17 BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A

advertisement
BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA
A. Psikologi Agama dalam Lintasan Sejarah
Untuk mengetahui secara pasti kapan agama diteliti secara psikologi
memang agak sulit, sebab dalam agama itu sendiri telah terkandung di
dalamnya pengaruh agama terhadap jiwa. Bahkan dalam kitab-kitab suci setiap
agama banyak menerangkan tentang proses jiwa atau keadaan jiwa seseorang
karena pengaruh agama.1
Dalam al-Qur'an, misalnya, terdapat ayat-ayat yang menunjukkan
keadaan jiwa orang-orang yang beriman atau sebaliknya, orang-orang kafir,
sikap, tingkah laku, doa-doa. Di samping itu juga terdapat ayat-ayat yang
berbicara tentang kesehatan mental, penyakit dan gangguan kejiwaan, serta
kelainan sifat dan sikap yang terjadi karena kegoncangan kejiwaan sekaligus
tentang perawatan jiwa, sehingga tidak berlebihan jika Yahya Jaya2
mengemukakan bahwa psikologi agama, dalam arti yang amat sederhana, telah
ada jauh sebelum abad 20, yaitu sejak Nabi Adam, yang pernah merasa
berdosa, yang menyebabkan jiwanya gelisah dan hatinya sedih. Untuk
menghindari kesedihan dan kegelisahan tersebut, ia bertaubat kepada Allah dan
taubatnya diterima, sehingga ia merasa lega kembali. Firman Allah:
1. Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, cet. XIII,
1991), hal. 11 Keterangan lebih lanjut tentang awal kajian Psikologi Agama, baca:
Walter Houston Clark, The Psychology of Religion, (New York: The Mac Milan
Company, cet. I, 1958), hal. 6
2. Yahya Jaya, Paranan Taubat dan Maaf dalam Kesehatan Mental,
(Jakarta: Ruhama, cet. II, 1992), hal. 12
17
‫فتلقى ادم من ربه كلمات فتاب عليه انه هو التواب الرحيم‬
Kemudian Adam menerima beberapa kalimat (untuk
bertaubat) dari Tuhannya, maka Allah menerima
tau-batnya. Sesungguhnya Allah Maha Menerima taubat
lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-Baqarah (2): 37)
Contoh lain adalah proses pencarian Tuhan yang dialami oleh Nabi
Ibrahim. Dalam kisah tersebut dilukiskan bagaimana proses konversi terjadi.3
Dalam kitab-kitab suci lain pun kita dapati proses dan peristiwa keagamaan,
seperti yang terjadi dalam diri tokoh agama Budha, Sidharta Gautama, atau
dalam agama Shinto yang memitoskan Kaisar Jepang sebagai keturunan matahari yang membuat penganutnya sedemikian mendalam ketaatannya kepada
kaisar, sehingga mereka rela mengorbankan nyawanya dalam perang dunia II
demi kaisar, bahkan mereka melakukan harakiri.4
Pengertian psikologi agama sebelum abad 19 telah ada dalam
karya-karya ilmuwan muslim. Dapat disebut sebagai contoh adalah tulisan
Muhammad Ishaq ibn Yasar, pada abad 7 M, yang berjudul al-Sujar wa
al-Maghazi, memuat berbagai fragmen dari biografi Nabi Muhammad SAW,
atau risalah Hayy ibn Yaqzan fi Asrar al-Hikmah al-Misyriqiyyat yang ditulis
oleh Ibn Thufail (1106 - 1185 M) yang membahas tentang proses keagamaan
seseorang. Karya agung yang dapat ditampilkan adalah Ihya' Ulum al-Din dan
al-Munqid min al-Dhalal yang ditulis oleh Abu Hamid Muhammad al-Ghazali
3 Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, cet. I,
1996), hal. 27
4 Ibid.
18
(1059 - 1111 M) yang memuat permasalahan-permasalahan yang berkaitan
dengan materi kajian psikologi agama. Meski demikian, penelitian secara
modern baru dilakukan pada abad ke 19.
Psikologi agama bukanlah ilmu yang pertama meneliti aspek-aspek
agama secara objektif. Sebelumnya telah ada ilmu perbandingan agama yang
dipelopori oleh Max Muller. Dalam kenyataannya setiap orang mempunyai tata
nilai yang tersusun secara sistematis. Tata nilai tersebut menyangkut nilai-nilai
keagamaan dan nilai iman yang mempengaruhi hidup, pribadi maupun struktur
serta budaya hidup kemasyarakatan. Dari sini kemudian muncul apa yang
dinamakan dengan sosiologi agama (The Sosiology of Religion) yang menbahas
tentang struktur dan kultur masyarakat dan sejauh mana dia tertumpu pada
penghayatan dan pengalaman hidup beragama. Di antara tokohnya adalah: Ibnu
Khaldun, Max Weber (1684 - 1920) dan sebagainya. Baru kemudian muncul
psikologi agama (The Psichology of Religion) yang mengkaji pengalaman-pengalaman agama dalam hubungannya dengan tingkah laku manusia.
B. Pendekatan Ilmiah dalam Psikologi Agama
Menurut Abdul Mun'in al-Malighy,5 sebagaimana dikutip oleh Zakiah
Daradjat, orang yang pertama mengkaji psikologi agama secara ilmiah adalah
Frazae dan Taylor. Kedua tokoh ini membentangkan berbagai macam agama
primitif, dan menemukan persamaan yang sangat jelas antara berbagai bentuk
ibadah pada agama Kristen dan ibadah agama-agama primitif. Sebagai contoh
adalah pengorbanan karena dosa warisan, keingkaran, hari berbangkit dan
sebagainya. Hasil dari penelitian ini telah membangkitkan para ahli untuk
5 Abdul Mun'in al-Malighy, Tatawwur li a-Syu'ur al-Din inda al-Thifl wa
al-Murahiq, (Mesir: Dar al-Ma'arif, tt), hal. 12
19
mempelajari dan meneliti aspek-aspek kehidupan manusia, sehingga mulailah
psikologi agama mengumpulkan bahan-bahan yang dikemukakan oleh para ahli
tersebut, dipadu dengan meneliti riwayat hidup dan hasil karya ahli tasawuf dan
ulama-ulama terkenal. Maka terkumpullah bahan-bahan untuk penelitian
psikologi agama dari ilmu-ilmu pengetahuan terdahulu, seperti sejarah agama,
hasil interaksi sosial mereka: ibadah, legenda (mitos), kepercayaan,
undang-undang dan sebagainya.
Awal mula pendekatan ilmiah dalam psikologi agama dimulai pada
tahun 1881, ketika G. Stanley Hall mempelajari konversi agama dan remaja.6
Penelitian berikutnya secara tegas dilakukan oleh Edwin Diller
Starbuck pada tahun 1899 yang menulis buku "The Psychology of Religion; an
Empirical Study of the Growth of Religius Consciouness". Buku ini membahas
pertumbuhan perasaan beragama pada seseorang. Tokoh yang hampir semasa
dengan Starbuck adalah George Alberth Coe, yang menerbitkan bukunya "The
Spiritual Life" pada tahun 1900 dan "The Psychology of Religion" pada tahun
1916. Dalam karya tersebut Coe agak menentang penekanan atas konversi dan
lebih menitikberatkan pada perkembangan agama pada remaja. Satu
pembahasan Coe yang perlu digaris bawahi adalah bahwa banyak peristiwa
konflik dan kegoncangan agama yang pada pekembangan agama yang normal
dan benar.7
Sementara, James H. Leuba mengumpulkan tidak kurang dari 48 teori
tentang agama. Dari definisi-difinisi tersebut, menurutnya, tidak ada gunanya,
karena hanya merupakan kepandaian bersilat lidah.8 Penelitian Leuba
6 W. Houston Clark, op.cit., hal. 6
7 Ibid.
8 Zakiah Daradjat, op.cit., hal. 14
20
menjelaskan fenomena agama secara fisik (amaliah), seperti menyamakan
antara kefanaan seorang mistik dengan orang-orang yang terkena pengaruh
minuman keras. Teori tersebut dimuat dalam jurnal "The Monist Vo. XI" tahun
1901 dengan judul "The Introduction to a Psychological Study of Religion".
Kemudian pada tahun 1912 diterbitkan bukunya dengan judul "A Psychological
Study of Relegion".
Hampir sama dengan Leuba, Stanley Hall juga menggunakan tafsiran
matematika dalam menerangkan fakta-fakta agamis. Hasil penelitian yang
dilakukan menyimpulkan bahwa pertumbuhan jiwa beragama pada remaja
sesuai dengan pertumbuhan emosi dan kecenderung-an terhadap lawan jenis.
Sehingga usia di mana jiwa mulai terbuka untuk cinta, maka pada usia itulah
timbulnya perasan-perasan beragama secara ekstrem. Di samping itu, juga
terdapat persamaan antara fakta-fakta konversi dan cinta pertama, karena kedua
fakta tersebut adalah terbukanya jiwa pada rasa kemanusiaan. Penelitian lain
yang dilakukan oleh Stanley Hall adalah dengan mempelajari kepribadian Isa
al-Masih.9
Permasalahan tingkah laku beragama semakin menarik untuk diteliti,
sehingga usaha penelitian terus dikembangkan, bahkan ada yang berlebihan.
Hal ini dapat dilihat
dari hasil penelitian Medical Materialism yang
kontroversial. Mereka menerangkan fakta-fakta agamis secara fisik, dan
beranggapan bahwa keadaan jiwa atau pikiran
sebagai ungkapan fungsi
organik. Keistimewaan orang-orang suci dan tenggelamnya mereka dalam
kehidupan rohani dianggapnya sebagai akibat dari penyakit-penyakit jasmani,
misalnya disebabkan oleh kegoncangan sebagian kelenjar-kelenjar atau
9 Ibid.
21
terjadinya keracunan (outo intoxication). Dengan demikian pribadi-pribadi
orang sufi yang mempunyai kekuatan jiwa, menurut mereka, adalah karena
ketidaksehatan jiwa mereka. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa
Saint Paul adalah orang yang berkepribadian epileptoid, George Fox adalah
orang yang mengalami kerusakan keturunan (heredity degeneration), Carlyle
menderita keracunan (outo intoxicated), bahkan Isa al-Masih, menurut Binet
Sangle,
dianggap
sebagai
orang
yang
mempunyai
kepribadian
schizophrenic.10 Hasil penelitian tersebut mendapat sanggahan dari beberapa
ahli psikologi, antara lain dilontarkan oleh Flornoy.
Tokoh
lain
yang
mengkaji
beberapa
tulisan
dan
biografi
pemuka-pemuka agama adalah William James, dengan karyanya yang
monumental "The Variaties of Religious Experience". Buku tersebut
merupakan hasil kuliah selama setahun (1901 - 1902). Menurut James, ahli
agama akan dapat meneliti dorongan-dorongan agama pada seseorang, seperti
mempelajari dorongan-dorongan jiwa lainnya dalam konstruksi pribadi orang
tersebut.11 James mendefinisikan agama dengan perasaan dan penga-laman
manusia secara individual yang menganggap
bahwa mereka berhubungan
dengan apa yang dipandangnya sebagai Tuhan. Tuhan, menurutnya, adalah
kebenaran pertama yang menyebabkan manusia merasa terdorong untuk
mengadakan reaksi yang penuh hikmat dan sungguh-sungguh tanpa
menggerutu atau menolaknya. James juga menjelaskan bahwa agama dalam
kehidupan seseorang bukanlah suatu naluri yang berdiri sendiri atau emosi
tertentu. Agama adalah kata yang dapat digunakan untuk menjelaskan emosi
atau perasaan biasa. Cinta agama, misalnya, adalah cinta biasa dengan objek
10 William James, The Variates of Religion experience; a Study in
Human Nature, (New York: Collier Books, 1974), hal. 29
11 Ibid., hal. 42
22
yang dicintainya adalah Tuhan; takut agama adalah takut biasa yang objeknya
hukum Tuhan. Gagasan James yang termuat dalam buku The Variaties of
Religius Experience telah mendorong para ahli psikologi untuk mengadakan
penelitian tetingkah laku beragama, sehingga bermunculan majalah-majalah
atau jurnal-jurnal yang membahas tentang psikologi agama. Sebagai contoh
adalah terbitnya majalah "The Journal of Religious Psychology" dan "The
American Journal of Religious Psychology and Education" pada tahun 1904.
Pada tahun 1911, George M. Straton menerbitkan buku "Psichology of
Religoius Life". Dalam buku tersebut diungkap bahwa sumber agama adalah
konflik jiwa dalam diri individu. Sementara Flornoy (1901) berusaha
mengumpulkan semua penelitian psikologis dan menyusun prinsip-prinsip
penelitian. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
1. Menjauhkan penelitian dari transendence,
2. Prinsip mempelajari perkembangan
3. Prinsip dinamik,
4. Prinsip perbandingan.12
Dalam perkembangannya, psikologi agama tidak hanya mengkaji
kehidupan secara umum, namun juga masalah-masalah khusus. Pembahasan
tentang kesadaran beragama, misalnya, dikupas oleh B. Pratt dalam bukunya
"The Religius Consciousness", sedangkan Rudolf Otto membahas sembahyang.
Perkembangan beragamapun tidak luput dari kajian para ahli psikologi agama.
Piere Binet adalah salah satu tokoh psikologi agama awal yang membahas
tentang perkembangan jiwa keberagamaan. Menurut Binet, agama anak-anak
12 Zakiah Daradjat, op.cit., hal. 20-21
23
tidak beda dengan agama pada orang dewasa. Pada anak-anak, di mana
mungkin juga dialami oleh orang dewasa, seperti
merasa kagum dalam
menyaksikan alam ini, adanya kebaikan yang tidak terlihat, kepercayaan akan
kesalahan dan sebagaian dari pengalam-an itu merupakan fakta-fakta asli yang
tidak dipengaruhi oleh lingkungan.
Tokoh berikutnya yang muncul adalah Robert H. Thouless (1923).
Thouless berusaha mempelajari agama dari segi psikologis. Sementara dari
beberapa tokoh psikologi juga mengungkap tentang tingkah laku beragama.
Sigmud Freud, tokoh psikoanalisa, mengemukakan pendapat bahwa compultion
dan obsession adalah agama tertentu yang rusak. Freud menganalisa agama
orang-orang primitif sebagai obyek kajiannya, dengan menggambarkan
sesembahan totem and tabbo, yang kemudian dibuat perbandingan antara
orang-orang yang terganggu jiwanya dengan orang-orang primitif. Di sinilah,
menurut Freud, ditemukan hubungan antara kompleks oudipus. Dari penelitian
ini diambil kesimpulan bahwa agama adalah gangguan jiwa dan kemunduran
kembali kepada hidup yang berdasarkan kelezatan.13
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Gordon W. Allport dengan
karyanya "The Individual and His Religion" (1950), W.H. Clark dengan
karyanya "The Psychology of Religion". Masing-masing buku tersebut
membahas perkembangan jiwa beragama sejak kecil hingga dewasa.
13 Ibid., hal. 27 - 29
24
C. Kajian Psikologi Agama di Kawasan Timur
Dalam dunia Timur, tidak mau ketinggalan. Abdul Mun'in Abdul Aziz
al-Malighy, misalnya, juga menulis kajian perkembangan jiwa beragama pada
anak-anak dan remaja. Sementara di dataran anak benua Asia, India, juga terbit
buku-buku yang berkaitan dengan psikologi agama. Jalaluddin menyebut judul
buku berikut pengarangnya antara lain: "The Song of God: Baghawad Gita".
Sedang di Indonesia, sekitar tahun 1970-an tulisan tentang psikologi
agama baru
muncul. Karya yang patut dikedepankan adalah "Ilmu JIwa
Agama" oleh Prof Dr Zakiah Daradjat, "Agama dan Kesehatan Jiwa" oleh Prof
Dr. Aulia (1961), "Islam dan Psikosomatik" oleh S.S. Djam'an, Pengalaman
dan Motivasi Beragama" oleh Nico Syukur Dister, Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran
Jiwa dan Kesehatan Jiwa” oleh Dadang Hawari, dan sebagainya. Dalam buku
yang disebut terakhir, misalnya, meskipun yang menjadi pembahasan mengenai
kedokteran jiwa, akan tetapi terbahas pula aspek-aspek agama atau spiritual
dalam kaitannya dengan jiwa seseorang.14
Pada saat sekarang, dalam dua puluh tahun belakangan ini, arus
mempelajari dan mencangkokan psikologi Timur pada body of knowledge
psikologi Barat sangat kuat, bahkan arah baru ini disebutnya. Tokoh yang
pantas disebut dalam hal ini adalah Robert Ornstein dengan bukunya The
Psychology
of Consciousness, Charles Tart dengan bukunya States
Consciousness dan Stuart B. Litvak yang menulis buku panduan psikologi How
to Study Psychology: A Basic Field Guide for Students and Enthusiasts.15
14. Baca: Dadang Hawari, Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa
, (Yogyakarta: Dana Bjakti Prima Jasa, cet. I, 1996)
15. Budhy Munawar Rahman, Arah Baru dalam Psikologi, dalam jurnal Ulumul
Qur'an, No. 4, Vol. V, tahun 1994, hal. 3
25
Pertanyaan
1. Jelaskan awal mula munculnya Psikologi Agama!
2. Bagaimanakah perkembangan Psikologi Agama di kawasan dunia Timur?
3. Pada Tahun berapakah Psikologi Agama mulai dikaji di Indonesia? Dan
siapakah tokoh-tokoh yang mengkaji Psikologi Agama tersebut?
4. Apakah yang menjadi kajian William James, khususnya yang tertuang
dalam bukunya ‘The Variates of Religion experience’?
26
DAFTAR PUSTAKA
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, cet. XIII, 1991)
Walter Houston Clark, The Psychology of Religion, (New York: The Mac
Milan Company, cet. I, 1958)
Yahya Jaya, Paranan Taubat dan Maaf dalam Kesehatan Mental, (Jakarta:
Ruhama, cet. II, 1992)
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, cet. I, 1996)
Dadang Hawari, Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa ,
(Yogyakarta: Dana Bjakti Prima Jasa, cet. I, 1996)
Abdul Mun'in al-Malighy, Tatawwur li a-Syu'ur al-Din inda al-Thifl wa
al-Murahiq, (Mesir: Dar al-Ma'arif, tt)
William James, The Variates of Religion experience; a Study in Human
Nature, (New York: Collier Books, 1974)
Budhy Munawar Rahman, Arah Baru dalam Psikologi, dalam jurnal Ulumul
Qur'an, No. 4, Vol. V, tahun 1994
27
146
BAB IX
KESEHATAN MENTAL
A. Pengertian Kesehatan Mental
Kesehatan mental, sebagai disiplin ilmu yang merupakan bagian dari
psikologi agama, terus berkembang dengan pesat. Hal ini tidak terlepas dari
kondisi masyarakat yang membutuhkan jawaban atas berbagai permasalahan
yang melingkupinya. Kemudahan yang di dapat dari kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta industri belum mampu memenuhi kebutuhan
rohani, malah memunculkan permasalahan-permasalahan baru, seperti
kecemasan akibat dari kemewahan hidup yang diraihnya. Dampak lain adalah
mereduksinya integritas kemanusiaan, yang akhirnya membawa manusia
terperangkap dalam jaringan sistem rasionalitas tehnologi yang tidak
manusiawi. Demikian ungkap Sayyid Husain Nasr1
Pada bagian lain, berbagai persoalan hidup yang melanda bangsa
Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan krisis yang menyusup dalam
berbagai bidang kehidupan, baik politik, sosial ekonomi, maupun budaya,
serta berbagai kerusuhan etnis di berbagai pelosok negeri, semakin
menambah persoalan dalam
% bangsa Indonesia
bahwa
persoalan
kesehatan mental. Adanya asumsi bahwa 2
terganggu
jiwanya dapat dijadikan sebagai dasar
kesehatan mental
semakin membutuhkan perhatian
yang serius.
1
02
Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, cet. I, 1994), hal.
147
Di samping itu, adanya perhatian manusia yang besar terhadap
kesejahteraan hidupnya, serta adanya kesadaran masyarakat akan pentingnya
dilakukan pembinaan kesejahteraan hidup bersama ikut mempercepat
perkembangan ilmu kesehatan mental.2
Apakah yang dimaksud dengan kesehatan mental?. Untuk menjawab
pertanyaan ini perlu dilacak dari beberapa pengertian yang telah
dikemukakan oleh beberapa pakar psikologi. Dalam perjalanan sejarahnya,
pengertian kesehatan mental mengalami perkembangan sebagai berikut :
a. Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gangguan dan
penyakit jiwa (neurosis dan psikosis).3
Pengertian ini masih terlihat sempit dan terbatas, karena yang
dimaksud dengan orang yang sehat mentalnya adalah mereka yang
tidak terganggu dan berpenyakit jiwanya. Namun demikian,
pengertian pertama ini banyak mendapat sambutan dari kalangan
psikiatri.
Kembali pada istilah neorosis, pada awalnya kata tersebut
berarti ketidakberesan dalam susunan syaraf. Namun, setelah para
ahli penyakit dan ahli psikologi menyadari bahwa ketidakberesan
tingkah laku tersebut tidak hanya disebabkan oleh ketidakberesan
susunan syaraf, tapi juga dipengaruhi oleh sikap seseorang terhadap
dirinya sendiri dan terhadap orang lain, maka aspek mental
(psikologi) dimasukkan pula dalam istilah tersebut.4
2
Siti Maechati, Kesehatan Mental, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi Press, cet. I,
1983), hal. 6
3
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Haji Mas Agung, cet. XVI,
1990), hal. 11
4
Winarno Surahmad dan Murray Thomas, Perkembangan Pribadi dan
Keseimbangan mental, (Bandung: Jemmars, 1980), hal. 139
148
b. Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri,
dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan di mana ia
hidup. Pengertian ini lebih luas dan umum, karena telah
dihubungkan dengan kehidupan sosial secara menyeluruh. Dengan
kemampuan penyesuaian diri, diharapkan akan menimbulkan ketentraman dan kebahagiaan hidup.
c. Terwujudnya
keharmonisan
yang
sungguh-sungguh
antara
fungsi-fungsi jiwa serta mempunyai kesanggupan untuk mengatasi
problem yang biasa terjadi, serta terhindar dari kegelisahan dan
pertentangan batin (konflik).
d. Pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan
dan meningkatkan potensi, bakat dan pembawaan semaksimal
mungkin, sehingga membawa kebahagiaan diri dan orang lain,
seterhindar dari gangguan dan penyakit jiwa.5
Dari pengertian di atas dapat diambil suatu batasan bahwa orang
yang sehat mentalnya adalah orang yang terhindar dari ganguan dan penyakit
jiwa, mampu menyesuaikan diri, sanggup mengahadapi masalah-masalah dan
kegoncangan-kegoncangan yang biasa , adanya keserasian fungsi jiwa, dan
merasa bahwa dirinya berharga, berguna dan berbahagia serta dapat
menggunakan potensi-potensi yang ada semaksimal mungkin.
Batasan pengertian tersebut di atas belum termasuk di dalamnya
unsur agama, sehingga Zakiah Daradjat menambahkan: harus berlandaskan
keimanan dan ketaqwaan serta bertujuan untuk mencapai hidup bermakna,
bahagia di dunia dan akhirat.6
5
Zakiah Daradjat, op. cit., hal. 11 - 13. Pengertian yang hampir senada
diungkapkan oleh Marie Jahoda. Lebih lanjut lihat: Yahya Jaya, Peranan Taubat dan
Maaf dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhama, cet. II, 1992),, hal. 13; Jalaluddin
dan Ramayulis, op.cit., hal. 76.
6
Ibid.
149
Dari keterangan di atas, memunculkan empat pola wawasan dengan
orientasi masing-masing, demikian konklusi yang ambil oleh Hanna
Djumhana Bastaman menanggapi pengertian kesehatan mental di atas.7 Pola
wawasan tersebut adalah:
a. Pola wawasan berorientasi pada simtomatis
b. Pola wawasan berorientasi pada penyesuaian diri.
c. Pola wawasan berorientasi pada pengembangan potensi.
d. Pola wawasan berorientasi pada agama (keruhanian).
Masih dalam pembahasan yang sama, Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) pada tahun 1959 memberikan batasan mental yang sehat
adalah sebagai berikut :
1. Dapat menyesuaikan diri
secara konstruktif pada
kenyataan meskipun kenyataan itu buruk baginya
2. Memperoleh kepuasan dari hasil jerih payahn usahanya
3. Merasa lebih puas memberi dari pada menerima
4. Secara relatif bebas dari rasa tegang dan cemas
5. Berhubungandengan orang lain secara tolong menolong
dan saling memuaskan
6. Menerima
kekecewaan
untuk
dipakainya
sebagai
pelajaran di kemudian hari
7. Menjuruskan rasa permusuhan kepada penyelesaian yang
kreatif dan konstruktif
8. Mempunyai rasa kasih sayang yang besar.
7
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, cet. I, 1995), hal. 133. Dalam hal ini Hanna tidak hanya mengambil
pengertian yang ditawarkan oleh Zakiah Daradjat, namun juga pendapat Saparinah Sadli
sebagai perbandingan
150
Kriteria tentang batasan sehat
yang dikemukakan WHO—
sebagaimana tersebut di atas—pada tahun 1984 disempurnakan dengan
menambahkan satu elemen spiritual (agama0. Oleh karena itu, yang
dimaksud dengansehat adalah bukan sehat dari segi fisik, psikologik, dan
sosial saja, akan tetapi juga sehat dalam arti spiritual/agama, atau dalam
istilah Dadang Hawari disebut dengan empat dimensi sehat : bio-psikososial-spiritual.8
B. Prinsip-prinsip Kesehatan Mental
Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip kesehatan mental adalah dasar
yang harus ditegakkan orang dalam dirinya untuk mendapatkan kesehatan
mental yang baik serta terhindar dari gangguan kejiwaan. Prinsip-prinsip
tersebut adalah:
1. Gambaran dan sikap yang baik terhadap diri sendiri.
Prinsip ini biasa diistilahkan dengan self image. Prinsip ini antara lain
dapat dicapai dengan penerimaan diri, keyakinan diri dan kepercayaan
pada diri sendiri. Self Image yang juga disebut denagn citra diri
merupakan salah satu unsure penting dalam pengembangan pribadi. Citra
diri positif akan mewarnai pola hidup, sikap, cara piker dan corak
penghayatan, serta ragam perbuatan yang positif pula. Carl Rogers
mengemukakan dua ragam citra diri:
Dadang Hawari, Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa,
(Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Jasa, 1995), hal. 12
8
151
a. Citra diri actual (The Actualized self image)
Citra ini merupakan gambaran seseorang mengenai dirinya pada saat
sekarang.
b. Citra diri Ideal (The Idealized Self Image)
Gambaran seseorang mengenai dirinya seperti yang diidam-idamkan.9
Citra diri ini dapat dikatakan sebagai sumber motivasi dari seluruh
perbuatan manusia.
2. Keterpaduan antara Integrasi Diri
Yang dimaksud keterpaduan di sini adalah adanya keseimbangan antara
kekuatan-kekuatan jiwa dalam diri, kesatuan pandangan (falsafah) dalam
hidup dan kewsanggupan mengatasi stress. Dalam bahasa lain orang yang
memiliki kesatuan pandangan hidup adalah orang yang memperoleh
makna dan tujuan dalam hidupnya. Sedangkan orang yang mampu
mengatasi stress berarti orang yang sanggup memenuhi kebutuhannya,
dan apabila menemui hambatan ia dapat mengadakan
suatu inovasi
dalam memenuhi kebutuhannya.
3. Perwujudan Diri (aktualisasi diri)
Merupakan proses pematangan diri. Menurut Reiff, orang yang sehat
mentalnya adalah orang yang mampu mengaktualisasikan diri atau
mampu mewujudkan potensi yang dimilikinya, serta memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya dengan cara yang baik dan memuaskan.
9
Ibid, hal. 123-124
152
4. Berkemampuan menerima orang lain, melakukan aktifitas social dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggal. Kecakapan dalam
hidupnya merupakan dasar bagi kesehatan mental yang baik. Untuk
mendapatkan penyesuaian diri yang sukses dalam kehidupan, minimal
orang harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan, mempunyai
hubungan yang erat dengan orang yang mempunyai otoritas dan
mempunyai hubungan yang erat dengan teman-teman.
5. Berminat dalam tugas dan pekerjaan
Orang yang menyukai terhadap pekerjaan walaupun berat maka akan
cepat selesai dari pada pekerjaan yang ringan tetapi tidak diminatinya.
6. Agama, cita-cita,
pengembangan
dan falsafah hidup. Untuk pembinaan dan
kesehatan
mental
orang
membutuhkan
agama,
seperangkat cita-cita yang konsisten dan pandangan hidup yang kokoh.
7. Pengawasan diri
Mengadakan pengawasan terhadap hawa nafsu atau dorongan dan
keinginan serta kebutuhan oleh akal pikiran mereupakan hal pokok dari
kehidupan ortang dewasa yang bermental sehat dan berkepribadian
normal, karena dengan pengawasan tersebut orang mampu membimbing
segala tingkah lakunya.
8. Rasa benar dan tanggung jawab
Rasa benar dan tanggung jawab penting bagi tingkah laku, karena setiap
individu ingin bebas dari rasa dosa, salah dan kecewa. Rasa benar,
153
tangung jawab dan sukses adalah keinginan setiap orang yang sehat
mentalnya. Rasa benar yang ada dalam diri selalu mengajak orang kepada
kebaikan, tanggung jawab dan rasa sukses, serta membbaskannya dari
rasa dosa, salah dan kecewa.
C. Kedudukan dan Peran Kesehatan Mental
Para ahli kesehatan mental telah sepakat bahwa kedudukan kesehatan
mental dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:
1. Kesehatan mental sebagai kondisi (keadaan).
Kedudukan kesehatan mental sebagai kondisi (keadaan) mengacu kepada
pengertian kesehatan mental seperti tersebut di atas, seperti terhindar
gangguan kejiwaan (neuroses) dan penyakit kejiwaan (psychoses). Selain
itu juga mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain dan
dengan masyarakat di mana ia hidup, mampu mengendalikan diridalam
berbagai masalah serta terwujudnya keserasian dan keharmonisan antara
fungsi-fungsi kejiwaaan.
2. Kesehatan mental sebagai ilmu pengetahuan.
Sebagai cabang ilmu psikologi, kesehatan mental bertujuan untuk
mengembangkan semua potensi yang ada pada manusia seoptimal
mungkin, serta memanfaatkannya sebaik-baiknya agar terhindar dari
gangguan dan penyakit kejiwaan.
154
3. Kesehatan mental sebagai terapi.
Kesehatan
mental
sebagai
ilmu
jiwa
terapan,
mengkaji
dan
mengembangkan teknik-teknik konseling dan terapi kejiwaan.
Dalam dunia Islam kedudukan, fungsi dan peranan kesehatan
mental tampak lebih jelas lagi.
Maksud dan tujuan Allah menciptakan manusia di muka bumi
adalah untuk beribadah dalam pengertian luas. Ibadah dalam pengertian,
kegiatannya mencakup seluruh aspek kegiatan manusia. Baik yang
bersifat I’tiqad, pikiran, amal social, jasmani, ruhani, akhlaq dan
keindahan.
Pengertian ibadah dalam Islam secara luas adalah pengembangan
sifat-sifat Allah yang ada pada manusia untuk menumbuhkembangkan
potensi diri yang telah diberikan Allah kepada manusia berupa potensipotensi yang terdapat dalam nama-nama Allah yang agung (al-asma alhusna), seperti potensi ilmu, kuasa, sosial, kekayaan, pendengaran,
penglihatan dan pemikiran serta potensi-potensi lainnya.2
Dengan demikian maksud dan tujuan ibadah dalam Islam tidak
hanya menyangkut hubungan vertikal atau hablun min Allah akan tetapi
juga menyangkut hubungan horizontal yang meliputi hablun min alannas, hablun min al-nafs, dan hablun min al-alam. Menurut paham
kesehatan mental, tujuan dan maksud yang demikian itu dapat berarti
sebagai pembinaan perasaan dan hubungan baik antara manusia dengan
Allah, sesama manusia, diri sendiri, serta alam semesta sehingga manusia
mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.
155
Dari uraian singkat di atas dapat dilihat bagaimana bagaimana
kedudukan kesehatan mental dalam Islam. Kesehatan mental dalam Islam
adalah ibadah dalam pengertian luas atau pengembangan potensi diri
yang dimiliki manusia dalam rangka pengabdian kepada Allah dan
agamanya, untuk mendapatkan al-nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenang
dan bahagia). Firman Allah:
‫ياايتهاالنفس المطمئنة ارجعي الى ربك راضية مرضية‬
Hai jiwa dalam ketenangan ! Kembalilah kepada Tuhanmu
dengan hati yang senang dan diridhoi-Nya
156
Pertanyaan
1. Apakah yang dimaksud dengan kesehatan mental ?
2. Sebutkan batasan mental sehat menurut badan Kesehatan Dunia (WHO) !
3. Uraikan hubungan antara kesehatan mental dengan psikologi agama !
4. Sebutkan prinsip-prinsip kesehatan mental
5. Para ahli kesehatan mental membagi kedudukan dan fungsi kesehatan
mental menjadi tiga macam : sebagai keadaan, sebagai ilmu pengetahuan
dan sebagai terapi. Jelaskan ketiga macam kedudukan dan fungsi
tersebut !
6. Bagaimanakah kedudukan kesehatan mental dalam ajaran agama Islam
157
DAFTAR PUSTAKA
Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, cet. I, 1994)
Siti Maechati, Kesehatan Mental, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi Press,
cet. I, 1983)
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Haji Mas Agung, cet. XVI,
1990)
Winarno Surahmad dan Murray Thomas, Perkembangan Pribadi dan
Keseimbangan mental, (Bandung: Jemmars, 1980)
Yahya Jaya, Peranan Taubat dan Maaf dalam Kesehatan Mental, (Jakarta:
Ruhama, cet. II, 1992)
Hanna
Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I, 1995)
dengan
Islam,
Dadang Hawari, Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa,
(Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Jasa, 1995)
187
BAB XI
PERANAN AGAMA ISLAM DALAM TERAPI NEUROSIS
A. Manusia dan Agama
Eksistensi agama merupakan
sarana pemenuhan kebutuhan
esoteris manusia yang berfungsi untuk menetralisir seluruh tindakannya.
Tanpa bantuan agama manusia senantiasa bingung, resah, bimbang
gelisah dan sebagainya.1
Sebagai akibatnya manusia
tidak mampu
memperoleh arti kebahagiaan dan kesejahteraan hidupnya.
Kondisi jiwa yang tidak tenang, seperti gelisah, resah, bingung,
dan sebagainya dapat dikategorikan dalam gangguan jiwa atau dalam
istilah psikopatologi disebut dengan neurosis. Dalam al-Qur’an (ajaran
agama Islam) disebutkan dengan jelas, bahwa dengan mengingat Allah
maka jiwa manusia akan menjadi tenang; bahwa al-Qur’an adalah
petunjuk dan sebagai obat, dan sebagainya
‫الذين امنوا وتطمئن قلوبهم بذكرهللا اال بذكر هللا تطمئن‬
‫القلوب‬
Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi
tentram denganmengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingat Allah-lah hati menjadi tentram. (QS al-Ra’d:
28)
1
Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam dalam Menumbuhkembangkan
Kepribadian dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhama, 1994), hal. 81
188
‫يا ايها الناس قد جاء تكم موعظة من ربكم وشفاء لما فى‬
‫الصدور وهدى ورحمة للمؤمنين‬
Hai manusia sesungguhnya telah dating kepadamu
pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakitpenyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta
rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. Yunus: 57)
‫قل هو للذين امنوا هدى وشفاء‬
Katakanlah: al-Qur;’an itu adalah petunjuk dan penawar
bagi orang-orang yang beriman. (QS. Fushilat: 44)
Akan tetapi perlu diperjelas bagaimanakah
agama Islam mampu
membantu manusia untuk keluar dari lingkaran neurosis tersebut.
Dalam memahai Islam sebagai sebuah agama, terdapat tiga
paradigma yang bisa dikembangkan:
1.
Agama dalam dimensi subyektif, yaitu kesadaran keimanan umat
(akidah).
2. agama dalam dimensi obyektif, yaitu berupa amaliah atau prilaku
pemeluk agama (akhlak)
189
3. agama dalam dimensi simbolik, yaitu ajaran keagamaan atau biasa
disebut dengan syariat.2
Ketiga dimensi tersebut merupakan satu kesatuan yang integral.
Apabila prilaku umat islam tidak mampu mencerminkan ketiga dimensi
tersebut, maka ia tidak akan mampu menghayati dan menjadikan agama
Islam sebagai alternatif terapi dalam berbagai persoalan
yang
dihadapinya.
Agar manusia mampu menghayati agamanya dengan baik, maka
manusia harus menjadikan Islam sebagai acuan kehidupannya secara
keseluruhan, sebagaimana firman Allah
‫ياايها الذين امنوا ادحلوا فى السلم كافة‬
Hai orang yang beriman, masuklah kamu pada agama
Islam secara sempurna. (QS al-baqarah: 208)
Ayat tersebut di atas memberikan gambaran bahwa agama Islam
merupakan suatu ajaran agama yang universal dan mengatur seluruh
kehidupan manusia. Oleh karena itu, persoalan manusia yang berkaitan
dengan keresahan jiwa akan terselesaikan dengan baik manakala
manusia menjadikan Islam sebagai way of life dalam kehidupannya.
Dengan demikian, dengan menjalankan ajaran agama Islam secara baik
dan benar akan dapat menjadi terapi bagi penderita neurosis.
masdar Farid Mas’udi, Dialog: Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1993), hal. 151-152
2
190
B. Macam-macam Terapi
Dadang Hawari3 membagi terapi dalam beberapa bentuk:
1.
terapi holistic, yaitu terapi yang tidak hanya menggunakan obat
dan ditujukan kepada gangguan jiwanya saja, akan tetapi juga
aspek-aspek lainnya dari pasien, sehingga pasien diobati secara
menyeluruh, baik dari segi organobiologik, psikologik, psikososial,
maupun spiritualnya.
2.
psikoterapi psikiatrik. Tujuan utama terapi ini adalah untuk
memulihkan kembali kepercayaan diri dan memperkuat fusi ego.
Terapi ini, misalnya, dengan menggunakan metode wawancara
dengan pasien, sehingga pasien dapat mengungkapkan secara
bebas permasalahan, konflik, dan uneg-uneg yang dihadapinya,
dengan jaminan kerahasiaan. Terapi ini membutuhkan banyak
waktu dan relatif mahal.
3.
Psikoterapi keagamaan, yaitu terapi yang diberikan dengan
kembali mempelajari dan mengamalkan
ajaran agama Islam.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam ajaran Islam mengandung
tuntunan bagaimana kehidupan manusia bebas dari rasa cemas,
tegang, depresi dan sebagainya. Dalam doa-doa, misalnya, intinya
adalah
memohon agar kehidupan manusia diberi ketenangan,
kesejahteraan, keselamatan baik di dunia dan di akherat. Perlu
digaris bawahi bahwa terapi ini dimaksudkan untuk memperkuat
Dadang Hawari, Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan
Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Jasa, 1995), hal. 6674
3
191
iman seseorang bukan untuk mengubah kepercayaan atau agama
pasien.
4.
Farmakoterapi (psikofarmaka), yaitu terapi dengan mengguankan
obat. Terapi ini biasanya diberikan oleh dokter dengan
memberikan resep obat pada pasien.
5.
terapi somatic, yaitu terapi dengan memberikan obat-obatan yang
ditujukan pada
keluhan atau kelainan fisik/organic pasien.
Berbagai keluhan/kelainan organ tubuh terutama yang dipersyarafi
oleh system syaraf otonom yang muncuk sebagai manifestasi
kecemasan atau depresiatau pada
mereka yang menderita
gangguan panik ataupun phobia.
6.
Terapi relaksasi, yaitu terapi yang diberikan kepada pasien yang
mudah disugesti. Terapi ini lazimnya digunakan oleh terapis yang
mengguankan hipnotis. Dengan terapi ini
pasien dilatih untuk
melakukan relaksasi.
7.
Terapi Prilaku. Terapi ini dimaksudkan agar pasien berubah, baik
sikap maupun prilakunya terhadap obyek atau situasai yang
menakutkan . Prinsip yang dilakukan adalah desentisisasi, agar
passien tidak lagi sensitive atau reaktif terhadap obyek ataui situasi
yang memnbuatnya menderita tersebut. Secara bertahap pasien
dibimbing
dan dilatih untuk menghadapi berbagai obyek atau
situasi yang menimbulkan panik atau takut. Sebelum melakukan
terapi ini diberikan psikoterapi
untuk memperkut kepercayaan
diri.
C. Psikoterapi
Dalam pengobatan terhadap penderita neurosis
dengan menggunakan beberapa terapi, salah satunya
dilakukan
di antaranya
192
adalah psikoterapi. Yang dimaksud dengan psikoterapi adalah
pengobatan alam pikiran atau lebih tepat pengobatan psikis melalui
metode psikologi.4 Dari pengertian tersebut dapat diambil suatu
pemahaman bahwa psikoterapi dipandang sebagai upaya kuratif dalam
pengobatan orang yang sakit jiwa. Dari pengertian tersebut pula tidak
mencakup upaya preventif dan konstruktif.
Psikoterapi kadang-kadang diidentikkan dengan psikoanalisis
(al-tahlil al-nafsiy), yaitu suatu cara untuk menganalisa jiwa seseorang
dengan menggunakan tehnik-tehnik tertentu. Psikoterapi juga diartikan
dengan penerapan tehnik khusus pada penyembuhan penyakit mental
atau pada kesulitan-kesulitan penyesuaian diri.
Sebenarnya psikoterapi bukan saja untuk pengobatan (kuratif),
akan tetapi juga dapat digunakan untuk preventif—upaya pencegahan—
dan konstruktif, demikian pendapat Carl Gustav Jung.5
Sementara kegunaan psikoterapi itu sendiri, menurut Muhammad
Mahmud Mahmud, adalah:
1. membantu penderita dalam memahami diri sendiri, mengetahui
sumber patologi dan kesulitannya, serta memberikan perspektif masa
depannya.
2. membantu penderita dalam menentukan bentuk-bentuk patologinya
3. membantu pendreita dalam menentukan lanhkah-langkah dan
pelaksanaannya.6
4
Frieda Fordman, Pengantar Psikologii C.G. Jung, (Jakarta: Bhatara Karya
Aksara, 1988), hal. 69
5
Ibid., hal. 80
6
Muhammad Mahmud Mahmud, Ilm al-Nafs al-Ma’ashir fi Dhaui alIslam, (Jeddah: Dar al-Syuruq, 1984), hal. 402
193
Muhammad Mahmud Mahmud membagi psikoterapi dalam dua
macam:
1. bersifat duniawi, yaitu terapi yang memberikan kerangka pendekatan
dan tehnik pengobatan serta pemahaman dasar-dasar penciptaan
manusia
2. bersifat ukhrawi, yaitu dengan memberikan kerangka asasi terhadap
nilai-nilai agama, moral dan spiritual.7
Pada umumnya psikolog kontemporer menggunakan pendekatan
empirik dalam menganalisis patologi pasiennya. Freud, misalnya,
mengguanakan otobiografi pasien untuk menentukan terapi yang tepat.
Sementara terapi yang digunakan dalam bentuk hipnotis, chatarsis,
asosiasi bebas, dan analisis mimpi. Bentuk tehnik ini dilakukan secara
bertahap dan berurutan.
1. Hipnotis.
Terapi ini biasanya digunakan oleh spikiater dengan cara
menghilangkan ingatan-ingatan pasien yang mengandung simtomsimtom, kemudian membrikan ingatan baru yang dapat memulihkan
kesehatan pasien
2. Chatarsis
Yaitu pengobatan dengan cara berbicara (talking cure). Cara kerja
tehnik ini yaitu dengan menyuruh pasien untuk menceritakan
simtom yang dideritanya secara rinci yang terdapat dalam jiwanya.
Setelah simtom tersebut muncul, kemudian segera dihilangkan.
7
Ibid.
194
3. asosiasi bebas
yaitu
dengen
pengalamannya,
membiarkan
baik
pasien
simtom
menceritakan
maupun
tidak.
Cerita
seluruh
yang
dikemukakan tidak mesti harus logis, teratur atau penuh arti. Apapun
isi cerita tersebut harus dikeluarkan, tidak terkecuali cerita yang
memalukan yang selama ini mungkin terpendam.
4. analisis mimpi.
Mimpi merupakan bentuk, isi dan kegiatan primitif dari jiwa
seseorang. Oleh karena itu dengan mengguanakn metode ini,
diharapkan akan diketahui rahasia pasien yang paling dalam.8
Masih dalam bahasan yang sama, al-Syarqawi menjelaskan 17
macam cara yang dapat digunakan sebagai terapi guna menuju pada
mental yang sehat. Ketujuh belas metode tersebut adalah:
1.
al-wasth
2.
al-’adl
3.
al-khair
4.
al-fadhl
5.
al-taubat
6.
al-shafh al-jamil
7.
al-‘amal al-shalih
8.
al-ru’ya al-khasanah
9.
shumt al-hakim
8
Lebih jelasnya baca: Calvin S. Hall dan Gardner lindzey, Teori-teori
Holistik: Organismik Fenomenologis), (Yogyakarta: kanisius, 1993), hal. 110
195
10.
dzikr Allah
11.
al-‘amn
12.
al-‘aml
13.
al-mahabbah
14.
huzn al-shadiqin
15.
al-idhthirar wa al-iftiqar
16.
muhasibat al-nafs, dan
17.
ma’rifah al-nafs.9
Masih
berkaitan
dengan
masalah
terapi,
Yahya
Jaya
mengungkapkan tiga langkah yang dapat ditempuh guna menuju mental
yang sehat, yaitu: pengobatan (kuratif), pencegahan (preventif), dan
pembinaan (konstruktif).
Yang dimaksud dengan metode kuratif adalah usaha-usaha yang
dilakukan untuk menyembuhkan dan merawat orang yang terganggu dan
sakit mentalnya, sehingga ia menjadi sehat dan wajar kembali.
Sementara langkah pencegahan adalah cara yang digunakan seseorang
dalam menghadapi dirinya sendiri dan orang lain untuk meniadakan
atau mengurangi gangguan kejiwaan, sehingga ia dapat menjaga dirinya
dan orang lain dari kemungkinan jatuh pada kegoncangan batin dan
ketidaktentraman jiwa. Usaha tersebut di samping sebagai uoaya tiap
individu juga termasuk usaha penguasa atau pemerintah untuk
memperbaiki dan mempertinggi kebudayaan dan peradaban. Sedangkana
langkah pembinaan, selain bertujuan untuk menjaga kondisi mental agar
sehat, juga meliputi cara yang ditempuh untuk meningkatkan rasa
9
Hasan Muhammad Syarqawi, Nahwa Il-Nafs Islami,
(Mesir: al-Hai’at al-Misriyah, 1976), hal. 129
196
bahagia dan meningkatkan kemampuannya untuk meningkatkan dan
mengembangkan segala potensi yang ada pada dirinya seoptimal
mungkin. Sebagai contoh adalah usaha seseorang untuk memperkuat
ingatannya, kepribadiannya, dan sebagainya.
D.
Beberapa aspek Ajaran Agama Islam sebagai Terapi
1.
Keimanan
Hidup manusia tidak selamanya berjalan lurus, adakalanya
goncangan-goncangan hadir dalam langkah kehidupan manusia.
Kegoncangan-kegoncangan tersebut bisa jadi diakibatkan oleh
musibah, kegagalan, dan sebagainya. Kondisi tersebut biasanya
dihadapi dengan berbagai
perasaan, seperti sedih, tegang, resah,
takut, marah, kecewa, atau sebaliknya, cobaan tersebut dihadapi
dengan hati yang lapang.
Di sini kepribadian sangat menentukan. Apabila kepribadiannya
utuh dan jiwanya sehat, maka ia akn menghadapi semua masalah
tersebut dengan tenang. Kepribadian yang di dalamnya terkandung
unsure-unsur keimanan yang teguh, berbagai masalah yang menimpa
dirinya dihadapi dengan hati yang tenang. Akan tetapi orang yang
jiwanya goncang dan jauh dari agama boleh jadi ia akan marah tanpa
sasaran yang jelas, atau ememarahi orang lain sebagai sasaran
kemarahan.
Unsur penting yang membantu pertumbuhan dan perkembangan
kejiwaan adalah iman yang direalisasikan dalambentuk ajaran agama.
Oleh sebab itu iman dijadikan sebagai prinsip pokok dalam ajaran
agama Islam, menjadi pengendali sikap, tindakan, ucapan an
perbuatan. Tanpa kendali iman, manusia akan mudah
terdorong
melakukan hal-hal yang akan merugikan diirnya sendiri atau orang
197
lain dan menimbulkan penyesalan dan kecemasan, yang akan
menyebabkan tergangunya kesehatan mental.
Keimanan itu sendiri merupakan proses kejiwaan yang tercakup di
dalamnya
fungsi
jiwa,
perasaan
dan
pikiran
sama-sama
meyakinkannya. Apabila iman tidak sempurna, maka manfaatnya
bagi kesehatan mental pun kurang sempurna.
Orang yang percaya adanya Tuhan, tidak akan merasa kesepian
di mana pun mereka berada. Kendatipun ia seorang diri, namun pada
hakekatnya ia tidak sendirian. Di mana Tuhan?, hatinya tahu, tidak
jauh, dekat sekali bahkan lebih dekat dari urat lehernya sendiri..Di
antara penyebab kegelisahan dan kecemasan seseorang antara lain
merasa kesepian. Tidak sedikit orang yang putus asa dalam hidupnya
karena merasa kesepian dan ditinggalkan orang. Dan tidak sedikit
pula orang yang menjadi bingung karena ditinggal orang yang dulu
mencintainya. Bagi orang yang putus asa dan tidak percaya adanya
Tuhan amat sempitlah rasanya alam yang luas ini.
Dengan demikian, dengan keimanan akan mententramkan hati,
karena ada tempat mengeluh dan mengungkapkan segala perasaan
hatinya. Dengan percaya akan adanya Tuhan manusia akan tertolong
dalam melepaskan diri dari ikatan benda dan segala sesuatu yang
bersifat material.
1.
Shalat
Hubungan antara shalat dengan kesehatan mental telah diketahui
dan dirasakan oleh banyak orang, hal ini juga didasarkan pada ayat alQur’an surat al-Mu’minun ayat 1-2:
198
‫قد افلح المؤمنون * الذين هم فى صال تهم خشعون‬
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,
yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya (QS. AlMu’minun: 1-2)
Di samping itu dalam Hadis juga disebutkan:
‫ان الصالة تمسكن وتواضع‬
Sesungguhnya shalat itu adalah ketenangan dan kerendahan
hati.10
Shalat adalah ibadah yang di dalamnya terjadi hubungan rohani
antara mahluk dan Khaliq-nya. Shalat juga dipandang sebagai
munajat—berdoa dalam hati yang khusy’—kepada Allah. Orang
yang sedang mengerjakan shalat dengan khusyu’ tidak merasakan
sendiri. Seolah-olah ia berhadapan dan melakukan dialog dengan
Tuhan. Suasana psiritual seperti ini dapat menolong manusia untuk
mengungkapkan segala perasaan dan berbagai permasalahan yang
dihadapi.
Dengan
demikian
ia
mendapatkan
tempat
untuk
mencurahkan segala yang ada dalam pikiran dan pikirannya. Dengan
shalat yang khusyu orang akan mendapatkan
ketenangan jiwa,
karena merasa diri dekat dengan Allah dan beroleh ampunan-Nya.11
10
Berkaitan dengan masalah ini, baca: Imam Ghazali, Hikamah dan
Rahasia Shalat, alih bahasa: A. Hunaf Ibriy (Surabaya: Tiga Dua, 1995), hal. 58. Baca
juga Rahmat Djatnika, Shalat sebagai Pengendali Mental (Surabaya: al-Ikhlas, 1983)
11
Yahya Jaya, op. Cit., hal. 94
199
2.
Puasa
Terdapat dua sikap hidup yang dapat dikembangan dengan
berpuasa, yaitu:
a. mengendalikan diri terhadap nafsu dan dorongan-dorongan jahat
yang ada dalam diri manusia
b. mengembangkan dan meningkatkan
serta mengarahkan diri
terhadap hal-hal yang serba baik dan diridhai-Nya.
Hal ini tidak saja membawa manfaat bagi diri sendiri sebagai
pribadi dan sebagai anggota masyarakat, tetapi juga sebagai hamba
Allah yang baik dan berguna. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa berpuasa merupakan proses pengembangan dan aktualisasi diri
ke arah manusia bertaqwa.
Dengan berpuasa orang akan menjadi sadar, yakin dan sabar
melatih dirinya dalam menahan lapar dan haus, serta menahan segala
keinginan hawa nafsu dalam jangka waktu tertentu. Puasa yang
dilakukan dengan penuh kesadaran, keimanan dan ketakwaan kepada
Allah merupakan benteng yang kokoh bagi pertahanan diri terhadap
segala godaan hawa nafsu. Puasa yang demikian akan mendorong
manusia untuk bersikap ikhlas, jujur, benar, dan mengendalikan diri
dalam setiap amal yang dilakukannya. Puasa yang benar akan
memberikan ketenangan jiwa. Apabila orangsering melakukan puasa
berarti ia akan jauh dari sifat jahat, semakin terkendali dan kuatlah
benteng pertahanan dirinya. Dengan demikian orang yang berpuasa
dapat dijaga dari penyebab gangguan kejiwaan dan tercegah dari
penyakit jiwa.
Di samping aspek-aspek tersebut di atas, masih terdapat banyak
metode dalam mencegah dan menaggulangi terjadinya neurosis. Sementara
200
itu, dalam dunia tasawuf dikenal tiga langkah yang dihubungkan dengan
usaha kesehatan mental, yaitu: takhalli, tahalli, dan tajalli.
Takhalli merupakan usaha mengosongkan diri dari segala
perbuatan yang tidak baik. Perbuatan tidak baik dapat dikategorikan sebagi
gangguan-gangguan jiwa pada diri seseorang. Oleh karena itu metode
takhalli memiliki hubungan dengan patologi. Apabila seseorang tidak mau
membuang keburukan yang ada dalam dirinya sehingga dapat mengganggu
jiwanya, maka sebagai akibatnya adalah adanya mental yang kurang sehat.
Tahalli yaitu dengan mengisi diri seseorang dengan perbuatanperbuatan atau tingkah laku yang baik. Tahalli tersebut boleh dikatakan
sebagai fungsi terapi. Sedangkan tajalli adalah kondisi di mana seseorang
benar-benar sempurna dan paripurna, yang berimplikasi pada kesehatan
mental.
201
Pertanyaan
1. Sebutkan macam-macam terapi yang dapat dilakukan untuk mengobati
penderita neurosis!
2. Apakah yang disebut dengan psikoterapi!
3. Jelaskan kegunaan dari psikoterapi
4. Sebutkan bentuk-bentuk terapi yang dikemukakan oleh Sigmund Freud!
5. Uraikan peranan iman dalam fungsinya sebagai terapi neurosis!
202
Daftar Pustaka
Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian
dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhama, 1994)
Masdar Farid Mas’udi, Dialog: Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1993)
Dadang Hawari, Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa,
(Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Jasa, 1995)
Frieda Fordman, Pengantar Psikologii C.G. Jung, (Jakarta: Bhatara Karya
Aksara, 1988)
Muhammad Mahmud Mahmud, Ilm al-Nafs al-Ma’ashir fi Dhaui al-Islam,
(Jeddah: Dar al-Syuruq, 1984)
Calvin S. Hall dan Gardner lindzey, Teori-teori Holistik: Organismik
Fenomenologis), (Yogyakarta: kanisius, 1993)
Hasan Muhammad Syarqawi, Nahwa Il-Nafs Islami, (Mesir: al-Hai’at alMisriyah, 1976)
Imam Ghazali, Hikamah dan Rahasia Shalat, alih bahasa: A. Hunaf Ibriy
(Surabaya: Tiga Dua, 1995)
Rahmat Djatnika, Shalat sebagai Pengendali Mental (Surabaya: al-Ikhlas,
1983)
Download