POTENSI DAN LAJU EKSPLOITASI SUMBERDAYA IKAN KERAPU DI PERAIRAN TELUK LASONGKO, KABUPATEN BUTON, SULAWESI TENGGARA RUSMAN PRASETYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa penelitian Potensi dan Laju Eksploitasi Sumberdaya Ikan Kerapu di Perairan Teluk Lasongko, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, 2010 Rusman Prasetya NRP. C251050151 ABSTRACT RUSMAN PRASETYA. The Potency and Exploitation Rate of Grouper Resources in the Gulf of Lasongko, Buton Regency, South East Sulawesi Province. Supervised by MENNOFATRIA BOER and KIAGUS ABDUL AZIZ A grouper wich has a high economic value is one of the major predators in the coral reef ecosystem. Market demand on this fish has led to a declination in the natural grouper population. The study was aimed to estimate both the potential catch and the exploitation rate of grouper resources in Gulf of Lasongko. The potential catch of grouper was estimated by calculating MSY using a surplus production of Fox model; exploitation rate was measured based on a length-based on the growth parameter estimation. The result showed that the MSY of the humpback, brown marble, orange-spotted and leopard coral grouper consecutively were 3.72 ton year-1; 31.73 ton year-1; 66.57 ton year-1; 44.90 ton year-1. The exploitation rate of the humpback, brown marble, orange-spotted and leopard coral grouper consecutively were 0.51 year-1; 0.53 year-1; 0.52 year-1; 0.51 year-1. The results indicated that the exploitation rate of all species of groupers had reached their optimum level, however, the declination of the population was due to the habitat deterioration within the study site. A coral rehabilitation program should be conducted in enhancing coral reef coverage in the Gulf of Lasongko. Key words : grouper, exploitation rate, maximum sustainable yield RINGKASAN RUSMAN PRASETYA. Potensi dan Laju Eksploitasi Sumberdaya Ikan Kerapu di Perairan Teluk Lasongko, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh MENNOFATRIA BOER dan KIAGUS ABDUL AZIZ Ikan kerapu merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang penting. Pada ekosistem terumbu karang, ikan kerapu memiliki nilai ekologis yang penting karena merupakan merupakan salah satu predator utama dalam rantai makanan di ekosistem ini. Selain memiliki nilai ekologis, beberapa spesies kerapu memiliki nilai ekonomis yang tinggi baik di pasar domestik maupun internasional. Berbagai penelitian melaporkan bahwa stok ikan kerapu di beberapa perairan telah mengalami penurunan, termasuk Indonesia. Indikator yang dapat menggambarkan penurunan stok ini adalah menurunnya ukuran dan jumlah hasil tangkapan. Ada dua faktor yang menyebabkan penurunan stok ikan kerapu: pertama, tekanan kegiatan penangkapan yang tinggi, utamanya penggunaan alat tangkap yang bersifat merusak seperti penggunaan sianida dan potasium; kedua, menurunnya daya dukung lingkungan yang berdampak pada berkurangnya sumber makanan atau ruang habitat ikan kerapu. Di Teluk Lasongko, pemanfaatan ikan kerapu secara intensif berlangsung sejak awal tahun 1990 hingga akhir 1999. Hal ini ditandai dengan masuknya kapal-kapal penampung dari Hongkong yang juga memperkenalkan penggunaan sianida dan potasium untuk menangkap ikan kerapu. Pemanfaatan ikan kerapu yang intensif dan metode penangkapan yang merusak menyebabkan penurunan stok ikan kerapu di wilayah ini. Namun demikian beberapa penelitian yang dilakukan di perairan ini belum dapat menggambarkan kondisi stok ikan kerapu. Tujuan penelitian ini adalah menduga hasil tangkapan maksimum lestari dan laju eksploitasi ikan kerapu di Teluk Lasongko. Informasi yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pertimbangan dalam menyusun stategi pengelolaan sumberdaya ikan kerapu di Teluk Lasongko. Pendugaan hasil tangkapan maksimum lestari atau Maximum Sustainable Yield (MSY) dilakukan dengan menggunakan Model Surplus Produksi (model Schaeffer atau model Fox). Hasil tangkapan maksimum dapat diestimasi dari data input berupa jumlah hasil tangkapan dan upaya penangkapan dalam runtun tahun 2000 – 2007. Di Teluk Lasongko, ikan kerapu ditangkap dengan menggunakan alat tangkap pancing biasa dan bubu sehingga standarisasi upaya penangkapan harus dilakukan terlebih dahulu sebelum digunakan untuk menduga besarnya MSY. Pendugaan laju eksploitasi ikan kerapu dilakukan dengan penentuan parameter-paremeter pertumbuhan ikan kerapu terlebih dahulu berdasarkan persamaan von Bertalanffy. Parameter-parameter pertumbuhan ikan tersebut adalah panjang asimtotik (L∞), koefisien laju pertumbuhan (K) dan umur teoritis pada saat panjang ikan = 0 (to). Pendugan nilai L∞ dilakukan menggunakan metode Powell-Wetherall dalam paket FiSAT II. Nilai L∞ yang diperoleh kemudian digunakan sebagai dugaan awal L∞ untuk memperoleh nilai K dengan menggunakan program ELEFAN I dalam paket FiSAT II. Nilai to diduga dengan menggunakan persamaan empiris Pauly. Setelah parameter-parameter pertumbuhan ikan kerapu diketahui maka dilakukan pendugaan laju mortalitas total (Z) berdasarkan persamaan Beverton dan Holt. Selanjutnya dilakukan pendugaan laju mortalitas alami (M) berdasarkan persamaan empiris Pauly. Nilai Z dan M kemudian digunakan untuk menduga laju kematian ikan akibat penangkapan (F), dan laju eksploitasi ikan kerapu dihitung berdasarkan nisbah dari laju kematian ikan akibat penangkapan dan laju mortalitas total. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko terdiri dari empat spesies yaitu ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), kerapu lumpur (Epinephelus coioides) dan kerapu sunu (Plectropomus leopardus). Total jumlah ikan kerapu yang tertangkap sebanyak 1.783 ekor. Dari keempat jenis ikan kerapu, ikan kerapu lumpur merupakan ikan kerapu yang paling banyak tertangkap yakni 755 ekor (42,34 %) dan paling sedikit adalah kerapu tikus sebanyak 76 ekor (4,26 %). Berdasarkan perhitungan dugaan hasil tangkapan maksimum lestari atau MSY diketahui bahwa MSY ikan kerapu tikus, kerapu macan, kerapu lumpur dan kerapu sunu di Teluk Lasongko masing-masing sebesar 3.72; 31.73; 66.57; dan 44.90 ton pertahun. Idealnya, MSY ikan kerapu sebesar 1 ton/hektar terumbu karang per tahun sedang untuk tujuan konservasi sebesar 0,5 ton/ha terumbu karang per tahun. Berdasarkan hal tersebut, dengan luas areal terumbu karang 275,3 ha maka idealnya nilai MSY ikan kerapu di Teluk Lasongko adalah sebesar 275,3 ton/tahun. Nilai tersebut lebih besar dibanding nilai MSY yang diperoleh dari penelitian ini untuk masing-masing jenis ikan kerapu. Kondisi ini mengindikasikan bahwa telah terjadi penurunan stok ikan kerapu di Teluk Lasongko. Hasil pendugaan laju eksploitasi (E) ikan kerapu tikus, kerapu macan, kerapu lumpur dan kerapu sunu di Teluk Lasongko masing-masing sebesar 0.51; 0.53; 0.52; dan 0.51 per tahun. Laju eksploitasi optimal suatu sumberdaya ikan sebesar 0,5 dimana besarnya mortalitas alami sama dengan mortalitas akibat penangkapan. Nilai E yang tidak jauh berbeda dengan 0,5 mengindikasikan bahwa laju eksploitasi sumberdaya ikan kerapu di teluk Lasongko berada pada kondisi optimal. Kondisi tersebut mengindikasikan pula bahwa penurunan stok ikan kerapu di Teluk Lasongko tidak disebabkan oleh kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan saat ini. Penurunan daya dukung habitat ikan kerapu di Teluk Lasongko diduga menjadi penyebab penurunan stok ikan kerapu di perairan ini. Strategi pengelolaan yang dapat diterapkan agar sumberdaya ikan kerapu di Teluk Lasongko tetap lestari adalah penerapan upaya optimum ikan kerapu macan yakni 357 unit upaya dengan rincian 160 unit alat tangkap pancing dan 197 unit alat tangkap bubu. Namun demikian, pilihan kebijakan ini harus disertai pula dengan adanya kebijakan pelarangan untuk menangkap ikan kerapu tikus selama dua tahun. Strategi berikutnya adalah pembatasan ukuran ikan kerapu yang boleh tertangkap yakni 45 cm untuk ikan kerapu betina dan 70 cm untuk ikan kerapu jantan. Untuk meningkatkan daya dukung habitat ikan kerapu dapat dilakukan dengan transplantasi karang atau pengembangan karang buatan. Kata kunci : ikan kerapu, laju eksploitasi, hasil tangkapan maksimum lestari ©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB POTENSI DAN LAJU EKSPLOITASI SUMBERDAYA IKAN KERAPU DI PERAIRAN TELUK LASONGKO, KABUPATEN BUTON, SULAWESI TENGGARA RUSMAN PRASETYA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Tanggal Lulus : 2008 Tanggal Ujian : 14 Februari Judul Tesis : Potensi dan Laju Eksploitasi Sumberdaya Ikan Kerapu di Perairan Teluk Lasongko, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Nama Mahasiswa : Rusman Prasetya Nomor Pokok : C251050151 Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Disetujui Komisi Pembimbing Ir. Kiagus Abdul Aziz, M.Sc. Anggota Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. Ketua Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. Tanggal Ujian : 25 Maret 2010 Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Lulus : PRAKATA Puji dan syukur kehadirat Allah SWT., atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penelitian “Potensi dan Laju Eksploitasi Sumberdaya Ikan Kerapu di Perairan Teluk Lasongko, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara” dapat diselesaikan. Penelitian ini merupakan satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisi dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dapat terselenggara atas bantuan berbagai pihak. Oleh karenanya penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bupati Buton atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk dapat melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB. 2. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Komisi Pembimbing yang dengan kesempatan, kearifan, kebijakan dan kebaikan beliau mengantarkan penelitian penulis hingga selesai. 3. Ir. Kiagus Abdul Aziz, M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing atas kesempatan, kebaikan dan perhatian beliau dalam mengevaluasi penelitian penulis hingga selesai. 4. Istri tercinta, Irianti Amin, ketiga anak-anak kami Izzat, Anya dan Yaya serta kedua orang tua kami mama wajo dan mama haji atas doa, kasih sayang, perhatian, kesabaran dan ketabahan dalam mendampingi penulis selama ini. 5. Coral Reef Rehabilitation and Management Program (Coremap) Konsorsium Pusat di Jakarta melalui Program Mitra Bahari yang telah memberikan beasiswa penulisan tesis kepada penulis. 6. Saudara-saudaraku tercinta, Zamri Amin sek, Aminudin sek, Halimu sek, Ruslan Setyawan sek, Rusman sek, Darwin sek, Nunu, Andri dan Tasman atas bantuan doa dan bantuan dana serta perhatian yang diberikan kepada penulis selama ini. 7. Keluarga besar penulis yang tidak bisa disebutkan satu-persatu atas bantuan dan doa yang diberikan kepada penulis. 8. Teman-teman SPL 12, Indra, Nirmala, Haryadi, Ferdinan, Erlangga, Yusuf, Evi, Widi, Haikal dan Faisal atas dorongan dan semangatnya. 9. Teman-teman lain yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu, terima kasih atas segala doa dan bantuannya. Kesempurnaan merupakan hal yang amat didambakan, namun tidaklah mungkin dapat tercapai karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, karena itu adanya saran dari pembaca terhadap hasil penelitian ini akan diterima dengan senang hati. Semoga penelitian ini memberikan manfaat bagi pembaca dan semoga Allah SWT., meridhoi setiap usaha yang dilakukan. Amin. Bogor, 2010 Rusman Prasetya RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara pada tanggal 3 Juni 1973 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan bapak Basirun Azis dan ibu Zanuma. Tahun 1992 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI dan pada tahun 1993 diterima di Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan. Tahun 2005 penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan program magister pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis menjadi dosen luar biasa pada Fakultas Perikanan Universitas Dayanu Ikhsanuddin Kota Bau-Bau tahun 2002. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai calon pegawai negeri sipil di Pemerintah Kabupaten Buton dan tahun 2003 penulis menjadi pegawai negeri sipil yang ditempatkan di Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton bidang Bina Usaha Perikanan. Penulis menikah dengan istri tercinta, Irianti Amin pada tahun 2004 dan sekarang telah dikaruniai tiga orang anak, Izzat Aynal Prasetya, Kania Indah Prasetya dan Azkiya Nurul Prasetya. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL............................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xi 1. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1.2 Perumusan Masalah .............................................................................. 1.3 Tujuan dan Manfaat .............................................................................. 1 1 3 4 2. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 2.1 Sumberdaya Ikan Kerapu....................................................................... 2.2 Estimasi Parameter Pertumbuhan Ikan .................................................. 2.3 Estimasi Mortalitas Ikan ...................................................................... 2.3.1 Mortalitas Total ......................................................................... 2.3.2 Mortalitas Alami ........................................................................ 2.3.3 Mortalitas Penangkapan ............................................................ 2.4 Laju Eksploitasi .................................................................................... 2.5 Program-program Komputer untuk Menduga Parameter-parameter Pertumbuhan Ikan .................................................................................. 2.6 Hasil Tangkapan Maksimum Lestari .................................................... 2.7 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ..................................................... 5 5 7 11 11 12 13 13 3. METODOLOGI ........................................................................................... 3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................ 3.2 Metode Pengumpulan Data ................................................................... 3.3.1 Pengumpulan Data Primer ......................................................... 3.2.2 Pengumpulan Data Sekunder ..................................................... 3.3 Analisa Data .......................................................................................... 3.3.1 Analisa Komposisi dan Kelimpahan Ikan Kerapu .................... 3.3.2 Pendugaan Hasil Tangkapan Maksimum Lestari ...................... 3.3.3 Pendugaan Laju Eksploitasi Ikan Kerapu .................................. 23 23 25 25 25 26 26 26 28 4. HASIL PENELITIAN ................................................................................... 4.1 Komposisi Hasil Tangkapan Ikan Kerapu ............................................. 4.2 Hasil Tangkapan Maksimum Lestari Ikan Kerapu ................................ 4.3 Frekuensi Panjang Ikan Kerapu ............................................................. 4.4 Parameter Pertumbuhan......................................................................... 4.5 Laju Mortalitas dan Laju eksploitasi ..................................................... 31 32 34 38 44 45 5. PEMBAHASAN .......................................................................................... 5.1. Potensi Sumberdaya Ikan Kerapu.......................................................... 5.2. Laju Eksploitasi Ikan Kerapu ................................................................ 5.3. Strategi Pengelolaan Perikanan Kerapu ................................................ 47 47 48 51 14 15 19 6. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 56 6.1. Kesimpulan ........................................................................................... 56 6.2. Saran ..................................................................................................... 56 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 57 LAMPIRAN ................................................................................................. 62 ix DAFTAR TABEL Halaman 1. Nama ilmiah, Inggris dan Hongkong dari ikan-ikan karang yang dipasarkan di Hongkong .............................................................................. 1 2. Harga grosir (G) dan eceran (E) (US$/kg) ikan kerapu hidup yang diperdagangkan di Hong Kong dan China bagian Selatan............................ 2 3. Areal terumbu karang di Teluk Lasongko, luas dan presentase penutupan karangnya ..................................................................................................... 23 4. Jumlah alat tangkap di Teluk Lasongko tahun 2000 - 2007 ......................... 35 5. Jumlah upaya standar dan hasil tangkapan ikan kerapu di Teluk Lasongko tahun 2000 - 2007 ......................................................................................... 35 6. Koefisien regresi dan determinasi antara CPUE atau ln CPUE dengan upaya standar................................................................................................. 36 7. Nilai MSY dan fopt ikan kerapu di Teluk Lasongko..................................... 38 8. Jumlah dan panjang ikan kerapu berdasarkan jenisnya ............................... 38 9. Parameter pertumbuhan ikan kerapu berdasarkan zona penangkapan.......... 45 10. Nilai Z, M, F dan E ikan kerapu di Teluk Lasongko .................................... 45 11. Nilai Z, M, F dan E ikan kerapu berdasarkan zona penangkapan ................ 46 ix x DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Klasifikasi ikan kerapu (Heemstra dan Randall, 1993) ................................ 6 2. Ilustrasi Konsep Surplus Produksi (Wallace dan Fletcher, 1997)................ 16 3. Peta lokasi penelitian..................................................................................... 24 4. Presentase jumlah ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko selama bulan Mei – Agustus 2007 ............................................................................ 31 5. Jumlah ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko berdasarkan jenis dan lokasi penangkapannya selama bulan Mei – Agustus 2007 ........ 32 6. Jumlah ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko berdasarkan zona selama bulan Mei – Agustus 2007 ................................................................ 32 7. Presentase total berat ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko berdasarkan jenisnya selama bulan Mei – Agustus 2007.............................. 33 8. Presentase total berat ikan yang tertangkap berdasarkan zona penangkapan di Teluk Lasongko selama bulan Mei – Agustus 2007................................ 33 9. Jumlah ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko berdasarkan jenis alat tangkap selama bulan Mei – Agustus 2007 ................................... 34 10. Hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) ikan kerapu di Teluk Lasongko tahun 2000 – 2007......................................................................................... 36 11. Kurva hubungan antara upaya penangkapan dan jumlah hasil tangkapan ikan kerapu di Teluk Lasongko..................................................................... 37 12. Panjang rata-rata ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko bulan Mei – Agustus 2007 ...................................................................................... 39 13. Histogram distribusi frekuensi panjang ikan kerapu tikus............................ 40 14. Histogram distribusi frekuensi panjang ikan kerapu macan ......................... 41 15. Histogram distribusi frekuensi panjang ikan kerapu lumpur ........................ 42 16. Histogram distribusi frekuensi panjang ikan kerapu sunu ............................ 43 17. Grafik pertumbuhan ikan kerapu di Teluk Lasongko ................................... 44 x xi DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Perhitungan nilai MSY ikan kerapu tikus di Teluk Lasongko...................... 63 2. Perhitungan nilai MSY ikan kerapu macan di Teluk Lasongko ................... 64 3. Perhitungan nilai MSY ikan kerapu lumpur di Teluk Lasongko .................. 65 4. Perhitungan nilai MSY ikan kerapu sunu di Teluk Lasongko ...................... 66 5. Distribusi frekuensi panjang ikan kerapu tikus ............................................ 67 6. Distribusi frekuensi panjang ikan kerapu macan .......................................... 68 7. Distribusi frekuensi panjang ikan kerapu lumpur ......................................... 69 8. Distribusi frekuensi panjang ikan kerapu sunu ............................................. 70 xi 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan kerapu merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang penting. Pada ekosistem terumbu karang, ikan kerapu memiliki nilai ekologis yang penting karena merupakan merupakan salah satu predator utama dalam rantai makanan di ekosistem. Selain memiliki nilai ekologis, beberapa spesies kerapu memiliki nilai ekonomis yang tinggi baik di pasar domestik maupun internasional. Di pasar domestik, ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) ukuran kecil sebagai ikan hias (ukuran 4 – 5 cm) laku dijual dengan harga Rp. 7.000,- per ekor (Akbar dan Sudaryanto 2000). Di pasar internasional, ikan kerapu diperdagangkan dalam bentuk hidup dengan pasar utama adalah Hongkong dan China. Menurut Chan (2000), 50 % ikan karang hidup yang diperdagangkan di Hongkong diimport dari Indonesia, kemudian diikuti oleh Philipina, Australia, Maladewa, Vietnam, Malaysia dan Thailand. Ikan karang yang diperdagangkan di Hongkong dengan harga tinggi, menengah maupun rendah didominasi oleh famili Serranidae (kerapu) kecuali ikan napoleon yang termasuk dalam famili Labridae. Tabel 1. No 1. Nama ilmiah, Inggris dan Hongkong dari ikan-ikan karang yang dipasarkan di Hongkong Nama ilmiah High priced species Cheilinus undulatus Cromileptus altivelis 2. 3. Medium priced species Plectropomus leopardis Plectropomus areolatus Lower priced species Epinephelus polyphekadion Epinephelus malabaricus Epinephelus coloidus Epinephelus bleekeri Epinephelus fuscoguttatus Nama umum Nama Hongkong Humphead, maori or Napoleon wrasse High-finned or mouse grouper, baramundi cod So Mei Spotted or leopard coral trout Red or squaretail coral trout Sai Sing Tung Sing Flowery grouper Green or malabar grouper Brown spotted grouper Orange spotted or green grouper Tiger or flowery grouper Charm Pan Ching Pan Ching Pan Chi Ma Pan Lo Shu Pan Lo Fu Pan Sumber : Chan (2000) Dalam suatu survei yang dilakukan pada 700 restoran di Hongkong dan China bagian Selatan diperoleh informasi bahwa harga eceran ikan kerapu hidup 2 lebih tinggi dibanding harga grosir (McGilvray dan Chan 2003). Dari hasil survei tersebut, harga ikan kerapu bebek di Hongkong sebesar US$ 60.2 untuk grosir dan US$ 92 untuk eceran, di Guangzhou (RRC) sebesar US$ 84.7 untuk grosir dan di Shanzhen (RRC) sebesar US$ 73.3 untuk grosir serta US$ 110.7 untuk eceran. Tabel 2. Harga grosir (G) dan eceran (E) (US$/kg) ikan kerapu hidup yang diperdagangkan di Hong Kong dan China bagian Selatan Jenis Ikan Cromileptes altivelis Epinephelus coioides / Epinephelus malabaricus Epinephelus fuscoguttatus Epinephelus lanceolatus Epinephelus polyphakadion Plectropomus areolatus Plectropomus leopardus Hongkong (US$) G = 60.2 E = 92.0 G = 9.1 E = 20.8 G = 23.7 E = 43.6 G = 24.3 E = 46.9 G = 21.3 E = 37.5 G = 24.1 E = 39.9 G = 35.1 E = 51.7 Guangzhou (RRC) (US$) G = 84.7 E = tidak tersedia G = 9.0 E = 18.8 G = 15.0 E = 25.4 G = 15.9 E = 25.4 G = 23.2 E = 35.5 G = 19.5 E = 41.0 G = 44.1 E = 50.6 Shanzhen (RRC) (US$) G = 73.3 E = 110.7 G = 10.4 E = 20.8 G = 16.9 E = 35.5 G = 16.4 E = 47.7 G = 22.2 E = 37.5 G = 19.4 E = 41.0 G = 33.6 E = 60.4 Sumber : McGilvray dan Chan (2003) Tingginya nilai ikan kerapu di perdagangan internasional mengakibatkan meningkatnya permintaan akan jenis ikan ini. Konsekuensinya, ikan kerapu mengalami tekanan yang cukup berat dan di beberapa wilayah telah mengalami overfishing (Sadovy 2005). The International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) Red List of Threathened Species tahun 2006 memasukkan beberapa jenis ikan kerapu seperti kerapu tikus (Cromileptes altivelis), kerapu lumpur (Epinephelus lanceolatus dan Epinephelus coioides) dan kerapu sunu (Plectropomus leopardis) sebagai spesies yang terancam. Di sisi lain, ikan kerapu ini telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir sebagai sumber pangan dan semakin intensif ketika kapal-kapal pengumpul dari Hongkong mulai masuk ke wilayah Indonesia sejak tahun 1990–an. Melihat kondisi tersebut, sumberdaya ikan kerapu ini perlu dikelola dengan baik agar dapat mengakomodir kepentingan ekonomi masyarakat nelayan dan konservasi sumberdaya ikan kerapu ini 3 Teluk Lasongko merupakan salah satu teluk terbesar di Kabupaten Buton dengan luas perairan 1 360 ha dengan luas areal terumbu karang 279.8 ha atau 20.50 % dari luas total perairannya. Terumbu karang di perairan ini tersebar dalam 7 lokasi yakni Pasi’ Bawona, Pasi’ Katembe, Pasi’ Lasoring Balano, Pasi’ Bunta, Pasi’ Bone Marangi, Pasi’ Madongka dan Pasi’ Lasori. Masyarakat di pesisir Teluk Lasongko telah lama memanfaatkan sumberdaya perikanan yang ada di areal terumbu karang perairan ini sebagai sumber mata pencaharian, termasuk sumberdaya ikan kerapu. 1.2 Perumusan Masalah Masyarakat di Teluk Lasongko memanfaatkan sumberdaya perikanan di perairan ini dalam bentuk usaha penangkapan ikan dan usaha budidaya laut. Salah satu bentuk usaha budidaya laut yang dikembangkan oleh penduduk di pesisir Teluk Lasongko adalah budidaya ikan kerapu dengan menggunakan Keramba Jaring Apung (KJA) sebagai wadah budidaya. Bentuk budidaya yang dilakukan adalah pembesaran ikan kerapu, di mana bibit ikan kerapu ditangkap dari alam kemudian dibesarkan hingga mencapai ukuran tertentu untuk dapat dijual ke kapal pengumpul yang biasanya datang dari Hongkong. Sadovy dan Pet (1998) menyatakan bahwa pola budidaya berdasarkan pengumpulan juvenil ikan kerapu dari alam dan membesarkannya dalam suatu wadah keramba jaring apung lazim dilakukan di Asia Tenggara. Pola budidaya seperti yang tergambar di atas dapat menurunkan stok sumberdaya ikan kerapu di perairan Teluk Lasongko. Sadovy (2005) melaporkan bahwa stok ikan kerapu di beberapa perairan telah mengalami penurunan, termasuk Indonesia. Indikator yang dapat menggambarkan penurunan stok ini adalah menurunnya ukuran dan jumlah hasil tangkapan. Ada dua faktor yang menyebabkan penurunan stok ikan kerapu: pertama, tekanan kegiatan penangkapan yang tinggi, utamanya penggunaan alat tangkap yang bersifat merusak seperti penggunaan sianida dan potasium; kedua, menurunnya daya dukung lingkungan yang berdampak pada berkurangnya sumber makanan atau ruang habitat ikan kerapu menjadi yang sempit. Di Teluk Lasongko, pemanfaatan ikan kerapu secara intensif berlangsung sejak awal tahun 1990 hingga akhir 1999. Supardan (2006) menyatakan bahwa secara umum ikan karang konsumsi di Teluk Lasongko telah mengalami 4 penurunan. Namun demikian hasil penelitian tersebut tidak merinci berdasarkan jenis ikan sehingga belum dapat menggambarkan kondisi stok ikan kerapu saat ini. Oleh karenanya, kajian potensi dan laju eksploitasi ikan kerapu di Teluk Lasongko sangat perlu dilakukan. 1.3 Tujuan dan Manfaat Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menduga hasil tangkapan maksimum lestari ikan kerapu di Teluk Lasongko 2. Menduga laju eksploitasi ikan kerapu di Teluk Lasongko. Informasi yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pertimbangan dalam menyusun strategi pengelolaan sumberdaya ikan kerapu di Teluk Lasongko. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Ikan Kerapu Ikan kerapu termasuk dalam famili Serranidae, subfamili Epinephelinae dan dikenal dengan istilah “grouper” (Heemstra dan Randall 1993; Tucker 1999). Ikan kerapu terdiri dari 15 genus dan mencakup 159 spesies. Kelima belas genus ikan kerapu tersebut adalah Aethalperca, Alphestes, Anyperodon, Cephalopholis, Cromileptes, Dermatolepis, Epinephelus, Gonioplectrus, Gracila, Mycteroperca, Paranthias, Plectropomus, Saloptia, Triso dan Variola (Heemstra dan Randall 1993). Sedangkan menurut Tucker (1999), ikan kerapu terdiri dari 14 genus dan mencakup setidaknya setengah dari 449 spesies famili Serranidae. Menurut Heemstra dan Randall (1993), ikan kerapu dapat diidentifikasi berdasarkan pola pewarnaannya, ciri morfologis termasuk bentuk tubuh, konfigurasi dan ukuran sirip, bentuk dan ukuran relatif dari kepala dan beberapa bagian kepala dan tubuh, serta jumlah jari-jari sirip, gurat sisik dan gill raker. Kecuali untuk beberapa jenis ikan kerapu dewasa dengan ukuran besar, pola pewarnaan kebanyakan ikan kerapu biasanya cukup untuk membedakan spesies tertentu. Ikan kerapu yang hidup di perairan dalam biasanya memiliki pola pewarnaan yang lebih kemerahan dibanning spesies yang tertangkap di perairan dangkal. Ikan kerapu sangat berkaitan dengan dasar perairan dan ditemukan pada seluruh perairan tropis dan subtropis yang hangat (Heemstra dan Randalll 1993). Kebanyakan ditemukan pada perairan berkarang (Heemstra dan Randall 1993; Sluka et al. 2001) namun beberapa spesies dapat ditemukan di daerah estuaria atau karang berbatu (Heemstra dan Randall 1993; Tucker 1999). Secara umum, ikan kerapu sangat terkait dengan dasar perairan yang keras (berbatu), kendati juvenil ikan ini ditemukan pada area padang lamun dan yang dewasa dari beberapa spesies lebih menyukai areal berpasir. Beberapa spesies dapat ditemukan pada kedalaman 100 hingga 200 m (terkadang ditemukan pada kedalaman 500 m), namun kebanyakan hidup pada kedalaman kurang dari 100 m dan juvenil sering ditemukan pada perairan yang sangat dangkal. Ikan kerapu hidup secara soliter dan menetap pada karang tertentu dalam waktu yang lama 6 (Heemstra dan Randall 1993). Menurut Kuiter (1996), ikan kerapu dewasa biasanya dapat ditemukan pada lereng-lereng karang yang memiliki celah atau gua-gua yang besar. Ikan kerapu biasanya hidup soliter atau dalam kelompok yang kecil (Yearsley et al. 1999). Gambar 1. Klasifikasi ikan kerapu (Heemstra dan Randall 1993) Menurut Tucker (1999), juvenil dan ikan kerapu dewasa hidup di perairan pesisir dan estuaria, tapi sebagian lebih menyukai perairan yang jernih di areal terumbu karang. Telurnya tunggal, non adhesive dan mengapung pada salinitas normal. Larva dari beberapa spesies menghabiskan beberapa minggu pertamanya 7 sebagai plankton oseanik. Ketika menjadi juvenil, ikan kerapu menetap di perairan dangkal untuk mencari tempat berlindung. Pada saat ukurannya bertambah panjang, ikan kerapu bergerak ke perairan yang lebih dalam namun kebanyakan tetap tinggal di wilayah dekat gua tempat berlindungnya. Sebagai predator utama di ekosistem terumbu karang, kebanyakan ikan kerapu memakan sejumlah jenis ikan, crustacea yang besar dan chepalopoda (Heemstra dan Randall 1993). Menurut Tucker (1999), larva kerapu di alam awalnya memakan copepoda dan zooplankton kecil, kemudian memakan crustacea yang lebih besar seperti amphipoda dan udang mysid. Selanjutnya, makanan utama juvenil ikan kerapu adalah ikan, kepiting, udang-udangan, lobster dan moluska. Heemstra dan Randall (1993) menyatakan bahwa sebagian besar ikan kerapu adalah ambush predator (predator dengan menjebak mangsanya), yang bersembunyi di antara karang dan bebatuan hingga ikan atau crustacea yang tidak waspada melintas, kemudian menangkap mangsanya tersebut dengan cepat dan menggigit mangsanya dengan gigi yang tajam. Kebanyakan spesies ikan kerapu hermaprodit protogini, di mana setiap individu mencapai usia dewasa secara sexual pertama kali dengan kelamin betina dan beberapa kemudian berubah menjadi jantan (Heemstra dan Randall 1993; Tucker 1999). Beberapa spesies mengalami perubahan sex dari betina ke jantan dengan semakin bertambahnya umur, namun sebagian lagi mengalami perubahan sex akibat kekurangan individu jantan (Tucker 1999). Ikan kerapu memiliki umur yang panjang dan terlambat dalam mencapai usia dewasa secara sexual pertama kali (Heemstra dan Randall 1993). 2.2 Estimasi Parameter Pertumbuhan Ikan Pertumbuhan dapat digambarkan sebagai perubahan ukuran ikan tiap waktu dan dapat dihitung dari data ukuran dan atau umur dan penambahan ukuran terhadap waktu. Pemanfaatan umur ikan merupakan metode yang dipercaya untuk menghitung dan menggambarkan pertumbuhan ikan. Ada tiga metode dasar untuk menghitung umur ikan; metode anatomi yang menggunakan penambahan tiap bagian keras (seperti otoliths) pada spesies yang tua; percobaan 8 tagging-recapture; dan pengukuran dengan model progresi terhadap kelas ukuran ikan. Penggunaan tiap metode tergantung pada spesies yang diteliti (Pauly 1984). Model pertumbuhan yang umum digunakan dalam kajian stok ikan adalah model pertumbuhan von Bertalanffy di mana panjang badan sebagai fungsi dari umur (Sparre dan Venema 1999; Pilling et al. 1999; Jennings et al. 2001). Model ini telah menjadi salah satu dasar dalam biologi perikanan sebab digunakan sebagai submodel dalam sejumlah model yang lebih rumit dalam menjelaskan berbagai dinamika populasi ikan (Sparre dan Venema 1999). Model matematika dari persamaan pertumbuhan von Bertalanffy adalah sebagai berikut : ( Lt = L∞ 1 − e − K (t −t0 ) ) ............................................................................. (1) Lt = Panjang pada umur t L∞ = Panjang asimptotik yakni panjang dimana laju pertumbuhan secara teoritis nol K = Koefisien pertumbuhan t0 = umur pada saat panjang ikan nol Menurut Morales-Nin (1992), parameter pertumbuhan dapat diduga melalui beberapa metode yakni : - Metode Anatomik : dihitung melalui pertumbuhan teratur yang terbentuk dalam jaringan keras ikan seperti otolith pada sisik ikan - Analisis frekuensi panjang : studi perkembangan model ukuran kelas panjang berdasarkan waktu - Pendugaan secara langsung : pengukuran secara langsung laju pertumbuhan ikan berdasarkan contoh-contoh ikan yang telah diketahui umurnya. Sebagai contoh, pengukuran ini dapat dilakukan melalui studi ”mark and recapture”. Pilling et al. (1999) menyatakan bahwa pendugaan parameter pertumbuhan secara langsung dapat menyebabkan stress pada ikan ketika pemasangan penandaan sehingga dapat mengurangi pertumbuhan ikan. Oleh karenanya, yang sering dilakukan dalam pendugaan parameter pertumbuhan ikan adalah metode anatomik dan analisis frekuensi panjang. Dari kedua metode ini, analisis frekuensi panjang lebih umum digunakan, terutama untuk ikan-ikan tropis, karena lebih murah dan tidak memerlukan waktu yang lama dan keahlian khusus dalam pengumpulan data. 9 Menurut Jennings et al. (2001), beberapa metode identifikasi kohort menggunakan asumsi bahwa distribusi frekuensi panjang dari tiap kohort biasanya normal. Selanjutnya, Sparre dan Venema (1999) menyatakan bahwa metode yang umum digunakan untuk memisahkan suatu distribusi komposit dari frekeunsi panjang ke dalam distribusi-distribusi yang terpisah dapat dilakukan dengan metode Bhattacharya. Metode Bhattacharya didasarkan pada identifikasi distribusi frekuensi panjang kohort termuda dan mengurangi jumlah ikan dari tiap kelompok panjang dengan kohort pertama dari distribusi frekuensi panjang total Proses ini terus dilakukan pada kohort berikutnya hingga tidak ada lagi distribusi normal yang dapat diidentifikasi (Jennings et al. 2001). King (1995) mengelompokkan metode analisis frekuensi panjang dalam dua kelompok berdasarkan ukuran contohnya yaitu contoh tunggal dan contoh ganda. Metode contoh tunggal dikenal juga sebagai metode Petersen di mana kurva pertumbuhan dapat dikaji dari posisi relatif modus dalam contoh tunggal frekuensi panjang. Salah satu metode sederhana adalah plot Ford-Warlfort yang memodifikasi persamaan pertumbuhan von Bertalanffy menjadi suatu persamaan linier sebagai berikut : ( ) Lt +1 = L∞ 1 − e − K + Lt e − K .................................................................... (2) Persamaan tersebut adalah persamaan regresi linier dengan Lt +1 sebagai variabel ( ) tidak bebas dan Lt sebagai variabel bebas sehingga diperoleh a = L∞ 1 − e − K dan b = e − K , maka : K = − ln(b ) ..................................................................................................... (3) L∞ = a 1− b t0 = t + ..................................................................................................... (4) 1 L∞ − Lt ln K L∞ ................................................................................... (5) Model contoh ganda disebut juga modal progression analysis (King 1995; Jennings et al. 2001). Data frekuensi panjang dikumpulkan dari waktu yang berbeda yang kemudian disusun secara berurutan, modus dari kohort ditelusuri pergeserannya mengikuti aksis panjang. Metode yang umum digunakan adalah Gulland-Holt plot di mana persamaan pertumbuhan dimodifikasi menjadi : 10 − ln 1 − Lt = − Kt 0 + Kt ................................................................................... (6) L∞ Persamaan tersebut di atas merupakan persamaan linier dengan − ln 1 − Lt sebagai L∞ variabel tak bebas dan t sebagai variabel bebas sehingga melalui analisa regresi sederhana diperoleh K = b dan t 0 = − a . b Metode lain yang dapat digunakan untuk mengestimasi parameter pertumbuhan ikan adalah metode Powell-Wetherall (Sparre dan Venema 1999; Gayanilo et al. 2005) dengan rumus sebagai berikut : L − L' = a + bL' ............................................................................................... (7) L∞ + L' a , sehingga L∞ = − ............................................................. (8) L = b 1 + (Z / K ) Z 1+ b = − .................................................................................................. (9) K b Selain beberapa metode tersebut di atas, telah pula dikembangkan beberapa persamaan empirik untuk mengestimasi parameter-parameter pertumbuhan ikan, di antaranya yang dilakukan oleh Pauly (1984) serta Froese dan Binohlan (2000; 2003). Persamaan empirik Pauly (1984) untuk menduga panjang infiniti adalah sebagai berikut : L∞ = Lmax ....................................................................................................... (10) 0.95 Lmax adalah panjang maksimum ikan yang diperoleh. Froese dan Binohlan (2000; 2003) memperkenalkan beberapa persamaan empirik untuk menduga parameter pertumbuhan ikan sebagai berikut : log L∞ = 0.044 + 0.9841.Lmax .......................................................................... (11) log Lopt = 1.0421. log L∞ − 0.2742 ................................................................... (12) log t max = 0.5496 + 0.957. log t m ...................................................................... (13) K= 3 t max ....................................................................................................... (14) 11 t max adalah umur maksimum yang dapat dicapai oleh tiap individu ikan, sedang t m adalah umur pada saat ikan matang gonad pertama kali. 2.3. Estimasi Mortalitas Ikan Secara umum, ikan akan mengalami kematian (mortalitas) yang dapat disebabkan oleh kematian alami dan kematian akibat penangkapan. Mortalitas alami biasanya diberi simbol M dan mortalitas akibat penangkapan diberi simbol F sedangkan laju mortalitas total diberi simbol Z (Sparre dan Venema 1998; Jennings et al. 2001). 2.3.1 Mortalitas Total Laju mortalitas total dapat diestimasi dengan menggunakan data distribusi panjang. Metode yang umum digunakan dengan menggunakan data distribusi panjang ini adalah meode Beverton-Holt berbasis panjang (Sparre dan Venema, 1999) dan metode kurva tangkapan berbasis panjang atau length-converted catch curve (Pauly, 1983). Metode Beverton-Holt menunjukan hubungan fungsional antara Z dan L (Sparre dan Venema, 1999), yang dapat dirumuskan sebagai berikut : Z = K. (L − L ) ............................................................................................... (L − L') ∞ (15) L adalah panjang rata-rata ukuran, L’ adalah panjang di mana semua ikan pada ukuran tersebut dan lebih panjang berada pada penangkapan penuh. L’ dapat pula dianggap sebagai batas kelas bawah dari interval kelas panjang (Sparre dan Venema, 1999). Rumus Beverton-Holt tersebut di atas dapat juga digunakan dalam suatu plot ( ) regresi untuk menduga Z/K dan L∞ di mana L − L' dapat diplot berlawanan dengan L’ sebagai garis lurus, sehingga diperoleh : (L − L') = a + bL’ ........................................................................................... (16) Persamaan ini kemudian dikenal sebagai Watherall Plot (Sparre dan Venema 1999). Dari persamaan garis di atas dapat diperoleh nilai Z sebagai berikut : Z 1+ b =− ..................................................................................................... (17) K b 12 a L∞ = − , dan K diperoleh dari model progression analysis b 2.3.2 Mortalitas Alami Mortalitas alami dapat terjadi akibat pemangsaan, penyakit, parasit, umur dan faktor lingkungan yang sebagian besar disebabkan oleh perubahan faktorfaktor lingkungan sepanjang hidup ikan. Pauly (1980) menyatakan adanya keterkaitan yang erat antara mortalitas alami dengan suhu perairan di mana semakin hangat suhu perairan akan menyebabkan meningkatnya mortalitas alami pada ikan. Beberapa metode telah dikembangkan para ahli pengkajian stok untuk menduga mortalitas alami pada ikan. Richter dan Baranov (1976) yang diacu dalam Sparre dan Venema (1998) menyatakan adanya hubungan antara mortalitas alami dengan umur saat 50% populasi matang gonad atau kemudian dikenal sebagai the age of massive maturatuion (umur matang yang masif). Persamaan yang ditunjukkan oleh Rikhter dan Baranov adalah : M = 1.521 − 0.155 ...................................................................................... (18) 0.720 Tm50 Pauly (1980, 1984) merumuskan hubungan empririk antara laju mortalitas alami dengan suhu rata-rata tahunan (T) yang kemudian dikenal sebagai rumus empirik Pauly sebagai berikut : Log M = -0.0066 – 0.279 log L∞ + 0.6543 log K + 0.4634 log T .................. (19) L∞ adalah panjang asimptotik, K adalah koefisien pertumbuhan instrinstik dan T adalah suhu rata-rata tahunan (oC) Alagaraja (1984) in Sparre dan Venema (1998) merumuskan bahwa rentang hidup alami (longevity) umur di mana 99% dari suatu kohort akan mati jika kohort tersebut hanya dikenai mortalitas alami (Z = M). Jika Tm adalah rentang hidup alamiah dan M1% adalah mortalitas alami setara dengan 1% sintasan, maka : M 1% = − ln (0.01) .......................................................................................... (20) Tm Raltson (1987) merumuskan formula empirik untuk menduga mortalitas alami dengan menghubungkan antara mortalitas alami dengan parameter 13 pertumbuhan K pada formula pertumbuhan von Bertalanffy. Formula empirik yang disarankan oleh Raltson adalah : M = 0.0189 + 2.06 K ...................................................................................... (21) 2.3.3 Mortalitas Penangkapan Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa mortalitas pada ikan dapat disebabkan oleh mortalitas alami dan mortalitas akibat penangkapan. Mortalitas penangkapan dapat diperoleh setelah laju mortalitas total (Z) dan mortalitas alami (M) diketahui. Pauly (1980) dan King (1995) menyatakan bahwa laju mortalitas total merupakan hasil penambahan dari mortalitas alami dan mortalitas akibat penangkapan, sehingga diperoleh persamaan : Z = F + M ....................................................................................................... (22) Dari persamaan (19), mortalitas penangkapan dapat dihitung dengan persamaan berikut : F = Z – M ....................................................................................................... (23) 2.4 Laju Eksploitasi Menurut Pauly (1980), laju eksploitasi (E) merupakan rasio antara mortalitas penangkapan (F) dengan mortalitas total (Z) sehingga dapat dihitung sebagai berikut : E= F ..................................................................................................... (24) F+M M = Mortalitas alami Persamaan (21) dapat disederhanakan lagi menjadi : E= F Z ....................................................................................................... (25) Gulland (1971) in Pauly (1980) menyatakan bahwa eksploitasi optimal dari suatu stok ikan terjadi jika mortalitas penangkapan sebanding dengan mortalitas alaminya, sehingga laju eksploitasi optimal (E) = 0.5. Dengan demikian, suatu sumberdaya dikatakan mengalami penangkapan berlebih (overfishing) jika laju eksploitasinya lebih besar dari 0.5. 14 2.5. Program-program Komputer untuk Menduga Parameter-parameter Pertumbuhan Ikan Program komputer telah banyak dikembangkan oleh para ahli untuk memudahkan dalam menduga parameter-parameter pertumbuhan ikan. Menurut Sparre dan Venema (1999), salah satu program komputer pertama untuk memisahkan sejumlah frekuensi ke dalam komponen yang terdistribusi normal dengan menggunakan teknik-teknik likelihood maksimum adalah program ”NORMSEP” yang dikembangkan oleh Hasselblad dan Tomlinson pada tahun 1971. Program komputer yang umum digunakan adalah Electronic Length Frequency Analysis (ELEFAN) yang dikembangkan oleh Pauly dan David pada tahun 1981. Program ini berkaitan dengan estimasi parameter-parameter pertumbuhan menggunakan analisa frekuensi panjang dalam bahasa BASIC. Program ini kemudian dimodifikasi menjadi COMPLET ELEFAN oleh Gayanilo, Soriano dan Pauly pada tahun 1987 (Sparre dan Venema 1999). Pada tahun 1987 pula, Sparre mengembangkan program komputer yang diberi nama LFSA (Length-based Fish Stock Assessment) yang disusun dalam bahasa BASIC. Paket LFSA awalnya dikembangkan untuk komputer Apple II namun kemudian dikonversikan agar cocok digunakan pada komputer-komputer IBM (Sparre dan Venema 1999). Selanjutnya, pada tahun 1990 FAO (Food and Agricultural Organisation) dan ICLARM (the International Centre of Living Aquatic Resources Management) sepakat untuk mengembangkan suatu paket program baru untuk pengkajian stok ikan berdasarkan panjang yang disebut FiSAT (FAO-ICLARM Stock Assessment Tools). Paket pengkajian stok ini disusun dengan mengintegrasikan routine-routine yang ada dalam LFSA dan paket COMPLEAT ELEFAN, namun juga berisi sejumlah routine-routine baru (Sparre dan Venema 1999). Awalnya, paket FiSAT ini menggunakan versi MS DOS namun kemudian dikonversi ke Microsoft Windows. Konversi ini dilakukan sekitar tahun 2000 sampai 2002 melalui proyek yang didukung oleh Uni Eropa dan FIAS (Fisheries Information and Analysis System) (Gayanilo et al. 2005). 15 The Marine Resources Assessment Group Ltd (MRAG) juga mengembangkan paket pengkajian stok berbasis panjang yang diberi nama Length Frequency Distribution Analysis (LFDA). Paket ini telah beberapa kali mengalami modifikasi, seperti yang dilakukan oleh Holden et al. (1995) menjadi LFDA versi 4.01 dan Kirkwood et al. (2001) menjadi LFDA versi 5.0. Seperti halnya FiSAT, dalam LFDA terdapat paket ELEFAN dalam metode estimasi parameter pertumbuhan ikan. Selain itu juga terdapat metode SLCA (Shepherd's Length Composition Analysis) dan PROJMAT (Projection Matrix) (Kirkwood et al. 2001). 2.6 Hasil Tangkapan Maksimum Lestari Hasil tangkapan maksimum lestari atau Maximum Sustainable Yield (MSY) dapat diartikan sebagai jumlah berat atau tangkapan maksimum yang dapat diperoleh dari suatu stok sumber daya ikan tanpa mempengaruhi reproduksi dan rekruitmen stok sumberdaya ikan tersebut di masa depan (King, 1995). Sparre dan Venema (1998) juga memberikan penjelasan yang sama dengan mendefinisikan MSY sebagai jumlah tangkapan maksimum yang dapat diperoleh tanpa mempengaruhi produktivitas stok ikan dalam jangka panjang. Model yang umum digunakan untuk menduga MSY adalah model surplus produksi. Model ini pertama kali diperkenalkan oleh Graham pada tahun 1934 yang kemudian dikembangkan oleh Schaefer pada tahun 1954 sehingga lebih sering diacu sebagai Model Schaefer (Sparre dan Venema 1998). Model ini cukup luas digunakan karena hanya membutuhkan serangkaian data hasil tangkapan dan upaya penangkapan (Lemay 2007). Larkin (1977) menjelaskan bahwa surplus produksi didasarkan asumsi bahwa setiap spesies ikan setiap tahunnya akan menghasilkan jumlah berlebih (surplus) yang dapat ditangkap dan jika yang ditangkap sebanyak surplus yang dihasilkan oleh setiap spesies tersebut maka sumberdaya tersebut akan tetap lestari. Penjelasan yang lebih rinci diberikan oleh Wallace dan Fletcher (1997) yang mengilustrasikan konsep surplus produksi seperti pada Gambar 2. Garis lurus O ke C menggambarkan kondisi di mana jumlah ikan muda meningkat ketika ikan betina dewasa meningkat. Garis melengkung cincin busur 16 menunjukkan bahwa ketika jumlah ikan betina dewasa meningkat, jumlah ikan muda dengan cepat meningkat dibanding ikan betina. Hubungan ini terus berlanjut sampai biomasa ikan betina mulai untuk mendekati daya-dukung habitat. Garis ( A-C) menunjukkan bahwa penambahan ikan betina dewasa memberi peningkatan ikan muda baru dalam jumlah yang sedikit. Pada titik C, daya-dukung dicapai di mana jumlah ikan betina dewasa dan ikan muda dalam kondisi yang seimbang. Bagian dari kurva di sebelah kanan dari daya-dukung menunjukkan bahwa biomass dapat melampaui daya-dukung. Ketika terjadi penangkapan, populasi merespon dengan meningkatnya jumlah ikan muda. Peningkatan terbesar terjadi pada titik A, jarak maksimum (garis A – B) antara kurva dengan garis lurus 45o. Hal ini bersamaan dengan jumlah maksimum surplus produksi yang dapat tersedia dari populasi. Gambar 2. Ilustrasi model Surplus Produksi (Wallace dan Fletcher 1997) King (1995) menggambarkan laju perubahan biomasa berdasarkan persamaan logistik sebagai berikut : dB B ........................................................................................... (26) = rB1 − dt B∞ Jika stok mulai tereksploitasi maka persamaan (26) dapat dikurangi oleh hasil tangkapan (Y) sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut : dB B − Y ..................................................................................... = rB1 − dt B∞ (27) 17 Dalam kondisi seimbang dimana laju penangkapan dipertahankan sehingga sistem tetap seimbang (jumlah yang ditangkap seimbang dengan pertumbuhan biomasa), dB/dt = 0 sehingga persamaan (24) menjadi : B .............................................................................................. (28) Y = rB1 − B∞ Persamaan (28) merupakan persamaan parabola yang menunjukkan bahwa hasil tangkapan maksimum lestari adalah setengah dari biomasa sumberdaya ikan yang belum tereksploitasi. Pendugaan nilai MSY dengan model surplus produksi dilakukan dengan memplotkan CPUE terhadap upaya penangkapan sehingga akan diperoleh persamaan regresi hubungan antara CPUE dengan upaya. CPUE merupakan indeks kelimpahan suatu sumberdaya ikan dan banyak digunakan dalam pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan (Harley et al. 2001; Hanchet et al. 2005). CPUE dihitung berdasarkan nisbah dari jumlah atau bobot hasil tangkapan yang diperoleh sekelompok atau seorang nelayan terhadap jumlah upaya yang dilakukannya dalam kurun waktu tertentu (Maunder et al 2006). Selanjutnya King (1995) menjelaskan bahwa hasil tangkapan (Y) dapat ditulis menjadi : Y = qBf , di mana q adalah catchability coefficient (koefisien penangkapan) dan f adalah upaya penangkapan, sedangkap Y/f ekuivalen dengan hasil tangkapan per upaya atau Catch per Unit Effort (CPUE) sehingga CPUE = qB atau : B= CPUE ..................................................................................................... (29) q Dengan mensubstitusikan persamaan (29) ke persamaan (28) maka diperoleh : Y = f (CPUE ) = r (CPUE / q )[1 − (CPUE / q ) / (CPUE∞ / q )] ........................... (30) Di mana CPUE∞ adalah hasil tangkapan per upaya dari biomasa maksimum (B∞) dari stok. Jika persamaan 30 dibagi dengan CPUE maka diperoleh persamaan sebagai berukut : f = r CPUE 1 − q CPUE ∞ atau : q CPUE = CPUE ∞ − CPUE ∞ f ................................................................... (31) r 18 Persamaan (31) merupakan persamaan linier, dimana b = - (CPUE∞ q/r) dan a = CPUE sehingga diperoleh persamaan linier : CPUE = a + bf................................................................................................ (32) Jika persamaan (32) dikalikan dengan f maka akan diperoleh persamaan : Y = af + bf2...................................................................................................... (33) Persamaan (33) kemudian dikenal sebagai model Schaefer yang menyatakan bahwa hasil tangkapan berhubungan dengan upaya penangkapan melalui kurva parabola yang simetris (King 1995). Fox (1970) in Spare dan Venema (1998) memperkenalkan model alternatif untuk menduga MSY. Pada model Fox, CPUE diplot dalam bentuk logaritma terhadap upaya sehingga menghasilkan persamaan sebagai berikut : q ln CPUE = ln (K .q ) − f ............................................................................. (34) r Persamaan (34) dapat pula ditulis sebagai berikut : CPUE = exp(c + df ) ....................................................................................... (35) Jika persamaan (35) dikalikan dengan f maka diperoleh persamaan non parabolik sebagai berikut : Y = f exp(c + df) ............................................................................................. (36) Penerapan MSY dalam pengelolaan sumberdaya perikanan telah mendapat kritikan dari para ahli, seperti Larkin (1977) dan Sissenwine (1978). Sebagai tujuan pengelolaan, interpretasi yang statis dari MSY biasanya tidak tepat karena mengabaikan fakta bahwa kelimpahan populasi ikan berfluktuasi secara alami dan biasanya mengalami penurunan jika diterapkan strategi penangkapan konstan (Mace, 2001). Namun demikian, konsep MSY ini masih diadopsi dan digunakan oleh berbagai organisasi dan pemerintahan karena konsep ini cukup sederhana, logis dan dapat melalukan estimasi dengan data terbatas serta belum adanya konsep yang memiliki kualitas yang sama dengan MSY. Oleh karenanya, Mace (2001) kemudian menyatakan bahwa MSY haruslah dipandang sebagai batas jumlah tangkapan yang dihindari dan bukan sebagai tujuan yang hendak dicapai. 19 2.7 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Menurut Cochrane (2002), pengelolaan sumberdaya perikanan didefinisikan sebagai proses yang terpadu dari pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pengambilan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi, dengan penguatan regulasi atau undang-undang yang mengatur aktivitas perikanan agar dapat menjamin keberlanjutan produktivitas sumberdaya dan pencapaian tujuan perikanan lainnya. Dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO 1995) dijelaskan bahwa pengelolaan perikanan adalah suatu kebutuhan besar dan menjadi kebutuhan dunia. Hal ini terjadi karena banyak manusia di muka bumi ini yang bergantung pada perikanan sebagai mata pencahariannya. Namun pemanfaatan sumberdaya perikanan dunia yang begitu penting mengalami beberapa kejadian berikut ini yang menjadi dasar atau alasan pengelolaan sumberdaya perikanan yaitu : 1. Sebagian besar sumberdaya perikanan dunia mengalami tangkap penuh, tangkap lebih, deplesi atau pada kondisi di mana sumberdaya itu harus diselamatkan. Selain karena penangkapan, sumberdaya ikan mengalami degradasi karena kerusakan ekologi dan polusi lingkungan. 2. Kelebihan pemanfaatan sumberdaya perikanan dunia ikut ditentukan oleh perkembangan teknologi yang cepat terutama pemanfaatan Geographical Positioning System (GPS), radar, echo sounder, mesin kapal yang lebih kuat dan besar serta berkembangnya teknologi pengolahan. 3. Status pemanfaatan secara berlebihan sumberdaya perikanan dunia ini adalah resultante dari kegagalan kepemerintahan perikanan (fisheries governance) yang mencakup di dalamnya kegagalan masyarakat, peneliti dan ahli perikanan serta pemerintah sebagai suatu lembaga. Menurut Mees (1996), tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan harus mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi dan biologi. pengelolaan sumberdaya perikanan haruslah difokuskan Oleh karenanya, untuk menjaga keseimbangan aspek sosial, ekonomi dan ekologi. Pada dasarnya, pengelolaan sumberdaya perikanan bertujuan untuk memastikan berapa banyak ikan yang dapat ditangkap dengan sejumlah upaya penangkapan agar sumberdaya tersebut tetap lestari. Model pengelolaan ini lebih 20 dikenal sebagai model pengelolaan konvensional (Hoggart et al. 2006). Selanjutnya Hoggart et al. (2006) menyatakan bahwa model pengelolaan konvensional dapat dilakukan melalui pengaturan jumlah dan ukuran alat tangkap (input control) dan pengaturan jumlah dan ukuran hasil tangkapan (output control). Model pengelolaan non konvensional lebih diarahkan pada upaya konservasi sumberdaya perikanan melalui pendekatan kehati-hatian atau precautionary approach (Garcia dan Cochrane 2005). Menurut Mees (1996), pengelolaan secara biologis dari sumberdaya perikanan tangkap biasanya bertujuan untuk mencegah terjadinya tangkap berlebihan (overfishing) dan mengoptimalisasikan produksi. Overfishing merupakan kondisi dimana level atau laju mortalitas telah menurunkan kapasitas suatu populasi dalam jangka panjang untuk dapat mencapai MSY (Dayton et al., 2002). Overfishing dapat dikategorikan menjadi 4 yakni: 1. Growth overfishing adalah kondisi di mana yang tertangkap berada di bawah ukuran pertumbuhan optimum (Mees 1996; Israel et al. 1997; Hall 2002; Holland 2003). 2. Recruitment overfishing adalah kondisi di mana ikan-ikan dewasa tertangkap dalam jumlah yang besar sehingga proses reproduksi menurun dan dengan sendirinya rekruitmen juga menurun (Israel et al. 1997; Dayton et al. 2002; Kilduff et al. 2009). 3. Ecosystem overfishing adalah kondisi di mana kegiatan penangkapan ikan berdampak terhadap penurunan kualitas ekosistem, termasuk penurunan kelimpahan dan perubahan komposisi spesies, variasi yang luas dari kelimpahan, biomasa dan produksi beberapa spesies, serta perubahan atau kerusakan yang signifikan dari habitat (Israel et al. 1997; Murawski 2000; Dayton et al. 2002). 4. Economic overfishing adalah kondisi di mana peningkatan jumlah upaya penangkapan tidak memberi dampak terhadap kenaikan pendapatan nelayan (Israel et al. 1997). Hinman (1998) menyatakan bahwa permasalahan perikanan dalam konteks ekosistem adalah eksploitasi yang berlebihan, kurangnya perhatian terhadap interaksi predator-mangsa dan hasil tangkapan sampingan yang disebabkan oleh 21 penggunaan alat tangkap yang tidak selektif. Oleh karenanya, Hinman (1998) memberikan 3 rangkaian rekomendasi berkenaan dengan permasalahan perikanan tersebut yaitu : 1. Rangkaian rekomendasi pertama : a. Memberikan prioritas pada pemulihan populasi yang mengalami tangkap lebih pada tingkat yang lebih tinggi dibanding level yang dibutuhkan untuk menghasilkan produksi maksimum lestari. b. Memperbaiki struktur umur yang stabil dan rasio sex dari populasi. c. Mengadopsi dan mengimplementasikan pendekatan kehati-hatian dalam segala hal, termasuk memperkenalkan model perikanan baru atau ekspansi model perikanan yang telah ada. d. Menentukan level penangkapan untuk spesies target yang dilestarikan 2. Rangkaian rekomendasi kedua : a. Memperbaharui seluruh rencana pengelolaan sumberdaya perikanan untuk dapat mengidentifikasi interaksi spesies penting. b. Membuat batasan-batasan dengan mempertimbangkan interaksi tersebut. c. Jika tujuan pengelolaan menghasilkan konflik antar pengguna sumberdaya, maka penyusunan rencana pengelolaan harus didasarkan pada aspek ekologis untuk dapat mengharmonisasikan tujuan tersebut. 3. Rangkaian rekomendasi ketiga : a. Menentukan zona larangan penangkapan untuk daerah-daerah yang telah mengalami tangkap berlebih. b. Menetapkan pembatasan alat tangkap untuk meningkatkan keberlangsungan hidup spesies yang akan dilindungi. Model pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem diadopsi oleh FAO pada FAO Technical Consultation on Ecosystem-based Fisheries Management yang dilangsungkan di Reykjavik (Finlandia) dari 16 sampai 19 September 2002 (FAO 2003). EAF didefinisikan oleh Ward et al. (2002) sebagai perluasan dari model pengelolaan perikanan konvensional dengan secara eksplisit mengenali adanya hubungan saling ketergantungan antara kesejahteraan manusia dan kesehatan ekosistem dan kebutuhan untuk memelihara produktifitas ekosistem bagi generasi sekarang dan yang akan datang seperti konservasi habitat 22 yang kritis, mengurangi polusi dan bungan sampah serta melindungi spesiesspesies yang terancam. Dalam konsultasi para ahli di Reykjavik (FAO 2003) disetujui bahwa tujuan dari pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem adalah merencanakan, mengembangkan dan mengelola perikanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini dan menjamin generasi yang akan datang masih memperoleh manfaat dari ekosistem laut. Oleh karenanya, pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan ditujukan untuk menjaga keseimbangan dari berbagai kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan pengetahuan dan ketidakpastian antara komponen biotik, abiotik dan manusia dari ekosistem dan interaksinya serta mengaplikasikan pendekatan yang terintegrasi pada pengelolaan perikanan dengan batasan-batasan ekologis. 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan mulai tanggal 13 Mei sampai dengan 19 Agustus 2007di perairan Teluk Lasongko, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan bahwa perairan ini merupakan salah satu sentra penangkapan ikan kerapu di Kabupaten Buton. Luas perairan Teluk Lasongko mencapai 13. 6 km2 dan luas areal terumbu karang 279.8 ha atau 20 % dari luas total perairannya. Di perairan ini terdapat 7 areal terumbu karang yang oleh masyarakat lokal disebut pasi yaitu Pasi Lasori, Pasi Bawona, Pasi Bone Marangi, Pasi Bunta, Pasi Madongka, Pasi Lasoring Balano dan Pasi Katembe. Kondisi penutupan karang dari masing-masing areal terumbu karang tersebut berbedabeda mulai dari 35 % hingga 75,7 % (Tabel 3). Tabel 3. Areal terumbu karang di Teluk Lasongko, luas dan presentase penutupan karangnya No I 1 2 3 II 4 5 6 7 Lokasi Karang Zona I Pasi Lasori Pasi Bawona Pasi Bone Marangi Zona II Pasi Bunta Pasi Madongka Pasi’ Bunging Balano Pasi’ Katembe Luas Karang (Ha) Presentase Karang (%) 9,20 122,00 3,60 35,00 36,00 - 73,70 36,00 5,00 90,90 4,40 40,20 72,34 64,90 – 73,70 64,90 – 73,70 64,90 – 73,70 Sumber : Supardan (2006) Untuk lebih memudahkan penelitian ini, dipilih 4 lokasi pengumpulan data yaitu Madongka dan Lasori yang mewakili zona I serta Boneoge dan Lolibu yang mewakili zona II. Keempat lokasi tersebut merupakan pusat pendaratan hasil tangkapan ikan kerapu di Teluk Lasongko. Pengumpulan data dilakukan setiap dua minggu sekali selama penelitian yakni pada tanggal 13 dan 27 Mei 2007, 10 dan 24 Juni 2007, 8 dan 22 Juli 2007 serta 5 dan 19 Agustus 2007 untuk masingmasing lokasi di atas. 24 Gambar 3. Peta lokasi penelitian di Teluk Lasongko 25 3.2 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey. Metode survey merupakan penelitian deskriptif yang menggambarkan/menguraikan sifat dari suatu fenomena/keadaan yang ada pada waktu aktual dan mengkaji penyebab dari gejala-gejala tertentu, bertujuan mengumpulkan data yang terbatas dari sejumlah kasus besar. Selanjutnya, datadata yang diperoleh digunakan untuk mengukur gejala-gejala yang ada tanpa atau dengan memperhitungkan hubungan antara variabel-variabel dan data yang digunakan untuk memecahkan masalah. Data yang dikumpulkan mencakup data primer dan data sekunder yang dijelaskan di bawah ini. 3.2.1 Pengumpulan Data Primer Data primer yang dikumpulkan mencakup jenis dan komposisi ikan kerapu serta frekuensi panjang individu ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko. Prosedur pengumpulan data primer adalah sebagai berikut : 1. Setiap ikan kerapu yang didaratkan dicatat jumlahnya berdasarkan jenis dan lokasi penangkapannya kemudian ditabulasi dalam bentuk tabel. 2. Setiap individu ikan diukur panjang totalnya dengan menggunakan mistar ukur model 118 Wildco yang memiliki ketelitian 0,01 cm kemudian ditabulasi berdasarkan jenis, lokasi penangkapan dan tanggal pengambilan data. 3. Setiap individu ikan ditimbang beratnya dengan menggunakan timbangan elektrik Soehnle yang memiliki ketelitian 0,01 gram, kemudian ditabulasi berdasarkan jenis, lokasi penangkapan dan tanggal pengambilan data. Data jumlah dan berat ikan digunakan untuk menganalisa komposisi ikan kerapu yang tertangkap untuk masing-masing zona, sedangkan data panjang total ikan digunakan untuk menduga laju eksploitasi ikan kerapu di Teluk Lasongko.. 3.2.2 Pengumpulan Data Sekunder Data sekunder yang dikumpulkan adalah data hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan kerapu di Teluk Lasongko Kabupaten Buton tahun 2000 – 2007 yang tersedia di Dinas Perikanan Kabupaten Buton. Data sekunder ini digunakan untuk menduga hasil tangkapan maksimum lestari ikan kerapu di Teluk Lasongko. 26 3.3 Analisa Data 3.3.1 Analisa Komposisi dan Kelimpahan Ikan Kerapu Analisa komposisi dan kelimpahan ikan kerapu berdasarkan pembagian zona terumbu karang baik dan buruk digunakan untuk mengetahui kondisi stok ikan kerapu saat ini. Analisa komposisi ikan kerapu dilakukan dengan menggunakan metode statistik deskriptif sebagai berikut : 1) Data hasil tangkapan ikan kerapu yang didaratkan oleh nelayan dihitung jumlahnya untuk tiap jenis ikan kemudian ditabulasi dalam bentuk tabel. 2) Rata-rata hasil tangkapan selama penelitian dihitung untuk tiap bulannya. 3) Komposisi ikan hasil tangkapan ditentukan berdasarkan presentase jumlah tangkapan dan diurutkan menurut besarnya presentase jumlah tangkapan tersebut. 3.3.2 Pendugaan Hasil Tangkapan Maksimum Lestari Pendugaan hasil tangkapan maksimum lestari atau Maximum Sustainable Yield (MSY) dilakukan dengan menggunakan Model Surplus Produksi. Hasil tangkapan maksimum dapat diestimasi dari data input sebagai berikut (Sparre dan Venema 1998): - f(i) = upaya dalam tahun ke i; i = 1,2,3,....,n - Y(i)/f(i) = hasil tangkapan (dalam berat) tahun ke-i per unit usaha pada tahun ke-i, di mana i = 1,2,3,...n Di Teluk Lasongko, ikan kerapu ditangkap dengan menggunakan alat tangkap pancing biasa dan bubu. Oleh karenanya, standarisasi upaya harus dilakukan terlebih dahulu sebelum digunakan untuk menduga besarnya MSY. Standarisasi upaya dapat dilakukan dengan langkah-langkah (Gulland 1983; Sparre dan Venema 1998) sebagai berikut : 1. Upaya dan hasil tangkapan masing-masing upaya dihitung totalnya hingga tahun ke-i, di mana i = 1,2,3,...,n 2. CPUE dihitung untuk masing-masing upaya. 3. Total upaya terbesar dari kedua jenis upaya dipilih sebagai standar dalam menghitung Fishing Power Indeks (FPI). 27 4. Jika upaya terbesar adalah bubu maka FPI bubu = FPI pancing = CPUE Pancing CPUE Bubu CPUE Bubu CPUE Bubu dan , demikian pula sebaliknya. 5. Upaya standar untuk tahun ke-i di mana i = 1,2,3,...,n dihitung melalui persamaan berikut : Upaya standar = (upaya bubu tahun ke-i x FPIbubu) + (upaya pancing tahun ke-i x FPIpancing) Selanjutnya, upaya standar yang diperoleh dapat digunakan untuk menduga MSY dengan menggunakan model Schaefer atau model Fox. Dalam model Schaefer, hasil tangkapan per upaya penangkapan sebagai suatu fungsi dari upaya adalah model linear yang sebagai berikut : Y(i)/f(i) = a + bf(i) , bila f(i) < -a/b .................................................................. (1) Jika Y(i)/f(i) adalah peubah tak bebas yang disimbolkan dengan y, dan f(i) adalah peubah bebas yang disimbolkan dengan x, maka diperoleh persamaan : y = a + bx ........................................................................................................... (2) Model Fox berbentuk logaritma yang jika dilinierkan menjadi sebagai berikut : Y (i ) q = ln (K .q ) − f (i ) ............................................................................ (3) ln r f (i ) Jika ln (Y(i)/f(i)) adalah peubah tak bebas yang disimbolkan dengan y, dan f(i) adalah peubah bebas yang disimbolkan dengan x, maka diperoleh persamaan sebagai berikut : y = c + dx ..................................................................................................... (4) Dengan analisis regresi linier menggunakan metoda kuadrat terkecil, akan diperoleh nilai b atau d dari data runtut waktu selama n tahun sebagai berikut: n n n n ∑ ( xi yi ) − ∑ xi ∑ yi i=1 i=1 b atau d = i =1 2 n n 2 n∑ xi − ∑ xi i =1 i =1 ......................................................... (5) Nilai a atau c dihitung melalui persamaan sebagai berikut : a = y − bx ........................................................................................................... (6) c = y − dx ........................................................................................................... (7) 28 Selanjutnya dilakukan perhitungan koefisien determinasi (R2) untuk mengetahui berapa persen dari data dapat dijelaskan oleh model regresi linier (2) atau (4) melalui persamaan sebagai berikut : n n∑ xi yi i =1 2 n n − ∑ xi n∑ yi i =1 i =1 R2 = ................................................. (8) n 2 n 2 n 2 n 2 n x − x n y − y ∑ i ∑ i ∑ i i ∑ i =1 i =1 i =1 i =1 Jika nilai R2 untuk persamaan regresi model Schaefer lebih besar dari R2 persamaan regresi model Fox, maka perhitungan MSY dilakukan dengan model Schaefer, demikian pula sebaliknya. Setelah nilai a, b, c dan d diperoleh maka dilakukan perhitungan nilai MSY dan upaya optimum (fopt). Perhitungan nilai MSY dan fopt untuk model Schaefer adalah sebagai berikut : a2 4b MSY = − f opt = − a 2b ..................................................................................................... (9) .....................................................................................................(10) Sedangkan untuk model Fox adalah sebagai berikut : 1 MSY = − e c −1 ....................................................................................................(11) d f opt = − 1 d .....................................................................................................(12) 3.3.3 Pendugaan Laju Eksploitasi Ikan Kerapu Data primer berupa data frekuensi panjang individu ikan kerapu digunakan untuk menduga laju eksploitasi ikan kerapu. Pendugaan laju eksploitasi ikan kerapu dilakukan dengan penentuan parameter-paremeter pertumbuhan ikan kerapu terlebih dahulu berdasarkan persamaan von Bertalanffy yaitu : ( ) L(t ) = L∞ 1 − e − k (t −t0 ) .......................................................................................... (4) Lt adalah panjang ikan pada waktu t; L∞ adalah panjang asimtotik; K adalah koefisien laju pertumbuhan; to adalah umur teoritis pada saat L = 0; dan t adalah waktu pada saat panjang ikan = L(t) 29 Untuk menentukan nilai L∞ dilakukan dengan menggunakan metode PowellWetherall (Sparre dan Venema 1998; Gayanilo et al. 2005) dengan persamaan sebagai berikut : L − L' = a + bL' .................................................................................................... (5) L' adalah batas bawah kelas panjang ikan yang berada pada kondisi penangkapan L + L' , sehingga : penuh, sedangkan L = ∞ 1 + (Z / K ) L∞ = − a ........................................................................................................... (6) b Dalam prakteknya, pendugan nilai L∞ dilakukan menggunakan metode PowellWetherall dalam paket FiSAT II. Nilai L∞ yang diperoleh kemudian digunakan sebagai dugaan awal L∞ untuk memperoleh nilai K dengan menggunakan program ELEFAN I dalam paket FiSAT II (Gayanilo et al. 2005) Nilai to dihitung dengan menggunakan persamaan empiris Pauly (1980) sebagai berikut : Log (-to) = -0,3922 – 0,2752 Log L∞ - 1,038 Log K .......................................... (7) Setelah parameter-parameter pertumbuhan ikan kerapu diketahui maka dilakukan pendugaan laju mortalitas (Z) berdasarkan persamaan Beverton dan Holt (Sparre dan Venema, 1998) sebagai berikut: Z=K (L − L ) (L − L') ∞ ................................................................................................. (8) L adalah panjang rata-rata ukuran, L’ adalah panjang di mana semua ikan pada ukuran tersebut dan lebih panjang berada pada penangkapan penuh. L’ dapat pula dianggap sebagai batas kelas bawah dari interval kelas panjang (Sparre dan Venema 1999). Selanjutnya dilakukan pendugaan laju mortalitas alami (M) berdasarkan persamaan empirik Pauly (1980) sebagai berikut : Log (M) = - 0.0066 – 0.279 log (L∞) + 0.6543 log (k) + 0.4634 log (T) ........... (9) T adalah temperatur perairan Nilai Z dan M digunakan untuk menduga kematian ikan akibat penangkapan (F) dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : F = Z – M ...........................................................................................................(10) 30 Berdasarkan nilai Z dan F maka laju eksploitasi ikan kerapu (E) dapat diduga dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : E = F ...........................................................................................................(11) Z 4. HASIL PENELITIAN 4.1 Komposisi Hasil Tangkapan Ikan Kerapu Selama penelitian, ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko terdiri dari empat spesies yaitu ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), kerapu lumpur (Epinephelus coioides) dan kerapu sunu (Plectropomus leopardus). sebanyak 1 783 ekor. Total jumlah ikan kerapu yang tertangkap Dari keempat jenis ikan kerapu, ikan kerapu lumpur merupakan ikan kerapu yang paling banyak tertangkap yakni 755 ekor (42.34) dan paling sedikit adalah kerapu tikus sebanyak 76 ekor (4.26 %). Gambar 4 memperlihatkan komposisi jumlah ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko selama penelitian. Kerapu Sunu 29.11% Kerapu Tikus 4.26% Kerapu Macan 24.28% Kerapu Lumpur 42.34% Gambar 4. Presentase jumlah ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko selama bulan Mei – Agustus 2007 Berdasarkan lokasi penangkapan, ikan kerapu paling banyak tertangkap di Pasi Madongka (413 ekor) sedang paling sedikit tertangkap di Pasi Lasori (155 ekor). Ikan kerapu tikus paling banyak tertangkap di Pasi Bunta sebanyak 19 ekor dan paling sedikit di Pasi Lasori dan Pasi Bone Marangi masing-masing sebanyak 2 ekor. Selanjutnya, ikan kerapu macan paling banyak tertangkap di Pasi Madongka sebanyak 118 ekor dan paling sedikit di Pasi Lasori sebanyak 32 ekor. Ikan kerapu lumpur paling banyak tertangkap di Pasi Madongka sebanyak 149 ekor dan paling sedikit di Pasi Lasori sebanyak 76 ekor. Ikan kerapu sunu paling banyak tertangkap di Pasi Madongka sebanyak 133 ekor dan paling sedikit di Pasi 32 Bone Marangi sebanyak 38 ekor. Lebih lengkapnya, jumlah ikan yang tertangkap berdasarkan jenis dan lokasi penangkapannya dapat dilihat pada Gambar 5. 160 149 133 140 Jumlah Ikan (ekor) 120 119 118 120 112 97 95 100 84 78 76 80 70 60 58 60 52 51 45 38 32 40 82 38 19 20 2 Pasi Lasori Pasi Bone M arangi 16 13 7 2 17 0 Pasi Bawona Kerapu Tikus Pasi Bunta Kerapu Macan Pasi M adongka Pasi Bunging Pasi Katembe Balano Kerapu Lumpur Kerapu Sunu Gambar 5. Jumlah ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko berdasarkan jenis dan lokasi penangkapannya selama bulan Mei – Agustus 2007 Gambar 6 memperlihatkan jumlah ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko berdasarkan presentase penutupan karang lokasi penangkapannya. Terlihat bahwa lokasi penangkapan di Zona II memiliki hasil tangkapan yang lebih banyak (1.255 ekor) dibanding lokasi penangkapan Zona I (528 ekor). Demikian pula dengan masing-masing jenis ikan kerapu, ikan kerapu tikus, macan, lumpur dan sunu lebih banyak tertangkap di Zona I dibanding Zona II. 600 500 Jumlah Ikan (ekor) 500 378 400 Kerapu Tikus 312 300 255 Kerapu Macan Kerapu Lumpur Kerapu Sunu 200 121 100 141 65 11 0 Zona I Zona II Gambar 6. Jumlah ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko berdasarkan zona selama bulan Mei – Agustus 2007 33 Total berat ikan yang tertangkap selama penelitian mencapai 1.716,97 kg atau 1,716 ton. Dari total berat tersebut, ikan kerapu lumpur memiliki total berat tertinggi yakni 774,71 kg (45,12 %) diikuti oleh ikan kerapu sunu dengan total berat 517,87 kg (30,16 %), ikan kerapu macan 376,90 (21,95 %) dan paling sedikit adalah kerapu tikus dengan total berat 47,48 kg (2,77 %). Gambar 7 memperlihatkan presentase total berat ikan kerapu yang tertangkap untuk masingmasing jenis ikan Kerapu Tikus 2.77% Kerapu Macan 21.95% Kerapu Sunu 30.16% Kerapu Lumpur 45.12% Gambar 7. Presentase total berat ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko berdasarkan jenisnya selama bulan Mei – Agustus 2007 Seperti halnya jumlah ikan yang tertangkap, total berat ikan di Zona II lebih tinggi dibanding di Zona I (Gambar 8). Total berat ikan yang tertangkap di Zona II mencapai 1 293.95 kg (76.36 %) sedangkan di Zona I mencapai 423.02 kg (24.64 %). Zona I 24.64% Zona II 75.36% Gambar 8. Presentase total berat ikan yang tertangkap berdasarkan zona penangkapan di Teluk Lasongko selama bulan Mei – Agustus 2007 34 600 533 Jum lah ikan (ekor) 500 384 400 Kerapu Tikus 336 Kerapu Macan 300 Kerapu Lumpur 222 200 100 135 Kerapu Sunu 97 62 14 0 Bubu Pancing Gambar 9. Jumlah ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko berdasarkan jenis alat tangkap selama bulan Mei – Agustus 2007 Di Teluk Lasongko, alat tangkap yang digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan kerapu terdiri dari alat tangkap bubu dan pancing. Dari kedua jenis alat tangkap tersebut, alat tangkap bubu memiliki jumlah hasil tangkapan yang lebih banyak dibanding alat tangkap pancing. Jumlah ikan kerapu yang tertangkap dengan alat tangkap bubu mencapai 1 315 ekor (73.75 %) sedangkan alat tangkap pancing mencapai 468 ekor (26.25 %). Lebih jelasnya, jumlah ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko berdasarkan jenis alat tangkap yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 9. 4.2 Hasil Tangkapan Maksimum Lestari Ikan Kerapu Seperti telah dijelaskan bahwa ikan kerapu di Teluk Lasongko ditangkap dengan menggunakan alat tangkap bubu dan pancing. Dari kedua jenis alat tangkap tersebut, alat tangkap bubu lebih banyak digunakan oleh nelayan (38.5%) dibanding alat tangkap pancing (61.5%). Tabel 4 memperlihatkan perkembangan jumlah alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Teluk Lasongko tahun 2000 – 2007. Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa jumlah alat tangkap pancing cenderung konstan sedangkan alat tangkap bubu cenderung menurun, kendati terjadi peningkatan pada tahun 2006 dan 2007. 35 Tabel 4. Jumlah alat tangkap di Teluk Lasongko tahun 2000 - 2007 Jumlah Alat Tangkap (unit) Pancing Bubu 2000 1.345 1 440 2 2001 437 1.345 3 2002 439 504 4 2003 440 390 5 2004 443 365 6 2005 441 362 7 2006 438 612 8 2007 438 693 Sumber : Diolah dari data statistik perikanan Kabupaten Buton (2008) No Tahun Karena ikan kerapu di Teluk Lasongko ditangkap dengan menggunakan dua jenis alat maka sebelum dilakukan pendugaan MSY terlebih dahulu dilakukan standarisasi upaya. Sebelumnya dilakukan perhitungan nilai fishing power index (FPI) dari masing-masing alat tangkap. Tabel 5 memperlihatkan upaya hasil standarisasi dan total hasil tangkapan masing-masing jenis ikan kerapu di Teluk Lasongko. Dapat dilihat bahwa upaya standar cenderung menurun, kendati terjadi peningkatan pada tahun 2006 dan 2007. Penurunan drastis terjadi pada tahun 2002 di mana terjadi penurunan lebih dari setengah jumlah upaya tahun sebelumnya. Penurunan ini terus berlanjut hingga tahun 2005 dan kemudian meningkat pada tahun 2006 dan 2007, kendati jumlah upaya tersebut masih sekitar setengah dari jumlah upaya pada tahun 2001. Tabel 5. Jumlah upaya standar dan hasil tangkapan ikan kerapu di Teluk Lasongko tahun 2000 - 2007 Upaya Standar (unit upaya) No Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2000 Kerapu Tikus 110 94 66 66 71 42 74 50 Hasil tangkapan (ton) Kerapu Macan Kerapu Lumpur Kerapu Sunu Kerapu Tikus Kerapu Macan Kerapu Lumpur Kerapu Sunu 399 398 211 185 180 179 234 253 581 575 303 269 265 256 344 368 445 448 239 210 202 204 265 287 3.52 4.42 3.94 2.65 3.44 3.58 3.54 3.55 28.62 35.96 32.05 21.55 28.00 29.12 28.80 28.89 58.84 73.92 65.89 44.30 57.56 59.86 59.21 59.38 39.33 49.41 44.04 29.61 38.48 40.01 39.58 39.69 Sumber : Diolah dari data statistik perikanan Kabupaten Buton (2008) Hasil tangkapan per satuan upaya atau catch per unit effort (CPUE) ikan kerapu di Teluk Lasongko cenderung berfluktuasi dari tahun ke tahun untuk 36 masing-masing jenisnya (Gambar 10). Peningkatan yang signifikan terjadi pada tahun 2002. Kendati pada tahun 2003 terjadi penurunan, namun kemudian meningkat kembali hingga mencapai nilai tertinggi pada tahun 2005, lalu menurun kembali pada tahun 2006 dan 2007. CPUE (ton/satuan upaya) 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Tahun Kerapu Tikus Kerapu Macan Kerapu Lumpur Kerapu Sunu Gambar 10. Hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) ikan kerapu di Teluk Lasongko tahun 2000 – 2007 Tabel 6. Koefisien regresi dan determinasi antara CPUE atau ln CPUE dengan upaya standar Koefisien Determinasi (R2) Model Model Fox Schaefer 0.7196 0.7496 1 Kerapu tikus Koefisien regresi Model Schaefer Model Fox a b c d 0.1014 -0.00066 -2.0841 -0.0123 2 Kerapu Macan 0.2011 -0.00031 -1.4209 -0.0028 0.7672 0.8140 3 Kerapu Lumpur 0.2860 -0.00030 -1.0676 -0.0019 0.7640 0.8133 4 Kerapu Sunu 0.2444 -0.00033 -1.2278 -0.0024 0.7638 0.8092 No Jenis Ikan Melalui metode regresi sederhana antara CPUE (model Schaefer) atau ln CPUE (model Fox) dengan upaya standar diperoleh nilai koefisien regresi dan koefisien determinasi (R2) untuk masing-masing jenis ikan kerapu seperti yang ditunjukan pada Tabel 6. Dari Tabel 6 tersebut di atas dapat dilihat bahwa nilai R2 untuk model Fox lebih besar dari model Schaefer sehingga model Fox lebih cocok digunakan dalam perhitungan nila MSY dan fopt ikan kerapu. 37 Berdasarkan nilai koefisien regresi pada Tabel 5 kemudian dapat disusun persamaan hubungan antara jumlah hasil tangkapan dengan upaya penangkapan sebagai berikut : - Kerapu tikus : y = x.exp(-2.0841 – 0.0123x) - Kerapu macan : y = x.exp(-1.4209 – 0.0028x) - Kerapu lumpur : y = x.exp(-1.0676 – 0.0019x) - Kerapu sunu : y = x.exp(-1,2278 – 0.0024x) 70 65 60 Hasil tangkapan (ton) 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 25 75 125 175 225 275 325 375 425 475 525 575 625 675 725 775 825 Upaya (Satuan upaya) Kerapu Tikus Kerapu Macan Kerapu Lumpur Kerapu Sunu Gambar 11. Kurva hubungan antara upaya penangkapan dan jumlah hasil tangkapan ikan kerapu di Teluk Lasongko Gambar 11 memperlihatkan kurva hubungan antara upaya penangkapan dengan hasil tangkapan masing-masing jenis ikan kerapu di Teluk Lasongko. Kurva-kurva tersebut berbentuk parabola asimetris yang menunjukkan bahwa hasil tangkapan akan meningkat dengan bertambahnya jumah upaya hingga mencapai titik maksimal dan kemudian menurun walau terjadi penambahan jumlah upaya. 38 Tabel 7. Nilai MSY dan fopt ikan kerapu di Teluk Lasongko No 1 2 3 4 Jenis Ikan Kerapu tikus Kerapu Macan Kerapu Lumpur Kerapu Sunu Fopt (unit upaya) MSY (ton) Total 81 357 526 417 3.72 31.73 66.57 44.90 Pancing 30 160 175 150 Bubu 51 197 351 267 Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan model Fox diperoleh nilai MSY dan fopt seperti yang ditunjukkan pada Tabel 7. Dari Tabel 7 tersebut dapat dilihat bahwa ikan kerapu lumpur memiliki nila MSY tertinggi (66.57 ton/tahun) dan yang paling rendah adalah ikan kerapu tikus (3.72 ton/tahun). Dengan menggunakan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach), Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia menetapkan jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan (JHB) sebesar 80 % dari MSY (Barani 2004; Mous et al. 2005). Berdasarkan hal tersebut maka JHB ikan kerapu di Teluk Lasongko adalah 2.98 ton pertahun untuk kerapu tikus, 25.38 ton pertahun untuk ikan kerapu macan, 53.26 ton pertahun untuk kerapu lumpur dan 35.92 ton pertahun untuk ikan kerapu sunu. 4.3 Frekuensi Panjang Ikan Kerapu Tabel 8 memperlihatkan panjang rata-rata ikan kerapu untuk masing-masing jenisnya. Dapat dilihat bahwa secara umum, jumlah ikan kerapu yang tertangkap di zona dengan penutupan karang baik (Zona II) lebih dibanding pada zona dengan penutupan karang rendah (Zona I). Demikian pula dengan panjang ratarata untuk masing-masing jenis ikan di mana panjang rata-rata ikan kerapu di zona II lebih panjang dibanding pada zona I. Tabel 8. Jumlah dan panjang ikan kerapu berdasarkan jenisnya Zona I No Parameter Zona II Kerapu tikus 11 Kerapu macan 121 Kerapu lumpur 255 Kerapu sunu 141 Kerapu tikus 65 Kerapu macan 312 Kerapu lumpur 500 Kerapu sunu 378 25.22 34.59 39.34 36.54 26.68 37.94 41.21 39.52 4.72 5.74 6.52 5.03 5.58 6.39 5.24 5.21 1 Jumlah (ekor) 2 Panjang rata-rata (cm) 3 Standar deviasi (cm) 4 Panjang maksimum (cm) 47.40 65.50 74.20 63.40 49.40 68.20 78.30 68.70 5 Panjang minimum (cm) 10.09 13.40 13.50 13.70 11.50 14.40 14.50 13.50 39 Gambar 12 memperlihatkan panjang rata-rata ikan kerapu berdasarkan jenis dan lokasi penangkapannya. Terlihat bahwa panjang rata-rata ikan kerapu tertinggi ditangkap di Pasi Madongka dan terpendek di Pasi Bawona. 45 Panjang rata-rata (cm) 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Pasi Lasori Pasi Bone Marangi Pasi Bawona Kerapu Tikus Pasi Bunta Kerapu Macan Pasi Madongka Kerapu Lumpur Pasi Bunging Pasi Katembe Balano Kerapu Sunu Gambar 12. Panjang rata-rata ikan kerapu yang tertangkap di Teluk Lasongko bulan Mei – Agustus 2007 Berdasarkan jenisnya, ikan kerapu tikus terpanjang ditangkap di Pasi Bunta dengan panjang 49.40 cm sedangkan terpendek tertangkap di Pasi Bawona dengan panjang 10.09 cm. Ikan kerapu tikus terbanyak tertangkap berada pada selang kelas 25.2 – 30.0 cm sebanyak 18 ekor dan paling sedikit berada pada selang kelas 45.1 – 50.0 sebanyak 3 ekor (Gambar 14). Selanjutnya, ikan kerapu macan paling banyak tertangkap berada pada selang kelas 37.1 – 42.0 sebanyak 98 ekor dan paling sedikit berada pada selang kelas 67.1 – 72.0 sebanyak 4 ekor (Gambar 15). Ikan kerapu macan terpendek diperoleh dari Pasi Bone Marangi dengan panjang 13.4 cm dan terpanjang diperoleh dari Pasi Madongka dengan panjang 68.2 cm. Ikan kerapu lumpur paling banyak tertangkap pada selang kelas 47.1 – 52.0 sebanyak 127 cm dan paling sedikit berada pada selang kelas 77.1 – 82.0 sebanyak 4 ekor (Gambar 16). Ikan kerapu lumpur terpendek ditangkap di Pasi Lasori dengan panjang 13.5 cm sedangkan terpanjang ditangkap di Pasi Madongka dengan panjang 78.3 cm. Ikan kerapu sunu paling banyak tertangkap berada pada selang kelas 37.1 – 42.0 sebanyak 102 ekor dan paling sedikit berada pada selang kelas 67.1 – 72.0 sebanyak 2 ekor (Gambar 17). Ikan kerapu sunu terpendek ditangkap di Pasi Bunging Balano dengan panjang 13.5 cm sedangkan terpanjang ditangkap di Pasi Bunta dengan panjang 68.7 cm. 40 3 13 Me i 2007 2 1 0 4 12,5 17,5 22,5 27,5 32,5 3 7,5 4 2,5 47,5 27 Me i 2007 3 2 1 0 12,5 17,5 22,5 27,5 3 2,5 37 ,5 4 42,5 47,5 10 Juni 2007 3 2 1 0 Frekuensi (ekor) 12,5 17,5 22,5 27,5 32 ,5 37,5 42,5 47 ,5 3 24 Juni 2007 2 1 0 3 12,5 17,5 22,5 27,5 3 2,5 37 ,5 42,5 47,5 8 Jul i 2007 2 1 0 3 12,5 17,5 22,5 27,5 1 2 3 4 32,5 37,5 42,5 47,5 22 Jul i 2007 2 1 0 5 6 3 7 8 5 Agustus 2007 2 1 0 1 4 2 3 4 5 6 7 8 19 Agu stus 2007 3 2 1 0 12.5 17.5 22.5 27.5 32.5 37.5 42.5 47.5 Panjang tengah kelas (cm) Gambar 13. Histogram distribusi frekuensi panjang ikan kerapu tikus 41 16 14 12 10 8 6 4 2 0 14 13 Mei 2007 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 12 10 27 Mei 2007 8 6 4 2 0 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 10 10 Juni 2007 8 6 4 2 Frekuensi (ekor) 0 16 14 12 10 8 6 4 2 0 1 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 24 Juni 2007 2 3 4 5 6 7 8 9 10 10 11 12 8 Juli 2007 8 6 4 2 0 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 10 22 Juli 2007 8 6 4 2 0 14 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 12 10 5 Agustus 2007 8 6 4 2 0 14 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 12 10 8 19 Agustus 2007 6 4 2 0 14.5 19.5 24.5 29.5 34.5 39.5 44.5 49.5 54.5 59.5 64.5 69.5 Panjang tengah kelas (cm) Gambar 14. Histogram distribusi frekuensi panjang ikan kerapu macan 42 16 13 Mei 2007 14 12 10 8 6 4 2 0 16 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 14 12 13 14 27 Mei 2007 12 10 8 6 4 2 0 18 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 16 12 13 14 24 Juni 2007 14 12 10 8 6 4 2 0 16 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 14 12 13 14 10 Juni 2007 Frekuensi (ekor) 12 10 8 6 4 2 0 18 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 16 12 13 14 8 Juli 2007 14 12 10 8 6 4 2 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 20 18 16 12 13 14 22 Juli 2007 14 12 10 8 6 4 2 0 18 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 16 12 13 14 5 Agustus 2007 14 12 10 8 6 4 2 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 18 19 Agustus 2007 16 14 12 10 8 6 4 2 0 14.5 19.5 24.5 29.5 34.5 39.5 44.5 49.5 54.5 59.5 64.5 69.5 74.5 79.5 Panjang tengah kelas (cm) Gambar 15. Histogram distribusi frekuensi panjang ikan kerapu lumpur 43 14 13 Me i 2007 12 10 8 6 4 2 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 12 27 Me i 2007 10 8 6 4 2 0 1 4 ,5 1 9 ,5 2 4 ,5 2 9 ,5 34,5 39,5 4 4,5 4 9 ,5 5 4 ,5 18 5 9 ,5 6 4 ,5 6 9 ,5 10 Juni 2007 16 14 12 10 8 6 4 2 0 18 1 4 ,5 1 9 ,5 2 4 ,5 2 9 ,5 34,5 39,5 44,5 4 9,5 5 4 ,5 5 9 ,5 Frekuensi (ekor) 16 6 4 ,5 6 9 ,5 24 Juni 2007 14 12 10 8 6 4 2 0 1 4 ,5 1 9 ,5 2 4 ,5 2 9 ,5 34,5 39,5 4 4,5 4 9 ,5 5 4 ,5 5 9 ,5 6 4 ,5 6 9 ,5 12 8 Jul i 2007 10 8 6 4 2 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 12 11 12 22 Juli 2007 10 8 6 4 2 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 14 10 11 12 5 Agustus 2007 12 10 8 6 4 2 0 1 16 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 19 Agus tus 2007 14 12 10 8 6 4 2 0 14.5 19.5 24.5 29.5 34.5 39.5 44.5 49.5 54.5 59.5 64.5 69.5 Panjang tengah kelas (cm) Gambar 16. Histogram distribusi frekuensi panjang ikan kerapu sunu 44 4.4 Parameter Pertumbuhan Hasil estimasi panjang asimptotik (L∞) ikan kerapu di Teluk Lasongko dengan menggunakan metode Powell-Wetherall adalah 62.34 cm untuk kerapu tikus; 75.91 cm untuk ikan kerapu macan; 94.61 cm untuk kerapu lumpur; dan kerapu sunu sebesar 75.68 cm. Nilai estimasi L∞ yang diperoleh kemudian digunakan sebagai dugaan awal untuk estimasi nilai koefisien pertumbuhan (K) dengan menggunakan ELEFAN I. Hasil estimasi K yang diperoleh adalah 0.24 tahun-1 untuk kerapu tikus; 0.25 tahun-1 untuk kerapu macan; 0.31 tahun-1 untuk ikan kerapu lumpur dan 0.21 tahun-1 untuk kerapu sunu. Berdasarkan hasil estimasi parameter pertumbuhan maka dapat disusun persamaan pertumbuhan van Bertalanffy sebagai berikut : - Ikan kerapu tikus : Lt = 62.34 (1 – e-0.24 (t + 0.26)) - Ikan kerapu macan : Lt = 75.91 (1 – e-0.25 (t + 0.25)) - Ikan kerapu lumpur : Lt = 94.61 (1 – e-0.31 (t + 0.31)) - Ikan kerapu sunu : Lt = 75.68 (1 – e-0.29 (t + 0.21)) Dari persamaan pertumbuhan van Bertalanffy yang telah disajikan di atas maka dapat dibuat grafik pertumbuhan ikan kerapu. Grafik pertumbuhan ikan kerapu untuk masing-masing jenis dapat dilihat pada Gambar 17. 100 90 Panjang total (cm) 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0 2.5 5.0 7.5 10.0 12.5 15.0 17.5 20.0 Umur (tahun) Kerapu Macan Kerapu Lumpur Kerapu Sunu Kerapu Tikus Gambar 17. Grafik pertumbuhan ikan kerapu di Teluk Lasongko 45 Tabel 9. Parameter pertumbuhan ikan kerapu berdasarkan zona penangkapan No 1 2 3 Jenis Ikan Kerapu Macan Kerapu Lumpur Kerapu Sunu L∞ 69.23 86.11 70.84 Zona I K 0.29 0.31 0.27 t0 - 0.24 - 0.21 - 0.25 L∞ 74.24 93.32 74.43 Zona II K 0.23 0.29 0.25 t0 - 0.27 - 0.28 - 0.24 Berdasarkan zona penangkapan, L∞ pada zona II lebih panjang dibanding pada zona I (Tabel 9.). Dapat pula dilihat bahwa nilai K pada zona I lebih tinggi dibanding zona II. Parameter pertumbuhan kerapu tikus pada masing-masing zona tidak dilakukan karena ukuran contoh yang sedikit. 4.5. Laju Mortalitas dan Laju Eksploitasi Laju mortalitas (Z), mortalitas alami (M), mortalitas penangkapan (F) dan laju eksploitasi ikan kerapu di Teluk Lasongko dapat dilihat pada Tabel 10. Dapat dilihat bahwa ikan kerapu tikus memiliki laju mortalitas paling tinggi di antara keempat jenis ikan kerapu. Tabel 10. Nilai Z, M, F dan E ikan kerapu di Teluk Lasongko No 1 2 3 4 Jenis ikan Kerapu tikus Kerapu macan Kerapu lumpur Kerapu sunu Z (tahun-1) 1.66 1.03 1.24 1.01 M (tahun-1) 0.82 0.49 0.59 0.49 F (tahun-1) 0.85 0.54 0.65 0.52 E(tahun-1) 0,51 0,53 0,52 0,51 Berdasarkan nilai-nilai Z, M dan F kemudian dapat diduga laju eksploitasi untuk masing-masing jenis ikan kerapu di Teluk Lasongko. Laju eksploitasi (E) dihitung dengan menggunakan persamaan E = F/Z. Nilai E dari masing-masing jenis ikan kerapu dapat dilihat pada Tabel 10. Dari Tabel 10 tersebut dapat dilihat bahwa laju eksploitasi dari keempat jenis ikan kerapu tersebut tidak jauh berbeda. 46 Tabel 11. Nilai Z, M, F dan E ikan kerapu berdasarkan zona penangkapan No 1 2 3 4 1 2 3 4 Parameter Zona I Z (tahun-1) M (tahun-1) F (tahun-1) E (tahun-1) Zona II Z (tahun-1) M (tahun-1) F (tahun-1) E (tahun-1) Kerapu Macan Kerapu lumpur Kerapu sunu 1.51 0.76 0.76 0.50 1.57 0.81 0.76 0.48 1.48 0.78 0.70 0.47 1.39 0.64 0.75 0.54 1.44 0.68 0.76 0.53 1.43 0.69 0.74 0.52 Berdasarkan zona penangkapannya, laju mortalitas total ikan kerapu di Zona I lebih tinggi dibanding Zona II (Tabel 11). Mortalitas alami di Zona I cenderung lebih tinggi dibanding mortalitas akibat penangkapan, sedangkan pada zona II mortalitas akibat penangkapan lebih tinggi dibanding mortalitas alaminya. Namun demikian, laju eksploitasi dari masing-masing zona penangkapan tidak jauh berbeda. 5. PEMBAHASAN 5.1. Potensi Sumberdaya Ikan Kerapu Penelitian tentang potensi sumberdaya ikan kerapu di Teluk Lasongko belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian tentang potensi sumberdaya perikanan pertama di Teluk Lasongko pertama kali dilakukan oleh Supardan (2006), namun hanya mengkonfirmasikan besarnya potensi sumberdaya secara umum. Supardan (2006) hanya menghitung potensi sumberdaya di perairan ini berdasarkan kategori ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal, ikan karang konsumsi dan ikan berkulit keras. Secara umum, perikanan kerapu di Teluk Lasongko masih tergolong tradisional dan berskala kecil. Alat tangkap yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan kerapu masih sederhana yaitu bubu dan pancing. Menurut Berkes (2003), perikanan tradisional dan berskala kecil dicirikan oleh penggunaan alat tangkap yang tradisional seperti jaring, pancing dan perangkap serta memiliki keanekaragaman jenis hasil tangkapan. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan selama penelitian dikerahui bahwa ikan kerapu di Teluk Lasongko ditangkap dengan menggunakan alat tangkap bubu dan pancing. Menurut nelayan, kualitas hasil tangkapan kerapu dengan alat tangkap bubu yang lebih baik dibanding alat tangkap pancing. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nababan (2006) yang menyatakan bahwa nelayan di Sulawesi lebih memilih alat tangkap bubu dibanding pancing karena hasil tangkapan bubu biasanya tidak luka, mempunyai fisik yang baik dan dapat bertahan hidup lebih lama baik pada saat penangkapan, penampungan maupun perjalanan ke negara tujuan eksport. Selain itu, ikan kerapu hasil tangkapan bubu mempunyai harga yang lebih mahal dibanding hasil tangkapan pancing. Potensi sumberdaya perikanan umumnya diekspresikan sebagai hasil tangkapan maksimum lestari atau maximum sustainable yield (MSY). Menurut Mous et al. (2000), idealnya nilai MSY ikan kerapu sebesar 1 ton per hektar terumbu karang per tahun. Namun, Mous et al. (2000) juga menyatakan bahwa untuk tujuan konservasi maka nilai MSY ikan kerapu harus memiliki nilai 0.5 ton 48 per hektar terumbu karang per tahun. Berdasarkan hal tersebut, dengan luas areal terumbu karang 275.3 hektar maka idealnya nilai MSY ikan kerapu di Teluk Lasongko adalah sebesar 275.3 ton pertahun sedang untuk tujuan konservasi bernilai 137.65 ton. Tentunya nilai tersebut lebih besar dibanding nilai MSY yang diperoleh dari penelitian ini untuk masing-masing jenis ikan kerapu. Rendahnya nilai MSY ikan kerapu di Teluk Lasongko ini menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan stok untuk masing-masing jenis ikan kerapu. Dari hasil penelitian diketahui bahwa nilai MSY ikan kerapu tikus sangat kecil dibanding jenis ikan kerapu lainnya. Ikan kerapu tikus merupakan jenis ikan yang menjadi target utama penangkapan. Hal ini dapat dimengerti mengingat harga ikan kerapu tikus lebih tinggi dibanding jenis kerapu lainnya. Harga ikan kerapu tikus di tingkat pengumpul lokal berkisar Rp. 125 000 – Rp. 150 000 per kg untuk ukuran super dengan berat > 1.3 kg/ekor, ukuran sedang berkisar berkisar Rp. 50 000 – 75 000 per kg dengan ukuran 0.5 – 1.3 kg, sedang ukuran kecil berkisar Rp. 40 000 – Rp 60 000 per kg dengan ukuran < 0.5 kg. Harga ikan kerapu macan, lumpur dan sunu lebih rendah dari harga ikan kerapu tikus di atas dengan perbedaan masing-masing Rp. 20 000 untuk setiap ukuran. Kondisi tersebut menyebabkan ikan kerapu tikus menjadi jarang diperoleh nelayan. 5.2. Laju Eksploitasi Ikan Kerapu Ikan kerapu telah lama dimanfaatkan oleh nelayan di Teluk Lasongko. Pada awalnya, ikan kerapu ini ditangkap untuk dimanfaatkan sebagai kebutuhan makanan sehari-hari atau dijual di pasar-pasar tradisional dalam bentuk segar serta diolah menjadi ikan kering. Namun sejak awal tahun 1990-an, ikan kerapu mulai dieksploitasi secara intensif. Hal ini ditandai dengan masuknya kapal-kapal dari Hongkong yang menampung ikan kerapu hidup hasil tangkapan nelayan di Teluk Lasongko. Selain menampung ikan kerapu hasil tangkapan nelayan, kapal-kapal dari Hongkong juga memperkenalkan metode penangkapan ikan dengan menggunakan sianida. Sianida ini digunakan untuk membius ikan kerapu yang bersembunyi di gua-gua karang dan berefek pada kerusakan terumbu karang. Masa ini merupakan fase pertama dari perdagangan ikan kerapu hidup (Pet-Soede dan Erdmann 1998; Thorbun 2003). 49 Seiring dengan semakin berkurangnya populasi ikan kerapu di Teluk Lasongko, kapal-kapal dari Hongkong memindahkan daerah operasinya ke perairan lain. Peran pengumpul ikan kerapu dari Hongkong ini kemudian diambil alih oleh para pengumpul lokal. Terdapat beberapa pengumpul lokal di wilayah Teluk Lasongko, terutama di Desa Madongka, Boneoge, Lolibu dan Lasori. Di Desa Lolibu sendiri terdapat satu kelompok nelayan penangkap ikan kerapu yakni Kelompok Nelayan Peduli Pesisir Pantai Lolibu. Kelompok ini memiliki anggota 24 orang nelayan dan ketua kelompoknya berperan sebagai pengumpul hasil tangkapan kerapu anggotanya. Selain ikan kerapu hasil tangkapan anggota kelompok, ketua kelompok juga menerima hasil tangkapan nelayan yang bukan anggota kelompok. Menurut Pet-Soede dan Erdmann (1998) dan Thorbun (2003), beralihnya pengumpulan ikan kerapu hasil tangkapan nelayan dari kapal-kapal Hongkong ke para pengumpul lokal merupakan fase kedua dari eksploitasi ikan kerapu di suatu perairan. Pada umumnya ikan yang berukuran besar merupakan target utama penangkapan, sehingga ikan yang berukuran besar menjadi jarang ditemukan. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata panjang ikan yang tertangkap. Panjang total maksimal ikan kerapu tikus yang tertangkap adalah 49,40 cm, ikan kerapu macan 68,20 cm, kerapu lumpur 78,30 dan kerapu sunu 68, 70. Menurut Hemstra dan Randall (1993), ikan kerapu tikus dapat mencapai panjang total maksimal 70 cm, kerapu macan 95 cm, kerapu lumpur 120 cm dan kerapu sunu 120 cm. Koefisien pertumbuhan (K) ikan kerapu di Teluk Lasongko lebih tinggi dan panjang asimptotik (L∞) lebih rendah dibanding yang diperoleh beberapa peneliti di beberapa perairan yang berbeda. Grandcourt (2005) menemukan nilai K dari kerapu macan di Aldabra Atoll, Seychelles sebesar 0,20 dan L∞ sebesar 71,3 cm. Selanjutnya, Tharwat (2005) menyatakan bahwa nilai K ikan kerapu lumpur di Teluk Arab sebesar 0,15 dan L∞ sebesar 102,7 cm sedangkan Grandcourt et al. (2008) menemukan nila K ikan kerapu lumpur di bagian Selatan Teluk Arab sebesar 0.14 dan L∞ sebesar 97.9 cm. Nilai K ikan kerapu sunu di Filipina sebesar 0,18 dengan L∞ sebesar 95,4 cm (Mamauag et al. 2000). Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai E sebesar 0.51 untuk kerapu tikus; 0.53 untuk ikan kerapu macan; 0.52 untuk kerapu lumpur; dan 0.51 untuk 50 kerapu sunu. Nilai tersebut menunjukkan bahwa 51 % kematian ikan kerapu tikus disebabkan oleh kegiatan penangkapan nelayan sedangkan ikan kerapu tikus sebesar 53 %, ikan kerapu sebesar 52 % dan ikan kerapu sunu sebesar 51 %. Nilai tersebut sedikit lebih rendah jika dibanding nilai yang diperoleh Tharwat (2005) yang menyatakan bahwa nilai E ikan kerapu lumpur di Teluk Arab sebesar 0,56. Nilai E yang lebih besar didapatkan oleh Grandcourt et al. (2008) sebesar 0,80 untuk ikan kerapu lumpur di bagian Selatan Teluk Arab. Sedang nilai E ikan kerapu sunu yang didapatkan oleh Mamauag et al., (2000) sebesar 0,78 di perairan Coron dan 0,89 di perairan Guiuan Philipina. Hal ini menunjukkan bahwa laju eksploitasi ikan kerapu di Teluk Lasongko masih lebih baik dibanding laju eksploitasi di beberapa perairan tersebut. Menurut Gulland (1970), laju eksploitasi optimal suatu sumberdaya ikan sebesar 0,50 dimana besarnya mortalitas alami sama dengan mortalitas penangkapan. Nilai E yang tidak jauh berbeda dengan 0,5 mengindikasikan bahwa laju eksploitasi sumberdaya ikan kerapu di teluk Lasongko berada pada kondisi optimal. Kondisi tersebut mengindikasikan pula bahwa penurunan stok ikan kerapu di Teluk Lasongko tidak disebabkan oleh kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan. Penurunan daya dukung habitat ikan kerapu di teluk Lasongko diduga menjadi penyebab penurunan stok ikan kerapu di perairan ini. Penurunan daya dukung habitat ini dapat dilihat dari presentase penutupan karang hidup. Dari tujuh areal terumbu karang, terdapat tiga areal dengan presentase penutupan karang kategori rendah yaitu Pasi Lasori, Pasi Bawona dan Pasi Bone Marangi (35 – 36 %), sedangkan Pasi Bunta, Pasi Madongka, Pasi Lasoring Balano dan Pasi Katembe memiliki presentase penutupan karang dengan kategori sedang hingga baik (64,9 – 73,7). Namun demikian, ketiga areal terumbu karang dengan kategori rendah tersebut mencakup 50 % dari luas keseluruhan terumbu karang di teluk Lasongko. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa jumlah ikan yang tertangkap pada ketiga areal tersebut sebesar 24, 64 % dari total hasil tangkapan. Menurut Sluka et al. (2001), kelimpahan ikan karang sangat terkait dengan kondisi terumbu karang sebagai habitatnya. Penurunan presentase penutupan 51 karang dapat menyebabkan penurunan stok suatu sumberdaya ikan di ekosistem terumbu karang (Jones, 2004). 5.3. Strategi Pengelolaan Sumberdaya Ikan Kerapu Secara konvensional, model pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dilakukan melalui pengaturan jumlah alat tangkap (input control), hasil tangkapan (output control) atau ukuran-ukuran teknis (technical measures) seperti pengaturan ukuran hasil tangkapan, lokasi penangkapan dan musim penangkapan (Hoggart et al. 2006). Titik acuan (reference point) yang digunakan untuk pengaturan jumlah alat tangkap dan hasil tangkapan adalah jumlah upaya optimum dan MSY. Pengaturan upaya penangkapan dimaksudkan untuk mengurangi laju mortalitas akibat penangkapan (Post et al. 2003; Hoggart et al. 2006), serta melindungi juvenil dan ikan-ikan dewasa (Coleman et al. 2000). Pengaturan upaya penangkapan ini dapat dilakukan melalui pembatasan jumlah alat tangkap, izin penangkapan dan ukuran alat tangkap (Jennings et al. 2001). Dari hasil penelitian diketahui pula bahwa upaya optimum (fopt) dari masing-masing jenis ikan kerapu adalah 81 satuan upaya untuk kerapu tikus; 357 satuan upaya untuk kerapu macan; 417 satuan upaya untuk kerapu sunu dan 526 satuan upaya untuk kerapu lumpur. Dapat dilihat bahwa upaya optimum ikan kerapu lumpur adalah yang tertinggi dibanding ikan kerapu lainnya. Namun jika upaya optimum ikan kerapu lumpur diterapkan, akan dapat membahayakan ikan kerapu lainnya. Demikian pula jika diterapkan upaya optimum dari ikan kerapu sunu akan membahayakan ikan kerapu macan dan kerapu tikus, sedangkan penerapan upaya optimum ikan kerapu tikus akan berdampak pada tidak optimalnya pemanfaatan ikan kerapu di Teluk Lasongko. Pilihan yang terbaik adalah penerapan upaya optimum ikan kerapu macan yakni 357 unit upaya dengan rincian 160 unit alat tangkap pancing dan 197 unit alat tangkap bubu. Namun demikian, pilihan kebijakan ini harus disertai pula dengan adanya kebijakan pelarangan untuk menangkap ikan kerapu tikus dalam kurun waktu tertentu. Menurut King (1995), pengaturan lokasi penangkapan dapat dilakukan melalui pelarangan terhadap kegiatan penangkapan selama waktu atau musim tertentu (temporal closures) atau pada lokasi perairan tertentu (areal closures). 52 Menurut Heemstra dan Randall (1993), ikan kerapu tikus mencapai usia dewasa secara seksual pertama kali pada umur 2 tahun. Oleh karenanya, perlu dilakukan pelarangan penangkapan ikan kerapu tikus selama dua tahun. Pelarangan ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan pada ikan agar dapat tumbuh hingga mencapai ukuran dewasa secara seksual serta menjaga proses recruitment di perairan tersebut (Froese 2004). Menurut Hoggart et al. (2006), pembatasan jumlah hasil tangkapan didasarkan atas Total Allowable Catch (TAC) atau jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan (JHB). Dari hasil penelitian diketahui bahwa JHB ikan kerapu di Teluk Lasongko adalah 2.98 ton pertahun untuk kerapu tikus, 25.38 ton pertahun untuk ikan kerapu macan, 53.26 ton pertahun untuk kerapu lumpur dan 35.92 ton pertahun untuk ikan kerapu sunu. Menurut Mace (2001), dengan pendekatan kehati-hatian maka nilai JHB yang diperoleh tidak boleh dipandang sebagai nilai acuan yang harus dicapai melainkan nilai yang harus dihindari. Hal ini berarti bahwa jumlah hasil tangkapan ikan kerapu di Teluk Lasongko harus dijaga agar tidak mencapai nilai JHB tersebut di atas Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kendati laju eksploitasi sumberdaya ikan kerapu di Teluk Lasongko telah optimal, ikan hasil tangkapan nelayan sebagian besar berukuran kecil. Jumlah ikan yang tertangkap dengan ukuran di bawah 40 cm adalah 68 ekor (89.47 %) untuk ikan kerapu tikus, 336 ekor ( 75.85 %) untuk kerapu macan, 355 ekor (47.02 %) untuk kerapu lumpur dan 368 ekor (70.91 %). Kondisi ini jika terus berlanjut dapat mengganggu proses peremajaan stok (stock recruitment) ikan kerapu karena ikan-ikan tersebut tertangkap sebelum mencapai ukuran dewasa secara seksual pertama kali. Oleh karenanya perlu adanya pembatasan ukuran hasil tangkapan ikan kerapu di perairan ini. Pembatasan ukuran ikan yang tertangkap dilakukan sebagai proteksi terhadap kapasitas reproduksi ikan (Hoggart et al. 2006). Pembatasan ini bertujuan agar ikan dapat mencapai ukuran minimum untuk bereproduksi paling tidak satu tahun sebelum tertangkap atau menjaga sex rasio ikan-ikan yang bersifat hermaprodit (Rhodes dan Warren-Rhodes 2005). Menurut Myers dan Mertz (1998), penerapan strategi pengelolaan dengan penentuan panjang 53 minimum membuat stok ikan tahan terhadap tekanan kegiatan penangkapan yang tinggi. Panjang minimum ikan yang boleh ditangkap ditentukan berdasarkan panjang ikan pada saat dewasa secara seksual pertama kali. Menurut Heemstra dan Randall (1993), hampir sebagian besar ikan kerapu genus Cromileptes, Epinephelus dan Plectropomus mencapai ukuran dewasa secara seksual pertama kali pada panjang total 25 – 35 cm dan mengalami perubahan sex dari betina ke jantan pada panjang 55 cm. Dengan demikian, dapat disarankan agar ukuran ikan kerapu yang boleh tertangkap haruslah berada pada panjang 45 cm untuk ikan kerapu betina dan 70 cm untuk ikan kerapu jantan. Pola manajemen dengan pembatasan ukuran ikan yang tertangkap ini telah dilakukan di Queensland, Australia dengan ukuran minimum 50 cm untuk kerapu macan (Pears, 2005), di Great Barrier Reef dengan ukuran minimum 38 cm untuk kerapu sunu (John et al. 2001), di Teluk Arab dengan ukuran minimum 42 – 50 cm untuk ikan kerapu lumpur (Tharwat 2005), serta black grouper (Epinephelus striatus) di perairan Dry Tortugas, Florida dengan ukuran minimum 55,9 cm (Ault et al. 2006). Seluruh ukuran minimum yang boleh tertangkap tersebut didasarkan pada ukuran minimum ikan kerapu pada saat dewasa secara seksual pertama kali. Selanjutnya, dari hasil penelitian diketahui bahwa penurunan stok ikan kerapu di Teluk Lasongko disebabkan oleh penurunan daya dukung habitat, yakni penurunan presentase penutupan karang hidup di perairan ini. Secara alamiah, proses perbaikan terumbu karang yang kondisinya sudah rusak relatif lebih lama dan membutuhkan kondisi lingkungan yang betul-betul tidak terganggu oleh aktivitas manusia. Upaya peningkatan presentase penutupan karang hidup dapat dilakukan dengan mengembangkan teknik tranplantasi karang (coral transplantation) atau pengembangan karang buatan (artificial reef). Transplantasi karang merupakan suatu upaya memperbanyak koloni karang dengan metode fragmentasi dimana koloni tersebut diambil dari suatu induk koloni tertentu (Edward dan Gomez 2008). Tujuan transplantasi karang adalah mempercepat regenerasi dari terumbu karang dan peningkatan kualitas habitat karang. Selanjutnya, Edward dan Gomez (2008) menjelaskan bahwa transplantasi karang secara langsung lebih murah dibanding melalui proses budidaya. Di Teluk Lasongko, upaya transplantasi karang ini dapat dilakukan pada Pasi Lasori dan 54 Pasi Bawona, di mana kegiatan penangkapan lebih sedikit dibanding areal terumbu karang lainnya. Dibanding transplantasi karang, pembuatan karang buatan lebih diarahkan untuk meningkatkan kelimpahan ikan karang (Rilov dan Benayahu 2000). Di Teluk Lasongko, pengembangan karang buatan ini telah dilakukan melalui program Marine and Coastal Resources Management Program (MCRMP) serta Program Mitra Bahari. Karang buatan tersebut ditempatkan di beberapa lokasi yakni di Pasi Bunta, Pasi Madongka dan Pasi Lasoring Balano dan Pasi Bawona. Sayangnya tidak ada data tentang tingkat keberhasilan program ini. Oleh karenanya, pemantauan dan evaluasi serta pengawasan sangat penting untuk dilakukan. Dalam implementasinya, strategi pengelolaan seperti yang telah dijelaskan di atas memerlukan pengawasan yang baik. Di sisi lain, pemerintah daerah (dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton) sebagai otoritas regulasi pengelolaan memiliki berbagai keterbatasan, terutama armada kapal dan petugas pengawas. Untuk mengatasi permasalahan ini, keterlibatan masyarakat di Teluk Lasongko sangat diperlukan agar strategi pengelolaan sumberdaya perikanan dapat berjalan dengan baik. Strategi pengelolaan sumberdaya perikanan dengan melibatkan masyarakat lokal ini dikenal sebagai pengelolaan perikanan berbasis masyarakat (community-based fisheries management). Menurut Satria (2006) pengelolaan perikanan berbasis masyarakat merupakan suatu pendekatan di mana masyarakat diberi peluang dan tanggung jawab untuk mengelola sumberdaya perikanannya. Model pengelolaan berbasis masyarakat yang baik harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan seperti aparat pemerintah desa, tokoh masyarakat, nelayan, pengusaha perikanan dan lembaga swadaya masyarakat lokal. Di Teluk Lasongko, keterlibatan masyarakat ini sebenarnya telah terjalin dengan terbentuknya beberapa kelompok masyarakat pengawas (POKWASMAS) oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton. Kelompok-kelompok ini dapat ditemukan di beberapa desa seperti di Desa Madongka, Boneoge, Wajogu, Lolibu dan Lasori. Agar proses pengelolaan berjalan dengan baik maka kelompok- kelompok masyarakat tersebut harus diberi penguatan-penguatan kemampuan 55 tentang lingkungan hidup, keberlanjutan lingkungan, ekonomi, sosial dan kelembagaan, ekologi sumberdaya, cara pengelolaan teknis dan adaptif (Tulungen et al. 2006). Selain itu, pemerintah daerah juga harus meningkatkan pemahaman terhadap kelompok pengawas tentang batasan dan ukuran-ukuran pengelolaan seperti jumlah upaya yang diperbolehkan, ukuran alat tangkap, ukuran ikan yang tertangkap serta area penangkapan ikan. 6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Jumlah hasil tangkapan maksimum lestari ikan kerapu di Teluk Lasongko adalah 3.72 ton/tahun untuk kerapu tikus; 31.73 ton/tahun untuk kerapu macan, 66.57 ton/tahun untuk kerapu lumpur dan 44.90 ton/tahun untuk kerapu sunu. Jumlah upaya optimum yang dapat diterapkan adalah 357 unit upaya dengan rincian 160 unit pancing dan 197 unit bubu. 2. Laju eksploitasi ikan kerapu di Teluk Lasongko adalah 0.51 untuk kerapu tikus; 0.53 untuk kerapu macan, 0.52 untuk kerapu lumpur dan 0.51 untuk kerapu sunu. 3. Secara umum, laju eksploitasi ikan kerapu di Teluk Lasongko telah mencapai kondisi optimal 4. Penurunan stok sumberdaya ikan kerapu di teluk Lasongko disebabkan oleh menurunnya daya dukung habitat. Penurunan daya dukung habitat ini dapat dilihat berdasarkan penurunan presentase penutupan karang hidup akibat penggunaan metode penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) pada era 1990-an. 6.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian maka disarankan adanya kajian evaluasi tingkat keberhasilan rehabilitasi terumbu karang yang telah dilakukan di Teluk Lasongko. Kajian ini penting dalam rangka meningkatkan daya dukung habitat di perairan tersebut. DAFTAR PUSTAKA Akbar S, Sudaryanto. 2000. Pembenihan dan Pembesaran Kerapu Bebek. Cetakan I. Jakarta : PT. Penebar Swadaya. Ault JS et al. 2006. Building sustainable fisheries in florida’s coral reef ecosystem: positive signs in the Dry Tortugas. Bulletin of Marine Science, 78 (3) : 633–654. Barani HM. 2004. Pemikiran percepatan pembangunan perikanan tangkap melalui gerakan nasional. Makalah Falsafah Sains. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor: IPB. Berkes F. 2003. Alternatives to conventional management: lessons from smallscale fisheries. Environments. 31(1):5-19. Chan P. 2000. The industry perspective : wholesale and retail marketing aspect of the Hong Kong live reef food fish trade. SPC Live Reef Fish Information Bulletin No. 7. pp 3 – 7. Chan P. 2000. Current status of the live reef food fish trade base in Hong Kong. SPC Live Reef Fish Information Bulletin No. 7. pp 7 – 9. Cochrane KL. 2002. A Fishery Manager’s Guide Book. Management Measures and Their Application. Rome : FAO Fisheries Technical Paper. No. 424. 231 pp Coleman FC et al., 2000. Long-lived reef fishes : the grouper-snapper complex. Fisheries. 2 (3) : 14 – 21 Dayton PK, Thrush S, Coleman FC. 2002. Ecological Effects of Fishing in Marine Ecosystems of the United States. Arlington, Virginia : Pew Oceans Commission. 44 pp [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton. 2008. Statistik Perikanan Tangkap Kabupaten Buton 2000 – 2007. Buton : DKP Kabupaten Buton Edwards AJ, Gomez ED. 2008. Konsep dan Panduan Restorasi Terumbu: Membuat Pilihan Bijak di Antara Ketidakpastian. Yusri S, Estradivari,. Wijoyo NS, Idris, Penerjemah. Jakarta: Yayasan TERANGI. Terjemahan dari Reef Restoration Concepts and Guidelines: Making Sensible Management Choices in the Face of unCertainty. iv + 38 hlm. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1995. Responsible Fisheries. Rome : FAO. pp 41. Code of Conduct for [FAO] Food and Agriculture Organization. 2003. The Ecosystem Approach to Fisheries. FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries. No. 4, Suppl. 2. Rome : FAO. Pp 112. Froese R, Binohlan C. 2000. Empirical relationship to estimate asymptotic length, length at first maturity and length at maximum yield per recruit in fishes, with a simple method to evaluate length frequency data. J. Fish Biol. 56 : 758 – 773 58 Froese R, Binohlan C. 2003. Simple methods to obtain preliminary growth estimates for fishes. J. Appl. Ichthyol. 19 : 376–379 Froese R. 2004. Keep it simple: three indicators to deal with overfishing. Fisheries and Fisheries. 5 : 86–91 Garcia SM, Cochrane KL. 2005. Ecosystem approach to fisheries: a review of implementation guidelines. ICES Journal of Marine Science. 62: 311-318. Gayanilo Jr FC, Sparre P, Pauly D. 2005. Fisat II User Guide. Rome : Food and Agriculture Organization of The United Nations. Grandcourt EM. 2005. Demographic Characteristics of Selected Epinepheline Groupers (Family: Serranidae; Subfamily: Epinephelinae) from Aldabra Atoll, Seychelles. Washington DC : National Museum of Natural History, Smithsonian Institution. Grandcourt EM, Abdessalaam TZA, Francis F, Al Shamsi AT. 2008. Population biology and assessment of the orange-spotted grouper, Epinephelus coioides (Hamilton, 1822), in the southern Arabian Gulf. Fisheries Research. 74 : 55–68. Gulland JA. 1983. Fish Stock Assessment : A Manual of Basic Method. Chichester, UK : Wiley Interscience – FAO Series on Food and Agriculture. Hall S. 2002. The Use of Technical Measures in Responsible Fisheries: Area and Time Restrictions. In Cochrane KL (ed.). A Fishery Manager’s Guidebook. Management Measures and their Application. FAO Fisheries Technical Paper. No. 424. Rome : FAO. 2002. 231p. Hanchet SM, Blackwell RG, Dunn A. 2005. Development and evaluation of catch per unit effort indices for southern blue whiting (Micromesistius australis) on the Campbell Island Rise, New Zealand. ICES Journal of Marine Science. 62: 1131-1138 Harley SJ, Myers RA, Dunn A. 2001. Is catch-per-unit-effort proportional to abundance? Can. J. Fish. Aquat. Sci. 58: 1760–1772 Heemstra PC, Randall JE. 1993. FAO Species Catalogue. Vol. 16. Grouper of the World (Family Serranidae, Subfamily Epinephelinae). An Annoted and Illustrated Catalogue of the Grouper and Lyretail Species Known to Date. Rome : FAO Fisheries Synopsis.125 (16). 242 pp Hinman K. 1998. Ecosystem Principles, Overfishing and Bycatch in Marine Fisheries. Presented During a Panel on Fisheries Ecology at a Conference Sponsored by American Society of Lymnology and Oceanography and the Ecological Society of America, St. Louis, Missouri, June 11, 1998. Hoggarth DD et al. 2006. Stock Assessment for Fishery Management – A Framework Guide to the Stock Assessment Tools of the Fisheries Management Science Programme (FMSP). FAO Fisheries Technical Paper. No. 487. Rome: FAO. 261pp Holden S, Kirkwood G, Bravington M. 1995. Length Frequency Distribution Analysis - the LFDA Package: User Manual. London : MRAG Ltd. 110 pp 59 Holland DS. 2003. Integrating spatial management measures into traditional fishery management systems: the case of the Georges Bank multispecies groundfish fishery. ICES Journal of Marine Science, 60: 915–929. Israel DC, Banzon CP. 1997. Overfishing in the Philippine Commercial Marine Fisheries Sector. Discussion Paper Series NO. 97-01. Makati City: Philippine Institute for Development Studies. 25 pp Jennings S, Kaiser MJ, Reynolds JD. 2001. Marine Fisheries Ecology. United Kingdom : Black Well Science Ltd John SJ, Russ GR, Brown IW, Squire LC. 2001. The diet of the large coral reef serranid Plectropomus leopardus in two fishing zones on the Great Barrier Reef, Australia. Fish. Bull. 99 : 180–192 Jones GP, McCormick MI, Srinivasan M, Eagle JV. 2004. Coral decline threatens fish biodiversity in marine reserves. PNAS. Volume 101 No 21: 8251 – 8253. (www.pnas.org/cgi/doi/10.1073/pnas.0401277101) Kilduff P, Carmichael J, Latour R. 2009. Guide to Fisheries Science and Stock Assessments. Atlantic States Marine Fisheries Commission. 66 pp King M. 1995. Fisheries Biology: Assesment and Management. United Kingdom : Black Well Science Ltd Kirkwood GP, Aukland R, Zara SJ. 2001. Length Frequency Distribution Analysis (LFDA), Version 5.0. London, UK : MRAG Ltd Kuiter, R.H. 1996. Guide to Sea Fishes of Australia. A comprehensive Reference for Divers and Fishermen. London : New Holland (Publishers) Ltd. 433. p. Lirman D. 2000. Fragmentation in the branching coral Acropora palmata (Lamarck): growth, survivorship, and reproduction of colonies and fragments. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology. 251 : 41– 57 Larkin PA. 1977. An epitaph for the concept of maximum sustained yield. Journal Transactions of The American Fisheries Society. Vol. 106, No. 1. Lemay J. 2007. A study of the surplus production model [thesis]. Universite Laval. Mace PM. 2001. A new role for MSY in single-species and ecosystem approaches to fisheries stock assessment and management. Fish and Fisheries. 2 : 2 - 32 Mamauag SS, Donaldson TJ, Pratt VR, McCullough B. 2000, Age and size structure of the leopard coral grouper, Plectropomus leopardus (Serranidae: Epinephelinae), in the live reef fish trade of the Philippines. Proceedings of International Coral Reef Symposium. Bali, Indonesia. Vol 2. Maunder MN et al. 2006. Interpreting catch per unit effort data to assess the status of individual stocks and communities. ICES Journal of Marine Science. 63: 1373-1385 McGilvray F, Chan T. 2003. Market and industry demand issues in the live reef food fish trade. SPC Live Reef Fish Information Bulletin No. 11 : 36 – 39 60 Mees CC, Rousseau J. 1996. Management of Multi-species tropical fisheries. Final Report to ODA. FMSP Project R5484. London : MRAG Ltd. 193 pp. Mous PJ, Pet-Soede L, Erdman M, Cesar HSJ, Sadovy Y, Pet JS. 2000. Cyanide fishing on indonesian coral reef for the live food fi sh market - What is the problem. SPC Live Reef Fish Information Bulletin No. 7 : 20 – 26 Mous PJ et al. 2005. Policy needs to improve marine capture fisheries management and to define a role for marine protected areas in Indonesia. Fisheries Management and Ecology, No. 12 : 259–268 Morales-Nin B. 1991. Determination of growth on bony fishes based on microstructures in otolith. FAO Doc.Tec.Pesca (322) : 58 pp. Murawski SA. 2000. Definitions of overfishing from an ecosystem perspective. ICES Journal of Marine Science, 57: 649–658. Myers RA, Mertz G. 1998. The limits of exploitation: a precautionary approach. Ecol. Appl. 8: 165-169. Nababan BO. 2006. Analisis dampak perdagangan ikan karang hidup konsumsi (Life Reef Fish Food) terhadap sumberdaya perikanan. Studi kasus di Provinsi Sulawesi Selatan [tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana IPB Pauly D.1980. A selection of simple methods for the assessment of tropical fish stocks. FAO Fisheries Circular. No. 729. 54 p. Pauly D. 1984. Fish population dynamics in tropical waters : a manual for use with programmable calculators. ICLARM Stud.Rev. 8 : 325 pp Pears RJ. 2005. Comparative demography and assemblage structure of serranid fishes: implications for conservation and fisheries management [tesis]. School of Marine Biology and Aquaculture. Australia : James Cook University Pet-Soede L. Erdmann M. 1998. An overview and comparison of destructive fishing practices in Indonesia. SPC Live Reef Fish Information Bulletin No. 4. pp 28 – 36 Pilling GM, Mees CC, Barry, Kirkwood G, Nicholson S, Branch T. 1999. Growth Parameter Estimates and the Effect of Fishing on Size-Composition and Growth of Snappers and Emperors: Implications for Management. Final Technical Report. London : MRAG. 373 pp Post JR, Mushens C, Paul A, Sullivani M. 2003. Assessment of alternative harvest regulations for sustaining recreational fisheries: model development and application to bull trout. North American Journal of Fisheries Management. 23 : 22 – 34 Ralston, S. (1987). Mortality Rates of Snappers and Groupers. In J.J. Polovina and S. Ralston (Eds.). Tropical Snappers and Groupers: Biology and Fisheries Management. Boulder and London : Westview Press. p375-404. Rhodes KL, Warren-Rhodes K. 2005. Management Options for Fish Spawning Aggregations of Tropical Reef Fishes: A Perspective. Report prepared for the Pacific Island Countries Coastal Marine Program, The Nature Conservancy. TNC Pacific Island Countries Report No. 7/05. 61 Rilov G, Benayahu Y. 2000. Fish assemblage on natural versus vertical artificial reefs: the rehabilitation perspective. Marine Biology. 136: 931 - 942 Sadovy YJ, Pet J. 1998. Wild collection of juvenilles for grouper mariculture: just another capture fishery? SPC Live Reef Fish Information Bulletin. No. 4 : 36 – 39 Sadovy YJ et al., 2003. While Stocks Last: The Live Reef Food Fish Trade. Asian Development Bank. 146 pp Sadovy YJ. 2005. Troubled times for trysting trion: three aggregating groupers in the live reef food-fish trade. SPC Live Reef Fish Information Bulletin No. 14 : 3 – 6 Simbolon D. 2006. Pengembangan perikanan pole and line yang berkelanjutan di perairan Sorong [disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana IPB Sissenwine MP. 1978. Is MSY an adequate foundation for optimum yield ? Fisheries, 3 (6) : 22-24 dan 37 - 42 Sluka RD, Chiappone M, Sealey KMS. 2001. Influence of habitat on grouper abundance in the Florida Keys, U.S.A. Journal of Fish Biology. 58 : 682–700 Sparre P, Venema SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku I : Manual. Widodo J, Merta IGS, Nurhakim S, Badrudin M, Penerjemah. Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Terjemahan dari Introduction to Tropical Fish Stock Assessment. Part 1: Manual. Supardan A. 2006. Maximum Sustainable Yield (MSY) dan aplikasinya pada kebijakan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko Kabupaten Buton [disertasi]. Bogor : Sekolah Pasca Sarjana IPB. Tharwat AA. 2005. Stock assessment of orange-spotted grouper Epinephelus coioides inhabiting the Arabian Gulf at Saudi Arabia. Saudi Journal of Biological Sciences. 12 (2) : 81-89 Tucker Jr JW. 1999. Species profile grouper aquaculture. SRAC Publication No. 721. Ward T, Tarte D, Hegerl E, Short K. 2002. Ecosystem-Based Management of Marine Capture Fisheries. World Wide Fund for Nature Australia, 80 pp Wakeford RC, Pilling GM, O’Neill CJ, Hine A. 2004. Investigation of the Implications of Different Reef Fish Life History Strategies on Fisheries Management. FMSP Final Tech. Rep. London : MRAG. 139pp. Wallace RK, Fletcher KM. 1997. Understanding Fisheries Management : A Manual for Understanding the Federal Fisheries Management Process, Including Analysis of the 1996 Sustainble Fisheries Act. Second Edition. A Publication of Auburn University and the University of Mississipi. USA Yearsley GK, Last PR, Ward, RD. 1999. Australian Seafood Handbook, an Identification Guide to Domestic Species. Hobart, Australia : CSIRO Marine Research. LAMPIRAN 63 Lampiran 1. Perhitungan nilai MSY ikan kerapu tikus di Teluk Lasongko a. Hasil tangkapan dan CPUE masing-masing alat tangkap No Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Jumlah Alat Tangkap Hasil CPUE Bubu tangkapan (ton/ unit (Unit) (ton) upaya) Pancing Biasa (Unit) 0.81 1.20 1.25 0.63 0.92 0.89 0.88 0.92 37 32 23 22 24 14 25 17 0.0216 0.0373 0.0552 0.0279 0.0378 0.0616 0.0347 0.0540 Hasil tangkapan (ton) CPUE ton/ unit upaya) 2.71 3.23 2.69 2.03 2.53 2.69 2.67 2.64 0.0310 0.0431 0.0510 0.0387 0.0447 0.0798 0.0454 0.0666 87 75 53 52 57 34 59 40 b. Perhitungan FPI No Jenis Alat Tangkap 1 Pancing 2 Bubu Hasil Tangkapan (ton) Upaya (unit) CPUE (ton/unit upaya) FPI 7.48 195 0.0383 0.5947 21.18 329 0.0644 1.0000 c. Hasil tangkapan, upaya standar dan CPUE model Schaefer dan Fox CPUE Ln CPUE 3.52 (Model Schaefer) 0.0321 (Model Fox) -3.4396 4.42 3.94 2.65 3.44 3.58 3.54 3.55 0.0471 0.0595 0.0404 0.0485 0.0846 0.0480 0.0715 No Tahun Upaya Standar (unit upaya) Hasil tangkapan (ton) 1 2000 110 2 3 4 5 6 7 8 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 94 66 66 71 42 74 50 Koefisian regresi : a = 0.1014 c = -2.0841 b = -0.00066 d = -0.0123 2 Koefisien determinasi (R ) : Model Schaefer = 0.7196 Model fox = 0.7496 1 1 MSY = − e c −1 = − e ( −2.0841)−1 = 3,72 ton d (−0.0123) f opt = − 1 1 = = 81 unit upaya d (−0.0123) -3.0555 -2.8218 -3.2089 -3.0255 -2.4693 -3.0362 -2.6376 64 Lampiran 2. Perhitungan nilai MSY ikan kerapu macan di Teluk Lasongko a. Hasil tangkapan dan CPUE masing-masing alat tangkap No Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Pancing Biasa (Unit) 214 214 113 100 97 96 126 136 Hasil tangkapan (ton) 6.59 9.72 10.17 5.09 7.45 7.24 7.12 7.45 Jumlah Alat Tangkap CPUE Bubu (ton/unit (Unit) upaya) 0.0308 321 0.0455 321 0.0898 170 0.0511 149 0.0768 145 0.0752 145 0.0565 189 0.0549 204 Hasil tangkapan (ton) 22.03 26.24 21.89 16.46 20.56 21.88 21.68 21.44 CPUE (ton/unit upaya) 0.0686 0.0818 0.1290 0.1102 0.1414 0.1514 0.1147 0.1053 b. Perhitungan FPI Jenis Alat Tangkap No 1 Pancing 2 Bubu Hasil Tangkapan (ton) Upaya (unit) CPUE (ton/unit upaya FPI 60.82 1 095 0.0555 0.3607 172.17 1 118 0.1539 1.0000 c. Hasil tangkapan, upaya standar dan CPUE model Schaefer dan Fox No Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Upaya Standar (unit upaya) 399 398 211 185 180 179 234 253 Hasil tangkapan (ton) 28.62 35.96 32.05 21.55 28.00 29.12 28.80 28.89 Koefisian regresi : a = 0.2011 CPUE Ln CPUE (Model Schaefer) 0.0718 0.0904 0.1522 0.1163 0.1552 0.1624 0.1229 0.1144 (Model Fox) -2.6337 -2.4038 -1.8823 -2.1517 -1.8629 -1.8176 -2.0968 -2.1681 c = -2.0841 b = -0.00031 d = -0.0028 Koefisien determinasi (R2) : Model Schaefer = 0.7672 Model fox = 0.8140 1 1 MSY = − e c −1 = − e ( −2, 0841)−1 = 31,73 ton d (−0.0028) f opt = − 1 1 = = 357 unit upaya d (−0.0028) 65 Lampiran 3. Perhitungan nilai MSY ikan kerapu lumpur di Teluk Lasongko a. Hasil tangkapan dan CPUE masing-masing alat tangkap No Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Pancing Biasa (Unit) 150 168 92 73 62 84 81 95 Hasil Tangkapan (ton) 13.55 19.98 20.90 10.46 15.30 14.89 14.63 15.31 Jumlah Alat Tangkap CPUE Bubu (ton/unit (Unit) upaya) 0.0904 475 0.1187 455 0.2261 238 0.1440 218 0.2460 221 0.1766 197 0.1810 287 0.1612 301 Hasil Tangkapan (ton) 45.28 53.94 44.99 33.84 42.26 44.97 44.57 44.07 CPUE (ton/unit upaya) 0.0954 0.1185 0.1893 0.1553 0.1916 0.2286 0.1555 0.1465 b. Perhitungan FPI Jenis Alat Tangkap No Hasil Tangkapan (ton) Upaya (unit) CPUE (ton/unit upaya FPI 1 Pancing 125 806 0.1552 0.7080 2 Bubu 354 1615 0.2192 1.0000 c. Hasil tangkapan, upaya standar dan CPUE model Schaefer dan Fox No Tahun Upaya Standar (unit upaya) Hasil Tangkapan (ton) 1 2 3 4 5 6 7 8 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 581 575 303 269 265 256 344 368 58.84 73.92 65.89 44.30 57.56 59.86 59.21 59.38 Koefisian regresi : a = 0.2866 CPUE ln CPUE (Model Schaefer) 0.1013 0.1287 0.2174 0.1645 0.2175 0.2334 0.1722 0.1613 (Model Fox) -2.2899 -2.0506 -1.5260 -1.8048 -1.5254 -1.4548 -1.7593 -1.8244 c = -1.0676 b = -0.00030 d = -0.0024 Koefisien determinasi (R2) : Model Schaefer = 0.7640 Model fox = 0.8133 1 1 MSY = − e c −1 = − e ( −1.0676 )−1 = 66.57 ton d (−0.0024) f opt = − 1 1 = = 526 unit upaya d (−0,0024) 66 Lampiran 4. Perhitungan nilai MSY ikan kerapu sunu di Teluk Lasongko a. Hasil tangkapan dan CPUE masing-masing alat tangkap No Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Pancing Biasa (Unit) 150 140 69 63 66 56 79 82 Hasil Tangkapan (ton) 9.06 13.36 13.97 6.99 10.23 9.95 9.78 10.24 Jumlah Alat Tangkap CPUE Bubu (ton/unit (Unit) upaya) 0.0604 350 0.0956 359 0.2035 195 0.1114 170 0.1559 161 0.1771 169 0.1232 215 0.1243 234 Hasil Tangkapan (ton) 30.27 36.05 30.08 22.62 28.25 30.06 29.80 29.46 CPUE (ton/unit upaya) 0.0865 0.1004 0.1539 0.1333 0.1759 0.1783 0.1388 0.1257 b. Perhitungan FPI No Jenis Alat Tangkap 1 Pancing 2 Bubu Hasil Tangkapan (ton) Upaya (unit) CPUE (ton/unit upaya FPI 84 705 0.1186 0.6359 237 1268 0.1866 1.0000 c. Hasil tangkapan, upaya standar dan CPUE model Schaefer dan Fox CPUE Ln CPUE (Model Schaefer) (Model Fox) 445 Hasil Tangkapan (ton) 39.33 0.0883 -2.4266 448 239 210 202 204 265 287 49.411 44.04 29.61 38.48 40.01 39.58 39.69 0.1103 0.1842 0.1413 0.1902 0.1958 0.1493 0.1385 -2.2048 -1.6915 -1.9568 -1.6599 -1.6307 -1.9019 -1.9772 No Tahun Upaya Standar (unit upaya) 1 2000 2 3 4 5 6 7 8 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Koefisian regresi : a = 0,2444 c = -1.2278 b = 0.00033 d = -0.0024 2 Koefisien determinasi (R ) : Model Schaefer = 0.7638 Model fox = 0.8092 1 1 MSY = − e c −1 = − e ( −1.2278)−1 = 44.90 ton d (−0.0024) f opt = − 1 1 = = 417 unit upaya d (−0.0024) 67 Lampiran 5. Distribusi frekuensi panjang ikan kerapu tikus Frekuensi (ekor) Selang kelas panjang Panjang Tengah A B C D E F G H 1 10.1 – 15.0 12.5 1 0 0 1 1 1 1 1 6 2 15.1 – 20.0 17.5 1 2 1 2 1 1 1 1 10 3 20.1 – 25.0 22.5 2 2 2 2 2 2 2 2 16 4 25.1 – 30.0 27.5 2 3 3 2 2 2 2 2 18 5 30.1 – 35.0 32.5 1 1 1 1 1 1 1 3 10 6 35.1 – 40.0 37.5 1 1 1 0 1 1 1 2 8 7 40.1 – 45.0 42.5 1 0 1 0 0 1 0 2 5 8 45.1 – 50.0 47.5 0 0 0 1 0 1 0 1 3 9 9 9 9 8 10 8 14 76 No Total Total Sumber : Diolah dari data survei bulan Mei – Agustus 2007 Keterangan : A = 13 Mei 2007 E = 8 Juli 2007 B = 27 Mei 2007 F = 22 Juli 2007 C = 10 Juni 2007 G = 5 Agustus 2007 D = 24 Juni 2007 H = 19 Agustus 2007 68 Lampiran 6. Distribusi frekuensi panjang ikan kerapu macan Selang kelas panjang Panjang Tengah A B C D E F G H 1 12.1 – 17.0 14.5 2 3 3 2 2 2 2 2 18 2 17.1 – 22.0 19.5 4 4 4 6 3 2 2 2 27 3 22.1 – 27.0 24.5 10 8 7 8 7 6 6 3 55 4 27.1 – 32.0 29.5 11 10 7 10 8 7 6 5 64 5 32.1 – 37.0 34.5 11 12 8 13 9 8 8 5 74 6 37.1 – 42.0 39.5 15 12 11 14 11 10 13 12 98 7 42.1 – 47.0 44.5 10 8 4 9 5 5 6 9 56 8 47.1 – 52.0 49.5 6 2 4 3 2 3 2 7 29 No Frekuensi (ekor) Total 9 52.1 – 57.0 54.5 1 1 1 1 1 2 1 1 9 10 57.1 – 62.0 59.5 2 0 1 1 0 1 0 1 6 11 62.1 – 67.0 64.5 1 0 1 0 1 0 1 0 4 12 67.1 – 72.0 69.5 0 1 0 1 0 0 0 1 3 73 61 51 68 49 46 47 48 443 Total Sumber : Diolah dari data survei bulan Mei – Agustus 2007 Keterangan : A = 13 Mei 2007 E = 8 Juli 2007 B = 27 Mei 2007 F = 22 Juli 2007 C = 10 Juni 2007 G = 5 Agustus 2007 D = 24 Juni 2007 H = 19 Agustus 2007 69 Lampiran 7. Distribusi frekuensi panjang ikan kerapu lumpur Selang kelas panjang Panjang Tengah A B C 1 12.1 – 17.0 14.5 5 3 2 3 2 17.1 – 22.0 19.5 4 4 1 3 22.1 – 27.0 24.5 5 8 9 4 27.1 – 32.0 29.5 10 11 5 32.1 – 37.0 34.5 12 6 37.1 – 42.0 39.5 7 42.1 – 47.0 8 No Frekuensi (ekor) D E Total F G H 3 1 2 1 20 3 3 4 3 5 27 5 7 8 7 8 57 10 8 9 10 9 8 75 11 10 8 9 14 12 9 85 12 12 12 10 11 15 10 9 91 44.5 15 12 12 15 16 15 14 15 114 47.1 – 52.0 49.5 14 14 15 16 16 18 17 17 127 9 52.1 – 57.0 54.5 8 8 9 9 10 10 12 14 80 10 57.1 – 62.0 59.5 2 2 4 4 4 5 6 7 34 11 62.1 – 67.0 64.5 2 2 3 3 3 4 5 5 27 12 67.1 – 72.0 69.5 1 1 1 1 1 1 1 1 8 13 72.1 – 77.0 74.5 1 1 1 0 0 1 1 1 6 14 77.1 – 82.0 79.5 0 1 0 1 0 1 0 1 4 91 90 89 86 92 107 99 101 755 Total Sumber : Diolah dari data survei bulan Mei – Agustus 2007 Keterangan : A = 13 Mei 2007 E = 8 Juli 2007 B = 27 Mei 2007 F = 22 Juli 2007 C = 10 Juni 2007 G = 5 Agustus 2007 D = 24 Juni 2007 H = 19 Agustus 2007 70 Lampiran 8. Distribusi frekuensi panjang ikan kerapu sunu Selang kelas panjang Panjang Tengah A B C D E F G H 1 12.1 – 17.0 14.5 1 3 2 2 2 2 2 2 16 2 17.1 – 22.0 19.5 4 4 5 6 6 5 6 7 43 3 22.1 – 27.0 24.5 5 6 8 8 9 9 7 9 61 4 27.1 – 32.0 29.5 7 7 6 9 9 8 9 8 63 5 32.1 – 37.0 34.5 9 10 11 10 11 10 11 11 83 6 37.1 – 42.0 39.5 12 11 16 17 11 10 12 13 102 7 42.1 – 47.0 44.5 6 7 5 9 8 8 10 14 67 8 47.1 – 52.0 49.5 5 8 5 8 6 5 6 7 50 9 52.1 – 57.0 54.5 3 1 1 2 2 3 2 2 16 10 57.1 – 62.0 59.5 1 1 1 1 0 2 2 2 10 11 62.1 – 67.0 64.5 1 1 1 1 0 1 0 1 6 12 67.1 - 72.0 69.5 0 0 0 1 0 0 0 1 2 54 59 61 74 64 63 67 77 519 No Total Frekuensi (ekor) Total Sumber : Diolah dari data survei bulan Mei – Agustus 2007 Keterangan : A = 13 Mei 2007 E = 8 Juli 2007 B = 27 Mei 2007 F = 22 Juli 2007 C = 10 Juni 2007 G = 5 Agustus 2007 D = 24 Juni 2007 H = 19 Agustus 2007