ekosistem tanah

advertisement
EKOSISTEM TANAH
Bahan kajian MK. Manajemen Agroekosistem FPUB April 2010
Diabstraksikan oleh
Prof Dr Ir Soemarno MS
Dosen Jur Tanah FPUB
“Ecology” merupakan kajian ilmiah tentang hubungan antara
orgabnisme dengan lingkungan hidupnya. “Ecosystem” adalah semua
organism pada suatu tempat tertentu yang berinteraksi dengan
lingkungan abiotiknya.
Tanah merupakan “thriving ecosystem” dari tumbuhan dan
binatang yang memegang peranan penting dalam tanah. Tumbuhan dan
binatang tersebut mampu mengubah komposisi dan struktur ekosistem
tanah dengan berbagai cara.
Akar-akar tumbuhan mendapatkan energi untuk pertumbuhannya
dari gula-gula melalui proses fotosintesis yang berlangsung di dalam
daun-daunnya. Akar tersebut tumbuh berkembang di dalam tanah
dengan gaya yang cukup besar untuk membuat jalan menembus di
antara partikel-partikel tanah. Akar tumbuhan cukup kuat untuk
menembus batuan kalau ia tumbuh ke dalam suatu retakan batuan. Akar
tumbuhan mampu menyerap air dan hara dari dalam tanah, kadangkala
dari kedalaman tanah yang “sangat dalam” dan mengangkutnya ke
permukaan tanah.
The plant uses most of what it has collected by the roots to grow
larger and produce seed such a wheat that we use to make bread.
The remaining nutrients and as plant roots die are used the following
growing season by another plant. Keep in mind, for all of the plant
mass you see above ground, there is an equal or greater mass of
roots growing beneath the surface.
Tanah merupakan “tim” yang bagus bersama dengan binatangbinatang yang ada di dalamnya. Beberapa di antaranya seperti cacing
tanah, semut, rayap, dan binatang-binatang yang membuat liang dalam
tanah. Tetapi organisme lainnya seperti bacteria, fungi dan nematodes
memerlukan mikroskop untuk dapat mengamatinya.
Cacing tanah merupakan binatang yang sangat menarik untuk
dikaji secara lebih mendalam. Jumlah cacing tanah ini diperkirakan dapat
mencapai 200 - 1000 pounds per acre. Mereka memakan bahan organic
dan aprtikel tanah pada saat ia membuat liang di dal;am tanah. Cacing ii
mencerna bahan organic dan mengeluiarkan kotorannya yang kaya hara
ke luar tubuhnya. Daur ulang hara seperti ini dapat membuat tanah
menjadi lebih kaya hara tersedia. Selain itu lubang-lubang cacing tanah
ini juga memungkinkan udara dan air menembus tanah dengan lebih
cepat.
Sumber: http://www.mo15.nrcs.usda.gov/features/wistanah/sld003.htm
(8 /6/2011)
Tanahs are rich ecosystems, composed of both living and nonliving matter with a multitude of interaction between them. Tanahs play
an important role in all of our natural ecological cycles ? carbon, nitrogen,
oxygen, water and nutrient. They also provide benefits through their
contribution in a number of additional processes, called ecosystem
services. These services range from waste decomposition to acting as a
water filtration system to degrading environmental contaminants.
The diversity and abundance of life that exists within the tanah is
greater than in any other ecosystem. A handful of tanah can contain billions of different organisms that play a critical role in tanah quality to
support plant growth. Although we understand the vital services that
these organisms provide by breaking down organic debris (plants,
animals, and other organic materials) and recycling nutrients, scientists
have only begun to study the rich and unique diversity that is a part of the
tanah ecosystem.
Siklus Ekologi
Setiap siklus ekologi bersifat unik, walaupun unsure-unsur yang
serupa dapat muncul pada beberapa siklus ekologi. Kebanyakan unsure
bergerak di antara atmosphere (udara), hydrosphere (air), lithosphere
(lahan) dan biosphere (organisme), sikuls unsure yang lainnya terbatas
pergerakannya di antara batuan dan tanah dan tumbuhan dan binatang.
Akan tetapi unsure hara dari siklus yang terbatas ini, seperti K, Ca, P,
dan Mg ternyata bersifat esensial bagi organisme.
Sumberdaya air dan nitrogen, keduanya sangat esensial bagi
semua kehidupan, bertahan secara konstan di dalam daurnya; berarti
bahwa perubahannya hanyalah dari satu bentuk ke bentuk lainnya.
Siklus air ternyata sangat dinamis, karena air dapat berubah dari bentuk
uap (gas) menjadi cairan menjadi salju dan menjadi es. Peranan tanah
dalam proses ini adalah melalui infiltrasi, simpanan air, dan transpirasi.
Nitrogen, yang menyusun lebih dari tiga-perempat atmosfer bumi, harus
dirombak menjadi bentuk-bentuk lainnya untuk dapat dimanfaatkan oleh
organisme hidup. Dalam siklus nitrogen,
bakteri tanah mampu
mengubah nitrogen menjadi bentuk hara yang tersedia bagi tumbuhan ,
binatang dan manusia (disebut proses fiksasi nitrogen secara biologis),
sebelum akhirnya N dikembalikan ke atmosfir.
Oxygen is unique in that it not only has its own cycle, it is often
integrated into elements within other ecological cycles, as water (H2O),
carbon dioxide (CO2), iron oxide (Fe2O3), and many others. Within the
biosphere, photosynthesis is the key driver of the oxygen cycle as plants
take in carbon dioxide and expel oxygen for animal and human use.
Additionally, in water, oxygen is constantly being dissolved and
consumed by microorganisms leading to balance.
The carbon cycle is by far the cycle of greatest interest due to its
importance in both climate change and global warming. Tanah plays a
critical role in this cycle since the majority of carbon in the atmosphere
comes from biological reactions within the tanah. The biological/physical
carbon cycle occurs over days, weeks, months, and years and involves
the absorption, conversion, and release of carbon by living organisms
through photosynthesis, respiration, and decomposition. The geological
carbon cycle takes place over hundreds of millions of years and involves
the cycling of carbon through the various layers of the Earth. A large
amount of organic carbon sinks to the ocean floor to be buried into the
Earth's crust. It is thought that more carbon dioxide is stored in the
world's tanahs than is circulated within the atmosphere. Throughout the
Earth's history, the release of CO2 from deep below the surface occurs as
a geological event, such as a volcanic eruption.
Jasa-jasa Ekosistem
Selain partisipasinya dalam berbagai siklus biogeokimia dan
pertukaran unsure hara, tanah menghasilkan berbagai jasa-jasa
ekosistem yang snagat penting. Jasa-jasa ini berbeda dengan manfaat
ekosistem lainnya karena adanya kebutuhan manusia akan asset
sumberdaya alam dan /atau manfaatnya.
Tanah is a natural protector of seeds and plants. Within a tanah
ecosystem seeds can disperse and germinate. The tanah provides a
physical support system for plants, while both retaining and delivering
nutrients to them. This, in turn, provides humans and other animals with a
source of food as well as resources for potential medicinal or other
goods. In addition, tanah can both hold and release water, thereby
providing for plant growth, flood control, and water filtration and
purification services.
Tanahs also play a central role in the management, processing
and detoxification of a variety of wastes, both natural and man-made.
Tanah organisms decompose many organic compounds, such as
manure, remains of plants, fertilizers and pesticides, preventing them
from entering water and becoming pollutants. Human activity adds a wide
variety of substances to the environment, some of which are hazardous
or toxic. As long as the concentration is not greater than the ecosystem's
ability to handle it, microorganisms in the tanah can degrade or detoxify
many of these substances, rendering them harmless to humans, animals,
and the environment.
Apa itu jasa ekosistem?
Ecosystem Services adalah proses-proses dimana lingkungan
menghasilkan sumberdaya yang dimanfaatkan oleh manusia seperti air
bersih, kayu (tuimber), dan habitat untuk ikan-ikan, serta polinasi
tumbuhan alamiah dan tanaman pertanian.
Ekosistem menyediakan jasa-jasa yang:
 Memoderasi kondisi cuaca ekstrim dan dampaknya
 Myebart-luaskan biji-biji tumbuhan
 Memitigasi kekeringan dan banjir
 Memproteksi manusia dari anacaman radiasi ultraviolet
matahari
 Mendaur-ulang dan mengangkut hara
 Memproteksi sungai dan saluran air serta pantai dari
ancaman erosi
 Mendetoksifikasi limbah dan mendekomposisi limbah
 Mengontrol hama pertanian
 Memelihara biodiversitas
 Melestarikan sumberdaya tanah dan kesuburannya
 Membantu menstabilkan kondisi ilmim
 Membersihkan udara dan air
 Polinasi tanaman dan vegetasi alamiah
Apa itu Ekosistem?
Suatu ekosistem merupakan sekumpulan binatang dan tumbuhan
yang berinteraksi satu-sama lain dan berinteraksi dengan lingkungan
hidupnya. Ekosistem meliputi komponen fisik dan kimia, seperti tanah, air
dan unsure hara yang emendukung kehidupan organisme di dalamnya.
Organisme ini beragam mulai dari binatang dan tumbuhan tingkat tinggi
hingga bakteri yang mikroskopis. Ekosistem juga melingkupi semua
interaksi di antara semua organisme tersebut dalam suatui habitat
tertentu. Manusia merupakan bagian dari ekosistem. Kesehatan dan
kesejahteraan manusia tergantung pada jasa-jasa yang dihasilkan oleh
ekosistem dan komponennya — organisme, tanah, air dan unsur hara.
Apa manfaat Jasa-Ekosistem?
Ekosistem alamiah dan tumbuhan dan binatang di dalamnya
menyediakan jasa-jasa kepada manusia yang seringkali sangat sulit
diduplikasi. Sementara itu seringkali sangat sukliot untuk menempatkan
nilai moneter (valuasi ekonomi) bagi jasa-jasa ekosistem itu, kita dapat
menghitung sebagian saja dari nilai-nilai ekonomi-financial tersebut.
Kebanyakan dari jasa-jasa ini tampaknya dianggap “bebas biaya”,
meskipun sebenarnya nilai ekonominya sangat besar, misalnya:
1. Sebagian besar jasa-jasa perlindungan banjir alamiah di
sepanjang lembah sungai Mississippi akan menjadi rusak
kalau “wetland” di lokasi itu dikeringkan dan pola aliran
alamiahnya diubah. Sebagai akibatnya terjadi banjir tahun
1993 yang mengakibatkan kerusakan nilai-nilai property
sekitar 12 milyar dolar; hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan lembah-sungai untuk meringankan dampak debit
air yang tinggi.
2. Sekitar 80% penduduk dunia bertumpu pada produk obatobat alamiah. Dari sekitar 150 resep obat paling top yang
digunakan di U.S., sekitar 118 berasal dari sumber-sumber
alamiah: 74% dari tumbuhan, 18% dari fungi, 5% dari
bacteria, dan 3% dari vertebrata (jenis ular). Sebanyak
smbilan dari 10 obat paling top, ternyata berasal dari produk
tumbuhan alamiah.
3. Lebih dari 100,000 spesies binatang yang berbeda-beda—
termasuk bats, bees, flies, moths, beetles, birds, dan kupukupu — menyediakan jasa polinasi secara bebas biaya.
Sekitar sepertiga makanan manusia berasal dari tanaman
yang penyerbukannya memerlukan bantuan pollinator liar
(bebas). Nilai jasa polinasi dari pollinator bebas ini di US saja
diperkirakan mencapai sekitar enam milyar dolar setahun.
Bagaimana jasa ekosistem “hilang”?
Ecosystem services are so fundamental to life that they are easy
to take for granted and so large in scale that it is hard to imagine that
human activities could destroy them. Nevertheless, ecosystem services
are severely threatened through
1. pertumbuhan sekala usaha manusia (populasi penduduk,
konsumsi per kapita, dan efek teknologi untuk menghasilkan
barang konsumsi)
2. ketidak-sinkron an antara kebutuhan individual jangka pendek
dan kesejahteraan social jangka panjang
Banyak aktivitas manusia yang dapat mengganggu, memodifikasi
atau merekayasa-kembali ekosistem, seperti:
 runoff pesticida, pupuk, dan limbah binatang / ternak
 pencemaran lahan, air, dan udara
 introduksi spesies non-alamiah
 penangkapan ikan berlebihan
 destruksi wetlands
 erosi tanah
 penebangan hutan
 pertumbuhan kota.
Pencemaran air dan perairan
Pencemaran air merupakan perubahan keadaan di suatu tempat
penampungan air seperti danau, sungai, lautan dan air tanah akibat aktivitas
manusia. Danau, sungai, lautan dan air tanah adalah bagian penting dalam
siklus kehidupan manusia dan merupakan salah satu bagian dari siklus
hidrologi. Selain mengalirkan air juga mengalirkan sedimen dan polutan.
Berbagai macam fungsinya sangat membantu kehidupan manusia.
Pemanfaatan terbesar danau, sungai, lautan dan air tanah adalah untuk
irigasi pertanian, bahan baku air minum, sebagai saluran pembuangan air
hujan dan air limbah, bahkan sebenarnya berpotensi sebagai objek wisata.
Pencemaran air dapat disebabkan oleh berbagai hal dan memiliki
karakteristik yang berbeda-beda.
 Meningkatnya kandungan nutrien dapat mengarah pada eutrofikasi.
 Sampah organik seperti air comberan (sewage) menyebabkan
peningkatan kebutuhan oksigen pada air yang menerimanya yang
mengarah pada berkurangnya oksigen yang dapat berdampak parah
terhadap seluruh ekosistem.
 Industri membuang berbagai macam polutan ke dalam air limbahnya
seperti logam berat, toksin organik, minyak, nutrien dan padatan. Air
limbah tersebut memiliki efek termal, terutama yang dikeluarkan oleh
pembangkit listrik, yang dapat juga mengurangi oksigen dalam air.
 Seperti limbah pabrik yg mengalir ke sungai seperti di sungai citarum
 pencemaran air oleh sampah.
Dampak yang dapat ditimbulkan oleh pencemaran air:
 Dapat menyebabkan banjir
 Erosi
 Kekurangan sumber air
 Dapat membuat sumber penyakit
 Tanah Longsor
 Dapat merusak Ekosistem sungai
 Kerugian untuk Nelayan
(sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Pencemaran_air
13/6/2011)
...
diunduh
----------------Erosi tanah ternyata berbahaya
Erosi adalah peristiwa pengikisan padatan (sedimen, tanah, batuan, dan
partikel lainnya) akibat transportasi angin, air atau es, karakteristik hujan,
creep pada tanah dan material lain di bawah pengaruh gravitasi, atau oleh
makhluk hidup semisal hewan yang membuat liang, dalam hal ini disebut
bio-erosi. Erosi tidak sama dengan pelapukan akibat cuaca, yang mana
merupakan proses penghancuran mineral batuan dengan proses kimiawi
maupun fisik, atau gabungan keduanya. Erosi sebenarnya merupakan
proses alami yang mudah dikenali, namun di kebanyakan tempat kejadian
ini diperparah oleh aktivitas manusia dalam tata guna lahan yang buruk,
penggundulan hutan, kegiatan pertambangan, perkebunan dan perladangan,
kegiatan konstruksi / pembangunan yang tidak tertata dengan baik dan
pembangunan jalan. Tanah yang digunakan untuk menghasilkan tanaman
pertanian biasanya mengalami erosi yang jauh lebih besar dari tanah dengan
vegetasi alaminya. Alih fungsi hutan menjadi ladang pertanian
meningkatkan erosi, karena struktur akar tanaman hutan yang kuat
mengikat tanah digantikan dengan struktur akar tanaman pertanian yang
lebih lemah. Bagaimanapun, praktik tata guna lahan yang maju dapat
membatasi erosi, menggunakan teknik semisal terrace-building, praktik
konservasi ladang dan penanaman pohon.
Dampak dari erosi adalah menipisnya lapisan permukaan tanah bagian atas,
yang akan menyebabkan menurunnnya kemampuan lahan (degradasi
lahan). Akibat lain dari erosi adalah menurunnya kemampuan tanah untuk
meresapkan air (infiltrasi). Penurunan kemampuan lahan meresapkan air ke
dalam lapisan tanah akan meningkatkan limpasan air permukaan yang akan
mengakibatkan banjir di sungai. Selain itu butiran tanah yang terangkut oleh
aliran permukaan pada akhirnya akan mengendap di sungai (sedimentasi)
yang selanjutnya akibat tingginya sedimentasi akan mengakibatkan
pendangkalan sungai sehingga akan memengaruhi kelancaran jalur
pelayaran. Erosi dalam jumlah tertentu sebenarnya merupakan kejadian
yang alami, dan baik untuk ekosistem. Misalnya, kerikil secara berkala turun
ke elevasi yang lebih rendah melalui angkutan air. erosi yang berlebih,
tentunya dapat menyebabkan masalah, semisal dalam hal sedimentasi,
kerusakan ekosistem dan kehilangan air secara serentak.
Banyaknya erosi tergantung berbagai faktor. Faktor Iklim, termasuk
besarnya dan intensitas hujan / presipitasi, rata-rata dan rentang suhu,
begitu pula musim, kecepatan angin, frekuensi badai. faktor geologi
termasuk tipe sedimen, tipe batuan, porositas dan permeabilitasnya,
kemiringn lahan. Faktor biologis termasuk tutupan vegetasi lahan,makhluk
yang tinggal di lahan tersebut dan tata guna lahan ooleh manusia.
Umumnya, dengan ekosistem dan vegetasi yang sama, area dengan curah
hujan tinggi, frekuensi hujan tinggi, lebih sering kena angin atau badai
tentunya lebih terkena erosi. sedimen yang tinggi kandungan pasir atau silt,
terletak pada area dengan kemiringan yang curam, lebih mudah tererosi,
begitu pula area dengan batuan lapuk atau batuan pecah. porositas dan
permeabilitas sedimen atau batuan berdampak pada kecepatan erosi,
berkaitan dengan mudah tidaknya air meresap ke dalam tanah. Jika air
bergerak di bawah tanah, limpasan permukaan yang terbentuk lebih sedikit,
sehingga mengurangi erosi permukaan. SEdimen yang mengandung banyak
lempung cenderung lebih mudah bererosi daripada pasir atau silt. Dampak
sodium dalam atmosfir terhadap erodibilitas lempung juga sebaiknya
diperhatikan
Faktor yang paling sering berubah-ubah adalah jumlah dan tipe tutupan
lahan. pada hutan yang tak terjamah, minerla tanah dilindungi oleh lapisan
humus dan lapisan organik. kedua lapisan ini melindungi tanah dengan
meredam dampak tetesan hujan. lapisan-lapisan beserta serasah di dasar
hutan bersifat porus dan mudah menyerap air hujan. Biasanya, hanya
hujan-hujan yang lebat (kadang disertai angin ribut) saja yang akan
mengakibatkan limpasan di permukaan tanah dalam hutan. bila Pepohonan
dihilangkan akibat kebakaran atau penebangan, derajat peresapan air
menjadi tinggi dan erosi menjadi rendah. kebakaran yang parah dapat
menyebabkan peningkatan erosi secara menonjol jika diikuti denga hujan
lebat. dalam hal kegiatan konstruksi atau pembangunan jalan, ketika lapisan
sampah / humus dihilangkan atau dipadatkan, derajad kerentanan tanah
terhadap erosi meningkat tinggi.
(Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Erosi ... diunduh 13/6/2011)
------------------Akibat Penebangan Hutan, 2.100 Mata Air Mengering
Kelangkaan bahan bakar minyak tanah yang melanda di berbagai lokasi
pada waktu-waktu tertentu, seperti yang dialami oleh penduduk di berbagai
daerah di Banyumas, Jawa Tengah, dikhawatirkan dapat berdampak pada
perilaku masyarakat pedesaan dalam menggunakan kayu bakar dan
menebang pohon tanaman pohon. Jika hal ini terjadi, kerusakan sumber air
(mata air) dikhawatirkan akan semakin serius. Di Banyumas saat ini tinggal
900 mata air, padahal tahun 2001 masih tercatat 3.000 mata air. Setiap
tahun rata-rata sekitar 300 mata air mati akibat penebangan terprogram
(hutan produksi) maupun penebangan tanaman keras milik penduduk
(menurut Wisnu Hermawanto, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Banyumas, Kamis 25/8). Akan tetapi, sebagai akibat dari adanya berbagai
tekanan kebutuhan hidup dan perkembangan jumlah penduduk,
perlindungan terhadap kelestarian sumber mata air dan tanaman pohon
atau hutan rakyat semakin berat. Di lain pihak, penduduk yang di lahannya
terdapat sumber air tidak pernah memperoleh kompensasi sebagai ganti
atas kesediaannya untuk tidak menebangi pohonnya. Kesulitan penduduk
memperoleh minyak tanah berdampak pada peningkatan penggunaan kayu
bakar. Penduduk di daerah pedesaan yang jauh dari pangkalan minyak
tanah memilih menebang pohon untuk kayu bakar. Satu ikat kayu bakar
ukuran sedang sekarang harganya dapat mencapai Rp 7.000. Diperkirakan
setiap hari sekitar 1.500 pohon milik penduduk di Banyumas ditebang
untuk dijadikan kayu bakar sebagai pengganti minyak tanah. (Sumber:
Kompas, Jumat, 26 Agustus 2005).
------------Tanah Longsor di Pati, Jawa Tengah
Di desa Sukolilo, Pati, Jawa Tengah, beberapa orang korban dalam kejadian
tanah longsor yang dipicu hujan lebat. Aliran lumpur menghantam rumah
penduduk, mengorgankan beberapa orang yang sedang menonton televisi, atau
tidur. Tiga rumah habis tertimbun tanah. Tanah longsor sering terjadi di
Indonesia, diakibatkan penggundulan hutan bertahun-tahun. Pecinta
lingkungan hidup memperingatkan tanah longsor dapat disebabkan oleh
adanya penebangan hutan secara berlebihan dan gagalnya penanaman kembali
hutan. Sumber: http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/tanah-longsordi-pati-jawa-tengah ... diunduh 14/6/2011
Penebangan Hutan secara berlebihan membahayakan
integritas ekosistem tanah
Penebangan hutan secara berlebihan (eksesif logging) telah merusak hutan,
lingkungan, alam dan ekosistem serta melenyapkan flora dan fauna yang
begitu beragam yang ada di hutan. Hutan sebagai paru-paru dunia bisa hilang
karena kegiatan eksesif logging ini. Fungsi hutan sebagai penyimpan air tanah
juga akan terganggu akibat terjadinya pengrusakan hutan yang terus-menerus.
Hal ini akan berdampak pada semakin seringnya terjadi kekeringan di musim
kemarau dan banjir serta tanah longsor di musim penghujan.
Sumber: http://wahyumedia19.blogspot.com/2011/02/oohhh-alam-negeriku-akumenangis.html ... diunduh 14/6/2011
Pencemaran tanah
Pencemaran tanah adalah keadaan dimana bahan kimia buatan
manusia masuk dan mengubah lingkungan tanah alami. Pencemaran ini
biasanya terjadi karena: kebocoran limbah cair atau bahan kimia industri
atau fasilitas komersial; penggunaan pestisida; masuknya air permukaan
tanah tercemar ke dalam lapisan sub-permukaan; kecelakaan
kendaraaan pengangkut minyak, zat kimia, atau limbah; air limbah dari
tempat penimbunan sampah serta limbah industri yang langsung dibuang
ke tanah secara tidak memenuhi syarat (illegal dumping).
Suatu zat berbahaya / beracun telah mencemari permukaan
tanah, dapat saja kemudian ia menguap, tercuci oleh air hujan atau
masuk ke dalam tanah dan groundwater. Pencemaran yang masuk ke
dalam tanah kemudian terendap sebagai zat kimia beracun di tanah. Zat
beracun di tanah tersebut dapat berdampak langsung kepada manusia
ketika bersentuhan atau dapat mencemari air tanah dan udara di
atasnya.
EKOSISTEM TANAH
Pemahaman tentang peranan tanah dalam ekosistem pertanian,
dan mengetahui bagaimana mengelola lahan, merupakan tugas penting
dan sangat kritis bagi para petani, termasuk petani organik. Gaya-gaya
biologid dan elektrokimia dalam tanah tidak dapat diamati secara
langsung karena mereka berlangsung pada sekala mikroskopis dan
tingkat sub-molecular.
Changes in fertility, tilth and structure may take years to become evident.
Early indicators are subtle, and the farmer must be a keen observer to spot
them. The reviews of biological, chemical and physical properties of the
tanah as a background to sound management. Much of the material will be
familiar; the key difference is the recognition of the vital role tanah microorganisms play in recycling, releasing, and storing plant nutrients.
Petani organik menggunakan teknik-teknik yang mampu
mendukung dan memperbaiki kehidupan biologis dalam tanah, yang
selanjutnya bermanfaat menunjnag kehidupan tanaman dan
melestarikan struktur tanah.
Pertanian organik
Pertanian organik merupakan teknik budidaya pertanian yang bertumpu
pada pemanfaatan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan-bahan
kimia sintetis. Tujuan utama pertanian organik adalah menyediakan
produk-produk pertanian, terutama bahan pangan yang aman bagi
kesehatan produsen dan konsumennya serta tidak merusak lingkungan.
Gaya hidup sehat demikian telah melembaga secara internasional yang
mensyaratkan jaminan bahwa produk pertanian harus beratribut aman
dikonsumsi (food safety attributes), kandungan nutrisi tinggi (nutritional
attributes) dan ramah lingkungan (eco-labelling attributes). Preferensi
konsumen seperti ini menyebabkan permintaan produk pertanian organik
dunia meningkat pesat.
Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya hayati tropika yang unik,
kelimpahan sinar matahari, air dan tanah, serta budaya masyarakat yang
menghormati alam, potensi pertanian organik sangat besar. Pasar produk
pertanian organik dunia meningkat 20% per tahun, oleh karena itu
pengembangan budidaya pertanian organik perlu diprioritaskan pada
tanaman bernilai ekonomis tinggi untuk memenuhi kebutuhan pasar
domestik dan ekspor.
Peluang Pertanian Organik di Indonesia
Luas lahan yang tersedia untuk pertanian organik di Indonesia sangat besar.
Dari 75,5 juta ha lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian, baru
sekitar 25,7 juta ha yang telah diolah untuk sawah dan perkebunan (BPS,
2000). Pertanian organik menuntut agar lahan yang digunakan tidak atau
belum tercemar oleh bahan kimia dan mempunyai aksesibilitas yang baik.
Kualitas dan luasan menjadi pertimbangan dalam pemilihan lahan. Lahan
yang belum tercemar adalah lahan yang belum diusahakan, tetapi secara
umum lahan demikian kurang subur. Lahan yang subur umumnya telah
diusahakan secara intensif dengan menggunakan bahan pupuk dan pestisida
kimia. Menggunakan lahan seperti ini memerlukan masa konversi cukup
lama, yaitu sekitar dua tahun.
Volume produk pertanian organik mencapai 5-7% dari total produk
pertanian yang diperdagangkan di pasar internasional. Sebagian besar
disuplay oleh negara-negara maju seperti Australia, Amerika dan Eropa. Di
Asia, pasar produk pertanian organik lebih banyak didominasi oleh negaranegara timur jauh seperti Jepang, Taiwan dan Korea. Potensi pasar produk
pertanian organik di dalam negeri sangat kecil, hanya terbatas pada
masyarakat menengah ke atas. Berbagai kendala yang dihadapi antara lain:
(1) belum ada insentif harga yang memadai untuk produsen produk
pertanian organik, (2) perlu investasi mahal pada awal pengembangan
karena harus memilih lahan yang benar-benar steril dari bahan agrokimia,
(3) belum ada kepastian pasar, sehingga petani enggan memproduksi
komoditas tersebut.
Areal tanam pertanian organik, Australia dan Oceania mempunyai lahan
terluas yaitu sekitar 7,7 juta ha. Eropa, Amerika Latin dan Amerika Utara
masing-masing sekitar 4,2 juta; 3,7 juta dan 1,3 juta hektar. Areal tanam
komoditas pertanian organik di Asia dan Afrika masih relatif rendah yaitu
sekitar 0,09 juta dan 0,06 juta hektar. Sayuran, kopi dan teh mendominasi
pasar produk pertanian organik internasional di samping produk
peternakan.
Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk bersaing di pasar
internasional walaupun secara bertahap. Hal ini karena berbagai keunggulan
komparatif antara lain : (1) masih banyak sumberdaya lahan yang dapat
dibuka untuk mengembangkan sistem pertanian organik, (2) teknologi
untuk mendukung pertanian organik sudah cukup tersedia seperti
pembuatan kompos, tanam tanpa olah tanah, pestisida hayati dan lain-lain.
Pengembangan selanjutnya pertanian organik di Indonesia harus ditujukan
untuk memenuhi permintaan pasar global. Oleh sebab itu komoditaskomoditas eksotik seperti sayuran dan perkebunan seperti kopi dan teh
yang memiliki potensi ekspor cukup cerah perlu segera dikembangkan.
Produk kopi misalnya, Indonesia merupakan pengekspor terbesar kedua
setelah Brasil, tetapi di pasar internasional kopi Indonesia tidak memiliki
merek dagang.
Pengembangan pertanian organik di Indonesia belum memerlukan struktur
kelembagaan baru, karena sistem ini hampir sama halnya dengan pertanian
intensif seperti saat ini. Kelembagaan petani seperti kelompok tani,
koperasi, asosiasi atau korporasi masih sangat relevan. Namun yang paling
penting lembaga tani tersebut harus dapat memperkuat posisi tawar petani.
Pertanian Organik Modern
Pertanian organik modern masuk ke dalam sistem pertanian di Indonesia
secara sporadis dan kecil-kecilan. Pertanian organik modern berkembang
memproduksi bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan sistem
produksi yang ramah lingkungan. Tetapi secara umum konsep pertanian
organik modern belum banyak dikenal dan masih banyak dipertanyakan.
Penekanan sementara ini lebih kepada meninggalkan pemakaian pestisida
sintetis. Dengan makin berkembangnya pengetahuan dan teknologi
kesehatan, lingkungan hidup, mikrobiologi, kimia, molekuler biologi,
biokimia dan lain-lain, pertanian organik terus berkembang.
Dalam sistem pertanian organik modern diperlukan standar mutu dan ini
diberlakukan oleh negara-negara pengimpor dengan sangat ketat. Sering
satu produk pertanian organik harus dikembalikan ke negara pengekspor
termasuk ke Indonesia karena masih ditemukan kandungan residu pestisida
maupun bahan kimia lainnya.
Banyaknya produk-produk yang mengklaim sebagai produk pertanian
organik yang tidak disertifikasi membuat keraguan di pihak konsumen.
Sertifikasi produk pertanian organik dapat dibagi menjadi dua kriteria yaitu:
a) Sertifikasi Lokal untuk pangsa pasar dalam negeri. Kegiatan pertanian
ini masih mentoleransi penggunaan pupuk kimia sintetis dalam jumlah
yang minimal atau Low External Input Sustainable Agriculture
(LEISA), namun sudah sangat membatasi penggunaan pestisida
sintetis. Pengendalian OPT dengan menggunakan biopestisida, varietas
toleran, maupun agensia hayati. Tim untuk merumuskan sertifikasi
nasional sudah dibentuk oleh Departemen Pertanian dengan
melibatkan perguruan tinggi dan pihak-pihak lain yang terkait.
b) Sertifikasi Internasional untuk pangsa ekspor dan kalangan tertentu di
dalam negeri, seperti misalnya sertifikasi yang dikeluarkan oleh SKAL
ataupun IFOAM. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi antara lain
masa konversi lahan, tempat penyimpanan produk organik, bibit,
pupuk dan pestisida serta pengolahan hasilnya harus memenuhi
persyaratan tertentu sebagai produk pertanian organik.
Beberapa komoditas prospektif yang dapat dikembangkan dengan sistem
pertanian organik di Indonesia antara lain tanaman pangan, hortikultura,
perkebunan, tanaman rempah dan obat, serta peternakan. Menghadapi era
perdagangan bebas pada tahun 2010 mendatang diharapkan pertanian
organik Indonesia sudah dapat mengekspor produknya ke pasar
internasional. Komoditas yang layak dikembangkan dengan sistem
pertanian organic:
1. Tanaman Pangan Padi
2. Hortikultura Sayuran: brokoli, kubis merah, petsai, caisin, cho
putih, kubis tunas, bayam daun, labu siyam, oyong dan baligo.
Buah: nangka, durian, salak, mangga, jeruk dan manggis.
3. Perkebunan Kelapa, pala, jambu mete, cengkeh, lada, vanili dan
kopi.
4. Rempah dan obat jahe, kunyit, temulawak, dan temu-temuan
lainnya.
5. Peternakan Susu, telur dan daging.
(Sumber: http://www.litbang.deptan.go.id/berita/one/17/. ….. diunduh
13/6/2011).
1. Biologi Tanah
Banyak sekali organisme yang menghuni topsoil (tanah lapisan
atas), kalau mereka merombah bahan organic yang ada dalam tanah,
akan dilepaskan sejumlah unsure hara yang tersedia bagi tumbuhan.
Mikroba tanah ini meliputi bacteria, actinomycetes, algae dan fungi.
Makro-organisme meliputi cacing tanah dan
arthropoda seperti
serangga, mites dan millipeda. Setiap gelompok jasad ini mempunyai
peranan khas dalam ekosistem tanah dan dapat membantu petani dalam
memproduksi
tanaman
yang
sehat.
Mikro-organisme
dapat
dikelompokkan menurut fungsinya: decomposer yang hidup bebas
mengubah bahan organic menjadi usnurhara tersedia bagi tumbuhan
dan bagi mikroba lainnya, organisme rhizosfir bersimbiosis dengan akar
tumbuhan; dan jasad fiksasi nitrogen yang hidup bebas.
Organisme Tanah
Organisme tanah dapat menguntungkan petani karena mereka
memperbaiki kesuburan tanah dan dapat membantu ketersediaan hara bagi
tanaman dan membantu pengendalian hama penyakit.
• Organisme tanah memerlukan makanan, oksigen, air, dan habitat
yang layak untuk tumbuh.
• Petani dapat memperkaya organisme tanah dengan jalan
menyediakan penutup tanah organic yang cukup, menambah
bahan organik ke dalam tanah, memelihara drainase tanah yang
baik, dan menghindari pengolahan tanah yang berlebihan.
• Di bawah permukaan tanah terdapat satu dunia lain yang penuh
dengan jasad hidup atau organisme tanah. Organisme tanah ini
berfungsi sebegai tenaga kerja bagi para petani karena mereka
membantu menyediakan ketersediaan hara yang dibutuhkan
tanaman dan memperbaiki struktur tanah.
Jenis-jenis organisme tanah
Ada beberapa jenis organisme tanah, diantaranya adalah:
1. Pemecah bahan organik seperti slaters (spesies Isopoda), tungau
(mites), kumbang, dan collembola yang memecah-mecah bahan
organic yang besar menjadi bagian-bagian kecil.
2. Pembusuk bahan organik seperti jamur dan bakteri yang
memecahkan bahan-bahan cellular.
3. Organisme bersimbiosis hidup pada/di dalam akar tanaman dan
membantu tanaman untuk mendapatkan hara dari dalam tanah.
4. Mycorrhiza bersimbiosis dengan tanaman dan membantu tanaman
untuk mendapatkan hara posfor, sedangkan rhizobium membantu
tanaman untuk mendapatkan nitrogen.
5. Pengikat hara yang hidup bebas seperti alga dan azotobakter
mengikat hara di dalam tanah.
6. Pembangun struktur tanah seperti akar tanaman, cacing tanah,
ulat-ulat, dan jamur semuanya membantu mengikat partikel-
partikel tanah sehingga struktur tanah menjadi stabil dan tahan
terhadap erosi.
7. Patogen seperti jenis jamur tertentu, bakteri dan nematoda dapat
menyerang jaringan tanaman.
8. Predator atau pemangsa, termasuk protozoa, nematoda parasite
dan jenis jamur tertentu, semuanya memangsa organisme tanah
yang lain sebsagai sumber makanan mereka.
9. Occupant/penghuni adalah jenis organisme tanah yang
menggunakan tanah sebagai tempat tinggal sementara pada tahap
siklus hidup tertentu, seperti ulat (larvae) dan telur cacing.
Cara-cara organisme tanah membantu para petani:
Mendaur ulang bahan organik
Organisme tanah mendaur ulang (recycle) bahan organik dengan cara
memakan bahan tanaman dan hewan yang mati, kotoran hewan dan
organisme tanah yang lain. Mereka memecah bahan organik menjadi
bagian-bagian yang lebih kecil sehingga dapat dibusukkan oleh jasad renik
seperti jamur dan bakteri. Ketika mereka memakan bahan organik, sisa
makanan dan kotoran mereka dapat membantu perbaikan struktur dan
kesuburan tanah.
Organisme tanah membantu meningkatkan ketersediaan hara bagi
tanaman.
Ketika organisme tanah memakan bahan organik atau makanan yang lain,
sebagian hara yang tersedia disimpan didalam tubuh mereka dan hara yang
tidak diperlukan, dikeluarkan didalam kotoran mereka (sebagai contoh,
phosphor dan nitrogen). Hara di dalam kotoran orgnisma tanah ini dapat
diserap oleh akar tanaman.
Sebagian organisme tanah membina hubungan simbiosis dengan akar
tanaman dan dapat membantu akar tanaman menyerap lebih banyak unsur
hara dibandingkan kalau tidak ada kerjasama dengan organisme tanah.
Sebagai contoh adalah mycorrhiza, yang membantu tanaman untuk
menyerap lebih banyak posfor, sedangkan rhizobia membantu tanaman
untuk menyerap lebih banyak nitrogen.
Organisme tanah mampu memperbaiki struktur tanah
Bahan sekresi dari organisme tanah dapat mengikat partikel-partikel tanah
menjadi agregate yang lebih besar. Contohnya, bakteri mengeluarkan
kotoran yang berbentuk dan bersifat seperti perekat (organic gum). Jamurjamuran memproduksi bahan berupa benang-benang halus yang disebut
hifa. Zat perekat dari bakteri dan hifa jamur dapat mengikat partikelpartikel tanah secara kuat sehingga agregate tanah yang besar pun tidak
mudah pecah walaupun basah. Agregate tanah yang besar tersebut dapat
menyimpan air tanah dalam pori-pori halus di antara partikel- partikel tanah
untuk digunakan oleh tanaman. Dalam keadaan air berlebihan, air dapat
dengan mudah mengalir keluar melalui pori- pori besar diantara agregate–
agregate tanah yang besar.
Organisme tanah yang lebih besar dapat memperbaiki struktur tanah
dengan cara membuat saluran-saluran (lubang-lubang) di dalam tanah
(contohnya lubang cacing), dan membantu mengaduk-aduk dan
mencampur baurkan partikel-partikel tanah, sehingga aerasi (aliran udara)
tanah menjadi lebih baik.
Pembuatan saluran-saluran dan lubang-lubang ini memperbaiki infiltrasi
dan pergerakan air didalam tanah, serta drainase.
Organisme tanah dapat membantu pengendalian serangan hama dan
penyakit
Organisme tanah yang memakan organisme lain yang lebih kecil dapat
menekan serangan hama penyakit dengan cara mengontrol jenis dan jumlah
orgnisme di dalam tanah.
Pengelolaan lahan pertanian yang dapat memperkaya organisme tanah
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan para petani untuk meningkatkan
kegiatan organisme tanah di lahan mereka, diantaranya adalah:
Menyediakan makanan.
Petani dapat menyediakan bahan makanan untuk orgnisme tanah dengan
cara memelihara tanaman penutup tanah dan menambah bahan organik
seperti mulsa, kompos, merang, pupuk hijau, dan pupuk kandang ke dalam
tanah yang mereka kelola.
Menyediakan cukup oksigen (aerasi tanah yang baik).
Seperti mahluk hidup yang lain, organisme tanah membutuhkan cukup
oksigen untuk hidup. Petani dapat menjamin ketersediaan oksigen yang
cukup untuk organisme tanah dengan cara mencegah pemadatan tanah.
Pemadatan tanah dapat mengurangi pori-pori tanah sehingga ketersedian
udara menjadi lebih sedikit. Pemadatan tanah dapat terjadi apabila tanah
diinjak-injak oleh hewan dan manusia atau dilalui mesin-mesin berat secara
berlebihan (trampling), terutama pada saat tanah sedang basah.
Menyediakan air.
Organisme tanah juga membutuhkan air dalam jumlah tertentu. Tetapi
kalau terlalu banyak air (dalam tanah yang jenuh), mereka bisa mati karena
kekurangan oksigen. Petani dapat mengatur ketersediaan air didalam tanah
dengan cara memperbaiki struktur tanah. Aggergate tanah yang lebih besar
dapat menyimpan air di dalam pori-pori halus, dan dapat mengeluarkan
kelebihan air melalui pori-pori besar. Drainase yang cukup di lahan yang
banjir juga dapat memperbaiki kondisi tanah untuk habitat organisme
tanah.
Melindungi habitat mereka.
Petani dapat mendukung kehidupan organisme tanah dengan cara
melindungi habitat mereka. Pemeliharaan tanaman penutup tanah adalah
cara yang terbaik untuk melindungi habitat organisme tanah dari bahaya
kekeringan. Penggunaan mulsa juga dapat melindungi habitat mereka.
Penggunaan mulsa organik dapat juga berfungsi sebagai sumber makanan
bagi organisme tanah. Mulsa plastik dapat mengurangi resiko penyakit dan
hama tertentu karena mulsa tersebut cenderung meningkatkan suhu
permukaan tanah dan dapat menghambat pergerakan hama dari tanah ke
tanaman. Tetapi mulsa plastik tidak dapat meningkatkan bahan organik
tanah sehingga pendauran ulang unsur hara tidak terjadi. Cara yang lain
adalah dengan pengolahan tanah yang tepat guna.
Pengolahan tanah yang berlebihan dapat merusak pori-pori tanah dimana
organisme tanah hidup.
Beberapa masalah yang berkaitan dengan organisme tanah:
Lahan padi sawah.
Tanah padi sawah biasanya diolah sampai menjadi lumpur, memiliki lapisan
bajak yang sangat padat, dan harus terendam air, jadi bukanlah habitat yang
sesuai bagi organisme tanah, kecuali bagi yang dapat hidup di dalam air
seperti alga yang dapat mengikat nitrogen. Ini berarti bahwa usaha-usaha
untuk membangun organisme tanah perlu difokuskan pada daerah lahan
kering.
Drainase tanah yang tidak memadai.
Sebagian lahan pertanian kering di daerah pantai tidak memiliki drainase
system yang baik, jadi cenderung terendam pada saat musim hujan. Salah
satu cara yang mungkin dapat digunakan untuk meningkatkan organisme
tanah di daerah seperti ini adalah dengan penggunaan bedengan-bedengan
yang tingginya melebihi ketinggian air tanah pada saat banjir. Pembuatan
bedengan ini akan memerlukan pengetahuan local dari penyuluh pertanian
atau petani mengenai ketinggian air tanah.
Ketersediaan bahan makanan yang rendah bagi organisme tanah.
Tingginya kelembaban udara dan suhu di daerah tropis menyebabkan
tingginya pembusukan bahan organic. Konsekuensinya adalah bahwa
petani di daerah tropis perlu lebih sering menambah bahan organik
kedalam tanah untuk menjamin makanan yang cukup bagi tenaga kerja
mereka (organisme tanah). Ini khususnya sangat penting di tanah berpasir
daerah pantai karena tanah pasiran tersebut sangat kekurangan bahan
organik dan unsur hara dan juga bukanlah habitat yang baik untuk
organisme tanah.
Penggunaan bahan kimia yang berlebihan.
Penggunaan pupuk yang berlebihan dapat membunuh organisme tanah
karena ketidak seimbangan hara. Penggunaan bahan-bahan kimia yang lain
(pestisida, herbisida, dan fungisida) juga dapat membunuh organisme tanah
yang baik, mempengaruhi ketersediaan hara tertentu, dan menyebabkan
serangan hama dan penyakit. Untuk meningkatkan organisme tanah,
sebaiknya penggunaan bahan-bahan kimia harus secara tepat guna (tidak
berlebihan), pupuk sebaiknya diberikan secara bertahap, dan kehidupan
pemangsa-pemangsa (predator) alami harus dibina untuk mengendalikan
serangan hama/serangga tertentu.
(Sumber: http://www.dpi.nsw.gov.au/__data/assets/pdf_file/
0010/199450/Soil-organisms---benefits-and-management-practices.pdf
….. diunduh 13/6/2011)
---------------Dekomposer : Perombak Bahan Organik Tanah
Dalam suatu tanah yang tidak-terganggu (utuh), dedaunan dan
residu organic lainnya menumpuk di permukaan tanah, dimana residu ini
kemudian dirombak oleh dekomposer. Bakteri aerobik dan berbagai
binatang kecil mulai bekerja. Organisme ini berkerjasama dengan
actinomycetes dan fungi. Mites, springtails, serangga kecil, arthropoda
lainnya dan cacing tanah membantu proses perombakan bahan organic
dengan jalan memakannya, mencampuirnya dan mengangkut bahan
organic tersebut.
The rate of decomposition is affected by tanah temperature, moisture and
food availability. The main by-products of the decomposition process are
soluble plant nutrients and microbial remains that bind the tanah particles
together, giving a stable crumb structure. Since biological activity is greatest
when the tanah is warm, nutrient availability is highest during summer,
when crop needs are greatest. The decomposers are most active in the
upper layer of the tanah, i.e. the top 8 cm (3 in.).
Petani dapat memasukkan bahan organic ke dalam tanah pada
saat kondisinya sesuai untuk memacu proses dekomposisi dan
menyediakan unsure hara bagi tanaman.
SOIL ORGANISMS - 5% OF SOIL ORGANIC MATTER IS LIVING
ORGANISMS
Macroorganisme:
insects
earthworms
Microorganisme:
Microba:
fungi
bacteria
protozoa
Sumber: http://www.rw.ttu.edu/2302_butler/chapter6.htm ... diunduh
14/6/2011
Ruang pori tanah dan aktivitas organisme
Soil organisms are controlled in a number of ways by the soil pore space.
Another way that pore space can control microorganism activity is by restricting
movement of organisms among different size categories of pores. It is not just the
size of the pores that is important.
Sumber: http://www.certifiedorganic.bc.ca/rcbtoa/training/soilarticle.html ... diunduh 14/6/2011
The size of the pore necks that lead to the pores and their continuity may
be even more important. By analogy, it is not the size of the rooms that controls the
accessibility but rather the size of the doors and length of hallways leading to the
rooms. The size of soil organisms that are restricted by pores (i.e., those which
cannot move the soil itself) can range from less than 1 mm for bacteria to over
1000 mm for some nematodes and mites. This large range of pore sizes can be
effective in governing organism movement and activity in the soil. Since the pore
space controls the distribution of water, water availability is a secondary effect that
pore space has on organisms.
The largest category of pore space is macropores, usually created by roots
or earthworms (Lee 1985) but may also be the result of cracking in shrink/swell
soils. These pores are drained of water when the soil is at field capacity and are
important for quick drainage and deep penetration of water, as will be discussed in
the next section. These pores may provide a relatively continuous path for
movement of microarthropods, especially those pores formed by roots or worms.
This size class of pores is most easily destroyed by cultivation but may develop with
time in agricultural soil under no-till cultivation in structurally stable soil. The next
smaller size of pore space is that between macroaggregates. Water is retained in
many of these pores when the soil is at field capacity and pore space is large enough
to be inhabited by nematodes. The pores between microaggregates but within
macroaggregates are large enough to accommodate small nematodes and protozoa
and may be the chief habitat of fungi. The smallest class of pores, those within
microaggregates, may be only about 1 mm, maximally, and may be inhabited mostly
by bacteria.
Organisme Rizosfir
Akar tumbuhan mengekskresikan sejumlah besar senyawa
organik dan secara kontinyu melepaskan tudung akarnya ke dalam
tanah. Bahan-bahan ini menjadi makanan barti mikroba yang hidup
dalam zone di sekitar akar atau yang disebut zone rizosfer. Bacteria
paling diuntungkan dari bahan makanan yang dikeluarkan oleh akar
dalam rizosfir dan dapat membentuk selimut yang menyelimuti akar. Akar
membentuk jalur-jalur jalan mikroba dalam tanah. Mikroba lainnya
melepaskan unsur hara dari koloid liat dan humus.
Definisi secara umum, rizosfir sebagai suatu volume tanah yang
mengelilingi akar, dimana dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Rhizosfir berasal dari kata rhizo dan sphere., Rhizo adalah akar,
sedangkan sphere diartikan suatu zona yang mengelilingi suatu “sentral
point” dimana menjadi tempat aktivitas komunitas (”sociaty”) dari beragam
jenis mikroorganisme. Definisi lain dari Rhizosphere adalah zona kontak
tanah (beberapa mm) dengan akar tanaman sebagai “sentral point”, dimana
antara mikroorganisme dan akar terjadi interaksi dan interelasi, artinya
aktivitas mikroorganisme di dalam zona tersebut akan dipengaruhi oleh
eksudat akar yang diproduksi, sebaliknya metabolisme tanaman akan
dipengaruhi aktivitas mikroorganisme yang berada dalam zona tersebut.
Hubungan interaksi yang menguntungkan di dalam rizosfir merupakan
salah satu fenomena yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk
meningkatkan produktivitas tanaman ataupun kesuburan tanah untuk
pertanian.
Rizosfer terbagi kedalam 2 zona utama, yaitu:
a. Endorizosfer adalah lapisan sel akar. Endorizosfir tersusun dari
Stele, epidermis, korteks, endodermis dan tudung akar.
b. Ektorizosfer merupakan area di sekeliling akar, mulai dari zona
kontak tanah/ media dengan permukaan akar (rizoplane) sampai
beberapa mm ( dapat sampai 5 mm), dimana zona tersebut
dipengaruhi oleh eksudat akar. Akibat dari pengaruh eksudat akar
tersebut, maka terjadi pelekatan tanah membentuk agregat tanah.
Substansi di rizosfer berasal dari sel akar mati (sloughing off cells) dan
senyawa eksudat akar yang disebut musilas (mucilage). Musilase dapat
dihasilkan dari mikroorganisme dan tanaman. Musilase tanaman diproduksi
di tudung akar umumnya berupa polisakarida, adanya mucilage
menyebabkan dinding sel epidermis menjadi seperti gelatin. Musilase
merupakan sisi dimana terjadi pelekatan mikroorganisme dan
terbentuk agregat tanah. Komposisi jenis karbohidart musilase berbeda
untuk setiap jenis tanaman, demikian juga komposisi eksudat akar beragam
menurut kondisi dan jenis tanaman.
Akar dan rizosfirnya
(Sumber: http://heartspring.net/compost_tea_disease_control.html ... diunduh
13/6/2011)
Organisme simbiotik dalam rizosfir
Hubungan simbiotik yang paling popular adalah antara bakteri
Rhizobia fiksasi nitrogen dnegan tumbuhan legume. Bakteri Rhizobia
menghuni bintil kecil pada akar, mengekstrak karbohydrates dari
tumbuhan dan menyediakan kepada tumbuhan inangnya senyawa
nitrogen larut yang disintesisnya dari gas nitrogen yang ada dalam udara
tanah.
Fungi Mycorrhiza juga mempunyai hubungan simbiotik dengan
akar tumbuhan. Dengan jalan memperluas permukaan akar hingga
dapat mencapai 400 kali lebih luas , ternyata fungi mampu membantu
tumbuhan menyerap air dan unsure hara dari dalam tanah, dan
memperbaiki kemampuan tumbuhan menahan cekaman panas dan
kekeringan. Hubungan simbiotik ini mulai terjadi pada fase
perkecambahan, pada saat kecambah muda mengeluarkan toksin untuk
membunuh pathogen dan mengeluiarkan hormone untuk menarik
organisme yang menguntungkannya.
Mycorrhizae
This is a symbiotic relationship between a fungus and a plant root. (What
does each partner get out of the relationship?)
 Vesicular Arbuscular Mycorrhizae (V.A.M.) - association between a
zygomycete fungus ("Black Bread Mold") and a plant
 Ectomycorrhizae - association between ascomycete (Sac Fungus) or
basidiomycete (Club Fungus) and a conifer or flowering plant
(usually large trees).
In mycorrhizal plants, root hair surface area is negligible compared to that provided
by the interface of mycorrhiza, plant and fungus. Most absorption is done via the
mycorrhizal hyphae.
(Sumber: http://www.bio.miami.edu/dana/226/226F09_9.html ... diunduh
13/6/2011)
Life-sustaining Root Symbiosis: Nitrogen Fixation
The Nitrogen Cycle is the pathway by which nitrogen moves through living
and non-living components of the ecosystem. Nitrogen is one of the four
main elements most common in biological macromolecules, and yet no
eukaryotes are capable of fixing atmospheric nitrogen , N2, into its usable
forms, such as ammonium (NH4+) with other species changing it into
nitrite (NO2-) and nitrate (NO3-). Certain nitrogen-fixing bacteria, however,
are capable of converting gaseous nitrogen into its biologically useful
forms, and some of these have formed symbiotic relationships with plants,
notably in the Fabaceae (Pea Family), commonly called legumes. The roots
of legumes are covered with swellings called nodules within which reside
symbiotic bacteria that fix nitrogen. Various strains of a bacterial species
named Rhizobium form this association.
Nitrogen fixation into
ammonium requires an anaerobic environment such as that found in the
root nodules. The root nodule surfaces are highly lignified, helping to
prevent gas exchange. Also, root nodules often contain leghemoglobin, a
hemoglobin-like molecule with high affinity for free oxygen. This protein
provides a sort of "buffer" for oxygen, allowing the bacteria enough
oxygen to produce ATP for the very energy-expensive reactions of
nitrogen fixation without allowing too much oxygen to build up in the
nodule tissues and interfere with nitrogen fixation itself.
The figure below shows the sequence of events leading to nodule
formation.
(Sumber: http://www.bio.miami.edu/dana/226/226F09_9.html ... diunduh
13/6/2011)
How does this symbiosis develop?
 The plant root emits flavonoids into the soil.
 Certain species of Rhizobium take up these flavonoids (the strain of
Rhizobium colonizing each plant species is different, and determined by the
exact structure of the flavonoid messenger.)
 The flavonoid activates a transcription factor protein, the activity of which
results in the activation of a bacterial operon known as nod (for "nodule").
 The genes in the nod group produce enzymes that catalyze Nod proteins,
specific to the bacterial strain.
 The Rhizobium secrete the Nod molecules into the soil, and these signal to
the plant root to elongate root hairs and form the infection thread that
the bacteria will use to enter the root.
There is some evidence to suggest that early mycorrhizal fungus/plant
communication pathways (which also employ flavonoids) led to the evolution of
the bacteria/plant communications resulting in nitrogen fixation symbiosis.
------------
Binatang Tanah
Jenis binatang tanah ukuran besar yang sangat penting adalah
cacing-tanah (earthworms), ternyata ada banyak jenis cacing tanah ini.
Earthworms perform the final task of humification -- the conversion of
decomposed organic matter to stable humus colloids -- and mix the
humus with material from the lower tanah horizons. The digestive tract of
the earthworm has a remarkable capacity to literally alter the chemical
and physical nature of tanah. Earthworms are major agents in the
process of tanah creation through the formation of clay-humus
complexes and they play a key role in the management of calcium. By
inoculating their castings with intestinal flora, earthworms distribute
microbial populations throughout the tanah. Earthworms can increase the
availability of phosphorus from rock phosphate by 15-39 per cent. They
act as mini-subtanahers, their burrows increasing tanah aeration,
drainage and porosity. In the process of burrowing, earthworms mix the
subtanah with the toptanah and deposit their nutrient-rich castings on or
near the tanah surface. The presence of a large earthworm population
indicates good tanah fertility. They can be encouraged by adding lime
when needed to correct tanah acidity and organic matter to provide the
worms with food.
Jenis cacing tanah “red wriggler atau manure worm”, menyenangi
lingkungan tanah yang kaya bahan organic dan tidak dapat bertahan hidup
pada kebanyakan kondisi tanah; sehingga inokulasi tanah di lapangan
dengan jenis cacing ini tidak dapat memperbaiki kesuburan tanah.
Sumber: http://www.semioticon.com/seo/N/niche.html .... diunduh
14/6/2011
Mites are the most abundant of the tanah arthropods. Most mites
are beneficial, feeding on micro-organisms and other small animals. They
assist with decomposition by browsing on preferred fungi, thus preventing
any one species from becoming dominant, and by transporting the
spores through the tanah. Springtails perform similar functions. Larger
arthropods, slugs and snails burrow through the tanah and feed on dead
plant material. By maintaining a suitable environment for the hundreds of
species of tanah creatures, large and small, organic farmers provide their
crops with an abundant supply of plant nutrients.
2. Kimia Tanah ( Kesuburan Tanah)
Bahan Organik Tanah dan Humus
Bahan organic (BO = OM) merupakan istilah yang digunakan
untuk mendeskripsikan komponen tanah yang berupa sisa-sisa,
residues atau limbah dari organisme hidup. OM comes primarily from
plant residue, but also includes tanah micro-organisms and animal
remains. The amount of OM in a tanah depends on its type and how it is
managed. OM content can range from one per cent, in the case of a
sandy tanah in which no special management practices have been used
to build OM, to more than 30 per cent in a muck tanah.
Tanah life depends on the continual replenishment of OM. Most
organic farming practices, such as crop rotation, composting, green
manuring and keeping the tanah covered, help to increase the tanah's
OM and hence its biological activity. Including a three- to five-year grasslegume sod in the rotation is an effective way of increasing OM because
losses are minimized when there is no tillage. It is important to
understand that OM alone does not guarantee fertility or biological
activity. Peat moss, for example, is made up entirely of OM but contains
few nutrients. Excessive moisture will produce anaerobic conditions in
which OM will rot and will favor the development of pathogens that may
infect the crop. The tanah must be managed so that the OM produces the
intended results, namely an increase in available plant nutrients,
improved tanah structure, and increased nutrient reserves.
[Illustration - Grass-legume sod]
Humus Efektif
Kalau bahan organics egar ditambahkan ke tanah, mikroba tanah
akan segera mulai men-dekomposisi bahan organik tersebut. Bahan
residu yang terdekompopsisi sebagian lazim disebut “humus efektif”.
Humus ini mampu menahan unsure hara, melepaskannya bagi tanaman
yang membutuhkannya dan mencegah kehilangan hara akibat
pencucian. Mikroba tanah yang merimbak residu organic yang kaya
karbon akan menggunakan sebagian N-tersedia dalam tanah, sehingga
untuk sementara tidak tersedia bagi tanaman yang ditanam setelah
aplikasi bahan organic ke tanah.
Humus yang stabil
Stable humus is the final product of the decomposition process. It
can be recognized by its dark color, crumbly or slightly gelatinous texture
and characteristic "earthy" smell. Stable humus, or colloidal humus,
provides long-term nutrient reserves and improves tanah structure and
cation-exchange capacity.
Manfaat Humus:
• Mensuplai unsure hara, terutama nitrogen (N), phosphorus
(P) dan sulphur (S), pada saat tanaman memerlukannya;
• Menahan unsure hara, sehingga meminimumkan pencucian
unsur hara;
• Memegang bersama partikel tanah, menstabilkan tanah-tanah
yang teksturnya “lepas” melawan erosi;
• Meningkatkan kegemburan tanah yang teksturnya berat;
• Memperbaiki porositas tanah, sehingga memperlancar
pergerakan air dan udara tanah, dan meningkatkan
kemampuan tanah menyimpan air.
Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Plants obtain many of their nutrients from tanah by an
electrochemical process called cation exchange. This process is the key
to understanding tanah fertility. Cation exchange requires very small
particles with a large surface area to hold electrically-charged ions.
Humus colloids are ideal; clay colloids also have a good CEC, but sand
particles are too big. The finely-divided platelets of the humus and clay
colloids produce a large surface area -- one gram of the clay mineral
bentonite has been estimated to have a surface area of 800 square
metres. The surfaces are coated with a thin film of water, which contains
dissolved nutrients. Each platelet has an extra electron, which gives it a
negative charge. This negative charge attracts positively-charged nutrient
ions from the nutrient solution such as ammonium (NH4+), calcium
(Ca++), magnesium (Mg++) and potassium (K+). These nutrient ions can
be absorbed by the plant root, by exchanging them for other ions such as
hydrogen (H+). Many tanah micro-organisms carry a negative charge,
which enables them to attract nutrients, and to move freely about the
humus and clay colloids.
KTK mengukur jumlah unsur hara kation yang secara potensial
stabil dan tersedia. It is measured in milliequivalents (me) per 100 grams
of tanah. Typical values are 6.3 me/100g for sand and 27.2 me/100g for
clay/loam. The higher the CEC, the greater the potential fertility of the
tanah. This is why clay tanahs tend to be more fertile than sandy tanahs,
and why the fertility of sandy tanahs can be improved by the addition of
clay and humus. The cation-exchange process can however only store
and release positively-charged nutrients; the availability of nutrients in
anion form, such as phosphorus and sulfur is not affected by CEC. Tanah
organisms play a key role in conserving and releasing these nutrients.
pH tanah dan peranan kalsium
The term pH refers to the acidity or alkalinity of a tanah. It is
important because it influences tanah nutrient availability and biological
activity. pH ranges from 0-14. A pH level below 7 (the neutral point) is
acidic, and above 7 is alkaline. Tanah pH ranges from 4-9; fertile tanahs
are usually between 6.0 and 7.0.
Acid tanahs have, by definition, a large number of free H+ ions.
Acidity reduces bacterial activity and therefore decomposition and
nutrient release. Nitrogen-fixing Rhizobia and legumes generally do not
do well in acid tanahs. Excess H+ ions displace nutrient cations attached
to the tanah colloids, thus depleting the tanah's nutrient reserves. An acid
tanah may, therefore, have a high CEC but be low in fertility.
The addition of crushed limestone (CaCO3) corrects an acid
tanah. An acid tanah with a high CEC needs a greater amount of
limestone than a low CEC tanah of the same pH, because of the very
much greater number of reserve H+ ions held in the tanah with the high
CEC.
Lime not only corrects tanah pH, it also supplies the plant nutrient
calcium. Its double electrical charge, Ca++, lets it function as a link,
binding clay and humus colloids together in clay-humus complexes. The
resulting tanah has improved structure, is less subject to erosion and has
improved nutrient-holding capacities. Dolomitic limestone functions in a
similar way to calcitic limestone, but in addition contains magnesium
(Mg++). It should only be used in areas that are low in magnesium. If
magnesium levels are high compared with calcium it will have adverse
effects on the crops and on the breakdown of organic residues in the
tanah.
Excessively alkaline tanahs have few free H+ ions and an excess
of sodium (Na+) ions. Biological activity is suppressed and associated
nutrient availability decreased. Additional problems include destruction of
OM, saline seepage, tanah crusting and the accumulation of toxic levels
of sodium, selenium and other minerals. Alkalinity can be reduced
somewhat by the addition of gypsum (calcium sulphate) or, in extreme
circumstances, sulfur. Gypsum is used to reduce magnesium and supply
calcium and sulphur without raising the pH.
Hubungan antara pH tanah dengan ketersediaan hara: Pita lebar
berarti lebih tersedia
(sumber:
http://www.terragis.bees.unsw.edu.au/terraGIS_tanah/sp_tanah_reaction_
ph.html; diunduh 10/6/2011)
Reaksi tanah menunjukkan keasaman dan kebasaan tanah dan dinyatakan
sebagai pH. Keasaman tanah ditentukan oleh kadar atau kepekatan ion
hidrogen yang beredar di da lam + tanah tersebut. Bila kepekatan ion
hidrogen (H ) di dalam tanah tinggi maka tanah disebut asam Sebaliknya,
bila kepekatan ion hidrogen terlalu rendah maka tanali disebut basa. Pada
kondisi ini kadar kation OH- lebih tinggi dari H+. Reaksi tanah dibedakan
menjadi kemasaman (reaksi tanah) aktif dan potensial. Reaksi tanah aktif
ialah yang diukurnya konsentrasi hidrogen yang terdapat bebas dalam
larutan tanah. Reaksi tanah potensial ialah banyaknya kadar hidrogen dapat
tukar baik yang terjerap oleh kompleks koloid tanah maupun yang terdapat
dalarn larutan. Tanah masam karena kandungan H+ yang tinggi dan
banyak ion Al3+ yang bersifat masam karena dengan air ion tersebut dapat
menghasilkan H+. Di daerah rawa-rawa atau tanah gambut, tanah masam
umumnya disebabkan oleh kandungan asam sulfat yang tinggi. Pengapuran
merupakan salah satu cara untuk memperbaiki tanah yang bereaksi asam
atau basa. Tujuan dari pengapuran adalah untuk menaikkan pH tanah
sehingga karenanya unsur-unsur hara menjadi lebih tersedia, memperbaiki
struktur tanahnya sehingga kehidupan organisme dalam tanah lebih giat,
dan menurunkan kelarutan zat-zat yang sifatnya meracuni tanaman dan
unsur lain tidak banyak terbuang.
Siklus Nitrogen
The vegetative growth of plants (leaves, stems, and roots) is
especially dependent on nitrogen. The atmosphere contains 78 per cent
nitrogen by volume, yet it is the element that most often limits plant
growth. Plants cannot use gaseous nitrogen, but require nitrogen in the
form of nitrate (NO3-) or ammonium (NH4+). Atmospheric nitrogen is
converted into NO3- and NH4+ in the tanah by nitrogen fixation, which is
performed by certain tanah micro-organisms. These include the symbiotic
Rhizobia bacteria associated with legumes, and the non-symbiotic
bacteria Clostridium and Azoterbacter which are free-living in the tanah.
Once gaseous nitrogen is incorporated into plant material as
proteins and amino acids, it may be recycled many times through the
activity of the tanah decomposers. Young plants are especially rich in
nitrogen and, when they are incorporated in the surface layers of the
tanah as green manure, this nitrogen is released by biological activity.
The ammonium (NH4+) ions can be stored on the clay-humus complex
for long periods. The nitrate ions (NO3-) are subject to leaching if not
taken up by the crop.
Deficiencies of nitrogen may occur not because there is not
enough entering the system but because of the way it cycles round the
system. Cycling is increased by maximizing biological activity which is
determined by the way different components of the system, such as
residues, manure, weeds and drainage, are managed.
Sumber:
http://www.tanahs.umn.edu/academics/classes/tanah2125/doc/s9chap2.htm;
diunduh 10/6/2011)
Nitrogen terdapat di dalam tanah dalam bentuk organik dan anorganik.
Bentuk-bentuk organik meliputi NH4+, NO3-, NO2-, NO2, NO dan unsur
N. Juga terdapat bentuk lain yaitu hidroksi amin (NH2OH), tetapi bentuk
ini merupakan bentuk antara, yaitu bentuk peralihan dari NH4+, menjadi
NO2- dan bentuk ini tidak stabil. Penyediaan ion dalam tanah dapat
dipandang dari sudut mineral dengan masukan dan kehilangan dari
ekosistem dan laju transfer diantara komponen sistem.
Pendekatan ini berharga bagi nitrogen, dimana masukan karena curah
hujan dan fiksasi serta kehilangan akibat pencucian dan denitrifikasi
merupakan sebagian besar dari jumlah seluruhnya yang ada dengan siklus
sistem tersebut. Untuk ion yang di absorbsi, masukan ini tidak berarti
dibandingkan dengan dengan jumlah seluruhnya yang ada, termasuk
kehilangana karena pencucian dalam tanah-tanah subur.
Siklus nitrogen adalah kompleks dan kompertemen organik merupakan
bagian yang dominan, beberapa macam bakteri terlihat dalam pengubahan
NH4+ menjadi NO3+ (Nitrobacter, Nitrosomonas, Nitrosococcus adalah
yang paling penting), tetapi kedua bentuk itu dapat diambil oleh banyak
tanaman dengan fasilitas yang sama.
Lebih penting lagi adalah produksi NH4+ yang dihasilkan dari bahan
organik yang dibawa oleh bermacam-macam fungsi dan bakteri. Perombak
dekomposisi ini juga membutuhkan N, tetapi jika bahan mempunyai
kandungan N rendah, bahan itu akan dipesatukan ke dalam biomassa dan
tidak dibebaskan, sampai penyediaan karbon berkurang. Rasio CarbonNitrogen (C/N) merupakan cara untuk menunjukkan gambaran
kandungan Nitrogen relatif . Rasio C/N dari bahan organik merupakan
petunjuk kemungkinan kekurangan nitrogen dan persaingan di antara
mikroba-mikroba dan tanaman tingkat tinggi dalam penggunaan nitrogen
yang tersedia dalam tanah. Dalam siklusnya nitrogen di dalam tanah
mengalami mineralisasi, sedangkan bahan mineral mengalami imobilisasi.
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa N yang hilang ke
atmosfir merupakan bagian yang cukup besar.
N dalam tanah akan habis terangkut dalam waktu yang sangat lama dan
sebagian besar N yang tertinggal dalam tanah sesudah tahun pertama
bukan dalam bentuk nitrat tetapi dalam bentuk bahan organik. Ketersediaan
N tanah dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti iklim dan macam
vegetasi yang kesemuanya dipengaruhi oleh keadaan setempat seperti
topografi, batuan induk, kegiatan manusia dan waktu.
Siklus Karbon
Carbon is the building block of life. Plants obtain carbon from
atmospheric carbon dioxide (CO2) through photosynthesis, during which
the chloroplasts in the plant cells convert CO2 to carbohydrates. It is the
cycling of carbon from the atmosphere through plants and algae, to
animals and micro-organisms and back to the atmosphere, that maintains
earth's atmosphere and climate in its current balance. The greenhouse
effect, or warming of the planet, is a consequence of an excess of
atmospheric CO2 caused by deforestation (reduced CO2 consumption)
and compounded by excessive fossil fuel energy use (increased CO2
production). Keeping the tanah covered with growing plants can make a
contribution to reducing global warming.
Carbon is a critical element in the formation of stable humus. The
carbon:nitrogen (C:N) ratio of the organic matter supplied to the tanah is
a controlling factor in this process. A ratio of about 20:1 is considered
ideal. If greater amounts of carbon are present, decomposition slows as
micro-organisms become nitrogen-starved and compete with the plants
for available nitrogen. Nitrate nitrogen practically disappears from the
tanah because microbes need nitrogen to build their tissues. If there is
too much tanah nitrogen, the decomposers produce soluble nutrients in
the form of effective humus, but little stable humus. These conditions can
give the advantage to weeds rather than the crop. A good C:N ratio will
result in the formation of both effective humus and stable humus. As
decay occurs, the C:N ratio of the plant material decreases since carbon
is being lost as CO2, and nitrogen is conserved. This process continues
until the micro-organisms run out of easily-oxidized carbon. The exuded,
undecomposed carbon persists as stable humus.
Siklus Fosfor
Phosphorus (P) is important in plant-cell division and growth. It is
a difficult nutrient to manage because, although abundant in the tanah, it
is often in a form unavailable to plants. In acidic tanahs (pH below 5) the
phosphorus gets tied up with iron and aluminum, and in alkaline tanahs
(pH above 7) it gets tied up with calcium. Even with a favorable pH,
phosphorus readily becomes immobilized by other tanah minerals.
Phosphorus anions may also be physically trapped in the clay-humus
complex. Phosphorus is lost from tanahs through tanah erosion, often at
a greater rate than it can be replaced from the underlying subtanahs. It
accumulates in lakes and slow-flowing rivers, causing eutrophication. The
elimination of tanah erosion is the first step in phosphorus conservation.
The addition of powdered rock phosphate or colloidal phosphate is a
precautionary measure which, used in conjunction with the biological
measures described below, can avoid phosphorus deficiency.
The release of P to plants depends on tanah biological activity,
particularly that of certain bacteria and mycorrhizal fungi. Tanah acids,
produced by these micro-organisms and by OM decomposition, release
phosphates. Phosphorus availability is therefore dependent on the
maintenance of high levels of biological activity and stable humus in the
tanah. Under these conditions, phosphorus is continually recycled
through the processes of OM decay. Some plants produce acidity around
their roots which assists in the uptake of P; examples of these are
legumes actively fixing nitrogen, rapeseed, oilradish and buckwheat.
(Sumber: http://filebox.vt.edu/users/chagedor/biol_4684/Cycles/Pcycle.html ;
diunduh 10/6/2011)
A TANAH-BASED VIEW OF THE PHOSPHORUS CYCLE
Initially, phosphate weathers from rocks. The small losses in a terrestrial
system caused by leaching through the action of rain are balanced in the
gains from weathering rocks. In tanah, phosphate is absorbed on clay
surfaces and onganic matter particles and becomes incorporated
(immobilized). Plants dissolve ionized forms of phosphate. Herbivores
obtain phosphorus by eating plants, and carnivores by eating herbivores.
Herbivores and carnivores excrete phosphorus as a waste product in urine
and feces. Phosphorus is released back to the tanah when plants or animal
matter decomposes and the cycle repeats.
---------------------------
Siklus P dalam tanah
Source : "Kikan Kagaku-sosetsu, 4" (Quaterly Chemistry 4), Science Society of
Japan, ed., "Chemisory of Tanah"
(http://www.env.go.jp/en/wpaper/1995/eae240000000010.html ; diunduh
10/6/2011)
-----------Siklus Kalium
Potassium (K) is important as an enzyme activator in plants. It is
involved in facilitating membrane permeability and translocation of
sugars. Potassium is also needed for photosynthesis, fruit formation,
winter hardiness, disease resistance, and amino acid and protein
formation. Potassium builds plant stalk strength. It does not, however,
form a permanent part of plant tissues, but is translocated to the stems
and roots during ripening. Thus, potassium is readily available in crop
residues -- roots, straw and corn stalks. Very little potassium is removed
with a grain crop at harvest if the straw is left on the field. Repeated
cutting for hay or silage without returning potash in the form of manure or
crop residues will quickly induce K deficiency.
Tanah potassium is present in minerals that dissolve slowly,
thereby limiting its availability. Potassium availability is regulated by
cation exchange. Potassium leaching increases as the amounts of clay
and humus decrease and therefore may be a problem in sandy tanahs. A
deep-rooting green manure will help prevent losses. Increased biological
activity and colloidal humus formation will increase potassium availability
by enhancing the CEC in the tanah. The addition of powdered basalt,
green sand and clay minerals has been found to correct potassium
deficiencies in a biologically active tanah. Manure is a good source of K if
care has been taken to minimize leaching during storage.
It has been reported that in some organic systems, low available
potash levels, according to tanah analyses, are not necessarily
associated with plant deficiencies or lower yields. This may be because
available K is immediately taken up by the growing plant.
Siklus kalium dalam tanah
(http://www.ca.uky.edu/agc/pubs/agr/agr11/agr11.htm; diunduh 10/6/2011)
Pemupukan Kalium
Crops require relatively large quantities of potassium. On tanahs where
potassium is not released within the plant root zone at rates sufficient to
meet the needs of a particular crop, applications of potassium fertilizers are
essential if high crop production is to be maintained. The best guide to
follow in planning a potassium fertilization program is the tanah test result
from a good representative tanah sample. Tanah test results along with past
fertilization, cropping history, the crop to be grown, and management of
crop residues are most helpful in determining if additional potassium is
needed and how much should be applied.
The most common source of potassium is muriate of potash (KCl or
potassium chloride). This source is satisfactory for all field crops grown in
Kentucky except tobacco. A non-chloride source of potassium such as the
sulfate or nitrate form should be used on tobacco because excessive
amounts of chlorine lower the quality of tobacco and can cause "white
stem."
Because of the reactions previously explained, all the potassium applied as
fertilizer is not used by crops the year in which it is applied. Even under
ideal conditions, only 40 to 50 percent of the potassium applied will be
recovered by the immediate crop. The remainder-held in the tanah - is
slowly released to succeeding crops, if erosion is controlled and there is no
sediment loss. Except for plant removal, erosion is about the only way
potassium will be lost from the rooting zone of silt loam and heaviertextured tanahs.
Unsur Hara Mikro
About one hundred elements have been found in living plants.
Carbon, hydrogen, and oxygen are the most abundant and are derived
from water, oxygen and carbon dioxide. The nutrients N, P, K, calcium
and magnesium have been discussed above. Of the other elements, we
know that sulfur, iron, copper, manganese, zinc, molybdenum, boron and
chlorine are required by plants in trace amounts. They are not
constituents of the plant structure, but contribute to plant growth and
development. Other elements, such as iodine, are essential to the
animals that eat the plants. Deficiencies occur in tanahs that lack an
inherent source of an element, or they can be caused by an imbalance in
tanah pH. Conversely, if certain micronutrients exceed trace levels, they
can be toxic to plants. The range between deficiency and excess is very
small. Therefore, micronutrients should not be applied unless a
deficiency is shown by leaf analysis or by visible plant symptoms.
Micronutrients are best applied via compost, or by a foliar spray. Either of
these methods is preferable to applying a trace mineral directly to the
tanah. In a biologically-active tanah with good CEC and balanced pH,
micronutrient deficiencies are rare. Products based on seaweed (kelp)
contain more than 80 elements, and organic farmers feed kelp meal as
mineral supplement to their livestock, or incorporate small amounts of
kelp products into compost as a precautionary measure against
micronutrient deficiency.
Udara, air dan drainage
Fundamental to tanah ecology is the cycling of water to the tanah
through precipitation and its return to the air through evaporation and
transpiration. Biological activity is dependent upon the balance of air and
water in the tanah. Too much water causes aerobic decomposition to
cease and anaerobic bacteria to take over, with damaging effects. For
example, nitrification, or the breakdown of nitrate nitrogen to gaseous
nitrogen, occurs as a result of anaerobic biological activity in the tanah.
Too little water also causes biological activity to slow down and hence
reduces the availability of nutrients.
The water available to plants is the moisture held mostly by
capillarity in small tanah pores. A tanah with a large number of small
pores, such as a clay-loam, will withstand drought much better than a
sandy tanah, which has few capillary pores. Large pores allow drainage
and air flow that supplies oxygen and nitrogen for root and microbial
growth. Both types of pore space are important for tanah fertility, and
both can be maintained and enhanced by the addition of organic matter
and humus to the tanah.
An ideal tanah has a high infiltration rate, and fairly slow hydraulic
conductivity. The infiltration rate is the rate at which water soaks into the
ground; if the infiltration rate is slower than the rate of precipitation, the
excess water will become surface run-off, with attendant erosion and
pollution hazards. Hydraulic conductivity is the rate at which water drains
through a saturated tanah. This action transports nutrients from the
surface layers to the rhizosphere. If the hydraulic conductivity is too fast,
nutrients will be leached out of the tanah and groundwater may become
polluted. Organic matter in the form of cover crops or mulch improves the
infiltration rate. When converted into humus through biological activity,
organic matter can lower the hydraulic conductivity of sandy tanahs.
Wet tanahs, if caused by high groundwater levels, tend to be
unsuitable for organic field crops and are often better left as permanent
pasture, or allowed to revert to natural habitat. If the water problem is
caused by compaction or hardpan, chisel plowing or subtanahing may
correct the situation. Earthworms, and crops with long tap roots such as
alfalfa, can then help to maintain the field in improved condition.
Solutions such as ditching or tile drainage should be very carefully
assessed for their environmental implications.
3. Ciri-ciri Fisika Tanah
Struktur Tanah
The term tanah structure is used to describe the way tanah
particles are grouped into aggregates. Tanah structure is affected by
biological activity, organic matter, cultivation and tillage practices. Tanah
fertility and structure are closely related. In an organic production system
tanah management techniques are designed to enhance tanah structure.
An ideal tanah structure is often described as granular or crumblike. It provides for good movement of air and water through a variety of
different pore sizes. Plant roots extend down and tanah animals,
including small earthworms, travel through the spaces between the
aggregates. An ideal tanah structure is also stable and resistant to
erosion. The clay-humus complex, in combination with adequate calcium
which helps to bind the aggregates together, forms the basis of this
structure. The glutinous by-products of tanah bacteria and the hair-like
threads of actinomycete and fungi mycelium add to tanah stability. Plant
roots also play a role in maintaining tanah structure.
All tillage operations change tanah structure. Excessive
cultivation, especially for seedbed preparation, can harm tanah structure.
Working clay tanahs when wet leads to compaction and subsequent
tanah puddling. The tanah is easily puddled by rain, easily eroded and
will have poor aeration. Tillage, when too dry, shatters the aggregates.
Careful cultivation, growing sod crops and returning crop residues can
enhance tanah structure. Organic matter and the humification process
improve structural stability, and can rebuild degraded tanah structures.
Therefore it is vital to return organic material to the tanah and to maintain
its biological activity.
Sifat Olah dan Pengolahan Tanah
Tilth is the term used by farmers to describe how easy it is to till
the tanah. It is determined by tanah structure, presence or absence of
hard-pans, tanah moisture and aeration. Tilth determines the tanah’s
fitness as a seedbed, especially for root penetration and shoot
emergence. However, if the deeper tanah layers are compacted or
cemented, plant roots will be prevented from getting to the stored water
in these layers and plant growth will be affected regardless of upper
tanah tilth.
Pengolahan tanah adalah suatu usaha untuk mempersiapkan lahan bagi
pertumbuhan tanaman dengan cara menciptakan kondisi tanah yang siap
tanam. Walaupun pengolahan tanah sudah dilakukan oleh manusia sejak
dahulu kala dan sudah mengalami perkembangan yang demikian pesat
baik dalam metode maupun peralatan yang digunakan, tetapi sampai saat
ini pengolahan tanah masih belum dapat dikatakan sebagai ilmu yang pasti
(eksakta) yang dapat dinyatakan secara kuantitatif. Belum ada metode yang
memuaskan yang tersedia untuk menilai hasil olah yang dihasilkan oleh
suatu alat pengolah tanah tertentu, serta belum dapat ditentukan suatu
kebutuhan hasil olah yang khusus untuk berbagai tanaman untuk lahan
kering.
Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa masalah pengolahan tanah
merupakan masalah yang penting untuk mendapatkan produksi pertanian
yang optimal. Kondisi tanah yang baik adalah salah satu faktor berhasilnya
produksi tanaman, dan untuk mencapai kondisi tanah yang baik diperlukan
alat-alat pertanian.
Akhir-akhir ini masalah yang utama didalam pembukaan dan pengolahan
tanah adalah bagaimana agar didapatkan efisiensi yang optimal. Hal ini
dimaksudkan dari pengertian minimal tillage yaitu pengolahan yang
seminimal mungkin, tetapi menghasilkan tanah yang baik dan
pertumbuhan tanaman yang optimal dengan biaya yang rendah.
Pekerjaan pengolahan tanah dapat dibagi menjadi pengolahan tanah
pertama dan pengolahan tanah kedua. Peralatan pengolahan tanah pertama
disebut juga pembajakan.
----------------
Tillage should be carried out under conditions that preserve good
tilth, that is, when tanah moisture conditions are optimum and there is
enough water to allow separation of the tanah aggregates, but not so
much as to induce puddling or compaction. The tanah should not stick to
your boots when you walk on it and it should break easily and crumble at
the deepest depth it is being tilled. This rule is more crucial for finetextured (clay) tanahs than for coarse-textured (sandy) tanahs.
A tillage system should work residues into the top 8 cm of the
tanah where it can be digested by the micro-organisms. It should also
leave some residue on the surface to reduce erosion potential. Annual
use of the moldboard plow can create a hardpan and bury organic matter
and living toptanah in an anaerobic zone. On many farms its use has
been replaced by the chisel plow which loosens, aerates and mixes the
tanah without burying all of the crop residue. If wisely used on tanah in
good tilth, the moldboard plow need not create problems and it is still
useful to turn a heavy sod. However, plowing should be kept as shallow
as possible. Overuse of offset discs in the spring can lead to compaction
problems and, in some cases, the S-tine cultivator is more appropriate for
seed bed preparation. In recent years, equipment modifications and new
combination tools have been developed to minimize the adverse effects
of tillage on tanah structure and to reduce the number of tillage
operations required.
Bajak dengan traktor tangan (Bajak Rotari Tipe Kebun Berpenggerak
Sendiri)
(http://gadogadobumbukacanginginberbagi.blogspot.com/2010/03/al
at-dan-mesin-pengolahan-tanah-5.html ; diunduh 10/6/2011)
Bajak Rotari / Pisau Berputar adalah bajak yang terdiri dari pisau-pisau
yang berputar. Berbeda dengan bajak piringan yang berputar karena
ditarik traktor, maka bajak ini terdiri dari pisau-pisau yang dapat
mencangkul yang dipasang pada suatu poros yang berputar karena
digerakan oleh suatu motor. Bajak ini banyak ditemui pada pengolahan
tanah sawah untuk pertanaman padi.
Ada tiga jenis bajak rotari yang biasa dipergunakam. Jenis pertama
yang disebut dengan tipe tarik dengan mesin tambahan (pull auxiliary
rotary engine). Pada jenis ini terdapat motor khusus untuk
menggerakkan bajak, sedangkan gerak majunya ditarik oleh traktor.
Jenis ke dua adalah tipe tarik dengan penggerak PTO (pull power take
off driven rotary plow). Alat ini digandengkan dengan traktor melalui
tiga titik gandeng (three point hitch). Untuk memutar bajak ini
digunakan daya dari as PTO traktor.
Jenis ke tiga adalah bajak rotari tipe kebun berpenggerak sendiri (self
propelled garden type rotary plow). Alat ini terdapat pada traktor-traktor
roda 2. Bajak rotari digerakkan oleh daya penggerak traktor melalui
rantai atau sabuk. Dapat juga langsung dipasang pada as roda,
sehingga disamping mengolah tanah bajak ini juga berfungsi sebagai
penggerak.
Tekstur Tanah
Tanah texture is a classification system based on mineral particle
size. It is a relatively permanent feature of the tanah that does not
change appreciably over a human lifetime. Tanahs are classified
according to the percentages of oven-dry weights of sand, silt and clay.
For example, a sandy tanah is composed principally of large sand
particles, whereas a loam contains more or less equal amounts of clay,
sand and silt. Organic matter is excluded from the texture classification.
Tanahs with a high silt content and those with a high clay content have
greater capacities for retaining water and available nutrients than sandy
tanahs. By adding small amounts of clay minerals to the tanah and by
encouraging the activities of earthworms to reduce the size of tanah
mineral particles, organic farmers can modify tanah texture to a small
degree, but the greatest effect of these amendments is on structure, as
discussed above.
Segitiga tekstur tanah (http://abuzadan.staff.uns.ac.id/2009/09/25/tanahtexture/ ; 10/6/2011)
Tekstur tanah adalah keadaan tingkat kehalusan tanah yang terjadi karena
terdapatnya perbedaan komposisi kandungan fraksi pasir, debu dan liat yang
terkandung pada tanah (Badan Pertanahan Nasional). dari ketiga jenis fraksi
tersebut partikel pasir mempunyai ukuran diameter paling besar yaitu 2 –
0.05 mm, debu dengan ukuran 0.05 – 0.002 mm dan liat dengan ukuran <
0.002 mm (penggolongan berdasarkan USDA). keadaan tekstur tanah
sangat berpengaruh terhadap keadaan sifat2 tanah yang lain seperti struktur
tanah, permeabilitas tanah, porositas dan lain2.
Segitiga tekstur merupakan suatu diagram untuk menentukan kelas2 testur
tanah. ada 12 kelas tekstur tanah yang dibedakan oleh jumlah persentase
ketiga fraksi tanah tersebut. misalkan hasil analisis lab menyatakan bahwa
persentase pasir (X) 32%, liat (Y) 42% dan debu (Z) 26%, berdasarkan
diagram segitiga tekstur maka tanah tersebut masuk kedalam golongan
tanah bertekstur Liat .
4. Mengevaluasi Tanah
Tanah evaluation is an ongoing process for the organic farmer.
Regular observation of the crops and of weed growth provides vital
information. The simple act of digging a hole in the field can reveal the
following information, which should be recorded:
• tanah profile, which describes the depth and color of the
different tanah horizons, or layers;
•
tanah structure, including stoniness and hardpan formation at
the various tanah horizons;
• earthworm populations and other tanah life; and
• root structures, noting whether roots enter the tanah structure,
follow fissures made by a chisel plow or subtanaher, or are
obstructed in any way.
The information gained from test holes can be used to find out
why one part of a field yields differently from another and to compare
tanah conditions from one year to the next. The plant populations under
these tanah conditions should be described at the same time, including
the density, vigor and composition of the weed population.
Uji Tanah (Tanah tests)
Conventional tanah tests are useful indicators. Tanah samples
should be taken at the same time each year, preferably under the same
conditions. The results, compared from year to year, enable the farmer to
evaluate the effectiveness of the management practices used and
determine what changes are required. It is also important to use the
same testing laboratory because different procedures can give different
results. Tanah samples taken during the growing season will give more
information on availability of nutrients than those taken when the microorganisms are not active. Most labs give information on texture, pH,
phosphorus, potassium and magnesium but other information useful to
organic farmers such as OM, CEC, calcium and micronutrient levels may
have to be specifically requested. Tanah nitrate profiles are used to
determine nitrogen levels in the drier tanahs of the Prairies. A nitrogen
test is now available in eastern Canada. Tissue analysis should be used
if micronutrient deficiency is suspected. New tests are currently being
developed which will help the organic farmer to gauge tanah biological
activity.
Some labs record results in ppm, others in lbs/acre. To convert
ppm to lbs/acre, multiply by 2. If results indicate low nutrient levels, check
to see if factors such as pH are limiting availability. Rotation plans may
need to be modified to include more tanah-building crops and more
emphasis given to increasing organic matter. Very low levels suggest the
need for tanah amendments such as finely-ground rock powders or
increased compost applications.
Percent base saturation of the exchangeable cations calcium,
magnesium and potassium is given by some labs. It is claimed that this
provides a guide for tanah mineral balance with desired levels being
potassium 2-7 per cent, magnesium 10-20 per cent and calcium 60-70
per cent. However, there is research that shows this is not appropriate in
Ontario especially where calcium content is naturally high. Organic
matter levels of 4-5 per cent are considered good.
An example of a tanah test report is given below.
[Figures 4, much reduced]
Another way of assessing tanah management practices is to look
at the quality of the crops grown. Some consultants are using the
refractometer to measure sugar content of the plant cell sap. The sugar
concentration is measured on the Brix scale. Plants under stress due to
lack of moisture or nutrients will give lower readings. Plants with high
readings are found to be more resistant to pests and disease.
Konsep Kualitas Tanah
Kualitas tanah merupakan kemampuan suatu tanah untuk
melakukan fungsi-fungsi yang esensial bagi manusia dan lingkungan.
Kualitas tanah tidak terbatas pada tanah-tanah pertanian, meskipun
kebanyakan kualitas tanah telah ditetapkan dalam sistem pertanian.
Definisi kualitas tanah menekankan beberapa karakteristik berikut ini.
Pengelolaan dapat mempengaruhi sifat-sifat tanah
Tanah quality assessments focus on the dynamic, or
management-affected, properties of tanah, such as nutrient status,
salinity, and water-holding capacity. These properties are assessed in the
context of the inherent capability of a particular tanah. Go to Inherent and
Dynamic Tanah Quality for more information. To learn more about how
management practices change tanah properties, go to Management.
Jasa-jasa esensial yang dihasilkan oleh tanah:
Tanahs support plant growth, recycle dead material, regulate and
filter water flows, support buildings and roads, and provide habitat for
many plants and animals. Depending on the land use, many of these
functions occur simultaneously. Tanah quality assessments go beyond
measuring degradation (erosion, compaction, or contamination) to focus
on these tanah functions and the processes that create them. Go to
Tanah Functions for more information.
Tanah dapat memenuhi tujuan ganda:
Tanah functions provide private benefits such as crop production
or structural support for buildings. Simultaneously, the same tanah may
provide societal benefits such as carbon sequestration, water quality
protection, or preservation of tanah productivity for future generations.
Evaluating tanah quality requires that we identify and prioritize these
benefits and pay attention to the interactions and tradeoffs among them.
Kualitas Tanah
There have been many definitions of tanah quality since the
introduction of the term by Warkentin and Fletcher (1977). Two of the
most concise definitions of tanah quality are:
"Fitness for use" (Larson and Pierce, 1991) and "the capacity of a
tanah to function” (Karlen et al., 1997). Taken together, these two
definitions means that tanah quality is the ability of the tanah to perform
the functions necessary for its intended use.
Probably the most comprehensive definition of tanah quality to
date was published by the Tanah Science Society of America's Ad Hoc
Committee on Tanah Quality (S-581) as "the capacity of a specific kind of
tanah to function, within natural or managed ecosystem boundaries, to
sustain plant and animal productivity, maintain or enhance water and air
quality, and support human health and habitation" (Karlen et al., 1997).
More definitions can be found in the book, "Defining Tanah
Quality for a Sustainable Environment" (Doran et al., 1994).
Modal alami tanah dan Jasa-jasa ekosistem
In current times we are facing unprecedented global
transformation of ecosystems. Rarely have changes in the global
resource pools occurred so quickly and with such potentially devastating
effects on the earth’s life support system. It is therefore critical that we
determine the vulnerability of tanahs locally and globally, understand the
consequences of imposed changes, assess the ability of tanahs to
perform important earth system and societal functions, and incorporate
this understanding into the decision-making process.
Given the unprecedented global changes (climate and land use
etc) there has been a growing recognition of the importance of identifying
and incorporating nature’s services into policymaking. The concept of
"ecosystem services" and "natural capital" is gaining traction as a way of
bridging the scientific-economic-policymaking divide so that the potential
impact of ecosystem modification can be evaluated and more fully
incorporated into decisions affecting society (National Research Council,
2005; Millennium Ecosystem Assessment, 2005).
The ecosystems approach (EA) is becoming established in UK
government thinking. Tanahs are a multi-functional resource that provide
a range of ecosystem goods and services and are composed of
important natural capital stocks identified in Table 1 (below). Tanah
natural capital is defined as “the stocks of mass, energy and their
organisation (entropy) within tanah” (Robinson et al., 2009). Whereas
tanah ecosystem services in Table 2 (below) are defined as “the
conditions and processes through which tanahs, and the organisms that
make them up, sustain and fulfil human life. They maintain tanah function
and biodiversity and provide ecosystem goods such as pharmaceuticals”
(altered from Daily, 1997).
Our research focuses on the development of the frameworks and
developing monitoring and modelling approaches to identify changes in
stocks, and the flow of goods and services through ecosystems.
Examples of recent projects include the evaluation of ecosystem services
from peat tanahs, and the impacts of using tree shelterbelts in uplands to
protect livestock and reduce flood risk in the lowlands.
Tanah Modal Alam
Masa
Pedatan
Inorganic material: i) Mineral stock and ii)
Nutrient stock
Bahan organik: (i) OM / Cadangan karbon
dan (ii) Organisme
Cairan
Kandungan Lengas Tanah
Gas
Udara Tanah
ENERGI
Energi Termal
Suhu Tanah
Energi Biomasa
Biomasa tanah
ORGANISASI
Struktur fisio-kimia
Orgabnisasi fisiko-kimia tanah, struktur tanah
Struktur Biotik
Orgabnisasi populasi biologis, jarringmakanan dan biodiversitas
Sruktur Spatio-temporal
Connectivity, patches dan gradients
JASA-JASA EKOSISTEM TANAH
PENUNJANG = SUPPORTING
Stabilitas dan penunjang fisik bagi tumbuhan
Unsur hara tanaman : Renewal, retention dan delivery
Habitat dan gene pool
PENGATURAN = REGULATING
Regulasi siklus unsure hara
Buffer, filter dan moderasi siklus hidrologis
Pembuangan limbah dan bahan organik
PENYEDIAAN
Bahan bangunan
KULTURAL = Budaya
Lokasi peninggalan sejarah, cagar arkhaeologis
Spiritual value, religious sites dan burial grounds
Fungsi Ekosistem Tanah
Fungsi Tanah: Jasa-jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya
tanah
We depend on tanah to perform many functions. Healthy tanah
gives us clean air and water, bountiful crops and forests, productive
rangeland, diverse wildlife, and beautiful landscapes. Tanah does all this
by performing five essential functions.
SIKLUS HARA - Tanah stores, moderates the release of, and
cycles nutrients and other elements. During these biogeochemical
processes, analogous to the water cycle, nutrients can be
transformed into plant available forms, held in the tanah, or even
lost to air or water.
PENYEDIAAN AIR - Tanah can regulate the drainage, flow and
storage of water and solutes, which includes nitrogen,
phosphorus, pesticides, and other nutrients and compounds
dissolved in the water. With proper functioning, tanah partitions
water for groundwater recharge and for use by plants and tanah
animals.
BIODIVERSITAS DAN HABITAT - Tanah supports the growth of
a variety of plants, animals, and tanah microorganisms, usually by
providing a diverse physical, chemical, and biological habitat.
FILTER DAN BUFFER - Tanah acts as a filter to protect the
quality of water, air, and other resources. Toxic compounds or
excess nutrients can be degraded or otherwise made unavailable
to plants and animals.
STABILITAS DAN PENUNJANG FISIK - Tanah has the ability to
maintain its porous structure to allow passage of air and water,
withstand erosive forces, and provide a medium for plant roots.
Tanahs also provide anchoring support for human structures and
protect archeological treasures.
Alternatif Fungsi Tanah
While there is no dispute that tanahs provides very important and
useful services, there is no one way to categorize these services.
Scientists have grouped these services in various ways, some of which
are listed below.
Menurut Larson and Pierce (1991):



Provide a medium for plant growth and biological activity
Regulate and partition water flow and storage in the
environment
Serve as an environmental filter and buffer in the
immobilization and degradation of environmentally hazardous
compounds :
Menurut Dailey (1997):

Buffering & moderation of hydrological cycle

Disposal of wastes and dead organic matter

Physical support

Retention and delivery of nutrients

Renewal of tanah fertility

Regulation of elemental cycles
Menurut Doran dan Parkin (1994):

Sustain plant & animal productivity

Maintain or enhance water & air quality

Support human health & habitation
Menurut Seybold et al. (1997):
 Sustain biological activity, diversity, & productivity
 Providing support for socioeconomic structures
 Protection of archeological treasures associated with human
habitation
 Water and solute flow
 Filtering & buffering of contaminants
 Nutrient cycling
Menurut Karlen et al. (1994):

Water entry, retention and supply

Resistance to stress and disturbance

Plant growth
Menurut Harris et al. (1996):

nutrient relations

water relations

toxicant relations

pathogen relations

rooting relations

aesthetic relations

physical stability
Tanah functions are difficult to measure directly, so they are
usually assessed by measuring tanah quality indicators.
Indikator Kualitas Tanah: Ukuran Keadaan Fungsional Tanah
Scientists use tanah quality indicators to evaluate how well tanah
functions since tanah function often cannot be directly measured.
Measuring tanah quality is an exercise in identifying tanah properties that
are responsive to management, affect or correlate with environmental
outcomes, and are capable of being precisely measured within certain
technical and economic constraints. Tanah quality indicators may be
qualitative (e.g. drainage is fast) or quantitative (infiltration= 2.5 in/hr).
Indikator yang ideal seharusnya:
 berkorelasi dengan proses ekosistem
 mengintegrasikan sifat dan proses fisika, kimia dan biologi
tanah
 dapat diakses oleh banyak pengguna
 sensitive terhadap pengelolaan dan iklim
 menjadi komponen dari database yang ada
 dapat diinterpretasikan
Doran and Parkin, 1996
There are three main categories of tanah indicators: chemical,
physical and biological. Typical tanah tests only look at chemical
indicators. Tanah quality attempts to integrate all three types of
indicators. The categories do not neatly align with the various tanah
functions, so integration is necessary. The table below shows the
relationship between indicator type and tanah function.
Kategori
Indikator
Fungsi tanah yang terkait
Kimia
Siklus Hara, Tata Air, Penyangga (Buffer)
Fisika
Stabilitas dan penunjang fisik, Tata Air, Habitat
Biologis
Biodiversitas, Siklus Hara, Filtering
Organic matter, or more specifically tanah carbon, transcends all
three indicator categories and has the most widely recognized influence
on tanah quality. Organic matter is tied to all tanah functions. It affects
other indicators, such as aggregate stability (physical), nutrient retention
and availability (chemical), and nutrient cycling (biological); and is itself
an indicator of tanah quality.
Some indicators are descriptive and can be used in the field as
part of a health card. Others must be measured using laboratory
analyses. Some examples of indicators that fall into the three broad
categories of chemical, physical and biological, are provided below.
Kategori-katagori Indikator
Chemical indicators can give you information about the
equilibrium between tanah solution (tanah water and nutrients) and
exchange sites (clay particles, organic matter); plant health; the
nutritional requirements of plant and tanah animal communities; and
levels of tanah contaminants and their availability for uptake by animals
and plants.
Indikator meliputi:

Daya hantar listrik = Electrical Conductivity (Ec)

Kandungan Nitrat Tanah

Reaksi Tanah (pH)

Lainnya...
Physical indicators provide information about tanah hydrologic
characteristics, such as water entry and retention, that influences
availability to plants. Some indicators are related to nutrient availability by
their influence on rooting volume and aeration status. Other measures
tells us about erosional status. Indicators include measures of:

Stabilitas Agregat Tanah

Kapasitas Air Tersedia

Bobot Isi Tanah

Infiltrtasi

Slaking

Kerak Tanah

Struktur Tanah dan Pori Makro

Lainnya ...
Biological indicators can tell us about the organisms that form the
tanah food web that are responsible for decomposition of organic matter
and nutrient cycling. Information about the numbers of organisms, both
individuals and species, that perform similar jobs or niches, can indicate
a tanah's ability to function or bounce back after disturbance (resistance
and resilience). Indicators include measures of:

Cacing tanah

Partikulat Bahan Organik

Nitrogen dapat dimineralisasi

Respirasi

Ensim-ensim Tanah

Total karbon organik
Siklus unsur hara
Tanah stores, moderates the release of, and cycles nutrients and
other elements. During these biogeochemical processes, analogous to
the water cycle, nutrients can be transformed into plant available forms,
held in the tanah, or even lost to air or water.
Siklus hara dapat dinilai dengan jalan mengukur indicator berikut
ini:
1. Indikator kesuburan tanah, termasuk N-nitrogen, N yang
dapat dimineralisasi, Nitrat-tanah, uji P-tanah, K, S, Ca, Mg, B
dan Zn
2. Indikator bahan organic, meliputi: C:N ratio, dekomposisi,
karbon biomasa mikroba, partikulat bahan organik, ensim
tanah , bahan organic, total karbon organic , dan total bahan
organik
3. Indikator reaksi Tanah, termasuk pH.
Tanah merupakan "switching yard" yang utama bagi siklus karbon
secara global, siklus air dan siklus unsure hara. C, N, P, dan banyak
unsure hara lainnya disimpan, dirombak, dan didaur-ulang melalui tanah.
Decomposition by tanah organisms is at the center of the
transformation and cycling of nutrients through the environment.
Decomposition liberates carbon and nutrients from the complex material
making up life forms-putting them back into biological circulation so they
are available to plants and other organisms. Decomposition also
degrades compounds in tanah that would be pollutants if they entered
ground or surface water.
Decomposition is a stepwise process involving virtually all tanah
organisms. Arthropods and earthworms chew the material and mix it with
tanah. A few fungi may break apart one complex compound into simpler
components, then bacteria can attack the newly created compounds, and
so on. Each organism gets energy or nutrients from the process. Usually,
but not always, compounds become simpler after each step. The portion
of plant and animal residue that is not broken down plays a crucial role in
tanah. It is transformed into the highly complex organic compounds
called humic substances that can persist in tanah for centuries and are
important to tanah structure and nutrient storage.
Carbon Dioxide dan Tanah
The carbon cycle illustrates the role of tanah in cycling nutrients
through the environment. More carbon is stored in tanah than in the
atmosphere and above-ground biomass combined. Tanah carbon is in
the form of organic compounds originally created through photosynthesis
in which plants convert atmospheric carbon dioxide (CO2) into plant
matter made of organic carbon compounds, such as carbohydrates,
proteins, oils, and fibers. The organic compounds enter the tanah system
when plants and animals die and leave their residue in or on the tanah.
Immediately, tanah organisms begin consuming the organic matter,
extracting energy and nutrients and releasing water, heat, and CO2 back
to the atmosphere. Thus, if no new plant residue is added to the tanah,
tanah organic matter will gradually disappear. If plant residue is added to
the tanah at a faster rate than tanah organisms convert it to CO2, carbon
will gradually be removed from the atmosphere and stored (sequestered)
in the tanah. Cultivation aerates the tanah, triggering increased biological
activity, and therefore rapid decomposition, loss of tanah organic matter,
and release of CO2 into the atmosphere. Most tanah carbon losses occur
in the first several years after cultivation begins, as took place in many
U.S. tanahs in the 1800's. Farmers and other conservationists are
interested in reversing that effect and increasing the amount of carbon
stored in the tanah. In general, reducing tillage can increase the extent of
carbon sequestration and the amount of organic matter retained in the
tanah.
Tata Air (Water Relations)
Tanah can regulate the drainage, flow and storage of water and
solutes, which includes nitrogen, phosphorus, pesticides, and other
nutrients and compounds dissolved in the water. With proper functioning,
tanah partitions water for groundwater recharge and use by plants and
animals.
Tata air dalam Tanah dapat dinilai dengan jalan mengukur atau
mengamati indicator berikut ini.
1. Physical Stability Indicators including aggregate stability,
erosion patterns, slaking, tanah loss, and tanah depth
2. Water Availability Indicators including available water
capacity, hydraulic conductivity, infiltration, ponding patterns,
tanah moisture, water filled pore space, and water holding
capacity
3. Salinity and Sodicity Indicators including electrical
conductivity, exchangeable sodium percentage, sodium, and
sodium absorption ratio
When rain or irrigation water falls to earth, some of the water will
infiltrate into the tanah and some will flow over the surface. If the tanah is
loose, porous, and has a stable structure, a drop of water will be likely to
infiltrate. If the tanah has few openings and unstable structure so that a
crust forms and seals the tanah surface, a drop of water will be more
likely to run over the surface. Plants are also important in determining the
fate of water. Leaves intercept water so some evaporates before it ever
reaches the tanah, and leaves and plant residue protect the tanah so rain
hits more gently. Roots and residue slow down the flow of water over
land so water has more time to soak in.
If the tanah becomes saturated, some water will drain down to
groundwater. The remainder will be held in the tanah until it evaporates
or is drawn into plant roots, eventually transpiring from leaves. At all
these stages water is carrying sediment, organic matter, plant nutrients
such as nitrogen and phosphorus, pesticides, and other dissolved or
suspended compounds. Water flowing over the surface may carry
sediment and nutrients into lakes. Water draining into groundwater may
contain nitrate or pesticides. Where does rainwater go after it falls on
your property? During a downpour, watch where it flows and where it
ponds. After the rain, notice how the tanah surface dries more slowly
under residue or mulch compared to bare tanah.
Biodiversits dan Habitat
Tanah mendukung pertumbuhan dan perkembangan beragam
tumbuhan, binatang dan mikroba tanah; biasanya dengan jalan
menyediakan beragam habitat fisika, kimia dan biologis.
Kemampuan tanah menunjang kehidupan tanaman dan binatang
dapat dinilai dengan jalan mengukur indicator berikut ini:
1. Indikator aktivitas biologis, meliputi fungi yang aktif, cacing
tanah, biomasa mikroba, N yang dapat dimineralisasi,
respirasi, ensim-ensim tanah.
2. Indikator diversitas Biologis, meliputi diversitas habitat dan
indeks diversitas organisme, seperti bakteri, makro dan
mikro artropoda, nematode dan tumbuhan.
Apa yang diperlukan oleh tumbuhan, binatang dan mikroba
dari tanah?
Microba memerlukan tanah untuk:



MAKANAN. Most microbes need regular inputs of organic
matter (e.g. plant residue) into the tanah.
RUANG. Larger tanah organisms such as nematodes and
insects need enough space to move through tanah.
UDARA. Most tanah organisms require air, though some
require a lack of oxygen. They live in low-oxygen micro-sites
such as within tanah aggregates. Generally, tanah biological
activity is enhanced by an increase in tanah aeration.
Tumbuhan memerlukan tanah untuk:
 Mendukung aktivitas mikroba yang diperlukan untuk
pertumbuhan tanaman.
 Mendukung pertumbuhan akar tanaman, dan resistensi
minimum bagi penetrasi akar.
 Intake dan retensi air dalam tanah, sambil menjaga
kecukupan aerasinya.
 Pertukaran udara-tanah dengan atmosfir.
 Melawan erosi.
 Sumber unsure hara mineral dan bahan organik.
 Petani memerlukan tanah untuk melakukan operasi
pertaniannya.
Binatang dan manusia memerlukan tanah untuk:
 Pertumbuhan tanaman yang sehat.
 Ketersediaan hara esensial bagi kesehatan binatang. Unsur
hara ini diserap oleh tanaman, tetapi belum tentu esensial
bagi pertumbuhan tanaman.
Semua organisme memerlukan tanah untuk:

Senyawa toksik yang rendah.

Menyaring air dan udara.
At a landscape scale, a variety of tanah environments are needed
to support a variety of plants, animals, and microorganisms. (Lists
adapted from Yoder, 1937, and Cihacek, 1996.)
Diversitas Tanah dan Organisme Tanah
Each animal, plant, and microbe species requires a slightly
different habitat. Thus, a wide variety of habitats are required to support
the tremendous biodiversity on earth. At the microbial level, diversity is
beneficial for several reasons. Many different organisms are required in
the multi-step process of decomposition and nutrient cycling. A complex
set of tanah organisms can compete with disease-causing organisms,
and prevent a problem-causing species from becoming dominant. Many
types of organisms are involved in creating and maintaining the tanah
structure that is important to water dynamics in tanah. Many antibiotics
and other drugs and compounds used by humans come from tanah
organisms. Most tanah organisms cannot grow outside of tanah, so it is
necessary to preserve healthy and diverse tanah ecosystems if we want
to preserve beneficial microorganisms. Estimated numbers of tanah
species include 30,000 bacteria; 1,500,000 fungi; 60,000 algae; 10,000
protozoa; 500,000 nematodes; and 3,000 earthworms (Pankhurst, 1997).
Penyaring dan Penyangga
Tanah acts as a filter to protect the quality of water, air, and other
resources. Toxic compounds or excess nutrients can be degraded or
otherwise made unavailable to plants and animals.
The filtering function of tanah can be assessed by measuring or
observing the following indicators:
Toxicity Indicators including arsenic, copper, pesticides, and zinc
Organic Matter Indicators including C:N ratio, decomposition,
microbial biomass carbon, particulate organic matter, tanah organic
matter, total organic carbon, and total organic matter
Indikator reaksi tanah termasuk pH
Salinity and Sodicity Indicators including electrical conductivity,
exchangeable sodium percentage, sodium, and sodium adsorption ratio
Biological Activity and Diversity Indicators including active fungi,
earthworms, potentially mineralizable nitrogen, respiration, tanah
enzymes, and diversity indices for organisms such as bacteria, macro
and microarthropods, nematodes, and plants.
The minerals and microbes in tanah are responsible for filtering,
buffering, degrading, immobilizing, and detoxifying organic and inorganic
materials, including industrial and municipal by-products and atmospheric
deposits. Tanah absorbs contaminants from both water and air. Some of
these compounds are degraded by microorganisms in the tanah. Others
are held safely in place in the tanah, preventing contamination of air and
water. When the tanah system is overloaded, such as with the excess
application of fertilizer or manure, or when the tanah is unstable, some
contaminants will be released back to the air and water through erosion
or leaching.
Stabilitas dan Penunjang Fisik
Tanah has the ability to maintain its porous structure to allow
passage of air and water, withstand erosive forces, and provide a
medium for plant roots. Tanahs also provide anchoring support for
human structures and protect archeological treasures.
The stability and support function of tanah can be assessed by
measuring the following indicators:
1. Stabilitas Tanah dan Ukuran Agregat; Indikator stabilitas
tanah meliputi pola erosi, kedalaman tanah, kehilangan tanah,
diameter agregat tanah yang tahan air, stabilitas aggregat ,
dan tanah slaking
2. Indikator struktur Tanah meliputi bobot isi, ketahanan
penetrasi, porositas, atau pola pertumbuhan tanaman
3. Indikator bahan organic, termasuk BOT atau total C-organik
4. Karakteristik tanah yang penting seperti tekstur tanah dan
distribusi ukuran partikel, memegang peran penting dalam
stabilitas fisik.
Tanah support is necessary to anchor plants and buildings. Both
flexible (it can be dug) and stable (it can withstand wind and water
erosion), tanah also provides valuable long-term storage options
including protecting archeological treasures and land-filling
human garbage. The need for structural support can conflict with
other tanah uses. For example, tanah compaction may be
desirable under roads and houses, but can be devastating for the
plants growing nearby.
Dinamika ekosistem tanah
Feedbacks of terrestrial ecosystems to atmospheric and climate
change depend on tanah ecosystem dynamics. Tanah ecosystems can
directly and indirectly respond to climate change. For example, warming
directly alters microbial communities by increasing their activity. Climate
change may also alter plant community composition, thus indirectly
altering the tanah communities that depend on their inputs. To better
understand how climate change may directly and indirectly alter tanah
ecosystem functioning, we investigated old-field plant community and
tanah ecosystem responses to single and combined effects of elevated
[CO2], warming, and precipitation in Tennessee (USA). Specifically, we
collected tanahs at the plot level (plant community tanahs) and beneath
dominant plant species (plant-specific tanahs). We used microbial
enzyme activities and tanah nematodes as indicators for tanah
ecosystem functioning (Kardol et al., 2010) .
Dua hasil penelitian penting adalah
(1) verall, while there were some interactions, water, relative to
increases in [CO2] and warming, had the largest impact on
plant community composition, tanah enzyme activity, and
tanah nematodes. Multiple climate-change factors can
interact to shape ecosystems, but in our study, those
interactions were largely driven by changes in water.
(2) ndirect effects of climate change, via changes in plant
communities, had a significant impact on tanah ecosystem
functioning, and this impact was not obvious when looking at
plant community tanahs. Climate-change effects on enzyme
activities and tanah nematode abundance and community
structure strongly differed between plant community tanahs
and plant-specific tanahs, but also within plant-specific
tanahs.
These results indicate that accurate assessments of climatechange impacts on tanah ecosystem functioning require incorporating the
concurrent changes in plant function and plant community composition.
Climate-change-induced shifts in plant community composition will likely
modify or counteract the direct impact of atmospheric and climate change
on tanah ecosystem functioning, and hence, these indirect effects should
be taken into account when predicting the manner in which global change
will alter ecosystem functioning.
Nilai suatu Tanah
Isu-isu soial dan kualitas tanah
Nutrient cycling, water regulation, and other tanah functions are
normal processes occurring in all ecosystems. From these functions
come many benefits to humans, such as food production, water quality,
and flood control, which have value economically or in improved quality
of life. People can increase or decrease the value of tanah benefits
because land-management choices affect tanah functions. Thus, it is
important to understand what benefits we derive from tanah and their
value so we can appreciate the importance of managing land in a way
that maintains tanah functions.
Tanah mempunyai manfaat sosial
People tend to emphasize benefits with the most direct, private
economic value. In rural areas, this is usually plant growth especially as
crops and rangeland, but also as recreation areas. In urban/suburban
areas, the most direct economic benefits of tanah relate to structural
support for buildings, roads, and parking. Landscaping, gardening and
parklands may also be valued economically.
Those are all on-site, short-term benefits. That is, the landowner
who decides how to manage the tanah also reaps the benefits (and
costs) of those management decisions. In contrast, many important
benefits are long-term or go beyond the land being managed. The
landholders who make the management choices and pay the costs of
managing land may not be the same people who are affected by the
landholders decisions. Society should discuss the value of these off-site
benefits and to what extent the land owner or society should pay to
maintain these tanah functions.
Manfaat publik dari tanah berhubungan dengan isu-isu
sumberdaya berikut ini:
1. Kualitas air sungai danau, laut, dan groundwater
2. Kualitas udara, terutama partikulates
3. Gas rumah-kaca, termasuk CO2, methane, dan nitrous
oxide.
4. Biodiversity
5. Aliran air dan control banjir
6. Sustainabilitas dan produktivitas lahan
7. Estetika.
Ikhtisar manfaat-manfaat tanah:
Fungsi Tanah
Siklus
Hara
Manfaat dan Nilai bagi Manusia
On-site
Off-site
Menyediakan
hara
bagi Memperbaiki kualitas air
tanaman
dan udara
Unsur
Cadangan
karbon
dapat Penyimpanan N dan C
ememperbaiki beragam fungsi dapat mereduksi emisi gas
tanah
rumahkaca
Menjaga
Biodiversitas
dan Habitat
Mendukung
pertumbuhan
tanaman pangan, pakan dan
tegakan pohon
Meningkatkan resistensi dan
resiliensi
terhadap
stress
lingkungan
Mereduksi resistensi pestisida
Membantu
memelihara
ragam genetik
Mendukung spesies liar
dan
mereduksi
laju
kelangkaan
Memperbaiki
estetika
bentang-lahan
Tata Air
Kontrol erosi
Memungkinkan
pengisian
kembali air sungai dan danau
secara on-site
Menyediakan
air
bagi
tumbuhan dan binatang
Kontrol
banjir
dan
sedimentasi
Mengisi
cadangan
groundwater
Filter
buffer
Dapat menjaga kandungan
dan garam, logam, dan hara mikro Memperbaiki kualitas air
pada tingkat yang sesuai dan udara
dengan tanaman dan binatang
Berfungsi
sebagai
media
Stabilitas dan
Menjaga
warisan
pertumbuhan tanaman
Penunjang
archeologis
Mendukung bangunan dan
Fisik
Menyimpan sampah
jalan raya
Fungsi Ganda Melestarikan productivitas
Memelihara
dan
memperbaiki kualitas air
dan udara
Stabilitas Ekosistem Tanah
Resistensi dan resiliensi: hubungan antara stabilitas dan
sustainabilitas.
Ecosystem stability is an important corollary of sustainability. Over
time, the structure and function of a healthy ecosystem should remain
relatively stable, even in the face of disturbance. If a stress or
disturbance does alter the ecosystem is should be able to bounce back
quickly.
Stabilitas ekosistem mempunyai dua komponen:
1. RESISTENSI (Resistance) – kemampuan ekosistem untuk
terus berfungsi tanpa perubahan, pada saat ada
gangguan.
2. KETAHANAN (Resilience) – kemampuan ekosistem untuk
pulih kembali setelah mengalami gangguan. (Odum, 1989;
Seybold et al., 1999)
Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas ekosistem:
 Frekuensi dan intensitas gangguan (frekuensi dan macam
pengolahan tanah)
 Diversitas Species (intercropping atau rotasi), interaksi
(kompetisi air dan unsure hara dengan spesies gulma), dan
strategi sejarah hidup (apakah suatu spesies tumbuh cepat
dan menghasilkan banyak biji ataukah tumbuhnya lambat
dengan menghasilkan sedikit biji)
 Kompleksitas Trofik (banyaknya fungsi yang dapat dilakukan),
redundancy (banyaknya populasi yang melakukan setiap
fungsi), struktur jaring-jaring makanan (bagaimana interaksi
antar semua kelompok)
 Laju aliran hara dan energi (seberapa cepat unsur hara dan
energi bergerak masuk atau ke luar dari sistem , atau disebut
efisiensi input : output).
Praktek-praktek
agroekosistem:
untuk
Faktor Stabilitas
Contoh-contoh
Faktor-faktor
Pupuk dan Pestisida
MIneralisasi bahan
pembenah organic,
Dampak pestisida pada
jasad non-target
Disturbansi
(frequensi
intensitas)
meningkatkan
stabilitas
dan
fungsi
dan
KIMIA
Introduksi spesies
eksotik dan gulma
BIOLOGIS
FISIKA
Frekuensi dan macam
pengolahan tanah
Pengolahan tanah
minimum atau tanpa olah
tanah
Sumberdaya genetic
(tanaman)
Kompetisi air dan hara
(gulma)
Intercropping vatietas
tanaman
Beragam tinggi tanaman
(untuk meningkatkan
ruang niche di antara
serangga predator)
Intercropping spesies
Beragam saat
penanaman
Pergiliran tanaman
DIVERSITAS
SPESIES
STRUKTUR
HABITAT
ATAU
Temporal
KOMPLEKSITAS
KELOMPOK
TROFIK
(untuk semua tipe
Banyaknya fungsi-fungsi
kompleksitas) Praktekyang dimainkan
praktek yang memperbaiki
habitat tanah
REDUNDANSI
Banyaknya populasi
yang mendukung setiap
fungsi
Organisme, seperti bahan
organic epembenah,
mereduksi gangguan
Bagaimana interaksi
antar kelompok
Meningkatkan diversitas
sumberdaya dan niches
(habitat)
Kecepatan aliran hara
atau energi melalui
system
Input rendah, bahan
organic tinggi ,………...
Efisiensi Input:Output
Mengeliminir aplikasi yang
berlebihan
STRUKTUR JARING
MAKANAN
ALIRAN HARA DAN
ENERGI
Gangguan dan Stabilitas Ekosistem
Gangguan ekosistem dapat bersifat alamiah atau gangguan
akibat dari kegiatan manusia. Gangguan alamiah misalnya berupa badai
topan atau. Gangguan akibat dari kegiatan manusia contohnya adalah
pengolahan tanah atau aplikasi pestisida.
Redundansi struktur dan fungsi ekosistem
seringkali
menghasilkan stabilitas system. Misalnya, kalau ada lebih dari satu
populasi mikroba (redundant) yang merombak ammonium menjadi nitrate
dan ada gangguan yang memusnahkan satu populasi, maka fungsi
nitrifikasi masih dapat dilanjutkan oleh populasi yang masih ada.
Because agroecosystems have reduced structural and functional diversity,
they have less resilience than natural systems (Gleissman, 1998). The
expected outputs from the system (yield) cannot be sustained without
human inputs, therefore humans are a integral part of agroecosystems.
Suatu konsep yang berhubungan dengan stabilitas ekosistem
adalah Hipotesis Gangguan Intermedier, yang menyatakan bahwa
tingkat tertinggi dari diversitas akan terwujud pada kondisi tingkat
gangguan intermedier (frequency atau intensitas). Diversitas biasanya
didefinisikan dalam bentuk demografi spesies (yaitu kekayaan spesies
atau banyaknya spesies di suatu area), tetapi definisi fungsional belum
pernah terjadi sebelumnya.
Ekosistem yang mengalami gangguan pada tingkat intermedier
biasanya akan mempunyai diversitas yang tertinggi, redundansi terbesar
dan oleh karenanya mempunyai stabilitas paling besar. Dengan kata lain,
stabilitas dapat tercermin pada jumlah spesies di suatu area atau jumlah
fungsi yang dimainkannya. Dengan cara seperti ini, resistensi ekosistem
dapat didefinisikan untuk setiap fungsi ekosistem tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Balfour, E. 1975. The Living Tanah and the Haughley Experiment, Faber
and Faber, London, 1975, 382 pp.
Belanger, J. 1977. Tanah Fertility, Countryside Press, Waterloo,WN,
1977, 160 pp.
Cihacek, L.J., W.L. Anderson and P.W. Barak. 1996. Linkages between
tanah quality and plant, animal, and human health. In: Methods
for Assessing Tanah Quality, SSSA Special Publication 49.
Dailey, G. 1997. Nature's Services. Island Press, Washington DC.
Daily, G.C., Matson, P.A., Vitousek, P.M. 1997. Ecosystem services
supplied by the tanah. pp 113-132. In G.C. Daily (ed.) Nature's
services: Societal dependence on natural ecosystems. Island
Press, Washington DC.
Doram, D. 1991. "Measuring Crop Quality with the Refractometer",
Synergy, Vol. 3, No. 2, Spring 1991, pp. 32-34
Doran, J.W. and T.B. Parkin. 1994. Defining and assessing tanah quality.
In J.W. Doran, D. C. Coleman, D.F. Bezdicek and B.A. Stewart,
eds. Defining Tanah Quality for a Sustainable Environment.
SSSA, Inc., Madison, Wisconsin, USA.
Doran, J.W. and T.B. Parkin. 1996. Quantitative indicators of tanah
quality: a minimum data set. In J.W. Doran and A.J. Jones, eds.
Methods for Assessing Tanah Quality. SSSA, Inc., Madison,
Wisconsin, USA.
Doran, J.W., D.C. Coleman, D.F. Bezdicek, and B.A. Stewart. 1994.
Defining Tanah Quality for a Sustainable Environment. SSSA
Spec. Publ. No. 35, Tanah Sci. Soc. Am., Inc. and Am. Soc.
Agron., Inc., Madison, WI.
Gershuny G. dan J. Smillie. 1986. The Soul of Tanah, Gaia Services,
Erle, Que., 1986, 109 pp.
Gleissman, S.R. 1997. Agroecology: Ecological Processes in Sustainable
Agriculture. Ann Arbor Press, Chelsea, MI.
Harris, R.F., D.L. Karlen and D.J. Mulla. 1996. A conceptual framework
for assessment and management of tanah quality and health. In
J.W. Doran and A.J. Jones, eds. Methods for Assessing Tanah
Quality. SSSA, Inc., Madison, Wisconsin, USA.
Kardol, P., M.A. Cregger, C.E. Campany, dan A.T. Classen. 2010. Tanah
ecosystem functioning under climate change: plant species and
community effects. Ecology. 2010 Mar; 91(3): 767-81.
Karlen, D.L. and D.E. Stott. 1994. A framework for evaluating physical
and chemical indicators of tanah quality. In J.W. Doran, D.C.
Coleman, D.F. Bezdicek and B.A. Stewart, eds. Defining Tanah
Quality for a Sustainable Environment. SSSA, Inc., Madison,
Wisconsin, USA.
Karlen, D.L., M.J. Mausbach, J.W. Doran, R.G. Cline, R.F. Harris, and
G.E. Schuman. 1997. Tanah quality: A concept, definition, and
framework for evaluation. Tanah Sci. Soc. Am. J. 61:4-10.
Larson, W.E. and F.J. Pierce. 1991. Conservation and enhancement of
tanah quality. Evaluation of Sustainable Land Management in the
Developing World, International Board for Tanah Research and
Management, Bangkok, Thailand.
Larson, W.E., and F.J. Pierce. 1991. Conservation and enhancement of
tanah quality. In: J. Dumanski, E. Pushparajah, M. Latham, and
R. Myers, eds. Evaluation for Sustainable Land Management in
the Developing World. Vol. 2: Technical Papers. Proc. Int.
Workshop., Chiang Rai, Thailand. 15-21 Sept. 1991. Int. Board for
Tanah Res. and Management, Bangkok, Thailand.
Millennium Ecosystem Assessment (MA). 2005. Ecosystems and human
well-being: Synthesis. Island Press, Washington DC.
National Research Council. 2005. Valuing ecosystem services: Toward
better environmental decision-making. National Academy Press,
Washington DC.
Odum, E.P. 1989. Ecology and Our Endangered Life Support Systems.
Sinauer Associates, Inc., Sunderland, MA.
Pankhurst,C.E. 1997. Biodiversity of tanah organisms as an indicator of
tanah health. In: Biological Indicators of Tanah Health. CAB
International.
Robinson, D.A., Lebron, L., Vereecken, H. 2009. On the definition of the
natural capital of tanahs: A framework for description, evaluation
and monitoring. Tanah Sci. Am. J. 73: 1904-1911.
Seybold, C.A., J.E. Herrick and J.J. Brejda. 1999. Tanah resilience: A
fundamental component of tanah quality. Tanah Science 164:224234.
Seybold, C.A., M.J. Mausbach, D.L. Karlen and H.H. Rogers. 1997.
Quantification of tanah quality. In R. Lal, J.M. Kimble, R.F. Follett
and B.A. Stewart, eds. Tanah Processes and the Carbon Cycle.
CRC Press. Washington, D.C., USA.
Singer, M.J., and S. Ewing. 2000. Tanah Quality. In: M.E. Sumner (Ed.in-Chief) Handbook of Tanah Science. CRC Press, Boca Raton,
FL.
Waksman, S. 1948. Humus, Wiley & Sons, New York, NY, 1948
Waksman, S. 1952. Tanah Microbiology, Wiley & Sons, New York, NY,
1952.
Warkentin, B.P. and H.F. Fletcher. 1977. Tanah quality for intensive
agriculture. Proc. Int. Sem. on Tanah Environ. and Fert. Manage.
in Intensive Agric. Soc. Sci. Tanah and Manure, Natl. Inst. of
Agric. Sci., Tokyo.
Yoder, R.E. 1937. The significance of tanah structure in relation to the
tilth problem. Tanah Sci. Soc. Am. Proc. 2:21-33.
Download