Pengaruh variasi resistansi ballast resistor cdi dan variasi putaran mesin terhadap perubahan derajat pengapian pada sepeda motor honda astrea grand tahun 1997 Oleh: Wihardi K. 2599051 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Motor atau mesin merupakan alat yang merubah sumber tenaga panas, listrik, angin, air, tenaga atom dan sumber tenaga lainnya menjadi tenaga mekanik (Mechanical Energy). Mesin yang merubah energi panas menjadi energi mekanik disebut motor bakar (Thermal Engine), berdasarkan jenisnya motor bakar dibedakan menjadi dua bagian yaitu : motor bakar dalam (Internal Combustion Engine) dan motor bakar luar (Eksternal Combustion Engine). Motor bensin merupakan salah satu jenis pembakaran dalam. Menurut Wardan Suryanto (1989 : 252) dijelaskan bahwa” proses pembakaran adalah proses secara fisik yang terjadi dalam silinder selama pembakaran terjadi. Proses pembakaran dimulai pada saat busi memercikan bunga api hingga pembakaran selesai”. Syarat yang diperlukan untuk terjadinya proses pembakaran pada motor bensin adalah: adanya sistem pengapian untuk membakar, adanya udara yang membantu proses pembakaran, adanya bahan bakar yang akan dibakar dan adanya kompresi. Api yang digunakan untuk membakar campuran bahan bakar dan udara di dalam ruang bakar pada motor bensin diperoleh dari percikan bunga api listrik dari busi . Saat pengapian merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam pengendalian daya/tenaga dari sepeda motor. Patokan yang digunakan sebagai saat pengapian umum adalah TMA (Titik Mati Atas). TMA adalah posisi tertinggi yang dicapai piston dalam silinder. Saat pengapian pada sepeda motor terjadi beberapa derajat sebelum TMA pada pergerakan piston. Dalam proses pembakaran sesaat setelah bahan bakar terbakar, tekanan dalam silinder akan naik dengan drastis yang disebabkan oleh sempitnya ruang pembakaran karena langkah kompresi. Tekanan pembakaran ini akan mencapai titik tertinggi pada beberapa saat setelah piston melewati TMA dengan maksud tenaga yang dihasilkan motor menjadi maksimum. Daerah tekanan maksimum ini harus dipertahankan, untuk itu saat pengapian harus dimajukan tepatnya pada saat motor berjalan cepat. Disamping itu saat pengapian harus diajukan atau dipercepat apabila mesin bekerja didaerah beban rendah, yaitu keadaan ketika katup gas tidak terbuka penuh atau pada waktu mesin bekerja dengan campuran bahan bakar-udara yang miskin. Perubahan (pemajuan dan pemunduran) pengapian dinyatakan atau dihitung dalam satuan derajat, perhitungan tersebut didasarkan pada putaran poros engkol yang merubah gerakan bolak-balik piston menjadi gerakan berputar yang pergerakanya dihubungkan dengan roda gila atau roda magnet yang ada pada sepeda motor tersebut. Sistem pengapian adalah salah satu sistem yang ada dalam motor sebagai syarat agar motor dapat bekerja. Sistem pengapian harus menghasilkan bunga api disaat yang tepat, serta harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan beban dan kecepatan motor. Untuk memenuhi tujuan tersebut pada sepeda motor dikembangkan sistem pengapian elektrik atau lebih dikenal dengan CDI (Capacitor Discharge Ignition). Komponen pendukung pada sistem pengapian ini antara lain adalah unit CDI yang terdiri dari kapasitor, resistor, dioda, SCR (Silicon Controlled Rectifier) dan atau sejenisnya, dan koil pulser untuk menghasilkan sumber arus. Prinsip kerja sistem pengapian CDI yaitu bila kapasitor telah diisi dengan isyarat tegangan untuk mengontrol timbulnya penyalaan dari koil pulser dengan menggunakan pintu gerbang dari SCR (Silicon Controlled Rectifier) untuk mengalirkan arus dari anoda menuju katoda. Kemudian muatan listrik yang disimpan kapasitor dialirkan pada saat yang tepat melalui SCR dalam kumparan primer dari koil. Arus ini membangkitkan tegangan yang tinggi dalam kumparan sekunder, yang menyebabkan terjadinya loncatan bunga api pada busi. Pengaturan pemajuan pengapian dapat bekerja secara mekanik atau elektrik tergantung dari jenis sistem pengapian yang digunakan. Secara mekanis terjadi pada sistem pengapian konvensional yaitu bobot governor terlempar keluar oleh gaya sentrifugal bila putaran mesin bertambah, dan karena itu cam dari governor bergerak untuk memajukan saat pengapian (timing ignition). Hal seperti ini terjadi pada sepeda motor empat langkah yang menggunakan sistem pengapian platina dengan arus DC, adapun yang menggunakan sistem pengapian platina dengan arus AC pengaturan pemajuan pengapian dapat dilakukan dengan menggeser kedudukan atau posisi plat koil pembangkit dalam hal ini adalah koil pulser. Sedangkan pengaturan pengapian secara elektrik terjadi pada sistem pengapian CDI. Pemajuan pengapian pada sistem pengapian CDI dilakukan dengan mengubah waktu yang diperlukan untuk membangun voltase yang dihasilkan koil pulser. Menurut Hadi Suganda dan Katsumi Kageyama (1996 : 97) dijelaskan bahwa“ voltase koil pulser bertambah bila kecepatan rotor naik dan pada saat yang sama, voltase naik lebih cepat”. Hal ini berarti bahwa voltase mencapai “gate trigger level” dari SCR lebih cepat. Dengan demikian tegangan yang digunakan untuk memicu SCR sangat tergantung pada kecepatan putaran mesin. Besar pemajuan pengapian untuk membakar bahan bakar agar sesuai dengan kebutuhan untuk tiap putaran mesin pada sistem pengapian CDI ditentukan oleh tegangan dan arus pemicu SCR. Tegangan dan arus tersebut diperoleh dari koil pulser yang besarnya berbanding lurus dengan kecepatan putaran mesin. Dalam pengoperasian SCR ,untuk mengubah SCR dari status OFF menjadi ON diperlukan suatu tegangan dan arus yang spesifik. Jadi apabila SCR dialiri arus dan tegangan yang lebih kecil dari ketentuan maka SCR tidak dapat beroperasi, begitu juga bila arus dan tegangan yang masuk ke SCR terlalu besar maka SCR tidak bisa beroperasi bahkan dapat menyebabkan kerusakan pada SCR. Oleh karena itu dalam unit CDI dipasangkan resistor untuk membatasi arus dan tegangan pemicu SCR yang kemudian disebut dengan ballast resistor. Besar arus dan tegangan yang masuk ke SCR tergantung dari nilai resistansi ballast resistor. Untuk mengubah besar pemajuan pengapian pada sistem pengapian CDI dapat dilakukan dengan pengubahan komponen atau bagian tertentu pada unit CDI (secara elektrik). Salah satu komponen pada unit CDI yang dapat diubah dan erat kaitannya dengan pengaturan saat pengapian adalah ballast resistor. Perubahan / variasi nilai resistansi ballast resistor akan mempengaruhi arus dan tegangan pemicu SCR sehingga berpengaruh terhadap saat membuka dan menutup (on/off) dari SCR. Dengan perubahan nilai resistansi ballast resistor pada sistem pengapian CDI akan mempengaruhi saat pemajuan dan pemunduran pengapian yang dinyatakan dalam satuan derajat. Sehubungan dengan uraian di atas, maka penulis berkeinginan untuk mengadakan penelitian dengan judul “Pengaruh Variasi Resistansi Ballast Resistor CDI dan Variasi Putaran Mesin Terhadap Perubahan Derajat Pengapian Pada Sepeda Motor Honda Astrea Grand Tahun 1997”. B. Identifikasi Masalah Berdasar uraian latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi berbagai permasalahan yang timbul berkaitan dengan penelitian ini, yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan derajat pengapian. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut : 1. Beban mesin 2. Putaran mesin 3. Bobot governor pada sistem pengapian konvensional dengan arus DC. 4. Posisi plat koil pembangkit pada sistem pengapian konvensional dengan arus AC. 5. Tegangan gate SCR pada sistem pengapian CDI. 6. Nilai resistansi ballast resistor CDI C. Pembatasan Masalah Banyak faktor yang mempengaruhi derajat pengapian pada sepeda motor yang tidak mungkin di bahas secara keseluruhan. Agar penelitian ini tidakmenyimpang dari permasalahan yang diteliti maka dibatasi pada unit CDI dengan variasi resistansi ballast resistor pada berbagai putaran mesin dengan mengambil sampel sepeda motor 4 langkah yang dilengkapi dengan koil pulser. D. Perumusan masalah Berdasarkan identifikasi masalah dan batasan masalah di atas diperlukan perumusan masalah agar penelitian dapat dilakukan secara terarah .Adapun perumusan masalah yang akan diteliti adalah : 1. Adakah perbedaan pengaruh variasi resistansi ballast resistor CDI terhadap perubahan derajat pengapian pada sepeda motor Honda Astrea Grand Tahun 1997. 2. Adakah perbedaan pengaruh variasi putaran mesin terhadap perubahan derajat pengapian pada sepeda motor Honda Astrea Grand Tahun 1997. 3. Adakah perbedaan pengaruh interaksi variasi resistansi ballast resistor CDI dan variasi putaran mesin terhadap perubahan derajat pengapian pada sepeda motor Honda Astrea Grand tahun 1997. E. Tujuan Penelitian Suatu penelitian akan lebih mudah apabila mempunyai tujuan yang jelas. Maka tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menyelidiki perbedaaan pengaruh variasi resistansi ballast resistor CDI terhadap perubahan derajat pengapian pada sepeda motor Honda Astrea Grand tahun 1997. 2. Menyelidiki perbedaan pengaruh variasi putaran mesin terhadap perubahan derajat pengapian pada sepeda motor Honda Astrea Grand Tahun 1997. 3. Menyelidiki perbedaan pengaruh interaksi variasi resistansi ballast resistor CDI dan variasi putaran mesin terhadap perubahan derajat pengapian pada sepeda motor Honda Astrea Grand Tahun 1997. F. Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan akan mempunyai manfaat praktis dan teoritis, manfaat itu adalah : 1. Manfaat praktis a. Memberikan informasi mengenai perbedaan pengaruh variasi resistansi ballast resistor dan variasi putaran mesin terhadap perubahan derajat pengapian pada sepeda motor dengan sistem pengapian CDI . b. Sebagai masukan bengkel otomotif khususnya bengkel sepeda motor didalam memperbaiki sistem pengapian CDI. 2. Manfaat Teoritis a. Sebagai pertimbangan dan perbandingan bagi pengembangan penelitian sejenis di masa yang akan datang. b. Sebagai referensi untuk pengembangan materi praktek dan teori bagi Program Pendidikan Teknik Mesin, PTK, FKIP, UNS.