BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Selulosa Selulosa

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Selulosa
Selulosa merupakan polimer linier glukan dengan struktur rantai yang
seragam. Unit – unit terikat dengan ikatan β – 1,4 glikosidik. Dua unit
glukosa yang berdekatan bersatu dengan mengeliminasi satu molekul air di
antara gugus hidroksil pada karbon 1 dan karbon 4 (Fengel dan Wegener,
1984). Selulosa mempunyai bobot molekul yang sangat bervariasi berkisar
antara 50.000 hingga 2,5 juta bergantung pada sumbernya. Ukuran panjang
rantai molekul selulosa dinyatakan sebagai derajat polimerasi (DP). Derajat
polimerasi dihitung dengan cara membagi bobot selulosa dengan bobot
molekul glukosa (Fengel dan Wegener, 1984). Menurut Sjostrom (1981)
perlakuan fisik dan kimia yang intensif dapat menurunkan derajat polimerasi
selulosa. Sifat polimer ditentukan oleh panjang rantai molekul dari polimer
itu sendiri.
o
o
Gambar 1. Struktur Selulosa
(Fengel dan Wegener, 1984)
Polimer selulosa terdiri atas 2 bagian, yaitu bagian dengan susunan
rantai yang teratur (kristalin) dan bagian dengan susunan rantai yang tidak
teratur (amorf). Derajat kristalinitas suatu polimer berpengaruh besar terhadap
sifat polimer yang terkait dengan penggunaannya. Pada umumnya selulosa
bersifat relatif kristalin (Sjostrom, 1981). Morfologi selulosa mempunyai
pengaruh besar terhadap reaktifitasnya. Reaktifitas selulosa juga dipengaruhi
oleh kehalusan struktur selulosa.
B. Selulosa Mikrobial dan Biosintesis
Selulosa mikrobial merupakan jenis selulosa yang dihasilkan oleh
mikroorganisme seperti genus Acetobacter, Agrobacterium, Rhizobium,
Sarcina, dan Valonia (Yamanaka et al., 1989). Namun, Penghasil selulosa
mikrobial yang paling efisisen adalah dari genus Acetobacter terutama bakteri
Acetobacter xylinum (Brown, 1987). Acetobacter xylinum merupakan bakteri
gram negatif yang menghasilkan serat – serat ultrafine selulosa sehingga
dapat membantuk suatu jaringan pada permukaan antara udara dan cairan
yang disebut pelikel (nata). Tebal pelikel yang dihasilkan sekitar 10 mm
tergantung oleh masa pertumbuhan mikroba. Acetobacter xylinum ini akan
mensintesis selulosa dari beberapa sumber karbon seperti glukosa, fruktosa,
pentose, dan beberapa senyawa asam seperti asam asetat, asam piruvat,
gliserol dan dihidroksi aseton (Benziman, 1982).
Acetobacter xylinum dapat mengubah 19 persen gula menjadi
selulosa. Selulosa yang terbentuk merupakan benang – benang yang bersamasama dengan polisakarida berlendir membentuk suatu lapisan tebal atau
pelikel (Thiman dan Kenneth, 1955). Enzim yang berperan pada biosintesis
selulosa oleh bakteri adalah cellulose synthase yang terdapat dalam membran
sel bakteri (Williams dan Cannon, 1989). Hassid dan Basllow (1970)
menyatakan bahwa polisakarida bakteri yang dibentuk oleh enzim – enzim
bakteri Acetobacter xylinum berasal dari suatu perkusor yang berikatan
dengan β-1,4 glikosidik yang tersusun atas komponen gula berupa glukosa,
mannosa, ribosa, dan ramnosa. Prekusor dari polisakarida tersebut adalah
GDP-glukosa.
Menurut Scramm dan Hestrin (1954) sintesis selulosa dari glukosa
dalam suspensi bakteri yang berkembang biak merupakan pengaruh dari
fungsi oksigen. Produksi selulosa tidak terlalu banyak dipengaruhi oleh
nitrogen. Kecepatan produksi selulosa dapat disebabkan karena konsentrasi
sel pada pertumbuhan kultur dalam zona permukaan yang diaerasi. Gas CO 2
dihasilkan bersamaan dengan pertumbuhan kultur ditandai dengan munculnya
gas CO2 yang mengangkat jaringan ke permukaan.
Keterangan : CS (cellulose synthase), GK (glucokinase), FBP (fructose-1,6-biphosphate phosphatase), FK
(fructokinase), 1FPk (fructose-1-phosphate kinase), PGI (phosphoglucoisomerase), PMG (phosphoglucomutase),
PTS (system of phosphotransferases), UGP (pyrophosphorylase uridine diphosphoglucose), UDPGlc (uridine
diphosphoglucose), G6PDH (glucose-6-phosphate dehydrogenase), NAD (nicotinamide adenine dinucleotide),
NADP (nicotinamide adenine dinucleotide phosphate).
Gambar 2. Biosintesis Selulosa Mikroba
(Brown, 1987)
C. Karakteristik Selulosa Kayu dan Selulosa Mikrobial
Selulosa mikrobial mempunyai karakteristik yang unik dan relatif
lebih unggul dari selulosa kayu terutama tingkat kemurniaannya (White dan
Brown, 1983). Pada tanaman (kayu), selulosa yang dihasilkan masih
berikatan kuat dengan senyawa lignin dan hemiselulosa. Persentase
kandungan selulosa, lignin dan hemiselulosa adalah 42 %, 16 % dan 25 %
dari kayu lunak atau kayu daun lebar (Sjostrom, 1995). Pada umumnya
selulosa terdiri dari selulosa α dan selulosa β. Selulosa kayu dan selulosa
mikrobial terdiri dari kedua selulosa tersebut, hanya memiliki perbedaan
komposisi. Pada selulosa kayu, kandungan selulosa α lebih tinggi yaitu
sekitar 70 % dan sisanya 30 % adalah selulosa β. Sedangkan pada selulosa
bakteri kandungan selulosa β lebih besar yaitu sebanyak 60%. Denstitas
selulosa α lebih besar dari densitas selulosa β, maka densitas selulosa
mikrobial lebih kecil dibandingkan dengan selulosa kayu (Sugiyama et al.,
1991).
Dalam beberapa hal lainnya, selulosa kayu memiliki perbedaan
dengan selulosa mikrobial. Pada selulosa kayu terdapat lamela atau
ultrastruktur sel serat sedangkan selulosa mikrobial memiliki ultrafine sel
serat. Hal ini menyebabkan perbedaan ukuran serat. Ukuran serat selulosa
mikrobial lebih kecil 1/10 sampai 1/1000 dari ukuran serat selulosa kayu
(Yoshinaga et al., 1996). Perbedaan lainnya adalah derajat polimerisasi.
Derajat polimerisasi selulosa kayu lebih konstan sedangkan derajat polimerasi
selulosa mikrobial akan naik secara linier tergantung masa pertumbuhan
organismenya (Figini, 1982). Selain derajat polmerisasi, perbedaan juga
terletak pada derajat kristalinitas bahan. Selulosa mikrobial lebih memiliki
derajat kristalinitas yang lebih tinggi dibandingkan selulosa tanaman (kayu)
(Watanabe, 1994).
Lapisan pelikel dari selulosa bakteri memiliki modulus young yang
tinggi kira – kira 156 GPa. Modulus ini dipengaruhi oleh ikatan interfibril
serta kristalinitas selulosa mikrobial. Selulosa mikrobial dapat diproses
menjadi suspense stabil dengan menggunakan proses homogenisasi mekanik.
Aplikasi dari selulosa mikrobial adalah untuk pembuatan akustik diafragma,
kulit buatan penutup luka, dan pembuatan kertas bermutu tinggi (Yamanaka
et al,. 1994). Selulosa mikrobial mempunyai beberapa keunggulan antara lain
kemurnian yang tinggi, derajat kristalinitas yang tinggi, mempunyai
kerapatan antara 300 dan 900 kg/m3, kekuatan tarik yang tinggi, dan elastis.
(Krystynowicz dan Bielecki, 2001).
D. Kertas
Kertas adalah lembaran yang terdiri dari serat – serat selulosa yang
saling membentuk jalinan serat. Pada beberapa jenis kertas tertentu
ditambahkan beberapa bahan penolong berupa zat organik dan anorganik.
Departement Perindustrian (1982) menggolongkan kertas menjadi tiga bagian
yaitu kertas budaya, kertas industri, dan kertas lain. Kertas budaya terdiri atas
surat kabar, kertas cetak dan kertas tulis. Kertas industri terdiri atas kertas
pengemas, kertas kraft, kertas rokok, dan karton. Kertas lain adalah kertas
yang tidak termasuk kedua golongan tersebut misalnya kertas tissue dan house
hold. Kertas surat kabar ialah kertas yang digunakan untuk mencetak. Kertas
tersebut memiliki spesifikasi gramatur antara 45 – 60 g/m2 (Anonim, 2008).
Berikut ini adalah SNI untuk kertas koran :
Tabel 1. Persyaratan Mutu Kertas Koran (SNI 7273 – 2008)
Parameter
Satuan
Persyaratan
Gramatur
g/m2
45 - 60
Ketahanan Tarik
kN/m
Min. 1,18
Penetrasi minyak
1000/mm
Maks. 30
Derajat putih
% ISO
Min. 55
Opasitas cetak
%
Min. 90
Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2008)
Jenis kertas lainnya adalah kertas tulis A yang digunakan untuk
keperluan tulis – menulis dengan nama di pasaran adalah kertas HVS (Hout
Vrij Schriff Papier). Kertas HVS ini memiliki variasi gramatur 60, 70, 80 g/m2
dan beredar dengan ukuran yang bervariasi seperti folio (215 mm x 330 mm)
dan kuarto (215 mm x 280 mm). Kualitas kertas HVS dilihat berdasarkan
gramatur, sifat tulis, ketahanan hapus, dan derajat putih (75% ISO) (SNI 14 –
0115 – 1998). Selain itu, terdapat jenis – jenis kertas lain seperti kertas tissue,
kertas medium, dan kertas bungkus. Kertas tissue memiliki nilai gramatur
kertas yang berkisar antara 16 – 31,5 (SII, 82) dengan daya serap yang baik.
Kertas medium merupakan kertas yang digunakan untuk pelapis tengah pada
karton. Kertas medium memiliki spesifikasi permukaan rata, tidak kisut dan
tidak berlubang. Gramatur kertas medium adalah 60 g/m2. Standar penelitian
umum untuk kertas adalah gramatur 60 g/m2. Adapun jenis kertas dan
beberapa karakteristik sifatnya dapat dilihat pada lampiran 8 dan 9.
E. Teknologi dan Zat Aditif Pembuatan Kertas
Menurut Syarief et al,. (1989) pada umumnya kertas dapat dibuat dari
material yang mengandung selulosa. Salah satu sumber selulosa utama bahan
pembuatan kertas adalah selulosa kayu. Selulosa kayu tersebut diberikan
perlakuan
kimia,
dihancurkan,
dipucatkan,
dibentuk
dan
akhirnya
dikeringkan. Dalam pembuatan kertas, serat dipisahkan dan disusun kembali
secara acak membentuk lembaran dengan ukuran dan sifat – sifat tertentu.
Young (1980) dalam Casey (1981) menyatakan bahwa proses
pembuatan kertas meliputi sebagai berikut : pendisintegrasian pulp,
pencampuran pulp dengan larutan untuk membentuk kekompakan serat,
pembantukan lembaran, perlakuan couching, pemberian tekanan, dan
pengeringan. Faktor – faktor yang mempengaruhi mutu kertas adalah faktor
bahan baku dan faktor proses pengolahan. Faktor bahan baku meliputi berat
jenis, dimensi serat, komponen kimia yang terkandung dalam kayu atau
bahan berserat selulosa, sedangkan faktor proses pengolahan ditentukan
dengan cara perlakuan pendahuluan, kondisi pemasakan (pulping), dan
perlakuan dalam pembuatan lembaran kertas (Mac Donald dan Franklin,
1969).
Berat jenis menentukan kelayakan suatu bahan untuk menjadi pulp
kertas. Hal ini terkait dengan rendemen yang akan dihasilkan. Diameter serat
dan tebal dinding serat saling mempengaruhi ikatan dan anyaman serat secara
kompleks dalam pembentukan pulp untuk kertas (Handayani, 1991).
Umumnya serat dengan diameter kecil dan berdinding tipis baik bagi
pembentukan lembaran (Soenardi, 1974). Serat berdinding tipis mudah
mengalami perubahan bentuk dan menjadi pipih, sehingga memberikan
permukaan yang luas bagi terjadinya ikatan antar serat. Hal sebaliknya terjadi
pada serat dengan dinding yang tebal, tidak mudah berubah bentuk sehingga
bentuknya tetap bulat pada pembentukan lembaran kertas dan pulp. Dengan
demikian kertas yang dihasilkan memiliki kekuatan tarik, retak dan lipat yang
lebih rendah dibandingkan dengan serat berdinding tipis. Namun demikian
serat berdinding tebal dapat menghasilkan kertas dengan kekuatan sobek yang
baik melalui kondisi pengolahan pulp yang sesuai (Handayani, 1991).
Kertas dan pulp merupakan produk yang dihasilkan dari pemanfaatan
selulosa tanaman (kayu). Kertas berfungsi sebagai media utama untuk
menulis, mencetak serta melukis dan kemasan. Proses pembuatan kertas
diawali dengan proses pembuatan pulp dari kayu. Proses pembuatan pulp
adalah memisahkan serat kayu menjadi individu serat terpisah. Proses ini
dilakukan dengan 3 metode yaitu mekanis, semi kimia, dan kimia (Casey,
1980). Metode tersebut adalah sebagai berikut : 1) Mekanis ; Proses
pembuatan pulp yang seluruhnya menggunakan proses mekanis, misalnya
dengan grinding dan milling. Pulp yang dihasilkan dapat digolongkan
menjadi dua, yaitu unbleached mechanical pulp dan bleached, 2) Semi Kimia
; Proses pembuatan pulp yang melalui dua tahap proses yaitu proses mekanis
dan kimia, 3) Kimia ; Bahan baku setelah ukurannya dikurangi, dimasak
dalam suatu tempat (reaktor) yang bertekanan dan dicampur dengan bahan
kimia. Hasil pemasakan tersebut adalah pulp yang tidak putih (unbleached
pulp) dan untuk menghasilkan kertas tertentu dibutuhkan proses pemutihan
pulp. Setelah proses pemutihan akan diperoleh pulp yang disebut bleached
chemical pulp (pulp putih). Proses-proses tersebut bergantung pada banyak
faktor, antara lain temperatur reaksi, waktu reaksi, konsentrasi katalis,
konsentrasi pelarut, dan perbandingan cairan pemasak terhadap bahan baku.
Perbaikan sifat kertas dilakukan dengan jalan penambahan aditif.
Adapun zat aditif yang ditambahkan berfungsi sebagai bahan pengisi (filler),
bahan penguat (strength additives), sizing agent, pewarna, bahan penolong
proses (processing aids), pencerah (optical brightener), dan sebagainya.
Penambahan zat aditif digunakan untuk memperbaiki sifat-sifat kertas. Zat
aditif diklasifikasikan menjadi zat aditif pemberi efek kualitas kertas dan zat
aditif pembantu proses. Zat aditif pemberi efek kualitas kertas, secara umum
memberikan pengaruh pada kualitas kertas. Beberapa zat aditif berpengaruh
langsung pada sifat-sifat kertas. Zat-zat aditif tersebut diantaranya adalah :
1. Tapioka
Tapioka merupakan salah satu bahan yang dapat berfungsi sebagai
sizer
yang digunakan dalam proses pembuatan kertas. Tapioka
ditambahkan sebelum pembentukan lembaran kertas. Tujuan utama dalam
penggunaan tapioka adalah untuk meningkatkan ketahanan fisik kertas.
Menurut Casey (1980), tapioka digunakan untuk memperbaiki ikatan antar
serat sehingga dapat meningkatkan ketahanan tarik kertas, kemampuan
cetak tetapi tidak meningkatkan ketahanan kertas dari air. Kerugian yang
ditimbulkan dengan pemakaian tapioka adalah menurunnya opasitas cetak
karena tapioka mengisi rongga-rongga antar serat sehingga mengurangi
luas pantul cahaya, menurunkan derajat putih kertas karena tapioka yang
tergelatinisasi lebih bersifat transparan, dan kertas cenderung diserang oleh
bakteri pengurai. Pemakaian tapioka dalam pembuatan kertas berkisar
antara 1,0-5,0% dari berat pulp kering oven, tergantung pada jenis dan
persentase bahan penolong lainnya yang diberikan serta jenis pulp dan
kertas yang dihasilkan. Pemakaian ekonomis tapioka berkisar antara 2,0
sampai 3,0% (Casey, 1980).
2. Kaolin
Kaolin adalah mineral alam yang terdiri dari SiO2, Al2O3, Fe2O3,
TiO2, dan H2O yang berwarna putih dan mempunyai sifat yang licin, halus,
dan liat. Penambahan kaolin dimaksudkan untuk meningkatkan opasitas
cetak karena kaolin menambah luas pantul cahaya meningkatkan derajat
putih, memperbaiki kehalusan kertas terutama kertas yang berasal dari
serat yang kasar serta memperbaiki sifat cetak karena molekul-molekul
kaolin mengisi ruang antar serat. Kerugian dari penambahan kaolin akan
menurunkan kekuatan kertas karena kaolin dapat menurunkan ikatan antar
serat (Casey, 1980).
Menurut Casey (1980), pemakaian kaolin pada kertas bervariasi
antara 0,0-40,0% dari berat pulp kering oven, tergantung persentase bahan
penolong lainnya, jenis pulp, dan kertas yang akan dihasilkan. Sedangkan
pemakaian optimal antara 4,0-15,0%. Pemakaian berlebihan dapat
mengurangi efektifitas sizer dan cenderung menimbulkan debu-debu halus
pada kertas sehingga mengganggu proses pencetakan lembaran kertas.
3. Alum
Alum (K2SO4. Al2 (SO4)3. 24 H20) merupakan retention aid yang
umum digunakan. Alum berfungsi untuk merubah gaya tolak menolak
yang mungkin terjadi antara bahan aditif dan bahan serat selulosa menjadi
tarik menarik sehingga bahan aditif berikatan kuat dengan serat.
Penggunaan alum dapat meningkatkan efisiensi penggunaan bahan aditif
selama pembentukan kertas. Bahan retensi lain yang dapat digunakan lagi
adalah ferric sulphate (Fe2 (SO4)3), asam sulfat encer (H2SO4), dan
natrium aluminate (Na2Al2O4) (Casey, 1980).
F. Analisis Konversi Biomassa
Analisis biomassa adalah suatu analisis yang dilakukan untuk
mengetahui kebutuhan biomassa disuatu daerah atau negara yang erat
kaitannya dengan pengembangan dan tata guna lahan, kelestarian hutan atau
strategi kehutanan lainnya (Setiawan, 1999). Konversi biomassa adalah suatu
upaya yang dilakukan untuk mempertahankan kelestarian biomassa (Outlaw
dan Robert, 1999). Hasil hutan Indonesia di dominasi oleh industri kayu lapis
dan industri kayu gergajian, selain itu berkembang pula industri kertas dan
pulp serta turunan selulosa lainnya (Askari, 2000). Selain untuk industri,
hutan memiliki manfaat lain yaitu menyerap gas karbon dioksida oleh
tumbuhan dalam siklus fotosintesisnya. Karbon dioksida ini merupakan
komponen udara yang dapat menjadi polutan udara jika dalam jumlah dan
konsentrasi tinggi. Keberadaan karbon dioksida dalam jumlah yang banyak di
atmosfer menyebabkan terjadinya efek rumah kaca. Efek rumah kaca ini
merupakan suatu fenomena yang ditimbulkan oleh berbagai gas yang terdapat
dalam atmosfer sehingga merubah konsistensi alam. Menurut Houghton
(1990) untuk mengurangi efek rumah kaca, terdapat tiga hal yang dapat
dilakukan yaitu menghentikan atau mengurangi pembukaan hutan, melakukan
reboisasi secara menyeluruh, dan mengurangi pemakaian bahan bakar fosil
dan kayu yang berasal dari hutan.
Download