s_sej_053944_BAB IV

advertisement
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 KONDISI INTELEKTUAL ISLAM PADA MASA IMAM AHMAD BIN
HANBAL.
Sejarah perkembangan Agama Islam yang mencakup norma, doktrin, dan
peradaban masyarakatnya tidak berkembang secara mandiri, linier dan normatif
melainkan berliku dan tidak lepas dari kondisi sosial politik yang mempengaruhinya.
Hal ini merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi kondisi intelektual Islam
pada umumnya. Perkembangan intelektual Agama Islam mencapai puncaknya pada
masa Bani Abbasiyyah khususnya kehalifahan Harun ar-Rasyid dan putranya, alMa’mun serta khalifah-khalifah sesudahnya hingga sampai masa al-Mutawakkil.
Pribadi beberapa khalifah pada masa itu, sangat mencintai ilmu pengetahuan
sehingga kebijaksanaanya banyak ditujukan kepada kemajuan ilmu pengetahuan.
Perkembangan intelektual pada masa tersebut sebagaimana yang dijelaskan oleh
Nasution (1985: 68-70):
Pada masa Harun ar-Rasyid, kekayaan negara yang banyak sebagian besar
dipergunakannya untuk mendirikan rumah sakit, membiayai pendidikan
kedokteran dan farmasi. Sementara pada masa al- Ma’mum, ia gunakan untuk
menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen, Sabi, dan bahkan
penyembah binatang untuk menerjemahkan berbagai buku berbahasa asing ke
dalam bahasa Arab, serta mendirikan Bait al Hikmah sebagai pusat
penerjemahan dan akademi yang dilengkapi dengan perpustakaan. Di
dalamnya diajarkan berbagai cabang ilmu, seperti kedokteran, matematika,
geografi dan filsafat. Disamping itu, masjid-masjid juga merupakan sekolah,
tempat untuk mempelajari berbagai macam disiplin ilmu dengan berbagai
halaqah di dalamnya.
Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi Bani Abbasiyyah lebih
mengedepankan perkembangan aspek intelektual. Faktor- faktor tersebut mencakup
politik dan faktor sosial. Faktor politik yang mengakibatkan perkembangan intelektual
- 45 -
tersebut adalah pindahnya ibu kota negara dari Syam ke Baghdad sebagai ibu kotanya
pada tahun 146 Hijriyah dan banyaknya cendekiawan yang diangkat menjadi pegawai
pemerintahan dan istana. Adapun faktor sosialnya adalah meningkatnya kemakmuran
umat Islam pada waktu itu, adanya akulturasi antara kebudayaan Islam dengan
kebudayaan Persia, semakin kompleks dan berkembangnya permasalahan yang
dihadapi oleh umat Islam.
"Baghdad pada sebelum masa Kekhalifahan Abbasiyyah merupakan kota yang
paling tinggi kebudayaannya dan sudah lebih dahulu mencapai tingkat ilmu
pengetahuan yang lebih tinggi dari Syam" (Ahmad Amin dalam Anur Rahim Faqih
dan Munthoha, 1998: 36). Pada masanya tersebut kota Baghdad menjadi pusat ilmu
khususnya filsafat Yunani. Disamping itu wilayah kekuasaan Islam ketika itu terbagi
dua yaitu bagian Arab (Arabia, Irak, Suriah, Palestina, Mesir, dan Afrika Utara
berpusat di Mesir), dan bagian Persia (Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia Tengah
berpusat di Iran).
Adapun mengenai faktor politik yang kedua yaitu banyaknya cendekiawan
yang diangkat menjadi pegawai pemerintahan dan istana khususnya tokoh-tokoh yang
berasal dari daerah persia ketika itu. Tokoh-tokoh tersebut merupakan keluarga
Barmak dari Bactra yang dikenal sebagai keluarga yang gemar pada ilmu
pengetahuan serta filsafat dan condong pada paham Mu'tazilah. "Hal ini seperti
jabatan wazir yang diberikan al-Mansur kepada Khalid bin Barmak yang kemudian
diturunkan ke anak dan cucu-cucunya" (Nasution, 1985: 69). Bahkan tidak lama
kemudian hal ini mengakibatkan diakuinya Mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara
pada masa khalifah al-Ma’mum pada tahun 827 masehi. Khalifah al-Ma’mum secara
terang-terangan menyatakan salah satu dari keyakinan mu'tazilah bahwa al Qur'an
adalah makhluk (Imam Suyuthi, 2001: 376).
- 46 -
Menurut Ibnu Khaldun (dalam Ahmad Amin, tt: 14) "ilmu seperti industri,
banyak atau sedikitnya tergantung kepada kemakmuran, kebudayaan, dan kemewahan
masyarakat". Kemakmuran yang dicapai oleh umat Islam ketika itu dideskripsikan
pada Hikayat Alf Lailah wa Lailah berupa cerita yang menggambarkan kehidupan
mewah pada masa itu" (A. Hasjmi, 1993: 48). Hal ini sebagaimana yang
dideskripsikan oleh K. Ali (2003: 442): "Baghdad, Bashrah dan Alexandria
merupakan pusat bisnis ketika itu, ... sejumlah perkampungan industri tumbuh di
berbagai penjuru negeri. Hasil industri dari Asia Barat yang menonjol antara lain
permadai, sutera, hiasan, permadani penghias dinding, berbagai jenis katun, satin,
wool, brokad".
Mengenai faktor sosial yang kedua yaitu adanya akulturasi antara kebudayaan
Islam dengan kebudayaan Persia hal ini dampak dari banyak orang Persia yang
memeluk Agama Islam. Golongan ini sangat menonjol pada zaman Abbasiyah karena
mereka mempunyai keistimewaan dalam bentuk tubuh, kecerdasan akal, kecakapan
berusaha, berorganisasi, bersiasat dan terkemuka dalam segala bidang kebudayaan.
Muhammad Ied al Abbasy (2008: 6) menjelaskan keadaan mereka setelah itu:
Mereka menerjemahkan banyak kitab filsafat yang berbicara tentang perkara
ilahiyat (ketuhanan), aturan-aturan kehidupan dan campur baurnya dengan
kehidupan mereka. ... sebagian dari para penerjemah telah masuk Islam akan
tetapi ajaran Islam tidaklah membekas pada dirinya kecuali sedikit.
Proses akulturasi ini terjadi akibat semakin banyaknya perkawinan campuran
antra ras Arab dengan ras non Arab. Perkawinan campuran yang melahirkan
keturunan yang tumbuh dengan memadukan kebudayaan kedua orang tuanya. "Hal ini
banyak dilakukan oleh khalifah, panglima, gubernur, menteri, dan para pembesar
lainnya" (A. Hasjmi., 1993: 245).
Menurut Ahmad Amin (tt: 14) terdapat faktor lainnya yang mengakibatkan
berkembangnya ilmu pengetahuan pada masa Kekhalifahan Abbasiyyah yaitu
- 47 -
semakin kompleks dan berkembangnya permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam.
Maka, untuk mengatasi hal tersebut diperlukan pengaturan, pembukuan dan
pembidangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu naqli yang terdiri dari ilmu
agama, bahasa, dan adab.
Usaha penerjemahan merupakan aktivitas yang paling besar peranannya dalam
mentransfer ilmu pengetahuan yang berasal dari buku-buku bahasa asing, seperti
bahasa Sansekerta, Suryani atau Yunani ke dalam bahasa Arab ketika itu. Menurut
Hasan Ibrahim Hasan (1976: 345) sebelum kekhalifahan Harun ar-Rasyid, upaya
penerjemahan tersebut telah dilakukan sejak masa Amawiyah, seperti yang dilakukan
oleh Khalid bin Yazid yang memerintahkan sekelompok orang yang tinggal di Mesir
untuk menerjemahkan buku-buku tentang kedokteran, bintang dan kimia yang
berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Demikian juga khalifah Umar bin Abdul
Aziz memerintahkan untuk menerjemahkan buku-buku kedokteran ke dalam bahasa
Arab. Adapun menurut Daudy (1989: 5) upaya penerjemahan ini pada umumnya
hanya dilakukan orang-orang yang berkepentingan serta dilakukan terhadap bukubuku yang ada kaitannya langsung dengan kehidupan praktis.
Seiring dengan semakin banyaknya buku-buku yang diterjemahkan maka
semakin beragam pula jenis-jenis buku tersebut. Hingga upaya penerjemahan ini
mencapai puncakya pada kekhalifahan al-Ma'mun. "Pada tahun 832 Masehi, alMa’mum mendirikan Bait al-Hikmah di Baghdad sebagai akademi pertama, lengkap
dengan teropong bintang, perpustakaan dan lembaga penerjemahan" (Ahmad Syalabi
dalam Aunur Rahim Faqih dan Munthohah, 1998:40). "Kepala akademi ini yang
pertama adalah Yahya bin Musawaih (777- 857 M) murid Gibril bin Bakhtisyu,
kemudian diangkat Huunain ibn Ishaq murid Yahya sebagai ketua kedua" (Ahmad
Daudy, 1989: 6).
- 48 -
Sebagian ilmuwan berpendapat bahwa usaha ilmiah terpenting dijalankan oleh
akademi ini terjadi sewaktu dikepalai oleh Hunain bin Ishaq seorang kristen yang
pandai berbahasa Arab dan Yunani. Ahmad Syalabi (dalam Aunur Rahim Faqih dan
Munthohah, 1998: 41) berpendapat bahwa Hunain berhasil memindahkan ke bahasa
Arab isi kandungan buku-buku karangan Euclide, Galen, Hipocrates, Apollonius,
Plato, Aristoteles, Themitius, Perjanjian lama, dan sebuah buku kedokteran yang
dikarang oleh Paulus al-Agini dengan bantuan para penerjemah dari Bait al-Hikmah
itu. Sementara ia sendiri telah menerjemahkan ke dalam bahasa Arab buku-buku
karangan Plato, Aristoteles dan lainnya. "Ketika itu para penguasa dunia Islam dan
para ilmuannya sibuk menggeluti dunia pemikiran, pemikiran, filsafat dan ilmu-ilmu
Yunani" (Ahmad Amin Husayn, 1997: 72).
Upaya penerjemahan buku-buku khususnya filsafat Yunani memberikan
kontribusi besar bagi perkembangan pemikiran dan filsafat Islam. Pada masa-masa
ini, sistem berpikir rasional telah berkembang pesat dalam masyarakat intelektual
Islam khususnya dalam bidang fiqh (yurisprudensi) dan kalâm (teologi). Dalam
teologi, doktrin Mu'tazilah yang rasional, yang dibangun oleh Wasil bin Atha’ (699748 M) telah mendominasi pemikiran masyarakat, bahkan menjadi doktrin resmi
negara dan berkembang dalam berbagai cabang. "Munculah tokoh-tokoh mu'tazilah
seperti Amr ibn Ubaid (w. 760 M), Jahiz Amr ibn Bahr (w. 808 M), Abu Hudzail ibn
al-Allaf (752-849 M), Ibrahim ibn Sayyar an-Nadzam (801-835 M), Mu`ammar ibn
Abbad (w. 835 M) dan Bisyr ibn al-Mu`tamir (w. 840 M)". (Watt, W.W, 1979: 7386).
Adapun dalam bidang fiqh penggunaan nalar rasional dalam penggalian
hukum (istinbâth) dengan istilah-istilah seperti istihsân, istishlâh, qiyas dan lainnya
telah lazim digunakan. "Tokoh-tokoh mazhab fiqh yang mencetuskan metode
- 49 -
istinbâth dengan menggunakan rasio seperti Abu Hanifah (699-767 M), Malik (716796 M), Syafi’i (767-820 M) dan Ibnu Hanbal (780-855 M), hidup sebelum
kedatangan filsafat Yunani" (Muhsin Mahdi, 1992: 56). Meskipun demikian
MoenawarKhalil(2008:http://moenawar.multiply.com/journal/item/12/TARIKH_TAS
YRI_Sejarah_perkembangan_mazhab_) berpendapat bahwa: "Munculnya madzhabmadzhab fiqih itu lahir dari perkembangan sejarah sendiri, bukan karena pengaruh
hukum romawi".
Munculnya madzab-madzab fiqih dalam Agama Islam disebabkan oleh
beberapa
faktor.
Faktor-faktor
tersebut
menurut
Moenawar
Khalil
(2008:
http://moenawar.multiply.com/journal/item/12/TARIKH_TASYRI_Sejarah_perkemb
angan_mazhab_) adalah:
1. Adanya pengaruh turun temurun dari ulama-ulama yang hidup sebelumnya.
2. Semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam sehingga hukum Islam pun
menghadapi berbagai macam masyarakat yang berbeda-beda tradisinya.
3. Munculnya ulama-ulama besar pendiri madzhab-madzhab fiqih berusaha
menyebarluaskan pemahamannya dengan mendirikan pusat-pusat study tentang
fiqih, yang diberi nama al-Madzhab atau al-Madrasah yang diterjemahkan oleh
bangsa barat menjadi school, kemudian usaha tersebut diteruskan oleh muridmuridnya.
4. Adanya kecenderungan masyarakat Islam ketika memilih salah satu pendapat dari
ulama-ulama madzab ketika menghadapi masalah hukum. Sehingga pemerintah
(khalifah) merasa perlu menegakkan hukum Islam dalam pemerintahannya.
Penetapan Hukum (at-tasyri') keagamaan murni, seperti hukum-hukum
ibadah, tidak pernah timbul kecuali dari wahyu Allah kepada Nabi-Nya
Shalallahu'alaihi wa Sallam, baik dari al Qur'an dan Sunnah atau dengan suatu ijtihad
- 50 -
yang disetujuinya. Tugas Rasul tidak keluar dari lingkaran tugas menyampaikan
(tabligh) dan menjelaskan (tabyin). "Tidaklah ia (Nabi) berbicara atas kemauan
sendiri; tidak lain itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya" (al Qur'an Surat An
Najm ayat 34).
Adapun mengenai latar belakang mengenai penetapan sumber hukum dalam
Agama Islam yang berasal dari al Qur'an, Sunnah, Ijma' dan Qiyas, menurut Abdul
Wahhab Khallaf (1985:18) terdapat tiga dalil dalam Islam yang menyatakan hal
tersebut. Dalil pertama adalah al Qur'an Surat An Nisa ayat 59:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Penjelasan mengenai ulil amri pada ayat tersebut disebutkan oleh Ibnul
Qayyim dalam I'lamul al Muwaqiqien (2000: 23) bahwa menurut Ibnu Abbas dalam
salah satu riwayatnya, Jabir bin Abdullah, Hasan aI-Bashri, Abul Aliyah, Atha bin
Abu Rabah, Dlahhak dan Mujahid dalam salah satu riwayatnya mengatakan bahwa
ulil amri adalah para ulama. Pendapat ini juga dikemukakan oleh lmarn Ahmad
dalam salah satu riwayatnya. Dalam riwayat lain Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Zaid bin
Aslam, as-Sa'di dan Muqatil serta riwayat lain dari Ahmad mengatakan bahrwa ulil
amri adalah para penguasa (al-umaraa).
Pada penjelasan berikutnya Abdul Wahhab Khallaf (1985:18) mengemukakan
bahwa perintah untuk taat kepada Allah dan Rasul, berarti mengikuti al Qur'an dan
Sunnah sedangkan perintah mentaati ulil amri dari umat Islam dapat diartikan
mengikuti ketentuan hukum yang telah disepakati para imam mujtahid karena
merekalah ulil amri dalam hal pembentukan Syariat Islam. Sedangkan dalil yang
kedua adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Baghawy dari Muadz bin Jabal.
- 51 -
Ketika Rasulullah Shalallahu'alaihi
wa Sallam mengutus Muadz bin
Jabal
ke
Yaman, beliau bersabda:
Bagaimana kamu memutuskan suatu hukum ketika kamu diminta untuk
menentukan suatu keputusan?". Jawab Muadz, "Aku akan memutuskan
dengan Kitab Allah". Rasulullah bertanya: "Jika kamu tidak menemukan di
dalam kitab Allah?". Muadz menjawab, "Dengan Sunnah Rasulullah".
Rasulullah bertanya lagi, "Jika kamu tidak menemukan di dalam Sunnah di
dalam Sunnah Rasul-Nya?". Jawab Muadz "Aku akan melakukan ijtihad
dengan pendapatku, dan aku tidak akan menyempitkan ijtihadku". Kemudian
Rawi mengatakan, "Maka Rasulullah menepuk dada Muadz, sambil
mengatakan "Segala puji bagi Allah yang memberi taufik terhadap sesuatu
yang memuaskan Rasulullah (Abdul Wahhab Khallaf,1985:21).
Adapun dalil yang ketiga adalah riwayat al-Baghawy dari Maimun bin
Mihran, ia berkata:
Bahwa ketika Abu Bakr menerima pengaduan tentang adanya suatu
persengketaan, ia mencari hukum di dalam Kitabullah. Jika ia menemukan
hukum di dalam Kitabullah itu, maka ia melaksanakan keputusan diantara
mereka. Apabila ia tidak menemukan hukum di dalam Kitabullah maka ia
melaksanakan keputusan hukum sesuai dengan Sunnah Rasul yang
diketahuinya. Jika usaha itu menyulitkannya, atau tidak mendapatkan di
dalam Sunnah Rasul maka ia mengundang tokoh-tokoh dan umat Islam pilihan
untuk berkumpul dan bermusyawarah. Jika terjadi kesepakatan di antara
mereka mengenai permasalahan yang dihadapi maka ia menjatuhkan
keputusan hukum sesuai dengan kesepakatan yang ada. Hal seperti itu juga
dilakukan Umar (Abdul Wahhab Khallaf, 1985:20).
Dalam penjelasannya terhadap hadits dan riwayat tersebut Abdul Wahhab
Khallaf (1985:21) menyatakan bahwa para sahabat dan para pemuka Islam telah
menyatakan bahwa riwayat tersebut merupakan dalil penggunaan empat dalil; al
Qur'an, Sunnah, Ijma' dan Qiyas secara kronologis dan tertib. Adapun mengenai
permasalahan ijtihad terdapat pembahasan tersendiri.
Salah seorang ulama madzab Hanbali yaitu Imam Ibnul Qayyim (2000:319)
berpendapat bahwa ijtihad hanya diberlakukan pada masalah-masalah yang belum
memiliki hukum yang belum jelas dalam nash (al Qur'an dan Sunnah) dan keputusann
dari ijtihad tersebut hanya sebatas pada kebolehan untuk mengikutinya tidak sampai
membenarkan atau menyalahkan orang lain. Ibnul Qayyim (2000:404) berkata:
- 52 -
"Perbuatan yang dilakukan dengan jalan ijtihad dan istidlal adalah medan
pertentangan dan ajang perselisihan pendapat". Pernyataan tersebut dapat dipahami
karena setiap ulama memiliki tingkat keilmuan yang berbeda-beda dari berbagai ilmu
syariat Islam. Maka setiap ulama pun memiliki tingkatan ijtihad yang berbeda-beda.
Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Mahdjuddin (1995: 69) bahwa ijtihad
terdiri atas beberapa tingkatan yaitu:
1. Ijtihad
muthlaq yaitu suatu ijtihad yang tidak terpengaruh (terlepas) dari
ijtihad ulama sebelumnya baik dalam hal memandang hukum pokok maupun
hukum cabang (furu').
2. Ijtihad muntashib yaitu upaya ijtihad yang selalu memilih hukum pokok sesuai
dengan yang telah dirintis oleh imam madzabnya (gurunya) dan menetapkan
hukum cabang yang berbeda dengan hukum yang telah ditetapkan oleh imam
madzabnya (gurunya).
3. Ijtihad Madzaby yaitu upaya ijtihad yang selalu terikat dengan penetapan
imam madzabnya (gurunya) dan menambahkan pendapat-pendapat yang tidak
pernah dikemukakan oleh gurunya tersebut. Ijtihad jenis ini diakukan dengan
cara (metode) pengambilan hukum yang tidak bertentangan dengan yang
dipakai oleh imam madzabnya (gurunya).
4. Ijtihad Tarjih yaitu upaya ijtihad yang hanya membandingkan pendapat yang
satu dengan yang lainnya kemudian mentarjihkan (menguatkan) salah satu
dari pendapat tersebut berdasarkan kekuatan dalil sumber hukum yang dipakai
atau menyesuaikannya dengan situasi dan kondisi yang sedang dialami
mujtahid tersebut.
- 53 -
Dilihat dari tingkatan ijtihad tersebut maka Imam Ahmad termasuk pada
tingkatan Ijtihad muthlaq sebagaimana yang diungkapkan oleh Mahdjuddin (1995:
69).
Sebelum munculnya madzab-madzab fikih khususnya empat madzab utama
yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali, umat Islam mempelajari ilmu fikih
langsung dari Nabi Muhammad Shalallahu'alaihi wa Sallam. Adapun setelah beliau
meninggal maka terdapat beberapa Sahabat yang dijadikan rujukan sebagai sumber
ilmu ketika itu. Diantara berbagai Sahabat Nabi yang selalu dijadikan sumber rujukan
menurut Ibnul Qayyim (2000:28) adalah Ibnu Mas'ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin
Umar dan Abdullah
bin Abbas seperti Ibnu Abbas, A'syah Radhiallahu'anhum,
adapun dari kalangan wanitanya adalah 'Aisyah Radhiallahuanha.
Setelah periode para Sahabat Nabi, muncullah masa tabi'in. Adapun yang
dimaksud dengan tabi'in adalah "Orang-orang yang beriman kepada Nabi
Shalallahu'alaihi wa Sallam namun tidak bertemu dan tidak sejaman dengan beliau
tapi bertemu dan belajar agama dari para sahabat Nabi serta mereka wafat dalam
keadaan beriman" (Luqman Ba'abduh, 2006: 295). Adapun tokoh-tokoh yang
dijadikan sebagai rujukan ilmu pada masa ini diantaranya adalah Sa'id bin Musayyab,
Urwah bin Zubair, Ibnu Syihab. Bahkan ketika itu menurut Ibnul Qayyim (2000:29)
para ahli fikih dan mufti tersebut telah tersebar di berbagai wilayah kekuasaan Islam
yaitu Madinnah, Makkah, Bashrah, Kufah, Syam Mesir, Qairawan, Andalus
(Spanyol), Yaman dan Baghdad.
Pada masa tabi'in inilah terdapat faktor yang mempengaruhi proses
pembukuan khususnya yang berkaitan dengan ilmu fikih. Hal ini sebagaimana yang
diungkapkan oleh Nurcholis Madjid, (tt: http:
Pentagon/Quarters/ 1246/hukum.html):
- 54 -
//www.geocities.com/
Pada masa para sahabat yang kemudian disusul masa para
Tabi'in,prinsip-prinsip yang diwariskan Nabi itu berhasil digunakan,
menopang ditegakkannya kekuasaan politik Imperium Islam yang
meliputi daerah antara Nil sampai Amudarya,dan kemudian segera
melebar dan meluas sehingga membentang dari semenanjung Iberia
sampai lembah sungai Indus. Daerah-daerah itu, yang dalam wawasan
geopolitik Yunani kuno dianggap sebagai heatland Oikoumene (Daerah
berperadaban-Arab: al-Da'irat al-Ma'murah) telah mempunyai tradisi
sosial-politik yang sangat
mapan dan tinggi, termasuk tradisi
kehukumannya.Di sebelah Barat tradisi itu merupakan warisan YunaniRomawi,dan Indo-Iran umumnya.
Faktor inilah yang muncul sebagai tuntutan intelektual yang harus dijawab
para penguasa ketika itu. Tuntutan intelektual itu mendorong tumbuhnya suatu
kegiatan penelitian khususnya pada Ilmu Fiqh. Namun sebelum ilmu itu tumbuh
secara utuh, telah terjadi yang disebut oleh Nurcholis Madjid, (tt: http:
//www.geocities.com/Pentagon/Quarters/ 1246/hukum.html) semacam pendekatan ad
hoc dan praktis-pragmatis. Pendekatan semacam ini dilakukan terhadap persoalanpersoalan hukum dengan menggunakan prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam
Kitab Suci. Selain itu hal ini merujuk pula pada Sunnah Nabi dan para Sahabat serta
masyarakat lingkungan mereka yang secara ideal.
Siradjuddin Abbas (1972: 94) membagi tabi'in menjadi dua golongan, yaitu
golongan yang hanya periwayat hadits saja (rawi) dan golongan lainnya yang selain
meriwayatkan hadits (rawi) dijadikan sebagai mufti (pemberi fatwa, Qadhi dan
Mubaligh. Diantara tabi'in yang termasuk golongan kedua adalah Nu'man bin Tsabit
atau yang biasa disebut Imam Abu Hanifah. "Hanya tujuh orang Sahabat Nabi yang
dapat ditemui Abu Hanifah yaitu Anas bin Malik, Abdullah bin Harits, Abdullah bin
Abi Aufa, Wasnilan bin Al Asda, Maaqil bin Yasar, Abdullah bin Aus, ..."
(Siradjuddin 'Abbas: 1972: 92).
Abu Hanifah lahir tahun 80 Hijriyah (699 Masehi) pada masa Khalifah Abdul
Malik bin Marwan di Kufah (Adz-Dzahaby, 1999: 13). Beliau adalah imam yang
- 55 -
pertama kali melakukan pengklasifikasian pembahasan ilmu-ilmu fikih ke dalam babbab tertentu. Diantara beberapa karya Abu Hanifah adalah al-Jami'ul Kabir, al-Jami'us
Shaghir, as-Sairus Shaghir, al- Faraidh, as-Syuruth, dan al-Fiqhul Akbar. Diantara
tuduhan yang menimpa Imam Abu Hanifah adalah beliau dituduh mendahulukan
qiyas sebelum nash al Qur'an dan Sunnah dalam sumber hukum. Tuduhan tersebut
dijawab beliau dengan tegas dalam beberapa riwayat misalnya seperti dari Imam Abu
Mu'thy menyatakan bahwa:
... sesungguhnya aku (Abu Hanifah) mengerjakan pekerjaan dengan Kitab
Allah (al Qur'an), kemudian dengan Sunnah Rasul (Hadits), kemudian dengan
keputusan para sahabat nabi, mendahulukan dengan apa yang telah mereka
sepakati itu dan mengakhirkan ha-hal yang masih diperselisihkan oleh
mereka, setelah itu barulah aku mengambil perbandingan (qiyas) yang benar
(Moenawar Khalil, 1977:57).
Setelah masa tabi'in maka periode setelahnya disebut sebagai masa tabi'ut
tabi'in. Mereka adalah "orang-orang beriman yang tidak bertemu dan tidak sejaman
dengan sahabat Nabi, tetapi bertemu dan belajar ilmu dari para murid sahabat
(tabi'in) dan wafat dalam keadaan beriman" (Luqman Ba'abduh, 2006: 295). Pada
masa tersebut muncullah Imam Malik bin Anas di Madinnah (lahir 93 H) dan Imam
Muhammad bin Idris As-Syafi'i di Gaza (lahir 150 H). Imam Malik bin Anas dikenal
dengan karyanya yaitu kitab al-Muwwatha sedangkan Imam Syafi'i dikenal dengan
kitab ar-Risalah.
Adapun al-Muwwatha karya Imam Malik merupakan kitab Hadits yang
pernah direkomendasikan oleh Khalifah Abu Ja'far al Manshur sebagai salah satu
dasar hukum negara setelah al Qur'an. Meskipun demikian, tawaran tersebut ditolak
oleh Imam Malik:
Wahai Amirul Mukminin, janganlah engkau berbuat demikian! Karena
sesungguhnya orang-orang terdahulu telah mendengar beberapa qaul dan
beberapa hadits, beberapa riwayat dan setiap golongan telah mengerjakan apa
yang mereka anggap mendekati kebenaran. Maka biarkanlah mereka mereka
- 56 -
mengerjakan apa yang telah mereka percayai dan memilih apa yang mereka
pandang baik (Moenawar Khalil, 1977:108).
Dalam hal sumber hukum, yang membedakan Imam Malik dengan Imam
madzab lainnya adalah penggunaan amalan orang-orang Madinnah. Tentunya amalan
tersebut adalah amalan yang tidak bertentangan dengan al Qur'an dan as Sunnah.
Diantara pernyataan Imam Malik tersebut adalah: "Saya hanyalah manusia biasa, bisa
salah dan bisa benar karena itu lihatlah pendapatku jika sesuai dengan al Kitab (al
Qur'an) dan as Sunnah ambillah dan semua yang tidak sesuai dengan al Kitab (al
Qur'an) dan as Sunnah tinggalkanlah" (al–Albani, 2008: 76).
Imam Muhammad bin Idris as-Syafi'i lahir bertepatan dengan wafatnya Imam
Abu Hanifah yaitu 150 Hijriyah (767 Masehi) di Baghdad (Moenawar Khalil,
1977:138). "Imam Syafi'i dijuluki sebagai pencetus dalam penulisan ilmu ushul fiqh.
Ar-Risalah merupakan karya ushul fiqh dari Imam Syafi'i sebagai jawaban atas
pertanyaan yang diajukan oleh Abdurrahman bin Mahdi" (Abu Zakariya, 2009: 14).
Pembahasan-pembahasan dalam Ar-Risalah tersebut mencakup permasalahan seperti
mutlak muqayyad, mujmal mubayyan dan lainnya seputar kaidah-kaidah umum dalam
penentuan hukum suatu permasalahan fikih.
Munculnya pembukuan Ilmu Ushul Fiqh ini tidak terlepas dari kondisi pada
waktu itu. Terdapat dua aliran pemikiran yang saling bertentangan dalam memahami
hukum. "Di satu pihak terdapat aliran ahl hadits yang lebih menekankan arti harfiah
dalam memahami hukum dan di lain pihak terdapat aliran ahl ra’yu yang memahami
hukum dengan banyak menggunakan rasio, dan bahkan sering meninggalkan Hadits"
(Mukti. H, 2004:5). Perbedaaan pendapat antara keduanya semakin berkembang
khususnya pada aliran ahl ra’yu yang berpegang teguh dengan rasionalitas.
Imam Syafi'i merupakan murid dari Imam Malik bin Anas sekaligus guru dari
Imam Madzab berikutnya yaitu Ahmad bin Hanbal. "Pada usia 13 tahun ia telah dapat
- 57 -
menghafal al-Muwwatha. Sebelumnya Imam Syafi’i pernah belajar hadis kepada
Sufyan ibn ‘Uyainah di Makkah dan Imam Malik di Madinah" (Mukti. H, 2004:7).
Meskipun belajar di Madinnah, medan utama dari aktivitasnya adalah Baghdad dan
Kairo (Ibnu Kalikan dalam P. Hitti, 2002: 499). Di kota Baghdad inilah Imam Syafi'i
menjadi guru sekaligus murid dari Ahmad bin Hanbal. Adapun salah satu komentar
Imam Syafi'i terhadap Imam Ahmad bin Hanbal: "Tidaklah aku tinggalkan kota
Baghdad kecuali di sana terdapat seseorang yang lebih utama, berilmu, dan bertakwa
kecuali Ahmad bin Hanbal" (as-Syamy, 2008: 23).
Pada masa Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal merupakan periode
awal dari kemenangan kaum tradisionalis (ahl Hadits) atas kaum rasionalis. Menurut
George Makdisi (2000: 30) kemenangan awal adalah pada saat Imam Syafi'i menulis
ar-Risalah dan kemenangan kedua adalah keberhasilan Imam Ahmad dalam
menghadapi mihnah. Padahal kaum rasionalis telah mendapatkan dukungan dari tiga
khalifah Bani Abbasiyyah yaitu al-Ma'mun, al-Mu'tashim, dan al-Watsiq.
- 58 -
4.2 LATAR BELAKANG KEHIDUPAN IMAM AHMAD BIN HANBAL
Imam Ahmad bin Hanbal merupakan anak dari pasangan Muhammad AsySyaibany dan Shafiyyah binti Maimunah binti Abdul Malik Asy-Syaibany. "Kedua
orang tua Imam Ahmad sebenarnya tinggal di Marwa namun ketika masih berada di
dalam kandungan ibunya pergi ke Baghdad dan melahirkan di sana pada tahun 164 H
(780 M)" (Moenawar Khalil, 1977: 225). Ketika itu Baghdad merupakan ibu kota dari
pemerintahan Khalifah Muhammad al-Mahdy dari Bani Abbasiyyah yang ke III. Tiga
tahun setelah Imam Ahmad lahir tepatnya pada malam Jum'at tanggal 20 bulan
Rabi'ul Awwal tahun 167 H (783 M) ayah Imam Ahmad Wafat (asy-Syamy, 2008: 7).
Setelah ayahnya wafat Imam Ahmad diasuh oleh ibunya.
Dilihat dari penampilannya, Imam Ahmad terkesan hidup sederhana dan
bersahaja. "Setelah ayahnya meninggal Imam Ahmad hanya diberikan warisan berupa
rumah dan baju bersulam" (Moenawar Khalil, 1977: 231). Abbas an-Nahwy (dalam
asy-Syamy, 2008: 13) mendeskripsikan keadaan fisik Imam Ahmad: "Aku melihat
Imam Ahmad bin Hanbal berwajah bagus, bertubuh sedang, rambutnya kemerahmerahan karena beliau menwarnainya dengan hena pada usia lanjut, janggutnya tidak
begitu lebat, tidak menggunakan pakaian kecuali yang berwarna putih" (asy-Syamy,
2008: 13).
Meskipun nama ayahnya adalah Muhammad namun dalam beberapa riwayat
Imam Ahmad lebih dikenal dengan nama Ibnu Hanbal atau Abu Abdullah. Nama Ibnu
Hanbal adalah nisbah kepada kakeknya sedangkan nama Abu Abdullah adalah nisbah
kepada anaknya yang kedua. Imam Ahmad baru menikah pada umur 40 tahun dengan
seorang perempuan bernama 'Aisyah binti Fadhl dan dikaruniai seorang putera
bernama Shalih. Tidak lama kemudian 'Aisyah meninggal dan Imam Ahmad menikah
lagi dengan seorang perempuan bernama Raihanah. Dari istrinya yang kedua Imam
- 59 -
Ahmad dikaruniai seorang putra bernama Abdullah. Namun tidak lama kemudian
Raihanah meninggal dan Imam Ahmad menikah kembali dengan seorang budak
perempuan (jariyah) bernama Husina. Dari pernikahannya yang ketiga tersebut Imam
Ahmad dikaruniai seorang putri yaitu bernama Zainab dan lima orang putra bernama
Hasan, Husain, Hasan, Muhammad dan Sa'id.
Adapun nasab Imam Ahmad adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin
Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah ibnu Anas bin Auf bin
bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzahal bin Tsa'labah bin Akabah bin Sha'ab bin
Ali bin Bakr bin Wa'il bin Ibnu Qasith bin Hinba bin bin Afshy bin Du'miyya bin
Jadilah bin Asad bin Rabi'ah bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan bin Addi bin 'Udad bin
al-Humaisa' bin Nabat bin Qaiydzar bin Ismail bin Ibrahim (Adz-Dzahaby,tt: 128).
Dari nasab tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Imam Ahmad merupakan
keturunan dari Nabi Ibrahim Alaihissalam, Nabi Ismail Alaihissalam dan Nabi
Muhammad Shalallahu'alaihi wa Sallam. Adapun mengenai keturunannya dari Nabi
Muhammad Shalallahu'alaihi wa Sallam, hal ini dapat dillihat dari Mudhar bin Nizar.
Sedangkan nasab dari Nabi Muhammad adalah "Muhammad bin Abdullah bin 'Abdul
Muthalib bin Hasyim bin 'Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Luai bin
Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah
bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'ad bin 'Adnan" (al-Mubarakfurry, 2007: 1).
Imam Ahmad termasuk ke dalam angkatan (thabaqah) ke 10 setelah para
sahabat Nabi Muhammad. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Hajar
(dalam Lukman Ba'abduh, 2006: 297): "Thabaqah kesepuluh adalah murid senior
tabi'it tabi'in (dan) tidak pernah bertemu dengan seorang tabi'in pun contohnya seperti
Ahmad bin Hanbal". Imam Ahmad belajar dari para ulama tabi'it tabi'in diantaranya
seperti Imam asy-Syafi'i.
- 60 -
Hingga umur 16 Tahun Imam Ahmad menuntut ilmu di kota Baghdad. Di kota
tersebut Imam Ahmad belajar ilmu hadits pada Abu Yusuf (salah satu murid dari
Imam Abu Hanifah yang telah diangkat oleh Harun ar-Rasyid menjadi
Hakim/
Qadhi), Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i dan Hisyam bin Abi Basyir Ibnu Abi Hazm
al-Wasithy. Imam Ahmad dikenal dengan hafalannya mengenai para periwayat hadits.
"Jika ada yang bertanya kepada Imam Ahmad mengenai al-Jarh wa ta'dil (ilmu
periwayat hadits) maka Imam Ahmad akan menyebutkannya sebagaimana membaca
surat al-Fatihah" (Ibnul Jauzy dalam al-Fauzan, 2002: 6).
Setelah di Baghdad, Imam Ahmad melakukan berbagai perjalanan untuk
menuntut ilmu ke Kufah, Bashrah, Mekkah, Madinnah, Yaman, Syam, dan Jazirah.
"Dari berbagai kota tersebut Imam Ahmad menuliskan hadits-hadits lengkap dengan
nama para periwayatnya (rawi) disusun secara alfabetis bahasa arab huruf alif ( ‫) ا‬
hingga huruf ya (‫( ")ي‬Ibnul Jauzy dalam al-Fauzan, 2002: 5). Imam Ahmad sangat
bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu sebagaimana beberapa perkataannya yang
disebutkan oleh Sholeh asy-Syamy (2008: 13):
Seseorang bertanya kepada Imam Ahmad: "Amal apakah yang paling
utama?".Imam Ahmad menjawab: "Menuntut ilmu". Kemudian orang itu
bertanya lagi: "Dengan seperti apa?". Kemudian Imam Ahmad menjawab:
"Dengan niat yang benar". Kemudian orang itu bertanya lagi: "Apakah
maksud dari niat yang benar?".Imam Ahmad menjawab: "Yaitu dengan niat
untuk mengangkat kebodohan pada dirinya sendiri".
Salah satu perjalanan Imam Ahmad yang paling jauh ketika itu adalah ke
negeri Yaman khususnya kota San'a. Di kota tersebut Imam Ahmad belajar ilmu
hadits kepada Imam Abdurrazak bin Hamam as-San'any. Ketika mencapai perjalanan
yang jauh tersebut Imam Ahmad sempat kehabisan bekal. Dalam rangka memelihara
kehormatannya dari meminta-minta, maka Imam Ahmad bekerja sebagai pelayan.
"Imam Ahmad bekerja pada satu kafilah yang sedang menuju ke negeri Yaman"
(Moenawar Khalil, 1977: 231).
- 61 -
Berbagai karya Imam Ahmad bin Hanbal diantaranya adalah al-Musnad, AzZuhd, ar-Radd a'la Jahmiyyah wa Dzanadiqqah, Ash-Sholat, Taat ar-Rasul
Shalallahu'alaihi wa Salam dan Akhbar al-Ahad. Dari kitab-kitab tersebut tercermin
bahwa Imam Ahmad menguasai berbagai macam ilmu. Misalnya dalam bidang hadits
adalah kitab al-Musnad. Isi kitab ini kurang lebih sekitar 40.000 hadits. Hadits-hadits
tersebut merupakan hasil pilihan dari hadits yang dihafal oleh Imam Ahmad. "Cucu
Imam Ahmad yang bernama Ahmad bin Ja'far bin Muhamad berkata: Aku bertanya
tentang kakekku: "Berapa haditskah yang dihapal oleh Ahmad?". "Maka ayahku
menjawab 600.000 hadits" (Ibnul Qayyim, 2000: 699).
Adapun kitab Az-Zuhd merupakan kitab yang berisi berbagai hadits, atsar dan
riwayat yang berhubungan dengan sikap zuhud. Diantara beberapa riwayat tersebut
misalnya hadits dari Ibnu Abbas, dia berkata bahwa Rasululullah berkata: "Dua
nikmat yang banyak manusia tertipu karenanya yaitu waktu senggang dan kesehatan"
(Ahmad bin Hanbal, 2000: 40). Hadits tersebut seolah-olah diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari Imam Ahmad. Hal ini tampak dari salah satu kegiatan harian
Imam Ahmad yang dikabarkan oleh putranya Abdullah bin Ahmad (dalam Moenawar
Khalil, 1977: 237): "Adalah ayahku mengerjakan sholat dalam sehari semalam
sebanyak 300 raka'at namun hingga dijatuhi hukuman dera yang membuat tubuhnya
lemah maka beliau hanya sholat 150 raka'at dalam sehari semalam padahal sudah
berusia lanjut".
Dalam ilmu fikih dan ushul fikih Imam Ahmad menulis Ash-Sholat, Taat arRasul Shalallahu'alaihi wa Sallam dan Akhbar al-Ahad. Sedangkan dalam bidang
aqidah (keyakinan) Imam Ahmad menulis kitab ar-Radd a'la Jahmiyyah wa
Dzanadiqqah. Adapun kitab yang paling dikenal oleh kaum muslimin hingga saat ini
adalah al Musnad. Dari berbagai karya tulis Imam Ahmad hanya kitab-kitab tersebut
- 62 -
yang hingga saat ini sudah dicetak dalam bentuk buku. Bahkan menurut Imam adzDzahaby (tt: 328) kitab Imam Ahmad yang berjudul Kitab at-Tafsir dinyatakan telah
hilang.
Imam Ahmad dikenal teguh memegang pendiriannya. Pada masa hidupnya
aliran Mu'tazilah tengah berjaya karena mendapat dukungan dari khallifah al-Ma'mun
dari Dinasti Abbasiyah. Pihak kekhalifahan menjadikan aliran ini sebagai madzab
resmi negara. Salah satu doktrin yang diberlakukan ketika itu adalah paham al Qur'an
merupakan makhluk atau ciptaan Tuhan. Imam Ahmad termasuk pihak yang
menentang paham tersebut. Akibatnya ia pun dipenjara dan disiksa oleh al-Mu'tasim,
putra al-Ma'mun. Setiap hari ia didera dan dipukul. Siksaan ini berlangsung hingga alWatsiq menggantikan ayahnya, al-Mu'tasim. Siksaan tersebut justru semakin
meneguhkan sikap Imam Ahmad dalam menentang paham tersebut. Sikapnya itu
membuat umat Islam semakin bersimpati kepada Imam Ahmad sehingga pengikutnya
semakin banyak meskipun ia berada di dalam penjara.
Setelah dibebaskan dari penjara ternyata tidak membuat Imam Ahmad merasa
aman dari ujian. Ujian yang kedua tersebut berupa harta kekayaan dan kedudukan.
Khalifah al-Mutawakkil tidaklah mengangkat seorang pejabat kecuali setelah
bermusyawarah dengan Imam Ahmad" (Ahmad bin Hanbal, 2000: X). "Pada setiap
harinya Imam Ahmad didatangi oleh utusan Khalifah al-Mutawakkil dengan
menyampaikan berbagai macam pemberian dan terkadang dalam bentuk uang yang
tidak sedikit" (Moenawar Khalil, 1977: 259). Seperti itulah keadaan Imam Ahmad
setelah dikeluarkan dari penjara di usia beliau yang telah mencapai hampir 70 tahun.
Usia lanjut dan keadaan tubuh yang lemah karena siksaan membuat kesehatan
Imam Ahmad bin Hanbal terus menurun. Imam Ahmad mulai jatuh sakit pada usia 77
tahun dan sejak itulah Khalifah al-Mutawakkil setiap harinya menyuruh seorang tabib
- 63 -
untuk memeriksa beliau. Menjelang wafatnya, Imam Ahmad berkata: "Iblis
laknatullah berdiri di sampingku mengarahkan kuku-kukunya padaku dan berkata:
"Hai Ahmad ikuti aku". Aku pun menjawab: "Tidak sampai aku mati" (asy-Syayi dan
ar-Rasyid, 2007:80).
"Akhirnya Imam Ahmad meninggal dunia pada Jum'at pagi tanggal 12 Rabi'ul
Awwal tahun 241 H (855 M) di usia 77 tahun" (Moenawar Khalil, 1977: 273).
Berbagai tokoh seperti Sholeh Asy-Syamy (2008: 22) dan Moenawar Khalil (1977:
273) mencantumkan berbagai riwayat yang menyatakan bahwa pada hari Imam
Ahmad wafat, jenazahnya dihadiri oleh 130.000 kaum muslimin yang hendak
mensholatkannya dan 10.000 orang yahudi dan nashrani yang masuk Islam
mendatangi kota Baghdad. Hal ini menunjukkan betapa besarnya apresiasi kaum
Muslimin ketika itu terhadap meninggalnya Imam Ahmad. Imam Qutaibah (dalam
Moenawar Khalil, 1977: 277) berkata: "Jika kamu melihat seseorang yang mengasihi
Imam Ahmad maka ketahuilah bahwa ia adalah seorang yang mengasihi sunnah".
- 64 -
4.3. PEMIKIRAN IMAM AHMAD BIN HANBAL MENGENAI KEDUDUKAN AL
QUR’AN.
Mengenai al Qur'an sebagai sumber hukum yang pertama dalam Agama Islam
terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai penjelasan konsep al Qur'an secara lughat
(etimologi) dan secara istilah (terminologi). Pengertian al Qur'an secara
(etimologi) khususnya kata Qur'an berasal dari kata kerja Bahasa Arab
lughat
‫◌َ ي ْق َر أ‬
◌ُ
(yaqra), ‫( قر ًءا‬qur'an) , menjadi َ‫( قرأ‬qara'a) atau ‫( ◌ً قِراء ة‬qiraa'atan) lalu berubah
menjadi ً‫( قُرآ ا ن‬qur'aanan)" (Mahdjudin: 1995: 59). Adapun pengertian secara istilah
(terminologi) terdapat berbagai pendapat para ahli diantaranya seperti yang
diungkapkan oleh Mahdjudin (1995: 60) bahwa al Qur'an adalah Kalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu'alaihi wa Sallam dengan perantara
Malaikat Jibril untuk menjadi pedoman hidup bagi seluruh manusia dan mendapatkan
pahala orang-orang yang membacanya.
Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan dengan tegas bahwa al Qur'an adalah
Kalam Allah. Penjelasan mengenai hal ini terdapat pada berbagai kitab-kitab klasik
seperti ar Raad 'ala Jahmiyyah wa Dzanadiqah dan Ushulus Sunnah karya Imam
Ahmad serta Aqidah Salaf Ashabul Hadits karya Imam Ismail bin Abdurrahman AshShabuni (2008). Diantara pernyataan Imam Ahmad tersebut adalah:
Al Qur'an adalah kalam Allah dan bukan makhluk dan tidak boleh melemah
untuk mengatakan al Qur'an bukan makhluk karena sesungguhnya Kalam
Allah itu tidak terpisah dari-Nya dan tiada satu bagian pun darinya yang
makhluk (Ahmad Ibnu Hanbal, 75: 2008).
Pernyataan Imam Ahmad tersebut dipertegas lagi dengan pernyataan beliau lainnya
bahwa:
Barang siapa yang berkata: Pelafadzanku terhadap al Qur'an adalah makhluk
maka dia adalah jahmiyyah. Barang siapa yang berkata yang berkata bukan
makhluk (kemudian diam) maka di adalah mubtadi' (ahul bid'ah) (AshShabuni, 30: 2008).
- 65 -
"Jahmiyyah adalah nisbah kepada Jahm bin Shofwan yang belajar dari Ja'd
bin Dirham. Ja'd belajar dari Tholut dan Tholut belajar dari Labin bin A'shom
(seorang yahudi yang telah menyihir Rasulullah Shalallahu'alaihi wa salam)" (al
Fauzan: 64: 1998). Adapun mengenai pemahamannya terhadap al Qur'an, jahmiyyah
meyakini bahwa al Qur'an adalah sesuatu yang baru (makhluk) sebagaimana yang
telah disebutkan Imam Ahmad sebelumnya. Imam Ahmad (dalam Abu Dawud asSijistany tt: 353) berpendapat bahwa "Barang siapa yang berkata al Qur'an adalah
makhluk maka dia telah kafir (keluar dari agama Islam)". Bahkan pernyataan beliau
tersebut sama dengan pernyataan para ulama lainnnya seperti Imam Malik dan Syafi'i
(dalam Imam Ahmad, 2008: 76-77), Wa'ki bin Jarrah (guru Imam Syafi'i) Abu Bakr
bin Iyasy, Abu Ya'kub al-Buwaity dan Yazid bin Harun (dalam Abu Dawud asSijistany tt: 357-359).
Adapun mubtadi' (ahul bid'ah) menurut Imam Syathibi (2000: 180) adalah
orang yang menemukan atau membuat hal-hal baru dalam hal agama hingga orang
tersebut dapat dimintai dalil (landasan hukum) atas kebenaran penemuan tersebut.
Selanjutnya Imam Syathibi (2000: 181) menjelaskan mengenai faktor-faktor
penyebab seseorang melakukan perkara-perkara baru tersebut yaitu:
1. Mengikuti perbuatan orang-orang yang terdahulu.
2. Mengikuti perbuatan orang-orang yang dianggap sebagai orang yang shalih
dan patut diikuti, tanpa melihat kondisi orang tersebut; termasuk orang yang
memenuhi syarat untuk berijtihad dalam suatu perkara syariat.
3. Mengikuti pekerjaan orang yang berbuat sesuatu atas dasar ilmu.
4. Kebodohan seseorang terhadap suatu perkara syariat.
Pernyataan mubtadi' (pelaku bid'ah) yang dimaksudkan oleh Imam Ahmad
berkaitan dengan seseorang yang meyatakan bahwa al Qur'an bukan makhluk
- 66 -
kemudian bersikap diam diam. Namun terkadang orang yang bersikap seperti itu
disebut al-waqifah (Imam Ahmad, 2008: 76). Adapun munculnya pernyataan tersebut
karena terdapat sebagian ulama di masa Imam Ahmad yang menyatakan bahwa al
Qur'an bukan makhluk kemudian bersikap diam. Hal tersebut dilakukan oleh mereka
dalam keadaan terpaksa di bawah tekanan mihnah yang diperintahkan olek Khalifah
al-Ma'mun ketika itu. Hal ini sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Imam asSuyuthi (2000:383) dalam kitabnya Tarikh Khulafa'.
Pernyataan Imam Ahmad mengenai al Qur'an sebagai kalam Allah merupakan
sesuatu yang telah jelas karena keterangan mengenai hal tersebut telah tertera baik
dalam al Qur'an, Hadits, perkataan para Sahabat dan para Imam madzab dalam Islam.
Hal ini sebagaimana yang sebutkan oleh Syaikh Rabi' (2005:35). Bahkan beberapa
ulama Hanbali lainnya seperti Syaikh Muhammad bin Shalilh al-Utsaimin (2007: 107)
mengemukakan beberapa dalil al Qur'an yang menyatakan bahwa al Qur'an adalah
kalam Allah diantaranya "Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu
meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar
kalam (perkataan) Allah" (al Qur'an Surat at-Taubah ayat 6). Adapun Imam Ismail bin
Abdurrahman ash-Shabuni (2008: 206) mengutip salah satu hadits shahih yang
diriwayatkan
oleh
Imam
Bukhari;
"Apakah
kalian
menghalangiku
untuk
menyampaikan kalam Rabbku?". Imam Ahmad pun dalam kitabnya Zuhud (2000: 40)
meriwayatkan ucapan Umar bin Khattab dari Ibnu Syihab bahwa al Qur'an merupakan
kalam Allah.
Pada kitab ar-Radd a'la Jahmiyyah wa Dzanadiqqah Imam Ahmad berusaha
membantah berbagai pemahaman Jahmiyyah dan Dzanadiqqah. Diantara berbagai
pernyataan Imam Ahmad pada kitab tersebut adalah mengenai bantahannya tentang
kemakhlukan al Qur'an. Imam Amad (tt: 78):
- 67 -
Bab: Penjelasan mengenai pengingkaran Allah terhadap golongan yang
meragukan al Qur'an adalah wahyu dan bukan makhluk. Allah berfirman:
"Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak
pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya)". (al Qur'an surat an-Najm ayat 1-4). Berkata Imam
Ahmad: "Dan inilah perkataan Kaum Quraisy yang berkata: "Sesungguhnya al
Qur'an adalah syair, dongeng orang-orang dahulu, cerita yang berasal dari
mimpi, hasil karangan Muhammad. ... maka Allah bersumpah dengan bintang
jika ia terbenam (yaitu jika al Qur'an diturunkan maka katakanlah): " Demi
bintang ketika terbenam, kawanmulah tidak sesat". yaitu Muhammad, tidak
pula keliru. Dan yang diucapkannya itu bukanlah menurut kemauan hawa
nafsunya. Katakanlah: yang diucapkannya itu (Al Qur'an) tidak lain adalah
wahyu yang diwahyukan. Maka Allah mengingkari keyakinan al Qur'an
adalah sesuatu yang bukan merupakan wahyu ... .
Adapun mengenai hubungannya dengan keyakinan al Qur'an adalah bahwa pada
masa tersebut keyakinan al Qur'an adalah makhuk menjadi keyakinan yang utama di
Kekhalifahan al Ma'mun. Keyakinan al Qur'an adalah makhluk sebenarnya telah
terjadi pada masa kekhalifahan Harun ar-Rasyid. Keyakinan tersebut disebarkan oleh
Bisyr al-Misri. Ketika itu Harun as-Rasyid berkata: "Jika saya bisa menangkapnya
(Bisyr al-Misri), niscaya akan saya pengga lehernya!" (as-Suyuthy, 2001: 344). Maka
sejak itu Bisyr al-Misri tidak berani menyebarkan pemikirannya hingga Kekhaifahan
al-Ma'mun.
"Al-Ma’mun pada tahun 212 H menyatakan dengan terang-terangan bahwa al
Qur'an adalah makhluk" (as-Suyuthy, 2001: 376). Pernyataannya tersebut berujung
pada diperintahkannya kebijakan Mihnah (Inkuisisi) pada 218 H. "Berawal dari restu
al-Ma'mun (khalifah 813-833), mihnah berlangsung selama tiga khalifah selanjutnya
yaitu al-Mu'tashim, al-Watsiq
dan al-Mutawakkil selama 15 tahun (al-Makdisi,
George, 2000:30)". Ketika itu semua pejabat pemerinatahan khusunya para hakim
diuji dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai kemakhlukan al Qur'an.
Setiap orang yang menentang pendapat kemakhlukan al Qur'an dipenjarakan
hingga di hukum mati. Menurut Nasution (2006:63), kebijakan mihnah sepenuhnya
- 68 -
bermotif teologis. Kebijakan itu berlaku karena sebagai pendukung Mu’tazilah alMa’mun merasa harus memperjuangkan mazhab yang dianutnya. Adapun menurut
Syalabi (2003:122) motif al-Ma’mun menyangkut keshalihan dirinya. ia berusaha
untuk memurnikan ajaran Islam dan menentang kemusyrikan. Sedangkan Husayn
(1997: 83) berpendapat bahwa mihnah dilberlakukan dengan latar belakang
kecenderungan al-Ma'mun dan beberapa khalifah setelahnya ingin menegakkan
otokratisme yang di dukung oleh para menteri, penulis, gubernur, administratur dan
para pegawai yang mayoritas orang Persia. Ketika itu mereka memandang bahwa
khalifah sangat terikat dengan hukum syariat Islam. Maka untuk mewujudkan suatu
otokrasi mereka harus menyingkirkan orang-orang arab dan para ulama yang berpihak
pada hukum syariat Islam. Akhirnya mereka pun menemukan caranya dengan
menegakkan salah satu keyakinan mu'tazilah dan jahmiyyah mengenai kemakhlukan
al Qur'an.
Al Qur’an adalah mahluk dan tidak qadim (abadi) merupakan pemikiran yang
akan ditegakkan oleh khalifah ketika itu. Menolak kemahlukan al Qur’an berarti
mengakui ke-Khalik-an al Qur'an. Jika sesuatu bukan mahluk tentu ia khalik.
Demikian juga menolak kesementaraan al Qur'an berarti mengakui bahwa al Qur'an
adalah abadi. Sedangkan tiada yang abadi selain Allah. (Johan Riyadi, 2008: 55).
Maka orang yang menolak kemakhlukan dan kesementaraan al Qur'an menurut
khalifah ketika itu adalah orang menyekutukan Tuhan (musyrik). Orang musyrik
dilarang menjadi pejabat publik bahkan boleh dibunuh.
Kabar mengenai Mihnah (Inkuisisi) sebenarnya telah sampai kepada Imam
Ahmad sebelum Khalifah al-Ma'mun mengumumkannya. Syaikh Abdul Ghaniy alMaqdisy (tt: 10-12) menyampaikan beberapa riwayat mengenai sampainya kabar
mengenai Mihnah (Inkuisisi). Riwayat yang pertama adalah mengenai kisah seorang
- 69 -
arab Badui yang bersikeras ingin menemui Imam Ahmad bin Hanbal. Orang arab
Badui itu berkata kepada Imam Ahmad: "Sesungguhnya Allah akan mengujimu
dengan suatu cobaan, dengan suatu mihnah (ujian). Maka sungguh bersabarlah
engkau ...". Kabar dari seorang arab Badui itu berselang ... lima hari sebelum perintah
mihnah itu ditegakkan.
Adapun mengenai riwayat yang kedua adalah mengenai surat Imam Syafi'i
kepada Imam Ahmad. Ketika itu Imam Syafi'i hendak menyampaikan surat kepada
Imam Ahmad melalui seorang muridnya yang bernama Imam ar-Rabi' bin Sulaiman
bin 'Abdul-Jabar al-Murady. Ketika itu ar-Rabi' harus menempuh perjalanan dari
Mesir menuju Baghdad. Sesampainya di Baghdad ar-Rabi' melihat Imam Ahmad
sedang sholat subuh dan ia pun ikut sholat bersamanya. Setelah turun dari mihrab
barulah ar-Rabi' menemui Imam Ahmad. Ar-Rabi' berkata: "Inilah surat dari
saudaramu Imam Syafi'i di Mesir". Imam Ahmad berkata: "Apakah engkau sudah
membacanya?". Ar-Rabi pun menjawab: "Belum". Maka Imam Ahmad pun
membacanya dan tidak lama kemudian kedua matanya berlinang. Maka ar-Rabi pun
bertanya kepada Imam Ahmad mengenai isi surat tersebut. Imam Ahmad pun
membacakan isi surat tersebut: "Aku (Imam Syafi'i) bermimpi melihat Nabi
Muhammad Shalalallahu'alaihi wa Sallam kemudian beliau berkata: "Tulislah kepada
Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal dan sampaikan salamku kepadanya. Sesungguhnya
engkau (Imam Ahmad) akan diuji mengenai kemakhlukan al Qur'an maka janganlah
engkau menjawabnya karena Allah akan mengangkat derajat engkau pada hari
kiamat".
"Ujian mengenai kemakhlukan al Qur'an ini disebarkan Khalifah al-Ma'mun
melalui surat perintah kepada Ishaq bin Ibrahim al-Khuzai anak paman Thahir bin alHusein untuk menguji para ulama" (Imam as-Suyuthy, 2001: 377). Maka Ishaq bin
- 70 -
Ibrahim al-Khuzai melakukan perintah tersebut dengan mengumpulkan para fukaha
dan ahli hadits. Ketika itu dilakukan pertama kali kepada 7 tokoh terkemuka mereka
yaitu Muhammad bin Sa’ad (dikenal dengan Khatib Al Wakidi, ahli tarikh dan salah
satu karyanya adalah Thabaqatul Kubra), Abu Muslim Abdurahman bin Yunus
(mantan sekretaris Yazid bin Harun, termasuk Bukhari meriwayatkan hadits dari
beliau), Yahya bin Ma’in (tokoh ahli hadits teman Imam Ahmad), Zuhair bin Harb
Abu Khaisamat (Bukhari dan Muslim banyak meriwayatkan hadits darinya), Ismail
bin Dawud (salah satu periwayat hadits) .Ismail bin Mas’ud (salah satu periwayat
hadits) dan Ahmad bin Ibrahim al-Dauruqi.
Pelaksanaan mihnah ini akhirnya sampai kepada Imam Ahmad. Ishaq bin
Ibrahim berkata: "Apa pendapatmu sendiri wahai Ibnu Hanbal?". Maka Imam Ahamd
menjawab: "Al Qur'an itu adalah kalam Allah!". Ishaq berkata: "Saya tanyakan
apakah dia makhluk atau bukan?". Imam Ahmad berkata: "Dia adalah firman Allah
dan saya tidak akan menambahkan kata apapun lebih dari ini!" (Imam as-Suyuthy,
2001: 380). Ketika itu sebagian besar tokoh menyatakan bahwa al Qur'an adalah
makhluk kecuali empat orang yaitu Imam Ahmad bin Hanbal, Sajadah, al-Qawariri
dan Muhammad bin Nuh. Melihat keaadaan yang seperti ini maka Ishaq bin Ibrahim
memerintahkan agar mereka diborgol sambil menanyakan kembali mengenai
pendapat mereka tentang al Qur'an. Akhirnya dalam keadaan seperti itu Sajadah
mengakui kemakhlukan al Qur'an. Kemudian Ishaq bin Ibrahim mengulangi
pertanyaannya hingga tiga kali sampai al-Quwairi pun mengaki hal tersebut. Pada
akhirnya hanya Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh
yang bertahan pada
pendiriannya. Mereka berdua pun diperintahkan untuk mengahadap al-Ma'mun di
suatu wilayah kekuasaan Romawi ketika itu.
- 71 -
Ketika Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh dibawa mengahadap al-Ma'mun
maka terdengar kabar bahwa al-Ma'mun telah meninggal dunia. "Adapun al-Ma'mun
meninggal pada hari Kamis tanggal 18 Rajab tahun 218 H/ 833 M di sebuah wilayah
yang disebut Badidun" (Imam as-Suyuthy, 2001: 383). Sebelum meninggal dunia, alMa'mun telah berpesan kepada calon penggantinya yaitu al-Mu'tashim agar
pelaksanaan mihnah terus dilanjutkan dan memenjarakan Imam Ahmad. Meskipun
sempat terjadi perdebatan antara Ibnu Abi Duad (qadhi dari Kekhalifahan alMu'tashim ketika itu) dengan Imam Ahmad hal ini tidaklah membuat Imam Ahmad
merubah keyakinannya mengenai al Qur'an. "Al-Mu'tashim wafat pada awal Bulan
Muharram tahun 227 H/ 842 M dan diganti oleh al-Watsiq" (Moenawar Khalil, 1977:
252).
"Pada tahun 231 H al-Watsiq kembali memerintahkan gubernur Basrah untuk
dilakukan mihnah (ujian) kepada para imam dan muadzin. Namun diriwayatkan
bahwa pada akhir hayatnya dia bertaubat" (Imam as-Suyuthy, 2001: 417). Imam Ibnu
'Iyadh (dalam Moenawar Khalil, 1977: 257) berkata: "Imam Ahmad bin Hanbal
dipenjarakan selama 28 bulan dan selama itu pua beliau di dera dan dipukul dengan
cemeti sampai pingsan, di dorong dengan pedang, kemudian dilemparkan ke atas
tanah dan dinjak-injak dengan kaki". Banyak ulama yang tidak kuat menahan
berbagai siksaan dan penderitaannya di penjara yang akhirnya mengucapkan apa yang
dituntut oleh khalifah ketika itu meskipun hanya dalam lisan saja.
Dari Ahmad bin al-Hawari (dalam adz-Dzahaby: tt: 241) berkata: Ibrahim bin
Abdillah telah menceritakan kepada kami bahwa ia berkata: ”Ahmad bin Hanbal
berkata: ”Sejak aku terperangkap dalam urusan ini,aku belum pernah mendengar
ucapan yang lebih mengena daripada ucapan yang dilontarkan oleh seorang Badui
yang mengajakku berbicara dilapangan di daerah Thauq. Lelaki itu berkata: ”Wahai
- 72 -
Ahmad, jika Anda mati demi kebenaran, Anda akan mati syahid, kalaupun anda hidup
maka Anda akan hidup dengan kemuliaan.”Maka hatiku-pun bertambah kuat.
Banyak pula yang mengusulkan kepada Imam Ahmad untuk menyembunyikan
keyakinannya agar selamat dari segala siksaan dan penderitaan, namun beliau
menjawab, “Bagaimana kalian menyikapi hadits “Sesungguhnya orang-orang sebelum
Khabbab, yaitu sabda Nabi Muhammad mengenai orang yang digergaji kepalanya
namun tidak membuatnya berpaling dari agamanya”. (HR. Bukhari 12/ no.281). lalu
beliau menegaskan, “Saya tidak peduli dengan kurungan penjara, penjara dan
rumahku sama saja”. Ali bin al-Madini (dalam Syaikh Abdul Ghaniy al-Maqdisy,
tt:23) berkata: "Sesunggunya Allah Azza wa Jalla mengangkat agama ini dengan dua
orang yaitu Abu Bakr as-Siddik pada hari pemurtadan (yaum ar-Riddah) dan Ahmad
bin Hanbal pada hari ujian (yaum al-mihnah).
Khalifah al-Watsiq meninggal dan digantikan oleh al-Mutawakkil pada 232 H.
Adapun Imam Ahmad dibebaskan dari penjara setelah al-Mutawakkil memerintahkan
agar pelaksanaan mihnah dihentikan pada 234 H. "Salah satu sikap al-Mutawakkil
yang dianggap cukup menakjubkan ketika itu adalah mengundang para ahl hadits ke
Samura dengan jaminan keamanan penghormatan yang tinggi".(Imam as-Suyuthy,
2001: 422). Sejak saat itulah ahl ra'y khususnya kaum rasionalis Mu'tazilah mulai
berkurang pengaruhnya di Kekhalifahan Abbasiyyah.
Para imam madzab seluruhnya menyepakati akan kedudukan al Qur'an dan
Sunnah sebagai sumber hukum yang harus diutamakan sebelum ijma'' dan qiyas.
Bahkan Ibnul Qayyim (2000: 371) membuat bab khusus mengenai pendapat para
imam madzab mengenai hal tersebut. Diantaranya adalah perkataan Imam Malik bin
Anas yang menyatakan bahwa ilmu mempunyai beberapa tingkatan, yaitu yang
pertama adalah Kitabullah (al Qur'an) dan as Sunnah.
- 73 -
Menurut Muhammad Amin (1991: 39) dari 6.000 lebih ayat al Qur'an hanya
sekitar 3,5 % sampai 17,18 % ayatnya yang menjelaskan tentang aturan-aturan hukum
termasuk hukum dalam ibadah dan hukum dalam kekeluargaan. Adapun Abdul
Khalaf Khallaf (1985: 39-40) berpendapat bahwa hanya 228 ayat, sedangkan alGhazali, ar-Razi dan Ibnu Qudamah (dalam Muhammad Amin 1991: 39) berpendapat
hanya 500 ayat. Keterbatasan jumlah ayat mengenai hukum tersebut tidaklah berarti
Islam bersifat kaku dan statis melainkan sebagaimana yang dikatakan Muhammad
Amin (1991: 40) bahwa Islam mampu mengimbangi dinamika masyarakat dari waktu
ke waktu dan dari satu tempat ke tempat yang lain.
Pada dasarnya dalam kedudukannya sebagai sumber hukum, Imam Ahmad
sebagaimana yang dikemukakan oleh at-Turki (dalam Muhammad Amin: 1991: 67)
menempatkan al Qur'an dan Sunnah sebagai sumber pertama dan utama tanpa
membedakan derajat kedua sumber hukum tersebut. Imam Ahmad tidak akan
mendahulukan al Qur'an dan menjadikan as Sunnah sebagai sumber kedua setelahnya
selama hadits-hadits yang ia terima bernilai kuat dan shahih menurut penilaiannya.
Imam Ahmad berpendapat (dalam Abu Dawud as-Sijistany tt: 328) bahwa "al
Qur'an dapat di nasikhkan hukumnya hanya dengan al Qur'an kembali". Pernyataan
tersebut dalam istilah ilmu ushul fiqh berkaitan dengan kaidah nasikh dan mansukh.
Di dalam al-Quran kata naskh memiliki berbagai bentuk dan ditemukan sebanyak
empat kali, yaitu dalam Surat al-Baqarah ayat :106, al-A'raf ayat 154, al-Hajj ayat 52,
dan al-Jatsiyyah ayat 29. Ditinjau dari segi etimologi kata tersebut dipakai dalam
beberapa arti. "Arti dari kata naskh
antara lain pembatalan, penghapusan,
pemindahan dari satu wadah ke wadah lain, pengubahan, dan sebagainya. Sesuatu
yang membatalkan, menghapus, memindahkan, dan sebagainya, dinamai nasikh"
(Adani
Permana,
2008:
http://attanzil.wordpress.com/2008/07/20/nasikh-dan-
- 74 -
mansukh/answering-ff.org/ blog/?p=637). Adapun kata yang bermakna dibatalkan,
dihapus, dipindahkan, dan sebagainya, dinamai mansukh.
Ibnul Qayyim (2000:39) menyimpulkan bahwa pengertian nasikh dan
mansukh menurut para ulama salaf pada umumnya adalah pembatalan hukum secara
global atau pembatalan dalalah (aspek dalil) yang umum, mutlak dan yang nyata.
Adapun Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin (2007: 81) berpendapat bahwa
nasikh adalah terangkat atau terhapusnya hukum usatu dalil syar'i atau lafadznya
dengan dalil dari al Kitab dan as Sunnah.
Salah satu contoh dari pernyataan Imam Ahmad mengenai ayat al Qur'an yang
di nasikhkan dengan al Qur'an adalah mengenai ayat al-Mushobaroh yaitu: "Jika ada
dua puluh orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua
ratus orang musuh" (al Qur'an Surat al-Anfal ayat 65). Ayat tersebut hukumnya dinaskh dengan firman Allah ta'ala :
Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui bahwa
padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar,
niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir. Dan jika
diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat
mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. Dan Allah beserta
orangorang yang sabar (al Qur'an Surat al-Anfal ayat 66).
Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin (2007:87) menerangkan bahwa
ayat tersebut di naskh kan hukumnya dan tertinggal lafadznya, hal ini terdapat pada
kalimat "Sekarang Allah telah meringankan kepadamu". Kata "sekarang",
menunjukkan atas lebih akhirnya hukum tersebut. Dan demikian juga jika disebutkan
bahwa Nabi Shallallohu 'alaihi wa sallam menghukumi sesuatu sebelum hijrah,
kemudian setelah itu beliau menghukumi dengan yang menyelisihinya, maka yang
kedua (setelah hijrah) adalah sebagai naasikh (yang me-naskh). Pada ayat di atas
hukum asalnya 20 orang yang sabar akan mengalahkan 200 orang musuh namun
- 75 -
setelah di naskh kan menjadi 100 orang yang sabar akan mengalahkan 200 orang
kafir.
Menyikapi pernyataan Imam Ahmad mengenai nasikh dan mansukh dalam
ayat al Qur'an tersebut sebagian ulama berpendapat bahwa nasikh dan mansukh tidak
hanya terbatas pada al Qur'an saja. Adapun salah seorang shahabat Imam Ahmad
yang bernama al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Muhammad al-Atsram (wafat 261 H)
menyusun buku tentang nasikh dan mansukh dalam hadits yang berjudul NasikhulHadits wa Mansukhihi. Bahkan Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin (2007:89)
membagi Naskh ditinjau dari yang me-naskh menjadi empat macam:
1. Di-naskhnya al Qur'an dengan al Qur'an , contohnya adalah dua ayat alMushobaroh pada penjelasan awal.
2. Di-naskhnya al Qur'an dengan as Sunnah, adapun hal ini belum ditemukan
contoh yang selamat (shahih).
3. Di-naskhnya as Sunnah dengan al Qur'an, contohnya adalah di-naskhnya
hukum sholat menghadap Baitul Maqdis yang telah shahih dari as Sunnah
dengan hukum menghadap Ka'bah yang telah shahih dari firman Allah Ta'ala :
"Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu
berada, palingkanlah mukamu ke arahnya." (al Qur'an surat al-Baqarah ayat
144)
4. Di-naskhnya as Sunnah dengan as Sunnah.
"Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad (dalam satu riwayat yang dinisbahkan
kepadanya), dan Ahl al-Zhahir secara teoretis menolak kemungkinan adanya dalil
dalam
as
Sunnah
yang
me-naskh
al-Quran".
(Adani
Permana,
2008:
http://attanzil.wordpress.com/2008/07/20/nasikh-dan-mansukh/answeringff.org/blog/?p=637). Adapun Imam Malik, para pengikut mazhab Abu Hanifah, dan
- 76 -
mayoritas para teolog lainnya baik dari Asy’ariah maupun Mu’tazilah, memandang
bahwa tidak ada halangan logis bagi kemungkinan adanya naskh tersebut. Hal ini
dapat dipahami karena golongan lebih banyak mengedepankan rasio khususnya
mu'tazilah merasa bahwa syariat Islam tidak bersifat mengikat dan dapat diukur
dengan rasionalitas seseorang. Berbeda dengan kaum ahl Hadits yang lebih
tergantung pada nash (al Qur'an dan as Sunnah) dalam menyikapi hukum syari'at
Islam.
Adapun mengenai penjelasan naskhnya as Sunnah dengan as Sunnah akan
dipaparkan lebih lanjut pada bab berikutnya disertai dengan beberapa contoh dari hal
tersebut. Setiap hukum Islam yang telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya tentunya
memiliki hikmah. Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin (2007: 89) berpendapat
bahwa Naskh mempunyai hikmah yang diantaranya adalah:
1. Memelihara maslahat-maslahat para hamba dengan disyariatkannya apa yang
lebih bermanfaat bagi mereka dalam urusan agama dan dunia mereka.
2. Menunjukkan perkembang hukum syari'at Islam sedikit demi sedikit hingga
mencapai kesempurnaan.
3. Sebagai ujian bagi para mukallaf (kaum muslimin yang telah dibebani hukumhukum syariat Islam) terhadap kesiapan mereka untuk menerima perubahan
suatu hukum kepada yang lain dan keridho'an mereka terhadap hal tersebut.
4. Sebagai ujian bagi para mukallaf untuk segera bersyukur jika naskh itu berupa
perubahan hukum kepada jenis hukum yang lebih ringan dan segera bersabar
jika naskh itu berupa perubahan hukum kepada jenis hukum yang lebih berat.
Nasikh dan mansukh dalam al Qur'an sebagaimana yang dikatakan oleh Ahmad
Mustafa Al-Maraghi (156: 1946) bahwa hal ini sama dengan obat-obat yang diberikan
- 77 -
kepada pasien. Para nabi dalam hal ini berfungsi sebagai dokter, dan hukum-hukum
yang diubahnya sama dengan obat-obat yang diberikan oleh dokter.
Terdapat dua hal yang harus digarisbawahi dari pernyataan al-Maraghi
tersebut. Pertama, mempersamakan nabi sebagai dokter dan hukum-hukum sebagai
obat memberikan kesan bahwa nabi dapat mengubah atau mengganti hukum-hukum
tersebut, sebagaimana dokter mengganti obat-obatnya.
Kedua, mempersamakan
hukum yang ditetapkan dengan obat tentunya tidak mengharuskan dibuangnya obatobat tersebut, walaupun telah tidak sesuai dengan pasien tertentu, karena mungkin
masih ada pasien lain yang membutuhkannya. Pada hakikatnya tidak ada perselisihan
pendapat di kalangan para ulama tentang adanya perubahan-perubahan hukum,
tentunya jika hal tersebut dilakukan Allah dan RasulNya. Perubahan dalam hukum
tersebut bersifat sebagai suatu hak Allah sebagai pembuat sumber hukum dan
RasulNya sebagai penyampai sumber hukum tersebut.
- 78 -
4.4. PEMIKIRAN IMAM AHMAD BIN HANBAL MENGENAI KEDUDUKAN AS
SUNNAH.
Sumber hukum kedua setelah al Qur'an adalah As Sunnah. Adapun pengertian
sebagaimana yang diungkapkan oleh mahdjudin (1995: 62) bahwa terdapat pengertian
secara lughat (etimologi) dan secara istilah (terminologi). Sunnah secara lughat
(etimologi) adalah berasal dari kata
‫سنّا‬
َ
(sannan) atau
‫الطر يق‬
‫ّ◌ ُ◌ يَس ن‬
(yasinnu)
ّ‫سن‬
َ
(sanna) menjadi
ً‫سنّة‬
ُ (sunnatan) yang berarti
(at-thariiq) artinya jalan, cara melakukan sesuatu perbuatan, tabiat dan
perikehidupan atau dapat pula diartikan dengan kata (al 'idaamah) yang artinya
perintah untuk melaksanakan sesuatu secara kebiasaan. Contoh penggunaan kata
Sunnah terdapat dalam al Qur'an surat Al Ahdzab ayat 62 yaitu:
ِ
ِ
ِ ِ ِ
‫ ِﻪ‬‫ﺔَ ﺗَـْﺒ ِﺪﻳﻼً اﻟﻠ‬‫ ِﻪ ُﺳﻨ‬‫ﻳﻦ ِﰲ اﻟﻠ‬
َ ‫ﺔ َﲡ َﺪ َوﻟَﻦ ﻗَـْﺒ ُﻞ ﻣﻦ َﺧﻠَ ْﻮا اﻟﺬ‬‫ﻟ ُﺴﻨ‬
Artinya: Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu
sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah
Allah.
Selain pada al Qur,an, penggunaan kata 'Sunnah' terdapat pada hadits dari
Jarir bin ‘Abdullah yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya no.1017.
Rasulullah Shalallahu'alaihi wa Sallam bersabda: “Siapa yang membuat sunnah yang
baik maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya setelahnya dan
siapa yang membuat sunnah yang jelek maka atasnya dosanya dan dosa orang yang
melakukannya setelahnya”.
Adapun pengertian secara istilah (terminologi) khususnya pendapat para
ulama ahli ushul fiqh adalah segala hal yang datang dari Nabi Shalallahu'alaihi wa
- 79 -
Sallam selain dari al Qur'an, mencakup perkataan, pekerjaan, taqrir, surat, isyarat,
kehendak beliau melakukan sesuatu atau apa-apa yang beliau tinggalkan. Hal ini
sebagaimana yang telah didefinisikan oleh berbagai ulama seperti Ibnu Hajar dalam
kitab Jami’ Al-‘Ulum Wal Hikam hal. 249 ataupun yang lainnya seperti Mahdjuddin
(1995: 63) dan Abdul Wahhab Khallaf (1985:45).
Imam Ahmad mengungkapkan kata as Sunnah dengan makna yang tidak
hanya terbatas pada permasalahan fikih saja. Maka hal ini sebagaimakna yang
diungkapkan oleh Dzulqarnain (2006: www.annashihah.com/ isi_berita.php?id=31)
bahwa kata Sunnah mempunyai makna khusus dan makna umum. Adapun secara
khusus maka kata Sunnah disesuaikan dengan bidang ilmu syariat Islam yang ditekuni
oleh setiap ulama.
Para ulama ahli hadits mendefinisikan sunnah sebagai apa-apa yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu'alaihi wa Sallam berupa perkataan,
perbuatan, taqrir (persetujuan Nabi) maupun sifat lahir dan akhlak. Adapun para
ulama ushul fiqh mendefinisikan sunnah sebagai apa-apa yang datang dari Nabi
Muhammad Shalallahu'alaihi wa Sallam selain dari al Qur'an, sehingga meliputi
perkataan beliau, pekerjaan, taqrir, surat, isyarat, kehendak beliau melakukan sesuatu
atau apa-apa yang beliau tinggalkan. Sedangkan para ulama fikih mendefinisikan
sunnah sebagai hukum yang datang dari Nabi Muhammad Shalallahu'alaihi wa
Sallam di bawah hukum wajib.
Adapun makna umum kata Sunnah adalah Islam itu sendiri secara sempurna
yang meliputi keyakinan (aqidah), hukum, ibadah dan seluruhnya yang termasuk dari
pembahasan syariat Islam. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Imam alBarbahari (dalam an-Najmi, 2007: 47): “Ketahuilah sesungguhnya Islam itu adalah
Sunnah dan Sunnah adalah Islam dan tidaklah tegak salah satu dari keduanya kecuali
- 80 -
dengan yang lainnya”. Demikianlah makna Sunnah secara umum dan hal ini akan
lebih jelas lagi jika dilihat dari berbagai kitab klasik karya para ulama yang
menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah.
Dalam pembahasan terhadap as Sunnah, terdapat berbagai perkataan Imam
Ahmad yang diriwayatkan oleh al Qadhi Abu Ya'la al Hanbali dalam kitab Thabaqat
al Hanabilah. Bahkan pada masa setelah wafatnya Imam Ahmad
banyak
bermunculan kitab-kitab yang khusus membahas mengenai Sunnah. Diantaranya
adalah as Sunnah karya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, as Sunnah karya alMarwazi dan as Sunnah karya Ibnu abi Ashim. Meskipun demikian, pembahasan
konsep as Sunnah yang dipaparkan pada kitab-kitab tidak terbatas pada hukumhukum fikih melainkan as Sunnah sebagai perkara-perkara yang berhubungan dengan
Tauhid (Teologi) dan Manhaj. Misalnya ketika Imam Ahmad (2008: 60) menyatakan
bahwa "Di dalam Sunnah tidak ada qiyas", yakni tidak ada qiyas di dalam masalahmasalah aqidah yang ada adalah nash-nash yang qath'i (pasti) dan tauqifiyyah
(mengikuti dalil) karena berbagai masalah tersebut tidak dapat diphami jika hanya
mengandalkan akal pikiran semata.
Imam Ahmad
(2008: 43) memposisikan as Sunnah sebagai penjelas dari
berbagai hukum yang tertera dalam al Qur'an. Hal ini berdasarkan al Qur'an surat an
Nahl ayat 44: "Dan Kami turunkan kepadamu al Qur'an, agar kamu menerangkan
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan". Bahkan Imam Abu Dawud as Sijistany (tt: 329) meriwayatkan bahwa:
Aku pernah mendengar (Imam) Ahmad menjawab mengenai tafsir dari hadits "As
Sunnah menghukumi di atas al Kitab". Maka Imam Ahmad berkata: "Pernyataan
tersebut telah benar adapun maknanya adalah as Sunnah merupakan tafsir dari al
Qur'an.
- 81 -
Secara bahasa tafsir berarti “penjelasan tentang kalam Allah Subhanahu wa
ta'ala dengan memberi pengertian mengenai pemahaman kata demi kata, susunan
kalimat yang terdapat dalam Alquran” (Asy-Syurbasyi, 1999: 7). Tafsir al Quran
diperlukan untuk memperjelas isi kandungan ayat dan memahami maksudnya. Salah
satu contoh dari pernyataan Imam Ahmad tersebut adalah mengenai hukum riba. Hal
ini terdapat dalam al Qur'an:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. Jika kalian
tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah
dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. Dan jika kalian bertaubat (dari
pengambilan riba), maka bagi kalian pokok harta kalian; kalian tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya (Surat al-Baqarah ayat 278-279).
Berkenaan tentang ayat ini, Rasulullah Shalallahu‘alaihi wa Sallam
menjelaskan ketika beliau berdiri di hadapan para shahabatnya pada haji wada’, di
mana beliau bersabda: "Ketahuilah, sesungguhnya setiap riba dari riba jahiliyyah
adalah batil, bagi kalian modal dasar dari harta yang kalian miliki. Kalian tidak
mendzalimi dan tidak pula didzalimi." (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu
Majah dari sahabat ‘Amr bin Al-Ahwash. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh al-Albani
dalam Shahih Abu Dawud, no. 3087).
Al-Imam
Asy-Syaukani
rahimahullah
ketika
mengomentari
ayat
ini
mengatakan: “Ayat ini menunjukkan bahwa memakan hasil riba dan bekerja dengan
menghasilkan riba termasuk di antara dosa besar. Tidak ada perselisihan dalam hal
ini”. Adapun salah satu Imam bermadzab Hanbali lainnya yaitu Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah berkata: “Adapun riba, maka pengharamannya di dalam al-Qur’an lebih
keras.” Lalu beliau menyebutkan ayat ini dan berkata: “Nabi Shalallahu‘alaihi wa
salam menyebutkan riba di antara dosa-dosa besar sebagaimana yang diriwayatkan
dalam Shahihain (Al-Bukhari dan Muslim) dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu.” (Majmu’ Al-Fatawa, jilid 29 hal. 23). Maka dengan tafsiran dari hadits
- 82 -
tersebut semakin menjelaskan bahwa perbuatan riba merupakan perbuatan yang
dilarang dalam syariat Islam.
Sama halnya dengan al Qur'an maka dalam as-Sunnah ini terjadi nasikh dan
mansukh.
Nasikh
dan
mansukh
dalam
as-Sunnah
menurut
Adani
Permana(2008:http://attanzil.wordpress.com/2008/07/20/nasikh-dan-mansukh/
answering-ff.org/blog/?p=637) dapat diketahui dengan salah satu dari beberapa hal
berikut :
1. Pernyataan dari Rasulullah Shalallaahu‘alaihi wa salam, seperti sabda beliau :
”Aku dahulu pernah melarang kalian untuk berziarah kubur. Maka (sekarang)
berziarahlah kalian, karena hal itu dapat mengingatkan akhirat” (HR. Muslim).
2. Perkataan para shahabat.
3. Mengetahui sejarah, seperti hadits Syaddad bin ‘Aus :”Orang yang membekam
dan yang dibekam batal puasanya” (HR. Abu Dawud); dinasakh oleh hadits
Ibnu ‘Abbas : ”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
berbekam sedangkan beliau sedang ihram dan berpuasa” (HR.Muslim). Dalam
salah satu jalur sanad Syaddad dijelaskan bahwa hadits itu diucapkan pada
tahun 8 hijriyah ketika terjadi Fathu Makkah; sedangkan Ibnu ‘Abbas
menemani Rasulullah Shalallaahu‘alaihi wa salam dalam keadaan ihram pada
saat haji wada pada tahun 10 hijriyah.
4. Ijma’ ulama’; seperti hadits yang berbunyi : Barangsiapa yang meminum khamr
maka cambuklah dia, dan jika dia kembali mengulangi yang keempat kalinya,
maka bunuhlah dia” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Imam Nawawi
berkata,”Ijma’ ulama menunjukkan adanya naskh terhadap hadits ini”. Dan
ijma’ tidak bisa dinasakh dan tidak bisa menasakh, akan tetapi menunjukkan
adanya nasikh.
- 83 -
Ibnul Qayyim (2000: 37) menyatakan bahwa Imam Ahmad tidak pernah
sekalipun mendahulukan sebuah dalil atas hadits yang shahih, tidak juga dari
perbuatan atau pendapat qiyas atau perkataan shahabat atau ketidaktahuan akan
adanya hal yang bertentangan dengan ijma'.
Dalam penggunaan hadits terdapat pendapat Imam Ahmad yang membedakan
pendapat beliau dengan pendapat para imam madzab lainnya. Perbedaan tersebut
terdapat dalam penggunaan hadits lemah (dho'if). Menurut Ibnul Qayyim (2000: 38)
hadits dha'if yang gunakan oleh Imam Ahmad adalah Hadits yang tidak bertentangan
dengan satu atsar (riwayat), perkataan para sahabat dan tidak pula ijma'. Bahkan
menggunakan hadits dengan ketentuan tersebut menurut Imam Ahmad lebih baik
daripada melakukan qiyas. Salah satu contoh hadits lemah (dho'if) yang digunakan
oleh Imam Ahmad adalah dalam perkara jual beli dengan menggunakan 'panjer' atau
dalam istilah ilmu fikih biasa disebut sebagai ‘urbun.
Salah seorang ulama madzab Hanbali yaitu Ibnu Qudamah (dalam
Abdurrahman Al-’Adani, tt: 36) mendefinisikan jual beli ‘urbun. Menurut beliau
"‘urbun yaitu seseorang membeli barang kemudian membayarkan kepada penjual satu
dirham atau semisalnya. Dengan syarat, bila pembeli jadi membelinya maka uang itu
dihitung dari harga, dan jika tidak jadi membeliya maka itu menjadi milik penjual".
Adapun mengenai hal ini terdapat dua riwayat yang menjelaskan mengenai
sikap Imam Ahmad. Riwayat yang pertama dari al-Imam Ahmad rahimahullah dan
yang dikuatkan oleh Abul Khaththab rahimahullah dari kalangan ulama Hambali dan
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan bahwa itulah yang sesuai dengan qiyas.
Pendapat ini juga dikuatkan oleh Asy-Syaukani rahimahullahu. Mereka semua
mengatakan bahwa jual beli ‘urbun adalah batal hukumnya. Pernyataan tersebut
berdasarkan hadits yang berbunyi: “Rasulullah melarang jual beli ‘urbun.”
- 84 -
Hadits yang digunakan sebagai landasan tersebut sebenarnya telah dianggap
lemah oleh para ulama, di antaranya oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam
Dha'iful Jami’ Ash-Shaghir, Dha’if Abu Dawud, Dha’if Ibnu Majah, Misykatul
Mashabih. Dikarenakan sanadnya tidak tersambung antara Al-Imam Malik
rahimahullah dengan ‘Amr bin Syu’aib. Penggunaan hadits dhaif oleh Imam Ahmad
ini terdapat dua hal yang melatar belakanginya.
Hal pertama adalah bahwa penggunaan hadits dhaif dalam berbagai fatwa
Imam Ahmad lebih diutamakan dari pada pengunaan qiyas. Hal ini sebagaimana yang
diungkapkan oleh Ibnul Qayyim bahwa (2000: 34) qiyas hanya dilakukan oleh Imam
Ahmad jika beliau tidak menemukan nash (al Qur'an dan Sunnah), fatwa sahabat atau
salah seorang dari mereka dan keterangan (atsar) baik yang mursal ataupun yang
lemah (dho'if). Maka tampaklah bahwa Imam Ahmad mengedepankan hadits dhoif di
atas dalam permasalahan hukum jual beli ‘urbun ini karena tidak adanya pertentangan
dari salah satu atsar (riwayat), perkataan para sahabat dan tidak pula ijma'.
Syaikh Abdurrahman al-'Adani (tt: 36) menyatakan bahwa terdapat riwayat
lainnya yang menjelaskan bahwa Imam Ahmad berpendapat sistem jual beli ‘urbun
ini boleh. Tentunya pendapat tersebut berdasarkan tiga keadaan:
1. Pada sesuatu yang disyaratkan secara syar’i harus kontan pada masingmasing barang yang dipertukarkan, yaitu barang-barang yang mengandung
riba. Misalnya uang, seperti menukar uang real Saudi dengan real Yaman.
Maka tidak boleh menerapkan sistem ‘urbun.
2. Sesuatu yang disyaratkan untuk diserahkan secara kontan dan penuh pada
salah satu barang yang dipertukarkan, yaitu pada jual beli sistem salam.
Sistem salam yaitu seseorang membeli suatu barang yang belum ada di
tangan penjual namun ada dalam pikirannya. Maka pembeli dan penjual
- 85 -
menyepakati barang yang dibeli dan sifat-sifatnya lalu pembeli menyerahkan
uangnya di muka secara penuh. Dalam hal ini disyaratkan barangnya harus
jelas, sifatnya jelas, jumlahnya jelas dan waktunya jelas.
3.
Di mana dipersyaratkan secara kontan memberikan uang secara penuh di
muka. Maka tidak boleh diberlakukan sistem ‘urbun.
4. Pada kondisi penjual tidak memiliki barang yang dijual, maka tidak boleh
dengan sistem ‘urbun.
Pendapat Imam Ahmad terhadap permasalahan hukum jual beli ‘urbun ini
menunjukkan adanya dua fatwa yang berbeda. Pada satu sisi beliau mengatakan batal
hukumnya namun pada riwayat lain ia membolehkannya. Mengenai kontradiksi
tersebut Ibnul Qayyim (2000: 36)
menjelaskan bahwa jika fatwa Imam Ahmad
dibandingkan dengan fatwa para sahabat maka terdapat kesesuaian dan kesamaan di
antara keduanya. Sampai-sampai jika para sahabat berbeda menjadi dua pendapat
maka Imam Ahmad pun akan meriwayatkan kedua pendapat tersebut.
- 86 -
4.5. PEMIKIRAN IMAM AHMAD BIN HANBAL MENGENAI KEDUDUKAN
IJMA''.
Secara bahasa kata Ijma'' berarti al-'azm, hal ini sebagaimana yang terdapat
dalam Al Qur'an Surat Yunus ayat 71:
bulatkanlah
keputusanmu
dan
ِْ ‫; و ُﺷــﺮَﻛﺎء ُﻛﻢ أَﻣــﺮُﻛﻢ ﻓَـﺄ‬
ْ‫َﲨﻌُﻮا‬
ْ َْ ْ َ َ
(kumpulkanlah)
"Karena itu
sekutu-sekutumu
(untuk
membinasakanku)". Kata Ijma'' berasal dari kata ‫ع‬
ُ ‫( يُج ِم‬yujmi'u),
‫( ج َم َع أ‬ajma'a)
menjadi ‫( إ ج َما عًا‬ijma''an) yang berarti
‫االتفا ق‬
(al ittifaqu) yang
artinya kesepakatan, kesatuan pendapat atau konsensus. Hal ini merupakan pendapat
Mahdjuddin (1995: 72) dalam buku Dirasah Islamiyah Bagian Ilmu Fiqh. Adapun
pengertian secara istilah sebagaimana pernyataan Abdul Wahhab Khallaf (1985:62)
bahwa Ijma' adalah kesepakatan para imam mujtahid di antara umat Islam pada suatu
masa setelah Rasulullah wafat, terhadap hukum syara' tentang suatu masalah atau
kejadian.
Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin (2007: 101-102) membagi ijma''
menjadi dua macam yaitu Ijma' Qoth'i dan Ijma' Dzonni. Adapun Ijma' Qoth'i adalah
Ijma' yang diketahui keberadaannya di kalangan umat ini dengan pasti, seperti ijma' atas
wajibnya sholat lima waktu dan haramnya zina. Ijma' jenis ini tidak ada seorangpun
yang mengingkari ketetapannya dan
keberadaannya sebagai hujjah, dan dikafirkan
orang yang menyelisihinya jika ia bukan termasuk orang yang tidak mengetahuinya.
Adapun Ijma'' Dzonni adalah Ijma' yang tidak diketahui kecuali dengan dicari dan
dipelajari (tatabbu' & istiqro'). Dan para ulama telah berselisih tentang kemungkinan
tetapnya ijma'' jenis ini, dan perkataan yang paling rajih dalam masalah ini adalah
pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang mengatakan dalam Al-Aqidah Al-
- 87 -
Wasithiyyah: "Dan ijma' yang bisa diterima dengan pasti adalah ijma''nya as-salafushsholeh, karena yang setelah mereka banyak terjadi ikhtilaf dan umat ini telah tersebar".
Adapun mengenai ijma' salafush-sholeh khususnya para sahabat, Imam Ahmad
telah menyatakan hal tersebut: "Pondasi Sunnah menurut kami adalah berpegang teguh
pada jalan hidup para sahabat Rasulullah Shalallahu'alaihi wa Sallam (dan) menjadikan
mereka sebagai teladan" (Ahmad bin Hanbal, 2008: 37). Tentunya pernyataan Imam
Ahmad tersebut berdasarkan dalil-dalil tidak hanya mengandalkan hasil pemikiran
rasionalitas semata. Adapun dalil dari al Qur'an adalah:
Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke
dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali (al Qur'an
Surat An Nisa ayat 115).
Sedangkan dalil dari as Sunnah adalah:
Sesungguhnya barangsiapa dari kalian yang hidup (sesudah aku wafat) maka
ia akan melihat banyak perselisihan. Maka wajib atas kalian berpegang teguh
dengan sunnahku dan sunnah para khulafa ur-Rasyidin, gigitlah erat-erat
dengan gigi geraham kalian. (Hadits Shahih Sunan Abu Dawud dari 'Irbadh
bin Sariyyah no. 3851).
Dengan dalil al Qur'an dan Sunnah tersebut maka Imam Ahmad sangat
mempercayai terhadap 'ijma' para sahabat Nabi. Adapun mengenai adanya ijma' selain
dari para sahabat Nabi maka Imam Ahmad tidak mengakuinya. Imam Ahmad (dalam
Moenawar Khalil, 1977: 266) berkata: "Barangsiapa mengakui adanya ijma' maka ia
telah berdusta". Hal ini menurut Moenawar Khalil ( 1977: 266) adalah karena para
ulama kaum Muslimin telah menyebar ke berbagai penjuru dunia dan kalau pun ada
upaya untuk mengumpulkan mereka maka hal tersebut merupakan perkara yang tidak
mudah untuk dilakukan. Pernyataan mengenai adanya ijma' dalam suatu wilayah belum
dapat dikatakan sebagai ijma'. Hal ini menurut Moenawar Khalil ( 1977: 266) karena
bisa jadi terdapat ulama di wilayah lainnya yang tidak menyetujui ijma' tersebut.
- 88 -
Menurut Ibnu Taimiyyah (dalam Muhammad Amin, 1991: 69) Imam Ahmad
mengingkari adanya Ijma' setelah generasi sahabat, tabi'in dan tabiut tabi'in. Periode
tersebut merupakan periode terbaik yang sebagaimana diterangkan dalam al Qur'an dan
Hadits. Adapun dalil dari al Qur'an adalah:
Dan generasi yang terdahulu dan pertama-tama (masuk Islam) diantara kaum
Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,
Allah telah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya mereka kekal didalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang
agung (al Qur'an surat at Taubah ayat 100).
Adapun dalil dari al hadits adalah:
Rasullullah Shalallahu 'alaihi wa salam bersabda:"Sebaik-baik manusia adalah
generasiku (generasi Rasulullah & Shahabat), kemudian orang-orang sesudah
mereka (Tabi'in) kemudian orang-orang sesudah mereka (Tabi'ut Tabi'in.).
Sesudah itu akan datang kaum yang kesaksian mereka mendahului sumpahnya
dan sumpahnya mendahului kesaksiannya" (HR.Bukhari IV/189, Muslim
VII/184-185 dan Ahmad I/424 ).
Imam Bukhari (dalam Ibnul Qayyim, 2000: 74) meriwayatkan bahwasannya
Musayyab bin Rafi' berkata: "Apabila Umar bin al-Khattab mendapatkan perkara yang
belum ada ketentuannya dalam kitab dan Sunnah maka ia mengumpulkan para sahabat
untuk bermusyawarah dan mencari keputusan bersama. Jika keputusan itu telah
disepakati bersama maka itulah yang dianggap benar. Salah satu contoh ijma' para
sahabat adalah mengenai haramnya perbuatan hiyal.
Salah satu perbuatan Hiyal yang dikutip oleh Ibnul Qayyim (2000: 505) adalah
seseorang yang mengumpulkan berbagai jenis harta namun sebelum mencapai satu
tahun (haul) ia telah menjual beberapa dari hartanya tersebut dengan tujuan agar tidak
dibebani untuk membayar zakatnya. Maka Ibnu Qayyim menyimpulkan bahwa hiyal
adalah bentuk manipulasi kepada Allah. Dalam permasalahan ini para sahabat telah
berijma' akan keharaman dari perbuatan tersebut. Adapun ijma' yang dimaksud adalah
ketika 'Umar bin al-Khattab berkhutbah dihadapan rakyatnya di mimbar Rasuulah
- 89 -
Shalallahu 'alaihi wa Salam: "Sudah pasti pelaku Mudhalil dan mudhalal lahu akan aku
rajam". Keputusan 'Umar ini disetujui oleh para sahabat lainnya. "Ijma' para sahabat
tersbut diikuti oleh para tabi'in seperti fuqaha Madinnah yang menjadi murid Zaid bin
Tsabit, fuqaha di Kufah yaitu Abdullah bin Mas'ud dan di Basrah seperti Abu alSya'taa, Hasan Bashri dan Ibnu Sirin yang juga diikuti oleh murid-murid Ibnu Abbas"
(Ibnul Qayyim, 2000: 557).
Dalam perkara Hiyal ini terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan mengenai
sikap Imam Ahmad. Hubeisy bin Mubasyir (dalam Ibnul Qayyim, 2000: 561) berkata
bahwa Imam Ahmad ditanya tentang seseorang yang membeli budak wanita yang
kemudian memerdekakannya dan pada hari itu juga ia mengawininya, apakah ia dapat
menggauli istrinya yang baru dinikahinya itu? Maka Imam Ahmad menjawabnya
"Bagaimana ia bisa menyetubuhi istrinya pada hari pernikahannya tersebut karena
sebelum dimerdekakan oleh pemiliknya pun wanita itu telah digaulinya". Masalah
tersebut berkaitan dengan hiyal maka Imam Ahmad marah dan berkata "Masalah ini
benar-benar tidak berguna".
Imam Ahmad (dalam Ibnu Qayyim, 2000: 509) pernah meriwayatkan pendapat
Musa bin Sa'id al-Didani yang berkata: Hiyal sama sekali tidak boleh dilakukan.
Bahkan Imam Ahmad berpendapat bahwa orang yang membolehkan perbuatan hiyal
adalah kafir. Sehingga sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim bahwa siapa
pun yang membolehkan fatwa berkenaan dengan hiyal seperi ini maka ia telah
mengadakan perubahan dalam Agama Islam satu persatu.
Adapun sikap Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Asy-Syafi'i (dalam
Wahbah az Zuhayli, 2005:319) dalam menyikapi perbuatan Hiyal sepakat akan
terlarangnya perbuatan tersebut. Dalam masalah zakat misalnya Imam Malik
berpendapat bahwa jika pemilik barang mengganti jenis barang yang harus dizakati
- 90 -
dengan jenis barang lainnya dengan tujuan menghindar dari kewajiban membayar zakat
atau dengan sengaja merusak barang tersebut supaya tidak mencapai nisab maka orang
tersebut tetap dikenai kewajiban untuk membayar zakat. Adapun Imam Hanafi dan
Imam Syafi'i beranggapan bahwa kewajiban membayar zakat dapat gugur jika hartanya
berkurang sebelum jatuh tempo (hawl) misalnya harta tersebut berkurang karena
digunakan untuk kebutuhan hidup.
Pendapat para sahabat yang menjadi dasar hukum setelah al Qur'an dan as
Sunnah menurut Imam Ahmad ternyata tidak seluruh pendapat tersebut diikuti oleh
Imam Ahmad. Misalnya mengenai pendapat Muadz dan Muawiyah Radhialahu'anhum
yang membolehkan orang Islam mewarisi (tirkah) orang kafir karena dianggap
menyalahi nash (al Qur'an dan as Sunnah). Nash yang dimaksud adalah hadits: "Dari
Usman bin Zaid, bahwasannya Nabi Shalallahu'alaihi wa Salam bersabda: "Orang Islam
tidak boleh mewarisi orang kafir dan demikian juga orang kafir tidak berhak mewarisi
orang Islam" (Hadits Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim, hadits no. 972 dalam kitab
Bulughul Maram).
Perbuatan atau pendapat para shahabat yang bertentangan dengan
hadits
shahih tidak diterima oleh Imam Ahmad. Bahkan beliau telah mengingkari orang-orang
yang menganggap hal itu sebagai ijma' jika bertentangan dengan hadits shahih.
Mendahulukan semua yang telah disebutkan diatas dari hadits yang shahih merupakan
sesuatu yang dibenarkan. Imam asy-Syafi’i di dalam kitab ar-Risalah al-Jadidah (dalam
al-Albani, 2009: http://portege181.wordpress.com/2009 /04/15/mendahulukan-qiyasdan-yang-lainnya-atas-hadits-ahad-adalah-kaidah-yang-batil/) mengatakan bahwasanya
sesuatu yang tidak diketahui adanya pertentangan padanya tidaklah dinamakan ijma.
Hadits-hadits Rasulullah Shalallahu‘alaihi wa sallam dalam pandangan Imam Ahmad
dan imam yang lainnya adalah lebih mulia dan lebih utama daripada ijma’ sekalipun.
- 91 -
4.6. PEMIKIRAN IMAM AHMAD BIN HANBAL MENGENAI KEDUDUKAN
QIYAS.
Secara lughat (etimologi) kata Qiyas berasal dari kata ‫س‬
ُ
َ ‫( قا‬qaasa), ‫يقيس‬
(yaqiisu) menjadi ‫سا‬
ً ‫( قِيا‬qiyaasan) yang berarti ‫( ُ◌التسو ية‬at taswiyatu) yang
artinya mempersamakan atau dapat juga dikatakan memikirkan sesuatu melalui alat
yang lain (mengasosiasikan). Hal ini sebagaimana yang telah dikemukakan oleh
Mahdjuddin (1995: 76) dalam buku Dirasah Islamiyah Bagian Ilmu Fiqh. Adapun arti
secara istilah (terminologi) menurut Ibnu Taimiyyah (dalam Muhammad Amin,
1991:83) adalah menghimpun dua masalah yang serupa dan memisahkan
(membedakan) dua masalah yang berbeda.
Ketika menjelaskan tafsir surat al A'raf ayat 12 yaitu: "Iblis menjawab "Saya
lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan
dari tanah" maka Imam Ibnu Katsir (2008) menjelaskan bahwa Iblislah yang pertama
kali menggunakan kaidah qiyas. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu
Jarir
dari
Ibnu
Sirin.
Menanggapi
hal
tersebut
Abu
Hamzah
http://www.asysyariah.com/ syariah.php?menu=detil&idonline=351)
(2006:
berpendapat
bahwa analogi atau qiyas Iblis ini adalah qiyas yang paling rusak. Qiyas ini batil
karena bertentangan dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang menyuruhnya
untuk sujud. Adapun qiyas jika berlawanan dengan nash (al Qur'an dan as Sunnah),
maka ia menjadi batil karena maksud dari qiyas adalah menetapkan hukum yang tidak
ada padanya nash (al Qur'an dan as Sunnah), mendekatkan sejumlah perkara kepada
yang ada nashnya, sehingga keberadaannya menjadi pengikut bagi nash. Bila qiyas itu
berlawanan dengan nash dan tetap digunakan atau diakui maka konsekuensinya akan
menggugurkan nash.
- 92 -
Imam Ahmad (2008: 43) berpendapat bahwa qiyas tidak dapat diberlakukan
pada as Sunnah. Adapun as Sunnah yang dimaksud adalah berbagai permasalahan
yang mencakup aqidah (keyakinan) dan yang ada pada masalah tersebut hanyalah
dalil-dalil yang bersifat pasti (qath'i) dan bersikap mengikuti dalil (tauqifiyyah)
karena masalah aqidah tidak dapat dipahami dengan akal pikiran belaka. Misalnya
ketika membahas mengenai takdir baik dan takdir buruk Imam Ahmad (2008:61-62)
berkata:
Tidak boleh mengatakan: kenapa dan bagaimana karena hal itu tiada lain
hanyalah membenarkan dan mengimaninya. Barangsiapa yang tidak
mengetahui penafsiran suatu hadits (tentang takdir) dan tidak dapat dicapai
oleh akalnya maka sesungguhnya hal tersebut telah cukup dan sempurna
atasnya (tidak perlu berdalam-dalam lagi). Maka wajib baginya beriman,
tunduk dan patuh dalam menerimanya, seperti hadits’As shadiqul masduq dan
hadits-hadits yang seperti ini dalam masalah taqdir.
Adapun hadits’As shadiqul masduq yang dimaksud adalah:
Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud radiallahuanhu beliau berkata:
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menyampaikan kepada kami dan
beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan (As shadiqul masduq):
Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya
sebagai setetes mani selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi
setetes darah selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging
selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu
ditiupkan padanya ruh dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara
:menetapkan rizkinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya.
Demi Allah yang tidak ada Ilah selain-Nya, sesungguhnya di antara kalian ada
yang melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga
tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan
perbuatan ahli neraka maka masuklah dia ke dalam neraka. sesungguhnya di
antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara
dirinya dan neraka tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya
ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam
surga. (Riwayat Bukhori dan Muslim dalam Ibnu Rajab, 2005: 18-19).
Dalam penjelasan berikutnya Imam Ahmad (2008: 62) berkata:
Walaupun terasa asing pada pendengaran dan berat bagi yang mendengar,
akan tetapi wajib mengimaninya dan tidak boleh menolak satu huruf pun, dan
juga hadits-hadits lainnya yang ma’tsur (diriwayatkan) dari orang-orang
terpercaya (tsiqah), jangan berdebat dengan seorangpun, tidak boleh pula
mempelajari ilmu jidal, karena berbicara tanpa ilmu dalam masalah takdir,
ru’yah dan Qur’an dan masalah lainnya yang terdapat dalam Sunnah adalah
- 93 -
perbuatan yang dibenci dan dilarang, pelakunya tidak termasuk ahlus Sunnah
walaupun perkataannya mencocoki Sunnah sampai dia meninggalkan
perdebatan dan mengimani atsar.
Dari perkataan Imam Ahmad tersebut tampaklah sikap tegas beliau mengenai
larangannya melakukan qiyas dalam masalah-masalah yang menyangkut dengan
keyakinan (aqidah). Perkataan Imam Ahmad tersebut berkaitan dengan jiwa
jamannya ketika itu. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim
(2000:70) bahwa kelompok Jahmiyyah, Mu'tazilah dan Qadariyyah menggunakan
hasil pemikirannya sendiri untuk menolak nash yang shahih. Mereka menolak
maknanya hingga mentakwilkannya kepada makna yang sesat menurut pemahaman
ahl hadits ketika itu. Salah satu keyakinan yang ditolak oleh golongan-golongan
tersebut adalah mengenai dilihatnya Allah pada hari kiamat.
Perkara dilihatnya Allah pada hari kiamat terdapat pada berbagai nash
diantaranya dalam al Qur'an Surat al-Qiyamah ayat 22-23: "Wajah-wajah (orangorang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabb-nyalah mereka melihat".
Adapun dalam as Sunnah yaitu:
Sesungguhnya manusia telah bertanya kepada Rasulullah Shalallahu'alaihi wa
Sallam: Wahai Rasulullah! Adakah kami dapat melihat Rabb kami pada Hari
Kiamat?” Rasulullah Shalallahu'alaihi wa Salam menjawab: “Adakah yang
memudharatkan kalian jika kalian melihat bulan pada malam purnama”?
Mereka menjawab: “Tidak, wahai Rasulullah!” Beliau bertanya lagi kepada
mereka: “Adakah yang memudharatkan kalian jika kalian melihat matahari
yang tidak dilindungi awan?” Mereka menjawab: “Tidak wahai Rasulullah!”
Kemudian beliau Shalallahu'alaihi wa Salam bersabda: “Begitu juga kalian
akan -Nya…” (HR. Bukhari Muslim).
Menanggapi berbagai nash tersebut Imam Ahmad (2008:75-79) berkata:
Beriman dengan ru’yah (bahwa kaum mukminin akan melihat Allah) pada hari
kiamat sebagaimana diriwayatkan dari Nabi Shalallahu ’alaihi wasallam dalam
hadits-hadits yang shahih. Nabi Shalallahu ’alaihi wasallam sungguh telah
melihat Rabbnya, hal ini telah ma’tsur dari Rasulullah Shalallahu ’alaihi wa
sallam diriwayatkan oleh Qatadah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas dan
diriwayatkan oleh Al Hakam bin Iban dari Ikrimah dari Ibnu Abbas,
diriwayatkan pula oleh Ali bin Zaid dari Yusuf bin Mihram dari Ibnu Abbas,
dan kita memahami hadits ini sesuai dengan dhahirnya sebagaimana
- 94 -
datangnya dari Rasulullah Shalallahu ’alaihiwasallam dan berbicara (tanpa
ilmu) dalam hal ini adalah bid’ah, akan tetapi kita wajib beriman dengannya
sebagaimana dhahirnya dan kita tidak berdebat dengan seorangpun dalam
masalah ini.
Mengenai pertentangan antara ahl ra'yu yang mengedepankan logika dan qiyas
dengan ahl dzahiri yang memegang nash tekstual secara berlebihan Ibnul Qayyim
(2000:186) memaparkan bahwa orang-orang yang menggunakan ra'yu (pendapat) dan
qiyas akan mengartikan makna-makna nash lebih dari apa yang dimaksudkan oleh
pembuat syari'at. Adapun orang-orang yang berpegang teguh pada lafadz dan dzahir
(mengartikan secara tekstual) akan menyederhanakan makna-maknanya. Contoh dari
pernyataan ini adalah jika ada darah yang terpercik ke dalam air laut maka
berdasarkan qiyas hal tersebut merupakan najis yang mengakibatkan najisnya air laut
walaupun percikan hanya sebesar ujung jarum. Berdasarkan contoh tersebut maka
qiyas tidak dapat dilakukan secara berlebihan dan sesuai norma.
Norma atau rukun-rukun qiyas ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh
Abdul
Wahhab
Khallaf
(1989:
87-89)
dan
Insyafli
(2009:
http://insyafliptapadang.blogspot.com/2009/05/kajian-illat-hukum.html) yaitu:
1. Al-ashlu. Para fuqaha mendefinisikan al-ashlu sebagai objek qiyâs, dimana
suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya (al-maqîs ‘alaihi), dan
musyabbah bih (tempat menyerupakan), juga diartikan sebagai pokok, yaitu
suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Imam AlAmidi dalam al-Mathbu’ mengatakan bahwa al-ashlu adalah sesuatu yang
bercabang, yang bisa diketahui (hukumnya) sendiri. Contohnya adalah
pengharaman ganja sebagai qiyâs dari minuman keras adalah dengan
menempatkan minuman keras sebagai sesuatu yang telah jelas keharamannya,
karena suatu bentuk dasar tidak boleh terlepas dan selalu dibutuhkan Dengan
- 95 -
demiklian maka al-aslu adalah objek qiyâs, dimana suatu permasalahan
tertentu dikiaskan kepadanya.
2. Hukmu al-ashli atau hukum asli; adalah hukum syar’i yang ada dalam nash
atau ijma’, yang terdapat dalam al-ashlu.
3. Al-far’u. Adalah sesuatu yang dikiaskan (al-maqîs), karena tidak terdapat dalil
nash atau ijma’ yang menjelaskan hukumnya.
4. Al-‘illah. Adalah sifat hukum yang terdapat dalam al-ashlu, dan merupakan
benang merah penghubung antara al-ashlu dengan al-far’u, seperti “al-iskâr”.
Nash (al Qur'an dan as Sunnah) merupakan dasar utama yang harus digunakan
sebelum menggunakan qiyas. Maka jelaslah bahwa menurut Imam Ahmad qiyas
hanya berlaku bagi berbagai perkara selain keyakinan (aqidah) seperti hal-hal dalam
pembahasan kitab-kitab fikih ataupun ushul fiqh. Jika hal ini tidak dijadikan sebagai
kaidah dalam qiyas maka akan banyak hadits-hadits yang bertentangan diantaranya
adalah hadits mengusap bagian atas kaus kaki (khuf). Imam Ahmad (dalam alQathani, 2004:94) menyatakan bahwa tidak ada ganjalan sedikitpun dalam hatiku
tentang masalah mengusap kaus kaki (khuf). Tentang hal ini terdapat 40 hadits baik
yang periwayatannya sampai kepada Nabi Muhammad Shalallahu'alaihi wa Salam
maupun yang hanya sampai kepada para sahabat.
Salah satu hadits tersebut diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari alMughirah bin Syu'bah Radhiallahu'anhu. bahwa ia berkata "Saya pernah pergi
bersama Nabi Shalallahu‘alaihi wa salam dalam perjalanan ketika beliau hendak
berwudhu saya bermaksud melepas khuf yang dipakai oleh beliau. Melihat hal ini
Nabi berkata: "Jangan kamu lepas, karena khuf ini suci!". Hadits ini diriwayatkan oleh
ath-Thabrani, Ibnu Hibban dan di shahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab alIrwa (III/ 11-3).
- 96 -
Ali bin Abi Thalib berkata: “Seandainya agama ini dengan akal maka tentunya
bagian bawah khuf lebih utama untuk diusap (pada saat berwudhu) daripada bagian
atasnya. Dan sungguh aku melihat Rasulullah mengusap bagian atasnya.” (shahih, HR
Abu Dawud dishahihkan As-Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud
no:162). Ucapan salah seorang shahabat tersebut mengisyaratkan akan kedudukan
akal di dalam agama Islam khususnya dalam penggunaannya terhadap qiyas. Hal
tersebut menunjukkan bahwa agama ini tidaklah diukur dengan akal pikiran namun
kembalinya kepada nash (al Qur'an dan as Sunnah).
Menurut Syaikh Abu Ubaidah Masyhurah bin Hasan Salman (2005:
http://www.almanhaj.or.id/content/1506/slash/0) "Qiyas bukanlah sumber
yang
independen seperti al Quran dan as Sunnah. Qiyas hanyalah sebuah masdar taba'i
(dasar yang mengikut) dibawah cakupan al-Quran dan as-Sunnah". Al Quran dan as
Sunnah menyatakan akan adanya kaidah-kaidah umum dan ketentuan-ketentuan dasar
maupun kaidah-kaidah dalam fikih. Dengan aspek inilah penyesuaian hukum-hukum
dilakukan dengan menganalogikannya kepada kasus-kasus yang serupa.
Imam Ahmad (dalam Ibnul Qayyim, 2000: 70) bertanya kepada Imam Syafi'i
mengenai penggunaan ra'yu melalui qiyas. Maka beliau menjawab: "Qiyas dapat
dipakai hanya pada kondisi terpaksa dan ulama salaf pun menggunakannya sesuai
dengan kebutuhan". Maksudnya adalah mereka tidak berlebihan dalam menerapkan
qiyas pada setiap persoaalan. Hal ini sebagaimana para ulama muta'akhirin (yang
datang setelah para salaf) menggunakan qiyas hingga menggeser kedudukan nash (al
Quran dan as Sunnah). Imam Ibnu Katsir (2008:272) berpendapat bahwa: "Adapun
mengenai amal-amal qurbah (amal ibadah untuk mendekatkan diri pada Allah) hanya
dibolehkan berdasarkan nash dari Rasulullah Shalallahu'alaihi wa Sallam dan tidak
boleh memakai qiyas atau pendapat".
- 97 -
Qiyas dapat dijadikan dasar untuk menghukumi fakta-fakta yang tidak ada
nashnya dalam al-Quran, al-Hadits, dan Ijma'. Dengan demikian qiyas digunakan
untuk mengatasi permasalahan atas keterbatasan nash pada satu sisi dan permasalahan
manusia yang tak terbatas pada sisi lain. Imam al-Muzani juga berkata, para fuqaha
(ahli fiqih) sejak masa Rasulullah Shalallahu'alaihi wa Sallam hingga hari ini selalu
menggunakan qiyas dalam masalah fiqih atau hukum-hukum dalam urusan agama
mereka.
Salah satu contoh qiyas misalnya mengenai hukum memakai niqab (cadar)
ketika melakukan ihram. Nabi Shalallahu'alaihi wa Salam bersabda: "Janganlah
wanita mengenakan niqab (cadar) dan jangan pula memakai sarung tangan" yaitu
ketika melakukan ihram. Menurut Ibnul Qayyim (2000:186) Rasulullah menyamakan
kedua tangan wanita dan wajahnya dalam hal larangan terhadap berbagai hal yang
dilakukan anggota tubuh. Imam Ahmad (dalam Ibnul Qayyim, 2000:187) telah
meriwayatkan dari lima orang sahabat yaitu Utsman, Ibnu Abbas, Abdullah bin
Zubair, Zaid bin Tsabit dan Jabir bahwa mereka menutup mukanya ketika
melaksanakan ihram. Jika hal itu berlaku bagi laki-laki sedangkan terdapat perintah
untuk membuka kepalanya maka hal ini lebih utama dan lebih baik bagi wanita.
Adapun contoh qiyas lainnya yang digunakan oleh Imam Ahmad adalah ketika
menaggapi hukum berdakwah di jalan Allah khususnya berupa membangun masjidmasjid, gedung-gedung dan madrasah-madrasah tempat belajar agama Islam. Imam
Ahmad
(dalam
syaikh
Ahmad
bin
Yahya
An-
Najmi,2007:http://www.mimbarislami.or.id/?module=konsultasi&action=
detail&tjid=3) berpendapat bahwa hal tersebut hukumnya sama dengan jihad fii
sabilillah. Imam Ahmad mengqiyaskan hal tersebut dengan hadits “Haji dan umrah itu
fii sabilillah”.
- 98 -
Pendapat ini sesuai fatwa Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar
radhiyallahu‘anhum dan tidak diketahui adanya perselisihan para Shahabat terhadap
keduanya ridhwanullah ‘alaihim. Al Hasan al-Bashri dan Mujahid juga berfatwa
demikian. Imam Ahmad bin Hanbal berpegang dengan pendapat ini pada salah satu
dari dua riwayatnya. Demikian pula Ishaq. Adapun pada riwayat yang lain dari Imam
Ahmad bahwa fii sabilillah terbatas hanya kepada para pejuang dan para penjaga
perbatasan (daerah muslimin).
Contoh lainnya adalah mengenai pendapat Imam Ahmad mengenai hukum
Puasa Nadzar. Barangsiapa yang meninggal dan padanya tanggungan puasa nadzar
maka disunnahkan kepada walinya untuk melakukan puasa atas namanya. Hal ini
berdasarkan hadits di dalam kitab ash-Shahihain: "Seorang wanita datang menghadap
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, 'Sesungguhnya ibuku telah
meninggal dunia dengan meninggalkan tanggungan puasa nadzar. Apakah aku harus
berpuasa atas namanya?' Beliau menjawab, ‘Ya benar’". (Riwayat Bukhari dan
Muslim dari hadits Ibnu Abbas. Adapun pada Muslim terdapat lafadz: ... "Puasalah
kamu untuk ibumu").
Ibnul Qayyim Rahimahullah (dalam Akhmad Yusjawi, 2006: 93-96) berkata,
"Dilakukan puasa nadzar atas namanya dan tidak demikian untuk puasa fardhu yang
asli. Ini adalah madzab Ahmad dan lainnya, ini nash yang datang dari Ibnu Abbas dan
Aisyah. Hal itu selaras dalil dan qiyas karena puasa nadzar pada dasarnya menurut
syariat adalah bukan puasa wajib, akan tetapi diwajibkan oleh hamba kepada dirinya.
Hal ini menjadikan puasa nadzar semacam hutang atas dirinya oleh karena itu Nabi
menyerupakannya dengan hutang.
Dalam sikapnya terhadap penggunaan qiyas, Imam Ahmad terkesan sangat
hati-hati. Hal ini menurut Muhammad Amin (1991: 88) karena tidak seluruh
- 99 -
pemikiran Imam Ahmad tersampaikan secara utuh dan menyeluruh tercatat oleh
murid-muridnya. Pendapat ini dapat dipahami karena Imam Ahmad sendiri tidak
membuat risalah khusus yang membahas ilmu ushul fiqh sebagaimana Imam Syafi'i
menulis ar-Risalah.
Mujtahid sebelum-nya sekalipun telah menggunakan qiyas dalam ber-ijtihad,
namun belum mempunyai patokan kaidahnya dan menjelaskan asas-asasnya, bahkan
dalam praktek ijtihad secara umum belum mempunyai patokan yang jelas sehingga
sulit diketahui mana hasil ijtihad yang benar, dan mana yang keliru. Di sinilah Imam
Syafi’i tampil ke depan memilih metode qiyas, serta memberikan kerangka teoritis
dan metodologinya dalam bentuk kaidah rasional, namun tetap praktis. Dengan
peranannya tersebut Imam Syafi’i diakui sebagai peletak pertama dalam penyusunan
metodologi pemahaman hukum dalam Islam (ushul fiqh) sebagai satu disiplin ilmu
sehingga dapat dipelajari dan diajarkan.
Beberapa kaidah ushul fiqh Imam Ahmad terdapat pada berbagai kitab yang
terpisah-pisah. Adapun dalam masalah fiqh salah satunya terdapat kitab hasil tanya
jawab (masail) yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud as-Sijistany.
- 100 -
Download