4. hasil dan pembahasan

advertisement
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
4.1.1. Pengukuran dan analisis kualitas air
Hasil pengukuran kualitas air selama masa eksperimen meliputi parameter
suhu, salinitas, dan pH serta hasil analisis kualitas air meliputi parameter nitrit dan
ammonia. Nilai suhu yang diperoleh berkisar antara 26 oC-28oC, nilai salinitas
berkisar antara 32‰-35‰, dan nilai pH yaitu 8. Nilai nitrit yang diperoleh
berkisar antara 0,02 mg/L - 0,11 mg/L dan nilai ammonia berkisar antara 0,14
mg/L - 0,42 mg/L. Data hasil pengukuran dan analisis kualitas air secara lengkap
disajikan pada Lampiran 4.
4.1.2. Pengamatan visual morfologi anemon dan tingkah laku ikan badut
Data hasil pengamatan visual morfologi anemon pada hari ke-0, hari ke-15,
dan hari ke-30 menunjukkan bahwa dari keempat parameter yang diamati hanya
parameter warna saja yang mengalami fluktuasi, sedangkan ketiga parameter
lainnya berada pada kondisi normal (Tabel 2). Anemon akuarium 2 mengalami
pemucatan warna yang lebih nyata dibandingkan dengan anemon akuarium 1
(Gambar 6). Dokumentasi semua sampel anemon pada hari ke-0, hari ke-15, dan
hari ke-30 dapat dilihat di Lampiran 2.
Secara lebih terperinci, data hasil pengamatan visual harian menunjukkan
bahwa pada selang waktu pengamatan hari ke-0 hingga hari ke-15 terjadi
pemucatan yang diikuti dengan pemulihan warna pada anemon di kedua
akuarium, kemudian pada selang waktu pengamatan hari ke-15 hingga hari ke-30,
18
19
anemon pada akuarium 1 warnanya cenderung stabil, sedangkan anemon pada
akuarium 2 kembali mengalami pemucatan (Lampiran 3).
Tabel 2. Data visual morfologi anemon pada H-0, H-15, dan H-30
Keterangan: Ai (Akuarium ke-i); ai(Anemon ke-i)
Pengamatan tingkah laku ikan badut yang dilakukan selama pengamatan
visual anemon menunjukkan hasil bahwa ikan badut cenderung berdiam diri di
sela-sela tentakel anemon yang diinanginya dan tidak banyak melakukan aktivitas,
kecuali saat pemberian pakan untuk ikan badut, ikan akan berenang ke dekat
permukaan untuk menangkap makanan, kemudian kembali lagi ke sela-sela
tentakel anemon. Saat dokumentasi dan pemberian pakan untuk anemon
dilakukan, ikan badut terlihat gelisah disebabkan pinset panjang yang digunakan
untuk mengikatkan indikator warna dan menyelipkan pakan anemon diarahkan
langsung ke sela-sela tentakel. Ketika hal tersebut terjadi, ikan badut akan terlihat
panik dengan berenang ke sembarang arah dan bergerak menukik berkali-kali di
20
antara tentakel anemon atau bersembunyi lebih dalam ke sela-sela tentakel seperti
berusaha agar tubuhnya tidak terlihat. Perubahan ukuran tentakel anemon pada
akuarium perlakuan menjadi lebih menegang dan menipis dibandingkan dengan
anemon pada akuarium kontrol terjadi setiap kali ikan badut berenang dengan
tukikan yang dilakukan secara tiba-tiba seperti saat ikan tersebut merasa
terganggu. Saat ikan badut bergerak di sekitar tentakel dengan cepat, anemon
terlihat menyentakkan oral disc-nya dan tentakelnya berkontraksi, beberapa saat
kemudian tentakelnya terlihat menipis.
Gambar 6. Anemon 1 akuarium kontrol (atas) dan anemon 1 akuarium perlakuan
(bawah) pada hari ke-0 (a), hari ke-15 (b), dan hari ke-30 (c)
21
4.1.3. Pengamatan preparat segar anemon
Pengamatan yang dilakukan terhadap preparat segar anemon meliputi
pengamatan densitas dan mitotik indeks zooxanthellae. Grafik densitas
zooxanthellae memperlihatkan bahwa densitas zooxanthellae anemon pada
akuarium kontrol mengalami fluktuasi dimana rata-rata densitas awal
zooxanthellae pada hari ke-0 sebesar 2,25x107 ind/cm3, hari ke-15 sebesar
3,25x107 ind/cm3, dan hari ke-30 sebesar 1,29x107 ind/cm3. Densitas
zooxanthellae anemon akuarium perlakuan mengalami penurunan dimana ratarata densitas pada hari ke-0 sebesar 4,77x107 ind/cm3, hari ke-15 sebesar 3,32x107
ind/cm3, dan hari ke-30 sebesar 1,24x107 ind/cm3. Grafik densitas segar
zooxanthellae akuarium kontrol dan perlakuan disajikan pada Gambar 7.
Grafik Mitotik Indeks (MI) zooxanthellae menunjukkan bahwa MI
zooxanthellae anemon pada akuarium kontrol dan akuarium perlakuan
mengalami fluktuasi, dimana fluktuasi MI yang terjadi pada akuarium kontrol
tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan akuarium perlakuan. Rata-rata MI
zooxanthellae anemon akuarium kontrol pada hari ke-0 sebesar 1,22%, hari ke-15
sebesar 0,98%, dan hari ke-30 sebesar 1,13%. Rata-rata MI zooxanthellae anemon
akuarium perlakuan pada hari ke-0 sebesar 1,62%, hari ke-15 sebesar 0,78 %, dan
hari ke-30 sebesar 1,13%. Grafik MI segar zooxanthellae akuarium kontrol dan
perlakuan disajikan pada Gambar 8.
Berdasarkan hasil analisis statistik uji T dengan dua sampel terpisah,
diperoleh hasil bahwa dengan adanya perlakuan ikan badut pada anemon yang
dipelihara tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap densitas segar
zooxanthellae, dimana p-value yang diperoleh sebesar 0,45. Perlakuan ikan badut
22
juga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap MI segar zooxanthellae,
dimana p-value yang diperoleh sebesar 0,78. Rincian hasil pengolahan data untuk
Densitas (Ind/cm3)
analisis statistik dapat dilihat pada Lampiran 5.
7
9.0E+07
9,0x10
7
8.0E+07
8,0x10
7
7.0E+07
7,0x10
7
6.0E+07
6,0x10
7
5,0x10
5.0E+07
7
4,0x10
4.0E+07
7
3,0x10
3.0E+07
7
2,0x10
2.0E+07
7
1,0x10
1.0E+07
7
0,0x10
0.0E+00
Densitas zooxanthellae
akuarium 2 (perlakuan)
Densitas zooxanthellae
akuarium 1 (Kontrol)
= Simpangan baku
0
15
Hari ke-
30
Gambar 7. Grafik densitas segar zooxanthellae pada akuarium 1 (kontrol) dan
akuarium 2 (perlakuan)
Mitotik indeks (%)
2.5
Mitotik indeks
zooxanthellae
akuarium 2
(perlakuan)
2
1.5
Mitotik indeks
zooxanthellae
akuarium 1 (kontrol)
1
0.5
= Simpangan baku
0
0
15
30
Hari ke-
Gambar 8. Grafik mitotik indeks segar zooxanthellae pada akuarium 1 (kontrol)
dan akuarium 2 (perlakuan)
23
4.1.4. Pengamatan preparat histologi anemon
Pengamatan yang dilakukan terhadap preparat histologi anemon meliputi
pengamatan densitas dan mitotik indeks zooxanthellae. Grafik densitas
zooxanthellae memperlihatkan bahwa densitas zooxanthellae anemon pada
akuarium kontrol mengalami peningkatan dimana rata-rata densitas awal
zooxanthellae pada hari ke-0 sebesar 6,41x104 ind/cm2, hari ke-15 sebesar
6,71x104 ind/cm2, dan hari ke-30 sebesar 7,72x104 ind/cm2. Densitas
zooxanthellae anemon akuarium perlakuan mengalami penurunan dimana ratarata densitas pada hari ke-0 sebesar 4,79x104 ind/cm2, hari ke-15 sebesar 4,34x104
ind/ cm2, dan hari ke-30 sebesar 4,04x104 ind/cm2. Grafik densitas histologi
zooxanthellae akuarium kontrol dan perlakuan disajikan pada Gambar 9.
Kenampakan preparat histologi pada mikroskop (Gambar 11) menunjukkan
bahwa tidak terjadi perubahan yang signifikan dari kenampakan jaringan tentakel
maupun individu zooxanthellae, baik pada akuarium kontrol maupun perlakuan.
Grafik Mitotik Indeks (MI) zooxanthellae menunjukkan bahwa MI
zooxanthellae anemon pada akuarium kontrol mengalami penurunan, dimana ratarata MI pada hari ke-0 sebesar 14,13%, hari ke-15 sebesar 11,83%, dan hari ke-30
sebesar 11,33%. MI zooxanthellae anemon akuarium perlakuan mengalami
kenaikan, dimana rata-rata MI pada hari ke-0 sebesar 14,13%, hari ke-15 sebesar
14,33%, dan hari ke-30 sebesar 21,60%. Grafik MI histologi zooxanthellae
akuarium kontrol dan perlakuan disajikan pada Gambar 10.
Berdasarkan hasil analisis statistik uji T dengan dua sampel terpisah,
diperoleh hasil bahwa dengan adanya perlakuan ikan badut pada anemon yang
dipelihara memberikan pengaruh yang nyata terhadap densitas histologi
24
zooxanthellae, dimana p-value yang diperoleh sebesar 0,002, tetapi perlakuan ikan
badut tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap MI histologi
zooxanthellae, dimana p-value yang diperoleh sebesar 0,14. Rincian hasil
Densitas (Ind/cm2)
pengolahan data untuk analisis statistik dapat dilihat pada Lampiran 5.
100000
90000
80000
70000
60000
50000
40000
30000
20000
10000
0
Densitas
zooxanthellae
akuarium 1
Densitas
zooxanthellae
akuarium 2
= Simpangan baku
0
15
Hari ke-
30
Gambar 9. Grafik densitas histologi zooxanthellae pada akuarium 1 (kontrol) dan
akuarium 2 (perlakuan)
Mitotik indeks (%)
30.00
Mitotik indeks
zooxanthellae
akuarium 1 (Kontrol)
25.00
20.00
15.00
Mitotik indeks
zooxanthellae
akuarium 2
(Perlakuan)
10.00
5.00
= Simpangan baku
0.00
0
15
30
Hari ke-
Gambar 10. Grafik mitotik indeks histologi zooxanthellae pada akuarium 1
(kontrol) dan akuarium 2 (perlakuan)
Hari ke-0
Hari ke-15
Hari ke-30
Gambar 11. Histologi zooxanthellae pada perbesaran 10x10 dan perbesaran 10x40 pada hari ke-0, 15, dan 30. Kiri: Anemon 2 pada
akuarium 1 (kontrol); kanan: Anemon 1 pada akuarium 2 (Perlakuan)
25
26
4.2. Pembahasan
4.2.1. Kondisi kualitas air
Kondisi kualitas air pada lingkungan terkontrol dalam masa eksperimen
penelitian ini masih berada kisaran aman bagi biota anemon dan ikan badut yang
dipelihara. Hal tersebut didasarkan pada penelitian Cervino et al. (2003) yang
memelihara anemon dengan parameter kualitas air yang dimonitor berada dalam
kisaran berikut : suhu 28 oC, salinitas 35‰, pH 8,10-8,3, nitrit 0,2 mg/L, dan
ammonia 0,1 mg/L. Kemudian, Nursaiful (2004) menyatakan bahwa beberapa
parameter kualitas air yang ideal bagi pemeliharaan biota laut pada akuarium
adalah sebagai berikut : suhu 25 oC-27 oC, salinitas 34‰-36‰, pH 8,2-8,6, nitrit
1,0 mg/L-3 mg/L, dan ammonia 0,1 mg/L-1 mg/L.
4.2.2. Penampakan visual morfologi anemon
Penurunan kecerahan warna anemon pada penelitian ini terjadi pada anemon
di akuarium kontrol dan perlakuan. Diketahui bahwa perubahan warna menjadi
lebih pucat menandakan bahwa anemon mengalami peristiwa bleaching.
Bleaching dapat terjadi pada berbagai organisme yang bersimbiosis dengan alga
dinoflagellata zooxanthellae (Douglas, 2003). Bleaching didefinisikan sebagai
terganggunya simbiosis yang terjadi antara anemon inang dengan alga
endosimbiotik zooxanthellae disebabkan terlepasnya alga simbion tersebut dari
jaringan anemon dan atau hilangnya pigmen alga tersebut. Bleaching dapat
disebabkan oleh berbagai macam faktor, seperti suhu yang tinggi, radiasi, salinitas
rendah, sedimen, paparan sianida, penurunan suhu air laut, dan infeksi bakteri.
Semua faktor ini dapat menyebabkan bleaching di laboratorium maupun di alam
27
(Hoegh-Guldberg, 1999, Brown, 2000, dan Ben-Haim dan Rosenberg, 2002 in
Douglas, 2003).
Ulfa (2009) dalam penelitiannya yang menguji ketahanan anemon dengan
tiga jenis penyinaran yang berbeda menyatakan bahwa terjadinya bleaching pada
anemon yang dipelihara disebabkan perbedaan ketahanan yang dimiliki masingmasing sampel berbeda-beda. Perbedaan ketahanan yang berbeda tersebut
dipengaruhi oleh lokasi pengambilan anemon. Anemon yang digunakan diambil
langsung dari habitat aslinya dengan lokasi pengambilan yang berbeda-beda yang
mempengaruhi pola adaptasi anemon pada lokasi tersebut sehingga tingkat
ketahanan anemon terhadap perubahan kondisi lingkungan pun berbeda-beda. Hal
tersebut juga terjadi pada penelitian ini, sehingga menjelaskan terjadinya
perbedaan kondisi morfologi anemon pada akuarium kontrol dan perlakuan.
Warna awal yang terlihat saat hari ke-0 pada anemon di akuarium kontrol dan
perlakuan memperihatkan warna anemon pada akuarium kontrol terlihat lebih
cerah dibandingkan warna anemon di akuarium perlakuan. Hal tersebut
memperlihatkan bahwa anemon pada akuarium kontrol dapat beradaptasi lebih
baik dengan kondisi lingkungan sekitarnya dibandingkan dengan anemon pada
akuarium perlakuan dilihat dari kestabilan warnanya.
4.2.3. Hubungan simbiosis antara anemon dan ikan badut
Berdasarkan data visual yang telah dikemukakan pada subbab hasil, tidak
banyak informasi yang diperoleh dari interaksi antara ikan badut dan anemon.
Mariscal (1970) menyatakan bahwa ikan badut menerima perlindungan dari
serangan predator dengan bersembunyi di antara tentakel anemon yang
mengandung nematocyst, dengan menjadi kurang rentan terhadap serangan
28
penyakit, dan dengan mendapatkan makanan yang berasal dari jaringan tubuh
mangsa, material buangan, dan krustase simbion anemon. Di sisi lain, anemon laut
juga mendapatkan keuntungan yang sama. Selain itu,Hattori (1991), Srinivasan et
al. (1999), dan Elliott dan Mariscal (2001) in Shuman, et al.(2005) menjelaskan
bahwa terdapat hirarki sosial dalam populasi ikan badut yang menghuni satu
individu atau koloni anemon. Hal tersebut terjadi ketika pasangan ikan dewasa
dominan akan berusaha untuk mengusir ikan badut lain maupun ikan yang lebih
muda (juvenil) dari anemon yang sedang pasangan tersebut inangi. Keadaan
berbeda terjadi dalam eksperimen yang dilakukan dalam penelitian ini dimana
lingkungan akuarium yang terkontrol, ketersediaan makanan, ketidakberadaan
pemangsa bagi anemon dan ikan badut, serta ketidakberadaan pesaing bagi ikan
badut untuk memperoleh makanan dan tempat berlindung menjadikan beberapa
bentuk interaksi yang terjadi di alam tidak terjadi di akuarium.
Interaksi lainnya yang dapat terjadi pada ikan badut dan anemon adalah ikan
badut membersihkan sela-sela tentakel anemon dari parasit dan kotoran yang
menempel, sehingga mengurangi kemungkinan anemon terserang penyakit
(Mariscal, 1970). Hal tersebut tidak dapat dipastikan terjadi dalam penelitian ini
dikarenakan lama waktu pengamatan yang terbilang singkat yang hanya dilakukan
bersamaan dengan waktu pengamatan morfologi anemon.
Perbedaan kenampakan tentakel terjadi antara anemon kontrol dengan
anemon perlakuan. Anemon yang diinangi oleh ikan badut (perlakuan) terlihat
lebih menegang dan menipis dibandingkan anemon yang tidak diinangi oleh ikan
badut, terutama saat ikan badut bergerak aktif di sela-sela tentakel. Madhu, et al.
(2009) dalam penelitiannya yang memelihara tiga jenis anemon bersamaan
29
dengan ikan badut A. ocellaris memperlihatkan hasil bahwa tentakel anemon yang
bukan merupakan simbion ikan tersebut mengecil selama tersentuh oleh ikan yang
berenang di sekitar tentakel. Hal tersebut disebabkan pelepasan senyawa cnida
(penyengat) dari tentakel.Hal berbeda terjadi pada penelitian ini, dimana ikan
badut yang dipelihara terlihat nyaman tinggal di anemon. Ikan tidak terpengaruh
oleh sengatan anemon karena dapat bergerak dengan bebas dan berdiam diri di
sela-sela tentakel. Hal ini dilaporkan sebagai kemampuan yang telah dimiliki oleh
ikan A. clarkii sejak lahir untuk dapat bertahan dari sengatan anemon (Fukui,
1973; Miyagawa dan Hidaka, 1980 in Madhu, et al. 2009).
4.2.4. Densitas dan mitotik indeks zooxanthellae anemon
Setelah dilakukan eksperimen dengan memberikan perlakuan ikan badut
terhadap anemon yang dipelihara, diperoleh hasil bahwa perubahan densitas
kearah negatif terjadi pada anemon yang diberi perlakuan ikan badut (Tabel 3).
Jika dilihat dari hasil analisis statistiknya, dapat diketahui bahwa pada lingkup
pengamatan per luasan tentakel terdapat pengaruh nyata dari pemberian ikan
badut terhadap ketahanan anemon, tetapi pada lingkup pengamatan yang lebih
luas (per volume tentakel) tidak terdapat pengaruh nyatadari pemberian ikan badut
tersebut. Penelitian sebelumnya yang mengkaji tentang interaksi antara ikan badut
dan anemon memiliki waktu eksperimen lebih dari satu bulan. Holbrook dan
Smith (2003) melakukan penelitian yang mengkaji pertumbuhan, reproduksi, dan
ketahanan anemon yang hidup bersama dengan ikan badut di habitat aslinya
selama 36 bulan (tiga tahun). Kemudian, Roopin dan Cadwick (2009) yang
mengkaji dampak positif dari ammonia yang dihasilkan ikan badut terhadap
kondisi anemon dan endosimbion zooxanthellae pada lingkungan terkontrol dalam
30
waktu dua bulan penelitian dan tiga minggu waktu tambahan dengan waktu
aklimatisasi anemon dan ikan badut selama empat bulan memperoleh hasil yang
menunjukkan bahwa anemon dengan perlakuan ikan badut tidak mengalami
perubahan densitas zooxanthellae yang signifikan pada tiga minggu pertama
eksperimen dan mengalami peningkatan densitas yang signifikan pada minggu ke6 hingga minggu ke-8 eksperimen.
Tabel 3. Data perubahan densitas dan mitotik indeks zooxanthellae akuarium
kontrol dan perlakuan selama masa eksperimen
Densitas
Mitotik Indeks
Rata-Rata
Preparat
Preparat
Sampel/
Preparat
Preparat
Segar
Histologi
Akuarium
Segar (%)
Histologi (%)
(ind/cm3)
(ind/cm2)
H15-H0
9.970.545
2979
-0,24
-2,27
A1
H30-H15
-19.630.538
10104
0,16
-0,53
H15-H0
-14.453.980
-4458
-0,84
0,2
A2
H30-H15
-20.843.254
-3104
0,36
7,3
Ket: A1: Akuarium Kontrol; A2: Akuarium Perlakuan
H0: Hari ke-0; H15: Hari ke-15; H30: Hari ke-30
Daya adaptasi anemon yang baik terhadap kondisi terkontrol dan kondisi
anemon yang sehat pada awal eksperimen sangat berpengaruh terhadap hasil
eksperimen yang dipelihara. Densitas zooxanthellae pada akuarium perlakuan
terlihat menurun baik pada preparat segar maupun preparat histologis. Hal ini
menunjukkan bahwa daya adaptasi anemon akuarim perlakuan lebih rendah
dibandingkan dengan akuarium kontrol. Roopin dan Chadwick (2009)
menggunakan sampel anemon untuk eksperimen yang diambil dari anemon hasil
pengembangbiakan pada lingkungan terkontrol sehingga anemon tersebut dapat
lebih beradaptasi terhadap lingkungan pemeliharaan yang terkontrol saat
penelitian dilakukan.
31
Keberadaan ikan badut yang terlihat belum memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap ketahanan anemon dalam penelitian ini juga dapat dikaitkan
dengan jumlah ikan badut yang dipasangkan dengan anemon yang dipelihara.
Holbrook dan Smith (2003) dalam penelitiannya berkesimpulan bahwa anemon
yang hidup bersimbiosis dengan dua ikan badut memiliki tingkat ketahanan yang
lebih tinggi (tingkat kematian 7%) dibandingkan dengan anemon yang
bersimbiosis dengan satu ikan badut (tingkat kematian 14%). Anemon bukan
merupakan simbion obligat ikan badut di habitat aslinya, sehingga dapat bertahan
hidup tanpa ikan badut (Godwin dan Fautin, 1992, Fautin dan Allen, 1997 in
Roopin dan Chadwick, 2009). Saat dipelihara di akuarium, keduanya dapat hidup
terpisah (Fautin and Allen,1997 in Roopin dan Chadwick, 2009)
Mitotik indeks (MI) merupakan kecepatan pembelahan sel yang dinyatakan
dalam persentase sel yang mengalami pembelahan di dalam populasi
zooxanthellae (Manuputty, 1999). Penghitungan MI pada zooxanthellae diketahui
bertujuan untuk mengestimasi secara kuantitatif tingkat stress pada coelenterata
maupun sebagai pengklarifikasi hubungan antara respon MI terhadap paparan
polutan spesifik (Brown, 1988 in Brown dan Zamani, 1992).
Proses pembelahan mitosis yang terjadi pada zooxanthellae menyeimbangkan
proses degradasi populasi yang terjadi pada organisme tersebut (Titlyanov, 1996).
Hal tersebut terlihat pada penelitian ini, dimana anemon yang mengalami
degradasi densitas akan senantiasa mengalami peningkatan pada nilai MI-nya.
Jika dilihat pada tabel perubahan densitas dan MI pada zooxanthellae,
fluktuasi MI pada zooxanthellae tidak terlalu signifikan (perubahan maksimum
yang terjadi yaitu kenaikan mitotik indeks sebesar 7,3%). Penelitian terdahulu
32
yang dilakukan Roopin dan Chadwick (2009) memperlihatkan bahwa perubahan
maksimum nilai MI yang terjadi pada anemon yang dipelihara yaitu ± 2%. Hal
tersebut kemudian disimpulkan sebagai perubahan nilai MI yang tidak
dipengaruhi oleh keberadaan ikan badut berdasarkan pengujian statistik dengan
hasil tidak ada perbedaan yang nyata antara MI anemon yang dipasangkan dengan
ikan badut dengan MI anemon yang tidak dipasangkan dengan ikan badut ( pvalue yang diperoleh sebesar 0,097). Smith dan Muscatine (1999) inRoopin dan
Chadwick (2009) menyatakan bahwa satu mekanisme saja tidak dapat
mempengaruhi keberadaan populasi dari zooxanthellae, terdapat sebuah
kombinasi antara proses interaksi pengaturan populasi zooxanthellae dengan
kondisi metabolik dan dengan ketersediaan nutrien di lingkungan eksternal tubuh
anemon. Kemudian berdasarkan hasil penelitiannya, Roopin dan Chadwick (2009)
menyatakan bahwa peningkatan MI pada zooxanthellae dengan bantuan asupan
senyawa ammonia dari lingkungan eksternal maupun dari produk ekskresi ikan
badut dilakukan untuk menunda menurunnya populasi zooxanthellae yang
disebabkan kelaparan yang dialami anemon. Saat tingkat pertumbuhan alga
kembali ke keadaan normal, peningkatan densitas zooxanthellae yang teramati
diasumsikan terjadi karena adanya kombinasi antara hilangnya jaringan tubuh
anemon (berkurangnya habitat zooxanthellae) dengan proses pengaturan tingginya
densitas zooxanthellae hasil dari pengubahan status nutrisi, kemungkinan dengan
cara mengurangi tingkat kematian sel, proses mencerna sel, dan atau proses
pengeluaran sel dari jaringan tubuh.
Download