BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. Psikologi Agama dalam Lintasan Sejarah Untuk mengetahui secara pasti kapan agama diteliti secara psikologi memang agak sulit, sebab dalam agama itu sendiri telah terkandung di dalamnya pengaruh agama terhadap jiwa. Bahkan dalam kitab-kitab suci setiap agama banyak menerangkan tentang proses jiwa atau keadaan jiwa seseorang karena pengaruh agama.1 Dalam al-Qur'an, misalnya, terdapat ayat-ayat yang menunjukkan keadaan jiwa orang-orang yang beriman atau sebaliknya, orang-orang kafir, sikap, tingkah laku, doa-doa. Di samping itu juga terdapat ayat-ayat yang berbicara tentang kesehatan mental, penyakit dan gangguan kejiwaan, serta kelainan sifat dan sikap yang terjadi karena kegoncangan kejiwaan sekaligus tentang perawatan jiwa, sehingga tidak berlebihan jika Yahya Jaya2 mengemukakan bahwa psikologi agama, dalam arti yang amat sederhana, telah ada jauh sebelum abad 20, yaitu sejak Nabi Adam, yang pernah merasa berdosa, yang menyebabkan jiwanya gelisah dan hatinya sedih. Untuk menghindari kesedihan dan kegelisahan tersebut, ia bertaubat kepada Allah dan taubatnya diterima, sehingga ia merasa lega kembali. Firman Allah: 1. Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, cet. XIII, 1991), hal. 11 Keterangan lebih lanjut tentang awal kajian Psikologi Agama, baca: Walter Houston Clark, The Psychology of Religion, (New York: The Mac Milan Company, cet. I, 1958), hal. 6 2. Yahya Jaya, Paranan Taubat dan Maaf dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhama, cet. II, 1992), hal. 12 17 فتلقى ادم من ربه كلمات فتاب عليه انه هو التواب الرحيم Kemudian Adam menerima beberapa kalimat (untuk bertaubat) dari Tuhannya, maka Allah menerima tau-batnya. Sesungguhnya Allah Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-Baqarah (2): 37) Contoh lain adalah proses pencarian Tuhan yang dialami oleh Nabi Ibrahim. Dalam kisah tersebut dilukiskan bagaimana proses konversi terjadi.3 Dalam kitab-kitab suci lain pun kita dapati proses dan peristiwa keagamaan, seperti yang terjadi dalam diri tokoh agama Budha, Sidharta Gautama, atau dalam agama Shinto yang memitoskan Kaisar Jepang sebagai keturunan matahari yang membuat penganutnya sedemikian mendalam ketaatannya kepada kaisar, sehingga mereka rela mengorbankan nyawanya dalam perang dunia II demi kaisar, bahkan mereka melakukan harakiri.4 Pengertian psikologi agama sebelum abad 19 telah ada dalam karya-karya ilmuwan muslim. Dapat disebut sebagai contoh adalah tulisan Muhammad Ishaq ibn Yasar, pada abad 7 M, yang berjudul al-Sujar wa al-Maghazi, memuat berbagai fragmen dari biografi Nabi Muhammad SAW, atau risalah Hayy ibn Yaqzan fi Asrar al-Hikmah al-Misyriqiyyat yang ditulis oleh Ibn Thufail (1106 - 1185 M) yang membahas tentang proses keagamaan seseorang. Karya agung yang dapat ditampilkan adalah Ihya' Ulum al-Din dan al-Munqid min al-Dhalal yang ditulis oleh Abu Hamid Muhammad al-Ghazali 3 Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, cet. I, 1996), hal. 27 4 Ibid. 18 (1059 - 1111 M) yang memuat permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan materi kajian psikologi agama. Meski demikian, penelitian secara modern baru dilakukan pada abad ke 19. Psikologi agama bukanlah ilmu yang pertama meneliti aspek-aspek agama secara objektif. Sebelumnya telah ada ilmu perbandingan agama yang dipelopori oleh Max Muller. Dalam kenyataannya setiap orang mempunyai tata nilai yang tersusun secara sistematis. Tata nilai tersebut menyangkut nilai-nilai keagamaan dan nilai iman yang mempengaruhi hidup, pribadi maupun struktur serta budaya hidup kemasyarakatan. Dari sini kemudian muncul apa yang dinamakan dengan sosiologi agama (The Sosiology of Religion) yang menbahas tentang struktur dan kultur masyarakat dan sejauh mana dia tertumpu pada penghayatan dan pengalaman hidup beragama. Di antara tokohnya adalah: Ibnu Khaldun, Max Weber (1684 - 1920) dan sebagainya. Baru kemudian muncul psikologi agama (The Psichology of Religion) yang mengkaji pengalaman-pengalaman agama dalam hubungannya dengan tingkah laku manusia. B. Pendekatan Ilmiah dalam Psikologi Agama Menurut Abdul Mun'in al-Malighy,5 sebagaimana dikutip oleh Zakiah Daradjat, orang yang pertama mengkaji psikologi agama secara ilmiah adalah Frazae dan Taylor. Kedua tokoh ini membentangkan berbagai macam agama primitif, dan menemukan persamaan yang sangat jelas antara berbagai bentuk ibadah pada agama Kristen dan ibadah agama-agama primitif. Sebagai contoh adalah pengorbanan karena dosa warisan, keingkaran, hari berbangkit dan sebagainya. Hasil dari penelitian ini telah membangkitkan para ahli untuk 5 Abdul Mun'in al-Malighy, Tatawwur li a-Syu'ur al-Din inda al-Thifl wa al-Murahiq, (Mesir: Dar al-Ma'arif, tt), hal. 12 19 mempelajari dan meneliti aspek-aspek kehidupan manusia, sehingga mulailah psikologi agama mengumpulkan bahan-bahan yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, dipadu dengan meneliti riwayat hidup dan hasil karya ahli tasawuf dan ulama-ulama terkenal. Maka terkumpullah bahan-bahan untuk penelitian psikologi agama dari ilmu-ilmu pengetahuan terdahulu, seperti sejarah agama, hasil interaksi sosial mereka: ibadah, legenda (mitos), kepercayaan, undang-undang dan sebagainya. Awal mula pendekatan ilmiah dalam psikologi agama dimulai pada tahun 1881, ketika G. Stanley Hall mempelajari konversi agama dan remaja.6 Penelitian berikutnya secara tegas dilakukan oleh Edwin Diller Starbuck pada tahun 1899 yang menulis buku "The Psychology of Religion; an Empirical Study of the Growth of Religius Consciouness". Buku ini membahas pertumbuhan perasaan beragama pada seseorang. Tokoh yang hampir semasa dengan Starbuck adalah George Alberth Coe, yang menerbitkan bukunya "The Spiritual Life" pada tahun 1900 dan "The Psychology of Religion" pada tahun 1916. Dalam karya tersebut Coe agak menentang penekanan atas konversi dan lebih menitikberatkan pada perkembangan agama pada remaja. Satu pembahasan Coe yang perlu digaris bawahi adalah bahwa banyak peristiwa konflik dan kegoncangan agama yang pada pekembangan agama yang normal dan benar.7 Sementara, James H. Leuba mengumpulkan tidak kurang dari 48 teori tentang agama. Dari definisi-difinisi tersebut, menurutnya, tidak ada gunanya, karena hanya merupakan kepandaian bersilat lidah.8 Penelitian Leuba 6 W. Houston Clark, op.cit., hal. 6 7 Ibid. 8 Zakiah Daradjat, op.cit., hal. 14 20 menjelaskan fenomena agama secara fisik (amaliah), seperti menyamakan antara kefanaan seorang mistik dengan orang-orang yang terkena pengaruh minuman keras. Teori tersebut dimuat dalam jurnal "The Monist Vo. XI" tahun 1901 dengan judul "The Introduction to a Psychological Study of Religion". Kemudian pada tahun 1912 diterbitkan bukunya dengan judul "A Psychological Study of Relegion". Hampir sama dengan Leuba, Stanley Hall juga menggunakan tafsiran matematika dalam menerangkan fakta-fakta agamis. Hasil penelitian yang dilakukan menyimpulkan bahwa pertumbuhan jiwa beragama pada remaja sesuai dengan pertumbuhan emosi dan kecenderung-an terhadap lawan jenis. Sehingga usia di mana jiwa mulai terbuka untuk cinta, maka pada usia itulah timbulnya perasan-perasan beragama secara ekstrem. Di samping itu, juga terdapat persamaan antara fakta-fakta konversi dan cinta pertama, karena kedua fakta tersebut adalah terbukanya jiwa pada rasa kemanusiaan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Stanley Hall adalah dengan mempelajari kepribadian Isa al-Masih.9 Permasalahan tingkah laku beragama semakin menarik untuk diteliti, sehingga usaha penelitian terus dikembangkan, bahkan ada yang berlebihan. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian Medical Materialism yang kontroversial. Mereka menerangkan fakta-fakta agamis secara fisik, dan beranggapan bahwa keadaan jiwa atau pikiran sebagai ungkapan fungsi organik. Keistimewaan orang-orang suci dan tenggelamnya mereka dalam kehidupan rohani dianggapnya sebagai akibat dari penyakit-penyakit jasmani, misalnya disebabkan oleh kegoncangan sebagian kelenjar-kelenjar atau 9 Ibid. 21 terjadinya keracunan (outo intoxication). Dengan demikian pribadi-pribadi orang sufi yang mempunyai kekuatan jiwa, menurut mereka, adalah karena ketidaksehatan jiwa mereka. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa Saint Paul adalah orang yang berkepribadian epileptoid, George Fox adalah orang yang mengalami kerusakan keturunan (heredity degeneration), Carlyle menderita keracunan (outo intoxicated), bahkan Isa al-Masih, menurut Binet Sangle, dianggap sebagai orang yang mempunyai kepribadian schizophrenic.10 Hasil penelitian tersebut mendapat sanggahan dari beberapa ahli psikologi, antara lain dilontarkan oleh Flornoy. Tokoh lain yang mengkaji beberapa tulisan dan biografi pemuka-pemuka agama adalah William James, dengan karyanya yang monumental "The Variaties of Religious Experience". Buku tersebut merupakan hasil kuliah selama setahun (1901 - 1902). Menurut James, ahli agama akan dapat meneliti dorongan-dorongan agama pada seseorang, seperti mempelajari dorongan-dorongan jiwa lainnya dalam konstruksi pribadi orang tersebut.11 James mendefinisikan agama dengan perasaan dan penga-laman manusia secara individual yang menganggap bahwa mereka berhubungan dengan apa yang dipandangnya sebagai Tuhan. Tuhan, menurutnya, adalah kebenaran pertama yang menyebabkan manusia merasa terdorong untuk mengadakan reaksi yang penuh hikmat dan sungguh-sungguh tanpa menggerutu atau menolaknya. James juga menjelaskan bahwa agama dalam kehidupan seseorang bukanlah suatu naluri yang berdiri sendiri atau emosi tertentu. Agama adalah kata yang dapat digunakan untuk menjelaskan emosi atau perasaan biasa. Cinta agama, misalnya, adalah cinta biasa dengan objek 10 William James, The Variates of Religion experience; a Study in Human Nature, (New York: Collier Books, 1974), hal. 29 11 Ibid., hal. 42 22 yang dicintainya adalah Tuhan; takut agama adalah takut biasa yang objeknya hukum Tuhan. Gagasan James yang termuat dalam buku The Variaties of Religius Experience telah mendorong para ahli psikologi untuk mengadakan penelitian tetingkah laku beragama, sehingga bermunculan majalah-majalah atau jurnal-jurnal yang membahas tentang psikologi agama. Sebagai contoh adalah terbitnya majalah "The Journal of Religious Psychology" dan "The American Journal of Religious Psychology and Education" pada tahun 1904. Pada tahun 1911, George M. Straton menerbitkan buku "Psichology of Religoius Life". Dalam buku tersebut diungkap bahwa sumber agama adalah konflik jiwa dalam diri individu. Sementara Flornoy (1901) berusaha mengumpulkan semua penelitian psikologis dan menyusun prinsip-prinsip penelitian. Prinsip-prinsip tersebut adalah: 1. Menjauhkan penelitian dari transendence, 2. Prinsip mempelajari perkembangan 3. Prinsip dinamik, 4. Prinsip perbandingan.12 Dalam perkembangannya, psikologi agama tidak hanya mengkaji kehidupan secara umum, namun juga masalah-masalah khusus. Pembahasan tentang kesadaran beragama, misalnya, dikupas oleh B. Pratt dalam bukunya "The Religius Consciousness", sedangkan Rudolf Otto membahas sembahyang. Perkembangan beragamapun tidak luput dari kajian para ahli psikologi agama. Piere Binet adalah salah satu tokoh psikologi agama awal yang membahas tentang perkembangan jiwa keberagamaan. Menurut Binet, agama anak-anak 12 Zakiah Daradjat, op.cit., hal. 20-21 23 tidak beda dengan agama pada orang dewasa. Pada anak-anak, di mana mungkin juga dialami oleh orang dewasa, seperti merasa kagum dalam menyaksikan alam ini, adanya kebaikan yang tidak terlihat, kepercayaan akan kesalahan dan sebagaian dari pengalam-an itu merupakan fakta-fakta asli yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan. Tokoh berikutnya yang muncul adalah Robert H. Thouless (1923). Thouless berusaha mempelajari agama dari segi psikologis. Sementara dari beberapa tokoh psikologi juga mengungkap tentang tingkah laku beragama. Sigmud Freud, tokoh psikoanalisa, mengemukakan pendapat bahwa compultion dan obsession adalah agama tertentu yang rusak. Freud menganalisa agama orang-orang primitif sebagai obyek kajiannya, dengan menggambarkan sesembahan totem and tabbo, yang kemudian dibuat perbandingan antara orang-orang yang terganggu jiwanya dengan orang-orang primitif. Di sinilah, menurut Freud, ditemukan hubungan antara kompleks oudipus. Dari penelitian ini diambil kesimpulan bahwa agama adalah gangguan jiwa dan kemunduran kembali kepada hidup yang berdasarkan kelezatan.13 Penelitian berikutnya dilakukan oleh Gordon W. Allport dengan karyanya "The Individual and His Religion" (1950), W.H. Clark dengan karyanya "The Psychology of Religion". Masing-masing buku tersebut membahas perkembangan jiwa beragama sejak kecil hingga dewasa. 13 Ibid., hal. 27 - 29 24 C. Kajian Psikologi Agama di Kawasan Timur Dalam dunia Timur, tidak mau ketinggalan. Abdul Mun'in Abdul Aziz al-Malighy, misalnya, juga menulis kajian perkembangan jiwa beragama pada anak-anak dan remaja. Sementara di dataran anak benua Asia, India, juga terbit buku-buku yang berkaitan dengan psikologi agama. Jalaluddin menyebut judul buku berikut pengarangnya antara lain: "The Song of God: Baghawad Gita". Sedang di Indonesia, sekitar tahun 1970-an tulisan tentang psikologi agama baru muncul. Karya yang patut dikedepankan adalah "Ilmu JIwa Agama" oleh Prof Dr Zakiah Daradjat, "Agama dan Kesehatan Jiwa" oleh Prof Dr. Aulia (1961), "Islam dan Psikosomatik" oleh S.S. Djam'an, Pengalaman dan Motivasi Beragama" oleh Nico Syukur Dister, Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa” oleh Dadang Hawari, dan sebagainya. Dalam buku yang disebut terakhir, misalnya, meskipun yang menjadi pembahasan mengenai kedokteran jiwa, akan tetapi terbahas pula aspek-aspek agama atau spiritual dalam kaitannya dengan jiwa seseorang.14 Pada saat sekarang, dalam dua puluh tahun belakangan ini, arus mempelajari dan mencangkokan psikologi Timur pada body of knowledge psikologi Barat sangat kuat, bahkan arah baru ini disebutnya. Tokoh yang pantas disebut dalam hal ini adalah Robert Ornstein dengan bukunya The Psychology of Consciousness, Charles Tart dengan bukunya States Consciousness dan Stuart B. Litvak yang menulis buku panduan psikologi How to Study Psychology: A Basic Field Guide for Students and Enthusiasts.15 14. Baca: Dadang Hawari, Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa , (Yogyakarta: Dana Bjakti Prima Jasa, cet. I, 1996) 15. Budhy Munawar Rahman, Arah Baru dalam Psikologi, dalam jurnal Ulumul Qur'an, No. 4, Vol. V, tahun 1994, hal. 3 25 Pertanyaan 1. Jelaskan awal mula munculnya Psikologi Agama! 2. Bagaimanakah perkembangan Psikologi Agama di kawasan dunia Timur? 3. Pada Tahun berapakah Psikologi Agama mulai dikaji di Indonesia? Dan siapakah tokoh-tokoh yang mengkaji Psikologi Agama tersebut? 4. Apakah yang menjadi kajian William James, khususnya yang tertuang dalam bukunya ‘The Variates of Religion experience’? 26 DAFTAR PUSTAKA Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, cet. XIII, 1991) Walter Houston Clark, The Psychology of Religion, (New York: The Mac Milan Company, cet. I, 1958) Yahya Jaya, Paranan Taubat dan Maaf dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhama, cet. II, 1992) Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, cet. I, 1996) Dadang Hawari, Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa , (Yogyakarta: Dana Bjakti Prima Jasa, cet. I, 1996) Abdul Mun'in al-Malighy, Tatawwur li a-Syu'ur al-Din inda al-Thifl wa al-Murahiq, (Mesir: Dar al-Ma'arif, tt) William James, The Variates of Religion experience; a Study in Human Nature, (New York: Collier Books, 1974) Budhy Munawar Rahman, Arah Baru dalam Psikologi, dalam jurnal Ulumul Qur'an, No. 4, Vol. V, tahun 1994 27 146 BAB IX KESEHATAN MENTAL A. Pengertian Kesehatan Mental Kesehatan mental, sebagai disiplin ilmu yang merupakan bagian dari psikologi agama, terus berkembang dengan pesat. Hal ini tidak terlepas dari kondisi masyarakat yang membutuhkan jawaban atas berbagai permasalahan yang melingkupinya. Kemudahan yang di dapat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta industri belum mampu memenuhi kebutuhan rohani, malah memunculkan permasalahan-permasalahan baru, seperti kecemasan akibat dari kemewahan hidup yang diraihnya. Dampak lain adalah mereduksinya integritas kemanusiaan, yang akhirnya membawa manusia terperangkap dalam jaringan sistem rasionalitas tehnologi yang tidak manusiawi. Demikian ungkap Sayyid Husain Nasr1 Pada bagian lain, berbagai persoalan hidup yang melanda bangsa Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan krisis yang menyusup dalam berbagai bidang kehidupan, baik politik, sosial ekonomi, maupun budaya, serta berbagai kerusuhan etnis di berbagai pelosok negeri, semakin menambah persoalan dalam % bangsa Indonesia bahwa persoalan kesehatan mental. Adanya asumsi bahwa 2 terganggu jiwanya dapat dijadikan sebagai dasar kesehatan mental semakin membutuhkan perhatian yang serius. 1 02 Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, cet. I, 1994), hal. 147 Di samping itu, adanya perhatian manusia yang besar terhadap kesejahteraan hidupnya, serta adanya kesadaran masyarakat akan pentingnya dilakukan pembinaan kesejahteraan hidup bersama ikut mempercepat perkembangan ilmu kesehatan mental.2 Apakah yang dimaksud dengan kesehatan mental?. Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dilacak dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan oleh beberapa pakar psikologi. Dalam perjalanan sejarahnya, pengertian kesehatan mental mengalami perkembangan sebagai berikut : a. Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit jiwa (neurosis dan psikosis).3 Pengertian ini masih terlihat sempit dan terbatas, karena yang dimaksud dengan orang yang sehat mentalnya adalah mereka yang tidak terganggu dan berpenyakit jiwanya. Namun demikian, pengertian pertama ini banyak mendapat sambutan dari kalangan psikiatri. Kembali pada istilah neorosis, pada awalnya kata tersebut berarti ketidakberesan dalam susunan syaraf. Namun, setelah para ahli penyakit dan ahli psikologi menyadari bahwa ketidakberesan tingkah laku tersebut tidak hanya disebabkan oleh ketidakberesan susunan syaraf, tapi juga dipengaruhi oleh sikap seseorang terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang lain, maka aspek mental (psikologi) dimasukkan pula dalam istilah tersebut.4 2 Siti Maechati, Kesehatan Mental, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi Press, cet. I, 1983), hal. 6 3 Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Haji Mas Agung, cet. XVI, 1990), hal. 11 4 Winarno Surahmad dan Murray Thomas, Perkembangan Pribadi dan Keseimbangan mental, (Bandung: Jemmars, 1980), hal. 139 148 b. Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan di mana ia hidup. Pengertian ini lebih luas dan umum, karena telah dihubungkan dengan kehidupan sosial secara menyeluruh. Dengan kemampuan penyesuaian diri, diharapkan akan menimbulkan ketentraman dan kebahagiaan hidup. c. Terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa serta mempunyai kesanggupan untuk mengatasi problem yang biasa terjadi, serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik). d. Pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan potensi, bakat dan pembawaan semaksimal mungkin, sehingga membawa kebahagiaan diri dan orang lain, seterhindar dari gangguan dan penyakit jiwa.5 Dari pengertian di atas dapat diambil suatu batasan bahwa orang yang sehat mentalnya adalah orang yang terhindar dari ganguan dan penyakit jiwa, mampu menyesuaikan diri, sanggup mengahadapi masalah-masalah dan kegoncangan-kegoncangan yang biasa , adanya keserasian fungsi jiwa, dan merasa bahwa dirinya berharga, berguna dan berbahagia serta dapat menggunakan potensi-potensi yang ada semaksimal mungkin. Batasan pengertian tersebut di atas belum termasuk di dalamnya unsur agama, sehingga Zakiah Daradjat menambahkan: harus berlandaskan keimanan dan ketaqwaan serta bertujuan untuk mencapai hidup bermakna, bahagia di dunia dan akhirat.6 5 Zakiah Daradjat, op. cit., hal. 11 - 13. Pengertian yang hampir senada diungkapkan oleh Marie Jahoda. Lebih lanjut lihat: Yahya Jaya, Peranan Taubat dan Maaf dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhama, cet. II, 1992),, hal. 13; Jalaluddin dan Ramayulis, op.cit., hal. 76. 6 Ibid. 149 Dari keterangan di atas, memunculkan empat pola wawasan dengan orientasi masing-masing, demikian konklusi yang ambil oleh Hanna Djumhana Bastaman menanggapi pengertian kesehatan mental di atas.7 Pola wawasan tersebut adalah: a. Pola wawasan berorientasi pada simtomatis b. Pola wawasan berorientasi pada penyesuaian diri. c. Pola wawasan berorientasi pada pengembangan potensi. d. Pola wawasan berorientasi pada agama (keruhanian). Masih dalam pembahasan yang sama, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1959 memberikan batasan mental yang sehat adalah sebagai berikut : 1. Dapat menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan meskipun kenyataan itu buruk baginya 2. Memperoleh kepuasan dari hasil jerih payahn usahanya 3. Merasa lebih puas memberi dari pada menerima 4. Secara relatif bebas dari rasa tegang dan cemas 5. Berhubungandengan orang lain secara tolong menolong dan saling memuaskan 6. Menerima kekecewaan untuk dipakainya sebagai pelajaran di kemudian hari 7. Menjuruskan rasa permusuhan kepada penyelesaian yang kreatif dan konstruktif 8. Mempunyai rasa kasih sayang yang besar. 7 Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I, 1995), hal. 133. Dalam hal ini Hanna tidak hanya mengambil pengertian yang ditawarkan oleh Zakiah Daradjat, namun juga pendapat Saparinah Sadli sebagai perbandingan 150 Kriteria tentang batasan sehat yang dikemukakan WHO— sebagaimana tersebut di atas—pada tahun 1984 disempurnakan dengan menambahkan satu elemen spiritual (agama0. Oleh karena itu, yang dimaksud dengansehat adalah bukan sehat dari segi fisik, psikologik, dan sosial saja, akan tetapi juga sehat dalam arti spiritual/agama, atau dalam istilah Dadang Hawari disebut dengan empat dimensi sehat : bio-psikososial-spiritual.8 B. Prinsip-prinsip Kesehatan Mental Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip kesehatan mental adalah dasar yang harus ditegakkan orang dalam dirinya untuk mendapatkan kesehatan mental yang baik serta terhindar dari gangguan kejiwaan. Prinsip-prinsip tersebut adalah: 1. Gambaran dan sikap yang baik terhadap diri sendiri. Prinsip ini biasa diistilahkan dengan self image. Prinsip ini antara lain dapat dicapai dengan penerimaan diri, keyakinan diri dan kepercayaan pada diri sendiri. Self Image yang juga disebut denagn citra diri merupakan salah satu unsure penting dalam pengembangan pribadi. Citra diri positif akan mewarnai pola hidup, sikap, cara piker dan corak penghayatan, serta ragam perbuatan yang positif pula. Carl Rogers mengemukakan dua ragam citra diri: Dadang Hawari, Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Jasa, 1995), hal. 12 8 151 a. Citra diri actual (The Actualized self image) Citra ini merupakan gambaran seseorang mengenai dirinya pada saat sekarang. b. Citra diri Ideal (The Idealized Self Image) Gambaran seseorang mengenai dirinya seperti yang diidam-idamkan.9 Citra diri ini dapat dikatakan sebagai sumber motivasi dari seluruh perbuatan manusia. 2. Keterpaduan antara Integrasi Diri Yang dimaksud keterpaduan di sini adalah adanya keseimbangan antara kekuatan-kekuatan jiwa dalam diri, kesatuan pandangan (falsafah) dalam hidup dan kewsanggupan mengatasi stress. Dalam bahasa lain orang yang memiliki kesatuan pandangan hidup adalah orang yang memperoleh makna dan tujuan dalam hidupnya. Sedangkan orang yang mampu mengatasi stress berarti orang yang sanggup memenuhi kebutuhannya, dan apabila menemui hambatan ia dapat mengadakan suatu inovasi dalam memenuhi kebutuhannya. 3. Perwujudan Diri (aktualisasi diri) Merupakan proses pematangan diri. Menurut Reiff, orang yang sehat mentalnya adalah orang yang mampu mengaktualisasikan diri atau mampu mewujudkan potensi yang dimilikinya, serta memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dengan cara yang baik dan memuaskan. 9 Ibid, hal. 123-124 152 4. Berkemampuan menerima orang lain, melakukan aktifitas social dan menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggal. Kecakapan dalam hidupnya merupakan dasar bagi kesehatan mental yang baik. Untuk mendapatkan penyesuaian diri yang sukses dalam kehidupan, minimal orang harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan, mempunyai hubungan yang erat dengan orang yang mempunyai otoritas dan mempunyai hubungan yang erat dengan teman-teman. 5. Berminat dalam tugas dan pekerjaan Orang yang menyukai terhadap pekerjaan walaupun berat maka akan cepat selesai dari pada pekerjaan yang ringan tetapi tidak diminatinya. 6. Agama, cita-cita, pengembangan dan falsafah hidup. Untuk pembinaan dan kesehatan mental orang membutuhkan agama, seperangkat cita-cita yang konsisten dan pandangan hidup yang kokoh. 7. Pengawasan diri Mengadakan pengawasan terhadap hawa nafsu atau dorongan dan keinginan serta kebutuhan oleh akal pikiran mereupakan hal pokok dari kehidupan ortang dewasa yang bermental sehat dan berkepribadian normal, karena dengan pengawasan tersebut orang mampu membimbing segala tingkah lakunya. 8. Rasa benar dan tanggung jawab Rasa benar dan tanggung jawab penting bagi tingkah laku, karena setiap individu ingin bebas dari rasa dosa, salah dan kecewa. Rasa benar, 153 tangung jawab dan sukses adalah keinginan setiap orang yang sehat mentalnya. Rasa benar yang ada dalam diri selalu mengajak orang kepada kebaikan, tanggung jawab dan rasa sukses, serta membbaskannya dari rasa dosa, salah dan kecewa. C. Kedudukan dan Peran Kesehatan Mental Para ahli kesehatan mental telah sepakat bahwa kedudukan kesehatan mental dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu: 1. Kesehatan mental sebagai kondisi (keadaan). Kedudukan kesehatan mental sebagai kondisi (keadaan) mengacu kepada pengertian kesehatan mental seperti tersebut di atas, seperti terhindar gangguan kejiwaan (neuroses) dan penyakit kejiwaan (psychoses). Selain itu juga mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain dan dengan masyarakat di mana ia hidup, mampu mengendalikan diridalam berbagai masalah serta terwujudnya keserasian dan keharmonisan antara fungsi-fungsi kejiwaaan. 2. Kesehatan mental sebagai ilmu pengetahuan. Sebagai cabang ilmu psikologi, kesehatan mental bertujuan untuk mengembangkan semua potensi yang ada pada manusia seoptimal mungkin, serta memanfaatkannya sebaik-baiknya agar terhindar dari gangguan dan penyakit kejiwaan. 154 3. Kesehatan mental sebagai terapi. Kesehatan mental sebagai ilmu jiwa terapan, mengkaji dan mengembangkan teknik-teknik konseling dan terapi kejiwaan. Dalam dunia Islam kedudukan, fungsi dan peranan kesehatan mental tampak lebih jelas lagi. Maksud dan tujuan Allah menciptakan manusia di muka bumi adalah untuk beribadah dalam pengertian luas. Ibadah dalam pengertian, kegiatannya mencakup seluruh aspek kegiatan manusia. Baik yang bersifat I’tiqad, pikiran, amal social, jasmani, ruhani, akhlaq dan keindahan. Pengertian ibadah dalam Islam secara luas adalah pengembangan sifat-sifat Allah yang ada pada manusia untuk menumbuhkembangkan potensi diri yang telah diberikan Allah kepada manusia berupa potensipotensi yang terdapat dalam nama-nama Allah yang agung (al-asma alhusna), seperti potensi ilmu, kuasa, sosial, kekayaan, pendengaran, penglihatan dan pemikiran serta potensi-potensi lainnya.2 Dengan demikian maksud dan tujuan ibadah dalam Islam tidak hanya menyangkut hubungan vertikal atau hablun min Allah akan tetapi juga menyangkut hubungan horizontal yang meliputi hablun min alannas, hablun min al-nafs, dan hablun min al-alam. Menurut paham kesehatan mental, tujuan dan maksud yang demikian itu dapat berarti sebagai pembinaan perasaan dan hubungan baik antara manusia dengan Allah, sesama manusia, diri sendiri, serta alam semesta sehingga manusia mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. 155 Dari uraian singkat di atas dapat dilihat bagaimana bagaimana kedudukan kesehatan mental dalam Islam. Kesehatan mental dalam Islam adalah ibadah dalam pengertian luas atau pengembangan potensi diri yang dimiliki manusia dalam rangka pengabdian kepada Allah dan agamanya, untuk mendapatkan al-nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenang dan bahagia). Firman Allah: ياايتهاالنفس المطمئنة ارجعي الى ربك راضية مرضية Hai jiwa dalam ketenangan ! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang senang dan diridhoi-Nya 156 Pertanyaan 1. Apakah yang dimaksud dengan kesehatan mental ? 2. Sebutkan batasan mental sehat menurut badan Kesehatan Dunia (WHO) ! 3. Uraikan hubungan antara kesehatan mental dengan psikologi agama ! 4. Sebutkan prinsip-prinsip kesehatan mental 5. Para ahli kesehatan mental membagi kedudukan dan fungsi kesehatan mental menjadi tiga macam : sebagai keadaan, sebagai ilmu pengetahuan dan sebagai terapi. Jelaskan ketiga macam kedudukan dan fungsi tersebut ! 6. Bagaimanakah kedudukan kesehatan mental dalam ajaran agama Islam 157 DAFTAR PUSTAKA Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, cet. I, 1994) Siti Maechati, Kesehatan Mental, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi Press, cet. I, 1983) Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Haji Mas Agung, cet. XVI, 1990) Winarno Surahmad dan Murray Thomas, Perkembangan Pribadi dan Keseimbangan mental, (Bandung: Jemmars, 1980) Yahya Jaya, Peranan Taubat dan Maaf dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhama, cet. II, 1992) Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I, 1995) dengan Islam, Dadang Hawari, Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Jasa, 1995) 187 BAB XI PERANAN AGAMA ISLAM DALAM TERAPI NEUROSIS A. Manusia dan Agama Eksistensi agama merupakan sarana pemenuhan kebutuhan esoteris manusia yang berfungsi untuk menetralisir seluruh tindakannya. Tanpa bantuan agama manusia senantiasa bingung, resah, bimbang gelisah dan sebagainya.1 Sebagai akibatnya manusia tidak mampu memperoleh arti kebahagiaan dan kesejahteraan hidupnya. Kondisi jiwa yang tidak tenang, seperti gelisah, resah, bingung, dan sebagainya dapat dikategorikan dalam gangguan jiwa atau dalam istilah psikopatologi disebut dengan neurosis. Dalam al-Qur’an (ajaran agama Islam) disebutkan dengan jelas, bahwa dengan mengingat Allah maka jiwa manusia akan menjadi tenang; bahwa al-Qur’an adalah petunjuk dan sebagai obat, dan sebagainya الذين امنوا وتطمئن قلوبهم بذكرهللا اال بذكر هللا تطمئن القلوب Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram denganmengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram. (QS al-Ra’d: 28) 1 Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhama, 1994), hal. 81 188 يا ايها الناس قد جاء تكم موعظة من ربكم وشفاء لما فى الصدور وهدى ورحمة للمؤمنين Hai manusia sesungguhnya telah dating kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakitpenyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. Yunus: 57) قل هو للذين امنوا هدى وشفاء Katakanlah: al-Qur;’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. (QS. Fushilat: 44) Akan tetapi perlu diperjelas bagaimanakah agama Islam mampu membantu manusia untuk keluar dari lingkaran neurosis tersebut. Dalam memahai Islam sebagai sebuah agama, terdapat tiga paradigma yang bisa dikembangkan: 1. Agama dalam dimensi subyektif, yaitu kesadaran keimanan umat (akidah). 2. agama dalam dimensi obyektif, yaitu berupa amaliah atau prilaku pemeluk agama (akhlak) 189 3. agama dalam dimensi simbolik, yaitu ajaran keagamaan atau biasa disebut dengan syariat.2 Ketiga dimensi tersebut merupakan satu kesatuan yang integral. Apabila prilaku umat islam tidak mampu mencerminkan ketiga dimensi tersebut, maka ia tidak akan mampu menghayati dan menjadikan agama Islam sebagai alternatif terapi dalam berbagai persoalan yang dihadapinya. Agar manusia mampu menghayati agamanya dengan baik, maka manusia harus menjadikan Islam sebagai acuan kehidupannya secara keseluruhan, sebagaimana firman Allah ياايها الذين امنوا ادحلوا فى السلم كافة Hai orang yang beriman, masuklah kamu pada agama Islam secara sempurna. (QS al-baqarah: 208) Ayat tersebut di atas memberikan gambaran bahwa agama Islam merupakan suatu ajaran agama yang universal dan mengatur seluruh kehidupan manusia. Oleh karena itu, persoalan manusia yang berkaitan dengan keresahan jiwa akan terselesaikan dengan baik manakala manusia menjadikan Islam sebagai way of life dalam kehidupannya. Dengan demikian, dengan menjalankan ajaran agama Islam secara baik dan benar akan dapat menjadi terapi bagi penderita neurosis. masdar Farid Mas’udi, Dialog: Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993), hal. 151-152 2 190 B. Macam-macam Terapi Dadang Hawari3 membagi terapi dalam beberapa bentuk: 1. terapi holistic, yaitu terapi yang tidak hanya menggunakan obat dan ditujukan kepada gangguan jiwanya saja, akan tetapi juga aspek-aspek lainnya dari pasien, sehingga pasien diobati secara menyeluruh, baik dari segi organobiologik, psikologik, psikososial, maupun spiritualnya. 2. psikoterapi psikiatrik. Tujuan utama terapi ini adalah untuk memulihkan kembali kepercayaan diri dan memperkuat fusi ego. Terapi ini, misalnya, dengan menggunakan metode wawancara dengan pasien, sehingga pasien dapat mengungkapkan secara bebas permasalahan, konflik, dan uneg-uneg yang dihadapinya, dengan jaminan kerahasiaan. Terapi ini membutuhkan banyak waktu dan relatif mahal. 3. Psikoterapi keagamaan, yaitu terapi yang diberikan dengan kembali mempelajari dan mengamalkan ajaran agama Islam. Sebagaimana diketahui bahwa dalam ajaran Islam mengandung tuntunan bagaimana kehidupan manusia bebas dari rasa cemas, tegang, depresi dan sebagainya. Dalam doa-doa, misalnya, intinya adalah memohon agar kehidupan manusia diberi ketenangan, kesejahteraan, keselamatan baik di dunia dan di akherat. Perlu digaris bawahi bahwa terapi ini dimaksudkan untuk memperkuat Dadang Hawari, Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Jasa, 1995), hal. 6674 3 191 iman seseorang bukan untuk mengubah kepercayaan atau agama pasien. 4. Farmakoterapi (psikofarmaka), yaitu terapi dengan mengguankan obat. Terapi ini biasanya diberikan oleh dokter dengan memberikan resep obat pada pasien. 5. terapi somatic, yaitu terapi dengan memberikan obat-obatan yang ditujukan pada keluhan atau kelainan fisik/organic pasien. Berbagai keluhan/kelainan organ tubuh terutama yang dipersyarafi oleh system syaraf otonom yang muncuk sebagai manifestasi kecemasan atau depresiatau pada mereka yang menderita gangguan panik ataupun phobia. 6. Terapi relaksasi, yaitu terapi yang diberikan kepada pasien yang mudah disugesti. Terapi ini lazimnya digunakan oleh terapis yang mengguankan hipnotis. Dengan terapi ini pasien dilatih untuk melakukan relaksasi. 7. Terapi Prilaku. Terapi ini dimaksudkan agar pasien berubah, baik sikap maupun prilakunya terhadap obyek atau situasai yang menakutkan . Prinsip yang dilakukan adalah desentisisasi, agar passien tidak lagi sensitive atau reaktif terhadap obyek ataui situasi yang memnbuatnya menderita tersebut. Secara bertahap pasien dibimbing dan dilatih untuk menghadapi berbagai obyek atau situasi yang menimbulkan panik atau takut. Sebelum melakukan terapi ini diberikan psikoterapi untuk memperkut kepercayaan diri. C. Psikoterapi Dalam pengobatan terhadap penderita neurosis dengan menggunakan beberapa terapi, salah satunya dilakukan di antaranya 192 adalah psikoterapi. Yang dimaksud dengan psikoterapi adalah pengobatan alam pikiran atau lebih tepat pengobatan psikis melalui metode psikologi.4 Dari pengertian tersebut dapat diambil suatu pemahaman bahwa psikoterapi dipandang sebagai upaya kuratif dalam pengobatan orang yang sakit jiwa. Dari pengertian tersebut pula tidak mencakup upaya preventif dan konstruktif. Psikoterapi kadang-kadang diidentikkan dengan psikoanalisis (al-tahlil al-nafsiy), yaitu suatu cara untuk menganalisa jiwa seseorang dengan menggunakan tehnik-tehnik tertentu. Psikoterapi juga diartikan dengan penerapan tehnik khusus pada penyembuhan penyakit mental atau pada kesulitan-kesulitan penyesuaian diri. Sebenarnya psikoterapi bukan saja untuk pengobatan (kuratif), akan tetapi juga dapat digunakan untuk preventif—upaya pencegahan— dan konstruktif, demikian pendapat Carl Gustav Jung.5 Sementara kegunaan psikoterapi itu sendiri, menurut Muhammad Mahmud Mahmud, adalah: 1. membantu penderita dalam memahami diri sendiri, mengetahui sumber patologi dan kesulitannya, serta memberikan perspektif masa depannya. 2. membantu penderita dalam menentukan bentuk-bentuk patologinya 3. membantu pendreita dalam menentukan lanhkah-langkah dan pelaksanaannya.6 4 Frieda Fordman, Pengantar Psikologii C.G. Jung, (Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1988), hal. 69 5 Ibid., hal. 80 6 Muhammad Mahmud Mahmud, Ilm al-Nafs al-Ma’ashir fi Dhaui alIslam, (Jeddah: Dar al-Syuruq, 1984), hal. 402 193 Muhammad Mahmud Mahmud membagi psikoterapi dalam dua macam: 1. bersifat duniawi, yaitu terapi yang memberikan kerangka pendekatan dan tehnik pengobatan serta pemahaman dasar-dasar penciptaan manusia 2. bersifat ukhrawi, yaitu dengan memberikan kerangka asasi terhadap nilai-nilai agama, moral dan spiritual.7 Pada umumnya psikolog kontemporer menggunakan pendekatan empirik dalam menganalisis patologi pasiennya. Freud, misalnya, mengguanakan otobiografi pasien untuk menentukan terapi yang tepat. Sementara terapi yang digunakan dalam bentuk hipnotis, chatarsis, asosiasi bebas, dan analisis mimpi. Bentuk tehnik ini dilakukan secara bertahap dan berurutan. 1. Hipnotis. Terapi ini biasanya digunakan oleh spikiater dengan cara menghilangkan ingatan-ingatan pasien yang mengandung simtomsimtom, kemudian membrikan ingatan baru yang dapat memulihkan kesehatan pasien 2. Chatarsis Yaitu pengobatan dengan cara berbicara (talking cure). Cara kerja tehnik ini yaitu dengan menyuruh pasien untuk menceritakan simtom yang dideritanya secara rinci yang terdapat dalam jiwanya. Setelah simtom tersebut muncul, kemudian segera dihilangkan. 7 Ibid. 194 3. asosiasi bebas yaitu dengen pengalamannya, membiarkan baik pasien simtom menceritakan maupun tidak. Cerita seluruh yang dikemukakan tidak mesti harus logis, teratur atau penuh arti. Apapun isi cerita tersebut harus dikeluarkan, tidak terkecuali cerita yang memalukan yang selama ini mungkin terpendam. 4. analisis mimpi. Mimpi merupakan bentuk, isi dan kegiatan primitif dari jiwa seseorang. Oleh karena itu dengan mengguanakn metode ini, diharapkan akan diketahui rahasia pasien yang paling dalam.8 Masih dalam bahasan yang sama, al-Syarqawi menjelaskan 17 macam cara yang dapat digunakan sebagai terapi guna menuju pada mental yang sehat. Ketujuh belas metode tersebut adalah: 1. al-wasth 2. al-’adl 3. al-khair 4. al-fadhl 5. al-taubat 6. al-shafh al-jamil 7. al-‘amal al-shalih 8. al-ru’ya al-khasanah 9. shumt al-hakim 8 Lebih jelasnya baca: Calvin S. Hall dan Gardner lindzey, Teori-teori Holistik: Organismik Fenomenologis), (Yogyakarta: kanisius, 1993), hal. 110 195 10. dzikr Allah 11. al-‘amn 12. al-‘aml 13. al-mahabbah 14. huzn al-shadiqin 15. al-idhthirar wa al-iftiqar 16. muhasibat al-nafs, dan 17. ma’rifah al-nafs.9 Masih berkaitan dengan masalah terapi, Yahya Jaya mengungkapkan tiga langkah yang dapat ditempuh guna menuju mental yang sehat, yaitu: pengobatan (kuratif), pencegahan (preventif), dan pembinaan (konstruktif). Yang dimaksud dengan metode kuratif adalah usaha-usaha yang dilakukan untuk menyembuhkan dan merawat orang yang terganggu dan sakit mentalnya, sehingga ia menjadi sehat dan wajar kembali. Sementara langkah pencegahan adalah cara yang digunakan seseorang dalam menghadapi dirinya sendiri dan orang lain untuk meniadakan atau mengurangi gangguan kejiwaan, sehingga ia dapat menjaga dirinya dan orang lain dari kemungkinan jatuh pada kegoncangan batin dan ketidaktentraman jiwa. Usaha tersebut di samping sebagai uoaya tiap individu juga termasuk usaha penguasa atau pemerintah untuk memperbaiki dan mempertinggi kebudayaan dan peradaban. Sedangkana langkah pembinaan, selain bertujuan untuk menjaga kondisi mental agar sehat, juga meliputi cara yang ditempuh untuk meningkatkan rasa 9 Hasan Muhammad Syarqawi, Nahwa Il-Nafs Islami, (Mesir: al-Hai’at al-Misriyah, 1976), hal. 129 196 bahagia dan meningkatkan kemampuannya untuk meningkatkan dan mengembangkan segala potensi yang ada pada dirinya seoptimal mungkin. Sebagai contoh adalah usaha seseorang untuk memperkuat ingatannya, kepribadiannya, dan sebagainya. D. Beberapa aspek Ajaran Agama Islam sebagai Terapi 1. Keimanan Hidup manusia tidak selamanya berjalan lurus, adakalanya goncangan-goncangan hadir dalam langkah kehidupan manusia. Kegoncangan-kegoncangan tersebut bisa jadi diakibatkan oleh musibah, kegagalan, dan sebagainya. Kondisi tersebut biasanya dihadapi dengan berbagai perasaan, seperti sedih, tegang, resah, takut, marah, kecewa, atau sebaliknya, cobaan tersebut dihadapi dengan hati yang lapang. Di sini kepribadian sangat menentukan. Apabila kepribadiannya utuh dan jiwanya sehat, maka ia akn menghadapi semua masalah tersebut dengan tenang. Kepribadian yang di dalamnya terkandung unsure-unsur keimanan yang teguh, berbagai masalah yang menimpa dirinya dihadapi dengan hati yang tenang. Akan tetapi orang yang jiwanya goncang dan jauh dari agama boleh jadi ia akan marah tanpa sasaran yang jelas, atau ememarahi orang lain sebagai sasaran kemarahan. Unsur penting yang membantu pertumbuhan dan perkembangan kejiwaan adalah iman yang direalisasikan dalambentuk ajaran agama. Oleh sebab itu iman dijadikan sebagai prinsip pokok dalam ajaran agama Islam, menjadi pengendali sikap, tindakan, ucapan an perbuatan. Tanpa kendali iman, manusia akan mudah terdorong melakukan hal-hal yang akan merugikan diirnya sendiri atau orang 197 lain dan menimbulkan penyesalan dan kecemasan, yang akan menyebabkan tergangunya kesehatan mental. Keimanan itu sendiri merupakan proses kejiwaan yang tercakup di dalamnya fungsi jiwa, perasaan dan pikiran sama-sama meyakinkannya. Apabila iman tidak sempurna, maka manfaatnya bagi kesehatan mental pun kurang sempurna. Orang yang percaya adanya Tuhan, tidak akan merasa kesepian di mana pun mereka berada. Kendatipun ia seorang diri, namun pada hakekatnya ia tidak sendirian. Di mana Tuhan?, hatinya tahu, tidak jauh, dekat sekali bahkan lebih dekat dari urat lehernya sendiri..Di antara penyebab kegelisahan dan kecemasan seseorang antara lain merasa kesepian. Tidak sedikit orang yang putus asa dalam hidupnya karena merasa kesepian dan ditinggalkan orang. Dan tidak sedikit pula orang yang menjadi bingung karena ditinggal orang yang dulu mencintainya. Bagi orang yang putus asa dan tidak percaya adanya Tuhan amat sempitlah rasanya alam yang luas ini. Dengan demikian, dengan keimanan akan mententramkan hati, karena ada tempat mengeluh dan mengungkapkan segala perasaan hatinya. Dengan percaya akan adanya Tuhan manusia akan tertolong dalam melepaskan diri dari ikatan benda dan segala sesuatu yang bersifat material. 1. Shalat Hubungan antara shalat dengan kesehatan mental telah diketahui dan dirasakan oleh banyak orang, hal ini juga didasarkan pada ayat alQur’an surat al-Mu’minun ayat 1-2: 198 قد افلح المؤمنون * الذين هم فى صال تهم خشعون Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya (QS. AlMu’minun: 1-2) Di samping itu dalam Hadis juga disebutkan: ان الصالة تمسكن وتواضع Sesungguhnya shalat itu adalah ketenangan dan kerendahan hati.10 Shalat adalah ibadah yang di dalamnya terjadi hubungan rohani antara mahluk dan Khaliq-nya. Shalat juga dipandang sebagai munajat—berdoa dalam hati yang khusy’—kepada Allah. Orang yang sedang mengerjakan shalat dengan khusyu’ tidak merasakan sendiri. Seolah-olah ia berhadapan dan melakukan dialog dengan Tuhan. Suasana psiritual seperti ini dapat menolong manusia untuk mengungkapkan segala perasaan dan berbagai permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian ia mendapatkan tempat untuk mencurahkan segala yang ada dalam pikiran dan pikirannya. Dengan shalat yang khusyu orang akan mendapatkan ketenangan jiwa, karena merasa diri dekat dengan Allah dan beroleh ampunan-Nya.11 10 Berkaitan dengan masalah ini, baca: Imam Ghazali, Hikamah dan Rahasia Shalat, alih bahasa: A. Hunaf Ibriy (Surabaya: Tiga Dua, 1995), hal. 58. Baca juga Rahmat Djatnika, Shalat sebagai Pengendali Mental (Surabaya: al-Ikhlas, 1983) 11 Yahya Jaya, op. Cit., hal. 94 199 2. Puasa Terdapat dua sikap hidup yang dapat dikembangan dengan berpuasa, yaitu: a. mengendalikan diri terhadap nafsu dan dorongan-dorongan jahat yang ada dalam diri manusia b. mengembangkan dan meningkatkan serta mengarahkan diri terhadap hal-hal yang serba baik dan diridhai-Nya. Hal ini tidak saja membawa manfaat bagi diri sendiri sebagai pribadi dan sebagai anggota masyarakat, tetapi juga sebagai hamba Allah yang baik dan berguna. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berpuasa merupakan proses pengembangan dan aktualisasi diri ke arah manusia bertaqwa. Dengan berpuasa orang akan menjadi sadar, yakin dan sabar melatih dirinya dalam menahan lapar dan haus, serta menahan segala keinginan hawa nafsu dalam jangka waktu tertentu. Puasa yang dilakukan dengan penuh kesadaran, keimanan dan ketakwaan kepada Allah merupakan benteng yang kokoh bagi pertahanan diri terhadap segala godaan hawa nafsu. Puasa yang demikian akan mendorong manusia untuk bersikap ikhlas, jujur, benar, dan mengendalikan diri dalam setiap amal yang dilakukannya. Puasa yang benar akan memberikan ketenangan jiwa. Apabila orangsering melakukan puasa berarti ia akan jauh dari sifat jahat, semakin terkendali dan kuatlah benteng pertahanan dirinya. Dengan demikian orang yang berpuasa dapat dijaga dari penyebab gangguan kejiwaan dan tercegah dari penyakit jiwa. Di samping aspek-aspek tersebut di atas, masih terdapat banyak metode dalam mencegah dan menaggulangi terjadinya neurosis. Sementara 200 itu, dalam dunia tasawuf dikenal tiga langkah yang dihubungkan dengan usaha kesehatan mental, yaitu: takhalli, tahalli, dan tajalli. Takhalli merupakan usaha mengosongkan diri dari segala perbuatan yang tidak baik. Perbuatan tidak baik dapat dikategorikan sebagi gangguan-gangguan jiwa pada diri seseorang. Oleh karena itu metode takhalli memiliki hubungan dengan patologi. Apabila seseorang tidak mau membuang keburukan yang ada dalam dirinya sehingga dapat mengganggu jiwanya, maka sebagai akibatnya adalah adanya mental yang kurang sehat. Tahalli yaitu dengan mengisi diri seseorang dengan perbuatanperbuatan atau tingkah laku yang baik. Tahalli tersebut boleh dikatakan sebagai fungsi terapi. Sedangkan tajalli adalah kondisi di mana seseorang benar-benar sempurna dan paripurna, yang berimplikasi pada kesehatan mental. 201 Pertanyaan 1. Sebutkan macam-macam terapi yang dapat dilakukan untuk mengobati penderita neurosis! 2. Apakah yang disebut dengan psikoterapi! 3. Jelaskan kegunaan dari psikoterapi 4. Sebutkan bentuk-bentuk terapi yang dikemukakan oleh Sigmund Freud! 5. Uraikan peranan iman dalam fungsinya sebagai terapi neurosis! 202 Daftar Pustaka Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhama, 1994) Masdar Farid Mas’udi, Dialog: Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993) Dadang Hawari, Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Jasa, 1995) Frieda Fordman, Pengantar Psikologii C.G. Jung, (Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1988) Muhammad Mahmud Mahmud, Ilm al-Nafs al-Ma’ashir fi Dhaui al-Islam, (Jeddah: Dar al-Syuruq, 1984) Calvin S. Hall dan Gardner lindzey, Teori-teori Holistik: Organismik Fenomenologis), (Yogyakarta: kanisius, 1993) Hasan Muhammad Syarqawi, Nahwa Il-Nafs Islami, (Mesir: al-Hai’at alMisriyah, 1976) Imam Ghazali, Hikamah dan Rahasia Shalat, alih bahasa: A. Hunaf Ibriy (Surabaya: Tiga Dua, 1995) Rahmat Djatnika, Shalat sebagai Pengendali Mental (Surabaya: al-Ikhlas, 1983)