BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah bangsa yang me miliki keragaman budaya. Menurut Putu Rumawan Salain dalam “Bahan Ringan Pembelajaran Etnisitas, Pluralisme, dan Multikulturalisme” : Perspektif Kajian Budaya (2009), budaya Nusantara didukung oleh 931 etnik, sekitar 600 bahasa daerah, dan ribuan aspirasi cultural. Yaqin (2009:96) juga menyatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Hal ini dapat dibuktikan dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Jumlah pulau yang terdapat di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia lebih dari puluhan ribu, baik pulau besar maupun kecil. Populasi penduduknya berjumlah lebih dari 220 juta jiwa, terdiri dari ratusan suku bangsa dengan menggunakan ratusan bahasa lokal yang berbeda, bahkan menganut agama dan kepercayaan yang beragam, seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu, serta berbagai macam aliran kepercayaan lainnya. Kekayaan budaya tersebut tersebar di seluruh penjuru Nusantara, tidak terkecuali di Pulau Bali. Pulau Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terdiri dari 8 kabupaten dan 1 kota. Pulau Bali juga dikelilingi beberapa pulau, seperti Pulau Nusa Penida, Nusa Ceningan, Nusa Lembongan, Menjangan, dan Serangan (BPS Provinsi Bali, 2010). Pulau Bali didiami oleh etnik Bali yang merupakan etnik mayoritas. Pulau Bali merupakan daerah tujuan wisata yang terkenal di Indonesia 1 2 bahkan di dunia. Wisatawan mengunjungi Pulau Bali karena ingin menikmati keindahan alam dan juga budaya masyarakat Bali. Masyarakat Bali terkenal sebagai masih memegang teguh tradisi. Kondisi ini sangat beralasan karena masyarakat Bali banyak dijiwai oleh agama Hindu yang telah lama terintegrasikan ke dalam kebudayaan Bali (Bagus,1990). Bahasa sebagai salah satu penentu identitas juga mempunyai peranan penting untuk mengidentifikasi kebudayaan Bali. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Bali adalah bahasa Bali. Beberapa tradisi juga menjadi ciri khas kebudayaan Bali, seperti sistem dan organisasi pengairan sawah yang dikenal dengan subak, sistem ritual dan upacara yang berorientasi pada pura, serta upacara pembakaran mayat yang dikenal dengan istilah ngaben (Kumbara). Kebudayaan Bali mempunyai daya tarik tersendiri bagi masyarakat Indonesia maupun mancanegara sehingga Bali mampu mengikrarkan dirinya sebagai salah satu daerah tujuan wisata terbaik di Indonesia. Hal ini tentu menyebabkan banyaknya perpindahan penduduk dari luar Bali menuju Bali. Masyarakat Bali yang cenderung permisif ini memungkinkan etnik selain Bali untuk menetap di Bali dan hidup berdampingan dengan Etnik Bali. Sensus penduduk tahun 2000 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik menggambarkan bahwa penduduk Pulau Bali terdiri dari beberapa etnik, yaitu Etnik Bali, Jawa, Bali Aga, Madura, Melayu, Sasak, Cina, Bugis, dan beberapa etnik lain, seperti terlihat pada tabel berikut : 3 Tabel 1.1 Penduduk Menurut Kabupaten/Kota dan Suku Bangsa Population by Regency/Municipality and Race No. Kabupaten Madura Melayu Sasak 128 2.648 15.643 187 455 359.851 10.859 253 1.116 44 426 305.025 30.572 57 1.668 129 933 380.383 7.176 528 275 49 780 Klungkung 149.135 3.852 160 96 0 Bangli 191.915 1.235 28 203 2 7 Karangasem 350.647 2.329 558 85 8 Buleleng 507.519 13.754 17.717 9 Denpasar 368.143 120.194 362 2.974.793 214.598 19.791 Jembrana 2 Tabanan 3 Badung 4 Gianyar 5 6 Jumlah 182.175 Jawa Bali Aga 24.527 1 Bali Cina Bugis Lainnya 3.561 2.467 897 71 2.471 465 535 5.939 409 32 3.316 1.281 13 0 724 51 148 6 188 19 5.725 120 25 951 8.364 118 2.351 1.126 1.412 5.748 4.138 694 4.696 6.997 954 25.435 18.593 16.698 16.430 10.630 6.596 47.239 Sumber : Karakteristik Penduduk Bali/Population Characteristics of Bali Hasil Sensus Penduduk 2000/Results of The 2000 Population Census Seri/Series : L2.2.16.16 Badan Pusat Statistik Propinsi Bali Tabel diatas menunjukkan bahwa Pulau Bali ditempati oleh beragam etnik. Salah satu etnik yang paling dominan adalah Etnik Bali. Selain etnik dominan tersebut, terdapat pula etnik subdominan, yaitu Jawa, Madura, Melayu, Sasak dan Bugis. Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa etnik yang ada di Provinsi Bali tidak hanya berasal dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Beragamnya etnik yang ada di Provinsi Bali ditandai dengan eksistensi mereka khususnya secara geografis terdapat beberapa wilayah atau lokalitas yang didasarkan pada etnik yang menempatinya, seperti komunitas Etnik Jawa yang ada di Kampung Jawa, Kampung Islam Kepaon di Desa Pemogan dan terdapat di beberapa daerah lain di Pulau Bali. Demikian pula Etnik Bugis yang tersebar di beberapa daerah di Bali, seperti kampung Bugis yang terdapat di daerah Kepaon, Tuban, Suwung Kangin, dan Serangan (Fadillah,1999). Eksistensi etnik non Bali yang berada di 4 Bali tersebut menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di Provinsi Bali adalah masyarakat multikultural. Masyarakat Bali yang multikultural juga dapat dijumpai pada pulau kecil di Denpasar Selatan, yakni Pulau Serangan. Pulau Serangan pada awalnya merupakan sebuah daratan kecil dikelilingi laut yang dikuasai oleh Kerajaan Badung dan masuk menjadi wilayah teritori di bawah Kecamatan Denpasar Selatan pada tahun 1992 (hmidps.8m.com). Pulau Serangan berada di lokasi yang strategis karena letaknya berdekatan dengan Pelabuhan Wisata Benoa dan searah menuju Bandara Internasional Ngurah Rai. Pulau kecil ini juga terdiri dari keragaman hayati, seperti hutan bakau, terumbu karang, burung-burung laut, dan ikan hias (Monografi Desa dan Kelurahan Serangan). Kekayaan sumber daya alam dan lokasi yang strategis tersebut menjadikan Pulau Serangan menjadi salah satu destinasi wisata yang potensial di Pulau Bali. Kekayaan sumber daya yang potensial ini kemudian dimanfaatkan oleh pihak pengembang dengan melaksanakan proyek reklamasi pada tahun 1993 (hmidps.8m.com). Proyek reklamasi ini mempengaruhi kondisi fisik Pulau Serangan. Reklamasi menyebabkan perluasan wilayah Serangan yang semula luas wilayahnya 110 ha, kemudian diperluas menjadi 481 ha (Monografi Desa dan Kelurahan Serangan). Salah satu ciri fisik reklamasi Pulau Serangan adalah pembangunan fasilitas jembatan yang menghubungkan Pulau Serangan dengan daratan Pulau Bali. Reklamasi memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap kehidupan masyarakat di Pulau Serangan. 5 Masyarakat yang menetap di Pulau Serangan terdiri dari beberapa etnik, yakni Etnik Bali yang merupakan penduduk asli dan mayoritas di Pulau Serangan, Etnik Jawa, Madura, dan Bugis yang merupakan etnik pendatang dan minoritas. Empat etnik ini mampu hidup berdampingan tanpa adanya konflik antaretnik dan memberi warna tersendiri pada budaya Pulau Serangan. Masyarakat Pulau Serangan yang berasal dari Etnik Jawa dan Madura mulai intensif berdatangan dan tinggal di Pulau Serangan ketika proyek reklamasi telah dilaksanakan. Hal ini berbeda dengan Etnik Bugis yang telah lebih dulu menetap di Pulau Serangan dibandingkan kedua etnik tersebut. Etnik Bugis bermigrasi ke Bali khususnya ke pulau Serangan pada abad XVII dipimpin oleh Syekh Haji Mukmin. Etnik Bugis yang berasal dari Sulawesi Selatan terkenal sebagai etnik yang sangat mahir dalam mengarungi samudra. Selain mahir mengarungi samudra, Etnik Bugis juga dikenal sebagai etnik yang gemar merantau. Wilayah tujuan rantauan mereka tidak hanya terbatas di wilayah Nusantara, tetapi hingga ke Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam, Thailand, Australia, Madagaskar, bahkan Afrika Selatan (http://trikushartadi.wordpress.com/2010/04/20/asal-usul-kapal-pinisi/). Perilaku merantau etnik Bugis selain disebabkan oleh kemahiran mereka dalam mengarungi samudra juga didorong oleh etos berprinsipkan hidup bebas merdeka (pasompe). Pada abad XVI hingga IX wilayah Sulawesi Selatan dijajah oleh Verenigde Ost Indische Compagnie (VOC) dari Belanda yang memonopoli sistem perdagangan. Situasi saat itu makin genting akibat konflik Kerajaan Bugis dengan Makassar dan konflik intern pada Kerajaan Bugis itu sendiri pada abad 6 XVI hingga abad IX. Kondisi ini menyebabkan wilayah Kerajaan Bugis tidak aman dan menimbulkan perasaan takut serta tertekan di kalangan penduduk setempat. Bermigrasi atau merantau merupakan salah satu cara yang mereka lakukan untuk menghindari dan menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Data Monografi Desa dan Kelurahan Serangan tahun 2009, orang-orang Bugis yang berasal dari Sulawesi Selatan datang di pesisir pantai Pulau Serangan pada abad XVII. Kedatangan Etnik Bugis tersebut diterima dengan baik oleh penduduk asli Serangan dan mampu hidup berdampingan selama lebih dari 7 generasi hingga saat ini. Data Monografi Desa dan Kelurahan Serangan periode akhir November 2006 menunjukkan bahwa jumlah kepala keluarga di Kampung Bugis adalah sebanyak 74 KK dengan jumlah anggota keluarga sebanyak 299 jiwa dan jumlah penduduk orang Bali-Hindu di Serangan berjumlah 3.186 jiwa. Jumlah Etnik Bugis yang relatif sedikit atau hanya 8,58% dari jumlah Etnik Bali tidak menimbulkan dominasi antaretnik, bahkan sebaliknya, mereka dapat hidup berdampingan hingga saat ini. Etnik Bugis di Pulau Serangan membentuk satu lokasi tersendiri dan bersifat konsentris yang ditandai oleh pola pemukiman yang jelas dengan tapaltapal batasnya yang terpisah dengan masyarakat Bali, bahkan mereka memiliki fasilitas umum tersendiri seperti masjid dan pemakaman. Kondisi ini menimbulkan pemandangan yang menarik karena dalam satu wilayah terdapat suatu wilayah yang berbeda yang membentuk semacam miniatur budaya. 7 Lokasi tempat tinggal Etnik Bugis ini secara resmi dan diakui secara administratif dengan nama Kampung Bugis Serangan. Penamaan itu merupakan salah satu bentuk pengidentifikasian etnik, baik yang dilakukan oleh etnik bersangkutan maupun etnik lain. Pengidentifikasian ini dilatarbelakangi oleh ciriciri khas yang dimiliki etnik bersangkutan atau yang lebih populer disebut identitas etnik. Identitas etnik (Liliweri, 2005:41) merupakan rincian karakteristik atau ciri-ciri sebuah kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok orang pada etnik tertentu yang diketahui batas-batasnya (bounded), tatkala dibandingkan dengan karakteristik atau ciri-ciri kebudayaan etnik lain. Identitas etnik diketahui dan ditetapkan tidak sekedar ditentukan oleh karakteristik ataupun ciri-ciri fisik dan biologis semata, tapi juga dikaji melalui tatanan berpikir (cara berpikir dan orientasi berpikir), perasaan (cara merasa dan orientasi perasaan), serta cara bertindak (motivasi tindakan atau orientasi tindakan). Amir Hasan Dawi (www.mymla.org/files/icmm2010_ppers/ICMM2010_p9.pdf) menyatakan bahwa kelompok etnik akan mempertahakan identitas keetnisannya dalam proses yang selalu dinamis guna mencapai keadaan aman dan haronis. Demikian pula yang dilakukan oleh etnik Bugis di Pulau Serangan, meskipun mereka telah lama menetap di Pulau Serangan selama berabad-abad, tetapi mereka tetap berusaha mempertahankan identitas etnik mereka sebagai orang Bugis.. Etnik Bugis memiliki latar belakang budaya yang relatif sama dengan latar belakang budaya yang dimiliki Etnik Bali di Pulau Serangan, yaitu latar belakang budaya masyarakat pesisir. Kondisi ini mempengaruhi interaksi kedua etnik ini yang dapat hidup berdampingan secara haronis. Interaksi dan integrasi kedua 8 etnik ini berjalan seiring waktu dan perkembangan zaman. Masyarakat kampung Bugis berinteraksi dengan baik antarsesama anggota masyarakat di Pulau Serangan meskipun pola menetap mereka tergolong konsentris. Interaksi yang dilakukan masyarakat Kampung Bugis dengan masyarakat asli Pulau Serangan tidak hanya dilakukan pada interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga berperan aktif dalam kegiatan musyawarah desa, gotong royong, dan ngayah di Pura Sakenan sebagai bentuk adaptasi masyarakat dalam rangka mempertahankan eksistensinya. Fenomena yang juga dihadapi oleh orang Kampung Bugis adalah kegigihan mereka untuk tetap mempertahankan identitas yang menjadi ciri khas mereka di tengah arus globalisasi dan mencapai puncaknya pascareklamasi di Kelurahan Serangan meski sudah tidak terdapat komunikasi yang intensif dengan suku bangsa Bugis di Sulawesi Selatan. Arus globalisasi mempunyai peran dalam mempengaruhi keberadaan masyarakat, tidak terkecuali Etnik Bugis di Pulau Serangan. Arus globalisasi seakan mampu mengaburkan garis lintas batas yang ada sehingga sangat menarik bila mengkaji keberadaan Etnik Bugis yang masih mampu bertahan hingga saat ini di tengah tekanan yang dapat dikatakan cukup berat. Tuntutan akan keterampilan dan kemahiran dalam menggunakan teknologi dan tuntutan pemenuhan kebutuhan ekonomi merupakan tantangan yang harus dilalui masyarakat Bugis ini. Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan bahwa walaupun Etnik Bugis tinggal di Pulau Serangan sejak abad ke-17 dan hidup berdampingan dengan masyarakat dominan, tetapi masih dapat ditemukan beberapa unsur budaya Bugis 9 yang masih dipertahankan dan bersifat survival. Satu hal yang tidak dapat diingkari bahwa komunitas orang Bugis di pulau Serangan hingga saat ini mengidentifikasi dirinya sebagai orang Kampung Bugis Serangan, bukan Orang Bugis Sulawesi Selatan. Masyarakat Kampung Bugis mampu bertahan selama hampir 400 tahun dan bergaul secara intensif dengan penduduk dominan di Pulau Serangan sementara komunikasi dengan budaya asalnya, yakni Bugis-Sulawesi Selatan relatif renggang. Hal ini dapat menimbulkan masalah dalam pemertahanan identitas Bugis sehingga muncul pertanyaan mendasar yang diformulasikan pada rumusan masalah. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, adapun permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana potensi dan kendala yang dihadapi masyarakat Kampung Bugis di Pulau Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan dalam pemertahanan identitasnya sebagai Etnik Bugis ? 2. Bagaimana bentuk dan makna pemertahanan identitas Etnik Bugis bagi masyarakat Kampung Bugis di Pulau Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran, pengetahuan, dan wawasan kepada masyarakat mengenai potensi dan kendala pemertahanan identitas etnik orang Kampung Bugis di Pulau Serangan, serta penjelasan yang 10 lebih mendalam mengenai bentuk dan makna pemertahanan identitas Etnik Bugis bagi masyarakat Kampung Bugis di Pulau Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan. 1.3.2 Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk mengoperasionalkan teori-teori dan konsep-konsep yang relevan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan manfaat bagi studi ilmu antropologi. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi masyarakat untuk kembali melestarikan kebudayaan yang ada dan mengembangkan tradisi tersebut agar dapat menjadi aset pariwisata serta warisan budaya. 1.4 1.4.1 Kerangka Teori dan Konsep Kerangka Teori Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini merupakan instrumen untuk menganalisis data yang diperoleh menurut metode pengumpulan data yang digunakan. Berbicara mengenai interaksi 2 etnik atau lebih dalam suatu wilayah yang sama, maka akan tepat apabila kita menggunakan istilah adaptasi untuk menggambarkan proses yang terjadi pada interaksi antaretnik tersebut. Adaptasi (Liliweri, 2005) merupakan proses penyesuaian nilai, norma, dan pola-pola perilaku antara 2 budaya atau lebih. Proses adaptasi akan terjadi apabila terdapat dua budaya atau lebih yang bertemu. Untuk membedah pokok permasalahan dalam tulisan ini, penulis bertumpu pada teori adaptasi yang dikemukakan oleh John W. Bennett dalam bukunya yang 11 berjudul The Ecological Transition : Cultural Anthropology and Human Adaptation (1976). Adaptasi didefinisikan sebagai sebuah proses dalam usaha mempertahankan kelangsungan hidup untuk memuaskan organisme, mereduksi ketegangan yang setara dengan proses belajar sepanjang organisme mengalami perubahan sebagai hasil dari respon yang adaptif. Proses penyesuaian ini tidak hanya dilakukan oleh manusia untuk menyesuaikan diri dan keinginannya dengan lingkungan, tapi manusia juga berusaha menyesuaikan lingkungan dengan keinginan dan tujuannya. Lingkungan yang dimaksud meliputi aspek fisik, biologis, dan sosial sehingga adaptasi manusia dapat berproses dalam dimensi lingkungan yang amat luas dan terus berubah (Bennett, 1976:248). Untuk beradaptasi dengan lingkungan yang terus berubah, manusia dituntut untuk bersifat dinamis (Dhana, 1993:19). Bennett (1976:271) mengutarakan bahwa terdapat 3 konsep kunci untuk membahas dan memahami dinamika kehidupan manusia dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan, yakni : perilaku adaptif, tindakan strategi, dan strategi adaptif. Perilaku adaptif merupakan bentuk-bentuk perilaku yang menunjukkan penyesuaian cara-cara mencapai tujuan, melakukan pilihan-pilihan, dan menolak untuk melakukan tindakan atau keterlibatan dengan maksud beradaptasi. Strategi tindakan adalah tindakan-tindakan yang khusus direncanakan dalam upaya penyesuaian demi tercapainya kemajuan-kemajuan yang merupakan tujuan dalam proses pemanfaatan sumber daya. Pengertian strategi tindakan mencakup upaya rasionalisasi, mekanisasi, dan orientasi pada kemajuan yang mengutamakan hasil dari perilaku manusia. Selanjutnya adalah konsep strategi adaptif yang mengacu 12 pada tindakan-tindakan yang dipilih manusia dalam proses pengambilan keputusannya karena keberhasilannya dapat diprediksi. Selain itu, dalam penelitian antropologi dikenal pula penekanan pada petapeta kognitif yaitu perangkat nilai-nilai dan preseden sebagai komponen yang dapat diacu oleh manusia dalam menentukan pilihan-pilihan dan mengarahkan pengambilan keputusan serta tindakannya beradaptasi dengan lingkungan (Bennett, 1976:273). Komponen tersebut diperoleh melalui proses sosialisasi dan dapat memaksa manusia untuk tidak selalu bebas memilih model-model tindakan berdasarkan kesukaannya ataupun berdasarkan tuntutan situasi. Namun, di sisi lain juga harus mempertimbangkannya dengan memperhatikan norma-norma kebaikan, kejujuran, keadilan, dan resiprositas. Meskipun demikian, manusia sendiri dapat memanipulasi komponen-komponen tersebut dalam penggunaannya guna beradaptasi dengan lingkungan. Mengingat bahwa perilaku adaptasi manusia dapat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan dan peta-peta kognitif, maka perilaku adaptasi manusia pada suatu tempat akan mencerminkan pada ciri-ciri khas tertentu. Bennett (1976:3) juga mengungkapkan bahwa hal yang adaptif pada seseorang atau kelompok, belum tentu adaptif untuk orang atau kelompok lain. Dengan demikian, hal yang adaptif untuk seseorang atau kelompok yang memiliki tradisi di tempat tertentu, belum tentu adaptif untuk kelompok lain yang memiliki tradisi yang sama di tempat yang kondisinya berbeda. Hal tersebut dapat kita lihat pada masyarakat Bugis yang tinggal di Sulawesi Selatan tentu mempunyai perbedaan dengan masyarakat Kampung Bugis di Kelurahan Serangan, 13 Kecamatan Denpasar Selatan sehingga menggunakan teori ini dirasa tepat untuk membedah permasalahan yang ada. Hal ini diperjelas dengan teori yang diungkapkan oleh Gulick ( Dhana, 1993:25) yang menerangkan bahwa salah satu model adaptasi para migran di tempat yang baru adalah dengan cara yang berpegang pada sifat kedaerahannya tertentu, terutama yang dianggap cocok untuk mencapai tujuannya di daerah yang baru. Selanjutnya Abu Lughod (Dhana,1993:25) menjelaskan bahwa para migran di daerah baru biasanya aktif mengadakan pergantian dan variasi pranata-pranata sosial yang mereka anggap berfungsi besar untuk melindungi diri mereka dari anomi. Kebudayaan para migran di daerah baru tidak selalu sama dengan kebudayaan daerah asalnya, namun kebudayaan migran di tempat yang baru tidaklah selalu kebudayaan yang baru tetapi bisa juga merupakan organisasi yang telah diaktualisasikan sesuai dengan pengalaman para anggotanya. Wujud dan mekanisme pengaturannya bisa dirumuskan sesuai dengan situasi di tempat yang baru dan dapat dilengkapi dengan adat istiadat lama dari para anggotanya, meskipun bentuknya telah disesuaikan dengan situasi di kota. Hal ini dapat kita lihat pada proses adaptasi yang dilakukan masyarakat Kampung Bugis dalam rangka pemertahanan identitas etnik Bugis di Pulau Serangan. 14 1.4.2 Konsep Berikut adalah penjelasan mengenai beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini. 1.4.2.1 Pemertahanan berasal dari urat kata tahan yang berarti memegang teguh, tetap tidak mau melepaskan (Badudu, 1996). Pemertahanan yang dimaksud adalah upaya aktif orang Kampung Bugis dalam mempertahankan identitas keetnisannya. 1.4.2.2 Identitas yang dimaksud disini adalah identitas budaya yang dimiliki oleh suatu etnis yang merupakan rincian karakteristik atau ciri-ciri sebuah kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang kita ketahui batas-batasnya (bounded) tatkala dibandingkan dengan karakteristik atau ciri-ciri kebudayaan orang lain. Ini berarti pula, kalau kita ingin mengetahui dan menetapkan identitas budaya, kita tidak sekedar menentukan karakteristik atau ciri-ciri fisik ataupun biologis semata-mata, tapi mengkaji identitas kebudayaan sekelompok manusia melalui tatanan berpikir (cara berpikir, orientasi berpikir), perasaan (cara merasa dan orientasi perasaan), cara bertindak (motivasi tindakan atau orientasi tindakan) (Liliweri, 2005:43). Yasraf Amir Piliang dalam bukunya yang berjudul Dunia yang Dilipat (2004) menegaskan bahwa identitas merupakan sebuah unsur kunci dalam pembentukan realitas sosial. Sekali sebuah identitas mengkristal, ia akan dipelihara, dimodifikasi, atau bahkan diubah melalui berbagai bentuk hubungan social. Jonathan Rutherford juga menyatakan bahwa identitas merupakan sebuah mata rantai yang menghubungkan nilai-nilai sosial budaya masa lalu dengan masa sekarang. Dalam konteks sosial, identitas merupakan sesuatu yang dimiliki 15 bersama-sama oleh sebuah komunitas atau kelompok masyarakat tertentu, yang sekaligus membedakan mereka dari komunitas atau kelompok masyarakat lainnya (Piliang,2004:279-280). Identitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah identitas yang dimiliki oleh orang Kampung Bugis di Kelurahan Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan yang membatasi ataupun membedakan mereka dari kelompok masyarakat lainnya. 1.4.2.3 Kata etnik (ethnic) berasal dari bahasa Yunani ethnos, yang merujuk pada pengertian bangsa atau orang. Acap kali ethnos diartikan sebagai setiap kelompok sosial yang ditentukan oleh ras, adat istiadat, bahasa, nilai, norma, budaya, dan sebagainya yang pada gilirannya mengindikasikan adanya kenyataan kelompok yang minoritas atau mayoritas dalam suatu masyarakat. Menurut Koentjraningrat, etnis merupakan kelompok sosial atau kesatuan hidup manusia yang mempunyai sistem interaksi, sistem norma yang mengatur interaksi tersebut, adanya kontinuitas dan rasa identitas yang mempersatukan semua anggotanya serta memiliki sistem kepemimpinan sendiri. Pada umumnya kelompok etnik dikenal sebagai suatu populasi yang (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan, (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan kebersamaan dalam suatu budaya, (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain (Barth, 1988:11). 16 1.4.2.4 Multikulturalisme, menurut H. M. Atho’ Muzhar (2009 : 94) adalah gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan, dan tindakan oleh masyarakat suatu negara yang majemuk secara etnis, budaya, agama, dan sebagainya, namun mempunyai kebanggaan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut. 1.5 Model KEBUDAYAAN BALI&KEBUDAYAAN BUGIS ADAPTASI ORANG KAMPUNG BUGISSERANGAN PENGAKUAN MASYARAKAT PEMERTAHANAN IDENTITAS : mempengaruhi secara langsung : bersifat timbal balik (saling mempengaruhi) Kebudayaan adalah kekayaan dan warisan leluhur yang perlu dijaga dan dilestarikan, tidak terkecuali kebudayaan Bali dan Bugis. Kehidupan Orang Kampung Bugis di Pulau Serangan dipengaruhi oleh kebudayaan Bali dan BugisSulawesi Selatan. Orang Kampung Bugis yang telah menetap di Pulau Bali sejak abad XVII mengalami proses adaptasi guna mempertahankan identitas keetnisan mereka di tengah masyarakat mayoritas, yakni masyarakat Bali. Pengakuan masyarakat terkait dengan identitas yang dimiliki oleh Orang Kampung Bugis juga menjadi faktor penting dalam upaya pemertahanan identitas yang dilakukan 17 Orang Kampung Bugis di Pulau Serangan. Bentuk pemertahanan identitas yang terepresentasi oleh proses adaptasi yang dilakukan Orang Kampung Bugis di Pulau Serangan dan pengakuan masyarakat mengenai keberadaan Orang Kampung Bugis di Pulau Serangan. 1.6 1.6.1 Metode Penelitian Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pulau Serangan yang secara administrative berada di Kelurahan Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan.. Penentuan lokasi penelitian ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, yakni: (a) ditemukan karakteristik etnik Bugis di tengah masyarakat multikultural (b) penamaan Kampung Bugis diakui secara administratif sejajar dengan Lingkungan/Banjar (c) pola menetap konsentris dengan fasilitas umum tersendiri (d) masyarakat Kampung Bugis tidak menutup diri dengan masyarakat asli dan tidak pernah terjadi konflik antaretnik (e) masyarakat Kampung Bugis selalu mengidentifikasi dirinya sebagai Orang Kampung Bugis Pulau Serangan. 1.6.2 Penentuan Informan Informan merupakan individu tertentu yang diharapkan dapat memberikan keterangan atau informasi yang diperlukan oleh peneliti berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Sumber informasi pada penelitian kualitatif adalah para informan (subjek) yang berkompeten, mempunyai relevansi dengan setting sosial yang diteliti. Hal pertama yang dilakukan peneliti dalam memilih informan adalah menetapkan informan kunci. Informan kunci dipilih berdasarkan pada 18 pengetahuan dan kemampuannya dalam menjelaskan sejarah, budaya, dan kehidupan Etnik Bugis di Pulau Serangan. Kriteria yang dapat digunakan peneliti adalah usia, latar belakang pendidikan, pekerjaan, dan kedudukan dalam masyarakat Kampung Bugis di Pulau Serangan. Informan kunci diharapkan memiliki usia lebih dari 35 tahun karena usia tersebut dianggap memiliki pengalaman dan pengetahuan yang cukup baik mengenai kebudayaan dan dinamika masyarakat di Kampung Bugis Pulau Serangan. Latar belakang pendidikan yang dimiliki informan juga menjadi faktor penting dalam proses penentuan informan karena hal tersebut sangat membantu informan dalam menggambarkan dan menjelaskan fenomena yang ada secara mendalam. Informan kunci pada penelitian ini adalah 2 orang, yakni Drs. H. Ahmad Sastra, M. Pd selaku sesepuh di Kampung Bugis Pulau Serangan, mempunyai latar belakang pendidikan ilmu antropologi, dan berprofesi sebagai dosen, serta Moh. Mohadi selaku Kepala Lingkungan Kampung Bugis, Kelurahan Serangan. Data yang diperoleh tidah hanya diperoleh melalui informan kunci, tetapi juga diperoleh dari beberapa informan. Teknik yang digunakan dalam memilih dan menentukan informan adalah dengan menggunakan teknik purposive sampling (subjek sesuai tujuan) yang terdiri dari berbagai kriteria yaitu rentang umur, pekerjaan, latar belakang pendidikan, dan pengalaman serta pengetahuan yang lebih kompleks, baik dalam hal sejarah, profil adat, kepercayaan masyarakat setempat, dan bahasa. 19 Informan yang dipilih dalam penelitian ini memiliki salah satu dari beberapa kriteria. Salah satu kriteria yang dimaksud adalah usia. Usia yang ditetapkan peneliti adalah usia anak-anak, yakni usia 8 hingga 10 tahun, usia remaja yakni 16 hingga 30 tahun, dan usia dewasa, yakni 31 hingga 78 tahun dengan pertimbangan bahwa setiap generasi memiliki pemahaman pengetahuan dan wawasan yang berbeda mengenai kehidupan masyarakat Kampung Bugis di Pulau Serangan, khususnya masalah budaya. Penelitian ini juga menggunakan aspek gender sebagai salah satu kriteria informan. Hal ini diharapkan dapat mengumpulkan banyak informasi dan data dari berbagai sudut pandang, termasuk sudut pandang aktivis perempuan yang berasal dari Kampung Bugis Serangan dan beberapa ibu rumah tangga. Latar belakang pendidikan juga menjadi kriteria penentuan informan agar informasi dan data yang diberikan merupakan data yang valid dan reliable. Pekerjaan tak kalah penting menjadi salah satu kriteria dalam penentuan informan karena bidang pekerjaan seseorang mempengaruhi pengalaman dan pengetahuan seseorang. Informan tidak hanya difokuskan pada etnik Bugis serangan saja, melainkan juga Etnik Bali yang merupakan etnik dominan di Pulau Serangan. Informan yang berhasil dikumpulkan terdiri dari seorang sesepuh, seorang dukun bayi, seorang pengacara yang juga aktif dalam kegiatan LSM, seorang pengurus masjid (Ta’mir), seorang pemuda, seorang anak, 3 orang ibu rumah tangga, dan 2 orang dosen yang pernah meneliti eksistensi masyarakat Bugis di Pulau Serangan yang dianggap mampu memberikan keterangan pada peneliti, sehingga total jumlah informan adalah 12 orang. 20 1.6.3 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan adalah data kualitatif dengan sumber data primer dan sekunder yang diperoleh melalui informan. Untuk mendapatkan sejumlah data yang diperlukan , secara garis besar penulis menggunakan dua sumber data: 1. Sumber data primer adalah data yang diperoleh langsung dari informan (sumber data pertama) di lokasi penelitian atau objek penelitian. 2. Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber sekunder dari data yang dibutuhkan seperti buku-buku teks, dokumen dan monografi desa. 1.6.4 Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang penulis gunakan yaitu (1) observasi partisipasi, (2) wawancara, (3) studi kepustakaan. (1) Observasi partisipasi Penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, salah satunya adalah teknik observasi partisipasi, dimana peneliti ikut melibatkan diri dalam aktivitas sosial yang berlangsung. Kegiatan observasi meliputi proses pengamatan, pencatatan secara sistematik kejadian-kejadian, perilaku, objekobjek yang dilihat dan hal-hal lain yang diperlukan dalam menunjang penelitian yang sedang dilakukan. Tahap awal observasi dilakukan secara umum dengan mengumpulkan data dan informasi sebanyak mungkin. Peneliti pada tahap 21 selanjutnya melakukan observasi yang terfokus, yakni menyempitkan data ataupun informasi yang diperlukan sehingga peneliti dapat menemukan pola-pola perilaku dan hubungan yang terus menerus terjadi (Iskandar, 2009:125). Mengawali penelitian, peneliti mengelilingi lingkungan Kampung Bugis kemudian menghadap Kepala Lingkungan. Selanjutnya intensitas peneliti semakin meningkat ketika melakukan wawancara langsung dengan informan sambil menemani informan melakukan aktivitas sehari-harinya. Peneliti melakukan pengamatan langsung dalam kehidupan masyarakat sehari-hari guna mengetahui sistem nilai maupun sosial, baik tersirat maupun tersurat. Perbedaan keyakinan peneliti dengan masyarakat setempat tidak menjadi kendala dalam melakukan observasi partisipasi karena masyarakat cukup terbuka dan peneliti berusaha menyesuaikan diri dengan kebiasaan dan kebudayaan masyarakat, seperti menggunakan pakaian yang lebih sopan dan tertutup terutama ketika menemui informan di Masjid, ikut menyesuaikan diri dengan tidak makan dan minum di saat masyarakat berpuasa, dan ikut bersilaturahmi ketika hari raya tiba. Peneliti berusaha mendapat data sebanyaknya dengan mengikuti setiap kegiatan informan, seperti berbincang dengan masyarakat sambil menunggu waktu berbuka, membantu ibu rumah tangga menyiapkan makanan berbuka puasa, berbincang dengan penjual makanan berbuka ketika bulan puasa tiba, mengikuti kegiatan salat berjemaah meskipun peneliti harus berdiri di depan masjid, dan beberapa aktivitas lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 22 Peneliti dalam proses penelitian observasi partisipasi ini berusaha untuk membangun good rapport dengan informan agar komunikasi dan kerja sama dapat terbangun dengan baik sehingga peneliti mampu mendapatkan informasi mengenai masalah maupun fenomena yang diteliti (Iskandar, 2009:126). (2) Wawancara Teknik wawancara merupakan teknik pengumpulan data kualitatif dengan menggunakan instrument, yakni pedoman wawancara. Tingkat keberhasilan wawancara sangat bergantung pada kemampuan peneliti dalam melakukan wawancara. Wawancara dimulai dengan mengemukakan topik yang umum untuk membantu peneliti memahami perspektif makna yang diwawancarai. Peneliti menggunakan metode wawancara mendalam yang dilakukan dalam konteks observasi partisipasi dimana peneliti terlibat secara intensif dengan setting penelitian terutama keterlibatan dengan subjek penelitian. Mc Milan dan Schumacher dalam Iskandar (2009:130) menyebutkan bahwa wawancara mendalam merupakan proses tanya jawab yang terbuka untuk memperoleh data tentang maksud hati partisipan yang mampu menggambarkan kejadian-kejadian ataupun fenomena-fenomena yang berhubungan dengan penelitian. Hal tersebut dilakukan dengan berdialog antara peneliti sebagai pewawancara dengan informan. Adapun jenis wawancara yang digunakan peneliti adalah wawancara tidak berstruktur dimana peneliti bebas menentukan fokus masalah wawancara yang mengalir seperti percakapan biasa yang menyesuaikan situasi dan kondisi informan. Wawancara dilakukan sesuai dengan pedoman wawancara yang telah 23 disiapkan dan tidak terpaku pada daftar pertanyaan yang ada agar proses wawancara lebih luwes dan terarah sehingga data maupun informasi yang diinginkan dapat diperoleh. Wawancara tidak hanya dilakukan dengan informan kunci, tapi juga dengan informan lain yang dilakukan di rumah, di kantor, di masjid, di pinggir jalan, dan terkadang di warung tanpa mengganggu aktivitas informan. (3) Studi Kepustakaan Metode ini digunakan untuk mengetahui atau memperoleh data yang berkaitan dengan teori yang mendukung penelitian. Oleh karena itu, metode kepustakaan sangat penting untuk melengkapi data dari lapangan. Metode ini dipahami sebagai metode untuk memperoleh konsep-konsep dan teori yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas. Melalui metode ini, diharapkan diperoleh data sekunder dari permasalahan yang ada di tempat penelitian. Di samping buku-buku, studi dokumentasi akan mendukung penelitian. 1.6.5 Analisis Data Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Data dan informasi yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif tersebut memberikan pengertian atau suatu gambaran dari suatu gejala atau keadaan tertentu dari objek penelitian. Dalam analisis data ini, data yang dikumpulkan baik melalui wawancara dan studi kepustakaan kemudian disusun, dikelompokan ke dalam kategori tertentu dengan mengacu pada pokok-pokok bahasan yang ditetapkan, selanjutnya dilakukan interpretasi yakni pemberian makna, menjelaskan pola dan kategori juga mencari 24 keterkaitan antara berbagai konsep dengan tujuan agar suatu gejala sosial budaya yang bersifat kompleks akan dapat mendeskripsikan dalam suatu kualitas yang mendekati kenyataan. Analisis data yang dilakukan peneliti sepanjang berlangsungnya penelitian, mulai dari pengumpulan data, pengorganisasian data terjadi satu laporan penelitian, kemudian mengeditnya dan menganalisis sesuai dengan kerangka pikiran yang dipakai, tentunya yang berkenaan dengan data mengenai identitas orang Kampung Bugis di Kelurahan Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan.