BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi nosokomial banyak terjadi di seluruh dunia terutama di negaranegara miskin dan negara berkembang. Penelitian yang dilakukan World Health
Organization (WHO) menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit di 14
negara yang berasal dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Asia Pasifik
menunjukkan adanya kejadian infeksi nosokomial dengan Asia Tenggara
sebanyak 10%.(1) Pneumonia nosokomial atau hospital acquired pneumonia (HAP)
adalah pneumonia yang didapat di rumah sakit. Pneumonia nosokomial terjadi 510 kasus per 1000 pasien yang masuk ke rumah sakit dan menjadi lebih tinggi 620 kali pada pasien yang memakai alat bantu napas mekanis. Angka kematian
pada pneumonia nosokomial 20-50%. (2)
Salah satu bakteri utama yang menyebabkan infeksi nosokomial adalah
Staphylococcus aureus, bakteri Gram positif yang tersusun dalam kelompok
seperti anggur, yang saat ini sudah mulai resisten terhadap antibiotik methicillin
sehingga dikenal adanya Methicilllin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA).
MRSA mengalami resistensi karena perubahan genetik yang disebabkan paparan
terapi antibiotik yang tidak rasional.(2)
Bakteri MRSA pada awalnya hanya resisten terhadap antibiotik yang
mengandung cincin β-laktam, namun dalam perkembangannya muncul resistensi
juga terhadap antibiotik golongan quinolon, aminoglycoside, tetracyclin bahkan
vancomycin.(3)
Berdasarkan
fenomena
tersebut,
maka
perlu
dilakukan
pencariansenyawa aktif lain yang mempunyai potensi sebagai antibakteri untuk
mengatasiresistensi bakteri tersebut. Dewasa ini telah dilakukan penelitian
pencarian zat antimikroba terhadap berbagai jenis tanaman. Beberapa tanaman
telah terbukti memiliki senyawa aktif yang berperan sebagai antimikroba terhadap
berbagai jenis bakteri Gram positif maupun Gram negatif, diantaranya adalah
daun pare (Momordica charantia D.)
Daun pare diketahui memiliki zat aktif alkaloid, flavonoid, saponin dan
terpenoid yang diduga bermanfaat sebagai antimikroba. Alkaloid mampu
2
mengadakan interaksi dengan dinding sel dan DNA bakteri, sedangkan flavonoid
mampu membentuk komplek dengan protein pada dinding dan protoplasma sel
bakteri sehingga dapat melisiskan sel bakteri dan menyebabkan terjadinya
denaturasi protein serta menghambat pembentukan membran sel. Saponin
berperan dalam menurunkan tegangan permukaan sel, sehingga dinding sel rusak
dan mengakibatkan kebocoran membran sel. Terpenoid mampu merusak membran
sel bakteri. Senyawa-senyawa tersebut bersifat polar. Etanol merupakan pelarut
yang memiliki polaritas tinggi sehingga dapat mengekstraksikan komponen yang
bersifat polar. Etanol juga bersifat aman apabila masih tertinggal di dalam bahan.
(4)
Penelitian
sebelumnya
yang
menggunakan
metode
difusi
cakram
menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun pare memiliki aktivitas antibakteri
terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Eschericia coli. Bakteri-bakteri
tersebut tergolong sangat sensitif terhadap ekstrak etanol daun pare yang
ditunjukkan dari diameter zona hambatnya.(5) Hasil penelitian lain yang
menggunakan metode dilusi tabung juga menunjukkan aktivitas antibakteri
ekstrak etanol daun pare dalam menghambat bakteri MRSA yang dapat dilihat
dari nilai Konsentrasi Hambat Minimal (KHM) 0,167 gr/ml dan Konsentrasi
Bunuh Minimal (KBM) 0,667 gr/ml.(6) Penelitian tentang uji aktivitas antibakteri
daun pare varietas Aceh dengan metode dilusi tabung untuk bakteri MRSA isolat
pneumonia nosokomial pasien Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin
(RSUDZA) belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk
melakukan pengujian potensi daun pare varietas Aceh sebagai inhibitor terhadap
bakteri MRSA isolat tersebut dengan menggunakan metode dilusi tabung untuk
mengetahui KHM dan KBM.
1.2 Rumusan Masalah
1. Berapa KHM ekstrak etanol daun pare varietas Aceh yang dibutuhkan untuk
menghambat pertumbuhan MRSA isolat pneumonia nosokomial?
2. Berapa KBM ekstrak etanol daun pare varietas Aceh yang dibutuhkan untuk
menghambat pertumbuhan MRSA isolat pneumonia nosokomial?
3
1.3 Tujuan Penelitian
1
Untuk mengetahui KHM ekstrak etanol daun pare varietas Aceh yang
dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan MRSA isolat pneumonia
nosokomial
2
Untuk mengetahui KBM ekstrak etanol daun pare varietas Aceh yang
dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan MRSA isolat pneumonia
nosokomial
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan bukti
ilmiah mengenai aktivitas antibakteri daun pare terhadap bakteri MRSA isolat
pneumonia nosokomial yang juga dapat digunakan sebagai dasar untuk
pengembangan daun pare sebagai antibakteri.
1.5 Hipotesis Penelitian
1.
Konsentrasi Hambat Minimal ekstrak etanol daun pare varietas Aceh
terhadap pertumbuhan MRSA isolat pneumonia nosokomial ditentukan dari
konsentrasi ekstrak terkecil yang menunjukkan selisih absorbansi bernilai
2.
negatif
Konsentrasi Bunuh Minimal ekstrak etanol daun pare varietas Aceh
terhadap pertumbuhan MRSA isolat pneumonia nosokomial ditentukan dari
konsentrasi ekstrak terkecil yang menunjukkan tidak adanya pertumbuhan
koloni
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pneumonia Nosokomial
2.1.1 Definisi
Pneumonia nosokomial atau hospital acquired pneumonia (HAP) adalah
pneumonia yang didapat di rumah sakit yang menduduki peringkat ke- 2 sebagai
infeksi nosokomial di Amerika Serikat, hal ini berhubungan dengan peningkatan
angka kesakitan, kematian dan biaya perawatan di rumah sakit. Angka kematian
pasien pada pneumonia yang dirawat di instalansi perawatan intensif (IPI)
meningkat 3-10 kali dibandingkan dengan pasien tanpa pneumonia. Beberapa
penelitian menyebutkan bahwa lama perawatan meningkat 2-3 kali dibandingkan
pasien tanpa pneumonia, hal ini tentu akan meningkatkan biaya perawatan di
rumah sakit. Lebih kurang 10% pasien yang dirawat di IPI akan berkembang
menjadi pneumonia dan angka kejadian pneumonia nosokomial pada pasien yang
menggunakan alat bantu napas meningkat sebesar 20 – 30%. Angka kejadian dan
angka kematian pada umumnya lebih tinggi di rumah sakit yang besar
dibandingkan dengan rumah sakit yang kecil. (1)
Pneumonia nosokomial (HAP) adalah pneumonia yang terjadi setelah
pasien 48 jam dirawat di rumah sakit dan disingkirkan semua infeksi yang terjadi
sebelum masuk rumah sakit. Ventilator associated pneumonia (VAP) adalah
pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam setelah pemasangan intubasi
endotrakeal. (2)
2.1.2 Etiologi
Patogen penyebab pneumonia nosokomial berbeda dengan pneumonia
komunitas. Pneumonia nosokomial dapat disebabkan oleh kuman bukan multi
drug resistance (MDR) misalnya S. pneumoniae, H. Influenzae, Methicillin
Sensitive
Staphylococcus
Pseudomonas
aeruginosa,
aureus
(MSSA)
Escherichia
dan
coli,
kuman
MDR
Klebsiella
misalnya
pneumoniae,
Acinetobacter spp dan Gram positif seperti Methicillin Resistance Staphylococcus
aureus (MRSA). Pneumonia nosokomial yang disebabkan jamur, kuman anaerob
dan virus jarang terjadi. Bahan pemeriksaan untuk menentukan bakteri penyebab
5
dapat diambil dari dahak, darah, cara invasif misalnya bilasan bronkus, sikatan
bronkus, biopsi aspirasi transtorakal dan biopsi aspirasi transtrakea. (3)
2.1.3 Patogenesis
Patogenesis pneumonia nosokomial pada prinsipnya sama dengan
pneumonia komunitas. Pneumonia terjadi apabila mikroba masuk ke saluran
napas bagian bawah. Ada empat rute masuknya mikroba tersebut ke dalam saluran
napas bagian bawah yaitu:
1. Aspirasi, merupakan rute terbanyak pada kasus-kasus tertentu seperti kasus
neurologis dan usia lanjut
2. Inhalasi, misalnya kontaminasi pada alat-alat bantu napas yang digunakan
pasien
3. Hematogenik
4. Penyebaran langsung
Pasien yang mempunyai faktor predisposisi terjadi aspirasi mempunyai
risiko mengalami pneumonia nosokomial. Apabila sejumlah bakteri dalam jumlah
besar berhasil masuk ke dalam saluran napas bagian bawah yang steril, maka
pertahanan pejamu yang gagal membersihkan inokulum dapat menimbulkan
proliferasi dan inflamasi sehingga terjadi pneumonia. Interaksi antara faktor
pejamu (endogen) dan faktor risiko dari luar (eksogen) akan menyebabkan
kolonisasi bakteri patogen di saluran napas bagian atas atau pencernaan makanan.
Patogen penyebab pneumonia nosokomial ialah bakteri gram negatif dan
Staphylococcus aureus sebanyak < 5%. Kolonisasi di saluran napas bagian atas
karena bakteri-bakteri tersebut merupakan titik awal yang penting untuk terjadi
pneumonia. (1)
6
Faktor risiko
endogen
Pasien:
• Umur > 60 tahun
• Penyakit yang
mendasari
• Faktor kebiasaan
hidup
• Kondisi akut
Kolonisasi
orofaring
Aspirasi
Bakteremia
Kolonisasi
lambung
Inhalasi
Intervensi:
• Pembedahan
• Prosedur invasif
• Obat-obatan
Translokasi
Mekanisme
pertahanan paru
(seluler, humoral)
Trakeobronkitis
Faktor risiko
eksogen
Kontrol infeksi
 Kolonisasi silang
 Desinfeksi alat
tidak adekuat
 Kontaminasi air &
cairan
Pneumonia
Gambar 1. Skema patogenesis pneumonia nosokomial
2.1.4 Faktor Predisposisi atau Faktor Risiko Pneumonia Nosokomial
Faktor risiko pada pneumonia sangat banyak dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
1. Faktor yang berhubungan dengan daya tahan tubuh
Penyakit kronik (misalnya penyakit jantung, PPOK, diabetes, alkoholisme,
azotemia), perawatan di rumah sakit yang lama, koma, pemakaian obat
tidur, perokok, intubasi endotrakeal, malnutrisi, umur lanjut, pengobatan
steroid, pengobatan antibiotik, waktu operasi yang lama, sepsis, syok
hemoragik, infeksi berat di luar paru dan cidera paru akut (acute lung
injury) serta bronkiektasis. (4)
2. Faktor eksogen
a. Pembedahan
Besar risiko kejadian pneumonia nosokomial tergantung pada jenis
pembedahan, yaitu torakotomi (40%), operasi abdomen atas (17%) dan
operasi abdomen bawah (5%).
7
b. Penggunaan antibiotik
Antibiotik dapat memfasilitasi kejadian kolonisasi, terutama antibiotik yang
aktif terhadap Streptococcus di orofaring dan bakteri anaerob di saluran
pencernaan. Sebagai contoh, pemberian antibiotik golongan penisilin
mempengaruhi flora normal di orofaring dan saluran pencernaan.
Sebagaimana diketahui Streptococcus merupakan flora normal di orofaring
melepaskan bacterocins yang menghambat pertumbuhan bakteri gram
negatif. Pemberian penisilin dosis tinggi akan menurunkan sejumlah bakteri
gram positif dan meningkatkan kolonisasi bakteri gram negatif di orofaring.
c. Peralatan terapi pernapasan
Kontaminasi pada peralatan ini, terutama oleh bakteri Pseudomonas
aeruginosa dan bakteri gram negatif lainnya sering terjadi.
d. Pemasangan selang nasogastrik, pemberian antasid dan alimentasi enteral
Pada individu sehat jarang dijumpai bakteri gram negatif di lambung karena
asam lambung dengan pH < 3 mampu dengan cepat membunuh bakteri yang
tertelan. Pemberian antasid / penyekat H2 yang mempertahankan pH > 4
menyebabkan peningkatan kolonisasi bakteri gram negatif aerobik di
lambung, sedangkan larutan enteral mempunyai pH netral 6,4 - 7,0.
e. Lingkungan rumah sakit
•
•
Petugas rumah sakit yang mencuci tangan tidak sesuai dengan prosedur
Penatalaksanaan dan pemakaiaan alat-alat yang tidak sesuai prosedur,
•
seperti alat bantu napas, selang makanan, selang infus, kateter dll
Pasien dengan kuman MDR tidak dirawat di ruang isolasi
Faktor risiko kuman MDR penyebab HAP dan VAP (ATS/IDSA 2004)
•
Pemakaian antibiotik pada 90 hari terakhir
•
Dirawat di rumah sakit ≥ 5 hari
•
Tingginya frekuensi resisten antibiotik di masyarakat atau di rumah sakit
tersebut Penyakit immunosupresi dan atau pemberian imunoterapi. (4)
8
2.1.5 Diagnosis
Menurut kriteria dari The Centers for Disease Control Atlanta (CDCAtlanta), diagnosis pneumonia nosokomial adalah sebagai berikut:
1. Onset pneumonia yang terjadi 48 jam setelah dirawat di rumah sakit dan
menyingkirkan semua infeksi yang inkubasinya terjadi pada waktu masuk
rumah sakit
2. Diagnosis pneumonia nosokomial ditegakkan atas dasar :
a. Foto toraks : terdapat infiltrat baru atau progresif
b. Ditambah 2 diantara kriteria berikut:
• suhu tubuh > 38oC
•
•
sekret purulen
leukositosis (5)
Kriteria pneumonia nosokomial berat menurut ATS, yaitu:
1. Dirawat di ruang rawat intensif.
2. Gagal napas yang memerlukan alat bantu napas atau membutuhkan O 2 >
35% untuk mempertahankan saturasi O2 > 90%.
3. Perubahan radiologik secara progresif berupa pneumonia multilobar atau
kavitas dari infiltrat paru.
4. Terdapat bukti-bukti ada sepsis berat yang ditandai dengan hipotensi dan
atau disfungsi organ yaitu:
a. Syok (tekanan sistolik < 90 mmHg atau diastolik < 60 mmHg)
b. Memerlukan vasopresor > 4 jam
c. Jumlah urin < 20 ml/jam atau total jumlah urin 80 ml/4 jam
d. Gagal ginjal akut yang membutuhkan dialisis (5)
2.1.6 Pemeriksaan
1. Pewarnaan Gram dan kultur dahak yang dibatukkan, induksi sputum atau
aspirasi sekret dari selang endotrakeal atau trakeostomi. Jika fasilitas
memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan biakan kuman secara
semikuantitatif atau kuantitatif dan dianggap bermakna jika ditemukan ≥
106 colony forming units/ml (CFU/ml) dari sputum, ≥ 105 – 106 CFU/ml
dari aspirasi endotrracheal tube, ≥ 104 – 105 CFU/ml dari bronchoalveolar
lavage (BAL) , ≥ 103 CFU/ml dari sikatan bronkus dan paling sedikit 102
CFU/ml dari vena kateter sentral. Dua set kultur darah aerobik dan
anaerobik dari tempat yang berbeda (lengan kiri dan kanan) sebanyak 7 ml.
9
Kultur darah dapat mengisolasi bakteri patogen pada > 20% pasien. Jika
hasil kultur darah (+) maka sangat penting untuk menyingkirkan infeksi di
tempat lain. Pada semua pasien pneumonia nosokomial harus dilakukan
pemeriksaan kultur darah. Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk
pemeriksaan apusan langsung dan biakan yaitu bila ditemukan sel PMN >
25 / lapangan pandang kecil (lpk) dan sel epitel < 10/ lpk.
2. Analisis gas darah untuk membantu menentukan berat penyakit.
3. Jika keadaan memburuk atau tidak ada respons terhadap pengobatan maka
dilakukan pemeriksaan secara invasif. Bahan kultur dapat diambil melalui
tindakan bronkoskopi, sikatan bronkus, aspirasi transtorakal. (6)
Suspek HAP, VAP
Kultur: diambil dari saluran napas bawah
(kuantitatif) dan pemeriksaan mikroskopis)
Mulai terapi antibiotik secara empiris sesuai algoritma dan data
mikrobiologi lokal kecuali hasil pemeriksaan mikroskopis
negatif dan klinis pneumonia yang tidak terlalu mendukung
Hari ke-2 & 3: pemeriksaan kultur dan nilai respons
klinis (suhu, leukosit, fototoraks, oksigenasi, sputum,
perubahan hemodinamik dan fungsi organ)
Tidak
Kultur (-)
Cari:
• Patogen lain
• Diagnosis lain
• Infeksi lain
• Komplikasi
Perbaikan klinis pada jam ke-48 –72
Kultur (+)
• Sesuaikan terapi antibiotik
• Cari: komplikasi
- patogen lain
- diagnosis lain
- Infeksi di tempat lain
Ya
Kultur (+)
Kultur (-)
Pertimbangkan penghentian
antibiotik
• Penurunan antibiotik jika mungkin
• Obati selama 7 – 8 hari dan dievaluasi
ulang
Gambar 2.Skema ringkasan penatalaksanaan pasien HAP/VAP
10
2.1.7
Terapi Antibiotik
Beberapa pedoman dalam pengobatan pneumonia nosokomial ialah:
1. Semua terapi awal antibiotik adalah empiris dengan pilihan antibiotik yang
harus mampu mencakup sekurang-kurangnya 90% dari patogen yang
mungkin sebagai penyebab, perhitungkan pola resistensi setempat.
2. Terapi awal antibiotik secara empiris pada kasus yang berat dibutuhkan
dosis dan cara pemberian yang adekuat untuk menjamin efektivitas yang
maksimal. Pemberian terapi empiris harus intravena dengan sulih terapi
pada pasien yang terseleksi, dengan respons klinis dan fungsi saluran cerna
yang baik.
3. Pemberian antibiotik secara de-eskalasi harus dipertimbangkan setelah ada
hasil kultur yang berasal dari saluran napas bawah dan ada perbaikan
respons klinis.
4. Kombinasi antibiotik diberikan pada pasien dengan kemungkinan terinfeksi
kuman MDR.
5. Jangan mengganti antibiotik sebelum 72 jam, kecuali jika keadaan klinis
memburuk.
Data mikroba dan sensitivitas dapat digunakan untuk mengubah pilihan
empiris apabila respons klinis awal tidak memuaskan. Modifikasi pemberian
antibiotik berdasarkan data mikrobial dan uji kepekaan tidak akan mengubah
mortaliti apabila terapi empiris telah memberikan hasil yang memuaskan. (6)
2.1.8 Lama Terapi
Pasien yang mendapat antibiotik empiris yang tepat, optimal dan adekuat,
penyebabnya bukan Pseudomonas aeruginosa dan respons klinis pasien baik serta
terjadi resolusi gambaran klinis dari infeksinya maka lama pengobatan adalah 7
hari atau 3 hari bebas panas. Bila penyebabnya adalah Pseudomonas aeruginosa
dan Enterobacteriaceae maka lama terapi 14 – 21 hari. (7)
Respons terhadap terapi dapat didefinisikan secara klinis maupun
mikrobiologi. Respons klinis terlihat setelah 48 – 72 jam pertama pengobatan
sehingga dianjurkan tidak merubah jenis antibiotik dalam kurun waktu tersebut
kecuali terjadi perburukan yang nyata. Setelah ada hasil kultur darah atau bahan
saluran napas bawah maka pemberian antibiotik empiris mungkin memerlukan
modifikasi. Apabila hasil pengobatan telah memuaskan maka penggantian
11
antibiotik tidak akan mengubah mortalitas tetapi bermanfaat bagi strategi deeskalasi. Bila hasil pengobatan tidak memuaskan maka modifikasi mutlak
diperlukan sesuai hasil kultur dan kepekaan kuman. Respons klinis berhubungan
dengan faktor pasien (seperti usia dan komorbid), faktor kuman (seperti pola
resisten, virulensi dan keadaan lain).(1)
Hasil kultur kuantitatif yang didapat dari bahan saluran napas bawah
sebelum dan sesudah terapi dapat dipakai untuk menilai resolusi secara
mikrobiologis. Hasil mikrobiologis dapat berupa eradikasi bakterial, superinfeksi,
infeksi berulang atau infeksi persisten. Parameter klinis adalah jumlah leukosit,
oksigenasi dan suhu tubuh. Perbaikan klinis yang diukur dengan parameter ini
biasanya terlihat dalam 1 minggu pengobatan antibiotik. Pada pasien yang
memberikan perbaikan klinis, foto toraks tidak selalu menunjukkan perbaikan,
akan tetapi apabila foto toraks memburuk maka kondisi klinis pasien perlu
diwaspadai. Ada beberapa penyebab perburukan atau gagal terapi, termasuk
diantaranya
kasus-kasus
yang
diobati
bukan
pneumonia,
atau
tidak
memperhitungkan faktor tertentu pejamu, bakteri atau antibiotik, Beberapa
penyakit noninfeksi seperti gagal jantung, emboli paru dengan infark, kontusio
paru, pneumonia aspirasi akibat bahan kimia diterapi sebagai HAP.(5)
Faktor pejamu yang menghambat perbaikan klinis adalah pemakaian alat
bantu mekanis yang lama, gagal napas, keadaan gawat, usia di atas 60 tahun,
infiltrat paru bilateral, pemakaian antibiotik sebelumnya dan pneumonia
sebelumnya. Faktor bakteri yang mempengaruhi hasil terapi adalah jenis bakteri,
resistensi
kuman
sebelum
dan
selama
terapi
terutama
Pseudomonas
aeruginosayang diobati dengan antibiotik tunggal. Hasil buruk dihubungkan
biasanya dengan basil Gram negatif, flora polimikroba atau bakteri yang telah
resisten dengan antibiotik. Pneumonia dapat juga disebabkan oleh patogen lain
seperti M.tuberculosis, jamur dan virus atau patogen yang sangat jarang sehingga
tidak diperhitungkan pada pemberian antibiotik.(5)
a.
12
2.1 Bakteri Uji
2.1.1 Staphylococcus aureus
Klasifikasi Staphylococcus aureus adalah sebagai berikut:
Kingdom : Bacteria
Filum
: Firmicutes
Kelas
:Cocci
Ordo
: Bacillales
Famili
: Staphylococcaceae
Genus
: Staphylococcus
Spesies
:Staphylococcus aureus(12)
Nama Staphylococcus aureus (S. aureus) berasal dari kata “Staphele” yang
berarti kumpulan dari anggur dan kata “aureus” yang dalam bahasa latinberarti
emas. Nama tersebut berdasarkan bentuk dari sel-sel bakteri yang berwarna
keemasan.Ciri bakteri ini adalah bakteri Gram positif yang berbentuk bulat
(coccus) dengan ukuran diameter sekitar 1 μm dan tersusun dalam kelompok yang
tidak beraturan, tidak membentuk spora dan tidak bergerak.Sel-selnya membentuk
kelompok seperti kelompok buah anggur.Pada biakan cair dapat dijumpai secara
terpisah (tunggal), berpasangan berbentuk tetrad (empat sel) dan berbentuk rantai
yang berwarna abu-abu sampai kuning emas tua. (13) Berikut morfologi S. aureus
dalam gambar di bawah ini:
Gambar 2.1 Staphylococcus aureus pada Nutrient Agar plate (14)
13
Bakteri S. Aureus mudah tumbuh pada berbagai media pembenihan dan
mempunyai metabolisme aktif, meragikan karbohidrat, serta menghasilkan
pigmen yang bervariasi dari putih sampai kuning tua. Bakteri ini dapat tumbuh
dengan baik pada suhu 37º C, tetapi membentuk pigmen yang paling baik pada
suhu kamar (20 ºC – 25 ºC). Koloni pada pembenihan padat berbentuk bulat,
halus, menonjol dan berkilau.(15)
Staphylococcus aureus merupakan bakteri katalase positif dan mampu
mengubah hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen. Kemampuan inilah yang
membedakannya dengan enterococcus dan streptococcus. Untuk membedakannya
dengan jenis staphylococcus yang lain dilakukan uji koagulase. Bakteri ini bersifat
koagulase positif sedangkan yang lainnya bersifat sebaliknya. Di antara bakteri
yang tidak membentuk spora S. aureus merupakan bakteri yang kuat daya
tahannya, ia dapat hidup berbulan-bulan pada media agar miring jika disimpan
pada suhu kamar maupun lemari es.(14)
Bakteri ini juga menghasilkan beberapa jenis enzim dan toksin diantaranya
yaitu enzim katalase, koagulase dan faktor penggumpal serta enzim-enzim lain
seperti hialuronidase, eksotoksin, leukosidin, toksin eksfoliatif, toksin sindrom
syok toksik dan enterotoksin. S. aureus menghasilkan koagulase positif, suatu
protein yang mirip enzim yang dapat menggumpalkan plasma yang mengandung
oksalat atau sitrat. Memproduksi koagulase dianggap sama dengan memiliki
potensi menjadi patogen invasif. Faktor penggumpal adalah kandungan
permukaan S. aureus yang berfungsi melekatkan organisme ke fibrin atau
fibrinogen.(13,16)
Enzim lain yang dihasilkan oleh S. aureus antara lain adalah hialuronidase
atau faktor penyebar yang dapatmenyebabkan fibrinolisis tetapi bekerja jauh lebih
lambat daripada streptokinase, proteinase, lipase dan β-laktamase. Eksotoksin
seperti α-toksin, β-toksin, γ-toksin, δ-toksin yang dapat melisiskan sel darah
merah manusia dan hewan juga dihasilkan oleh bakteri ini. Toksin-toksin tersebut
menganggu membran biologik dan sering kali berperan pada penyakit diare.(17)
Toksin lainnya adalah leukosidin. Toksin ini memiliki dua komponen yang
bekerja secara sinergis pada membran sel darah putih membentuk pori-pori dan
meningkatkan permeabilitas kation. Sementara itu, toksin eksfoliatif dapat
14
menyebabkan deskuamasi generalisata pada kulit. Toksin sindrom-syok-toksin
merupakan superantigen prototopikal yang menyebabkan demam, syok dan
melibatkan
berbagai
sistem
tubuh.
Selain
itu
juga
terdapat
berbagai
enterotoksinseperti A-E, G-I dan K-M. Sekitar 50% strain S. aureus dapat
menghasilkan satu enterotoksin atau lebih.(16)
Staphylococcus aureus erat kaitannya dengan tubuh manusia karena sering
ditemukan pada lingkungan, seperti air, debu dan udara. (18) Sebagai penyebab
penting keracunan makanan, enterotoksin khususnya dihasilkan bila bakteri ini
tumbuh pada makanan karbohidrat dan protein. Enterotoksin mengakibatkan
muntah-muntah dan diare pada manusia. Keracunan makanan yang disebabkan
oleh enterotoksin Staphylococcus ditandai oleh masa inkubasi yang pendek (1-8)
jam, nausea hebat, muntah-muntah, diare dan konvalesen yang cepat. (15) Infeksi
S. aureus pada kulit menyebabkan impetigo dan sellulitis. Pada beberapa kasus
bisa muncul komplikasi serius yang disebut scalded skin syndrome, sering terjadi
pada bayi dan anak-anak usia 5-6 tahun.(19)
Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen penyebab infeksi.
S. aureus dapat menyebabkan penyakit mulai dari yang ringan sampai yang berat
bahkan sampai sepsis.(20) S. aureus sering menyebabkan akne dan frunkulosis pada
kulit, infeksi S. aureus pada tulang juga sering menyebabkan osteomielitis, infeksi
S. aureus pada organ dalam dapat menyebabkan endokarditis, pneumonia dan
infeksi berat lainnya. Pada luka terbuka S. aureus juga sering menyebabkan
infeksi.(21) Hal ini dikarenakan S. aureus mempunyai bagian-bagian dan produk
yang mendukungnya sebagai salah satu bakteri patogen diantaranya adalah
dinding sel Staphylococcus sp. sebagian besar terdiri dari peptidoglikan.
Peptidoglikan mempunyai aktifitas seperti endotoksin, menstimulasi keluarnya
sitokin dari makrofag yaitu interleukin-1 dan aktifasi komplemen, kapsul akan
mencegah fagositosis oleh sel polymorfonuclear (PMN), adanya toksin dan enzim
yang dihasilkan untuk merusak sel inang. (15,21) Selain itu, faktor dari bakteri
S. aureus yang menyebabkan sukarnya penanganan infeksi adalah adanya
resistensi bakteri terhadap antibiotik.(15)
Pengobatan terhadap infeksi S. aureus biasanya menggunakan berbagai jenis
antibiotik seperti tetracycline, vancomycin atau penicillin resisten β- laktamase.
15
Perbedaan jenis obat yang diberikan dipertimbangkan dari angka resistensi bakteri
terhadap suatu antibiotik, seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Endang Sri
Lestari dkk tahun 2009 menyatakan bahwa dari 361 kultur positif S.aureus 67.9%
masih sensitif terhadap seluruh antibiotik yang diujikan, 32,1% resisten terhadap
satu atau dua agen antibiotik, 21,1% resisten terhadap satu jenis antibiotik dan
10,5% resisten terhadap dua atau lebih antibiotik, angka tersebut diperoleh dari
sampel yang dirawat di rumah sakit dan tidak dirawat di rumah sakit. Adapun
antibiotik yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah tetracycline,
oxacilline, gentamycin, erythromycin, chloramphenicol dan trimethoprim
sulfamethoxazole.(22)
2.1.2
Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA)
Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah golongan
bakteri Gram positif yang resisten terhadap antibiotik penisilin semisintetis. (23,24)
Pada awalnya, S. aureus telah dikenal sebagai suatu penyebab penyakit yang
penting di seluruh dunia dan menjadi suatu patogen utama yang terkait dengan
infeksi, baik itu yang didapat di rumah sakit (Hospital-Acquired MRSA=HAMRSA) maupun di komunitas (Community-Acquired MRSA=CA-MRSA).(24,25)
Sebelum ada antibiotik, kasus infeksi invasif yang disebabkan oleh
S. aureus sering berakibat fatal.Dengan dikenalnya penisilin secara luas maka
dapat memperbaiki prognosis pasien dengan infeksi staphylococcus berat, namun
setelah penggunaan klinis selama beberapa tahun, resistensi tampaknya
diakibatkan oleh dihasilkannya β-laktamase.Sampai saat ini, MRSA secara umum
merupakan suatu patogen nosokomial yang menyebabkan infeksi dapatan di
rumah sakit, tetapi galur MRSA saat ini secara luas diisolasi dari infeksi dapatan
di komunitas juga, misalnya berasal dari pelayanan kesehatan umum.(3)
Methicillin Resistant Staphylococcus aureus pertama kali dilaporkan pada
tahun 1960 dari infeksi yang didapat di rumah sakit (HA-MRSA). Beberapa tahun
terakhir terjadi peningkatan yang signifikan dengan munculnya MRSA pada
komunitas (CA-MRSA). Mekanisme resistensi ini disebabkan karena enzim βlaktamase yang merupakan faktor virulensi yang dimediasi via kromosomal dan
plasmid.Enzim ini merusak cincin β-laktam yang merupakan bagian penting
penyusun struktur obat golongan penicillin. Resistensi ini diduga dimediasi oleh
16
gen mecA yang merupakan bagian dari mobile genomicelement Staphylococcal
Chromosomal Cassette (SCCmec). Ekspresi dari gen ini menyebabkan perubahan
reseptorpenicillin (penicillin binding protein/ PBP 2a) pada S. aureus. Daerah
pengikatan penicillin yang berubah tersebut akan mengakibatkan antibiotik ini
tidak dapat bekerja untuk menghambat sintesis dinding sel pada S. aureus.
Gen SCCmec terdiri dari empat tipe yang masing-masingnya menimbulkan
karakteristik tertentu. Gen SCCmec II dan III ditemukan pada banyak galur
MRSA isolat infeksi nosokomial (HA-MRSA). MRSA tipe ini juga banyak yang
telah resisten terhadap aminoglycosides, tetracyclines, erythromycin dan
clindamycin. Sedangkan CA-MRSA diakibatkan oleh ekspresi gen SCCmec IV.
Resistensi CA-MRSA memperlihatkan pola resistensi yang lebih variatif
selain karena ekspresi gen juga disebabkan karena adanya mutasi gen msrA pada
pompa efluks, yaitu sistem pompa pada dinding sel bakteri yang berfungsi
menyalurkan substansi ekstraseluler seperti antibotik, sehingga antibiotik tidak
dapat berdifusi pada sitoplasma bakteri. CA-MRSA juga memiliki faktor virulensi
yang unik yaitu Panton-Valentine leukocidin (PVL). Toksin ini akan berkombinasi
dengan gen mecA dalam menghasilkan resistensi pada S. aureus.
Vancomycin telah lama menjadi antibiotik pilihan untuk menangani infeksi
MRSA. Timbulnya S. aureus yang resisten terhadap vancomycin telah dilaporkan
beberapa tahun terakhir ini. Kejadian tersebut merupakan penyebab keprihatinan
kesehatan masyarakat terbesar bahkan menjadi tantangan yang lebih berat bagi
para klinisi. Penemuan terakhir obat yang terbaik untuk MRSA adalah Linezolid,
Daptomycin dan Tigecycline yang harganya sangat mahal dan tidak selalu tersedia
di setiap pusat pelayanan kesehatan.(26)
Sejak munculnya resistensi terhadap methycillin, MRSA telah dikenal luas
di berbagai rumah sakit di seluruh dunia, sebagai penyebab bakteremia,
pneumonia, infeksi pasca operasi dan infeksi nosokomial lainnya. Infeksi MRSA
nosokomial menimbulkan beban, baik itu kepada pasien maupun sistem
kesehatan, sebab berkaitan dengan tingginya angka morbiditas dan mortalitas
serta biaya rumah sakit.(26,27)
Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) paling banyak
ditemukan di tangan, hidung dan perineum. Penelitian yang dilakukan dengan
17
subjek pasien di ruang perawatan intensif Bandung dan Semarang tahun 2001
menggambarkan bahwa sebanyak 35,9% pada nostril hidung dan 21,85 pada
tangan petugas kesehatan.(26)
Adanya kuman Staphylococcus sp. yang resisten terhadap antimikroba di
rumah sakit ataupun komunitas masyarakat merupakan permasalahan serius,
sebab kira-kira 90% kuman tersebut adalah kausa penyakit infeksi secara umum,
meskipun dari hasil kultur sering bukan penyebab tunggal infeksi.(24,25)
Pengelolaan pasien tentu saja akan mendapat implikasi negatif apabila
permasalahan infeksi tidak dicermati dengan baik. Munculnya galur MRSA yang
berkembang telah dilaporkan secara periodik. Perkembangan dari segi jumlah dan
sifat resistensi terhadap antibiotik dapat menjadi ancaman baru untuk pelayanan di
rumah sakit.(27)
Hospital-Acquired MRSA (HA-MRSA) disebabkan oleh beberapa faktor,
yaitu pemakaian antibiotik yang tidak rasional (dari segi ketidaksesuaian indikasi,
dosis tinggi maupun durasinya yang lama), transmisi penyakit dan tindakan
invasif (seperti pemasangan infus, selang nasogastrik, central venous pressuredan
sebagainya). Tindakan invasif akan lebih memberikan efek ke arah bakteremia,
bukan infeksi luka pasca operasi.(26,28)
Community-Acquired MRSA terjadi pada penderita dengan riwayat rawat
inap rumah sakit maupun tidak. Tempat pelayanan umum, sekolah, penjara dan
tempat yang penduduknya padat mudah ditemukan bakteri tersebut. Abses, luka
bakar ataupun luka gigitan serangga dapat dijadikan CA-MRSA tempat
berkembang. Sekitar 75% infeksinya terjadi pada kulit dan jaringan lunak.(27,28)
2.2 Tanaman Pare
Menurut Cronquist (1981) klasifikasi dari tanaman pare adalahsebagai
berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Sub Divisi : Magnoliopsida
Kelas
: Dycotiledonae
Famili
: Cucurbitaceae
18
Genus
: Momordica
Spesies
: Momordica charantia(29)
Gambar 2.2 Tanaman Pare (30)
Pare mempunyai banyak nama di beberapa daerah di antaranya paria, pare
(Jawa), poya, pudu (Sulawesi), papariane (Maluku) dan paya (Nusa Tenggara).
Pare banyak terdapat di daerah tropis tumbuh baik di dataran rendah dan dapat
ditemukan tumbuh liar di tanah terlantar, tegalan, atau dibudidayakan dan ditanam
di pekarangan dengan dirambatkan di pagar untuk diambil buahnya. Tanaman ini
tidak memerlukan banyak sinar matahari sehingga dapat tumbuh subur di
tempatyang agak terlindung.Terna setahun, merambat atau memanjat dengan alat
pembelit (sulur) berbentuk spiral, bercabang banyak, berbau tidak enak. Batang
berusuk lima, panjang 2-5 m dan yang muda berambut rapat. Daun tunggal,
bertangkai yang panjangnya 1,5-5,3 cm, letak berseling, bentuk bulat panjang,
berbagi 5-7, pangkal berbentuk jantung, dengan panjang 3,5-8,5 cm, lebar 2,5-6
cm, berwarna hijau tua. Bunga tunggal, berkelamin dua dalam satu pohon,
bertangkai panjang dan berwarna kuning. Buah bulat memanjang dengan 8-10
rusuk, berbintil-bintil tidak beraturan, panjang 8-30 cm, rasa pahit, berwarna
hijau, menjadi jingga yang pecah dengan tiga katup jika masak. Biji banyak,
coklat kekuningan, bentuk pipih memanjang, keras. Rasa pahit buah ini
menimbulkan
beberapa
manfaat
diantaranya
merangsang
nafsu
menyembuhkan penyakit kuning dan melancarkan proses pencernaan.(30,31)
makan,
19
Tanaman pare telah dimanfaatkan secara luas di seluruh dunia. Pemanfaatan
buah pare bagi masyarakat Jepang bagian selatan adalah sebagai obat pencahar,
laksatif dan obat cacing. Di India, ekstrak buah pare digunakan sebagai obat
diabetik, obat rematik, obat gout, obat penyakit liver dan obat penyakit limfa. Di
Indonesia, buah pare selain dikenal sebagai sayuran, juga secara tradisional
digunakan sebagai peluruh dahak, obat penurun panas danpenambah nafsu makan.
Selain itu, daunnya dimanfaatkan sebagai peluruh haid, obat luka bakar, obat
penyakit kulit dan obat cacing.(31)
Daun pare mengandung momordicine, momordine, charantine, asam
trikosanik, resin, asam resinat, saponin, vitamin A dan C serta minyak lemak
terdiri atas asam oleat, asam linoleat, asam stearat dan lemak oleostearat. Buah
mengandung fixed oil, insulin like peptide, glykosides (momordine dan
charantine), alkaloid (momordicine), hydroxytryptamine, vitamin A, B dan C,
peptide yang menyerupai insulin dapat menurunkan kadar glukosa dalam darah
dan urine. Biji mengandung momordicine.(30)
Berikut senyawa antibakteri yang terkandung dalam daun pare:
1.
Saponin
Saponin merupakan senyawa aktif permukaan yang kuat menimbulkan busa
jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi rendah sering menyebabkan
hemolisis. Beberapa saponin tertentu bekerja sebagai antimikroba dan saponin
tertentu menjadi penting karena dapat diperoleh dari beberapa tumbuhan dengan
hasil yang baik dan digunakan sebagai bahan baku untuk sintesis hormon steroid
yang digunakan dalam bidang kesehatan. Saponin merupakan glikosida yang
mempunyai metabolit sekunder yang banyak terdapat di alam terdiri dari gugus
gula yang berikatan dengan aglikon atau sapogenin.(32)
Pencarian saponin dalam tumbuhan telah dirangsang oleh kebutuhan akan
sumber sapogenin yang mudah diperoleh. Saponin dan glikosida sapogenin adalah
salah satu tipe glikosida yang tersebar luas dalam tumbuhan. Dikenal dua macam
saponin, yaitu glikosida triterpenoid alkohol dan glikosida dengan struktur steroid.
Kedua saponin ini larut dalam air dan etanol tetapi tidak larut dalam eter.(32,33)
Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat yang menimbulkan busa jika
20
dikocok dalam air dan dalam konsentrasi rendah sering menyebabkan hemolisis
sel darah merah.(34)
2.
Triterpen
Sejak diketahui bahwa tanaman pare berkhasiat terhadap kesehatan maka
beberapa peneliti berusaha mengetahui dan mengisolasikan bahan yang
terkandung dalam tanaman pare. Sebagai tumbuhan bangsa Cucurbitaceae,
tanaman ini juga mengandung bahan yang tergolong dalam glikosida triterpen
atau kukurbitasin. Hasil isolasi dan ekstrak biji pare didapatkan beberapa jenis
momordikosida yaitu, momordikosida A (C42H72O15), momordikosida B
(C42H80C19), momordikosida C (C42H72O14), momordikosida D (C42H70C13) dan
momordikosida E (C51H74O19). Isolasi dari ekstrak buah pare diperoleh empat jenis
momordikosida yang tidak pahit rasanya yaitu, momordikosida F1 (C 45H68O12),
momordikosida F2 (C36H58O8), momordikosida G (C45H68O12) dan momordikosida
I (C36H58O8). Bersamaan dengan itu, telah pula diperoleh jenis momordikosida
utama yang pahit yaitu, momordikosida K (C 37H58O9), dan momordikosida L
(C36H58O9). Diduga jenis momordikosida K dan L inilah yang bersifat sitotoksik.
Disamping itu dan ekstrak daun telah pula diisolasi glikosida kukurbitasin yaitu
jenis momordisin. Terdapat tiga jenis momordisin, yaitu momordisin I (C 30H48O4),
momordisin II (C36H58O9) dan momordisin III (C48H68O16).(31)
3.
Flavonoid
Senyawa ini merupakan salah satu senyawa fenol alami yang tersebar luas
pada tumbuhan. Senyawa ini memiliki aktivitas antibakteri karena mempunyai
kemampuan kompleks terhadap protein ekstraseluler dan berinteraksi dengan
DNA bakteri yang pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan permeabilitas
dinding sel bakteri, mikrosom dan lisosom.(33,35)
Flavonoid mengandung cincin aromatik yang terkonjugasi dan karena itu
menunjukkan pita serapan yang kuat pada daerah spektrum UV (ultra violet) dan
spektrum tampak. Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan, terikat pada
gula seperti glikosida. Aglikon flavonoid terdapat dalam satu tumbuhan dalam
beberapa bentuk kombinasi glikosida.(36) Aglikon flavonoid mempunyai kerangka
dasar struktur C6-C3-C6. Berdasarkan tingkat oksidasi serta subsituennya,
21
kerangka flavonoid dibedakan menjadi berbagai jenis seperti flavon, flavonol,
khalkon, santon, auron, flavon, antosianidin dan leukoantosianidin.(37)
2.4 Metode Ektraksi
Ekstraksi adalah proses pemisahan bahan dari campurannya dengan
menggunakan pelarut. Jadi, ekstrak adalah sediaan yang diperoleh dengan cara
ekstraksi tanaman obat dengan ukuran partikel tertentu dan menggunakan medium
pengekstraksi yang tertentu pula.(38)
Terdapat beberapa metode ekstraksi dengan pelarut cair antara lain cara
dingin, yaitu maserasi dan perkolasi dan cara panas yaitu
refluks, sokletasi,
digesti, infus dan dekok. (39)
2.4.1
Cara Dingin
Ekstraksi cara dingin meliputi maserasi atau perkolasi. Maserasi adalah
proses ektraksi dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan
pada suhu kamar. Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut
setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya. Sedangkan
perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang
umumnya
dilakukan
pada
suhu
ruangan.
Proses
terdiri
dari
tahapan
pengembangan bahan, tahap maserasi antara dan tahap perkolasi sebenarnya
(penetesan atau penampungan ekstrak etanol), terus menerus sampai diperoleh
ekstrak yang jumlahnya 1-5 kali bahan. (39)
2.4.2
Cara Panas
Ekstraksi cara panas meliputi refluks, soklet, digesti, infus dan dekok.
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada titik didihnya, selama waktu tertentu
dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali
sehingga proses ektraksi menjadi sempurna.(39)
Soklet adalah ektraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ektraksi kontinu dengan
jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Digesti adalah
maserasi kinetik dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang lebih tinggi
dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50o.
22
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana
infus tercelup dalam penangas air mendidih temperatur terukur 96-98o) selama
waku tertentu (15-20 menit). Dekok adalah infus dalam waktu yang lebih lama
dan temperatur sampai titik didih air. Pelarut yang digunakan untuk ektraksi
dipilih berdasarkan kemampuannya dalam melarutkan hampir semua senyawa
metabolit sekunder yang terkandung. Faktor- faktor yang harus dipertimbangkan
dalam pemilihan pelarut di antaranya adalah selektivitas, kemudahan bekerja,
ekonomis, ramah lingkungan serta keamanan.(39)
Etanol adalah pelarut yang paling sering digunakan dalam proses ekstraksi.
Etanol disebut juga etil alkohol yang di pasaran lebih dikenal sebagai alkohol
merupakan senyawa organik dengan rumus kimia C 2H5OH. Dalam kondisi kamar,
etanol berwujud cairan yang mudah menguap, mudah terbakar dan tak berwarna.
(40)
Tabel 2. 1 Sifat Fisika dan Kimia Etanol(40)
Karakteristik Syarat
Rumus Molekul
C2H5OH
Massa molekul relative
46,07 g/mol
Titik leleh
−114,3°C
Titik didih
78,32°C
Densitas pada 20°C
0,7893 g/cm3
Kelarutan dalam air 20°C
Sangat larut
Viskositas pada 20°C
1,17 Cp
Kalor spesifik pada 20°C
0,579 kal/g°C
2.5 Uji Kepekaan terhadap Antimikroba
Sebelum zat antimikroba digunakan untuk keperluan pengobatan maka
perlu diuji terlebih dahulu efeknya terhadap spesies bakteri tertentu. Aktifitas
antijasad renik diukur secara in vitro agar dapat ditentukan potensinya sebagai
antijasad renik dalam larutan, konsentrasi zat terhadap jasad renik serta kepekaan
suatu jasad renik terhadap konsentrasi-konsentrasi bahan antimikroba yang
diberikan.(15,41)
Bahan antimikroba bersifat menghambat bila digunakan dalam konsentrasi
kecil, namun bila digunakan dalam konsentrasi tinggi dapat mematikan, untuk itu
23
perlu diketahui KHM dan KBM bahan antimikrobial terhadap terhadap
mikroorganisme.(41) Penentuan nilai-nilai aktifitas jasad renik dapat dilakukan
dengan menggunakan metode pengenceran tabung/ dilusi cair dan metode difusi.
(16)
1. Cara pengenceran tabung / dilusi cair
Cara pengenceran tabung ini dilakukan dengan suspensi bakteri 10 6 Colony
Form Unit/ml (CFU/ml). Cara pengenceran tabung ini adalah penghambatan
perbanyakan bakteri dalam pembenihan cair olehsuatu bahan antimikroba yang
dicampur dalam pembenihan. Pembenihan yang dipakai harus merupakan
pembenihan yang dapat membunuh bakteri secara optimum dan tidak menetralkan
obat yang digunakan.(42) Cara ini pada dasarnya untuk menentukan secara
kuantitatif konsentrasi terkecil suatu bahan antimikroba yang dapat menghambat
perbanyakan bakteri.(16) Cara pengenceran tabung ini dilakukan dengan
mengencerkan populasi bakteri yang ada pada stok sampai mencapai 10 6 sel atau
suspensi. Jumlah populasi tersebut dapat diketahui secara kualitas dengan
menggunakan larutan Mc. Farland sebagai indikator. Tujuan dari pengenceran
tersebut untuk mendapatkan konsentrasi yang diinginkan dan sesuai dengan
perlakuan.(15,43)
Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair (broth dilution) dan
dilusi padat (solid dilution).
a. Metode dilusi cair/ broth dilution test (serial dilution)
Metode ini mengukur KHM dan KBM. Cara yang dilakukan adalah dengan
membuat seri pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang ditambahkan
dengan mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat
jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan
tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media padat tanpa penambahan mikroba
uji ataupun agen mikroba dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media padat yang
tidak ditumbuhi mikroba ditetapkan sebagai KBM.(41,44)
Pertumbuhan
bakteri
dapat
diketahui
dengan
mengukur
selisih
antaraabsorbansi sebelum dan sesudah inkubasi. Jumlah sel bakteri dapat diukur
dengancara mengetahui kekeruhan (turbiditas) kultur. Semakin keruh suatu
kultur,semakin banyak jumlah selnya. Cahaya yang dipancarkan pada
spektrofotometer akan mengenai sel sehingga sebagian cahaya akan diserap dan
24
sebagian diteruskan. Banyaknya cahaya yang diabsorbsi sebanding dengan
banyaknya selbakteri pada batas-batas tertentu. Nilai KHM ditentukan dari
konsentrasi terendah dimana terdapat selisih absobansi (Optical Density/OD)
sesudah dan sebelum inkubasiyang negatif. Nilai ΔOD yang negatif menunjukkan
adanya penurunan nilaiabsorbansi yang berarti terjadi penurunan jumlah sel
setelah inkubasi. Nilai ΔOD yang positif menunjukkan adanya peningkatan nilai
absorbansi yang berarti masih terdapat pertumbuhan bakteri.(45)
b. Metode dilusi padat/ solid dilution test
Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media
padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen mikroba yang
diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji.(44)
2. Metode Difusi
Metode difusi dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
a. Metode silinder
Silinder steril dengan diameter 8 mm ditetesi larutan uji dan ditempatkan
pada permukaan agar yang telah diamati bakteri uji. Daerah hambat yang
terbentuk terlihat sebagai daerah bening di sekeliling silinder.kemudian diukur
dengan menggunakan jangka sorong atau penggaris.(46)
b. Metode perforasi
Metode perforasi dilakukan pada media agar yang telah ditanami bakteri uji
kemudian dibuat lubang atau sumur dengan diameter 6 mm dan larutan uji
sebanyak 20 µL dimasukkan ke dalamnya. Daerah hambatan yang terjadi terlihat
sebagai daerah bening di sekeliling lubang. Selanjutnya diukur dengan
menggunakan jangka sorong atau penggaris.(41,46)
c. Metode Disk Agar Diffusion
Pengujian bahan antimikroba dengan menggunakan metode cakram kertas
atau paper disk adalah didasarkan pada pengamatan zona hambatan yang
dihasilkan oleh difusi bahan antimikroba. Prinsip dari pengujian ini adalah
menempatkan suatu kertas cakram yang mengandung bahan antimikroba dengan
konsentrasi tertentu secara hati-hati pada lempengan agar yang ditanami biakan
murni bakteri. Media agar ini kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu
tertentu, setelah itu dilakukan pengamatan mikroskopis, dilihat ada tidaknya
daerah jernih di sekeliling kertas cakram.(46) Daerah jernih yang tampak di
sekeliling kertas cakram menunjukkan bahwa mikroorganisme atau bakteri uji
25
peka terhadap bahan antimikroba, semakin peka maka semakin luas daerah jernih
yang terbentuk. Bakteri yang sensitif terhadap bahan antimikroba akan ditandai
dengan adanya daerah hambatan di sekitar cakram, sedangkan bakteri yang
resisten terlihat tetap tumbuh pada tepi kertas cakram tersebut. (15,47)
26
Kerangka Konsep
Ekstrak etanol daun pare
(Momordica charantia
D.)
Konsentrasi Hambat Minimal (KHM)
terhadap pertumbuhan Methicilllin
ResistantStaphylococcus aureus (MRSA)
Konsentrasi Bunuh Minimal (KBM)
terhadap pertumbuhan Methicilllin
ResistantStaphylococcus aureus (MRSA)
27
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan
menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL). Rancangan penelitian ini
menggunakan 6 kelompok perlakuan terdiri atas kelompok ekstrak etanol daun
pare masing-masing dengan konsentrasi 50 mg/ml, 100 mg/ml, 200 mg/ml, 400
mg/ml dan 800 mg/ml serta kontrol bakteri. Menurut Hanafiah (2011), penelitian
laboratorium dapat meminimalkan galat yang diperoleh karena menggunakan alat,
bahan, media dan lingkungan yang homogen. Sebagai patokan, untuk menentukan
jumlah pengulangan menggunakan persamaan di bawah ini:
(r-1)(t-1)
≥ 15
Keterangan:
r : jumlah perlakuan
t : jumlah pengulangan
Pada penelitian ini r = 6, maka jumlah pengulangan yang akan dilakukan
yaitu:
(r-1)(t- 1)
≥15
(6-1)(t- 1)
≥15
5(t-1)
≥15
t - 1 ≥ 15/5
t ≥4
Jadi, pengulangan yang dilakukan pada penelitian ini minimal 4 kali. Pada
penelitian ini peneliti melakukan pengulangan sebanyak 4 kali.
28
Tabel 3.1 Rancangan penelitian untuk ekstrak etanol daun pare
Pengulangan
Perlakuan
A
B
C
K0
K0A
K0B
K0C
K1
K1A
K1B
K1C
K2
K2A
K2B
K2C
K3
K3A
K3B
K3C
K4
K4A
K4B
K4C
K5
K5A
K5B
K5C
K0
K1
K2
K3
K4
K5
D
K0D
K1D
K2D
K3D
K4D
K5D
: 1 ml akuades steril + 1 ml MRSA 106CFU/ml
: 1 ml ekstrak etanoldaun pare 50 mg/ml + 1 ml MRSA 106CFU/ml
: 1 ml ekstrak etanoldaun pare 100 mg/ml + 1 ml MRSA 106CFU/ml
: 1 ml ekstrak etanoldaun pare 200 mg/ml + 1 ml MRSA 106CFU/ml
: 1 ml ekstrak etanoldaun pare 400 mg/ml + 1 ml MRSA 106CFU/ml
: 1 ml ekstrak etanol daun pare 800 mg/ml + 1 ml MRSA 106CFU/ml
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Uji herbarium dilakukan di Laboratorium Herbarium Biologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Syiah Kuala. Uji
fitokimia dan pembuatan ekstrak etanol daun pare varietas Aceh dilakukan di
Laboratorium Penelitian Jurusan Kimia FMIPA Universitas Syiah Kuala. Isolat
bakteri diambil dari Laboratorium Mikrobiologi Rumah Sakit Umum Daerah
Zainoel Abidin (RSUDZA) yang berasal dari isolat pasien pneumonia nosokomial
dan pengujian antibakteri dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi RSUDZA.
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Desember 2013 – Januari 2014.
3.3 Alat dan Bahan Penelitian
3.3.1
Alat Penelitian
Alat yang digunakan adalah tabung reaksi, rak tabung reaksi, cawan petri,
kawat ose, lampu bunsen, pinset, gelas ukur, gelas beker, labu erlenmeyer, kapas,
kasa, kapas lidi, kertas pembungkus, kertas saring, spuit, jangka sorong,
inkubator,
oven,
autoklaf,
timbangan
analitik,
refrigerator,
mikroskop,
spektrofotometer, cuvettes, vacuum rotary evaporator, panci, blender, penjepit,
kaca preparat, aluminium foil, mikropipet, pipet tetes, plat tetes, corong dan
vorteks.
29
3.3.2
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak etanol daun pare
(Momordica charantia D.), isolat MRSA, akuades steril, NaCl 0,9%, cakram
antibiotic methycillin atau oxacillin, kristal violet, lugol, alkohol 70%, alkohol
96%, safranin, minyak emersi, serum koagulase, larutan H202 3%, media Nutrient
Agar (NA), media Nutrient Broth (NB)dan media Mueller Hinton Agar (MHA).
3.4 Persiapan Penelitian
3.4.1
Uji Herbarium Daun pare
Uji herbarium dilakukan untuk mengetahui taksonomi dari tanaman pare
yang digunakan dalam penelitian ini. Uji herbarium dilaksanakan di Laboratorium
Herbarium Biologi FMIPA Unsyiah.
3.4.2
1
Pembuatan Ekstrak Daun pare
Persiapan Sampel Daun pare
Daun pare sebanyak 2 kg diperoleh dari Desa Teladan, Kecamatan
Seulimum, Kabupaten Aceh Besar. Daun yang diambil adalah daun yang
berwarna hijau dan terletak di bagian pucuk. Selanjutnya daun pare dibersihkan
dan dicuci. Kemudian daun pare dikering-anginkan selama tiga hari. Daun pare
yang telah kering dihancurkan untuk mendapatkan serbuk simplisia.
2
Pembuatan Ekstrak Etanol Daun pare
Serbuk simplisia daun pare diekstraksikan dengan menggunakan metode
maserasi menggunakan pelarut etanol 96% selama 24 jam dan disaring sehingga
menghasilkan filtrat. Filtrat tersebut diuapkan dengan menggunakan vacuum
rotary evaporatorpada suhu 60oC sampai diperoleh ekstrak kental. Kemudian
ekstrak etanol daun pare masing-masing dibagi dalam lima konsentrasi, yaitu 50
mg/ml, 100 mg/ml, 200 mg/ml, 400 mg/ml dan 800 mg/ml. Pengenceran
dilakukan dengan menggunakan rumus:
30
V1 M1 = V2M2
∆V = V2 – V1
Keterangan:
V1
V2
M1
M2
∆V
3.4.3
: volume awal (ml)
: volume yang diinginkan (ml)
: konsentrasi awal (mg/ml)
: konsentrasi yang diinginkan (mg/ml)
: penambahan akuades untuk pengenceran (ml)
Uji Fitokimia Daun Pare
Uji fitokimia dilakukan dengan menggunakan ekstrak etanol daun pare.
Prosedur pelaksanan uji fitokimia adalah sebagai berikut:
1.
Uji alkaloid
Sebanyak 3 ml ekstrak daun pare ditambahkan dengan 5 ml HCl 2M, diaduk
dan didinginkan pada suhu ruangan. Setelah sampel dingin tambahkan 0,5 g NaCl,
diaduk dan disaring. Filtrat yang diperoleh ditambahkan HCl 2M sebanyak 3
tetes, kemudian dipisahkan menjadi 3 bagian, yaitu bagian A, B dan C. Bagian
pertama ditambahkan dengan reagen Meyer, bila terjadi endapan putih maka
positif alkaloid. Bagian kedua ditambahkan dengan reagen Dragendorf, bila
terjadi endapan kemerahan maka positif alkaloid. Bagian yang ketiga
ditambahkan dengan reagen Waegner, bila terjadi endapan berwarna coklat maka
positif terdapat alkaloid.
2.
Uji steroid, triterpenoid dan saponin
Sebanyak 3 ml ekstrak daun pare ditambahkan dengan 3 tetes asam asetat
anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat secara berurutan. Larutan dikocok perlahanlahan dan dibiarkan beberapa menit. Hasil positif ditandai dengan terbentuknya
warna merah atau ungu untuk triterpenoid dan hijau atau biru untuk steroid. Untuk
uji saponin, sebanyak 2 ml ekstrak dimasukkan ke tabung reaksi, kemudian
ditambahkan dengan 10 ml akuades, selanjutnya dikocok kuat, lalu amati
perubahan yang terjadi. Hasil uji positif apabila terbentuk busa stabil selama lebih
kurang 30 menit.
3.
Uji flavonoid
Sebanyak 3 ml ekstrak daun pare diuapkan dan dicuci dengan n-heksana
sampai jernih. Residu dilarutkan dalam 20 ml etanol kemudian disaring. Filtrat
31
yang diperoleh ditambahkan 0,5 ml HCl dan logam magnesium, kemudian amati
perubahan warna yang terjadi. Hasil uji positif apabila terbentuk warna merah
sampai jingga.
4.
Uji tanin
Sebanyak 3 ml ekstrak daun pare diekstraksi akuades panas kemudian
didinginkan. Setelah itu tambahkan 5 tetes NaCl 10% dan disaring. Filtrat yang
diperoleh ditambahkan dengan 3 tetes pereaksi FeCl3 dan amati perubahan yang
terjadi. Hasil positif apabila terbentuk warna hijau tua.(33)(48)
3.4.4
Sterilisasi Alat
Alat yang terbuat dari kaca terlebih dulu dicuci dan dikeringkan lalu
dibungkus dengan kertas. Sterilisasi alat dilakukan dalam oven pada suhu 160 oC
selama 2-3 jam. Jarum ose dan pinset disterilkan dengan pemijaran di atas bunsen.
Sterilisasi media dilakukan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC
dengan tekanan 1 atm selama 15 menit.
3.4.5
1.
Pembuatan Media Pertumbuhan Bakteri
Nutrient Broth (NB)
Bubuk media NB sebanyak 1,3 g dilarutkan dalam 100 ml akuades dalam
tabung erlenmeyer 100 ml. Erlenmeyer ditutup dengan aluminium foil dan
dipanaskan di atas hot plate hingga homogen, kemudian disterilkan dengan
menggunakan autoklaf pada suhu 121oC selama 15-20 menit larutan NB yang
akan digunakan dituang ke dalam tabung reaksi sebanyak 10 ml kemudian ditutup
dengan kapas dan aluminium foil.
2.
Nutrient Agar (NA)
Bubuk media NA sebanyak 0,8 g dilarutkan dalam 100 ml akuades dalam
tabung erlenmeyer 100 ml. Erlenmeyer ditutup dengan aluminium foil dan
dipanaskan di atas hot platehingga homogen, kemudian disterilkan dengan
menggunakan autoklaf pada suhu 121oCselama 15-20 menit. Larutan NA yang
akan digunakan dituang ke dalam tabung reaksi sebanyak 5-7 ml kemudian
ditutup dengan kapas dan aluminium foil. Lalu diletakkan agak sedikit miring
sampai media memadat. Pada cawan petri, larutan NA yang sudah disterilkan
dituang ke dalam cawan petri sebanyak 25 ml dan dibiarkan memadat, kemudian
disimpan dalam kondisi terbalik.
32
3.
Muller Hinton Agar (MHA)
Bubuk media MHA sebanyak 3,8 g dilarutkan dalam 100 ml akuades dalam
tabung erlenmeyer 100 ml. Erlenmeyer ditutup dengan aluminium foil dan
dipanaskan di atas hot plate hingga homogen, kemudian disterilkan dengan
menggunakan autoklaf pada suhu 121oC selama 15- 20 menit. Larutan MHA yang
akan digunakan dituang ke dalam cawan petri sebanyak 25 ml dan dibiarkan
memadat, kemudian disimpan dalam kondisi terbalik.
3.5 Cara Penelitian
3.5.1
Reisolasi Bakteri
Isolat MRSA diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi RSUDZA yang
merupakan isolat pasien pnemonia nosokomial. Selanjutnya diisolasikan ke media
NB, kemudian diinkubasi selama 24 jam. Setelah itu, bakteri diisolasikan ke
media NA lalu diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam.
3.5.2
Reidentifikasi Bakteri
a. Makroskopis
Bakteri yang telah tumbuh pada media NA inokulasi diamati berdasarkan
morfologi koloni. Koloni dapat ditandai berdasarkan bentuknya yang bulat,
permukaan agak menyembung dan berkilau, dengan tepi halus, berwarna kuning
keemasan.
b. Mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Gram dan
pengamatannya dilakukan di bawah mikroskop. Kaca objek disiapkan dan
dibersihkan terlebih dahulu. Sediaan bakteri dipersiapkan dengan mencampurkan
biakan bakteri dengan akuades steril pada kaca preparat yang telah dibersihkan
kemudian difiksasi dengan cara dilewatkan di atas lampu bunsen 2-3 kali. Setelah
kering, apusan diteteskan kristal violet dan dibiarkan selama 1 menit, dibilas
dengan akuades yang mengalir. Kemudian diteteskan lugol lalu dibiarkan selama
1 menit lalu dibilas kembali dengan akuades mengalir. Selanjutnya, apusan
diteteskan dengan alkohol 96% selama 5-10 detik dan dibilas dengan akuades
yang mengalir. Apusan diteteskan dengan safranin dan dibiarkan selama 30-45
detik, dibilas dengan akuades yang mengalir. Preparat dikeringkan dengan
33
menggunakan kertas tissue dan dibiarkan mengering lalu diamati dengan
mikroskop dengan perbesaran 1000x dengan minyak emersi. Hasil pewarnaan
GramStaphylococcus aureus adalah bakteri Grampositif karena berwarna ungu,
berbentuk bulatdan berkoloni seperti anggur.
c. Uji katalase
Teteskan hidrogen peroksida (H2O2) 3% di atas kaca objek dan kemudian
letakkan sedikit bakteri di atas larutan tersebut. Bila terbentuk gelembung udara
maka hasil uji katalase dinyatakan positif, hasil ini menunjukkan Staphylococcus
sp, sedangkan bila tidak terjadi gelembung maka hasil uji katalase dinyatakan
negatif, hasil ini menunjukkan Streptococcus sp.
d. Uji Koagulase
Sediakan 0,5 ml plasma dan ditambahkan dengan 0,5 ml bakteri dalam
media cair yang telah diinkubasi selama 24 jam. Selanjutnya campuran tersebut
diinkubasi selama 24 jam. Hasil positif dinyatakan bila terjadi penggumpalan,
hasil ini menunjukkan S. aureus.
e. Uji Resistensi Antibiotik
Uji ini dilakukan untuk melihat adanya resistensi S. Aureus terhadap suatu
antibiotik. Antibiotik yang digunakan untuk uji tersebut adalah methycillin atau
oxacillin. Uji antibiotik dilakukan dengan mengambil suspensi bakteri yang telah
diukur kerapatannya dengan menggunakan spektofotometer (λ = 625 nm dan
absorbansi 0,08 – 0,13), dengan kapas lidi steril lalu diswab pada seluruh
permukaan media MHA dalam rotasi tiga arah. Rotasi dengan sudut 60 derajat
dan seluruh permukaan media diswabdengan kapas lidi steril tersebut. Ulangi lagi
rotasi dan swab sehingga permukaan media rata dipenuhi suspensi bakteri.
Terakhir swab sekeliling pinggir MHA dengan kapas lidi tersebut. Cakram
antibiotik diletakkan di atas media inokulasi dan ditekan perlahan lalu diinkubasi
pada suhu 37oC selama 18 jam.
Karakterisasi dengan mengukur dan membandingkan diameter daerah
hambatannya terhadap tabel standar Clinical and Laboratory Standards Institute
(CLSI) tahun 2012. Sensitif (S), intermediet (I) dan resisten (R) terhadap
antibiotik disimpulkan berdasarkan diameter zona bening di sekitar cakram
antibiotik.
34
3.5.3 Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Pare varietas Aceh terhadap
MRSA Isolat Pnemonia Nosokomial
Uji aktivitas antibakteri ini dilakukan dengan metode dilusi tabung. Metode
dilusi tabung meliputi dua tahap untuk menunjukkan efek antimikroba, yaitu
KHM dan KBM.(49) Suspensi bakteri yang diujikan pada metode dilusi tabung
memiliki konsentrasi 106 colony forming units/ ml (CFU/ml).(50) Bakteri MRSA
isolat pnemonia nosokomial yang telah diinkubasi dan diidentifikasi disiapkan
serta diukur kerapatannya dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 625 nm hingga didapatkan kerapatan bakteri sebesar 0,08 – 0,13.
Selanjutnya membuat sediaan 10 ml bakteri MRSA isolat pnemonia nosokomial
dengan konsentrasi 108 CFU/ ml dengan mengambil bakteri dan dimasukkan ke
dalam tabung berisi NaCl berdasarkan rumus:
N1VI=N2V2
Keterangan:
N1 = kepadatan bakteri hasil spektrofotometri
N2 = kepadatan bakteri dalam suspensi akhir
V1 = volume bakteri yang dibutuhkan
V2 = volume akhir suspensi bakteri dan NaCl
Sediaan bakteri tersebut divorteks hingga homogen. Kemudian membuat
sediaan 10 ml bakteri MRSA konsentrasi 107 CFU/ml dengan mengambil 1 ml
larutan dari konsentrasi bakteri 108 CFU/ml dan dimasukkan ke dalam tabung
yang telah diisi 9 ml NaCl serta divortex hingga homogen. Konsentrasi bakteri
sekarang menjadi 107 CFU/ ml. Setelah itu membuat sediaan 10 ml bakteri MRSA
konsentrasi 106 CFU/ml dengan mengambil lagi 1 ml larutan dari konsentrasi
bakteri 107CFU/ml dan dimasukkan dalam tabung yang telah diisi 9 ml NB serta
divortex hingga homogen. Konsentrasi bakteri sekarang menjadi 106 CFU/ ml.
Bakteri dengan konsentrasi tersebut digunakan untuk penelitian.
Pengamatan nilai KHM dilakukan secara kuantitatif dengan pengukuran
selisih absorbansi sesudah dan sebelum inkubasi dengan ketentuan selisih
absorbansi ≤ 0, sedangkan nilai KBM dilihat dari NAP yang tidak ditumbuhi
koloni.(45,51)
35
Langkah kerja uji aktivitas antibakteri adalah sebagai berikut:
1.
Disediakan tabung reaksi steril sebanyak 6 buah, akuades steril dan MRSA 10 6
CFU/ml. Dilakukan pengenceran terhadap ekstrak dengan akuades steril
sehingga diperoleh konsentrasi masing-masing 50 mg/ml, 100 mg/ml, 200
mg/ml, 400 mg/ml dan 800 mg/ml sebanyak 1 ml.
2.
Masing-masing tabung reaksi diisi dengan ketentuan berikut:
Tabung 1: 1 ml ekstrak 50 mg/ml + 1 ml MRSA106 CFU/ml
Tabung 2: 1 ml ekstrak 100 mg/ml + 1 ml MRSA106 CFU/ml
Tabung 3: 1 ml ekstrak 200 mg/ml + 1 ml MRSA106 CFU/ml
Tabung 4: 1 ml ekstrak 400 mg/ml + 1 ml MRSA106 CFU/ml
Tabung 5: 1 ml ekstrak 800 mg/ml + 1 ml MRSA106 CFU/ml
Tabung 6: 1 ml akuades steril + 1 ml MRSA106 CFU/ml (kontrol bakteri)
3.
Dilakukan pengukuran absorbansi tabung 1 hingga 6 sebelum inkubasi.
4.
Tabung 1 hingga 6 diinkubasi pada suhu 37 0C selama 24 jam.
5.
Dilakukan pengukuran absorbansi setelah inkubasi dan menghitung selisih
absorbansi sebelum dan sesudah inkubasi tabung 1 hingga 6 untuk
menentukan KHM.
6.
Kultur masing-masing isi tabung 1 hingga 6 menggunakan satu ose dengan cara
streaking pada NAP.
7.
Semua NAP hasil streaking diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam.
8.
Diamati ada atau tidaknya pertumbuhan koloni pada masing-masing NAP untuk
menentukan nilai KBM lalu dilanjutkan dengan analisis data.
Catatan: prosedur tersebut diulang sebanyak 4 kali.
3.6 Parameter
Aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun pare dapat dilihat dari konsentrasi
larutan terkecil dimana selisih absorbansi sesudah dan sebeluminkubasi mulai
bernilai≤ 0 yang dinyatakan sebagai KHM. Aktivitas antibakteri ini juga dilihat
dari konsentrasi larutan terkecil dimana tidak dijumpai pertumbuhan koloni
bakteri pada media NAP yang dinyatakan sebagai KBM.
36
3.7 Analisis data
Hasil penelitian dari tiap kelompok dianalisis normalitas dengan
menggunakan uji Kolmogrov-Smirnov serta uji homogenitas menggunakan uji
Levene. Bila data berdistribusi normal dan homogen maka analisis data
dilanjutkan dengan ANOVA untuk KHM. Sedangkan untuk data KBM akan
dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis.
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Ducel G. Prevention of hospital-acquired infections. 2nd ed. New York:
Department of Communicable disease, surveillance and response; 2002.
p.107-109.
2. Light RW. Infectious Nosocomial. In Harrison’s Principles Of Internal
Medicine. 15th ed. Franklin , editor. McGraw-Hill Companies: United States
of America; 2001. p. 892-894.
3. Nurkusuma DD. Faktor yang Berpengaruh terhadap Kejadian Methicillin
Resistent Staphylococcus aureus (MRSA) pada Kasus Infeksi Luka Pasca
Operasi di Ruang Bangsal Rawat Bedah RS Kariadi Semarang. In Thesis.
Semarang; 2009. p. 23.
4. Ellen J, Bailey , Scott’s , Finegold , Sydney M, Baron. Diagnostic
Microbiology. 12th ed. Missouri: Mosby Elsevier; 2007. p. 125.
5. Setiawati M. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Pare (Momordica
charantia L.) terhadap Staphylococcus aureus, Eschericia Coli dan Candida
albicans Jakarta: FKUH; 2007.
6. Rahardjo I. Efek Ekstrak Etanol Daun Pare (Momordica charantia) Terhadap
Pertumbuhan Bakteri Methicillin Resistent Staphylococcus Aureus (MRSA).
Skripsi. Surabaya: Universitas Airlangga, Fakultas Kedokteran; 2012.
7. Pohan HT. Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine. Jakarta:
Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam. FKUI;
2004. p. 78.
8. Andreas BK, Sri S, Syahirul A. Gambaran Ketaatan Perawatan Jalan Nafas
dan kejadian Infeksi Nosokomial Saluran Pernafasan di ICU Rs. X
Yogyakarta. [Online].; 2009 [cited 2013 May 25. Available from:
www.pdii.lipi.go.id.
9. Mardan G. Infeksi Nosokomial dan Manfaat Pelatihan Keterampilan Perawat
terhadap Pengendaliannya di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSUP H.
Adam Malik Medan. [Online].; 2001 [cited 2013 May 26. Available from:
www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_082_infeksi_nosokomial_(i).pdf.
10. Prevention of hospital-acquired infections A practical guide 2nd edition World
Health Organization Department of Communicable Disease, Surveillance and
Response. [Online].; 2002 [cited 2013 May 25. Available from:
38
http://www.who.int/emc.
11. Chris B. Ensiklopedi Keperawatan. 2nd ed. Jakarta: EGC Penerbit Buku
Kedokteran; 2008. p. 206.
12. Bergey NR, Kreig JG, Holt PH, Sneath. Bergeys Manual of Determinative
Bacteriology. 9th ed. USA: Williams Wilkuns, Baltimore; 1994.
13. Jawetz MdA. Mikrobiologi Kedokteran. 20th ed. Jakarta: EGC; 1995.
14. 2008.
[Online]. [cited 2013 September 12. Available
http://www.sciencebuddies.org/science-fairprojects/project_ideas/MicroBio_Interpreting_Plates.shtml.
from:
15. Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan.
5th ed. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran; 1995. p. 211-217.
16. Brooks G, Butel J, Morse S. Mikrobiologi Kedokteran. 23rd ed. Jakarta: EGC;
2007. pp 225-231.
17. Warsa UK. Kokus Positif Gram. Dalam: Bagian Mikrobiologi FKUI.
Mikrobiologi Kedokteran Jakarta: Binarupa Aksara; 1994. p. 103-111.
18. Bremer PJ. Staphylococcus aureus New Zealand: New Zealand Institute for
Crop & Food Research Limited; 2004. p. 148-152.
19. Diana. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome Information for Parents and
Cariers. [Online].; 2008 [cited 2013 June
http://www.nlg.nhs.uk/iFp/single/ifp/0349.pdf.
20.
Available
from:
20. Laree A, Tracy , Jon P, Furuno. S. aureus infections in US Veterans,
Maryland,USA, 1999–2008. Emerging Infectious Diseases (CDC) URL:
www.nc.cdc.gov/eid/art. 2011; 17(3.441-576).
21. Lowy
DF.
Staphylococcus
aureus
Infection.
URL:
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM19. The New England Journal of
Medicine. 1998; 339(8:520-532).
22. Lestari SE, J AS. Antimicrobal Resistance in Indonesia Prevalence,
Determinan and Genetic Basis Jakarta; 2009. p. 23, 67, 115-116.
23. Wang L, Barret JF. Control and Prevention of MRSA Infection. Methods in
Molecular Biology New Jersey: Humana Press; 2007. p. 209-220.
24. Horowitz E, Prehein L. Guidline for The Control of MRSA. State Health
Department USA; 2005. p. 20-26.
25. Edgar W. Immunology. Applied Basic Scienced for Basic Surgical Training
39
USA: Churchill Livingstone; 2000. p. 106-120.
26. Wahjono H. Faktor yang Berpengaruh terhadap Kejadian MRSA pada
Penderita Bakterimia di Ruang Perawatan Intensif RS Kariadi. In Disertasi
Program Pasca Sarjana Universitas Padjajaran; Bandung.
27. Alicia M, Teressa H. Guideline for Prevention of Surgical Site Infection.
Hospital Infection Program. National Guideline for Infection Disease. In ;
1999; USA.
28. Wenzel R, Brewer T. A Guide to Infection Control in The Hospital.
International Society for Infectious Disease.. In ; 2002. 4-10; USA.
29. Cronquist. An Integral System of Classification of Flowering Plants New
York: Columbia University Press; 1981.
30. Dalimarta S. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Bogor: Trubus Agriwidya;
2008. p. 137.
31. Adimunca L. Cermin Dunia Kedokteran Jakarta: Pusat Penelitian Penyakit
Tidak Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen
Kesehatan RI; 1996.
32. Robinson T. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Terjemahan Kosasih
Padmawinata. 4th ed. Bandung: ITB Press; 1995. p. 71-196.
33. Harborne JB. Phytochemical Methods Bandung: Institut Teknologi Bandung;
1987. p. 1-32.
34. Hutapea J. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. 5th ed. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 1999.
35. Sabir. Pemanfaatan Flavonoid di Bidang Kedokteran Gigi. Majalah
Kedokteran Gigi Universitas Gajah Mada. 2003.
36. Harborne JB. Methods in Plant Biochemistry, Plant Phenols. London:
Academic Press; 1989.
37. Pramono S. Diktat Petunjuk Praktikum Pemisahan Flavonoid. In Fakultas
Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada; 1989; Yogyakarta. p. 1-17.
38. Agoes G. Teknologi Bahan Alam Bandung: ITB Press; 2007.
39. Depkes RI. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. 1st ed.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawas Obat Dan Makanan; 2000.
40. Rizani
KZ. Pengaruh Konsentrasi Gula Reduksi dan Inokulum
(Saccharomyces cerevisiae) pada Proses Fermentasi Sari Kulit Nanas (Ananas
40
comosus L.Merr) untuk Produksi Etanol. In Skripsi. Jurusan Biologi. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Brawijaya.; 2010;
Malang.
41. Harmita , Maksum R. Buku Ajar Analisis Hayati. 1st ed. Jakarta: EGC; 2008.
p. 1-7.
42. Bonang , Gerard , Koeswardono , Enggar S. Mikrobiologi Kedokteran untuk
Laboratorium dan Klinik. Jakarta: PT. Gramedia; 1982.
43. Chaouce TF, Bekkara , Haddouchi , Boucherit. Antibacterial Activity of
Different Ekstract of Echiumpycnanthum Pomel. USA: JCPRC5. 2012;
4(1).216-220.
44. Pratiwi ST. Mikrobiologi Farmasi. In. Jakarta: Erlangga; 2008.
45. Purwoko T. Fisiologi Mikroba Jakarta: Bumi Aksara; 2007.
46. Pelczar MJ, Chan EC. Dasar-Dasar Mikrobiologi Jakarta: UI Press; 2005. p.
81-93.
47. Pelczar MJ, Chan EC. Dasar-Dasar Mikrobiologi Jakarta: UI Press; 2005. p.
169.
48. Kurniaps. Skrining Fitokimia. [Online].; 2010 [cited 2013 April 01. Available
from:
http://id.shvoong.com/exact-sciences/chemistry/2094441-skriningfitokimia/#ixzzlaNKfm992.
49. Dzen SM, Roekistiningsih , Santoso , Winarsih d. Bakteriologi Medik
Malang: Ayumedia; 2003.
50. Chaouce TF, Bekkara , Haddouchi , Boucherit. Antibacterial Activity of
Different Ekstract of Echiumpycnanthum Pomel. USA: JCPRC5. 2012; 4(1)
(216-220).
51. A DN, Adi P, Larasati AR. Uji Efektivitas Ekstrak Bunga Matahari
(Helianthus annus) sebagai Antimikroba Staphyloccus aureus secara In Vitro.
Jurnal Mikrobiologi. 2009.
Download