View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Suatu fenomena penting yang mewarnai kompleksnya partisipasi
wanita dalam berbagai dimensi kehidupan salah satunya perjuangan di bidang
politik. Masa perjuangan perempuan tidak lepas dari program ekspansi
demokrasi Amerika Serikat ke penjuru dunia yang memposisikan wanita
bukan lagi sebagai kelompok yang harus dibatasi partisipasinya dalam
panggung perpolitikan dunia namun dianggap sebagai pihak yang berpengaruh
dan memberi konstribusi penting dalam menentukan kemajuan suatu negara.
Kemodernan dan arus globalisasi sangat gencar mengepakkan
sayapnya ke seluruh negara belahan dunia. Hal ini mengantarkan perubahan
pola pikir dalam diri perempuan dunia, tak terkecuali di Timur Tengah sebagai
kawasan Negara Islam dimana agama mendominasi hampir segala aspek
kehidupan negara tersebut, khususnya posisi dan hak-hak perempuan. Tetapi
kini, hak politik bagi semua golongan di negara-negara tersebut sudah banyak
mengalami perkembangan. Ada beberapa negara yang kini membuka ruang
bagi perempuan untuk menjalankan hak politiknya. Antara lain seperti Qatar,
Bahrain, Oman, Uni Emirat Arab dan yang belum lama ini adalah Kuwait.
Keberhasilan kaum perempuan ini
atas kemauan dan dari pola pikir
perempuan-perempuan yang modern sehingga tuntutan hak politik mereka
dapat terwujud.
1
Perjuangan politik kaum perempuan atau gerakan perempuan yang
lebih dikenal dengan istilah feminisme di berbagai negara melalui proses yang
berbeda-beda
dan
mendapatkan
respon
yang
berbeda-beda
pula.
Hal ini disebabkan karena berbagai faktor, salah satunya ideologi yang dianut
oleh bangsa tersebut. Hal ini pula yang mempengaruhi partisipasi dan
perjuangan politik kaum perempuan di Kuwait, yang merupakan salah satu
Negara Islam terbesar di dunia.
Isu tentang peranan perempuan menjadi isu yang selalu hangat
dibicarakan oleh Negara-negara di dunia. Kehadiran perempuan di ruang
politik semakin mendapatkan tempat pada sebagian masyarakat, tetapi juga
mendapatkan penolakan dari masyarakat lainnya. Berbagai organisasi di
berbagai negara telah banyak terbentuk untuk membicarakan tentang peranan
perempuan dan kedudukannya. Di tingkat global, seruan terhadap pihak yang
melakukan pendiskriminasian terhadap kaum perempuan dan pihak-pihak
yang mengabaikan hak-hak perempuan telah banyak mendapatkan sorotan.
Hal ini pulalah yang melatarbelakangi pemikiran Negara-Negara tersebut dan
berinisiatif untuk bersama-sama memastikan terjadinya integrasi atas hak-hak
perempuan ke dalam berbagai instrument internasional tentang hak-hak asasi
perempuan. Hal ini tercermin dalam usaha-usaha perempuan untuk
mengembangkan pandangan mereka terhadap hukum-hukum mengenai hak
asasi manusia dengan menggunakan perspektif gender dan feminisme.
Konfrensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan (The UN Convention on the Elimination of all Forms of
2
Discrimination against Women - CEDAW) disahkan dan diterima oleh Dewan
Umum PBB pada tahun 1979. Dewasa ini, lebih dari dua puluh tahun sejak
ditandatanganinya konvensi itu, lebih dari 170 negara telah meratifikasinya.1
Konvensi itu dapat dijadikan dasar untuk mewujudkan kesetaraan perempuan
dan laki-laki dengan membuka akses dan peluang yang sama di arena politik
dan kehidupan publik, termasuk hak memberi suara dan mencalonkan diri.
Pemerintah telah bertekad untuk menempuh semua langkah yang diperlukan,
termasuk legislasi dan tindakan-tindakan khusus yang bersifat sementara,
sehingga kaum perempuan nanti dapat menikmati seluruh hak dan
kemerdekaan asasi mereka. Namun pada kenyataanya, masih banyak negara
yang belum menerapkan langkah-langkah di atas.
Gerakan feminisme dimulai pada abad kesembilan belas dengan
permintaan oleh beberapa reformis perempuan agar diberikan hak untuk
memilih, yang dikenal sebagai “Hak Pilih”, dan untuk hak-hak hukum yang
sama dengan pria. Meskipun pemungutan suara itu aman bagi perempuan oleh
Amandemen Kesembilan belas ke konstitusi pada tahun 1920, sebagian besar
wanita telah membuat keuntungan dalam mencapai kesetaraan hukum dan
mengakhiri diskriminasi gender telah datang sejak 1960-an.2
1
Dikutip dari buku CEDAW “Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuaan – Mengembalikan hak-hak perempuan”. Hal 1. 2004. Parteners for Law in
Development (PLD), New York. Disadur dari dokumen PDF dan diakses pada Kamis, 15
September 2011.
2
Anonim “Konsep Dasar dan Pokok-Pokok Pembangunan Berwawasan Gender-Gender
dalam Perspektif Sejarah, Teori, Agama”. Hal 1. Di dalam buku ini juga dijelaskan awal
pergerakan dan perjuangan kaum perempuan diberbagai negara….. Disadur dari buku dalam
format PDF dan diakses pada Hari Kamis, 05 September 2011
3
Selanjutnya perjuangan politik kaum perempuan untuk mewujudkan
kesetaraan dan keadilan gender mulai gencar dilakukan setelah ditetapkannya
Deklarasi Hak-Hak Azasi Manusia PBB pada tahun 1948. Namun, perjuangan
yang menjadi isu global tersebut menjadi fenomena yang menarik perhatian
terutama setelah berakhirnya perang dingin antara Blok Timur dan Blok Barat.
Perubahan tersebut sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan dari
pendekatan keamanan dan kestabilan (security) ke pendekatan kesejahteraan
dan keadilan (prosperity), atau dari pendekatan produksi (production centered
development) ke pendekatan kemanusiaan (people centered development)
dalam suasana yang lebih demokratis dan terbuka.3
Kaum perempuan menyadari ketertinggalannya dibandingkan dengan
kaum laki-laki dalam banyak aspek kehidupan. Untuk mengejar ketertinggalan
tersebut, maka dikembangkan konsep emansipasi (kesamaan) antara
perempuan dan laki-laki. Pada Juli 1963 timbul gerakan global yang
dipelopori kaum perempuan yang berhasil mendeklarasikan suatu revolusi
melalui Badan Ekonomi Sosial PBB (ECOSOK).4 Kemudian pada tahun 1975
di Mexico City diselenggarakan World Conference International Year of
Woman PBB, yang menghasilkan deklarasi kesamaan antara perempuan dan
laki-laki dalam hal Pendidikan dan pekerjaan:
a. Prioritas pembangunan bagi kaum perempuan.
b. Perluasan partisipasi perempuan dalam pembangunan.
c. Penyediaan data dan informasi perempuan.
3
4
Ibid,
Ibid. hal 2.
4
d. Pelaksanaan analisis perbedaan peran berdasarkan jenis kelamin.
Untuk itu, dikembangkan berbagai program pemberdayaan perempuan
(Woman Empowerment Programs). Guna mewadahi aktivitas tersebut
diperkenalkan
tema
“Perempuan
dalam
Pembangunan
(Women
in
Development, WID)”, yang bertujuan mengintegrasikan perempuan dalam
pembangunan.5
Pada tahun 1980 di Kopenhagen diselenggarakan World Conference
UN Mid Decadde of Woman, yang mengesahkan UN Convention on the
Elimination of all Form of Discrimination Agains Woman (CEDAW),
konvensi tentang peniadaan seluruh bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Pertemuan itu dihadiri oleh sebagian besar Negara di dunia, termasuk Kuwait
yang pada saat itu mulai memperhatikan masalah gender.
Tahun 1985 di Nairobi diselenggarakan World Confrence on Result
on Ten Years Woman Movement, yang menghasilkan The Nairobi Looking
Forward Strategies for the Advancement of Woman yang bertujuan untuk
mengkaji mengapa terjadi berbagai ketimpangan antara laki-laki dan
perempuan dalam berbagai bidang kehidupan. Sejak itu, muncul konsepkonsep dan penelitian-penelitian yang menekankan kesetaraan perempuan dan
laki-laki dalam pembangunan dan perdamaian.6
Pada tahun 1985 pula PBB membentuk suatu badan yang dinamakan
the Unites Nation Fund for Woman (UNIFEM) untuk melakukan studi
advokasi, kolaborasi dan mendanai kegiatan kesetaraan gender secara
5
6
Ibid. hal 3-4
Ibid. hal 4
5
internasional. Pengalaman menunjukkan bahwa pendekatan pemberdayaan
perempuan tanpa melibatkan kerjasama dengan kaum laki-laki yang
berlangsung selama sepuluh tahun (1970 - 1980) tidak banyak memberikan
hasil yang signifkan. Pendekatan pertentangan (dikotomis) dirasa kurang
membawa hasil yang memadai, bahkan timbul sinisme (male backlash) dari
kaum laki-laki terhadap perjuangan tersebut. Berdasarkan berbagai hasil studi,
maka tema WID (Woman in Development) atau Perempuan dalam
Pembangunan diubah menjadi WAD (Woman and Development) atau
Perempuan dan Pembangunan. Perubahan ini mengandung makna bahwa
kualitas kesertaan lebih penting daripada sekedar kuantitas.7
Pada tahun 1990 di Vienna diselenggarakan “the 34th Commisson on
the Status of Woman”. Dilakukan analisis terhadap konsep pemberdayaan
perempuan tanpa melibatkan laki-laki, yang tampaknya juga kurang membawa
hasil sebagaimana yang diharapkan. Studi Anderson (1992) dan Moser (1993)
memberikan rekomendasi bahwa tanpa kerelaan, kerjasama, dan keterlibatan
laki-laki, maka program pemberdayaan perempuan tidak akan berhasil dengan
baik.8 Oleh karena itu, dipergunakanlah pendekatan gender yang kemudian
dikenal dengan Gender and Development (GAD), suatu paradigma baru yang
menekankan pada prinsip hubungan kemitraan dan keharmonisan antara
perempuan dan laki-laki atau sebaliknya.
Pandangan itu terus diperdebatkan dalam the International Confrence
in Woman (ICPD) di Kairo 1994 dan dalam The 4th the World Conference on
7
8
Ibid
Ibid hal 5-6
6
Woman di Beijing tahun 1995. Dari konfrensi tersebut disepakati berbagai
komitmen operasional tentang perbaikan terhadap status dan peranan
perempuan dalam pembangunan mulai dari tahap menikmati hasil-hasil
pembangunan. Dengan demikian terjadi perubahan konsep yang mendasar,
yaitu dari pembahasan masalah yang bersifat fisik biologis (biological sphere)
ke masalah yang bersifat sosial budaya (socio-cultural sphere).9
Dari pemaparan di atas, maka dapat dilihat bahwa lahirnya gender dan
feminisme banyak diinspirasi oleh Negara-Negara Barat. Meskipun demikian,
hal ini tidak berarti bahwa gagasan-gagasan Negara Barat dianggap tidak
relevan bagi negara-negara Islam. Hal ini didasarkan pada pemahaman karena
suatu gagasan tidak dapat dibatasi dalam batas-batas bangsa maupun
geografis.10
Bagaimanapun juga, ketika istilah feminisme dan gender bersifat
asing, konsep sesungguhnya mengungkapkan suatu transformasi. Jadi hal ini
dapat menjelaskan bahwa feminisme tidak dimasukkan secara paksa. Gender
dan perjuangannya muncul di banyak negara disebabkan karena suatu
kesadaran tentang hak-hak demokrasi serta ketidakadilan yang semakin
menyentuh hak-hak separuh dari penduduknya, dalam hal ini kaum
perempuan. Hak untuk berpolitik juga mendasari terjadinya gerakan berbasis
gender yang membawa isu kepentingan perempuan di dalamnya. Hak politik
setiap manusia (laki-laki maupun perempuan) telah diatur dalam Universal
9
Ibid. Hal. 6
10
Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan
Relevansinya. Hal. 10
7
Declaration of Human Right, yaitu pada pasal 19, 20 dan 21 dengan rincian
sebagai berikut:11
Pasal 19
Setiap individu berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan
pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa
gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan
buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas
(wilayah).
Pasal 20
1. Setiap individu mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat
secara damai.
2. Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk memasuki sesuatu perkumpulan.
Pasal 21
1. Setiap individu berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya, secara
langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.
2. Setiap individu berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam
jabatan pemerintahan negerinya.
3. Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah. Kehendak ini
harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara
berkala dan jujur dan yang dilakukan menurut hak-hak pilih yang bersifat
umum dan yang tidak membeda-bedakan dan dengan yang bersifat suara
yang rahasia ataupun menurut cara-cara lain yang menjamin kebebasan
memberikan suara.
Negara Kuwait merupakan negara yang mayoritas penduduknya
menganut Agama Islam. Namun, bersamaan dengan proses modernisasi yang
dilancarkan oleh kolonialisme barat, muncul aliran modernisasi di dalam
pemikiran sebagian umat Islam yang berpengaruh terhadap masalah politik,
ekonomi, sosial dan budaya Kuwait. Pengaruh modernisasi yang terpenting
11
Muhammad Ali Taskhiri, Human Rights, A Study of the Universal and The Islamic
Declaration of Human Rights, Departemen of Translation and Publication, Islamic Culture
and Relations Organization, 1997: hal 44 dan 45
8
ialah masuknya unsur liberalisme dan feminisme yang menyentuh emansipasi
wanita termasuk di dalamnya masalah politik perempuan.
Kuwait telah tampil di pentas dunia internasional dengan nuansa serta
simbol Islam yang begitu melekat, termasuk dalam kebijakan perundangundangan, banyak diwarnai oleh jiwa ke Islaman. Keikutsertaan Kuwait dalam
kegiatan-kegiatan pembangunan kaum perempuan pada tahap global terlihat
sangat aktif melalui konfrensi-konfrensi antar bangsa, yakni dalam 4 (empat)
konfrensi besar yang telah dilaksanakan di berbagai negara. Salah satunya
adalah pada Konfrensi Perempuan Sedunia IV
di Beijing tahun 1995.
Deklarasi Beijing dan program aksinya sudah mencantumkan isu gender dan
informasi, komunikasi dan teknologi bagi perempuan, melalui peningkatan
keterampilan, pengetahuan, akses dan penggunaan teknologi informasi.12
Kuwait adalah satu di antara banyak negara yang terlibat dalam
wacana isu pembangunan perempuan. Kuwait telah meratifikasi CEDAW
pada tahun 1999, dimana CEDAW ini bertujuan untuk mengintegrasi
perempuan sepenuhnya dalam proses pembangunan negara. Tahun 2005,
Pemerintahan konservatif Kuwait memutuskan untuk memberi perempuan hak
politik penuh. Dewan Menteri sepakat meloloskan undang-undang yang
memberi hak politik penuh kepada perempuan, seperti hak untuk ikut memilih
dalam pemilihan umum, serta hak untuk bersaing menjadi salah satu dari 50
anggota parlemen.13
12
“Perkembangan Studi Perempuan, Kritik dan Gagasan Sebuah Perspektif Untuk Studi
Gender ke Depan”, disadur dari http://ejournal.unund.ac.id/abstrak, pada tanggal 15
September 2011.
13
http//www.bkkbn.go.id/article_detail.php, Kisah Dari Kuwait diakses pada tangga 15 oktober 2011
9
Sebelum Undang-Undang pemilihan umum diubah, perempuan Kuwait
tidak bisa memilih atau dipilih walaupun mereka bisa menjadi diplomat,
pengusaha dan bekerja di berbagai bidang industri. Hal ini memicu perempuan
Kuwait mempertanyakan haknya yang hilang, sehingga mereka memutuskan
akan berusaha menuntut hak mereka sampai parlemen memutuskan untuk
memberi hak politik bagi perempuan. Berbagai unjuk rasa, debat, banyak
dilakukan oleh beberapa kelompok kepentingan dan para aktivis di Kuwait.
Seperti penulis Fatima al- Baker yang tergabung dalam Asosiasi Persatuan
Perempuan Kuwait, Nabil al-Mufarreh sebagai ketua Persatuan Nasional
Pelajar Kuwait yang juga turut andil dalam kampanye menjelang pemilu 2006,
yang mendukung penuh para calon legislatif perempuan.14
Tuntutan kaum perempuan Kuwait selalu mendapat penentangan dari
kaum konservatif Islam di Parlemen yang jumlahnya tidak sedikit. Kaum
konservatif tidak menyetujui perempuan ikut aktif dalam kegiatan politik,
karena bertentangan dengan tradisi budaya dan “penafsiran agama” yang telah
lama berlaku di negara Kuwait. Maka tidak mengherankan bila parlemen
Kuwait telah dua kali menolak usulan pembahasan kebijakan beberapa tahun
sebelum undang-undang hak politik bagi perempuan disahkan.15
Sejak tahun 1962, Kuwait telah melaksanakan 11 kali pemilihan
parlemen, tetapi tidak pernah melibatkan perempuan. Melalui hasil
amandemen konstitusi tahun 2005 lah akhirnya kaum perempuan Kuwait
mendapatkan hak pilih dan dipilihnya. Pemerintahan konservatif
Emirat
14
http://publikasi.umy.ac.id/index.php/hi/article/view/2021/1184 . hal 5 diakses pada tanggal 25
desember 2011
15
Ibid
10
Kuwait memutuskan untuk memberi perempuan hak politik penuh. Menurut
Dewan Menteri, perubahan Undang-Undang Pemilihan Umum Kuwait tahun
1962, sebagai bagian dari kebijakan “memperluas partisipasi masyarakat”
dalam kehidupan bernegara. Berdasarkan UU baru tersebut, perempuan dapat
memilih dan dipilih dalam pemilihan umum.
Pada tanggal 18 Mei 2005, Kuwait merubah Amandemen UndangUndang Pemilu pasal I No.35 tahun 1962, yang sebelumnya Amandemen
Undang-Undang tersebut hanya memberikan hak politik bagi kaum lelaki saja
tetapi kini Undang-Undang tersebut telah dirubah dengan memberikan hak
penuh bagi kaum perempuan untuk memberikan suara dalam pemilu ataupun
mencalonkan diri sebagai anggota parlemen. Perubahan Amandemen UU ini
berdasarkan keputusan parlemen Kuwait (Majelis Al-ummah). Sebanyak 35
suara mendukung, 23 menolak, dan 1 abstain dalam voting yang memperoleh
penentangan keras dari anggota parlemen dari kubu Islamis dan konservatif.16
Ketika tahun 1999, Emir Kuwait saat itu adalah Sheikh Jaber alAhmad al-Sabah sebenarnya juga telah mengajukan dekrit yang mendukung
perempuan mendapat hak pilih, yang diajukan kerajaan tetapi ditolak oleh
Majelis Nasional. Para anggota parlemen dari kalangan Islamis dan kesukuan
menolak langkah Emir karena menurut mereka melanggar tradisi agama Islam
dan masyarakat Kuwait. Begitulah kaum konservatif Islam selalu beralasan,
bertentangan dengan tradisi budaya dan penafsiran agama yang telah lama
berkembang di Kuwait. Selama enam tahun setelah dekrit itu gagal para kaum
16
Kuwait
Tunjuk
Wanita
sebagai
http://www.suaramerdeka.com/harian.html
Menteri,
dikutip
tanggal
7
November
2011,
dari
11
perempuan terus berjuang sampai parlemen meloloskan rancangan undangundang yang menjamin hak politik bagi semua golongan.
Selama bertahun-tahun pula perempuan Kuwait berjuang untuk
memperoleh hak politik penuh, namun upaya mereka selalu digagalkan oleh
kubu muslim garis keras dan kelompok-kelompok suku didalam parlemen
yang semuanya pria. Hal ini disebabkan karena dari kubu Islam yang
berjumlah 18 (lebih dari sepertiga anggota parlemen yang berjumlah 50)
ditambah dari kubu suku selalu menang dalam berbagai voting suara di
parlemen. Maka setelah sidang maraton selama 10 jam, parlemen yang seluruh
anggotanya laki-laki mengesahkan Amandemen Undang-Undang tersebut
dengan mayoritas besar. Setelah Amandemen Undang-Undang itu disahkan,
warga Kuwait menyambut gembira, mereka turun kejalan untuk merayakan
kemenangan mereka.
Pada tanggal 29 Juni 2006, Kuwait menyelenggarakan pemilu, untuk
pertama kalinya kaum perempuan ikut berpartisipasi dalam pemilu tersebut.
Bukan hanya sebagai pemilih tetapi juga sebagai kandidat anggota parlemen.
Dalam pemilu tersebut terdapat 253 kandidat, 28 di antaranya perempuan yang
akan memperebutkan 50 kursi parlemen. Setelah satu tahun memenangi hak
berpolitik, ke-28 perempuan itu akhirnya benar-benar terjun ke panggung
politik.
Para perempuan itu akan menghadapi banyak halangan mengingat
tradisi Kuwait yang tidak mendukung ide kesetaraan peran perempuan dan
laki-laki. Selain ke-28 perempuan yang mayoritas kandidat Independen, 50
12
kursi parlemen juga diperebutkan 60-70 kandidat dari oposisi, seperti
kelompok islam, liberal, dan nasionalis. Di antara mereka terdapat 28 dari 29
anggota parlemen yang pernah mundur dari parlemen akibat konflik
berkepanjangan di pemerintahan tentang masalah reformasi pemilu yang
kemudian berakhir dengan pembubaran parlemen yang dilakukan oleh Emir
Syeikh Sabah al-Ahmad al-Sabah karena muncul perselisihan antara
pemerintah dan oposisi menyangkut reformasi pemilu.
Selama masa kampanye, berbagai organisasi dan kandidat Independen
menyuarakan isu anti korupsi. Berbeda dengan pemilu sebelumnya, pemilu
kala itu lebih ramai dengan kandidat perempuan dan orang-orang muda yang
belum berpengalaman dalam pemilu. Berbagai organisasi remaja dibentuk
untuk membantu kampanye kandidat muda.17
Setelah hasil penghitungan suara diumumkan calon-calon perempuan
legislatif Kuwait gagal meraih kursi di parlemen dalam pemilu bersejarah di
negara itu. Hasil penghitungan suara tersebut menunjukan calon legislatif
islamis dan eks anggota legislatif pro-reformasi menyapu bersih perolehan
suara dan tak satu pun kursi untuk ke-28 calon legislatif perempuan. Padahal,
populasi pemilih perempuan mencapai 57 persen dari total 340.000 orang
pemilih sah.
Kaum perempuan sebelumnya sudah menduga, kandidat islamis
koservatif dan daerah bakal menjadi penghalang bagi kandidat-kandidat
perempuan. Hasil penghitungan suara menunjukan, oposisi meraih hampir dua
17
Perempuan Kuwait Ikut Pemilu, dikutip tanggal 18 November 2011 dari http://www.balitbangham.go.id/detail.php.html
13
pertiga kursi. Kubu oposisi makin kuat dipersatukan dengan satu sikap
menentang pemerintahan korup. Kemunculan kuat kubu oposisi memunculkan
kemungkinan makin dalamnya ketegangan antara parlemen baru dan
pemerintah. Sedangkan 20 dari 29 kandidat eks anggota legislatif terpiliih
kembali untuk Majelis Nasional pada saat itu. Mereka inilah yang membentuk
poros aliansi oposisi. Perjuangan Perempuan Kuwait yang tak kenal lelah itu
merupakan suatu bukti bahwa mereka mampu membuktikan keadilan
dinegaranya dan menjadi tauladan bagi kaum perempuan dunia yang sampai
saat ini masih belum mendapatkan hak politik.
Melihat persoalan di atas maka penulis tertarik untuk meneliti masalah
yang akan difokuskan dengan judul “Perjuangan Politik Kaum Perempuan
Di Kuwait : Kendala dan Prospeknya”.
B. Batasan Dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Peranan
kaum
perempuan
sangat
berpengaruh
terhadap
keberlangsungan suatu negara, khususnya Di Kuwait, perananannya pun
berbeda-beda. Sebagian besar negara Islam, perempuan terus mengalami
kesulitan dalam memperoleh hak pilih akibat adanya kendala-kendala
kultural, agama, patriarki dan ekonomi. Selain itu dalam hal mengenyam
pendidikan pun perempuan sering terpinggirkan. Khususnya di Kuwait,
kaum perempuan selalu mendapat penentangan dari kaum konservatif
Islam di Parlemen yang jumlahnya tidak sedikit. Kaum konservatif tidak
menyetujui perempuan ikut aktif dalam kegiatan politik, karena
14
bertentangan dengan tradisi budaya dan “penafsiran agama” yang telah
lama berlaku di negara Kuwait.
Untuk menghindari melebarnya penelitian, maka penulis membatasi
penelitian ini yaitu berawal dari tahun 1962, pertama kali negara Kuwait
membentuk parlemen dan merupakan negara tertua yang memiliki
parlemen di kawasan Teluk Persia, sampai dengan tahun 2006 dimana
perempuan Kuwait mendapat hak politik dan mulai terlibat dalam politik
sebagai hasil
perjuangan kaum perempuan di Kuwait dalam
memperjuangkan hak-hak politiknya. Penulis juga akan menganalisa
bagaimana kendala dan prospek perjuangan politik kaum perempuan di
Kuwait. Namun, tidak menutup kemungkinan digunakannya data-data
tahun sebelumnya agar penelitian ini mendekati kesempurnaan.
2. Rumusan Masalah
1) Bagaimana
perjuangan
kaum
perempuan
di
Kuwait
dalam
memperjuangkan hak-hak politiknya?
2) Bagaimana kendala dan prospek perjuangan politik kaum perempuan di
Kuwait?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui perjuangan politik kaum perempuan di Kuwait.
2. Untuk mengetahui kendala dan prospek perjuangan politik kaum
perempuan di Kuwait.
15
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah :
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
dan informasi bagi para mahasiswa ilmu hubungan internasional serta
pemerhati masalah-masalah kaum perempuan di Kuwait.
2. Penelitian ini diharapkan pula dapat menjadi masukan bagi berbagai
pihak dan para pengambil kebijakan.
E. Kerangka Konseptual
Sebelum abad ke-19, kehidupan kaum perempuan terpuruk dan
dianggap sebagai kaum terpinggirkan oleh sekelompok masyarakat dan
pemerintah dalam berbagai kebijakan. Perempuan merupakan kaum yang
tidak dapat meraih hak-hak politiknya karena tidak adanya ruang yang terbuka
untuk kaum perempuan dalam berpolitik. Kaum perempuan diberi kebebasan
untuk memperoleh pendidikan dan kesempatan untuk bekerja tetapi mereka
tetap saja diikat dengan norma-norma patriarkhi yang relatif menghambat dan
memberikan kondisi yang dilematis terhadap posisi mereka.
Partisipasi politik secara umum bisa dikatakan merupakan kegiatan
seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam
kehidupan politik, dengan jalan memilih pemimpin negara dan secara
langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kebijakannya. Di sisi lain,
partisipasi politik pun diarahkan untuk memperkuat sistem politik yang ada.
Dalam tataran ini partisipasi politik dipandang sebagai bentuk legitimasi dari
sistem politik yang bersangkutan. Atau dengan kata lain partisipasi politik
16
menjadi salah satu indikator signifikan atas dukungan rakyat baik terhadap
pemimpinnya, kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemimpinnya maupun
bagi sistem politik yang diterapkannya.18
Partisipasi pada dasarnya merupakan kegiatan warga negara dalam
rangka ikut serta menentukan berbagai macam kepentingan hidupnya dalam
ruang lingkup dan konteks masyarakat itu sendiri. Karena itu partisipasi itu
sendiri bisa beragam bentuk kegiatannya. Bagaimanapun, ekspresi orang
dalam mengemukakan atau dalam merespon berbagai macam permasalahan
dan kepentingan politiknya, satu sama lain akan berbeda-beda. Uraian diatas
memperlihatkan bahwa partisipasi politik sebagai suatu bentuk kegiatan atau
aktivitas dapat dilihat dari beberapa sisi. Ia bisa dilihat sebagai bentuk
kegiatan yang secara sadar maupun tidak sadar atau dimobilisasi, ia bisa
dilakukan secara bersama-sama ataupun sendiri, kemudian dapat pula
dilakukan langsung ataupun tidak langsung, melembaga ataupun tidak
melembaga sifatnya.19
Terdapat pula beberapa defenisi lainnya tentang partisipasi politik,
diantaranya adalah: menurut Samuel P. Hanington dan Joan Nelson dalam
bukunya Partisipasi Politik Negara Berkembang, partisipasi politik adalah
kegiatan warga (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi keputusan oleh
pemerintah.20 Menurut Michael Rush dan Philip Althoff dalam bukunya
18
Moh. Mafud. 2003. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Hal. 2 Dikutip oleh Arfaniah Alimuddin
dalam skripsinya yang berjudul Suatu Analisis tentang Peranan Politik Kaum Perempuan di Malaysia. Hal.
9 Tahun 2010 Universitas Hasanuddin
19
Ibid
Pengertian Partisipasi Politik dan Bentuk – Bentuknya, diakses pada tanggal 18 November
2011, dari http://turwahyuddin.wordpress.com
20
17
Pengantar Sosiologi dan Politik, partisipasi politik adalah keterlibatan individu
sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik. Menurut
Ramlan Surbekti dalam bukunya Memahami Ilmu Politik, bahwa partisipasi
politik adalah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala
keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi kehidupannya.21
Menurut Oakley (1972) dalam Sex, Gender, and Society, gender berarti
perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis
adalah perbedaan jenis kelamin (sex) yang merupakan kodrat Tuhan, dan oleh
karenanya secara permanen berbeda. Adapun gender adalah perbedaan
perilaku (behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan, yakni
perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ketentuan Tuhan, melainkan
diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Oleh
karena itu, gender berubah dari masa ke masa.
Feminisme adalah ideologi yang dikembangkan oleh kalangan Eropa
Barat dalam rangka memperjuangkan antara dua jenis manusia, laki-laki dan
perempuan. Tujuan mereka adalah menuntut keadilan dan pembebasan
perempuan dari lingkungan agama, budaya, dan struktur kehidupan lainnya.22
21
Ibid
22
Sejarah Feminisme dan Perkembangannnya Di Amerika Serikat, diakses pada tanggal 18
November 2011 dari http://www.wikipedia.com
18
F. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan Metode Eksploratif.
Metode Eksploratif bertujuan untuk menggali secara luas sebab-sebab atau
hal yang mempengaruhi terjadinya perjuangan pergerakan kaum
perempuan di Kuwait, sehingga didapat alur dari sejarah partisipasi kaum
perempuan di Negara tersebut.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah telaah
pustaka (library research), yaitu dengan cara mengumpulkan data dari
literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas, dan
kemudian menganalisanya. Literatur ini berupa buku-buku, dokumen,
jurnal-jurnal, majalah, surat kabar, dan situs-situs internet yang berkaitan
dengan masalah yang akan penulis teliti.
3. Sumber dan Jenis Data
Sumber data utama yang diperlukan dalam penelitian ini berupa
data sekunder yang dipakai untuk menjaga keutuhan terhadap obyek
penelitian. Data sekunder adalah data yang dapat diperoleh dari beberapa
sumber baik berupa buku, jurnal, laporan tertulis, surat kabar, majalah dan
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan obyek yang diteliti, terutama
Perjuangan Politik Kaum Perempuan Di Kuwait.
19
4. Tehnik Analisa Data
Teknik analisa data yang penulis gunakan dalam penulisan ini
adalah teknik analisa data kualitatif, Dimana, data yang dikumpulkan
melalui penelitian lapang (field research) dilakukan dengan metode
kualitatif, karena sifat data penelitian ini merupakan informasi kualitatif.
Dengan demikian data dianalisis secara kualitatif pula.
Metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis. Salah satu masalah yang dianggap
penting
dalam
menganalisa
sebuah
fenomena
dalam
hubungan
internasional adalah tingkat analisis (level of analysis). Hal ini membantu
untuk melihat seperti apa input dan output dari sebuah perjuangan politik
suatu negara.
5. Metode Penulisan
Metode penulisan yang di gunakan oleh penulis adalah metode
deduktif,
dimana
penulis
terlebih
dahulu
akan
menggambarkan
permasalahan secara umum, lalu kemudian menarik kesimpulan secara
khusus.
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Perjuangan Politik
1. Perjuangan Politik
Perjuangan berasal dari kata juang yang menurut Kamus Besar
Bahasa
Indonesia
diartikan
sebagai
usaha
mempertahankan
dan
memperbaiki.23 Selama ini perjuangan diasumsikan sebagai sesuatu hal
yang komunal atau sebagai reaksi kolektif terhadap sebuah ketidakadilan.
Perjuangan politik identik dengan pergerakan politik yang
merupakan gerakan dari kelompok atau golongan yang ingin mengadakan
perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga politik atau kadang-kadang
malah ingin menciptakan suatu tata masyarakat yang baru sama sekali,
dengan menggunakan jalur-jalur atau cara-cara politik. Jika dibandingkan
dengan partai politik, maka gerakan mempunyai tujuan yang lebih terbatas
dan fundamental sifatnya, dan terkadang lebih bersifat ideologis. Orientasi
ini merupakan ikatan yang kuat di antara anggota-anggotanya dan dapat
menumbuhkan suatu identitas kelompok (group identity) yang kuat.
Organisasinya kurang ketat dibandingkan partai politik, berbeda dengan
partai politik, gerakan sering tidak mengadukan nasib dalam pemilihan
umum.24
23
24
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2004. Hal. 234
Miriam Budiarjo. 1981. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta ; Gramedia. Hal. 163
21
Pemahaman tentang perjuangan kelompok sosial dan kelompok
politik dalam suatu masyarakat, meskipun sebagai subjek dan objek yang
sama, kedua kelompok tersebut akan bersinggungan dalam suatu titik
bernama kelompok sosial politik seperti keterlibatan dalam politik formal,
pembuatan kebijakan publik, proaktif terhadap pelaksanaan sistem politik
yang ada, dan sebagainya.
Gerakan sosial merupakan salah satu bentuk utama dari perilaku
kolektif. Gerakan sosial adalah suatu usaha kolektif yang bertujuan untuk
menunjang atau menolak perubahan. Gerakan sosial juga didefenisikan
sebagai suatu kolektifitas yang melakukan kegiatan dengan kadar
kesinambungan tertentu untuk menunjang atau menolak perubahan yang
terjadi dalam masyarakat atau kelompok yang mencakup kolektifitas itu
sendiri.25 Gerakan sosial lahir pada mulanya sebagai suatu kelompok yang
tidak puas terhadap keadaan.
Menurut teori sosiologis salah satunya yaitu teori Mobilitas
Sumber Daya yang menggarisbawahi pentingnya pendayagunaan sumber
daya secara efektif dalam menunjang gerakan sosial.26 Sebab gerakan
sosial yang berhasil sangat memerlukan organisasi dan taktik yang efektif.
Para pendukung teori ini berpandangan bahwa tanpa adanya keluhan dan
ketidakpuasan tidak akan banyak terjadi gerakan. Namun demikian,
Horton Paul B dan Haunt Chester L, 1992. Sosiologi (Terjemahan) Edisi ke – IV, Erangga;
Jakarta, Hal . 85
26
Kirk Patrik, Partisipasi Politik Kaum Wanita, Jurnal Universitas Brawijaya, PT. Danur Wijaya
Press, Surabaya, 1994, Hal. 76
25
22
diperlukan adanya mobilisasi untuk mengarahkan ketidakpuasan itu agar
dapat menjadi gerakan massa yang aktif.27
Sumber daya yang harus dimobilisasi sebagai ekpresi dari
partisipasi politik adalah: pandangan dan tradisi penunjang, peraturan
hukum yang dapat mendukung, organisasi dan pejabat yang dapat
membantu, manfaat yang memungkinkan untuk dipromosikan, kelompok
sasaran yang dapat terpikat oleh manfaat tersebut, dan sumber daya
penunjang lainnya. Semua itu memberikan pengaruh besar terhadap
kecilnya pengorbanan pribadi dalam gerakan sosial, tantangan yang akan
dihadapi, kesulitan lain yang harus diatasi, dan taktik pelaksanaan yang
akan diterapkan.
Adapun bentuk-bentuk gerakan sosial, yaitu: (1) Gerakan
perpindahan (migratory movement), yakni arus perpindahannya penduduk
ke suatu tempat baru; (2) gerakan ekspresif (expressive movement), yakni
tindakan penduduk untuk mengubah sikap mereka sendiri, dan bukannya
mengubah masyarakat; (3) gerakan utopia (utopia movement), yakni upaya
untuk menciptakan masyarakat sejahtera (sempurna) yang berskala kecil;
(4) gerakan reformasi (reform movement), yakni gerakan yang berupaya
memperbaiki beberapa kepincangan dalam masyarakat; (5) gerakan
refolusioner (refolusionary movement) yang berusaha untuk mengganti
27
Ibid Hal. 88
23
sistem yang ada dengan sistem yang baru; dan (6) gerakan perlawanan
(resistance movement) yang berusaha melawan perubahan sosial tertentu.28
2. Perempuan dalam Perjuangan Politik
Berbicara soal politik tak pernah habisnya. Politik terus mengalir
dan digerakkan. Bukan saja lelaki yang bisa bergerak di bidang politik,
tetapi perempuan juga ada haknya. Perjuangan emansipasi perempuan,
telah menuntun perempuan untuk mewujudkan terciptanya persamaan hak
antara kaum perempuan dan kaum laki-laki. Emansipasi yang menjadi
wujud
gerakan
perjuangan
persamaan
hak-hak
perempuan
dari
ketidakadilan dan ketertindasan.
Dalam sejarah pergerakan perjuangan emansipasi perempuan,
sesungguhnya tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat Eropa saja.
Tetapi juga terjadi di kalangan masyarakat Islam seperti yang terjadi di
beberapa Negara-negara Islam. Perjuangan itu muncul, karena perempuan
masih diperlakukan secara tidak adil. Sebagai gambaran, sampai tahun 30an meskipun sekularisme sudah muncul, tapi perempuan di negara-negara
Islam tersebut masih belum mendapatkan hak-hak mereka sepenuhnya.
Kondisi demikian yang memaksa perempuan barat terus memperjuangkan
hak-haknya.
a. Hak-Hak Politik Kaum Perempuan
Menurut Ja’far yang dimaksud hak-hak politik adalah hak-hak
yang
28
ditetapkan
dan
diakui
undang-undang
atau
konstitusi
Ibid Hal . 90
24
berdasarkan keanggotaan sebagai warga Negara. Pada umumnya,
konstitusi mengaitkan antara pemenuhan hak-hak ini dan syarat
kewarganegaraan.29
Dalam hak-hak politik terhimpun antara konsep dan kewajiban
sekaligus. Sebab hak-hak politik pada tingkatan tertentu menjadi hak
bagi individu karena hak-hak itu menjadi wajib bagi mereka. Hal itu
disebabkan hak mutlak, sebagaimana yang diterima, membolehkan
seseorang menggunakannya atau tidak menggunakannya tanpa ikatan
apapun.
Hak-hak politik ini menyiratkan partisipasi individu dalam
pembentukan pendapat umum, baik dalam pemilihan wakil-wakil
mereka di majelis-majelis dan berbagai lembaga perwakilan, atau
pencalonan diri mereka untuk menjadi anggota majelis atau lembagalembaga perwakilan tersebut.
Hak-hak politik sesuai yang dikemukakan oleh Dahla, bahwa
dalam sebuah Negara yang demokratis, harus menjamin kebebasan dan
hak-hak untuk:30
1) Kebebasan untuk membentuk dan ikut aktif dalam suatu organisasi
2) Kebebasan beraktivitas
3) Kebebasan memilih dan berpendapat
4) Serta kebebasan untuk berpatisipasi aktif dalam kegiatan
pemerintahan yang diselenggarakan oleh negara.
29
30
Ibid Hal. 103
Dr. Muhammad Anis Qasim Ja’far, Perempuan dan Kekuasaan (Menelusuri Hak Politik dan
Persoalan Gender Dalam Islam), Zaman Wacana Mulia, Bandung, 1988, Hal. 35
25
b. Legislasi Internasional
Perempuan
mengenai
Hak-Hak
Politik
Kaum
Dewasa kini, pembicaraan tentang perempuan dan HAM (Hak
Asasi Manusia) baik yang berkaitan dengan konsepnya maupun
implementasinya dalam artian tuntutan perempuan terhadap hak asasi
manusia semakin menonjol.
Pada intinya, kaum perempuan di seluruh dunia merasa bahwa
mereka belum sepenuhnya dapat menikmati hak-hak mereka karena
belum terjamin dalam peraturan perundang-undangan di Negara
mereka masing-masing ataupun karena sejak de facto hak-hak mereka
belum dilaksanakan. Selain itu, yang tampak paling menonjol adalah
upaya kaum perempuan untuk memasukkan perspektif perempuan
dalam konsep HAM itu sendiri.31
Jika dilihat dalam sejarah, tampak bahwa upaya untuk
memperbaiki konsep hak asasi perempuan telah berlangsung cukup
lama. Pernyataan pertama yang memuat prinsip bahwa jenis kelamin
tidak semestinya menjadi dasar dari segala bentuk diskriminasi
termuat dalam preambule Piagam PBB tahun 1945 (The United
Nations Carter) yang antara lain menyatakan: “Kita masyarakat
Perserikatan Bangsa-Bangsa telah bersumpah kepada diri kita untuk
menegaskan lagi kepercayaan pada hak-hak politik, harkat dan
martabat manusia. Dan bahwa laki-laki, perempuan dan seluruh
31
Robert A. Dahl, Poliarchy: Participation and Opposition, Yale University Press, New Haven,
1971, Hal. 3
26
anggota masyarakat baik besar maupun kecil mempunyai hak yang
sama”
Prinsip tersebut diulangi lagi dalam pasal-pasal , yakni; 1, 13
(1), 55 (c), 58, 62 (2), dan pasal 76 (c) Piagam PBB tersebut.
Selanjutnya prinsip non-diskriminasi ini ditegaskan kembali dalam
Deklarasi Sedunia tentang HAM 1948 (The Universal Declaration of
Human Rights) mencantumkan pada pasal 21 bahwa tiap orang, tanpa
memandang jenis kelaminnya, mempunyai hak untuk berpartisipasi
dalam pemerintahan di Negara masing-masing dan untuk mendapatkan
akses yang sama atas pelayanan publik.
Deklarasi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik tanggal
16 Desember 1966 yang dikeluarkan Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada butir 3 ditetapkan bahwa Negara-negara anggota
berjanji untuk menjamin persamaan antara laki-laki dan perempuan
dengan menggunakan semua hak sipil dan politik yang temuat dalam
deklarasi yang berlaku hingga sekarang.
Konvensi yang lain adalah Konvensi tentang Penghapusan
segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan 1979 (Convention for
the Elimination of all Forms of Discrimination Againts Women atau
CEDAW). Konvensi ini merupakan sebuah pernyataan hak asasi
internasional untuk kaum perempuan. Konvensi ini bergerak dari
norma jenis kelamin netral yang mengharuskan perlakuan sama lakilaki dan perempuan, biasanya diukur oleh bagaimana laki-laki
27
diperlakukan, sampai mengakui kenyataan bahwa sifat khusus
diskriminasi terhadap perempuan adalah jawaban hukum yang pantas
dihormati.32
Di bidang hak-hak politik perempuan, CEDAW memperluas
konsep seperti yang ditetapkan dalam Perjanjian Internasional tentang
Hak-Hak Politik Perempuan tahun 1952. CEDAW menambahkan hak
perempuan untuk bersuara dalam referendum umum, partisipasi
perempuan dalam perumusan dan implementasi kebijakan pemerintah
selain representasi mereka pada tingkat internasional. Dengan kata
lain, CEDAW memajukan perjanjian Internasional tentang Hak-Hak
Politik Perempuan. Pada pasal 7 dalam konvensi ini tentang politik dan
kehidupan masyarakat bagi perempuan ditegaskan kembali mengenai:
1) Hak untuk memilih dan dipilih.
2) Berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan
implementasinya, memegang jabatan dalam pemerintahan dan
melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkat.
3) Berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulanperkumpulan
non-pemerintah
yang
berhubungan
dengan
masyarakat dan politik Negara.33
Dikutip dari buku CEDAW “ Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan Mengendalikan Hak – Hak Perempuan” Hal 5. 2004. Partners for Law in
Develompent (PLD), New York. Disadur dari dokumen PDF dan diakses pada tanggal 15
September 2011
33
Ibid Hal. 7
32
28
Selain itu, tercatat beberapa konverensi di tingkat internasional
yang membahas masalah-masalah perempuan antara lain:
1) Konfrensi
Internasional
Perempuan
Pertama
(First
World
Confrence for Women) di Mexico tahun 1975 sebagai awal dari
decade perempuan yang menghasilkan Deklarasi Meksiko dimana
telah menggariskan hubungan antara status perempuan dan system
politik dan ekonomi internasional.
2) Konfrensi
Internasional
Perempuan
Kedua
(Second
World
Confrence for Women) di Kopenhagen, Denmark tahun 1980.
3) Konfrensi
Internasional
Perempuan
Ketiga
(Third
World
Confrence for Women) di Nairobi, tahun 1985
4) Konfrensi Internasional Perempuan Keempat (Fourth World
Confrence for Women) yang diselenggarakan di Beijing, China
pada tahun 1995 yang memfokuskan perhatiannya pada 12 wilayah
perhatian khusus, yakni; kemiskinan, ketidaksetaraan dalam akses
pendidikan, ketidaksertaan dalam akses kesehatan, perempuan
dalam
konflik
bersenjata,
kekerasan
terhadap
perempuan,
partisipasi dalam kehidupan politik dan ekonomi, berbagai
kekuasan dan pengambilan keputusan, mekanisme kelembagaan
terhadap stereotype gender, hak-hak asasi perempuan, system
komunikasi terutama media massa, distribusi sumber daya dan
lingkungan serta hak-hak perempuan muda.34
34
Ibid Hal. 15
29
B. Konsep Gender dan Feminisme
1. Pengertian Gender
Gender itu berasal dari bahasa latin “genus” yang berarti jenis atau
tipe. Gender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan
perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya.35 Kalau begitu
antara gender dengan seks adalah sama? Pertanyaan itu sering muncul dari
pengertian kata asli dari genus atau gender itu sendiri.
Gender itu sendiri adalah kajian perilaku atau pembagian peran
antara laki-laki dan perempuan yang sudah dikonstruksikan atau dibentuk
di masyarakat tertentu dan pada masa waktu tertentu pula. Gender
ditentukan oleh sosial dan budaya setempat sedangkan seks adalah
pembagian jenis kelamin yang ditentukan oleh Tuhan. Misalnya laki-laki
mempunyai penis, memproduksi sperma dan menghamili, sementara
perempuan mengalami menstruasi, bisa mengandung dan melahirkan serta
menyusui dan menopause.36
Bagaimana
pula
bentuk
hubungan
gender
dengan
seks
(jenis kelamin) itu sendiri? Hubungannya adalah sebagai hubungan sosial
antara laki-laki dengan perempuan yang bersifat saling membantu atau
sebaliknya malah merugikan, serta memiliki banyak perbedaan dan
ketidaksetaraan. Hubungan gender berbeda dari waktu ke waktu, dan
antara masyarakat satu dengan masyarakat lain, akibat perbedan suku,
agama, status sosial maupun nilai tradisi dan norma yang dianut.
35
Saparinah Sadli, Pengantar Tentang Kajian Wanita, dalam T.O Ihromi (ed) Kajian Wanita
Dalam Pembangunan. Yayasan Obor , Jakarta, 1995, Hal. 14
36
Ibid Hal. 15
30
Dari peran ataupun tingkah laku yang diproses pembentukannya di
masyarakat itu terjadi pembentukan yang “mengharuskan” misalnya
perempuan itu harus lemah lembut, emosional, cantik, sabar, penyayang,
sebagai pengasuh anak, pengurus rumah dll. Sedangkan laki-laki harus
kuat, rasional, wibawa, perkasa (macho), pencari nafkah dan lain-lain.
Proses pembentukan yang diajarkan secara turun-temurun oleh
orangtua kita, masyarakat, bahkan lembaga pendidikan yang ada dengan
sengaja atau tanpa sengaja memberikan peran (perilaku) yang sehingga
membuat kita berpikir bahwa memang demikianlah adanya peran-peran
yang harus kita jalankan. Bahkan, kita menganggapnya sebagai kodrat.
Selain itu ada juga beberapa pendapat tentang gender. Berikut ini
beberapa pengertian gender menurut para ahli, antara lain :
1. Gender adalah peran sosial dimana peran laki-laki dan peran
perempuan ditentukan.37
2. Gender adalah perbedaan status dan peran antara perempuan dan lakilaki yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan nilai budaya yang
berlaku dalam periode waktu tertentu.38
3. Gender adalah perbedaan peran dan tanggung jawab sosial bagi
perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh budaya.39
37
Suprijadi dan Siskel, Gender. PT. Danur Wiajay Press, Surabaya, 2004 Hal. 76
WHO, Gender and Feminism in Politic, dalam Said Khan Wanita, Gender dan Feminisme
Perjuangan Partisipasi Politik Kaum Perempuan. 2011. Hal. 10
39
Azwar, Teror Dalam Tatanan Struktur Politik. PT. Gramedia; Jakarta, 2001 Hal. 52
38
31
4. Gender adalah jenis kelamin sosial atau konotasi masyarakat untuk
menentukan peran sosial berdasarkan jenis kelamin.40
a. Bentuk Gender
Perbedaan gender tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak
melahirkan ketidakadilan gender (gender inequality). Namun, yang
menjadi persoalan adalah bahwa perbedaan gender telah melahirkan
berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki maupun kaum
perempuan,
terutama
kaum
perempuan.
Ketidakadilan
gender
merupakan system dan struktur di mana baik kaum laki-laki maupun
kaum perempuan menjadi korban dari system tersebut. Untuk
memahami bagaimana peran gender melahirkan ketidakadilan gender,
dapat dilihat melalui berbagai manifestasi ketidakadilan yang ada,
yakni; marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau
anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan
streotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban
kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi
ideology nilai peran gender. Manifestasi ketidakadilan gender ini tidak
bisa dipisah-pisahkan, karena saling berkaitan dan berhubungan, saling
mempengaruhi secara dialektis.41
Munculnya kesadaran kaum perempuan yang merasakan
ketidakadilan atas peran gender mereka merupakan latar belakang
lahirnya gerakan gender ini. Gerakan ini bertujuan untuk demi
40
41
Ibid Hal. 52
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Trasformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 1991
Hal. 8 – 9
32
terwujudnya kebebasan dari segala bentuk tindak penindasan, baik
struktural maupun personal, kelas, warna kulit dan ekonomi
internasional.
Bentuk gerakan ini dapat dilihat dari tujuan kegiatannya:
1. Kebutuhan Praktis Gender
Kebutuhan
praktis
gender
adalah
kebutuhan-kebutuhan
perempuan dan laki-laki untuk dapat melaksanakan perannya secara lebih
mudah, lebih efektif dan efisien dan biasanya kebutuhan itu dapat
diidentifikasi oleh mereka sendiri.42
Kebutuhan praktis gender acapkali hanya berupa kebutuhan akan
pelayanan kesehatan, pendidikan, makanan, bahan bakar, sumber air, dan
lain-lain. Contoh-contoh kegiatan yang bertujuan untuk pemenuhan
kebutuhan praktis gender:
 Pengurangan beban kerja, misalnya pembangunan sumur pompa
tangan dan sebagainya.
 Perbaikan
kesehatan,
misalnya
mendirikan
Puskesmas/Bima
Keluarga Balita.
 Perbaikan sarana pendidikan.
 Pendidikan pendapatan, misalnya kursus keterampilan dan kelompok
kredit.43
42
A. Yuliani Pars, Penemuan Gender vs Pembentukan Biro Wanita, Harian Fajar, 22 Desember
1998. Hal. 2
43
Ibid Hal 5
33
Berdasarkan contoh-contoh di atas, maka kebutuhan praktis
gender mempunyai ciri-ciri:44
1)
Cenderung bantuan langsung dan bersifat jangka pendek.
2)
Ditujukan spesifik (misalnya program khusus untuk perempuan).
3)
Berupa pemenuhan dan penyediaan input-input tertentu.
4)
Tidak mengubah peran tradisional perempuan dan laki-laki
5)
Tidak memperbaiki hubungan antara perempuan dan laki-laki
dalam keluarga.45
2. Kebutuhan Strategis Gender
Kebutuhan strategis gender adalah kebutuhan yang berhubungan
dengan perubahan posisi “subordinasi” perempuan dalam masyarakat.
Dengan pemenuhan kebutuhan strategis gender, perempuan akan dapat
mencapai persamaan-persamaan peran yang telah ada dan kemudian
mengusahakan perubahan posisi “subordinasi” perempuan. Berhubung
pemenuhan kebutuhan strategis gender berkaitan pada perbaikan posisi
baik perempuan maupun laki-laki di masyarakat, maka pemenuhan
strategis gender cenderung jangka panjang.46
Contoh-contoh kegiatan yang bertujuan sebagai pemenuhan
kebutuhan strategis gender:
1) Perbaikan dalam bidang pendidikan, misalnya menggunakan guru
perempuan sebagai contoh/panutan, buku-buku sekolah yang
44
Ibid Hal. 7
Ibid Hal. 9
46
Ibid Hal. 11
45
34
gambar dan kalimatnya tidak bias gender dan menghapus
diskriminasi terhadap jenis kelamin tertentu untuk diterima pada
sekolah tertentu (sekolah teknik tidak diperuntukkan untuk lakilaki saja).
2) Perbaikan akses terhadap asset produksi, misalnya status sah atas
kepemilikan lahan, hak untuk menggunakan fasilitas umum, hak
untuk membuka rekening atas nama pribadi dan tanpa perlu
persetujuan suami.
3) Kegiatan-kegiatan yang ditujukan baik untuk laki-laki maupun
perempuan diadakan bersamaan dan tidak dipisahkan serta
berkaitan dengan perempuan akses dan control terhadap sumber
daya, kesamaan hak di dalam segala bidang termasuk bidang
politik.47
b. Teori-Teori Gender
Ada beberapa teori gender, yaitu :
a) Teori Kodrat Alam
Menurut teori ini perbedaan biologis yang membedakan
jenis kelamin dalam memandang gender. Teori ini dibagi menjadi
dua yaitu48:

Teori Nature
Teori ini memandang perbedaan gender sebagai kodrat alam
yang tidak perlu dipermasalahkan.
47
48
Ibid
Muhammad Ali Taskhiri, Human Rights, Departemen of Translation and Publication, Islamic
Culture and Relations Organizations, 1997; Hal 44 dan 45
35

Teori Nurture
Teori ini lebih memandang perbedaan gender sebagai hasil
rekayasa budaya dan bukan kodrati, sehingga perbedaan gender
tidak berlaku universal dan dapat dipertukarkan.
b) Teori Kebudayaan
Teori ini memandang gender sebagai akibat dari konstruksi
budaya. Menurut teori ini terjadi keunggulan laki-laki terhadap
perempuan karena konstruksi budaya, materi, atau harta kekayaan.
Gender itu merupakan hasil proses budaya masyarakat yang
membedakan peran sosial laki-laki dan perempuan. Pemilahan peran
sosial berdasarkan jenis kelamin dapat dipertukarkan, dibentuk dan
dilatihkan.
c) Teori Fungsional Struktural
Berdasarkan teori ini munculnya tuntutan untuk kesetaraan
gender dalam peran sosial di masyarakat sebagai akibat adanya
perubahan struktur nilai sosial ekonomi masyarakat. Dalam era
globalisasi yang penuh dengan berbagai persaingan peran seseorang tidak
lagi mengacu kepada norma-norma kehidupan sosial yang lebih banyak
mempertimbangkan faktor jenis kelamin, akan tetapi ditentukan oleh
daya saing dan keterampilan.
2. Pengertian Feminisme
Feminisme atau yang sering dikenal dengan sebutan emansipasi
berasal dari bahasa latin yang berarti perempuan. Menurut Kamla Bhasin
36
dan Nighat Said Khan, feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan
dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja
dan dalam keluarga, serta tindakan sadar perempuan maupun lelaki untuk
mengubah keadaan tersebut.49
Sedangkan menurut Yubahar Ilyas, feminisme adalah kesadaran
akan ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan, baik dalam
keluarga maupun masyarakat, serta tindakan sadar oleh perempuan
maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut.Ada tiga ciri feminisme,
yaitu;50
a. Menyadari akan adanya ketidakadilan gender.
b. Memaknai bahwa gender bukan sebagai sifat kodrati.
c. Memperjuangkan adanya persamaan hak.
a. Sejarah Feminisme
Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak dalam
sejarah kelahirannya dengan kelahiran Era pencerahan di Eropa yang
dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de
Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama
kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada
tahun 1785. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang
cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di
49
Kamla Bahsin dan Nighat Said Khan, Feminisme dan Relevansinya. PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta. Hal 5
50
Yubahar Ilyas, Perempuan dan Kekuasaan (Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender
dalam Islam), Zaman Wacana Mulia, Bansung, 1998 Hal. 35
37
Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan
apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood.51
Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis
utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan center Eropa ini
berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John
Stuart Mill, the Subjection of Women (1869). Perjuangan mereka
menandai kelahiran feminisme. Pada awalnya gerakan ini memang
diperlukan pada masa itu,dimana ada masa-masa pemasungan terhadap
kebebasan perempuan.52
Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum
perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan
dinomorduakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam
masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial,
pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini
biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati
oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi agraris
cenderung menempatkan kaum laki-laki di depan, di luar rumah dan
kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan
ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi
Perancis di abad ke-XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika
Serikat dan ke seluruh dunia. Dari latar belakang demikianlah di Eropa
berkembang gerakan untuk ´menaikkan derajat kaum perempuan´
51
Rosemarie Tong, Feminist Thoguht: A Comprehensive Introduction, Unwin Hyman, London,
2001 Hal 25
52
Ibid 26
38
tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi
revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum
perempuan mulai mencuat.53
Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis
berjudul Vindication of the Right of Woman yang isinya dapat dikata
meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada
tahun-tahun
1830-1840
sejalan
terhadap
pemberantasan
praktek perbudakan, hak-hak kaum perempuan mulai diperhatikan,
jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi
kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang
selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki. Secara umum pada
gelombang pertama dan kedua hal-hal berikut ini yang menjadi
momentum perjuangannya: gender inequality, hak-hak perempuan,
hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan
seksualitas.54
Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan
dari: rasisme, stereotyping, seksisme, penindasan perempuan, dan
phalogosentrisme. Setelah berakhirnya perang dunia kedua, ditandai
dengan lahirnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajah Eropa,
lahirlah
Feminisme
Gelombang
Kedua
pada
tahun
1960.
Dengan puncak diikutsertakannya perempuan dalam hak suara
parlemen. Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan
53
54
Ibid
Ibid 26
39
mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut mendiami ranah politik
kenegaraan. Dalam gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis
Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Algeria
Yang kemudian menetap diPerancis) dan Julia Kristeva (seorang
Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan
kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa,
Cixous mengkritik Logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilainilai maskulin.
Sebagai bukan White-Anglo-American-Feminist, dia menolak
esensialisme yang sedang marak di Amerika pada waktu itu.
Julia Kristeva memiliki pengaruh kuat dalam wacanapos-strukturalis
yang sangat dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida. Secara lebih
spesifik, banyak feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak
semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan
dunia
ketiga.
Meliputi
Afrika,
Asia
dan
Amerika
Selatan.
Dalam berbagai penelitian tersebut, telah terjadi pretensi universalisme
perempuan sebelum memasuki konteks relasi sosial, agama, ras dan
budaya.
Bell Hock mengkritik teori feminisme Amerika sebagai
sekedar kebangkitan anglo-white-american-feminism karena tidak
mampu mengakomodir kehadiran black-female dalam kelahirannya.
Banyak kasus menempatkan perempuan dunia ketiga dalam konteks
"all women". Dengan apropriasi bahwa semua perempuan adalah
40
sama. Dalam beberapa karya sastranovelis perempuan kulit putih yang
ikut dalam perjuangan feminisme masih terdapat lubang hitam, yaitu:
tidak adanya representasi perempuan budak dari tanah jajahan sebagai
subyek.
Penggambaran
pejuang
feminisme
adalah
yang
masih
mempertahankan posisi budak sebagai yang mengasuh bayi dan budak
pembantu di rumah-rumah kulit putih. Perempuan dunia ketiga
tenggelam sebagai Subaltern yang tidak memiliki politik agensi selama
sebelum dan sesudah perang dunia kedua. Selama sebelum PD II,
banyak pejuang tanah terjajah Eropa yang lebih mementingkan
kemerdekaan bagi laki-laki saja. Terbukti kebangkitan semua
Negara-negara terjajah dipimpin oleh elit nasionalis dari kalangan
pendidikan, politik dan militer yang kesemuanya adalah laki-laki.
Pada era itu kelahiran feminisme gelombang kedua mengalami
puncaknya. Tetapi perempuan dunia ketiga masih dalam kelompok
yang bisu. Dengan keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan
dunia
pertama
melihat
bahwa
mereka
perlu
menyelamatkan
perempuan-perempuan dunia ketiga, dengan asumsi bahwa semua
perempuan adalah sama.55
Berawal dari inilah akhirnya feminism mulai menjamur ke
hampir semua Negara yang ada di bumi. Namun, pergerakan feminism
55
Ibid Hal 27
41
ini juga tergantung dari hal-hal yang ingin diperjuangkan kaum
perempuan di masing-masing Negara.
b. Aliran-aliran Feminisme
Dari berbagai aliran feminisme, sebaiknya dikenal setidaknya
empat aliran, yakni aliran liberal, radikal, Marxis, dan sosialis.56
1) Aliran
liberal
berasumsi
bahwa
keterbelakangan
dan
ketidakmampuan kaum perempuan bersaing dengan kaum lakilaki
disebabkan
beranggapan
oleh
bahwa
kelemahan
kebabasan
dan
mereka
sendiri.
Mereka
persamaan berakar pada
rasionalitas, dan bahwa perempuan sebenarnya
adalah mahluk
rasional juga. Sikap emosional hanyalah milik peradapan tradisional.
Maka
mereka
mengagungkan
modernitas
dan
mempercayai
modernitas dan industrialisasi sebagai peluang bagi perempuan untuk
meningkatkan statusnya.
2)
Radikal melihat penindasan terhadap kaum perempuan semula
berasal dari dominasi laki-laki. Bagi kaum perempuan radikal,
revolusi terjadi pada setiap individu perempuan dan dapat terjadi
hanya pada perempuan yang mengambil aksi untuk mengubah gaya
hidup pengalaman, dan hubungan mereka sendiri. Urusan penindasan
perempuan adalah masalah subjektif mereka sendiri.
3)
Sedangkan kaum Marxis menolak gagasan kaum radikal dan melihat
bahwa masalah penindasan kaum perempuan adalah masalah obyektif,
56
A. Yuliani Paris, Pemenuhan Gender vs Pembentukan Biro Wanita. Harian Fajar Tajuk Opini
Hal 5 Terbit Tanggal 22 Desember 1988
42
yakni bagian dari eksploitasi kelas dalam hubungan produksi. Menurut
Engels, status perempuan menurun sejak terjadinya perpindahan pola
mata pencaharian dari berburu menjadi beternak dan bercocok tanam
yang menimbulkan surplus. Surplus menghasilkan property dan
kapital, dan perempuan mulai dianggap bagian dari property juga.
Mulai saat itulah laki-laki mendominasi kaum perempuan. Dalam era
kapitalisme, perempuan ”dirumahkan” adalah menguntungkan, sebab
dia bisa
dieksploitasi oleh buruh laki-laki, sedangkan perempuan
yang bekerja menjadi buruh diupah lebih murah. Dan pemeliharaan
stok buruh menyebabkan posisi tawar-menawar buruh sangat rendah
terhadap
pemilik kapital. Bagi kaum Marxis, perubahan status
perempuan harus
menghapuskan
ditempuh melalui revolusi sosialis, dan dengan
pekerjaan
domestik
(rumah
tangga)
melalui
industrialisasi.
4) Kaum sosialis menganggap bahwa penindasan terhadap perempuan
terjadi di kelas manapun. Mereka mengkritik asumsi umum bahwa
terdapat hubungan antara partisipasi kaum perempuan dalam produksi
dan status perempuan. Partisipasi kaum perempuan dalam ekonomi
memang perlu tapi tidak otomatis selalu menaikkan status perempuan.
Memang ada korelasi antara status dengan pekerjaan, namun
keterlibatan perempuan justru mengakibatkannya dijadikan budak
maya (virtual slaves).
43
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG NEGARA KUWAIT DAN LANDASAN
PERJUANGAN POLITIK KAUM PEREMPUAN DI NEGARA KUWAIT
A. Profil Negara Kuwait
Kuwait didirikan pada awal abad ke-18 oleh anggota Bani Utbah
suku,
juga
dikenal
sebagai
dan Al-Jalahma pada tahun 1705.
Al-Khalifa,
Al-Sabah,
Al-Roumi,
Kuwait kemudian dikenal sebagai
Guraine yang diberi nama oleh Utbah Bani yang mendirikan kota dan
Pelabuhan Guraine dan menyebutnya Kuwait ("benteng kecil," dari kut
teh, "benteng"), dengan kata lain Kuwait berarti sebuah benteng kecil yang
berada di dekat laut.
Keinginan pemerintah Kuwait sangat kuat untuk lepas dari
kekuasaan pemerintahan Inggris yang telah lama menanamkan pengaruh
di Kuwait, sehingga pada tahun 1913 Konvensi di Anglo-Ottoman, Inggris
setuju dengan Kekaisaran Ottoman dalam mendefinisikan Kuwait sebagai
" caza otonom " yang berarti bahwa pemerintahan Kuwait tidaklah
independen, melainkan sub-otonom dari Kekaisaran Ottoman dan berada
di bawah pengawasan Inggris. Dalam konvensi tersebut juga diputuskan
bahwa Syaikh Mubarak memiliki kewenangan memperluas wilayah
hingga radius 80 km, dari ibu kota. Wilayah ini ditandai dengan lingkaran
merah dan termasuk pulau-pulau Auhah, Bubiyan, Failaka, Kubbar,
Mashian, dan Warba.
44
Setelah Perang Dunia I , Kekaisaran Ottoman kalah dan Inggris
membatalkan Konvensi Anglo-Ottoman dan menyatakan bahwa Kuwait
menjadi sebuah negara yang "sheikhdom independen”, yakni negara yang
di bawah protektorat Inggris. Pada tanggal 6 Juli 1961, Kuwait secara
resmi diterapkan untuk keanggotaan di PBB. Dan pada hari yang sama,
Inggris mengajukan rancangan resolusi oleh Dewan Keamanan yang akan
memanggil semua Negara untuk menghormati kemerdekaan dan integritas
wilayah Kuwait dan mendesak agar semua pekerjaan yang bersangkutan
untuk perdamaian dan ketenangan di daerah tersebut.
Kuwait juga menjadi pemain penting dalam keluarga internasional
bangsa-bangsa, dan dengan kekayaannya itu menjadi donor bantuan utama
luar negeri. Dana Kuwait untuk Pembangunan Ekonomi Arab adalah aktif
di seluruh dunia Arab dan seterusnya. Kuwait independen mendukung
proyek-proyek non-Arab, negara-negara non-muslim juga, dan telah
diberikan sebanyak delapan persen dari produk bruto tahunan nasional
dalam
bantuan
asing.
Negara
Kuwait
berperan
penting
dalam
pembentukan Dewan Kerjasama Teluk pada tahun 1981, melalui negaranegara Teluk menjaga keamanan regional, stabilitas, dan kemajuan.
1.
Sistem Politik Dan Pemerintahan Kuwait
Kuwait adalah negara Islam, kurang lebih 91,5% penduduk
beragama Islam.
Sebagian besar warganya termasuk aliran Sunni.
Meskipun demikian, terdapat pula kelompok Kristen dalam jumlah kecilkecil, seperti Protestan, Katolik Roma, Gereja Ortodoks, Gereja Suriah,
45
dan Gereja Armenia. Dominan dekatnya hubungan sejarah masa silam
negara-negara Arab, tidak mengherankan apabila kesamaan dan saling
berpengaruh akan tradisi budaya Timur-tengah, sosial, geografis, ekonomi
(sebagai sesama negara penghasil minyak), dan agama. Itulah mengapa
negara kecil Kuwait memiliki citra diri yang kuat sebagai negara Islam,
kaya raya dan modern dengan ciri khasnya.57
Kuwait adalah sebuah negara yang menganut sistem politik monarkhi
konstitusional, yakni sebuh kerajaan yang didirikan di bawah sistem
konstitusional yang mengakui Raja sebagai kepala negara.58 Namun,
seiring perkembangan zaman, Negawa Kuwait menggabungkan sistem
monarkhi konstitusional dengan demokrasi representatif,59 yakni kerajaan
tetap berada di bawah kekuasaan rakyat tetapi raja mempunyai peranan
tradisional yaitu mengatur jalannya sistem politik dan ekonomi di dalam
negara.
2.
Sistem Parlemen Kuwait
Dalam konstitusi 11 November 1962, terdapat suatu Dewan
nasional (Majelis Al-Ummah) yang terdiri atas 50 anggota, bertugas
menyusun undang-undang dan anggotanya dipilih untuk masa jabatan 4
tahun oleh para warga negara sipil pria yang telah dewasa. Tetapi pada
tahun 1985, badan legislatif ini dibubarkan akibat perselisihan tajam
dengan pihak pemerintahan. Kuwait tidak mengijinkan berdirinya partai
57
Geography, dikutip pada tanggal 10 November 2007, dari http://www.countrystudies.us/Persiangulf-states/18.html.
58
Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam-Prespektif Etno-Linguistik dan Geo-Politik. Rajawali
Press; Jakarta, 2009. Hal 95
59
Ibid
46
hanya ada suatu kelompok-kelompok elit politik bagi para calon yang akan
berdiri di panggung politik dalam setiap pemilihan umum.60
Tahun 2005, Pemerintahan konservatif Kuwait memutuskan untuk
memberi perempuan hak politik penuh. Dewan Menteri sepakat
meloloskan undang-undang yang memberi hak politik penuh kepada
perempuan, seperti hak untuk ikut memilih dalam pemilihan umum, serta
hak
untuk
bersaing
menjadi
salah
satu
dari
50
anggota
parlemen.61Sebelum UU pemilihan umum di rubah, perempuan Kuwait
tidak bisa memilih atau dipilih walaupun mereka bisa menjadi diplomat,
pengusaha dan bekerja di berbagai bidang industri. Hal ini memicu
perempuan Kuwait mempertanyakan haknya yang hilang, sehingga
mereka memutuskan akan berusaha menuntut hak mereka sampai
parlemen memutuskan untuk memberi hak politik bagi perempuan.
Berbagai unjuk rasa, debat, banyak dilakukan oleh beberapa
kelompok kepentingan dan para aktivis di Kuwait. Seperti penulis Fatima
al-Baker yang tergabung dalam Asosiasi Persatuan Perempuan Kuwait,
Nabil al-Mufarreh sebagai ketua Persatuan Nasional Pelajar Kuwait yang
juga turut andil dalam kampanye menjelang pemilu 2006, yang
mendukung penuh para calon legislatif perempuan.62Tuntutan kaum
perempuan Kuwait selalu mendapat penentangan dari kaum konservatif
Islam di Parlemen yang jumlahnya tidak sedikit. Kaum konservatif tidak
60
Ibid
Kisah Dari Kuwait, dari http://www.bkkbn.go.id , diakses tanggal 15 Oktober 2007
62
www.pdf.perjuangan politik gender di Kuwait, diakses pada tanggal 23 November 2001
61
47
menyetujui perempuan ikut aktif dalam kegiatan politik, karena
bertentangan dengan tradisi budaya dan “penafsiran agama” yang telah
lama berlaku di negara Kuwait. Maka tidak mengherankan bila parlemen
Kuwait telah dua kali menolak usulan pembahasan kebijakan beberapa
tahun sebelum undang-undang hak politik bagi perempuan disahkan.
Sejak tahun 1962, Kuwait telah melaksanakan 11 kali pemilihan
parlemen, tetapi tidak pernah melibatkan perempuan. Melalui hasil
amandemen konstitusi tahun 2005 lah akhirnya kaum perempuan Kuwait
mendapatkan hak pilih dan dipilihnya. Pemerintahan konservatif Emirat
Kuwait memutuskan untuk memberi perempuan hak politik penuh.
Menurut Dewan Menteri, perubahan UU Pemilihan Umum Kuwait tahun
1962, sebagai bagian dari kebijakan “memperluas partisipasi masyarakat”
dalam kehidupan bernegara. Berdasarkan UU baru tersebut, perempuan
dapat memilih dan dipilih dalam pemilihan umum.
3.
Konstitusional Kuwait
Sistem tata hukum Kuwait menggunakan hukum Islam yang
bersumber dari Al Quran dan Hadits. Selain itu, hukum adat juga masih
digunakan seperti penentuan kebijakan-kebijakan dalam bidang ekonomi
dan perdagangan namun tetap bersandar pada undang-undang yang ada di
Negara Kuwait, juga berbagai permasalahan keluarga seperti perceraian,
warisan dan sebagainya, diurus oleh pengadilan tradisi agama masingmasing. Misalnya Sunni, Syi’ah dan Kristen.63
63
Ibid
48
Menjalankan
kebijakan
damai,
netral
dan
non-blok
dan
berpendirian mengembangkan hubungan dengan semua negara di atas
dasar 5 prinsip hidup berdampingan secara damai. Kuwait menekankan
keharusan untuk penyelesaian persengketaan antar negara dengan cara
damai dan mencurahkan tenaga untuk memelihara kemerdekaan,
kedaulatan dan keutuhan wilayah negara. Menjalankan sanksi terhadap
Irak
dan
internasional
mengupayakan
sebagai
titik
simpati
berat
dan
perlindungan
pekerjaan
masyarakat
diplomatiknya.
Aktif
memelihara persatuan negara-negara Arab, berupaya meningkatkan
hubungan dengan negara-negara Islam, menekankan koordinasi dan kerja
sama antar negara-negara anggota Dewan Kerja Sama Teluk di bidang
politik, ekonomi dan militer, bersama-sama memelihara keamanan dan
kestabilan di kawasan Teluk serta menganjurkan berkoordinasi dengan
negara-negara "Deklarasi Damaskus" di bidang keamanan regional.
Dalam urusan internasional, Kuwait berpendirian membina tata
baru internasional yang adil dan rasional, menentang agresi dan ekspansi.
Kuwait
menganggap,
PBB
harus
memainkan
peranannya
untuk
memelihara keamanan dan perdamaian dunia. Kuwait menganjurkan
penyelesaian masalah hutang dunia ke-3. Kuwait adalah negara anggota
Uni Arab, Uni Parlementer Arab, Dewan Kerja Sama Negara Arab Teluk,
Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak OPEC dan Organisasi
Negara Pengekspor Minyak Arab.64
64
Ibid
49
B. Landasan Dan Tujuan Perjuangan Politik Kaum Perempuan di Negara
Kuwait
Perempuan di Negara Kuwait sama halnya dengan mayoritas
perempuan di berbagai Negara Islam yang cenderung menganut paham
patriarki dimana laki-laki mendominasi pengambilan keputusan hampir
dalam segala bidang. Hal ini mengakibatkan jarang yang mampu untuk
memobilisasi serta memberikan sesuatu yang berarti bagi perolehan hakhak mereka.
Gerakan gender yang melahirkan partisipasi politik bagi para
feminisme yang dilakukan untuk memperjuangkan keadilan dan
menghapus diskriminasi diawali pada tahun 1950an yang meskipun tidak
berbasis pada aksi namun mampu menyadarkan beberapa kaum
perempuan di berbagai belahan dunia. Hal ini juga sedikit banyak
mengajak perempuan di Negara Kuwait mengkaji posisi perempuan dalam
Islam dan peranan perempuan di Negara Islam modern.
Hal yang menguntungkan bagi perempuan di Negara Kuwait
adalah pasca revolusi yang mengubah system ketatanegaraan. Perempuan
di Negara Kuwait sangat diperhatikan keberadaannya dan tertuang dalam
konstitusi Negara. Meskipun demikian, pada kenyataannya, meski hak-hak
politik mereka telah diakui oleh Negara, namun dalam praktikalitasnya,
perempuan di Negara Kuwait tetap berjuang untuk keluar dari subordinasi
politik yang menimpa mereka.
50
Paham Islam yang menjadi landasan Negara Kuwait, seringkali
menjadi alasan konsep hak asasi manusia maupun implementasinya untuk
masih cenderung berpihak pada kepentingan laki-laki (male bias). Hal ini
mengingat struktur yang masih tertanam kuat dalam masyarakat di Negara
Kuwait yang cenderung patriarki, yakni struktur yang menempatkan lakilaki berada pada posisi “kuat” dan “memegang” perempuan. Pandangan ini
pulalah yang membatasi perempuan dalam politik.
Dalam bidang politik, kaum perempuan dianggap sekunder dan
tidak memiliki otonomi penuh berkuasa atas dirinya. Paham Islam
menyebutkan bahwa pada level mikro (keluarga), kepentingan seorang
perempuan diwakili oleh suara laki-laki untuk perempuan yang belum
menikah diwakili oleh ayahnya, sementara bagi perempuan yang telah
bersuami, maka yang mewakili suaranya adalah suaminya.
Hal ini berlandaskan pada asumsi yang menurut mereka
berlandaskan Islam, bahwa laki-laki adalah kepala keluarga, dan
implikasinya yang acapkali berkembang adalah bahwa urusan perempuan
adalah urusannya yang harus diwakili kepada laki-laki. Hal ini berarti
perempuan tidak memiliki hak suara. Berdasarkan pandangan ini, maka
seringkali keterlibatan perempuan dalam urusan-urusan publik pun
diwakili oleh wali yang berjenis kelamin laki-laki, entah itu suami atau
ayahnya.
Sementara pada level makro, isu partisipasi politik perempuan
masih diperdebatkan. Salah satu isu yang diangkat adalah anggapan bahwa
51
perempuan diakui memiliki hak untuk memilih tetapi hak untuk dipilih
masih dipertanyakan karena adanya anggapan dalam Islam bahwa yang
seharusnya memimpin adalah laki-laki dan perempuan tidak pantas
memimpin. Meskipun pada kenyataanya, Negara Kuwait telah mengakui
hak politik perempuan pada tahun 1963, terbukti pada adanya pengakuan
Negara Kuwait terhadap pembolehan perempuan untuk mencalonkan diri,
namun tetap pada level praktikalitas, tetap perempuan masih di bawah
level laki-laki.
Berangkat dari hal tersebut, maka dasar perjuangan perempuan di
Negara Kuwait adalah upaya-upaya untuk menghapuskan perempuan dari
beberapa hal sebagai berikut:
1) Diskriminasi dan pembatasan hak-hak perempuan.
2) Stereotipe dan prasangka terhadap perempuan.
3) Perempuan cenderung tidak sadar akan kedudukannya di mata
hukum, hak-hak yang dimilikinya, pengaruh hukum atas dirinya,
serta keberadaannya yang cenderung dijadikan sasaran/objek
ketidakadilan.
Gerakan para feminis dari berbagai Negara memiliki tujuan yang
sama yaitu untuk penghapusan diskriminasi yang terjadi kepada kaum
perempuan dan untuk memperoleh hak-hak politik yang telah dijanjikan
dalam beberapa deklarasi serta konvensi yang pada akhirnya tertuang
dalam konstitusi Negara masing-masing. Namun, secara eksplisit
disebutkan bahwa tujuan para feminis Kuwait difokuskan pada upaya
52
untuk: 1) Menciptakan front solidaritas perempuan di Negara Kuwit untuk
membela hak-hak perempuan dan meningkatkan kesadaran serta
menghimpun kekuatan perempuan melalui persatuan dan solidaritas. 2)
Ikut andil dalam mengangkat status sosial dan budaya perempuan di
sektor-sektor umum dan khusus. 3) Ikut serta secara aktif dalam
menyumbangkan gagasan, pendapat dan karya sesuai program-program
nasional yang bertujuan mengembangkan kehidupan sosial, budaya, politik
dan ekonomi kaum perempuan. 4) Ikut ambil bagian dalam pemberantasan
buta huruf melalui penyelenggaraan paket pendidikan dan pengajaran tulis
baca di samping peningkatan kesadaran sosial, budaya dan politik. 5)
Berupaya
mendirikan
lembaga
pendidikan
sosial
dan
individual
perempuan yang bertujuan untuk memecahkan berbagai masalah-masalah
umum dan khusus perempuan.6)Mendirikan penerbitan untuk lahan
penyebaran hasil karya perempuan di berbagai bidang keilmuan, seni,
keterampilan dan kebudayaan.7) Mengikutsertakan perempuan dalam
kehidupan politik sebagai salah satu pilar demokrasi yang hakiki.65
65
Ida Ruwaida Noor, Agenda Demokratisasi Oleh dan Untuk Perempuan, dalam jurnal demokrasi
& HAM, The Instituite for Democracy and Human Right, The Habibe Center, Jakarta Vol. 1 No.
1 Mei – Agustus, 2000, Hal. 127
53
BAB IV
WUJUD PERJUANGAN POLITIK KAUM PEREMPUAN DI KUWAIT
SERTA KENDALA DAN PROSPEKNYA
Kekerasan perempuan terjadi pada beberapa negara islam karena
adanya paham bahwa perempuan selalu berada di kelas bawah dan berada
dalam kontrol dan kemauan laki-laki. Dianggap suatu hal yang sah bagi
laki-laki untuk memukul dan mencambuk istri dan anak-anaknya dengan
mengatasnamakan agama. Karena peran gender perempuan adalah
mengelola rumah tangga, maka banyak perempuan menanggung beban
domestik lebih banyak dan lebih lama dibanding laki-laki. Dengan kata
lain, peran gender perempuan mengelola, menjaga dan memelihara rumah
tangga telah mengakibatkan tumbuhnya tradisi dan keyakinan masyarakat
bahwa mereka harus bertanggung jawab atas terlaksananya keseluruhan
pekerjaan domestik.
Sosialisasi peran gender tersebut menimbulkan rasa bersalah pada
perempuan jika tidak menjalankan tugas-tugas domestik tersebut.
Sedangkan bagi kaum laki-laki, tidak saja merasa bahwa hal tersebut
bukan salah satu dari tanggung jawabnya bahkan dibanyak tradisi, mereka
dilarang untuk terlibat dalam pekerjaan domestik. Beban kerja tersebut
secara logis akan bertambah, jika perempuan yang juga bekerja dan
menghasilkan nafkah di luar, karena mereka masih tetap harus
bertanggung jawab atas keseluruhan pekerjaan domestik.
54
Semua manifestasi ketidakadilan gender tersebut saling berkait dan
secara dialektika dan saling mempengaruhi. Manifestasi ketidakadilan
tersebut “tersosialisasi” kepada kaum laki-laki secara perlahan namun
pasti, yang lambat laun akhirnya baik laki-laki maupun perempuan
menjadi terbiasa dan akhirnya dipercaya bahwa peran gender tersebut
seolah-olah adalah kodrat. Lambat laun terciptalah suatu struktur dan
sistem ketidakadilan gender yang “diterima” dan sudah tidak dirasakan
lagi adanya sesuatu yang salah.
Persoalan ini yang mewarnai keterlibatan perempuan di negara
mayoritas Islam yakni Kuwait yang akhirnya menjadi kepentingan kelas,
dimana banyak pihak di negara ini yang akhirnya berupaya untuk
mempertahankan sistem dan struktur tersebut dan teradopsi dalam setiap
aspek kehidupan masyarakat khusunya dibidang politik.
Salah satu manifestasi ketidakadilan gender adalah subordinasi
gender khususnya kaum perempuan. Anggapan bahwa perempuan tidak
bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan
perempuan pada posisi yang tidak penting. Subordinasi ini diperkuat oleh
tatanan budaya dan agama yang semakin menekan kebebasan perempuan
untuk memperoleh hak-hak politik mereka, perempuan dan politik
merupakan sebuah perpaduan kontras yang menurut sebagian besar
masyarakat adalah tidak mungkin.
Perjuangan politik kaum perempuan di Negara Kuwait terbilang
masih ketinggalan dibandingkan negara-negara Islam lainnya di Timur
55
Tengah. Hal ini dikarenakan banyaknya hambatan mulai dari tafsir agama
maupun budaya etnis serta kebijakan pemerintah. Keterwakilan kaum
perempuan di dalam institusi-institusi politik Kuwait juga masih sangat
minim. Berbagai tantangan dan kendala menghadang para perempuan
yang masuk ke dalam panggung politik. Selain itu banyak laki-laki
semakin enggan berbagi kekuasaan dengan perempuan. Kehadiran kaum
perempuan dalam proses pengambilan keputusan di Kuwait masih jauh
dari cukup. Banyak pemuka perempuan yang membicarakan kesetaraan
gender dalam konteks ini.
Satu Abad silam, tokoh-tokoh pembaharu Islam seperti Syed Sheikh
Al-Hadi, Sheikh Tahir Jalaluddin dan sejawatnya dalam gerakan Islam
progresif yang terkenal dengan nama Kaum Muda, menyebarkan bahwa
gadis-gadis Muslim harus mendapatkan pendidikan terbaik sejajar dengan
anak laki-laki. Meski awalnya gagasan-gagasan itu ditentang oleh para
tokoh konservatif, secara umum masyarakat Kuwait menyambut ajakan itu
dengan tangan terbuka.
Tidak mengherankan kalau masyarakat Kuwait rata-rata memiliki
pendidikan yang tinggi. Angka buta huruf pun sangat rendah di negara ini
sehingga berpengaruh pada pola pikir perempuan Kuwait, walaupun
selama ini mereka memiliki profesi sebagai pebisnis ataupun diplomat dan
pekerjaan lainnya di administrasi pemerintahan maupun swasta, tetapi
mereka tidak dilibatkan dalam kegiatan politik. Membuat mereka merasa
sudah saatnya reformasi politik segera dilakukan di Kuwait.
56
Sebuah pemahaman konsep Islam yang memungkinkan orang
menghargai kemungkinan-kemungkinan ke arah “pembebasan kaum
perempuan” berdasarkan isi ajaran agama tersebut. Dalam banyak kasus,
agama telah memberdaya dan memungkinkan kaum perempuan mencapai
serta mewujudkan potensi dan kemampuan mereka sama dengan kaum
laki-laki.
Tahun
2006
yang
membuktikannya, dalam Pemilu
lalu,
perempuan
Kuwait
telah
tahun itu mereka mendapatkan hak
memilih dan dipilih sehingga terlibat dalam kegiatan politik sesuai dengan
keputusan Undang-undang yang telah di amandemen.
A. Perjuangan
Hak
Politik
Kaum
Perempuan
di
Kuwait
Setelah
Pembentukan Amandemen UU Pemilu (Hak Politik Bagi Semua
Golongan)
Pada tahun 1962 merupakan pertama kali pemilihan parlemen
dilakukan
setelah
kemerdekaan
Kuwait
tetapi
tidak
melibatkan
perempuan. Melalui hasil amandemen konstitusi tahun 2005-lah akhirnya
kaum perempuan Kuwait mendapatkan hak pilih dan dipilihnya setelah 11
kali pemilihan parlemen yang dilaksanakan dalam 4 tahun sekali pada
pemilihan
tahun
2006. Pemerintahan
konservatif
Emirat
Kuwait
memutuskan untuk memberi perempuan hak politik penuh. Menurut
Dewan Menteri, perubahan Undang-Undang Pemilihan Umum Kuwait
tahun 1962, sebagai bagian dari kebijakan “memperluas partisipasi
masyarakat” dalam kehidupan bernegara. Berdasarkan UU baru tersebut,
perempuan dapat memilih dan dipilih dalam pemilihan umum.
57
Perubahan amandemen dilakukan Pada tanggal 18 Mei 2005,
Kuwait merubah Amandemen Undang- Undang Pemilu pasal I No.35
tahun 1962, yang sebelumnya Amandemen Undang-Undang tersebut
hanya memberikan hak politik bagi kaum lelaki saja tetapi kini UndangUndang tersebut telah dirubah dengan memberikan hak penuh bagi kaum
perempuan untuk memberikan suara dalam pemilu ataupun mencalonkan
diri sebagai anggota parlemen. Perubahan Amandemen UU ini
berdasarkan keputusan parlemen Kuwait (Majelis Al-ummah). Sebanyak
35 suara mendukung, 23 menolak, dan 1 abstain dalam voting yang
memperoleh penentangan keras dari anggota parlemen dari kubu Islamis
dan konservatif.
Setelah
pengumuman
dilakukan,
sambutan
tepuk
tangan
masyarakat yang berada di gedung parlemen bergemuruh. Perdana Menteri
Sheikh Sabah al-Ahmad al-Sabah mengucapkan selamat kepada
perempuan Kuwait yang berhasil memperoleh kemerdekaannya untuk
menggunakan
hak-hak
politik
mereka.
Pemerintahan
al-Sabah
mengeluarkan keputusan itu dengan menyatakan bahwa sesungguhnya
upaya tuntutan hak politik penuh kepada kaum perempuan sudah mulai
dirintis sejak tahun 1999. Setelah berjuang enam tahun akhirnya keinginan
itu dikabulkan. Keputusan disepakati setelah menggelar pertemuan selama
sepuluh jam.
Sebelum disahkan undang-undang bagi kaum perempuan, aneka
unjuk rasa terjadi sebagai sebuah bentuk protes perempuan Kuwait dalam
58
menuntut hak asasi mereka, misalnya seperti yang dinyatakan Lulwa alMullah salah seorang penggerak unjuk rasa, yang ikut dalam aksi protes
menuntut partisipasi perempuan di Parlemen Kuwait. Dalam unjuk rasa
tersebut, baik laki-laki maupun perempuan ikut ambil bagian dalam aksi
yang mereka gelar.
Beberapa perempuan, bahkan menutup seluruh tubuhnya dengan
pakaian khas negara. Tetapi banyak juga di antara mereka yang berpakaian
biru muda. Ini sebagai simbol perjuangan perempuan di Kuwait. Para
demonstran membawa plakat dengan tulisan “Hak bagi perempuan
sekarang juga” dan “Hukum Islam tidak menentang hak bagi
perempuan.”66
Unjuk rasa yang diikuti oleh sekitar 600 orang umumnya kaum
perempuan. Tetapi kaum pria juga tampak hadir meramaikan kegiatan
tersebut. Walaupun demikian tidak sedikit kelompok lain di Kuwait yang
menentang pemberian hak politik kaum perempuan. Karena itu, tidak
heran bila parlemen negara Kuwait sudah dua kali menolak usulan
pembahasan kebijakan tersebut beberapa tahun terakhir sebelum
disahkannya undang-undang perempuan Negara Kuwait.
Peristiwa demi peristiwa itu
juga kian menyadarkan kaum
perempuan untuk lebih aktif dalam urusan sosio-ekonomi dan politik di
Kuwait. Ini dapat dibuktikan oleh kehadiran dan peranan aktif perempuan
dalam gerakan reformasi yang marak sejak beberapa tahun lalu itu.
66
http://www.bkbn.go.id/kuwait-kisah.html . Kisah dari Kuwait . Diakses tanggal 15 Oktober
2011
59
Nampak nyata bahwa perempuan telah memainkan peranan yang setidaktidaknya setara dengan laki-laki dalam menghidupkan program-program
dalam memperjuangkan reformasi atau perubahan menyeluruh itu.
Setelah dua tahun gerakan reformasi digulirkan, berbagai peranan
yang dipegang oleh kaum perempuan dalam menjaga perjuangan
mewujudkan masyarakat yang lebih terbuka, adil dan merata. Berbagai
unjuk rasa, debat, banyak dilakukan oleh beberapa kelompok kepentingan
dan para aktivis di Kuwait. Seperti penulis Fatima al- Baker yang
tergabung dalam Asosiasi Persatuan Perempuan Kuwait, Nabil alMufarreh sebagai ketua Persatuan Nasional Pelajar Kuwait yang juga turut
andil dalam kampanye menjelang pemilu 2006, yang mendukung penuh
para calon legislatif perempuan. Semangat dan konsistensi mereka yang
menyala-nyala dalam memperjuangkan cita-cita tesebut telah memupus
ungkapan klise yang menyudutkan perempuan sebagai makhluk rapuh dan
mudah goyah.
Tekad bulat dan tidak kenal menyerah kaum perempuan dalam
perjuangan ini telah melahirkan persatuan yang alamiah
atau sinergi
dalam menggalang kekuatan dan semangat untuk mewujudkan pranata
masyarakat dan pemerintahan yang lebih adil di Kuwait. Meskipun
kedudukan perempuan dalam politik merupakan salah satu aspek
penunjang pembangunan, perlu diingat peranan-peranan lain yang
dibawakan perempuan di dalam masyarakat.
60
Pengalaman bangsa Kuwait menunjukan bahwa diskusi tentang
peranan perempuan di bidang politik tidak hanya terbatas pada masalah
keterwakilan mereka di dalam institusi-institusi formal. Ada banyak
perempuan yang setelah menamatkan studi sarjana mereka malah memilih
mengurus rumah tangga. Meski mereka tidak memegang posisi formal
yang relevan dengan bekal pendidikan dan gelar yang disandangnya,
sesungguhnya
mereka juga memberi kontribusi bagi pembangunan
masyarakat dengan membesarkan anak-anak mereka dalam tata cara dan
kondisi yang lebih maju.
Disahkannya amandemen pemberian hak politik bagi kaum
perempuan pada tahun 2006, mengakhiri perjuangan puluhan tahun para
perempuan Kuwait untuk mendapatkan hak mereka. Undang-undang itu
memberi akses bagi perempuan Kuwait untuk mencalonkan diri di dewan
kota. Namun, diskusi anggota parlemen dan kabinet segera tertuju pada
amandemen menyeluruh atas undang-undang pemilu Kuwait. Dalam
pembicaraan itu, parlemen dan kabinet menyinggung hak perempuan
dalam politik. Selama ini Kuwait hanya memberi hak politik penuh bagi
kaum lelaki saja untuk ambil bagian dalam parlemen.67
Dalam 24 jam, parlemen berhasil mengesahkan amandemen yang
mengganti kata “laki-laki” dari pasal 1 Undang-Undang Pemilu.
Dalam
67
voting
amandemen
itu,
35
setuju
dan
23
menentang.
Ibid
61
Meski demikian,sejumlah kalangan di parlemen menyebut hukum Islam
tetap harus diberlakukan.68
Pada pemilihan umum legislatif yang dilaksanakan pada tahun
2006, 28 perempuan dari 249 calon legislatif ikut memperebutkan 50 kursi
legislatif di Kuwait.69 Puluhan perempuan pemilih, yang mewakili 57
persen orang yang memenuhi syarat sebagai pemilih, ikut berpartisipasi
dengan penuh semangat berbaris di lokasi yang dirancang sebagai tempat
pemungutan suara mulai, seperti di daerah suku Sabah As-Salem, sekitar
50 perempuan yang menutup pakaian mereka dengan abaya, jubah luar,
berbaris di bawah sengatan matahari. Zahra Ramadan Benbehani
perempuan berusia 54 tahun merupakan perempuan pertama yang
memberi suara di tempat pemilihan tersebut.
Meski telah memperoleh hak politik penuh sejak tahun 2005,
sebagian perempuan yang mencalonkan diri dalam pemilihan umum tahun
2006 tersebut masih menghadapi intimidasi selama kampanye, bahkan
menerima ancaman mati yang memaksa dia mundur dari pencalonan.
Namun wujud dari kegigihan mereka memperjuangkan hak politik
perempuaan tidak dengan mudah di lunturkan. Tekanan tersebut dianggap
hal yang wajar sebagai wujud perbedaan pola fikir antara golongan islam
konservatif dan golongan yang membutuhkan perubahan.
Partisipasi perempuan Kuwait untuk pertama kalinya dalam pemilihan
umum legislatif di Kuwait untuk memilih dan dipilih pada tahun 2006 yang
68
69
Ibid
http://www.suaramerdeka.com/harian /0606/30/int04.htm
62
terdiri dari 28 calon perempuan belum berhasil menduduki kursi legislatif.
Namun hal tersebut dianggap hal yang wajar mengingat kebijakan dan tradisi
Kuwait masih butuh penyesuaian dan sosialisasi lebih baik lagi tentang
keterlibatan perempuan dalam panggung politik. Adapun faktor-faktor yang
mendorong sehingga terjadinya perubahan kebijakan di Negara Kuwait
terhadap perempuan dan yang secara signifikan juga telah mempengaruhi
tumbuh dan berkembangnya perjuangan politik kaum perempuan di Negara
Kuwait adalah sebagai berikut:
1) Faktor Pertama adalah peningkatan pendidikan.
2) Faktor Kedua adalah perubahan politik di dalam negeri karena munculnya
kesadaran dan tafsir hukum Islam yang tidak lagi didasari budaya
patriarki.
3) Faktor Ketiga, munculnya tokoh-tokoh perempuan di Kuwait yang telah
berani melawan kondisi sosial politik dan sosial budaya di Kuwait dan
berusaha menegakkan HAM dan demokrasi di negerinya.
4) Faktor Keempat, munculnya kesadaran para Mullah (pemuka agama) dan
pemimpin Kuwait bahwa ajaran Al-Qur’an senantiasa mengikuti
perkembangan jaman dan kitab tersebutlah yang menjadi dasar Islami bagi
konstitusi Kuwait, sehingga pemerintah pun mau melakukan telaah
kembali bagi kebijakan-kebijakan pemerintah Kuwait yang bias gender.
5) Faktor Kelima, faktor sosial budaya masyarakat yang menghormati
perempuan mulia dalam sejarah Islam, misalnya, Putri Rasulullah SAW,
Fatimah Az-Zahra, dimana kemuliaan Fatimah, perilakunya yang santun,
63
lemah lembut, pintar, berani dan bijak, dijadikan doktrin nilai-nilai yang
dianut masyarakat Kuwait. Nilai-nilai ini berisi ajaran agar kaum laki-laki
dan perempuan saling menghargai, menghormati hak dan kewajiban
masing-masing.
Kemudian beberapa kaum perempuan yang sangat menonjol dalam
berbagai pergerakan. Diantaranya adalah Dr. Rasha Al-Sabah, Wakil
Sekretaris Pendidikan Internasional (Wanita Perempuan untuk PBB) untuk
tahun 1996-1997 oleh International Biographical Center (IBC) di
Cambridge, England. Dr. Rasha Al-Sabah banyak berjasa dalam bidang
pendidikan, kebudayaan, dan ketertindasan perempuan. Setelah itu, ada
Nabila Al-Mulla, yang ditunjuk sebagai Duta Perempuan pertama PBB.
Dia adalah seorang mantan deputi perwakilan tetap Kuwait di PBB.
Selanjutnya ada Fayza Al-Khorafi yang merupakan professor pertama
wanita di Kuwait. Dia adalah ilmuwan berprestasi, dan wanita Arab
pertama yang ditunjuk sebagai Rektor dari sebuah Universitas di Arab
pada tahun 1993. Sara Akbar, seorang insinyur Perminyakan, Memainkan
peran dalam memadamkan kebakaran minyak setelah Perang Teluk dan
membersihkan salah satu bencana lingkungan terburuk dalam sejarah. Dia
menerima penghargaan "Global 500" dari Program Lingkungan PBB
sebagai pengakuan atas karyanya. Pejuang kaum perempuan yang terakhir
adalah Badriya Al-Awadi merupakan ahli hukum atas hak asasi manusia
dan hak-hak perempuan di Kuwait. Dia memegang gelar Ph.D. dalam
hukum internasional, telah menerbitkan lebih dari sepuluh buku, dan telah
64
mengajar hukum di Universitas Kuwait selama tujuh tahun terakhir.
Keprihatinan Badriya Al-Awadi yang menyebabkan ia bergerak untuk
menghilangkan buta huruf dan meningkatkan kesadaran akan hak
perempuan hukum dan politik. Massouma al-Mubarak, adalah menteri
Kabinet perempuan pertama negara itu pada 2005, aktivis hak asasi
perempuan Rola Dashti, profesor pendidikan Salwa al-Jassar dan profesor
falsafah Aseel al-Awadhi Mubarak adalah seorang profesor berpendidikan
dari universitas AS menghabiskan masa setahun sebagai Menteri
Perencanaan sebelum dilantik Menteri Transportasi pada 2006 dan
Menteri Kesehatan setahun kemudian, Jassar, seorang profesor pendidikan
di Universitas Kuwait, mendapat pendidikan di AS juga adalah seorang
aktivis hak asasi wanita terkenal dan memngelola Pusat Konsultasi
Perempuan.70
Pejuang-pejuang kaum perempuan inilah yang banyak membantu
pergerakan kaum perempuan Kuwait. Keberadaaan mereka di tengah-tengah
pergumulan politik yang tidak mengaggap kaum perempuan telah membuka
mata para pemimpin untuk melibatkan kaum perempuan di berbagai bidang
politik.
B. Kendala Perjuangan Politik Kaum Perempuan Di Negara Kuwait
Kaum perempuan meliputi separuh dari jumlah umat manusia. Dan
oleh karena itu, setiap pengambilan keputusan, baik dalam urusan pribadi, di
dalam keluarga, hingga ke tingkat masyarakat atau kehidupan publik
70
Duta Besar Dan Perwakilan, http://www.iaea.org/About/Polycy/Board/al-mulla-bio1.html,
diakses tanggal 2 Januari 2011.
65
seharusnya senantiasa memperhatikan serta melibatkan peran serta kaum
perempuan dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Hak-hak politik,
sosial dan ekonomi perempuan adalah bagian integral dan tak terpisahkan dari
seluruh kerangka hak asasi mereka.
1. Fanatik terhadap Ajaran Islam
Perjuangan wanita Kuwait mendapatkan hak politiknya sungguh
sangat tidak mudah. Kaukus Islam dan kaum tradisionalis dari Suku dalam
parlemen selalu menjadi penghalang kaum perempuan Kuwait meraih hak-hak
politiknya. Ketika digelarnya sidang selama sepuluh jam untuk membahas
masalah pengesahan undang-undang bagi kaum perempuan, beberapa
pemimpin suku-suku mayoritas dan anggota parlemen yang beraliran keras
menolak keputusan perubahan status tersebut. Sehingga amandemen
memberatkan perempuan untuk tidak ikut serta dalam pemilihan umum di
Kuwait, hanya karena terkait masalah “penafsiran” agama. Dengan adanya
ketentuan itu, maka dengan sendirinya ruang gerak bagi perempuan di dunia
politik akan semakin terbatas. Langkah ini di satu sisi dianggap sebagai usaha
mencapai kesuksesan. Tetapi di sisi lain bisa membatasi ruang gerak
perempuan untuk terlibat langsung dalam berbagai aktifitas kampanye politik.
Dalam konteks masyarakat Islam, yang sebenarnya hak-hak tersebut
sudah diberikan kepada perempuan Islam berabad-abad tahun yang lalu.
Walaupun demikian perempuan Islam, terutama di Negara Kuwait belum
merasa puas, sebab ternyata di negara Islam, Kuwait misalnya masih tidak
66
mengizinkan kaum perempuan mereka untuk memberikan hak pilih dalam
urusan politik.
Hal ini disebabkan karena kaum lelaki menggunakan dalil hadits
Rasulullah SAW yang artinya: “Tidak ada untung suatu kaum yang
menyerahkan urusannya kepada kaum perempuan”. (HR Imam Bukahri).
Hadits ini yang terbukti kuat mempengaruhi pandangan kaum laki-laki
terhadap kaum perempuan, sehingga menimbulkan kuatnya marginalisasi
terhadap para kaum feminis.71
Walau demikian, banyak para ahli sejarah dan ahli politik yang masih
mencari-cari alasan asbabul khuruj dari hadits di atas. Selain itu, Negara
Kuwait yang dihuni mayoritas penduduk yang beragama Islam, juga masih
memegang teguh firman Allah SWT “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi
kaum perempuan”.
Hal-hal di atas merupakan salah satu hambatan-hambatan yang
terkadang sampai saat ini masih menghalangi perjuangan dan partisipasi kaum
perempuan secara bebas untuk membela hak-hak mereka sebagai manusia
yang juga memiliki kehidupan sendiri, seperti halnya kaum laki-laki.72
2. Keterbatasan kemampuan dalam hal pengetahuan politik
Hampir di semua Negara, termasuk di Negara Islam, tradisi tetap
berlaku untuk menekan dan sering mendikte bahwa peran utama perempuan
adalah sebagai istri dan ibu. Sistem nilai patriarki, kaku dan tradisional
Ali Hosein Hakeen, et. al, Membela Perempuan “ Menakar Feminisme dengan Nalar Agama”,
Al-Huda, Tahun 2005, Hal 16 - 40
72
Rukayyah, Perjuangan Emansipasi Perempuan Dalam Politik, Kelompok Anggrek, Mon
Jambee, Bireuen, Aceh Jeumpa, Tahun 2009. Hal. 2
71
67
menampilkan peran-peran yang tersegresi secara seksual, dan ini yang disebut
sebagai ”nilai-nilai kultural tradisonal yang telah mendunia”.
Anggapan-anggapan yang dijadikan kultur dan dikulturkan oleh
hampir sebagian besar masyarakat dunia, menjadi salah satu penghalang bagi
para kaum perempuan Negara Kuwait untuk memperjuangkan aspirasi
politiknya, menghalangi terjadinya kemajuan, perkembangan serta kreativitas
perempuan.Masyarakat di seluruh dunia didominasi oleh suatu ideologi
tentang ”kedudukan perempuan”. Menurut ideologi ini, perempuan tidak
harus memainkan peran “ibu yang bekerja”, yang secara umum diupah rendah
dan apolitis.
Ini adalah lingkungan yang paling banyak dihadapi oleh perempuan
yakni suatu imajinatif kolektif yang pasti tentang perempuan dalam peranperan tradisional yang terus berlangsung. Imajinasi tentang seorang pemimpin
adalah seorang
yang bersifat
aseksual
dalam berbagai
sikap
dan
pernyataannya, meskipun ia adalah seorang perempuan, kenyataan bahwa
adanya aturan permainan laki-laki yang tertulis menyebabkan politisi
perempuan pada umumnya, dan perempuan anggota parlemen khususnya,
harus mengalami kesulitan yang tidak menyenangkan ini dalam arena politik
dunia.73
3. Kurangnya Representasi Media Massa Terhadap Kaum Perempuan
Seringkali media massa cenderung meminimalkan pengungkapan
berbagai persitiwa-peristiwa penting yang dilakukan oleh perempuan sebagai
73
Daan Dini Khairunnida, Jalan Menuju Kemerdekaan – Perjuangan Perempuan Perempuan
Kuwait. Dikutip tanggal 15 Oktober 2011, dari http://www.rahmia.blog.spot.co.id/JalanKemerdekaan/Kuwait-Perjuangan.html .
68
partisipasi aktif dalam bidang politik, yang dilakukan untuk kepentingan kaum
perempuan. Hal ini pulalah yang dialami oleh kaum perempuan di Negara
Kuwait. Media massa di Negara Kuwait untuk beberapa masa, termasuk
publikasi-publikasi perempuan tidak diinformasikan secara memadai. Media
massa pun juga hampir tidak pernah mengangkat isu-isu yang berkaitan
dengan langkah perempuan dalam masyarakat; tidak juga mengangkat isu-isu
yang berkaitan dengan langkah-langkah pemerintah untuk memperbaiki posisi
kaum perempuan. Ini bisa dilihat dari 80% propaganda media massa berusaha
menunjukkan lemahnya sistem Negara Kuwait dalam mengangkat martabat
perempuan. Padahal data-data resmi menunjukkan kemajuan yang signifikan
yang dicapai oleh kaum perempuan Kuwait dalam sebuah sistem Islam di
Kuwait.74
C. Prospek Perjuangan Politik Kaum Perempuan Di Kuwait
Selain kendala-kendala yang dihadapi, ada juga beberapa hal yang
mendorong terjadinya perubahan kebijakan di Negara Kuwait terhadap kaum
perempuan dan yang secara signifikan telah mempengaruhi tumbuh dan
berkembangnya gerakan perempuan di Negara Kuwait, yang menjadikan hal
tersebut merupakan prospek pergerakan dan perjuangan politik kaum
perempuan memiliki harapan yang sangat menjanjikan, diantaranya:
1. Sikap fleksibilitas para pemimpin
Cara pandang dan paham yang dianut Negara Kuwait setelah
mengalami beberapa kali reformasi, banyak berpengaruh terhadap perlakuan
74
Ibid
69
Negara Kuwait kepada kaum perempuan. Hal ini ditandai dengan pemenuhan
hak Pendidikan oleh Negara yang sudah dilaksanakan secara efektif.
Adapun landasan dan sumber Islami tentang wanita yang saat ini telah
mampu menggeser paradigma Negara Kuwait tentang kedudukan perempuan,
sebagai berikut:75
a. QS. Ar-Ruum (30): 22
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Ia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih
dan sayang ……”
b. QS. An-Nahl (16): 97
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami
beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari yang
mereka kerjakan”
Perempuan juga bisa lebih tinggi di atas laki-laki. Pandangan ini
berlaku untuk laki-laki sebagai anak kepada perempuan sebagai ibu.
Dalam salah satu Hadits Nabi, dikatakan:“Ridlallâhi fi ridla al-wâlidain
wa sukhthullâhi fi sukhthi al-wâlidain/Perkenan Allah tergantung pada
perkenan orang tua, dan murka Allah tergantung murka kedua orang tua.”
75
Charles J. Adams, “Islamic Religious Tradition” dalam Leonard Rindei (ed). The Study of
Middle East (New York: John Wiley & Sons, 1976), h. 32.
70
Sementara itu, yang dimaksud dengan kedua orang tua sebagai
pihak yang berhak memperoleh penghormatan dan kebaktian dari sang
anak, pertama kali adalah orang tua perempuan (ibu), baru kemudian
orang tua laki-laki (bapak). Dalam salah satu Hadits Nabi yang banyak
sekali dikutip oleh literatur keislaman (pada bagian akhlaq), diriwayatkan
sebagai berikut: “Suatu ketika seorang sahabat bertanya kepada Nabi,
siapakah yang paling berhak untuk diberi kebaktian? Nabi menjawab:
Ibumu! Kemudian?, tanya sahabat. Ibumu. Kemudian?, tanya sahabat
lagi. Ibumu, jawab Nabi. Kemudian? Bapakmu…”.76
Literatur keislaman umumnya menafsirkan Hadits ini dengan
menyatakan, bahwa ibu (orang tua perempuan) berhak atas kebaktian
anaknya tiga kali lipat dari kebaktian yang patut diberikan kepada bapak
(orang tua laki-laki). Sejalan dengan ini, banyak pula dikutip oleh literatur
keislaman dan para kiai/muballigh dalam berbagai kesempatan, sebuah
Hadits lain yang menegaskan, bahwa “Sorga itu berada di bawah telapak
kaki sang ibu.” Suatu Hadits yang diberi tafsiran oleh literatur keislaman
sebagai betapa tingginya derajat ibu seharusnya dipandang oleh anak, lakilaki maupun perempuan.77
Titik tolak dari wacana yang tersebut, maka posisi perempuan
sangat strategis. Di sektor publik, perempuan juga harus diberi peran yang
cukup, baik di wilayah politik, hukum, ekonomi, dan lain-lain. Sebagian
Masdar Helmi, “Problem Metologis Dalam Kajian Islam”, dalam Paramedia, Jurnal
Komunikasi dan Informasi Keagamaa, (Surabaya, Pusat Penelitian IAIN Sunan Ampel, 2000),
hal. 6 – 8
77
Ibid Hal 11
76
71
masyarakat mungkin
masih berasumsi bahwa bangkitnya peranan
perempuan muslim dalam dunia publik baru terjadi di zaman
kemerdekaan. Ini merupakan pandangan yang salah. Perjuangan
perempuan Islam telah berusia cukup lama dengan bukti adanya Al-Qur'an
yang mengisahkan beberapa perempuan, diantaranya dalam surat Al-Naml
ayat 23:
“Sesungguhnya aku menjumpai seorang perempuan yang
memerintah kaumnya dan dia dianugrahi segala sesuatu serta mempunyai
singgasana yang besar”.
Sedikit banyak, ayat-ayat di atas telah banyak mempengaruhi pola
pikir serta kebijakan-kebijakan UUD Negara Kuwait dalam memperlakukan
perempuan.
2. Persepsi Masyarakat yang telah Berkembang
Pendidikan yang tinggi serta wawasan yang luas, membawa dampak
positif bagi tata cara pikir para kaum elit politik termasuk pemerintah dan
masyarakat Negara Kuwait. Hal ini juga berpengaruh terhadap cara para
pemerintah dan masyarakat Kuwait memperlakukan perempuan dalam
berbagai aspek.
Kemajuan dalam bidang pendidikan ini merupakan salah satu faktor
kunci yang mempengaruhi perjuangan politik perempuan dan kesadaran akan
kesetaraan gender di Negara Kuwait. Hal ini juga dapat dilihat dengan telah
adanya kebijakan pendidikan di Kuwait yang memang diperuntukkan bagi
semua warga Kuwait, tanpa membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan
lagi, sehingga tidak mengherankan ketika terjadi keseimbangan yang
72
signifikan antara murid laki-laki dan perempuan di berbagai tingkat
pendidikan mulai dari tingkat dasar, menengah dan pendidikan tinggi.
Dalam bidang pemerintahan, saat ini bisa disaksikan orang yang duduk
dalam kursi parlemen, bukan lagi didominasi oleh kaum laki-laki, tapi setelah
diikutsetakannya kaum perempuan dalam pemilihan dan diberi kesempatan
untuk juga dapat berpartisipasi aktif dan duduk di kursi parlemen, maka kaum
perempuan pun saat ini telah bebas bertanggung jawab untuk aktif dalam
kegiatan-kegiatan kenegaraan di berbagai aspek.
3. Pengaruh perkembangan Global
Saat memiliki kesempatan untuk menduduki kursi parlemen, kaum
perempuan Negara Kuwait telah gencar untuk mencari dukungan dari berbagai
pihak. Gerakan reformasi yang kini sedang gencar menggeliat di Negaranegara Arab, tekanan dalam negeri dan internasional berpadu menjadi sebuah
kekuatan yang mengoyak tabir status quo di Kuwait. Di dalam negeri, kaum
wanita telah berjuang hampir 40 tahun demi mendapatkan hak politiknya.
Perjuangan
tersebut
menemui
titik
terang
ketika
Amerika
Serikat
menggulirkan konsep Timur Tengah Raya (Greater Middle East) bagi
reformasi dunia Arab pada tahun 2002.
Seperti ditulis mantan deputi Menteri Luar Negeri AS urusan Timur
Tengah, William Burns, pada harian berbahasa Arab Al Hayat, konsep Timur
Tengah Raya tersebut bertumpu pada empat butir utama, yaitu;
1.
Harus ada keterbukaan politik dengan memberi tempat yang layak
kepada kaum wanita dan kelompok masyarakat sipil (civil society).
73
2.
Gerakan demokratisasi di timur tengah harus menjadi bagian dari
upaya penyelesaian konflik Arab-Israel dan membangun sistem
demokrasi di Kuwait.
3.
Gerakan demokratisasi harus dilakukan secara bertahap.
4.
Demokratisasi harus berasal dari inisiatif kekuatan-kekuatan politik
dalam negeri.78
Ketika Konferensi Tingkat Tinggi dilaksanakan di Tunisia pada
bulan Mei 2004, memberi respon positif terhadap konsep Timur Tengah
Raya tersebut. KTT Arab itu untuk pertama kalinya mengangkat isu
reformasi sebagai bagian dari salah satu agenda utamanya. Isu reformasi
yang diusung KTT Arab itu berintikan dari empat poin, yaitu demokrasi,
hak asasi manusia, pemberdayaan kaum wanita, dan peran Civil Society.
Isu pemberdayaan kaum wanita Arab menjadi isu tersendiri dalam konsep
Timur Tengah Raya. Hal ini disebabkan karena memang peran wanita
Arab sangat minim dibandingkan dengan peran wanita dibelahan dunia
manapun, dibandingkan dengan kaum wanita Afrika sekalipun yang
dikenal secara ekonomi tertinggal.
Dengan adanya rasa diperlakukan tidak adil ini, maka kaum
perempuan pun di seluruh dunia melakukan berbagai kegiatan dalam
upaya untuk mencari perhatian dunia dan mampu mendapatkan hak
mereka kembali. Dan saat ini perjuangan kaum perempuan termasuk kaum
perempuan di Negara Kuwait, bisa memetik hasilnya. Hampir semua
78
Julia Cleves Mosee, Gender Dan Pembangunan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Tahun 1996
Hal. 106
74
kegiatan partisipasi politik yang dilakukan oleh mereka mendapat
perhatian dan dukungan dari berbagai organisasi penting di dunia.
75
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN - SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan data-data dan fakta-fakta tersebut, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam perjuangan memperoleh hak-hak politik kaum perempuan di
Negara Kuwait, gerakan feminis dari para aktifis yang menfokuskan
perhatian mereka terhadap diskriminasi dan subordinasi terhadap kaum
perempuan dalam bidang politik sangat berperan besar.
2. Pemerintah beserta para masyarakat akhirnya dapat membuka ruang yang
lebar untuk kaum perempuan berpartisipasi dalam berbagai bidang di
pemerintahan. Hal ini diwujudkan dengan berbagai program sebagai
wujud dari tindakan nyata mereka demi terwujudnya kesetaraan gender
baik kaum laki-laki dan perempuan di Negara Kuwait.
3. Dalam proses perjuangan politik perempuan di Negara Kuwait, terdapat
berbagai hambatan serta kendala-kendala seperti yang ketika berhadapan
dengan ideologi Negara yang sangat disandarkan pada Ajaran Agama
Islam (Al-Qur’an dan Al-Hadits), juga kepada pemerintah dan masyarakat
yang masih sangat menganggap tabu atau sesuatu yang aneh jika
perempuan disederajatkan dengan kaum laki-laki, Media Massa yang
kurang menanggapi kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh kaum feminis,
serta “anggapan” global terhadap kaum perempuan yang masih mengikuti
“anggapan” tradisi. Perjuangan politik kaum perempuan juga mendapat
76
dukungan dari berbagai pihak, tentunya setelah melalui proses perjuangan
yang panjang. Dengan demikian, Negara Kuwait kini menjadi Negara
dengan gerakan perempuan yang menunjukkan kemajuan dan mampu
disejajarkan dengan negara-negara Islam lainnya.
B. Saran-Saran
Adapun saran-saran yang penulis dapat berikan dengan melihat kondisi
yang dipaparkan di atas adalah:
1. Perlunya representasi yang lebih banyak lagi dari kaum perempuan di
pemerintahan, sehingga kendala-kendala yang dapat dihadapi oleh kaum
perempuan di Negara Kuwait untuk berpartisipasi dalam politik tidak lagi
menemukan kesulitan dalam pelaksanaannya.
2. Peran Media Massa perlu ditingkatkan dalam memuat isu-isu perempuan
dan tidak lagi dijadikan sebagai sesuatu yang tidak relevan, mengada-ada
dan tidak lagi mendukung stereotype dan mitos-mitos perempuan.
3. Perlunya mengubah pandangan beberapa kaum perempuan yang masih
terjebak dalam paradigma kuno dalam masyarakat, meningkatkan
kepercayaan diri kaum perempuan serta perlunya pendidikan hak-hak serta
kewajiban bagi para kaum perempuan hingga menciptakan sinergitas
antara perempuan dan laki-laki khususnya dalam pemerintahan di negara
Kuwait sehingga partispasi perempuan dalam perjuangan politik dapat
terwadahi dengan baik terutama dalam penerapan kebijakan.
77
DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
Adams, Charles J. 1976 "Islamic Religious Tradition" - The Study of
Middle East - New York: John Wiley & Sons Press
Azwar. 2011. Teror dalam Tatanan Struktur Politik.. PT. Gramedia;
Jakarta
Bashin, Kamla dan Nighat Said Khan. 1995. Persoalan Pokok Mengenai
Feminisme dan Relevansinya. PT. Gramedia Pustaka Utama;
Jakarta
Budiarjo Miriam. 1981. Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia; Jakarta
CEDAW. 2004. “Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan – Mengembalikan Hak-Hak Perempuan”.
New York; Partners for Law in Develompent (PLD)
Chester L, Horton Paul B dan Haunt. 1992. Sosiologi (terjemahan) edisi
ke-6, Erlangga; Jakarta
Mansour Fakih. 1991. Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta
Hakeem, Ali Hosein. 2005. Membela Perempuan “Menakar Feminisme
dengan Nalar Agama”. Jakarta; Penerbit Erlangga
Yubahar Ilyas. 1998. Perempuan dan Kekuasaan (Menelusuri Hak Politik
dan Persoalan Gender dalam Islam, Zaman Wacana Mulia,
Bandung
Ja’far, Dr. Muhammad Anis Qasim. 1988. Perempuan dan Kekuasaan
(Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender dalam Islam).
Bandung; Zaman Wacana Mulia
Khan, Said. 2011 Wanita, Gender dan Feminisme – Perjuangan
Partisipasi Politik Kaum Perempuan. Rajawali Press; Jakarta
Mernissi, Fatimah. 1999. Pemberontakan Wanita – Peran Intelektual
Kaum Wanita dalam Sejarah Muslim. Mizan; Bandung.
Mosse, Julia Cleves. 1999. Gender dan Pembangunan Yogyakarta; Rifka
Annisa Womens’ Crisis Centre dan Pustaka Pelajar
78
Noor, Ida Ruwaida. 2000. Agenda Demokratisasi oleh dan Untuk
Perempuan, The Institute for Democracy and Human Right,
Jakarta; The Habibe Centre
Patrik, Kirk. 1994. Partisipasi Politik Kaum Wanita, PT. Danur Wijaya
Press; Surabaya,
Robert A. Dahl. 1971. Participation and Opposition, New Haven; Yale
University Press
Rukayyah . 2009. Perjuangan Emansipasi Perempuan dalam Politik, Aceh
Jeumpa; Kelompok Anggrek, Mon Jambee, -Bireuen
Saldi, Saparinah. 1995. Pengantar tentang Kajian Wanita, Jakarta;
Yayasan Obor Indonesia.
Siskel, Suprijadi. 2004. Gender. PT. Danur Wiajay Press; Surayabaya
Sorensen, George. 1993 “Women in Democracy and Democratization:
Process and Prospect in A Changing World”. Boulder; Westview
Press.
Thohir, Ajid. 2009. Studi Kawasan Dunia Islam – Perspektif EtnoLinguistik dan Geo-Politik. Jakarta; Rajawali Pers
Tong,
Rosemarie. 2011. Feminist Thoguht:
Introduction, Unwin Hyman; London
A
Comprehensive
JURNAL :
Masdar Helmi, “Problem Metodologis dalam Kajian Islam”, dalam
Paramedia,
Jurnal Komunikasi dan Informasi Keagamaan,
(Surabaya, Pusat Penelitian IAIN Sunan Ampel, 2000
Muhammad Ali Taskhiri, Human Rights, A Study of the Universal and
The Islamic Declarations of Human Rights, Departemen of
Translation and Publication, Islamic Culture and Relations
Organizations, 1997
Paris, A. Yuliani. Pemenuhan Gender vs Pembentukan Biro Wanita.
Harian Fajar tajuk Opini. 1988
Russet dan Starr, A. Eby Hara “Decision Making Theory”, Suatu Upaya
Teorisasi, Jurnal Politik. 1991
79
80
Download