Agama dan Tanggung Jawab Sosial Oleh: Muhammad Soim Abstract During the period of apartheid in South Africa, it was common for the state to argue that there was no need for Muslims to participate in the anti-apartheid movement because they enjoyed complete freedom of religion. They could pray freely, build mosque and madrasah, give the adzan, and convert others to Islam. What more could they want since they could freely practice their religion? Esack critiques this position in writing, “if our worship is not linked to our lives and to people’s suffering, then it becomes a safe part of religion, a part that all the decision makers in unjust socio–economic structures would want to encourage. The separation of this worldly and other worldly matter has never really stuck a responsive chord in the world of Islam,” Kata Kunci: Agama, Tanggung Jawab Sosial Muhammad Soim adalah Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sutan Syarif Kasim – Riau alumni S-2 IAIN Imam Bonjol Padang. 54 HIKMAH, Vol. VIII, No. 02 Juli 2014, 53-62 Pendahuluan Bagaimana mungkin kita hidup tanpa bimbingan Tuhan? Melalui agama, Tuhan telah menunjukkan jalan yang lurus. Tengoklah ketika bencana gempa bumi, banjir, tsunami, longsor, galodo dan beragam bentuk malapetaka melanda, manusia meratap; ‘Ooh Tuhan, tolonglah hamba-Mu!’ Saat menghadapi Ujian Nasional, menjelang Pemilihan Umum, dan berbagai aktivitas lain, manusia mengingat Tuhan. Sebelum bertani dan berternak atau agribisnis, orang mulai dengan menyebut dan meminta atas nama Tuhan. Malah ketika berkolaborasi dengan setan dan ilmu magis, Tuhan ikut dibawa-bawa. Semua ini menjadi bukti kehadiran Tuhan dalam relung kehidupan manusia. Karena penciptaan manusia oleh Tuhan untuk mengelola diri, lingkungan dan interaksi keduanya dalam perspektif pengabdian-Nya. Sejarahnya, sebelum merdeka dan berdirinya negara, institusi agama memainkan peran utama dalam banyak aspek kehidupan masyarakat. Secara perlahan tapi pasti, tetapi kemudian mempreteli urusan itu dan menjadikan sebagai tugas pokok dan fungsinya. Apalagi atas dorongan teknologi dan perubahan menuju masyarakat industri, negara mengambil alih pekerjaan yang menjadi urusan lembaga agama sebelumnya. Simak pengelolaan pesantren, belakangan ini urusan pakaian, nilai pendidikan agama, pengadilan agama, zakat serta kriteria agama menjadi syarat mengikuti pilkada menjadi ranah negara. Pada tingkat gagasan, teknologi dan pemikiran ilmiah kerap berhadapan dengan agama. Agama berangkat dari kepercayaan pada Tuhan dan nilai yang membalutnya, sedangkan asumsi pekerjaan ‘ilmiah’ itu justru mulai dari hipotesa yang perlu pembuktian empiris dalam dimensi ruang dan waktunya. Orang yang mempertentangkan agama dan dunia ilmiah, ditengah menurunnya peran agama itu sendiri. Mulai dari Marx dan Weber yang menempatkan agama sebagai candu buat masyarakat. Sebab mereka berpikir atas dasar materi dan kebendaan. Sampai pada Frederich Neitzache, yang mengumumkan kematian Tuhan. “Hidup tidaklah punya tujuan, dan tidak ada kekuatan besar yang memantau masa depan, lantaran manusia hidup di tengah kesepian”, tambah Nietzche. Begitulah, perkembangan pergulatan pemikiran dalam kaitan antara negara dan agama yang melahirkan istilah Sekulerisasi. Sebuah proses dimana pengaruh agama menipis atas banyak aspek kehidupan sosial.1 Pemerintah, kebijakan publik, kondisi ekonomi dan saluran institusi politik mempengaruhi modal sosial masyarakat. Termasuk kehidupan beragama, pada sejumlah kasus justru para wirausahawan sosial-sebagai petugas pelayanan dan pelaku di luar pemerintah jadi pendorong pembentukan modal sosial. Wirausahawan sosial dalam konteks negara di Asia tidak begitu sukses meraih maksudnya lantaran kakunya sistem birokrasi, menutup-nutupi masalah dan malpraktek. Sehinga sulit untuk merubah kebiasaan pelayanan menjadi lebih bermanfaat. Jadi agama, yang mestinya menjadi sumber inspirasi dalam semua gerak kehidupan ini sering berbenturan dan kerap dimenangkan oleh negara yang sekuler. Teladan misalnya seperti kutipan diatas, “selama periode pahit Apartheid di Afrika Selatan, biasanya negara berhujah tidak perlu buat orang Islam ikutikutan dalam gerakan menentang Apartheid. Sebab mereka telah menikmati kebebasan komplit. Mereka bisa leluasa salat membangun masjid dan sekolah agama, mengumandangkan azan sampai masalah meng-Islamkan orang lain. 1 Dawam Rahardjo, Agama dan Masalah-masalah Sosial, (Jakarta: Rajawali Press, 1999), hlm. 227-321. Agama dan… (Muhammad Soim) 55 Apalagi sih mau mereka, setelah semua kebebasan beragama mereka punya? Esack mengkritik posisi ini dengan menulis, “jika pengabdian kami (kepada Allah) tidak ada kaitan dengan kehidupan nyata, kepiluan dan derita orang lain, memang ia menjadi bagian agama yang aman, bagian mana menjadi kemauan pula dari para pengambil keputusan di tengah struktur sosial ekonomi yang tidak adil. Pemisahan antara dunia di sini dengan masalah yang di sana tidaklah pernah benar mengendurkan perhatian buat menuju keutuhan dalam dunia Islam. Maka, bagian tulisan ini menyajikan tentang agama dengan tujuan dan ukuran sukses seperti berikut. Agama dan Masalah Sosial Bagian ini memuat pengertian agama dan jenis agama, teori agama, sekulerisasi dan tanggung jawab sosial dalam bentuk wirausaha sosial, agar para pembaca bisa memahami konsep di atas dan mencermatinya dalam dinamika kehidupan sehari-sehari terutama bagi Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam atau jurusan sosial lainnya. 1. Pengertian dan jenis agama Sulit merumuskan pemahaman tentang agama yang relevan buat semua kepercayaan yang ada. Islam mempercayai adanya kehidupan setelah wafat disebut alam akhirat. Tapi kepercayaan lain tidak bisa memahami itu. Namun jelas semua kepercayaan memberi warna moral dalam berperilaku dan berinteraksi dengan sesama manusia lain serta alam lingkungan di atas dunia ini. Hanya saja sejumlah perbedaan dan ukuran bisa disimak, seperti agama yang meng-esakan Tuhan. Sebaliknya ada agama dengan Tuhan jamak. Agama mewajibkan perilaku tertentu sebagi tuntunan dari Tuhan, dalam kaitan ini ada tiga kategori: a. Mengikuti tuntunan/beriman dan percaya b. Menolaknya/kafir dan membangkang, dan c. Bingung/ambigu/munafik. Kemudian agama melibatkan lambang dan simbol-simbol yang terkait dengan upacara ritual para pemeluknya. Pada masyarakat tradisional, agama sangat kuat pengaruhnya dalam kehidupan sosial. Simbol agama kerap bersentuhan dengan budaya lokal seperti musik, cerita dan kepustakaan, masyarakat memiliki anggota dan pribadi yang lebih mampu memahami agama secara luas, jitu dan relevan. Mereka tumbuh dan berkembang menjadi tokoh masyarakat, ulama. Ada dua kategori agama, Politeisme dan Monoteisme. Agama politeisme umumnya berasal dari Asia seperti Hindu, Budha, Konfisius dan Tao. Sedangkan agama Monoteisme dan berpengaruh di dunia adalah Islam, Kristen dan Yahudi. Semuanya bermula dari Timur Tengah. Yahudi merupakan yang paling tua, diikuti Kristen dan Islam. Islam malah mengakui nabi dan kehadiran kedua agama itu. Sampai akhir perang dunia kedua, tidak ada negara yang menempatkan Yahudi sebagai agama resmi negara, baru Israel yang mengukuhkannya sampai kini dengan penganut Yahudi di seluruh dunia sekitar 15.6 juta orang dan seperempatnya bermukim di sana. Kristen mendominasi pengaruh pada masyarakat Barat dan menyebar ke seluruh dunia. Lebih dari satu milyar orang menganut agama ini yang terbagi dengan sejumlah istilah, seperti: Katolik Roma, Protestan, dan Katolik Ortodok. Islam sebagai agama terbesar mewajibkan penganutnya untuk mempunyai rasa tanggung jawab sosial terhadap sesama maupun terhadap 56 HIKMAH, Vol. VIII, No. 02 Juli 2014, 53-62 yang berbeda agama. Adapun cara beragama masyarakat dapat dianalisa melalui cara: a. Tradisional Yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara beragamanya nenek moyang, leluhur atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima halhal keagamaan yang baru atau pembaharuan. Apalagi bertukar agama, bahkan tidak ada minat. Dengan demikian kurang dalam meningkatkan ilmu amal keagamaanya. b. Formal Yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada umumnya tidak kuat dalam beragama. Mudah mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau masyarakat yang berbeda dengan cara beragamanya. Mudah bertukar agama jika memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya. c. Rasional Yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun. d. Metode pendahulu Yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan) dibawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah). Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari sesembahannya semisal nabi atau rasul sebelum mereka mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua2. Menurut Soejono Soekamto bila dikaitkan dengan aspek sosial, agama terdiri dari beberapa unsur pokok: a. Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar tanpa ada keraguan lagi b. Simbol agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya c. Praktik keagamaan, yakni hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan-Nya, dan hubungan horizontal atau hubungan antar umat beragama sesuai dengan ajaran agama d. Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman keagamaan yang dialami oleh penganut-penganut secara pribadi e. Umat beragama, yakni penganut masing-masing agama. Sedangkan bila dilihat dari fungsi sosial maka agama memiliki fungsi sebagai berikut: a. Sumber pedoman hidup bagi individu maupun kelompok 2 Busyairi Harits, Dakwah Kontekstual Sebuah Refleksi Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 67-81. Agama dan… (Muhammad Soim) 57 b. Mengatur tata cara hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia c. Merupakan tuntutan tentang prinsip benar atau salah d. Pedoman mengungkapkan rasa kebersamaan e. Pedoman perasaan keyakinan f. Pedoman keberadaan g. Pengungkapan estetika (keindahan) h. Pedoman rekreasi dan hiburan i. Memberikan identitas kepada manusia sebagai umat dari suatu agama.3 Tanggung Jawab Sosial Pada bagian tulisan ini penulis sajikan sebuah cerita yang pernah diungkapkan oleh seorang budayawan (Emha Ainun Nadjib), kisah tentang rasa sosial yang dimiliki oleh seorang penjual bakso keliling. Setiap kali menerima uang dari orang yang membeli bakso darinya, Pak Patul mendistribusikan uang itu ke tiga tempat: sebagian ke laci gerobaknya, sebagian ke dompetnya, sisanya ke kaleng bekas tempat roti. “Selalu begitu, Pak?”, aku bertanya, sesudah beramai-ramai menikmati bakso beliau bersama anak-anak yang bermain di halaman rumahku sejak siang. “Maksud Bapak?” Ia ganti bertanya. “Uang selalu disimpan di tiga tempat itu?” Ia tertawa. “Iya Pak. Sudah 17 tahun begini. Biar hanya sedikit duit saya, tapi bukan semua hak saya.” “Maksud Pak Patul?”, ganti aku yang bertanya. “Dari pendapatan yang aku peroleh dari kerja yang aku lakukan terdapat uang yang merupakan milik keluarga saya, milik orang lain, dan milik Tuhan”. Aduh gawat juga Pak Patul ini. “Maksudnya?”, aku mengejar lagi. “Uang yang masuk dompet itu hak anak-anak dan istri saya, karena menurut Tuhan itu kewajiban utama hidup saya. Uang yang dilaci itu untuk zakat, infaq, kurban dan yang sejenisnya. Sedangkan yang di kaleng itu untuk nyicil biaya naik haji. Insyaallah sekitar dua tahun lagi bisa mencukupi untuk membayar ONH. Mudah-mudahan ongkos haji naiknya tidak terlalu, sehingga aku masih bisa menjangkaunya”. Spontan aku menghampiri beliau. Hampir aku peluk, tapi dalam budaya kami orang kecil jenis ekspresinya tak sampai tingkat peluk memeluk, seterharu apapun, kecuali yang ekstrim misalnya famili yang disangka meninggal ternyata masih hidup, atau anak yang digondhol genderuwo balik lagi. Bahunya saja yang aku pegang dan aku remas, tapi karena emosi aku bilang belum cukup maka aku guncang-guncang tubuhnya. Hatiku meneriakkan “jazakumullah, masyaallah, wa yushlihu balakum!”, tetapi bibirku pemalu untuk mengucapkannya. Tuhan memberi ‘ijazah’ kepadanya dan selalu memelihara kebaikan urusan-urusannya. Aku juga menjaga diri untuk tidak mendramatisir hal itu. Tetapi pasti di dalam diriku tidak terdapat sesuatu yang aku kagumi sebagaimana kekaguman yang aku temukan pada prinsip, manajemen, dan disiplin hidup Pak Patul. Untung dia tidak menyadari keunggulannya atas ku; bahwa aku tidak mungkin siap mental dan memiliki keberanian budaya maupun ekonomi untuk hidup sebagai penjual bakso, sebagaimana ia menjalankannya dengan tenang dan ikhlas. 3 Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet. 19, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hlm. 23. 58 HIKMAH, Vol. VIII, No. 02 Juli 2014, 53-62 Aku lebih bependidikan dibanding dia, lebih luas pengalaman, pernah mencapai sesuatu yang ia tak pernah menyentuhnya, bahkan mungkin disebut kelas sosial aku lebih tinggi darinya. Tetapi di sisi manapun dari realitas hidupku, tidak terdapat sikap dan kenyataan yang membuatku tidak berbohong jika mengucapkan kalimat yang diucapkannya “diantara pendapatanku ini terdapat milik keluargaku, milik orang lain, dan milik Tuhan”. Peradabanku masih peradaban “milik saya”. Peradaban Pak Patul sudah lebih maju, lebih rasional, lebih dewasa, lebih bertanggung jawab, lebih mulia, dan tidak pengecut sebagaimana kapitalisme subyektif prosesif saya. 30 tahun silam aku pernah menuliskan kekagumanku kepada penjual cendol yang marah-marah dan menolak cendolnya diborong oleh Pak Kiai Hamam Ja’far Pabelan karena “kalau semua Bapak beli, bagaimana nanti orang lain yang memerlukannya?” Ilmunya penjual jagung asal Madura di Malang tahun 1976 aku pakai sampai tua. Aku butuh 40 batang jagung bakar untuk teman-teman seusai pentas teater, tapi uangku kurang, hanya cukup sebanyak 25, sehingga harga per batang aku tawar. Dia bertahan dengan harganya, tetapi tetap memberiku 40 jagung. “lho, uangku tidak cukup, Pak.’’ “ bawa saja jagungnya, asal harganya tetap.” “berarti aku hutang?” “ndaaak. Kekurangannya itu tabungan jariyah saya.” Doooh adoooh...! tompes ako tak’iye! Di pasar Khan Khalili semacam tanaabang-nya Cairo aku masuk sebuah toko kemudian satu jam lebih pemiliknya hilang entah kemana, jadi aku jaga tokonya. Ketika datang aku protes: “keeif inta ya akh....ke mane aje? Kalau aku ambilin barang-barang inta terus aku ngacir pigimane dong....” Lelaki tua itu senyum-senyum saja sambil meletuk: “kalau mau curi barang aku ya curi saja, bukan urusan saya, itu urusan ente sama Tuhan...” Sungguh manusia adalah ahsanu taqwim, sebaik-baik ciptaan Allah, master piece. Orang-orang besar bertebaran diseluruh muka bumi. Makhlukmakhluk agung menghampar di jalan-jalan, pasar, gang-gang kampung, pelosokpelosok dusun dan di mana-mana pun. Bakso Khalifatullah, bahasa Jawa-nya: baksonya Pak Patul, terasa lebih sedap karena kandungan keagungannya. Itu baru tukang bakso, belum anggota DPR. Itu baru penjual cendol, belum Menteri dan Dirjen, Irjen, Sekjen. Itu baru pemilik toko kelontong, belum Gubernur, Bupati, Wali Kota, tokoh-tokoh Parpol. Itu baru penjual jagung bakar, belum Kiai dan Ulama. Tulisan ini menjadi sebuah inspirasi bagi kaum sosialis (sosiologi religius) masyarakat yang memiliki jiwa sosial atau humanisme spiritual. Intelektual Muslim adalah seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan serta ilmu agama dan mampu menteorisasikankan serta merealisasikannya di tengah-tengah masyarakat, selain itu intelektual selalu bisa berbicara dengan bahasa kaumnya dan mampu menyesuaikan diri pada lingkungannya. Intelektual juga memiliki tugas sebagai artikulator dari masyarakatnya. Sedangkan tanggung jawab sosial yang mereka emban adalah mendidik masyarakat baik dari segi agama, sosial maupun politik dan mengubah masyarakat yang statis menjadi masyarakat yang lebih dinamis. Namun hingga saat ini, intelektual muslim di Indonesia belum mampu memainkan perannya semaksimal mungkin. Justru malah sebagian dari mereka menjadi orang yang telah kehilangan kecendikiawannya. Hal ini tampak jelas dari kecenderungan elit politik, agamawan, dan elit ekonomi kita yang dalam tindakan kesehariannya tidak memperlihatkan usaha Agama dan… (Muhammad Soim) 59 untuk merubah pelbagai tatanan kehidupan yang telah mengalami keterpurukan di berbagai bidang, malah yang tampak hanya usaha-usaha pelanggengan ketertindasan. Elit politik hanya sibuk pada perebutan kekuasaan, elit ekonomi sibuk berselingkuh dengan kaum kapital (berinvestasi), dan agamawan sibuk pada permasalahan fiqh, mendikte, serta mengajarkan tentang agama yang masih abstrak seperti suri tauladan para nabi secara luas, namun tidak pada titik permasalahan yang dirasakan masyarakat yaitu ketertindasan, kemiskinan, dan pengangguran. Ironisnya para agamawan bangsa ini terjerembab ikut dalam politik pragmatis. Dari dinamika di atas, tulisan ini mencoba untuk mencermati pandangan tanggung jawab Sosial Intelektual Muslim (Perbandingan dengan Intelektual Muslim di Indonesia). Selain itu, tulisan ini ingin mengungkap gejala-gejala yang ada pada intelektual itu sendiri, tanggung jawab sosialnya, dan juga untuk membangun kesadaran masyarakat serta intelektual muslim dan pengembangannya kearah yang lebih progres. Tanggungjawab sosial intelektual di Indonesia mencakup dua wilayah yaitu wilayah struktural dan kultural. 1. Wilayah kultural, mereka bekerja untuk kepentingan rakyat dan benarbenar menunjukkan keberpihakan terhadap persoalan-persoalan rakyat. Hal demikian penting untuk dilakukan sebagai suatu upaya untuk memahami lebih mendalam pelbagai problem yang dihadapi rakyat terutama rakyat kecil yang masih termarginalkan dan supaya mereka merasakan apa yang sebenarnya dirasakan oleh rakyat. 2. Wilayah struktural, mereka berupaya semaksimal mungkin mengubah segala bentuk tujuan individualistis para elit bangsa yang selama ini belum/tidak menaruh perhatian serius pada permasalahan-permasalahan yang berkait kemaslahatan rakyat, seperti kemiskinan, pengangguran, hukum yang diskriminatif, kebijakan yang dominatif, eksploitasi sumbersumber penghidupan rakyat oleh oknum tidak bertanggung jawab sampai pada persoalan ketertindasan kaum lemah. Dalam aspek sosial, intelektual bertanggung jawab untuk memberikan penyadaran kepada masyarakatnya tentang butuhnya ekonomi dalam kehidupan dan berusaha mengikis segala bentuk paradigma yang membodohkan dan membuat masyarakat tertidur dengan pernyataan bahwa kemiskinan adalah takdir. Selain itu, mereka juga seharusnya mampu memperdayakan politik masyarakat agar mereka dapat bersuara dalam struktur politik. Karena semakin tinggi akses politik yang dimiliki oleh masyarakat miskin maka akan semakin tinggi pada akses ekonominya. Dalam aspek agama mereka bertanggung jawab untuk merevitalisasi kepercayaan rakyat yang dogmatis, mengubah pandangan dunia, mengembalikan kepercayaan terhadap iman dan agama yang kuat, logis, rasional serta mengajarkan Islam sejati di lingkungan yang selama ini diasingkan dan dilupakan. Selain itu, mereka menyampaikan pesan Nabi mereka kepada rakyat dan mengembalikan kebangkitan Islam serta pembaharuan agama yang logis dan progresif dalam masyarakat maupun zamannya. Sedangkan yang terakhir dalam aspek politik, tanggung jawab sosial intelektual muslim adalah memberikan kepada masyarakat suatu pengetahuan tentang politik, membantu mereka untuk mencapai kesadaran politik serta merumuskan cita-cita mereka, agar mereka mengetahui bahwa pemerintah kerapkali menghegemoni rakyat dengan fatwafatwa liar maupun manipulasi berita yang dipermainkan oleh pemerintah. 60 HIKMAH, Vol. VIII, No. 02 Juli 2014, 53-62 Stratifikasi Sosial Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial (social stratification) adalah pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal (bertingkat). Stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Sistem lapisan dalam masyarakat itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam masyarakat yang hidup teratur. Stratifikasi sosial adalah penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hirarkis menurut dimensi kekuasaan, privilese dan prestise. Stratifikasi sosial menurut Max Weber adalah stratifikasi sosial sebagai penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hierarkis menurut dimensi kekuasaan, privilese dan prestise. Dasar-dasar pembentukan pelapisan sosial Ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial adalah sebagai berikut: a. Ukuran kekayaan Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak maka ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, yang tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja. b. Ukuran kekuasaan dan wewenang Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan. c. Ukuran kehormatan Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orangorang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orangorang yang berprilaku dan berbudi luhur. d. Ukuran ilmu pengetahuan Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor. Agama dan… (Muhammad Soim) 61 Namun sering timbul akibat-akibat negatif dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih dinilai tinggi daripada ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan membeli skripsi, menyuap, ijazah palsu dan seterusnya. Selama dalam suatu masyarakat ada sesuatu yang dihargai, dan setiap masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargainya, maka hal itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya system berlapis-lapis dalam masyarakat itu. Pelapisan sosial merupakan proses menempatkan diri dalam suatu lapisan (subyektif) untuk penempatan orang kedalam lapisan tertentu Kesimpulan Kehadiran agama dalam tatanan kehidupan sosial-kemasyarakatan di semua tingkat lapisan di seluruh pelosok dunia –mau tidak mau—adalah sebuah fakta sosial yang tak terelakkan. Berbagai bentuk tindakan baik secara individual maupun kolektif seringkali melibatkan unsur keberagamaan yang mengikat. Sedikit banyak kehadiran agama ini telah memberikan sumbangsih bagi terciptanya prinsip-prinsip berinteraksi yang sejak dahulu hingga kini terbentuk dalam masyarakat. Terlebih keberadaan agama sebagai sebuah sistem kepercayaan dan keyakinan tersebar hampir di semua sudut geografis dunia. Agama pada sekarang ini tidak dapat didekati dan difahami hanya lewat pendekatan teologi-normatif semata-mata, sebab ada pergeseran paradigma dari pemahaman yang berkisar pada "doktrin" ke arah entitas "sosiologis", dari diskursus "esensi" ke arah "eksistensi". Jika ditinjau dari sudut sosiologis, Agama berarti perintah moral yang secara logis menjadi konsekuensi dari ajaran Tuhan. Agama baru dipandang nyata apabila setelah ia dihadapkan atau dibenturkan pada kenyataan-kenyataan kehidupan sosial. Hal ini erat kaitannya dengan pesan agama yang mengajarkan bahwa kehidupan duniawi merupakan salah satu bagian penting dari mata rantai yang ikut memformat kehidupan (ukhrawi) kelak. Ada beberapa hal yang membuat Bellah menilai bahwa masyarakat Islam paling dini itu modren. Diantaranya adalah tingkat partisipasi politik yang terbuka dan tinggi dari seluruh jajaran anggota masyarakat. Juga keterbukaan dan kemungkinan posisi pimpinan masyarakat itu untuk di uji kemampuan mereka berdasarkan ukuran-ukuran yang universal (berlaku bagi semua orang), yang dilambangkan dalam usaha melembagakan kepemimpinan tidak berdasarkan warisan atau keturunan, tetapi berdasarkan pemilihan (apa pun bentuk teknisnya pada masa tersebut).4 Pangkal kesadaran yang amat asasi ini cukup umum, dan dicerminkan antara lain dalam diktum, “al-‘itibar fi al-jahiliyah bi al-ansab, wa al- ‘itibar fi al-Islam bi al-‘amal (penghargaan dimasa jahiliyyah berdasarkan keturunan [prestise], dan penghargaan dimasa Islam berdasarkan hasil kerja (prestasi). Dengan perkataan lain, dalam jargon ilmu sosial moderen, sistem masyarakat Islam adalah universalistik dan terbuka, karena menggunakan tolak Masa kejayaan Islam tersebut hanya sebatas pada masa empat khalifah pertama saja yang berlangsung sekitar tidak lebih dati tiga puluh tahun, dan “gagal” (maksudnya, sistem itu digantikan oleh sistem lain yang tidak “modren” karena bersifat kekabilahan (tribal) dari tatanan politik rezim Bani Umayyah di Damaskus). “kegagalan” itu ialah karena saat itu belum ada insfrastruktur sosial yang menopangnya. Lihat Robert Bellah , “Islamic Tradition and The Problem of Modernization “ dalam Beyond Belief, (New York: Harper and Row, 1970), hlm. 150-151 4 62 HIKMAH, Vol. VIII, No. 02 Juli 2014, 53-62 ukur prestasi untuk menilai seseorang, sedangkan masyarakat jahiliyah atau yang sejenis itu adalah masyarakat askriptif dan tertutup, karena menggunakan tolak ukur seperti faktor keturunan untuk menilai seseorang. Hal ini tentu tidak sesuai dengan kriteria masyarakat komutarian dengan istilah participatory democracy. Artinya masyarakat juga ikut berpartisipasi dalam menentukan kebijakan dalam komunitasnya (popular participation bottom up). Hal ini dapat dilihat pada masyarakat muslim yang disatukan oleh ikatan agama, melebihi identitas nasional, kesukuan dan etnis atau dikenal sebagai ummah (negation of capitalism and socialism). Kepercayaan seperti ini didasarkan kepada al-quran,5 yang menyatakan bahwa Allah menciptakan umat Muslim untuk menjadi saksi dari bimbingan Allah pada bangsa-bangsa tersebut.6 Islam diwahyukan pada waktu dan tempat, dimana kesetiaan suku dianggap identifikasi paling penting seseorang, status individu didasarkan pada keanggotaannya pada suku tertentu. Islam menyatakan kesamaan mutlak bagi semua yang beriman. Identitas utama dari muslim adalah sebagai seorang muslim bukan sebagai anggota suku, etnis atau jenis kelamin tertentu. Pendapat dari egaliterianisme radikal ini menghancurkan pentingnya identitas kesukuan dan mendorong kepercayaan bahwa loyal to individual, community/global concepts atau dengan kata lain setiap muslim harus selalu mempertahankan dan melindungi muslim lainnya. Artinya umat Islam harus memiliki kemandirian yang kuat, mempunyai tanggung jawab social yang tinggi terhadap sesama sebagaimana yang telah di contohkan oleh para Nabi terdahulu. Daftar Bacaan Kementerian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, Dawam Rahardjo, Agama dan Masalah- masalah Social, Jakarta: Rajawali Press, 1999 Busyairi Harits, Dakwah Kontekstual Sebuah Refleksi Pemikiran Islam Kontemporer, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2006 Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press, 2009 Robert Bellah , “Islamic Tradition and The Problem of Modernization “ dalam Beyond Belief, Harper and Row, New York, 1970 Jonh l. Esposito, What Everyone Need to Know About Islam, terj. Oleh Norma Arbi’ah Juli Setiawan “Islam Aktual”, Depok: Inisiasi Pers, 2005 QS. Al-baqarah/2:143 LJonh l. Esposito, What Everyone Need to Know About Islam, terj. Oleh Norma Arbi’ah Juli Setiawan “Islam Aktual”, (Depok: Inisiasi Pers, 2005), hlm.15 5 6