Diabetes Melitus Tipe 2 Dan Tatalaksana Terkini

advertisement
Leading article
Diabetes Melitus Tipe 2 Dan Tatalaksana Terkini
Suzanna Ndraha
Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana Jakarta
PENDAHULUAN
Menurut American Diabetes Association
(ADA) 2010, Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya.1,2
Epidemiologi
Untuk pasien tanpa gejala khas DM, hasil
pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali
saja belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan investigasi lebih lanjut
yaitu GDP ≥ 126 mg/dl, GDS ≥ 200 mg/dl pada
hari yang lain atau hasil Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) ≥ 200 mg/dl. Alur penegakkan diagnosis DM dapat dilihat pada skema di gambar 11
Prevalensi DM tipe 2 pada bangsa klit putih
berkisar antara 3%-6% dari jumlah penduduk dewasanya. Di Singapura, frekuensi
diabetes meningkat cepat dalam 10 tahun
terakhir.3 Di Amerika Serikat, penderita
diabetes meningkat dari 6.536.163 jiwa di
tahun 1990 menjadi 20.676.427 jiwa di tahun 2010.4 Di Indonesia, kekerapan diabetes berkisar antara 1,4%-1,6%, kecuali di
beberapa tempat yaitu di Pekajangan 2,3%
dan di Manado 6%.3
Diagnosis
Diagnosis klinis DM ditegakkan bila ada
gejala khas DM berupa poliuria, polidipsia,
polifagia dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Jika
terdapat gejala khas dan pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu (GDS) ≥ 200 mg/dl diagnosis DM sudah dapat ditegakkan. Hasil
pemeriksaan Glukosa Darah Puasa (GDP)
≥ 126 mg/dl juga dapat digunakan untuk
pedoman diagnosis DM.
Vol. 27, No.2, Agustus 2014
Gambar 1. Langkah diagnostik Diabetes Mellitus
(DM) dan gangguan toleransi glukosa (GTG)1
MEDICINUS
9
leading article
Klasifikasi
Klasifikasi etiologis DM menurut American Diabetes Association 2010 (ADA 2010), dibagi dalam 4 jenis
yaitu:
a. Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM
DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab autoimun. Pada DM tipe
ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin dapat ditentukan dengan level protein
c-peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak terdeteksi sama sekali. Manifestasi klinik pertama dari
penyakit ini adalah ketoasidosis.
2. Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes Mellitus/NIDDM
Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi
glukosa oleh hati. Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena
dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Hal
tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada adanya glukosa bersama bahan
sekresi insulin lain sehingga sel beta pankreas akan mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa.
Onset DM tipe ini terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik. Adanya resistensi yang
terjadi perlahan-lahan akan mengakibatkan sensitivitas reseptor akan glukosa berkurang. DM tipe
ini sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi.
3. Diabetes Melitus Tipe Lain
DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik fungsi sel beta, defek genetik
kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus,
penyakit autoimun dan kelainan genetik lain. Penyebab terjadinya DM tipe lain dapat dilihat pada
tabel 1.
4. Diabetes Melitus Gestasional
DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa didapati pertama kali pada
masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan ketiga. DM gestasional berhubungan dengan
meningkatnya komplikasi perinatal. Penderita DM gestasional memiliki risiko lebih besar untuk
menderita DM yang menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan.
10
MEDICINUS
Vol. 27, No.2, Agustus 2014
leading article
KOMPLIKASI
Pada DM yang tidak terkendali dapat terjadi
komplikasi metabolik akut maupun komplikasi
vaskuler kronik, baik mikroangiopati maupun
makroangiopati. Di Amerika Serikat, DM merupakan penyebab utama dari end-stage renal disease (ESRD), nontraumatic lowering amputation,
dan adult blindness.5
Sejak ditemukan banyak obat untuk menurunkan glukosa darah, terutama setelah ditemukannya insulin, angka kematian penderita diabetes
akibat komplikasi akut bisa menurun drastis.
Kelangsungan hidup penderita diabetes lebih
panjang dan diabetes dapat dikontrol lebih lama.
Komplikasi kronis yang dapat terjadi akibat diabetes yang tidak terkendali adalah:6,7
Kerusakan saraf (Neuropati)
Sistem saraf tubuh kita terdiri dari susunan saraf
pusat, yaitu otak dan sumsum tulang belakang,
susunan saraf perifer di otot, kulit, dan organ
lain, serta susunan saraf otonom yang mengatur otot polos di jantung dan saluran cerna. Hal
ini biasanya terjadi setelah glukosa darah terus
tinggi, tidak terkontrol dengan baik, dan berlangsung sampai 10 tahun atau lebih. Apabila
glukosa darah berhasil diturunkan menjadi normal, terkadang perbaikan saraf bisa terjadi. Namun bila dalam jangka yang lama glukosa darah
tidak berhasil diturunkan menjadi normal maka
akan melemahkan dan merusak dinding pembuluh darah kapiler yang memberi makan ke saraf
sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut
neuropati diabetik (diabetic neuropathy). Neuropati diabetik dapat mengakibatkan saraf tidak
bisa mengirim atau menghantar pesan-pesan
rangsangan impuls saraf, salah kirim atau terlambat kirim. Tergantung dari berat ringannya
kerusakan saraf dan saraf mana yang terkena.
Prevalensi Neuropati pada pasien DM tipe 1 pada
populasi klinik berkisar 3% s/d 65.8% dan dalam
penelitian pada populasi berkisar 12.8% s/d 54%.
Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi
neuropati pada populasi klinik berkisar 7.6% s/d
68.0% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 13.1% s/d 45.0%.6
Kerusakan ginjal (Nefropati)
Ginjal manusia terdiri dari dua juta nefron dan
Vol. 27, No.2, Agustus 2014
berjuta-juta pembuluh darah kecil yang disebut
kapiler. Kapiler ini berfungsi sebagai saringan darah. Bahan yang tidak berguna bagi tubuh akan
dibuang ke urin atau kencing. Ginjal bekerja selama 24 jam sehari untuk membersihkan darah
dari racun yang masuk ke dan yang dibentuk
oleh tubuh. Bila ada nefropati atau kerusakan
ginjal, racun tidak dapat dikeluarkan, sedangkan
protein yang seharusnya dipertahankan ginjal
bocor ke luar. Semakin lama seseorang terkena
diabetes dan makin lama terkena tekanan darah
tinggi, maka penderita makin mudah mengalami
kerusakan ginjal. Gangguan ginjal pada penderita diabetes juga terkait dengan neuropathy atau
kerusakan saraf.
Prevalensi mikroalbuminuria dengan penyakit
DM tipe 1 berkisar 4.3% s/d 37.6% pada populasi klinis dan 12.3% s/d 27.2% dalam penelitian
pada populasi. Sedangkan pada pasien DM tipe
2 prevalensi mikroalbuminuria pada populasi
klinik berkisar 2.5% s/d 57.0% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 18.9% s/d 42.1%.
Prevalensi overt nephropathy dengan penyakit
DM tipe 1 berkisar 0.7% s/d 27% pada populasi
klinis dan 0.3% s/d 24% dalam penelitian pada
populasi. Sedangkan pada pasien DM tipe 2
prevalensi overt nephropathy pada populasi
klinik berkisar 5.4% s/d 20.0% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 9.2% s/d 32.9%.6
Kerusakan mata (Retinopati)
Penyakit diabetes bisa merusak mata penderitanya dan menjadipenyebab utama kebutaan.
Ada tiga penyakit utama pada mata yang disebabkan oleh diabetes, yaitu: 1) retinopati, retina
mendapatkan makanan dari banyak pembuluh
darah kapiler yang sangat kecil. Glukosa darah
yang tinggi bisa merusak pembuluh darah retina; 2) katarak, lensa yang biasanya jernih bening
dan transparan menjadi keruh sehingga menghambat masuknya sinar dan makin diperparah
dengan adanya glukosa darah yang tinggi; dan
3) glaukoma, terjadi peningkatan tekanan dalam
bola mata sehingga merusak saraf mata. Prevalensi retinopati dengan penyakit DM tipe 1 berkisar 10.8% s/d 60.0% pada polpulasi klinik dan
14.5% s/d 79.0% dalam penelitian pada populasi.
Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi
MEDICINUS
11
leading article
retinopati pada populasi klinik berkisar 10.6% s/d
47.3% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 10.1% s/d 55.0%.6
yang sukar sembuh, pasien biasanya sudah mengalami penyempitan pada pembuluh darah jantung.
Penyakit jantung koroner (PJK)
Diabetes merusak dinding pembuluh darah
yang menyebabkan penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh
darah. Akibatnya suplai darah ke otot jantung
berkurang dan tekanan darah meningkat, sehingga kematian mendadak bisa terjadi.
Gangguan pada hati
Banyak orang beranggapan bahwa bila penderita diabetes tidak makan gula bisa bisa mengalami kerusakan hati (liver). Anggapan ini keliru.
Hati bisa terganggu akibat penyakit diabetes itu
sendiri. Dibandingkan orang yang tidak menderita diabetes, penderita diabetes lebih mudah
terserang infeksi virus hepatitis B atau hepatitis C. Oleh karena itu, penderita diabetes harus
menjauhi orang yang sakit hepatitis karena mudah tertular dan memerlukan vaksinasi untuk
pencegahan hepatitis. Hepatitis kronis dan sirosis hati (liver cirrhosis) juga mudah terjadi karena
infeksi atau radang hati yang lama atau berulang.
Gangguan hati yang sering ditemukan pada penderita diabetes adalah perlemakan hati atau fatty
liver, biasanya (hampir 50%) pada penderita diabetes tipe 2 dan gemuk. Kelainan ini jangan dibiarkan karena bisa merupakan pertanda adanya
penimbunan lemak di jaringan tubuh lainnya.
Prevalensi Penyakit jantung koroner dengan
penyakit DM (baik tipe 1 dan 2) berkisar 1.0% s/d
25.2% pada polpulasi klinik dan 1.8% s/d 43.4%
dalam penelitian pada populasi. Lima puluh
persen dari prevalensi penyakit jantung koroner berkisar 0.5% s/d 8.7% dengan Diabetes tipe
1 dan berkisar 9.8% s/d 22.3% dengan Diabetes
tipe 2.6
Stroke
Prevalensi stroke dengan penyakit DM (baik tipe
1 dan 2) berkisar 1.0% s/d 11.3% pada populasi
klinik dan 2.8% s/d 12.5% dalam penelitian pada
populasi. Lima puluh persen dari prevalensi
stroke berkisar 0.5% and 4.3% dengan Diabetes
tipe 1 dan berkisar 4.1% and 6.7% dengan Diabetes tipe 2.6
Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi jarang
menimbulkan keluhanyang dramatis seperti
kerusakan mata atau kerusakan ginjal. Namun,
harus diingat hipertensi dapat memicu terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan
ginjal, atau stroke. Risiko serangan jantung dan
stroke menjadi dua kali lipat apabila penderita
diabetes juga terkena hipertensi.
Penyakit pembuluh darah perifer
Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di
tangan dan kaki, yang dinamakan Peripheral Vascular Disease (PVD), dapat terjadi lebih dini dan
prosesnya lebih cepat pada penderita diabetes
daripada orang yang tidak mendertita diabetes.
Denyut pembuluh darah di kaki terasa lemah
atau tidak terasa sama sekali. Bila diabetes berlangsung selama 10 tahun lebih, sepertiga pria
dan wanita dapat mengalami kelainan ini. Dan
apabila ditemukan PVD disamping diikuti gangguan saraf atau neuropati dan infeksi atau luka
12
MEDICINUS
Penyakit paru
Pasien diabetes lebih mudah terserang infeksi tuberkulosis paru dibandingkan orang biasa, sekalipun penderita bergizi baik dan secara sosioekonomi cukup. Diabetes memperberat infeksi
paru, demikian pula sakit paru akan menaikkan
glukosa darah.
Gangguan saluran cerna
Gangguan saluran cerna pada penderita diabetes disebabkan karena kontrol glukosa darah
yang tidak baik, serta gangguan saraf otonom
yang mengenai saluran pencernaan. Gangguan ini dimulai dari rongga mulut yang mudah
terkena infeksi, gangguan rasa pengecapan sehingga mengurangi nafsu makan, sampai pada
akar gigi yang mudah terserang infeksi, dan gigi
menjadi mudah tanggal serta pertumbuhan
menjadi tidak rata. Rasa sebah, mual, bahkan
muntah dan diare juga bisa terjadi. Ini adalah akibat dari gangguan saraf otonom pada lambung
dan usus. Keluhan gangguan saluran makan bisa
juga timbul akibat pemakaian obat- obatan yang
diminum.
Infeksi
Glukosa darah yang tinggi mengganggu fungsi
Vol. 27, No.2, Agustus 2014
leading article
kekebalan tubuh dalam menghadapi masuknya
virus atau kuman sehingga penderita diabetes
mudah terkena infeksi. Tempat yang mudah
mengalami infeksi adalah mulut, gusi, paru-paru,
kulit, kaki, kandung kemih dan alat kelamin. Kadar glukosa darah yang tinggi juga merusak sistem saraf sehingga mengurangi kepekaan penderita terhadap adanya infeksi.
PENATALAKSANAAN
Karena banyaknya komplikasi kronik yang dapat
terjadi pada DM tipe-2, dan sebagian besar mengenai organ vital yang dapat fatal, maka tatalaksana DM tipe-2 memerlukan terapi agresif untuk mencapai kendali glikemik dan kendali faktor
risiko kardiovaskular. Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011,
penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkan pada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu:
edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan
intervensi farmakologis.1
A. Edukasi
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat yang memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya
edukasi dilakukan secara komphrehensif dan
berupaya meningkatkan motivasi pasien untuk
memiliki perilaku sehat.1,8
Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha pasien penyandang diabetes untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya dan
pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan/
komplikasi yang mungkin timbul secara dini/
saat masih reversible, ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri,
dan perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan
yang diperlukan.8
Edukasi pada penyandang diabetes meliputi
pemantauan glukosa mandiri, perawatan kaki,
ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak.8
B. Terapi Gizi Medis
Prinsip pengaturan makan pada penyandang
diabetes yaitu makanan yang seimbang, sesuai
dengan kebutuhan kalori masing-masing individu, dengan memperhatikan keteraturan jadw-
Vol. 27, No.2, Agustus 2014
al makan, jenis dan jumlah makanan. Komposisi
makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat
45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20%,
Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/hari.1
C. Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu,
masing-masing selama kurang lebih 30 menit.
Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat aerobik
seperti berjalan santai, jogging, bersepeda dan
berenang. Latihan jasmani selain untuk menjaga
kebugaran juga dapat menurunkan berat badan
dan meningkatkan sensitifitas insulin.1
D. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan
peningkatan pengetahuan pasien, pengaturan
makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis
terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.1 Obat
yang saat ini ada antara lain:
I. OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL (OHO)
Pemicu sekresi insulin:
a. Sulfonilurea
• Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh
sel beta pankreas
• Pilihan utama untuk pasien berat badan normal
atau kurang
• Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan
pada orang tua, gangguan faal hati dan ginjal
serta malnutrisi
b. Glinid
• Terdiri dari repaglinid dan nateglinid
• Cara kerja sama dengan sulfonilurea, namun
lebih ditekankan pada sekresi insulin fase pertama.
• Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia
postprandial
Peningkat sensitivitas insulin:
a. Biguanid9
• Golongan biguanid yang paling banyak digunakan adalah Metformin.
• Metformin menurunkan glukosa darah melalui
pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin, dan menurunkan produksi glukosa hati.
• Metformin merupakan pilihan utama untuk
penderita diabetes gemuk, disertai dislipidemia, dan disertai resistensi insulin.
b. Tiazolidindion1,9
MEDICINUS
13
leading article
• Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa sehingga meningkatkan ambilan glukosa perifer.
• Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal
jantung karena meningkatkan retensi cairan.
Penghambat glukoneogenesis:
Biguanid (Metformin).
• Selain menurunkan resistensi insulin, Metformin juga mengurangi produksi glukosa hati.
• Metformin dikontraindikasikan pada gangguan
fungsi ginjal dengan kreatinin serum > 1,5 mg/
dL, gangguan fungsi hati, serta pasien dengan
kecenderungan hipoksemia seperti pada sepsis
• Metformin tidak mempunyai efek samping
hipoglikemia seperti golongan sulfonylurea.
• Metformin mempunyai efek samping pada
saluran cerna (mual) namun bisa diatasi dengan
pemberian sesudah makan.
Penghambat glukosidase alfa :
Acarbose
• Bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa
di usus halus.
• Acarbose juga tidak mempunyai efek samping
hipoglikemia seperti golongan sulfonilurea.
• Acarbose mempunyai efek samping pada saluran cerna yaitu kembung dan flatulens.
• Penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4)
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan
suatu hormone peptide yang dihasilkan oleh
sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi bila
ada makanan yang masuk. GLP-1 merupakan
perangsang kuat bagi insulin dan penghambat
glukagon. Namun GLP-1 secara cepat diubah
menjadi metabolit yang tidak aktif oleh enzim
DPP-4. Penghambat DPP-4 dapat meningkatkan
penglepasan insulin dan menghambat penglepasan glukagon.
II. OBAT SUNTIKAN
Insulin
a. Insulin kerja cepat
b. Insulin kerja pendek
c. Insulin kerja menengah
d. Insulin kerja panjang
e. Insulin campuran tetap
Agonis GLP-1/incretin mimetik
• Bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin tanpa menimbulkan hipoglikemia, dan
menghambat penglepasan glukagon
• Tidak meningkatkan berat badan seperti insulin
14
MEDICINUS
dan sulfonilurea
• Efek samping antara lain gangguan saluran cerna seperti mual muntah
Dengan memahami 4 pilar tata laksana DM tipe
2 ini, maka dapat dipahami bahwa yang menjadi
dasar utama adalah gaya hidup sehat (GHS). Semua pengobatan DM tipe 2 diawali dengan GHS
yang terdiri dari edukasi yang terus menerus,
mengikuti petunjuk pengaturan makan secara
konsisten, dan melakukan latihan jasmani secara teratur. Sebagian penderita DM tipe 2 dapat
terkendali kadar glukosa darahnya dengan menjalankan GHS ini. Bila dengan GHS glukosa darah
belum terkendali, maka diberikan monoterapi
OHO.
Pemberian OHO dimulai dengan dosis kecil dan
ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan
respons kadar glukosa darah. Pemberian OHO
berbeda-beda tergantung jenisnya. Sulfonilurea
diberikan 15-30 menit sebelum makan. Glinid diberikan sesaat sebelum makan. Metformin bisa
diberikan sebelum/sesaat/sesudah makan. Acarbose diberikan bersama makan suapan pertama.
Tiazolidindion tidak bergantung pada jadwal
makan, DPP-4 inhibitor dapat diberikan saat makan atau sebelum makan.
Bila dengan GHS dan monoterapi OHO glukosa
darah belum terkendali maka diberikan kombinasi 2 OHO. Untuk terapi kombinasi harus dipilih
2 OHO yang cara kerja berbeda, misalnya golongan sulfonilurea dan metformin. Bila dengan GHS
dan kombinasi terapi 2 OHO glukosa darah belum terkendali maka ada 2 pilihan yaitu yang pertama GHS dan kombinasi terapi 3 OHO atau GHS
dan kombinasi terapi 2 OHO bersama insulin basal. Yang dimaksud dengan insulin basal adalah
insulin kerja menengah atau kerja panjang, yang
diberikan malam hari menjelang tidur.
Bila dengan cara diatas glukosa darah terap tidak
terkendali maka pemberian OHO dihentikan,
dan terapi beralih kepada insulin intensif. Pada
terapi insulin ini diberikan kombinasi insulin basal untuk mengendalikan glukosa darah puasa,
dan insulin kerja cepat atau kerja pendek untuk
mengendalikan glukosa darah prandial. Kombinasi insulin basal dan prandial ini berbentuk basal bolus yang terdiri dari 1 x basal dan 3 x prandial. Algoritma tata laksana selengkapnya dapat
Vol. 27, No.2, Agustus 2014
leading article
dilihat pada gambar 2.
Tes hemoglobin terglikosilasi (disingkat
A1c), merupakan cara yang digunakan
untuk menilai efek perubahan terapi 8-12
minggu sebelumnya. Pemeriksaan ini dianjurkan setiap 3 bulan, atau minimal 2 kali
setahun. Gambar 3 menunjukkan panduan
tatalaksana berdasarkan hasil A1c.
Kriteria pengendalian DM
Untuk mencegah komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik yang
merupakan sasaran terapi. Diabetes dinyatakan terkendali baik bila kadar glukosa darah, A1c dan lipid mencapai target sasaran.
Kriteria lengkap dari keberhasilan pengendalian DM ini dapat dilihat pada gambar 4.
Metformin dan DM tipe 2
Sebagai salah satu obat hipoglikemik oral,
metformin mempunyai beberapa efek terapi antara lain menurunkan kadar glukosa
darah melalui penghambatan produksi
glukosa hati dan menurunkan resistensi insulin khususnya di hati dan otot. Metformin
tidak meningkatkan kadar insulin plasma.
Metformin menurunkan absorbsi glukosa
di usus dan meningkatkan sensitivitas insulin melalui efek penngkatan ambilan
glukosa di perifer. Studi-studi invivo dan
invitro membuktikan efek metformin terhadap fluidity membran palsma, plasticity
dari reseptor dan transporter, supresi dari
mitochondrial respiratory chain, peningkatan insulin-stimulated receptor phosphorylation dan aktivitas tirosine kinase, stimulasi
translokasi GLUT4 transporters, dan efek
enzimatik metabolic pathways.10
Tatalaksana DM tipe-2 bukan hanya bertujuan untuk kendali glikemik, tetapi juga
kendali faktor risiko kardiovaskuler, karena
ancaman mortalitas dan morbiditas justru
datang dari berbagai komplikasi kronik terebut. Dalam mencapai tujuan ini, Metformin salah satu jenis OHO ternyata bukan
hanya berfungsi untuk kendali glikemik,
tetapi juga dapat memperbaiki disfungsi
endotel, hemostasis, stress oksidatif, resistensi insulin, profil lipid dan redistribusi
lemak.11 Metformin terbukti dapat menurunkan berat badan, memperbaiki sensi-
Vol. 27, No.2, Agustus 2014
MEDICINUS
15
leading article
tivitas insulin, dan mengurangi lemak visceral.12
Pada penderita perlemakan hati (fatty liver), didapatkan perbaikan dengan penggunaan Metformin.13 Metformin juga terbukti mempunyai
efek protektif terhadap komplikasi makrovaskular.14 Selain berperan dalam proteksi risiko kardiovaskuler, studi-studi terbaru juga mendapatkan
peranan neuroprotektif Metformin dalam memperbaiki fungsi saraf, khususnya spatial memory
function15 dan peranan proteksi Metformin dalam
karsinogenesis. Diabetes tipe-2 mempunyai
risiko lebih tinggi untuk terkena berbagai macam
kanker terutama kanker hati, pankreas, endometrium, kolorektal, payudara, dan kantong kemih.
Banyak studi menunjukkan penurunan insidens
keganasan pada pasien yang menggunakan
Metformin.11
Pedoman tatalaksana diabetes mellitus tipe-2
yang terbaru dari the American Diabetes Association/European Association for the Study of Diabetes (ADA/EASD) dan the American Association
of Clinical Endocrinologists/American College of
Endocrinology (AACE/ACE) merekomendasikan pemberian metformin sebagai monoterapi lini pertama. Rekomendasi ini terutama berdasarkan efek metformin dalam menurunkan
kadar glukosa darah, harga relatif murah, efek
daftar pustaka
1. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan dan
pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia 2011. hlm.4-10, 15-29
2. American Diabetes Association. Diagnosis And Classification Of Diabetes
Mellitus. Diabetes Care 2011;34:s62-9.
3. Suyono S. Diabetes melitus di Indonesia. Dalam : Sudoyo AW, Setyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.
hlm.1874-8
4. Gregg EW, Li Y, Wang J, Burrows NR, Ali MK, Rolka D, et al. Changes in
Diabetes-Related Complications in the United States, 1990–2010. N Engl
J Med 2014;370:1514-23
5. (9)Powers AC. Diabetes mellitus. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL,
Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th Edition. United States: The McGraw-Hill Companies; 2008.
hal2275-304.
6. (10)Tapp R, Shaw J, Zimmet P. Complications of Diabetes. Dalam: Gan D,
Allgot B, King H, Lefèbvre P, Mbanya JC, Silink M, penyunting. Diabetes Atlas. Edisi ke-2. Belgium: International Diabetes Federation; 2003:h.72-112)
7. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes: Mekanisme terjadinya, diagnosis
dan strategi pengelolaan. Dalam : Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.hlm.1874-8
8. J Piette. Effectiveness of Self-management Education. Dalam: Gan D, Allgot B, King H, Lefèbvre P, Mbanya JC, Silink M, penyunting. Diabetes Atlas.
Edisi ke-2. Belgium: International Diabetes Federation; 2003:h.207-15)
9. Sugondo S. Farmakoterapi pada pengendalian glikemia diabetes melitus
tipe 2. Dalam : Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.hlm.1882-5
16
MEDICINUS
samping lebih minimal dan tidak meningkatkan
berat badan.1,16 Posisi Metformin sebagai terapi
lini pertama juga diperkuat oleh the United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) yang
pada studinya mendapatkan pada kelompok
yang diberi Metformin terjadi penurunan risiko
mortalitas dan morbiditas. UKPDS juga mendapatkan efikasi Metformin setara dengan sulfonilurea dalam mengendalikan kadar glukosa
darah.17 Ito dkk dalam studinya menyimpulkan
bahwa metformin juga efektif pada pasien dengan berat badan normal.18
KESIMPULAN
Diabetes mellitus tipe-2 masih merupakan
masalah kesehatan yang penting, khususnya
karena komplikasi kronik yang ditimbulkannya.
Tatalaksana diabetes mellitus tipe-2 bukan hanya ditujukan pada kendali glikemik, tetapi juga
terhadap proteksi komplikasi kardiovaskuler.
Metformin merupakan obat hipoglikemik lini
pertama untuk diabetes mellitus tipe-2, karena
disamping terbukti efektif dalam kendali glikemik, Metformin juga terbukti mempunyai efek
protektif terhadap komplikasi kardiovaskuler,
disamping masih mempunyai banyak efek positif
lainnya yang sebagian masih dalam tahap penelitian.
10. Marić A Metformin – more than ‘gold standard’ in the treatment of
type 2 diabetes mellitus. Diabetologia Croatica 2010; 39-3
11. Rojas LBA, Gomes MB. Metformin: an old but still the best
treatment for type 2 diabetes. Diabetology & Metabolic Syndrome2013,5:6. Diunduh dari http://www.dmsjournal. com/
content/5/1/6
12. Reinehr T, Kiess W, Kappellen T, Andler W:I nsulin sensitivity
among obese children and adolescents, according to degree of
weight loss. Pediatrics 2004,114:1569–1573
13. Tock L, Dˆamaso A, de Piano A, Carnier J,et al: Long-Term Effects
of metformin and lifestyle modification on nonalcoholic fatty
liver disease obese adolescents. J Obes2010,831901:6. Article ID
831901
14. Holman RR, Paul SK, Bethel MA, Matthews DR, Neil HA:10-year
follow up of intensive glucose control in type 2 diabetes.N Engl J
Med2008, 359:1577–1589
15. Wang J, Gallagher D, De Vito L,et al: Metformin activates an atypical PKC-CBP pathway to promote neurogenesis and enhance spatial memory formation. Cell Stem Cell2012,11:23–35
16. Rodbard HW, Jellinger PS, Davidson JA,et al: Statement by an
American association of clinical endocrinologists/American
college of endocrinology consensus panel on type 2 diabetes mellitus. An algorithm for glycemic control. Endocr Pract
2009,15(6):540–559.
17. Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group:Effect of intensive blood glucose control with metformin on complications
in overweight patients with type 2 diabetes (UKPDS 34). Lancet1998,352(9131):854–865.
18. Ito H, Ishida H, Takeuchi Y,et al: Long-term effect of metformin on
blood glucose control in non-obese patients with type 2 diabetes
mellitus. Nutr Metab2010,7:83
Vol. 27, No.2, Agustus 2014
Download