuron. Hal ini terjadi sebagai akibat adanya
aktivitas neuron dalam membentuk alur sinaptik baru atau adanya
modifikasi terhadap alur sinaptik yang telah ada sebelumnya pada sinaps
yang dikenal sebagai memory traces (Guyton dan Hall, 2008). Perubahan
yang terjadi pada alur sinaptik neuron yang terjadi berkaitan dengan
pengalaman atau kebiasaan yang didapat disebut dengan plastisitas (Byrne
dan Roberts, 2004). Proses pembentukan memori sangat bergantung pada
perubahan pola sinaps yang dipercaya mampu mengubah dan memperkuat
koneksi antar neuron (Hergenhahn dan Olson, 2008; Lynch, 2004). Memori
dapat mengalami habituasi atau sensitisasi. Proses habituasi atau inhibisi
sinapsis terjadi jika informasi yang didapat tidak memberikan akibat dan
merupakan tipe ingatan negatif. Sedangkan proses sensitisasi atau fasilitasi
sinapsis terjadi jika informasi yang didapat memberikan efek seperti rasa
nyeri atau rasa senang atau informasi dalam pembelajaran yang merupakan
ingatan positif. Regio limbik (bagian amigdala) pada basal otak dianggap
berperan untuk menentukan apakah informasi dianggap penting atau tidak
(Guyton dan Hall, 2008).
21
Bliss dan Lomo (1973) menemukan proses learning secara
neurobiologi dan neurokimiawi dengan mengamati adanya transmisi
berfrekuensi rendah yang diikuti oleh stimulasi berfrekuensi tinggi pada
presinaptik serat input hippocampus yang menghasilkan transmisi
berkepanjangan (Pinel, 2009). Sedangkan Vanderwolf et al. (1975)
mengamati serangkaian transmisi berfrekuensi rendah secara internal pada
presinaptik perforant path dan mempengaruhi sel-sel di sekitar gyrus
dentatus saat tikus mempelajari lingkungan baru (Hergenhahn dan Olson,
2008). Fenomena ini dikenal dengan long-term potentiation (LTP) karena
potensiasinya bisa berlangsung beberapa menit hingga beberapa jam dengan
frekuensi 100 Hz per detik. Selain itu, juga dikenal adanya long-term
depression (LTD) yaitu aktivitas sinaptik yang dapat menurunkan kekuatan
sinaptik, dengan frekuensi 1 Hz per detik (Hudmon, 2005). LTP dan LTD
merupakan plastisitas sel saraf.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pembentukan memori
melibatkan dua macam reseptor glutamat, yaitu N-methyl-D-aspartate
receptor (NMDAR) dan α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazole propionic
acid receptor (AMPAR). Kanal ion kalsium yang terdapat pada reseptor
NMDA diblok oleh ion magnesium pada keadaan istirahat. Sehingga,
apabila ada glutamat yang dilepaskan ion kalsium tidak dapat memasuki
neuron pascasinaptik. Sedangkan reseptor AMPA memiliki kanal natrium.
Kedua reseptor tersebut memfasilitasi influks ion kalsium yang merupakan
second messenger untuk mengaktifkan protein-protein kinase pada dendrit
22
pascasinaptik. Keduanya terletak pada permukaan neuron pascasinaptik di
sel-sel piramidal hippocampus (Saladin, 2003; Li dan Tsien, 2009).
LTP dapat terjadi selama stimulasi berfrekuensi tinggi dalam periode
singkat. LTP terdiri dari dua fase, yaitu fase induksi dan fase maintenance.
Fase induksi berlangsung selama 1-20 detik serta sangat bergantung
terhadap voltase dan NMDA. Stimulasi frekuensi tinggi pada membran
pascasinaptik akan menginduksi Schaffer collateral pada hippocampus
untuk melepaskan glutamat. Glutamat yang dilepaskan akan berikatan
dengan reseptor AMPA sehingga kanal natrium terbuka. Natrium akan
memasuki neuron pascasinaptik. Apabila ambang batas tercapai, terjadi
depolarisasi lokal yang mengakibatkan terlepasnya ion magnesium dari
reseptor NMDA. Hal ini memungkinkan glutamat berikatan dengan reseptor
NMDA dan mengakibatkan terbukanya kanal kalsium. Influks kalsium akan
mengaktivasi protein kinase pascasinaptik. Ion kalsium akan berikatan
dengan calmoduline dan mengaktifkan CAM kinase II serta adenylate
cyclase. Kedua protein tersebut akan memodulasi protein-protein yang
berperan dalam perubahan sinaps misalnya cAMP, MAP kinase, dan PKA.
Aktivasi reseptor NMDA akibat adanya perubahan voltase dan ikatan
dengan glutamat dapat menginduksi pembentukan LTP (Kandel et al., 2000;
Lynch, 2004; Hammond, 2008; Li dan Tsien 2009).
Fase
maintenance
berguna
untuk
menjaga
voltase
dan
keberlangsungan LTP. Pada fase ini, neuron mengeluarkan beberapa
senyawa retrograde messenger, seperti asam arakhidonat dan nitrit oksid
23
(NO).
Senyawa-senyawa
tersebut
berperan
untuk
meningkatkan
pengeluaran glutamat dan menurunkan re-uptake glutamat oleh sel glial
(Bliss dan Collingridge, 1993).
Gambar 3. Mekanisme Induksi Long-term Potentiation dan Long-term Depression
(Hudmon, 2005)
LTD terjadi pada stimulasi frekuensi rendah untuk periode yang
panjang. Stimulasi frekuensi rendah menyebabkan neuron pascasinaptik
mengalami peningkatan ion kalsium, namun konsentrasinya jauh di bawah
LTP. Protein fosfatase pascasinaptik teraktivasi dan menyebabkan
internalisasi reseptor NMDA sehingga menurunkan sensitivitas terhadap
glutamat. LTD pada hippocampus berfungsi untuk mengembalikan sinapsis
yang telah mengalami LTP ke level normal sehingga informasi baru dapat
disimpan (Hudmon, 2005; Bear et al., 2007).
c. Hippocampus
Hippocampus terletak bilateral di dalam lobus temporalis medialis dan
berperan penting pada memori jangka panjang dan navigasi spasial.
Hippocampus merupakan bagian dari sistem limbik pada otak, yaitu
24
sekelompok struktur yang terletak di area perbatasan antara korteks cerebri
dan hipothalamus dan berada di bagian basal cereberum. Hippocampus
terbentang dari amigdala hingga septum, sepanjang lobus temporal.
Hippocampus
membentuk
formasi
yang dikenal
dengan
formasio
hippocampus, terdiri dari gyrus dentatus, hippocampus, subiculum,
presubiculum, parasubiculum, dan entorhinal cortex. Struktur hippocampus
tersusun atas substansia grisea yang berbentuk kuda laut pada manusia atau
berbentuk pisang pada hewan pengerat (Andersen et al., 2007).
Gambar 4. Letak hippocampus proper di otak
(Paxinos dan Watson, 2007)
Hippocampus terbagi menjadi dua daerah yaitu gyrus dentatus dan
Cornu Ammonis (CA). Bagian CA terbagi lagi menjadi beberapa subbagian
CA1, CA2, dan CA3. Gyrus dentatus tersusun atas sel-sel granul. Struktur
hippocampus memiliki 6 lapisan molekuler yang terdiri dari: 1) stratum
lacunosum-moleculare yang mengandung serabut dari Schaffer collateralis
dan juga serabut perforant path yang bersinaps di dendrit apikal sel
piramidal; 2) stratum radiatum yang berisi Schaffer collateralis jalur CA3CA1; 3) stratum lucidum yang merupakan daerah terminasi mossy fiber; 4)
25
stratum piramidal yang berisi neuron-neuron piramidal; 5) stratum oriens
yang terdiri dari sel basket dan dendrit basal dari neuron piramidal; 6)
alveus yang memiliki serabut komisura sel piramidal melalui fimbria.
Gambar 5. Potongan sagital hippocampus
(Paxinos dan Watson, 2007)
Sedangkan gyrus dentatus hanya memiliki 3 lapisan yaitu : lapisan
polimorfik yang berhubungan dengan asosiasi-asosiasi di dalam gyrus
dentatus; 2) lapisan granular yang merupakan kumpulan dari neuron-neuron
berbentuk oval atau bulat dan merupakan tempat asal mossy fibers yang
berakhir pada dendrit dari sel piramidal hippocampus; 3) lapisan molekuler
yang merupakan daerah terminasi perforant pathway (Taupin, 2008;
Wieshmann et al., 1999; Waxman, 2009)
Serabut aferen ke hippocampus berasal dari gyrus dentatus (via mossy
fibers), septum (via cornix), dan lobus lymbicus (via cingulum). Sedangkan
serabut eferen dari hippocampus menuju corpus mamillaris, thalamus
anterior, area septalis, dan tuber cinereum (via fornix), serta area
subcallosus (via striae longitudinale). Sel granuler dari gyrus dentatus
mengirimkan akson (mossy fibers) yang berakhir pada neuron piramidal di
26
CA3 hippocampus. Neuron ini akan memproyeksikan aksonnya ke fornix
sebagai serabut eferen utama. Cabang kolateral (kolateral Schaffer) dari
neuron CA3 akan memproyeksikan aksonnya ke daerah CA1 hippocampus
(Waxman, 2009).
d. Hippocampus dan memori
Hippocampus memiliki tiga fungsi utama yang terkait dengan fungsi
inhibisi, memori, dan spasial. Fungsi inhibisi diperoleh dari hasil observasi
yang menyebutkan bahwa hewan dengan kerusakan hippocampus akan
lebih hiperaktif. Hasil observasi lain menyebutkan bahwa hewan dengan
kerusakan hippocampus akan mengalami kesulitan untuk menghambat
respon yang sebelumnya telah dipelajari (Gray dan McNaughton, 2000).
Penelitian yang dilakukan Gruart et al (2006) menunjukkan bahwa
terjadi perubahan yang tergantung aktivitas pada sinapsis CA3 dengan CA1
hippocampus tikus selama proses acquisition, extinction, recall, dan
reconditioning. Hal ini membuktikan adanya hubungan antara plastisitas
dengan learning dan memori.
Berdasarkan penelitian O’Keefe dan Dostrovsky (1971), sel-sel
piramidal hippocampus teraktivasi ketika tikus mulai mengenali sebuah
tempat yang baru dan menempatkan diri pada medan tempatnya. Saat tikus
bergerak ke ruangan yang lain, sel yang teraktivasi tersebut menjadi diam
dan sel piramidal lain menjadi teraktivasi. Sehingga, dapat disimpulkan
bahwa hippocampus memiliki sel yang menginduksi lokasi yang spesifik
terhadap lingkungan. Sel piramidal ini disebut dengan place cells (O’Keefe
27
dan Nadel, 1978; Mizumori, 2008). Penelitian selanjutnya mengemukakan
bahwa place cells paling baik dikarakterisasi pada area CA1 dan korteks
entorhinal (Nakazawa et al., 2004).
Penemuan mengenai place cells
mengindikasikan bahwa hippocampus berperan sebagai suatu peta kognitif,
merupakan suatu reprsentasi neural dari tatanan lingkungan (O’Keefe dan
Nadel, 1978).
e. Stres dan pengaruhnya terhadap memori
Stres dapat diartikan sebagai suatu ketegangan fisiologis atau
psikologis yang disebabkan oleh stimuli fisik atau emosi yang berasal dari
internal dan eksternal serta mengganggu fungsi suatu organisme. Stres dapat
mempengaruhi fungsi kognitif seperti learning dan memori (Tak et al.,
2007).
Struktur CA1 hippocampus merupakan bagian yang rentan terhadap
efek stres karena memiliki 2 kelas reseptor kortikosteroid. Plastisitas
sinaptik yang berperan dalam learning dan memori adalah long-term
potentiation dan long-term depression yang terjadi pada area CA1
hippocampus. Aktivasi reseptor glukokortikoid mengganggu pembentukan
LTP, sedangkan aktivasi reseptor mineralokortikoid dapat memfasilitasi
LTP. Faktor yang teraktivasi akan bertindak sebagai faktor transkripsi, oleh
sebab itu protein yang berhubungan dengan reseptor mineralokortikoid
berperan mempertahankan LTP (Korz dan Frey, 2003; Taupin, 2008).
Struktur hippocampus mengandung banyak reseptor kortisol yang
dapat menyebabkan stres oksidatif. Fenomena ini dapat menyebabkan
28
fenomena stres oksidatif. Fenomena ini adalah suatu keadaan dimana
terdapat ketidakseimbangan antara radikal bebas dan aktivitas netralisasi
(antioksidan) oleh neuron. Jika keadaan ini terjadi terus-menerus,
degenerasi dari neuron hippocampus dapat terjadi sehingga berdampak pada
penurunan memori (Simonian, 1996). Di sisi lain, jenis stres yang berupa
aliran listrik dapat mengakibatkan kejang otak dan mengganggu proses
konsolidasi memori baik secara mekanik maupun kimiawi. Hal ini dapat
menyebabkan informasi baru tidak dapat diingat sama sekali (Guyton,
2008).
5. Passive Avoidance Test
Passive avoidance test adalah uji one-trial learning secara cepat.
Passive avoidance test merupakan suatu prosedur untuk meneliti fungsi
memori pada mencit. Pada uji jenis ini, hewan uji dilatih untuk menghindar
dari hukuman (shock listrik) dengan melawan kebiasaan alamiah (Vohora et
al., 2000). Ingatan dari pengalaman tunggal merupakan bentuk belajar yang
cepat dan memungkinkan untuk mengingat kembali pengalaman tersebut
serta bersifat adaptif. Hewan uji diberi shock listrik dan kemudian diuji
ulang untuk mengetahui ingatan mencit terhadap shock yang diberikan.
Pada dasarnya proses mengingat kembali didasarkan pada kemampuan
masing-masing mencit untuk menghindari kondisi uji yang berbahaya bagi
mencit. Pengujian ini dapat dilakukan dalam rentang waktu yang bervariasi,
mulai sangat singkat (5 menit) hingga beberapa bulan.
29
Alat uji passive avoidance terdiri atas dua kompartemen, yaitu
kompartemen gelap dan kompartemen terang. Lantai tiap kompartemen
terbuat dari stainless steel dan mempunyai sebuah pintu geser yang
memisahkan kedua kompartemen. Kedua kompartemen terbuat dari kaca
gelap. Pada kompartemen terang dilengkapi oleh lampu, sedangkan
kompartemen gelap memungkinkan untuk pengaliran shock listrik
(Rodriguiz dan Wetsel, 2006).
F. Landasan Teori
Stres oksidatif mampu menginduksi terbentuknya radikal bebas dalam
jaringan. Radikal bebas yang terbentuk mampu menginduksi peroksidasi lipid
dan menyebabkan kematian sel (Heaton et al., 2000). Otak merupakan organ
yang rentan terhadap kerusakan akibat stres oksidatif karena memiliki tingkat
metabolisme oksidatif yang tinggi dengan kapasitas antioksidan yang rendah
(Hendersen et al., 1999; Pizzaro, 2009).
Hippocampus merupakan bagian otak yang berperan dalam fungsi
kognitif dan penyimpanan memori. Platisitas pada lamina piramidalis CA1
hippocampus berperan dalam pembentukan memori. O’Keefe dan Dostrovsky
(1971) menyebutkan bahwa place cells dalam lamina piramidalis CA1
hippocampus berperan sebagai peta kognitif. Kematian sel-sel piramidal
hippocampus yang diinduksi stres oksidatif akan menyebabkan penurunan
fungsi kognitif dan pembentukan memori baru.
30
Flavonoid merupakan antioksidan alami yang mampu memberikan efek
neuroprotektif. Uji farmakologi dan klinis yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa pemberian ektrak air dan ekstrak etanolik brotowali menunjukkan
perbaikan fungsi kognitif (Bairy et al., 2004). Penelitian Suryani (2010)
menunjukkan bahwa fraksi etil asetat batang brotowali memiliki kandungan
antioksidan yang paling tinggi. Peningkatan memori dan fungsi kognitif pada
mencit ditunjukkan dengan meningkatnya waktu latensi untuk menghindari
kompartemen gelap.
G. Hipotesis
1. Pemberian fraksi etil asetat batang brotowali mampu meningkatkan memori
dan fungsi kognitif pada mencit yang terinduksi etanol.
2. Adanya kenaikan variasi dosis fraksi etil asetat batang brotowali yang
diberikan menimbulkan efek yang lebih baik terhadap peningkatan memori
dan fungsi kognitif dibandingkan terhadap pemberian dosis yang lebih
rendah.
3. Terdapat korelasi positif yang kuat antara tampilan memori dan fungsi
kognitif dengan profil histologi lamina piramidalis CA1 hippocampus.
Download