BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Sektor Informal

advertisement
6
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Sektor Informal
2.1.1 Pengertian dan Eksistensi Sektor Informal
Konsep mengenai sektor informal mulai diperbincangkan semenjak penelitian
yang dilakukan oleh Keith Hart di Acra (Ghana) pada tahun 1971. Hart dalam
Ameriani (2006) menyatakan bahwa :
sektor informal sebagai kegiatan ekonomi peripheral yang mana sektor ini
menyediakan pelayanan pokok yang dibutuhkan dalam kehidupan kota. Ia
pula menyebutkan bahwa kesempatan dalam memperoleh penghasilan dapat
dibagi menjadi tiga bagian, yakni sektor formal, sektor informal sah, dan
sektor informal tidak sah. Namun karena sulitnya memberikan batasan
antara sektor informal yang sah dengan yang tidak sah, maka banyak
peneliti yang cenderung hanya menggunakan konsep sektor formal dan
informal dalam memperoleh kesempatan.
Menurut Sethurahman (1985) sektor informal adalah unit-unit usaha yang
berskala kecil yang menghasilkan dan mendistribusikan barang/jasa dengan tujuan
pokok menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan untuk sendiri. Dalam
usahanya itu, ia dihadapkan pada berbagai kendala, seperti modal fisik,
pengetahuan dan keterampilan. Selanjutnya Sjahrir (1985), menyebut sektor
informal sebagai unit kegiatan ekonomi yang skala usahanya dapat besar maupun
kecil
yang
memberikan
peluang
pada
setiap
individu-individu
untuk
memaksimalisasi sumberdaya-sumberdaya dan tenaga kerja yang ada dengan
biaya seminim mungkin.
Sektor informal tampak memiliki peran yang penting dalam hal menyerap
tenaga kerja yang tidak dapat ditampung pada sektor formal. Sektor informal ini
pula menjadi sektor alternatif bagi para pencari kerja yang tidak memiliki
spesifikasi keterampilan yang dibutuhkan dan ditetapkan oleh sektor formal. Daya
serap tenaga kerja di sektor informal ini relatif tinggi, ragam pekerjaan besar, dan
kesempatan untuk menciptakan pekerjaan sesuai dengan kebutuhan dan
lingkungannya merupakan faktor-faktor penting bagi hidupnya sektor informal
(Ameriani, 2006).
7
Wirosardjono (1985) mengungkapkan batasan-batasan dimensi sektor
informal baik dari segi ekonomi, sosial dan perencanaan tata ruang. Dimensi
ekonomi mengacu pada pengabaian faktor modal, investasi, keterampilan, dan
depresiasi. Dimensi sosial mengacu pada mengandalkan pekerja keluarga, suasana
patron-klien, jam kerja yang tidak menentu, dan asal kedaerahan. Sedangkan
dimensi perencanaan tata ruang mengacu pada kegiatan utama, lokasi, dampak
dan sifat kerjanya sektor informal ini selalu bercirikan “melanggar norma”.
Tampaknya tidak ada batasan yang pasti untuk mendefinisikan sektor
informal, karena hal ini ternyata tergantung dari jenis pekerjaan yang
diperankannya. Namun secara umum, batasan mengenai sektor informal dapat
dilihat dari ciri-ciri sektor informal.
2.1.2 Ciri-Ciri Sektor Informal
Keberadaan sektor informal akan terus langgeng, selama keberadaan sektor ini
masih
dapat
memberikan
alternatif
bagi
para
pencari
kerja
yang
membutuhkannya. Menurut Chandrakirana dan Sadoko (1994), ekonomi informal
perkotaan telah terbukti dapat terus langgeng, bahkan tumbuh, kendatipun dikejarkejar oleh aparat ketertiban pemerintah dan dianaktirikan dalam kebijakan
ekonomi makro. Ekonomi informal juga akan terus menjadi besar karena imbalan
dan kondisi kerja yang ditawarkan cukup baik. Wirosardjono (1985) menyatakan
bahwa ciri-ciri sektor informal adalah sebagai berikut:
1. Pola kegiatannya tidak teratur, baik dalam arti waktu, permodalan,
maupun penerimaanya.
2. Tidak tersentuh oleh peraturan atau ketentuan yang diterapkan oleh
pemerintah.
3. Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omsetnya biasanya kecil dan
diusahakan atas dasar hitungan harian.
4. Umumnya tidak mempunyai tempat usaha yang permanen dan terpisah
dari tempat tinggalnya.
5. Tidak mempunyai keterikatan (linkages) dengan usaha lain yang besar.
8
6. Umumnya dilakukan untuk melayani golongan masyarakat yang
berpendapatan rendah.
7. Tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus, sehingga secara
luwes dapat menyerap bermacam-macam tingkat pendidikan tenaga kerja.
8. Umumnya tiap-tiap satuan usaha memperkerjakan tenaga yang sedikit dan
dari lingkungan hubungan kekeluargaan, kenalan atau berasal dari daerah
yang sama.
9. Tidak mengenal sistem perbankan, pembukuan dan perkreditan.
Dalam memahami ciri-ciri perbedaan antara sektor formal dan informal,
berikut ini akan akan disajikan Tabel 1 yang mendeskripsikan perbedaan antara
kedua sektor tersebut.
Tabel 1. Perbedaan Antara Sektor Formal dan Informal
No.
Karakteristik
Sektor Formal
Sektor Informal
1.
Teknologi
Capital Intensive
Labour Intensive
2.
Organisasi
Birokratis
Hubungan kekeluargaan
3.
Modal
Berlebih
Sedikit
4.
Jam Kerja
Teratur
Tidak Teratur
5.
Upah
Normal : Teratur
Tidak Teratur
6.
Harga
Harga Pas
Cenderung dapat
dinegosiasikan
7.
Kredit
Dari bank atau Institusi
yang sama dengan bank
Pribadi atau bukan bank
8.
Keuntungan
Tinggi
Rendah
9.
Hubungan dengan
klien
Secara Formal
Secara Pribadi
10.
Biaya Tetap
Besar
Kecil (dapat dibagikan)
11.
Iklan
Penting
Kurang penting
12.
Pemanfaatan barangbarang bekas
Tidak berguna
Berguna
13.
Modal tambahan
Sangat diperlukan
Kurang diperlukan
14.
Perangkat
pemerintahan
Besar
Hampir tidak ada
15.
Ketergantungan
terhadap dunia luar
Besar : khususnya untuk
orientasi ekspor
Hampir tidak ada atau kecil
Sumber: Gerry (1987) dikutip oleh Suwartika (2003)
9
2.1.3 Faktor-Faktor Penyebab Keberadaan Sektor Informal
Sektor informal mampu memberikan alternatif sumber penghidupan selain
yang disediakan oleh perusahaan dan swasta. Terdapat beberapa alasan yang
menjelaskan mengapa sektor informal ini semakin banyak diminati. Menurut
penelitian yang dilakukan Anderson (1980) dalam Ameriani (2006), terdapat
beberapa aspek yang mempengaruhi minat terhadap sektor ini, yakni :
1. Krisis ekonomi, menyebabkan supply tenaga kerja yang melimpah. Data
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2007 mencatat, jumlah pengangguran
secara nasional mencapai 10,55 juta jiwa, atau 9,75 persen dari total
penduduk 220 juta jiwa (Muchdie, 2010). Data pengangguran ini belum
ditambah oleh jumlah tenaga kerja yang terpaksa terkena PHK. Di Jakarta
tahun 2007, jumlah pemulung yang memburu barang bekas diperkirakan
mencapai 500.000 orang dan akan terus bertambah akibat supply tenaga
kerja yang memiliki pendidikan dan keterampilan terbatas.
2. Sektor informal berkembang seiring dengan permintaan barang dan jasa,
terutama barang atau jasa yang tidak disediakan oleh sektor formal.
Profesi memulung menghasilkan pengumpulan barang bekas yang tidak
dapat dihasilkan oleh sektor formal. Berbagai barang bekas tersebut
dimanfaatkan oleh industri daur ulang yang membutuhkannya.
3. Kemudahan memasuki sektor informal. Beberapa alasan diantaranya (i)
sektor informal tidak terlalu terikat pada peraturan-peraturan yang bersifat
legal; pada profesi pemulung peraturan-peraturan yang dibuat antar
pemulung maupun pemulung dengan bos relatif tidak tertulis. Namun,
peraturan-peraturan tersebut lebih bersifat fleksibel.
(ii) peraturan-
peraturan dibuat sendiri oleh para pekerja sektor informal. Menurut
Simanjuntak (2002) peraturan antara pemulung dengan bos pemulung
ditetapkan melalui kesepakatan diantara keduanya. Hasil kesepakatan
tersebut tercakup dalam perjanjian kerjasama, sebagai contoh bos
memberikan
perlindungan
berupa
rumah
(bedengan)
dan
alat
perlengkapan pemulung. Di sisi lain pemulung harus menyetorkan hasil
memulungnya kepada bos, sesuai dengan harga yang telah ditetapkannya,
(iii) tempat melakukan usaha jarang yang menetap; (iv) skala usaha yang
10
dikembangkan relatif kecil dan ia mampu berdiri sendiri tanpa adanya
bantuan dari pihak perbankan; dan (v) pajak yang diberikan lebih ringan
jika dibandingkan dengan sektor formal.
Dari beberapa penyebab utama munculnya sektor informal, kiranya dapat
diambil garis besarnya bahwa sektor informal kian lama kian berkembang
walaupun kondisi ekonomi dalam keadaan stabil ataupun sulit. Sektor informal
merupakan suatu penyelamat bagi mereka yang tidak mendapatkan pekerjaan
(Chandrakirana & Sadoko 1994).
2.2. Pemulung
2.2.1 Pengertian dan Karaktersitik Pemulung
Pemahaman posisi pelaku-pelaku sektor informal dalam struktur yang lebih
luas, hanya dapat diperoleh dengan menggali dinamika yang berlaku spesifik pada
suatu bidang usaha tertentu (Chandrakirana & Sadoko 1994). Dalam hal ini,
pelaku sektor informal yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini adalah
pemulung. Nelson (1991) dalam Ameriani (2006) menjelaskan bahwa pemulung
adalah seorang atau sekelompok manusia yang penghidupannya diperoleh dari
mencari atau mengumpulkan barang-barang bekas yang telah terbuang di tempat
pembuangan sampah sebagai “barang dagangan”.
Dinas Kebersihan Daerah Khusus Ibukota (DKI) (1990) dalam Simanjutak
(2002) memberikan kesepakatan cara pandang mengenai pemulung, yaitu :
1. Pemulung adalah bagian masyarakat atau Warga Negara Indonesia
(WNI) yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama sesuai dengan
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
2. Pemulung adalah pelaku penting dalam proses daur ulang (recycling)
sampah sebagai salah satu bagian dalam penanganan sampah perkotaan
maupun pedesaan.
3. Pemulung adalah salah satu pemelihara lingkungan hidup yang
menyerap sebagian sampah untuk diolah menjadi barang yang berguna
bagi masyarakat.
11
4. Pemulung adalah orang yang bekerja memunguti dan mengumpulkan
sampah dan memanfaatkan sampah-sampah tersebut untuk menambah
penghasilan mereka.
Pada umumnya, profesi pemulung ini lebih banyak “digeluti” oleh
masyarakat miskin. Hampir semua atau sebagian besar para pemulung merupakan
migran yang berasal dari pedesaan (Simanjutak, 2002). Menurut Sjahrir (1985),
sebagian besar migran meninggalkan desa di Jawa karena alasan ekonomi.
Kesulitan ekonomi ini terjadi karena adanya tekanan kepadatan penduduk,
kebijakan pertanian, dan situasi politik setempat. Dari semua itu, faktor utama
yang mendorong migrasi ini adalah adanya perubahan di sektor pertanian, yang
terjadi sehubungan dengan kebijakan ekonomi dan politik yang diterapkan pada
sektor tersebut.
Terdapat dua jenis kategori pemulung, yakni pemulung jalanan dan
pemulung tetap. Pemulung jalanan merupakan pemulung yang hidup bebas di
jalanan. Pemulung tetap merupakan pemulung yang memiliki rumah (bedengan)
yang berada di sekitar Tempat Pembuangan Sampah (TPS) atau sekitar lapak.
Pemulung tetap biasanya memiliki ikatan kerja dengan bos pemulung. Bos
pemulung adalah orang yang mempunyai modal atau dukungan modal untuk
membeli beberapa jenis barang bekas. Bos pemulung juga memberikan jasa bagi
anak buahnya seperti, lapak dan peralatan memulung.
Pilihan kerja sebagai pemulung merupakan alternatif utama bagi mereka
para migran yang ingin bekerja, namun tidak memiliki pendidikan dan
keterampilan yang memadai. Alasan menjadi pemulung diungkapkan oleh
Lumingkewas (dalam Paramagita, 2008) yakni pekerjaan memulung itu mudah
dan tidak memerlukan modal atau keterampilan tinggi sehingga banyak orang
yang terjun menjadi pemulung dalam tempo yang singkat. Menurut penelitian
Simanjuntak (2002), pada umumnya profesi pemulung lebih banyak digeluti oleh
laki-laki. Laki-laki menempati posisi yang terbesar yaitu sebanyak 93,6 persen,
sedangkan sisanya 6,4 persen adalah pemulung wanita. Dilihat dari segi usianya,
para pemulung rata-rata termasuk pada angkatan kerja. Hasil penelitian
menunjukan sebagian besar usia pemulung di Bantar Gebang merupakan tenaga
kerja usia produktif yang usianya kurang dari 40 tahun. Persentase terbesar (41,2
12
%) berada pada selang usia 21 sampai 30 tahun, kemudian diikuti pemulung
dengan usia di bawah 20 tahun sebesar 35,6 persen, usia 31 sampai 40 tahun
sebesar 18,4 persen dan sisanya adalah pemulung yang usianya 40 tahun ke atas
sebesar 4,8 persen.
Dilihat dari kondisi tempat tinggalnya, biasanya pemulung tinggal dalam
bedeng yang disediakan oleh bos pemulung. Mereka juga tidak mempunyai akses
terhadap beragam fasilitas pemerintah atau walaupun ada prosesnya tampak
dipersulit dan mereka selalu dinomorduakan dalam pelayanan (Simanjutak, 2002).
2.2.2 Karakteristik Kerja Pemulung
Karakteristik adalah ciri-ciri khusus atau sesuatu yang mempunyai sifat
khas sesuai dengan perwatakan tertentu. Menurut Kartono (1981), kerja
merupakan aktivitas dasar yang memberikan isi dan makna pada kehidupan
manusia, memberikan status, dan mengikat seseorang pada individu lain serta
masyarakat. Dengan demikian karakteristik kerja adalah suatu ciri-ciri khusus
yang melekat dengan aktivitas dasar manusia dalam melakukan sesuatu, untuk
mendapatkan hal yang menjadi harapannya. Adapun karakteristik kerja pemulung
dapat dilihat dari ciri-ciri sebuah sektor informal.
Menurut penelitian Ameriani (2006) karakteristik kerja pemulung
bercirikan lamanya pemulung menjalani profesi ini, rata-rata 3,65 tahun, hampir
seluruh dari pemulung bekerja dengan motivasi memenuhi kebutuhan dasar
khususnya pangan, penghasilan pemulung Rp. 421.200,00 dengan kisaran Rp.
150.000,00 sampai dengan Rp. 900.000,00 per bulan, hari kerja pemulung
termasuk sedang, sedangkan jam kerjanya termasuk rendah, rata-rata pemulung
menempuh jarak 5 km per harinya. Berdasarkan hasil penelitian tersebut
menunjukan karakteristik kerja yang terdapat pada pemulung termasuk kedalam
ciri-ciri sektor informal.
Pekerjaan memulung dipandang sebagai usaha untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Bila dikaitkan dengan teori Maslow (1943) sebagaimana
dikutip oleh Herujito (2001) dalam Ameriani (2006), maka kerja yang hanya
dipandang sebagai alat pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan termasuk pada
13
hirarkhi terendah. Sesuai dengan teori motivasi, hirarkhi kebutuhan manusia
menurut Maslow (1943) adalah sebagai berikut :
1. Kebutuhan fisiologis, mencakup kebutuhan badani misalnya pangan,
sandang, dan sebagainya;
2. Kebutuhan rasa aman, baik secara fisik maupun psikis;
3. Kebutuhan afiliasi, dimana manusia sebagai makhluk sosial ingin diterima
menjadi anggota kelompok masyarakat tertentu dan ingin ikut aktif dalam
berbagai kegiatan;
4. Kebutuhan akan harga diri, dimana manusia selalu ingin dibutuhkan dan
dihargai, Harga diri ini bermanifestasi dalam prestasi dan kekuasaan;
5. Kebutuhan
aktualisasi
diri,
yaitu
suatu
kebutuhan
untuk
dapat
mengembangkan keahliannya.
Menurut Kartono (1981), motivasi kerja adalah daya gerak yang mendorong
seseorang untuk bekerja, baik dari luar dirinya maupun dari sisi usahanya untuk
bekerja secara lebih baik dan efisien untuk mencapai tujuan yang diinginkannya.
Motivasi kerja tidak hanya berdasar pada kebutuhan ekonomis (uang) tetapi juga
kebutuhan akan aktualisasi diri yaitu nilai sosial yang baik, perhatian dari orangorang disekitarnya, dan kekaguman teman terhadap dirinya sendiri.
2.2.3 Karakteristik Lapak Pemulung
Menurut penelitian Ameriani (2006), dilihat dari posisi bedeng pemulung,
lokasi lapak pemulung cenderung agak menjauh dari pemukiman warga di
masing-masing RW terkait. Interaksi warga pemulung pun terlihat kurang
menyatu dengan warga lainnya di sekitar. Kondisi keadaan bedeng pemulung
diungkapkan oleh Anwar (1991) dalam penelitiannya mengenai lapak pemulung
di lokasi pemusnahan sampah akhir Budi Dharma Jakarta, sebagai berikut :
“Keadaan bangunan gubuk tempat tinggal para pemulung sangat
memprihatinkan, dinding gubuk terbuat dari tambalan papan atau triplek
dan bilik. Sedangkan atap bangunan terbuat dari lembaran kaleng dan
atau triplek yang dilapisi plastik dan ditindih dengan ban-ban bekas
sebagai pemberat. Luas bangunan rumah antara 9 m² sampai 15 m² dan
luas pemukiman pemulung sekitar 75m²-100m².
Fasilitas sanitasi
lingkungan seperti MCK ( mandi, cuci, kakus) umum dibangun secara
darurat dipinggir sungai. Sumber air bersih dari sumur pompa juga
tersedia di pemukiman tersebut” (Anwar, 1991) .
14
Menurut Suparlan (1984) penempatan mereka di lapak atau hunian liar
selalu berada di bawah seorang pelindung. Lokasi lapak pemulung terkadang
sudah mendapatkan jaminan keamanan yang diperoleh dari kepala kampung
melalui bos mereka (Ameriani, 2006). Penelitian yang dilakukan Puspitasari
(2007) mengungkapkan bahwa rumah-rumah para pengemis dan pemulung
sebagian besar terbuat dari bilik-bilik bambu, ruangan hanya terdiri dari satu
sampai dua kamar, tidak terdapat sanitasi yang baik, dan sarana MCK
dipergunakan secara umum.
Menurut Mangin (1967) dan Tunner (1969) dalam Puspitasari (2007)
menyatakan bahwa gubuk sering digambarkan sebagai puncak kondisi kehidupan
miskin, seringkali pula merupakan basis permukiman yang memadai. Gubukgubuk tersebut merupakan fondasi yang menguntungkan, lebih baik, atau lebih
bersifat inovatif, dan dipandang sebagai jalan keluar dari kemiskinan mereka.
2.3 Kelembagaan
Kelembagaan merupakan suatu bagian yang tidak terlepaskan dalam suatu
sistem sosial dalam masyarakat. Kelembagaan hadir sebagai pedoman bagi
masyarakat guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Kelembagaan merupakan
terjemahan langsung dari istilah asing yakni institution. Koentjaraningrat
menggunakan istilah pranata untuk institution. Menurut Koentjaraningrat (1990)
pranata merupakan sistem norma atau aturan-aturan mengenai suatu aktivitas
masyarakat yang khusus. Ia juga mengungkapkan bahwa pranata merupakan suatu
sistem norma khusus (aturan-aturan) yang menata suatu rangkaian tindakan
berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam
kehidupan masyarakat. Norma-norma tersebut mempunyai kekuatan mengikat
yang berbeda-beda. Secara sosiologis, Soekanto (1990) menguraikan kekuatan
mengikat norma-norma sebagai berikut :
1. Tata cara ( usage ) merupakan norma yang menunjuk kepada satu bentuk
perbuatan dengan sangsi yang sangat ringan terhadap pelanggarnya.
Pelanggaran atau penyimpangan terhadapnya tidak akan mengakibatkan
hukuman yang berat, tetapi hanya sekedar celaan.
15
2. Kebiasaan (folkways) merupakan cara-cara bertindak yang digemari oleh
masyarakat sehingga dilakukan berulang-ulang oleh banyak orang. Folkways
mempunyai kekuatan untuk mengikat yang lebih besar daripada cara. Apabila
anggota masyarakat melakukan pelanggaran maka sangsinya adalah adalah
berupa teguran, sindiran, atau perunjingan
3. Tata kelakuan (mores) mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok
manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar maupun tidak
sadar, oleh masyarakat terhadap anggota-anggotanya. Tata kelakuan berfungsi
untuk memberikan batas-batas pada perilaku individu. Mores mempunyai
kekuatan untuk mengikat yang lebih besar daripada folkways.
4. Adat istiadat (customs) merupakan norma ynag tidak tertulis namun sangat
kuat mengikat, sehingga anggota-anggota masyarkat yang melanggar adat
istiadat akan menderita, karena sanksi keras yang kadang-kadang secara tidak
langsung diperlakukan. Customs ini memiliki kekuatan mengikat yang lebih
besar bila dibandingkan norma-norma lainnya.
Norma-norma tersebut akan menjadi bagian dari lembaga kemasyarakatan
apabila telah mengalami proses pelembagaan (institutionalization). Soekanto
(1990) menyatakan bahwa proses pelembagaan adalah suatu proses yang dilalui
norma sampai norma itu dikenal, diakui, dihargai dan kemudian ditaati oleh
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Keberadaan kelembagaan itu sendiri
menjadi suatu hal yang sangat penting bagi masyarakat, agar perilaku-perilaku
masyarakat dapat diatur sesuai dengan norma yang ditetapkan, sehingga pada
akhirnya kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi.
Aktivitas-aktivitas manusia guna memenuhi kebutuhan hidup selalu diulangulang, baik disengaja maupun tidak sengaja dilakukan. Pada akhirnya berbagai
aktivitas tersebut melekat dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam
kehidupan bermasyarakat. Kebiasaan-kebiasaan yang biasa dilakukan oleh
anggota masyarakat kemudian menjadi suatu aturan tersendiri yang hidup dalam
masyarakat. Summner sebagaimana dikutip oleh Gillin dan Gillin dalam
Soemardjan (1964) menyatakan bahwa terbentuknya suatu kelembagaan dimulai
dari kebiasaan, menjadi adat istiadat, kemudian berkembang menjadi suatu tata
kelakuan yang berguna untuk menunjang kesejahteraan masyarakat. Gillin dan
16
Gillin sebagaimana dikutip oleh Soekanto (1990) menyatakan bahwa kelembagan
dapat diklasifikasikan dengan beberapa cara :
a. Dari sudut perkembangannya Sumner (1906) dalam Soekanto (1990) crescive
institutions
dan
enacted
institution.
Crescive
institutions
merupakan
kelembagaan primer dan sebagai kelembagaan yang secara tidak disengaja
tumbuh dari adat-istiadat masyarakat, contoh : hak milik, perkawinan, agama.
Enacted institutions dikatakan sebagai kelembagaan yang sengaja dibentuk
dan ditujukan untuk memenuhi tujuan tertentu, contoh : kelembagan utangpiutang, kelembagaan perdagangan, yang kesemuanya berakar pada kebiasaankebiasaan masyarakat.
b. Dari sudut sistem nilai-nilai yang diterima masyarakat, kelembagaan
diklasifikasikan atas basic institutions dan subsidiary institutions. Basic
institutions
dinyatakan sebagai kelembagaan yang sangat penting untuk
memelihara dan mempertahankan tata tertib dalam masyarakat, contoh :
keluarga, sekolah, negara. Subsidiary institutions dianggap kurang penting
misalnya, kegiatan-kegiatan untuk rekreasi. Ukuran untuk menentukan apakah
kelembagaan tersebut termasuk kedalam basic atau subsidiary tergantung dari
masa hidup masyarakat.
c. Dari sudut penerimaan masyarakat dapat dibedakan approved atau social
sanctioned-institutions dengan unsanctioned institutions. Approved atau social
sanctioned institutions adalah kelembagaan yang diterima oleh masyarakat
seperti misalnya sekolah, perusahaan dagang. Sebaliknya unsantioned
institutions merupakan kelembagaan yang ditolak oleh masyarakat, walaupun
masyarakat terkadang tidak berhasil memberantasnya. Misalnya kelompok
penjahat, pemeras dan sebagainya.
d. Pembedaan antara general institutions dengan restricted isntitutions, timbul
apabila klasifikasi tersebut didasarkan atas faktor penyebarannya. Misalnya
agama merupakan suatu general institutions, karena dikenal oleh hampir semua
masyarakat dunia. Sedangkan agama islam, protestan, katolik, budha, dan
lainnya merupakan restricted institutions, karena dianut oleh masyarakat
tertentu di dunia.
17
e. Dari sudut fungsinya terdapat pembedaan atas
operative institutions dan
regulative institutions. Operative institutions berfungsi sebagai kelembagaan
yang menghimpun pola-pola atau tata cara yang diperlukan untuk mencapai
tujuan kelembagaan yang bersangkutan, seperti kelembagaan industrialisasi.
Regulative institutions bertujuan untuk mengawasi adat istiadat atau tata
kelakuan yang tidak menjadi bagian mutlak kelembagaan itu sendiri. Suatu
contoh adalah kelembagaan hukum seperti kejaksaan, pengadilan dan
sebagainya.
2.3.1 Kelembagaan Pemulung
Ameriani (2006) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa hubungan
yang terjadi antara pemulung dengan bos pemulung dikategorikan sebagai
hubungan antara (patron-klien). Hubungan bapak-anak buah ini didefinisikan
sebagai suatu ikatan yang terdiri dari dua pihak dimana individu yang memiliki
status sosial ekonomi yang lebih tinggi memanfaatkan pengaruh atas sumbersumber yang dimilikinya guna memberikan perlindungan dan atau keuntungan
bagi seseorang dalam status sosial yang lebih rendah (anak buah) (Simanjuntak,
2002). Menurut Ahimsa (1996) dalam Purnamasari (2002) menjelaskan tentang
beberapa ciri yang terdapat pada hubungan patron dan klien, yakni :
1. Adanya ketimpangan (inequality) dalam pertukaran, terjadi karena patron
berada dalam posisi yang lebih kuat, lebih tinggi atau lebih kaya daripada si
klien daripada sebaliknya, sehingga klien wajib membalasnya. Namun rasa
wajib membalas hanya dapat bertahan selama pemberian tersebut masih
dirasakan berharga (memenuhi kebutuhan pokok) dan jika peraturan di
dalamnya belum mencapai titik seimbang.
2. Sifat tatap muka (face to face character) dalam relasi patron-klien
menunjukan bahwa sifat pribadi terdapat di dalamnya. Seorang patron
biasanya sangat mengenal kliennya, demikian pula sebaliknya sehingga
membuat relasi diantara mereka bertambah kuat dan dekat. Adanya
hubungan timbal balik antara kedua belah pihak membangkitkan rasa saling
percaya untuk menjaga pihak lain.
18
3. Sifat luwes dan meluas (diffuse flexibility) yang dimiliki oleh hubungan
patron-klien menyebabkan dalam relasi tersebut seorang patron tidak saja
dikaitkan dengan hubungan kerja, tetapi juga oleh hubungan sebagai
sesama tetangga, sahabat dan sebagainya.
Menurut Karyadi (2005) eksistensi patron-klien berkaitan erat dengan
norma-norma sosial. Sebagaimana dikutip Petras (1990) dalam Karyadi (2005)
menyatakan bahwa dalam kaitannya dengan hubungan patron klien di Indonesia,
hubungan antara “tuan” (patron) dengan pengikutnya (klien) lebih banyak bersifat
sukarela dan sewaktu-waktu bisa di putus. Patron dapat melepaskan kliennya
yang kurang patuh atau yang tidak menunaikan kewajibannya dengan baik.
Sebaliknya, klien dapat pindah ke patron lainnya apabila klien tersebut merasa
kurang mendapat jaminan hidup dan perlindungan lainnya. Oleh karena itu, ada
kesepakatan antara anak buah (klien) dan bapak buah (patron) dalam perjanjian
kerjasama. Sebagai contoh fasilitas yang diberikan bos pemulung kepada
pemulung, dan kepastian perolehan sampah dari para pemulung.
Santoso dalam Ameriani (2006) menemukan bahwa para pemulung di Bantar
Gerbang yang kehidupannya ditanggung oleh bos pemulung memiliki penghasilan
Rp. 600.000,00 per bulan. Hal ini belum ditambah dengan uang makan, rokok,
biaya kesehatan, dan lain-lain. Bos pemulung biasanya membangun lapak mini
untuk kelompoknya masing-masing di dekat bedeng penampungan barang bekas.
Lapak mini yang dibangun merupakan bentuk perlindungan yang diberikan
oleh bos pemulung. Pada lapak ini terlihat adanya interaksi antar pemulung.
Kelembagaan yang terdapat diantara pemulung pada satu lapak ini dapat terlihat
dari interaksi-interaksi yang dibangun oleh mereka. Pada penelitian Ameriani
(2006) dikatakan bahwa peraturan yang terdapat diantara para pemulung berupa
kesepakatan secara tidak tertulis. Hal-hal yang biasanya menjadi kesepakatan
antara lain, keharusan berlaku jujur dan kesepahaman pembagian wilayah.
Pembagian wilayah ini dimaksudkan agar tidak banyak pemulung berada pada
satu wilayah.
2.4 Pola Interaksi
Soekanto (1990) dalam bukunya menjelaskan bahwa suatu interaksi sosial
tidak mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat yakni : Adanya kontak
19
sosial dan komunikasi. Kontak sosial merupakan tahap pertama dari terjadinya
interaksi sosial. Kontak sosial mengacu pada tindakan dan tanggapan terhadap
tindakan tersebut. Menurut William C. Himstreet dan Wyne Murlin Baty dalam
Purwanto (2003) mengungkapkan bahwa komunikasi adalah suatu proses
pertukaran informasi antar individu melalui suatu sistem yang biasa (lazim) baik
dengan simbol-simbol, sinyal-sinyal, maupun perilaku atau tindakan.
Interaksi yang terdapat dalam masyarakat memiliki pola-pola tertentu.
Interaksi sosial didefinisikan sebagai suatu hubungan antar manusia yang saling
mempengaruhi satu sama lain baik dalam hubungan antar individu, antar
kelompok maupun antar individu dengan kelompok. Definisi interaksi sosial
menurut Gillin dan Gillin sebagaimana dikutip oleh Soekanto (1990) adalah suatu
hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang perorang,
antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang-orang perorang
dengan kelompok manusia. Sejalan dengan pengertian tersebut, pola interaksi
dapat dipandang sebagai suatu hubungan sosial yang dinamis antar manusia baik
dalam hubungan antar individu, antar kelompok, maupun antar individu dengan
kelompok
yang
dilakukan
secara
berulang-ulang.
Soekanto
(1990)
mengemukakan bahwa proses-proses interaksi dapat dibedakan dalam dua pola
yakni proses sosial yang mendekatkan atau mempersatukan (asosiatif) dan proses
sosial yang menjauhkan atau mempertentangkan (disosiatif). Proses sosial yang
mendekatkan atau mempersatukan dapat dirinci sebagai berikut:
a. Kerjasama (cooperation)
Kerjasama mengandung pengertian sebagai suatu usaha bersama antara orang
perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan
bersama. Bentuk kerjasama tersebut berkembang apabila orang dapat
digerakkan untuk mencapai suatu tujuan bersama dan harus ada kesadaran
bahwa tujuan tersebut dikemudian hari mempunyai manfaat bagi semua. Iklim
yang menyenangkan dalam pembagian kerja serta balas jasa yang diterima juga
dapat mengembangkan kerjasama. Kerjasama akan bertambah kuat apabila ada
bahaya luar yang mengancam atau terdapat tindakan-tindakan luar yang
menyinggung kesetiaan yang secara tradisional atau institutional telah tertanam
20
di dalam kelompok, dalam diri seseorang atau segolong orang. Dengan
mengutip pendapat Thompson & Mc Ewan, Soekanto (1990) menyatakan
bentuk-bentuk kerjasama antara lain adalah:
1. Kerukunan yang mencakup gotong royong dan tolong menolong
2. Bargaining yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran
barang-
barang dan jasa-jasa antara dua organisasi atau lebih
3. Ko-optasi yakni suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam
kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi, sebagai
salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam
stabilitas organisasi yang bersangkutan
4. Koalisi yakni kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang
mempunyai tujuan-tujuan yang sama
5. Join-venture yakni kerjasama dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu.
b. Akomodasi (Accomodation)
Akomodasi merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa
menghancurkan pihak lawan, sehingga lawan tidak kehilangan pribadinya.
Akomodasi merupakan suatu keadaan keseimbangan atau usaha-usaha
mengakhiri pertikaian secara permanen atau sementara diantara pihak-pihak
yang berkonflik. Sebagai hasil interaksi sosial, akomodasi menunjuk pada
suatu keadaan dimana terdapat keseimbangan baru setelah pihak-pihak yang
berkonflik berbaikan kembali.
Bentuk-bentuk akomodasi antara lain adalah:
1. Coercion merupakan bentuk akomodasi yang proses terjadinya karena
adaya unsur paksaan. Pada bentuk ini salah satu pihak berada dalam
keadaan yang lemah bila dibandingkan dengan pihak lawan.
2. Compromise merupakan bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang
berkonflik
saling
mengurangi
tuntutannya,
agar
tercapai
suatu
penyelesaian terhadap perselisihan yag ada.
3. Arbitration merupakan suatu cara untuk mencapai compromise apabila
pihak-pihak yang berkonflik tidak sanggup mencapainya sendiri.
Pertentangan diselesaikan oleh pihak ketiga yang dipilih oleh kedua belah
pihak.
21
4. Mediation hampir menyerupai arbitration, namun pihak ketiga yang
diundang merupakan pihak yang netral. Kedudukan pihak ketiga
hanyalah sebagai penasihat belaka, dia tidak memiliki wewenang untuk
memberi keputusan penyelesaian konflik.
5. Conciliation merupakan suatu upaya untuk mempertemukan keinginankeinginan dari pihak-pihak yang berselisih demi tercapainya suatu
persetujuan bersama.
6. Toleration merupakan suatu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang
formal bentuknya. Terkadang toleration timbul secara tidak sadar dan
tanpa direncanakan.
7. Stalemate merupakan suatu akomodasi dimana pihak-pihak yang
bertentangan saling berhenti pada satu titik karena mempunyai kekuatan
yang seimbang.
c. Asimilasi
Asimilasi adalah proses sosial yang ditandai dengan usaha-usaha mengurangi
perbedaan yang terdapat antara orang perorang atau kelompok-kelompok
manusia, mempertinggi kesatuan tindak dan sikap dengan kepentingan dan
tujuan bersama. Syarat-syarat terjadinya asimilasi adalah:
1. Adanya kelompok-kelompok manusia yang berbeda kebudayaan
2. Orang perorang sebagai warga kelompok tadi saling bergaul secara langsung
dan intensif dalam waktu yang lama
3. Kebudayaan-kebudayaan dari kelompok-kelompok orang tersebut masingmasing berubah dan saling menyesuaikan diri.
Proses sosial yang menjauhkan atau mepertentangkan (disosiatif) dapat diuraikan
sebagai berikut :
a. Persaingan (Competition)
Persaingan diartikan sebagai suatu proses sosial, dimana individu atau
kelompok-kelompok manusia yang bersaing, tanpa mempergunakan ancaman
atau kekerasan. Persaingan mempunyai dua tipe umum yakni yang bersifat
pribadi dan tidak pribadi. Persaingan pribadi menekankan pada persaingan
antar individu, sedangkan persaingan tidak pribadi terjadi pada antar kelompok.
22
Persaingan antara lain dapat dalam bentuk persaingan ekonomi, persaingan
kebudayaan, persaingan kedudukan dan peranan.
Persaingan dalam batas-batas tertentu memiliki beberapa fungsi yakni, (1)
menyalurkan keinginan-keinginan individu atau kelompok yang bersifat
kompetitif, (2) sebagai jalan dimana keinginan, kepentingan serta nilai-nilai
yang pada suatu masa menjadi pusat perhatian, tersalurkan dengan baik oleh
mereka yang bersaing, (3) sebagai alat untuk menyaring para warga golongan
karya yang akhirnya akan menghasilkan pembagian kerja yang efektif.
b. Kontravensi (Contravention)
Kontravensi pada hakikatnya merupakan suatu bentuk proses sosial yang
berada antara persaingan dan pertentangan atau pertikaian. Kontravensi
terutama ditandai oleh gejala-gejala adanya ketidakpastian mengenai diri
seseorang atau suatu rencana dan perasaan tidak suka yang disembunyikan,
kebencian, atau keragu-raguan terhadap kepribadian seseorang. Bentuk yang
murni, kontravensi adalah sikap mental yang tersembunyi terhadap orangorang lain atau terhadap unsur-unsur kebudayaan suatu golongan tertentu.
Sikap tersembunyi dapat berubah menjadi kebencian, akan tetapi tidak sampai
menjadi pertentangan atau pertikaian. Bentuk kontravensi antara lain:
perbuatan-perbuatan seperti penolakan (bentuk umum) menyangkal orang lain
di
depan
umum
(bentuk
sederhana),
penghasutan
(secara
intensif),
mengumumkan rahasia pihak lain (secara rahasia), mengganggu atau
membingungkan lawan (secara taktis).
c. Konflik
Konflik adalah proses sosial dimana orang-perorangan atau kelompok manusia
berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lain atau lawan
dengan ancaman dan atau kekerasan. Sumber konflik dalam masyarakat antara
lain; (a) penguasaan tanah atau sumber-sumber ekonomi umumnya; (b)
kedudukan atau gengsi sosial politik; (c) perjodohan atau perkawinan.
Berdasarkan sejumlah laporan penelitian yang telah dilakukan, setidaknya
terdapat enam pemicu dan penyebab mendasar terjadinya konflik (Alqadrie
sebagaimana dikutip oleh Mursyid, 2005) :
1. Perbedaaan budaya
23
2. Persaingan yang tidak seimbang
3. Premanisme dan kriminalitas (tindak kejahatan)
4. Kebijakan pemerintah pusat yang sentralistik
5. Struktur dan persaingan sosial-ekonomi yang tidak wajar dan tidak
seimbang
6. Ketidakmampuan dan ketidakberdayaan aparat penegak hukum
2.4.1 Pola Interaksi Pemulung
Beberapa penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa interaksi yang
terbentuk antara pemulung dengan bos pemulung adalah interaksi yang saling
menguntungkan dan membutuhkan. Bos pemulung tidak bisa menjalankan
usahanya bila tidak ada pemulung yang menjadi anak buahnya, sebaliknya
pemulung tidak akan mendapatkan perlindungan dan upah apabila tidak ada bos.
Interaksi pemulung dengan rekan sesama profesinya dan bos dapat dikategorikan
sering dilakukan (Ameriani, 2006). Hal ini disebabkan oleh faktor lingkungan
yang berdekatan dan memiliki kedekatan secara psikologis karena berasal dari
daerah yang sama. Bila dilihat dari interaksi antar pemulung dengan warga
masyarakat sekitar, maka sebagian besar pemulung jarang bahkan tidak pernah
berinteraksi dengan masyarakat sekitar karena pemulung merasa tidak pantas
untuk berbicara dengan mereka. Menurut Paramagita (2008) menyatakan bahwa
pemulung menerima sikap-sikap diskriminatif masyarakat kota seperti tidak
diperbolehkan masuk ke daerah tertentu dengan menggunakan tulisan “pemulung
dilarang masuk” di sudut-sudut perkampungan, perumahan atau perkantoran.
Kondisi ini memberi arti bahwa keberadaan mereka belum sepenuhnya dihargai
masyarakat.
2.5 Kerangka Pemikiran
Potret kehidupan pemulung pada penelitian ini dapat dideskripsikan secara
mendalam melalui karakteristik pemulung, keluarga pemulung, kerja pemulung,
lapak pemulung, pola interaksi pemulung dan kelembagaan yang terkait dengan
pemulung. Untuk memahami gambaran pemulung, maka hal yang akan dibahas
pertama kali adalah karakteristik pemulung. Adapun karakteristik pemulung yang
24
ingin dilihat berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, daerah asal,
etnis pemulung, pengalaman kerja pemulung sebelumnya dan pekerjaan orang tua
pemulung itu sendiri. Setelah mengetahui karakteristik pemulung, gambaran
kehidupan pemulung dilanjutkan dengan menelaah karakteristik keluarga
pemulung.
Karakteristik keluarga pemulung dapat digambarkan melalui jumlah anggota
keluarga, fasilitas tempat tinggal, barang-barang kepemilikan, dan penggunaan
penghasilan. Pemahaman mengenai karakteristik kerja pemulung dapat diteliti
melalui lama menjadi pemulung, motivasi kerja, hari kerja dan jam kerja dalam
memulung, jarak tempuh memulung, jenis barang pulungan, berat barang
pulungan, peralatan yang digunakan, pengetahuan mengenai material pulungan
dari sisi harga, pengetahuan material pulungan dari sisi legal barang.
Untuk mengetahui potret kehidupan pemulung secara mendalam maka yang
menjadi fokus penelitian lainnya adalah karakteristik lapak pemulung yang
ditempati pemulung. Karakteristik lapak yang ingin dikaji meliputi kondisi
bedeng, sarana air bersih, sanitasi, keberadaan lahan lapak dari sisi legalitas. Pola
interaksi pemulung dengan sesama pemulung dalam satu lapak pemulung,
pemulung dengan bos pemulung, dan pemulung dengan masyarakat setempat
menjadi bagian yang tidak luput di teliti dalam usaha memperoleh gambaran
kehidupan pemulung secara mendalam. Apa saja kelembagaan penting yang
terdapat dikalangan para pemulung dan bagaimana proses muncul dan
berkembangnya lembaga-lembaga tersebut dikaji pula melalui kelembagaan antar
sesama pemulung, antar pemulung dengan bos pemulung, antar pemulung dengan
pemerintah setempat. Keseluruhan aspek-aspek tersebut akan dibahas untuk
memperoleh gambaran secara lengkap, utuh dan mendalam mengenai kehidupan
pemulung. Untuk lebih jelasnya, kerangka pemikiran ini disajikan pada Gambar
1.
25
Potret Kehidupan
Pemulung
Karakteristik
Pemulung :
• Usia
• Jenis Kelamin
• Pendidikan
terakhir
• Daerah Asal
• Etnis pemulung
• Pengalaman kerja
pemulung
sebelumnya
• Latar belakang
pekerjaan orang
tua pemulung
Karakteristik
Keluarga Pemulung :
• Jumlah anggota
keluarga pemulung
• Fasilitas tempat
tinggal
• Barang-barang
kepemilikan
• Penggunaan
penghasilan
Keterangan :
: Hal yang dikaji
Karakteristik kerja
pemulung :
• Lama menjadi
pemulung
• Motivasi kerja
pemulung
• Hari kerja dan jam
kerja dalam
memulung
• Jarak tempuh
memulung
• Jenis barang
pulungan
• Berat barang
pulungan
• Peralatan yang
digunakan
• Pengetahuan barang
pulungan dari sisi
harga
• Pengetahuan barang
pulungan dari sisi
legalitas
Karakteristik
Lapak pemulung :
• Kondisi bedeng
• Sarana air bersih
• Sanitasi
• Keberadan lahan
lapak dari sisi
legalitas
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Pola Interaksi
Pemulung :
• Pola interaksi
sesama pemulung
dalam satu lapak
• Pola interaksi
pemulung dengan
Bos pemulung
• Pola interaksi
pemulung dengan
masyarakat
setempat
Kelembagaan :
• Antar sesama
pemulung
• Antar pemulung
dengan bos
pemulung
• Antar pemulung
dengan
pemerintah
setempat
26
2.5.1 Definisi Konseptual
1. Potret kehidupan pemulung adalah gambaran kehidupan pemulung yang dilihat
dari karakteristik pemulung, keluarga pemulung, kerja pemulung, lapak
pemulung, pola interaksi pemulung dan kelembagaan yang terikat dengan
pemulung.
2. Karakteristik pemulung adalah ciri-ciri khusus yang melekat pada pemulung.
Dalam karakteristik pemulung, hal-hal yang dikaji adalah :
a. Pemulung adalah orang yang mencari nafkah dengan jalan mencari dan
memungut serta memanfaatkan barang bekas dengan menjualnya kepada
pengusaha yang akan mengolahnya kembali menjadi barang komoditas.
Pemulung yang dikaji pada penelitian memfokuskan pada pemulung yang
tinggal dalam satu lapak pemulung dan terikat hubungan kerjanya dengan
bos pemulung.
b. Usia pemulung adalah usia kasus pada saat penelitian berlangsung.
c. Jenis kelamin adalah perbedaan individu kasus berdasarkan kondisi
biologis.
d. Pendidikan terakhir pemulung adalah jenjang sekolah formal terakhir yang
diperoleh kasus.
e. Daerah asal adalah daerah asli kasus dimana kasus mengalami masa
pertumbuhan.
f. Etnis adalah suku bangsa yang berhubungan dengan latar belakang kasus.
g. Pengalaman kerja pemulung sebelumnya adalah pengalaman kerja yang
dilakoni kasus sebelum bekerja menjadi pemulung.
h. Latar belakang pekerjaan orang tua pemulung adalah pekerjaan yang
dilakoni oleh orang tua kasus.
3. Karakteristik keluarga pemulung adalah ciri-ciri khusus yang melekat pada
keluarga pemulung. Dalam karakteristik keluarga pemulung, hal-hal yang
dikaji adalah :
a. Jumlah anggota keluarga adalah jumlah anggota yang berada dalam satu
atap rumah (bedeng) di lapak pemulung.
b. Fasilitas tempat tinggal adalah segala sesuatu yang diberikan bos pemulung
kepada keluarga kasus.
27
c. Barang-barang kepemilikan adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh kasus
dalam rangka menunjang kebutuhan hidupnya.
d. Penggunaan penghasilan adalah alokasi sejumlah uang atau materi yang
diterima dari hasil memulung dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan
seluruh anggota rumahtangga.
4. Karakteristik kerja pemulung adalah suatu ciri-ciri khusus yang melekat
dengan aktivitas dasar pemulung dalam melakukan sesuatu, untuk
mendapatkan hal yang menjadi harapannya. Hal-hal yang dikaji adalah :
a. Lama menjadi pemulung adalah lamanya seorang kasus menekuni profesi
memulung.
b. Motivasi kerja adalah dorongan kasus untuk bekerja dalam rangka
mencapai tujuannya.
c. Hari kerja dan jam kerja dalam memulung adalah banyaknya hari dan jam
kerja kasus bekerja memulung dalam satu bulan.
d. Jarak tempuh memulung adalah jarak yang ditempuh kasus (dalam satuan
km) dalam bekerja mengumpulkan barang pulungan per harinya.
e. Jenis barang pulungan adalah jenis barang yang diambil oleh kasus ketika
memulung.
f. Berat barang pulungan adalah berat barang pulungan dalam hitungan
kilogram (kg) yang dibawa oleh kasus setiap kali memulung.
g. Peralatan yang digunakan adalah alat bantu yang digunakan kasus dalam
rangka menunjang pekerjaan mereka.
h. Pengetahuan barang pulungan dari sisi harga adalah pengetahuan kasus
mengenai setiap harga barang yang dipulungnya.
i. Pengetahuan barang pulungan dari sisi legalitas adalah pengetahuan kasus
mengenai boleh atau tidaknya barang pulungan diambilnya.
5. Karakteristik lapak pemulung adalah ciri-ciri khusus yang melekat pada lapak
pemulung. Dalam karakteristik lapak pemulung, hal-hal yang dikaji adalah :
a. Lapak adalah tempat bermukimnya para pemulung yang hidup secara
berkelompok.
b. Sarana air bersih adalah keberadaan air bersih dalam lingkungan lapak
pemulung.
28
c. Luas bedeng adalah ukuran panjang (m) x lebar (m) bedeng kasus.
d. Bahan bangunan bedeng adalah material utama yang digunakan sebagai
bahan bangunan bedeng.
e. Sanitasi adalah cara kasus membuang air limbah rumah tangga di sekitar
lingkungan lapak pemulung.
f. Keberadan lahan lapak dari sisi legalitas adalah jaminan izin untuk
mendirikan lapak dari pemerintah setempat.
6. Pola interaksi pemulung suatu hubungan sosial yang dinamis yang dilakukan
secara berulang-ulang antar responden baik dalam hubungan antar individu
dalam satu lapak, kasus dengan bos pemulung dan kasus dengan masyarakat
setempat baik yang mengarah pada proses interaksi yang mempersatukan
(asosiatif) dan mempertentangkan (disosiatif).
7. Bos pemulung merupakan perantara tingkat pertama yang akan menyalurkan
semua jenis bahan daur ulang dalam jumlah yang lebih besar per jenis komoditi
dan dalam kondisi relatif bersih. Semua jenis bahan daur ulang ini diterimanya
dari setiap kasus.
8. Kelembagaan yang terikat dengan pemulung adalah segala bentuk aturan baik
yang tertulis maupun tidak tertulis yang terdapat diantara para kasus, kasus
dengan bos pemulung dan kasus dengan pemerintah setempat.
Download