BAB III SEJARAH SINGKAT MAJELIS ULAMA INDOSESIA A. Sekilas Tentang Berdirinya MUI 1. Sejarah Berdirinya MUI MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah,Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI,” yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama.1 Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat. Dalam perjalanannya, selama dua 1 http://map-bms.wikipedia.org/wiki/Majelis_Ulama_Indonesia, Tanggal 14 Maret 2015 28 29 puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk: a. memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala; b. memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta; c. menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional; d. meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik B. Visi dan Misi 1. Visi Terciptanya kondisi kehidupan kemayarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan yang baik sebagai hasilpenggalangan potensi dan partisipasi umat Islam melalui aktualisasi potensi Ulama’, Zuama’, danCendekiawan Muslim untuk kejayaan Islam dan Umat Islamguna terwujudnya Islam 30 yang penuh rahmat di tengah kehidupan umat manusia dan masyarakat IndonesiaKhususnya. 2. Misi Menggerakkan kepemimpinan dan kelembagaan yang dinamis dan efek tif sehingga mampu mengawalumat Islam dalam melaksanakan Aqidah Islamiyah, membimbing mereka dalam menjalankan ibadah,menuntun mereka dalam mengembangkan muamalat, dan menjadi panutan merek a dalam mengembangkan akhlakul karimah.2 C. Hubungan dengan pihak Eksternal Sebagai organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, zuama dan cendekiawan muslim serta tumbuh berkembang di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia adalah gerakan masyarakat. Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia tidak berbeda dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lain di kalangan umat Islam, yang memiliki keberadaan otonom dan menjunjung tinggi semangat kemandirian. Semangat ini ditampilkan dalam kemandirian -- dalam arti tidak tergantung dan terpengaruh -- kepada pihakpihak lain di luar dirinya dalam mengeluarkan pandangan, pikiran, sikap dan mengambil keputusan atas nama organisasi. Dalam kaitan dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia tidak bermaksud dan tidak dimaksudkan untuk menjadi organisasi supra-struktur yang membawahi organisasi-organisasi kemasyarakatan tersebut, dan apalagi memposisikan dirinya sebagai wadah 2 Anwar Abbas, dkk, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia, Majelis Ulama Indonesia, 2010, hlm. 7 31 tunggal yang mewakili kemajemukan dan keragaman umat Islam. Majelis Ulama Indonesia , sesuai niat kelahirannya, adalah wadah silaturrahmi ulama, zuama dan cendekiawan Muslim dari berbagai kelompok di kalangan umat Islam. Kemandirian Majelis Ulama Indonesia tidak berarti menghalanginya untuk menjalin hubungan dan kerjasama dengan pihak-pihak lain baik dari dalam negeri maupun luar negeri, selama dijalankan atas dasar saling menghargai posisi masing-masing serta tidak menyimpang dari visi, misi dan fungsi Majelis Ulama Indonesia. Hubungan dan kerjasama itu menunjukkan kesadaran Majelis Ulama Indonesia bahwa organisasi ini hidup dalam tatanan kehidupan bangsa yang sangat beragam, dan menjadi bagian utuh dari tatanan tersebut yang harus hidup berdampingan dan bekerjasama antarkomponen bangsa untuk kebaikan dan kemajuan bangsa. Sikap Majelis Ulama Indonesia ini menjadi salah satu ikhtiar mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin (Rahmat bagi Seluruh Alam)3 D. Susunan Pengurus a. Ketua Umum: b. Wakil Ketua Umum c. Bidang-bidang dalam MUI ; 1. Bidang Fatwa 2. Bidang Ukhuwah Islamiyah 3 Ibid, hal. 12 32 3. Bidang Dakwah 4. Bidang Pendidikan dan Kaderisasi 5. Bidang Pengkajian dan Penelitian 6. Bidang Hukum dan Perundang-undangan 7. Bidang Perekonomian dan Produk Halal 8. Bidang Pemberdayaan Perekonomian 9. Bidang Pemberdayaan Perempuan Keluarga dan Perlindungan Anak 10. Bidang Remaja dan Seni Budaya 11. Bidang Kerukunan Umat Beragama 12. Bidang Hubungan dan Kerjasama Internasional 13. Bidang Informasi dan Komunikasi 14. Bidang Lingkungan Hidup dan SDA d. Sekretaris Jenderal e. Wakil Sekjen f. Bendarhara Umum g. Bendahara h. Dewan Penasihat 33 E. Kedudukan MUI dalam ketatanegaraan Indonesia Jika ditinjau secara kelembagaan negara, maka MUI berada pada ranah kawasan infra struktur politik. Infra Struktur Politik sendiri adalah segolongan lembaga yang ada didalam masyarakat. Berada di tengah masyarakat dan merupakan denyut jantung kehidupan sosio-kultural masyarakat. infra strukutr lebih berada di ruang-ruang pemberdayaan masyarakat, sehingga actionnya hanya dapat dilihat dengan cara mendalami masyarakat. tersebut. Pada sektor ini terdapat berbagai kekuatan dan persekutuan politik rakyat (Masyarakat). Dari sekian banyak kekuatan politik rakyat, yang terpenting adalah: Partai Politik, Golongan Penekan, Golongan Kepentingan, Tokoh Politik, Alat Komunikasi Politik, dan Organisasi Non Pemerintah, termasuk didalam Organisasi Non Pemerintah ini adalah : LSM, NGO, Ormas dsb. Sedangkan yang kedua adalah supra struktur (the goverment political sphere) Yaitu suatu kehidupan politik pemerintahan, yang nampak dari luar, dikatakan nampak dari luar, karena supra struktur dalam actionnya sangat terasa dan terlihat. Denyut kehidupan supra struktur dapat dirasakan kasat mata oleh orang awan sekalipun. Sebab supra struktur inilah yang mengurusi langsung hajat hidup orang banyak. Pada sektor ini terdapat lembaga–lembaga negara yang mempunyai peranan dalam proses kehidupan politik (pemerintahan). Lembagalembaga negara yang dimaksud adalah lembaga negara yang dalam UUD 1945 34 diberi kekuasaan untuk menjalankan tugas dan fungsi negara. Antara lain adalah MPR, DPR, Presiden, DPD, MA, MK, KY.4 Jika diamati dan di analisa maka penulis berpendapat bahwa kedudukan MUI dalam ketatanegaraan Indonesia sebenarnya adalah berada dalam elemen infra struktur ketatanegaraan, sebab MUI adalah organisasi alim ulama umat Islam yang mempunyai tugas dan fungsi untuk pemberdayaan masyarakat/umat Islam, artinya MUI adalah organisasi yang ada dalam masyarakat, dan bukan merupakan institusi milik negara atau merepresentasikan negara. Artinya pula, fatwa MUI bukanlah hukum negara yang mempunyai kedaulatan yang bisa dipaksakan bagi seluruh rakyat, fatwa MUI juga tidak mempunyai sanksi dan tidak harus ditaati oleh seluruh warga negara. Sebagai sebuah kekuatan sosial politik yang ada dalam infra struktur ketatanegaraan, Fatwa MUI hanya mengikat dan ditaati oleh komunitas umat Islam yang merasa mempunyai ikatan terhadap MUI itu sendiri. Artinya sebenarnya legalitas fatwa MUI pun tidak bisa dan mampu memaksa harus ditaati oleh seluruh umat Islam, apalagi untuk memaksa dan harus ditaati oleh seluruh warga negara Indonesia Fatwa sendiri pada hakikatnya tak lebih dari sebuah pendapat dan pemikiran belaka, dari individu ulama atau institusi keulamaan, yang boleh diikuti atau justru diabaikan sama sekali. Dalam membuat fatwa, harus ada beberapa metodologi yang harus dilalui, yaitu: pertama, Fatwa tidak boleh taklid (mengikuti secara buta). Seorang ahli fatwa harus memenuhi syarat mujtahid dan syarat mujtahid dilarang mengikuti secara bulat 4 Ibid, Tanggal 14 Maret 2015 35 mujtahid lain. Kedua, fatwa tidak boleh melantur dari sikap hak asasi manusia yang diusung dalam Islam sejak awal. Hak tersebut yaitu antara lain hak untuk memeluk suatu agama dan mengikuti tafsir kelompok penafsir tertentu. Ketiga, kebenaran fatwa bersifat relatif sehingga selalu dimungkinkan untuk diubah seiring dengan perubahan ruang, waktu dan tradisi. Keempat, Fatwa harus didahului dengan riset dan pendeskripsian yang memadai tentang satu pokok soal termasuk mengajak berdiskusi pihak pihak terkait tentang apa yang akan difatwakan. Jika dilihat secara kelembagaan, MUI dalam infra struktur berada dalam golongan/kelompok kepentingan, lebih tepatnya kelompok kepentingan institusional (Interest Group Instittusional). Golongan Kepentingan adalah sekelompok manusia yang bersatu dan mengadakan persekutuan karena adanya kepentingan-kepentingan tertentu, baik itu merupakan kepentingan umum atau masyarakat luas, maupun kepentingan untuk kelompok tertentu saja. Ada empat bentuk golongan kepentingan, yang masing-masing mempunyai ciri dan spesifikasi khusus, Pertama, Interest Group Assosiasi, kedua adalah Interest Group Instittusional, ketiga Interest Group Non Assosiasi, dan keempat, Interest Group Anomik Berdasarkan pada pengertian masing-masing bentuk dan spesifikasi tersebut, maka sebenarnya MUI adalah termasuk dalam Interest Group Instittusional, yakni sebuah bentuk lembaga interest group yang pada umumnya terdiri atau terbentuk atas berbagai kelompok manusia yang berasal dari lembaga atau ikatan profesi atau institusi yang sebelumnya ada. Tujuan yang 36 hendak dicapai adalah memperjuangkan kepentingan-kepentingan kelompok atau sebagian masyarakat yang menjadi anggota. Contohnya adalah kelompokkelompok profesi, misalnya: MUI, IKADIN, IDI, IKAHI.