KEBIJAKAN POLITIK ASOSIASI PENDIDIKAN KOLONIAL

advertisement
KEBIJAKAN POLITIK ASOSIASI PENDIDIKAN KOLONIAL
TERHADAP UMAT ISLAM TAHUN 1890-1930
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana (S1) Humaniora (S.Hum)
Oleh :
Amalia Rachmadanty
NIM. 1111022000036
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016 M/1438 H
DEDIKASI
Teruntuk Ayahanda Bambang Eddy Usmanto, Ibunda Nurochwati, Mas Geno
Mohamad Nurdiansah, Mas Dio Mohamad Nurdiansah, Mba Wienarti, dan
semua yang telah terlibat dalam penyelesaian skripsi ini.
ABSTRAK
Judul: Kebijakan Politik Asosiasi Pendidikan Kolonial Terhadap Umat Islam Tahun
1890-1930
Penelitian ini bertujuan menjawab pertanyaan mengenai apa saja motif dan kebijakan
yang dibuat pemerintah Belanda terhadap pendidikan umat Islam di Hindia Belanda (18901930) salah satunya adalah politik asosiasi pendidikan yang diprakarsai Snouck Hurgronje.
Dan bagaimana kondisi pendidikan masyarakat di Hindia Belanda, baik pendidikan model
Barat dan pendidikan Islam pada masa kolonial Belanda. Karena pada masa, itu Pemerintah
Belanda sangat mengawasi pendidikan khususnya lembaga pendidikan Islam. Penelitian ini
bersifat deskriptif analitif, karena itu, metode yang penulis gunakan adalah kajian kualitatif,
dan data penulis peroleh melalui penelusuran literatur.
Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode yang biasa digunakan
dalam penelitian sejarah pada umumnya, yaitu; heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan
historiografi. Dalam penelitian ini penulis menemukan fakta-fakta terkait kebijakan
pemerintah Belanda terhadap pendidikan umat Islam di Hindia Belanda (1890-1930).
diantaranya; pertama timbulnya keresahan akibat diskriminasi pendidikan yang dilakukan
pemerintah Belanda khususnya Islam, kedua modernisasi pendidikan menumbuhkan
semangat kebangsaan baik dari basis pendidikan barat maupun basis pendidikan Islam
sebagai respon dari kebijakan pendidikan Belanda.
Skripsi ini juga ingin meningkatkan kajian sejarah dari sudut pandang pendidikan
dengan pendekatan politik dan sosial. Dari hasil analisa dengan menggunakan pendekatan
tersebut, penulis simpulkan bahwa asosiasi pendidikan yang awal mulanya diadakan untuk
menarik beberapa orang saja tidak sepenuhnya mencapai sasaran. Kebijakan Pemerintah
Belanda terhadap pendidikan bak pedang bermata dua, malah memperkuat Elit Intelektual
barisan nasionalis baik sekuler maupun Islam, yang menjadi ancaman bagi keberlangsungan
pemerintahan kolonial dan menjadi sarana penyadaran sosial bagi masyarakat pribumi.
Kata Kunci: Snouck Hurgronje, Kebijakan Belanda, Pendidikan, Elit Intelektual
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang
telah memberikan petunjuk dan kasih sayang-Nya kepada hamba-Nya yang selalu
bersyukur. Shalawat beriring salam selalu terlimpah curahkan kepada baginda
alam yakni Nabi besar kita Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan para
pengikutnya hingga akhir zaman. Syukur Alhamdulillah dengan do’a dan usaha
akhirnya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik, walaupun tentunya
banyak hambatan dan rintangan yang senantiasa silih berganti.
Penulis menyadari skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dari
semua pihak, baik dukungan moril maupun materil. Oleh karena itu penulis
mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Sukron Kamil, MA, selaku Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. H. Nurhasan, MA, selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Solikhatus Sa’diyah, M.Pd, selaku sekeretaris Jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam yang dengan sabar memberikan pelayanan terkait
administrasi yang penulis butuhkan.
5. Prof. Dr. Budi Sulistiono, M. Hum, selaku dosen pembimbing skripsi,
yang dengan sabar memberikan arahan, kritik dan saran, terutama
kesediaan waktunya dalam membimbing, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
vii
6. H. Nurhasan, MA, selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah
memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis selama perkuliahan.
7. Dr. H. Abdul Wahid Hasyim, M.A. selaku dosen penguji I sekaligus
penasihat akademik yang baik dalam memberikan, masukan, arahan dan
motivasi yang baik bagi penulis.
8. Drs. Tarmizy Idris, M.A. selaku doen penguji II yang telah membantu
penulis dalam memperbaiki skripsi ini baik dari segi isi, maupun kalimatnya.
Dari perbaikan ini, penulis belajar bagaimana menulis tulisan yang
akademik, dan lebih enak dibaca.
9. Bapak dan Ibu Dosen Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan
pengalamannya kepada penulis selama perkuliahan.
10. Seluruh staff dan pegawai Fakultas Adab dan Humaniora yang telah
membantu baik dalam urusan akademik maupun acara kemahasiswaan.
11. Karyawan/Karyawati Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas Adab
dan Humaniora, Perpustakaan UI, Perpustakaan Nasinonal, ANRI yang
telah memberikan pelayanan dan menyediakan fasilitas dalam penulisan
skrispi ini.
12. Orang tua tersayang, ayahanda Bambang Eddy Usmanto dan ibunda
Nurochwati yang tiada hentinya memberikan do’a, nasehat, dan kasih
sayangnya. Tiada henti menanyakan kapan ananda menyelesaikan studi.
Ananda meminta maaf
dan mengucapkan terimakasih dari hati yang
paling terdalam. Semoga Allah selalu memberikan keberkahan,
kemudahan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Amin.
viii
13. Kakak tercinta mas Geno Mohamad Nurdiansah, mas Dio Mohamad
Nurdiansah dan ipar tersayang Mbak Wien Winarti, yang selalu
memberikan do’a dan dukungan kepada penulis agar terus melanjutkan
pendidikan ke jenjang selanjutnya. Serta kepada keluarga Soemito, Mbak
Mamah, Oom Miran, Oom Aris yang tak henti dan mendorong penulis
untuk cepat menyelesaikan studi.
14. Sahabat-sahabat seperjuangan BPH HMJ SKI, Muhammad Naufan
Faikar, Lilis Shofiyanti, Wilda Eka Safitri, Mitra Zalman, dan Presidium
HMI KOFAH Muhammad Naufan Faikar, Lilis Shofiyanti, Yudha
Adipradana, Ahmad Alfaiz, Dini Hafidzah, Nurfika Arafah atas dedikasi
dan Pengalamannya.
15. Kepada Sulastri, Siti Rahmawati, Syifa Fauziah, Amanah, Yanti
Susilawati, Silpa Ul’haq, Masitah, Asep Halimi, Budi Permana, Mirza
Rezadi dan Dirga Fawakih penulis hanturkan terima kasih yang
mendalam telah memberikan warna selama masa perkuliahan. Selalu
memberikan semangat dan motivasi baik dari masa awal perkuliahan
sampai pada masa akhir perkuliahan. Semoga Allah senantiasa
memberikan nikmat dan karuniaNYA untuk kalian semua.
16. Sahabat-sahabat SKI seperjuangan angkatan 2011 terima kasih atas
kerjasamanya selama perkuliahan. Semoga kita dipertemukan dalam
keadaan sukses.
17. Teruntuk kakak-kakak yang selalu membimbing penulis, Ka Ervan
Anwarsyah, Ka Mughni Labib, Ka fauzan Baihaqi, Ka Candra Fivetya,
Ka Novita Puspa, Ka Johan Eko Prasetyo, Ka Agus Nawawi dan Ka
ix
Firman Faturohman yang tak henti memberikan motivasi dan arahan
selama masa perkuliahan dan berorganisasi. Adinda Syanti Soraya,
Andika Ripwan, Muhammad Mir Atul Hayat
penulis haturkan pula
terima kasih sudah mau membantu penulis.
18. Keluarga besar HMI Komisariat Fakultas Adab dan Humaniora
(KOFAH), Kohati Komisariat HMI KOFAH, KOHATI HMI cabang
Ciputat, terimakasih atas pengertian-pengertiannya selama penulis
menyelesaikan skripsi ini.
19. Keluarga besar LKK Kohati Cabang Ciamis dan LK2 HMI Cabang
Bandung yang pernah menemani penulis berproses dalam himpunan
tercinta.
20. Teman-teman di Kuliah Kerja Nyata (KKN) Pelita di Desa Cibeber,
Klapanunnggal, Bogor tahun 2014 atas cerita dan pengalamanya..
Semoga Allah SWT selalu membalas segala amal baik kepada pihak yang
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari skripsi ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca demi lebih baiknya skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Jakarta, 24 November 2016
Amalia Rachmadanty
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iii
DEDIKASI .............................................................................................................. v
ABSTRAK ............................................................................................................. vi
KATA PENGANTAR ..........................................................................................vii
DAFTAR ISI.......................................................................................................... xi
DAFTAR ISTILAH .............................................................................................xii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... xiii
BAB I
PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah........................................................................... 8
C. Kerangka Tujuan ............................................................................... 9
D. Batasan Masalah ................................................................................ 9
E. Manfaat Penelitian ............................................................................. 9
F. Metode Penelitian............................................................................. 10
G. Tinjauan Pustaka .............................................................................. 12
H. Kerangka Teori ................................................................................. 16
I. Sistematika Penulisan ........................................................................ 17
BAB II Kondisi Masyarakat dan Pendidikan di Hindia Belanda 1890-1930 19
A. Keadaan Masyarakat di Hindia Belanda Masa Kolonial ................. 19
B. Pendidikan Masyarakat di Hindia Belanda...................................... 25
C. Kebijakan Politik Asosiasi Pendidikan Terhadap Masyarakat
Pribumi ........................................................................................... 38
BAB III Kebijakan Politik Asosiasi Pendikan Bagi Umat Islam 1890-1930 . 48
A. Pendidikan Umat Islam Masa Kolonial ........................................... 48
B. Kebijakan Pemerintah Terhadap Pendidikan Islam ......................... 66
C. Dampak Politik Asosiasi Pendidikan Bagi Umat Islam .................. 73
BAB IV Respon Umat Islam Terhadap Dampak Politik Asosiasi Pendidikan
1890-1930 ............................................................................................. 78
A. Keresahan dan Perlawanan Umat Islam Terhadap Politik Asosiasi
Pendidikan ....................................................................................... 78
B. Pertumbuhan Semangat Kebangsaan Umat Islam Dalam Melawan
Sistem Kolonial ............................................................................... 96
BAB V PENUTUP........................................................................................... 105
A. Kesimpulan .................................................................................... 105
B. Saran .............................................................................................. 106
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 108
LAMPIRAN........................................................................................................ 113
DAFTAR ISTILAH
Ambacthschool
Sekolah Petukangan
Asosiasi
Mempertemukan Kebudyanaan Dua Negeri yang Berbeda
Sebagai Teman
de Schoolen de Eeerste Klasse
Sekolah Kelas Satu untuk anak terkemuka
de Schoolen de Tweede Klasse
Sekolah Kelas Dua didirikan untuk rakyat pribumi
Etische Politiek
Politik Balas Budi
Hoofdenschool
Sekolah untuk Calon Pegawai
Klein Ambtearen
Pegawai Rendah
Menak
Kelas sosial dalam golongan bangsawan Sunda
Priayi
Kelas sosial dalam golongan bangsawan Jawa
Pribumi
Masyarakat asli Hindia Belanda (Indonesia)
Vervolgschool
Sekolah Sambungan
Rechtschool
Sekolah Hakim
Binnelands Bestuur
Pegawai Pemerintahan Dalam Negri
Indlandsche geneeskunde
Ahli Kesehatan Pribumi
xii
DAFTAR SIGKATAN
AMS
Algemeene Midlebare School
ANRI
Arsip Nasional Republik Indonesia
ELS
Europeeche Large School
GHS
Geneskundige Hoge School
HBS
Hogere Burger School
HCS
Hollandsch Chineesche School
HIK
Hollandsch Indlandsch Kweekschool
HIS
Hollandsch Indlandsch School
MLS
Middlebare Landbrouw School
MULO
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
NIAS
Nederlansche Indische Artsen School
OSVIA
Opleiding School oor Indlandsche Ambtenaren
PNRI
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
RHS
Rechtskundige Hoge School
STOVIA
School toot Opleiding voor Indlansdch Artsen
THS
Technise Hoge School
VOC
Verenigde Oost-Indische Compagnie
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dua dasawarsa akhir abad ke-19 dan dua dasawarsa pertama abad ke-20
dikenal sebagai puncak abad imperialisme, di mana merupakan masa keemasan
bagi bangsa-bangsa Eropa yang memiliki nafsu membentuk kekaisaran seperti
Inggris, Peranci, dan lain-lain yang merajalela di Afrika dan Asia dan mengancam
negara yang sudah merdeka masuk ke dalam bagian provinsi Eropa. Lain hal
dengan Belanda yang sudah memulai politik ekspansinya jauh sebelum itu.1
Usaha untuk tetap mempertahankan eksistensi dan kekuasaannya di negeri
jajahan, Islam dipelajari di negeri Belanda untuk mengenal lebih jauh segala
sesuatunya tentang Islam dan pribumi Indonesia atau masyarakat Hindia Belanda
demikian mereka disebut dahulu. Ketakutan Belanda lebih besar dibandingkan
harapannya mengenai masa depan Islam Hindia Belanda menjelang akhir abad ke19, karena tidak adanya kepastian kebijakan politik yang mengatur dan
memberikan batasan-batasan untuk umat Islam di Hindia Belanda. Dari sini
muncullah Islam Politiek yaitu kebijakann pemerintah Hindia Belanda dalam
menangani masalah Islam.2 Babakan baru ini berada di bawah pengaruh seorang
1
Aqib Suminto. Politik Islam Hindia-Belanda; het Kantoor voor Inlandsche zaken
(Jakarta: LP3ES, 1986), h. 9.
2
Aqib Suminto. Politik Islam Hindia-Belanda. h. 2.
1
2
orientalis terkemuka pada masa itu, Dr. Christian Snouck Hurgronje3, selanjutya
disebut Snouck yang menjadi peletak dasarnya.
Snouck datang ke Hindia-Belanda pada tahun 1889, dan pada 1899 -1906 ia
ditunjuk
sebagai
penasehat
pada
Kantor
Urusan
Orang Pribumi
dan
Arab (Kantoor voor Inlandsche Zaken)4, kantor ini merupakan alat untuk
melaksanakan ide Snouck dalam menangani umat Islam di Hindia Belanda.
Kantoor voor Inlandsche Zaken – yang berwenang memberikan nasehat kepada
pemerintahan dalam masalah pribumi, berdiri sejak tahun 1899, tahun di mana
kedatangan Etische Politiek5 sudah di ambang fajar.
3
E. Gobee, dan C. Adriaanse, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936. Jilid I. Terj. Sukarsi. (Jakarta:
INIS, 1990), h. v dan Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, h.119.
Snouck Hurgronje merupakan anak keempat pasangan pendeta JJ. Snouck Hurgronje dan
Anna Maria, putri pendeta D. Christian de Visser. Snouck Hurgronje memasuki sekolah lanjutan
H.B.S. di Breda untuk mempelajari bahasa Latin dan Yunani (Greek). Kemudian ia masuk
Universitas Leiden pada 1875, dalam usia 18 tahun. Mula-mula masuk Fakultas Teologi,
kemudian pindah ke Fakultas Sastra Jurusan Bahasa Arab. Pada 24 Nopember 1880 studinya di
Leiden berakhir dan ia meraih gelar doctor sastra Arab, tamat dengan predikat cumlaude dengan
disertasi Het Mekkaansche Feest (Perayaan di Makkah).
Lihat juga Muin Umar, Orientalisme dan Studi Tentang islam (Jakarta : Penerbit Bulan
Bintang, 1978).h 61-76. Lihat juga Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan, Pergumulan Elite
Muslim dalam Sejarah Indonesia,(Jakarta: Mizan, 2012). h. 165-172.
Snouck tiba di Hindia Belanda pada Mei 1889 setelah penelitiannya tentang Komunitas
Jawi di Mekkah dan ia pun menetap di Buitenzorg (Bogor) kediaman K.F. Holle, ia pernah
mengunjungi negri Arab pada 1884 dan sampai ke Mekkah. Beberapa tulisan mengenai Islam
diantaranya nerhubungan dengan hajj di Mekah yang dicetak di Leiden beberapa karyanya antara
lain : De Atjehers – Het Gajoland – Arabic en Oost Indie, Het Mekkaanse Feast yang berisi
tentang ibadah haji yang dilakukan kaum muslimin pada tiap bulan Zulhijah.
4
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, h. 118-119.
Takashi Siraishi menyebutkan bahwa zaman etis “politik eties” adalah zaman modern
yang merupakan zaman baru dalam politik kolonial dimulai. Semboyan dari zaman baru ini
adalah “kemajuan”. Kata-kata yang menandakan kemajuan, seperti “vooruitgan, opheffing
(kemajuan) ontwikkeling (perkembangan), dan opvoding (pendidikan), membubuhi bahasa saat itu
bersama bervoedering van welvaart (memajukan kesejahteraan). Takhasi Shiraishi, Zaman
Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Grafiti, 1997) cet. I, h. 35. Lihat juga
Robert Cribb, Audrey Kahin, Kamus Sejarah Indonesia, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012), h.
431, Tentang Politik Ethis (Ethisce Politik).
5
3
Berkat pengalamannya di Timur Tengah dan mempelajari tentang Islam, dan
juga mempelajari tantang Aceh, ia berhasil menyelesaikan perang Aceh, Snouck
mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam penyelesaian perang Aceh ini, ia
berhasil menemukan suatu pola dasar bagi kebijaksanaan pemerintah Hindia
Belanda untuk menghadapi Islam di wilayah Hindia-Belanda,6seperti yang
dijelaskan oleh Aqib Suminto pola ini yang menjadi landasan kerja bagi para
adviseur voor Inlandsche zaken berikutnya untuk melaksanakan tugasnya sebagai
penasehat Gubernur Jenderal dalam menangani masalah pribumi.
Pemerintah Belanda pun tidak melupakan kenyataan bahwa berbagai
perlawanan umat Islam di Hindia Belanda memang banyak dimotori oleh para
haji dan ulama. Kenyataan ini menimbulkan banyak suara di kalangan pejabat
pemerintah Hindia Belanda yang menginginkan agar pemerintah melarang orang
Islam berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji.7 Sebab ibadah haji
dinilai akan menyebabkan kaum pribumi menjadi fanatik. Pemerintah Hindia
Belanda pun kemudian mengeluarkan bermacam-macam peraturan yang
membatasi dan mempersulit pelaksanaan ibadah haji, untuk menekan pergerakan
pribumi.
Harry J. Benda melukiskan pembagian Islam oleh Snouck menurut dua aspek
yang
dapat
dipisahkan:
Islam
religius
dan
Islam
politik8,
Snouck
memformulasikan dan mengkategorikan permasalahan Islam menjadi tiga bagian,
6
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia-Belanda. h. 2.
Suminto. h. 7
8
Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari terbit, Islam Indonesia Pada masa
Pendudukan Jepang,. Daneil Dhakidae (terj) (Jakata: PT Pustaka Jaya, 1980). h..44.
7
4
yaitu ; bidang agama murni, bidang sosial kemasyarakatan, bidang politik.
Pembagian kategori pembidangan ini juga menjadi landasan dari doktrin konsep
Splitsingstheori.9 Dalam bidang agama murni, pemerintah memberikan kebebasan
kepada umat Islam untuk melaksanakan ajarannya, pemerintah juga harus
memperlihatkan sikap seolah memperhatikan umat Islam. Dalam bidang sosial
kemasyarakatan pemerintah memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dan
menggalakkan agar rakyat tetap berpegang teguh pada adat tersebut, sehingga
ajaran Islam sangat dibatasi agar tidak meluas. Untuk membendung hukum Islam,
Snouck mengemukakan Theori Reseptie.10 Terakhir dalam bidang politik, Snouck
menyarankan pemerintah Belanda untuk melakukan politik asosiasi, yang lebih
menekankan pada pendidikan bercorak barat dan pemanfaatan kebudayaan Eropa
dan kaum pribumi.
Sebelum kedatangan Snouck Tahun 1819 Gubernur van de Capelen
mengeluarkan surat edaran yang menyatakan secepat mungkin untuk meratakan
kemampuan membaca dan menulis masyarakat pribumi agar lebih mudah dalam
menaati undang-undang dan hukum negara,11 hal tersebut agar dapat
mewujudkan apa yang di cita-citakan pemerintah pada awal kedatangan Belanda
ke Hindia Belanda yang sedikitnya ada tiga (tri G), pertama mendapatkan
9
Aqib Suminto. Politik Islam Hindia-Belanda. h. 12
Yayan Sopyan ,Islam Negara Transormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Jakarta: RMBooks, 2012) , h. 6.
Teori ini menegaskan bahwa hukum islam berlaku secara efektif di kalangan umat Islam
jika hukum Islam tersebut sejalan dengan hukum adat di Indonesia. Hukum yang berlaku di
Indonesia tidak di dasarkan pada ajaran agaman tetapi lebih pada hukum adat setempat.
11
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun
Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994), h.1.
10
5
keuntungan ekonomi (Gold), kedua mendapatkan kekuasaaan politik (Glory),
ketiga menyebarkan missi ideologi dan keagaaman(Gospel).
Pemerintah Belanda sangatlah telat dalam memajukan negara jajahannya
dibandingkan dengan Inggris dan Prancis yang sudah mendirikan sekolah terlebih
dahulu di daerah jajahannya. Karena pada dasarnya pendidikan merupakan
fondasi dasar dari berbagai sistem yang berlaku di Hindia Belanda untuk
membangun negara dan meningkatan kesejahteraan rakyat pada umumnya.
Sebelum pemerintah Belanda mendirikan sekolah sudah berdiri lembaga
pendidikan Islam seperti surau, madrasah dan pesantren yang berkembang di
daerah-daerah untuk memberikan pendidikan agama, meskipun masih menganut
pendidikan tradisional namun lembaga ini memiliki peran penting dalam
memajukan masyarakat setempat jauh sebelum pendidikan Belanda masuk,
hingga lembaga-lembaga ini bertransformasi menjadi pendidikan modern sebagai
respon modernisasi pendidikan Islam yang tertinggal dibandingkan pendidikan
yang dilakukan pemerintah Belanda, sehingga menurut pemerintah Belanda surau,
madrasah, dan pondok pesantren ini merupakan ancaman bagi pemerintah
Belanda, hingga perlu dibuat kebijakan-kebijakan di dalam kurikulum pendidikan
yang diajarkan.
Awal abad ke 20-politik etis12 pun mulai dilancarkan, sekolah-sekolah mulai
didirikan dan diperluas. Beberapa sekolah yang didirikan pemerintah Belanda
12
Takhasi Shiraishi, Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta:
Grafiti, 1997) cet. I, h. 35. Politk Etis juga nama umum yang diberikan untuk kebijakan kolonial
Belanda pada dasawarsa-dasawarsa awal abad ke-20. Kebijakan ini diambil setelah pidato yang
6
menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Sejak tahun 1914
masyarakat mulai mengecam politik etis yang gagal, ditambah pada 1930 banyak
masyarakat pribumi yang belum melek huruf, angka kesadaran dan kemelekan
huruf sangatlah rendah, hal ini yang membuat masyarakat masih melekat segala
macam bentuk prasangka, stereotip, dan lain-lain sebagainya dalam diri umat
Islam. Melek huruf di sini diartikan sebagai melek huruf latin, menyebabkan tidak
dihitungnya mereka yang paham dalam membaca dan menulis Arab maupun yang
membaca dan menulis daerah, sehingga mereka yang hanya bisa membaca dan
menulis Arab dan daerah tidak mempunyai banyak kesempatan untuk bekerja di
pemerintahan dan pabrik13. Rendahnya melek huruf ini mencerminkan hasil yang
tidak berarti dari komitmen pemerintah Belanda terhadap kebijakan politik etis
tahun 190114 yang di dalamnya berkembang pula politik asosiasi pendidikan yang
dilancarakn pemerintah Belanda, politik asosiasi melalui jalur pendidikan ini
merupakan ide dari Snouck Hurgronje dalam menangani masyarakat Muslim
pribumi di Hindia Belanda.
dilakukan Ratu Wilhelmina dari takhtanya pada 1901 dengan mengumumkan : “sebagai sebuah
kekuatan kristen, Belanda wajib melakukan kebijakan pemerintah di hindia belanda dengan
kesadaran bahwa belanda memiliki kewajiban moral kepada rakyat di wilayah-wilayah tersebut.”
Kebijakan tersebut diungkapkan dengan kesediaan baru pemerintah untuk melibatkan dirinya
sendiri dalam urusan ekonomi dan sosial di nusantara atas nama efisiensi rasional. Inilah waktu
peningkatan pelayanan kesehatan, perluasan pendidikan, perluasan fasilitas komunikasi, irigasi
dan infrastruktur lainnya, serta pelaksanaan tindakan transmigrasi yang membawa keuntungan
untuk kepentingan perniagaan barat serta orang indonesia sendiri.
13
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. (Yogyakarta: Yayasan bentang Budaya, 1995),
h. 186.
14
M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa.(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2013) ,h. 63.
7
Politik asosiasi ini bertujuan untuk mengasimilasi15 elit modern ke dalam
budaya sekuler Barat modern melalui pendidikan dan pemanfaatan adat dan
membuka posisi-posisi pemerintahan bagi masyarakat Hindia Belanda yang
memenuhi kualifikasi. Dengan adanya asosisasi ini masyarakat Hindia Belanda
bisa memanfaatkan kebudayaan Belanda tanpa mengabaikan kebudayaan sendiri.
Hasil dari politik asosiasi pendidikan ini adalah menjauhkan masyarakat dari
sistem Islam dan ajaran Islam, dan ditarik ke dalam orbit Westernized, dengan
tujuan akhir bukanlah Hindia Belanda yang diperintah dengan corak adat istiadat,
namun Hindia Belanda yang diperbaratkan16. Politik Asosiasi pendidikan ini lebih
banyak melirik para bangsawan atau elit pribumi. Snouck merekomendasikan
bahwa untuk mengalahkan pengaruh Islam di Hindia Belanda, kaum priyayi atau
elit pribumi harus diberi pendidikan Barat, sehingga terjauhkan dari agamanya
dengan tujuan untuk menempatkan para elit ini di berbagai jabatan yang strategis
agar Hindia Belanda dapat dipimpin oleh pribumi yang ke-baratan, serta patuh
pada pemerintah Belanda.
Ini yang membuat penulis tertarik menulis kebijakan politik pemerintah
Hindia Belanda, khususnya politik asosiasi yang lebih menekankan pada
pendidikan pribumi khususnya umat Islam. Pendidikan hanya bisa dirasakan oleh
kaum elit pribumi yang di dalamnya terdapat banyak kecurangan-kecurangan
yang dilakukan oleh pemerintah Belanda, khususnya asosiasi pendidikan yang
15
Istilah asosiasi sering dipergunakan dalam pengertian yang sama dengan istilah
asimilasi. Kalau asosisasi lebih bersifat mempertumakan antara dua negeri yang berbeda sebagai
teman, sedangkan asimilasi cenderung untuk menyatukan keduanya. Encyclopaediae van
Nederlandsch-Indie (ENI, jilid I. (‘s-Gravenhage, 1917), h. 67.
16
Harry J Benda, h.47. lihat juga Budi Ichwayudi, Hipokritisme Tokoh Orientalis
Christian Snouck Hurgronje , Jurnal Religio, Vol 1, No 1, Maret 2011, h. 67-68
8
sangat kebarat-baratan untuk mengikis budaya masyarakat Hindia Belanda yang
dari awal dibuat kebijakannya adalah untuk menarik elite intelektual ke dalam
lingkaran kolonial dan menekan laju Islam, namun dalam praktiknya banyak
respon dari elit intelektual dan umat Islam yang tidak sesuai dengan kebijakan
awal politik asosiasi tersebut dan jauh dari perkiraan cita-cita Snouck Hurgronje
dalam melancarkan politik asosiasi ini. Untuk itu skripsi ini berjudul
“KEBIJAKAN
POLITIK
ASOSIASI
PENDIDIKAN
KOLONIAL
TEHADAP UMAT ISLAM TAHUN 1890-1930”
B. Identifikasi Masalah
Kebijakan baru mengenai pendidikan terdapat beberapa permasalahan yang
penulis berhasil identifikasi dan berpotensi untuk dijadikan kajian terkait kondisi
masyarakat muslim masa pemerintah Hindia Belanda,
1. Siapa saja yang terlibat dalam politik Asosiasi pendidikan Kolonial
terhadap umat Islam di Hindia Belanda?
2. Apa motif diterapkannya politik asosisi pendidikan bagi umat Islam di
Hindia Belanda?
3. Bagaimana kebijakan pemertintah Hindia Belanda dalam menerapkan
politik Asosiasi pendidikan?
4. Apa dampaknya bagi umat Islam di Hindia Belanda?
5. Bagaimana respon umat Islam terhadap politik asosiasi pendidikan?
9
C. Kerangka Tujuan
Adapun tujuan dalam penelitian skripsi ini adalah ingin mengetahui motif
diberlakukannya politik asosisasi pendidikan terhadap umat Islam di Hindia
Belanda. Hingga dampak yang dirasakan sampai munculnya respon umat Islam di
Hindia Belanda terhadap penerapan asosiasi pendidikan.
D. Batasan Masalah
Agar tulisan dalam skripsi ini tidak melebar dan meluas, maka perlu diadakan
pembatasan dan rumusan masalah agar tujuan yang ingin dicapai dapat terarah.
Adapun batasan masalah dalam penulisan ini sebagai berikut:
1. Kondisi masyarakat dan pendidikan masyarakat di Hindia Belanda.
2. Kebijakan pemerintah Belanda dalam mengeluarkan kebijakan khusus
yaitu Asosiasi Pendidikan untuk menekan laju umat Islam dan
mempertahankan kekuasaan kolonial. Serta dampak yang ditimbulkan
dari kebijakan asosiasi pendidikan yang dibuat oleh pemerintah Hindia
Belanda.
3. Respon umat Islam di Hindia Belanda terhadap penerapan asosiasi
pendidikan.
E. Manfaat Penelitian
Penulis berharap hasil penelitian ini dapat melengkapi studi-studi yang sudah
ada, terutama terkait dengan pendidikan. Artinya, skripsi ini bisa menjadi rujukan
bagi akademisi yang ingin mengambil kajian tentang pendidikan, khususnya
politik pendidikan masa Kolonial.
10
Sebagai pemacu sejarawan muslim khususnya dan generasi muda pada
umumnya, yang akan meneliti tentang sejarah pendidikan Islam, terutama
pendidikan Islam masa Kolonial, yang masih bisa dirasakan hingga saaat ini.
F.
Metode Penelitian
Dalam Penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif analitik, yakni
dengan memberi pemaparan umum tantang kebijakan pendidikan pemerintahan
Hindia Belanda serta analisis lebih fokus menyangkut Pendidikan terhadap
masyarakat Pribumi Islam. Dalam hal ini metode yang digunakan dalam
penelitian sejarah pada umumnya dalah heuristic atau pengumpulan data, kritik
sumber baik intern maupun ekstern, iterpretasi atau penafsiran dan tahap terakhir
adalah historiografi atau penulisan.17
Pada tahap heuristik penulis
mengumpulan data-data, dimana penulis
mengunjungi beberapa tempat untuk mencari sumber-sumber mengenai kebijakan
pemerintah Hindia Belanda terhadap pendidikan masyarakat pribumi, penulis
temukan di Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta,
Perpustakaan Utama UIN Jakarta, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia,
Perpustakaan UI, Arsip Nasional Republik Indonesia. Penulis mendapatkan
Staastblad van Nederlandsch-Indie tahun 1893 no 125, 1905 no 550 dan 1925 no
219, serta Bijblad op het Staatsblad van Nedelandsch-Indie no 6639 dan 7123,
Regerings Almanak dan Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie di ANRI (Arsip
17
h. 89.
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995),
11
Nasional Republik Indonesia),18 Penulis menemukan buku karya Robert Van Niel
Munculnya Eite Modern di Indonesia di
Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia (PNRI),19 penulis menelusuri Perpustakaan Utama UIN Jakarta
menemukan
Koleksi
Nasihat-Nasihat
C.
Snouck
Hurgronje
Semasa
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Islam di
Hindia Belanda Karangan Snouck Hurgronje, serta buku karangan Aqib Suminto
Politik Islam Hindia Belanda, sedangkan Kumpulan karangan Snouck Hurgronje
oleh E. Gobee dan C Adriaanse penulis temukan di Perpustakaan UI, dan
beberapa sumber lainnya yang pernulis dapatkan atas rekomendasi dosen,
rekomendasi teman dan intenet.
Tahap selanjutnya verifikasi atau kritik sumber, pada tahap ini penulis
melakukan kritik mengenai keabsahan sumber primer dan sekunder. Berdasarkan
atas kritik sumber terhadapap Staatsblad van Nederlanch-Indie tahun 1893 no 125
dan 1905 no 550, penulis menemukan lembaran kertas Staatsblad ini masih amat
rapih dan bagus sehingga masih dapat terbaca tulisan diatasnya, sedangkan untuk
staatsblad tahun 1905 no 219, sudah mulai rapuh dan beberapa tulisan tidak dapat
dibaca karena sebagian kertas sudah robek dan terpisah. Untuk Bijblad no 6639
dan 7123 lembaran kertasnya juga masih rapih sehingga tulisan diatasnya masih
dapat dibaca dengan jelas.
Setelah itu penulis melakukan interpretasi, dimana penulis melakukan
penafsiran terhadap sumber-sumber yang telah diseleksi untuk kemudian
18
19
Jl. Ampera Raya No. 7, Jakarta 12560.
Jl. Salemba Raya 28A, Jakarta 10430.
12
dilakukan tahap historiografi, yang merupakan cara penulisan, pemaparan atau
laporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan20. Tahap ini adalah rangkaian
dari keseluruhan dari teknik metode pembahasan.
Adapun buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” menjadi buku acuan yang penulis gunakan
untuk membantu dalam hal teknik penulisan skripsi ini.
G. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian skripsi ini, buku yang menjadi
inspirasi untuk menulis
penelitian skripsi yang berjudul “KEBIJAKAN POLITIK ASOSIASI
PENDIDIKAN KOLONIAL TEHADAP UMAT ISLAM TAHUN 18901930” antara lain
Buku Politik Islam Hindia Belanda21 karya Aqib Suminto yang mana di
dalamnya dijelasakn kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam menangangi
Islam khususnya dengan beberapa kebijakan politik yang dibuat oleh Snouck
Hurgronje untuk menekan gerakan-gerakan muslim. Politik asosiasi salah satunya,
asosiasi berdasarkan pemanfaatan adat dan pendidikan yang mana pembahasan
dalam buku ini sangat membatu penulis dalam melakukan penelitian. Namun
Aqib Suminto dalam pengantarnya lebih menekankan tulisannya pada Het
Kantooor Voor Inlandsche Zaken, peran het Kantoor voor Inlandsche zaken atau
kantor urusan pribumi. Peranan Kantoor voor Inlandsche zaken- yang berwenang
20
. Dudung Abdurahman. Metodologi Penelitian Sejarah. h. 76.
Aqib Suminto. Politik Islam Hindia-Belanda; het Kantoor voor Inlandsche zaken
(Jakarta: LP3ES, 1986).
21
13
memberikan nasehat kepada pemerintahan dalam masalah pribumi- berdiri sejak
tahun 1899 diawal munculnya politik etis yang tak luput dari peran seorang
Adviseur voor Inlandsche zaken.
Penulis juga mengambil sumber dari buku karangan Snouck Hurgronje yang
berjudul Islam di Hindia Belanda.22 Dalam buku ini snouck menggambarkan
kondisi agama Islam di Hindia Belanda, menjelaskan masuknya Islam ke
Indonesia dan perkembangannya sehingga banyak masyarakat pribumi yang
menganut agama Islam. Snouck juga menceritakan gambaran umat Islam dalam
melaksanakan ibadatnya, seperti berpuasa sebulan penuh dan merayakan Idul fitri,
zakat, pernikahan. Buku ini lebih banyak menggabarkan kehiduapan masyarakat
Islam Hindia Belanda dari segi sosial keagamaan.
Buku karya Robert Van Niel yang berjudul Munculnya Elit Modern di
Indonesia,23 yang menggambarkan stratifikasi masyarakat Hindia Timur dalam
kurun waktu 1900, akselerasi perubahan antara 1900-1914 dari mulai Politik Etis
dalam teori dan praktek sampai kebijaksanaan politik dan sikap pemerintah
terhadap masyarakat pribumi dan menggambarakn lahirnya elit Indonesia modern
yang menyuarakan perubahan-perubahan untuk kemaslahatan masyarakat di
Hindia Belanda. Robert van Niel menulisnya dengan sangat apik sehingga buku
ini sangat membantu penulis dalam melihat kondisi masyarakat Hindia Belanda
pada saat itu khususnya dalam stratifikasi social masyarakat Hindia Timur yang di
22
C Snouck Hurgronje, Islam di Hindia Belanda. (Jakarta; PT Bhratara Karya Aksara,
1983)
23
Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia , Ny. Zahara Deliar Noer
(terj)(Jakarta: Pustaka Jaya, 1984)
14
mulai dari orang Eropa, orang Cina dan Arab dan terakhir orang Indonesia.
Hingga perubahan-perubahan yang terjadi pada kurun 1900-1914 karena
kebjakan-kebijakan pemerintah Belanda sampai munculnya elite baru yang
memiliki intelektual tinggi yang ia sebut dengan elit modern sebagai respon dari
kebijakan pemerintah Belanda. Pada buku ini lebih digambarkan elit modern yang
terpengaruh pendidikan barat dari kalangan masyarakat elit bangsawan.
Pesantren, Madrasah dan Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern 24
karya Karel A Steenbrink juga menjadi sumber dalam penulisan ini, buku tersebut
menggambarkan pendidikan Islam awal abad ke 20 dari awal pendidikan Islam
yang masih sangat tradisional hingga berkembang menjadi lembaga-lembaga
pendidikan modern. Steenbrink menulisakan dalam bukunya awal mula system
pendidikan yang ada di Indonesia, bagaimana pendidikan tradisional yang ada di
Indonesia bertransformasi menjadi lembagaa lembaga pendidikan yang modern,
Buku ini lebih menggambarkan perubahan atau transformasi pendidikan
tradisional yang di jelaskan sekilas pada bab-bab awal buku ini, hingga pada
penjelasan lembaga pendidikan yang lebih kontemporer.
Buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid V25 Marwati Djoened dan Nugroho
Notosusanto masuk juga kedalam daftar bahan yang penulis pakai, di dalam buku
ini menjelaskan Jaman kebangkitan nasional dan masa akhir Hindia Belanda.
Menggambarkan politik kolonial dan transformasi politik itu sendiri mulai dari
24
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun
Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994)
25
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia V. PN Balai Pustaka, 1984
15
datangnya VOC sampai dasawarsa terakhir Hindia Belanda. Menjelaskan struktur
sosial hingga pergerakan Nasional yang terjadi di Indonesia pada awal abad ke 20.
Beberapa bab dalam buku ini menjelaskan tentang kemerosotan politik yang
dilancarkann oleh pemerintah Belanda terhadap pribumi dan juga menjelaskan
munculnya mobilitas social di kalangan masyarakat pribumi, hal ini membantu
penulis dalam menuliskan respon yang dilakukan pribumi terhadap kebijakan
pemerintah Belanda.
Buku Indonesia dalam Arus Sejarah jilid V
26
masa pergerakan kebangsaaan
tak lupa penulis jadikan rujukan. Buku ini ditulis beberapa sejarawan dalam
bentuk bab per bab, salah satu yang penulis jadikan rujukan adalah bab 7 tulisan
Prof. Dr. Soegijanto Padmo (alm) yang menuliskan tentang perkembangan sosial
ekonomi pribumi sedikitnya membahas pendidikan pribumi. Bab 8 tentang
Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elite Modern yang ditulis oleh Prof.
Dr. Nina Herlina Lubis, di dalamnya mengulas perkembangan baru pada abad 19,
sekolah sekolah kejurusan yang didirikan Belanda, sekolah Belanda untuk
pribumi, membahas politik etis yang dilancarkan pemerintah pada awal abad 20,
perguruan tinggi dalam dan luar negri, sekolah-sekolah swasta yang tidak
bersubdisi, latar belakang sosial murid sekolah pemerintah, tak lupa pendidikan
wanita sampai mobilitas dosial dan munculnya elit modern. Tulisan Dr. Muhamad
Hisyam pada bab 11 yaitu Reformasi Islam dan kebangkitan kebangsaan dari
mulai akar dan persebaran pemikiran reformis, reformasi Islam rintisan abad ke
19, lembaga pendidikan dan organisasi modern, hingga reformasi dalam dan
26
Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V.,
(Jakarta: PT. Ichtiar Baroe Van Hoeve), 2012
16
kesadaran kebangsaan. Buku yang ditulis oleh beberapa penulis ini memberikan
warna dalam penulisan ini, karena beragam penjelasaan diterangkan dalam buku
ini yang lebih banyak fokusnya pada akhir adab ke 19 samai awal abad ke 20
khususnya tentang pendidikan serta mobilitas masyarakat Hindia Belanda.
H. Kerangka Teori dan Pendekatan Konseptual
Prof. W.F. Wertheim mengatakan bahwa : Apapun politik terhadap Islam
yang dilancarkan oleh kekuasaan non Islam, hasilnya senantiasa berbeda dari apa
yang ingin dikejar oleh kekuasaan tersebut.27 Yang dimaksud adalah kekuasaan
Pemerintah Koloial dalam mengambil kebijakan terhadap umat Islam di Hindia
Belanda dalam kenyataan yang dihasilkan oleh politiknya bertentangan dengan
apa yang diharapkan. Seperti kebijakan politik asosiasi yang di prakasai oleh
Snouck Hurgronje.
Pada dasarnya sistem asosiasi pemerintah Kolonial dalam mempertahankan
tanah jajahannya yang memggambarkan bahwa suatu struktur atas (bovenbow)
pemerintah kolonial menjurus pada konservatisme yang hendak mempertahankan
sistem kolonial dengan menjadikan kesatuan etis, kultural dan politik masyarakat
elit tradisional sebagai bawahan (onderbow).28 Munculnya elit intelektual
dikalangan elit tradisional yang menentang Belanda, merupakan bukti bahwa apa
yang di cita-citakan Snouck tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Karena
sistem asosiasi sebagai alat tidak dapat dipakai untuk mencapai tujuan yang telah
27
Harrry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit. Terj. Daniel Dhakidae.(Jakarta:
Pustaka Jaya, 1980) h. 345
28
Marwati Djoened, Sejarah NasionalIndonesia JIlid V, h. 65.
17
digariskan seperti kesejajaran kepentingan antara kaum pribumi dan golongan
Belanda.
Asosiasi
berdasarkan
Encyclopedie
van
Nedelandsch-Indie
sering
dipergunakan dalam pengertaian yang sama dengan asimilasi. Ada tiga istilah
yang saling bekaitan satu sama lain, yaitu unifikasi, asimilasi dan asosiasi.29
Asosiasi disini lebih bersifat mempertemukan dua negri yang berbeda sebagai
teman, sedangkan asimilasi cenderung untuk menyatukan keduanya. Baik asosiasi
atau asimilasi memiliki pengertian yang sama dengan unifikasi, yaitu kesatuan
hukum bagi seluruh penduduknya apapun asal usulnya, dapat diartikan pula
sebagai usaha untuk menyamakan semua peraturan Kolonial di daerah jajahan
dengan peraturan yang berlaku di negri penjajah. Terutama menyangkut istilah
asimilasi, yang mengandung arti bahwa keperluan Hindia akan dipenuhi dengan
syarat-syarat Barat.30
Sedangkan umat Islam yang dimaksud dalam penulisan ini bukanlah umat
Islam secara keseluruhan melainkan umat Islam dari kalangan priayi, menak atau
bangsawan yang memeluk agama Islam yang merupakan tujuan utama dari politik
asosiasi pendidikan yang dilancarkan oleh pemerintah Hindia Belanda.
I.
Sistematika Penulisan
Untuk menyajikan laporan dan penulisan penelitian, sekaligus memberikan
gambaran yang jelas dan sistematis tentang materi yang terkandung dalam skripsi
29
30
Encyclopedie van Nedelandsch-Indie, I (s’-Gravehagen, 1917), h. 67.
Aqib Sumito, h. 39
18
ini. Penulis menyusun sistematika penulisan ini ke dalam 5 bab beserta bibliografi
dengan urutan sebagai berikut.
BAB I ; berisikan latar belakang masalah, identifikasi masalah, kerangka tujuan,
batasan masalah, manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka,
kerangka teori dan sistematika penulisan.
BAB II ; membahas kondisi masyarakat dan pendidikan masyarakat Hindia
Belanda, juga membahas kebijakan politik asosiasi pendidikan Pemerintah Hindia
Belanda bagi masyarakat pribumi.
BAB III ; membahas kebijakan politik asosiasi pendidikan bagi umat Islam masa
Pemerintah Kolonial Belanda dan dampak yang ditimbulkan.
BAB IV; membahas respon umat Islam terhadap dampak politik asosasi
pendidikan.
BAB V ; Penutup yang berupa kesimpulan dan saran untuk kebaikan dalam
penulisan ini.
BAB II
KONDISI MASYARAKAT DAN PENDIDIKAN DI HINDIA BELANDA
1890-1930
A. Keadaan Masyarakat di Hindia Belanda Masa Kolonial
Nusantara negeri bak surga yang tumbuh subur dengan keaneka ragaman
sumber daya alam dan budaya, negeri yang dilirik oleh para pedagang Eropa
dengan hasil buminya yang mahal, rempah-rempah. Harta karun yang
diperebutkan bangsa Eropa untuk menghasilkan pundi pundi uang, dari mulai
Spanyol, Portugis, Belanda. Bukan hanya sekedar memperebututkan komoditi
rempah tersebut, negara-negara Eropa ini membawa missi yang sangat penting,
yaitu misi kristenisasi.
VOC ( Vereniging oost Indische Compagnie) sebuah persahaan dagang
Belanda datang ke Hindia Belanda tahun 16021 dengan tujuan berdagang, hingga
akhirnya dapat menancapkan kakinya ditanah Hindia, VOC pun
mulai
mengegrogoti dan ingin menguasai sumber daya alam yang ada karena awal
kedatangannya kapal dagang VOC memang dengan motif hegemoni rempah dan
perdagangan di tanah Hindia, namun berubah haluan pada penghujung abad ke19. Setelah berhasil mempertahankan hegemoni politiknya selama satu abad
lambat laun ekspansi ekonomi Belanda berubah haluan menjadi ekspansi kolonial.
Seiring dengan kemerosotan VOC yang diakibatkan faktor internal yang terjadi
1
R.Z. Leirissa, ”Verenigde Oost Indische Comagnie (VOC)”, dalam Taufik Abdullah dan
A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V., (Jakarta: PT. Ichtiar Baroe Van
Hoeve), h 21.
VOC didirikan pada 20 Maret 1602 di Amsterdam, pembentukan VOC pada mulanya
dimaksdukan untuk menghilangkan persaingan antara para pengusaha Belanda dan memperkuat
diri untuk bersaing dengan perusahaan dagang Negara lain, seperti Inggris dan Portugis.
19
20
pada tahun 1795 dikarenakan izin oktroinya ditiadakan, hingga pada 1798 VOC
dibubarkan karena banyak kasus yang didapat dalam pengelolaan pembukuan
yang curang, pegawai yang korup dan hutang besar, sehingga VOC mendapat
kerugian sebesar 134,7 juta gulden.2 Sedangkan faktor eksternal disebabkan
persaingan dagang dengan negara kolonial Inggris dan kondisi eksternal negeri
Belanda yang berada di bawah ekspansi kolonial Prancis telah mengantarkan
perubahan yang cukup signifikan, sehingga pada akhirnya Napoleon berhasil
menguasai Belanda sepenuhnya, kompeni yang dibungkus dalam VOC akhirnya
menemukan ajalnya.3 Sehingga secara resmi pemerintah Indonesia di bawah
naungan VOC pindah ke tangan pemerintah Belanda.
Selama masa pemerintahan Belanda, pemerintah membuat sistem pelapisan
stratifikasi sosial masayarakat Hindia Belanda. Sistem pelapisan sosial ini secara
umum dibagi menjadi dua golongan, yaitu golongan penjajah atau penguasa dan
golongan terjajah atau rakyat. Penggolongan ini berdampak pada hak dan
kewajiban masing masing golongan masyarakat kolonial yang bersifat
diskriminatif. Golongan pertama tinggal di pusat-pusat kota dan berhak
mendapatkan fasilitas lebih dalam hal ekonomi, hukum, kesehatan, serta
pendidikan. Sedangkan golongan kedua hanya tinggal di kampung-kampung
dengan fasilitas yang sangat sederhana. Di dalam golongan pertama ini terdapat
para pejabat tinggi, tentara, pegawai-pegawai Belanda dan orang-orang Timur
asing, mereka semua dianggap sebagai warga kota. Sedangkan orang-orang
2
Marwati Djonoed Pusponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia,
Jilid V. (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h.1.
3
M.C Ricklefs, Sejarah Asia Tenggara dai Masa Prasejarah sampai Kontemporer,
(Jakarta : Komunitas Bambu, 2013). h. 294.
21
pribumi dianggap sebagai orang asing yang tidak boleh tinggal dipusat kota,
melainkan harus tinggal di pinggir kota dan di desa.
Dalam kenyataannya, pelapisan sosial pada masa Hindia Belanda sebenarnya
sangat berlapis-lapis. Seperti dalam peraturan hukum ketatanegaraan Hindia
Belanda (Indische Staatsregeling) tahun 1927, lapisan sosial masyarakat yang
dibagi oleh Pemerintah Kolonial dibedakan menjadi 3 golongan4 yaitu:
a.
Golongan Eropa dan yang dipersamakan, golongan ini terdiri atas:
1.
Orang-orang Belanda dan keturunannya.
2. Orang-orang Eropa lainnya seperti Inggris, Prancis Portugis, dan lainlain.
3.
Orang-orang yang bukan bangsa Eropa tetapi telah masuk menjadi
golongan Eropa atau telah diakui sebagai golongan Eropa.
b.
Golongan Timur Asing, didalamnya adalah orang Cina, Arab, India,
Pakistan, serta orang-orang kawasan Asia lainnya.
c.
Golongan Pribumi yaitu orang-orang yang asli Indonesia yang disebut
inlander.5
Kebanyakan masyarakat Eropa tinggal di perkotaan, pusat perkotaan bukan
hanya menjadi tempat berdagang namun sekaligus menjadi tempat berkumpulnya
orang-orang Eropa. Kalangan orang Eropa yang berpendidikan dan orang eropa
golongan menengah membawa kebudayaan Barat, mereka membentuk suatu
4
Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh
Islam dalam Penyusunan UU No 2/1989I, (Jakarta : INIS, 2004) h.25.
5
Robert Van Niel, Robert Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia , Ny. Zahara
Deliar Noer (terj)(Jakarta: Pustaka Jaya, 1984).h. 15-43.
22
dunia Barat di tengah tengah masyarakat perkotaan di daerah Jawa. Sekitar tahun
1900, wanita-wanita Eropa berdatangan ke tanah Hindia, sejak itu jumlah
masyarakat Eropa bertambah secara signifikan. Kurang lebih ada sekitar 70.000
orang Eropa di Jawa, bisa dikatakan hanya seperempat saja Eropa totok yang lahir
di Eropa dan datang ke Jawa. Yang seperempat itu kebanyakan terdiri dari para
pedagang dan pengusaha, sebagian besar wakil-wakil dari urusan keuangan dan
kebanyakan pegawai sipil Eropa. Beberapa orang Eropa juga ada yang
melangsungkan pernikahan dengan penduduk setempat, sehingga ia banyak
beranak pinak dan memiliki banyak keturunan. Kaum Indo, sebutan untuk anak
keturunan campuran Indo-Europeanen banyak mengalami tekanan dan hidupnya
terombang ambing. Orang-orang Eropa totok banyak yang merendahkan orang
Indo, meskipun orang Indo dapat memiliki hak dan kewajiban yang sama apabila
ayahnya mengakuinya sebagai orang Eropa, sehingga mereka menjadi bagian
masyarakat Hindia Belanda.6
Pada tahun 1900 golongan Timur asing yang terdiri dari orang Cina dan Arab
tinggal di Hindia sebagai pedagang, Orang Cina merupakan kelompok terbesar di
luar masyarakat Hindia Belanda di Jawa, jumlah mereka kira-kira 280.000.
Menjelang tahun 1900 sebagian besar orang Cina sudah beranak pinak dan
memiliki banyak keturunan di Jawa, namun mereka tetap memegang teguh
kebudayaan asal Negeri mereka meskipun sudah lama tinggal di Hindia Belanda.
Kebanyakan orang Cina datang untuk berdagang dan menempatakan diri dengan
6
Robert Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia , Ny. Zahara Deliar Noer
(terj)(Jakarta: Pustaka Jaya, 1984). h.15-28.
23
sifat tegas, semangat dan penuh energi hingga mereka dapat secara luas
menguasai kedudukan sebagai perantara dalam struktur ekonomi Hindia Belanda.7
Sedangkan orang Arab sebagaimana dipanggil di Jawa bukan hanya mereka
yang berasal dari negeri Arab, sebutan itu digunkan untuk orang orang perantau
dari Timur dekat maupun Timur Tengah termasuk juga India Muslim. Tahun
1900-an perkiraan masyaraat Arab di Hindia Belanda berkisar 18.000 orang,
kebanyakan mereka adalah pedagang kecil, saudagar, dan rentenir uang hampir
serupa dengan orang Cina.8
Sedangkan dikalangan masyarakat pribumi, terdapat pula stratifikasi social di
kalangan pribumi seperti di daerah Jawa dan Sunda. Masyarakat Jawa dan Sunda
membuat stratifikasi social berdasarkan tingkatan masyarakat umum dikenal
adanya beberapa lapisan berdasarkan status sosialnya, yaitu lapisan bawah,
menengah dan atas. Lapisan bawah ialah yang umum disebut rakyat jelata dan
merupakan masa yang terbesar dan hidup melarat. Terdapat di desa-desa sebagai
petani dan buruh perkebunan, di kota-kota sebagai buruh kecil, tukang-tukang dan
sebagainya. Lapisan menengah meliputi para pedagang kecil dan menengah,
petani-petani kaya dan pegawai pemerintahan. Adapun lapisan atas terdiri dari
keturunan bangsawan dan kerabat raja yang memerintah daerah tersebut dan
umumnya mereka terbagi lagi dalam berbagai tingkatan dan gelar yang berbeda
sesuai dengan tingkat hubungan mereka dengan raja. Bisa dikatakan sifatnya yang
turun temurun itu tidak pernah berubah sampai akhir abad ke 19. Karena itu
7
Robert Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia , Ny. Zahara Deliar Noer
(terj)(Jakarta: Pustaka Jaya, 1984). h. 30.
8
Robert Van Niel, h. 31
24
mereka biasa disebut elit atau Priayi9 di Jawa dan menak10 di Sunda, yang disebut
elite adalah sesuatu kelompok yang berpengaruh dalam suatu lingkungan
masyarakat. Biasanya mereka dijadikan Admininstratur, pegawai pemerintah oleh
pemerintah Belanda. Secara teknis kaum ningrat merupakan kelompok terpisah,
namun masyarakat pribumi dengan sendirinya memasukan kaum ningrat ke dalam
golongan priayi.11 Sedangkan masyarakat muslim pada masa itu dipandang sama
dengan pribumi atau rakyat biasa (indigenousness).12
Dari stratifikisai sosisal inilah dapat dilihat bagaimana pemerintah Belanda
mengambil kebijakan untuk masyarakat di tanah jajahannya. Pemerintah Belanda
menyadari bahwa untuk dapat mempertahankan kekuasaannya di Hindia Belanda,
mereka berusaha memahami dan mengerti tentang seluk beluk penduduk pribumi
yang dikuasainya. Mereka pun tahu bahwa agama penduduk yang dijajahnya itu
mayoritas beragama Islam sehingga mereka sangat berhati-hati dalam mengabil
kebijakan.
Kedatangan bangsa Barat disatu pihak membawa dampak pada kemajuan
teknologi, kendati kemajuan tersebut tidak secara menyeluruh dirasakan oleh
9
Istilah ini pertama kali dipakai oleh Clifford Geertz dalam kajiannya The Religion of
Java diterjemahkan ke dalam Agama Jawa, yang membedakan masyarakat Muslim Jawa atas tiga
kategori Priayi (pejabat pemerintah), Santri ( muslim yang menjalankan agama, pedagang), dan
abangan ( masayarakat yang tinggal di pedesaan). Dalam Robert Van Niel, h. 31 dijelaskan pula
maksud Priayi. Priayi adalah kelompok yang disebut elit, bagi masyarakat Indonesia berarti siapa
saja yang berdiri diatas rakyat Jelata dalam hal memimpin, memberi pengaruh, mengatur dan
menuntun masyarakat Indonesia.
10
Nina H. Lubis, Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942.(Bandung: Pusat
Informasi Kebudayaan Sunda, 1998). h. 2. Beliau mengutip C. Van Vollenhoven yang
menjelaskan sebutan menak yang digunakan dalam tradisi Jawa di daerah Sunda dipergunakan
untuk menyebut semua orang yang sangat di hormati baik para bangsawan maupun pejabat tinggi.
11
Robert Van Niel, h. 31-32
12
Alwi Sihab, Membendung Arus Respon Gerakan Muhamadiyah Terhadap Penetrasi
Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), h. 69.
25
masyarakat pribumi. Tujuannya tak lain hanya untuk meningkatkan hasil
jajahannya, begitu pula dengan pendidikan.13 Pemerintah memperkenalkan sistem
dan metodologi baru yang lebih efektif, namun hanya sekedar untuk
menghasilkan tenaga yang dapat membantu disegala bidang. Pendidikan yang
didapat para calon pegawai Hindia tidak serta merta diberi pendidikan yang sangat
luas, mereka dididik agar dapat mandiri dan memiliki daya tangkap sebagaimana
yang diperlukan.14
B.
Pendidikan Masyarakat di Hindia Belanda
Kenyataannya
Belanda
sebagai
penjajah
benar-benar
mengeruk
keuntungan yang sebesar- besarnya, dengan memeras tenaga, sumber alam dan
sebagainya, sementara di lain pihak juga diadakan semacam pembodohan
terhadap penduduk pribumi. Karena itu, Belanda sebagai penjajah berbeda sekali
dengan kaum penjajah yang lain, seperti Inggris dan Jepang. Belanda benar-benar
sangat lambat dari negara-negara Kolonial lainnya. Inggris meskipun mereka
sebagai kolonialis, mereka tidak mengesampingkan kemajuan pribumi terutama di
bidang pendidikannya. Hal ini bisa dilihat dari beberapa negara bekas jajahan
Inggris seperti Malaysia, Singapura, Hongkong dan sebagainya. Sekarang semua
negara tersebut masuk ke dalam kategori negara maju.
13
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, lintasan Sejarah, Pertumbuhan dan
Perkembangannya, (Jakarta:Diterbitkan Kerjasama dengan Lembaga Studi Islam dan
Kemasyarakatan dan PT Raja Grafindo Persada, 1996), Cet ke 2, h. 47-48
14
E. Gobee dan C Adriaanse, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid IV (Jakarta : Indonesian
Netherlands Coorperation in Isalamic Stuidie (INIS), 1991). h. 477-479.
26
Tahun 1819 Gubernur van de Capelen mengeluarkan surat edaran yang
menyatakan secepat mungkin untuk meratakan kemampuan membaca dan
menulis masyarakat pribumi agar lebih mudah dalam menaati undang-undang dan
hukum negara.15 Maksud dari surat instruksi tersebut adalah perlunya didirikan
Sekolah Dasar (SD) pada zaman itu. Sebab pendidikan Islam yang ada di Surau,
Masjid, langgar dan Pondok Pesantren dianggap tidak membantu pemerintah
Hindia Belanda.
Apa yang mereka sebut pembaharuan pendidikan itu adalah Westernisasi
dan Kristenisasi yaitu untuk kepentingan Barat dan Nasrani. Dua motif inilah
yang mewarnai kebijaksanaan pemerintah Belanda di Hindia Belanda.16 Perhatian
pemerintah terhadap pendidikan pribumi hanya untuk mendapatkan ternaga
terdidik dengan upah yang minim, karena apabila mendatangkan langsung tenaga
terdidik atau pegawai administrasi pemerintah dan pekerja bawahan dari Belanda
pastilah dibutuhkan biaya yang cukup besar sehingga sangat lah dibutuhkan
seorang pribumi yang terdidik, alasan ini digunakan oleh Van den Bosch yang
merasa sangat membutuhkan tenaga pribumi untuk memajukan perkembangan
ekonomi di Hindia Belanda. Dibukalah pendidikan untuk golongan pribumi dari
tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
Pada abad ke-20 sebuah zaman baru dalam politik kolonial dimulai, yaitu
zaman etis. Semboyan dari zaman ini adalah “kemajuan”. Kata-kata yang
15
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun
Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994), h.1.
16
Zuhairini, dkk, Sejarah Pedidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam,
1986), h. 145.
27
menandakan kemajuan seperti vooruitgang, opheffing (kemajuan), ontwikkeling
(perkembangan), dan opvoeding (pendidikan), membubuhi bahasa saat itu
bersama bervoedering van welvaart (memajukan kesejahteraan).17
Kebijakan politik ini berkonsentrasi pada modernisasi masyarakat Hindia
Belanda dan membebaskan dari kekuasaan Kolonial. Adalah C.Th. Van Deventer
yang menerbitkan sebuah artikel yang berjudul “Een Ereschuld (Suatu hutang
kehormatan), di dalam jurnal Belanda de Gids, dia menyatakan bahwa negeri
Belanda berhutang kepada bangsa Hindia Belanda atas semua kekayaan yang
sudah di peras dari negeri mereka. Hutang ini sebaiknya dibayar kembali dengan
jalan memberikan prioritas utama kepada kepentingan rakyat Hindia Belanda
didalam kebijakan kolonial. 18
Ide ide politik etis antara lain adalah irigasi, emigrasi dan pendidikan.
Pendidikan memiliki skala yang paling penting melihat populasi masayarakat
pribumi sehingga mereka berpikir untuk memajukan dan meningkatkan
pendidikan masyarakat pribumi. Kebijakan ini mulai diberlakukan sejak
diangkatnya Alexander W.F Idenburg sebagai menteri urusan jajahan.19
Pendidikan dan emansipasi masyarakat Hindia Belanda secara berangsurangsur itulah inti dari Politik Etis. Pendidikan masyarakat Hindia Belanda harus di
arahkan dari ketidak matangan yang di paksakan agar berdiri di atas kaki sendiri.
17
Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta:
Perpustakaan Utama Garffiti,1997), h. 35
18
M.C Ricklefs, M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta, 2008), h.328.
19
Robert Van Niel, h. 55
28
Bersainglah dua aliran dalam lingkaran Kolonial. Aliran pertama menyukai
pendidikan dalam bahasa Belanda untuk elite pribumi, menurut mereka cara ini
akan memperkuat komitmen para elite pada kebudayaan Barat dan dapat
menghasilkan pemimpin pribumi yang dapat bekerjasama dengan para tuan
Belanda pada era Etis baru. Usaha Westernisasi penduduk asli kemudian dikenal
sebagai asosiasi. Tujuannya ialah menjembatani Timur dan Barat, kalangan
pribumi dengan orang Belanda, yang di jajah dengan yang menjajah. Bahwa
timbul asimlasi yang bertujuan memberikan tanah jajahan struktur sosial dan
politik yang sama dengan negeri Belanda. Profeor C. Snouck Hurgronje
merupakan tokoh dominan aliran ini.20 dan direktur pendidikan politik Etis yang
pertama yaitu J.H. Abendanon (1900-1905). Dalam pandangan keduanya,
memberikan pendidikan Barat kepada kelas penguasa pribumi merupakan sesuatu
yang sangat penting untuk melatih elit pribumi yang setia dan kooperatif, yang
para anggotanya memiliki kesanggupan untuk menangani pekerjaan pemerintahan
sipil Belanda. Lebih dari itu, pilihan ini juga bisa memangkas biaya-biaya
administratif, menghambat ‘fanatisme’ Islam, dan pada akhirnya menciptakan
contoh yang bisa memberi inspirasi bagi kalangan-kalangan terbawah dari
masyarakat Hindia21 Seperti yang digambarkan oleh Robert Van Niel, Niel
menyebutkan bahwa Snouck Hurgronje banyak menyumbangkan saran kepada
pemerintah kolonial untuk memberikan pendidikan yang bercirikan Barat kepada
20
M.C Ricklefs, Sejarah Asia Tenggara dari Masa Prasejarah sampai Kontemporer,
(Jakarta : Komunitas Bambu, 2013). h. 451-452.
21
Yudi Latif, Intelegensia dan Kuasa, Geneologi Intelegensia muslim Indonesia abad ke
20,(Bandung: Mizan Pustaka, 2005), h. 102
29
golongan elit pribumi.22 Sedangkan aliran pemikiran lainnya lebih menyukai
pendidikan dasar yang menggunakan bahasa pribumi bagi masyarakat pribumi
dan lebih menekankan pada kesejahteraan langsung. Disisi ini ada Gubernur
Jendral J.B van Heutsz dan A.W.F. Idenburg yang mendukung pendidikan yang
lebih dasar dan praktis yang diperuntukkan bagi kalangan masyarakat yang lebih
luas sehingga bisa memberikan sumbangan bagi keberhasilan Politik Etis.23
Dalam penerapannya pemerintah membuat sruktur pendidikan dan sistem
yang masih mengikuti konsep stratifikasi Kolonial berdasarkan penduduk tanah
jajahan, dimana stratifikasi ini mengenal jenjang tinggi-rendah pembagian warga
masyarakat, dari yang paling atas terdiri dari penduduk Eropa, disusul Timur
Asing (teruama Arab dan China), arsitokrat pribumi lebih dikenal dengan priayi
dan rakyat umum atau pribumi24.
Sebelum pemerintah Belanda membuka secara umum pendidkan untuk
pribumi, pendidikan sudah berlangsung di kalangan masayarakat pribumi. Anak
rakyat umum pribumi dari kalangan bawah lebih memilih untuk menempa ilmu
agama Islam di Pesantren-pesantren sedang kan untuk para anak pejabat dan
bangsawan lebih memilih untuk memanggil guru privat orang Belanda seperti
yang dilakukan oleh beberapa bupati seperti bupati Serang, bupati Sumedang,
bupati Galuh, dimana mereka melangsungkan proses belajar mengajar di
22
Niel. h. 60.
Yudi Latif, Intelegensia dan Kuasa, Geneologi Intelegensia muslim Indonesia abad ke
20,(Bandung: Mizan Pustaka, 2005), h. 102
24
Nurcholis Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h.28
23
30
pendopo.25pelajaran yang diajarkan antara lain menulis dan membaca Melayu
(latin dan Arab), berhitung. Guru yang mengajar mendapat honor tinggi dari
bupati, hal ini merupakan suatu perubahan dalam kemajuan pendidikan pribumi.
Untuk
mengatur
pendidikan
bagi
pribumi,
pemerintah
kolonial
mengeluarkan Indische Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1893 Nomor
12526 yang menetapkan pembagian sekolah pribumi menjadi sekolah dasar kelas
satu dan sekolah dasar kels dua27. Atas kebijakan ini lah kondisi pendidikan
masyarakat pribumi masa kolonial semakin memprihatikan karena adanya
diskriminasi sosial yang terlihat pada pendidikan masyarakat pribumi, terlihat
pada didirikannya sekolah yang membedakan antara sekolah untuk rakyat biasa
dan kaum bangsawan, pemerintah Belanda mendirikan sekolah kelas satu (de
Schoolen de Eeerste Klasse) untuk anak tokoh terkemuka dan orang-orang
pribumi yang terhormat, sedangkan sekolah dasar kelas dua (de Schoolen de
Tweede Klasse) 28 didirikan untuk rakyat pribumi.
Sekolah kelas satu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pegawai
pemerintah, perdagangan, dan perusahaan. Pelajaran yang didapatkan adalah
membaca, menulis,
berhitung,
ilmu
bumi, sejarah, pengetahuan
alam,
menggambar, dan ilmu ukur tanah ditempuh dalam masa belajar 5 tahun dengan
guru sekolah lulusan Kweekschool. Bahasa pengantar yang digunakan adalah
25
Sugijanto Padmo (alm), “Perkembangan Sosial Ekonomi Pribumi”., h.237. lihat juga
Nurcholis Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h.208
26
Lihat Staatsblad van Nederlandsch-Indie no 129 tahun 1893.
27
Sugijanto Padmo (alm), “Perkembangan Sosial Ekonomi Pribumi”., h. 202.
28
Abuddin Nata, Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,
2011), h 280.
31
bahasa daerah dan bahasa Melayu. Lain halnya dengan sekolah kelas dua yang
diperuntukan bagi anak rakyat biasa, sekolah ini hanya untuk memenuhi syarat
kebutuhan pendidikan rakyat umum dengan lama belajar 3 tahun. Mata pelajaran
yang diberikan antara lain membaca, menulis, dan berhitung dengan bahasa
daerah dan Melayu sebagai bahasa pengantar. Tidak ada kualifikasi khusus guru
yang mengajar seperti sekolah kelas satu.
Beberapa sekolah yang didirikan Belanda untuk kepentingan kepegawaian
pemerintah antara lain Hoofdenschool, Sekolah Pertukangan (Ambachtsschool)
sekolah Kristen di Batutulis, Batavia, Sekolah Pendidikan calon Guru ( Hollandsh
Indlandsche Kweekschool / HIK), STOVIA ( Scool tot Opleiding voor
Indlandsche Arsten) atau lebih dikenal dengan sekolah dokter Jawa29.
Hoofdenschool adalah sekolah untuk calon pegawai pemerintah, sekolah
yang didirkan untuk kaum bangsawan dan anak-anak raja, bupati dan tokoh
terkemuka. Didirikan pada 1878 di Bandung, Magelang, dan Probolinggo.
Sekolah ini disebut juga dengan Sakola Menak (bangsawan). Awal mula murid
Hoofdenschool
hanya 44 orang bangsawan terkemuka, mata pelajaran yang
diajarkan antara lain membaca, berhitung. Bahasa pengantar menggunakan bahasa
Belanda dimana pada awal tahun ajaran pertama murid hanya sebagai “murid
pendengar”. Tahun 1882 Hoofdenschool merubah arah tujuan pendidikannya,
sekolah ini menjadi sekolah menengah yang mencetak lulusan murid terdidik
sebagai calon pegawai pemerintah sesuai keinginan pemerintah, karena
29
Nina Herlina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam
Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V., (Jakarta: PT.
Ichtiar Baroe Van Hoeve), h.238-240
32
pemerintah merasa masih membutuhkan tenaga pegawai pribumi yang terdidik
dan berkualitas. Jumlah murid semakin bertambah pada tahun 1890 dan akhirnya
berdasarkan keputusan Gubernur Jendral nomor 11 tanggal 19 agustus 1899
Hoofdenschool berubah menjadi OSVIA ( Opleidingschool voor Inlandsche
Ambtenaren) Sekolah Pendidikan Untuk Pejabat Pribumi.30 Sekolah untuk para
pejabat pribumi yang menghasilkan pegawai pemerintahan dalam negri
(Binnelands Bestuur). Tidak ada diskriminasi lagi dalam penerimaaan murid pada
sekolah menengah ini, sekolah ini dibuka untuk umum bukan hanya untuk para
anak bangsawan dan raja-raja.
Hollandsch Inlandsche Kweekschool (HIK) adalah sekolah pendidikan
calon guru.31 Maksud didirikanya sekolah ini adalah sebagai persiapan
pembangunan sekolah untuk pribumi. Tahun 1834 sekolah ini pertama kali dibuka
atas usaaha yang dilakukan swasta di Ambon, sedang di pualu Jawa, HIK pertama
kali dibuka pada 1852 oleh pemerintah di Surakarta. Setelah pembukaannya di
Surakarta pada 1866, HIK Surakarta memiliki peningkatan jumlah murid hingga
tidak dapat di tampung lagi. Atas dasar itu K.F. Holle32 pada pertengahan 1866
30
M.C Ricklefs, Sejarah Asia Tenggara dai Masa Prasejarah sampai Kontemporer,
(Jakarta : Komunitas Bambu, 2013). h. 452.
31
Nina Herlina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam
Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V., (Jakarta: PT.
Ichtiar Baroe Van Hoeve), h.238
32
K.F Holle tiba di Hindia Belanda pada umur 14 tahun dan menetap di daerah Priangan
dekat Buitenzorg (Bogor), memulai kariranya sebagai seorang juru tulis di sebuah kantor
pemerintah pada 1846. Ia brhubungan dekat dengan beberapa menak salah satu hubungan karibnya
ia jalin dengan Raden Haji Moehammad Moesa (1822-1886) yang merupakan kepala penghulu
Garut, ia menikahi mojang priyangan seperti kebanyakan orang Belanda. pada 1871 ia menjabat
sebagai penasihat kehormatan untuk Urusan-urusan masyarakat Pribumi dalam Pemerintah
Kolonial. Hubungan Holle dan Moesa sebagai informan kuncinya membuat hubungannya semakin
dekat, hingga Holle berusaha menarik para elite Priangan ke dalam lingkaran Kolonial dan
merekomendaskan pada para penghulu agara menggunakan bahasa latin dalam setiap karyanya
sebagai pengganti bahasa arab. Holle memuka sebuah jalan yangkemudian diikuti oleh sahabat dan
33
membuka HIK di Bandung biasa disebut dengan sekolah Raja. Murid pertama
berjumlah 27 orang,
antara lain adalah murid pindahan dari HIK Surakarta.
Bahasa pengantar yang digunakan dalam proses belajar menggunakan bahasa
Melayu, kemudian tahun 1865 diajarkan bahasa Belanda dan sejak 1871 bahasa
Belanda digunakan sebagai bahasa pengantar. Dengan adanya HIK di Bandung,
pendidikan pribumi di Priangan dapat berkembang dengan pesat dikarenakan
adanya tenaga guru pengajar baik di sekolah pemerintahan maupun di sekolah
swasta seperti HIS.33
STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandsche Arsten) lebih dikenal
dengan sebutan sekolah dokter Jawa. STOVIA dibuka pada 1851 dengan jumlah
murid 13 orang, dengan menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantar.34 Pendidikan dokter sudah dimulai sejak awal abad 19 pada 1811
ketika maraknya penyakikt cacar yang menjadi ancaman bagi kehidupan
masyarakat pribumi, akhirnya beberapa orang dilantik oleh para penilik vaksin
untuk menjadi juru cacar. Menjelang pertengahan abad 19 lembaga tersebut
dilakukan secara reguler berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda
tanggal 2 Januari 1849 didirikanlah sekolah ahli kesehatan, untuk membantu
rumah sakit militer di Batavia yang dikenal dengan nama STOVIA. Pendidikan
juru cacar yang hanya satu tahun diperpanjang menjadi 2 tahun pendidikan dan
bukan hanya cacar saja tetapi ditambahkan beberapa mata pelajaran tentang
penggantinya Snouck Hurgronje dimana keduanya fokus pada pembentukan Muslim yang
terkolonisasi. Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan, Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah
Indonesia,(Jakarta: Mizan, 2012). H 161-165
33
Nina Herlina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, h.
238-239.
34
M.C Ricklefs, Sejarah Asia Tenggara dai Masa Prasejarah sampai Kontemporer,
(Jakarta : Komunitas Bambu, 2013). h. 452.
34
kesehatan agar lulusannya paham tentang penyakit dan kesehatan lainnya
sehingga dapat melakukan operasi ringan dan merawat pasien. Setelah 2 tahun
masa pendidikan para siswa diuji oleh beberapa dokter dan apoteker militer, jika
lulus mereka mendapat gelar dokter Jawa. Tahun 1864 masa belajar di STOVIA
diperpanjang menjadi 5-6 tahun, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa
pengantar dalam proses belajar mengajar. Diberikan pula pelajaran bahasa
Belanda selama 2-3 tahun bagi murid-murid yang bukan berasal dari sekolah yang
menggunakan bahasa pengantar bahasa Belanda. Tahun 1875 gelar dokter Jawa
diubah menjadi Indlandsche geneeskunde atau ahli kesehatan pribumi. 35
Akhir abad 19 dan awal abad 20, penguasa perkebunan di Sumatra Utara
membutuhkan tenaga medis yang terbilang murah karena tenaga medis dari Eropa
sukar untuk dijangkau. Adanya STOVIA dengan mendidik pribumi mengenai
ilmu kesehatan merupakan jalan keluar dari permasalah itu. Dibawah pimpinan
K.F. Roll dan Departemen Pendidikan yang mendukung program pendidikan
kedokteran, melakukan upaya peningkatan kinerja STOVIA dengan lama belajar
menjadi 6 tahun, 3 tahun tingkat persiapan bagi sebagian besar mahasiswa.
Kedudukan dokter sangat dijunjung tinggi di tengah masyarakt pribumi, maka
dari itu dilakukan berbagai macam upaya untuk menarik minat para pelajar.
Tahun 1891 telah diputuskan mengizinkan semua pemuda yang berminat pada
pendidikan dokter dapat mendaftar dan mengikuti sekolah dasar Eropa tanpa
dipungut biaya dengan perjanjian yang ditandatangani orang tua bahwasanya anak
mereka setelah lulus akan bekerja pada pemerintah selama beberapa tahun. Gaji
35
Sekolah dokter Jawa berubah pada 1902 menjadi STOVIA. Sugijanto Padmo (alm),
“Perkembangan Sosial Ekonomi Pribumi”., h. 204.
35
dokter sangat rendah dibandingkan dengan praktik swasta yang sangat tinggi.
Tahun 1904 daya tarik ditambah dengan memberikan gaji f150 sebulan bagi
mahasiswa yang berprestasi. Reorganisasi STOVIA dilakukan pada 1900-1902,
untuk masuk STOVIA di tetepkan lulusan sekolah Belanda dan memiliki
kemampuan pengantar bahasa Belanda sebagai syarat masuk, hal ini memberi
peluang mendapatkan pendidikan lanjut untuk masuk ke sekolah dokter di negri
Belanda.
STOVIA
ditingkatakan
menjadi
perguruan
tinggi
kedokteran
Geneskundige Hoge School (GHS) pada 192736.
Pemerintah juga mendirikan Sekolah untuk pribumi, bukan dari golongan
bangsawan, dikalangan Belanda beranggapan perlu pengembangan pendidikan
yang bercorak barat bagi masayarakat pribumi dengan tujuan untuk keperluan
perluasan birokrasi dan jaringan admininstrasi pemerintah kolonial, sesuai dengan
pendapat
van
der
Prijs
untuk
membentengi
“Volkano
Islam”.37Pada
perkembangan awal abad ke 20 Gubernur Van Heutz di bawah kepemimpinannya
sistem pendidikan diperluas sampai ke desa-desa untuk orang-orang biasa dan
penduduk desa, disebut dengan volksschool atau desaschool dengan lama belajar
tiga tahun, itupun di bangun dengan sangat sederhana dan tidak dibiayai oleh
pemerintah, dari ide kecil ini penduduk pribumi dapat menerima pelajaran
membaca, menulis, berhitung dan menggambar.38 Dapat dilihat bahwasanya
36
Sugijanto Padmo (alm), “Perkembangan Sosial Ekonomi Pribumi”., h. 204. Lihat juga
Nina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam Taufik Abdullah
dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V. h. 247.
37
Nina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam Taufik
Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V. h. 241-243.
38
I.J Brugmans “Politik Pengajaran” dalam H. Baudet dan I.J Brugman (ed), Politik Etis
dan Revolusi kemerdekaanI. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987), h. 181.
36
pemerintah sangatlah pilih kasih dalam menangani pendidikan pribumi. Jika
sudah pandai siswa dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang selanjutnya yaitu
sekolah sambungan atau vervolgschool dengan masa belajar 2 tahun. Sistem ini
menggantikan kedudukan sekolah kelas dua sebagai lembaga pendidikan yanng
penting untuk masyarakat pribumi. Sedangkan, Sekolah-sekolah Pribumi Kelas
Dua (Tweede Klasse School) bermetamorfosis menjadi apa yang disebut
Standaardscholen (sekolah-sekolah standar) pada tahun 1908. Sekolah-sekolah ini
diperuntukkan bagi kalangan keluarga pedagang atau para petani di desa.39
Abad 20 Sekolah kelas satu berkembang menjadi HIS (Hollandsch
Indlandsch School). Sekolah ini dibuka bukan karena pemerintah melainkan
desakan masyarakat yang merasa bahwa sekolah kelas satu tidak memenuhi syarat
untuk melanjutkan ke pendidikan selanjutnya. Budi Utomo mendesak pemerintah
untuk mendirikan sekolah bercorak baru. Karena diskriminasi ras juga sangat
dirsasakan pada klasifikasi sekolah. Pemerintah membuka sekolah sekolah pada
tingkatan dasar berdasarkan ras keturunan seperti Europeeche Lagere School
(ELS) dikhususkan untuk anak-anak Eropa, Hollandsh Chinese School
dikhususkan untuk anak-anak China dan keturunan Asia Timur40. Masyarakat
juga meminta agar kesempatan untuk masuk ke sekolah Belanda diperluas agar
mereka dapat mengikuti ujian pegawai rendah (klein ambtenaar). Pemerintah pun
mengubah peraturan masuk sekolah Belanda pada 1911. HIS dibuka sebagai
39
40
Yudi Latif, h. 103.
Nurcholis Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h.28
37
penjelmaan sekolah kelas satu pada 1914 dengan bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantarnya dan lama belajar 7 tahun.41
Siswa yang berbakat dapat melanjutkan sekolah ke MULO (Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs) yaitu sekolah lanjutan pertama. Setelah lulus dapat
melanjutkan ke sekolah menengah selanjutnya yaitu AMS (Algemeene
Middlebare School). Tahun 1920 jika siswa dapat lulus dengan peringkat yang
baik mereka dapat meneruskan ke perguruan tinggi. Selain MULO dan AMS ada
juga HBS (Hogere Burgerschool).
Pada perguruan tinggi pemerintah mendirikan MLS (Middlebare
Landbrouw School). THS (Technise Hoge School) untuk memunjang kebutuhan
insiyur dan orangorang yang ahli dalam bidang tekhnologi khususnya tekhnologi
pengairan guna menunang industri gula di Jawa yang dirasakan kebutuhannya
setelah tahun 1920, sekolah ini merupakan pendidikan tinggi di Hindia Belanda
yang memenuhi syarat sebagai perguruan tinggi, perguruan tinggi ini menerima
lulusan AMS dan HBS dengan lama belajar 5 tahun. Ada juga RHS
(Rechtskundige Hoge School) perguruan tinggi yang fokus pada bidang hukum,
ekonomi dan ilmu ilmu social didirikan pada 1924 dengan lama belajar 5 tahun,
sebelumnya sudah ada sekolah Rechtschool (sekolah hakim) didirikan di Batavia
pada 1909, terdiri menjadi dua bagian, yaitu bagian persiapan dan bagian
pendidikan kejuruan dengan lama belajar masing masaing 3 tahun dan
menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Tahun 1913 di Surabaya
41
241.
Nina Herlina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, h.
38
dibuka pula sekolah semacam STOVIA dengan nama Nederlansche Indische
Artsen School (NIAS)42
Sekolah yang didirkan pemerintah semakin banyak menarik perhatian
masayarakat pribumi. Sekolah dianggap sebagai alat untuk dapat memasuki
lingkungan hidup baru atau hidup kerpiyaian, hidup sebagai menak bagi
masyarakat golongan bawah, dan legitimasi bagi masyarakat atas. Namun
meskipun sudah banyak yang mencicipi bangku sekolah pada 1930 menurut
sensus mengatakan masyarakat pribumi masih banyak yang buta huruf , hanya
6,44% masyarakat pribumi yang dapat membaca.43
C.
Kebijakan
Politik
Asosiasi
Pendidikan Terhadap
Masyarakat
Pribumi
Harry J. .Benda melukiskan pembagian Islam oleh Snouck menurut dua
aspek yang dapat dipisahkan: Islam religius dan Islam politik,44 Snouck
memformulasikan dan mengkategorikan permasalahan Islam menjadi tiga bagian,
42
Nurcholis Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h.30.
lihat juga Nina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam Taufik
Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V. h. 247, dan M.C
Ricklefs, Sejarah Asia Tenggara dai Masa Prasejarah sampai Kontemporer, (Jakarta : Komunitas
Bambu, 2013). h. 452. Perguruan tinggi yang didirika masa pemerntah Kolonial menjelma sebagai
perguruan tinggi yang ada di Indonesia, THS kini ITB, MLS kini IPB, GHS kini FK UI, RHS kini
dipecah menjadi fakultas fakultas hukum, ekonomi dan ilmu sosial dan politik di lingkungan UI,
NIAS kini FK Unair.
43
Nina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam Taufik
Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V,. h.242. lihat juga
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda,. h. 48. Buta huruf yamg dimaksud adalah buta huruf
latin, masyarakat yang dapat membaca huruf arab tidak masuk dalam hitungan dapat membaca.
44
Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari terbit, Islam Indonesia Pada masa
Pendudukan Jepang,. Terj.Daneil Dhakidae dari The Cressent and the Rissing Sun (Jakata: PT
Pustaka Jaya, 1980),, h.44.
39
yaitu ; bidang agama murni, bidang sosial kemasyarakatan, bidang politik.
Pembagian kategori pembidangan ini juga menjadi landasan dari doktrin konsep
Splitsingstheori45.
Prinsip yang dikemukan Snouck dalam bidang kemasyarakatan dan politik
adalah menggalakan pribumi agar dapat menyesuaikan diri dengan kebudayaan
Belanda. Prinsip ini tidak dapat terlepas dari eksistensi kekuasaan Belanda di
tanah jajahannya ditambah untuk merebut kemenangan dalam persaingan dengan
Islam. Belanda memanfaatkan asosiasi dan pemanfaatan adat untuk tetap bertahan
di tanah jajahannya. Dan melalui pendidikan sebagai jalan utamanya.
Dengan mengabulkan keinginan penduduk Hindia Belanda memperoleh
pendidikan, menurut Snouck akan menjamin kekalnya loyalitas mereka terhadap
pemerintah kolonial, dan akan berdampak menghilangkan cita-cita Pan Islam46
dari segala kekuatannya. Secara tidak langsung juga akan bermanfaat bagi
45
Aqib Suminto. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES,198), cet
I,. h. 12
46
Pengertian Pan-Islam secara klasik adalah penyatuan seluruh dunia Islam di bawah satu
kekuasaan politik dan agama yang dikepalai seorang khalifah. Secara modern dapat diartikan
bahwa kepemimpinan khalifah tersebut hanya meliputi bidang agama. Pada masa Usmani Muda,
Turki berusaha menggunakan Pan-Islam untuk menyatukan seluruh umat Islam di bawah
Kesultanan Usmani. Usaha ini cepat menarik perhatian Asia Afrika yang pada waktu itu hampir
seluruhnya sedang dijajah oleh Barat. Ide Pan-Islam ini akan memanfaatkan kemajuan Barat dan
menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, Pan-Islam sekedar
berusaha untuk menyatukan seluruh umat Islam dalam satu ikatan setia kawan, atau menghidupkan
rasa Ukhuwah Islamiyah di kalangan dunia Islam. Meskipun demikian, Pan-Islam dalam
pengertian ini tetap dianggap berbahaya oleh negara-negara penjajah, karena bisa membangkitkan
perlawanan bangsa-bangsa Islam yang dikuasainya. Umat Islam di suatu tempat berkat adanya
Pan-Islam akan bisa merasakan penderitaan saudaranya di tempat lain. Pada 1884 Jamaluddin al
Afghani bersama Muhammad Abduh menerbitkan majalah Al Urwatul Wutsqa di Paris. Melalui
majalah ini mereka berusaha menyadarkan dunia Islam agar menemukan kembali kepribadiannya.
Diimbaunya dunia Islam agar berpegang teguh kepada agamanya, sebab disitulah terletak
kekuatan Islam. Meskipun demikian tidak digalakkannya ta’assub berlebihan sehingga merusak
hak orang lain, atau berusaha memusnahkan agama lain. Setiap kepala pemerintahan muslim
diserukannya harus berpegang teguh pada hukum syariah. Dicanangkannya persatuan sesama umat
dan bangsa Islam. Seorang muslim sehatusnya merasa sedih dan prihatin tatkala mendengar berita
kejatuhan suatu negara Islam ke tangan negara bukan Islam. Aqib, h 80
40
penyebaran agama Kristen, sebab penduduk pribumi yang telah berasosiasi akan
lebih mudah menerima panggilan missi.47
Sudah dijelaskan pula diatas perlakuan Belanda yang berbeda terhadap
negara jajahannya yang tidak sama dengan Negara penjajah lainnya yang sudah
terlebih dahulu mendirikan sekolah daripada Belanda, seperti penjajah Spanyol
dan Inggris yang mensejahterakan negara dibawah kekuasanya dengan
mendirikan lembaga pendidikan lebih awal daripada Belanda yang sangat lambat.
Abad ke-16 Spanyol sudah mendirikan Universitas di Filipina begitu pula dengan
Inggris mendirikan Universitas di India pada abad ke-17, Belanda baru
mendirikan sekolah di penghujung akhir abad ke-19.
Snouck melihat guru-guru agama dan ahli kitab suci Islam, kiai dan ulama
merupakan unsur sosial yang paling penting dalam tatanan masyarakat Hindia
Belanda. karena maraknya perlawanan yang dipimpin oleh para Kiai dan ulama
terhadap pemerintah, maka golongan ini dianggap berbahaya oleh pemerintah
Belanda, terlebih lagi orang-orang yang pulang dari ibadah Haji dan lama
bermukim disana untuk menimba ilmu agama, karena alasan inilah pemerintah
membuat kebijakan tentang pembatasan pergi Haji dan mengawasi masyarakat
Hindia Belanda yang pergi Haji selama beribadah sampai kembali ke tanah air.48
Karena banyak dari mereka yang pulang ke tanah air mendirikan halaqah halaqah
47
Suminto. h.40
Aqib Suminto, h. 92-96 tentang haji dan Pan Islam. lihat Hamid Algadri, Islam dan
Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda,(Bandung: Mizan,1996), cet I, h.44.dan
juga Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari terbit, Islam Indonesia Pada masa Pendudukan
Jepang, Terj. dari The Crescent and The Rising Sun, Indonesian islam under the Japanese
occupation 1942-1945 oleh Daneil Dhakidae (Jakata: Mizan, 1980), cet I. h.42. dan jga G.J.
Pijper, “Politik Islam pemerintah Belanda” dalam H. Baudet dan I.J Brugmans, Politik Etis dan
Revolusi Kemerdekaan oleh Amir Sutaarga,. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987),. h. 242.
48
41
kecil sampai pesantren guna memberikan pendidikan agama pada masyarakat
muslim pribumi. Melihat hal ini Snouck tak tinggal diam. Ia membuat kebijakan
khususnya untuk masyarakat pribumi yang beragama Islam agar terlepas dari
ajaran agama. Seperti prinsipnya dalam bidang kemasyarakatan, ia menggalakan
pribumi untuk menyesuaikan diri dengan kebudayaan barat (asosiasi kebudayaan).
Dengan cara mendirikan sekolah berpendidikan barat untuk menyaingi eksistensi
pendidikan agama yang diajarkan di surau, masjid, madrsah dan pesantren yang
dibawa oleh para haji dan ulama tersebut.
Dalam melancarkan politik asosiasi pendidikan, Belanda mendirikan
sekolah untuk masyarakat pribumi. Namun banyak terjadi diskriminasi yang
sangat terelihat dalam mendirikan sekolah. Dari mulai kurikulum yang diajarkan
dan pengelompokan sekolah berdasarkan warna kulit dan ras. Awalnya hanya
anak-anak keturunan bangsawan yang dapat menikmati sekolah karena memang
itu misi awal Snouck, memilih anak-anak bangsawan untuk melancarkan misi nya
memishakan mereka dari kebudayaan asli, adat dan agama hingga mereka dapat
berpegang pada kebudayaan barat.49
Snouck dan J.H. Abendanon melakukan upaya khusus untuk memberi
jalan bagi anak-anak dari keluarga terkemuka agar bisa memasuki tingkatan
pendidikan yang lebih tinggi di negeri Belanda. Sehingga, pada tahun 1900 telah
ada sekitar lima orang mahasiswa Hindia di negeri Belanda. Pada tahun-tahun
49
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, h.41. dan juga Hamid Algadri, Islam dan
Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda,. (Bandung: Mizan, 1996). h.30.
42
berikutnya, jumlah itu meningkat semakin cepat mencapai sekitar 25 pada tahun
1908.50
Sekolah-sekolah
yang
dikembangkan
pemerintah
bukanlah
hasil
pertumbuhan lokal, melaikan hasil manipulasi kebudayaan model Barat yang
berakar pada negri asal penjajah, baik organisasi maupun kurikulumnya. Sekolah
kolonial diorganisir secara hirarkis menurut umur dan tingkatan sekolah
berdasarkan batas perkembangan sesuai dengan kepentingan pemerintah.
Masyarakat tidak bisa dengan sendiriya masuk dan memilih sekolahnya sendiri,
sebagai akibat bahwa sistem pendidikan yang berkembang bukanlah merupakan
tuntuan lokal tetapi mencerminkan kepentingan kolonial, dimana pendidikan
moral dan agama serta bahasa negara jajahan merupakan bagian yang kurang
penting disamping keterampilan birokrasi untuk memperkokoh kekuasaan
Belanda. Seperti pelajaran sejarah dan geografi yang tidak masuk dalam
kurikulum dan pengetahuan bahasa lokal, dikarenakan semua itu akan melibatkan
pelajaran tentang kebudayaan dan identitas lokal.
Seberapa banyak sekolah yang didirikan Belanda berkaitan erat dengan
apa yang diharapkan dari lembaga pendidikan yang didirikan itu, pemerintah
Belanda ingin mengeksploitasi pendidikan demi kepentingan kolonial. Resep
yang paling ampuh adalah dengan mengontrol kurikulum yang diajarkan. Kontrol
kurikulum ditentukan atas dasar kepentingan kolonial dengan memberikan
beberapa subjek mata pelajaran yang dibutuhkan bagi kebutuhan administrasi.
Pemerintah sangat berhati-hati dalam memilih subjek mata pelajaran. Adapun
50
Yudi Latif, h. 106.
43
pelajaran yang diberikan meliputi pengetahuan dasar mengenai kemampuan
membaca, menulis bahasa Melayu (latin), berhitung, membuat surat, pembukuan,
pengetahuan pertanian, dan kesehatan. Hingga akhir abad 19 ditambah dengan
bahasa Belanda, menggambar, menyanyi, geografi serta pelajaran teknik pertanian
dan kesehatan.51 Meskipun mata pelajaran yang diajarkan mencontoh pendidikan
Barat, namun dalam prakteknya materi yang diajarkan sangat terbatas dan jauh
berbeda, baik dari substansi dan relevansinya dengan hakikat pendidikan dan
lingkungan kebudayaan murid. Pemerintah sering memberikan pelajaran bahasa
Belanda, pelajaran bahasa dengan sendirinya akan melibatkan pelajaran
kebudayaan, nilai-nilai dan pandangan hidup yang luas.
Berbagai kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang diskriminatif sejalan
dengan prinsip kolonial sebagai berikut:
1. Pemerintah kolonial berusaha tidak memihak salah satu agama tertentu
2. Pendidikan diarahkan agar para tamatannya menjadi pencari kerja,
terutama demi kepentingan kaum penjajah.
3. Sistem persekolahan disusun berdasarkan stratifikasi sosial yang ada
dalam masyarakat.
4. Pendidikan diarahkan untuk membentuk golongan elite sosial Belanda.
5. Dasar pendidikannya adalah pendidikan barat yang berorientasi pada
pengetahuan dan kebudayaan barat.52
51
52
Nina Lubis, h. 254.
Abudin Nata, h. 282
44
S. Nasution berpendapat dalam Abuddin Nata, bahwasanya politik kolonial
erat hubungannya dengan kepentingan kolonialisme, yang didominasi oleh para
penguasa dan tidak di dorong oleh nilai etis. Ciri politik dan praktik pendidikan
kolonial, khususnya pemerintah Belanda di tanah jajahan Hindia Belanda adalah
sebagai berikut :
a. Diskriminasi yang luar biasa dalam penyediaan pendidikan bagi
masyarakat pribumi di Hindia Belanda.
b. Diskriminasi dalam pendidikan dengan menekankan perbedaan yang tajam
antara pendidikan Belanda dengan pendidikan pribumi.
c. Kontrol sosial yang kuat.
d. Keterbatasan tujuan sekolah pribumi dan peranan sekolah dalam
menghasilkan pegawai sebagai faktor penting dalam perkembangan
pendidikan.
e. Prinsip konkordansi yang menyebabkan sekolah di Indonesia sama dengan
di negri Belanda.
f. Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis untuk pendidikan
anak pribumi.53
Kebijakan pemerintah dalam masalah pendidikan untuk memajukan
masyarakat pribumi hanayalah bualan belaka, bukti nyata tentang kebijakan
pemerintah adalah adanya diskriminasi pendidikan terhadap masyarakat pribumi
dengan mengusahakn pendidikan serendah rendahnya dan memperlambat lahirnya
53
Abudin Nata, h. 285.
45
sekolah yang setaraf dan memiliki keunggulan yang baik seperti sekolah sekolah
anak-anak Eropa.
Antara pemerintah dan masyarakat setempat memiliki pendapat yang berbeda
pandangan terhadap lahirnya sekolah- sekolah, namun dalam pandangan
masyarakat kolonial juga terdapat perbedaan persepsi, Orang Eropa yang tidak
percaya dengan kemampuan masyarakat pribumi dan masyarakat pribumi yang
juga tidak percaya dengan kemampuan mereka sendiri.54 Sementara ada juga
kelompok sosial yang melihat kahadiran pendidikan Belanda sebagai peluang
yang
menguntungkan,
keanekaragaman
pandangan
tersebut
memberikan
gambaran bahwa dalam situasi kolonial, orang tak lagi bebas menentukan pilihan
atau arah bagi pendidikan anak-anak mereka, yang ada hanya dua pilihan
menerima atau menolak kebijakan yang sudah ditawarkan oleh pemerintah
Belanda.
Sesusai dengan yang digambarkan oleh Aqib Suminto politik Asosiasi ini
memiliki tujuan mempererat ikatan antara negeri jajahan dengan negara jajahan
melalui kebudayaan, khususnya di bidang pendidikan yang menjadi fokus utama
dalam penerapannya.55 Politik Asosiasi juga mencita-citakan suatu masyarakat
Hindia Belanda dimana dua golongan yaitu Eropa dan Pribumi dapat hidup
berdampingan dalam satu masyarakat, golongan pribumi yang telah mendapatkan
pendidikan Barat diharapakn dapat bekerjasama dengan golongan Belanda.56
Dalam
prakteknya,
54
penerapan
politik
asosiasi
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda,. h. 42
Aqib Suminto, h. 39.
56
Marwati Djoened Pusponegoro, h.61.
55
ini
bukanlah
untuk
46
mengembangkan pendidikan seluruh masyarakat pribumi, secara keseluruhan
hanya beberapa individu yang diusahakan untuk dilepas dari masyarakat
pribuminya.
Snouck memilih anak dari kalangan anak-anak raja atau para bangsawan
pribumi. Karena menurut Snouck, Belanda berfungsi sebagai wali dan fungsi wali
inilah yang mewajibkan Belanda untuk mendidik Indonesia.57 Murid Snouck yang
sangat terkenal dan cemerlang adalah Pangeran Aria Hosein Djajadiningrat 58,
berhasil ditempatkan di sekolah Belanda (ELS dan HBS) dan melanjutkan
pendidikan ke Universitas Leiden disana ia mendapatkan gelar Cumlaude ia
merupakan anak keturunan bupati Banten. Snouck juga memberi kesempatan pada
Wiranatakusumah, tahun 1906 ia dipindahkan sekolahnya dari kelasnya di OSVIA
dan mensponsorinya di Sekolah menengah Belanda di Batavia yang memiliki
pendidikan lebih baik. Wiranatakusumah tidak pernah menamatkan sekolahnya
namun ia masih dapat mendapatkan kedudukan tinggi dan menjadi salah satu
tokoh terkemuka di Jawa Barat.59
Snouck juga memiliki delapan anak asuh yang berada di bawah
pengawasannya, antara lain Tuanku Ibrahim, Teungku Pakeh, Teuku Usoih
57
Aqib Suminto ,.h.41
G.J. Pijper, Beberapa Studi Tentang Islam di Indonesia 1900-1950, Terj. dari Studien
over de Geshiedenis van de Islam in Indonesia 1900-1950 oleh Tujimah dan Yessy Augusdin
(Jakarta: UI-Press, 1985), cet II. H .9. lihat juga Aqib Suminto,Politik Islam Hindia Belanda, h.
41.dan juga G.J. Pijper, “Politik Islam pemerintah Belanda” dalam H. Baudet dan I.J Brugmans,
Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan oleh Amir Sutarga,(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1987), h.245. juga Nina Herlina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit
Modern”, dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah,
Jilid V., (Jakarta: PT. Ichtiar Baroe Van Hoeve), h 263.
58
59
Robert Van Niel. h.78.
47
(Keumangan), Teuku Tajeb (Peureula), Teuku Mahmud (Pidie) di Aceh, Raja
Mahmud Indragiri di Bandung, Raden Muhammad di Bogor dan Syarif Kasim
(Siak) di Jakarta, setelah kepergian Snouck pada 1906 ia menyerahkan
pengawasan teradap delapan anak asuhnya pada Dr. G.A.J Hazeu.60 Minat dan
perhatian Snouck membuat anak asuhnya amat terpengaruh dengan kebudayan
Barat.61 Gagasan untuk mendidik anak anak pribumi ini kemudian di putuskan
oleh pemerintah, sehingga secara resmi mereka dibiayai oleh pemerintah Belanda
sampai tahun 1931.62
Sekolah sebagai lembaga pendidikan, umumnya mencerminkan kekuatan dan
kepentingan pemerintah kolonial. Pendidikan mulai dari tingkat bawah sampai
tingkat tinggi umumnya bukan dimaksudkan untuk mencerdaskan masyarakat
Hindia Belanda, melainkan sekedar memberi kesempatan kepada keluarga
golongan tertentu yang dipercaya untuk ikut serta dalam mempertahankan
kelangsungan kolonial. Walaupun sistem pendidikan yang dikembangkan sedikit
banyak telah memberikan peluang untuk anak-anak pribumi, sebagai hasil
interaksi antara penguasa kolonial dan penduduk setempat, sekolah sekolah yang
didirikan fungsinya untuk memenuhi kepentingan kolonial, antara lain untuk
mengisi kekurangan tenaga pegawai dalam birokrasi kolonial di tingkat bawah
atau menjadi pegawai pada perusahaan-perusahaan industri dan perdagangan
swasta yang erat hubunganya dengan pemerintah.
60
Aqib, h.42
Van Niel. h. 79
62
Lihat Bijblad no 6639 dan no 7123
61
BAB III
KEBIJAKAN POLITIK ASOSIASI PENDIDIKAN BAGI UMAT ISLAM
A. Pendidikan Umat Islam Masa Kolonial
Pendidikan tidak akan mempunyai arti tanpa manusia di dalamnya. Karena
manusia merupakan subjek dan objek pendidikan yang memilik arti bahwa
manusia tidak akan berkembang dan mengembagkan kebudayaannya secara
sempurna bila pendidikan tidak ada. Pendidikan merupakan alat untuk
meneruskan dan mengekalkan kebudayaan manusia.
Pada abwal abad ke 20, terdapat dua corak pendidikan yaitu Pesantren dengan
sistem pendidikan yang tradisional mengajaarkann pengetahuan dan ketrampilan
yang berguna bagi penghayatan agama dan pendidikan Barat yang sekuler yang
hanya mengajarkan pengetahuan umum dan ketrampilan. Lembaga pendidikan di
Hindia Belanda muncul secara bertahap mulai dari pendidikan tradisional hingga
tahap-tahap yang terhitung modern dan lengkap. Lembaga pendidikan Islam
menjalankan peran dan fungsi sesuai dengan tuntutan masyarakat dan zaman.1
1. Macam-macam Lembaga Pendidikan.
Lembaga pendidikan yang amat tradisional yang pertama adalah Surau,
merupakan tempat untuk berkumpul, rapat dan tempat tidur bagi anak laki-laki
yang sudah baligh atau orang tua yang sudah uzur dalam tradisi adat
Minangkabau. Fungsi surau sebagai tempat tidur laki-laki karena dalam adat
1
Absari, “Sejarah dan Dinamika Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara”,
dalam Samsul Nizar (ed), Sejarah Pendidikan Islam, menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasulullah sampai Indonesia., (Jakarta: Kencana Prenada media Group, 2007)., h.279.
48
49
Minangkabau laki-laki yang sudah baligh tidak mendapatkan kamar dalam rumah
orang tua nya, tempat ini amat penting untuk perkembangan pendewasaan diri
generasi Minangkabau dari segi pengetahuan dan ketrampilan.2
Sebagai lembaga pendidikan tradisional, sistem pendidikan yang digunakan
adalah halaqah3. Materi yang diajaarkan seputar huruf hijaiyah dan membaca AlQuran, tentang keislaman, keimanan, akhlak dan ibadah, sedangkan pada
tingkatan yang lebih tinggi diajarkan pengajian kitab seputar ilmu sharaf dan
nahu, ilmu fikih, ilmu tafsir dengan membaca kitab arab dan diterjemahkan dan
dilaksanakan pada malam hari.
Metode pendidikan surau memiliki kelemahan dan kelebihan. Kemampuan
menghafal muatan teoritis keilmuan merupakan bentuk kelebihan dari pendidikan
surau, sedangkan bentuk kelemahannya terletak pada sulitnya memahami dan
menganalisis teks, dan terlebih lagi siswa bisa menghafal seluruh isi kitab namun
tidak dapat menulis apa apa yang sudah mereka baca dan hafal.
Lembaga pendidikan selanjutnya adalah Meunasah berasal dari bahasa Arab
yang artinya Madrasah. Meunasah merupakan bangunan yang terdapat di setiap
kampung, seperti rumah namun tidak memiliki jendela, digunakan sebagai tempat
diskusi, belajar dan tempat berkumpul anak-anak muda. Setelah Islam masuk
meunasah menjadi tempat Ibadah bagi umat Islam. fungsi lain dari meunasah
adalah sebagai tempat upacara keagamaan, penerimaan zakat dan penyalurannya,
2
Absari, “Sejarah dan Dinamika Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara”.,
3
Halaqah merupakan system belajar dengan cara membuat lingkaran
h.280
50
sebagai lembaga pendidikan Islam dimana diajarkan pelajaran membaca Al-Quran
dan pengajian bagi orang dewasa yang dilakukan pada malam hari.4
Pendidikan di meunasah dipimpin oleh Teuku Meunasah dan perempuan
diajar oleh Teuku Inong biasanya dibantu oleh beberapa murid yang lebih
menonjol daripada murid lainnya disebut Sida. Tidak ada batasan tertentu untuk
lama pendidikan di meunasah, umumnya berlangsung selama dua atau sampai
sepuluh tahun. Materi pendidikan yang diajarkan adalah membaca Al-Quran
dalam bahasa Aceh yang disebut Beuet Quran. Membaca Quran dengan
tajwidnya, menghafal surat pendek (Juz Amma) pelajaran menyanyi yang
berhubungan dengan agama dalam bahasa Aceh dike atau seulaweut (dzikir atau
sholawat). Buku yang digunakan menggunakan Kitab Parukunan dan Risalah
Masail al Muhtadin yang menggunakan bahas Melayu. 5
Belajar di Meunasah tidak memerlukan biaya, karena para pengajar
beranggapan mengajar adalah suatu bentuk ibadah. Meunasah merupakan
lembaga pendidikan yang wajib diikuti oleh para masyarakat Aceh, tak heran
apabila orang Aceh memiliki fanatisme agama yang sangat besar. Bisa dikatakan
karena fanatisme agama yang besar memunculkan semangat nasioanlisme dalam
diri rakyat Aceh, untuk melawan penjajah Belanda. Alasan ini yang membuat
Snouck merasa perlu ikut campur dalam menangani masyarakat Aceh dengan
4
Absari, “Sejarah dan Dinamika Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara”,
dalam Samsul Nizar (ed),. h.18.
5
Absari, “Sejarah dan Dinamika Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara”,
dalam Samsul Nizar (ed),. h.19
51
memasukan salah satu orang kepercayaannya yaitu Hasan Moestopa6 yang telah
mendapat pendidikan Belanda dan menjadi menak.7
Lembaga pendidikan Islam tradisional lainnya adalah Pesantren, dalam
bukunya Tradisi pesatren Zamakhsyari Dhofier menyatakan bahwa pondok,
masjid,santri, pengajaran kitab kitab Islam klasik dan kyai merupakan elemen
dasar dari tradisi pesantren.8 Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa pesantren
mengandung makna keIslaman sekaligus keaslian Indonesia. Kata “pesantren”
mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid pesantren.
Sedangkan kata santri diduga berasal dari istilah sasthri yang berarti melek huruf,
atau dari bahasa Jawa Cantrik yang berarti seseorang yang mengikuti gurunya
kemanapun pergi.9
Materi pelajaran dan metode pengajaran yang digunakan di pesantren antara
lain, wetonan yakni metode yang digunakan dimana santri mengikuti pelajaran
dengan cara duduk disekeliling kiai yang menerangkan pelajaran, seorang santri
menyimak dan mencatat pelajaran yang sudah diberikan oleh kiai. Ada pula
metode sorogan yaitu metode dimana santri menghadap kiai seorang demi
seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Metode ini menuntut
kesabaran, kerajinan, ketaanan dan kedislipinan para santri. Dan metode hafalan
6
Hasan Moestapa merupakan seorang anak bangsawan Garut yang mendapat kesempatan
untuk belajar di Sekolah Belanda, ia merupakan tangan kanan Snouck Hurgonje, juru kunci
Snouck Hurgronje dalam urusan masyarakat muslim pribumi merupakan contoh dari penghulu
yang terkolonisasi
7
Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan, Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah
Indonesia,(Jakarta: Mizan, 2012),. h.165.
8
Zamaksyari Dzofier, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (
Jakarta: LP3ES, 1994) h. 35
9
Nurcholis Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004). h. 14
52
yakni metode dimana santri menghafal teks kalimat dari kitab yang telah mereka
pelajari.10
Hampir di seluruh penjuru Hindia, terutama di pusat-pusat Kerajaan Islam
telah banyak para ulama yang mendirikan pondok pesantren dan mencetak ratusan
bahkan ribuan alumni yang mumpuni di medan perjuangan masyarakat pribumi.
Dalam perkembangannya, pesantren tetap kokoh dan konsisten dalam
mengikatkan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan dan
mengembangkan nilain-nilai Islam. Realitas ini dapat dilihat ketika pesantren
menghadapi banyak tekanan dari pemerintah Belanda.
Sebelum Kolonial Belanda masuk ke Hindia Belanda, pesantren tidak hanya
berperan sebagai lembaga pendidikan yang berfungsi menyebarkan ajaran Islam
sekaligus juga mengadakan perubahan-perubahan tertentu menuju keadaan
masyarakat yang lebih baik.
Lembaga pendidikan Islam berkembang dari mulai yang tradisional sampai
modern, mulai dari surau, meunasah, dan pesantren yang memberikan pendidikan
dan pengajaran agama Islam dalam bentuk pengajian Al-Quran dan pengajian
kitab. Lembaga pendidikan Islam semakin berkembang dari segi kelembagaan
sampai materi ajar, metode maupun struktur, lembaga pendidikan melahirkan
bentuk baru dalam bentuk madrasah.
10
Absari, h. 287
53
2. Lembaga Pendidikan Islam di Hindia Belanda
a. Sumatera
Di Sumatera banyak berdiri madrasah-madrasah dan lembaga pendidikan
Islam pada masa pemerintah Belanda, beberapa ada di Minangkabau, Sumatera
Barat. Lembaga pendidikan di Minangkabau sendiri diantaranya adalah Madrasah
Adabiyah Madrasah ini didirikan di Padang Panjang pada tahun 1907 oleh H.
Abdullah Ahmad. Lalu Sumatra Thawalib yang asal ususl didirikanya dari suatu
surau yang disebut surau Jembatan Besi, yang pada mulanya juga memberikan
pelajaran agama secara tradisional,
11
Lembaga lain yang sebagian merupakan
bias dari perkembangan surau Jembatan Besi adalah Diniyah School yang
didirikan di Padang Panjang tahun 1915. dengan menggunakan sistem ke-edukasi
sekolah campuran yang dicontohkan dari kebiasaan yang berlaku di sekolahsekolah pemerintahan.12 Diniyah School didirikan oleh Zaninudin Labai ElYunusi, merupakan sekolah agama pertama yang melaksanakan sistem
pendidikan modern dengan menggunakan alat tulis dan alat peraga yang biasa
disebut system klasikal, meskipun dalam proses belajar mengajarnya masih
berada di Surau belum berbentuk kelas. Kurikulumnya tidak hanya mengajar
pengetehuan agama, tetapi juga pengetahuan umum terutama sejarah dan ilmu
bumi. Kelas yang paling tinggi menggunakan buku-buku berbahasa Arab
dikarenakan kurikulumnya bersifat ekstra bahasa Arab daripada ilmu bumi dan
11
Deliar Noer, Gerakan Modernisasi di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1991), h.
52-53
12
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, h. 63
54
sejarah13, madrasah diniyah di topang oleh kemampuan bahasa asing yang
dimiliki Zainudin Labai El-Yunusi yang sangat memahami dan mengembangkan
pengetahuan, sedikit berbeda dari sekolah Adabiyah yang lebih pada pengetahuan
umum.
Sekolah diniyah mendapat sambutan hangat dari masyarakat Islam di
Minangkabau. Sampai pada tahun 1922 tercatat ada 15 sekolah ynag
menggunakan sistem pendidikan seperti ini. Tidak ada keterkaitan antara sekolah
lain dengan sekolah diniyah, hanya memiliki kesamaan pada jiwa dan semangat
dalam mengembangkan pendidikan Islam. Sekolah Diniyah dilanjutkan oleh
Rahmah El-Yunusi adik Zainudin Labai El-Yunus setelah beliau wafat. Rahmah
mendirikan juga sekolah untuk putra dan putri dengan sistem ko-edukasi, karena
ia berpendapat bahwa terdapat masalah yang dialami oleh wanita dan hanya dapat
dipecahkan oleh wanita itu sendiri maka perlu didirikannya sekolah untuk
wanita.14 Pada 2 November 1923 didirikanlah sekolah putra-putri dinamakan alMadrasah al-Diniyah. Madrasah Diniyah terdiri dari tujuh kelas, berupa selolah
rendah seperti yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda yaitu HIS, bukubuku yang digunakan berupa buku yang dipakai di sekolah Mesir sedang untuk
tingkat rendah buku yang dipakai adalah buku yang ditulis sendiri oleh Zainudi
Labai seperti Aqaid Diniyyah, Mabady Arabiah, dan sebagainya.15
Pendidikan Islam di Sumatera Utara ditandai oleh tumbuhnya berbagai
pesantren dan madrasah dalam mencetak kader penerus cita-cita bangsa dan
13
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942,.49.
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), h. 158
15
Hanun Asrohah, h.159.
14
55
agama. Diantara pesantren yang terkenal adalah pesantren Syekh Hasan Ma’sum
yang dirikan pada tahun 1916 di Medan. Madrasah Aziziyah yang didirikan pada
tahun 1923, Maktab Islamiyah Tapanuli Medan didirikan pda tahun 15 Mei
191816 Maktab Islamiyah Tapanuli merupakan tambahan pendidikan agama pada
siang hari untuk murid-murid sekolah pemerintah Belanda.
Sistem
pengajaran
di
pesantren
dan
Madrasah
tersebut
sudah
mempraktikan rencana pengajaran yang tersusun rapi dengan memakai sistem
klasikal, mempelajari ilmu pengetahuan umum dan bertingkat bagi madrasah,
sedangkan di pesantren memplejarai kitab klasik.17
Sedangkan sistem pengajaran di pesantren dan madrasah di Sumatera
Selatan dalam pendidikan Islam tidak jauh berbeda dengan pendidikan Islam di
Jawa, begitupun kitab-kitab yang digunakan di lembaga pendidikan Islam
tersebut. Pesantren dan Madrasah yang terkenal antara lain : Sekolah Ahliyah
Diniyah, madrasah Nurul Falah,18 Madrasah Al-Quraniyah didirikan pada tahun
1920 dan dipimpin oleh KH Abu Bakar Al-Basri dan Madrasah Darul Funun
didirikan pda tahun 1928 dipimpin oleh Ibrahim.19
16
Enung K. Rukiati, Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,(Bandung:
Pustaka Setia, 2006) cet 1, h.40
17
Rukiati, h. 40
18
Enung Rukiati, h. 40
19
Maswadi, “Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam di Nusantara pada Masa Awal
Sampai Sebelum kemerdekaan, Kasus Kebijakan Politik Kolonial Belanda Terhadap Gerakan
Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia” dalam Samsul Nizar (ed), Sejarah Pendidikan Islam,
menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia., (Jakarta: Kencana
Prenada media Group, 2007) h. 304.
56
b. Jawa
Beberapa pondok pesantren yang termahsyur di Jawa terletak di Timur
Jawa, diantaranya adalah Pondok Pesantren Tremas, Pacitan, Pondok Pesantren
Sayikhonan Kholil, Bangkalan, Madura, Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.
Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Sedangkan Pondok Pesantren di Jawa Tengah
berpusat di sekitar Kudus. Ratusan pondok pesantren dan madrasah tersebar di
seluruh pelosok Kudus. Antara lain : Aliyatus-Saniyah MuawananatulMslimin,
Kudsiyah, Tsywiqut Tullab Balai tengahan School, Mahidud Diniyah AlIslamiyah Al-jawiyah, dan lain sebagainya. Sedangkan Pondok pesantren yang
terkenal di Jawa Barat antara lain pesantren yang didirikan Majalengka pada 1917
oleh Perserikatan Umat Islam, Pesantren yang cukup berpengaruh adalah Pondok
Pesantren Gunung Puyuh di Sukabumi. Ada juga Pondok Pesantren Islam
(PERSIS).20
1. Pondok Pesantren Tremas, Pacitan
Pondok Pesantren Tremas terletak di Desa Tremas, kecamatan Arjosari,
kabupaten Pacitan. Pondok Pesatren ini merupak pondok yang berusaha untuk
tetap eksis baik intern maupun ekstern dan mampu menjaga tradisi lama. Pondok
ini didirikan oleh K.H. Abdul Manan pada 1830 merupakan pondok pesantren
tertua di Jawa Timur. Letak pondok ini awalnya di Semanten, 2 km dari utara kota
Pacitan kemudian dipindahkan ke Tremas. Pondok Tremas didirikan berdasarkan
20
http://arihartono20.blogspot.co.id/2015/03/peranan-dan-perkembangan-pesantrenpada.html diakses pada tanggal 24 april 2016, pukul 11.00 WIB.
57
pengalaman K.H. Abdul Manan yang telah menimba ilmu di pondok Tegalsari,
Ponorogo dibawah asuhaj K.H. Hasan Besari.21
Awal mula perintisannya dibangun sebuah masjid untuk pengajian dan
asrama yang terbuat dari bambu untuk tempat tinggal para santri yang berasal dari
daerah sekitar. Pendidikan yang diajarkan pada masa awal berupa pendidikan
kitab-kitab klasik seperti fiqh, tafsir dan lain sebagainya.
Sepeninggalan KH. Abdul Manan, kepemiminan pondok dilanjutkan oleh
putra pertama beliau yaitu K.H. Abdullah. Semasa kecilnya ia diberi pelajaran
agama langsung oleh ayahnya di pondok Tremas. Setelah dewasa, beliau diajak ke
Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim untuk menuntut ilmu
diasana. Setelah pulang dari Mekkah beliau membantu ayahnya mengajar di
pondok Tremas. Pada periode beliau lah banyak berdatangan santri-santri dari
daerah lain seperti Pacitan, Tegalsari, Purworejo, Kediri. Sehingga pada masa
beliau pondok Tremas mengalami kemajuan, dan dibangunlah sebuah asrama di
selatan jalan dan dikenal dengan nama “pondok wetan”. Dalam masalah
pendidikan, diabwah kepemimpinan K.H. Abdullah mengalami perkembangan,
para santri sudah banyak yang menghatam kitab-kitab, santri lama yang sudah
menguasai ktab-kitab ikut andil dalam mengajarkan santri baru di pondok
tersebut. Sama halnya dengan ayahanda tercinta, beliau membawa putra-putranya
ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim disana untuk menuntut
Ilmu. Putra pertama beliau Syikh Mahfudz sudah telebih dahulu bermukim di
21
http://www.alkhoirot.net//2011/09/pondok-pesantren-tremas-pacitan-jawa.html?m=1
diakses pada tanggal 30 Oktober 2016.
58
Mekkah sebelum adik-adiknya Dimyathi, Dahan dan Abd. Razzaq. Sayikh
Mahfudsz meninggal di Mekkah pada saat beliau menuntut ilmu disana, sehingga
sepeninggalan KH. Abdullah kepemimpinan pondok Tremas diambl alih oleh
K.H. Dimyathi.22
K.H. Dimyathi meruakan putra keempat dari Sembilan bersaudara, pada
perider beliau pondok Tremas merupakan masa keemasan yang pertama. Pada
peride beliau jumlah santri yang dating bukan hanya dari daerah sekitar bahkan
dari Malysia, Singapura, Thailand dan Filiphina. Karena ilmunya K.H.Dimyathi
lebih dikenal dengan sebutan “Mbah Guru”, sehingga pondok Tremas lebih
dikenal dengan “Perguruan Islam Pondok Tremas” yang mengandung pengertian
tempat berguru. Dengan datangnya para santri baru, pembangunan srama bru pun
dilakukan dan diberi nama sesuai denga daerah asal para santri,bangnan masjid
pun dipindahkan di tengah pekarangan. Bukan hanya dalam hal pembangunan,
K.H DImyathi juga melakukan perkembangan dalam bidang pendidikan,
dibangunlah madrasah sebagai tempat belajar. Pada awal permulaan pengajian
masih ditangai oleh Kyai namun semakin banyak santri yang sudah pandai,
pengajian dibantu oleh para santri yag dianggap sudah mahir dan menguasai
kitab-kitab untuk dijelaskan kepada santri lainnya. Kitab-kitab tersebut diajarkan
dengan sistem wetonan dan sorogan, dan pada 1928 mulai dirintis sitem madrasah
atau kalsikal.
22
Salis Umudiyah, Skripsi,”Relevansi Kurikulum Pondok Pesantren Dengan Kebutuhan
Masyarakat , Studi Analisis Pada Perguruan Islam Pondok Tremas Pacitan Jawa Timur” (Salatiga:
IAIN Salatiga, 2015) h. 5
59
Pendidikan yang diajarkan di Pondok Pesantren ini mengedepankan dua
aspek yaitu aspek formal dan non-formal. Pendidikan formal yang berkembang di
pondok Tremas ini berupa Madrasah Diniyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah
Aliyah dan untuk pendidikan non-formal masih bersifat pendidikan kitab-kitab
klasik seperti wetonan dan bandongan. 23
2. Pondok Pesantren Syaikhona Mohammad Kholil, Bangkalan, Madura
Syaikhona Kholil merupakan seorang kyai yang lahir dari keturunan alim
ulama yang kharismatik, yakni Kyai Abdul Latief bin K.H Hamim bin K.HAbdul
Karim bin K.H Muharrom, isrtinya bernama Siti Khodijah. Syaichona Cholil
dilahrikan di Desa Lagundih (Desa Kramat), Kecamatan Ujung Piring, Kabupaten
Bangkalan pada 20 September 1834. Beliau meninggal pada 24 April 1925 dalam
usia 91 tahun. Syaikhona Kholil memiliki 5 (lima) jalur silsilah yang tersambung
hingga ke Rasulullah SAW, yaitu Jalur Sunan Kudus (Sayyid Ja’far Shodiq), Jalur
Sunan Ampel (Raden Rahmad), Jalur Sunan Giri (Sayyid Muhammad Ainul
Yaqin), Jalur Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah), dan Jalur Basya’iban.24
Syaikhona Kholil mengenyam dua masa pendidikan, yakni pendidikan di
pesantren dan pendidikan di Tanah Suci Makkah.Awalnya Syaikhona Kholil
memperdalam ilmu agama di beberapa pesantren Bangkalan, diantaranya adalah
Guru Dawuh dan Guru Agung. Kemudian melanjutkan di beberapa pondok
pesantren di Jawa, seperti Pondok Pesantren Bungah, Gersik asuhan Kiai Sholeh,
23
Salis, h 7.
M. Ali Haidar, “Tarekat Qodariyah Wa Naqsabandiyah Syaikhona Muhammad Kholil
Bangkalan Tahun 1834-1925 “, Avatara, e-Journal Pendidikan Sejarah. Vol 1, No 2, Mei 2013, h.
91.
24
60
Pondok Pesantren Langitan, Tuban asuhan KH Muhammad Noer, Pondok
Pesantren Cangaan, Bangil Jatim asuhan KH Asyik, Pondok Pesantren
Darussalam, Kebon Candi Pasuruan asuhan Kiai Arif, Pondok Pesantren Sidogiri,
Kraton, Pasuruan asuhan Kiai Noer Hasan, Pondok Pesantren Winongan asuhan
Kiai Abu Dzarrin, Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah ,Stail, Banyuwangi
asuhan Kiai Abdul Bashar). Syaikhona Kholil merupakan seorang yang selalu
haus akan ilmu, sehingga menginginkan untuk memperdalam ilmu agamanya di
Makkah. Setelah mendapat restu dari guru-gurunya, Syaikhona Kholil mulai
melakukan pengembaraan ilmu ke Makkah pada tahun 1859.25
Sepulangnya dari menemba ilmu di Mekkah Kyai Kholil dikenal sebagai
pakar segala macam disiplin ilmu, kemdian beliau mendirikan podok di
Jengkibuan, Bangkalan. Pondok Pesantren Syaikhona Mohammad Kholil
didirikan pada tahun 1894, Pada awalnya metode pengajian yang diterapkan
masih sangat sederhana dan tradisional (salafiyah). Metode sorongan dan sistem
mudzakarah sebagaimana diterapkan pada pesantren salaf pada umumnya.
Kealimannya menyebar hingga ke pelosok Madura, santri-santri mulai
berdatangan untuk mengaji di Pesantren ini. Pondok Pesantren Sayikhonan
Mohammad Kholil pun semakin ramai, tidak hanya disekitar Bangkalan tapi
sudah menyebar ke Madura, santri pertama adri luar Madura adalah Hasyim
25
M. Ali Haidar, h. 92
61
As’ari dari Jombang yang kelak muncul sebagai ulama besar, bahkan berhasil
mendirikan oragnisasi Islam terbesar yaitu Nahdlatul Ulama.26
Jenis dan jenjang Pendidikan Pondok Pesantren Syaikhona Mohammad
Kholil Bangkalan. Pendidikan non formal: 1). Ma’hadiyah : Bansus Al-Qur’an,
Tahfidz Al-Qur'an, Tahfidz Al-Fiyah, Tahfidz Al-Zubat, Pengajian kitab kuning,
Majelis musyawarah ma’hadiyah. 2). Madrosiyah: Madrasah Diniyah Ibtida’iyah,
Madrasah Diniyah Tsanawiyah, Madrasah Diniyah Aliyah
3. Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang
Pondok Pesantren yang cukup terkenal di Jawa Timur adalah Tebuireng,
didirikn oleh K.H. Hasyim Asy’ari pada tahun 1899. Awal mula berdirinya hanya
diajarkan agama dan bahasa Arab, Tebuireng merupakan nama dari sebuah dusun
kecil yang masuk wilayah Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa
Timur. Menurut cerita masyarakat setempat Tebuireng berasal dari kata “kebo
ireng” atau kerbau hitam. Versi lain mengatakan bahwa tebuireng diambil dari
nama punggawa kerajaan Majapahit yang masuk Islam dan bermukim disekitar
dusun tersebut.27
Sistem pendidikan pondok Pesantren Tebuireng mengalami perubahan
seiring dengan bertabanyak jumlah santri yang masuk. System pengajaran awal
yang digunakan adalah metode sorogan, weton, bandongan dan halaqah. Semua
bentuk pelajaran tersebut dibedakan dalam jenjang kelas. Kenaikan tingkat
26
SIti Fatimah, skripsi Peran KH Muhamad Cholil dalam Mengambangkan Islam di
Bangkalan Madura, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011. h. 4-5.
27
Maswadi, h. 303 lihat juga www.tebuireng.org diakses pada tanggal 24 Oktiber 2016
pkl. 9.05 WIB
62
penddikan dinyatakan dengan bergantinya kitab yang khatam dikaji oleh para
santri. Materi pelajarannya pun berkisar tentang pengetahuan agama Islam, ilmu
syariat dan bahsa Arab. Perubahan system pendidikan pertama kali diadakan pada
tahun 1919 oleh KH Hasyim Asy’ari dengan penerapan system madrasah
(klasikal) dengan mendirikan Madrsah Salafiyah, system pengaaran disajikan
dengan cara berjenjang yakni Shifir Awal dan Shifir Tsani. Tahun 1929 dilakukan
pembaharuan kembali dengan memasukan pelajaran umum ke dalam struktur
kurikulum pengajaran seperti berhitung, bahasa melayu, Ilmu bumi dan menulis
huruf latin.28 Banyak respon dari kalangan wali santri karena pada saat itu
pelajaran umum dianggap sebagai kemunkaran, budaya Belanda da semacamnya
hingga banyak wali santri yang memindahkan anaknya, namun kurikulum ini
terus berjalan, karena melihat ilu pengetahuan umum sangat diperlukan bagi para
lulusan pesantren.29
c. Kalimantan
Terdapat madrasah-madrasah yang mengajarkan agama serta pelajaran
umum di Kalimantan, dianatara Madrasah tersebut Madrasah yang paling tertua
terletak di Kalimantan Barat adalah Madrasatun Najah Wal Fatah didirikan pada
tahun 1918 di Sei Bakau Besae Mempawah. Madrasah al-Sutaniah yang didirikan
28
Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan,( Jakarta:
Paramadina, 1997), cet I, h. xv.
29
http://megapolitian.kompas.com/read/2010/03/19/03301099/Kultur.Pesantren..kekuatan
.NU diakses pada tanggal 24 Oktober 2016 pkl. 9.30 WIB.
63
di Samba Kalimantan Barat pada tahun 1922.30 Dan Madrasah Normal Islam
Amuntai yang dikenal dengan Arabische School didirikan pada tahun 1922.31
Madrasah Normal Islam Amuntai atau lebih dikenal dengan Arabische
School ini didirikan pada tanggal 13 Oktober 1922, berawal dari rumah sederhana
yang terletak di d Desa Pekapuran Amuntai, Pesantren ini didirikan oleh
Abdurrasyid
seorang
alumni
Universitas
Al-Azhar
Cairo,
Mesir
yang
menamatkan sekolahnya pada tahun 1912-1922.32 Ketika kawan-kawannya
bersekolah di Indlandsch School, beliau mempelajari Al-Quran dari seorang guru
di kampungnya, beliau pun hatam Al-Quran pada usia 7 tahun.
Abdurrasyid membuka penyelenggaraan pendidikan di rumah sendiri dan
beliau pun bertindak sebagai pengajar tunggal dengan menggunakan sistem
halaqah, wetonan dan sorogan. Lambat laun santrinya pun bertambah sehingga
tidak dapat di tamping dalam rumah, untuk itu tempatnya dipindahkan di sebuah
surau yang letaknya berhadapan dengan rumah beliau yang terletak ditepi sungai
Tabalong. Dengan perpindahan tersebut dibarengi pula dengan sistem atau metode
yang diajarkan pada kurikulum yang awalnya bersifat halaqah berubah menjadi
system klasikal, dimana dilengkapi meja, kursi dan papan tulis. Sistem pengajaran
yang diajarkan oleh Abdurrasyid mendapatkan sambutan dari masyakat.33
30
Rukati, h. 47.
Maswadi, h. 304.
32
Beliau anak dari seorang petani sederhana yang taat beragama. Ayahnya bernama Haji
Ramli, ibunya bernama Khadijah.
31
33
http://www.ponpes-rakha.com/2014/12/sejarah-rakha.html?m=1 Selayang Pandang
Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah Amuntai. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2016 pkl
12.14 WIB
64
d. Sulawesi
Banyak Pesantren yang didirikan dan berkembang dengan sangat pesat
seiring dengan berkembangnya ajaran Islam di Sulawesi. Perkembangan ini mulai
marak semenjak adanya alim ulama Bugis yang datang dari Mekah yang
bermukim disana selama beberapa tahun. Syekh As’ad dari Sengkang salah satu
orang yang berjasa dalam perkembangan pondok pesantren. beliau mendirikan
madrsah, yaitu Madrsah Wajo Tarbiyah Islamiyah pada tahun1931. Kemudian
madrasah ini berubah nama menjadi Madrsah As’adiyah, meskipun Madrasah ini
sudah memulai aktivitas pengajiannya pada tahun 192834. Madrasah tersebut
dibagi menjadi beberapa tingkatan antara lain tingkata Awaliyah; tingkat
Ibtidaiyah; tingkat Tsanawiyah; dan tingkat Aliyah. System dan rencana
pengajaran di Sulawesi hampir sama dengan system pengajaran di Sumatera dan
Jawa, yaitu sama-sama bersumber dari Mekah. Berangsur angsur didirikan
madrasah-madrasah yang memakai bangku, meja dan papan tulis.35
Semua perkembangan yang merepresentasikan proses formasi awal dari
bentuk sekolah Islam baru, yang lebih populer disebut sebagai madrasah, di
Hindia Belanda. Dalam banyak kasus, perintis awal dari madrasah ini memulai
aktivitas-aktivitasnya di sekolah tradisional, hingga mereka mampu secara
berangsur-angsur melakukan pembaharuan terhadap sekolah itu, atau malah
mendirikan sebuah sekolah baru yang berdiri sendiri. Dengan mengadopsi
metode-metode, kurikulum dan metode pendidikan Barat, kemunculan madrasah
34
http://asadiyahpusat.org/2013/09/tentang-pesantren-asadiyah/ diakses pada tanggal 25
Oktober 2016 pkl 13.36 WIB.
35
Rukati h. 50-51.
65
ini memperlihatkan adanya sebuah usaha baru dari ummat Islam untuk
menghadapi tantangan-tantangan yang dimunculkan oleh sistem sekolah gaya
Barat. Meskipun proses masuk ke sekolah-sekolah pemerintah telah menjadi lebih
mudah setelah diterapkannya Politik Etis, namun jumlah sekolah-sekolah itu tak
mencukupi untuk bisa mengakomodasi jumlah pelajar pribumi yang ingin belajar
di sana. Pada saat yang sama, banyak kaum Muslim yang tetap enggan untuk
masuk sekolah-sekolah pemerintah. Maka, madrasah merupakan sebuah
pendidikan alternatif bagi mereka yang tak bisa atau tak ingin masuk sekolah
pemerintah Belanda.36
Dengan demikian, madrasah berada pada posisi di antara sekolah agama
yang tradisional dengan sekolah modern yang sekuler. Berdirinya organisasi Islam
yang modern telah melahirkan jaringan madrasah yang mengajarkan pelajaranpelajaran umum seperti aritmatika, sejarah, sastra, geografi dan sebagainya dan
penerapan metode organisasi yang modern seperti jam pelajaran yang reguler,
ujian, pemberian nilai, ijasah dan juga memperkerjakan para guru ‘orang biasa’
(bukan ulama), dan bahkan memberikan pendidikan kepada para siswa
perempuan. Dengan begitu, madrasah dijalankan selaras dengan kemajuan untuk
Hindia Belanda, namun pada saat yang bersamaan masih berakar pada cara
pandang Islam.37
Begitu pula dengan pesantren, lembaga pendidikan tradisonal pesantren
memberikan respon terhadap perubahan di sekelilingnya, dengan memasukan
kurikulum
36
modern.
Pesantren
Latif, h. 144.
Yudi Latif, h. 145.
37
tidak
tergesa-gesa
namun
pasti
dalam
66
mentransformasikan kelembagaan pesantren menjadi lembaga pendidikan modern
Islam namun masih mempertahankan kebijakan hati-hati dalam hal mereka mau
menerima pembaharuan atau modernisasi pendidikan Islam hanya dalam skala
yang terbatas, sebatas mampu menjamin pesantren masih tetap eksis.38
B. Kebijakan Pemerintah Terhadap Pendidikan Islam
Meskipun sudah banyak lembaga pendidikan yang sudah didirikan oleh
pemerintah Belanda dari sebelum datangnya Snouck, namun pendidikan yang di
maksud belum lah sampai pada cita-cita Belanda. Banyak pribumi yang sudah
menikmati jenjang pendidikan di sekolah sekolah Barat namun hanya sebatas
mengenal baca dan tulis. Seperti tujuan awal didirikan sekolah di Hindia Belanda
hanyalah sebatas agar masyarakat pribumi dapat membaca dan menulis dalam
artian dapat memahami hukum yang ada di Hindia Belanda yang dibuat oleh
pemerintah kolonial Belanda.
Banyak memang yang sudah dapat membaca dan menulis, namun dirasa
kurang oleh Snouck karena masyarakat pribumi yang mayoritas Islam masih
berpegang teguh pada ajaran-ajaran Islam, Islam bukan saja dianggap sebagai
agama melainkan politik.39 Pentingnya arti politik Islam bagi masyarakat Hindia
Belanda berakar pada suatu kenyataan yang menyebutkan bahwa didalam Islam
batas antara agama dan politik sangatlah tipis, Islam sebagai way of life dan
agama.
38
Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta:
Paramadina, 1997) h. xvi
39
Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari terbit, Islam Indonesia Pada masa
Pendudukan Jepang,. Daneil Dhakidae (terj) (Jakata: PT Pustaka Jaya, 1980), h.32.
67
Yudi Latif dalam bukunya Intelegensia Muslim dan kuasa mengemukakan
bahwa politik asosiasi beranjak dari kewaspadaan dan ketakutan pemerintah
Kolonial terhadap agama Islam. Snouck melihat kepemimpinan di Hindia Belanda
ke depan tidak bisa dipercayakan kepada kaum Muslim yang taat dan para tetua
adat. Alasannya kaum muslim tidak bisa mengembangkan ikatan yang lestari
antara Hindia Belanda dengan Belanda. Sementara itu para tetua adat yang kerap
bersinggungan dengan kaum Muslim dinilai terlalu konservatif.40 Islam dipandang
bukan saja sebagai ancaman dari kebijakan Keamanan dan Ketertiban (Rust en
Orde), melainakn juga terhadap masa depan keberlanjutan pendudukan dan
penjajahan di tanah Hindia.
Ricklefs dalam Latif menyatakan bahwa Snouck Hurgronje dan direktur
pendidikan politik Etis yang pertama (1900-1905), yaitu J.H.Abendanon,
berambisi untuk mentransformasikan priyayi tradisional menjadi sebuah elit baru
yang terdidik secara Barat. Dalam pandangan keduanya, memberikan pendidikan
Barat kepada kelas penguasa pribumi merupakan sesuatu yang sangat penting
untuk melatih elit pribumi yang setia dan kooperatif, yang para anggotanya
memiliki kesanggupan untuk menangani pekerjaan pemerintahan Belanda. Lebih
dari itu, pilihan ini juga bisa memangkas biaya-biaya administratif, menghambat
‘fanatisme’ Islam, dan pada akhirnya menciptakan contoh yang bisa memberi
inspirasi bagi kalangan-kalangan terbawah dari masyarakat Hindia.41
40
Yudi Latif, Intelegensia dan Kuasa, Geneologi Intelegensia muslim Indonesia abad ke
20,(Bandung: Mizan Pustaka, 2005). h.82.
41
Yudi Latif, Intelegensia dan Kuasa, Geneologi Intelegensia muslim Indonesia abad ke
20,(Bandung: Mizan Pustaka, 2005). h. 102.
68
Dalam rangkaian ceramah yang disampaikan Snouck Hurgronje pada
Akademi Studi Administratif Hindia Belanda (The Dutch East Indian Academy of
Admininstrative Studies) di Leiden pada 1911, Snouck mempromosikan kebijakan
Etis “Asosiasi”. Berharap dari muslim yang telah teremansipasikan akan lahir di
Hindia Belanda.42 Mengutip kata kata Snouck dalam Jajat Burhanudin
”…… Lahirnya sebuah Negara Belanda, yang terdiri dari dua negarayang secara
geografis berjauhan tetapi secara spiritual satu kesatuan, salah satunya di Eropa
barat laut dan yang lainnya di Asia Tenggara….”43
Politik yang dianjurkan Snouck tersebut adalah merupakan bagian dari
pandangannya mengenai masa depan Hindia Belanda. Dia ingin menciptakan
masa depan Hindia Belanda yang modern dan maju. Karena itulah dia juga
menginginkan adanya proses ke arah “Indonesianisasi”. Melalui gagasannya ini,
penguasa Belanda di Hindia Belanda didorong untuk memiliki rasa tanggung
jawab moral dalam mengangkat harkat penduduk tanah jajahannya, baik melalui
pendidikan Barat maupun melalui penyebarluasan kebudayaan Barat.44
Dalam penglihatannya Snouck menganggap bahwa kalangan pribumi yang
berkebudayaan tinggi relative jauh dari pengaruh ajaran Islam, mereka lebih
dipengaruhi oleh kebudayaan barat yang membuat mudahnya masyarakat ini
untuk dipertemukan dengan pemerintah Eropa, Snouck pun merasa optimis
lambat laun rakyat umum akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka.
42
Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan. h. 227
Burhanudin, h. 227
44
Effendi, ”Politik Kolonial Belanda Terhadap Islam Di Indonesia Dalam Perspektif
Sejarah (Studi Pemikiran Snouck Hurgronye) ”. Jurnal TAPIs Vol.8 No.1 Januari-Juni 2012, h.
101
43
69
Pandidikan kolonial sangatlah berbeda dengan pendidikan Islam
tradisional. Metode yang diterapkan jauh lebih maju dari sistem pendidikan
tradisional.
Tujuan
didirikannya
sekolah
bagi
pribumi
adalah
untuk
mempersiapkan pegawai-pegawai yang bekerja untuk Belanda. Karenanya
pemerintah tidak mengakui lulusan pendidikan tradisional. Seperti yang sudah
disebutkan dalam surat edaran Gubernur J Van den Capellen bahwasanya
dianggap penting untuk secepat mungkin mengadakan peraturan pemerintah yang
menjamin meratanya kemampuan membaca dan menulis bagi penduduk pribumi
agar dapat memahami dan mematuhi undang-undang dan hukum negara. Surat
edaran tersebut sangatlah memojokan umat Islam, mereka yang belajar di lembaga
pendidikan Islam dianggap buta huruf karena tidak dapat membaca huruf latin
yang menimbulkan kecurigaan, pemerintah menaruh anggapan negatif bahwa
mereka cenderung dianggap sebagai pembakang karena tak mampu memahami
undang-undang dan hukum negara.45
Sikap Kolonial Belanda dapat dilihat dari kebijakan yang sangat
diskriminatif secara sosial, ras, anggaran terhadap pendidikan Islam. seperti yang
sudah dijelaskan pada bab sebelumnya diskriminasi sosial dapat dilihat dari
perbedaan didirikannya sekolah yang membedakan antara sekolah untuk rakyat
biasa dan kaum bangsawan, Belanda mendirikan sekolah kelas satu (de Schoolen
de Eeerste Klasse) untuk anak tokoh terkemuka dan orang-orang bumiputra,
sedangkan sekolah dasar kelas dua (de Schoolen de Tweede Klasse)
45
46
didirikan
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos, 1999), h.153.
Abuddin Nata, Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,
2011), h 280.
46
70
untuk rakyat pribumi kalangan biasa, yang mana Islam di katagorikan sebagai
rakyat pribumi.
Diskriminasi ras terlihat pada klasifikasi sekolah. Pemerintah membuka
sekolah sekolah pada tingkatan dasar berdasarkan ras keturunan seperti
Europeeche Lagere School (ELS) dikhususkan untuk anak-anak Eropa, Hollandsh
Chinese School dikhususkan untuk anak-anak China dan keturunan Asia Timur,
Hollandsh School lebih dikenal dengan sebutan sekolah bumiputra dikhususkan
untuk anak pribumi kalangan ningrat, dan terakhir Inlandsch School yang
disediakan untuk anak pribumi pada umumnya.
Diskriminasi anggaran pada pemberian anggaran yang lebih besar kepada
sekolah untuk anak Eropa dibandingkan dengan sekolah bumiputra yang notaben
nya sekolah bumiputra memiliki siswa lebih banyak. Sekolah Eropa mendapatkan
anggaran dua kali lebih banyak dibandingkan sekolah bumiputra pada 1909-1915
dimana tiap tahunnya sekolah bumiputra banyak mengalami peningkatan jumlah
siswa. Pemerintah menolak untuk memberikan subsidi kepada sekolah-sekolah
Islam karena Gubernur Jenderal tidak ingin menghabiskan keuangan Negara
untuk mengembangkan sebuah sistem pendidikan yang mungkin pada akhirnya
akan menentang pemerintah Belanda.47 Keadaan ini memperlihatkan sebuah
perbandingan yang amat tidak seimbang dan terus berlanjut. Pemerintah Kolonial
memelihara dan membiarkan strata dan kesenjangan terus berlangsung.48
47
48
h.145.
Yudi latif, h. 115.
Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung: Angkasa, 2003), cet II,
71
Diskriminasi dalam hak kepemelukan agama terlihat pada kebijakan
Belanda yang mengonsentrasikan wilayah yang mayoritas penduduk beragama
Kristen, seperti Batak, Manado, dan Kalimantan. Pesantren yang merupakan basis
dari pendidikan muslim tidak mendapatkan perhatian sama sekali dari pemerintah
Belanda, diperparah dengan memusuhi umat Islam. Padahal merujuk pada
kebijakan yang dibuat oleh Snouck, bahwa dalam hal agama pemerintah haruslah
bersifat netral,49 namun dalam praktiknya tidak sesuai, pemerintah lebih berpihak
pada agama kristen. Politik yang dijalankan pemerintah Hindia Belanda terhadap
masyarakat Hindia Belanda yang mayoritas beragama Islam sebenarnya
didasarkan oleh rasa ketakutan, rasa panggilan agamanya yaitu Kristen dan rasa
kolonialismenya sehingga mereka tetapkan ketentuan atau peraturan yang
menyangkut pendidikan agama Islam untuk menahan laju Islam.
Pendidikan
Barat
di
formulasikan
sebagai
faktor
yang
akan
menghancurkan kekuatan Islam di Hindia Belanda yang di yakini Snouck bahwa
Islam tidak akan mampu melawan pendidikan bercorak barat, Islam dianggap
sebagai agama kaku dan penghalang kemajuan sehingga harus diimbangi dengan
meningkatkan taraf kemajuan pribumi.50
Pada 1890, K.F Holle menyarankan agar
pendidikan agama Islam
diawasi, karena banyak pemberontakan yang terjadi melawan kekuasaan Belanda
dimotori oleh para ulama dan Haji.51 Untuk penyeragaman Holle menyarankan
49
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES,198), cet I, h.12.
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda,h. 49.
51
Jajat Burhanudin, “The Dutch Colonial Policy On Islam, Reading The Intellectual
Journey Of Snouck Hurgronje”, Al-Jamiah,Vol 52, No 1, 2014 M/1435 h.26
50
72
agar para Bupati melaporkan para guru di daerah masing-masing. Snouck
menyarankan pada 1904 untuk mengawasi tindak tanduk para pengajar, para
pengajar harus mendapatkan izin khusus dari Bupati, dan pengawasan oleh Bupati
yang dilakaukan oleh panitia kecil.
Tahun 1905 keluar peraturan Ordonansi Guru pertama, yang mana
peraturan tersebut berisikan bahwasanya seorang guru agama Islam baru
dibenarkan mengajar bila memperoleh izin dari Bupati. Izin tersebut baru
diberikan bila guru agama tersebut jelas-jelas bisa dinilai sebagai orang baik, dan
pelajaran yang diberikannya tidak bertentangan dengan keamanan dan ketertiban
umum. Guru agama Islam tersebut harus mengisi daftar murid, disamping harus
menjelaskan mata pelajaran yang harus diajarkan. Bupati atau instasi yang
berwenang boleh memeriksa daftar itu sewaktu-waktu. Guru agama Islam bisa
dihukum kurung maksimum delapan hari atau denda maksimum dua puluh lima
rupiah, bila mengajar tanpa izin atau lalai mengisi/mengirimkan daftar tersebut,
atau enggan memperlihatkan daftar itu kepada yang berwenang, berkeberatan
memberi keterangan atau enggan diperiksa oleh yang berwenang. Izin itu pun bisa
dicabut bila ternyata berkali-kali guru agama tersebut melanggar peraturan, atau
dinilai berkelakuan kurang baik.52
Ordonansi guru 1905 dinilai kurang efisien, sehingga pada 1925
dikeluarkan ordonansi guru baru yaitu bahwa setiap guru agama harus mampu
memperlihatkan bukti tanda terima pemberitahuanya, ia harus mengisi daftar
52
Saatsblad 1905 no 550. Ordinansi guru ini berlaku sejak 2 November 1905, berlaku
untuk wilayah Jawa dan Madura.
73
murid dan daftar pelajaran yang sewaktu-waktu dapat diperiksa oleh pejabat
setempat, boleh memberikan pelajaran mengaji terkecuali telah mendapat
semacam rekomendasi atau persetujuan pemerintah Belanda.53 Kedua ordonansi
guru ini merupakan alat pengontrol pemerintah Kolonial untuk mengawasi para
pengajar agama Islam di Hindia Belanda.
Bagi suatu sekolah yang memiliki organisasi teratur, tuntutan ordonansi ini
memang tidak menjadi masalah. Tapi bagi guru-guru agama pada umumnya yang
tidak memiliki administrasi yang memadai dalam mengelola pengajiannya,
peraturan ini terasa memberatkan. Selain itu, banyak di antara guru agama waktu
itu yang tidak bisa membaca huruf Latin, sedangkan yang bisa pun sangat jarang
yang mempunyai mesin tulis untuk mengisi sekian lembar daftar laporan. 54Seperti
halnya Ordonansi Guru sebelumnya, ordonansi baru ini pun dalam praktiknya
dipergunakan untuk menghambat agama Islam, meskipun bukan itu tujuan yang
tercantum dalam ketentuan ordonansi tersebut.55
C. Dampak atas Politik Asosiasi Pendidikan
Awal abad ke 20 atas usul Snouck, pemerintah Belanda membuka sekolah
bersistem pendidikan barat guna menyaingi pesantren. Tujuannya tak lain adalah
untuk memperluas pengaruh pemerintahan Belanda dengan anggapan bahwa masa
depan penjajahan Belanda bergantung pada penyatuan wilayah dengan
kebudayaan Belanda. Sekolah yang dikhususkan untuk anak priayi dan kalangan
53
Staatsblad 1925 no 219. Sejak 1 Januari 1927 tidak hanya berlaku di Jawa Madura,
tetapi berlaku pula untuk Aceh, Sumatera Timur, Riau, Palembang, Tapanuli, Manado, dan
Lombok. Pada tahun 1930-an berlaku pula untuk Bengkulu.
54
Deliar Noer,. h 194.
55
Suminto, h. 55
74
ningrat ini memiliki tujuan untuk menarik para anak-anak priayi ke dalam
lingkaran
kolonial,
menjadikan
masyarakat
pribumi
yang
terbaratkan
(westernisasi).
Takashi Sirashi menjelaskan bahwa pendidikan gaya barat memberikan
mobilitas, mobilitas yang dimaksud adalah mobilitas dalam tatanan social.
Pengalaman yang diperoleh dari pendidikan barat membuat para kaum terpelajar
menyebut dirinya kaum muda, kaum muda ini merasa dirinya lebih modern dan
maju ketimbang orang tua mereka. Kaum terpelajar yang masuk sekolah dasar dan
menengah Belanda, lebih maju dan modern dibandingkan para pelajar yang
bersekolah di sekolah bumiputra. Kunci utama masuk ke sekolah Belanda adalah
kemampuan
bahasa
Belanda.
karena
lewat
bahasa
secara
otomatis
memperkenalkan budaya Belanda dengan sendirinya. Belanda memberi contoh
tentang modernitas dan membuka dunia dan zaman baru bagi kehidupan elit
intelektual di kalangan pribumi.
Bagi kaum muda, kaum elite intelektual yang telah berpendidikan barat
ditandai dengan cara komunikasi mereka sehari-haari menggunakan bahasa
Belanda sebagai bahasa pergaulan dalam keseharian. Cara berpakaian mereka,
dengan menggunakan jas, dasi, kebiasan pergi ke restaurant untuk meminum
limun, pergi ke bioskop, dan lebih suka mendengarkan music daripada gamelan. 56
Hal yang demikian membuktikan bahwa banyak kaum elit intelektual sudah
terasosiasi dengan kebudayaan barat.
56
Takashi Siraishi, h. 39-40.
75
Dalam kebijakan ini Snouck mengharapkan kalangan bangsawan dapat
menjadi partner dalam kehidupan sosial budaya pemerintah kolonial, di samping
menjadi pewaris pola asosiasinya. Harapan Snouck tercapai karena tidak sedikit
dari kalangan pribumi dari strata bangsawan yang menjadi kaki tangan pemerintah
kolonial.57
Sebagaimana yang telah dijelasakan, tujuan pendidikan dalam politik
asosiasi pendidikan yang diberikan pemerintah kolonial setidaknya mencakup dua
hal: pertama, membentuk masyarakat pribumi yang berjiwa Barat, kedua,
membendung atau menyaingi pengaruh agama Islam yang ketika itu merupakan
ruh perlawanan bagi penjajah. Hal ini dapat dilihat dari pelajar pribumi yang
masuk ke sekolah Barat berasal dari keluarga priyai Muslim yang taat, seperti
yang ditulisakn oleh Yudi latif:
“…..Sejumlah pelopor dari gerakan proto-nasionalisme, seperti
Tjipto Mangunkusumo, Sutomo, Tirto Adhi Surjo, dan produk-produk
awal dari kebijakan ‘asosiasi’ seperti Djajadiningrat bersaudara (Ahmad,
Hasan dan Husein), serta figur-figur berpengaruh dari Sarekat Islam (SI),
seperti Umar Said Tjokroaminoto, merupakan anak-anak dari priyayi
Muslim yang taat…..”58
Pendidikan modern barat yang dijalankan dalam kebijakan politk asosisasi
memang dapat menjauhkan seorang muslim dari lingkaran agama. Efek
pendidikan modern barat yang intens juga bisa dikatakan membuat komiten
seorang muslim menjadi pudar. Hal ini pernah terjadi pada seorang Agus Salim.
Ia mengakui meski mendapat pendidikan agama sejak kanak-kanak, namun
57
Aqib Suminto, h.42.
Yudi Latif, Intelegensia dan Kuasa, Geneologi Intelegensia muslim Indonesia abad ke
20,(Bandung: Mizan Pustaka, 2005). h. 108.
58
76
sekolah di lembaga pendidikan Belanda menjauhkannya dari ajaran Islam.
Namun pertemuannya dengan Akhmad Khatib, ulama Hindia Belanda di
Haramain, dan Tjokroaminoto dapat mengembalikan komitmen keIslamannya.59
Tak menutup kemungkinan pula bahwa, Di Hindia Belanda selama
periode kolonial, karena pihak Belanda berusaha untuk menjauhkan kelas priyayi
yang berkuasa dari pengaruh Islam, maka pendidikan Belanda yang lebih
mengutamakan kelas priyayi tersebut telah mentransformasikan elit Hindia
menjadi elit yang sekuler. Sebagai konsekuensinya, hanya sedikit elit yang
terdidik secara Barat di Hindia Belanda yang mendukung “modernisme Islam”.60
Menurut Alwi Sihab, didaerah Jawa khususnya memiliki elit kembar yaitu
elit dari kaum priayi, kaum muslim yang dangkal tingkat komitmen
keIslamannya, dan elit dari kalangan santri, kaum muslim yang sangat taat.
Hubungan antara kedua kelompok Muslim tersebut meliputi baik pertentangan
dan juga kerjasama yang saling menguntungkan.61 Kedua kelompok ini memiliki
jalan masing-masing dalam hal melawan kebjakan pemerintah Belanda di tanah
Hindia Belanda.
Ramalan Snouck tentang Islam tidak akan mampu melawan pendidikan
bercorak barat dan juga menganggap Islam sebagai agama kaku dan penghalang
kemajuan
agaknya
belum
memperhitungkan
kemampuan
Islam
untuk
mempertahankan diri di Negara ini, juga belum memperhitunkan factor
kesanggupan Islam menyerap factor kekuatan dari luar untu meningatkan diri.
59
Yudi Latif, Intelegensia dan Kuasa. h. 111.
Yudi Latif, h. 124-125.
61
Alwi Sihab, membendung Arus, h. 135
60
77
Melihat kondisi pendidikan Islam62 pada waktu itu nampaknya membuat Snouck
optimis sehingga ia memperkirakan Islam tidak akan mapu menghadapi
superioritas Barat, tidak akan mampu untuk melawa pendidikan Kristen yang jauh
leih maju daripada pendidikan Islam itu sendiri dalam segala bidang, dan tidak
akan bisa dalam melawan sifat diskriminatif dari pemerintah Kolonial Belanda.
Namun ternyata dugaan itu salah, kondisi agama Islam berkembang menjadi
berbeda dengan perhitungan dan ramalan yang dibuat oleh Snouck.63
62
Pendidikan Islam yang dikemas dalam dunia Pesantren sebagai lebaga pendidikan
Islam pada sekitar tahun 1850 dinilai hanya merupakan tempat lahirnya kepercayaan bodoh dan
asusila, Snouck Hurgronje pernah menyatakan bahwa dilihat dari sudut pandang pendidikan,
pesantren tidak memiliki makna yang berarti. Dikatakan bahwa para santri membuang waktu
dengan menelusuri ilmu moral, dan kadang kadang mengarah ke inttoreansi, baru duabelas tahun
kemudian pesantren diakui mampu mendidik murid ke engertian yang lebih jelas.
63
Aqib Suminto, h.50
BAB IV
RESPON UMAT ISLAM TERHADAP DAMPAK POLITIK ASOSIASI
PENDIDIKAN
A.
Keresahan
dan Perlawanan Umat Islam Terhadap Asosiasi
Pendidikan
Sekolah tidak hanya dilihat sebagai alat menuju arah pembaharuan
masyarakat, meningkatkan kecerdasan dan alat bagi terbukanya mobilitas social
namun merupakan penjelmaan dari kebijakan Kolonial atas dasar etis yang
bersifat rasional. Sekolah yang didirikan dan diperkenalkan kepada masyarakat
pribumi oleh pemerintah Hindia Belanda serba terbatas. Hingga muncul
pemberontakan dan keresahan di kalangan masyarakat pribumi pada pemerintah,
namun pemberontakan tersebut bukanlah bersifat fisik.
Sebelumnya dijelaskan bahwa ada dua elit kembar dari kalangan priayi
dan santri. Keresahan terhadap kebijakan pemerintah dalam hal pendidikan
dirasakan oleh semua kalangan masyarakat. Dengan adanya diskriminasi sekolah
yang didirikan pemerintah dari mulai diskriminasi sosial, diskriminasi rasial,
diskriminasi kepemelukan agama sampai pada diskriminasi anggaran membuat
banyak keresahan di kalangan masyarakat. Sudah banyak golongan terpelajar dari
kalangan priayi yang notabennya bukan berasal dari kelas bangsawan yang
sesungguhnya, sebutlah sebagai priayi rendah yang diangkat sebagai priayi karena
pendidikan Belanda yang sudah ia dapatkan.
78
79
Meskipun awalnya pendidikan hanya untuk golongan priayi tinggi, namun
seiring berjalannya waktu banyak lembaga lembaga yang dibuka oleh pemerintah
Hindia Belanda sehingga banyak diterima pelajar dari kalangan priayi rendah.
Keresahan pun dirasakan oleh kalangan priayi rendah. Para pelajar ini sesudah
tamat dari sekolah banyak yang menentang pembatasan dalam pendidikan yang
diberlakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. mereka ingin menghapus batasan
batasan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda, seperti pembatasan masuk
HIS yang pada mulanya ditanyakan terlebih dahulu latar belakang keluarga,
pekerjaan ayahnya, dan dilihat berdasarkan status sosial.1
Pengaruh pemikiran Barat telah membuat orang pribumi mencari identitas
sosial. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya golongan priyayi Jawa yang
kehilangan keyakinan terhadap mobilitas status yang diperoleh berdasarkan
keturunan. Mereka memasuki dunia intelektual yang agak terbebas dari tradisi
kultural yang penuh dengan sikap hormat berlebihan. Dari mereka inilah lahir
golongan yang berusaha mencari alternatif lain dari corak sosial dan sistem status
masyarakat. Setelah memperoleh pendidikan Barat elit modern ini memiliki
pemikiran faktor mobilitas sosial tidak lagi dipandang berdasarkan garis
keturunan. Mereka beranggapan status sosial yang meningkat karena prestasi
dibidang pendidikan, ekonomi dan lainnya lebih berhasil dan terpandang. Hal Ini
disebabkan status sosial yang diperoleh murni hasil kerja keras diri sendiri lebih
1
Robert Van Niel, h. 252.
80
baik ketimbang hanya memperoleh peningkatan status sosial dari garis keturunan
bangsawan yang merupakan pemberian keluarga.2
Hal ini menandakan keresahan yang terjadi di kalangan masyarakat bahwa
pendidikan seharusnya bisa dirasakan oleh semua kalangan bukan hanya sekedar
pada golongan tertentu saja, khususnya golongan bangsawan tinggi yang memiliki
kedudukan. Pendidikan seharusnya bisa dirasakan bagi mereka yang ingin dan
mampu dalam mengenyam pendidikan. Karena hal ini banyak masyarakat yang
tidak dapat menyekolahkan anaknya di sekolah pemerintah memillih untuk
menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan Islam tradisional baik pesantren
maupun madrasah.
Menjelang akhir abad ke 19 para ulama Hindia menyadari bahwa metode
dan tatanan berfikir tradisonal dalam Islam tidak akan sanggup menghadapi
tantangan kolonialisme dan peradaban modern. berbekal pengalaman para ulama
di Timur Tengah dan pengenalan pendidikan asosiasi bergaya Barat ini lah,
mereka mulai mempromosikan modernisasi atas sekolah-sekolah Islam. Dengan
mengkombinasikan antara pengajaran-pengajaran keagamaan dengan pelajaran
umum, dan mengadopsi metode dan teknologi pendidikan dari sekolah-sekolah
Barat. Sekolah-sekolah Islam modern ini merepresentasikan suatu bentuk baru
sistem pendidikan Islam yang disebut dengan Madrasah. Madrasah inilah yang
menjadi lahan persemaian munculnya ”Clerical Intelegensia” begitu Yudi Latif
2
Iskandar P Nugraha. Teosofi, Nasionalisme dan Elit Modern Indonesia. (Jakarta :
Komunitas Bambu). h. 76.
81
menyebutnya, yang lebih dikenal dengan Ulama Intelek yaitu para ahli keagamaan
yang melek pengetahuan saintifik modern.3
Seperti di daerah Minangkabau, modernisasi ini ditandai oleh berdirinya
institusi pendidikan Islam yang modern, seperti Sekolah Adabiyah, Sumatra
Thawalib, Madrasah Diniyah yang cikal bakalnya dari surau Jembatan Besi.
Model-model lembaga pendidikan seperti Sumatra Thawalib, Adabiyah dan
Madrasah Diniyah tersebut menggunakan kurikulum yang tidak hanya
mengajarkan pendidikan agama, tetapi juga memasukkan pelajaran umum.4
Beberapa Organisasi yang mendirikan lembaga pendidikan Islam di
Hindia Belanda yang mendirikan sekolah dengan kurikulum modern ataupun
madrasah antara lain:
Jamiat Khair (1905), merupakan organisasi pelopor awal dari kemunculan
ideologi dan madrasah modern di Hindia Belanda yang didirikan oleh komunitas
keturunan Arab, dan dikembangkan lebih lanjut pula oleh para santri pribumi
yang baru pulang dari Timur Tengah.5 Jamiat Khair mendirikan sekolah dasar
pada tahun 1905. Sekolah dasar ini mencampurkan sekolah agama dan umum dan
menggunakan sistem klasikal. Mata pelajaran yang diajarkan antara lain
berhitung, sejarah dan ilmu bumi. Bahasa pengantar yang digunakan adalah
bahasa Melayu ditambah dengan bahasa Inggris sebagai pelajaran wajib
3
Yudi Latif, h. 112.
Deliar Noer, Gerakan Modernisasi Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES,
1991), h.51-65.
5
Deliar Noer, h. 68. Jamiat Khair merupakan organisasi pertama yang didirikan oleh
orang bukan orang Belanda yang mendirikan sekolah dan keseluruhan kegiatannya
diselenggarakan berdasarkan sistem Barat, sehingga organisasai ini dapat memenuhi persyaratan
untuk mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah Belanda. Hingga akhirnya ada konflik
internal yang membuat beberapa anggotanya mendirikan organisasi baru yaitu al-Irsyad.
4
82
menggantikan bahasa Belanda, yang mana bahasa Belanda merupakan bahasa
wajib di sekolah-sekolah Belanda. Kurikulumnya pun disusun sedemikian rupa.
Mayoritas muridnya adalah keturunan Arab, namun anak-anak pribumi non Arab
juga terdaftar disana.6 Tenaga guru diambil dari beberapa guru dari daerah dan
luar negri. Salah satunya Haji Muhammad Manshur seorang guru dari Padang
yang mulai mengajar pada 1907, dipilih karena kemampuannya dalam menguasai
bahasa Melayu dan ahli dalam bidang agama.7 Salah satu guru yang terkenal
adalah Syaikh Ahmad Soerkatti dari Sudan, mulai mengajar di sekolah ini pada
tahun 1911.8
Al-Irsyad (1913) merupakan pecahan dari Jamiat Khair, dan mendapatkan
pengesahan dari Belanda pada tanggal 11 Agustus 1915.9 Tujuan utama organisasi
ini yang pertama adalah merubah tradisi dan kebiasaan orang-orang Arab tentang
kitab suci, bahasa Arab, bahasa Belanda dan bahasa-bahasa lainnya. Kedua,
membangun dan memelihara gedung pertemuan, sekolah dan unit percetakan.
Perubahan yang dilakukan Al-Irsyad adalah pebaharuan di bidang pendidikan.
Pemimpin-pemimpin Al-Irsyad dalam bidang pendidikan banyak dipengaruhi
oleh Muhammad Abduh.
Al-Irsyad mendirikan sebuah perguruan modern di Batavia pada 1913,
menggunakan sistem kelas klasikal dengan menggabungkan materi pelajaran
umum disamping pelajaran agama. Sekolah-sekolah Al-Irsyad berkembang dan
meluas sampai ke koat-kota dimana Al-Irsyad memiliki cabang. Al-Irsyad
6
Steenbrink, h. 60.
Deliar Noer, h. 69
8
Steenbrink h. 61
9
Karel Steenbrink, h. 60. Deliar Noer, h. 73.
7
83
mendirikan sekolah guru di Batavia dan Surabaya untuk melatih dan mendidik
calon-calon guru bagi kebutuhan sekolah al-Irsyad sendiri. Selain itu di Batavia
dibuka kursus yang bersifat khusus dengan lama belajar dua tahun. Para siswa
kursus ini dapat memilih salah satu spesialisasi dari mata pelajaran agama,
pendidikan atau bahasa.10 Sebuah peraturan di buat tahun 1924 yang menetapkan
bahwa hanya anak-anak dibawah umur 10 tahun yang dapat diterima pada kelas
satu sekolah dasar dengan lama belajar 5 tahun. Murid di sekolah guru juga
berusia diatas 10 tahun dapat masuk ke kelas-kelas yang lebih tinggi, tergantung
pada kemampuan yang diperlihatkan oleh si pelajar pada ujian masuk. Salah satu
langkah yang dilakukan Al-Irsyad pada tahun 1930 adalah disediakannya
beasiswa untuk beberapa lulusannya belajar di luar negri, terutama Mesir.
Meskipun kontribusi yang diberikan oleh para alumni tidak sebanding dengan
mereka yang pergi belajar ke luar negri dengan biaya sendiri, namun upaya
tersebut dapat dikatakan sebuah langkah maju untuk perkembangan pendidikan
Islam pada masa itu.11
Muhammadiyah (1912) didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan di
Yogyakarta atas saran murid-muridnya dan beberapa orang anggota Budi
Utomo.12 Ahmad Dahlan tidak pernah menempu pendidikan modern. Beliau
kemudian menjadi anggota dari beberapa perhimpunan, termasuk Jamiat Khair
dan Budi Utomo, lewat aktivitasnya di Budi Utomo ini beliau ditawari untuk
memberikan ceramah-ceramah agama kepada para pelajar sekolah guru lokal dan
10
Deliar Noer, h. 75.
Hanun Asrohah, h. 163.
12
Deliar Noer, h. 84.
11
84
para pelajar STOVIA di Magelang.13 Aktifnya beliau di Budi Utomo bermaksud
untuk memberikan pelajaran agama kepada anggota-anggotanya. Dengan jalan ini
ia berharap akhirnya akan dapat memberikan pelajaran agama di sekolah-sekolah
yang didirikan oleh pemerintah.14
Setelah kepulangan Ahmad Dahlan dari Mekah yang kedua, beliau
mendirikan sebuah madrasah percobaan dimana di dalamnya bahasa Arab menjadi
bahasa pengantar pengajaran disertai penggunaan meja dan papan tulis. Ia
membuat langkah baru dalam merintis pendidikan modern yang memadukan
pelajaran agama dan umum.15Ahmad Dahlan mendirikan lembaga pendidikan
dasarnya yang pertama pada 1915, kurikulumnya menggabungkan pengetahuan
umum disamping pengetahuan agama, dilanjutkan dengan berdirinya sekolahsekolah Muhamdiyah di pelosok Hindia Belanda. Karena pada 1920
Muhamadiyah sudah mulai meluas seluruh Pulau Jawa dan tahun berikutnya 1921
ke seluruh Hindia Belanda,16dan mendirikan cabang baru Muhamadiyah identik
dengan mendirikan sekolah baru.
Perubahan juga dilakukan Muhamadiyah dengan menggabungkan model
sekolah dengan sistem pendidikan gubernemen pada akhir tahun 1923, dilanjutkan
dengan membangun empat sekolah dasar di Yogyakarta, mendirikan sekolah HIS
di Yogjakarta dan Batavia, mendirikan sekolah pendidikan guru, mendirikan
sekolah yang bersifat agama yang hampir menyerupai sekolah di Minangkabau,
13
Yudi atif, h. 141, dan lihat juga Noer, h. 85.
Noer, h. 86.
15
http://www.muhammadiyah.or.id/id/4-content-179-det-sejarah-berdiri.html
pada tanggal 3 Mei 2016 pkl 19.00 WIB
16
Deliar Noer, h. 87.
14
diakses
85
yang mana sekolah ini dimaksudkan untuk mengganti dan memperbaiki pengajian
Al-Quran yang tradisional.17 Tahun 1925, Muhamadiyah mempunyai 8 HIS,
sebuah sekolah guru di Jogjakarta, 32 buah sekolah dasar lima tahun, sebuah
Schakel School, dan 14 buah madrasah yang seluruhnya dengan 119 orang guru
dan 4.000 murid, pada tahun 1929 organisasi ini mempublikasikan penerbitan
sejumlah 700.000 buah buku dan brosur.18 Muhamadiyah juga mendirikan pondok
Muhamadiyah sebagai sekolah pendidikan guru agama pada 1921.
Selanjutnya ada Persatuan Islam, Persatuan Islam didirikan pada tanggal
12 September 1923 di Bandung oleh sekelompok orang Islam yang berminat
dalam studi dan aktivitas keagamaan yang dipimpin oleh Zamzam dan Mahmud
Yunus.19 Seperti organisasi lainnya, Persis mendirikan lembaga pendidikan, baik
berupa sekolah, kursus, kelompok studi atau diskusi, pengajian dan pesantren.
tahun 1927, Persis telah memiliki kelompok diskusi keagamaan yang diikuti oleh
anak-anak muda yang telah menjalani masa studinya di sekolah-sekolah
menengah pemerintah dan yang ingin mempelajari Islam secara sungguhsungguh. Kelompok ini dipimpin oleh Hasan, mereka yang mengikuti diskusi ini
antara lain : Muhamad Natsir, Fakhruddin al-Khairi, Rusbandi, Cayo dan
lainnya.20 Diadakan pula kursus dalam masalah agama untuk orang dewasa.
Hasan dan Zamzam mengajar pada kursus-kursus ini. Dalam kursus dibahas soalsoal iman serta ibadah dengan menolak segala kebiasaan bid’ah.
17
Steenbrink,. h. 54-56.
Deliar Noer, h. 95.
19
Hanun, h. 167.
20
Noer, h. 101.
18
86
Persis mendirikan sebuah madrasah yang pada awalnya dimaksudkan
untuk anak-anak dari anggota Persis, namun kemudian, madrasah ini di buka bagi
anak-anak lainnya. Kegiatan lain yang penting dalam kegiatan pendidikan Persis
adalah lembaga pendidikan Islam, sebuah proyek yang ditangani oleh Natsir.
Lembaga ini berhasil mendirikan Taman Kanak-Kanak, HIS pada tahun 1930 dan
sekolah MULO pada 1931 serta Sekolah guru pada 1932. Inisiatif Natsir ini
merupakan jawaban terhadap tuntunan dari berbagai pihak, termasuk beberapa
orang yang mengambil pelajaran privat bahasa Inggris dan berbagai pelajaran
lainnya kepadanya, hal ini terjadi karena melihat bahwa sekolah swasta di
Bandung pada waktu itu tidak diajarkan pelajaran agama.21
Diantara organisasi Isam lain yang mementingkan pendidikan dan
pengajaran terhadap umat Islam adalah Nahdlatul Ulama (1926) disingkat NU di
Surabaya.22
Pada 1927 NU merumuskan tujuan organisasinya. NU memilki tujuan
memperkuat ikatan salah satu dari empat mahzab serta untuk melakukan kegiatan
yang bermanfaat untuk anggota, sesuai degan Islam. kegiatan ini meliputi usaha
untuk meperkuat persatuan di antara para ulama yang masih berpegang teguh pada
mahzab, pengawasan terhadap pemakaian kitab-kitab di pesantren, penyebaran
21
Asrohah, h. 169.
Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama, Biografi K.H. Hasyim Asy’ari,
(Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 78-79. Lihat juga Deliar Noer, h. 242,
Keinginan untuk mendirikan organisasi ini telah muncul sejak 1924, namun K.H. Hasyim
Asy’ari masih belum berkenan dengan ajakan K.H.A Wahab Hasbullah yang menyadari arti
pentingnya sebuah organisasi untuk memperkokoh kesatuan diantara ulama. K.H Hasyim As’ari
merestui organisasi ini juga dikarenakan desakan-desakan situasi yang ada pada saat itu dan juga
telah memperoleh restu dari K.H Khalil Madura, maka berdirilah organisasi para ulama pada 31
Januari 1926 yang disebut Jami’yah Nadlatul Ulama.
22
87
Islam, seperti yang diajarkan oleh mahzab yang empat, perluasan jumlah
madrasah serta perbaikan jumlah organisasinya, bantuan kepada masjid, langgar
dan pesantren juga pemeliharaan anak yatim dan fakir miskin. Maksud lain yang
penting dari organisasi ini ialah pembentukan badan-badan untuk memajukan
usaha para anggota Nahdlatul Ulama.23
Pada
awal
berdirinya
NU
membicarakan
secara
tegas
tentang
pembaharuan pendidikan. Sehingga NU mendapat dukungan dari para pemimpin
pesantren yang dikenal memiliki resistensi kuat untuk mempersatukan pesantren
di seluruh Jawa di bawah naungan NU. Semua untuk menjaga kemurnian paham
yang diyakininya dan menyebarluaskan pandangan yang dianggap penting. Meski
terbatas di lingkungan perkotaan, NU mendirikan madrasah-madrasah dengan
model Barat. Sampai akhir tahun 1938 Komisi Perguruan NU mengeluarkan
reglement tentang susunan madrasah-madrasah NU, yang terdiri dari : Madrasah
Awaliyah dengan lama belajar 2 tahun; Madrasah Ibtidaiyah dengan lama belajar
3 tahun; Madrasah Tsanawiyah dengan lama belajar 3 tahun; Madrasah Mu’alimin
Wusta dengan lama belajar 2 tahun; dan Madrasah Mu’alimin Ulya dengan lama
belajar 3 tahun.24
Selanjutnya ada Al-Khairat. Perguruan Islam Al-Khairat selanjutnya
disebut Al-Khiarat resmi menjadi sebuah organisasi sosial keagamaan sejak tahun
1956. Sebelum menjadi organisasi, Al-Khairat hanyalah sebuah lembaga
pendidikan dalam bentuk madrasah dengan nama Madrasah Al-Khairat Al-
23
Noer, h. 251
Asrohah, h. 170.
24
88
Islamiyah yang didirikan oleh Sayyid Idrus bin Salim Aljufri pada tanggal 30 Juni
1930 di Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah sekarang.25 Sistem pengajaran
yang digunakan proses transfer keilmuan dimulai dari kontak pribadi maupun
kolektif antara mubalig (pendidik) dengan peserta didiknya dengan materi
pelajarannya ialah pengajaran ilmu-ilmu agama yang dikonsentrasikan dengan
membaca kitab-kitab klasik yag dilakukan di rumah Kyai atau ulama serta rumahrumah penduduk secara bergiliran hal ini dilakukan sebelum adanya masjid,
surau, dayah atau pesantren yang merupakan tempat berlangsungnya proses
belajar mengajar pendidikan Islam. sebelum tahun 1930 Al-Khairat hanyalah
sebuah lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah yang menggunakan toko
milik H. Quraish lalu pindah ke rumah petak dalam proses pelaksanaan belajar
mengajarnya. Rumah yang digunakan adalah rumah Daeng Marotja26yang
letaknya berhadapan dengan Masjid Jami. Tempat ini dipilih karena letaknya yang
strategis --berdekatan dengan masjid-- sehingga memudahkan anak didik untuk
melaksanakan praktek ibadah di masjid. Proses belajar mengajar di rumah
panggung ini berlangsung dari tahun 1930 hingga 1933. Setelah itu, Al-Khairat
telah memiliki sebuah gedung madrasah permanen yang digunakan sebagai
tempat belajar mengajar yang dibangun dari hasil kerja sama antara Sayyid Idrus
dengan masyarakat muslim Palu.27
Pendirian sekolah-sekolah yang dilakukan oleh Jamiat Khair, Al-Irsyad,
Muhamadiyah, Persatuan Islam, Nahdlatul Ulama dan Madrasah Al-Khairat
25
www.Alkhoirot.net diakses pada tanggal 31 Oktober 2016.
Beliau merupakan tokoh masyarakat sekaligus Pemimpin Partai Sarekat Islam Indonesia
26
Palu.
27
www.Alkhoirot.net diakses pada tanggal 31 Oktober 2016.
89
merupakan alternative lain dalam menempa ilmu pengetahuan dikalangan
masyarakat pribumi terhadap kebijakan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah
Belanda yang hanya mendirikan sekolah untuk kalangan anak-anak bangsawan
saja. Pendirian sekolah yang dilakukan guna menyaingi sekolah yang didirikan
oleh pemerintah Belanda. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai perlawanan
terhadap sistem pendidikan yang sangat diskriminasi terhadap masyarakat muslim
Hindia Belanda yang dilakukan oleh pemerintah. Sehingga masyarakat yang tidak
bisa masuk ke sekolah pemerintah memilih untuk bersekolah di lembaga
pendidikan Islam tradisional maupun modern.
Keresahan juga dirasakan oleh para guru agama atau madrasah, dengan
adanya ordonansi guru yang mengharuskan para guru mendapatkan izin dan
melapor kepada petugas yang berwajib dalam memberikan pengajaran dirasa
sangat
menyulitkan.
Pemberitahuan
secara
berkala
tentang
kurikulum,
mengharuskan memberi daftar guru-guru dan murid-murid dirasa sebagai beban
berat, terutama karena guru-guru madrsah dan lembaga pendidikan Islam yang
tidak memiliki biaya untuk menyelenggarakan admininstrasi sekolah dengan baik.
Kesulitan untuk memenuhi tuntutan peraturan ini adalah adanya kenyataan bahwa
formulir untuk kesemuanya itu ditulis dalam bahasa Belanda, yang mana hampir
semua guru agama itu hanya memahami bahasa sendiri dan paling-paling bahasa
Arab.28 Bahkan sekolah-sekolah agama yang telah menempuh semua prosedur
yang diteteapkan masih harus menghadapi resiko tidak diberi izin beroperasi
karena alasan-alasan yang subjektif dan sepele yang dibuat oleh pemerintah
28
Deliar Noer, h. 195.
90
Belanda. sejak ordonasi ini berlaku Islam hamir tidak dapat ditemukan, data
dilihat pula dalam dekrit penasihat Belanda untuk wilayah di luar Jawa. Dekrit itu
menyatakan pelarangan tegas terhadap seorang muslim untuk berdiam selama
lebih dari 24 jam di Wilayah Kristen seperti Tapanuli, Sumatera29. Hal ini sangat
lah menghambat laju umat Islam dalam memberikan pengajaran.
Sekolah yang diperkenankan pemerintah menjadi alat mobilitas sosial dan
jalan bagi terwujudnya transformasi sosial. Sekolah yang diperkenalkan untuk
mendapatkan pegawai untuk tenaga administrasi pemerintahan, dikembangkan
oleh para penganut kebijaan etis agar terjalin hubungan kultural yang erat dan
abadi antara Belanda dan Hindia Belanda tidak berjalan semulus yang
direncanakan. 30
Dengan didirikannya sekolah sekolah tersebut jumlah rakyat Hindia
Belanda yang terdidik di sekolah-sekolah Barat meningkat. Meskipun pada awal
didirikanya Belanda tidak memiliki komitmen yang utuh untuk memajukan
pendidikan seperti yang diterapkan oleh Inggris di Malaysia, India, dan Amerika
Serikat di Filipina.31 Namun reformasi etis dalam bidang pendidikan telah
menciptakan sebuah lapisan baru dalam masyarakat Hindia Belanda yang akrab
dengan modernitas, yang disebut oleh Robert Van Niel dengan istilah “elit
Indonesia Modern”. Mereka berbeda dari elite tradisional yang kedudukannya
semata-mata berdasarkan kelahiran dan keturunan.32 Menurut Nina Lubis
29
Suminto, h. 53
Nina H Lubis, Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya Elit Modern. h. 265.
31
Ricklefs, h.203
32
Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan. h. 230
30
91
golongan elit pribumi modern ini muncul sebagai musuh dari sistem yang
melahairkannya yaitu pendidkan Barat itu sendiri33
Dengan adanya diskriminasi seperti yang telah digambarakan diatas
merupakan suatu keanehan yang terlihat jelas. Hal tersebut dipandang bahwa
kebijakan yang dibuat pemerintah sangatlah bertentangan dengan semua konsep
modern mengenai hubungan yang pas antara agama dan Negara. Ketidak puasan
besar di kalangan masyarakat Muslim di Hindia Belanda terhadap kebijakan
pemerintah Belanda mengenai Islam muncul pada dekade awal abad ke 20.
Kebijakan yang disebut sebagai “netral terhadap agama” hanyalah bualan belaka.
Dari sinilah yang melatarbelakangi gerakan reformis yang mulai tumbuh, baik
yang bercorak nasionalis maupun religius.
Perkembangan yang didasarkan oleh politik kesejahteraan rakyat dan
politik aosisasi menimbulkan golongan intelektual yang penuh dengan kesadaran
akan dirinya dan keterbelakangan masyarakat sekitarnya. Timbulah suatu gerakan
dari para kaum intelektual ini yang menimbulkan suatu faktor kekuatan sosial
baru. Perluasaan pendidikan Barat secara horizontal dan vertical dapat disebut bak
pedang bermata dua, maksud awal memberikan pendidikan adalah untuk mencari
tenaga terdidik yang dapat digaji rendah dan masuk dalah lingkaran kolonial,
namun sebaliknya lewat pendidikan Belanda lahirlah elite modern yang
33
Nina H Lubis, Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya Elit Modern. h. 265.
92
membicarakan gagasan gagasan kemajuan di tengah tengah masyarakat Hindia
Belanda.34
Bersamaan dengan timbulnya elit modern karena pengaruh pendidikan
Belanda, para terpelajar ini mulai merambah dan berkecimpung di berbagai
bidang, seperti politik, sosial, budaya dan pendidikan. Tujuan mereka sama, yaitu
memperoleh hak – hak layak hidup sebagai manusia yang bebas. Tidak terkecuali
kesempatan mengenyam pendidikan bagi masyarakat pribumi, sampai kepada
tuntutan kebebasan yang pada akhirnya berujung pada konsep kemerdekaan.
Elit modern inilah membentuk suatu organisasi, salah satunya Sarekat
Dagang Islam yang didirikan di Bogor oleh Raden Mas Tirtoadisurjo.
Raden Mas Tirtoadisurjo merupakan seorang priayi Jawa baru yang
mengawali pendirian sebuah organisasi modern dengan label Islam dan dibentuk
sebagai penggerak bagi kemajuan. Dilahirkan di Blora, Jawa Tengah dikalangan
keluarga priayi, ia berasal dari keluarga bupati Brojonegoro. Seperti priayi pada
masanya ia mendapatkan pendidikan Belanda sebagaimana Abdul Rifai dan
Wahidin Soedirohusoedo, ia bersekolah di STOVIA namun tidak tamat. Ia lebih
tertarik dalam dunia jurnalistik ketimbang menyelesaikan ujian akhrinya dan
menolak menjadi pegawai sipil pemerintah sebagai Pangreh Praja.35
Tirto sudah menjadi jurnais sejak usia 21 tahun. Mula-mula menjadi
koresponden untuk Hindia Ollanda pada 1894, lalu menjadi pemimpin redaksi
34
Nina Herlina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam
Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V., (Jakarta: PT.
Ichtiar Baroe Van Hoeve), h.256.
35
Burhanudin,. h. 235
93
Pemberita Betawi tahun 1902-1903. Dan menerbitkan majalahnya sendiri yaitu
Soenda berita pada 1903. Namanya mulai melambung ketika menerbitkan Medan
Priaji. Majalah ini dibuat untuk mewakili aspirasi Sarekat Priayi yang ia dirikan
pada 1906.36
Tirto berusaha keras memperoleh dukungan dari kalangan Priayi , hingga
akhirnya ia dikenal sebagai pengusaha yang kemudian mendirkan Sarekat Dagang
Islam pada maret 1909, dengan missi utama memperjuangan kepentingan umat
Muslim Hindia Belanda. melalui SDI, Tirto memelopori berdirinya sebuah
orgaisaasi dimana baik elite maupun orang hadrami yang terlibat dalam usaha
ekonomi dan menjadikan Islam sebagai identitasnya. Baginya SDI merupakan
wadah untuk umat Muslim Hindia Belanda dalam memperjuangnkan dan
memperbaiki lemahnya kemampuan manajerial mereka dalam bidang ekonomi. 37
Tirto sudah terkenal dengan Medan Priajinya ia dikenal dan dihubungkan
erat dengan ide dan gagasan dalam mengembangkan kemajuan umat Muslim.
Kepada Tirtolah, H. Samanhoedi seorang pengusaha batik dari Solo berkonsultasi
untuk mendirikan Sarekat Dagang Islam di Solo pada 1911,38 Tirto diminta untuk
membuat rancangan anggaran dasar pertama SDI pada 11 November 1911 dan
menjadi hari lahirnya Sarekat Islam (SI).39 SI dirikan atas semangat kemajuan dan
36
Siraishi,. h.43.
Burhnudin,. h. 237
38
Samanhoedi telah lama teribat dalam upaya melindungi para pengusaha batik pribumi
dari eksploitasi pengusaha China dengan membangun sebuah organisasi yang disebut Reso
Roemekso. Siraishi,. h. 55-56
39
Deliar Noer,. h. 115.
37
94
memfokuskan diri pada upaya peningkatan kesejahteraan, kemakmuran dan
kejayaan negri.40
Gerakan social-ekonomi SI terus berkembang, hingga naiknya H.O.S
Tjokroaminoto dari Surabaya sebagai pemimpin tertinggi SI tahun 1916, setelah
sebelumnya SI di Surabaya sudah aktif dari 1912. Tjokroaminoto dipercaya untuk
merubah anggaran dasar SI guna menyusul kebijakan Pemerintah Belanda yang
menunda dalam pemberian izin pada agustus 1912 dan lebih melihat sebagai
ancaman bagi rust en orde. Tampilnya Tjokroaminoto memberikan gambaran
baru SI sebagai sebuah gerakan politik. Tjokroaminoto mengubah haluan SI dari
penciptaan kemajuan bagi rakyat Hindia Belanda menjadi perjuangan untuk
pemerintahan sendiri atau setidaknya rakyat Hindia Belanda diberi hak
menyuarakan aspirasi mereka dalam persoalan-persoalan politik. Tjokroaminoto
selalu menganggap dirinya sama sederajat dengan pihak manapun, baik itu
seorang Belanda ataupun dengan seorang pejabat pemerintahan. Ia ingin sikap ini
juga dimiliki oleh kawan sebangsanya yag lain.41
SI memberikan perhatian kepada persoalan pendidikan sejak 1917. SI
menuntut penghapusan peraturan yang mendiskriminasai penerimaan murid di
sekolah-sekolah, menuntut wajib belajar bagi seluruh penduduk sampai umur 15
tahun, perbaikan lembaga pendidikan bagi segala tingkat, bertambahnya jumlah
sekolah, memasukan pelajaran ketrampilan, perluasan sekolah hukum dan sekolah
kedokteran menjadi Universitas dan pemberian beasiswa kepada para pemuda
40
41
Noer,. h. 117.
Deliar Noer,. h.121.
95
berprestasi untuk belajar ke luar negri.42 Melalui kongres Al-Islam tahun 1922 SI
menuntut pemerintah agar mencabut ordonasni guru 1905 semua peraturan yang
menghambat penyebaran Islam dan menghambat kegiatan guru agama Islam.43
Pada tanggal 21 Juni 1921 dibentuklah sekolah SI di Semarang,
menggunakan ruang sidang gedung SI-Semarang sebagai ruang kelas. Pemimpin
sekolahnya ialah Tan Malaka dengan jumlah murid pertama sebanyak 50 orang.
Sekolah-sekolah didirikan dan diusahakan oleh SI, murid muridnya berasal dari
anak para anggota SI, yang dididik dengan tujuan bahwa mereka kelak akan
berdampingan dengan rakyat dalam perjuangan ekonomi dan politik.44
Sudah ada 12 sekolah SI yang tersebar di berbagai tempat di Hindia
Belanda. Tiap tempat rata-rata menampung lebih kurang 250 orang murid,
sehingga jumlah murid seluruhnya ada lebih kurang 3.000 orang. Rahasia
kemajuan pesat sekolah SI antara lain disebabkan karena pemerintah sendiri
belum mampu untuk mengadakan sekolah yang mencukupi untuk penduduk
pribumi. Akan tetapi lebih dari itu adalah kenyataan bahwa berdirinya sekolahsekolah itu sejalan dengan perkembangan SI sebagai organisasi massa, serta
kesadaran yang mulai tumbuh mengenai pentingnya pengajaran.45
Terjadi perpecahan di dalam tubuh SI dikarenakan organisasi ini bersifat
heterogen, pada 1918 dengan masuknya gagasan komunis yang dibawa oleh
42
Noer, h. 128.
Noer, h. 195
44
Mumuh Muhsin, “Kesadaran Nasionaldan Sekolah Sarekat Islam (1900 – 1942)
Makalah Disampaikan Dalam Penataran Pengayaan Kurikulum Mulok Sejarah Perjuangan
Syarikat Islam (SPSI) Di Aula Gerkopin, 13 Januari 2013 (Jatinangor: UNPAD, 2013), h. 15-16
45
Mumuh Muhsin, h, 17
43
96
Semaun pepecahan dikalangan pemimpinnya makin menjadi.46 maka pada bulan
April 1924 sekolah-sekolah SI menjadi Sekolah Rakyat. Tindakan-tindakan
pemerintah jajahan menyebabkan banyak Sekolah Rakyat ditutup atau diserahkan
kepada badan lain, seperti kasus sekolah di Bandung yang diserahkan pada
Soekarno dan dialihkan menjadi Taman Siswa.47
Peningkatan kurikulum pendidikan tradisional menjadi modern hingga
terbentuknya organisasi-organisasi yang berlandaskan Islam, sampai pada
kesadaran para elit modern yang telah mendapatkan pendidikan Barat dalam
mendirikan suatu organisasi sebagai bentuk pergerakan nasional, merupakan
bentuk pemberontakan yang terjadi di kalangan masyarakat pribumi terhadap
sistem kebijakan yang selama ini dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda.
Khusunya dalam masalah pendidikan.
B.
Pertumbuhan Semangat Kebangsaan Umat Islam Dalam Melawan
Sistem Kolonial
Pada 1873 Kantor Inpeksi Pendidikan Pribumi yang didirian oleh J.A van
der Chijs membuat laporan bahwasanya jumlah pesantren di Hindia Belanda
mencapai 20-25.000 dengan total santri yang berjumlah 300.000. Meningkatnya
jumlah
sekolah
tradisional
Islam,
yang
berkombinasi
dengan
tetap
dipertahankannya ikatan-ikatan intelektual dan emosional antara kyai dan santri,
dan antar pesantren yang tersebar di berbagai wilayah, jaringan intelektual Islam
tradisional tetap terjaga. Hal ini memfasilitasi terciptanya kesinambungan dalam
46
47
Alwi Sihab, h. 103
Mumuh, h. 18.
97
pendidikan Islam. Sehingga, meskipun terdapat diskriminasi kolonial yang nyata
dan pembatasan-pembatasan terhadap pengajaran Islam, namun pada tahun 1890,
Snouck Hurgronje mengungkapkan informasi bahwa jumlah pesantren sedang
meningkat.48 Jika dua puluh tahun kemudian dia merayakan kemenangan awal
sekolah-sekolah bergaya Barat atas sekolah-sekolah Islam, barangkali karena dia
meremehkan proses transformasi yang sedang berlangsung di sekolah-sekolah
Islam dan juga kemampuan para intelektual Islam untuk menghadapi lingkungan
yang sedang berubah.
Snouck pernah sesumbar meramalkan bahwa dalam persaingan melawan
daya tarik dari pendidikan Barat dan asosiasi kultural dengan Barat, Islam pastilah
akan menjadi pihak yang kalah,49 Namun, hingga awal era politik Etis, masih
banyak yang harus dilakukan oleh peradaban Barat jika ingin menaklukkan Islam
di Hindia Belanda.
Bagi sebuah agama yang tidak memiliki organisasi hirarkis yang efektif,
dan bagi suatu komunitas Islam yang hidup ditengah-tengah masyarakat Hindia
yang plural, pendidikan memainkan peran kunci dalam perjuangan Islam.
Ketiadaan struktur kependetaan dalam Islam50 jelas membuat sekolah Islam
menjadi satu-satunya sarana untuk menanamkan doktrin-doktrin keagamaan.
Dalam konteks Hindia Belanda, paling tidak ada tiga alasan tambahan mengapa
umat Islam mengembangkan sekolah-sekolah Islamnya sendiri. Pertama, karena
adanya keanekaragaman kepercayaan dan sistem nilai yang saling bersaing di
Hindia Belanda, sekolah Islam memainkan sebuah peran kunci dalam membangun
48
Benda, h. 27
Benda, h. 27.
50
Snouck Hurgrnje, Islam di Hidia Belanda,h. 16.
49
98
sebuah identitas yang jelas dan positif bagi Islam Hindia. Kedua, pendidikan
Islam merupakan alat ideologi Muslim dalam menjawab diskriminasi dan
penindasan yang dilakukan oleh kebijakan-kebijakan kolonial. Yang terakhir dan
tak kalah pentingnya, kurangnya peluang bagi anak-anak dari kalangan santri
untuk masuk sekolah-sekolah pemerintah, ditambah dengan ketidak tertarikan
pihak pemerintah Belanda untuk memajukan sekolah-sekolah Islam, memaksa
ulama untuk mengembangkan sekolah-sekolahnya sendiri. Karena sekolah Islam
merupakan benteng perjuangan Islam untuk bisa bertahan hidup, maka para
pemimpin
Islam
berusaha
sekuat
mungkin
untuk
mempertahankan
keberadaannya.51
Kemunculan madrasah dan modernisasi pesantren merepresentasikan
suatu sejarah Islam yang baru. Madrasah merupakan perwujudan dari rencana
untuk memulihkan dan meremajakan kembali masyarakat Islam. Sekolah ini
merepresentasikan ide-ide pembaharuan Islam. Karena adopsinya terhadap
pendekatan-pendekatan dan instrumen-instrumen modern, seperti rasionalisme
modern, kurikulum pendidikan Barat, dan metode yang modern, sekolah ini
merepresentasikan ide-ide modernisme Islam. Karena pengajarannya yang
memasukkan pengetahuan agama maupun pengetahuan umum modern, madrasah
berfungsi sebagai ladang persemaian utama bagi pembentukan ‘ulama-intelek’
yang akan menjadi pasangan utama bagi elit intelektual dalam mengarahkan
51
Yudi Latif, h. 131.
99
masyarakat Hindia Belanda kearah kemajuan.52 Sehingga timbulah semangat
dalam melawan sistem Kolonial.
Ketidakpuasan besar di kalangan umat Islam terhadap kebijakan
pemerintah Belanda mengenai Islam muncul dekade awal abad ke 20. Kebijakan
yang di klaim oleh pemerintah sebagai netral terhadap agama terbukti hanya
bualan belaka. Sebagai akibat dari semakin intensnya keinginan penguasa
Kolonial Belanda untuk mengontrol daerah jajahan, memunculkan respon untuk
mengimbangi kekuasaan Kolonial tersebut dalam wujud pergerakan nasional.
Kemunculan kesadaran nasional ini disebabkan oleh kesadaran bahwa tantangan
asing tidak hanya dapat dihadapi dengan cara dan pandangan lama yang masih
bersifat tradisional. Namun harus dengan pemikiran baru yang modern. Respon
terhadap kolonialisme dengan gaya modern muncul dalam bentuk organisasi
modern seperti organisasi social, pendidikan dan politik. Organisasi ini banyak
tumbuh di wilayah-wilayah. Pada akhirnya gerakan organisasi ini baik yang
bercorak nasionalis maupun religius terbukti merupakan ancaman serius bagi
rezim pemerintah Belanda.53
Perkembangan modernisasi di Eropa berdampak secara tidak langsung
kepada kehidupan di daerah jajahan seperti Hindia Belanda. Mengutip pernyataan
Niel politik etis memberikan rangsangan menimbulkan kesadaran pada angkatan
muda Hindia Belanda. Suasana yang sama juga memberikan rangsangan R.A.
Kartini, di mana pendidikan menghasilkan wanita-wanita muda dan pemuda-
52
Latif, h. 146.
Alwi Sihab, h. 90.
53
100
pemuda elit Indonesia yang berpendidikan dalam kehidupan masyarakat yang
berubah.54
Beberapa elit tradisional yang telah mendapat pendidikan dan pengaruh
Barat telah secara tidak sengaja memiliki pemikiran Barat. Salah satu contoh
sederhana yaitu konsep identitas bangsa dan nasionalisme yang sudah mulai dikaji
dan dipelajari. Sementara pada masa tradisional sebelum memperoleh pengaruh
Barat, tidak pernah terpikirkan konsep identitas dan nasionalisme oleh para elit
tradisional.
Pada tahap awal para elit modern ini biasanya muncul dan berkembang
setelah mendapat pendidikan di Eropa. Seperti contoh, Achmad Djajadiningrat
seorang anak bangsawan Banten dan keturunan Paku Alam yang banyak
melanjutkan studi di Eropa. Namun berikutnya setelah didirikannya sekolah
dokter STOVIA pada 1902 di Jawa, maka banyak muncul elit – elit modern yang
memiliki
pemikiran-pemikiran
Barat
yang
brilian
seperti
Radjiman
Wideodiningrat, Tjipto Mangunkusumo, Wahidin Sudirohoesodo, Abdul Rifai
dan lainnya.
Abdul Rifai seorang lulusan Sekolah Dokter Jawa menerbitkan Bintang
Hindia- nya bersama H.C.C Clockener Brousson di Belanda, 55 sebuah majalah
berbahasa melayu didesain dalam kerangka politik etis. Tujuan diterbirknanya
adalah untuk memperkenalkan perkembangan budaya penduduk pribumi dan
memperkuat ikatan antara Belanda dan daerah jajahan. Gagasan kemajuan ini
54
Robert Van Niel. Munculnya elit Modern. h. 60.
Siraishi,. h. 40.
55
101
bertujuan mencapai standar modernitas barat. Namun melalui majalah ini Abdul
Rifai menyampaikan ide kemajuan masyarakat Hindia Belanda, pentingnya rakyat
Hindia Belanda memiliki pengetahuan sebagai landasan untuk mencapai
kemajuan dan bangsawan pikiran (kemuliaan karena memiliki intelektualitas).
Bangsawan pikiran , dengan pengetahuan yang mereka pelajari di Belanda akan
membawa Hindia Belanda kearah kemajuan.56
Rifai tampil sebagai pejuang politik etis yang sangat mendorong rakyat
Hindia Belanda untuk beradaptasi di dalamnya dan mengambil keuntungan dari
apa saja yang ditawarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Abdul Rifai dan
menyerukan pendirian Perhimpunan Kaum Muda pda 1905. Gagasan dalam
mendirikan perhimpunan Kaum Muda ini merupakan suatu langkah awal dari
Wahidin Sudirohusodo ketika ia mendirikan Budi Utomo tahun 1908. Meskipun
sama-sama menamati sekolah di sekolah Dokter Jawa, Wahidin berbeda dengan
Abdul Rifai, ia lebih mengabdikan dirinya untuk peningkatan status priayi dan
lebih mengarahkan Budi Utomo pada penyediaan pendidikan Barat bagi kaum
priayi Jawa.57 Abdul Rifai dengan Bintang Hindia digambarkan sebagai penyebar
nasionalisme
Indonesia.
Dikarenakan
majalah
ini
yang
pertama
kali
memperkenalkan dan mempopulerkan istilah bangsa Hindia. Rifai telah
mempopulerkan ide kemajuan dan menghubungkannya dengan “kaum muda”, dia
telah berkontribusi memperkenalkan ide tersebut ke dalam pusat masyarakat
Hindia Belanda.58
56
Jajat, h. 233.
M.C. Ricklefs, h. 2017-208
58
Jajat Burhanudin. h. 233-234
57
102
Sedangkan dalam tubuh Sarikat Islam, ditandai dengan munculnya
kepemiminan baru dalam Islam Hindia Belanda, dimana figure jurnalis
Tirtadisurjo, pedagang batik Samanhoedi dan juga Tjokroaminoto muncul sebagai
pemimpin baru Muslim Hindia Belanda yang lebih banyak menyuarakan ide ide
kemajuan. SI didefinisikan sebagai asosiasi umat Muslim yang bekerja dalam
kerangka semangat etis kemajuan, dimana Islam dijadikan sebagai penanda
kepribumian dan sebagai motor penggerak perjuangan demi kemajuan.59
Meskipun dalam perkembangannya SI tidak bertahan lama seperti organisasorganisasi Islam lainnya yang masih eksis sampai sekarang ini.
Kesadaran akan ide kemajuan yang muncul di tengah-tengah Muslim di
daerah-daerah perkotaan di Hindia Belanda yang jumlahnya semakin meningkat
pada awal abad ke 20.60 Kebanyakan dari mereka tinggal di kantong-kantong
Muslim di perkotaan, mereka akrab dengan gaya hidup masayarkat modern
perkotaan dan lebih cepat dan mudah beradaptasi dengan ide kemajuan. Kaum
Muslimin yang tinggal di perkotaan inilah yang memberi arah baru dalam
memberikan kesadaran tentang ide-ide kemajuan yang dikemas dalam tema
keIslaman.61
Para pelajar yang telah mendapatkan pendidikan Barat seperti Abdul Rifai,
RM Tirtoadisurjo, Tjokroaminoto sedikit banyak memang sudah terasosiasi
dengan pendidikan Barat. Dari cara berpakaian dan berpikir yang sudah ke Baratbaratan. Namun dengan pendidikan Belanda yang mereka peroleh timbul
semangat kesadaran untuk memajukan kaumnya, yaitu memajukan masyarakat
59
Siraishi,. h. 63.
Takashi SIraishi,. h. 23-25.
61
Burhanudin,. h.235.
60
103
Muslim Hindia Belanda. Tak lupa pula para elit Muslim yang mengemban ilmu di
Timur Tegah dan lebih banyak mendapat kan pendidikan Islam tradisional.
Seperti K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari. Kedua elit ini baik dari
kalangan santri dan priayi memiliki tujuan yang sama yaitu kemajuan untuk
bangsanya. Ada yang menggunakan surat kabar untuk merealisasikan pikirannya
untuk mengajak masyarakat pribumi akan kemajuan untuk bangsanya, dan juga
mengkritik kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda, dan
ada
yang mengguanakan
organisasi
sebagai
wadah
untuk
memajukan
kemaslahatan masyarakat pribumi di Hindia Belanda. Bukan saja dari segi
pendidikan, namun dari segi sosial, politik dan ekonomi.
Tidak semua pribumi yang ditempa dalam pendidikan dan lingkungan
Barat otomatis melupakan budanya nya, tidak sedikit pula jumlah elit tradisional
hasil didikan Barat yang berjuang melalui gerakan nasionalis Islam, dan bahu
membahu dengan alumni pesantren dan lulusan Timur Tengah.
Hal ini jauh dari cita-cita Snouck yang mengharapkan elit tradisional yang
sudah terkolonisasi dapat tunduk dan patuh pada pemerintah Hindia Belanda dan
dapat membawa serta para pengikut dibawahnya yang terdiri dari masyarakat
pribumi, memang beberapa elit sudah terasosiasi dengan kebudayaan Barat namun
tidak serta merta tunduk dan patuh oleh pemerintah Hindia Belanda. karena para
elit tradisional yang sudah terasosiasi ini menjelma menjadi elit modern yang
lebih banyak menyuarakan pendapatnya untuk bergerak maju dalam melawan
Pemerintah Hindia Belanda dan membangkitkan semangat nasinonalisme.
104
Mengamati perjalanan sejarah politik Kolonial Belanda terhadap Islam
yang telah digariskan oleh peletak dasarnya Snouck Hurgronje, setidaknya ada
dua hal yang menarik. Pertama, munculnya tokoh Snouck menjadi seorang
negarawan Kolonial Belanda yang paling Legendaris; kedua, kenyataan yang
dihasilkan oleh politiknya bertentangan dengan apa yang diharapkan. Dari sini
kita dapat menarik suatu pelajaran seperti yang dikatakan oleh Prof. W.F.
Wertheim ketika mengomentari hasil karya Dr. Harry J Benda, bahwa:
“…..Apapun politik terhadap Islam yang dilancarkan oleh kekuasaan non Islam,
hasilnya senantiasa berbeda dari apa yang ingin dikejar oleh kekuasaan
tersebut.…..”62
Masa-masa ini merupakan masa dimana keadaan sosial menyadarkan
masyarakat akan kesadarn sosial. Sadar bahwa rakyat sesamanya tertindas, sadar
akan diskrimininasi yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda, sadar akan hak
dalam memiliki kebebasan tak terpenuhi. Sehingga timbul semangat kebangsaan
untuk lepas dari ketertindasan.
62
Harrry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit. Terj. Daniel Dhakidae.(Jakarta:
Pustaka Jaya, 1980) h. 345
BAB V
KESIMPULAN
Kebijakan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah bukanlah untuk
mencerdaskan masyarakat pribumi, dapat dilihat dari diskriminasi yang terjadi
dari mulai diskriminasi sosial, diskriminasi rasial, diskriminasi anggaran dan
diskriminasi dalam kepemelukan agama. Hanya golongan tertentu saja yang dapat
menikmati pendidikan. Sehingga masyarakat yang tidak dapat masuk sekolah
pemerintah memlih untuk memasukan anaknya ke lembaga pendidikan Islam baik
itu tradisonal maupun modern, dimana lembaga
pendidikan Islam seperti
madrasah dan pesantren mengubah kurikulumnya menjadi lebih modern dengan
menggabungkan kurikulum agama dan ilmu-ilmu pengetahuan umum agar dapat
menyaingi dan mengimbangi sekolah yang didirikan oleh pemerintah.
Snouck Hurgronje sangat yakin akan politik asosiasi yang dimasukan
dalam pendidikan Barat. Memilih anak-anak priayi dan para bangsawan
terkemuka masuk ke dalam lingkaran pendidikan Barat yang sudah terkolonisasi
dan dapat dengan mudah menjadi patuh dan tunduk pada pemerintah Belanda dan
jauh dari ajaran Islam, sehingga dapat diikuti oleh masyarakat bawah yang
senantiasa tunduk pada elit tradisional. Namun ternyata dalam prakteknya, meski
banyak elit tradisional yang sudah terasosiasi dengan kebudayaan Barat Seperti
Husein Djajadiningrat, Abdul Rifai dengan Bintang Hindia-nya, Raden Mas
Tirtoadisurjo dengan Medan Priaji-nya dan pendirian SDI, HOS Tjokroaminoto
yang disebut-sebut sebagai pemimpin karismatik dalam SI, dan juga Agus Salim.
Mereka merupakan anak anak priayi muslim yang taat, namun mereka menjelma
105
106
menjadi elit modern yang penuh dengan kesadaran akan dirinya dan
keterbelakangan masyarakat sekitarnya. Mereka menyuarakan aspirasinya untuk
kemajuan umat Islam di Hindia Belanda mau tak mau, suka tak suka hal ini
merupakan hasil dari asosiasi pendidikan yang dapat dilihat dengan munculnya
elit modern yang mendirikan organisasi yang bersifat nasionalis baik sekuler
maupun Islam.
Kebijakan Pendidikan oleh pemerintah khususnya kepada umat Islam pada
kenyatannya malah memeberikan semangat kebangsaan karena rasa diskriminasi
yang dirasakan bersama. Hal ini membuktikan bahwa keadaan sosial pada waktu
itu menimbulkan kesadaran social dikalangan para terpelajar. Kesadaran akan
kepemilikan hak yang sama dan kebebasan untuk merdeka.
Saran
Penulis memahami betul dalam tulisan ini masih banyak kekurangan dan
jauh dari kata sempurna, maka dari itu kritik dan saran sangat dibutuhkan demi
baiknya tulisan/karya ini.
Dari beberapa kebijakan pendidikan Belanda dapat dilihat hikmah dan
menjadi cermin untuk kemajuan Indonesia mendatang. Melihat kondisi sekarang
yang hampir sama dengan masa Kolonial, pendidikan belumlah sama rata dapat
dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Alangkah indahnya apabila
pemerintah dapat memberikan kesempatan bagi seluruh lapisan masyarakat untuk
mendapatkan pendidikan yang bermutu. Bisa dirasakan bahwa pendidikan yang
bermutu sekarang ini selalu dimenangkan oleh masyarakat kelas menengah atas
107
yang memiliki ekonomi yang baik. Perbedaanya adalah masa Kolonial pendidikan
bermutu dirasakan oleh masyarakat menengah berdasarkan factor keturunan yang
merukapan ketentuan dari pemerintah, sedangkan sekarang faktor ekonomi bisa
jadi menjadi kriterianya.
Jika masa Kolonial keadaan sosial membangun kesadaran sosial,
kebalikan dengan masa sekarang kesadaran sosial belum tentu dapat mengubah
keadaan sosial meskipun hal ini tidak dapat di generalisirkan.
Untuk generasi selanjutnya akan lebih bagus lagi jika mengkaji lebih
mendalam dan memunculkan ide-ide yang cemerlang untuk menggali tulisan
khusus kebijakan-kebijakan yang dibuat Belanda di Indonesia
akhirnya akan memperkaya khazanah keilmuan sejarah.
yang pada
108
DAFTAR PUSTAKA
Arsip
Bijblad op het Staatsblad van Nedelandsch-Indie no 6639
Bijblad op het Staatsblad van Nedelandsch-Indie no 7123
Encyclopaediae van Nederlandsch-Indie (ENI), jilid I. ‘s-Gravenhage, 1917
Regerings Almanak Tahun 1914
Staastblad van Nederlandsch-Indie no 125 Tahun 1893
Staastblad van Nederlandsch-Indie no 219 Tahun1925
Staastblad van Nederlandsch-Indie no 550 Tahun 1905
Buku
Abdurahman, Dudung. Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ar Ruzz
Media,1999
Absari, “Sejarah dan Dinamika Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di
Nusantara”, dalam Samsul Nizar (ed), Sejarah Pendidikan Islam,
menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia.,
(Jakarta: Kencana Prenada media Group, 2007)
Algadri, Hamid, C. Snouk Hurgronje.Politik Belanda TerhadapIslam dan
Keturunan Arab. Jakarta; Sinar Harapan 1984.
_________, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan
Belanda. Bandung; Mizan, 1996
Asrohah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999)
Azra, Azyumardi, “Surau di Tengah Krisis: Pesantren dalam Prespektif
Masyarakat” dalam M.Dawam Raharjo (ed) Pergulatan Dunia Pesantren
Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1983)
_________, Pendidikan Islam “Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium
Baru”, (Ciputat: Logos, 1999)
Benda, Harry J, Bulan Sabit dan Matahari terbit, Islam Indonesia Pada masa
Pendudukan Jepang, Terj. dari The Crescent and The Rising Sun,
Indonesian islam under the Japanese occupation 1942-1945 oleh Daneil
Dhakidae (Jakata: Mizan, 1980), cet I.
108
109
Brugmans, I.J. “Politik Pengajaran” dalam H. Baudet dan I.J Brugman (ed),
Politik Etis dan Revolusi kemerdekaanI. (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1987)
Burhanudin, Jajat, Ulama dan Kekuasaan, Pergumulan Elite Muslim dalam
Sejarah Indonesia,(Jakarta: Mizan, 2012)
Cribb, Robert, Audrey Kahin, Kamus Sejarah Indonesia, Jakarta: Komunitas
Bambu, 2012.
Djamaluddin, Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Bandung : Pustaka
Setia , 1998)
Dzofier, Zamaksyari, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kya (
Jakarta: LP3ES, 1994)
Gobee, E, dan C Adriaanse, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid IV
(Jakarta : Indonesian Netherlands Coorperation in Isalamic Stuidie (INIS),
1991).
______, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada
Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid I (Jakarta : Indonesian
Netherlands Coorperation in Isalamic Stuidie (INIS), 1991).
Graves, Elizabeth, “The Minangkabau Response to the Dutch Colonial Rule in the
Nineteent Century”,(New York: Cornel University, 1981)
Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. terj: Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI
Press.1983)
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, lintasan Sejarah,
Pertumbuhan dan Perkembangannya, (Jakarta:Diterbitkan Kerjasama
dengan Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan dan PT Raja Grafindo
Persada, 1996), Cet ke 2
Herlina, Nina Lubis, Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942.(Bandung:
Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 1998)
_______, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam
Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus
Sejarah, Jilid V., (Jakarta: PT. Ichtiar Baroe Van Hoeve)
Hurgronje, C Snouck, Islam di Hindia Belanda. Terj S. GunawanJakarta; PT
Bhratara Karya Aksara, 1983.
________, Kumpulan Karangan C. Snouck Hurgronje. Jakarta; INIS, 1993.
Isjwara, F, Pengantar Ilmu Politik, penerbit Binacipta, 1974
110
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. (Yogyakarta: Yayasan bentang Budaya,
1995)
Latif, Yudi , Intelegensia dan Kuasa, Geneologi Intelegensia muslim Indonesia
abad ke 20,(Bandung: Mizan Pustaka, 2005)
Leirissa, R.Z. , ”Verenigde Oost Indische Comagnie (VOC)”, dalam Taufik
Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid
V, (Jakarta: PT. Ichtiar Baroe Van Hoeve)
Maswardi, “ Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam di Nusantara pada Masa Awal
Sampai Sebelum kemerdekaan, Kasus Kebijakan Politik Kolonial Belanda
Terhadap Gerakan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia” dalam
Samsul Nizar (ed), Sejarah Pendidikan Islam, menelusuri Jejak Sejarah
Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia., (Jakarta: Kencana Prenada
media Group, 2007)
Madjid , Nurcholis, Indonesia Kita, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004)
_________, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina,
1997)
Maftuh, “Kebijakan Politik Hindia Belanda dan Implikasinya Bagi Pendidikan
Islam 1900-1942”. Tesis (Jogjakarta : UIN Sunan Kalijaga 2008) (Tidak
DIterbitkan)
Nata Abuddin Nata, Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group,
Niel, Robert van, Munculnya Elit Modern Indonesia , Ny. Zahara Deliar Noer
(terj)(Jakarta: Pustaka Jaya, 1984)
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES,
1991)
Padmo, Sugijanto (alm), “Perkembangan Sosial Ekonomi Pribumi”, dalam Taufik
Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah,
Jilid V., (Jakarta: PT. Ichtiar Baroe Van Hoeve)
Pijper, G.F “Politik Islam pemerintah Belanda” dalam H. Baudet dan I.J
Brugmans, Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan oleh Amir Sutaarga,.
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987)
_________, Beberapa Studi Tentang Islam di Indonesia 1900-1950, Terj. dari
Studien over de Geshiedenis van de Islam in Indonesia 1900-1950 oleh
Tujimah dan Yessy Augusdin (Jakarta: UI-Press, 1985), cet II
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia IV. PN Balai Pustaka, 1977.
111
_________, Sejarah Nasional Indonesia V. PN Balai Pustaka, 1984.
Ricklefs, M.C Mengislamkan Jawa. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2013
_________, Sejarah Asia Tenggara dai Masa Prasejarah sampai Kontemporer,
(Jakarta : Komunitas Bambu, 2013)
_________, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, 2008)
Ridwan, Kafrawi, Ensiklopedi Islam, jilid I , (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hove,
1993)
Sihab, Alwi, Membendung Arus Respon Gerakan Muhamadiyah terhadap
Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998)
Sirozi, Muhammad, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokohtokoh Islam dalam Penyusunan UU No 2/1989I, (Jakarta : INIS, 2004)
Sopyan, Yayan, Islam Negara Transormasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional. Jakarta: RMBooks, 2012
Suminto, Aqib, Politik Islam Hindia-Belanda: het Kantoor voor Inlandsche
zaken. Jakarta: LP3ES, 1986.
Steenbrink, Karel A. Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam
Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994)
Shiraishi, Takhasi, Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926,
(Jakarta: Grafiti, 1997)
Umar, Muin, Orientalisme dan Studi Tentang islam (Jakarta : Penerbit Bulan
Bintang, 1978)
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,( Jakarta: Mutiara
Sumber Widya, 1995)
Zuhairini, dkk, Sejarah Pedidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Dirjen Binbaga
Islam, 1986)
Jurnal
Bani, Sudin, “Politik Etis”, Jurnal Politik Pofetik, Vol 1, No 1, 2013
Burhanudin, Jajat, The Dutch Colonial Policy On Islam, Reading The Intellectual
Journey Of Snouck Hurgronje, Al-Jamiah,Vol 52, No 1, 2014 M/1435 H
Effendy, “Politik Kolonial Belanda Terhadap Islam Di Indonesia Dalam
Perspektif Sejarah (Studi Pemikiran Snouck Hurgronye) ”Jurnal TAPIs
Vol.8 No.1 Januari-Juni 2012
112
Haidar, M Ali “Tarekat Qodariyah Wa Naqsabandiyah Syaikhona Muhammad
Kholil Bangkalan Tahun 1834-1925 “, Avatara, e-Journal Pendidikan
Sejarah. Vol 1, No 2, Mei 2013
Ichwayudi, Budi, Hipokritisme Tokoh Orientalis Christian Snouck Hurgronje,
Jurnal Religio, Vol 1, No 1, Maret 2011
Muhamad, Gusti, “Pendidikan Pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda Di
Surabaya Tahun 1901-1942 Education On Dutch Government In
Surabaya At 1901-1942”, Publika Budaya, Vol 1, No 3, Maret 2015
Makalah
Muhsin, Mumuh “Kesadaran Nasional dan Sekolah Sarekat Islam (1900 – 1942)
Makalah Disampaikan Dalam Penataran Pengayaan Kurikulum Mulok
Sejarah Perjuangan Syarikat Islam (SPSI) Di Aula Gerkopin, 13 Januari
2013 (Jatinangor: UNPAD, 2013)
Internet
http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-178-det-sejarah-singkat.html diakses
pada tanggal 3 Mei 2016 pkl 19.00 WIB
http://www.muhammadiyah.or.id/id/4-content-179-det-sejarah-berdiri.html
diakses pada tanggal 3 Mei 2016 pkl 19.00 WIB
http://www.republika.co.id/berita/koran/islam-digest-koran/15/08/23/ntj73s1kebangkitan-nasionalisme-indonesia-di-tangan-islam
www.tebuireng.org diakses pada tanggal 24 Oktiber 2016 pkl. 9.05 WIB
http://megapolitian.kompas.com/read/2010/03/19/03301099/Kultur.Pesantren..kek
uatan.NU diakses pada tanggal 24 Oktiber 2016 pkl. 9.30 WIB
http://www.ponpes-rakha.com/2014/12/sejarah-rakha.html?m=1
Selayang
Pandang Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah Amuntai. Diakses pada
tanggal 25 Oktober 2016 pkl 12.14 WIB
http://asadiyahpusat.org/2013/09/tentang-pesantren-asadiyah/
diakses
pada
tanggal 25 Oktober 2016 pkl 13.36 WIB
www.media-kitlv.nl
113
Lampiran 1:
Staatsblad van Nederlandsch-Indie no 125 tahun 1893. Tentang pembukaan sekolah kelas
satu (de scholen de eerste klasse) dan sekolah kelas dua (de scholen de tweede klasse).
Sumber : ANRI.
114
Lampiran 2:
Staatsblad no 550 Tahun 1905, tentang Kebijakan Ordonansi Guru pertama. Sumber : ANRI.
115
Lampiran 3 :
Staatslad no 219 Tahun 1925,tentang Ordonansi guru perubahan Ordonansi guru 1905.
Sumber : ANRI
116
Lampiran 4 :
Bijblad op het Staatsblad van Nedelandsch-Indie no 6639, tentang perintah untuk Adviseur
voor Inlandsch Zaken dalam menangani pendidikan pribumi. Sumber : ANRI.
117
Lampiran 5 :
Bijblad no 7123, tentang instruksi kepada Adviseur voor Indlandsch zaken. Sumber :ANRI.
118
Lampiran 6:
Islamoloog C. Snouck Hurgronje (1857-1936). Sumber : media-kitlv.nl
119
Lampiran 7:
Karel Frederick Holle, Sumber : media-kitlv.nl
Mr. J.H. Abendanon, van 1900-1905 directeur van het Departement van Onderwijs,
Eeredienst en Nijverheid te Batavia, Sumber: media-kitlv.nl
120
Lampiran 8:
Pemuda (santri) Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur. Sumber: media-kitlv.nl
121
Lampiran 9:
Pemuda di sebuah Pesantren. Sumber: media-kitlv.nl
Sumatra Thawalib. Sumber : JPPN.COm
122
Lampiran 10 :
School voor Technisch Onderwijs in Nederlands-Indie. Sumber: media-kitlv.nl
School tot Opleiding van Inlandse Artsen (STOVIA) Batavia. Sumber: media-kitlv.nl
123
Lampiran 11 :
Murid OSVIA di Madiun antara 1918-1919. Sumber: media-kitlv.nl
Suasana belajar di kelas, HBS Surabaya tahun 1927, Sumber : Sumber: media-kitlv.nl
124
Lampiran 12 :
MULO Bandoeng. Sumber:
media-kitlv.nl
MULO Purwokerto 1910.
Sumber: media-kitlv.nl
MULO Ambon, 1925. Sumber:
media-kitlv.nl
Download