Abdain PRODUK PEMIKIRAN HUKUM ISLAM Abstrak Berbagai usaha yang dilakukan para ahli hukum Islam telah melahirkan produk-produk hukum yang benar-benar aktual dan aplikatif. Tradisi ijtihad yang demikian kuat melahirkan pemikiran-pemikiran yang responsif terhadap tantangan zaman, telah mengantarkan umat Islam pada masa kemajuan Islam, dinamika perkembangan hukum Islam sangat dinamis dan kreatif. Namun Perkembangan selanjutnya dinamika perkembangan hukum Islam menjelma menjadi statis dan kurang apresiatif terhadap laju perkembangan masyarakat. Kenyataan ini terjadi khususnya setelah terjadi kristalisasi mazhab-mazhab fiqh. Namun demikian, terlepas dari kemandegan dan kemajuan yang telah dilalui, setidaknya ada empat produk pemikiran hukum Islam, yakni fiqh, fatwa, yurisprudensi, dan perundang-undangan. Keempat macam produk pemikiran Islam tersebut dalam realitas umat Islam berlaku dan diberlakukan sesuai kebutuhan. Kata Kunci: Pemikiran Hukum, Produk Hukum Islam, Penerapan Hukum I. Pendahuluan Hukum Islam yang kedua sumber pokoknya al-Qur'an dan as-Sunnah tidaklah lahir dalam masyarakat yang hampa kultural, disamping sebagai konsep ilhai yang mengajarkan tentang kebenaran, juga sekaligus menjadi pedoman hidup dan kehidupan manusia dalam segala aspeknya. (Said Agil:1993, ii). Pada garis besarnya, hukum Islam itu dapat dirinci dalam tiga hal: Pertama, petunjuk dan bimbingan untuk memperoleh pengenalan (Ma'rifat) yang benar tentang Allah dan alam gaib yang disebut dengan ahkam syar'iyyah i'tiqadiyah. Kedua, Petunjuk dan ketentuan-ketentuan untuk pengembangan potensi kebaikan yang ada dalam diri manusia yang dinamai dengan ahkam syar'iyyah khuluqiyyah. Ketiga, Ketentuan-ketentuan dan seperangkat 71 peraturan hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan dengan sesama manusia dan lingkungan. (Ali Yafie: 1994, 113). Untuk mendalami pemahaman menuju penerapan ajaran Islam dalam realitas sosial, dan untuk memecahkan masalahmasalah baru yang berkembang dalam kehidupan masyarakat, diperlukan pemikiran rasional yang disebut ijtihad (Said Agil:1993, 11). Ijtihad, yang oleh Iqbal disebut sebagai prinsip gerak dalam struktur Islam, akan menampakkan dan mengaktualkan petunjukpetunjuk global dari wahyu yang karenanya memungkinkan untuk diamalkan. Ijtihad sebagai kunci dinamika Islam, dengan inilah sifat elastisisme dan akomodatif hukum Islam ditampakkan. Demikian pentingnya hukum Islam dalam skema doktrinal Islam sehingga tidak berlebihan jika Joseph Schart menilai bahwa mustahil memahami Islam tanpa memahami hukum Islam. (Joseph Schart: 1971, 1). Pada periode awal (sekitar abad VII–X M), hukum Islam mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini ditandai dengan lahirnya sejumlah mazhab yang masing-masing memiliki corak tersendiri sesuai latar belakang sosio-kultural dimana mazhab tersebut tumbuh dan berkembang. Pesatnya perkembangan hukum Islam tersebut didorong oleh semangat doktrin yang menyatakan bahwa hukum Islam serba mencakup serta pengakuan terhadap otoritas ijtihad. Atas semangat inilah, generasi muslim awal terutama ahli-ahli hukum Islam merespon problema-problema yang muncul setelah Nabi wafat. Bukan hanya sampai di situ. Ketika wilayah kekuasaan Islam semakin luas, disusul dengan kemajuan peradaban pada masa dinasti Abbasiyah, pemikir hukum Islam semakin giat merumuskan pemikirannya sebagai langkah antisipasi terhadap hal-hal baru yang belum pernah ditetapkan hukumnya oleh generasi sebelumnya. Usaha keras yang dilakukan ahli-ahli hukum Islam pada masa itu telah melahirkan diktum-diktum hukum (baca: produk ijtihad) yang benar-benar aktual dan aplikatif. Tradisi ijtihad yang demikian kuat melahirkan pemikiran-pemikiran yang responsif terhadap tantangan zamannya, telah mengantarkan umat Islam pada masa kemajuan Islam pertama (Th. 700-1000 M) atau sekitar abad pertama hingga abad keempat hijriyah. (Harun Nasution: 1985, 12). 72 Meskipun demikian, perjalanan waktu telah mengubah wajah perkembangan dan dinamika hukum Islam yang dinamis dan kreatif pada masa awal menjelma menjadi statis dan kurang apresiatif terhadap laju perkembangan masyarakat. Kenyataan ini terjadi khususnya setelah terjadi kristalisasi mazhab-mazhab fiqh. Pasca pembentukan keempat mazhab sunni di abad ke-9 dan ke-10, hukum Islam dianggap final. Tidak boleh diubah serta tidak membutuhkan tambahan-tambahan atau inovasi-inovasi. (J.N.D. Anderson: 1959, 1). Kondisi ini telah membawa kepada suatu keadaan dimana hukum Islam tidak lagi mampu merespon tuntutan perkembangan sosial. Produk-produk pemikiran-pemikiran (sebagai hasil ijtihad) tidak berkembang seiring dengan merebaknya doktrin "tertutupnya" pintu ijtihad. Fazlur Rahman, sebagaimana dikutif Ghufron A. Mas'adi (1997, 87) mengemukakan bahwa secara formal pintu ijtihad memang tidak pernah ditutup. Akan tetapi setelah tradisi taklid merambah dengan suburnya, ijtihad secara praktis menjadi tidak ada. Upaya menghidupkan kembali tradisi ijtihad baru muncul setelah Ibnu Taimiyah tampil. Mulai saat itu urgensi ijtihad semakin dirasakan oleh para reformis muslim khususnya setelah masyarakat muslim berbenturan dengan kekuatan-kekuatan baru dalam segala bentuknya. Meskipun kondisi perkembangan hukum Islam sedemikian suram, terutama pasca menjalarnya doktrin tertutupnya pintu ijtihad, bukan berarti aktifitas hukum Islam telah berhenti sama sekali. Aktifitas para qadi (hakim) dan mufti misalnya, merupakan bentuk-bentuk upaya menumbuhkan dan merumuskan hukum Islam, Qadi dalam hal ini menghasilkan yurisprudensi dan mufti menghasilkan fatwa. Akan tetapi bila dicermati lebih jauh, produk-produk pemikiran hukum Islam yang disebut terakhir seringkali tidak mampu menyentuh rasa keadilan masyarakat. Hal ini boleh juga dikarenakan produk-produk hukum tersebut tidak dilandaskan pada sebuah konsepsi kebutuhan hukum kontemporer dengan menyertakan pertimbangan visi hukum dan visi sosial kontemporer. Itu sebabnya ia menjadi tidak aplikatif dan responsip terhadap irama perkembangan masyarakat. 73 Bagaimana sesungguhnya problema yang dihadapi fuqaha dan ahli-ahli hukum lainnya sehingga produk-produk pemikiran hukum mereka tidak apresiatif terhadap perkembangan sosial masyarakat. Untuk menjawab permasalahan di atas, penulis berusaha mengidentifikasi problema di seputar penerapan produkproduk pemikiran hukum Islam dengan mengemukakan bentukbentuk dan otoritas masing-masing produk tersebut. II. Bentuk-Bentuk Produk Pemikiran Hukum Islam Terlepas dari kemandegan dan kemajuan yang telah dilalui, setidaknya ada empat produk pemikiran hukum Islam, yakni fiqh, fatwa, yurisprudensi, dan perundang-undangan. Keempat macam produk pemikiran Islam tersebut dalam realitas umat Islam berlaku dan diberlakukan sesuai kebutuhan. A. Fiqh Fiqh menurut bahasa berarti tahu atau paham. Sedang menurut Istilah, fiqh diartikan dengan berbagai macam defenisi. Hasan Ahmad Khatib, sebagaimana dikutip Hasbi Ash-Shiddieqy mengartikan fiqh sebagai sekumpulan hukum syara' yang sudah dibukukan dari berbagai mazhab yang empat atau dari mazhab lainnya dan dinukilkan dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi'in. (Hasbi Ash-Shiddieqy: 1997, 16). Al-Amidy seorang ulama Syafi'iyah mendefenisikan fiqh sebagai ilmu tentang hukum syar'iyyah amaliyah dari dalil-dalil yang terinci. Sedang Tajuddin al-Subki mendefenisikan sebagai ilmu tentang hukum-hukum syar'iyyah amaliyah yang diambil dari dalil yang terinci. Dalam kitab Durrul Mukhtar diterangkan bahwa bahwa fiqh mempunyai dua makna: makna menurut ahli ushul dan makna menurut ahli fiqh. Menurut ahli ushul, fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat far'iyah (cabang), yang dihasilkan dari dalil-dalilnya yang tafsili (khusus, terperinci). Sedang menurut fuqaha, fiqh adalah mengetahui hukum furu’, baik bersama-sama dengan dalilnya atau tidak. Jadi, fiqh adalah mengetahui hukum-hukum syara' yang menjadi sifat bagi perbuatan para hamba (mukallaf), yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. 74 Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat dipahami bahwa fiqh adalah pemahaman terhadap syari’at menyangkut amal perbuatan manusia. Pemahaman tersebut diambil dari dalil-dalil terinci melalui qaidah-qaidah ushul. Dari sini lahirlah rumusanrumusan fiqh yang terhimpun dalam kitab-kitab, yang masingmasing memiliki ciri dan karakteristik tersendiri berdasarkan metode ijtihad penyusunnya. Dalam pembahasan-pembahasan tertentu, pengertian fiqh sering dikacaukan dengan pengertian syari'ah. Keduanya bahkan diartikan sama, yakni hukum Islam. Padahal kedua term ini memiliki perbedaan esensial. Syari'ah adalah produk tasyri' Ilahi yang menetapkan hukum yang dilakukan langsung oleh Allah dan Rasul-Nya yang terhimpun dalam al-Qur'an dan Sunnah. Sedangkan fiqh adalah produk dari tasyri' wadh'i, yakni penetapan hukum yang dilakukan oleh para mujtahid. (Faruq Nabhan: 1981, 11). Berdasarkan penjelasan ini maka dapat disimpulkan bahwa syari'ah dan fiqh adalah dua konsep yang berbeda. Minimal ada empat perbedaan antara keduanya. Pertama, dilihat dari sudut subyeknya, syari'ah ditetapkan oleh Syari' (Allah) sedang fiqh ditetapkan oleh manusia dalam hal ini mujtahid atau fuqaha. Kedua, Syari'ah menempati kualitas wahyi sedangkan fiqh di dalamnya terdapat intervensi ra'yu (ratio), maka berkualitas ijtihadi. Ketiga, karena ciptakan oleh Tuhan dan berkualitas wahyi maka syari'ah memiliki kebenaran mutlak, dengan fiqh relatif. Keempat, syari'ah bersifat universal sedang fiqh bersifat temporal dan lokal. Fiqh merupakan responsi bagi problematika hukum secara umum yang berkembang ketika diktum-diktum fiqh itu ditulis. Biasanya kitab-kitab fiqh meliputi seluruh aspek hukum Islam. Ia tidak memiliki ketentuan tentang masa dan wilayah berlakunya. Keadaannya yang demikian menjadikan kitab-kitab fiqh cenderung dianggap harus diberlakukan sepanjang masa. Karenanya fiqh menjadi resisten (kaku) terhadap perubahan. Masalahnya adalah, problematika hukum yang dihadapi umat ketika kitab-kitab tersebut ditulis belum sekompleks permasalahan hukum umat pada masa sesudahnya. Demikian pula latarbelakang sosio-kultural umat jauh berbeda dengan kondisi 75 umat pada masa itu. Karenanya adalah sangat dilematis bila diktum-diktum yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh tersebut harus diberlakukan pada masa dan tempat yang berbeda. Argumen di atas dapat diperkuat dengan suatu penjelasan bahwa sebuah produk pemikiran hukum dapat diterapkan secara optimal dalam kehidupan masyarakat bila dapat menjawab problematika hukum yang berkembang serta mampu menyentuh rasa keadilan masyarakat, tanpa mampu diwujudkan dalam dunia nyata. B. Fatwa Fatrwa adalah hasil ijtihad seorang mufti sehubungan dengan peristiwa hukum yang diajukan kepadanya. Pengertian fatwa lebih spesifik daripada ijtihad. Fatwa dapat diberikan oleh ulama secara individual maupun secara kolektif. Hingga permulaan abad ke-20, fatwa-fatwa di Indonesia diberikan oleh para ulama secara perorangan. Baru pada kwartal abad ke-20 beberapa fatwa telah mulai diberikan oleh ulama secara kolektif, yakni setelah perkumpulan Nahdhatul Ulama (NU) secara organisatoris mengeluarkan fatwa-fatwa yang dirumuskan bersamaan dengan waktu kongres pertamanya pada tahun 1926. (Atho Mudzhar: 1993, 1). Sebagai produk pemikiran hukum, fatwa bersifat kasuistik, karena ia merupakan respon atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh panitia fatwa. Ia tidak memiliki daya ikat, dalam arti peminta fatwa tidak harus mengikuti rumusan hukum yang diberikan kepadanya. Meskipun fatwa biasanya cenderung dinamis, karena ia merupakan respon terhadap perkembangan baru yang sedang dihadapi masyarakat peminta fatwa, akan tetapi dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Seorang ulama yang memiliki wawasan keislaman dan sosial yang holistik sudah pasti akan memberikan fatwa yang setidak-tidaknya dapat diterima oleh banyak kalangan. Sebaliknya, seorang ulama yang sektarian dan ekslusif, cenderung mempertahankan sebuah pandangan yang menurutnya sangat mapan, fatwanya akan menjadi konsumsi bagi kalangan terbatas. 76 C. Putusan Hakim/Pengadilan Agama (Yurisprudensi) Produk pemikiran hukum Islam yang ketiga adalah putusan hakim/pengadilan agama. Putusan hakim diambil atau ditetapkan berdasarkan pemeriksaan perkara di depan sidang pengadilan, atau ketetapan hukum syar'i yang disampaikan melalui seorang qadi atau seorang hakim yang diangkat untuk itu. Berbeda dengan fatwa, putusan-putusan pengadilan agama bersifat mengikat kepada pihak-pihak yang berperkara. Sampai tingkat tertentu, ia bersifat dinamis karena merupakan usaha pemberian jawaban atau penjelasan suatu perkara yang diajukan ke pengadilan agama pada suatu masa tertentu. Bila dilihat dari sudut masalah dan tempat berlakunya suatu putusan pengadilan, maka dapat dikatakan bahwa putusan pengadilan berpeluang untuk dapat digunakan dalam sejumlah masa dan tempat tertentu. Hal ini dikarenakan, putusan pengadilan, apabila telah melalui proses dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, ia dapat dipergunakan oleh hakim-hakim lain untuk memutuskan suatu perkara yang sama meski berada pada tempat dan masa yang berbeda. Hanya saja dengan catatan bahwa kondisi sosial budaya masyarakat belum layak berubah. D. Perundang-undangan Undang-undang atau peraturan perundang-undangan adalah peraturan yang dibuat oleh suatu badan legislatif yang mengikat setiap warga negara dimana undang-undang itu diberlakukan. Pelanggaran terhadap sebuah undang-undang akan mendatangkan sanksi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa undang-undang memiliki daya ikat yang lebih luas dari keputusan pengadilan. Karena diputuskan oleh lembaga, maka orang yang terlibat dalam perumusannya tidaklah terbatas pada fuqaha atau ulama, tetapi juga para politisi dan para cendekiawan lainnya. Sebagai produk kolektif, ia relatif memiliki kualitas yang lebih tinggi dan lebih mencerminkan kesadaran hukum masyarakat. Hal ini disebabkan karena dirumuskan dengan pertimbangan yang lebih komprehensif. Namun dari sisi kedinamisan, perundangundangan cenderung lamban dinamikanya, karena untuk mengubah 77 suatu undang-undang memerlukan waktu, biaya dan persiapan yang tidak kecil. III. Tantangan Produk Pemikiran Hukum Islam Mencermati bentuk masing-masing produk pemikiran hukum Islam di atas, dapat disimpulkan bahwa tantangan utama yang dihadapi dalam penerapannya adalah tidak sesuainya antara diktum-diktum hukum yang telah dirumuskan tersebut dengan kondisi serta problema hukum dan rasa keadilan masyarakat dimana hukum tersebut hendak diberlakukan. Problema ketidaksesuaian, yang disebut sebagai problem yang tidak relevan terutama diidap oleh kitab-kitab fiqh. Hal ini disebabkan karena ia resisten terhadap perubahan. Untuk penerapan produk-produk atau diktum-diktum fiqh harus dilakukan secara selektif dan melalui proses analisis yang mendalam. Ia harus diletakkan secara proporsional, yakni tidak boleh selalu dipandang sebagai hukum yang siap dan secara langsung dapat diterapkan. Akan tetapi bijaksana bila dipandang sebagai suatu masalah yang harus ditinjau kembali. Pada umumnya masyarakat memandang fiqh identik dengan hukum-hukum Tuhan. Karenanya ia paling benar dan tidak bisa berubah. Kitab-kitab fiqh bukan lagi dipandang sebagai produk yang bersifat keagamaan, melainkan dipandang sebagai buku agama itu sendiri. Akibatnya selama berabad-abad fiqh menduduki posisi yang sangat terhormat. Pemahaman seperti ini telah membuat umat Islam tidak menganggap keberadaan produk-produk pemkiran hukum Islam yang lain, khususnya keputusan pengadilan agama dan perundang-undangan, sebagai sesuatu yang berkaitan dengan agama melainkan sebagai sesuatu yang terpisah dari agama. Konsekuensi logis dari pemahaman seperti ini, jika terdapat pasal-pasal dalam undang-undang yang bertentangan dengan fiqh, mereka cenderung menganggapnya sebagai sesuatu yang bertentangan dengan atau setidak-tidaknya terpisah dari agama. Dalam menghadapi dualisme hukum seperti ini, masyarakat biasanya cenderung menganggap bahwa yang merupakan aturan agama adalah yang terdapat dalam fiqh. Padahal seharusnya pasalpasal tersebut dianggap sebagai fiqh ala Indoensia yang sangat 78 berkaitan dengan agama. Untuk itu harus diupayakan merehabilitir persepsi masyarakat terhadap produk-produk pemikiran hukum Islam yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh. Adapun tentang fatwa, meskipun ia merupakan responsi secara langsung bagi problema hukum pada suatu waktu tertentu dan bersifat kasuistik bukan berarti ia terbebas dari problema irrrelevan sebagai yang diidap kitab-kitab fiqh. Problema ketidaksesuaian ini khususnya berpeluang terjadi pada fatwa-fatwa yang diberikan oleh mufti secara individual, terutama jika visi hukum dan visi sosial mufti tersebut sektarian dan ekslusif. Apalagi bila hanya berkiblat pda kitab-kitab fiqh tertentu. Upaya yang harus ditempuh agar fatwa-fatwa tersebut dapat diterapkan secara optimal adalah merumuskan visi hukum dan visi sosial yang lebih relevan. Disamping itu, integrasi dan indepensi para mufti perlu terus ditingkatkan agar tidak mudah diintervensi oleh kekuasaan. Mengenai putusan pengadilan agama/hakim, faktor penting yang sangat berpengaruh adalah kualitas hakim. Agar putusanputusan hakim betul-betul menyentuh rasa keadilan bagi pihkapihak yang berperkara, seorang hakim harus mampu memainkan fungsinya tidak saja sebagai penerap hukum, tetapi ia jug harus mampu menggali nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Hakim adalah penemu hukum terapan dalam aneka ragam kasus yang kemudian menjadi yurisprudensi. Yurisprudensi tersebut dapat dijadikan sebagai referensi hukum bagi hakim yang lain. Masalahnya adalah kurangnya wahana yang dapat mengkomunikasikan yurisprudensi tersebut kepada hakim-hakim lain. Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya konkrit dalam menciptakan wahana pengkomunikasian tersebut. Hakim juga harus memiliki semangat moral yang tinggi untuk berbuat secara benar dan menegakkan keadilan. Hakim harus tetap memelihara independensi yang telah dijamin oleh peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, segala putusan yang diambilnya benar-benar bersih dari pengaruh-pengaruh. Yang diistilahkan oleh Bustanul Arifin bahwa seorang hakim harus tidak memiliki atasan yang dapat memerintah selain hati nuraninya dan Tuhan. (Bustanul Arifin: 1996, 10). 79 Mengenai undang-undang, sebagai produk pemikiran Hukum Islam yang keempat, tampaknya tidak terlalu mengalami kendala dalam pengaplikasiannya. Hanya saja dinamikanya agak lamban, karena membuat atau mengubah sebuah undang-undang dibutuhkan waktu, biaya dan persiapan yang tidak sedikit. Agar hukum Islam dapat terintegrasi ke dalam peraturan perundang-undangan, sangat ditentukan oleh pemikir dan ulama yang terlibat di dalam lembaga legislatif. Komitmen mereka terhadap hukum Islam dapat berakibat positif bagi terintegrasinya hukum Islam ke dalam peraturan perundang-undangan negara. Di sinilah dibutuhkan keberanian moral dari para pemikir dan ulama untuk menyuarakan Islam walaupun tidak secara harfiah. IV. Penutup Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa: 1. Bentuk-bentuk produk pemikiran hukum Islam ada empat, yakni, fiqh, fatwa, putusan hakim/pengadilan dan perundangundangan. 2. Pada umumnya masyarakat memandang fiqh identik dengan hukum-hukum Tuhan, ia paling benar dan tidak bisa berubah,. fiqh bukan lagi dipandang sebagai produk yang bersifat keagamaan. Akibatnya umat Islam tidak menganggap keberadaan produk-produk pemkiran hukum Islam yang lain, khususnya keputusan pengadilan agama dan perundangundangan, sebagai sesuatu yang berkaitan dengan agama melainkan sebagai sesuatu yang terpisah dari agama. 3. Produk-produk pemikiran hukum Islam dihadapkan kepada sejumlah masalah, yakni tidak sesuainya antara diktum-diktum hukum dengan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat. 4. Solusinya adalah para mujtahid, diharapkan mampu melahirkan produk-produk pemikiran hukum Islam yang bisa menjawab kebutuhan hukum dan menyentuh rasa keadilan masyarakat. Daftar Pustaka Al-Qardhawy, Yusuf. Awamilu as-Sa'ah wa al-Murunah fi AsySyari'ah al-Islamiyah, alih bahasa Dr.H.S. Agil Husin AlMunawwar, M.A. dengan judul Keluasan dan Keluesan 80 Hukum Islam Cet. I; Semarang: Dina Utama Semarang, 1993. al-Subki, Tajuddin. Al-Qawaid wa al-Fawaid al-Ushuliyah. Mesir: Dar al-Ihya’ al-Kutub, t.th.. Amal, Taufiq Adnan. Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman. Cet. V; Bandung: Mizan, 1994. Arifin, Bustanul. Perkembangan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Pengantar Ilmu Fiqh. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997. Mas'adi, Gufron A. Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997. Mudzhar, Atho. “Fiqh dalam Reaktualisasi Ajaran Islam”, dalam Budhy Munawar Rahman (ED), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Cet. II; Jakarta: Paramadina, 1995. Nasution, Harun. "Ijtihad Sumber Ketiga Ajaran Islam", dalam Haidar Baqir dan Syafiq Basri, Ijtihad dalam Sorotan. Cet. IV; Bandung: Mizan, 1996. ______. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II. Cet. V; JAkarta: UI-Press, 1985 Yafie, Ali. Menggagas Fiqih Sosial: dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi Hingga Ukhuwah. Cet. II; Bandung: Mizan, 1994. 81