Potensi dan Laju Eksploitasi Sumberdaya Ikan

advertisement
POTENSI DAN LAJU EKSPLOITASI SUMBERDAYA
IKAN KERAPU DI PERAIRAN TELUK LASONGKO,
KABUPATEN BUTON, SULAWESI TENGGARA
RUSMAN PRASETYA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa penelitian Potensi dan Laju
Eksploitasi Sumberdaya Ikan Kerapu di Perairan Teluk Lasongko,
Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara adalah karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
2010
Rusman Prasetya
NRP. C251050151
ABSTRACT
RUSMAN PRASETYA. The Potency and Exploitation Rate of Grouper
Resources in the Gulf of Lasongko, Buton Regency, South East Sulawesi
Province. Supervised by MENNOFATRIA BOER and KIAGUS ABDUL AZIZ
A grouper wich has a high economic value is one of the major predators in
the coral reef ecosystem. Market demand on this fish has led to a declination in
the natural grouper population. The study was aimed to estimate both the
potential catch and the exploitation rate of grouper resources in Gulf of Lasongko.
The potential catch of grouper was estimated by calculating MSY using a surplus
production of Fox model; exploitation rate was measured based on a length-based
on the growth parameter estimation. The result showed that the MSY of the
humpback, brown marble, orange-spotted and leopard coral grouper consecutively
were 3.72 ton year-1; 31.73 ton year-1; 66.57 ton year-1; 44.90 ton year-1. The
exploitation rate of the humpback, brown marble, orange-spotted and leopard
coral grouper consecutively were 0.51 year-1; 0.53 year-1; 0.52 year-1; 0.51 year-1.
The results indicated that the exploitation rate of all species of groupers had
reached their optimum level, however, the declination of the population was due
to the habitat deterioration within the study site. A coral rehabilitation program
should be conducted in enhancing coral reef coverage in the Gulf of Lasongko.
Key words : grouper, exploitation rate, maximum sustainable yield
RINGKASAN
RUSMAN PRASETYA. Potensi dan Laju Eksploitasi Sumberdaya Ikan Kerapu
di Perairan Teluk Lasongko, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Dibimbing
oleh MENNOFATRIA BOER dan KIAGUS ABDUL AZIZ
Ikan kerapu merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang penting.
Pada ekosistem terumbu karang, ikan kerapu memiliki nilai ekologis yang penting
karena merupakan merupakan salah satu predator utama dalam rantai makanan di
ekosistem ini. Selain memiliki nilai ekologis, beberapa spesies kerapu memiliki
nilai ekonomis yang tinggi baik di pasar domestik maupun internasional.
Berbagai penelitian melaporkan bahwa stok ikan kerapu di beberapa
perairan telah mengalami penurunan, termasuk Indonesia. Indikator yang dapat
menggambarkan penurunan stok ini adalah menurunnya ukuran dan jumlah hasil
tangkapan. Ada dua faktor yang menyebabkan penurunan stok ikan kerapu:
pertama, tekanan kegiatan penangkapan yang tinggi, utamanya penggunaan alat
tangkap yang bersifat merusak seperti penggunaan sianida dan potasium; kedua,
menurunnya daya dukung lingkungan yang berdampak pada berkurangnya
sumber makanan atau ruang habitat ikan kerapu.
Di Teluk Lasongko, pemanfaatan ikan kerapu secara intensif berlangsung
sejak awal tahun 1990 hingga akhir 1999. Hal ini ditandai dengan masuknya
kapal-kapal penampung dari Hongkong yang juga memperkenalkan penggunaan
sianida dan potasium untuk menangkap ikan kerapu. Pemanfaatan ikan kerapu
yang intensif dan metode penangkapan yang merusak menyebabkan penurunan
stok ikan kerapu di wilayah ini. Namun demikian beberapa penelitian yang
dilakukan di perairan ini belum dapat menggambarkan kondisi stok ikan kerapu.
Tujuan penelitian ini adalah menduga hasil tangkapan maksimum lestari
dan laju eksploitasi ikan kerapu di Teluk Lasongko. Informasi yang diperoleh dari
penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pertimbangan dalam menyusun
stategi pengelolaan sumberdaya ikan kerapu di Teluk Lasongko.
Pendugaan hasil tangkapan maksimum lestari atau Maximum Sustainable
Yield (MSY) dilakukan dengan menggunakan Model Surplus Produksi (model
Schaeffer atau model Fox). Hasil tangkapan maksimum dapat diestimasi dari data
input berupa jumlah hasil tangkapan dan upaya penangkapan dalam runtun tahun
2000 – 2007. Di Teluk Lasongko, ikan kerapu ditangkap dengan menggunakan
alat tangkap pancing biasa dan bubu sehingga standarisasi upaya penangkapan
harus dilakukan terlebih dahulu sebelum digunakan untuk menduga besarnya
MSY.
Pendugaan laju eksploitasi ikan kerapu dilakukan dengan penentuan
parameter-paremeter pertumbuhan ikan kerapu terlebih dahulu berdasarkan
persamaan von Bertalanffy. Parameter-parameter pertumbuhan ikan tersebut
adalah panjang asimtotik (L∞), koefisien laju pertumbuhan (K) dan umur teoritis
pada saat panjang ikan = 0 (to). Pendugan nilai L∞ dilakukan menggunakan
metode Powell-Wetherall dalam paket FiSAT II. Nilai L∞ yang diperoleh
kemudian digunakan sebagai dugaan awal L∞ untuk memperoleh nilai K dengan
menggunakan program ELEFAN I dalam paket FiSAT II. Nilai to diduga dengan
menggunakan persamaan empiris Pauly. Setelah parameter-parameter
pertumbuhan ikan kerapu diketahui maka dilakukan pendugaan laju mortalitas
total (Z) berdasarkan persamaan Beverton dan Holt. Selanjutnya dilakukan
pendugaan laju mortalitas alami (M) berdasarkan persamaan empiris Pauly. Nilai
Z dan M kemudian digunakan untuk menduga laju kematian ikan akibat
penangkapan (F), dan laju eksploitasi ikan kerapu dihitung berdasarkan nisbah
dari laju kematian ikan akibat penangkapan dan laju mortalitas total.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan kerapu yang tertangkap di Teluk
Lasongko terdiri dari empat spesies yaitu ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis),
kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), kerapu lumpur (Epinephelus coioides)
dan kerapu sunu (Plectropomus leopardus). Total jumlah ikan kerapu yang
tertangkap sebanyak 1.783 ekor. Dari keempat jenis ikan kerapu, ikan kerapu
lumpur merupakan ikan kerapu yang paling banyak tertangkap yakni 755 ekor
(42,34 %) dan paling sedikit adalah kerapu tikus sebanyak 76 ekor (4,26 %).
Berdasarkan perhitungan dugaan hasil tangkapan maksimum lestari atau
MSY diketahui bahwa MSY ikan kerapu tikus, kerapu macan, kerapu lumpur dan
kerapu sunu di Teluk Lasongko masing-masing sebesar 3.72; 31.73; 66.57; dan
44.90 ton pertahun. Idealnya, MSY ikan kerapu sebesar 1 ton/hektar terumbu
karang per tahun sedang untuk tujuan konservasi sebesar 0,5 ton/ha terumbu
karang per tahun. Berdasarkan hal tersebut, dengan luas areal terumbu karang
275,3 ha maka idealnya nilai MSY ikan kerapu di Teluk Lasongko adalah sebesar
275,3 ton/tahun. Nilai tersebut lebih besar dibanding nilai MSY yang diperoleh
dari penelitian ini untuk masing-masing jenis ikan kerapu. Kondisi ini
mengindikasikan bahwa telah terjadi penurunan stok ikan kerapu di Teluk
Lasongko.
Hasil pendugaan laju eksploitasi (E) ikan kerapu tikus, kerapu macan,
kerapu lumpur dan kerapu sunu di Teluk Lasongko masing-masing sebesar 0.51;
0.53; 0.52; dan 0.51 per tahun. Laju eksploitasi optimal suatu sumberdaya ikan
sebesar 0,5 dimana besarnya mortalitas alami sama dengan mortalitas akibat
penangkapan. Nilai E yang tidak jauh berbeda dengan 0,5 mengindikasikan bahwa
laju eksploitasi sumberdaya ikan kerapu di teluk Lasongko berada pada kondisi
optimal. Kondisi tersebut mengindikasikan pula bahwa penurunan stok ikan
kerapu di Teluk Lasongko tidak disebabkan oleh kegiatan penangkapan ikan yang
dilakukan oleh nelayan saat ini. Penurunan daya dukung habitat ikan kerapu di
Teluk Lasongko diduga menjadi penyebab penurunan stok ikan kerapu di perairan
ini.
Strategi pengelolaan yang dapat diterapkan agar sumberdaya ikan kerapu di
Teluk Lasongko tetap lestari adalah penerapan upaya optimum ikan kerapu macan
yakni 357 unit upaya dengan rincian 160 unit alat tangkap pancing dan 197 unit
alat tangkap bubu. Namun demikian, pilihan kebijakan ini harus disertai pula
dengan adanya kebijakan pelarangan untuk menangkap ikan kerapu tikus selama
dua tahun. Strategi berikutnya adalah pembatasan ukuran ikan kerapu yang boleh
tertangkap yakni 45 cm untuk ikan kerapu betina dan 70 cm untuk ikan kerapu
jantan. Untuk meningkatkan daya dukung habitat ikan kerapu dapat dilakukan
dengan transplantasi karang atau pengembangan karang buatan.
Kata kunci : ikan kerapu, laju eksploitasi, hasil tangkapan maksimum lestari
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB
POTENSI DAN LAJU EKSPLOITASI SUMBERDAYA
IKAN KERAPU DI PERAIRAN TELUK LASONGKO,
KABUPATEN BUTON, SULAWESI TENGGARA
RUSMAN PRASETYA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc
Tanggal Lulus :
2008
Tanggal Ujian : 14 Februari
Judul Tesis
: Potensi dan Laju Eksploitasi Sumberdaya Ikan Kerapu di
Perairan Teluk Lasongko, Kabupaten Buton, Sulawesi
Tenggara.
Nama Mahasiswa
: Rusman Prasetya
Nomor Pokok
: C251050151
Program Studi
: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Ir. Kiagus Abdul Aziz, M.Sc.
Anggota
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA.
Ketua
Diketahui
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
dan Lautan
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA.
Tanggal Ujian : 25 Maret 2010
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT., atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga
penelitian “Potensi dan Laju Eksploitasi Sumberdaya Ikan Kerapu di Perairan
Teluk Lasongko, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara” dapat diselesaikan.
Penelitian ini merupakan satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisi dan Lautan Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dapat terselenggara atas bantuan berbagai
pihak. Oleh karenanya penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bupati Buton atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk dapat
melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB.
2. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Komisi Pembimbing yang
dengan kesempatan, kearifan, kebijakan dan kebaikan beliau mengantarkan
penelitian penulis hingga selesai.
3. Ir. Kiagus Abdul Aziz, M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing atas
kesempatan, kebaikan dan perhatian beliau dalam mengevaluasi penelitian
penulis hingga selesai.
4. Istri tercinta, Irianti Amin, ketiga anak-anak kami Izzat, Anya dan Yaya serta
kedua orang tua kami mama wajo dan mama haji atas doa, kasih sayang,
perhatian, kesabaran dan ketabahan dalam mendampingi penulis selama ini.
5. Coral Reef Rehabilitation and Management Program (Coremap) Konsorsium
Pusat di Jakarta melalui Program Mitra Bahari yang telah memberikan beasiswa
penulisan tesis kepada penulis.
6. Saudara-saudaraku tercinta, Zamri Amin sek, Aminudin sek, Halimu sek,
Ruslan Setyawan sek, Rusman sek, Darwin sek, Nunu, Andri dan Tasman atas
bantuan doa dan bantuan dana serta perhatian yang diberikan kepada penulis
selama ini.
7. Keluarga besar penulis yang tidak bisa disebutkan satu-persatu atas bantuan dan
doa yang diberikan kepada penulis.
8. Teman-teman SPL 12, Indra, Nirmala, Haryadi, Ferdinan, Erlangga, Yusuf,
Evi, Widi, Haikal dan Faisal atas dorongan dan semangatnya.
9. Teman-teman lain yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu, terima kasih
atas segala doa dan bantuannya.
Kesempurnaan merupakan hal yang amat didambakan, namun tidaklah
mungkin dapat tercapai karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, karena
itu adanya saran dari pembaca terhadap hasil penelitian ini akan diterima dengan
senang hati. Semoga penelitian ini memberikan manfaat bagi pembaca dan semoga
Allah SWT., meridhoi setiap usaha yang dilakukan. Amin.
Bogor,
2010
Rusman Prasetya
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara pada tanggal 3 Juni
1973 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan bapak Basirun Azis dan
ibu Zanuma.
Tahun 1992 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI
dan pada tahun 1993 diterima di Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan,
Fakultas Perikanan. Tahun 2005 penulis mendapat kesempatan melanjutkan
pendidikan program magister pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
dan Lautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menjadi dosen luar biasa pada Fakultas Perikanan Universitas Dayanu
Ikhsanuddin Kota Bau-Bau tahun 2002. Pada tahun yang sama, penulis diterima
sebagai calon pegawai negeri sipil di Pemerintah Kabupaten Buton dan tahun 2003
penulis menjadi pegawai negeri sipil yang ditempatkan di Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Buton bidang Bina Usaha Perikanan.
Penulis menikah dengan istri tercinta, Irianti Amin pada tahun 2004 dan
sekarang telah dikaruniai tiga orang anak, Izzat Aynal Prasetya, Kania Indah
Prasetya dan Azkiya Nurul Prasetya.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL............................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xi
1. PENDAHULUAN ........................................................................................
1.1 Latar Belakang ......................................................................................
1.2 Perumusan Masalah ..............................................................................
1.3 Tujuan dan Manfaat ..............................................................................
1
1
3
4
2. TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................
2.1 Sumberdaya Ikan Kerapu.......................................................................
2.2 Estimasi Parameter Pertumbuhan Ikan ..................................................
2.3 Estimasi Mortalitas Ikan ......................................................................
2.3.1 Mortalitas Total .........................................................................
2.3.2 Mortalitas Alami ........................................................................
2.3.3 Mortalitas Penangkapan ............................................................
2.4 Laju Eksploitasi ....................................................................................
2.5 Program-program Komputer untuk Menduga Parameter-parameter
Pertumbuhan Ikan ..................................................................................
2.6 Hasil Tangkapan Maksimum Lestari ....................................................
2.7 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan .....................................................
5
5
7
11
11
12
13
13
3. METODOLOGI ...........................................................................................
3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................
3.2 Metode Pengumpulan Data ...................................................................
3.3.1 Pengumpulan Data Primer .........................................................
3.2.2 Pengumpulan Data Sekunder .....................................................
3.3 Analisa Data ..........................................................................................
3.3.1 Analisa Komposisi dan Kelimpahan Ikan Kerapu ....................
3.3.2 Pendugaan Hasil Tangkapan Maksimum Lestari ......................
3.3.3 Pendugaan Laju Eksploitasi Ikan Kerapu ..................................
23
23
25
25
25
26
26
26
28
4. HASIL PENELITIAN ...................................................................................
4.1 Komposisi Hasil Tangkapan Ikan Kerapu .............................................
4.2 Hasil Tangkapan Maksimum Lestari Ikan Kerapu ................................
4.3 Frekuensi Panjang Ikan Kerapu .............................................................
4.4 Parameter Pertumbuhan.........................................................................
4.5 Laju Mortalitas dan Laju eksploitasi .....................................................
31
32
34
38
44
45
5. PEMBAHASAN ..........................................................................................
5.1. Potensi Sumberdaya Ikan Kerapu..........................................................
5.2. Laju Eksploitasi Ikan Kerapu ................................................................
5.3. Strategi Pengelolaan Perikanan Kerapu ................................................
47
47
48
51
14
15
19
6. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 56
6.1. Kesimpulan ........................................................................................... 56
6.2. Saran ..................................................................................................... 56
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 57
LAMPIRAN ................................................................................................. 62
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Nama ilmiah, Inggris dan Hongkong dari ikan-ikan karang yang
dipasarkan di Hongkong .............................................................................. 1
2. Harga grosir (G) dan eceran (E) (US$/kg) ikan kerapu hidup yang
diperdagangkan di Hong Kong dan China bagian Selatan............................ 2
3. Areal terumbu karang di Teluk Lasongko, luas dan presentase penutupan
karangnya ..................................................................................................... 23
4. Jumlah alat tangkap di Teluk Lasongko tahun 2000 - 2007 ......................... 35
5. Jumlah upaya standar dan hasil tangkapan ikan kerapu di Teluk Lasongko
tahun 2000 - 2007 ......................................................................................... 35
6. Koefisien regresi dan determinasi antara CPUE atau ln CPUE dengan
upaya standar................................................................................................. 36
7. Nilai MSY dan fopt ikan kerapu di Teluk Lasongko..................................... 38
8. Jumlah dan panjang ikan kerapu berdasarkan jenisnya ............................... 38
9. Parameter pertumbuhan ikan kerapu berdasarkan zona penangkapan.......... 45
10. Nilai Z, M, F dan E ikan kerapu di Teluk Lasongko .................................... 45
11. Nilai Z, M, F dan E ikan kerapu berdasarkan zona penangkapan ................ 46
ix
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Klasifikasi ikan kerapu (Heemstra dan Randall, 1993) ................................ 6
2. Ilustrasi Konsep Surplus Produksi (Wallace dan Fletcher, 1997)................ 16
3. Peta lokasi penelitian..................................................................................... 24
4. Presentase jumlah ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko selama
bulan Mei – Agustus 2007 ............................................................................ 31
5. Jumlah ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko berdasarkan
jenis dan lokasi penangkapannya selama bulan Mei – Agustus 2007 ........ 32
6. Jumlah ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko berdasarkan zona
selama bulan Mei – Agustus 2007 ................................................................ 32
7. Presentase total berat ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko
berdasarkan jenisnya selama bulan Mei – Agustus 2007.............................. 33
8. Presentase total berat ikan yang tertangkap berdasarkan zona penangkapan
di Teluk Lasongko selama bulan Mei – Agustus 2007................................ 33
9. Jumlah ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko berdasarkan
jenis alat tangkap selama bulan Mei – Agustus 2007 ................................... 34
10. Hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) ikan kerapu di Teluk Lasongko
tahun 2000 – 2007......................................................................................... 36
11. Kurva hubungan antara upaya penangkapan dan jumlah hasil tangkapan
ikan kerapu di Teluk Lasongko..................................................................... 37
12. Panjang rata-rata ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko bulan
Mei – Agustus 2007 ...................................................................................... 39
13. Histogram distribusi frekuensi panjang ikan kerapu tikus............................ 40
14. Histogram distribusi frekuensi panjang ikan kerapu macan ......................... 41
15. Histogram distribusi frekuensi panjang ikan kerapu lumpur ........................ 42
16. Histogram distribusi frekuensi panjang ikan kerapu sunu ............................ 43
17. Grafik pertumbuhan ikan kerapu di Teluk Lasongko ................................... 44
x
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Perhitungan nilai MSY ikan kerapu tikus di Teluk Lasongko...................... 63
2. Perhitungan nilai MSY ikan kerapu macan di Teluk Lasongko ................... 64
3. Perhitungan nilai MSY ikan kerapu lumpur di Teluk Lasongko .................. 65
4. Perhitungan nilai MSY ikan kerapu sunu di Teluk Lasongko ...................... 66
5. Distribusi frekuensi panjang ikan kerapu tikus ............................................ 67
6. Distribusi frekuensi panjang ikan kerapu macan .......................................... 68
7. Distribusi frekuensi panjang ikan kerapu lumpur ......................................... 69
8. Distribusi frekuensi panjang ikan kerapu sunu ............................................. 70
xi
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikan kerapu merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang penting.
Pada ekosistem terumbu karang, ikan kerapu memiliki nilai ekologis yang penting
karena merupakan merupakan salah satu predator utama dalam rantai makanan di
ekosistem. Selain memiliki nilai ekologis, beberapa spesies kerapu memiliki nilai
ekonomis yang tinggi baik di pasar domestik maupun internasional.
Di pasar domestik, ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) ukuran kecil
sebagai ikan hias (ukuran 4 – 5 cm) laku dijual dengan harga Rp. 7.000,- per ekor
(Akbar dan Sudaryanto 2000). Di pasar internasional, ikan kerapu diperdagangkan
dalam bentuk hidup dengan pasar utama adalah Hongkong dan China. Menurut
Chan (2000), 50 % ikan karang hidup yang diperdagangkan di Hongkong
diimport dari Indonesia, kemudian diikuti oleh Philipina, Australia, Maladewa,
Vietnam, Malaysia dan Thailand. Ikan karang yang diperdagangkan di Hongkong
dengan harga tinggi, menengah maupun rendah didominasi oleh famili Serranidae
(kerapu) kecuali ikan napoleon yang termasuk dalam famili Labridae.
Tabel 1.
No
1.
Nama ilmiah, Inggris dan Hongkong dari ikan-ikan karang yang
dipasarkan di Hongkong
Nama ilmiah
High priced species
Cheilinus undulatus
Cromileptus altivelis
2.
3.
Medium priced species
Plectropomus leopardis
Plectropomus areolatus
Lower priced species
Epinephelus polyphekadion
Epinephelus malabaricus
Epinephelus coloidus
Epinephelus bleekeri
Epinephelus fuscoguttatus
Nama umum
Nama Hongkong
Humphead, maori or Napoleon
wrasse
High-finned or mouse grouper,
baramundi cod
So Mei
Spotted or leopard coral trout
Red or squaretail coral trout
Sai Sing
Tung Sing
Flowery grouper
Green or malabar grouper
Brown spotted grouper
Orange spotted or green
grouper
Tiger or flowery grouper
Charm Pan
Ching Pan
Ching Pan
Chi Ma Pan
Lo Shu Pan
Lo Fu Pan
Sumber : Chan (2000)
Dalam suatu survei yang dilakukan pada 700 restoran di Hongkong dan
China bagian Selatan diperoleh informasi bahwa harga eceran ikan kerapu hidup
2
lebih tinggi dibanding harga grosir (McGilvray dan Chan 2003). Dari hasil survei
tersebut, harga ikan kerapu bebek di Hongkong sebesar US$ 60.2 untuk grosir dan
US$ 92 untuk eceran, di Guangzhou (RRC) sebesar US$ 84.7 untuk grosir dan di
Shanzhen (RRC) sebesar US$ 73.3 untuk grosir serta US$ 110.7 untuk eceran.
Tabel 2. Harga grosir (G) dan eceran (E) (US$/kg) ikan kerapu hidup yang
diperdagangkan di Hong Kong dan China bagian Selatan
Jenis Ikan
Cromileptes altivelis
Epinephelus coioides /
Epinephelus malabaricus
Epinephelus fuscoguttatus
Epinephelus lanceolatus
Epinephelus polyphakadion
Plectropomus areolatus
Plectropomus leopardus
Hongkong
(US$)
G = 60.2
E = 92.0
G = 9.1
E = 20.8
G = 23.7
E = 43.6
G = 24.3
E = 46.9
G = 21.3
E = 37.5
G = 24.1
E = 39.9
G = 35.1
E = 51.7
Guangzhou (RRC)
(US$)
G = 84.7
E = tidak tersedia
G = 9.0
E = 18.8
G = 15.0
E = 25.4
G = 15.9
E = 25.4
G = 23.2
E = 35.5
G = 19.5
E = 41.0
G = 44.1
E = 50.6
Shanzhen (RRC)
(US$)
G = 73.3
E = 110.7
G = 10.4
E = 20.8
G = 16.9
E = 35.5
G = 16.4
E = 47.7
G = 22.2
E = 37.5
G = 19.4
E = 41.0
G = 33.6
E = 60.4
Sumber : McGilvray dan Chan (2003)
Tingginya nilai ikan kerapu di perdagangan internasional mengakibatkan
meningkatnya permintaan akan jenis ikan ini.
Konsekuensinya, ikan kerapu
mengalami tekanan yang cukup berat dan di beberapa wilayah telah mengalami
overfishing (Sadovy 2005). The International Union for the Conservation of
Nature and Natural Resources (IUCN) Red List of Threathened Species tahun
2006 memasukkan beberapa jenis ikan kerapu seperti kerapu tikus (Cromileptes
altivelis), kerapu lumpur (Epinephelus lanceolatus dan Epinephelus coioides) dan
kerapu sunu (Plectropomus leopardis) sebagai spesies yang terancam. Di sisi
lain, ikan kerapu ini telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir sebagai
sumber pangan dan semakin intensif ketika kapal-kapal pengumpul dari
Hongkong mulai masuk ke wilayah Indonesia sejak tahun 1990–an. Melihat
kondisi tersebut, sumberdaya ikan kerapu ini perlu dikelola dengan baik agar
dapat mengakomodir kepentingan ekonomi masyarakat nelayan dan konservasi
sumberdaya ikan kerapu ini
3
Teluk Lasongko merupakan salah satu teluk terbesar di Kabupaten Buton
dengan luas perairan 1 360 ha dengan luas areal terumbu karang 279.8 ha atau
20.50 % dari luas total perairannya. Terumbu karang di perairan ini tersebar
dalam 7 lokasi yakni Pasi’ Bawona, Pasi’ Katembe, Pasi’ Lasoring Balano, Pasi’
Bunta, Pasi’ Bone Marangi, Pasi’ Madongka dan Pasi’ Lasori. Masyarakat di
pesisir Teluk Lasongko telah lama memanfaatkan sumberdaya perikanan yang ada
di areal terumbu karang perairan ini sebagai sumber mata pencaharian, termasuk
sumberdaya ikan kerapu.
1.2 Perumusan Masalah
Masyarakat di Teluk Lasongko memanfaatkan sumberdaya perikanan di
perairan ini dalam bentuk usaha penangkapan ikan dan usaha budidaya laut.
Salah satu bentuk usaha budidaya laut yang dikembangkan oleh penduduk di
pesisir Teluk Lasongko adalah budidaya ikan kerapu dengan menggunakan
Keramba Jaring Apung (KJA) sebagai wadah budidaya. Bentuk budidaya yang
dilakukan adalah pembesaran ikan kerapu, di mana bibit ikan kerapu ditangkap
dari alam kemudian dibesarkan hingga mencapai ukuran tertentu untuk dapat
dijual ke kapal pengumpul yang biasanya datang dari Hongkong. Sadovy dan Pet
(1998) menyatakan bahwa pola budidaya berdasarkan pengumpulan juvenil ikan
kerapu dari alam dan membesarkannya dalam suatu wadah keramba jaring apung
lazim dilakukan di Asia Tenggara. Pola budidaya seperti yang tergambar di atas
dapat menurunkan stok sumberdaya ikan kerapu di perairan Teluk Lasongko.
Sadovy (2005) melaporkan bahwa stok ikan kerapu di beberapa perairan
telah mengalami penurunan, termasuk Indonesia.
Indikator yang dapat
menggambarkan penurunan stok ini adalah menurunnya ukuran dan jumlah hasil
tangkapan. Ada dua faktor yang menyebabkan penurunan stok ikan kerapu:
pertama, tekanan kegiatan penangkapan yang tinggi, utamanya penggunaan alat
tangkap yang bersifat merusak seperti penggunaan sianida dan potasium; kedua,
menurunnya daya dukung lingkungan yang
berdampak pada berkurangnya
sumber makanan atau ruang habitat ikan kerapu menjadi yang sempit.
Di Teluk Lasongko, pemanfaatan ikan kerapu secara intensif berlangsung
sejak awal tahun 1990 hingga akhir 1999. Supardan (2006) menyatakan bahwa
secara umum ikan karang konsumsi di Teluk Lasongko telah mengalami
4
penurunan. Namun demikian hasil penelitian tersebut tidak merinci berdasarkan
jenis ikan sehingga belum dapat menggambarkan kondisi stok ikan kerapu saat
ini. Oleh karenanya, kajian potensi dan laju eksploitasi ikan kerapu di Teluk
Lasongko sangat perlu dilakukan.
1.3 Tujuan dan Manfaat
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menduga hasil tangkapan maksimum lestari ikan kerapu di Teluk Lasongko
2. Menduga laju eksploitasi ikan kerapu di Teluk Lasongko.
Informasi yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar
pertimbangan dalam menyusun strategi pengelolaan sumberdaya ikan kerapu di
Teluk Lasongko.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sumberdaya Ikan Kerapu
Ikan kerapu termasuk dalam famili Serranidae, subfamili Epinephelinae dan
dikenal dengan istilah “grouper” (Heemstra dan Randall 1993; Tucker 1999).
Ikan kerapu terdiri dari 15 genus dan mencakup 159 spesies. Kelima belas genus
ikan kerapu tersebut adalah Aethalperca, Alphestes, Anyperodon, Cephalopholis,
Cromileptes, Dermatolepis, Epinephelus, Gonioplectrus, Gracila, Mycteroperca,
Paranthias, Plectropomus, Saloptia, Triso dan Variola (Heemstra dan Randall
1993). Sedangkan menurut Tucker (1999), ikan kerapu terdiri dari 14 genus dan
mencakup setidaknya setengah dari 449 spesies famili Serranidae.
Menurut Heemstra dan Randall (1993), ikan kerapu dapat diidentifikasi
berdasarkan pola pewarnaannya, ciri morfologis termasuk bentuk tubuh,
konfigurasi dan ukuran sirip, bentuk dan ukuran relatif dari kepala dan beberapa
bagian kepala dan tubuh, serta jumlah jari-jari sirip, gurat sisik dan gill raker.
Kecuali untuk beberapa jenis ikan kerapu dewasa dengan ukuran besar, pola
pewarnaan kebanyakan ikan kerapu biasanya cukup untuk membedakan spesies
tertentu.
Ikan kerapu yang hidup di perairan dalam biasanya memiliki pola
pewarnaan yang lebih kemerahan dibanning spesies yang tertangkap di perairan
dangkal.
Ikan kerapu sangat berkaitan dengan dasar perairan dan ditemukan pada
seluruh perairan tropis dan subtropis yang hangat (Heemstra dan Randalll 1993).
Kebanyakan ditemukan pada perairan berkarang (Heemstra dan Randall 1993;
Sluka et al. 2001) namun beberapa spesies dapat ditemukan di daerah estuaria
atau karang berbatu (Heemstra dan Randall 1993; Tucker 1999). Secara umum,
ikan kerapu sangat terkait dengan dasar perairan yang keras (berbatu), kendati
juvenil ikan ini ditemukan pada area padang lamun dan yang dewasa dari
beberapa spesies lebih menyukai areal berpasir.
Beberapa spesies dapat
ditemukan pada kedalaman 100 hingga 200 m (terkadang
ditemukan pada
kedalaman 500 m), namun kebanyakan hidup pada kedalaman kurang dari 100 m
dan juvenil sering ditemukan pada perairan yang sangat dangkal. Ikan kerapu
hidup secara soliter dan menetap pada karang tertentu dalam waktu yang lama
6
(Heemstra dan Randall 1993). Menurut Kuiter (1996), ikan kerapu dewasa
biasanya dapat ditemukan pada lereng-lereng karang yang memiliki celah atau
gua-gua yang besar. Ikan kerapu biasanya hidup soliter atau dalam kelompok
yang kecil (Yearsley et al. 1999).
Gambar 1. Klasifikasi ikan kerapu (Heemstra dan Randall 1993)
Menurut Tucker (1999), juvenil dan ikan kerapu dewasa hidup di perairan
pesisir dan estuaria, tapi sebagian lebih menyukai perairan yang jernih di areal
terumbu karang. Telurnya tunggal, non adhesive dan mengapung pada salinitas
normal. Larva dari beberapa spesies menghabiskan beberapa minggu pertamanya
7
sebagai plankton oseanik.
Ketika menjadi juvenil, ikan kerapu menetap di
perairan dangkal untuk mencari tempat berlindung.
Pada saat ukurannya
bertambah panjang, ikan kerapu bergerak ke perairan yang lebih dalam namun
kebanyakan tetap tinggal di wilayah dekat gua tempat berlindungnya.
Sebagai predator utama di ekosistem terumbu karang, kebanyakan ikan
kerapu memakan sejumlah jenis ikan, crustacea yang besar dan chepalopoda
(Heemstra dan Randall 1993). Menurut Tucker (1999), larva kerapu di alam
awalnya memakan copepoda dan zooplankton kecil, kemudian memakan
crustacea yang lebih besar seperti amphipoda dan udang mysid. Selanjutnya,
makanan utama juvenil ikan kerapu adalah ikan, kepiting, udang-udangan, lobster
dan moluska. Heemstra dan Randall (1993) menyatakan bahwa sebagian besar
ikan kerapu adalah ambush predator (predator dengan menjebak mangsanya),
yang bersembunyi di antara karang dan bebatuan hingga ikan atau crustacea yang
tidak waspada melintas, kemudian menangkap mangsanya tersebut dengan cepat
dan menggigit mangsanya dengan gigi yang tajam.
Kebanyakan spesies ikan kerapu hermaprodit protogini, di mana setiap
individu mencapai usia dewasa secara sexual pertama kali dengan kelamin betina
dan beberapa kemudian berubah menjadi jantan (Heemstra dan Randall 1993;
Tucker 1999). Beberapa spesies mengalami perubahan sex dari betina ke jantan
dengan semakin bertambahnya umur, namun sebagian lagi mengalami perubahan
sex akibat kekurangan individu jantan (Tucker 1999). Ikan kerapu memiliki umur
yang panjang dan terlambat dalam mencapai usia dewasa secara sexual pertama
kali (Heemstra dan Randall 1993).
2.2 Estimasi Parameter Pertumbuhan Ikan
Pertumbuhan dapat digambarkan sebagai perubahan ukuran ikan tiap waktu
dan dapat dihitung dari data ukuran dan atau umur dan penambahan ukuran
terhadap waktu.
Pemanfaatan umur ikan merupakan metode yang dipercaya
untuk menghitung dan menggambarkan pertumbuhan ikan.
Ada tiga metode
dasar untuk menghitung umur ikan; metode anatomi yang menggunakan
penambahan tiap bagian keras (seperti otoliths) pada spesies yang tua; percobaan
8
tagging-recapture; dan pengukuran dengan model progresi terhadap kelas ukuran
ikan. Penggunaan tiap metode tergantung pada spesies yang diteliti (Pauly 1984).
Model pertumbuhan yang umum digunakan dalam kajian stok ikan adalah
model pertumbuhan von Bertalanffy di mana panjang badan sebagai fungsi dari
umur (Sparre dan Venema 1999; Pilling et al. 1999; Jennings et al. 2001). Model
ini telah menjadi salah satu dasar dalam biologi perikanan sebab digunakan
sebagai submodel dalam sejumlah model yang lebih rumit dalam menjelaskan
berbagai dinamika populasi ikan (Sparre dan Venema 1999). Model matematika
dari persamaan pertumbuhan von Bertalanffy adalah sebagai berikut :
(
Lt = L∞ 1 − e − K (t −t0 )
)
............................................................................. (1)
Lt
= Panjang pada umur t
L∞
= Panjang asimptotik yakni panjang dimana laju pertumbuhan secara
teoritis nol
K
= Koefisien pertumbuhan
t0
= umur pada saat panjang ikan nol
Menurut Morales-Nin (1992), parameter pertumbuhan dapat diduga melalui
beberapa metode yakni :
-
Metode Anatomik : dihitung melalui pertumbuhan teratur yang terbentuk
dalam jaringan keras ikan seperti otolith pada sisik ikan
-
Analisis frekuensi panjang : studi perkembangan model ukuran kelas panjang
berdasarkan waktu
-
Pendugaan secara langsung : pengukuran secara langsung laju pertumbuhan
ikan berdasarkan contoh-contoh ikan yang telah diketahui umurnya. Sebagai
contoh, pengukuran ini dapat dilakukan melalui studi ”mark and recapture”.
Pilling et al. (1999) menyatakan bahwa pendugaan parameter pertumbuhan
secara langsung dapat menyebabkan stress pada ikan ketika pemasangan
penandaan sehingga dapat mengurangi pertumbuhan ikan. Oleh karenanya, yang
sering dilakukan dalam pendugaan parameter pertumbuhan ikan adalah metode
anatomik dan analisis frekuensi panjang.
Dari kedua metode ini, analisis
frekuensi panjang lebih umum digunakan, terutama untuk ikan-ikan tropis, karena
lebih murah dan tidak memerlukan waktu yang lama dan keahlian khusus dalam
pengumpulan data.
9
Menurut Jennings et al. (2001), beberapa metode identifikasi kohort
menggunakan asumsi bahwa distribusi frekuensi panjang dari tiap kohort biasanya
normal. Selanjutnya, Sparre dan Venema (1999) menyatakan bahwa metode yang
umum digunakan untuk memisahkan suatu distribusi komposit dari frekeunsi
panjang ke dalam distribusi-distribusi yang terpisah dapat dilakukan dengan
metode Bhattacharya.
Metode Bhattacharya
didasarkan pada identifikasi
distribusi frekuensi panjang kohort termuda dan mengurangi jumlah ikan dari tiap
kelompok panjang dengan kohort pertama dari distribusi frekuensi panjang total
Proses ini terus dilakukan pada kohort berikutnya hingga tidak ada lagi distribusi
normal yang dapat diidentifikasi (Jennings et al. 2001).
King (1995) mengelompokkan metode analisis frekuensi panjang dalam dua
kelompok berdasarkan ukuran contohnya yaitu contoh tunggal dan contoh ganda.
Metode contoh tunggal dikenal juga sebagai metode Petersen di mana kurva
pertumbuhan dapat dikaji dari posisi relatif modus dalam contoh tunggal frekuensi
panjang.
Salah satu metode sederhana adalah plot Ford-Warlfort yang
memodifikasi persamaan pertumbuhan von Bertalanffy menjadi suatu persamaan
linier sebagai berikut :
(
)
Lt +1 = L∞ 1 − e − K + Lt e − K
.................................................................... (2)
Persamaan tersebut adalah persamaan regresi linier dengan Lt +1 sebagai variabel
(
)
tidak bebas dan Lt sebagai variabel bebas sehingga diperoleh a = L∞ 1 − e − K dan
b = e − K , maka :
K = − ln(b ) ..................................................................................................... (3)
L∞ =
a
1− b
t0 = t +
..................................................................................................... (4)
1 L∞ − Lt
ln
K
L∞
................................................................................... (5)
Model contoh ganda disebut juga modal progression analysis (King 1995;
Jennings et al. 2001). Data frekuensi panjang dikumpulkan dari waktu yang
berbeda yang kemudian disusun secara berurutan, modus dari kohort ditelusuri
pergeserannya mengikuti aksis panjang. Metode yang umum digunakan adalah
Gulland-Holt plot di mana persamaan pertumbuhan dimodifikasi menjadi :
10
− ln
1 − Lt
= − Kt 0 + Kt ................................................................................... (6)
L∞
Persamaan tersebut di atas merupakan persamaan linier dengan − ln
1 − Lt
sebagai
L∞
variabel tak bebas dan t sebagai variabel bebas sehingga melalui analisa regresi
sederhana diperoleh K = b dan t 0 = −
a
.
b
Metode lain yang dapat digunakan untuk mengestimasi parameter
pertumbuhan ikan adalah metode Powell-Wetherall (Sparre dan Venema 1999;
Gayanilo et al. 2005) dengan rumus sebagai berikut :
L − L' = a + bL' ............................................................................................... (7)
 L∞ + L' 
a
 , sehingga L∞ = − ............................................................. (8)
L = 
b
 1 + (Z / K ) 
Z
1+ b 
= −
 .................................................................................................. (9)
K
 b 
Selain beberapa metode tersebut di atas, telah pula dikembangkan beberapa
persamaan empirik untuk mengestimasi parameter-parameter pertumbuhan ikan,
di antaranya yang dilakukan oleh Pauly (1984) serta Froese dan Binohlan (2000;
2003). Persamaan empirik Pauly (1984) untuk menduga panjang infiniti adalah
sebagai berikut :
L∞ =
Lmax
....................................................................................................... (10)
0.95
Lmax adalah panjang maksimum ikan yang diperoleh.
Froese dan Binohlan (2000; 2003) memperkenalkan beberapa persamaan
empirik untuk menduga parameter pertumbuhan ikan sebagai berikut :
log L∞ = 0.044 + 0.9841.Lmax .......................................................................... (11)
log Lopt = 1.0421. log L∞ − 0.2742 ................................................................... (12)
log t max = 0.5496 + 0.957. log t m ...................................................................... (13)
K=
3
t max
....................................................................................................... (14)
11
t max adalah umur maksimum yang dapat dicapai oleh tiap individu ikan, sedang
t m adalah umur pada saat ikan matang gonad pertama kali.
2.3. Estimasi Mortalitas Ikan
Secara umum, ikan akan mengalami kematian (mortalitas) yang dapat
disebabkan oleh kematian alami dan kematian akibat penangkapan. Mortalitas
alami biasanya diberi simbol M dan mortalitas akibat penangkapan diberi simbol
F sedangkan laju mortalitas total diberi simbol Z (Sparre dan Venema 1998;
Jennings et al. 2001).
2.3.1 Mortalitas Total
Laju mortalitas total dapat diestimasi dengan menggunakan data distribusi
panjang. Metode yang umum digunakan dengan menggunakan data distribusi
panjang ini adalah meode Beverton-Holt berbasis panjang (Sparre dan Venema,
1999) dan metode kurva tangkapan berbasis panjang atau length-converted catch
curve (Pauly, 1983).
Metode Beverton-Holt menunjukan hubungan fungsional antara Z dan L
(Sparre dan Venema, 1999), yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
Z = K.
(L − L ) ...............................................................................................
(L − L')
∞
(15)
L adalah panjang rata-rata ukuran, L’ adalah panjang di mana semua ikan pada
ukuran tersebut dan lebih panjang berada pada penangkapan penuh. L’ dapat pula
dianggap sebagai batas kelas bawah dari interval kelas panjang (Sparre dan
Venema, 1999).
Rumus Beverton-Holt tersebut di atas dapat juga digunakan dalam suatu plot
(
)
regresi untuk menduga Z/K dan L∞ di mana L − L' dapat diplot berlawanan
dengan L’ sebagai garis lurus, sehingga diperoleh :
(L − L') = a + bL’ ...........................................................................................
(16)
Persamaan ini kemudian dikenal sebagai Watherall Plot (Sparre dan Venema
1999). Dari persamaan garis di atas dapat diperoleh nilai Z sebagai berikut :
Z
1+ b
=−
..................................................................................................... (17)
K
b
12
a
L∞ = − , dan K diperoleh dari model progression analysis
b
2.3.2 Mortalitas Alami
Mortalitas alami dapat terjadi akibat pemangsaan, penyakit, parasit, umur
dan faktor lingkungan yang sebagian besar disebabkan oleh perubahan faktorfaktor lingkungan sepanjang hidup ikan.
Pauly (1980) menyatakan adanya
keterkaitan yang erat antara mortalitas alami dengan suhu perairan di mana
semakin hangat suhu perairan akan menyebabkan meningkatnya mortalitas alami
pada ikan.
Beberapa metode telah dikembangkan para ahli pengkajian stok untuk
menduga mortalitas alami pada ikan. Richter dan Baranov (1976) yang diacu
dalam Sparre dan Venema (1998) menyatakan adanya hubungan antara mortalitas
alami dengan umur saat 50% populasi matang gonad atau kemudian dikenal
sebagai the age of massive maturatuion (umur matang yang masif). Persamaan
yang ditunjukkan oleh Rikhter dan Baranov adalah :
M =
1.521
− 0.155 ...................................................................................... (18)
0.720
Tm50
Pauly (1980, 1984) merumuskan hubungan empririk antara laju mortalitas
alami dengan suhu rata-rata tahunan (T) yang kemudian dikenal sebagai rumus
empirik Pauly sebagai berikut :
Log M = -0.0066 – 0.279 log L∞ + 0.6543 log K + 0.4634 log T .................. (19)
L∞ adalah panjang asimptotik, K adalah koefisien pertumbuhan instrinstik dan T
adalah suhu rata-rata tahunan (oC)
Alagaraja (1984) in Sparre dan Venema (1998) merumuskan bahwa rentang
hidup alami (longevity) umur di mana 99% dari suatu kohort akan mati jika kohort
tersebut hanya dikenai mortalitas alami (Z = M). Jika Tm adalah rentang hidup
alamiah dan M1% adalah mortalitas alami setara dengan 1% sintasan, maka :
M 1% =
− ln (0.01)
.......................................................................................... (20)
Tm
Raltson (1987) merumuskan formula empirik untuk menduga mortalitas
alami dengan menghubungkan antara mortalitas alami dengan parameter
13
pertumbuhan K pada formula pertumbuhan von Bertalanffy. Formula empirik
yang disarankan oleh Raltson adalah :
M = 0.0189 + 2.06 K ...................................................................................... (21)
2.3.3 Mortalitas Penangkapan
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa mortalitas pada ikan dapat
disebabkan oleh mortalitas alami dan mortalitas akibat penangkapan. Mortalitas
penangkapan dapat diperoleh setelah laju mortalitas total (Z) dan mortalitas alami
(M) diketahui. Pauly (1980) dan King (1995) menyatakan bahwa laju mortalitas
total merupakan hasil penambahan dari mortalitas alami dan mortalitas akibat
penangkapan, sehingga diperoleh persamaan :
Z = F + M ....................................................................................................... (22)
Dari persamaan (19), mortalitas penangkapan dapat dihitung dengan persamaan
berikut :
F = Z – M ....................................................................................................... (23)
2.4 Laju Eksploitasi
Menurut Pauly (1980), laju eksploitasi (E) merupakan rasio antara mortalitas
penangkapan (F) dengan mortalitas total (Z) sehingga dapat dihitung sebagai
berikut :
E=
F
..................................................................................................... (24)
F+M
M = Mortalitas alami
Persamaan (21) dapat disederhanakan lagi menjadi :
E=
F
Z
....................................................................................................... (25)
Gulland (1971) in Pauly (1980) menyatakan bahwa eksploitasi optimal dari
suatu stok ikan terjadi jika mortalitas penangkapan sebanding dengan mortalitas
alaminya, sehingga laju eksploitasi optimal (E) = 0.5. Dengan demikian, suatu
sumberdaya dikatakan mengalami penangkapan berlebih (overfishing) jika laju
eksploitasinya lebih besar dari 0.5.
14
2.5. Program-program Komputer untuk Menduga Parameter-parameter
Pertumbuhan Ikan
Program komputer
telah banyak dikembangkan oleh para ahli untuk
memudahkan dalam menduga parameter-parameter pertumbuhan ikan. Menurut
Sparre dan Venema (1999), salah satu program komputer pertama untuk
memisahkan sejumlah frekuensi ke dalam komponen yang terdistribusi normal
dengan menggunakan teknik-teknik likelihood maksimum adalah program
”NORMSEP” yang dikembangkan oleh Hasselblad dan Tomlinson pada tahun
1971.
Program komputer yang umum digunakan adalah Electronic Length
Frequency Analysis (ELEFAN) yang dikembangkan oleh Pauly dan David pada
tahun 1981.
Program ini berkaitan dengan estimasi parameter-parameter
pertumbuhan menggunakan analisa frekuensi panjang dalam bahasa BASIC.
Program ini kemudian dimodifikasi menjadi COMPLET ELEFAN oleh Gayanilo,
Soriano dan Pauly pada tahun 1987 (Sparre dan Venema 1999).
Pada tahun 1987 pula, Sparre mengembangkan program komputer yang
diberi nama LFSA (Length-based Fish Stock Assessment) yang disusun dalam
bahasa BASIC. Paket LFSA awalnya dikembangkan untuk komputer Apple II
namun kemudian dikonversikan agar cocok digunakan pada komputer-komputer
IBM (Sparre dan Venema 1999).
Selanjutnya, pada tahun 1990 FAO (Food and Agricultural Organisation)
dan ICLARM (the International Centre of Living Aquatic Resources
Management) sepakat untuk mengembangkan suatu paket program baru untuk
pengkajian stok ikan berdasarkan panjang yang disebut FiSAT (FAO-ICLARM
Stock Assessment Tools).
Paket pengkajian stok ini disusun dengan
mengintegrasikan routine-routine yang ada dalam LFSA dan paket COMPLEAT
ELEFAN, namun juga berisi sejumlah routine-routine baru (Sparre dan Venema
1999). Awalnya, paket FiSAT ini menggunakan versi MS DOS namun kemudian
dikonversi ke Microsoft Windows. Konversi ini dilakukan sekitar tahun 2000
sampai 2002 melalui proyek yang didukung oleh Uni Eropa dan FIAS (Fisheries
Information and Analysis System) (Gayanilo et al. 2005).
15
The
Marine
Resources
Assessment
Group
Ltd
(MRAG)
juga
mengembangkan paket pengkajian stok berbasis panjang yang diberi nama Length
Frequency Distribution Analysis (LFDA).
Paket ini telah beberapa kali
mengalami modifikasi, seperti yang dilakukan oleh Holden et al. (1995) menjadi
LFDA versi 4.01 dan Kirkwood et al. (2001) menjadi LFDA versi 5.0. Seperti
halnya FiSAT, dalam LFDA terdapat paket ELEFAN dalam metode estimasi
parameter pertumbuhan ikan. Selain itu juga terdapat metode SLCA (Shepherd's
Length Composition Analysis) dan PROJMAT (Projection Matrix) (Kirkwood et
al. 2001).
2.6 Hasil Tangkapan Maksimum Lestari
Hasil tangkapan maksimum lestari atau Maximum Sustainable Yield (MSY)
dapat diartikan sebagai jumlah berat atau tangkapan maksimum yang dapat
diperoleh dari suatu stok sumber daya ikan tanpa mempengaruhi reproduksi dan
rekruitmen stok sumberdaya ikan tersebut di masa depan (King, 1995). Sparre
dan Venema (1998) juga memberikan penjelasan
yang sama dengan
mendefinisikan MSY sebagai jumlah tangkapan maksimum yang dapat diperoleh
tanpa mempengaruhi produktivitas stok ikan dalam jangka panjang.
Model yang umum digunakan untuk menduga MSY adalah model surplus
produksi. Model ini pertama kali diperkenalkan oleh Graham pada tahun 1934
yang kemudian dikembangkan oleh Schaefer pada tahun 1954 sehingga lebih
sering diacu sebagai Model Schaefer (Sparre dan Venema 1998). Model ini
cukup luas digunakan karena hanya membutuhkan serangkaian data hasil
tangkapan dan upaya penangkapan (Lemay 2007).
Larkin (1977) menjelaskan bahwa surplus produksi didasarkan asumsi
bahwa setiap spesies ikan setiap tahunnya akan menghasilkan jumlah berlebih
(surplus) yang dapat ditangkap dan jika yang ditangkap sebanyak surplus yang
dihasilkan oleh setiap spesies tersebut maka sumberdaya tersebut akan tetap
lestari. Penjelasan yang lebih rinci diberikan oleh Wallace dan Fletcher (1997)
yang mengilustrasikan konsep surplus produksi seperti pada Gambar 2. Garis
lurus O ke C menggambarkan kondisi di mana jumlah ikan muda meningkat
ketika ikan betina
dewasa meningkat. Garis melengkung cincin busur
16
menunjukkan bahwa ketika jumlah ikan betina dewasa meningkat, jumlah ikan
muda dengan cepat meningkat dibanding ikan betina. Hubungan ini terus berlanjut
sampai biomasa ikan betina mulai untuk mendekati daya-dukung habitat. Garis (
A-C) menunjukkan bahwa penambahan ikan betina dewasa memberi peningkatan
ikan muda baru dalam jumlah yang sedikit. Pada titik C, daya-dukung dicapai di
mana jumlah ikan betina dewasa dan ikan muda dalam kondisi yang seimbang.
Bagian dari kurva di sebelah kanan dari daya-dukung menunjukkan bahwa
biomass dapat melampaui daya-dukung. Ketika terjadi penangkapan, populasi
merespon dengan meningkatnya jumlah ikan muda. Peningkatan terbesar terjadi
pada titik A, jarak maksimum (garis A – B) antara kurva dengan garis lurus 45o.
Hal ini bersamaan dengan jumlah maksimum surplus produksi yang dapat tersedia
dari populasi.
Gambar 2. Ilustrasi model Surplus Produksi (Wallace dan Fletcher 1997)
King (1995) menggambarkan laju perubahan biomasa berdasarkan
persamaan logistik sebagai berikut :

dB
B 
 ........................................................................................... (26)
= rB1 −
dt
 B∞ 
Jika stok mulai tereksploitasi maka persamaan (26) dapat dikurangi oleh hasil
tangkapan (Y) sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut :

dB
B 
 − Y .....................................................................................
= rB1 −
dt
 B∞ 
(27)
17
Dalam kondisi seimbang dimana laju penangkapan dipertahankan sehingga
sistem tetap seimbang (jumlah yang ditangkap seimbang dengan pertumbuhan
biomasa), dB/dt = 0 sehingga persamaan (24) menjadi :

B 
 .............................................................................................. (28)
Y = rB1 −
 B∞ 
Persamaan (28) merupakan persamaan parabola yang menunjukkan bahwa hasil
tangkapan maksimum lestari adalah setengah dari biomasa sumberdaya ikan yang
belum tereksploitasi.
Pendugaan nilai MSY dengan model surplus produksi dilakukan dengan
memplotkan CPUE terhadap upaya penangkapan sehingga akan diperoleh
persamaan regresi hubungan antara CPUE dengan upaya. CPUE merupakan
indeks kelimpahan suatu sumberdaya ikan dan banyak digunakan dalam
pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan (Harley et al. 2001; Hanchet et al.
2005). CPUE dihitung berdasarkan nisbah dari jumlah atau bobot hasil tangkapan
yang diperoleh sekelompok atau seorang nelayan terhadap jumlah upaya yang
dilakukannya dalam kurun waktu tertentu (Maunder et al 2006). Selanjutnya King
(1995) menjelaskan bahwa hasil tangkapan (Y) dapat ditulis menjadi : Y = qBf ,
di mana q adalah catchability coefficient (koefisien penangkapan) dan f adalah
upaya penangkapan, sedangkap Y/f ekuivalen dengan hasil tangkapan per upaya
atau Catch per Unit Effort (CPUE) sehingga CPUE = qB atau :
B=
CPUE
..................................................................................................... (29)
q
Dengan mensubstitusikan persamaan (29) ke persamaan (28) maka diperoleh :
Y = f (CPUE ) = r (CPUE / q )[1 − (CPUE / q ) / (CPUE∞ / q )] ........................... (30)
Di mana CPUE∞ adalah hasil tangkapan per upaya dari biomasa maksimum (B∞)
dari stok. Jika persamaan 30 dibagi dengan CPUE maka diperoleh persamaan
sebagai berukut :
f =
r
CPUE
1 −
q  CPUE ∞

 atau :

q

CPUE = CPUE ∞ − CPUE ∞  f ................................................................... (31)
r

18
Persamaan (31) merupakan persamaan linier, dimana b = - (CPUE∞ q/r) dan
a = CPUE sehingga diperoleh persamaan linier :
CPUE = a + bf................................................................................................ (32)
Jika persamaan (32) dikalikan dengan f maka akan diperoleh persamaan :
Y = af + bf2...................................................................................................... (33)
Persamaan (33) kemudian dikenal sebagai model Schaefer yang menyatakan
bahwa hasil tangkapan berhubungan dengan upaya penangkapan melalui kurva
parabola yang simetris (King 1995).
Fox (1970) in Spare dan Venema (1998) memperkenalkan model alternatif
untuk menduga MSY. Pada model Fox, CPUE diplot dalam bentuk logaritma
terhadap upaya sehingga menghasilkan persamaan sebagai berikut :
q
ln CPUE = ln (K .q ) −   f ............................................................................. (34)
r
Persamaan (34) dapat pula ditulis sebagai berikut :
CPUE = exp(c + df ) ....................................................................................... (35)
Jika persamaan (35) dikalikan dengan f maka diperoleh persamaan non parabolik
sebagai berikut :
Y = f exp(c + df) ............................................................................................. (36)
Penerapan MSY dalam pengelolaan sumberdaya perikanan telah mendapat
kritikan dari para ahli, seperti Larkin (1977) dan Sissenwine (1978). Sebagai
tujuan pengelolaan, interpretasi yang statis dari MSY biasanya tidak tepat karena
mengabaikan fakta bahwa kelimpahan populasi ikan berfluktuasi secara alami dan
biasanya mengalami penurunan jika diterapkan strategi penangkapan konstan
(Mace, 2001). Namun demikian, konsep MSY ini masih diadopsi dan digunakan
oleh berbagai organisasi dan pemerintahan karena konsep ini cukup sederhana,
logis dan dapat melalukan estimasi dengan data terbatas serta belum adanya
konsep yang memiliki kualitas yang sama dengan MSY. Oleh karenanya, Mace
(2001) kemudian menyatakan bahwa MSY haruslah dipandang sebagai batas
jumlah tangkapan yang dihindari dan bukan sebagai tujuan yang hendak dicapai.
19
2.7 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Menurut Cochrane (2002), pengelolaan sumberdaya perikanan didefinisikan
sebagai proses yang terpadu dari pengumpulan informasi, analisis, perencanaan,
konsultasi, pengambilan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi,
dengan penguatan regulasi atau undang-undang yang mengatur aktivitas
perikanan agar dapat menjamin keberlanjutan produktivitas sumberdaya dan
pencapaian tujuan perikanan lainnya. Dalam Code of Conduct for Responsible
Fisheries (FAO 1995) dijelaskan bahwa pengelolaan perikanan adalah suatu
kebutuhan besar dan menjadi kebutuhan dunia. Hal ini terjadi karena banyak
manusia di muka bumi ini yang bergantung pada perikanan sebagai mata
pencahariannya. Namun pemanfaatan sumberdaya perikanan dunia yang begitu
penting mengalami beberapa kejadian berikut ini yang menjadi dasar atau alasan
pengelolaan sumberdaya perikanan yaitu :
1. Sebagian besar sumberdaya perikanan dunia mengalami tangkap penuh,
tangkap lebih, deplesi atau pada kondisi di mana sumberdaya itu harus
diselamatkan.
Selain karena penangkapan, sumberdaya ikan mengalami
degradasi karena kerusakan ekologi dan polusi lingkungan.
2. Kelebihan pemanfaatan sumberdaya perikanan dunia ikut ditentukan oleh
perkembangan teknologi yang cepat terutama pemanfaatan Geographical
Positioning System (GPS), radar, echo sounder, mesin kapal yang lebih kuat
dan besar serta berkembangnya teknologi pengolahan.
3. Status pemanfaatan secara berlebihan sumberdaya perikanan dunia ini adalah
resultante dari kegagalan kepemerintahan perikanan (fisheries governance)
yang mencakup di dalamnya kegagalan masyarakat, peneliti dan ahli
perikanan serta pemerintah sebagai suatu lembaga.
Menurut Mees (1996),
tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan harus
mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi dan biologi.
pengelolaan
sumberdaya perikanan
haruslah
difokuskan
Oleh karenanya,
untuk menjaga
keseimbangan aspek sosial, ekonomi dan ekologi.
Pada dasarnya, pengelolaan sumberdaya perikanan bertujuan untuk
memastikan berapa banyak ikan yang dapat ditangkap dengan sejumlah upaya
penangkapan agar sumberdaya tersebut tetap lestari. Model pengelolaan ini lebih
20
dikenal sebagai model pengelolaan konvensional (Hoggart et al. 2006).
Selanjutnya Hoggart et al. (2006) menyatakan bahwa model pengelolaan
konvensional dapat dilakukan melalui pengaturan jumlah dan ukuran alat tangkap
(input control) dan pengaturan jumlah dan ukuran hasil tangkapan (output
control).
Model pengelolaan non konvensional lebih diarahkan pada upaya
konservasi sumberdaya perikanan melalui pendekatan kehati-hatian atau
precautionary approach (Garcia dan Cochrane 2005).
Menurut Mees (1996),
pengelolaan secara biologis dari sumberdaya
perikanan tangkap biasanya bertujuan untuk mencegah terjadinya tangkap
berlebihan
(overfishing)
dan
mengoptimalisasikan
produksi.
Overfishing
merupakan kondisi dimana level atau laju mortalitas telah menurunkan kapasitas
suatu populasi dalam jangka panjang untuk dapat mencapai MSY (Dayton et al.,
2002). Overfishing dapat dikategorikan menjadi 4 yakni:
1. Growth overfishing adalah kondisi di mana yang tertangkap berada di bawah
ukuran pertumbuhan optimum (Mees 1996; Israel et al. 1997; Hall 2002;
Holland 2003).
2. Recruitment overfishing adalah kondisi di mana ikan-ikan dewasa tertangkap
dalam jumlah yang besar sehingga proses reproduksi menurun dan dengan
sendirinya rekruitmen juga menurun (Israel et al. 1997; Dayton et al. 2002;
Kilduff et al. 2009).
3. Ecosystem overfishing adalah kondisi di mana kegiatan penangkapan ikan
berdampak terhadap penurunan kualitas ekosistem, termasuk penurunan
kelimpahan dan perubahan komposisi spesies, variasi yang luas dari
kelimpahan, biomasa dan produksi beberapa spesies, serta perubahan atau
kerusakan yang signifikan dari habitat (Israel et al. 1997; Murawski 2000;
Dayton et al. 2002).
4. Economic overfishing adalah kondisi di mana peningkatan jumlah upaya
penangkapan tidak memberi dampak terhadap kenaikan pendapatan nelayan
(Israel et al. 1997).
Hinman (1998) menyatakan bahwa permasalahan perikanan dalam konteks
ekosistem adalah eksploitasi yang berlebihan, kurangnya perhatian terhadap
interaksi predator-mangsa dan hasil tangkapan sampingan yang disebabkan oleh
21
penggunaan alat tangkap yang tidak selektif. Oleh karenanya, Hinman (1998)
memberikan 3 rangkaian rekomendasi berkenaan dengan permasalahan perikanan
tersebut yaitu :
1. Rangkaian rekomendasi pertama :
a. Memberikan prioritas pada pemulihan populasi yang mengalami tangkap
lebih pada tingkat yang lebih tinggi dibanding level yang dibutuhkan
untuk menghasilkan produksi maksimum lestari.
b. Memperbaiki struktur umur yang stabil dan rasio sex dari populasi.
c. Mengadopsi dan mengimplementasikan pendekatan kehati-hatian dalam
segala hal, termasuk memperkenalkan model perikanan baru atau ekspansi
model perikanan yang telah ada.
d. Menentukan level penangkapan untuk spesies target yang dilestarikan
2. Rangkaian rekomendasi kedua :
a. Memperbaharui seluruh rencana pengelolaan sumberdaya perikanan untuk
dapat mengidentifikasi interaksi spesies penting.
b. Membuat batasan-batasan dengan mempertimbangkan interaksi tersebut.
c. Jika
tujuan
pengelolaan
menghasilkan
konflik
antar
pengguna
sumberdaya, maka penyusunan rencana pengelolaan harus didasarkan
pada aspek ekologis untuk dapat mengharmonisasikan tujuan tersebut.
3. Rangkaian rekomendasi ketiga :
a. Menentukan zona larangan penangkapan untuk daerah-daerah yang telah
mengalami tangkap berlebih.
b. Menetapkan
pembatasan
alat
tangkap
untuk
meningkatkan
keberlangsungan hidup spesies yang akan dilindungi.
Model pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem diadopsi oleh
FAO pada FAO Technical Consultation on Ecosystem-based Fisheries
Management yang dilangsungkan di Reykjavik (Finlandia) dari 16 sampai 19
September 2002 (FAO 2003). EAF didefinisikan oleh Ward et al.
(2002)
sebagai perluasan dari model pengelolaan perikanan konvensional dengan secara
eksplisit mengenali adanya hubungan saling ketergantungan antara kesejahteraan
manusia dan kesehatan ekosistem dan kebutuhan untuk memelihara produktifitas
ekosistem bagi generasi sekarang dan yang akan datang seperti konservasi habitat
22
yang kritis, mengurangi polusi dan bungan sampah serta melindungi spesiesspesies yang terancam. Dalam konsultasi para ahli di Reykjavik (FAO 2003)
disetujui bahwa tujuan dari pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem
adalah merencanakan, mengembangkan dan mengelola perikanan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini dan menjamin generasi yang akan
datang masih memperoleh manfaat dari ekosistem laut.
Oleh karenanya,
pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan ditujukan untuk menjaga
keseimbangan dari berbagai
kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan
pengetahuan dan ketidakpastian antara komponen biotik, abiotik dan manusia dari
ekosistem dan interaksinya serta mengaplikasikan pendekatan yang terintegrasi
pada pengelolaan perikanan dengan batasan-batasan ekologis.
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan mulai tanggal 13 Mei sampai dengan 19 Agustus
2007di perairan Teluk Lasongko, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Lokasi
ini dipilih dengan pertimbangan bahwa perairan ini merupakan salah satu sentra
penangkapan ikan kerapu di Kabupaten Buton. Luas perairan Teluk Lasongko
mencapai 13. 6 km2 dan luas areal terumbu karang 279.8 ha atau 20 % dari luas
total perairannya. Di perairan ini terdapat 7 areal terumbu karang yang oleh
masyarakat lokal disebut pasi yaitu Pasi Lasori, Pasi Bawona, Pasi Bone Marangi,
Pasi Bunta, Pasi Madongka, Pasi
Lasoring Balano dan Pasi Katembe. Kondisi
penutupan karang dari masing-masing areal terumbu karang tersebut berbedabeda mulai dari 35 % hingga 75,7 % (Tabel 3).
Tabel 3. Areal terumbu karang di Teluk Lasongko, luas dan presentase penutupan
karangnya
No
I
1
2
3
II
4
5
6
7
Lokasi Karang
Zona I
Pasi Lasori
Pasi Bawona
Pasi Bone Marangi
Zona II
Pasi Bunta
Pasi Madongka
Pasi’ Bunging Balano
Pasi’ Katembe
Luas Karang
(Ha)
Presentase Karang
(%)
9,20
122,00
3,60
35,00
36,00 - 73,70
36,00
5,00
90,90
4,40
40,20
72,34
64,90 – 73,70
64,90 – 73,70
64,90 – 73,70
Sumber : Supardan (2006)
Untuk lebih memudahkan penelitian ini, dipilih 4 lokasi pengumpulan data
yaitu Madongka dan Lasori yang mewakili zona I serta Boneoge dan Lolibu yang
mewakili zona II. Keempat lokasi tersebut merupakan pusat pendaratan
hasil
tangkapan ikan kerapu di Teluk Lasongko. Pengumpulan data dilakukan setiap
dua minggu sekali selama penelitian yakni pada tanggal 13 dan 27 Mei 2007, 10
dan 24 Juni 2007, 8 dan 22 Juli 2007 serta 5 dan 19 Agustus 2007 untuk masingmasing lokasi di atas.
24
Gambar 3. Peta lokasi penelitian di Teluk Lasongko
25
3.2 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode
survey.
Metode
survey
merupakan
penelitian
deskriptif
yang
menggambarkan/menguraikan sifat dari suatu fenomena/keadaan yang ada pada
waktu aktual dan mengkaji penyebab dari gejala-gejala tertentu, bertujuan
mengumpulkan data yang terbatas dari sejumlah kasus besar. Selanjutnya, datadata yang diperoleh digunakan untuk mengukur gejala-gejala yang ada tanpa atau
dengan memperhitungkan hubungan antara variabel-variabel dan data yang
digunakan untuk memecahkan masalah. Data yang dikumpulkan mencakup data
primer dan data sekunder yang dijelaskan di bawah ini.
3.2.1 Pengumpulan Data Primer
Data primer yang dikumpulkan mencakup jenis dan komposisi ikan kerapu
serta frekuensi panjang individu ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko.
Prosedur pengumpulan data primer adalah sebagai berikut :
1. Setiap ikan kerapu yang didaratkan dicatat jumlahnya berdasarkan jenis dan
lokasi penangkapannya kemudian ditabulasi dalam bentuk tabel.
2. Setiap individu ikan diukur panjang totalnya dengan menggunakan mistar
ukur model 118 Wildco yang memiliki ketelitian 0,01 cm kemudian ditabulasi
berdasarkan jenis, lokasi penangkapan dan tanggal pengambilan data.
3. Setiap individu ikan ditimbang beratnya dengan menggunakan timbangan
elektrik Soehnle yang memiliki ketelitian 0,01 gram, kemudian ditabulasi
berdasarkan jenis, lokasi penangkapan dan tanggal pengambilan data.
Data jumlah dan berat ikan digunakan untuk menganalisa komposisi ikan
kerapu yang tertangkap untuk masing-masing zona, sedangkan data panjang total
ikan digunakan untuk menduga laju eksploitasi ikan kerapu di Teluk Lasongko..
3.2.2 Pengumpulan Data Sekunder
Data sekunder yang dikumpulkan adalah data hasil tangkapan dan upaya
penangkapan ikan kerapu di Teluk Lasongko Kabupaten Buton tahun 2000 –
2007 yang tersedia di Dinas Perikanan Kabupaten Buton. Data sekunder ini
digunakan untuk menduga hasil tangkapan maksimum lestari ikan kerapu di Teluk
Lasongko.
26
3.3 Analisa Data
3.3.1 Analisa Komposisi dan Kelimpahan Ikan Kerapu
Analisa komposisi dan kelimpahan ikan kerapu berdasarkan pembagian zona
terumbu karang baik dan buruk digunakan untuk mengetahui kondisi stok ikan
kerapu saat ini. Analisa komposisi ikan kerapu dilakukan dengan menggunakan
metode statistik deskriptif sebagai berikut :
1) Data hasil tangkapan ikan kerapu yang didaratkan oleh nelayan dihitung
jumlahnya untuk tiap jenis ikan kemudian ditabulasi dalam bentuk tabel.
2) Rata-rata hasil tangkapan selama penelitian dihitung untuk tiap bulannya.
3) Komposisi ikan hasil tangkapan ditentukan berdasarkan presentase jumlah
tangkapan dan diurutkan menurut besarnya presentase
jumlah tangkapan
tersebut.
3.3.2 Pendugaan Hasil Tangkapan Maksimum Lestari
Pendugaan hasil tangkapan maksimum lestari atau Maximum Sustainable
Yield (MSY) dilakukan dengan menggunakan Model Surplus Produksi. Hasil
tangkapan maksimum dapat diestimasi dari data input sebagai berikut (Sparre dan
Venema 1998):
- f(i)
= upaya dalam tahun ke i; i = 1,2,3,....,n
- Y(i)/f(i) = hasil tangkapan (dalam berat) tahun ke-i per unit usaha pada tahun
ke-i, di mana i = 1,2,3,...n
Di Teluk Lasongko, ikan kerapu ditangkap dengan menggunakan alat
tangkap pancing biasa dan bubu.
Oleh karenanya, standarisasi upaya harus
dilakukan terlebih dahulu sebelum digunakan untuk menduga besarnya MSY.
Standarisasi upaya dapat dilakukan dengan langkah-langkah (Gulland 1983;
Sparre dan Venema 1998) sebagai berikut :
1. Upaya dan hasil tangkapan masing-masing upaya dihitung totalnya hingga
tahun ke-i, di mana i = 1,2,3,...,n
2. CPUE dihitung untuk masing-masing upaya.
3. Total upaya terbesar dari kedua jenis upaya dipilih sebagai standar dalam
menghitung Fishing Power Indeks (FPI).
27
4. Jika upaya terbesar adalah bubu maka FPI bubu =
FPI pancing =
CPUE Pancing
CPUE Bubu
CPUE Bubu
CPUE Bubu
dan
, demikian pula sebaliknya.
5. Upaya standar untuk tahun ke-i di mana i = 1,2,3,...,n dihitung melalui
persamaan berikut :
Upaya standar = (upaya bubu tahun ke-i x FPIbubu) + (upaya pancing tahun
ke-i x FPIpancing)
Selanjutnya, upaya standar yang diperoleh dapat digunakan untuk menduga
MSY dengan menggunakan model Schaefer atau model Fox.
Dalam model
Schaefer, hasil tangkapan per upaya penangkapan sebagai suatu fungsi dari upaya
adalah model linear yang sebagai berikut :
Y(i)/f(i) = a + bf(i) , bila f(i) < -a/b .................................................................. (1)
Jika Y(i)/f(i) adalah peubah tak bebas yang disimbolkan dengan y, dan f(i) adalah
peubah bebas yang disimbolkan dengan x, maka diperoleh persamaan :
y = a + bx ........................................................................................................... (2)
Model Fox berbentuk logaritma yang jika dilinierkan menjadi sebagai berikut :
 Y (i ) 
q
 = ln (K .q ) −   f (i ) ............................................................................ (3)
ln
r
 f (i ) 
Jika ln (Y(i)/f(i)) adalah peubah tak bebas yang disimbolkan dengan y, dan f(i)
adalah peubah bebas yang disimbolkan dengan x, maka diperoleh persamaan
sebagai berikut :
y = c + dx
..................................................................................................... (4)
Dengan analisis regresi linier menggunakan metoda kuadrat terkecil, akan
diperoleh nilai b atau d dari data runtut waktu selama n tahun sebagai berikut:
n
 n  n 
n ∑ ( xi yi ) −  ∑ xi  ∑ yi 
 i=1  i=1 
b atau d = i =1
2
n
 n 
2
n∑ xi −  ∑ xi 
i =1
 i =1 
......................................................... (5)
Nilai a atau c dihitung melalui persamaan sebagai berikut :
a = y − bx ........................................................................................................... (6)
c = y − dx ........................................................................................................... (7)
28
Selanjutnya dilakukan perhitungan koefisien determinasi (R2) untuk
mengetahui berapa persen dari data dapat dijelaskan oleh model regresi linier (2)
atau (4) melalui persamaan sebagai berikut :
 n
 n∑ xi yi
 i =1
2
 n  n  
−  ∑ xi  n∑ yi  
 i =1  i =1  
R2 =
................................................. (8)
 n 2  n  2  n 2  n  2 
 n x −  x   n y −  y  
∑ i
∑ i ∑
i
i
 ∑
i =1
 i =1   i =1
 
 i =1
Jika nilai R2 untuk persamaan regresi model Schaefer lebih besar dari R2
persamaan regresi model Fox, maka perhitungan MSY dilakukan dengan model
Schaefer, demikian pula sebaliknya.
Setelah nilai a, b, c dan d diperoleh maka dilakukan perhitungan nilai MSY
dan upaya optimum (fopt). Perhitungan nilai MSY dan fopt untuk model Schaefer
adalah sebagai berikut :
a2
4b
MSY = −
f opt = −
a
2b
..................................................................................................... (9)
.....................................................................................................(10)
Sedangkan untuk model Fox adalah sebagai berikut :
1
MSY = − e c −1 ....................................................................................................(11)
d
f opt = −
1
d
.....................................................................................................(12)
3.3.3 Pendugaan Laju Eksploitasi Ikan Kerapu
Data primer berupa data frekuensi panjang individu ikan kerapu digunakan
untuk menduga laju eksploitasi ikan kerapu. Pendugaan laju eksploitasi ikan
kerapu dilakukan dengan penentuan parameter-paremeter pertumbuhan ikan
kerapu terlebih dahulu berdasarkan persamaan von Bertalanffy yaitu :
(
)
L(t ) = L∞ 1 − e − k (t −t0 ) .......................................................................................... (4)
Lt adalah panjang ikan pada waktu t; L∞ adalah panjang asimtotik; K adalah
koefisien laju pertumbuhan; to adalah umur teoritis pada saat L = 0; dan t adalah
waktu pada saat panjang ikan = L(t)
29
Untuk menentukan nilai L∞ dilakukan dengan menggunakan metode PowellWetherall (Sparre dan Venema 1998; Gayanilo et al. 2005) dengan persamaan
sebagai berikut :
L − L' = a + bL' .................................................................................................... (5)
L' adalah batas bawah kelas panjang ikan yang berada pada kondisi penangkapan
 L + L' 
 , sehingga :
penuh, sedangkan L =  ∞
 1 + (Z / K ) 
L∞ = −
a
........................................................................................................... (6)
b
Dalam prakteknya, pendugan nilai L∞ dilakukan menggunakan metode PowellWetherall dalam paket FiSAT II. Nilai L∞ yang diperoleh kemudian digunakan
sebagai dugaan awal L∞ untuk memperoleh nilai K dengan menggunakan program
ELEFAN I dalam paket FiSAT II (Gayanilo et al. 2005)
Nilai to dihitung dengan menggunakan persamaan empiris Pauly (1980)
sebagai berikut :
Log (-to) = -0,3922 – 0,2752 Log L∞ - 1,038 Log K .......................................... (7)
Setelah parameter-parameter pertumbuhan ikan kerapu diketahui maka
dilakukan pendugaan laju mortalitas (Z) berdasarkan persamaan Beverton dan
Holt (Sparre dan Venema, 1998) sebagai berikut:
Z=K
(L − L )
(L − L')
∞
................................................................................................. (8)
L adalah panjang rata-rata ukuran, L’ adalah panjang di mana semua ikan pada
ukuran tersebut dan lebih panjang berada pada penangkapan penuh. L’ dapat pula
dianggap sebagai batas kelas bawah dari interval kelas panjang (Sparre dan
Venema 1999).
Selanjutnya dilakukan pendugaan laju mortalitas alami (M) berdasarkan
persamaan empirik Pauly (1980) sebagai berikut :
Log (M) = - 0.0066 – 0.279 log (L∞) + 0.6543 log (k) + 0.4634 log (T) ........... (9)
T adalah temperatur perairan
Nilai Z dan M digunakan untuk menduga
kematian ikan akibat
penangkapan (F) dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
F = Z – M ...........................................................................................................(10)
30
Berdasarkan nilai Z dan F maka laju eksploitasi ikan kerapu (E) dapat
diduga dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
E =
F
...........................................................................................................(11)
Z
4. HASIL PENELITIAN
4.1 Komposisi Hasil Tangkapan Ikan Kerapu
Selama penelitian, ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko terdiri
dari empat spesies yaitu ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis), kerapu macan
(Epinephelus fuscoguttatus), kerapu lumpur (Epinephelus coioides) dan kerapu
sunu (Plectropomus leopardus).
sebanyak 1 783 ekor.
Total jumlah ikan kerapu yang tertangkap
Dari keempat jenis ikan kerapu, ikan kerapu lumpur
merupakan ikan kerapu yang paling banyak tertangkap yakni 755 ekor (42.34) dan
paling sedikit adalah kerapu tikus sebanyak 76 ekor (4.26 %). Gambar 4
memperlihatkan komposisi jumlah ikan kerapu yang tertangkap di Teluk
Lasongko selama penelitian.
Kerapu Sunu
29.11%
Kerapu Tikus
4.26%
Kerapu Macan
24.28%
Kerapu Lumpur
42.34%
Gambar 4. Presentase jumlah ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko
selama bulan Mei – Agustus 2007
Berdasarkan lokasi penangkapan, ikan kerapu paling banyak tertangkap di
Pasi Madongka (413 ekor) sedang paling sedikit tertangkap di Pasi Lasori (155
ekor). Ikan kerapu tikus paling banyak tertangkap di Pasi Bunta sebanyak 19 ekor
dan paling sedikit di Pasi Lasori dan Pasi Bone Marangi masing-masing sebanyak
2 ekor.
Selanjutnya, ikan kerapu macan paling banyak tertangkap di Pasi
Madongka sebanyak 118 ekor dan paling sedikit di Pasi Lasori sebanyak 32 ekor.
Ikan kerapu lumpur paling banyak tertangkap di Pasi Madongka sebanyak 149
ekor dan paling sedikit di Pasi Lasori sebanyak 76 ekor. Ikan kerapu sunu paling
banyak tertangkap di Pasi Madongka sebanyak 133 ekor dan paling sedikit di Pasi
32
Bone Marangi sebanyak 38 ekor. Lebih lengkapnya, jumlah ikan yang tertangkap
berdasarkan jenis dan lokasi penangkapannya dapat dilihat pada Gambar 5.
160
149
133
140
Jumlah Ikan (ekor)
120
119
118
120
112
97
95
100
84
78
76
80
70
60
58
60
52
51
45
38
32
40
82
38
19
20
2
Pasi Lasori
Pasi Bone
M arangi
16
13
7
2
17
0
Pasi Bawona
Kerapu Tikus
Pasi Bunta
Kerapu Macan
Pasi
M adongka
Pasi Bunging Pasi Katembe
Balano
Kerapu Lumpur
Kerapu Sunu
Gambar 5. Jumlah ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko berdasarkan
jenis dan lokasi penangkapannya selama bulan Mei – Agustus 2007
Gambar 6 memperlihatkan jumlah ikan kerapu yang tertangkap di Teluk
Lasongko berdasarkan presentase penutupan karang lokasi penangkapannya.
Terlihat bahwa lokasi penangkapan di Zona II memiliki hasil tangkapan yang
lebih banyak (1.255 ekor) dibanding lokasi penangkapan Zona I (528 ekor).
Demikian pula dengan masing-masing jenis ikan kerapu, ikan kerapu tikus,
macan, lumpur dan sunu lebih banyak tertangkap di Zona I dibanding Zona II.
600
500
Jumlah Ikan (ekor)
500
378
400
Kerapu Tikus
312
300
255
Kerapu Macan
Kerapu Lumpur
Kerapu Sunu
200
121
100
141
65
11
0
Zona I
Zona II
Gambar 6. Jumlah ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko berdasarkan
zona selama bulan Mei – Agustus 2007
33
Total berat ikan yang tertangkap selama penelitian mencapai 1.716,97 kg
atau 1,716 ton. Dari total berat tersebut, ikan kerapu lumpur memiliki total berat
tertinggi yakni 774,71 kg (45,12 %) diikuti oleh ikan kerapu sunu dengan total
berat 517,87 kg (30,16 %), ikan kerapu macan 376,90 (21,95 %) dan paling
sedikit adalah kerapu tikus dengan total berat 47,48 kg (2,77 %). Gambar 7
memperlihatkan presentase total berat ikan kerapu yang tertangkap untuk masingmasing jenis ikan
Kerapu Tikus
2.77%
Kerapu Macan
21.95%
Kerapu Sunu
30.16%
Kerapu Lumpur
45.12%
Gambar 7. Presentase total berat ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko
berdasarkan jenisnya selama bulan Mei – Agustus 2007
Seperti halnya jumlah ikan yang tertangkap, total berat ikan di Zona II lebih
tinggi dibanding di Zona I (Gambar 8). Total berat ikan yang tertangkap di Zona
II mencapai 1 293.95 kg (76.36 %) sedangkan di Zona I mencapai 423.02 kg
(24.64 %).
Zona I
24.64%
Zona II
75.36%
Gambar 8. Presentase total berat ikan yang tertangkap berdasarkan zona
penangkapan di Teluk Lasongko selama bulan Mei – Agustus 2007
34
600
533
Jum lah ikan (ekor)
500
384
400
Kerapu Tikus
336
Kerapu Macan
300
Kerapu Lumpur
222
200
100
135
Kerapu Sunu
97
62
14
0
Bubu
Pancing
Gambar 9. Jumlah ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko berdasarkan
jenis alat tangkap selama bulan Mei – Agustus 2007
Di Teluk Lasongko, alat tangkap yang digunakan oleh nelayan untuk
menangkap ikan kerapu terdiri dari alat tangkap bubu dan pancing. Dari kedua
jenis alat tangkap tersebut, alat tangkap bubu memiliki jumlah hasil tangkapan
yang lebih banyak dibanding alat tangkap pancing. Jumlah ikan kerapu yang
tertangkap dengan alat tangkap bubu mencapai 1 315 ekor (73.75 %) sedangkan
alat tangkap pancing mencapai 468 ekor (26.25 %). Lebih jelasnya, jumlah ikan
kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko berdasarkan jenis alat tangkap yang
digunakan dapat dilihat pada Gambar 9.
4.2 Hasil Tangkapan Maksimum Lestari Ikan Kerapu
Seperti telah dijelaskan bahwa ikan kerapu di Teluk Lasongko ditangkap
dengan menggunakan alat tangkap bubu dan pancing.
Dari kedua jenis alat
tangkap tersebut, alat tangkap bubu lebih banyak digunakan oleh nelayan (38.5%)
dibanding alat tangkap pancing (61.5%). Tabel 4 memperlihatkan perkembangan
jumlah alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Teluk Lasongko tahun 2000
– 2007. Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa jumlah alat tangkap pancing cenderung
konstan sedangkan alat tangkap bubu cenderung menurun, kendati terjadi
peningkatan pada tahun 2006 dan 2007.
35
Tabel 4. Jumlah alat tangkap di Teluk Lasongko tahun 2000 - 2007
Jumlah Alat Tangkap (unit)
Pancing
Bubu
2000
1.345
1
440
2
2001
437
1.345
3
2002
439
504
4
2003
440
390
5
2004
443
365
6
2005
441
362
7
2006
438
612
8
2007
438
693
Sumber : Diolah dari data statistik perikanan Kabupaten Buton (2008)
No
Tahun
Karena ikan kerapu di Teluk Lasongko ditangkap dengan menggunakan dua
jenis alat maka sebelum dilakukan pendugaan MSY terlebih dahulu dilakukan
standarisasi upaya. Sebelumnya dilakukan perhitungan nilai fishing power index
(FPI) dari masing-masing alat tangkap. Tabel 5 memperlihatkan upaya hasil
standarisasi dan total hasil tangkapan masing-masing jenis ikan kerapu di Teluk
Lasongko. Dapat dilihat bahwa upaya standar cenderung menurun, kendati terjadi
peningkatan pada tahun 2006 dan 2007. Penurunan drastis terjadi pada tahun
2002 di mana terjadi penurunan lebih dari setengah jumlah upaya tahun
sebelumnya. Penurunan ini terus berlanjut hingga tahun 2005 dan kemudian
meningkat pada tahun 2006 dan 2007, kendati jumlah upaya tersebut masih
sekitar setengah dari jumlah upaya pada tahun 2001.
Tabel 5. Jumlah upaya standar dan hasil tangkapan ikan kerapu di Teluk
Lasongko tahun 2000 - 2007
Upaya Standar (unit upaya)
No
Tahun
1
2
3
4
5
6
7
8
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2000
Kerapu
Tikus
110
94
66
66
71
42
74
50
Hasil tangkapan (ton)
Kerapu
Macan
Kerapu
Lumpur
Kerapu
Sunu
Kerapu
Tikus
Kerapu
Macan
Kerapu
Lumpur
Kerapu
Sunu
399
398
211
185
180
179
234
253
581
575
303
269
265
256
344
368
445
448
239
210
202
204
265
287
3.52
4.42
3.94
2.65
3.44
3.58
3.54
3.55
28.62
35.96
32.05
21.55
28.00
29.12
28.80
28.89
58.84
73.92
65.89
44.30
57.56
59.86
59.21
59.38
39.33
49.41
44.04
29.61
38.48
40.01
39.58
39.69
Sumber : Diolah dari data statistik perikanan Kabupaten Buton (2008)
Hasil tangkapan per satuan upaya atau catch per unit effort (CPUE) ikan
kerapu di Teluk Lasongko cenderung berfluktuasi dari tahun ke tahun untuk
36
masing-masing jenisnya (Gambar 10). Peningkatan yang signifikan terjadi pada
tahun 2002.
Kendati pada tahun 2003 terjadi penurunan, namun kemudian
meningkat kembali hingga mencapai nilai tertinggi pada tahun 2005, lalu menurun
kembali pada tahun 2006 dan 2007.
CPUE (ton/satuan upaya)
0.25
0.20
0.15
0.10
0.05
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
Kerapu Tikus
Kerapu Macan
Kerapu Lumpur
Kerapu Sunu
Gambar 10. Hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) ikan kerapu di Teluk
Lasongko tahun 2000 – 2007
Tabel 6. Koefisien regresi dan determinasi antara CPUE atau ln CPUE dengan
upaya standar
Koefisien Determinasi (R2)
Model
Model Fox
Schaefer
0.7196
0.7496
1
Kerapu tikus
Koefisien regresi
Model Schaefer
Model Fox
a
b
c
d
0.1014 -0.00066 -2.0841 -0.0123
2
Kerapu Macan
0.2011
-0.00031
-1.4209
-0.0028
0.7672
0.8140
3
Kerapu Lumpur
0.2860
-0.00030
-1.0676
-0.0019
0.7640
0.8133
4
Kerapu Sunu
0.2444
-0.00033
-1.2278
-0.0024
0.7638
0.8092
No
Jenis Ikan
Melalui metode regresi sederhana antara CPUE (model Schaefer) atau ln
CPUE (model Fox) dengan upaya standar diperoleh nilai koefisien regresi dan
koefisien determinasi (R2) untuk masing-masing jenis ikan kerapu seperti yang
ditunjukan pada Tabel 6. Dari Tabel 6 tersebut di atas dapat dilihat bahwa nilai
R2 untuk model Fox lebih besar dari model Schaefer sehingga model Fox lebih
cocok digunakan dalam perhitungan nila MSY dan fopt ikan kerapu.
37
Berdasarkan nilai koefisien regresi pada Tabel 5 kemudian dapat disusun
persamaan hubungan antara jumlah hasil tangkapan dengan upaya penangkapan
sebagai berikut :
- Kerapu tikus
: y = x.exp(-2.0841 – 0.0123x)
- Kerapu macan : y = x.exp(-1.4209 – 0.0028x)
- Kerapu lumpur : y = x.exp(-1.0676 – 0.0019x)
- Kerapu sunu
: y = x.exp(-1,2278 – 0.0024x)
70
65
60
Hasil tangkapan (ton)
55
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
25
75
125
175
225
275
325
375
425
475
525
575
625
675
725
775
825
Upaya (Satuan upaya)
Kerapu Tikus
Kerapu Macan
Kerapu Lumpur
Kerapu Sunu
Gambar 11. Kurva hubungan antara upaya penangkapan dan jumlah hasil
tangkapan ikan kerapu di Teluk Lasongko
Gambar 11 memperlihatkan kurva hubungan antara upaya penangkapan
dengan hasil tangkapan masing-masing jenis ikan kerapu di Teluk Lasongko.
Kurva-kurva tersebut berbentuk parabola asimetris yang menunjukkan bahwa
hasil tangkapan akan meningkat dengan bertambahnya jumah upaya hingga
mencapai
titik maksimal dan kemudian menurun walau terjadi penambahan
jumlah upaya.
38
Tabel 7. Nilai MSY dan fopt ikan kerapu di Teluk Lasongko
No
1
2
3
4
Jenis Ikan
Kerapu tikus
Kerapu Macan
Kerapu Lumpur
Kerapu Sunu
Fopt (unit upaya)
MSY (ton)
Total
81
357
526
417
3.72
31.73
66.57
44.90
Pancing
30
160
175
150
Bubu
51
197
351
267
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan model Fox diperoleh
nilai MSY dan fopt seperti yang ditunjukkan pada Tabel 7. Dari Tabel 7 tersebut
dapat dilihat bahwa ikan kerapu lumpur memiliki nila MSY tertinggi (66.57
ton/tahun) dan yang paling rendah adalah ikan kerapu tikus (3.72 ton/tahun).
Dengan menggunakan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach),
Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia menetapkan jumlah hasil
tangkapan yang diperbolehkan (JHB) sebesar 80 % dari MSY (Barani 2004; Mous
et al. 2005). Berdasarkan hal tersebut maka JHB ikan kerapu di Teluk Lasongko
adalah 2.98 ton pertahun untuk kerapu tikus, 25.38 ton pertahun untuk ikan
kerapu macan, 53.26 ton pertahun untuk kerapu lumpur dan 35.92 ton pertahun
untuk ikan kerapu sunu.
4.3 Frekuensi Panjang Ikan Kerapu
Tabel 8 memperlihatkan panjang rata-rata ikan kerapu untuk masing-masing
jenisnya. Dapat dilihat bahwa secara umum, jumlah ikan kerapu yang tertangkap
di zona dengan penutupan karang baik (Zona II) lebih dibanding pada zona
dengan penutupan karang rendah (Zona I). Demikian pula dengan panjang ratarata untuk masing-masing jenis ikan di mana panjang rata-rata ikan kerapu di zona
II lebih panjang dibanding pada zona I.
Tabel 8. Jumlah dan panjang ikan kerapu berdasarkan jenisnya
Zona I
No
Parameter
Zona II
Kerapu
tikus
11
Kerapu
macan
121
Kerapu
lumpur
255
Kerapu
sunu
141
Kerapu
tikus
65
Kerapu
macan
312
Kerapu
lumpur
500
Kerapu
sunu
378
25.22
34.59
39.34
36.54
26.68
37.94
41.21
39.52
4.72
5.74
6.52
5.03
5.58
6.39
5.24
5.21
1
Jumlah (ekor)
2
Panjang rata-rata (cm)
3
Standar deviasi (cm)
4
Panjang maksimum (cm)
47.40
65.50
74.20
63.40
49.40
68.20
78.30
68.70
5
Panjang minimum (cm)
10.09
13.40
13.50
13.70
11.50
14.40
14.50
13.50
39
Gambar 12 memperlihatkan panjang rata-rata ikan kerapu berdasarkan jenis
dan lokasi penangkapannya.
Terlihat bahwa panjang rata-rata ikan kerapu
tertinggi ditangkap di Pasi Madongka dan terpendek di Pasi Bawona.
45
Panjang rata-rata (cm)
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Pasi Lasori
Pasi Bone
Marangi
Pasi Bawona
Kerapu Tikus
Pasi Bunta
Kerapu Macan
Pasi
Madongka
Kerapu Lumpur
Pasi Bunging Pasi Katembe
Balano
Kerapu Sunu
Gambar 12. Panjang rata-rata ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko
bulan Mei – Agustus 2007
Berdasarkan jenisnya, ikan kerapu tikus terpanjang ditangkap di Pasi Bunta
dengan panjang 49.40 cm sedangkan terpendek tertangkap di Pasi Bawona dengan
panjang 10.09 cm. Ikan kerapu tikus terbanyak tertangkap berada pada selang
kelas 25.2 – 30.0 cm sebanyak 18 ekor dan paling sedikit berada pada selang kelas
45.1 – 50.0 sebanyak 3 ekor (Gambar 14). Selanjutnya, ikan kerapu macan paling
banyak tertangkap berada pada selang kelas 37.1 – 42.0 sebanyak 98 ekor dan
paling sedikit berada pada selang kelas 67.1 – 72.0 sebanyak 4 ekor (Gambar 15).
Ikan kerapu macan terpendek diperoleh dari Pasi Bone Marangi dengan panjang
13.4 cm dan terpanjang diperoleh dari Pasi Madongka dengan panjang 68.2 cm.
Ikan kerapu lumpur paling banyak tertangkap pada selang kelas 47.1 – 52.0
sebanyak 127 cm dan paling sedikit berada pada selang kelas 77.1 – 82.0
sebanyak 4 ekor (Gambar 16). Ikan kerapu lumpur terpendek ditangkap di Pasi
Lasori dengan panjang 13.5 cm sedangkan terpanjang ditangkap di Pasi
Madongka dengan panjang 78.3 cm. Ikan kerapu sunu paling banyak tertangkap
berada pada selang kelas 37.1 – 42.0 sebanyak 102 ekor dan paling sedikit berada
pada selang kelas 67.1 – 72.0 sebanyak 2 ekor (Gambar 17). Ikan kerapu sunu
terpendek ditangkap di Pasi Bunging Balano dengan panjang 13.5 cm sedangkan
terpanjang ditangkap di Pasi Bunta dengan panjang 68.7 cm.
40
3
13 Me i 2007
2
1
0
4
12,5
17,5
22,5
27,5
32,5
3 7,5
4 2,5
47,5
27 Me i 2007
3
2
1
0
12,5
17,5
22,5
27,5
3 2,5
37 ,5
4
42,5
47,5
10 Juni 2007
3
2
1
0
Frekuensi (ekor)
12,5
17,5
22,5
27,5
32 ,5
37,5
42,5
47 ,5
3
24 Juni 2007
2
1
0
3
12,5
17,5
22,5
27,5
3 2,5
37 ,5
42,5
47,5
8 Jul i 2007
2
1
0
3
12,5
17,5
22,5
27,5
1
2
3
4
32,5
37,5
42,5 47,5
22 Jul i 2007
2
1
0
5
6
3
7
8
5 Agustus 2007
2
1
0
1
4
2
3
4
5
6
7
8
19 Agu stus 2007
3
2
1
0
12.5 17.5 22.5 27.5 32.5 37.5 42.5 47.5
Panjang tengah kelas (cm)
Gambar 13. Histogram distribusi frekuensi panjang ikan kerapu tikus
41
16
14
12
10
8
6
4
2
0
14
13 Mei 2007
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
12
10
27 Mei 2007
8
6
4
2
0
12
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
10
10 Juni 2007
8
6
4
2
Frekuensi (ekor)
0
16
14
12
10
8
6
4
2
0
1
12
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
24 Juni 2007
2
3
4
5
6
7
8
9
10
10
11
12
8 Juli 2007
8
6
4
2
0
12
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
10
22 Juli 2007
8
6
4
2
0
14
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
12
10
5 Agustus 2007
8
6
4
2
0
14
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
12
10
8
19 Agustus 2007
6
4
2
0
14.5 19.5 24.5 29.5 34.5 39.5 44.5 49.5 54.5 59.5 64.5 69.5
Panjang tengah kelas (cm)
Gambar 14. Histogram distribusi frekuensi panjang ikan kerapu macan
42
16
13 Mei 2007
14
12
10
8
6
4
2
0
16
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
14
12
13
14
27 Mei 2007
12
10
8
6
4
2
0
18
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
16
12
13
14
24 Juni 2007
14
12
10
8
6
4
2
0
16
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
14
12
13
14
10 Juni 2007
Frekuensi (ekor)
12
10
8
6
4
2
0
18
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
16
12
13
14
8 Juli 2007
14
12
10
8
6
4
2
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
20
18
16
12
13
14
22 Juli 2007
14
12
10
8
6
4
2
0
18
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
16
12
13
14
5 Agustus 2007
14
12
10
8
6
4
2
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
18
19 Agustus 2007
16
14
12
10
8
6
4
2
0
14.5 19.5 24.5 29.5 34.5 39.5 44.5 49.5 54.5 59.5 64.5 69.5 74.5 79.5
Panjang tengah kelas (cm)
Gambar 15. Histogram distribusi frekuensi panjang ikan kerapu lumpur
43
14
13 Me i 2007
12
10
8
6
4
2
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
12
27 Me i 2007
10
8
6
4
2
0
1 4 ,5
1 9 ,5
2 4 ,5
2 9 ,5
34,5
39,5
4 4,5
4 9 ,5
5 4 ,5
18
5 9 ,5
6 4 ,5
6 9 ,5
10 Juni 2007
16
14
12
10
8
6
4
2
0
18
1 4 ,5
1 9 ,5
2 4 ,5
2 9 ,5
34,5
39,5
44,5
4 9,5
5 4 ,5
5 9 ,5
Frekuensi (ekor)
16
6 4 ,5
6 9 ,5
24 Juni 2007
14
12
10
8
6
4
2
0
1 4 ,5
1 9 ,5
2 4 ,5
2 9 ,5
34,5
39,5
4 4,5
4 9 ,5
5 4 ,5
5 9 ,5
6 4 ,5
6 9 ,5
12
8 Jul i 2007
10
8
6
4
2
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
12
11
12
22 Juli 2007
10
8
6
4
2
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
14
10
11
12
5 Agustus 2007
12
10
8
6
4
2
0
1
16
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
19 Agus tus 2007
14
12
10
8
6
4
2
0
14.5 19.5 24.5 29.5 34.5 39.5 44.5 49.5 54.5 59.5 64.5 69.5
Panjang tengah kelas (cm)
Gambar 16. Histogram distribusi frekuensi panjang ikan kerapu sunu
44
4.4 Parameter Pertumbuhan
Hasil estimasi panjang asimptotik (L∞) ikan kerapu di Teluk Lasongko
dengan menggunakan metode Powell-Wetherall adalah 62.34 cm untuk kerapu
tikus; 75.91 cm untuk ikan kerapu macan; 94.61 cm untuk kerapu lumpur; dan
kerapu sunu sebesar 75.68 cm. Nilai estimasi
L∞ yang diperoleh kemudian
digunakan sebagai dugaan awal untuk estimasi nilai koefisien pertumbuhan (K)
dengan menggunakan ELEFAN I. Hasil estimasi K yang diperoleh adalah 0.24
tahun-1 untuk kerapu tikus; 0.25 tahun-1 untuk kerapu macan; 0.31 tahun-1 untuk
ikan kerapu lumpur dan 0.21 tahun-1 untuk kerapu sunu.
Berdasarkan hasil estimasi parameter pertumbuhan maka dapat disusun
persamaan pertumbuhan van Bertalanffy sebagai berikut :
-
Ikan kerapu tikus
: Lt = 62.34 (1 – e-0.24 (t + 0.26))
-
Ikan kerapu macan
: Lt = 75.91 (1 – e-0.25 (t + 0.25))
-
Ikan kerapu lumpur
: Lt = 94.61 (1 – e-0.31 (t + 0.31))
-
Ikan kerapu sunu
: Lt = 75.68 (1 – e-0.29 (t + 0.21))
Dari persamaan pertumbuhan van Bertalanffy yang telah disajikan di atas
maka dapat dibuat grafik pertumbuhan ikan kerapu. Grafik pertumbuhan ikan
kerapu untuk masing-masing jenis dapat dilihat pada Gambar 17.
100
90
Panjang total (cm)
80
70
60
50
40
30
20
10
0
0
2.5
5.0
7.5
10.0
12.5
15.0
17.5
20.0
Umur (tahun)
Kerapu Macan
Kerapu Lumpur
Kerapu Sunu
Kerapu Tikus
Gambar 17. Grafik pertumbuhan ikan kerapu di Teluk Lasongko
45
Tabel 9. Parameter pertumbuhan ikan kerapu berdasarkan zona penangkapan
No
1
2
3
Jenis Ikan
Kerapu Macan
Kerapu Lumpur
Kerapu Sunu
L∞
69.23
86.11
70.84
Zona I
K
0.29
0.31
0.27
t0
- 0.24
- 0.21
- 0.25
L∞
74.24
93.32
74.43
Zona II
K
0.23
0.29
0.25
t0
- 0.27
- 0.28
- 0.24
Berdasarkan zona penangkapan, L∞ pada zona II lebih panjang dibanding
pada zona I (Tabel 9.). Dapat pula dilihat bahwa nilai K pada zona I lebih tinggi
dibanding zona II. Parameter pertumbuhan kerapu tikus pada masing-masing
zona tidak dilakukan karena ukuran contoh yang sedikit.
4.5. Laju Mortalitas dan Laju Eksploitasi
Laju mortalitas (Z), mortalitas alami (M), mortalitas penangkapan (F) dan
laju eksploitasi ikan kerapu di Teluk Lasongko dapat dilihat pada Tabel 10. Dapat
dilihat bahwa ikan kerapu tikus memiliki laju mortalitas paling tinggi di antara
keempat jenis ikan kerapu.
Tabel 10. Nilai Z, M, F dan E ikan kerapu di Teluk Lasongko
No
1
2
3
4
Jenis ikan
Kerapu tikus
Kerapu macan
Kerapu lumpur
Kerapu sunu
Z (tahun-1)
1.66
1.03
1.24
1.01
M (tahun-1)
0.82
0.49
0.59
0.49
F (tahun-1)
0.85
0.54
0.65
0.52
E(tahun-1)
0,51
0,53
0,52
0,51
Berdasarkan nilai-nilai Z, M dan F kemudian dapat diduga laju eksploitasi
untuk masing-masing jenis ikan kerapu di Teluk Lasongko. Laju eksploitasi (E)
dihitung dengan menggunakan persamaan E = F/Z. Nilai E dari masing-masing
jenis ikan kerapu dapat dilihat pada Tabel 10. Dari Tabel 10 tersebut dapat dilihat
bahwa laju eksploitasi dari keempat jenis ikan kerapu tersebut tidak jauh berbeda.
46
Tabel 11. Nilai Z, M, F dan E ikan kerapu berdasarkan zona penangkapan
No
1
2
3
4
1
2
3
4
Parameter
Zona I
Z (tahun-1)
M (tahun-1)
F (tahun-1)
E (tahun-1)
Zona II
Z (tahun-1)
M (tahun-1)
F (tahun-1)
E (tahun-1)
Kerapu Macan
Kerapu lumpur
Kerapu sunu
1.51
0.76
0.76
0.50
1.57
0.81
0.76
0.48
1.48
0.78
0.70
0.47
1.39
0.64
0.75
0.54
1.44
0.68
0.76
0.53
1.43
0.69
0.74
0.52
Berdasarkan zona penangkapannya, laju mortalitas total ikan kerapu di Zona
I lebih tinggi dibanding Zona II (Tabel 11). Mortalitas alami di Zona I cenderung
lebih tinggi dibanding mortalitas akibat penangkapan, sedangkan pada zona II
mortalitas akibat penangkapan lebih tinggi dibanding mortalitas alaminya.
Namun demikian, laju eksploitasi dari masing-masing zona penangkapan tidak
jauh berbeda.
5. PEMBAHASAN
5.1. Potensi Sumberdaya Ikan Kerapu
Penelitian tentang potensi sumberdaya ikan kerapu di Teluk Lasongko
belum pernah dilakukan sebelumnya.
Penelitian tentang potensi sumberdaya
perikanan pertama di Teluk Lasongko pertama kali dilakukan oleh Supardan
(2006), namun hanya mengkonfirmasikan besarnya potensi sumberdaya secara
umum. Supardan (2006) hanya menghitung potensi sumberdaya di perairan ini
berdasarkan kategori ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal, ikan karang
konsumsi dan ikan berkulit keras.
Secara umum, perikanan kerapu di Teluk Lasongko masih tergolong
tradisional dan berskala kecil. Alat tangkap yang digunakan nelayan untuk
menangkap ikan kerapu masih sederhana yaitu bubu dan pancing.
Menurut
Berkes (2003), perikanan tradisional dan berskala kecil dicirikan oleh penggunaan
alat tangkap yang tradisional seperti jaring, pancing dan perangkap serta memiliki
keanekaragaman jenis hasil tangkapan.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan selama penelitian dikerahui bahwa
ikan kerapu di Teluk Lasongko ditangkap dengan menggunakan alat tangkap bubu
dan pancing. Menurut nelayan, kualitas hasil tangkapan kerapu dengan alat
tangkap bubu yang lebih baik dibanding alat tangkap pancing. Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nababan (2006) yang menyatakan
bahwa nelayan di Sulawesi lebih memilih alat tangkap bubu dibanding pancing
karena hasil tangkapan bubu biasanya tidak luka, mempunyai fisik yang baik dan
dapat bertahan hidup lebih lama baik pada saat penangkapan, penampungan
maupun perjalanan ke negara tujuan eksport.
Selain itu, ikan kerapu hasil
tangkapan bubu mempunyai harga yang lebih mahal dibanding hasil tangkapan
pancing.
Potensi sumberdaya perikanan umumnya diekspresikan sebagai hasil
tangkapan maksimum lestari atau maximum sustainable yield (MSY). Menurut
Mous et al. (2000), idealnya nilai MSY ikan kerapu sebesar 1 ton per hektar
terumbu karang per tahun. Namun, Mous et al. (2000) juga menyatakan bahwa
untuk tujuan konservasi maka nilai MSY ikan kerapu harus memiliki nilai 0.5 ton
48
per hektar terumbu karang per tahun. Berdasarkan hal tersebut, dengan luas areal
terumbu karang 275.3 hektar maka idealnya nilai MSY ikan kerapu di Teluk
Lasongko adalah sebesar 275.3 ton pertahun sedang untuk tujuan konservasi
bernilai 137.65 ton. Tentunya nilai tersebut lebih besar dibanding nilai MSY yang
diperoleh dari penelitian ini untuk masing-masing jenis ikan kerapu. Rendahnya
nilai MSY ikan kerapu di Teluk Lasongko ini menunjukkan bahwa telah terjadi
penurunan stok untuk masing-masing jenis ikan kerapu.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa nilai MSY ikan kerapu tikus sangat
kecil dibanding jenis ikan kerapu lainnya. Ikan kerapu tikus merupakan jenis ikan
yang menjadi target utama penangkapan. Hal ini dapat dimengerti mengingat
harga ikan kerapu tikus lebih tinggi dibanding jenis kerapu lainnya. Harga ikan
kerapu tikus di tingkat pengumpul lokal berkisar Rp. 125 000 – Rp. 150 000 per
kg untuk ukuran super dengan berat > 1.3 kg/ekor, ukuran sedang berkisar
berkisar Rp. 50 000 – 75 000 per kg dengan ukuran 0.5 – 1.3 kg, sedang ukuran
kecil berkisar Rp. 40 000 – Rp 60 000 per kg dengan ukuran < 0.5 kg. Harga ikan
kerapu macan, lumpur dan sunu lebih rendah dari harga ikan kerapu tikus di atas
dengan perbedaan masing-masing Rp. 20 000 untuk setiap ukuran.
Kondisi
tersebut menyebabkan ikan kerapu tikus menjadi jarang diperoleh nelayan.
5.2. Laju Eksploitasi Ikan Kerapu
Ikan kerapu telah lama dimanfaatkan oleh nelayan di Teluk Lasongko. Pada
awalnya, ikan kerapu ini ditangkap untuk dimanfaatkan sebagai kebutuhan
makanan sehari-hari atau dijual di pasar-pasar tradisional dalam bentuk segar serta
diolah menjadi ikan kering. Namun sejak awal tahun 1990-an, ikan kerapu mulai
dieksploitasi secara intensif. Hal ini ditandai dengan masuknya kapal-kapal dari
Hongkong yang menampung ikan kerapu hidup hasil tangkapan nelayan di Teluk
Lasongko. Selain menampung ikan kerapu hasil tangkapan nelayan, kapal-kapal
dari Hongkong juga memperkenalkan metode penangkapan ikan dengan
menggunakan sianida. Sianida ini digunakan untuk membius ikan kerapu yang
bersembunyi di gua-gua karang dan berefek pada kerusakan terumbu karang.
Masa ini merupakan fase pertama dari perdagangan ikan kerapu hidup (Pet-Soede
dan Erdmann 1998; Thorbun 2003).
49
Seiring dengan semakin berkurangnya populasi ikan kerapu di Teluk
Lasongko, kapal-kapal dari Hongkong memindahkan daerah operasinya ke
perairan lain. Peran pengumpul ikan kerapu dari Hongkong ini kemudian diambil
alih oleh para pengumpul lokal. Terdapat beberapa pengumpul lokal di wilayah
Teluk Lasongko, terutama di Desa Madongka, Boneoge, Lolibu dan Lasori. Di
Desa Lolibu sendiri terdapat satu kelompok nelayan penangkap ikan kerapu yakni
Kelompok Nelayan Peduli Pesisir Pantai Lolibu. Kelompok ini memiliki anggota
24 orang nelayan dan ketua kelompoknya berperan sebagai pengumpul hasil
tangkapan kerapu anggotanya.
Selain ikan kerapu hasil tangkapan anggota
kelompok, ketua kelompok juga menerima hasil tangkapan nelayan yang bukan
anggota kelompok. Menurut Pet-Soede dan Erdmann (1998) dan Thorbun (2003),
beralihnya pengumpulan ikan kerapu hasil tangkapan nelayan dari kapal-kapal
Hongkong ke para pengumpul lokal merupakan fase kedua dari eksploitasi ikan
kerapu di suatu perairan.
Pada umumnya ikan yang berukuran besar merupakan target utama
penangkapan, sehingga ikan yang berukuran besar menjadi jarang ditemukan. Hal
ini dapat dilihat dari rata-rata panjang ikan yang tertangkap.
Panjang total
maksimal ikan kerapu tikus yang tertangkap adalah 49,40 cm, ikan kerapu macan
68,20 cm, kerapu lumpur 78,30 dan kerapu sunu 68, 70. Menurut Hemstra dan
Randall (1993), ikan kerapu tikus dapat mencapai panjang total maksimal 70 cm,
kerapu macan 95 cm, kerapu lumpur 120 cm dan kerapu sunu 120 cm. Koefisien
pertumbuhan (K) ikan kerapu di Teluk Lasongko lebih tinggi dan panjang
asimptotik (L∞) lebih rendah dibanding yang diperoleh beberapa peneliti di
beberapa perairan yang berbeda. Grandcourt (2005) menemukan nilai K dari
kerapu macan di Aldabra Atoll, Seychelles sebesar 0,20 dan L∞ sebesar 71,3 cm.
Selanjutnya, Tharwat (2005) menyatakan bahwa nilai K ikan kerapu lumpur di
Teluk Arab sebesar 0,15 dan L∞ sebesar 102,7 cm sedangkan Grandcourt et al.
(2008) menemukan nila K ikan kerapu lumpur di bagian Selatan Teluk Arab
sebesar 0.14 dan L∞ sebesar 97.9 cm. Nilai K ikan kerapu sunu di Filipina sebesar
0,18 dengan L∞ sebesar 95,4 cm (Mamauag et al. 2000).
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai E sebesar 0.51 untuk kerapu
tikus; 0.53 untuk ikan kerapu macan; 0.52 untuk kerapu lumpur; dan 0.51 untuk
50
kerapu sunu. Nilai tersebut menunjukkan bahwa 51 % kematian ikan kerapu
tikus disebabkan oleh kegiatan penangkapan nelayan sedangkan ikan kerapu tikus
sebesar 53 %, ikan kerapu sebesar 52 % dan ikan kerapu sunu sebesar 51 %. Nilai
tersebut sedikit lebih rendah jika dibanding nilai yang diperoleh Tharwat (2005)
yang menyatakan bahwa nilai E ikan kerapu lumpur di Teluk Arab sebesar 0,56.
Nilai E yang lebih besar didapatkan oleh Grandcourt et al. (2008) sebesar 0,80
untuk ikan kerapu lumpur di bagian Selatan Teluk Arab. Sedang nilai E ikan
kerapu sunu yang didapatkan oleh Mamauag et al., (2000) sebesar 0,78 di perairan
Coron dan 0,89 di perairan Guiuan Philipina. Hal ini menunjukkan bahwa laju
eksploitasi ikan kerapu di Teluk Lasongko masih lebih baik dibanding laju
eksploitasi di beberapa perairan tersebut.
Menurut Gulland (1970), laju eksploitasi optimal suatu sumberdaya ikan
sebesar 0,50 dimana besarnya mortalitas alami sama dengan mortalitas
penangkapan. Nilai E yang tidak jauh berbeda dengan 0,5 mengindikasikan bahwa
laju eksploitasi sumberdaya ikan kerapu di teluk Lasongko berada pada kondisi
optimal.
Kondisi tersebut mengindikasikan pula bahwa penurunan stok ikan
kerapu di Teluk Lasongko tidak disebabkan oleh kegiatan penangkapan ikan yang
dilakukan oleh nelayan.
Penurunan daya dukung habitat ikan kerapu di teluk Lasongko diduga
menjadi penyebab penurunan stok ikan kerapu di perairan ini. Penurunan daya
dukung habitat ini dapat dilihat dari presentase penutupan karang hidup. Dari
tujuh areal terumbu karang, terdapat tiga areal dengan presentase penutupan
karang kategori rendah yaitu Pasi Lasori, Pasi Bawona dan Pasi Bone Marangi
(35 – 36 %), sedangkan Pasi Bunta, Pasi Madongka, Pasi Lasoring Balano dan
Pasi Katembe memiliki presentase penutupan karang dengan kategori sedang
hingga baik (64,9 – 73,7). Namun demikian, ketiga areal terumbu karang dengan
kategori rendah tersebut mencakup 50 % dari luas keseluruhan terumbu karang di
teluk Lasongko. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa jumlah ikan yang
tertangkap pada ketiga areal tersebut sebesar 24, 64 % dari total hasil tangkapan.
Menurut Sluka et al. (2001), kelimpahan ikan karang sangat terkait dengan
kondisi terumbu karang sebagai habitatnya. Penurunan presentase penutupan
51
karang dapat menyebabkan penurunan stok suatu sumberdaya ikan di ekosistem
terumbu karang (Jones, 2004).
5.3. Strategi Pengelolaan Sumberdaya Ikan Kerapu
Secara konvensional, model pengelolaan sumberdaya perikanan dapat
dilakukan melalui pengaturan jumlah alat tangkap (input control), hasil tangkapan
(output control) atau ukuran-ukuran teknis (technical measures) seperti
pengaturan ukuran hasil tangkapan, lokasi penangkapan dan musim penangkapan
(Hoggart et al. 2006). Titik acuan (reference point) yang digunakan untuk
pengaturan jumlah alat tangkap dan hasil tangkapan adalah jumlah upaya
optimum dan MSY.
Pengaturan upaya penangkapan dimaksudkan untuk mengurangi laju
mortalitas akibat penangkapan (Post et al. 2003; Hoggart et al. 2006), serta
melindungi juvenil dan ikan-ikan dewasa (Coleman et al. 2000). Pengaturan
upaya penangkapan ini dapat dilakukan melalui pembatasan jumlah alat tangkap,
izin penangkapan dan ukuran alat tangkap (Jennings et al. 2001). Dari hasil
penelitian diketahui pula bahwa upaya optimum (fopt) dari masing-masing jenis
ikan kerapu adalah 81 satuan upaya untuk kerapu tikus; 357 satuan upaya untuk
kerapu macan; 417 satuan upaya untuk kerapu sunu dan 526 satuan upaya untuk
kerapu lumpur. Dapat dilihat bahwa upaya optimum ikan kerapu lumpur adalah
yang tertinggi dibanding ikan kerapu lainnya. Namun jika upaya optimum ikan
kerapu lumpur diterapkan, akan dapat membahayakan ikan kerapu lainnya.
Demikian pula jika diterapkan upaya optimum dari ikan kerapu sunu akan
membahayakan ikan kerapu macan dan kerapu tikus, sedangkan penerapan upaya
optimum ikan kerapu tikus akan berdampak pada tidak optimalnya pemanfaatan
ikan kerapu di Teluk Lasongko. Pilihan yang terbaik adalah penerapan upaya
optimum ikan kerapu macan yakni 357 unit upaya dengan rincian 160 unit alat
tangkap pancing dan 197 unit alat tangkap bubu. Namun demikian, pilihan
kebijakan ini harus disertai pula dengan adanya kebijakan pelarangan untuk
menangkap ikan kerapu tikus dalam kurun waktu tertentu.
Menurut King (1995), pengaturan lokasi penangkapan dapat dilakukan
melalui pelarangan terhadap kegiatan penangkapan selama waktu atau musim
tertentu (temporal closures) atau pada lokasi perairan tertentu (areal closures).
52
Menurut Heemstra dan Randall (1993), ikan kerapu tikus mencapai usia dewasa
secara seksual pertama kali pada umur 2 tahun. Oleh karenanya, perlu dilakukan
pelarangan penangkapan ikan kerapu tikus selama dua tahun. Pelarangan ini
dimaksudkan untuk memberi kesempatan pada ikan agar dapat tumbuh hingga
mencapai ukuran dewasa secara seksual serta menjaga proses recruitment di
perairan tersebut (Froese 2004).
Menurut Hoggart et al. (2006), pembatasan jumlah hasil tangkapan
didasarkan atas Total Allowable Catch (TAC) atau jumlah hasil tangkapan yang
diperbolehkan (JHB). Dari hasil penelitian diketahui bahwa JHB ikan kerapu di
Teluk Lasongko adalah 2.98 ton pertahun untuk kerapu tikus, 25.38 ton pertahun
untuk ikan kerapu macan, 53.26 ton pertahun untuk kerapu lumpur dan 35.92 ton
pertahun untuk ikan kerapu sunu. Menurut Mace (2001), dengan pendekatan
kehati-hatian maka nilai JHB yang diperoleh tidak boleh dipandang sebagai nilai
acuan yang harus dicapai melainkan nilai yang harus dihindari. Hal ini berarti
bahwa jumlah hasil tangkapan ikan kerapu di Teluk Lasongko harus dijaga agar
tidak mencapai nilai JHB tersebut di atas
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kendati laju eksploitasi
sumberdaya ikan kerapu di Teluk Lasongko telah optimal, ikan hasil tangkapan
nelayan sebagian besar berukuran kecil. Jumlah ikan yang tertangkap dengan
ukuran di bawah 40 cm adalah 68 ekor (89.47 %) untuk ikan kerapu tikus, 336
ekor ( 75.85 %) untuk kerapu macan, 355 ekor (47.02 %) untuk kerapu lumpur
dan 368 ekor (70.91 %). Kondisi ini jika terus berlanjut dapat mengganggu
proses peremajaan stok (stock recruitment) ikan kerapu karena ikan-ikan tersebut
tertangkap sebelum mencapai ukuran dewasa secara seksual pertama kali. Oleh
karenanya perlu adanya pembatasan ukuran hasil tangkapan ikan kerapu di
perairan ini.
Pembatasan ukuran ikan yang tertangkap dilakukan sebagai proteksi
terhadap kapasitas reproduksi ikan (Hoggart et al. 2006). Pembatasan ini
bertujuan agar ikan dapat mencapai ukuran minimum untuk bereproduksi paling
tidak satu tahun sebelum tertangkap atau menjaga sex rasio ikan-ikan yang
bersifat hermaprodit (Rhodes dan Warren-Rhodes 2005). Menurut Myers dan
Mertz (1998), penerapan strategi pengelolaan dengan penentuan panjang
53
minimum membuat stok ikan tahan terhadap tekanan kegiatan penangkapan yang
tinggi. Panjang minimum ikan yang boleh ditangkap ditentukan berdasarkan
panjang ikan pada saat dewasa secara seksual pertama kali.
Menurut Heemstra dan Randall (1993), hampir sebagian besar ikan kerapu
genus Cromileptes, Epinephelus dan Plectropomus mencapai ukuran dewasa
secara seksual pertama kali pada panjang total 25 – 35 cm dan mengalami
perubahan sex dari betina ke jantan pada panjang 55 cm. Dengan demikian, dapat
disarankan agar ukuran ikan kerapu yang boleh tertangkap haruslah berada pada
panjang 45 cm untuk ikan kerapu betina dan 70 cm untuk ikan kerapu jantan.
Pola manajemen dengan pembatasan ukuran ikan yang tertangkap ini telah
dilakukan di Queensland, Australia dengan ukuran minimum 50 cm untuk kerapu
macan (Pears, 2005), di Great Barrier Reef dengan ukuran minimum 38 cm untuk
kerapu sunu (John et al. 2001), di Teluk Arab dengan ukuran minimum 42 – 50
cm untuk ikan kerapu lumpur (Tharwat 2005), serta black grouper (Epinephelus
striatus) di perairan Dry Tortugas, Florida dengan ukuran minimum 55,9 cm (Ault
et al. 2006). Seluruh ukuran minimum yang boleh tertangkap tersebut didasarkan
pada ukuran minimum ikan kerapu pada saat dewasa secara seksual pertama kali.
Selanjutnya, dari hasil penelitian diketahui bahwa penurunan stok ikan
kerapu di Teluk Lasongko disebabkan oleh penurunan daya dukung habitat, yakni
penurunan presentase penutupan karang hidup di perairan ini. Secara alamiah,
proses perbaikan terumbu karang yang kondisinya sudah rusak relatif lebih lama
dan membutuhkan kondisi lingkungan yang betul-betul tidak terganggu oleh
aktivitas manusia. Upaya peningkatan presentase penutupan karang hidup dapat
dilakukan
dengan
mengembangkan
teknik
tranplantasi
karang
(coral
transplantation) atau pengembangan karang buatan (artificial reef).
Transplantasi karang merupakan suatu upaya memperbanyak koloni karang
dengan metode fragmentasi dimana koloni tersebut diambil dari suatu induk
koloni tertentu (Edward dan Gomez 2008). Tujuan transplantasi karang adalah
mempercepat regenerasi dari terumbu karang dan peningkatan kualitas habitat
karang. Selanjutnya, Edward dan Gomez (2008) menjelaskan bahwa transplantasi
karang secara langsung lebih murah dibanding melalui proses budidaya. Di Teluk
Lasongko, upaya transplantasi karang ini dapat dilakukan pada Pasi Lasori dan
54
Pasi Bawona, di mana kegiatan penangkapan lebih sedikit dibanding areal
terumbu karang lainnya.
Dibanding transplantasi karang, pembuatan karang buatan lebih diarahkan
untuk meningkatkan kelimpahan ikan karang (Rilov dan Benayahu 2000). Di
Teluk Lasongko, pengembangan karang buatan ini telah dilakukan melalui
program Marine and Coastal Resources Management Program (MCRMP) serta
Program Mitra Bahari. Karang buatan tersebut ditempatkan di beberapa lokasi
yakni di Pasi Bunta, Pasi Madongka dan Pasi Lasoring Balano dan Pasi Bawona.
Sayangnya tidak ada data tentang tingkat keberhasilan program ini.
Oleh
karenanya, pemantauan dan evaluasi serta pengawasan sangat penting untuk
dilakukan.
Dalam implementasinya, strategi pengelolaan seperti yang telah dijelaskan
di atas memerlukan pengawasan yang baik.
Di sisi lain, pemerintah daerah
(dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton) sebagai otoritas
regulasi pengelolaan memiliki berbagai keterbatasan, terutama armada kapal dan
petugas pengawas. Untuk mengatasi permasalahan ini, keterlibatan masyarakat di
Teluk Lasongko sangat diperlukan agar strategi pengelolaan sumberdaya
perikanan dapat berjalan dengan baik.
Strategi pengelolaan sumberdaya
perikanan dengan melibatkan masyarakat lokal ini dikenal sebagai pengelolaan
perikanan berbasis masyarakat (community-based fisheries management).
Menurut Satria (2006) pengelolaan perikanan berbasis masyarakat merupakan
suatu pendekatan di mana masyarakat diberi peluang dan tanggung jawab untuk
mengelola sumberdaya perikanannya.
Model pengelolaan berbasis masyarakat yang baik harus melibatkan
seluruh pemangku kepentingan seperti aparat pemerintah desa, tokoh masyarakat,
nelayan, pengusaha perikanan dan lembaga swadaya masyarakat lokal. Di Teluk
Lasongko, keterlibatan masyarakat ini sebenarnya telah terjalin dengan
terbentuknya beberapa kelompok masyarakat pengawas (POKWASMAS) oleh
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton. Kelompok-kelompok ini dapat
ditemukan di beberapa desa seperti di Desa Madongka, Boneoge, Wajogu, Lolibu
dan Lasori.
Agar proses pengelolaan berjalan dengan baik maka kelompok-
kelompok masyarakat tersebut harus diberi penguatan-penguatan kemampuan
55
tentang lingkungan hidup, keberlanjutan lingkungan, ekonomi, sosial dan
kelembagaan, ekologi sumberdaya, cara pengelolaan teknis dan adaptif (Tulungen
et al. 2006). Selain itu, pemerintah daerah juga harus meningkatkan pemahaman
terhadap kelompok pengawas tentang batasan dan ukuran-ukuran pengelolaan
seperti jumlah upaya yang diperbolehkan, ukuran alat tangkap, ukuran ikan yang
tertangkap serta area penangkapan ikan.
6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan, dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Jumlah hasil tangkapan maksimum lestari ikan kerapu di Teluk Lasongko
adalah 3.72 ton/tahun untuk kerapu tikus; 31.73 ton/tahun untuk kerapu
macan, 66.57 ton/tahun untuk kerapu lumpur dan 44.90 ton/tahun untuk
kerapu sunu. Jumlah upaya optimum yang dapat diterapkan adalah 357 unit
upaya dengan rincian 160 unit pancing dan 197 unit bubu.
2. Laju eksploitasi ikan kerapu di Teluk Lasongko adalah 0.51 untuk kerapu
tikus; 0.53 untuk kerapu macan, 0.52 untuk kerapu lumpur dan 0.51 untuk
kerapu sunu.
3. Secara umum, laju eksploitasi ikan kerapu di Teluk Lasongko telah mencapai
kondisi optimal
4. Penurunan stok sumberdaya ikan kerapu di teluk Lasongko disebabkan oleh
menurunnya daya dukung habitat. Penurunan daya dukung habitat ini dapat
dilihat berdasarkan penurunan presentase penutupan karang hidup akibat
penggunaan metode penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing)
pada era 1990-an.
6.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian maka disarankan adanya kajian evaluasi tingkat
keberhasilan rehabilitasi terumbu karang yang telah dilakukan di Teluk Lasongko.
Kajian ini penting dalam rangka meningkatkan daya dukung habitat di perairan
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar S, Sudaryanto. 2000. Pembenihan dan Pembesaran Kerapu Bebek.
Cetakan I. Jakarta : PT. Penebar Swadaya.
Ault JS et al. 2006. Building sustainable fisheries in florida’s coral reef
ecosystem: positive signs in the Dry Tortugas. Bulletin of Marine Science, 78
(3) : 633–654.
Barani HM. 2004. Pemikiran percepatan pembangunan perikanan tangkap melalui
gerakan nasional. Makalah Falsafah Sains. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor:
IPB.
Berkes F. 2003. Alternatives to conventional management: lessons from smallscale fisheries. Environments. 31(1):5-19.
Chan P. 2000. The industry perspective : wholesale and retail marketing aspect
of the Hong Kong live reef food fish trade. SPC Live Reef Fish Information
Bulletin No. 7. pp 3 – 7.
Chan P. 2000. Current status of the live reef food fish trade base in Hong Kong.
SPC Live Reef Fish Information Bulletin No. 7. pp 7 – 9.
Cochrane KL. 2002. A Fishery Manager’s Guide Book. Management Measures
and Their Application. Rome : FAO Fisheries Technical Paper. No. 424.
231 pp
Coleman FC et al., 2000. Long-lived reef fishes : the grouper-snapper complex.
Fisheries. 2 (3) : 14 – 21
Dayton PK, Thrush S, Coleman FC. 2002. Ecological Effects of Fishing in Marine
Ecosystems of the United States. Arlington, Virginia : Pew Oceans
Commission. 44 pp
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton. 2008. Statistik Perikanan
Tangkap Kabupaten Buton 2000 – 2007. Buton : DKP Kabupaten Buton
Edwards AJ, Gomez ED. 2008. Konsep dan Panduan Restorasi Terumbu:
Membuat Pilihan Bijak di Antara Ketidakpastian. Yusri S, Estradivari,.
Wijoyo NS, Idris, Penerjemah. Jakarta: Yayasan TERANGI. Terjemahan dari
Reef Restoration Concepts and Guidelines: Making Sensible Management
Choices in the Face of unCertainty. iv + 38 hlm.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 1995.
Responsible Fisheries. Rome : FAO. pp 41.
Code of Conduct for
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2003. The Ecosystem Approach to
Fisheries. FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries. No. 4, Suppl.
2. Rome : FAO. Pp 112.
Froese R, Binohlan C. 2000. Empirical relationship to estimate asymptotic
length, length at first maturity and length at maximum yield per recruit in
fishes, with a simple method to evaluate length frequency data. J. Fish Biol.
56 : 758 – 773
58
Froese R, Binohlan C. 2003. Simple methods to obtain preliminary growth
estimates for fishes. J. Appl. Ichthyol. 19 : 376–379
Froese R. 2004. Keep it simple: three indicators to deal with overfishing.
Fisheries and Fisheries. 5 : 86–91
Garcia SM, Cochrane KL. 2005. Ecosystem approach to fisheries: a review of
implementation guidelines. ICES Journal of Marine Science. 62: 311-318.
Gayanilo Jr FC, Sparre P, Pauly D. 2005. Fisat II User Guide. Rome : Food and
Agriculture Organization of The United Nations.
Grandcourt EM. 2005. Demographic Characteristics of Selected Epinepheline
Groupers (Family: Serranidae; Subfamily: Epinephelinae) from Aldabra
Atoll, Seychelles. Washington DC : National Museum of Natural History,
Smithsonian Institution.
Grandcourt EM, Abdessalaam TZA, Francis F, Al Shamsi AT. 2008. Population
biology and assessment of the orange-spotted grouper, Epinephelus coioides
(Hamilton, 1822), in the southern Arabian Gulf. Fisheries Research.
74 : 55–68.
Gulland JA. 1983. Fish Stock Assessment : A Manual of Basic Method.
Chichester, UK : Wiley Interscience – FAO Series on Food and Agriculture.
Hall S. 2002. The Use of Technical Measures in Responsible Fisheries: Area and
Time Restrictions. In Cochrane KL (ed.). A Fishery Manager’s Guidebook.
Management Measures and their Application. FAO Fisheries Technical
Paper. No. 424. Rome : FAO. 2002. 231p.
Hanchet SM, Blackwell RG, Dunn A. 2005. Development and evaluation of catch
per unit effort indices for southern blue whiting (Micromesistius australis) on
the Campbell Island Rise, New Zealand. ICES Journal of Marine Science.
62: 1131-1138
Harley SJ, Myers RA, Dunn A. 2001. Is catch-per-unit-effort proportional to
abundance? Can. J. Fish. Aquat. Sci. 58: 1760–1772
Heemstra PC, Randall JE. 1993. FAO Species Catalogue. Vol. 16. Grouper of
the World (Family Serranidae, Subfamily Epinephelinae). An Annoted and
Illustrated Catalogue of the Grouper and Lyretail Species Known to Date.
Rome : FAO Fisheries Synopsis.125 (16). 242 pp
Hinman K. 1998. Ecosystem Principles, Overfishing and Bycatch in Marine
Fisheries. Presented During a Panel on Fisheries Ecology at a Conference
Sponsored by American Society of Lymnology and Oceanography and the
Ecological Society of America, St. Louis, Missouri, June 11, 1998.
Hoggarth DD et al. 2006. Stock Assessment for Fishery Management – A
Framework Guide to the Stock Assessment Tools of the Fisheries
Management Science Programme (FMSP). FAO Fisheries Technical Paper.
No. 487. Rome: FAO. 261pp
Holden S, Kirkwood G, Bravington M. 1995. Length Frequency Distribution
Analysis - the LFDA Package: User Manual. London : MRAG Ltd. 110 pp
59
Holland DS. 2003. Integrating spatial management measures into traditional
fishery management systems: the case of the Georges Bank multispecies
groundfish fishery. ICES Journal of Marine Science, 60: 915–929.
Israel DC, Banzon CP. 1997. Overfishing in the Philippine Commercial Marine
Fisheries Sector. Discussion Paper Series NO. 97-01. Makati City: Philippine
Institute for Development Studies. 25 pp
Jennings S, Kaiser MJ, Reynolds JD. 2001. Marine Fisheries Ecology. United
Kingdom : Black Well Science Ltd
John SJ, Russ GR, Brown IW, Squire LC. 2001. The diet of the large coral reef
serranid Plectropomus leopardus in two fishing zones on the Great Barrier
Reef, Australia. Fish. Bull. 99 : 180–192
Jones GP, McCormick MI, Srinivasan M, Eagle JV. 2004. Coral decline threatens
fish biodiversity in marine reserves. PNAS. Volume 101 No 21: 8251 – 8253.
(www.pnas.org/cgi/doi/10.1073/pnas.0401277101)
Kilduff P, Carmichael J, Latour R. 2009. Guide to Fisheries Science and Stock
Assessments. Atlantic States Marine Fisheries Commission. 66 pp
King M. 1995. Fisheries Biology: Assesment and Management. United Kingdom :
Black Well Science Ltd
Kirkwood GP, Aukland R, Zara SJ. 2001. Length Frequency Distribution
Analysis (LFDA), Version 5.0. London, UK : MRAG Ltd
Kuiter, R.H. 1996. Guide to Sea Fishes of Australia. A comprehensive Reference
for Divers and Fishermen. London : New Holland (Publishers) Ltd. 433. p.
Lirman D. 2000. Fragmentation in the branching coral Acropora palmata
(Lamarck): growth, survivorship, and reproduction of
colonies and
fragments. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology. 251 : 41–
57
Larkin PA. 1977. An epitaph for the concept of maximum sustained yield.
Journal Transactions of The American Fisheries Society. Vol. 106, No. 1.
Lemay J. 2007. A study of the surplus production model [thesis]. Universite
Laval.
Mace PM. 2001. A new role for MSY in single-species and ecosystem approaches
to fisheries stock assessment and management. Fish and Fisheries. 2 : 2 - 32
Mamauag SS, Donaldson TJ, Pratt VR, McCullough B. 2000, Age and size
structure of the leopard coral grouper, Plectropomus leopardus (Serranidae:
Epinephelinae), in the live reef fish trade of the Philippines. Proceedings of
International Coral Reef Symposium. Bali, Indonesia. Vol 2.
Maunder MN et al. 2006. Interpreting catch per unit effort data to assess the status
of individual stocks and communities. ICES Journal of Marine Science.
63: 1373-1385
McGilvray F, Chan T. 2003. Market and industry demand issues in the live reef
food fish trade. SPC Live Reef Fish Information Bulletin No. 11 : 36 – 39
60
Mees CC, Rousseau J. 1996. Management of Multi-species tropical fisheries.
Final Report to ODA. FMSP Project R5484. London : MRAG Ltd. 193 pp.
Mous PJ, Pet-Soede L, Erdman M, Cesar HSJ, Sadovy Y, Pet JS. 2000. Cyanide
fishing on indonesian coral reef for the live food fi sh market - What is the
problem. SPC Live Reef Fish Information Bulletin No. 7 : 20 – 26
Mous PJ et al. 2005. Policy needs to improve marine capture fisheries
management and to define a role for marine protected areas in Indonesia.
Fisheries Management and Ecology, No. 12 : 259–268
Morales-Nin B. 1991. Determination of growth on bony fishes based on microstructures in otolith. FAO Doc.Tec.Pesca (322) : 58 pp.
Murawski SA. 2000. Definitions of overfishing from an ecosystem perspective.
ICES Journal of Marine Science, 57: 649–658.
Myers RA, Mertz G. 1998. The limits of exploitation: a precautionary approach.
Ecol. Appl. 8: 165-169.
Nababan BO. 2006. Analisis dampak perdagangan ikan karang hidup konsumsi
(Life Reef Fish Food) terhadap sumberdaya perikanan. Studi kasus di
Provinsi Sulawesi Selatan [tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana IPB
Pauly D.1980. A selection of simple methods for the assessment of tropical fish
stocks. FAO Fisheries Circular. No. 729. 54 p.
Pauly D. 1984. Fish population dynamics in tropical waters : a manual for use
with programmable calculators. ICLARM Stud.Rev. 8 : 325 pp
Pears RJ. 2005. Comparative demography and assemblage structure of serranid
fishes: implications for conservation and fisheries management [tesis].
School of Marine Biology and Aquaculture. Australia : James Cook
University
Pet-Soede L. Erdmann M. 1998. An overview and comparison of destructive
fishing practices in Indonesia. SPC Live Reef Fish Information Bulletin No.
4. pp 28 – 36
Pilling GM, Mees CC, Barry, Kirkwood G, Nicholson S, Branch T. 1999. Growth
Parameter Estimates and the Effect of Fishing on Size-Composition and
Growth of Snappers and Emperors: Implications for Management. Final
Technical Report. London : MRAG. 373 pp
Post JR, Mushens C, Paul A, Sullivani M. 2003. Assessment of alternative harvest
regulations for sustaining recreational fisheries: model development and
application to bull trout. North American Journal of Fisheries Management.
23 : 22 – 34
Ralston, S. (1987). Mortality Rates of Snappers and Groupers. In J.J. Polovina and
S. Ralston (Eds.). Tropical Snappers and Groupers: Biology and Fisheries
Management. Boulder and London : Westview Press. p375-404.
Rhodes KL, Warren-Rhodes K. 2005. Management Options for Fish Spawning
Aggregations of Tropical Reef Fishes: A Perspective. Report prepared for the
Pacific Island Countries Coastal Marine Program, The Nature Conservancy.
TNC Pacific Island Countries Report No. 7/05.
61
Rilov G, Benayahu Y. 2000. Fish assemblage on natural versus vertical artificial
reefs: the rehabilitation perspective. Marine Biology. 136: 931 - 942
Sadovy YJ, Pet J. 1998. Wild collection of juvenilles for grouper mariculture:
just another capture fishery? SPC Live Reef Fish Information Bulletin.
No. 4 : 36 – 39
Sadovy YJ et al., 2003. While Stocks Last: The Live Reef Food Fish Trade. Asian
Development Bank. 146 pp
Sadovy YJ. 2005. Troubled times for trysting trion: three aggregating groupers
in the live reef food-fish trade. SPC Live Reef Fish Information Bulletin No.
14 : 3 – 6
Simbolon D. 2006. Pengembangan perikanan pole and line yang berkelanjutan di
perairan Sorong [disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana IPB
Sissenwine MP. 1978. Is MSY an adequate foundation for optimum yield ?
Fisheries, 3 (6) : 22-24 dan 37 - 42
Sluka RD, Chiappone M, Sealey KMS. 2001. Influence of habitat on grouper
abundance in the Florida Keys, U.S.A. Journal of Fish Biology. 58 : 682–700
Sparre P, Venema SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku I :
Manual. Widodo J, Merta IGS, Nurhakim S, Badrudin M, Penerjemah.
Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Terjemahan dari
Introduction to Tropical Fish Stock Assessment. Part 1: Manual.
Supardan A. 2006. Maximum Sustainable Yield (MSY) dan aplikasinya pada
kebijakan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko Kabupaten
Buton [disertasi]. Bogor : Sekolah Pasca Sarjana IPB.
Tharwat AA. 2005. Stock assessment of orange-spotted grouper Epinephelus
coioides inhabiting the Arabian Gulf at Saudi Arabia. Saudi Journal of
Biological Sciences. 12 (2) : 81-89
Tucker Jr JW. 1999. Species profile grouper aquaculture. SRAC Publication No.
721.
Ward T, Tarte D, Hegerl E, Short K. 2002. Ecosystem-Based Management of
Marine Capture Fisheries. World Wide Fund for Nature Australia, 80 pp
Wakeford RC, Pilling GM, O’Neill CJ, Hine A. 2004. Investigation of the
Implications of Different Reef Fish Life History Strategies on Fisheries
Management. FMSP Final Tech. Rep. London : MRAG. 139pp.
Wallace RK, Fletcher KM. 1997. Understanding Fisheries Management : A
Manual for Understanding the Federal Fisheries Management Process,
Including Analysis of the 1996 Sustainble Fisheries Act. Second Edition. A
Publication of Auburn University and the University of Mississipi. USA
Yearsley GK, Last PR, Ward, RD. 1999. Australian Seafood Handbook, an
Identification Guide to Domestic Species. Hobart, Australia : CSIRO Marine
Research.
LAMPIRAN
63
Lampiran 1. Perhitungan nilai MSY ikan kerapu tikus di Teluk Lasongko
a. Hasil tangkapan dan CPUE masing-masing alat tangkap
No
Tahun
1
2
3
4
5
6
7
8
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Jumlah Alat Tangkap
Hasil
CPUE
Bubu
tangkapan (ton/ unit
(Unit)
(ton)
upaya)
Pancing
Biasa (Unit)
0.81
1.20
1.25
0.63
0.92
0.89
0.88
0.92
37
32
23
22
24
14
25
17
0.0216
0.0373
0.0552
0.0279
0.0378
0.0616
0.0347
0.0540
Hasil
tangkapan
(ton)
CPUE
ton/ unit
upaya)
2.71
3.23
2.69
2.03
2.53
2.69
2.67
2.64
0.0310
0.0431
0.0510
0.0387
0.0447
0.0798
0.0454
0.0666
87
75
53
52
57
34
59
40
b. Perhitungan FPI
No
Jenis Alat
Tangkap
1
Pancing
2
Bubu
Hasil Tangkapan
(ton)
Upaya
(unit)
CPUE (ton/unit
upaya)
FPI
7.48
195
0.0383
0.5947
21.18
329
0.0644
1.0000
c. Hasil tangkapan, upaya standar dan CPUE model Schaefer dan Fox
CPUE
Ln CPUE
3.52
(Model Schaefer)
0.0321
(Model Fox)
-3.4396
4.42
3.94
2.65
3.44
3.58
3.54
3.55
0.0471
0.0595
0.0404
0.0485
0.0846
0.0480
0.0715
No
Tahun
Upaya Standar
(unit upaya)
Hasil tangkapan
(ton)
1
2000
110
2
3
4
5
6
7
8
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
94
66
66
71
42
74
50
Koefisian regresi : a = 0.1014
c = -2.0841
b = -0.00066
d = -0.0123
2
Koefisien determinasi (R ) : Model Schaefer = 0.7196
Model fox
= 0.7496
1
1
MSY = − e c −1 = −
e ( −2.0841)−1 = 3,72 ton
d
(−0.0123)
f opt = −
1
1
=
= 81 unit upaya
d (−0.0123)
-3.0555
-2.8218
-3.2089
-3.0255
-2.4693
-3.0362
-2.6376
64
Lampiran 2. Perhitungan nilai MSY ikan kerapu macan di Teluk Lasongko
a. Hasil tangkapan dan CPUE masing-masing alat tangkap
No
Tahun
1
2
3
4
5
6
7
8
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Pancing
Biasa (Unit)
214
214
113
100
97
96
126
136
Hasil
tangkapan
(ton)
6.59
9.72
10.17
5.09
7.45
7.24
7.12
7.45
Jumlah Alat Tangkap
CPUE
Bubu
(ton/unit
(Unit)
upaya)
0.0308
321
0.0455
321
0.0898
170
0.0511
149
0.0768
145
0.0752
145
0.0565
189
0.0549
204
Hasil
tangkapan
(ton)
22.03
26.24
21.89
16.46
20.56
21.88
21.68
21.44
CPUE
(ton/unit
upaya)
0.0686
0.0818
0.1290
0.1102
0.1414
0.1514
0.1147
0.1053
b. Perhitungan FPI
Jenis Alat
Tangkap
No
1
Pancing
2
Bubu
Hasil
Tangkapan (ton)
Upaya (unit)
CPUE (ton/unit
upaya
FPI
60.82
1 095
0.0555
0.3607
172.17
1 118
0.1539
1.0000
c. Hasil tangkapan, upaya standar dan CPUE model Schaefer dan Fox
No
Tahun
1
2
3
4
5
6
7
8
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Upaya Standar
(unit upaya)
399
398
211
185
180
179
234
253
Hasil
tangkapan (ton)
28.62
35.96
32.05
21.55
28.00
29.12
28.80
28.89
Koefisian regresi : a = 0.2011
CPUE
Ln CPUE
(Model Schaefer)
0.0718
0.0904
0.1522
0.1163
0.1552
0.1624
0.1229
0.1144
(Model Fox)
-2.6337
-2.4038
-1.8823
-2.1517
-1.8629
-1.8176
-2.0968
-2.1681
c = -2.0841
b = -0.00031
d = -0.0028
Koefisien determinasi (R2) : Model Schaefer = 0.7672
Model fox
= 0.8140
1
1
MSY = − e c −1 = −
e ( −2, 0841)−1 = 31,73 ton
d
(−0.0028)
f opt = −
1
1
=
= 357 unit upaya
d (−0.0028)
65
Lampiran 3. Perhitungan nilai MSY ikan kerapu lumpur di Teluk Lasongko
a. Hasil tangkapan dan CPUE masing-masing alat tangkap
No
Tahun
1
2
3
4
5
6
7
8
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Pancing
Biasa
(Unit)
150
168
92
73
62
84
81
95
Hasil
Tangkapan
(ton)
13.55
19.98
20.90
10.46
15.30
14.89
14.63
15.31
Jumlah Alat Tangkap
CPUE
Bubu
(ton/unit
(Unit)
upaya)
0.0904
475
0.1187
455
0.2261
238
0.1440
218
0.2460
221
0.1766
197
0.1810
287
0.1612
301
Hasil
Tangkapan
(ton)
45.28
53.94
44.99
33.84
42.26
44.97
44.57
44.07
CPUE
(ton/unit
upaya)
0.0954
0.1185
0.1893
0.1553
0.1916
0.2286
0.1555
0.1465
b. Perhitungan FPI
Jenis Alat
Tangkap
No
Hasil Tangkapan
(ton)
Upaya
(unit)
CPUE (ton/unit
upaya
FPI
1
Pancing
125
806
0.1552
0.7080
2
Bubu
354
1615
0.2192
1.0000
c. Hasil tangkapan, upaya standar dan CPUE model Schaefer dan Fox
No
Tahun
Upaya Standar
(unit upaya)
Hasil Tangkapan
(ton)
1
2
3
4
5
6
7
8
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
581
575
303
269
265
256
344
368
58.84
73.92
65.89
44.30
57.56
59.86
59.21
59.38
Koefisian regresi : a = 0.2866
CPUE
ln CPUE
(Model Schaefer)
0.1013
0.1287
0.2174
0.1645
0.2175
0.2334
0.1722
0.1613
(Model Fox)
-2.2899
-2.0506
-1.5260
-1.8048
-1.5254
-1.4548
-1.7593
-1.8244
c = -1.0676
b = -0.00030
d = -0.0024
Koefisien determinasi (R2) : Model Schaefer = 0.7640
Model fox
= 0.8133
1
1
MSY = − e c −1 = −
e ( −1.0676 )−1 = 66.57 ton
d
(−0.0024)
f opt = −
1
1
=
= 526 unit upaya
d (−0,0024)
66
Lampiran 4. Perhitungan nilai MSY ikan kerapu sunu di Teluk Lasongko
a. Hasil tangkapan dan CPUE masing-masing alat tangkap
No
Tahun
1
2
3
4
5
6
7
8
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Pancing
Biasa
(Unit)
150
140
69
63
66
56
79
82
Hasil
Tangkapan
(ton)
9.06
13.36
13.97
6.99
10.23
9.95
9.78
10.24
Jumlah Alat Tangkap
CPUE
Bubu
(ton/unit
(Unit)
upaya)
0.0604
350
0.0956
359
0.2035
195
0.1114
170
0.1559
161
0.1771
169
0.1232
215
0.1243
234
Hasil
Tangkapan
(ton)
30.27
36.05
30.08
22.62
28.25
30.06
29.80
29.46
CPUE
(ton/unit
upaya)
0.0865
0.1004
0.1539
0.1333
0.1759
0.1783
0.1388
0.1257
b. Perhitungan FPI
No
Jenis Alat
Tangkap
1
Pancing
2
Bubu
Hasil Tangkapan
(ton)
Upaya (unit)
CPUE (ton/unit
upaya
FPI
84
705
0.1186
0.6359
237
1268
0.1866
1.0000
c. Hasil tangkapan, upaya standar dan CPUE model Schaefer dan Fox
CPUE
Ln CPUE
(Model Schaefer)
(Model Fox)
445
Hasil
Tangkapan
(ton)
39.33
0.0883
-2.4266
448
239
210
202
204
265
287
49.411
44.04
29.61
38.48
40.01
39.58
39.69
0.1103
0.1842
0.1413
0.1902
0.1958
0.1493
0.1385
-2.2048
-1.6915
-1.9568
-1.6599
-1.6307
-1.9019
-1.9772
No
Tahun
Upaya Standar
(unit upaya)
1
2000
2
3
4
5
6
7
8
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Koefisian regresi : a = 0,2444
c = -1.2278
b = 0.00033
d = -0.0024
2
Koefisien determinasi (R ) : Model Schaefer = 0.7638
Model fox
= 0.8092
1
1
MSY = − e c −1 = −
e ( −1.2278)−1 = 44.90 ton
d
(−0.0024)
f opt = −
1
1
=
= 417 unit upaya
d (−0.0024)
67
Lampiran 5.
Distribusi frekuensi panjang ikan kerapu tikus
Frekuensi (ekor)
Selang kelas
panjang
Panjang
Tengah
A
B
C
D
E
F
G
H
1
10.1 – 15.0
12.5
1
0
0
1
1
1
1
1
6
2
15.1 – 20.0
17.5
1
2
1
2
1
1
1
1
10
3
20.1 – 25.0
22.5
2
2
2
2
2
2
2
2
16
4
25.1 – 30.0
27.5
2
3
3
2
2
2
2
2
18
5
30.1 – 35.0
32.5
1
1
1
1
1
1
1
3
10
6
35.1 – 40.0
37.5
1
1
1
0
1
1
1
2
8
7
40.1 – 45.0
42.5
1
0
1
0
0
1
0
2
5
8
45.1 – 50.0
47.5
0
0
0
1
0
1
0
1
3
9
9
9
9
8
10
8
14
76
No
Total
Total
Sumber : Diolah dari data survei bulan Mei – Agustus 2007
Keterangan : A
= 13 Mei 2007
E
= 8 Juli 2007
B
= 27 Mei 2007
F
= 22 Juli 2007
C
= 10 Juni 2007
G
= 5 Agustus 2007
D
= 24 Juni 2007
H
= 19 Agustus 2007
68
Lampiran 6.
Distribusi frekuensi panjang ikan kerapu macan
Selang
kelas
panjang
Panjang
Tengah
A
B
C
D
E
F
G
H
1
12.1 – 17.0
14.5
2
3
3
2
2
2
2
2
18
2
17.1 – 22.0
19.5
4
4
4
6
3
2
2
2
27
3
22.1 – 27.0
24.5
10
8
7
8
7
6
6
3
55
4
27.1 – 32.0
29.5
11
10
7
10
8
7
6
5
64
5
32.1 – 37.0
34.5
11
12
8
13
9
8
8
5
74
6
37.1 – 42.0
39.5
15
12
11
14
11
10
13
12
98
7
42.1 – 47.0
44.5
10
8
4
9
5
5
6
9
56
8
47.1 – 52.0
49.5
6
2
4
3
2
3
2
7
29
No
Frekuensi (ekor)
Total
9
52.1 – 57.0
54.5
1
1
1
1
1
2
1
1
9
10
57.1 – 62.0
59.5
2
0
1
1
0
1
0
1
6
11
62.1 – 67.0
64.5
1
0
1
0
1
0
1
0
4
12
67.1 – 72.0
69.5
0
1
0
1
0
0
0
1
3
73
61
51
68
49
46
47
48
443
Total
Sumber : Diolah dari data survei bulan Mei – Agustus 2007
Keterangan : A
= 13 Mei 2007
E
= 8 Juli 2007
B
= 27 Mei 2007
F
= 22 Juli 2007
C
= 10 Juni 2007
G
= 5 Agustus 2007
D
= 24 Juni 2007
H
= 19 Agustus 2007
69
Lampiran 7.
Distribusi frekuensi panjang ikan kerapu lumpur
Selang
kelas
panjang
Panjang
Tengah
A
B
C
1
12.1 – 17.0
14.5
5
3
2
3
2
17.1 – 22.0
19.5
4
4
1
3
22.1 – 27.0
24.5
5
8
9
4
27.1 – 32.0
29.5
10
11
5
32.1 – 37.0
34.5
12
6
37.1 – 42.0
39.5
7
42.1 – 47.0
8
No
Frekuensi (ekor)
D
E
Total
F
G
H
3
1
2
1
20
3
3
4
3
5
27
5
7
8
7
8
57
10
8
9
10
9
8
75
11
10
8
9
14
12
9
85
12
12
12
10
11
15
10
9
91
44.5
15
12
12
15
16
15
14
15
114
47.1 – 52.0
49.5
14
14
15
16
16
18
17
17
127
9
52.1 – 57.0
54.5
8
8
9
9
10
10
12
14
80
10
57.1 – 62.0
59.5
2
2
4
4
4
5
6
7
34
11
62.1 – 67.0
64.5
2
2
3
3
3
4
5
5
27
12
67.1 – 72.0
69.5
1
1
1
1
1
1
1
1
8
13
72.1 – 77.0
74.5
1
1
1
0
0
1
1
1
6
14
77.1 – 82.0
79.5
0
1
0
1
0
1
0
1
4
91
90
89
86
92
107
99
101
755
Total
Sumber : Diolah dari data survei bulan Mei – Agustus 2007
Keterangan : A
= 13 Mei 2007
E
= 8 Juli 2007
B
= 27 Mei 2007
F
= 22 Juli 2007
C
= 10 Juni 2007
G
= 5 Agustus 2007
D
= 24 Juni 2007
H
= 19 Agustus 2007
70
Lampiran 8.
Distribusi frekuensi panjang ikan kerapu sunu
Selang
kelas
panjang
Panjang
Tengah
A
B
C
D
E
F
G
H
1
12.1 – 17.0
14.5
1
3
2
2
2
2
2
2
16
2
17.1 – 22.0
19.5
4
4
5
6
6
5
6
7
43
3
22.1 – 27.0
24.5
5
6
8
8
9
9
7
9
61
4
27.1 – 32.0
29.5
7
7
6
9
9
8
9
8
63
5
32.1 – 37.0
34.5
9
10
11
10
11
10
11
11
83
6
37.1 – 42.0
39.5
12
11
16
17
11
10
12
13
102
7
42.1 – 47.0
44.5
6
7
5
9
8
8
10
14
67
8
47.1 – 52.0
49.5
5
8
5
8
6
5
6
7
50
9
52.1 – 57.0
54.5
3
1
1
2
2
3
2
2
16
10
57.1 – 62.0
59.5
1
1
1
1
0
2
2
2
10
11
62.1 – 67.0
64.5
1
1
1
1
0
1
0
1
6
12
67.1 - 72.0
69.5
0
0
0
1
0
0
0
1
2
54
59
61
74
64
63
67
77
519
No
Total
Frekuensi (ekor)
Total
Sumber : Diolah dari data survei bulan Mei – Agustus 2007
Keterangan : A
= 13 Mei 2007
E
= 8 Juli 2007
B
= 27 Mei 2007
F
= 22 Juli 2007
C
= 10 Juni 2007
G
= 5 Agustus 2007
D
= 24 Juni 2007
H
= 19 Agustus 2007
Download