4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian 4.1.1. Pengukuran dan analisis kualitas air Hasil pengukuran kualitas air selama masa eksperimen meliputi parameter suhu, salinitas, dan pH serta hasil analisis kualitas air meliputi parameter nitrit dan ammonia. Nilai suhu yang diperoleh berkisar antara 26 oC-28oC, nilai salinitas berkisar antara 32‰-35‰, dan nilai pH yaitu 8. Nilai nitrit yang diperoleh berkisar antara 0,02 mg/L - 0,11 mg/L dan nilai ammonia berkisar antara 0,14 mg/L - 0,42 mg/L. Data hasil pengukuran dan analisis kualitas air secara lengkap disajikan pada Lampiran 4. 4.1.2. Pengamatan visual morfologi anemon dan tingkah laku ikan badut Data hasil pengamatan visual morfologi anemon pada hari ke-0, hari ke-15, dan hari ke-30 menunjukkan bahwa dari keempat parameter yang diamati hanya parameter warna saja yang mengalami fluktuasi, sedangkan ketiga parameter lainnya berada pada kondisi normal (Tabel 2). Anemon akuarium 2 mengalami pemucatan warna yang lebih nyata dibandingkan dengan anemon akuarium 1 (Gambar 6). Dokumentasi semua sampel anemon pada hari ke-0, hari ke-15, dan hari ke-30 dapat dilihat di Lampiran 2. Secara lebih terperinci, data hasil pengamatan visual harian menunjukkan bahwa pada selang waktu pengamatan hari ke-0 hingga hari ke-15 terjadi pemucatan yang diikuti dengan pemulihan warna pada anemon di kedua akuarium, kemudian pada selang waktu pengamatan hari ke-15 hingga hari ke-30, 18 19 anemon pada akuarium 1 warnanya cenderung stabil, sedangkan anemon pada akuarium 2 kembali mengalami pemucatan (Lampiran 3). Tabel 2. Data visual morfologi anemon pada H-0, H-15, dan H-30 Keterangan: Ai (Akuarium ke-i); ai(Anemon ke-i) Pengamatan tingkah laku ikan badut yang dilakukan selama pengamatan visual anemon menunjukkan hasil bahwa ikan badut cenderung berdiam diri di sela-sela tentakel anemon yang diinanginya dan tidak banyak melakukan aktivitas, kecuali saat pemberian pakan untuk ikan badut, ikan akan berenang ke dekat permukaan untuk menangkap makanan, kemudian kembali lagi ke sela-sela tentakel anemon. Saat dokumentasi dan pemberian pakan untuk anemon dilakukan, ikan badut terlihat gelisah disebabkan pinset panjang yang digunakan untuk mengikatkan indikator warna dan menyelipkan pakan anemon diarahkan langsung ke sela-sela tentakel. Ketika hal tersebut terjadi, ikan badut akan terlihat panik dengan berenang ke sembarang arah dan bergerak menukik berkali-kali di 20 antara tentakel anemon atau bersembunyi lebih dalam ke sela-sela tentakel seperti berusaha agar tubuhnya tidak terlihat. Perubahan ukuran tentakel anemon pada akuarium perlakuan menjadi lebih menegang dan menipis dibandingkan dengan anemon pada akuarium kontrol terjadi setiap kali ikan badut berenang dengan tukikan yang dilakukan secara tiba-tiba seperti saat ikan tersebut merasa terganggu. Saat ikan badut bergerak di sekitar tentakel dengan cepat, anemon terlihat menyentakkan oral disc-nya dan tentakelnya berkontraksi, beberapa saat kemudian tentakelnya terlihat menipis. Gambar 6. Anemon 1 akuarium kontrol (atas) dan anemon 1 akuarium perlakuan (bawah) pada hari ke-0 (a), hari ke-15 (b), dan hari ke-30 (c) 21 4.1.3. Pengamatan preparat segar anemon Pengamatan yang dilakukan terhadap preparat segar anemon meliputi pengamatan densitas dan mitotik indeks zooxanthellae. Grafik densitas zooxanthellae memperlihatkan bahwa densitas zooxanthellae anemon pada akuarium kontrol mengalami fluktuasi dimana rata-rata densitas awal zooxanthellae pada hari ke-0 sebesar 2,25x107 ind/cm3, hari ke-15 sebesar 3,25x107 ind/cm3, dan hari ke-30 sebesar 1,29x107 ind/cm3. Densitas zooxanthellae anemon akuarium perlakuan mengalami penurunan dimana ratarata densitas pada hari ke-0 sebesar 4,77x107 ind/cm3, hari ke-15 sebesar 3,32x107 ind/cm3, dan hari ke-30 sebesar 1,24x107 ind/cm3. Grafik densitas segar zooxanthellae akuarium kontrol dan perlakuan disajikan pada Gambar 7. Grafik Mitotik Indeks (MI) zooxanthellae menunjukkan bahwa MI zooxanthellae anemon pada akuarium kontrol dan akuarium perlakuan mengalami fluktuasi, dimana fluktuasi MI yang terjadi pada akuarium kontrol tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan akuarium perlakuan. Rata-rata MI zooxanthellae anemon akuarium kontrol pada hari ke-0 sebesar 1,22%, hari ke-15 sebesar 0,98%, dan hari ke-30 sebesar 1,13%. Rata-rata MI zooxanthellae anemon akuarium perlakuan pada hari ke-0 sebesar 1,62%, hari ke-15 sebesar 0,78 %, dan hari ke-30 sebesar 1,13%. Grafik MI segar zooxanthellae akuarium kontrol dan perlakuan disajikan pada Gambar 8. Berdasarkan hasil analisis statistik uji T dengan dua sampel terpisah, diperoleh hasil bahwa dengan adanya perlakuan ikan badut pada anemon yang dipelihara tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap densitas segar zooxanthellae, dimana p-value yang diperoleh sebesar 0,45. Perlakuan ikan badut 22 juga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap MI segar zooxanthellae, dimana p-value yang diperoleh sebesar 0,78. Rincian hasil pengolahan data untuk Densitas (Ind/cm3) analisis statistik dapat dilihat pada Lampiran 5. 7 9.0E+07 9,0x10 7 8.0E+07 8,0x10 7 7.0E+07 7,0x10 7 6.0E+07 6,0x10 7 5,0x10 5.0E+07 7 4,0x10 4.0E+07 7 3,0x10 3.0E+07 7 2,0x10 2.0E+07 7 1,0x10 1.0E+07 7 0,0x10 0.0E+00 Densitas zooxanthellae akuarium 2 (perlakuan) Densitas zooxanthellae akuarium 1 (Kontrol) = Simpangan baku 0 15 Hari ke- 30 Gambar 7. Grafik densitas segar zooxanthellae pada akuarium 1 (kontrol) dan akuarium 2 (perlakuan) Mitotik indeks (%) 2.5 Mitotik indeks zooxanthellae akuarium 2 (perlakuan) 2 1.5 Mitotik indeks zooxanthellae akuarium 1 (kontrol) 1 0.5 = Simpangan baku 0 0 15 30 Hari ke- Gambar 8. Grafik mitotik indeks segar zooxanthellae pada akuarium 1 (kontrol) dan akuarium 2 (perlakuan) 23 4.1.4. Pengamatan preparat histologi anemon Pengamatan yang dilakukan terhadap preparat histologi anemon meliputi pengamatan densitas dan mitotik indeks zooxanthellae. Grafik densitas zooxanthellae memperlihatkan bahwa densitas zooxanthellae anemon pada akuarium kontrol mengalami peningkatan dimana rata-rata densitas awal zooxanthellae pada hari ke-0 sebesar 6,41x104 ind/cm2, hari ke-15 sebesar 6,71x104 ind/cm2, dan hari ke-30 sebesar 7,72x104 ind/cm2. Densitas zooxanthellae anemon akuarium perlakuan mengalami penurunan dimana ratarata densitas pada hari ke-0 sebesar 4,79x104 ind/cm2, hari ke-15 sebesar 4,34x104 ind/ cm2, dan hari ke-30 sebesar 4,04x104 ind/cm2. Grafik densitas histologi zooxanthellae akuarium kontrol dan perlakuan disajikan pada Gambar 9. Kenampakan preparat histologi pada mikroskop (Gambar 11) menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan yang signifikan dari kenampakan jaringan tentakel maupun individu zooxanthellae, baik pada akuarium kontrol maupun perlakuan. Grafik Mitotik Indeks (MI) zooxanthellae menunjukkan bahwa MI zooxanthellae anemon pada akuarium kontrol mengalami penurunan, dimana ratarata MI pada hari ke-0 sebesar 14,13%, hari ke-15 sebesar 11,83%, dan hari ke-30 sebesar 11,33%. MI zooxanthellae anemon akuarium perlakuan mengalami kenaikan, dimana rata-rata MI pada hari ke-0 sebesar 14,13%, hari ke-15 sebesar 14,33%, dan hari ke-30 sebesar 21,60%. Grafik MI histologi zooxanthellae akuarium kontrol dan perlakuan disajikan pada Gambar 10. Berdasarkan hasil analisis statistik uji T dengan dua sampel terpisah, diperoleh hasil bahwa dengan adanya perlakuan ikan badut pada anemon yang dipelihara memberikan pengaruh yang nyata terhadap densitas histologi 24 zooxanthellae, dimana p-value yang diperoleh sebesar 0,002, tetapi perlakuan ikan badut tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap MI histologi zooxanthellae, dimana p-value yang diperoleh sebesar 0,14. Rincian hasil Densitas (Ind/cm2) pengolahan data untuk analisis statistik dapat dilihat pada Lampiran 5. 100000 90000 80000 70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 Densitas zooxanthellae akuarium 1 Densitas zooxanthellae akuarium 2 = Simpangan baku 0 15 Hari ke- 30 Gambar 9. Grafik densitas histologi zooxanthellae pada akuarium 1 (kontrol) dan akuarium 2 (perlakuan) Mitotik indeks (%) 30.00 Mitotik indeks zooxanthellae akuarium 1 (Kontrol) 25.00 20.00 15.00 Mitotik indeks zooxanthellae akuarium 2 (Perlakuan) 10.00 5.00 = Simpangan baku 0.00 0 15 30 Hari ke- Gambar 10. Grafik mitotik indeks histologi zooxanthellae pada akuarium 1 (kontrol) dan akuarium 2 (perlakuan) Hari ke-0 Hari ke-15 Hari ke-30 Gambar 11. Histologi zooxanthellae pada perbesaran 10x10 dan perbesaran 10x40 pada hari ke-0, 15, dan 30. Kiri: Anemon 2 pada akuarium 1 (kontrol); kanan: Anemon 1 pada akuarium 2 (Perlakuan) 25 26 4.2. Pembahasan 4.2.1. Kondisi kualitas air Kondisi kualitas air pada lingkungan terkontrol dalam masa eksperimen penelitian ini masih berada kisaran aman bagi biota anemon dan ikan badut yang dipelihara. Hal tersebut didasarkan pada penelitian Cervino et al. (2003) yang memelihara anemon dengan parameter kualitas air yang dimonitor berada dalam kisaran berikut : suhu 28 oC, salinitas 35‰, pH 8,10-8,3, nitrit 0,2 mg/L, dan ammonia 0,1 mg/L. Kemudian, Nursaiful (2004) menyatakan bahwa beberapa parameter kualitas air yang ideal bagi pemeliharaan biota laut pada akuarium adalah sebagai berikut : suhu 25 oC-27 oC, salinitas 34‰-36‰, pH 8,2-8,6, nitrit 1,0 mg/L-3 mg/L, dan ammonia 0,1 mg/L-1 mg/L. 4.2.2. Penampakan visual morfologi anemon Penurunan kecerahan warna anemon pada penelitian ini terjadi pada anemon di akuarium kontrol dan perlakuan. Diketahui bahwa perubahan warna menjadi lebih pucat menandakan bahwa anemon mengalami peristiwa bleaching. Bleaching dapat terjadi pada berbagai organisme yang bersimbiosis dengan alga dinoflagellata zooxanthellae (Douglas, 2003). Bleaching didefinisikan sebagai terganggunya simbiosis yang terjadi antara anemon inang dengan alga endosimbiotik zooxanthellae disebabkan terlepasnya alga simbion tersebut dari jaringan anemon dan atau hilangnya pigmen alga tersebut. Bleaching dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, seperti suhu yang tinggi, radiasi, salinitas rendah, sedimen, paparan sianida, penurunan suhu air laut, dan infeksi bakteri. Semua faktor ini dapat menyebabkan bleaching di laboratorium maupun di alam 27 (Hoegh-Guldberg, 1999, Brown, 2000, dan Ben-Haim dan Rosenberg, 2002 in Douglas, 2003). Ulfa (2009) dalam penelitiannya yang menguji ketahanan anemon dengan tiga jenis penyinaran yang berbeda menyatakan bahwa terjadinya bleaching pada anemon yang dipelihara disebabkan perbedaan ketahanan yang dimiliki masingmasing sampel berbeda-beda. Perbedaan ketahanan yang berbeda tersebut dipengaruhi oleh lokasi pengambilan anemon. Anemon yang digunakan diambil langsung dari habitat aslinya dengan lokasi pengambilan yang berbeda-beda yang mempengaruhi pola adaptasi anemon pada lokasi tersebut sehingga tingkat ketahanan anemon terhadap perubahan kondisi lingkungan pun berbeda-beda. Hal tersebut juga terjadi pada penelitian ini, sehingga menjelaskan terjadinya perbedaan kondisi morfologi anemon pada akuarium kontrol dan perlakuan. Warna awal yang terlihat saat hari ke-0 pada anemon di akuarium kontrol dan perlakuan memperihatkan warna anemon pada akuarium kontrol terlihat lebih cerah dibandingkan warna anemon di akuarium perlakuan. Hal tersebut memperlihatkan bahwa anemon pada akuarium kontrol dapat beradaptasi lebih baik dengan kondisi lingkungan sekitarnya dibandingkan dengan anemon pada akuarium perlakuan dilihat dari kestabilan warnanya. 4.2.3. Hubungan simbiosis antara anemon dan ikan badut Berdasarkan data visual yang telah dikemukakan pada subbab hasil, tidak banyak informasi yang diperoleh dari interaksi antara ikan badut dan anemon. Mariscal (1970) menyatakan bahwa ikan badut menerima perlindungan dari serangan predator dengan bersembunyi di antara tentakel anemon yang mengandung nematocyst, dengan menjadi kurang rentan terhadap serangan 28 penyakit, dan dengan mendapatkan makanan yang berasal dari jaringan tubuh mangsa, material buangan, dan krustase simbion anemon. Di sisi lain, anemon laut juga mendapatkan keuntungan yang sama. Selain itu,Hattori (1991), Srinivasan et al. (1999), dan Elliott dan Mariscal (2001) in Shuman, et al.(2005) menjelaskan bahwa terdapat hirarki sosial dalam populasi ikan badut yang menghuni satu individu atau koloni anemon. Hal tersebut terjadi ketika pasangan ikan dewasa dominan akan berusaha untuk mengusir ikan badut lain maupun ikan yang lebih muda (juvenil) dari anemon yang sedang pasangan tersebut inangi. Keadaan berbeda terjadi dalam eksperimen yang dilakukan dalam penelitian ini dimana lingkungan akuarium yang terkontrol, ketersediaan makanan, ketidakberadaan pemangsa bagi anemon dan ikan badut, serta ketidakberadaan pesaing bagi ikan badut untuk memperoleh makanan dan tempat berlindung menjadikan beberapa bentuk interaksi yang terjadi di alam tidak terjadi di akuarium. Interaksi lainnya yang dapat terjadi pada ikan badut dan anemon adalah ikan badut membersihkan sela-sela tentakel anemon dari parasit dan kotoran yang menempel, sehingga mengurangi kemungkinan anemon terserang penyakit (Mariscal, 1970). Hal tersebut tidak dapat dipastikan terjadi dalam penelitian ini dikarenakan lama waktu pengamatan yang terbilang singkat yang hanya dilakukan bersamaan dengan waktu pengamatan morfologi anemon. Perbedaan kenampakan tentakel terjadi antara anemon kontrol dengan anemon perlakuan. Anemon yang diinangi oleh ikan badut (perlakuan) terlihat lebih menegang dan menipis dibandingkan anemon yang tidak diinangi oleh ikan badut, terutama saat ikan badut bergerak aktif di sela-sela tentakel. Madhu, et al. (2009) dalam penelitiannya yang memelihara tiga jenis anemon bersamaan 29 dengan ikan badut A. ocellaris memperlihatkan hasil bahwa tentakel anemon yang bukan merupakan simbion ikan tersebut mengecil selama tersentuh oleh ikan yang berenang di sekitar tentakel. Hal tersebut disebabkan pelepasan senyawa cnida (penyengat) dari tentakel.Hal berbeda terjadi pada penelitian ini, dimana ikan badut yang dipelihara terlihat nyaman tinggal di anemon. Ikan tidak terpengaruh oleh sengatan anemon karena dapat bergerak dengan bebas dan berdiam diri di sela-sela tentakel. Hal ini dilaporkan sebagai kemampuan yang telah dimiliki oleh ikan A. clarkii sejak lahir untuk dapat bertahan dari sengatan anemon (Fukui, 1973; Miyagawa dan Hidaka, 1980 in Madhu, et al. 2009). 4.2.4. Densitas dan mitotik indeks zooxanthellae anemon Setelah dilakukan eksperimen dengan memberikan perlakuan ikan badut terhadap anemon yang dipelihara, diperoleh hasil bahwa perubahan densitas kearah negatif terjadi pada anemon yang diberi perlakuan ikan badut (Tabel 3). Jika dilihat dari hasil analisis statistiknya, dapat diketahui bahwa pada lingkup pengamatan per luasan tentakel terdapat pengaruh nyata dari pemberian ikan badut terhadap ketahanan anemon, tetapi pada lingkup pengamatan yang lebih luas (per volume tentakel) tidak terdapat pengaruh nyatadari pemberian ikan badut tersebut. Penelitian sebelumnya yang mengkaji tentang interaksi antara ikan badut dan anemon memiliki waktu eksperimen lebih dari satu bulan. Holbrook dan Smith (2003) melakukan penelitian yang mengkaji pertumbuhan, reproduksi, dan ketahanan anemon yang hidup bersama dengan ikan badut di habitat aslinya selama 36 bulan (tiga tahun). Kemudian, Roopin dan Cadwick (2009) yang mengkaji dampak positif dari ammonia yang dihasilkan ikan badut terhadap kondisi anemon dan endosimbion zooxanthellae pada lingkungan terkontrol dalam 30 waktu dua bulan penelitian dan tiga minggu waktu tambahan dengan waktu aklimatisasi anemon dan ikan badut selama empat bulan memperoleh hasil yang menunjukkan bahwa anemon dengan perlakuan ikan badut tidak mengalami perubahan densitas zooxanthellae yang signifikan pada tiga minggu pertama eksperimen dan mengalami peningkatan densitas yang signifikan pada minggu ke6 hingga minggu ke-8 eksperimen. Tabel 3. Data perubahan densitas dan mitotik indeks zooxanthellae akuarium kontrol dan perlakuan selama masa eksperimen Densitas Mitotik Indeks Rata-Rata Preparat Preparat Sampel/ Preparat Preparat Segar Histologi Akuarium Segar (%) Histologi (%) (ind/cm3) (ind/cm2) H15-H0 9.970.545 2979 -0,24 -2,27 A1 H30-H15 -19.630.538 10104 0,16 -0,53 H15-H0 -14.453.980 -4458 -0,84 0,2 A2 H30-H15 -20.843.254 -3104 0,36 7,3 Ket: A1: Akuarium Kontrol; A2: Akuarium Perlakuan H0: Hari ke-0; H15: Hari ke-15; H30: Hari ke-30 Daya adaptasi anemon yang baik terhadap kondisi terkontrol dan kondisi anemon yang sehat pada awal eksperimen sangat berpengaruh terhadap hasil eksperimen yang dipelihara. Densitas zooxanthellae pada akuarium perlakuan terlihat menurun baik pada preparat segar maupun preparat histologis. Hal ini menunjukkan bahwa daya adaptasi anemon akuarim perlakuan lebih rendah dibandingkan dengan akuarium kontrol. Roopin dan Chadwick (2009) menggunakan sampel anemon untuk eksperimen yang diambil dari anemon hasil pengembangbiakan pada lingkungan terkontrol sehingga anemon tersebut dapat lebih beradaptasi terhadap lingkungan pemeliharaan yang terkontrol saat penelitian dilakukan. 31 Keberadaan ikan badut yang terlihat belum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap ketahanan anemon dalam penelitian ini juga dapat dikaitkan dengan jumlah ikan badut yang dipasangkan dengan anemon yang dipelihara. Holbrook dan Smith (2003) dalam penelitiannya berkesimpulan bahwa anemon yang hidup bersimbiosis dengan dua ikan badut memiliki tingkat ketahanan yang lebih tinggi (tingkat kematian 7%) dibandingkan dengan anemon yang bersimbiosis dengan satu ikan badut (tingkat kematian 14%). Anemon bukan merupakan simbion obligat ikan badut di habitat aslinya, sehingga dapat bertahan hidup tanpa ikan badut (Godwin dan Fautin, 1992, Fautin dan Allen, 1997 in Roopin dan Chadwick, 2009). Saat dipelihara di akuarium, keduanya dapat hidup terpisah (Fautin and Allen,1997 in Roopin dan Chadwick, 2009) Mitotik indeks (MI) merupakan kecepatan pembelahan sel yang dinyatakan dalam persentase sel yang mengalami pembelahan di dalam populasi zooxanthellae (Manuputty, 1999). Penghitungan MI pada zooxanthellae diketahui bertujuan untuk mengestimasi secara kuantitatif tingkat stress pada coelenterata maupun sebagai pengklarifikasi hubungan antara respon MI terhadap paparan polutan spesifik (Brown, 1988 in Brown dan Zamani, 1992). Proses pembelahan mitosis yang terjadi pada zooxanthellae menyeimbangkan proses degradasi populasi yang terjadi pada organisme tersebut (Titlyanov, 1996). Hal tersebut terlihat pada penelitian ini, dimana anemon yang mengalami degradasi densitas akan senantiasa mengalami peningkatan pada nilai MI-nya. Jika dilihat pada tabel perubahan densitas dan MI pada zooxanthellae, fluktuasi MI pada zooxanthellae tidak terlalu signifikan (perubahan maksimum yang terjadi yaitu kenaikan mitotik indeks sebesar 7,3%). Penelitian terdahulu 32 yang dilakukan Roopin dan Chadwick (2009) memperlihatkan bahwa perubahan maksimum nilai MI yang terjadi pada anemon yang dipelihara yaitu ± 2%. Hal tersebut kemudian disimpulkan sebagai perubahan nilai MI yang tidak dipengaruhi oleh keberadaan ikan badut berdasarkan pengujian statistik dengan hasil tidak ada perbedaan yang nyata antara MI anemon yang dipasangkan dengan ikan badut dengan MI anemon yang tidak dipasangkan dengan ikan badut ( pvalue yang diperoleh sebesar 0,097). Smith dan Muscatine (1999) inRoopin dan Chadwick (2009) menyatakan bahwa satu mekanisme saja tidak dapat mempengaruhi keberadaan populasi dari zooxanthellae, terdapat sebuah kombinasi antara proses interaksi pengaturan populasi zooxanthellae dengan kondisi metabolik dan dengan ketersediaan nutrien di lingkungan eksternal tubuh anemon. Kemudian berdasarkan hasil penelitiannya, Roopin dan Chadwick (2009) menyatakan bahwa peningkatan MI pada zooxanthellae dengan bantuan asupan senyawa ammonia dari lingkungan eksternal maupun dari produk ekskresi ikan badut dilakukan untuk menunda menurunnya populasi zooxanthellae yang disebabkan kelaparan yang dialami anemon. Saat tingkat pertumbuhan alga kembali ke keadaan normal, peningkatan densitas zooxanthellae yang teramati diasumsikan terjadi karena adanya kombinasi antara hilangnya jaringan tubuh anemon (berkurangnya habitat zooxanthellae) dengan proses pengaturan tingginya densitas zooxanthellae hasil dari pengubahan status nutrisi, kemungkinan dengan cara mengurangi tingkat kematian sel, proses mencerna sel, dan atau proses pengeluaran sel dari jaringan tubuh.