EKOSISTEM TANAH Bahan kajian MK. Manajemen Agroekosistem FPUB April 2010 Diabstraksikan oleh Prof Dr Ir Soemarno MS Dosen Jur Tanah FPUB “Ecology” merupakan kajian ilmiah tentang hubungan antara orgabnisme dengan lingkungan hidupnya. “Ecosystem” adalah semua organism pada suatu tempat tertentu yang berinteraksi dengan lingkungan abiotiknya. Tanah merupakan “thriving ecosystem” dari tumbuhan dan binatang yang memegang peranan penting dalam tanah. Tumbuhan dan binatang tersebut mampu mengubah komposisi dan struktur ekosistem tanah dengan berbagai cara. Akar-akar tumbuhan mendapatkan energi untuk pertumbuhannya dari gula-gula melalui proses fotosintesis yang berlangsung di dalam daun-daunnya. Akar tersebut tumbuh berkembang di dalam tanah dengan gaya yang cukup besar untuk membuat jalan menembus di antara partikel-partikel tanah. Akar tumbuhan cukup kuat untuk menembus batuan kalau ia tumbuh ke dalam suatu retakan batuan. Akar tumbuhan mampu menyerap air dan hara dari dalam tanah, kadangkala dari kedalaman tanah yang “sangat dalam” dan mengangkutnya ke permukaan tanah. The plant uses most of what it has collected by the roots to grow larger and produce seed such a wheat that we use to make bread. The remaining nutrients and as plant roots die are used the following growing season by another plant. Keep in mind, for all of the plant mass you see above ground, there is an equal or greater mass of roots growing beneath the surface. Tanah merupakan “tim” yang bagus bersama dengan binatangbinatang yang ada di dalamnya. Beberapa di antaranya seperti cacing tanah, semut, rayap, dan binatang-binatang yang membuat liang dalam tanah. Tetapi organisme lainnya seperti bacteria, fungi dan nematodes memerlukan mikroskop untuk dapat mengamatinya. Cacing tanah merupakan binatang yang sangat menarik untuk dikaji secara lebih mendalam. Jumlah cacing tanah ini diperkirakan dapat mencapai 200 - 1000 pounds per acre. Mereka memakan bahan organic dan aprtikel tanah pada saat ia membuat liang di dal;am tanah. Cacing ii mencerna bahan organic dan mengeluiarkan kotorannya yang kaya hara ke luar tubuhnya. Daur ulang hara seperti ini dapat membuat tanah menjadi lebih kaya hara tersedia. Selain itu lubang-lubang cacing tanah ini juga memungkinkan udara dan air menembus tanah dengan lebih cepat. Sumber: http://www.mo15.nrcs.usda.gov/features/wistanah/sld003.htm (8 /6/2011) Tanahs are rich ecosystems, composed of both living and nonliving matter with a multitude of interaction between them. Tanahs play an important role in all of our natural ecological cycles ? carbon, nitrogen, oxygen, water and nutrient. They also provide benefits through their contribution in a number of additional processes, called ecosystem services. These services range from waste decomposition to acting as a water filtration system to degrading environmental contaminants. The diversity and abundance of life that exists within the tanah is greater than in any other ecosystem. A handful of tanah can contain billions of different organisms that play a critical role in tanah quality to support plant growth. Although we understand the vital services that these organisms provide by breaking down organic debris (plants, animals, and other organic materials) and recycling nutrients, scientists have only begun to study the rich and unique diversity that is a part of the tanah ecosystem. Siklus Ekologi Setiap siklus ekologi bersifat unik, walaupun unsure-unsur yang serupa dapat muncul pada beberapa siklus ekologi. Kebanyakan unsure bergerak di antara atmosphere (udara), hydrosphere (air), lithosphere (lahan) dan biosphere (organisme), sikuls unsure yang lainnya terbatas pergerakannya di antara batuan dan tanah dan tumbuhan dan binatang. Akan tetapi unsure hara dari siklus yang terbatas ini, seperti K, Ca, P, dan Mg ternyata bersifat esensial bagi organisme. Sumberdaya air dan nitrogen, keduanya sangat esensial bagi semua kehidupan, bertahan secara konstan di dalam daurnya; berarti bahwa perubahannya hanyalah dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Siklus air ternyata sangat dinamis, karena air dapat berubah dari bentuk uap (gas) menjadi cairan menjadi salju dan menjadi es. Peranan tanah dalam proses ini adalah melalui infiltrasi, simpanan air, dan transpirasi. Nitrogen, yang menyusun lebih dari tiga-perempat atmosfer bumi, harus dirombak menjadi bentuk-bentuk lainnya untuk dapat dimanfaatkan oleh organisme hidup. Dalam siklus nitrogen, bakteri tanah mampu mengubah nitrogen menjadi bentuk hara yang tersedia bagi tumbuhan , binatang dan manusia (disebut proses fiksasi nitrogen secara biologis), sebelum akhirnya N dikembalikan ke atmosfir. Oxygen is unique in that it not only has its own cycle, it is often integrated into elements within other ecological cycles, as water (H2O), carbon dioxide (CO2), iron oxide (Fe2O3), and many others. Within the biosphere, photosynthesis is the key driver of the oxygen cycle as plants take in carbon dioxide and expel oxygen for animal and human use. Additionally, in water, oxygen is constantly being dissolved and consumed by microorganisms leading to balance. The carbon cycle is by far the cycle of greatest interest due to its importance in both climate change and global warming. Tanah plays a critical role in this cycle since the majority of carbon in the atmosphere comes from biological reactions within the tanah. The biological/physical carbon cycle occurs over days, weeks, months, and years and involves the absorption, conversion, and release of carbon by living organisms through photosynthesis, respiration, and decomposition. The geological carbon cycle takes place over hundreds of millions of years and involves the cycling of carbon through the various layers of the Earth. A large amount of organic carbon sinks to the ocean floor to be buried into the Earth's crust. It is thought that more carbon dioxide is stored in the world's tanahs than is circulated within the atmosphere. Throughout the Earth's history, the release of CO2 from deep below the surface occurs as a geological event, such as a volcanic eruption. Jasa-jasa Ekosistem Selain partisipasinya dalam berbagai siklus biogeokimia dan pertukaran unsure hara, tanah menghasilkan berbagai jasa-jasa ekosistem yang snagat penting. Jasa-jasa ini berbeda dengan manfaat ekosistem lainnya karena adanya kebutuhan manusia akan asset sumberdaya alam dan /atau manfaatnya. Tanah is a natural protector of seeds and plants. Within a tanah ecosystem seeds can disperse and germinate. The tanah provides a physical support system for plants, while both retaining and delivering nutrients to them. This, in turn, provides humans and other animals with a source of food as well as resources for potential medicinal or other goods. In addition, tanah can both hold and release water, thereby providing for plant growth, flood control, and water filtration and purification services. Tanahs also play a central role in the management, processing and detoxification of a variety of wastes, both natural and man-made. Tanah organisms decompose many organic compounds, such as manure, remains of plants, fertilizers and pesticides, preventing them from entering water and becoming pollutants. Human activity adds a wide variety of substances to the environment, some of which are hazardous or toxic. As long as the concentration is not greater than the ecosystem's ability to handle it, microorganisms in the tanah can degrade or detoxify many of these substances, rendering them harmless to humans, animals, and the environment. Apa itu jasa ekosistem? Ecosystem Services adalah proses-proses dimana lingkungan menghasilkan sumberdaya yang dimanfaatkan oleh manusia seperti air bersih, kayu (tuimber), dan habitat untuk ikan-ikan, serta polinasi tumbuhan alamiah dan tanaman pertanian. Ekosistem menyediakan jasa-jasa yang: Memoderasi kondisi cuaca ekstrim dan dampaknya Myebart-luaskan biji-biji tumbuhan Memitigasi kekeringan dan banjir Memproteksi manusia dari anacaman radiasi ultraviolet matahari Mendaur-ulang dan mengangkut hara Memproteksi sungai dan saluran air serta pantai dari ancaman erosi Mendetoksifikasi limbah dan mendekomposisi limbah Mengontrol hama pertanian Memelihara biodiversitas Melestarikan sumberdaya tanah dan kesuburannya Membantu menstabilkan kondisi ilmim Membersihkan udara dan air Polinasi tanaman dan vegetasi alamiah Apa itu Ekosistem? Suatu ekosistem merupakan sekumpulan binatang dan tumbuhan yang berinteraksi satu-sama lain dan berinteraksi dengan lingkungan hidupnya. Ekosistem meliputi komponen fisik dan kimia, seperti tanah, air dan unsure hara yang emendukung kehidupan organisme di dalamnya. Organisme ini beragam mulai dari binatang dan tumbuhan tingkat tinggi hingga bakteri yang mikroskopis. Ekosistem juga melingkupi semua interaksi di antara semua organisme tersebut dalam suatui habitat tertentu. Manusia merupakan bagian dari ekosistem. Kesehatan dan kesejahteraan manusia tergantung pada jasa-jasa yang dihasilkan oleh ekosistem dan komponennya — organisme, tanah, air dan unsur hara. Apa manfaat Jasa-Ekosistem? Ekosistem alamiah dan tumbuhan dan binatang di dalamnya menyediakan jasa-jasa kepada manusia yang seringkali sangat sulit diduplikasi. Sementara itu seringkali sangat sukliot untuk menempatkan nilai moneter (valuasi ekonomi) bagi jasa-jasa ekosistem itu, kita dapat menghitung sebagian saja dari nilai-nilai ekonomi-financial tersebut. Kebanyakan dari jasa-jasa ini tampaknya dianggap “bebas biaya”, meskipun sebenarnya nilai ekonominya sangat besar, misalnya: 1. Sebagian besar jasa-jasa perlindungan banjir alamiah di sepanjang lembah sungai Mississippi akan menjadi rusak kalau “wetland” di lokasi itu dikeringkan dan pola aliran alamiahnya diubah. Sebagai akibatnya terjadi banjir tahun 1993 yang mengakibatkan kerusakan nilai-nilai property sekitar 12 milyar dolar; hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan lembah-sungai untuk meringankan dampak debit air yang tinggi. 2. Sekitar 80% penduduk dunia bertumpu pada produk obatobat alamiah. Dari sekitar 150 resep obat paling top yang digunakan di U.S., sekitar 118 berasal dari sumber-sumber alamiah: 74% dari tumbuhan, 18% dari fungi, 5% dari bacteria, dan 3% dari vertebrata (jenis ular). Sebanyak smbilan dari 10 obat paling top, ternyata berasal dari produk tumbuhan alamiah. 3. Lebih dari 100,000 spesies binatang yang berbeda-beda— termasuk bats, bees, flies, moths, beetles, birds, dan kupukupu — menyediakan jasa polinasi secara bebas biaya. Sekitar sepertiga makanan manusia berasal dari tanaman yang penyerbukannya memerlukan bantuan pollinator liar (bebas). Nilai jasa polinasi dari pollinator bebas ini di US saja diperkirakan mencapai sekitar enam milyar dolar setahun. Bagaimana jasa ekosistem “hilang”? Ecosystem services are so fundamental to life that they are easy to take for granted and so large in scale that it is hard to imagine that human activities could destroy them. Nevertheless, ecosystem services are severely threatened through 1. pertumbuhan sekala usaha manusia (populasi penduduk, konsumsi per kapita, dan efek teknologi untuk menghasilkan barang konsumsi) 2. ketidak-sinkron an antara kebutuhan individual jangka pendek dan kesejahteraan social jangka panjang Banyak aktivitas manusia yang dapat mengganggu, memodifikasi atau merekayasa-kembali ekosistem, seperti: runoff pesticida, pupuk, dan limbah binatang / ternak pencemaran lahan, air, dan udara introduksi spesies non-alamiah penangkapan ikan berlebihan destruksi wetlands erosi tanah penebangan hutan pertumbuhan kota. Pencemaran air dan perairan Pencemaran air merupakan perubahan keadaan di suatu tempat penampungan air seperti danau, sungai, lautan dan air tanah akibat aktivitas manusia. Danau, sungai, lautan dan air tanah adalah bagian penting dalam siklus kehidupan manusia dan merupakan salah satu bagian dari siklus hidrologi. Selain mengalirkan air juga mengalirkan sedimen dan polutan. Berbagai macam fungsinya sangat membantu kehidupan manusia. Pemanfaatan terbesar danau, sungai, lautan dan air tanah adalah untuk irigasi pertanian, bahan baku air minum, sebagai saluran pembuangan air hujan dan air limbah, bahkan sebenarnya berpotensi sebagai objek wisata. Pencemaran air dapat disebabkan oleh berbagai hal dan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Meningkatnya kandungan nutrien dapat mengarah pada eutrofikasi. Sampah organik seperti air comberan (sewage) menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen pada air yang menerimanya yang mengarah pada berkurangnya oksigen yang dapat berdampak parah terhadap seluruh ekosistem. Industri membuang berbagai macam polutan ke dalam air limbahnya seperti logam berat, toksin organik, minyak, nutrien dan padatan. Air limbah tersebut memiliki efek termal, terutama yang dikeluarkan oleh pembangkit listrik, yang dapat juga mengurangi oksigen dalam air. Seperti limbah pabrik yg mengalir ke sungai seperti di sungai citarum pencemaran air oleh sampah. Dampak yang dapat ditimbulkan oleh pencemaran air: Dapat menyebabkan banjir Erosi Kekurangan sumber air Dapat membuat sumber penyakit Tanah Longsor Dapat merusak Ekosistem sungai Kerugian untuk Nelayan (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Pencemaran_air 13/6/2011) ... diunduh ----------------Erosi tanah ternyata berbahaya Erosi adalah peristiwa pengikisan padatan (sedimen, tanah, batuan, dan partikel lainnya) akibat transportasi angin, air atau es, karakteristik hujan, creep pada tanah dan material lain di bawah pengaruh gravitasi, atau oleh makhluk hidup semisal hewan yang membuat liang, dalam hal ini disebut bio-erosi. Erosi tidak sama dengan pelapukan akibat cuaca, yang mana merupakan proses penghancuran mineral batuan dengan proses kimiawi maupun fisik, atau gabungan keduanya. Erosi sebenarnya merupakan proses alami yang mudah dikenali, namun di kebanyakan tempat kejadian ini diperparah oleh aktivitas manusia dalam tata guna lahan yang buruk, penggundulan hutan, kegiatan pertambangan, perkebunan dan perladangan, kegiatan konstruksi / pembangunan yang tidak tertata dengan baik dan pembangunan jalan. Tanah yang digunakan untuk menghasilkan tanaman pertanian biasanya mengalami erosi yang jauh lebih besar dari tanah dengan vegetasi alaminya. Alih fungsi hutan menjadi ladang pertanian meningkatkan erosi, karena struktur akar tanaman hutan yang kuat mengikat tanah digantikan dengan struktur akar tanaman pertanian yang lebih lemah. Bagaimanapun, praktik tata guna lahan yang maju dapat membatasi erosi, menggunakan teknik semisal terrace-building, praktik konservasi ladang dan penanaman pohon. Dampak dari erosi adalah menipisnya lapisan permukaan tanah bagian atas, yang akan menyebabkan menurunnnya kemampuan lahan (degradasi lahan). Akibat lain dari erosi adalah menurunnya kemampuan tanah untuk meresapkan air (infiltrasi). Penurunan kemampuan lahan meresapkan air ke dalam lapisan tanah akan meningkatkan limpasan air permukaan yang akan mengakibatkan banjir di sungai. Selain itu butiran tanah yang terangkut oleh aliran permukaan pada akhirnya akan mengendap di sungai (sedimentasi) yang selanjutnya akibat tingginya sedimentasi akan mengakibatkan pendangkalan sungai sehingga akan memengaruhi kelancaran jalur pelayaran. Erosi dalam jumlah tertentu sebenarnya merupakan kejadian yang alami, dan baik untuk ekosistem. Misalnya, kerikil secara berkala turun ke elevasi yang lebih rendah melalui angkutan air. erosi yang berlebih, tentunya dapat menyebabkan masalah, semisal dalam hal sedimentasi, kerusakan ekosistem dan kehilangan air secara serentak. Banyaknya erosi tergantung berbagai faktor. Faktor Iklim, termasuk besarnya dan intensitas hujan / presipitasi, rata-rata dan rentang suhu, begitu pula musim, kecepatan angin, frekuensi badai. faktor geologi termasuk tipe sedimen, tipe batuan, porositas dan permeabilitasnya, kemiringn lahan. Faktor biologis termasuk tutupan vegetasi lahan,makhluk yang tinggal di lahan tersebut dan tata guna lahan ooleh manusia. Umumnya, dengan ekosistem dan vegetasi yang sama, area dengan curah hujan tinggi, frekuensi hujan tinggi, lebih sering kena angin atau badai tentunya lebih terkena erosi. sedimen yang tinggi kandungan pasir atau silt, terletak pada area dengan kemiringan yang curam, lebih mudah tererosi, begitu pula area dengan batuan lapuk atau batuan pecah. porositas dan permeabilitas sedimen atau batuan berdampak pada kecepatan erosi, berkaitan dengan mudah tidaknya air meresap ke dalam tanah. Jika air bergerak di bawah tanah, limpasan permukaan yang terbentuk lebih sedikit, sehingga mengurangi erosi permukaan. SEdimen yang mengandung banyak lempung cenderung lebih mudah bererosi daripada pasir atau silt. Dampak sodium dalam atmosfir terhadap erodibilitas lempung juga sebaiknya diperhatikan Faktor yang paling sering berubah-ubah adalah jumlah dan tipe tutupan lahan. pada hutan yang tak terjamah, minerla tanah dilindungi oleh lapisan humus dan lapisan organik. kedua lapisan ini melindungi tanah dengan meredam dampak tetesan hujan. lapisan-lapisan beserta serasah di dasar hutan bersifat porus dan mudah menyerap air hujan. Biasanya, hanya hujan-hujan yang lebat (kadang disertai angin ribut) saja yang akan mengakibatkan limpasan di permukaan tanah dalam hutan. bila Pepohonan dihilangkan akibat kebakaran atau penebangan, derajat peresapan air menjadi tinggi dan erosi menjadi rendah. kebakaran yang parah dapat menyebabkan peningkatan erosi secara menonjol jika diikuti denga hujan lebat. dalam hal kegiatan konstruksi atau pembangunan jalan, ketika lapisan sampah / humus dihilangkan atau dipadatkan, derajad kerentanan tanah terhadap erosi meningkat tinggi. (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Erosi ... diunduh 13/6/2011) ------------------Akibat Penebangan Hutan, 2.100 Mata Air Mengering Kelangkaan bahan bakar minyak tanah yang melanda di berbagai lokasi pada waktu-waktu tertentu, seperti yang dialami oleh penduduk di berbagai daerah di Banyumas, Jawa Tengah, dikhawatirkan dapat berdampak pada perilaku masyarakat pedesaan dalam menggunakan kayu bakar dan menebang pohon tanaman pohon. Jika hal ini terjadi, kerusakan sumber air (mata air) dikhawatirkan akan semakin serius. Di Banyumas saat ini tinggal 900 mata air, padahal tahun 2001 masih tercatat 3.000 mata air. Setiap tahun rata-rata sekitar 300 mata air mati akibat penebangan terprogram (hutan produksi) maupun penebangan tanaman keras milik penduduk (menurut Wisnu Hermawanto, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Banyumas, Kamis 25/8). Akan tetapi, sebagai akibat dari adanya berbagai tekanan kebutuhan hidup dan perkembangan jumlah penduduk, perlindungan terhadap kelestarian sumber mata air dan tanaman pohon atau hutan rakyat semakin berat. Di lain pihak, penduduk yang di lahannya terdapat sumber air tidak pernah memperoleh kompensasi sebagai ganti atas kesediaannya untuk tidak menebangi pohonnya. Kesulitan penduduk memperoleh minyak tanah berdampak pada peningkatan penggunaan kayu bakar. Penduduk di daerah pedesaan yang jauh dari pangkalan minyak tanah memilih menebang pohon untuk kayu bakar. Satu ikat kayu bakar ukuran sedang sekarang harganya dapat mencapai Rp 7.000. Diperkirakan setiap hari sekitar 1.500 pohon milik penduduk di Banyumas ditebang untuk dijadikan kayu bakar sebagai pengganti minyak tanah. (Sumber: Kompas, Jumat, 26 Agustus 2005). ------------Tanah Longsor di Pati, Jawa Tengah Di desa Sukolilo, Pati, Jawa Tengah, beberapa orang korban dalam kejadian tanah longsor yang dipicu hujan lebat. Aliran lumpur menghantam rumah penduduk, mengorgankan beberapa orang yang sedang menonton televisi, atau tidur. Tiga rumah habis tertimbun tanah. Tanah longsor sering terjadi di Indonesia, diakibatkan penggundulan hutan bertahun-tahun. Pecinta lingkungan hidup memperingatkan tanah longsor dapat disebabkan oleh adanya penebangan hutan secara berlebihan dan gagalnya penanaman kembali hutan. Sumber: http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/tanah-longsordi-pati-jawa-tengah ... diunduh 14/6/2011 Penebangan Hutan secara berlebihan membahayakan integritas ekosistem tanah Penebangan hutan secara berlebihan (eksesif logging) telah merusak hutan, lingkungan, alam dan ekosistem serta melenyapkan flora dan fauna yang begitu beragam yang ada di hutan. Hutan sebagai paru-paru dunia bisa hilang karena kegiatan eksesif logging ini. Fungsi hutan sebagai penyimpan air tanah juga akan terganggu akibat terjadinya pengrusakan hutan yang terus-menerus. Hal ini akan berdampak pada semakin seringnya terjadi kekeringan di musim kemarau dan banjir serta tanah longsor di musim penghujan. Sumber: http://wahyumedia19.blogspot.com/2011/02/oohhh-alam-negeriku-akumenangis.html ... diunduh 14/6/2011 Pencemaran tanah Pencemaran tanah adalah keadaan dimana bahan kimia buatan manusia masuk dan mengubah lingkungan tanah alami. Pencemaran ini biasanya terjadi karena: kebocoran limbah cair atau bahan kimia industri atau fasilitas komersial; penggunaan pestisida; masuknya air permukaan tanah tercemar ke dalam lapisan sub-permukaan; kecelakaan kendaraaan pengangkut minyak, zat kimia, atau limbah; air limbah dari tempat penimbunan sampah serta limbah industri yang langsung dibuang ke tanah secara tidak memenuhi syarat (illegal dumping). Suatu zat berbahaya / beracun telah mencemari permukaan tanah, dapat saja kemudian ia menguap, tercuci oleh air hujan atau masuk ke dalam tanah dan groundwater. Pencemaran yang masuk ke dalam tanah kemudian terendap sebagai zat kimia beracun di tanah. Zat beracun di tanah tersebut dapat berdampak langsung kepada manusia ketika bersentuhan atau dapat mencemari air tanah dan udara di atasnya. EKOSISTEM TANAH Pemahaman tentang peranan tanah dalam ekosistem pertanian, dan mengetahui bagaimana mengelola lahan, merupakan tugas penting dan sangat kritis bagi para petani, termasuk petani organik. Gaya-gaya biologid dan elektrokimia dalam tanah tidak dapat diamati secara langsung karena mereka berlangsung pada sekala mikroskopis dan tingkat sub-molecular. Changes in fertility, tilth and structure may take years to become evident. Early indicators are subtle, and the farmer must be a keen observer to spot them. The reviews of biological, chemical and physical properties of the tanah as a background to sound management. Much of the material will be familiar; the key difference is the recognition of the vital role tanah microorganisms play in recycling, releasing, and storing plant nutrients. Petani organik menggunakan teknik-teknik yang mampu mendukung dan memperbaiki kehidupan biologis dalam tanah, yang selanjutnya bermanfaat menunjnag kehidupan tanaman dan melestarikan struktur tanah. Pertanian organik Pertanian organik merupakan teknik budidaya pertanian yang bertumpu pada pemanfaatan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan-bahan kimia sintetis. Tujuan utama pertanian organik adalah menyediakan produk-produk pertanian, terutama bahan pangan yang aman bagi kesehatan produsen dan konsumennya serta tidak merusak lingkungan. Gaya hidup sehat demikian telah melembaga secara internasional yang mensyaratkan jaminan bahwa produk pertanian harus beratribut aman dikonsumsi (food safety attributes), kandungan nutrisi tinggi (nutritional attributes) dan ramah lingkungan (eco-labelling attributes). Preferensi konsumen seperti ini menyebabkan permintaan produk pertanian organik dunia meningkat pesat. Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya hayati tropika yang unik, kelimpahan sinar matahari, air dan tanah, serta budaya masyarakat yang menghormati alam, potensi pertanian organik sangat besar. Pasar produk pertanian organik dunia meningkat 20% per tahun, oleh karena itu pengembangan budidaya pertanian organik perlu diprioritaskan pada tanaman bernilai ekonomis tinggi untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik dan ekspor. Peluang Pertanian Organik di Indonesia Luas lahan yang tersedia untuk pertanian organik di Indonesia sangat besar. Dari 75,5 juta ha lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian, baru sekitar 25,7 juta ha yang telah diolah untuk sawah dan perkebunan (BPS, 2000). Pertanian organik menuntut agar lahan yang digunakan tidak atau belum tercemar oleh bahan kimia dan mempunyai aksesibilitas yang baik. Kualitas dan luasan menjadi pertimbangan dalam pemilihan lahan. Lahan yang belum tercemar adalah lahan yang belum diusahakan, tetapi secara umum lahan demikian kurang subur. Lahan yang subur umumnya telah diusahakan secara intensif dengan menggunakan bahan pupuk dan pestisida kimia. Menggunakan lahan seperti ini memerlukan masa konversi cukup lama, yaitu sekitar dua tahun. Volume produk pertanian organik mencapai 5-7% dari total produk pertanian yang diperdagangkan di pasar internasional. Sebagian besar disuplay oleh negara-negara maju seperti Australia, Amerika dan Eropa. Di Asia, pasar produk pertanian organik lebih banyak didominasi oleh negaranegara timur jauh seperti Jepang, Taiwan dan Korea. Potensi pasar produk pertanian organik di dalam negeri sangat kecil, hanya terbatas pada masyarakat menengah ke atas. Berbagai kendala yang dihadapi antara lain: (1) belum ada insentif harga yang memadai untuk produsen produk pertanian organik, (2) perlu investasi mahal pada awal pengembangan karena harus memilih lahan yang benar-benar steril dari bahan agrokimia, (3) belum ada kepastian pasar, sehingga petani enggan memproduksi komoditas tersebut. Areal tanam pertanian organik, Australia dan Oceania mempunyai lahan terluas yaitu sekitar 7,7 juta ha. Eropa, Amerika Latin dan Amerika Utara masing-masing sekitar 4,2 juta; 3,7 juta dan 1,3 juta hektar. Areal tanam komoditas pertanian organik di Asia dan Afrika masih relatif rendah yaitu sekitar 0,09 juta dan 0,06 juta hektar. Sayuran, kopi dan teh mendominasi pasar produk pertanian organik internasional di samping produk peternakan. Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk bersaing di pasar internasional walaupun secara bertahap. Hal ini karena berbagai keunggulan komparatif antara lain : (1) masih banyak sumberdaya lahan yang dapat dibuka untuk mengembangkan sistem pertanian organik, (2) teknologi untuk mendukung pertanian organik sudah cukup tersedia seperti pembuatan kompos, tanam tanpa olah tanah, pestisida hayati dan lain-lain. Pengembangan selanjutnya pertanian organik di Indonesia harus ditujukan untuk memenuhi permintaan pasar global. Oleh sebab itu komoditaskomoditas eksotik seperti sayuran dan perkebunan seperti kopi dan teh yang memiliki potensi ekspor cukup cerah perlu segera dikembangkan. Produk kopi misalnya, Indonesia merupakan pengekspor terbesar kedua setelah Brasil, tetapi di pasar internasional kopi Indonesia tidak memiliki merek dagang. Pengembangan pertanian organik di Indonesia belum memerlukan struktur kelembagaan baru, karena sistem ini hampir sama halnya dengan pertanian intensif seperti saat ini. Kelembagaan petani seperti kelompok tani, koperasi, asosiasi atau korporasi masih sangat relevan. Namun yang paling penting lembaga tani tersebut harus dapat memperkuat posisi tawar petani. Pertanian Organik Modern Pertanian organik modern masuk ke dalam sistem pertanian di Indonesia secara sporadis dan kecil-kecilan. Pertanian organik modern berkembang memproduksi bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan sistem produksi yang ramah lingkungan. Tetapi secara umum konsep pertanian organik modern belum banyak dikenal dan masih banyak dipertanyakan. Penekanan sementara ini lebih kepada meninggalkan pemakaian pestisida sintetis. Dengan makin berkembangnya pengetahuan dan teknologi kesehatan, lingkungan hidup, mikrobiologi, kimia, molekuler biologi, biokimia dan lain-lain, pertanian organik terus berkembang. Dalam sistem pertanian organik modern diperlukan standar mutu dan ini diberlakukan oleh negara-negara pengimpor dengan sangat ketat. Sering satu produk pertanian organik harus dikembalikan ke negara pengekspor termasuk ke Indonesia karena masih ditemukan kandungan residu pestisida maupun bahan kimia lainnya. Banyaknya produk-produk yang mengklaim sebagai produk pertanian organik yang tidak disertifikasi membuat keraguan di pihak konsumen. Sertifikasi produk pertanian organik dapat dibagi menjadi dua kriteria yaitu: a) Sertifikasi Lokal untuk pangsa pasar dalam negeri. Kegiatan pertanian ini masih mentoleransi penggunaan pupuk kimia sintetis dalam jumlah yang minimal atau Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA), namun sudah sangat membatasi penggunaan pestisida sintetis. Pengendalian OPT dengan menggunakan biopestisida, varietas toleran, maupun agensia hayati. Tim untuk merumuskan sertifikasi nasional sudah dibentuk oleh Departemen Pertanian dengan melibatkan perguruan tinggi dan pihak-pihak lain yang terkait. b) Sertifikasi Internasional untuk pangsa ekspor dan kalangan tertentu di dalam negeri, seperti misalnya sertifikasi yang dikeluarkan oleh SKAL ataupun IFOAM. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi antara lain masa konversi lahan, tempat penyimpanan produk organik, bibit, pupuk dan pestisida serta pengolahan hasilnya harus memenuhi persyaratan tertentu sebagai produk pertanian organik. Beberapa komoditas prospektif yang dapat dikembangkan dengan sistem pertanian organik di Indonesia antara lain tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, tanaman rempah dan obat, serta peternakan. Menghadapi era perdagangan bebas pada tahun 2010 mendatang diharapkan pertanian organik Indonesia sudah dapat mengekspor produknya ke pasar internasional. Komoditas yang layak dikembangkan dengan sistem pertanian organic: 1. Tanaman Pangan Padi 2. Hortikultura Sayuran: brokoli, kubis merah, petsai, caisin, cho putih, kubis tunas, bayam daun, labu siyam, oyong dan baligo. Buah: nangka, durian, salak, mangga, jeruk dan manggis. 3. Perkebunan Kelapa, pala, jambu mete, cengkeh, lada, vanili dan kopi. 4. Rempah dan obat jahe, kunyit, temulawak, dan temu-temuan lainnya. 5. Peternakan Susu, telur dan daging. (Sumber: http://www.litbang.deptan.go.id/berita/one/17/. ….. diunduh 13/6/2011). 1. Biologi Tanah Banyak sekali organisme yang menghuni topsoil (tanah lapisan atas), kalau mereka merombah bahan organic yang ada dalam tanah, akan dilepaskan sejumlah unsure hara yang tersedia bagi tumbuhan. Mikroba tanah ini meliputi bacteria, actinomycetes, algae dan fungi. Makro-organisme meliputi cacing tanah dan arthropoda seperti serangga, mites dan millipeda. Setiap gelompok jasad ini mempunyai peranan khas dalam ekosistem tanah dan dapat membantu petani dalam memproduksi tanaman yang sehat. Mikro-organisme dapat dikelompokkan menurut fungsinya: decomposer yang hidup bebas mengubah bahan organic menjadi usnurhara tersedia bagi tumbuhan dan bagi mikroba lainnya, organisme rhizosfir bersimbiosis dengan akar tumbuhan; dan jasad fiksasi nitrogen yang hidup bebas. Organisme Tanah Organisme tanah dapat menguntungkan petani karena mereka memperbaiki kesuburan tanah dan dapat membantu ketersediaan hara bagi tanaman dan membantu pengendalian hama penyakit. • Organisme tanah memerlukan makanan, oksigen, air, dan habitat yang layak untuk tumbuh. • Petani dapat memperkaya organisme tanah dengan jalan menyediakan penutup tanah organic yang cukup, menambah bahan organik ke dalam tanah, memelihara drainase tanah yang baik, dan menghindari pengolahan tanah yang berlebihan. • Di bawah permukaan tanah terdapat satu dunia lain yang penuh dengan jasad hidup atau organisme tanah. Organisme tanah ini berfungsi sebegai tenaga kerja bagi para petani karena mereka membantu menyediakan ketersediaan hara yang dibutuhkan tanaman dan memperbaiki struktur tanah. Jenis-jenis organisme tanah Ada beberapa jenis organisme tanah, diantaranya adalah: 1. Pemecah bahan organik seperti slaters (spesies Isopoda), tungau (mites), kumbang, dan collembola yang memecah-mecah bahan organic yang besar menjadi bagian-bagian kecil. 2. Pembusuk bahan organik seperti jamur dan bakteri yang memecahkan bahan-bahan cellular. 3. Organisme bersimbiosis hidup pada/di dalam akar tanaman dan membantu tanaman untuk mendapatkan hara dari dalam tanah. 4. Mycorrhiza bersimbiosis dengan tanaman dan membantu tanaman untuk mendapatkan hara posfor, sedangkan rhizobium membantu tanaman untuk mendapatkan nitrogen. 5. Pengikat hara yang hidup bebas seperti alga dan azotobakter mengikat hara di dalam tanah. 6. Pembangun struktur tanah seperti akar tanaman, cacing tanah, ulat-ulat, dan jamur semuanya membantu mengikat partikel- partikel tanah sehingga struktur tanah menjadi stabil dan tahan terhadap erosi. 7. Patogen seperti jenis jamur tertentu, bakteri dan nematoda dapat menyerang jaringan tanaman. 8. Predator atau pemangsa, termasuk protozoa, nematoda parasite dan jenis jamur tertentu, semuanya memangsa organisme tanah yang lain sebsagai sumber makanan mereka. 9. Occupant/penghuni adalah jenis organisme tanah yang menggunakan tanah sebagai tempat tinggal sementara pada tahap siklus hidup tertentu, seperti ulat (larvae) dan telur cacing. Cara-cara organisme tanah membantu para petani: Mendaur ulang bahan organik Organisme tanah mendaur ulang (recycle) bahan organik dengan cara memakan bahan tanaman dan hewan yang mati, kotoran hewan dan organisme tanah yang lain. Mereka memecah bahan organik menjadi bagian-bagian yang lebih kecil sehingga dapat dibusukkan oleh jasad renik seperti jamur dan bakteri. Ketika mereka memakan bahan organik, sisa makanan dan kotoran mereka dapat membantu perbaikan struktur dan kesuburan tanah. Organisme tanah membantu meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman. Ketika organisme tanah memakan bahan organik atau makanan yang lain, sebagian hara yang tersedia disimpan didalam tubuh mereka dan hara yang tidak diperlukan, dikeluarkan didalam kotoran mereka (sebagai contoh, phosphor dan nitrogen). Hara di dalam kotoran orgnisma tanah ini dapat diserap oleh akar tanaman. Sebagian organisme tanah membina hubungan simbiosis dengan akar tanaman dan dapat membantu akar tanaman menyerap lebih banyak unsur hara dibandingkan kalau tidak ada kerjasama dengan organisme tanah. Sebagai contoh adalah mycorrhiza, yang membantu tanaman untuk menyerap lebih banyak posfor, sedangkan rhizobia membantu tanaman untuk menyerap lebih banyak nitrogen. Organisme tanah mampu memperbaiki struktur tanah Bahan sekresi dari organisme tanah dapat mengikat partikel-partikel tanah menjadi agregate yang lebih besar. Contohnya, bakteri mengeluarkan kotoran yang berbentuk dan bersifat seperti perekat (organic gum). Jamurjamuran memproduksi bahan berupa benang-benang halus yang disebut hifa. Zat perekat dari bakteri dan hifa jamur dapat mengikat partikelpartikel tanah secara kuat sehingga agregate tanah yang besar pun tidak mudah pecah walaupun basah. Agregate tanah yang besar tersebut dapat menyimpan air tanah dalam pori-pori halus di antara partikel- partikel tanah untuk digunakan oleh tanaman. Dalam keadaan air berlebihan, air dapat dengan mudah mengalir keluar melalui pori- pori besar diantara agregate– agregate tanah yang besar. Organisme tanah yang lebih besar dapat memperbaiki struktur tanah dengan cara membuat saluran-saluran (lubang-lubang) di dalam tanah (contohnya lubang cacing), dan membantu mengaduk-aduk dan mencampur baurkan partikel-partikel tanah, sehingga aerasi (aliran udara) tanah menjadi lebih baik. Pembuatan saluran-saluran dan lubang-lubang ini memperbaiki infiltrasi dan pergerakan air didalam tanah, serta drainase. Organisme tanah dapat membantu pengendalian serangan hama dan penyakit Organisme tanah yang memakan organisme lain yang lebih kecil dapat menekan serangan hama penyakit dengan cara mengontrol jenis dan jumlah orgnisme di dalam tanah. Pengelolaan lahan pertanian yang dapat memperkaya organisme tanah Ada beberapa cara yang dapat dilakukan para petani untuk meningkatkan kegiatan organisme tanah di lahan mereka, diantaranya adalah: Menyediakan makanan. Petani dapat menyediakan bahan makanan untuk orgnisme tanah dengan cara memelihara tanaman penutup tanah dan menambah bahan organik seperti mulsa, kompos, merang, pupuk hijau, dan pupuk kandang ke dalam tanah yang mereka kelola. Menyediakan cukup oksigen (aerasi tanah yang baik). Seperti mahluk hidup yang lain, organisme tanah membutuhkan cukup oksigen untuk hidup. Petani dapat menjamin ketersediaan oksigen yang cukup untuk organisme tanah dengan cara mencegah pemadatan tanah. Pemadatan tanah dapat mengurangi pori-pori tanah sehingga ketersedian udara menjadi lebih sedikit. Pemadatan tanah dapat terjadi apabila tanah diinjak-injak oleh hewan dan manusia atau dilalui mesin-mesin berat secara berlebihan (trampling), terutama pada saat tanah sedang basah. Menyediakan air. Organisme tanah juga membutuhkan air dalam jumlah tertentu. Tetapi kalau terlalu banyak air (dalam tanah yang jenuh), mereka bisa mati karena kekurangan oksigen. Petani dapat mengatur ketersediaan air didalam tanah dengan cara memperbaiki struktur tanah. Aggergate tanah yang lebih besar dapat menyimpan air di dalam pori-pori halus, dan dapat mengeluarkan kelebihan air melalui pori-pori besar. Drainase yang cukup di lahan yang banjir juga dapat memperbaiki kondisi tanah untuk habitat organisme tanah. Melindungi habitat mereka. Petani dapat mendukung kehidupan organisme tanah dengan cara melindungi habitat mereka. Pemeliharaan tanaman penutup tanah adalah cara yang terbaik untuk melindungi habitat organisme tanah dari bahaya kekeringan. Penggunaan mulsa juga dapat melindungi habitat mereka. Penggunaan mulsa organik dapat juga berfungsi sebagai sumber makanan bagi organisme tanah. Mulsa plastik dapat mengurangi resiko penyakit dan hama tertentu karena mulsa tersebut cenderung meningkatkan suhu permukaan tanah dan dapat menghambat pergerakan hama dari tanah ke tanaman. Tetapi mulsa plastik tidak dapat meningkatkan bahan organik tanah sehingga pendauran ulang unsur hara tidak terjadi. Cara yang lain adalah dengan pengolahan tanah yang tepat guna. Pengolahan tanah yang berlebihan dapat merusak pori-pori tanah dimana organisme tanah hidup. Beberapa masalah yang berkaitan dengan organisme tanah: Lahan padi sawah. Tanah padi sawah biasanya diolah sampai menjadi lumpur, memiliki lapisan bajak yang sangat padat, dan harus terendam air, jadi bukanlah habitat yang sesuai bagi organisme tanah, kecuali bagi yang dapat hidup di dalam air seperti alga yang dapat mengikat nitrogen. Ini berarti bahwa usaha-usaha untuk membangun organisme tanah perlu difokuskan pada daerah lahan kering. Drainase tanah yang tidak memadai. Sebagian lahan pertanian kering di daerah pantai tidak memiliki drainase system yang baik, jadi cenderung terendam pada saat musim hujan. Salah satu cara yang mungkin dapat digunakan untuk meningkatkan organisme tanah di daerah seperti ini adalah dengan penggunaan bedengan-bedengan yang tingginya melebihi ketinggian air tanah pada saat banjir. Pembuatan bedengan ini akan memerlukan pengetahuan local dari penyuluh pertanian atau petani mengenai ketinggian air tanah. Ketersediaan bahan makanan yang rendah bagi organisme tanah. Tingginya kelembaban udara dan suhu di daerah tropis menyebabkan tingginya pembusukan bahan organic. Konsekuensinya adalah bahwa petani di daerah tropis perlu lebih sering menambah bahan organik kedalam tanah untuk menjamin makanan yang cukup bagi tenaga kerja mereka (organisme tanah). Ini khususnya sangat penting di tanah berpasir daerah pantai karena tanah pasiran tersebut sangat kekurangan bahan organik dan unsur hara dan juga bukanlah habitat yang baik untuk organisme tanah. Penggunaan bahan kimia yang berlebihan. Penggunaan pupuk yang berlebihan dapat membunuh organisme tanah karena ketidak seimbangan hara. Penggunaan bahan-bahan kimia yang lain (pestisida, herbisida, dan fungisida) juga dapat membunuh organisme tanah yang baik, mempengaruhi ketersediaan hara tertentu, dan menyebabkan serangan hama dan penyakit. Untuk meningkatkan organisme tanah, sebaiknya penggunaan bahan-bahan kimia harus secara tepat guna (tidak berlebihan), pupuk sebaiknya diberikan secara bertahap, dan kehidupan pemangsa-pemangsa (predator) alami harus dibina untuk mengendalikan serangan hama/serangga tertentu. (Sumber: http://www.dpi.nsw.gov.au/__data/assets/pdf_file/ 0010/199450/Soil-organisms---benefits-and-management-practices.pdf ….. diunduh 13/6/2011) ---------------Dekomposer : Perombak Bahan Organik Tanah Dalam suatu tanah yang tidak-terganggu (utuh), dedaunan dan residu organic lainnya menumpuk di permukaan tanah, dimana residu ini kemudian dirombak oleh dekomposer. Bakteri aerobik dan berbagai binatang kecil mulai bekerja. Organisme ini berkerjasama dengan actinomycetes dan fungi. Mites, springtails, serangga kecil, arthropoda lainnya dan cacing tanah membantu proses perombakan bahan organic dengan jalan memakannya, mencampuirnya dan mengangkut bahan organic tersebut. The rate of decomposition is affected by tanah temperature, moisture and food availability. The main by-products of the decomposition process are soluble plant nutrients and microbial remains that bind the tanah particles together, giving a stable crumb structure. Since biological activity is greatest when the tanah is warm, nutrient availability is highest during summer, when crop needs are greatest. The decomposers are most active in the upper layer of the tanah, i.e. the top 8 cm (3 in.). Petani dapat memasukkan bahan organic ke dalam tanah pada saat kondisinya sesuai untuk memacu proses dekomposisi dan menyediakan unsure hara bagi tanaman. SOIL ORGANISMS - 5% OF SOIL ORGANIC MATTER IS LIVING ORGANISMS Macroorganisme: insects earthworms Microorganisme: Microba: fungi bacteria protozoa Sumber: http://www.rw.ttu.edu/2302_butler/chapter6.htm ... diunduh 14/6/2011 Ruang pori tanah dan aktivitas organisme Soil organisms are controlled in a number of ways by the soil pore space. Another way that pore space can control microorganism activity is by restricting movement of organisms among different size categories of pores. It is not just the size of the pores that is important. Sumber: http://www.certifiedorganic.bc.ca/rcbtoa/training/soilarticle.html ... diunduh 14/6/2011 The size of the pore necks that lead to the pores and their continuity may be even more important. By analogy, it is not the size of the rooms that controls the accessibility but rather the size of the doors and length of hallways leading to the rooms. The size of soil organisms that are restricted by pores (i.e., those which cannot move the soil itself) can range from less than 1 mm for bacteria to over 1000 mm for some nematodes and mites. This large range of pore sizes can be effective in governing organism movement and activity in the soil. Since the pore space controls the distribution of water, water availability is a secondary effect that pore space has on organisms. The largest category of pore space is macropores, usually created by roots or earthworms (Lee 1985) but may also be the result of cracking in shrink/swell soils. These pores are drained of water when the soil is at field capacity and are important for quick drainage and deep penetration of water, as will be discussed in the next section. These pores may provide a relatively continuous path for movement of microarthropods, especially those pores formed by roots or worms. This size class of pores is most easily destroyed by cultivation but may develop with time in agricultural soil under no-till cultivation in structurally stable soil. The next smaller size of pore space is that between macroaggregates. Water is retained in many of these pores when the soil is at field capacity and pore space is large enough to be inhabited by nematodes. The pores between microaggregates but within macroaggregates are large enough to accommodate small nematodes and protozoa and may be the chief habitat of fungi. The smallest class of pores, those within microaggregates, may be only about 1 mm, maximally, and may be inhabited mostly by bacteria. Organisme Rizosfir Akar tumbuhan mengekskresikan sejumlah besar senyawa organik dan secara kontinyu melepaskan tudung akarnya ke dalam tanah. Bahan-bahan ini menjadi makanan barti mikroba yang hidup dalam zone di sekitar akar atau yang disebut zone rizosfer. Bacteria paling diuntungkan dari bahan makanan yang dikeluarkan oleh akar dalam rizosfir dan dapat membentuk selimut yang menyelimuti akar. Akar membentuk jalur-jalur jalan mikroba dalam tanah. Mikroba lainnya melepaskan unsur hara dari koloid liat dan humus. Definisi secara umum, rizosfir sebagai suatu volume tanah yang mengelilingi akar, dimana dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Rhizosfir berasal dari kata rhizo dan sphere., Rhizo adalah akar, sedangkan sphere diartikan suatu zona yang mengelilingi suatu “sentral point” dimana menjadi tempat aktivitas komunitas (”sociaty”) dari beragam jenis mikroorganisme. Definisi lain dari Rhizosphere adalah zona kontak tanah (beberapa mm) dengan akar tanaman sebagai “sentral point”, dimana antara mikroorganisme dan akar terjadi interaksi dan interelasi, artinya aktivitas mikroorganisme di dalam zona tersebut akan dipengaruhi oleh eksudat akar yang diproduksi, sebaliknya metabolisme tanaman akan dipengaruhi aktivitas mikroorganisme yang berada dalam zona tersebut. Hubungan interaksi yang menguntungkan di dalam rizosfir merupakan salah satu fenomena yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas tanaman ataupun kesuburan tanah untuk pertanian. Rizosfer terbagi kedalam 2 zona utama, yaitu: a. Endorizosfer adalah lapisan sel akar. Endorizosfir tersusun dari Stele, epidermis, korteks, endodermis dan tudung akar. b. Ektorizosfer merupakan area di sekeliling akar, mulai dari zona kontak tanah/ media dengan permukaan akar (rizoplane) sampai beberapa mm ( dapat sampai 5 mm), dimana zona tersebut dipengaruhi oleh eksudat akar. Akibat dari pengaruh eksudat akar tersebut, maka terjadi pelekatan tanah membentuk agregat tanah. Substansi di rizosfer berasal dari sel akar mati (sloughing off cells) dan senyawa eksudat akar yang disebut musilas (mucilage). Musilase dapat dihasilkan dari mikroorganisme dan tanaman. Musilase tanaman diproduksi di tudung akar umumnya berupa polisakarida, adanya mucilage menyebabkan dinding sel epidermis menjadi seperti gelatin. Musilase merupakan sisi dimana terjadi pelekatan mikroorganisme dan terbentuk agregat tanah. Komposisi jenis karbohidart musilase berbeda untuk setiap jenis tanaman, demikian juga komposisi eksudat akar beragam menurut kondisi dan jenis tanaman. Akar dan rizosfirnya (Sumber: http://heartspring.net/compost_tea_disease_control.html ... diunduh 13/6/2011) Organisme simbiotik dalam rizosfir Hubungan simbiotik yang paling popular adalah antara bakteri Rhizobia fiksasi nitrogen dnegan tumbuhan legume. Bakteri Rhizobia menghuni bintil kecil pada akar, mengekstrak karbohydrates dari tumbuhan dan menyediakan kepada tumbuhan inangnya senyawa nitrogen larut yang disintesisnya dari gas nitrogen yang ada dalam udara tanah. Fungi Mycorrhiza juga mempunyai hubungan simbiotik dengan akar tumbuhan. Dengan jalan memperluas permukaan akar hingga dapat mencapai 400 kali lebih luas , ternyata fungi mampu membantu tumbuhan menyerap air dan unsure hara dari dalam tanah, dan memperbaiki kemampuan tumbuhan menahan cekaman panas dan kekeringan. Hubungan simbiotik ini mulai terjadi pada fase perkecambahan, pada saat kecambah muda mengeluarkan toksin untuk membunuh pathogen dan mengeluiarkan hormone untuk menarik organisme yang menguntungkannya. Mycorrhizae This is a symbiotic relationship between a fungus and a plant root. (What does each partner get out of the relationship?) Vesicular Arbuscular Mycorrhizae (V.A.M.) - association between a zygomycete fungus ("Black Bread Mold") and a plant Ectomycorrhizae - association between ascomycete (Sac Fungus) or basidiomycete (Club Fungus) and a conifer or flowering plant (usually large trees). In mycorrhizal plants, root hair surface area is negligible compared to that provided by the interface of mycorrhiza, plant and fungus. Most absorption is done via the mycorrhizal hyphae. (Sumber: http://www.bio.miami.edu/dana/226/226F09_9.html ... diunduh 13/6/2011) Life-sustaining Root Symbiosis: Nitrogen Fixation The Nitrogen Cycle is the pathway by which nitrogen moves through living and non-living components of the ecosystem. Nitrogen is one of the four main elements most common in biological macromolecules, and yet no eukaryotes are capable of fixing atmospheric nitrogen , N2, into its usable forms, such as ammonium (NH4+) with other species changing it into nitrite (NO2-) and nitrate (NO3-). Certain nitrogen-fixing bacteria, however, are capable of converting gaseous nitrogen into its biologically useful forms, and some of these have formed symbiotic relationships with plants, notably in the Fabaceae (Pea Family), commonly called legumes. The roots of legumes are covered with swellings called nodules within which reside symbiotic bacteria that fix nitrogen. Various strains of a bacterial species named Rhizobium form this association. Nitrogen fixation into ammonium requires an anaerobic environment such as that found in the root nodules. The root nodule surfaces are highly lignified, helping to prevent gas exchange. Also, root nodules often contain leghemoglobin, a hemoglobin-like molecule with high affinity for free oxygen. This protein provides a sort of "buffer" for oxygen, allowing the bacteria enough oxygen to produce ATP for the very energy-expensive reactions of nitrogen fixation without allowing too much oxygen to build up in the nodule tissues and interfere with nitrogen fixation itself. The figure below shows the sequence of events leading to nodule formation. (Sumber: http://www.bio.miami.edu/dana/226/226F09_9.html ... diunduh 13/6/2011) How does this symbiosis develop? The plant root emits flavonoids into the soil. Certain species of Rhizobium take up these flavonoids (the strain of Rhizobium colonizing each plant species is different, and determined by the exact structure of the flavonoid messenger.) The flavonoid activates a transcription factor protein, the activity of which results in the activation of a bacterial operon known as nod (for "nodule"). The genes in the nod group produce enzymes that catalyze Nod proteins, specific to the bacterial strain. The Rhizobium secrete the Nod molecules into the soil, and these signal to the plant root to elongate root hairs and form the infection thread that the bacteria will use to enter the root. There is some evidence to suggest that early mycorrhizal fungus/plant communication pathways (which also employ flavonoids) led to the evolution of the bacteria/plant communications resulting in nitrogen fixation symbiosis. ------------ Binatang Tanah Jenis binatang tanah ukuran besar yang sangat penting adalah cacing-tanah (earthworms), ternyata ada banyak jenis cacing tanah ini. Earthworms perform the final task of humification -- the conversion of decomposed organic matter to stable humus colloids -- and mix the humus with material from the lower tanah horizons. The digestive tract of the earthworm has a remarkable capacity to literally alter the chemical and physical nature of tanah. Earthworms are major agents in the process of tanah creation through the formation of clay-humus complexes and they play a key role in the management of calcium. By inoculating their castings with intestinal flora, earthworms distribute microbial populations throughout the tanah. Earthworms can increase the availability of phosphorus from rock phosphate by 15-39 per cent. They act as mini-subtanahers, their burrows increasing tanah aeration, drainage and porosity. In the process of burrowing, earthworms mix the subtanah with the toptanah and deposit their nutrient-rich castings on or near the tanah surface. The presence of a large earthworm population indicates good tanah fertility. They can be encouraged by adding lime when needed to correct tanah acidity and organic matter to provide the worms with food. Jenis cacing tanah “red wriggler atau manure worm”, menyenangi lingkungan tanah yang kaya bahan organic dan tidak dapat bertahan hidup pada kebanyakan kondisi tanah; sehingga inokulasi tanah di lapangan dengan jenis cacing ini tidak dapat memperbaiki kesuburan tanah. Sumber: http://www.semioticon.com/seo/N/niche.html .... diunduh 14/6/2011 Mites are the most abundant of the tanah arthropods. Most mites are beneficial, feeding on micro-organisms and other small animals. They assist with decomposition by browsing on preferred fungi, thus preventing any one species from becoming dominant, and by transporting the spores through the tanah. Springtails perform similar functions. Larger arthropods, slugs and snails burrow through the tanah and feed on dead plant material. By maintaining a suitable environment for the hundreds of species of tanah creatures, large and small, organic farmers provide their crops with an abundant supply of plant nutrients. 2. Kimia Tanah ( Kesuburan Tanah) Bahan Organik Tanah dan Humus Bahan organic (BO = OM) merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan komponen tanah yang berupa sisa-sisa, residues atau limbah dari organisme hidup. OM comes primarily from plant residue, but also includes tanah micro-organisms and animal remains. The amount of OM in a tanah depends on its type and how it is managed. OM content can range from one per cent, in the case of a sandy tanah in which no special management practices have been used to build OM, to more than 30 per cent in a muck tanah. Tanah life depends on the continual replenishment of OM. Most organic farming practices, such as crop rotation, composting, green manuring and keeping the tanah covered, help to increase the tanah's OM and hence its biological activity. Including a three- to five-year grasslegume sod in the rotation is an effective way of increasing OM because losses are minimized when there is no tillage. It is important to understand that OM alone does not guarantee fertility or biological activity. Peat moss, for example, is made up entirely of OM but contains few nutrients. Excessive moisture will produce anaerobic conditions in which OM will rot and will favor the development of pathogens that may infect the crop. The tanah must be managed so that the OM produces the intended results, namely an increase in available plant nutrients, improved tanah structure, and increased nutrient reserves. [Illustration - Grass-legume sod] Humus Efektif Kalau bahan organics egar ditambahkan ke tanah, mikroba tanah akan segera mulai men-dekomposisi bahan organik tersebut. Bahan residu yang terdekompopsisi sebagian lazim disebut “humus efektif”. Humus ini mampu menahan unsure hara, melepaskannya bagi tanaman yang membutuhkannya dan mencegah kehilangan hara akibat pencucian. Mikroba tanah yang merimbak residu organic yang kaya karbon akan menggunakan sebagian N-tersedia dalam tanah, sehingga untuk sementara tidak tersedia bagi tanaman yang ditanam setelah aplikasi bahan organic ke tanah. Humus yang stabil Stable humus is the final product of the decomposition process. It can be recognized by its dark color, crumbly or slightly gelatinous texture and characteristic "earthy" smell. Stable humus, or colloidal humus, provides long-term nutrient reserves and improves tanah structure and cation-exchange capacity. Manfaat Humus: • Mensuplai unsure hara, terutama nitrogen (N), phosphorus (P) dan sulphur (S), pada saat tanaman memerlukannya; • Menahan unsure hara, sehingga meminimumkan pencucian unsur hara; • Memegang bersama partikel tanah, menstabilkan tanah-tanah yang teksturnya “lepas” melawan erosi; • Meningkatkan kegemburan tanah yang teksturnya berat; • Memperbaiki porositas tanah, sehingga memperlancar pergerakan air dan udara tanah, dan meningkatkan kemampuan tanah menyimpan air. Kapasitas Tukar Kation (KTK) Plants obtain many of their nutrients from tanah by an electrochemical process called cation exchange. This process is the key to understanding tanah fertility. Cation exchange requires very small particles with a large surface area to hold electrically-charged ions. Humus colloids are ideal; clay colloids also have a good CEC, but sand particles are too big. The finely-divided platelets of the humus and clay colloids produce a large surface area -- one gram of the clay mineral bentonite has been estimated to have a surface area of 800 square metres. The surfaces are coated with a thin film of water, which contains dissolved nutrients. Each platelet has an extra electron, which gives it a negative charge. This negative charge attracts positively-charged nutrient ions from the nutrient solution such as ammonium (NH4+), calcium (Ca++), magnesium (Mg++) and potassium (K+). These nutrient ions can be absorbed by the plant root, by exchanging them for other ions such as hydrogen (H+). Many tanah micro-organisms carry a negative charge, which enables them to attract nutrients, and to move freely about the humus and clay colloids. KTK mengukur jumlah unsur hara kation yang secara potensial stabil dan tersedia. It is measured in milliequivalents (me) per 100 grams of tanah. Typical values are 6.3 me/100g for sand and 27.2 me/100g for clay/loam. The higher the CEC, the greater the potential fertility of the tanah. This is why clay tanahs tend to be more fertile than sandy tanahs, and why the fertility of sandy tanahs can be improved by the addition of clay and humus. The cation-exchange process can however only store and release positively-charged nutrients; the availability of nutrients in anion form, such as phosphorus and sulfur is not affected by CEC. Tanah organisms play a key role in conserving and releasing these nutrients. pH tanah dan peranan kalsium The term pH refers to the acidity or alkalinity of a tanah. It is important because it influences tanah nutrient availability and biological activity. pH ranges from 0-14. A pH level below 7 (the neutral point) is acidic, and above 7 is alkaline. Tanah pH ranges from 4-9; fertile tanahs are usually between 6.0 and 7.0. Acid tanahs have, by definition, a large number of free H+ ions. Acidity reduces bacterial activity and therefore decomposition and nutrient release. Nitrogen-fixing Rhizobia and legumes generally do not do well in acid tanahs. Excess H+ ions displace nutrient cations attached to the tanah colloids, thus depleting the tanah's nutrient reserves. An acid tanah may, therefore, have a high CEC but be low in fertility. The addition of crushed limestone (CaCO3) corrects an acid tanah. An acid tanah with a high CEC needs a greater amount of limestone than a low CEC tanah of the same pH, because of the very much greater number of reserve H+ ions held in the tanah with the high CEC. Lime not only corrects tanah pH, it also supplies the plant nutrient calcium. Its double electrical charge, Ca++, lets it function as a link, binding clay and humus colloids together in clay-humus complexes. The resulting tanah has improved structure, is less subject to erosion and has improved nutrient-holding capacities. Dolomitic limestone functions in a similar way to calcitic limestone, but in addition contains magnesium (Mg++). It should only be used in areas that are low in magnesium. If magnesium levels are high compared with calcium it will have adverse effects on the crops and on the breakdown of organic residues in the tanah. Excessively alkaline tanahs have few free H+ ions and an excess of sodium (Na+) ions. Biological activity is suppressed and associated nutrient availability decreased. Additional problems include destruction of OM, saline seepage, tanah crusting and the accumulation of toxic levels of sodium, selenium and other minerals. Alkalinity can be reduced somewhat by the addition of gypsum (calcium sulphate) or, in extreme circumstances, sulfur. Gypsum is used to reduce magnesium and supply calcium and sulphur without raising the pH. Hubungan antara pH tanah dengan ketersediaan hara: Pita lebar berarti lebih tersedia (sumber: http://www.terragis.bees.unsw.edu.au/terraGIS_tanah/sp_tanah_reaction_ ph.html; diunduh 10/6/2011) Reaksi tanah menunjukkan keasaman dan kebasaan tanah dan dinyatakan sebagai pH. Keasaman tanah ditentukan oleh kadar atau kepekatan ion hidrogen yang beredar di da lam + tanah tersebut. Bila kepekatan ion hidrogen (H ) di dalam tanah tinggi maka tanah disebut asam Sebaliknya, bila kepekatan ion hidrogen terlalu rendah maka tanali disebut basa. Pada kondisi ini kadar kation OH- lebih tinggi dari H+. Reaksi tanah dibedakan menjadi kemasaman (reaksi tanah) aktif dan potensial. Reaksi tanah aktif ialah yang diukurnya konsentrasi hidrogen yang terdapat bebas dalam larutan tanah. Reaksi tanah potensial ialah banyaknya kadar hidrogen dapat tukar baik yang terjerap oleh kompleks koloid tanah maupun yang terdapat dalarn larutan. Tanah masam karena kandungan H+ yang tinggi dan banyak ion Al3+ yang bersifat masam karena dengan air ion tersebut dapat menghasilkan H+. Di daerah rawa-rawa atau tanah gambut, tanah masam umumnya disebabkan oleh kandungan asam sulfat yang tinggi. Pengapuran merupakan salah satu cara untuk memperbaiki tanah yang bereaksi asam atau basa. Tujuan dari pengapuran adalah untuk menaikkan pH tanah sehingga karenanya unsur-unsur hara menjadi lebih tersedia, memperbaiki struktur tanahnya sehingga kehidupan organisme dalam tanah lebih giat, dan menurunkan kelarutan zat-zat yang sifatnya meracuni tanaman dan unsur lain tidak banyak terbuang. Siklus Nitrogen The vegetative growth of plants (leaves, stems, and roots) is especially dependent on nitrogen. The atmosphere contains 78 per cent nitrogen by volume, yet it is the element that most often limits plant growth. Plants cannot use gaseous nitrogen, but require nitrogen in the form of nitrate (NO3-) or ammonium (NH4+). Atmospheric nitrogen is converted into NO3- and NH4+ in the tanah by nitrogen fixation, which is performed by certain tanah micro-organisms. These include the symbiotic Rhizobia bacteria associated with legumes, and the non-symbiotic bacteria Clostridium and Azoterbacter which are free-living in the tanah. Once gaseous nitrogen is incorporated into plant material as proteins and amino acids, it may be recycled many times through the activity of the tanah decomposers. Young plants are especially rich in nitrogen and, when they are incorporated in the surface layers of the tanah as green manure, this nitrogen is released by biological activity. The ammonium (NH4+) ions can be stored on the clay-humus complex for long periods. The nitrate ions (NO3-) are subject to leaching if not taken up by the crop. Deficiencies of nitrogen may occur not because there is not enough entering the system but because of the way it cycles round the system. Cycling is increased by maximizing biological activity which is determined by the way different components of the system, such as residues, manure, weeds and drainage, are managed. Sumber: http://www.tanahs.umn.edu/academics/classes/tanah2125/doc/s9chap2.htm; diunduh 10/6/2011) Nitrogen terdapat di dalam tanah dalam bentuk organik dan anorganik. Bentuk-bentuk organik meliputi NH4+, NO3-, NO2-, NO2, NO dan unsur N. Juga terdapat bentuk lain yaitu hidroksi amin (NH2OH), tetapi bentuk ini merupakan bentuk antara, yaitu bentuk peralihan dari NH4+, menjadi NO2- dan bentuk ini tidak stabil. Penyediaan ion dalam tanah dapat dipandang dari sudut mineral dengan masukan dan kehilangan dari ekosistem dan laju transfer diantara komponen sistem. Pendekatan ini berharga bagi nitrogen, dimana masukan karena curah hujan dan fiksasi serta kehilangan akibat pencucian dan denitrifikasi merupakan sebagian besar dari jumlah seluruhnya yang ada dengan siklus sistem tersebut. Untuk ion yang di absorbsi, masukan ini tidak berarti dibandingkan dengan dengan jumlah seluruhnya yang ada, termasuk kehilangana karena pencucian dalam tanah-tanah subur. Siklus nitrogen adalah kompleks dan kompertemen organik merupakan bagian yang dominan, beberapa macam bakteri terlihat dalam pengubahan NH4+ menjadi NO3+ (Nitrobacter, Nitrosomonas, Nitrosococcus adalah yang paling penting), tetapi kedua bentuk itu dapat diambil oleh banyak tanaman dengan fasilitas yang sama. Lebih penting lagi adalah produksi NH4+ yang dihasilkan dari bahan organik yang dibawa oleh bermacam-macam fungsi dan bakteri. Perombak dekomposisi ini juga membutuhkan N, tetapi jika bahan mempunyai kandungan N rendah, bahan itu akan dipesatukan ke dalam biomassa dan tidak dibebaskan, sampai penyediaan karbon berkurang. Rasio CarbonNitrogen (C/N) merupakan cara untuk menunjukkan gambaran kandungan Nitrogen relatif . Rasio C/N dari bahan organik merupakan petunjuk kemungkinan kekurangan nitrogen dan persaingan di antara mikroba-mikroba dan tanaman tingkat tinggi dalam penggunaan nitrogen yang tersedia dalam tanah. Dalam siklusnya nitrogen di dalam tanah mengalami mineralisasi, sedangkan bahan mineral mengalami imobilisasi. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa N yang hilang ke atmosfir merupakan bagian yang cukup besar. N dalam tanah akan habis terangkut dalam waktu yang sangat lama dan sebagian besar N yang tertinggal dalam tanah sesudah tahun pertama bukan dalam bentuk nitrat tetapi dalam bentuk bahan organik. Ketersediaan N tanah dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti iklim dan macam vegetasi yang kesemuanya dipengaruhi oleh keadaan setempat seperti topografi, batuan induk, kegiatan manusia dan waktu. Siklus Karbon Carbon is the building block of life. Plants obtain carbon from atmospheric carbon dioxide (CO2) through photosynthesis, during which the chloroplasts in the plant cells convert CO2 to carbohydrates. It is the cycling of carbon from the atmosphere through plants and algae, to animals and micro-organisms and back to the atmosphere, that maintains earth's atmosphere and climate in its current balance. The greenhouse effect, or warming of the planet, is a consequence of an excess of atmospheric CO2 caused by deforestation (reduced CO2 consumption) and compounded by excessive fossil fuel energy use (increased CO2 production). Keeping the tanah covered with growing plants can make a contribution to reducing global warming. Carbon is a critical element in the formation of stable humus. The carbon:nitrogen (C:N) ratio of the organic matter supplied to the tanah is a controlling factor in this process. A ratio of about 20:1 is considered ideal. If greater amounts of carbon are present, decomposition slows as micro-organisms become nitrogen-starved and compete with the plants for available nitrogen. Nitrate nitrogen practically disappears from the tanah because microbes need nitrogen to build their tissues. If there is too much tanah nitrogen, the decomposers produce soluble nutrients in the form of effective humus, but little stable humus. These conditions can give the advantage to weeds rather than the crop. A good C:N ratio will result in the formation of both effective humus and stable humus. As decay occurs, the C:N ratio of the plant material decreases since carbon is being lost as CO2, and nitrogen is conserved. This process continues until the micro-organisms run out of easily-oxidized carbon. The exuded, undecomposed carbon persists as stable humus. Siklus Fosfor Phosphorus (P) is important in plant-cell division and growth. It is a difficult nutrient to manage because, although abundant in the tanah, it is often in a form unavailable to plants. In acidic tanahs (pH below 5) the phosphorus gets tied up with iron and aluminum, and in alkaline tanahs (pH above 7) it gets tied up with calcium. Even with a favorable pH, phosphorus readily becomes immobilized by other tanah minerals. Phosphorus anions may also be physically trapped in the clay-humus complex. Phosphorus is lost from tanahs through tanah erosion, often at a greater rate than it can be replaced from the underlying subtanahs. It accumulates in lakes and slow-flowing rivers, causing eutrophication. The elimination of tanah erosion is the first step in phosphorus conservation. The addition of powdered rock phosphate or colloidal phosphate is a precautionary measure which, used in conjunction with the biological measures described below, can avoid phosphorus deficiency. The release of P to plants depends on tanah biological activity, particularly that of certain bacteria and mycorrhizal fungi. Tanah acids, produced by these micro-organisms and by OM decomposition, release phosphates. Phosphorus availability is therefore dependent on the maintenance of high levels of biological activity and stable humus in the tanah. Under these conditions, phosphorus is continually recycled through the processes of OM decay. Some plants produce acidity around their roots which assists in the uptake of P; examples of these are legumes actively fixing nitrogen, rapeseed, oilradish and buckwheat. (Sumber: http://filebox.vt.edu/users/chagedor/biol_4684/Cycles/Pcycle.html ; diunduh 10/6/2011) A TANAH-BASED VIEW OF THE PHOSPHORUS CYCLE Initially, phosphate weathers from rocks. The small losses in a terrestrial system caused by leaching through the action of rain are balanced in the gains from weathering rocks. In tanah, phosphate is absorbed on clay surfaces and onganic matter particles and becomes incorporated (immobilized). Plants dissolve ionized forms of phosphate. Herbivores obtain phosphorus by eating plants, and carnivores by eating herbivores. Herbivores and carnivores excrete phosphorus as a waste product in urine and feces. Phosphorus is released back to the tanah when plants or animal matter decomposes and the cycle repeats. --------------------------- Siklus P dalam tanah Source : "Kikan Kagaku-sosetsu, 4" (Quaterly Chemistry 4), Science Society of Japan, ed., "Chemisory of Tanah" (http://www.env.go.jp/en/wpaper/1995/eae240000000010.html ; diunduh 10/6/2011) -----------Siklus Kalium Potassium (K) is important as an enzyme activator in plants. It is involved in facilitating membrane permeability and translocation of sugars. Potassium is also needed for photosynthesis, fruit formation, winter hardiness, disease resistance, and amino acid and protein formation. Potassium builds plant stalk strength. It does not, however, form a permanent part of plant tissues, but is translocated to the stems and roots during ripening. Thus, potassium is readily available in crop residues -- roots, straw and corn stalks. Very little potassium is removed with a grain crop at harvest if the straw is left on the field. Repeated cutting for hay or silage without returning potash in the form of manure or crop residues will quickly induce K deficiency. Tanah potassium is present in minerals that dissolve slowly, thereby limiting its availability. Potassium availability is regulated by cation exchange. Potassium leaching increases as the amounts of clay and humus decrease and therefore may be a problem in sandy tanahs. A deep-rooting green manure will help prevent losses. Increased biological activity and colloidal humus formation will increase potassium availability by enhancing the CEC in the tanah. The addition of powdered basalt, green sand and clay minerals has been found to correct potassium deficiencies in a biologically active tanah. Manure is a good source of K if care has been taken to minimize leaching during storage. It has been reported that in some organic systems, low available potash levels, according to tanah analyses, are not necessarily associated with plant deficiencies or lower yields. This may be because available K is immediately taken up by the growing plant. Siklus kalium dalam tanah (http://www.ca.uky.edu/agc/pubs/agr/agr11/agr11.htm; diunduh 10/6/2011) Pemupukan Kalium Crops require relatively large quantities of potassium. On tanahs where potassium is not released within the plant root zone at rates sufficient to meet the needs of a particular crop, applications of potassium fertilizers are essential if high crop production is to be maintained. The best guide to follow in planning a potassium fertilization program is the tanah test result from a good representative tanah sample. Tanah test results along with past fertilization, cropping history, the crop to be grown, and management of crop residues are most helpful in determining if additional potassium is needed and how much should be applied. The most common source of potassium is muriate of potash (KCl or potassium chloride). This source is satisfactory for all field crops grown in Kentucky except tobacco. A non-chloride source of potassium such as the sulfate or nitrate form should be used on tobacco because excessive amounts of chlorine lower the quality of tobacco and can cause "white stem." Because of the reactions previously explained, all the potassium applied as fertilizer is not used by crops the year in which it is applied. Even under ideal conditions, only 40 to 50 percent of the potassium applied will be recovered by the immediate crop. The remainder-held in the tanah - is slowly released to succeeding crops, if erosion is controlled and there is no sediment loss. Except for plant removal, erosion is about the only way potassium will be lost from the rooting zone of silt loam and heaviertextured tanahs. Unsur Hara Mikro About one hundred elements have been found in living plants. Carbon, hydrogen, and oxygen are the most abundant and are derived from water, oxygen and carbon dioxide. The nutrients N, P, K, calcium and magnesium have been discussed above. Of the other elements, we know that sulfur, iron, copper, manganese, zinc, molybdenum, boron and chlorine are required by plants in trace amounts. They are not constituents of the plant structure, but contribute to plant growth and development. Other elements, such as iodine, are essential to the animals that eat the plants. Deficiencies occur in tanahs that lack an inherent source of an element, or they can be caused by an imbalance in tanah pH. Conversely, if certain micronutrients exceed trace levels, they can be toxic to plants. The range between deficiency and excess is very small. Therefore, micronutrients should not be applied unless a deficiency is shown by leaf analysis or by visible plant symptoms. Micronutrients are best applied via compost, or by a foliar spray. Either of these methods is preferable to applying a trace mineral directly to the tanah. In a biologically-active tanah with good CEC and balanced pH, micronutrient deficiencies are rare. Products based on seaweed (kelp) contain more than 80 elements, and organic farmers feed kelp meal as mineral supplement to their livestock, or incorporate small amounts of kelp products into compost as a precautionary measure against micronutrient deficiency. Udara, air dan drainage Fundamental to tanah ecology is the cycling of water to the tanah through precipitation and its return to the air through evaporation and transpiration. Biological activity is dependent upon the balance of air and water in the tanah. Too much water causes aerobic decomposition to cease and anaerobic bacteria to take over, with damaging effects. For example, nitrification, or the breakdown of nitrate nitrogen to gaseous nitrogen, occurs as a result of anaerobic biological activity in the tanah. Too little water also causes biological activity to slow down and hence reduces the availability of nutrients. The water available to plants is the moisture held mostly by capillarity in small tanah pores. A tanah with a large number of small pores, such as a clay-loam, will withstand drought much better than a sandy tanah, which has few capillary pores. Large pores allow drainage and air flow that supplies oxygen and nitrogen for root and microbial growth. Both types of pore space are important for tanah fertility, and both can be maintained and enhanced by the addition of organic matter and humus to the tanah. An ideal tanah has a high infiltration rate, and fairly slow hydraulic conductivity. The infiltration rate is the rate at which water soaks into the ground; if the infiltration rate is slower than the rate of precipitation, the excess water will become surface run-off, with attendant erosion and pollution hazards. Hydraulic conductivity is the rate at which water drains through a saturated tanah. This action transports nutrients from the surface layers to the rhizosphere. If the hydraulic conductivity is too fast, nutrients will be leached out of the tanah and groundwater may become polluted. Organic matter in the form of cover crops or mulch improves the infiltration rate. When converted into humus through biological activity, organic matter can lower the hydraulic conductivity of sandy tanahs. Wet tanahs, if caused by high groundwater levels, tend to be unsuitable for organic field crops and are often better left as permanent pasture, or allowed to revert to natural habitat. If the water problem is caused by compaction or hardpan, chisel plowing or subtanahing may correct the situation. Earthworms, and crops with long tap roots such as alfalfa, can then help to maintain the field in improved condition. Solutions such as ditching or tile drainage should be very carefully assessed for their environmental implications. 3. Ciri-ciri Fisika Tanah Struktur Tanah The term tanah structure is used to describe the way tanah particles are grouped into aggregates. Tanah structure is affected by biological activity, organic matter, cultivation and tillage practices. Tanah fertility and structure are closely related. In an organic production system tanah management techniques are designed to enhance tanah structure. An ideal tanah structure is often described as granular or crumblike. It provides for good movement of air and water through a variety of different pore sizes. Plant roots extend down and tanah animals, including small earthworms, travel through the spaces between the aggregates. An ideal tanah structure is also stable and resistant to erosion. The clay-humus complex, in combination with adequate calcium which helps to bind the aggregates together, forms the basis of this structure. The glutinous by-products of tanah bacteria and the hair-like threads of actinomycete and fungi mycelium add to tanah stability. Plant roots also play a role in maintaining tanah structure. All tillage operations change tanah structure. Excessive cultivation, especially for seedbed preparation, can harm tanah structure. Working clay tanahs when wet leads to compaction and subsequent tanah puddling. The tanah is easily puddled by rain, easily eroded and will have poor aeration. Tillage, when too dry, shatters the aggregates. Careful cultivation, growing sod crops and returning crop residues can enhance tanah structure. Organic matter and the humification process improve structural stability, and can rebuild degraded tanah structures. Therefore it is vital to return organic material to the tanah and to maintain its biological activity. Sifat Olah dan Pengolahan Tanah Tilth is the term used by farmers to describe how easy it is to till the tanah. It is determined by tanah structure, presence or absence of hard-pans, tanah moisture and aeration. Tilth determines the tanah’s fitness as a seedbed, especially for root penetration and shoot emergence. However, if the deeper tanah layers are compacted or cemented, plant roots will be prevented from getting to the stored water in these layers and plant growth will be affected regardless of upper tanah tilth. Pengolahan tanah adalah suatu usaha untuk mempersiapkan lahan bagi pertumbuhan tanaman dengan cara menciptakan kondisi tanah yang siap tanam. Walaupun pengolahan tanah sudah dilakukan oleh manusia sejak dahulu kala dan sudah mengalami perkembangan yang demikian pesat baik dalam metode maupun peralatan yang digunakan, tetapi sampai saat ini pengolahan tanah masih belum dapat dikatakan sebagai ilmu yang pasti (eksakta) yang dapat dinyatakan secara kuantitatif. Belum ada metode yang memuaskan yang tersedia untuk menilai hasil olah yang dihasilkan oleh suatu alat pengolah tanah tertentu, serta belum dapat ditentukan suatu kebutuhan hasil olah yang khusus untuk berbagai tanaman untuk lahan kering. Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa masalah pengolahan tanah merupakan masalah yang penting untuk mendapatkan produksi pertanian yang optimal. Kondisi tanah yang baik adalah salah satu faktor berhasilnya produksi tanaman, dan untuk mencapai kondisi tanah yang baik diperlukan alat-alat pertanian. Akhir-akhir ini masalah yang utama didalam pembukaan dan pengolahan tanah adalah bagaimana agar didapatkan efisiensi yang optimal. Hal ini dimaksudkan dari pengertian minimal tillage yaitu pengolahan yang seminimal mungkin, tetapi menghasilkan tanah yang baik dan pertumbuhan tanaman yang optimal dengan biaya yang rendah. Pekerjaan pengolahan tanah dapat dibagi menjadi pengolahan tanah pertama dan pengolahan tanah kedua. Peralatan pengolahan tanah pertama disebut juga pembajakan. ---------------- Tillage should be carried out under conditions that preserve good tilth, that is, when tanah moisture conditions are optimum and there is enough water to allow separation of the tanah aggregates, but not so much as to induce puddling or compaction. The tanah should not stick to your boots when you walk on it and it should break easily and crumble at the deepest depth it is being tilled. This rule is more crucial for finetextured (clay) tanahs than for coarse-textured (sandy) tanahs. A tillage system should work residues into the top 8 cm of the tanah where it can be digested by the micro-organisms. It should also leave some residue on the surface to reduce erosion potential. Annual use of the moldboard plow can create a hardpan and bury organic matter and living toptanah in an anaerobic zone. On many farms its use has been replaced by the chisel plow which loosens, aerates and mixes the tanah without burying all of the crop residue. If wisely used on tanah in good tilth, the moldboard plow need not create problems and it is still useful to turn a heavy sod. However, plowing should be kept as shallow as possible. Overuse of offset discs in the spring can lead to compaction problems and, in some cases, the S-tine cultivator is more appropriate for seed bed preparation. In recent years, equipment modifications and new combination tools have been developed to minimize the adverse effects of tillage on tanah structure and to reduce the number of tillage operations required. Bajak dengan traktor tangan (Bajak Rotari Tipe Kebun Berpenggerak Sendiri) (http://gadogadobumbukacanginginberbagi.blogspot.com/2010/03/al at-dan-mesin-pengolahan-tanah-5.html ; diunduh 10/6/2011) Bajak Rotari / Pisau Berputar adalah bajak yang terdiri dari pisau-pisau yang berputar. Berbeda dengan bajak piringan yang berputar karena ditarik traktor, maka bajak ini terdiri dari pisau-pisau yang dapat mencangkul yang dipasang pada suatu poros yang berputar karena digerakan oleh suatu motor. Bajak ini banyak ditemui pada pengolahan tanah sawah untuk pertanaman padi. Ada tiga jenis bajak rotari yang biasa dipergunakam. Jenis pertama yang disebut dengan tipe tarik dengan mesin tambahan (pull auxiliary rotary engine). Pada jenis ini terdapat motor khusus untuk menggerakkan bajak, sedangkan gerak majunya ditarik oleh traktor. Jenis ke dua adalah tipe tarik dengan penggerak PTO (pull power take off driven rotary plow). Alat ini digandengkan dengan traktor melalui tiga titik gandeng (three point hitch). Untuk memutar bajak ini digunakan daya dari as PTO traktor. Jenis ke tiga adalah bajak rotari tipe kebun berpenggerak sendiri (self propelled garden type rotary plow). Alat ini terdapat pada traktor-traktor roda 2. Bajak rotari digerakkan oleh daya penggerak traktor melalui rantai atau sabuk. Dapat juga langsung dipasang pada as roda, sehingga disamping mengolah tanah bajak ini juga berfungsi sebagai penggerak. Tekstur Tanah Tanah texture is a classification system based on mineral particle size. It is a relatively permanent feature of the tanah that does not change appreciably over a human lifetime. Tanahs are classified according to the percentages of oven-dry weights of sand, silt and clay. For example, a sandy tanah is composed principally of large sand particles, whereas a loam contains more or less equal amounts of clay, sand and silt. Organic matter is excluded from the texture classification. Tanahs with a high silt content and those with a high clay content have greater capacities for retaining water and available nutrients than sandy tanahs. By adding small amounts of clay minerals to the tanah and by encouraging the activities of earthworms to reduce the size of tanah mineral particles, organic farmers can modify tanah texture to a small degree, but the greatest effect of these amendments is on structure, as discussed above. Segitiga tekstur tanah (http://abuzadan.staff.uns.ac.id/2009/09/25/tanahtexture/ ; 10/6/2011) Tekstur tanah adalah keadaan tingkat kehalusan tanah yang terjadi karena terdapatnya perbedaan komposisi kandungan fraksi pasir, debu dan liat yang terkandung pada tanah (Badan Pertanahan Nasional). dari ketiga jenis fraksi tersebut partikel pasir mempunyai ukuran diameter paling besar yaitu 2 – 0.05 mm, debu dengan ukuran 0.05 – 0.002 mm dan liat dengan ukuran < 0.002 mm (penggolongan berdasarkan USDA). keadaan tekstur tanah sangat berpengaruh terhadap keadaan sifat2 tanah yang lain seperti struktur tanah, permeabilitas tanah, porositas dan lain2. Segitiga tekstur merupakan suatu diagram untuk menentukan kelas2 testur tanah. ada 12 kelas tekstur tanah yang dibedakan oleh jumlah persentase ketiga fraksi tanah tersebut. misalkan hasil analisis lab menyatakan bahwa persentase pasir (X) 32%, liat (Y) 42% dan debu (Z) 26%, berdasarkan diagram segitiga tekstur maka tanah tersebut masuk kedalam golongan tanah bertekstur Liat . 4. Mengevaluasi Tanah Tanah evaluation is an ongoing process for the organic farmer. Regular observation of the crops and of weed growth provides vital information. The simple act of digging a hole in the field can reveal the following information, which should be recorded: • tanah profile, which describes the depth and color of the different tanah horizons, or layers; • tanah structure, including stoniness and hardpan formation at the various tanah horizons; • earthworm populations and other tanah life; and • root structures, noting whether roots enter the tanah structure, follow fissures made by a chisel plow or subtanaher, or are obstructed in any way. The information gained from test holes can be used to find out why one part of a field yields differently from another and to compare tanah conditions from one year to the next. The plant populations under these tanah conditions should be described at the same time, including the density, vigor and composition of the weed population. Uji Tanah (Tanah tests) Conventional tanah tests are useful indicators. Tanah samples should be taken at the same time each year, preferably under the same conditions. The results, compared from year to year, enable the farmer to evaluate the effectiveness of the management practices used and determine what changes are required. It is also important to use the same testing laboratory because different procedures can give different results. Tanah samples taken during the growing season will give more information on availability of nutrients than those taken when the microorganisms are not active. Most labs give information on texture, pH, phosphorus, potassium and magnesium but other information useful to organic farmers such as OM, CEC, calcium and micronutrient levels may have to be specifically requested. Tanah nitrate profiles are used to determine nitrogen levels in the drier tanahs of the Prairies. A nitrogen test is now available in eastern Canada. Tissue analysis should be used if micronutrient deficiency is suspected. New tests are currently being developed which will help the organic farmer to gauge tanah biological activity. Some labs record results in ppm, others in lbs/acre. To convert ppm to lbs/acre, multiply by 2. If results indicate low nutrient levels, check to see if factors such as pH are limiting availability. Rotation plans may need to be modified to include more tanah-building crops and more emphasis given to increasing organic matter. Very low levels suggest the need for tanah amendments such as finely-ground rock powders or increased compost applications. Percent base saturation of the exchangeable cations calcium, magnesium and potassium is given by some labs. It is claimed that this provides a guide for tanah mineral balance with desired levels being potassium 2-7 per cent, magnesium 10-20 per cent and calcium 60-70 per cent. However, there is research that shows this is not appropriate in Ontario especially where calcium content is naturally high. Organic matter levels of 4-5 per cent are considered good. An example of a tanah test report is given below. [Figures 4, much reduced] Another way of assessing tanah management practices is to look at the quality of the crops grown. Some consultants are using the refractometer to measure sugar content of the plant cell sap. The sugar concentration is measured on the Brix scale. Plants under stress due to lack of moisture or nutrients will give lower readings. Plants with high readings are found to be more resistant to pests and disease. Konsep Kualitas Tanah Kualitas tanah merupakan kemampuan suatu tanah untuk melakukan fungsi-fungsi yang esensial bagi manusia dan lingkungan. Kualitas tanah tidak terbatas pada tanah-tanah pertanian, meskipun kebanyakan kualitas tanah telah ditetapkan dalam sistem pertanian. Definisi kualitas tanah menekankan beberapa karakteristik berikut ini. Pengelolaan dapat mempengaruhi sifat-sifat tanah Tanah quality assessments focus on the dynamic, or management-affected, properties of tanah, such as nutrient status, salinity, and water-holding capacity. These properties are assessed in the context of the inherent capability of a particular tanah. Go to Inherent and Dynamic Tanah Quality for more information. To learn more about how management practices change tanah properties, go to Management. Jasa-jasa esensial yang dihasilkan oleh tanah: Tanahs support plant growth, recycle dead material, regulate and filter water flows, support buildings and roads, and provide habitat for many plants and animals. Depending on the land use, many of these functions occur simultaneously. Tanah quality assessments go beyond measuring degradation (erosion, compaction, or contamination) to focus on these tanah functions and the processes that create them. Go to Tanah Functions for more information. Tanah dapat memenuhi tujuan ganda: Tanah functions provide private benefits such as crop production or structural support for buildings. Simultaneously, the same tanah may provide societal benefits such as carbon sequestration, water quality protection, or preservation of tanah productivity for future generations. Evaluating tanah quality requires that we identify and prioritize these benefits and pay attention to the interactions and tradeoffs among them. Kualitas Tanah There have been many definitions of tanah quality since the introduction of the term by Warkentin and Fletcher (1977). Two of the most concise definitions of tanah quality are: "Fitness for use" (Larson and Pierce, 1991) and "the capacity of a tanah to function” (Karlen et al., 1997). Taken together, these two definitions means that tanah quality is the ability of the tanah to perform the functions necessary for its intended use. Probably the most comprehensive definition of tanah quality to date was published by the Tanah Science Society of America's Ad Hoc Committee on Tanah Quality (S-581) as "the capacity of a specific kind of tanah to function, within natural or managed ecosystem boundaries, to sustain plant and animal productivity, maintain or enhance water and air quality, and support human health and habitation" (Karlen et al., 1997). More definitions can be found in the book, "Defining Tanah Quality for a Sustainable Environment" (Doran et al., 1994). Modal alami tanah dan Jasa-jasa ekosistem In current times we are facing unprecedented global transformation of ecosystems. Rarely have changes in the global resource pools occurred so quickly and with such potentially devastating effects on the earth’s life support system. It is therefore critical that we determine the vulnerability of tanahs locally and globally, understand the consequences of imposed changes, assess the ability of tanahs to perform important earth system and societal functions, and incorporate this understanding into the decision-making process. Given the unprecedented global changes (climate and land use etc) there has been a growing recognition of the importance of identifying and incorporating nature’s services into policymaking. The concept of "ecosystem services" and "natural capital" is gaining traction as a way of bridging the scientific-economic-policymaking divide so that the potential impact of ecosystem modification can be evaluated and more fully incorporated into decisions affecting society (National Research Council, 2005; Millennium Ecosystem Assessment, 2005). The ecosystems approach (EA) is becoming established in UK government thinking. Tanahs are a multi-functional resource that provide a range of ecosystem goods and services and are composed of important natural capital stocks identified in Table 1 (below). Tanah natural capital is defined as “the stocks of mass, energy and their organisation (entropy) within tanah” (Robinson et al., 2009). Whereas tanah ecosystem services in Table 2 (below) are defined as “the conditions and processes through which tanahs, and the organisms that make them up, sustain and fulfil human life. They maintain tanah function and biodiversity and provide ecosystem goods such as pharmaceuticals” (altered from Daily, 1997). Our research focuses on the development of the frameworks and developing monitoring and modelling approaches to identify changes in stocks, and the flow of goods and services through ecosystems. Examples of recent projects include the evaluation of ecosystem services from peat tanahs, and the impacts of using tree shelterbelts in uplands to protect livestock and reduce flood risk in the lowlands. Tanah Modal Alam Masa Pedatan Inorganic material: i) Mineral stock and ii) Nutrient stock Bahan organik: (i) OM / Cadangan karbon dan (ii) Organisme Cairan Kandungan Lengas Tanah Gas Udara Tanah ENERGI Energi Termal Suhu Tanah Energi Biomasa Biomasa tanah ORGANISASI Struktur fisio-kimia Orgabnisasi fisiko-kimia tanah, struktur tanah Struktur Biotik Orgabnisasi populasi biologis, jarringmakanan dan biodiversitas Sruktur Spatio-temporal Connectivity, patches dan gradients JASA-JASA EKOSISTEM TANAH PENUNJANG = SUPPORTING Stabilitas dan penunjang fisik bagi tumbuhan Unsur hara tanaman : Renewal, retention dan delivery Habitat dan gene pool PENGATURAN = REGULATING Regulasi siklus unsure hara Buffer, filter dan moderasi siklus hidrologis Pembuangan limbah dan bahan organik PENYEDIAAN Bahan bangunan KULTURAL = Budaya Lokasi peninggalan sejarah, cagar arkhaeologis Spiritual value, religious sites dan burial grounds Fungsi Ekosistem Tanah Fungsi Tanah: Jasa-jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya tanah We depend on tanah to perform many functions. Healthy tanah gives us clean air and water, bountiful crops and forests, productive rangeland, diverse wildlife, and beautiful landscapes. Tanah does all this by performing five essential functions. SIKLUS HARA - Tanah stores, moderates the release of, and cycles nutrients and other elements. During these biogeochemical processes, analogous to the water cycle, nutrients can be transformed into plant available forms, held in the tanah, or even lost to air or water. PENYEDIAAN AIR - Tanah can regulate the drainage, flow and storage of water and solutes, which includes nitrogen, phosphorus, pesticides, and other nutrients and compounds dissolved in the water. With proper functioning, tanah partitions water for groundwater recharge and for use by plants and tanah animals. BIODIVERSITAS DAN HABITAT - Tanah supports the growth of a variety of plants, animals, and tanah microorganisms, usually by providing a diverse physical, chemical, and biological habitat. FILTER DAN BUFFER - Tanah acts as a filter to protect the quality of water, air, and other resources. Toxic compounds or excess nutrients can be degraded or otherwise made unavailable to plants and animals. STABILITAS DAN PENUNJANG FISIK - Tanah has the ability to maintain its porous structure to allow passage of air and water, withstand erosive forces, and provide a medium for plant roots. Tanahs also provide anchoring support for human structures and protect archeological treasures. Alternatif Fungsi Tanah While there is no dispute that tanahs provides very important and useful services, there is no one way to categorize these services. Scientists have grouped these services in various ways, some of which are listed below. Menurut Larson and Pierce (1991): Provide a medium for plant growth and biological activity Regulate and partition water flow and storage in the environment Serve as an environmental filter and buffer in the immobilization and degradation of environmentally hazardous compounds : Menurut Dailey (1997): Buffering & moderation of hydrological cycle Disposal of wastes and dead organic matter Physical support Retention and delivery of nutrients Renewal of tanah fertility Regulation of elemental cycles Menurut Doran dan Parkin (1994): Sustain plant & animal productivity Maintain or enhance water & air quality Support human health & habitation Menurut Seybold et al. (1997): Sustain biological activity, diversity, & productivity Providing support for socioeconomic structures Protection of archeological treasures associated with human habitation Water and solute flow Filtering & buffering of contaminants Nutrient cycling Menurut Karlen et al. (1994): Water entry, retention and supply Resistance to stress and disturbance Plant growth Menurut Harris et al. (1996): nutrient relations water relations toxicant relations pathogen relations rooting relations aesthetic relations physical stability Tanah functions are difficult to measure directly, so they are usually assessed by measuring tanah quality indicators. Indikator Kualitas Tanah: Ukuran Keadaan Fungsional Tanah Scientists use tanah quality indicators to evaluate how well tanah functions since tanah function often cannot be directly measured. Measuring tanah quality is an exercise in identifying tanah properties that are responsive to management, affect or correlate with environmental outcomes, and are capable of being precisely measured within certain technical and economic constraints. Tanah quality indicators may be qualitative (e.g. drainage is fast) or quantitative (infiltration= 2.5 in/hr). Indikator yang ideal seharusnya: berkorelasi dengan proses ekosistem mengintegrasikan sifat dan proses fisika, kimia dan biologi tanah dapat diakses oleh banyak pengguna sensitive terhadap pengelolaan dan iklim menjadi komponen dari database yang ada dapat diinterpretasikan Doran and Parkin, 1996 There are three main categories of tanah indicators: chemical, physical and biological. Typical tanah tests only look at chemical indicators. Tanah quality attempts to integrate all three types of indicators. The categories do not neatly align with the various tanah functions, so integration is necessary. The table below shows the relationship between indicator type and tanah function. Kategori Indikator Fungsi tanah yang terkait Kimia Siklus Hara, Tata Air, Penyangga (Buffer) Fisika Stabilitas dan penunjang fisik, Tata Air, Habitat Biologis Biodiversitas, Siklus Hara, Filtering Organic matter, or more specifically tanah carbon, transcends all three indicator categories and has the most widely recognized influence on tanah quality. Organic matter is tied to all tanah functions. It affects other indicators, such as aggregate stability (physical), nutrient retention and availability (chemical), and nutrient cycling (biological); and is itself an indicator of tanah quality. Some indicators are descriptive and can be used in the field as part of a health card. Others must be measured using laboratory analyses. Some examples of indicators that fall into the three broad categories of chemical, physical and biological, are provided below. Kategori-katagori Indikator Chemical indicators can give you information about the equilibrium between tanah solution (tanah water and nutrients) and exchange sites (clay particles, organic matter); plant health; the nutritional requirements of plant and tanah animal communities; and levels of tanah contaminants and their availability for uptake by animals and plants. Indikator meliputi: Daya hantar listrik = Electrical Conductivity (Ec) Kandungan Nitrat Tanah Reaksi Tanah (pH) Lainnya... Physical indicators provide information about tanah hydrologic characteristics, such as water entry and retention, that influences availability to plants. Some indicators are related to nutrient availability by their influence on rooting volume and aeration status. Other measures tells us about erosional status. Indicators include measures of: Stabilitas Agregat Tanah Kapasitas Air Tersedia Bobot Isi Tanah Infiltrtasi Slaking Kerak Tanah Struktur Tanah dan Pori Makro Lainnya ... Biological indicators can tell us about the organisms that form the tanah food web that are responsible for decomposition of organic matter and nutrient cycling. Information about the numbers of organisms, both individuals and species, that perform similar jobs or niches, can indicate a tanah's ability to function or bounce back after disturbance (resistance and resilience). Indicators include measures of: Cacing tanah Partikulat Bahan Organik Nitrogen dapat dimineralisasi Respirasi Ensim-ensim Tanah Total karbon organik Siklus unsur hara Tanah stores, moderates the release of, and cycles nutrients and other elements. During these biogeochemical processes, analogous to the water cycle, nutrients can be transformed into plant available forms, held in the tanah, or even lost to air or water. Siklus hara dapat dinilai dengan jalan mengukur indicator berikut ini: 1. Indikator kesuburan tanah, termasuk N-nitrogen, N yang dapat dimineralisasi, Nitrat-tanah, uji P-tanah, K, S, Ca, Mg, B dan Zn 2. Indikator bahan organic, meliputi: C:N ratio, dekomposisi, karbon biomasa mikroba, partikulat bahan organik, ensim tanah , bahan organic, total karbon organic , dan total bahan organik 3. Indikator reaksi Tanah, termasuk pH. Tanah merupakan "switching yard" yang utama bagi siklus karbon secara global, siklus air dan siklus unsure hara. C, N, P, dan banyak unsure hara lainnya disimpan, dirombak, dan didaur-ulang melalui tanah. Decomposition by tanah organisms is at the center of the transformation and cycling of nutrients through the environment. Decomposition liberates carbon and nutrients from the complex material making up life forms-putting them back into biological circulation so they are available to plants and other organisms. Decomposition also degrades compounds in tanah that would be pollutants if they entered ground or surface water. Decomposition is a stepwise process involving virtually all tanah organisms. Arthropods and earthworms chew the material and mix it with tanah. A few fungi may break apart one complex compound into simpler components, then bacteria can attack the newly created compounds, and so on. Each organism gets energy or nutrients from the process. Usually, but not always, compounds become simpler after each step. The portion of plant and animal residue that is not broken down plays a crucial role in tanah. It is transformed into the highly complex organic compounds called humic substances that can persist in tanah for centuries and are important to tanah structure and nutrient storage. Carbon Dioxide dan Tanah The carbon cycle illustrates the role of tanah in cycling nutrients through the environment. More carbon is stored in tanah than in the atmosphere and above-ground biomass combined. Tanah carbon is in the form of organic compounds originally created through photosynthesis in which plants convert atmospheric carbon dioxide (CO2) into plant matter made of organic carbon compounds, such as carbohydrates, proteins, oils, and fibers. The organic compounds enter the tanah system when plants and animals die and leave their residue in or on the tanah. Immediately, tanah organisms begin consuming the organic matter, extracting energy and nutrients and releasing water, heat, and CO2 back to the atmosphere. Thus, if no new plant residue is added to the tanah, tanah organic matter will gradually disappear. If plant residue is added to the tanah at a faster rate than tanah organisms convert it to CO2, carbon will gradually be removed from the atmosphere and stored (sequestered) in the tanah. Cultivation aerates the tanah, triggering increased biological activity, and therefore rapid decomposition, loss of tanah organic matter, and release of CO2 into the atmosphere. Most tanah carbon losses occur in the first several years after cultivation begins, as took place in many U.S. tanahs in the 1800's. Farmers and other conservationists are interested in reversing that effect and increasing the amount of carbon stored in the tanah. In general, reducing tillage can increase the extent of carbon sequestration and the amount of organic matter retained in the tanah. Tata Air (Water Relations) Tanah can regulate the drainage, flow and storage of water and solutes, which includes nitrogen, phosphorus, pesticides, and other nutrients and compounds dissolved in the water. With proper functioning, tanah partitions water for groundwater recharge and use by plants and animals. Tata air dalam Tanah dapat dinilai dengan jalan mengukur atau mengamati indicator berikut ini. 1. Physical Stability Indicators including aggregate stability, erosion patterns, slaking, tanah loss, and tanah depth 2. Water Availability Indicators including available water capacity, hydraulic conductivity, infiltration, ponding patterns, tanah moisture, water filled pore space, and water holding capacity 3. Salinity and Sodicity Indicators including electrical conductivity, exchangeable sodium percentage, sodium, and sodium absorption ratio When rain or irrigation water falls to earth, some of the water will infiltrate into the tanah and some will flow over the surface. If the tanah is loose, porous, and has a stable structure, a drop of water will be likely to infiltrate. If the tanah has few openings and unstable structure so that a crust forms and seals the tanah surface, a drop of water will be more likely to run over the surface. Plants are also important in determining the fate of water. Leaves intercept water so some evaporates before it ever reaches the tanah, and leaves and plant residue protect the tanah so rain hits more gently. Roots and residue slow down the flow of water over land so water has more time to soak in. If the tanah becomes saturated, some water will drain down to groundwater. The remainder will be held in the tanah until it evaporates or is drawn into plant roots, eventually transpiring from leaves. At all these stages water is carrying sediment, organic matter, plant nutrients such as nitrogen and phosphorus, pesticides, and other dissolved or suspended compounds. Water flowing over the surface may carry sediment and nutrients into lakes. Water draining into groundwater may contain nitrate or pesticides. Where does rainwater go after it falls on your property? During a downpour, watch where it flows and where it ponds. After the rain, notice how the tanah surface dries more slowly under residue or mulch compared to bare tanah. Biodiversits dan Habitat Tanah mendukung pertumbuhan dan perkembangan beragam tumbuhan, binatang dan mikroba tanah; biasanya dengan jalan menyediakan beragam habitat fisika, kimia dan biologis. Kemampuan tanah menunjang kehidupan tanaman dan binatang dapat dinilai dengan jalan mengukur indicator berikut ini: 1. Indikator aktivitas biologis, meliputi fungi yang aktif, cacing tanah, biomasa mikroba, N yang dapat dimineralisasi, respirasi, ensim-ensim tanah. 2. Indikator diversitas Biologis, meliputi diversitas habitat dan indeks diversitas organisme, seperti bakteri, makro dan mikro artropoda, nematode dan tumbuhan. Apa yang diperlukan oleh tumbuhan, binatang dan mikroba dari tanah? Microba memerlukan tanah untuk: MAKANAN. Most microbes need regular inputs of organic matter (e.g. plant residue) into the tanah. RUANG. Larger tanah organisms such as nematodes and insects need enough space to move through tanah. UDARA. Most tanah organisms require air, though some require a lack of oxygen. They live in low-oxygen micro-sites such as within tanah aggregates. Generally, tanah biological activity is enhanced by an increase in tanah aeration. Tumbuhan memerlukan tanah untuk: Mendukung aktivitas mikroba yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Mendukung pertumbuhan akar tanaman, dan resistensi minimum bagi penetrasi akar. Intake dan retensi air dalam tanah, sambil menjaga kecukupan aerasinya. Pertukaran udara-tanah dengan atmosfir. Melawan erosi. Sumber unsure hara mineral dan bahan organik. Petani memerlukan tanah untuk melakukan operasi pertaniannya. Binatang dan manusia memerlukan tanah untuk: Pertumbuhan tanaman yang sehat. Ketersediaan hara esensial bagi kesehatan binatang. Unsur hara ini diserap oleh tanaman, tetapi belum tentu esensial bagi pertumbuhan tanaman. Semua organisme memerlukan tanah untuk: Senyawa toksik yang rendah. Menyaring air dan udara. At a landscape scale, a variety of tanah environments are needed to support a variety of plants, animals, and microorganisms. (Lists adapted from Yoder, 1937, and Cihacek, 1996.) Diversitas Tanah dan Organisme Tanah Each animal, plant, and microbe species requires a slightly different habitat. Thus, a wide variety of habitats are required to support the tremendous biodiversity on earth. At the microbial level, diversity is beneficial for several reasons. Many different organisms are required in the multi-step process of decomposition and nutrient cycling. A complex set of tanah organisms can compete with disease-causing organisms, and prevent a problem-causing species from becoming dominant. Many types of organisms are involved in creating and maintaining the tanah structure that is important to water dynamics in tanah. Many antibiotics and other drugs and compounds used by humans come from tanah organisms. Most tanah organisms cannot grow outside of tanah, so it is necessary to preserve healthy and diverse tanah ecosystems if we want to preserve beneficial microorganisms. Estimated numbers of tanah species include 30,000 bacteria; 1,500,000 fungi; 60,000 algae; 10,000 protozoa; 500,000 nematodes; and 3,000 earthworms (Pankhurst, 1997). Penyaring dan Penyangga Tanah acts as a filter to protect the quality of water, air, and other resources. Toxic compounds or excess nutrients can be degraded or otherwise made unavailable to plants and animals. The filtering function of tanah can be assessed by measuring or observing the following indicators: Toxicity Indicators including arsenic, copper, pesticides, and zinc Organic Matter Indicators including C:N ratio, decomposition, microbial biomass carbon, particulate organic matter, tanah organic matter, total organic carbon, and total organic matter Indikator reaksi tanah termasuk pH Salinity and Sodicity Indicators including electrical conductivity, exchangeable sodium percentage, sodium, and sodium adsorption ratio Biological Activity and Diversity Indicators including active fungi, earthworms, potentially mineralizable nitrogen, respiration, tanah enzymes, and diversity indices for organisms such as bacteria, macro and microarthropods, nematodes, and plants. The minerals and microbes in tanah are responsible for filtering, buffering, degrading, immobilizing, and detoxifying organic and inorganic materials, including industrial and municipal by-products and atmospheric deposits. Tanah absorbs contaminants from both water and air. Some of these compounds are degraded by microorganisms in the tanah. Others are held safely in place in the tanah, preventing contamination of air and water. When the tanah system is overloaded, such as with the excess application of fertilizer or manure, or when the tanah is unstable, some contaminants will be released back to the air and water through erosion or leaching. Stabilitas dan Penunjang Fisik Tanah has the ability to maintain its porous structure to allow passage of air and water, withstand erosive forces, and provide a medium for plant roots. Tanahs also provide anchoring support for human structures and protect archeological treasures. The stability and support function of tanah can be assessed by measuring the following indicators: 1. Stabilitas Tanah dan Ukuran Agregat; Indikator stabilitas tanah meliputi pola erosi, kedalaman tanah, kehilangan tanah, diameter agregat tanah yang tahan air, stabilitas aggregat , dan tanah slaking 2. Indikator struktur Tanah meliputi bobot isi, ketahanan penetrasi, porositas, atau pola pertumbuhan tanaman 3. Indikator bahan organic, termasuk BOT atau total C-organik 4. Karakteristik tanah yang penting seperti tekstur tanah dan distribusi ukuran partikel, memegang peran penting dalam stabilitas fisik. Tanah support is necessary to anchor plants and buildings. Both flexible (it can be dug) and stable (it can withstand wind and water erosion), tanah also provides valuable long-term storage options including protecting archeological treasures and land-filling human garbage. The need for structural support can conflict with other tanah uses. For example, tanah compaction may be desirable under roads and houses, but can be devastating for the plants growing nearby. Dinamika ekosistem tanah Feedbacks of terrestrial ecosystems to atmospheric and climate change depend on tanah ecosystem dynamics. Tanah ecosystems can directly and indirectly respond to climate change. For example, warming directly alters microbial communities by increasing their activity. Climate change may also alter plant community composition, thus indirectly altering the tanah communities that depend on their inputs. To better understand how climate change may directly and indirectly alter tanah ecosystem functioning, we investigated old-field plant community and tanah ecosystem responses to single and combined effects of elevated [CO2], warming, and precipitation in Tennessee (USA). Specifically, we collected tanahs at the plot level (plant community tanahs) and beneath dominant plant species (plant-specific tanahs). We used microbial enzyme activities and tanah nematodes as indicators for tanah ecosystem functioning (Kardol et al., 2010) . Dua hasil penelitian penting adalah (1) verall, while there were some interactions, water, relative to increases in [CO2] and warming, had the largest impact on plant community composition, tanah enzyme activity, and tanah nematodes. Multiple climate-change factors can interact to shape ecosystems, but in our study, those interactions were largely driven by changes in water. (2) ndirect effects of climate change, via changes in plant communities, had a significant impact on tanah ecosystem functioning, and this impact was not obvious when looking at plant community tanahs. Climate-change effects on enzyme activities and tanah nematode abundance and community structure strongly differed between plant community tanahs and plant-specific tanahs, but also within plant-specific tanahs. These results indicate that accurate assessments of climatechange impacts on tanah ecosystem functioning require incorporating the concurrent changes in plant function and plant community composition. Climate-change-induced shifts in plant community composition will likely modify or counteract the direct impact of atmospheric and climate change on tanah ecosystem functioning, and hence, these indirect effects should be taken into account when predicting the manner in which global change will alter ecosystem functioning. Nilai suatu Tanah Isu-isu soial dan kualitas tanah Nutrient cycling, water regulation, and other tanah functions are normal processes occurring in all ecosystems. From these functions come many benefits to humans, such as food production, water quality, and flood control, which have value economically or in improved quality of life. People can increase or decrease the value of tanah benefits because land-management choices affect tanah functions. Thus, it is important to understand what benefits we derive from tanah and their value so we can appreciate the importance of managing land in a way that maintains tanah functions. Tanah mempunyai manfaat sosial People tend to emphasize benefits with the most direct, private economic value. In rural areas, this is usually plant growth especially as crops and rangeland, but also as recreation areas. In urban/suburban areas, the most direct economic benefits of tanah relate to structural support for buildings, roads, and parking. Landscaping, gardening and parklands may also be valued economically. Those are all on-site, short-term benefits. That is, the landowner who decides how to manage the tanah also reaps the benefits (and costs) of those management decisions. In contrast, many important benefits are long-term or go beyond the land being managed. The landholders who make the management choices and pay the costs of managing land may not be the same people who are affected by the landholders decisions. Society should discuss the value of these off-site benefits and to what extent the land owner or society should pay to maintain these tanah functions. Manfaat publik dari tanah berhubungan dengan isu-isu sumberdaya berikut ini: 1. Kualitas air sungai danau, laut, dan groundwater 2. Kualitas udara, terutama partikulates 3. Gas rumah-kaca, termasuk CO2, methane, dan nitrous oxide. 4. Biodiversity 5. Aliran air dan control banjir 6. Sustainabilitas dan produktivitas lahan 7. Estetika. Ikhtisar manfaat-manfaat tanah: Fungsi Tanah Siklus Hara Manfaat dan Nilai bagi Manusia On-site Off-site Menyediakan hara bagi Memperbaiki kualitas air tanaman dan udara Unsur Cadangan karbon dapat Penyimpanan N dan C ememperbaiki beragam fungsi dapat mereduksi emisi gas tanah rumahkaca Menjaga Biodiversitas dan Habitat Mendukung pertumbuhan tanaman pangan, pakan dan tegakan pohon Meningkatkan resistensi dan resiliensi terhadap stress lingkungan Mereduksi resistensi pestisida Membantu memelihara ragam genetik Mendukung spesies liar dan mereduksi laju kelangkaan Memperbaiki estetika bentang-lahan Tata Air Kontrol erosi Memungkinkan pengisian kembali air sungai dan danau secara on-site Menyediakan air bagi tumbuhan dan binatang Kontrol banjir dan sedimentasi Mengisi cadangan groundwater Filter buffer Dapat menjaga kandungan dan garam, logam, dan hara mikro Memperbaiki kualitas air pada tingkat yang sesuai dan udara dengan tanaman dan binatang Berfungsi sebagai media Stabilitas dan Menjaga warisan pertumbuhan tanaman Penunjang archeologis Mendukung bangunan dan Fisik Menyimpan sampah jalan raya Fungsi Ganda Melestarikan productivitas Memelihara dan memperbaiki kualitas air dan udara Stabilitas Ekosistem Tanah Resistensi dan resiliensi: hubungan antara stabilitas dan sustainabilitas. Ecosystem stability is an important corollary of sustainability. Over time, the structure and function of a healthy ecosystem should remain relatively stable, even in the face of disturbance. If a stress or disturbance does alter the ecosystem is should be able to bounce back quickly. Stabilitas ekosistem mempunyai dua komponen: 1. RESISTENSI (Resistance) – kemampuan ekosistem untuk terus berfungsi tanpa perubahan, pada saat ada gangguan. 2. KETAHANAN (Resilience) – kemampuan ekosistem untuk pulih kembali setelah mengalami gangguan. (Odum, 1989; Seybold et al., 1999) Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas ekosistem: Frekuensi dan intensitas gangguan (frekuensi dan macam pengolahan tanah) Diversitas Species (intercropping atau rotasi), interaksi (kompetisi air dan unsure hara dengan spesies gulma), dan strategi sejarah hidup (apakah suatu spesies tumbuh cepat dan menghasilkan banyak biji ataukah tumbuhnya lambat dengan menghasilkan sedikit biji) Kompleksitas Trofik (banyaknya fungsi yang dapat dilakukan), redundancy (banyaknya populasi yang melakukan setiap fungsi), struktur jaring-jaring makanan (bagaimana interaksi antar semua kelompok) Laju aliran hara dan energi (seberapa cepat unsur hara dan energi bergerak masuk atau ke luar dari sistem , atau disebut efisiensi input : output). Praktek-praktek agroekosistem: untuk Faktor Stabilitas Contoh-contoh Faktor-faktor Pupuk dan Pestisida MIneralisasi bahan pembenah organic, Dampak pestisida pada jasad non-target Disturbansi (frequensi intensitas) meningkatkan stabilitas dan fungsi dan KIMIA Introduksi spesies eksotik dan gulma BIOLOGIS FISIKA Frekuensi dan macam pengolahan tanah Pengolahan tanah minimum atau tanpa olah tanah Sumberdaya genetic (tanaman) Kompetisi air dan hara (gulma) Intercropping vatietas tanaman Beragam tinggi tanaman (untuk meningkatkan ruang niche di antara serangga predator) Intercropping spesies Beragam saat penanaman Pergiliran tanaman DIVERSITAS SPESIES STRUKTUR HABITAT ATAU Temporal KOMPLEKSITAS KELOMPOK TROFIK (untuk semua tipe Banyaknya fungsi-fungsi kompleksitas) Praktekyang dimainkan praktek yang memperbaiki habitat tanah REDUNDANSI Banyaknya populasi yang mendukung setiap fungsi Organisme, seperti bahan organic epembenah, mereduksi gangguan Bagaimana interaksi antar kelompok Meningkatkan diversitas sumberdaya dan niches (habitat) Kecepatan aliran hara atau energi melalui system Input rendah, bahan organic tinggi ,………... Efisiensi Input:Output Mengeliminir aplikasi yang berlebihan STRUKTUR JARING MAKANAN ALIRAN HARA DAN ENERGI Gangguan dan Stabilitas Ekosistem Gangguan ekosistem dapat bersifat alamiah atau gangguan akibat dari kegiatan manusia. Gangguan alamiah misalnya berupa badai topan atau. Gangguan akibat dari kegiatan manusia contohnya adalah pengolahan tanah atau aplikasi pestisida. Redundansi struktur dan fungsi ekosistem seringkali menghasilkan stabilitas system. Misalnya, kalau ada lebih dari satu populasi mikroba (redundant) yang merombak ammonium menjadi nitrate dan ada gangguan yang memusnahkan satu populasi, maka fungsi nitrifikasi masih dapat dilanjutkan oleh populasi yang masih ada. Because agroecosystems have reduced structural and functional diversity, they have less resilience than natural systems (Gleissman, 1998). The expected outputs from the system (yield) cannot be sustained without human inputs, therefore humans are a integral part of agroecosystems. Suatu konsep yang berhubungan dengan stabilitas ekosistem adalah Hipotesis Gangguan Intermedier, yang menyatakan bahwa tingkat tertinggi dari diversitas akan terwujud pada kondisi tingkat gangguan intermedier (frequency atau intensitas). Diversitas biasanya didefinisikan dalam bentuk demografi spesies (yaitu kekayaan spesies atau banyaknya spesies di suatu area), tetapi definisi fungsional belum pernah terjadi sebelumnya. Ekosistem yang mengalami gangguan pada tingkat intermedier biasanya akan mempunyai diversitas yang tertinggi, redundansi terbesar dan oleh karenanya mempunyai stabilitas paling besar. Dengan kata lain, stabilitas dapat tercermin pada jumlah spesies di suatu area atau jumlah fungsi yang dimainkannya. Dengan cara seperti ini, resistensi ekosistem dapat didefinisikan untuk setiap fungsi ekosistem tanah. DAFTAR PUSTAKA Balfour, E. 1975. The Living Tanah and the Haughley Experiment, Faber and Faber, London, 1975, 382 pp. Belanger, J. 1977. Tanah Fertility, Countryside Press, Waterloo,WN, 1977, 160 pp. Cihacek, L.J., W.L. Anderson and P.W. Barak. 1996. Linkages between tanah quality and plant, animal, and human health. In: Methods for Assessing Tanah Quality, SSSA Special Publication 49. Dailey, G. 1997. Nature's Services. Island Press, Washington DC. Daily, G.C., Matson, P.A., Vitousek, P.M. 1997. Ecosystem services supplied by the tanah. pp 113-132. In G.C. Daily (ed.) Nature's services: Societal dependence on natural ecosystems. Island Press, Washington DC. Doram, D. 1991. "Measuring Crop Quality with the Refractometer", Synergy, Vol. 3, No. 2, Spring 1991, pp. 32-34 Doran, J.W. and T.B. Parkin. 1994. Defining and assessing tanah quality. In J.W. Doran, D. C. Coleman, D.F. Bezdicek and B.A. Stewart, eds. Defining Tanah Quality for a Sustainable Environment. SSSA, Inc., Madison, Wisconsin, USA. Doran, J.W. and T.B. Parkin. 1996. Quantitative indicators of tanah quality: a minimum data set. In J.W. Doran and A.J. Jones, eds. Methods for Assessing Tanah Quality. SSSA, Inc., Madison, Wisconsin, USA. Doran, J.W., D.C. Coleman, D.F. Bezdicek, and B.A. Stewart. 1994. Defining Tanah Quality for a Sustainable Environment. SSSA Spec. Publ. No. 35, Tanah Sci. Soc. Am., Inc. and Am. Soc. Agron., Inc., Madison, WI. Gershuny G. dan J. Smillie. 1986. The Soul of Tanah, Gaia Services, Erle, Que., 1986, 109 pp. Gleissman, S.R. 1997. Agroecology: Ecological Processes in Sustainable Agriculture. Ann Arbor Press, Chelsea, MI. Harris, R.F., D.L. Karlen and D.J. Mulla. 1996. A conceptual framework for assessment and management of tanah quality and health. In J.W. Doran and A.J. Jones, eds. Methods for Assessing Tanah Quality. SSSA, Inc., Madison, Wisconsin, USA. Kardol, P., M.A. Cregger, C.E. Campany, dan A.T. Classen. 2010. Tanah ecosystem functioning under climate change: plant species and community effects. Ecology. 2010 Mar; 91(3): 767-81. Karlen, D.L. and D.E. Stott. 1994. A framework for evaluating physical and chemical indicators of tanah quality. In J.W. Doran, D.C. Coleman, D.F. Bezdicek and B.A. Stewart, eds. Defining Tanah Quality for a Sustainable Environment. SSSA, Inc., Madison, Wisconsin, USA. Karlen, D.L., M.J. Mausbach, J.W. Doran, R.G. Cline, R.F. Harris, and G.E. Schuman. 1997. Tanah quality: A concept, definition, and framework for evaluation. Tanah Sci. Soc. Am. J. 61:4-10. Larson, W.E. and F.J. Pierce. 1991. Conservation and enhancement of tanah quality. Evaluation of Sustainable Land Management in the Developing World, International Board for Tanah Research and Management, Bangkok, Thailand. Larson, W.E., and F.J. Pierce. 1991. Conservation and enhancement of tanah quality. In: J. Dumanski, E. Pushparajah, M. Latham, and R. Myers, eds. Evaluation for Sustainable Land Management in the Developing World. Vol. 2: Technical Papers. Proc. Int. Workshop., Chiang Rai, Thailand. 15-21 Sept. 1991. Int. Board for Tanah Res. and Management, Bangkok, Thailand. Millennium Ecosystem Assessment (MA). 2005. Ecosystems and human well-being: Synthesis. Island Press, Washington DC. National Research Council. 2005. Valuing ecosystem services: Toward better environmental decision-making. National Academy Press, Washington DC. Odum, E.P. 1989. Ecology and Our Endangered Life Support Systems. Sinauer Associates, Inc., Sunderland, MA. Pankhurst,C.E. 1997. Biodiversity of tanah organisms as an indicator of tanah health. In: Biological Indicators of Tanah Health. CAB International. Robinson, D.A., Lebron, L., Vereecken, H. 2009. On the definition of the natural capital of tanahs: A framework for description, evaluation and monitoring. Tanah Sci. Am. J. 73: 1904-1911. Seybold, C.A., J.E. Herrick and J.J. Brejda. 1999. Tanah resilience: A fundamental component of tanah quality. Tanah Science 164:224234. Seybold, C.A., M.J. Mausbach, D.L. Karlen and H.H. Rogers. 1997. Quantification of tanah quality. In R. Lal, J.M. Kimble, R.F. Follett and B.A. Stewart, eds. Tanah Processes and the Carbon Cycle. CRC Press. Washington, D.C., USA. Singer, M.J., and S. Ewing. 2000. Tanah Quality. In: M.E. Sumner (Ed.in-Chief) Handbook of Tanah Science. CRC Press, Boca Raton, FL. Waksman, S. 1948. Humus, Wiley & Sons, New York, NY, 1948 Waksman, S. 1952. Tanah Microbiology, Wiley & Sons, New York, NY, 1952. Warkentin, B.P. and H.F. Fletcher. 1977. Tanah quality for intensive agriculture. Proc. Int. Sem. on Tanah Environ. and Fert. Manage. in Intensive Agric. Soc. Sci. Tanah and Manure, Natl. Inst. of Agric. Sci., Tokyo. Yoder, R.E. 1937. The significance of tanah structure in relation to the tilth problem. Tanah Sci. Soc. Am. Proc. 2:21-33.