1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi nosokomial banyak terjadi di seluruh dunia terutama di negaranegara miskin dan negara berkembang. Penelitian yang dilakukan World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit di 14 negara yang berasal dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Asia Pasifik menunjukkan adanya kejadian infeksi nosokomial dengan Asia Tenggara sebanyak 10%.(1) Pneumonia nosokomial atau hospital acquired pneumonia (HAP) adalah pneumonia yang didapat di rumah sakit. Pneumonia nosokomial terjadi 510 kasus per 1000 pasien yang masuk ke rumah sakit dan menjadi lebih tinggi 620 kali pada pasien yang memakai alat bantu napas mekanis. Angka kematian pada pneumonia nosokomial 20-50%. (2) Salah satu bakteri utama yang menyebabkan infeksi nosokomial adalah Staphylococcus aureus, bakteri Gram positif yang tersusun dalam kelompok seperti anggur, yang saat ini sudah mulai resisten terhadap antibiotik methicillin sehingga dikenal adanya Methicilllin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA). MRSA mengalami resistensi karena perubahan genetik yang disebabkan paparan terapi antibiotik yang tidak rasional.(2) Bakteri MRSA pada awalnya hanya resisten terhadap antibiotik yang mengandung cincin β-laktam, namun dalam perkembangannya muncul resistensi juga terhadap antibiotik golongan quinolon, aminoglycoside, tetracyclin bahkan vancomycin.(3) Berdasarkan fenomena tersebut, maka perlu dilakukan pencariansenyawa aktif lain yang mempunyai potensi sebagai antibakteri untuk mengatasiresistensi bakteri tersebut. Dewasa ini telah dilakukan penelitian pencarian zat antimikroba terhadap berbagai jenis tanaman. Beberapa tanaman telah terbukti memiliki senyawa aktif yang berperan sebagai antimikroba terhadap berbagai jenis bakteri Gram positif maupun Gram negatif, diantaranya adalah daun pare (Momordica charantia D.) Daun pare diketahui memiliki zat aktif alkaloid, flavonoid, saponin dan terpenoid yang diduga bermanfaat sebagai antimikroba. Alkaloid mampu 2 mengadakan interaksi dengan dinding sel dan DNA bakteri, sedangkan flavonoid mampu membentuk komplek dengan protein pada dinding dan protoplasma sel bakteri sehingga dapat melisiskan sel bakteri dan menyebabkan terjadinya denaturasi protein serta menghambat pembentukan membran sel. Saponin berperan dalam menurunkan tegangan permukaan sel, sehingga dinding sel rusak dan mengakibatkan kebocoran membran sel. Terpenoid mampu merusak membran sel bakteri. Senyawa-senyawa tersebut bersifat polar. Etanol merupakan pelarut yang memiliki polaritas tinggi sehingga dapat mengekstraksikan komponen yang bersifat polar. Etanol juga bersifat aman apabila masih tertinggal di dalam bahan. (4) Penelitian sebelumnya yang menggunakan metode difusi cakram menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun pare memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Eschericia coli. Bakteri-bakteri tersebut tergolong sangat sensitif terhadap ekstrak etanol daun pare yang ditunjukkan dari diameter zona hambatnya.(5) Hasil penelitian lain yang menggunakan metode dilusi tabung juga menunjukkan aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun pare dalam menghambat bakteri MRSA yang dapat dilihat dari nilai Konsentrasi Hambat Minimal (KHM) 0,167 gr/ml dan Konsentrasi Bunuh Minimal (KBM) 0,667 gr/ml.(6) Penelitian tentang uji aktivitas antibakteri daun pare varietas Aceh dengan metode dilusi tabung untuk bakteri MRSA isolat pneumonia nosokomial pasien Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin (RSUDZA) belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan pengujian potensi daun pare varietas Aceh sebagai inhibitor terhadap bakteri MRSA isolat tersebut dengan menggunakan metode dilusi tabung untuk mengetahui KHM dan KBM. 1.2 Rumusan Masalah 1. Berapa KHM ekstrak etanol daun pare varietas Aceh yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan MRSA isolat pneumonia nosokomial? 2. Berapa KBM ekstrak etanol daun pare varietas Aceh yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan MRSA isolat pneumonia nosokomial? 3 1.3 Tujuan Penelitian 1 Untuk mengetahui KHM ekstrak etanol daun pare varietas Aceh yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan MRSA isolat pneumonia nosokomial 2 Untuk mengetahui KBM ekstrak etanol daun pare varietas Aceh yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan MRSA isolat pneumonia nosokomial 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan bukti ilmiah mengenai aktivitas antibakteri daun pare terhadap bakteri MRSA isolat pneumonia nosokomial yang juga dapat digunakan sebagai dasar untuk pengembangan daun pare sebagai antibakteri. 1.5 Hipotesis Penelitian 1. Konsentrasi Hambat Minimal ekstrak etanol daun pare varietas Aceh terhadap pertumbuhan MRSA isolat pneumonia nosokomial ditentukan dari konsentrasi ekstrak terkecil yang menunjukkan selisih absorbansi bernilai 2. negatif Konsentrasi Bunuh Minimal ekstrak etanol daun pare varietas Aceh terhadap pertumbuhan MRSA isolat pneumonia nosokomial ditentukan dari konsentrasi ekstrak terkecil yang menunjukkan tidak adanya pertumbuhan koloni 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pneumonia Nosokomial 2.1.1 Definisi Pneumonia nosokomial atau hospital acquired pneumonia (HAP) adalah pneumonia yang didapat di rumah sakit yang menduduki peringkat ke- 2 sebagai infeksi nosokomial di Amerika Serikat, hal ini berhubungan dengan peningkatan angka kesakitan, kematian dan biaya perawatan di rumah sakit. Angka kematian pasien pada pneumonia yang dirawat di instalansi perawatan intensif (IPI) meningkat 3-10 kali dibandingkan dengan pasien tanpa pneumonia. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa lama perawatan meningkat 2-3 kali dibandingkan pasien tanpa pneumonia, hal ini tentu akan meningkatkan biaya perawatan di rumah sakit. Lebih kurang 10% pasien yang dirawat di IPI akan berkembang menjadi pneumonia dan angka kejadian pneumonia nosokomial pada pasien yang menggunakan alat bantu napas meningkat sebesar 20 – 30%. Angka kejadian dan angka kematian pada umumnya lebih tinggi di rumah sakit yang besar dibandingkan dengan rumah sakit yang kecil. (1) Pneumonia nosokomial (HAP) adalah pneumonia yang terjadi setelah pasien 48 jam dirawat di rumah sakit dan disingkirkan semua infeksi yang terjadi sebelum masuk rumah sakit. Ventilator associated pneumonia (VAP) adalah pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam setelah pemasangan intubasi endotrakeal. (2) 2.1.2 Etiologi Patogen penyebab pneumonia nosokomial berbeda dengan pneumonia komunitas. Pneumonia nosokomial dapat disebabkan oleh kuman bukan multi drug resistance (MDR) misalnya S. pneumoniae, H. Influenzae, Methicillin Sensitive Staphylococcus Pseudomonas aeruginosa, aureus (MSSA) Escherichia dan coli, kuman MDR Klebsiella misalnya pneumoniae, Acinetobacter spp dan Gram positif seperti Methicillin Resistance Staphylococcus aureus (MRSA). Pneumonia nosokomial yang disebabkan jamur, kuman anaerob dan virus jarang terjadi. Bahan pemeriksaan untuk menentukan bakteri penyebab 5 dapat diambil dari dahak, darah, cara invasif misalnya bilasan bronkus, sikatan bronkus, biopsi aspirasi transtorakal dan biopsi aspirasi transtrakea. (3) 2.1.3 Patogenesis Patogenesis pneumonia nosokomial pada prinsipnya sama dengan pneumonia komunitas. Pneumonia terjadi apabila mikroba masuk ke saluran napas bagian bawah. Ada empat rute masuknya mikroba tersebut ke dalam saluran napas bagian bawah yaitu: 1. Aspirasi, merupakan rute terbanyak pada kasus-kasus tertentu seperti kasus neurologis dan usia lanjut 2. Inhalasi, misalnya kontaminasi pada alat-alat bantu napas yang digunakan pasien 3. Hematogenik 4. Penyebaran langsung Pasien yang mempunyai faktor predisposisi terjadi aspirasi mempunyai risiko mengalami pneumonia nosokomial. Apabila sejumlah bakteri dalam jumlah besar berhasil masuk ke dalam saluran napas bagian bawah yang steril, maka pertahanan pejamu yang gagal membersihkan inokulum dapat menimbulkan proliferasi dan inflamasi sehingga terjadi pneumonia. Interaksi antara faktor pejamu (endogen) dan faktor risiko dari luar (eksogen) akan menyebabkan kolonisasi bakteri patogen di saluran napas bagian atas atau pencernaan makanan. Patogen penyebab pneumonia nosokomial ialah bakteri gram negatif dan Staphylococcus aureus sebanyak < 5%. Kolonisasi di saluran napas bagian atas karena bakteri-bakteri tersebut merupakan titik awal yang penting untuk terjadi pneumonia. (1) 6 Faktor risiko endogen Pasien: • Umur > 60 tahun • Penyakit yang mendasari • Faktor kebiasaan hidup • Kondisi akut Kolonisasi orofaring Aspirasi Bakteremia Kolonisasi lambung Inhalasi Intervensi: • Pembedahan • Prosedur invasif • Obat-obatan Translokasi Mekanisme pertahanan paru (seluler, humoral) Trakeobronkitis Faktor risiko eksogen Kontrol infeksi Kolonisasi silang Desinfeksi alat tidak adekuat Kontaminasi air & cairan Pneumonia Gambar 1. Skema patogenesis pneumonia nosokomial 2.1.4 Faktor Predisposisi atau Faktor Risiko Pneumonia Nosokomial Faktor risiko pada pneumonia sangat banyak dibagi menjadi 2 bagian, yaitu: 1. Faktor yang berhubungan dengan daya tahan tubuh Penyakit kronik (misalnya penyakit jantung, PPOK, diabetes, alkoholisme, azotemia), perawatan di rumah sakit yang lama, koma, pemakaian obat tidur, perokok, intubasi endotrakeal, malnutrisi, umur lanjut, pengobatan steroid, pengobatan antibiotik, waktu operasi yang lama, sepsis, syok hemoragik, infeksi berat di luar paru dan cidera paru akut (acute lung injury) serta bronkiektasis. (4) 2. Faktor eksogen a. Pembedahan Besar risiko kejadian pneumonia nosokomial tergantung pada jenis pembedahan, yaitu torakotomi (40%), operasi abdomen atas (17%) dan operasi abdomen bawah (5%). 7 b. Penggunaan antibiotik Antibiotik dapat memfasilitasi kejadian kolonisasi, terutama antibiotik yang aktif terhadap Streptococcus di orofaring dan bakteri anaerob di saluran pencernaan. Sebagai contoh, pemberian antibiotik golongan penisilin mempengaruhi flora normal di orofaring dan saluran pencernaan. Sebagaimana diketahui Streptococcus merupakan flora normal di orofaring melepaskan bacterocins yang menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif. Pemberian penisilin dosis tinggi akan menurunkan sejumlah bakteri gram positif dan meningkatkan kolonisasi bakteri gram negatif di orofaring. c. Peralatan terapi pernapasan Kontaminasi pada peralatan ini, terutama oleh bakteri Pseudomonas aeruginosa dan bakteri gram negatif lainnya sering terjadi. d. Pemasangan selang nasogastrik, pemberian antasid dan alimentasi enteral Pada individu sehat jarang dijumpai bakteri gram negatif di lambung karena asam lambung dengan pH < 3 mampu dengan cepat membunuh bakteri yang tertelan. Pemberian antasid / penyekat H2 yang mempertahankan pH > 4 menyebabkan peningkatan kolonisasi bakteri gram negatif aerobik di lambung, sedangkan larutan enteral mempunyai pH netral 6,4 - 7,0. e. Lingkungan rumah sakit • • Petugas rumah sakit yang mencuci tangan tidak sesuai dengan prosedur Penatalaksanaan dan pemakaiaan alat-alat yang tidak sesuai prosedur, • seperti alat bantu napas, selang makanan, selang infus, kateter dll Pasien dengan kuman MDR tidak dirawat di ruang isolasi Faktor risiko kuman MDR penyebab HAP dan VAP (ATS/IDSA 2004) • Pemakaian antibiotik pada 90 hari terakhir • Dirawat di rumah sakit ≥ 5 hari • Tingginya frekuensi resisten antibiotik di masyarakat atau di rumah sakit tersebut Penyakit immunosupresi dan atau pemberian imunoterapi. (4) 8 2.1.5 Diagnosis Menurut kriteria dari The Centers for Disease Control Atlanta (CDCAtlanta), diagnosis pneumonia nosokomial adalah sebagai berikut: 1. Onset pneumonia yang terjadi 48 jam setelah dirawat di rumah sakit dan menyingkirkan semua infeksi yang inkubasinya terjadi pada waktu masuk rumah sakit 2. Diagnosis pneumonia nosokomial ditegakkan atas dasar : a. Foto toraks : terdapat infiltrat baru atau progresif b. Ditambah 2 diantara kriteria berikut: • suhu tubuh > 38oC • • sekret purulen leukositosis (5) Kriteria pneumonia nosokomial berat menurut ATS, yaitu: 1. Dirawat di ruang rawat intensif. 2. Gagal napas yang memerlukan alat bantu napas atau membutuhkan O 2 > 35% untuk mempertahankan saturasi O2 > 90%. 3. Perubahan radiologik secara progresif berupa pneumonia multilobar atau kavitas dari infiltrat paru. 4. Terdapat bukti-bukti ada sepsis berat yang ditandai dengan hipotensi dan atau disfungsi organ yaitu: a. Syok (tekanan sistolik < 90 mmHg atau diastolik < 60 mmHg) b. Memerlukan vasopresor > 4 jam c. Jumlah urin < 20 ml/jam atau total jumlah urin 80 ml/4 jam d. Gagal ginjal akut yang membutuhkan dialisis (5) 2.1.6 Pemeriksaan 1. Pewarnaan Gram dan kultur dahak yang dibatukkan, induksi sputum atau aspirasi sekret dari selang endotrakeal atau trakeostomi. Jika fasilitas memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan biakan kuman secara semikuantitatif atau kuantitatif dan dianggap bermakna jika ditemukan ≥ 106 colony forming units/ml (CFU/ml) dari sputum, ≥ 105 – 106 CFU/ml dari aspirasi endotrracheal tube, ≥ 104 – 105 CFU/ml dari bronchoalveolar lavage (BAL) , ≥ 103 CFU/ml dari sikatan bronkus dan paling sedikit 102 CFU/ml dari vena kateter sentral. Dua set kultur darah aerobik dan anaerobik dari tempat yang berbeda (lengan kiri dan kanan) sebanyak 7 ml. 9 Kultur darah dapat mengisolasi bakteri patogen pada > 20% pasien. Jika hasil kultur darah (+) maka sangat penting untuk menyingkirkan infeksi di tempat lain. Pada semua pasien pneumonia nosokomial harus dilakukan pemeriksaan kultur darah. Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan biakan yaitu bila ditemukan sel PMN > 25 / lapangan pandang kecil (lpk) dan sel epitel < 10/ lpk. 2. Analisis gas darah untuk membantu menentukan berat penyakit. 3. Jika keadaan memburuk atau tidak ada respons terhadap pengobatan maka dilakukan pemeriksaan secara invasif. Bahan kultur dapat diambil melalui tindakan bronkoskopi, sikatan bronkus, aspirasi transtorakal. (6) Suspek HAP, VAP Kultur: diambil dari saluran napas bawah (kuantitatif) dan pemeriksaan mikroskopis) Mulai terapi antibiotik secara empiris sesuai algoritma dan data mikrobiologi lokal kecuali hasil pemeriksaan mikroskopis negatif dan klinis pneumonia yang tidak terlalu mendukung Hari ke-2 & 3: pemeriksaan kultur dan nilai respons klinis (suhu, leukosit, fototoraks, oksigenasi, sputum, perubahan hemodinamik dan fungsi organ) Tidak Kultur (-) Cari: • Patogen lain • Diagnosis lain • Infeksi lain • Komplikasi Perbaikan klinis pada jam ke-48 –72 Kultur (+) • Sesuaikan terapi antibiotik • Cari: komplikasi - patogen lain - diagnosis lain - Infeksi di tempat lain Ya Kultur (+) Kultur (-) Pertimbangkan penghentian antibiotik • Penurunan antibiotik jika mungkin • Obati selama 7 – 8 hari dan dievaluasi ulang Gambar 2.Skema ringkasan penatalaksanaan pasien HAP/VAP 10 2.1.7 Terapi Antibiotik Beberapa pedoman dalam pengobatan pneumonia nosokomial ialah: 1. Semua terapi awal antibiotik adalah empiris dengan pilihan antibiotik yang harus mampu mencakup sekurang-kurangnya 90% dari patogen yang mungkin sebagai penyebab, perhitungkan pola resistensi setempat. 2. Terapi awal antibiotik secara empiris pada kasus yang berat dibutuhkan dosis dan cara pemberian yang adekuat untuk menjamin efektivitas yang maksimal. Pemberian terapi empiris harus intravena dengan sulih terapi pada pasien yang terseleksi, dengan respons klinis dan fungsi saluran cerna yang baik. 3. Pemberian antibiotik secara de-eskalasi harus dipertimbangkan setelah ada hasil kultur yang berasal dari saluran napas bawah dan ada perbaikan respons klinis. 4. Kombinasi antibiotik diberikan pada pasien dengan kemungkinan terinfeksi kuman MDR. 5. Jangan mengganti antibiotik sebelum 72 jam, kecuali jika keadaan klinis memburuk. Data mikroba dan sensitivitas dapat digunakan untuk mengubah pilihan empiris apabila respons klinis awal tidak memuaskan. Modifikasi pemberian antibiotik berdasarkan data mikrobial dan uji kepekaan tidak akan mengubah mortaliti apabila terapi empiris telah memberikan hasil yang memuaskan. (6) 2.1.8 Lama Terapi Pasien yang mendapat antibiotik empiris yang tepat, optimal dan adekuat, penyebabnya bukan Pseudomonas aeruginosa dan respons klinis pasien baik serta terjadi resolusi gambaran klinis dari infeksinya maka lama pengobatan adalah 7 hari atau 3 hari bebas panas. Bila penyebabnya adalah Pseudomonas aeruginosa dan Enterobacteriaceae maka lama terapi 14 – 21 hari. (7) Respons terhadap terapi dapat didefinisikan secara klinis maupun mikrobiologi. Respons klinis terlihat setelah 48 – 72 jam pertama pengobatan sehingga dianjurkan tidak merubah jenis antibiotik dalam kurun waktu tersebut kecuali terjadi perburukan yang nyata. Setelah ada hasil kultur darah atau bahan saluran napas bawah maka pemberian antibiotik empiris mungkin memerlukan modifikasi. Apabila hasil pengobatan telah memuaskan maka penggantian 11 antibiotik tidak akan mengubah mortalitas tetapi bermanfaat bagi strategi deeskalasi. Bila hasil pengobatan tidak memuaskan maka modifikasi mutlak diperlukan sesuai hasil kultur dan kepekaan kuman. Respons klinis berhubungan dengan faktor pasien (seperti usia dan komorbid), faktor kuman (seperti pola resisten, virulensi dan keadaan lain).(1) Hasil kultur kuantitatif yang didapat dari bahan saluran napas bawah sebelum dan sesudah terapi dapat dipakai untuk menilai resolusi secara mikrobiologis. Hasil mikrobiologis dapat berupa eradikasi bakterial, superinfeksi, infeksi berulang atau infeksi persisten. Parameter klinis adalah jumlah leukosit, oksigenasi dan suhu tubuh. Perbaikan klinis yang diukur dengan parameter ini biasanya terlihat dalam 1 minggu pengobatan antibiotik. Pada pasien yang memberikan perbaikan klinis, foto toraks tidak selalu menunjukkan perbaikan, akan tetapi apabila foto toraks memburuk maka kondisi klinis pasien perlu diwaspadai. Ada beberapa penyebab perburukan atau gagal terapi, termasuk diantaranya kasus-kasus yang diobati bukan pneumonia, atau tidak memperhitungkan faktor tertentu pejamu, bakteri atau antibiotik, Beberapa penyakit noninfeksi seperti gagal jantung, emboli paru dengan infark, kontusio paru, pneumonia aspirasi akibat bahan kimia diterapi sebagai HAP.(5) Faktor pejamu yang menghambat perbaikan klinis adalah pemakaian alat bantu mekanis yang lama, gagal napas, keadaan gawat, usia di atas 60 tahun, infiltrat paru bilateral, pemakaian antibiotik sebelumnya dan pneumonia sebelumnya. Faktor bakteri yang mempengaruhi hasil terapi adalah jenis bakteri, resistensi kuman sebelum dan selama terapi terutama Pseudomonas aeruginosayang diobati dengan antibiotik tunggal. Hasil buruk dihubungkan biasanya dengan basil Gram negatif, flora polimikroba atau bakteri yang telah resisten dengan antibiotik. Pneumonia dapat juga disebabkan oleh patogen lain seperti M.tuberculosis, jamur dan virus atau patogen yang sangat jarang sehingga tidak diperhitungkan pada pemberian antibiotik.(5) a. 12 2.1 Bakteri Uji 2.1.1 Staphylococcus aureus Klasifikasi Staphylococcus aureus adalah sebagai berikut: Kingdom : Bacteria Filum : Firmicutes Kelas :Cocci Ordo : Bacillales Famili : Staphylococcaceae Genus : Staphylococcus Spesies :Staphylococcus aureus(12) Nama Staphylococcus aureus (S. aureus) berasal dari kata “Staphele” yang berarti kumpulan dari anggur dan kata “aureus” yang dalam bahasa latinberarti emas. Nama tersebut berdasarkan bentuk dari sel-sel bakteri yang berwarna keemasan.Ciri bakteri ini adalah bakteri Gram positif yang berbentuk bulat (coccus) dengan ukuran diameter sekitar 1 μm dan tersusun dalam kelompok yang tidak beraturan, tidak membentuk spora dan tidak bergerak.Sel-selnya membentuk kelompok seperti kelompok buah anggur.Pada biakan cair dapat dijumpai secara terpisah (tunggal), berpasangan berbentuk tetrad (empat sel) dan berbentuk rantai yang berwarna abu-abu sampai kuning emas tua. (13) Berikut morfologi S. aureus dalam gambar di bawah ini: Gambar 2.1 Staphylococcus aureus pada Nutrient Agar plate (14) 13 Bakteri S. Aureus mudah tumbuh pada berbagai media pembenihan dan mempunyai metabolisme aktif, meragikan karbohidrat, serta menghasilkan pigmen yang bervariasi dari putih sampai kuning tua. Bakteri ini dapat tumbuh dengan baik pada suhu 37º C, tetapi membentuk pigmen yang paling baik pada suhu kamar (20 ºC – 25 ºC). Koloni pada pembenihan padat berbentuk bulat, halus, menonjol dan berkilau.(15) Staphylococcus aureus merupakan bakteri katalase positif dan mampu mengubah hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen. Kemampuan inilah yang membedakannya dengan enterococcus dan streptococcus. Untuk membedakannya dengan jenis staphylococcus yang lain dilakukan uji koagulase. Bakteri ini bersifat koagulase positif sedangkan yang lainnya bersifat sebaliknya. Di antara bakteri yang tidak membentuk spora S. aureus merupakan bakteri yang kuat daya tahannya, ia dapat hidup berbulan-bulan pada media agar miring jika disimpan pada suhu kamar maupun lemari es.(14) Bakteri ini juga menghasilkan beberapa jenis enzim dan toksin diantaranya yaitu enzim katalase, koagulase dan faktor penggumpal serta enzim-enzim lain seperti hialuronidase, eksotoksin, leukosidin, toksin eksfoliatif, toksin sindrom syok toksik dan enterotoksin. S. aureus menghasilkan koagulase positif, suatu protein yang mirip enzim yang dapat menggumpalkan plasma yang mengandung oksalat atau sitrat. Memproduksi koagulase dianggap sama dengan memiliki potensi menjadi patogen invasif. Faktor penggumpal adalah kandungan permukaan S. aureus yang berfungsi melekatkan organisme ke fibrin atau fibrinogen.(13,16) Enzim lain yang dihasilkan oleh S. aureus antara lain adalah hialuronidase atau faktor penyebar yang dapatmenyebabkan fibrinolisis tetapi bekerja jauh lebih lambat daripada streptokinase, proteinase, lipase dan β-laktamase. Eksotoksin seperti α-toksin, β-toksin, γ-toksin, δ-toksin yang dapat melisiskan sel darah merah manusia dan hewan juga dihasilkan oleh bakteri ini. Toksin-toksin tersebut menganggu membran biologik dan sering kali berperan pada penyakit diare.(17) Toksin lainnya adalah leukosidin. Toksin ini memiliki dua komponen yang bekerja secara sinergis pada membran sel darah putih membentuk pori-pori dan meningkatkan permeabilitas kation. Sementara itu, toksin eksfoliatif dapat 14 menyebabkan deskuamasi generalisata pada kulit. Toksin sindrom-syok-toksin merupakan superantigen prototopikal yang menyebabkan demam, syok dan melibatkan berbagai sistem tubuh. Selain itu juga terdapat berbagai enterotoksinseperti A-E, G-I dan K-M. Sekitar 50% strain S. aureus dapat menghasilkan satu enterotoksin atau lebih.(16) Staphylococcus aureus erat kaitannya dengan tubuh manusia karena sering ditemukan pada lingkungan, seperti air, debu dan udara. (18) Sebagai penyebab penting keracunan makanan, enterotoksin khususnya dihasilkan bila bakteri ini tumbuh pada makanan karbohidrat dan protein. Enterotoksin mengakibatkan muntah-muntah dan diare pada manusia. Keracunan makanan yang disebabkan oleh enterotoksin Staphylococcus ditandai oleh masa inkubasi yang pendek (1-8) jam, nausea hebat, muntah-muntah, diare dan konvalesen yang cepat. (15) Infeksi S. aureus pada kulit menyebabkan impetigo dan sellulitis. Pada beberapa kasus bisa muncul komplikasi serius yang disebut scalded skin syndrome, sering terjadi pada bayi dan anak-anak usia 5-6 tahun.(19) Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen penyebab infeksi. S. aureus dapat menyebabkan penyakit mulai dari yang ringan sampai yang berat bahkan sampai sepsis.(20) S. aureus sering menyebabkan akne dan frunkulosis pada kulit, infeksi S. aureus pada tulang juga sering menyebabkan osteomielitis, infeksi S. aureus pada organ dalam dapat menyebabkan endokarditis, pneumonia dan infeksi berat lainnya. Pada luka terbuka S. aureus juga sering menyebabkan infeksi.(21) Hal ini dikarenakan S. aureus mempunyai bagian-bagian dan produk yang mendukungnya sebagai salah satu bakteri patogen diantaranya adalah dinding sel Staphylococcus sp. sebagian besar terdiri dari peptidoglikan. Peptidoglikan mempunyai aktifitas seperti endotoksin, menstimulasi keluarnya sitokin dari makrofag yaitu interleukin-1 dan aktifasi komplemen, kapsul akan mencegah fagositosis oleh sel polymorfonuclear (PMN), adanya toksin dan enzim yang dihasilkan untuk merusak sel inang. (15,21) Selain itu, faktor dari bakteri S. aureus yang menyebabkan sukarnya penanganan infeksi adalah adanya resistensi bakteri terhadap antibiotik.(15) Pengobatan terhadap infeksi S. aureus biasanya menggunakan berbagai jenis antibiotik seperti tetracycline, vancomycin atau penicillin resisten β- laktamase. 15 Perbedaan jenis obat yang diberikan dipertimbangkan dari angka resistensi bakteri terhadap suatu antibiotik, seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Endang Sri Lestari dkk tahun 2009 menyatakan bahwa dari 361 kultur positif S.aureus 67.9% masih sensitif terhadap seluruh antibiotik yang diujikan, 32,1% resisten terhadap satu atau dua agen antibiotik, 21,1% resisten terhadap satu jenis antibiotik dan 10,5% resisten terhadap dua atau lebih antibiotik, angka tersebut diperoleh dari sampel yang dirawat di rumah sakit dan tidak dirawat di rumah sakit. Adapun antibiotik yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah tetracycline, oxacilline, gentamycin, erythromycin, chloramphenicol dan trimethoprim sulfamethoxazole.(22) 2.1.2 Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah golongan bakteri Gram positif yang resisten terhadap antibiotik penisilin semisintetis. (23,24) Pada awalnya, S. aureus telah dikenal sebagai suatu penyebab penyakit yang penting di seluruh dunia dan menjadi suatu patogen utama yang terkait dengan infeksi, baik itu yang didapat di rumah sakit (Hospital-Acquired MRSA=HAMRSA) maupun di komunitas (Community-Acquired MRSA=CA-MRSA).(24,25) Sebelum ada antibiotik, kasus infeksi invasif yang disebabkan oleh S. aureus sering berakibat fatal.Dengan dikenalnya penisilin secara luas maka dapat memperbaiki prognosis pasien dengan infeksi staphylococcus berat, namun setelah penggunaan klinis selama beberapa tahun, resistensi tampaknya diakibatkan oleh dihasilkannya β-laktamase.Sampai saat ini, MRSA secara umum merupakan suatu patogen nosokomial yang menyebabkan infeksi dapatan di rumah sakit, tetapi galur MRSA saat ini secara luas diisolasi dari infeksi dapatan di komunitas juga, misalnya berasal dari pelayanan kesehatan umum.(3) Methicillin Resistant Staphylococcus aureus pertama kali dilaporkan pada tahun 1960 dari infeksi yang didapat di rumah sakit (HA-MRSA). Beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan yang signifikan dengan munculnya MRSA pada komunitas (CA-MRSA). Mekanisme resistensi ini disebabkan karena enzim βlaktamase yang merupakan faktor virulensi yang dimediasi via kromosomal dan plasmid.Enzim ini merusak cincin β-laktam yang merupakan bagian penting penyusun struktur obat golongan penicillin. Resistensi ini diduga dimediasi oleh 16 gen mecA yang merupakan bagian dari mobile genomicelement Staphylococcal Chromosomal Cassette (SCCmec). Ekspresi dari gen ini menyebabkan perubahan reseptorpenicillin (penicillin binding protein/ PBP 2a) pada S. aureus. Daerah pengikatan penicillin yang berubah tersebut akan mengakibatkan antibiotik ini tidak dapat bekerja untuk menghambat sintesis dinding sel pada S. aureus. Gen SCCmec terdiri dari empat tipe yang masing-masingnya menimbulkan karakteristik tertentu. Gen SCCmec II dan III ditemukan pada banyak galur MRSA isolat infeksi nosokomial (HA-MRSA). MRSA tipe ini juga banyak yang telah resisten terhadap aminoglycosides, tetracyclines, erythromycin dan clindamycin. Sedangkan CA-MRSA diakibatkan oleh ekspresi gen SCCmec IV. Resistensi CA-MRSA memperlihatkan pola resistensi yang lebih variatif selain karena ekspresi gen juga disebabkan karena adanya mutasi gen msrA pada pompa efluks, yaitu sistem pompa pada dinding sel bakteri yang berfungsi menyalurkan substansi ekstraseluler seperti antibotik, sehingga antibiotik tidak dapat berdifusi pada sitoplasma bakteri. CA-MRSA juga memiliki faktor virulensi yang unik yaitu Panton-Valentine leukocidin (PVL). Toksin ini akan berkombinasi dengan gen mecA dalam menghasilkan resistensi pada S. aureus. Vancomycin telah lama menjadi antibiotik pilihan untuk menangani infeksi MRSA. Timbulnya S. aureus yang resisten terhadap vancomycin telah dilaporkan beberapa tahun terakhir ini. Kejadian tersebut merupakan penyebab keprihatinan kesehatan masyarakat terbesar bahkan menjadi tantangan yang lebih berat bagi para klinisi. Penemuan terakhir obat yang terbaik untuk MRSA adalah Linezolid, Daptomycin dan Tigecycline yang harganya sangat mahal dan tidak selalu tersedia di setiap pusat pelayanan kesehatan.(26) Sejak munculnya resistensi terhadap methycillin, MRSA telah dikenal luas di berbagai rumah sakit di seluruh dunia, sebagai penyebab bakteremia, pneumonia, infeksi pasca operasi dan infeksi nosokomial lainnya. Infeksi MRSA nosokomial menimbulkan beban, baik itu kepada pasien maupun sistem kesehatan, sebab berkaitan dengan tingginya angka morbiditas dan mortalitas serta biaya rumah sakit.(26,27) Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) paling banyak ditemukan di tangan, hidung dan perineum. Penelitian yang dilakukan dengan 17 subjek pasien di ruang perawatan intensif Bandung dan Semarang tahun 2001 menggambarkan bahwa sebanyak 35,9% pada nostril hidung dan 21,85 pada tangan petugas kesehatan.(26) Adanya kuman Staphylococcus sp. yang resisten terhadap antimikroba di rumah sakit ataupun komunitas masyarakat merupakan permasalahan serius, sebab kira-kira 90% kuman tersebut adalah kausa penyakit infeksi secara umum, meskipun dari hasil kultur sering bukan penyebab tunggal infeksi.(24,25) Pengelolaan pasien tentu saja akan mendapat implikasi negatif apabila permasalahan infeksi tidak dicermati dengan baik. Munculnya galur MRSA yang berkembang telah dilaporkan secara periodik. Perkembangan dari segi jumlah dan sifat resistensi terhadap antibiotik dapat menjadi ancaman baru untuk pelayanan di rumah sakit.(27) Hospital-Acquired MRSA (HA-MRSA) disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu pemakaian antibiotik yang tidak rasional (dari segi ketidaksesuaian indikasi, dosis tinggi maupun durasinya yang lama), transmisi penyakit dan tindakan invasif (seperti pemasangan infus, selang nasogastrik, central venous pressuredan sebagainya). Tindakan invasif akan lebih memberikan efek ke arah bakteremia, bukan infeksi luka pasca operasi.(26,28) Community-Acquired MRSA terjadi pada penderita dengan riwayat rawat inap rumah sakit maupun tidak. Tempat pelayanan umum, sekolah, penjara dan tempat yang penduduknya padat mudah ditemukan bakteri tersebut. Abses, luka bakar ataupun luka gigitan serangga dapat dijadikan CA-MRSA tempat berkembang. Sekitar 75% infeksinya terjadi pada kulit dan jaringan lunak.(27,28) 2.2 Tanaman Pare Menurut Cronquist (1981) klasifikasi dari tanaman pare adalahsebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Sub Divisi : Magnoliopsida Kelas : Dycotiledonae Famili : Cucurbitaceae 18 Genus : Momordica Spesies : Momordica charantia(29) Gambar 2.2 Tanaman Pare (30) Pare mempunyai banyak nama di beberapa daerah di antaranya paria, pare (Jawa), poya, pudu (Sulawesi), papariane (Maluku) dan paya (Nusa Tenggara). Pare banyak terdapat di daerah tropis tumbuh baik di dataran rendah dan dapat ditemukan tumbuh liar di tanah terlantar, tegalan, atau dibudidayakan dan ditanam di pekarangan dengan dirambatkan di pagar untuk diambil buahnya. Tanaman ini tidak memerlukan banyak sinar matahari sehingga dapat tumbuh subur di tempatyang agak terlindung.Terna setahun, merambat atau memanjat dengan alat pembelit (sulur) berbentuk spiral, bercabang banyak, berbau tidak enak. Batang berusuk lima, panjang 2-5 m dan yang muda berambut rapat. Daun tunggal, bertangkai yang panjangnya 1,5-5,3 cm, letak berseling, bentuk bulat panjang, berbagi 5-7, pangkal berbentuk jantung, dengan panjang 3,5-8,5 cm, lebar 2,5-6 cm, berwarna hijau tua. Bunga tunggal, berkelamin dua dalam satu pohon, bertangkai panjang dan berwarna kuning. Buah bulat memanjang dengan 8-10 rusuk, berbintil-bintil tidak beraturan, panjang 8-30 cm, rasa pahit, berwarna hijau, menjadi jingga yang pecah dengan tiga katup jika masak. Biji banyak, coklat kekuningan, bentuk pipih memanjang, keras. Rasa pahit buah ini menimbulkan beberapa manfaat diantaranya merangsang nafsu menyembuhkan penyakit kuning dan melancarkan proses pencernaan.(30,31) makan, 19 Tanaman pare telah dimanfaatkan secara luas di seluruh dunia. Pemanfaatan buah pare bagi masyarakat Jepang bagian selatan adalah sebagai obat pencahar, laksatif dan obat cacing. Di India, ekstrak buah pare digunakan sebagai obat diabetik, obat rematik, obat gout, obat penyakit liver dan obat penyakit limfa. Di Indonesia, buah pare selain dikenal sebagai sayuran, juga secara tradisional digunakan sebagai peluruh dahak, obat penurun panas danpenambah nafsu makan. Selain itu, daunnya dimanfaatkan sebagai peluruh haid, obat luka bakar, obat penyakit kulit dan obat cacing.(31) Daun pare mengandung momordicine, momordine, charantine, asam trikosanik, resin, asam resinat, saponin, vitamin A dan C serta minyak lemak terdiri atas asam oleat, asam linoleat, asam stearat dan lemak oleostearat. Buah mengandung fixed oil, insulin like peptide, glykosides (momordine dan charantine), alkaloid (momordicine), hydroxytryptamine, vitamin A, B dan C, peptide yang menyerupai insulin dapat menurunkan kadar glukosa dalam darah dan urine. Biji mengandung momordicine.(30) Berikut senyawa antibakteri yang terkandung dalam daun pare: 1. Saponin Saponin merupakan senyawa aktif permukaan yang kuat menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi rendah sering menyebabkan hemolisis. Beberapa saponin tertentu bekerja sebagai antimikroba dan saponin tertentu menjadi penting karena dapat diperoleh dari beberapa tumbuhan dengan hasil yang baik dan digunakan sebagai bahan baku untuk sintesis hormon steroid yang digunakan dalam bidang kesehatan. Saponin merupakan glikosida yang mempunyai metabolit sekunder yang banyak terdapat di alam terdiri dari gugus gula yang berikatan dengan aglikon atau sapogenin.(32) Pencarian saponin dalam tumbuhan telah dirangsang oleh kebutuhan akan sumber sapogenin yang mudah diperoleh. Saponin dan glikosida sapogenin adalah salah satu tipe glikosida yang tersebar luas dalam tumbuhan. Dikenal dua macam saponin, yaitu glikosida triterpenoid alkohol dan glikosida dengan struktur steroid. Kedua saponin ini larut dalam air dan etanol tetapi tidak larut dalam eter.(32,33) Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat yang menimbulkan busa jika 20 dikocok dalam air dan dalam konsentrasi rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah.(34) 2. Triterpen Sejak diketahui bahwa tanaman pare berkhasiat terhadap kesehatan maka beberapa peneliti berusaha mengetahui dan mengisolasikan bahan yang terkandung dalam tanaman pare. Sebagai tumbuhan bangsa Cucurbitaceae, tanaman ini juga mengandung bahan yang tergolong dalam glikosida triterpen atau kukurbitasin. Hasil isolasi dan ekstrak biji pare didapatkan beberapa jenis momordikosida yaitu, momordikosida A (C42H72O15), momordikosida B (C42H80C19), momordikosida C (C42H72O14), momordikosida D (C42H70C13) dan momordikosida E (C51H74O19). Isolasi dari ekstrak buah pare diperoleh empat jenis momordikosida yang tidak pahit rasanya yaitu, momordikosida F1 (C 45H68O12), momordikosida F2 (C36H58O8), momordikosida G (C45H68O12) dan momordikosida I (C36H58O8). Bersamaan dengan itu, telah pula diperoleh jenis momordikosida utama yang pahit yaitu, momordikosida K (C 37H58O9), dan momordikosida L (C36H58O9). Diduga jenis momordikosida K dan L inilah yang bersifat sitotoksik. Disamping itu dan ekstrak daun telah pula diisolasi glikosida kukurbitasin yaitu jenis momordisin. Terdapat tiga jenis momordisin, yaitu momordisin I (C 30H48O4), momordisin II (C36H58O9) dan momordisin III (C48H68O16).(31) 3. Flavonoid Senyawa ini merupakan salah satu senyawa fenol alami yang tersebar luas pada tumbuhan. Senyawa ini memiliki aktivitas antibakteri karena mempunyai kemampuan kompleks terhadap protein ekstraseluler dan berinteraksi dengan DNA bakteri yang pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan permeabilitas dinding sel bakteri, mikrosom dan lisosom.(33,35) Flavonoid mengandung cincin aromatik yang terkonjugasi dan karena itu menunjukkan pita serapan yang kuat pada daerah spektrum UV (ultra violet) dan spektrum tampak. Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula seperti glikosida. Aglikon flavonoid terdapat dalam satu tumbuhan dalam beberapa bentuk kombinasi glikosida.(36) Aglikon flavonoid mempunyai kerangka dasar struktur C6-C3-C6. Berdasarkan tingkat oksidasi serta subsituennya, 21 kerangka flavonoid dibedakan menjadi berbagai jenis seperti flavon, flavonol, khalkon, santon, auron, flavon, antosianidin dan leukoantosianidin.(37) 2.4 Metode Ektraksi Ekstraksi adalah proses pemisahan bahan dari campurannya dengan menggunakan pelarut. Jadi, ekstrak adalah sediaan yang diperoleh dengan cara ekstraksi tanaman obat dengan ukuran partikel tertentu dan menggunakan medium pengekstraksi yang tertentu pula.(38) Terdapat beberapa metode ekstraksi dengan pelarut cair antara lain cara dingin, yaitu maserasi dan perkolasi dan cara panas yaitu refluks, sokletasi, digesti, infus dan dekok. (39) 2.4.1 Cara Dingin Ekstraksi cara dingin meliputi maserasi atau perkolasi. Maserasi adalah proses ektraksi dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan pada suhu kamar. Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya. Sedangkan perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada suhu ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara dan tahap perkolasi sebenarnya (penetesan atau penampungan ekstrak etanol), terus menerus sampai diperoleh ekstrak yang jumlahnya 1-5 kali bahan. (39) 2.4.2 Cara Panas Ekstraksi cara panas meliputi refluks, soklet, digesti, infus dan dekok. Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga proses ektraksi menjadi sempurna.(39) Soklet adalah ektraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ektraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Digesti adalah maserasi kinetik dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50o. 22 Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih temperatur terukur 96-98o) selama waku tertentu (15-20 menit). Dekok adalah infus dalam waktu yang lebih lama dan temperatur sampai titik didih air. Pelarut yang digunakan untuk ektraksi dipilih berdasarkan kemampuannya dalam melarutkan hampir semua senyawa metabolit sekunder yang terkandung. Faktor- faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan pelarut di antaranya adalah selektivitas, kemudahan bekerja, ekonomis, ramah lingkungan serta keamanan.(39) Etanol adalah pelarut yang paling sering digunakan dalam proses ekstraksi. Etanol disebut juga etil alkohol yang di pasaran lebih dikenal sebagai alkohol merupakan senyawa organik dengan rumus kimia C 2H5OH. Dalam kondisi kamar, etanol berwujud cairan yang mudah menguap, mudah terbakar dan tak berwarna. (40) Tabel 2. 1 Sifat Fisika dan Kimia Etanol(40) Karakteristik Syarat Rumus Molekul C2H5OH Massa molekul relative 46,07 g/mol Titik leleh −114,3°C Titik didih 78,32°C Densitas pada 20°C 0,7893 g/cm3 Kelarutan dalam air 20°C Sangat larut Viskositas pada 20°C 1,17 Cp Kalor spesifik pada 20°C 0,579 kal/g°C 2.5 Uji Kepekaan terhadap Antimikroba Sebelum zat antimikroba digunakan untuk keperluan pengobatan maka perlu diuji terlebih dahulu efeknya terhadap spesies bakteri tertentu. Aktifitas antijasad renik diukur secara in vitro agar dapat ditentukan potensinya sebagai antijasad renik dalam larutan, konsentrasi zat terhadap jasad renik serta kepekaan suatu jasad renik terhadap konsentrasi-konsentrasi bahan antimikroba yang diberikan.(15,41) Bahan antimikroba bersifat menghambat bila digunakan dalam konsentrasi kecil, namun bila digunakan dalam konsentrasi tinggi dapat mematikan, untuk itu 23 perlu diketahui KHM dan KBM bahan antimikrobial terhadap terhadap mikroorganisme.(41) Penentuan nilai-nilai aktifitas jasad renik dapat dilakukan dengan menggunakan metode pengenceran tabung/ dilusi cair dan metode difusi. (16) 1. Cara pengenceran tabung / dilusi cair Cara pengenceran tabung ini dilakukan dengan suspensi bakteri 10 6 Colony Form Unit/ml (CFU/ml). Cara pengenceran tabung ini adalah penghambatan perbanyakan bakteri dalam pembenihan cair olehsuatu bahan antimikroba yang dicampur dalam pembenihan. Pembenihan yang dipakai harus merupakan pembenihan yang dapat membunuh bakteri secara optimum dan tidak menetralkan obat yang digunakan.(42) Cara ini pada dasarnya untuk menentukan secara kuantitatif konsentrasi terkecil suatu bahan antimikroba yang dapat menghambat perbanyakan bakteri.(16) Cara pengenceran tabung ini dilakukan dengan mengencerkan populasi bakteri yang ada pada stok sampai mencapai 10 6 sel atau suspensi. Jumlah populasi tersebut dapat diketahui secara kualitas dengan menggunakan larutan Mc. Farland sebagai indikator. Tujuan dari pengenceran tersebut untuk mendapatkan konsentrasi yang diinginkan dan sesuai dengan perlakuan.(15,43) Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair (broth dilution) dan dilusi padat (solid dilution). a. Metode dilusi cair/ broth dilution test (serial dilution) Metode ini mengukur KHM dan KBM. Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media padat tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen mikroba dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media padat yang tidak ditumbuhi mikroba ditetapkan sebagai KBM.(41,44) Pertumbuhan bakteri dapat diketahui dengan mengukur selisih antaraabsorbansi sebelum dan sesudah inkubasi. Jumlah sel bakteri dapat diukur dengancara mengetahui kekeruhan (turbiditas) kultur. Semakin keruh suatu kultur,semakin banyak jumlah selnya. Cahaya yang dipancarkan pada spektrofotometer akan mengenai sel sehingga sebagian cahaya akan diserap dan 24 sebagian diteruskan. Banyaknya cahaya yang diabsorbsi sebanding dengan banyaknya selbakteri pada batas-batas tertentu. Nilai KHM ditentukan dari konsentrasi terendah dimana terdapat selisih absobansi (Optical Density/OD) sesudah dan sebelum inkubasiyang negatif. Nilai ΔOD yang negatif menunjukkan adanya penurunan nilaiabsorbansi yang berarti terjadi penurunan jumlah sel setelah inkubasi. Nilai ΔOD yang positif menunjukkan adanya peningkatan nilai absorbansi yang berarti masih terdapat pertumbuhan bakteri.(45) b. Metode dilusi padat/ solid dilution test Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen mikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji.(44) 2. Metode Difusi Metode difusi dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu: a. Metode silinder Silinder steril dengan diameter 8 mm ditetesi larutan uji dan ditempatkan pada permukaan agar yang telah diamati bakteri uji. Daerah hambat yang terbentuk terlihat sebagai daerah bening di sekeliling silinder.kemudian diukur dengan menggunakan jangka sorong atau penggaris.(46) b. Metode perforasi Metode perforasi dilakukan pada media agar yang telah ditanami bakteri uji kemudian dibuat lubang atau sumur dengan diameter 6 mm dan larutan uji sebanyak 20 µL dimasukkan ke dalamnya. Daerah hambatan yang terjadi terlihat sebagai daerah bening di sekeliling lubang. Selanjutnya diukur dengan menggunakan jangka sorong atau penggaris.(41,46) c. Metode Disk Agar Diffusion Pengujian bahan antimikroba dengan menggunakan metode cakram kertas atau paper disk adalah didasarkan pada pengamatan zona hambatan yang dihasilkan oleh difusi bahan antimikroba. Prinsip dari pengujian ini adalah menempatkan suatu kertas cakram yang mengandung bahan antimikroba dengan konsentrasi tertentu secara hati-hati pada lempengan agar yang ditanami biakan murni bakteri. Media agar ini kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu tertentu, setelah itu dilakukan pengamatan mikroskopis, dilihat ada tidaknya daerah jernih di sekeliling kertas cakram.(46) Daerah jernih yang tampak di sekeliling kertas cakram menunjukkan bahwa mikroorganisme atau bakteri uji 25 peka terhadap bahan antimikroba, semakin peka maka semakin luas daerah jernih yang terbentuk. Bakteri yang sensitif terhadap bahan antimikroba akan ditandai dengan adanya daerah hambatan di sekitar cakram, sedangkan bakteri yang resisten terlihat tetap tumbuh pada tepi kertas cakram tersebut. (15,47) 26 Kerangka Konsep Ekstrak etanol daun pare (Momordica charantia D.) Konsentrasi Hambat Minimal (KHM) terhadap pertumbuhan Methicilllin ResistantStaphylococcus aureus (MRSA) Konsentrasi Bunuh Minimal (KBM) terhadap pertumbuhan Methicilllin ResistantStaphylococcus aureus (MRSA) 27 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL). Rancangan penelitian ini menggunakan 6 kelompok perlakuan terdiri atas kelompok ekstrak etanol daun pare masing-masing dengan konsentrasi 50 mg/ml, 100 mg/ml, 200 mg/ml, 400 mg/ml dan 800 mg/ml serta kontrol bakteri. Menurut Hanafiah (2011), penelitian laboratorium dapat meminimalkan galat yang diperoleh karena menggunakan alat, bahan, media dan lingkungan yang homogen. Sebagai patokan, untuk menentukan jumlah pengulangan menggunakan persamaan di bawah ini: (r-1)(t-1) ≥ 15 Keterangan: r : jumlah perlakuan t : jumlah pengulangan Pada penelitian ini r = 6, maka jumlah pengulangan yang akan dilakukan yaitu: (r-1)(t- 1) ≥15 (6-1)(t- 1) ≥15 5(t-1) ≥15 t - 1 ≥ 15/5 t ≥4 Jadi, pengulangan yang dilakukan pada penelitian ini minimal 4 kali. Pada penelitian ini peneliti melakukan pengulangan sebanyak 4 kali. 28 Tabel 3.1 Rancangan penelitian untuk ekstrak etanol daun pare Pengulangan Perlakuan A B C K0 K0A K0B K0C K1 K1A K1B K1C K2 K2A K2B K2C K3 K3A K3B K3C K4 K4A K4B K4C K5 K5A K5B K5C K0 K1 K2 K3 K4 K5 D K0D K1D K2D K3D K4D K5D : 1 ml akuades steril + 1 ml MRSA 106CFU/ml : 1 ml ekstrak etanoldaun pare 50 mg/ml + 1 ml MRSA 106CFU/ml : 1 ml ekstrak etanoldaun pare 100 mg/ml + 1 ml MRSA 106CFU/ml : 1 ml ekstrak etanoldaun pare 200 mg/ml + 1 ml MRSA 106CFU/ml : 1 ml ekstrak etanoldaun pare 400 mg/ml + 1 ml MRSA 106CFU/ml : 1 ml ekstrak etanol daun pare 800 mg/ml + 1 ml MRSA 106CFU/ml 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Uji herbarium dilakukan di Laboratorium Herbarium Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Syiah Kuala. Uji fitokimia dan pembuatan ekstrak etanol daun pare varietas Aceh dilakukan di Laboratorium Penelitian Jurusan Kimia FMIPA Universitas Syiah Kuala. Isolat bakteri diambil dari Laboratorium Mikrobiologi Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin (RSUDZA) yang berasal dari isolat pasien pneumonia nosokomial dan pengujian antibakteri dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi RSUDZA. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Desember 2013 – Januari 2014. 3.3 Alat dan Bahan Penelitian 3.3.1 Alat Penelitian Alat yang digunakan adalah tabung reaksi, rak tabung reaksi, cawan petri, kawat ose, lampu bunsen, pinset, gelas ukur, gelas beker, labu erlenmeyer, kapas, kasa, kapas lidi, kertas pembungkus, kertas saring, spuit, jangka sorong, inkubator, oven, autoklaf, timbangan analitik, refrigerator, mikroskop, spektrofotometer, cuvettes, vacuum rotary evaporator, panci, blender, penjepit, kaca preparat, aluminium foil, mikropipet, pipet tetes, plat tetes, corong dan vorteks. 29 3.3.2 Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak etanol daun pare (Momordica charantia D.), isolat MRSA, akuades steril, NaCl 0,9%, cakram antibiotic methycillin atau oxacillin, kristal violet, lugol, alkohol 70%, alkohol 96%, safranin, minyak emersi, serum koagulase, larutan H202 3%, media Nutrient Agar (NA), media Nutrient Broth (NB)dan media Mueller Hinton Agar (MHA). 3.4 Persiapan Penelitian 3.4.1 Uji Herbarium Daun pare Uji herbarium dilakukan untuk mengetahui taksonomi dari tanaman pare yang digunakan dalam penelitian ini. Uji herbarium dilaksanakan di Laboratorium Herbarium Biologi FMIPA Unsyiah. 3.4.2 1 Pembuatan Ekstrak Daun pare Persiapan Sampel Daun pare Daun pare sebanyak 2 kg diperoleh dari Desa Teladan, Kecamatan Seulimum, Kabupaten Aceh Besar. Daun yang diambil adalah daun yang berwarna hijau dan terletak di bagian pucuk. Selanjutnya daun pare dibersihkan dan dicuci. Kemudian daun pare dikering-anginkan selama tiga hari. Daun pare yang telah kering dihancurkan untuk mendapatkan serbuk simplisia. 2 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun pare Serbuk simplisia daun pare diekstraksikan dengan menggunakan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 96% selama 24 jam dan disaring sehingga menghasilkan filtrat. Filtrat tersebut diuapkan dengan menggunakan vacuum rotary evaporatorpada suhu 60oC sampai diperoleh ekstrak kental. Kemudian ekstrak etanol daun pare masing-masing dibagi dalam lima konsentrasi, yaitu 50 mg/ml, 100 mg/ml, 200 mg/ml, 400 mg/ml dan 800 mg/ml. Pengenceran dilakukan dengan menggunakan rumus: 30 V1 M1 = V2M2 ∆V = V2 – V1 Keterangan: V1 V2 M1 M2 ∆V 3.4.3 : volume awal (ml) : volume yang diinginkan (ml) : konsentrasi awal (mg/ml) : konsentrasi yang diinginkan (mg/ml) : penambahan akuades untuk pengenceran (ml) Uji Fitokimia Daun Pare Uji fitokimia dilakukan dengan menggunakan ekstrak etanol daun pare. Prosedur pelaksanan uji fitokimia adalah sebagai berikut: 1. Uji alkaloid Sebanyak 3 ml ekstrak daun pare ditambahkan dengan 5 ml HCl 2M, diaduk dan didinginkan pada suhu ruangan. Setelah sampel dingin tambahkan 0,5 g NaCl, diaduk dan disaring. Filtrat yang diperoleh ditambahkan HCl 2M sebanyak 3 tetes, kemudian dipisahkan menjadi 3 bagian, yaitu bagian A, B dan C. Bagian pertama ditambahkan dengan reagen Meyer, bila terjadi endapan putih maka positif alkaloid. Bagian kedua ditambahkan dengan reagen Dragendorf, bila terjadi endapan kemerahan maka positif alkaloid. Bagian yang ketiga ditambahkan dengan reagen Waegner, bila terjadi endapan berwarna coklat maka positif terdapat alkaloid. 2. Uji steroid, triterpenoid dan saponin Sebanyak 3 ml ekstrak daun pare ditambahkan dengan 3 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat secara berurutan. Larutan dikocok perlahanlahan dan dibiarkan beberapa menit. Hasil positif ditandai dengan terbentuknya warna merah atau ungu untuk triterpenoid dan hijau atau biru untuk steroid. Untuk uji saponin, sebanyak 2 ml ekstrak dimasukkan ke tabung reaksi, kemudian ditambahkan dengan 10 ml akuades, selanjutnya dikocok kuat, lalu amati perubahan yang terjadi. Hasil uji positif apabila terbentuk busa stabil selama lebih kurang 30 menit. 3. Uji flavonoid Sebanyak 3 ml ekstrak daun pare diuapkan dan dicuci dengan n-heksana sampai jernih. Residu dilarutkan dalam 20 ml etanol kemudian disaring. Filtrat 31 yang diperoleh ditambahkan 0,5 ml HCl dan logam magnesium, kemudian amati perubahan warna yang terjadi. Hasil uji positif apabila terbentuk warna merah sampai jingga. 4. Uji tanin Sebanyak 3 ml ekstrak daun pare diekstraksi akuades panas kemudian didinginkan. Setelah itu tambahkan 5 tetes NaCl 10% dan disaring. Filtrat yang diperoleh ditambahkan dengan 3 tetes pereaksi FeCl3 dan amati perubahan yang terjadi. Hasil positif apabila terbentuk warna hijau tua.(33)(48) 3.4.4 Sterilisasi Alat Alat yang terbuat dari kaca terlebih dulu dicuci dan dikeringkan lalu dibungkus dengan kertas. Sterilisasi alat dilakukan dalam oven pada suhu 160 oC selama 2-3 jam. Jarum ose dan pinset disterilkan dengan pemijaran di atas bunsen. Sterilisasi media dilakukan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC dengan tekanan 1 atm selama 15 menit. 3.4.5 1. Pembuatan Media Pertumbuhan Bakteri Nutrient Broth (NB) Bubuk media NB sebanyak 1,3 g dilarutkan dalam 100 ml akuades dalam tabung erlenmeyer 100 ml. Erlenmeyer ditutup dengan aluminium foil dan dipanaskan di atas hot plate hingga homogen, kemudian disterilkan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC selama 15-20 menit larutan NB yang akan digunakan dituang ke dalam tabung reaksi sebanyak 10 ml kemudian ditutup dengan kapas dan aluminium foil. 2. Nutrient Agar (NA) Bubuk media NA sebanyak 0,8 g dilarutkan dalam 100 ml akuades dalam tabung erlenmeyer 100 ml. Erlenmeyer ditutup dengan aluminium foil dan dipanaskan di atas hot platehingga homogen, kemudian disterilkan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121oCselama 15-20 menit. Larutan NA yang akan digunakan dituang ke dalam tabung reaksi sebanyak 5-7 ml kemudian ditutup dengan kapas dan aluminium foil. Lalu diletakkan agak sedikit miring sampai media memadat. Pada cawan petri, larutan NA yang sudah disterilkan dituang ke dalam cawan petri sebanyak 25 ml dan dibiarkan memadat, kemudian disimpan dalam kondisi terbalik. 32 3. Muller Hinton Agar (MHA) Bubuk media MHA sebanyak 3,8 g dilarutkan dalam 100 ml akuades dalam tabung erlenmeyer 100 ml. Erlenmeyer ditutup dengan aluminium foil dan dipanaskan di atas hot plate hingga homogen, kemudian disterilkan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC selama 15- 20 menit. Larutan MHA yang akan digunakan dituang ke dalam cawan petri sebanyak 25 ml dan dibiarkan memadat, kemudian disimpan dalam kondisi terbalik. 3.5 Cara Penelitian 3.5.1 Reisolasi Bakteri Isolat MRSA diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi RSUDZA yang merupakan isolat pasien pnemonia nosokomial. Selanjutnya diisolasikan ke media NB, kemudian diinkubasi selama 24 jam. Setelah itu, bakteri diisolasikan ke media NA lalu diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. 3.5.2 Reidentifikasi Bakteri a. Makroskopis Bakteri yang telah tumbuh pada media NA inokulasi diamati berdasarkan morfologi koloni. Koloni dapat ditandai berdasarkan bentuknya yang bulat, permukaan agak menyembung dan berkilau, dengan tepi halus, berwarna kuning keemasan. b. Mikroskopis Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Gram dan pengamatannya dilakukan di bawah mikroskop. Kaca objek disiapkan dan dibersihkan terlebih dahulu. Sediaan bakteri dipersiapkan dengan mencampurkan biakan bakteri dengan akuades steril pada kaca preparat yang telah dibersihkan kemudian difiksasi dengan cara dilewatkan di atas lampu bunsen 2-3 kali. Setelah kering, apusan diteteskan kristal violet dan dibiarkan selama 1 menit, dibilas dengan akuades yang mengalir. Kemudian diteteskan lugol lalu dibiarkan selama 1 menit lalu dibilas kembali dengan akuades mengalir. Selanjutnya, apusan diteteskan dengan alkohol 96% selama 5-10 detik dan dibilas dengan akuades yang mengalir. Apusan diteteskan dengan safranin dan dibiarkan selama 30-45 detik, dibilas dengan akuades yang mengalir. Preparat dikeringkan dengan 33 menggunakan kertas tissue dan dibiarkan mengering lalu diamati dengan mikroskop dengan perbesaran 1000x dengan minyak emersi. Hasil pewarnaan GramStaphylococcus aureus adalah bakteri Grampositif karena berwarna ungu, berbentuk bulatdan berkoloni seperti anggur. c. Uji katalase Teteskan hidrogen peroksida (H2O2) 3% di atas kaca objek dan kemudian letakkan sedikit bakteri di atas larutan tersebut. Bila terbentuk gelembung udara maka hasil uji katalase dinyatakan positif, hasil ini menunjukkan Staphylococcus sp, sedangkan bila tidak terjadi gelembung maka hasil uji katalase dinyatakan negatif, hasil ini menunjukkan Streptococcus sp. d. Uji Koagulase Sediakan 0,5 ml plasma dan ditambahkan dengan 0,5 ml bakteri dalam media cair yang telah diinkubasi selama 24 jam. Selanjutnya campuran tersebut diinkubasi selama 24 jam. Hasil positif dinyatakan bila terjadi penggumpalan, hasil ini menunjukkan S. aureus. e. Uji Resistensi Antibiotik Uji ini dilakukan untuk melihat adanya resistensi S. Aureus terhadap suatu antibiotik. Antibiotik yang digunakan untuk uji tersebut adalah methycillin atau oxacillin. Uji antibiotik dilakukan dengan mengambil suspensi bakteri yang telah diukur kerapatannya dengan menggunakan spektofotometer (λ = 625 nm dan absorbansi 0,08 – 0,13), dengan kapas lidi steril lalu diswab pada seluruh permukaan media MHA dalam rotasi tiga arah. Rotasi dengan sudut 60 derajat dan seluruh permukaan media diswabdengan kapas lidi steril tersebut. Ulangi lagi rotasi dan swab sehingga permukaan media rata dipenuhi suspensi bakteri. Terakhir swab sekeliling pinggir MHA dengan kapas lidi tersebut. Cakram antibiotik diletakkan di atas media inokulasi dan ditekan perlahan lalu diinkubasi pada suhu 37oC selama 18 jam. Karakterisasi dengan mengukur dan membandingkan diameter daerah hambatannya terhadap tabel standar Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) tahun 2012. Sensitif (S), intermediet (I) dan resisten (R) terhadap antibiotik disimpulkan berdasarkan diameter zona bening di sekitar cakram antibiotik. 34 3.5.3 Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Pare varietas Aceh terhadap MRSA Isolat Pnemonia Nosokomial Uji aktivitas antibakteri ini dilakukan dengan metode dilusi tabung. Metode dilusi tabung meliputi dua tahap untuk menunjukkan efek antimikroba, yaitu KHM dan KBM.(49) Suspensi bakteri yang diujikan pada metode dilusi tabung memiliki konsentrasi 106 colony forming units/ ml (CFU/ml).(50) Bakteri MRSA isolat pnemonia nosokomial yang telah diinkubasi dan diidentifikasi disiapkan serta diukur kerapatannya dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm hingga didapatkan kerapatan bakteri sebesar 0,08 – 0,13. Selanjutnya membuat sediaan 10 ml bakteri MRSA isolat pnemonia nosokomial dengan konsentrasi 108 CFU/ ml dengan mengambil bakteri dan dimasukkan ke dalam tabung berisi NaCl berdasarkan rumus: N1VI=N2V2 Keterangan: N1 = kepadatan bakteri hasil spektrofotometri N2 = kepadatan bakteri dalam suspensi akhir V1 = volume bakteri yang dibutuhkan V2 = volume akhir suspensi bakteri dan NaCl Sediaan bakteri tersebut divorteks hingga homogen. Kemudian membuat sediaan 10 ml bakteri MRSA konsentrasi 107 CFU/ml dengan mengambil 1 ml larutan dari konsentrasi bakteri 108 CFU/ml dan dimasukkan ke dalam tabung yang telah diisi 9 ml NaCl serta divortex hingga homogen. Konsentrasi bakteri sekarang menjadi 107 CFU/ ml. Setelah itu membuat sediaan 10 ml bakteri MRSA konsentrasi 106 CFU/ml dengan mengambil lagi 1 ml larutan dari konsentrasi bakteri 107CFU/ml dan dimasukkan dalam tabung yang telah diisi 9 ml NB serta divortex hingga homogen. Konsentrasi bakteri sekarang menjadi 106 CFU/ ml. Bakteri dengan konsentrasi tersebut digunakan untuk penelitian. Pengamatan nilai KHM dilakukan secara kuantitatif dengan pengukuran selisih absorbansi sesudah dan sebelum inkubasi dengan ketentuan selisih absorbansi ≤ 0, sedangkan nilai KBM dilihat dari NAP yang tidak ditumbuhi koloni.(45,51) 35 Langkah kerja uji aktivitas antibakteri adalah sebagai berikut: 1. Disediakan tabung reaksi steril sebanyak 6 buah, akuades steril dan MRSA 10 6 CFU/ml. Dilakukan pengenceran terhadap ekstrak dengan akuades steril sehingga diperoleh konsentrasi masing-masing 50 mg/ml, 100 mg/ml, 200 mg/ml, 400 mg/ml dan 800 mg/ml sebanyak 1 ml. 2. Masing-masing tabung reaksi diisi dengan ketentuan berikut: Tabung 1: 1 ml ekstrak 50 mg/ml + 1 ml MRSA106 CFU/ml Tabung 2: 1 ml ekstrak 100 mg/ml + 1 ml MRSA106 CFU/ml Tabung 3: 1 ml ekstrak 200 mg/ml + 1 ml MRSA106 CFU/ml Tabung 4: 1 ml ekstrak 400 mg/ml + 1 ml MRSA106 CFU/ml Tabung 5: 1 ml ekstrak 800 mg/ml + 1 ml MRSA106 CFU/ml Tabung 6: 1 ml akuades steril + 1 ml MRSA106 CFU/ml (kontrol bakteri) 3. Dilakukan pengukuran absorbansi tabung 1 hingga 6 sebelum inkubasi. 4. Tabung 1 hingga 6 diinkubasi pada suhu 37 0C selama 24 jam. 5. Dilakukan pengukuran absorbansi setelah inkubasi dan menghitung selisih absorbansi sebelum dan sesudah inkubasi tabung 1 hingga 6 untuk menentukan KHM. 6. Kultur masing-masing isi tabung 1 hingga 6 menggunakan satu ose dengan cara streaking pada NAP. 7. Semua NAP hasil streaking diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. 8. Diamati ada atau tidaknya pertumbuhan koloni pada masing-masing NAP untuk menentukan nilai KBM lalu dilanjutkan dengan analisis data. Catatan: prosedur tersebut diulang sebanyak 4 kali. 3.6 Parameter Aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun pare dapat dilihat dari konsentrasi larutan terkecil dimana selisih absorbansi sesudah dan sebeluminkubasi mulai bernilai≤ 0 yang dinyatakan sebagai KHM. Aktivitas antibakteri ini juga dilihat dari konsentrasi larutan terkecil dimana tidak dijumpai pertumbuhan koloni bakteri pada media NAP yang dinyatakan sebagai KBM. 36 3.7 Analisis data Hasil penelitian dari tiap kelompok dianalisis normalitas dengan menggunakan uji Kolmogrov-Smirnov serta uji homogenitas menggunakan uji Levene. Bila data berdistribusi normal dan homogen maka analisis data dilanjutkan dengan ANOVA untuk KHM. Sedangkan untuk data KBM akan dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis. 37 DAFTAR PUSTAKA 1. Ducel G. Prevention of hospital-acquired infections. 2nd ed. New York: Department of Communicable disease, surveillance and response; 2002. p.107-109. 2. Light RW. Infectious Nosocomial. In Harrison’s Principles Of Internal Medicine. 15th ed. Franklin , editor. McGraw-Hill Companies: United States of America; 2001. p. 892-894. 3. Nurkusuma DD. Faktor yang Berpengaruh terhadap Kejadian Methicillin Resistent Staphylococcus aureus (MRSA) pada Kasus Infeksi Luka Pasca Operasi di Ruang Bangsal Rawat Bedah RS Kariadi Semarang. In Thesis. Semarang; 2009. p. 23. 4. Ellen J, Bailey , Scott’s , Finegold , Sydney M, Baron. Diagnostic Microbiology. 12th ed. Missouri: Mosby Elsevier; 2007. p. 125. 5. Setiawati M. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Pare (Momordica charantia L.) terhadap Staphylococcus aureus, Eschericia Coli dan Candida albicans Jakarta: FKUH; 2007. 6. Rahardjo I. Efek Ekstrak Etanol Daun Pare (Momordica charantia) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Methicillin Resistent Staphylococcus Aureus (MRSA). Skripsi. Surabaya: Universitas Airlangga, Fakultas Kedokteran; 2012. 7. Pohan HT. Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam. FKUI; 2004. p. 78. 8. Andreas BK, Sri S, Syahirul A. Gambaran Ketaatan Perawatan Jalan Nafas dan kejadian Infeksi Nosokomial Saluran Pernafasan di ICU Rs. X Yogyakarta. [Online].; 2009 [cited 2013 May 25. Available from: www.pdii.lipi.go.id. 9. Mardan G. Infeksi Nosokomial dan Manfaat Pelatihan Keterampilan Perawat terhadap Pengendaliannya di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik Medan. [Online].; 2001 [cited 2013 May 26. Available from: www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_082_infeksi_nosokomial_(i).pdf. 10. Prevention of hospital-acquired infections A practical guide 2nd edition World Health Organization Department of Communicable Disease, Surveillance and Response. [Online].; 2002 [cited 2013 May 25. Available from: 38 http://www.who.int/emc. 11. Chris B. Ensiklopedi Keperawatan. 2nd ed. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran; 2008. p. 206. 12. Bergey NR, Kreig JG, Holt PH, Sneath. Bergeys Manual of Determinative Bacteriology. 9th ed. USA: Williams Wilkuns, Baltimore; 1994. 13. Jawetz MdA. Mikrobiologi Kedokteran. 20th ed. Jakarta: EGC; 1995. 14. 2008. [Online]. [cited 2013 September 12. Available http://www.sciencebuddies.org/science-fairprojects/project_ideas/MicroBio_Interpreting_Plates.shtml. from: 15. Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan. 5th ed. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran; 1995. p. 211-217. 16. Brooks G, Butel J, Morse S. Mikrobiologi Kedokteran. 23rd ed. Jakarta: EGC; 2007. pp 225-231. 17. Warsa UK. Kokus Positif Gram. Dalam: Bagian Mikrobiologi FKUI. Mikrobiologi Kedokteran Jakarta: Binarupa Aksara; 1994. p. 103-111. 18. Bremer PJ. Staphylococcus aureus New Zealand: New Zealand Institute for Crop & Food Research Limited; 2004. p. 148-152. 19. Diana. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome Information for Parents and Cariers. [Online].; 2008 [cited 2013 June http://www.nlg.nhs.uk/iFp/single/ifp/0349.pdf. 20. Available from: 20. Laree A, Tracy , Jon P, Furuno. S. aureus infections in US Veterans, Maryland,USA, 1999–2008. Emerging Infectious Diseases (CDC) URL: www.nc.cdc.gov/eid/art. 2011; 17(3.441-576). 21. Lowy DF. Staphylococcus aureus Infection. URL: http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM19. The New England Journal of Medicine. 1998; 339(8:520-532). 22. Lestari SE, J AS. Antimicrobal Resistance in Indonesia Prevalence, Determinan and Genetic Basis Jakarta; 2009. p. 23, 67, 115-116. 23. Wang L, Barret JF. Control and Prevention of MRSA Infection. Methods in Molecular Biology New Jersey: Humana Press; 2007. p. 209-220. 24. Horowitz E, Prehein L. Guidline for The Control of MRSA. State Health Department USA; 2005. p. 20-26. 25. Edgar W. Immunology. Applied Basic Scienced for Basic Surgical Training 39 USA: Churchill Livingstone; 2000. p. 106-120. 26. Wahjono H. Faktor yang Berpengaruh terhadap Kejadian MRSA pada Penderita Bakterimia di Ruang Perawatan Intensif RS Kariadi. In Disertasi Program Pasca Sarjana Universitas Padjajaran; Bandung. 27. Alicia M, Teressa H. Guideline for Prevention of Surgical Site Infection. Hospital Infection Program. National Guideline for Infection Disease. In ; 1999; USA. 28. Wenzel R, Brewer T. A Guide to Infection Control in The Hospital. International Society for Infectious Disease.. In ; 2002. 4-10; USA. 29. Cronquist. An Integral System of Classification of Flowering Plants New York: Columbia University Press; 1981. 30. Dalimarta S. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Bogor: Trubus Agriwidya; 2008. p. 137. 31. Adimunca L. Cermin Dunia Kedokteran Jakarta: Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI; 1996. 32. Robinson T. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Terjemahan Kosasih Padmawinata. 4th ed. Bandung: ITB Press; 1995. p. 71-196. 33. Harborne JB. Phytochemical Methods Bandung: Institut Teknologi Bandung; 1987. p. 1-32. 34. Hutapea J. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. 5th ed. Jakarta: Departemen Kesehatan RI dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 1999. 35. Sabir. Pemanfaatan Flavonoid di Bidang Kedokteran Gigi. Majalah Kedokteran Gigi Universitas Gajah Mada. 2003. 36. Harborne JB. Methods in Plant Biochemistry, Plant Phenols. London: Academic Press; 1989. 37. Pramono S. Diktat Petunjuk Praktikum Pemisahan Flavonoid. In Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada; 1989; Yogyakarta. p. 1-17. 38. Agoes G. Teknologi Bahan Alam Bandung: ITB Press; 2007. 39. Depkes RI. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. 1st ed. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawas Obat Dan Makanan; 2000. 40. Rizani KZ. Pengaruh Konsentrasi Gula Reduksi dan Inokulum (Saccharomyces cerevisiae) pada Proses Fermentasi Sari Kulit Nanas (Ananas 40 comosus L.Merr) untuk Produksi Etanol. In Skripsi. Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Brawijaya.; 2010; Malang. 41. Harmita , Maksum R. Buku Ajar Analisis Hayati. 1st ed. Jakarta: EGC; 2008. p. 1-7. 42. Bonang , Gerard , Koeswardono , Enggar S. Mikrobiologi Kedokteran untuk Laboratorium dan Klinik. Jakarta: PT. Gramedia; 1982. 43. Chaouce TF, Bekkara , Haddouchi , Boucherit. Antibacterial Activity of Different Ekstract of Echiumpycnanthum Pomel. USA: JCPRC5. 2012; 4(1).216-220. 44. Pratiwi ST. Mikrobiologi Farmasi. In. Jakarta: Erlangga; 2008. 45. Purwoko T. Fisiologi Mikroba Jakarta: Bumi Aksara; 2007. 46. Pelczar MJ, Chan EC. Dasar-Dasar Mikrobiologi Jakarta: UI Press; 2005. p. 81-93. 47. Pelczar MJ, Chan EC. Dasar-Dasar Mikrobiologi Jakarta: UI Press; 2005. p. 169. 48. Kurniaps. Skrining Fitokimia. [Online].; 2010 [cited 2013 April 01. Available from: http://id.shvoong.com/exact-sciences/chemistry/2094441-skriningfitokimia/#ixzzlaNKfm992. 49. Dzen SM, Roekistiningsih , Santoso , Winarsih d. Bakteriologi Medik Malang: Ayumedia; 2003. 50. Chaouce TF, Bekkara , Haddouchi , Boucherit. Antibacterial Activity of Different Ekstract of Echiumpycnanthum Pomel. USA: JCPRC5. 2012; 4(1) (216-220). 51. A DN, Adi P, Larasati AR. Uji Efektivitas Ekstrak Bunga Matahari (Helianthus annus) sebagai Antimikroba Staphyloccus aureus secara In Vitro. Jurnal Mikrobiologi. 2009.