E:\JURNAL MDVI\MDVI eds 3 thn 2

advertisement
Tinjauan Pustaka
PEMAKAIAN RETINOID SISTEMIK
DI BIDANG DERMATOLOGI
Yenny Raflis, Sri Lestari
Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK Universitas Andalas/RS. dr. M. Djamil Padang
ABSTRAK
Retinoid adalah suatu kelompok senyawa alami atau sintetik yang secara struktural dan
fungsional analog dengan vitamin A. Terapi retinoid dapat diberikan secara topikal maupun
sistemik. Pada jalur sistemik, di mukosa intestinal, retinoid diesterifikasi menjadi retinyl ester oleh
enzim lechitin retinol acyl transferase (LRAT), kemudian diabsorpsi dan disimpan di hepar dalam
bentuk retinol ester. Efek retinoid pada kulit manusia diperantarai oleh retinoic acid receptors
(RARs) dan retinoid X receptors (RXRs). Dalam inti sel, terbentuk kompleks ikatan retinoid
dengan protein reseptor RARs dan RXRs dalam bentuk dimer. Dimer kompleks retinoid dan
reseptor selanjutnya mengaktivasi gen yang memiliki sekuen DNA pendek spesifik yang disebut
dengan retinoid acid response elements (RAREs dan RXREs) dan kemudian mengalami transkripsi
dan translasi gen. Pemakaian retinoid terutama bentuk sintetiknya berkembang sangat pesat
untuk berbagai penyakit kulit antara lain psoriasis, iktiosis, akne, serta kanker kulit, namun perlu
berhati-hati dalam pemakaiannya mengingat efek samping yang dapat ditimbulkan obat ini.(MDVI
2011; 38/3:25-30)
Kata kunci: Retinoid sistemik, retinoic acid receptors (RARs), retinoid X receptors (RXRs)
ABSTRACT
Retino ids are a group of natu ral and synthetic compou nds that are structurally and
functionally analogous to vitamin A. Retinoid therapy can be administered topically or systemically.
On systemic administration, in the intestinal mucosa, retinoids are esterified into retinyl esters by
lecithin retinol acyl transferase (LRAT) enzyme, then absorbed and stored in the liver as retinol
esters. Retinoid effects on human skin mediated by retinoic acid receptors (RARs) and retinoid X
receptors (RXRs). In the nucleus, retinoid bound to RARs and RXRs as dimers. Dimers complex
retinoid and receptor subsequently activates genes that have a specific short DNA sequences called
retinoic acid response elements (RAREs and RXREs) and later underwent gene transcription and
translation. Retinoids specially synthetic form have widely used for various skin diseases such as
psoriasis, ichtyosis, acne, and skin cancer, but we must be careful when using it as a treatment,
considering the side effects.(MDVI 2011; 38/3:134 - 140)
Key words: systemic retinoids, retinoic acid receptors (RARs), retinoid X receptors (RXRs)
Korespondensi :
Jl. Perintis Kemerdekaan - Padang
Telp. 07 51-32373
Email: [email protected]
134
MDVI
Vol. 38 No. 3 Tahun 2011; 134 - 140
PENDAHULUAN
RETINOID
Retinoid adalah suatu kelompok senyawa alami atau
sintetik yang secara struktural dan fungsional analog
dengan vitamin A. Vitamin A (retinol) oral dari sumber
alami sudah digunakan pada 1930-an dalam dosis tinggi
untuk mengobati penyakit hiperkeratotik yang seringkali
disertai dengan efek samping toksik, yaitu sindrom
h i p er vi t a m i n osi s A t e r di r i a t a s bi r t h d e f e c t ,
hepatotoksik, osteoporosis, coarse bone growths,
perubahan warna kulit, rambut rontok, kekeringan kulit
yang berlebihan, keilitis angularis, dan hipertensi
intrakanial idiopatik. Pemakaian dan perkembangan
retinoid, terutama bentuk sintetiknya berkembang
sangat pesat dalam 2 dekade terakhir untuk berbagai
penyakit kulit antara lain psoriasis, iktiosis, akne, serta
kanker kulit. 1-4
Nilai kemaknaan penggunaan retinoid di bidang
dermatologi dimulai pada tahun 1925, saat Wolbach dan
Howe mengidentifikasi keadaan kulit yang diskeratotik
pada binatang dengan defisiensi vitamin A. Pada tahun
1946, diperkenalkan asam vitamin A (AVA) atau asam
retinoid, yaitu metabolit oksidatif terpenting dari retinol
yang dapat menggantikan beberapa fungsi vitamin A
antara lain untuk meningkatkan pertumbuhan dan
pengaturan diferensiasi serta pemeliharaan epitel. Sejak
tahun 1968, banyak dikembangkan analog vitamin A
sintetik baru dengan membuat variasi pada struktur cincin
dan rantai samping asam retinoid, sehingga akan
dihasilkan perubahan efektivitas dan penurunan efek
samping. 2-4
Terdapat 3 generasi retinoid sintetik yang telah dikenal
hingga saat ini yaitu; generasi I (retinoid nonaromatik),
generasi II (retinoid monoaromatik), dan generasi III
(retinoid poliaromatik) 1,2,5
Terapi retinoid dapat diberikan secara topikal
maupun sistemik. Retinoid topikal dan sistemik yang
tersedia saat ini, yaitu tretinoin, isotretinoin, alitretinoin,
adapalen, tazaroten, retinol palmitat, retinaldehid untuk
topikal, dan asitretin, isotretinoin serta bexaroten untuk
sistemik. 1,2,6
Pemakaian obat tersebut baik topikal maupun
sistemik dapat menimbulkan efek samping. Namun efek
samping yang lebih berat dapat muncul jika diberikan
secara sistemik terutama efek teratogenik, efek pada
metabolisme lipid, dan gangguan fungsi hepar sehingga
perlu berhati-hati dalam pemberian obat ini kepada
pasien. 1,2,6 Oleh karena itu diperlukan pemahaman lebih
lanjut tentang penggunaan retinoid di bidang dermatologi
yang meliputi mekanisme kerja, indikasi, kontraindikasi,
dosis, dan efek samping yang dapat ditimbulkan akibat
pemakaian obat ini. Tinjauan pustaka ini membatasi
pembahasan hanya mengenai pemakaian retinoid sistemik
di bidang dermatologi.
Klasifikasi retinoid
Vitamin A alami ditemukan tahun 1909 oleh Strepp dari
ekstrak kuning telur. Struktur kimia vitamin A berbentuk
alkohol (retinol) sedangkan derivatnya (retinoid) dapat
berbentuk aldehid (retinal) atau asam vitamin A/AVA
(tretinoin). Retinoid sintetik adalah modifikasi AVA untuk
menambah aktivitas, mengurangi toksisitas, atau efek
samping vitamin A.1-4
Asam vitamin A adalah metabolit alami terpenting dari
retinol yang terdapat dalam 2 bentuk yaitu:
a. Tretinoin (all-trans retinoic acid atau ATRA), satu
bentuk aktif retinol yang terdapat pada semua jaringan
kecuali retina.
b. Isotretinoin (13-cis retinoic acid), merupakan hasil
isomerisasi tretinoin.3-4
Terdapat 3 generasi retinoid sintetik yang berkembang
sejak pertama kali digunakan sebagai terapi pada berbagai
penyakit yaitu:
135
H 3C CH3
CH3
CH3
CH3
HO
O
Isotretinoin (13-cisretinoic acid)
CH3
CH3
H3 C
CH3
COOH
CH3 O
CH3
Asitretin
H3 C
CH3
CH2
COOH
H3 C
CH3
CH3
Bexaroten
Gambar 1. Struktur kimia retinoid
Yenny Raflis, Sri Lestari
1. Generasi pertama: suatu retinoid nonaromatik yang
diproduksi dengan cara modifikasi kelompok polar dan
rantai samping polyene vitamin A, termasuk di dalamnya
tretinoin dan isotretinoin. 2,5
2. Generasi kedua: retinoid monoaromatik, termasuk di
dalamnya etretinat dan metabolitnya yaitu asitretin.
Keduanya hanya efektif sebagai terapi sistemik. Etretinat
dan metabolik asam bebasnya, asitretin, memperlihatkan
indeks terapeutik 10 kali lebih menguntungkan dari ATRA.2,5
3. Generasi ketiga: retinoid poliaromatik, termasuk di
dalamnya karotinoid yaitu adapalen, tazaroten yang
berkembang sebagai terapi topikal dan bexarotene (oral
dan topikal). Obat tersebut merupakan generasi retinoid
dengan indeks terapeutik yang lebih aman.2,7
Metabolisme retinoid alami
Retinol (vitamin A) merupakan retinoid alami yang
diperoleh dari makanan dan dicerna sebagai retinyl ester
dan sebagai provitamin A karotenoid. Mayoritas retinyl
ester yang terbentuk kemudian bergabung dengan
chylomicrons. Chylomicrons terdiri atas ribuan molekul
triacylglycerol dan phospholipids yang tersusun dengan
pola tertentu bersama karotenoid, retinyl ester, retinol,
cholesteryl esters, dan sejumlah apolipoprotein. Kompleks
lipoprotein yang besar tersebut disekresikan dari
enterocytes ke kelenjar limfe intestinal sebagai chylomicron
retinyl esters dan lipoprotein retinyl esters, kemudian
diabsorpsi dan disimpan di hepar dalam bentuk ester
(terutama retinol ester). Saat berada di dalam darah, setelah
pelepasan retinol ester (bentuk penyimpanan di hati), retinol
ester kemudian berikatan dengan retinol binding protein
(RBP) membentuk komplek retinol-RBP. RBP ini penting
untuk mobilisasi retinol hepatik ke dalam plasma dan untuk
cellular uptake retinol pada retina.7,8
Di dalam keratinosit terjadi proses konversi retinol
menjadi ATRA melalui 2 proses tahapan, yaitu proses
reversibel dan ireversibel. Pada proses reversibel, retinol
(vitamin A alkohol) dikonversi menjadi retinaldehid (vitamin
A aldehid) yang difasilitasi oleh cellular retinol binding
protein (CRBP), kemudian secara ireversibel oleh cellular
retinoid acid binding protein (CRABP) dikonversi menjadi
ATRA. ATRA kemudian berikatan dengan CRBP-1. Retinol
–CRBP yang dibawa ke dalam sel dapat diesterifikasi oleh
LRAT dan disimpan sebagai retinol ester (RE). 9-cis RA
(alitretinoin) berasal dari isomerisasi ATRA. Kedua retinoid
tersebut dapat berikatan dengan reseptor pada inti yang
selanjutnya memicu proses diferensiasi, proliferasi, respons
imun, dan respons inflamasi.7,8
Reseptor retinoid pada kulit
Efek retinoid pada kulit manusia terutama diperantarai
oleh retinoic acid receptors (RARs) dan retinoid X
receptors (RXRs) yaitu 2 monomer yang berbeda.2,6,7 Baik
RAR maupun RXR masing-masing mempunyai 3 tipe yang
Pemakaian Retinoid sistemik di bidang Dermatologi
berbeda, yaitu RARα, β, dan γ serta RXR α, β, dan γ. Sel
epidermis manusia mengekspresikan RARα, RAR γ, RXRα,
dan RXRβ messenger RNAs (mRNAs). Sementara RXRγ
mRNA tidak terdeteksi dan RARβ hampir tidak terdeteksi.
Penyinaran ultraviolet pada kulit manusia menyebabkan
pengurangan reseptor retinoid secara cepat dan bermakna.2,6,7
Mekanisme kerja molekuler retinoid
Retinoid mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi
sel epitel dan sel lain, menghambat perkembangan sel tumor
atau keganasan pada proses karsinogenesis, mempengaruhi
proses inflamasi dan sistem imun, serta mengubah
perlekatan seluler. Dalam kondisi normal, hampir semua efek
vitamin A pada kulit diperantarai oleh ATRA.7
Pada inti sel, terbentuk kompleks ikatan retinoid
dengan protein reseptor RARs dan RXRs. Reseptor tersebut
bertindak sebagai ligand-dependent transcriptional
factors (misalnya RARs dapat berikatan dengan ATRA dan
9-cis-retinoid acid dengan afinitas yang tinggi, sementara
RXRs berinteraksi secara selektif dengan 9-cis retinoid acid)
dan berikatan dengan retinoid dalam bentuk dimer, yaitu
dapat sebagai homodimer (RARs/RARs, RXRs/RXRs) atau
heterodimer (RARs/RXRs). Ikatan heterodimer
memperlihatkan efisiensi ikatan lebih tinggi dibandingkan
dengan reseptor homodimer. Dimer kompleks retinoid dan
reseptor mengaktivasi gen yang memiliki sekuen DNA pendek
spesifik yang disebut dengan retinoid acid-responsive
elements (RAREs dan RXREs), kemudian gen tersebut
mengalami transkripsi dan translasi.2-4,7,8
Indikasi dan kontraindikasi retinoid sistemik
Indikasi:
1. Psoriasis
2. Akne
3. Cutaneous T-cell lymphoma (CTCL)
4. Kelainan keratinisasi
5. Photoaging
6. Lesi kulit prakanker dan kanker
7. Lupus eritematosus kutis2
Kontraindikasi:
1. Moderate-severe liver dysfunction
2. Severe kidney disfunction
3. Ibu hamil dan menyusui
4. Wanita usia subur yang tidak dapat/patuh memakai
kontrasepsi selama 2-3 tahun selama dan setelah 2-3
tahun terapi asitretin
5. Hiperlipidemia terutama hipertrigliserida yang tak
terkontrol
6. Terapi dengan obat-obatan yang dapat mempengaruhi
retinoid
7. Terapi dengan obat-obatan yang bersifat hepatotoksik
8. Diabetes melitus yang tak terkontrol
9. Pecandu alkohol9
136
MDVI
TERAPI RETINOID SISTEMIK DI BIDANG
DERMATOLOGI
Psoriasis
Retinoid sistemik termasuk pilihan terapi untuk
psoriasis. Meskipun mekanisme pasti belum diketahui tetapi
diduga obat tersebut berperan dalam mengatur proliferasi
epidermis dan menghambat interleukin-6 (IL-6) yang
berperan dalam patogenesis psoriasis, antiinflamasi dengan
menghalangi jalur asam arakidonat sehingga menekan
respons kemotaktik dan aktivasi leukosit
polimorphonuclear (PMN) pada lesi psoriasis, serta
menghambat induksi migrasi inhibitory factor related
protein-8 (IMRP-8) oleh interferon gamma (IFNγ).
Inhibitory factor related protein-8 tersebut merupakan
petanda untuk hiperproliferasi dan keratinisasi abnormal. 9
Pada psoriasis juga terjadi peningkatan kadar polyamines
yang berperan penting pada pertumbuhan dan diferensiasi
jaringan epidermis. Obat tersebut diduga dapat mengurangi
biosintesis epidermal polyamine.10,11
Asitretin dan etretinat merupakan retinoid sistemik
yang telah disetujui pemakaiannya oleh Food and Drug
Association (FDA) pada psoriasis sejak tahun 1997. Rentang
dosis adalah 0,5-1mg/kgBB/hari, tetapi dosis yang lebih
rendah (0,3-0,5 mg/kgBB) dianjurkan pada awal terapi.
Setelah 3-4 minggu terapi, dosis dapat diturunkan atau
dinaikkan bergantung pada keadaan klinis pasien. Kedua
obat tersebut diindikasikan untuk psoriasis plakat kronis
yang tidak responsif dengan terapi topikal dan sinar ultra
violet, psoriasis pustular generalisata, psoriasis eritrodermik,
dan psoriasis artritis. Beberapa literatur melaporkan
keberhasilan terapi etretinat dan asitretin pada psoriasis.
Asitretin dapat juga dikombinasikan dengan terapi lain,
misalnya fototerapi dengan ultraviolet A (UVA) atau
ultraviolet B (UVB) serta fotokemoterapi (psoralen UVA/
PUVA) terutama pada kasus-kasus yang tidak responsif
dengan monoterapi retinoid. 10,11
Akne vulgaris
Retinoid dapat memicu transkripsi gen baik secara
langsung maupun tidak langsung. Efek langsung
diperantarai melalui ikatannya terhadap RAREs dari gen
target yang aktif mengalami transkripsi. Selain itu, efek tidak
langsung kerja retinoid adalah menurunkan regulasi gen
yang tidak mengandung RAREs pada promoter region-nya
misalnya activator protein-1 (AP-1) dan nuclear factorIL6 (NF-IL6).2,3,7
Kompleks reseptor – asam retinoid dianggap sebagai
antagonis faktor transkripsi AP-1 dan NF-IL6. Efek antagonis
tersebut dapat menurunkan regulasi ekspresi gen yang
responsif terhadap AP-1 dan NF-IL6. AP-1 dan NF-IL6
merupakan faktor transkripsi yang berperan pada proses
proliferasi dan respons inflamasi. Kedua mekanisme tersebut
jelas terlihat pada kerja retinoid pada akne. Kompleks asam
137
Vol. 38 No. 3 Tahun 2011; 134 - 140
retinoat dan RARs pada RAREs akan memicu peningkatan
diferensiasi keratinosit, mengurangi adhesi interseluler, dan
menormalkan keratinisasi. Kompleks retinoid dengan RARs
juga mencegah AP-1 terikat pada AP-1 site sehingga mampu
mencegah proliferasi dan proinflammatory effects dari AP1.12
Terapi retinoid sistemik diindikasikan untuk akne dengan
peradangan berat, misalnya akne nodulokistik atau konglobata,
akne papulopustular persisten, dan akne fulminan. 13,14 Efikasi
isotretinoin untuk kasus akne berat dengan prolonged
remission banyak dilaporkan literatur. Dosis harian isotretinoin
yang direkomendasikan adalah 0,5-1 mg/kgBB/hari. Karena lesi
pada punggung dan dada kurang responsif jika dibandingkan
dengan lesi pada wajah, maka dapat diberikan dosis lebih tinggi
yaitu 2 mg/kgBB/hari terutama pada pasien dengan lesi yang
banyak pada daerah tersebut.2,13
Pasien dengan akne berat, terutama dengan lesi
granulomatosa, sering mengalami flare pada permulaan
terapi sehingga perlu diberikan dosis awal yang rendah,
bahkan dapat di bawah 0,5mg/kgBB/hari. Pasien tersebut
sering membutuhkan pre-treatment dengan prednison
selama 1-2 minggu (40-60 mg/hari). Terapi dapat diberikan
selama 20 minggu, dan dapat diperpanjang terutama pada
pasien yang tidak memperlihatkan respons yang adekuat.
Efek samping isotretinoin sebagian besar bergantung pada
dosis yang diberikan, antara lain kulit kering dan
hiperlipidemia terutama 1 bulan setelah terapi.13-15 Akman
dkk. (2007) melaporkan efektifitas terapi isotretinoin untuk
moderate dan severe acne dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari.16
Kelainan keratinisasi
Retinoid memicu proliferasi sel pada epidermis normal
dengan memperpendek fase mitosis (pembelahan sel), namun
juga bertindak menormalkan epitel yang mengalami
hiperproliferasi. Secara invitro, ATRA dapat menstimulasi
atau menginhibisi proliferasi keratinosit epidermis. Stimulasi
proliferasi keratinosit berhubungan dengan induksi cAMP,
epidermal growth factor (EGF) receptor binding, protein
kinase C (PKC), transforming growth factor alfa (TGF-α).
Gen yang diregulasi oleh reseptor retinoid melibatkan EGF.
Pada kulit manusia secara in vivo, retinoid menginduksi
heparin-binding (HB)-EGF dan amphiregulin (AR), yang
menstimulasi pertumbuhan sel basal melalui aktivasi
reseptor sel permukaan EGF. 2,3,7
Retinoid mengaktivasi RARs/RXRs heterodimer pada
keratinosit suprabasal dan menyebabkan aktivasi faktor
transkripsi yang belum teridentifikasi. Kemudian diikuti
dengan aktivasi sintesis HB-EGF dan AR. Aktivasi ini
Dosis retinoid sistemik pada kelainan keratinisasi (mg/
kg/BB/hari)17
Awal
Pemeliharaan
Isotretinoin
Etretinat
Asitretin
1–2
0,5 – 1
0,5 – 1
0,5 – 1
0,75 – 1,5
0,25 – 0,75
Yenny Raflis, Sri Lestari
akan menginduksi proliferasi keratinosit basal, selanjutnya
terjadi pengelupasan stratum korneum.2,3,7
Efek inhibisi proliferasi epidermis diperantarai oleh kerja
transforming growth factor beta (TGF-β2) terhadap insuline
like growth factor (IGF) binding receptor ya ng
mengakibatkan penurunan regulasi terhadap pertumbuhan
sel. Sesuai dengan efek tersebut, retinoid mengubah
diferensiasi keratinosit terminal menjadi epitel yang
menyerupai mukosa nonkeratinisasi. Bentuk glikosilasi kulit
normal yang diterapi dengan ATRA menyerupai glikosilasi
epitel mukosa, dengan pengurangan tonofilamen,
penurunan kohesi stratum korneum, menghambat fungsi
permeabilitas barrier, dan peningkatan transepidermal
water loss. Hal tersebut menyebabkan efek keratolitik
retinoid pada kelainan hiperkeratotik. Retinoid juga
memperlihatkan aktivitas antiinflamasi dengan cara
menghambat migrasi neutrofil dari kapiler ke epidermis pada
kelainan ini 7,8,17
Kanker kulit
Indikasi retinoid pada lesi prakanker/kanker kulit, yaitu
keratosis aktinik, karsinoma sel basal, karsinoma sel
skuamosa, melanoma, leukoplakia, CTCL, juga kelainan
yang cenderung disertai perubahan neoplasma ganas, misal
xeroderma pigmentosum.2,18-20
Retinoid sintetik oral yang digunakan ialah isotretinoin,
asitretin, dan etretinat. Kemoterapi dan kemopreventif retinoid
memerlukan waktu lama sehingga perlu diperhatikan efek
samping yang terjadi. Dosis kemoterapi 1,5-2 mg/kgBB/hari
sedangkan dosis kemopreventif 0,5 - 1,0 mg/kgBB/hari.21-24
Photoaging/Photodamage
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa efek tidak
langsung dari kerja retinoid adalah menurunkan regulasi
gen yang tidak mengandung RAREs pada promoter regionnya misalnya AP-1. AP-1 ini dapat mengaktivasi gen yang
menghasilkan beberapa collagen-degrading enzyme,
misalnya collagenase, gelatinase, dan stromelysin yang
disebut dengan matrix metalloproteinase (MMPs). Pada
proses photodamage akibat radiasi, UVB berperan dalam
memicu produksi enzim MMPs tersebut. Penggunaan
retinoid sebagai terapi photoaging/photodamage dapat
menghambat pembentukan MMP dengan cara
menggagalkan pembentukan AP-1 2,12
AP-1 terbentuk dari gabungan faktor transkripsi yang
disebut dengan C-Jun dan C-Fos. Retinoid mampu
mencegah penggabungan C-Jun dan C-Fos oleh radiasi UVB
sehingga AP-1 tidak terbentuk. AP-1 juga berperan dalam
memperantarai suatu carcinogenic transformation pada
papiloma dan karsinoma sel skuamosa. Penggunaan retinoid
pada kasus tersebut dikaitkan dengan penekanan C-Jun
sehingga proses transformasi keganasan tidak terjadi.2,12
Banyak literatur yang melaporkan penggunaan retinoid
topikal dan surgical therapy untuk pencegahan dan
Pemakaian Retinoid sistemik di bidang Dermatologi
penanganan photoaging, tetapi retinoid sistemik, khususnya
isotretinoin masih sangat jarang. Untuk terapi photoaging,
dosis yang digunakan lebih rendah dibandingkan dengan
terapi akne.25-27
Liken planus dan lupus eritematosus kutis
Pengobatan retinoid oral (etretinat 75 mg/hari) pada
liken planus menunjukkan respons memuaskan dalam 3 - 4
minggu. Pengobatan retinoid oral (etretinat dan asitretin
50mg/hari) padá lupus eritematosus kutis menunjukkan
perbaikan dalam 6 - 8 minggu. Cara kerja retinoid pada kedua
penyakit tersebut belum jelas, diduga melalui perbaikan
epidermis dan peningkatan diferensiasi epitel sebagai target
kerja obat.2,21
EFEK SAMPING TERAPI RETINOID SISTEMIK
a. Mukokutan
Hampir semua pasien yang mendapat terapi retinoid
mengeluhkan bibir kering, keilitis (retak-retak pada bibir
disertai dengan deskuamasi dan fisura), xerosis pada
mukosa nasal yang diikuti dengan perdarahan pada
hidung, dermatitis, pruritus, fotosensitivitas, paronikia,
impetigo, alopesia, dan lain-lain. Efek samping tersebut
dapat berkurang dengan pemberian emolien atau
lubricating agents. Salep hidrokortison dapat diberikan
pada keilitis atau dermatitis. 2,7,28
b. Okular
Toksisitas pada mata dapat mengenai membran
konjungtiva, kornea, dan retina. Keluhan subyektif dapat
berupa kekeringan, iritasi, nyeri, dan buta senja (jarang).
Blefarokonjungtivitis lebih sering disebabkan
isotretinoin dibandingkan dengan etretinat karena
isotretinoin dapat menghambat produksi lipid pada kulit
dan kelenjar meibomian. Pemakaian artificial tears
sesering mungkin atau lubricating preparation dapat
mengurangi kekeringan pada kornea.2,7,28
c. Muskuloskeletal
Diperkirakan 16% pasien yang diterapi dengan isotretinoin
mengalami mialgia dan kekakuan otot yang bersifat
reversibel. Efek samping tersebut dapat diatasi dengan
pemberian analgetik, myorelaxants, serta menghindari
aktivitas fisik yang berlebihan. Oleh karena pergelangan
kaki paling sering terkena, maka perlu dilakukan
pemeriksaan single radiograph of the ankle sebelum terapi
dan dilanjutkan dengan pemeriksaan sekali setahun. Jika
terdapat abnormalitas atau pemeriksaan radiografi lokal
lainnya menunjukkan perubahan, maka perlu dilakukan
pemeriksaan full radiographic bagian lateral tulang
belakang, pelvis, dan lutut untuk penilaian komprehensif
perubahan tulang yang terjadi.2,7,28
d. Sistem saraf
Pseudotumor cerebri (benign intracranial
hypertension), yaitu suatu keadaan peninggian tekanan
138
MDVI
Vol. 38 No. 3 Tahun 2011; 134 - 140
intrakranial dan edema papil dapat terjadi selama terapi
isotretinoin dan etretinat. Dugaan terhadap sindrom
tersebut perlu ditingkatkan terutama pada pasien
dengan nyeri kepala yang menetap disertai dengan
gangguan penglihatan sehingga memerlukan
pemeriksaan oftalmologi segera.2,7,28
e. Hepar
Reaksi toksik akut retinoid dapat mengakibatkan
terjadinya kerusakan hepar. Peningkatan sementara
kadar transaminase serum dilaporkan pada 20-30%
pasien, biasanya terjadi dalam 0,5-2 bulan setelah terapi
dimulai. Tes fungsi hepar harus diulang dalam 2 minggu
setelah ditemukan adanya sedikit peningkatan kadar
transaminase. Jika tetap tinggi, dan diduga terjadi
hepatitis, maka terapi harus dihentikan.2,7,28
f. Abnormalitas lipid
Hiperlipidemia adalah salah satu toksisitas akut retinoid
sintetik yang paling sering muncul. Peningkatan
trigliserida serum dan kolesterol sebanding dengan
dosis obat dan kembali normal setelah 4-8 minggu obat
dihentikan. Jika peningkatan lipid darah tidak
memberikan respons dengan pengurangan dosis obat
maka terapi harus dihentikan(trigliserida >800mg/dl).2,7,28
g. Teratogenik
Teratogenik merupakan efek samping paling serius
pemakaian retinoid. Pemberian retinoid pada awal
kehamilan (terutama 3 minggu pertama kehamilan) dapat
menyebabkan abnormalitas fetus, antara lain pada
kraniofasial, sistem saraf pusat, dan jantung sehingga
penting mencegah kehamilan pada wanita usia subur
sebelum memulai terapi. Kontrasepsi yang efektif adalah
wajib selama dan setelah terapi. 2,7,28
terapi retinoid harus disingkirkan terlebih dahulu, dan hanya
ada satu kontraindikasi absolut yaitu kehamilan. Retinoid
bersifat teratogenik, dan pasien wanita harus menghindari
konsepsi tidak hanya selama terapi namun juga setelah terapi
dihentikan. Pemberian terapi harus mempertimbangkan risiko
dan keuntungan yang muncul dengan mempertimbangkan
beberapa faktor misalnya: keparahan penyakit, umur,
pekerjaan, serta penyakit yang menyertai. Terapi dapat
diberikan pada pasien yang resisten atau intoleran dengan
modalitas terapi lainnya dan menyetujui untuk mendapat
terapi tersebut. Lama terapi juga menjadi pertimbangan dan
monitoring yang ketat harus dilakukan selama terapi.9
PENUTUP
Retinoid adalah suatu kelompok senyawa alami dan
sintetik yang secara struktural dan fungsional analog
dengan vitamin A. Terdapat 3 generasi retinoid sintetik yaitu:
retinoid nonaromatik (generasi I), retinoid monoaromatik
(generasi II), dan retinoid poliaromatik (generasi III). Terapi
tersebut dapat diberikan secara topikal maupun sistemik.
Pemberian secara sistemik terutama jangka panjang dapat
menimbulkan efek samping yang berat antara lain
teratogenisitas, efek pada metabolisme lipid, dan perubahan
fungsi hepar. Walaupun banyak kelainan kulit yang
responsif dengan terapi retinoid, tetapi perlu berhati-hati
sebelum memutuskan pemberian terapi tersebut mengingat
efek samping yang dapat ditimbulkannya sehingga perlu
dilakukan skrining dan evaluasi sebelum, selama, dan
setelah terapi.
DAFTAR PUSTAKA
PENCEGAHAN
Untuk mencegah terjadinya efek samping yang serius,
maka perlu dilakukan pemeriksaan sebelum pengobatan dan
evaluasi selama dan setelah terapi. Kontraindikasi untuk
1. Wyatt EL, Sutter SH, Drake LA. Dermatological
pharmacology. Dalam: Hardman JG, limbird IE, penyunting.
Godman and Gillman’s the pharmacological basis of
therapeutic. Edisi ke-10. New York: Mcgraw Hill;
2001.h.1795-814.
Skrining pretreatment dan monitoring terapi retinoid9
Skrining pretreatment
1. Anamnesis untuk menyingkirkan semua
hal-hal yang termasuk kontraindikasi
terapi
2. Tes kehamilan pada wanita usia subur
3. Tes fungsi hepar
4. Glukosa darah
5. Trigliserida serum dan kolesterol
6. Kreatinin serum
7. Rontgen spinal (pada 3 bulan pertama jika
butuh terapi jangka panjang).
139
Monitoring
1. Efek samping mukokutan
2. Kolesterol serum/trigliserid dan enzim hepar (setiap 2 minggu pada
6 bulan pertama, kemudian setiap 6-12 minggu)
3. Kreatinin serum (setiap 2 minggu pada 6 bulan pertama, kemudian
setiap 6-12 minggu)
4. Hiperostosis dengan anamnesis dan Röntgen tulang belakang (sekali
dalam 2 tahun)
5. Tes kehamilan (2 minggu awal terapi)
6. Lipid electrophoresis, radiografi skeletal dengan bone scintigraphy,
dan pemeriksaan oftalmologi. Pemeriksaan ini harus diulang setiap
6-12 bulan, jika butuh terapi jangka panjang.
Yenny Raflis, Sri Lestari
2. Yahlquist A, Kuenzil S, Saurat JH. Retinoids. Dalam: Eisen
AZ, Wolff K, Freedberg IM, Austen K, penyunting.
Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New
York: Mcgraw Hill; 2008. h. 2181-6.
3. Kang S, Voorhess JJ. Topical retinoids. Dalam: Fitzpatrick
TB, Eisen AZ, Wolff K, Freedberg IM, Austen K, penyunting.
Dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York:
Mcgraw Hill; 2008. h. 2106-12.
4. Connor MJ. Mechanism of action of retinoids in the skin.
Dalam: Lowe NJ, Marks R, penyunting. Retinoids a clinician’s
guide. London: Martin Dunitz; 1995. h. 23-9.
5. Blomhoff R, Blomhoff HK. Overview of retinoid metabolism
and function. J Neurobiol. 2005: 606-30.
6. Elzamar MMA, Reichert U, Shroot B, Nau H. Pattern of
retinoid-induced teratogenic effects: possible relationship with
relative selectivity for nuclear retinoid receptors RARα, RARβ,
and RARγ. Teratol. 1996: 158-67.
7. Kuenzil S, Saurat JH. Retinoids. Dalam: Bolognia JL, Jorizzo
JL, Rapini RP, penyunting. Dermatology. Edisi ke-4. London:
Elsevier Limited; 2006. h. 2056-67.
8. Roos TC, Jugert FK, Merk HF, Bickers DR. Retinoid
metabolism in the skin. Pharmacological Review. 1998; 50(2):
315-29.
9. Van De Kerkhof PCM. Update on retinoid therapy of
psoriasis in: an update on the use of retinoids in dermatology.
Dermatol Ther. 2006; 19: 252-63.
10. Pathirana D, Ormerod AD, Saiag P, Smith C, Spuls PI, Nast
A, dkk. European S3-guidelines on the systemic treatment of
psoriasis vulgaris. JEADV. 2009; 5-70.
11. Gollnick HPM. Oral retinoids—efficacy and toxicity in
psoriasis. Br J Dermatol. 1996; 6-17.
12. Baumann L, Shagari S. Retinoid. Dalam: Bauman L, Saghari S,
Weisberg E, penyunting. Cosmetic dermatology. Edisi ke-2.
New York: Mcgraw Hill; 2009. h. 256-62.
13. Zaenglein AL, Grabber EM, Thiboutut DM, Strauss JS. Acne
vulgaris and acneiform eruption. Dalam: Wolff K, Goldsmith
LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting.
Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New
York: Mcgraw Hill; 2008. h. 690-703.
14. Webster GF. Acne vulgaris. BMJ. 2002; 325: 477-9.
15. Ganceviciene, R, Zouboulis C. Isotretinoin: state of the art
treatment for acne vulgaris. JDDG. 2009: 1: S47-59.
16. Akman A, Durusoy C, Senturk M, Koc CK, Soyturk D,
Pemakaian Retinoid sistemik di bidang Dermatologi
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
Alpsoy E. Treatment of acne with intermittent and
conventional isotretinoin: a randomized, controlled multicenter
study. Arch Dermatol Res. 2007; 299: 467–73.
Katugampola RP, Finlay AY. Oral retinoid therapy for
disorders of keratinization: single-centre retrospective 25
years’ experience on 23 patients. Br J Dermatol. 2006; 154:
267–76.
Ormerod AD, Campalani E, Goodfield MJD. British
association of dermatologists guidelines on the efficacy and
use of acitretin in dermatology. Br J Dermatol. 2010; 162:
952-63.
Zhang C, Duvic M. Treatment of cutaneous T-cell lymphoma
with retinoids. Dermatol Ther. 2006; 19: 264–71.
Zhang C, Duvic M. Retinoids: therapeutic applications and
mechanisms of action in cutaneous T-cell lymphoma. Dermatol
Ther. 2003; 16: 322–30.
Ormerod AD, Campalani E, Goodfield MJD. British
association of dermatologists guidelines on the efficacy and
use of acitretin in dermatology. Br J Dermatol. 2010; 162:
952-63.
Campbell RM, DiGiovanna JJ. Skin cancer chemoprevention
with systemic retinoids: an adjunct in the management of
selected high-risk patients. Dermatol Ther. 2006; 19: 306–14.
Otley CO, Stasko T, Tope WD, Lebwhol M.
Chemoprevention of nonmelanoma skin cancer with systemic
retinoids: practical dosing and management of adverse effects.
Dermatol Surg. 2006; 32: 562–8.
Kovach BT, Sams HH, Stasko T. Systemic strategies for
chemoprevention of skin cancers in transplant recipients. Clin
Transplant. 2005; 19: 726–34.
Bagatin E, Parada MO, Miot AH, Hassun KM, Michalany
N, Talarico S. A randomized and controlled trial about the use
of oral isotretinoin for photoaging. Int J Dermatol. 2010; 49:
207–14.
Samuel M, Brooke R, Hollis S, Griffiths CEM. Interventions
for photodamaged skin (Review). The Cochrane
Collaboration. 2009; Issue 3: 94-9.
Kalil vitello CLP, Fachinello FZ, Lamb FM. Use of oral
isotretinoin in photoaging therapy. SKINmed: Dermatol Clin.
2008; 10-14. Jan-Feb: 10- 4.
Lowe NJ, David M. Toxicity. Dalam: Lowe NJ, Marks R,
penyunting. Retinoids (A clinician’s guide). United Kingdom:
Martin Dunitz Ltd.; 1995. h. 119-30.
140
Download