Agus Salim REFORMULASI PARADIGMA KEILMUAN ISLAM (Upaya Pembentukan Basis Konseptual Keilmuan Islam Integratif) Agus Salim Abstrak Upaya reformulasi peradigma keilmuan Islam sangat penting dilakukan, terlebih manakala melihat realitas keilmuan dewasa ini, di mana umat Islam mulai dirongrong oleh paradigma keilmuan Barat yang positivistik dan tidak selalu tetap diterapkan dalam dunia Islam. Adapun formulasi keilmuan Islam yang perlu dikembangkan adalah paradigma keilmuan yang bervisi integratif, dengan berbagai model yang dapat dikembangkan oleh tiap instansi perguruan tinggi Islam, sesuai dengan tantangan dan filosofi keilmuan yang mereka anut.Artikel ini hendak membedah upaya reformulasi paradigma keilmuan Islam yang dimaksudkan untuk mengatasi berbagai kelemahan keilmuan yang dirasakan saat ini, terutama kondisi dikotomi keilmuan yang cenderung eksklusif dan membatasi ruang gerak keilmuan Islam. Kata Kunci: Taqlid, Islamisasi Ilmu, Integrasi Ilmu A. Pendahuluan Fuad Jabali dalam sebuah tulisannya mengungkapkan bahwa keseluruhan sejarah Islam pada dasarnya merupakan proses pergumulan nilai-nilai Islam dalam ruang waktu tertentu. Hasil dari pergumulan tersebut kemudian melembaga dalam berbagai bidang keilmuan mulai dari tafsir hingga filsafat. Sayangnya proses pelembagaan tersebut sekaligus merupakan proses pengkristalan Islam dalam berbagai bidang ilmu, aliran, dan juga mazhab, yang mulai terlihat jelas terutama pada abad ke-8-9 M, dengan tokoh seperti Malik ibn Anas (w. 795 M.), Abu Hanifah (w. 767 M.), al-Syafi’i (w. 820 M.) dan Ahmad ibn Hanbal (w. 855 M.). Sejak abad-abad inilah Islam secara intensif diformulasikan dan digeneralisasikan, hingga TAJDID Vol. XII, No. 1, Januari-Juni 2013 467 Reformulasi Paradigma Keilmuan Islam menghasilkan wajah Islam yang abstrak dan transenden, di mana ruh Islam telah ditarik lepas dari dunia nyata.1 Dalam kenyataan di atas keilmuan Islam lambat namun pasti mengalami kemandekan, pelegitimasian ortodoksi Islam terhadap filsafat dan bidang kesenian, sains, dan teristimewa ilmu kealaman menjadi titik balik tradisi Islam. Kreativitas yang semula sangat mewarnai tradisi Islam semakin terkebiri dan tertutup oleh tradisi taqlid. Akibatnya, kristalisasi pemikiran menjadi keharusan yang tidak terhindarkan, dengan anggapan utama bahwa segala sesuatu yang harus dan pantas diketahui telah diketahui dan dipahami lebih baik oleh orang yang hidup di masa yang lebih dekat dengan saat-saat pewahyuan al-Qur’an.2 Demikian pula sakralisasi terhadap tokoh agama merebak secara luas, sehingga ketika tradisi filsafat illuminisme –sebagai persimpangan filsafat peripatetik-- yang masih diteruskan dibelahan di dunia Barat (Andalusia) muncul kepermukaan, tetap tidak mampu membalikkan tradisi dunia Islam secara keseluruhan, karena terkendala oleh tradisi fatalisme taqlid yang amat kuat, dan juga situasi politik yang tidak memungkinkan. Tradisi umat Islam yang tidak kreatif dan fatalis terutama taqlid diakui Murad W. Hofmann, memiliki pengaruh yang tidak kecil terhadap paradigma keilmuan muslim. Taqliq secara signifikan telah mengubah corak penafsiran umat Islam terhadap al-Qur’an dan sunnah Nabi pada corak penafsiran yang kaku, sehingga prinsipprinsip dasar Islam termasuk prinsip keterbukaan dan dorongan terhadap perkembangan sains dan teknologi menjadi kabur. Ulama klasik memahami ayat di atas sebagai larangan mencari pengetahuan yang secara ekspilisit. Corak penafsiran demikian lebih jauh dikatakan Hofmann sebagai salah satu faktor yang mendorong alienasi dan subordinasi umat Islam terhadap sains dan filsafat yang semakin 1 Fuad Jabali, Islam Klasik dan Kajian Islam di Masa Depan, http://www. ditpertais.net./ artikel/ fuad01. asp, 7 Juni 2011. 2 Pandangan ini dapat dirujuk dalam Murad W. Hofman, “Islam: The Alternative”, (Terj.) Rahmani Astuti, Menengok Kembali Islam Kita, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), Cet. ke-1, hal. 75 468 TAJDID Vol. XII, No. 1, Januari-Juni 2013 Agus Salim kokoh pada abad ke-15 dengan tuduhan bi’ah bagi penggali pengetahuan di bidang tertentu.3 B. Fenomena keilmuan Islam Kontemporer Peta keilmuan dewasa ini –mau tidak mau namun harus diakui-dikuasai oleh paradigma keilmuan Barat Modern, Positivisme yang menjadi bangunan dasar paradigma keilmuan modern, percaya pada adanya grand theory untuk melukiskan pengetahuan dan menjelaskan segala fenomena.4 Paradigma ini berujung pada sebuah pandangan objektif-ilmiah yang dipahami bersifat universal. Universalisme ini dinilai oleh beberapa kalangan sebagai universalisme semu, karena tidak mampu mengakomodir seluruh tatanan sistem keilmuan.5 Karena itu di dunia Barat sendiri Positivisme telah banyak dikritisi. Dalam tradisi kritis lingkaran Vienna misalnya, positivisme ditolak. Mereka telah menandakan pemakaman logika positivisme (burial of logical positivism), untuk menghidupkan filsafat ilmu baru (new philosophy of science), 6 seperti yang dilakukan oleh Thomas S. Khun, melalui skeptisisme atau nihilisme yang mengarah pada pembentukan epistemologi kontemporer (post-modernisme).7 Kritik 3 Disarikan dari Hofman, Menengok Kembali Islam Kita, 76-77. Pantangan tersebut tentu tidak dapat dipahami secara gamblang sebagai faktor utama yang mendorong alienasi terhadap ilmu pengetahuan di dunia Islam, mengingat begitu banyak faktor yang turut mempengaruhi pemudaran minat keilmuan umat Islam, terutama faktor internal berupa kebijakan politik yang membuka lahan subur bagi tumbuh-kembangnya tradisi sufistik yang memang sedang bersemai ketika itu. Selain itu faktor eksternal juga memiliki andil besar dalam kemerosotan ilmu pengetahuan umat Islam, terutama penyerangan bangsa Mongol yang memusnahkan sebagian besar literatur keilmuan Islam. 4 Clinton Bennett, Muslims and Modernity: An Introduction to the Issues and Debates (London – New York: MPG Books Ltd, Bodmin, Cornwall 2005), 28. 5 Secara filosofis misalnya Anthony Giddens mengkritik Wilhelm Wundt, Émile Durkheim, Sigmund Freud, dan ilmuan Barat modern lainnya, yang beranjak dari perdebatan objek-subjek, padahal dalam kenyataannya distingsi tersebut adalah apriori dan palsu, hal itu tidak sebagaimana gambaran rigid Descartes tentang subjek dan objek atau tubuh dan jiwa. Stepan G. Mestrovic, Anthony Giddens: The Last Modernist (London: Routledge, 1998), 25. 6 Shahid Rahman and John Symons (eds.)., Logic, Epistemology, and the Unity of Science (Netherlands: Springer Science + Vusiness Media BV, 2009), 6. 7 Thomas S. Khun, The Structure of Science Revolutions (Chicago: The University of Chicago Press, 1970). 66-77. Menurut Khun, ilmu yang kemudian TAJDID Vol. XII, No. 1, Januari-Juni 2013 469