6 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Sektor Informal 2.1.1 Pengertian dan Eksistensi Sektor Informal Konsep mengenai sektor informal mulai diperbincangkan semenjak penelitian yang dilakukan oleh Keith Hart di Acra (Ghana) pada tahun 1971. Hart dalam Ameriani (2006) menyatakan bahwa : sektor informal sebagai kegiatan ekonomi peripheral yang mana sektor ini menyediakan pelayanan pokok yang dibutuhkan dalam kehidupan kota. Ia pula menyebutkan bahwa kesempatan dalam memperoleh penghasilan dapat dibagi menjadi tiga bagian, yakni sektor formal, sektor informal sah, dan sektor informal tidak sah. Namun karena sulitnya memberikan batasan antara sektor informal yang sah dengan yang tidak sah, maka banyak peneliti yang cenderung hanya menggunakan konsep sektor formal dan informal dalam memperoleh kesempatan. Menurut Sethurahman (1985) sektor informal adalah unit-unit usaha yang berskala kecil yang menghasilkan dan mendistribusikan barang/jasa dengan tujuan pokok menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan untuk sendiri. Dalam usahanya itu, ia dihadapkan pada berbagai kendala, seperti modal fisik, pengetahuan dan keterampilan. Selanjutnya Sjahrir (1985), menyebut sektor informal sebagai unit kegiatan ekonomi yang skala usahanya dapat besar maupun kecil yang memberikan peluang pada setiap individu-individu untuk memaksimalisasi sumberdaya-sumberdaya dan tenaga kerja yang ada dengan biaya seminim mungkin. Sektor informal tampak memiliki peran yang penting dalam hal menyerap tenaga kerja yang tidak dapat ditampung pada sektor formal. Sektor informal ini pula menjadi sektor alternatif bagi para pencari kerja yang tidak memiliki spesifikasi keterampilan yang dibutuhkan dan ditetapkan oleh sektor formal. Daya serap tenaga kerja di sektor informal ini relatif tinggi, ragam pekerjaan besar, dan kesempatan untuk menciptakan pekerjaan sesuai dengan kebutuhan dan lingkungannya merupakan faktor-faktor penting bagi hidupnya sektor informal (Ameriani, 2006). 7 Wirosardjono (1985) mengungkapkan batasan-batasan dimensi sektor informal baik dari segi ekonomi, sosial dan perencanaan tata ruang. Dimensi ekonomi mengacu pada pengabaian faktor modal, investasi, keterampilan, dan depresiasi. Dimensi sosial mengacu pada mengandalkan pekerja keluarga, suasana patron-klien, jam kerja yang tidak menentu, dan asal kedaerahan. Sedangkan dimensi perencanaan tata ruang mengacu pada kegiatan utama, lokasi, dampak dan sifat kerjanya sektor informal ini selalu bercirikan “melanggar norma”. Tampaknya tidak ada batasan yang pasti untuk mendefinisikan sektor informal, karena hal ini ternyata tergantung dari jenis pekerjaan yang diperankannya. Namun secara umum, batasan mengenai sektor informal dapat dilihat dari ciri-ciri sektor informal. 2.1.2 Ciri-Ciri Sektor Informal Keberadaan sektor informal akan terus langgeng, selama keberadaan sektor ini masih dapat memberikan alternatif bagi para pencari kerja yang membutuhkannya. Menurut Chandrakirana dan Sadoko (1994), ekonomi informal perkotaan telah terbukti dapat terus langgeng, bahkan tumbuh, kendatipun dikejarkejar oleh aparat ketertiban pemerintah dan dianaktirikan dalam kebijakan ekonomi makro. Ekonomi informal juga akan terus menjadi besar karena imbalan dan kondisi kerja yang ditawarkan cukup baik. Wirosardjono (1985) menyatakan bahwa ciri-ciri sektor informal adalah sebagai berikut: 1. Pola kegiatannya tidak teratur, baik dalam arti waktu, permodalan, maupun penerimaanya. 2. Tidak tersentuh oleh peraturan atau ketentuan yang diterapkan oleh pemerintah. 3. Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omsetnya biasanya kecil dan diusahakan atas dasar hitungan harian. 4. Umumnya tidak mempunyai tempat usaha yang permanen dan terpisah dari tempat tinggalnya. 5. Tidak mempunyai keterikatan (linkages) dengan usaha lain yang besar. 8 6. Umumnya dilakukan untuk melayani golongan masyarakat yang berpendapatan rendah. 7. Tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus, sehingga secara luwes dapat menyerap bermacam-macam tingkat pendidikan tenaga kerja. 8. Umumnya tiap-tiap satuan usaha memperkerjakan tenaga yang sedikit dan dari lingkungan hubungan kekeluargaan, kenalan atau berasal dari daerah yang sama. 9. Tidak mengenal sistem perbankan, pembukuan dan perkreditan. Dalam memahami ciri-ciri perbedaan antara sektor formal dan informal, berikut ini akan akan disajikan Tabel 1 yang mendeskripsikan perbedaan antara kedua sektor tersebut. Tabel 1. Perbedaan Antara Sektor Formal dan Informal No. Karakteristik Sektor Formal Sektor Informal 1. Teknologi Capital Intensive Labour Intensive 2. Organisasi Birokratis Hubungan kekeluargaan 3. Modal Berlebih Sedikit 4. Jam Kerja Teratur Tidak Teratur 5. Upah Normal : Teratur Tidak Teratur 6. Harga Harga Pas Cenderung dapat dinegosiasikan 7. Kredit Dari bank atau Institusi yang sama dengan bank Pribadi atau bukan bank 8. Keuntungan Tinggi Rendah 9. Hubungan dengan klien Secara Formal Secara Pribadi 10. Biaya Tetap Besar Kecil (dapat dibagikan) 11. Iklan Penting Kurang penting 12. Pemanfaatan barangbarang bekas Tidak berguna Berguna 13. Modal tambahan Sangat diperlukan Kurang diperlukan 14. Perangkat pemerintahan Besar Hampir tidak ada 15. Ketergantungan terhadap dunia luar Besar : khususnya untuk orientasi ekspor Hampir tidak ada atau kecil Sumber: Gerry (1987) dikutip oleh Suwartika (2003) 9 2.1.3 Faktor-Faktor Penyebab Keberadaan Sektor Informal Sektor informal mampu memberikan alternatif sumber penghidupan selain yang disediakan oleh perusahaan dan swasta. Terdapat beberapa alasan yang menjelaskan mengapa sektor informal ini semakin banyak diminati. Menurut penelitian yang dilakukan Anderson (1980) dalam Ameriani (2006), terdapat beberapa aspek yang mempengaruhi minat terhadap sektor ini, yakni : 1. Krisis ekonomi, menyebabkan supply tenaga kerja yang melimpah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2007 mencatat, jumlah pengangguran secara nasional mencapai 10,55 juta jiwa, atau 9,75 persen dari total penduduk 220 juta jiwa (Muchdie, 2010). Data pengangguran ini belum ditambah oleh jumlah tenaga kerja yang terpaksa terkena PHK. Di Jakarta tahun 2007, jumlah pemulung yang memburu barang bekas diperkirakan mencapai 500.000 orang dan akan terus bertambah akibat supply tenaga kerja yang memiliki pendidikan dan keterampilan terbatas. 2. Sektor informal berkembang seiring dengan permintaan barang dan jasa, terutama barang atau jasa yang tidak disediakan oleh sektor formal. Profesi memulung menghasilkan pengumpulan barang bekas yang tidak dapat dihasilkan oleh sektor formal. Berbagai barang bekas tersebut dimanfaatkan oleh industri daur ulang yang membutuhkannya. 3. Kemudahan memasuki sektor informal. Beberapa alasan diantaranya (i) sektor informal tidak terlalu terikat pada peraturan-peraturan yang bersifat legal; pada profesi pemulung peraturan-peraturan yang dibuat antar pemulung maupun pemulung dengan bos relatif tidak tertulis. Namun, peraturan-peraturan tersebut lebih bersifat fleksibel. (ii) peraturan- peraturan dibuat sendiri oleh para pekerja sektor informal. Menurut Simanjuntak (2002) peraturan antara pemulung dengan bos pemulung ditetapkan melalui kesepakatan diantara keduanya. Hasil kesepakatan tersebut tercakup dalam perjanjian kerjasama, sebagai contoh bos memberikan perlindungan berupa rumah (bedengan) dan alat perlengkapan pemulung. Di sisi lain pemulung harus menyetorkan hasil memulungnya kepada bos, sesuai dengan harga yang telah ditetapkannya, (iii) tempat melakukan usaha jarang yang menetap; (iv) skala usaha yang 10 dikembangkan relatif kecil dan ia mampu berdiri sendiri tanpa adanya bantuan dari pihak perbankan; dan (v) pajak yang diberikan lebih ringan jika dibandingkan dengan sektor formal. Dari beberapa penyebab utama munculnya sektor informal, kiranya dapat diambil garis besarnya bahwa sektor informal kian lama kian berkembang walaupun kondisi ekonomi dalam keadaan stabil ataupun sulit. Sektor informal merupakan suatu penyelamat bagi mereka yang tidak mendapatkan pekerjaan (Chandrakirana & Sadoko 1994). 2.2. Pemulung 2.2.1 Pengertian dan Karaktersitik Pemulung Pemahaman posisi pelaku-pelaku sektor informal dalam struktur yang lebih luas, hanya dapat diperoleh dengan menggali dinamika yang berlaku spesifik pada suatu bidang usaha tertentu (Chandrakirana & Sadoko 1994). Dalam hal ini, pelaku sektor informal yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini adalah pemulung. Nelson (1991) dalam Ameriani (2006) menjelaskan bahwa pemulung adalah seorang atau sekelompok manusia yang penghidupannya diperoleh dari mencari atau mengumpulkan barang-barang bekas yang telah terbuang di tempat pembuangan sampah sebagai “barang dagangan”. Dinas Kebersihan Daerah Khusus Ibukota (DKI) (1990) dalam Simanjutak (2002) memberikan kesepakatan cara pandang mengenai pemulung, yaitu : 1. Pemulung adalah bagian masyarakat atau Warga Negara Indonesia (WNI) yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. 2. Pemulung adalah pelaku penting dalam proses daur ulang (recycling) sampah sebagai salah satu bagian dalam penanganan sampah perkotaan maupun pedesaan. 3. Pemulung adalah salah satu pemelihara lingkungan hidup yang menyerap sebagian sampah untuk diolah menjadi barang yang berguna bagi masyarakat. 11 4. Pemulung adalah orang yang bekerja memunguti dan mengumpulkan sampah dan memanfaatkan sampah-sampah tersebut untuk menambah penghasilan mereka. Pada umumnya, profesi pemulung ini lebih banyak “digeluti” oleh masyarakat miskin. Hampir semua atau sebagian besar para pemulung merupakan migran yang berasal dari pedesaan (Simanjutak, 2002). Menurut Sjahrir (1985), sebagian besar migran meninggalkan desa di Jawa karena alasan ekonomi. Kesulitan ekonomi ini terjadi karena adanya tekanan kepadatan penduduk, kebijakan pertanian, dan situasi politik setempat. Dari semua itu, faktor utama yang mendorong migrasi ini adalah adanya perubahan di sektor pertanian, yang terjadi sehubungan dengan kebijakan ekonomi dan politik yang diterapkan pada sektor tersebut. Terdapat dua jenis kategori pemulung, yakni pemulung jalanan dan pemulung tetap. Pemulung jalanan merupakan pemulung yang hidup bebas di jalanan. Pemulung tetap merupakan pemulung yang memiliki rumah (bedengan) yang berada di sekitar Tempat Pembuangan Sampah (TPS) atau sekitar lapak. Pemulung tetap biasanya memiliki ikatan kerja dengan bos pemulung. Bos pemulung adalah orang yang mempunyai modal atau dukungan modal untuk membeli beberapa jenis barang bekas. Bos pemulung juga memberikan jasa bagi anak buahnya seperti, lapak dan peralatan memulung. Pilihan kerja sebagai pemulung merupakan alternatif utama bagi mereka para migran yang ingin bekerja, namun tidak memiliki pendidikan dan keterampilan yang memadai. Alasan menjadi pemulung diungkapkan oleh Lumingkewas (dalam Paramagita, 2008) yakni pekerjaan memulung itu mudah dan tidak memerlukan modal atau keterampilan tinggi sehingga banyak orang yang terjun menjadi pemulung dalam tempo yang singkat. Menurut penelitian Simanjuntak (2002), pada umumnya profesi pemulung lebih banyak digeluti oleh laki-laki. Laki-laki menempati posisi yang terbesar yaitu sebanyak 93,6 persen, sedangkan sisanya 6,4 persen adalah pemulung wanita. Dilihat dari segi usianya, para pemulung rata-rata termasuk pada angkatan kerja. Hasil penelitian menunjukan sebagian besar usia pemulung di Bantar Gebang merupakan tenaga kerja usia produktif yang usianya kurang dari 40 tahun. Persentase terbesar (41,2 12 %) berada pada selang usia 21 sampai 30 tahun, kemudian diikuti pemulung dengan usia di bawah 20 tahun sebesar 35,6 persen, usia 31 sampai 40 tahun sebesar 18,4 persen dan sisanya adalah pemulung yang usianya 40 tahun ke atas sebesar 4,8 persen. Dilihat dari kondisi tempat tinggalnya, biasanya pemulung tinggal dalam bedeng yang disediakan oleh bos pemulung. Mereka juga tidak mempunyai akses terhadap beragam fasilitas pemerintah atau walaupun ada prosesnya tampak dipersulit dan mereka selalu dinomorduakan dalam pelayanan (Simanjutak, 2002). 2.2.2 Karakteristik Kerja Pemulung Karakteristik adalah ciri-ciri khusus atau sesuatu yang mempunyai sifat khas sesuai dengan perwatakan tertentu. Menurut Kartono (1981), kerja merupakan aktivitas dasar yang memberikan isi dan makna pada kehidupan manusia, memberikan status, dan mengikat seseorang pada individu lain serta masyarakat. Dengan demikian karakteristik kerja adalah suatu ciri-ciri khusus yang melekat dengan aktivitas dasar manusia dalam melakukan sesuatu, untuk mendapatkan hal yang menjadi harapannya. Adapun karakteristik kerja pemulung dapat dilihat dari ciri-ciri sebuah sektor informal. Menurut penelitian Ameriani (2006) karakteristik kerja pemulung bercirikan lamanya pemulung menjalani profesi ini, rata-rata 3,65 tahun, hampir seluruh dari pemulung bekerja dengan motivasi memenuhi kebutuhan dasar khususnya pangan, penghasilan pemulung Rp. 421.200,00 dengan kisaran Rp. 150.000,00 sampai dengan Rp. 900.000,00 per bulan, hari kerja pemulung termasuk sedang, sedangkan jam kerjanya termasuk rendah, rata-rata pemulung menempuh jarak 5 km per harinya. Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukan karakteristik kerja yang terdapat pada pemulung termasuk kedalam ciri-ciri sektor informal. Pekerjaan memulung dipandang sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bila dikaitkan dengan teori Maslow (1943) sebagaimana dikutip oleh Herujito (2001) dalam Ameriani (2006), maka kerja yang hanya dipandang sebagai alat pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan termasuk pada 13 hirarkhi terendah. Sesuai dengan teori motivasi, hirarkhi kebutuhan manusia menurut Maslow (1943) adalah sebagai berikut : 1. Kebutuhan fisiologis, mencakup kebutuhan badani misalnya pangan, sandang, dan sebagainya; 2. Kebutuhan rasa aman, baik secara fisik maupun psikis; 3. Kebutuhan afiliasi, dimana manusia sebagai makhluk sosial ingin diterima menjadi anggota kelompok masyarakat tertentu dan ingin ikut aktif dalam berbagai kegiatan; 4. Kebutuhan akan harga diri, dimana manusia selalu ingin dibutuhkan dan dihargai, Harga diri ini bermanifestasi dalam prestasi dan kekuasaan; 5. Kebutuhan aktualisasi diri, yaitu suatu kebutuhan untuk dapat mengembangkan keahliannya. Menurut Kartono (1981), motivasi kerja adalah daya gerak yang mendorong seseorang untuk bekerja, baik dari luar dirinya maupun dari sisi usahanya untuk bekerja secara lebih baik dan efisien untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Motivasi kerja tidak hanya berdasar pada kebutuhan ekonomis (uang) tetapi juga kebutuhan akan aktualisasi diri yaitu nilai sosial yang baik, perhatian dari orangorang disekitarnya, dan kekaguman teman terhadap dirinya sendiri. 2.2.3 Karakteristik Lapak Pemulung Menurut penelitian Ameriani (2006), dilihat dari posisi bedeng pemulung, lokasi lapak pemulung cenderung agak menjauh dari pemukiman warga di masing-masing RW terkait. Interaksi warga pemulung pun terlihat kurang menyatu dengan warga lainnya di sekitar. Kondisi keadaan bedeng pemulung diungkapkan oleh Anwar (1991) dalam penelitiannya mengenai lapak pemulung di lokasi pemusnahan sampah akhir Budi Dharma Jakarta, sebagai berikut : “Keadaan bangunan gubuk tempat tinggal para pemulung sangat memprihatinkan, dinding gubuk terbuat dari tambalan papan atau triplek dan bilik. Sedangkan atap bangunan terbuat dari lembaran kaleng dan atau triplek yang dilapisi plastik dan ditindih dengan ban-ban bekas sebagai pemberat. Luas bangunan rumah antara 9 m² sampai 15 m² dan luas pemukiman pemulung sekitar 75m²-100m². Fasilitas sanitasi lingkungan seperti MCK ( mandi, cuci, kakus) umum dibangun secara darurat dipinggir sungai. Sumber air bersih dari sumur pompa juga tersedia di pemukiman tersebut” (Anwar, 1991) . 14 Menurut Suparlan (1984) penempatan mereka di lapak atau hunian liar selalu berada di bawah seorang pelindung. Lokasi lapak pemulung terkadang sudah mendapatkan jaminan keamanan yang diperoleh dari kepala kampung melalui bos mereka (Ameriani, 2006). Penelitian yang dilakukan Puspitasari (2007) mengungkapkan bahwa rumah-rumah para pengemis dan pemulung sebagian besar terbuat dari bilik-bilik bambu, ruangan hanya terdiri dari satu sampai dua kamar, tidak terdapat sanitasi yang baik, dan sarana MCK dipergunakan secara umum. Menurut Mangin (1967) dan Tunner (1969) dalam Puspitasari (2007) menyatakan bahwa gubuk sering digambarkan sebagai puncak kondisi kehidupan miskin, seringkali pula merupakan basis permukiman yang memadai. Gubukgubuk tersebut merupakan fondasi yang menguntungkan, lebih baik, atau lebih bersifat inovatif, dan dipandang sebagai jalan keluar dari kemiskinan mereka. 2.3 Kelembagaan Kelembagaan merupakan suatu bagian yang tidak terlepaskan dalam suatu sistem sosial dalam masyarakat. Kelembagaan hadir sebagai pedoman bagi masyarakat guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Kelembagaan merupakan terjemahan langsung dari istilah asing yakni institution. Koentjaraningrat menggunakan istilah pranata untuk institution. Menurut Koentjaraningrat (1990) pranata merupakan sistem norma atau aturan-aturan mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus. Ia juga mengungkapkan bahwa pranata merupakan suatu sistem norma khusus (aturan-aturan) yang menata suatu rangkaian tindakan berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan masyarakat. Norma-norma tersebut mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda. Secara sosiologis, Soekanto (1990) menguraikan kekuatan mengikat norma-norma sebagai berikut : 1. Tata cara ( usage ) merupakan norma yang menunjuk kepada satu bentuk perbuatan dengan sangsi yang sangat ringan terhadap pelanggarnya. Pelanggaran atau penyimpangan terhadapnya tidak akan mengakibatkan hukuman yang berat, tetapi hanya sekedar celaan. 15 2. Kebiasaan (folkways) merupakan cara-cara bertindak yang digemari oleh masyarakat sehingga dilakukan berulang-ulang oleh banyak orang. Folkways mempunyai kekuatan untuk mengikat yang lebih besar daripada cara. Apabila anggota masyarakat melakukan pelanggaran maka sangsinya adalah adalah berupa teguran, sindiran, atau perunjingan 3. Tata kelakuan (mores) mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar maupun tidak sadar, oleh masyarakat terhadap anggota-anggotanya. Tata kelakuan berfungsi untuk memberikan batas-batas pada perilaku individu. Mores mempunyai kekuatan untuk mengikat yang lebih besar daripada folkways. 4. Adat istiadat (customs) merupakan norma ynag tidak tertulis namun sangat kuat mengikat, sehingga anggota-anggota masyarkat yang melanggar adat istiadat akan menderita, karena sanksi keras yang kadang-kadang secara tidak langsung diperlakukan. Customs ini memiliki kekuatan mengikat yang lebih besar bila dibandingkan norma-norma lainnya. Norma-norma tersebut akan menjadi bagian dari lembaga kemasyarakatan apabila telah mengalami proses pelembagaan (institutionalization). Soekanto (1990) menyatakan bahwa proses pelembagaan adalah suatu proses yang dilalui norma sampai norma itu dikenal, diakui, dihargai dan kemudian ditaati oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Keberadaan kelembagaan itu sendiri menjadi suatu hal yang sangat penting bagi masyarakat, agar perilaku-perilaku masyarakat dapat diatur sesuai dengan norma yang ditetapkan, sehingga pada akhirnya kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi. Aktivitas-aktivitas manusia guna memenuhi kebutuhan hidup selalu diulangulang, baik disengaja maupun tidak sengaja dilakukan. Pada akhirnya berbagai aktivitas tersebut melekat dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan bermasyarakat. Kebiasaan-kebiasaan yang biasa dilakukan oleh anggota masyarakat kemudian menjadi suatu aturan tersendiri yang hidup dalam masyarakat. Summner sebagaimana dikutip oleh Gillin dan Gillin dalam Soemardjan (1964) menyatakan bahwa terbentuknya suatu kelembagaan dimulai dari kebiasaan, menjadi adat istiadat, kemudian berkembang menjadi suatu tata kelakuan yang berguna untuk menunjang kesejahteraan masyarakat. Gillin dan 16 Gillin sebagaimana dikutip oleh Soekanto (1990) menyatakan bahwa kelembagan dapat diklasifikasikan dengan beberapa cara : a. Dari sudut perkembangannya Sumner (1906) dalam Soekanto (1990) crescive institutions dan enacted institution. Crescive institutions merupakan kelembagaan primer dan sebagai kelembagaan yang secara tidak disengaja tumbuh dari adat-istiadat masyarakat, contoh : hak milik, perkawinan, agama. Enacted institutions dikatakan sebagai kelembagaan yang sengaja dibentuk dan ditujukan untuk memenuhi tujuan tertentu, contoh : kelembagan utangpiutang, kelembagaan perdagangan, yang kesemuanya berakar pada kebiasaankebiasaan masyarakat. b. Dari sudut sistem nilai-nilai yang diterima masyarakat, kelembagaan diklasifikasikan atas basic institutions dan subsidiary institutions. Basic institutions dinyatakan sebagai kelembagaan yang sangat penting untuk memelihara dan mempertahankan tata tertib dalam masyarakat, contoh : keluarga, sekolah, negara. Subsidiary institutions dianggap kurang penting misalnya, kegiatan-kegiatan untuk rekreasi. Ukuran untuk menentukan apakah kelembagaan tersebut termasuk kedalam basic atau subsidiary tergantung dari masa hidup masyarakat. c. Dari sudut penerimaan masyarakat dapat dibedakan approved atau social sanctioned-institutions dengan unsanctioned institutions. Approved atau social sanctioned institutions adalah kelembagaan yang diterima oleh masyarakat seperti misalnya sekolah, perusahaan dagang. Sebaliknya unsantioned institutions merupakan kelembagaan yang ditolak oleh masyarakat, walaupun masyarakat terkadang tidak berhasil memberantasnya. Misalnya kelompok penjahat, pemeras dan sebagainya. d. Pembedaan antara general institutions dengan restricted isntitutions, timbul apabila klasifikasi tersebut didasarkan atas faktor penyebarannya. Misalnya agama merupakan suatu general institutions, karena dikenal oleh hampir semua masyarakat dunia. Sedangkan agama islam, protestan, katolik, budha, dan lainnya merupakan restricted institutions, karena dianut oleh masyarakat tertentu di dunia. 17 e. Dari sudut fungsinya terdapat pembedaan atas operative institutions dan regulative institutions. Operative institutions berfungsi sebagai kelembagaan yang menghimpun pola-pola atau tata cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan kelembagaan yang bersangkutan, seperti kelembagaan industrialisasi. Regulative institutions bertujuan untuk mengawasi adat istiadat atau tata kelakuan yang tidak menjadi bagian mutlak kelembagaan itu sendiri. Suatu contoh adalah kelembagaan hukum seperti kejaksaan, pengadilan dan sebagainya. 2.3.1 Kelembagaan Pemulung Ameriani (2006) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa hubungan yang terjadi antara pemulung dengan bos pemulung dikategorikan sebagai hubungan antara (patron-klien). Hubungan bapak-anak buah ini didefinisikan sebagai suatu ikatan yang terdiri dari dua pihak dimana individu yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi memanfaatkan pengaruh atas sumbersumber yang dimilikinya guna memberikan perlindungan dan atau keuntungan bagi seseorang dalam status sosial yang lebih rendah (anak buah) (Simanjuntak, 2002). Menurut Ahimsa (1996) dalam Purnamasari (2002) menjelaskan tentang beberapa ciri yang terdapat pada hubungan patron dan klien, yakni : 1. Adanya ketimpangan (inequality) dalam pertukaran, terjadi karena patron berada dalam posisi yang lebih kuat, lebih tinggi atau lebih kaya daripada si klien daripada sebaliknya, sehingga klien wajib membalasnya. Namun rasa wajib membalas hanya dapat bertahan selama pemberian tersebut masih dirasakan berharga (memenuhi kebutuhan pokok) dan jika peraturan di dalamnya belum mencapai titik seimbang. 2. Sifat tatap muka (face to face character) dalam relasi patron-klien menunjukan bahwa sifat pribadi terdapat di dalamnya. Seorang patron biasanya sangat mengenal kliennya, demikian pula sebaliknya sehingga membuat relasi diantara mereka bertambah kuat dan dekat. Adanya hubungan timbal balik antara kedua belah pihak membangkitkan rasa saling percaya untuk menjaga pihak lain. 18 3. Sifat luwes dan meluas (diffuse flexibility) yang dimiliki oleh hubungan patron-klien menyebabkan dalam relasi tersebut seorang patron tidak saja dikaitkan dengan hubungan kerja, tetapi juga oleh hubungan sebagai sesama tetangga, sahabat dan sebagainya. Menurut Karyadi (2005) eksistensi patron-klien berkaitan erat dengan norma-norma sosial. Sebagaimana dikutip Petras (1990) dalam Karyadi (2005) menyatakan bahwa dalam kaitannya dengan hubungan patron klien di Indonesia, hubungan antara “tuan” (patron) dengan pengikutnya (klien) lebih banyak bersifat sukarela dan sewaktu-waktu bisa di putus. Patron dapat melepaskan kliennya yang kurang patuh atau yang tidak menunaikan kewajibannya dengan baik. Sebaliknya, klien dapat pindah ke patron lainnya apabila klien tersebut merasa kurang mendapat jaminan hidup dan perlindungan lainnya. Oleh karena itu, ada kesepakatan antara anak buah (klien) dan bapak buah (patron) dalam perjanjian kerjasama. Sebagai contoh fasilitas yang diberikan bos pemulung kepada pemulung, dan kepastian perolehan sampah dari para pemulung. Santoso dalam Ameriani (2006) menemukan bahwa para pemulung di Bantar Gerbang yang kehidupannya ditanggung oleh bos pemulung memiliki penghasilan Rp. 600.000,00 per bulan. Hal ini belum ditambah dengan uang makan, rokok, biaya kesehatan, dan lain-lain. Bos pemulung biasanya membangun lapak mini untuk kelompoknya masing-masing di dekat bedeng penampungan barang bekas. Lapak mini yang dibangun merupakan bentuk perlindungan yang diberikan oleh bos pemulung. Pada lapak ini terlihat adanya interaksi antar pemulung. Kelembagaan yang terdapat diantara pemulung pada satu lapak ini dapat terlihat dari interaksi-interaksi yang dibangun oleh mereka. Pada penelitian Ameriani (2006) dikatakan bahwa peraturan yang terdapat diantara para pemulung berupa kesepakatan secara tidak tertulis. Hal-hal yang biasanya menjadi kesepakatan antara lain, keharusan berlaku jujur dan kesepahaman pembagian wilayah. Pembagian wilayah ini dimaksudkan agar tidak banyak pemulung berada pada satu wilayah. 2.4 Pola Interaksi Soekanto (1990) dalam bukunya menjelaskan bahwa suatu interaksi sosial tidak mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat yakni : Adanya kontak 19 sosial dan komunikasi. Kontak sosial merupakan tahap pertama dari terjadinya interaksi sosial. Kontak sosial mengacu pada tindakan dan tanggapan terhadap tindakan tersebut. Menurut William C. Himstreet dan Wyne Murlin Baty dalam Purwanto (2003) mengungkapkan bahwa komunikasi adalah suatu proses pertukaran informasi antar individu melalui suatu sistem yang biasa (lazim) baik dengan simbol-simbol, sinyal-sinyal, maupun perilaku atau tindakan. Interaksi yang terdapat dalam masyarakat memiliki pola-pola tertentu. Interaksi sosial didefinisikan sebagai suatu hubungan antar manusia yang saling mempengaruhi satu sama lain baik dalam hubungan antar individu, antar kelompok maupun antar individu dengan kelompok. Definisi interaksi sosial menurut Gillin dan Gillin sebagaimana dikutip oleh Soekanto (1990) adalah suatu hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang perorang, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang-orang perorang dengan kelompok manusia. Sejalan dengan pengertian tersebut, pola interaksi dapat dipandang sebagai suatu hubungan sosial yang dinamis antar manusia baik dalam hubungan antar individu, antar kelompok, maupun antar individu dengan kelompok yang dilakukan secara berulang-ulang. Soekanto (1990) mengemukakan bahwa proses-proses interaksi dapat dibedakan dalam dua pola yakni proses sosial yang mendekatkan atau mempersatukan (asosiatif) dan proses sosial yang menjauhkan atau mempertentangkan (disosiatif). Proses sosial yang mendekatkan atau mempersatukan dapat dirinci sebagai berikut: a. Kerjasama (cooperation) Kerjasama mengandung pengertian sebagai suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Bentuk kerjasama tersebut berkembang apabila orang dapat digerakkan untuk mencapai suatu tujuan bersama dan harus ada kesadaran bahwa tujuan tersebut dikemudian hari mempunyai manfaat bagi semua. Iklim yang menyenangkan dalam pembagian kerja serta balas jasa yang diterima juga dapat mengembangkan kerjasama. Kerjasama akan bertambah kuat apabila ada bahaya luar yang mengancam atau terdapat tindakan-tindakan luar yang menyinggung kesetiaan yang secara tradisional atau institutional telah tertanam 20 di dalam kelompok, dalam diri seseorang atau segolong orang. Dengan mengutip pendapat Thompson & Mc Ewan, Soekanto (1990) menyatakan bentuk-bentuk kerjasama antara lain adalah: 1. Kerukunan yang mencakup gotong royong dan tolong menolong 2. Bargaining yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang- barang dan jasa-jasa antara dua organisasi atau lebih 3. Ko-optasi yakni suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi, sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang bersangkutan 4. Koalisi yakni kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama 5. Join-venture yakni kerjasama dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu. b. Akomodasi (Accomodation) Akomodasi merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan, sehingga lawan tidak kehilangan pribadinya. Akomodasi merupakan suatu keadaan keseimbangan atau usaha-usaha mengakhiri pertikaian secara permanen atau sementara diantara pihak-pihak yang berkonflik. Sebagai hasil interaksi sosial, akomodasi menunjuk pada suatu keadaan dimana terdapat keseimbangan baru setelah pihak-pihak yang berkonflik berbaikan kembali. Bentuk-bentuk akomodasi antara lain adalah: 1. Coercion merupakan bentuk akomodasi yang proses terjadinya karena adaya unsur paksaan. Pada bentuk ini salah satu pihak berada dalam keadaan yang lemah bila dibandingkan dengan pihak lawan. 2. Compromise merupakan bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang berkonflik saling mengurangi tuntutannya, agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yag ada. 3. Arbitration merupakan suatu cara untuk mencapai compromise apabila pihak-pihak yang berkonflik tidak sanggup mencapainya sendiri. Pertentangan diselesaikan oleh pihak ketiga yang dipilih oleh kedua belah pihak. 21 4. Mediation hampir menyerupai arbitration, namun pihak ketiga yang diundang merupakan pihak yang netral. Kedudukan pihak ketiga hanyalah sebagai penasihat belaka, dia tidak memiliki wewenang untuk memberi keputusan penyelesaian konflik. 5. Conciliation merupakan suatu upaya untuk mempertemukan keinginankeinginan dari pihak-pihak yang berselisih demi tercapainya suatu persetujuan bersama. 6. Toleration merupakan suatu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formal bentuknya. Terkadang toleration timbul secara tidak sadar dan tanpa direncanakan. 7. Stalemate merupakan suatu akomodasi dimana pihak-pihak yang bertentangan saling berhenti pada satu titik karena mempunyai kekuatan yang seimbang. c. Asimilasi Asimilasi adalah proses sosial yang ditandai dengan usaha-usaha mengurangi perbedaan yang terdapat antara orang perorang atau kelompok-kelompok manusia, mempertinggi kesatuan tindak dan sikap dengan kepentingan dan tujuan bersama. Syarat-syarat terjadinya asimilasi adalah: 1. Adanya kelompok-kelompok manusia yang berbeda kebudayaan 2. Orang perorang sebagai warga kelompok tadi saling bergaul secara langsung dan intensif dalam waktu yang lama 3. Kebudayaan-kebudayaan dari kelompok-kelompok orang tersebut masingmasing berubah dan saling menyesuaikan diri. Proses sosial yang menjauhkan atau mepertentangkan (disosiatif) dapat diuraikan sebagai berikut : a. Persaingan (Competition) Persaingan diartikan sebagai suatu proses sosial, dimana individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing, tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan. Persaingan mempunyai dua tipe umum yakni yang bersifat pribadi dan tidak pribadi. Persaingan pribadi menekankan pada persaingan antar individu, sedangkan persaingan tidak pribadi terjadi pada antar kelompok. 22 Persaingan antara lain dapat dalam bentuk persaingan ekonomi, persaingan kebudayaan, persaingan kedudukan dan peranan. Persaingan dalam batas-batas tertentu memiliki beberapa fungsi yakni, (1) menyalurkan keinginan-keinginan individu atau kelompok yang bersifat kompetitif, (2) sebagai jalan dimana keinginan, kepentingan serta nilai-nilai yang pada suatu masa menjadi pusat perhatian, tersalurkan dengan baik oleh mereka yang bersaing, (3) sebagai alat untuk menyaring para warga golongan karya yang akhirnya akan menghasilkan pembagian kerja yang efektif. b. Kontravensi (Contravention) Kontravensi pada hakikatnya merupakan suatu bentuk proses sosial yang berada antara persaingan dan pertentangan atau pertikaian. Kontravensi terutama ditandai oleh gejala-gejala adanya ketidakpastian mengenai diri seseorang atau suatu rencana dan perasaan tidak suka yang disembunyikan, kebencian, atau keragu-raguan terhadap kepribadian seseorang. Bentuk yang murni, kontravensi adalah sikap mental yang tersembunyi terhadap orangorang lain atau terhadap unsur-unsur kebudayaan suatu golongan tertentu. Sikap tersembunyi dapat berubah menjadi kebencian, akan tetapi tidak sampai menjadi pertentangan atau pertikaian. Bentuk kontravensi antara lain: perbuatan-perbuatan seperti penolakan (bentuk umum) menyangkal orang lain di depan umum (bentuk sederhana), penghasutan (secara intensif), mengumumkan rahasia pihak lain (secara rahasia), mengganggu atau membingungkan lawan (secara taktis). c. Konflik Konflik adalah proses sosial dimana orang-perorangan atau kelompok manusia berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lain atau lawan dengan ancaman dan atau kekerasan. Sumber konflik dalam masyarakat antara lain; (a) penguasaan tanah atau sumber-sumber ekonomi umumnya; (b) kedudukan atau gengsi sosial politik; (c) perjodohan atau perkawinan. Berdasarkan sejumlah laporan penelitian yang telah dilakukan, setidaknya terdapat enam pemicu dan penyebab mendasar terjadinya konflik (Alqadrie sebagaimana dikutip oleh Mursyid, 2005) : 1. Perbedaaan budaya 23 2. Persaingan yang tidak seimbang 3. Premanisme dan kriminalitas (tindak kejahatan) 4. Kebijakan pemerintah pusat yang sentralistik 5. Struktur dan persaingan sosial-ekonomi yang tidak wajar dan tidak seimbang 6. Ketidakmampuan dan ketidakberdayaan aparat penegak hukum 2.4.1 Pola Interaksi Pemulung Beberapa penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa interaksi yang terbentuk antara pemulung dengan bos pemulung adalah interaksi yang saling menguntungkan dan membutuhkan. Bos pemulung tidak bisa menjalankan usahanya bila tidak ada pemulung yang menjadi anak buahnya, sebaliknya pemulung tidak akan mendapatkan perlindungan dan upah apabila tidak ada bos. Interaksi pemulung dengan rekan sesama profesinya dan bos dapat dikategorikan sering dilakukan (Ameriani, 2006). Hal ini disebabkan oleh faktor lingkungan yang berdekatan dan memiliki kedekatan secara psikologis karena berasal dari daerah yang sama. Bila dilihat dari interaksi antar pemulung dengan warga masyarakat sekitar, maka sebagian besar pemulung jarang bahkan tidak pernah berinteraksi dengan masyarakat sekitar karena pemulung merasa tidak pantas untuk berbicara dengan mereka. Menurut Paramagita (2008) menyatakan bahwa pemulung menerima sikap-sikap diskriminatif masyarakat kota seperti tidak diperbolehkan masuk ke daerah tertentu dengan menggunakan tulisan “pemulung dilarang masuk” di sudut-sudut perkampungan, perumahan atau perkantoran. Kondisi ini memberi arti bahwa keberadaan mereka belum sepenuhnya dihargai masyarakat. 2.5 Kerangka Pemikiran Potret kehidupan pemulung pada penelitian ini dapat dideskripsikan secara mendalam melalui karakteristik pemulung, keluarga pemulung, kerja pemulung, lapak pemulung, pola interaksi pemulung dan kelembagaan yang terkait dengan pemulung. Untuk memahami gambaran pemulung, maka hal yang akan dibahas pertama kali adalah karakteristik pemulung. Adapun karakteristik pemulung yang 24 ingin dilihat berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, daerah asal, etnis pemulung, pengalaman kerja pemulung sebelumnya dan pekerjaan orang tua pemulung itu sendiri. Setelah mengetahui karakteristik pemulung, gambaran kehidupan pemulung dilanjutkan dengan menelaah karakteristik keluarga pemulung. Karakteristik keluarga pemulung dapat digambarkan melalui jumlah anggota keluarga, fasilitas tempat tinggal, barang-barang kepemilikan, dan penggunaan penghasilan. Pemahaman mengenai karakteristik kerja pemulung dapat diteliti melalui lama menjadi pemulung, motivasi kerja, hari kerja dan jam kerja dalam memulung, jarak tempuh memulung, jenis barang pulungan, berat barang pulungan, peralatan yang digunakan, pengetahuan mengenai material pulungan dari sisi harga, pengetahuan material pulungan dari sisi legal barang. Untuk mengetahui potret kehidupan pemulung secara mendalam maka yang menjadi fokus penelitian lainnya adalah karakteristik lapak pemulung yang ditempati pemulung. Karakteristik lapak yang ingin dikaji meliputi kondisi bedeng, sarana air bersih, sanitasi, keberadaan lahan lapak dari sisi legalitas. Pola interaksi pemulung dengan sesama pemulung dalam satu lapak pemulung, pemulung dengan bos pemulung, dan pemulung dengan masyarakat setempat menjadi bagian yang tidak luput di teliti dalam usaha memperoleh gambaran kehidupan pemulung secara mendalam. Apa saja kelembagaan penting yang terdapat dikalangan para pemulung dan bagaimana proses muncul dan berkembangnya lembaga-lembaga tersebut dikaji pula melalui kelembagaan antar sesama pemulung, antar pemulung dengan bos pemulung, antar pemulung dengan pemerintah setempat. Keseluruhan aspek-aspek tersebut akan dibahas untuk memperoleh gambaran secara lengkap, utuh dan mendalam mengenai kehidupan pemulung. Untuk lebih jelasnya, kerangka pemikiran ini disajikan pada Gambar 1. 25 Potret Kehidupan Pemulung Karakteristik Pemulung : • Usia • Jenis Kelamin • Pendidikan terakhir • Daerah Asal • Etnis pemulung • Pengalaman kerja pemulung sebelumnya • Latar belakang pekerjaan orang tua pemulung Karakteristik Keluarga Pemulung : • Jumlah anggota keluarga pemulung • Fasilitas tempat tinggal • Barang-barang kepemilikan • Penggunaan penghasilan Keterangan : : Hal yang dikaji Karakteristik kerja pemulung : • Lama menjadi pemulung • Motivasi kerja pemulung • Hari kerja dan jam kerja dalam memulung • Jarak tempuh memulung • Jenis barang pulungan • Berat barang pulungan • Peralatan yang digunakan • Pengetahuan barang pulungan dari sisi harga • Pengetahuan barang pulungan dari sisi legalitas Karakteristik Lapak pemulung : • Kondisi bedeng • Sarana air bersih • Sanitasi • Keberadan lahan lapak dari sisi legalitas Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pola Interaksi Pemulung : • Pola interaksi sesama pemulung dalam satu lapak • Pola interaksi pemulung dengan Bos pemulung • Pola interaksi pemulung dengan masyarakat setempat Kelembagaan : • Antar sesama pemulung • Antar pemulung dengan bos pemulung • Antar pemulung dengan pemerintah setempat 26 2.5.1 Definisi Konseptual 1. Potret kehidupan pemulung adalah gambaran kehidupan pemulung yang dilihat dari karakteristik pemulung, keluarga pemulung, kerja pemulung, lapak pemulung, pola interaksi pemulung dan kelembagaan yang terikat dengan pemulung. 2. Karakteristik pemulung adalah ciri-ciri khusus yang melekat pada pemulung. Dalam karakteristik pemulung, hal-hal yang dikaji adalah : a. Pemulung adalah orang yang mencari nafkah dengan jalan mencari dan memungut serta memanfaatkan barang bekas dengan menjualnya kepada pengusaha yang akan mengolahnya kembali menjadi barang komoditas. Pemulung yang dikaji pada penelitian memfokuskan pada pemulung yang tinggal dalam satu lapak pemulung dan terikat hubungan kerjanya dengan bos pemulung. b. Usia pemulung adalah usia kasus pada saat penelitian berlangsung. c. Jenis kelamin adalah perbedaan individu kasus berdasarkan kondisi biologis. d. Pendidikan terakhir pemulung adalah jenjang sekolah formal terakhir yang diperoleh kasus. e. Daerah asal adalah daerah asli kasus dimana kasus mengalami masa pertumbuhan. f. Etnis adalah suku bangsa yang berhubungan dengan latar belakang kasus. g. Pengalaman kerja pemulung sebelumnya adalah pengalaman kerja yang dilakoni kasus sebelum bekerja menjadi pemulung. h. Latar belakang pekerjaan orang tua pemulung adalah pekerjaan yang dilakoni oleh orang tua kasus. 3. Karakteristik keluarga pemulung adalah ciri-ciri khusus yang melekat pada keluarga pemulung. Dalam karakteristik keluarga pemulung, hal-hal yang dikaji adalah : a. Jumlah anggota keluarga adalah jumlah anggota yang berada dalam satu atap rumah (bedeng) di lapak pemulung. b. Fasilitas tempat tinggal adalah segala sesuatu yang diberikan bos pemulung kepada keluarga kasus. 27 c. Barang-barang kepemilikan adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh kasus dalam rangka menunjang kebutuhan hidupnya. d. Penggunaan penghasilan adalah alokasi sejumlah uang atau materi yang diterima dari hasil memulung dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota rumahtangga. 4. Karakteristik kerja pemulung adalah suatu ciri-ciri khusus yang melekat dengan aktivitas dasar pemulung dalam melakukan sesuatu, untuk mendapatkan hal yang menjadi harapannya. Hal-hal yang dikaji adalah : a. Lama menjadi pemulung adalah lamanya seorang kasus menekuni profesi memulung. b. Motivasi kerja adalah dorongan kasus untuk bekerja dalam rangka mencapai tujuannya. c. Hari kerja dan jam kerja dalam memulung adalah banyaknya hari dan jam kerja kasus bekerja memulung dalam satu bulan. d. Jarak tempuh memulung adalah jarak yang ditempuh kasus (dalam satuan km) dalam bekerja mengumpulkan barang pulungan per harinya. e. Jenis barang pulungan adalah jenis barang yang diambil oleh kasus ketika memulung. f. Berat barang pulungan adalah berat barang pulungan dalam hitungan kilogram (kg) yang dibawa oleh kasus setiap kali memulung. g. Peralatan yang digunakan adalah alat bantu yang digunakan kasus dalam rangka menunjang pekerjaan mereka. h. Pengetahuan barang pulungan dari sisi harga adalah pengetahuan kasus mengenai setiap harga barang yang dipulungnya. i. Pengetahuan barang pulungan dari sisi legalitas adalah pengetahuan kasus mengenai boleh atau tidaknya barang pulungan diambilnya. 5. Karakteristik lapak pemulung adalah ciri-ciri khusus yang melekat pada lapak pemulung. Dalam karakteristik lapak pemulung, hal-hal yang dikaji adalah : a. Lapak adalah tempat bermukimnya para pemulung yang hidup secara berkelompok. b. Sarana air bersih adalah keberadaan air bersih dalam lingkungan lapak pemulung. 28 c. Luas bedeng adalah ukuran panjang (m) x lebar (m) bedeng kasus. d. Bahan bangunan bedeng adalah material utama yang digunakan sebagai bahan bangunan bedeng. e. Sanitasi adalah cara kasus membuang air limbah rumah tangga di sekitar lingkungan lapak pemulung. f. Keberadan lahan lapak dari sisi legalitas adalah jaminan izin untuk mendirikan lapak dari pemerintah setempat. 6. Pola interaksi pemulung suatu hubungan sosial yang dinamis yang dilakukan secara berulang-ulang antar responden baik dalam hubungan antar individu dalam satu lapak, kasus dengan bos pemulung dan kasus dengan masyarakat setempat baik yang mengarah pada proses interaksi yang mempersatukan (asosiatif) dan mempertentangkan (disosiatif). 7. Bos pemulung merupakan perantara tingkat pertama yang akan menyalurkan semua jenis bahan daur ulang dalam jumlah yang lebih besar per jenis komoditi dan dalam kondisi relatif bersih. Semua jenis bahan daur ulang ini diterimanya dari setiap kasus. 8. Kelembagaan yang terikat dengan pemulung adalah segala bentuk aturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang terdapat diantara para kasus, kasus dengan bos pemulung dan kasus dengan pemerintah setempat.