STUDI KLOROFIL-a DI KAWASAN PERAIRAN BELAWAN SUMATERA UTARA AMANDA PARAMITHA 090302048 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2014 STUDI KLOROFIL-a DI KAWASAN PERAIRAN BELAWAN SUMATERA UTARA SKRIPSI AMANDA PARAMITHA 090302048 Skripsi Sebagai Satu Diantara Beberapa Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2014 LEMBAR PENGESAHAN Judul Penelitian : Studi Klorofil-a Di Kawasan Perairan Belawan Sumatera Utara. Nama : Amanda Paramitha Nim : 090302048 Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing Ketua Anggota Dr. Budi Utomo, SP, MP Desrita, S.Pi, M.Si Mengetahui Dr. Ir. Yunasfi, M.Si Ketua Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya yang bertandatangan dibawah ini: Nama : Amanda Paramitha NIM : 090302048 Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Studi Klorofil-a Di Kawasan Perairan Belawan Sumatera Utara” adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Medan, Juli 2014 Amanda Paramitha NIM. 090302048 ABSTRAK AMANDA PARAMITHA, Studi Klorofil-a Di Kawasan Perairan Belawan Sumatera Utara, dibawah bimbingan BUDI UTOMO dan DESRITA. Berbagai aktivitas yang terdapat di sekitar perairan Laut Belawan dapat merubah kualitas air di Laut Belawan. Informasi dan pemahaman mengenai perubahan lingkungan sangat diperlukan dalam upaya pemantauan ekosistem. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai konsentrasi klorofil-a dan hubungan faktor fisik kimia di kawasan perairan Belawan yang dilaksanakan pada bulan Desember 2013 – Februari 2014 di perairan Belawan, Medan Labuhan, Sumatera Utara. Pengambilan sampel dilakukan pada empat stasiun berdasarkan aktifitas yang bervariasi. Pengambilan sampel dilakukan 4 kali dalam waktu 3 bulan. Parameter yang diukur yaitu faktor fisik kimia seperti suhu, pH, kecerahan, salinitas, DO, nitrat, fosfat, dan klorofil-a. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara parameter fisika kimia dengan konsentrasi klorofil-a di Belawan Medan Labuhan. Konsentrasi klorofil-a di Perairan Belawan berkisar 1,93 – 5,96 mg/m3. Konsentrasi klorofil-a tertinggi berada di stasiun 4 yang berada di laut lepas dengan kisaran 4,06 – 5,96 mg/m3. Konsentrasi terendah pada stasiun 1 yang berada di daerah keramba dengan nilai kisaran 1,93 – 2,53 mg/m3. Kata kunci: Klorofil a, Perairan Belawan. ABSTRACT AMANDA PARAMITHA, Study of chlorophyll-a around sea of Belawan, North Sumatera. Under supervision of BUDI UTOMO and DESRITA. There many activities around marine Belawan alters the marine water quality of Belawan. The information and understanding of environmental change are indispensable in ecosystem monitoring efforts. This research aims for knowing the study of chlorophyla, and the relationship between physical and chemical factors was done on Desember 2013 – February 2014 in sea of Belawan, North Sumatera. The sampling was determined based on four location which is in various activities. There are 4 sampling in 3 months. The analysis of other factor, such as water temperature, pH, brightness, salinity, DO, nitrate, phosphate, and chlorophyll. The result of research showed there was a relation of physical chemical factors in sea of Belawan, North Sumatera. The range of the chlorophyll-a is 1,93 – 5,96 mg/ m3. The highest concentration of chlorophyll-a was located in floating net cages in the range of 4,06 – 5,96 mg/m3. The lowest concentration of chlorophyll-a was located in offshore in the range of 1,93 – 2,53 mg/m3. The average value chlorophyll top are on the location 4 and the lowest in the location. Keywords : Chlorophyll-a, sea of Belawan. RIWAYAT HIDUP AMANDA PARAMITHA, dilahirkan di Medan pada tanggal 11 Juni 1991 dari ayahanda H. Juhendra Harahap dan ibunda Hj. Syahadah. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan formal di SD Swasta Pertiwi Medan tahun 2003, SMP Swasta Pertiwi Medan tahun 2006 dan SMA Negeri 3 Medan tahun 2009. Pada tahun 2009 penulis diterima di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara melalui jalur Seleksi Lokal Penerimaan Mahasiswa Baru (SLPMB). Selain mengikuti perkuliahan penulis pernah menjadi Asisten Ekologi Perairan (2011 dan 2012). Selain itu, penulis juga aktif mengikuti organisasi, antara lain Ikatan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (IMMASPERA) sebagai anggota. Penulis juga melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) pada bulan Juli 2012 di Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu Kelas I Medan II. Kemudian pada bulan Desember 2013, penulis melaksanakan penelitian skripsi dengan judul “Studi Kawasan Perairan Belawan Sumatera Utara”. Klorofil-a Di KATA PENGANTAR Puji dan syukur Kehadirat Allah SWT karena atasberkat dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Adapun judul penelitian ini adalah“Studi Klorofil-a Di Kawasan Perairan Belawan Sumatera Utara”. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan studi di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis mendapat arahan, perhatian dan bimbingan dari berbagai pihak baik berupa materi, ilmu, informasi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda H. Juhendra Harahap dan Ibunda Hj. Syahadah yang telah memberi dukungan, doa dan semangat selama penelitian dan penyelesaian skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Budi Utomo, SP., MP selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ibu Desrita, S.Pi, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing dan kepada Ibu Anis Suryanti, S.Pi, M.Si selaku penguji ujian Komprehensif atas saran, kritik, bimbingan dan semangat selama penulis melakukan penelitian dan penyelesaian skripsi ini, serta kepada Bapak Dr. Ir. Yunasfi, M.Si selaku Ketua Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, seluruf staf pengajar dan pegawai yang telah memberikan ilmu dan membantu penulis selama menyelesaikan studi di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Terima kasih juga disampaikan kepadakepada penulis. Terima kasih juga disampaikan kepada Abangda Frans Simanjuntak, Raissha Amanda, Rasyid Kurnia Nst, T. Mhd. Fadrika, Arief Baizuri Majid, Henny Christien, S.Pi. serta seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang manajemen sumber daya perairan dan informasi data terkini status produktivitas primer perairan Belawan, Sumatera Utara. Medan, Juli 2014 Penulis DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK i ABSTRACT ii RIWAYAT HIDUP iii KATA PENGANTAR iv DAFTAR ISI vi DAFTAR GAMBAR viii DAFTAR LAMPIRAN ix PENDAHULUAN Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Perumusan Masalah 2 3 3 Kerangka Pemikiran 4 TINJAUAN PUSTAKA Laut Belawan Konsentrasi Klorofil-a 5 7 Fisik Kimia Perairan 9 Suhu 9 pH Kecerahan 10 10 Salinitas 11 DO 12 Nitrat 12 Fosfat 13 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Alat dan Bahan 14 14 Prosedur Penelitian 14 Lokasi Penelitian 17 Pengambilan Contoh dan Analisis Kualitas Air Analisis Data 17 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Parameter Fisika Kimia Perairan Pembahasan 20 21 26 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 40 Saran 41 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR GAMBAR No. Teks 1. Halaman K erangka Pemikiran Penelitian 2. 4 P eta Lokasi Peneliitian 3. 17 L okasi Penelitian 4. 19 P eningkatan Klorofil-a Pada Setiap Stasiun 5. 20 P eningkatan Suhu Pada Setiap Stasiun 6. 21 P eningkatan pH Pada Setiap Stasiun 7. 22 P eningkatan Kecerahan Pada Setiap Stasiun 8. 22 P eningkatan Salinitas Pada Setiap Stasiun 9. eningkatan DO Pada Setiap Stasiun 10. Peningkatan Nitrat Pada Setiap Stasiun 11. Peningkatan Fosfat Pada Setiap Stasiun 23 P 23 24 24 DAFTAR LAMPIRAN No. Teks 1. Halaman A lat dan Bahan Penelitian 2. 46 D okumentasi Penelitian 3. 47 K isaran Nilai Parameter Fisika Kimia 4. 48 A nalisis Sampel Air 5. 49 D ata Curah Hujan 6. 50 D ata Kecepatan Angin 51 PENDAHULUAN Latar Belakang Perairan Laut Belawan yang berada di Kecamatan Medan Labuhan Provinsi Sumatera Utara banyak digunakan oleh masyarakat setempat untuk berbagai aktivitas. Aktivitas masyarakat disekitar Laut Belawan antara lain pertanian, perikanan, pemukiman dan tempat rekreasi. Aktivitas lain yang mempengaruhi faktor fisik-kimia perairan yaitu kegiatan keramba yang menghasilkan limbah organik (pencemaran unsur nitrogen dan fosfor) akibat pemberian pakan yang tidak efisien. Hal ini menyebabkan sisa pakan dan kotoran ikan menumpuk di dasar perairan, sehingga berdampak terjadinya eutrofikasi yang menyebabkan blooming fitoplankton, adanya gulma air, terbentuknya gasgas yang dapat menyebabkan kematian organisme perairan dan makin menebalnya lapisan anaerobik di badan laut. Aktivitas budidaya ikan dalam jaring apung menerapkan pola intensif yang mengandalkan pemberian pakan dari luar sumber pakan utama bagi ikan yang dibudidayakan. Sisa-sisa pemberian pakan ini merupakan bahan organik yang potensial untuk meningkatkan unsur hara dalam perairan yang dapat memberikan dampak terhadap perairan itu sendiri. Selain itu adanya aktivitas budidaya dan lalu lintas kapal yang melewati perairan serta faktor alamiah seperti iklim dan cuaca yang berubah dalam waktu tertentu akan mempengaruhi parameter fisik kimia perairan di Laut Belawan (Kamali, 2004). Salah satu organisme yang hidup di ekosistem laut adalah fitoplankton. Fitoplankton di dalam ekosistem perairan berperan sebagai pengubah zat-zat anorganik menjadi zat organik melalui proses fotosintesis, yang kemudian dapat menentukan produktivitas perairan. Proses fotosintesis memerlukan klorofil, sehingga kandungan klorofil di perairan dapat digunakan sebagai indeks potensial fotosintesisnya (Arifin, 2009). Proses fotosintesis memerlukan cahaya matahari sebagai sumber energi yang merupakan faktor abiotik utama atau faktor fisika yang sangat menentukan laju produktivitas primer. Faktor kimia dalam hal ini unsur hara yang terdiri dari nitrogen, fosfat diperlukan sebagai zat anorganik yang akan diubah bersama-sama karbondioksida dan air menjadi zat organik melalui proses fotosintesis dan berperan sebagai bahan untuk pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Umumnya sebaran konsentrasi klorofil-a tinggi di perairan pantai sebagai akibat tingginya nutrien yang berasal dari daratan melalui limpasan air sungai dan sebaliknya cenderung lebih rendah di perairan lepas pantai. Meskipun pada beberapa tempat di laut masih ditemukan konsentrasi klorofil-a yang cukup tinggi. Keadaan tersebut disebabkan oleh adanya proses sirkulasi massa air yang memungkinkan terangkutnya sejumlah nutrien dari tempat lain. Berdasarkan uraian diatas, maka perlu diadakan penelitian mengenai studi klorofil-a di kawasan perairan Belawan. Hal ini untuk mengetahui pengaruh lokasi (wilayah keramba sekitar muara hingga laut lepas) terhadap konsentrasi klorofil-a di suatu perairan serta keterkaitannya dengan kesuburan perairan dalam hal ini kawasan Perairan Belawan. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui konsentrasi klorofil-a di kawasan perairan Belawan, Medan Labuhan Sumatera Utara. 2. Untuk mengetahui hubungan antara parameter fisik kimia dan konsentrasi klorofil-a di kawasan perairan Belawan, Medan Labuhan Sumatera Utara. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai informasi awal mengenai studi klorofil-a terhadap faktor fisik kimia sehingga dapat menentukan hubungan terhadap konsentrasi klorofil-a di kawasan perairan Belawan, Medan Labuhan Sumatera Utara dan dapat dijadikan informasi awal bagi instansi yang membutuhkan. Perumusan Masalah Perairan Laut Belawan yang telah banyak dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas masyarakat, antara lain keramba, aktivitas pelabuhan bongkar muat kapal, lokasi penangkapan ikan dan jalur transportasi laut dapat merubah kondisi fisik-kimia, menurunnya kandungan klorofil-a yang dapat mengganggu keseimbangan ekosistem air dan organisme di dalamnya. Dengan demikian perumusan masalah adalah sebagai berikut : 1. Apakah ada hubungan klorofil-a dengan parameter fisik kimia perairan? 2. Berapakah nilai konsentrasi klorofil-a di perairan Belawan, Medan Labuhan Sumatera. Kerangka Pemikiran Perairan Belawan banyak dimanfaatkan masyarakat setempat untuk berbagai aktivitas seperti Adanya aktivitas manusia seperti membuat keramba, dan aktivitas di pelabuhan. Aktivitas yang diterapkan tentu saja menimbulkan masuknya limbah yang menurunkan kualitas perairan, yaitu fisika kimia perairan. Dengan menurunnya kualitas perairan tersebut menimbulkan pengaruh terhadap konsentrasi klorofil-a. Secara ringkas kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Kerangka Pemikiran. TINJAUAN PUSTAKA Perairan Belawan Perairan Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia yang berjarak ± 24 km dari kota Medan berhadapan dengan Selat Malaka yang sangat padat lalu lintas kapalnya dan merupakan salah satu pelabuhan utama di Indonesia yang banyak disinggahi oleh kapal-kapal dengan berbagai ukuran. Selain itu laut Belawan juga digunakan sebagai alur transportasi pengangkutan hasil penangkapan ikan oleh nelayan baik dalam skala kecil maupun skala besar. Hal ini mengakibatkan laut Belawan sangat rawan terhadap pencemaran laut yang diakibatkan oleh limbah minyak bumi dari aktivitas kapal tersebut. Secara geografis Perairan Belawan terletak pada 3ᵒ 15′ – 3ᵒ 50″ LU dan 98ᵒ 38′ – 98ᵒ 40″ BT yang mempunyai panjang 74 km. Pengaruh kegiatan manusia menjadikannya sebagai ancaman terhadap keanekaragaman hayati diantaranya pengrusakan habitat karena konversi lahan mangrove menjadi lahan sawit, limbah pakan, industri dan limbah transportasi (Yeanny, 2005). Perairan Indonesia tak dapat dipisahkan dari pengaruh dinamika regional di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Akibat dari pengaruh ini aliran Arus Lintas Indonesia mengalami variabilitas tinggi seperti variabilitas konsentrasi klorofil-a yang merupakan salah satu parameter dalam menentukan produktivitas primer di laut. Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat terkait dengan kondisi oseanografis suatu perairan (Sukoharjo, 2012). Ekosistem laut dapat dipandang dari dimensi horizontal dan vertikal. Secara horizontal, laut dapat dibagi menjadi dua yaitu laut pesisir (zona neritik) yang meliputi daerah paparan benua, dan laut lepas (lautan atau zona oseanik). Pembagian zonasi perairan laut dapat pula dilakukan atas dasar faktor-faktor fisik dan penyebaran komunitas biotanya. Pembagian wilayah laut secara vertical dilakukan berdasarkan intensitas cahaya matahari yang memasuki kolom perairan, yaitu zona fotik dan zona afotik. Zona fotik adalah bagian kolom perairan yang masih mendapat cahaya matahari,. Pada zona inilah proses fotosintesa serta berbagai macam proses fisik, kimia, dan biologi berlangsung antara lain mempengaruhi distribusi unsur hara dalam perairan laut, penyerapan gas-gas dari atmosfer dan pertukaran gas yang dapat menyediakan oksigen bagi organism nabati laut. Sedangkan zona afotik adalah daerah yang secara terus-menerus dalam keadaan gelap, tidak mendapatkan cahaya matahari (Dahuri, 2006). Nutrien hanya dapat dimanfaatkan pada zona fotik namun beberapa faktor fisik tertentu dapat menghambat pemanfaatan zat hara ini. Suatu komponen lain diperlukan agar sumber nutrien yang terdapat jauh di bawah permukaan dapat dimanfaatkan, yaitu mekanisme yang mengakibatkan percampuran air oleh angin (turbulensi) dan dengan demikian mengangkut air yang kaya nutrien ke arah zona eufotik (Hani, 2006). Konsentrasi klorofil-a akan semakin menurun pada kedalaman 25 m sampai kedalaman 100 m. Hal ini berkaitan dengan kondisi intensitas cahaya dan kandungan nutrient yang sangat dibutuhkan fitoplankton untuk melakukan fotosintesis. Kandungan nutrient di permukaan cenderung sedikit dan akan semakin meningkat dengan bertambahnya kedalamn dan akan terakumulasi di bawah lapisan termoklin (Nybakken, 1982). Konsentrasi Klorofil-a Curtis (1978) menyatakan bahwa klorofil-a adalah suatu molekul berukuran besar dengan atom Mg sebagai pusatnya yang terkait dalam cincin porphyrin. Pada cincin porphyrin tersebut menempel suatu rantai hidrokarbon yang panjang dan sulit larut yang berfungsi sebagai jangkar molekul tersebut ke membran dalam kloroplas. Sementara menurut Prasanto (1997) diacu dalam Arifin (2009), klorofil-a adalah suatu senyawa yang memiliki struktur seperti butir darah merah hemin dengan perbedaan pada intinya, butir darah merah memiliki inti Fe sedangkan klorofil-a memiliki Mg sebagai atom pusatnya. Klorofil-a terdiri dari empat cincin pirol yang dihubungkan oleh ikatan metin. Pada cincin pirol IV terdapat gugus propionate yang berada diantara dua atom hidrogen yang labil dimana disana tergabung molekul alkohol fitol yang sifatnya sebagai donor elektron pada proses fotosintesis. Rumus kimia klorofil-a adalah C55H72O5N4Mg (Weyl, 1970). Klorofil-a adalah salah satu zat pigmen fotosintesis yang paling penting bagi tumbuhan yang ada diperairan khususnya fitoplankton. Dari pigmen fotosintesis, klorofil-a merupakan pigmen yang paling umum terdapat pada fitoplankton dan oleh karenanya menjadi pigmen yang paling penting dalam proses fotosintesis yaitu proses pembentukan bahan organik dari bahan anorganik (Parsons, dkk, 1984). Klorofil-a merupakan satu-satunya pigmen fotosintesis yang ditemukan pada semua organisme autotrof dalam proses yang melibatkan O2. Dring (1990) menyatakan bahwa klorofil-a merupakan satu-satunya pigmen yang dapat mendistribusikan energi cahaya yang mereka serap kepada proses fotosintesis, sementara pigmen lainnya hanya mentransfer energi cahaya yang diserapnya ke klorofil-a. Oleh karena itu, secara umum dipercayai bahwa klorofil-a merupakan pigmen yang terlihat secara langsung dalam proses transformasi energi cahaya menjadi energi kimia (Curtis, 1978). Sebaran konsentrasi klorofil-a pada umumnya tinggi di perairan pantai sebagai akibat dari suplai nutrien tinggi yang berasal dari daratan melalui limpasan air sungai, dan rendah di perairan lepas pantai. Meskipun demikian konsentrasi klorofil-a tinggi dapat ditemukan pula di perairan lepas pantai, disebabkan adanya proses sirkulasi massa air mengangkut nutrien dengan konsentrasi tinggi dari perairan dalam ke permukaan yang dikenal sebagai fenomena upwelling (Sukoharjo, 2012). Menurut Odum (1971) profil penyebaran produktivitas primer secara vertikal tersebut sangat dipengaruhi oleh kelimpahan atau penyebaran fitoplankton secara vertikal. Pada umumnya apabila kelimpahan fitoplankton (sebagai organisme yang dapat berfotosintesis) besar, maka nilai produktivitas primer tersebut juga akan besar. Akan tetapi, nilai produktivitas nilai produktivitas primer tersebut juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan, suhu dan ketersediaan unsur hara, dan gas-gas terlarut. Produktivitas perairan tinggi diidentifikasikan dengan tingginya konsentrasi klorofil-a di perairan tersebut. Konsentrasi klorofil-a merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan produktivitas primer di laut karena merupakan pigmen penting yang terdapat pada fitoplankton yang digunakan untuk proses fotosintesis. Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil sangat terkait dengan kondisi oseanografis perairan. Beberapa faktor oseanografis yang berpengaruh dalam distribusi klorofil-a selain intensitas cahaya dan kandungan zat hara adalah suhu dan arus (Tomascik dkk, 1997). Fisik Kimia Perairan Menurut Nybakken (1988) sifat fisik kimia perairan sangat penting dalam ekologi. Bermacam-macam faktor fisik-kimia dapat mempengaruhi kelangsungan hidup tumbuhan dan produktivitas perairan. Faktor yang sangat penting bagi tumbuhan tersebut ialah cahaya, suhu, kadar zat-zat hara. Suhu Secara langsung, reaksi enzimatik yang berperan dalam proses fotosintesis dikendalikan oleh suhu. Tingkat percepatan proses dalam sel akan meningkat sejalan dengan meningkatnya suhu sampai mencapai batas tertentu antara selang 25 – 40 ̊C dan peningkatan suhu terbesar 10 ̊C (misalnya dari 10 ̊C ke 20 ̊C) akan meningkatkan laju fotosintesis maksimal menjadi dua kali lipat (Nontji, 1984) Pengaruh suhu secara tidak langsung pada kehidupan di laut adalah suhu mempengaruhi daya larut gas karbondioksida (CO2) dalam air laut. Daya larut CO2 dalam air laut berkurang bila suhu air laut naik dan akan bertambah dengan adanya penurunan suhu. Suhu juga menentukan struktur hidrologis perairan dalam hal kerapatan air (water density). Semakin dalam perairan, suhu akan semakin rendah dan kerapatan air meningkat sehingga menyebabkan laju penenggelaman fitoplankton berkurang Raymont (1981) dalam Wati (2004). pH air (Derajat keasaman) Organisme air memiliki kemampuan yang berbeda dalam mentolerir pH perairan. Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain aktivitas biologi, aktivitas fotosintesis, suhu, kandungan oksigen, kation dan anion serta batas toleransi organisme akuatik terhadap derajat keasaman bervariasi tergantung pada suhu air, oksigen terlarut serta stadia organisme tersebut (Pescod, 1973). Menurut Nybakken (1988) pH merupakan gambaran jumlah atau lebih tepatnya aktifitas hidrogen dalam perairan. Secara umum nilai pH menggambarkan seberapa asam atau basa suatu perairan. Pada lingkungan laut pH relatif lebih stabil dan biasanya berada dalam kisaran antara 7,5 – 8,4. Sedangkan Menurut Odum (1971) pH perairan yang cocok untuk pertumbuhan organisme air berkisar antara 6 – 9. Kecerahan Meurut Parsons dkk, (1984) transmisi cahaya (kecerahan perairan) adalah suatu kondisi yang menunjukkan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami transmisi cahaya sangat penting karena berkaitan dengan aktivitas fotosintesis fitoplankton. Kecerahan berkaitan dengan cahaya yang dapat masuk ke perairan tersebut. Bagi biota air, cahaya mempunyai pengaruh terbesar secara tidak langsung, yakni sebagai sumber energi untuk proses fotosintesis tumbuhtumbuhan yang menjadi tumpuan hidup, sebagai sumber makanan (Romimohtarto, 2004). Menurut Barus (2004) faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan keluar dari permukaan air. Dengan bertambahnya lapisan air intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yang signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Cahaya gelombang pendek merupakan yang paling kuat mengalami pembiasan yang mengakibatkan kolam air yang jernih akan terlihat berwarna biru dari permukaan. Kedalaman penetrasi cahaya akan berbeda pada setiap ekosistem air yang berbeda. Salinitas Salinitas adalah jumlah berat semua garam (dalam gram) yang terlarut dalam 1 Liter air, biasanya dalam satuan permil (‰). Menurut Widigdo (2001) umumnya salinitas disebabkan oleh tujuh ion utama yaitu natrium (Na), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg), klorit (Cl), sulfat (SO4) dan bikarbonat (HCO3). Salinitas di perairan penting untuk mempertahankan tekanan osmotik antara tubuh organisme dengan perairan, karena itu salinitas dapat mempengaruhi kelimpahan dan distribusi fitoplankton. Salinitas merupakan salah satu parameter yang menentukan jenis-jenis fitoplankton yang terdapat dalam suatu perairan, tergantung dari sifat fitoplankton tersebut apakah eurihaline atau stenohaline. Meskipun salinitas mempengaruhi produktivitas fitoplankton, namun umumnya peranannya tidak begitu besar karena salinitas bersama-sama dengan suhu menentukan densitas air maka salinitas ikut pula mempengaruhi pengembangan atau penenggelaman fitoplankton (Nontji, 2002). Salinitas merupakan salah satu parameter yang menentukan jenis fitoplankton yang terdapat dalam suatu perairan, tergantung dari sifat fitoplankton tersebut apakah eurihalin atau stenohalin. Secara umum, salinitas permukaan laut di Indonesia berkisar antara 32 -34 ‰ (Dahuri, 1996). DO (Dissolved Oxygen) Oksigen terlarut merupakan salah satu unsur utama yang penting yaitu sebagai regulator pada proses metabolisme tumbuhan dan hewan air terutama untuk proses respirasi (Prasetyaningtyas dkk, 2012). Sedangkan Menurut Arifin (2009), oksigen terlarut menggambarkan kandungan oksigen terlarut yang terdapat dalam suatu perairan, sumber masukan oksigen terlarut di perairan dapat berasal dari difusi udara dan fotosintesis. Kadar oksigen yang terlarut di perairan alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman tergantung pada percampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktifitas fotosintesis, respirasi dan limbah (effluent) yang masuk ke badan air. Dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai 0 (nol) atau anaerob (Effendi, 2003). Nitrat dan Fosfat Senyawa-senyawa nitrogen utama dalam air laut terdapat sebagai ion nitrat (NO3-), ion nitrit (NO2-) dan ammonia (NH3), nitrogen oksida dan nitrogen dalam bentuk molekuler (gas) bebas. Keberadaan nitrogen di perairan dapat berbentuk persenyawaan dengan bahan lain maupun dalam bentuk bebas sebagai gas nitrogen terlarut. Nitrogen sebagai salah satu unsur yang penting dalam zat hidup ditemukan dalam bentuk senyawa organik baik pada organisme maupun bahan organik dan terpartikulasi. Nitrat dapat menjadi faktor pembatas bagi produksi fitoplankton bila konsentrasinya di bawah konsentrasi minimum. Konsentrasi minimum terdapat pada lapisan permukaan dan maksimum pada lapisan pertengahan (sub-surface) yaitu pada kedalaman beberapa ratus di bawah permukaan laut Sverdrup dkk, (1942) diacu dalam Wati (2004). Senyawa nitrogen terlarut merupakan hasil metabolisme organisme bahari dan hasil pembusukan. Nitrogen terdapat pula dalam bentuk molekul-molekul protein dalam organisme yang telah mati kemudian diuraikan menjadi bentukbentuk anorganik oleh serangkaian organisme pengurai, terutama bakteri pembentuk nitrat. Nitrat yang terbentuk akan dimanfaatkan oleh tumbuhan. Tumbuhan dan hewan yang mati akan terurai menjadi asam amino dan sisa bahan organik. Selain melalui proses tersebut diatas, nitrat yang terlarut di laut juga merupakan hasil suplai dari daratan melalui sungai (Odum, 1971). METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2013 – Februari 2014 di Perairan Belawan Kecamatan Medan Labuhan Provinsi Sumatera Utara di lokasi keramba sampai ke lokasi penangkapan ikan, Laut Belawan Kecamatan Medan Labuhan Provinsi Sumatera Utara. Pengukuran sampel parameter kualitas air dilakukan secara langsung (in situ) dan tidak langsung (ex situ) sedangkan analisa fosfat, klorofil-a, dan nitrat dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain botol sampel, botol Winkler, cool box, ember, GPS, secchi disc, kamera, labu Erlenmeyer 125 mL, pH meter, pipet tetes, refractometer, spektrofotometer, spit, dan thermometer. Bahan yang digunakan diantaranya adalah alkohol, aquades, larutan Amstrong reagen, Brucine Sulfat Acid, H2SO4, MnSO4, Na2S2O3, serta sampel air. Gambar alat dan bahan dapat dilihat Lampiran 1. Prosedur Penelitian Pengukuran Faktor Fisika dan Kimia Perairan Suhu Suhu air diukur dengan menggunakan thermometer air raksa yang dimasukkan ke dalam air. Lalu dibaca skala thermometer tersebut. Pengukuran suhu air dilakukan di lapangan (in situ) saat melakukan pengamatan. Kecerahan Pengukuran penetrasi cahaya dengan menggunakan keping sechi yang dimasukkan kedalam badan air sampai keping sechi tidak terlihat, lalu diukur panjang tali yang masuk ke dalam air. Pengukuran penetrasi cahaya dilakukan di lapangan (in situ). Salinitas Pengukuran salinitas dengan menggunakan Refractometer dengan mengambil sampel air dan diamati. Pengukuran dilakukan di lapangan (in situ). pH (Derajat Keasaman) Nilai pH diukur dengan menggunakan pH meter dengan memasukkan pH meter ke dalam sampel air yang diambil dari perairan sampai pembacaan konstan dan dibaca angka yang tertera pada pH meter tersebut. Pengukuran pH meter dilakukan di lapangan (in situ). DO (Dissolved Oxygen) Dissolved oxygen (DO) diukur dengan menggunakan metode Winkler dengan menggunakan reagen-reagen kimia yaitu MnSO4, KOH-KI, H2SO4, Na2S2O3, dan amilum. Metode kerja pengukuran DO yaitu diambil sampel air, ditambahkan 1 ml MnSO4, 1 ml KOH-KI lalu dikocok dan didiamkan sampai sampel berwarna putih coklat, ditambahkan 1 ml H2SO4 dikocok dan didiamkan sehingga sampel berwarna coklat, diambil sebanyak 100 ml dan ditetesi Na2S2O3 0,0125 N hingga larutan sampel berwarna kuning pucat, ditambahkan 5 tetes amilum hingga sampel berwarna biru, ditetesi Na2S2O3 0,0125 N, dikocok hingga sampel berwarna bening, dihitung volume Na2S2O3 0,0125 N yang terpakai (Suin, 2002). Nitrat dan fosfat. Pengukuran nitrat dan fosfat dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Universitas Sumatera Utara. Metode kerja pengukuran nitrat yaitu diambil sampel sebanyak 5 ml, ditambahkan 1 ml NaCl (dengan menggunakan pipet volume), 5 ml H2SO4, dan 4 tetes Brucine Sulfat Acid, larutan dipanaskan selama 25 menit pada suhu 95⁰C, larutan didinginkan lalu diukur dengan spektrofotometer pada λ = 410 nm. Sedangkan metode pengukuran fosfat yaitu diambil 5 ml sampel air ditambahkan 2 ml Amstrong reagen dan 1 ml Ascorbic acid, larutan dibiarkan selama 20 menit dan diukur dengan spektrofotometer pada λ = 880 nm (Suin, 2002). Klorofil-a Untuk pengukuran konsentrasi klorofil-a dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Universitas Sumatera Utara. Metode kerja pengukuran konsentrasi klorofil-a yaitu diambil 1000 ml sampel air, disaring dengan menggunakan kertas saring 0,45µm, dimasukkan ekstrak dengan 10 ml larutan aseton, dikocok sampai campuran berwarna hijau, diukur absorban klorofil-a dengan spektrofotometer pada λ = 664, 647, dan 630 nm (Suin, 2002). Pengambilan Sampel Air Pengambilan sampel air dilakukan dengan menggunakan ember berukuran 1 Liter. Pengambilan sampel air dilakukan di empat stasiun dan diambil tiga titik sebagai perwakilan stasiun. Dokumentasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2. Lokasi Penelitian Penentuan lokasi penelitian dilakukan berdasarkan aktivitas yang berbeda dari setiap stasiun dengan 4 stasiun penelitian. Setiap stasiun diambil 3 titik dan pengulangan 4 kali dengan interval waktu dua minggu. Adapun lokasi penelitian yaitu di Perairan Laut Belawan Kecamatan Medan Labuhan. Laut lepas Fishing ground Pelabuhan Keramba Gambar 1. Peta Lokasi Laut Belawan Penentuan titik pengambilan sampel air pengamatan dengan menggunakan GPS sehingga mencantumkan titik koordinat lokasi tempat pengambilan sampel air di setiap stasiun. Adapun titik stasiun pengamatan yang telah dilakukan adalah sebagai berikut : a. Stasiun 1 Stasiun 1 merupakan stasiun yang berlokasi di daerah keramba yang bersebelahan dengan ekosistem mangrove. Stasiun 1 ini terletak di muara Sungai Belawan dengan titik koordinat 3⁰ 47' 57,43" LU – 98⁰ 41' 25,08" BT. Lokasi stasiun 1 dapat dilihat pada Gambar 2 (a). b. Stasiun 2 Stasiun 2 merupakan stasiun yang berlokasi di Pelabuhan Belawan. Di daerah ini biasanya terdapat beberapa kegiatan seperti aktivitas bongkar muat kapal dan jalur transportasi kapal di laut. Stasiun 2 ini memiliki titik koordinat 3⁰ 47' 28,98" LU – 98⁰ 41' 42,68" BT. Lokasi stasiun 2 dapat dilihat pada Gambar 2 (b). c. Stasiun 3 Stasiun 3 merupakan stasiun yang berlokasi di daerah penangkapan ikan dalam skala kecil di Belawan. Lokasi ini merupakan wilayah fishing ground dengan titik koordinat 3⁰ 48' 30,75" LU – 98⁰ 43' 22,31" BT. Lokasi stasiun 3 dapat dilihat pada Gambar 2 (c). d. Stasiun 4 Stasiun 4 berada di wilayah laut lepas yang tidak ada aktivitas manusia. Stasiun 4 ini terletak di titik koordinat 3⁰ 50' 52,86" LU – 98⁰ 44' 38,13" BT . Lokasi stasiun 4 dapat dilihat pada Gambar 2 (d). (a) (c) (a) (c) (b) (d) Gambar 2. Lokasi (a) Stasiun 1, (b) Stasiun 2, (c) Stasiun 3, dan (d) Stasiun 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Konsentrasi Klorofil-a Pengukuran konsentrasi klorofil-a di kawasan perairan Belawan memperlihatkan perbedaan yang signifikan. Terjadi peningkatan dari stasiun 1 (keramba) hingga stasiun 4. Pengukuran konsentrasi klorofil-a yang dilakukan di Perairan Belawan menunjukkan peningkatan dari stasiun 1 (keramba) hingga stasiun 4 (laut lepas). Peningkatan klorofil pada setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 10. Menurut Kep.MNLH (2004), kategori klorofil-a , < 15 mg/m3 dikategorikan ke dalam kondisi yang baik, sedangkan 15 – 30 mg/m3 kategori sedang dan > 30 mg/m3 dikategorikan buruk. 16 Baku mutu < 15 mg/m3 14 12 10 8 kisaran terkecil 6 kisaran terbesar 4 2 0 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Gambar 10. Kisaran nilai klorofil-a pada tiap stasiun Fisika Kimia Perairan Pengukuran faktor fisika kimia perairan di Belawan memperlihatkan perbedaan yang signifikan. Pada suhu terjadi peningkatan dari stasiun 1 (keramba) hingga stasiun 4 (laut lepas). Peningkatan suhu pada setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 4. 45 40 35 30 25 Baku mutu > 26̊C 20 15 10 Stasiun Kisaran terkecil 5 Stasiun Kisaran terbesar 0 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Gambar 3. Peningkatan suhu pada tiap stasiun Hasil pengukuran pH terjadi peningkatan dari stasiun 1 (keramba) hingga stasiun 4 (laut lepas). Peningkatan pH pada setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 4. 45 40 35 Stasiun Kisaran terkecil 30 Stasiun Kisaran terbesar 25 20 Baku mutu tertinggi 8,5 dan terendah 6,5 15 10 5 0 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Gambar 4. Peningkatan pH pada setiap stasiun Pengukuran faktor fisika kimia perairan di Belawan memperlihatkan kecerahan di perairan Laut Belawan mengalami peningkatan dari stasiun 1 (keramba) hingga stasiun 4 (laut lepas). Peningkatan kecerahan pada setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 5. 14 12 10 8 Stasiun Kisaran terkecil 6 Stasiun Kisaran terbesar 4 Baku mutu >3m 2 0 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Gambar 5. Peningkatan kecerahan pada setiap stasiun Pengukuran salinitas yang dilakukan di Perairan Belawan menunjukkan peningkatan dari stasiun 1 (keramba) hingga stasiun 4 (laut lepas). Peningkatan salinitas pada setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 6. 35 30 Baku mutu 29 ‰ 25 20 15 Stasiun Kisaran terkecil 10 Stasiun Kisaran terbesar 5 0 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Gambar 6. Peningkatan salinitas pada setiap stasiun Hasil pengukuran DO menunjukkan penurunan dari stasiun 1 (keramba) hingga stasiun 4 (laut lepas). Penurunan DO pada setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 7. 5,5 Baku mutu < 5 mg/l 4,5 3,5 2,5 Stasiun Kisaran terkecil 1,5 Stasiun Kisaran terbesar 0,5 -0,5 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Gambar 7. Penurunan DO pada setiap stasiun Pengukuran faktor fisika kimia perairan di Belawan memperlihatkan kandungan nitrat di perairan Laut Belawan mengalami penurunan dari stasiun 1 (keramba) hingga stasiun 4 (laut lepas). Penurunan kandungan nitrat pada setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 8. Menurut KepMNLH (2004) apabila nitrat > 0,008 mg/L perairan tersebut dikatakan kategori baik, jika < 0,008 mg/L buruk. 2,5 2 Stasiun Kisaran terkecil Stasiun Kisaran terbesar 1,5 1 0,5 Baku mutu 0,008 mg/l 0 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Gambar 8. Penurunan kandungan nitrat pada setiap stasiun Hasil pengukuran kandungan fosfor menunjukkan penurunan dari stasiun 1 (keramba) hingga stasiun 4 (laut lepas). Penurunan kandungan fosfat pada setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 9. 0,25 0,2 Stasiun Kisaran terkecil Stasiun Kisaran terbesar 0,15 s 0,1 Baku mutu 0,015 mg/l 0,05 0 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Gambar 9. Penurunan kandungan fosfat pada setiap stasiun Pembahasan Klorofil-a Hasil pengukuran nilai klorofil pada keempat stasiun didapatkan nilai klorofil berkisar 1,93 – 5,96 mg/l. Dari hasil penelitian nilai klorofil-a tertinggi terdapat pada stasiun IV yaitu berkisar 4,06 – 5, 96 mg/l. Hal ini disebabkan tingginya kecerahan yang dapat meningkatkan laju fotosintesis pada fitoplankton. Sedangkan nilai terendah terdapat pada stasiun 1 yaitu berkisar 1,93 – 2,53 mg/l. Hal ini disebabkan oleh jarak keramba yang dekat dengan daratan yang memiliki limbah dari segala aktifitas manusia sehingga menjadikan perairan berwarna keruh. Meningkatnya kadar nutrien akan meningkatkan produktivitas primer yang menghasilkan kadar klorofil-a yang tinggi. Umumnya sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan pantai sebagai akibat dari suplai nutrient yang berasal dari daratan melalui limpasan air sungai, sebaliknya cenderung rendah di daerah lepas pantai. Meskipun demikian pada beberapa tempat masih ditemukan konsentrasi klorofil-a yang cukup tinggi, meskipun jauh dari daratan. Keadaan tersebut disebabkan oleh adanya proses sirkulasi massa air yang memungkinkan terangkutnya sejumlah nutrient dari tempat lain, seperti yang terjadi pada daerah arus naik (Arifin, 2009). Menurut Nababan (2009), konsentrasi klorofil-a yang tinggi pada Musim Barat diduga berkaitan erat dengan curah hujan yang tinggi, serta kemungkinan terjadinya percampuran massa air vertikal (upwelling) di wilayah pesisir perairan Musim Barat (Desember – Februari). Berdasarkan analisis variabilitas konsentrasi klorofil-a di Perairan Utara Sumbawa, nilai maksimum konsentrasi klorofil-a terjadi pada musim Barat dan pada musim ini terdapat nilai hujan yang maksimum dapat dilihat pada Lampiran 5. Diduga curah hujan yang tinggi mampu mampu menambah unsur hara ke perairan melalui deposisi atmosfer maupun melalui run off dari daratan. Peningkatan kecepatan angin di pesisir dapat meningkatkan percampuran massa air secara vertikal yang menambah kesuburan perairan karena percampuran massa air dengan dasar laut yang kaya akan unsur hara pada akhirnya meningktkan kandungan konsentrasi klorofil-a di perairan. Perbandingan konsentrasi klorofil-a antar stasiun menunjukkkan adanya perbedaan nutrisi di laut lepas dengan kandungan fosfat yang menurun. Kondisi yang serupa ini dijumpai juga oleh Nontji (1984) pada perairan Pantai Bekasi yang tercatat konsentrasi klorofil-a sebesar 14,28 mg/m3. Pada stasiun dekat muara sungai nilai tersebut dua kali lebih tinggi dari nilai yang diukur pada stasiun yang jauh dari pantai. Klorofil-a merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan produktivitas primer di perairan. Sebaran tinggi rendahnya konsentrasi klorofil sangat terkait dengan kondisi lingkungan suatu perairan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Wehlr (1991) diacu dalam Wang dkk.,(1997), Beberapa parameter fisika kimia yang mengontrol dan mempengaruhi sebaran klorofil-a. Berdasarkan hasil penelitian Sediadi dan Edward (2003) terdapat perbedaan kandungan klorofil-a pada perairan laut, keadaan ini berkaitan dengan kondisi masing-masing perairan dan proses percampuran dari bawah ke permukaan di laut. Parameter Fisik Kimia Perairan Suhu Hasil pengukuran suhu menunjukkan adanya peningkatan temperatur dari stasiun 1 (keramba) hingga stasiun 4 (laut lepas). Perbedaan temperatur air dari muara hingga laut lepas pantai mengalami peningkatan disebabkan karena perbedaan kuantitas buangan limbah di lingkungan masing-masing stasiun. Menurut Handayani (2005), distribusi suhu antara muara dengan laut lepas diperoleh bahwa suhu di muara lebih rendah dan ke arah laut semakin tinggi. Hal ini disebabkan kawasan sekitar muara yang mempunyai jumlah aktivitas manusia lebih tinggi sehingga dapat mempengaruhi naiknya suhu di lokasi tersebut. Perubahan suhu dalam suatu perairan berpengaruh langsung terhadap kelarutan oksigen (DO). Semakin tinggi temperatur di suatu perairan maka akan semakin rendah kandungan oksigen terlarut (DO) di perairan tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hutabarat (2000) bahwa suhu merupakan faktor pembatas bagi produksi, suhu yang terlalu tinggi akan menghambat proses fotosintesa, produktivitas primer dan produksi perikanan. Suhu juga mempengaruhi kelarutan oksigen dalam air, semakin tinggi suhu perairan mengakibatkan kelarutan oksigen (DO) menurun, sedangkan kebutuhan oksigen terlarut oleh organisme perairan semakin meningkat. Pernyataan ini di dukung oleh Odum (1971) yang menyatakan bahwa kadar oksigen dalam air laut akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu. Hasil pengukuran suhu pada perairan Belawan menunjukkan temperatur yang semakin meningkat. Hal ini berpengaruh juga terhadap nilai salinitas yang meningkat. Peningkatan salinitas terhadap suhu diakibatkan karena suhu perairan yang meningkat hingga menimbulkan penguapan. Pernyataan ini sesuai dengan Hutabarat (2000) bahwa suhu juga mempengaruhi salinitas, jika suhu perairan meningkat dalam waktu yang lama maka penguapan akan meningkat pula, sehingga salinitas akan meningkat. Pengukuran hubungan suhu dengan pH adalah derajat keasaman air pH = log (H)+. Ukuran konsentrasi ion hidrogen (mol per Liter) menunjukkan suasana asam atau basa suatu perairan. Pengukuran suhu yang meningkat sejalan dengan peningkatan kecerahan di perairan Belawan. Kecerahan di suatu perairan yang meningkat mengakibatkan temperatur di badan perairan akan semakin tinggi pula. Pernyataan ini sesuai dengan Herunadi (2006) bahwa suhu air laut dipengaruhi oleh cuaca, kedalaman air, gelombang, waktu pengukuran, pergerakan konveksi, letak ketinggian dari muka laut (altitude), upwelling, musim, konvergensi, divergensi, dan kegiatan manusia di sekitar perairan tersebut serta besarnya intensitas cahaya yang diterima perairan. Suhu di perairan Belawan mengalami peningkatan dari stasiun 1 (keramba) hingga stasiun 4 (laut lepas) dengan kisaran 26,6 – 33,7 ⁰C. Hal yang sama terjadi pada konsentrasi klorofil. Dapat disimpulkan bahwa suhu di suatu perairan akan menentukan konsentrasi dan distribusi klorofil-a. Hal ini sesuai dengan literatur Nontji (2002) bahwa Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar 26 – 29 ⁰C. Karena perairan Indonesia dipengaruhi oleh angin musim, maka sebaran suhu permukaan laut mengikuti perubahan musim. Pengaruh suhu sebagai pembatas terjadinya fotosintesis akan menentukan konsentrasi dan distribusi klorofil-a. pH Hasil pengukuran pH menunjukkan adanya peningkatan dari stasiun 1 (keramba) hingga stasiun 4 (laut lepas). Perbedaan pH air dari muara hingga laut lepas pantai mengalami peningkatan disebabkan karena adanya masukan buangan limbah di lingkungan masing-masing stasiun. Menurut Kusumaningtyas (2014), pH semakin meningkat ke arah laut lepas, tinggi rendahnya pH dapat dipengaruhi oleh sedikit banyaknya bahan organik dari darat yang dibawa melalui aliran sungai. Rendahnya pH di sepanjang pesisir Timur Pulau Sedanau hingga muara Binjai terjadi karena pengaruh masuknya muatan organik dari sungai dan aktivitas penduduk Sedanau yang terbawa arus. Perubahan pH dalam suatu perairan berpengaruh terhadap kelarutan oksigen (DO). Semakin tinggi pH di suatu perairan maka akan semakin rendah kandungan oksigen terlarut (DO) di perairan tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan literatur Kep.MNLH (2004) bahwa berkurangnya nilai pH dalam suatu perairan ditandai dengan semakin meningkatnya senyawa organik di perairan tersebut. Nilai ambang batas pH yaitu 6,5 – 8,5. Hasil pengukuran pH pada perairan Belawan menunjukkan nilai yang semakin meningkat. Hal ini berpengaruh juga terhadap nilai salinitas yang meningkat pula. Peningkatan salinitas terhadap pH diakibatkan karena banyak sedikitnya sungai yang bermuara di laut tersebut, makin banyak sungai yang bermuara ke laut tersebut maka salinitas laut tersebut akan rendah, dan sebaliknya makin sedikit sungai yang bermuara ke laut tersebut maka salinitasnya akan tinggi. Pengukuran pH pada perairan Belawan menunjukkan peningkatan dari stasiun 1 (keramba) hingga stasiun 4 (laut lepas) dengan kisaran 6,5 – 8,6. Hal yang sama terjadi pada konsentrasi klorofil. Dapat disimpulkan bahwa pH di suatu perairan akan menentukan konsentrasi dan distribusi klorofil-a. Hal ini sesuai dengan literatur Odum (1994) menyatakan bahwa air laut merupakan sistem penyangga (buffer capacity) yang sangat luas dengan derajat keasaman (pH) yang relatif stabil sebesar 7,0 − 8,5. Didukung dengan literatur Rifardi (2012), proses biologi seperti fotosintesis mempengaruhi nilai pH di perairan karena proses ini membutuhkan CO2 yang diambil dari perairan. Sebagai akibatnya pH menjadi meningkat, meskipun demikian peningkatan ini disebabkan oleh proses biologi yang akhirnya mempengaruhi presipitasi kalsium karbonat (suatu proses reaksi kimia anorganik). Tingginya nilai pH di stasiun-stasiun yang berada di laut diduga disebabkan oleh faktor suhu. Suhu di daerah laut lebih tinggi dari suhu di daerah muara. Menurut Wahyono (2002) ketika suhu perairan meningkat, maka kelarutan CO2 menurun serta tekanan parsial (PCO2) meningkat, sehingga CO2 lebih mudah meninggalkan permukaan perairan dan konsentrasi CO2 dalam perairan akan menurun. Dengan menurunnya CO2 maka kesetimbangan sistem penyangga akan bergeser ke arah kiri yang disertai dengan menurunnya H+, sehingga nilai pH akan naik. Perairan Belawan merupakan wilayah yang sudah dimanfaatkan secara intensif untuk pembangunan industri, pemukiman penduduk, perikanan dan lalu lintas. Kegiatan manusia di daerah Perairan akan berdampak terhadap kualitas air di perairan itu sendiri. Penurunan kualitas air yang terjadi secara keseluruhan secara kasat mata dapat dilihat dari perubahan warna air, bau air dan banyaknya sampah di perairan tersebut. Kecerahan Hasil pengukuran kecerahan menunjukkan adanya peningkatan dari stasiun 1 (keramba) hingga stasiun 4 (laut lepas). Perbedaan kecerahan dari muara hingga laut lepas pantai mengalami peningkatan disebabkan karena perbedaan kuantitas buangan limbah di lingkungan masing-masing stasiun. Menurut Handayani (2005), rendahnya kecerahan disebabkan karena adanya kegiatan antropogenik, seperti limbah langsung yang dibuang ke badan air karena lokasi muara masih padat penduduk hal ini menyebabkan kekeruhan dan menjadi kecerahan yang rendah. Hutabarat (2000) mengatakan bahwa cahaya akan semakin berkurang intensitasnya seiring dengan makin besar kedalamannya. Kecerahan penting karena erat kaitannya dengan proses fotosintesis yang terjadi di perairan secara alami. Kecerahan menunjukan sampai sejauh mana cahaya dengan intensitas tertentu dapat menembus kedalaman perairan. Dari total sinar matahari yang jatuh ke atmosfer dan bumi, hanya kurang dari 1% yang ditangkap oleh klorofil (di darat dan air), yang dipakai untuk fotosintesis (Basmi, 1995). Perubahan kecerahan dalam suatu perairan berpengaruh langsung terhadap kelarutan oksigen (DO). Semakin tinggi kecerahan di suatu perairan maka akan semakin rendah kandungan oksigen terlarut (DO) di perairan tersebut. Kecerahan di perairan Belawan mengalami peningkatan dari stasiun 1 (keramba) hingga stasiun 4 (laut lepas) dengan kisaran 63,7 – 115,8 ⁰C. Hal yang sama terjadi pada konsentrasi klorofil. Dapat disimpulkan bahwa kecerahan di suatu perairan akan menentukan konsentrasi dan distribusi klorofil-a. Adanya zat-zat tersuspensi dalam perairan akan menimbulkan kekeruhan pada perairan tersebut dan kekeruhan ini akan mempengaruhi ekologi dalam hal penurunan penetrasi cahaya yang sangat mencolok (Nybakken, 1988). Kecerahan di laut dapat memberikan petunjuk tentang daya tembus atau penetrasi cahaya ke dalam air laut. Dengan demikian kecerahan perairan berkaitan dengan intensitas cahaya di dalam lautan. Kecerahan di laut umumnya dipengaruhi oleh kandungan lumpur, kandungan plankton dan zat-zat terlarut lainnya. Menurut Effendi (2003) nilai kecerahan dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi. Kecerahan perairan akan menurun bila mendekati pantai dan meningkat bila menjauhi pantai. Hal ini dipengaruhi oleh adanya berbagai aktifitas di sepanjang sungai seperti adanya partikel-partikel daratan (lumpur, pasir, bahanbahan organik) yang terbawa masuk ke laut. Dengan rendahnya nilai kecerahan di laut, maka nilai produktivitas primer yang ada pada daerah tersebut juga rendah, dimana hal ini disebabkan karena rendahnya penetrasi cahaya yang masuk yang digunakan oleh fitoplankton untuk memproduksi zat-zat organik. Informasi tentang keberadaan fitoplankton akan memberikan kontribusi penting yang mengindikasikan biomassa energi yang tersedia untuk semua sumberdaya hidup lainnya pada badan air tersebut. Hal ini karena fitoplankton merupakan dasar dari suatu rantai makanan dan sumber makanan primer di suatu sistem akuatik. Hasil penelitian yang dilakukan di Perairan Belawan pada tahun 2012 memperlihatkan potensi produksi di perairan tersebut yaitu 63.305 ton/tahun. Menurut Karlsson, dkk, (2009) diacu dalam Warsa (2011) potensi produksi tangkapan ikan pada suatu badan air dipengaruhi oleh produktivitas primer sedangkan produktivitas primer sendiri dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Salinitas Hasil pengukuran salinitas menunjukkan adanya peningkatan dari stasiun 1 (keramba) hingga stasiun 4 (laut lepas). Perbedaan salinitas dari muara hingga laut lepas pantai mengalami peningkatan disebabkan karena perbedaan kuantitas buangan limbah di lingkungan masing-masing stasiun. Hal ini di dukung oleh pernyataan Aziz (2007) bahwa distribusi salinitas dari muara hingga ke laut lepas menunjukkan kecenderungan salinitas yang terus bertambah. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh dari daratan dan intrusi air tawar dari sungai menuju laut. Perubahan salinitas dalam suatu perairan berpengaruh langsung terhadap kelarutan oksigen (DO). Semakin tinggi salinitas di suatu perairan maka akan semakin rendah kandungan oksigen terlarut (DO) di perairan tersebut. Hasil pengukuran salinitas pada perairan Belawan menunjukkan nilai yang semakin meningkat. Hal ini berpengaruh juga terhadap nilai suhu yang meningkat pula. Peningkatan salinitas diakibatkan karena banyak sedikitnya sungai yang bermuara di laut tersebut, makin banyak sungai yang bermuara ke laut tersebut maka salinitas laut tersebut akan rendah, dan sebaliknya makin sedikit sungai yang bermuara ke laut tersebut maka salinitasnya akan tinggi. Salinitas di perairan Belawan mengalami peningkatan dari stasiun 1 (keramba) hingga stasiun 4 (laut lepas) dengan kisaran 20,1 – 33,1 ‰. Hal yang sama terjadi pada konsentrasi klorofil. Dapat disimpulkan bahwa suhu di suatu perairan akan menentukan konsentrasi dan distribusi klorofil-a. Hal ini sesuai dengan pernyataan Handayani dkk., (2005) yang menyatakan bahwa salinitas yang rendah berkolerasi kuat dengan kenaikan klorofil. Salinitas di perairan samudera dapat berubah menjadi rendah dari kisaran jika ada masukan air tawar yang cukup banyak dari sungai–sungai yang besar atau bahkan dapat mencapai nilai yang lebih tinggi bila tidak ada masukan air tawar dari daratan dan penguapan di permukaan sangat tinggi (King, 1963). Perubahan salinitas di perairan bebas (laut lepas) relatif kecil dibandingkan perairan pantai yang memiliki masukan massa air tawar dari sungai. Secara umum nilai salinitas pada pengamatan bulan Desember 2013 – Februari 2014 di perairan Belawan pada Tabel 3 nilai salinitas pada keempat stasiun didapatkan nilai salinitas berkisar 20,1 – 33,1 ‰. Dari data tersebut menunjukkan bahwa salinitas tertinggi terdapat pada lokasi laut lepas yaitu 33,1‰, sedangkan terendah lokasi keramba yaitu berkisar 20,1‰. Menurut Nontji (2002) di perairan samudera, salinitas biasanya berkisar 34 – 35 ‰. Menurut Nybakken (1992), kisaran salinitas pada tiap daerah berbeda berdasarkan kondisi masing-masing perairan. Zona intertidal dengan kondisi daerah yang terbuka, pada saat air laut surut dan tergenang pada saat pasang atau aliran air akibat hujan lebat mengakibatkan kisaran salinitas menurun dan akan meningkat pada saat siang disebabkan adanya penguapan. Tinggi rendahnya nilai salinitas pada daerah pesisir sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai dan masukan air laut dari laut. DO Hasil pengukuran kandungan oksigen terlarut menunjukkan adanya penurunan dari stasiun 1 (keramba) hingga stasiun 4 (laut lepas). Perbedaan oksigen terlarut dari muara hingga laut lepas pantai mengalami penurunan disebabkan karena perbedaan kuantitas buangan limbah stasiun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Poppo (2007) yang menyatakan bahwa penyebab utama berkurangnya oksigen terlarut dalam suatu badan air adalah adanya buangan bahan-bahan yang mudah membusuk. Semakin rendah oksigen terlarut maka semakin tinggi pencemaran karena semakin banyak O2 yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan-bahan organik. Menurut Effendi (2003), sumber oksigen terlarut dalam air adalah penyerapan oksigen dari udara, melalui kontak antara permukaan dengan udara, dan dari proses fotosintesis. Organisme air akan hidup dengan baik jika nilai oksigen terlarut lebih besar dari 5,0 mg/L air. Perubahan kelarutan oksigen (DO) dalam suatu perairan berpengaruh langsung terhadap suhu. Semakin rendah temperatur di suatu perairan maka akan semakin tinggi kandungan oksigen terlarut (DO) di perairan tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Simanjuntak (2012), distribusi suhu antara muara dengan laut lepas diperoleh bahwa suhu di muara lebih tinggi dan ke arah laut semakin rendah. Kandungan oksigen terlarut berbanding terbalik terhadap suhu. Kandungan nilai oksigen terlarut (DO) pada keempat stasiun (keramba) hingga stasiun 4 (laut lepas) dengan kisaran 4,98 – 7,14 mg/L. Nilai kandungan oksigen terlarut tertinggi terdapat pada lokasi keramba yang terletak di muara yaitu berkisar 6,89 – 7,14 mg/L yang dapat dilihat pada Tabel 3. Kandungan nilai oksigen terlarut yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya disebabkan oleh proses fotosintesis yang melepaskan oksigen ke perairan sehingga nilai kandungan oksigen akan lebih tinggi. Menurut Kep.MNLH (2004) kisaran kandungan oksigen terlarut normal sesuai dengan baku mutu kualitas air untuk biota yang ditetapkan oleh melalui KEP No.51/MNLH/I/2004 yaitu > 5 mg/l. Oksigen terlarut suatu perairan dipengaruhi oleh suhu, fotosintesis dan penyerapan oksigen dari atmosfer. Kelarutan gas-gas dalam air laut merupakan suatu fungsi dari suhu, semakin rendah suhu perairan maka semakin besar tingkat kelarutannya. Pada perairan yang memiliki suhu air rendah akan memiliki kandungan oksigen terlarut yang lebih besar (Nybakken, 1988). Nitrat dan Total Fosfat Hasil pengukuran nitrat menunjukkan adanya penurunan dari stasiun 4 (laut lepas) hingga (keramba) stasiun 1. Perbedaan kandungan nitrat dari muara hingga laut lepas pantai mengalami penurunan disebabkan karena perbedaan kuantitas buangan limbah di lingkungan masing-masing stasiun. Menurut Makmur (2012), distribusi nitrat antara muara dengan laut lepas diperoleh bahwa nitrat dan fosfat bervariasi dimana dekat pantai lebih tinggi dibanding lokasi jauh dari pantai. Hal ini disebabkan kawasan sekitar muara yang mempunyai jumlah aktivitas manusia lebih tinggi sehingga dapat mempengaruhi naiknya kandungan nitrat di lokasi tersebut. Menurut Haerlina (1987) bahwa nitrat merupakan makro nutrien yang mengontrol produktivitas primer di daerah eufotik. Sumber utama nitrat berasal dari buangan rumah rangga dan pertanian termasuk kotoran hewan dan manusia Kandungan nilai nitrat pada keempat stasiun (keramba) hingga stasiun 4 (laut lepas) dengan kisaran 1,22 – 2,24 mg/l mengalami penurunan karena aktivitas manusia semakin menurun dari stasiun 1 ke stasiun 4. Hal ini didukung oleh pernyataan Simanjuntak (2012) bahwa sumber utama nitrat berasal dari buangan limbah rumah tangga, pertanian, dan termasuk kotoran hewan atau manusia. Pernyataan ini didukung oleh pernyataan Hutagalung (1997) diacu oleh Diansyah (2004) bahwa distribusi horizontal kadar nitrat semakin tinggi menuju ke arah pantai, dan kadar tertinggi biasanya ditemukan di perairan muara. Kandungan nitrat dan fosfat di suatu perairan digunakan untuk menilai tingkat kesuburan perairan tersebut (Odum, 1971). Fosfat yang terkandung dalam air laut, baik yang tersuspensi maupun yang terlarut berada dalam bentuk organik dan anorganik (Yusrudin, 2004). Hasil pengukuran menunjukkan nilai fosfat mengalami penurunan pada stasiun 1 (keramba) hingga stasiun 4 (laut lepas) sejalan dengan berkurangnya aktivitas manusia yang menimbulkan limbah yang mungkin masuk ke badan perairan. Menurut Makmur (2012), Senyawa fosfat umumnya berasal dari limbah industri, pupuk, limbah domestik dan pengurairan bahan organik lainnya. Tingginya kandungan fosfat pada ekosistem laut dipengaruhi oleh pasang surut serta arah angin dan arus. Konsentrasi fosfat tertinggi terdapat pada lokasi pelabuhan dan terendah terjadi pada lokasi laut lepas. Hal ini terjadi akibat kegiatan lalu lintas kapal pengangkut barang. Pada laut lepas merupakan stasiun dengan nilai fosfat terendah disebabkan oleh sifat partikel fosfat yang cenderung mengendap di dasar perairan seiring meningkatnya kedalaman, karena berat partikel fosfat lebih besar dari massa air laut dan belum adanya aktifitas manusia didukung dengan jarak yang cukup jauh dengan daratan. Fosfat merupakan unsur hara kunci dalam produktivitas primer perairan. Senyawa ini dapat menggambarkan subur tidaknya suatu perairan.fosfat yang terkandung dalam air laut, baik yang tersuspensi maupun yang terlarut berada dalam bentuk organik dan anorganik. Klasifikasi kesuburan perairan berdasarkan kandungan fosfat apabila kandungan fosfat 0,2 maka kondisinya sangat baik sekali. Kandungan fosfat pada lapisan permukaan lebih rendah dari lapisan di bawahnya, sehingga kandungan fosfat yang tinggi di lapisan permukaan dapat dipakai sebagai indikasi terjadinya silikat (Andriani, 2004). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Nilai konsentrasi klorofil-a di perairan Belawan, Medan Labuhan Sumatera Utara yaitu berkisar 1,93 – 5,96 mg/l. Nilai klorofil-a tertinggi terdapat pada lokasi laut lepas (stasiun 4) yaitu berkisar 4,06 – 5, 96 mg/l, sedangkan terendah terdapat pada lokasi keramba (stasiun 1) yaitu berkisar 1,93 – 2,53 mg/l. 2. Adanya hubungan konsentrasi klorofil-a terhadap parameter fisik kimia perairan Belawan, Medan Labuhan Sumatera Utara. Saran Sebaiknya penelitian dilakukan berdasarkan pasang surut, musim dan menggunakan citra satelit agar data mengenai produktivitas primer perairan Belawan, Medan Labuhan Sumatera Utara dapat dijadikan sumber informasi bagi instansi yang membutuhkan. DAFTAR PUSTAKA Andriani. 2004. Analisis Hubungan Parameter Fisika-Kimia dan Klorofil-a dengan Produktivitas Primer Fitoplankton di Perairan Pantai Kabupaten Luwu. Skripsi. IPB. Bogor. Arifin, R. 2009. Distribusi Spasial dan Temporal Biomassa Fitoplankton (Klorofil-a) dan Keterkaitannya Dengan Kesuburan Perairan Estuari Sungai Brantas, Jawa Timur. Skripsi. IPB. Bogor. http://reporsitory.ipb.ac.id.ridwanarifin.pdf (Diakses 11 Juni 2014). Asriyana, Dr., dan Yuliana. 2012. Produktivitas Perairan. Penerbit Bumi Aksara. Caraco, N., Tamse, A., Boutros, O., dan Valiela, I. 1987. Nutrient Limitation of Phytoplankton Growth in Brack, Fish Coastal Ponds. Canadian Journal Fish Aquatic Science. 9 : 473 – 476. Curtis, H. 1978. Biology. Edisi Kedua. Worth Publisher, Inc. New York. Dahuri, R., Rais, J., Ginting SP., dan Sitepu, MJ. 2005. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Penerbit Pradnya Paramita. Jakarta. Dring, M.J. 1990. Light harvesting and pigments composition in marine phytoplankton and makroalgae. In Light and life in the sea. P.J. Hearing, A. K. Campbell, M. Witfield, and L Maddock, (eds.). Cambridge University Press. New York. Dynamics of Phytoplankton in Subtropical Coastal Environtments Hydrobiologia. 352:97-106 Edward. 1995. Kualitas Perairan Waisarisa dan Sumber Daya Perikanan. Jurnal Pusat Studi Lingkungan PTNSI. 15 (4) : 53,60 Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Fachrul, M. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. Haerlina, E. 1987. Komposisi dan Distribusi Vertikal Harian Fitoplankton Pada Siang dan Malam Hari di Perairan Pantai Bojonegoro, Teluk Banten. Jurnal. Fakultas Perikanan Bogor. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Haslam, S.M. 1995. River Pollution, an Ecological Perspective. Belhaven Press. London UK. Kamali, D. 2004. Kelimpahan Fitoplankton Pada Keramba Jaring Apung di Teluk Hurun Lampung. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. http ://repository.ipb.ac.id.Kamali.pdf (Diakses 20 Januari 2013). Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Baku Muku Air Laut Untuk Biota Hidup. Kennish, M. J. 1992. Ecology of Estuaries : Anthropogenic Effects. CRC Press, Inc. Boca Raton, FL. Hal:43. King, C.A.M.1963. Introduction to Coastal Oceanography. McGraw Hill. New York. Kunarso, S., Hadi dan N.S. Ningsih. 2005. Kajian Lokasi Upwelling Untuk Penentuan Fishing Ground Potensial Ikan Tuna. Jurnal. Ilmu Kelautan. Hal: 61-67. Kusumaningtyas, M.A., Bramawanto, R., Daulat, A., dan Pranowo, S.W. 2014. Kualitas Perairan Natuna pada Musim Transisi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Badan Penelitian Pengembangan Kelautan dan Perikanan. Jurnal. Jakarta. Laili, C.M., dan T.R. Parson. 1994. Biological Oceanography: An Introduction Pergamon, BPC Wheatons Ltd, British. 301p. Makmur, M., Kusnoputranto, H., Moersidik, S.S., dan Wisnubroto, S.D. 2012. Pengaruh Limbah Organik & Rasio N/P Terhadap Kelimpahan Fitoplankton di Kawasan Budidaya Kerang Hijau Cilincing. BATAN. Nugroho, A. Bioindikator Kualitas Air. Penerbit Universitas Trisakti. Jakarta. Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Cetakan Kedua. Diterjemahkan oleh H.M Eidman, Koesoebiono, D. G. Bengen, M. Hutomo, dan S. Sukardjo. PT. Gramedia. Jakarta. Panjaitan, R. J. A, 2009. Variabilitas Konsentrasi Klorofil-a dan Suhu Permukaan Laut dari Citra Satelit Aqua Modis Serta Hubungannya dengan Hasil Tangkapan Ikan Lemuru di Perairan Selat Bali. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. http:reporsitory.ipb.ac.id.c09rja.pdf (Diakses pada 20 Juni 2013). Parsons, T. R., M. Takahashi., dan B. Hargrave. 1984. Biological Oceanographyc Processes. Pergamon Press. 3rd Edition. New York-Toronto. Vol 277, Number 1. Perkins, E.J. 1974. The Biology of Estuaries and Coastal Water. Academi Press Co. New York. Pescod, M.B. 1973. Investigation of rational effluent and stream standard for tropical countries. Enviromental Engineering Division. Asian Institute Technology Bangkok. Bangkok. 145p. Prasetyaningtyas T., Priyono B., dan Agung T. 2012. Keanekaragaman Plankton di Perairan Tambak Ikan Bandeng di Tapak Tugurejo, Semarang. Jurnal. UNS. Semarang. http://reporsitory.uns.ac.id.tia.pdf (Diakses pada 20 Januari 2013). Poppo, A., Mahendra, M.S., dan Sundra, K.I. 2007. Studi Kualitas Perairan Pantai di Kawasan Industri Perikanan. Dinas Pengambengan.Kecamatan Negara. Kabupaten Jembrana. Jurnal. Unud. Bali. Riyono, S.H. 2006. Beberapa Metode Pengukuran Klorofil Fitoplankton di Laut. Jurnal. Oceanografi. Vol XXXI. Hal: 33-34. Riyono, S.H., dan A, Rozak. 2006. Kondisi Perairan Teluk Klabat Ditinjau dari Kandungan Klorofil-a Fitoplankton Oseanografi dan Limnologi Indonesia. No. 39 Tahun 2006. Hal:19-36. Romimohtarto, K., dan Juwana, S. 2001. Biologi Laut; Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut. Djambatan. Jakarta. Rososoedarmo, K., Kartawinata, A., dan Sugiarto. 1993. Pengantar Ekologi. Cetakan Kesembilan. PT Remaja Rasdakarya. Bandung. Simanjuntak, F. K. 2010. Keanekaragaman Plankton Sebagai Bioindikator Kualitas Air Sungai Batang Toru. Skripsi. USU. Medan. http://repository.usu.ac.id.sirait.pdf (Diakses 26 Februari 2013). Simanjuntak, M. 2012. Kualitas Air Laut Ditinjau Dari Aspek Zat Hara, DO dan pH di Perairan Banggai, Sulawesi Tenggara. Jurnal. LIPI. Jakarta. Soegianto, A. 2004. Metoda Pendugaan Pencemaran dengan Indikator Biologis. Airlangga University Press. Surabaya. Sukoharjo, S. S. Variabilitas Konsentrasi Klorofil-a di Perairan Selat Makassar : Pendekatan Wavelet. Jurnal Segara. Volume 8 Nomor 2 Desember 2012. Suin, N. 2002. Metode Ekologi. Penerbit Universitas Andalas. Padang. Ulqodry, T. Z., Yulisman., Syahdan, M., dan Santoso. Karakteristik dan Sebaran Nitrat, Fosfat, dan Oksigen Terlarut di Perairan Karimunjawa Jawa Tengah. Jurnal. Jakarta. Wang, H dan Huang, B. Hong. 1997. Size fractionated Productivity and Nutrient. Weyl, P.K. 1970. Oceanography an introduction to marine environtment. John Wiley and Sons Inc. New York. Wibisono, M. S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. PT. Gramedia Widiasarana Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Wibowo, E., Yuliati, E., dan Retnowati, T. 2004. Jurnnal : Kandungan Klorofil-a pada Diatome Epipelik di Sedimen Ekosistem Mangrove. UNDIP. Semarang. http://reporsitory.undip.ac.id.retnowati.pdf (Diakses pada 28 September 2013). Widigdo, B. 2001. Manajemen Sumberdaya Perairan. Bahan Kuliah. FPIK IPB. Bogor. Yeanny, M.Sari. 2005. Pengaruh Aktivitas Masyarakat Terhadap Kualitas Air dan Keanekaragaman Plankton di Sungai Belawan Medan. USU. Medan. shttp://reporsitory.usu.ac.id.yeanny.pdf (Diakses 20 April 2013).