Ilmu Hukum Profetik Gagasan Awal Landasan Kefilsafatan

advertisement
 Penyunting
M. Syamsudin
Kontributor:
Prof. Dr. M. Koesnoe, S.H.
Prof. Heddy Shri Ahimsa Putra, M.A., M.Phill., Ph.D.
Prof. Dr. Amin Abdullah
Prof. Jawahir Thontowi, S.H., Ph.D.
Dr. M. Syamsudin, S.H., M.H.
Bambang Sutiyoso, S.H., M.Hum.
FH UII Press
ILMU HUKUM PROFETIK
Gagasan Awal, Landasan Kefilsafatan dan
Kemungkinan Pengembangannya di Era Postmodern
Dr. M. Syamsudin, S.H., M.H.
(Penyunting)
Cetakan Pertama, Desember 2013
xiv + 312 hlm
Sampul : Rano
Lay out: M. Hasbi Ashshidiki
Penerbit
Pusat Studi Hukum (PSH) FH UII
kerjasama dengan
FH UII Press
Jl. Tamansiswa 158 Yogyakarta
PO BOX. 1133 Phone: 379178
[email protected]
ISBN: 978-602 -1123-01-0
v
KATA SAMBUTAN
Bismillahirrahmanirrahiem,
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Pertama- tama saya ingin menyampaikan apresiasi kepada Pusat
Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII yang telah berhasil
menerbitkan buku berjudul: ILMU HUKUM PROFETIK Gagasan Awal,
Landasan Kefilsafatan dan Kemungkinan Pengembangannya di Era
Postmodern. Saya kira buku ini adalah buku yang pertama kali hadir
untuk mewacanakan tentang Ilmu Hukum Profetik di tengah-tengah
para penstudi hukum. Semangat dari kehadiran buku ini nampaknya
tidak terlepas dari upaya pencarian dan penemuan kebenaran di tengahtengah krisis epistemologi Ilmu Hukum Modern yang terbukti telah
banyak membawa problem terhadap peradaban manusia. Epistemologi
Ilmu Hukum modern telah menjauhkan manusia dari nilai-nilai hukum
yang berbasis pada nilai-nilai ketuhanan (transendensi), sehingga
melahirkan cara berilmu hukum dengan karakter materialistik,
pragmatik, hedonis dan atheistik yang telah menyebabkan dehumnaisasi,
karena manusia berjalan sendiri tanpa petunjuk (huda) dari Yang Maha
Kuasa. (wahyu).
Setelah saya membaca isi naskah buku tersebut, ternyata isinya
tidak jauh berbeda dengan semangat dan gagasan yang pernah
vi
Kata Sambutan
diwacanakan di lingkungan FH UII pada tahun 90-an yang kemudian
terumuskan dalam Pola Ilmiah Pokok (PIP) FH UII. Pola Ilmiah Pokok
tersebut berfungsi sebagai norma dasar akademis yang memberi arah
seluruh aktifitas di FH UII yang dinyatakan di dalam keseluruhan
kurikulum, silabus dan kegiatan akademik penunjang. Mengacu pada
PIP tersebut pendidikan di FH UII diberi tema PENEGAKAN HUKUM
YANG BERWAWASAN QURANI. Oleh karena itu FH UII sangat
berkepentingan dan menyambut baik terbitnya buku tersebut. Saya
menganjurkan kepada para dosen dan juga mahasiswa hukum untuk
membaca buku tersebut, kemudian melakukan diskusi terhadap
gagasan-gagasan yang dimunculkan pada buku tersebut.
Terakhir saya ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang
sebanyak-banyaknya kepada Sdr.M.Syamsudin dkk di Pusat Studi
Hukum (PSH) yang telah merancang kegiatan serial diskusi yang
membicarakan tentang Ilmu Hukum Profetik ini, yang kemudian
hasilnya diwadahi dalam bentuk buku yang terbit kali ini. Saya berharap
pengkajian Hukum Profetik tidak berhenti sampai sebatas diterbitkan
buku ini, tapi terus dikaji dan dikaji sampai jelas sosok dan struktur
keilmuanya. Saya kira buku ini baru membahas dari aspek filsafat
keilmuan hukumnya belum sampai pada strukturnya, seperti apa
sebenarnya Ilmu Hukum Profetik itu. Ini yang perlu dikembangkan
lebih lanjut oleh PSH. Selamat membaca buku ini dan terimakasih.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Yogykarta, Desember 2013
Dekan FH UII,
Ttd
Dr. H.Rusli Muhammad, S.H.,M.H.
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiem,
Segala puji dan pujian hanya milik Allah, Tuhan seru sekalian alam,
hanya kepada Mu kami menyembah, mohon petunjuk, pertolongan dan
tambahan ilmu pengetahuan. Berkat Rahmat dan hidayahMu
alhamdulillah naskah buku yang sederhana ini dapat terselesaikan dan
kemudian tersajikan di hadapan para pembaca yang budiman yang
sangat mencintai ilmu pengetahuan.
Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
(PSH FH UII) Yogyakarta pada periode kepengurusan 2010-2014 telah
menyelenggarakan Program Paket Serial Diskusi dengan Topik
“Menggagas Ilmu Hukum Berparadigma Profetik sebagai Landasan
Pengembangan Ilmu Hukum di FH UII”. Tujuan dari diskusi tersebut
dirancang untuk menggali, menemukan dan kemudian membangun
Ilmu Hukum berbasis pada Paradigma Profetik serta untuk
mengembangkan kemungkinan pendidikan hukum yang berbasis pada
Ilmu Hukum Profetik sebagai Local Genius di FH UII Yogyakarta.
Diskusi tersebut berlangsung selama 4 (empat) seri dengan
menghadirkan para nara sumber yang kompeten, yaitu: Seri I, Prof. Dr.
Erlin Indarti, S.H.,M.A. (dosen FH Undip Semarang); dan Dr. Mudzakir,
S.H.,M.H. (dosen FH UII) dengan topik bahasan ‘Meninjau Perkembangan
viii
Kata Pengantar
Paradigma Keilmuan dan Implikasinya pada Keilmuan Hukum di Era
Postmodern’. Seri II, Prof. Heddy Shri Ahimsa Putra, M.A., M.Phill.,Ph.D.
(Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM) dan Dr. Salman Luthan, S.H.,M.H.
(dosen FH UII) dengan topik bahasan ‘Paradigma Profetik dan Kemungkinan
Aplikasi dan Pengembangannya bagi Keilmuan Hukum’. Seri III, Prof. Dr.
Amin Abdullah (dosen UIN Sunan Kalijaga) dan Prof. Jawahir Thonthowi,
S.H.,Ph.D. (dosen FH UII), dengan topik bahasan ‘Perkembangan Filsafat
Hukum Islam dan Implikasinya pada Keilmuan Hukum’. Seri IV, Prof. Heddy
Shri Ahimsa Putra, M,A.,M.Phill.,Ph.D. (dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM)
dan Dr. Busjro Muqoddas, SH.,M.Hum. (dosen FH UII) dengan topik
pembahasan ‘Menggagas Ilmu Hukum Berbasis Paradigma Profetik Ditinjau
dari Filsafat Ilmu dan Ilmu Hukum’.
Dari hasil serial diskusi tersebut terkumpul beberapa makalah dari
para nara sumber dan makalah-makalah tersebut menjadi materi pokok
buku ini yang diberi judul ILMU HUKUM PROFETIK, Gagasan Awal,
Landasan Kefilsafatan dan Kemungkinan Pengembangannya di Era
Postmodern. Namun sayangnya tidak semua materi dari nara sumber
dapat tertampung dalam naskah buku ini, karena ada sebagian makalah
dalam bentuk power point, sehingga tidak dapat diterbitkan. Dari materi
pokok tersebut kemudian diperkaya dan dikembangkan dengan
makalah pendukung lain yang ditulis oleh para dosen FH UII dengan
pembagian topik-topik tertentu.
Sebagaimana judulnya, buku ini dihadirkan dan diwacanakan kepada
sidang pembaca lebih-lebih para pecinta ilmu (ilmuwan) untuk mengajak
dan sekaligus menantang untuk mencari dan menemukan gagasan baru
tentang perlunya pengembangan Ilmu Hukum yang berparadigma profetik.
Bagi Ilmu Hukum sendiri, munculnya Paradigma Profetik yang digagas
oleh Kuntowijoyo dan dilanjutkan oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra, terasa
mendapatkan ideologi baru yang patut diwadahi dan kemudian
dikembangkan sebagai alternatif kajian ilmu hukum di tengah-tengah situasi
krisis epistemogi keilmuan hukum modern barat. Pada tahapan awal hal
penting dan mendasar yang ditawarkan dalam buku ini adalah mencari
ix
landasan kefilsafatan dari ilmu hukum profetik. Buku ini pada intinya telah
mencoba menguraikan konsep paradigma profetik yang kemudian
dijabarkan menjadi dasar filosofi keilmuan hukum profetik baik dari dimensi
ontologis, epistemologis maupun aksiologisnya. Untuk selanjutnya sosok
dan struktur dari Ilmu Hukum Profetik itu sendiri masih membutuhkan
kerja keras untuk penjabaran lebih lanjut.
Dalam proses penulisan buku ini, banyak pihak yang telah
menyumbangkan kontribusinya baik berupa gagasan / pikiran, tenaga
dan finansial yang tak terhitung nilainya pada penulisan buku ini, sehingga
buku ini dapat hadir dan tersaji di hadapan para pembaca. Oleh karena
itu sudah sepatutnya kami mengucapkan banyak terimakasih kepada:
1. Dekan FH UII, Dr. Rusli Muhammad, S.H.,M.H, dan juga Wakil
Dekan Dr. Saifudin, S.H,M.H., yang telah banyak mendukung dari
aspek kebijakan program dan anggaran finansial kepada PSH pada
acara diskusi dan juga proses penerbitan buku ini;
2. Para nara sumber dan kontributor yang telah mensedekahkan ilmunya
atau makalahnya pada serial diskusi dan juga naskah buku ini, semoga
ilmunya bermanfaat dan menjadi amal jariyah yang tidak terputus;
3. Para dosen dan karyawan FH UII yang telah banyak berkontribusi
pada kegiatan diskusi dan penulisan buku ini;
4. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu
dalam kesempatan ini.
Kami berdo’a, mudah-mudahan amal baik semua pihak
mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT. Mudah-mudahan
pula karya yang sederhana ini dapat bermanfaat untuk pengembangan
keilmuan hukum baik secara teoretis maupun praktis. Amien.
Yogyakarta, Desember 2013
Kepala Pusat Studi Hukum (PSH) FH UII
Periode 2010-2014
Dr. M. Syamsudin, S.H., M.H.
x
DAFTAR ISI
Kata Sambutan ~ v
Kata Pengantar ~ vii
Daftar Isi ~ x
BAB 1
: PENDAHULUAN
Oleh M. Syamsudin
A. Memahami Persoalan Keilmuan dan Ilmu Hukum
Dewasa ini ~ 1
B. Urgensi Kehadiran Ilmu Hukum Profetik ~ 7
C. Apa dan Mengapa Digunakan Istilah Profetik? ~ 14
D. Sistematika dan Deskripsi Muatan Isi Buku ~ 19
BAB 2
: PARADIGMA PROFETIK (Sebuah Konsepsi)
Oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra
A. Pengantar ~ 25
B. Paradigma: Apa itu? ~ 28
1. Paradigma: Sebuah Definisi ~ 29
2. Unsur-unsur (komponen-komponen) Paradigma ~ 32
3. Skema Paradigma ~ 44
C. Paradigma Profetik dan Islam ~ 47
1. Basis Epistemologis ~ 47
Daftar Isi
xi
2.
3.
4.
5.
6.
Asumsi Dasar tentang Basis Pengetahuan ~ 51
Asumsi Dasar tentang Obyek Material ~ 56
Asumsi Dasar tentang Gejala yang Diteliti ~ 57
Asumsi Dasar tentang Ilmu Pengetahuan ~ 58
Asumsi Dasar tentang Ilmu Sosial dan/atau Alam
Profetik ~ 59
7. Asumsi Dasar tentang Disiplin Profetik ~ 60
D. Etos Paradigma Profetik ~ 60
1. Basis Semua Etos: Penghayatan ~ 61
2. Etos: Pengabdian ~ 62
3. Etos Kerja Keilmuan ~ 64
4. Etos Kerja Kemanusiaan ~ 65
E. Model Paradigma Profetik ~ 67
1. Model (Struktur) Rukun Iman dan Transformasinya
~ 67
2. Model (Struktur) Rukun Islam dan Transformasinya
~ 70
F. Implikasi Epistemologi Profetik ~ 72
1. Implikasi Permasalahan ~ 73
2. Implikasi Konseptual ~ 73
3. Implikasi Metodologis Penelitian ~ 74
4. Implikasi Metodologis Analisis ~ 74
5. Implikasi Teoretis ~ 74
6. Implikasi Representasional (Etnografis) ~ 75
G. Implikasi Paradigma Profetik ~ 75
1. Transformasi Individual ~ 75
2. Transformasi Sosial (Kolektif) ~ 76
H. Penutup ~ 77
BAB 3
: LANDASAN ONTOLOGI
PROFETIK
Oleh M. Syamsudin
ILMU
HUKUM
A. Pengatar ~ 79
B. Pengaruh Paradigma Positivisme pada Ontologi Ilmu
Hukum ~ 85
C. Pengaruh Paradigma Post-Positivisme pada Ontologi Ilmu
Hukum ~ 89
xii
D. Posisi Ilmu Hukum di Tengah Perkembangan berbagai
Paradigma ~ 91
E. Ontologi Hukum sebagai Wilayah Terbuka ~ 95
F. Dimensi Ontologi dalam Ilmu Hukum Profetik ~ 100
BAB 4
: LANDASAN EPISTEMOLOGI ILMU HUKUM
PROFETIK
A. Pengantar ~ 109
B. Meninjau Pemikiran Ilmu, Ilmiah Modern dan Dasar
Filsafatnya Dewasa Ini, Suatu Tinjauan dalam Rangka
Persepektif Wawasan Ajaran Ke-Islaman ~ 110
Oleh M.Koesnoe
1. Pendahuluan (1) ~ 110
2. Tatanan Pemikiran Menuju ke Pemikiran Ilmu dan
Ilmiah ~ 111
3. Hubungan Pemikiran Ilmu dan Ilmiah dengan Filsafat
~ 115
4. Dasar Filsafati Pemikiran Ilmu dan Ilmiah Modern ~
116
5. Ajaran Islam tentang Pengetahuan dan Pemikiran
Keilmiahan ~ 125
6. Pendahuluan (2) ~ 127
7. Andalan Utama tentang Dasar Kemampuan
Mengetahui Manusia ~ 133
8. Dinamika Kegiatan Keilmuan dan Keilmiahan Kaum
Muslimin ~ 135
9. Mencari Keseimbangan ~ 138
10.Ilmu dan Keilmiahan dalam Wawasan Ke-Islaman ~
145
11.Penutup ~ 151
C. Prinsip-Prinsip Epistemologi tentang Pengembangan
Ilmu pengetahuan di dalam al-Qur’an ~ 154
Oleh M. Syamsudin
D. Paradigma Profetik dalam Hukum Islam Melalui
Pendekatan Systems ~ 161
Oleh Amin Abdullah
Daftar Isi
xiii
1. Pendahuluan ~ 161
2. Respon Intelektual Muslim Kontemporer terhadap
Perubahan Sosial ~ 162
3. Progressif-ijtihadi dalam Tafsir al-Qur’an: Abdullah
Saeed ~ 168
4. Pendekatan Systems dalam Hukum Islam: Jasser Auda
~ 172
5. Keutamaan Etika/the Primacy of Ethics ~ 204
6. Penutup ~ 207
E. Basis Epistemologi Ilmu Hukum Profetik ~ 209
Oleh M. Syamsudin
1. Asumsi Dasar tentang Basis Pengetahuan ~ 215
2. Asumsi Dasar tentang Objek Material ~ 217
3. Asumsi Dasar tentang Disiplin ~ 219
BAB 5
: LANDASAN
PROFETIK
AKSIOLOGI
ILMU
HUKUM
A. Pengantar ~ 221
Oleh M. Syamsudin
B. Paradigma Profetik dalam Pengembangan Pendidikan
Hukum ~ 224
Oleh Jawahir Thontowi
1.
2.
3.
4.
5.
Pendahuluan ~ 224
Makna dan Fungsi Paradigma ~ 226
Paradigma dan Filsafat Ilmu Hukum ~ 232
Pemikiran Hukum Paradigmatik Pancasila ~ 236
Paradigma Profetik dalam Pengembangan Ilmu
Hukum ~ 238
6. Simpulan ~ 245
C. Hakim Butuh Profetik Intelelligence dalam Memutuskan
Perkara di Pengadilan ~ 247
Oleh M. Syamsudin
1. Pendahuluan ~ 247
2. Faktor-faktor Non-Legal yang Ikut Mempengaruhi
Hakim dalam Memutuskan Perkara ~ 250
xiv
3. Arti Penting Profetik Intelligence bagi Hakim dalam
Memutuskan Perkara ~ 258
4. Simpulan ~ 262
D. Hakim dan Penegakan Keadilan Profetik dalam Peradilan
~ 263
Oleh Bambang Sutiyoso
1. Pendahuluan ~ 263
2. Tugas dan Kewajiban Hakim ~ 266
3. Eksistensi Peradilan dalam Menegakkan Keadilan ~
269
4. Konsep Keadilan Putusan dalam Peradilan ~ 276
5. Keadilan Profetik dan Implementasinya dalam
Peradilan ~ 283
6. Penutup ~ 285
BAB 6
: PENUTUP
Oleh M. Syamsudin
A. Menangkap Peluang di Era Posmodern ~ 287
B. Ilmu Hukum Profetik sebagai Tawaran Alternatif ~ 291
DAFTAR PUSTAKA ~ 301
BIODATA PENULIS ~ 309
BAB
1
PENDAHULUAN
Oleh M. Syamsudin
A. Memahami Persoalan Keilmuan dan Ilmu Hukum
Dewasa ini
Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan menunjukkan antara lain
bahwa hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama (sistem
kepercayaan) tidak selalu harmonis dan bahkan terkadang
dipertentangkan. Antagonisme antara keduanya sebagaimana diwakili
oleh masing-masing pendukungnya sempat mempengaruhi kehidupan
orang banyak dalam jangka waktu yang cukup lama, bahkan terkadang
sekarang ini masih sering terdengar.
Pertentangan itu mula-mula tampak terhadap semua cabang ilmu
pengetahuan, baik ilmu-ilmu alam (natural sciences) maupun ilmu-ilmu
sosial (social sciences). Tetapi saat ini rasanya sudah jarang terdengar
bahwa agama menentang suatu perkembangan ilmu pengetahuan alam
atau sebaliknya. Walaupun begitu, pertentangan antara agama terhadap
perkembangan ilmu-ilmu sosial masih dirasakan sebagai sesuatu yang
terus berlangsung.
Pertentangan itu bila dikaji lebih dalam tidaklah mengherankan,
sebab keduanya mempunyai etikanya masing-masing yaitu bahwa
agama menuntut adanya sikap menerima dengan teguh, tanpa ragu
dan dengan kepastian tentang hasil kesudahan. Sementara ilmu
pengetahuan justru sebaliknya yaitu dilandaskan kepada skeptisisme
Pendahuluan
2
dan sikap tidak berkepentingan (disinterestedness) akan hasil kesudahan
suatu kegiatan ilmiah, selain nilai ilmiah itu sendiri.
Lebih tidak mengherankan lagi adanya pertentangan itu, sebab
antara ilmu-ilmu sosial saja yang berlandaskan etika yang sama sering
terjadi benturan. Pada zaman modern ini pertentangan-pertentangan
ideologi yang banyak mempengaruhi kehidupan manusia, bukan antara
yang agama dan yang duniawi (sekuler) tetapi justru antara yang samasama sekuler yaitu kapitalisme dan komunisme.1
Sebuah contoh yang patut dikemukakan di sini apabila dibuka
lembaran sejarah masa lalu tentang pertentangan antara ilmu
pengetahuan dan agama adalah peristiwa tragis dan berdarah tentang
pembakaran Perpustakaan Iskandaria yang dilanjutkan dengan
pembunuhan para ilmuwan yang disponsori oleh Gereja Kristen
pimpinan Uskup Agung Iskandaria Cyril yang sehabis melaksanakan
tugas yang dianggap suci itu kemudian diberi kehormatan oleh gereja
sebagai Orang Suci atau Santo. Perpustakaan Iskandaria pada waktu itu
kaya akan buku-buku keilmuan hasil karya para ilmuwan pada waktu
itu. Misalnya Earastothenes, seorang ahli ilmu bumi, astronom, ahli
sejarah, filsafat, matematika, penyair, dan kritikus teater; Hiparchus, yang
mencoba membuat peta konstalasi bintang-bintang dan mengukur
tingkat cahaya bintang-bintang itu; Euclidus, penemu sebenarnya ilmu
ukur atau geometri; Dionysius, yang meneliti organ-organ suara manusia
dan meletakkan teori tentang bahasa; Herophus, ahli ilmu faal atau
fisiologi yang menegaskan bahwa organ berpikir manusia bukanlah
jantung sebagaimana diyakini saat itu, melainkan otak; Heron, penemu
rangkaian roda gigi dan penemu mesin uap kuno, pengarang buku
aotomata, sebuah buku pertama tentang robot; Apolonius, yang
meletakkan teori tentang bentuk melengkung seperti ellips, parabola
dan hiperbola; Archimides, genius mekanik terbesar sebelum Leonardo
da Vinci; Holomy, seorang yang walaupun teorinya tentang alam raya
Nurcholis Madjid. 1993. Islam, Kemodernan dan Ke-Indonesiaan, Bandung: Mizan. Hlm.
264-265.
1
Bab 1
3
ternyata salah (geosentris) namun semangat keilmuannya banyak
memberi ilham; dan Hypatia, seorang wanita ahli matematika dan
astronomi yang mati terbakar bersama perpustakaan dan segenap isinya
berupa buku-buku ilmiah di atas papirus bertulis tangan sebanyak
sekitar setengah juta buah, tujuh abad setelah perpustakaan itu
didirikan.2 Peristiwa tragis itupun masih terus berlanjut, sehingga pada
tahun 1833 Galileo harus menjalani inkuisisi Gereja, dipaksa untuk
mencabut pernyataannya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari,3
dan masih banyak lagi para ilmuwan yang merelakan nyawanya
berhadapan dengan otoritas pengadilan gereja.
Perkembangan terakhir yang masih menyedihkan pada zaman
modern ini adalah bahwa kaum Kristen modern terutama kalangan
fondamentalis banyak yang menolak Teori Evolusi Darwin dan hanya
berpegang pada bunyi harfiah ajaran penciptaan atau kreasi dalam
Genesis. Di Amerika kaum evolusionis dari kalangan ilmuwan
berhadapan dengan kaum kreasionis dari kalangan Kristen
fondamentalis.4
Konflik yang tak terdamaikan antara agama dan ilmu pengetahuan
yang terjadi di dunia barat itu berakibat adanya pemisahan yang sangat
tajam antara agama dan ilmu pengetahuan dan hal lain yang bersifat
sekuler yaitu kehidupan agama dengan negara. Inilah sebenarnya
penyebab terjadinya krisis epistemologis keilmuan dan problem moral
di dunia barat modern saat ini.
Konflik itu ternyata telah dimenangkan oleh para ilmuwan dan
segera setelah itu muncul babak baru di dunia barat yaitu masa reneisance
yang telah melahirkan abad modern Eropa Barat dengan perkembangan
yang sangat pesat ilmu pengetahuan dan teknologi.
Nurcholis Madjid. 2005. Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan . Jakarta: Penerbit Paramadina. Hlm.
xxxi.
3
Jujun S. Suriasumantri. 1994. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan. Hlm. 233.
4
Nurcholis Madjid. 2005. Op.Cit. Hlm. xxxii.
2
Pendahuluan
4
Namun demikian apabila kita mau menengok sejarah
perkembangan ilmu pengetahuan modern barat itu tidak dapat lepas
dari masa-masa sebelumnya yaitu masa pengembangan ilmu pengetahuan
klasik Islam pada abad ke-7 sampai dengan ke-14 M. Peradaban Islam
telah diakui oleh para sarjana modern bahwa kemajuan barat itu sendiri
adalah berkat sumbangan bahan-bahan dari peradaban Islam Klasik.
Islam mempunyai jasa besar terhadap peradaban manusia yaitu meng”internasionalkan” ilmu pengetahuan yang sebelumnya suatu cabang ilmu
pengetahuan hanya merupakan kekayaan nasional bangsa tertentu
seperti Yunani, Persi, India dan Cina.
Gustav Le Bon merekam peristiwa masa-masa tersebut dalam
bukunya The World of Islamic Civilization mengemukakan bahwa pada
saat Arab Islam dalam puncak kecemerlangan peradaban kreatifnya,
pengaruhnya terhadap bangsa-bangsa lain tidak ada taranya dalam
sejarah. Pengaruh ini tidak terbatas pada kawasan Asia-Afrika, tetapi
juga jantung Eropa ditembusnya. Pada abad ke-9 dan ke-10, yaitu pada
saat pusat-pusat Islam di Spanyol sedang berada di puncak
kecemerlangannya, pusat-pusat intelektual di barat hanyalah berupa
benteng-benteng perkasa, dihuni oleh para bangsawan semi-barbarik
yang dirinya merasa bangga atas ketidakmampuannya membaca.
Perkenalan dengan peradaban Islamlah sebenarnya yang membawa
Eropa menjadi dunia beradab.5
Apa yang dilakukan oleh orang Islam ketika meluaskan daerah
pengaruhnya dalam masa-masa tersebut? Le Bon menjawab: “Jika
menaklukkan sebuah kota, yang pertama mereka (muslim) lakukan
adalah mendirikan masjid dan sekolah.6 Dua bangunan ini menunjukkan
betapa generasi awal Islam telah mampu merumuskan dan
mempraktikkan dengan nyata perlunya perpaduan secara seimbang
Gustav Le Bon. 1974. The World of Islamic Civilization, terj. oleh David Macrae.
Todor Publishing Company. Hlm. 138-139. Baca pula Syafi’i Maarif. 1993. Peta Bumi
Intelektual Muslim di Indonesia. Bandung: Mizan. Hlm. 34.
6
Ibid. Hlm 25.
5
Bab 1
5
antara dimensi spiritual dan dimensi dunia (sekuler). Hal ini merupakan
terjemahan nyata dari firman Allah tentang manusia Ulul Albab7 yaitu
mereka yang memadukan dengan seimbang antara dzikir dan fikir,
antara hati dan otak. Masjid adalah tempat dan sekaligus wujud
kesadaran pentingnya kontak yang konkrit dengan Allah SWT, dan
sekolah adalah tempat dan sekaligus wujud kesadaran bahwa otak
manusia perlu dilatih berfikir guna memahami konsep-konsep
keseluruhan alam raya ini.
Pada periode kreatif dan dinamis di Eropa Barat ini berlangsung
sekitar lima abad, dan di antaranya telah berhasil mengembangkan
metode induktif dalam mendekati gejala alam. Sebelumnya sarjanasarjana muslimlah yang merintis metode eksperimen dan observasi yang
kemudian dikembangkan oleh para penerusnya di dunia barat.
Le Bon membuat lagi perbandingan yang menarik antara dunia Islam
dan Eropa abad pertengahan dengan mengatakan: “eksperimen dan observasi
adalah metode Arab. Kajian buku dan pengulangan opini tuannya adalah
metode Eropa abad pertengahan. Perbedaan ini begitu fundamental untuk
memahami jasa-jasa ilmiah Arab-Islam. Sarjana Muslimlah dalam sejarah
yang pertama kali menyadari pentingnya metode ini.”8
Di samping metode induktif, yang juga mendapat perhatian dan
berhasil sangat mengagumkan adalah pengembaraannya ke wilayah
kajian spekulatif. Karya-karya Filsafat dan Sufisme Islam yang monumental adalah buah dari pengembarannya itu. Deretan nama semisal
Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Al Ghozali, Ibnu Arabi, Ibnu Rusyd, Ibnu
Khaldun, adalah diantara nama-nama yang selalu disebut dalam sejarah.
Begitu juga Ibnu Taimiyah yang dipandang sebagai peletak dasar pertama
dari bangunan pemikiran Islam modern adalah hasil abad kreatif itu.9
Namun apabila kita melihat dunia Islam saat ini amatlah
menyedihkan terutama dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan
7
8
9
Alquran. S. Ali Imran, ayat 190-191.
Safi’i Ma’arif. 1993. Op.Cit. Hlm. 25.
Ibid. Hlm. 25.
Pendahuluan
6
teknologi. Sebagaimana disinyalir oleh C.A Qodir bahwa sekarang ini
di negeri-negeri muslim praktis tidak ada ilmu pengetahuan dan
teknologi. Untuk keamanan dan kebutuhan pembangunan mereka harus
menggantungkan diri kepada teknologi yang mereka pinjam dan beli
dengan harga yang mencekik leher dari barat dan kadang-kadang dari
Rusia dan Jepang.10
Dalam konteks Indonesia sendiri sebagai negeri yang dapat dibilang
muslim, pada dekade tahun tujuh puluhan dan delapan puluhan muncul
suatu kesadaran baru di kalangan akademisi dan ilmuwan muda muslim
mengenai adanya krisis di bidang keilmuan modern, baik terkait dengan
ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial. Krisis itu konon terkait dengan
asumsi dasar dari bangunan ilmu modern itu sendiri yang dianggap
bebas nilai dan bebas kepentingan lainnya. Implikasi dari ilmu yang
dikonstruksikan seperti itu, membawa dampak pada aspek epistemologi
dan aksiologi ilmu. Artinya kebaikan atau keburukan ilmu tidak
tergantung kepada produk dari ilmu yang berupa teknologi, teori-teori,
doktrin dan kebijakan, akan tetapi lebih tergantung kepada penggunaan
dari ilmu itu oleh manusia, apakah dimanfaatkan untuk kebaikan atau
keburukan. Fenomena krisis keilmuan tersebut, ditanggapi dengan
gagasan perlunya dimensi etika dalam pengembangan ilmu. Dalam
kazanah pemikiran sosialisme muncul teori ekonomi dependensia,
ekonomi kerakyatan, dan ilmu sosial kritis. Dalam kazanah pemikiran
Islam berkembang ide islamisasi ilmu pengetahuan, termasuk islamisasi
ilmu-ilmu sosial.11
Dalam konteks global, realitas perkembangan ilmu modern pada
waktu sekarang ini juga ditandai oleh adanya krisis ekonomi dan
keuangan, khususnya terjadi di Amerika Serikat dan Uni Eropa
(sebelumnya juga Asia) yang disebabkan oleh sistem ekonomi pasar
C.A. Qodir. 1991. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor.
Hlm. 191.
11
Salman Luthan. 2011. “Gagasan Ilmu Hukum Profetik”. Makalah disampaikan
dalam Diskusi Pengembangan Ilmu Profetik 2011,diselenggarakan oleh Pusat Studi
Hukum (PSH) Fakultas Hukum - UII, di Yogyakarta, 18 Nopember 2011.
10
Bab 1
7
yang tidak mampu mendorong mekanisme pasar yang sehat dan
berkeadilan. Penolakan dan gugatan terhadap sistem ekonomi pasar
semakin mengemuka belakangan ini. Seiring dengan gugatan terhadap
sistem ekonomi pasar, sistem hukum liberal yang menjadi basis
positivisme hukum sebagai penopang ekonomi pasar juga ikut digugat.
Sistem hukum liberal dengan doktrin kompetisi bebas dan perlindungan
yang sama bagi semua kekuatan ekonomi melegitimasi hegemoni
negara-negara besar terhadap negara-negara kecil, negara-negara kaya
terhadap negara-negara miskin.12
Di Indonesia sendiri, problematika hukum domestik ditandai
dengan fenomena-fenomena antara lain: supremasi hukum dan sistem
hukum yang lemah, kualitas undang-undang yang rendah, konflik antar
norma undang-undang, misalnya konsep kerugian negara, putusan
hakim yang saling bertentangan, konflik hukum formal dan hukum
substansial, konflik hukum negara dan dan hukum masyarakat,
khususnya kasus tanah-tanah adat.13
Sementara itu penegakan hukum di Indonesia juga menunjukkan
problematika antara lain: rendahnya kredibiltas lembaga peradilan,
rendahnya kualitas putusan hakim, adanya putusan hakim saling
bertentangan, kualitas sumber daya manusia (SDM) rendah, adanya
konflik penafsiran tekstual dengan penafsiran kontekstual, konflik
keadilan prosedural dan keadilan substansial, konflik keadilan retributif
dan keadilan restoratif, konflik kepastian hukum dan keadilan, dan
sebagainya.14
B. Urgensi Kehadiran Ilmu Hukum Profetik
Ilmu Hukum adalah salah satu ilmu yang sudah dikenal sebagai
cabang ilmu yang nilai ilmiahnya sudah tidak diragukan lagi. Ilmu
Hukum entah sebagai Ilmu Hukum Positip maupun sebagai Teori
12
13
14
Ibid.
Ibid.
Ibid.
8
Pendahuluan
Hukum dianggap sudah benar-benar ilmiah. Bahkan menurut Harold
J. Berman, berdasarkan penulusuran historis yang luas dan mendalam,
Ilmu Hukum merupakan ilmu modern pertama yang lahir di dunia
barat. Ilmu Hukum sebagaimana yang dikenal sekarang ini timbul pada
penghujung abad ke-12 bersamaan dengan lahirnya universitas.15
Ilmu Hukum yang diajarkan di berbagai Fakultas Hukum di
Indonesia sekarang ini sebenarnya adalah berasal dari Ilmu Hukum
Barat yang ada di Daratan Eropa (continental). Secara formal, bangsa
Indonesia mengenal dan memperoleh Ilmu Hukum untuk pertama
kalinya dari bangsa Belanda dengan didirikannya Rechtsschool pada tahun
1909, yang kemudian dikembangkan menjadi Rechtshogeschool di Jakarta
pada tahun 1924. Ilmu Hukum yang diajarkan dengan sendirinya adalah
Ilmu Hukum Nasional Belanda yang tentunya sudah disesuaikan dengan
kondisi Hindia Belanda waktu itu.16 Dengan begitu maka isi keilmuan
hukum yang diberikan di fakultas-fakultas hukum sedikit banyak
melanjutkan tradisi Rechtshogeschool tersebut yang merupakan tradisi
Eropa Daratan. Tradisi keilmuan ini sebenarnya umurnya sudah sangat
tua yang sudah berkembang sejak zaman Romawi Kuno.
Namun demikian, semenjak lahirnya Filsafat Positivisme di Eropa,
terutama di Perancis, muncul pertanyaan yang bersifat menggugat
tentang nilai ilmiah dari Ilmu Hukum itu sendiri. Pertanyaan-pertanyaan
itu antara lain mempermasalahkan tentang apakah benar Ilmu Hukum
itu memenuhi syarat-syarat sebagai suatu ilmu pengetahuan? Bukankah
Ilmu Hukum itu hanya merupakan suatu pengetahuan yang tertib
mengenai apa yang merupakan hukum bagi suatu masyarakat pada
waktu ini dan di sini, yang mana logika sangat menentukan dalam
kegiatan tersebut. Bukankah Ilmu Hukum itu tidak lain hanyalah sebatas
sistem berpikir secara tertib tentang apa yang hukum atau hukumnya
tanpa ada kaitan tuntutan-tuntutan lain? Tidakkah ilmu hukum itu hanya
15
Bernard Arief Sidharta. 1999. Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, sebuah Penelitian
tentang Fondasi kefilsafatan dan sifat keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan
Ilmu Hukum Nasional Indonesia. Bandung: Mandar Maju. Hlm. 138.
16
Ibid. Hlm. 171.
Bab 1
9
suatu ajaran ‘seni teknik’ apa yang merupakan hukum? artinya seni
tentang bagaimana dapat menunjukkan ketentuan atau aturan
hukumnya yang pasti bagi masalah-masalah hukum yang konkrit.
Dengan demikian Ilmu Hukum itu tidak memenuhi syarat sebagai ilmu
(modern).
Pendapat yang mencerminkan kritik terhadap Ilmu Hukum pernah
dikemukakan oleh von Kirchman dalam tulisannya: “Die Werthlosigkeit
der Jurisprudenz als Wissenchaft” pada tahun 1848. Ia mengemukakan
tidak mutunya Ilmu Hukum sebagai ilmu pengetahuan disebabkan:
1. Kenyataan dalam praktik hukum di masyarakat yang membawa tidak
populernya Ilmu Hukum sendiri, terutama di pengadilan. Di situ
dapat dilihat berapa banyak jumlah undang-undang yang ada dalam
masyarakat, akan tetapi masih saja ada kekosongan-kekosongan.
Berapa jumlah pegawai-pegawai yang bertugas di dalam proses
peradilan, akan tetapi bagaimana lambatnya beracara di dalam
pengadilan untuk mendapatkan hukumnya. Juga betapa telah banyak
studi kesarjanaan dalam bidang hukum, akan tetapi juga masih
adanya ketidakpastian dan simpang siurnya teori dengan praktik
dalam hukum. Itu semua adalah gambaran alam kenyataan dalam
praktik hukum.
2. Adanya ketidakpastian dan berubah-ubahnya bahan ilmu hukum,
yaitu obyek ilmu hukum itu sendiri. Tidak seperti halnya ilmu fisika,
kimia, astronomi, biologi. Ilmu-ilmu ini mempunyai obyek yang pasti
dan tidak berubah-ubah. Objek Ilmu Hukum misalnya, lembaga
hukum seperti perkawinan, keluarga, negara, hak milik, kontrak dan
sebagainya terus menerus berubah. Atas penglihatan yang demikian
timbul adanya pertanyaan: jika diperhatikan buku-buku Ilmu Hukum
yang begitu besar jumlahnya itu, apakah sebenarnya isi dari segala
uraian, komentar, monografi, kumpulan-kumpulan keputusan dan
kasus-kasus itu? jawabnya bilamana itu diperiksa dengan seksama
maka sembilan persepuluh daripadanya memuat soal kekosongankekosongan dalam undang-undang, ketidakjelasan (kekaburan),
memuat kontradisksi-kontradiksi dalam dirinya. Ringkasnya memuat
soal-soal tidak benarnya undang-undang, usangnya undang-undang,
kesembronoan undang-undang. Itu semua menunjukkan bahwa yang
menjadi sasaran atau obyek ilmu hukum adalah ketidakcakapan dari
pembentuk undang-undang, sikap memilih satu pihak dari
pembentuk undang-undang, dan pula gambaran nafsu pembentuk
undang-undang.
Pendahuluan
10
3. Hukum itu sendiri ‘adanya’ tidak nyata. Oleh sebab itu hakikat hukum
tidak mempunyai ke-ada-an seperti halnya dengan benda-benda dan
kejadian-kejadian yang menjadi objek ilmu pengetahuan lainnya.
Kaidah hukum bukanlah suatu benda dan kejadian yang dapat
ditangkap dengan pancaindera. Kaidah hukum itu adalah suatu
ketentuan yang mengharuskan, artinya suatu perintah atau larangan
untuk berbuat. Dengan kata lain sasaran Ilmu Hukum itu adalah
suatu perintah untuk berbuat secara tertentu. Karena objeknya yang
tidak nyata ini maka sulit untuk mengkualifikasikan Ilmu Hukum
sebagai Ilmu (modern).17
Pertanyaan-pertanyaan seperti telah disebutkan, menimbulkan
keheranan di kalangan ahli hukum sendiri. Bukankah Ilmu Hukum yang
berasal dari tradisi Eropa Daratan itu umurnya sudah sangat tua dan
mulai berkembang sejak dari Zaman Romawi Kuno, lantas mengapa
baru abad ke-19 pertanyaan-pertanyaan itu muncul? Bukankah
sebelumnya sudah ada uraian-uraian tentang hukum yang menunjukkan
nilai ilmu dari Ilmu Hukum tersebut? Tidakkah karya-karya dari
sebelum abad ke-19 itu sudah ilmiah? Misalknya karya Gaius-Justinianus,
Hugo de Groot, Blackstone dan lain-lain sarjana hukum sebelum abad
ke-19 mempunyai nilai ilmiah yang sangat tinggi?
Timbulnya pertanyaan-pertanyaan di atas tidak disebabkan oleh
karena orang tidak percaya pada nilai dan mutu karya-karya sarjana
hukum yang besar tersebut, akan tetapi lebih disebabkan karena
pengaruh alam pikiran filsafat keilmuan yang berkembang saat itu
mengenai ukuran apa ilmu itu dan apa tuntutan-tuntutan yang diajukan
oleh pemikiran filsafat tersebut mengenai konsep ilmu. Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut maka perlu dikaji secara kritis tentang
posisi Ilmu Hukum di tengah munculnya paradigma-paradigma baru.
Lahirnya paradigma positivisme dan kemudian dilanjutkan dengan
perkembangan paradigma post-postivisme, paradigma critical dan
M. Koesnoe. 1981. “Kritik Terhadap Ilmu Hukum”. Makalah Ceramah di Hadapan
Para Dosen dan Mahsaiswa Fakultas Hukum UII Yogyakarta. 3-4 Pebruari 1981. Hlm.
6.
17
Bab 1
11
terakhir paradigma construktivisme, semuanya itu membawa dampak
pada perkembangan keilmuan hukum. Di sinilah arti pentingnya kajian
dalam buku ini dihadirkan yakni untuk mencari posisi yang tepat dari
Ilmu Hukum itu sendiri di tengah berkembangnya paradigma keilmuan
yang muncul akhir-akhir ini.
Hal yang sangat menarik di tengah munculnya berbagai paradigma
tersebut adalah munculnya wacana baru tentang Paradigma Islam yang
dikembangkan oleh Kuntowijoyo, seorang guru besar sejarah dari
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada
sekitar tahun 2000.18 Konsep paradigma tersebut lebih lanjut diperjelas
oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra yang melahirkan konsep Paradigma
Profetik. Gagasan ilmu yang berparadigma Profetik menurut
Kuntowijoyo diilhami oleh dua pemikir besar yakni Muhammad Iqbal
(seorang pemikir Islam) dan Roger Garaudy (pemikir Perancis yang
kemudian masuk Islam). Bagi Ilmu Hukum, munculnya pemikiran
profetik ini terasa mendapatkan jiwa dan wadah baru yang patut
dikembangkan sebagai local genius pendidikan hukum.
Gagasan untuk membangun dan mengembangkan Ilmu Profetik
pada awalnya dipicu antara lain oleh perdebatan yang terjadi di kalangan
Cendekiawan Islam mengenai teologi yang terjadi pada sebuah seminar di Kaliurang, Yogyakart.19 Terdapat dua kubu yang tidak sepaham,
yakni kubu yang berhalauan teologi konvensional dan kubu yang
berhalauan teologi transformatif. Kubu konvensional mengartikan teologi
sebagai Ilmu Kalam, yaitu suatu disiplin yang mempelajari ketuhanan,
bersifat abstrak normatif, dan skolastik, sedangkan kubu teologi
transformatif, memaknai teologi sebagai penafsiran terhadap realitas
dalam perspektif ketuhanan dan lebih merupakan refleksi-refleksi
empiris. Menurut Kuntowijoyo, perbedaan pandangan ini sulit
diselesaikan, karena masing-masing memberikan makna yang berbeda
Gagasan ini bersamaan dengan munculnya wacana Hukum Progresif yang dibidani
oleh Satjipto Rahardjo di Fakultas Hukum Undip Semarang sekitar tahun 2001.
19
Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Nahdhatul Ulama DIY.
Makalah Seminar Nasional Teologi Pembangunan. Kaliurang 25-26 Juni 1988.
18
Pendahuluan
12
terhadap konsep paling pokok, yaitu konsep teologi itu sendiri. Untuk
mengatasi kemacetan dialog ini Kuntowijoyo mengusulkan digantinya
istilah teologi menjadi ilmu sosial, sehingga istilah Teologi Transformatif
diubah menjadi Ilmu Sosial Transformatif.20
Peristiwa lain yang menjadi pemicu gagasan Kuntowijoyo tentang
Ilmu Profetik adalah Kongres Psikologi Islam I di Solo, 10 Oktober 2003.
Ketika itu ada pemakaian istilah “islamisasi pengetahuan”, yang
menggelisahkan Kuntowijoyo, karena makna istilah tersebut kemudian
“diplesetkan” ke arah “islamisasi non-pri”, yang dihubungkan dengan
“sunat secara Islam”, atau tetakan (bhs. Jawa). Ia sakit hati dengan
penyamaan itu, meskipun ada benarnya juga. Ia sakit hati karena sebuah
gerakan intelektual yang sarat nilai keagamaan disamakan dengan gerakan bisnis pragmatis. Oleh karena itu ia tidak lagi memakai istilah
“islamisasi pengetahuan”, dan ingin mendorong supaya gerakan
intelektual umat sekarang ini melangkah lebih jauh, dan mengganti
“islamisasi pengetahuan” menjadi “pengilmuan Islam”. Dari reaktif
menjadi proaktif”.21
Kuntowijoyo kemudian menghimpun gagasan-gagasan yang masih
terserak di sana-sini menjadi sebuah buku kecil dengan judul: Islam
sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. Menurut Kuntowijoyo,
pengembangan Paradigma Islam merupakan langkah pertama dan
strategis ke arah pembangunan Islam sebagai sistem dan gerakan sosialbudaya ke arah sistem Islam yang kaffah, modern dan berkeadaban.
Dengan demikian Islam akan lebih credible bagi pemeluknya dan juga
bagi non-Muslim. Langkah awal ini adalah untuk mewujudkan sebuah
Paradigma Islam dalam jagad ilmu, yang sampai saat ini umumnya
menggunakan basis paradigma dari dunia barat.22
Kuntowijoyo. 2007. Islam sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi dan Etika. Jogjakarta:
Tiara Wacana. Hlm.83. Baca pula Heddy Shri Ahimsa-Putra, 2011. “Paradigma Profetik
sebuah Konsepsi”, Makalah disampaikan dalam Diskusi Pengembangan Ilmu Profetik
2011,diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum - UII, di
Yogyakarta, 18 Nopember 2011.
21
Kuntowijoyo. Ibid. Hlm. vii-viii.
22
Ibid. Hlm. ix
20
Bab 1
13
Menurut Thomas Kuhn, bahwa revolusi ilmu tidak lain adalah
perubahan paradigma, perubahan pada mode of thought, pada mode of
inquiry. Oleh karena itu bahwa inti ilmu itu tidak lain adalah paradigma.
Jika demikian, maka apa yang seharusnya dibahas dan dibangun terlebih
dahulu adalah sebuah konsepsi atau pandangan mengenai paradigma,
mengenai sebuah kerangka pemikiran. Hal ini menurut Ahimsa-Putra,
yang belum dilakukan oleh Kuntowijoyo, sehingga pemikirannya
mengenai Ilmu Profetik masih jauh dari lengkap. Oleh karena itu perlu
dikembangkan lebih lanjut gagasan Kuntowijoyo dalam membangun
paradigma profetik yang lebih jelas komponennya, lebih kokoh dasarnya,
dan juga lebih jelas sosoknya. Terhadap hal ini Ahimsa-Putra telah
mencoba menyusun konsep tentang paradigma yang lebih jelas dan
terukur yang menjadi dasar dari konsep paradigma profetik.23 Penjelasan
detail tentang hal ini akan diuraikan pada bab 2.
Berdasarkan latar belakang dan semangat pencarian seperti itulah,
tulisan-tulisan dalam buku ini dimaksudkan untuk menawarkan gagasan
tentang perlunya pengembangan Ilmu Hukum yang berparadigma
profetik. Bagi Ilmu Hukum sendiri, munculnya pemikiran Ilmu Profetik
ini terasa mendapatkan ideologi baru yang patut diwadahi dan kemudian
dikembangkan sebagai alternatif kajian ilmu hukum di tengah-tengah
situasi transisi dan krisis epistemologi keilmuan, terutama ilmu hukum.
Pada tahapan awal hal penting dan mendasar yang perlu dikaji dalam
rangka pengembangan ilmu hukum profetik adalah pertanyaan besar
dan mendasar yaitu apa yang menjadi landasan kefilsafatan bangunan
Ilmu Hukum Profetik dan kemudian bagaimanakah penjabaran basis
utama ilmu tersebut menjadi asumsi-asumsi/prinsip-prinsip dasar baik
dalam dimensi ontologis, epistemologis maupun aksiologisnya.
Landasan kefilsafatan Ilmu Hukum Profetik ini akan diuraikan pada
bab-bab berikutnya.
23
Heddy Shri Ahimsa-Putra. 2011. Op.Cit.
Pendahuluan
14
C. Apa dan Mengapa Digunakan Istilah Profetik?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah ‘profetik’ diartikan
sebagai ‘kenabian’.24 Kata kenabian sendiri berasal dari bahasa Arab
‘nubuwah’ sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an Surat al-Imran (3):
79, artinya: Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya
Al Kitab, Hikmah dan Kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: “Hendaklah
kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” akan tetapi
(dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu
selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.
Kata kenabian memiliki asal kata nabi, yaitu seorang hamba Allah
yang diberi kitab, hikmah, kemampuan berkomunikasi dan berintegrasi
denganNya,
para
malaikatNya,
serta
kemampuan
mengimplementasikan kitab dan hikmah itu, baik dalam diri sendiri
secara pribadi, maupun umat manusia dan lingkungannya. Sementara
kata kenabian mengandung makna segala hal ikhwal yang berhubungan
dan berkaitan erat dengan seorang yang telah memperoleh potensi
kenabian. Mereka itu adalah Nabi Muhammad SAW, para nabi pada
umumnya, dan para ahli waris nabi yaitu aulia, Allah. Namun auliya
Allah itu tidak menyampaikan risalah baru kepada umat manusia, akan
tetapi mereka sebagai penyambung dan penerus lidah Nabi Muhammad
SAW. Artinya mereka bertugas mengembangkan secara luas pesanpesan ketuhanan (wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW) serta pesan-pesan kenabian (Sunnah nabi). Sebagaimana Sabda
Nabi Muhammad SAW, “Ulama itu adalah ahli waris para nabi”
(HR.Abu Dawud, Turmudzi, dan Ibnu Majjah dari Abu Darda R.A).25
Mereka yang telah dapat meneruskan perjuangan dan risalah
kenabian tersebut adalah mereka yang telah mewarisi potensi kenabian.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1990. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Balai
Pustaka. Hlm. 702.
25
Hamdani Bakran Adz-Dzakiey. 2008. Psikologi Kenabian, Prophetic Psychology
Menghidupkan Potensi dan Kepribadian Kenabian dalam Diri. Ctk ketiga. ogyakarta: Al-Manar.
Hlm.44.
24
Bab 1
15
Mereka itu mempunyai kemampuan memahami, mengaplikasikan, dan
memasukkan ruh dan batin al-Qur’an dan al-Hikmah, sebagai buah dari
ketaatan dan kedekatannya dengan Allah SWT dan rasulNya
Muhammad SAW serta para nabi-nabiNya. Mereka itulah para ulama
billah, yaitu hamba Allah yang dengan ilmu yang dimilikinya merasa
takut, tunduk, dan patuh kepadaNya sehingga muncul (tajalli) dan hadir
Nur Allah SWT ke dalam eksistensi dirinya sebagaimana para nabi
tersebut.26
Penggunaan istilah profetik tidak lepas dari kesinambungan dari
penggagas awal istilah tersebut, yakni Muhammad Iqbal dan Roger
Garaudy. Dalam buku Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam
(Iqbal,1966:123), Iqbal mengungkapkan tentang peristiwa mi’raj Nabi
Muhammad SAW. Seandainya nabi itu seorang mistikus atau sufi, tentu
beliau tidak ingin kembali ke bumi lagi, karena telah merasa tenteram
dengan Tuhan dan berada di sisiNya. Akan tetapi nabi kembali ke bumi
untuk menggerakkan perubahan sosial, untuk mengubah jalannya
sejarah. Beliau memulai suatu transformasi sosial budaya, berdasarkan
cita-cita profetiknya. Dengan kata lain, pengalaman religius itu justru
menjadi dasar keterlibatannya dalam sejarah, suatu aktivisme sejarah.
Sunnah nabi berbeda dengan jalan seorang mistikus yang puas dengan
pencapaian sendiri. Sunnah nabi yang seperti itu disebutnya Etika
Profetik.27
Selanjutnya dari Roger Garaudy, seorang filosuf Perancis yang
menjadi muslim, kita mengenal istilah Filsafat Profetik. Menurutnya
filsafat barat tidak memuaskan sebab hanya terombang ambing antara
dua kubu, idealis dan materialis, tanpa kesudahan. Filsafat barat (filsafat
kitis) itu lahir dari pertanyaan: bagaimana pengetahuan itu
dimungkinkan. Ia menyarankan agar mengubah pertanyaan itu menjadi:
bagaimana wahyu itu dimungkinkan. Dikatakan bahwa satu-satunya
cara untuk menghindari kehancuran peradaban ialah dengan mengambil
26
27
Ibid. Hlm. 45.
Kuntowijoyo. Op.cit. Hlm. 97.
Pendahuluan
16
kembali warisan Islam. Filsafat barat sudah membunuh Tuhan dan
manusia. Oleh karena itu ia menganjurkan supaya umat manusia
memakai filsafat profetik (kenabian) dari Islam dengan mengakui wahyu
(Garaudy, 1982:139-168).28
Dari istilah profetik tersebut kemudian mengilhami Kuntowijoyo
untuk menggunakan istilah Ilmu Sosial Profetik. Ilmu ini bertujuan tidak
hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, sebagaimana ilmuilmu sosial akademis maupun ilmu-ilmu sosial kritis, tetapi juga
memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa,
dan oleh siapa. Ilmu Sosial Profetik tidak sekedar mengubah demi
perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik
tertentu. Dengan pengertian ini maka Ilmu Sosial Profetik secara sengaja
memuat kandungan nilai dari cita-cita perubahan yang didamkan oleh
masyarakatnya. Bagi kita itu adalah perubahan yang didasarkan pada
cita-cita humanisasi, liberasi, dan transendensi, sebagaimana diderivasi
dari dari misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam al-Qur’an,
khususnya Surat al-Imran (3):110. Engkau adalah umat terbaik yang
diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah
kemungkaran (kejahatan), dan beriman kepada Allah. Ketiga pilar itulah yaitu
amar ma’ruf (ditransformasi menjadi humanisasi), nahi munkar
(ditransformasi menjadi liberasi), dan tukminuna billah (ditransformasi
menjadi transendensi), yang menjadi muatan nilai Ilmu Sosial Profetik.
Dengan kandungan ketiga nilai tersebut, Ilmu Sosial Profetik diarahkan
untuk rekayasa masyarakat menuju cita-cita sosial-etiknya di masa
depan. Jika dibandingkan, Filsafat Liberalisme di barat lebih
mementingkan pada yang pertama (humanisasi), Maxisme lebih
mementingkan yang kedua (liberasi), dan kebanyakan agama lebih
mementingkan yang ketiga (transendensi). Ilmu Sosial Profetik mencoba
untuk menggabungkan ketiganya, yang satu tidak terpisah dari lainya.29
28
29
Kuntowijoyo. Op.cit. Hlm. 98.
Kuntowijoyo. Op.cit. Hlm. 99.
Bab 1
17
Amar ma’ruf dalam bahasa sehari-hari dapat berarti apa saja, dari
yang sangat individual seperti berdoa, berzikir, dan shalat, sampai yang
semi sosial seperti menghormati orang tua, menyambung persaudaraan,
menyantuni anak yatim, serta yang bersifat kolektif seperti mendirikan
clean government, mengusahakan jamsostek, dan membangun sistem
keamanan sosial. Untuk itu dipakai kata humanisasi. Dalam Bahasa
latin, humanitas berarti ‘makhluk manusia’, ‘kondisi menjadi manusia’,
jadi humanisasi berarti memanusiakan manusia; menghilangkan
‘kebendaan’, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia.
Jadi tujuan humanisasi adalah untuk memanusiakan manusia. Kita tahu
bahwa sekarang mengalami proses dehumanisasi, karena masyarakat
industri kita menjadikan kita sebagai bagian dari masyarakat abstrak
tanpa wajah kemanusiaan. Kita mengalami objektivasi ketika berada di
tengah-tengah mesin-mesin politik dan mesin-msein pasar.Ilmu dan
teknologi juga telah membantu kecenderungan reduksionistik yang
melihat manusia dengan cara parsial.30
Nahi munkar dalam bahasa sehari-hari dapat berati apa saja, dari
mencegah teman mengkonsumsi ectacy, melarang carok, memberantas
judi, menghilangkan lintah darat, sampai membela nasib buruh dan
mengusir penjajah. Untuk itu digunakan kata liberasi (bahasa Latin
liberare berarti ‘memerdekakan’) artinya ‘pembebasan’ semuanya
dengan konotasi yang mempunyai signifikansi sosial. Jadi tujuan liberasi
adalah pembebasan dari kekejaman kemiskinan struktural, keangkuhan
teknologi, dan pemerasan kelimpahan. Kita menyatu rasa dengan
mereka yang miskin, mereka yang terperangkap dalam kesadaran
teknokratis, dan mereka yang tergusur oleh ekonomi raksasa. Kita ingin
bersama-sama membebaskan diri dari belenggu-belenggu yang kita
bangun sendiri.31
Tukminuna billah yang terdapat dalam al-Quran digunakan padanan
kata yang umum yaitu transendensi (bahasa Latin trancendere berati
30
31
Kuntowijoyo. Op.Cit. Hlm. 88
Loc.Cit.
Pendahuluan
18
naik ke atas, bahasa Inggris to transcend adalah menembus, melewati,
melampaui) artinya ‘perjalanan yang di atas atau di luar’. Kata ini meliputi
istilah sehari-hari (misalnya orang yang kelewat-lewat kuatnya seperti
Superman, altruisme mengatasi individualisme), sastra transendental
(sastra yang mencoba mencari realitas spiritual di balik gejala-gejala),
filsafat transendental (misalnya kantianisme yang percaya pada
pengetahuan a priori di luar pengalaman), segala supernatural (misalnya
ESP, Extra Sensory Perception) dan TM (transcendental Meditation), dan
istilah teologis (misalnya soal ketuhanan, makhluk-makhluk gaib). Istilah
teologislah yang dimaksud dengan transendensi. Jadi tujuan transendensi
adalah menambahkan dimensi transendental dalam kebudayaan. Kita
sudah banyak menyerah pada arus hedonisme, materialisme, dan
budaya dekaden. Kita percaya bahwa sesuatu harus dilakukan, yaitu
membersihkan diri dengan mengingatkan kembali diemnsi
transendental yang menjadi bagian sah dari fitrah kemanusiaan. Kita
ingin meraskan kembali dunia ini sebagai rahmat Tuhan. Kita ingin hidup
kembali dalam suasana yang lepas dari ruang dan waktu, ketika kita
bersentuhan dengan kebsaran Tuhan.32
Digunakannya istilah profetik yang kemudian dipakai dalam
nomenklatur buku ini berjudul IlMU HUKUM PROFETIK, pertamatama adalah untuk memberikan tanda perbedaan secara formal dan
material antara Ilmu Hukum yang umum atau konvensional dengan
yang profetik. Dari tanda perbedaan formal itu, kemudian kita dapat
masuk ke dalam perbedaan-perbedaan yang lebih substansial tentang
isi konsep dari kedua ilmu hukum tersebut.
Sebagaimana kita pahami bersama bahwa Ilmu Hukum yang
umum atau konvensional adalah ilmu hukum yang jika dilihat dari
sejarah kelahirannya adalah yang lahir di Eropa Barat yang cikal bakalnya
berasal dari Peradaban Yunani dan Romawi Kuno yang menganut filsafat
rasionalisme murni. Filsafat ini pada sekitar abad pertengahan telah
melahirkan Filsafat Epistemogi dengan ciri pokoknya adalah
32
Loc.Cit
Bab 1
19
menanggalkan sama sekali paham ketuhanan dan agama (sekularantroposentris). Sumber pengetahuan satu-satunya yang dianggap valid
dalam menjelaskan totalitas (termasuk hukum) adalah pikiran manusia
itu sendiri, baik yang ideal maupun empiris. Di luar itu tidak diakui.
Konsekuensinya di bidang pengetahuan hukum pun tidak diakui adanya
hukum-hukum yang bersumber dari tuhan atau hukum agama dan
hanya diakui sebagai valid adalah hukum-hukum yang dibentuk dan
bersumber dari pikiran manusia belaka.
Cara berpikir dan berhukum yang seperti itu telah melahirkan krisis
epistemologi ilmu, termasuk juga ilmu hukum. Kondisi ini telah
melahirkan cara berilmu dan berhukum yang materialistik dan atheistik.
Cara berilmu dan berhukum yang demikian tentunya akan membawa
bahaya yaitu menyesatkan peradaban umat manusia dan tentunya kita
mempunyai kewajiban untuk mencegahnya dan mencari upaya-upaya
alternatif solusinya. Di sinilah arti penting Ilmu Hukum Profetik itu
dihadirkan.
D. Sistematika dan Diskripsi Muatan Isi Buku
Buku ini mencoba meramu gagasan tentang Ilmu Hukum Profetik,
yang dasar-dasar asumsi keilmuannya diturunkan dari Paradigma
Profetik. Upaya ini masih sebatas pada tahapan pencarian dan uji coba
dari aspek Filsafat Ilmu Hukum. Oleh karena itu uraian tentang
sistematikanya belum menunjukkan hal yang runtut dan sistematis.
Muatan isinya pun belum menunjukkan hal yang mantap, utuh dan
komprehensif serta terkesan masih bersifat meraba-raba. Terkadang
terjadi locatan-loncatan gagasan yang kurang sambung sehingga
pengorganisasian ide-idenya belum mengalir secara logis dan bahkan
kadang terputus. Ini semua kami sadari karena buku ini masih dalam
tataran gagasan awal dan pencarian rumusan. Di sisi lain buku ini berupa
bunga rampai dari berbagai tulisan, dan itulah umumnya kelemahan
buku yang berupa bunga rampai, bukan merupakan gagasan yang utuh
dan sistematis.
20
Pendahuluan
Untuk memudahkan pembacaan, buku ini disusun menjadi 6
(enam) bab. Pada bab 1, dipaparkan tentang permasalahan umum
hubungan ilmu pengetahuan dan agama (kepercayaan) pada zaman
kuno, pertengahan dan modern, baik yang terjadi pada masyarakat
Eropa maupun masyarakat Muslim pada umumnya. Pada intinya ingin
mengemukakan bahwa dalam tradisi peradaban Islam tidak ada sama
sekali konfik antara agama dan ilmu pengetahuan. Justru ajaran atau
doktrin Islam itu sendiri sangat mendorong orang Islam untuk mencari
ilmu pengetahuan (hukumnya wajib ‘ain), Nabi Muhammad sendiri
mendorong umatnya untuk mencari ilmu sampai ke negeri China
sekalipun (Hadits). Seperti diketahui bahwa China pada waktu itu belum
sama sekali terjamah oleh ajaran Islam. Sebaliknya dalam tradisi
peradaban barat terjadi konflik berdarah antara agama dan Ilmu
pengetahuan, sehingga berdampak pada hubungan antara agama dan
ilmu pengetahuan tidak harmonis. Pada bab ini juga dipaparkan adanya
krisis epistemologis keilmuan (termasuk ilmu hukum) yang terjadi di
dunia barat yang mendorong kaum muda muslim (Indonesia) untuk
mendekonstruksi paradigma keilmuan yang berkembang di dunia barat.
Di sini ditawarkan paradigma baru yang disebut Paradigma Profetik,
yang gagasan awalnya ditebarkan oleh Kuntowijoyo. Dari payung
paradigma itulah digagas tentang Ilmu Hukum Profetik.
Pada bab 2 dipaparkan tentang konsep paradigma profetik. Konsep
ini pada awalnya digagas oleh Kuntowijoyo, namun menurut Heddy
Shri Ahima-Putra isi konsepnya masih jauh dari lengkap. Untuk
melengkapi isi konsepnya, Ahimsa-Putra mencoba memberikan definisi
konsep, menguraikan unsur-unsurnya, skemanya, basis epistemologis
paradigma profetik, asumsi dasar tentang basis pengetahuan, asumsi
dasar tentang obyek material, asumsi dasar tentang obyek yang diteliti,
asumsi dasar tentang ilmu pengetahuan, asumsi dasar tentang ilmu
alam atau sosial profetik, Asumsi dasar tentang dispilin profetik, Etos
paradigma profetik, Model paradigma profetik, dan Implikasi
Epistemogi Profetik. Dengan demikian konsep tentang paradigma
Bab 1
21
profetik ini menjadi lebih jelas komponennya lebih kokoh dasarnya,
dan juga lebih jelas sosoknya. Paradigma profetik ini merupakan induk
atau payung yang menaungi dan menjadi pendasar lahirnya Ilmu-Ilmu
Profetik, termasuk di dalamnya Ilmu Hukum Profetik. Oleh karena itu
isi uraiannya bersifat hal-hal yang sangat mendasar.
Pada bab 3 diuraikan tentang landasan ontologi ilmu hukum
profetik. Landasan ontologis di sini dibutuhkan dan dimaksudkan untuk
memahami bangunan ilmu dari aspek obyek material yang menjadi
sasaran pemikiran atau kajian ilmu tersebut. Obyek kajian di sini dapat
diperinci menjadi obyek kajian material dan formal. Sebagaimana kita
pahami bersama bahwa setiap disiplin ilmu pasti mempunyai obyek
kajian masing-masing baik terkait dengan obyek material maupun obyek
formal. Obyek material terkait dengan hakikat realitas yang dikaji atau
diteliti atau sasaran pemikiran. Hal ini dapat mencakup hal-hal yang
konkrit maupun abstrak dari suatu realitas seperti ide-ide dan nilainilai. Sementara itu obyek formal terkait dengan sudat pandang orang
melihat obyek material atau realitas yang dikaji serta prinsip-prinsip
yang digunakan. Obyek formal ini dapat melahirkan berbagai
pendekatan yang berbeda-beda sehingga melahirkan aliran-aliran dalam
setiap disiplin keilmuan. Kedua obyek tersebut akan membingkai pada
berbagai kajian dan penelitian dari displin ilmu tersebut.
Pada landasan ontologi Ilmu Hukum Profetik ini pertanyaan
mendasar yang muncul dan perlu dijelaskan adalah apa hakikat dari
realitas yang disebut hukum menurut perspektif paradigma profetik?.
Jawaban atas pertanyaan ini tentunya harus dimulai dengan
mengemukakan asumsi atau anggapan dasar (basis assumption) apa yang
dimaksud dengan hukum itu. Asumsi atau anggapan dasar adalah
pandangan-pandangan mengenai suatu hal, yaitu hukum yang tidak
dipertanyakan lagi kebenarannya atau sudah diterima kebenarannya.
Pandangan ini merupakan titik-tolak atau dasar bagi upaya memahami
dan menjawab suatu persoalan, karena pandangan-pandangan tersebut
dianggap benar atau diyakini kebenarannya. Anggapan-anggapan ini
22
Pendahuluan
bisa lahir dari (a) perenungan-perenungan filosofis dan reflektif, bisa
dari (b) penelitian-penelitian empiris yang canggih, bisa pula dari (c)
pengamatan yang seksama. Asumsi dasar dibutuhkan agar kita
mempunyai titik berdiri (standing point) pemikiran kita tentang hakikat
hukum itu. Tanpa asumsi dasar kita akan kesulitan dan mungkin
menjadi bingung memahami tentang hukum dan segala persoalan yang
terkait dengannya.
Pada bab 4 diuraikan tentang landasan epistemologi ilmu hukum
profetik. Landasan epistemologi ilmu dibutuhkan terkait dengan cara
bagaimana kebenaran dari pengetahuan itu diperoleh secara valid dan
terpercaya berdasarkan suatu metode ilmiah tertentu. Melalui
epistemologi tersebut kita dapat memahami bagaimana ilmu itu ada
atau lahir dan diyakini kebenarannya secara ilmiah. Melalui epistemologi
itu juga kita dapat membedakan mana pengetahuan yang disebut ilmu
dan yang bukan ilmu, mana yang ilmiah dan mana yang tidak ilmiah.
Dalam epistemologi ilmu, hal mendasar yang menjadi pertanyaan
kefilsafatan adalah bagaimana proses yang memungkinkan diperolehnya
pengetahuan yang disebut ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa
yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar?
Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apa kriterianya? Cara/teknik/
sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan penegathuan yang
berupa ilmu? Pada bab ini diuraikan berturut-turut tulisan yang
membahas tentang basis epistemologis ilmu-ilmu profetik yang ditulis
oleh M.Syamsudin. Selanjutnya menguraikan tentang Meninjau Pemikiran
Ilmu, Ilmiah Modern dan dasar Filsafatnya Dewasa Ini, Suatu Tinjauan
dalam Rangka Persepektif wawasan Ajaran Ke-Islaman, oleh M. Koesnoe.
Pada bagian pertama diuraikan tentang dasar-dasar keilmuan modern
(barat) beserta filsafat yang mendasarinya. Pada bagian yang pertama
ini pada intinya berisi kritik terhadap epistemologi keilmuan barat yang
bersifat sekuler. Pada bagian yang kedua diuraikan tentang tinjauan
dari perspektif wawasan ajaran ke-Islaman, yang mengambil model
Pemikiran Imam Al-Ghozali. Selanjutnya dibahas tentang Paradigma
Bab 1
23
Profetik dalam Hukum Islam Melalui Pendekatan Systems, Oleh Amin
Abdullah.
Pada bab 5 diuraikan tentang landasan aksiologi ilmu hukum
profetik. Landasan aksiologi ini dibutuhkan untuk memahami persoalanpersoalan keilmuan yang berkaitan dengan pengembanan hukum
(rechtsbeoefening). Hal mendasar yang menjadi perhatian uraian ini adalah
kondisi pengembanan hukum (rechtsbeoefening) di Indonesia, baik
pengembangan teoretis maupun praktis, banyak sekali dimensi
aksiologis yang perlu untuk mendapat pencerahan. Pengembanan
hukum adalah kegiatan manusia berkenaan dengan adanya dan
berlakunya hukum di dalam masyarakat. Kegiatan tersebut mencakup
kegiatan membentuk, melaksanakan, menerapkan, menemukan,
meneliti, dan secara sistematikal mempelajari dan mengajarkan hukum
yang berlaku. Pengembanan hukum itu dapat dibedakan pengembanan
hukum teoretis dan praktis.
Bab 6 adalah bab terakhir yang muatanya berisi pertama-tama
tentang peluang untuk mengembangkan Hukum Profetik di Era
Postmodern, selanjutnya diuraikan tentang simpulan tentang landasan
kefilsafatan Ilmu Hukum Profetik yang telah diuraikan dan dibahas
pada bab-bab sebelumnya.
24
Pendahuluan
BAB
2
PARADIGMA PROFETIK
(Sebuah Konsepsi)1
Oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra
A. Pengantar
Kata profetik berasal dari bahasa Inggris ‘prophet’, yang berarti
nabi. Menurut Ox-ford Dictionary ‘prophetic’ adalah (1) “Of, pertaining
or proper to a prophet or prophecy”; “having the character or function
of a prophet”; (2) “Characterized by, containing, or of the nature of
prophecy; predictive”. Jadi, makna profetik adalah mempunyai sifat
atau ciri seperti nabi, atau bersifat prediktif, memrakirakan. Profetik di
sini dapat diterjemahkan menjadi ‘kenabian’. Pertanyaannya kemudian
adalah: adakah ilmu kenabian atau paradigma kenabian? Ilmu atau
paradigma seperti apa ini?
Gagasan mengenai ilmu profetik di Indonesia -seingat saya- pada
mulanya berasal dari Prof. Dr. Kuntowijoyo, guru besar sejarah dari
Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Gagasan ini dituangkan dalam bukunya
yang berjudul Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika,
diterbitkan tahun 2004. Meskipun demikian, pemikiran-pemikiran
Kuntowijoyo -yang selanjutnya akan saya sebut Mas Kunto, sapaan
Makalah ini pernah disampaikan pada “Diskusi Berseri Membangun Paradigma
Ilmu Hukum Profetik” diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia (PSH FH UII) Yogyakarta, pada tanggal 18 Nopember
2011.
1
26
Paragima Profetik...
akrab saya untuk beliau- mengenai ilmu profetik tersebut bibit-bibitnya
sudah ditebar lebih awal dalam bukunya Paradigma Islam: Interpretasi
untuk Aksi (Mizan, 1991). Apa yang digagas oleh mas Kunto pada dasarnya
bukanlah hal yang sama sekali baru dalam jagad pemikiran Islam. Dari
tulisan-tulisannya dapat ditemukan tokoh-tokoh pemikir Islam yang
banyak mempengaruhi dan memberikan inspirasi pada mas Kunto.
Mas Kunto menulis bahwa “Asal-usul dari pikiran tentang Ilmu
Sosial Profetik itu dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Muhammad
Iqbal dan Roger Garaudy”. Muhammad Iqbal adalah tokoh pemikir
Islam, sedang Roger Garaudy adalah ahli filsafat Prancis yang masuk
Islam. Mas Kunto banyak mengambil gagasan dua pemikir untuk
mengembangkan apa yang diangan-angankannya sebagai ilmu-ilmu
profetik, lebih khusus lagi ilmu sosial profetik, karena mas Kunto adalah
seorang sejarawan, seorang ilmuwan sosial.
Dikatakan oleh mas Kunto bahwa gagasan mengenai ilmu sosial
profetik yang dikemukakannya dipicu antara lain oleh perdebatan yang
terjadi di kalangan cendekiawan Islam mengenai teologi, yang terjadi
dalam sebuah seminar di Kaliurang, Yogyakarta. Saat itu ada dua kubu
yang berseberangan pendapat di situ, yakni kubu teologi konvensional,
yang mengartikan teologi sebagai ilmu kalam, “yaitu suatu disiplin yang
mempelajari ilmu ketuhanan, bersifat abstrak normatif, dan skolastik”
dengan kubu teologi transformatif, yang memaknai teologi sebagai
“penafsiran terhadap realitas dalam perspektif ketuhanan. Jadi lebih
merupakan refleksi-refleksi empiris”. Menurut mas Kunto, perbedaan
pandangan ini sulit diselesaikan, karena masing-masing memberikan
makna yang berbeda terhadap konsep paling pokok di situ, yaitu konsep
teologi itu sendiri. Untuk mengatasi kemacetan dialog ini Kuntowijoyo
mengusulkan digantinya istilah teologi menjadi ilmu sosial, sehingga
istilah Teologi Transformatif diubah menjadi Ilmu Sosial Transformatif.
Peristiwa lain yang menjadi pemicu gagasan mas Kunto tentang
ilmu profetik adalah Kongres Psikologi Islam I di Solo, 10 Oktober 2003.
Ketika itu ada pemakaian istilah “Islamisasi pengetahuan”, yang
Bab 2
27
menggelisahkan mas Kunto, karena makna istilah tersebut kemudian
“diplesetkan” ke arah “Islamisasi non-pri”, yang dihubungkan dengan
“sunat secara Islam”, atau tetakan (bhs.Jawa). “Tentu saja saya sakit
hati dengan penyamaan itu, meskipun ada benarnya juga” begitu tulisa
mas Kunto,”Saya sakit hati karena sebuah gerakan intelektual yang sarat
nilai keagamaan disamakan dengan gerakan bisnis pragmatis. Oleh
karena itu saya tidak lagi memakai istilah “Islamisasi pengetahuan”,
dan ingin mendorong supaya gerakan intelektual umat sekarang ini
melangkah lebih jauh, dan mengganti “Islamisasi pengetahuan” menjadi
“Pengilmuan Islam”. Dari reaktif menjadi proaktif” (2006: vii-viii).
Mas Kunto kemudian menghimpun gagasan-gagasan yang masih
terserak di sana-sini menjadi sebuah “nonbuku darurat”, “nonbuku
comat-comot” -begitu dia menyebut buku kecilnya- yang diberi judul
Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. Menurut mas Kunto
“Pengembangan Paradigma Islam itu merupakan langkah pertama dan
strategis ke arah pembangunan Islam sebagai sistem, gerakan sosialbudaya ke arah sistem Islam yang kaffah, modern dan berkeadaban.
Dengan demikian Islam akan lebih credible bagi pemeluknya dan bagi
non-Muslim…” (2006: ix). Apa yang mas Kunto lakukan adalah sebuah
langkah awal untuk mewujudkan sebuah Paradigma Islam dalam jagad
ilmu pengetahuan, yang sampai saat ini umumnya menggunakan basis
paradigma dari dunia Barat.
Jika kita sepakat dengan Thomas Kuhn bahwa revolusi ilmu
pengetahuan tidak lain adalah perubahan paradigma, perubahan pada
mode of thought, pada mode of inquiry, maka kita akan sampai pada pendapat
bahwa inti ilmu pengetahuan tidak lain adalah paradigma (Ahimsa-Putra,
2007). Jika demikian, maka apa yang seharusnya dibahas dan dibangun
terlebih dahulu oleh mas Kunto adalah sebuah konsepsi atau pandangan
mengenai paradigma, mengenai sebuah kerangka pemikiran. Oleh karena
ini belum dilakukan oleh mas Kunto, maka dengan sendirinya pemikiran
mas Kunto mengenai ilmu profetik masih jauh dari lengkap.
28
Paragima Profetik...
Dalam makalah ini saya mencoba mengembangkan lebih lanjut
gagasan mas Kunto untuk membangun paradigma profetik yang lebih
jelas komponennya lebih kokoh dasarnya, dan juga lebih jelas sosoknya.
Tentu saja, karena terbatasnya ruang di sini, tidak semua komponen
paradigma profetik akan saya ulas. Bagian yang akan saya ulas terutama
adalah bagian tentang epistemologi.
B. Paradigma: Apa itu?
Sebelum istilah paradigma menjadi sebuah konsep yang populer, para
ilmuwan sosial-budaya telah menggunakan beberapa konsep lain dengan
makna yang kurang lebih sama, yakni: kerangka teoretis (theoretical
framework), kerangka konseptual (con-ceptual framework), kerangka
pemikiran (frame of thinking), orientasi teoritis (theoretical orientation),
sudut pandang (perspective), atau pendekatan (approach). Kini istilah
paradigma sudah mulai banyak digunakan oleh ilmuwan sosialbudaya. Meskipun begitu, istilah-istilah lama tersebut juga tetap akan
digunakan di sini, dengan makna yang kurang-lebih sama dengan
paradigma (paradigm).
Penggunaan konsep paradigma yang semakin lazim kini tidak
berarti bahwa makna konsep tersebut sudah jelas atau telah disepakati
bersama. Thomas Kuhn (1973) telah berbicara panjang lebar tentang
pergantian paradigma, namun sebagaimana telah kita lihat, dia sendiri
tidak menjelaskan secara khusus dan rinci tentang apa yang
dimaksudnya sebagai paradigma, dan tidak menggunakan konsep
tersebut secara konsisten dalam tulisan-tulisannya. Hal ini tampaknya
merupakan akibat tidak langsung dari topik pembahasannya, yakni
pergantian paradigma dalam ilmu-ilmu alam (Ahimsa-Putra, 2007). Kuhn
tidak menyinggung tentang ilmu-ilmu sosial-budaya. Ada kemungkinan
ka-rena dia merasa tidak perlu membedakan dua jenis ilmu pengetahuan
tersebut, mengingat dua-duanya adalah ilmu pengetahuan. Ada
kemungkinan pula karena dia menganggap ilmu sosial-budaya belum
merupakan ilmu pengetahuan (science), karena dari perspektif tertentu
Bab 2
29
status sains (ilmu) memang belum berhasil dicapai oleh cabang ilmu
tersebut (Kuhn, 1977).
Kelalaian Kuhn untuk menjelaskan secara rinci apa yang
dimaksudnya sebagai paradigma telah menyulitkan kita. Untuk
mengatasi kesulitan ini saya mencoba di sini memaparkan apa yang
saya maksud dengan paradigma.
1. Paradigma: Sebuah Definisi2
Paradigma -menurut hemat saya- dapat didefinisikan sebagai
seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis membentuk
sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami, menafsirkan dan
menjelaskan kenyataan dan/ atau masalah yang dihadapi. Berikut adalah
penjelasan frasa-frasa dalam definisi ini.
“Seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis
membentuk suatu kerangka pemikiran.....”
Kata “seperangkat” menunjukkan bahwa paradigma memiliki
sejumlah unsur-unsur, tidak hanya satu unsur. Unsur-unsur ini adalah
konsep-konsep. Konsep adalah istilah atau kata yang diberi makna
tertentu. Oleh karena itu, sebuah paradigma juga merupakan kumpulan
makna-makna, kumpulan pengertian-pengertian. Kumpulan konsepkonsep ini merupakan sebuah kesatuan, karena konsep-konsep ini
berhubungan secara logis, yakni secara paradigmatik, sintagmatik,
metonimik dan metaforik sehingga dapat dikatakan sebagai
“seperangkat konsep”, seperti halnya peralatan pada orkestra gamelan
atau unsur-unsur pada pakaian, yang membentuk seperangkat gamelan
dan seperangkat pakaian. Tentu, relasi-relasi pada gejala-gejala empiris
ini tidak sama dengan relasi-relasi antar unsur dalam paradigma. Relasi
antar unsur dalam paradigma berada pada tataran logika, pada tataran
Uraian mengenai paradigma ini saya ambil dari makalah saya di tahun 2009 (AhimsaPutra, 2009).
2
30
Paragima Profetik...
pemikiran, sedang relasi antar unsur pada perangkat pakaian dan
gamelan berada pada tataran fungsi, atau bersifat fungsional.
Selanjutnya, karena makna dan hubungan antar-makna ini adanya dalam
pikiran, maka kumpulan konsep yang membentuk kerangka itu disebut
juga sebagai kerangka pemikiran.
“.....yang berfungsi untuk memahami dan menjelaskan kenyataan dan/
atau masa-lah yang dihadapi”.
Dalam pikiran manusia, kerangka pemikiran ini digunakan untuk
tujuan tertentu, sehingga kerangka pemikiran ini memiliki fungsi, yakni
untuk memahami kenyataan, mendefinisikan kenyataan, menentukan
kenyataan yang dihadapi, menggolongkannya ke dalam kategorikategori, dan kemudian menghubungkannya dengan definisi kenyataan
lainnya, sehingga terjalin relasi-relasi pada pemikiran tersebut, yang
kemudian membentuk suatu gambaran tentang kenyataan yang
dihadapi.
Kenyataan yang dihadapi menimbulkan berbagai akibat atau reaksi
dalam pikiran manusia. Salah satu di antaranya adalah pertanyaanpertanyaan atau rasa tidak puas karena kenyataan yang dihadapi tidak
dapat dipahami dengan menggunakan kerang-ka pemikiran yang telah
ada, atau kurang sesuai dengan yang diharapkan. Pertanyaan dan
ketidakpuasan ini selanjutnya mendorong manusia untuk menjawab
pertanyaan tersebut atau mencari jalan guna mengatasi ketidakpuasan
yang ada dalam dirinya. Ini berarti bahwa paradigma tidak hanya ada
di kalangan ilmuwan saja, tetapi juga di kalangan orang awam, di
kalangan semua orang, dari semua golongan, dari se-mua lapisan, dari
semua kelompok, dari semua sukubangsa. Meskipun demikian, hal itu
berarti bahwa setiap orang menyadari kerangka pemikirannya sendiri.
Bahkan, se-bagian besar orang sebenarnya tidak menyadari betul atau
tidak mengetahui seperti apa kerangka pemikiran yang dimilikinya,
yang digunakannya untuk memahami situa-si dan kondisi kehidupan
sehari-hari. Kesadaran ini hanya dapat muncul dari kalangan mereka
Bab 2
31
yang dapat melakukan refleksi atas apa yang mereka pikirkan sendiri,
yang mengetahui dan dapat menggunakan metode-metode dan
prosedur yang harus digunakan dalam proses refleksi tersebut.
Bagi upaya pengembangan dan pembuatan paradigma baru,
pendefinisian konsep paradigma saja belum cukup. Lebih penting
daripada pendefinisian adalah penentuan unsur-unsur yang tercakup
dalam pengertian paradigma. Definisi di atas belum memberikan
keterangan lebih lanjut tentang isi dari kerangka pemikiran itu sendiri.
“Seperangkat konsep” barulah sebuah gambaran umum tentang isi
dari kerangka pemikiran tersebut, sedang kenyataannya konsepkonsep ini tidak sama kedudukan dan fungsi-nya dalam kerangka
pemikiran dan karena itu juga memiliki nama yang berbeda-beda. Oleh
karena itu diperlukan penjelasan lebih lanjut tentang komponenkomponen kon-septual yang membentuk kerangka pemikiran atau
paradigma tersebut.
Berbagai pembahasan tentang paradigma di kalangan ilmuwan
Barat berada di seputar masalah (a) konsepsi tentang paradigma; (b)
ada tidaknya paradigma dalam sua-tu disiplin tertentu, dan (c) unsurunsur paradigma. Sayangnya, dari berbagai pemba-hasan itu tidak
berhasil dicapai sebuah kesepakatan tentang definisi yang cukup praktis dan strategis mengenai paradigma. Apalagi kesepakatan mengenai
unsur-unsur paradigma. Akibatnya, kita mengalami kesulitan untuk
memanfaatkan rintisan pemikiran yang dilontarkan oleh Kuhn. Untuk
itu kita perlu membangun sebuah konsepsi (pandangan) tentang
paradigma, yang berisi bukan hanya definisi, tetapi juga elemen-elemen
pokok yang terdapat dalam sebuah paradigma.
Dari berbagai kelemahan dan kelebihan gagasan-gagasan tentang
paradigma yang telah dikemukakan oleh para ilmuwan Barat (lihat
Ahimsa-Putra, 2008; 2009), saya mencoba di sini untuk mengemukakan
gagasan saya tentang paradigma, yang menca-kup definisi dan unsurunsur pokok yang terdapat di dalamnya. Konsepsi tentang paradigma
ini saya bangun setelah saya menelaah secara kritis berbagai buku dan
32
Paragima Profetik...
artikel para ilmuwan Barat (karena dari Indonesia saya tidak menemukan
pembahasan-pembahasan ini) mengenai paradigma, baik yang teoritis,
filosofis maupun yang aplikatif.
Pertanyaan pokok saya ketika itu adalah: apa yang dimaksud
dengan paradigma? apa saja komponen-komponen konseptual atau
unsur-unsur pemikiran yang memben-tuk sebuah paradigma dalam
sebuah cabang ilmu pengetahuan, terutama ilmu sosial-budaya, dan
lebih khusus lagi antropologi budaya?
2. Unsur-unsur (komponen-komponen) Paradigma
Sebuah perspektif dalam ilmu sosial-budaya biasanya dapat
dibedakan satu sama lain atas dasar asumsi-asumsi atau anggapananggapan dasarnya tentang obyek yang diteliti, masalah-masalah yang
ingin dijawab atau diselesaikan, konsep-konsep, meto-de-metode serta
teori-teori yang dihasilkannya. Pendapat yang dilontarkan oleh Cuff
dan Payne (1980:3) ini merupakan pendapat yang dapat membawa kita
kepada pema-haman tentang paradigma dalam ilmu sosial-budaya.
Dalam pendapat ini tersirat pan-dangan bahwa sebuah perspektif atau
pendekatan -Cuff dan Payne tidak menyebutnya sebagai “paradigma”memiliki sejumlah unsur, di antaranya adalah: asumsi dasar (ba-sic assumption -Cuff dan Payne menyebutnya bedrock assumption-, konsep,
metode, pertanyaan dan jawaban-jawaban yang diberikan.
Jika “perspektif” adalah juga “paradigma”, maka unsur-unsur
tersebut dapat dikata-kan sebagai unsur-unsur paradigma. Meskipun
demikian, menurut saya, pandangan Cuff dan Payne tentang unsurunsur perspektif tersebut masih belum lengkap. Masih ada elemen lain
yang juga selalu ada dalam sebuah paradigma ilmu sosial-budaya,
namun belum tercakup di dalamnya, misalnya model. Selain itu, unsur
metode juga masih perlu dirinci lagi. Cuff dan Payne juga masih belum
menjelaskan bagaimana ki-ra-kira urut-urutan unsur-unsur tersebut
dalam sebuah paradigma atau kerangka ber-fikir tertentu, sehingga
posisi masing-masing unsur terhadap yang lain tidak kita keta-hui. Lebih
Bab 2
33
dari itu, Cuff dan Payne juga tidak selalu menjelaskan makna dari
konsep-konsep yang digunakannya secara rinci, sehingga kita tidak
selalu dapat mengetahui dengan baik apa yang dimaksudkannya.
Sebuah paradigma, kerangka teori atau pendekatan dalam ilmu
sosial-budaya me-núrut hemat saya terdiri dari sejumlah unsur pokok,
yakni: (1) asumsi-asumsi dasar; (2) nilai-nilai; (3) masalah-masalah yang diteliti
(4) model; (5) konsep-konsep; (6) metode penelitian; (7) metode analisis; (8)
hasil analisis atau teori dan (9) representasi (etno-grafi) (Ahimsa-Putra,
2009). Berikut ini adalah uraian mengenai komponen-komponen
paradigma ini, yang menurut saya perlu diberikan.
a. Asumsi-asumsi/Anggapan-anggapan
(Basic Assumptions) - (1)
Dasar
Asumsi atau anggapan dasar adalah pandangan-pandangan
mengenai suatu hal (bisa benda, ilmu pengetahuan, tujuan sebuah
disiplin, dan sebagainya) yang tidak di-pertanyakan lagi kebenarannya
atau sudah diterima kebenarannya. Pandangan ini merupakan titik-tolak
atau dasar bagi upaya memahami dan menjawab suatu persoalan, karena
pandangan-pandangan tersebut dianggap benar atau diyakini
kebenarannya. Anggapan-anggapan ini bisa lahir dari (a) perenunganperenungan filosofis dan reflektif, bisa dari (b) penelitian-penelitian
empiris yang canggih, bisa pula dari (c) pengamatan yang seksama.
Jika asumsi ini berasal dari pandangan filosofis dan reflektif,
pandangan ini biasanya lantas mirip dengan ‘ideologi’ si ilmuwan, dan
ini tentu saja bersifat subyektif. Oleh karena itu, muncul kini pendapat
yang mengatakan bahwa tidak ada “obyektivitas” dalam ilmu sosialbudaya, sebab apa yang selama ini dianggap sebagai “obyektivitas”
ternyata juga didasarkan pada asumsi-asumsi filosofis tertentu, yang
tidak berbeda dengan ‘ideologi’. Asumsi-asumsi dasar biasanya terlihat
dengan jelas dalam rumusan-rumusan tentang hakikat sesuatu atau
definisi mengenai sesuatu, dan ini biasanya merupakan jawaban atas
pertanyaan “Apa itu...?”. Misalnya saja, “Apa itu kebudayaan?”; “Apa
itu masyarakat?”; “Apa itu karya sastra?”, dan sebagainya. Dalam dunia
Paragima Profetik...
34
ilmu pengetahuan definisi mengenai sesuatu inilah yang akan sangat
menentukan langkah-langkah kegiatan ilmiah selanjutnya.
Dari paparan di atas terlihat bahwa asumsi-asumsi dasar merupakan
fondasi dari sebuah disiplin atau bidang keilmuan, atau dasar dari sebuah
kerangka pemikiran, dan seperti halnya fondasi sebuah gedung yang tidak
terlihat, demikian pula halnya dengan asumsi dasar. Suatu kerangka
teori dalam ilmu sosial-budaya biasanya mempunyai banyak asumsi
dasar. Akan tetapi, tidak semua asumsi dasar ini selalu dikemukakan
secara eksplisit. Bahkan kadang-kadang malah tidak dipaparkan sama
sekali, karena semua orang dianggap telah mengetahuinya.
Mengapa digunakan istilah ‘asumsi’, bukan ‘dalil’ atau ‘hukum’,
jika memang kebenarannya sudah tidak dipertanyakan lagi? Karena
tindakan ‘tidak lagi mempertanyakan kebenaran’ ini tidak berlaku untuk
semua orang. Orang lain malah bisa sangat tidak setuju atau sangat
mempertanyakan ‘kebenaran yang tidak dipertanyakan’ itu tadi. Jadi,
kebenaran di situ dianggap bersifat relatif. Oleh karena itulah lebih tepat
jika kebenaran yang relatif itu disebut sebagai ‘asumsi’, anggapan, saja,
bukan dalil atau hukum.
b. Etos / Nilai-nilai (Ethos / Values) - (2)
Setiap kegiatan ilmiah juga selalu didasarkan pada sejumlah kriteria
atau patokan yang digunakan untuk menentukan apakah sesuatu itu
baik atau buruk, benar atau sa-lah, bermanfaat atau tidak. Patokanpatokan inilah yang biasa disebut nilai atau etos. Dinyatakan atau tidak
nilai-nilai selalu ada di balik setiap kegiatan ilmiah, karena di situ selalu
ada persoalan benar atau salah, bermanfaat atau tidak. Dengan patokan
inilah seorang ilmuwan akan menilai hasil penelitian ilmuwan yang lain,
kinerja mereka atau produktivitas mereka.
Dalam sebuah paradigma nilai-nilai ini paling tidak mengenai: (a)
ilmu pengetahuan (b) ilmu sosial-budaya; (c) penelitian ilmiah; (d)
analisis ilmiah; (e) hasil penelitian. Nilai-nilai ini selalu ada dalam setiap
cabang ilmu, tetapi rumusan, penekanan dan keeksplisitannya berbedabeda. Ada cabang ilmu pengetahuan yang nilainya lebih menekankan
Bab 2
35
pada manfaat ilmu, tetapi lebih bersifat implisit, sedang pada disiplin
lain nilai ini dibuat sangat eksplisit. Nilai-nilai mana yang ditekankan
oleh suatu komunitas atau organisasi ilmuwan bisa berbeda-beda. Hal
ini sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya masyarakat tempat para
ilmuwan tersebut menjalankan aktivitas keilmuan me-reka.
Meskipun nilai-nilai ini pada umumnya menyatakan tentang halhal yang baik, yang seharusnya, tetapi sebenarnya nilai-nilai juga
berkenaan dengan yang tidak baik, yang buruk. Oleh karena itu, bisa
pula nilai yang dibuat eksplisit bukanlah yang baik, tetapi yang buruk.
Hal ini dilakukan mungkin dengan tujuan agar para ilmuwan dapat
lebih terjaga dari melakukan hal-hal yang buruk. Nilai yang baik
berkenaan dengan ilmu pengetahuan misalnya adalah nilai yang
mengatakan, “ilmu pengetahuan yang baik adalah yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia”; atau “ilmu pengetahuan yang baik adalah yang
teori-teorinya bisa bersifat universal”; atau “ilmu pengetahuan yang
baik adalah yang diperoleh dengan menggunakan metode dan prosedur
tertentu yang dapat mencegah masuknya unsur subyektivitas peneliti”,
dan sebagainya. Nilai-nilai yang buruk misalnya adalah, “ilmu
pengetahuan yang buruk adalah yang tidak memberikan manfaat kepada
umat manusia”; atau “ilmu pengetahuan yang buruk adalah yang
membuat manusia semakin jauh dari Sang Pencipta”.
c. Model-model (Models) - (3)
Model adalah perumpamaan, analogi, atau kiasan tentang gejala yang
dipelajari. Seringkali model juga terlihat seperti asumsi dasar. Meskipun
demikian, model bukan-lah asumsi dasar. Sebagai perumpamaan dari suatu
kenyataan, sebuah model bersifat menyederhanakan (Inkeles, 1964).
Artinya, tidak semua aspek, sifat, atau unsur dari realita dapat tampil
dalam sebuah model. Model dapat dibedakan menjadi dua yakni: (1) model
utama (primary model) dan model pembantu (secondary model). Model yang
dimaksudkan di sini adalah primary model (Ahimsa-Putra, 2009).
Model utama merupakan model yang lebih dekat dengan asumsi
dasar. Model ini merupakan menjadi pembimbing seorang peneliti dalam
36
Paragima Profetik...
mempelajari suatu gejala. Model ini bisa berupa kata-kata (uraian)
maupun gambar, namun umumnya berupa uraian. Berbeda halnya dengan
model pembantu yang selain umumnya berupa gambar, model ini juga
biasa digunakan untuk memudahkan seorang ilmuwan menjelaskan hasil
analisisnya atau teorinya. Model ini bisa berupa diagram, skema, bagan
atau sebuah gambar, yang akan membuat orang lebih mudah mengerti
apa yang dijelaskan oleh seseorang. Jadi kalau model utama harus sudah
ada sebelum seorang peneliti melakukan penelitiannya, model pembantu
biasanya muncul dalam hasil analisis atau setelah penelitian dan analisis
dilakukan (Ahimsa-Putra, 2009).
Sebagai perumpamaan dari suatu gejala atau realita tertentu sebuah
model bersifat menyederhanakan gejala itu sendiri. Artinya, tidak semua
aspek, sifat atau unsur dari gejala tersebut ditampilkan dalam model.
Seorang peneliti yang mengawali penelitiannya dengan mengatakan
bahwa kebudayaan itu seperti organisma atau mahluk hidup, pada dasarnya
telah menggunakan model organisme dalam penelitiannya. Apakah
kebudayaan itu organisme? Tentu saja bukan. Akan tetapi orang boleh
saja mengumpa-makannya seperti organisme, karena memang ada
kenyataan-kenyataan yang dapat mendukung pemodelan seperti itu.
Jadi sebuah model muncul karena adanya persamaan-persamaan
tertentu antara fenomena satu dengan fenomena yang lain. Perbedaan
pada penekanan atas persamaan-persamaan inilah yang kemudian
membuat ilmuwan yang satu menggunakan model yang berbeda
dengan ilmuwan yang lain. Persamaan-persamaan ini pula yang
kemudian membimbing seorang ilmuwan ke arah model tertentu, yang
berarti ke arah penjelasan tertentu tentang gejala yang dipelajari. Pada
saat yang sama, sebuah model berarti juga membelokkan si ilmuwan dari
penjelasan yang lain. Oleh karena itu, sebuah model bisa dikatakan
membimbing, tetapi bisa pula ‘menyesatkan’. Oleh kare-na itu pula
tidak ada model yang salah atau paling benar. Semua model benar belaka.
Yang membedakannya adalah produktivitasnya (Inkeles, 1964). Artinya,
implikasi-implikasi teoritis dan metodologis apa yang bakal lahir dari
Bab 2
37
penggunaan model tertentu dalam mempelajari suatu gejala. Sebuah
model yang banyak menghasilkan implikasi teoretis dan metodologis
merupakan sebuah model yang produktif. Meskipun demikian, seorang
ilmuwan bisa saja memilih sebuah model yang tidak begitu produktif,
karena dianggap dapat memberikan pemahaman baru atas gejala yang
dipelajari. Biasanya produktivitas sebuah model tidak dapat ditentukan
dari awal, karena dalam perkembangan selanjutnya ilmuwan-ilmuwan
lain mungkin saja akan dapat merumuskan pertanyaan-pertanyaan baru
yang tak terduga berdasarkan atas model tersebut (Ahimsa-Putra, 2009).
d. Masalah yang Diteliti / yang Ingin Dijawab
- (4)
Ini berupa pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab atau hipotesa
yang ingin diuji kebenarannya. Setiap paradigma memiliki masalahmasalahnya sendiri, yang sangat erat kaitannya dengan asumsi-asumsi
dasar dan nilai-nilai. Oleh karena itu, rumusan masalah dan hipotesa
harus dipikirkan dengan seksama dalam setiap penelitian, karena di
baliknya terdapat sejumlah asumsi dan di dalamnya terdapat konsepkonsep terpenting. Oleh Kuhn unsur ini disebut exemplar. Suatu penelitian
selalu berawal dari suatu kebutuhan, keperluan, yaitu keperluan untuk
(a) memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tertentu, atau
keinginan (b) membuktikan kebenaran empiris dugaan-dugaan atau
pernyataan-pernyataan tertentu (Ahimsa-Putra, 2009).
Penelitian untuk memenuhi kebutuhan pertama selalu berawal dari
sejumlah pertanyaan (questions) mengenai gejala-gejala tertentu yang
dianggap menarik, aneh, asing, menggelisahkan, menakutkan,
merugikan, dan seterusnya, sedang penelitian kedua selalu berawal
dari sejumlah pernyataan yang masih perlu dan ingin dibuktikan kebenarannya
(hypothesis) atau hipotesa. Oleh karena itu dalam setiap penelitian harus
ada pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab, dan/atau hipotesahipotesa yang ingin dibuktikan. Penelitian yang berawal dari beberapa
pertanyaan tidak perlu lagi menggunakan hipotesa, demikian pula
penelitian yang berawal dari sejumlah hipotesa, tidak perlu lagi
38
Paragima Profetik...
menggunakan pertanyaan-pertanyaan. Meskipun demikian, kalau suatu
penelitian dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan sekaligus
menjawab hipo-tesa hal itu juga tidak dilarang (Ahimsa-Putra, 2009).
e. Konsep-konsep Pokok (Main Concepts, Key
Words) - (5)
Dalam ilmu sosial-budaya, konsep dimaknai berbeda-beda. Di sini,
secara sederhana konsep didefinisikan sebagai istilah-istilah atau kata-kata
yang diberi makna tertentu sehingga membuatnya dapat digunakan untuk
menganalisis, memahami, menafsirkan dan menjelaskan peristiwa atau gejala
sosial-budaya yang dipelajari (Ahimsa-Putra, 2009)
Apa contoh dari konsep ini? Banyak sekali dalam ilmu sosialbudaya. Misalnya: masyarakat, kebudayaan, pendidikan, sekolah,
konflik, sukubangsa, kepribadian, kerjasama, dan sebagainya. Kamus
antropologi, kamus sosiologi, dan sejenisnya, merupakan kumpulan
penjelasan konsep-konsep yang dipandang penting dalam kajian
antropologi dan sosiologi. Banyak istilah-istilah di situ merupakan istilah
yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian
belum tentu kita mengetahui makna istilah-istilah tersebut dengan baik,
bahkan tidak sedikit yang salah dalam menggunakannya, terutama jika
istilah tersebut berasal dari bahasa asing.
Ketika sebuah istilah diberi makna tertentu oleh seorang ilmuwan
yang kebetulan membutuhkan istilah tersebut untuk menjelaskan sebuah
gejala, pada saat itulah istilah tersebut -berdasarkan definisi di atasmenjadi ‘konsep’. Sebagai contoh adalah kata ‘kebudayaan’. Pada mulanya
istilah kebudayaan adalah istilah sehari-hari, yang kemudian diberi definisi
oleh orang-orang tertentu, di antaranya adalah Ki Hadjar Dewantoro.
Kemudian beberapa orang lain memberikan definisi baru, di antaranya
adalah Koentjaraningrat. Semenjak itu, kata ‘kebudayaan’ menjadi sebuah
konsep yang penting dalam dunia ilmu pengetahuan, terutama ilmu sosialbudaya, khususnya lagi dalam antropologi (Ahimsa-Putra, 2009).
Sebuah konsep dalam ilmu sosial-budaya bisa diberi definisi atau
batasan berbagai macam. Dalam hal ini perlu diingat bahwa tidak ada
Bab 2
39
definisi yang paling benar, karena setiap konsep dapat diberi definisi dari
sudut pandang tertentu, dengan cara tertentu. Yang perlu diperhatikan
adalah apakah definisi sebuah konsep memungkinkan peneliti
mempelajari, memahami dan menjelaskan gejala yang diteliti dengan
baik. Oleh karena itu, sebelum merumuskan sebuah definisi seyogyanya
peneliti melakukan kajian pustaka yang cukup komprehensif agar dapat
memperoleh berbagai definisi yang telah dibuat oleh para ilmuwan lain
berkenaan dengan konsep-konsep yang akan digunakan dalam
penelitiannya (Ahimsa-Putra, 2009).
f. Metode-metode Penelitian
Research) - (6)
( Methods
of
Berkenaan dengan metode penelitian ini umumnya kita mengenal
pembedaan antara ‘metode penelitian kuantitatif’ dan ‘metode penelitian
kualitatif’. Meskipun demikian banyak sekali mahasiswa dan sarjana
ilmu sosial-budaya yang mempunyai pengertian kurang lengkap tentang
‘metode penelitian’ ini, sehingga ketika mereka ditanya “di mana letak
kualitatifnya dan kuantitatifnya sebuah metode?”, mereka tidak dapat
menjawab. Selain itu, banyak juga ilmuwan sosial-budaya yang hanya
mengetahui satu jenis metode saja, yaitu yang kuantitatif, sehingga
semua masalah selalu diteliti dengan menggunakan metode yang sama,
padahal sebenarnya tidak demikian. Lebih jelek lagi, karena tidak
mengetahui jenis metode penelitian yang lain, metode penelitian itulah
(yang kuantitatif) yang kemudian dianggap sebagai satu-satunya metode
penelitian yang ilmiah (Ahimsa-Putra, 2009).
Dalam pembicaraan di sini ‘penelitian’ harus diartikan sebagai
‘pengumpulan data’. Oleh karena itu, metode penelitian kualitatif dan
kuantitatif tidak lain adalah metode atau cara guna memperoleh,
mengumpulkan, data kualitatif dan data kuantitatif. Jadi yang bersifat
‘kuantitatif’ atau ‘kualitatif’ bukanlah metodenya, tetapi datanya. Selanjutnya,
sifat data ini juga sangat menentukan cara kita untuk mendapatkannya.
Untuk itu kita perlu tahu ciri-ciri penting yang ada pada masing-masing
data. Dilihat dari sudut pandang ini, maka sebenarnya tidak ada
40
Paragima Profetik...
pemisahan dan tidak perlu ada pemisahan yang sangat tegas dan kaku
antara “penelitian kualitatif” dan ‘penelitian kuantitatif”, sebagaimana
sering dikatakan oleh sebagian ilmuwan sosial-budaya yang kurang
memahami tentang metode-metode penelitian. Yang penting dalam
suatu penelitian adalah bagaimana dapat menjawab pertanyaanpertanyaan yang dikemukakan dengan memuaskan, dengan meyakinkan,
dan ini sangat tergantung pada data yang dikemukakan. Data yang
dibutuhkan dalam suatu penelitian bisa berupa data kualitatif, data
kuantitatif, atau kedua-duanya, dan sebuah penelitian bisa saja
memerlukan dan memanfaatkan dua jenis data ini untuk menjawab
masalah-masalahnya. Data kuantitatif dikumpulkan dengan cara yang
berbeda dengan data kualitatif. Oleh karena ciri dan sifatnya yang berbeda
ini, maka analisis terhadap data ini juga berbeda (Ahimsa-Putra, 2009).
Data kuantitatif adalah kumpulan simbol -bisa berupa pernyataan,
huruf atau angka- yang menunjukkan suatu jumlah (quantity) atau
besaran dari suatu gejala, seperti misalnya jumlah penduduk, jumlah
laki dan perempuan, jumlah anak sekolah, jumlah rumah, jumlah tempat
ibadah, luas sebuah kelurahan, jumlah padi yang dipanen, dalamnya
sebuah sumur, dan sebagainya. Data kuantitatif dapat diperoleh dari
kantor statistik atau kantor pemerintah (kabupaten, kecamatan,
kelurahan, dst.) atau dari penghitungan butir-butir tertentu yang ada
dalam kuesioner (daftar pertanyaan) yang diedarkan dalam suatu
penelitian, atau dari pernyataan informan (Ahimsa-Putra, 2009).
Data kualitatif tidak berupa angka tetapi berupa pernyataanpernyataan mengenai isi, sifat, ciri, keadaan, dari sesuatu atau gejala,
atau pernyataan mengenai hubungan-hubungan antara sesuatu dengan
sesuatu yang lain. Sesuatu ini bisa berupa benda-benda fisik, pola-pola
perilaku, atau gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, bisa pula
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam suatu masyarakat (Ahimsa-Putra,
2009).
Dari berbagai penelitian sosial-budaya yang telah dilakukan, saya
menemukan bahwa data kualitatif ini biasanya mengenai antara lain:
Bab 2
41
(1) nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan; (2) kategori-kategori sosial
dan budaya; (3) ceritera (4) percakapan; (5) pola-pola perilaku dan interaksi
sosial; (6) organisasi sosial; (7) lingkungan fisik (Ahimsa-Putra, 2009).
Skema 1. Data Kuantitatif dan Kualitatif
luas (wilayah, kampung, sawah, dsb.
Kuantitatif
jumlah (penduduk, bangunan, koperasi, dsb.)
berat (hasil panen, badan, dsb.)
Data
nilai, pandangan hidup, norma, aturan
kategori sosial-budaya
Kualitatif
ceritera
percakapan
pola perilaku dan interaksi sosial
organisasi sosial
lingkungan fisik
(Sumber: Ahimsa-Putra, 2009)
Metode adalah cara, sedang penelitian adalah kegiatan mengumpulkan
data. Jadi metode penelitian adalah cara-cara yang digunakan untuk
mengumpulkan data, sedang “metodologi penelitian” adalah ilmu
tentang cara-cara mengumpulkan data, termasuk di dalamnya jenisjenis data. Ada berbagai cara untuk mengumpulkan data dalam suatu
penelitian, dan cara mana yang akan digunakan tergantung pada jenis
data yang diperlukan. Cara dan kegiatan untuk mengumpulkan data
kualitatif tidak akan bisa sama dengan kegiatan mengumpulkan data
kuantitatif. Atas dasar jenis data yang di-perlukan inilah muncul
kemudian berbagai metode pengumpulan data (Ahimsa-Putra, 2009).
Berdasarkan atas jenis datanya metode penelitian ilmu sosial-budaya
dengan sendirinya hanya dapat dibedakan menjadi (a) metode penelitian
kuantitatif atau metode pengumpulan data kuantitatif, dan (b) metode
penelitian kualitatif atau metode pengumpulan data kualitatif. Dalam
masing-masing metode penelitian ini terdapat sejumlah metode penelitian
lagi, yang penggunaannya biasanya didasarkan atas pertimbanganpertimbangan praktis, yakni ketersediaan waktu, biaya dan tenaga.
42
Paragima Profetik...
Dalam metode pengumpulan data kuantitatif, yang selanjutnya
kita sebut metode penelitian kuantitatif, terdapat misalnya (a) metode
kajian pustaka; (b) metode survei dan (c) metode angket. Dalam metode
penelitian kualitatif terdapat (a) metode kajian pustaka; (b) metode
pengamatan; (c) metode pengamatan berpartisipasi (participant observation); (d) metode wawancara sambil lalu; (e) metode wawancara
mendalam, dan (f) metode mendengarkan (Ahimsa-Putra, 2009).
g. M e t o d e - m e t o d e A n a l i s i s
Analysis) - (7)
(Methods
of
Metode analisis data pada dasarnya adalah cara-cara untuk memilahmilah, menge-lompokkan data -kualitatif maupun kuantitatif- agar kemudian
dapat ditetapkan relasi-relasi tertentu antara kategori data yang satu dengan
data yang lain. Sebagaimana halnya metode penelitian, metode analisis
kualitatif dan metode analisis kuantitatif harus diartikan sebagai metode
menganalisis data kualitatif dan metode menganalisis data kuantitatif.
Mengelompokkan data kuantitatif memerlukan siasat atau cara yang
berbeda dengan mengelompokkan data kualitatif, karena sifat dan ciri
data tersebut memang berbeda (Ahimsa-Putra, 2009).
Metode analisis data kualitatif pada dasarnya sangat memerlukan
kemampuan untuk menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan
di antara data kualitatif, dan ini hanya dapat dilakukan apabila konsepkonsep teoritis yang digunakan didefinisikan dengan baik. Persamaan
dan perbedaan ini tidak begitu mudah ditemukan, namun bilamana
pada saat pengumpulannya data ini sudah dikelompokkan terlebih
dahulu hal itu akan mempermudah analisis lebih lanjut.
Berkenaan dengan metode analisis ini yang paling perlu diperhatikan
adalah tujuan akhir dari suatu kerja analisis. Dengan memperhatikan
secara seksama pertanyaan penelitian yang kita kemukakan sebenarnya
kita sudah dapat menentukan sejak awal metode analisis seperti apa
yang akan lakukan atau kita perlukan. Meskipun ada berbagai macam
jenis metode analisis, namun secara umum kita dapat mengatakan bahwa
tujuan akhir analisis adalah menetapkan hubungan-hubungan antara suatu
Bab 2
43
variable/gejala /unsur tertentu dengan variable/gejala/unsur yang lain, dan
menetapkan jenis hubungan yang ada di situ. Setiap paradigma selalu
mempunyai metode analisis tertentu, karena metode analisis inilah yang
kemudian akan menentukan corak hasil analisis atau teorinya, sehingga
teori yang muncul dalam sebuah paradigma tidak akan sama dengan
teori yang muncul dalam paradigma yang lain (Ahimsa-Putra, 2009).
h. H a s i l A n a l i s i s / T e o r i
Analysis / Theory) - (8)
(Results
of
Apabila kita dapat melakukan analisis atas data yang tersedia
dengan baik dan tepat, maka tentu akan ada hasil dari analisis tersebut,
yang dapat dikatakan sebagai “kesimpulan” kita. Hasil analisis ini harus
menyatakan relasi-relasi antarvariabel, antar-unsur atau antargejala yang kita
teliti. Jika hasil analisis kita tidak berhasil mencapai ini maka hal itu bisa
berarti tiga hal. Pertama, data yang kita analisis mengandung beberapa
kesalahan mendasar. Kedua, analisis kita salah arah. Ketiga, analisis kita
masih kurang mendalam, dan ini mungkin juga disebabkan oleh
kurangnya data yang kita miliki (Ahimsa-Putra, 2009).
Setelah kita menganalisis berbagai data yang telah kita peroleh
dengan menggunakan metode-metode tertentu kita akan memperoleh
suatu kesimpulan tertentu, suatu pendapat tertentu berkenaan dengan
gejala yang dipelajari. Pendapat ini bisa berupa pernyataan-pernyataan
yang menunjukkan relasi antara suatu variabel dengan variabel yang
lain, atau pernyataan yang menunjukkan “hakikat” (the nature) atau ciri
dan keadaan dari gejala yang kita teliti. Hasil analisis yang berupa
pernyataan-pernyataan tentang hakikat gejala yang diteliti atau
hubungan antarvariabel atau antargejala yang diteliti inilah yang
kemudian biasa disebut sebagai teori. Dengan kata lain, teori adalah
pernyataan mengenai hakekat sesuatu (gejala yang diteliti) atau mengenai
hubungan antar variabel atau antar gejala yang diteliti, yang sudah terbukti
kebenarannya (Ahimsa-Putra, 2009)
Kalau cakupan (scope) penelitian kita luas, data yang kita analisis
berasal dari banyak masyarakat dan kebudayaan, dan teori yang kita
44
Paragima Profetik...
kemukakan dapat memberikan penjelasan yang berlaku umum, “universal”, melampaui batas-batas ruang dan waktu, maka biasanya dia
akan disebut sebagai teori besar (grand theory). Kalau teori tersebut hanya
kita tujukan untuk menjelaskan gejala-gejala tertentu yang agak umum,
namun tidak cukup universal, maka dia lebih tepat disebut sebagai
teori menengah (mid-dle-range theory) (Merton, 19 ). Bilamana teori yang
kita sodorkan hanya berlaku untuk gejala-gejala yang kita teliti saja,
yang terjadi hanya dalam masyarakat dan kebudaya-an yang kita teliti,
maka dia lebih tepat disebut teori kecil (small theory). Di sini pernyataan tentang hubungan antar variabel tersebut lebih kecil atau lebih
terbatas cakupannya (Ahimsa-Putra, 2009).
i. Representasi (Etnografi) - (9)
Representasi atau penyajian adalah karya ilmiah yang memaparkan
kerangka pemikiran, analisis dan hasil analisis yang telah dilakukan,
yang kemudian menghasilkan kesimpulan atau teori tertentu.
Representasi ini bisa berupa skripsi (pada S-1), tesis (pada S-2), disertasi
(pada S-3), laporan penelitian, makalah, artikel ilmiah (dalam jurnal
ilmiah), atau sebuah buku. Dalam antropologi, representasi ini biasa
disebut etnografi. Dalam sejarah disebut historiografi. Dalam arkeologi
ada yang menyebutnya sebagai paleoetnografi (Ahimsa-Putra, 2009).
Representasi atau etnografi merupakan tulisan yang dihasilkan oleh
seorang peneliti setelah dia melakukan penelitian atas satu atau beberapa
masalah dengan menggunakan paradigma tertentu. Oleh karena itu
sebuah paradigma belum akan terlihat sebagai sebuah paradigma
sebelum ada etnografinya. Sebuah paradigma yang tidak memiliki
etnografi dengan corak tertentu belum dapat dikatakan sebagai
paradigma yang utuh.
3. Skema Paradigma
Urutan atau jenjang unsur-unsur paradigma di atas dapat
digambarkan dengan skema seperti berikut ini.
Bab 2
45
Skema 2. Unsur-unsur Paradigma dalam Ilmu Sosial-Budaya
representasi
hasil analisis (teori)
metode analisis
metode penelitian
konsep-konsep
selalu
eksplisit
masalah yang ingin diteliti
model
tidak selalu
eksplisit
asumsi dasar
nilai-nilai
(Sumber: Ahimsa-Putra, 2008)
Skema itu disusun dengan anggapan bahwa dalam sebuah
paradigma unsur ‘asumsi dasar’ merupakan dasar dari unsur-unsur yang
lain, dan sudah ada sebelum adanya unsur-unsur yang lain. Oleh karena
itu, asumsi-asumsi dasar ditempatkan paling bawah. Representasi
merupakan unsur yang terakhir muncul dalam sebuah paradigma,
sehingga unsur ini ditempatkan di atas.
Asumsi-asumsi dasar dapat dikatakan sebagai unsur-unsur
paradigma yang paling dasar, paling tersembunyi, paling implisit dan
karena itu biasanya juga paling tidak disadari. Oleh karena itu berada
ditempatkan di paling bawah. Demikian juga halnya nilai-nilai.
Walaupun, nilai-nilai ini biasanya lebih disadari daripada asumsi dasar.
Seorang ilmuwan yang baik akan selalu tahu dan sadar tentang nilainilai keilmuan yang harus diikuti dalam setiap kegiatan ilmiah. Ilmuwan
atau peneliti umumnya cukup me-ngetahui nilai-nilai universal yang
ada dalam kegiatan ilmiah.
Model-model merupakan unsur paradigma yang sudah lebih jelas
atau lebih kong-krit dibandingkan dengan asumsi-asumsi dasar,
46
Paragima Profetik...
walaupun tingkat keabstrakan dan keimplisitannya seringkali sama
dengan asumsi dasar, namun unsur model ini juga lebih sederhana
dibandingkan dengan elemen asumsi dasar. Sebuah model umumnya
merupakan impilkasi lebih lanjut dari asumsi dasar yang dianut. Oleh
karena itu, model ditempatkan setelah asumsi dasar.
Masalah-masalah ingin diteliti, yang dinyatakan dalam bentuk
pertanyaan atau hipotesa, merupakan unsur yang harus eksplisit, sehingga
unsur ini ditempatkan di atas garis pemisah antara unsur-unsur yang
(bisa) implisit dengan unsur-unsur yang harus eksplisit. Masalah-masalah
penelitian juga merupakan implikasi dari asumsi dan model yang dianut,
walaupun hal ini tidak selamanya disadari oleh para peneliti.
Konsep-konsep pokok juga merupakan unsur paradigma yang
kongkrit, yang eksplisit karena dalam setiap penelitian makna konsepkonsep ini sudah harus dipaparkan dengan jelas. Seperti halnya masalah
penelitian, konsep-konsep ini sudah bersifat eksplisit dan disadari,
diketahui, walaupun tidak selalu dimengerti dengan baik segala
implikasi metodologisnya oleh para peneliti.
Metode penelitian dan metode analisis merupakan tahap-tahap
pewujudan dari asumsi-asumsi dasar, model dan konsep dalam sebuah
kegiatan penelitian. Pelaksa-naan atau penerapan metode-metode ini
didasarkan pada apa-apa yang ada dalam asumsi dasar, model dan
konsep. Dengan kata lain metode-metode ini merupakan tahap
pelaksanaan penelitian yang dibimbing oleh unsur-unsur paradigma
yang sudah ada sebelumnya. Penelitian dengan menggunakan konsepkonsep tertentu akan me-merlukan metode yang berbeda dengan
penelitian yang menggunakan konsep-konsep yang lain.
Hasil analisis merupakan unsur yang muncul setelah dilakukannya
analisis atas data yang telah dikumpulkan dengan menggunakan
metode-metode tertentu. Hasil analisis ini juga harus dinyatakan secara
eksplisit, tegas dan jelas. Jika tidak tegas dan jelas maka penelitian yang
telah dilakukan akan dinilai kurang berhasil, dan ini akan membuat
telaah atas paradigma yang telah digunakan semakin dipertajam.
Bab 2
47
Representasi merupakan elemen terakhir dari sebuah paradigma,
dan di sinilah sebuah paradigma akan dinilai keberhasilannya untuk
menjawab persoalan-persoalan tertentu. Sebagai hasil akhir, representasi
ini sedikit banyak akan mencerminkan keseluruhan elemen-elemen yang
ada dalam sebuah paradigma. Oleh karena itu, dalam skema di atas,
semua ujung panah akhirnya mengarah pada unsur representasi ini.
Skema di atas akan menjadi terbalik, yakni unsur representasi
berada di bawah, jika dikatakan bahwa unsur-unsur paradigma
diturunkan dari asumsi-asumsi dasar. Skema yang terbalik ini disusun
atas dasar tingkat keabstrakan dan keimplisitan dari unsur-un-sur
paradigma. Semakin abstrak, implisit dan tidak disadari sebuah unsur,
akan semakin tinggi tempatnya dalam skema di atas. Meskipun
demikian, semuanya akan berakhir pada representasi atau etnografi.
C. Paradigma Profetik dan Islam
Dalam kaitannya dengan ilmu (sosial) profetik mas Kunto antara
lain mengatakan bahwa basis dari ilmu tersebut adalah Islam.
Pertanyaannya adalah: apa yang dimaksud dengan Islam di sini? Oleh
karena Islam dapat dimaknai berbagai macam, maka perlu ada rumusan
minimal tentang apa yang dimaksud dengan Islam di sini. Untuk
sementara, Islam di sini dimaknai sebagai keseluruhan perangkat simbol
yang berbasis pada simbol-simbol yang bersumber pada kitab Al Qur’an
dan sunnah Nabi Muhammad s.a.w. sebagai utusan Allah s.w.t. yang
menjelaskan dan mewujudkan berbagai hal -jika bukan semua hal yang
ada- dalam Al Qur’an.
1. Basis Epistemologis
Menurut kerangka paradigma di atas, basis epistemologis di sini
tidak lain adalah komponen-komponen yang ada di bawah garis pemisah
antara yang eksplisit dengan yang tidak eksplisit, yaitu komponen (1)
asumsi dasar; (2) etos, nilai-nilai, dan (3) model. Jadi, unsur-unsur yang
umumnya bersifat implisit. Komponen asumsi dasar dari sebuah
Paragima Profetik...
48
paradigma biasanya terdiri dari sejumlah asumsi dasar. Begitu pula
komponen nilai-nilai. Komponen model biasanya hanya satu, tetapi hal
ini tergantung pemaknaan kita terhadap model itu sendiri, karena
seringkali model sangat mirip bahkan sama dengan asumsi dasar.
a. Basis Utama: Al Qur’an dan Sunnah Rasul
Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah dalam konteks ilmu (sosialbudaya) profetik me-rupakan basis utama dari keseluruhan basis ilmu
tersebut. Oleh karena itu segala se-suatu yang ada dalam Al Quran dan
sunnah Rasulullah harus diketahui dan dipahami dengan baik terlebih
dulu, untuk dapat dijadikan landasan bagi keseluruhan bangunan ilmu
pengetahuan (sosial-budaya) yang profetik.
Tentu saja tidak semua unsur dalam Al Quran dan sunnah
Rasulullah relevan dengan pengembangan ilmu pengetahuan (sosialbudaya) profetik. Untuk itu, pengetahuan dan pemahaman tentang
unsur-unsur yang relevan akan sangat membantu pengembangan ilmu
pengetahuan tersebut. Di sini diperlukan pengetahuan dan pemahaman
yang baik dan benar mengenai Al Quran dan sunnah Rasulullah serta
pengetahuan dan pemahaman mengenai filsafat ilmu pengetahuan yang
biasa.
Al Qur’an dan sunnah Rasulullah s.a.w. dapat dikatakan sebagai
sebuah sistem ajaran -yang disebut “agama Islam”- yang ditujukan untuk
membangun sebuah kehi-dupan yang berlandaskan pada dua hal
penting, yakni rukun iman dan rukun Islam. Rukun iman merupakan
basis keyakinan, basis kepercayaan, basis yang terdiri dari dua macam:
basis kognisi (pikiran) dan basis afeksi (perasaan).
b. Rukun Iman
Rukun iman adalah hal-hal yang harus diyakini oleh seorang Muslim, yang terdiri dari enam hal, yaitu iman: (1) kepada Allah, (2) kepada
malaikat, (3) kepada Kitab-kitab, (4) kepada Rasul-rasul (para Nabi),
(5) kepada Hari Kiamat, Hari Pengadilan dan (6) kepada Takdir (Qadha
dan Qadar). Rukun iman ini berada pada bidang keyakinan tentang
Bab 2
49
pandangan-pandangan tertentu dalam agama. Agar relevan dengan ilmu
(sosial) profetik, maka Rukun Iman ini perlu ditransformasikan
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan konteksnya, yakni konteks
keilmuan. Bagaimana mentransformasikan enam iman tersebut?
Jika direnungkan lebih lanjut, “iman” tersebut tidak lain adalah
“relasi”. Beriman kepada Allah berarti “membangun relasi dengan Allah”, dan relasi yang paling tepat adalah “pengabdian”, “kepadaMulah
aku mengabdi”. Dalam konteks ilmu profetik, Allah di sini
ditransformasikan menjadi Pengetahuan, karena Allah adalah Sumber
Pengetahuan. Beriman kepada Allah dalam konteks ilmu profetik adalah
mengimani pengetahuan itu sendiri. Beriman kepada malaikat berarti
“membangun relasi dengan malaikat”, dan relasi yang tepat adalah
“persahabatan”, karena malaikat adalah sahabat atau teman orang yang
beriman. Beriman kepada Kitab adalah membangun relasi dengan kitab,
dan relasi yang tepat adalah “pembacaan”, karena kitab adalah sesuatu
yang dibaca. Beriman kepada Nabi adalah membangun relasi dengan
Nabi, dan relasi yang tepat adalah “perguruan dan persahabatan”.
Artinya, seorang Muslim memandang Nabi sebagai guru yang
memberikan pengetahuan, sekaligus juga sahabat, sebagaimana hubungan
yang terjadi antara Nabi Muhammad s.a.w. dengan para sahabatnya.
Beriman kepada Hari Kiamat adalah membangun relasi dengan hari
Kiamat, dan relasi yang tepat adalah “pencegahannya”, karena Kiamat
dalam konteks ini dapat ditafsirkan sebagai “kehancuran”. Beriman
kepada Takdir adalah membangun relasi dengan Takdir, dan relasi yang
tepat adalah “penerimaannya”. Artinya seorang muslim memandang
takdir sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, dan karena itu
relasi yang tepat adalah menerimanya. Takdir dalam konteks keilmuan
dapat ditafsirkan sebagai “hukum alam”.
Dalam konteks ilmu (sosial) profetik maka transformasi tersebut
dapat digambarkan sebagai berikut ini.
Paragima Profetik...
50
Manusia
Ilmuwan
pengabdian
pengabdian
Manusia
Ilmuwan
persahabatan
persahabatan
Malaikat
Kolega
Manusia
Ilmuwan
pembacaan
pembacaan
Kitab
Kitab Ilmiah
Manusia
Ilmuwan
perguruan + persahabatan
perguruan + persahabatan
Allah s.w.t.
Ilmu pengetahuan
Nabi
Tokoh
Manusia
Ilmuwan
penundaan
penundaan
Hari Kiamat
Akhir
Manusia
Ilmuwan
penerimaan
penerimaan
Takdir
Ilmu Terbatas
c. Rukun Islam
Sebagaimana Rukun Iman, dalam konteks ilmu (sosial) profetik
rukun Islam tentunya perlu ditransformasikan, dan yang
ditransformasikan di sini bukan hanya keyakinan tetapi juga rituil adalah
keyakinan, prinsip diikuti, dianut, dan hal-hal yang harus dijalankan
oleh setiap orang Islam. Rukun Islam ada lima: (a) membaca kalimat
syahadat; (b) mendirikan sholat; (c) menjalankan puasa; (d)
mengeluarkan zakat; dan (e) naik haji.
Rukun Islam ini perlu ditransformasikan ke dalam praktik
kehidupan ilmiah sehari-hari, sebagaimana halnya rukun Islam juga
harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Di sinilah rukun Islam
akan menjadi wujud dari etos yang ada dalam ilmu (sosial) profetik,
dan basis dari praktik kehidupan ilmiah ini adalah transformasi rukun
iman yang pertama, yaitu pengabdian, karena pada dasarnya rukun
Islam adalah perwujudan dalam bentuk tindakan atau praktik, dari
keimanan.
Dari telaah saya atas berbagai paradigma dalam ilmu sosial-budaya
saya menemukan bahwa unsur asumsi dasar terdiri dari beberapa
asumsi dasar lagi. Asumsi-asumsi dasar ini antara lain adalah mengenai:
(a) basis pengetahuan; (b) objek material; (c) gejala yang diteliti; (d)
ilmu pengetahuan; (e) ilmu sosial-budaya/alam; (f) disiplin. Berkenaan
Bab 2
51
dengan ilmu (sosial-budaya) profetik, isi dari asumsi-asumsi dasar ini
sebagian sama dengan ilmu-ilmu di Barat pada umumnya, sebagian
yang lain berbeda.
Skema 3. Basis Epistemologis Ilmu Profetik
Asumsi dasar tentang
Gejala Yang Diteliti
indera
kemampuan
strukturasi dan
simbolisasi
bahasa
wahyu - ilham
sunnah Rasulullah
saw.
asal - mula
sebab - sebab
hakekat
asal - mula
sebab - sebab
hakekat
Asumsi dasar tentang
Ilmu Pengetahuan
tujuan
hakekat
macam
Asumsi dasar tentang
Basis Pengetahuan
Rukun
Iman
Basis
Epistemologis
Al Quran dan
Sunnah Rasul
Rukun
Islam
Asumsi dasar tentang
Obyek Material
Asumsi dasar tentang
Ilmu Sosial/Budaya Alam/Profetik
Asumsi dasar tentang
Disiplin Profetik
tujuan
hakekat
macam
tujuan
hakekat
macam
2. Asumsi Dasar tentang Basis Pengetahuan
Ilmu profetik memiliki asumsi-asumsi dasar tentang basis dari
pengetahuan manusia. Asumsi-asumsi ini ada yang sama dengan asumsiasumsi yang ada dalam ilmu pengetahuan empiris lainnya, ada pula
yang tidak, sebab kalau basis pengetahuan ini semuanya sama, maka
tidak akan ada bedanya antara ilmu profetik dengan ilmu-ilmu empiris
lainnya. Berikut adalah basis yang memungkinkan manusia memiliki
pengetahuan, dan dengan pengetahuan tersebut manusia dapat
melakukan transformasi-transformasi dalam kehidupannya.
a. Indera
Sulit diingkari bahwa basis pengetahuan manusia adalah indera
(sense), karena segala sesuatu yang ada di sekeliling manusia baru dapat
diketahui adanya lewat inde-ra ini. Menurut Aristotle pengetahuan
52
Paragima Profetik...
manusia berasal dari panca indera (lima indera): penglihatan (vision),
pendengaran (hearing), perabaan (touch), pengecapan (taste) dan
penciuman (smell), sementara Lucretius membagi indera menjadi empat,
karena me-nurutnya penglihatan (vision) adalah semacam perabaan
(touch) (Ratoosh, 1973). Pe-mikir-pemikir yang lain memiliki pendapat
yang berbeda lagi. Pandangan-pandangan mereka ini tampaknya tidak
lagi memadai untuk menampung berbagai pengalaman baru manusia,
yang memberikan pengetahuan-pengetahuan baru.
Pandangan yang modern mengenai indera kini tidak lagi didasarkan
pada pandangan dari Aristotle, tetapi pada perbedaan-perbedaan
anatomi, sehingga muncul klasifikasi indera yakni (a) indera khusus
(special senses); (b) indera kulit (skin senses); (c) indera dalam (deep senses)
dan (d) indera jeroan (visceral senses) (Ratoosh, 1973). Termasuk dalam
indera khusus adalah penglihatan, pendengaran, penciuman,
pengecapan dan vestibular sense. Indera kulit mencakup antara lain
perabaan, pedih di kulit, dan indera suhu (temperature sense). Indera
dalam meliputi antara lain otot, rasa di pergelangan, pedih di dalam.
Indera jeroan (visceral) menyampaikan informasi mengenai apa yang
terjadi pada organ tubuh di dalam. Mules, mual misalnya termasuk di
sini. Dengan klasifikasi ini kita dapat memasukkan berbagai
pengetahuan yang berasal tidak hanya dari pengalaman kita dengan
apa yang ada di luar diri kita, tetapi juga yang berasal dari pengalamanpengalaman atas apa yang terjadi dalam tubuh kita sendiri.
Berkenaan dengan ilmu (sosial-budaya) profetik, saya belum dapat
mengatakan apakah pandangan modern mengenai indera tersebut akan
dapat mencakup pengetahuan yang muncul dari kontak dengan dunia
yang ghaib, yang tidak empiris, atau pengetahuan yang muncul lewat
“wahyu”. Namun, untuk sementara persoalan itu kita kesampingkan
sebentar agar diskusi mengenai basis yang lain bisa berjalan.
Bab 2
b. Kemampuan
(Akal)
Strukturasi
53
dan
Simbolisasi
Pembicaraan mengenai basis pengetahuan manusia biasanya selalu
menyebutkan “akal” atau “akal budi”. Manusia dapat memiliki
pengetahuan karena dikaruniai akal. Akan tetapi konsep “akal” itu
sendiri menurut hemat saya tidak begitu jelas maknanya. Akal biasanya
juga disamakan dengan pikiran. Apa kira-kira wujud akal dan pikiran
ini? Tidak begitu jelas. Oleh karena itu, konsep tersebut perlu dijelaskan
lagi.
Akal atau pikiran, menurut pandangan saya, tidak lain adalah
kemampuan tertentu yang terdapat dalam otak manusia. Kemampuan
ini bersifat genetis, sehingga dapat diwariskan secara biologis dari
generasi ke generasi. Setiap manusia yang sehat atau normal memiliki
kemampuan ini. Kemampuan apa ini? Pertama adalah kemampuan
strukturasi (structuration), atau kemampuan untuk menstruktur,
membuat atau membangun suatu struktur atau susunan atas berbagai
rangsangan yang berasal dari pengalaman-pengalaman inderawi. Kedua
adalah kemampuan simbolisasi (simbolization) atau kemampuan untuk
membangun suatu hubungan, suatu relasi, antara sesuatu de-ngan
sesuatu yang lain, sehingga terbangun relasi simbolik antara sesuatu
dengan sesuatu tersebut yang membuat sesuatu bisa menjadi pelambang
(simbol) dan yang lain adalah linambangnya (makna).
Dengan kemampuan strukturasinya manusia dapat menyusun
berbagai unsur pengalaman dan pengetahuan menjadi suatu bangunan
dengan struktur tertentu, yang biasanya kita sebut sebagai sistem
klasifikasi, sistem kategorisasi. Dengan kemampuan simbolisasinya
manusia kemudian dapat memiliki perangkat komunikasi yang sangat
efisien dan menjadi basis utama terbangunnya sistem pengetahuan
dalam kehidupan manusia, yakni bahasa.
c. Bahasa (Pengetahuan Kolektif)
Bahasa sebagai basis pengetahuan manusia sangat jarang dibahas.
Mungkin karena bahasa dipandang sebagai sesuatu yang berada di luar
54
Paragima Profetik...
diri manusia. Kealpaan untuk menempatkan bahasa sebagai salah satu
basis pengetahuan manusia menurut saya telah membuat kita alpa
memperhatikan berbagai fenomena sosial-budaya yang kehadirannya
berbasis pada bahasa, seperti misalnya wacana, dialog.
Menurut hemat saya bahasa merupakan salah satu basis
pengetahuan manusia yang sangat penting, setelah basis “akal” di atas.
Kemampuan strukturasi dan simbolisasi yang terdapat dalam diri
manusia merupakan basis kemampuan manusia untuk dapat berbahasa.
Dalam kehidupan manusia, pengetahuan tidak hanya berasal dari
pengalaman individu saja, tetapi juga berasal dari interaksi dan
komunikasinya dengan individu-individu lain, dan komunikasi ini
berlangsung melalui bahasa. Bahasa merupakan perangkat yang
digunakan oleh manusia untuk menyampaikan apa-apa yang dirasakan,
dialami, kepada manusia yang lain. Bahasa merupakan sebuah khasanah
pengetahuan kolektif, pengetahuan sosial, yang menjadi sumber dan
basis bagi pengetahuan individual.
Pengetahuan individual yang kita miliki sebagian besar merupakan
pengetahuan kolektif, karena kita mengetahui berbagai hal pertamatama melalui komunikasi dengan orang-orang lain di sekitar kita. Banyak
pengetahuan tentang berbagai hal dalam kehidupan kita tidak berasal
dari pengalaman kita secara langsung dengan hal-hal tersebut. Kita
mengetahui mengenai ular yang berbahaya bukan dari pengalaman
langsung digigit ular dan merasakan sakitnya, tetapi dari ceritera orang
lain. Ilmu pengetahuan yang kita miliki sekarang merupakan hasil dari
akumulasi pengalaman dan pengetahuan individu-individu lain di masa
yang lampau. Ilmu pengetahuan tersebut tersimpan dalam bahasa. Oleh
karena itu, bahasa dapat kita anggap sebagai salah satu basis dari
pengetahuan.
Bahasa sebagai unsur pembentuk pengetahuan manusia juga sangat
penting dalam hubungannya dengan basis yang lain dari pengetahuan
ilmu (sosial-budaya) profetik, yaitu wahyu. Wahyu yang dalam Islam
diyakini sebagai petunjuk, pengetahuan yang berasal dari Dzat Tertinggi,
Bab 2
55
sampai kepada manusia melalui sarana bahasa, dalam bentuk sepotong
atau sejumlah ayat atau kalimat yang berisi pesan-pesan tertentu.
d. Wahyu - Ilham
Wahyu dalam pandangan mas Kunto -yang mengikuti pandangan
Garaudy- merupa-kan komponen yang sangat menentukan dalam
epistemologi ilmu (sosial-budaya) profetik. Pengakuan terhadap wahyu
sebagai salah satu sumber pengetahuan yang bisa lebih tinggi otoritasnya
daripada pengetahuan inderawi manusia merupakan unsur penting
yang membedakan ilmu (sosial-budaya) profetik dengan ilmu (sosialbudaya) yang biasa.
Dalam hal ini kita dapat mengikuti pandangan mas Kunto mengenai
kedudukan pengetahuan yang berasal dari wahyu dalam epistemologi
Islam. “Menurut epistemologi Islam, unsur petunjuk transendental yang
berupa wahyu juga menjadi sumber pengetahuan yang penting.
“Wahyu” menempati posisi sebagai salah satu pembentuk konstruk
mengennai realitas, sebab wahyu diakui sebagai “ayat-ayat Tuhan” yang
memberikan pedoman dalam pikiran dan tindakan seorang Muslim.
Dalam konteks ini wahyu lalu menjadi unsur konstitutif di dalam
paradigma Islam” begitu mas Kunto menjelaskan.
Ada keuntungan yang dapat dipetik oleh ilmu (sosial-budaya)
profetik dengan menempatkan wahyu sebagai salah satu sumber
pengetahuan. Banyak hal-hal yang ada dalam wahyu merupakan paparan
tentang apa yang terjadi di masa lampau yang tidak dapat lagi diketahui
manusia, karena tidak ada jejak-jejaknya yang cukup jelas. Dengan
adanya wahyu tersebut, berbagai hal yang terdapat di situ dapat menjadi
petunjuk ke arah mana kegiatan keilmuan tertentu perlu diarahkan,
seperti misalnya penelitian mengenai apa yang perlu dilakukan, yang
hasilnya akan dapat mendatangkan manfaat optimal terhadap
kehidupan manusia.
Selanjutnya posisi wahyu sebagai sumber pengetahuan dalam ilmu
(sosial-budaya) profetik adalah sama dengan pandangan mas Kunto,
sebagaimana yang telah saya paparkan di depan. Walaupun itu semua
56
Paragima Profetik...
sebenarnya masih belum cukup -karena saya merasa masih kurang rinci,
namun untuk sementara paparan mengenai wahyu sebagai salah satu
sumber pengetahuan saya cukupkan sampai di sini.
e. Sunnah Rasulullah s.a.w.
Mas Kunto tidak menyinggung tentang sunnah Rasulullah sebagai
salah satu sumber pengetahuan. Saya memasukkannya, karena setahu
saya dalam agama Islam, Al Qur’an tidak pernah dapat dipisahkan dari
sunnah Rasulullah s.a.w. Ketika manusia di masa Rasulullah s.a.w. tidak
dapat memahami dengan baik makna ayat-ayat yang turun, makna
wahyu yang turun, mereka bertanya kepada Rasulullah s.a.w., karena
melalui beliaulah wahyu tersebut turun. Pemahaman kita, tafsir kita
mengenai berbagai ayat dalam Al Qur’an selalu awalnya bersumber
dari penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh Rasulullah s.a.w. atau
perilaku dan tindakan beliau yang berdasarkan wahyu-wahyu tersebut.
Dalam Islam, Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah s.a.w. adalah
dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena Rasulullah s.a.w. adalah
“Al Qur’an yang berjalan”, Al Qur’an yang mewujud dalam bentuk
ucapan, perilaku dan tindakan. Jika kita menempatkan wahyu sebagai
salah satu sumber pengetahuan, maka penjelasan tentang wahyu
tersebut oleh penerima wahyu itu sendiri tentu tidak dapat diabaikan.
3. Asumsi Dasar tentang Objek Material
Seperti halnya paradigma keilmuan yang lain, paradigma ilmu
(sosial-budaya) profetik juga memiliki asumsi-asumsi tertentu berkenaan
dengan obyek materialnya. Asumsi ini sebagian bisa sama, sebagian
bisa berbeda. Asumsi-asumsi yang sejalan dengan asumsi ilmu
pengetahuan biasa dapat kita ambil dari filsafat ilmu pengetahuan
tersebut terutama filsafat positivisme, untuk ilmu alam profetik, sedang
untuk ilmu sosial-budaya profetik asumsi-asumsi dasar tentang objek
material ini dapat kita ambil dari berbagai paradigma yang berkembang
dalam ilmu sosial-budaya biasa.
Bab 2
57
Akan tetapi, mengambil dan menggunakan asumsi dasar dari
paradigma-paradigma yang lain saja tentunya tidak cukup, karena hal
itu akan membuat ilmu (sosial-budaya) profetik tidak ada bedanya
dengan ilmu pengetahuan biasa. Jika kritik yang dilontarkan terhadap
ilmu pengetahuan biasa adalah sifatnya yang sekuler, maka kelemahan
inilah yang tidka boleh terulang dalam ilmu (sosial-budaya) profetik.
Artinya, di sini harus dilakukan desekularisasi, yang berarti
memasukkan kembali unsur sakral, unsur ke-Ilahian dalam ilmu (sosialbudaya) profetik. Bagaimana caranya?
Salah satu caranya adalah dengan menempatkan kembali segala
objek material ilmu (sosial-budaya) profetik dan ilmuwan profetik dalam
hubungan dengan Sang Maha Pencipta, Allah s.w.t. atau Tuhan Yang
Maha Kuasa. Di sini perlu diasumsikan bahwa meskipun alam dan
kehidupan manusia adalah sebuah realitas yang ada, namun realitas ini
tidak muncul dengan sendirinya. Realitas ini ada Penciptanya. Oleh
karena itu, kita tidak dapat memperlakukan realitas tersebut seenak
kita, terutama seyogyanya kita tidak merusak realitas tersebut, kecuali
kita memilki alasan-alasan yang dapat diterima berdasarkan patokan
etika dan estetika tertentu. Menempatkan kembali realitas obyektif yang
diteliti atau dipelajari sebagai ciptaan Allah Yang Maha Pencipta adalah
apa yang oleh mas Kunto -menurut tafsir saya- disebut sebagai proses
transendensi. Kata mas Kunto, “Bagi umat Islam sendiri tentu
transendensi berarti beriman kepada Allah s.w.t.”.
4. Asumsi Dasar tentang Gejala yang Diteliti
Asumsi dasar tentang gejala yang diteliti kiranya tidak terlalu
berbeda dengan asumsi dasar tentang obyek material. Jika obyek material ilmu sosial profetik adalah manusia yang merupakan ciptaan Allah
s.w.t. maka gejala yang diteliti juga dapat dipandang dengan demikian.
Meskipun begitu, hal itu tidak berarti bahwa kita lantas tidak perlu
mencari penjelasan tentang terjadinya atau munculnya gejala yang diteliti,
karena hal itu juga tidak berlawanan dengan asumsi tersebut.
58
Paragima Profetik...
Dalam ilmu-ilmu alam profetik ilmuwan meyakini bahwa alam
dengan keseluruhan isinya merupakan hasil kreasi Sang Maha Pencipta.
Jika kita ingin mengetahui mengenai hasil ciptaan ini tentunya kita akan
dapat bertanya kepada Penciptanya. Akan tetapi tidak semua manusia
dikaruniai kemampuan untuk melakukan komunikasi dengan Sang
Pencipta, bahkan ketika komunikasi tersebut berhasil dibangun belum
tentu pengetahuan mengenai semua hal di dunia akan diperoleh. Oleh
karena itu, para nabi pun bukan merupakan orang yang paling tahu
mengenai semua hal yang ada di muka bumi, yang ada dalam ciptaan
Sang Maha Pencipta. Kisah mengenai Nabi Musa a.s. dengan nabi Khidir
merupakan contoh yang sangat jelas mengenai hal ini.
Yang jelas, dalam ilmu (social) profetik proses transendensi harus
selalu dilakukan, karena ini merupakan penanda penting dari ilmu
tersebut. Tanpa transendensi ini maka ilmu (social) profetik tidak akan
banyak berbeda dengan ilmu-ilmu (social) di Barat. Mengenai
transendensi dari gejala yang diteliti, para ilmuwan Muslim dapat
mengembangkan lebih lanjut pemikiran ini, karena saya belum
mempunyai kesempatan untuk merenungkan hal ini lebih mendalam.
5. Asumsi Dasar tentang Ilmu Pengetahuan
Asumsi tentang ilmu profetik ini pada dasarnya mencakup sebagian
yang telah saya paparkan di sini. Akan tetapi lebih khusus lagi, asumsi
ini adalah pandangan mengenai hakikat dari ilmu pengetahuan itu
sendiri. Dalam filsafat ilmu di Barat, dikenal adanya dua pandangan
yang berlawanan mengenai ilmu pengetahuan, yang masih terus diusahakan pendamaiannya. Pandangan pertama mengatakan bahwa ilmu
pengetahuan itu adalah satu, sehingga tidak ada yang namanya ilmu
pengetahuan alam (natural sci-ences) dan ilmu pengetahuan sosialhumaniora (budaya). Menurut pendapat ini meskipun ada perbedaan
pada obyek material antara ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu socialbudaya, namun ilmu pengetahuan tidak perlu dibagi menjadi dua hanya
karena objek materialnya berbeda.
Bab 2
59
Pandangan ke dua mengatakan bahwa ilmu pengetahuan ada dua
macam, yaitu ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial-budaya, karena obyek
material masing-masing memang berbeda. Menurut pendapat ini,
hakikat gejala social-budaya yang diteliti oleh ilmu-ilmu sosial-budaya
berbeda dengan hakikat gejala-gejala yang dipelajari dalam ilmu alam.
Oleh karena itu, ilmu-ilmu sosial-budaya tidak sama dengan ilmu-ilmu
alam, karena dalam ilmu-ilmu sosial-budaya diperlukan metode-metode
tertentu untuk mem-pelajari dan memahami gejala social-budaya yang
berbeda dengan gejala alam.
Ilmu-ilmu profetik dengan sendirinya memiliki pandangan yang
berbeda juga dengan pandangan-pandangan di atas. Pencanangan ilmu
profetik sebagai ilmu yang berbeda dengan ilm-ilmu yang lain
menunjukkan adanya asumsi bahwa ilmu profetik berbeda dengan ilmuilmu yang telah ada, yakni ilmu alam dan ilmu social-budaya. Dalam
ilmu profetik gejala yang dipelajari ada yang berbeda dengan gejala
yang dipelajari oleh ilmu-ilmu yang lain, yakni wahyu, dan ada perspektif
(obyek formal) yang berbeda, yakni wahyu juga. Elemen wahyu inilah
yang membedakan ilmu-ilmu profetik dengan il-mu-ilmu yang lain.
Mengenai hal ini diperlukan paparan yang lebih mendalam, yang tidak
akan saya lakukan di sini.
6. Asumsi Dasar tentang Ilmu Sosial dan/atau
Alam Profetik
Selain memiliki persamaan-persamaan, ilmu alam maupun ilmu
sosial-budaya pro-fetik juga memiliki perbedaan-perbedaan pada
asumsinya, sehingga ada perbedaan antara ilmu social-budaya profetik
dengan ilmu alam profetik. Asumsi-asumsi ini seba-gian besar berasal
dari ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial-budaya yang sudah ada,
sebagian lagi tidak.
Asumsi-asumsi yang menjadi landasan ilmu-ilmu social-budaya
profetik sebagian berasal dari ilmu-ilmu sosial-budaya biasa, untuk
membedakannya dengan ilmu-ilmu alam, dan sebagian lagi berasal dari
Paragima Profetik...
60
ilmu profetik, untuk membedakannya dengan ilmu-ilmu social-budaya
yang tidak profetik.
7. Asumsi Dasar tentang Disiplin Profetik
Yang dimaksud dengan disiplin di sini adalah cabang ilmu
pengetahuan. Disiplin profetik adalah cabang ilmu pengetahuan tertentu
dalam ilmu pengetahuan empiris biasa, tetapi ditambah dengan ciri
profetik. Disiplin profetik ini tentu saja merupakan disiplin yang berbeda,
walaupun masih ada persamaan dengan disiplin ilmu pengetahuan
biasa. Disiplin profetik ini dapat kita bangun dari disiplin ilmu biasa,
sehingga kita dapat memiliki ilmu kedokteran profetik, ilmu kehutanan
profetik, ilmu teknik profetik, ilmu farmasi profetik, sosiologi profetik,
ilmu hukum profetik, psikologi profetik, antropologi profetik, dan
seterusnya.
Asumsi-asumsi dasar disiplin profetik ini tentu saja sebagian akan
sama dengan asumsi dasar disiplin ilmu pengetahuan yang ada, tetapi
sebagian yang lain tentu akan berbeda. Oleh karena masing-masing
disiplin memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri, ma-ka ekspresi ciri profetik
ini juga berbeda-beda dalam masing-masing disiplin, tetapi di situ tetap
ada keprofetikan yang diturunkan dari sesuatu keprofetikan yang
umum. Sebagai contoh, paradigma kedokteran profetik misalnya,
sebagian asumsi dasarnya akan berasal dari ilmu kedokteran pada
umumnya, ilmu kedokteran empiris, tetapi sebagian lagi berasal dari
asumsi dasar yang ada dalam ilmu profetik, yang tidak terdapat dalam
ilmu kedokteran empiris.
D. Etos
Paradigma Profetik
Yang dimaksud dengan etos di sini adalah perangkat nilai atau
nilai-nilai yang mendasari perilaku suatu golongan atau kelompok
manusia. Sebagian paradigma dalam ilmu pengetahuan biasa memiliki
perangkat nilai atau etos yang berlainan dengan perangkat nilai
paradigma yang lain. Perangkat nilai paradigma ilmu pengetahuan yang
Bab 2
61
transformatif, yang ditujukan untuk menghasilkan perubahan dalam
kehidupan kemasyarakatan dan kebudayaan, berbeda dengan perangkat
nilai ilmu pengetahuan yang lebih akademis, yang ditujukan terutama
untuk memahami dan menjelaskan berbagai gejala dalam kehidupan
manusia, walaupun sebagian juga ada yang ditujukan untuk transformasi
sosial-budaya. Etos ilmu profetik dapat digambarkan dengan skema
sebagai berikut ini.
1. Basis Semua Etos: Penghayatan
Sebagaimana telah saya katakan, unsur yang sangat membedakan
antara ilmu (sosial-budaya) profetik dengan yang bukan adalah pada
unsur transendensinya. Unsur transendensi ini dalam kehidupan ilmiah
diwujudkan dalam bentuk penghayatan. Yang dimaksud dengan
penghayatan di sini adalah pelibatan pikiran dan perasaan seseorang
pada sesuatu yang diyakininya atau disukainya. Kalau dalam beragama
penghayatan tersebut diwujudkan dalam peribadatan, dalam dunia
keilmuan (sosial-budaya) hal tersebut diwujudkan dalam kegiatan
keilmuan sehari-hari.
Penghayatan aktivitas keilmuan ini merupakan hal yang tidak
mudah dilakukan, terutama apabila tujuan dari aktivitas tidak sangat
sejalan dengan tujuan dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Paradigma
ilmu profetik menekankan pada penghayatan, karena aktivitas keilmuan
di sini tidak lagi hanya sekedar untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi
dan material, tetapi lebih dari itu. Aktivitas ini merupakan ekspresi
atau perwujudan dari etos dasar dalam paradigma profetik, yakni
pengabdian.
Paragima Profetik...
62
Skema 4. Etos Ilmu Profetik
Basis Etos
Ilmu Profetik
Etos
Kerja Keabdian
untuk
untuk
untuk
untuk
untuk
Etos
Kerja Keilmuan
pengembangan unsur
pengembangan paradigma
pengembangan sistem pengetahuan
Penghayatan
Allah s.w.t
Ilmu
Diri Sendiri
Sesama
Alam Semesta
Etos
Kerja Kemanusiaan
kejujuran
ketelitian / keseksamaan
kekritisan
ketawadhu’an (penghargaan)
Etos
Kerja Kesemestaan
perlindungan
pemeliharaan
pemanfaatan
pengembangan
2. Etos: Pengabdian
Hal yang sangat penting berkenaan dengan ilmu (sosial-budaya)
profetik adalah perangkat nilai yang ada dalam ilmu ini. Saya
berpendapat bahwa nilai-nilai ini mempunyai nilai inti, yang menjadi
dasar bagi nilai-nilai yang lain. Dalam hal ini saya berpendapat bahwa
etos kerja utama dari ilmu ini adalah “beribadah”, yang dalam hal ini
saya tafsirkan sebagai “pengabdian”, penghambaan. Penghambaan ini
tentu ada tingkatannya dan jenisnya. Penghambaan atau pengabdian
ini dalam Islam berupa rukun Islam. Dalam dunia keilmuan (sosialbudaya) profetik etos pengabdian ini ditransformasikan menjadi
pengabdian pada lima hal, yakni pada (a) Allah; (b) Pengetahuan; (c)
diri-sendiri; (d) sesama dan (e) alam.
a. Untuk Allah s.w.t.
Pengabdian kepada Allah dalam aktivitas keilmuan adalah
meniatkan semua aktivitas keilmuan sehari-hari untuk Allah s.w.t
semata, dalam rangka memuliakan Allah s.w.t., dalam rangka
mewujudkan segala perintah-perintahnya dan mengikuti segala
larangannya. Ini merupakan transformasi rukun Islam yang pertama,
yaitu membaca kalimat syahadat. Pengakuan atas Allah s.w.t. sebagai
satu-satunya Tuhan yang layak disembah, tempat mengabdi, dan
Bab 2
63
pengakuan atas kerasulan Muhammad s.a.w, bahwa Muhammad s.a.w.
adalah utusan Allah s.w.t.
b. Untuk Pengetahuan (Ilmu)
Pengabdian untuk ilmu dalam aktivitas keilmuan adalah meniatkan
aktivitas keilmuan sehari-hari untuk mengembangkan ilmu pengetahuan,
untuk menambah ilmu pengetahuan, memperluas wawasan keilmuan.
Akan tetapi pengembangan ilmu pengetahuan ini tetap harus
ditempatkan sebagai bagian atau unsur dari aktivitas untuk mengabdi
kepada Allah s.w.t. itu sendiri. Di sini ilmuwan melakukan aktivitas
keilmuan dengan niat untuk mengabdi atau sebagai perwujudan dari
niat untuk mengabdi kepada Allah s.w.t.
Pengabdian untuk ilmu merupakan transformasi dari rukun Islam
kedua, yakni sholat. Dalam sholat seseorang melakukan konsentrasi
untuk berdialog dengan Tuhannya. Ini seperti sebuah proses perenungan
dalam aktivitas keilmuan. Sholat adalah sebuah aktivitas ibadah yang
penuh perenungan, yang akan membuat pemahaman seseorang tentang
diri, kehidupan dan Tuhannya akan semakin bertambah.
c. Untuk Diri Sendiri
Selanjutnya aktivitas keilmuan juga dilakukan dalam rangka untuk
keberlangsungan hidup diri-sendiri. Di sini aktivitas keilmuan adalah
juga merupakan satu bentuk atau wujud dari mata pencaharian, yang
penting untuk keberlangsungan hidup diri-sendiri. Aktivitas keilmuan
di sini merupakan transformasi dari rukun Islam puasa. Puasa adalah
sebuah ibadah yang paling tersembunyi, yang dapat ditafsirkan sebagai
sebuah ibadah yang sangat pribadi. Aktivitas keilmuan juga merupakan
aktivitas yang bisa dilakukan secara sendirian, sebagaimana halnya
ketika seseorang merenungkan masalah-masalah keilmuan tertentu.
d. Untuk Sesama
Aktivitas keilmuan juga bisa bersifat sosial, yang mempunyai
dampak terhadap kehidupan sesama manusia. Ini merupakan
transformasi dari rukun Islam mengeluarkan zakat, yang juga
Paragima Profetik...
64
berdampak pada kehidupan manusia lain. Zakat adalah kegiatan ibadah
yang bersifat menguntungkan orang lain secara material, sedang untuk
diri sendiri bersifat spiritual. Transformasi zakat ini dalam kehidupan
ilmiah adalah pengajaran atau pemberian ilmu, yang kemudian akan
menguntungkan orang lain yang diberi ilmu.
Dalam konteks keilmuan profetik seorang ilmuwan yang
memberikan bimbingan, mengajar, ceramah, memberikan pelatihan,
yang sifatnya cuma-cuma atau tidak menarik pembayaran dari orang
yang diberi pengetahuan, dapat dikatakan sedang melakukan kegiatan
memberikan zakat, karena di sini penerima zakat -yaitu orang yang
menerima pengetahuan- tidak perlu memberi imbalan kepada orang
yang memberinya ilmu. Kegiatan seperti ini tentunya memberikan
manfaat kepada sesama manusia, karena mereka yang mendapat
pengetahuan kemudian menjadi orang yang tahu, yang dengan
pengetahuan tersebut dia akan dapat melakukan sesuatu yang berguna.
e. Untuk Alam
Aktivitas keilmuan juga mempunyai dampak terhadap kehidupan
yang lebih luas lagi, yakni alam di sekeliling manusia. Aktivitas keilmuan
yang seperti ini merupakan aktivitas keilmuan dengan dampak yang
paling luas. Ini merupakan transformasi dari rukun Islam naik haji, yang
memang memiliki dampak sosial-budaya yang paling luas.
3. Etos Kerja Keilmuan
Selain etos pengabdian, paradigma profetik tentunya juga mengenal
etos kerja keilmuan, yakni semangat untuk melakukan sesuatu yang
akan bemanfaat bagi ilmu pengetahuan itu sendiri. Oleh karena inti
dari ilmu pengetahuan adalah paradigma dan sebuah paradigma selalu
terdiri dari berbagai unsur, maka aktivitas yang dapat dilakukan untuk
mendatangkan manfaat bagi ilmu pengetahuan tersebut tidak lain adalah
mengembangkan unsur-unsur paradigma yang sudah ada,
mengembangkan paradigma-paradigma baru, dan mengembangkan
sistem pengetahuan yang ada.
Bab 2
65
a. Pengembangan Unsur Paradigma
Pengembangan unsur paradigma di sini dapat dilakukan melalui
dua hal, yakni (a) menambahkan sub-sub-unsur baru atau konsep-konsep
baru dalam unsur paradigma yang ada, atau (b) menambahkan
pemaknaan-pemaknaan baru terhadap konsep-konsep yang sudah ada,
atau (c) menggantikan unsur paradigma yang lama dengan unsur baru
yang lebih tepat. Jika dua hal ini dilakukan dengan baik, bukan tidak
mungkin sebuah paradigma baru akan dapat dibangun.
b. Pengembangan Paradigma Baru
Semangat mendatangkan manfaat bagi ilmu pengetahuan juga
dapat berupa pengembangan paradigma baru, yang berarti membangun
sebuah cara berfikir baru. Dalam hal ini unsur-unsur paradigmanya
tetap sama, tetapi isi dari unsur-unsur tersebut berbeda. Melalui
pengembangan paradigma baru ini seorang ilmuwan profetik dapat
memberikan sumbangan yang maksimal terhadap kehidupan manusia
dan perkembangan ilmu pengetahuan.
c. Pengembangan Sistem Pengetahuan
Etos kerja keilmuan profetik juga dapat ditujukan untuk
mengembangkan sistem pengetahuan yang lebih luas, yang mencakup
lebih banyak paradigma lagi. Hal ini memang tidak mudah dilakukan,
akan tetapi para ilmuwan profetik dapat menjadikannya sebagai etos
kerja. Pengembangan sistem pengetahuan dalam arti yang luas akan
memudahkan para ilmuwan untuk beraktivitas dalam kerangka
pengembangan ilmu pengetahuan, sehingga berbagai pembaharuan
pengetahuan dapat dilakukan.
4. Etos Kerja Kemanusiaan
Dalam pandangan paradigma profetik, aktivitas ilmiah seorang
ilmuwan pada dasarnya juga merupakan aktivitas kemanusiaan. Seorang
ilmuwan profetik juga perlu peduli terhadap kemanusiaan. Berdasarkan
atas kedekatannya, kemanusiaan ini tentu saja berjenjang. Dalam konteks
Paragima Profetik...
66
keilmuan, maka mereka yang paling dekat dengan seorang ilmuwan
adalah sesama ilmuwan. Inilah lingkungan sosial yang utama. Terhadap
mereka ini, terhadap sesama kolega paradigma profetik juga memiliki
etos kerja tertentu, yang disebut etos kerja kemanusiaan. Etos kerja
kemanusiaan ini paling tidak ada empat, yaitu (a) kejujuran; (b)
keseksamaan/ketelitian; (c) kekritisan dan (d) ketawadhu’an
(penghargaan).
a. Kejujuran
Seorang ilmuwan profetik harus selalu jujur, baik terhadap dirisendiri maupun terhadap orang lain. Dalam konteks keilmuan profetik,
kejujuran ini bisa berkaitan dengan pengajaran (dalam konteks ajarmengajar), berkaitan dengan penelitian, berkaitan dengan hasil penelitian,
berkenaan dengan kerjasama sesama peneliti, dan sebagainya. Kejujuran
juga harus selalu dijaga dalam pengutipan pemikiran, hasil penelitian,
per-nyataan-pernyataan ilmuwan lain, dan sebagainya.
b. Keseksamaan / Ketelitian
Seorang ilmuwan profetik juga perlu menganut nilai keseksamaan
atau ketelitian. Artinya, dalam berbagai kegiatan keilmuan (pengajaran,
penelitian, pengabdian masya-rakat) seorang ilmuwan profetik harus
selalu teliti, cermat dan berhati-hati. Kehati-hatian ini harus selalu
diperhatikan dalam setiap kegiatan ilmiah, sampai pada hal-hal yang
sangat kecil, seperti misalnya menulis nama ilmuwan lain, judul buku,
halamana jurnal, dan sebagainya
c. Kekritisan
Seorang ilmuwan profetik juga harus selalu kritis. Artinya, berusaha
sedapat mungkin melihat kelemahan-kelemahan tetapi sekaligus juga
kelebihan-kelebihan pada apa yang telah dilakukan dan dihasilkan oleh
ilmuwan lain. Kekritisan ini harus dilandaskan pada semangat kejujuran
dan demi kebaikan bersama, atau demi melakukan yang lebih baik dan
mencapai hasil yang lebih baik lagi.
Bab 2
67
d. Ketawadhu’an (Penghargaan)
Seorang ilmuwan profetik juga harus selalu rendah hati agar dapat
menghargai kerja dan karya orang lain, ilmuwan lain. Penghargaan ini
sebaiknya disampaikan secara terang-terangan, baik lisan maupun tertulis,
misalnya dengan menyampaikan apa yang benar dan disetujui dari pendapat
ilmuwan lain, apa yang baru dan bermanfaat dari teori yang dikemukakan
ilmuwan lain, dan sebagainya. Dengan adanya saling menghargai pekerjaan,
hasil karya dan pandangan ilmuwan lain, maka kerjasama di kalangan
ilmuwan profetik akan dapat berjalan dengan baik pula.
E. Model Paradigma Profetik
Unsur paradigma setelah asumsi-asumsi dasar dan etos adalah
model. Model atau analogi di sini tentu saja diambil dari ranah
keagamaan, agama Islam. Ada banyak model dalam ranah tersebut yang
dapat dipakai untuk melakukan kajian keilmuan, namun sehubungan
dengan bangunan paradigma di sini, model yang dapat dipakai untuk
sementara ini adalah rukun iman dan rukun Islam, karena dua rukun
inilah yang mendasari kehidupan keagamaan dalam agama Islam.
Jika kita umpamakan kehidupan keilmuan profetik adalah seperti
kehidupan keagamaan Islam, maka di situ perlu ada dua rukun tersebut.
Akan tetapi oleh karena ranahnya berbeda, maka model tersebut perlu
ditransformasikan agar dapat sesuai dengan konteks ranahnya.
1. M o d e l
(Struktur)
Transformasinya
Rukun
Iman
dan
Rukun iman dalam agama Islam terdiri dari iman kepada Allah,
kepada malaikat, kepada kitab, kepada nabi, kepada hari kiamat dan
kepada takdir. Iman yang pertama adalah iman kepada Allah s.w.t.
“Beriman” di sini dapat dimaknai sebagai membangun relasi dengan
yang diimani. Relasi antara manusia dengan Allah s.w.t. adalah relasi
antara seorang hamba dengan Penciptanya. Hamba di sini harus
mengabdikan diri kepada sang Pencipta.
Paragima Profetik...
68
Dalam konteks keagamaan Allah juga dapat diyakini sebagai
sumber pengetahuan, sehingga dalam konteks keilmuan profetik
pengabdian seorang ilmuwan adalah kepada ilmu pengetahuan. Tentu
konsep pengabdian di sini tidak sama persis maknanya dengan
pengabdian dalam konteks kehidupan beragama, karena ilmu bukanlah
sebuah konsep sebagaimana halnya Allah s.w.t. Pengabdian di sini perlu
sebaiknya dimaknai sebagai ketekunan seorang ilmuwan menjalankan
tugas-tugasnya sebagai seorang ilmuwan. Pengabdian di sini lebih
merupakan sebuah metafor, yang berbeda maknanya dengan
pengabdian dalam pengabdian kepada Allah s.w.t.
Transformasi yang pertama dari rukun iman adalah sebagai berikut:
Manusia
Ilmuwan
pengabdian
pengabdian
Allah s.w.t.
Ilmu pengetahuan
Rukun iman yang kedua adalah beriman kepada malaikat. Dalam
ranah kehidupan agama, malaikat dikatakan sebagai sahabat orang
beriman. Dalam konteks kehidupan ilmuwan profetik malaikat ini dapat
ditafsirkan sebagai sesama ilmuwan, dan hubungan yang ada di antara
mereka haruslah hubungan persahabatan, bukan hubungan persaingan,
apalagi permusuhan.
Transformasi rukun iman kedua dalam konteks ilmu profetik adalah:
Manusia
Ilmuwan
persahabatan
persahabatan
Malaikat
Kolega
Rukun iman yang ketiga adalah beriman kepada Kitab-kitab yang
diturunkan oleh Allah s.w.t. kepada manusia melalui para nabinya.
Dalam kehidupan ilmuwan profetik kitab ini tidak lain adalah kitabkitab juga, tetapi kitab-kitab keilmuan, serta berbagai tu-lisan ilmiah,
yang harus mereka baca dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan,
dan merupakan bentuk dari pengabdian mereka kepada ilmu
pengetahuan.
Transformasi rukun iman ketiga pada konteks ilmu profetik adalah:
Manusia
Ilmuwan
pembacaan
pembacaan
Kitab
Kitab Ilmiah
Bab 2
69
Rukun iman yang keempat adalah beriman kepada para nabi yang
diutus oleh Allah s.w.t. Bagi orang beriman para nabi ini adalah guru,
tetapi juga sahabat. Dalam konteks keilmuan profetik para nabi dapat
ditafsirkan sebagai para ilmuwan terkenal, yang selain sahabat para
ilmuwan, mereka ini juga merupakan tokoh-tokoh yang banyak diikuti
pemikiran-pemikirannya.
Transformasi rukun iman keempat dalam konteks ilmu profetik adalah:
Manusia
Ilmuwan
perguruan + persahabatan
perguruan + persahabatan
Nabi
Tokoh
Rukun iman kelima adalah beriman kepada hari kiamat. Hari
kiamat dapat ditafsirkkan berbagai macam. Salah satu tafsir yang dapat
diberikan adalah bahwa hari kiamat merupakan hari akhir dari sesuatu.
Hari kiamat tidak ada yang mengetahui kapan tibanya, tetapi diketahui
tanda-tandanya. Di sini terkandung makna bahwa manusia dapat
mengetahui kapan sesuatu akan berakhir, dan kemudian berusaha
menundanya, bukan meniadakannya. Dalam konteks keilmuan profetik,
hari kiamat dapat ditafsirkan sebagai akhir dari sesuatu, apakah itu
suatu gejala tertentu, teori tertentu, ajaran tertentu, dan sebagainya.
Sehubungan dengan itu ilmuwan profetik dapat melakukan langkahlangkah atau upaya untuk menunda tibanya saat akhir tersebut. Jika
berhubungan dengan teori, penundaan tersebut adalah upaya-upaya
ntuk memperbaiki teori tersebut; jika berhubungan dengan suatu
masyarakat penundaan tersebut adalah dengan melakukan perbaikanperbaikan atas masyarakat tersebut.
Transformasi rukun iman kelima dalam konteks ilmu profetik adalah:
Manusia
Ilmuwan
penundaan
penundaan
Hari Kiamat
Akhir
Rukun iman keenam adalah iman kepada takdir. Takdir merupakan
suatu hal yang diluar kemampuan manusia untuk memahaminya.
Dalam konteks keilmuan profetik hal ini sebuah pengakuan bahwa suatu
cabang ilmu pengetahuan, atau suatu paradigma tidak akan dapat
menyelesaikan masalah. Dari salah satu prinsip penting dalam filsafat
70
Paragima Profetik...
positif tentang ilmu pengetahuan, pengakuan bahwa kemampuan dan
pengetahuan manusia terbatas sifatnya, merupakan salah satunya.
Pengakuan ini sekaligus menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan
mengakui keterbatasan manusia untuk mengerti dan memahami semua
hal.
Transformasi rukun keenam dalam konteks ilmu profetik adalah:
Manusia
Ilmuwan
penerimaan
penerimaan
2. M o d e l
(Struktur)
Transformasinya
Takdir
Ilmu Terbatas
Rukun
Islam
dan
Seperti halnya rukun iman, rukun Islam sebagai basis dari
kehidupan beragama juga perlu ditransformasikan dalam konteks
kehidupan dan aktivitas keilmuan profetik. Rukun Islam terdiri dari
lima jenis rituil atau tindakan keagamaan yaitu; (1) membaca dua kalimat
syhadat; (2) mengerjakan sholat lima kali sehari dalam waktu yang telah
ditentukan; (3) mengerjakan puasa dalam bulan Ramadhan; (4)
mengeluarkan zakat; (5) mengerjakan ibadah haji, jika mampu. Masingmasing rukun ini perlu ditransformasikan dalam kehidupan keilmuan
profetik.
Kalau dalam kehidupan beragama rukun yang pertama, -membaca
kalimat syaha-dat-, seorang yang beriman menyatakan secara eksplisit
pengakuannya atas Allah sebagai satu-satunya Dzat Yang Patut
Disembah, dan Muhammad adalah utusanNya, maka dalam kehidupan
keilmuan profetik syahadat ini ditransformasikan pada keyakinan
tentang ilmu, tentang pengetahuan, dan manfaatnya, dan bahwa Allah
adalah sumber pengetahuan, dan Allah telah menurunkan wahyu.
Syahadat keilmuan di sini adalah pengakuan bahwa wahyu adalah juga
sumber pengetahuan, yang lebih tinggi kualitasnya daripada
pengetahuan yang manapun, karena wahyu datang langsung dari
sumber pengetahuan itu sendiri, pemilik pengetahuan itu sendiri, yaitu
Allah s.w.t.
Bab 2
71
Rukun Islam kedua adalah menjalankan sholat. Dalam sholat
seseorang merenung, mengingat Allah s.w.t. Dalam kehidupan keilmuan
profetik, transformasi rukun ini berupa kontemplasi keilmuan.
Merenungkan tentang masalah-masalah yang sedang diteliti mencoba
mencari jawabnya secara serius. Dari kegiatan ini seorang ilmuwan akan
mendapat inspirasi.
Rukun Islam ketiga adalah mengerjakan puasa. Puasa dikerjakan
selama satu bulan dan selama puasa itu seorang Muslim juga dianjurkan
untuk banyak merenung, banyak membaca kitab, di samping melakukan
kegiatan yang lain. Transformasi dari kegiatan puasa, yang berarti juga
menahan diri dari melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak bermanfaat,
dalam konteks keilmuan adalah penelitian. Selama melakukan
penelitian, seorang ilmuwan seolah-olah sedang bertapa, berpuasa,
menahan diri dari melakukan hal-hal yang biasa dilakukan. Dari kegiatan
penelitian ini seorang ilmuwan akan memperoleh temuan-temuan ilmiah
dan melakukan pengembangan ilmu pengetahuan.
Rukun Islam yang keempat adalah mengeluarkan zakat, yang
berarti memberikan kepada orang lain sebagian dari harta yang dimiliki.
Dalam konteks keilmuan profetik, harta yang dimiliki oleh seorang
ilmuwan adalah pengetahuan, ilmu pengetahuan. Zakat dalam konteks
tersebut adalah memberikan pengetahuan kepada orang lain, yaitu
mengajar, memberikan ceramah-ceramah, memberikan pelatihan, dan
sebagainya.
Rukun Islam yang kelima adalah menjalankan ibadah haji ke
Mekkah. Di sini seorang Muslim melakukan perjalanan selama beberapa
hari, melakukan ibadah haji selama beberapa hari, dan bertemu dengan
ratusan, ribuan Muslim yang lain. Arena haji adalah sebuah arena
pertemuan Muslim seluruh dunia, dan dari pertemuan ini bisa terjadi
saling tukar pendapat, tukar pengalaman, tukar pengetahuan. Dalam
konteks keilmuan profetik, transformasi ibadah naik haji adalah
pertemuan-pertemuan internasional selama beberapa hari di mana
terjadi tukar pendapat, tukar pandangan, yang semakin meningkatkan
Paragima Profetik...
72
kualitas keilmuan seseorang, sebagaimana halnya ibadah naik haji yang
meningkatkan kualitas keagamaan seorang Muslim.
Transformasi lima rukun Islam dalam konteks keilmuan profetik
di atas dapat digambarkan sebagai berikut.
Syahadat
Syahadat
Keilmuan
Wahyuisme
(Revelationism)
Rasionalisme
Empirisisme
:
Sholat
Perenungan
Inspirasi
:
Puasa
:
Zakat
:
Haji
Penelitian
Pengajaran
Pertemuan
Temuan
Penyebaran
Pertemuan
F. Implikasi Epistemologi Profetik
Basis epistemologis yang saya paparkan di atas tentu punya
implikasi terhadap unsur-unsur lain dalam paradigma profetik, yang
secara logika muncul setelah unsur-un-sur di atas, yaitu unsur (a)
masalah yang ingin dan perlu diteliti oleh ilmu (sosial-budaya) profetik;
(b) perangkat konseptual yang digunakan serta definisinya; (c) metode
penelitiannya; (d) metode analisisnya (e) teori-teori yang dihasilkan dan
(f) representasi yang digunakan, yang disajikan oleh ilmu (sosial-budaya)
profetik.
Jalur implikasi logis ini tidak sederhana, karena ada yang bersifat
langsung ada pula yang tidak. Unsur etos, nilai-nilai, misalnya bisa secara
langsung berimplikasi atau turut menentukan metode dan siasat
penelitian yang digunakan, ataupun representasi yang disajikan oleh
peneliti. Demikian pula halnya implikasi dari asumsi bahwa wahyu
merupakan salah satu sumber pengetahuan. Ada banyak implikasi yang
muncul dari asumsi dasar ini, mulai dari implikasi permasalahan sampai
ke implikasi representasi. Implikasi dari asumsi dasar, etos dan model
paradigma profetik dapat digambarkan dalam skema berikut ini.
Bab 2
73
Skema 5. Implikasi Epistemologi Profetik
Implikasi Permasalahan
Implikasi Konseptual
Implikasi Metodologis Penelitian
Implikasi
Epistemologi Profetik
Implikasi Metodologis Analisis
Implikasi Teoritis
Implikasi Representasional (Etnografis)
1. Implikasi Permasalahan
Yang dimaksud dengan implikasi permasalahan adalah masalahmasalah yang muncul sebagai akibat dari diterimanya asumsi-asumsi
dasar tertentu, nilai-nilai atau etos tertentu. Sebagai contoh, dengan asumsi
bahwa wahyu merupakan sumber ilmu pengetahuan, maka kumpulan
wahyu -yakni Al Qur’an- akan menjadi salah satu sumber untuk
merumuskan pertanyaan-pertanyaan atau hipotesa-hipotesa untuk diteliti
lebih lanjut. Selain itu, karena ilmu profetik juga diinginkan menjadi ilmu
yang transformatif, maka pemilihan masalah-masalah untuk penelitian
tentunya juga yang akan punya effek transformatif juga.
Permasalahan ini bisa dimunculkan dari Al Qur’an dan sunnah
Rasulullah, bisa dari permasalahan sehari-hari tetapi yang dianggap
paling mendesak atau penting untuk diteliti dan dicarikan
penyelesaiannya, bisa pula dari transformasi masalah-masalah yang ada
dalam Al Qur’an dan sunnah Rasulullah.
2. Implikasi Konseptual
Implikasi konseptual adalah berbagai konsep yang muncul sebagai
implikasi dari penggunaan wahyu sebagai salah satu sumber
pengetahuan, sumber inspirasi. Dalam hal ini berbagai istilah yang ada
dalam Al Qur’an dan hadist kemudian dapat dan perlu didefinisikan,
dijelaskan dan dioperasionalisasikan sehingga dapat digunakan dalam
penelitian. Implikasi konseptual juga bisa muncul dari pemilihan
masalah-masalah baru untuk diteliti. Data baru yang dihasilkan oleh
74
Paragima Profetik...
penelitian ini akan membutuhkan konsep-konsep baru untuk
menggunakannya dengan baik.
3. Implikasi Metodologis Penelitian
Pemilihan masalah-masalah tertentu, penggunaan konsep-konsep
yang baru, biasanya akan mempunyai implikasi terhadap metode penelitian
yang akan digunakan. Sangat mungkin akan muncul metode-metode
penelitian baru yang muncul sebagai akibat dari digunakannya konsep
tertentu, atau dipilihnya asumsi-asumsi tertentu sebagai basis penelitian.
Jika implikasi-implikasi ini diperhatikan dan diikuti secara serius,
tentu akan muncul penelitian-penelitian dengan menggunakan model
dan asumsi tertentu. Dengan begitu maka ilmu pengetahuan akan dapat
tumbuh dan berkembang lebih cepat.
4. Implikasi Metodologis Analisis
Di sini saya membedakan metode penelitian, yakni metode
pengumpulan data, de-ngan metode analisis data, karena masing-masing
memang membutuhkan metode-metode yang berbeda, serta merupakan
tahap-tahap yang berbeda dalam proses penelitian. Proses pengumpulan
data biasa dilakukan di perpustakaan, di laboratorium dan di lapangan,
sedang proses analisis data bisa dilakukan di perpustakaan, di rumah di
laboratorium atau di tempat lain yang memungkinkan. Metode
pengumpulan data berbeda dengan metode analisis data.
Implikasi metodologis dapat terjadi pada metode analisis ini, dan
ini bisa dikarenakan oleh masalah yang diteliti, oleh konsep yang
digunakan atau oleh jenis data yang berbeda. Peneliti harus
memperhatikan implikasi ini baik-baik, agar analisis data dapat
dilakukan dengan baik dan benar.
5. Implikasi Teoretis
Implikasi teoretis tentu akan ada, karena tidak mungkin perubahan
atau pergantian masalah dan asumsi dasar tidak mempunyai implikasi
Bab 2
75
teoretis. Implikasi inilah saya kira yang akan merupakan implikasi yang
sangat penting, jika bukan yang terpenting, dari paradigma profetik.
Munculnya teori-teori baru akan merupakan sumbangan yang sangat
penting yang dapat diberikan oleh ilmu-ilmu profetik.
6. Implikasi Representasional (Etnografis)
Implikasi representasional merupakan implikasi yang terjadi pada
ranah representasi atau penyajian teori. Pada ilmu-ilmu alam, ranah
representasi ini mungkin tidak begitu penting, karena terdapat pola
yang agak baku dalam cara representasinya. Tidak demikian halnya
pada ilmu-ilmu sosial-budaya. Oleh karena asumsi dasar, etos dan model
yang berbeda, maka representasi dari apa yang telah dihasilkan, yakni
data dan teori akan berbeda pula. Di sini ilmu-ilmu sosial-budaya
profetik memiliki potensi besar untuk menyajikan hal-hal yang baru,
yang dapat membuka wawasan baru kehidupan manusia.
G. Implikasi Paradigma Profetik
Berkenaan dengan implikasi dari ilmu (sosial-budaya) profetik yang
dikemukakannya, mas Kunto mengatakan bahwa ilmu ini tentunya akan
mempunyai implikasi sosial transformatif yang penting. Mas Kunto
mengakui bahwa paradigma Islam mempunyai implikasi transformatif
pada level individual, tetapi dia tampaknya lebih tertarik untuk
membicarakan mengenai transformasi sosialnya, karena dia adalah ahli
sejarah sosial. Akan tetapi, hal ini justru membuat potensi transformatif
paradigma Islam menjadi tidak optimal. Menurut hemat saya, paradigma
Islam tersebut harus dikupas potensi transformatifnya, baik pada tingkat
individu, keluarga ataupun masyarakat.
1. Transformasi Individual
Sebagaimana telah saya paparkan di atas, salah satu basis etos
paradigma profetis adalah penghayatan. Penghayatan ini berlangsung
pada tataran individual. Oleh kare-na itu, ilmu (sosial-budaya) profetik
76
Paragima Profetik...
tentunya punya effek transformatif bukan hanya pada tataran sosialbudaya sebagaimana yang dibayangkan oleh mas Kunto, tetapi juga
pada tataran individual. Di sinilah ilmu (sosial-budaya) profetik juga
dapat mencakup cabang ilmu seperti psikologi.
Transformasi individual ini bisa dua macam, karena ilmu profetik
bisa menghasilkan transformasi pada diri ilmuwan profetik, atau pada
pada individu yang menjadi kajian ilmu profetik tertentu, yaitu psikologi
dan kedokteran. Ilmu profetik kedokteran akan melahirkan transformasi
individual pada ranah atau bidang ragawi (physical), sedang ilmu
psikologi profetik akan menghasilkan transformasi pada ranah
kejiwaan(psychical).
Di lain pihak keterlibatan seorang ilmuwan dalam kegiatan
keilmuan dengan semangat profetik, dengan etos profetik, akan
membuat ilmuwan itu sendiri mengalami perubahan-perubahan
tertentu. Transformasi di sini tetnu saja merupakan transformasi pada
ranah kejiwaan, yang menyangkut pikiran dan perasaan.
Transformasi individual sebagai dampak dari paradigma profetik
menurut hemat saya tidak kalah penting dengan effek transformatif
pada tataran sosial. Gagasan mengenai ini perlu dikembangkan lebih
lanjut, karena mas Kunto belum banyak memperhatikan dan
membahasnya.
2. Transformasi Sosial (Kolektif)
Mengenai transformasi sosial ini, mas Kunto telah membahasnya
cukup panjang-le-bar, walaupun belum tuntas dan masih perlu
dikembangkan lagi. Seperti halnya transformasi pada ranah individu,
transformasi kolektif atau sosial ini juga bisa terjadi di kalangan ilmuwan,
bisa pula di kalangan warga masyarakat yang lebih luas. Masing-masing
transformasi akan memiliki corak yang berbeda.
Di kalangan ilmuwan, transformasi dapat -dan seharusnya-terjadi
di kalangan pela-ku ilmu profetik ini, yakni di kalangan ilmuwannya.
Transformasi ini bisa diawali dari tataran pandangan hidup, yang
Bab 2
77
kemudian mewujud menjadi suatu gaya hidup -gaya hidup ilmuwan
profetik-, dan selanjutnya pada karya-karya mereka. Jika ini terjadi,
maka transformasi kemudian bisa menurun kepada lingkungan yang
lebih luas, yakni pada kalangan anak didik mereka.
Transformasi berikutnya adalah transformasi di kalangan
masyarakat, yang merupakan dampak dari kehadiran para ilmuwan
profetik dengan pandangan, keyakinan dan gaya hidup mereka, atau
merupakan dampak dari hasil-hasil kajian yang mereka lakukan. Kajiankajian ilmu profetik akan dapat memberikan dampak transformatif sosial
yang lebih luas bilamana hasil-hasil kajian ini selalu dipublikasikan dan
disosialisasikan ke tengah masyarakat dengan cara yang sistematis dan
terencana dengan baik.
H. Penutup
Dalam makalah ini saya telah mencoba memaparkan sebagian
pandangan saya mengenai ilmu (sosial-budaya) profetik. Keterbatasan
waktu dan ruang membuat saya belum dapat mengembangkan
pemikiran tentang hal-hal di atas secara lengkap dan utuh. Meskipun
demikian, di sini saya telah memberikan sebuah model atau kerangka
paradigma dengan unsur-unsur yang menurut hemat saya sudah
lengkap. Berdasarkan kerangka paradigma inilah saya menjelaskan isi
epistemologi profetik, yang men-cakup asumsi-asumsi dasar, etos dan
model-model yang mendasarinya. Isi elemen-elemen lain dari paradigma
profetik ini, yang merupakan implikasi dari basis epistemologisnya bisa
berbeda antara disiplin profetik satu dengan yang lain, sehingga
sebaiknya diisi oleh ilmuwan-ilmuwan lain dari masing-masing disiplin.
Di situlah para kolega ilmuwan dapat berpartisipasi
mengembangkan gagasan mengenai ilmu (sosial-budaya) profetik, agar
paradigma profetik di sini memiliki dampak yang lebih luas dan dapat
memberikan manfaat yang lebih besar kepada kemajuan peradaban
manusia...Dan Allahlah Yang Maha Tahu......
78
Paragima Profetik...
BAB
3
LANDASAN ONTOLOGI
ILMU HUKUM PROFETIK
M. Syamsudin
A. Pengantar
Dalam perspektif filsafat ilmu, untuk membangun dan
mengembangkan suatu disiplin keilmuan tertentu, dibutuhkan setidaktidaknya 3 (tiga) landasan kefilsafatan yaitu ontologi, epistemologi dan
aksiologi. Ketiga landasan ini penting untuk membedakan secara jelas
antara karaktristik jenis pengetahuan yang satu dengan jenis
pengetahuan lainnya, termasuk antara jenis pengetahuan yang disebut
dengan ilmu atau yang bukan ilmu. Ontologi adalah landasan yang
menjelaskan tentang apa yang dikaji oleh pengetahuan itu, epistemologi
menjelaskan tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan itu dan
aksiologi memberikan penjelasan tentang apa kegunaan dari
pengetahuan itu. Dengan mengenali jawaban dari ketiga landasan
tersebut kita dapat membedakan berbagai jenis pengetahuan yang
terdapat dalam kehidupan kita, seperti ilmu, filsafat, seni, dan agama
serta meletakkannya pada tempatnya masing-masing secara tepat. Tanpa
mengenali ciri-ciri ketiga landasan dari setiap pengetahuan itu secara
tepat kita tidak dapat memanfaatkan kegunaanya secara maksimal,
namun justru kita dapat salah dalam mempergunakannya. Ilmu
Landasan Ontologi...
80
dikacaukan dengan seni, ilmu dikonfrontasikan dengan agama, filsafat
dikonfrontasikan dengan seni, dsb.1
Landasan ontologis di sini dibutuhkan dan dimaksudkan untuk
melihat bangunan tentang struktur ilmu dari aspek objek yang menjadi
sasaran pemikiran atau kajian ilmu tersebut. Objek kajian ilmu dapat
dibedakan menjadi objek kajian material dan formal. Sebagaimana kita
pahami bersama bahwa setiap disiplin ilmu pasti mempunyai objek
kajian masing-masing baik terkait dengan objek material maupun objek
formal. Objek material terkait dengan hakikat realitas yang dikaji atau
diteliti atau sasaran pemikiran dari ilmu tersebut. Hal ini dapat
mencakup realitas yang konkrit, seperti perilaku, benda-benda maupun
yang abstrak seperti ide-ide dan nilai-nilai. Sementara itu objek formal
terkait dengan sudat pandang orang melihat objek material dari realitas
yang dikaji serta prinsip-prinsip yang digunakan. Objek formal ini dapat
melahirkan berbagai pendekatan yang berbeda-beda sehingga
melahirkan aliran-aliran dalam setiap disiplin keilmuan. Kedua objek
kajian tersebut akan membingkai pada berbagai kajian dan penelitian
dari displin ilmu tertentu.
Dalam konteks perbincangan tentang landasan ontologi Ilmu
Hukum Profetik kali ini pertanyaan mendasar yang muncul dan perlu
dijelaskan adalah apa hakikat dari realitas yang disebut ‘hukum’
menurut perspektif paradigma profetik. Apa pengertianya, batasbatasnya, ciri-cirinya, unsur-unsurnya, dsb. Jawaban atas pertanyaan
ini tentunya harus dimulai dengan mengemukakan asumsi atau
anggapan dasar (basis assumption) apa yang dimaksud dengan hukum
itu sendiri menurut pendekatan profetik. Asumsi atau anggapan dasar
adalah pandangan-pandangan mengenai suatu realitas, dalam hal ini
hukum, yang tidak dipertanyakan lagi kebenarannya atau sudah
diterima kebenarannya. Pandangan ini merupakan titik-tolak atau dasar
bagi upaya memahami dan menjawab suatu persoalan, karena
Jujun S. Suriasumantri. 1994. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan. Hlm. 35.
1
Bab 3
81
pandangan-pandangan tersebut dianggap benar atau diyakini
kebenarannya. Anggapan-anggapan ini bisa lahir dari (a) perenunganperenungan filosofis dan reflektif, bisa dari (b) penelitian-penelitian
empiris yang canggih, bisa pula dari (c) pengamatan yang seksama.2
Asumsi dasar dibutuhkan agar kita mempunyai titik berdiri (standing
point) pemikiran kita tentang hakikat hukum itu. Tanpa asumsi dasar
kita akan kesulitan dan mungkin menjadi bingung memahami tentang
hukum dan segala persoalan yang terkait dan berkelindan dengannya.
Dalam tradisi keilmuan hukum yang umum, terdapat dua arus
besar (mainstream) asumsi dasar atau anggapan dasar tentang realitas
hukum itu, pertama pandangan dogmatik dan kedua pandangan empirik.
Pandangan Dogmatik mengasumsikan atau menganggap bahwa hukum
itu realitas kesejatiannya adalah norma. Norma adalah pedoman perilaku
manusia dalam segala hal, yang eksistensinya berada di alam keharusan
(sollen) yang dapat berujud nilai-nilai, gagasan-gagasan atau kehendak.
Realitas hukum dalam pandangan normatif ini tidak berada di alam
nyata (sein). Hal yang ada di alam nyata atau empirik hanyalah
merupakan perwujudan atau penampakan saja dari hakikat hukum itu,
dan itu bukan hukum yang sejatinya. Hukum yang sebenar-benarnya
adalah apa yang berada di alam nilai-nilai atau alam kaidah yang bersifat
metafisis. Hal yang ada di alam empirik atau alam nyata hanyalah sebatas
manifestasi atau perwujudan dari hukum, yang fisiknya dapat berupa
putusan-putusan, perjanjian-perjanjian, peraturan perundang-undangan,
perilaku ajek yang mempola atau kebiasaan, dan simbol-simbol baik
yang berujud fisik maupun budaya.
Konsep normatif tersebut dijabarkan lebih lanjut oleh
Wignjosoebroto menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu pertama, norma (hukum)
yang dikonsepkan sebagai asas moralitas atau asas keadilan yang bernilai
Baca Heddy Shri Ahimsa-Putra. 2011. “Paradigma Profetik sebuah Konsepsi”,
Makalah disampaikan dalam Diskusi Pengembangan Ilmu Profetik 2011,diselenggarakan
oleh Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum - UII, di Yogyakarta, 18 Nopember
2011.
2
Landasan Ontologi...
82
universal, dan menjadi bagian inheren sistem hukum alam, atau bahkan
tak jarang dipercaya juga sebagai bagian dari kaidah-kaidah yang
supranatural sifatnya. Kedua, norma (hukum) yang dikosepkan sebagai
kaidah-kaidah positip yang berlaku umum in abstracto pada suatu waktu
tertentu dan di suatu wilayah tertentu, dan terbit sebagai produk
eksplisit suatu sumber kekuasaan politik tertentu yang berlegitimasi,
atau yang lebih dikenal sebagai hukum nasional atau hukum negara.
Ketiga, norma (hukum) yang dikonsepkan sebagai keputusan-keputusan
yang diciptakan hakim in concreto dalam proses-proses peradilan sebagai
bagian dari upaya hakim menyelesaikan kasus atau perkara, yang
berkemungkinan juga berlaku sebagai preseden untuk menyelesaikan
perkara-perkara berikutnya.3
Sementara itu pandangan empirik mempunyai asumsi dasar bahwa
realitas yang sebenar-benarnya dari hukum itu berada di alam nyata,
empirik, yang bersifat riil dan konkrit. Wujud dari hukum tersebut dapat
berupa perilaku ajek seperti kebiasaan, keteraturan, institusi hukum,
aksi-interaksi masyarakat, ketertiban, ketaatan atau keasadaran hukum
suatu masyarakat, dsb. Konsep empirik hukum tersebut dijabarkan lebih
lanjut Soetandyo Wignjosoebroto (1994), menjadi sekurang-kurangnya
dua konsep hukum, yaitu pertama, hukum dikonsepkan sebagai institusi
sosial yang riil dan fungsional di dalam sistem kehidupan bermasyarakat,
baik dalam proses-proses pemulihan ketertiban dan penyelesaian
sengketa maupun dalam proses-proses pengarahan dan pembentukan
pola-pola perilaku yang baru. Kedua, hukum dikonsepkan sebagai
makna-makna simbolik sebagaimana termanifestasikan dan tersimak
dalam dan dari aksi-aksi serta interaksi warga masyarakat.4
Konsep yang pertama, di dalam literatur-literatur adalah konsepkonsep yang digolongkan sebagai konsep-konsep normatif. Konsep
normatif ini memandang hukum sebagai norma entah norma yang
Baca Soetandyo Wignjosoebroto. 2013. Hukum, Konsep dan Metode. Malang: Setara
Press. Hlm. 18-34.
4
Ibid.
3
Bab 3
83
diidentikkan dengan keadilan yang harus diwujudkan (ius constituendum)
entah norma-norma yang nyata-nyata telah terwujud sebagai perintahperintah yang ekplisit dan yang secara positif telah terumus jelas (ius
costitutum) guna menjamin kepastiannya, entah pula norma-norma hasil
cipta penuh pertimbangan hakim pengadilan (judgments) tatkala sang
hakim ini mencoba menghukumi suatu perkara dengan memperhatikan
terwujudnya kemanfaatan dan kemaslahatan bagi para pihak berperkara.
Karena setiap norma itu — entah yang berupa asas moral keadilan,
entah yang telah dipositipkan sebagai hukum perundang-undangan,
entah yang judge made —selalu eksis sebagai bagian dari suatu sistem
doktrin atau ajaran (ialah ajaran tentang bagaimana hukum harus
ditemukan atau dicipta untuk menyelesaikan perkara), maka setiap
peneliti hukum yang mengkonsepsikan hukum sebagai norma ini
dapatlah disebut sebagai peneliti normatif. Dalam tradisi Eropa
Kontinental, menurut literatur-literatur berbahasa Belanda, kajian-kajian
dan penelitian-penelitian hukum dalam konsepnya yang normatif ini
disebut kajian atau penelitian dogmatik. Di dalam literatur-literatur
berbahasa Inggris, khususnya karena pengaruh penulis-penulis Amerika
Serikat yang melihat hukum sebagai doktrin yang luwes di tengah suatu
realita proses, kajian-kajian dan penelitian-penelitian normatif itu lebih
lazim disebut kajian-kajian atau penelitian-penelitian dengan metode
doktrinal.5
Kajian-kajian yang dogmatik atau doktrinal ini lazimnya bermula
dari upaya-upaya untuk membangun sistem hukum yang normatifpositivistik sebagai suatu model yang sempurna menurut imperativaimperativa logika. Koleksi atau inventarisasi untuk mengkompilasi
bahan-bahan hukum akan segera dikerjakan, untuk kemudian
menyususnnya ke dalam suatu tatanan normatif yang koheren (tidak
mengandung kontradiksi-kontradiksi antar norma di dalamnya), namun
yang juga memudahkan penelusurannya kembali. Bahan-bahan hukum
5
Ibid.
Landasan Ontologi...
84
positif ini disebut bahan-bahan primer dan akan dimanfaatkan sebagai
sumber hukum yang formil, disusun berdasarkan asas-asas dogamtik
yang bermaksud menghindarkan terjadinya kontradiksi antar norma,
seperti misalnya asas lex posteriori deragat lex priori atau asas yang
diperkenalkan sebagai stuffenteorie oleh Kelsen. Untuk menjaga
koherensinya itu, konfiguarsi-konfigurasi teoretik juga dikembangkan
lewat berbagai bahasan atau ulasan dan komentar-komentar tertulis
yang kemudian juga diiventarisasikan ke dalam suatu koleksi yang
disebut koleksi bahan-bahan sekunder yang nantinya juga akan dapat
difungsikan sebagai sumber hukum yang materiil.6
Sementara itu, konsep yang kedua yakni konsep hukum yang
empirik adalah konsep-konsep yang bukan normatif, melainkan sesuatu
yang nomologik. Di sini hukum bukan terkonsepsikan sebagai rules,
melainkan sebagai regularities yang terjadi di alam pengalaman dan
sebagaimana yang tersimak di alam kehidupan sehari-hari, sine era et
studio. Di sini hukum adalah perilaku-perilaku (atau aksi-aksi dan
interaksi) manusia yang secara aktual telah dan/atau yang secara
potensial akan terpola. Karena setiap perilaku atau aksi itu adalah suatu
realita sosial yang tersimak di alam pengalaman inderawi yang empirik,
maka setiap penelitian yang mengkonsepsikan hukum sebagai perilaku
dan aksi ini dapatlah disebut sebagai penelitian sosial (tentang hukum),
penelitian empirik, atau penelitian yang non-doktrinal. Kajian-kajian tipe
ini adalah kajian-kajian keilmuan, dengan maksud hendak mempelajari
dan bukan hendak mengajarkan sesuatu doktrin untuk menemukan
dan menegakkan hukum. Oleh sebab itu, metode yang lazim dipakai
dalam kajian-kajian ini, di dalam literatur-literatur internasional
berbahasa Inggris selama ini, lazim sekali disebut metode non-doktrinal,
yang pada dasarnya adalah juga metode ilmu-ilmu sosial.7
Pembedaan ke dalam dua kategori besar metode penelitian hukum
yaitu doktrinal dan non-doktrinal itu bersejajar pula pada pembedaan logika
6
7
Ibid
Ibid.
Bab 3
85
yang mendasari penelitian-penelitian hukum tersebut. Pada penelitian
hukum yang doktrinal, logika formil dengan silogisme deduktif itulah lazim
banyak dipakai. Hal itu mudah dimengerti karena memang hanya lewat
deduksi itu orang akan dapat menemukan premis-premis dasar yang akan
melandasi kebenaran suatu kaidah hukum in concreto, sedangkan kita
mengetahui bahwa dalam penelitian-penelitian doktrinal itu para pencari
“apa hukum untuk suatu perkara” memang bermisi mencari dan
menemukan dasar legitimasi suatu kaidah atau suatu putusan hukum.8
Sementara itu pada penelitian-peneltian hukum yang non-doktrinal,
logika materiil dengan silogisme induktif itu yang lazim akan banyak
dipakai. Hal itu mudah pula dimengerti bahwa dalam penelitian nondoktrinal yang hendak dicari bukanlah dasar-dasar pembenaran
berlakunya suatu kaidah atau keputusan, melainkan pola-pola keajekan
atau pola-pola hubungan, entah yang korelasi atau kausal, antara
berbagai gejala yang memanifestasikan hadirnya hukum di alam
kenyataan yang bisa disimak oleh indera pengamatan.9
B. Pengaruh Paradigma Positivisme pada Ontologi
Ilmu Hukum
Pada pertengahan abad ke-19 di Eropa Kontinental, khususnya di
Perancis berkembang filsafat baru yang disebut Filsafat Postivisme.
Filsafat ini diajarkan oleh dua eksponen yang terkenal yaitu Henri SaintSimon (1760-1825) dan Auguste Comte (1798-1857). Di Inggris filsafat
jenis ini dikembangkan oleh Herbert Spencer. Positivisme adalah suatu
paham yang menuntut agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk
menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai
sesuatu yang eksis, sebagai suatu objek, yang harus dilepaskan dari
sembarang macam pra-konsepsi metafisis yang subjektif sifatnya.10
Ibid.
Ibid.
10
Gardon, Scott. 1991. The History and Philosophy of Social Science. London: Toutdge.
P. 301.
8
9
Landasan Ontologi...
86
Menurut Auguste Comte, apa yang sosial atau masyarakat dapat
diredusir ke dalam dalil-dalil yang pasti dan ilmiah. Comte membuat
suatu klasifikasi ilmu pengetahuan yang terus-menerus mengarah pada
kesederhanaan dan generalitas dari masalah-masalah dalam subjeknya
(subject matter) yaitu mathematics, astronomi, physika, kimia, biologi,
dan sosiologi. Setiap cabang ilmu yang lahir harus bersandar pada hasil
cabang ilmu sebelumnya, sehingga dalam pandangannya Sosiologi
adalah puncak dari segala ilmu tersebut. Semua cabang ilmu tersebut
hanya mempunyai dasar untuk adanya bilamana masing-masing cabang
ilmu tersebut dapat memberikan bahan-bahan penjelasan lebih lanjut
kepada ilmu mengenai kemasyarakatan. Dalam pandangan Comte setiap
cabang ilmu itu merupakan suatu yang sudah exact, sudah pasti; dan
dalam hal itu pengetahuan tersebut permasalahannya menjabarkan diri
dari satu lingkungan masalah ke masalah lainnya dalam urutan
sebagaimana diajukan olehnya. Dalam kerangka itu maka bagi Comte
wajar bilamana komplek phenomena dari kehidupan masyarakat adalah
yang paling akhir untuk digarap secara ilmiah.11
Bagi Comte setiap cabang ilmu tersebut pada masa-masa yang
silam digarap melalui tiga tahapan yaitu: tahap teologis, tahap metafisis,
dan tahap positivis. Pada tahap teologis ditunjukkan oleh kenyataan
bahwa segala kejadian di dalam cabang ilmu pengetahuan yang
bersangkutan diselesaikan dengan mengemukakan bahwa itu
merupakan kehendak tuhan. Dalam tahap metafisis penyelesaian dicari
dengan jalan abstraksi metafisis, misalnya kenyataan bahwa bintangbintang bergerak dalam lingkaran, dijelaskan karena lingkaran adalah
suatu gerak yang paling sempurna. Pada tahap positivis dibuktikan
bahwa setiap permasalahan diusahakan penyelesainnya secara ilmiah
positip yaitu melalui suatu pengamatan yang cermat atas kejadiankejadian, membuat hipotesis dan verivikasinya melalui eksperimenM. Koesnoe. 1981. “Kritik Terhadap Ilmu Hukum”. Makalah Ceramah di Hadapan
Para Dosen dan Mahsaiswa Fakultas Hukum UII Yogyakarta, 3-4 Pebruari 1981. Hlm.
3-4.
11
Bab 3
87
eksperimen, kemudian menjelaskannya dengan jalan keajegan-keajegan
yang tunduk pada hukum sebab-akibat (kausalitas).12
Pemikiran filsafat positivisme ini pada akhirnya berimbas pula pada
dunia studi di dalam Ilmu Hukum, terutama pada anggapan dan
pendekatan bahwa Ilmu Hukum juga harus merupakan suatu ilmu yang
positip, seperti yang dimaksud oleh Comte. Artinya bahwa perihal
hukum sebagai masalah kemasyarakatan manusia harus pula
diselesaikan dengan pengamatan kejadian masyarakat secara cermat,
kemudian disusun hipotesa dan mengadakan verifikasi melalui
eksperimen-eksperimen serta dari itu baru pada kesimpulan yang
menjelaskn dengan pasti menurut hukum sebab akibat. Dunia Ilmu
Hukum adalah suatu ilmu yang dalam kaitan dengan tata ilmu
sebagimana dimaksud oleh Comte di atas tidak dapat masuk dalam
tatanan tersebut.
Diaplikasikannya ke dalam pemikiran tentang hukum, positivisme
juga menghendaki dilepaskannya pemikiran meta-yuridis mengenai
hukum sebagimana dianut oleh para eksponen aliran hukum kodrat.
Karena itu setiap norma hukum haruslah eksis dalam alamnya yang
obyektif sebagai norma-norma yang positip, ditegaskan sebagai wujud
kesepakatan kontraktual yang konkrit antara warga masyrakat (atau
wakil-wakilnya). Hukum tidak lagi dikonsepsi sebagai asas-asas moral
meta-yuridis yang niskala (abstrak) tentang hakikat keadilan, melainkan
ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna
menjamin kepastian mengenai ‘apa yang terbilang hukum’ dan ‘apa
pula yang sekalipun normatif harus dinyatakan sebagai hal-hal yang
bukan terbilang hukum’.13
Paham positivisme dan pengaruhnya dalam kehidupan bernegara,
segera mengupayakan positivisasi norma-norma sosial (yang ius)
menjadi norma perundang-undangan (menjadi lege). Positivisasi hukum
Ibid.
Soetandyo Wignjosoebroto, 2002. Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya. Jakarta: Huma. Hlm. 96.
12
13
Landasan Ontologi...
88
menjadi prioritas utama dalam setiap pembangunan hukum di negaranegara yang tengah tumbuh modern dan menghendaki kesatuan dan
atau penyatuan. Positivisasi hukum juga selalu berakibat sebagai proses
nasionalisasi hukum dalam rangka penyempurnaan kemampuan negara
dan pemerintah untuk memonopoli kontrak sosial yang formal melalui
pemberlakuan atau pendayagunaan hukum positip.14
Proses positivisasi pada hakikatnya adalah suatu proses obyektivikasi
sejumlah norma meta-yuridis menjadi sejumlah norma yang positip.
Prosesnya tetap saja berlangsung dalam ranah normatif, sehingga Ilmu
Hukum yang terbangun adalah tetap berdasarkan logika normologi yang
deduktif, bukan berdasarkan logika nomologi yang induktif, untuk
menemukan berbagai nomos yang eksis sebagai fenomena empiris dalam
kehidupan sosial dan kultural. Hubungan kausal antara sebab (fakta
hukum) dan akibat (akibat hukum) dalam ilmu hukum yang berparadigma
positivisme adalah hasil normatif judgement, bukan hasil observasiobservasi yang mendayagunakan metode sains guna menjamin
obyektivitas dan reliabilitas.15
Kritik terhadap paradigma positivisme dalam Ilmu Hukum ini
bermula dari suatu pemikiran kritis yang mencoba mempertanyakan
pengertian ‘fenomena positip ‘ dalam paham positivisme itu sendiri.
Kritik ini muncul bukan dari kalangan filsafat hukum, akan tetapi dari
kalangan ilmuwan dan pemikir filsafat ilmu serta para matematisi sekitar
tahun 1920-an yang menamakan diri ‘Kelompok Wina’ (The Viena Circle).
Hasil kerja kelompok ini yang mendekonstruksi positivisme sebagai
paradigma keilmuan, kemudian secara langsung atau tidak langsung
turut berpengaruh pada perubahan pendekatan paradigma positivisme
dalam Ilmu Hukum. Kelompok Wina ini kemudian lebih dikenal dengan
sebutan The Logical Positivism. Kelompok ini menyatakan bahwa metode
ilmu-ilmu alam kodrat adalah satu-satunya sumber yang rasional untuk
Luhman, Niklas. 1985. A Sociological Theory of Law. London: Routledge & Kegan
Paul. P. 103;
15
Gardon Scott. Op.Cit. 33
14
Bab 3
89
memperoleh pengetahuan yang universal. Oleh karena itu metode ini
harus dipakai dalam setiap kerja penelitian, termasuk penelitian sosial.
Setiap pernyataan yang dianggap memiliki kebenaran harus ditentukan
oleh bukti-bukti yang empiris dan setiap penelitian itu harus benarbenar obyektif dengan mewajibkan si peneliti untuk mengontrol
keberpihakannya yang subyektif dengan berkomitmen pada nilai-nilai
kenetralan asasi.16 Untuk mencari kebenaran ilmiah, ilmuwan tidak boleh
melibatkan emosi dan keberpihakan apapun dan tugasnya hanyalah
membuat studi. Sine era et studio.17
Jika diproyeksikan ke dalam pemikiran filsafat dan Ilmu Hukum,
di sini orang tidak lagi hanya memahami hukum secara epistemologi
sebagai produk positivisme yang bertolak dari keputusan politik rezimrezim yang berkuasa atau negara, melainkan orang mulai memahami
hukum sebagai fakta sosial, yaitu law as what is empirically observed in
society. Ilmu Hukum pun mendapatkan pendefinisian yang lebih luas,
tak lagi sebatas reine Rechtslehre atau positive Jurisprudence yang Kelsenian,
melainkan juga sebagai socio-legal studies, dengan menempatkan hukum
sebagai fenomena empiris sebagai obyek kajian. Metodologi yang
digunakan bertumpu pada paradigma epistemologis the logical positivism yang dirintis oleh Kelompok Wina.18
C. Pengaruh Paradigma Postpositivisme pada
Ontologi Ilmu Hukum
Kritik terhadap paradigma positivisme dalam kajian-kajian sosial
dan humaniora dan kemudian juga pada kajian hukum, terutama pada
kajian the legal studies dan bukan pada positive jurisprudence, bertolak dari
suatu premis bahwa fakta sosial itu pada hakikatnya adalah sejumlah
realitas yang terwujud sepanjang berlangsungnya interaksi-interaksi
16
17
18
Martyn Hammersley.1995. The Politics of Social Research. London: Sage. p. 2-7.
Soetandyo Wignjosoebroto. Op.Cit. 98.
Black, Donald. 1976. The Behavior of Law. New York: Pegassus. P. 19.
Landasan Ontologi...
90
antara manusia di dalam kehidupan sosialnya. Dengan kata lain fakta
sosial itu bukanlah suatu yang objektif dan eksis ‘di luar sana’ melainkan
suatu konstruksi yang berada di dalam ranah subjektivitas manusia
yang tengah berinteraksi. Maka tidak akan ada suatu realitas sosial yang
berlaku universal, sehingga tidak akan ada pula fakta atau konstruksi
realitas sosial yang dapat diverivikasi validitasnya melalui metodemetode yang berparadigma positivisme.
Penganut paham tersebut oleh Collin (1997) disebut kaum Social
Constructivist. Kelompok ini berupaya mendefinisikan ulang apa yang
disebut realitas sosial. Kelompok social constructivist ini mempunyai
variasi argumentasi dalam mendefinisikan realitas sosial. Collin (1997)
mendiskripsikan setidak-tidaknya terdapat 8 (delapan) posisi
argumentasi yaitu: etnometodologi, relativisme budaya, konstruktivisme
sosial Bergerian, relativisme linguistic, fenomenologi, simbolisme fakta
sosial, paradigma konvensi, dan hermeneutic.19
Aplikasi paradigma konstruktivisme sosial di bidang kajian hukum
pada umumnya dilakukan dengan bertitik tolak dari posisi Hermeneutik.
Kajian sosial dan hukum yang bertolak dari pendekatan hermeneutik ini
secara tegas menolak faham universalisme dalam ilmu, khususnya ilmu
yang objeknya manusia dan masyarakatnya. Sebagai gantinya
relativisme itu yang harus diakui dan diterima. Pendekatan hermeneutik
adalah pendekatan untuk memahami objek (produk perilaku manusia
yang berinteraksi atau berkomunikasi dengan sesamanya), dari sudut
pelaku pelaku aksi-interaksi (aktor) itu sendiri, artinya tatkala mereka
itu tengah terlibat atau melibatkan diri di/ke dalam suatu proses sosial,
termasuk juga proses-proses sosial yang relevan dengan permasalahan
hukum. Pendekatan hermeneutik berasumsi secara paradigmatik
bahwasanya setiap bentuk dan produk perilaku antar manusia itu akan
selalu ditentukan oleh interpretasi yang dibuat dan disepakati para
pelaku yang tengah terlibat dalam proses itu, yang tentu saja akan
Soetandyo Wignjosoebroto. 2000. “Permasalahan Paradigma dalam Ilmu
Hukum”. Jurnal Ilmu Sosial Transformatif , Edisi 6- Tahun II 2000. Hlm. 18.
19
Bab 3
91
memberikan keragaman maknawi pada fakta yang sedang dikaji sebagai
objek.20
Pendekatan hermeneutik (interpretatif) dalam kajian hukum ini tidak
hanya akan membebaskan kajian-kajian hukum yang otoritarianisme
para yuris positivis yang elit, akan tetapi juga dari kajian-kajian hukum
kaum strukturalis atau behavioralis yang terlalu empiris sifatnya.
Pendekatan ini dengan strategi metodologiknya to learn from the people
mengajak para pengakaji hukum agar juga menggali dan meneliti
makna-makna hukum dari perspektif pengguna dan / atau pencari
keadilan sebagaimana dikatakan oleh Sarat (1992) ‘...as an alternative, or
addition, to (the study of legal) behavior’. Kajian hukum tipe ini tidak
bermaksud menggantikan sepenuhnya pendekatan-pendekatan lain.
Pendekatan ini tidak hendak mengklaim diri sebagai satu-satunya
pendekatan yang sah dalam kajian-kajian sosial dan hukum, sebagaimana
halnya pendekatan positivis, yang tidak sekali-kali pernah dapat
mengklaim paradigma dan metode serta teknik penelitiannya sebagai
satu-satunya yang sah untuk mempelajari hukum. Benar apa yang
dikatakan Sarat (1992) tersebut, bahwa pendekatan baru ini hanyalah
merupakan alternatif yang akan menambah kekayaan khasanah kajiankajian tentang hukum.21
D. Posisi Ilmu Hukum di Tengah Perkembangan
berbagai Paradigma
Utuk membahas posisi Ilmu Hukum di tengah berbagai paradigma
yang ada, penulis menggunakan pendekatan pemikiran Neo-Kantian.
Paradigma pemikiran Neo-Kantin membedakan secara tajam antara dua
macam alam di dalam kesemestaan yaitu adanya alam ‘sein’ yaitu alam
wujud secara fisik atau pengalaman dan alam ‘sollen’ yaitu alam abstrak
yang tidak berada dalam dunia fisik atau pengalaman. Terkait dengan
20
21
Ibid. Hlm. 19.
Ibid.
92
Landasan Ontologi...
persoalan Ilmu Hukum, maka kalangan ini menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan hukum adalah termasuk dalam lingkungan ilmu
pengetahuan kejiwaan atau kebudayaan. Bilamana diperhatikan sifat
keilmiahan dari ilmu hukum, maka perlu dibedakan antara kedua
macam alam tersebut yaitu alam ‘sein’ dan alam ‘sollen’. Ada Ilmu
Hukum yang mempelajari alam sein dan Ilmu Hukum yang mempelajari
alam sollen.
Terhadap ilmu pengetahuan hukum yang mempelajari alam ‘sein’
dari hukum, maka ilmu pengetahuan hukum tipe ini yang dianggap
benar-benar ilmiah sebagaimana konsep ilmu kaum positivism. Ilmu
pengetahuan hukum yang mempelajari alam sein ini dapat digolongkan
kepada ilmu tentang fakta-fakta (hukum) atau yang disebut sebagai
‘Tatsachenwissenchaft’ yang termasuk sebagai cabang Ilmu Sosiologi. Ilmu
Hukum ini adalah cabang sosiologi yang disebut Rechtssociologie.
Terhadap alam sollen dalam lingkungan Ilmu Hukum, juga ada
yang mempelajarinya. Akan tetapi terhadap alam ini perlu dibedakan
terlebih dahulu ilmu pengetahuan hukum yang mempelajari hubungan
yang logis dari gejala-gelalanya saja tanpa melihat pada isinya, dan ilmu
pengetahuan hukum yang berusaha menjelaskan bagaimana isi dan
maksud yang sesungguhnya dari kaidah-kaidah hukum itu. Ilmu
pengetahuan yang pertama disebut sebagai ajaran hukum formal
(Formale Rechtlehre) karena hanya membicarakan hubungan-hubungan
yang logis saja dari gejala-gejala hukum yang ada, yaitu dari segi
formalnya saja. Sementara itu ilmu pengetahuan hukum yang mengenai
isi dan maksud dari kaidah-kaidah hukum itu tidak dapat diterima oleh
kalangan Neo-kantian sebagai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan
hukum ini tidak mempunyai tempat di dalam lingkungan ilmu
pengetahuan dalam arti positip di atas.
Terhadap objek yang disebut hukum, pemikiran yang bersandar
pada paradigma Neo-Kantian mendapatkan suatu tempat yang penting
dalam sejarah peningkatan Ilmu Hukum. Pembedaan antara alam ‘sein’
dan ‘sollen’ menjadi dasar untuk membenarkan keilmiahan dari Ilmu
Bab 3
93
Hukum yang mengenai kaidah-kaidahnya, membantu dengan kuat
tempat dan kedudukan Ilmu Hukum sebagai ilmu.
M. Keosnoe memberikan catatan tentang Ilmu Hukum yang
berobjek alam sollen dengan mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Alam sollen adalah suatu alam yang tidak berujud dalam arti dapat
ditangkap oleh pancaindera. Alam ini adalah abstrak yang hidup
dan berada di alam jiwa manusia sebagai bagian dari alam yang
berkehendak. Berkehendak artinya suatu kegiatan jiwa yang hidup
yang berusaha untuk menjadikan apa yang ada dalam alam cita-cita
menjadi alam kenyataan. Dengan demikian alam kehendak tidak sama
dengan alam kenyataan. Alam kehendak mempunyai keadaannya
yang lain dari alam kenyataan. Alam kehendak tidak dapat didekati
dengan mempergunakan eksperimen-eksperimen yang diobservir
dengan cermat kemudian diolah berdasar suatu pemikiran yang logis
sehingga akhirnya dapat ditemukan dalil-dalil umum yang pasti.
Alam kehendak tidak dapat dikdekati dengan jalan pemikiran kausal
(sebab-akibat).22
Alam hukum menurut Koesnoe berada dalam alam sollen ini. Alam
hukum tidak berada dalam tatanan empiris yang dapat ditangkap
dengan pancaindera. Hukum dalam alam sollen mempunyai isi yang
sifatnya normatif dan juga imperatif. Normatif artinya memerintah untuk
melaksanakan isi kehendak, sedangkan imperatif artinya menuntut untuk
ditaati kehendak yang bersangkutan dengan setepat-tepatnya. Alam
hukum sebagai suatu alam kehendak yang normatif dan imperatif
bilamana diselesaikan secara ilmiah, menuntut pula syarat-syarat
kepastian sebagaimana setiap hasil ilmu pengetahuan yaitu melalui
pembuktian-pembuktian yang tidak dapat diragukan. Kehendakkehendak sebagaimana ada dalam hukum perlu dibuktikan secara pasti
dengan menggunakan alat-alat bukti. Dalam lingkungan ilmu hukum
pengertian bukti mempunyai syarat-syarat dan tuntutan-tuntutan yang
lain daripada apa yang ada dalam lingkungan ilmu pengetahuan alam.
Apa yang mungkin dibuktikan dalam lingkungan ilmu pengetahuan
alam, seperti tes mengenai darah misalnya, belum tentu dapat diterima
22
M. Koesnoe. 1981. Op.Cit. Hlm. 10.
Landasan Ontologi...
94
oleh hukum sebagai bukti yang meyakinkan. Misal dalam hal seorang
anak memerlukan pembuktian tentang benar tidaknya anak tersebut
sebagai anak kandung dari seorang bapak, dapat terjadi bahwa tes darah
dapat menjawab adanya kesamaan darah anak dengan laki-laki yang
dianggap bapaknya. Akan tetapi bagi hukum belum tentu diterima
secara sah, karena ada kemungkinan saksi-saksi lain serta bukti-bukti
dalam bentuk dokumen yang oleh hukum dianggap lebih kuat dapat
menyangkal pembuktian hasil ilmu pengetahuan alam dalam tes darah
tersebut.23
Senada dengan pemikiran Neo-Kantian, yang membedakan adanya
alam sein dan sollen, yang melahirkan ilmu pengetahuan hukum tentang
fakta-faka (hukum) atau Tatsachenwissenchaft’ dan ilmu pengetahuan yang
mempelajari tentang kaidah (hukum), Mauwissen (1994) mengemukakan
bahwa dapat dibedakan berbagai jenis Ilmu Hukum, yang meliputi Ilmu
Hukum Dogmatik, Ilmu Hukum Empiris dan bentuk-bentuk lain seperti:
Sosiologi Hukum, Sejarah Hukum, Perbandingan Hukum, dan Psikologi
Hukum.24
Ilmu Hukum Dogmatik bertugas untuk memaparkan, menganalisis,
mensistematisasi dan menginterpretasi hukum yang berlaku. Tujuannya
adalah untuk memungkinkan penerapan dan pelaksanaan hukum secara
bertanggungjawab di dalam praktik. Bentuk Ilmu Hukum ini menempati
posisi sentral dalam pendidikan hukum di universites. Sementara Ilmu
Hukum Empiris membedakan secara tajam antara fakta-fakta dan
norma-norma, antara keputusan-keputusan (proposisi) yang
memaparkan (deskripsi) dan yang normatif (preskriptif). Gejala-gejala
hukum dipandang sebagai gejala empiris (faktual) yang murni, yaitu
fakta-fakta kemasyarakatan yang dapat diamati secara inderawi. Gejalagejala ini harus dipelajari dan diteliti dengan menggunakan metodemetode empiris, sesuai dengan ‘gambaran standar’. Ini berarti bahwa
Loc.Cit
Mauwissen. 1994. “Ilmu Hukum”. Jurnal Pro Justitia. Tahun XII. Nomor 4 Oktober
1994. Hlm. 20-30.
23
24
Bab 3
95
hukum yang berlaku itu dipaparkan, dianalisis dan juga dijelaskan. Ilmu
ini berbicara dalam keputusan-keputusan deskriptif tentang gejala-gejala
hukum, yang untuk sebagian juga tampil dalam keputusan-keputusan
preskriptif. Penelitian empiris faktual terhadap isi dari hukum, antara
lain terhadap perilaku mereka yang terlibat dengan hukum. Ilmu Hukum
ini bersifat bebas nilai dan netral. Pengembannya sama sekali tidak
mengambil sikap (pendirian) menilai atau kritis terhadap gejala-gejala
hukum yang ia pelajari dan jelaskan.25
Lebih lanjut Mauwissen (1994) mengemukakan bahwa terkait
dengan pengembanan hukum dapat dibedakan ke dalam pengembanan
hukum praktis dan pengembanan hukum teoritis. Pengembanan hukum
praktis adalah kegiatan yang berkenaan dengan hal mewujudkan hukum
dalam kenyataan kehidupan sehari-hari secara konkrit, yang meliputi
kegiatan pembentukan hukum, penemuan hukum, dan bantuan hukum.
Sementara itu pengembanan hukum teoritis atau refleksi teoritis adalah
kegiatan akal budi untuk memperoleh penguasaan intelektual tentang
hukum atau pemahaman tentang hukum secara ilmiah yakni secara
metodis sistemtis-logis rasional. Berdasarkan tataran analisisnya (level
of analysis) atau berdasarkan tingkat abstraksinya, pengembanan hukum
teoritis dibedakan dalam tiga jenis. Pada tataran ilmu-ilmu positip, yang
paling rendah tingkat abstraksinya, disebut ilmu-ilmu hukum. Pada
tataran yang lebih abstrak disebut Teori Hukum, dan pada tataran
filsafat yang abstraksinya paling tinggi disebut Filsafat Hukum yang
meresapi semua bentuk pengemban hukum teoritis dan praktis.26
E. Ontologi Hukum sebagai Wilayah Terbuka
Sebagaimana telah diuraikan di atas diketahui bahwa hukum
sebagai objek kajian dapat dikaji dari berbagai pendekatan. Berbagai
pendekatan yang digunakan tersebut membawa konsekuensi pada
Ibid.
Uraian panjang lebar tentang pengembanan hukum, baca Mauwissen. 1994.
“Pengembanan Hukum “ PRO JUSTITIA Tahun XII Nomor 1 Januari 1994. Hlm. 61-81.
25
26
Landasan Ontologi...
96
tipologi kajian hukum yang berbeda-beda. Ada yang bercorak dogmatis,
ada pula yang bercorak empiris. Ada yang bercorak teoretis, ada pula
yang bercorak praktis. Semua jenis kajian tersebut adalah absah dan
tidak perlu dipertentangkan. Dengan demikian, maka dalam berilmu
hukum pun perlu diterima pendekatan yang bersifat holistik, yaitu
pendekatan yang mengintegrasikan berbagai pendekatan yang ada
untuk memahami lebih luas terhadap objek hukum sehingga didapatkan
kebenaran hukum yang komprehensif.
Pentingnya pendekatan holistik dalam kajian hukum ini dapat
bersifat internal maupun eksternal. Sifat internal diperlukan untuk
mengintegrasikan berbagai pendekatan yang ada yang sama-sama
mengkaji hukum sebagai objek kajian. Sifat ekternal diperlukan untuk
mengintegrasikan berbagai pendekatan di luar objek kajian ilmu hukum,
yaitu terhadap disiplin ilmu-ilmu lain yang yang berobjek bukan hukum.
Pendekatan holistik baik yang internal maupun ekternal ini dibutuhkan
agar tercipta seperti apa yang dikatakan oleh Edward O. Wilson dalam
Buku yang berjudul Consilience: The Unity of Knowledge. 27
Consilience merupakan gagasan utama yang ditawarkan Wilson
dalam upaya membangun pandangan yang holistik dalam ilmu
pengetahuan. Menurut Wilson consilience adalah suatu lompatan bersama
dalam hal pengetahuan, dengan jalan mempertalikan dan mempersatukan
fakta-fakta dan teori berdasarkan fakta di seluruh disiplin ilmu, guna
menciptakan suatu dasar penalaran atau alasan yang sama untuk memberi
penjelasan. Ilmu berada pada wilayah terbuka dan sebagai sistem jaringan
yang terhubung satu sama lain dalam kerangka analisisnya. Wilson
menolak pandangan klaim pemilahan analisis tentang ilmu yang selama
ini ditawarkan sejak pemikiran Aristoteles, Newton dan Discartes. Ia
mencoba membuka katub ilmu yang selama ini tertutup sehingga
dimungkinkan terjadinya holisme ilmu pengetahuan.28
Bagi Ilmu Hukum pandangan Wilson di atas membenarkan
Baca Edward O. Wilson. 1998. Consilience, The Unity of Knowledge. Alfreda Knoff
New York.
28
Ibid. Hlm 266.
27
Bab 3
97
pandangan alternatif bagi pendekatan kajian hukum. Kalangan pengkaji
hukum perlu menyadari bahwa selama ini ilmu hukum didominasi oleh
pemikiran yang cenderung positivistik dan terpilah. Dominasi ini begitu
kuatnya sehingga terkadang menyulitkan apabila ingin melakukan
analisis yang bersifat lintas metodologi. Pandangan Wilson sangat
bermanfaat untuk menjelaskan pendekatan holistik di dalam Ilmu
Hukum. Ini dapat dijelaskan sebagai berikut ini.
Perdebatan paling tajam dalam ranah epistemologi Ilmu Hukum
adalah menjawab pertanyaan apakah hukum itu ilmu atau bukan seperti
telah dikemukan di pokok permasalahan. Ada semacam problem filosofis
di dalam perdebatan demikian, bahkan terkesan berbelit dan berputarputar seperti sebuah lingkaran. Consilience menawarkan sebuah alternatif
pemikiran yaitu hukum menjadi sebuah model jaringan dan memilki
kesatuan konseptual dengan disiplin lainnya, semacam keterikatan dalam
sebuah jaringan laba-laba. Sebagai sebuah jaringan ilmu pengetahuan,
maka ruang komunikasi akan terbuka sedemikian rupa, sehingga hukum
dapat memecahkan problem bersifat lintas disiplin. Ini memberikan
keleluasaan bagi pembentukan model analisis dalam hukum serta
memberikan kemungkinan petualangan intelektual yang cukup luas
tentang nilai kemanuasiaan untuk menjawab berbagai persoalan.
Masing-masing ilmu mempunyai praktisi, metode, model analisis,
serta standar kebenaran sendiri. Network (sistem jaringan) memberikan
paling tidak suatu kesepakatan tentang kumpulan prinsip-prinsip abstrak
dalam ilmu meski tidak menuju pada kesatuan kosnepertual, batasbatas wilayah ilmu menjadi semakin menghilang. Kalaulah batas itu
ada, hukum tetap dapat masuk dan keluar denga bebas. Hukum dapat
bekerjasama dengan disiplin lain untuk menyelesaikan berbagai
persoalan. Implikasinya akan sampai pada pemikiran bahwa hukum
merupakan wilayah terbuka, bagi domain ilmu lain. Ini adalah model
pendekatan yang oleh Barbour29 disebut dengan dialog antar ilmu, yaitu
Ian G.Barbour. 2000. When Science Meets Religions; Enemies, Strangers, or Patner. Harper
Collins Publisher Inc. Hlm 40-42.
29
Landasan Ontologi...
98
dialog ketika ilmu menyentuh persoalan di luar wilayah yang menjadi
kajiannya, sehingga dapat ditunjukkan metode bidang-bidang ilmu baik
kemiripan atau perbedaannya. Model dialog ini memotret hubungan
lebih bersifat konstruktif, meski tidak menawarkan kesatuan konseptual.
Model ini merupakan upaya ilmiah untuk mengeksplorasi kesejajaran
metode antara ilmu (hukum ) dengan lainnya. Gagasan ini juga dapat
disebut sebagai suatu proses komunikasi. Dialog menekankan kemiripan
dalam pra-anggapan, metode dan konsep.
Thomas Kuhn, menawarkan gagasan kesejajaran dalam apa yang
disebut dengan paradigma, yaitu seperangkat pra anggapan konseptual,
metafisik, dan metodologis dalam tradisi kerja ilmiah. Melalui paradigma
baru data lama ditafsirkan ulang dan dipandang dengan cara baru, dan
data baru dicoba ditemukan. Tidak ada aturan atau kriteria yang pasti
untuk memilih satu diantara paradigma-paradigma yang ada.
Paradigma merupakan penilaian yang dilakukan oleh komunitas ilmiah.
Paradigma yang mapan ini cenderung resisten terhadap falsifikasi,
dengan demikian ketidaksesuaian antara teori dan data dapat dianggap
sebagai anomali atau didamaikan dengan memperkenalkan hipotesis
ad hoc. Sebagai pandangan tentang hukum yang sosiologis, mencoba
menalaah hubungan dialog ini antara anasisr-anasir hukum dengan nonhukum atau tertib hukum dengan tertib sosial30, hukum dengan kegiatan
bisnis31 dan lain-lain. Inilah hakekatnya bahwa Ilmu Hukum merupakan
sebuah jaringan.
Secara teoretis dan praktis hukum sebagai sebuah disiplin
hendaknya memiliki model analisis dan mampu menyelesaikan berbagai
ragam persoalan. Satu hal yang dirasakan cukup menggangu adalah
terlalu sempitnya lingkup batasan hukum yang dikemukan para teoretisi
konvensional. Hukum digambarkan sebagai wilayah yang stiril dan
Julius Stone. 1969. Law and Social Sciences. Minneapolis. University of Minnesota
Press. Hlm 3-24.
31
Stewart Macaulay. 1963. Non Contractual Relation in Business. American Sociological
Review. Hlm 55-67.
30
Bab 3
99
tertutup atau kedap air. Akibatnya tidak ada tempat bagi pandangan
di luar klaim ini. Ini muncul karena kepercayaan yang sangat kuat bahwa
hukum, adalah wilayah terkerangkeng dalam logika. Hukum mengalami
kesulitan untuk melakukan terobosan analisis bahkan kesulitan untuk
membentuk disain analisisnya sendiri. Singkatnya hukum tidak memiliki
kemampuan melakukan sintesis ragam pendekatan. Analisis hanya
berakhir pada pada apa yang disebut sebagai dominasi wilayah yang
sempit, yaitu analisis yuridis yang meliputi aturan, kaidah dan sanksi
atau paling jauh kekuatan analisis hukum pada nampak pada prosedur
dan formalisme. Teori hukum, metodologi, pendidikan dan praktek
hukum sangat didominasi oleh pandangan stiril dan tertutup. Analisis
akan disebut analisis hukum jika analisis itu sangat logis (berada dalam
logika sistem hukum) dan menggunakan term yang dikenal dalam
keilmuan hukum. Hukum secara filosofis dan metodologis harus terpisah
dari ilmu-ilmu lain.
Dengan pendekatam holistik, wilayah hukum menjadi wilayah
terbuka. Hukum menjadi domain telaah disiplin lain. Ragam pendekatan
metodologis akan memperkaya serta memberikan terobosan baru dalam
ranah keilmuan hukum. Model pendekatan holisitik ini menawarkan
semacam integrasi menuju kepada kesatuan konseptual dalam ilmu
pengetahuan. Dengan demikian gagasan-gagasan tentang hukum
(khususnya pandangan konvensional /sempit dan steril) wajib
mengalami perumusan ulang. Dengan mengikuti pendekatan holistik
dalam Ilmu Hukum, maka menjadi tugas para ilmuwan untuk
mengutuhkan kembali hukum, menyatukan kembali hukum dengan
lingkungan alam, dan orde kehidupan yang lebih besar. Memasukkan
studi hukum ke dalam orde yang lebih besar tersebut bertujuan untuk
menghilangkan pemisahan antara hukum dan kehidupan manusia. Inilah
yang dinamakan mengembalikan hukum ke dalam keutuhan.
Metodologi demikian dapat dilakukan apabila setiap kali hukum
membuat keputusan (legislasi, yudikasi ataupun enforcement)
senantiasa melihat kepada keutuhan dengan kehidupan manusia.
100
Landasan Ontologi...
Hukum tidak boleh mempertahankan eksistensinya sedemikian rupa
sehinmgga menjadi suatu anomali dalam konteks keutuhan dengan
kehidupan manusia.32
Melalui kejayaan dan dominasi paradigma positivisme-analitis
sejak abad kesembilanbelas, sampai sekarang kita masih diwarisi oleh
studi hukum yang menampilkan gambar hukum yang berkepingkeping (fragmented). Gambar hukum yang muncul dari studi itu bukan
menampilkan sosok hukum yang utuh. Orang mempelajari Hukum
Tatanegara, Hukum Pidana, Hukum Perdata dan seterusnya bukan
dalam kesatuan keutuhan dengan lingkungannya, akan tepai terkepingkeping. Untuk menciptakan keutuhan, maka studi hukum harus dapat
mengembalikan “darah, urat dan daging-daging hukum” melalui
pendekatan holistik, yaitu memamparkan secara sosiologis,
anthropologis, ekonomis, psikologis, dan seterusnya. Oleh karena itu
perlu diasiapkan pengajar-pengajar Sosiologi hukum pidana,
Anthropologi hukum tatanegara, Psikologi hukum Acara dan seterusnya.
Paradigma holistik tersebut tentunya akan mengubah peta berhukum
dan pembelajaran hukum yang selama ini memandu kita.33
F. Dimensi Ontologi dalam Ilmu Hukum Profetik
Gagasan awal perlunya mengembangkan Ilmu-Ilmu Profetik
ditebarkan oleh Kuntowijoyo pada sekitar tahun 2002. Gagasan ini
diilhami oleh dua pemikir besar Muhammad Iqbal, dan Roger Garaudy,
pemikir Perancis yang kemudian masuk Islam, sebagaimana telah
dijelaskan pada uraian di bab1.
Bagi Ilmu Hukum, munculnya Ilmu Profetik ini terasa
mendapatkan gagasan baru yang patut diwadahi dan kemudian
dikembangkan sebagai alternatif kajian keilmuan hukum, yang berbasis
pada nilai-nilai profetik yang sumber utamanya adalah wahyu ilahi.
Satjipto Rahardjo. 2005. “Pendekatan Holistik terhadap Hukum”. Jurnal Hukum
Progresif Volume: 1 / Nomor 2/ Oktober 2005. Hlm 13;
33
Ibid.
32
Bab 3
101
Oleh karena itu, al-Qur’an dan al-Hadits dalam konteks Ilmu Hukum
Profetik menjadi basis utama epistemologinya. Segala sesuatu yang ada
dalam al-Quran dan Al-Hadits harus diketahui dan dipahami dengan
baik terlebih dulu untuk dapat dijadikan landasan bagi keseluruhan
bangunan Ilmu Hukum Profetik. Untuk itu, pengetahuan dan
pemahaman tentang unsur-unsur yang relevan dari Al Quran dan alHadits akan sangat membantu pengembangan Ilmu Hukum Profetik.
Di sini diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang baik dan benar
mengenai kedua hal tersebut, di samping pengetahuan dan pemahaman
mengenai Filsafat Ilmu, Filsafat Ilmu Hukum dan Filsadat Hukum pada
umumnya.
Dengan mendasarkan pada pengertian dan pemahaman seperti
tersebut untuk sementara (tentatif) dapat dirumuskan bahwa Ilmu
Hukum Profetik adalah Ilmu Hukum yang paradigmanya, asumsi-asumsi
dasarnya, prinsip-prinsipnya, ajaran atau teorinya, metodologinya,
struktur norma-normanya, dibangun berdasarkan basis epistemologi
ajaran Islam yang bersumber pada al-Quran dan al-Hadits. Melalui proses
transformasi dan objektivikasi ajaran Islam tentang hukum yang
bersumber pada al-Quran dan al-Hadits tersebut (teks) dibangun asumsiasumsi dasar yang kemudian turun menjadi teori, doktrin, asas-asas,
kaidah dan norma-norma hukum yang berlaku di masyarakat sesuai
dengan konteksnya masing-masing. Masyarakat yang dimaksud adalah
baik masyarakat muslim maupun non-muslim. Tujuan transformasi dan
objektivikasi tersebut didasarkan pada misi ajaran Islam sebagai rahmatan
lil’alamin. Bangunan Ilmu Hukum Profetik didasarkan pada 3 (tiga)
landasan etik profetik, yaitu humanisasi (amar makruf), liberasi (nahi
munkar), dan transendensi (tukminuna billah), yang itu semua bertujuan
untuk kesejahteraan umat manusia (baldatun thoyyibatun warobbun ghofur)
secara sempurna (kaffah).
Seperti halnya ilmu pada umumnya, Ilmu Profetik juga memiliki
asumsi-asumsi dasar tertentu berkenaan dengan objek materialnya.
Asumsi dasar ini sebagian dapat sama, sebagian dapat berbeda. Asumsi-
102
Landasan Ontologi...
asumsi yang sejalan dengan asumsi Ilmu Hukum pada umumnya, dapat
diambil untuk membangun Ilmu Hukum Profetik. Akan tetapi,
mengambil dan menggunakan asumsi dasar dari paradigma-paradigma
Ilmu Hukum pada umumnya tentunya tidak cukup, karena hal itu akan
membuat Ilmu Hukum Profetik tidak ada bedanya dengan Ilmu Hukum
pada umumnya.
Jika kritik yang dilontarkan terhadap ilmu pada umumnya adalah
sifatnya yang sekuler, maka kelemahan inilah yang tidak boleh terulang
dalam Ilmu Hukum Profetik. Artinya, di sini harus dilakukan
desekularisasi, yang berarti memasukkan kembali unsur sakral, unsur
ke-Ilahi-an dalam ilmu (hukum) profetik. Bagaimana caranya?
Menurut Ahimsa-Putra, salah satu caranya adalah dengan
menempatkan kembali segala objek material Ilmu Profetik dan Ilmuwan
Profetik dalam hubungan dengan Sang Maha Pencipta, Allah s.w.t. atau
Tuhan Yang Maha Kuasa (dimensi transendensi). Di sini perlu
diasumsikan bahwa meskipun alam dan kehidupan manusia adalah
sebuah realitas yang ada, namun realitas ini tidak muncul dengan
sendirinya. Realitas ini ada penciptanya. Oleh karena itu, kita tidak dapat
memperlakukan realitas tersebut seenak kita, terutama seyogyanya kita
tidak merusak realitas tersebut, kecuali kita memiliki alasan-alasan yang
dapat diterima berdasarkan patokan etika dan estetika tertentu.
Menempatkan kembali realitas objektif yang diteliti atau dipelajari
sebagai ciptaan Allah Yang Maha Pencipta adalah apa yang oleh
Kuntowijoyo disebut sebagai proses transendensi. Menurut
Kuntowijoyo, “Bagi umat Islam sendiri tentu transendensi berarti
beriman kepada Allah s.w.t. (tukminuna billah)”.34
Bagi Ilmu Hukum Profetik, kiranya perlu dipikir ulang apa
sebenarnya yang menjadi objek material ilmu hukum profetik itu dan
bedanya dengan Ilmu Hukum pada umumnya. Untuk mengetahui hal
ini, maka yang perlu dipertanyakan adalah apa sebenarnya yang menjadi
Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. Yogyakarta:
Tiara Wacana. Hlm.107.
34
Bab 3
103
hakikat dari hukum itu sendiri? Dalam Ilmu Hukum pada umumnya
banyak asumsi dasar yang diikuti oleh para ilmuwan hukum untuk
menjelaskan apa hakikat hukum itu.
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto (1994), terdapat sekurangkurangnya lima asumsi dasar yang membentuk konsep hukum yang
berbeda. Pertama, hukum dikonsepkan sebagai asas moralitas atau asas
keadilan yang bernilai universal, dan menjadi bagian inheren sistem
hukum alam, atau bahkan tak jarang dipercaya juga sebagai bagian dari
kaidah-kaidah yang supranatural sifatnya. Kedua, hukum dikosepkan
sebagai kaidah-kaidah positip yang berlaku umum in abstracto pada suatu
waktu tertentu dan di suatu wilayah tertentu, dan terbit sebagai produk
eksplisit suatu sumber kekuasaan politik tertentu yang berlegitimasi,
atau yang lebih dikenal sebagai hukum nasional atau hukum negara.
Ketiga, hukum dikonsepkan sebagai keputusan-keputusan yang
diciptakan hakim in concreto dalam proses-proses peradilan sebagai
bagian dari upaya hakim menyelesaikan kasus atau perkara, yang
berkemungkinan juga berlaku sebagai preseden untuk menyelesaikan
perkara-perkara berikutnya. Keempat, hukum dikonsepkan sebagai
institusi sosial yang riil dan fungsional di dalam sistem kehidupan
bermasyarakat, baik dalam proses-proses pemulihan ketertiban dan
penyelesaian sengketa maupun dalam proses-proses pengarahan dan
pembentukan pola-pola perilaku yang baru. Kelima, hukum dikonsepkan
sebagai makna-makna simbolik sebagaimana termanifestasikan dan
tersimak dalam dan dari aksi-aksi serta interaksi warga masyarakat.35
Berdasarkan pembagian konsep hukum seperti yang dikemukakan
oleh Wignjosoebroto tersebut, dalam konteks Ilmu Hukum Profetik,
asumsi dasar yang pertama (hukum sebagai asas-asas moralitas)
nampaknya tidak jauh berbeda dan sejalan dengan asumsi dasar Ilmu
Hukum Profetik. Hanya saja konsep tersebut perlu diberi isi yang lebih
jelas terkait dengan ciri keprofetikannya. Menurut hemat penulis ciri
Soetandyo Wignjosoebroto. 2002. Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya. Jakarta: Huma. Hlm.42.
35
104
Landasan Ontologi...
keprofetikan itu dapat ditunjukkan dengan asumsi dasar bahwa “hukum
pada hakikatnya adalah kehendak Allah tentang sesuatu yang adil yang
sumbernya terdapat pada al-Qur’an dan al-Hadits”. Untuk itu perlu dicari
ayat-ayat dan hadits-hadits nabi yang berisi kehendak Allah tentang
sesuatu yang adil tersebut sebagai basisnya.
Sejalan dengan pengertian tersebut, Fakultas Hukum UII melalui
Pola Ilmiah Pokok (PIP) telah merumuskan tentang esensi hukum
sebagai berikut ini.
Esesnsi hukum adalah kehendak, dan kehendak tertinggi yang
kebenarannya bersifat hakiki adalah kehendak Allah SWT, yang
diperuntukkan pada manusia, untuk dapat mencapai derajat yang
mulia sebagai wakil Allah di muka bumi (Q.S.2:30). Karena itu
sesungguhnya, hukum merupakan sarana dan wahana bagi manusia
atas dasar keimanannya untuk mendapatkan ridho-Nya (Q.S. 2:147;
3:360; 18:29; 5:59). Dalam peringkat hubungan manusia dengan
manusia dan manusia dengan ekosistemnya, hukum Allah harus
menjadi landasan etik bagi hukum ciptaan manusia. Hukum ciptaan
manusia pada dasarnya adalah perlanjutan yang konsisten dari
hukum Allah (Q.S 5:44 dan 45; 4:59). Karena itu tegak dan eksisnya
hukum-hukum ciptaan manusia dapat mendatangkan malapetaka
bagi manusia dengan ekosistemnya, manakala tidak bersandarkan
pada kehendak Allah (QS.30:41). Makna pendidikan adalah proses
pemanusiaan manusia (humanisasi) dengan sarana ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan sendiri pada dasarnya merupakan rahmat Allah
SWT untuk manusia (QS.96:3-5). Dimensi rasionalitas ilmu
pengetahuan bukan menjadi satu-satunya ukuran kebenarannya.
Relativitas ilmu pengetahuan telah menunjukkan bahwa di dalam
dirinya terkandung keserba mungkinan, yang senantiasa terikat ke
ruang waktuan. Oleh karenanya, dalam pendidikan, ilmu
pengetahuan yang bersumber pada ke-mahasegala-Nyalah yang
mampu menghantarkan manusia kepada derajat yang mulia. Dan
adalah suatu kebenaran, manakala pendidikan pada hakikatnya
bertujuan menjadikan manusia semakin menyadari makna
keberadaannya secara fungsional dan semakin mendorong manusia
untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT (QS. 3:73; 5:56; 58:11).
Pendidikan hukum pada dasarnya adalah penggabungan secara
kualitatif dan proporsional antara makna hukum dan makna
pendidikan. Pendidikan hukum bukannya semata-mata membuat
manusia menguasai ilmu hukum, tetapi lebih dari itu adalah membuat
manusia mampu menfalsifikasi dan menferifikasi hukum-hukum
yang ada atas dasar esensi hukum. Dengan kata lain hakikat
pendidikan hukum adalah upaya menjadikan manusia agar dapat
Bab 3
105
memahami hukum dan mengaktualisasaikannya untuk menegakkan
keadilan dalam segala aspek kehidupan sebagai realisasi amanah
Allah SWT (QS. 4:58; 5:2. Tujuan pendidikan nasional sebagaimana
dirumuskan dalam GBHN tahun 1993 dan UU No.2 Tahun 1989,
dengan tegas dan jelas menempatkan nilai-nilai kemanusiaan secara
utuh, yakni membentuk manusia yang taqw kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Dengan bertitik tolak dari rumusan tersebut maka
pendidikan hukum harus mencerminkan upaya-upaya penjelmaan
nilai-nilai yang terkandung dalam hakikat sila Ketuhanan Yang Maha
Esa, yang subtansinya adalah nilai-nilai wahyu ilahi. Pasal 29 UUD
1945 mempertegas eksistensi nilai-nilai wahyu ilahi itu sebagai
sumber nilai-nilai hukum di Indonesia. Dalam arti maknawi, Pasal
29 tersebut bukan hanya menjamin, tetapi sekaligus merupakan
kerangka ideal bagi setiap lapisan/lembaga kemasyarakatan yang
ada untuk bersama-sama menciptakan tatanan masyarakat dan
bangsa yang bersifat religius. Dengan demikian pendidikan hukum
yang berorientasi pada nilai-nilai wahyu ilahi dan nilai-nilai falsafati
merupakan penjabaran Pancasila dan UUD 1945, dan sekaligus
mencerminkan pola pendndikan hukum yang integratif dalam
dimensi spiritual material dan dimensi kemnusiaan serta
kemasyarakatan yang ber-Ketuhanan. Pola pendidikan hukum yang
demikian akan mendekatkan pada kemampuan yang andal bagi
pembentukan Sarjana Hukum yang berkepribadian, yang
mencerminkan kepekaan dan sikap yang apresiatif terhadap realitas
serta responsif terhadap tantangan kemajuan, sarjana hukum yang
mampu beramal ilmiah dan berilmu amaliah demi terwujudnya
masyarakat adil dan makmur duniawi dan ukhrowi. Perguruan Tinggi
sebagai pusat ilmu dan kebuadayaan merupakan lembaga yang
terikat dan bertanggungjawab untuk terbentuknya tatanan
masyarakat yang berbudaya, berkeadilan sosial dan berketuhanan,
dalam konteks ini pendidikan hukum yang berpola pada identitas
nilai-nilai yang bersumber dari agama, Pancasila dan UUD 1945
memerlukan perumusan Pola Ilmiah Pokoknya, yang berfungsi
sebagai norma dasar akademik yang memberi arah terhadap seluruh
aktifitas Fakultas Hukum UII. Pendidikan hukum di negara kita akan
semakin bermakna manakala berdasar pada tujuan pendidikan
nasional yang berorientasi pada Pancasila, dapat membuahkan sarjana
hukum yang mampu berperan sebagai penegak hukum dan keadilan,
yang bersumber adari agama, Pancasila dan UUD 1945 dirasakan
sangat besar artinya. Oleh karena itu pendidikan sebagai
perekayasaan manusia agar berwatak, bersikap dan berperilaku
sejalan dengan tujuan penegakan hukum dan keadilan. Fakultas
Hukum UII sebagai lembaga pendidikan tinggi yang berdasar pada
Pancasila dan UUD 1945 dan perpedoman pada ajaran Islam,
mempunyai tugas luhur di dalam kerangka pencapaian tujuan
106
Landasan Ontologi...
pendidikan hukum. Adalah merupakan fungsi yang dasariah sifatnya,
bahwa dalam usianya yang semakin menua ini FH UII perlu
merekonstruksi segala aktifitasnya agar kehadiranya dalam rangka
aktualisasi tujuan UII menjadi lebih bermakna. Berdasarkan identitas,
tujuan pendidikan, pasaran kerja dan kebutuhan masyarakat, program pendidikan tinggi FH UII menetapkan tema “PENEGAKAN
HUKUM YANG BERWAWASAN QURANI” sebagai Pola Ilmiah
Pokoknya. Pola Ilmiah Pokok tersebut berfungsi sebagai norma dasar
akademis yang memberi arah seluruh aktifitas di FH UII yang
dinyatakan di dalam keseluruhan kurikulum, silabus dan kegiatan
akademik penunjangnya.36
Subtansi PIP yang dirumuskan oleh FH UII tersebut jika dicermati
secara seksama merupakan jabaran tentang esensi hukum sebagaimana
dikehendaki oleh Ilmu Hukum Profetik. Hukum pada hakikatnya adalah
kehendak Allah yang ditujukan kepada manusia untuk mencapai derajat
manusia yang mulia sebagai khalifah. Hukum berfungsi sebagai sarana
dan wahana manusia untuk mendapatkan ridho-Nya. Nilai-nilai yang
terumuskan dalam PIP tersebut sejalan dengan etika profetik yaitu
humanisasi, leberasi dan transendensi.
Dari uraian di atas dapat ditegaskan kembali beberapa hal yaitu
bahwa basis utama dari Ilmu Hukum Profetik adalah Ajaran Islam yang
terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Oleh karena itu segala
sesuatu yang ada dalam al-Quran dan Sunnah Rasulullah harus diketahui
dan dipahami dengan baik dan benar terlebih dulu, untuk dapat
dijadikan landasan bagi keseluruhan bangunan Ilmu Profetik. Tentu
saja tidak semua unsur dalam al-Quran dan Sunnah Rasul relevan dengan
pengembangan Ilmu Hukum Profetik. Untuk itu, pengetahuan dan
pemahaman tentang unsur-unsur yang relevan akan sangat membantu
dalam pengembangan Ilmu Hukum Profetik. Di sini diperlukan
pengetahuan dan pemahaman yang baik dan benar mengenai al-Quran
dan Sunnah Rasul serta pengetahuan dan pemahaman mengenai Filsafat
Ilmu pada umumnya dan Filsafat Ilmu Hukum.
36
Panduan Akademik 1997/1998. Fakultas Hukum UII. Hlm.21-24.
Bab 3
107
Dari basis utama Alquran dan Sunnah Rasul, diturunkan lagi
menjadi asumsi-asumsi/prinsip-prinsip dasar yang lebih konkrit.
Asumsi-asumsi dasar tersebut antara lain adalah mengenai: (a) basis
pengetahuan; (b) objek material; (c) gejala yang diteliti; (d) ilmu; (e)
ilmu sosial-budaya/alam; (f) disiplin. Disiplin profetik adalah cabang
ilmu tertentu dalam konteks ilmu pada umumnya, tetapi ditambah
dengan ciri profetik. Oleh karena itu disiplin profetik ini dapat dibangun
dari disiplin ilmu konvensional (umum), sehingga kita dapat memiliki
ilmu kedokteran profetik, ilmu kehutanan profetik, ilmu teknik profetik,
ilmu farmasi profetik, sosiologi profetik, Ilmu Hukum Profetik, psikologi
profetik, antropologi profetik, dan seterusnya.37
Dengan mengikuti alur pikir yang demikian, Ilmu Hukum Profetik
adalah cabang Ilmu Hukum yang dibangun berdasarkan basis ajaran
Islam yang bersumber pada al-Quran dan Sunnah Rasul yang
ditransformasikan dan diobjektivkan menjadi asumsi-asumsi dasar
dalam membagun teori, doktrin, asas-asas, kaidah dan norma-norma
hukum, yang dapat berdampingan dengan Ilmu Hukum pada
umumnya.
37
Heddy Shri Ahimsa-Putra. Op.Cit.
108
Landasan Ontologi...
BAB
4
LANDASAN EPISTEMOLOGI
ILMU HUKUM PROFETIK
A. Pengantar
Landasan epistemologi dihadirkan di hadapan kita untuk
menjelaskan bagaimana pengetahuan yang disebut ilmu itu diperoleh
secara benar (valid), terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan
berdasarkan suatu metode ilmiah tertentu. Melalui epistemologi
tersebut kita dapat memahami bagaimana ilmu itu ada atau lahir dan
informasi atau pengetahuan yang disampaikan diyakini kebenarannya
secara ilmiah. Melalui epistemologi itu juga kita dapat membedakan
mana pengetahuan yang disebut ilmu dan yang bukan ilmu, mana yang
ilmiah dan mana yang tidak ilmiah.
Dalam epistemologi ilmu, hal mendasar yang menjadi pertanyaan
adalah bagaimana proses yang memungkinkan diperolehnya
pengetahuan yang disebut ilmu? Bagaimana prosedur memperolehnya?
Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan
pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri dan
apa kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam
mendapatkan pengetahuan yang benar yang berupa ilmu itu?
Untuk menjelaskan tentang landasan kefilsafatan terkait
epistemologi Ilmu Hukum Profetik, terlebih dahulu akan dicoba
dipaparkan dasar-dasar epistemologi ilmu yang diturunkan dari
110
Landasan Epistemologi...
wawasan ajaran ke-Islaman yang ditulis oleh M.Koesnoe, dasar-dasar
epistemologi al-Qur’an tentang pengembangan ilmu pengetahuan yang
ditulis oleh M.Syamsudin, kemudian dilanjutkan pada tulisan M.Amin
Abdullah yang menguraikan tentang epistemologi hukum Islam melalui
pendekatan sistem. Dari uraian-uraian tersebut pada bagian akhir akan
dicoba untuk dirumuskan tentang basis epistemologi Ilmu Hukum
Profetik.
B. Meninjau Pemikiran Ilmu, Ilmiah Modern dan
Dasar Filsafatnya Dewasa Ini, Suatu Tinjauan
dalam Rangka Persepektif Wawasan Ajaran
Ke-Islaman
Oleh M. Koesnoe
1. Pendahuluan (1)
Di dalam masyarakat kita dewasa ini terjadi kekaburan di dalam
memberi arti pada kata ilmu dan ilmiah. Terutama terhadap istilah
ilmiah terjadi suatu penggunaan yang sembarangan saja. Setiap uraian
dari seseorang yang menyandang gelar akademis, atau yang memangku
suatu jabatan tinggi, yang disampaikan di muka suatu pertemuan yang
diseleng-garakan oleh perguruan tinggi atau lembaga sejenis dengan
itu, selalu dikatakan bahwa uraian yang bersangkutan disebut sebagai
‘pidato’ atau ‘orasi’ ilmiah.
Kekaburan semacam itu membawa akibat, pertama-tama akan
menyulitkan untuk memberi jawaban tentang bagaimana memandang
dan menilai kegiatan dalam rangka kebebasan ilmiah dan kebebasan
akademis yang harus dilaksanakan oleh suatu lembaga ilmiah yang oleh
undang-undang dilindungi. Kesulitan tersebut akan membawa ide yang
dapat menyesatkan dalam menentukan ukuran tentang bagaimana
menilai suatu karya intelektual/akademis sebagai bermutu ilmiah atau
tidaknya.
Bab 4
111
Sehubungan dengan itu dalam kesempatan ini, pertama-tama saya
ingin membahas hal tersebut. Bagi para peserta program S2 dan S3 dan
para pengasuhnya, kiranya penjelasan tentang persoalan tersebut sangat
diperlukan. Karena di dalam program itu, yang terutama menjadi
tujuannya ialah berusaha meningkatkan penguasaan dan kemampuan
para pesertanya untuk dapat bekerja secara ilmiah menurut ukuran
yang dapat diakui, diterima dan dihargai sebagai layaknya suatu karya
ilmiah oleh dunia ilmu pengetahuan yang bersangkutan.
Dengan penguasaan itu, para peserta program S2 dan S3 sebagai
peserta graduate program dari sesuatu lembaga pendidikan tinggi, yang
bila telah selesai mengikuti program itu dengan hasil baik, dan nantinya
menyandang gelar akade-mis yang tinggi, akan dapat diterima sebagai
anggota masya-rakat akademis yang disegani, karena dapat ikut serta
mengembangkan secara mandiri dan bermutu tentang ilmu yang
menjadi perhatiannya. Hal itu karena semata-mata dia sanggup
menghadapi tantangan kalangan ilmu yang ditekuninya itu secara
tangguh, memuaskan serta meyakinkan.
2. Tatanan Pemikiran Menuju ke Pemikiran Ilmu
dan Ilmiah
Pemikiran ilmu beserta pemikiran ilmiahnya dalam sesuatu bidang,
bukanlah pemikiran yang berdiri sendiri. Di belakang ilmu beserta
pemikiran ilmiahnya, berdiri sebagai dasar dan pedoman, pemikiran
yang lebih mendasar lagi sifatnya. Di bawah ini, secara ringkas
ditunjukkan bagaimana urutan tata susunan pemikiran, baik yang
merupakan pemikiran yang pra-maupun yang pasca-ilmu beserta
pemikiran ilmiahnya.
1) Filsafat, terutama yang epistemologi,
2) Dari filsafat itu lahir ajaran mengetahui yang di dalamnya terdapat
ajaran tentang methodologi,
3) Dari ajaran methodologi disusun ilmu pengetahuan,
4) Dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan disusun teknologinya,
5) Dari teknologi disusun penerapannya atau tekniknya.
112
Landasan Epistemologi...
Demikian tata urutan pemikiran ilmu dan ilmiah. Itu adalah
berpangkal dari filsafat. Di situ tampak, bahwa pemik-iran ilmu, letaknya
baru pada tahap ketiga. Karena pemikiran ilmu beserta pemikiran
ilmiahnya baru mungkin dilakukan atas dasar petunjuk tentang jalan
pemikiran yang bagaimana yang harus ditempuh dalam menyelesaikan
persoalan yang dihadapi. Artinya jalan pemikiran itu menuruti instruksi
atau disiplin yang ada di dalam ajaran mengetahui tentang sesuatu
menurut bidang ilmu pengetahuan yang bersangkutan secara filosofis
dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Dari itu dikatakan, bahwa
filsafat adalah induk dari segala ilmu pengetahuan.
Pemikiran ilmu beserta pemikiran ilmiahnya ialah pemikiran yang
secara konsekuen mengikuti suatu disiplin berpikir yang diajarkan oleh
filsafat pengetahuan. Dari itu, suatu ilmu pengetahuan juga sering
disebut sebagai suatu disipiin.
Pemikiran ilmu, sekali lagi yaitu hanya berpikir secara ilmu saja,
adalah pemikiran terhadap sesuatu persoalan tertentu dengan mengikuti
suatu metode tertentu. Pemikiran yang demikian dilakukan dengan teliti
dan hati-hati, sehingga sebagai hasilnya akan dapat menguasai
persoa-lan beserta jawaban atas persoalan yang bersangkutan dengan
sebaik-baiknya.
Dalam melaksanakan pemikiran menurut ilmu, berlaku sikap
pemikiran yang dogmatis. Artinya berpangkal dari prinsip-prinsip yang
sudah ditentukan terlebih dahulu pangkal haluannya di dalam
menjelaskan persoalan beserta isi jawaban persoalan ilmu yang
bersangkutan. Karena berpikir secara ilmu adalah berpikir untuk dapat
memperoleh pengertian yang sebaik-baiknya, sejauh-jauhnya dan
sedalam-dalamnya dalam arti conceptual status quo tentang apa yang
telah dihasilkan oleh ilmu yang bersangkutan. Orang yang menguasai
ilmu dengan cara demikian, dinamakan sebagai ahli ilmu, atau disingkat
ilmuwan.
Berpikir secara ilmu, berlainan dengan berpikir secara ilmiah. Beda
antara keduanya pertama-tama ialah dalam sikap. Di dalam berpikir
Bab 4
113
menurut ilmu, sikap yang diambil ialah menerima dan mengikuti apa
yang sudah diketahui dan tercantum sebagai penjelasan atas persoalan,
metode pendekatan dan kesimpulannya dalam ilmu yang bersangkutan.
Dari itu sikap seorang ilmuwan sedikit banyak adalah pasif dalam
menghadapi persoalan, metode dan kesimpulan yang sudah ada dalam
ilmunya. Dalam menghadapi persoalan, metode pendekatan dan
kesimpulan yang ada dalam bidang ilmunya, ilmuwan menjalankan
kegiatannya dengan jalan yang bersifat dogmatis dalam rangka menguasai
isi ilmu yang bersangkutan atas dasar pikiran conceptual status quo.
Sikap ilmiah adalah meragukan, baik pangkal haluan yang telah
diambil, tentang persoalannya, tentang metode pendekatannya ataupun
tentang kesimpulan yang dikemukakan di dalam ilmu yang
bersangkutan. Dalam pemikiran ilmiah itu keraguan dapat ditimbulkan
karena dilihat adanya kelemahan-kelemahan dalam pemikiran yang
dilakukan didalam mengajukan pangkal haluannya, atau dalam
persoalan yang diajukan. Dapat pula karena dilihat adanya ketidak
beresan dalam menjalankan metode pendekatan atas persoalannya itu
menurut disiplin berpikir yang berlaku dalam ilmu yang bersangkutan.
Dengan demikian kesimpulan yang diperolehnya dinilai sebagai
kurang tepat, atau tidak sesuai. Dengan diragukannya itu, kesimpulan
yang telah ada di dalam ilmu tersebut membawa persoalan baru lagi
menurut pandangan ilmiahnya. Dengan begitu secara ilmiah masih
mungkin dapatnya kesimpulan tersebut dipindahkan cakrawalanya ke
cakrawala atau dimensi yang lebih jauh dan lebih dalam.
Dengan demikian pemikiran ilmiah, adalah pemikiran yang dinamis
dalam kerangka proses mengetahui ke arah yang lebih jauh atau lebih
dalam menurut disiplin berpikir dalam ilmu yang bersangkutan. Gerak
itu tak kenal berhenti pada satu titik kesimpulan yang telah dicapai.
Di dalam pemikiran ilmiah memang tidak ada kesimpulan akhir.
Hal itu adalah dibawa oleh watak ‘tahu’ itu sendiri. Watak dari tahu
ialah terus berubah. Apa yang kini diketahui, besok sudah lain lagi.
Mungkin sebagai tambahan, dan mungkin sebagai sesuatu yang
114
Landasan Epistemologi...
berlainan. Dengan rumusan lain: tahu adalah selalu berada dalam proses.
Proses artinya terus berubah. Dari itu pemikiran ilmiah adalah suatu
pemikiran dinamis, yang pada waktunya selalu mengeluarkan suatu
pendapat baru yang bersifat orisinil di dalam bidang pengetahuan yang
bersangkutan. Pikiran baru itu baik mengenai rumusan pangkal haluannya,
mengenai persoalannya, ataupun mengenai metode pendekatan persoalan
yang bersangkutan, ataupun mengenai kesimpulannya sebagai jawaban
dari persoalan yang bersangkutan. Pemikiran baru tersebut sebagai hasil
pemikiran ilmiah tidak berhenti sampai pada suatu kesimpulan saja.
Terhadap suatu pendapat yang sudah ada, di dalam pemikiran ilmiah
akan selalu terjadi koreksi, penyangkalan, falsifikasi dan verifikasi sehingga
membawa pemikiran ilmiah tidak pemah selesai.
Dengan demikian, pemikiran ilmiah berlainan dengan pemikiran ilmu
yang bersifat status quo. Pemikiran ilmiah adalah pemikiran yang selalu
menjalankan gerak untuk searching forever, dan karenanya merupakan
pemikiran yang terus menerus berupaya ingin memperbaharui atau ingin
memindahkan cakarawala atau dimensi tahu dalam ilmunya ataupun
ingin menempatkan ke cakrawala atau ke dalam dimensi yang lebih dalam
dari persoalan dan jawaban ilmu yang dihadapinya.
Sehubungan dengan itu, bagi mereka yang bergerak di dalam suatu
keilmuan dengan sikap dan tindakan ilmiah yang demikian, ada sebutan
khusus yang kini sudah tidak diterima di dalam bahasa kita. Istilah
tersebut, kini sudah tidak dipakai lagi, yaitu sebutan ilmiawan.
Dari uraian di atas, antara ilmuwan dan ilmiawan, dalam dasarya
terdapat perbedaan yang prinsipiil. Penghapusan istilah “ilmiawan” dari
kamus bahasa kita, yang dilakukan karena tidak sesuai dengan tata
bahasa Indonesia kita yang baik dan benar, karenanya merupakan suatu
kemunduran dalam pandangan tentang ilmu dan ilmiahnya.
Catatan:
Alasan bahwa istilah ilmiawan yang sudah begitu terkenal dan hidup
di dalam masyarakat kita pada masa yang silam, mulai tahun tujuhpuluhan dinyatakan sebagai suatu istilah yang salah bilamana dilihat
dari segi tata-bahasa kita yang baik dan benar. Alasan tersebut,
menurut hemat saya kurang kena. Karena di dalam bahasa manapun,
Bab 4
115
sesuatu pernyataan bahasa tidak selalu secara eksak mengikuti ilmu
tata-bahasanya. Ilmu tata bahasa lahir, baru setelah ada bahasa. Dari
itu pasti ada di antaranya penyimpangan-penyimpangan terhadap
penggunaan bahasa diukur dari ilmu tata bahasa yang bersang-kutan.
Dari tata urutan di atas terlihat, bahwa teknologi, tempatnya berada
setelah ilmu pengetahuan. Hal ini sering tidak disadari oleh banyak
kalangan kita. Teknologi adalah bidang kegiatan pemikiran yang
menggarap bagaimana suatu hasil kegiatan ilmiah dapat dirumuskan
jalannya untuk dapatnya hasil ilmiah yang bersangkutan dilaksanakan
di dalam kenyataah empiris melalui teknik-teknik tertentu. Karenanya
teknologi tidak digolongkan ke dalam pemikiran ilmiah. Kegiatan
teknologi yang demikian diberi sebutannya tersendiri yaitu
‘pengembangan’. Hal itu karena kegiatan pemikiran dalam teknologi
adalah menemukan rumusan jalan merealisir hasil ilmiah itu sesuai
dengan perubahan hasil-hasil ilmu pengetahuan yang bersangkutan.
3. Hubungan Pemikiran Ilmu dan Ilmiah dengan
Filsafat
Ilmu beserta kegiatan pemikiran ilmiahnya, selalu berawal pada
sesuatu pangkal haluan yang ditentukan dalam menangani sesuatu hal.
Dari pangkal haluan yang bersangku-tan disusun terlebih dahulu
persoalannya. Dengan persoalan yang diajukan itu ilmu pengetahuan
berusaha untuk menjawabnya dengan memperhatikan disiplin pemikiran
sebagai methode yang harus ditempuhnya. Metode yang ditentukan
itu adalah guna sampai kepada perolehan jawaban sebagai kesimpulan
umum yang bebas dari persyaratan-persyaratan yang ditimbulkan oleh
keadaan-keadaan yang khusus dalam persoalan yang bersangkutan
yaitu yang berujud sebagai apa yang dinamakan ‘teori’.
Sebagai contoh: ilmu alam selalu berawal dari pangkal haluan
tentang alam yang sudah ditetapkan pendiriannya. Kemudian disusun
persoalan-persoalan tentang benda alam. Persoalan itu digarap sebagai
usaha menjelaskan tentang benda alam yang bersangkutan dalam
berbagai kondisinya yang mungkin. Tetapi ilmu ini tidak berusaha
116
Landasan Epistemologi...
menentukan apa sebenarnya yang dikemukakan sebagai ‘benda alam’
yang dihadapinya itu. Lebih-lebih ilmu pengetahuan alam tidak akan
menjelaskan apa sebenarnya alam itu? Contoh lain yaitu Ilmu Hukum.
Ilmu ini membahas segala persoalan dari hukum. Tetapi Ilmu Hukum
tidak mempersoalkan apa sebenarnya yang dinamakan hukum itu.
Filsafat justru menanyakan tentang dasar-dasarnya tentang apa
yang diajukan di dalam lingkungan persoalan ilmu pengetahuan. Yang
dihadapi oleh filsafat ialah dasar-dasar dari yang oleh ilmu pengetahuan
sudah dengan begitu saja diterima dan dijadikan sasaran beserta
persoalannya. Filsafat berusaha menjelaskan tentang dasar-dasar dari
pemikiran ilmu dan ilmiahnya itu. Penemuan filsafat tentang itu
kemudian dimanfaatkan dan dipergunakan ilmu sebagai sasaran untuk
penggarapan ilmu yang bersangkutan menurut petunjuk dari ajaran
berilmu, khususnya metodologi dalam filsafat yang bersangkutan.
Selanjutnya filsafat menunjukkan sampai dimana dan bagaimana
validitas pengetahuan yang ada pada manusia. Bagaimana membangun
sesuatu pengetahuan yang dapat dipertanggung jawabkan menurut
ukuran kebenaran filsafat yang dianutnya dengan mengikuti secara
konsekwen ajaran ‘metodologi’ nya.
4. Dasar Filsafati Pemikiran Ilmu dan Ilmiah
Modern
Pemikiran ilmu dan ilmiah modern yang kini kita kenal dan kita
ikuti, adalah berkat berkembangnya suatu filsafat yang disebut fllsafat
epistemologi. Filsafat ini memusatkan pemikirannya untuk menemukan
jawaban atas pertanyaan tentang bagaimananya dan sejauh mana
validitas kemampuan tahu yang ada pada manusia. Di dalam filsafat
epistemologi, sasaran pemikirannya yang radikal terarah pada manusia
sebagai subjek yang memikir itu sendiri. Dari itu filsafat epistemologi
juga disebut sebagai filsafat yang subjektivistis.
Di dalam lingkungan filsafat itu terdapat pemikiran tentang
bagaimana kita dapat mengetahui sedemikian rupa sehingga hasilnya
Bab 4
117
dapat diterima menurut ukuran kebenaran yang sesuai dengan
pandangan filsafat yang bersangkutan. Hasil pemikiran itu dituangkan
ke dalam suatu ajaran menge-tahui yang disebut sebagai ‘ajaran
metodologi’. Ajaran ini yang membawa kepada adanya suatu instruksi
berpikir dalam melakukan kegiatan keilmuan. Instruksi berpikir
semacam itu sebagai telah disinggung diatas disebut dengan istilah
disiplin.
Ajaran mengenai metodologi, di dalam sejarah pemikiran filsafat
di Eropa Barat terdiri dari dua aliran yang prinsipiil berbeda. Perbedaan
prinsipiil itu dasar-dasarnya sudah tampak sejak zaman Yunani Kuno,
yang ditunjukkan dalam pendirian Plato tentang pengetahuan manusia
dan pendirian muridnya yaitu Aristoteles tentang hal tersebut. Menurut
Plato, pengetahuan yang ada pada manusia, tidak lain adalah merupakan
bayangan, suatu kopi dalam pikiran kita tentang apa yang ada di dalam
alam luar kita yaitu alam ‘idee’. Di dalam alam idee yang metaphysis
itu, segala sesuatu mempunyai wujudnya yang tetap dan abadi.
Lain lagi Aristoteles. Ia berpendirian, bahwa pengetahuan kita
bersumber dari ‘hal’ yang konkrit yang kita hadapi. Dari pendirian kedua
pemikir Yunani Kuno tersebut tampak, bahwa Plato meletakkan dasar
mengetahui yang bersifat metaphysis, sedangkan Aristoteles meletakkan
dasar mengetahui yang realistis konkrit, artinya yang empiris.
Perbedaan pendirian antara guru-murid tersebut dalam dasarnya
merupakan perbedaan dalam filsafat yang dianut masing-masing
mengenai hakikat dari totalitas ini. Perbedaan pendirian filsafatnya itu
adalah perbedaan dalam filsafat ontologinya.
Setelah abad pertengahan di Eropa Barat, pemikiran filsafat beralih
dari pemikiran ontologi ke pemikiran epistemologi. Perbedaan pendirian
antara Plato dan Aristoteles yang pada dasarnya merupakan perbedaan
dalam ontologinya, pada waktu itu mulai bergeser. Dari pandangan
tentang ontologinya, (artinya filsafat tentang hakikat kebenaran dari
obyek yang menjadi pokok pemikiran) menjadi pemikiran epistemologi,
yaitu pemikiran tentang subjek yang memikir itu sendiri.
118
Landasan Epistemologi...
Di dalam pemikiran epistemologi, yang sentral menjadi sasaran
pemikiran filsafat adalah manusia sebagai subjek yang memikir. Dalam
hal ini yang ditanyakan ialah bagaimana manusia sampai dapat
mengetahui segala sesuatu? Dalam menghadapi pertanyaan itu filsafat
epistemologi di daratan Eropa Barat memberi jawaban, bahwa itu adalah
karena pada manusia ada ‘pikiran’. Sekali lagi ‘pikiran’. Itu yang yang
merupakan alat dan sekaligus sumber dari pengetahuan manu-sia, dan
pikiran itu adalah sesuatu yang metaphysis. Dari itu epistemologi yang
dianut oleh para pemikir di daratan Eropa Barat adalah epistemologi
yang metaphysis. Aliran yang demikian ini adalah aliran dalam rangka
pendirian Plato.
Lain lagi epistemologi yang dianut oleh kalangan pemikir di Inggris.
Kalangan itu mengikuti aliran Aristoteles yang realistis. Pemikir
epistemologi Inggris tergolong pemikir yang mengikuti dan berpegangan
kepada epistemologi yang empiris.
Perbedaan dasar-dasar dalam epistemologinya itu membawa pula
perbedaan dalam cara berpikir ilmiahnya. Di daratan Eropa Barat
diutamakan segi metaphysisnya. Pengutamaan pandangan metaphysis
itu menentukan pendekatan di dalam ajaran berilmu pengetahuan. Atas
dasar pandangan itu, pendekatan keilmuan di daratan Eropa Barat
menganut pendekatan yang bersifat deduktip-spekulatip. Di Inggris
diutamakan segi empirisnya. Dari itu keilmuan dilakukan dengan
mengutamakan pendekatan yang kausal-empiris-analitis.
Perbedaan mengenai aliran epistemologi antara daratan Eropa
Barat dan Inggris, tidak saja membawa perbedaan dalam tekanan
perhatian dalam berilmu beserta jalan pendekatan berilmu. Perbedaan
tersebut juga membawa perbedaan dalam hal tujuan dalam
berpengetahuan.
Di daratan Eropa Barat, tujuan berpengetahuan ialah seperti yang
sejak abad pertengahan dikemukakan oleh Thomas van Aquino yaitu
dalam rangka “memenuhi panggilan jiwa manusia yang selalu ingin
mengetahui”, atau dalam rumusan bahasa Latin desiderium sciendi. Di
Bab 4
119
Inggris, seperti dikemukakan oleh oleh Francis Bacon, tujuannya
didasarkan kepada pandangan bahwa knowledge is power, pengetahuan
adalah kekuasaan.
Perbedaan pendirian mengenai tujuan berilmu, menunjukkan pula
perbedaan filsafat hidup yang melatar belakanginya. Di daratan Eropa
Barat, filsafat hidup yang menjadi latar belakangnya ialah
‘penyempurnaan manusia’, sedang di Inggris yang melatar belakanginya
adalah faham hedonisme, atau eudemonisme yaitu yang jiwanya
sebagaimana dirumuskan Adam Smith yaitu untuk menjelmakan the
greatest happiness for the greatest number. Kemudian filsafat ini di Amerika
Serikat dikembangkan menjadi filsafat pragmatisme, yang di dalam
kejiwaannya, seperti yang dirumuskan secara ringkas oleh William James
yaitu untuk memenuhi keinginan the satisfaction of human wants.
Baik di daratan Eropa Barat, maupun di Inggris, sekalipun antara
keduanya dalam hal pandangan epistemologinya ada prinsip-prinsip
yang berbeda, namun antara keduanya ada juga kesamaannya. Antara
kedua aliran itu dalam hal semangat yang mendasari filsafat
epistemologinya sama-sama hanya mengandalkan kepada kemampuan
yang ada pada diri manusia saja. Di daratan Eropa Barat kekuatan tahu
itu berkat adanya pikiran manusia saja. Cogito ergo sum, saya berpikir,
karena itu saya ada, kata Rene Descartes. Di Inggris ditekankan kepada
pengalaman, experience is the best teacher.
Selain itu kedua-duanya di dalam epistemologinya juga
menunjukkan kesamaannya yaitu bahwa filsafat epistemologinya itu
sama sekali terlepas dari faham Ketuhanan yang diajarkan oleh gereja.
Di dalam pengembangan filsafat Hukum, hal ini tampak jelas dalam
ucapan Hugo Grotius yang bunyinya adalah sebagai berikut: etiamsi
daremus non esse Deum, artinya di dalam memikirkan Hukum Kodrat,
‘anggaplah seolah-olah Tuhan itu tidak ada.’
Eropa Barat setelah abad pertengahan, dengan berpedoman kepada
filsafat epistemologi yang hanya mengandalkan ‘pikiran’ saja, atau
mengandalkan “pengalaman” saja, mengembangkan ilmu pengetahuan
120
Landasan Epistemologi...
dengan menanggalkan sama sekali faham Ketuhanan yang diajarkan
gereja dalam abad-abad sebelumnya. Abad ke XVIII dapat dikatakan
bahwa terutama bagi daratan Eropa Barat merupakan abad ‘pikiran’,
atau abad ‘rasionalisme’.
Eropa Barat dengan jiwa itu memasuki sejarah baru yaitu timbulnya
awal kapitalisme, awal industrialisasi serta awal kemajuan ilmu
pengetahuan dan filsafat. Pengembangan ilmu pengetahuan pada masa
itu, yang didorong oleh berkembangnya filsafat epistemologi, dasardasarnya yang perlu dicatat di sini ialah:
1) Filsafat epistemoiogi lepas dari faham Ketuhanan sebagaimana yang
diajarkan gereja dalam abad-abad sebelumnya.
2) Filsafat epistemologi dipusatkan kepada kemampuan pikiran atau
pengalaman manusia saja,
3) Faham kemanusiaan berarti individualisme dimana dijunjung tinggi
hak dan kebebasan individu,
4) Dengan prinsip itu setiap individu bebas mengembangkan diri pribadinya
dengan kemampuan pengetahuannya untuk memenuhi tuntutan tujuan
hidupnya yang sesuai dengan filsafat hidup yang dianutnya.
Pengembangan ilmu pengetahuan yang dibangun dan
dikembangkan semata-mata dengan mengandalkan pada kekuatan
mengetahui manusia yaitu pikiran saja atau empiri saja, ternyata pada
permulaan abad ke XIX, mulai meluntur. Perkembangan selanjutnya
dari filsafat yang demikian mulai mendapat tantangan. Di daratan Eropa
Barat tantangan tersebut terutama dibawa oleh perkembangan aliran
romantik dan filsafat kritis. Dengan itu timbul ketidak puasan terhadap
pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan yang mengutamakan segi
rasionilnya saja meninggalkan segi-segi etik, aestetika, dan lain-lain nilainilai kejiwaan yang tidak masuk di dalam alam akal atau empiri.
Memasuki abad ke XX, terjadi lagi suatu pembaharuan dalam
filsafat di daratan Eropa Barat. Filsafat tersebut tidak mengikuti filsafat
objektip yaitu filsafat ontologi dan juga tidak mengikuti filsafat subjektip
yaitu filsafat epistemologi. Aliran baru ini mengajukan pandangannya
sendiri dimana subjek-objek disatukan.
Bab 4
121
Filsafat ini mengajarkan bahwa alam nyata harus dibedakan dari
“keadaannya” atau existensinya. Existensi alam nyata ini adalah tidak
tetap. Itu tunduk kepada perubahan-perubahan yang terus menerus.
Perubahan itu terjadi bilamana keadaan dari alam nyata itu mencapai
suatu ‘garis batas’ dari keadaannya. Di dalam istilah filsafat di Jerman
garis batas keadaan dari sesuatu itu disebut dengan istilah
‘Grenzsituation’. Karena aliran filsafat ini mengutamakan pada keadaan
alam nyata, maka filsafat ini dinamakan sebagai filsafat existensialisme.
Batas-batas semacam itu juga berlaku bagi manusia sebagai bagian
dari alam nyata. Dari itu, manusia di dalam keadaannya perlu
memperhitungkan garis-garis batasnya tersebut. Itu penting dalam hal
dia ingin memberi makna kepada dirinya sendiri tentang ‘keberadaannya’
di dalam alam nyata ini. Tampak di sini filsafat tersebut menunjukkan
suatu filsafat yang sangat individualistis.
Tentang pertanyaan, apakah filsafat existensialisme terlepas dari
faham Ketuhanan atau tidak, sulit untuk dijawab secara ringkas di sini.
Karena diantara aliran-alirannya yang ada, terdapat aliran yang ada
hubungannya dengan faham Ketuhanan.
Perkembangan selanjutnya dari filsafat Barat ialah timbulnya akhirakhir ini filsafat postmodernisme. Filsafat ini bersifat irrasionil. Dalam
ajarannya filsafat ini menentang foundationalisme, essentialisme dan
realisme.
Bukan maksudnya di dalam kesempatan ini membahas
perkembangan aliran-aliran filsafat Barat tersebut. Yang ingin
dikemukakan di sini hanya bagaimana garis besar perkembangan Filsafat
Barat terutama filsafat epistemologi sebagai pencetus dan pemberi dasar
lahirnya dan pengembangan ilmu dan pemikiran ilmiah yang hingga
kini kita jumpai dan ikuti.
Sudah barang tentu perkembangan filsafat selanjutnya seperti
existensialisme dan post modernisme, juga mempengaruhi dan
menentukan keilmuan dan pemikiran ilmiah modern dewasa ini. Akan
tetapi, bila itu juga dibahas di sini, akan terlalu panjang dan memakan
122
Landasan Epistemologi...
waktu yang tidak sedikit. Dari itu, pembahasan tentang ilmu, keilmiahan
dan dasar-dasar filsafatnya dewasa ini kita cukupkan sampai disini saja.
Dasar filsafat ilmu dan keilmiahan sebagaimana telah disinggung
di atas, secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut:
1) Zaman kuno dan abad pertengahan: filsafat ontologi. Bagi Eropa Barat
filsafat ini menyuburkan ilmu yang dasar dan sumbernya ialah faham
Ketuhanan menurut ajaran gereja,
2) Zaman baru: filsafat epistemologi. Bagi Eropa Barat dan lain-lain
bagian dari dunia ini membawa kepada dianutnya faham rasionalisme
dan empirisme, yang membawa kemajuan di dalam ilmu dan
pemikiran ilmiah dengan sepenuhnya mempercayakan kepada
kekuatan pikiran dan empiri manusia. Dalam filsafat epistemologi
ini dipisahkan ilmu dan keilmiahan dari faham ketuhanan yang
diajarkan gereja,
3) Zaman modern: filsafat irrasionalisme. Bagi ilmu dan keilmiahan
membawa kepada suatu arah yang tidak lagi menentu.
Untuk sedikit penjelasan tentang tidak menentunya arah ini, filsafat
ilmu itu sendiri kini menunjukkan adanya pandangan yang bercabangcabang tentang bagaimana ilmu dan keilmiahan itu. Terutama hal itu
tampak dalam menghadapi pertanyaan tentang dari mana filsafat
pengetahuan akan memulai ajarannya tentang mengetahui. Tentang itu
kini terdapat bermacam macam jawaban yang plural.
Pangkal dasar yang dulu diletakkan oleh Plato yaitu alam idee dan
Aristoteles yaitu pada halnya yang konkrit, kini telah berkembang
sedemikian rupa sehingga pangkal dasar untuk mengetahui menjadi
bermacam-macam jenisnya. Hal itu dapat ditunjukkan kepada
pertanyaan-pertanyaan yang kini timbul tentang dari mana mulai
mengetahui itu. Antara lain yang dapat dikemukakan ialah pertanyaanpertanyan sebagai berikut:
1) Apakah berpangkal dari pikiran seperti ditegaskan oleh Descartes,
ataukah pada pengalaman? Kalau berpangkal dari pengalaman apa
itu berupa empiri seperti yang dikemukakan oleh John Locke, atau
apa yang ‘kasat indera’ atau yang sensual, seperti yang dikemukkan
oleh David Hume?;
Bab 4
123
2) Apakah berpangkal dari Idee seperti dikemukakan oleh Berkley atau
Hegel? Ataukah berpangkal dari materi seperti dikemukakan antara
lain oleh Marx dan lain-lain penganut materialisme?;
3) Ataukah berpangkal dari awal kemampuan tahu manusia yaitu yang:
a priorie seperti yang dikemukakan Kant? Ataukah dari phenomena
yang dikemukakan oleh Husserl yang oleh Wittgenstein ditegaskan
sebagai yang berujud dalam bahasa?
Di dalam perkembangannya, segala dasar-dasar untuk memulai
guna mengetahui tersebut, kemudian mendapat sanggahan yang
selanjutnya menghasilkan timbulnya pandangan baru yang dinamakan
Kritische Rationalisme seperti yang dikemukakan oleh Popper. Selanjutnya
pikiran ini pun kemudian disusul dengan timbulnya pandangan yang
lain dari Kritische Rationalisme yaitu pandangan seperti dikemuka-kan
oleh Jurgens Habermas yang disebut sebagai Kritische Theorie. Gambaran
di atas hanya sekedar ingin menunjukkan tentang perkembangan filsafat
pengetahuan dewasa ini yang terus berganti dan tidak jelas arah yang
ditempuhnya.
Tetapi bagaimanapun, pengembangan ilmu dan keilmiahan modern dalam abad ke XX ini tidak terlepas dari pengaruh semangat dan
kejiwaan yang didasari oleh filsafat yang menjiwai abad ke XVIII yang
masih hidup dalam awal abad XIX. Dasar-dasar dan benih-benih
pemikiran ilmu dan keilmiahan yang diajarkan oleh filsafat epistemologi
pada masa itu, tetap berperan penting karena pada masa itu lahirnya
apa yang dinamakan ‘teori besar’ dari ilmu pengetahun yang sampai
kini tetap kita kenal dan menjadi perhatian. Pemeliharaan keilmuan
dan keilmiahan tetap mengandalkan terutama kepada kekuatan ‘pikiran’
atau ‘empiri’ manusia saja dengan meninggalkan faham ‘Ketuhanan’.
Jiwa yang demikian, ilmu dan keilmiahan Eropa Barat memasuki
abad ke XX, menyeret dunia di dalam pemeliharaan dan pengembangan
ilmu dan keilmiahannya sampai kini. Selain itu, di dalam abad ke XX
ini, kedua macam filsafat yang kuat dianut di Eropa yaitu filsafat yang
metaphysis yang begitu kuat hidup didaratan Eropa Barat, maupun
filsafat yang empiris yang berkembang di Inggris dan Amerika Serikat,
124
Landasan Epistemologi...
menunjukkan bahwa filsafat empiris beserta sistim pemikiran yang
kausal-empiris-analitis pada akhir-akhir ini yang menunjukkan
pengaruhnya yang lebih populer dan dominan.
Filsafat empirisme, sebagai disinggung di atas, tidak saja
mengajarkan bagaimana berpengetahuan. Tetapi filsafat itu juga
mengandung filsafat hidup pula yang dasarnya ialah empiris. Filsafat
hidup atas dasar empirisme ini, yaitu filsafat hedonisme, pada bagian
akhir abad ke XIX, di Amerika Serikat berkembang menjadi filsafat
pragmatisme dengan dasar-dasar yang materialistis.
Filsafat hidup itu kini yang menguasai kehidupan kemanusiaan
dengan kuat dalam skala ‘global’. Filsafat itu yang kini menjadi jiwa
dan landasan dari apa yang kini secara populair disebut ‘globalisasi’.
Catatan:
Dewasa ini, dengan enak kita menyebut tentang adanya ‘globalisasi’.
Kosa kata itu adalah suatu kata benda yang di dalamnya ada isinya,
yaitu proses. Dengan sebutan itu jadinya kita hanya menyebut suatu
benda yang isinya ialah suatu proses. Mengenai proses tentang apa,
tidaklah dijelaskan dengan sebutan yang begitu populer itu.
Dari itu perlu ditentukan bahwa ‘globalisasi’ menurut hemat saya
adalah suatu peristiwa berisi proses yang membawa kemanusiaan di
seluruh dunia untuk menerima dan menganut jiwa hedonisme yang
materialistis individualitis dengan mengikuti pemikiran yang kausaalempiris-analistis.
Secara ringkas dan pokok-pokok, jiwa dan semangat hedonisme
modern itu, yang menjiwai apa yang kini disebut dengan istilah populer
“globalisasi”, pokok-pokok isinya ialah sebagai berikut:
1) Hedonisme sebagai pragmatisme yang bertujuan untuk mencapai
kehidupan yang kaya, bermewahan, tenar dan kuasa,
2) Individualistis,
3) Sekularistis,
4) Materialistis,
5) Berpemikiran yang bersifat lugas kausaal-empiris-analitis.
Atas dasar filsafat ini, ilmu dan keilmiahan modern itu yang kini secara
mengglobal dipelihara dan dikembangkan.
Bab 4
5. Ajaran Islam tentang
Pemikiran Keilmiahan
125
Pengetahuan
dan
Kini waktunya kita meninjau bagaimana keilmuan dan keilmiahan
yang didasari oleh filsafat yang pernah dikem-bangkan di Barat, dengan
latar belakang dan dasar-dasar wawasan ke-Islaman, karya para ulama
yang bahan-bahannya diambil dan bersumber pada al Qur’an dan al Hadist.
Uraian tentang ini, berhubung waktu, sementara kita batasi dalam
pokok-pokok dan yang dasar saja. Yang penting dikemukakan di sini
sebagai ancang-ancang uraian di kemudian hari, yaitu bahwa di dalam
mempelajari ajaran yang terkandung di dalam al Qur’an dan Hadist,
sesuai dengan perintah dalam ayat dan ajaran itu, bahwa untuk itu
disyaratkan pertama-tama harus dilakukan dengan penuh iman (S.Ali
Imran ayat 139). Hal ini karena iman, dalam ajaran al Qur’an merupakan
cahaya yang menerangi jiwa, artinya untuk membuka jiwa dari keadaan
‘gelap’ sama sekali menjadi keadaan yang ‘terang’.
Dalam upaya selanjutnya yang harus dilakukan ialah menguasai
ilmu dan ma’rifat. Untuk itu menurut ajaran Islam orang tidak hanya
dapat mengandalkan kepada bekerjanya kekuatan pikiran yang ada pada
manusia saja. Yang perlu dipergunakan dan dilalui dalam usaha
menguasai itu ialah mempergunakan sebaik-baiknya tiga kemampuan
yang ada pada jiwa manusia yaitu:
a. Pemikiran (tafakkarun),
b. Akal (taqqilun),
c. Hati (tadhabbarun).
Pemikiran, artinya kemampuan rohani menggerakkan daya yang
membawa seorang kepada ilmu yaitu kemampuan untuk dapat
menangkap tentang sesuatu dan membedakannya dari yang lain. Akal
adalah kemampuan rohani yang membawa kepada pengertian tentang
bagaimana hubungan yang ditangkap oleh pikiran itu satu dengan yang
lain beserta segaia konksekwensi dan kelanjutannya. Ringkasnya hikmathikmatnya. Hati adalah kemampuan rohani untuk mengetahui secara
menyeluruh. Artinya apa yang diperoleh dari ilmu dan hikmat melalui
126
Landasan Epistemologi...
pikiran dan akal dicakup ke dalam satu kesatuan dengan perspektifnya
dari hidup dan kehidupan. Dengan demikian kesatuan ilmu dan hikmat
itu ditempatkan dan berada di dalam suatu rancangan wawasan yang
menyeluruh. Itu adalah kerjanya hati yaitu suatu substansi yang khas
dari jiwa kemanusiaan untuk dapat menangkap dan merangkum ilmu,
hikmat dan kearifan yang dikuasainya dengan kwalitas yang Ilahiyah.
Wawasan tersebut, menurut al Qur’an dibedakan antara wawasan
yang didasari iman, dan wawasan yang tidak didasari iman. Antara
kedua macam wawasan tersebut ada perbedaan dalam cakrawala yang
dapat dijangkau masing-masing.
Tentang bagaimana tinjauan kita terhadap ilmu, ilmiah modern dan
dasar-dasar filsafatnya tersebut, yang perlu dikemukakan di sini ialah,
bahwa sampai kini hasil yang telah saya peroleh belum jauh dan belum
mantap. Menyajikan hasil-hasil tersebut dalam keadaan yang bersifat masih
mengantar kepada ilmu dan keilmiahan beserta dasar-dasar filsafatnya,
kiranya akan merupakan penyajian yang kurang pada tempatnya.
Dari itu apa yang akan dikemukakan di sini adalah hanya bahanbahan pendahuluan saja yang berguna untuk pemikiran selanjutnya
untuk dapat dipergunakan meninjau ilmu dan keilmuan modern beserta
dasar filsafatnya.
Dalam kesempatan ini karenanya saya hanya dapat kemukakan
pertama-tama bahwa sementara ini, perhatian saya masih terpusat pada
beberapa ayat al Qur’an yang kita semua sudah tahu dan hafal yaitu:
1) Surat al Baqarah ayat 30-38, tentang penunjukkan manusia sebagai
khalifah dibumi,
2) Surat al Alaq, ayat 1-8, tentang perintah membaca dan sebagainya,
3) Surat al Kahfi ayat 60-82, tentang nabi Musa mencari ilmu,
4) Surat alam Nasyrah, ayat 1-8, tentang sifat’ keadaan’ dan sikap yang
harus kita ambil menghadapinya,
5) Surat Al Imron ayat 139, tentang pentingnya iman.
Dari ayat-ayat tersebut, dapat kita tangkap tentang ilmu dan
kemampuan berilmu yang ada pada manusia menurut al Qur’an sebagai
berikut:
Bab 4
127
1)
2)
3)
4)
Bahwa ilmu itu hanya ada pada sisi Tuhan,
Bahwa dengan ridhaNya, manusia diberi sedikit dari ilmu itu,
Bahwa ilmu perlu didampingi pula dengan ma’rifatnya,
Bahwa ilmu dan ma’rifat yang diberikan oleh Allah menjangkau dua
macam dimensi alam tahu yaitu alam syahadat dan alam
malakut.Ilmu dan ma’rifatnya yang hanya menjangkau alam syahadat
saja adalah ilmu ‘muamalat’. Yang dapat menjangkau kedua alam
sekaligus adalah ilmu mukasyafah,
5) Bahwa penguasaan setiap orang terhadap ilmu dan ma’rifatnya
tersebut berbeda-beda bergantung kepada keimanan dan usahanya
yang tepat dan sungguh-sungguh untuk menguasainya,
6) Bahwa penguasaan ilmu dan ma’rifat itu harus dilakukan dengan
sikap yang dinamis, penuh dasar taqwa.
Ini adalah hasil-hasil kesimpulan sementara yang sampai kini dapat
kita tangkap dari al Qur’an tentang dasar-dasar untuk mengatakan ilmu
dan ma’rifat. Kesimpulan ini ringkas dan masih perlu penjajagan secara
lebih hati-hati dan terarah yang lebih mendalam. Di dalam waktu-waktu
yang akan datang mudah-mudahan pendalaman penjajagan terhadap
ayat-ayat tersebut dalam kerangka ilmu dan ma’rifat untuk kemudian
dipergunakan meninjau ilmu dan keilmiahan modern beserta filsafat
yang mendasarinya masih dapat kita lakukan.
6. Pendahuluan (2)
Dalam uraian terdahulu telah disebut beberapa ayat al-Qur’an yang
dapat dipandang berisi petunjuk Islam tentang ilmu dan ilmiah. Ayatayat al Qur’an yang dikemukakan itu sudah barang tentu tidak meliputi
seluruh petunjuk tentang ilmu dan keilmiahan yang ada di dalam al
Qur’an. Pilihan ayat-ayat al Qur’an yang disajikan di atas hanyalah pilihan
menurut selera dan kebutuhan kita dalam upaya menunjukkan tentang
bagaimana petunjuk al Qur’an tentang ilmu dan ilmiah yang akan kita
pergunakan untuk meninjau ajaran ilmu dan keilmiahan modern yang
dilatar belakangi oleh filsafat Barat.
128
Landasan Epistemologi...
Bilamana ayat-ayat al Qur’an yang kita sebutkan di atas diperhatikan
isi pokok-pokoknya, ayat-ayat tersebut menun-jukkan butir-butir petunjuk
yang menjawab pertanyaan sebagai berikut:
1) Tentang dari mana ilmu itu ? (al Baqarah ayat:31, 32, 33),
2) Tentang apa ilmu itu ? (al Baqarah: ayat 31, 33),
3) Tentang apa perlengkapan seutuhnya dari ilmu? (al Baqarah : ayat;
34, 37, 38),
4) Tentang apa dasar ilmu yang benar? (Ali Imron: ayat 139),
5) Tentang jalan yang harus ditempuh dalam berilmu? (al Kahfirayat 60-82),
6) Tentana sikap dalam berilmu? (Alam Nasyrah: ayat 1-8),
7) Tentang sarana belajar berilmu? ( al Alaq: ayat 1-8 ).
Bukanlah maksudnya di sini untuk memberikan tafsir terhadap
ayat-ayat tersebut. Di sini hanya disimpulkan secara ringkas isi pokokpokok ayat-ayat tersebut, dilihat dari keperluan untuk menjelaskan
bagaimana ilmu pengetahuan modern dalam lingkup pandangan yang
berwawasan ke-Islaman atas dasar petunjuk al Qur’an.
Dalam al Qur’an, ilmu itu adalah pemberian Allah s.w.t. kepada
makhluknya. Kepada manusia, dianugerahkan ilmu beserta
kelengkapannya yang seutuhnya sebagai salah satu alat untuk memikul
tugas manusia sebagai ‘Khalifatullah’. Ilmu dalam artinya ini adalah
suatu kemampuan manusia untuk mengetahui sesuatu makhluk, nama
dan sebutannya, jenis dan perbedaannya satu dari lainnya.
Selain ilmu, pada manusia dianugerahkan pula oleh Allah s.w.t.
kelengkapan lainnya untuk melengkapi pengetahuan manusia tentang
apa yang ditangkap ilmu. Kelengkapan tambahan itu ialah apa yang
disebut ‘hikmat’. Ini adalah kemampuan manusia yang kedua yang
dianugerahkan Allah s.w.t. bersamaan dengan ilmu, untuk dapatnya
mengetahui sifat-sifat yang ada pada makhluk Allah yang bersangkutan,
hubungannya satu dengan yang lain yang mungkin dapat terjadi beserta
akibat atau konsekuensinya dan sebagainya, serta kegunaannya dari
sifat dan konsekwensi dan lain-lain dari itu semua.
Kelengkapan ilmu yang lain yang dianugerahkan Allah s.w.t.
kepada manusia, ialah apa yang disebut ‘syahwat’ yaitu kemampuan
Bab 4
129
berkeinginan yang bermacam-macam terhadap apa yang diketahuinya.
Kelengkapan yang keempat ialah yang disebut ‘kalimat’, yaitu
kemampuan untuk mengukur dan menilai seperti baik-buruk, bergunatidaknya dan sebagainya. Empat kelengkapan tahu itu adalah berujud
dalam potensi untuk mengetahui dan yang pada setiap orang manusia.
Sebagai potensi setiap macam kelengkapan itu mempunyai daya untuk
berkembang yang bergantung pada pemeliharaan dan upaya
mengembangkannya menurut cara, keuletan, serta arahnya untuk itu
yang ditempuh oleh orang seseorang yang bersangkutan.
Selain keempat kelengkapan alat tahu tersebut, ada lagi kelengkapan
yang kelima, yang oleh Allah s.w.t. tidak dianugerahkan kepada
sembarang orang. Kelengkapan kelima ini adalah kelengkapan yang
khusus yang disebut huda (petunjuk). Ini adalah potensi mengetahui
dan menguasai rancangan Ilahi tentang macam, arah dan jalan yang
jelas dan pasti dan segala ciptaanNya termasuk manusia itu sendiri
dari awal sampai akhir kejadiannya. Potensi mengetahui ini hanya akan
dianugerahkan oleh Allah s.w.t. kepada mereka yang beriman.
Dari bunyi ayat-ayat itu, pengetahuan yang ada pada manusia yang
berwujud sebagai potensi mengetahui, adanya adalah di dalam suatu
rancangan Ilahi yang mempunyai daya untuk berkembang, ada
ukurannya dan ada arah yang sudah ditentukanNya. Potensi
mengetahui yang demikian dianugerahkan oleh Allah s.w.t. atas dasar
apa yang disebut ‘takdir’ dan ada pula yang melalui ‘wahyu’.
Pertanyaan tentang dasar berilmu, dalam al Qur’an ditegaskan
bahwa ilmu akan menjadi jauh dan kokoh jangkauannya bilamana
didasari oleh iman kepada Allah s.w.t. sebagai Pencipta semesta
makhluk. Dengan dasar itu akan dapat ditangkap oleh daya tahu tentang
arti, tempat, potensi jarak jangkau yang lebih dari ilmu yang ada pada
manusia.
Ilmu yang dianugerahkan oleh Allah s.w.t. sebagai potensi
mengetahui, hanya berguna untuk mengetahui bilamana itu digerakkan
untuk mengetahui. Dari itu ilmu hanya berfungsi bilamana potensi
130
Landasan Epistemologi...
berilmu itu digunakan dan digerakkan dengan sebaik-baiknya untuk
mengetahui. Itu berarti bahwa mengembangkan ilmu harus ada usaha
yang digerakkan oleh keinginan yang kuat dan sungguh untuk
mengetahui.
Selanjutnya dari ayat-ayat yang disebut di atas, ada pula petunjuk
tentang bagaimana sikap orang yang berilmu.
Dalam istilah teori pengetahuan biasa, itu disebut dengan sikap
ilmiah. Sikap ilmiah adalah sikap yang selalu haus terus-menerus untuk
mengejar apa yang belum diketahui. Itu adalah sikap yang ingin
mengejar tanpa hentinya tentang apa-apa yang belum diketahuinya.
Jalannya ialah dengan selalu merancang apa tindakan atau langkah
berikutnya yang akan dikerjakan, sedang dia masih berada dalam
keadaan mengerjakan sesuatu. Demikian petunjuk al Qur’an di dalam
sikap berilmu.
Juga dari ayat-ayat itu ditunjukkan, bahwa belajar berilmu harus
dilakukan dengan mempergunakan qalam, artinya segala sesuatu itu
harus digoreskan, dicatat, dicamkan sungguh-sungguh sehingga tidak
hilang begitu saja setelah diketahui.
Di dalam menghadapi ayat-ayat tersebut, yang perlu diingat ialah
bahwa di dalam upaya memahaminya, kita tidak begitu saja dapat
mengikuti pendekatan yang diajarkan oleh filsafat yaitu dengan
kebebasan berfikir secara radikal, yang tidak diikat oleh sesuatu titik
pangkal tertentu. Hal itu karena dalam mempelajari al Qur’an, ada
persyaratan yang ditentukan secara khusus di dalam al Qur’an sendiri.
Persyaratan itu adalah untuk memperoleh manfaat dari mempelajari al
Qur’an yaitu hasilnya itu menjadi petunjuk atau (huda) baginya.
Persyaratan yang ditetapkan al Qur’an itu dapat ditemukan di
dalam permulaan surat al Baqarah. Jika ayat-ayat itu dilihat dari teori
pengetahuan biasa, jadi dilihat dari metodologi, ayat-ayat tersebut dalam
epistemologi dapat disejajarkan dengan prinsip-prinsip methodenlehre
yang ada dalam al Qur’an. Petunjuk itu adalah untuk mencapai dengan
sepertinya apa yang dikehendaki oleh Allah s.w.t. dari mempelajari al
Bab 4
131
Qur’an. Tidak dipenuhi prinsip tersebut, tidak akan membawa arti bagi
yang bersangkutan dalam mengkaji al Qur’an.
Dewasa ini memang ada sikap yang lain dari apa yang ditentukan
oleh al Qur’an dalam mempelajari dan memahami-nya. Hal ini terutama
dilakukan oleh para ahli ilmu penge-tahuan Islam non-muslim. Mereka
adalah pakar yang dengan sungguh dan tekun mempelajari isi al Qur’an
dengan mengikuti disiplin ilmu-ilmu modern. Dalam mengkajinya, para
pakar itu mengandalkan pada kemampuan daya akal-pikiran yang logis,
tertib, kritis dan objektif yang mereka kuasai. Dalam mempelajari dan
memahami al Qur’an dengan jalan yang demikian, mereka tidak
memenuhi tuntutan prinsip-prinsip yang ditentukan al Qur’an yaitu
beriman dan selanjutnya menjadikan dirinya sebagai seorang muttaqin.
Sikap yang demikian dalam menemukan pemahamannya tentang
isi dan arti ayat-ayat al Qur’an memberi hasil-hasil kesimpulan yang
kritis dan mena’jubkan. Akan tetapi hasilnya itu tetap berujud sebagai
suatu ulasan ilmiah saja yang tunduk kepada kritik. Hasil itu tidak
dapat menjadi petunjuk atau huda. Hasilnya hanyalah suatu penjelasan
atau pemahaman saja tentang apa isi yang termuat di dalam al Qur’an.
Jadi semacam suatu ‘informasi’ tentang al Qur’an.
Sikap bebas itu, sebagai sikap ilmiahnya, bilamana diperhatikan
bagaimana memulai kajiannya terhadap al Qur-’an, menunjukkan bahwa
itu dilakukan dengan pangkal-pikiran yang semaunya yang sesuai
dengan cita-rasa pilihan idee pribadi masing-masing. Tentang bagaimana
pangkal-pikiran yang mungkin diikuti, di dalam uraian yang lalu,
beberapa dari padanya telah dijelaskan.
Di dalam kesempatan ini yang khusus akan diperhatikan ialah suatu
aliran yang berpendirian bahwa pangkal-pikiran pengetahuan itu
dasarnya ialah ‘wahyu’. Aliran ini diikuti terutama dalam kalangan yang
berkecimpung di dalam ‘theologi’, yaitu suatu pengetahuan yang
berusaha membuktikan bahwa Tuhan itu ada.
Catatan:
Mungkin diantara kalangan pemikir kita ada yang berpendapat bahwa
aliran semacam ini sesuai untuk dipergunakan mempelajari dan
132
Landasan Epistemologi...
memahami ayat-ayat al Qur’an. Karena bukankah faham ini juga
berangkat dari idee kewahyuan ?
Terhadap pendekatan model ini, yang tetap perlu diingat ialah
bahwa model ini tetap merupakan model pendekatan yang dasarnya
filsafat. Pangkal dan dasar pemikirannya sebagaimana disebutkan di
atas adalah model pemikiran yang bilamana dikejar secara pemikiran
filsafat menimbulkan pertanyaan yang sulit dicarikan jawabannya.
Dengan titik tolak kewahyuan, dalam model pemikiran ini akan
timbul serangkaian pertanyaan yang merupakan suatu lingkaran setan.
Pangkal-haluan dalam pemikiran model kewahyuan ini berarti membawa
pemikiran filsafat ini menuju kepada pemikiran tentang Dhat yang
memberi wahyu, yaitu ‘Dhat Yang Maha Tinggi’. Bagi filsafat, Dhat
tersebut akan menjadi teka-teki tersendiri. Sebagai demikian, itu akan
terus dikejar dengan pertanyaan-pertanyaan untuk dapatnya diperoleh
‘clara et distincta perceptio’nya.
Mungkinkah itu diberikan oleh filsafat? Jika itu tetap merupakan
teka-teki filsafat, pertanyaan-pertanyaan yang timbul, yang merupakan
suatu lingkaran setan itu, adalah sebagai berikut:
1) bagaimana kita harus mengetahui, dan
2) bagaimana pengetahuan kita yang dimaksud, terhadap
3) apa yang kita tidak atau belum tahu bahwa itu ada?
Pertanyaan-pertanyaan itu adalah merupakan apa yang dinamakan
‘Munchhausen Trilemma’. Jika diperhatikan dengan seksama, lingkaran
setan dari pertanyaan-pertanyaan itu, pada dasarnya adalah mengenai
pertanyaan tentang titik pangkal yang pasti yang dipergunakan dalam
pemikiran itu yaitu yang di dalam teori ilmu disebut sebagai titik
Archimedes. Titik pangkal itu harus dapat berfungsi sedemikian rupa
sehingga dari titik itu dapat ditarik pertanyaan-pertanyaan berikutnya
beserta jawabannya selanjutnya.
Untuk mempelajari al Qur’an guna sampai memperoleh
pengetahuan dan pemahaman dengan hasil sebagaimana yang dimaksud
oleh al Qur’an, yaitu huda, jalan filsafat yang menimbulkan Trilemma
Bab 4
133
Munchhausen itu tidak sesuai dengan prinsip yang ditentukan oleh al
Qur’an.
Prinsip-prinsip yang ditetapkan di dalam al Qur’an sendiri untuk
mempelajari dan memahami al Qur’an agar tercapai maksud yang
dikehendaki oleh al Qur’an, dituntut mutlak untuk dipenuhi sebagai
dasarnya. Prinsip-prinsip tersebut bilamana diambil padanannya dengan
apa yang terdapat di dalam filsafat, dapat dikatakan sebagai ‘disiplin’
dalam mengkaji al Qur’an.
Dari itu, untuk memenuhi tuntutan al Qur’an tersebut, para ulama
dari masa yang lalu sampai kini tetap masih berupaya mencari suatu
jalan tentang bagaimana mengkaji al Qur’an sebagaimana yang
ditentukan oleh al Qur’an sendiri.
7. Andalan Utama tentang
Mengetahui Manusia
Dasar
Kemampuan
Sejak dikembangkannya filsafat epistemologi di Barat, dalam
memandang pengetahuan dan ilmu pengetahuan, filsafat semakin lama
semakin menjauhkan diri dari percaya kepada Dhat yang Maha Tinggi
yang mengatasi manusia. Filsafat berkembang dengan hanya
mengandalkan diri kepada kemampuan manusia sendiri. Demikian juga
tentang pengetahuannya. Tentang itu, hanya mengandalkan pada
kemampuan tahu manusia sendiri, yang sumbernya ialah pikiran yang
metaphysis, atau pengalaman nyata.
Dengan andalan-andalan itu, pertanyaan awal filsafat yang
dikemukakan sejak Plato, menunjukkan bahwa filsafat memandang
kenyataan semesta ini sebagai misteri yang mengandung teka-teki
tentang apa sebenarnya semesta kenyataan ini?
Dari pertanyaan itu jelas, bahwa dalam pemikiran filsa-fat disadari
bahwa semesta kenyataan yang berada di sekeliling ini adalah teka-teki
yang penuh dengan kegelapan bagi manusia. Di dalam sejarah Eropa
Barat dinyatakan bahwa sampai abad ke XII Eropa Barat berada di dalam
abad kegelapan, abad yang disebut the dark ages.
134
Landasan Epistemologi...
Kegelapan tentang semesta kenyataan ini, dihadapi filsafat dengan
mengandalkan hanya kepada kemampuan daya pikir manusia. Hal itu
dilakukan dengan rintisan untuk memikirkannya secara radikal dan logis
sistematis yang disebut jalan filsafat. Dalam kegiatan memikirkan
semesta kenyataan sebagai teka-teki, diperoleh jawaban yang sifatnya
berupa tebakan terhadap itu.
Terhadap kegelapan tentang semesta kenyataan itu di dalam sejarah
Islam, zaman sebelum datangnya Islam juga disebut sebagai zaman
jahiliah, atau zaman kegelapan. Artinya bahwa semesta kenyataan ini
pada masa itu adalah suatu misteri yang mengandung teka-teki yang
tidak ada yang dapat memberikan penjelasan tentang clara et distincta
perceptionya.
Dengan datangnya Islam yang diajarkan oleh Rasulullah, kegelapan
tersebut diungkap. Untuk mengungkap itu pertama-tama dituntut untuk
memiliki alat yang dapat membawa terang terlebih dahulu keadaan
gelap itu. Di dalam keadaan gelap, bilamana ingin tahu tentang sesuatu
mengenai apa dan bagaimananya yang ada di dalam keadaan yang gelap,
diajarkan bahwa sebelumnya orang harus menggunakan suatu alat yang
dapat membuat keadaan gelap itu berada dalam keadaan yang terang
terlebih dahulu. Di dalam permulaan surat al Baqarah, alat yang dapat
membawa keadaan terang itu ialah ‘i m a n ‘ kepada Yang Maha Pencipta
semesta kenyataan ini. Dengan iman orang akan dibawa kepada
pengakuan bahwa semesta kenyataan ini ada yang menciptanya.
Selanjutnya bahwa ciptaanNya itu ada dan berjalan menurut
ketentuan dan rancanganNya sebagaimana dikehendaki olehNya.
Dengan itu semesta kenyataan ini hanya dapat diketahui dan dimengerti,
bila tentang itu diperoleh penjelasan dari Yang Maha Mencipta itu.
Penjelasan itu hanya dapat diterima oleh manusia bila dia pertamatama beriman kepadaNya sebagai Maha Penciptanya. Pengetahuan atas
dasar iman, adalah pengetahuan yang diperoleh bukan atas dasar
menerka dalam kegelapan. Pengetahuan itu diperoleh dan didasarkan
pada pemberitahuan dari Penciptanya sendiri.
Bab 4
135
Dengan dasar itu selanjutnya oleh al Qur’an ditunjukkan syaratsyarat lain yang harus dipenuhi seseorang yang sudah berada di dalam
keadaan yang ‘terang’ jiwanya untuk mengembangkan pengetahuannya
selanjutnya. Syarat-syarat itu, seperti tertera di dalam permulaan surat
al Baqarah, bila dikemukakan secara bebas adalah sebagai berikut:
a. Bahwa dalam segala keadaan, seorang di dalam menjalani
keadaannya, akan selalu tetap memerlukan petunjukNya untuk dapat
selalu berada didalam jalan yang lurus yang ditentukan olehNya,
b. Bahwa didalam menjalani ke-ada-annya, orang harus menjauhkan
diri dari watak tamak yang materialistis,
c. Bahwa semesta kenyataan ini olehNya ditentukan berada dalam
suatu proses yang tiada hentinya menuju kepada bentuknya yang
terakhir sebagaimana yang dikehendakiNya.
Dengan prinsip-prinsip tersebut sebagai syarat dan dasar yang
mutlak untuk diyakini dan diamalkan, dalam memahami semesta
kenyataan diperintahkan kepada manusia untuk selalu menggunakan
alat-alat kemampuan mengetahui dan memahami yaitu fikiran, akal
dan hati yang ada pada manusia.
Tentang fikiran dan akal, pemikiran filsafat telah banyak
mengajukan pembahasan tentang pikiran. Tentang ‘hati’, mengenai yang
ada hanya sangat sedikit yang menanganinya secara rinci.
8. Dinamika Kegiatan Keilmuan dan Keilmiahan
Kaum Muslimin
Banyak ayat-ayat al Qur’an yang memerintahkan manusia untuk
memikirkan, mempergunakan akalnya, dan hatinya menghadapi
semesta ciptaan Tuhan ini. Ayat-ayat semacam itu menjadi dasar dan
pendorong yang kuat dalam kalangan muslimin untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan.
Sejak pemerintahan khalifah Abbasiyah (abad ke VIII), kaum
muslimin yang termasuk ahli ilmu dan ahli pikir mulai menunjukkan
kegiatan mengembangkan keilmuannya tidak saja melulu dengan
membaca dan menghafalkan ayat-ayat al Qur’an dan Hadist saja, akan
136
Landasan Epistemologi...
tetapi mulai tampak merangkak mengarah kepada penggunaan cara
berfikir yang lain karena pengaruh pemikiran keilmuan Parsi, India dan
filsafat Yunani yang pada masa itu sudah pula dikenal di daerah Islam
seperti di Parsi, Mesopotamia dan sebagainya. Dari filsafat Yunani yang
dikenal antara lain ialah dari Plato dan Aristoteles.
Kontak dengan pikiran-pikiran para ahli filsafat Yunani terjadi
melalui buku-buku peninggalan filsafat yang ditulis oleh kaum filosuf
Yunani kuno. Hal itu terjadi terutama mulai masa pemerintahan
kekhalifahan Abassiyah berkat dorongan kuat pemerintah kekhalifahan
pada masa itu.
Kegiatan yang dilakukan oleh para pemikir dan para ahli ilmu
dalam kalangan kaum muslimin pada masa itu membawa perkembangan
baru dalam melaksanakan perintah al Qur’an dan Hadist untuk
mengembangkan ilmu dan keilmiahan.
Dimulai dari mempelajari filsafat Plato yang berupaya memikirkan
segala sesuatu secara ontologis dengan memusatkan kepada pencarian
hakikat dari segala sesuatu atas dasar idee, dan kemudian disusul
dengan filsafat Aristoteles yang lebih mempergunakan jalan empiris.
Tampak bahwa perhatian pengembangan ilmu dalam sementara
kalangan ahli pikir dan ahli ilmu kaum muslimin pada masa itu, lebih
condong kepada filsafat Aristoteles.
Dalam pandangan Aristoteles filsafat dibedakan ke dalam berbagai
cabang-cabang keilmuan seperti ilmu alam, ilmu biologi, ilmu
kedokteran dan scbagainya. Terutama karena dorongan kebutuhan
praktis pada masa itu, bidang ilmu kedokteran yang pertama-tama
mendapat perhatian utama. Baru setelah itu menyusul yang lain-lainnya,
termasuk filsafat.
Suasana studi yang demikian menjadi lebih pesat lagi sewaktu
masa pemerintahan Harun al Rasyid (abad ke VIII). Berkat dorongannya
untuk menterjemahkan buku-buku fllsafat Yunani kuno kedalam bahasa
Arab. Buku-buku Yunani kuno tersebut menjadi lebih mudah untuk
dibaca, dipelajari dan dicerna oleh para ahli pikir dan para ahli ilmu
Bab 4
137
dalam kalangan kaum muslimin pada masa itu. Hal itu membawa lebih
pesatnya pengembangan keilmuan dalam kalangan masyarakat
muslimin dalam rangka melaksanakan perintah al Qur’an dan Hadist
untuk mengembangkan ilmu dan keilmiahan.
Dengan kegiatan keilmuan yang demikian, pada masa itu mulai
tampak adanya pengembangan ilmu dan keilmiahan yang lain bilamana
dibandingkan dengan kegiatan berilmu dan keilmiahan pada masa-masa
sebelumnya. Di dalam masa itu terjadi pengembangan ilmu dan
keilmiahan melalui dua wawasan berilmu yang satu sama lain berlainan.
Perbedaan wawasan tersebut menjurus pada satu fihak kepada aliran
yang tetap setia menempuh jalan yang tradisionil. Pada lain fihak, sebagai
aliran yang kedua, dengan terbuka menerima dan mempergunakan jalan
fllsafat Yunani Kuno.
Dua aliran wawasan dalam menempuh jalan keilmuan yang
prinsipil berlainan dasar-dasamya itu tampak dengan menyolok pada
bidang kajian yang mengenai Ilmu Kalam. Aliran yang tradisionil, yang
dinamakan aliran ahli sunnah, melakukan kegiatan keilmuannya lewat
jalan yang sudah lama ditempuh para ahli pikir dan ahli ilmu dan
karenanya dengan kokoh dipertahankan dan dijalankan. Kalangan ini
berpegang teguh kepada bunyi ajaran sunnah Rasulullah saja. Aliran
yang baru, yaitu yang disebut aliran filsafat atau aliran ahli ra’yi atau
juga disebut golongan Mu’tazilah, menekankan kepada penggunaan
jalan filsafat.
Bagi kalangan Mu’tazilah dalam menggunakan jalan filsafat
mengutamakan kekuatan pikiran yang logis. Jalan itu bagi kalangan ini
adalah pokok dan utama dalam kerangka mempelajari dan memahami
al Qur’an dan di dalam mengembangkan ilmu dan keilmiahan dalam
kerangka melaksanakan perintah al Qur’an.
Pengembangan ilmu dan keilmiahan dalam awal abad ke IX, dalam
kalangan ahli pikir dan ahli ilmu dalam kalangan kaum muslimin pada
masa itu mulai diwarnai dengan perbedaan dalam dasar wawasan
melaksanakan perintah al Qur’an dan Hadist untuk mengembangkan
Landasan Epistemologi...
138
ilmu dan keilmiahan. Di dalam sejarah, perbedaan antara kedua aliran
tersebut menunjukkan timbulnya pertarungan yang sengit. Pertarungan
karena perbedaan dasar wawasan pendekatan ilmu dan keilmuan tentang
al Qur’an antara kedua aliran tersebut, tampak seperti terjadinya suatu
‘perang tentang dasar dan methode berilmu’.
Perang tersebut tidak hanya dalam arti beradu alasan. Tetapi juga
sampai pada beradu kekuatan dalam politik dan fisik. Apapun
keadaannya, pengembangan ilmu dan keilmiahan yang Islami yang
dilakukan oleh kedua aliran tersebut dalam sejarah pemikiran ilmu dan
keilmiahan dalam kalangan ahli pikir dan ahli ilmu kaum muslimin pada
masa itu merupakan aliran-aliran yang menentukan pengembangan ilmu
dan keilmiahan untuk masa-masa selanjutnya sampai kini.
9. Mencari Keseimbangan
Adanya
perbedaan
prinsipil
dalam
dasar
wawasan
me-ngembangkan ilmu dan keilmiahan yang diajukan oleh kedua aliran
tersebut, menimbulkan adanya upaya untuk menemukan jalan untuk
menengahi kedua aliran dasar tersebut. Jalan tengah tersebut, dibangun
dengan menunjukkan dan menjabarkan suatu dasar dengan melalui jalan
pendekatan baru. Dasar itu bukan fikiran yang radikal semata, bukan
mengikuti secara taklid semata pada apa yang dianggap sebagai sunnah
Rasullullah.
Dasar baru yang dikemukakan itu ialah dengan menarik ke dalam
dimensi yang lebih jauh dan lebih dalam dasar-dasar yang
dipertentangkan itu untuk diletakkan pada apa yang asasi bagi identitas
kemanusiaan yaitu hati atau qalbu .
Ulama yang menggarap dasar baru ini dengan tekun ialah al Ghazali
(1058- 1111 M). Dia adalah seorang ulama yang luas pengetahuan dan
pengalamannya dalam ilmu Fiqh, ilmu kalam, dan juga ilmu filsafat.
Kajiannya tentang hati, olehnya tidak dimasukkan ke dalam kajian filsafat,
juga tidak ke dalam ilmu fiqh atau ilmu kalam. Kajiannya tentang itu
termasuk di dalam kajian yang olehnya disebutnya sebagai kajian tasawwuf.
Bab 4
139
Catatan:
Banyak kalangan yang berpendapat bahwa tasawwuf adalah cara
melaksanakan ajaran Islam dengan jalan menjauhkan diri dari urusan
duniawi. Tasawwuf dalam pandangan yang demikian adalah sama
dengan ‘zuhud’ yaitu suatu gerakan semacam mystik, yang hanya
mementingkan urusan hidup akherat saja. Juga tasawwuf dalam
hubungannya dengan faham ini disebut pula sebagai gerakan sufi.
Dalam pandangan itu, ringkasnya tasawwuf diartikan sama dengan
mistik dalam Islam. Pengertian tasawwuf yang demikian memang sudah
lama ada sebelum Ghazali mengajarkan ilmu tasawufnya. Dengan
demikian sewaktu Ghazali memperkenalkan pengertian tasawufnya
sebagai semacam teori pengetahuan, istilah tersebut masih tetap
dipahami dalam arti tradisionil yang sudah mapan.
Ajaran tasawuf Ghazali mengandung pengertian lain dari
pengertian tasawuf yang tradisionil. Bila diperhatikan dengan kritis,
pengertian tasawuf yang diajarkan Ghazali, dalam arti umumnya, berisi
suatu upaya mengkaji ajaran Islam secara yang ditentukan dalam al
Qur’an, Hadist, dan menurut pandangan para sahabat serta para ulama.
Jalannya ialah dengan meninggalkan filsafat yang hanya mengandalkan
pada daya pikir yang radikal, logis sistematis dalam menghadapi
pertanyaan tentang sesuatu dalam kerangka kesemestaannya.
Pendekatan melalui jalan tasawuf yang diajarkan oleh Ghazali
pertama-tama ialah pendekatan dengan menggunakan potensi tahu
manusia yang berada dalam dimensi jauh lebih dalam dari sekedar daya
akal-pikiran yang logis saja.
Pendekatan tasawuf, menempatkan akal-pikiran yang logis dalam
kaitan persenyawaannya dengan sumber potensi tahu dalam dimensinya
yang berada pada dataran yang sedalam-dalamnya dan mendasar
sampai pada datarannya yang paling awal yang ada didalam diri seorang
manusia yaitu hati atau qalbu.
Menurut pandangan Ghazali, segala pengetahuan pada dasarnya
adalah berkat bekerjanya ‘hati’. Secara ringkas, hal itu dapat dijelaskan
dalam struktur dan sistimnya sebagai berikut: Yang paling dasar di
140
Landasan Epistemologi...
dalam kemampuan tahu manusia ialah ‘hati’. Dasar ini yang merupakan
kemampuan melihat awal dan asasi. Seterusnya itu yang membuat lainlain alat kelengkapan tahu dapat berfungsi. Di atas hati, diantara
kelengkapan tahu yang penting ialah akal-fikiran. Ini adalah pengolah
bahan-bahan yang menjadi objek tahu yang ditangkap oleh panca indera
dan alat penangkap batiniah yang ada di dalam jiwa manusia.
Struktur piranti tahu tersebut, selanjutnya oleh Ghazali dijelaskan
sistimnya sebagai berikut:
1) Mulanya berkat lintasan yang tertangkap oleh pancaindera atau
lainnya, melalui proses dalam pikiran dan akal, hasil tangkapan itu
menjadi suatu bahan untuk dapatnya dicerna oleh hati yang
mempunyai kekuatan ilmu, hikmat, kalimat dan suatu kekuatan hati
yang dinamakan nafsu. Dengan itu semua, hati mampu membentuk
bahan-bahan itu menjadi pengertian dan pengetahuan.
2) Dengan pengertian dan pengetahuan itu terbentuk gambaran dalam
hati berupa sesuatu yang menyerupai wujud sejati dari sesuatu yang
tergambar dalam hati itu.
3) Dengan gambar pada hati itu terbentuk apa yang disebut pengetahuan
tentang sesuatu yang bersangkutan.
4) Sebagai pengetahuan, itu kemudian mengendap ke dalam hati
menjadi apa yang disebut diketahui oleh hati.
5) Dengan apa yang telah merupakan diketahui oleh hati kemudian
terbentuk suatu pandangan atau penglihatan dalam hati.
6) Pada hati ada suatu kekuatan khusus yang berfungsi melakukan
kegiatan menggores apa yang telah diketahui oleh hati. Dengan itu,
apa yang merupakan hal yang diketahui oleh hati menjadi tetap
berbekas dihati. Sehingga apa sudah diketahui itu tidak hilang begitu
saja. Kekuatan yang menggoreskan dalam hati itu disebut Qalam.
7) Goresan pandangan atau penglihatan hati itu dipantulkan oleh hati
keluar. Itu segera ditangkap oleh akal fikiran lagi. Pantulan yang
keluar dari hati itu diolah lagi oleh akal fikiran. Setelah itu dipancarkan
keluar menjadi apa yang disebut ‘i1mu’.
Ilmu dengan demikian dalam pandangan Ghazali tidak lain adalah
pandangan atau penglihatan hati, yang setelah melalui pengolahan akalfikiran, menjadi gambaran dalam jiwa manusia tentang sesuatu yang
menyerupai sungguh wujud sejati dari sesuatu dan yang sudah tergores
di dalam hati.
Bab 4
141
Catatan:
Di dalam al Qur’an surat al Baqarah. IImu yang diberikan oleh Allah
s.w.t. kepada manusia, i.c. Adam, tidak saja hanya ilmu itu saja,
akan tetapi seketika pula hikmatnya yaitu suatu jenis kemampuan
mengetahui yang termasuk di dalam lingkungan ma’rifatnya.
Setelah itu disusul dengan pemberian jenis pengetahuan lain yang
di dalam surat al Baqarah dinamakan ‘kalimat’. Masih pula di dalam
surat tersebut disebutkan, bahwa bagi mereka yang beriman, akan diberi
tambahan satu jenis pengetahuan lagi yaitu yang dinamakan ‘huda ‘.
Memperhatikan ayat-ayat di dalam surat tersebut, jadinya ilmu
saja, dalam kerangka artinya yang ada di dalam ayat-ayat surat tersebut,
tidak cukup untuk bekal manusia menjalani hidupnya diatas bumi.
Selain itu, masih diperlukan ada jenis pengetahuan lain yaitu hikmat
atau ma’rifatnya dan kalimat atau syariatnya.
Jika diikuti pandangan Ghazaii tersebut, hati adalah yang menjadi
pusat dan sumber dalam menjadikan segala apa yang telah tertangkap
oleh pancaindera atau lain alat kejiwaan, dengan melalui pengolahan akalfikiran menjadi pengetahuan pada hati. Dari wujudnya sebagai pengetahuan
yang tergores pada hati, kemudian itu menjadi suatu pandangan atau
penglihatan hati. Itu yang dipantulkan kembali oleh hati keluar untuk diolah
oleh akal-fikiran lagi menjadi ilmu. Tentang penjelasan lebih lanjut dari
Ghazaii mengenai ilmu dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Memantulkan sesuatu goresan yang ada pada sesuatu permukaan
hati, adalah suatu hal yang berlangsung tidak mulus. Banyak
persyaratan yang menjadikan pantulan itu menjadi bermacammacam. Di antaranya ialah bahwa ada kemungkinan permukaan hati
itu berada didalam keadaan yang sedemikian bersih dan licin,
sehingga kilauannya memungkinkan memberikan pantulan dari
goresan yang ada pada permukaan hati itu berada dalam keadaan
yang terang, bersih dan murni.Itu berarti bahwa keadaan hatilah yang
menentukan bagaimana hasil pantulan pandangan hati untuk menjadi
ilmu yang akan diperoleh seseorang.
2) Keadaan hati menurut Ghazali dapat bermacam-macam.
3) Hati dapat dalam keadaan bersih, tetapi juga dapat dalam keadaan
kotor. Juga pada hati ada dasar yang berlainan antara seseorang
142
Landasan Epistemologi...
dengan orang lainnya. Dari itu pantulan pandangan yang dipancarkan
oleh hati dan kemudian menjadi ilmu dapat bermacam-macam
hasilnya.
4) Dalam hubungannya dengan itu, ada lagi tentang keadaan hati yaitu
ada hati yang diisi dan dipenuhi ‘iman’ dan ada hati yang tidak berisi
sama sekali, artinya kosong dari ‘iman’.
Perbedaan tentang keadaan hati seseorang itu yang memberikan
pancaran pandangan yang kemudian menjadi ilmu yang masing-masing
dapat berbeda-beda dalam hal: dimensinya, dalam cakrawala yang dapat
dijangkaunya, dalam bentuk dan wujud yang dipancarkannya, dalam
ketepatan dan kebersihan serta kemurniannya, dalam sifatnya,
ringkasnya dalam kwalitasnya. Di sini letak keterangannya mengapa
ilmu yang ada dan dibawakan oleh seseorang berlainan satu dari yang
lain.
Khusus mengenai hati dan iman
Iman tidak terletak di dalam alam fikiran. Juga tidak di dalam
alam akal. Letak iman ialah jauh di dalam dasar lubuk hati. Lubuk hati
yang diisi dan dipenuhi dengan iman, berarti lubuk hati yang berada
dalam keadaan yang sudah diterangi. Pada hati yang demikian berarti
ada alat penerangnya. Dengan itu hati berada di dalam keadaan yang
diterangi. Dalam keadaan itu hati akan mempunyai daya memantulkan
pandangan yang berlainan dengan hati yang dalam lubuk hatinya tidak
ada kandungan iman.
Catatan:
Iman menurut hemat saya adalah istilah khusus dari suatu jenis dasar
dari lubuk hati. Istilah umumnya ialah apa yang disebut: percaya.
Percaya terdiri dari beberapa macam. Pertama ialah percaya yang
alami yaitu percaya yang isinya suatu pendirian yang bagaimana
saja isinya dan yang sudah kokoh tak tergoyahkan tertanam
didalamnya. Kedua ialah percaya yang isinya ialah pengakuan yang
kokoh tak tergoyahkan tentang adanya Yang Gaib, Maha Tunggal,
Maha Pencipta sekalian alam dan karenanya Yang Maha Mengetahui.
Percaya jenis ini yang disebut iman. Ketiga ialah percaya yang isinya
tidak mantap dan bergerak antara yang pertama dan yang kedua.
Percaya dalam kwalitas ini adalah percaya yang dinamakan munafiq.
Bab 4
143
Percaya lokasinya ada didalam dasar lubuk hati. Kedudukannya
dalam hal mengetahui ialah, diantara: alam tahu dan alam tidak tahu.
Dalam filsafat epistemologi Barat, yang mengandalkan diri dalam
hal ilmu pada akal fikiran ataupun pada empiri, itu berarti bahwa
hatinya kosong dari ‘iman’ kepada Dhat yang Mencipta semesta ini.
Dengan keadaan itu, hatinya berada didalam keadaan yang gelap.
Keadaan itu yang memberikan perbedaan hasil ilmu yang diperoleh
melalui jalan tasawwuf dan ilmu yang diperoleh melalui jalan filsafat.
Dari gambaran tentang sistim dari proses pembentukan
pengetahuan ke dalam hati sampai terbentuknya pengetahuan hati
menjadi ilmu, dalam pandangan Ghozali tampak bahwa proses untuk
sampai kepada hati guna menjadi pengetahuan hati maupun proses
yang berawal dari pengetahuan yang ada didalam hati untuk menjadi
ilmu, masing-masing memang harus melalui akal-fikiran terlebih dahulu
untuk diolah.
Proses yang pertama ialah dari kerja tangkapan pancaindera atau
lain alat kejiwaan yang menjadi masukan bagi alam pikiran. Bahan bahan
semacam itu, pertama-tama melalui akal-fikiran, diproses untuk dapat
dituangkan kedalam hati untuk menjadi pengetahuan. Proses yang
kedua ialah dari hati bahan masukan dari luar yang sudah diolah menjadi
pengetahuan, kemudian menjadi pandangan. Dalam bentuknya sebagai
pandangan kemudian masuk ke dalam akal-fikiran. Di sini pandangan
itu diproses lagi menjadi ilmu.
Dalam kedua macam proses yang dikerjakan oleh akal-fikiran,
ringkasnya di sini untuk mudahnya kita sebut saja ‘proses prapengetahuan’ dan ‘proses pasca-pengetahuan’ peran akal-fikiran dalam
mengolahnya adalah untuk menjadikan bahan-bahan yang bersangkutan
siap menjadi bahan yang mencapai wujud yang sesuai dengan yang
diperlukan untuk tujuan yang dimaksudkan dalam tahap proses yang
bersangkutan.
Jelasnya proses pertama yaitu proses pra-pengetahuan yang
dikerjakan oleh akal-fikiran adalah untuk menjadikan bahan hasil
tangkapan pancaindera atau alat lainnya dari jiwa itu dapat dicerna
oleh hati untuk diolah menjadi pengetahuan.
Landasan Epistemologi...
144
Proses kedua yaitu proses paska-pengetahuan dalam akal-fikiran
adalah untuk dapatnya pandangan hati itu terpancar keluar dalam
wujudnya sebagai ilmu. Dalam kedua macam proses tersebut, akalfikiran dalam mengolah bahan-bahannya tidak menggunakan nilai susila
atau menurut nilai moral. Bagi akal-fikiran yang menjadi tugasnya adalah
menyiapkan bahan-bahan yang bersangkutan untuk dapat siap mencapai
keadaan yang sesuai dengan apa yang dimaksud oleh tahap proses
pengolahan yang bersangkutan.
Setelah hasil proses pasca-pengetahuan selesai dilaku-kan oleh akalfikiran, baru terpancar pandangan pengetahuan hati itu dalam bentuknya
sebagai ilmu. Sehubungan ilmu tidak lain dari pada rasionalisasi
pandangan hati, di dalam pernyataannya sebagai ilmu di dalam alam
syahadat ditegaskan sekaligus bahwa ilmu hanya pernyataan dari
kandungan pengetahuan hati. Karenanya ilmu yang dipancarkan
tersebut juga diberi sebutan sebagai ‘ilmu-pengetahuan’. Dalam hal ini
kata ‘pengetahuan’ menunjuk kepada isi kandungan pengetahuan yang
ada di dalam hati.
Bagan
Ilmu Pengetahuan Menurut Jalan Tasawwuf
Alam Nyata
Alam Gaib
Panca Indera
Alat Batin
Pikiran
- A Logis
- Logis
Akal
Hati
- Ilmu, Hikmah, Kalimatt (Penangkap)
- Syahwat (Kemauan)
-Kekuasaan (Akal)
Percaya Iman
Ilmu Pengetahuan
Pikiran - Logis - Sistematis
Akal
Pandangan hati /
Penglihatan Hati
Pengetahuan Hati
Bab 4
145
10. Ilmu dan Keilmiahan dalam Wawasan Ke-Islaman
Sebelum dimulai pembahasan persoalan tersebut, perlu dijelaskan
arti ‘wawasan ke-Islaman’. Kata majemuk tersebut menunjukkan, bahwa
apa yang dikemukakan dengan istilah itu, bukan sama dengan ajaran
Islam. Itu hanya merupakan pendapat sementara kalangan muslimin
tentang ilmu dan keilmiahan, yang pribadi dan jiwanya didasari
persyaratan sebagai muttaqin dalam membaca dan memahami al Qur’an.
Dengan demikian wawasan di dalamnya mengandung unsur pendapat
subjektip tentang bagaimana ilmu dan keilmiahan menurut
penglihatannya yang dasar dan sumbernya diarhbil dan ajaran Islam
yang ditangkap dan difahaminya secara subjektip.
Unsur subjektif dalam suatu wawasan, menunjukkan tidak dapatnya
wawasan itu sama dengan apa yang ada di dalam ajaran Islam yang
sesungguhnya. Dengan sebutan ‘wawasan ke-Islaman’, unsur
subjektivitas pendapat orang yang bersangkutan menjadi menonjol. Di
dalam wawasan yang bersifat demikian, risiko kurang sesuai
sepenuhnya dengan ajaran al Qur’an dan Sunnah Rasulullah, akan selalu
ada. Dengan itu suatu wawasan akan menjadi tetap bersifat keilmuan.
Dengan sifat itu, wawasan selalu merupakan sesuatu pendapat
yang tunduk pada suatu koreksi dan kritik. Dengan itu, koreksi dan
kritik ilmiah terhadap wawasan menjadi tidak tertuju kepada dalil al
Qur’an atau Hadist yang dikupas. Kritik akan tertuju kepada pendapat
subjektip dan pemikir yang bersangkutan terhadap tafsirannya tentang
ayat al Qur’an atau sunnah Rasul yang dimaksud.
Tentang wawasan yang akan dipilih di sini, ialah wawasan yang
dasarnya bukan pemikiran filsafat. Yang menjadi pilihan disini ialah
wawasan yang bernafaskan ajaran Islam, sekali lagi bukan dalam arti
ajaran Islam. Dan itu pilihan terhadap wawasan di sini adalah
merupakan pilihan tentang suatu pendapat yang merupakan tafsiran
dan ajaran Islam yang diajukan oleh seorang muslim.
Dalam wawasan yang demikian, yang menjadi titik tolak bukan
mengandalkan kepada daya pikir manusia. Yang menjadi andalannya
146
Landasan Epistemologi...
ialah keimanan pada Ilahi dan wahyuNya yang diturunkan kepada
manusia melalui RasulNya. Itu yang mengisi hatinya dan yang dijadikan
sebagai sumber wawasan pengetahuan-pandangannya tentang semesta
kenyataan ini.
Wawasan yang dipilih dalam uraian di sini di dalam menghadapi
pertanyaan ilmu dan keilmiahan, bukan wawasan yang berdasar pada
filsafat, tetapi wawasan yang diperoleh melalui jalan tasawwuf. Pendekatan
melalui jalan ini, kiranya perlu didahului suatu uraian ringkas tentang
genealogi ilmu menurut wawasan tasawuf sebagaimana diutarakan oleh
Ghazali. Secara bebas dan ringkas itu adalah sebagai berikut:
a. Tentang arti ilmu.
Di dalam al Qur’an maupun di dalam Hadist, sejauh yang kita
ketahui, tidak ada definisi tentang apa ilmu itu. Memang banyak Hadist
yang berhubungan dengan ilmu dan keilmiahan. Akan tetapi sejauh ini
yang kita ketahui, tidak ada yang dapat dipandang sebagai definisi
tentang apa yang dimaksud dengan ilmu. Bilamana diperhatikan ayatayat al Qur’an dalam surat al Baqarah yang disebut diatas, Ilmu, dalam
ayat-ayat tersebut tampak bahwa yang dimaksud dengan istilah ilmu
adalah dalam pengertiannya yang terbatas artinya. Dalam ayat yang
bersangkutan, ilmu dihubungkan dengan kemampuan manusia untuk
menentukan dan menyebut nama dan segala sesuatu yang ada di dalam
alam kenya-taan. Selain itu termasuk pula kemampuan memperbedakan
sesuatu dari sesuatu yang lain. Kemampuan yang demikian adalah daya
kerja fikir manusia. Di dalam surat al-Baqarah, juga dikemukakan
tentang kemampuan tahu manusia yang lain, yaitu pengetahuan tentang
hikmat yaitu daya bekerjanya akal yang membawa manusia kepada
pengetahuan tentang ma’rifat. Selanjutnya yang terakhir disebut itu juga
meliputi kemampuan yang ada pada manusia tentang nilai-nilai.
Pengetahuan tentang ini dapat kita namakan sebagai pengetahuan
tentang syariatnya. Kemampuan tahu ini adalah kemampuan dari daya
kerjanya hati. Dari bunyi ayat-ayat yang kita maksud di atas dapat
disimpulkan, bahwa pengetahuan manusia terdiri atas tiga bagian yaitu
Bab 4
147
pertama ilmu, kedua ialah ma’rifat dan ketiga ialah syariat. Ghazali di
dalam membahas soal ajaran Islam dan ilmu selalu mengkaitkan ilmu
dan ma’rifatnya. Hal ini berarti bahwa bagi Ghazali di dalam memahami
ajaran Islam tentang pengetahuan, pada manusia selalu ada kemampuan
yang menentukan jenis dan perbedaannya satu dengan lainnya. Selain
itu sekaligus pula pada ilmu, ada pula kemampuan untuk mengetahui
sifat-sifat yang ada pada sesuatu yang bersangkutan baik secara
tersendiri maupun bila itu dalam hubungannya dengan lain-lainnya yang
terdapat didalam cakupan kemampuan tahu melalui pancaindera dan
alat lain yang ada didalam jiwa. Keseluruhan daya tahu yang meliputi
ketiga hal tersebut di dalam sebutan sehari-hari, maupun di dalam
kalangan ilmu pengetahuan sendiri, sering disingkat dengan sebutan
ilmu saja. Sering juga diberi tambahan kata pengetahuan, sehingga
menjadi sebutan ilmu pengetahuan.
Kemampuan berilmu-pengetahuan semacam itu di dalam ajaran
Islam, adalah berkat pemberian Allah s.w.t. Ketiga jenis kemampuan
berilmu tersebut ada dan dimiliki setiap orang dalam takaran yang
berlain-lainan. Itu tergantung pada usaha masing-masing orang yang
bersangkutan untuk mengembangkannya.
b. Tentang wawasan ilmu dan keilmiahan keIslaman.
Bagaimana wawasan ilmu dan keilmiahan yang bersumber pada
ayat-ayat al Qur’an dan Hadist, dari kalangan pemikir dan ahli ilmu
kaum muslimin, tampak adanya perkembangan yang bertahap.
Tahap-tahap perkembangan yang menonjol ialah :
1) Tahap pertama yaitu pada masa Rasulullah masih hidup,
2) Tahap kedua yaitu pada masa masih hidupnya para sahabat setelah
Rasulullah wafat,
3) Tahap ketiga yaitu abad VII, yaitu masa masih hidupnya para tabi’in,
4) Tahap keempat yaitu abad VIII, tahap mulai adanya perubahan awal
dalam pendekatan mengkaji ajaran Islam oleh para ahli pikir dan
ahli ilmu dalam kalangan kaum muslimin karena masuknya pengaruh
dasar pemikiran dari India dan Parsi yang magis-mystis pada satu
fihak dan atas dasar yang logis filsafat Yunani kuno pada fihak lain,
148
Landasan Epistemologi...
5) Tahap kelima yaitu abad IX-XII sebagai tahap pengembangan lebih
lanjut dari jalan pendekatan mengkaji ajaran Islam secara plural,
6) Tahap keenam yaitu abad XIII sampai kini sebagai tahap kelanjutan
pengembangan dari tahap kelima diatas.
Di bawah ini hal itu sekali lagi akan diajukan penjelasannya secara
ringkas. Ulangan penjelasan ini dilakukan untuk memudahkan
pembahasannya.
1) Dalam tahap pertama, persoalan tentang ilmu dan keilmiahan dalam
mempelajari ajaran Islam, tidak mengandung persoalan yang
menyolok. Pada waktu itu segala persoalan mengenai ajaran dan
pelaksanaan Islam masih berpusat pada apa diri Rasulullah secara
langsung.
2) Dalam tahap kedua, tugas membina ajaran dan pelaksanaan ajaran
Islam berada pada para sahabat. Di dalam masa ini, satu hal yang
penting untuk keilmuan ialah: pertama adanya tafsiran yang berbeda
diantara kalangan para sahabat dan pengikutnya masing-masing; kedua
ialah adanya kodifikasi al Qur’an. Dengan adanya kodifikasi al-Qur’an
bahan dasar dan pokok ajaran Islam tersimpan dan terjamin
otentisitasnya sampai kini. Sejak tahap ini, keilmuan ke Islaman
mendapat tantangan. Tantangan pertama ialah bagaimana jawaban atas
perbedaan pendapat antara sementara pengikut para sahabat tentang
pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh sahabat yang bersangkutan.
Kedua ialah ilmu dan keilmiahan ke Islaman memperoleh bahan yang
otentik dan pasti untuk dengan mempergunakan sunnah Rasulullah
dan bimbingan para sahabat sebagai tambahan, mengembangkan
pemahaman tentang ajaran Islam. Wawasan keilmuan dalam tahap ini
masih sangat kuat terikat pada al Qur’an dan Sunnah Rasulullah di
bawah bimbingan para sahabat.
3) Dalam tahap ketiga, perhatian baru tentang keilmuan mengenai ajaran
Islam mulai tumbuh dengan adanya upaya untuk membukukan
sunnah Rasulullah dalam kerangka semangat mengkaji dan
melaksanakan ajaran Islam yang ada di dalam al Qur’an dengan secara
tepat. Hal itu terjadi berkat kuatnya wawasan ilmu dan keilmiahan
hanya harus dilakukan melalui jalan taklid terhadap sunnah
Rasulullah. Dalam tahap ini menjadi lebih jelas terbentuknya dasardasar untuk mengkaji ajaran Islam yang ada didalam al Qur’an atas
dasar taklid pada sunnah Rasulullah. Ini merupakan tahap awal dari
lahirnya aliran berilmu didalam kalangan muslimin tentang apa yang
dikemudian hari disebut aliran Ahlussunah.
Bab 4
149
4) Tahap keempat ialah tahap, dimana bahan-bahan mengenai ajaran
Islam yaitu al Qur’an dan sunnah Rasulullah sudah tersedia dalam
bentuk tertulis. Dengan itu bahan-bahan tersebut lebih mudah untuk
diperoleh guna dipelajari isinya. Dalam keadaan yang demikian mulai
dikenal terutama karya filsafat Yunani kuno didalam kalangan para
ulama. Disamping itu juga ada kalangan yang lebih memilih aliran
berilmu menurut faham Parsi dan India. Dengan masuknya tulisantulisan filsafat Yunani kuno itu mulai masuk pula pengaruh filsafat
didalam perkembangan ilmu dan keilmiahan dalam kalangan para
ahli pikir dan ahli ilmu dalam kalangan kaum muslimin. Pengaruh
tersebut tampak terutama dalam menentukan jalan pendekatan ilmu
dan keilmiahan tentang Islam secara rasionil. Pendekatan ilmu dan
keilmiahan terhadap ajaran Islam karena pengaruh itu menjadi ada
yang lain dari apa yang ditempuh pada masa yang sudah lalu. Jalan
taklid pada sunnah Rasulullah, dengan itu memperoleh tandingan yang
kuat yaitu jalan filsafat. Jalan ini mempergunakan pemikiran yang
radikal, logis sistematis. Dari itu, aliran baru ini disebut sebagai aliran
rasionil, aliran ra’y. Aliran yang tradisionil, sebagai aliran yang pertama,
dasarnya adalah taklid kepada sunnah Rasul. Aliran ini terkenal dengan
sebutan aliran ahlussunnah wal jamaah. Aliran yang kedua, sebagai
aliran filsafat, disebut aliran mu’tazilah. Dengan adanya dua wawasan
ilmu dan keilmiahan dalam mempelajari ajaran Islam yang ada didalam
ah Qur’an dan Hadist itu tampak bahwa dalam tahap ini bersemi
kehidupan ilmiah dalam ilmu kelslaman yang lebih nyata.
5) Tahap kelima ialah tahap kematangan perkembangan kehidupan dari
pertentangan dua wawasan ilmu dan keilmiahan ke Islaman di atas.
Pertarungan antara kedua aliran itu menimbulkan suatu wawasan
yang tampaknya sebagai memadukan kedua wawasan tersebut.
Perpaduan itu dirintis oleh seorang ulama besar yaitu Ghazali. Dalam
pertentangan kedua aliran wawasan itu, Ghazali, sekalipun tetap
menjunjung tinggi aliran ahlussunnah wal jamaah, aliran filsafat yang
dipertahankan oleh kalangan Mu’tazilah sekalipun terselubung tampak
juga mendapat perhatiannya. Selain itu, dalam upayanya tersebut
tampak pula masih adanya jalan pikiran yang dilatarbelakangi oleh
model Parsi dan India yang magis-mystis. Aliran tersebut didudukannya
pada tempat yang setepatnya menurut petunjuk al Qur’an dan Hadist,
pendapat para sahabat dan para ulama yang besar.
150
Landasan Epistemologi...
Dalam upayanya itu, apa yang dilakukannya ialah dengan
memperkenalkan jalan yang disebutnya jalan tasawuf. Ilmu ini
mengutamakan jalan mendekati al Qur’ an dan Hadist Rasulullah melalui
apa yang dinamakannya hati atau qalbu. Dalam mengajukan wawasan
keilmuan yang dinamakan wawasan tasawuf, Ghazali pertama-tama
tidak mendasarkan diri pada jalan pemikiran filsafat. Penglihatan secara
tasawuf yang diajukannya itu dasar dan sumbernya ialah jiwa yang
taqwa, yaitu dasar wawasan dari seorang yang muttaqin.
Wawasan itu olehnya ditegaskan bahwa pertama-tama dasarnya
ialah dimulai dengan iman kepada Allah s.w.t. Pencipta semesta alam,
Rabbil alamin. Dalam semesta alam itu dimaksudkannya termasuk pula
ilmu dan keilmiahan. Dibawah ini akan dikemukakan sekali lagi secara
lintasan wawasannya itu dengan beberapa tambahannya yang
diperlukan.
Wawasan ke-lslaman tentang ilmu dan keilmiahan yang demikian
menurut Ghazali, tidak mengandalkan kepada kemampuan kekuatan akal
manusia yang metaphysis atau pengalaman manusia yaitu pendirianpendirian yang dianut dalam filsafat epistemologi. Ilmu dan keilmiahan
adalah potensi yang ada pada manusia sebagai pemberian Allah s.w.t.
bIlmu dan keilmiahan yang dianugerahkan oleh Allah s.w.t. itu
pangkalnya dan pusatnya diletakkan di dalam hati manusia. Akal fikiran
adalah sebagai penangkap-mula dan pengolah bahan masukan dari luar
untuk dapat masuk di dalam jiwa manusia. Kemudian bahan itu
diteruskan kepada hati. Di situ bahan masukan dari akal-fikiran itu diolah
oleh hati menjadi pengetahuan hati. Pengetahuan yang demikian
kemudian menjadi penglihatan atau pandangan hati. Dari hati itu
diteruskan ke akal-fikiran lagi untuk diolah menjadi ilmu. Demikian itu
ringkasnya wawasan tentang ilmu dan keilmia-han menurut jalan tasawuf.
Bila wawasan ilmu dan keilmiahan atas dasar jalan tasawuf
ujudnya sebagai ilmu pengetahuan adalah sebagai berikut:
1) Ilmu tidak sama dengan penglihatan hati. Pembentukan penglihatan
hati harus dibimbing oleh wahyu Ilahi. Setelah melalui suatu proses
pengolahan oleh akal-fikiran baru menjadi ilmu.
Bab 4
151
2) Wawasan yang demikian yang dipergunakan Ghazali untuk
mewadahi ilmu dan keilmiahan beserta perkembangannya. Wawasan
itu di dalam sejarah pemikiran ilmu dan keilmiahan ke-Islaman
temyata merupakan langkah keilmuan yang berada dalam skala
sangat luas, melampaui alam pikir dan alam akal.
Catatan:
Gerakan mengkaji Islam yang demikian itu kini berhadapan dengan
suatu usaha mengkaji Islam yang sudah dilakukan secara mantap
dan telah lama berkembang yang mulanya digerakkan oleh kalangan
para ahli yang tidak mau menerima Islam sebagai petunjuk Ilahi.
Kalangan itu ialah kalangan keilmuan yang dasarnya ialah filsafat
Barat. Pengkajiannya itu disebut dengan nama Islamologi. Kajian
tentang Islam ini, berlangsung terutama di negeri yang tidak memeluk
Islam dan tidak menerima al Qur’an sebagai petunjuk. Kajian tersebut
berbeda-beda arah perhatiannya. Ada yang mengarah kepada kajian
mengenai Islam sebagai doktrin. Ada pula yang mengisi acara
kajiannya dengan kajian tentang masyarakat dan budaya kaum
muslimin. Dalam hal kajian mengenai Islam yang dihubungkan
dengan politik, terhadap itu ada sebutan khusus bagi para pakamya
dalam bahasa Inggris yaitu yang disebut Is1amist.
11. Penutup
Pertanyaan bagaimana wawasan ke-Islaman tentang ilmu dan
keilmiahan, dari uraian di atas ditunjukkan bahwa itu adalah pertanyaan
yang di dalam sejarah perkembangan, jawabannya merupakan
pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Dalam sejarah perkembangan
tentang wawasan itu, ditunjukkan bahwa diantara wawasan yang dapat
meliput secara menyeluruh segala jenis ilmu dan keilmiahan yang ada,
menurut hemat saya, hanyalah wawasan yang dikemukakan oleh
Ghazali dalam abad ke XI Masehi.
Wawasan Ghazali itu memperoleh kemantapan sampai kira-kira
abad ke XII. Di dalam abad ke XIII wawasan tersebut mengalami krisis.
Wawasan ilmu dan keilmiahan ke-lslaman sejak itu mulai terpecah
kembali antara ahlussunnah wal jamaah sebelum Ghazali dan wawasan
ahli ra’y. Selain itu juga wawasan tentang ilmu dan keilmiahan kembali
menjadi menyempit. Wawasan Ilmu dan keilmiahan ke-Islaman mulai
152
Landasan Epistemologi...
membatasi diri pada hal-hal yang mengenai ilmu-ilmu yang khusus
mengenai tafsir al Qur’an, ilmu Hadist, ilmu kalam, ilmu fiqh, ilmu
bahasa Arab.
Wawasan yang demikian menempatkan ilmu-ilmu yang termasuk
di dalam lingkungan ‘aqliyah’ yang menjadi perhatian ilmu-ilmu
pengetahuan modern sampai dewasa ini menjadi terkesampingkan. Di
dalam abad ke XIX, ada lagi rintisan dari Muhammad Abduh untuk
menemukan synthesa antara wawasan-wawasan yang berseberangan
tersebut dalam mengembangkan ilmu dan keilmiahan ke-Islaman,
terutama di dalam bidang ilmu kalam.
Setelah itu dalam abad ke XX Mahmud Syaltut, rektor universitas
al Azhar, tercatat sebagai tokoh pemikir dan organisator yang
mendukung wawasan yang luas tentang ilmu dan keilmiahan keIslaman. Itu dibuktikan antara lain dengan mengembangkan universitas al Azhar dengan menambah fakultas-fakultas baru yang menangani
ilmu-ilmu yang berada di luar fakultas tradisionil yang hanya menangani
studi tentang Islam dalam arti studi agama.
Di dalam tahun 1990 tampak adanya usaha rintisan pemikiran
tentang pemahaman al Qur’an yang berusaha mengikuti pandanganpandangan baru di dalam ilmu bahasa untuk menjawab tantangan
kemajuan ilmu pengetahuan. Dalam hubungannya dengan ini, pemikiran
itu difokuskan pada bagaimana melakukan kajian tentang al Qur’an. Kajian
baru ini dirintis antara lain oleh Nasr Abu Zaid, yang mengemukakan
pandangannya di dalam rangka studinya tentang “Konsep tentang text:
suatu studi di dalam ilmu pengetahuan tentang al Qur’an”.
Diajukan olehnya persoalan tentang textualitas dari al Qur’an. Dalam
hubungannya dengan pandangan itu terkait persoalan mengenai usaha
mengkaji memahami isi al Qur’an. Pemikiran yang dikemukakan itu
kini dikenal sebagai pemikiran isi al Qur’an sebagai ‘text yang dalam
kontext’.
Tampaknya pemikiran ini dibawa pertama-tama oleh adanya
persoalan pengaruh perkembangan dalam ilmu bahasa yang juga
Bab 4
153
mempengaruhi studi bahasa Arab. Hal itu terutama terkait pada
pemberian arti terhadap istilah ‘nass’. Dan kedua talah terkait pada
pertanyaan yang sudah lama tentang al Qur’an yaitu tentang apakah al
Qur’an itu qadim ataukah Hadist.
Pandangan terhadap al Qur’an dalam persoalan sebagai ‘text yang
dalam kontext’ tersebut, tidak terlepas dari kritik yang tajam dari
kalangan para pakarnya. Salah seorang diantaranya ialah seorang guru
besar dari Universitas al Azhar yaitu Muhammad Abu Musa.
Apapun pertanyaannya di dalam perkembangan baru ini, wawasan
ilmu dan keilmiahan ke-Islaman tampak masih tetap kembali berada di
dalam bidang ilmu dan keilmiahan yang sempit.
Kerangka Ghazali tentang ilmu dan keilmiahan ke-Islaman atas
dasar pendekatan tasawufnya, menurut hemat saya adalah kerangka
yang dapat mewadahi secara memuaskan ilmu dan keilmiahan seluasluasnya. Atas dasar pertimbangan itu, dalam meninjau “ilmu dan Ilmiah
Modern dan Dasar Filsafatnya” dalam rangka wawasan ke-Islaman,
kerangka tersebut akan dipakai guna menunjukkan dimana dan sampai
dimana ilmu dan keilmiahan modern dan dasar Filsafatnya itu “jauhnya
bilamana dibandingkan dengan wawasan ke-Islaman menurut jalan
tasawuf tersebut”.
Di dalam kalangan ahli tafsir, ada pendapat bahwa keseluruhan
isi al-Qur’an memuat petunjuk yang dapat dibagi dalam tiga pokok
bidang persoalan, yaitu:
a. Bidang aqidah,
b. Bidang syari’at
c. Bidang sejarah.
Bilamana diperhatikan secara lebih seksama, masih dapat
ditambahkan lagi adanya petunjuk yang berkenaan dengan:
d. Bidang filsafat
e. Bidang ilmiah
Dengan mengikuti kerangka pengetahuan menurut jalan tasawuf
dari Ghazali, kelima bidang golongan petunjuk yang ada di dalam al-
154
Landasan Epistemologi...
Qur’an itu dengan cepat dapat ditunjukkan dimana dan bagaimananya
tempat masing-masing bidang golongan persoalan itu di dalam kerangka
tersebut. Sudah barang tentu sebagai suatu wawasan, tinjauan yang
demikian dengan sendirinya mengandung unsur-unsur pandangan yang
sifatnya subjektip. Karenanya dengan sendirinya itu tetap memerlukan
suatu tandingan pemikiran yang kritis.—ooo—-
C. P r i n s i p - P r i n s i p E p i s t e m o l o g i t e n t a n g
Pengembangan Ilmu Pengetahuan di Dalam Al
Qur’an
Oleh M.Syamsudin
Untuk mengetahui ajaran Islam yang berkaitan atau memberikan
pesan dan penjelasan tentang dasar-dasar pengembangan ilmu
pengetahuan, pertama-tama yang harus dipahami dengan mantap adalah
konsepsi Al-quran tentang alam raya ini (kosmologi). Sebab dari sinilah
sebenarnya munculnya filsafat ilmu dalam perspektif ajaran Islam.
Di dalam al-Qur’an, menurut Mahdi Ghulyani terdapat lebih dari
750 ayat yang menunjuk kepada fenomena alam. Hampir seluruh ayat
ini memerintahkan kepada manusia untuk mempelajari kitab (hal-hal
yang berhubungan dengan) penciptaan dan merenungkan isinya.1
Sepanjang ayat-ayat yang dijelasakan al-Qur’an itu dapat dipahami
bahwa Allah menciptakan alam raya ini dalam eksistensinya yang haq,
yakni benar, nyata dan baik. Yaitu bahwa Allah menciptakan alam semesta
ini dengan haq (bilhaq, lihat: QS.Az-Zumar (39): 5). Alam tidak diciptakan
Tuhan secara main-main (la’ab, lihat: QS.Al-Anbiya (21: 6) dan tidak pula
secara palsu (bathil, lihat: QS.Shod (38): 27).
Sebagai wujud yang benar (haq) maka alam raya ini mempunyai
wujud yang nyata (riil), objektif dan berjalan mengikuti hukum-hukum
yang tetap dan pasti (mengikuti sunnah dan taqdir-Nya). Sebagai ciptaan
dari sebaik-baik Maha Pencipta, maka alam raya ini mengandung
1
Mahdi Ghulsyani. 1994. Filsafat -Sains Menurut Alquran. Bandung: Mizan.Hlm. 78
Bab 4
155
kebaikan pada dirinya sendiri dan teratur secara harmonis (lihat: QS.
Al-An’am (6):73; Al-Mukminun (23):14). Nilai ini sengaja diciptakan Tuhan
untuk manusia bagi keperluan perkembangan peradabannya (lihat:
QS.Luqman (31): 20). Oleh karena itu alam bagi manusia dapat dan harus
dijadikan objek penyelidikan guna dimengerti hukum-hukum Tuhan
yang berlaku di dalamnya. Kemudian manusia harus memanfaatkan
alam sesuai dengan hukum-hukumnya itu (lihat: QS. Yunus (10): 101).
Keharmonisan alam itu adalah sejalan dengan serta disebabkan
oleh adanya hukum-hukum yang menguasai alam, yang hukum-hukum
itu ditaqdirkan Allah demikian, yakni dibuat pasti (yakni makna asal
perkataan taqdir). Dalam hal ini sepadan dengan penggunaan kata-kata
sunnah Allah (sunnatullah) untuk kehidupan manusia dalam sejarahnya.
Taqdir digunakan dalam al-Qur’an dalam arti pemastian hukum Allah untuk alam ciptaan-Nya (lihat: QS. Al-Furqon (25):2). Oleh karena itu
perjalanan pasti gejala atau benda alam seperti matahari yang beredar pada
orbitnya dan rembulan yang nampak berkembang dari bentuk seperti bulan
sabit sampai bulan purnama kemudian kembali seperti sabit lagi,
semuannya itu disebut sebagai taqdir Allah, karena segi kepastiannya
sebagai hukum Allah untuk alam ciptaann-Nya (lihat QS.Yasin (36): 38-39).
Doktrin kepastian hukum Allah untuk alam semesta yang disebut
taqdir itu juga dinamakan qodar (ukuran yang persis dan pasti). Hal ini
misalnya ditegaskan dalam firman Allah : Inna kulla syaik-in khalaqnaahu
biqodar (sesungguhnya segala sesuatu itu kami ciptakan dengan ukuran/
aturan yang pasti, lihat: QS. Al-Qomar (54): 49).
Oleh karena itu salah satu makna beriman kepada taqdir atau qodar
Tuhan dalam kacamata kosmologis adalah beriman kepada adanya
hukum-hukum kepastian yang menguasai alam sebagai ketetapan dan
keputusan yang tidak dapat dilawan. Maka manusia tidak bisa tidak
harus memperhitungkan dan tunduk kepada hukum-hukum itu dalam
amal perbuatannya.2
2
291.
Nurcholis Madjid. 1993. Islam Kemodernan dan Ke-Indonesiaan. Bandung: Mizan. Hlm.
Landasan Epistemologi...
156
Adanya hukum-hukum Allah bagi seluruh alam semesta, baik
mikro maupun makro yang tak terhidarkan itu, yang menguasai kegiatan
manusia, menjadi unsur pembatasan dan keterbatasan manusia, tetapi
juga disitulah kesempatannya untuk meraih suatu bentuk keberhasilan
dalam usaha. Yaitu bahwa manusia akan berhasil atau gagal dalam
usahanya setaraf dengan seberapa jauh ia bekerja sesuai taqdir Allah
untuk alam lingkungannya yang hukum itu tidak mungkin tertaklukkan.
Dan disinilah mulai munculnya pemikiran ilmu pengetahuan.
Jadi dapat disimpulkan bahawa Ilmu Pengetahuan itu adalah upaya
manusia untuk memahami hukum-hukum Allah yang pasti bagi alam
semesta ciptaan-Nya ini. Oleh karena itu ilmu pengetahuan ini
mempunyai nilai kebenaran, selama ia secara tepat mewakili (represent)
hukum kepastian Allah atau taqdir-Nya itu. Maka ilmu pengetahuan
yang benar dengan sendirinya bermanfaat untuk manusia.3
Ilmu pengetahuan diberikan Allah kepada manusia melalui
kegiatan manusia sendiri dalam usaha memahami alam raya ini. Hal ini
berbeda dengan agama yang diberikan dalam bentuk pengajaran atau
pewahyuan lewat para utusan Allah. Perbedaan itu disebabkan oleh
perbedaaan objeknya. Apa yang harus dipahami manusia lewat ilmu
pengetahuan adalah hal-hal yang lahiriah dengan segala variasinya
(seperti hal yang sepintas lalu seperti ghaib atau batiniah misalnya medan
magnik atau gravitasi dan kenyataan-kenyataan lain yang menjadi kajian
fisika sub atomik dan fisika baru lainnya yang sampai sekarang ini masih
dalam perdebatan). Sedangkan yang harus dipahami manusia lewat
wahyu adalah kenyataan-kenyataan yang tidak empirik, tidak kasad
indera sehingga tidak ada kemungkinan lain mengetahui bagi manusia
keculai melalui sikap percaya dan menerima (iman dan Islam) khabar
para nabi (wahyu).4
Dalam usaha memahami alam sekitarnya itu manusia harus
mengerahkan dan mencurahkan akalnya. Maka alam menjadi objek
3
4
Ibid. Hlm. 292
Ibid.
Bab 4
157
pemahaman sekaligus sumber pelajaran hanya bagi mereka yang berakal
atau berpikir saja (lihat: QS. Al-Imran (3):190). Oleh karena itu akal bagi
manusia bukanlah alat untuk menciptkan kebenaran melainkan untuk
memahami atau menemukan kebenaran yang memang semula telah
ada dan berfungsi dalam lingkungan di luar diri manusia.
Pandangan terhadap alam seperti telah dijelaskan di atas itu barangkali
yang telah dianut oleh para ilmuwan muslim pada zaman klasik seperti
Al-Biruni, Al-Khawarizmi, Al-Rum, Ibnu Taimiyah, yang sangat terkenal
dengan adagium empriknya : Alhaqiqoh fil a’yan la fid-dhon (hakikat itu ada
dalam kenyataan luar tidak dalam pikiran). Maka dengan sendirinya akal
akan bisa berhasil atau gagal dalam suatu garis kontinum, sesuai dengan
tingkat nilai kebenaran pengetahuannya. Misalnya teori Newton lama
dianggap benar dan telah pula berfungsi, namun berhadapan dengan
perkembangan akal manusia lebih lanjut ternyata tidak dapat
dipertahankan sebagian atau seluruhnya. Begitu pula dengan teori-teori
Einstein selalu mempunyai potensi untuk terbukti salah.
Dalam kaitanya dengan keseluruhan kenyataan kosmis, ilmu
pengetahuan yang dimiliki manusia melalui kegiatan akalnya tidak lain
adalah sedikit ilmu yang diberikan Allah. Sedangkan ilmu Allah yakni
kebenaran yang serba meliputi (Al-Muhith) adalah tak terbatas. Sehingga
di atas setipa orang yang berpengetahuan ada Dia Yang maha Tahu
(QS.(12):76)
Kenyataan alam ini berbeda dengan prasangka aliran Idelaisme
maupun agama Hindu yang mengatakan bahwa alam raya ini tidak
mempunyai eksistensi riil dan obyektif, melainkan semu, palsu atau
maya dan sekedar emanasi atau panacaran dari dunia lain yang konkrit
yaitu ide atau nirwana (lihat:QS. Shod (38):27). Juga bukan seperti yang
dikatakan oleh Filasafat Agnoticisme yang beranggapan bahwa alam
tidak mungkin dimengerti oleh manusia. Dan sekalipun filsafat
Materialisme mengatakan bahwa alam ini mempunyai eksistensi riil
dan obyektif, sehingga dapat dimengerti oleh manusia, namun sesatnya
adalah meniadakan penciptaan yaitu alam ada dengan sendirinya.
158
Landasan Epistemologi...
Di samping terdapat hukum-hukum Tuhan yang pasti yang
menguasai alam semesta (taqdir), ada lagi hukum-hukum Tuhan yang
tetap dan pasti yang menguasai manusia dalam sejarah kehidupannya.
Hukum-hukum Tuhan ini disebut Sunnatullah.
Oleh karena itu setelah memahami lingkungan alam hidupnya
manusia dituntut untuk memahami lingkungan manusiawinya sendiri
yang menjelma dalam sejarah. Sejarah manusia berjalan mengikuti
aturan-aturan yang predictable karena kepastiannya sebagimana dibuat
oleh Allah sendiri (lihat: QS. Fathir (35): 43)
Tetapi, jika ketentuan-ketentuan yang menguasai lingkungan alam
itu bersifat netral dari sudut pandangan kepentingan manusia,
sebaliknya ketentuan-ketentuan yang menguasai sejarah tidaklah
demikian, karena ia menyangkut diri manusia sendiri. Ketentuanketentuan itu sarat dengan nilai-nilai yaitu amat langsung terkait dengan
moralitas, yang intinya adalah bahwa kebaikan membawa kesentosaan
dan kejahatan membawa kesengsaraan (lihat: QS.Ali Imron (3):137)
Demikian manusia dengan intelektualitas yang dimilikinya harus
memahami sejarah dengan hukum-hukumnya yang tetap dan pasti.
Hukum sejarah yang tetap (sunnatullah) pada garis besarnya adalah
bahwa manusia akan menemui kejayaan jika setia kepada kemanusiaan
fitrinya dan akan menemui kehancuran jika menyimpang daripadanya
dengan menuruti hawa nafsu (lihat : QS. As-Syam (91): 9-10).
Cara-cara perbaikan hidup sehingga terus-menerus maju ke arah
yang lebih baik sesuai dengan fitrah adalah masalah pengalaman manusia,
sehingga pengalaman manusia ini harus ditarik dari masa lampau untuk
dapat dimengerti pada masa sekarang kemudian memperhitungkannya
ke masa mendatang (lihat:QS.Yusuf 12:111). Melalui memahami sejarah
ini manusia harus berjuang membebaskan dirinya dan meningkatkan
harkat martabat hidupnya, menguasai dan mengarahkan masyarakat serta
membimbingnya ke arah kemajuan dan kebaikan.
Ilmu Pengetahuan pada hakikatnya adalah produk upaya manusia
untuk memahami hukum-hukum Allah yang tetap dan pasti, baik yang
Bab 4
159
menguasai alam semesta maupun diri manusia dalam sejarah (taqdir
dan sunnah-Nya) yang diberlakukan Allah untuk seluruh ciptaan-Nya.
Oleh karena itu Ilmu Pengetahuan mempunyai nilai kebenaran (walau
kadarnya relatif) selama secara tepat dapat mewakili hukum ketetapan
dan kepastian Allah itu (taqdir dan sunnah-Nya). Maka ilmu pengetahuan
yang benar dengan sendirinya akan bermanfaat bagi manusia.
Pemahaman manusia dengan akal pikirannya terhadap alam
semesta ini yang di dalamnya terdapat hukum-hukum Tuhan yang pasti
dan tetap (taqdir) dalam perkembangannya telah melahirkan Ilmu-ilmu
Kealaman dengan segala percabangannya. Sedangkan pemahaman
manusia dengan akal pikiranya yang sempurna itu terhadap sejarah
dan kemanusiaannya yang mana di dalamnya juga terdapat hukumhukum Tuhan yang tetap dan pasti (sunnah) itu dalam
perkembangannya telah melahirkan Ilmu-ilmu Sosial dan Kemanusiaan
(Humaniora) dengan segala percabangannya. Kegiatan inilah pada
hakekatnya saat lahirnya Ilmu Pengetahuan dan peradaban umat
manusia di dunia.
Oleh karena hukum-hukum Allah (sunnah dan taqdir-Nya) itu
merupakan gejala nyata sekeliling hidup manusia, maka dapat dikatakan
bahwa semua peradaban manusia berupaya memahaminya (tanpa
kecuali, baik yang beriman maupun yang tidak, Islam atau tidak) secara
umum untuk seluruh ummat manusia di dunia. Dari hasil
pemahamannya itu melahirkan Filsafat (segi spekulatifnya) dan Ilmu
Pengetahuan (segi empiriknya). Oleh karena itu untuk memahami hukumhukum Allah itu kita dianjurkan dan diberi petunjuk oleh Nabi
Muhammad SAW agar kita belajar dari siapa saja, sekalipun sampai ke
negeri Cina. Nabi juga menegaskan bahwa hikmah (yakni setiap
kebenaran dalam falsafah, ilmu pengetahuan, dll) adalah barang
hilangnya kaum beriman, oleh karena itu siapa saja yang menemukannya
hendaknya ia memungutnya dan hendaknya kita memungut hikmah
kebenaran dan tidak akan berpengaruh buruk kepada kita dari bejana
apapun hikmah kebenaran itu keluar. Bahkan menurut riwayat, Nabi
Landasan Epistemologi...
160
sendiri memberi contoh mengirim para sahabat ke Jundaishapur Persia
guna belajar ilmu kedokteran dari kaum Hellenis di sana.5
Dari uraian ini kiranya dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa
Ilmu Pengetahuan itu baik yang alamiah maupun yang sosial dari segi
produk pemahaman manusia sifatnya netral. Artinya ilmu sebagai
produk pemahaman manusia akan fenomena alam, sejarah dan
kemanusiaan, dilihat dari kacamata moral etik tidak mengandung nilai
kebaikan dan kejahatan pada dirinya. Nilainya diberikan oleh manusia
yang memiliki dan menguasainya. Sebagaimana dengan apa saja yang
netral, ilmu pengetahuan dapat diterapkan dan dipergunakan baik untuk
tujuan-tujuan baik maupun untuk tujuan-tujuan yang buruk (merusak).
Netralitas Ilmu pengetahuan inilah yang memungkinkan untuk dapat
ditukar-menukarkan atau diberi dan dimintakan antara sesama manusia
tanpa memandang tata nilai masing-masing yang bersangkutan. Nilai
yang ada pada sebuah ilmu adalah nilai kebenaran itu sendiri, walaupun
kadarnya relatif. Ilmu Pengetahuan dalam dirinya tidak berbicara baik
dan buruk tetapi berbicara tentang benar dan salah sesuai akurasi dan
validitas metodologi yang diperguanakan.
Oleh karena netralitas ilmu pengetahuan itu lepas dari
membicarakan baik dan buruk, maka dalam tataran praktisnya yaitu
penerapan konsep-konsep ilmiah yang menjelma menjadi bentuk
Teknologi itu harus ditundukkan dibawah pertimbangan-pertimbangan
fitrah kemanusiaan. Ia tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri tanpa
bimbingan kesadaran kemanusiaan sehingga dapat memberi umpan
balik yang merusak kehidupan. Jangan sampai terjadi kerusakan di darat
maupun di laut akibat perbuatan tangan-tangan kotor manusia (lihat:
QS.(30):41).
Penerapan Ilmu Pengetahuan mengharuskan bimbingan akhlaq
Tuhan (moralitas robbaniyah) yang harus mematuhi rasa cinta kasih yang
kita tiru dari akhlaq Allah, terutama sifat kasih dan sayang-Nya ( rahman
dan rahim-Nya). Ilmu Pengetahuan sebagai cara untuk mengenali
5
Ibid.
Bab 4
161
lingkungan secara lebih baik guna lebih membantu kehidupan manusia
hendaknya hanya ditujukan kepada penggunaan bagi peningkatan
kehidupan yang diliputi oleh semangat rasa cinta kasih. Maka sangat
simbolis sekali dalam ajaran Islam setiap mengawali aktifitas dengan
ucapan “basmalah” yang mana disebutkan dua kali sifat Tuhan yang
serba kasih dan sayang. Ini menyangkut nilai intelektualitas di kalangan
kaum muslimin. Bukan persoalan mutu (kualitas) suatu pekerjaan.
Mengenai soal mutu pekerjaan umat Islam juustru harus belajar banyak,
termasuk dari kalangan non-muslim, sebagaimana dulu pernah
dilakukan pada zaman kejayaan Islam klasik dan sekarang ini walupun
sangat lamban sedang berjalan.
D. Paradigma Profetik dalam Hukum Islam Melalui
Pendekatan Systems *
Oleh Amin Abdullah
1. Pendahuluan
Paradigma profetik atau paradigm hukum Islam yang pro(f)etik
diminati kembali oleh beberapa kalangan akademisi dan inteligensia
untuk membantu masyarakat Muslim kontemporer keluar dari
kesulitan-kesulitan yang dihadapinya sekarang ini, baik pada dataran
lokal maupun global-internasional. Tulisan ini menegaskan bahwa
paradigma profetik tidak dapat terlepas dari perjalanan sejarah
pemikiran Islam dalam perjumpaannya dengan sejarah panjang
perkembangan pemikiran umat manusia pada umumnya dan sekaligus
dalam pergumulannya dengan konstruksi bangunan filsafat keilmuan
Islamic Studies/Dirasat Islamiyyah dari setiap era yang dilaluinya
(Tradisional, Modern dan Postmodern). Kedua dimensi ini, yaitu waktu
Makalah disampaikan dalam “Serial Diskusi Menggagas Ilmu Hukum Berparadigma
Profetik sebagai Landasan Pengembangan Pendidikan Hukum di Fakultas Hukum UII
– Seri III, Yogyakarta, 12 April 2012.
*
162
Landasan Epistemologi...
(history) dan pemikiran (thought) tidak dapat terpisah, tetapi menyatu.
Oleh karenanya, paradigma profetik hukum Islam kontemporer tidak
dapat melepaskan diri dari pergumulannya dengan sains modern, ilmuilmu sosial dan humaniora kontemporer.
Pendekatan Systems yang hendak diperkenalkan dalam tulisan ini
diharapkan akan dapat membantu upaya untuk menyusun kembali
paradigma baru hukum Islam yang peka dan bermuatan nilai-nilai
profetik kontemporer, khususnya oleh masyarakat Muslim kontemporer
dalam perjumpaan mereka dengan komunitas dan budaya lokal di
masing-masing negara (local citizenship) dan sekaligus dalam
perjumpaannya dengan komunitas dan budaya global-internasional
(world citizenship). Tanpa mempertimbangkan kedua sisi tersebut,
bangunan paradigma pro(f)etik yang dicita-citakan akan kehilangan
signifikansi dan elan vitalnya.
2. Respon Intelektual Muslim
terhadap Perubahan Sosial
Kontemporer
Tidak ada yang dapat menyangkal jika dikatakan bahwa dalam
150 sampai 200 tahun terakhir, sejarah umat manusia mengalami
perubahan yang luar biasa. Terjadi perubahan yang luar biasa dalam
sejarah manusia dalam mengatur dan memperbaiki kualitas
kehidupannya. Perubahan yang dahsyat dalam perkembangan ilmu
pengetahuan, tatanan sosial-politik dan sosial-ekonomi, hukum, tata
kota, lingkungan hidup dan begitu seterusnya. Perubahan dahsyat
tersebut, menurut Abdullah Saeed, antara lain terkait dengan globalisasi,
migrasi penduduk, kemajuan sains dan teknologi, eksplorasi ruang
angkasa, penemuan-penemuan arkeologis, evolusi dan genetika,
pendidikan umum dan tingkat literasi. Di atas itu semua adalah
bertambahnya pemahaman dan kesadaran tentang pentingnya harkat
dan martabat manusia (human dignity), perjumpaan yang lebih dekat
antar umat beragama (greater inter-faith interaction), munculnya konsep
negara-bangsa yang berdampak pada kesetaraan dan perlakuan yang
sama kepada semua warga negara (equal citizenship), belum lagi
Bab 4
163
kesetaraan gender dan begitu seterusnya. Perubahan sosial yang begitu
dahsyat tersebut berdampak luar biasa dan mengubah pola berpikir
dan pandangan keagamaan (religious worldview) baik di lingkungan umat
Islam maupun umat beragama yang lain.6
Dalam khazanah pemikiran keagamaan Islam, khususnya dalam
pendekatan Usul al Fikh, dikenal istilah al-Tsawabit (hal-hal yang diyakini
atau dianggap tetap, tidak berubah) wa al-Mutaghayyirat (hal-hal yang
diyakini atau dianggap berubah-ubah, tidak tetap). Ada juga yang
menyebutnya sebagai al-Tsabit wa al-Mutahawwil. 7 Sedang dalam
pendekatan Falsafah (philosophy), sejak Aristotle hingga sekarang, juga
dikenal apa yang disebut Form and Matter.8 Belakangan di lingkungan
khazanah keilmuan antropologi (agama), khususnya dalam lingkup
kajian penomenologi agama, dikembangkan analisis pola pikir
keagamaan yang biasa disebut General Pattern dan Particular Pattern.9
Adalah merupakan pertanyaan yang sulit dijawab bagaimana kedua
Abdullah Saeed. 2006. Interpreting the Qur’an: Towards a contemporary approach, New
York: NY, Routledge. Hlm. 2
7
Adonis. 2002. al-Tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts fi al-ibda’ wa al-itba’ ‘inda al-arab.
London: Dar al-Saqi.
8
Menurut penelitian Josep van Ess, disini lah letak perbedaan yang mencolok antara
logika dan cara berpikir Mutakallimun dan Fuqaha di satu sisi dan Falasifah di sisi lain.
“Aristotelian definition, however, presupposes an ontology of matter and form.
Definition as used by the mutakallimun usually does not intend to lift individual phenomena
to a higher, generic category; it simply distinguishes them from other things (tamyiz).
One was not primarily concerned with the problem how to find out the essence of a
thing, but rather how to circumscribe it in the shortest way so that everybody could
easily grasp what was mean”. Lebih lanjut Josep van Ess, “The Logical Structure of
Islamic Theology”, dalam Issa J. Boullata (Ed.), An Anthology of Islamic Studies, Canada,
McGill Indonesia IAIN Development Project, l992, tanpa halaman. Cetak miring dan
hitam dari saya. Jasser Auda menambahkan bahwa “ … the jurists’ method of tamyiz
between conceps, whether essence-or description-based always resulted in defining every
concept in relation to a ‘binary opposite.’ The popular Arabic saying goes: “Things are
distinguished based on their opposites’ (bizdiddiha tatamayyaz al-ashya’)”. Lihat Jasser
Auda. 2008. Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Sistems Approach. London
dan Washington: The International Institute of Islamic Thought. Hlm. 212.
9
Richard C. Martin menyebut ‘general pattern’ sebagai ‘common pattern’ atau the universals
of human religiousness. Lebih lanjut Richard C. Martin, (Ed.) 1985. Approaches to Islam in
Religious Studies, Arizona, The University of Arizona Press. Hlm. 8.
6
164
Landasan Epistemologi...
atau ketiga alat ‘logika berpikir’ tersebut dapat dioperasionalisasikan di
lapangan ketika umat Islam menghadapi perubahan sosial yang begitu
dahsyat. Dalam praktiknya, tidak mudah mengoperasionalisasikannya di
lapangan pendidikan, sosial, dakwah, hukum dan begitu seterusnya, karena
masing-masing orang dan kelompok telah terkurung dalam preunderstanding
yang telah dimiliki, membudaya dan dalam batas-batas tertentu bahkan
membelenggu. Oleh karenanya, banyak keraguan dan benturan di sana
sini, baik pada tingkat person-person atau individu-individu, lebih-lebih
pada tingkat sosial dan kelompok-kelompok. Seringkali kedua atau ketiga
alat analisis entitas berpikir dalam dua tradisi khazanah keilmuan yang
berbeda ini, yakni Usul al-Fikh (wilayah agama) dan Falsafah (philosophy)
(wilayah sains) bertentangan, berbenturan dan berseberangan. Masih jauh
dari upaya ke arah perkembangan menuju ke dialog dan integrasi.10
Perbedaan yang tajam antara kedua tradisi keilmuan dan corak berpikir
dalam menganalisis dan memetakan persoalan sosial-keagamaan yang
dihadapi dan jalan keluar yang hendak diambil inilah yang menjadi topik
sentral dalam rancang bangun epistemologi keilmuan Islam kontemporer,
yang sedang dicoba dirumuskan ulang secara serius oleh para pembaharu
pemikiran Islam antara lain seperti Muhammad Abduh, Mohammad Iqbal,
Fazlur Rahman dan pemikir Muslim kontemporer seperti yang sebagian
pemikirannya akan saya bicarakan di sini, Abdullah Saeed dan Jasser
Diskusi dan pembahasan serius tentang hubungan antara agama dan ilmu (Religion
and Science) di tanah air, kalau saya tidak salah mengamati, sangat jarang dilakukan.
Kalaupun dilakukan masih dilakukan secara sporadis, tidak terprogram dan terencana.
Jika Ian Barbour memetakan ada 4 pola hubungan antara keduanya, yaitu Konflik,
Independen, Dialog dan Integrasi, maka yang banyak dijumpai sekarang, bahkan di
perguruan tinggi sekalipun, adalah masih dalam tahapan Konflik atau paling maju adalah
Independen. Belum sampai pada taraf Dialog apalagi Integrasi. Lebih lanjut Ian G
Barbour. 1966. Issues in Religion and Science, New York, Harper Torchbooks. Juga Holmes
Rolston, III, Science and Religion: A Critical Survey, New York: Random House. Dalam
pemikiran Islam yang sampai ke tanah air masih sangat jarang dilakukan. Upaya-upaya
awal dilakukan oleh Mohammad Abid al-Jabiry. 2002. Madkhal ila Falsafah al-Ulum: alAqlaniyyah al-Mu’asirah wa Tathawwur al-Fikr al-Ilmy, Beirut: Markaz Dirasaat al-Wihadah
al-Arabiyyah, Cetakan ke 5. juga Mohammad Shahrur. 2000. Nahw Usul al-Jadidah li alFiqh al-Islamy: Fiqh al-Mar’ah, Damaskus: al-Ahali.
10
Bab 4
165
Auda. Pemikiran muslim kontemporer masih banyak yang lain, seperti
Kuntowijoyo dan lain-lain.
Mengangkat tema Epistemologi Islam (komunitas lokal) dan
Globalisasi (komunitas internasional) dalam satu keutuhan pembahasan
berarti harus ada kesediaan untuk mempertemukan dan mendialogkan
antara kedua model entitas berpikir yang sulit di atas. Tidak bisa
membicarakan yang satu dan meninggalkan yang lain. Kecuali, kalau
topik pembahasan diubah menjadi hanya membicarakan salah satu
diantara kedua tema tersebut. Membicarakan Epistemologi Islam saja
atau hanya globalisasi saja. Di sini sulitnya mengangkat tema pembahasan
seperti di atas, karena para pelaku di lapangan harus bersedia
mendialogkan, mendekatkan dan mempertemukan antara keduanya
secara adil, proporsional dan bijak. Harus ada kesediaan dan mentalitas
untuk saling ‘take’ and ‘give’, saling mendekat, dialog, konsensus,
kompromi dan negosiasi. Tidak boleh ada pemaksaan kehendak. Tidak
ada pula perasaan merasa ditinggal. Oleh karenanya, perlu disentuh
bagaimana struktur bangunan dasar yang melandasi cara berpikir umat
manusia secara umum dan sekaligus juga harus disentuh bagaimana
bangunan dasar cara berpikir keagamaan Islam secara khusus. Ketika
menyebut Epistemologi Islam, mau tidak mau harus bersentuhan dengan
keilmuan atau pendekatan Usul al-Fiqh, sedang menyebut Globalisasi –
yang melibatkan pengalaman umat manusia pada umumnya - mau tidak
mau perlu mengenal cara berpikir secara lebih umum ruang lingkupnya,
sehingga harus bersentuhan dan berkenalan dengan metode Filsafat dan
metode berpikir sains pada umumnya.
Dalam bingkai payung besar perspektif seperti itu, dalam tulisan
ini, saya akan membawa peta percaturan dunia epistemologi Islam dalam
menghadapi dunia global lewat tiga pemikir Muslim kontemporer, yaitu
Abdullah Saeed dari Australia dan Jasser Auda dari London.11 Ada
Sudah barang tentu masih banyak sekali pemikir Muslim kontemporer yang lain yang
mempunyai concern dan keprihatinan yang sama, seperti Mohammad Shahrur (Syiria),Abdul
Karim Soroush (Iran), Fatimah Mernissi, Riffat Hassan, Hasan Hanafi (Mesir), Nasr Hamid
Abu Zaid (Mesir), Farid Esack (Afrika Selatan), Ebrahim Moosa (Afrika
11
166
Landasan Epistemologi...
beberapa alasan mengapa dipilih dua pemikir Muslim kontemporer
tersebut. Pertama, adalah karena mereka hidup di tengah-tengah era
kontemporer, di tengah-tengah arus deras era global sekarang ini. Kedua,
mereka datang dari belahan duni yang berbeda, yaitu Australia dan Eropa,
namun keduanya mempunyai basis pendidikan Islam Tradisional dari
negara yang berpenduduk Muslim (Maldev dan Mesir). Ketiga, keduanya
sengaja dipilih untuk mewakili suara ‘intelektual’ minoritas Muslim yang
hidup di dunia Barat, di wilayah mayoritas non-Muslim. Dunia baru
tempat mereka tinggal dan hidup sehari-hari bekerja, berpikir, melakukan
penelitian, berkontemplasi, berkomunitas, bergaul, berinteraksi,
berperilaku, bertindak, mengambil keputusan. Mereka hidup di tempat
yang sama sekali berbeda dari tempat mayoritas Muslim dimanapun
mereka berada. Keduanya mengalami sendiri bagaimana mereka harus
berpikir, mencari penghidupan, berijtihad, berinteraksi dengan negara
dan warga setempat, bertindak dan berperilaku dalam dunia global, tanpa
harus menunggu petunjuk dan fatwa-fatwa keagamaan dari dunia
mayoritas Muslim. Keempat, kedua pemikir, penulis, dan peneliti tersebut
- dalam kadar yang berbeda-beda - mempunyai kemampuan untuk
mendialogkan dan mempertautkan antara paradigma Ulumu al-Din, alFikr al-Islamiy dan Dirasat Islamiyyah kontemporer dengan baik. Yakni,
Ulumu al Din atau biasa disebut al-Turats (Kalam, Fiqh, Tafsir,Ulum alQur’an, Hadis) yang telah didialogkan, dipertemukan dengan sungguhsungguh - untuk tidak menyebutnya diintegrasikan - dengan Dirasat
Islamiyyah atau al-Hadatsah yang menggunakan sains modern, social sciences
dan humanities kontemporer sebagai pisau analisisnya dan cara berpikir
keagamaannya.12
Selatan), Abdullahi Ahmed al-Naim (Sudan), Tariq Ramadan, Omit Safi, Khaled Aboe
el-Fadl dan lain-lain seperti Mohammad Arkoun, Muhammad Abid al-Jabiry (Marokko),
belum lagi para pemikir muslim dari tanah air. Pengalaman saya mengajar di program
paska sarjana IAIN dan UIN, dan lebih-lebih program S1, masih jarang mahasiswa yang
mengetahui dengan baik metode dan buah pikiran para pemikir Muslim yang
menggunakan paradigma Dirasat Islamiyyah kontemporer ini.
12
Saya telah mengelaborasi hubungan antara ketiga kluster keilmuan Islam, yaitu antara
Ulum al-Din, al-Fikr al-Islamy dan Diirasat Islamiyyah dalam tulisan saya “Mempertautkan
Bab 4
167
Dengan kata lain, globalisasi yang dinyatakan dalam judul tulisan
ini adalah Globalisasi dalam praktik, globalisasi dalam praktik hidup
sehari-hari, dan bukannya globalisasi dalam teori yang belum masuk dalam
wilayah praktik. Yaitu dunia global seperti yang benar-benar dialami dan
dirasakan sendiri oleh para pelakunya di lapangan, yang sehari-hari
memang tinggal dan hidup di negara-negara sumber dari globalisasi dan
modernitas itu sendiri, baik dari segi transportasi, komunikasi, ekonomi,
sains, teknologi, budaya dan begitu seterusnya. Bukan globalisasi yang
diteoritisasikan dan dibayangkan oleh para intelektual Muslim yang tinggal
dan hidup di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, dan tidak
atau belum pernah merasakan bagaimana tinggal dan hidup sehari-hari
di negara-negara non-Muslim, pencetus dan penggerak roda globalisasi.
Lewat lensa pandang seperti itu, ada hal lain yang hendak ditegaskan
pula disini bahwa manusia Muslim yang hidup saat sekarang ini
dimanapun mereka berada adalah warga dunia (global citizenship), untuk
tidak mengatakan hanya terbatas sebagai warga lokal (local citizenship).
Sudah barang tentu, dalam perjumpaaan antara local dan global citizenship
ini ada pergumulan epistemologis dan pergulatan identitas yang tidak
mudah. Ada dinamika dan dialektika antara keduanya, antara being a
true Muslim dan being a member of global citizenship sekaligus, yang berujung
pada pencarian sintesis baru yang dapat memayungi dan menjadi jangkar
spiritual bagi mereka yang hidup dalam dunia baru dan dalam arus
pusaran perjumpaan dengan orang atau kelompok lain dan perubahan
sosial yang global sifatnya. Selain itu, juga ingin menyadarkan manusia
Muslim yang tinggal di negara-negara Muslim mayoritas, bahwa di sana
ada genre baru kelompok masyarakat dan corak intelektual Muslim yang
tumbuh berkembang di wilayah benua-benua non-Muslim. Bicara umat
Islam sekarang, tidak lagi cukup, bahkan tidak lagi valid hanya menyebut
secara konvensional seperti Kairo, Teheran, Karachi, Jakarta,
Ulum al-Din, Al-Fikr al-Islamy dan Dirasat al-Isalimyyah: Sumbangan Keilmuan Islam untuk
Peradaban Global” dalam Marwan Saridjo (Ed), Mereka Bicara Pendidikan Islam: Sebuah
Bunga Rampai, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009, h.261-298.
168
Landasan Epistemologi...
Kualalumpur, Istanbul atau Riyadh tetapi sekarang kita juga perlu
belajar menerima kehadiran Muslim dari London, Koln, Berlin, Paris,
Melbourne, Washington DC, Michigan, Huston, New York, Chicago
dan lain-lain.
3. Progressif-ijtihadi dalam Tafsir al-Qur’an:
Abdullah Saeed
Jabatan yang dipegang saat ini adalah Direktur pada Asia Institute,
Universitas Melbourn e, Direktur Center for the Study of Contemporary
Islam, University of Melbourne, Sultan Oman Professor of Arab and
Islamic Studies, University of Melbourne, Adjunct Professor pada Faculty
of Law, University of Melbourne. Riwayat pendidikan: Arabic Language
Study, Institute of Arabic Language, Saudi Arabia, l977-79, High School
Certificate, Se condary Institute, Saudi Arabia, l979-82; Bachelor of Arts,
Arabic Literature and Islamic Studies, Islamic University, Saudi Arabia,
l982-l986; Master of Arts Preliminary, Middle Eastern Studies, University
of Melbourne, Australia, Master of Arts, Applied Linguistics, University
of Melbourne, Australia, l992-l994; Doctor of Philosophy, Islamic Studies,
University of Melbourne, Australia, l988-l992.
Karya tulis baik yang berupa buku, makalah ataupun tulisan lepas
banyak sekali dalam berbagai bidang yang bervariasi. Kecenderungan tema
yang ditulis adalah tentang Islam dan Barat, al-Qur’an dan Tafsir, serta
tentang Tren Kontemporer Dunia Islam termasuk ekonomi Islam dan Jihad/
Terrorisme. Diantaranya Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary
Approach (London: Routledge, 2006); “Muslim in the West and their
Attitude to Full Participating in Western Societies: Some Reflections” dalam
Geoffrey Levey (ed.), Religion and Multicultural Citizenship (Cambridge:
Cambridge University Press, 2006); “Muslim in the West Choose Between
Isolationism and Participation” dalam Sang Seng, Vol 16, Seol: Asia-Pacific
Center for education and International Understanding/UNESCO, 2006);
“Jihad and Violence: Changing Understanding of Jihad among Muslims”
dalam Tony Coady and Michael O’Keefe (eds.), Terrorism and Violence
(Melbourne: Melbourne University Press, 2002); dan risetnya yang
Bab 4
169
berjudul ‘Reconfiguration of Islam among Muslims in Australia (20042006)’.
Abdullah Saeed adalah cendekiawan Muslim yang berlatar
belakang pendidikan bahasa dan sastra Arab serta studi Timur Tengah.
Kombinasi institusi pendidikan yang diikuti, yaitu pendidikan di Saudi
Arabia dan karir akademik di Melbourne Australia menjadikannya
kompeten untuk menilai dunia Barat dan Timur secara objektif. Saeed
sangat konsern dengan dunia Islam kontemporer. Pada dirinya ada spirit
bagaimana ajaran-ajaran Islam itu bisa shalih li kulli zaman wa makan,
dalam paham minoritas Muslim yang tinggal di negara Barat. Spirit
semacam inilah yang ia sebut sebagai Islam Progressif. Subjeknya disebut
Muslim Progressif. Islam progressif adalah merupakan upaya untuk
mengaktifkan kembali dimensi progressifitas Islam yang dalam kurun
waktu yang cukup lama mati suri ditindas oleh dominasi teks. Dominasi
teks ini oleh Mohammad Abid al-Jabiry disebut sebagai dominasi
epistemologi atau nalar Bayani dalam pemikiran Islam. Metode berpikir
yang digunakan oleh Muslim Progressif inilah yang disebutnya dengan
istilah progressif - ijtihadi. Sebelum dipaparkan bagaimana kerangka
kerja progressif-Ijtihadi ini, ada baiknya dilihat posisi Muslim progressif
dalam trend pemikiran Islam yang ada saat ini.
Menurut Saeed, ada enam kelompok pemikir Muslim era sekarang,
yang corak pemikiran keagamaan berikut epistemologi hukumnya
berbeda-beda (l) The Legalist-traditionalist, yang titik tekannya ada pada
hukum-hukum yang ditafsirkan dan dikembangkan oleh para ulama
periode pra Modern; (2) The Theological Puritans, yang fokus pemikirannya
adalah pada dimensi etika dan doktrin Islam; (3) The Political Islamist,
yang kecenderungan pemikirannya adalah pada aspek politik Islam
dengan tujuan akhir mendirikan negara Islam; (4) The Islamist Extremists,
yang memiliki kecenderungan menggunakan kekerasan untuk melawan
setiap individu dan kelompok yang dianggapnya sebagai lawan, baik
Muslim ataupun non-Muslim; (5) The Secular Muslims, yang beranggapan
bahwa agama merupakan urusan pribadi (private matter); dan (6) The
170
Landasan Epistemologi...
Progressive Ijtihadists, yaitu para pemikir modern atas agama yang
berupaya menafsir ulang ajaran agama agar dapat menjawab kebutuhan
masyarakat modern. Pada kategori yang terakhir inilah posisi Muslim
progressif berada.13
Karakteristik pemikiran Muslim progressif-ijtihadis, dijelaskan oleh
Saeed dalam bukunya Islamic Thought adalah sebagai berikut: (1) mereka
mengadopsi pandangan bahwa beberapa bidang hukum Islam tradisional
memerlukan perubahan dan reformasi substansial dalam rangka
menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Muslim saat ini; (2)
mereka cenderung mendukung perlunya fresh ijtihad dan metodologi
baru dalam ijtihad untuk menjawab permasalahan-permasalahan
kontemporer; (3) beberapa diantara mereka juga mengkombinasikan
kesarjanaan Islam tradisional dengan pemikiran dan pendidikan Barat
modern; (4) mereka secara teguh berkeyakinan bahwa perubahan sosial,
baik pada ranah intelektual, moral, hukum, ekonomi atau teknologi,
harus direfleksikan dalam hukum Islam; (5) mereka tidak mengikutkan
dirinya pada dogmatism atau madzhab hukum dan teologi tertentu dalam
pendekatan kajiannya; dan (6) mereka meletakkan titik tekan
pemikirannya pada keadilan sosial, keadilan gender, HAM, dan relasi
yang harmonis antara Muslim dan non-Muslim.
Sekilas tampak jelas bahwa corak epistemologi keilmuan Islam
kontemporer, dalam pandangan Saeed, adalah berbeda dari corak
epistemologi keilmuan Islam tradisional. Penggunaan metode kesarjanaan
Abdullah Saeed. 2003. Islamic Thought: An Introduction, London and New York:
Routledge. Hlm. 142-50. Untuk lebih detil, dapat juga dibaca Omit Safi (Ed.). 2003.
Progressive Muslims: On Justice, Gender and Pluralism, Oxford: Oneworld Publications. Tariq
Ramadan juga menengarai ada 6 kecenderungan pemikiran Islam abad akhir abad ke
20 dan abad ke 21, yaitu Scholastic Traditionalism, Salafi Literalism, Salafi Reformism, Political
Literalist Salafism, Liberal or Rational Reformism, dan Sufism. Lebih lanjut Tariq
Ramadan.2004. Western Muslims and the Future of Islam, New York: Oxford University
Press. Hlm. 24-28. Kategorisasi dan klasifikasi trend pemikiran Islam oleh Saeed dan
Tariq Ramadan ini memang berbeda dari yang biasa dikenal di tanah air tahun 80an,
ketika para ilmuan lebih menekankan pada perbedaan antara Traditionalism dan Modernism,
yang kemudian muncul dalam nama mata kuliah seperti Aliran Modern dalam Islam
(Modern Trend in Islam).
13
Bab 4
171
dan epistemologi tradisional masih ada, dimana nash-nash al-Qur’an
menjadi titik sentral berangkatnya, tetapi metode penafsirannya telah
didialogkan, dikawinkan dan diintegrasikan dengan penggunaan
epistemologi baru, yang melibatkan social sciences dan humanities
kontemporer dan filsafat kritis (Critical Philosophy). Abdullah Saeed memang
tidak menyebut penggunaaan metode dan pendekatan tersebut secara
eksplisit di situ, tetapi pencantuman dan penggunaaan istilah ‘pendidikan
Barat modern’ adalah salah satu indikasi pintu masuk yang dapat
mengantarkan para pecinta studi Islam kontemporer ke arah yang saya
maksud. Juga isu-isu dan persoalan-persoalan Humanities kontemporer
terlihat nyata ketika Saeed menyebut Keadilan sosial, lebih-lebih keadilan
Gender, HAM dan hubungan yang harmonis antara Muslim dan nonMuslim. Persoalan humanities kontemporer tidak akan dapat dipahami,
dikunyah dan disimpulkan dengan baik, jika epistemologi keilmuan Islam
masih menggunakan metode dan pendekatan Ulum al-Din lama. Dalam
Epilogue, Bab 12, Abdullah Saeed menjelaskan pandangan dan kritiknya
terhadap Ilmu-ilmu Syari’ah (lama), yang terdiri dari hadist, usul al-fiqh
dan tafsir jika hanya berhenti dan puas dengan menggunakan metode,
cara kerja dan paradigma yang lama. Kemudian, dalam hal tafsir, dia
mengajukan metode alternatif untuk dapat memahami teks-teks kitab
suci sesuai dengan perkembangan dan tuntutan tingkat pendidikan umat
manusia era sekarang ini. Tampak jelas bahwa Abdullah Saeed meneruskan
dan mengembangkan lebih lanjut metode tafsir al-Qur’an, yang lebih
bernuansa hermeneutis, dari pendahulunya Fazlur Rahman.14
Abdullah Saeed, ibid. Hlm. 145-154. Bandingkan dengan pandangan Ibrahim AbuRabi’ yang mengkritik model pendidikan Islam Tradisional dan Literalist era sekarang
yang masih mem-bid’ah-kan kajian ilmu-ilmu sosial (sociology; anthropology) dan filsafat
kritis (Critical Philosophy) dalam pendidikan Islam pada level apapun. “The core of the
field revolves around Shari’ah and Fiqh studies that have, very often, emptied of any
critical or political content, or relevance to the present situation… Furthermore, the
perspective of the social sciences or critical philosophy is regrettably absent…The
discipline of the sociology of religion is looked upon as bid’ah, or innovation, that
does not convey the real essence of Islam.”. Lebih lanjut Ibrahim M. Abu-Rabi’, “A
Post-September 11 Critical Assessment of Modern Islamic History”, dalam Ian
14
172
Landasan Epistemologi...
Meskipun dirasakan begitu penting dan mendesaknya kebutuhan
untuk melakukan perubahan paradigma (shifting paradigm) dalam
rumusan dan konstruksi pemikiran Islam kontemporer, khususnya
dalam bidang tafsir al-Qur’an, namun tetap saja masih dirasakan betapa
sulitnya untuk diterapkan dalam alam pikiran Islam kontemporer. Upaya
Abdullah Saeed ini kemudian diteruskan oleh Jasser Auda yang juga
mencoba mengenalkan dan menggunakan pendekatan Systems dalam
pemikiran hukum Islam khususnya dan studi hukum pada umumnya.
4. Pendekatan Systems
Jasser Auda
dalam
Hukum
Islam:
Adalah Associate Professor di Fakultas Studi Islam Qatar (QFTS)
dengan fokus kajian Kebijakan Publik dalam program Studi Islam. Dia
adalah anggota pendiri Persatuan Ulama Muslim Internasional, yang
berbasis di Dublin; anggota Dewan Akademik Institut Internasional
Pemikiran Islam di London, Inggris; anggota Institut Internasional Advanced
Sistem Research (IIAS), Kanada; anggota pengawas Global Pusat Studi
Peradaban (GCSC), Inggris; anggota Dewan Eksekutif Asosiasi Ilmuan
Muslim Sosial (AMSS), Inggris; anggota Forum perlawanan Islamofobia
dan Racism (FAIR), Inggris dan konsultan untuk Islamonline.net. Ia
memperoleh gelar Ph. D dari university of Wales, Inggris, pada konsentrasi
Filsafat Hukum Islam tahun 2008. Gelar Ph. D yang kedua diperoleh
dari Universitas Waterloo, Kanada, dalam kajian Analisis Sistem tahun
2006. Master Fiqh diperoleh dari Unversitas Islam Amerika, Michigan,
pada fokus kajian Tujuan Hukum Islam (Maqasid al-Syari’ah) tahun 2004.
Gelar BA diperoleh dari jurusan Islamic Studies pada Islamic American
University, USA, tahun 2001 dan gelar BSc diperoleh dari Engineering
Cairo University, Egypt Course Av., tahun l988. Ia memperoleh
pendidikan al-Qur’an dan ilmu-ilmu Islam di Masjid al-Azhar, Kairo.
Markham and Ibrahim M. Abu-Rabi’ (Eds.) 11 September: Religious Perspectives on the Causes
and Consequences ,Oxford, Oneworld Publications, 2002, h.34 dan 36.Cetak hitam dari
saya.
Bab 4
173
Jasser Auda adalah direktur sekaligus pendiri Maqasid Research Center
di Filsafat Hukum Islam di London, Inggris, dan menjadi dosen tamu untuk
fakultas Hukum Universitas Alexandria, Mesir, Islamic Institute of Toronto,
Kanada dan Akademi Fiqh Islam, India. Dia menjadi dosen mata kuliah
hukum Islam, Filsafat, dan materi yang terkait dengan isu-isu minoritas
Muslim dan Kebijakan di beberapa negara di seluruh dunia. Dia adalah
seorang contributor untuk laporan kebijakan yang berkaitan dengan
minoritas Muslim dan pendidikan Islam kepada Kementrian Msyarakat
dan Dewan Pendanaan Pendidikann Tinggi Inggris, dan telah menulis
sejumlah buku, yang terakhir dalam bahasa Inggris, berjudul Maqasid
al-Syariah as Philosophy of Islamic Law : A Sistems Approach, London, IIIT,
2008. Tulisan yang telah diterbitkan 8 buku dan ratusan tulisan dalam
bentuk jurnal, tulisan media, kontribusi tulisan di buku, DVD, ceramah
umum, dan jurnal online yang tersebar di seluruh dunia. Selain itu,
banyak penghargaan yang telah ia terima.15
Dari otobiograpi di atas tergambar bagaimana seorang Jasser
Auda bergumul dalam ijtihad dan jihad berpikir untuk memperbaharui
epistemology dan mereformasi hukum Islam tradisional. Baginya, setiap
klaim yang menyatakan bahwasanya pintu ijtihad tidak tertutup atau
membuka pintu ijtihad adalah merupakan suatu keharusan mengalami
jalan buntu (Intellectual impasse) karena menurutnya belum tergambar
secara jelas bagaimana metode dan pendekatan yang digunakan dan
bagaimana aplikasi dan realisasinya di lapangan. Seperti Mohammad
Shahrur dari Syiria, dia adalah berlatar belakang pendidikan teknik/
insinyur. Berbekal keahlian dalam dua bidang keilmuan, yaitu metode
sains dan metode agama inilah ia ingin menyumbangkan keahlian dan
keilmuannya untuk membantu rekan-rekannya yang menghadapi jalan
buntu intelektual ketika hendak membuka pintu ijtihad. Kebuntuan
intelektual ini pada gilirannya akan berdampak pada sikap etis atau
non-etisnya umat beragama.
Lebih jauh tentang Jasser Auda dapat dilacak www.jasserauda.net dan juga
www.maqasid.net
15
174
Landasan Epistemologi...
Karir studi akademiknya pun ia rancang sedemikian terprogram
sejak dari mulai menguasai bidang Fiqh, Usul al-Fiqh, Hukum Islam, teori
Maqasid sampai menguasai teori Sistems dengan baik pada tingkat doktor
(ijazah doktor pertama yang diperolehnya dari Kanada hanya untuk
memantapkan keahliannya menguasai teori Sistem dalam pengetahuan
manusia). Sekumpulan pengetahuan dengan berbagai pendekatan inilah
yang ia himpun untuk menunjang karir akademiknya yang telah lama ia
idam-idamkan untuk membantu membuka kembali pintu ijtihad yang
telah lama terbuka tapi tidak ada yang berani masuk. Baik oleh rekanrekan seagamanya yang hidup di dunia mayoritas Muslim maupun
minoritas Muslim yang hidup di negara-negara mayoritas non-Muslim
di seluruh dunia. Kalau tidak dibuka dengan menggunakan kunci yang
tepat, maka pintu tidak akan terbuka atau terbuka tetapi rusak. Baik
dalam kondisi pintu tertutup maupun pintu rusak, keduanya akan
berakibat kepada nasib umat Islam di seluruh dunia di era globalisasi
seperti saat sekarang ini. Begitu kira-kira, kalau saya ingin
membahasakan ulang keprihatinan Jasser Auda.
Ilustrasi ‘kunci’ pintu yang saya sebut di atas, dalam istilah filsafat
Ilmu kontemporer adalah Approaches atau berbagai pendekatan. Richard
C. Martin memberi judul bukunya Approaches to Islam in Religious Studies.
Jasser Auda menggunakan istilah A Systems Approach dalam bukunya.
Dalam bahasa keilmuan Islam tradisional biasa disebut al-Tariqah
(Metode) sehingga sangat popular pembedaan antara al-Maddah (Materi)
dan al-Tariqah (Metode). Lalu, dikenallah adagium al-Tariqah ahammu
min al-Maddah (Metode pembelajaran lebih penting dari pada materi
pembelajaran). Penekanan pada Approaches memang berbeda dari
penekanan pada Methods, karena dalam Approaches diperlukan
persyaratan yang lebih dari pada persyaratan yang biasa berlaku dalam
Method. Dalam Approaches terkandung syarat yang tidak tertulis bahwa
seseorang, baik guru, dosen, da’i dan leaders of influence yang lain harus
bersedia melakukan penelitian (research) dan studi perbandingan
(comparasion) dengan cara melibatkan berbagai dan lintas disiplin ilmu
(multi dan transdisciplin) dan pengalaman-pengalaman bidang lain,
Bab 4
175
termasuk mengenal budaya setempat-lokal dan budaya globalinternasional (Urf) untuk mampu melakukan perbaikan, pembaharuan
dan inovasi, Begitu juga bidang hukum Islam dan bidang-bidang ilmu
keislaman yang lain, persyaratan tersebut berlaku sepenuhnya.
Paradigma profetik dalam hukum Islam kontemporer, setidaknya,
mencakup 2 (dua) Approaches yang perlu dikuasi sekaligus secara
profesional, yaitu pertama, Approaches yang berhubungan erat dengan
dimensi waktu dan kesejarahan (history) dan kedua, Approaches yang
berhubungan erat dengan konsep dan pemikiran kefilsafatan (thought).
Dalam hal yang terkait dengan dimensi waktu dan kesejarahan, ada 3
(tiga) lapis kunci pintu untuk mempelajari dan menganalisis pemikiran
hukum Islam tradisional dalam upaya untuk membuka pintu ijtihad
kontemporer, yaitu kunci pintu teori hukum era tradisional, kunci pintu
teori hukum era modern dan terakhir adalah kunci pintu teori hukum
era post modern. 16 Dengan menggunakan metode perbandingan
pemikiran hukum Islam yang teliti, ketiga kunci pintu pisau bedah analisis
pemikiran hukum tersebut digunakan oleh Jasser Auda untuk membuka
horison dan kemungkinan membangun bangunan epistemologi keilmuan
Islam baru di era kontemporer yang lebih bercorak profetis dan pro-etis
dalam menghadapi guncangan arus globalisasi. Berbeda dari teori
Postmodernism yang biasa digunakan oleh para pemikir Muslim
kontemporer, Jasser Auda lebih menekankan pada aspek pendekatan
atau Approaches yang lebih bersifat ‘multi-dimensional” (Multi-dimensional)
dan pendekatan yang lebih utuh-menyeluruh (Holistic approach).17
Jika diskusi tentang hukum Islam di dunia Islam pada umumnya
berkisar pada isu Syari’ah, Usul al-Fqh dan Fiqh, maka Jasser Auda
mengambil jalan lain. Dia tetap menekankan pentingnya ketiga isu
penting tersebut, tetapi dia menggeser paradigma pendekatannya lewat
pintu masuk Maqasid yang diperbaharui. Tidak hanya teori, metode dan
Jasser Auda. 2008. Maqasiid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach,
London dan Washington: The International Institute of Islamic Thought. Hlm.253.
17
Ibid. Hlm. l91.
16
176
Landasan Epistemologi...
pendekatan fiqh Tradisonal dan fiqh Modern yang ia cermati dan gunakan,
tetapi juga teori, metode dan pendekatan fiqh Postmodern juga ia
gunakan, dengan dibarengi beberapa catatan kritis sudah barang tentu.
Maqasid menjadi pangkal tolak berpikir untuk pengembangan pemikiran
hukum Islam yang berparadigma profetik di era kontemporer dan di
tengah gelombang besar globalisasi. Bukunya yang berjudul Maqasid
al-Syariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach merupakan
pesan yang jelas-tegas bagaimana ide pembaharuan hukum Islam dan
epistemologinya perlu dirumuskan kembali dan kemana hendak dituju.
Teori Maqasid sebenarnya bukanlah barang baru dalam dunia berpikir
hukum Islam. Kulliyyat al-Khams nya al-Syatibi sangatlah popular di
dunia Usul al-Fiqh dan Fiqh dalam pemikiran hukum Islam. Tapi, Jasser
Auda mengajukan pertanyaan penting yang ditujukan ke umat Islam
yang hidup di era sekarang ini. Jika Kulliyyat al-Khams al-Syatibi itu
memang penting dan fungsional di era kontemporer saat ini, mengapa
dalam dunia kenyataan sehari-hari di negara-negara yang berpenduduk
mayoritas Muslim justru masih serba kekurangan, tertinggal dari negaranegara lain yang dulunya juga sama-sama kekurangan dan cenderung
abai pada sisi moralitas, asas kepatutatan dan etika kemanusiaan.
Laporan tahunan United Nation Development Programme (UNDP)
menyebutkan bahwa Human Development Index (HDI) negara-negara
yang berpenduduk Muslim masih rendah. Rendah dalam tingkat literasi
(Literacy), tingkat pendidikan (Education), partisipasi politik dan ekonomi,
pemberdayaan wanita (women empowerment), belum lagi menyebut
standar dan kualitas kehidupan yang layak. Pertanyaan kedua yang
diajukannya adalah mengapa justru di negara-negara berpenduduk
Muslim yang income per capita nya cukup tinggi, justru tingkat keadilan,
pemberdayaan wanita, partisipasi politik, dan kesempatan yang sama
untuk semua warganegaranya malah rendah.18 What went wrong? Apa
Ibid. Hlm. XXII. Ketika tulisan ini disiapkan, peristiwa penumbangan rejim
pemerintah yang berkuasa lebih dari 30 tahun sedang berlangsung. Setelah Tunisia,
gerakan rakyat menular ke Mesir dan berhasil pula menumbangkan pemerintahan Husni
18
Bab 4
177
yang salah dalam hal ini semua? Bisakah kita mengkritisi kembali
bangunan epistemologi keilmuan Islam di bidang hukum Islam ini dan
bagaimana implikasinya dalam wilayah pendidikan hukum?19 Tugas
yang tidak mudah, karena asas dan prinsip dasar Kulliyat al-Kahms
tersebut telah mengakar, mendarah dan mendaging, alias membudaya
dalam pola pikir umat Islam dimana pun mereka berada sehingga sangat
sulit untuk dikritisi dan dirumuskan ulang. Pola pikir atau worldview
keagamaan ini telah menjadi preunderstanding dan bahkan menjadi affective history nya umat Islam dimanapun mereka berada, khususnya di
wilayah Timur Tengah. Akan sangat sulit sekali merubahnya. Itulah
batu karang budaya yang dihadapi oleh Jasser Auda dan dicoba untuk
diurainya kembali asal-usul, perubahan dan perkembangannya lewat
pendekatan Systems.
a. Pendekatan waktu dan kesejarahan.
Langkah dan pendekatan (approach) pertama yang dilakukan adalah
membuat peta sejarah perkembangan pemikiran hukum Islam dengan
teliti, mulai dari era Islam Tradisional, Islam Modern sampai Islam
Postmodern. Dengan membaca dan meneliti literatur yang melintasi tiga
jaman tersebut, ditemukan varian-varian pola pemikiran epistemologi
keilmuan hukum Islam dan implikasinya dalam membentuk sikap etis
yang berbeda-beda untuk masing-masing tahapan sejarah tadi. Pertama,
Islamic Traditionalism. Ada 4 varian disini. 1) Scholastic Traditionalism,
dengan ciri berpegang teguh pada salah satu madhhab fiqh tradisional
sebagai sumber hukum tertinggi dan hanya membolehkan ijtihad, ketika
sudah tidak ada lagi ketentuan hukum pada madhhab yang dianut. 2)
Mubarak. Secara berturut-turut pindah ke Libia, Yaman, Bahrain dan yang masih
terus bergejolak adalah Syuriah, dan begitu setrusnya. Sejarah Timur Tengah yang baru
paska tumbangnya rejim yang otoriter sedang sedang dicari rumusannya.
19
Untuk wilayah pendidikan Islam, dapat diperbandingkan dengan pengamatan dan
analisis Ibrahim M. Abu-Rabi’ terhadap praktik pendidkan Islam di dunia Muslim dalam
artikelnya, “A Post-September 11 Critical Assesment of Modern Islamic History” dalam
Ian Markham dan Ibrahim M. Abu Rabi’ (Ed.), 11 September: Raligious Perspectives on the
Causes and Consequences, Oxford, Oneworld Publications, 2002, Hlm. 19-52.
178
Landasan Epistemologi...
Scholastic Neo-Traditionalism, bersikap terbuka terhadap lebih dari satu
madhab untuk dijadikan referensi terkait suatu hukum, dan tidak
terbatas pada satu madhab saja. Ada beberapa jenis sikap terbuka yang
diterapkan, mulai dari sikap terhadap seluruh madhab fiqh dalam Islam,
hingga sikap terbuka pada madhab Sunni atau Shia saja. 3) Neo-Literalism,
kecenderungan ini berbeda dengan aliran literalism klasik (yaitu mazhab
Zahiri). Neo-literalism ini terjadi pada Sunni maupun Shia. Perbedaannya
dengan literalism lama adalah jika literalism klasik (seperti versi Ibn Hazm) dengan
neo-Literalism adalah literalism klasik lebih terbuka pada berbagai koleksi
hadis, sedangkan neo-literalism hanya bergantung pada koleksi hadis dalam
satu mazhab tertentu. Namun demikian, neo-literalism ini seide dengan
literalisme klasik dalam hal sama-sama menolak ide untuk memasukkan
purpose atau maqasid sebagai sumber hukum yang sah (legitimate). Contoh
neo-literalism saat ini adalah aliran Wahabi. 4) Ideology-Oriented Theories. Ini
adalah aliran traditionalism yang paling dekat dengan post-modernism dalam
hal mengkritik modern ‘rationality’ dan nilai-nilai yang bias ‘euro-centricity’,
‘west-centricity’. Salah satu sikap aliran ini adalah penolakan mereka
terhadap demokrasi dan sistem demokrasi, karena dinilai bertentangan
secara fundamental dengan sistem Islam.20
Kedua, Islamic Modernism. Ciri umum para tokoh corak pemikiran
ini adalah mengintegrasikan pendidikan Islam dan Barat yang mereka
peroleh, untuk diramu menjadi tawaran baru bagi reformasi Islam dan
penafsiran kembali (re-interpretation). Ada 5 varian disini. 1) Reformist
Reinterpretation. Dikenal juga sebagai ‘contextual exegesis school’ atau atau
menggunakan istilah Fazlur Rahman ‘systematic interpretation’. Contoh,
Muhammad Abduh, Rashid Rida dan al-Tahir Ibn Ashur telah memberi
kontribusi berupa mazhab tafsir baru yang koheren dengan sains modern
dan rasionalitas. 2) Apologetic Reinterpretation. Perbedaan antara reformist
reinterpretations dan apologetic reinterpretations adalah reformist memiliki
tujuan untuk membuat perubahan nyata dalam implementasi hukum
Islam praktis; sedangkan apologetic lebih pada menjustifikasi status quo
20
Untuk lebih detil, lebih lanjut Jasser Auda, Ibid. Hlm. l62-l68.
Bab 4
179
tertentu, ‘Islamic’ atau ‘non-Islamic’. Biasanya didasarkan pada orientasi
politik tertentu. Contoh seperti Ali Abdul Raziq dan Mahmoed Mohammad
Taha. 3) Dialogue-Oriented Reinterpretation / Science-Oriented Reinterpretation.
Ini merupakan aliran modernis yang menggunakan pendekatan baru untuk
reinterpretasi. Mereka memperkenalkan ‘a scientific interpretation of the
Qur’an and Sunnah’. Dalam pendekatan ini, ‘rationality’ didasarkan pada
‘science’, sedangkan ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis direinterpretasi
agar selaras dengan penemuan sains terbaru. 4) Interest-Oriented Theories.
A Maslahah-based approach ini berusaha untuk menghindari kelemahan
sikap apologetic, dengan cara melakukan pembacaan terhadap nass,
dengan penekanan pada maslahah yang hendak dicapai. Contoh, seperti
Mohammad Abduh dan al-Tahir ibn Ashur yang menaruh perhatian
khusus pada maslahah dan maqasid dalam hukum Islam, sehingga mereka
menginginkan reformasi dan revitalisasi terhadap hukum Islam yang
terfokus pada metodologi baru yang berbasis maqasid. 5) Usul Revision.
Tendensi ini berusaha untuk merevisi Usul al-Fiqh, mengesampingkan
keberatan dari neo-tradisionalis maupun fundamentalist lainnya. Bahkan
para tokoh yang tergolong Usul Revisionist menyatakan bahwa ‘tidak
ada pengembangan signifikan dalam hukum Islam yang dapat terwujud,
tanpa mengembangkan Usul a-Fiqh dari hukum Islam itu sendiri.21
Beberapa nama disebut sebagai contoh, antara lain Mohammad Abduh
(1849-l905), Mohammad Iqbal (1877-1938), Rashid Rida, al-Tahir ibn
Ashur, al-Tabtabai, Ayatullah al-Sadir, Mohammad al-Ghazali, Hasan
al-Turabi, Fazlur Rahman, Abdullah Draz, Sayyid Qutb, Fathi Osman .
Juga Ali Abdul Raziq, Abdulaziz Sachedina, Rashid Ghannouchi,
Mohammad Khatami.
Ketiga, Post-modernism. Metode umum yang digunakan tendensi
ini adalah ‘deconstruction’, dalam style Derrida. Ada ada 6 varian di sini.
1) Post Structuralism. Berusaha membebaskan masyarakat dari otoritas
nass dan menerapkan teori semiotic ( Teori yang menjelaskan bahwa
“Bahasa sesungguhnya tidak menunjuk kepada realitas secara langsung’
21
Untuk lebih detil, lebih lanjut Jasser Auda, Ibid. Hlm. 168-180.
Landasan Epistemologi...
180
(Language does not refer directly to the reality) terhadap teks al-Qur’an
agar dapat memisahkan bentuk implikasi yang tersirat (separate the
implication from the implied). 2) Historicism. Menilai al-Qur’an dan hadis
sebagai ‘cultural products’ dan menyarankan agar deklarasi hak-hak asasi
manusia modern dijadikan sebagai sumber etika dan legislasi hukum.3)
Critical –Legal Studies (CLS). Bertujuan untuk mendekonstruksi posisi ‘power’
yang selama ini mempengaruhi hukum Islam, seperti powerful suku Arab
dan “male elitism’. 4) Post-Colonialism. Mengkritik pendekatan para orientalis
klasik terhadap hukum Islam, serta menyerukan pada pendekatan baru
yang tidak berdasarkan pada ‘essentialist fallacies’ (prejudices) terhadap
kebudayaan Islam. 5) Neo-Rationalism. Menggunakan pendekatan historis
terhadap hukum Islam dan mengacu pada madhhab mu’tazilah dalam
hal rational reference untuk mendukung pemahaman mereka.
Banyak nama yang disebut. Antara lain Mohammad Arkoun, Nasr
Hamid Abu Zaid, Hasan Hanafi, al-Tahir al-Haddad dan juga Ebrahim
Moosa dengan buku-buku atau artikel yang disebut dalam bab
Bibliograpi. Juga Ayatullah Shamsuddin, Fathi Osman, Abdul Karim
Soroush, Mohammad Shahrur dan yang lain-lain.22
Dengan mencermati seluruh metode dan pendekatan yang
digunakan oleh para pemikir hukum Islam , yang dipetakannya menjadi
Tradisionalisme, Modernisme dan Postmodernisme, Jasser Auda
kemudian mengajukan pendekatan Systems untuk membangun kerangka
pikir baru untuk pengembangan hukum Islam di era globalkontemporer. Hasil penelitian terhadap ke tiga trend hukum Islam diatas
dinyatakan sebagai berikut : Current applications ( or rather, mis-applications)
of Islamic Law are reductionist rather than holistic, literal rather than moral,
one-dimensional rather than multidimensional, binary rather than multi-valued,
deconstructionist rather than reconstructionist, and causal rather than teleological.23
(Penerapan - atau lebih tepat disebut kesalah-penerapan - hukum Islam
di era sekarang adalah karena penerapannya lebih bersifat reduktif (tidak
22
23
Ibid. Hlm. 180-191.
Ibid. Hlm. xxvii
Bab 4
181
utuh) dari pada utuh, lebih menekankan makna literal dari pada moral,
lebih terfokus pada satu dimensi saja dari pada multidimensi, nilainilai yang dijunjung tinggi lebih bercorak hitam-putih dari pada warnawarni pelangi, bercorak dekonstruktif dari pada rekonstruktif, kausalitas
dari pada berorientasi pada tujuan (teleologis). Penggunaan pendekatan
Systems yang ia usulkan berupaya keras untuk menghidari dan
menghilangkan sedapat mungkin kekurangan-kekurangan yang disebut
tadi. Pendekatan Systems yang ia usulkan lebih mengarah pada
pembentukan paradigma profetik dalam hukum Islam kontemporer.
b. Pendekatan Systems dalam Hukum Islam.
Apa yang dimaksud dengan pendekatan Systems? Sistem adalah
disiplin baru yang independen, yang melibatkan sejumlah dan berbagai
sub-disiplin. Teori Systems dan Analisis Sistematik adalah bagian tak
terpisahkan dari tata kerja pendekatan Systems. Teori Systems adalah jenis
lain dari pendekatan filsafat yang bercorak ‘anti-modernism’ (anti modernitas)
yang mengkritik modernitas dengan cara yang berbeda dari cara yang
biasa digunakan oleh teori-teori postmodernitas. Konsep-konsep dasar yang
biasa digunakan dalam pendekatan dan analisis Systems antara lain adalah
melihat persoalan secara utuh (Wholeness), selalu terbuka terhadap berbagai
kemungkinan perbaikan dan penyempurnaan (Openness), salingketerkaitan
antar nilai-nilai (Interrelated-Hierarchy), melibatkan berbagai dimensi
(Multidimensionality) dan mengutamakan dan mendahulukan tujuan
pokok (Purposefulness). Masih terkait dengan Systems sebagai disiplin
baru adalah apa yang disebut dengan Cognitive science, yakni bahwa
setiap konsep keilmuan apapun - keilmuan agama maupun non-agama
- selalu melibatkan intervensi atau campur tangan kognisi manusia (Cognition). Konsep-konsep seperti klasifikasi atau kategorisasi serta watak
kognitif (cognitive nature) dari hukum akan digunakan untuk
mengembangkan konsep-konsep fundamental dari teori hukum Islam.24
24
Ibid. Hlm. xxvi.
182
Landasan Epistemologi...
Jasser Auda menggunakan teori, pendekatan dan analisis Systems
untuk merumuskan kembali dan membangun epistemologi hukum Islam
di era global yang lebih berbobot pro(f)etik setelah dengan cermat
mengulas tiga tahapan sejarah panjang pemikiran hukum Islam seperti
telah diuraikan diatas. Ditegaskan lagi bahwa tanpa melibatkan dan
menggunakan ide-ide dan pikiran-pikiran yang relevan dari disiplin ilmu
yang lain, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, komukinasi dan sains
pada umumnya, maka penelitian yang terkait dengan teori fundamental
hukum Islam akan tetap ‘terjebak’ dalam batas-batas literatur-literatur
tradisional berikut manuskrip-manuskripnya, dan hukum Islam akan
terus menerus “tertinggal” (outdated) dalam membangun basis teorinya
dan parktik-praktik pelaksanaan hukum di lapangan , dalam kehidupan
sehari-hari di tengah-tengah masyarakat multikultutal seperti di era
global sekarang ini. Oleh karenanya, relevansi dan kebutuhan untuk
menggunakan pendekatan multidisiplin, interdisiplin, bahkan
transdisiplin untuk merespon isu-isu fundamental dalam hukum Islam
di era kontemporer sangat digarisbawahi oleh Jasser Auda.
Akan disinggung secara singkat 6 fitur epistemologi hukum Islam
kontemporer, yang menggunakan pendekatan Systems. 6 fitur ini
dimaksudkan untuk mengukur dan sekaligus menjawab pertanyaan
bagaimana Maqasid al-Syari’ah diperankan secara nyata dalam metode
pengambilan hukum dalam berijtihad di era sekarang. Bagaimana kita
dapat menggunakan Filsafat Systems Islam (Islamic Systems Philosophy) dalam
teori dan praktik yuridis, agar supaya hukum Islam tetap dapat
diperbaharui (renewable) dan hidup (alive)? Bagaimana pendekatan Systems
yang melibatkan cognition, holism, openness, interrelated hierarchy dan
multidimensionality dan purposefulness dapat diaplikasikan dan
dipraktikkan dalam teori hokum Islam dan pendidikan hukum pada
umumnya? Bagaimana kita dapat menemukan kekurangan-kekurangan
yang melekat pada teori-teori Klasik (Tradisional), Modern dan Post-modern
dalam hukum Islam dan berupaya untuk menyempurnakan dan
memperbaikinya? Secara intelektual, upaya ini sangat penting karena
Bab 4
183
keberhasilan dan kegagalannya akan berpengaruh secara langsung
terhadap bangunan materi pendidikan dan pengajaran di setiap lapis
dan jenjangnya, rumusan teori, metode dan pendekatan yang biasa
berlaku dan digunakan dalam pendidikan Islam, dakwah Islam, politik,
ekonomi, budaya dan sosial masyarakat Muslim dimanapun mereka
berada, baik untuk mayoritas Muslim di dunia bagian Timur maupun
minoritas Muslim di Barat
1) Kognisi (Cognitive nature) dari
Islam.
hukum
Berdasarkan perspektif teologi Islam, fiqh adalah hasil penalaran
dan refleksi (ijtihad) manusia terhadap nass (teks kitab suci) sebagai
upaya untuk menangkap makna tersembunyi maupun implikasi
praktisnya. Para ahli fiqh maupun kalam (Mutakallimun) bersepakat
bahwa Allah tidak boleh disebut sebagai faqih (jurist atau lawyer), karena
tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya. Oleh karena itu, fiqh merupakan
bagian dari kognisi manusia atau a matter of human cognition (idrak) dan
pemahaman (fahm). Meminjam istilah yang digunakan Ibn Taimiyyah,
bahwasanya hukum fiqh selama ini adalah merupakan pemahaman atau
hasil bentukan kognisi dari para ahli agama atau fuqaha (fii dzihni alfaqih). Dengan demikian, sangat dimungkinkan memiliki kelemahan dan
kekurangan. Dalam khazanah filsafat ilmu kontemporer, hal-hal yang
terkait dengan isu ini dikenal dengan istilah the fallibility atau the corrigibility of knowledge25 ( ilmu pengetahuan apapun, termasuk di dalamnya
Dalam pengamatan saya, sudah barang tentu belum tentu benar, karena masih
harus dibuktikan dengan penelitian yang mendalam di lapangan bahwasanya mata
kuliah dan diskusi filsafat ilmu di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), apalagi di
lingkungan di Perguruan Tinggi Umam (PTU) belum pernah bersentuhan dengan ilmuilmu agama (Islam). Alasan yang biasa diungkapkan oleh para dosen filsafat ilmu karena
mereka tidak mengenal apalagi menguasai ilmu-ilmu keagamaan Islam. Dan begitu
pula sebaliknya. Para dosen agama di Perguruan Tinggi Agama maupun Umum tidak
mengenal dengan baik dan profesional tentang filsafat ilmu, lebih-lebih filsafat ilmu
yang dikaitkan dengan diskusi keagamaan. Tentang konsep The corrigibility of knowledege,
lihat Milton K. Munitz. 1981. Contemporary Analytic Philosophy, New York: MacMillan
Publishing CO. Inc. Hlm. 31-34.
25
184
Landasan Epistemologi...
konsepsi dan teori keilmuan keagamaan yang disusun oleh para cerdik
pandai (fuqaha; ulama) dapat saja mengalami kesalahan dan
ketidaktepatan). Sebagai konsekwensinya, pemahaman fiqh pada era
tertentu, tingkat capaian pendidikan dan tingkat literasi manusia era
tertentu serta perkembangan ilmu pengetahuan era tertentu dapat
diperdebatkan dan dapat diubah (qabilun li al-niqasy wa al-taghyir) ke arah
yang tepat dan lebih baik, kata Mohammad Arkoun, seperti yang sering
saya kutip dalam berbagai tulisan saya. Gambaran atau fitur cognitive
nature of Islamic Law ini penting untuk memvalidasi kebutuhan terhadap
suatu pemahaman yang pluralistik bagi seluruh madhhab fiqh, sekaligus
untuk menghidari truth-claims yang berlebihan dalam beragama.26
Dengan demikian, Fiqh merupakan persepsi dan interpretasi
seseorang yang bersifat ‘subjektif’. ‘Subjektif’ disini tidak saja berarti
hanya terbatas pada ‘individu-individu’, tetapi terlebih-lebih lagi adalah
‘kelompok’, ‘golongan’, ‘mazhab’, organisasi sosial keagamaan, untuk
tidak menyebut seluruh al-firaq al-Islamiyyah (berbagai kelompok yang
hidup di lingkungan internal kehidupan umat Islam). Sayangnya, metode
ijtihad fiqh dan hasilnya seringkali dipersepsikan oleh umat Muslim
sebagai ‘aturan Tuhan’ yang tidak bisa diganggu gugat. Bangunan
epistemologi Muslim Tradisional sangat sulit memahami dan
membedakan bahwasanya ayat-ayat al-Qur’an adalah wahyu, tetapi
interpretasi ulama atau faqih terhadap ayat-ayat tersebut bukanlah
wahyu. Persepsi yang keliru ini seringkali memang dengan sengaja
dipelihara dan dikukuhkan, demi melestarikan berbagai kepentingan
sedikit orang, pemimpin atau organisasi yang “kuat” tertentu.27 Jasser
Auda memberi contoh tentang ijma’ (consensus). Meskipun terdapat
perbedaan besar atas berbagai keputusan ijma’, namun sebagai ulama
fiqh menyebutnya sebagai dalil qat’i (dalil yang pasti) yang setara dengan
nass (Dalilun Qat’iyyun ka al-Nass), dalil dibuat oleh pembuat syari’at
(dalilun nassabah al-Syari’), dan bahkan penolak ijma’ adalah kafir (jahid
26
27
Jasser Auda, Op.Cit. Hlm. 46.
Jasser Auda, Op.Cit. Hlm. l93.
Bab 4
185
al-ijma’ kafir). Pembaca yang familiar dengan literatur fiqh klasik/
tradisional akan mengetahui bahwa ijma’ sering dijadikan klaim untuk
menghakimi opini atau pendapat orang lain yang berbeda. Ibn Taimiyyah
sebagai contoh, mengkritik buku kumpulan ijma’ (Maratib al-Ijma’) Ibn
Hazm. Dikatakan bahwa klaim perkara-perkara yang sudah diijma’kan
dalam kitab tersebut tidaklah akurat, sebab persoalannya sendiri masih
menjadi masalah khilafiyyah (perbedaaan pendapat). Seperti persoalan
menolak ijma’ dianggap kafir, persoalan tidak ikutnya perempuan dalam
salat jamaahnya laki-laki, dan penyelenggaraan pembayaran empat dinar
emas sebagai jizyah (pajak).28
Berbeda dari pandangan diatas, Jasser Auda berpendapat bahwa
Ijma’ bukan merupakan sebuah sumber hukum, akan tetapi hanya
sebuah mekanisme pertimbangan atau sistem pembuatan kebijakan yang
dilakukan oleh banyak pihak. Oleh karena itu, Ijma’ sering
disalahgunakan oleh sebagian ulama untuk memonopoli fatwa demi
kepentingan sekelompok “elite”. Sampai sekarang, prinsip-prinsip itu
masih sangat mungkin dipakai sebagai mekanisme untuk membuat
fatwa yang bersifat kolektif, khususnya persoalan yang terkait dengan
teknologi modern dan dengan cara memanfaatkan telekomunikasi yang
sangat cepat. Ijma’ juga dapat dikembangkan dalam bentuk partisipasi
masyarakat dalam memutuskan kebijakan pemerintah.29
2). Utuh (Wholeness; saling terkait antar
berbagai komponen atau unit yang ada).
Salah satu faktor yang mendorong Jasser Auda menganggap
penting komponen wholeness dalam pendekatan Systemsnya adalah
pengamatannya terhadap adanya kecenderungan beberapa ahli hukum
Islam untuk membatasi pendekatan berpikirnya pada pendekatan yang
bersifat reduksionistic dan atomistic, yang umum digunakan dalam Usul al
Fiqh. Para ahli Usul al-Fiqh terdahulu, khususnya al-Razi, telah menyadari
hal itu. Hanya saja, kritik al-Razi kepada kecenderungan atomistic ini hanya
28
29
Jasser Auda, Op. cit.
Jasser Auda, Op.Cit. Hlm. l93-l94.
186
Landasan Epistemologi...
didasarkan pada adanya unsur ketidakpastian (uncertainty) sebagai hal
yang berlawanan secara biner dengan kepastian (certainty) dalam
pemikiran fiqh, tetapi belum sampai masuk ke persoalan ketidakpastian
dalil tunggal yang didasarkan atas parsialitas dan atomisitas yang
melatarbelakangi cara berpikir kausalitas.30 Sedangkan pada era sekarang
ini, penelitian di bidang ilmu alam dan sosial telah bergeser secara luas
dari ‘piecemeal analysis’, classic equations dan logical statements, menuju
pada penjelasan seluruh fenomena dalam istilah-istilah yang bersifat
holistic sistem. Bahkan dalam fenomena fisik yang mendasar, seperti
ruang/waktu dan badan (body)/pikiran (mind), tidak dapat dipisahkan
secara empiris, menurut ilmu masa kini. Teori Systems berpendapat
bahwa setiap hubungan ‘sebab dan akibat’ hanyalah sebagai salah satu
bagian dari keutuhan gambaran tentang realitas, dimana sejumlah
hubungan akan menghasilkan properti baru yang muncul dan kemudian
bergabung membentuk keutuhan (whole) yang lebih dari sekedar
kumpulan dari bagian-bagian (sum of the parts). Menurut argumen
teologi dan ‘rasional’, hujjiyyah (juridical authority) yang termasuk ‘the
holistic evidence’ (al-dalil al-kulliy) dinilai sebagai salah satu bagian dari
Usul al Fiqh yang menurut para ahli fiqh (jurists), posisinya lebih unggul
dibandingkan hukum yang bersifat tunggal dan parsial (single and partial
rulings).31 Memasukkan pola dan tata berpikir holistik dan sistematik
ke dalam dasar-dasar pemahaman hukum Islam (Usul al-Fiqh) akan
sangat bermanfaat bagi filsafat Islam tentang hukum (Islamic philosophy
of law) agar mampu mengembangkan horison berpikir dari yang semula
hanya berdasar pada logika bahasa sebab-akibat (‘illah) ke arah horison
berpikir yang lebih holistic, yaitu pola pikir yang mampu
mempertimbangkan, menjangkau dan mencakup hal-hal lain yang tidak
atau belum terpikirkan di luar proses berpikir sebab-akibat.
Para ahli Usul Fiqh terdahulu, seperti Fakhr al-Din al-Razi, telah mengingatkan dari
dulu adanya kesulitan ini. Setidaknya ada 9 sebab yang mendasari al-Razi berpendapat
bahwa bukti yang berdasarkan pada bahasa (linguistic evidence/Dalil al Khitab) dari sebuah
nass hanyalah bersifat probable (zanni). Lebih lanjut Jasser Auda, ibid. Hlm. l97-8.
31
Jasser Auda, Ibid. Hlm. 46-7.
30
Bab 4
187
Pendekatan holistic juga bermanfaat untuk Ilmu Kalam agar dapat
mengembangkan pola pikir bahasa kausalitasnya (cause and effect) ke
arah pola pikir yang lebih sistematic, termasuk bukti-bukti tentang
keberadaan Tuhan. Implikasi penggunaan fitur wholeness dalam berpikir
keagamaan Islam adalah seseorang harus memahami nass (al-Qur’an
maupun Hadis) secara lebih utuh, baik yang bersifat juz’i (part) maupun
kully (whole) secara bersama-sama. Sebagai contoh memahami hukum
poligami tidak cukup lagi hanya dengan mengutip satu ayat saja (Surat
al-Nisa’, 3), melainkan juga harus membandingkan dengan keseluruhan
ayat al-Qur’an yang lain yang memiliki relevansi dengan hukum
poligami (seperti al-Nisa’, 129). 32 Dalam hal ini, seorang dapat
memanfaatkan metode maudlu’i atau biasa disebut dengan tafsir tematik
agar mendapatkan pemahaman yang ‘relatif’ lebih utuh dalam
memahami ayat-ayat al-Qur’an.33
Disebutkan dalam al-Qur’an, surat al-Nisa’, ayat 3 sebagai berikut: “ Dan jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana
kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya’ Sedang surat al-Nisa’ ayat 129 sebagai berikut: “Dan kamu
sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat
ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu
cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan
perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. Terjemahan al-Qur’an diambil dari Al-Qur’an dan
Terjemahannya, Departemen Agama Republik Indonesia, cetak hitam dari penulis.
33
Ketika menulis draft tulisan pada bagian ini, saya lalu teringat ketika diberi amanat
mengetuai Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, PP Muhammadiyah, antara
tahun 1995-2000. Ketika itu, saya mengusulkan perlunya penulisan tafsir tematik alQur’an, dengan beberapa tema. Atas usulan anggota Majlis, yang pertama diprioritaskan
saat itu adalah tafsir tematik yang membahas Hubungan Sosial Antarumat Beragama.
Kemudian ditulislah secara kolektif (melibatkan beberapa penulis), dan saya sendiri
tidak ikut menulis tetapi ikut member masukan disana sini. Dengan persetujuan Pimpinan
Pusat terbitlah tafsir tersebut dengan judul Tafsir Tematik al-Qur’an tentang Hubungan Sosial
Antarumat Beragama, Yogyakarta, Pusataka SM, 2000. Kabarnya, buku tafsir tersebut
tidak dicetak lagi, karena adanya keberatan dari sebagian anggota persyarikatan dengan
alasan prosedur birokrasi keorganisasian.
32
188
Landasan Epistemologi...
Para modernis Muslim akhir-akhir ini mengintrodusir aplikasi yang
signifikan tentang prinsip holistik ini. Tafsir Hasan Turabi, misalnya,
yang berjudul Tafsir al-Tauhidy jelas-jelas memperlihatkan pendekatan
holisme. Turabi menguraikan bahwa pendekatan kesatuan (tauhidy) atau
holistic (kully) memerlukan sejumlah metodologi pada level yang
berbeda-beda dan beragam. Pada level bahasa membutuhkan hubungan
dengan bahasa al-Qur’an ketika bahasa penerima pesan-pesan al-Qur’an
pada waktu wahyu diturunkan. Pada level pengetahuan manusia
membutuhkan sebuah pendekatan holistic untuk memahami dunia yang
terlihat dan yang tidak terlihat dengan seluruh jumlah komponen yang
banyak. Pada level topik membutuhkan hubungan dengan tema-tema
tanpa memperhatikan tananan dan urut-urutan wahyu, selain untuk
menerapkan pada kehidupan sehari-hari. Dalam bahasan ini termasuk
membicarakan orang-orang yang tanpa memperhatikan ruang dan
waktu. Ini juga membutuhkan kesatuan hukum dengan moralitas dan
spititualitas dalam satu pendekatan yang holistitik.
3). Openness (Self-Renewal).
Teori Systems membedakan antara sistem ‘terbuka’ dan sistem
‘tertutup’. Sistem yang hidup adalah sistem yang terbuka. Ini berlaku
untuk organisme yang hidup, juga berlaku pada sistem apapun yang
ingin survive (bertahan hidup). Sistem dalam hukum Islam adalah sistem
yang terbuka (open system). Seluruh mazhab dan mayoritas ahli fiqh
selama berabad-abad telah setuju bahwa ijtihad itu sangat penting bagi
hukum Islam, karena nass itu sifatnya terbatas, sedangkan peristiwaperistiwa itu tidak terbatas ( al-Nusus mutanahiyah wa al-waqai’ ghairu
mutanahiyah; specific scripts are limited and events are unlimited). Akhirnya,
metodologi Usul al-Fiqh mengembangkan mekanisme tertentu untuk
menghadapi kasus-kasus baru yang ditemui ketika berinteraksi dengan
lingkungan. Mekanisme Qiyas, Maslahah dan mengakomodasi tradisi
(i’tibar al-urf) adalah beberapa contohnya. Mekanisme-mekanisme seperti
itu perlu lebih dikembangkan lagi dalam rangka memberi ruang
fleksibilitas atau ruang gerak yang lebih elastis bagi hukum Islam atau
Bab 4
189
fiqh agar dapat menghadapi lingkungan pada masa kini yang terus
berubah secara cepat. Masalah yang dihadapi minoritas Muslim di
Barat adalah sangat berbeda dari masalah yang dihadapi mayoritas
Muslim di negara-negara berpenduduk Muslim mayoritas di Timur,
misalnya. Oleh karenanya mekanisme dan tingkat keterbukaan ini
merupakan fitur penting dan berguna untuk mengembangkan dan
menganalisis secara kritis terhadap bangunan sistem berpikir Usul alFiqh maupun sub-sub sistem yang berada dibawahnya.
Mekanisme Openness dan Self-renewal dalam hukum Islam sangat
tergantung kepada dua hal, yaitu perubahan pandangan keagamaan para
ahli hukum agama atau budaya berpikir mereka (cognitive culture) dan
keterbukaan filosofis (Philosophical openness). Pertama, Cognitive culture.
Cognitive culture adalah kerangka berpikir serta pemahaman manusia
atas realitas. Dengan kerangka pikir tersebut manusia melihat dan
berhubungan dengan dunia luar. Sebenarnya, istilah al-urf dalam teori
hukum Islam, terkait erat dengan urusan bagaimana ‘hubungan dengan
dunia luar’. Maksud yang terkandung di belakang perlunya
mempertimbangan urf dalam hukum Islam adalah sebagai cara untuk
mengakomodasi atau menerima lingkungan dan adat istiadat masyarakat
yang berbeda dari masyarakat dan adat istiadat Arab. Sayangnya,
implikasi praktis dari teori urf ini sangat terbatas dalam pemikiran fiqh
Islam. Banyak ahli hukum Islam yang tetap mengaitkannya hanya dengan
adat istiadat Arab pada dua abad pertama atau ketiga sejarah Islam dan
bahkan masih pada batas-batas wilayah politik, geograpi, makanan,
sumber-sumber ekonomi, sistem sosial, dan pandangan dunia mereka
saat itu.34
Pandangan hidup keagamaan Islam era kontemporer pastinya
berbeda dari pandangan hidup keagamaan era abad-abad terdahulu.
Ahli hukum agama era sekarang harus mempunyai kompetensi yang
memadai dan dapat dipertanggungajwabkan secara sosial dan keilmuan.
Salah satu yang perlu dimilikinya sekarang adalah mempunyai
34
Jasser Auda, Ibid. Hlm. 202.
190
Landasan Epistemologi...
pandangan keilmuan yang luas, karena metode penelitian (scientific
investigation) adalah bagian dari worldview seseorang atau kelompok era
sekarang. Seorang ahli hukum yang tidak memiliki ‘competent worldview’
pastinya tidak berkompeten pula untuk membuat, merumuskan apalagi
mengeluarkan putusan-putusan keagamaan atau fatwa-fatwa fiqh yang
tepat. Dengan tegas, untuk meningkatkan kualitas kompetensi para ahli
hukum Islam di era global sekarang, Jasser Auda mengusulkan
dimasukkan dan dikuasainya ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial.
Interaksi antara ilmu-ilmu hukum Islam dan ilmu-ilmu sosial dan ilmuilmu kealaman adalah merupakan suatu keharusan yang tidak bisa
ditawar-tawar pada era sekarang. Semacam ini pulalah yang diusulkan
oleh Abdullah Saeed ketika ia mengajukan istilah fresh ijtihad ketika umat
Islam menghadapi isu-isu kontemporer. Putusan-putusan dan fatwafatwa keagamaan tentang tanda-tanda kematian, waktu kehamilan, masa
pubertas, penentuan awal bulan ramadlan (hisab dan ru’yah wujud al-hilal),
apalagi persoalan-persoalan sosial yang berat seperti pluralitas etnis,
ras, kulit dan agama, multikulturalitas, hak asasi manusia, perlindungan
anak dan wanita, kepemimpinan wanita di ruang publik, hubungan
bertetangga yang baik dengan non-muslim dan begitu seterusnya tidak
bisa dikeluarkan dengan begitu saja tanpa didahului dengan penelitian
yang mendalam berpatokan dan berlandaskan pada metodologi yang
tepat sesuai kesepakatan komunitas ilmuan ilmu-ilmu alam dan atau
ilmu-ilmu sosial.35
Jasser Auda, Ibid. Hlm. 204-206. Tiba-tiba sekarang saya merasa mendapat dukungan
moral dan basis landasan epistemologi keilmuan yang lebih kokoh, dibandingkan ketika
saya menulis hal-hal seperti ini pada tahun l997/l998. Periksa tulisan saya ketika mengambil
program posdoktoral di McGill, berjudul “Preliminary Remarks on the Philosophy of
Islamic Religious Science”, Al-Jami’ah, No. 61, TH., 1998, h. 1-26. Tulisan ini saya susun
khusus untuk mengantisipasi dan mempersiapkan konsep kerangka dasar keilmuan jika
memang akan terjadi transformasi kelembagaan dan keilmuan dari IAIN ke UIN. Saat itu,
IAIN Yogyakarta dan Jakarta memang sedang diminta BAPENAS untuk menyusun proposal
ke Islamic Development Bank (IDB). Tulisan ini kemudian diterjemahkan ke Indonesia
dengan judul “Pendekatan dalam Kajian Islam: Normatif atau Historis (Membangun
Kerangka Dasar Filsafat Ilmi-ilmu Keislaman)”. Lihat M. Amin Abdullah, Islamic Studies di
Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006, h. 26-67.
35
Bab 4
191
Kedua, Self-renewal lewat keterbukaan filosofis. Secara historis, tidak
bisa dibantah bahwa mayoritas para sarjana Islam, khususnya yang
terdidik lewat madhhab tradisional hukum Islam, menolak upaya
apapun yang ingin menggunakan filsafat untuk mengembangkan hukum
Islam atau keilmuan Islam pada umumnya. Banyak fatwa dikeluarkan
melarang mempelajari dan mengajarkan filsafat pada dunia pendidikan
Islam karena menurut mereka filsafat didasarkan pada sistem metapisika
yang tidak Islami. Tuduhan murtad (apostasy) beredar dimana-mana.
Fatwa-fatwa seperti itu keluar dari para ahli hukum Islam terkenal seperti
Ibn Aqil (w. 1119 M), al-Nawawi (w. 1277 M), al-Sayuti (w. 1505 M), alQushairi (w. 1127 M), al-Sharbini (w. 1579 M) dan ibn Salah (w. l246 M).
Tapi al-Ghazali (w. 1111 M), begitu juga al-Amidi (w. 1236 M) dan alSubki (w. 1374 M) mempunyai pendapat yang sedikit berbeda disini. Dia
membedakan antara apa-apa yang dapat dipinjam dari non-Muslim (saat
itu adalah tradisi keilmuan Yunani/Aristotle ), yaitu hal-hal yang terkait
dengan bidang metodologi “abstract tools” dan apa yang tidak dapat
dipinjam dari non-Muslim.36 Jasser Auda menambahkan bahwa cara
berpikir seperti itu mirip-mirip dengan fatwa kontemporer yang
dikeluarkan oleh Neo-Literalist yang membolehkan mengambil atau
meniru ilmu pengetahuan dari Barat yang terkait dengan “teknologi”,
tetapi tidak boleh mengambil apalagi meniru ilmu-ilmu dari Barat yang
terkait dengan humanities dan ilmu-ilmu sosial.37
Jasser Auda menyayangkan mengapa para ahli teori hukum Islam
tidak mengambil manfaat dari sumbangan yang genuine yang diberikan
para filosof Muslim kepada filsafat Yunani, khususnya, logika sebagai
ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, Ibn Sina (w. 1037 M) menyumbangkan
konsep pemikiran yang orisinal terhadap logika dengan cara
merekonstruksi kembali teori Aristotle tentang Silogisme setelah
membedakan kasus-kasus yang melibatkan dimensi waktu yang berbeda
Jasser Auda, Ibid. Hlm. 209. Bandingkan dengan footnote nomer 4 di atas.
Jasser Auda, Op. cit., Bandingkan dengan pendapat Ibrahim M. Abu-Rabi’, pada
footnote di atas.
36
37
192
Landasan Epistemologi...
(time dependent). Sumbangan penambahan dimensi waktu terhadap
standar derivasi silogistik Aristotle sangat dirasakan manfaatnya, dan
sangat potensial untuk dimasukkan juga ke dalam struktur logika
hukum Islam. Sumbangan orisinal lain yang diberikan oleh filosof Muslim tetapi tidak dimanfaatkan oleh para ahli hukum Islam adalah teori
silogistik al-Farabi (w. 950 M) tentang argumentasi induktif. Cara berpikir
induktif ini juga sangat penting untuk dimasukkan ke dalam cara berpikir
hukum Islam. Sama halnya, kritik Ibn Hazm dan Ibn Taimiyyah
terhadap logika Aristotle membuka babakan baru berkembangnya
logika induktif J. S. Mill, namun sekali lagi hukum Islam tidak dapat
mengambil manfaat dan tidak menggunakannya dalam bangunan dasar
cara berpikirnya. Juga sumbangan Ibn Rusdh. Metode Ibn Rusdh dalam
memadukan akal dan wahyu, keterbukaan kepada orang dan kelompok
lain (the Other), penolakannya terhadap siapapun yang terburu-buru
menuduh menyimpang atau murtad (heresy), dan ajakannya untuk
menggunakan filsafat untuk memperbaharui dan membangun cara
berpikir, semuanya mempunyai pengaruh yang besar terhadap gerakan
pembaharuan dan modernism Islam pada abad yang lalu. Sayangnya,
kata Jasser Auda, Ibn Rusdh sendiri tidak begitu mendiskusikan hubungan
antara pandangan-pandangannya dalam filsafat dan pandangannya dalam
hukum Islam. Di atas segalanya, agar hukum Islam dapat memperbaharui
dirinya sendiri, adalah sangat perlu untuk mengadop sikap keterbukaan
Ibn Rusdh terhadap semua penelitian filsafat (Philosophical investigation)
dan memperluas jangkauan radius keterbukaaan ini ke wilayah teoriteori fundamantal hukum Islam atau Usul itu sendiri.38
4). Interrelated Hierarchy .
Menurut ilmu Kognisi (Cognitive science), ada 2 alternasi teori penjelasan
tentang kategorisasi yang dilakukan oleh manusia, yaitu ‘feature-based
categorisations’ dan ‘concept-based categorisations’. Jasser Auda lebih
memilih kategorisasi yang berdasarkan konsep untuk diterapkan pada
38
Jasser Auda, Ibid. Hlm. 210-11.
Bab 4
193
Usul-al Fiqh. Kelebihan ‘concept-based categorisations’ adalah tergolong metode
yang integrative dan sistematik. Selain itu, yang dimaksud ‘concept’ di
sini tidak sekedar fitur benar atau salah, melainkan suatu kelompok
yang memuat criteria multi-dimensi, yang dapat mengkreasikan
sejumlah kategori secara simultan untuk sejumlah entitas-entitas yang
sama.39
Salah satu implikasi dari fitur interrelated –hierarchy ini adalah baik
daruriyyat, hajiyyat maupun tahsiniyyat, dinilai sama pentingnya. Lain halnya
dengan klasifikasi al-Syatibi (yang menganut feature-based categorizations),
sehingga hirarkhinya berifat kaku. Konsekwensinya, hajiyyat dan tahsiniyyat
selalu tunduk kepada daruriyyat. Contoh penerapan fitur Interrelated –
hierarchy adalah baik salat (daruriyyat), olah raga (hajiyyat) maupun
rekreasi (tahsiniyyat) adalah sama-sama dinilai penting untuk dilakukan.
5). Multi-dimensionality.
Dalam terminologi teori Systems, dimensionalitas memiliki dua sisi,
yaitu ‘rank’ dan ‘level’. ‘Rank’ menunjuk pada sejumlah dimensi yang
terkait dengan ‘ruang’, sedang ‘Level’ menunjuk pada sejumlah
kemungkinan tingkatan atau ‘intensitas’ dalam satu dimensi. Cara
berpikir pada umumnya dan berpikir keagamaan khususnya, seringkali
dijumpai bahwa fenomena dan ide diungkapkan dengan istilah yang
bersifat dikhotomis, bahkan berlawanan (opposite), seperti agama/ilmu,
fisik/metafisika, mind/matter, empiris/rasional, deduktif/induktif,
realis/nominalis, universal/particular, kolektif/individual, teleologis/
deontologis, objektif/subjektif, dan begitu seterusnya. Berpikir
dikotomis seperti itu sebenarnya hanya merepresentasikan satu tingkat
aras berpikir saja (one-rank thinking), karena hanya memperhatikan pada
satu faktor saja. Padahal pada masing-masing pasangan diatas, dapat
dilihat saling melengkapi (complementary). Contoh, agama dan ilmu
dalam penglihatan awam bisa jadi terlihat kontradiksi, dan ada
kecenderungan meletakkan agama atau wahyu ilahi sebagai lebih sentral
39
Jasser Auda, Ibid. Hlm. 48-49.
194
Landasan Epistemologi...
atau lebih penting, akan tetapi jika dilihat dari dimensi lain, keduanya
dapat saling melengkapi dalam upaya manusia untuk mencapai
kebahagiaan atau jika dilhat dari upaya manusia untuk menjelaskan asal
mula kehidupan, dan begitu seterusnya. Begitu juga mind dan matter
dapat dilihat sebagai dua hal yang berlawanan dalam hubungannya
dengan data-data sensual, tetapi keduanya dapat dilihat saling
melengkapi jika dilihat dari sudut pandang teori-teori kognisi atau ilmu
tentang kerja otak dan intelegensi buatan (artificial intelligence). Dari uraian
ini, tampak bahwa cara berpikir manusia seringkali terjebak pada pilhanpilihan palsu yang bersifat biner, seperti pasti/tidak pasti, menang/
kalah, hitam/putih, tinggi/rendah, baik/buruk dan begitu seterusnya.40
Analisis Sistematik memperlihatkan bahwa pola pikir madhhab
tradisional hukum Islam seringkali terjebak pada pola berpikir satu dimensi
berpikir (one-dimensional) dan oposisi biner. Metode one-dimensional hanya
terfokus pada satu faktor yang terdapat dalam satu kasus. Oleh karena
itu, sebagian besar fatwa-fatwa yang dikeluarkan hanya berdasarkan
satu dalil saja. Sering diistilahkan dengan dalil al-mas’alah (the evidence of
case), meskipun sebenarnya selalu terbuka variasi dalil yang bermacammacam (adillah) yang dapat diterapkan pada kasus yang sama dan
menghasilkan keputusan hukum yang berbeda. Hal yang sangat penting
untuk dipahami dalam kaitan ini adalah bagaimana mendudukkan nass.
Dalam pengetahuan ulama tradisional, sesuai dengan pemahaman yang
terdapat dalam kitab klasik (kitab kuning), konsep dalil nass dibagi menjadi
dua: Qat’i (sudah pasti) dan Zanni (belum pasti). Kemudian Nass Qat’i
ini, oleh ulama tradisional dibagi menjadi tiga, yaitu Qat’iyyat al-Dilalah
(arti kebahasaannya pasti), Qat’iyyat al-Tsubut (Keotentikan sejarahnya/
kesahihannya pasti) dan al-Qat’i al-Mantiqi (logikanya pasti).41 Sebenarnya
konsep Qat’i ini yang merumuskan adalah ulama tradisional berdasarkan
dugaaan mereka, yang kemudian dinyatakan sebagai ‘kebenaran pasti’.
Menurut Jasser Auda, saat sekarang ini, untuk mengukur dan
40
41
Jasser Auda, Ibid. Hlm. 50
Jasser Auda, Ibid. Hlm. 214
Bab 4
195
memvalidasi “kebenaran” hendaknya diukur dengan ukuran apakah
ditemukan bukti pendukung atau tidak? Semakin banyak bukti
pendukung, maka semakin kuatlah tingkat ‘kebenaran pastinya’ (the
principle of evidentalism). Sedang Khaled Abou al-Fadl memperkuat basis
asumsi dasar untuk memvalidasi kesahihan pemikiran dan tindakan
keagamaan di tengah perubahan sosial yang dahsyat di era globalisasi
yaitu adanya asumsi dasar selain berbasis iman, tetapi juga berbasis
nilai, metode dan juga berbasis akal.42
Menurutnya, kontradiksi yang sepertinya ada hanyalah ada pada
segi bahasa, bukan pada segi logika yang selalu dikaitkan dengan waktu
saat teks dirumuskan. Jika cara pandang ini dipakai, maka yang menjadi
acuan adalah apakah ‘secara substansi’ terdapat pertentangan atau tidak
dalam teks-teks tersebut? Oleh karenanya, sangat penting
mempertimbangkan dan melibatkan aspek historis-sosiologis dan ekonomis
dalam menyikapi permasalahan ta’arud al-adillah, dan lebih-lebih
persoalan sosial-ekonomi dalam hubungannya dengan agama, yang jauh
lebih kompleks. Menurut Jasser, untuk mengatasi problematika ini, para
ulama fiqh kontemporer seharusnya menggunakan kerangka pikir
Maqasid, yaitu mengambil skala prioritas pada teks dengan mempertimbangkan
kondisi sosial yang ada dan tidak sekedar menganggap satu teks
bertentangan dengan teks yang lain, kemudian dihapus, ditunda atau
diberhentikan (mauquf). Sebab, bagaimana mungkin firman-firman Allah yang diturunkan oleh Allah sendiri saling bertentangan?
Membenarkan permasalah ta’arud, justru akan merendahkan dan
menuduh bahwa firman Allah tidak sempurna.43 Konsep naskh dan tarjih
Khaled Abou el-Fadl. 2001. Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and
Women, Oxford, Oneworld.
43
Jasser Auda, Ibid. Hlm. 216. Persoalan yang sama juga dihadapi oleh Abdullahi
Ahmed an-Na’im ketika membahas problematika al-nasikh dan al-mansukh, antara ayatayat yang diturunkan di Madinah (Madaniyyah) dan ayat-ayat yang diturunkan di Makkah
(Makkiyyah). Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa ayat-ayat yang turun
belakangan (Madaniyyah) menghapus ayat-ayat yang turun duluan (Makkiyyah). An-Naim
tidak sependapat dengan cara berpikir seperti itu. Dia memilih menggunakan istilah
‘menunda’, dan bukannya ‘menghapus’. Baik istilah ‘menunda’ dan lebih-lebih
42
196
Landasan Epistemologi...
hanyalah menambah beban ketidak-fleksibelan atau kekakuan dalam
hukum Islam. Refleksi mendalam tentang kedua pasang ayat atau
periwayatan yang dianggap bertentangan menunjukkan bahwasanya
ketidaksepakatan dalam pemahaman dapat saja disebabkan karena
perbedaan di seputar lingkungan atau keadaan yang mengitari
periwayatan tersebut, seperti situasi perang dan damai, kemiskinan
dan kemakmuran, kehidupan desa dan kota, musim panas dan musim
dingin, sakit dan sehat, tua dan muda dan seterusnya. Oleh karenanya,
perintah atau anjuran al-Qur’an atau tindakan dan keputusan nabi,
sebagaimana diceriterakan oleh para pengamat dan pemerhatinya, dapat
diduga sangat mungkin dapat berbeda-beda antara yang satu dan
lainnya.Ketidakmampuan para ahli hukum melakukan kontekstualisasi
pasti akan berdampak langsung pada pembatasan fleksibilitas (lack of
contextualisation limits flexibility). Sebagai contoh, menghapus atau tidak
mempedulikan bukti-bukti yang biasa ada dalam konteks kehidupan yang
damai, demi untuk mendahulukan atau memprioritaskan bukti-bukti yang
ada dalam situasi perang, dibarengi dengan penggunaaan metode literal, secara otomatis akan membatasi kemampuan para ahli hukum untuk
menanggapi kedua konteks tersebut secara proporsional. Jika cara
berpikir ini digabungkan pula dengan metode berpikir yang memisahkan
segala sesuatu secara biner secara ketat pula, maka hasil yang diperoleh
adalah kesimpulan bahwa kebijakan dan aturan khusus yang
sesungguhnya dimaksudkan hanya berlaku pada situasi dan kondisi
tertentu saja akan dibuat menjadi universal dan berlaku selamanya.44
‘menghapus’ memang sangat problematik bagi Jasser Auda. Lebih lanjut Abdullahi
Ahmed an-Na’im. 1996. Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and
International Law, New York: Syracuse University Press.
44
Jasser Auda, Ibid. Hlm. 222. Uraian Jasser Auda ini mengingat kembali bagaimana
Fazlur Rahman mengusulkan metode tafsir al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan
double movement (pendekatan bolak-balik) antara sisi Ideal-moral al-Qur’an - yang berdimensi
universal - dan sisi legal-specific - yang dipraktikkan oleh umat Islam pada era atau periode
waktu tertentu - supaya para pembaca nass-nass al-Qur’an tidak mudah terjatuh pada
hanya satu sisi legal-specific, yang bersifat partial dan atomistik, dan kehilangan horison
berpikir yang bermuatan ideal-moral, yang berlaku secara universal. Lebih lanjut Fazlur
Bab 4
197
Jasser Auda mengajak para pembacanya untuk secara sungguhsungguh mulai mempertimbangkan dan menggunakan pendekatan kritis
dan multi-dimensi terhadap teori hukum Islam di era kontemporer,
agar supaya terhindar dari pandangan yang bercorak reduksionistik
serta pemikiran klasifikatoris secara biner. Hanya dengan cara seperti
itu, para pembaca dan pemerhati hukum Islam akan sadar bahwa
hukum Islam sesungguhnya melibatkan banyak dimensi, antara lain
sumber-sumber (sources), asal-usul kebahasaan (linguistic derivations),
metode berpikir, aliran-aliran atau madhhab-madhhab berpikir, harus
ditambah pula dimensi budaya dan sejarah, atau ruang dan waktu.
Jika segmen-segmen tadi yang tidak terhubung dan ‘terdekonstruksi’,
maka ia tidak akan dapat membentuk gambaran realitas hukum Islam
yang utuh, kecuali jika kita mampu menjelaskannya kembali lewat
skema keterhubungan yang sistemik dan keterhubungan secara
struktural antar berbagai segmen tersebut. Jasser berkeyakinan bahwa
pendekatan yang kritis, multi-dimensi, berpikir berbasiskan sistem serta
berorientasi kepada tujuan akan mampu memberi jawaban kerangka
beripikir yang memadai untuk keperluan analisis serta pengembangan
teori hukum Islam, melebihi yang ditawarkan oleh kalangan
postmodernis yang dilihatnya masih sedikit berbau oposisi biner,
reduksionis dan uni-dimensional.45
6). Purposefulnes s/ Maqasid-based approach
(Selalu mengacu kepada Tujuan)
Tujuan).
Kelima fitur yang dijelaskan di depan, yaitu kognisi (Cognitive
nature), utuh (Wholeness, ), keterbukaan (Openness), hubungan hirarkis yang
saling terkait (Interrelated Hierarchy), mulidimensi (Multidimensionality), dan
diakhiri dengan Purposefulness sangatlah saling berkaitkelindan, saling
berhubungan satu dan lainnya. Masing-masing fitur berhubungan erat
dengan yang lain. Tidak ada satu fitur yang berdiri sendiri, terlepas
Rahman, 1982. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago,
The University of Chicago Press. Hlm. 5-7.
45
Jasser Auda, ibid. Hlm. 226-7.
198
Landasan Epistemologi...
dari yang lain. Kalau saling terlepas, maka bukan pendekatan Systems
namanya. Namun demikian, benang merah dan common linknya ada
pada Purposefulness/Maqasid. Teori Maqasid menjadi projek kontemporer
untuk mengembangkan dan mereformasi hukum Islam, termasuk upaya
untuk mengonsep paradigma profetik dalam hukum Islam kontemporer.
Teori Maqasid dan paradigm profetik kontemporer bertemu dengan standar
basis metodologi yang penting, yaitu asas rasionalitas (Rationality), asas
manfaat (Utility) asas keadilan (Justice) dan asas moralitas (Morality). Diharapkan
upaya ini akan memberi kontribusi untuk pengembangan teori Usul alFiqh dan dapat pula menunjukkan beberapa kekurangannya
(inadequacies)nya.46
Ada pertanyaan yang perlu diajukan. Mengapa prinsip Maqasid
tidak begitu popular di lingkungan Usul al-Fiqh dan hukum Islam pada
umumnya? Menurut Jasser Auda mungkin Usul al-Fiqh tradisional,
sesuai dengan era perkembangan awalnya, masih dipengaruhi oleh pola
pikir prinsip kausalitas ‘ala filsafat Yunani. Implikasi dari ekspresi atau
istilah yang digunakan teks/nass tidak memasukkan a purpose implication
(dilalah al-Maqsid). Ekspresi yang jelas (Imam Hanafi menyebutnya ‘ibarah;
Imam Shafi’i menyebutnya sarih), yaitu jenis pembacaan langsung
terhadap nass diberikan prioritas melebihi bentuk-bentuk ekspresi
lainnya. Pembacaan seperti ini meniscayakan bentuk pemahaman yang
literal (literal meaning) dalam bentuk muhkam, nass dan zahir. Sedangkan
ekspresi maqsid (purpose), menurut mereka, hanya mungkin diperoleh
pada salah satu dari kategori “non clear”, dengan menggunakan istilahistilah seperti iqtidha’. isyarah atau mufassar ataupun ilma’. Tipe-tipe term
seperti ini, masih menurut mereka, kurang otoritasnya (lack of yuridical
authority), karena bersifat uncertainty (zanniyyah).47
Kurangnya implication of purpose (Dilalah al-Maqasid) merupakan
kekurangan yang sudah umum terjadi dalam kaitannya dengan legal
text, bahkan dalam school of philosophy of law kontemporer sekalipun.
46
47
Jasser Auda, Ibid. Hlm. 228
Jasser Auda, Op.cit.
Bab 4
199
The German School, khususnya Jhering dan French school, khususnya Geny
menyerukan ‘purposefulness’ yang lebih besar di dalam hukum. Kedua
kelompok ini menyerukan perlunya ‘reconstruction’ dalam hukum yang
berbasis pada ‘interest’ dan ‘the purpose of justice’. Jhering menyerukan
pergantian dari ‘mechanical law of causality’ ke ‘law of purpose’. Dia
menegaskan sebagai berikut: Dalam ‘cause’ (sebab), objek yang menjadi
akibatnya bersifat pasif. Sedangkan dalam ‘purpose’ (tujuan), sesuatu yang
digerakkan bersifat self-active. Pada tataran perbuatan, cause mengacu pada
masa lampau, sedangkan purpose mengacu pada masa depan. Dunia
eksternal, ketika dipertanyakan alasan dari suatu proses, maka
pertanyaan itu merujuk kembali ke belakang (masa lampau), selagi
keinginan (will) mengarahkannya ke (masa) depan… Perbuatan dan
perbuatan dengan tujuannya adalah sinonim (acting and acting with a
purpose are synonymous). Perbuatan tanpa tujuan adalah sesuatu yang
sama mustahilnya dengan akibat tanpa adanya sebab.48
Lebih jauh lagi, Geny menyerukan suatu metode yang memberikan
signikansi yang lebih terhadap “tujuan perundang-undangan’ (legislative
intent) yang diderivasi dari teks, kemudian memandu keputusan seorang
penafsir (dictates the interpreter’s decision). Namun, seruan-seruan ini tidak
terwujud menjadi sebuah perubahan besar dalam metodologi umum
hukum positif saat ini. Jadi, peningkatan ‘purposefulness’ merupakan
komponen yang dibutuhkan oleh filsafat hukum secara general. Sedangkan
dalam sistem hukum Islam, the implication of the purpose (Dilalah al-maqsid)
merupakan ekspresi baru yang akhir-akhir ini mengemuka di kalangan
modernis Islam, dalam rangka memodernisasi Usul al-Fiqh. Selama ini,
secara umum, dilalah al-maqsid memang belum dinilai sebagai dilalah qat’i
(certain) untuk dijadikan sebagai suatu hujjah hukum (yuridical authority).
Hingga sekarang, secara teoritis, purposefulness masih dilarang untuk
memainkan peranan penting dalam upaya penggalian hukum dari nass.
Berdasar landasan berpikir tersebut, Jasser Auda berkeyakinan
bahwa tujuan dari hukum Islam (Maqasid al-Shariah al-Islamiyyah)
48
Jasser Auda, Ibid. Hlm. 229.
200
Landasan Epistemologi...
menjadi prinsip fundamental yang sangat pokok dan sekaligus menjadi
metodologi dalam analisis yang berlandaskan pada Systems. Lagi pula,
karena efektifitas dari sebuah sistem diukur berdasar pada terpenuhinya
tujuan yang hendak dicapai, efektifitas dari sistem hukum Islam juga
diukur berdasarkan terpenuhinya tujuan-tujuan pokoknya (Maqasid).49
Beberapa contoh pengambilan Maqasid dalam metode hukum Islam
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Istihsan (Yuridical Preference) berdasarkan Maqasid. Selama ini, Istihsan
dipahami sebagai upaya untuk memperbaiki metode qiyas. Menurt
Jasser Auda, sebenarnya permasalahannya bukan terletak pada ‘illat
(sebab), melainkan pada Maqasidnya. Oleh sebab itu, Istihsan hanya
dimaksudkan untuk mengabaikan implikasi qiyas dengan
menerapkan maqasidnya secara langsung. Sebagai contoh: Abu
Hanifah mengampuni (tidak menghukum) perampok, setelah ia
terbukti berubah dan bertaubat berdasarkan Istihsan, meskipun ‘illat
untuk menghukumnya ada. Alasan Abu hanifah, karena tujuan dari
hukum adalah mencegah seorang dari kejahatan. Kalau sudah
berhenti dari kejahatan mengapa harus dihukum? Contoh ini
menunjukkan dengan jelas, bahwa pada dasarnya istihsan diterapkan
dengan memahami dulu Maqasid dalam penalaran hukumnya. Bagi
pihak yang tidak mau mengggunakan Istihsan, dapat mewujudkan
Maqasid melalui metode lain yang menjadi pilihannya.50
2) Fath Dharai’ (Opening the Means) untuk mencapai Maqasid/tujuan yang
lebih baik. Beberapa kalangan Maliki mengusulkan penerapan Fath
Dharai’ di samping Sadd Dharai’. Al-Qarafi menyarankan, jika sesuatu
yang mengarah ke tujuan yang dilarang harus diblokir (Sadd Dharai’)
maka semestinya sesuatu yang mengarah ke tujuan yang baik harus
dibuka (Fath Dharai’). Untuk menentukan peringkat prioritas harus
didasarkan pada maqasid. Dengan demikian, dari kalangan Maliki
ini, tidak membatasi diri pada sisi konsekwensi negatifnya saja, tetapi
memperluas ke sisi pemikiran positif juga.51
3) ‘Urf (Customs) dan Tujuan Universalitas. Ibn Ashur menulis Maqasid
Shari’ah. Dalam pembahasan tentang ‘Urf, ia menyebutnya sebagai
‘universalitas dalam Islam’. Dalam tulisan itu, ia tidak menerapkan
‘urf pada sisi riwayat, melainkan lebih pada Maqasidnya. Argumen
Jasser Auda, Ibid. Hlm. 55.
Jasser Auda, Ibid. Hlm. 239.
51
Jasser Auda, Ibid. Hlm. 241.
49
50
Bab 4
201
yang ia kemukakan sebagai berikut. Hukum Islam harus bersifat
universal, sebab ada pernyataan bahwa hukum Islam dapat diterapkan
untuk semua kalangan, di manapun dan kapanpun, sesuai dengan
pesan yang terkandung dalam sejumlah ayat al-Qur’an dan hadis. Nabi
memang berasal dari Arab, yang saat itu merupakan kawasan yang
terisolasi dari dunia luar, yang kemudian berinteraksi secara terbuka
dengan dunia luar. Agar tidak terjadi kontradiksi, maka sudah
semestinya pemahaman tradisi lokal (baca: Arab) tidak dibawa ke
kancah tradisi internasional. Jika demikian maka kemaslahatan tidak
dapat dicapai dan tidak sesuai dengan Maqasid al-Syariah. Oleh sebab
itu, kasus-kasus tertentu dari ‘urf tidak boleh dianggap sebagai
peraturan universal. Cara berpikir ini cocok untuk mencari jalan keluar
dari problem yang sedang dihadapi oleh minoritas Muslim di Barat
dan Eropa khususnya. Ibn Ashur mengusulkan sebuah metode untuk
menafsirkan teks/nass melalui pemahaman konteks budaya Arab saat
itu. Demikian, Ibn Ashur membaca riwayat dari sisi tujuan yang lebih
tinggi, dan tidak membacanya sebagai norma yang mutlak.52
4) Istishab (Preassumption of Continuity) berdasarkan Maqasid. Prinsip
Istishab adalah bukti logis (dalilun ‘aqliyyun). Tetapi, penerapan prinsip
ini harus sesuai dengan Maqasidnya. Misalnya, penerapan asas
“praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah” (al-Aslu Bara’at alDhimmah), Maqasidnya adalah untuk mempertahankan tujuan
Keadilan. Penerapan “Praduga kebolehan sesuatu sampai terbukti
ada dilarang (al-aslu fi al-ashya’i al-ibahah hatta yadullu al-dalil ‘ala alibahah) Maqasidnya adalah untuk mempertahankan tujuan kemurahan
hati dan kebebasan memilih.53
Akhirnya, dengan menggunakan pendekatan dan analisis Systems,
Jasser Auda sampailah kepada usulan dan sekaligus kesimpulan yang
mendasar dalam rangka merespon tantangan dan tuntutan era global
sekarang , yaitu ketika umat Islam menjadi bagian dari penduduk dunia
(world citizenship), dan bukannya hanya bagian dari penduduk lokal,
yang khusus memikirkan dunia lokal-keummatannya sendiri.
Masyarakat Muslim kontemporer dimanapun berada sekarang terikat
dengan kesepakatan dan perjanjian-perjanjian internasional, khususnya
setelah terbentuknya badan dunia seperti Persyarikatan Bangsa-Bangsa
52
53
Jasser Auda, Ibid. Hlm. 242.
Jasser Auda, Ibid. Hlm. 243
202
Landasan Epistemologi...
(PBB) dengan berbagai urusan sejak dari urusan kesehatan dunia (WHO),
pangan-pertanian (FAO), pendidikan dan kebudayaan (UNESCO),
perdagangan (WTO), keamanan (Dewan Keamanan PBB), perburuhan
(ILO), perubahan iklim (climate change) dunia dan masih banyak yang lain..
Hukum-hukum yang berlaku di berbagai daerah lokal pun akhirnya
bersinggungan dan berjumpa dan berdialog dengan hukum-hukum
internasional. Salah satu isu kontemporer yang dihadapi umat Islam
sekarang ini adalah tentang hak-hak asasi manusia (HAM). Sebagian umat
Islam tidak dapat menerimanya sepenuh hati, karena masih terikat dengan
konsep Maqasid Syari’ah yang lama, sedang sebagian besar yang lain
menerimanya.54 Dalam upaya menjembatani gap antara hukum Islam
yang lama dengan hukum Internasional yang disepakati oleh sebagian
besar anggota PBB, maka Jasser Auda - setelah mendekomposisi teori
hukum Islam Tradisional dengan memperbandingkannya dengan teori
hukum Islam era Modern dan era Postmodern serta menggunakan
kerangka analisis Systems yang rinci - mengusulkan perlunya pergeseran
paradigma Teori Maqasid lama (Klasik) ke teori Maqasid yang baru.
Pergeseran dari teori Maqasid lama yang disusun oleh al-Syatibi ke teori
Maqasid baru, dengan mempertimbangkan perkembangan pemikiran warga
dunia. Berikut adalah usulannya:55
Pergeseran Paradigma Teori Maqasid klasik menuju kontemporer
No. Teori Maqasid klasik
Teori Maqasid kontemporer
1. Menjaga Keturunan
(al-Nasl)
2. Menjaga Akal (al-Aql)
Teori yang berorientasi kepada perlindungan Keluarga;
Kepedulian yang lebih terhadap institusi Keluarga.
Melipatgandakan pola pikir dan research ilmiah;
mengutamakan perjalanan untuk mencari ilmu
pengetahuan; menekan pola pikir yang mendahulukan
kriminalitas kerumunan gerombolan; menghindari
upaya-upaya untuk meremehkan kerja otak.
Pembahasan detil tentang hal ini dapat dijumpai dalam Abdullahi Ahmed an-Na’im,
Ibid, Juga Mashood A. Baderin. 203. International Human Right and Islamic Law, Oxford
New York: Oxford University Press.
55
Jasser Auda. Op. Cit. Hlm. 21-3.
54
Bab 4
203
No.
Teori Maqasid klasik
Teori Maqasid kontemporer
3.
Menjaga kehormatan;
menjaga jiwa (al-‘Irdh)
Menjaga agama (alDiin)
Menjaga harta (alMaal)
Menjaga dan melindungi martabat kemanusiaan;
menjaga dan melindungi hak-hak asasi manusia.
Menjaga, melindungi dan menghormati kebebasan
beragama dan berkepercayaan.
Mengutamakan kepedulian sosial; menaruh perhatian
pada pembangunan dan pengembangan ekonomi;
mendorong kesejahteraan manusia; menghilangkan
jurang antara miskin dan kaya.
4.
5.
Perubahan paradigma dan teori Maqasid yang lama ke teori Maqasid
yang baru terletak pada titik tekan keduanya. Tiitk tekan Maqasid lama
lebih pada protection (perlindungan) dan preservation (penjagaan; pelestarian)
sedang teori Maqasid baru lebih menekankan pada development
(pembangunan; pengembangan) dan right (hak-hak). Dalam upaya
pengembangan konsep Maqasid pada era baru ini, Jasser Auda
mengajukan ‘human development’ sebagai ekspresi obsesinya dan target
utama dari maslahah (public interest) masa kini; maslalah inilah yang
mestinya menjadi sasaran dari Maqasid al-Syari’ah untuk direalisasikan
melalui hukum Islam. Selanjutnya, realisasi dari Maqasid baru ini dapat
dilihat secara empirik perkembangannya, diuji, dikontrol, dan divalidasi
melalui human development index dan human development targets yang
dicanangkan dan dirancang oleh badan dunia, seperti Persyarikatan
Bangsa-Bangsa dunia (PBB).
Tidak hanya itu. Ketika tulisan ini seolah-olah hanya difokuskan
pada bangunan tata pikir hukum Islam yang terkait dengan isu kepastian
hukum dan keadilan, namun sesungguhnya radius jangkauan multiplyer
efeknya jauh lebih luas dari itu. Berkembang tidaknya bangunan tata
pikir epistemologi hukum Islam ini akan berpengaruh kuat pada bangunan
pola pikir dan paradigma pendidikan agama (Islam) di sekolah-sekolah,56
pesantren, ma’had ali dan perguruan tinggi, tata dan pola komunikasi
Untuk mempertajam implikasi dalam dunia pendidikan agama, dapat di telaah
permasalahan pendidikan agama di tanah air dalam Th. Sumartana, dkk. 2005. Pluralisme,
Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan kedua.
56
204
Landasan Epistemologi...
sosial umat beragama di ruang publik oleh para tokoh dan pimpinan
organisasi agama,kekerasan sosial yang mengatasnamakan agama di ruang
publik57 maupun kekerasan agama di ruang privat (domestic violence),
sensitifitas dan asertifitas gender, tata dan pola pergaulan sosial dan
politik di kancah multikulturalitas seperti Indonesia dan dunia pada
umumnya, kepekaaan kepada budaya dan agama lokal yang nonAbrahamik, lebih-lebih hubungan antara Muslim dan non-Muslim di
berbagai tempat di dunia.58
5. Keutamaan Etika/the Primacy of Ethics.
Pendekatan Systems yang mencoba mengurai dan menganalisis sisi
kognitif dari pemahaman usul al-fikih dan hukum Islam, sejak dari era
Tradisional, Modern dan Postmodern tidak dimaksudkan hanya berhenti
pada sisi kognitif-teoritis dan tidak berimplikasi pada sisi etika praksis
dalam kehidupan beragama sehari-hari. Pendekatan Systems mempunyai
implikasi praktis pada wilayah etika. Hukum tanpa etika bagaikan jasad
tanpa ruh. Begitu pula sebaliknya, etika tanpa hukum bagaikan ruh
tanpa jasad. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Begitu juga hubungan
antara apa yang biasa disebut “kepastian hukum” dan “rasa keadilan”.
Kepastian hukum tanpa rasa keadilan juga ibarat jasad tanpa ruh, begitu
juga sebaliknya. Kepastian hukum (agama), yang umumnya dipandu
oleh teks-teks keagamaan, menentukan “kepastian” hukum yang akan
diambil oleh para hakim agama di tingkat lapangan. Cara berpikir hakim
pada umumnya adalah demikian adanya, baik pada tataran hukum
positif maupun hukum agama. Kepastian hukum umumnya dipahami
sebagai hukum yang ditetapkan sesuai dengan bunyi teks yang ada di
Dapat dicermati Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2009. Program
Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious & Cross-Cultural Studies /CRCS),
Sekolah Pascasarjana, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2009, Hlm. 27-52.
58
Waleed El-Ansary dan David K. Linnan (Ed.). 2010. Muslim and Christian
Understanding: Theory and Application of “A Common Word”, New York: Palgrave Macmillan.
Untuk konteks Indonesia, dapat ditelusuri sejarah perkembangan dialog antar umat
beragama di Indonesia, J.B. Banawiratma, Zainal Abidin Bagir, etc. 2010. Dialog
Antarumat Beragama: Gagasan dan Praktik di Indonesia, Jakarta: Mizan Publika.
57
Bab 4
205
tangan para hakim. Pengambilan keputusan hukum yang dianggap pasti
(kepastian hukum) segera akan menjadi bahan perbincangan umum
tentang adanya aroma ketidakadilan jika tidak dibarengi pertimbanganpertimbangan etis-humanistik, betapapun kuatnya sandaran pada teksteks aturan hukum yang tersedia.
Sekedar sebagai contoh, apakah seseorang yang memeluk agama
non-Islam di suatu keluarga Muslim akan memperoleh warisan atau
tidak, jika orang tua meninggal? Jika hakim di peradilan agama di
tingkat lokal berargumen bahwa seorang anak yang menganut agama
non-Islam tidak akan mendapatkan warisan karena teks-teks positifkeagamaan yang dianutnya melarangnya, maka keputusan demikian secara etis kemanusiaan - akan menimbulkan masalah kemanusiaan.
Dalam negara-negara yang tidak bercorak teokratis, seperti Indonesia,
maka hal tersebut akan menimbulkan atau setidaknya menyisakan
masalah keadilan (wilayah etika). Meskipun secara positif dan tegas,
teks-teks hukum agama Islam tidak membolehkan memberikan warisan
kepada anak keturunan yang menganut agama non-Islam (kepastian
hukum), namun secara sosiologis dan humanities, kepastian hukum
seperti itu akan menyentuh rasa ketidakadilan. Keputusan hakim di tingkat
lokal dapat dibatalkan oleh putusan mahkamah yang berada diatasnya,
pada tingkat banding atau kasasi. Demi keadilan dan pertimbangan
kemanusiaan (pertimbangan etis), mahkamah di tingkat naik banding
dan kasasi dapat membatalkan keputusan hakim di tingkat bawah.
Bagaimana manghindari putusan-putusan hakim agama yang tidak
sejalan dengan rasa keadilan? Tidak hanya pada persoalan warisan,
tetapi ada pada persoalan lain seperti hak-hak reproduksi wanita, hakhak asasi manusia dan begitu seterusnya.
Untuk mengukur apakah keputusan hakim itu adil, kurang atau
tidak adil, barometernya tidak pada teks keagamaan atau hukum-hukum
positif yang tertuang dalam undang-undang atau peraturan dan
sejenisnya, melainkan terletak para pribadi para hakim itu sendiri. Oleh
karenanya, wawasan keilmuan, pandangan atau world view keagamaan
206
Landasan Epistemologi...
dan horizon berpikir para hakim umum dan agama – kembali lagi
menggarisbawahi sisi kognisi yang dimiliki para hakim dan agamawan
sangat penting disini - sangat menentukan kualitas keadilan yang
dituntut oleh para pencari keadilan di depan hukum. Para hakim
memerlukan knowledge dan skill yang lebih dari cukup agar supaya dapat
melakukan fresh ijtihad terhadap berbagai persoalan hukum baru yang
dihadapi sehari-hari dalam konteks yang berbeda-beda dari satu wilayah
ke wilayah yang lain, dari satu provinsi ke pronvinsi yang lain, dari
budaya yang satu ke budaya yang lain, bahkan dari negara ke negara
yang lain.
Khaled Abooe el-Fadl secara tegas berpendapat bahwa dalam era
perubahan sosial yang dahsyat seperti saat sekarang ini, knowledge dan
skill para hakim, bahkan para penganut agama-agama dunia, perlu
terus menerus diperbaharui dan di update. Selain berlandaskan imanagama, seseorang, kelompok dan apalagi para hakim agama sangat
perlu di tambah dengan bekal pengetahuan tentang nilai (value), metode
(methods) dan rasionalitas (rationality). Untuk mempertahankan dan
mendahulukan etika kemanusiaan universal, agama saja - dalam hal ini
adalah iman - adalah tidak cukup. Untuk membuat seseorang beragama
berperilaku etis, diperlukan syarat lain yang perlu dipenuhi yaitu
pemahaman tentang nilai, metode dan rasionalitas. Perilaku etis,
menurutnya, juga harus terukur. Setidaknya ada lima syarat yang
diajukan, yaitu:
1) Honesty (kejujuran).
Manusia beragama harus jujur dengan diri sendiri, bahwasanya
manusia penuh dengan keterbatasan-keterbatasan, betapapun
kuatnya kekuasaan atau ilmu yang dimilikinya. Manusia beragama
juga memiliki keterbatasan-keterbatasan yang inherent dalam diri dan
kelompoknya.
2) Diligence (sungguh-sungguh, serius, itqan).
Tidak dengan mudah menyepelekan atau menganggap ringan sebuah
persoalan atau masalah. Harus dengan tekun dan serius
menyelesaikan masalah dan mencari tahu tentang persoalan yang
sedang dihadapi. Al-Qur’an secara tegas mencela orang-orang
beragama yang berani-berani mengklaim tahu tentang Tuhan atau
Bab 4
207
atas nama Tuhan tanpa basis ilmu pengetahuan yang kuat, tapi
hanya sekedar atas dasar keinginan kosong, kesombongan atau
kepentingan pribadi/kelompok. Bandingkan dengan surat alBaqarah, 80; 169; al-A’raf, 28; 33 dan Yunus, 69-9.
3) Comprehensivess (menyeluruh-utuh).
Memahami petunjuk teks kitab suci al-Qur’an secara utuh, tidak
parsial-fragmentaris dan tidak pula secara selektif berdasarkan tarikan
kepentingan-kepentingan atau nafsu diri pribadi, apalagi golongan,
madzhab atau aliran.
4) Reasonableness (masuk akal). Banyak ukuran kemasukakalan dalam
melakukan interpretasi terhadap teks dan melakukan tindakan
keagamaan, antara lain adalah adanya komunitas interpretasi yang
dapat memberi pertimbangan dapat diterima atau tidaknya sebuah
idea atau perintah sosial-keagamaan. Lebih-lebih persoalan sosialkeagamaan Islam di lingkungan minoritas Muslim di negara-negara
Barat.
5) Self-restraint (Kemampuan menahan diri). Agamawan yang baik,
sederhana dan rendah hati selalu dapat menahan diri. Menghindari
tindakan memaksakan kehendak terhadap orang lain dengan
kekuatan atau kekerasan. Ungkapan yang biasa dikutip para penulis
Muslim “wa Allahu a’lam bi sawab” (dan Allah lah yang Maha
Mengetahui yang benar), sejatinya menunjukkan adanya moral dan
epistemological disclaimer dari seorang Muslim. Manusia Muslim
diminta menolak untuk mudah-mudah mengklaim kebenaran moral
dan epistemologis atas namanya sendiri atau golongannya.59
6. Penutup
Upaya untuk mengkonstruksi dan membangun kembali paradigma
profetik dalam hukum dan hukum Islam era kontemporer adalah sejalan,
seiring dan sehaluan dengan keinginan para akademisi Muslim di
perguruan tinggi dunia yang concern untuk mendialogkan dan
memperjumpakan secara sungguh-sungguh rancang bangun
epistemologi dan pola pikir usul fikih dan hukum Islam yang bercorak
tradisional dengan paradigma usul fikih dan hukum Islam yang lebih
sensitif terhadap problem pemikiran keagamaan dunia dan
perkembangan pola pikir usul fikih dan hukum Islam pada era
59
Khaled Abou El-Fadl, Op. Cit. Hlm. 54-6.
208
Landasan Epistemologi...
modernitas dan postmodernitas yang secara serius melibatkan disiplin
ilmu lain seperti metode berpikir sains, ilmu sosial dan humanities
kontemporer.
Ketika disebut profetik, imajinasi intelektual dan kesejarahan para
pembaca janganlah cepat-cepat mengaitkannya dengan ajakan untuk
kembali ke era kenabian Muhammad dengan melupakan sejarah panjang
perkembangan pola pikir umat Islam di seantero dunia dan lebih-lebih
lagi bukan pula secara serta merta melupakan sejarah panjang
pembentukan pola pikir hukum umat Islam dan konteks kesejarahan
kitab-kitab kuning (kitab-kitab keagamaan era klasik dan atau medieval)
yang terlanjur dianggap mu’tabarah oleh kelompok tertentu tetapi tidak
dianggap demikian oleh kelompok yang lain. Belum lagi, harus pula
mempertimbangkan sejarah pemikiran keagamaan dan pemikiran
hukum yang terjadi pada bangsa-bangsa lain di dunia. Aspek kesejarahan
yang meliputi Tradisionalitas, Modernitas dan Postmodernitas dengan
berbagai implikasi dan konsekwensinya perlu dipahami dan dicermati
terlebih dahulu oleh para peminat studi hukum.
Di samping aspek kesejarahan, kerangka berpikir, epistemologi
dan logika keilmuan dan kefilsafatan yang menyertainya juga samasama pentingnya untuk dicermati. Dalam setiap etape sejarah yang
dilalui, secara implisit maupun eksplisit mengandung fondasi logika
berpikir yang menyertainya. Pendekatan Systems yang diuraikan di
depan dapat membantu menguak dan merekonstruk paradigma berpikir
dalam setiap etape sejarah yang dilalui. Kaca mata pendekatan Systems
dengan ke 6 (enam) fiturnya diatas diharapkan dapat membantu para
peminat studi hukum membangun kerangka pikir usul fikih dan hukum
Islam yang baru, yang lebih sensitif terhadap perbedaan dan titik temu
antar ketiga era sejarah yang dilalui umat Islam dan mendialogkannya
secara cermat dengan selalu melihat dan mencermati implikasi dan
konsekwensinya masing-masing dalam memperbincangkan “keadilan”
dan “kepastian hukum”. Dengan pangkal tolak berpikir keagamaan
bahwa profetik adalah pro(f)etik, maka keutamaan etik - yang lebih
Bab 4
209
bercorak humanistik, dan bukan mengejar target kepastian hukum yang
bercorak positivistik - diharapkan dapat membantu upaya
menghidupkan kembali semangat fresh ijtihad terhadap teori dan praktik
hukum secara umum dan hukum Islam secara khusus - baik di tingkat
lokal maupun global - dalam kerangka besar diskusi ilmu hukum
kontemporer. Wa Allahu a’lam bi al sawab.
E. Basis Epistemologi Ilmu Hukum Profetik
Oleh M. Syamsudin
Menurut Kuntowijoyo, basis utama epistemologi Ilmu (Sosial)
Profetik adalah Ajaran Islam. Untuk memahami bangunan ajaran Islam
tersebut Kuntowijoyo menggunakan pendekatan strukturalisme
transendental. Pendekatan strukturalisme sendiri diintrodusir dari
pendapat Michael Lane dalalm buku Introduction to Structuralism (New
York: Basi Books Inc, 1970) yang mempunyai ciri-ciri: keseluruhan
(wholeness), perubahan bentuk (transformation), dan mengatur diri sendiri
(self-regulation).60
Menurut Kuntowijoyo, strukturalisme memperhatikan pada
keseluruhan atau totalitas (wholeness). Strukturalisme mengkaji unsur tetapi
unsur itu selalu diletakkan di bawah suatu jaringan yang menyatukan
unsur-unsur tersebut. Jadi unsur hanya dapat dimengerti melalui
keterkaian antar unsur lainnya (interconnectedness). Strukturalisme tidak
mencari struktur di permukaan, pada peringkat pengamatan, tetapi di
bawah atau di balik realitas empirik. Apa yang ada di permukaan adalah
cerminan dari struktur yang ada di bawah (deep structure) dan lebih ke
bawah lagi ada kekuatan pembentuk struktur (innate structuring capacity).
Dalam peringkat empiris keterkaitan antar unsur dapat berupa binary
opposition (pertentangan antara dua hal). Strukturalisme memperhatikan
Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. Yogyakarta:
Tiara Wacana. Hlm.29.
60
Landasan Epistemologi...
210
unsur-unsur yang sinkronis, bukan yang diakronis. Berikut ini adalah
skema struktur transendental ajaran Islam.61
Skema Strukturalisme Transendental
(Kuntowijoyo, 2006)
Tauhid
Akidah
Ibadah
Keyakinan
Sholat/
Puasa/
Zakat/
Haji
Kekuatan Pembentuk
Akhlak
Syariat
Muamalah
Moral/
Etika
Perilaku
Normatif
Perilaku
sehati-hari
Struktur
Dalam
Struktur
Permukaan
Dari bagan tersebut dijelaskan oleh Ahimsa-Putra, bahwa dalam
Islam, keterkaitan (interconnectedness) adalah sangat ditekankan. Misalnya
keterkaitan antara puasa dan zakat, hubungan vertikal (dengan Tuhan)
dengan hubungan horizontal (antar manusia), dan antara sholat dengan
solidaritas sosial. Keterkaitan itu kadang-kadang secara eksplisit
disebutkan di dalam ajaran, seperti antara sholat dengan solidaritas
sosial. Misal dalam QS.Al-Ma’un disebutkan, bahwa termasuk orang
yang mendustakan agama bagi mereka yang sholat tapi tidak
mempunyai kepedulian sosial terhadap kemiskinan. Demikian pula
keterkaitan antara iman dan amal sholeh. Dengan demikian epistemologi
Islam adalah epistemologi relasional, satu unsur selalu ada hubungannya
dengan lainnya. Keterkaitan itu dapat sebagai logical consequences dari
satu unsur. Seluruh rukun Islam lainnya (sholat, zakat, puasa, haji)
adalah konsekuensi logis dari syahadah. Zakat adalah konsekuensi logis
dari puasa, yaitu setelah orang merasakan sendiri penderitaan, lapar
dan haus.62
61
62
Ibid. Hlm.33.
Heddy Shri Ahimsa-Putra, Op.Cit.
Bab 4
211
Dalam Islam innate structuring capacity ditunjukkan oleh tauhid.
Tauhid mempunyi kekuatan membentuk struktur yang paling dalam.
Sesudah itu ada deep structure yaitu akidah, ibadah, akhlak, syariah dan
muamalah. Di permukaan yang dapat diamati berturut-turut akan
tampak keyakinan, sholat/puasa dst, moral/etika, perilaku normatif
dan perilaku sehari-hari. Akidah, ibadah, ahklak dan syariat itu immutable (tidak berubah) dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat
sedangkan muamalah itu dapat saja berubah. Transformatio dalam islam
yang sudah utuh, harus diartikan sebagai transformasi dalam muamalah
dan tidak dalam bidang lain.
Binnary opposition dalam islam ditujukkan oleh dua gejala yang
saling bertentangan yaitu pasangan (azwaj) dan musuh (’aduwun) yang
masing-masing menghasilkan ekuilibrium dan konflik. Dalam
strukturalisme, pertentangan yang berupa pasanganlah yang dimaksud.
Pertentangan antara kepentingan manusia dengan kepentingan Tuhan,
badan dengan ruh, lahir dan bati, dunia dan akhirat, laki-laki dan
perempuan, muzaki dan mustahiq, orang kaya dan orang miskin, dan
lain-lain pasangan yang menghasilkan ekuilibrium. Sementara itu ada
pertentangan antar struktur yang menghasilkan konflik, karena orang
harus memilih salah satu. Pertentangan antara Tuhan dengan setan,
dzulumat dengan nur, syukur lawan kufur, saleh lawan fasad, surga
lawan neraka, muthmainnah lawan amarah, halal lawan haram, dsb
jenis pertentangan yang menghasilkan konflik.63
Menurut Ahimsa-Putra, oleh karena Islam dapat dimaknai berbagai
macam, maka perlu ada rumusan minimal tentang apa yang dimaksud
dengan Islam di sini. Menurut Ahimsa-Putra, Islam di sini dapat
dimaknai sebagai keseluruhan perangkat simbol yang berbasis pada
simbol-simbol yang bersumber pada kitab Al Qur’an dan Sunnah Rasul
sebagai utusan Allah s.w.t. yang menjelaskan dan mewujudkan berbagai
hal -jika bukan semua hal yang ada- dalam Al Qur’an.
63
Kuntowijoyo, Op.Cit. hlm. 32-34.
212
Landasan Epistemologi...
Lebih lanjut dikemukakan bahwa, ajaran Islam itu bersumber dari
Al Qur’an dan Sunnah Rasul, dengan demikian dalam konteks IlmuIlmu Profetik segala sesuatu yang ada dalam Al Quran dan Sunnah
Rasul harus diketahui dan dipahami dengan baik terlebih dulu, untuk
dapat dijadikan landasan bagi keseluruhan bangunan Ilmu-Ilmu Profetik.
Tentu saja tidak semua unsur dalam Al Quran dan Sunnah Rasul relevan
dengan pengembangan Ilm-Ilmu Profetik. Untuk itu, pengetahuan dan
pemahaman tentang unsur-unsur yang relevan akan sangat membantu
dalam pengembangan ilmu tersebut. Di sini diperlukan pengetahuan
dan pemahaman yang baik dan benar mengenai Al Quran dan Sunnah
Rasul serta pengetahuan dan pemahaman mengenai Filsafat Ilmu pada
umumnya.
Untuk memudahkan memahami Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah
s.a.w. sebagai basis utama Ilmu-Ilmu Profetik dibutuhkan sebuah model
yang dapat dijabarkan lebih lanjut menjadi asumsi-asumsi dasar. AhimsaPutra menawarkan Rukun Iman dan Rukun Islam sebagai sebuah model
dalam bangunan paradigma Ilmu-Ilmu Profetik. Rukun Iman merupakan
basis keyakinan, basis kepercayaan, basis yang terdiri dari dua macam
yaitu: basis kognisi (pikiran) dan basis afeksi (perasaan).
Rukun Iman adalah hal-hal yang harus diyakini oleh seorang Muslim, yang terdiri dari enam hal, yakni iman kepada: (1) Allah, (2) malaikat,
(3) Kitab-kitab, (4) Rasul-rasul (para Nabi), (5) Hari Kiamat, Hari
Pengadilan dan (6) Takdir (Qadha dan Qadar). Rukun Iman ini berada
pada bidang keyakinan tentang pandangan-pandangan tertentu dalam
agama. Agar relevan dengan Ilmu Profetik, maka Rukun Iman ini perlu
ditransformasikan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan konteksnya,
yakni konteks keilmuan. Pertanyaannya adalah bagaimana
mentransformasikan keenam rukun iman tersebut?
Jika direnungkan lebih lanjut, ’iman’ tersebut tidak lain adalah
’relasi’. Beriman kepada Allah berarti ’membangun relasi dengan Allah’, dan relasi yang paling tepat adalah ’pengabdian’. Dalam konteks
Ilmu Profetik, Allah di sini ditransformasikan menjadi Pengetahuan,
Bab 4
213
karena Allah adalah Sumber Pengetahuan. Beriman kepada Allah dalam
konteks Ilmu Profetik adalah mengimani pengetahuan itu sendiri yang
bersumber pada Allah. Beriman kepada malaikat berarti ’membangun
relasi dengan malaikat’, dan relasi yang tepat adalah ’persahabatan’,
karena malaikat adalah sahabat atau teman orang yang beriman. Beriman
kepada Kitab adalah membangun relasi dengan kitab, dan relasi yang
tepat adalah ’pembacaan’, karena kitab adalah sesuatu yang dibaca.
Beriman kepada Nabi adalah membangun relasi dengan Nabi, dan relasi
yang tepat adalah ’perguruan dan persahabatan’. Artinya, seorang
Muslim memandang Nabi sebagai guru yang memberikan pengetahuan,
sekaligus juga sahabat, sebagaimana hubungan yang terjadi antara Nabi
Muhammad s.a.w. dengan para sahabatnya. Beriman kepada Hari
Kiamat adalah membangun relasi dengan hari Kiamat, dan relasi yang
tepat adalah ’pencegahannya’, karena Kiamat dalam konteks ini dapat
ditafsirkan sebagai ’kehancuran’. Beriman kepada Takdir adalah
membangun relasi dengan Takdir, dan relasi yang tepat adalah
“penerimaannya”. Artinya seorang muslim memandang takdir sebagai
sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, dan karena itu relasi yang tepat
adalah menerimanya. Takdir dalam konteks keilmuan dapat ditafsirkan
sebagai “hukum alam”.
Rukun Islam ada lima, yaitu: (a) membaca kalimat syahadat; (b)
mendirikan sholat; (c) menjalankan puasa; (d) mengeluarkan zakat; dan
(e) naik haji. Sebagaimana Rukun Iman, dalam konteks Ilmu-Ilmu
Profetik, Rukun Islam tentunya juga perlu ditransformasikan ke dalam
praktik kehidupan ilmiah sehari-hari. Rukun Islam harus diwujudkan
dalam kehidupan sehari-hari. Di sinilah Rukun Islam akan menjadi
wujud dari etos yang ada dalam Ilmu-Ilmu Profetik, dan basis dari
praktik kehidupan ilmiah ini adalah transformasi Rukun Iman yang
pertama, yaitu pengabdian, karena pada dasarnya Rukun Islam adalah
perwujudan dalam bentuk tindakan atau praktik, dari keimanan.
Menurut Ahimsa-Putra, basis utama Alquran dan Sunnah Rasul
yang berupa Rukun Iman dan Rukun Islam diturunkan lagi menjadi
Landasan Epistemologi...
214
asumsi-asumsi dasar mengenai: (a) basis pengetahuan; (b) objek material; (c) gejala yang diteliti; (d) ilmu pengetahuan; (e) ilmu sosialbudaya/alam; (f) disiplin. Berkenaan dengan Ilmu-Ilmu Profetik, isi dari
asumsi-asumsi dasar ini sebagian sama dengan ilmu-ilmu di barat pada
umumnya, sebagian yang lain berbeda. Berikut ini digambarkan skema
tentang basis epistemologis Ilmu-Ilmu Profetik.
Skema tentang Basis Epistemologis Ilmu-Ilmu Profetik
(Sumber: Ahimsa-Putra, 2011)
Asumsi dasar tentang
Gejala Yang Diteliti
indera
kemampuan
strukturasi dan
simbolisasi
bahasa
wahyu - ilham
sunnah Rasulullah
saw.
asal - mula
sebab - sebab
hakekat
asal - mula
sebab - sebab
hakekat
Asumsi dasar tentang
Ilmu Pengetahuan
tujuan
hakekat
macam
Asumsi dasar tentang
Basis Pengetahuan
Rukun
Iman
Basis
Epistemologis
Al Quran dan
Sunnah Rasul
Rukun
Islam
Asumsi dasar tentang
Obyek Material
Asumsi dasar tentang
Ilmu Sosial/Budaya Alam/Profetik
Asumsi dasar tentang
Disiplin Profetik
tujuan
hakekat
macam
tujuan
hakekat
macam
Untuk keperluan analisis terkait dengan bangunan Ilmu Hukum
Profetik, unsur-unsur dari asumsi-asumsi dasar yang terdapat pada
skema tersebut akan dicoba diberikan uraian meskipun tidak secara
keseluruhan karena masih sangat terbatasnya informasi di sini. Ada
tiga hal yang akan diuraikan yaitu asumsi dasar tentang basis
pengetahuan, asumsi dasar tentang objek materiil dan asumsi dasar
tentang disipilin. Tiga hal ini sementara dijadikan dasar bangunan dari
Ilmu Hukum Profetik.
Bab 4
215
1. Asumsi Dasar tentang Basis Pengetahuan
Menurut Ahimsa-Putra, asumsi dasar di sini dimaksudkan sebagai
pandangan mengenai hakikat dari ilmu itu sendiri. Dalam Filsafat Ilmu
di Barat, dikenal adanya dua pandangan yang berlawanan mengenai
ilmu yang masih terus diusahakan pendamaiannya. Pandangan pertama
mengatakan bahwa ilmu itu adalah satu, sehingga tidak ada yang
namanya ilmu alam dan ilmu sosial-budaya. Menurut pendapat ini
meskipun ada perbedaan pada objek material antara ilmu alam dan
ilmu-ilmu sosial-budaya, namun ilmu tidak perlu dibagi menjadi dua
hanya karena objek materialnya berbeda.64
Pandangan kedua mengatakan bahwa ilmu ada dua macam, yaitu
ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial-budaya, karena objek material
masing-masing memang berbeda. Menurut pendapat ini, hakikat gejala
sosial-budaya yang diteliti oleh ilmu-ilmu sosial-budaya berbeda dengan
hakikat gejala-gejala yang dipelajari dalam ilmu alam. Oleh karena itu,
ilmu-ilmu sosial-budaya tidak sama dengan ilmu-ilmu alam, karena
dalam ilmu-ilmu sosial-budaya diperlukan metode-metode tertentu
untuk mempelajari dan memahami gejala sosial-budaya yang berbeda
dengan gejala alam.65
Ilmu-ilmu Profetik dengan sendirinya memiliki pandangan yang
berbeda juga dengan pandangan-pandangan di atas. Pencanangan IlmuIlmu Profetik sebagai ilmu yang berbeda dengan ilmu-ilmu yang lain
menunjukkan adanya asumsi bahwa ilmu profetik berbeda dengan ilmuilmu yang telah ada, yakni ilmu alam dan ilmu sosial-budaya. Elemen
wahyu inilah yang membedakan ilmu-ilmu profetik dengan ilmu-ilmu
yang lain. Mengenai hal ini diperlukan paparan yang lebih mendalam,
yang belum dilakukan di sini.66
Hedi Sri Ahimsa-Putra, “Paradigma Profetik sebuah Konsepsi”, Makalah
disampaikan dalam Diskusi Pengembangan Ilmu Profetik 2011,diselenggarakan oleh
Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum - UII, di Yogyakarta, 18 Nopember 2011.
65
Ibid.
66
Ibid
64
216
Landasan Epistemologi...
Dalam konteks Ilmu Hukum, selain memiliki persamaanpersamaan, Ilmu Hukum Profetik juga memiliki perbedaan-perbedaan
pada asumsinya, sehingga ada perbedaan antara Ilmu Hukum Profetik
dengan Ilmu Hukum pada umumnya (yang tidak profetik). Asumsiasumsi ini sebagian besar berasal dari Ilmu Hukum pada umumnya,
sebagian lagi tidak. Berdasarkan pemahaman ini dapat diasumsikan
untuk sementara bahwa Ilmu Hukum Profetik adalah Ilmu hukum yang
mempelajari gejala-gejala hukum baik yang bersumber dari wahyu maupun
dari manusia. Dari asumsi dasar ini lebih lanjut dijabarkan asumsi-asumsi
dasar terkait dengan basis pengetahuan, disiplin, dan objek material
Ilmu Hukum Profetik.
Ilmu-Ilmu Profetik memiliki asumsi-asumsi dasar tentang basis
dari pengetahuan manusia. Asumsi-asumsi ini ada yang sama dengan
asumsi-asumsi yang ada dalam ilmu pada umumnya, ada pula yang
tidak, sebab kalau basis pengetahuan ini semuanya sama, maka tidak
akan ada bedanya antara Ilmu-Ilmu Profetik dengan ilmu-ilmu pada
umumnya. Berikut adalah basis yang memungkinkan manusia memiliki
pengetahuan, dan dengan pengetahuan tersebut manusia dapat
melakukan transformasi-transformasi dalam kehidupannya, yakni:
a. Indera
b. Kemampuan Strukturasi dan Simbolisasi (Akal)
c. Bahasa (Pengetahuan Kolektif)
d. Wahyu
e. Sunnah Rasul
Kuntowijoyo tidak menyinggung tentang Sunnah Rasul sebagai
salah satu sumber pengetahuan. Ahimsa-Putra memasukkannya, karena
dalam agama Islam, Al Qur’an tidak pernah dapat dipisahkan dari
sunnah Rasulullah s.a.w. Ketika manusia di masa Rasulullah s.a.w. tidak
dapat memahami dengan baik makna ayat-ayat yang turun, makna
wahyu yang turun, mereka bertanya kepada Rasulullah s.a.w., karena
melalui beliaulah wahyu tersebut turun. Pemahaman kita, tafsir kita
mengenai berbagai ayat dalam Al Qur’an selalu awalnya bersumber
Bab 4
217
dari penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh Rasulullah s.a.w. atau
perilaku dan tindakan beliau yang berdasarkan wahyu-wahyu tersebut.
Dalam Islam, Al Qur’an dan Sunnah Rasul adalah dua hal yang
tidak dapat dipisahkan, karena Rasulullah s.a.w. adalah “Al Qur’an
yang berjalan”, Al Qur’an yang mewujud dalam bentuk ucapan, perilaku
dan tindakan. Jika kita menempatkan wahyu sebagai salah satu sumber
pengetahuan, maka penjelasan tentang wahyu tersebut oleh penerima
wahyu itu sendiri tentu tidak dapat diabaikan.
Bagi Ilmu Hukum Profetik, wahyu (yang sumbernya Alquran) dan
Sunah Rasul justru menjadi sumber utama pengetahuan manusia untuk
menetapkan hukum. Sumber-sumber lain seperti bahasa, akal dan indera
menjadi sumber pendukungnya. Yang perlu menjadi catatan di sini sumber
pengetahuan manusia yang berasal dari wahyu dan hadits rasul tersebut
masih perlu ditransformasi dalam bentuk norma atau kaidah atau putusan
hukum yang sesuai dengan konteks sosio-kultural masyarakatnya. Artinya
sumber-sumber tersebut harus diolah secara matang bersama sumbersumber pengetahuan pendukung yaitu bahasa, akal dan indera agar mudah
dipahami dan dipraktikkan. Ini membutuhkan strategi dan teori tertentu
yang dapat menjembatani masalah tersebut.
2. Asumsi Dasar tentang Objek Material
Jika kritik yang dilontarkan terhadap ilmu pada umumnya adalah
sifatnya yang sekuler, maka kelemahan inilah yang tidak boleh terulang
dalam Ilmu Hukum Profetik. Artinya, di sini harus dilakukan
desekularisasi, yang berarti memasukkan kembali unsur sakral, unsur
ke-Ilahi-an dalam ilmu (hukum) profetik. Bagaimana caranya?
Menurut Ahimsa-Putra, salah satu caranya adalah dengan
menempatkan kembali segala objek material Ilmu Profetik dan Ilmuwan
Profetik dalam hubungan dengan Sang Maha Pencipta, Allah s.w.t. atau
Tuhan Yang Maha Kuasa (dimensi transendensi). Di sini perlu
diasumsikan bahwa meskipun alam dan kehidupan manusia adalah
sebuah realitas yang ada, namun realitas ini tidak muncul dengan
218
Landasan Epistemologi...
sendirinya. Realitas ini ada penciptanya. Oleh karena itu, kita tidak dapat
memperlakukan realitas tersebut seenak kita, terutama seyogyanya kita
tidak merusak realitas tersebut, kecuali kita memiliki alasan-alasan yang
dapat diterima berdasarkan patokan etika dan estetika tertentu.
Menempatkan kembali realitas objektif yang diteliti atau dipelajari
sebagai ciptaan Allah Yang Maha Pencipta adalah apa yang oleh
Kuntowijoyo disebut sebagai proses transendensi. Menurut Kuntowijoyo,
“Bagi umat Islam sendiri tentu transendensi berarti beriman kepada Allah
s.w.t. (tukminuna billah)”.67
Bagi Ilmu Hukum Profetik, kiranya perlu dipikir ulang apa
sebenarnya yang menjadi objek material ilmu hukum profetik itu dan
bedanya dengan Ilmu Hukum pada umumnya. Untuk mengetahui hal
ini, maka yang perlu dipertanyakan adalah apa sebenarnya yang menjadi
hakikat dari hukum itu sendiri? Dalam Ilmu Hukum pada umumnya
banyak asumsi dasar yang diikuti oleh para ilmuwan hukum untuk
menjelaskan apa hakikat hukum itu. Menurut hemat penulis tentang
hal ini dapat diusulkan bahwa hakikat hukum adalah kehendak Allah
yang ditujukan kepada manusia untuk mencapai derajat manusia yang
mulia sebagai khalifah. Hukum berfungsi sebagai sarana dan wahana
manusia untuk mendapatkan ridho-Nya. Hukum Allah harus menjadi
landasan etik bagi hukum ciptaan manusia. Hukum ciptaan manusia
pada dasarnya adalah perlanjutan yang konsisten dari hukum Allah.
Karena itu tegak dan eksisnya hukum-hukum ciptaan manusia dapat
mendatangkan malapetaka bagi manusia dengan ekosistemnya,
manakala tidak bersandarkan pada kehendak Allah. Hukum yang dibuat
oleh manusia harus mencerminkan misi humanisasi, leberasi dan
transendensi sebagai perwujudan dari etika profetik.
3. Asumsi Dasar tentang Disiplin
Disiplin di sini dimaksudkan sebagai cabang ilmu. Disiplin profetik
tentu saja merupakan disiplin yang berbeda, walaupun masih ada
67
Kuntowijoyo, Op.Cit. hlm.107.
Bab 4
219
persamaan dengan disiplin ilmu pada umunya. Disiplin profetik adalah
cabang ilmu yang mempunyai ciri profetik. Disiplin profetik di sini dapat
dibangun dari disiplin ilmu pada umumnya, yang memiliki ciri profetik
seperti ilmu kedokteran profetik, ilmu kehutanan profetik, ilmu teknik
profetik, ilmu farmasi profetik, sosiologi profetik, Ilmu Hukum Profetik,
psikologi profetik, antropologi profetik, dan seterusnya.68
Asumsi-asumsi dasar disiplin profetik ini tentu saja sebagian akan
sama dengan asumsi dasar disiplin ilmu yang ada, tetapi sebagian yang
lain tentu akan berbeda. Oleh karena masing-masing disiplin memiliki
ciri khasnya sendiri-sendiri, maka ekspresi ciri profetik ini juga berbedabeda dalam masing-masing disiplin, tetapi di situ tetap ada keprofetikan
yang diturunkan dari sesuatu keprofetikan yang umum.69
Dengan mengikuti pola pembagian disiplin ilmu seperti itu, maka
disiplin Ilmu Hukum Profetik, asumsi dasarnya dapat berasal dari ilmu
hukum pada umumnya, akan tetapi sebagian lagi berasal dari asumsi
dasar yang ada dalam Ilmu Hukum Profetik, yang tidak terdapat dalam
ilmu hukum pada umumnya. Ini yang membedakan mana Ilmu Hukum
yang umum dan mana Ilmu Hukum Profetik.
68
69
Heddy Shri Ahimsa-Putra. Op.Cit.
Loc.Cit.
220
Landasan Epistemologi...
BAB
5
LANDASAN AKSIOLOGI
ILMU HUKUM PROFETIK
A. Pengantar
Oleh M. Syamsudin
Landasan aksiologi dihadirkan di hadapan kita untuk memberikan
pemahaman tentang kegunaan atau manfaat dari suatu ilmu. Hal-hal
mendasar yang menjadi pertanyaan untuk dijawab terkait dengan
aksiologi ilmu antara lain adalah untuk apa pengetahuan yang berupa
ilmu itu dicari, dikembangkan dan dipergunakan dalam kehidupan kita?
Bagaimana kaitan antara cara mencari, mengembangkan dan
menggunakan ilmu tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Apakah
penentuan objek yang ditelaah oleh ilmu tersebut didasarkan pada
pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang
merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/
profesional? dan sebagainya.
Dalam konteks ilmu hukum, landasan aksiologi ilmu dibutuhkan
untuk memahami persoalan-persoalan keilmuan hukum yang berkaitan
dengan masalah pengembanan hukum (rechtsbeoefening) itu sendiri.
Pengembanan hukum adalah kegiatan manusia berkenaan dengan
adanya dan berlakunya hukum di dalam masyarakat. Kegiatan tersebut
mencakup kegiatan membentuk, melaksanakan, menerapkan,
222
Landasan Aksiologi...
menemukan, meneliti, dan secara sistematikal mempelajari dan
mengajarkan hukum yang berlaku. Pengembanan hukum itu dapat
dibedakan antara pengembanan hukum teoretis dan praktis.
Pengembanan teoretis dimaksudkan sebagai kegiatan akal budi
untuk memperoleh penguasaan intelektual tentang hukum atau
pemahaman tentang hukum secara ilmiah yakni secara metodis,
sistematis-logis dan rasional. Berdasarkan tataran analisisnya (level of
analysis) atau tingkat abstraksinya, pengembanan hukum teoretis
dibedakan dalam tiga jenis, yaitu pertama, tataran ilmu-ilmu positip,
yaitu tataran yang paling rendah tingkat abstraksinya, disebut ilmuilmu hukum; Kedua, tataran yang lebih abstrak tingkat abstraksinya
disebut Teori Hukum, dan ketiga, tataran filsafat yang abstraksinya paling
tinggi disebut Filsafat Hukum. Filsafat Hukum meresapi semua bentuk
pengembanan hukum teoretis dan praktis. Pengembanan hukum praktis
adalah kegiatan yang berkenaan dengan hal mewujudkan hukum dalam
kenyataan kehidupan sehari-hari secara konkrit, yang meliputi kegiatan
pembentukan hukum, penemuan hukum, dan bantuan hukum.1
Jika kita meninjau ke kondisi pengembanan hukum
(rechtsbeoefening) di Indonesia saat ini, baik pengembangan teoretis
maupun praktis, banyak sekali dimensi aksiologis yang membutuhkan
perhatian dan pencerahan. Skema berikut menggambarkan bagianbagian dari pengembanan hukum yang perlu untuk mendapatkan
perhatian.
Baca Meuwissen. 1994. “Pengembanan Hukum” PRO JUSTITIA Tahun XII No.1
Januari 1994. hlm.61-81. Juga Meuwisen. 2007. Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum,
Teori Hukum, dan Filsafat Hukum. Penerjemah Arief Shidarta. Bandung: Refika
Aditama. Hlm. vii.
1
Bab 5
223
Pengembanan Hukum
PRAKTIKAL
Pergaulan dengan
hukum
dalam
kehidupan
nyata
PENGEMBANAN
HUKUM
Kegiatan
manusia
berkenaan
dengan
adanya
dan
berlakunya
hukum
TEORETIKAL
- Disiplin
Hukum
- Upaya
memahami
dan
menguasai
ukum secara
intelektual
- Bermetode
logiksistematikal,
rasional
kritikal
PEMBENTUKAN HUKUM
- Penciptaan hukum positif
PENEMUAN HUKUM
- Distilasi kaidah dari dalam atuaran
hukum dalam konteks penyelesaian
konfliks
BANTUAN HUKUM
- Memulihkan keseimbangan kekuatan
antar warga
NORMATIF
Persepektif
internal objek
ILMU-ILMU
telaah: hukum
HUKUM
sebagao
Objek telaah:
Sollen-Sein
tatanan hukum
nasional dan
EMPIRIKAL
Internasional
Perspektif
eksternal
TEORI (ILMU)
HUKUM
Objek telaah:
tatanan hukum
positif sebagai
sistem
PERUNDANG-UNDANGAN:
Aturan umu
PUTUSAN KONKRET
- Ketetapan
- Vonis
TINDAKAN NYATA
- Memulihkan keseimbangan
jejuatan antar warga
ILMU HUKUM: Ilmu praktikal
normologik
- Interpretasi dan sistematisasi bahan
hukum
- Teori Perundang-undnagan,
Penemuan Hukum dan Argumentasi
Yuridis
AJARAN HUKUM
- analisis pengertian
hukum (concept of
law)
- analisis asas,
kaidah, figur dan
sistem hukum
- analisis konsepkonsep yuridis
(legal consept)
- hubungan antar
konsep yuridis
HUBUNGAN HUKUM
DAN LOGIKA
- Teori Argumentasi
Yuridis
- Logika Deontik
METODOLOHI
FILSAFAT HUKUM
- bagian dari dan dipengaruhi filsafat
hukum
- meresai Teori Ilmu Hukum dan Ilmuilmu Hukum
- Objek telaah: hukum sebagai demikian
(the law as such)
- Pokok kajian dwitunggal pertanyaan
inti:
1. landasan daya-ikat hukum
2. landasan penilaian keadilan dari
hukum (norma kritik)
PERBANDINGAN HUKUM
SOSIOLOGI HUKUM
Objek telaah: hukum sebagai
sollen-sein
SEJARAH HUKUM
Objek telaah: hukum dalam
konteks waktu
ANTROPOLOGI HUKUM
Objek telaah: hukum dalam
konteks kultur
PSIKOLOGI HUKUM
AJARAN ILMU HUKUM
- Epistemologi Ilmu Hukum
- Metode Penelitian dan
Penemuan Hukum
- Struktur Berpikir Yuridis
AJARAN METODE
PRAKTEK HUKUM
- Teori Pembentukan Hukum
- Teori Penemuan Hukum
1. Teori Interpretasi
2. Kontruksi Hukum
refleksi teoritikal kritikal terhadap
saling mempengaruhi
Sumber: Meuwissen, tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat hukum,
terj. B.Arief Sidharta, 2007
224
Landasan Aksiologi...
B. Paradigma Profetik
Pendidikan Hukum2
dalam
Pengembangan
Oleh Jawahir Thontowi
1. Pendahuluan
Model pendidikan dan pengajaran hukum yang telah berlangsung
sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 1945, baik di
Perguruan Tinggi Negeri/Swasta belum berhasil menciptakan lulusan
yang mampu menjalankan tugasnya secara professional. Sindiran nyata,
bahwa hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas bukan isapan jempol
belaka. Mbok Minah di Banyumas harus dihukum 3 (tiga) bulan oleh
hakim karena mengambil dua kakao. Di Cilacap, ada seorang laki-laki
kurang ingatan terkena hukuman karena mengambil pisang. Sementara
hakim tipikor membebaskan tersangka bupati-bupati koruptor lepas
dari jerat hukuman. Ini gambaran kelam penegakan hukum yang akan
semakin terasa jauh dari rasa berkeadilan, jika tidak ada lompatan, atau
revolusi ilmu pengetahuan hukum (scientific legal revolution).
Tentu saja mustahil dalam hukum ada revolusi, pendiri bangsa
seperti Soekarno saja enggan ngajak revolusi dengan Sarjana Hukum.
Situasi hukum demikian ini tidak lain karena hukum dipandang sebagai
tool (alat) yang bebas nilai, salah satu sebabnya karena sistem pendidikan
dan pengajaran hukum tidak dilandasi suatu paradigma profetik. Untuk
menyikapi hal tersebut, Fakultas Hhukum UII mengagas ilmu hukum
berparadigma profetik sebagai landasan pendidikan hukum tergolong
ikhtiar yang mulia. Hal ini merupakan gerakan terobosan di tengah
status quo pendidikan hukum, sekedar menyiapkan tukang-tukang yang
memiliki kemahiran dan professionalitas tinggi (applied science), yang
Disampaikan dalam Kegiatan Disksui Berseri “Menggagas Ilmu Hukum
Berparadigma Profetik Sebagai Landasan Pengembangan Pendidikan Hukum” di
Fakultas Hukum UII”, diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, Kamis, 12 April, 2012, di Aula Kampus UII Jalan Cik Ditiro
1. Yogyakarta.
2
Bab 5
225
kebanyakan lahir Sarjana Hukum berkaca mata kuda (positivism doctrine)
dan miskin penggunaan hati nurani (conscience).
Fakta sejarah menunjukkan bahwa perkembangan ilmu sosial dan
khususnya ilmu hukum, yang hendak menuju pada pemikiran
paradigmatik diakui secara akademik dan kritis tidak mudah dicapai.
Mengingat timbulnya berbagai tantangan, baik dari pendekatan pribadi
seorang/sekelompok akademikus maupun dari pendekatan
kelembagaan aktor Negara/non Negara (non-state actors). Apalagi jika
paradigma yang diusung berkarakter Islam, tentu tantangan akademik
dan politik semakin paripurna.
Antara tantangan yang dihadapi dalam menggagas kerja besar dan
mulia tersebut terkadang tidak sebanding dengan peluang-peluang
tersedia yang telah dikaji mendalam dan kritis. Sebagaimana halnya
pertanyaan yang timbul apakah Pusat Studi Hukum (PSH) telah dapat
mengindentifikasi, memilih dan memilah persoalan dan jawaban dari
dua kali pertemuan sebelumnya. Mohon maaf saya menggelitik model
kerja dari penyelenggaraan diskusi yang satu ke diskusi yang lain belum
terlihat langkah pencapaian.3 Hendaknya PSH, sembari melakukan
pencarian dan pengumpulan bahan dan masukan seharusnya juga
melangkah untuk dapat merumuskan berbagai inti masukan dengan
kebutuhan konseptual dan praktikal pengembangan pendidikan dan
pengajaran di Fakultas Hukum UII. Tidak mustahil akan menjadi kurang
termanfaatkan jika masukan-masukan yang terasa berat tidak segera
dimulai ditindaklanjuti dengan upaya mentradisikannya berbagai
gagasan sederhana yang dapat segera direalisasikan.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dalam kesempatan
yang mulia ini perkenankanlan untuk memberikan berbagai jawaban
atas pertanyaan sebagai berikut. Suatu pertanyaan yang diajukan bukan
Acara diskusi berseri ini telah dimulai sejak 12 Juni 2011 sd 12 April 2012, dan
sampai saat ini tampaknya disuksi kita baru disuguhi wacana-wacana akademik, filosofis,
epistiomologis dan juga teoretik yang tampak masih belum mengerucut pada luaran
yang diharapkan.
3
226
Landasan Aksiologi...
sekedar rasa ingin tahu curuosity, (cogito ergo sum), tetapi karena adanya
kepentingan dan kebutuhan yang dinantikan kehadirannnya dalam
sistem sosial dan pendidikan yang belum mmebebaskan dan
mencerahkan kita sebgai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat.
Pertama, apakah makna dan manfaat paradigma dalam ilmu
pengetahuan? Kedua, bagaimana penggunaan paradigma dalam ilmu
sosial dan filsafat? Ketiga, apakah paradigma diakui dalam konteks
negara Pancasila? Keempat, bagaimana paradigma profetik relevan
dikembangkan di Fakultas Hukum UII yang sedang turut mengawal
perjalanan bangsa dari Yogyakarta hingga jagad Indonesia Raya?
2. Makna dan Fungsi Paradigma
Pencetus awal gagasan paradigma adalah Thomas Kuhn, The
Structure of Scientific Revolution, (1962) bertujuan menantang anggapan
umum bahwa yang berlaku mengenai cara terjadinya perubahan ilmu.
Masyarakat awam memandang bahwa kemajuan ilmu terjadi secara
akumulatif. Setiap tahap kemajuan tanpa terelakan dibangun di atas
kemajuan yang telah tercapai sebelumnya. Namun, Kuhn mengakui
bahwa kemajuan memang penting dalam menghantarkan kemajuan
ilmu, tetapi terjadinya perubahan besar tidak lain sebagai akibat revolusi
atau perubahan sangat cepat.
Secara sederhana, Kuhn merumuskan paradigma: sebagai (1) citra
mendasar tentang apa yang menjadi masalah pokok ilmu di masa
tertentu, (2) ilmu normal adalah periode akumulasi ilmu pengetahuan,
dimana ilmuwan berkarya untuk mengembangkan paradigma yang
dominan, (3) karya ilmiah tersebut tanpa terelakan akan melahirkan
karya-karya baru yang tidak dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan
sebelumnya, (4) tahap krisis akan terjadi ketika ketidakajegan (anomali)
kian meningkat dan hanya akan terjawab dengan model revolusi ilmu
(scientific revolution).4
Lihat Thomas Kuhn. 1962. The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: University
of Chicago Press.
4
Bab 5
227
Paradigma adalah gambaran fundamenetal mengenai masalah
pokok dalam ilmu tertentu. Paradigma membantu dalam menentukan
apa yang mesti dikaji, pertanyaan yang mesti diajukan, bagaimana cara
mengajukannya, dan aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan
jawaban yang diperoleh. Paradigma adalah unit konsensus terluas dalam
bidang ilmu tertentu dan membantu membedakan satu komunitas
ilmiah (subkomitas) tertentu dari komunitas ilmiah yang lain. Paradigma
menggolongkan, menetapkan, menghubungkan antara examplar, metode,
dan instrumen yang ada di dalamnya.
Lebih jauh Ritzer menegaskan bahwa sosiologi, sebagai ilmu
berparadgima ganda timbul karena paradigma tidak akan mencapai titik
optimal dalam sosiologi jika tidak didukung oleh tiga hal yaitu fakta
sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial. Masing-masing paradigma harus
dianalsis oleh empat komponen paradigma. Fakta sosial akan menjadi
paradigma jika di dalamnya terdapat (1) Examplar atau model, yang
digunakan teoretisi fakta sosial contoh Karya Emile Durkheim, terutama
dalam karyanya, The Rules of Sociological Method of Suicide. (2), Gambaran
tentang masalah pokok, misalnya, teoretisi memusatkan perhatiannya
pada fakta sosial yang disebut Durkheim sebagai struktur atau institusi
sosial yang berkala luas, (3). Metode, besar kemungkian penganut
paradigma ini, cara memperoleh menggunakan metode interviewkuesioner dan menggunakan perbandingan sejarah ketimbang metode
lain. (4). Teori, teoretisi structural-fungsional cenderung melihat fakta
sosial sama antara hubungan keteraturan dengan yang dipertahanakan
oleh consensus umum. Sedangkan teori konflik, selalu melihat perubahan
masyarakat dari segi kekacauan atau pertentangan sosial. 5
Paradgima definisi sosial, sebagaimana dianut oleh Max Weber, juga
sama terdiri dari model, gambaran tentang masalah, metode, dan terori.
Paradigma perilaku sosial, penganut paradigam ini, adalah (1) model
aliran behaviourisme, (Psikologi) BF Skinner (2) Gambaran permasalahan,
Pemaparan lebih komprehensif dapat dilihat George Ritzer and Doglas Goodman.
2003. Modern Sociological Theory. (Six Edition), McGraw-Hill. Mariland. USA. A.15.
5
228
Landasan Aksiologi...
perubahan didasarkan adanya reward and punishment. (3) Metode, experiment (4) Teori Behaviorisme Sosial. Namun, ketiga paradigma, fakta sosial,
definisi sosial dan perilaku sosial tidak cukup oleh karena dapat membawa
pada hasil kurang objektif, manakala tidak dibantu analisis sosial. Itulah
sebabnya, pengikutnya Ritz dan Nash, mencoba mengajukan suatu
paradigma sosiologi integratif. Dari kacamata sosiologi status, fakta sosial,
definisi sosial, dan perilaku sosial yang dalam zamannya masing-masing
dipandang valid dan relevan, di kemudian hari ternyata tidak sempurna.
Hadirnya model berpikir lain ada seperti paradigma sosiologi integratif,
menunjukkan proses penyempurnaan akan berakhir dalam relatifitas.
Talcot Parson menggunakan istilah paradigma dalam kaitannya
dengan sistem sosial, diakui selalu berubah dan berkembang karena
dipengaruhi oleh terjadinnya perubahan sosial. Menurut Parson, tanpa
adanya kesepahaman yang baik dari pengetahuan, suatu paradigma
tidak akan pernah menjadi suatu yang mungkin. Namun, pengetahuan
tersebut hanya untuk menjawab pemecahan persoalan empiris, dan
secara fragmentaris juga tidak sempurna. Untuk itu, dalam konteks
dengan kemanfaatan paradigma, Parson mengajukan dua hal untuk
menyempurnakannya dengan dua hal. Pertama, paradigma membantu
untuk memobilisasi setiap pengetahuan hukum yang kita memiliki
utamanya terkait dengan persoalan relevan yang dijelaskan dalam proses
sistem sosial. Kedua, paradigma memberikan kita suatu pedoman untuk
suatu ketegasan permasalahan yang signifikan untuk suatu penelitian
sehingga pengetahuan dapat kita kembangkan. Dengan demikian,
menurut Parson, in so far as it does not directly incorporate knowledge of
laws, then, the paradigm is a set of canons for the statement of problems, in
such terms as as to ensure that the answers to the question asked will prove to
be of generalized significance, because they will state or imply definite relations
between the fundamental variables of a system.6
Pandangan Talcott Parsons, telah memulai mengarahkan kajian paradima dengan
menghubungkannya dengan persoalan hukum. Lihat karyanya, Talcott Parsons. The Social
System: The Major Exposition of the Author’s Conceptual Scheme for the Analisis of the Dinamics
of the Social System.
6
Bab 5
229
Dalam sosiologi, paradigma tersebut menjadi penting tidak saja
berkaitan dengan cara meperoleh fakta, data dan informasi lainnya
dalam penelitian, akan tetapi lebih utama paradigma dipergunakan
hendaknya melibatkan kekuatan analisis untuk mencegah kejadian
penyimpangan yang subjektif. Kata kunci Parson, bagi upaya
menjelaskan ilmu sosial dengan hukum tampaknya tidak secara otomatis
dapat berkaitan dengan hukum. Tetapi, paradigma lebih dipahamkan
sebagai sekumpulan nilai-nilai suci (canons) untuk suatu persoalan
mendasar dalam penelitian yang tidak parsial.
Itulah sebabnya, mengapa Fred N. Kerlinger dalam karya
monumentalnya, Foundations of Behavioral Research, (second edition)
menempatkan pembahasan paradigma dalam bagian, Prinsip-Prinsip
Analisis dan Penafsiran (Principle of Analyses and Interpreation).7 Karena
itu, menurut Kerlinger, suatu analisis dimaksudkan sebagai upaya untuk
melakukan pengelompokan, pengaturan atau penyusunan secara tertib,
memberikan makna, dan melakukan peringkasan dari data, fakta untuk
memperoleh suatu jawaban atas pertanyaan penelitian yang diajukan.
Adapun maksud dari analisis yaitu menyederhanakan data yang dapat
dipikirkan dan diberikan penafsiran, sehingga hubungan antara
persoalan penelitian dapat dikaji dan dibuktikan secara nyata atau
faktual.
Mengapa akademisi dalam penelitian penting mengedepankan
paradigma (1) penelitian akan dapat mengetahui seberapa jauh kerja
konsep, teori, pertanyaan serta hipotesis dapat dijawab. Dengan cara
itulah, peneliti dapat melihat, apakah data dan nalisisnya dapat
menjawab permasalahan penelitian (2). Paradigma digunakan sebagai
tool of analyses yang bermanfaat dalam memahami tingkat hubungan
antara suatu ajaran dengan perilaku msayarakat. Pendidikan agama
meningkatkan karakter moralitas anak-anak. Karena itu, pendidikan
agama telah didefinisikan sebaga suatu unsur panutan dalam bagi anakLihat secara lengkap dalam Fred N. Kerlinger. 1973. Foundations of Behavioral
Research, (second edition). Holt, Rinehart and Winston. London. P.134-8.
7
230
Landasan Aksiologi...
anak di sekolah. Hubungan antara tingkat kejujuran, dan ketidakjujuran
ditentukan selain oleh pelajaran agama, adanya tauladan, pengawasan
publik, dan frekuensi tingkat keseringannya. (3), paradigma dapat
menuntun secara langsung penelitian dalam melakukan pengujian atas
hipotesis.
Sebelum lebih jauh menempatkan paradigma dalam dunia lebih
populer, makna yang lebih kurang sama digunakan istilah, kerangka
teoretis (theoretial framework), kerangka konsptual (Conceptural frameework),
kerangka pemikiran (frame of thinking), orientasi teoritis (theoretial
orientation), atau sudut pandang (perspective), atau pendekatan (approach).
Ahimsa-Putra mendefiniskan paradigma, sebagai seperangkat konsep
yang berhubungan satu sama lain secara logis membentuk sebuah
kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami, menafsirkan dan
menjelaskan kenyataan dan/atau masalah yang dihadapi.8
Pemikir Ilmu sosial, sering menggunakan mensintesiskan gagasan
Ilmu sosial profetik, kontribusinya dirasakan lebih relevan ketika belantara
pemikiran paradigmatik menjadi lebih disederhanakan. Setidaknya ada
enam komponen yang diformulasikan untuk dapat memahami paradigma
dalam ilmu sosial, termasuk dapat diorientasikan ke dalam pemikiran
dan pengembangan ilmu hukum. Hal tersebut antara lain (1) adanya
asumsi dasar (dalil) kritis yang membimbing ilmuwan dalam mengawali
pemikirannya. (2), etos atau nilai-nilai yang telah menjadi kepercayaan
mendasari timbulnya berbagai permasalahan (3), model atau analogi yang
digunakan sebagai peneliti dalam membimbing penelitian untuk mencari
jawaban atau keingintahuannya (4), pemunculan permasalahan yang
handal dan wajib dirumuskan, apakah sebagai pemenuhan atas hasrat
ingin tahu, ataukah karena ada keperluan dan kebutuhan (5), adanya
teori atau konsep-konsep pokok, sebagai pisau analisis terhadap (fakta
sosial, definisi sosial dan perilaku sosial), dan (6) Adanya metode
Heddy Ahimsa-Putra. 2001. “Paradigma Profetik: Sebuah Konsepsi. Disampaikan
dalam Diskusi Pengembangan llmu Profetik 2011, diselenggarakan leh Fakultas HukumUII di Yogyakarta, 18 November 2011. Hlm. 3.
8
Bab 5
231
penelitian baik jenis kuantitatif (luas, besar, berat, jumlah, dan frekuensi,),
maupun jenis kualitatif (nilai, pandangan hidup), kepribadian, norma,
kriteria, keagamaan, kebiasaan, kesopanan, dan kesusilaan.9
Penggunaan paradigma dalam pendekatan ilmu politik, khususnya
hubungan internasional telah berlangsung, penggunaan paradigma
dikaitkan bukan sekedar untuk suatu analisis yang dapat melahirkan
suatu hasil analisis yang objektif, melainkan sebagai alat memprediksi
ke depan. Karya Samuel Huntington dengan jelas memperlihatkan
bahwa paradigma digunakan tidak untuk selamanya, tetapi terbatas
hanya untuk beberapa dekade saja. Ketika paradgima peradaban
digunakan untuk melihat hubungan Barat dan Timur, serta Utara dan
Selatan maka abad kedua puluh suasana masyarakat dunia telah
mengalami perubahan. Apa yang dikatakan Samuel Huntington tidak
diragukan ketika kata paradigma digunakan sebagai suatu pendekatan
dalam memprediksi tatanan politik dunia.
A civilizational paradigm thus set forth a relatively simple, but not too simple
map for understanding what is going on in the world as the twentieth century ends. No paradigm, however, is good forever. The Cold War model of
world politics was useful and relevant for forty years but become absolete e
in the late 1980 and at some point the civilizational paradigm will suffer a
similar fate. .. Paradigm also generate predictions, and a crucial test of a
paradigm’s validity and usefulness is the extend to which the prediction derived
from it turn out to more accurate than those from alternative paradigms.10
Dengan kata lain, baik dalam pendekatn ilmu sosial dan juga politik
internasional, penggunaan paradigma selalu dikaitkan dengan suatu
cara, the way, manhaj, yang digunakan untuk memecahkan, menjawab
krisis akibat tuntutan dan perubahan dengan menciptakan asumsi
landasan terpadu terdiri dari asumsi, nilai, teori, konsep, metode
penelitian dan analisis yang dioperasionalisasikan secara terpadu.
Ibid.
Menarik pandangan Samuel Huntington dalam penggunaan paradigma sebagai
suatu pendekatan dlam memahami perubahan peta politik politik dunia kontemporer.
Samuel Huntington 2002. The Clash Civilizations and the Remaking of World Order. London:
WC2B. An Imprint of Simon Suchter UK.
9
10
232
Landasan Aksiologi...
3. Paradigma dan Filsafat Ilmu Hukum
Kelahiran peraturan hukum, sebagaimana dirumuskan di Jerman
dan Perancis, terdiri dari hukum tertulis (written law), yang terkadang
teks yang ada jauh di kemudian hari tak memiliki kesesuaian. Paradigma
dalam ilmu sosiologi berfungsi sesuai perkembangan zaman adalah
tampak jelas bahwa paradigma tersebut didukung oleh fakta sosial,
definisi sosial, perilaku sosial dan analisis. Apakah sama kiranya jika
ilmu hukum tidak memiliki kemampuan fungsional responsif juga harus
menggunakan pendekatan paradigmatik sebagaimana dibicarakan dalam
kebanyakan ilmu sosial.
Tampaknya, Jurgen Hubermas memberikan isyarat bahwa
perkembangan hukum di Jerman dan juga Perancis, tidak luput dari
situasi krisis. Sejak perang Dunia II, Jerman telah menerapkan sistem
hukum tertulis. Namun karena perkembangan sosial dimana kaum
berdasi telah mendominasi proses pembuatan hukum di tingkat legislasi,
maka persoalan fungsi dan tujuan hukum, utamanya telah menggeser
keadilan menjadi bagian yang dapat diperoleh masyarakat pada
umumnya. Peraturan hukum, teori hukum yang diterapkan dalam
kekuasaan termasuk sistem ajudikasi di pengadilan terkadang keluar dari
norma hukum yang seharusnya. Jika kondisi hukum dan kebanyakan
masyarakat, baik di masyarakat barat pada umumnya telah bergeser,
maka sesungguhnya krisis tersebut telah menenggelamkan ilmu hukum.
Krisis kekuasaan dan juga krisis hukum yang anarkis dan
diktatorshipnya, Hitler tidak membuat ahli-ahli hukum diam untuk
mengubah model pengembangan hukumnya. Peraturan hukum
berbentuk Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, dan berbagai
peraturan yang tertulis berseberangan antara Text dan Konteks. Itulah
kemudian, sekitar 1931, Otto Kahn-Freund melakukan pengujian
terhadap ideal masyarakat dari suatu Mahkamah Agung
(Reichsarbeitsgericht). Kemudian dua dekade berikutnya, Franz Wiecker,
memperkenalkan konsep yang hampir senada disebut “social model”
yang mejelaskan suatu tujuan deskriptif untuk mencoba membuat suatu
Bab 5
233
pemikiran paradigma hukum yang liberal dalam kelompok kitab
perundangan-undangan kelompok hukum perdata. Adapun maksud
dan tujuan Franz adalah untuk membuka model sosial yang memberikan
keteraturan hukum dan bagaimana model sosial mampu melakukan
perubahan dalam suatu rekayasa rahasia, dengan mengemasnya ke
dalam kesusatraan, kemanusiaan, dan keberlanjutan konsep dari suatu
tradisi ilmiah.11
the opaoque and inconsistent structure of such a legal order has thus stimulated the search for a new paradigm beyond the familiar alternatives. The
tentative answers that readers are left with ant the end of Dieter Grimm’s
study “The Future of the Constitution typify the aporias afflicting contemporary debates.12
Dengan kata lain, perubahan sosial termasuk pencapaian ke arah
masyarakat yang sejahtera secara sosial dan ekonomi, dari pengalaman
Jerman adalah perubahan paradigma, dengan melakukan suatu
amandemen Basic Law atau UUD (Grundgesetz). Apakah perbedaan
pemahaman terhadap konstitusi dapat menyerap kehilangan
keabsahannya, ataukah apakah suatu UUD akan menjadi bagian dari
ketertiban yang terpisah, akan tetap membuka suatu pertanyaan akan
pentingnya hukum yang transformatif untuk dapat melawan teks yang
dapat ditafsirkan secara lebih proporsional.
Kontribusi pandangan sosioologi terhadap hukum adalahh Santos
seorang Profesor Sosiologi dari Portugal, dan termasuk Profesor yang
sering berkunjung ke Universitas Wisconsin Law School. Dalam sosiologi
dan teori-teori sosial lainnya, mengedepankan suatu tesis yang
Kajian paradigmatic hukum di Jerman juga menujukan kesamaan dengan
pandangan Thomas Kuhn, Jurgen Habermas dalam karyanya, Between Facta and Norms:
Contribution to a Discourse Theory of Law and Democracy (translated by William
Rehg). Polity Press Oxford, UK. 1997:390. Perubahan ilmu sosial pada umumnya
sosiologi, dan hukum pada khususnya meperlihatkan gejela yang sama. Selain dalam
ilmu sosial stagnasi merupakan lawan status quo, kebekuan ilmu pengetahuan termasuk
fungsi dan tujuan hukum yang hanya memerkuat kekuasaan dan tidak peduli pada
kesejahteraan rakyat, maka konsep model sosial, atau paradigma diperlukan untuk
terjadinya suatu perubahan yang cepat.
12
Ibid. Hlm. 391.
11
234
Landasan Aksiologi...
melakukan terobosan dalam dunia modern dan kehadiran suatu
paradigma baru, adalah suatu maksud dari buku yang secara
keseluruhan mengidentifikasi beberapa unsur perundang-undangan
dari suatu gerakan hukum postmodernis. Lahirnya paradigma baru untuk
memahami hukum tersebut antara lain disebabkan oleh beberapa alasan:
(1) bidang hukum dalam masyarakat kontemporer dewasa ini
merupakan suatu sistem dunia yang secara keseluruhan menjadi sangat
kompleks dan lebih kaya dengan peta-peta kondisi hukum sebagaimana
telah dirumuskan oleh para pemikir teori liberal; (2) setiap bidang
hukum saat ini merupakan konstelasi dari sistem hukum berbeda dan
beroperasi dalam lingkup lokal, nasional, antara lintas negara dalam
ruang dan waktu berbeda pula; (3) dan akhirnya, bahwa hukum memilki
dua sifat pengatur dan bahkan berpotensi memaksa dan berpotensi
emansipatoris. Lebih dahsyat lagi adalah suatu model perubahan yang
normal dan rinci, bagaimana suatu peraturan hukum memiliki potensi
berubah secara perlahan-lahan (berevolusi), apakah terhadap
pengaturan atau emansipasi, yang sesungguhnya tidak berkaitan dengan
konsep autonomi reflektif hukum, tetapi lebih di pengaruhi oleh karena
mobilisasi politik dari persaingan berbagai tekanan.13
Manakala pengaruh globalisasi terhadap ilmu hukum tak
terelakkan maka paradigma menjadi penting dan utama dalam
menjembatani ilmu hukum dan peristiwa sosial yang terkadang
paradoksial. Dari kajian perbandingan filsafat hukum, Erlyn tampaknya
tidak memberikan spekulasi lebih jauh terhadap perumusan paradigma
profetik. Netralitas Erlyn dengan mengacu pada Guba dan Lincoln,
mengedepankan empat paradigmatik hukum, (1) paradigma positivisme
yang terdiri dari: aliran hukum filosofis, aliran hukum teologis, dan
aliran hukum alam, (2) paradigma post-positivisme, terdiri dari aliran
hukum realis, aliran hukum behavioralisme, strukturalisme dan
Lihat William Twinning. 2000. Globalization and Legal Theory. Santos dan Haack,
and Calvino, Globalization, Post-modernism, and pluralism. Butterworth. London. P.
198
13
Bab 5
235
funsgionalisme dan strukturalisme-funsgioanlisme, aliran hukum dan
masyarakat dan aliran sosiologi hukum, (3) paradgima teori kritis,
meliputi teori hukum kritis, dan studi hukum kritis, dan teori hukum
feminis, (4) paradigma konstruktivisme, meliputi aliran hukum simbolis
interaksionis, aliran hukum fenomenologis.14
Atas perdebatan keempat paradigmatik yang tak mengakhiri
antagonistik tersebut, Erlyn mencoba mengkaitkannya dengan model
diskresi. Menurut Erlyn, persoalan menjangkitnya diskresi dalam
penegakan hukum dapat melekat pada pengambilan keputusan.
Pentingnya diskresi dalam memahami dan menafsirkan hukum adalah
menjembatani jurang pemisah antara tinjauan filsafat yang satu dengan
yang lain. “Betapapun pembumian dilakukan, tidak lantas dapat menjadi
tinjuan filsafat maupun filsafat hukum sepenuhnya kongkrit.” Diskresi
dipahami sebagai kemerdekaan dan/otoritas seseorang/kelompok orang/
institusi, yang secara bijaksana dan dengan pertimbangan untuk
membaca, menerjemahkan dan/atau menafsir, meneliti, memilih dan
memilah, serta membuat keputusan dan/atau mengambil tindakan
hukum tertentu yang dipandang paling tepat.
Pentingnya kajian Erlyn, paradigmatik terhadap diskresi yaitu
memberikan kemampuan mengurai dan mendudukan serta memecahkan
kompleksitas persoalan hukum termasuk perdebatan diskresi dalam
masyarakat. Meski secara tidak disadari, kajian paradigmatik diskresi Erlyn,
memberikan kontribusi pada kemungkinan lahirnya gagasan paradigma
profetik. Secara eksplisit, Erlyn mengemukakan pentingnya paradigma
antara lain, bahwa tanpa kajian paradigmatik, jurang pemisah di antara
berbagai aliran Filsafat Hukum akan menjadi persoalan hukum, sepertinya
misalnya diskresi, tak kunjung terselesaikan. Melalui kajian paradigmatik,
pengertian yang baik dan benar mengenai derajat perbedaan yang ada di
antara para pakar, praktisi dan pengamat hukum dalam memahami dan
Lihat dalam Power Point karya Erlyn Indarti. Paradigma dan Ilmu Hukum: Suatu
Telaah Filsafat Hukum Tentang Diskresi. Disampaikan dalam Diskusi Berseri,
diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum, FH UII, 16 Juni 2011. di Aula Fakultas Hukum
UII, Jalan Taman Siswa 158. Yogyakarta. Hal 16-24
14
236
Landasan Aksiologi...
menggunakan diskresi dapat dicapai. Komparasi paradigmatik berfungsi
untuk mengurai, mendudukkan pada tempatnya, serta memecahkan
kompleksitas persoalan hukum, termasuk perdebatan tentang diskresi.15
Menempatkan diskresi dalam pemaparannya, lebih menekankan
pada metode analisis tampaknya mengarah pada pembentukan tradisi
berpikir hukum berparadigma profetik. Hal ini utamanya terjadi ketika
dikaitkan dengan konsep tradisi kebebasan berpikir dalam, yakni Ijtihad
(akan diulas di bagian akhir tulisan ini). Muhammad Abduh sebagai
modernisme Islam pernah mengatakan ketinggalan peradaban Islam
karena kebebasan pintu ijtihad was closed. Kebebasan bernalar hukum
yang telah dikembangkan oleh aliran hukum Islam (Fuqoha) yang telah
menapakan kejayaannya dalam bidang filsafat hukum Islam.16
4. Pemikiran Hukum Paradigmatik Pancasila
Dalam konteks ke-Indonesiaan, pendekatan paradigmatik tidak
dapat lepas dari kehadiran filsafat hukum Pancasila. Pandangan Bernard
Arief Sidharta terkait dengan realitas hukum di Indonesia masih relevan
dikedepankan. De facto, ilmu hukum yang diemban di Indonesia
sebagaimana diajarkan dalam pendidikan hukum dan dipraktikan para
praktisi hukum in de diepsten grond masih berkiprah dalam kerangka
paradigma ilmu hukum anno 1924. Ilmu hukum hanya sebagai
eksemplar normologi yang mempelajari hukum hanya sebagai tatanan
aturan hukum positip seperti diajarkan Hans Kelsen dengan Reine
Rechtslehre dan aliaran hukum positip lainnya.
Menurut Arief Sidharta, paradigma hukum nasional tersebut
mengacu pada cita hukum, Pancasila sebagai pangkal tolak dari
keyakinan bahwa alam semesta dengan segala isinya, termasuk manusia,
yang sebagai suatu keseluruhan terjalin secara harmonis, diciptakan
oleh Tuhan. Hakikat hukum sebagai aturan tingkah laku masyarakat
berakar pada gagasan rasa, karsa, cipta dan fikiran dari masyrakat itu
15
16
Ibid., Erlyn. VI. 2011. 22-24.
Lihat Ahmad Hasan. 1985. IJMA. Bandung: Penerbit Pustaka. Hlm. 275.
Bab 5
237
sendiri. Cita hukum menurut Arief, adalah gagasan, karsa, cipta dan
pikiran berkenaan dengan hukum dan persepsi tentang makna hukum,
yang dalam intinya, terdiri dari tiga unsur, keadilan, kehasilgunaan, dan
kepastian hukum. Dalam cita hukum Pancasila berintikan ajaran:
Ketuhanan Yang Maha Esa, Penghormatan atas martabat manusia,
wawasan kebangsaan dan wawasan nusantara, persamaan dan kelayakan,
keadilan sosial, moral dan budi pekerti yang luhur, dan partisipasi dan
transparansi dalam proses pengambilan keputusan publik.17 Dalam
konteks, paradigma hukum nasional yang mangcu pada cita hukum,
Pancasila, maka ilmu hukum tidak bebas nilai (no-free value).
Dalam kajian filsafat secara khusus, Kaelan mengatakan bahwa
paradigma yang berkembang menjadi suatu terminologi yang
mengandung konotasi pengertian sumber nilai, kerangka pikir, orientasi
dasar, sumber asa arah dan tujuan dari suatu perkembangan, perubahan
serta proses dalam suatu bidang kehidupan kenegaraan dan kebangsaan.
Secara filosofis, di Indonesia kedudukan Pancasila sebagai paradigma
kehidupan kenegaraan dan kebangsaan mengandung suatu konsekuensi
bahwa dalam segala aspek kehidupan kenegaraan dan kebangsaan
termasuk sistem hukum Indonesia, mendasarkan pada nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila. Dalam hubungan dengan ilmu pengetahuan
di Indonesia, termasuk ilmu hukum dipastikan mengaut pandangan
“value bound” .
Karena itu, jika nilai-nilai Pancasila dalam pembangunan hukum
akan dikembangkan ke dalam filsafat ilmu maka dasar ontologis,
epistimologis, serta dasar aksiologis hendaknya menjadi pilar utamanya.
Pertama, ilmu pengetahuan hukum harus memiliki dasar ontologis,
bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dengan nilai religius, nilai kodrat
Lihat pemikiran Bernard Arief Sidharta. 2000. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum.
Bandung: Penerbit Mandar Maju. Hlm. 185. Bandingkan K.N. Jaya Tikele, bahwa sistem
hukum timur, tidak sekedar terdiri dari penalaran hukum semata, tetapi mengutamakan,
nilai harmoni, yaitu status dari hukum yang benar atau salah. Lihat Jayatikele dalam Dr.
R. H. Hickling, Major Legal Systems. Centre for Southerns Asian Law Faculty of Law,
Northern Teritorry. 1996
17
238
Landasan Aksiologi...
manusia, nilai persatuan dan kebhinekaan Indonesia, nilai demokrasi
dan nilai keadilan dalam hubungannya dengan masyarakat dan bangsa
Indonesia. Kedua, aspek epistimologi yaitu, menyangkut tentang hakikat
sumber pengetahuan, kebenaran pengetahuan, cara mendapatkan
pengetahuan, karenanya, hukum tidak dapat hanya dipandang secara
ontologis sebagai produk penguasa semata dan hukum kodrat, akan
tetapi didasarkan kepada nilai-nilai religius, Pancasila, sebagai cita
hukum abstrak, dengan mengakomodir, hukum formal modern, dan
mengakomodir sumber hukum agama, dan hukum adat, sebagai local
wisdom, dikembangkan metode eklektif kritis. Ketiga, aspek aksiologis
terkait dengan dasar-dasar etika dan moral yang harus menjadi dasar
perilaku para praktisi hukum dalam menjalankan tugas profesionalnya.
Keberadaan ilmu hukum Indonesia yang terikat dengan dasar filosofis
Pancasila, maka penegakan hukum yang berkeadilan tidak mungkin
dapat dicapai tanpa perilaku yang dibimbing oleh etika dan moralitas,
baik-buruk, atau benar-salah.18
Dengan demikian pendekatan filsafat hukum sebagaimana
diuraikan di atas, mengantarkan pada suatu keniscayaan bahwa
paradigma ilmu hukum Indonesia hendaknya mengacu pada nilai-nilai
dasar Pancasila. Di dalam filosofi Pancasila bukan saja mengandung
nilai-nilai dasar, yang mendorong adanya karya, cipta, karsa, dan rasa
dengan fungsi pemelihara harmoni antar hubungan antara Pencipta,
alam, manusia, dan isinya, tetapi juga kerangka acuan filsafat yakni
ontologi, epistimologi, dan aksiologi berada dalam suatu ikatan nilai
tidak dapat ditawar.
Pendekatan filosofis, Kaelan telah menggambarkan secara komprehensif tentang
paradigma ilmu hukum yang mengacu pada dasar filosofis Pancasila, dengan
mengaitkannya pada tiga pilar ilmu pengetahuan (ontologism, epistimologis dan
aksiologis). Fungsi Pancasila sebagai Paradigma Hukum dalam Penegakan Hukum
Konstitusionalitas Indonesia. Kaelan. 2011. Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam
Menegakan Konstitusionalitas Indonesia. Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI dengaan Universitas
Gadjah Mada. Hlm. 50-107
18
Bab 5
239
5. Paradigma Profetik dalam Pengembangan Ilmu
Hukum
Untuk pengembangan ilmu hukum secara khusus penulis belum
menemukan kajian paradigma profetik. Terkait dengan paradigma
profetik, sebelumnya menjadi relevan untuk mengunakan bagaimana
peran agama-agama besar dalam mempengaruhi perkembangan ilmu
hukum.
Paradigma profetik dapat didekati dari pendekatan
dekonstruktifisme, suatu tulisan tentang Pengembangan Ilmu Hukum
Berbasis Religious Science,19 yang menggagas tentang pentingnya
mendudukan ajaran agama dalam perkembangan sejarah pembentukan
pemikiran ilmu hukum. Situasi ini timbul kesamaan kepedulian
mengingat berbagai paradigma kapitalistik yang melanda dunia, berakhir
dengan hanya memuaskan kelompok tertentu dan menyengsarakan
kelompok lain, khususnya kelompok masyarakat marjinal. Pentingnya
pendekatan pengetahuan keagamaan (Religiousitas Saints) dalam
memahami hukum fenomenologis tidak lain disebabkan karena terjadinya
kekosongan (void) atau terjadinya mata rantai pemikiran hukum
positivistik gagal memerankan fungsi dan tujuannya yaitu keadilan hukum
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara lebih komprehensif.20
Tidaklah naif jika kita memulai menyusun kembali pola pikir
dengan menelusuri sejarah pertumbuhan ilmu hukum dengan
menempatkan peran signifikan agama dalam peradaban Yunani,
Romawi, Islam dan peradaban moderen, dialektika perkembangan ilmu
hukum. (1) Terlepas pro-kontra, kontribusi agama-agama samawi dalam
Jawahir Thontowi. 2011. “Pengembangan Ilmu Hukum Berbasis Religious Science:
Dekonstruksi Filosofis Pemikiran Hukum Postivistik”. Makalah disampaikan dalam
Kuliah Tamu di Paskasarjana Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya Malang.,
diselenggarakan 13 Agustus 2011.
20
Jazim Hamidi, merupakan pioner muda yang mencoba melakukan dekonstruksi
berpikir hukum, melalui pengkajian filsafat ilmu dengan program doktor S3 Fakultas
Hukum Brawijaya, Malang. Buku yang berjudul Religiousitas Sains: Meretas Jalan Menuju
Peradaban Zaman (Diskusi Filsafat Ilmu). Kumpulan tulisan mahasiswa S3 di bawah
asuhan Dr. Jazim. M. Penerbit UB Press. Malang. 2010
19
240
Landasan Aksiologi...
kontruksi ilmu pengetahuan hukum jelas memperlihatkan bukti nyata
sebagaimana dikemukakan oleh Plato, Cicero, J. Berman, dan juga
Benedict Ruth. (1) agama secara utuh, dan/atau sebagai budaya
merupakan sistem nilai karena selain dapat berfungsi sebagai pedoman
yang mengandung nilai-nilai universal kebenaran dan keadilan. (2) peran
Agama dalam hukum internasional tidak dapat dinafikan ketika nilainilai agama yang universal tumbuh dan berkembang melintas negerinegeri kelahirannya. Ada marco Polo dari Spanyol dan ada juga Ibnu
Baituta dari Africa, melakukan pelayaran luar biasa adalah fakta
globalisasi. Vatican di Italia atau Roma bagi umat Kristiani dan Katholik,
Mekkah di Saudi Arabia bagi umat Islam, dan India bagi masyarakat
Hindu, Konghucu/Konfucianisme bagi masyarakat China telah
menujukan wajah penduduk dunia pluralistik, termasuk dalam sistem
hukumnya. (3) agama di sebagian negara-negara Muslim telah menjadi
agama sebagai ideologi negara yang dimuat dalam konstitusi dan juga
terdapat negara-negara Muslim yang tidak menjadikan agama sebagai
agama negara. (4) tidak kalah pentingnya ketika masyarakat belum
memiliki negara, agama telah menjadi pengganti hukum (legal substitution) yang dipandang sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat
jauh lebih efektif daya lakunya karena masyarakat merasa lebih dekat
dan falimiar dengannya ketimbang peraturan hukum undang-undang
buatan negara.21 Sebaliknya kegagalan hukum nasional yang abai akan
nilai-nilai agama suatu masyarakat juga timbul upaya memformalkan
hukum yang cenderung tenggelam sebagaimana living law.
Sejalan dengan itu, krisis yang menecemaskan para pemikir Barat,
juga diakui oleh Mohammad Zaki Kirmani. Seorang, Direktur Center for
Science Studies, Aligar University, India. Krisis yang timbul disebabkan
oleh model dominan ilmu pengetahuan Barat. Pertama, berkaitan dengan
adanya dikotomi dalam filsafat dan metode kajian dan pandangan
Lahir Perda-perda Adat sejumlah 106 dan juga Perda-perda Syariat Islam lebih
dari 164 perda di berbagai kabupaten, menunjukkan ketidakmampuan sistem hukum
nasional yang unifikasi menjawab nilai-nilai yang lebih berkarakter lokal dan religius.
21
Bab 5
241
terhadap obyek yang sedang dikaji, dan yang lainnya berkaitan dengan
keadaan masyarakat tempat tumbuh dan berkembangnya ilmu
pengetahuan. Terkait dengan persoalan objek kajian bersifat holistik,
menandakan adanya keterkaitan dan ketergantungan dengan berbagai
bentuk makhluk yang ada. Namun, menjadi hal yang tidak dapat
dipahami ketika proses penentuan kebenaran dengan memberikan
pembenaran hanya dengan menggunakan suatu metode yang masih
didasarkan pada filsafat yang secara fragmentaris dangat penting
masalahanya. Kedua, krisis yang timbul dari luar terhadap ilmu
pengetahuan barat saat ini terkait dengan struktur nilai masyarakat
dimana ilmu pengetahuan terus tumbuh dan mekar.
Dalam pandangan Zaki Kirmani, keunikan ilmu pengetahuan barat
memiliki empat dimensi yang sekaligus menujukan ketidakkonsistenannya.
Misalnya, ilmu pengetahuan telah memperlihatkan kemanfaatannya begitu
besar untuk menjawab suatu persoalan-persoalan yang bertentangan
dengan masyarakat dewasa ini. Misalnya, suatu penyelesaian atau
persoalan berkaitan dengan pertanian, pemeliharaan kesehatan, komunikasi
dan transportasi, telah memberikan begitu banyak kepuasan, tetapi dalam
kelangsungannya tidak dilestarikan. Ilmu pengetahuan telah memberikan
pelayanan dan menyediakan kekuasaan dan dunia kontemporer saat ini
karena adanya kerjasama dengan para politisi, tetapi mengapa mereka
tidak mampu menyingkirkan urusan militer ke dalamnya. Gagasan Zaki
Kirmani sesungguhnya mengacu pada Maududi dan Sayyed Qutub, tidak
lepas dari keharusan umat Islam, menerima berbagai hal dari ilmu
pengetahuan Barat, seharusnya diuji dengan suatu pengetahuan kritis yang
berkesesuaian dengan Alqu’an.22
Mohammad Zaki Kirmani, juga menghubungkan para sarjana
Muslim memberi dan berkontribusi fundamental dalam mencari jalan
Pandangan Mohammad Zaki Kirmani penting untuk dikemukakan, selain tergolong
telah mengembangkan penggunaan dalam kontkes Islam dan Ilmu Pengetahuan. Islamic
Science. Moving oward a New Paradigm, in Ziauddin Sardar (Editor). 1989. An Early
Crescent: The Future of Knowwledge and the Enironment in Islam. London and New York:
Mansel. Hlm.158
22
242
Landasan Aksiologi...
keluar dari segi Islam untuk model pengembangan ilmu di Barat.
Seyogyanya alternatif ini masih belum mendapatkan pengakuan penuh.
Namun, beberapa aspek tentang Islam telah menarik perhatian dan
memberikan kebanggaan bagi Barat dan Timur. Misalnya, aspek etika begitu
melekat pada ilmu pengetahuan Islam, tampaknya mendapatkan
pembenaran dari pemikir Barat Mereka mengakui ketiadaan etika dalam
model Ilmu pengetahuan Barat. Karena akar ilmu pengetahuan bebas nilai
(free value) menurut Mohammaf Zaki Kirmani, untuk mencapai kemajuan
dalam pengembangan ilmu pengetahuan Islam, para intelektual Muslim
kontemporer hendaknya memusatkan perhatian terhadap isu-isu yang
relevan dengan ilmu pengetahuan Barat, dalam pandangan Islam.
Ahimsa Putra, hasil bacaan saya terhadap tulisannya tergolong
yang komprehensif. Tidak saja dalam membedah pemaknaan terhadap
konsep paradigma yang digunakan dalam ilmu sosial budaya itu sendiri.
Tetapi, juga mengedepankan pemikiran awal, mas Kuntowijoyo tentang
pemikiran sejarah sosial yang profetik. Karena itu, gagasan Kunto bukan
islamisasi pengetahuan, tetapi menjadi ’Pengilmuan Islam’, dari reaktif
menjadi proaktif.23 Di balik pemikiran Kunto, dua nama seperti
Muhammad Iqbal dan Roger Graudi telah mengilhami pola pemikiran
Kunto tentang ilmu-ilmu sosial profetik.
Mengacu pada sintesis tersebut, Ahimsa-Putra secara lebih eksplisit
bahwa paradigma profetik dalam ilmu sosial dapat dikemukakan.
Sebagai langkah awal, ia berangkat dari pemikiran Kunto yang paling
awal, meski masih jauh dari sempurna. Dalam pemikiran Kunto sebagai
sejarawan sosial, menempatkan Islam sebagai sumber nilai (etos). Karena
itu, pengembangan paradigma Islam merupakan langkah pertama yang
Sepertinya pandangan Kuntowijoyo tentang paradigma propetik tidak jauh dari
sifat-sifat universal para nabi-nabi, yang terjowantahkan ke dalam nilai-nilai universal
yang menjadi panutan umat manusia dunia, seperti peduli, kreatif dan pro-aktif (balligh)
kejujuran dan kebenaran (shodiq), patuh dan tunduk pada janji (amanah) cerdas secara
intelektual dan spiritual (fathonah), bersikap adil dan tidak tebang pilih (a’dalah), bersabar
(shobar), berani mengatakan yang benar dan yang salah (syaja’ah), rendah hati dan tidak
sombong (tawadhu), kasih sayang (ruhama’u), mengutamakan kepentingan umat/publik
(mashlahatul ummah), dan tidak materialistic (juhud).
23
Bab 5
243
menegasikan konsep islamisasi ilmu pengetahuan. Islamisasi pengetahuan
bagi Kunto cukup menyakitkan oleh karena Islam tidak dapat disamakan
dengan gerakan bisnis pragmatis. Tetapi, Kunto lebih memilih pada
gerakan “pengilmuan Islam”. Kedua kelemahan yang perlu disempurnakan
dan peluang bagi Ahimsa-Putra, untuk mengembangkannya antara lain,
karena pandangan Kunto tentang ilmu pengetahuan sosial profetik jauh
dari sempurna, dan lebih merupakan model wacana parsial (comot sana
comot sini). Heddy mengelaborasi pikiran Kunto, terkait dengan
pembentukan konsepsi atau pandangan mengenai paradigma atau
“pemikiran sistem Islam terpadu (kaffah), yang moderen dan berkeadaban.
Secara langsung dengan berbagai kelebihan dan kelemahannya,
Ahimsa-Putra, telah berani mengajukan suatu model pemikiran yakni
I. paradigma propetik dan Islam. Rumusannya mencakup (1) basis
epistimologi Islam terdiri dari Al-quran dan Sunnah, Rukun Iman, dan
Rukun Islam. (2) Asumsi dasar tentang basis pengetahuan mencakup:
panca indra, akal (kemampuan struktural dan simbolisasi), bahasa, wahyu
atau ilham, sunnah Rasulullah, (3) asumsi dasar tentang objek material (4)
asumsi dasar tentang gejala yang diteliti, (5) asumsi dasar tentang ilmu
pengetahuan. (6) asumsi dasar tentang ilmu sosial/alam profetik (7) asumsi
dasar tentang disiplin profetik. II. Etos Paradigma Profetik: Basis semua
etos: Penghayatan, etos kerja pengabdian (untuk Allah swt, ilmu, diri
sendiri, sesama dan alam semesta), etos kerja keilmuan (pengembangan
unsur, pengembangan paradigma, pengembangan sistem pengetahuan),
etos kerja kemanusiaan (kejujuran, ketelitian/keseksamaan,
ketawadhuan), dan etos kerja kesemestaan (perlindungan, pemeliharaan,
pemanfaatan, dan pengembangan).
Model paradigma profetik mengandung (1) struktur rukun iman
dan trasformasinya (manusia pengabdian kepada Allah, ilmuwan
pengabdian kepada ilmu pengetahuan), manusia persahabatan kepada
Malaikat, ilmuwan kepada kolega, manusia pembacaan pada alkitab
(Quraniyah) dan ilmuwan pembacaan pada kitab alamiah (qauniyah).
(2) model struktur rukun Islam: Syahadat, (syahadat keilmuan,
244
Landasan Aksiologi...
wahyuisme), Sholat, (sebagai perenungan dan inspirasi), Puasa
(penelitian dan temuan), Zakat (Pengajaran da Penyebaran), Haji,
(pertemuan dan pertemuan). Terakhir, Implikasi Epistimologi Propetik,
mengandung implikasi permasalahan, implikasi konseptual, implikasi
metodologi penelitian, implikasi metodologi analisis, dan implikasi
representatsional (Etnografis).24
Terkait dengan paradigma profetik bagi pembentukan filsafat ilmu
(epistimologi) di FH UII maka asumsi keyakinan bahwa visi rahmatan
lil ‘alamien menuntut untuk diformulasikan. Pertama, paradigma profetik,
dalam penjabaran ilmu hukum harus dibangun dari pandangan yang
terpadu (integrated) antara nilai-nilai kebenaran (ontologis), kebenaran
ilmunya (epistimologis) dan nilai-nilai manfaat (praxis). Mengakui
kehadiran teori hukum alam (natural law), termasuk pandangan Thomas
van Aquinas, hukum suci (lex devine) hukum alam (lex natura), hukum
manusia (lex humana) sangat vital. Ilmu hukum berkeadilan memerlukan
orientasi paradigma, pencerahan hukum propetik atau juga ilmu hukum
berbasis religious science.25 Kedua, kepaduan ajaran ilmu hukum yang
integrated berkarakter inklusif. Kesediaan proses pembelajaran ilmu
hukum, yang terbuka dengan kehadiran ilmu-ilmu sosial lain di luar
disiplin ilmu hukum. Kompleksitas kehidupan masyarakat yang semakin
modern, menjadi sangat naif jika ilmu hukum disejajarkan dengan ilmu
terapan (apllied science) yang lepas dari moralitas kebenaran dan
keadilan.26
Disarikan dari tulisan Heddy Shri Ahimsa Putra, dalam dari halaman 31. Terdapat
dua catatan, pertama dalam analisis paradigmatik profetik, rukun iman dan rukun Islam
dijadikan landasan dalam menjelaskan berbagai hubungan antara manusia, ilmuan dalam
pengbdiannya kepada Tuhan dan Ilmu. Namun, Ahimsa-Putra tampaknya, tidak
memandang penting adanya Ikhsan, sebagai wilayah, yang oleh Karl Popper sebagai
wilayah extra-metafisik yang juga diakomodir dalam menjustifikasi kebenaran yang
diperoleh dari model ekperimentasi.
25
Belakangan ini FH UII mengembangkan pemikiran hukum profetik, dan FH
Uninersitas Brawijaya mencobanya dari pendekatan Sains Religiousitas.
26
Jawahir Thontowi. 2010. Menuju Ilmu Hukum Berkeadilan. Disampaikan dalam Pidato
Pengukuhan Guru Besar. Diselenggarakan 20 Desember di dalam Sidang Senat Terbuka
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
24
Bab 5
245
6. Simpulan
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa gagasan
membangun paradigma profetik bagi pengembangan ilmu hukum tidak
boleh pesimistik. Keterbukaan tersebut, tentu saja mengacu pada
realitas ilmu pengetahuan, yang pada hakikatnya selalu mengalami
perubahan seiring perubahan baik materiel maupun immateriel, atau
faktual dan non faktual, pembaharuan melalui imitasi, adopsi dan
inovasi menjadi kebutuhan bagi manusia, dala tempat, dan waktu yang
berbeda. Dalam kajian sosiologi atau ilmu sosial dan filsafat secara
umum, tidak dapat dihindarkan bahwa paradigma bukan saja penting
tetapi diperlukan.
Paradigma bukan filsafat dan bukan pula teori melainkan
mengandung unsur-unsur, nilai-nilai dasar yang membentuk suatu
asumsi (kepercayaan) terdiri dari teori, konsep, dan metode penelitian
serta metode analisis yang digunakan sebagai cara dalam memecahkan
problematika ilmu pengetahuan terhadap persoalan-persoalan realitas
faktual definisi personal dan perilaku sosial sehingga dapat mewujudkan
solusi yang sesuai dengan waktu dan tempat.
Namun kecenderungan penggunaan paradigma ilmu sosial,
psikologi, dan hubungan internasional mengarahkan model pencarian
kebenaran bersumber tidak hanya pada dokumen, dan/atau teks
peraturan atau sejenisnya, tetapi melakukan penelitian lapangan baik
secara kuantitatif maupun kualitatif mengingat nilai prediksi pada
hakikatnya salah satu unsur yang melekat atas apa yang diklaim sebagai
paradigma.
Karena itu, bilamana paradigma profetik dalam pengembangan
filsafat ilmu, khususnya ilmu hukum akan diformulasikan tahapan yang
harus dilalui sebagai berikut. Pertama, suatu cara/model dipandang
sebagai paradigma profetik dalam filsafat ilmu hukum terbangun bila
kelompok pemikir mensepakati landasan utama, tempat awal take off,
poin of departure. Menempatkan keberadaannya (aspek ontologis) sebagai
objek ilmu pengetahuan, harus bersumber pada trikotomi kebenaran
246
Landasan Aksiologi...
ilmu (Ilmu Yakin), kebenaran faktual (‘ainul yaqin), dan kebenaran utuh
yang mutlak (haqul yaqin). Aspek estimologis, yaitu kesepakatan
menempatkan sumber kebenaran diperoleh tidak saja dari kekuatan
tradisi keilmuan barat yang relatif dan bebas nilai, melainkan wajib
mengakui adanya sumber wahyu, relevation, sunnah rasul yang diturunkan
pada Nabi dan Rasul. Aspek aksiologis, terdapat kesepakatan bahwa
seorang manusia dan ilmunya terikat dalam perilaku dan perbuatan yang
bukan saja hanya menggunakan etika dan moralitas, untuk sekedar
berkomunikasi dengan manusia dan lingkungan semata, tetapi juga
dituntut perbaikan sebagai sikap mengabdi kepada “Tuhan Pencipta”.
Tahap kedua, paradigma profetik pengembangan filsafat ilmu
menuntut adanya perpaduan secara sinergis antara agama, sebagai the
father or science, dan filsafat sebagai the mother agar kontradiksi internis
dapat terakomodir menjadi teori-teori sosial, dan lainnya saling
mendukung dalam pengujian atas dunia das sollen-das sein. Kebebasan
berpikir dalam rangka innovatif yang mewujudkan sebagai diskresi (Erlyn)
atau Ijtihad (Ahmad Hasan) untuk menemukan teori, model, merupakan
sisa kewenangan manusia (residual power in the hand of human being), sejak
setelah dalil-dalil naqli dalam kitab suci tidak ada rujukannya.
Tahap ketiga, paradigma profetik dalam penyeimbangan ilmu
hukum di FH UII memiliki peluang besar, meski juga bukan tanpa
hambatan. Setidaknya ada tiga peluang yang dapat dijadikan basis
argemen. Secara kajian Islam paradigma sebagaimana diakui Zaki
Kirmani, Manhaj yang menempatkan etika/model sebagai pusat
perhatian, ilmu pengetahuan barat mengakui kelemahan tersebut. Nilai
Islam yang universal kemudian didialogkan dan juga memberi manfaat
pada penyempurnaan model ilmu pengetahuan Barat. Kajian filsafat
nasional menunjukkan dukungan atas pentingnya paradigma profetik,
dan kedudukannya merupkan dasar filsafat bangsa, nilai-nilai tidak
bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah. Membuktikan sinergitas
antara konsensi Pancasila dengan ajaran Islam, sangat tergantung pada
faktor determinan apakah hukum Islam mampu membuktikan tegaknya
keadilan untuk semua pihak, Islam justice for all.
Bab 5
247
C. H a k i m B u t u h P r o f e t i k I n t e l e l l i g e n c e
(Kecerdasan Kenabian) dalam Memutuskan
Perkara di Pengadilan
Oleh M. Syamsudin
1. Pendahuluan
Secara formal bangsa Indonesia telah berhasil membangun dan
mendirikan sebuah institusi negara merdeka yang berdasar atas konsep
negara hukum. Namun cita-cita atau gagasan hukum (rechtsidee)
sebagaimana yang terkandung di dalam konsep negara hukum tersebut
masih mengandung banyak permasalahan dalam tahap perwujudan dan
penerapannya. Kondisi negara hukum Indonesia yang tercermin dalam
sistem hukumnya, masih menunjukkan keadaan yang sangat
memprihatinkan. Akibatnya dunia hukum di Indonesia dewasa ini
belum mampu mewujudkan sepenuhnya cita-cita dan harapan-harapan
sebagaimana amanat konsep negara hukum tersebut. Di kalangan
masyarakat sampai dengan dekade terakhir ini masih banyak dijumpai
gejala munculnya ketidakpuasan dan bahkan ketidak percayaan
masyarakat terhadap institusi hukum. Terhadap keadaan yang demikian
itu, telah banyak pikiran dan pendapat, baik dari kalangan para ahli
hukum (teoretisi), pembuat kebijakan (legislasi) dan praktisi tentang
upaya-upaya memperbaikinya.
Potret perjalanan sistem hukum Indonesia masih menunjukkan
adanya ketidak sinkronan antara hakikat, fungsi dan tujuan hukum yang
diharapkan, baik yang tercermin dalam subtansi, struktur dan budaya
hukumnya. Jika program kodifikasi dan unifikasi hukum dijadikan
ukuran, maka pembangunan struktur dan subtansi hukum telah berjalan
cukup baik dan stabil karena dari waktu ke waktu ada peningkatan
produktivitas,27 akan tetapi pada sisi lain dapat dilihat bahwa budaya
Moh. Mahfud MD. 2000. Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta:
Gama Media. Hlm. 2-3;
27
248
Landasan Aksiologi...
hukumnya cenderung merosot. Ketidak sinkronan pertumbuhan antara
subtansi, struktur dan budaya hukum disebabkan adanya faktor-faktor
yang tidak dan atau kurang mendukung bekerjanya sistem hukum di
Indonesia.28
Dari paparan GBHN 1999, dapat diketahui bahwa Indonesia yang
menganut dan mengikuti prinsip negara hukum — sebagaimana telah
disebutkan dalam UUD 1945 - dalam tataran praksis 29 belum
sepenuhnya dapat terwujud. Bahkan telah terjadi krisis hukum, yaitu
dengan merosotnya integritas moral dan profesionalisme aparat hukum,
menurunnya kesadaran hukum, buruknya mutu pelayanan, tidak
adanya kepastian dan keadilan hukum.
Dalam praktik hukum, ketidakpuasan masyarakat terhadap
lembaga peradilan, juga selalu muncul di permukaan akhir-akhir ini.
Ketidakpuasaan itu muncul terutama berkaitan dengan keputusankeputusan dari kalangan pengadilan terhadap perkara-perkara yang
Baca Bab II Tap MPR No.IV/MPR/1999 tentang Kondisi Umum GBHN 1999,
antara lain digambarkan sebagai berikut: “...di bidang hukum telah terjadi perkembangan
yang kontroversial, di satu pihak produk materi hukum, pembinaan aparatur, sarana
dan prasarana hukum menunjukkan peningkatan. Namun, di pihak lain tidak diimbangi
dengan peningkatan integritas moral dan profesionalisme aparat hukum, kesadaran
hukum, mutu pelayanan serta tidak adanya kepastian dan keadilan hukum sehingga
mengakibatkan supremasi hukum belum dapat diwujudkan.Tekad untuk memberantas
segala bentuk penyelewengan sesuai tuntutan reformasi seperti korupsi, kolusi, nepotisme,
serta kejahatan ekonomi keuangan dan penyalahgunaan kekuasaan belum diikuti langkahlangkah nyata dan kesungguhan pemerintah serta aparat penegak hukum dalam
menerapkan dan menegakkan hukum, terjadinya campur tangan dalam proses peradilan,
serta tumpang tindih dan kerancuan hukum mengakibatkan terjadinya krisis hukum.
Kondisi hukum yang demikian mengakibatkan perlindungan dan penghormatan hak
asasi manusia di Indonesia masih memprihatinkan yang terlihat dari berbagai pelanggaran
HAM, antara lain dalam bentuk tindak kekerasan, diskriminasi, dan kesewenangwenangan”;
29
Istilah praksis tidak sama dengan praktik dalam arti umum. Praksis merupakan
prilaku sadar yang diyakini kebenarannya dan sarat dengan nilai-nilai yang
melatarbelakanginya. Sementara pengertian praktik merupakan prilaku tanpa nilai-nilai
yang dipilih secara sadar dan diyakini kebenarannya, periksa Darji Darmodiharjo &
Shidarta. 1996. Penjabaran Nilai-nilai Pancasila dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta : PT
RajaGrafindo. Hlm., 187;
28
Bab 5
249
oleh masyarakat dianggap penting dan menarik. Ketidakpuasaan
masyarakat itu juga mengakibatkan merosotnya wibawa hukum dan
lembaga peradilan di Indonesia sekarang ini. Terhadap hal yang demikian
telah banyak pikiran dan pendapat dari para ahli tentang bagaimana jalan
memperbaikinya. Diantara banyak pikiran dan pendapat yang
berkembang itu antara lain berkaitan dengan ketidakmandirian serta
merosotnya martabat pribadi dari para hakim. Oleh karena itu yang
harus diperbaiki adalah kemandirian serta pribadi para hakimnya.30
Hakim sebagai salah satu unsur aparat penegak hukum, di samping
Polisi, Jaksa dan Pengacara/Advokat, menduduki posisi yang sangat
penting dan menentukan dalam proses pemeriksaan perkara dalam proses
peradilan. Setiap proses pemeriksaan perkara di pengadilan, baik berupa
perkara perdata, pidana, maupun tata usaha negara pada akhirnya berujung
dan ditentukan oleh keputusan hakim sebagai produk akhir proses beracara
di pengadilan. Oleh karena itu penting dilakukan kajian tentang dinamika
hakim dalam memutuskan perkara di pengadilan. Begitu berat sebenarnya
tugas seorang hakim, karena di tangan hakimlah pencari keadilan akan
meletakkan kepercayaann dan harapannya. Hakim bukanlah malaikat yang
dapat melakonkan hukum seperti simbol dewi keadilan yang membawa
pedang sambil matanya ditutup, di mana hukum diterapkan dengan
prinsip-prinsip mesin secara akurat, konsisten tanpa melihat orangnya.
Hakim tetaplah seorang manusia, yang akan memunculkan segi
kemanusiaannya jika berhadapan dengan manusia lain di dalam ruang
sidang. Oleh karena itu selain muatan hukum dalam proses persidangan,
hakim juga diliputi oleh muatan psikologis dalam menerapkan hukum.
Oleh karena itu aspek psikologis di bidang hukum amat besar, karena
hukum melibatkan manusia sebagai pelaku-pelaku hukum.31
Selama pengambilan keputusan belum dilakukan dengan
peralatan mekanik, selama itu pula faktor manusia, yaitu hakim masih
Varia Peradilan. 1996. Hlm. 126
Yusti Probowati R. “Putusan Hakim Pada Perkara Pidana: Kajian Psikologis”.
Buletin Psikologi Fakultas Psikologi UGM tahun III Nomor 1 Agustus 1995. Hlm.1;
30
31
250
Landasan Aksiologi...
perlu dipelajari dalam berbagi seluk beluknya. Sebagai manusia biasa,
hakim tidak akan lepas dari kesalahan yang berasal dari kelemahan
yang dimilikinya. Meskipun peraturan yang megatur keputusan
pengadilan telah ditetapkan, tidak berarti bahwa dalam menjatuhkan
putusan, hakim tidak terpengaruh oleh faktor-faktor non-hukum.
Terhadap keputusan hakim tersebut, orang (para pihak) yang terkait
dengan keputusan tersebut boleh merasa puas atau tidak puas, adil
atau tidak adil. Keputusan hakim yang dianggap tidak memberikan
rasa keadilan pada peradilan tingkat pertama, orang (para pihak) yang
terkait dengan keputusan itu masih diberikan kesempatan untuk
mengajukan banding atau kasasi.
2. F a k t o r - f a k t o r
Non-Legal
yang
Ikut
Mempengaruhi Hakim dalam Memutuskan Perkara
Dalam kaitan dengan prinsip kebebasan peradilan dan kebebasan
hakim, Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa, hakim itu bebas
dalam atau untuk mengadili sesuai dengan hati nuraninya/
keyakinannya tanpa dipengaruhi oleh siapapun. Hakim bebas
memeriksa, membuktikan dan memutuskan perkara berdasarkan hati
nuraninya. Di samping itu juga bebas dari campur tangan pihak ekstra
yudisial.32 Lebih lanjut dikatakan bahwa segala campur tangan dalam
urusan peradilan oleh pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman
dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam UUD. Tetapi di
dalam praktik ketentuan itu tidak jarang dilanggar, antara lain dengan
mengambil jalan pintas dengan menggunakan surat sakti, tilpon sakti,
suap dan sebagainya.33
Hoentink mengatakan bahwa, hakim tidak boleh mengadili melulu
menurut perasaan keadilan diri-pribadinya, melainkan ia terikat kepada
nilai-nilai yang berlaku secara objektif di dalam masyarakat. Scholten
Sudikno Mertokusumo. 1997. “Sistem Peradilan di Indonesia”. Jurnal Hukum FHUII. No.9. Vol.4-1997. Hlm. 5;
33
Ibid.
32
Bab 5
251
mengatakan bahwa, hakim terikat kepada sistem hukum yang telah
terbentuk dan yang berkembang di dalam masyarakat. Dengan tiaptiap putusannya hakim menyatakan dan memperkuat kehidupan normanorma hukum yang tidak tertulis.34
Apabila hakim sudah merasa cukup dalam memeriksa perkara
yang diajukan kepadanya, maka tibalah saatnya ia akan memberikan
putusan atas perkara yang diajukan. Dalam memutus perkara tersebut
disyaratkan dalam undang-undang bahwa di samping berdasarkan alatalat bukti yang sudah ditentukan oleh undang-undang, juga harus
berdasarkan pada ‘keyakinan hakim’. Untuk menentukan adanya
keyakinan ini tidaklah mudah bagi hakim dalam menjalankan tugas
profesinya. Keadaan demikian dikhawatirkan jika hakim salah dalam
menentukan keyakinanya, maka akan terjadi kesesatan yang berakibat
putusan hakim tidak adil. Menurut Mulyatno, keyakinan hakim adalah
suatu keyakinan yang ada pada diri hakim, kalau ia sudah tidak
menyangsikan sama sekali akan adanya kemungkinan lain daripada
yang digambarkan kepadanya melalui suatu pembuktian. Jadi hal yang
diyakini kebenarannya itu sudah di luar keragu-raguan yang masuk
akal (beyond reasonable doubt).35
Peraturan hukum menggariskan bahwa hakim tidak boleh menilai
hal-hal lain kecuali faktor yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
Namun dalam kenyataan menurut penelitian yang pernah dilakukan,
proses putusan hakim, seringkali terpengaruh oleh faktor-faktor nonhukum, seperti: (1) sifat kepribadian hakim, yaitu bahwa hakim yang
bersifat otoriter akan menjatuhkan hukuman yang lebih berat daripada
hakim yang tidak bersifat otoriter. (2) faktor penampilan terdakwa, yaitu
bahwa penampilan terdakwa di ruang sidang, seperti gaya bicara, postur
ketika duduk dan berdiri, cara berpakaian akan ikut berpengaruh pada
putusan hakim yang dijatuhkan. (3) faktor diri si korban, yaitu bahwa
I.G.N. Soegangga. 1994. Pengantar Hukum Adat. Semarang: Badan Penerbit Undip.
Hlm. 52;
35
Mulyatno. 1982. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Yogyakarta : Bina Aksara.
Hlm.21
34
252
Landasan Aksiologi...
bila si korban yang rupanya menarik, akan lebih besar kemungkinan si
terdakwa untuk mendapatkan hukuman bersalah dan dihukum lebih
berat. Faktor usia, tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi korban
ikut berpengaruh pula terhadap berat ringannya hukuman bagi si
terdakwa.36
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa faktor-faktor yang ikut
mempengaruhi keputusan hakim antara lain adalah: (1) faktor internal,
yang terdiri atas: faktor peraturan perundang-undangan, faktor kedudukan
hakim sebagai PNS, faktor organisatoris, faktor sarana dan prasarana dan
SDM. (2) faktor ekternal, yang terdiri atas faktor kekuasaan, faktor opini
publik dan pemberitaan pers, serta faktor kepentingan tertentu.37
Faktor undang-undang yang mempengaruhi hakim dalam memutus
perkara terjadi ketika hakim berhadapan dengan undang-undang yang
berkaitan dengan makna, isi dan spirit yang terkandung dalam kaidahkaidah hukum. Meskipun dalam kacamata normatif rumusan hukum
(undang-undang) sudah cukup jelas, namun secara sosiologis ternyata
tidak mudah bagi aparat (hakim) untuk menangkap makna, isi dan spirit
dari peraturan tersebut. Dengan kata lain, undang-undang itu tidak
siap pakai. Oleh karena itu masih diperlukan interpretasi terhadap
kaidah-kaidah hukum tersebut. Setiap penegak hukum (hakim) akan
berupaya mencari kandungan isi peraturan dengan cara menafsirkan
peraturan tersebut. Dalam proses penafsiran ini, tidak semua aparat
(termasuk hakim) mampu memahami peraruran perundangan secara
tepat. Kelemahan dalam memahami isi dan spirit undang-undang
merupakan cacat yuridis pertama dalam mengaplikasikan peraturan.38
Faktor kedudukan hakim juga sangat mempengaruhi hakim dalam
putusannya. Meskipun secara formal hakim memiliki kebebasan dalam
M. Syamsudin. 1999. “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Hakim
dalam Memutus Perkara di Pengadilan”. Jurnal Arena Almamater N0.51 Tahun XIV
JANUARI-MARET 1999. Hlm. 10
37
Ibid.
38
Salman Luthan, & Agus Triyanta. 1997. “Pengembangan Sumber Daya Manusia
Aparat Keadilan”. Jurnal Hukum FH-UII. No.9. Vol.4-1997. Hlm. 60.
36
Bab 5
253
menengani suatu perkara namun sangat mungkin terjadi bahwa
kedudukannya sebagai pegawai negeri sipil secara psikologis
menyebabkan hakim tidak berani mengambil sikap atau membuat
keputusan-keputusan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah
yang merupakan induk korpsnya. Kekawatiran akan terhambatnya karir
atau dimutasikan ke daerah-daerah kering dapat juga mempengaruhi
hakim dalam menangani suatu perkara, apalagi jika perkara itu
menyangkut kepentingan instansi pemerintahan atau oknum pejabat
atau keluarganya. Dengan peletakan kedudukan hakim sebagai eksekutif
maka secara organisatoris lebih mudah terjadi intervensi atas kebebasan
hakim oleh kekuatan dari luar. Ini sesuai dengan watak korps dan
birokrasi yang pada umumnya mempunyai ikatan-ikatan tertentu bagi
anggota-anggotanya. Dalam keadaan demikian maka sulit diharapkan
sikap netral dan independen seorang hakim dalam menengani perkaraperkara, terutama yang berakitan dengan masalah politik. Dalam
kenyataan perkara-perkara politik yang masuk ke pengadilan pihak
pemerintah yang selalu menang.39
Faktor nilai budaya yang diduga mempengaruhi hakim dalam
memutuskan perkara adalah nilai budaya paternalistik. Nilai budaya
ini berorientasi kepada atasan dalam suatu organisasi. Karena budaya
paternalistik ini dapat saja mempengaruhi hakim merasa tidak enak,
ewuh pekewuh, jika harus memutus oknum pejabat pemerintah yang
notabene merupakan atasannya. Budaya paternalistik atau patrimonial
yang berkembang di Indonesia menyebabkan tampilnya pilihan sikap
dari seorang pegawai negeri untuk tidak melawan kehendak atasannya,
sehingga hakim akan sulit bersikap netral dan independen dalam
perkara-perkara yang melibatkan pemerintah sebagai salah satu pihak.
Dalam budaya paternalistik terkandung paham bapakisme yang
meletakkan bapak (pemerintah) sebagai tumpuhan dan sumber
pemenuhan kebutuhan materiil serta emosionil antara bapak dengan
Moh.Mahfud,MD. 1997. “Politik Hukum untuk Independensi Lembaga Peradilan”.
Jurnal Hukum FH-UII. No.9.Vol.4-1997. Hlm 31.
39
Landasan Aksiologi...
254
anak (clan) dan anak dijadikan tulang punggung yang setia kepada
bapak, membantu terselenggaranya upacara-upacara keluarga, dan
bahkan bersedia mempertaruhkan jiwa demi kepentingan bapak yang
harus dihormati, ditaati dan pantang ditentang.40
Faktor moral dan kepribadian hakim juga diduga mempengaruhi
hakim dalam memutus perkara. Adanya isu-isu mafia peradilan, kolusi,
suap dan sebagainya sebagai indikator bahwa moral-kepribadian hakim
sangat menentukan dan berpengaruh. Moralitas adalah kesesuaian sikap
dan perbuatan dengan norma atau hukum batiniah yang dianggap
sebagai kewajiban. Moralitas akan tercapai apabila menaati hukum
lahiriah, bukan lantaran hal itu membawa akibat yang menguntungkan
atau lantaran takut pada penguasa penegak hukum. Tetapi hal itu
merupakan kesadaran batin bahwa menaati hukum itu merupakan
suatu kewajiban. Moral adalah hasil penilaian tentang baik-buruk
seseorang atau suatu masyarakat. Penelaian berarti tindakan memberi
nilai, meletakkan kualitas tertentu terhadap seseorang atau masyarakat.
Adapun yang dinilai adalah keseluruhan pribadi orang (hakim) atau
masyarakat, bukan hanya aspek-aspek tertentu saja dari orang atau
masyarakat itu. Oleh karena itu moral berkaitan dengan integritas, harkat
dan martabat manusia. Sifat kepribadian hakim berpengaruh pula pada
keputusan hakim. Hakim yang bersifat otoriter akan menjatuhkan
hukuman yang lebih berat daripada hakim yang tidak bersifat otoriter.
Penelitian di luar negeri yang dilakukan oleh Mitchell dan Byrne ( dalam
Brigham, 1991) menemukan bahwa juri dengan kepribadian otoriter akan
sering menyatakan terdakwa bersalah, sedangkan Mills & Bohannon
(dalam Brigham, 1991) menemukan bahwa juri yang memilki empati
tinggi cenderung untuk memutuskan terdakwa tidak bersalah.
Faktor psikologis lain yang juga mempengaruhi hakim itu antara
lain: daya tarik sosial, daya tarik fisik dan daya tarik sikap. Banyak
penyelidikan yang memfokuskan pada daya tarik sosial ini sebagai salah
satu faktor yang tidak dapat diabaikan. Terdakwa yang tidak memiliki
40
Ibid. Hlm. 30.
Bab 5
255
daya tarik secara sosial dijatuhi hukuman lebih berat baik pada tahap
pra peradilan maupun peradilan tingkat akhir (Berg & Vidmar; Kulka
& Kessler; Solomon & Schopler, dalam Bartol & Bartol, 1994). Berkenaan
dengan gender pada masa kini tampaknya sudah lebih adil. Diskriminasi
ras juga berpengaruh, namun ini lebih kecil dibandingkan dengan status
sosial ekonomi (Bartol & Bartol, 1994).
Berdasarkan penelitian dalam bidang Psikologi Sosial, sebagian
besar orang meyakini bahwa orang yang memiliki daya tarik fisik
cenderung disukai secara sosial (social desirable) dibandingkan dengan
orang yang tidak menarik (Dion, Berscheid & Walster dalam Bartol&
Bartol, 1994). Toleransi terhadap pelanggaran hukum/kekerasan lebih
besar manakala itu dilakukan oleh orang yang menarik secara fisik.
Menarik tentu saja merupakan kriteria subjektif yang dapat dihubungkan
dengan bermacam-macam variabel latar belakang seperti: keadaan sosial
ekonomi, terjaminnya kesehatan dan gizi. Stewart (Bartol & Bartol, 1994)
melaporkan bahwa terdakwa yang fisiknya kurang menarik akan diberikan
hukuman lebih berat. Hasil penelitian Victoria Esses & Christopher
Webster pada bangsa Canada (Bartol & Bartol, 1994) membuktikan
bahwa daya tarik fisik mempengaruhi keputusan peradilan untuk
menempatkan orang yang bersalah pada klasifikasi khusus yang disebut
“Kategori Orang Berbahaya” (Sebutan pada kode kriminal Canada).
Hakim meyakini bahwa narapidana yang bertampang tidak menarik,
tidak dapat menahan diri untuk melakukan kejahatan lagi setelah
dibebaskan.
Di ruang persidangan akan terjadi ketegangan yang bersumber
dari selisih paham atau ketidaksamaan sikap antara terdakwa dengan
yang mengadilinya. Selisih paham tersebut dapat membentuk penilaian
tertentu pada diri terdakwa. Penilaian yang positif akan timbul kalau
orang tersebut memiliki sikap yang sama, demikian menurut pandangan
teori penguat daya tarik (reinforcement theory of attractiveness). Vonis
bersalah mudah dijatuhkan pada terdakwa yang lebih sering berselisih
paham (Mitchell & Byrne dalam Bartol & Bartol, 1994).
256
Landasan Aksiologi...
Byrne (Bartol & Bartol, 1994) memprediksi bahwa persepsi yang
sama merupakan penguat sedangkan persepsi yang tidak sama adalah
sebaliknya bahkan mungkin menghasilkan respon menghukum.
Kesamaan berperan penting untuk memunculkan rasa suka karena
dapat memberikan petunjuk mengenai kebenaran interpretasinya sendiri
pada realitas sosial. Studi lanjutan mengenai teori ini mencoba
menghubungkan antara kesamaan sikap pemberi putusan peradilan
(dalam sistem peradilan Amerika dilakukan oleh Juri) dan terdakwa,
karakter otoriter serta hubungan antara keduanya tersebut dengan vonis
bersalah. Kepribadian pemberi putusan peradilan ternyata berperan
cukup besar. Kepribadian sangat otoriter terpengaruh secara signifikan
dengan sikap yang sama dari terdakwa.
Selain berkenaan dengan persepsi, aspek lain dari sikap yang dapat
berpengaruh adalah gaya bicara, gerak dan postur tubuh. Pada saat
terdakwa menjawab pertanyaan jaksa penuntut umum, orang-orang
dalam ruang sidang peradilan akan mendengarkan bahasa verbal yang
disampaikan ketika berargumentasi maupun bahasa non verbal yang
tampak dari gelagat, gerak atau postur tubuhnya. Gaya bicara yang
persuasif penuh percaya diri (suara berat, mantap), gerak dan postur
tubuh yang sesuai (ekspresif tetapi tetap tenang, tidak banyak
melakukan gerakan yang mencerminkan kegelisahan) dikaitkan dengan
pernyataan yang dapat dipercaya, tidak meragukan, tidak membosankan
sehingga “pendengar’ tampak mendengarkan dengan seksama (Maslow,
Yoselson & London dalam Bartol & Bartol, 1994).
Jadi dapat dikatakan bahwa respon orang setelah melakukan
pengamatan orang lain adalah sesuai dengan hal yang ditampilkan oleh
orang tersebut. Menurut Jones & Davis (Sarwono, 1995) respon tersebut
adalah hasil dari kesimpulan yang dapat ditarik atas perilaku tertentu
yang kemudian dibuat peramalan terhadap niat dari orang lain tersebut
(inferensi korespondensi).
Berdasarkan proses kognisi seorang hakim dalam mengambil
putusan, maka proses kognitif pengumpulan informasi terdiri dari 3
Bab 5
257
(tiga) tahapan yaitu: perhatian, encoding dan retrieval. Pemrosesan
informasi dalam diri manusia (hakim) ini sering mengalami bias. Skema
adalah istilah yang dikembangkan oleh ahli psikologi sosial untuk
menggambarkan bagaimana informasi sosial secara selektif diterima
dan diorganisasi dalam ingatan. Ada 4 (empat) macam skema yaitu: (1)
self scheme yaitu persepsi/evaluasi terhadap diri sendiri; (2) Person scheme
yang berisikan asumsi seseorang tentang orang tertentu; (3) Role scheme
yang berisikan konsep-konsep tentang norma atau perilaku yang sesuai
bagi orang dalam berbagai kategori sosial, misal role sebagai TNI; (4)
Event scheme yang berisikan pengetahuan tentang suatu kejadian sosial.
Skema ini akan banyak memberi pengaruh dalam proses informasi sosial
(Brigham, 1991).
Pada tahap proses perhatian, skema akan mempengaruhi persepsi
seseorang terhadap objek perhatian. Seorang kyai misalnya akan
dipersepsi sebagai orang baik, karena adanya role schema, dan jika seorang
kyai melakukan kejahatan akan menyebabkan adanya ketidaksesuaian
dengan role scheme dalam diri hakim sehingga pantas dihukum yang
lebih berat dibanding seorang anggota masyarakat biasa.
Dalam tahap encoding (penyimpanan) informasi dapat dilakukan
dalam short term memory dan long term memory. Skema juga memainkan
peranan penting dalam menentukan informasi mana yang akan
diencoding. Tulving dan Thomson (dalam Smith, 1991) mengatakan
bahwa, informasi akan disimpan dalam ingatan jika informasi tersebut
konsisten dengan struktur pengetahuan (skema) yang ada. Hal ini sering
menyebabkan terjadinya contrast effect, yaitu tendensi untuk menyuport
skema yang merupakan harapan walaupun skema tersebut bertentangan
dengan realita. Seorang hakim yang memiliki person scheme bahwa wanita
yang cantik dan lembut tidak mungkin melakukan perbuatan negatif,
akan tetap mempertahankan skema tersebut ketika menghadapai
terdakwa seperti itu dan memberi vonios hukuman yang lebih ringan
walau kejahatan yang dilakukan tergolong berat.
Dalam tahap retrieval (mengingat kembali), skema juga
berpengaruh sehingga sering terjadi priming effect, yaitu skema yang
258
Landasan Aksiologi...
sering digunakan akan lebih peka untuk digunakan kembali. Misal seorang
hakim yang sering berhadapan dengan penjahat yang bentuk tubuhnya
besar dan penuh tato, maka ketika mengadili terdakwa dengan tato dan
tubuh besar akan beranggapan bahwa terdakwa pasti melakukan kejahatan.
Lebih jauh lagi akan terjadi confirmatory bias, yaitu kecenderungan untuk
mencari bukti-bukti yang mendukung anggapan ini.
3. Arti Penting Profetik Intelligence bagi Hakim
Dari tinjauan teoretis di atas dapat diketahui bahwa dalam realitanya
banyak faktor non-legal yang ikut berperan dalam proses pembuatan
putusan hukum oleh hakim. Hakim tidaklah sekedar mejalankan prosedur
dan kemudian menerapkan pasal-pasal dalam undang-undang yang cocok
atas kejadian atau peristiwa yang akan dihukumkan, akan tetapi secara
sosiologis (faktual) banyak variabel sosial yang ikut andil. Memang dalam
proses penegakan hukum prosedur dan pasal-pasal dalam undang-undang
itu tidak boleh diabaikan, karena itu merupakan sarana/perlengkapan
pokoknya. Akan tetapi harus dingat bahwa sarana dan perlengkapan itu
bukanlah tujuan yang sesungguhnya ingin dicapai oleh hukum. Prosedur
dan pasal-pasal itu hanyalah sarana dan perlengkapan yang diharapkan
dapat mengantarkan para penegak hukum untuk sampai pada tujuan
hukum yang sesungguhnya. Itulah sebabnya kenapa sarana/perlengkapan
itu harus dibuat jelas, sistematis, transparan, terkontrol dan logis dengan
maksud agar dapat memberikan kepastian bagi para pencari keadilan
hukum.
Dengan berpikir yang demikian itu, maka menegakkan hukum itu
pada hakikatnya terkait dengan masalah-masalah mendasar seperti
keadilan, kepastian dan kemanfaatan sosial. Radbruch (1961) menyebut
tiga hal itu sebagai nilai-nilai dasar yang menjadi tujuan hukum.
Menegakkan hukum merupakan suatu upaya untuk mewujudkan nilainilai tersebut menjadi kenyataan.41 Sekali lagi prosedur dan aturan
Satjipto Rahardjo. Tanpa tahun. Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis.
Bandung : Sinar Baru. Hlm. 15.
41
Bab 5
259
hukum itu bukanlah tujuan hukum, tetapi sarana/perlengakapan yang
fungsinya mengantarkan para penegak hukum untuk sampai pada
tujuan hukum agar mewujud menjadi kenyataan, yaitu keadilan,
kepastian dan kemaslahatan.
Menyadari akan hal tersebut maka pekerjaan menegakkan hukum
tentunya bukanlah pekerjaan yang mudah dan sederhana, seperti halnya
menghidupkan tombol mesin, jika tombolnya dipencet lantas semua
komponen-komponen yang ada bekerja secara otomatis. Pekerjaan ini
membutuhkan energi yang cukup banyak dan dituntut kerja keras dan
sungguh-sungguh karena terkait dengan ‘nasib manusia’ yang dikenai
hukum. Di sisi lain, terkait pula dengan ‘nasib masyarakat’ secara luas
jika berhubungan dengan kepentingan-kepentingan di bidang hukum
publik, seperti kejahatan, kesusilaan, pelanggaran HAM, dsb. Kerja keras
dan sungguh-sungguh ini dalam bahasa Agama (Islam) dikategorikan
sebagai ‘jihad’. Pendek kata pekerjaan menegakkan hukum mempunyai
watak tersendiri.
Penulis mempunyai pikiran bahwa keterpurukan penegakan
hukum di Indonesia antara lain lebih disebabkan karena belum
terwujudnya nilai-nilai dasar hukum tersebut dalam kenyataan, sehingga
tujuan hakiki dari hukum itupun masih jauh dari harapan. Para penegak
hukum belum menjalankan fungsinya secara tepat dan optimal untuk
mewujudkan tujuan hukum tersebut. Fungsi penegakan hukum yang
semestinya diarahkan untuk mencapai tujuan hukum dalam proses
perjalanannya mengalami distorsi, disfungsi atau bahkan mal-fungsi
yang dilakukan oleh penegak hukum sendiri, baik dari unsur hakim,
panitera, pengacara, polisi, jaksa dan para broker perkara. Keadaan ini
digambarkan sebagai Mafioso Peradilan. Gerakan kelompok mafioso
ini bersifat sistemik, yaitu dari pengadilan tingkat pertama, banding,
dan Mahkamah Agung. Modus operandinya sangat bervariatif mulai
dari SMS, telepon, pertemuan di susdut-sudut pengadilan, café,
mengundang sebagai pembicara, dsb.42
42
Busjro Muqodas. 2006. “Peran Komisi Yudisial RI dalam pemberantasan Mafia
260
Landasan Aksiologi...
Keterpurukan penegakan hukum yang digambarkan di atas pada
puncaknya bangsa kita telah terjatuh pada keadaan krisis hukum. Krisis
adalah keadaan tidak normal oleh karena berbagai institusi yang telah
dinormakan untuk menata proses-proses dalam masyarakat tidak
mampu lagi menjalankan fungsinya secara tepat. Hukum kehilangan
kepercayaan dan pamor untuk mewujudkan nilai keadilan yang harus
diberikan. Ia tidak lagi berada pada posisi otoritatif untuk menata dan
mengendalikan proses-proses ekonomi, sosial, politik dsb, melainkan
difungsikan sebagai alat untuk kepentingan kekuasaan. Hukum tidak
lagi bekerja secara otentik. Dampak dari ketidakpercayaan pada
penegakan hukum tersebut, sebagian rakyat kemudian melakukan
tindakan penyelesaian sendiri, yang salah satu bentuknya adalah
perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting). Situasi sosial menjadi
anomis dan setiap orang bebas membuat tafsiran, melakukan dan
memutuskan tindakan sendiri. Satjipto Rahardjo menggambarkan
sistuasi ini sebagai Era Hukum Rakyat.43
Dalam situasi krisis atau tidak normal ini dibutuhkan pula caracara penyelesaian hukum yang tidak normal atau cara yang di luar
kebiasaan (extra-ordinary) akan tetapi masih dalam koridor / kerangka
dari tujuan hukum tersebut. Cara yang luar biasa ini bukan berarti
bertindak anarkis, akan tetapi berwatak progresif. Berpikir luar biasa
pada intinya adalah tidak membaca undang-undang seperti orang
mengeja sebuah teks, akan tetapi mencari dan mengungkap makna dari
undang-undang tersebut. Akibat mencari makna itu, lalu kita bisa dan
berani bertindak rule-breaking. Berpikir luar biasa ini harus dimulai dari
kalangan komunitas hukum seperti hakim, jaksa, advokat, polisi dan
akademisi.44
peradilan di Indonesia”. Makalah dalam Diskusi Publik Komisi Penyelidikan dan
Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Jawa Tengah, 1 Pebruari 2006. Hlm. 2;
43
Satjipto Rahardjo dalam harian Kompas.
44
Satjipto Rahardjo. 2006. “Pemberantasan Korupsi Progresif ”. Makalah
disampaikan Pada diskusi Peran Komisi Yudisial dalam Pemberantasan Mafia Peradilan
di Indonesia. FH Unissula / Kp2KKN Semarang 1 pebruat\ri, 2006. Hlm.1-2.
Bab 5
261
Rule-breaking membutuhkan berbagai pendekatan cara penyelesaian
hukum yang holistik dan bahkan ekstra legal untuk menggali makna
hukum. Pengalaman penyelesaian hukum yang hanya mengandalkan
pendekatan yuridis-formal yang bersifat linier hanya menambah deretan
kekecewaan para pencari keadilan. Sudah saatnya para akademisi dan
praktisi hukum berani mentransformasikan diri untuk mencari
pendekatan dan cara berpikir alternatif untuk menyelesaikan berbagai
persoalan hukum yang kian rumit dan kompleks. Berbagai pendekatan
yang ada bukan saatnya lagi dipertentangkan dan dipersalahkan, akan
tetapi justru saling melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada dengan
kelebihan masing-masing. Para lawyer harus bersikap terbuka dengan
perkembangan yang terjadi dan tak perlu menutup diri. Bukankah ilmu
pengetahuan itu dinamis dan tak pernah berhenti dengan inovasi-inovasi.45
Profetik Intelligence (PI) adalah sebuah tawaran pendekatan alternatif
dalam rangka ikut mengisi rule-breaking tersebut. PI dibutuhkan bagi
para penegak hukum untuk memperluas dan sekaligus mengasah
kepekaan nurani dan spiritualnya. Bukankah para penegak hukum itu
juga dituntut dalam profesinya untuk mengejawantahkan doktrin dalam
setiap keputusan akhir dari proses penegakan hukum, yang berbunyi:
‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Doktrin ini
menuntut para penegak hukum untuk mengembangkan dan sekaligus
membekali dirinya dengan PI.
Konsep tentang kecerdasan kenabian ini merupakan konsep yang
diambil dari psikologi untuk mengukur tingkat kematangan kepribadian
seseorang. Konsep ini bermanfaat untuk pengembangan kepribadian
seseorang terutama yang berkecimpung dalam uapaya-upaya
penyelesaian masalah-masalah kemanusiaan. PI merupakan pendekatan
holistik di dunia psikologi yang menyatukan pendekatan-pendekatan
yang ada sebelumnya yaitu: Cognitive Intelligence, Emotional Intelligence,
Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum dan Garis Depan Sains”. Makalah Bacaan Bagi
Mahasiswa program Doktor Hukum Undip Untuk Matakuliah Ilmu Hukum dan teori
Hukum.
45
262
Landasan Aksiologi...
Adversity Intelligence, dan Spiritual Intelligence. Penegakan hukum
membutuhkan PI untuk mengatasi krisis hukum yang terjadi terutama
terkait dengan merosotnya moralitas penegak hukum yang selalu
menjadi sorotan publik akhir-akhir ini.
Konsep PI ini pernah dibahas dalam International Conference on
Moslems and Islam in the 21nd Century: Image and Reality di Malaysia pada
tanggal 4-6 Agustus 2004. Konsep ini ternyata mendapat sambutan yang
hangat dalam forum ilmiah tersebut. Padahal di Indonesia, konsep
tentang kecerdasan kenabian ini masih belum banyak dimengerti dan
dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, apalagi di dunia hukum.
Kecerdasan kenabian adalah kemampuan seseorang untuk
mentrasformasikan diri berinteraksi, bersosialisasi, beradaptasi dengan
lingkungan vertikal dan horisontal serta dapat memahami, mengambil
manfaat, hikmah dari kehidupan langit dan bumi, jasmani dan ruhani,
lahir dan batin, dunia dan akhirat. Kecerdasan kenabian akan diperoleh
jika nurani mampu melakukan fungsi koordinasi dan pembimbingan.46
Pada hakikatnya setiap orang dapat mencapai kecerdasan kenabian,
asal orang tersebut mau melakukan proses transformasi diri. Proses ini
dimaksudkan untuk mengasah hati nurani agar bersih dari bekasanbekasan noda akibat dosa-dosa yang telah dilakukan seperti halnya
membersihkan kaca yang telah tertutupi oleh debu yang melekat
bertahun-tahun lamanya. Transformasi diri mencakup penyadaran diri,
penemuan diri dan pengembangan diri dengan menghayatai dan
mengamalkan sifat-sifat kenabian seperti sidiq (prinsip kejujuran), amanah
(dapat dipercaya), tabligh (terbuka) dan fatonah (cerdas).
4. Simpulan
Profetik Intelligence dibutuhkan bagi hakim dan juga para penegak
hukum yang lain untuk memperluas dan sekaligus mengasah
kecerdasan nurani dan spiritualnya. Penegakan hukum membutuhkan
Hamdani Bakran. 2005. Prophetic Intelligence, Kecerdasan Kenabian. Yogyakarta:
Islamika. Hlm. 38.
46
Bab 5
263
Profetik Intelligence untuk mengatasi krisis hukum yang terjadi terutama
terkait dengan merosotnya moralitas penegak hukum yang selalu
menjadi sorotan publik akhir-akhir ini.
Dasar pentingnya Profetik Intelligence bagi hakim adalah doktrin
dalam setiap pembuatan keputusan hukum yang selalu diawali dengan
irah-irah: ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Doktrin ini menuntut para penegak hukum untuk mengembangkan dan
sekaligus membekali dirinya dengan Profetik Intelligence. Konsep tentang
kecerdasan kenabian ini merupakan konsep yang diambil dari psikologi
untuk mengukur tingkat kematangan kepribadian seseorang. Konsep
ini bermanfaat untuk pengembangan kepribadian seseorang terutama
yang berkecimpung dalam uapaya-upaya penyelesaian masalahmasalah kemanusiaan. Profetik Intelligence merupakan pendekatan
holistik di dunia psikologi yang menyatukan pendekatan-pendekatan
yang ada sebelumnya yaitu: Cognitive Intelligence, Emotional Intelligence,
Adversity Intelligence, dan Spiritual Intelligence.
D. Hakim dan Penegakan Keadilan Profetik dalam
Peradilan
Oleh Bambang Sutiyoso
1. Pendahuluan
Dalam berbagai penanganan kasus hukum yang terjadi di tanah air,
seringkali mencuat menjadi bahan perbincangan publik karena putusan
peradilan dianggap mengabaikan nilai-nilai keadilan yang semestinya
dirasakan oleh masyarakat dan pencari keadilan. Proses hukum di
lingkungan peradilan Indonesia hingga saat ini dianggap belum sepenuhnya
mencerminkan nilai-nilai keadilan yang sesungguhnya. Keadilan seolah
menjadi ‘barang mahal’ yang jauh dari jangkauan masyarakat.
Beberapa kasus yang sempat melukai rasa keadilan masyarakat di
antaranya kasus penempatan Ayin (Artalyta Suryani) di ruang khusus
264
Landasan Aksiologi...
yang cukup mewah di Rutan Pondok Bambu beberapa waktu lalu dan
kelambanan penanganan kasus Anggodo merupakan secuil dari wajah
buram penegakan hukum yang berkeadilan di Indonesia. Belum lagi
kasus Prita Mulyasari yang dianggap menghina pihak Rumah Sakit Omni
International, pencurian buah semangka, randu, tanaman jagung,
ataupun pencurian biji kakao oleh Nenek Minah, semakin menambah
daftar panjang potret buram dalam praktik penegakan hukum di negeri
ini.
Penegakan hukum yang berjalan selama ini terkesan kuat masih
berorientasi dalam bentuk keadilan prosedural yang sangat menekankan
pada aspek regularitas dan penerapan formalitas legal semata. Sejalan
dengan itu rekayasa hukum menjadi fenomena yang cukup kuat dalam
hampir setiap penegakan hukum di negeri ini. Keadilan substantif
sebagai sumber keadilan prosedural masih bersifat konsep parsial dan
belum menjangkau seutuhnya ide-ide dan realitas yang seharusnya
menjadi bagian intrinsik dari konsep dan penegakan keadilan.47
Akibatnya, penegakan hukum menjadi kurang atau bahkan tidak
mampu menyelesaikan inti persoalan sebenarnya. Suara orang atau
masyarakat yang tertindas sebagai subjek yang sangat memerlukan
keadilan hampir terabaikan sama sekali. Orang yang selama ini
mengalami ketidakadilan, atau bahkan masyarakat secara keseluruhan
kian jauh dari sentuhan dan rasa keadilan. Bahkan, sering terjadi, atas
nama keadilan, para pencari keadilan menjadi korban penegakan hukum
formal. Realitas ini menjadikan penegakan keadilan berwajah ambivalen
yang jauh dari nilai-nilai keadilan hakiki dan terkadang justru menyodok
rasa keadilan itu sendiri.48
Tidak mengherankan dalam praktik penegakan hukum yang terjadi
acap kali dijumpai ketidakpuasan dan kekecewaan masyarakat dan para
pencari keadilan terhadap kinerja peradilan yang dianggap tidak objektif,
Abdul Ala, Pembumian Keadilan Substantif, dalam http://www.sunanampel.ac.id/publicactivity/detail.php?id=28, diakses tanggal 20 April 2010.
48
Ibid.
47
Bab 5
265
kurang menjaga integritas, dan bahkan kurang professional. Produk
peradilan yang berupa putusan hakim sering dianggap kontroversi,
cenderung tidak dapat diterima oleh kalangan luas hukum serta tidak
sejalan dengan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.49
Dengan kata lain, putusan-putusan yang dijatuhkan dianggap tidak
berdasarkan pada pertimbangan hukum yang cermat dan komprehensif
(Onvoeldoende gemotiverd), tetapi hanya didasarkan pada silogisme yang
dangkal dalam mengkualifikasi peristiwa hukumnya yang kemudian
berdampak pula pada konstitusi hukumnya.
Salah satu penyebabnya adalah adanya korupsi peradilan (judicial
corruption), yang lebih populer disebut dengan mafia peradilan, yaitu
adanya konspirasi dan penyalahgunaan wewenang di antara aparat
keadilan untuk mempermainkan hukum demi keuntungan pribadi.50
Banyaknya intervensi dan tekanan pihak luar terhadap hakim, terkadang
membuat kinerja hakim tidak lagi optimal, atau bahkan memilih
bersikap opportunis. Tidak semua hakim dapat mengatakan yang benar
adalah benar, dan yang salah adalah salah. Belum lagi munculnya
“makelar kasus”yang menghalalkan segala cara seperti jual beli perkara,
semakin menambah coreng moreng dunia peradilan.
Dalam konteks itulah, dalam tulisan ini berupaya mengkaji
beberapa persoalan terkait dengan tugas Hakim dalam peradilan,
beberapa konsep keadilan dan format ideal keadilan putusan dan
sejauhmana keadilan profetik diterapkan dalam praktik peradilan. Paparan
tulisan ini ini diharapkan dapat membuka ruang diskusi lebih jauh tentang
gagasan penegakan keadilan profetik dalam peradilan Indonesia yang
menjadi wacana pilihan yang dikehendaki oleh masyarakat dan pencari
keadilan.
Bambang Sutiyoso. 2009. Metode Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum Yang
Pasti dan Berkeadilan, Jogjakarta, UII Press. Hlm. 6.
50
Danang Widoyoko, et. al. 2002. Menyingkap Tabir Mafia Peradilan, Jakarta, ICW.
Hlm. 24.
49
266
Landasan Aksiologi...
2. Tugas dan Kewajiban Hakim
Hakim merupakan pelaku inti yang secara fungsional melaksanakan
kekuasaan kehakiman. Dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman
tersebut, hakim harus memahami ruang lingkup tugas dan kewajibannya
sebagaimana telah diatur dalam perundang-undangan. Setelah
memahami tugas dan kewajibannya, selanjutnya hakim harus berupaya
secara profesional dalam menjalankan dan menyelesaikan pekerjaannya.
Dalam Pasal 1 butir (5,7) UU No. 48 Tahun 2009 di kemukakan
tentang ruang lingkup Hakim, yaitu hakim pada Mahkamah Agung
dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim
pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan
tersebut, serta hakim pada Mahkamah Konstitusi.
Hakikatnya tugas pokok hakim adalah menerima, memeriksa,
mengadili, memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara yang
diajukan kepadanya. Meskipun demikian tugas dan kewajiban hakim
dapat diperinci lebih lanjut, yang dalam hal ini dapat dibedakan menjadi
beberapa macam, yaitu tugas hakim secara normatif dan tugas hakim
secara kongkrit dalam mengadili suatu perkara.
Beberapa tugas dan kewajiban pokok hakim dalam bidang
peradilan secara normatif telah diatur dalam dalam UU No. 48 Tahun
2009 antara lain:
a. Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”. (Pasal 2 ayat (1) UU No. 48
Tahun 2009)
b. Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila. (Pasal 2 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009)
c. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi
wajib menjaga kemandirian peradilan. (Pasal 3 ayat (1) UU No. 48
Tahun 2009)
d. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan orang (Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009)
e. Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi
segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan
Bab 5
267
yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 ayat (2) UU No. 48
Tahun 2009)
f. Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat. (Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009)
g. Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian
yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang
hukum. (Pasal 5 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009)
h. Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim (Pasal 5 ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009)
i. Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya. (Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).
j. Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dengan
susunan majelis sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali
undang-undang menentukan lain. (Pasal 11 ayat (1) UU No. 48 Tahun
2009)
k. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. (Pasal
2 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009)
l. Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. (Pasal 13
ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009)
m. Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan
pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang
diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan
(Pasal 14 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009).
Di samping tugas hakim secara normatif sebagaimana ditentukan
dalam perundang-undangan, hakim juga mempunyai tugas secara
kongkrit dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara melalui tiga
tindakan secara bertahap, yaitu:
a. Mengkonstatir (mengkonstatasi) yaitu menetapkan atau merumuskan
peristiwa kongkrit. Hakim mengakui atau membenarkan telah
terjadinya peristiwa yang telah diajukan para pihak di muka
persidangan. Syaratnya adalah peristiwa kongkrit itu harus dibuktikan
terlebih dahulu, tanpa pembuktian hakim tidak boleh menyatakan
suatu peristiwa kongkrit itu benar-benar terjadi. Jadi mengkonstatir
berarti menetapkan peristiwa kongkrit dengan membuktikan
pristiwanya atau menganggap telah terbuktinya peristiwa tersebut.
268
Landasan Aksiologi...
b. Mengkwalifisir (mengkwalifikasi) yaitu menetapkan atau
merumuskan peristiwa hukumnya. Hakim menilai peristiwa yang
telah dia-nggap benar-benar terjadi itu termasuk dalam hubungan
hukum yang mana atau seperti apa. Dengan kata lain mengkwalifisir
adalah menemukan hukumnya terhadap peristiwa yang telah
dikonstatir dengan jalan menerapkan peraturan hukum terhadap
peristiwa tersebut. Mengkwalifikasi dilakukan dengan cara
mengarahkan peristiwanya kepada aturan hukum atau undangundangnya, agar aturan hukum atau undang-undang tersebut dapat
diterapkan pada peristiwanya. Sebaliknya undang-undangnya juga
harus disesuaikan dengan peristiwanya agar undang-undang tersebut
dapat mencakup atau meliputi peristiwanya.
c. Mengkonstituir (mengkonstitusi) atau memberikan konstitusinya,
yaitu hakim menetapkan hukumnya dan memberi keadilan kepada
para pihak yang bersangkutan. Di sini hakim mengambil kesimpulan
dari adanya premisse mayor (peraturan hukumnya) dan premisse
minor (peristiwanya). Dalam memberikan putusan, hakim perlu
memperhatikan faktor yang seharusnya diterapkan secara
proporsional yaitu keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukumnya
(Rechtssicherheit) dan kemanfaatannya (Zweckmassigkeit).
Gr. Van der Brught dan J.D.C. Winkelman menyebutkan tujuh
langkah yang harus dilakukan seorang hakim dalam menyelesaikan suatu
kasus atau peristiwa, yaitu:51
a. Meletakkan kasus dalam sebuah peta (memetakan kasus) atau
memaparkan kasus dalam sebuah ikhtiar (peta), artinya memaparkan
secara singkat duduk perkara dari sebuah kasus (menskematisasi).
b. Menerjemahkah kasus itu ke dalam peristilahan yuridis
(mengkwalifikasi, pengkwalifikasian).
c. Menyeleksi aturan-aturan hukum yang relevan.
d. Menganalisis dan menafsirkan (interpretasi) terhadap aturan-aturan
hukum itu.
e. Menerapkan aturan-aturan hukum pada kasus.
f. Mengevaluasi dan menimbang (mengkaji) argumen-argumen dan
penyelesaian.
g. Merumuskan formulasi penyelesaian.
Gr. Van der Brught dan J.D.C. Winkelman sebagaimana dikutip oleh Shidarta,
Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks KeIndonesiaan, Disertasi Program Doktor
Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2004, hlm. 177.
51
Bab 5
269
Di samping itu dalam melaksanakan dan memimpin jalannya proses
persidangan, pada prinsipnya Majelis Hakim tidak diperkenankan
menunda-nunda persidangan tersebut. Pasal 159 ayat 4 HIR atau Pasal
186 ayat (4) RBg menyebutkan bahwa pengunduran (penundaan) tidak
boleh diberikan atas permintaan kedua belah pihak dan tidak boleh
diperintah-kan Pengadilan Negeri karena jabatannya, melainkan dalam
hal yang teramat perlu.
Dalam praktik hakim terkadang terlalu lunak sikapnya terhadap
permohonan penundaan sidang dari para pihak atas kuasanya. Adapun
beberapa hal yang sering menyebabkan tertundanya sidang antara lain:
1. Tidak hadirnya para pihak atau kuasanya secara bergantian.
2. Selalu minta ditundanya sidang oleh para pihak.
3. Tidak datangnya saksi walau sudah dipanggil.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka diperlukan peranan hakim
yang aktif terutama dalam mengatasi hambatan dan rintangan untuk
dapat tercapainya peradilan yang cepat (speedy administration of justice).
Perlu ketegasan hakim untuk menolak permohonan penundaan sidang
daripada pihak, kalau ia beranggapan hal itu tidak perlu. Berlarutlarutnya atau tertunda-tundanya jalannya peradilan akan mengurangi
kepercayaan masyarakat kepada peradilan yang mengakibatkan
berkurangnya kewibawaan pengadilan (justice delayed is justice denied).
3. Eksistensi Peradilan dalam Menegakkan Keadilan
Dalam rangka menegakkan aturan-aturan hukum yang berlaku,
maka diperlukan adanya suatu institusi negara yang dinamakan
kekuasaan kehakiman (Judicative power). Kekuasaan kehakiman dalam
praktik diselenggarakan oleh badan-badan peradilan negara. Adapun
tugas pokok badan peradilan terutama tugas di bidang judicial, yaitu
dalam rangka memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan
perkara-perkara yang diajukan oleh masyarakat pencari keadilan.
Terkait dengan keberadaan pencari keadilan khususnya yang
kurang mampu secara ekonomi, sekarang ini sudah ada salah satu upaya
270
Landasan Aksiologi...
pemecahannya untuk beracara secara prodeo. Tepat tanggal 31 Desember
2008, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.
83 Tahun 2008 tentang persyaratan dan tata cara pemberian bantuan
hukum secara cuma-cuma. Peraturan pemerintah ini dikeluarkan untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 22 UU No. 18 Tahun 2003 tentang
Advokat. Menurut PP tersebut, seorang advokat wajib memberikan
bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan (Pasal 2).
Bantuan hukum secara cuma-cuma meliputi tindakan hukum untuk
kepentingan pencari keadilan di setiap tingkat proses peradilan dan
berlaku juga terhadap pemberian jasa hukum di luar pengadilan.
Meskipun demikian implementasi PP ini perlu dilakukan evaluasi oleh
pihak-pihak terkait apakah sudah berjalan dengan baik ataukah
sebaliknya. Tentunya diharapkan PP ini dapat berjalan optimal nantinya,
sehingga akses mendapatkan keadilan (acces to justice) dapat lebih merata,
karena keadilan bukan hanya milik orang yang kaya saja, tetapi milik
mereka yang papa.52
Para pencari keadilan (justiciabellen) tentu sangat mendambakan
perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan dapat diputus oleh hakimhakim yang professional dan memiliki integritas moral yang tinggi,
sehingga dapat melahirkan putusan-putusan yang tidak saja
mengandung aspek kepastian hukum (keadilan procedural), tetapi juga
berdimensikan legal justice, moral justice dan social justice. Karena keadilan
itulah yang menjadi tujuan utama yang hendak dicapai dari proses
penyelesaian sengketa di pengadilan.53
Keadilan itu sesungguhnya berhubungan dengan hati nurani,
bukan definisi dan juga bukan soal formal-formalan. Ia berhubungan
erat dengan praksis kehidupan sehari-hari dari manusia. Bukan soal
teori-teori ilmu hukum sebagaimana diterapkan oleh Majelis Hakim
Agung pada perkara Akbar Tanjung itu. Kelihatannya, menurut teori
Bambang Sutiyoso, Bantuan Hukum Cuma-Cuma, lihat di http://
bambang.staff.uii.ac.id/index.php
53
Bambang Sutiyoso, Op.Cit., hlm. 2.
52
Bab 5
271
ilmu hukum putusan tersebut bagus, argumentatif ilmiah. Tetapi
sebenarnya, belum menyentuh rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Sehingga tepatlah apa yang dikemukakan oleh Gustav
Radbruch : “Summum ius summa inuiria”, bahwa keadilan teringgi itu
adalah hati nurani. Orang yang terlalu mematuhi hukum secara apa
adanya seringkali justru akan merugikan keadilan.54
Menegakkan keadilan bukanlah sekadar menjalankan prosedur
formal dalam peraturan hukum yang berlaku di suatu masyarakat,
setidaknya itulah pernyataan yang kerap dicetuskan oleh Moh Mahfud
MD., Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Menurut Mahfud,
menegakkan nilai-nilai keadilan lebih utama daripada sekadar
menjalankan berbagai prosedur formal perundang-undangan yang
acapkali dikaitkan dengan penegakan hukum.55 Tekad Mahkamah
Konstitusi semacam itu bahkan ditegaskan dalam situsnya, yaitu
“mengawal demokrasi dan menegakkan keadilan substantif”. Beberapa
terobosan hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi yang lebih
mengutamakan keadilan substantif dibanding keadilan formalprosedural di antaranya adalah saat Mahkamah Konstitusi membolehkan
penggunaan KTP dengan sejumlah syarat tertentu dalam pemilu oleh
warga yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Di
samping itu Mahkamah Konstitusi dalam persidangan judicial review
pernah membuka rekaman hasil penyadapan KPK terhadap percakapan
Anggodo yang kemudian membuka tabir adanya “markus” dalam
proses penegakan hukum.
Dalam praktik penegakan hukum di Indonesia, seringkali para
penegak hukum sudah menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan main
yang ada, dalam artian aturan main yang formal. Terhadap kasus tindak
pidana korupsi misalnya, sesuai hukum yang berlaku, jaksa sudah
Jeremies Lemek. 2007. Mencari Keadilan Pandangan Kritis Terhadap Penegakkan Hukum
di Indonesia. Yogyakarta: Galang Press. Hlm. 25.
55
Lihat artikel “Menegakkan Keadilan Jangan Sekedar Menegakkan Hukum” dalam
situs http://erabaru.net/opini/65-opini/10099-menegakkan-keadilan-jangan-sekedarmenegakkan-hukum, diakses tanggal 20 April 2010.
54
272
Landasan Aksiologi...
melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan ke pengadilan.
Pengacara sudah menjalankan fungsinya untuk membela dan
mempertahankan hak-hak tersangka. Hakim sudah mendengar kedua
belah pihak, sehingga turunlah putusan pengadilan. Semua aturan
hukum yang relevan sudah dipertimbangkan dan sudah diterapkan.
Akan tetapi mengapa terhadap penegakan hukum yang demikian masih
saja banyak masyarakat yang tidak puas. Inilah masalahnya, yaitu tidak
terpenuhinya nilai keadilan, terutama keadilan masyarakat (social justice).
Hakim tidak dengan sungguh-sungguh menggali nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dengan alasan terikat
dengan aturan hukum formal yang sebenarnya kaku bahkan dalam
beberapa hal justru melenceng.
Padahal Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman sudah
mewajibkan kepada para hakim untuk menggali hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.56 Karena itu agar penegakan
hukum di Indonesia dapat lebih baik dan agar masyarakat percaya pada
hukum yang berlaku, yang diperlukan adalah penegakan hukum yang
berkeadilan, dan itulah yang didamba-dambakan oleh masyarakat
banyak.
Untuk itu dalam panggung penegakan hukum di Indonesia,
dibutuhkan kehadiran para penegak hukum yang bervisi keadilan, dan
penguasa yang bersikap adil, sebagaimana dalam cita hukum tradisional
bangsa Indonesia diistilahkan dengan “ratu adil” atau seperti yang
diimpikan oleh filosof besar bangsa Yunani, yaitu Plato dengan konsep
“raja yang berfilsafat” (filosopher king) ribuan tahun yang silam.57
Kalau dicermati kepala putusan hakim itu sendiri berbunyi “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, oleh karena itu
pertimbangan keadilan sesungguhnya lebih dikedepankan dalam
memutus suatu perkara. Dalam hal ini memang sepenuhnya diserahkan
kepada majelis hakim yang menangani perkara tersebut.
56
57
Lihat Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Munir Fuady, Op. Cit., hlm. 53. Dikutip dengan beberapa perubahan dari penulis.
Bab 5
273
Bismar Siregar dalam bukunya “Hukum Hakim dan Keadilan
Tuhan” menambahkan bahwa dasar seorang hakim dalam mengambil
putusan adalah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhahan Yang Maha
Esa”. Dengan demikian, dalam menetapkan putusannya, pertama-tama
seorang hakim bermunajat kepada Alloh SWT. Atas nama-NYAlah suatu
putusan diucapkan. Ia bersumpah atas nama Tuhan Yang Maha Esa.
Pada saat itulah hatinya bergetar. Ini merupakan peringatan bagi siapa
saja. Pesan Rasululloh Mohammad SAW kepada seorang sahabatnya
sebagai berikut: “Wahai Abu Hurairah, keadilan satu jam lebih utama dari
ibadahmu puluhan tahun, shalat, zakat dan puasa. Wahai Abu Hurairah,
penyelewengan hukum satu jam lebih pedih dan lebih besar dalam pandangan
Alloh daripada melakukan maksiat enampuluh tahun”. Sebuah pesan yang
indah, yang wajib dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh para hakim.58
Dalam ajaran Islam juga diperintahkan agar kita bertindak adil
dalam menyelesaikan suatu perkara. Perintah itu antara lain disebutkan
dalam Al Qur’an Surat An- Nisa: 58, disebutkan: “Dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil”. Selanjutnya dalam Al Qur’an Surat An-Nisa: 135 ditegaskan:
Wahai orang-orang yang beriman, jadilan kamu orang-orang yang benarbenar penegak keadilan, menjadi saksi karena Alloh biarpun terhadap dirimu
sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin,
maka Alloh lebih tahu kemaslahatannya , maka janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu karena menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan men jadi saksi, maka
sesungguhnya Alloh adalah maha mengetahui segala apa yang kamu
kerjakan”.
Keadilan merupakan salah satu tujuan dari setiap sistem hukum,
bahkan merupakan tujuannya yang terpenting. Masih ada tujuan hukum
yang lain yang juga selalu menjadi tumpuan hukum, yaitu kepastian
hukum, kemanfaatan dan ketertiban. Di samping tujuan hukum, keadilan
dapat juga dilihat sbagai suatu nilai (value). Bagi suatu kehidupan
58
Bismar Siregar. 1995. Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan. Jakarta: Gema Insani
Press. Hlm. 19-20.
274
Landasan Aksiologi...
manusia yang baik, ada empat nilai yang merupakan fondasi pentingnya,
yaitu: (1) Keadilan; (2) Kebenaran; (3) Hukum dan (4) Moral. Akan tetapi
dari keempat nilai tersebut, menurut filosof besar bangsa Yunani, yaitu
Plato, keadilan merupakan nilai kebajikan yang tertinggi. Menurut Plato:
“ Justice is the supreme virtue which harmonize all other virtues”.59
Para filosof Yunani memandang keadilan sebagai suatu kebajikan
individual (individual virtue). Oleh karena itu dalam Institute of Justinian,
diberikanlah definisi keadilan yang sangat terkenal itu, yang mengartikan
kadilan sebagai suatu tujuan yang kontinyu dan konstan untuk
memberikan kepada setiap orang haknya. “Justice is the constant and
continual purpose which gives to everyone his own”.60
Mahkamah Agung sendiri dalam intruksinya No. KMA/015/INST/
VI/1998 tanggal 1 Juni 1998 mengintruksikan agar para hakim
memantapkan profesionalisme dalam mewujudkan peradilan yang
berkualitas, dengan menghasilkan putusan hakim yang eksekutabel,
berisikan ethos (integritas), pathos (pertimbangan yuridis yang utama),
filosofis (berintikan rasa keadilan dan kebenaran), sosiologis (sesuai
dengan tata nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat), serta logos
(dapat diterima akal sehat), demi terciptanya kemandirian para
penyelenggara kekuasaan kehakiman.61
Apabila dicermati, para hakim di Indonesia pada umumnya tidak
menganut prinsip the binding force of precedent sebagaimana dianut negaranegara Anglosaxon, oleh karena itu otoritas dari majelis hakim menjadi
begitu besarnya dalam memutuskan perkara. Akibatnya kemudian
banyak terjadi disparitas putusan dalam perkara yang sejenis. Hal ini
ditandai dengan adanya perbedaan secara substansial yang tajam antara
produk hukum berupa putusan pengadilan yang satu dengan pengadilan
yang lain atau putusan yang dibuat oleh hakim Pengadilan Negeri, hakim
Roscoe Pound sebagaimana dikutip Munir Fuady. 2003. Aliran Hukum Kritis
Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti. Hlm. 52.
60
Ibid. Hlm. 53.
61
A. Mukti Arto. 2006. Mencari Keadilan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 98.
59
Bab 5
275
Pengadilan Tinggi, dan hakim Mahkamah Agung mengenai suatu
perkara hukum yang sama, padahal semuanya mengacu pada peraturan
yang sama. Perbedaan tersebut memang dimungkinkan, karena praktek
penegakan hukum terlibat berbagai kepentingan yang berbeda di balik
hukum yang hendak ditegakkan.62 Para hakimpun punya dalih, apabila
pencari keadilan (justiciabellen) merasa tidak puas dengan putusan yang
dijatuhkan, mereka dipersilahkan mengajukan upaya hukum yang ada.
Dengan demikian peran hakim memang sangat dominan dalam
menentukan bagaimana ’hitam putihnya’ suatu putusan.
Meskipun demikian di sisi lain, kualitas dan kredibilitas seorang
Hakim juga ditentukan oleh putusan-putusan yang dibuatnya. Tidak
berlebihan kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa mahkota atau
wibawa hakim terletak pada putusannya atau kalau mau lebih dalam
lagi ada pada pertimbangan hukumnya. Oleh karena itu kewibawaan
hakim juga akan luntur dengan sendirinya kalau putusan-putusannya
tidak berpihak lagi kepada nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Sehubungan dengan itu menurut Paulus Effendi Lotulung, Hakim
Agung, untuk mencari hakim yang jujur dan berkualitas, sesungguhnya
tidak perlu metode yang berbelit-belit, cukup dilihat dari putusanputusan yang telah dihasilkannya selama ini. Salah satu caranya adalah
dengan cara eksaminasi putusan,63 yang sesungguhnya telah lama
dikenal dalam dunia peradilan di Indonesia berdasarkan ketentuan
SEMA No. 1 Tahun 1967 tentang Eksaminasi, Laporan Bulanan, dan
Daftar Banding.
Secara umum yang dimaksud eksaminasi adalah menguji kembali
putusan hakim dengan melihat isi/materi dari putusan tersebut.
Eksaminasi juga bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan
akuntabilitas seperti yang selama ini disuarakan oleh masyarakat.
Mudzakkir, 2003. Urgensi dan Relevansi Eksaminasi Publik. Makalah dalam diskusi
panel yang diselenggarakan oleh Departemen Acara FH UII, Pusdiklat Laboratorium
UII, ICW dan ICM, Yogyakarta, 28 Juni 2003. Hlm. 2
63
www. hukumonline.com, Cari Hakim Jujur Lewat Eksaminasi Putusannya, diakses
tanggal 18 Februari 2007.
62
276
Landasan Aksiologi...
Melalui eksaminasi, masyarakat bisa mengetahui dasar pertimbangan
seorang hakim dalam mengambil putusannya. Dari situ, bisa dinilai
pula apakah putusan hakim tersebut diambil dengan cara-cara yang
semestinya atau malah sarat dengan nuansa KKN.64 Dalam kaitan ini,
eksaminasi dilakukan untuk memberikan penilaian secara komprehensif
oleh ahli yang kompeten terkait putusan hakim tertentu terutama
menyangkut penerapan hukum materiil maupun hukum formilnya
dalam kerangka penilaian secara obyektif menyangkut perkara yang
bersangkutan.
4. Konsep Keadilan Putusan dalam Peradilan
Dalam diskursus konsep keadilan (justice), banyak ditemukan
berbagai pengertian keadilan, diantaranya keadilan adalah
menempatkan sesuatu pada tempatnya (proporsional); keadilan adalah
keseimbangan antara hak dan kewajiban dan lain sebagainya. Demikian
pula klasifikasi keadilan juga banyak ditemukan misalnya Aristoteles
membagi keadilan komutatif dan distributif, ada juga membedakan norm
gerechtigkeit dan einzelfall gerechtigkeit dan seterusnya. Demikian ada ahli
yang membagi menjadi: keadilan hukum (legal justice), keadilan secara
moral (moral justice) dan keadilan sosial (social justice). Di samping itu
dikenal juga istilah keadilan transendental (transcendental justice) yang
sebenarnya lebih mendekati pada pengertian keadilan profetik.65
John Rawls menyatakan bahwa keadilan adalah kebajikan utama
dalam institusi sosial sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran.
Suatu teori, betapapun elegan dan ekonomisnya, harus ditolak atau
direvisi jika ia tidak benar. Demikian juga hukum dan institusi, tidak
peduli betapapun efisen dan rapinya, harus direformasi atau dihapuskan
Ibid.
Keadilan transendental adalah keadilan yang yang spirit atau jiwanya dengan
mendasarkan pada nilai-nilai keadilan ilahiyah yang didasarkan pada kitab suci Al Qur’an.
Keadilan transendental inilah yang diperjuangkan dan dicontohkan oleh para nabi dan
Rasul, sehingga bisa disebut juga sebagai keadilan profetik.
64
65
Bab 5
277
jika tidak adil. Setiap orang memiliki kehormatan yang didasarkan pada
keadilan sehingga seluruh masyarakat sekalipun tidak bisa
membatalkanya. Atas dasar itu keadian menolak jika lenyapnya
kebebasan bagi sejumlah orang dapat dibenarkan oleh hal lebih besar
yang didapatkan orang lain. Keadilan tidak membiarkan pengorbanan
yang dipaksakan pada segelintir orang diperberat oleh sebagian besar
keuntungan yang dinikmati banyak orang. Karena itu, dalam masyarakat
yang adil kebebasan warganegara dianggap mapan, hak-hak yang
dijamin oleh keadilan tidak tunduk pada tawar-menawar politik atau
kalkulasi kepentingan sosial. Satu-satunya hal yang mengijinkan kita
untuk menerima teori yang salah adalah karena tidak adanya teori yang
lebih baik, secara anaogis ketidakadilan bisa dibiarkan hanya ketika ia
butuh menghindari ketidakadilan yang lebih besar. Sebagai kebajikan
utama ummat manusia, kebenaran dan keadilan tidak bisa diganggu
gugat. Proposisi tersebut tampak menunjukkan keyakinan intuitif kita
tentang keutamaan keadilan.66
Dalam konteks putusan hakim peradilan, terutama yang sering
disinggung-singgung adalah berupa keadilan prosedural (procedural justice) dan keadilan substantif (substantive justice). Dalam hal ini kami
mencoba memberi batasan apa yang dimaksud dengan keadilan
prosedural dan keadilan substantif ini. Keadilan prosedural adalah
keadilan yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang dirumuskan
dari peraturan hukum formal, seperti mengenai tenggat waktu maupun
syarat-syarat beracara di pengadilan lainnya. Sedangkan keadilan
substantif adalah keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai yang lahir
dari sumber-sumber hukum yang responsif sesuai hati nurani.
Dengan demikian konsep keadilan sebenarnya sudah banyak
dikemukakan oleh para ahli karena keadilan sesungguhnya sesuatu yang
sangat dekat dengan pemenuhan hak dan kepentingan manusia. Hanya
saja yang tidak mudah dalam praktek adalah merumuskan apa yang
John Rawls. 2006. Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial dalam Negara. Yogyakarta: Pusaka Pelajar. Hlm. 4.
66
278
Landasan Aksiologi...
menjadi tolok ukur atau parameter keadilan itu sendiri. Proses penyelesaian
perkara di pengadilan melibatkan setidaknya dua pihak yang masingmasing sedang terlibat konflik kepentingan (conflict of interest) satu dengan
lainnya. Sehingga bisa saja terjadi ketika putusan hakim dijatuhkan akan
dirasakan berbeda oleh kedua belah pihak, yaitu satu pihak merasa
adil karena keinginannya dikabulkan, tetapi pihak yang lain merasa
putusannya tidak adil karena keinginannya tidak dapat terpenuhi.
Sehingga hakekatnya persoalan keadilan itu implementasinya dalam
praktik dirasakan adil atau tidak adil adalah berdasarkan penilaian
masing-masing pihak, yang sangat mungkin berbeda secara diametral
parameternya.
Dalam tataran ideal, untuk mewujudkan putusan hakim yang
memenuhi harapan pencari keadilan, yang mencerminkan nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan masyarakat, ada beberapa unsur yang harus
dipenuhi dengan baik. Gustav Radbruch mengemukakan idealnya dalam
suatu putusan harus memuat idee des recht, yang meliputi 3 unsur yaitu
keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum (Rechtsicherheit) dan
kemanfaatan (Zwechtmassigkeit).67 Ketiga unsur tersebut semestinya oleh
Hakim harus dipertimbangkan dan diakomodir secara proporsional,
sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan putusan yang berkualitas
dan memenuhi harapan para pencari keadilan.
Mochtar Kusumaatmadja68 mengemukakan bahwa hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara, bebas dari campur tangan
masyarakat, eksekutif maupun legislatif. Dengan kebebasan yang
demikian itu, diharapkan hakim dapat mengambil keputusan
berdasarkan hukum yang berlaku dan juga berdasarkan keyakinannya
yang seadil-adilnya serta memberikan manfaat bagi masyarakat. Dengan
demikian maka hukum dan badan-badan pengadilan akan dapat
Gustav Radbruch sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo. 2004. Mengenal
Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty. Hlm. 15.
68
Muchtar Kusumaatmadj. 1986. Fungsi dan Perkembangan hukum dalam Pembangunan
Nasional, Lembaga Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Bandung:
Penerbit Bina Cipta. Hlm. 319-320.
67
Bab 5
279
berfungsi sebagai penggerak masyarakat dalam pembangunan hukum
dan pembinaan tertib hukum.
Dalam implementasinya terkadang tidak mudah untuk
mensinergikan ketiga unsur tersebut di atas, terutama antara unsur
keadilan dengan kepastian hukum bisa saja saling bertentangan. Di
samping beberapa contoh kasus yang sudah disebutkan sebelumnya,
kasus lama yang masih cukup relevan untuk menggambarkan adanya
kemungkinan benturan antara aspek keadilan (substantif) dan kepastian
hukum (keadilan prosedural), yaitu dalam kasus “Kedung Ombo” di
Jawa Tengah.
Kasus ini berkaitan dengan sengketa ganti rugi pembebasan tanah
yang akan digunakan sebagai proyek waduk “Kedung Ombo” di Jawa
Tengah, antara warga masyarakat dan Gubernur Jawa Tengah. Gugatan
pada awalnya diajukan pada tahun 1990 di Pengadilan Negeri Semarang,
kemudian berlanjut dengan upaya hukum banding di Pengadilan Tinggi
Semarang, Kasasi dan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Pihak
Penggugat adalah warga masyarakat yang dibebaskan tanahnya untuk
pembangunan waduk Kedung Ombo, sedang tergugatnya adalah
Gubernur Jawa Tengah (Terggugat I) yang dianggap telah menetapkan
ganti rugi secara sepihak tanpa musyawarah dan pimpinan proyek waduk
Kedung Ombo (Tergugat II). Dalam tuntutannya, antara lain penggugat
minta tergugat memberikan ganti rugi tanahnya sebesar Rp. 10.000,00
permeter2, karena tanah milik para penggugat sudah tidak dapat
digunakan lagi. Sehubungan dengan gugatan tersebut, PN Semarang
dalam putusannya No. 117/Pdt/G/1990/PN.Smg menyatakan menolak
gugatan para penggugat seluruhnya. Dalam upaya hukum banding,
Pengadilan Tinggi Semarang kembali menguatkan putusan sebelumnya,
dengan tetap menolak gugatan. Selanjutnya dalam tingkat kasasi, Majelis
hakim kasasi menjatuhkan putusan yang dianggap fenomenal. Dalam
putusannya No. 2263.K/Pdt/1991, Majelis hakim kasasi yang dipimpin
oleh Z. Asikin Kusumah Atmadja, SH. Menghukum pihak tergugat untuk
membayar ganti rugi secara tanggung renteng, berupa antara lain :
280
Landasan Aksiologi...
a. Kerugian materiel untuk tanah dan atau bangunan Rp. 50.000,00/
M2, sedangkan untuk tanaman-tanaman sebesar Rp. 30.000,00/M2.
b. Kerugian yang timbul yang bersifat immateriel, yaitu sesuai dengan
petitum secara Ex Aequeo et Bono sebesar Rp. 2000.0000.000,00.69
Tak mengherankan putusan kasasi tersebut menjadi perbincangan
di kalangan hukum, ada yang sependapat ada pula yang kontra atas
putusan. Secara yuridis normatif, putusan kasasi ini memang berupaya
menerobos ketentuan hukum dalam Pasal 178 ayat (3) HIR, yang
berbunyi: “Hakim wajib mengadili seluruh bagian gugatan, tatapi Hakim
dilarang menjatuhkan putusan atas hal-hal yang tidak dituntut atau
mengabulkan putusan lebih daripada yang dituntut.”
Dalam hal ini terlihat bahwa pada gugatan awalnya penggugat
hanya menuntut ganti rugi atas tanahnya sebesar Rp. 10.000,00/M2 tetapi
dalam putusan kasasi dikabulkan ganti rugi atas tanahnya sebesar Rp.
50.000,00/M2. Di samping itu majelis hakim kasasi juga mengabulkan
ganti rugi immateriel sebesar Rp. 2000.000.000,00, yang pada umumnya
jarang dikabulkan dalam suatu putusan. Meskipun demikian, majelis
hakim kasasi beralasan bahwa putusan tersebut dijatuhkan atas
pertimbangan aspek keadilan, tidak semata-mata pada aspek kepastian
hukum. Memang dilihat dari sisi kepastian hukum bisa dikatakan
melanggar ketentuan Pasal 178 ayat (3) HIR, tetapi dari sisi keadilan
perlu diperhatikan bahwa harga tanah tidak mungkin konstan/tetap dari
waktu kewaktu apalagi sudah berjalan beberapa tahun, sehingga sudah
sepantasnya ganti rugi atas tanah juga disesuaikan dengan keadaan riel
pada saat itu. Sehingga dapat dikatakan ketika terjadi benturan antara
aspek keadilan dengan kepastian hukum, majelis kasasi lebih
mendahulukan aspek keadilannya.
Banyak yang menyayangkan ketika pada akhirnya dalam upaya
hukum peninjauan kembali, majelis hakim peninjauan kembali kemudian
menganulir putusan kasasi Mahkamah Agung, karena dianggap asas
69
Lihat amar putusan kasasi Mahkamah Agung No. 2263.K/Pdt/1991.
Bab 5
281
hukum dan ketentuan yang berlaku, terutama yang diatur dalam Pasal
178 ayat (3) HIR. Majelis hakim peninjauan kembali nampaknya di sini
lebih mentikberatkan pada aspek kepastian hukumnya (keadilan
proseduralnya) dibandingkan aspek keadilan (substantifnya) dalam
menjatuhkan putusannya.70
Di Indonesia sebagai suatu negara hukum, hak seseorang terhadap
tanah harus dilindungi, tetapi masyarakat harus menyadari bahwa tanah
memunyai fungsi sosial yakni lebih mengutamakan kepentingan umum
daripada kepentingan pribadi. Tetapi di sini yang menjadi masalah
adalah kata-kata ’kepentingan umum’, seperti tanah yang akan
dibebaskan itu demi kepeningan umum yakni akan dibangun suatu
bangunan atau poyek yang berguna bagi masyarakat banyak, namun
para pemilik tanh yang mengolah atau memanfaatkan tanahnya sebagai
tempat tinggal atau kepentingan lain adalah juga termasuk kepentingan
umum. Karena itu juga menyangkut kepentingan orang banyak. Tapi
yang dimaksud kepentingan umum di sini adalah kepentingan yang
lebih banyak menyangkut orang banyak. Dari kedua kepentingan
tersebut, seakan-akan dua kepentingan umum saling bertabrakan.71
Jika suatu lokasi yang akan dimanfaatkan untuk kepentingan umum
tersebut harus lokasi yang benar-benar bisa digunakan untuk
pembangnan kepentingan umum dan pelaksanaannya bisa berbentuk
badan pemerintah atau swasta. Tidak semua tempat bisa dicabut
haknya dengan alasan demi kepentingan umum. Tanah yang bisa
dicabut haknya hanyalah tanah yang berlokasi termasuk dalam “Rencana
Induk Pengembangan” daerah setempat. Dan pengesahan rencana induk
tersebut telah mendapat persetujuan dari wakil rakyat di DPRD. Dan
rencana induk tersebut harus bersifat terbuka untuk umum.72
Dalam contoh ilustrasi kasus lainnya adalah masalah penegakan
peraturan hukum lalu lintas seharusnya dipatuhi oleh setiap pengguna
Bambang Sutiyoso, Op.Cit., hlm. 24
Mudakir Iskandar Syah. 1985. Hukum Dan Keadilan. Jakarta: Grafindo Utama.
Hlm. 46-47.
72
Ibid, hlm. 47-48.
70
71
282
Landasan Aksiologi...
jalan. Sehingga ketika lampu trafict light menyala merah, semestinya
pengguna jalan berhenti. Tetapi dalam kasus tertentu dan dengan
argumen tertentu, mobil ambulance, kereta api dan mobil pemadam
kebakaran boleh jalan terus meskipun harus menerobos lampu merah.
Tetapi bagi pengguna jalan masyarakat umum, mestinya aturan tersebut
harus tetap ditegakkan, karena kalau semua pengguna jalan
diperbolehkan menerobos lampu merah yang terjadi adalah kekacauan,
kecelakaan dan saling tabrakan.
Paparan kasus di atas, sama sekali tidak dimaksudkan untuk
menjustifikasi apalagi menghakimi siapa yang salah dari fenomena yang
terjadi, tetapi mencoba mengurai pokok persoalannya secara jernih. Itu
disebabkan realitas yang terungkap dalam praktik penegakan hukum
bukan merupakan sesuatu yang seketika terjadi, melainkan sebagai hasil
interaksi dari proses sebab akibat dalam perspektif yang lebih luas.
Semestinya antara keadilan prosedural dan keadilan substantif
tidak dilihat secara dikotomi, tetapi ibarat dua sisi mata uang yang
saling terkait erat satu sama lain. Oleh karena itu dalam keadaan normal, mestinya keadilan prosedural dan substantif harus dapat
disinergikan dan diakomodir secara proporsional. Meskipun demikian
dalam batas-batas tertentu, sangat mungkin keduanya saling berbenturan
satu sama lain dan tidak dapat dikompromikan.
Adanya benturan-benturan antara pemenuhan keadilan prosedural
di satu sisi dan keadilan substantif di sisi lain, memang harus ada solusi
dan opsi yang jelas dan harus diputuskan oleh Hakim dengan
argumentasi hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal
ini kami berpendapat, semestinya hakim lebih dahulu mengedepankan
pilihan keadilan substantif, yang sesuai dengan hati nurani dan rasa
keadilan masyarakat. Oleh karena itu, hanya dalam hal-hal kasuistik
dan sangat eksepsional, yaitu terjadi pertentangan yang tajam antara
keadilan prosedural dan keadilan substantif, keadilan prosedural bisa
diabaikan. Akan tetapi, tentunya tidak berarti semua kasus harus boleh
begitu saja keadilan prosedural dikalahkan. Hal ini untuk menghindari
Bab 5
283
apa yang dikemukakan oleh Machiavelli, yaitu dihalalkannya segala
cara untuk mencapai tujuan, atau dengan kata lain jangan sampai
keadilan prosedural diabaikan begitu saja untuk mencapai tujuan
tertentu yang sebenarnya tidak terlalu essensial pemenuhannya.
5. Keadilan Profetik dan Implementasinya dalam
Peradilan
Apabila dicermati dalam kepala putusan yang berbunyi “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, maka hakikatnya
keadilan yang hendak diputuskan adalah keadilan transendental
(trancendental justice). Keadilan seperti ini tentunya keadilan yang penuh
dengan makna dan nilai-nilai ilahiyah yang menjiwai dalam suatu
putusan. Bagi hakim keadilan yang hendak diputuskan tidak hanya
dipertanggungjwabkan secara horisontal kepada sesama manusia, baik
pencari
keadilan
maupun
masyarakat,
tetapi
juga
dipertanggungjawabkan secara vertikal kepada Tuhan Seru Sekalian
Alam. Apa yang telah diputus oleh hakim didunia tentunya masih belum
selesai, karena hakim juga harus mempertanggungjawabkan kepada
yang Maha Hakim kelak.
Keadilan transendental sesungguhnya spirit dan jiwanya sangatlah
ideal, karena parameter keadilan yang hendak dikonstruksikan adalah
keadilan sebagaimana diperintahkan dan diajarkan oleh Tuhan dalam
kitab suci. Kitab suci adalah pedoman utama dalam menggali dan
merumuskan nilai-nilai keadilan dalam suatu putusan. Keadilan seperti
itulah yang dicontohkan oleh para Nabi dan Rosul. Konsep keadilan
seperti itulah yang dimaksudkan sebagai keadilan profetik. Keadilan
profetik ini tentunya juga sejalan dan dapat sinergi dengan nilai keadilankeadilan lainnya, terutama keadilan substantif, yang mempertimbangkan
nilai-nilai substantif dalam putusannya, tidak semata-mata berdasarkan
keadilan prosedural.
Persoalan dalam praktek peradilan sekarang ini yang masih banyak
ketimpangan dalam penerapan keadilan dan jauh dari harapan
masyarakat adalah karena konsep keadilan transendental atau keadilan
284
Landasan Aksiologi...
profetik yang ada dalam kepala putusan hakim ternyata tidak diterapkan
dengan sungguh-sungguh. Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa yang seharusnya menjadi jiwa dalam putusan, tetapi dalam isi
putusan ternyata kering dari nilai-nilai Ketuhanan itu sendiri. Jarang
sekali dalam suatu putusan mengaitkan dengan nilai-nilai keadilan yang
ada dalam kitab suci Al Qur’an.
Dalam praktik justru hakim lebih banyak bemain dengan retorika
kita undang-undang buatan manusia. Hal inilah yang menjadi salah
satu penyebab banyaknya putusan hakim yang kontroversial dan sulit
memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan. Karena spirit yang
ada dfalam kepala putusan dianggap hanya formalitas yang harus
dipenuhi, tetapi isinya justru banyak menggunakan logika hukum
normatif yang mengacu pada peraturan perundang-undangan. Dari sisi
persepsi teori penulisan hukum, pembuatan putusan seperti itu
sebenarnya mencerminkan ketidaksinkronan antara judul (kepala
putusan) dengan substansinya (isi putusannya).
Berdasarkan dari berbagai diskusi dan perbincangan dengan
beberapa hakim dengan penulis, kendala utama penegakan hukum
profetik adalah karena yang menjadi dasar utama penegakan hukum di
Indonesia adalah bersumber pada hukum positif, bukan secara langsung
mengacu pada ketentuan-ketentuan yang ada dalam kitab suci. Di
samping itu Hakim akan merasa kesulitan kalau harus mengaitkan
kasusnya dengan mendasarkan pada nilai-nilai yang ada dalam kitab
suci, karena selama ini yang diajarkan dan dicontohkan dalam pendidikan
hukum juga dengan mendasarkan pada hukum positif. Tetapi secara
tersirat, ada keinginan dan harapan juga diantara para Hakim untuk
menerapkan keadilan profetik dalam putusan-putusannya sebagaimana
dicontohkan Hakim Bismar Siregar. Untuk itu perlu ada kebijakan,
pedoman dan pengaturan yang jelas kalau memang keadilan profetik
menjadi suatu alternatif yang dapat memenuhi harapan para pencari
keadilan di tanah air ini.
Bab 5
285
6. Penutup
Perbincangan mengenai pencarian format ideal keadilan putusan
dalam peradilan masih membuka ruang kajian yang lebih dalam, karena
kompleksitasnya masalah penegakan hukum di Indonesia, termasuk
banyaknya konsep keadilan, implementasinya serta penentuan tolok
ukur keadilan itu sendiri masih berbeda-beda. Tetapi khusunya terkait
dengan wacana penegakan keadilan profetik dalam lembaga peradilan,
selama ini masih sebatas wacana, meskipun sebenarnya kalau didasarkan
pada spirit dan jiwa yang ada dalam kepala putusan, memungkinkan
bagi hakim untuk menerapkan keadilan profetik.
Persoalan dalam praktek peradilan sekarang ini yang masih banyak
ketimpangan dalam penerapan keadilan dan jauh dari harapan
masyarakat adalah karena konsep keadilan transendental atau keadilan
profetik yang ada dalam kepala putusan hakim ternyata tidak diterapkan
dengan sungguh-sungguh. Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa yang seharusnya menjadi jiwa dalam putusan, tetapi dalam isi
putusan ternyata kering dari nilai-nilai Ketuhanan itu sendiri. Tetapi
kenyataannya jarang sekali dalam suatu putusan mengaitkan dengan
nilai-nilai keadilan yang ada dalam kitab suci Al Qur’an.
Dalam praktik justru hakim lebih banyak bemain dengan retorika
kita undang-undang buatan manusia. Hal inilah yang menjadi salah
satu penyebab banyaknya putusan hakim yang kontroversial dan sulit
memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan. Karena spirit yang
ada dalam kepala putusan dianggap hanya formalitas yang harus
dipenuhi, tetapi isinya justru banyak menggunakan logika hukum
normatif yang mengacu pada peraturan perundang-undangan. Untuk
itu ke depan perlu ada kebijakan, pedoman dan pengaturan yang jelas
kalau memang keberadaan keadilan profetik menjadi suatu alternatif
yang dianggap dapat memenuhi harapan para pencari keadilan di tanah
air ini.
286
Landasan Aksiologi...
BAB
6
PENUTUP
Oleh M. Syamsudin
A. Menangkap Peluang di Era Postmodern
Perkembangan pemikiran orang tentang suatu realitas, termasuk
realitas hukum sejak Zaman Kuno sampai dengan Zaman Postmodern
saat ini mengalami perubahan-perubahan yang sangat fundamental.
Perubahan fundamental tersebut terjadi pada setiap era/zamanya
masing-masing, sehingga masing-masing era/zaman mempunyai ciri
yang khas dan berbeda. Pada umumnya para ahli sejarah peradaban
dunia membagi periodisasi era/zaman dimulai dari Zaman Kuno, abad
ke-5 SM sampai abad ke-5 M, Zaman Pertengahan/Klasik, abad ke-6
sampai abad ke-14 M, Zaman Modern, abad ke-15 sampai 20 M, dan
terakhir Zaman Postmodern, abad ke-21 dan seterusnya.
Corak pemikiran orang pada Zaman Kuno, yang berpusat di
Yunani-Romawi, umumnya bersifat cosmosentris, artinya alam semesta
(cosmos) menjadi pusat perhatian dan pemikiran utama para filosuf
pada waktu itu. Para filusuf (kaum Sofis) banyak memusatkan
pemikirannya pada keberadaan alam semesta. Dari corak cosmosentris
tersebut, produk filsafat yang lahir adalah filsafat cosmologi. Mereka
sangat concern memikirkan alam semesta terutama dari segi hakikat
(inti) dan kejadiannya. Misalnya Thales (624-548 SM), yang menyatakan
bahwa hakikat (inti) alam adalah air, Anaximenes, yang menyatakan
bahwa inti alam adalah udara, Hiraklitos, yang menyatakan bahwa inti
288
Penutup
alam adalah api, dan Pitagoras (532 SM), yang menyatakan bahwa inti
alam adalah bilangan.
Pada zaman Kuno tersebut orang memandang realitas hukum
(hakikat hukum) juga tidak terlepas dari prinsip-prinsip tentang ajaran
cosmologi. Pada zaman ini cara berpikir orang tentang hukum banyak
didominasi oleh paham yang ada waktu itu yang disebut paham hukum
kodrat atau paham hukum alam, baik yang coraknya irrasional maupun
rasional. Hukum pada waktu itu dipandang sebagai asas-asas moralitas
dan keadilan yang bersifat universal yang sumbernya adalah cosmos
baik secara langsung maupun tidak langsung yaitu supranaturalthing
(tuhan).
Cara berpikir dan juga berhukum seperti digambarkan pada zaman
kuno itu kemudian mengalami perubahan setelah memasuki Zaman
Pertengahan (klasik) pada awal abad ke-6 M. Pada zaman ini pemikiran
orang banyak dipengaruhi oleh doktrin atau ajaran-ajaran agama. Di
Eropa banyak dipengaruhi oleh ajaran Kristiani, di Timur Tengah oleh
ajaran Agama Islam, di India oleh ajaran Hindu-Budha dan di China
oleh ajaran Konfucius/Konghucu. Oleh karena itu ciri yang menonjol
corak berpikir orang pada zaman tersebut bersifat Teosentris, artinya
tuhan dan ajaran-ajaranya menjadi pusat perhatian dan pemikiran.
Konsep tentang hukum juga tidak lepas dari pengaruh ajaran-ajaran
agama. Seperti misalnya konsep hukum yang dikemukakan oleh Thomas
Aquinas yang membagi jenis-jenis hukum dari level yang paling tinggi
dan abstrak menuju ke yang konkrit dari lex aeterna, lex devina, lex natura,
dan lex humana/ lex positiva. Demikian pula Hukum Fiqh yang banyak
dikembangkan oleh para Imam di wilayah Timur Tengah seperti Imam
Hambali, Imam Maliki, Imam Hanafi dan Imam Syafi’i merupakan
jabaran dari ajaran Islam tentang hukum yang sumbernya terdapat
dalam al-Quran dan al-Hadits. Di Zaman Pertengahan ini doktrin agama
menjadi penentu makna dan ukuran tentang realitas dan kebenaran.
Memasuki abad ke-15 di Eropa Barat terjadi perubahan yang sangat
fundamental tentang cara berpikir orang tentang realitas. Perubahan
Bab 6
289
fundamental itu beregrak dari corak berpikir yang teosentris ke
antroposentris, yaitu manusia menjadi pusat segala-galanya. Pandangan
Antroposentrisme muncul sebagai pendobrak pandangan teosentrisme, yang
beranggapan bahwa kehidupan tidak berpusat pada tuhan, akan tetapi
pada manusia. Manusialah yang menjadi penguasa realitas dan bukan
tuhan lagi. Manusia adalah penentu kebenaran, sehingga kitab suci atau
ajaran-ajaran agama tidak diperlukan lagi. Era ini disebut sebagai Zaman
Modern, dengan semangat renaisans. Cita-cita renaisans adalah
mengembalikan lagi kedaultan manusia, yang selama berabad-abad telah
terampas, dan manusia harus menjadi penguasa alam semesta.
Di bidang pemikiran keilmuan terjadi revolusi pemikiran dari
Filsafat Ontologi yang menjadi andalan filsafat pada Zaman Kuno dan
Pertengahan ke Filsafat Epistemologi. Filsafat Epistemologi inilah yang
telah melahirkan teori tentang metodologi yang berhasil melahirkan apa
yang disebut metode ilmiah (scientific method). Bermodalkan metode
ilmiah ini terbangun ilmu-ilmu modern, termasuk pula Ilmu Hukum
Modern, dengan produknya Hukum Modern yang sangat menakankan
pada dimensi rasionalitas manusia.
Revolusi ilmu pengetahuan yang telah dicapai oleh bangsa barat,
ternyata juga menimbulkan masalah-masalah baru. Semangat untuk
membebaskan diri dari Tuhan, yang merupakan cita-cita renaisans,
ternyata menyebabkan paham agnostisisme terhadap agama, dan pada
gilirannya menimbulkan sekularisme dan bahkan atheisme. Di sisi lain
revolusi ilmu pengetahuan juga menimbulkan paham bahwa ilmu
pengetahuan secara inheren bersifat bebas-nilai.
Melalui penyebaran budaya, paham epistemologi barat seperti itu
telah tersebar ke seluruh dunia. Melalui pendidikan semangat itu juga
tertanam dalam benak para pemikir kita, tak terkecuali di Indonesia.
Mereka berpandangan bahwa kemajuan kebudayaan dan kemajuan ilmu
pengetahuan hanya dapat terjadi jika kita mampu membebaskan diri
dari kungkungan agama dan hal-hal yang tidak rasional.
290
Penutup
Dampak epistemologi ilmu-ilmu barat ternyata telah
mendegradasikan martabat kemanusiaan (dehumanisasi). Banyak problem manusia modern yang tidak dapat terpecahkan oleh ajaran
modernisme itu sendiri. Oleh karena itu di penghujung abad ke-20 terjadi
revolusi pemikiran (paradigma) kembali dari yang bercorak antroposentis
ke yang bercorak multivers. Oleh sebagian pemikir corak ini menandai
lahirnya era baru yang disebut era Postmodern. Muttivers artinya tidak
ada sentris (pusat) dan dominasi lagi terhadap penguasaan realitas dan
juga patokan kebenaran. Dengan kata lain realitas dan kebenaran itu
bersifat plural. Ini ciri khas era Postmodern, yaitu multivers.
Menurut Sugiarto (1996), postmodernisme dibedakan
dengan postmodernitas, jika postmodernisme lebih menunjuk pada
konsep berpikir, sedangkan postmodernitas lebih menunjuk pada situasi
dan tata sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya
hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana
publik, usangnya negara dan bangsa serta penggalian kembali inspirasiinspirasi tradisi. Postmodern secara singkat sebenarnya ingin menghargai
faktor lain seperti tradisi, spiritualitas yang dihilangkan oleh modernisme
dengan penampilannya berupa rasionalisme, strukturalisme dan
sekularisme. Ciri pemikiran di era postmodern ini adalah pluralitas
berpikir dihargai, setiap orang boleh berbicara dengan bebas sesuai
pemikirannya. Postmodernisme menolak arogansi dari setiap teori,
sebab setiap teori punya tolak pikir masing-masing dan hal itu absah
saja. Di Era Postmodern tidak dikenal sentris, dominasi, dan kooptasi,
yang dikenal dan dianjurkan adalah pluralisme dan sikap saling
menghargai dan memahami (verstehen) atas pluralitas dan perbedaan.
Dengan mengaca pada corak zaman Postmodern ini maka setiap
orang atau kelompok bebas mengembangkan kreatifitasnya sesuai
dengan paradigma berpikir yang dianut dan tanpa harus tunduk pada
sebuah dominasi tertentu (sentris) seperti yang terjadi pada zamanzaman sebelumnya (cosmosentris, teosentris dan antroposentris). Di sinilah
terdapat peluang untuk mengembangkan Ilmu Hukum Profetik, untuk
Bab 6
291
membebaskan diri (liberasi) dari cara berpikir dan berhukum yang selama
ini dikuasai oleh dominasi hukum modern dengan coraknya yang
antroposentris. Mari kita ber-ijtihad membangun Ilmu Hukum Profetik,
semoga bermanfaat.
B. Ilmu Hukum Profetik sebagai Tawaran Alternatif
Ilmu Hukum Profetik sengaja dihadirkan, disajikan dan
diwacanakan sebagai menu sajian tentang gagasan keilmuan alternatif
di tengah-tengah jagad para pecinta ilmu, khususnya Ilmu Hukum di
era Postmodern ini. Ini dimaksudkan sebagai upaya pencarian dan
penemuan kebenaran nilai-nilai hukum (humanisasi/amar ma’ruf),
pembebasan (liberasi/nahi munkar) dari cara berhukum yang materialissekular, jauh dari nilai-nilai ketuhanan (transendensi) yang terjadi di
Zaman Modern, yang terbukti telah merendahkan peradaban manusia
(dehumanisasi).
Jika kita telusuri secara lebih seksama, sebenarnya filsafat
epistemologi barat yang telah berhasil melahirkan ilmu-ilmu modern
(termasuk hukum modern) sebenarnya mengandung cacat bawaan sejak
lahirnya. Cacat bawaan ini menyimpan potensi yang membahayakan
bagi kelangsungan peradaban manusia dan itu sudah terjadi saat ini.
Epistemologi barat telah berdampak pada krisis epistemologi keilmuan
yang menyesatkan peradaban manusia selama ini. Cacat bawaan
epistemologi tersebut terletak pada cara berpikir ilmuwan modern yang
hanya semata-mata bersumber dan mengandalkan pikiran (rasionalisme),
baik yang idealis (Platoism-Cartesian) maupun yang empiris
(Aristoteleism-Baconian). Sumber pengetahuan yang berupa wahyu yang
dibawa oleh para nabi (pengetahuan profetik) tidak mendapatkan tempat,
sehingga melahirkan cara berilmu yang berkarakter materialistik,
pragmatik, hedonis dan atheistik yang dibungkus dalam naungan Filsafat
Positivisme. Dan itu terbukti telah menyebabkan dehumnaisasi, karena
manusia berjalan sendiri tanpa petunjuk (huda) yang jelas dan pasti.
Penutup
292
Jika kita telusur ke belakang, pemikiran ilmu dan ilmiah modern
yang kita kenal dan ikuti saat ini, berdasarkan analisis M. Koenoe, adalah
berkat berkembangnya suatu filsafat yang disebut Filsafat Epistemologi.
Filsafat ini memusatkan pemikirannya untuk menemukan jawaban atas
pertanyaan tentang bagaimana dan sejauh mana validitas kemampuan
tahu yang ada pada diri manusia. Di dalam filsafat epistemologi, sasaran
pemikirannya yang radikal terarah pada manusia sebagai subjek yang
memikir itu sendiri. Di dalam filsafat ini terdapat pemikiran tentang
bagaimana kita dapat mengetahui sedemikian rupa sehingga hasilnya
dapat diterima menurut ukuran kebenaran yang sesuai dengan
pandangan filsafat yang bersangkutan. Hasil pemikiran itu dituangkan
ke dalam suatu ajaran menge-tahui yang disebut sebagai ‘ajaran
metodologi’. Ajaran ini yang membawa kepada adanya suatu ‘instruksi
berpikir’ dalam melakukan kegiatan keilmuan, yang disebut dengan
istilah disiplin.
Ajaran tentang metodologi, di dalam sejarah pemikiran filsafat di
Eropa Barat terdiri dari dua aliran yang secara prinsip berbeda.
Perbedaan itu dasar-dasarnya sudah tampak dimulai sejak zaman
Yunani Kuno, yang ditunjukkan oleh pendirian Plato (guru) dan
Aristoteles (murid) tentang pengetahuan manusia. Menurut Plato,
pengetahuan yang ada pada manusia, tidak lain adalah merupakan
bayangan, suatu kopi dalam pikiran kita tentang apa yang ada di dalam
alam luar kita yaitu alam ‘idee’. Di dalam alam idee yang metafisis itu,
segala sesuatu mempunyai wujudnya yang tetap dan abadi. Berbeda
dengan Aristoteles, la berpendirian, bahwa pengetahuan kita bersumber
dari ‘hal’ yang konkrit yang kita hadapi. Dari pendirian kedua pemikir
Yunani Kuno tersebut tampak, bahwa Plato meletakkan dasar
mengetahui yang bersifat metafisis, sedangkan Aristoteles meletakkan
dasar mengetahui yang realistis konkrit atau empiris. Perbedaan
pendirian antara guru-murid tersebut dalam dasarnya merupakan
perbedaan dalam filsafat yang dianut masing-masing mengenai hakikat
dari suatu realitas.
Bab 6
293
Perbedaan pendirian antara Plato dan Aristoteles yang pada
dasarnya merupakan perbedaan dalam ontologinya, pada kurun waktu
berikutnya pusat pemikiran filsafat di Eropa Barat mulai bergeser, yaitu
dari pandangan tentang ontologi, (artinya filsafat tentang hakikat
kebenaran dari objek yang menjadi pokok pemikiran) menjadi pemikiran
epistemologi, (yaitu pemikiran tentang subjek yang memikir itu sendiri).
Di dalam pemikiran epistemologi, yang sentral menjadi sasaran
pemikiran filsafat adalah manusia sebagai subyek yang memikir. Dalam
hal ini yang ditanyakan ialah bagaimana manusia sampai dapat
mengetahui segala sesuatu? Dalam menghadapi pertanyaan itu filsafat
epistemologi di daratan Eropa Barat memberi jawaban, bahwa itu adalah
karena pada diri manusia ada ‘pikiran’. Sekali lagi ‘pikiran’. Itu yang
yang merupakan alat dan sekaligus sumber dari pengetahuan manu-sia,
dan pikiran itu adalah sesuatu yang metafisis. Dari itu epistemologi
yang dianut oleh para pemikir di daratan Eropa Barat adalah
epistemologi yang metafisis. Aliran yang demikian ini adalah aliran
dalam rangka pendirian Plato. Lain lagi epistemologi yang dianut oleh
kalangan pemikir di Inggris. Kalangan itu mengikuti aliran Aristoteles
yang realistis. Pemikir epistemologi Inggris tergolong pemikir yang
mengikuti dan berpegangan kepada epistemologi yang empiris.
Perbedaan dasar-dasar dalam epistemologinya itu membawa pula
perbedaan dalam cara berpikir ilmiahnya. Di daratan Eropa Barat
diutamakan segi metafisisnya. Pengutamaan pandangan metafisis itu
menentukan pendekatan di dalam ajaran berilmu pengetahuan. Atas
dasar pandangan itu, pendekatan keilmuan di daratan Eropa Barat
menganut pendekatan yang bersifat deduktif-spekulatif. Di Inggris
diutamakan segi empirisnya, dengan mengutamakan pendekatan yang
kausal-empiris-analitis (induktif).
Perbedaan mengenai aliran epistemologi antara daratan Eropa
Barat dan Inggris, tidak saja membawa perbedaan dalam tekanan
perhatian dalam berilmu beserta jalan pendekatan berilmu. Perbedaan
tersebut juga membawa perbedaan dalam hal tujuan dalam berilmu.
294
Penutup
Di daratan Eropa Barat, tujuan berilmu ialah seperti yang sejak abad
pertengahan dikemukakan oleh Thomas van Aquino yaitu dalam rangka
memenuhi panggilan jiwa manusia yang selalu ingin mengetahui, atau
dalam rumusan bahasa Latin ‘desiderium sciendi’. Di Inggris, seperti
dikemukakan oleh oleh Francis Bacon, tujuannya didasarkan kepada
pandangan bahwa ‘knowledge is power’, pengetahuan adalah kekuasaan.
Perbedaan pendirian mengenai tujuan berilmu, menunjukkan pula
perbedaan filsafat hidup yang melatar belakanginya. Di daratan Eropa
Barat, filsafat hidup yang menjadi latar belakangnya ialah ‘penyempurnaan
manusia’, sedangkan di Inggris yang melatar belakanginya adalah faham
hedonisme, atau eudemonisme yaitu yang jiwanya sebagaimana
dirumuskan Adam Smith yaitu untuk menjelmakan ‘the greatest happiness
for the greatest number’. Kemudian filsafat ini di Amerika Serikat
dikembangkan menjadi filsafat pragmatisme, yang di dalam kejiwaannya,
seperti yang dirumuskan secara ringkas oleh William James yaitu untuk
memenuhi keinginan the satisfaction of human wants.
Baik di daratan Eropa Barat, maupun di Inggris, sekalipun antara
keduanya dalam hal pandangan epistemologinya ada prinsip-prinsip yang
berbeda, namun antara keduanya ada juga kesamaannya. Antara kedua aliran
itu dalam hal semangat yang mendasari filsafat epistemologinya sama-sama
hanya mengandalkan kepada kemampuan yang ada pada diri manusia saja.
Di daratan Eropa Barat kekuatan tahu itu berkat adanya pikiran manusia
saja, cogito ergo sum, saya berpikir, karena itu saya ada, kata Rene Descartes.
Sementara itu di Inggris ditekankan kepada pengalaman, experience is the best
teacher, pengalaman adalah guru yang terbaik.
Selain itu kedua-duanya di dalam epistemologinya juga
menunjukkan kesamaannya yaitu bahwa filsafat epistemologinya itu
sama sekali terlepas dari faham Ketuhanan yang diajarkan oleh gereja.
Di dalam pengembangan filsafat Hukum, hal ini tampak jelas dalam
ucapan Hugo Grotius yang bunyinya ‘etiamsi daremus non esse Deum,
artinya di dalam memikirkan Hukum Kodrat, ‘anggaplah seolah-olah
Tuhan itu tidak ada.’
Bab 6
295
Eropa Barat, dengan berpedoman kepada filsafat epistemologi yang
hanya mengandalkan pikiran saja, atau Inggris yang hanya mengandalkan
pengalaman saja, mengembangkan ilmu pengetahuan dengan
menanggalkan sama sekali faham Ketuhanan yang diajarkan gereja dalam
abad-abad sebelumnya. Abad ke XVIII dapat dikatakan bahwa terutama
bagi daratan Eropa Barat merupakan abad pikiran, atau rasionalisme.
Pengembangan ilmu pengetahuan yang dibangun dan
dikembangkan semata-mata dengan mengandalkan pada kekuatan
mengetahui manusia yaitu pikiran saja atau empiri saja, ternyata pada
permulaan abad ke XIX, mulai meluntur. Perkembangan selanjutnya
dari filsafat yang demikian mulai mendapat tantangan. Di daratan Eropa
Barat tantangan tersebut terutama dibawa oleh perkembangan aliran
romantik dan filsafat kritis. Dengan itu timbul ketidak puasan terhadap
pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan yang mengutamakan segi
rasionilnya saja meninggalkan segi-segi ethik, aesthetika, dan lain-lain
nilai-nilai kejiwaan yang tidak masuk di dalam alam akal atau empiri.
Memasuki abad ke XX, terjadi lagi suatu pembaharuan dalam
filsafat di daratan Eropa Barat. Filsafat tersebut tidak mengikuti filsafat
objektip (filsafat ontologi), juga tidak mengikuti filsafat subjektip (filsafat
epistemologi). Aliran baru ini mengajukan pandangannya sendiri dimana
subjek-objek disatukan. Filsafat ini mengajarkan bahwa alam nyata harus
dibedakan dari keadaannya atau existensinya. Existensi alam nyata ini
adalah tidak tetap. Itu tunduk kepada perubahan-perubahan yang terus
menerus. Perubahan itu terjadi bilamana keadaan dari alam nyata itu
mencapai suatu garis batas dari keadaannya. Di dalam istilah filsafat di
Jerman garis batas keadaan dari sesuatu itu disebut dengan istilah
grenzsituation atau disebut existensialisme. Perkembangan selanjutnya dari
Filsafat Barat akhir-akhir ini adalah lahirnya filsafat Postmodernisme.
Filsafat ini bersifat irrasionil dan dalam ajarannya filsafat ini menentang
foundationalisme, essentialisme dan realisme.
Perkembangan pemikiran filsafat ini dikemukakan dengan tujuan
untuk memahami garis besar perkembangan Filsafat Barat terutama
296
Penutup
filsafat epistemologi sebagai pencetus dan pemberi dasar lahirnya ilmu
dan pemikiran ilmiah yang hingga kini kita jumpai dan ikuti. Sudah
barang tentu perkembangan filsafat selanjutnya seperti existensialisme
dan post modernisme, juga mempengaruhi dan menentukan keilmuan
dan pemikiran ilmiah modern dewasa ini.
Pangkal dasar yang dulu diletakkan oleh Plato yaitu alam idee
dan Aristoteles yaitu pada halnya yang konkrit, kini telah berkembang
sedemikian rupa sehingga pangkal dasar untuk mengetahui menjadi
bermacam-macam jenisnya. Hal itu dapat ditunjukkan kepada
pertanyaan-pertanyaan yang timbul tentang dari mana mulai
mengetahui itu. Tetapi bagaimanapun, pengembangan ilmu dan
keilmiahan modern dalam abad ke XX ini tidak terlepas dari pengaruh
semangat dan kejiwaan yang didasari oleh filsafat yang menjiwai abad
ke XVIII yang masih hidup dalam awal abad XIX. Dasar-dasar dan benihbenih pemikiran ilmu dan keilmiahan yang diajarkan oleh filsafat
epistemologi pada masa itu, tetap berperan penting karena pada masa
itu lahirnya apa yang dinamakan ‘teori besar’ dari ilmu pengetahun
yang sampai kini tetap kita kenal dan menjadi perhatian. Pemeliharaan
keilmuan dan keilmiahan tetap mengandalkan terutama kepada
kekuatan ‘pikiran’ atau ‘empiri’ manusia saja dengan meninggalkan
faham ‘Ketuhanan’.
Jiwa yang demikian, ilmu dan keilmiahan Eropa Barat memasuki
abad ke XX, menyeret dunia di dalam pemeliharaan dan pengembangan
ilmu dan keilmiahannya sampai kini. Selain itu, di dalam abad ke XX
ini, kedua macam filsafat yang kuat dianut di Eropa yaitu filsafat yang
metafisis yang begitu kuat hidup di daratan Eropa Barat, maupun filsafat
yang empiris yang berkembang di Inggris dan Amerika Serikat,
menunjukkan bahwa filsafat empiris beserta sistim pemikiran yang
kausaal-empiris-analitis pada akhir-akhir ini yang menunjukkan
pengaruhnya yang lebih populer dan dominan.
Filsafat empirisme, tidak saja mengajarkan bagaimana
berpengetahuan, tetapi filsafat itu juga mengandung filsafat hidup pula
Bab 6
297
yang dasarnya ialah empiris. Filsafat hidup atas dasar empirisme ini, yaitu
filsafat hedonisme, pada bagian akhir abad ke XIX, di Amerika Serikat
berkembang menjadi filsafat pragmatisme dengan dasar-dasar yang
materialistis. Filsafat hidup itu kini yang menguasai kehidupan kemanusiaan
dengan kuat dalam skala global. Filsafat itu yang kini menjadi jiwa dan
landasan dari apa yang kini secara populer disebut globalisasi.
Sejarah peradaban Eropa Barat menunjukkan bahwa sampai abad
ke XII Eropa Barat berada di dalam abad kegelapan (the dark ages).
Kegelapan tentang semesta kenyataan ini dihadapi filsafat barat dengan
hanya mengandalkan kepada kemampuan daya pikir manusia. Hal itu
dilakukan dengan rintisan untuk memikirkannya secara radikal dan logis
sistematis yang disebut dengan jalan filsafat. Dalam kegiatan memikirkan
semesta kenyataan sebagai teka-teki, diperoleh jawaban yang sifatnya
berupa tebakan terhadap semesta kenyataan dengan mengandalkan
pikiran.
Dalam sejarah Islam, zaman sebelum datangnya Islam juga disebut
sebagai zaman kegelapan atau jahiliah. Artinya bahwa semesta kenyataan
ini pada masa itu adalah suatu misteri yang mengandung teka-teki yang
tidak ada yang dapat memberikan penjelasan tentang ‘clara et distincta
perceptio’nya. Dengan datangnya Islam yang diajarkan oleh Rasulullah,
kegelapan tersebut diungkap. Untuk mengungkap itu pertama-tama
dituntut untuk memiliki alat yang dapat membawa terang terlebih
dahulu keadaan gelap itu. Di dalam keadaan gelap, bilamana ingin tahu
tentang sesuatu mengenai apa dan bagaimananya, diajarkan bahwa
sebelumnya orang harus menggunakan suatu alat yang dapat membuat
keadaan gelap itu berada dalam keadaan yang terang terlebih dahulu.
Di dalam permulaan surat al-Baqarah, alat yang dapat membawa
keadaan terang itu ialah ‘iman’ kepada Yang Maha Pencipta semesta
kenyataan ini. Dengan iman orang akan dibawa kepada pengakuan
bahwa semesta kenyataan ini ada yang menciptakannya.
Selanjutnya bahwa ciptaanya itu ada dan berjalan menurut
ketentuan dan rancanganNya sebagaimana dikehendaki olehNya.
298
Penutup
Dengan itu semesta kenyataan ini hanya dapat diketahui dan dimengerti,
bila tentang itu diperoleh penjelasan dari Yang Maha Mencipta itu.
Penjelasan itu hanya dapat diterima oleh manusia bila dia pertamatama beriman kepadaNya sebagai Yang Maha Pencipta. Pengetahuan
atas dasar iman, adalah pengetahuan yang diperoleh bukan atas dasar
menerka dalam kegelapan, tetapi diperoleh dan didasarkan pada
pemberitahuan dari Penciptanya sendiri yaitu beriman kepada wahyu
(pemberitaan Tuhan).
Dengan dasar itu selanjutnya oleh al-Qur’an ditunjukkan syaratsyarat lain yang harus dipenuhi seseorang yang sudah berada di dalam
keadaan yang terang jiwanya untuk mengembangkan pengetahuannya
selanjutnya. Syarat-syarat itu, seperti tertera di dalam permulaan surat
al-Baqarah, bila dikemukakan secara bebas adalah sebagai berikut:
a. Bahwa dalam segala keadaan, seorang di dalam menjalani
keadaannya, akan selalu tetap memerlukan petunjukNya untuk dapat
selalu berada di dalam jalan yang lurus yang ditentukan olehNya,
b. Bahwa dalam menjalani ke-ada-annya, orang harus menjauhkan diri
dari watak tamak yang materialistis,
c. Bahwa semesta kenyataan ini olehNya ditentukan berada dalam
suatu proses yang tiada hentinya menuju kepada bentuknya yang
terakhir sebagaimana yang dikehendakiNya.
Prinsip-prinsip tersebut sebagai syarat dan dasar bagi manusia
untuk memahami semesta kenyataan yang diperintahkan Allah yaitu
selalu menggunakan alat-alat kemampuan mengetahui dan memahami
berupa wahyu, fikiran, akal dan hati yang ada pada manusia. Inilah
landasan utama Epistemologi Ilmu Hukum Profetik, bedanya yang tidak
profetik. Landasan epistemologi ini membutuhkan penggalian,
pemikiran dan pengembangan lebih lanjut untuk membangun sosok
yang lebih jelas tentang Ilmu Hukum Profetik.
Uraian yang terdapat pada buku ini, dari awal sampai akhir sebatas
membicarakan dari segi landasan kefilsafatanya dan belum sampai pada
struktur keilmuannya. Untuk sampai ke struktur keilmuanya, kita
Bab 6
299
setidak-tidaknya membutuhkan 4 (empat) perangkat, yaitu Filsafat
Profetik, Filsafat Ilmu Profetik, Filsafat Ilmu Hukum Profetik dan Ilmu
Hukum Profetik. Untuk perangkat pertama dan kedua sudah dilakukan
oleh Kuntowijoyo dan Heddy Shri Ahimsa-Putra dengan segala kelebihan
dan kekurangan. Untuk perangkat yang ketiga buku ini jawabannya
dan untuk perangkat keempat masih perlu dicari dan diupayakan
realisasinya. Sungguh upaya dan pencarian yang panjang, semoga Allah
selalu memberi petunjuk, tambahan ilmu dan intuisi yang lebih baik
(Robbi zidni ‘ilman warzukni fahman). Amien.
300
Penutup
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. 2006. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan
Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_______, 1998. “Preliminary Remarks on the Philosophy of Islamic
Religious Science”, Al-Jami’ah, No. 61, TH., 1998.
Abu-Rabi’, Ibrahim M. and Ian Markham (Ed.). 2002. 11 September:
Religious perspectives on the causes and consequences ,Oxford:
Oneworld Publications.
Adonis. 2002. al-Tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts fi al-ibda’ wa al-itba’ ‘inda
al-arab, London: Dar al-Saqi.
Adz-Dzakiey, Hamdani Bakran. 2008. Psikologi Kenabian, Prophetic
Psychology Menghidupkan Potensi dan Kepribadian Kenabian dalam
Diri. Ctk ketiga. ogyakarta: Al-Manar.
Adiprasetya, Joas. 2002. Mencari dasar bersama: etik global dalam kajian
postmodernisme dan pliuralisme agama, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Al-Jabiry, Mohammad Abid. 2002. Madkhal ila falsafah al-ulum: alAqlaniyyah al-mu’asirah wa tathawwur al-fikr al-ilmy, Beirut:
Markaz Dirasaat al-Wihadah al-Arabiyyah, Cetakan ke -5.
Ahimsa-Putra, Heddy Shri, 2011. “Paradigma Profetik sebuah Konsepsi”,
Makalah disampaikan dalam Diskusi Pengembangan Ilmu
Profetik 2011,diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum (PSH)
Fakultas Hukum - UII, di Yogyakarta, 18 Nopember 2011.
_______, 2008. Paradigma dan Revolusi Ilmu Dalam Antropologi Budaya:
Sketsa Beberapa Episode. Pidato Pengukuhan Guru Besar.
Yogyakarta; Universitas Gadjah Mada.
_______, 2009. “Paradigma Ilmu Sosial-Budaya: Sebuah Pandangan”.
Makalah ceramah.
302
Daftar Pustaka
Anonim. 2002. Laporan Penyelenggaraan Sarasehan Ilmu-ilmu Profetik,
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
An-Na’im, Abdullahi Ahmed. 1996. Toward an Islamic Reformation:
Civil Liberties, Human Rights, and International Law, New York:
Syracuse University Press.
Arto, Ahmad Mukti. 2006. Mencari Keadilan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Auda, Jasser, Maqasiid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems
Approach, London dan Washington: The International Institute
of Islamic Thought, 2008.
Anonim. Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia,
Nahdhatul Ulama DIY, Seminar Nasional “Teologi
Pembangunan”. Kaliurang 25-26 Juni 1988.
Baderin, Mashood A. 2003. International Human Right and Islamic Law,
Oxford and New York: Oxford University Press.
Banawiratma, J.B., Zainal Abidin Bagir, etc. 2010. Dialog Antarumat
Beragama: Gagasan dan Praktik di Indonesia, Jakarta: Mizan
Publika.
Bartol dan Bartol. 1994. Psychology and Law. California: Brooks/Cole
Publishing Company.
Barbour, Ian G. l966. Issues in Religion and Science, New York: Harper
Torchbooks.
Boullata, Issa J. (Ed.). l992. An Anthology of Islamic Studies, Canada: McGill
Indonesia IAIN Development Project.
Burgoon, J. Buller D, Woodall G. 1989. Nonverbal Communication. New
York: Harper and Row Publishers.
Brigham, J.C. 1991. Social Psycholoy. New York : Harper Collins Publisher.
Black, Donald. 1976. The Behavior of Law. New York: Pegassus.
Cuff, E.C. dan G.C.F.Payne (eds.). 1979. Perspectives in Sociology. London:
George Allen & Unwin.
Darmodiharjo, D. & Shidarta. 1996. Penjabaran Nilai-nilai Pancasila dalam
Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo.
El-Ansary, Waleed dab David K. Linnan (Ed.). 2010. Muslim and Christian
Understanding: “A Theory and Application of “A Common Word”,
New York: Palgrave Macmillan.
El-Fadl, Khaled Abou. 2001. Speaking in God’s Name: Islamic Law,
Authority, and Women, Oxford: Oneworld.
Friedman, L.M. 1977. Law and Society : An Introduction, New Jersey:
Prentice Hall.
Daftar Pustaka
303
_______, 1975. The Legal System : A Social Science Perspektive, New York :
Russel Sage Fondation.
_______, 1986. American Law, New York: W.W.Norton & Co.
Fred N. Kerlinger. 1973. Foundations of Behavioral Research, (second edition).
Holt, Rinehart and Winston. London.
Fuady, Munir. 2003. Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan
Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti.
Gunawan, Ahmad dan Ramadhan, Muammar (Penyunting). 2006.
Menggagas Hukum Progressif Indonesia. Yogyakarta: Pusataka
Pelajar.
Gardon, Scott. 1991. The History and Philosophy of Social Science. London:
Toutdge.
Hammersley, Martyn. 1995. The Politics of Social Research. London: Sage.
Hasan, Ahmad. 1985. IJMA. Bandung, Penerbit Pustaka.
Hickling, R.H. 1996. Major Legal Systems. Centre for Southerns Asian
Law Faculty of Law, Northern Teritorry.
Huntington, Samuel, 2002. The Clash Civilizations and the Remaking of
World Order. London. WC2B. An Imprint of Simon Suchter
UK..
Http://www. hukumonline.com, Cari Hakim Jujur Lewat Eksaminasi
Putusannya, diakses tanggal 18 Februari 2007.
Http://erabaru.net/opini/65-opini/10099-menegakkan-keadilanjangan-sekedar- menegakkan-hukum, diakses tanggal 20 April
2010.
Http://www.sunan-ampel.ac.id/publicactivity/detail.php?id=28,
diakses tanggal 20 April 2010.
Http://bambang.staff.uii.ac.id/index.php, diakses tangggal 20 April
2010.
Ian G. Barbour. 2000. When Science Meets Religions. Enemies, Strangers,
or Patner. Harper Collins Publisher Inc.
Inkeles, A. 1964. What is Sociology?. Englewood Cliffs, N.J.: PrenticeHall.
Koesnoe, M. 1981. “Kritik Terhadap Ilmu Hukum”. Makalah Ceramah
di Hadapan Para Dosen dan Mahsaiswa Fakultas Hukum UII
Yogyakarta, 3-4 Pebruari 1981.
Kuhn, T. 1970. The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: The University of Chicago Press. Second Edition, Enlarged.
Kuhn, Thomas, Habermas, Jurgen. 1997. Between Facta and Norms:
Contribution to a Discourse Theory of Law and Democracy (translated
by William Rehg). Polity Press Oxford, UK.
304
Daftar Pustaka
Kuntowijoyo, 2006. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kaelan, 201. Implementasi Nilai-Nilai pancasila dalam menegakan
Konstitusionalitas Indonesia. Jakarta. Mahkamah Konstitusi RI
dengaan Universitas Gadjah Mada..
Kompas, 26 Nopember 1998.
Kusumaatmadja, 1986. Muchtar, Fungsi dan Perkembangan hukum dalam
Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum Fakultas
Hukum Universitas Padjadjaran, diedarkan oleh Penerbit Bina
Cipta, Bandung
Macaulay, Stewart., 1963. Non Contractual Relation in Business. American
Sociological Review.
Kuhn, Thomas, 1962. The Structure of Scientific Revolutions, Chicago.
University of Chicago Press.
Le Bon, Gustav. 1974. The World of Islamic Civilization, terj. oleh David
Macrae, Todor Publishing Company
Luhman, Niklas. 1985. A Sociological Theory of Law. London : Routledge
& Kegan Paul.
Luthan, Salman, 2011. “Gagasan Ilmu Hukum Profetik”. Makalah
disampaikan dalam Diskusi Pengembangan Ilmu Profetik
2011,diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas
Hukum - UII, di Yogyakarta, 18 Nopember 2011.
Luthan, Salman & Triyanta, Agus. 1997. “Pengembangan Sumber Daya
Manusia Aparat Keadilan”. Jurnal Hukum FH-UII. No. 9. Vol.
4-1997.
Lemek, Jeremies, 2007. Mencari Keadilan Pandangan Kritis Terhadap
Penegakkan Hukum di Indonesia, Galang Press, Yogyakarta.
Martin, Richard C., (Ed.). l985. Approaches to Islam in Religious Studies,
Arizona: The University of Arizona Press.
Munitz, Milton K., 1981. Contemporary Analytic Philosophy, New York:
MacMillan Publishing CO,. Inc.
Mahfud, MD, Moh. 1997. “Politik Hukum untuk Independensi Lembaga
Peradilan”. Jurnal Hukum FH-UII. No. 9. Vol. 4-1997.
Mauwissen. 1994. “Pengembanan Hukum “ PRO JUSTITIA Tahun XII
Nomor 1 Januari 1994.
Mulyatno. 1982. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Yogyakarta: Bina
Aksara.
Madjid, Nurcholis, 2005. Islam Doktrin dan Peradaban, “Sebuah Telaah Kritis
tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan”.
Jakarta: Penerbit Paramadina.
Daftar Pustaka
305
_______, 1993. Islam, Kemodernan dan Ke-Indonesiaan, Bandung: Mizan.
Ma’arif, Syafi’i. 1993. Peta Bumi Intelektual Muslim di Indonesia, Bandung:
Mizan.
Masterman, M. 1970. “The Nature of a Paradigm” dalam Criticism and
the Growth of Knowledge, I. Lakatos dan A.Musgrave (eds.).
Cambridge: Cambridge University Press.
Muqodas, Busyro, 2006. “Peran Komisi Yudisial RI dalam
Pemberantasan Mafia Peradilan di Indonesia”. Makalah dalam
Diskusi Publik Komisi Penyelidikan dan Pemberantasan
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Jawa Tengah, 1 Pebruari 2006.
Mudzakkir, “Urgensi dan Relevansi Eksaminasi Publik”. Makalah dalam
diskusi panel yang diselenggarakan oleh Departemen Acara
FH UII, Pusdiklat Laboratorium UII, ICW.
Mertokusumo, Sudikno, 2004. Mengenal Hukum Suatu Pengantar,
Yogyakarta, Liberty.
_______, 1997. “Sistem Peradilan di Indonesia”. Jurnal Hukum FH-UII.
No.9. Vol.4-1997
Merton, R.K., 1968. Social Theory and Scoial Structure. New York: The
Free Press.
Nagel, E. 1961. The Structure of Science: Problems in the Logic of Scientific
Explanation London: Routledge and Kegan Paul.
Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Crosscultural Studies/CRCS, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di
Indonesia, 2009.
Parsons, Talcott. The Social System: The Major Exposition of the Author’s
Conceptual Scheme for the Analisis of the Dinamics of the Social
System.
Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 2263.K/Pdt/1991.
Qodir, C.A. 1991. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam. Jakarta:
Yayasan Obor.
Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual
Tradition, Chicago: The University of Chicago Press, l982.
Ramadan, Tariq, Western Muslims and the Future of Islam, New York:
Oxford University Press, 2004.
Rolston, Holmes III, Science and Religion: A Critical Survey, New York:
Random House, l987.
Reynolds, A. 1980. A Primer in Theory Construction.
Ratoosh, P. 1973. “Sense and Sensation”. Encyclopedia Americana vol.24:
559-561.
306
Daftar Pustaka
Ritzer, George and Doglas, Goodman, Modern Sociological Theory. (Six
Edition), McGraw-Hill. Mariland, USA. 2003. A.15.
Rahayu, Yusti Probowati, “Putusan Hakim Pada Perkara Pidana: Kajian
Psikologis”. Buletin Psikologi Fakultas Psikologi UGM tahun III
Nomor 1 Agustus 1995
Rawls, John, Teori Keadilan Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial dalam Negara, Pusaka Pelajar, Yogyakarta,
2006.
Rahardjo, Satjipto, “Pendekatan Holistik terhadap Hukum”. Jurnal
Hukum Progresif Volume: 1 Nomor 2/ Oktober 2005.
Rahardjo, Satjipto. Tanpa tahun. Masalah Penegakan Hukum Suatu
Tinjauan Sosiologis. Bandung : Sinar Baru.
_______, 2006. “Pemberantasan Korupsi Progresif”. Makalah disampaikan
Pada diskusi Peran Komisi Yudisial dalam Pemberantasan Mafia
Peradilan di Indonesia. FH Unissula / Kp2KKN Semarang 1
Pebruari.
_______, 1998. “Keluasan Reformasi Hukum”, Kompas, 8 Mei.
Sidharta, Bernard Arief, 1999. Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, sebuah
Penelitian tentang Fondasi kefilsafatan dan sifat keilmuan Ilmu
Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. Bandung: Mandar Maju.
Stone, Julius, 1969. Law and Social Sciences. Minneapolis. University of
Minnesota Press.
Saeed, Abdullah, 2006. Interpreting the Qur’an: Towards a contemporary
approach, New York NY: Routledge.
Saeed, Abdullah, 2006. Islamic Thought: An Introduction, London and
New York: Routledge.
Safi, Omit (Ed.), 2003. Progressive Muslims: On Justice, Gender and Pluralism,
Oxford: Oneworld Publications.
Saridjo, Marwan (Ed), 200. .Mereka Bicara Pendidikan Islam: Sebuah Bunga
Rampai, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Shahrur, Mohammad, 2000. Nahw usul al-jadidah li al-fiqh al-Islamy: Fiqh
al-mar’ah, Damaskus: al-Ahali.
Sumartana, Th., dkk. 2005. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di
Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan kedua.
Sardar, Ziauddin (Editor), 1989. An Early Crescent: The Future of
Knowwledge and the Enironment in Islam. London and New York.
Mansel.
Sutiyoso, Bambang, 2009. Metode Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan
Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, Jogjakarta, UII Press.
Daftar Pustaka
307
Syah, Mudakir Iskandar. 1985. Hukum Dan Keadilan, Grafindo Utama,
Jakarta.
Siregar, Bismar. 1995. Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan, Jakarta, Gema
Insani Press.
Widoyoko, Danang et. al. Menyingkap Tabir Mafia Peradilan, Jakarta, ICW,
Soegangga, I.G.N., 1994. Pengantar Hukum Adat. Semarang: Badan
Penerbit Undip;
Smith.V.L.1991. “Impact of Pretrial Instruction on Juror’s Information
Prossesing and Decision Making”. Journal of Applied Psycology.
Suryabrata, S.1993. Psikologi Kepribadian. Ctk. Keenam. Jakarta: Rajawali
Press.
Sarwono, Sarlito W. 1995. Teori-Teori Psikologi Sosial. Saduran. Jakarta:
PT Raja Grafindo.
Sugiharto, Bambang. 1996. Postmodernisme - Tantangan bagi Filsafat,
Yogyakarta: Kanisius.
Suriasumantri, Jujun S. 1994. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Twinning, William. 2000. Globalization and Legal Theory. Santos dan Haack,
and Calvino, Globalization, Post-modernism, and pluralism.
Butterworth. London.
Thontowi, Jawahir. “Pengembangan Ilmu Hukum Berbasis Religious
Science: Dekonstruksi Filosofis Pemikiran Hukum Postivistik”.
Makalah disampaikan dalam Kuliah Tamu di Paskasarjana
Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya Malang.
diselenggarakan 13 Agustus 2011.
_______, 2010. Menuju Ilmu Hukum Berkeadilan. Disampaikan dalam
Pidato Pengukuhan Guru Besar. Diselenggarakan 20 Desember
di dalam Sidang Senat Terbuka Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta.
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Varia Peradilan, 1996. No.129.
Wilk, K, 1950. The Legal Philosophies of Laks, Radbruch, and Dabin.
Cambridge. Massachusetts. Harvard university Press.
Wignjosoebroto, Soetandyo. 2013. Hukum Konsep dan Metode. Malang:
Setara Press.
_______, 2002. Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya.
Jakarta: Huma.
_______, 2000. “Permasalahan Paradigma dalam Ilmu Hukum”. Jurnal
Ilmu Sosial Transformatif , Edisi 6- Tahun II 2000.
308
Daftar Pustaka
Wilson, Edward O. 1998. Consilience, The Unity of Knowledge. Alfreda
Knoff New York.
www.jasserauda.net
www.maqasid.net.
Download