1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan sebuah bangsa yang me miliki keragaman budaya.
Menurut Putu Rumawan Salain dalam “Bahan Ringan Pembelajaran Etnisitas,
Pluralisme, dan Multikulturalisme” : Perspektif Kajian Budaya (2009), budaya
Nusantara didukung oleh 931 etnik, sekitar 600 bahasa daerah, dan ribuan aspirasi
cultural. Yaqin (2009:96) juga menyatakan bahwa Indonesia merupakan salah
satu negara multikultural terbesar di dunia. Hal ini dapat dibuktikan dari kondisi
sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Jumlah pulau
yang terdapat di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia lebih dari puluhan
ribu, baik pulau besar maupun kecil. Populasi penduduknya berjumlah lebih dari
220 juta jiwa, terdiri dari ratusan suku bangsa dengan menggunakan ratusan
bahasa lokal yang berbeda, bahkan menganut agama dan kepercayaan yang
beragam, seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu,
serta berbagai macam aliran kepercayaan lainnya. Kekayaan budaya tersebut
tersebar di seluruh penjuru Nusantara, tidak terkecuali di Pulau Bali.
Pulau Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terdiri dari 8
kabupaten dan 1 kota. Pulau Bali juga dikelilingi beberapa pulau, seperti Pulau
Nusa Penida, Nusa Ceningan, Nusa Lembongan, Menjangan, dan Serangan (BPS
Provinsi Bali, 2010). Pulau Bali didiami oleh etnik Bali yang merupakan etnik
mayoritas. Pulau Bali merupakan daerah tujuan wisata yang terkenal di Indonesia
1
2
bahkan di dunia. Wisatawan mengunjungi Pulau Bali karena ingin menikmati
keindahan alam dan juga budaya masyarakat Bali. Masyarakat Bali terkenal
sebagai masih memegang teguh tradisi. Kondisi ini sangat beralasan karena
masyarakat Bali banyak dijiwai oleh agama Hindu yang telah lama terintegrasikan
ke dalam kebudayaan Bali (Bagus,1990). Bahasa sebagai salah satu penentu
identitas juga mempunyai peranan penting untuk mengidentifikasi kebudayaan
Bali. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Bali adalah bahasa Bali. Beberapa
tradisi juga menjadi ciri khas kebudayaan Bali, seperti sistem dan organisasi
pengairan sawah yang dikenal dengan subak, sistem ritual dan upacara yang
berorientasi pada pura, serta upacara pembakaran mayat yang dikenal dengan
istilah ngaben (Kumbara).
Kebudayaan Bali mempunyai daya tarik tersendiri bagi masyarakat
Indonesia maupun mancanegara sehingga Bali mampu mengikrarkan dirinya
sebagai salah satu daerah tujuan wisata terbaik di Indonesia. Hal ini tentu
menyebabkan banyaknya perpindahan penduduk dari luar Bali menuju Bali.
Masyarakat Bali yang cenderung permisif ini memungkinkan etnik selain Bali
untuk menetap di Bali dan hidup berdampingan dengan Etnik Bali. Sensus
penduduk tahun 2000 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik menggambarkan
bahwa penduduk Pulau Bali terdiri dari beberapa etnik, yaitu Etnik Bali, Jawa,
Bali Aga, Madura, Melayu, Sasak, Cina, Bugis, dan beberapa etnik lain, seperti
terlihat pada tabel berikut :
3
Tabel 1.1
Penduduk Menurut Kabupaten/Kota dan Suku Bangsa
Population by Regency/Municipality and Race
No.
Kabupaten
Madura
Melayu
Sasak
128
2.648
15.643
187
455
359.851
10.859
253
1.116
44
426
305.025
30.572
57
1.668
129
933
380.383
7.176
528
275
49
780
Klungkung
149.135
3.852
160
96
0
Bangli
191.915
1.235
28
203
2
7
Karangasem
350.647
2.329
558
85
8
Buleleng
507.519
13.754
17.717
9
Denpasar
368.143
120.194
362
2.974.793
214.598
19.791
Jembrana
2
Tabanan
3
Badung
4
Gianyar
5
6
Jumlah
182.175
Jawa
Bali
Aga
24.527
1
Bali
Cina
Bugis
Lainnya
3.561
2.467
897
71
2.471
465
535
5.939
409
32
3.316
1.281
13
0
724
51
148
6
188
19
5.725
120
25
951
8.364
118
2.351
1.126
1.412
5.748
4.138
694
4.696
6.997
954
25.435
18.593
16.698
16.430
10.630
6.596
47.239
Sumber : Karakteristik Penduduk Bali/Population Characteristics of Bali
Hasil Sensus Penduduk 2000/Results of The 2000 Population Census
Seri/Series : L2.2.16.16
Badan Pusat Statistik Propinsi Bali
Tabel diatas menunjukkan bahwa Pulau Bali ditempati oleh beragam etnik.
Salah satu etnik yang paling dominan adalah Etnik Bali. Selain etnik dominan
tersebut, terdapat pula etnik subdominan, yaitu Jawa, Madura, Melayu, Sasak dan
Bugis. Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa etnik yang ada di Provinsi Bali
tidak hanya berasal dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Beragamnya
etnik yang ada di Provinsi Bali ditandai dengan eksistensi mereka khususnya
secara geografis terdapat beberapa wilayah atau lokalitas yang didasarkan pada
etnik yang menempatinya, seperti komunitas Etnik Jawa yang ada di Kampung
Jawa, Kampung Islam Kepaon di Desa Pemogan dan terdapat di beberapa daerah
lain di Pulau Bali. Demikian pula Etnik Bugis yang tersebar di beberapa daerah di
Bali, seperti kampung Bugis yang terdapat di daerah Kepaon, Tuban, Suwung
Kangin, dan Serangan (Fadillah,1999). Eksistensi etnik non Bali yang berada di
4
Bali tersebut menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di Provinsi Bali adalah
masyarakat multikultural.
Masyarakat Bali yang multikultural juga dapat dijumpai pada pulau kecil
di Denpasar Selatan, yakni Pulau Serangan. Pulau Serangan pada awalnya
merupakan sebuah daratan kecil dikelilingi laut yang dikuasai oleh Kerajaan
Badung dan masuk menjadi wilayah teritori di bawah Kecamatan Denpasar
Selatan pada tahun 1992 (hmidps.8m.com). Pulau Serangan berada di lokasi yang
strategis karena letaknya berdekatan dengan Pelabuhan Wisata Benoa dan searah
menuju Bandara Internasional Ngurah Rai. Pulau kecil ini juga terdiri dari
keragaman hayati, seperti hutan bakau, terumbu karang, burung-burung laut, dan
ikan hias (Monografi Desa dan Kelurahan Serangan). Kekayaan sumber daya
alam dan lokasi yang strategis tersebut menjadikan Pulau Serangan menjadi salah
satu destinasi wisata yang potensial di Pulau Bali.
Kekayaan sumber daya yang potensial ini kemudian dimanfaatkan oleh
pihak pengembang dengan melaksanakan proyek reklamasi pada tahun 1993
(hmidps.8m.com). Proyek reklamasi ini mempengaruhi kondisi fisik Pulau
Serangan. Reklamasi menyebabkan perluasan wilayah Serangan yang semula luas
wilayahnya 110 ha, kemudian diperluas menjadi 481 ha (Monografi Desa dan
Kelurahan Serangan). Salah satu ciri fisik reklamasi Pulau Serangan adalah
pembangunan fasilitas jembatan yang menghubungkan Pulau Serangan dengan
daratan Pulau Bali. Reklamasi memberikan dampak yang sangat signifikan
terhadap kehidupan masyarakat di Pulau Serangan.
5
Masyarakat yang menetap di Pulau Serangan terdiri dari beberapa etnik,
yakni Etnik Bali yang merupakan penduduk asli dan mayoritas di Pulau Serangan,
Etnik Jawa, Madura, dan Bugis yang merupakan etnik pendatang dan minoritas.
Empat etnik ini mampu hidup berdampingan tanpa adanya konflik antaretnik dan
memberi warna tersendiri pada budaya Pulau Serangan. Masyarakat Pulau
Serangan yang berasal dari Etnik Jawa dan Madura mulai intensif berdatangan
dan tinggal di Pulau Serangan ketika proyek reklamasi telah dilaksanakan. Hal ini
berbeda dengan Etnik Bugis yang telah lebih dulu menetap di Pulau Serangan
dibandingkan kedua etnik tersebut.
Etnik Bugis bermigrasi ke Bali khususnya ke pulau Serangan pada abad
XVII dipimpin oleh Syekh Haji Mukmin. Etnik Bugis yang berasal dari Sulawesi
Selatan terkenal sebagai etnik yang sangat mahir dalam mengarungi samudra.
Selain mahir mengarungi samudra, Etnik Bugis juga dikenal sebagai etnik yang
gemar merantau. Wilayah tujuan rantauan mereka tidak hanya terbatas di wilayah
Nusantara, tetapi hingga ke Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam, Thailand,
Australia,
Madagaskar,
bahkan
Afrika
Selatan
(http://trikushartadi.wordpress.com/2010/04/20/asal-usul-kapal-pinisi/).
Perilaku merantau etnik Bugis selain disebabkan oleh kemahiran mereka
dalam mengarungi samudra juga didorong oleh etos berprinsipkan hidup bebas
merdeka (pasompe). Pada abad XVI hingga IX wilayah Sulawesi Selatan dijajah
oleh Verenigde Ost Indische Compagnie (VOC) dari Belanda yang memonopoli
sistem perdagangan. Situasi saat itu makin genting akibat konflik Kerajaan Bugis
dengan Makassar dan konflik intern pada Kerajaan Bugis itu sendiri pada abad
6
XVI hingga abad IX. Kondisi ini menyebabkan wilayah Kerajaan Bugis tidak
aman dan menimbulkan perasaan takut serta tertekan di kalangan penduduk
setempat. Bermigrasi atau merantau merupakan salah satu cara yang mereka
lakukan untuk menghindari dan menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.
Data Monografi Desa dan Kelurahan Serangan tahun 2009, orang-orang
Bugis yang berasal dari Sulawesi Selatan datang di pesisir pantai Pulau Serangan
pada abad XVII. Kedatangan Etnik Bugis tersebut diterima dengan baik oleh
penduduk asli Serangan dan mampu hidup berdampingan selama lebih dari 7
generasi hingga saat ini. Data Monografi Desa dan Kelurahan Serangan periode
akhir November 2006 menunjukkan bahwa jumlah kepala keluarga di Kampung
Bugis adalah sebanyak 74 KK dengan jumlah anggota keluarga sebanyak 299
jiwa dan jumlah penduduk orang Bali-Hindu di Serangan berjumlah 3.186 jiwa.
Jumlah Etnik Bugis yang relatif sedikit atau hanya 8,58% dari jumlah Etnik Bali
tidak menimbulkan dominasi antaretnik, bahkan sebaliknya, mereka dapat hidup
berdampingan hingga saat ini.
Etnik Bugis di Pulau Serangan membentuk satu lokasi tersendiri dan
bersifat konsentris yang ditandai oleh pola pemukiman yang jelas dengan tapaltapal batasnya yang terpisah dengan masyarakat Bali, bahkan mereka memiliki
fasilitas umum tersendiri seperti masjid dan pemakaman. Kondisi ini
menimbulkan pemandangan yang menarik karena dalam satu wilayah terdapat
suatu wilayah yang berbeda yang membentuk semacam miniatur budaya.
7
Lokasi tempat tinggal Etnik Bugis ini secara resmi dan diakui secara
administratif dengan nama Kampung Bugis Serangan. Penamaan itu merupakan
salah satu bentuk pengidentifikasian etnik, baik yang dilakukan oleh etnik
bersangkutan maupun etnik lain. Pengidentifikasian ini dilatarbelakangi oleh ciriciri khas yang dimiliki etnik bersangkutan atau yang lebih populer disebut
identitas etnik. Identitas etnik (Liliweri, 2005:41) merupakan rincian karakteristik
atau ciri-ciri sebuah kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok orang pada etnik
tertentu yang diketahui batas-batasnya (bounded), tatkala dibandingkan dengan
karakteristik atau ciri-ciri kebudayaan etnik lain. Identitas etnik diketahui dan
ditetapkan tidak sekedar ditentukan oleh karakteristik ataupun ciri-ciri fisik dan
biologis semata, tapi juga dikaji melalui tatanan berpikir (cara berpikir dan
orientasi berpikir), perasaan (cara merasa dan orientasi perasaan), serta cara
bertindak (motivasi tindakan atau orientasi tindakan). Amir Hasan Dawi
(www.mymla.org/files/icmm2010_ppers/ICMM2010_p9.pdf) menyatakan bahwa
kelompok etnik akan mempertahakan identitas keetnisannya dalam proses yang
selalu dinamis guna mencapai keadaan aman dan haronis. Demikian pula yang
dilakukan oleh etnik Bugis di Pulau Serangan, meskipun mereka telah lama
menetap di Pulau Serangan selama berabad-abad, tetapi mereka tetap berusaha
mempertahankan identitas etnik mereka sebagai orang Bugis..
Etnik Bugis memiliki latar belakang budaya yang relatif sama dengan latar
belakang budaya yang dimiliki Etnik Bali di Pulau Serangan, yaitu latar belakang
budaya masyarakat pesisir. Kondisi ini mempengaruhi interaksi kedua etnik ini
yang dapat hidup berdampingan secara haronis. Interaksi dan integrasi kedua
8
etnik ini berjalan seiring waktu dan perkembangan zaman. Masyarakat kampung
Bugis berinteraksi dengan baik antarsesama anggota masyarakat di Pulau
Serangan meskipun pola menetap mereka tergolong konsentris. Interaksi yang
dilakukan masyarakat Kampung Bugis dengan masyarakat asli Pulau Serangan
tidak hanya dilakukan pada interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari, tetapi
juga berperan aktif dalam kegiatan musyawarah desa, gotong royong, dan ngayah
di
Pura
Sakenan
sebagai
bentuk
adaptasi
masyarakat
dalam
rangka
mempertahankan eksistensinya.
Fenomena yang juga dihadapi oleh orang Kampung Bugis adalah
kegigihan mereka untuk tetap mempertahankan identitas yang menjadi ciri khas
mereka di tengah arus globalisasi dan mencapai puncaknya pascareklamasi di
Kelurahan Serangan meski sudah tidak terdapat komunikasi yang intensif dengan
suku bangsa Bugis di Sulawesi Selatan. Arus globalisasi mempunyai peran dalam
mempengaruhi keberadaan masyarakat, tidak terkecuali Etnik Bugis di Pulau
Serangan. Arus globalisasi seakan mampu mengaburkan garis lintas batas yang
ada sehingga sangat menarik bila mengkaji keberadaan Etnik Bugis yang masih
mampu bertahan hingga saat ini di tengah tekanan yang dapat dikatakan cukup
berat. Tuntutan akan keterampilan dan kemahiran dalam menggunakan teknologi
dan tuntutan pemenuhan kebutuhan ekonomi merupakan tantangan yang harus
dilalui masyarakat Bugis ini.
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan bahwa walaupun Etnik Bugis
tinggal di Pulau Serangan sejak abad ke-17 dan hidup berdampingan dengan
masyarakat dominan, tetapi masih dapat ditemukan beberapa unsur budaya Bugis
9
yang masih dipertahankan dan bersifat survival. Satu hal yang tidak dapat
diingkari bahwa komunitas orang Bugis di pulau Serangan hingga saat ini
mengidentifikasi dirinya sebagai orang Kampung Bugis Serangan, bukan Orang
Bugis Sulawesi Selatan. Masyarakat Kampung Bugis mampu bertahan selama
hampir 400 tahun dan bergaul secara intensif dengan penduduk dominan di Pulau
Serangan sementara komunikasi dengan budaya asalnya, yakni Bugis-Sulawesi
Selatan relatif renggang. Hal ini dapat menimbulkan masalah dalam pemertahanan
identitas Bugis sehingga muncul pertanyaan mendasar yang diformulasikan pada
rumusan masalah.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun permasalahan yang akan diteliti
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana potensi dan kendala yang dihadapi masyarakat Kampung
Bugis
di
Pulau
Serangan,
Kecamatan
Denpasar
Selatan
dalam
pemertahanan identitasnya sebagai Etnik Bugis ?
2. Bagaimana bentuk dan makna pemertahanan identitas Etnik Bugis bagi
masyarakat Kampung Bugis di Pulau Serangan, Kecamatan Denpasar
Selatan, Kota Denpasar?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran, pengetahuan, dan
wawasan kepada masyarakat mengenai potensi dan kendala pemertahanan
identitas etnik orang Kampung Bugis di Pulau Serangan, serta penjelasan yang
10
lebih mendalam mengenai bentuk dan makna pemertahanan identitas Etnik Bugis
bagi masyarakat Kampung Bugis di Pulau Serangan, Kecamatan Denpasar
Selatan.
1.3.2
Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk mengoperasionalkan
teori-teori dan
konsep-konsep yang relevan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian.
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan manfaat
bagi studi ilmu antropologi. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan bermanfaat
bagi masyarakat untuk kembali melestarikan kebudayaan yang ada dan
mengembangkan tradisi tersebut agar dapat menjadi aset pariwisata serta warisan
budaya.
1.4
1.4.1
Kerangka Teori dan Konsep
Kerangka Teori
Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini merupakan instrumen
untuk menganalisis data yang diperoleh menurut metode pengumpulan data yang
digunakan. Berbicara mengenai interaksi 2 etnik atau lebih dalam suatu wilayah
yang sama, maka akan tepat apabila kita menggunakan istilah adaptasi untuk
menggambarkan proses yang terjadi pada interaksi antaretnik tersebut. Adaptasi
(Liliweri, 2005) merupakan proses penyesuaian nilai, norma, dan pola-pola
perilaku antara 2 budaya atau lebih. Proses adaptasi akan terjadi apabila terdapat
dua budaya atau lebih yang bertemu.
Untuk membedah pokok permasalahan dalam tulisan ini, penulis bertumpu
pada teori adaptasi yang dikemukakan oleh John W. Bennett dalam bukunya yang
11
berjudul The Ecological Transition : Cultural Anthropology and Human
Adaptation (1976). Adaptasi didefinisikan sebagai sebuah proses dalam usaha
mempertahankan kelangsungan hidup untuk memuaskan organisme, mereduksi
ketegangan yang setara dengan proses belajar sepanjang organisme mengalami
perubahan sebagai hasil dari respon yang adaptif. Proses penyesuaian ini tidak
hanya dilakukan oleh manusia untuk menyesuaikan diri dan keinginannya dengan
lingkungan, tapi manusia juga berusaha menyesuaikan lingkungan dengan
keinginan dan tujuannya. Lingkungan yang dimaksud meliputi aspek fisik,
biologis, dan sosial sehingga adaptasi manusia dapat berproses dalam dimensi
lingkungan yang amat luas dan terus berubah (Bennett, 1976:248).
Untuk beradaptasi dengan lingkungan yang terus berubah, manusia
dituntut untuk bersifat dinamis (Dhana, 1993:19). Bennett (1976:271)
mengutarakan bahwa terdapat 3 konsep kunci untuk membahas dan memahami
dinamika kehidupan manusia dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan,
yakni : perilaku adaptif, tindakan strategi, dan strategi adaptif. Perilaku adaptif
merupakan bentuk-bentuk perilaku yang menunjukkan penyesuaian cara-cara
mencapai tujuan, melakukan pilihan-pilihan, dan menolak untuk melakukan
tindakan atau keterlibatan dengan maksud beradaptasi. Strategi tindakan adalah
tindakan-tindakan yang khusus direncanakan dalam upaya penyesuaian demi
tercapainya
kemajuan-kemajuan
yang
merupakan
tujuan
dalam
proses
pemanfaatan sumber daya. Pengertian strategi tindakan mencakup upaya
rasionalisasi, mekanisasi, dan orientasi pada kemajuan yang mengutamakan hasil
dari perilaku manusia. Selanjutnya adalah konsep strategi adaptif yang mengacu
12
pada tindakan-tindakan yang dipilih manusia dalam proses pengambilan
keputusannya karena keberhasilannya dapat diprediksi.
Selain itu, dalam penelitian antropologi dikenal pula penekanan pada petapeta kognitif yaitu perangkat nilai-nilai dan preseden sebagai komponen yang
dapat diacu oleh manusia dalam menentukan pilihan-pilihan dan mengarahkan
pengambilan keputusan serta tindakannya beradaptasi dengan lingkungan
(Bennett, 1976:273). Komponen tersebut diperoleh melalui proses sosialisasi dan
dapat memaksa manusia untuk tidak selalu bebas memilih model-model tindakan
berdasarkan kesukaannya ataupun berdasarkan tuntutan situasi. Namun, di sisi
lain juga harus mempertimbangkannya dengan memperhatikan norma-norma
kebaikan, kejujuran, keadilan, dan resiprositas. Meskipun demikian, manusia
sendiri dapat memanipulasi komponen-komponen tersebut dalam penggunaannya
guna beradaptasi dengan lingkungan. Mengingat bahwa perilaku adaptasi manusia
dapat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan dan peta-peta kognitif, maka perilaku
adaptasi manusia pada suatu tempat akan mencerminkan pada ciri-ciri khas
tertentu.
Bennett (1976:3) juga mengungkapkan bahwa hal yang adaptif pada
seseorang atau kelompok, belum tentu adaptif untuk orang atau kelompok lain.
Dengan demikian, hal yang adaptif untuk seseorang atau kelompok yang memiliki
tradisi di tempat tertentu, belum tentu adaptif untuk kelompok lain yang memiliki
tradisi yang sama di tempat yang kondisinya berbeda. Hal tersebut dapat kita lihat
pada masyarakat Bugis yang tinggal di Sulawesi Selatan tentu mempunyai
perbedaan dengan masyarakat Kampung Bugis di Kelurahan Serangan,
13
Kecamatan Denpasar Selatan sehingga menggunakan teori ini dirasa tepat untuk
membedah permasalahan yang ada.
Hal ini diperjelas dengan teori yang diungkapkan oleh Gulick ( Dhana,
1993:25) yang menerangkan bahwa salah satu model adaptasi para migran di
tempat yang baru adalah dengan cara yang berpegang pada sifat kedaerahannya
tertentu, terutama yang dianggap cocok untuk mencapai tujuannya di daerah yang
baru. Selanjutnya Abu Lughod (Dhana,1993:25) menjelaskan bahwa para migran
di daerah baru biasanya aktif mengadakan pergantian dan variasi pranata-pranata
sosial yang mereka anggap berfungsi besar untuk melindungi diri mereka dari
anomi. Kebudayaan para migran di daerah baru tidak selalu sama dengan
kebudayaan daerah asalnya, namun kebudayaan migran di tempat yang baru
tidaklah selalu kebudayaan yang baru tetapi bisa juga merupakan organisasi yang
telah diaktualisasikan sesuai dengan pengalaman para anggotanya. Wujud dan
mekanisme pengaturannya bisa dirumuskan sesuai dengan situasi di tempat yang
baru dan dapat dilengkapi dengan adat istiadat lama dari para anggotanya,
meskipun bentuknya telah disesuaikan dengan situasi di kota. Hal ini dapat kita
lihat pada proses adaptasi yang dilakukan masyarakat Kampung Bugis dalam
rangka pemertahanan identitas etnik Bugis di Pulau Serangan.
14
1.4.2
Konsep
Berikut adalah penjelasan mengenai beberapa istilah yang digunakan
dalam penelitian ini.
1.4.2.1 Pemertahanan berasal dari urat kata tahan yang berarti memegang teguh,
tetap tidak mau melepaskan (Badudu, 1996). Pemertahanan yang dimaksud adalah
upaya aktif orang Kampung Bugis dalam mempertahankan identitas keetnisannya.
1.4.2.2 Identitas yang dimaksud disini adalah identitas budaya yang dimiliki oleh
suatu etnis yang merupakan rincian karakteristik atau ciri-ciri sebuah kebudayaan
yang dimiliki oleh sekelompok orang yang kita ketahui batas-batasnya (bounded)
tatkala dibandingkan dengan karakteristik atau ciri-ciri kebudayaan orang lain. Ini
berarti pula, kalau kita ingin mengetahui dan menetapkan identitas budaya, kita
tidak sekedar menentukan karakteristik atau ciri-ciri fisik ataupun biologis
semata-mata, tapi mengkaji identitas kebudayaan sekelompok manusia melalui
tatanan berpikir (cara berpikir, orientasi berpikir), perasaan (cara merasa dan
orientasi perasaan), cara bertindak (motivasi tindakan atau orientasi tindakan)
(Liliweri, 2005:43).
Yasraf Amir Piliang dalam bukunya yang berjudul Dunia yang Dilipat
(2004) menegaskan bahwa identitas merupakan sebuah unsur kunci dalam
pembentukan realitas sosial. Sekali sebuah identitas mengkristal, ia akan
dipelihara, dimodifikasi, atau bahkan diubah melalui berbagai bentuk hubungan
social. Jonathan Rutherford juga menyatakan bahwa identitas merupakan sebuah
mata rantai yang menghubungkan nilai-nilai sosial budaya masa lalu dengan masa
sekarang. Dalam konteks sosial, identitas merupakan sesuatu yang dimiliki
15
bersama-sama oleh sebuah komunitas atau kelompok masyarakat tertentu, yang
sekaligus membedakan mereka dari komunitas atau kelompok masyarakat lainnya
(Piliang,2004:279-280).
Identitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah identitas yang
dimiliki oleh orang Kampung Bugis di Kelurahan Serangan, Kecamatan Denpasar
Selatan yang membatasi ataupun membedakan mereka dari kelompok masyarakat
lainnya.
1.4.2.3 Kata etnik (ethnic) berasal dari bahasa Yunani ethnos, yang merujuk pada
pengertian bangsa atau orang. Acap kali ethnos diartikan sebagai setiap kelompok
sosial yang ditentukan oleh ras, adat istiadat, bahasa, nilai, norma, budaya, dan
sebagainya yang pada gilirannya mengindikasikan adanya kenyataan kelompok
yang minoritas atau mayoritas dalam suatu masyarakat. Menurut Koentjraningrat,
etnis merupakan kelompok sosial atau kesatuan hidup manusia yang mempunyai
sistem interaksi, sistem norma yang mengatur interaksi tersebut, adanya
kontinuitas dan rasa identitas yang mempersatukan semua anggotanya serta
memiliki sistem kepemimpinan sendiri.
Pada umumnya kelompok etnik dikenal sebagai suatu populasi yang (1)
secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan, (2) mempunyai nilai-nilai
budaya yang sama dan sadar akan kebersamaan dalam suatu budaya, (3)
membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, (4) menentukan ciri
kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari
kelompok populasi lain (Barth, 1988:11).
16
1.4.2.4 Multikulturalisme, menurut H. M. Atho’ Muzhar (2009 : 94) adalah
gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan, dan tindakan oleh masyarakat
suatu negara yang majemuk secara etnis, budaya, agama, dan sebagainya, namun
mempunyai kebanggaan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut.
1.5
Model
KEBUDAYAAN BALI&KEBUDAYAAN BUGIS
ADAPTASI
ORANG
KAMPUNG
BUGISSERANGAN
PENGAKUAN
MASYARAKAT
PEMERTAHANAN
IDENTITAS
: mempengaruhi secara langsung
: bersifat timbal balik (saling mempengaruhi)
Kebudayaan adalah kekayaan dan warisan leluhur yang perlu dijaga dan
dilestarikan, tidak terkecuali kebudayaan Bali dan Bugis. Kehidupan Orang
Kampung Bugis di Pulau Serangan dipengaruhi oleh kebudayaan Bali dan BugisSulawesi Selatan. Orang Kampung Bugis yang telah menetap di Pulau Bali sejak
abad XVII mengalami proses adaptasi guna mempertahankan identitas keetnisan
mereka di tengah masyarakat mayoritas, yakni masyarakat Bali. Pengakuan
masyarakat terkait dengan identitas yang dimiliki oleh Orang Kampung Bugis
juga menjadi faktor penting dalam upaya pemertahanan identitas yang dilakukan
17
Orang Kampung Bugis di Pulau Serangan. Bentuk pemertahanan identitas yang
terepresentasi oleh proses adaptasi yang dilakukan Orang Kampung Bugis di
Pulau Serangan dan pengakuan masyarakat mengenai keberadaan Orang
Kampung Bugis di Pulau Serangan.
1.6
1.6.1
Metode Penelitian
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pulau Serangan yang secara administrative
berada di Kelurahan Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan.. Penentuan lokasi
penelitian ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, yakni: (a) ditemukan
karakteristik etnik Bugis di tengah masyarakat multikultural
(b) penamaan
Kampung Bugis diakui secara administratif sejajar dengan Lingkungan/Banjar (c)
pola menetap konsentris dengan fasilitas umum tersendiri (d) masyarakat
Kampung Bugis tidak menutup diri dengan masyarakat asli dan tidak pernah
terjadi konflik antaretnik (e) masyarakat Kampung Bugis selalu mengidentifikasi
dirinya sebagai Orang Kampung Bugis Pulau Serangan.
1.6.2 Penentuan Informan
Informan merupakan individu tertentu yang diharapkan dapat memberikan
keterangan atau informasi yang diperlukan oleh peneliti berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti. Sumber informasi pada penelitian kualitatif adalah
para informan (subjek) yang berkompeten, mempunyai relevansi dengan setting
sosial yang diteliti. Hal pertama yang dilakukan peneliti dalam memilih informan
adalah menetapkan informan kunci. Informan kunci dipilih berdasarkan pada
18
pengetahuan dan kemampuannya dalam menjelaskan sejarah, budaya, dan
kehidupan Etnik Bugis di Pulau Serangan.
Kriteria yang dapat digunakan peneliti adalah usia, latar belakang
pendidikan, pekerjaan, dan kedudukan dalam masyarakat Kampung Bugis di
Pulau Serangan. Informan kunci diharapkan memiliki usia lebih dari 35 tahun
karena usia tersebut dianggap memiliki pengalaman dan pengetahuan yang cukup
baik mengenai kebudayaan dan dinamika masyarakat di Kampung Bugis Pulau
Serangan. Latar belakang pendidikan yang dimiliki informan juga menjadi faktor
penting dalam proses penentuan informan karena hal tersebut sangat membantu
informan dalam menggambarkan dan menjelaskan fenomena yang ada secara
mendalam. Informan kunci pada penelitian ini adalah 2 orang, yakni Drs. H.
Ahmad Sastra, M. Pd selaku sesepuh di Kampung Bugis Pulau Serangan,
mempunyai latar belakang pendidikan ilmu antropologi, dan berprofesi sebagai
dosen, serta Moh. Mohadi selaku Kepala Lingkungan Kampung Bugis, Kelurahan
Serangan.
Data yang diperoleh tidah hanya diperoleh melalui informan kunci, tetapi
juga diperoleh dari beberapa informan. Teknik yang digunakan dalam memilih
dan menentukan informan adalah dengan menggunakan teknik purposive
sampling (subjek sesuai tujuan) yang terdiri dari berbagai kriteria yaitu rentang
umur, pekerjaan, latar belakang pendidikan, dan pengalaman serta pengetahuan
yang lebih kompleks, baik dalam hal sejarah, profil adat, kepercayaan masyarakat
setempat, dan bahasa.
19
Informan yang dipilih dalam penelitian ini memiliki salah satu dari
beberapa kriteria. Salah satu kriteria yang dimaksud adalah usia. Usia yang
ditetapkan peneliti adalah usia anak-anak, yakni usia 8 hingga 10 tahun, usia
remaja yakni 16 hingga 30 tahun, dan usia dewasa, yakni 31 hingga 78 tahun
dengan pertimbangan bahwa setiap generasi memiliki pemahaman pengetahuan
dan wawasan yang berbeda mengenai kehidupan masyarakat Kampung Bugis di
Pulau Serangan, khususnya masalah budaya. Penelitian ini juga menggunakan
aspek gender sebagai salah satu kriteria informan. Hal ini diharapkan dapat
mengumpulkan banyak informasi dan data dari berbagai sudut pandang, termasuk
sudut pandang aktivis perempuan yang berasal dari Kampung Bugis Serangan dan
beberapa ibu rumah tangga. Latar belakang pendidikan juga menjadi kriteria
penentuan informan agar informasi dan data yang diberikan merupakan data yang
valid dan reliable. Pekerjaan tak kalah penting menjadi salah satu kriteria dalam
penentuan
informan
karena
bidang
pekerjaan
seseorang
mempengaruhi
pengalaman dan pengetahuan seseorang. Informan tidak hanya difokuskan pada
etnik Bugis serangan saja, melainkan juga Etnik Bali yang merupakan etnik
dominan di Pulau Serangan.
Informan yang berhasil dikumpulkan terdiri dari seorang sesepuh, seorang
dukun bayi, seorang pengacara yang juga aktif dalam kegiatan LSM, seorang
pengurus masjid (Ta’mir), seorang pemuda, seorang anak, 3 orang ibu rumah
tangga, dan 2 orang dosen yang pernah meneliti eksistensi masyarakat Bugis di
Pulau Serangan yang dianggap mampu memberikan keterangan pada peneliti,
sehingga total jumlah informan adalah 12 orang.
20
1.6.3
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan adalah data kualitatif dengan sumber data
primer dan sekunder yang diperoleh melalui informan. Untuk mendapatkan
sejumlah data yang diperlukan , secara garis besar penulis menggunakan dua
sumber data:
1.
Sumber data primer adalah data yang diperoleh langsung dari
informan (sumber data pertama) di lokasi penelitian atau objek
penelitian.
2.
Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua
atau sumber sekunder dari data yang dibutuhkan seperti buku-buku
teks, dokumen dan monografi desa.
1.6.4
Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang penulis gunakan yaitu
(1) observasi partisipasi, (2) wawancara, (3) studi kepustakaan.
(1) Observasi partisipasi
Penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, salah satunya
adalah teknik observasi partisipasi, dimana peneliti ikut melibatkan diri dalam
aktivitas
sosial
yang
berlangsung.
Kegiatan
observasi
meliputi
proses
pengamatan, pencatatan secara sistematik kejadian-kejadian, perilaku, objekobjek yang dilihat dan hal-hal lain yang diperlukan dalam menunjang penelitian
yang sedang dilakukan. Tahap awal observasi dilakukan secara umum dengan
mengumpulkan data dan informasi sebanyak mungkin. Peneliti pada tahap
21
selanjutnya melakukan observasi yang terfokus, yakni menyempitkan data
ataupun informasi yang diperlukan sehingga peneliti dapat menemukan pola-pola
perilaku dan hubungan yang terus menerus terjadi (Iskandar, 2009:125).
Mengawali penelitian, peneliti mengelilingi lingkungan Kampung Bugis
kemudian menghadap Kepala Lingkungan. Selanjutnya intensitas peneliti semakin
meningkat ketika melakukan wawancara langsung dengan informan sambil
menemani informan melakukan aktivitas sehari-harinya. Peneliti melakukan
pengamatan langsung dalam kehidupan masyarakat sehari-hari guna mengetahui
sistem nilai maupun sosial, baik tersirat maupun tersurat.
Perbedaan keyakinan peneliti dengan masyarakat setempat tidak menjadi
kendala dalam melakukan observasi partisipasi karena masyarakat cukup terbuka
dan peneliti berusaha menyesuaikan diri dengan kebiasaan dan kebudayaan
masyarakat, seperti menggunakan pakaian yang lebih sopan dan tertutup terutama
ketika menemui informan di Masjid, ikut menyesuaikan diri dengan tidak makan
dan minum di saat masyarakat berpuasa, dan ikut bersilaturahmi ketika hari raya
tiba.
Peneliti berusaha mendapat data sebanyaknya dengan mengikuti setiap
kegiatan informan, seperti berbincang dengan masyarakat sambil menunggu
waktu berbuka, membantu ibu rumah tangga menyiapkan makanan berbuka
puasa, berbincang dengan penjual makanan berbuka ketika bulan puasa tiba,
mengikuti kegiatan salat berjemaah meskipun peneliti harus berdiri di depan
masjid, dan beberapa aktivitas lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
22
Peneliti dalam proses penelitian observasi partisipasi ini berusaha untuk
membangun good rapport dengan informan agar komunikasi dan kerja sama
dapat terbangun dengan baik sehingga peneliti mampu mendapatkan informasi
mengenai masalah maupun fenomena yang diteliti (Iskandar, 2009:126).
(2) Wawancara
Teknik wawancara merupakan teknik pengumpulan data kualitatif dengan
menggunakan instrument, yakni pedoman wawancara. Tingkat keberhasilan
wawancara sangat bergantung pada kemampuan peneliti dalam melakukan
wawancara. Wawancara dimulai dengan mengemukakan topik yang umum untuk
membantu peneliti memahami perspektif makna yang diwawancarai.
Peneliti menggunakan metode wawancara mendalam yang dilakukan
dalam konteks observasi partisipasi dimana peneliti terlibat secara intensif dengan
setting penelitian terutama keterlibatan dengan subjek penelitian. Mc Milan dan
Schumacher dalam Iskandar (2009:130) menyebutkan bahwa wawancara
mendalam merupakan proses tanya jawab yang terbuka untuk memperoleh data
tentang maksud hati partisipan yang mampu menggambarkan kejadian-kejadian
ataupun fenomena-fenomena yang berhubungan dengan penelitian. Hal tersebut
dilakukan dengan berdialog antara peneliti sebagai pewawancara dengan
informan.
Adapun jenis wawancara yang digunakan peneliti adalah wawancara tidak
berstruktur dimana peneliti bebas menentukan fokus masalah wawancara yang
mengalir seperti percakapan biasa yang menyesuaikan situasi dan kondisi
informan. Wawancara dilakukan sesuai dengan pedoman wawancara yang telah
23
disiapkan dan tidak terpaku pada daftar pertanyaan yang ada agar proses
wawancara lebih luwes dan terarah sehingga data maupun informasi yang
diinginkan dapat diperoleh. Wawancara tidak hanya dilakukan dengan informan
kunci, tapi juga dengan informan lain yang dilakukan di rumah, di kantor, di
masjid, di pinggir jalan, dan terkadang di warung tanpa mengganggu aktivitas
informan.
(3) Studi Kepustakaan
Metode ini digunakan untuk mengetahui atau memperoleh data yang
berkaitan dengan teori yang mendukung penelitian. Oleh karena itu, metode
kepustakaan sangat penting untuk melengkapi data dari lapangan. Metode ini
dipahami sebagai metode untuk memperoleh konsep-konsep dan teori yang
relevan dengan permasalahan yang akan dibahas. Melalui metode ini, diharapkan
diperoleh data sekunder dari permasalahan yang ada di tempat penelitian. Di
samping buku-buku, studi dokumentasi akan mendukung penelitian.
1.6.5
Analisis Data
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Data dan
informasi yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif
kualitatif. Analisis deskriptif tersebut memberikan pengertian atau suatu
gambaran dari suatu gejala atau keadaan tertentu dari objek penelitian. Dalam
analisis data ini, data yang dikumpulkan baik melalui wawancara dan studi
kepustakaan kemudian disusun, dikelompokan ke dalam kategori tertentu dengan
mengacu pada pokok-pokok bahasan yang ditetapkan, selanjutnya dilakukan
interpretasi yakni pemberian makna, menjelaskan pola dan kategori juga mencari
24
keterkaitan antara berbagai konsep dengan tujuan agar suatu gejala sosial budaya
yang bersifat kompleks akan dapat mendeskripsikan dalam suatu kualitas yang
mendekati kenyataan. Analisis data yang dilakukan peneliti sepanjang
berlangsungnya penelitian, mulai dari pengumpulan data, pengorganisasian data
terjadi satu laporan penelitian, kemudian mengeditnya dan menganalisis sesuai
dengan kerangka pikiran yang dipakai, tentunya yang berkenaan dengan data
mengenai identitas orang Kampung Bugis di Kelurahan Serangan, Kecamatan
Denpasar Selatan.
Download