- Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa

advertisement
PENDIDIKAN YANG MEMANUSIAKAN MANUSIA
(KONSEP KARAKTER WARGA NEGARA IDEAL
KI HADJAR DEWANTARA)
Dwi Wijayanti
PGSD FKIP Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta
Email: [email protected]
Abstrak
Pendidikan sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia
(humanisasi), yakni pengangkatan manusia ke taraf insani sehinggga manusia dapat
bertindak sesuai dengan adab kemanusiaan. Salah satu caranya adalah melalui
pendidikan karakter. Menurut Ki Hadjar Dewantara pendidkan karakter merupakan
usaha memberikan nasehat-nasehat, materi-materi, anjuran-anjuran yang dapat
mengarahkan anak pada keinsyafan dan kesadaran akan perbuatan baik yang sesuai
dengan tingkat perkembangan anak, mulai dari masa kecilnya sampai pada masa
dewasanya agar terbentuk watak dan kepribadian yang baik untuk mencapai
kebahagiaan lahir dan batin. Karena proses pendidikan karakter berlangsung dari
kecil hingga dewasa maka pendidikann karakter terjadi ditiga lingkungan (Tri Pusat
Pendidikan) yaitu lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat dan lingkungan
sekolah, ketiganya berjalan bersama-sama. Pendekatan pendidikan karakter dilakukan
dengan sistem among yaitu asih, asah dan asuh. Metode ini secara teknik pengajaran
meliputi kepala, hati dan panca indera (educate the head, the heart, and the hand)
melalui Ing ngarso sung tolodho, Ing madyo mangun karso, dan Tut Wuri handayani.
Pendidikan benar-benar bertujuan untuk memanusiakan manusia berbudi pekerti
luhur dan membentuk karakter warga negara yang ideal, yaitu warga negara yang
memiliki kemampuan Ngerti (moral knowing), Ngroso (moral feeling) lan Nglakoni
(moral action).
Kata Kunci: Ki Hadjar Dewantara, pendidikan karakter, humanisasi
PENDAHULUAN
Sistem pendidikan di Indonesia belum berhasil membentuk karakter peserta
didik menjadi warga negara yang baik, hal ini ditandai dengan adanya krisis moral
berupa meningkatnya pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan
remaja, kejahatan terhadap teman, pencurian, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan
obat-obatan, pornografi, dan perusakan milik orang lain, tawuran, aksi vandalism dan
lain-lain sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi
Makalah ini diseminarkan dalam Konferensi Nasional Kewarganegaraan ke-II dengan tema “Penguatan
kajian isu-isu actual kewarganegaraan dalam konteks kependidikan dan non kependidikan. Diselenggarakan
oleh Jurusan PKnH FIS UNY bekerjasama dengan Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Indonesia (AP3KNI) Wilayah DIY, pada tanggal 19 November 2016
Page 1
secara tuntas. Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) tahun 2014 jumlah seks bebas dikalangan remaja usia 10-14 tahun
mencapai 5,38 persen, sedangkan pada usia 14-19 seks bebas mencapai 51,8 persen.
Berdasarkan data yang dikeluarkan BKKBN Juga, tak kurang dari 1 juta remaja
melakukan aborsi di setiap tahunnya. Tahun 2015 Badan Narkotika Nasional (BNN)
memperkirakan jumlah pengguna narkoba di Indonesia mencapai 5,1 juta orang
jumlah ini di perkirakan akan terus bertambah.
Salah satu penyebab utama kegagalan tersebut karena sistem pendidikan di
Indonesia sejauh ini belum dapat menerapkan pendidikan karakter secara maksimal.
Masih adanya anggapan bahwa pendidikan karakter hanya untuk mata pelajaran
tertentu, proses pembelajaran yang dilakukan dengan pendekatan penghafalan. Para
peserta didik hanya diharapkan dapat menguasai materi yang keberhasilannya diukur
dengan kemampuan anak menjawab soal ujian akademik saja. Sehingga yang terjadi
adalah kesenjangan antara pengetahuan moral dan prilaku. Penguatan pendidikan
moral (moral education) atau pendidikan karakter (character education) dalam
konteks sekarang sangat relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang melanda
di negara kita. oleh karena itu betapa pentingnya pendidikan karakter.
Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa
pendidikan karakter di setiap jenjang pendidikan harus diselenggarakan secara
sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Keluarga, sekolah dan masyarakat sebagai
tripusat pendidikan memiliki peran dan tanggung jawab besar untuk membantu
Makalah ini diseminarkan dalam Konferensi Nasional Kewarganegaraan ke-II dengan tema “Penguatan
kajian isu-isu actual kewarganegaraan dalam konteks kependidikan dan non kependidikan. Diselenggarakan
oleh Jurusan PKnH FIS UNY bekerjasama dengan Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Indonesia (AP3KNI) Wilayah DIY, pada tanggal 19 November 2016
Page 2
peserta didik membentuk dan membangun karakter mereka dengan nilai-nilai yang
baik.
PEMBAHASAN
Pendidikan karakter merupakan sebuah bentuk reformasi pendidikan yang
berusaha menanamkan nilai karakter ke dalam sebuah bentuk pendidikan. Pendidikan
berbeda dengan pengajaran yang hanya memberikan bekal pengetahuan (transfer of
knowledge) dan kurang memperhatikan sisi nilai (transfer of values) kepada peserta
didik, pendidikan lebih pada proses memanusiakan peserta didik sebagai individu
yang utuh sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, yaitu melalui:
1. Konsep Pendidikan
Pendidikan harus dimulai dari persamaan persepsi pelaksana pendidikan tentang
mendidik itu sendiri. Menurut Ki Hajar Dewantara mendidik dalam arti yang
sesungguhnya
adalah
proses
memanusiakan
manusia
(humanisasi),
yakni
pengangkatan manusia ke taraf insani. Jadi sesungguhnya pendidikan adalah usaha
bangsa ini membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan membuka
tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia (humanis).
Ki Hadjar Dewantara “Pengajaran” dan “Pendidikan” adalah dua hal yang
berbeda namun harus bersinergis satu sama lain. Pengajaran (onderwijs) itu tidak lain
adalah pendidikan dengan cara memberikan ilmu atau pengetahuan, dan memberikan
kecakapan atau keterampilan yang bermanfaat bagi kehidupan anak (Ki Hadjar
Dewantara, 2013). Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup
lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan (opvoeding) lebih
memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil
keputusan, martabat, mentalitas demokratik). Menurut Ki Hadjar Dewantara,
pendidikan hendaknya berdasarkan pada kebudayaan. Kebudayaan yang berarti buah
budi manusia merupakan hasil perjuangan terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam
dan zamam (kodrat dan masyarakat), dimana terbukti kejayaan hidup manusia untuk
Makalah ini diseminarkan dalam Konferensi Nasional Kewarganegaraan ke-II dengan tema “Penguatan
kajian isu-isu actual kewarganegaraan dalam konteks kependidikan dan non kependidikan. Diselenggarakan
oleh Jurusan PKnH FIS UNY bekerjasama dengan Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Indonesia (AP3KNI) Wilayah DIY, pada tanggal 19 November 2016
Page 3
mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya
guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang bersifat tertib dan damai (Ki
Hadjar Dewatara,2009:44).
Dalam UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 (ayat
2) disebutkan bawa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan
Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap
tuntutan perubahan zaman. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya kebudayaan
nasional merupakan salah satu dasar dari adanya pendidikan di Indonesia.
Pendidikan sebagai usaha kebudayaan bertujuan untuk memberi tuntunan di
dalam perkembangan tubuh dan jiwa anak-anak, agar kelak dalam garis-garis
pribadinya dan pengaruh segala leadaan yang mengelilingi dirinya, anak-anak
mendapatkan kemajuan dalam kehidupan lahir dan batin menuju kearah adab
kemanusiaan. Adab kemanusiaan yang dimaksud adalah keluhuran serta kehalusan
budi manusia, yang mengandung arti kesanggupan dan kemampuan manusia serta
kesadaran akan kewajiban manusia menuntut kecerdasan, keluhuran dan kehalusan
budi pekerti bagi dirinya, kemudian bersama-sama masyarakat menciptakan
kebudayaan bersama.
Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa tujuan pendidikan adalah “penguasaan
diri”. Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju untuk tercapainya
pendidikan yang mamanusiakan manusia. Ketika setiap peserta didik mampu
menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengan
demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa. Namun sejauh ini pendidikan
di Indonesia baru sebatas pengajaran, sedangan perhatian terhadap pendidikan
karakter dirasa masih kurang. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan
karakter membuat bangsa Indonesia mengalami degradasi moral.
Makalah ini diseminarkan dalam Konferensi Nasional Kewarganegaraan ke-II dengan tema “Penguatan
kajian isu-isu actual kewarganegaraan dalam konteks kependidikan dan non kependidikan. Diselenggarakan
oleh Jurusan PKnH FIS UNY bekerjasama dengan Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Indonesia (AP3KNI) Wilayah DIY, pada tanggal 19 November 2016
Page 4
2. Konsep Karakter (Budi Pekerti)
Karakter merupakan sesuatu yang berasal dari dalam individu yang nampak
dalam pola-pola perilaku sehingga membedakan manusia satu dengan yang lain.
Menurut Nurul Zuriah (2011:38) pendidikan karakter merupakan usaha yang
menyeluruh agar orang-orang memahami, peduli, dan berprilaku sesuai nilai-nilai
etika dasar. Dengan demikian objek dari pendidikan karakter adalah nilai-nilai. Nilainilai ini didapat melalui proses internalisasi dari apa yang diketahui, yang
membutuhkan waktu sehingga terbentuklah pekerti yang baik sesuai dengan nilai
(nilai-nilai hidup yang merupakan realitas yang ada dalam masyarakat) yang
ditanamkan.
Konsep pendidikan karakter oleh Ki Hadjar Dewantara disebut dengan
pendidikan budi pekerti, yaitu usaha memberikan nasehat-nasehat, materi-materi,
anjuran-anjuran yang dapat mengarahkan anak pada keinsyafan dan kesadaran akan
perbuatan baik yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak, mulai dari masa
kecilnya sampai pada masa dewasanya agar terbentuk watak dan kepribadian yang
baik untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin.
Lickona
(1991:51)
menjelaskan
tentang
pengertian
karakter
dalam
pembelajaran, yaitu:
Character consist of operative values, values in action. Character
conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling
and moral behavior. Good character consists of knowing the good,
desiring the good and doing the good-habits of the mind, habits of the
heart and habits of action.
Pernyataan di atas dapat dijelaskan bahwa karakter yang tepat dalam pendidikan
yang terdiri dari nilai operatif, nilai dalam tindakan. karakter yang baik memiliki tiga
bagian yang saling berhubungan, yakni pengetahuan moral (moral knowing),
perasaan moral (moral feeling), dan perilaku moral (moral action), karakter yang baik
terdiri dari mengetahui hal yang baik, menginginkan hal yang baik, dan melakukan
Makalah ini diseminarkan dalam Konferensi Nasional Kewarganegaraan ke-II dengan tema “Penguatan
kajian isu-isu actual kewarganegaraan dalam konteks kependidikan dan non kependidikan. Diselenggarakan
oleh Jurusan PKnH FIS UNY bekerjasama dengan Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Indonesia (AP3KNI) Wilayah DIY, pada tanggal 19 November 2016
Page 5
hal yang baik-kebiasaan dalam cara berpikir, kebiasaan dalam hati, dan kebiasaan
dalam tindakan. Pendapat yang disampaikan oleh Lickona di atas memberikan
pemahaman bahwa karakter yang baik itu meliputi pengetahuan moral, perasaan
moral, dan tindakan moral. Seseorang yang mengetahui moral akan berusaha
mengetahui segala sesuatu yang baik, dengan pengetahuan yang baik akan timbul
perasaan yang baik dan pada akhirnya akan berbuat hal yang baik juga.
Istilah yang dikemukakan Lickona tersebut dalam ajaran Ki Hadjar Dewantara
dikenal dengan istilah Tringo (Ngerti, Ngroso lan Nglakoni):
Ngerti
Ngroso
Nglakoni
Gambar 1. Karakter Menurut Ki Hadjar Dewantara
a. Ngerti adalah mengerti atau mengetahui. Unsur pengertian moral adalah
kesadaran moral, pengertian akan nilai, rasionalitas moral (alasan mengapa
harus melakukan hal itu). Dari segi kognitif ini, peserta didik dibantu untuk
mengerti apa isi nilai yang digeluti dan mengapa nilai itu harus dilakukan
dalam hidup mereka.
b. Ngrasa atau ikut merasakan terhadap apa yang telah dia mengerti setelah
belajar mengetahui segala sesuatu dari guru, lingkungan dan dari alam melalui
pengalamannya untuk kemudian memikirkan jalan keluar dan menentukan
sikap sebagai pribadi dengan pendirian yang kokoh dan tangguh. Dengan
demikian peserta didik sungguh mengerti apa yang akan dilakukan dan sadar
akan apa yang dilakukan. Unsur perasaan moral meliputi suara hati
(kesadaran akan yang baik dan tidak baik), harga diri seseorang, sikap empati
Makalah ini diseminarkan dalam Konferensi Nasional Kewarganegaraan ke-II dengan tema “Penguatan
kajian isu-isu actual kewarganegaraan dalam konteks kependidikan dan non kependidikan. Diselenggarakan
oleh Jurusan PKnH FIS UNY bekerjasama dengan Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Indonesia (AP3KNI) Wilayah DIY, pada tanggal 19 November 2016
Page 6
terhadap orang lain, perasaan mencintai kebaikan, kontrol diri, dan rendah
hati. Dalam pendidikan budi pekerti, kemampuan untuk melaksanakan dalam
tindakan nyata, disertai kemauan dan kebiasaan melakukan moral harus
dimunculkan dan ditingkatkan.
c. Nglakoni artinya melakukan atau berbuat dengan tindakan nyata. Merasa dan
mengerti saja tidak cukup,apa yang telah dimengerti dan dirasakan harus
diaplikasikan dalam tindakan untuk membuktikan bahwa subyek belajar mau
nglakoni atau melakukan tindakan. Tetapi melaksanakan dan menjalankan
tanpa kesadaran dan tanpa pengertian tidak akan membawa hasil.
3. Implementasi Pendidikan Budi Pekerti melalui Sistem Among (Among
System)
Metode yang yang sesuai dengan pendidikan budi pekerti yaitu metode
pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh. Metode
ini secara teknik pengajaran meliputi kepala, hati dan panca indera (educate the
head, the heart, and the hand). Ketiga hal ini merupakan dasar alat pendidikan
bagi anak-anak yang disebut “among method” (sistem among). Among
(mengemong) berarti memberi kebebasan pada siswa, mewajibkan para pamong
agar mengikuti dan mementingkan kodrat pribadi siswa dengan tidak melupakan
pengaruh-pengaruh yang melingkupinya. Dalam Sistem Among, maka setiap
pamong sebagai pemimpin dalam proses pendidikan diwajibkan bersikap: Ing
ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, dan Tutwuri handayani:
a. Ing Ngarsa Sung Tuladha mengandung makna, sebagai among atau
pendidik adalah orang yang lebih berpengetahuan dan berpengalaman,
hendaknya mampu menjadi contoh yang baik atau dapat dijadikan sebagai
“central figure” bagi siswa.
b. Ing Madya Mangun Karsa mengandung makna bahwa pamong atau
pendidik sebagai pemimpin hendaknya mampu menumbuhkembangkan
Makalah ini diseminarkan dalam Konferensi Nasional Kewarganegaraan ke-II dengan tema “Penguatan
kajian isu-isu actual kewarganegaraan dalam konteks kependidikan dan non kependidikan. Diselenggarakan
oleh Jurusan PKnH FIS UNY bekerjasama dengan Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Indonesia (AP3KNI) Wilayah DIY, pada tanggal 19 November 2016
Page 7
minat, hasrat dan kemauan peserta didik untuk dapat kreatif dan berkarya,
guna mengabdikan diri kepada cita-cita yang luhur dan ideal.
c. Tutwuri Handayani berarti mengikuti dari belakang dengan penuh perhatian
dan penuh tanggung jawab berdasarkan cinta dan kasih sayang yang bebas
dari pamrih dan jauh dari sifat authoritative, possessive, protective dan
permissive yang sewenang-wenang. Memberi kebebasan, kesempatan
dengan perhatian dan bimbingan yang memungkinkan peserta didik atas
inisiatif sendiri dan pengalaman sendiri, supaya mereka berkembang
menurut garis kodrat pribadinya.
Sistem pendidikan yang dikemukakan Ki Hadjar Dewantara juga
merupakan warisan luhur yang patut diimplementasikan dalam perwujudan
masyarakat yang berbudi pekerti. Pusat Pendidikan budi pekerti berlangsung
dalam tiga lingkungan pendidikan, yaitu dalam keluarga, di sekolah, dan dalam
masyarakat, yang kemudian disebut Tri Pusat Pendidikan (Saefudin dan
Solahudin, 2009):
a. Lingkungan keluarga; pendidikan keluarga berfungsi sebagai pengalaman
pertama masa kanak-kanak, menjamin kehidupan emosional anak,
menanamkan dasar pendidikan budi pekerti, memberikan dasar pendidikan
sosial, meletakkan dasar-dasar pendidikan agama bagi anak-anak
b. Lingkungan sekolah; melatih anak-anak memperoleh kecakapan-kecakapan
seperti membaca, menulis, berhitung, menggambar serta ilmu-ilmu lain
sifatnya mengembangkan kecerdasan dan pengetahuan, di sekolah diberikan
pelajaran budi pekerti, keagamaan, estetika, membenarkan benar atau salah,
dan sebagainya.
c. Lingkungan masyarakat; merupakan lingkungan keluarga dan sekolah.
Pendidikan yang dialami dalam masyarakat ini, telah mulai ketika anakanak untuk beberapa waktu setelah lepas dari asuhan keluarga dan berada di
luar dari pendidikan sekolah
Makalah ini diseminarkan dalam Konferensi Nasional Kewarganegaraan ke-II dengan tema “Penguatan
kajian isu-isu actual kewarganegaraan dalam konteks kependidikan dan non kependidikan. Diselenggarakan
oleh Jurusan PKnH FIS UNY bekerjasama dengan Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Indonesia (AP3KNI) Wilayah DIY, pada tanggal 19 November 2016
Page 8
Ketika pendidikan di lingkungan keluarga mulai sedikit diabaikan dan
dipercayakan pada lingkungan sekolah, serta lingkungan social yang semakin
kehilangan kesadaran bahwa aksi mereka pada dasarnya memberikan pengaruh
yang cukup besar pada pendidikan seorang individu. Maka lingkungan sekolah
dalam hal ini guru menjadi frontliner dalam peningkatan mutu pendidikan budi
pekerti, budaya dan moral.
4. Karakter Warga Negara Ideal
Karakter warga negara dapat dikelompokkan menurut skala dari yang “sangat
buruk” hingga “sangat baik”. Sebutan warga negara yang baik (good citizens)
tergantung pada nilai-nilai dari pendefinisian konsep skala tersebut. Menurut Samsuri
(2012:42) warga negara yang baik adalah warga negara demokratis yang bertanggung
jawab dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan sistem politik negaranya. Lickona
(2000: 48) mengungkapkan, “The content of good character is virtue. Virtues-such as
honesty, justice, courage, and compassion-are dispositions to behave in a morally
good way”. Maksud dari pendapat Lickona tersebut ialah bahwa isi atau konten dari
karakter yang baik adalah kebaikan seperti kejujuran, keadilan, keberanian, tenggang
rasa, yang semuanya itu adalah tindakan baik yang bermoral. Lebih lanjut Murray
Print (2013:40) mengatakan bahwa:
A ‘good’ citizen as one who displays the interest and willingness to
understand, accept, and tolerate cultural differences, the capacity to think in
a critical and systemic way, to interact with others in a cooperative manner
and to take responsibility for one’s roles and duties within society, a
willingness to adapt one’s lifestyle and consumption behaviour to protect the
environment; a preference to resolve conflict in a non-violent manner; and
the ability to be sensitive towards and to defend human rights.
Seorang warga negara yang baik adalah seseorang yang menunjukkan
ketertarikan dan keinginan untuk mengerti, menerima dan bertoleransi pada
perbedaan budaya, berkapasitas untuk berpikir kritis dan sistematis, berinteraksi
Makalah ini diseminarkan dalam Konferensi Nasional Kewarganegaraan ke-II dengan tema “Penguatan
kajian isu-isu actual kewarganegaraan dalam konteks kependidikan dan non kependidikan. Diselenggarakan
oleh Jurusan PKnH FIS UNY bekerjasama dengan Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Indonesia (AP3KNI) Wilayah DIY, pada tanggal 19 November 2016
Page 9
dengan orang lain dengan sikap kooperatif dan bertanggung jawab pada aturan dan
tugas dalam masyarakat, kemauan untuk beradaptasi dengan gaya hidup orang lain
dan berperilaku untuk melindungi lingkungan, memilih untuk memecahkan konflik
tanpa kekerasan dan menjadi lebih peka dalam membela hak-hak manusia.
Sementara menurut Sapriya (2007:28) seorang warga negara yang cerdas dan
baik adalah warga negara yang mengetahui sesuatu yang baik, punya keinginan
menjadi baik, dan melakukan sesuatu yang baik-baik sehingga ia akan memiliki
kebiasaan berpikir yang baik, terbiasa dengan perasaan hati yang baik dan terbiasa
melakukan sesuatu dengan baik. Dari beberapa konsep tersebut dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa karakter warga negara yang baik (good citizens) merupakan
warga negara yang senantiasa berpikir akan hal baik, merasakan hal baik dan
berperilaku baik.
Upaya membangun warga negara pada dasarnya adalah proses pewarisan
nilai-nilai, cita-cita dan tujuan nasional yang tertera dalam konstitusi negara.
Karakter good citizens tidak bisa begitu saja diperoleh oleh seorang warga negara
ketika dia lahir, melainkan perlu sebuah proses yaitu pendidikan,baik pendidikan
formal, nonformal maupun informal.
Ki Hadjar Dewantara memandang penting pendidikan budi pekerti. Karena
menurut Beliau, pendidikan ala Barat yang hanya berorientasi pada segi
intelektualisme, individualisme, dan materialisme tidak sepenuhnya sesuai dengan
corak budaya dan kebutuhan bangsa Indonesia. Pendidikan benra-benar bertujuan
untuk memanusiakan manusia berbudi pekerti luhur dan membentuk karakter warga
negara yang ideal, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan Ngerti (moral
knowing), Ngroso (moral feeling) lan Nglakoni (moral action). Warisan nilai-nilai
luhur budaya dan religiusitas bangsa Indonesia yang masih dihidupi dan dijadikan
pedoman hidup keluarga-keluarga di masyarakat Indonesia harus dikembangkan
dalam dunia pendidikan. Nilai-nilai luhur tersebut memperlihatkan kearifan budi
pekerti yang memperlihatkan harkat dan martabat bangsa.
Makalah ini diseminarkan dalam Konferensi Nasional Kewarganegaraan ke-II dengan tema “Penguatan
kajian isu-isu actual kewarganegaraan dalam konteks kependidikan dan non kependidikan. Diselenggarakan
oleh Jurusan PKnH FIS UNY bekerjasama dengan Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Indonesia (AP3KNI) Wilayah DIY, pada tanggal 19 November 2016
Page 10
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Di era globalisasi ini bangsa Indonesia sedang berada dalam krisis moral yang
ditandai dengan meningkatnya pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan anakanak dan remaja, penyalahgunaan obat-obatan, pornografi, tawuran, aksi vandalisme,
korupsi kolusi nepotisme (KKN) dan penyimpangan sosial lainnya. Hal ini
membuktikan bahwa sistem pendidikan selama ini belum mampu membentuk watak
warga negara yang baik. Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa tujuan pendidikan
adalah “penguasaan diri”. Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju
untuk tercapainya pendidikan yang mamanusiakan manusia sehingga mampu
membentuk warga negara yang ideal Indonesia. Hal tersebut dapat tercapai manakala
pendidikan tidak hanya memberikan pengetahuan saja tetapi juga mengembangkan
aspek afektif dan perilaku perserta didik yang oleh Ki Hadjar Dewantara disebut
Tringo yaitu Ngerti, Ngroso lan Ngalakoni. Pendidikan akan berjalan dengan baik
apabila dilaksanakan secara sinersgis oleh Tri Pusat Pendidikan yaitu lingkungan
keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat dengan pendekatan Sistem
Among (Among System) yang meliputi asih, asah dan asuh melalui Ing ngarso sung
tolodho, Ing madyo mangun karso, dan Tut Wuri handayani.
2. SARAN
Karakter kuat peserta didik akan terbentuk jika mereka mendapatkan
pendidikan dan pembelajaran bermakna, terutama di lingkungan sekolah. Untuk
menunjang proses pembelajaran bermakna, perlu guru yang profesional. Untuk
meningkatkan keprofesionalan para guru, perlu adanya pelatihan untuk para guru
dalam menyusun perencanaan pembelajaran; menggunakan alat bantu atau media
belajar mengajar yang menarik dan menyenangkan bagi anak, dsb. Dengan demikian,
Makalah ini diseminarkan dalam Konferensi Nasional Kewarganegaraan ke-II dengan tema “Penguatan
kajian isu-isu actual kewarganegaraan dalam konteks kependidikan dan non kependidikan. Diselenggarakan
oleh Jurusan PKnH FIS UNY bekerjasama dengan Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Indonesia (AP3KNI) Wilayah DIY, pada tanggal 19 November 2016
Page 11
para guru akan mampu meningkatkan akses pada peserta didik untuk mendapatkan
media belajar yang menarik dan menyenangkan, sehingga pembelajaran lebih
bermakna. Selain itu perlu adanya kerjasama yang baik antara pihak sekolah, orang
tua dan juga masyarakat agar pembelajaran ditiga lingkungan tersebut berjalan
selaras.
3. REKOMENDASI
Pendidikan yang humanis ala Ki Hadar Dewantara berlangsung dalam Ti Pusat
Pendidikan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat dan lingkungan
sekola. Ketiga lingkungan tersebut memiliki peran dan tanggung jawab yang sama
besar dalam membentuk warga negara yang baik. Di lingkungan keluarga pendidikan
karakter dapat dilakukan dengan cara pemberian keteladanan oleh orang tua kepada
anaknya dan juga menerapkan pola asuh yang demokratis. Di lingkungan masyarakat
anak dapat belajar mengenai pola-pola interaksi dan nilai-nilai, norma sosial, adat dan
budaya yang berlaku. Sedangkan dilingkungan sekolah, pembentukan karakter yang
baik dapat dilakukan melalui kegiatan belajar mengajar. Kegiatan pembelajaran dari
tahapan kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup dipilih dan dilaksanakan agar
peserta didik mempraktikkan nilai-nilai karakter yang ditargetkan. Selain
itu,
perilaku guru sepanjang proses pembelajaran harus merupakan model pelaksanaan
nilai-nilai bagi peserta didik. Guru dituntut untuk menguasai berbagai metode,
model, atau strategi pembelajaran aktif sehingga langkah-langkah pembelajaran
dengan mudah disusun dan dapat dipraktikkan dengan baik dan benar.
Makalah ini diseminarkan dalam Konferensi Nasional Kewarganegaraan ke-II dengan tema “Penguatan
kajian isu-isu actual kewarganegaraan dalam konteks kependidikan dan non kependidikan. Diselenggarakan
oleh Jurusan PKnH FIS UNY bekerjasama dengan Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Indonesia (AP3KNI) Wilayah DIY, pada tanggal 19 November 2016
Page 12
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrachman, Surjomihardjo.(1986). Ki Hajar Dewantara dan taman siswa dalam
sejarah Indonesia modern. Jakarta: Sinar Harapan.
Ki Hadjar Dewantara.(2013). Pemikiran, konsepsi, keteladanan, sikap merdeka I
(Pendidikan). Yogyakarta: UST Press berkerjasma dengan Majelis Luhur
Persatuan Tamansiswa.
Ki Hadjar Dewantara. (2013). Pemikiran, konsepsi, keteladanan, sikap merdeka II
(Kebudayaan). Yogyakarta: UST Press berkerjasma dengan Majelis Luhur
Persatuan Tamansiswa.
Lickona, Thomas. (1991). Educating for character. How our school can teach
respect and responsibility. New York: Bantam Books.
. (2012). Educating for character, mendidik untuk membentuk
karakter, bagaimana sekolah dapat memberikan pendidikan tentang sikap
hormat dan tanggung jawab. (Terjemahan Juna Abdu Wamaungo). New
York: Bantam Books. (Buku asli diterbitkan tahun 1991)
. (2000). What is a good character? and how we develop it in our
children? reclaiming children and youth. Bloomington: Vol 9, Iss. 4; p. 239
(13 page). Diambil pada tanggal 11 September 2012 dari
http://proquest.umi.com/pqdweb.
M.
Said.(1981). Pendidikan abad kedua
kebudayaannya. Jakarta: Mutiara.
puluh
dengan
latar
belakang
MLPTS.(1992). Peraturan besar dan piagam persatuan taman siswa. Yogyakarta:
MLPTS.
Print, Murray., & Dirk, Lange. (Eds.). (2013). Civic education and competences for
engaging citizens in democraties. Rotterdam, Netherland: Sense Publihses
Saefudin, A. Azis dan M. Solahudin. (2009). Menuju Manusia Merdeka Ki Hadjar
Dewantara. Yogyakarta: Leutika.
Makalah ini diseminarkan dalam Konferensi Nasional Kewarganegaraan ke-II dengan tema “Penguatan
kajian isu-isu actual kewarganegaraan dalam konteks kependidikan dan non kependidikan. Diselenggarakan
oleh Jurusan PKnH FIS UNY bekerjasama dengan Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Indonesia (AP3KNI) Wilayah DIY, pada tanggal 19 November 2016
Page 13
Samsuri. (2012). Pendidikan karakter warga negara: kritik pembangunan karakter
bangsa. Surakarta: Pustaka Hanif.
Sapriya. (2007). Peran pendidikan kewarganegaraan dalam membangun karakter
warga negara. Jurnal Sekolah Dasar, Vol.16, No.1, p. 25-28.
Zuriah, Nurul. (2011). Pendidikan moral dan budi pekerti dalam perspektif
perubahan (menggagas platform pendidikan budi pekerti secara kontekstual
dan futuristik). Jakarta: Bumi Aksara.
Makalah ini diseminarkan dalam Konferensi Nasional Kewarganegaraan ke-II dengan tema “Penguatan
kajian isu-isu actual kewarganegaraan dalam konteks kependidikan dan non kependidikan. Diselenggarakan
oleh Jurusan PKnH FIS UNY bekerjasama dengan Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Indonesia (AP3KNI) Wilayah DIY, pada tanggal 19 November 2016
Page 14
Download