Footprints of GAUTAMA THE BUDDHA

advertisement
Menelusuri Jejak Kaki
Sang Guru
(Footprints of Gautama the Buddha)
oleh:
Marie Beuzeville Byles
Penerbit Pundarika
Perpustakaan Vihara Borobudur Medan
1995
Untuk Kalangan Sendiri
dibagi cuma-cuma
Marie Beuzeville Byles, Footprints of Gautama the
Buddha. Wheaton: Theosophical Publishing
House, 1972
Buku keempat Pustaka Pundarika, Maret 1995
Alih Bahasa
:
Editor
:
Setting
:
Layout & Cover
:
Upi. Vimala Devi
Lim Chai Cu
Lei Suang
Yoga Putra
Ardy P. Kusuma
Muliana Wibawa
Taruna
( Edisi Elektronik Pustaka Pundarika — 2007 )
ii
Pengantar Editor
Tentang perjalanan suci Sang Buddha Gautama, yang bermula
dari Benares dan berakhir di Kusinara; tentang berbagai kejadian yang
terjadi sepanjang perjalanan-Nya tersebut; tentang siswa-siswa-Nya
yang utama, seperti Ananda, Sariputta atau Moggallana; tentang umat
awam yang terkemuka, seperti Anathapindika, Visakha atau Bhadda;
atau tentang Devadatta juga Angulimala, mungkin bukanlah sesuatu
yang baru bagi sebagian besar umat Buddha, bahkan boleh jadi
sebagian orang sudah menganggapnya semacam legenda.
Namun Marie Beuzeville Byles memberi sesuatu yang baru dalam
buku ini, dengan mempersilahkan Yasa, siswa keenam Sang Bhagava,
menuturkan perjalanan panjang mereka bersama Sang Guru selama
empat puluh lima tahun tersebut. Hal yang membuat buku ini berbeda
dari buku-buku yang mengisahkan perjalanan suci Sang Buddha adalah
mungkin tentang konflik-konflik batin yang terjadi pada orang-orang
yang bertemu dengan beliau saat itu dan juga konflik-konflik batin yang
dialami para siswa-Nya, seperti Yasa sendiri atau Ananda, yang
terkadang sangat manusiawi dan menyentuh hati.
Hal lain yang menonjol dalam buku ini adalah kemampuan Marie
menjalin bagian terpenting dari sejarah panjang kehidupan Sang
Buddha tersebut dengan menggunakan bahasa sastra yang sederhana,
tetapi menarik dan indah, dan kami berusaha semaksimal mungkin
membuat kalimat-kalimat dalam buku ini tidak kalah indahnya dengan
buku aslinya dengan tidak mengurangi isinya, paling tidak itulah
alasannya mengapa kami memilih judul dengan memakai istilah 'Sang
Guru' daripada 'Sang Buddha'. Sumber buku ini sendiri sebenarnya
adalah dari kitab-kitab suci Agama Buddha sehingga walaupun sekilas
tampak berupa 'cerita', namun sebenarnya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Dalam buku aslinya, si penulis jarang menggunakan istilah-istilah
Pali, seperti nama-nama tempat ataupun istilah-istilah dalam Dhamma,
kami mencoba membantu pembaca dengan menambahkan atau
menggantinya dengan istilah Pali. Selain itu pada bagian Appendiks,
isinya berbeda dari aslinya dengan pertimbangan bahwa Menelusuri
Jejak Kaki Sang Guru adalah untuk umat Buddha Indonesia sedangkan
sasaran utama Footprints of Gautama The Buddha adalah orang-orang
Barat yang sekarang memang sangat tertarik akan kebijaksanaan
Timur.
Banyak yang dapat dipelajari dan diambil 'hikmah'nya dari
kejadian-kejadian selama pengembaraan-Nya, sebagiannya adalah
bagaimana cara Sang Pelita Dunia, dengan cinta kasih-Nya, membuka
iii
wawasan mereka yang picik, menaklukkan mereka yang angkuh,
melembutkan mereka yang kasar, menguatkan mereka yang lemah,
atau menerangi mereka yang berada dalam kegelapan, yang mungkin
pun sedang menyelimuti kita saat ini. Memang, Dhamma yang
dibabarkan-Nya ribuan tahun yang lalu, aplikasinya tak pernah lekang
oleh waktu.
Editor
iv
Daftar Isi
Pengantar Editor............................................................................................................. iii
Daftar Isi............................................................................................................................ v
Siswa-Siswa Pertama ..................................................................................................... 1
Berdirinya Kerajaan Kebenaran.................................................................................... 6
Dua Siswa Utama .......................................................................................................... 14
Kembali Pada Keluarga................................................................................................ 22
Kunjungan Kedua ke Rajagaha................................................................................... 33
Bangsawan-Bangsawan Suku Sakya Menjadi Anggota Sangha ............................. 42
Savatthi dan Hutan Jeta................................................................................................ 51
Meditasi dan Ketenangan Bathin ................................................................................ 56
Bhaddiya dan Anuruddha ............................................................................................ 63
Vesali dan Sangha Bhikkhuni ...................................................................................... 69
Dukkha: Kesunyataan Utama...................................................................................... 76
Keajaiban dan Penyembuhan ..................................................................................... 86
Sona dan Usaha yang Berlebihan ............................................................................... 92
Siha dan Makanan Berdaging...................................................................................... 97
Asal Usul Tersusunnya Vinaya................................................................................... 102
Kekuatan Gaib Sang Buddha..................................................................................... 110
Sang Buddha dan Umat Biasa ................................................................................... 119
Perubahan Sang Perampok....................................................................................... 130
Devadatta...................................................................................................................... 138
Kematian dan Nirvana................................................................................................ 150
Saccaka Sang Pendebat ............................................................................................. 157
Kedamaian di Hutan Mangga .................................................................................... 165
Tahun-Tahun Terakhir Kehidupan Sang Buddha ................................................... 171
Wafatnya Sang Buddha .............................................................................................. 180
Epilog: Setelah Wafatnya Sang Buddha................................................................... 189
Appendiks-1: Persamuan Sangha............................................................................. 200
Appendiks-2: Meditasi dan Pandangan Theravada ................................................ 204
Appendiks-3: Sutra dan Pandangan Mahayana ...................................................... 219
v
vi
Siswa-Siswa Pertama
Aku, Yasa adalah siswa keenam dari Sang Bhagava Buddha
Gautama, yang terpanggil untuk mengikuti jejaknya, mengerti dan
memahami ajaran-ajarannya. Aku adalah putra seorang bangsawan di
Benares dan seperti Sang Bhagava, aku pernah hidup bergelimang
kemewahan. Beberapa minggu sebelum saat yang kuceritakan ini, aku
gelisah dan tidak dapat istirahat, seperti pada saat kita mendengar
alunan nada yang samar-samar dari kejauhan, kita berusaha untuk
menggapainya namun tidak mampu. Demikianlah yang terjadi padaku,
sepertinya aku mendengar nada yang bukan berasal dari dunia ini,
tetapi ketika kucoba untuk menjangkaunya, musik tersebut telah
terbang dan hilang. Kini kutahu bahwa semua kesenangan-kesenangan
duniawi yang ada di sekelilingku tidak akan lama memuaskan.
Semuanya hampa dan tak berguna, bagaikan sawah tanpa ada yang
mengairinya. Kemudian pada suatu malam aku terjaga, dan terus
terjaga, akhirnya aku keluar menuju ruang depan di mana kelihatan
dayang-dayang yang sedang tertidur nyenyak. Mereka yang seperti
bunga-bunga cantik di siang hari kini terbaring kacau-balau di atas
balai-balai dengan baju yang kusut dan kotor. Rasa duka yang teramat
dalam menyelimutiku. Apa yang biasanya kelihatan sangat indah bisa
menjadi sesuatu yang demikian menjijikkan. Aku tidak dapat
beristirahat lebih lama, kupakai sandal sepuhanku dan keluar
menembus gelapnya malam. Sesuatu yang tak kuketahui benar
membawaku ke Taman Rusa di Isipatana. Saat aku berjalan di malam
itu, aku merasa tidak pernah dapat beristirahat lagi. Apa arti kehidupan
bagiku jika di balik semua kemegahan ternyata yang ada hanyalah
kekotoran-kekotoran seperti yang melekat pada tubuh-tubuh itu? Tidak
ada ketenangan! Tidak ada kedamaian! Rantai kesengsaraan yang tak
putus-putusnya! Kubuang sandal sepuhanku dengan jijik. Tetapi
kemudian tiba-tiba aku merasakan udara yang sejuk penuh damai
menyelusup ke dalam sanubariku, seperti saat aku sedang kepanasan,
aku menyelam dalam sebuah danau yang sejuk dan jernih. Aku
mendengar sebuah suara lembut sebagai jawaban pikiran-pikiranku,
"Nirvana penuh kedamaian, sejuk dan bebas dari penderitaan."
Seperti terjaga dari sebuah mimpi aku menemukan diriku sendiri
duduk di samping seseorang yang tak pernah kukenal sebelumnya
namun kelihatannya dia mengetahui seluruh kehidupanku bagaikan
guruku.
Dia lebih tua dariku, tetapi seberapa tuanya tidak dapat
kuperkirakan, kelihatannya dia sudah hidup dalam waktu yang lama
1
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
namun terlihat masih muda. Aku tidak dapat mengingat apa yang telah
dikatakannya. Bahkan barangkali di saat itu memang dia tidak pernah
berbicara. Tetapi kesedihanku melesat keluar seperti kulit tua yang
terkelupas dari seekor ular. Aku melihat jalan yang terbentang luas
menuju kedamaian sejati. Kemudian kuperhatikan pakaianku yang
penuh dengan permata-permata berkilauan di bawah cahaya bintang.
Aku merasa malu, tapi setidak-tidaknya ada perasaan senang dan lega
karena telah membuang sandal sepuhanku tadi. Sang Guru membaca
pikiran-pikiranku dan berkata:
"Hiasan-hiasan dengan permata-permata itu tidak perlu menjadi
beban perasaan. Seorang tidaklah dapat dipandang melalui pakaiannya
melainkan dari dalam hatinya. Seseorang bisa saja mempunyai
pakaian-pakaian seperti seorang pengemis dan tinggal di tempattempat yang sunyi, namun di dalam hatinya mungkin masih penuh
dengan keinginan-keinginan dan pikiran-pikiran duniawi. Jika kamu
melihat segala sesuatu dengan mata yang sama, tidak memilih antara
permata-permata atau kain-kain buruk, maka walaupun kamu hidup di
dunia ini, kamu telah terbebas dari semua ikatan-ikatan."
Banyak lagi yang dikatakan Sang Guru, dan ketika dia bangkit,
kuikuti langkahnya seperti seekor anak sapi yang mengikuti ibunya.
Pohon-pohon palem yang tinggi terbayangi oleh fajar yang berwarna
jingga tua; tiga ekor bangau dari paya-paya berdiri dengan tenang di
atas lumpur di tepi kolam sedang menanti mangsanya; dan di
sekitarnya terbentang sawah-sawah yang terlihat bagaikan tambalan
kain dari jubah orang yang kuikuti ini.
Beliau membimbingku menuju hutan mangga yang tidak jauh dari
Taman Rusa, dan di sana aku bertemu dengan kelima siswa pertama,
Kondanna, Vappa, Bhaddiya, Mahanama dan Assaji. Mereka semua
jauh lebih tua dari aku yang baru berumur dua puluh tahun saat itu,
tetapi tiba-tiba aku merasa telah menjadi bagian dari mereka, seolaholah aku telah lama selalu berada dalam tali persaudaraan mereka.
Kondanna adalah saudara yang tertua. Ia termasuk salah satu dari
delapan Brahmana yang diundang raja Suddhodana pada hari
kelahiran anaknya untuk meramal masa depan bayi tersebut. Dengan
mata batinnya Kondanna dapat melihat bahwa anak tersebut akan
menjadi Buddha. Dua puluh sembilan tahun kemudian, ketika dia
mendengar bahwa pangeran Siddharta Gautama telah meninggalkan
kehidupan duniawi, dia juga meninggalkan rumah, dan bergabung
dengan Vappa dan tiga orang lainnya, mengikuti pangeran bertapa di
dalam hutan untuk mencari penerangan dan kebenaran. Mereka
berpikir bahwa penerangan dan kebenaran dapat ditemukan jika
2
Siswa-Siswa Pertama
mereka mengikat dan menyiksa diri mereka sendiri, hingga jiwanya
dapat mencapai surga. Dalam waktu yang lama Sang Guru menjadi
contoh bagi mereka, mengunguli mereka dalam berpuasa dan
melakukan penyiksaan diri, dan mereka sangat menghormatinya.
Ketika Sang Guru menjadi sadar bahwa cara yang ditempuhnya salah
dan melepaskan diri dan kemudian hidup seperti manusia-manusia
lain, mereka menjadi marah dan meninggalkannya. Kini mereka
bercerita bagaimana kejadiannya hingga mereka menjadi siswa-siswaNya.
Ketika mereka saat itu melihat kedatangan Sang Guru, mereka
telah bersepakat dan memutuskan bahwa Sang Gautama, telah
mengambil makanan seperti manusia-manusia yang hidup di dunia;
bukanlah kebiasaan yang ramah bagi seorang samana untuk
mengulurkan tangan pada orang lain. Sejauh itu mereka tidak peduli
akan kedatangan Sang Guru, mereka tidak membuat perjamuan
sebagai tanda kehormatan. Mereka tidak menawarkan tempat duduk
untuknya.
Tetapi ketika Sang Guru mendekat, ada kekuatan perasaan
lembut dan kedamaian yang meliputi diri mereka. Sebelum mereka
menyadari apa yang sedang mereka perbuat, seseorang telah bergerak
mengambil jubahnya, yang lainnya menyediakan sebuah tempat
duduk, dan seorang lagi mengambil air untuk mencuci kaki Sang Guru.
Kemudian mereka semua duduk dengan sopan untuk mendengar
sabda Sang Guru sebagai seorang guru yang mereka hormati. Tiba-tiba
rasa kagum mereka terhenti; mereka ingat akan sumpah mereka untuk
tidak menghormati Sang Guru. Dengan lemah, dengan hati yang berat
mereka mulai berbicara seramah mungkin pada Sang Guru,
mengungkapkan betapa kecewanya mereka terhadap Sang Guru, yang
melanggar cita-cita mereka yang tinggi. Tetapi satu persatu protes
mereka hilang berkat ketenangan dan wajah yang bersinar terang dari
Sang Guru. Untuk sementara mereka berdiam diri dan Sang Guru
berkata:
"Ada dua hal yang ekstrim. Pertama, adalah mereka yang
memuaskan hawa nafsu mereka dan hidup mewah untuk kepuasan
sendiri, orang-orang demikian bahkan tidak mengerti Syair-Syair Suci
mereka; betapa sedikitnya mereka memahami jalan yang bebas dari
penderitaan dan menuju pintu hidup yang abadi. Kedua, adalah
mereka yang mengadakan penyiksaan diri dengan jalan mati kelaparan
atau dengan cara lain. Orang-orang seperti itu tidak dapat berpikir
tentang masalah-masalah duniawi, betapa sedikitnya mereka
memahami kebijaksanaan surgawi! Seorang bhikkhu yang kurus kering
3
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
adalah seperti seorang wanita yang berusaha menyalakan lampu
dengan air sebagai pengganti minyak, atau seorang pria yang mencoba
membuat api yang baik dari kayu rotan.
"Kedua hal tersebut bukanlah jalan menuju kebenaran. Tetapi ada
Jalan Tengah, sebuah jalan yang terletak di antara kedua jalan tersebut.
Pada satu sisi, kemewahan dan kepuasan disingkirkan. Hidup
sederhana adalah hidup dengan tubuh yang sehat dan kuat, tidak lebih
dari itu. Jalan Tengah adalah Jalan Kebenaran."
Mereka memberitahuku bahwa Sang Guru berbicara pada mereka
dengan begitu bijaksana, sesuatu yang tidak pernah mereka dengar
dari guru-guru lainnya. Hal yang juga tidak dipelajari Sang Guru dari
orang lain, juga tidak didengar dari guru-guru lain atau dari Syair-Syair
Suci. Sang Guru berkata dari apa yang diketahuinya berdasarkan
pengalamannya sendiri. Sang Guru telah mencoba kedua jalan tersebut
dan gagal. Kemudian dia mencoba jalan tengah dan berhasil. Tetapi
ada sesuatu di samping pengalaman dalam apa yang telah
dikatakannya,
atau
barangkali
itu
adalah
cara
beliau
mengemukakannya. Ada suatu kelembutan dan pengertian yang sulit
dilukiskan, juga suatu rasa di luar jangkauan waktu. Mereka mencoba
menerangkan hasil-hasil yang mereka peroleh, tetapi tidak mampu.
Semua yang mereka ketahui adalah bahwa keinginan jahat yang
memenuhi hati mereka telah mencair dan mereka menjadi muridmurid Sang Guru. Mereka adalah lima orang pertama dari beribu-ribu
orang lainnya yang mendengar Empat Kesunyataan Mulia dan Delapan
Jalan Utama yang dapat merubah kehidupan dari pria-pria dan wanitawanita yang mendengar dan mengikutinya, dan bagi siapa saja yang
membuka jalan cinta kasih menuju kedamaian abadi; Nirvana.
Ketika aku tidak pulang ke rumah, ibuku sangat rindu dan
menyuruh ayahku untuk melihat apa yang terjadi padaku. Ayah
menemukan sandal sepuhan yang kubuang, kemudian dia mengikuti
jejak-jejak kakiku sampai akhirnya datang menyaksikan aku sedang
duduk dengan kelima siswa pertama yang sedang mendengarkan
khotbah tentang pelepasan diri dari duniawi. Ketika aku
memberitahukan padanya bahwa adalah niatku sendiri untuk
meninggalkan rumah dan menjadi pengembara sebagai siswa Sang
Guru, ayah tidak terkejut, sebab ayah melihat guru yang kuikuti telah
menemukan kebenaran. Ayah memberitahu bahwa ibuku selalu
menangis karena aku tidak mau kembali ke rumah, tetapi ayah tidak
memaksaku untuk kembali. Sebaliknya, ayah menjamu Sang Guru dan
kelima pertapa untuk makan di rumahnya.
4
Siswa-Siswa Pertama
Pada hari berikutnya, begitu ibuku melihat Sang Guru, mendung
yang terukir di wajahnya menjadi lenyap dan ia tak lagi sedih
melihatku. Juga istriku, gembira akan pilihanku untuk mengembara.
Dalam keluarga kami, kami menghormati panggilan itu sebagai
panggilan yang tertinggi. Adalah benar bahwa aku meninggalkan
rumah lebih cepat dari biasanya, aku tidak sempat menegakkan
sebuah rumah tangga, tetapi yang lainnya dapat menjalankan
kewajiban-kewajibanku sebagai kepala rumah tangga, dan beberapa
tahun kemudian istriku mengikuti jejakku dan bergabung dalam
persaudaraan Bhikkhuni. Sesudah perjamuan, Sang Guru berkhotbah
kepada seluruh keluarga tentang kebenaran, kemudian ibu dan ayahku
beserta keluarga-keluarga lainnya menjadi pengikut awam pertama
dari Sang Guru.
Sebagian karena keahlianku memainkan musik, aku menjadi
pemimpin para remaja dari Banares. Ketika sahabat-sahabatku melihat
aku memakai jubah kuning dan berkepala gundul, mereka sangat
heran. Untuk mengetahui alasannya, mereka datang pada Sang Guru
yang telah membawa perubahan dalam hidupku, dan setelah
mendengar khotbah Sang Guru lenyaplah keheranan mereka, dan
banyak di antara mereka yang mencukur rambutnya dan meninggalkan
rumah. Sang Guru bercerita kepada kami, bahwa di saat beliau
mencapai penerangan sempurna, Mara menggoda beliau untuk pergi
saja mengucilkan diri ke hutan belantara sebagai seorang pertapa
menikmati sendiri kebahagiaan yang telah dicapainya, karena tidak
seorang pun yang akan mengerti kebenaran yang telah ia temukan.
Tetapi Mara terbukti salah, karena dari sejak semula Sang Guru telah
berhasil mengumpulkan siswa-siswanya, baik yang awam maupun
yang telah ditabhiskan; yang mengerti akan ajaran-ajaran-Nya.
5
Berdirinya Kerajaan Kebenaran
Setelah sejumlah laki-laki ditabhiskan menjadi siswa dan
bergabung dengan persaudaraan para bhikkhu, Sang Buddha
mengumpulkan kami di Taman Rusa dekat Benares dan berkata:
"Sekarang pergilah mengembara sebagai guru-guru yang penuh
belas kasih untuk dunia yang penuh penderitaan ini. Jangan ada dua
orang menuju jalan yang sama. Sebarkan Dhamma di mana pun kamu
berada, Dhamma yang agung pada permulaan, juga agung pada
akhirnya, baik dalam hidup maupun dalam jiwa. Tunjukkan kehidupan
yang baik, mulia dan bahagia. Ada sebagian orang yang matanya hanya
tertutup sedikit debu, dan bila mereka mendengar Dhamma, mereka
akan mengerti."
Sang Buddha selalu melihat dengan mata batin siapa-siapa yang
matanya hanya tertutup sedikit debu, dan sejauh manapun Sang
Buddha akan pergi memberikan khotbah Dhamma pada mereka. Kini
Sang Buddha memberitahu kami bahwa pertama-tama beliau akan
pergi ke Uruvela, dekat Gaya, tempat di mana Beliau mencapai
penerangan sempurna, kemudian ke Rajagaha, di mana kami dapat
bergabung dengannya bila musim dingin tiba, kami tahu bahwa beliau
telah melihat dengan mata batin bahwa orang-orang di Uruvela dan
Rajagaha telah siap sedia menerima Dhamma. Apa yang terjadi
dengannya setelah beliau meninggalkan Benares, aku dengar
kemudian dari yang lain, inilah yang aku dengar:
Ketika Sang Buddha tiba di Uruvela, Sang Buddha masuk ke
sebuah hutan dan duduk di bawah sebuah pohon untuk meditasi. Ada
sekelompok orang kaya beserta istri-istri mereka sedang menikmati
liburan di hutan tersebut. Salah seorang dari mereka belum menikah,
jadi kelompok tersebut mengundang seorang pelacur yang sangat
cantik dan kalem. Ketika kelompok ini berjalan-jalan menikmati
indahnya bunga lily di kolam dan cantiknya kibasan ekor burung
merak, pelacur tersebut mengambil barang-barang milik mereka dan
melarikan diri. Setelah mengetahui apa yang telah terjadi, mereka
sangat marah, segera mereka berpencar ke berbagai penjuru mencoba
menemukan pelacur tersebut dan barang-barang milik mereka. Mereka
berkeliaran kian kemari sampai akhirnya tiba di tempat Sang Buddha
bermeditasi, dan salah satu di antara mereka menghadap Sang Buddha
dan berkata:
"Tuan yang terhormat, adakah Anda melihat seorang wanita yang
melewati jalan ini?"
6
Berdirinya Kerajaan Kebenaran
"Seorang wanita?" tanya Sang Buddha, bangun dari meditasinya.
"Apa yang telah kamu lakukan dengan wanita tersebut hingga kamu
mencarinya?"
Kemudian pemuda tersebut menjelaskan kenapa mereka
mencari pelacur tersebut.
Sang Buddha berkata, "Sekarang apa yang menjadi
pertimbanganmu? Mana yang lebih baik dan lebih menguntungkan
bagimu, pergi mencari seorang wanita dan barang-barang milikmu,
liburan yang telah dinikmati berjam-jam tadi yang telah menimbulkan
kesusahan-kesusahan bagimu, atau pergi mencari Dirimu Yang Sejati,
yang akan membawa kebahagiaan yang abadi?"
Pemuda yang pertama kali berbicara pada Sang Buddha ini, yang
kemudian menjadi anggota Sangha, memberitahu aku bahwa jika yang
berkata demikian adalah seorang pertapa biasa, mereka pasti akan
menertawakannya, tetapi ada sesuatu pada diri Sang Buddha yang
menyebabkan mereka sadar bahwa masih ada sesuatu yang lebih
berharga daripada barang-barang milik mereka yang hilang.
Kemudian pemuda ini menjawab, "Tuan yang terhormat, yang
lebih baik adalah mencari Diri Sejati kami."
"Tetapi apakah itu Diri Sejati itu?" tanya pemuda lainnya.
Kemudian Sang Buddha meminta mereka beserta istri-istri
mereka untuk mengambil tempat duduk, dan Sang Buddha
menerangkan bagaimana caranya memenuhi keinginan-keinginan
yang merusak diri sendiri yang menyebabkan penderitaan, dan bahwa
dalam menahan keinginan-keinginan dan menghilangkannya sama
sekali, akan ditemukan diri yang sejati dan kebahagiaan yang
sempurna.
Ketika Sang Buddha selesai berkhotbah, pemuda-pemuda
tersebut beserta istri-istri mereka merasa bahagia dan kemudian hidup
sesuai dengan pedoman yang diberikan Sang Buddha. Mereka masih
muda, tetapi mata-mata mereka juga bisa tertutup oleh hanya sedikit
debu.
Dari hutan Sang Buddha melanjutkan perjalanan menuju Gua
Uruvela tempat orang-orang yang memuja api suci, yang dijaga oleh
pertapa-pertapa yang menderita, yang menganut adat-istiadat lama
dengan melakukan penyiksaan diri. Pemimpin mereka bernama
Kassapa, dan berkat penembusan dosanya yang besar dia dihormati
sebagai orang yang termulia oleh penduduk setempat.
Hari sudah malam ketika Sang Buddha mendekati Kassapa dan
berkata, "Jika saudara tidak berkeberatan, saya akan menginap di gua,
tempat pemujaan api suci."
7
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
"Saudara tidak tahu apa yang saudara ucapkan; Dewa Api adalah
seekor ular yang besar dan berbisa. Saya tidak ingin dia melukaimu.
Bahkan saya, orang yang dianggap paling mulia, juga tidak berani
mengembara di Gua Suci bila malam tiba."
"Saya jamin tidak akan terjadi apa-apa," mohon Sang Buddha.
"Saya tidak suka perdebatan," jawab Kassapa. "Kematian Anda
terletak pada keputusan Anda. Itu adalah permintaan Anda sendiri."
Sang Buddha mengucapkan terima kasih dan menuju gua, duduk
bersila melakukan meditasi hingga jam dua tengah malam. Ketika
Dewa Api menyemburkan segumpalan asap dan api, Sang Buddha
membalasnya dengan menyemburkan api cinta kasih dan niat baik dan
asap serta api semburan dari Dewa Api dapat dipadamkan. Kassapa,
bangun dari tidurnya dan menyaksikan pancaran sinar api yang besar
dalam Gua, bergumam sendiri, "Pancaran cinta kasih pendatang ini
sungguh sangat indah, tetapi Dewa Api tetap akan melukainya."
Pada pagi harinya, Kassapa merasa heran melihat Sang Buddha
tidak terluka, dan Sang Buddha yang dapat membaca pikirannya,
berkata padanya, "Api yang disemburkan Dewa Api telah dipadamkan
dengan pancaran sinar cinta kasih dan niat yang baik." Dan Sang
Buddha memperlihatkan mangkuknya di mana tampak sang ular
terbaring tidur dengan penuh kedamaian.
Kassapa semakin heran dan berkata sendiri, "Pendatang ini benarbenar memiliki kekuatan gaib, dan dia tidak kenal rasa takut, namun
bagaimanapun dia tidak semulia saya."
Pada malam kedua, dengan tidak gentar sedikit pun Sang Buddha
memasuki tempat suci dari Dewa Api dan untuk kedua kalinya kobaran
api dari Dewa Api dipadamkan dengan kobaran cinta kasih dan niat
baik Sang Buddha. Dan sebagai penghormatan Kassapa berkata,
"Tinggallah di rumah saya dan saya akan menjamu Anda makan,
seperti halnya orang-orang desa yang dermawan akan memberi makan
pada seseorang yang mereka anggap mulia."
Sang Buddha setuju, dan malam-malam berikutnya dewa-dewa
datang menyinari seluruh hutan dengan pancaran sinar yang sangat
indah. Kassapa semakin terheran-heran, namun dalam hatinya ia tetap
menganggap Sang Buddha tidak semulia dirinya.
Kemudian, pada suatu hari Kassapa mengadakan suatu upacara
pengorbanan besar-besaran yang memang sudah menjadi
kebiasaannya. Seluruh penduduk Anga dan Magadha datang dan
membawa makanan yang berlimpah-limpah. Kini Kassapa takut kalaukalau Sang Buddha menarik perhatian orang-orang dengan kekuatan
magisnya dalam upacara tersebut dan dengan sendirinya semua
8
Berdirinya Kerajaan Kebenaran
kehormatan akan tertuju pada Sang Buddha sehingga kehormatan
padanya akan menjadi berkurang. Sang Buddha yang mengetahui
pikirannya kemudian berkata:
"Saudaraku, besok jika waktu mengizinkan, saya akan membawa
bekal makanan dan pergi ke tepi danau untuk bermeditasi seharian."
"Waktu yang tepat sekali," sambut Kassapa lega, dan ketika Sang
Buddha berlalu, dia berguman pada dirinya sendiri, "Saudara ini adalah
orang yang baik dengan pandangan yang tajam tetapi tentu saja dia
tidak semulia saya."
Selama berhari-hari Sang Buddha mengerjakan pekerjaanpekerjaan rendah untuk melayani Kassapa. Sang Buddha membuat
pemandian yang menyenangkan yakni sebuah kolam yang dialiri air
sungai dengan sebuah batu yang diletakkan di tengah kolam hingga
pembersihan kolam dapat dilakukan dengan mudah. Sang Buddha
memetik sejumlah buah-buahan yang harum dan segar, membelah
kayu bakar untuk api suci sebanyak lima ratus potong. Kassapa sangat
senang dan berkata dalam hati, "Saudara ini benar-benar sangat baik
dan bijaksana tetapi tentu saja dia tidak semulia saya."
Pada saat itu turun hujan lebat, sebagian tanah berpasir di hutan
mangga tempat Sang Buddha bermeditasi digenangi air. Kassapa takut
bahwa air yang kian menaik akan menenggelamkan tamunya. Dia,
yang hingga saat itu, tidak pernah mengenal kelembutan dan perhatian
kepada orang lain, tiba-tiba merasa hatinya berat saat berpikir bahwa
orang yang semulia itu mati tenggelam. Kemudian buru-buru dia pergi
ke desa untuk memperoleh perahu dan membawa Sang Buddha
dengan selamat sampai di tempat yang kering. Dia sangat senang
dengan kebaikan yang dapat diperbuatnya, walaupun dia masih
menggumam dalam hati bahwa tamunya ini tidaklah semulia dirinya.
Sang Buddha, tahu bahwa sekarang hati Kassapa telah lembut dan
dapat ditundukkan, berkata padanya, "Kassapa, kamu selalu berkata
pada dirimu sendiri bahwa saya tidaklah semulia kamu. Tetapi
dapatkah kamu dalam upacara kebenaran memberitahu saya bahwa
kamu penuh penerangan dan tidak mengenal arti sebuah ketakutan?"
Kassapa terhenyak, seketika hatinya menjadi lunak berkat
pancaran cinta kasih persahabatan Sang Buddha, dan dia bersujud
sebelum berkata, "Tidak, Guru, saya tidak penuh penerangan, saya
masih penuh ketakutan, saya tidak lebih mulia daripada Mu." Segera
dia bangkit menuju Gua Suci, mengambil benda-benda untuk
pemujaan dan membuangnya ke sungai, dan kembali bersujud di kaki
Sang Buddha dan memohon Sang Buddha menunjukkan jalan di mana
dia dapat bebas dari ketakutan dan menemukan kebijaksanaan.
9
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
Pertapa-pertapa yang menderita, begitu melihat benda-benda
pengorbanan yang dibuang ke dalam sungai, menjadi takut kalau
terjadi malapetaka yang menimpa pemimpin mereka. Buru-buru
mereka menuju Gua Suci, di mana mereka menyaksikan Kassapa
sedang bersujud di bawah kaki Sang Buddha dan sedang
mendengarkan ajarannya. Dan mereka pun juga duduk mendengarkan.
"Hantu Api yang kalian takutkan," kata Sang Buddha, "adalah di
dalam dirimu sendiri, Hantu Api dalam bentuk keinginan-keinginan,
kesombongan dan kepentingan diri sendiri. Itu adalah api hawa nafsu
yang menyala-nyala. Ketika perasaan menyentuh obyek perasaan dan
pikiran menyentuh obyek pikiran, berarti api hawa nafsu dan keinginan
dinyalakan. Telingamu mendengar doamu sendiri, dan kemudian
pikiranmu hanya memikirkan kepentinganmu sendiri dan kamu takut
akan kehilangannya. Kamu tidak menyadari bahwa diri ini bukanlah
diri yang sebenarnya dan tidaklah abadi."
Pada saat itu juga Kassapa merasa lega dan memiliki pandangan
benar, dan berkat sabda Sang Buddha, rasa damai menyelimutinya.
Sang Buddha melanjutkan, "Dengan mempertimbangkan hal-hal
tersebut, kamu akan jemu pada api-api yang dinyalakan oleh perasaan
dan pikiranmu, dengan demikian api-api itu akan padam. Pengorbanan
yang benar adalah pengorbanan keinginan, baranya adalah keinginan
yang terkendali dan altar yang benar adalah altar kerendahan hati."
Setelah pertapa-pertapa menderita ini mendengar ajaran Sang
Buddha, mereka memohon untuk ditahbiskan menjadi siswa, dan Sang
Buddha menyetujui, mereka pun memotong rambut mereka masingmasing. Kemudian Sang Buddha bersama-sama mereka mengadakan
perjalanan dari Uruvela menuju Rajagaha.
Alasan Sang Buddha untuk melanjutkan perjalanan ke Rajagaha
adalah sebagai berikut:
Ketika Sang Buddha yang saat itu masih sebagai Pangeran
Siddharta meninggalkan rumah untuk mencari kebenaran, Sang
Buddha berkesempatan mengunjungi Rajagaha di mana Raja
Bimbisara sedang merencanakan untuk mengadakan upacara
pengorbanan secara besar-besaran dengan menyembelih binatangbinatang. Pangeran Siddharta memberikan khotbah pada raja beserta
menteri-menterinya tentang kesatuan dari seluruh makhluk hidup, dan
raja terenyuh oleh belas kasihan Sang Buddha dan kemudian
membebaskan binatang-binatang tersebut. Raja menilai bertapa
mulianya karakter pangeran muda ini dan dia menginginkan pangeran
ini tinggal dan menjalankan roda kerajaan bersamanya. Tetapi
Pangeran Siddharta menjawab:
10
Berdirinya Kerajaan Kebenaran
"Yang Mulia, saya mencari kerajaan yang lebih besar dari
kerajaanmu, yang lebih besar dari kerajaan-kerajaan yang ada di dunia
ini. Saya mencari kerajaan yang tidak ada di dunia ini, yakni kerajaan
kebenaran. Bila saya telah menemukan kerajaan itu saya akan kembali
memberitahukanmu."
Raja sedih mendengar kata-kata itu, tapi dia sadar bahwa
perkataan pangeran muda ini adalah benar dan dia sama sekali tidak
ingin menghalangi tujuannya.
Kini Sang Buddha telah menemukan kerajaan kebenaran, untuk
memenuhi janjinya, Sang Buddha berangkat menuju Rajagaha beserta
Kassapa dari Uruvela dan pertapa-pertapa yang menderita.
Sang Buddha menginap dekat tempat suci Supatittha, kira-kira
enam mil jauhnya dari kota Rajagaha, sebuah kota yang
menyenangkan dengan dikelilingi bukit-bukit yang puncaknya didiami
burung-burung nasar atau burung bering yang besar: bukit Gijjhakuta
atau lereng burung bering. Ada penginapan untuk pertapa-pertapa yang
mengembara yang di dirikan di pinggiran kota dan desa, dan saat itu
tidak ada yang begitu memperhatikan kedatangan rombongan Sang
Buddha kecuali hanya sekedar memberi penghormatan pada mereka.
Tetapi ketika Raja Bimbisara mendengar bahwa Gautama, seorang
pertapa dari suku Sakya telah tiba di Supatittha, ia segera
mengunjunginya karena mengingat janji Pangeran Siddharta yang akan
memberitahukannya bila telah menemukan kerajaan kebenaran, dan
kini dia yakin bahwa Pangeran Siddharta telah menemukannya dan
datang untuk memberitahukannya.
Sekarang, Raja dan rombongan besar yang terdiri dari negarawannegarawan dan kepala-kepala rumah tangga mendekati Supatittha,
mereka melihat Kassapa dari Uruvela duduk di samping Sang Buddha.
Ada beberapa orang yang berpendapat bahwa pertapa ini, Gautama,
pasti adalah siswa Kassapa yang dianggap sebagai orang yang paling
suci. Tetapi yang lainnya; yang telah mendengar kesucian dari Sang
Tathagata, berpendapat bahwa Kassapa lah yang seharusnya menjadi
siswa Sang Buddha. Mereka masih memperdebatkan persoalan ini
sampai pada acara memperkenalkan dirinya masing-masing.
Ketika mereka sudah mengambil tempat duduk, Sang Buddha
memandang Kassapa sambil berkata, "Dalam rapat ini maukah kamu
menerangkan pengetahuan apa yang kamu dapati hingga
menyebabkan kamu meninggalkan penebusan dosa dan pemujaan api
ini?"
"Pengorbanan dan penebusan dosa yang saya lakukan," jawab
Kassapa, "Adalah berkenaan dengan benda-benda berwujud dan
11
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
mencari pamrih dalam dunia ini atau dunia dewa, dunia-dunia
penglihatan, suara dan pikiran. Imbalan-imbalan yang diberikan pada
pengorbanan-pengorbanan dan penebusan dosa yang demikian, tidak
akan jauh dari dunia kesombongan dan egoisme, yang terikat
selamanya di atas roda penderitaan. Itulah sebabnya saya
meninggalkan semua penebusan dosa dan pengorbanan api ini."
"Dan jika pikiranmu tidak terang dengan benda-benda ini,
Kassapa, apa yang menyebabkan pikiranmu terang dalam dunia
manusia dan dewa ?" tanya Sang Buddha.
Dan Kassapa kembali menjawab, "Saya telah melihat kedamaian
yang abadi, Nirvana, hal ini dapat dicapai bila kepentingan diri sendiri
dan semua pikiran-pikiran tentang 'aku' disingkirkan, dan tidaklah
bijaksana terikat pada hawa nafsu atau benda-benda yang ada baik di
dunia ini maupun dunia lain. Kedamaian ini tidak mengenal
pembentukan atau perubahan, juga kematian. Lalu, untuk apa saya
bertahan pada pengorbanan dan penebusan dosa ini baik di bumi
maupun di surga, yang selamanya mengalami pembentukkan, berubah
dan musnah?" Sambil berkata demikian Kassapa lalu bangkit dan
bersujud di bawah telapak kaki Sang Buddha dan berkata, "Guru saya
adalah satu-satunya orang yang termulia. Saya adalah siswanya."
Raja Bimbisara memberitahu aku betapa terkesannya orang-orang
yang mendengarkannya, dan dengan sendirinya dia maju ke depan,
bersujud memberi hormat pada Sang Buddha, dan rakyat pun tahu
bahwa dia menghormati seseorang yang telah menemukan kebenaran.
Sebelum Kassapa duduk kembali mereka kembali berbisik antara yang
satu dengan lainnya, "Kassapa yang termulia dari Uruvela, telah
dibimbing oleh pertapa Gautama. Pastilah Gautama telah
menunjukkan padanya berkat termulia."
Kemudian Sang Buddha memberikan khotbah Dhamma pada
rombongan tersebut, tentang kebenaran-kebenaran yang telah dicapai
Kassapa dan jalan untuk menemukan kerajaan kebenaran. Selesai
Sang Buddha berkhotbah, Raja Bimbisara bersujud memberi hormat
dan mengucapkan terima kasih pada Sang Buddha sambil berkata
bahwa ketika dia masih muda, dia mempunyai lima keinginan yang
kini semuanya telah tercapai. Yang pertama adalah bahwa dia ingin
menjadi raja, kedua dia ingin seorang Buddha yang suci datang ke
kerajaannya, ketiga dia ingin bersujud memberi penghormatan pada
Buddha tersebut, keempat dia ingin Sang Buddha memberikan
khotbah Dhamma padanya dan kelima dia dapat mengerti Dhamma
tersebut.
12
Berdirinya Kerajaan Kebenaran
Kemudian raja Bimbisara menjamu Sang Buddha beserta para
pertapa. Selesai acara makan, raja mengambil kendi emas yang berisi
air, dan menuangkan air tersebut ke tangan Sang Buddha sambil
berkata, "Saya serahkan Hutan Bambu, Taman Veluvana di sebelah
utara kota kepada Sang Buddha yang termulia sebagai tanda
persaudaraan. Saya mohon ini diterima." Dan Sang Buddha
menerimanya, dan taman ini merupakan taman pertama yang
diberikan kepada persaudaraan Sangha. Seringkali Sang Buddha tinggal
di Hutan Bambu tersebut, dan penduduk datang ke sana dengan
masalah-masalah dan penderitaan mereka.
13
Dua Siswa Utama
Singkatnya, setelah Raja Bimbisara menghadiahkan Taman
Veluvana kepada persaudaraan Sangha, banyak siswa-siswa Sang
Buddha yang dikirim menyebar dari Benares mengadakan perjalanan
menuju Rajagaha untuk bergabung dengan Sang Buddha.
Ada suatu dataran yang merupakan daerah yang mengelilingi
tanah leluhurku dekat Benares, di mana terdapat tebing berpasir dekat
sungai Gangga suci dengan sawah-sawah yang terbentang luas hingga
ke taman rusa Isipatana. Kebanyakan penduduknya bekerja sebagai
penambal kain. Tetapi ketika kami mendekati kota Gaya dari
perjalanan kami menuju Rajagaha, tampak bukit-bukit terbentang di
hadapan kami. Assaji menunjuk sesuatu dan berkata bahwa di dalam
salah satu gua dari bukit-bukit ini Sang Buddha beserta kelima siswa
pertama pernah mengadakan penyiksaan diri yang keras. Sebelumnya
aku tidak pernah ke dataran yang setinggi ini, maka aku membujuk
Assaji untuk bersama-sama memanjat melalui tanaman berduri untuk
sampai di puncak. Ketika kami memandang ke bawah, tampak
hamparan pasir yang luas yang merupakan dasar sungai yang berlikuliku yang mengelilingi hutan yang ditumbuhi pohon-pohon mangga. Di
bagian yang lain, Assaji memberitahuku, bahwa ada satu dari dua
puluh empat tempat dekat Gaya, yang dikhususkan sebagai tempat
melakukan upacara bagi keselamatan leluhur. "Di bawah sebuah
pohon Bodhi yang di sebelah sana," dia berkata sambil menunjuk ke
seberang sungai, "Sang Buddha mencapai penerangan sempurna." Aku
ingin menyeberangi pasir tandus untuk melihat pohon itu, tetapi Assaji
mengingatkan aku bahwa obyek ini tidak termasuk tujuan perjalanan
kami. Kemudian kami turun dan berjalan terus sejauh dua puluh mil,
sampai kami melihat bukit-bukit indah yang mengelilingi kota Rajagaha
dari segala penjuru yang tampak seperti perbentengan yang alamiah.
Kami berjalan melalui sebuah terowongan menuju selatan. Kota
Rajagaha lebih megah dan berseri daripada Benares. Pada seluruh
bagian kota tampak para pedagang yang menjual periuk belanga, dan
banyak yang belum pernah aku lihat sebelumnya seperti permata,
sulaman-sulaman niha yang maha indah dan kulit-kulit pelana yang
dikerjakan dengan corak yang sangat indah. Kami berjalan terus
melalui kota menuju ke utara di mana terdapat sumber air panas;
Taman Veluvana yang menyenangkan dengan bambu-bambu
raksasanya yang tumbuh melingkupi danau kecil yang indah. Melalui
lengkungan bambu-bambu ini, kami melihat lapangan-lapangan dan
14
Dua Siswa Utama
tempat-tempat galian pembuatan batu bata yang diletakkan di bawah
terik matahari untuk dikeringkan.
Pada saat itu, di Rajagaha ada seorang pertapa pengembara
bernama Sanjaya yang mempunyai banyak siswa, termasuk Sariputta
dan Moggallana. Kedua siswanya ini sangat serius dalam menyelidiki
sesuatu yang terletak di luar jangkauan waktu dan ruang di dalam
dunia ini, sehingga seringkali mereka membicarakan masalah ini.
Suatu hari mereka memanjat puncak bukit di mana mereka dapat
melihat kota dan dataran di sebelah utara. Mereka melihat penduduk
berlalu lalang di sawah-sawah dan jalan-jalan, hingga di saat itu timbul
dalam pemikiran mereka bahwa dalam seratus tahun, semua orangorang ini akan dimangsa oleh kematian. Mereka sangat terharu bila
memikirkan hal ini dan berjalan terus dalam kebisuan. Kemudian salah
seorang dari mereka berkata, "Jika ada prinsip umum tentang kematian
dan kemusnahan ini, pasti ada juga prinsip yang berlawanan yakni
kekekalan yang tidak mengalami kematian dan bisa menghindari
kemusnahan." "Ya," jawab yang lainnya, "marilah dengan teguh kita
selidiki rahasia dari jalan yang harus ditempuh untuk mencapai
kehidupan abadi ini." "Dan, sampai sejauh ini," kata pembicara
pertama, biarkanlah seseorang yang untuk pertama kalinya
menemukan jalan ini, menceritakannya pada yang lain." Demikianlah
janji yang dibuat antara mereka.
Pertama-tama mereka pergi menemui guru mereka, Sanjaya,
tetapi Sanjaya telah mengajarkan mereka seluruh pengetahuannya dan
dia tidak dapat menjabarkan pada mereka rahasia jalan yang harus
ditempuh untuk menghindari kematian.
Kemudian pada suatu hari, ketika Sariputta keluar meminta
sedekah, dia berjumpa dengan Assaji yang juga akan meminta
sedekah. Assaji berjalan dengan kepala tertunduk menunjukkan
kerendahan hati, wajahnya yang terang menandakan kedamain
batinnya dan Sariputta yakin bahwa bhikkhu ini telah menemukan jalan
yang dia dan Moggallana selidiki selama ini. Sariputta mengikutinya
hingga dia kembali dari sedekahnya, dan menunggu dengan hormat
hingga dia menghabiskan makanannya dan mencuci tangan. Setelah
itu, Sariputta mendekatinya sambil berkata:
"Wajahmu sangat terang, sahabat, siapa Gurumu? Dan apa saja
yang diajarkannya padamu?"
Wajah Assaji berseri-seri penuh cinta-kasih dan agung saat dia
menjawab, "Sang Buddha Gautama, adalah guru saya. Tidak pernahkah
kamu mendengar ketenaran Sang Buddha?"
15
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
"Dia yang baru-baru ini datang di Rajagaha? Ajaran apa yang dia
miliki? Ajaran apa yang diajarkannya padamu?"
Assaji tidak pernah dapat mengungkapkannya dengan kata-kata.
Assaji mengerti semua yang diajarkan Sang Buddha, tetapi itu adalah
pengalaman batin, yang tidak dapat diutarakan dengan kata-kata.
Beberapa lama kemudian dia menjawab, "Saya hanya seorang siswa
yang baru saja ditahbiskan. Saya tahu bahwa ajaran Sang Buddha
adalah benar, tapi saya tidak dapat menerangkannya secara lengkap."
Sariputta menjadi lebih yakin bahwa guru Assaji dapat
menerangkan padanya tentang kehidupan abadi, dan dia melanjutkan
pertanyaannya.
"Dapatkah kamu menjelaskan kepada saya walaupun sedikit saja?
Saya perlu isinya, kata-kata tidaklah menjadi masalah."
Assaji berpikir beberapa saat dan kemudian berkata, "Sang
Buddha mengajarkan bahwa segala sesuatu yang memiliki awal juga
memiliki akhir."
Itu bukanlah suatu jawaban yang akan diyakini orang-orang
bijaksana yang mengembara di pinggiran desa, yang sedang mencari
pedang-pedang tajam dengan siapa saja yang akan menentang
mereka, tetapi Sariputta tidak termasuk salah seorang dari mereka. Dia
terdiam beberapa saat dan melalui kekuatan batinnya dia memahami
penjelasan Assaji, tiba-tiba cahaya terang membias di wajahnya seraya
berkata, "Berarti seseorang yang dilahirkan suatu saat akan mengalami
kematian?"
"Ya," jawab Assaji.
"Berarti semua makhluk hidup selalu mengalami kelahiran dan
berakhir dengan kematian?"
"Ya," jawab Assaji.
"Dan di balik keberadaan dan ketidakberadaan, di balik kelahiran
dan kematian berada kehidupan yang abadi?"
"Ya," jawab Assaji kembali.
"Akhir dari siklus kelahiran dan kematian," sambung Sariputra
yang lebih ditujukan pada dirinya sendiri, "dan penemuan dari
Keabadian—kelahiran dan kematian serta semua yang ada dan
berhenti untuk menjadi ada—beriak pada kolam waktu—muncul
untuk kemudian menjadi padam—dan di bawah kedalamannya,
Keabadian! Sahabat, kamu telah menjelaskan pada saya rahasia hal-hal
yang abadi, rahasia pembebasan dari penderitaan."
"Bukan aku!" protes Assaji, "tetapi Sang Buddha. Ikutilah saya dan
saya akan membawamu untuk bertemu dengan beliau."
16
Dua Siswa Utama
"Dengan segala senang hati," sambut Sariputta, "tetapi saya harus
menemui sahabat saya dulu, Moggallana dan mengajaknya ikut serta.
Kami berdua telah membuat perjanjian bahwa bila salah satu di antara
kami telah melihat cahaya dari kehidupan abadi, akan segera memberi
kabar pada yang lain."
Assaji memberitahu Sariputta di mana Sang Buddha berada,
Sariputta segera mencari Moggallana dan menceritakan pertemuannya
dengan Assaji, Moggallana berteriak kegirangan,"Mari kita berangkat
kawan, dan bergabung dengan Sang Gautama yang mulia, mungkin dia
bersedia menjadi guru kita."
Tetapi Sariputta menjawab, "Kita harus mempertimbangkan
kawan, bahwa masih banyak teman-teman kita di kota ini sebagai
pendeta pengembara yang mengikuti Sanjaya. Mari kita beri informasi
dulu pada mereka tentang niat kita ini, mungkin mereka juga akan
melakukan apa yang mereka rasa baik untuk dilakukan."
Moggallana setuju dan keduanya segera memberitahu pendetapendeta pengembara bahwa ada seorang guru yang akan mengajarkan
rahasia dari kehidupan abadi. Mereka menyambutnya dengan gembira,
kemudian pertapa-pertapa tersebut memutuskan bahwa mereka juga
akan belajar pada Sang Buddha. Kemudian, kedua sahabat tersebut
menemui Sanjaya dan memberitahu tentang niat mereka. Sanjaya
meminta mereka untuk tidak meninggalkan dirinya dan membujuk
mereka untuk tetap tinggal dan bergabung dengannya dalam
mengambil bagian kepemimpinan di antara pendeta-pendeta
pengembara tersebut. Tetapi mereka menolak dengan halus, dan
meninggalkan dirinya diikuti seluruh pendeta pengembara tersebut.
Melihat itu, tak lama kemudian kemarahan Sanjaya memuncak,
wajahnya menjadi merah padam dan muntah darah.
Ketika Sang Buddha melihat kedatangan Sariputta dan
Moggallana, Sang Buddha berkata pada kami, "Lihatkah kalian
kedatangan kedua orang itu? Tandailah mereka. Mereka akan menjadi
siswa-siswaku yang hebat dan agung." Sebagaimana yang diucapkan
Sang Buddha, mereka menjadi siswa yang kemampuannya melebihi
yang lain di dalam Sangha kecuali jika dibandingkan dengan Sang
Buddha sendiri.
Sejak Sang Buddha tiba di Rajagaha, beliau telah diikuti oleh para
pertapa yang menderita, pengikut Kassapa dari Uruvella dan para
pertapa pengembara, pengikut Sanjaya, dan juga sejumlah besar
bangsawan-bangsawan muda. Dan kini penduduk mulai bersungutsungut dan dengan marah mengatakan bahwa Sang Buddha telah
merebut siswa-siswa orang lain dan menyebabkan orang-orang
17
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
meninggalkan kehidupan keluarga atau tanggung jawabnya sebagai
seorang pemimpin keluarga. Ketika kami memberitahu Guru tentang
hal ini, Sang Buddha berkata, "Keributan ini tidak akan bertahan lama.
Jangan pikirkan hal itu. Sang Tathagata memimpin manusia-manusia
dengan kekuatan kebenaran. Siapa yang tahan bersungut-sungut
sepanjang hari pada kekuatan kebenaran?"
Kembali, apa yang dikatakan Sang Buddha menjadi kenyataan.
Pada akhir hari ketujuh, orang-orang yang terlibat dalam kemarahan ini
menjadi diam dan keributan-keributan pun padam.
Sekarang sebelum aku ceritakan tentang berdirinya kerajaan
kebenaran secara lebih mendalam, izinkanlah aku menceritakan
sesuatu tentang kedua siswa yang terkenal ini, yakni Sariputta dan
Moggallana.
Sariputta mempunyai kebijaksanaan dan pengertian yang dalam,
mempunyai mata batin yang melebihi setiap orang kecuali Sang
Buddha. Dia dapat mengalahkan setiap orang dalam perdebatan jika
dia mau, tetapi dia tidak suka terlibat dalam perdebatan yang tidak
berguna, kecuali terhadap beberapa pertanyaan yang memang
seharusnya dilayani, karena dia dan begitu juga Assaji mengetahui
bahwa hal-hal yang mempunyai arti terdalam tidak dapat diungkapkan
dengan kata-kata, melainkan hanya terungkap dengan pikiran.
Seseorang dapat menemukan rahasia dari kehidupan abadi dengan
memikirkan hal-hal yang fana dari semua benda-benda yang ada di
dunia. Walaupun berpengetahuan luas, Sariputta tetap rendah hati dan
wajahnya mirip seorang bayi yang tak berdosa. Dia mengagumi Sang
Buddha seperti seorang anak kecil yang mengagumi pahlawan besar.
Suatu ketika, di saat kami berada di Nalanda dan suaranya memecah
kesunyian:
"Guru, dengan sepenuh hati saya katakan bahwa saya pikir pada
saat ini, tidak pernah ada dan tidak akan pernah ada seseorang yang
lebih mulia dan bijaksana daripada dirimu."
Dengan tersenyum Sang Buddha menjawab, "Betapa agung dan
beraninya kata-katamu Sariputta. Apa yang kamu katakan ini benarbenar seperti raungan seekor singa. Tentu saja, karena kamu telah
mengetahui mereka yang telah mencapai penerangan, semua yang
suci dan bijaksana pada masa lampau dan telah kamu ketahui juga
pikiran-pikiran mereka yang terdalam, sikap-sikap mereka, ajaranajaran mereka dan juga kebebasan yang telah mereka capai, bukan?"
"Bukan begitu, Guru," jawab Sariputta merendah.
Sang Buddha berkata dengan ironi yang halus, "Kalau demikian,
tentu saja kamu telah mengetahui semua yang telah mencapai
18
Dua Siswa Utama
penerangan, yang kelak di masa mendatang akan menjadi seorang suci
dan bijaksana, terkenal, juga mengetahui apa yang akan ada dalam
pikiran-pikiran mereka yang terdalam, sikap-sikap mereka, ajaranajaran mereka dan juga kebebasan yang akan mereka capai, bukan?"
"Bukan begitu, Guru," ulang Sariputta sekali lagi seraya tersenyum.
"Tetapi setidak-tidaknya, Sariputta, kamu mengetahui pikiranpikiran saya yang terdalam, sikap-sikap, ajaran-ajaran dan kebebasan
yang telah saya capai, bukan?"
Kami semua tertawa ketika Sariputta kembali terpaksa secara
jujur menjawab, tidak!
"Sariputta, berarti tidak ada pengetahuanmu mengenai
penerangan, kesucian dan kebijaksanaan seseorang pada masa lalu,
masa yang akan datang, atau pada masa kini. Jadi mengapa katakatamu begitu agung dan berani? Mengapa kamu meraung seperti
raungan seekor singa?"
"Guru," kata Sariputta, "Saya mengaku tidak mempunyai
pengetahuan mengenai pikiran-pikiran seorang suci yang telah
mencapai penerangan pada masa lalu, masa yang akan datang atau
masa kini. Saya hanya mengetahui apa yang terkandung dalam
Dhamma."
"Dan itu sudah cukup untuk diketahui," jawab Sang Buddha
membenarkan.
"Tetapi aku juga tahu," kata Sariputta dengan berani, "Bahwa pintu
gerbang untuk memasuki kota Dhamma adalah sukar untuk
ditemukan, bahwa mereka yang telah mencapai penerangan, suci dan
bijaksana masa lalu telah menemukannya dan begitu juga yang akan
datang akan menemukannya dan saya juga tahu," dengan suara keras
dia berseru, "Bahwa Sang Buddha Gautama juga telah
menemukannya!"
Kami tertawa dan Sang Buddha tersenyum gembira di saat
gurauan ini kembali tertuju padanya. Sesudah wafatnya Sang Buddha,
orang-orang yang tidak mengenalnya kadang menyatakan bahwa Sang
Buddha senantiasa dihormati sehingga terkesan mengambil jarak dan
jauh dari siswanya. Orang-orang yang menyatakan demikian tidak
pernah menyaksikan dekatnya Sang Buddha dengan siswa-siswanya
seperti saat ini. Adalah benar, terhadap yang tertawa keras dan tak
terkontrol Sang Buddha berkata, "Adalah cukup menunjukkan
kegembiraan dengan senyuman." Tetapi tidak ada kekakuan dalam
sikap-Nya dan beliau merasa senang dengan Sariputta yang dapat
membalikkan kata-kata beliau dalam senda gurau yang
menyenangkan.
19
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
Kerendahan hati Sariputta terlihat dalam kesempatan ini, juga
terlihat ketika untuk pertama kalinya dia bertemu dengan Punna, yang
merupakan seorang budak sebelum bergabung dengan Sangha.
Setelah mendengar Sang Buddha berkata bahwa Punna telah
mencapai kehidupan tertinggi, Sariputta sebagai seorang brahmin
mengikuti budak ini masuk ke dalam hutan, dengan sabar menunggu
hingga Punna selesai bermeditasi, kemudian baru memberikan
pertanyaan-pertanyaannya. Sariputta tertarik dan menunjukkan
kekagumannya pada pelajaran-pelajaran yang diterangkan oleh Punna.
"Dan siapa namamu, tuan yang mulia?" tanya Punna.
Ketika Sariputta memberitahu Punna siapa dirinya, Punna berkata,
"Ternyata saya telah berbicara dengan Sariputta tanpa tahu bahwa ia
adalah Sariputta, siswa yang agung. Bila saya tahu dia adalah Sariputta,
saya tentu tidak memberanikan diri untuk menerangkan pelajaranpelajaran. Namun bagaimanapun, adalah kesempatan yang berharga
buat saya karena dapat berbicara dengan Sariputta, yang patut
diteladani kerendahan hatinya."
Sungguh, kerendahan hati Sariputta membuatnya mudah didekati,
hal ini jarang didapati dari orang-orang yang berpengetahuan luas. Aku
tidak ragu-ragu menceritakan masalah-masalahku dan meminta
nasehatnya, dan dia selalu diikuti oleh orang-orang yang baru mulai
belajar, bahkan sebelum dia dipilih untuk menjadi guru mereka.
Sahabat Sariputta, Moggallana, sangat berbeda dengannya. Dia
mempunyai mata batin, penglihatan kedua yang dapat mengetahui isi
hati seseorang, mengetahui sesuatu yang jauh, mengunjungi alam
surga dan dewa-dewa, dan aku merasa agak takut dengan kekuatan
supranormalnya. Bila dia mulai tersenyum aneh berarti dari jauh dia
telah melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat orang lain; aku akan
menggigil bila dia menceritakan pada kami tentang penglihatannya,
seperti misalnya sebuah kerangka berjalan di udara sementara burung
gagak dan elang mematukinya dan ia berteriak kesakitan. Dan aku
tidak merasa gembira sedikit pun ketika dari penglihatannya dia
menjelaskan seorang penjual daging lembu yang menderita karena
makhluk-makhluk bisu yang telah dibunuhnya itu. Kadang-kadang
Moggallana digoda oleh Mara yang mengetahui minatnya tentang halhal yang berhubungan dengan alam gaib, dan sekali Sang Buddha
pernah menegurnya secara tak langsung dengan menyuruh kami untuk
ulet melatih meditasi dalam keheningan Arya. Mereka yang
berpenglihatan kedua sering melupakan bahwa berhubungan dengan
malaikat dan para dewa yang kehidupannya juga sementara seperti
kita bukanlah tujuan yang sebenarnya, yakni Nirvana dan Keabadian.
20
Dua Siswa Utama
Nirvana hanya dapat dicapai melalui kekosongan pikiran dari segala
aspek keinginan. Kemampuan Moggallana terletak pada kekuatan
penglihatan supranormalnya, tetapi dia tidak membiarkan
penglihatannya menjadi gelap dari tujuan untuk mencapai Nirvana.
Sering juga kekuatan-kekuatan ini besar faedahnya, seperti ketika dia
menemukan ketidaksucian seseorang dalam suatu pertemuan
walaupun orang tersebut telah mengenakan jubah kuning, dan dia
akan membimbingnya keluar. Kadang-kadang aku merasa takut,
bahwa kekaguman atas kekuatan-kekuatan Moggallana yang
supranormal lah yang menarik pemuda-pemuda untuk bergabung
dalam Sangha, tetapi mungkin aku salah menimbang mengingat sinar
wajahnya yang agung. Moggallana bukanlah seorang pemimpin seperti
Sariputta dan karenanya beliau lebih sedikit diceritakan. Selanjutnya
akan aku ceritakan terlebih jauh mengenai mereka seperti yang telah
aku ceritakan sebelumnya.
21
Kembali Pada Keluarga
Suddhodana, ayahanda Sang Buddha, adalah raja Suku Sakya
yang beribukota Kapilavatthu, beliau merasa sangat sedih ketika
Pangeran Siddharta meninggalkan istana, istri dan anaknya yang masih
kecil untuk pergi ke hutan dan hidup sebagai seorang pertapa; untuk
mencari sesuatu yang tidak diketahui oleh raja. Suddhodana sangat
sakit hatinya mendengar kabar tentang penyiksaan diri yang keras yang
dilakukan putranya. Suatu hari dia mengirim seorang pengawal untuk
membujuk putranya kembali dan meninggalkan perbuatan bodohnya,
tetapi putranya dengan tegas menolak, terpaksa pengawalnya kembali
sendirian. Beberapa tahun kemudian terdengar kabar bahwa putranya
mulai menyebarkan Dhamma dan memiliki banyak pengikut.
Kemudian dia mendengar bahwa putranya sedang berada di Rajagaha,
ibukota kerajaan Magadha. Walaupun sangat berjauhan dari
Kapilavatthu yang dipisahkan oleh sungai Gangga, rasa rindu yang
besar menyelimuti dirinya untuk melihat putranya sebelum dia
meninggal, kemudian dia panggil seorang menteri kepercayaannya
sambil berkata, "Pergilah ke kota Rajagaha dengan beberapa
pengawalmu. Beritahu putraku tentang keadaanku dalam tahun-tahun
belakangan ini, dan aku sangat ingin melihatnya sebelum meninggal
dunia. Mohon padanya untuk kembali ke Kapilavatthu bersamamu."
Sesuai dengan perintah, menteri tersebut mengadakan perjalanan
menuju Hutan Bambu di luar Rajagaha di mana banyak orang sedang
mendengarkan ajaran-ajaran Sang Buddha. Untuk tidak mengganggu
para pendengar, menteri tersebut berada di luar kerumunan orang dan
turut mendengarkan. Segera saja dia lupa pada tujuannya begitu
mendengar kata-kata kebenaran yang disabdakan Sang Buddha. Sang
Buddha berbicara tidak seperti orang mulia atau brahmin lainnya. Ia
bersabda dengan pernyataan yang jelas, dengan kekuatan yang tak
dapat dijelaskan. Kedamaian dan kebahagiaan menyelimuti hati orangorang yang mendengarnya, dan dunia beserta kekayaan menjadi
benda-benda yang tidak berharga. Menteri tersebut lupa akan pesan
Suddhodana, dan ketika Sang Buddha selesai berkhotbah, dia berjalan
menyeruak kerumunan tersebut dan memohon pada Sang Buddha
untuk menerimanya sebagai siswa.
Ketika menteri tersebut tidak kembali, Suddhodana mengirim
menteri yang lain, tetapi menteri ini juga tidak pernah kembali.
Kemudian Suddhodana mengirim Kaludayin yang hari kelahirannya
sama dengan putranya yang juga merupakan sahabatnya. Raja
memberitahu padanya tentang kedua orang menteri yang pergi dan
22
Kembali Pada Keluarga
tidak kembali, dan mohon padanya untuk kembali memberi kabar
walaupun kabar tersebut menyatakan bahwa putranya tidak akan
pernah mau kembali.
Kaludayin berjanji akan memberi kabar walaupun mungkin dia
juga akan bergabung dengan Sangha. Kaludayin kemudian memang
tertarik pada ajaran tersebut, tetapi dia masih tetap ingat pesan
Suddhodana dan merasa kasihan padanya sebagai seorang ayah yang
telah lanjut usia. Beberapa hari kemudian, dia mendekati Sang Buddha
untuk menyampaikan pesan ini.
Kini telah dua bulan lamanya Sang Buddha berada di Rajagaha,
sejak lima bulan lalu meninggalkan Taman Rusa dekat Benares, di
mana dia memberikan khotbah dhamma pada kelima siswanya yang
pertama. Kaludayin menghadap Sang Buddha sambil berkata:
"Musim dingin hampir berlalu. Musim panas mulai tiba. Ini adalah
waktu yang tepat untuk mengadakan perjalanan melalui pinggiran
desa. Alam hijau yang segar, pohon-pohon di hutan dihiasi bungabunga, jalan-jalan dipenuhi oleh wewangian bunga-bunga yang
bermekaran, burung merak dengan bangga mengembangkan ekornya,
burung-burung mengisi udara dengan nyanyiannya."
"Untuk apa kamu memberikan gambaran yang indah tentang desa
di musim semi?" tanya Sang Buddha.
"Ayahandamu, Guru, sangat rindu untuk melihat Guru sebelum
beliau mangkat, dan seluruh keluarga akan senang bila Guru berada di
tengah-tengah mereka dan memberikan khotbah dhamma."
"Baiklah kalau begitu." jawab Sang Buddha.
Buru-buru Kaludayin kembali untuk menyampaikan berita baik ini
pada Suddhodana. Bagi kami, memerlukan waktu enam puluh hari
untuk mengadakan perjalanan dari Rajagaha di sebelah selatan ke
Kapilavatthu yang terletak di kaki Gunung Himalaya.
Aku akan selalu mengingat perjalanan dengan Sang Buddha dari
Rajagaha menuju kota kelahirannya. Hari-hari itu adalah hari-hari yang
paling menyenangkan yang pernah kualami dan lebih menyenangkan
lagi bila aku mengingat dan membandingkan tahun-tahun panjang
yang berlalu dengan menjemukan, yang pernah kulalui dengan
perasaan dan pikiran yang buntu. Hampir pada setiap desa Sang
Buddha menginap sementara di bawah naungan hutan-hutan mangga
yang dingin, dan penduduk desa selalu datang mengelilinginya. Mereka
berkumpul di alam terbuka, dan Hutan Mangga ini menjadi tempat
yang suci. Desa-desa tampak seindah yang dilukiskan oleh Kaludayin,
dan di mana saja Sang Buddha lewat di dalam perjalanannya,
penduduk desa dengan bahagia berbicara padanya sambil menyalakan
23
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
dupa wangi yang aromanya bagaikan wanginya bunga-bunga pagar
hidup. Terkadang petani yang dibebani dengan pekerjaan berat dan
kemiskinan, datang berbicara dengan Sang Buddha dan setelah itu
kekhawatiran dan kelelahan segera lenyap dari wajah-wajah mereka,
dan mereka menemukan bahwa hal-hal yang mereka cemaskan
tidaklah seharusnya menjadi beban pikiran, dan bahwa sebenarnya
ada jalan pemecahan dari kesulitan-kesulitan mereka yang tidak
mereka ketahui. Adalah menyenangkan melihat kecemasan yang
lenyap dari wajah mereka begitu bertemu dengan Sang Buddha. Tetapi
kebahagiaan yang terbesar dari semuanya adalah di saat berada di
dekat Sang Buddha.
Tibalah kami di sungai Gangga. Perahu-perahu yang biasanya
digunakan untuk menyeberangkan orang telah hanyut oleh badai yang
beberapa waktu yang lalu datang dengan tiba-tiba, tetapi orang-orang
tersebut segera membuat rakit. Mereka menebang pohon-pohon dan
ketika kami tiba mereka sedang mengikat kayu-kayu tersebut dan
menutupnya dengan daun-daun dan rerumputan. Segera kami naik ke
atas rakit dan menyeberangi sungai. Orang-orang tersebut mendayung
dengan tangan dan kaki mereka dan memakan waktu yang lama untuk
menyeberangi sungai yang luas itu. Ketika kami sampai di seberang
sungai, perakit-perakit itu segera menarik rakitnya keluar dari air,
meninggalkannya di tepi sungai dan melanjutkan perjalanannya.
Setelah menyeberangi sungai, kami berkesempatan bertemu
dengan seorang pertapa pengembara. Salah seorang siswa baru dari
persaudaraan kami memulai pembicaraan dengannya, dan dari
pembicaraan mereka timbul perdebatan, siswa baru tersebut dengan
keras mempertahankan ajaran Dhamma yang diberikan Sang Buddha
padanya dan tidak menyakini yang lainnya hingga dia kehilangan
ketenangannya, akhirnya kami lega ketika pertapa pengembara itu
berbalik menuju jalan kecil yang lain dan berlalu. Kedamaian pada sore
hari itu menjadi lenyap akibat perdebatan mereka.
Pada malam hari ketika kami mengelilingi Sang Buddha untuk
mendengar Dhamma, Sang Buddha bercerita dan mengambil rakit
sebagai perumpamaan.
"Mungkin orang yang membuat rakit dalam usahanya mencapai
pantai seberang berkata, 'Rakit ini sangat bermanfaat bagi saya. Duduk
di atas rakit dan mendayung dengan kaki dan tangan, saya telah
menyeberangi sungai. Sekarang saya harus menyimpannya,
mengangkutnya di atas bahuku dan membawanya bersamaku.' Apa
pendapat kalian tentang orang yang seperti ini?"
24
Kembali Pada Keluarga
Sebagai jawabannya kami tertawa dan Sang Buddha melanjutkan,
"Demikianlah saudara-saudara, Dhamma yang saya ajarkan ini. Inilah
alat untukmu untuk menyeberang menuju pantai yang terjauh yakni
Nirvana, alat yang membawamu menemukan kedamaian batin. Jangan
terikat padanya. Bila telah kamu gunakan alat itu untuk menyeberang
menuju pantai terjauh ini, tinggalkanlah dia di belakang. Jika kamu
menghargainya dengan berlebihan, ia akan menjadi beban yang
menghancurkan, sama halnya dengan rakit yang akan menjadi beban
bagi perakit yang membawanya serta dengan meletakkannya di atas
kepalanya." "Berarti kita tidak boleh meyakinkan orang lain tentang
Dhamma, Guru?" tanya siswa baru tersebut.
"Dhamma bukanlah ajaran yang mesti diperdebatkan," jawab Sang
Buddha. "Dhamma adalah jalan kehidupan yang bebas dari kepalsuan
dan penderitaan; menuju pencapaian kedamaian batin dan
ketenangan. Seseorang yang telah mencapai kebebasan dan
ketenangan batin tidak mempunyai teori untuk menentang teori-teori
lain, tidak ada ide-ide untuk menentang ide-ide lain. Dia menyadari
semua kesatuan benda-benda di dunia ini. Dia telah meninggalkan
rakitnya di belakang."
Kini sungai Gangga telah hilang dari pandangan dan perjalanan
kami lanjutkan menuju arah utara melalui Vesali, ibukota persekutuan
Suku-suku Vajji dan merupakan pulau milik bangsawan Licchavi.
Kami tidak lama berada di sana, kemudian kami menuju arah
barat laut melewati Devadha, pusat kota suku Koliya, suku ibunda Sang
Buddha. Di sini untuk pertama kalinya kami menikmati keagungan
Pegunungan Himalaya. Aku tidak pernah mengadakan perjalanan ke
utara sejauh ini sebelumnya dan belum pernah melihat gunung-gunung
yang penuh dengan salju abadi. Kegembiraan yang besar mengalir
dalam relung-relung hatiku menikmati pemandangan ini. Begitu murni
dan sempurna—benar-benar di luar jangkauanku, semurni dan
sesempurna Nirvana—apakah hal ini berarti Nirvana juga di luar jangkauanku? Untuk pertama kalinya keraguan ini menyelimuti pikiranku.
Keraguan yang kian mendalam.
Kini kami melewati Taman Lumbini yang indah, tempat di mana
Sang Buddha dilahirkan, kelahiran yang tiba sebelum ibunya mencapai
kota kelahirannya, Devadha. Ada sebuah kolam bening di dekat pohon
Bodhi suci. Tidak seberapa jauh tampak sekawanan lembu putih yang
sedang makan rumput di padang, juga salju-salju putih Pegunungan
Himalaya tampak jernih berkilauan ditimpa sinar mentari bulan April
yang masih bebas dari debu musim panas yang segera akan
menutupinya. Akhirnya kami sampai di Kapilavatthu, sebuah kota yang
25
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
dibentengi oleh tembok yang kokoh, dengan Sungai Rohini yang
mengalir di sisinya melalui sebuah taman yang indah tempat di mana
Sang Buddha bermain ketika masih remaja.
Pada saat kami tiba di kota itu, sebuah kota yang jauh lebih kecil
dari Rajagaha, ada laporan pada seorang raja pengemis berjubah
kuning yang tidak lain adalah Pangeran Siddharta, telah memasuki kota
dengan murid-muridnya yang masing-masing memegang sebuah
mangkuk di antara orang-orang miskin yang tinggal di gubuk-gubuk
bambu. Suddhodana menyadari kehidupan yang telah dipilih oleh Sang
Buddha, yakni meminta sedekah untuk secuil makanan, tetapi
bagaimanapun perasaannya tersinggung melihat putranya sedang
mengemis di wilayah kerajaanya sendiri. Kemudian Kaludayin
memberitahu aku bahwa raja pernah berkeinginan untuk tidak mau
mengakui Sang Buddha sebagai putranya, tetapi kekuatan cinta terlalu
besar. Akhirnya dia berkeputusan menemui putranya. Ketika mereka
bertemu, kemarahannya menyala kembali.
"Apakah perlu untuk mengemis makanan dari satu rumah ke
rumah lainnya? Tidak adakah cara lain yang lebih pantas untuk
memenuhi kebutuhanmu?"
Sang Buddha menjawab lembut, "Ayah yang mulia, adalah layak
bagi penemu kebenaran untuk menerima makanan yang diberikan
padanya."
Kemarahan raja agak sedikit mereda berkat kelembutan Sang
Buddha, tapi dengan masih berang dia melanjutkan, "Bukankah kita
tidak digariskan untuk hidup demikian sebagai pangeran Suku Sakya?
Apakah pernah ada seseorang penerus marga kita yang melakukan
perbuatan yang kurang terhormat ini?"
"Baiklah, ayahku yang mulia," jawab Sang Buddha lebih lembut,
"Tetapi saya juga digariskan sebagai bangsawan penemu kebenaran,
dan jalan kehidupan dari penemu kebenaran adalah menerima
makanan yang tersisa walaupun bagai seorang pengemis.
Kemarahan raja luluh dan dia berkata, "Baiklah anakku, jika ini
pendirianmu, biarkanlah saya memberimu makanan seperti yang
lainnya."
"Dengan senang hati, ayah yang mulia. Besok saya dan saudarasaudara saya akan datang ke rumah Ayah," Suddhodana sudah puas
dengan pertemuan yang sesaat ini, dan kemudian mereka berpisah.
Pada hari selanjutnya seluruh keluarga raja berhias diri dan
mengenakan pakaian yang berkilau-kilauan dalam upacara
menyambut bekas pangeran mereka dan menyiapkan makanan.
Selesai acara makan raja duduk di samping putranya, tetapi tidak
26
Kembali Pada Keluarga
meminta putranya untuk memberikan khotbah sebagai balasan seperti
yang dilakukan oleh orang lain ketika menjamu Sang Buddha. Dia
cuma duduk memandangi Sang Buddha. Sebelumnya aku tidak pernah
memperhatikan betapa banyaknya kerutan di keningnya. Untuk
sementara waktu aku terpana bahwa tidak ada penyesalan sedikit pun
pada Sang Buddha, tetapi keterpanaanku segera lenyap ketika aku
merasakan belas kasihan Sang Buddha melihat kerutan di kening
ayahnya. Perlahan-lahan keheningan menyelimuti orang-orang yang
ada. Kelihatannya kebahagiaan yang tidak didapatkan dari dunia ini
menyelinap dalam diri mereka masing-masing. Aku dapat merasakan
bahwa kepicikan dan kesulitan-kesulitan mereka menjadi lenyap. Hal
ini tidak akan berlangsung lama. Di lain hari mungkin mereka dapat
memecahkan persoalan-persoalan mereka, tetapi sekarang biarkanlah
mereka menikmati sejenak ketenangan dan kegembiraan yang tidak
didapatkan di dunia ini. Tak lama kemudian suara raja memecah
keheningan ini. Ini bukanlah kata-kata yang telah dipersiapkan
sebelumnya; kesombongan dan kebenciannya telah lenyap. Hanya saja
masih tersirat duka dalam suaranya yang memelas.
"Oh, anakku, betapa teganya dirimu membiarkan semua ini?
Betapa teganya kamu meninggalkan saya sendirian untuk menanggung
beban memegang kekuasaan ini? Ketika saya mendengar
kedatanganmu, saya segera menemuimu. Bagaikan seorang
pengembara lelah di padang pasir yang mencari mata air, lalu ia
terburu-buru menuju sumber mata air, namun setibanya di sana mata
air itu ternyata telah kering dan lenyap. Saya melihat putra saya
memiliki gambaran yang baik di masa tuanya. Tetapi hatinya—"
Suaranya melemah. "Ke mana perginya hatimu? Saya adalah orang
yang kehausan akan mata air yang kering itu." Orang tua itu tidak
menangis, kekecewaan dan rasa sedihnya yang dalam tak lagi dapat
dilukiskan dengan air mata.
Sang Buddha tidak berkata apa-apa. Semua orang tertunduk diam.
Aku tahu mereka bukan sedang memikirkan raja, mereka cuma
berharap bahwa kehadiran Sang Buddha yang membahagiakan ini
akan berlangsung selamanya.
Tak lama kemudian Sang Buddha berbicara. "Ayah, saya
membawa air kehidupan yang abadi untukmu. Tetapi sebelum Ayah
meminum air keabadian ini, cinta pribadi dan cinta yang bersifat
memiliki harus disingkirkan. Semua keinginan harus dilenyapkan."
Kesengsaraan yang terlukis di wajah tua sang raja kian mendalam.
Aku mengerti bahwa dia tahu Sang Buddha berbicara tentang
kebenaran, tetapi dia juga tahu bahwa Sang Buddha memintanya untuk
27
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
merelakan putranya, untuk melepaskan pikiran kolotnya tentang cinta
pribadi terhadap keluarga, dan tugas-tugas seorang pangeran. Dia tidak
dapat membalas pandangan Sang Buddha. Dia harus mempunyai
waktu untuk memikirkan hal ini. Lalu dia bangkit meninggalkan
ruangan di tengah-tengah keheningan ini. Sang Buddha juga segera
bangkit dan meninggalkan ruangan. Pertemuan pun berakhir. Ketika
kami melewati pintu keluar, aku mendengar orang-orang sedang
berdiskusi tentang apa yang telah mereka saksikan. Bagaimana
Pangeran Siddharta berada dalam suasana yang luar biasa ini? Apa
maksudnya tentang air kehidupan yang abadi? Mengapa raja tidak
memintanya untuk memberikan khotbah sebagaimana biasanya? Suatu
hal yang penting adalah mereka semua berpendapat bahwa apa yang
mereka alami ini, akan terulang lagi.
Kaludayin yang selalu berada di dekat raja, memberitahu aku
bahwa Sang Raja tidak dapat tidur pada malam harinya. Semua
argumen-argumen tersebut selalu berputar-putar dalam pikirannya.
Tentang putra yang dilatih untuk memimpin dunia, tentang kewajibankewajiban yang harus dijalankannya sejak dia dilahirkan, dan
kewajiban-kewajiban tersebut telah diabaikannya. Tetapi di balik
semua argumen-argumen yang bertujuan membenarkan dirinya sendiri
tersebut, timbul suatu pengertian di dalam dirinya, dan esok paginya
dia menyuruh Kaludayin untuk meminta Sang Buddha memberikan
khotbah di kerajaan pada semua orang yang mau mendengarkan.
Orang-orang telah datang berkumpul untuk mendengar khotbah
Sang Buddha sebelum siang hari tiba. Mereka mengetahui sedikit sekali
mengenai Pangeran Siddharta yang mengasingkan diri. Mereka
mendengar bahwa dia telah menjadi seorang Buddha yang maha
sempurna. Dan sekarang mereka mendengar tentang pengaruhnya
yang sangat kuat pada seluruh anggota keluarga.
Ketika Sang Buddha masuk, dengan serentak mereka bangkit dan
menyambutnya dengan salam. Namun demikian mata Sang Buddha
tetap tertunduk menunjukkan sikapnya yang rendah hati. Ketika Sang
Buddha membuka suara, pengharapan menyelimuti diri mereka
seperti angin yang bertiup pada hamparan padi di sawah. Suara Sang
Buddha terdengar jelas seperti suara genta yang terdengar dari
kejauhan, bahkan orang-orang yang berada di luar kerumunan tersebut
dapat mendengar setiap kata yang diucapkannya, seolah-olah Sang
Buddha berbicara langsung pada mereka.
"Ini adalah rumah saya di mana saya pernah hidup penuh dengan
kemewahan. Tetapi kebahagiaan tidak saya dapatkan dari kemewahan
ini." Kerumunan tersebut mulai berdengung. Selama ini mereka yakin
28
Kembali Pada Keluarga
bahwa jika seseorang berbuat baik dan mengabdikan diri, pada
kehidupan yang akan datang akan dilahirkan di dunia ini penuh dengan
benda-benda yang bagus dan mewah yang dapat membuatnya bahagia! Sekarang mereka diberitahu bahwa kebahagiaan tidak didapati
dari kemewahan ini! Aku melihat mereka kembali bertanya antara satu
dengan lainnya. "Tidak," Sang Buddha melanjutkan setelah membaca
pikiran-pikiran mereka. "Karena perbuatan baikmu, kamu akan
dilahirkan pada tingkat kehidupan yang lebih tinggi daripada
kehidupanmu sekarang ini. Tetapi tidak berarti berakhirnya
penderitaan, karena semua adalah dukkha. Seorang pangeran dan
bangsawan juga bisa menderita sama halnya dengan seorang budak.
Jika seorang pangeran menderita karena kematian anaknya, tidakkah
sama penderitaannya dengan penderitaan seorang pelayan yang juga
kehilangan anaknya? Semua keturunan memiliki darah dan air mata
yang sama."
Aku berpaling pada raja. Seperti yang lainnya dia juga merasakan
bahwa pembicaraan Sang Buddha lebih ditujukan pada dirinya. Setelah
beristirahat sebentar Sang Buddha melanjutkan, "Penderitaan terikat
pada kelahiran dan kehidupan di dunia. Usia tua, penyakit dan
kematian senantiasa mengikuti setiap kelahiran. Semuanya akan
musnah. Sebagai orang muda saya melihat semua penderitaan di
sekeliling saya, dan air mata saya meleleh melihat penderitaan
saudara-saudara saya. Saya yakin ada jalan keluar dari penderitaan
dunia yang fana ini. Jika tidak ada, maka hidup ini dipandang sebagai
sesuatu yang sangat mengerikan, dan perselisihan-perselisihan tidak
akan pernah dapat didamaikan. Tetapi saya telah menemukan bahwa
perselisihan-perselisihan ini tidak akan pernah ada, jika jiwa kita bersih
dan hati kita semua penuh dengan kebahagiaan dan kedamaian."
Saat Sang Buddha mengucapkan kata "Kedamaian", pertanyaanpertanyaan mereka menjadi lenyap, suasana menjadi hening. Mereka
menghayati ajaran baru ini dan merasakan dalam dirinya masingmasing rasa damai yang disampaikan oleh Sang Buddha. Beberapa
lamanya Sang Buddha terdiam.
"Inilah Dhamma, hukum kehidupan yang menguasai semuanya.
Memerangkap diri di dalam nafsu keinginan berarti memenjarakan diri
dalam duka yang berkepanjangan. Tidak terikat pada keinginankeinginan berarti bebas dari penderitaan. Hasilnya akan membawa kita
ke dalam kedamaian dan kebahagiaan. Dan jalan menuju inti dari
Dhamma adalah dengan memancarkan cinta kasih pada semua
makhluk hidup tanpa meminta balasan dari siapapun. Bila tidak ada
lagi pikiran tentang "Aku" dan "Milikku" maka telah tercipta kebaha29
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
giaan yang sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata, dan penderitaan
pun telah ditinggal berakhir.... Itulah air kehidupan yang saya bawakan
untuk kalian." Kemudian Sang Buddha mengajarkan mereka Empat
Kesunyataan Mulia dan Delapan Jalan Utama. Sang Buddha berbicara
cukup lama, tetapi tidak seorang pun merasa jemu dan menyadari
waktu yang berlalu. Matahari mulai tenggelam ketika Sang Buddha
mengakhiri khotbahnya dan kebahagiaan yang besar terpancar dari
wajah orang-orang tersebut bagaikan sebuah lampu yang menerangi
ruangan yang gelap. Suddhodana menangis terharu. Semua
kesombongan, kekecewaan dan cinta pribadinya telah lenyap.
Sekarang dia bagaikan seorang anak kecil yang dibimbing oleh
putranya sendiri menuju jalan yang terbuka untuknya.
"Dapatkah seorang raja melangkah di atas jalan itu?" tanyanya.
"Semua orang dapat mengikuti jalan itu," jawab Sang Buddha.
Wajah sang raja berseri penuh kebahagiaan; matanya telah
terbuka dan dia telah maju selangkah, di mana dapat kita sebutkan
memasuki sebuah aliran yang menuju Nirvana.
**********************
Yasodara, istri Sang Buddha sebelum beliau meninggalkan
keduniawian, tidak bergabung dalam keramaian tersebut untuk
mendengar khotbah. Harga diri dan rasa terluka masih terasa saat dia
berkata, "Dia adalah suamiku, biar dia yang datang sendiri
menemuiku."
Ketika untuk pertama kalinya dia mendengar suaminya
memotong rambut dan mengenakan pakaian seperti seorang
pengemis, tidur di atas tanah dan hanya makan sekali dalam sehari, dia
juga segera menjalankan kehidupan yang sama. Tetapi hal itu mungkin
dilakukan bukan karena keinginannya sendiri, mungkin di saat itu dia
hanya ingin menunjukkan kesetiaannya dengan merasakan
penderitaan yang dirasakan oleh suaminya, dengan demikian dia
berharap suaminya akan meninggalkan pengembaraannya dan
kembali padanya. Sekarang suaminya telah kembali, tetapi dia tetap
belum rela merendah diri untuk menemuinya.
Sang Buddha yang mengetahui apa yang ada di dalam pikiran
Yasodara, berkata pada kami, "Bila bekas istri saya menemui saya dan
memeluk saya sebagai tanda cinta seorang istri terhadap suaminya,
maka biarkanlah dia melakukan apa yang diinginkannya." Bila Sang
Buddha tidak berkata demikian, kami pasti akan mencegah dia agar
30
Kembali Pada Keluarga
tidak mengganggu beliau, karena seorang wanita tidak pantas menyentuh seorang suci yang telah mengenakan jubah kuning.
Hal itu terjadi seperti yang telah diduga Sang Buddha. Selesai
berbicara dengan ayahnya, Sang Buddha menuju tempat tinggal
Yasodara, dan Yasodara dengan kerinduan yang menyala-nyala segera
menghambur memeluk Sang Buddha, dan pecahlah tangis dan tawa
yang tidak dapat dibendungnya lagi. Sang Buddha berdiri mematung
menunggu sampai Yasodara tenang kembali. Sekarang dia merasa
menyesal tidak hadir dalam mendengarkan khotbah Sang Buddha dan
dia berkata dengan perlahan:
"Suamiku, berilah pelajaran untukku seperti yang telah kamu
berikan pada yang lain." Lalu Sang Buddha mengajar dia seperti yang
lainnya. Selesai mendengar Sang Buddha dia berkata, "Guruku yang
mulia, saya akan mengikuti ajaranmu."
Kemudian Yasodara melanjutkan hidup sederhananya, tetapi
bukan dikarenakan harga diri seperti sebelumnya, melainkan karena
rasa bahagianya, mengetahui bahwa dengan berkeinginan sedikit, dia
semakin dekat dengan akhir penderitaan.
Sesudah Sang Buddha menemui Yasodara, beliau bertemu
dengan Nanda, putra dari ibu pengasuhnya, Pajapati. Tak lama lagi
Nanda akan menikah dan telah diumumkan akan menjadi raja. Sang
Buddha memintanya untuk mengambil sebuah mangkuk. Dia
melakukannya. Ketika mereka keluar mereka berjumpa dengan putri
bangsawan, calon istri Nanda. Dia sedang menyisir rambutnya yang
panjang berkilauan. Seketika dia berhenti menyisir dan aku melihat
kecemasan yang terukir di wajahnya. Suatu hari kemudian Nanda
memberitahu aku bahwa ketika dia mengambil mangkuk Sang Buddha, tidak ada niatnya untuk bergabung dalam persaudaraan kami,
tetapi ketika dia sampai di rumah, kedamaian mengisi hatinya.
Kehidupan sebagai seorang raja tidak lagi menarik perhatiannya. Dia
tinggal bersama Guru dan pada hari ketiga memohon untuk
ditabhiskan menjadi siswa.
Yasodara, yang mendengar pentabhisan Nanda, segera
mengenakan baju kebesaran pada putranya Rahula dan menunjuk
Sang Buddha sambil berkata, "Anakku, orang suci yang ada di sana
adalah ayahmu. Temuilah dia dan mintalah warisan padanya."
Saat itu Rahula hanya berumur delapan tahun dan tidak mengerti
arti ucapan ibunya yang begitu dalam, dan ucapan ini bukan karena
untuk membalas sakit hatinya karena ditinggalkan suaminya yang
paling dicintainya ini. Bahkan dia mengikuti jalan hidup suaminya,
31
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
sekarang dia mengirim putranya dengan harapan akan menerima
sesuatu yang paling berharga daripada pemberian lainnya.
Rahula menghadap Sang Buddha dengan ketenangan dan
kepolosannya sebagai seorang anak kecil dan menyampaikan apa yang
telah diucapkan Sang Ibu padanya. Sang Buddha memandangnya lama
tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Rahula masih terlalu kecil untuk
meninggalkan kehidupan duniawi. Kemudian Rahula dengan penuh
keyakinan dan cinta kasih menatap ayahnya sambil berkata, "Sudah
merupakan kebahagiaan yang tiada taranya bila dapat menjadi
bayanganmu, yang termulia."
Keraguan Sang Buddha menjadi lenyap dan beliau berkata,
"Baiklah anakku, saya akan memberikan warisan kepadamu, kamu
mendapat bagian-bagian yang baik yang saya dapatkan di bawah
Pohon Bodhi ketika saya mencapai penerangan sempurna." Sang
Buddha berpaling pada Sariputta dan berkata, "Biarkan dia
ditabhiskan." Kemudian Rahula menjadi murid Sariputta yang
mengajarkan Dhamma yang dapat diterima sesuai dengan umurnya.
Ketika Suddhodana mendengar Nanda dan Rahula telah
mengenakan jubah kuning dan meninggalkan kehidupan duniawi, dia
benar-benar sedih. Lalu dia menjumpai Sang Buddha dan berkata,
"Ketika saya mendengar Nanda telah pergi, saya masih bisa menghibur
diri sendiri walaupun telah kehilangan dua putra, mengingat saya
masih mempunyai seorang cucu. Tetapi dia kini juga telah
meninggalkan saya dan garis keturunan sebagai pangeran telah putus.
Cintaku terhadap seorang anak menggerogoti kulitku, daging bahkan
ke dalam tulang sumsumku.
Aku tahu bahwa perkataanmu tentang cinta pribadi adalah benar,
tetapi itu adalah perjanjian yang sukar untuk dipenuhi, dan saya mohon
padamu, anakku, yang kini menjadi Guruku, seharusnya mulai
sekarang engkau mengumumkan bahwa pentabhisan tidak akan
dilakukan tanpa persetujuan orang tuanya." Sang Buddha setuju dan
kemudian benar-benar membuat peraturan seperti yang diajukan oleh
ayahnya.
Raja mengucapkan terima kasih dan berlalu. Tiba saatnya
diadakan rapat keluarga untuk memilih pengganti Raja. Dalam
perundingan diputuskan bahwa Bhaddiya, saudara sepupu Sang
Buddha, yang menggantikan kedudukan Suddhodana sebagai
pemimpin Suku Sakya. Kemudian Suddhodana menjalankan Dhamma
dengan sungguh-sungguh seperti yang telah diajarkan Sang Buddha
kepadanya.
32
Kunjungan Kedua ke Rajagaha
Maha Kassapa-Anathapindika-Khema
Setelah merasa cukup lama tinggal di Kapilavatthu, Sang Buddha
kemudian melanjutkan perjalanannya kembali ke Rajagaha. Aku tidak
bergabung dengan Sang Buddha dan menjadi sedih karenanya. Aku
tahu bahwa setiap orang harus bisa berdiri sendiri dan tidak bergantung
pada siapa pun untuk menyelamatkan dirinya. Tetapi aku kini jauh dari
Sang Buddha, sungguh, ini bukanlah hal yang mudah.
Setelah Sang Buddha wafat, dikhabarkan bahwa semua siswa
pertamanya mencapai penerangan sempurna dalam selang waktu
beberapa bulan. Tetapi pernyataan itu tidaklah mutlak benar.
Sebagaimana yang sering disabdakan Sang Buddha, "Kemajuan itu
dicapai secara perlahan-lahan. Dhamma ibarat sebuah samudera yang
luas. Kedalamannya terbentuk secara perlahan-lahan, kelandaiannya
terbentuk oleh satu cekungan diikuti cekungan berikutnya, bukan
terbentuk secara tiba-tiba oleh jatuhnya sebuah karang yang tajam.
Demikian juga Dhamma ini, tidak ada penembusan akan
kebijaksanaan secara tiba-tiba."
Saat rintangan dan kesulitan mulai mengelilingiku, aku benarbenar menyadari kebenaran akan sabda Sang Buddha di atas.
Walaupun demikian, di sini, aku tidak bermaksud untuk menceritakan
apa yang kulakukan, kecuali telah sejauh mana mereka menyebarkan
Dhamma, dan aku juga bukan akan menceritakan salah satu dari
mereka. Yang ingin kuceritakan adalah tentang apa yang terjadi pada
Sang Buddha setelah beliau meninggalkan Kapilavatthu, dan juga
mengenai tiga orang termasyur yang menjadi siswa-Nya pada saat
kunjungan kedua Sang Buddha ke Rajagaha.
Sebelum tiba di Rajagaha, Sang Buddha melewati kota Nalanda, di
mana dapat dilihat bukit-bukit yang mengelilingi Rajagaha, Sang
Buddha keluar dari jalan besar dan berjalan menuju tempat suci di tepi
jalan untuk bermeditasi. Di sinilah Kassapa, yang kemudian dikenal
sebagai Maha Kassapa, atau Kassapa Agung, datang menghadap Sang
Buddha. Maha Kassapa, yang mengadakan Sidang Sangha setelah
wafatnya Sang Buddha, tidaklah sama dengan Kassapa dari Uruvela,
yang pernah menyatakan dirinya sebagai orang yang paling mulia.
Kehidupan Maha Kassapa di masa lalu berjalan tidak sebagaimana
lazimnya. Dia adalah putra sebuah keluarga Brahmin. Sebelumnya dia
menganut ajaran lain, yang dianggapnya baik. Namun dia selalu
menegaskan bahwa setelah memotong rambut dan janggutnya, dia
hanya mengenal Sang Buddha Gautama sebagai gurunya. Dia
33
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
memberitahu kami bahwa, bahkan sebelum menjadi seorang yang
berkeluarga, dia telah mempunyai pandangan bahwa hidup
berkeluarga bakal dipenuhi oleh hal-hal yang jauh dari kesucian, dan
tidaklah mudah bagi seseorang yang berkeluarga untuk tetap hidup
suci dan bercahaya, sebagaimana kehidupan seorang Brahma, tinggal
di alam terbuka adalah jalan terbaik untuk mencapai pembebasan dari
hal-hal yang bersifat duniawi.
Oleh karena itu dia kemudian memutuskan untuk tidak menikah
dan meninggalkan kehidupan duniawi. Ibunya, berpendapat
sebaliknya, dengan agak bermuslihat, dia mengharuskan Kassapa
menikah dengan seorang gadis bernama Bhadda dari Kapila. Rupanya
Bhadda juga sudah memutuskan untuk tidak menikah dan meninggalkan kehidupan duniawi. Karena mempunyai tujuan yang sama,
mereka kemudian tidur dengan dipisahkan oleh sebuah untaian bunga,
sehingga perkawinan mereka tidak pernah sempurna. Setelah ibu
Kassapa meninggal, mereka segera memotong rambutnya masingmasing, dan bersama-sama berangkat untuk meninggalkan kehidupan
duniawi, mereka kemudian berpisah di persimpangan jalan. Lima
tahun lamanya Bhadda mencari kebijaksanaan sebelum kemudian
ditabhiskan menjadi siswa, tetapi Kassapa langsung menjadi siswa tak
lama setelah meninggalkan rumah.
Kassapa berulang kali menceritakan saat pertemuannya dengan
Sang Buddha di antara Nalanda dan Rajagaha. Dia menghadap Sang
Buddha yang sedang duduk di sebuah tempat suci di tepi jalan. Segera
dia bersujud dan menyatakan keinginannya untuk menjadi siswa. Sang
Buddha menerimanya. Kemudian, seperti yang telah ditetapkan,
selama tujuh hari Kassapa hidup dengan meminta sedekah. Pada hari
ke delapan, dia berkata telah memiliki kebijaksanaan. Pada hari
selanjutnya, ketika dia melihat Sang Buddha melintasi jalan untuk
bermeditasi di bawah pohon, segera dia menebarkan jubahnya dan
mempersilahkan Sang Buddha duduk di atasnya agar terasa lebih
lembut dan menyenangkan. Sang Buddha menyambut keramahannya
sambil berkata, "Sungguh nyaman, Kassapa, duduk di atas jubahmu."
Kassapa tidak menyadari bahwa perkataan ini adalah sebuah
teguran halus dan dengan riang dia berkata, "Guru, berkenankah Guru
menerima jubah lembut ini sebagai hadiah?"
Kegembiraan Kassapa tak terkirakan ketika Sang Buddha
menjawab bahwa beliau menerimanya dan menambahkan, "Kassapa,
bersediakah engkau memakai jubah tambalan saya yang kasar ini?"
Kassapa menjawab, "Saya sangat mendambakannya, Yang Mulia,
memakai jubah tambalan orang suci."
34
Kunjungan Kedua ke Rajagaha
Lalu dia memberi jubahnya yang lembut pada Sang Buddha dan
dengan penuh kegembiraan dia menerima jubah tambalan Sang
Buddha. Seterusnya Kassapa tidak memakai jubah lain selain jubah
yang terbuat dari kain yang kasar ini. Kami tahu bahwa Sang Buddha
pasti tersenyum melihat kegembiraan Kassapa, tetapi Kassapa adalah
orang yang tidak mempunyai rasa humor sehingga ia selalu
menceritakan masalah ini, menyombongkan bagaimana kejadiannya
hingga Sang Tathagata telah bertukar jubah dengannya, dan bagaimana
dia menjadi putranya yang sebenarnya, dan merupakan pewaris
Dhamma. Kassapa juga menyombongkan bagaimana dia dapat
mencapai jhana keempat dari meditasi dan mempunyai kekuatan
supranormal, bahwa dia dapat bebas dari Asava kehidupan duniawi,
bahwa dia tidak dapat menyembunyikan semua pencapaian melebihi
seekor gajah yang tingginya sembilan kubit yang dapat disembunyikan
oleh sepucuk daun palem. Kassapa kurang disenangi dalam
persaudaraan, tetapi tidak seorang pun yang mengingkari
kesempurnaan pertapaannya dan ketidakpeduliannya terhadap
kesenangan fisik. Suatu hari dia memperoleh makanan dari seorang
yang berpenyakit kusta dan memakan makanan yang diberikannya,
walaupun dia melihat jari tangan si pemberi makanan rusak dan putus
sewaktu menuangkan makanan ke dalam mangkuknya. Tetapi praktek
penyiksaan diri sebenarnya memang tidak pernah menjadi tujuan
utamanya walaupun ia sering berkata bahwa ia tidak lagi perduli
dengan segala kesenangan duniawi, dan ada sedikit sifat keras
kepalanya yang khas akan pandangannya itu. Kassapa tidak pernah
mau mengakui kekasarannya, dan ada garis kekejaman dalam
sikapnya menghadapi semua ini. Dia telah sangat meremehkan
godaan-godaan yang biasanya selalu menyerang manusia-manusia dan
tidak ada rasa simpatinya sedikitpun terhadap orang-orang yang lemah
terhadap godaan-godaan itu. Tidak ada sedikit pun rasa belas
kasihannya terhadap umat manusia yang dianggap awam itu. Namun
demikian secara alamiah, dia memang memiliki pengertian-pengertian
yang mendalam kecuali dalam hal mengendalikan dirinya sendiri. Dia
paling senang tinggal sendirian di dalam hutan atau memanjat karang
curam dengan lincah seperti seekor rusa untuk bermeditasi di tempat
yang tinggi dan sunyi. Otot-ototnya menjadi kencang seperti lembaran
kulit dan dia tidak pernah mengenal lelah dalam perjalanan dan
pendakiannya. Semua makhluk-makhluk yang buas dikenalnya;
lolongan binatang-binatang yang tinggal di puncak bukit, rumah-rumah
penggembala, tingkah laku kera berwajah putih dan rusa yang pemalu.
Dia tahu kapan pohon apel akan berbunga dan kapan bunga-bunga iris
35
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
akan bermekaran di sepanjang aliran sungai. Jeritan anjing-anjing hutan
pada malam hari bukanlah suatu pertanda kemuraman baginya. Dia
hidup bersama makhluk hidup di alam ini. Tetapi dia tidak tinggal
bersama manusia. Bila dia berada di lingkungan manusia, kebisuannya
yang panjang terasa mengerikan, dan bila diberi kesempatan berbicara,
dia akan berbicara terutama mengenai dirinya sendiri dan
kesempurnaannya. Tetapi pembicaraannya tetap didengar dan
dihormati mengingat perjuangannya yang keras dan kesuciannya
seperti apa yang telah dibicarakannya secara panjang lebar.
Setelah pertemuannya dengan Sang Buddha, Maha Kassapa
mengikuti Sang Buddha kembali ke Rajagaha di mana dia menginap di
Veluvana atau Hutan Bambu yang diberikan oleh Raja Bimbisara pada
Sangha pada kunjungan yang terdahulu. Banyak orang yang menunggu
kedatangan Sang Buddha di sana, baik yang kaya maupun yang miskin.
Di antara sekian banyak orang kaya tersebut terdapat seorang
pedagang besar dari Rajagaha yang menikah dengan adik perempuan
Anathapindhika, seorang pedagang besar dari kota Savatthi, yang
terletak di sebelah barat tempat kelahiran Sang Buddha. Anathapindika
dari Savatthi terkenal sebagai penolong anak yatim piatu dan orangorang yang melarat, karena itu orang-orang yang memerlukan bantuan
selalu datang padanya. Hatinya sebesar kekayaannya dan tidak terbatas
kemurahan
hatinya.
Semua
orang
mendoakannya
dan
memberitahukan padanya bahwa dia akan dilahirkan kembali di alam
sorga. Tetapi dia sendiri tidak merasa puas. Suatu saat ia pernah
memberitahu aku bahwa di masa jayanya dulu dia pernah merasa
telah kehilangan sesuatu.
Pada waktu itu, dia datang menjenguk adik dan iparnya untuk
urusan bisnis atau untuk keperluan lainnya, dan tiba di Rajagaha
bersamaan waktunya dengan kehadiran Sang Buddha yang tinggal di
hutan Bambu. Ke manapun Anathapindika pergi, biasanya orang-orang
segera menghentikan pekerjaan yang sedang dilakukan dan
menyambutnya sebagai tamu terhormat, tetapi pada saat itu adik
iparnya hampir tidak melihat kedatangannya, ia tetap melanjutkan
memberikan petunjuk-petunjuk pada pelayannya dan kelihatannya
seperti akan diadakan pesta besar. Di ruangan utama tampak pelayanpelayannya sedang menuang cairan rabuk sapi yang segar di lantai
supaya kelihatan bersih mengkilat. Di dapur adik iparnya berkata pada
pelayan-pelayannya, "Sekarang, beras dicuci sebersih mungkin sampai
tidak ada sebutir pun yang kotor, memasaknya jangan terlalu basah
atau kering, gulainya jangan terlalu pedas dan rasa dagingnya harus
seperti yang dihidangkan pada Raja."
36
Kunjungan Kedua ke Rajagaha
Anathapindika berkata dalam hatinya sendiri, "Sungguh aneh
tingkah laku iparku ini! Biasanya dia akan menghentikan semua
pekerjaannya dan menyambutku dengan ramah tamah, tetapi sekarang
dia tampak acuh dan begitu sibuk memberikan petunjuk-petunjuk
pada pelayannya. Apa artinya semua ini? Apakah dia sedang
menyiapkan sebuah pesta perkawinan untukku, atau sedang
mempersiapkan sebuah upacara pengorbanan yang besar, atau
mungkin dia mengundang Raja Bimbisara dan semua negarawan
untuk pesta perjamuan besok."
Anathapindika menunggu sampai adik iparnya ini selesai
memberi petunjuk-petunjuknya dan kemudian mendekatinya sambil
menceritakan pikiran-pikiran apa yang tadi timbul dalam benaknya.
"Tidak," jawab adik iparnya, "Itu semua bukan merupakan
tujuanku menyiapkan pesta besar ini. Tetapi ini mungkin bisa dianggap
sebagai perjamuan yang besar, aku mengundang Sang Buddha dan
siswa-siswanya untuk perjamuan besok."
"Apa! seorang Buddha! Seorang Maha Sempurna, Maha Suci,
katamu?" Anathapindika kurang percaya pada pendengarannya sendiri.
"Ya, Sang Buddha kataku," ulang adik iparnya.
Anathapindika
masih
tidak
percaya.
Dia
mengulang
pertanyaannya untuk kedua kalinya dan mendapat jawaban yang sama.
Kemudian dia berkata:
"Seorang Buddha! mendengar kata ini saja jarang sekali, tetapi
sekarang seorang Buddha benar-benar ada di kota ini! Apakah
mungkin aku dapat menemui orang yang telah mencapai penerangan
sempurna itu?"
"Ya, bisa saja, tetapi sekarang bukan waktu yang tepat. Tunggulah
sampai besok."
"Anathapindika tidur pada malam itu dengan pikiran-pikiran akan
esok pagi, di mana ia akan benar-benar melihat seorang Buddha
dengan mata kepalanya sendiri. Dia tidak dapat tidur membayangkan
keajaiban ini. Dua kali ia terbangun dan dikiranya hari telah fajar,
ternyata belum. Ketika ia terbangun untuk ketiga kalinya, dia melihat
cahaya remang-remang, dan dengan segera ia menuju Hutan Bambu.
Ketika ia memasuki hutan, cahaya itu menjadi hilang, mungkin karena
cahaya rembulan tertutup awan, tetapi pada saat itu ia tak dapat lagi
mencari penjelasan seperti itu. Cahaya yang hilang baginya berarti akan
terjadi bencana besar. Dia harap pikiran buruknya ini dapat segera
lenyap. Dia mulai takut dan gemetar, dia sudah hampir berbalik, tetapi
tiba-tiba terdengar suatu suara yang seakan-akan berkata:
37
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
"Maju terus, tuan, maju terus. Lebih baik maju terus daripada
kembali. Beratus-ratus gajah, kuda, kereta perang dan beratus ribu
kotak permata adalah kekayaan yang tidak ada harganya dibanding
langkah menuju tujuan akhir."
Kemudian fajar menyingsing dan ketakutannya pun lenyap. Dia
meneruskan langkahnya tanpa takut menuju hutan bambu di mana
Sang Buddha sedang berjalan-jalan menikmati udara pagi yang segar.
Sang Buddha melihat kedatangan Anathapindika dari jauh, dan segera
duduk, ketika Anathapindika mendekat Sang Buddha memanggilnya
"Sudatta," nama panggilannya yang hanya diketahui beberapa orang.
Kegembiraan Anathapindika jauh lebih besar daripada yang
diperkirakannya. Dia bersujud di kaki Sang Buddha dan membersihkan
debu-debu yang melekat di kaki-Nya. Ketika dia bangkit, Sang Buddha
berkata padanya:
"Apa tujuanmu datang sepagi ini, saat kebanyakan orang-orang
yang aktif sepertimu masih terlelap?"
"Pembebasan!" jawab Anathapindika. Sepanjang hidupku aku
memberikan derma pada orang lain. Kini aku meminta derma untuk
diriku sendiri. Aku mencari berkah dari Nirvana, kedamaian abadi."
"Apakah engkau belum puas dilahirkan d alam surga yang tertinggi
berkat perbuatan-perbuatan baikmu ini?"
"Itulah yang saya tidak mengerti, Guru. Untuk mengetahuinyalah
maka saya datang pada Guru."
"Kebimbanganmu adalah benar, Sudatta," kata Sang Buddha.
"Semua jalan kehidupan dapat dijadikan alat menuju kebebasan dan
kedamaian. Tetapi hanya jika dipenuhi satu kondisi." Sang Buddha
berhenti sejenak.
"Kondisi apa, Guru?" tanya Anthapindika tidak sabar.
"Mereka tidak dinodai oleh pikiran akan diri sendiri. Itu bukanlah
hanya sekedar menyingkirkan semua kekayaanmu. Jika masih ada
pikiran tentang diri sendiri, maka itu akan menghancurkan cita-citamu.
Pikiran-pikiran akan diri sendiri merupakan penghalang tujuan yang
tertinggi sekalipun, seperti abu yang menyembunyikan api, kaki akan
terbakar bila menginjaknya."
"Tetapi Guru, saya telah membuang pikiran tentang kebutuhan,
kesenangan dan hartaku."
"Tidak adakah dalam pikiranmu, Sudatta, keinginan untuk
dilahirkan di alam sorga yang bahagia?"
Anathapindika terdiam seketika. Dia berpikir sejenak, dan
kemudian melanjutkan: "Saya mempunyai pikiran-pikiran seperti itu,
Guru."
38
Kunjungan Kedua ke Rajagaha
"Perbuatan yang baik akan membawamu lahir di alam surga," kata
Sang Buddha lembut, "Tetapi alam surga dan kehidupan di antara
dewa-dewa bukanlah Nirvana. Orang-orang yang hidup di surga hanya
sementara. Mereka adalah subyek yang bisa berubah, sakit dan mati,
ya, berarti penderitaan juga. Nirvana, kedamaian yang tidak dapat
dilukiskan, tidak akan pernah berubah, lapuk dan mati, dan itu dapat
ditemukan di sini baik sekarang maupun nanti."
"Bagaimana, Guru, bagaimana?" tanya Anathapindika tidak sabar
seperti ketidak sabarannya menunggu fajar yang menyingsing, tetapi
dia jauh lebih tidak sabar lagi untuk segera mempelajari sinar fajar dari
Nirvana.
"Ketidakpentingan akan diri sendiri yang akan membawamu ke
sana," jawab Sang Buddha. "Jika kamu berlindung pada Dhamma,
kamu harus melenyapkan semua keinginan-keinginan untuk hidup
bahagia baik di alam ini maupun sesudah meninggal, bahkan juga
melenyapkan keinginan untuk berbuat baik."
"Tetapi bagaimana mungkin saya melepaskan diri dari keinginankeinginan tersebut, terutama keinginan untuk berbuat baik?" tanya
Anathapindika bertubi-tubi. "Berhentilah mendengar doa-doa yang
dipanjatkan orang-orang untukmu, Sudatta. Berhenti berpikir bahwa
perbuatan-perbuatan baikmu akan membawa pahala yang baik, dan
lakukanlah perbuatan-perbuatan baik dikarenakan engkau merasa itu
adalah tugasmu seperti misalnya membersihkan jalan, itu adalah salah
satu pekerjaan yang mulia. Engkau harus memulainya dengan tidak
terlalu banyak melakukan perbuatan-perbuatan baik; lakukan dalam
proporsi yang kecil sebagai pengabdian pada Dhamma."
"Sangat sukar untuk dilakukan," jawab Anathapindika. "Adalah
sukar untuk mendengar kata-kata orang lain bila aku memberi sedikit
daripada yang biasanya aku berikan."
"Itu tidak menjadi masalah," jawab Sang Buddha. "Hanya
perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan dengan tidak mengharap
imbalan yang akan bertahan lama, karena hanya perbuatan tanpa
mementingkan diri sendiri yang dapat menyebarkan berkah Dhamma,
dan berkah Dhamma adalah berkah termulia."
"Saya masih belum mengerti, Guru, bagaimana saya dapat
memberikan berkah Dhamma pada orang miskin yang kelaparan."
"Memang tidak dapat," jawab Sang Buddha. "Lapar adalah
penderitaan yang menyedihkan, dan otak seseorang yang kelaparan
tidak dapat menerima apa pun kecuali makanan. Tetapi apa gunanya
makanan yang membuat hidupnya bertahan terus di dunia yang penuh
dengan penderitaan yang tidak putus-putusnya? Makanan saja tidak
39
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
akan dapat melepaskan penderitaannya yang terikat dalam siklus
kehidupan dan kematian. Makanan akan membuatnya bertahan
selamanya hanya jika diberikan oleh seseorang yang sama sekali tidak
mementingkan diri sendiri. Kemudian, baik mengajar dengan kata-kata
maupun tidak, dia akan tampak bercahaya dalam sinar Dhamma dan
melalui dirinya seseorang ditolong untuk memperoleh seberkas
penglihatan akan Bukan-Diri, yang merupakan Diri yang sebenarnya,
dalam pengetahuan akan keabadian, dan akhir dari segala
penderitaan."
Anathapindika terdiam beberapa lama, menghayati kata-kata Sang
Buddha. Kemudian dia bangkit dan mengibaskan debu-debu yang
melekat di telapak kakinya, sambil berkata:
"Saya akan melakukan apa yang Guru katakan. Tetapi maukah
Guru dan saudara-saudara makan bersamaku besok dan mengajarkan
jalan kebenaran padaku?"
Sang Buddha tersenyum dan mengangguk setuju, dan
Anathapindika pun berlalu.
Ketika adik iparnya mendengar bahwa Anthapindika akan
menjamu Sang Buddha besok, ia segera menawarkan jasanya untuk
mempersiapkan segala sesuatu, mengingat Anathapindika adalah tamu
di kota tersebut. Raja Bimbisara dan pejabat-pejabat lainnya juga
menawarkan hal yang sama. Tetapi Anathapindika tidak ingin
merepotkan orang lain. Dia sendiri yang mempersiapkan makanan, dan
ketika Sang Buddha dan murid-muridnya tiba, dia melayani mereka
dengan tangannya sendiri. Selesai acara makan, dia meminta Sang
Buddha untuk menghabiskan musim hujan di Savatthi.
"Savatthi adalah kota besar," jawab Sang Buddha, "dan untuk
mencapai jalan kebenaran lebih tepat di tempat yang sunyi."
"Aku mengerti, Guru, semuanya itu akan diatur secara tepat."
Kini Anathapindika mempunyai banyak teman dan kenalan di
Rajagaha dan mereka sangat senang berkenalan dengannya, tapi
kadang-kadang sebelum dia menyelesaikan bisnisnya di sana, dia
kembali ke Savatthi di mana dia dapat belajar dalam kesunyian tentang
arti pengorbanan, bukan tentang kekayaan, melainkan tentang dirinya
sendiri dan keinginannya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Bila
dia menderma, dia berikan dengan penghormatan, yakni membuat
dirinya lebih rendah dari orang yang ditolongnya, dengan demikian,
secara tidak langsung di samping makanan, dia juga memberikan
berkah Dhamma, pemberian yang termulia. Dia juga tahu bahwa hanya
karena rasa cintanya maka orang-orang yang kelaparan akan
memaafkannya atas nasi yang ia berikan.
40
Kunjungan Kedua ke Rajagaha
Orang terkemuka lain yang berubah tabiatnya pada kunjungan
Sang Buddha yang kedua di Rajagaha adalah Ratu Khema, istri Raja
Bimbisara. Dia Sangat suka menonjolkan kecantikannya, dan takut
bahwa Sang Buddha akan menghukumnya karena kesombongannnya,
jadi dia tidak mau menemui Sang Buddha. Aku tidak tahu pasti
bagaimana raja membujuknya hingga secara tidak sadar dia mau
menemui Sang Buddha. Ketika dia duduk di dekat Sang Buddha,
datang suatu bayangan wanita tua berkeriput dan jelek padanya dan
dia sadar itu adalah dirinya sendiri yang akan berubah seperti itu kelak.
Melihat bayangan tersebut, dia merasa bahwa segala sesuatu adalah
tidak kekal dan akan mati. Kemudian dia mendengarkan ajaran Sang
Buddha, melihat dengan mata kebenaran yang suci dan tak ternoda,
dan memasuki arus yang mengalir menuju Nirvana.
Pada saat itu, persaudaraan bhikkhuni belum terbentuk, tetapi
Khema memperoleh izin dari suaminya untuk meninggalkan istana dan
dia menjadi guru pengembara dan penyebar Dhamma seperti yang
lainnya, terutama terhadap kaum Nigantha, dengan penuh
kebijaksanaan dan kepandaiannya berbicara dia menyebarkan
Dharma. Tepat pada waktunya, sendirian berada di tempat yang sunyi
dia mencapai penerangan sempurna dan terkenal sebagai seorang suci
yang bijaksana.
Sang Buddha tidak langsung menuju Savatthi ketika meninggalkan
Rajagaha setelah melakukan pembicaraan dengan Ratu Khema.
Sebelum memenuhi undangan Anathapindika, Sang Buddha
memutuskan untuk kembali ke Kapilavatthu, untuk menemui ayahnya
yang sudah mendekati ajalnya, di samping juga untuk menguatkan
Kerajaan Kebenaran pada orang-orangnya sendiri, suku Sakya. Maha
Kassapa tetap tinggal di Rajagaha dan melakukan perjalanan melalui
Magadha. Ada rentang waktu yang cukup lama sebelum aku bertemu
dengan seseorang yang kelak menjadi pemimpin persaudaraan para
bhikkhu setelah wafatnya Sang Buddha.
41
Bangsawan-Bangsawan Suku Sakya
Menjadi Anggota Sangha
Ketika Sang Buddha kembali ke Kapilavatthu untuk kedua kalinya,
desa-desa sedang dilanda kekeringan. Air Sungai Rohini yang mengairi
sawah-sawah tidak mencukupi, hingga banyak padi yang baru tumbuh
menjadi mati. Kini sungai Rohini memisahkan daerah Suku Sakya
dengan daerah Suku Koliya, suku ibunda Sang Buddha. Masing-masing
suku mengumumkan haknya untuk memiliki air sungai sepenuhnya
dan hanya untuk mengairi sawahnya sendiri. Amarah mereka
membludak bagaikan nyala api hutan yang terbakar dan raja mereka
masing-masing menyatakan angkat senjata dan siap perang. Ketika
Sang Buddha mendekat, tampak olehnya kilatan senjata mereka, dan
dengan mata batin Sang Buddha sudah tahu apa penyebab
pertengkaran tersebut. Sang Buddha merasa kasihan dengan kebutaan
dan kebodohan mereka, lantas beliau mempercepat langkahnya untuk
sampai ke tujuan, sebelum mereka membunuh satu sama lainnya.
Kedua pihak yang bermusuhan pada saat yang bersamaan melihat
kedatangan Sang Buddha, ini mungkin dikarenakan pancaran cahaya
kedamaian Sang Buddha. Mereka menunda pertempuran sampai Sang
Buddha tiba, berdiri di tepi sungai Rohini, berkata pada pemimpin
mereka.
"Pangeran-pangeran dan prajurit-prajurit! Mana yang lebih
berharga, setetes air atau nyawa orang banyak—nyawa para pangeran
dan orang mulia?"
"Nyawa orang banyak," jawab mereka, "Terutama nyawa para
pangeran dan orang-orang mulia !"
"Maka dari itu," jawab Sang Buddha, "Singkirkan semua
kemarahanmu; buang senjata-senjatamu yang dapat mengakibatkan
pembinasaan; taklukkan kemarahanmu; kembangkanlah cinta kasih
sesama. Maka kalian akan menemukan cara terbaik untuk membagi air
ini sama rata, dan hiduplah dalam damai."
Selalu saja kebencian dan kemarahan menjadi lenyap berkat
kehadiran Sang Buddha dan nasehat-nasehatnya yang bijaksana.
Sungguh mereka heran bahwa sebelumnya mereka tidak berpikir
tentang masalah ini. Mereka menyingkirkan senjata-senjata dan para
pemimpin mereka mengadakan perundingan satu sama lain
bagaimana air sungai Rohini dapat digunakan secara bersama-sama
mengairi sawah mereka.
42
Bangsawan-Bangsawan Sakya
Selesai pencegahan perang ini, Sang Buddha berangkat menemui
ayahnya, Suddhodana yang sudah mendekati ajalnya. Sang Buddha
berbicara padanya tentang hal-hal yang fana di dunia ini dan jalan
menuju kehidupan abadi. Dan Raja meninggal dengan mencapai
kebahagiaan abadi.
Pajapati, istri Raja yang merupakan pengasuh Sang Buddha
setelah kematian ibu kandungnya, meminta izin Sang Buddha agar ia
dapat memotong rambutnya dan meninggalkan kehidupan
berkeluarga. Tetapi Sang Buddha menolak permintaannya mengingat
sudah tiga orang dari keluarganya yang meninggalkan rumah.
Mengenai Pajapati, akan aku ceritakan lebih lanjut nantinya.
Pangeran Bhaddiya yang sekarang menjadi Raja Suku Sakya,
menganjurkan rakyatnya untuk mendengar ajaran Sang Buddha,
sehingga kabar baik tentang jalan mengakhiri penderitaan tersebar jauh
dan luas pada saat kunjungan Sang Buddha ke tempat asalnya yang
kedua kalinya. Sungguh, sampai-sampai ada anggapan bahwa adalah
sesuatu yang memalukan jika pada suatu keluarga besar tidak ada
seorang pun yang memakai jubah kuning. Hal itu terlihat ketika kami
dijamu oleh keluarga-keluarga bangsawan di kerajaan tersebut.
Kini aku tak tahu apakah karena perputaran waktu atau karena
berhubungan kembali pada bentuk kehidupanku yang lalu, aku
menemukan bahwa jalan menuju kebebasan tak lagi membawa
kebahagiaan sebagaimana yang kuketahui sebelum Sang Buddha
mengadakan perjalanan ke Rajagaha untuk yang kedua kalinya, yang
mana ketika itu aku tetap tinggal di Kapilavatthu. Tahun pertama masa
itu, adalah saat yang penuh siraman cahaya mentari dan kebahagiaan.
Sang Buddha membuka suatu pandangan padaku tentang cinta kasih
yang tidak terikat oleh diri, dan kasih persahabatan adalah suatu
kekuatan gaib yang dapat mengubah benda-benda menjadi emas
murni. Segala sesuatu tampak hidup dalam suatu kehidupan baru yang
penuh kebahagiaan. Jika terkadang aku keluar dari jalan tersebut maka
dengan segera suatu pandangan atau isyarat Sang Buddha akan
memanggilku kembali, dalam hidup tanpa berkeluarga dan lepas-lepas
dari keterikatan duniawi, aku menemukan kebahagiaan yang tak
terkira, kebahagiaanku sulit terlukiskan, di luar kehidupan dan
keterikatan duniawi.
Tetapi kini aku menyadari bahwa walaupun dari luar kelihatannya
kehidupan duniawi telah kulepaskan, namun sebenarnya dalam hatiku
pelepasan itu masihlah belum sepenuhnya dan bahwa cinta kasih dan
pengertian yang sempurna hanya dapat ditemukan jika ada pelepasan
yang menyeluruh akan diri dan tak terpengaruh oleh semua benda di
43
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
dunia ini. Pada waktu yang sama, kerinduan akan kesenangan duniawi
yang paling aku sukai begitu hebat menggerogoti jiwaku. Ini bukanlah
nafsu birahi, yang sering menyerang anggota persaudaraan yang muda.
Aku menikah pada usia muda karena mengikuti adat istiadat, tetapi
mengenai nafsu ini aku hampir tidak tahu apa-apa. Nafsuku,
kerinduanku hanya pada musik. Aku teringat saat seorang sahabatku
kehilangan pendengarannya, aku berpikir sendiri bahwa aku tidak akan
pernah dapat memikul penderitaan atas kekejaman takdir itu. Setelah
menjadi siswa Sang Buddha, tentu saja aku berhenti menghadiri acara
dansa, drama dan pertunjukan-pertunjukan lainnya yang diringi musik.
Tetapi walaupun aku berhenti menikmati musik, musik tersebut selalu
mengelilingiku di mana-mana, dan aku masih senang menikmatinya
dan bersenandung sendiri. Aku menganggap bahwa kekaguman akan
musik mengalir dari dhamma itu sendiri dan tidak menyadari bahwa
keterikatan pada musik tersebut telah membuatku bertentangan
dengan Dhamma.
Suatu hari aku dijamu oleh Anuruddha, anak bungsu dari sebuah
keluarga besar. Aku memasuki halaman yang terbuka yang dikelilingi
sebuah serambi. Anuruddha sedang duduk pada sebuah kursi santai
bersandarkan bantal sambil menikmati nyanyian yang diiringi musik
yang indah dan tari-tarian yang dibawakan oleh gadis-gadis cantik. Dia
bangkit menyambutku, kemudian memerintahkan pelayannya untuk
mengambil kursi santai dan bantal lainnya untukku, dan ketika
pelayannya sudah mengerjakan perintahnya, kembali dia bersandar
dan menikmati musik. Aku segera merasa diperbudak oleh keindahan
yang dibawakan penari-penari dan musisinya dan lupa bahwa
Persaudaraan Bhikkhu tidaklah pantas mengunjungi pertunjukkanpertunjukkan mewah atau sandiwara-sandiwara supaya tidak terjerumus oleh godaan yang membawa kesenangan hawa nafsu.
Mahanama, si Putra Sulung masuk ketika penari-penari
beristirahat. Dia menyambutku dengan hormat, dan mulai mengadakan
pembicaraan dengan Anuruddha sebelum pertunjukan dimulai
kembali.
"Anuruddha, adikku yang terkasih," katanya, "Dengan kehadiran
saudara yang suci ini, aku rasa inilah waktu yang tepat untuk
menceritakan masalah yang menghantuiku selama beberapa
purnama."
"Katakanlah, saudaraku yang terkasih," suasana hati Anuruddha
masih riang berkat musik yang barusan dinikmatinya, dan tidak ada
rasa curiga sedikit pun terhadap maksud Mahanama.
44
Bangsawan-Bangsawan Sakya
Mahanama melanjutkan, "Beberapa purnama lamanya aku
berpikir, bahwa adalah suatu hal yang memalukan pada keluarga kita
karena tak satu pun dari keluarga kita yang mengenakan jubah kuning
dan meninggalkan kehidupan duniawi untuk menjadi siswa Sang
Buddha. Memang benar kita banyak menderma, tapi itu tidaklah cukup.
Kita harus menyebarkan dhamma ke seluruh penjuru dunia."
"Lalu, kamu ingin memakai jubah kuning?" tanya Anuruddha yang
tidak tertarik sama sekali pada masalah ini.
"Aku sangat ingin," jawab saudaranya. "Tetapi waktuku tersita
untuk mengelola ladang dan mengatur keluarga. Aku tidak punya
waktu luang. Semua itu jelas merupakan kewajibanku."
"Kamu tidak mengusulkan aku untuk melakukan hal itu, bukan?"
tanya Anuruddha, untuk yang pertama kali dia merasa tertarik sekaligus
terganggu.
"Itulah yang ada dalam benakku," suara Mahanama terdengar
keras. "Merupakan suatu kehormatan bila salah seorang dari keluarga
kita melakukan hal itu dan aku yakin kamu jauh lebih dapat
melakukannya daripada aku."
Anuruddha bangkit dengan penuh ketakutan. "Tetapi selama ini
aku sudah terbiasa dengan makanan yang lezat-lezat, aku mempunyai
tempat peristirahatan yang berbeda untuk musim panas dan dingin,
dan pada musim dingin aku tidak pernah keluar kemana-mana. Aku
dilayani para pelayan dan pakaianku selalu disediakan. Bagaimana
mungkin aku bisa bertahan dengan kehidupan tanpa rumah? Perutku
akan mual jika aku harus hidup dengan memakan makanan sisa,
menambal baju dari kain-kain buruk dan tidur di luar rumah — oh
tidak! Mahanama, itu tidak mungkin aku lakukan," dia kembali
bersandar pada bantal-bantalnya.
"Baiklah, Anuruddha, jika demikian maukah kamu mengambil alih
perananku sebagai pemimpin keluarga dan membiarkanku
meninggalkan rumah?"
"Apa pekerjaan seorang pemimpin keluarga?" tanya Anuruddha.
"Aku rasa hal itu mungkin akan sesuai dengan sifatku dan mendidik."
"Pekerjaan seorang pemimpin keluarga adalah sebagai berikut:
Pertama-tama kamu harus membajak sawah. Setelah itu,
menyebarkan benih, kemudian kamu harus mengairinya. Setelah itu,
kamu jangan mengairinya kembali lagi. Setelah semua ini selesai
dikerjakan, kamu harus mencabut rumput atau semak belukar. Kemudian mengupah seseorang menjaga padi dari serangan-serangan
binatang tiap malam. Akhirnya tibalah saat panen. Tetapi bukan berarti
pekerjaan telah selesai! Hasil panen harus diikat, ditumbuk dan di
45
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
simpan di lumbung," suara Mahanama terdengar letih. "Dedak harus
dipindahkan.
Kemudian
kamu
harus
menyaring
dan
mengumpulkannya di gudang." Dengan lemah Mahanama menunjuk
sebuah peti besar bulat yang terletak di ujung ladang. "Selesai
mengerjakan ini semua, kamu harus melakukan hal yang sama pada
tahun depan dan pada tahun berikutnya, begitulah seterusnya.
Pekerjaan ini takkan pernah selesai. Pekerjaan seseorang takkan
pernah berakhir. Adalah tak berguna bagi seorang pemimpin keluarga
untuk bertanya kapan dia dapat menikmati kesenangan-kesenangan
duniawi mendengar musik atau melihat tarian, karena dia tidak akan
pernah punya waktu. Anuruddha adikku yang terkasih, pekerjaannya
tidak akan pernah selesai. Walaupun dia telah meninggal,
pekerjaannya masih belum selesai. Tetapi jika kamu lebih menyukai
itu...."
Anuruddha bangkit dan berjalan ke sana kemari, "Kamu
membuatku melihat bahwa kehidupan sebagai seorang pemimpin
keluarga bukanlah untukku. Dan kamu juga tahu bahwa ibu telah
memanjakan aku secara berlebihan sehingga aku tidak pernah
menanggung beban keluarga kita. Tetapi meninggalkan kehidupan
berkeluarga sudah tentu merupakan tanggung jawab yang besar dan
jauh di luar kemampuanku. Tidak dapatkah kamu menawarkan hal lain
untuk memenuhi tanggung jawabku kepada keluarga kita?"
"Tidak, Anuruddha." kata Mahanama secara tegas. "Hanya ada dua
jalan, tidak lebih; tinggal di rumah sebagai pemimpin keluarga atau
meninggalkan rumah menjadi siswa Sang Buddha yang maha
sempurna; yang memberi kebahagiaan sempurna."
"Mungkin pilihan kedua yang dapat kujalankan, seperti yang telah
kamu katakan. Aku akan meninggalkan kehidupan keluarga dan
menjadi siswa Sang Gautama."
"Terima kasih, Anuruddha yang terkasih. Aku sangat senang. Aku
akan merasa terhormat dengan kesediaanmu memakai jubah kuning,
Saudara yang mulia ini akan menbawamu menemui Sang Buddha,
bukankah begitu?" Mahanama melirikku dan aku mengangguk setuju.
Aku setuju karena tidak dapat melakukan hal yang lain. Tetapi
sebenarnya hatiku terasa berat. Ketika aku dijerat musik, tiba-tiba
timbul kesadaran bahwa setengah dari diriku masih terikat musik,
berarti aku masih terikat pada kesenangan hawa nafsu yang
menjauhkanku dari pengertian Dhamma. Timbul juga kerinduan untuk
kembali menikmati kehidupan duniawi, dan aku menjadi bingung dan
ragu-ragu, apakah aku memang benar-benar telah meninggalkan
kehidupan duniawi.
46
Bangsawan-Bangsawan Sakya
Dan sekarang, Anuruddha mencoba melakukan hal yang sama,
dan aku sedang menolongnya. Namun, bagaimana aku dapat bertindak
yang berbeda? Sebagai seorang yang telah mengenakan jubah kuning,
semua orang beranggapan bahwa aku telah bebas dari kesenangankesenangan duniawi dan mengharapkan orang lain juga dapat berbuat
seperti itu. Oleh sebab itu, kini di dalam hatiku timbul konflik baru,
karena aku tidak dapat bertindak semulia itu. Aku menerima makanan
dan memakannya dengan kepala tertunduk seolah menunjukkan
kerendahan hati, namun sebenarnya aku malu akan ketidaksucian
yang timbul dalam diriku saat itu.
Ketika aku hendak pulang, Anuruddha berkata padaku, "Sebelum
aku meninggalkan rumah, tentu saja aku harus mendapat izin dari ibu.
Saudara yang termulia, datanglah pada waktu yang sama besok, dan
bila semuanya berjalan lancar, aku akan siap sedia mengikutimu untuk
menemui Sang Buddha."
Aku membungkuk setuju dan berlalu, kemudian menuruni
lembah yang gelap. Selama beberapa hari kemudian bahkan bertahuntahun kemudian, aku mengalami pertentangan dalam diriku sendiri
yang tidak pernah berhenti. Pada satu waktu aku bisa melepaskan diri
dari ikatan musik; pada waktu lain aku berpendapat bahwa aku dapat
menggunakan musik ke dalam pengertian Dhamma. Cahaya dari jalan
telah lenyap dan aku berjalan sendirian di dalam kegelapan hutan yang
kelihatannya tak pernah berakhir.
Pada esok harinya, aku kembali menemui Anuruddha, dan dia
memberitahu aku bahwa ibunya tidak memberi izin mengingat dia
adalah anak kesayangannya, tetapi setelah dia membujuk ibunya,
akhirnya ibunya menyetujui jika pangeran Bhaddiya, pemimpin suku
juga menjadi siswa.
"Apakah kamu pikir dia mau?", tanyaku.
"Aku yakin dia mau," jawab Anuruddha dengan penuh semangat,
sungguh sukar mempercayai perubahannya, baru kemarin kulihat dia
berbaris malas bersandarkan bantal sambil menikmati musik.
"Apakah kamu sudah yakin bahwa keputusanmu ini benar?"
tanyaku gundah, tetapi dia tidak mencurigai badai yang sedang
bergemuruh di dalam hatiku, membuat aku mulai mempertimbangkan
apakah tidak akan lebih baik jika aku tinggal di rumah saja dan
menanggalkan jubah kuningku.
"Tentu saja aku yakin, Saudara Yang Mulia, mengapa anda
bertanya begitu?"
47
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
"Tidak apa-apa," kataku, sekali lagi penipuan yang sungguh
memuakkan ini timbul. "Tetapi sungguh sulit dipercaya melihat
perubahanmu pada saat aku hadir kemarin."
"Ah, mataku telah terbuka, Saudaraku Yang Mulia, Marilah kita
menemui Raja Bhaddiya, dan anda akan melihat bagaimana
berpengaruhnya aku."
Aku menemaninya menemui Raja, dan dalam keadaan sedih yang
amat dalam dan depresi, aku tak dapat tersenyum mendukung cara
pendekatannya.
Dia memberi hormat pada Raja sambil berkata "Baginda
menghalangi saya untuk mengenakan jubah kuning dan menjadi siswa
Sang Gautama."
"Saya?" tanya Raja dengan heran.
"Baginda dan bukan orang lain!"
"Oh Tuhan!" teriak Raja. "Jangankan menghalangi orang lain,
sedangkan saya sendiri ingin menjadi siswa Sang Gautama."
"Sangat bagus kalau begitu," sorak Anuruddha. "Sekarang bila
Baginda ingin menjadi siswa, ibuku akan memberi izin padaku untuk
menjadi siswa juga."
"Oh!" Raja menjadi malu atas ucapannya barusan. "Saya tidak
begitu serius. Masih banyak tugas yang harus saya selesaikan. Tujuh
tahun mendatang baru saya akan menjadi siswa, bila tugas sebagai
pemimpin telah selesai."
"Tidak, itu waktu yang sangat lama," kata Anuruddha. "Berarti
Baginda akan menghalangiku untuk menjadi siswa sampai tujuh tahun,
Baginda tidak akan tega melakukannya bukan?"
"Saya tidak mau menghalangi keinginanmu yang baik dan layak
bagimu untuk dilaksanakan, kawan. Tetapi saya tidak mungkin menjadi
siswa pada saat ini, itu berarti pelanggaran terhadap kewajibankewajibanku sebagai pemimpin suku, mungkin tujuh bulan mendatang
baru saya akan menjadi siswa."
"Mungkin itu merupakan gagasan yang baik", kata Anuruddha.
"Tetapi tujuh bulan juga merupakan waktu yang sangat lama. Itu berarti
Baginda menghalangi saya menjadi siswa sampai waktu itu berlalu,
dan siapa yang tahu apa yang terjadi kemudian. Baginda dipilih untuk
menggantikan kedudukan Suddhodana, dan pemimpin lain akan
dipilih untuk menggantikan kedudukanmu dan bereslah masalah ini.
Apakah Baginda setuju menundanya tidak lebih dari tujuh hari?"
Dengan enggan Pangeran Bhaddiya menyetujui dan dia setuju
hanya karena tidak ada Suku Sakya yang menarik kembali ucapannya.
Seluruh Suku Sakya terkenal dengan kebenaran dan kesetiaan kata48
Bangsawan-Bangsawan Sakya
katanya. Inilah alasannya dan bukan karena masalah persetujuan Ibu
Anuruddha, yang sekarang telah memberikan persetujuan untuk
anaknya. Karena Pangeran Bhaddiya bersedia menjadi siswa, tujuh hari
sebelumnya Anuruddha sudah siap berangkat dan ketika kami bertemu
untuk yang terakhir kalinya, aku melihat dia berhasil membujuk empat
orang bangsawan muda lainnya, di antaranya Ananda dan Devadatta,
saudara sepupu Sang Buddha, mereka juga mengajak seorang tukang
pangkas miskin yang bernama Upali, agar Upali bisa mengembalikan
pakaian-pakaian dan perhiasan-perhiasan mereka setelah mereka
ditahbiskan. Bangsawan-bangsawan muda itu mempunyai semangat
yang tinggi, sebagaimana yang sering terjadi, ketika orang-orang
mempunyai tujuan untuk menyelamatkan umat manusia, tetapi aku
masih terperosok dalam kegelapan yang tak pernah berakhir, yang jauh
berlawanan dengan semangat mereka yang mengebu-gebu.
Upali sangat menarik perhatianku ketika kami bersama-sama
mengadakan perjalanan ke Anukiya, sebuah kota yang didiami Suku
Malla, di mana Sang Buddha sedang tinggal sekarang. Dia bertanya
tentang persaudaraan para bhikkhu, apa tujuannya, apakah
persaudaraan ini terbuka untuk semua orang, bahkan untuk seorang
tukang pangkas yang miskin dan hina sekalipun. Aku menjawab bahwa
dalam Persaudaraan Para Bhikkhu, tidak ada perbedaan kelas atau
kasta, dan sebagaimana yang sering disabdakan Sang Buddha, ibarat
sungai-sungai besar dalam perjalanan ke samudera luas, bentuk asal
sungai-sungai tersebut akan ditinggalkan dan akhirnya bergabung
menjadi satu di samudera luas. Demikian juga dengan orang-orang
yang berasal dari berbagai kasta yang pergi dari rumah dan
menjalankan disiplin Dhamma, semuanya menanggalkan kastanya dan
bergabung menjadi satu. Aku juga memberitahukannya bahwa siapa
pun dapat bergabung, asalkan mendapat izin dari orang yang
bertanggung jawab atas dirinya.
Upali menjadi semakin tertarik akan kehidupan sebagai seorang
anggota Persaudaraan sebagaimana yang kulukiskan, walaupun entah
mengapa, aku tak mengerti. Sesungguhnya aku tidak dapat
membuatnya menjadi sebuah kehidupan yang dicari-cari saat
kehidupan itu menenggelamkanku ke dalam kesedihan yang dalam.
Tetapi mungkin Dhamma menyinari kami sehingga hal itu takkan
pernah terjadi. Upali rupanya sangat terkesan akan ide kehidupan tak
berkeluarga itu sehingga sebelum kami tiba di tempat Sang Buddha,
dia berkata pada para bangsawan muda tersebut bahwa dia juga ingin
menjadi siswa. Mereka gembira mendengar keputusannya dan
mengusulkan agar aku memperkenalkan Upali terlebih dahulu untuk
49
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
ditabhiskan sebelum memperkenalkan mereka, untuk menunjukkan
bahwa para pangeran Suku Sakya rendah hati dan juga adanya
kesamaan derajat dalam persaudaraan. Seperti yang sudah
direncanakan, maka kemudian ditahbiskanlah tujuh orang siswa baru,
termasuk tukang pangkas yang miskin, Upali yang kemudian menjadi
sesepuh dan termasyhur dengan kedalaman dhammanya. Ketika para
siswa baru tersebut menuju ke tempat tinggalnya masing-masing, aku
tinggal bersama Sang Buddha. Aku tahu Sang Buddha pasti dapat
membaca isi hatiku sehingga tidaklah perlu menceritakan pada beliau
tentang kesengsaraan atau konflik-konflik yang ada dalam batinku.
Sang Buddha menatapku dengan penuh pengertian, dan ketika aku
menatapnya, konflik-konflik yang ada lenyap sesaat karena aku melihat
keabadian dalam dirinya. Kemudian Sang Buddha berkata:
"Seorang Buddha hanya menunjukkan jalan. Saya tidak dapat
menenangkan konflik-konflik yang ada dalam hatimu, Yasa. Kamu
sendiri yang dapat mengatasinya. Cari jalan yang terbaik yang dapat
melenyapkan konflik-konflik tersebut. Kamu akan menemukan bahwa
ada suatu kebahagiaan dalam ketidakterikatan akan diri yang tidak
pernah kamu temukan di dalam musik."
Setelah aku berlalu dari tempat Sang Buddha, hatiku menemukan
kedamaian itu kembali, dan jalan yang penuh cinta kasih itu terbuka
kembali untukku, bukit-bukit pelepasan keduniawian kelihatan jelas
dan mudah digapai. Tapi itu tidak berlangsung lama, kegelapan segera
menyelimuti diriku kembali bulan-bulan berikutnya, tidak ada setitik
cahaya pun yang tampak. Kemudian aku berkenalan dengan Ananda,
saudara sepupu Sang Buddha, siswa yang baik hati sehingga ia
disenangi siswa-siswa lain dalam persaudaraan kami dan juga umat
awam lainnya. Sebelum dan sesudah wafatnya Sang Buddha, dia telah
mampu melenyapkan semua keinginan-keinginan, dan tidak merasa
sedih sedikit pun bila kehilangan sesuatu yang sangat berharga baginya.
Dia pancarkan sinar cinta kasih pada semua makhluk hidup, dan ketika
aku melewati sinar yang terang nan indah itu melalui mata batin yang
gelap, Ananda mengingatkan aku untuk kembali pada cahaya terang
yang pernah aku lihat.
50
Savatthi dan Hutan Jeta
Anathapindika, penolong para yatim piatu dan anak-anak melarat
telah kembali ke kota kelahirannya Savatthi yang terletak di barat laut,
ibukota negara Kosala yang dikuasai Raja Pasenadi. Dia
mempertimbangkan kata-kata Sang Buddha mengenai tempat yang
tenang dan sunyi. Ratu Mallika telah menyediakan sebuah tempat di
samping taman untuk para pengembara, tetapi ada sebuah ruangan di
dalamnya yang selalu dijadikan pusat pertemuan atau rapat. Tidaklah
sukar menemukan tempat sunyi di dalam hutan yang terbentang luas
hingga ke Himalaya dekat Savatthi, tetapi masih harus dipertimbangkan
beberapa hal lagi. Tempat untuk Sang Buddha sebaiknya tidak terlalu
jauh dari desa dan juga tidak terlalu dekat, tempat yang mudah
dijangkau oleh penduduk yang ingin menemui Sang Buddha, tidak
terlalu ramai pada siang hari dan tidak ribut pada malam hari. Tempat
itu juga harus terlindung dari hembusan angin dingin Himalaya.
Sesudah berkeliling-keliling, akhirnya Anathapindika menemukan
sebuah tempat yang memenuhi syarat yakni Taman Jeta milik
pangeran, yang berada kurang satu mil dari kota. Kemudian dia
menemui Pangeran dan berkata:
"Pangeran muda, saya mohon untuk diizinkan memiliki taman
pangeran untuk tempat peristirahatan Sang Buddha dan anggota
Sangha."
"Tidak, taman saya tidak untuk dijual," kemudian dia
menambahkan sembari tertawa, "Saya ingin seluruh taman ini ditutupi
uang jika ingin memilikinya."
"Jika itu permintaan pangeran, baiklah, saya terima, seluruh taman
ini akan saya tutupi dengan uang."
"Tidak, tidak," teriak pangeran, "Itu bukan kontrak, saya cuma
bercanda."
Tetapi Anathapindika tidak dapat menerimanya, dan setelah lama
bersitegang kemudian mereka sepakat untuk menyerahkan masalah
ini pada dewan kota agar mereka saja yang memutuskan apakah itu
suatu kontrak atau bukan. Akhirnya dewan kota menyatakan bahwa
pangeran telah menyebutkan harga dan Anathapindika telah
menerimanya, dengan demikian telah terjadi kontrak antara mereka.
Anathapindika membawa segerobak uang logam dan menyebarkannya
di seluruh permukaan tanah taman tersebut, kecuali sepetak tanah
kecil dekat pintu masuk. Anathapindika menyuruh pelayannya pulang
dan mengambil uang lagi untuk menutupi sepetak tanah tersebut.
Tetapi pangeran Jeta yang melihat kejadian ini menjadi yakin bahwa
51
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
orang suci yang dimaksudkan Anathapindika bukanlah orang suci biasa
sehingga Anathapindika mau membelanjakan uangnya sedemikian
banyak, dan dia berkata "Tunggu, Tuan, sepetak tanah ini tidak usah
ditutup dengan uang lagi. Anggap saja ini sebagai hadiah dariku."
Anathapindika setuju, dan dalam hatinya dia berpikir bahwa sang
pangeran adalah orang yang sangat berpengaruh dan terkenal,
seandainya dia menjadi murid Sang Buddha tentu dia mempunyai
kesempatan yang baik untuk menyebarkan Dhamma.
Kemudian Anathapindika membangun tempat tinggal yang layak
untuk Sangha yang dilengkapi dengan gudang bawah tanah, ruangan
untuk menyimpan makanan, ruangan untuk melatih diri dan berbakti,
ruangan penghangat, sumur, kamar cuci, kamar mandi dan ruanganruangan lainnya. Ketika Sang Buddha tiba untuk pertama kalinya di
kota Savatthi, biara yang besar tersebut telah selesai dibangun, dan
penduduk baik dari tempat yang jauh maupun dekat secara beramairamai datang ke Taman Jeta untuk mendengar ajaran Sang Buddha.
Pangeran Jeta membawa Ratu Mallika, istri utama Raja. Ratu Mallika
selalu menghormati semua pendeta pengembara dan memberikan
sumbangan pada mereka, tetapi setelah bertemu Sang Buddha, dengan
segera ia menjadi pengikutnya.
Kemudian ada suatu kejadian yang menimpa raja Pasenadi, ketika
berkeliling kota, dia memandang dengan tatapan tidak sopan kepada
seorang wanita cantik. Pada malam hari dia diburu oleh mimpi yang
menakutkan dan bangun dengan takut dan gemetar mendengar suarasuara yang menakutkan. Dia tidak dapat tidur memikirkan pekikan
hantu-hantu ini. Pada pagi harinya dia menanyakan arti mimpinya pada
seorang brahmin istana, apakah itu suatu pertanda bahwa kerajaannya
akan runtuh, atau malapetaka akan menimpa ratu atau dirinya sendiri.
Sang Brahmin tidak mengerti arti mimpi tersebut, tetapi dia
mengatakan bahwa itu berarti sang raja akan mati bila tidak
mengadakan upacara pengorbanan segala jenis mahluk hidup
termasuk manusia. Raja yang dalam ketakutan segera memerintahkan
pengawal-pengawalnya untuk mengumpulkan berbagai mahluk hidupgajah, kuda, sapi jantan, sapi betina, keledai, domba jantan, unggas,
babi, anak laki-laki dan anak perempuan. Penduduk sangat menderita
mendengar pengorbanan yang akan diadakan ini, yang juga
mengorbankan manusia, hal yang tak pernah didengar sebelumnya.
Ratu Mallika, mendengar keributan-keributan itu dan setelah
mengetahui duduk persoalannya, segera menemui raja dan berkata
padanya bahwa walaupun dia seorang raja besar tapi dia tidak
mempunyai perasaan sedikit pun. Ratu berkata:
52
Savatthi dan Hutan Jeta
"Pernahkah engkau mendengar ada orang yang untuk
menyelamatkan hidupnya sendiri dengan menyebabkan orang lain
terbunuh? Hanya karena seorang Brahmin bodoh menyuruhmu untuk
melakukan hal tersebut, lantas kamu melimpahkan penderitaanmu
pada rakyatmu? Sekarang ini ada seorang Guru yang sangat bijaksana
di Taman Jeta. Ceritakan padanya mengenai mimpimu dan dia akan
menasehatimu."
Kemudian raja Pasenadi menemui Sang Buddha. Sang Buddha
setelah mendengar mimpinya mengatakan bahwa penderitaanpenderitaan itu timbul karena nafsu-nafsu pikiran, dan raja mengerti
bahwa mimpinya timbul oleh karena konflik yang ada dalam pikirannya
yakni antara pikiran untuk melakukan perzinahan dan keinginannya
untuk memerintah dengan benar dan bijaksana. Akhirnya Raja memerintahkan pengawalnya untuk melepaskan semua makhluk hidup yang
akan dikorbankan tersebut, dan penduduk pun menjadi sangat
gembira dan berteriak kegirangan, "Semoga Ratu Mallika kami yang
bijaksana selamat sejahtera."
Tetapi Anathapindika lebih gembira karena setiap kata Sang
Buddha menjadi berkembang luas dan Raja dan Ratu menjadi
terkemuka di antara murid-murid lainnya. Dia yang secara boros
memberikan bantuan pada orang lain kini merasa bahwa
pemberiannya selama ini hanyalah bagaikan seonggok jerami.
Pemberiannya mungkin dapat menghentikan penderitaan mereka
untuk sementara waktu, tetapi Sang Buddha memberi mereka sesuatu
yang dapat menghentikan penderitaan mereka untuk selamanya. Pada
suatu hari aku mendengar dia bertanya pada Sang Buddha apakah
pemberiannya akan menimbulkan pahala. Sang Buddha bertanya
apakah dia memberikan bantuan pada setiap orang yang datang
padanya, dan dia menjawab iya, tetapi kadang-kadang dia hanya
memberikan pakaian, beras yang kasar dan bubur.
"Berpahala atau tidaknya suatu pemberian bukan ditentukan oleh
berharga tidaknya pemberian itu," Jawab Sang Buddha, "Yang
menentukan adalah pikiran pada saat pemberian, apakah kamu
mempunyai pertimbangan-pertimbangan mengenai orang yang kamu
berikan tersebut, apakah kamu memberikan dengan tanganmu sendiri
disertai rasa cinta kasih dan dengan pengetahuan bahwa semua ini
adalah tidak abadi. Hanya ada kebajikan dalam pemberian jika kamu
tahu bahwa tidak ada kebajikan di dalamnya, karena segala sesuatu
tidak abadi, baik si pemberi, barang yang diberi maupun si penerima.
Anathapindika menyimpan ajaran-ajaran Sang Buddha dalam
lubuk hatinya, dan sering aku pikir bahwa dia sebenarnya lebih dekat
53
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
dengan Sang Buddha daripada siswa-siswa lainnya. Dia tidak
membunuh makhluk hidup, tidak minum minuman keras dan tidak
menyeleweng dalam perkawinannya. Lagipula, dia sering menyendiri
dalam keheningan dan dapat menenangkan pikirannya serta
menemukan kedamaian Nirvana, kedamaian dan ketenangan
terpancar dari wajahnya seperti Sang Buddha, dan orang-orang akan
menghentikan perdebatan mereka bila dia mendekat.
Suatu hari ada beberapa golongan yang berbeda pandangan hidup
terlibat dalam suatu pertengkaran, ketika Anathapindika menghampiri
mereka, aku dengar salah satu dari mereka berkata, "Yang memakai
jubah putih ini adalah Anathapindika pengikut Sang Gautama. Dia suka
ketenangan, jika kita diam, mungkin dia mau bergabung dan
menerangkan ajaran-ajaran Sang Gautama pada kita." Perdebatan
mereka terhenti, dan ketika Anathapindika mendekat, mereka
memohon padanya untuk menerangkan ajaran Sang Buddha.
Anathapindika menjawab dengan rendah hati, "Sesungguhnya tidak
semua ajaran-ajaran Sang Buddha saya ketahui."
"Kalau begitu maukah anda menerangkan pada kami dengan
pandanganmu sendiri?"
"Saudara-saudara, ini bukanlah hal yang berat," jawabnya, "Tetapi
maukah kalian yang terlebih dahulu memberitahu saya tentang
pandangan kalian?"
Kemudian pengembara-pengembara ini mulai bertengkar dengan
suara yang keras mengenai apakah dunia ini ada permulaannya atau
tidak, dan setiap orang mengemukakan pendapat yang berbeda. Tak
lama kemudian salah seorang dari mereka berkata pada
Anathapindika.
"Demikianlah saudara, kami telah mengemukakan pandangan
kami masing-masing, sekarang menurutmu pandangan mana yang
lebih baik?"
Kemudian Anathapindika menjawab, "Saya melihat semua bendabenda yang kita kenal adalah sebagai bentuk perpaduan dari bendabenda yang lain, partikel-partikel yang terpisah dan bentuk-bentuk
pikiran, dan segala sesuatu yang merupakan perpaduan, haruslah
berpisah. Dengan demikian segala sesuatu adalah subyek yang bisa
berubah, lapuk dan mati. Tetapi saya telah menemukan jalan untuk
menghindari benda-benda yang tidak kekal itu dan dapat melepaskan
diri dari ikatan mereka. Saya telah menemukan sesuatu yang tidak
mengalami kematian, yang kekal dan abadi, subyek yang tidak akan
mengalami perubahan, pelapukan dan kematian."
54
Savatthi dan Hutan Jeta
Anathapindika menerangkan dengan tenang dan pancaran sinar
cinta kasihnya membuat pendengar-pendengar ini terdiam. Dia
berbicara tidak seperti mereka, tetapi dengan menggunakan kata-kata
yang tepat, masuk akal, singkat dan jelas. Tidak seorang pun
membantah ucapannya. Tetapi sesudah dia meninggalkan mereka dia
menjadi bimbang apakah kata-katanya tadi sesuai dengan ajaran-ajaran
Sang Buddha, jadi segera dia menemui Sang Buddha, dan Sang Buddha
menghargai apa yang telah dia ungkapkan tadi. Kemudian
Anathapindika bertanya pada Sang Buddha masalah yang sering
membebani dan menyulitkan dirinya sejak pertama kali dia bertemu
dengan beliau.
"Tidakkah kemakmuran dan kekayaan di kehidupan ini menjadi
noda untuk mencapai kehidupan yang lebih tinggi?"
"Jangan berkata demikian, kekayaan dan juga kehidupan di dunia
dengan kesenangannya bukanlah sesuatu yang baik juga bukan
sesuatu yang jahat. Ini bergantung pada bagaimana ia diperoleh, dan
apa yang dilakukan padanya serta cara mengendalikannya. Seseorang
dapat saja memperoleh kekayaan dengan jalan yang salah dan hanya
memanfaatkannya untuk diri sendiri. Sungguh, keadaan seperti itu tidak
akan membuat orang tersebut bahagia. Tetapi jika seseorang
memperoleh kekayaan secara halal, tidak merugikan orang lain, dan
menggunakannya tanpa perasaan serakah, dan memperhatikan bahaya
keterikatan pada kekayaan, jika dia membantu orang lain dan
menggunakannya untuk perbuatan-perbuatan baik, dan pada akhirnya,
jika dia senantiasa menyadari bahwa bukan kekayaannya, ataupun
perbuatan-perbuatannya yang baik yang menjadi tujuannya melainkan
kebebasan dari nafsu dan keinginan, maka kekayaan akan
membuatnya gembira dan bahagia. Dia tidak memiliki kekayaannya
untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk sesamanya. Orang seperti ini
penuh cahaya penerangan sempurna dan akan berada di dalam Inti
Keabadian.
55
Meditasi dan Ketenangan Bathin
Selama Sang Buddha tinggal sementara di Savatthi, aku juga
berada di sana baik pada musim hujan maupun sesudahnya. Beberapa
minggu lamanya, pagi-pagi sekali aku sudah berangkat meminta
sedekah dan kembali dengan terlambat, karena aku memperhatikan
pekerjaan para penduduk desa, pembuat keranjang bambu dengan
kulit-kulit bambunya yang terhampar serta pot kecil yang berisi air;
penenun yang dengan sabar mengikat benang yang timbul diikuti oleh
benang yang berikutnya; pembuat tikar yang sedang mengayam akarakar bambu dengan membentuk lingkaran di puncaknya; tukang besi
yang sedang meruncingkan tembaga. Dan juga menikmati musik yang
ada di desa—terdengar suara lembut para penduduk yang memulai
kehidupan pada waktu fajar, tampak nyala api untuk memasak dan
kemudian secara perlahan-lahan terdengar suara pria, wanita dan
anak-anak yang memulai tugas mereka sehari-hari; juga nyanyiannyanyian sewaktu mereka bekerja, mereka memainkan musik dari
sebuah alat atau pot yang antik. Ada suara seruling yang merdu yang
dimainkan oleh seorang wanita yang mencuri waktu beberapa saat di
tengah-tengah kesibukan menumbuk padi. Aku menyukai semua ini,
dan aku ingin meleburkan diri bersama penduduk desa dengan kehidupan dunia ini yang tentu saja tidak lebih hanyalah sebuah bayangan
yang tak abadi.
Ketika aku kembali dari meminta sedekah, segera aku memulai
sejumlah pekerjaan yang diberikan pada kami terutama membuat
jubah kuning. Aku mahir menggunakan jari-jariku dalam pembuatan
jubah dari kain bekas yang telah dipilih, hari-hariku penuh dengan
kegiatan tersebut selama berada di sana. Pada saat ketakutan muncul
kembali, aku akan mudah tersinggung dengan apa yang dilakukan oleh
sahabat-sahabatku, dan kadang-kadang aku menyesal terhadap
kebingunganku terhadap Dhamma yang mengelilingiku di mana-mana
selama dua tahun pertama. Tetapi kesukaran utama yangg aku hadapi
adalah tergelincir ke dalam kehidupan duniawi walaupun masih
mengenakan jubah kuning.
Pada suatu pagi yang dingin, aku lewat di depan Sang Buddha
ketika hendak berangkat meminta makanan. Sang Buddha
memanggilku. Ekspresi matanya yang selalu menembus ke dalam hati
seseorang memberikan cahaya kedamaian yang dalam yang pernah
beliau pancarkan sebelumnya. Kerinduan akan kedamaian kembali
melanda diriku, aku melihat bahwa bayangan kehidupan bagaikan
56
Meditasi dan Ketenangan Batin
awan gelap yang tidak dapat aku tembus walaupun hanya untuk
sekejap waktu.
"Ah! Yasa, kamu disibukkan oleh berbagai hal," kata Sang Buddha
dengan suara yang seperti menyiratkan sedikit rasa sedih.
"Ya," jawabku.
Sang Buddha berjalan perlahan, "Ada seseorang yang selalu sibuk,
yang pintar menangani pekerjaannya. Dia membiarkan waktunya
berlalu, dan dalam dirinya sendiri tidak ada ketenangan. Ini adalah
kondisi pertama yang mengganggu seseorang yang sedang melatih diri
dalam kehidupan sebagai seorang bhikkhu. Itu sama halnya dengan
seseorang yang menghabiskan waktunya dengan mengerjakan hal-hal
yang kecil, atau menghabiskan waktunya berkumpul dengan orang
lain, pagi-pagi sekali berangkat untuk meminta makanan dan kembali
dengan terlambat, berarti dia membiarkan waktunya berlalu begitu saja
dan tidak ada ketenangan di dalam hatinya."
Aku terdiam. Aku tahu bahwa perkataan Sang Buddha adalah
benar. Aku telah berusaha melepaskan konflik-konflikku bukan dalam
Keabadian, tetapi dalam kehidupan duniawi. Aku tahu bahwa aku telah
kehilangan cahaya terang dan pandangan batin yang dapat melihat
Nirvana.
Beberapa saat kemudian Sang Buddha melanjutkan, "Yasa, jangan
biarkan waktu berlalu begitu saja, jangan gagal mendapatkan
ketenangan di dalam hati."
Aku merasa malu; aku tertunduk melihat ke bawah tanah.
Tampak seekor induk ayam yang malang sedang meratap di
sangkarnya yang terletak di semak belukar. Seekor anak ayam yang
berumur tidak lebih dari satu hari melompat-lompat di sampingnya.
Dalam sangkar ada sepuluh butir telur dan tidak ada tanda-tanda akan
menetas. Induk ayam menggerakkan sebutir telur dengan cakarnya
berharap telur tersebut akan menetas dan tampak paruh kecil dari
dalam. Tetapi selama ini induk ayam tersebut lebih suka berkeliaran ke
desa daripada duduk di atas telur-telurnya. Aku sering melihatnya.
Telur-telur tersebut menjadi dingin dan anak-anak ayam mati sebelum
dierami. Ini adalah pemandangan yang menyedihkan; aku turut
merasakan kesedihan induk ayam tersebut. Sang Buddha mengikuti
pandanganku dan mengetahui pikiranku.
"Ya," Sang Buddha berkata. "Induk ayam itu berharap banyak pada
anak-anaknya, tetapi dia tidak melakukan sesuatu untuk menghidupkan mereka, karena dia tidak mengerami telur-telurnya. Seorang
bhikkhu berharap banyak untuk melepaskan diri dari keinginan dan
mencapai kehidupan abadi, tetapi mereka tidak akan menemukan hal57
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
hal ini hanya dengan berharap. Dia harus melatih diri menjalankan
delapan jalan utama dan meditasi. Sesuatu tidak akan tercapai hanya
dengan pengharapan, kita harus melakukan sesuatu."
Aku mengalihkan pandangan dari induk ayam kepada Sang
Buddha. Sang Buddha tersenyum ramah penuh cinta kasih yang
senantiasa menarik seseorang kembali padanya. Sang Buddha
membentangkan tangannya ke arah hutan.
"Di sana ada akar-akar pohon. Ada tempat kosong untuk
bermeditasi."
"Guru," kataku, "Mulai sekarang aku akan duduk di atas telur-telur
ini sampai aku dapat melihat anak ayam yang berada di dalam
menetas."
Sang Buddha tersenyum setuju dan aku melanjutkan dengan raguragu.
"Tetapi berilah penjelasan padaku tentang orang biasa yang mempunyai waktu sedikit untuk melakukan meditasi. Dapatkah mereka
memperoleh kedamaian dalam dirinya?"
"Dapat," jawab Sang Buddha. "Contohnya ibu Nanda. Suaminya
telah meninggal dan putranya dibunuh oleh raja, namun demikian dia
tetap bernyanyi dengan gembira sambil bekerja, lagu kebahagiaan
menuju Nirvana. Ketika Sariputta dan Moggallana hendak berkunjung
ke rumahnya, dia telah mengetahui hal ini melalui penglihatan
supranormalnya dan segera menyiapkan makanan untuk mereka.
Mereka sangat terkejut dan bertanya padanya. Ibu Nanda belajar
menghadapi kematian orang-orang yang sangat disayanginya dengan
tenang dan telah melepaskan diri dari hawa nafsu dan keinginankeinginan, oleh karena itu dia telah mencapai jhana keempat. Dia
benar-benar terang dan bahagia, dia memperolehnya bukan dari dunia
fana ini, melainkan dalam Keabadian."
"Sedangkan seorang wanita biasa dapat mencapai semua ini di
tengah-tengah kesibukannya sebagai seorang ibu rumah tangga,
mengapa kita meninggalkan rumah dan mengenakan jubah kuning?"
tanyaku.
"Apakah kamu merasa terpanggil, Yasa, untuk kembali pada
kehidupan sebagai seorang pemimpin keluarga?"
"Tidak, guru." Aku sadar pertanyaan ini seharusnya tidak dipertanyakan. Bukankah kita semuanya tahu bahwa sudah merupakan
karma seseorang menjadi bhikkhu, dan merupakan sesuatu yang
bodoh bila mempertanyakan mengapa seseorang bisa mencapai
penerangan walaupun hidup sebagai seorang yang berkeluarga,
sedangkan bagi orang lain harus meninggalkan kehidupan berkeluarga.
58
Meditasi dan Ketenangan Batin
Setelah itu Sang Buddha duduk di sampingku dalam
melaksanakan meditasi, ketenangan menyelusup dalam hatiku; untuk
sementara waktu aku terlepas dari ikatan-ikatan yang mengakibatkan
penderitaanku dan aku memperoleh kebahagiaan Nirvana yang damai.
Matahari semakin meninggi ketika aku dan Sang Buddha
berangkat melalui jalan yang berbeda untuk menerima makanan dari
penduduk. Pada hari itu aku tidak lebih lama di sana daripada monyetmonyet berwajah putih yang berlari kian kemari di ladang dengan padi
curian di mulutnya. Pada perjalanan kembali menuju hutan untuk
meditasi, aku melihat pemasang perangkap rusa dan teman-temannya
membunuh rusa yang terperangkap. Pemasang perangkap rusa
biasanya menanam padi. Waktu padi tumbuh mereka membuka pintu
pagar dan kawanan rusa segera menyerbu masuk untuk memakan
padi. Ketika rusa-rusa tersebut lagi asyik menikmati makanan,
pemasang perangkap dan teman-temannya mengelilingi mereka dari
berbagai jurusan dan kemudian dengan memberikan isyarat, mereka
menyerang dan menyembelih rusa-rusa tersebut. Itu adalah
pemandangan yang mengerikan, menyembelih makhluk hidup yang
indah dengan tanduk megah dan matanya yang jernih. Aku tahu bahwa
rusa harus dibinasakan jika padi petani ingin diselamatkan. Aku
berbalik sambil mengharap tidak akan ada daging binatang buruan
yang dituangkan dalam mangkukku pada hari-hari selanjutnya. Makan
daging hewan yang sengaja disembelih untuk kami, menjadi penjual
daging atau pemburu adalah terlarang bagi seseorang yang menjadi
siswa Sang Buddha. Tetapi kami yang meninggalkan kehidupan
keluarga harus menerima apapun yang dituangkan ke dalam mangkuk
kami, dan kadang-kadang pemberi yang belum mengerti mungkin
menuangkan daging ke dalam mangkuk kami. Selalu mengerikan
bagiku jika hewan disembelih buat makan. Hewan mirip kita sendiri,
dan setelah menyaksikan rusa-rusa itu, hal ini terasa lebih mengerikan
daripada sebelumnya. Seorang yang berjubah kuning tidaklah boleh
terpengaruh oleh kemewahan maupun perubahan yang tiba-tiba. Aku
berjanji pada diri untuk melenyapkan kesedihan dengan jalan
mencapai ketenangan pikiran melalui meditasi.
Sang Buddha juga menyaksikan rusa-rusa yang sedang
disembelih, dan ketika kami mengelilingi Sang Buddha untuk
mendengarkan Dhamma, Sang Buddha memberi perumpamaan
tentang rusa setelah satu jam kami berjalan menembus jalan berdebu
yang penuh kotoran sapi, ketika sapi-sapi tersebut dihela pulang untuk
pengambilan susu setelah melewati jalanan berlumpur.
59
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
"Apakah pemasang perangkap memang benar-benar menanam
tanaman untuk memelihara rusa?" pertanyaan Sang Buddha membuat
kami tersenyum. "Mengapa mereka menanamnya?" Sang Buddha
memandang saudara-saudara yang termuda dan salah seorang dari
mereka menjawab:
"Pemasang perangkap tahu bahwa rusa tersebut akan memilih
tanaman mereka yang jauh lebih menarik daripada yang tumbuh
dalam hutan, dan akan menyerbu ke dalam untuk memakannya,
sehingga pemasang perangkap dapat membunuh mereka dengan
mudah."
"Bagaimana jika," jawab Sang Buddha, "kawanan rusa yang kedua,
begitu melihat nasib kawanan pertama, akan menghindari tanaman
tersebut dan menunggu dalam waktu yang lama sampai musim panas
tiba, dan saat itu tidak ada lagi makanan dan minuman di dalam hutan,
lalu bagaimana?"
Saudara muda tadi yakni anak dari pemasangan perangkap
kembali menjawab, "Tidak, pada akhirnya kawanan kedua juga akan
menyerbu ke dalam dan memakan tanaman tersebut hingga mereka
terbunuh juga."
"Mungkin lain pada kawanan ketiga, jika menyaksikan nasib
kawanan pertama dan kedua, mereka akan berada di luar ladang saja?"
"Tidak satu pun dari kawanan itu yang berakal budi, Guru."
"Sekarang, mari kita bayangkan kawanan keempat yang lebih
bijaksana daripada kawanan lainnya. Kawanan ini membuat tempat
tinggalnya di dalam hutan, dan penuh mawas diri dari waktu ke waktu
menghadapi bahaya-bahaya yang mengancam, mereka memakan
tanaman yang biasanya tumbuh di dalam hutan secukupnya saja,
kemudian pulang kembali ke sarangnya masing-masing di dalam
hutan. Apakah kawanan ini terhindar dari pemasang perangkap?"
"Ya, Guru, mereka akan selamat, tetapi hanyalah manusia yang
dapat bersikap demikian, sedemikian bijaksana sehingga tidak
menyerbu makanan tersebut dengan rakus, sangat bijaksana sehingga
dengan penuh pengertian kembali ke sarangnya sesudah makan
secukupnya."
"Rusa yang saya ceritakan pada kalian ini," lanjut Sang Buddha,
kenyataannya sama dengan manusia. Rusa-rusa tersebut adalah para
pendeta dan brahmin. Pemasang perangkap adalah Mara, sang
penggoda yang mementingkan diri sendiri dan terikat pada keinginankeinginan. Tanaman adalah kesenangan-kesenangan yang ada di
dunia. Hutan adalah ketenangan hati dalam meditasi. Kawanan
pendeta dan brahmin pertama berpikir bahwa mereka dapat
60
Meditasi dan Ketenangan Batin
menikmati kesenangan-kesenangan dunia yang tidak merugikan.
Tetapi tidak seorang pun yang dapat mencapai dua tujuan. Bagi yang
suka menikmati kesenangan panca indera tidak dapat memperoleh
kehidupan abadi. Segera saja hawa nafsu dan keinginan-keinginan
akan melimpahi mereka, dengan sendirinya kehidupannya sebagai
seorang brahmin akan lenyap."
"Kawanan pendeta dan brahmin kedua berpikir mereka dapat
menghindari kesenangan indriya dan hal lain secara bersamaan, dan
menindas kodrat serta melawan keinginan mereka dengan kekuatan
dirinya sendiri. Tetapi tidak selamanya seseorang dapat hidup terpisah
dari dunia fana di sekelilingnya. Lambat laun keinginan-keinginan dan
kerinduan akan datang melanda dirinya; dia akan menyerbu ke dalam
dan tenggelam seperti kawanan pertama."
"Kawanan pendeta dan brahmin ketiga, berpikir bahwa mereka
dapat membuat tempat tinggal di luar kehidupan obyek-obyek
pencerapan indera; berakal budi, mempunyai renungan yang tajam,
kelihatannya mereka termasuk orang yang ucapannya dalam tetapi
sebenarnya kosong, yang berdebat dalam pertanyaan-pertanyaan
abstrak seperti apakah jiwa dan badan adalah terpisah atau sama,
apakah dunia bisa kiamat atau bertahan selamanya. Lambat laun,
mereka juga dilanda oleh godaan hawa nafsu dan keinginan, akhirnya
nasib mereka juga sama seperti kawanan lainnya."
"Kawanan keempat adalah orang-orang yang mencari kedamaian
dalam dirinya. Hanya di tempat inilah godaan dan keinginan-keinginan
tidak dapat beraksi, dan berkat ketenangan hati dalam meditasi, semua
kesedihan dan keinginan lenyap, inilah yang menjadi pusat kekekalan
dan keabadian. Inilah tempat tinggalmu yang sebenarnya, dengan
rumahmu ini kamu mendapatkan pengertian dan tidak melakukan
perbuatan jahat walau sedang dikelilingi oleh obyek-obyek indera."
Aku merenungkan kata-kata Sang Buddha. Jika ibu Nanda dapat
membuat rumah yang tenang dan damai dalam hatinya, bukankah
suatu kebodohan bagiku yang mempunyai kesempatan besar bila tidak
melakukannya. Betapa bodohnya membiarkan kehidupan suci lenyap
dalam diriku, betapa tidak jujurnya aku menerima makanan dari
penduduk yang murah hati tanpa menjalankan kehidupan suci!
Kemudian aku mendengar salah seorang saudara kami bertanya:
"Menurut Guru, tidak cukuplah syair-syair suci, kekuatan gaib dan
ajaran Dhamma?"
"Tidak cukup," jawab Sang Buddha, "Seseorang mungkin
menguasai syair-syair suci, lagu suci, ajaran agama, kekuatan dan
tulisan gaib, tetapi jika dia tidak melakukan meditasi, dalam dirinya
61
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
tidak akan menemukan kedamaian seperti seseorang yang hanya mendengar Dhamma melalui desas-desus, dia hidup tidak berpedoman
pada Dhamma dan tidak mengetahui kehidupan abadi melalui
pengalaman-pengalamannya sendiri.
Sama halnya dengan seseorang yang mengajar Dhamma pada
orang lain atau mempertimbangkan Dhamma sepanjang hari. Jika
seseorang tidak melakukan meditasi tidak akan mengalami hal-hal
nyata dan tidak memiliki mata batin, mereka hidup dengan tidak
berpedoman pada Dhamma dan tidak dapat memperoleh
penerangan."
Sang Buddha berbicara seolah-olah membawa penerangan di
tengah-tengah keberadaan kami. Tetapi aku tahu itu tidaklah cukup.
Aku harus berusaha sendiri dengan melatih ketenangan batin melalui
meditasi.
62
Bhaddiya dan Anuruddha
Setelah tinggal di Savatthi untuk beberapa waktu lamanya, Sang
Guru meminta kesediaanku untuk menemaninya menuju Kosambi,
dekat Sungai Jumna.
Pertama-tama kami menuju Anupiya, dekat Kapilavatthu di mana
Bhaddiya, yang dulunya Raja suku Sakya dan tinggal di dekat hutan,
sering terdengar berseru berulang-ulang:
"Inilah
kebahagiaan!
Inilah
kebahagiaan!"
Sang
Guru
mendekatinya dan menanyakan apa yang terjadi.
Dia menjawab, "Saya teringat kecemasan yang mengelilingi saya
ketika saya menjadi raja saat itu. Saya pikir saya mempunyai kekayaan
dan kedudukan yang tinggi. Tetapi kini saya mengerti, semakin banyak
yang dimiliki seseorang dan semakin tinggi kedudukannya, semakin
banyak yang ditakutinya, takut kehilangan semua yang telah
dimilikinya. Bahkan seorang pangeran yang dijaga ketat oleh pengawalpengawalnya pun, tak terlepas dari rasa takut. Tetapi sekarang saya
tidak memiliki apa-apa lagi, dan tidak mempunyai kedudukan lagi, saya
tidak akan kehilangan apa pun juga sehingga tidak ada lagi rasa takut.
Apakah itu bukan suatu kebahagiaan?"
Sang Guru dengan gembira menambahkan, "Ya, jika seseorang
tidak perduli apakah benda-benda itu ada atau tiada, maka dia tidak
akan mempunyai pikiran-pikiran jahat dan benar-benar memperoleh
kebahagiaan. Dia pasti bebas dari rasa takut dan cemas. Sebenarnya,
dia telah mengatasi dunia."
Pertemuan dengan Bhaddiya menyakinkan aku bahwa
keterikatanku akan musik tidak dapat dilenyapkan dengan mendengar
ataupun tidak mendengar musik yang merdu, tetapi hanya dapat
dilenyapkan dengan berlindung kepada dharma, sebagaimana yang
dilakukannya.
Ketika kami tiba di Kosambi, rupanya telah banyak yang
mengetahui akan kedatangan Sang Guru, jadi banyak yang sedang
menunggu beliau, termasuk raja muda Udena. Walaupun Udena
bukanlah siswa awam yang taat seperti raja Bimbisara dan raja
Pasenadi, dia meminta Sang Guru untuk mengirimkan salah seorang
muridnya untuk mengajarkan Dhamma pada para wanita di istana.
Sang Guru memilih Ananda sebagai guru dalam istana tersebut dan
mengunjungi mereka sesering mungkin pada tahun-tahun berikutnya.
Setelah sang Raja berlalu, berbagai orang suci menunggu Sang
Guru, berharap bahwa Sang Guru akan menjabarkan pada mereka
rahasia-rahasia alam semesta yang tidak dapat dijabarkan oleh orang
63
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
lain. Ketika Sang Guru hanya mengajarkan tentang berakhirnya
penderitaan melalui kehidupan Brahmana, mereka tidak puas dan
bertanya lebih jauh lagi. Saya ingat pada suatu malam bulan purnama,
ketika kami berkumpul mengelilingi Sang Guru di hutan Simsapa,
bagian luar dari Kosambi, salah seorang dari mereka bertanya pada
Sang Guru mengenai penciptaan alam semesta. Sang Guru memungut
segenggam daun Simsapa dan beberapa lamanya duduk terdiam
sambil memandangi mereka kemudian Sang Guru berkata, "Menurut
kalian, mana yang lebih banyak daun-daun Simsapa yang saya
genggam ini atau daun-daun yang bergantung di seluruh pohon
Simsapa yang ada di hutan ini?"
"Daun yang ada dalam genggaman Anda lebih sedikit, daun yang
bergantung di seluruh pohon yang ada di hutan ini lebih banyak," jawab
salah seorang.
"Demikianlah," lanjut Sang Guru, "Ajaran yang saya berikan
padamu hanya sedikit. Ajaran dalam alam semesta banyak sekali. Dan
mengapa Saya tidak memberitahu kamu ajaran lainnya? Karena ajaranajaran itu tidak berguna untuk kamu. Itu tidaklah penting bagi
kehidupan seorang Brahmana, ajaran-ajaran itu tidak dapat
membimbing kita untuk melepaskan diri dari ikatan hawa nafsu dan
keinginan, juga penderitaan."
"Guru," kata yang lainnya, "beritahu kami secara tepat hal-hal yang
penting untuk kami ketahui."
"Hanya Empat Kesunyataan Mulia yang telah saya terangkan tadi,"
jawab Sang Guru, "Bahwa penderitaan muncul dari keinginan,
kehausan, hawa nafsu dan perasaan dari "aku" dan "milikku", bahwa
kita dapat menghindari beban penderitaan jika terbebas dari diri kita
sendiri dan keinginan-keinginannya, dan ini dapat dilaksanakan dengan
menjalankan Delapan Jalan Utama yang telah saya jelaskan."
Apa yang dikatakan Sang Guru sangat jelas, tapi saya takut orangorang tersebut juga para siswanya tidak mengerti. Mereka mempelajari
ajaran Sang Guru sebagai sebuah doktrin, bukan sebagai jalan
kehidupan. Sebagian mempelajari Dhamma seperti mempelajari
aturan-aturan bagi Brahmin, dan sebagian mempelajari peraturan
Vinaya seperti mempelajari Veda dan mereka melanjutkan perdebatan
antara yang satu dengan lainnya seperti kejadian sebelumnya. Saya
heran mengapa begitu banyak terjadi perselisihan di Kosambi seakanakan para dewa perselisihan berdiam di kota ini. Apakah karena semua
yang menjadi siswa di sana berasal dari aliran yang berbeda sehingga
saling bersaing dan berdebat antara satu dengan yang lainnya? Atau
karena Kosambi merupakan daerah subur dan penduduknya terlalu
64
Bhaddiya dan Anuruddha
makmur, seperti yang dialami Bhaddiya, kedamaian pikiran tidak
mudah dicapai bila memiliki kekayaan yang melimpah. Namun apapun
alasannya, tindakan-tindakan para bhikkhu di Kosambi adalah terlalu
mengenaskan untuk dibicarakan secara panjang lebar.
Tetapi, hal-hal yang saya sebutkan tadi tidaklah berlangsung
selama beberapa tahun. Kini Sang Guru meninggalkan Kosambi dan
kami mengadakan perjalanan menyelusuri sungai Gangga menuju ke
Vesali. Sungai Gangga kelihatan dangkal pada musim ini dan pasir putih
berkilauan di bawah sinar mentari, beriak-riak bila pengembala
menghalau sapi ke air dan sekelompok nelayan menarik jala mereka.
Pada perjalanan ini pertama Sang Guru menyeberangi sungai dengan
sebuah perahu. Sejumlah besar pengembara suci menaiki perahu
tanpa membayar adalah merupakan beban bagi pengemudi kapal dan
Sang Guru kasihan pada mereka mengingat mereka harus
memperoleh uang yang cukup untuk memelihara anak dan istri.
Karena alasan itu jugalah maka Sang Guru juga tidak pernah
mengadakan perjalanan dengan naik dokar atau kuda tetapi selalu
berjalan kaki. Sang Guru berjalan kira-kira 15 mil setiap hari, istirahat di
tepi desa pada malam hari dan tidur di bawah pohon jika tidak ada
tikar yang terhampar untuk para pengembara.
Sebelum memasuki Vesali, kami menuju utara ke Hutan Gosinga,
di mana tumbuh pohon-pohon Sal dengan bunga-bunganya yang
harum bermekaran pada malam purnama, dan juga di mana
Anuruddha, Nadiya dan Kimbila bertempat tinggal.
Beberapa waktu yang lalu saya agak keberatan menjadi penolong
bagi Mahanama untuk membujuk adiknya, Anuruddha, meninggalkan
kehidupan berkeluarga. Sering saya bertanya dalam hati apakah
Anuruddha juga merasakan pertentangan yang berlanjut seperti yang
aku alami, pertentangan antara sinar Dhamma, dan Mara selalu
menggoda untuk kembali kepada kehidupan lampau dan mendengar
musik. Saya mendapat kabar sedikit bahwa Anuruddha kelihatannya
telah memperoleh kedamaian.
Kami tiba di Hutan Gosinga pada malam hari, dan penjaga hutan
datang menemui kami sambil berkata, "Jangan memasuki hutan ini,
tuan-tuan yang terhormat, tiga orang pemuda yang tinggal di hutan ini
sedang menjalani kehidupan brahmana. Jangan ganggu mereka."
Tetapi Anuruddha yang kebetulan mendengar hal ini mungkin
melalui telinga batin segera datang dan berkata, "Penjaga yang baik,
yang datang ini adalah guru kami, jangan menghalanginya."
Dua orang lainnya mengikuti Anuruddha, dan sekarang bertiga
mereka menyambut kedatangan Sang Guru, membawakan mangkuk
65
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
dan jubahnya dan juga air untuk kami mencuci kaki. Kemudian Sang
Guru menanyakan keadaan mereka. Mereka berkata pada Sang Guru
bahwa mereka dilayani secara baik dalam meminta makanan dan
mereka hidup bersama berdasarkan tali persudaraan yang erat. Setiap
orang saling menasehati satu sama lainnya dan saling menolong secara
tulus mengenai tugas-tugas tertentu seperti menimba air untuk minum
dan mencuci. Kelihatannya mereka mempunyai satu pikiran dalam
segala hal.
"Sungguh berbeda dengan para bhikkhu di Kosambi," pikirku
dalam hati. Kemudian Sang Guru bertanya lebih jauh pada mereka
apakah mereka memperoleh konsentrasi pikiran hingga mereka dapat
mencapai empat tingkat kesadaran jhana dan kekuatan gaib,
Anuruddha menjawab bahwa mereka semua dapat melakukannya, dia
sendiri mempunyai kepandaian melihat apa yang akan terjadi dan
mengetahui
pengalaman-pengalaman
mereka
sama
seperti
pengalamannya sendiri.
Saya mempunyai kesan yang dalam dari pertemuan dengan
pemuda-pemuda ini yang biasanya hidup mewah seperti saya. Hal ini
memberi petunjuk padaku bahwa perselisihan dalam hatiku akan
berakhir dan aku akan menemukan makna dengan mengisi Dhamma
dalam seluruh hati dan pikiran. Tetapi kemudian kegelapan yang
menyelimuti diriku saya dari waktu ke waktu membentuk sesuatu yang
baru. Kini ada kemarahan pada diri saya sendiri bahwa Asava, delusidelusi dan kehausan akan terus muncul tanpa diinginkan, walaupun
aku sudah memutuskan, tidak ada tempat bagi mereka; dan saya kuatir
karena pada suatu waktu suatu jika kebenaran menunjukkan jalan
terang untukku, dan tak lama kemudian, ketika aku lengah Mara yang
ada dalam diri akan menghantui diriku kembali.
Kekhawatiran itu menyebabkan aku menemui Anuruddha.
Wajahnya tampak bercahaya dan bahagia, saya heran akan perubahan
pada diri seseorang yang telah berhasil hidup tenang.
Saya bertanya padanya tentang hal-hal yang sering mengganggu
pikiran saya. "Saudara, saya heran bagaimana kamu bisa berubah
begitu banyak sejak pertama kali saya melihatmu bersandar sambil
menikmati musik yang merdu."
Dia menjawab, "Aku rasa ibuku yang membuat aku berubah,
walaupun mungkin dia tidak bermaksud demikian waktu itu. Waktu
aku enggan menuruti keinginan Mahanama dan pergi meminta izin
pada ibu untuk menjadi anggota sangha, Ibu menuntunku ke sebuah
balai-balai sutra, menyuapkan daging manis sembari membelai
rambutku dan memanggilku anak kesayangannya. Dia mengatakan
66
Bhaddiya dan Anuruddha
bahwa semua kemewahan ini akan menjadi milikku jika aku tetap
tinggal bersamanya. Saya merasa dia memperlakukan saya seperti
anak kecil, lalu saya menyentak dengan berang, dan memutuskan
untuk tidak lagi menerima perlakuan yang demikian memanjakan,
walaupun saya tidak akan pernah mendapat izin dari dia untuk
meninggalkan rumah. Sungguh, aku berpikir karena ketidaksetujuan
ibulah yang membuat aku memutuskan untuk mengubah
kehidupanku." "Begitu cepat kamu mencapai kedamaian batin,
Saudara," aku menambahkan, "Kelihatannya dalam dirimu semua
Asava, keinginan rendah, penipuan diri sendiri dan kebodohan, sama
sekali telah musnah."
"Tidak, saudara," dia menjawab sambil tersenyum, "Baru
beberapa minggu yang lalu saya menangis pada Sariputta bahwa saya
masih terikat pada Asava."
"Tetapi," protes saya, "Bukankah kamu dikenal secara luas sebagai
seorang yang memiliki kepandaian untuk melihat apa yang akan
terjadi."
"Kepandaian melihat apa yang akan terjadi bukanlah apa-apa
dibandingkan dengan kebebasan dari hawa nafsu," katanya sedih.
"Saya membanggakan kemampuan ini pada Sariputta, juga mengenai
penglihatan dewa yang dapat memandang dengan teliti beribu-ribu
sistim dunia. Dia menjawab dengan jujur bahwa pernyataan saya ini
hanyalah kesombongan belaka. Saya juga memberitahu padanya
bahwa saya sangat tekun berusaha untuk memusatkan pikiran dalam
bermeditasi. Sekali lagi dengan jujur ia berkata bahwa pernyataanku
hanyalah keangkuhan belaka."
"Sahabatku
Anuruddha,
kamu
mengejutkanku,"
kataku.
"Walaupun begitu, saya mengaku bahwa saya sering kagum dan
bertanya-tanya apakah engkau masih merasa adanya konflik batin yang
disebabkan oleh kehausan akan hal-hal duniawi; musik, irama atau
tarian."
"Saya mempunyai keterikatan akan hal-hal tersebut." Dia
menjawab dengan sungguh-sungguh. "Tidak akan hal-hal seperti itu,
tapi akan makanan yang layak dan bersih dari dapur ibuku. Berkali-kali
saya merasa jijik pada sisa makanan, kadang-kadang makanan yang
tidak bersih dituangkan ke dalam mangkuk saya. Kadang-kadang saya
juga merindukan tempat tidur yang bersih dan lembut. Saya mengeluh
pada Sariputta bahwa saya tidak bisa melepaskan diri dari Asava dan
saya masih terikat pada keinginan dan hawa nafsu."
67
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
"Lalu apa yang dikatakan Sariputta?" tanya saya. " Saya, saudara,
masih mempunyai keinginan yang lebih daripada hal-hal yang ada
dalam rumah ibu saya."
Anuruddha memandang dalam kehampaan dan menjawab
dengan lembut "Dia memberitahu saya bahwa keluhanku adalah
penderitaan, penderitaan yang tidak berguna, dan daripada menderita
lebih baik saya memusatkan pikiran pada hal-hal yang kekal dan abadi,
yang tidak akan pernah musnah."
Kata-kata ini membangkitkan semangat baru. Sariputta lebih
bijaksana dari siapapun kecuali Sang Guru. Jika kita dapat memusatkan
pikiran-pikiran pada hal-hal yang tidak dapat musnah, kita tidak akan
disusahkan dan tidak akan kehilangan apapun.
68
Vesali dan Sangha Bhikkhuni
Sang Buddha singgah di Vesali pada perjalanannya yang kedua ke
Kapilavatthu, tetapi tidak lama berada di sana. Beliau singgah hanya
untuk melewati musim hujan. Vesali adalah pusat kota bagi suku
Licchavi dari persekutuan suku-suku Vajji. Kabar bahwa Raja Pasenadi
dan juga Raja Bimbisara menjadi siswa Sang Buddha telah didengar
oleh para bangsawan Licchavi dan begitu Sang Buddha tiba, mereka
segera menjamu Sang Buddha dan memohon Sang Buddha untuk
memberikan khotbah Dhamma. Sang Buddha mengabulkan
permintaan mereka dengan memberikan khotbah Dhamma tentang
kebijaksanaan dan pemerintahan yang stabil.
"Selama engkau bertanggung jawab atas pemerintahanmu,
senantiasa mengadakan pertemuan dan berkumpul dengan damai,
selama itu pula engkau tetap diharapkan untuk memerintah dan tidak
akan mengalami kemunduran. Selama tidak berusaha menjatuhkan
hal-hal yang telah ditetapkan sebelumnya, menyesuaikan diri pada
hukum dan adat kebiasaan Vajji, menghormati orang-orang yang lebih
tua, selama itu pula engkau tetap diharapkan memerintah dan tidak
akan mengalami kemunduran. Sepanjang engkau tetap menghormati
para wanita dan gadis-gadis sukumu, tempat-tempat suci, orang-orang
suci dan bijaksana, selama itu kemakmuran dan kekekuatan tetap ada
dalam persekutuan Vajji."
Sementara Sang Buddha sedang berbicara dengan para
bangsawan ini, Persaudaraan Bhikkhu melihat kedatangan
serombongan wanita yang mengenakan jubah kuning dengan kepala
gundul dan tanpa alas kaki, tampak lusuh karena mengadakan
perjalanan yang jauh. Mereka semula heran siapa gerangan wanitawanita itu. Memang benar ada pengembara-pengembara wanita,
terutama dari orang-orang Nigantha, sementara juga ada siswa dari
Sang Buddha, yang terkenal adalah Khema, bekas istri Raja Bimbisara
yang telah aku ceritakan dan juga Bhadda yang berambut ikal, yang
berasal dari suku Nigantha.
Bhadda mempelajari seni berdebat hingga tidak ada yang dapat
menandinginya. Kemudian dia berkelana dari suatu kota ke kota
lainnya dan dari suatu desa ke desa lainnya. Di setiap tempat dia akan
menanam tunas mawar merah di atas timbunan pasir dan
memberitahu anak-anak dan penduduk lainnya, bahwa siapa saja yang
ingin bertemu dan berdebat dengannya harus menginjak timbunan
mawar merah itu. Selalu saja dia menjadi pemenang sampai suatu hari
Sariputta datang. Sebelumnya Bhadda belum pernah berdebat dengan
69
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
seorang siswa besar Sang Buddha, lalu dia mengumpulkan sejumlah
besar pengikut untuk menyaksikan perdebatan tersebut. Setelah
beramah-tamah, Sariputta mempersilahkan Bhadda mengajukan
pertanyaan terlebih dahulu. Sariputta menjawab semua pertanyaanpertanyaannya hingga dia kelelahan untuk bertanya lagi. Kemudian
Sariputta melontarkan satu pertanyaan saja, "Apa itu yang disebut satu?"
Bhadda, si Rambut Ikal tidak menjawab, padahal banyak jawabanjawaban terkenal dari pengetahuan kaum Veda, mungkin karena dia
telah mengetahui bahwa Sariputta akan memberi sebuah jawaban
sehingga dia dikalahkan oleh hal yang tidak diperhitungkan. Akhirnya
dia meminta Sariputta untuk memberikan jawaban dan Sariputta
memberitahu dia tentang Keabadian dan Delapan Jalan Utama. Bhadda
mendengar dan menjadi yakin, kemudian dia meminta untuk menjadi
murid Sariputta. Sariputta menolak tetapi mengajaknya menemui Sang
Buddha dan Sang Buddha mentahbiskannya menjadi murid.
Pentahbisan Bhadda berpengaruh besar pada saat itu dan masih
banyak yang dibicarakan. Tetapi bukanlah Bhadda atau Khema atau
para siswa wanita Sang Buddha lainnya ataupun para rahib wanita
Nigantha yang mengadakan perjalanan dengan rombongan besar
seperti yang kami saksikan sekarang memasuki Vesali.
Sebelum aku bercerita tentang para wanita yang datang ke Vesali
yang menandai masa penting bagi perkembangan Sangha, terlebih
dahulu aku akan menceritakan apa yang dikatakan Sang Buddha pada
kami, yakni ketika Sang Buddha telah mencapai penerangan dan mara
mempengaruhi agar pergi mengasingkan diri sebagai pertapa
menikmati sendiri berkah atau kebahagiaan yang ditemukan. Sang
Buddha berjanji tidak akan pernah berhenti dari tugasnya di dunia
hingga adanya persaudaraan para bhikkhu dan bhikkhuni dan umat
awam pria atau wanita yang taat yang mampu menyebarkan Dharma.
Sampai saat ini masih sedikit jumlah siswa wanita yang menjalankan
kehidupan di dalam pengembaraan, hanya beberapa wanita yang
mampu meninggalkan kehidupan duniawi seperti Khema dan Bhadda
si Rambut Ikal yang mempunyai kemampuan yang menonjol untuk itu.
Maksud Sang Buddha belumlah terwujud seluruhnya sampai saat ini.
Lebih jauh aku menjelaskan, ketika Persamuan Agung
diselenggarakan di Rajagaha setelah wafatnya Sang Buddha, tak
seorang pun bhikkhuni yang diundang, oleh karena itu semua hal yang
diuraikan adalah merupakan laporan dari para bhikkhu yang dengan
tak sengaja melupakan para bhikkhuni pertama tersebut dan juga janji
Sang Buddha. Cuma sedikit diceritakan tentang betapa Sang Buddha
tidak membuat perbedaan antara pria dan wanita dalam mencapai
70
Vesali dan Sangha Bhikkhuni
penerangan sempurna. Kebanyakan dari para bhikkhu yang pernah
suatu saat digoda oleh nafsu, menganggap wanita sebagai perangkap
yang dipasang oleh Mara, oleh karena itu mereka selalu memberi
perhatian sekecil mungkin pada wanita dan merendahkan mereka.
Mereka lupa bahwa Mara adalah berasal dari diri mereka sendiri, dari
hawa nafsu sendiri dan mereka selalu menyalahkan kaum wanita,
bukan diri mereka sendiri bila mereka tergoda oleh nafsu. Oleh karena
hal-hal demikian, setelah kematian Sang Buddha, dalam Persamuan
Agung tidak diikutsertakan para bhikkhuni dan tidak diperhitungkan,
dengan demikian semua kejadian yang aku ceritakan oleh karenanya
kekurangan bukti-bukti.
Setelah menerangkan panjang lebar, kini biarkanlah aku kembali
bercerita tentang rombongan wanita berjubah kuning yang mendekati
Vesali.
Perlu diingat bahwa, setelah kematian ayah Sang Buddha,
Suddhodana, putri Pajapati, bibi Sang Buddha bermaksud untuk
menjadi bhikkhuni. Sang Buddha tidak mengizinkan mungkin karena
mengingat Rahula dan Nanda telah meninggalkan rumah, juga karena
kini putri Pajapati adalah kepala keluarga yang besar. Dengan sedih
Pajapati kembali melakukan tugasnya. Tetapi dia terus menerus
merenungi jalan pembebasan yang diajarkan Sang Buddha. Dia
mengerti pembebasan itu bukanlah pembebasan dari hal-hal yang ada
di dunia tetapi dari keinginan-keinginan yang ada dalam hati. Dia pikir
melenyapkan keinginan-keinginan dalam hati akan lebih mudah jika
godaan hidup sebagai kepala keluarga disingkirkan. Berdasarkan halhal inilah dia kemudian mengatur para kepala keluarga dan
tanggungjawabnya diberikan pada yang lain, lalu dia mengumpulkan
para wanita dari Suku Sakya dan memberitahu mereka apa yang ada
dalam benaknya yakni menjalankan kehidupan suci. Apa yang
dikatakannya dianggap bijaksana oleh mereka. Mereka bersepakat
memotong rambut dan mengenakan jubah kuning, tanpa alas kaki
berjalan menuju Vesali, tempat di mana Sang Buddha berada. Ketika
tiba di Vesali, mereka berlutut di hadapan Ananda, dan Pajapati
mengatakan tentang tujuan dan keinginan mereka untuk menjalankan
kehidupan suci sebagai murid Sang Buddha. Mengingat penolakkan
Sang Buddha dahulu terhadap permintaan Pajapati, Ananda kemudian
mengumumkan kedatangan mereka dan memberitahu Sang Buddha
tentang ketulusan hati mereka, terbukti dari perjalanan mereka, bukan
sebagai wanita bangsawan, melainkan sebagai orang yang rendah hati
yang hidup dari secuil makanan yang diberikan orang lain. Sang
Buddha menyuruh Ananda membawa mereka menjumpainya dan
71
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
kemudian Sang Buddha mentahbiskan mereka sebagai Sangha
Bhikkhuni.
Kemudian Pajapati memohon Sang Buddha membabarkan
Dharma pada mereka sebelum mereka pergi bertapa. Dan kini, ketika
aku dengan beberapa anggota persaudaraan para bhikkhu berusaha
menyusun ajaran Sang Buddha ke berbagai peraturan-peraturan dan
kategori, aku teringat kembali apa yang dikatakan Sang Buddha pada
Pajapati.
"Kamu dapat menentukan sendiri Dharma itu apa. Terhadap
ajaran-ajaran apapun, kamu harus sadar bahwa mereka membawa
kedamaian, bukan nafsu, melepaskan dan bukan mengikat,
mengharap sedikit dan tidak mengharap terlalu banyak, menyepikan
diri dan tidak condong pada keramaian, berusaha melatih diri dan tidak
malas, merasa puas dan tidak mengeluh, sungguh, tanamkan dalam
pikiranmu bahwa inilah Dhamma, inilah Vinaya, inilah ajaran dari
Penemu Kebenaran."
Pajapati yang merupakan pemimpin keluarga besar sejak dia
masih muda, kini kembali pada tugasnya untuk mengorganisasi
persaudaraan bhikkhuni dan mengusulkan untuk menerima peraturan
Vinaya yang diberikan Sang Buddha supaya di luar semua kelihatannya
sama atau seragam. Para bhikkhu yang lebih tua dan cakap menjadi
instruktur mereka dan di dalam Persaudaraan (Sangha), sebagaimana
di dunia ini, diputuskan bahwa para bhikkhuni harus menghargai para
bhikkhu, yang lebih berpengalaman, sebagimana mereka memandang
saudara laki-laki mereka yang lebih tua. Namun dalam memahami atau
mempelajari Dhamma, tidak ada perbedaan jenis kelamin. Jika
seorang wanita atau pria memikirkan bahwa dia seorang wanita atau
pria maka Mara mempunyai kekuatan untuk mengodanya, tetapi jika
seseorang tidak mempunyai pikiran demikian lagi, Mara akan pergi
dengan sendirinya, dalam memahami dengan menjalankan Dhamma
tidak ada perbedaan wanita atau pria, beberapa siswa Sang Buddha
yang cakap dan bijaksana adalah wanita seperti Khema dan
Uppalavanna. Lebih jauh lagi, Pajapati begitu keras memeriksa
keuntungan-keuntungan yang didapatkan oleh persaudaraan bhikkhu
atas status mereka yang dianggap lebih tua dan terhormat. Suatu ketika
dia menemukan enam orang bhikkhu yang menyuruh beberapa
bhikkhuni untuk memcuci, memberi warna dan menyisir bulu domba
untuk bahan baju mereka hingga para bhikkhuni ini melalaikan latihan
meditasinya. Pada saat itu juga Pajapati melaporkan hal ini pada Sang
Buddha dan Sang Buddha membuat suatu peraturan bahwa para
bhikkhu tidak boleh meminta para bhikkhuni mengerjakan suatu
72
Vesali dan Sangha Bhikkhuni
pekerjaan untuk kepentingan mereka. Pada hari berikutnya, beberapa
bhikkhu yang mempunyai keahlian dalam pekerjaan tangan diizinkan
untuk membantu para bhikkhuni di dalam vihara. Tetapi setiap
pekerjaan dilakukan secara bersama dan tidak ada pekerjaan yang
menyita waktu meditasi mereka.
Pajapati yang diberi kebebasan oleh Sang Buddha, mengorganisir
para bhikkhuni sehingga terpisah dari persaudaraan (para bhikkhu),
kemudian jumlah para bhikkhuni bertambah dengan cepat karena para
wanita yang karakternya tidak semenonjol Khema atau Bhadda
dimungkinkan untuk memakai jubah kuning. Banyak para wanita
memanfaatkan kesempatan ini, dengan latihan yang sungguh-sungguh
mereka menjadi salah satu dari sekian orang-orang suci. Kini izinkanlah
aku bercerita tentang salah seorang di antaranya, yaitu Patacara.
Sebelum Patacara menjadi murid Sang Buddha, Patacara
berkeliaran di sepanjang jalan kota Savatthi tanpa pakaian yang layak
dan terkenal sebagai seorang wanita gila. Penduduk memberitahuku
bahwa dia berasal dari keluarga baik-baik, kemudian menikah dengan
seorang pelayan dan mempunyai dua orang anak, tetapi sekarang
suami, anak-anaknya dan sanak saudaranya semua telah meninggal.
Keadaannya sungguh menyedihkan, tetapi hanya sedikit orang yang
kasihan padanya dan memberinya secuil makanan, lebih banyak orang
mengusirnya bila ia mendekati mereka. Hal itu juga terjadi ketika Sang
Buddha tiba di Savatthi. Sang Buddha sedang berkhotbah di Hutan Jeta
ketika Patacara datang mendekati Beliau. Melihat kedatangannya,
beberapa pendengar khotbah berkata, "Jangan hiraukan si gila yang
datang ke sini," dan beberapa orang bangkit hendak mengusirnya.
Tetapi Sang Buddha segera mencegah, "Jangan mengusir dia," Sang
Buddha berhenti berkhotbah dan bangkit, menunggu Patacara
mendekatinya. Kemudian Sang Buddha merentangkan tangan dan
cahaya belas kasih-Nya bagaikan sebuah mantel yang melindungi
Patacara. Dia berhenti seketika dan menatap Sang Buddha.
"Saudaraku, ceritakanlah penderitaanmu," suara Sang Buddha
penuh kelembutan yang tak terlukiskan.
Seketika itu juga ekspresi ketidakwarasannya menjadi hilang,
wajahnya menjadi tenang dan damai. Suasana menjadi demikian
hening karena semua terpana akan keajaiban yang terjadi, suara
sehelai daun yang gugur pun sampai kedengaran. Perlahan-lahan dia
menjadi sadar akan keadaan tubuhnya, wajahnya menjadi merah dan
dia segera meringkuk di tanah sampai seseorang di sampingnya
mengansurkan sebuah mantel untuknya, dan secepatnya dia menutupi
73
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
badannya dengan penuh rasa syukur. Kemudian dia bersujud di kaki
Sang Buddha sambil berkata:
"Guru, tolonglah saya. Suami saya meninggal digigit ular berbisa,
salah satu anakku disambar rajawali dan satu lagi mati tenggelam.
Orang tua saya dan saudara saya meninggal tertimpa rumah yang
roboh, tidak ada lagi orang tempat saya berlindung."
Sang Buddha duduk dan Patacara bersujud di depan kaki Sang
Buddha. Ketika dia sudah tenang, Sang Buddha berkata, "Memang
demikianlah adanya perlindungan itu, tidak ada pada suami, anakanak, orang tua dan saudara-saudara maupun famili. Kematian pasti
datang menjemput mereka dan airmatamu pasti jatuh bila kamu
kehilangan seseorang yang dicintai. Airmata tidak akan menghentikan
perputaran roda kelahiran dan kematian. Saya dapat menunjukkan
padamu sebuah perlindungan yang abadi."
Patacara mendengar dengan sungguh-sungguh tetapi hatinya
tetap sedih. Kini dia duduk tegak dan menatap mata Sang Buddha
dalam-dalam sambil berkata:
"Adakah perlindungan yang demikian? Beritahukanlah saya apa
itu."
"Perlindungan itu adalah Nirvana. Berlindunglah pada Dhamma,
jalan yang membimbingmu menuju Nirvana. Dengan melaksanakan
jalan itu, tidak ada yang akan melukaimu." kemudian Sang Buddha
memberitahu Patacara tentang Delapan Jalan Utama dan dia
mendengar dengan hikmad. Sebelum Sang Buddha selesai
berkhotbah, sebuah cahaya yang bersinar terang telah menerangi
wajah Patacara, dan kami tahu bahwa dia telah melihat Mata
Kebenaran dan telah memasuki aura yang membimbingnya menuju
Nirvana. Ketika Sang Buddha berhenti berkhotbah, dia memohon untuk
menjadi murid dan Sang Buddha membawanya pada persaudaraan
bhikkhuni untuk ditahbiskan.
Beberapa tahun kemudian, aku kembali bertemu Patacara di
sebuah tempat yang jauh. Dia telah mencapai Pembebasan dan
dihormati sebagai seorang suci. Dia memberi khotbah pada orang
banyak dan pergi ke desa berkhotbah kepada penduduk sekitarnya dan
secara perlahan sejumlah wanita menjadi pengikutnya. Para bhikkhuni
ini tidak pernah bertemu dengan Sang Buddha dan bagi mereka
Patacara adalah Sang Buddha yang maha sempurna. Sungguh, ketika
saya melihat cahaya belas kasih yang terpancar di wajahnya saat
memberikan khotbah, seolah-olah saya merasakan kehadiran Sang
Buddha.
74
Vesali dan Sangha Bhikkhuni
Sebagian besar yang mendengar khotbahnya adalah orang-orang
yang telah kehilangan anak-anaknya, dan mereka tahu bahwa Patacara
berbicara sebagai orang yang pernah merasakan penderitaan serupa
ketika dia menerangkan bahwa memang demikianlah hidup, sesuatu
muncul untuk kemudian lenyap, terikat pada hal-hal yang tidak kekal
adalah seperti terikat pada roda yang terus berputar, sumber dari
penderitaan yang tidak pernah padam. Mereka juga mengetahui, ketika
dia berbicara tentang perlindungan Dharma, dia sendiri telah
mendapatkan ketenangan di bawah naungan Dharma, dengan
demikian dia akan dapat menunjukkan jalan bagi siapa pun yang
mencari perlindungan itu.
75
Dukkha: Kesunyataan Utama
Setelah Sang Buddha meninggalkan Vesali, Sang Buddha berjalan
menuju Benares dan berkelana di antara orang-orang Kasi. Tetapi apa
yang terjadi kemudian pada beliau tidak pernah aku dengar langsung,
karena aku tidak menemani beliau dalam perjalanannya. Begitu beliau
berangkat aku menderita sakit yang berat, aku tidak pernah sakit
sebelumnya, masa muda dan tubuh yang sehat bagi aku merupakan
suatu yang alamiah. Memang merupakan kenyataan bahwa di saat aku
melakukan perjalanan aku sering melihat orang sakit, orang tua dan
orang mati. Ada satu hal yang dapat diketahui berdasarkan intelektual
seseorang yakni bahwa penderitaan adalah kebenaran utama dalam
hidup, namun untuk menerima penderitaan itu ketika ia datang
padamu, adalah hal yang lain lagi. Dan sekarang aku kasihan pada
diriku sendiri dan benci akan rasa sakit, hari-hari berikutnya aku didera
oleh gelisah yang berkepanjangan dan ketika derita itu berlalu, ia
meninggalkan kelemahan dan keletihan serta rasa putus asa yang lebih
parah dari rasa sakit.
Suatu hari aku terbaring dalam kesengsaraan yang dalam, dalam
bayang-bayang, aku merasa Sang Buddha datang dan berdiri di
sampingku, memandang dengan matanya yang bijaksana, mata
terlembut di dunia. Beliau mengingatkan aku tentang perjalanan yang
menyenangkan dari Rajagaha ke Kapilavatthu saat mengunjungi ayahNya. Ketika kami berdiri memandangi perahu besar di sungai Gangga
sementara rakit sedang dibuat, beliau berkata, "Hari-hari sebelum saya
menemukan penerangan, saya mengunjungi samudera timur. Di
pelabuhan, sebuah kapal laut yang diperlengkapi dengan tiang kapal
dan korset terdampar di pantai. Seorang pelaut tua mengatakan kepada
saya bahwa perahu itu sudah berada di sana selama enam bulan
ditempa terik mentari dan hujan silih berganti, menyebabkan ia
menjadi rapuh dan hancur. Demikian juga halnya dengan seorang
bhikkhu yang menjalani Jalan Tengah, dia akan melemahkan serta
melepaskan belenggu itu dengan sendirinya; jangan resah, jangan
merasa tertekan, dan jangan gelisah."
Bayang-bayang itu kemudian berlalu, tetapi hal itu seolah-olah
bagaikan seorang yang kuat mengulurkan tangan menolong yang
lemah. Setelah itu aku pun tertidur dengan tenang. Kejadian itu
mengingatkanku pada penderitaan Sang Buddha sebelum mencapai
Penerangan Sempurna, saat kekuatanku pulih kembali, aku merenungkan dalam-dalam penderitaan-penderitaan yang kualami itu. Akhirnya
aku mampu bangkit dari dipan dan pergi menuju ke desa meminta
76
Dukkha: Kesunyataan Utama
makanan. Hidup dan kekuatan baru datang kepadaku, dan aku
dipenuhi rasa bahagia dan cinta kasih kepada seluruh dunia. Aku
bahagia karena mampu melimpahkan perasaan belas kasih. Suatu hari
ketika sedang mengumpulkan makanan, aku mendengar nyanyian
sekelompok gadis petani yang sedang bekerja. Lagu itu sangat terkenal
dan dulu lagu itu selalu menggugah perasaaanku yang terdalam.
Walaupun lagu itu tetap sebagus yang dulu, namun aku menjadi sadar
bahwa lagu itu tidak lagi memiliki kekuatan yang dapat menggugah
emosi dan keinginanku. Aku mendengarkannya seperti angin yang
berlalu di padang rumput. Akhirnya aku menyadari bahwa belenggu,
kehausan dan keserakahan akan indera telah lenyap dari diriku seperti
tiang yang lepas dari kapal. Demikian bahagianya aku seakan-akan aku
merasa bagaikan telah mencapai penerangan sempurna. Aku
mengingat kembali akan pikiran-pikiran yang penuh nafsu keinginan
dan rasa dengki yang pernah mengendalikanku, dan aku menyadari
bahwa hal-hal itu telah lenyap bagaikan tak pernah ada sebelumnya.
Aku merasa begitu damai dan penderitaan pada hari-hari yang lalu
telah berganti menjadi semangat hidup dan kebahagiaan.
Aku berjalan pulang dengan langkah yang bebas, ringan sambil
merenungkan semuanya. Tiba-tiba aku tersandung sebuah batu dan
terjatuh. Aku berusaha bangkit dengan rasa sakit dan nyeri di
punggung. Aku tidak menghiraukannya dan segera bermeditasi di
bawah pohon palem dekat gubukku. Tetapi malam itu punggungku
terasa sakit sekali, dan minggu-minggu berikutnya menjadi lebih parah,
sehingga kadang membuat aku tidak bisa tidur. Aku berpikir lebih baik
beristirahat selama beberapa hari dan meminta salah satu bhikkhu
untuk mengambil makananku. Aku masih bahagia karena kecelakaan
kecil ini tidak mengurangi kegembiraan dan cinta kasihku terhadap
semua makhluk.
Tetapi ketika hari-hari telah berlalu dan aku harus meminta makanan sendiri, rasa sakit masih belum hilang dan kadang lebih hebat lagi.
Aku hanya mampu berjalan sedikit saja dan itu pun dengan susah
payah.
Perasaan gembira yang semula ada mulai lenyap berangsurangsur, dan aku kembali dilanda kesedihan yang dalam dan putus asa.
Aku
berusaha
menarik
nafas
dalam-dalam
dan
menggabungkannya dengan upayaku berkonsentrasi dalam meditasi,
tapi sakitnya tidak kunjung reda, semakin berusaha bermeditasi,
semakin terasa sakitnya. Semuanya terasa sia-sia dan lebih sia-sia lagi
karena perasaan gembira yang ada telah lenyap. "Jika saja Sang
Buddha berada di sisiku," pikirku, tetapi beliau dikabarkan telah
77
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
meninggalkan Benares dan sedang menuju Savatthi yang memerlukan
perjalanan berminggu-minggu, itu pun jika aku sanggup berjalan sejauh
itu, dan aku tidak yakin dapat melakukannya.
Ketika aku teringat Sang Bhagava, terkenang juga kata-kata
mengenai terbentuknya diri. Ada diri jasmani saat kita terikat akan
nafsu dan keinginan akan bentuk jasmani dan ada 'diri dalam bentuk
pikiran' saat kita terikat pada kesempurnaan dan ide-ide. Tetapi ada diri
yang halus dan tak berbentuk saat kita menikmati kegembiraan dari
kebajikan yang kita perbuat. Aku telah menjauhkan diri dari inti
keabadian seperti seorang yang menurut kehendak keinginankeinginan rendahnya. Demikian cerdiknya Mara menggoda bahkan
dalam kebajikan yang kita perbuat dan membentuk diri yang lain pada
tempat di mana bentuk-bentuk diri yang lebih kasar telah kita
musnahkan!
Sambil merenungkan dan mengakui kebenaran itu, aku
bermeditasi lagi, berusaha keras di antara kesuraman dan
keputusasaan untuk membuang diri tak berbentuk dan menemukan
kedamaian. Tetapi semakin aku berusaha, bertambah rumit pula
persoalan dan semakin terasa penderitaan yang tidak akan pernah
berakhir. "Ketika pikiran buntu", teringat lagi kata-kata Sang Buddha,
"Atau merasa tertekan dan lelah, maka saat itu tidak mungkin akan ada
ketenangan dan meditasi. Seperti hendak membuat api dari tumpukan
rumput basah."
Aku kemudian bangkit dan melakukan sedikit tugas merapikan
biara dan membantu orang baru yang tiba. Keadaan memburuk tetapi
aku tidak lagi menghabiskan energi untuk berkonsentrasi dan mencari
kedamaian. Aku biarkan sakit di punggung dan kesedihan berjalan
sebagaimana adanya. Keesokan paginya sewaktu meminta makanan,
aku bertemu seorang gadis kecil bermain dengan anak-anak dari
kampung lain. Aku telah sering berjumpa dengan gadis kecil itu dan
tidak begitu memperhatikannya. Dia hanya memiliki satu kaki dan
berjalan pincang dengan tongkatnya, tetapi dia tertawa ceria dan
berteriak seperti anak-anak lain sambil bermain lumpur. Aku menjadi
sangat malu bila dibandingkan gadis kecil itu yang keadaannya lebih
menderita tetapi tetap ceria dan bahagia. Aku demikian bodoh dan
mudah putus asa. Sesuatu memasuki benakku dan membuatku agak
tenang. Aku harus belajar seperti dia. Aku telah mengidentikkan diriku
dengan jasmaniku, menciptakan 'diri-jasmani'. Sambil merenungkan
bahwa sebenarnya jasmani ini bukanlah 'Aku', aku teringat si tukang
pangkas, Upali yang menceritakan penemuannya berdasarkan
pengalamannya sendiri bahwa kepandaiannya bukanlah dirinya yang
78
Dukkha: Kesunyataan Utama
sebenarnya. Menurutnya, "Ini adalah suatu hal yang istimewa tetapi sulit
dipahami. Lihatlah monyet yang mengguncang-guncang pohon seperti
gempa bumi itu. Lihat, sekarang ia berpindah-pindah ke pohon-pohon
lain, dan berbuat serupa tanpa mendapat apa-apa. Dia berpikir bahwa
dia dapat melakukan segala sesuatu dengan otaknya yang demikian tak
berarti, padahal itu hanya menimbulkan kesulitan bagi dirinya sendiri."
Sekarang aku menemukan hikmah dari rasa sakit itu, dan aku
ingin segera bertemu dengan Sang Buddha serta mendengarkan
penderitaannya sebelum mencapai penerangan sempurna. Perjalanan
pada musim hujan itu ke Savatthi memerlukan waktu hanya dua bulan,
aku berjalan pelan sekali. Bagaimanapun, aku rasa masih dapat tiba
tepat pada waktunya, jadi sewaktu fajar mulai menyingsing aku
berangkat sambil membawa mangkuk, walaupun anggota Sangha ke
mana-mana selalu berjalan kaki, namun aku yakin Sang Buddha akan
mengijinkan bagi yang pincang untuk memakai kereta lembu jika
ditawarkan. Tetapi aku dapat berjalan secepat kereta itu.
Biasanya perjalanan ke Savatthi akan melewati Kapilavatthu dan
aku merasa Sang Buddha tinggal agak lama di sana. Ketika hampir
mencapai kota ini aku bertemu Sariputta yang mengatakan Sang
Buddha menetap di sana sebelumnya, dan sekarang telah berada di
Savatthi. Sewaktu aku menceritakan tentang rasa sakitku, beliau pun
mengulang kembali kata-kata Sang Buddha kepada pesakit Nakulapilar
yang tua di luar Kapilavatthu.
Nakulapilar sakit dan sangat resah dan sering menyesali dirinya
sendiri. Ketika Sang Buddha menjenguknya, Nakulapilar berkata, "Saya
orang tua renta yang selalu sakit-sakitan dalam hidup yang sudah akan
berakhir ini. Saya selalu menderita dan merana. Jika anda atau bhikkhu
tua lain menjenguk saya, saya akan merasa lebih baik. Tetapi tidak ada
seorang pun yang mengunjungi saya. Saya sangat sedih dan
menderita."
Sang Buddha memandangnya dengan belas kasih dan berkata,
"Benar, tubuhmu lemah dan merana, tetapi siapa yang kebahagiannya
selalu tergantung pada kesehatan dan kondisi tubuhnya, akan kecewa.
Kita tidak dapat menggantungkan keseharian kita pada kesehatan, biarpun hanya untuk sehari."
"Tidak, saya rasa tidak," keluh orang tua itu. Sang Buddha melanjutkan, "Tubuh tidak akan luput dari celaka dan penyakit, dan
seandainyapun luput dari hal itu pada akhirnya akan hancur dan mati.
Mengharapkan jasmanimu sebagai penolong, sama saja mengharap
sesuatu yang telah menyusahkanmu, yang selalu berubah, yang selalu
79
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
akan hancur. Tetapi ada pertolongan abadi dan kamu dapat
menemukannya sekarang."
"Saya tidak melihat apapun yang tersisa bila kekuatan dan kesehatan telah buruk," Orang tua itu kembali mengeluh, "jadi kita harus
bergantung kepada apa?"
Sang Buddha memandangnya dengan penuh cinta kasih sambil
berkata, "Jika kamu memiliki Diri Sejati, berlindung kepada Dhamma,
yang menguasai segalanya; kelemahan dan sakit tidak berpengaruh lagi
kepadamu. Walaupun tubuhmu sakit tapi Dirimu yang sejati itu tidak
akan sakit, dan kamu dapat berlindung padanya, sebuah pulau yang
melindungimu dari badai penderitaan hidup."
Nakulapilar mendengar semua nasehat Sang Tathagata dan
sepenuhnya paham. Kini ia bebas dari segala sakit dan penderitaan
batin. Dia berlindung kepada Hukum Kesunyataan dan Dirinya yang
sejati. Wajahnya sejernih Sang Buddha ketika dia pergi meninggalkan
beliau.
Dalam perjalanannya dari daerah tersebut dia bertemu dengan
Sariputta yang segera mengenali wajahnya yang damai. Dia berkata,
"Nakulapilar, kamu tentu baru saja bertemu dengan Bhagava."
"Ya, saya bagaikan diberi makanan dewa-dewi."
"Ceritakan kepada saya apa yang terjadi dan apa yang beliau
katakan sehingga wajahmu begitu bersinar."
Dan Nakulapilar menceritakan kembali kepada Sariputta
mengenai pertemuannya dengan Sang Buddha dan suaranya penuh
dengan kegembiraan, tetapi Sariputta tidak puas, baginya wejangan
Sang Buddha belum sempurna, jadi ketika Nakulapilar berhenti, dia
berkata:
"Apakah kamu menanyakan kepada Sang Sugata bagaimana
tubuh dan pikiran menjadi sakit dan bagaimana tubuh menjadi sakit
tetapi pikiran tetap sehat?"
"Tidak, tapi tuan yang terhormat, maukah anda menjelaskan
kepada saya demi kesejahteraan saya?"
"Marilah kita duduk sebentar," seru Sariputta, "Dan saya akan
menjelaskan kepadamu." Mereka duduk di bawah pohon dan Sariputta
melanjutkan:
"Mereka yang kurang mengerti akan menganggap tubuh adalah
pribadi sebenarnya, dan jika tubuh sakit mereka akan berkata, 'Saya
menderita' bukan 'tubuh saya menderita.' Atau menganggap emosi dan
perasaan adalah pribadi sebenarnya dan berkata 'Saya kurang enak.'
Padahal hanya perasaan mereka yang kurang enak mereka selalu
80
Dukkha: Kesunyataan Utama
menyebut 'aku' dan 'milikku'. Ini bukan cara yang benar. Kamu bukan
tubuhmu, bukankah demikian?"
"Tidak," jawab Nakulapilar yang masih teringat kata-kata Sang
Buddha, "Tidak, saya bukanlah pribadi sebenarnya; saya hanya
membawa serta tubuh ini."
"Benar," Sariputta mengiyakan sambil berusaha memperjelas dan
menambah pengertian kepada Nakulapilar. Sariputta kemudian melanjutkan, "Jika seseorang mengatakan tubuh adalah diri sebenarnya maka
bila tubuh sakit, pikiran akan sakit juga. Tetapi jika seseorang menjalani
delapan jalan tengah dia akan berkata kepada dirinya, "Aku bukanlah
milikku". Dia tidak akan terikat pada tubuhnya dan bila tubuhnya rusak,
sakit, dia tidak akan menderita, serta putus asa. Jadi biar pun orang itu
sakit, tetapi pikirannya jernih. Apakah kamu mengerti?"
"Ya, saya mengerti sekali", jawab Nakulapilar tanpa terpaku pada
logika Sariputta, melainkan pada pandangan Sang Buddha mengenai
penderitaan hidup dan Dhamma, Hukum Kesunyataan dan berlindung
pada semuanya. Dia masih diliputi kegembiraan dan dia hampir tidak
mendengar Sariputta mengakhiri; "Jika kamu menyadari bahwa tubuh
dan perasaanmu bukan dirimu yang sebenarnya, maka kamu tidak
akan terikat pada kekuatan dan masa mudamu. Bila kamu tidak
melekat pada tubuh dan keinginan maka kamu akan bahagia."
"Ya, dan kamu telah membuat pulau dari diri yang sebenarnya."
tambah Nakulapilar, "Tubuh adalah laut yang penuh badai yang
memecah pulau dan pulau itu tidak akan terpengaruh. Terima kasih,
tuan yang terhormat. Kamu telah menjelaskannya segala sesuatunya
dengan baik."
Sariputta bangun dan memberkahi Nakulapilar, sadar bahwa
sebenarnya Sang Buddha telah membawa orang tua itu ke realita
tertinggi yang tidak dapat ditelaah hanya dengan logika atau
pengetahuan. Sariputta menceritakan ini bertentangan dengan dirinya
sendiri. Dia seorang yang rendah hati dan tersenyum bila mengingat
bagaimana ia masih berusaha menolong Nakulapilar padahal Sang
Buddha telah dapat melakukannya hanya dengan beberapa kata.
Namun bagaimanapun Sariputta telah menolong aku, sehingga aku
menjadi lebih tegar dan bersemangat menuju Savatthi.
Dalam perjalanan menuju Hutan Jeta di Savatthi, aku bertemu
dengan seorang Brahmana gemuk yang periang dan baik hati, berpakaian putih dengan menunggang kuda betina. Dia tersenyum ramah
dan demikian juga aku, walaupun masih teringat Nakulapilar. Kami
saling memberi salam padahal kami tidak saling mengenal.
81
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
"Nama saya Janussoni", sapanya. "Saya mau pulang ke rumah
setelah mengunjungi Yang Agung Gautama," dan senyumnya pun
merekah. "Gautama, yang meninggalkan jejak kaki bagaikan jejak
seekor gajah besar," Dia pun tertawa dan melanjutkan bahwa sewaktu
ia meninggalkan kota, ia bertemu Pilotika. Ini adalah cerita tentang
pertemuannya yang kebetulan itu, sebagaimana yang kuingat:
"Apa maksud Anda mengunjungi kota ini pada pagi-pagi buta,
Pilotika yang mulia?"
"Saya baru saja mengunjungi Yang Maha Sempurna, Sang
Buddha."
"Maksudmu Gautama?" tanya Janussoni. "Saya pernah mendengar
tentang beliau dan bagaimana Anathapindika membeli taman
Pangeran Jeta untuk Beliau dengan menutupi seluruh permukaan
tanah taman dengan uang emas. Bagaimana pendapatmu tentang
beliau? Apakah pemikirannya luas? Apakah dia orang terpelajar?
"Saya terlalu rendah untuk memahami ajaran pertapa Gautama,"
jawabnya dengan semangat, "Hanya orang suci yang dapat
melakukannya. Saya hanya debu bila dibandingkan dengan beliau."
"Kamu sangat membanggakan beliau."
"Semua makhluk tak terkecuali saya sangat menghormatinya,"
sambung Pilotika dengan semangat, "Beliau dipuja para dewa dan
manusia."
Janussoni menunggu informasi selanjutnya dan berniat menunggu
dengan sabar sampai dia berkeinginan untuk menjelaskannya.
Akhirnya dia bertanya. "Lalu apa yang kamu peroleh dengan begitu
setia kepada ajaran-Nya?"
Pilotika melanjutkan, "Sebagaimana pemburu yang mengikuti
bekas jejak kaki gajah hutan, demikian juga aku yang mengikuti empat
jejak kaki Sang Buddha, yang seketika kukenali sebagai Yang Maha
Sempurna."
"Dan Pilotika, apakah itu empat jejak kaki beliau?"
"Saya telah melihatnya," jawab Pilotika sungguh-sungguh. "Para
bijaksana datang kepada pertapa Gautama, membahas segala masalah
dan berbagai hal lainnya, mereka berusaha menjatuhkan beliau
dengan berbagai pertanyaan yang menyulitkan, tetapi akhirnya mereka
sadar setelah mendengarkan khotbah beliau kemudian menjadi
muridnya. Bukankah ini bagaikan mengikuti jejak kaki dari sebuah
gajah raksasa?"
Akhirnya Janussoni percaya. Dia turun dari kereta kuda putihnya,
membungkuk hingga jubahnya mengenai tanah dan berkata, "Semoga
82
Dukkha: Kesunyataan Utama
suatu hari saya dapat bertemu dengan pertapa Gautama dan berbicara
dengan Beliau."
"Yakinlah, Brahmin Janussoni dan anda akan menemukan apa
yang saya katakan."
Janussoni tidak usah menunggu terlalu lama. Begitu Pilotika hilang
dari pandangannya, dia segera berniat mengunjungi Sang Buddha
segera karena urusannya dapat ditunda. Dia mengatakan bahwa dia
dan Sang Buddha langsung segera saling menyukai ketika baru
bertemu. Dia menyebut Sang Buddha dengan nama keluarga beliau
sepertinya ia sudah sederajad dengan Sang Buddha. Dia tidak pernah
menjadi murid dalam arti sebenarnya, karena ia tak dapat lepas dari
upacara kurban, hidup senang dan bersuka ria dengan temantemannya. Dia suka medengarkan gosip di sudut-sudut jalanan. Dia
kenal banyak orang penting di Savatthi. Tetapi dia sering mencari Sang
Buddha, mendengarkan khotbahnya, dan bertanya kepada-Nya. Dan
Sang Buddha menjawab semua pertanyaannya dan menceritakan
kehidupan masa lalunya yang tidak disebutkan Janussoni lagi.
Setelah berpisah dengan Janussoni, saya menuju Taman Jeta.
Saya berniat menanyakan kepada Sang Buddha mengenai penderitaanNya sewaktu sendirian di hutan setelah meninggalkan istananya pada
usia dua puluh sembinan tahun. Tetapi sewaktu berjumpa dengan
beliau, saya merasa tidak perlu menanyakan lagi. Bibirku terasa kaku.
Sudah lebih dari cukup jika dapat berdekatan dengan beliau. Beberapa
minggu kemudian Janussoni mengunjungi Sang Buddha, aku
mendengar apa yang aku renungkan selama terbaring sakit. Kita semua
tahu, Sang Gautama meninggalkan keduniawian, istri dan anak, dan
bertapa selama enam tahun untuk mencari jalan menolong semua
makhluk. Namun hanya sedikit dari kita yang mengetahui lebih jauh
apa yang terjadi pada beliau selama enam tahun itu. Janussoni, yang
lebih suka keramaian bertanya kepada Sang Buddha:
"Tentunya sangat sulit dan berbahaya hidup di pedalaman jauh
dari manusia, Gautama. Hidup sendiri bagaikan mati. Sebelum Anda
mencapai penerangan tidakkah Anda merasakan kesunyian yang
teramat sangat? Dan bagaimana dengan bahaya binatang liar,
perampok dan bencana alam lainnya?"
"Anda benar, Brahmin, saya pernah merasa kesunyian. Tetapi saya
kemudian malu karena teringat pertapa-pertapa lain yang mencari
penerangan untuk dirinya sendiri saja tidak kesunyian, mengapa saya
yang mencari pembebasan bukan untuk diri sendiri melainkan untuk
semua makhluk harus merasa kesunyian?"
"Kemudian apakah Anda merasa takut, Gautama?"
83
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
"Pada saat tertentu, ya, Brahmin, misalnya saat seekor binatang
lewat atau angin keras menjatuhkan dedaunan atau burung merak
mematahkan ranting. Kemudian saya berpikir betapa bodohnya bila
saya dikuasai ketakutan dan apa yang kita pikirkan bisa menjadi ada.
Lalu saya akan berkata pada diri sendiri:
'Biarkan mereka sesukanya dan aku akan menyambut mereka
tanpa merubah posisi saya.' Saya akan tetap berjalan bila sedang
berjalan, saya akan tetap tidur atau berbaring bila sedang tidur atau
berbaring. Rasa takut akan segera hilang."
"Dan mengapa Anda tetap bertahan di hutan, Gautama?"
"Karena saya ingin menolong semua makhluk."
Aku berharap Janussoni akan melanjutkan pertanyaan mengenai
penderitaan beliau setelah mengatasi ketakutan. Tetapi pada saat itu
datang seorang wanita muda dengan seorang bayi mati di
pangkuannya. Aku pernah melihatnya sewaktu terakhir kali di Savatthi.
Namanya Kisa Gotami. Tubuhnya kurus, penampilannya sederhana,
berasal dari keluarga miskin. Dia selalu diperlakukan dengan buruk,
terutama oleh keluarga suaminya. Setelah dia melahirkan anak lakilaki, orang mulai menghargainya, itulah saat terakhir aku bertemu
dengannya. Sekarang wajahnya sangat berduka. Dia mengatakan
kepada Sang Buddha bahwa ia sudah meminta obat dari rumah ke
rumah untuk menghidupkan kembali anaknya, tetapi mereka
menertawakannya. Kemudian dia bertemu dengan seorang yang baik
hati yang menyarankannya untuk mencari Sang Buddha. Kesedihan
membuat ia seperti orang gila. Beliau memandangnya dengan lembut
dan berkata:
"Saudari, pergilah dan bawalah kemari sedikit biji mostar yang
harus berasal dari keluarga yang anggotanya belum pernah meninggal
dunia."
Wanita itu beranjak dari tempatnya setelah membersihkan kaki
Sang Buddha dengan gembira. Sore itu dia kembali.
"Gotami, apakah kamu sudah menemukan biji mostar itu?" tanya
Sang Bhagava.
"Biji mostar itu seharusnya sudah saya dapatkan," jawabnya dan
dia melanjutkan bahwa sewaktu ia meminta pada rumah pertama yang
dikunjunginya, tuan rumah dengan senang hati memberikan biji itu
karena kasihan kepadanya. Kemudian Kisa Gotami menambahkan,
"Tetapi biji ini harus berasal dari keluarga yang belum pernah ditimpa
kematian."
84
Dukkha: Kesunyataan Utama
Kemudian si pemilik rumah menjawab dengan halus, "Anggota
keluarga kami telah banyak yang meninggal. Minggu lalu ibu saya
meninggal. Yang meninggal lebih banyak dari pada yang hidup."
"Biji mostar ini tidak bisa dipakai," jawabnya sedih sambil menuju
rumah berikutnya untuk meminta biji mostar tersebut, tetapi jawaban
mereka semua sama, hingga sore dia baru sadar bahwa usahanya tak
akan berhasil, sementara bayinya semakin terasa berat di
pangkuannya.
Seketika dia menyadari bahwa dengan belas kasih Sang Buddha
menyuruhnya melakukan hal ini agar ia dapat menyadari sendiri
kebenaran hidup yang utama bahwa semua adalah penderitaan. Dia
menangis karena Sang Bhagava masih mau menolongnya walaupun ia
seorang yang buruk dan hina. Dia membawa mayat bayinya ke padang
rumput dan menguburkannya di sana karena dia tidak punya uang
untuk kremasi.
Sampai larut malam Sang Buddha baru selesai memberi
penjelasan kepada Kisa Gotami. Beliau memandang kerlap-kerlip
lampu di kota yang satu per satu padam saat penghuninya beranjak
tidur dan beliau berkata, "Bagaikan kerlip lampu itulah hidup manusia,
hidup untuk waktu tertentu dan akan padam pada suatu saat."
Lampu terakhir dari kota itu telah padam, tinggal cahaya bintang.
Dalam kegelapan aku mendengar sekali lagi ikrar Sang Buddha dan
juga semua yang telah mencapai pencerahan dan mengasihi semua
makhluk, "Karena telah menemukan kebebasan dari penderitaan,
maka saya akan menolong mereka yang belum terbebas dari ikatan.
Karena telah menemukan kedamaian, saya akan membawa
kedamaian untuk semuanya. Karena telah menemukan penerangan,
saya akan menerangi jalan untuk memutuskan siklus kelahiran dan
kematian bagi semua makhluk."
Semoga Ia menjadi cahaya bagi kita semua, tetapi kita menderita
karena diri kita sendiri, tiap-tiap orang harus menggunakan cahaya itu
dan menerangi hati masing-masing jika ingin menapaki jalan menuju
akhir penderitaan.
85
Keajaiban dan Penyembuhan
Sang Buddha meninggalkan Savatthi menuju Magadha Selatan
kemudian menyeberang ke utara menuju Rajagaha dan melewati
Nalanda.
Di Nalanda beliau disapa seorang muda:
"Semua penduduk Nalanda hidup makmur berkat ajaran Sang
Bhagava. Alangkah baiknya bila Yang Mulia Gautama memerintahkan
salah seorang bhikkhu menunjukkan keajaiban sehingga penduduk
Nalanda lebih berbakti kepada Yang Mulia Gautama".
Sang Buddha menjawab, "Bukan kebiasaan saya untuk
memerintahkan bhikkhu menunjukkan keajaiban." Begitu Sang
Buddha hendak meninggalkannya, orang muda itu mengulangi
permintaannya. Kemudian Sang Buddha menjawab "Ada tiga jenis
keajaiban, yang pertama yaitu terbang di udara, menembus dinding
dan yang sejenisnya. Kamu pernah mendengarnya?"
"Ya, Guru Gautama".
Akan timbul bahaya besar bila sembarangan menunjukkan
keajaiban itu," suara Sang Buddha agak meninggi, "Sehingga saya tidak
suka dan malu melakukannya."
"Oh !," anak muda itu berseru terkejut sambil mundur. Ini pertama
kalinya ia mendengar orang suci mengatakan demikian. Biasanya
peramal dan orang bijaksana lainnya selalu memamerkan
kebolehannya.
Sang Buddha melanjutkan, "Kemudian keajaiban yang kedua yaitu
membaca pikiran orang lain. Ini juga berbahaya, oleh sebab itu saya
tidak menyukainya."
"Apakah kamu membenci semua keajaiban itu, Bhagava?"
"Tidak," jawab Sang Buddha, "Keajaiban yang ketiga saya suka,
keajaiban yang ditunjukkan oleh orang yang terpelajar, yang
mempraktekkan kehidupan Brahma. Orang terpelajar mengerti Empat
Kesunyataan Mulia; dia mengetahui jalan menghancurkan nafsu dan
keinginan; dia dipastikan mencapai pembebasan dan kesucian.
Keajaiban itu ditunjukkan dalam diri sendiri; ia tidak butuh jimat,
mantera atau dewa. Itu adalah keajaiban dalam menaklukan dunia,
tidak ada kekuatan yang mampu melebihinya, keajaiban inilah yang
termulia dan yang saya senangi serta agungkan."
Lalu orang muda ini memberitahu semua orang bahwa Sang
Gautama tidak akan menunjukkan keajaiban, tapi akan menunjukkan
jalan untuk menjadi orang suci dan itu adalah keajaiban yang terbaik
dibandingkan yang lain.
86
Keajaiban dan Penyembuhan
Sekarang, aku tidak dapat memastikan apakah kabar tentang
percakapan Sang Buddha dengan orang muda ini tiba lebih dulu di
Rajagaha sebelum Sang Buddha atau tidak. Kalaupun ya, berarti
bendahara di Rajagaha tidak dapat mengambil makna dari percakapan
itu, karena ia sangat ingin melihat suatu keajaiban dipertontonkan. Dia
kemudian meletakkan kayu cendana yang harum dalam sebuah
mangkuk. Mangkuk ini dipasang pada ujung pohon bambu yang tidak
dapat dijangkau tangan. Kemudian dia mengumumkan bahwa bagi
siapa saja baik Brahmin ataupun orang suci, yang mampu menurunkan
mangkuk tersebut, maka mangkuk tersebut akan menjadi miliknya.
Banyak pengembara dan pertapa datang menyaksikannya, tetapi
tidak ada seorang pun yang sanggup menurunkannya, walaupun itu
hanya salah satu keajaiban biasa yang dapat diperoleh dengan latihan
pemusatan pikiran. Pada saat itu Moggallana dan Pindola sedang
meminta makanan di Rajagaha, mereka juga menyaksikan hal itu.
Pindola berkata pada Moggallana:
"Engkau mempunyai kekuatan supranormal, saudara Moggallana,
turunkan ia dan mangkuk itu akan menjadi milikmu."
"Saya tidak berniat melakukannya," jawab Moggallana, walaupun
ia tidak dapat memberikan alasannya. "Tetapi", tambahnya, "Kamu juga
mempunyai kekuatan itu, turunkan jika kamu merasa layak untuk
melakukannya."
Kemudian Pindola mempraktekkan kekuatan supranormalnya,
terbang di udara dan menurunkan mangkuk itu. Orang-orang riuh
bertepuk tangan melihatnya. Bendahara itu keluar dari rumahnya
disertai istri dan anaknya, bertepuk tangan sambil berseru kagum, "Sudi
kiranya Yang Mulia singgah ke tempat kami."
Pindola membawa mangkuk itu masuk ke rumah laki-laki itu, lalu
laki-laki itu mengambil kembali mangkuk tersebut, mengisinya dengan
makanan mahal dan memberikannya dengan penuh hormat. Pindola
kemudian kembali ke gubuknya diiringi tepukan, teriakan pujian dan
arak-arakan kemenangan.
Sang Buddha yang baru memasuki kota pada waktu itu bertanya
mengenai teriakan dan arak-arakan yang sedang terjadi, setelah
mendapat jawabannya Sang Buddha menyuruh Pindola menghadap
dan menceritakan kejadian tersebut. Sang Buddha berkata, "Kejadian
ini tidak berharga bagi orang yang bijaksana, Pindola. Mengapa demi
sebuah mangkuk kamu memamerkan kemampuanmu dihadapan
orang-orang? Hal ini bagaikan seorang wanita yang memamerkan
tubuhnya untuk sekeping uang perak. Pertunjukkan ini tidak akan
87
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
mengubah mereka yang belum mengenal Dharma, malah
memuakkan, dan mereka yang telah berubah akan pergi menjauh."
Kemudian Sang Buddha mengumpulkan semua bhikkhu dan
melarang mempertunjukkan kekuatan bila tidak terpaksa. Beliau
memerintahkan untuk memecahkan mangkuk itu, kayu cendana itu
lalu digunakan sebagi obat mata.
Setelah mencapai Parinirvana, berbagai keajaiban dihubungkan
dengan Sang Buddha. Padahal, beliau tidak pernah mempertunjukkan
kebolehannya bila tidak terpaksa. Bertahun-tahun aku mengenal
beliau, hanya sekali beliau mempertunjukkan kekuatannya yaitu ketika
seorang wanita tua yang menjaga seorang bhikkhu yang sakit terpaksa
memotong daging pahanya karena ia tidak sanggup membelikan
daging bagi bhikkhu yang sangat membutuhkannya. Sang Buddha
meminta wanita tua itu segera dibawakan kepadanya dan wanita itu
segera disembuhkannya. Mungkin masih ada keajaiban lain yang
dilakukan Sang Buddha tapi aku tidak pernah mendengar ataupun
menyaksikannya. Penderitaan tidak berakhir hanya dengan mengobati
tubuh yang sakit ataupun terbang di udara, tetapi penderitaan hanya
dapat diakhiri dengan mengobati pikiran yang sakit.
Sang Buddha dikenal sebagai seorang penyembuh yang tak
tertandingi, tetapi hanya hati dan pikiran mereka yang disembuhkan,
bukan tubuhnya. Walaupun demikian, karena semua adalah satu,
beliau tetap mengajarkan untuk belas kasih terhadap mereka yang
tubuhnya sakit. Umat awam yang sudah tua dan sakit harus dijaga oleh
sanak keluarga, dan seseorang tidak diizinkan memakai jubah kuning
jika karena kebhikkhuannya membuat ia mengabaikan mereka yang
membutuhkan perhatiannya. Anggota Persaudaraan yang sakit harus
dijaga oleh yang lain, dan harus mendahulukan menjaga si sakit
daripada latihan meditasi.
Sang Buddha sendiri memberi contoh. Suatu kali saya sedang
bersama-Nya berkunjung ke biara yang berbau tak enak. Beliau diberi
keterangan bahwa salah satu bhikkhu menderita penyakit yang
demikian menjijikkan sehingga tak seorang pun yang mau
mendekatinya. Sang Buddha segera memerintahkan untuk
membawakan air, pakaian bersih dan makanan kepadanya, dan dia
sendiri mengunjungi si sakit, membersihkan tubuhnya, memakaikan
pakaian dan memberinya makan. Kemudian beliau sendiri yang
mencuci pakaian kotor bhikkhu tersebut. Karena malu, bhikkhu lain
pun membantu, tetapi bau yang sangat menjijikkan membuat mereka
tak tahan dan salah satu dari mereka pun muntah.
88
Keajaiban dan Penyembuhan
Ketika si pesakit sudah dibenahi, salah satu bhikkhu bertanya,
"Bagaimana Guru mampu menyentuh hal yang sangat kotor dengan
tangan-Mu yang suci?"
Sang Buddha menjawab, "Dia yang melihat segala sesuatu dengan
benar, tidak akan terpengaruh apakah itu menjijikkan atau
menyenangkan. Dia tidak akan suka ataupun benci. Perawat yang baik
tidak akan dipengaruhi oleh hal yang kotor ataupun harum dalam
menolong orang yang sakit."
Tetapi perawat yang terbaik, Sang Buddha menyebut lebih dari
satu kali, adalah seorang yang mampu menghibur pasien dengan
bahasa Dharma, dan dalam hal ini Sang Guru adalah seorang perawat
dan juga seorang penyembuh yang tak tertandingi.
Suatu waktu beliau mendengar seorang samanera muda yang tak
punya reputasi terbaring sakit. Mendengar kata "Samanera," "sakit," "tak
punya reputasi," beliau segera mengunjunginya. Begitu melihat Sang
Buddha si pesakit langsung berusaha bangkit untuk memberikan
tempat duduk pada Sang Buddha, tetapi Sang Buddha berkata, "Cukup,
anakku, tidak usah bangkit dari tempat tidurmu, saya akan duduk di
sini. Semoga kamu dapat bertahan."
"Saya tidak tahan lagi", jawabnya menyesali diri sendiri. "Saya
menderita sekali dan kepala saya terasa berputar, sakitnya tak kunjung
berkurang."
Sang Buddha segera mengetahui penyebabnya dan berkata,
"Apakah kamu ragu-ragu atau menyesali diri sendiri? Apakah kamu
menyalahkan diri sendiri?"
"Ya, saya telah ragu-ragu dan menyesali diri, saya menyalahkan
diri sendiri."
"Apakah menyalahkan diri sendiri itu perbuatan yang benar?"
"Tidak, Guru, itu tidak benar."
"Lalu apa penyebab keraguan dan penyesalanmu itu?"
"Saya tidak mengerti kebenaran hidup yang Guru ajarkan, saya
tidak mengerti bagaimana mengakhiri nafsu keinginan," jawab anak
muda itu.
"Dengan demikian kamu mengerti Dhamma yang saya ajarkan."
Sang Buddha tersenyum.
"Hanya dalam pikiranku," sambungnya dengan putus asa. "Tetapi
saya keji dan tidak suci".
"Tetapi apakah kamu mengerti bahwa perasaan dan emosi bukan
Dirimu sebenarnya?"
"Saya tahu bahwa hal-hal itu bersifat sementara dan merupakan
sumber kesedihan."
89
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
"Sama halnya dengan penyesalan diri dan keraguan-keraguanmu
itu," Suara Sang Buddha agak meninggi. "Kamu pernah mendengar
saya menasehati orang-orang untuk bermeditasi tentang kebajikan
mereka. Kamu belum pernah mendengar saya menasehati mereka
bermeditasi tentang kesalahan mereka, mengapa?"
Anak muda itu berpikir sebentar dan menjawab, "Kita
cenderungan mewujudkan apa yang kita pikirkan."
Anak muda yang menceritakan sendiri hal ini pada saya, berkata
bahwa Sang Buddha kemudian mengalihkan pandangannya ke
perkarangan yang ditumbuhi pohon Bodhi. Seekor tupai kecil dengan
belang-belang pada punggungnya berlari secepat kilat di bawah pohon
itu, angin sepoi-sepoi menggerakkan ranting dan menjatuhkan
daunnya ke permukaan tanah. Tiba-tiba ia merasakan sebuah
kedamaian yang ia tidak mengerti, dia menutup mata dan tertidur.
Ketika ia terbangun, Sang Buddha sedang berdiri di pintu. Beliau
berkata:
"Sekarang, tinggalkan tempat tidurmu, pergilah ke hutan dan
berlindunglah kepada Dhamma."
Anak muda itu bangkit dengan semangat, "Ajarilah saya Dhamma,
Guru."
"Tidak", jawab Sang Buddha. "Seorang Buddha hanya
menunjukkan jalan. Kamu sendiri yang dapat menemukan dan
menjalankannya."
Sebelum ia berkata lebih lanjut, Sang Buddha telah pergi. Tiba-tiba
dia baru menyadari sakitnya telah hilang. Dia pun mengenakan jubah
luarnya dan menuju hutan.
Umumnya orang sakit selalu mengunjungi Sang Buddha, yang
dapat meringankan beban penderitaan, walaupun kadang beliau tidak
selalu mengobati mereka seperti beliau mengobati anak muda itu.
Vakkali adalah salah satunya. Tetapi dia tidak malu-malu seperti anak
muda itu, dia menyuruh salah seorang Bhikkhu untuk menemui Sang
Buddha dan memohon belas kasihnya untuk mengunjunginnya. Sang
Buddha mengunjungi dan menanyainya seperti anak muda itu. Tetapi
ketika ditanya penyebab depresinya, Vakkali menjawab:
"Sudah lama saya ingin langsung bertemu dengan Guru."
Sang Buddha tidak menertawakannya tetapi menjawab dengan
bijaksana, "Cukup, Vakkali! Apa yang kamu dapat dengan melihat
tubuh yang akan hancur ini? Cukuplah jika dapat melihat Dhamma. Dia
yang telah melihat Dhamma, telah melihat saya. Tubuh saya ini, seperti
juga apapun, akan lapuk hancur." Kemudian Beliau menerangkan
90
Keajaiban dan Penyembuhan
tentang ketidakkekalan semua benda dalam ruang dan waktu dan yang
berada di luar ruang dan waktu.
Memang benar bahwa melihat Dhamma berarti melihat Sang
Buddha, tetapi, sebagaimana yang kita ketahui, melihat Sang Buddha
secara langsung, memberikan suatu rasa damai, suatu pengertian akan
Dhamma dan sebuah visi dari kesunyataan, yang mana dengan
meditasi berbulan-bulan pun belum tentu dapat kita peroleh, lebih jauh
lagi, jika ada kedamaian di hati, maka jasmanimu pun akan damai pula,
dan sakit pun bisa menjadi sembuh.
Sampai tahun terakhir hidupnya, sepengatahuan aku, tubuh Sang
Buddha hanya menderita sakit tiga kali dan itu pun cuma penyakit
ringan yang dengan cepat menjadi sembuh kembali.
91
Sona dan Usaha yang Berlebihan
Sewaktu Sang Buddha berada di Magadha Selatan, aku berkelana
di antara orang-orang Kosala. Suatu hari aku ditawari untuk berkelana
dengan kereta lembu. Jalanan penuh bekas roda dan begitu kereta
terjerembab pada lobang yang dalam, aku pun terlempar keluar. Ketika
aku bangkit, seketika aku merasakan sakit di punggung yang rasanya
sudah akrab denganku telah hilang. Aku hampir tidak
mempercayainya, dan mengharapkan kejadian tersebut terulang tetapi
kenyataannya tidak. Mula-mula aku sangat gembira, tetapi kemudian
aku segera menyingkirkan pikiran itu, tak akan pernah lagi aku buat
pulau akan kegembiraan duniawi. Tidak ada tempat untuk mengeluh
ataupun bersyukur karena tidak satu hal pun yang menjadi milik kita,
tidak ada pribadi yang kekal yang dapat memiliki segalanya. Kalaupun
sekarang kesehatan pulih kembali, itu hanyalah untuk memulihkan
kesehatan jasmani yang biasa terjadi pada semua makhluk hidup.
Dari Kosala aku menuju ke arah selatan dan menyeberangi sungai
Gangga memasuki Magadha. Aku ingin menemui Sang Buddha sekali
lagi di Rajagaha karena aku dengar Beliau sedang berada di sana. Aku
juga mendengar cerita aneh mengenai Sona Kolivisa, putera keluarga
Campa yang kaya raya. Ada yang mengatakan bahwa telapak kakinya
ditumbuhi bulu, dan Raja Bimbisara mengundangnya ke Rajagaha agar
ia dapat melihat sendiri bulu tersebut. Aku diberitahu bahwa ketika
Sona berada di Rajagaha, Sang Buddha tiba di sana, ia kemudian
mendengarkan ajaran Sang Buddha, seketika ia berubah dan segera
menjadi siswa beliau, dan sekarang bersama-sama Sang Buddha
menuju utara.
Aku kemudian bertemu Sang Bhagava di Hutan Dingin dan
diperkenalkan kepada Sona. Kami segera akrab, mungkin karena kami
sama-sama menyukai musik. Karena melihat pengalamanku yang lalu
yang telah berhasil membebaskan diri dari keterikatan akan musik,
membuat aku merasa sebagai seorang kakaknya dalam perjalanan suci
ke Nirvana, dan aku sangat berharap dapat membantunya dalam
menempuh perjalanan itu. Matanya memancarkan kegembiraan ketika
ia mengatakan kepadaku mengenai keinginannya untuk bermeditasi
sendirian di hutan sampai dia berhasil menyelidiki dan memahami
Kesunyataan. Aku menasehatinya untuk mencari seorang guru sebagai
pembimbing, walaupun pada waktu itu bukanlah merupakan suatu
keharusan. Sona tidak setuju, dia lebih suka bekerja sendirian. Dia
segera bersiap-siap ke hutan dan aku menawarkan diri untuk
menemaninya. Sewaktu kami berjalan bersama, aku mengingatkan
92
Sona dan Usaha yang Berlebihan
bahwa di hutan terdapat binatang buas seperti singa, harimau, macan
dan suara-suara yang mengerikan. Dia mendengarkan dengan tidak
sabar sampai aku berhenti berbicara dan giliran dia yang mengingatkan
aku bahwa tidak ada binatang buas yang akan menyerang jika kita
tetap tenang dan tidak takut serta memancarkan cinta-kasih. Kemudian
aku menambahkan untuk itu kita harus melatihnya bertahun-tahun.
Perdebatan pun berlanjut. Aku mulai terdesak dan Sona menjadi
gelisah. Akhirnya dia berkata:
"Tidakkah engkau ingat kebahagiaan yang engkau peroleh dalam
menjalani kehidupan rohani?"
"Ya, aku ingat, awalnya mungkin menyenangkan, namun
bertahun-tahun kemudian mungkin sangat menderita, sebelum ia
benar-benar bebas dari nafsu dan keinginan."
Aku berbicara bagaikan orang yang memenangkan penuntutan
hak. Aku merasa lebih superior daripada Sona, dia tahu dan merasa
tersinggung. Suasana di antara kami sebenarnya tidak cocok lagi untuk
bermeditasi. Kami mencapai hutan yang dituju untuk bermeditasi.
Suasana tenang dan damai. Sona dan aku memilih pohon yang
berbeda untuk duduk bermeditasi, dia yakin dia telah hampir mencapai
Penerangan dan aku sendiri yakin dia akan gagal dalam usahanya,
tetapi aku masih berusaha menolong dan melindunginya.
Kadang-kadang Sona duduk seperti apa yang disarankan, bernafas
dengan teratur, matanya dipusatkan sampai berangsur-angsur setengah
tertutup. Aku sendiri tidak dapat memusatkan pikiran, tak lama
kemudian aku mendengar ia mengeluh. Kira-kira satu jam kemudian
dia bangkit dan mulai berjalan mondar-mandir tanpa berhenti,
kelihatan bingung dan putus asa. Akhirnya dia melemparkan
sepatunya, mungkin karena kesal pada dirinya sendiri ataupun
dikarenakan dia merasa bahwa rasa sakit pada tubuhnya
membuyarkan konsentrasinya. Aku mendekatinya dan berusaha
menasehatinya, menjelaskan padanya bahwa dia berlatih terlalu keras
sedangkan Sang Buddha sendiri mengatakan bahwa kemajuan akan
diperoleh secara perlahan-lahan. Sebaliknya dia malah gusar.
Sebenarnya lebih bijaksana untuk membiarkan dia dengan caranya
sampai dia sadar dengan sendirinya, tetapi saat itu hal ini tak kusadari.
Aku terlalu mengkhawatirkan keadaannya, menyendiri di hutan
bagi yang belum terbebas dari Asava, nafsu dan delusi akan
membuatnya cepat mundur sebelum benar-benar memulai.
Bagaimanapun,
dia
tidak
mau
mendengarkannya,
aku
meninggalkannya dan kembali bermeditasi, aku menjadi lebih sulit
memusatkan pikiran. Lalu aku mendengar ia berguman mengenai
93
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
kekayaan dan pekerjaan baiknya. Aku melihat batu yang semula
dipijaknya tanpa sakit kini dinodai darah yang berasal dari kakinya.
Kemudian Sang Buddha datang, bagaikan orang kuat yang menolong si
lemah, beliau menolong Sona yang terduduk lesu pinggir sungai, dia
berusaha bangkit tetapi kakinya yang sakit membuatnya tak bisa
bergerak. Sang Buddha duduk disampingnya dan tersenyum, senyum
lembut yang menyadarkan kesalahannya tanpa rasa sakit hati.
"Sona, saat kau menyendiri, bukankah kamu berpikir, 'Inilah aku,
salah seorang siswa Sang Buddha, sedang berusaha keras dengan
semangat menyala, namun hatiku belum juga terbebas dari Asava'.
Kemudian kamu akan berusaha lebih keras lagi, bukan?"
" Ya, Guru," jawab Sona. "Dan ketika kerja kerasmu itu tidak
membawa hasil, tidakkah kemudian kamu berpikir, 'Hartaku yang
melimpah menantiku di rumah. Dengan kekayaan itu aku dapat
berbuat hal-hal yang baik. Bagaimana jika sekarang aku kembali ke
kehidupan biasa, dan menggunakan kekayaanku untuk berbuat
kebajikan?"
"Benar, Guru," Jawab Sona sedih.
"Sekarang, Sona," sambung Sang Buddha, "Sewaktu kamu di
rumah, bukankah kamu mahir bermain musik dengan rebab?"
"Ya, aku mahir, Sugata", Sona tersenyum kesenangan seperti anak
kecil.
"Sekarang, bagaimana pendapatmu jika senar rebabmu ditarik
terlalu kuat apakah dapat menghasilkan musik yang enak didengar?"
"Tidak, suaranya akan kacau. Tetapi aku dapat membetulkannya
kembali sehingga sebenarnya tidak terlalu kuat juga tidak terlalu lemah,
dan saudara-saudaraku akan menari sambil mendengarkan musik
saya?"
"Demikian juga, Sona, perjuangan yang terlampau keras akan
mengakibatkan kegagalan, dan tanpa perjuangan, membuat kita
menjadi melempem tanpa memperoleh hasil. Tetapi ada jalan tengah
seperti senarmu yang tidak ditarik terlampau kuat ataupun lemah,
sehingga Irama Kesunyataan akan terdengar."
"Ya, Sang Bhagava," jawab Sona.
Sang Buddha bukan hanya menjelaskan kepada Sona, tetapi juga
ditujukan untukku. Aku berpikir aku lebih superior daripada Sona dan
dapat menjadi penolongnya. Tidakkah aku juga seorang siswa Sang
Buddha, yang berusaha keras dengan semangat menyala, yang belum
terbebas dari Asava? Sang Buddha memperhatikan kaki Sona yang luka
dan batu-batu yang dinodai darah, dan kemudian berkata:
94
Sona dan Usaha yang Berlebihan
"Sona, dalam latihan sorang bhikkhu, kita tidak mencari
kesenangan, tidak juga penderitaan. Kamu akan menemui banyak
kesusahan dalam latihan ini, panas, dingin, lapar, haus, digigit serangga
dan diganggu oleh kata-kata kasar. Namun melukai diri sendiri adalah
suatu kebodohan. Pakailah sepatumu dan karena kakimu terjaga
sehingga halus, sebaiknya memakai sepatu dengan tapak yang lembut."
Sona melakukan seperti apa yang dinasehati dan pendarahan di
kakinya pun berhenti. Sang Buddha bangkit dan dengan tanpa suara
kami pun mengikuti dari belakang. Sejak itu Sona menghindar dariku
dan aku kembali ke gubuk beristirahat dengan hati yang sakit. Aku telah
berusaha membantunya sampai ketenanganku sendiri terganggu. Aku
hampir marah. Harga diriku terinjak. Aku memikirkan berbagai alasan
lainnya mengapa aku tidak dapat melakukan segala sesuatu lebih baik,
dan merenungkan bagaimana nasehat Sang Buddha telah
menunjukkan bahwa aku benar. Tetapi kenyataannya, Sona yang aku
anggap sebagai saudara sendiri telah melawanku, dan yang lebih buruk
lagi, aku bahkan tidak dapat memusatkan pikiran, dan kedamaian di
hatiku pun menjadi hilang.
Sambil berbaring, aku mengingat kembali percakapan Sang
Buddha dengan seorang Licchavi yang telah menyombongkan diri
bahwa dia telah bebas dari nafsu duniawi. Sang Buddha mengatakan
jika seseorang menyombongkan keberhasilannya, dia akan melakukan
sesuatu yang belum tentu baik bagi seseorang yang ingin mencapai
kebebasan tertinggi. Seperti halnya Licchavi, aku juga telah
menyombongkan keberhasilanku mengatasi keterikatan akan musik,
usia muda dan kesehatan. Dengan demikian aku pikir aku mampu
membimbing yang lain, lupa bahwa Sang Buddha saja hanya dapat
menunjukkan jalan dan setiap orang harus dapat menemukan jalan itu
sendiri. Sekali lagi aku merasa Mara begitu lihai menguasai manusia,
setelah segala bentuk nafsu dapat diatasi, jiwa jahat yang ada dalam
diri kita mencari jalan untuk memaksakan kepentingan diri dan
keinginan diri, dan kebanggan akan kemajuan yang dicapai dalam
perjalanan suci ke Nirvana adalah godaan Mara yang terhebat. Aku
masih ingat, Sang Buddha pernah mengibaratkan seseorang yang
menyombongkan keberhasilannya dalam menaklukkan nafsu sebagai
seseorang yang terluka oleh panah beracun, dokter telah
menyingkirkan racun panah tersebut, dan kemudian dibalut.
Kelihatannya tidak ada lagi setitik racun pun yang tertinggal. Tetapi
orang ini bukan berarti telah terbebas dari bahaya, sehingga dokter
menyarankan untuk menjaga makanannya, membersihkan dan
membalut lukanya, dan melindunginya dari sinar matahari dan angin,
95
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
sehingga tidak dimasuki kotoran. Jika ia tidak menghiraukan nasehat
dokter, luka itu akan infeksi lagi. Demikian juga halnya dengan
seseorang yang ingin mencapai Nirvana. Bahaya selalu mengintainya.
Janganlah ia menganggap racun diri dan segala nafsu keinginannya
telah lenyap. Hendaklah ia senantiasa waspada.
Hari-hari selanjutnya, Sona tetap menghindar diri saya. Pikiranku
masih terombang-ambing antara harga diri dan kebenaran yang
diajarkan Sang Buddha dalam perumpamaan panah beracun tersebut.
Sesungguhnya, semakin jauh seseorang menempuh perjalanan ke
Nirvana, semakin sedikit kesalahan-kesalahan yang menimbulkan
kesusahan, tetapi kesusahan yang diakibatkannya itu justeru semakin
dalam.
Saya terus berusaha menenangkan pikiran, tetapi selalu gagal.
Kami mencapai sungai Gangga. Hari itu aku hanya duduk di bawah
pohon, bukan untuk bermeditasi, melainkan untuk memperhatikan
para penduduk desa. Di tepi sungai, banyak pencuci pakaian sedang
mencuci di batu-batu dan menjemurnya di bawah panas matahari. Dua
orang nelayan sedang menebarkan jalanya sementara seekor bangau
putih memperhatikan mereka. Aku dapat mendengar desingan roda
pembuat pot sementara ia duduk berteduh di bawah pohon banyan
membuat pot dari lumpur tepi kali. Seorang laki-laki mengangkat potpot besar yang sudah selesai dibuat dengan sebuah keranjang bambu
di atas kepala. Padi hasil panen yang lalu disebarkan di atas tikar
bambu di tepi jalan yang melewati desa itu, seorang bayi merangkak ke
sana dan hampir saja menyerakkan padi ke tanah jika ibunya tidak
melihatnya, dan kemudian menggendongnya. Ketika aku sedang
memperhatikan kehidupan penduduk kampung kecil di tepi sungai itu,
seketika pikiranku jernih dan tenang bagaikan sebuah danau yang
jernih hingga dasarnya kelihatan. Aku mulai menyadari kesalahankesalahanku, kini timbul perasaan belas kasih kepada Sona, tetapi
bukan untuk berusaha keras merubahnya. Perasaan cinta kasih
melingkupiku dan hatiku begitu damai. Sona mungkin menyadari
perubahanku, dan malam itu dia tidak lagi menghindariku dan
kedamaian pun hadir di antara kami.
96
Siha dan Makanan Berdaging
Engkau akan bertemu dengan pertapa ke mana pun engkau pergi,
tua, muda dan beberapa di antaranya wanita. Ada yang mengenakan
jubah kuning, putih, ada yang telanjang. Kebanyakan hanya ingin
berdiskusi tentang pertanyaan metafisika abstrak, tetapi ada juga yang
bersungguh-sungguh mencari kehidupan Brahmana dan jalan menuju
keabadian. Ada yang mengikuti seorang guru dan ada yang sendirian.
Mereka memperoleh makanan dan pakaian dengan meminta-minta,
kadang-kadang mereka menemukan tempat berteduh, kadang tidak.
Pada zaman itu juga ada aliran lain yaitu Kaum Nigantha yang
diketuai oleh Nataputta. Doktrin utamanya adalah tidak membunuh
dan tanpa kekerasan atau ahimsa, tetapi beberapa pengikutnya lebih
cenderung kepada teori daripada pelaksanaannya. Seorang
pengikutnya tidak makan karena mendapat makanan yang ada sekerat
dagingnya, mereka harus hati-hati memilih rumah untuk meminta
makanan. Di Vesali, Jenderal Siha adalah pengikut Nigantha yang setia,
bagaimana bisa seorang jenderal pasukan 'mendamaikan' profesi
membunuh yang memang kewajiban seorang prajurit dengan doktrin
tanpa kekerasan, tidak melukai, atau ahimsa, aku tidak pernah
mengerti.
Sang Buddha sedang berdiam di Kutagara-sala, Balai Beratap
Runcing, yang terletak di pinggiran hutan yang membentang ke utara
dari Vesali selama musim hujan setelah Sona menjadi anggota Sangha.
Tempat ini tidak jauh dari desa dengan gubuk-gubuk bambu yang
berlumpur dan ditutupi jerami, tetapi pohon palem, pohon pisang, dan
pohon mangga tumbuh subur di sekitarnya, sementara para penduduk
sangat akrab dengan gajah-gajah yang digunakan untuk menarik
batang pohon dari hutan untuk dijadikan bangunan-bangunan besar
seperti Kutagara-sala ini.
Sejak persinggahan beliau yang agak lama di Vesali dulu, Sang
Buddha menjadi terkenal di daerah tersebut dan ketika beliau kembali
ke Vesali, para pengikut Nigantha yang masih muda menganggap
beliau sebagai seorang pemimpin sebuah sekte yang merupakan
saingan sekte mereka, yang dianggap lebih tua, sehingga mereka
mencegah para anggota mereka untuk mengunjungi Guru baru
tersebut.
Jenderal Siha yang rajin dan selalu bekerja keras ingin menjumpai
Sang Buddha setelah mendapat berita tentang beliau. Dia mendengar
ajaran Sang Buddha mengenai pelepasan diri dari ikatan duniawi,
melepaskan diri dari segala aktifitas kehidupan ini. Bagi dia yang selalu
97
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
mengutamakan kerja, tentu saja hal ini tidak mungkin. Baginya
manusia lahir untuk bekerja. Suatu hari ketika bangsawan-bangsawan
Licchavi berkumpul membicarakan Sang Buddha, mereka semuanya
mengagungkan ajaran-Nya. Hal ini membuat ia semakin ingin tahu
tentang orang suci yang dipanggil sebagai Buddha ini, yang senantiasa
tinggal di pinggir kota, di antara gubuk-gubuk bambu dan kebun
sayuran karena dia menyenangi ketenangan. Dia berpikir walaupun
ajaran Sang Gautama bersifat heretikal, tidak ada salahnya untuk
bertemu dan mendengarkan ajarannya. Kemudian ia menemui
gurunya dan mengutarakan hasratnya untuk bertemu dengan Sang
Gautama.
"Bagaimana bisa kamu, yang percaya akan 'tindakan', pergi
mengunjungi dan mendengarkan Sang Gautama, yang percaya akan
'tanpa tindakan'?" Pertanyaan gurunya membuat keinginannya lenyap
seketika, ia berkata pada dirinya sendiri bahwa adalah suatu
kebodohan mengunjungi orang suci yang menganjarkan hal yang tak
masuk akal.
Tetapi kemudian dia mendengar tentang sifat cinta kasih pertapa
Gautama, ketenangan dan kebijaksanaannya. Dia menghadap gurunya
untuk kedua kali dan kali ini pun dia dicegah dan keinginannya pun
padam.
Ketika ingin bertemu dengan Sang Buddha untuk ketiga kalinya,
dia tidak lagi bertanya kepada gurunya. Dia mengendarai kereta
kebesarannya dan dengan pembantunya menuju tempat Sang Buddha,
kami sering melihatnya di jalanan Vesali, tetapi kami tidak pernah
menyadari kekuatan dan kegagahannya. Dalam sifatnya yang blakblakan, dia mengemukakan sesuatu selalu langsung pada sasaran.
"Saya telah mendengar teori 'tanpa tindakan' dan penerapannya
dalam kehidupan para pengikut Anda. Saya yakin orang-orang tidak
sembarangan berbicara mengenai Anda. Saya tidak menuduh Anda
salah, saya hanya ingin langsung mengetahui darimu apakah berita itu
memang benar."
"Pada satu sisi saya mengajarkan 'tanpa tindakan'," jawab Sang
Buddha tenang, "Dan pada sisi lain saya mengajarkan 'tindakan'."
"Bagaimana Anda bisa mengajarkan keduanya?" tanya Siha.
"Saya mengajarkan 'tanpa tindakan' dalam hal perbuatan,
perkataan dan pikiran yang salah. Saya mengajarkan 'tindakan' dalam
hal perbuatan benar, perkataan benar dan pikiran benar."
Siha senang dengan jawaban itu, tetapi dia tidak segera puas.
"Bagaimana dengan pembinasaan atau anihilasi? Orang-orang
mengatakan Anda seorang annihilasionis."
98
Siha dan Makanan Berdaging
"Mereka benar," jawab Sang Buddha sambil tersenyum. "Saya
mengajarkan
pembinasaan
nafsu
rendah,
kebencian
dan
kemelekatan."
Siha tertawa. Dia tidak akan mengunjungi Sang Buddha bila tidak
ada perasaan ingin tahu, kemudian dia pun memohon agar diterima
sebagai seorang pengikut.
"Jangan terlalu tergesa-gesa, Jenderal Siha. Jangan tinggalkan
sekte Anda tanpa alasan kuat. Saya tidak bermaksud untuk menarik
pengikut aliran lain, tetapi hanya untuk menunjukkan pada mereka
cara membebaskan diri dari penderitaan. Introspeksi diri Anda dan
ajaran saya sebelum Anda memutuskan untuk menjadi pengikut saya."
"Saya sudah memikirkannya matang-matang."
"Walaupun demikian, kembalilah, pertimbangkan sekali lagi.
Penyelidikan sangat penting bagi orang penting seperti Anda."
Siha kembali protes bahwa keputusannya sudah bulat. Tetapi
Sang Bhagava berkata, "Tidak, pertimbangkanlah lagi. Dan saya harap
apapun keputusanmu, kamu tidak akan berhenti membagikan
makanan kepada Kaum Nigantha, karena makanan mereka tergantung
pada kemurahan hatimu." Kata-kata ini menyadarkan Siha untuk
memikirkannya kembali.
"Tetapi apakah Sang Bhagava bersedia bersantap di rumah saya
besok?" Dia bertanya.
Sang Guru mengiyakan dan Siha meninggalkan beliau dengan
sangat bersemangat. Dia bagaikan anak muda yang baru jatuh cinta
dan dia memberitahukan kepada siapa saja tentang kunjungannya itu
dan juga memberitahukan bahwa dia bukan lagi seorang Nigantha. Dia
menyediakan makanan yang sama sekali berbeda dengan makanan
yang disediakan untuk Nigantha. Dia memperhatikan bahwa anggota
Sangha berbeda dengan Nigantha, sama sekali tidak menanyakan
makanan apa yang diberikan di dalam mangkuk, tetapi menyatap
semuanya walaupun mungkin ada daging di dalamnya, dan jamuan
makan mewah yang ia sediakan untuk Sang Buddha mengandung
daging. Beberapa kaum Nigantha mengetahui hal ini dan sewaktu kami
sedang makan, seorang kurir masuk dan berbisik ke telinga Siha bahwa
mereka akan mengelilingi jalan Vesali sambil berteriak, "Hari ini
Jenderal Siha menyembelih hewan besar untuk dipersembahkan pada
Sang Gautama dan Sang Gautama pun makan daging yang khusus
disediakan untuknya."
Siha bangkit dengan marah. "Ini tidak benar," dia berteriak. "Sudah
lama kaum Nigantha ingin menghina Sang Buddha tetapi mereka tidak
dapat menyakitinya dan ini adalah fitnahan yang sia-sia."
99
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
Namun bagaimanapun, sebenarnya Siha memang menyediakan
daging di dalam jamuan makan itu dan banyak di antara kami merasa
tidak enak karena menerima makanan yang diberikan tanpa banyak
bertanya, selama ini belum pernah ada pengikut Sang Buddha yang
sengaja menyuguhkan daging. Agak mengherankan juga mengapa Siha
marah, mungkin ia menyadari kebodohannya dalam perbuatannya
yang salah itu.
Setelah selesai makan, Sang Bhagava memberikan khotbah
Dhamma tentang menghindari pembunuhan. Aura belas kasihnya
memancar bagaikan gelombang cahaya hingga segala sesuatu di
sekelilingnya seperti menyatu pada cahayanya yang agung. Tidak
mungkin melukai segala sesuatu bahkan yang kecil pun karena semua
adalah satu. Siapa yang membunuh hewan berkaki empat untuk
makanan, hari-harinya akan menjadi suram dan dunia yang jauh kini
akan semakin menjauh darinya.
"Semua makhluk hidup adalah satu kesatuan, dalam penderitaan
maupun dalam ikatan darah. Belas kasih adalah rantai yang
menyatukannya. Bagaimana seseorang mempunyai perasaan belas
kasih jika dia dengan sengaja menyembelih hewan atau burung untuk
dimakan? Dia bukan siswa saya, ia mengikuti cara seorang tukang
daging atau pemburu, dan orang yang membeli dari tukang daging atau
pemburu daging hewan yang mereka bunuh, adalah sama artinya
dengan ia yang membunuh. Jangan dikarenakan kepentingan hidup,
kita menghilangkan nyawa makluk lain.
Tetapi jika seseorang memakan daging tanpa mengetahui bahwa
hewan itu disembelih khusus untuknya, maka ia tidak bersalah. Karena
ada jalan tengah antara pembunuhan hewan untuk dimakan dengan
untuk dijadikan pakaian, dan penolakan makanan berdaging dalam
mangkuk seorang bhikkhu. Namun bukan berarti dengan berpantang
makan makanan berdaging maka hati menjadi suci, karena hal itu
hanya dapat dilakukan dengan pengendalian hawa nafsu. Bukan berarti
dengan menolak makanan berdaging maka perasaan belas kasih akan
timbul, karena hal itu hanya dapat dilakukan dengan memadamkan
semua pertengkaran di dunia ini dengan rasa cinta kasih dan
persahabatan. Pancarkan cinta kasih pada semua makhluk, maka
nafsu untuk menyantap makanan berdaging akan lenyap dari dirimu."
Setelah kejadian ini, Sang Buddha membuat peraturan bahwa
anggota Sangha tidak boleh makan daging yang khusus yang
disediakan untuknya. Kabar ini pun menyebar ke seluruh kota,
sehingga tidak ada lagi umat yang meyediakan makanan berdaging
bagi anggota Sangha. Dalam kenyataannya, pada saat Sang Buddha
100
Siha dan Makanan Berdaging
mulai memutar roda Dhamma pada usia tiga puluh lima tahun,
pembunuhan binatang untuk dimakan adalah merupakan suatu
kebiasaan, dan Sang Buddha selalu menyamakan orang yang dibebani
oleh nafsu seperti seekor lembu yang berjalan mendekati pisau tukang
daging. Tetapi sewaktu beliau memasuki Parinirvana pada usia delapan
puluh tahun, pengaruh belas kasih-Nya sudah demikian besar sehingga
semakin sedikit hewan yang dibunuh dan semakin banyak orang-orang
yang tidak makan daging.
101
Asal Usul Tersusunnya Vinaya
Sebelum aku melanjutkan tentang persinggahan Sang Buddha
yang berikutnya di Savatthi, aku terlebih dahulu akan menceritakan
tentang disusunnya peraturan Vinaya, yang merupakan peraturan untuk
para bhikkhu-bhikkhuni, di sebabkan jumlah anggota Sangha yang
telah semakin banyak. Sang Buddha mengijinkan perubahanperubahan kecil. Sebagian berpindah dari suatu tempat ke tempat lain
dan ada yang menetap di gubuk, ada yang mengajarkan Dhamma, ada
yang menjalani Dhamma, ada yang ingin hanya menyendiri di hutan,
ada yang tinggal di gubuk dekat rumah para dermawan. Jika semuanya
mengerti dan memahami untuk tidak mengambil yang tidak diberikan;
tidak serakah, maka hanya dibutuhkan beberapa peraturan. Tetapi
karena pertambahan jumlah anggota Sangha yang semakin banyak
maka tidak dapat disangkal bahwa ada yang belum mengerti. Sejak
semula Sang Buddha telah mengharuskan anggota baru mempunyai
seorang pembimbing dalam masa percobaan.
Peristiwa penting lainnya yaitu pada saat bulan baru dan bulan
penuh dijadikan sebagai Hari Suci. Raja Pasenadi menyarankan ini
karena sekte lain juga mempunyai hari-hari suci. Orang awam akan
mengunjungi vihara pada hari-hari tersebut untuk bermeditasi dan
mendengarkan khotbah Dhamma. Tetapi bagi Sangha, tujuan utama
dari hari-hari ini adalah untuk mengingatkan pentingnya kesucian dari
kehidupan; tidak menyakiti semua makhluk, bersikap benar dan sopan,
serta tidak mengambil barang yang tidak diberikan oleh umat. Dibuat
suatu aturan bahwa semua bhikkhu harus berkumpul pada saat itu dan
pertemuan itu tidak lengkap bila ada satu yang tidak hadir. Jika ada
yang tidak dapat hadir karena sakit maka seseorang harus membawa
kepastian darinya bahwa ia tidak melakukan pelanggaran. Dengan
demikian kesalahan anggota Sangha akan dapat segera diluruskan.
Peraturan lain yaitu selama musim hujan, para bhikkhu harus menetap
di suatu tempat dan tidak boleh melakukan perjalanan. Ini disebabkan
banyak mahluk kecil yang sedang berkeliaran di tanah dan juga
tumbuhan yang mulai berkembang akan mati terinjak dan Sang
Buddha tidak ingin kerja orang awam diganggu. Pada akhir musim
hujan para anggota Sangha akan membagikan bahan jubah yang telah
mereka terima dan mengganti yang rusak selama musim hujan. Juga
sebelum berakhirnya musim hujan, mereka akan berkumpul dan
membicarakan pelanggaran yang telah terjadi, sehingga berbagai
pelanggaran akan segera jernih setelah diselidiki ataupun diakui, dan
102
Asal Usul Tersusunnya Vinaya
pada kasus yang berat maka si pelanggar akan dikeluarkan dari
Sangha.
Kemudian peraturan-peraturan baru pun bermunculan sebagai
akibat munculnya pelanggaran-pelanggaran. Misalnya ada bhikkhu
yang serakah dan meminta lebih banyak dari yang diberikan, Sang
Buddha menegaskan bahwa seorang bhikkhu hanya membutuhkan
empat keperluan, tidak lebih yaitu:
- makanan, menerima yang diberikan umat.
- tempat tinggal, di bawah pohon
- jubah dikumpulkan dari kain sisa
- obat-obatan, amonia
Keperluan yang lain sekedar tambahan dan tidak boleh
diharapkan. Peraturan ini tetap berjalan dari waktu ke waktu dan
dimaksudkan untuk dijadikan pertimbangan atau contoh bagi yang lain
terutama umat awam, serta untuk melatih enam indera. Tetapi Sang
Buddha mengerti bahwa cobaan bagi seseorang belum tentu
merupakan cobaan bagi yang lain, keadaan tiap tempat juga berbedabeda. Maka peraturan bagi tiap orang dan tiap tempat tentulah
berbeda. Misalnya di daerah beriklim dingin tidak perlu sering mandi,
sebaliknya di daerah panas frekuensinya harus banyak.
Kebanyakan bhikkhu hidup dengan baik dan suci, jadi buat
mereka hanya sedikit peraturan yang diperlukan. Jika aku menghitung
kembali kesalahan yang menyebabkan peraturan dibuat, memang
tidak pantas berprasangka bahwa kesalahan-kesalahan tersebut sering
terjadi.
Suatu ketika pada musim hujan, bhikkhu-bhikkhu dari Rajagaha
membangun gubuk dari rumput di pegunungan Isigili. Di antara mereka
adalah Dhaniya, putera seorang pembuat tembikar. Ketika musim
hujan sudah berlalu, semua bhikkhu kecuali Dhaniya membongkar
gubuk mereka dan memgembara ke kota. Dhaniya tidak suka
berkelana. Dia menyukai sebuah rumah miliknya sendiri, sehingga ia
tetap di gubuk setelah musim hujan. Suatu hari sewaktu dia sedang
meminta makanan di desa, beberapa orang wanita mengangkat bahanbahan gubuknya pergi untuk dijadikan kayu bakar. Dia membangunnya
kembali. Kembali mereka merusaknya, karena mereka tidak
menyangka seorang bhikkhu punya rumah untuk dirinya sendiri.
Dhaniya kembali teringat pada keahliannya membuat tembikar dan dia
membangun gubuk kecil dari tanah liat sehingga dari kejauhan
kelihatannya seperti burung dara merah kecil di atas bukit. Ketika Sang
Buddha lewat dan melihatnya, beliau pun mendengar laporan-laporan
mengenai Dhaniya, ternyata Sang Buddha tidak setuju. Beliau mengirim
103
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
dua orang bhikkhu untuk menasehati Dhaniya agar membongkar
gubuknya dan mengingatkan dia bahwa banyak serangga yang mati
akibat dibangunnya gubuk itu.
Tetapi bhikkhu-bhikkhu ini tidak menemukan Dhaniya sehingga
mereka sendiri yang membongkar gubuk itu. Ketika Dhaniya kembali ia
menemukan burung kecilnya sudah tidak ada lagi. Dia kaget tetapi
tidak berkecil hati. Dia teringat pada tempat penyimpanan kayu milik
Raja. Dia pun menemui penjaganya dan meminta batangan-batangan
kayu tersebut, penjaga terkejut atas permintaan itu, dia berkata, "Kayukayu ini milik Raja dan disimpan sebagai cadangan perbaikan."
"Tak mengapa, penjaga yang baik. Raja telah memberikan kayukayu ini untuk anggota Sangha."
Si penjaga ragu-ragu, tetapi karena Dhaniya seorang bhikkhu yang
tentu saja pikirnya tidak mungkin berbohong, ia kemudian ia
membiarkan Dhaniya mengambilnya. Dhaniya pun kembali
membangun gubuk.
Kemudian Vassakara, kepala menteri di Magadha, karena melihat
banyak bangunan yang perlu diperbaiki, ia pergi ke tempat
penyimpanan kayu tersebut untuk mengambil kayu yang dibutuhkan,
tetapi dia tidak menemukan apa-apa di sana. Setelah mendengar apa
yang telah terjadi dia menemui Raja untuk menanyakan apakah raja
memberikan kayu-kayu itu untuk anggota Sangha. Tentu saja si penjaga
ditangkap karena Raja menyatakan tidak pernah memberikannya.
Dhaniya melihatnya, hati kecilnya merasa bersalah sehingga dia
mengikuti penjaga itu. Raja menemuinya di luar istana dan bertanya
apakah benar potongan kayu itu digunakan untuk kepentingan Sangha.
"Benar, Yang Mulia," jawab Dhaniya tanpa ragu.
"Saya sebagai Raja sangat sibuk dan tidak mengingat semuanya.
Tolong beritahukan saya, kapan saya memberikan kayu-kayu itu."
"Apakah Yang Mulia masih ingat, bahwa Yang Mulia pernah
mengatakan bahwa para pertapa dan kaum Brahmana bebas
menggunakan rumput, kayu dan air?"
Raja sangat terkejut dan menjawab, "Saya memang mengatakan
begitu, tetapi yang saya maksudkan hanya rumput, kayu, air di hutan
rimba, dan bukan barang yang sudah ada pemiliknya, dan ini Anda
tentu tahu. Tindakanmu ini sangat licik, jika Anda rakyat biasa, tentu
sudah dihukum atau dipenjarakan. Tetapi bagaimana saya
menghukum anggota Sangha? Kamu dibebaskan karena statusmu.
Tetapi saya sangat sedih, karena Anda telah membuat malu anggota
Sangha.
104
Asal Usul Tersusunnya Vinaya
Ketika rakyat mendengar penipuan ini, mereka marah dan
berkata, "Bhikkhu-bhikkhu ini pembohong dan tidak tahu malu. Mereka
berpura-pura menjadi pengikut Dhamma dan penyebar kebenaran.
Tetapi sebenarnya mereka berlawanan dengan kenyataan. Kebaikan
dan kesucian tidak ada lagi dalam Sangha. Raja saja dapat ditipu
apalagi rakyat jelata."
Para bhikkhu pemula tentu saja marah kepada Dhaniya. Akhirnya
masalah ini dilaporkan kepada Sang Buddha, dan setelah memeriksa
kebenarannya, beliau membuat peraturan bahwa anggota Sangha yang
berbuat kesalahan yang pada rakyat biasa dapat dihukum atau
dipenjarakan, akan dikeluarkan dari anggota Sangha. Tetapi Sang
Buddha sedih dengan peraturan itu karena pembuatan peraturan itu
bukanlah dapat menjadikan orang menjadi lebih murni dan suci.
Di lain pihak ada beberapa bhikkhu yang melewati musim hujan
di tepi sungai Vaggamuda, suatu daerah yang dilanda kelaparan.
Persediaan makanan sedikit dan makan dijatah, dan para bhikkhu
menjadi sulit memperoleh makanan. Kemudian beberapa di antaranya
bermusyawarah bagaimana memperoleh makanan yang sewajarnya.
Mereka memutuskan untuk bekerja pada pemilik rumah dengan cara
menyanyikan lagu pujian dan mengatakan mereka mempunyai
kekuatan supranormal. Pemilik-pemilik rumah ini sangat percaya dan
mengambil makanan anak istrinya untuk bhikkhu ini. Akibatnya setelah
musim hujan, bhikkhu ini mempunyai tubuh yang sehat dan kuat dan
wajah yang cerah sedangkan yang lain kurus kering.
Ketika musim hujan sudah berakhir, bhikkhu-bhikkhu ini
membawa mangkuk dan jubah mereka menuju Vesali untuk menemui
Sang Buddha. Semua bhikkhu-bhikkhu sudah berkumpul, mereka
semua pada kurus. Sedangkan bhikkhu-bhikkhu ini gemuk dan cukup
makan. Sang Buddha bertanya kepada seorang bhikkhu yang gemuk
mengenai kegiatan mereka selama musim hujan. Tentu saja mereka
takut mengatakan yang sebenarnya. Sang Buddha menatap mereka
dengan pandangan yang bagaikan sanggup menembus dan membaca
isi hati, akhirnya cerita yang sebenarnya pun terungkap dari mereka.
Setelah mereka berhenti semuanya menjadi tenang dan hening sekali.
Walaupun Sang Buddha belum mengatakan sesuatu, saya merasa
bhikkhu yang gemuk itu mulai malu. Ketika Sang Buddha membuka
suaranya, kedengarannya seperti guntur yang tanpa nafsu dan emosi di
baliknya, namun demikian kata-kata Sang Buddha tepat mengenai
sasarannya.
Beliau berkata, "Ketika kamu menjadi bhikkhu, kamu
meninggalkan semuanya, rumahmu, kesenangan duniawi dan
105
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
kenikmatan lainnya sehingga dengan demikian kamu akan sanggup
memberikan persembahan yang paling berharga yaitu Dhamma.
Sebaliknya umat akan memberikan kebutuhan hidup yang kamu
butuhkan. Sekarang demi perut, kebutuhan jasmani dan kesenangan
duniawi kamu telah berkata yang tidak benar dan mengambil makanan
yang tidak layak diperoleh." Suara Sang Buddha meninggi tetapi tetap
tenang tanpa emosi. "Menurut saya lebih baik perutmu terbelah oleh
pisau pemotong daging daripada melakukan perbuatan demikian. Luka
di tubuhmu hanya menimbulkan rasa sakit dan kematian tubuh,
sedangkan penipuanmu akan mengantar kamu ke neraka yang dalam.
Perampok kota jauh lebih baik daripada perampok yang memperoleh
sedekah dengan menjilat dan menggunakan kekuatan gaibnya.
Melakukan hal demikian di negara yang makmur dan hasil panennya
melimpah ruah juga merupakan kesalahan, apalagi di tempat yang
dilanda kelaparan. Lebih baik kamu menelan bola api panas daripada
menelan makanan yang diperoleh dari umat yang kelaparan."
Suara Sang Buddha demikian tegas sehingga bhikkhu-bhikkhu
yang bersalah itu gemetar. Kemudian suara beliau menjadi lebih
lembut, "Saya tahu bahwa saya telah menyakiti kalian, tetapi kadangkadang seorang dokter perlu menggunakan pisau." Suara-Nya
melemah. "Sudah merupakan tugasmu untuk memberi contoh yang
baik. Tindakanmu yang memalukan ini akan menyesatkan para
pemula, dan mencegah yang lain untuk memulainya."
Saya memperhatikan wajah para bhikkhu itu. Sebagian menangis.
Semuanya menyadari kesalahan mereka. Kata-kata tajam Sang Buddha
berbeda dengan orang lain. Beliau begitu tenang saat berbicara dan
pisaunya melukai sekaligus menyembuhkan, karena beliau dengan
belas kasihnya, mampu menembus hati dan pikiran manusia dan belas
kasihnya selalu menyentuh hati nurani, beliau meninggalkan mereka
dengan wajah yang penuh cinta kasih.
Bhikkhu-bhikkhu yang bersalah itu pun bangkit dan menuju gubuk
mereka, dan saya perhatikan hanya satu di antara mereka masih
meminta sedekah pada keesokan harinya. Mereka sangat malu.
Mungkin itu adalah akhir sebuah episode, tetapi beberapa tetua
meminta dibuat peraturan untuk mencegah terulangnya peristiwa yang
memalukan itu lagi, dan Sang Buddha membuat peraturan bahwa
anggota Sangha yang menyalahgunakan kekuatan gaibnya harus
dikeluarkan dari anggota Sangha.
Di Alavi terjadi peristiwa yang hampir mirip dengan yang terjadi di
sungai Vaggamuda. Beberapa orang bhikkhu merencanakan
membangun tempat tinggal untuk mereka sendiri. Sedangkan di Alavi
106
Asal Usul Tersusunnya Vinaya
tidak ada dana yang cukup buat mereka. Bhikkhu-bhikkhu ini meminta
pembantu, kereta, lembu, pisau dan sebagainya kepada umat. Umat
menjadi ketakutan dan selalu lari menghindar bila menjumpai bhikkhu.
Bahkan mereka pernah segera lari begitu melihat beberapa lembu
yang dikira para bhikkhu berjubah kuning.
Kassapa sendiri yang mengetahui kejadian ini. Ketika beliau
meminta makanan di Alavi, orang-orang pada lari dan tidak ada
makanan yang diberikan padanya. Dia heran karena biasanya
penduduk Alavi selalu siap memberikan sedekah. Beliau sangat
terkejut ketika diberitahu penyebabnya, dan hal ini segera dilaporkan
pada Sang Buddha yang kemudian tiba di Alavi.
Sang Buddha tertawa dan berkata, "Ternyata umat awam bisa
menjadi hakim kebenaran bagi para bhikkhu. Perintahkan bhikkhubhikkhu itu menghadap saya."
Ketika bertemu dengan bhikkhu-bhikkhu itu, Kassapa menegur
mereka dengan kasar. Berbeda dengan Sang Buddha yang senantiasa
lembut sambil menanyakan kebenaran berita yang diperoleh. Beliau
berkata, "Cukup sulit bagi kepala-kepala keluarga itu untuk menghidupi
keluarganya, apalagi harus menyediakan kereta lembu dan tenaga
kerja untuk kalian. Ketika kamu masuk anggota Sangha, kamu sudah
diingatkan untuk tinggal di bawah pohon dan tidak mengambil barang
jika tidak diberikan dengan ikhlas." Kami merasa bhikkhu-bhikkhu itu
merasa sangat malu dan peristiwa seperti itu tidak akan mungkin
terulang lagi. Tetapi Kassapa tidak puas.
"Sang Buddha," katanya "Maukah Sang Buddha membuat
peraturan bahwa bhikkhu tidak boleh mempunyai tempat tinggal
kecuali ada donatur yang menyumbang?"
"Peraturan itu terlalu keras, Kassapa. Pada waktu tertentu,
terutama musim hujan, para bhikkhu harus membangun gubuk sendiri
jika tidak ada gubuk atau vihara yang tersedia atau mungkin tidak ada
dermawan yang mampu atau mau menyumbang."
"Lalu maukah Sang Buddha membuat peraturan bahwa hanya
gubuk dari rumput yang boleh dibangun?"
"Ah, Kassapa, kamu ingin sekali membuat peraturan. Tetapi
manusia selalu cenderung melanggar peraturan, kecuali jika dalam hati
memang ingin menaatinya, sehingga akhirnya tidak ada peraturanperaturan yang dibuat, karena manusia akan merubahnya. Tetapi
baiklah, para bhikkhu dilarang membangun tempat tinggal melebihi
gubuk tanpa dermawan dan harus disetujui bhikkhu-bhikkhu lain yang
ada di sana, serta pada tempat yang lapang sehingga tidak menebang
pohon."
107
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
Jika Kassapa ingin membuat peraturan keras bagi yang lainnya,
dia malah lebih keras terhadap dirinya sendiri. Dia tidak menyakiti
tubuhnya, tetapi dia tidak pernah memanjakannya. Beliau lebih muda
dari Sang Buddha, tetapi ketika Sang Buddha sudah tua, Kassapa juga
kelihatan tua. Suatu sore, di Hutan Bambu, Sang Buddha mengamati
jubah kumal Kassapa dan berkata, "Engkau sudah cukup tua sekarang,
Kassapa, dan jubah yang sudah rapuh itu tidak sesuai untuk tubuh yang
sudah tua dan lemah. Mengapa kau tidak mengambil jubah yang
disumbangkan untukmu? dan maukah kau di samping saya dan
menerima makanan yang disumbangkan selain meminta sedekah
dengan mangkukmu?"
Kassapa menjawab, "Saya sudah lama hidup sebagai pengembara
hutan dan saya mengajurkan pengasingan diri pada yang lain. Saya
selalu mengatakan lebih baik meminta sedekah dengan mangkuk
daripada menerima sumbangan dan mengenai pakaian, seorang
bhikkhu tidak mementingkan penutup tubuhnya. Saya selalu
mengenakan jubah kumal dan hanya tiga pasang, usia saya yang
semakin bertambah bukan alasan untuk mengubahnya."
Setelah Sang Buddha mencapai Parinirvana, Kassapa yang
menyelenggarakan Persamuan Agung pertama yang mengumpulkan
kembali sabda-sabda Sang Buddha. Banyak peraturan yang terkumpul
dalam pertemuan tersebut karena Kassapa memang menyukai
peraturan dan sangat menaatinya. Tetapi peraturan yang ada
kebanyakan bukan dibuat oleh Sang Buddha, melainkan oleh kejadiankejadian yang baru timbul, misalnya, saya pernah menyinggung bahwa
Sang Buddha telah menyarankan Sona untuk memakai sepatu dari kulit
karena kakinya terluka. Setelah wafatnya Sang Buddha, hal ini menjadi
satu bentuk peraturan yakni para bhikkhu diizinkan memakai sepatu
dengan hanya satu lapisan. Kemudian, sebagian bhikkhu menahan diri
untuk mengambil buah yang jatuh dari pohon walaupun mereka dalam
keadaan lapar dan lelah karena hal itu dianggap mengambil tanpa
diberi, sebagian menganggap sah-sah saja karena bukan diambil dari
pohon. Persepsi lain yang dibuat adalah bahwa seorang lelaki muda
dapat ditahbiskan bila ia telah dapat mengusir burung. Hal ini dibuat
disebabkan laporan Ananda saat beliau mentahbiskan seorang anak
laki-laki, Ananda mengatakan pada Sang Buddha, walaupun anak itu
masih muda, tapi ia sudah mampu bertanggung jawab, hal ini
dibuktikan dengan mampunya ia menjaga tanaman dari serbuan
burung, dan jadilah itu kemudian sebagai suatu peraturan.
Buat aku sendiri, aku lebih senang mengingat apa yang
disabdakan Sang Buddha:
108
Asal Usul Tersusunnya Vinaya
"Pada awalnya cuma ada sedikit aturan dan banyak bhikkhubhikkhu yang mencapai kesucian. Saat orang-orang berhenti
menghidupkan ajaran yang benar, berbagai peraturan dibuat. Tetapi
tidak ada aturan yang dapat membentuk kehidupan manusia, itu cuma
ajaran palsu. Hanya jika manusia menghormati Dhamma, dan mencari
bentuk hidup mereka di dalamnya, maka ajaran yang sesungguhnya
akan dapat hidup dan berkembang."
109
Kekuatan Gaib Sang Buddha
Ke manapun kami pergi, kami selalu menemukan seperti apa
yang dikatakan Janussoni, "Bagaikan bekas jejak kaki gajah besar",
semua wanita dan pria yang bertemu dengan Sang Buddha akan
berubah seluruh jalan hidupnya, mereka tidak lagi mengenal
kemarahan dan menghindari semua perbuatan jahat. Namun sejauh itu
beliau tidak pernah memaksa orang lain untuk mengubah agama dan
kepercayaannya. Bagi beliau, semua kepercayaan atau bentuk
kehidupan adalah baik sejauh tidak berusaha menyakiti yang lain.
Dhamma akan dikenal dan Delapan Jalan Utama akan dijalankan siapa
saja, walau apapun kepercayaannya. Melalui kepercayaan mereka
masing-masing Sang Buddha menunjukkan jalan untuk mengakhiri
penderitaan. Jika seseorang percaya akan kehidupan pertapa, Sang
Buddha tidak akan membantah kebaikan kehidupan seorang pertapa,
tetapi akan menunjukkan bahwa kehidupan pertapa yang terbaik
adalah dengan menjalankan Delapan Jalan Utama; jika ia percaya akan
pengorbanan, maka pengorbanan yang terbaik adalah pengorbanan
diri. Jika seseorang sebelumnya ingin menjadi seorang Brahmana,
maka beliau akan menunjukkan bahwa semuanya itu dapat diperoleh
dengan memancarkan sinar cinta kasih kepada semua makhluk. Jika
beliau ditanyakan apakah ada kehidupan setelah kematian, beliau akan
berkata bahwa lebih baik mengenal kehidupan ini; tetapi jika
seseorang yang bertanya pada-Nya mempercayai surga, neraka dan
kelahiran kembali, mahluk-mahluk agung serta dewa, Sang Buddha
akan menunjukkan jalan kebenaran melalui kepercayaannya itu.
Ajaran Sang Buddha sama sekali berbeda dengan sekte mana
pun, karena ajaran-Nya dapat dibuktikan dalam kehidupan ini dan di
dalamnya kepercayaan seseorang tidak pernah diperdebatkan.
Sebagian dari kami sedang di Savatthi meminta makanan ketika
kami bertemu dengan sekte-sekte yang selalu memperdebatkan
kepercayaan
masing-masing,
saling
menyalahkan
dengan
mengeluarkan kata-kata kasar. Ketika kami melaporkan apa yang kami
lihat dan dengar kepada Sang Buddha, beliau mengibaratkan mereka
seperti orang buta yang menjelaskan bentuk seekor gajah dengan
hanya berpedoman pada bagian-bagian yang terpegang olehnya saja,
kemudian marah karena orang buta yang lain mempunyai pendapat
yang berbeda dengannya.
Sang Buddha menjelaskan bahwa orang-orang tidak hanya
memandang segala sesuatu berbeda karena masalah kepercayaan,
tetapi mereka bahkan mempunyai pandangan yang berbeda terhadap
110
Kekuatan Gaib Sang Buddha
Dhamma. Seorang pemula memberitahukan aku bagaimana dia
bertanya kepada mereka yang lebih tua mengenai jalan menemukan
Kesucian dan Kebenaran Sejati. Ada yang mengatakan Kesucian dan
Kebenaran itu akan diperoleh bilamana seseorang tidak mengumbar
keenam nafsu indera, yang lain mengatakan bila seseorang telah
menggenggam Empat Kesunyataan Mulia, sedangkan Moggallana dan
Sariputta mengatakan dengan memahami ketidakkekalan dari segala
sesuatu.
Si pemula bingung akan jawaban-jawaban yang berbeda dan
menemui Sang Buddha. Beliau mengatakan bahwa semuanya benar,
karena masing-masing menjawab apa yang benar menurutnya.
"Bagaikan seseorang yang mencoba untuk menjelaskan pohon Judas.
Setiap orang akan menjelaskan apa yang dia lihat. Yang melihatnya
kehitam-hitaman akan mengatakan pohon itu seperti batang pohon
yang terbakar; yang melihatnya kemerah-merahan pada musim semi
akan mengatakannya seperti gumpalan-gumpalan daging; sedangkan
yang lain karena melihat kulit batangnya terkelupas menyamakannya
dengan pohon Akasia; sisanya lagi yang berteduh di bawah
kerimbunannya pada musim panas akan berpikir bahwa itu adalah
pohon Banyan."
Sikap yang benar dalam hal tidak mencampuri masalah keyakinan
dan pengetahuan Dhamma orang lain adalah juga berarti menghormati
sikap hidupnya sendiri. Hanya lima usaha yang dikatakan oleh Sang
Buddha tidak boleh dilakukan karena kelima usaha itu melukai yang
lain, yaitu dengan sengaja membuat senjata untuk membunuh
manusia, membuat racun dan minuman yang memabukkan, berjualan
daging, pemburu, penjebak dan tentara. Bagi siapa yang menjalankan
ajarannya maka segala usaha selain usaha-usaha di atas adalah baik
dan diizinkan, begitu juga dengan berbagai macam cara kehidupan.
Ananda menceritakan padaku bahwa Migasala, seorang ibu
rumah tangga dari Savatthi, pernah menanyakan bagaimana Sang
Buddha dapat mengatakan bahwa ayahnya, Purana dan pamannya,
Isidatta, keduanya telah memahami Keabadian, "Keduanya adalah
pengikut Raja Pasenadi," katanya, "Tetapi ayah saya, Purana, menjalani
kehidupan dengan saleh, menghindari kesenangan duniawi,
sedangkan paman saya, Isidatta, senantiasa bergembira dengan istrinya
dan tidak menghindari kesenangan duniawi."
Ananda tidak dapat menjawab pertanyaannya sehingga beliau
mencari Sang Buddha yang berkata, "Hal ini cukup rumit, Ananda,
menilai 'nilai' seseorang. Hanya yang telah mencapai Penerangan
Sempurna yang mampu melakukannya. Seorang ibu rumah tangga
111
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
seperti Migasala, yang mempunyai pengetahuan yang sederhana, tidak
dapat mengerti. Seseorang tak dapat dinilai dari penampilan luarnya
saja, tetapi dari ketulusan hatinya, dan hanya yang telah mencapai
Penerangan Sempurna yang dapat mengetahuinya. Dua orang yang
saleh dan keduanya mampu mengendalikan diri, mendengarkan
Dhamma. Yang satu mengerti dan menjalankannya. Yang satunya lagi
tidak menghiraukannya. Orang pertama akan terbawa arus Dhamma,
yang kedua tidak. Tetapi siapa selain yang telah mencapai penerangan
sempurna yang mampu mengetahuinya? Dari luar mereka kelihatannya
sama. Ataupun mungkin ada dua orang lain yang telah mampu
menaklukkan keangkuhan dan kemarahan, tetapi pada keduanya
kadang-kadang timbul serakah. Siapa yang benar-benar mengerti
Dhamma akan maju, sedangkan yang sebaliknya tidak. Orang-orang
menilai dari penampilan luar; mereka tidak mengetahui yang
sebenarnya. Dia yang menilai 'nilai' seseorang berarti menggali lubang
untuk dirinya sendiri. Purana mungkin memperoleh kebaikan-kebaikan
Isidatta, tetapi bukan dengan cara Isidatta, atau Isidatta akan
memperoleh kebaikan Purana, tetapi bukan dengan cara Purana.
Setiap manusia menempuh caranya masing-masing dan tidak dapat
dibandingkan dengan yang lain.
Guru-guru lain berkelana ke tepi kota untuk menarik umat, tetapi
Sang Buddha tidak pernah melakukannya. Sang Buddha tidak pernah
menginginkan untuk memenangkan jumlah umat, dan menyebabkan
mereka meninggalkan guru-guru mereka ataupun menghianati
agamanya terdahulu. Sang Buddha hanya berusaha menunjukkan jalan
untuk mengakhiri penderitaan. Namun bagaimanapun, hanya dengan
nasehat yang singkat, orang-orang menjadi yakin dan meminta diterima
sebagai siswa. Beliau selalu membawa suatu atmosfir yang menarik
orang-orang untuk mendekatinya, atmosfir kedamaian dan cinta kasih,
yang mengelilingi-Nya bagaikan sebuah aura. Engkau akan merasakan
kedatangan-Nya dari jarak yang jauh, perasaan tenang dan damai akan
menyentuh hati mereka yang membuka pintu hatinya. Brahminbrahmin yang angkuh, yang melangkah seperti penderita kaku kuduk,
tanpa ragu-ragu segera tunduk dan memuji Sang Buddha. Sang Buddha
senantiasa memperingati mereka untuk mengingat kembali diri
mereka, tapi itu semua tidak mengubah keadaan. Dikatakan bahwa
satu-satunya cara untuk menemui beliau dan pergi tanpa terpengaruh
oleh-Nya adalah dengan menutup telinga, tetapi orang-orang yang
melakukan demikian pun akan tetap merasakan kekuatan aura-Nya
walaupun mereka telah mencoba menghindari kekuatan kata-kataNya. Maka tak mengherankan jika sekte-sekte lain menfitnah bahwa
112
Kekuatan Gaib Sang Buddha
beliau telah menggunakan kekuatan sihir dan memberikan janji muluk
untuk menarik siswa mereka. Bhaddiya dari kaum Licchavi mendengar
berita bahwa Sang Buddha menggunakan jampi-jampi untuk menarik
umat, tetapi karena dia tertarik dengan kekuatan gaib, maka dia pergi
menemui Sang Buddha untuk mengetahui kebenarannya.
"Orang-orang mengatakan Anda adalah seorang pemain sulap,"
katanya begitu bertemu Sang Buddha, "Anda mempunyai tipuan untuk
menarik umat dengan menguasai pandangan mereka. Apakah ini
benar?" Sang Buddha tersenyum dan anggota Sangha yang melihat
senyuman Sang Buddha yakin bahwa Bhaddiya sendiri akan tunduk
pada kekuatan Sang Buddha.
"Desas-desus bukanlah keterangan yang dapat dipercaya." Sang
Buddha berkata, "Jangan percaya desas-desus dan jangan menerima
ajaran yang bersumber dari desas-desus."
"Tidak," Bhaddiya menjawab, "Justru karena itulah sekarang saya
datang ke sini."
"Dan juga," lanjut Sang Buddha, "Jangan menerima suatu ajaran
karena rasa hormat kepada guru atau pun kata-kata suci."
"Tidak," Bhaddiya memotong, "Saya hanya menerima suatu ajaran
bila ajaran itu masuk akal dan mempunyai alasan kuat."
"Tidak," Sang Buddha melanjutkan. "Janganlah menerima suatu
ajaran hanya karena masuk akal, atau karena gurunya memenangkan
perdebatan dengan orang yang berpandangan lain."
"Oh," Bhaddiya berteriak terkejut. "Lalu seseorang harus
menerima suatu ajaran dengan alasan apa?"
"Bhaddiya, kamu harus menerimanya hanya bila kamu telah dapat
membuktikan dengan pengalaman sendiri bahwa ajaran itu membawa
kebahagiaan dan kesejahteraan."
"Saya belum pernah mendengar guru lain yang pernah
mengatakan demikian. Dapatkah Anda menjelaskan lebih lanjut?"
Tentu saja, semakin jauh Sang Buddha memberikan penjelasan,
semakin berpengaruh pula kekuatan Sang Buddha.
"Jika seseorang berbicara kasar padamu dan kamu membalasnya
dengan kasar, tahukah kamu apa akibatnya?"
"Kami akan marah dan mungkin akan terjadi perkelahian," jawab
Bhaddiya.
"Penilaianmu benar, Bhaddiya. Apakah menurut kamu,
perdebatan ini berguna atau memalukan?"
"Tentunya memalukan, Guru. Kata-kata demikian sama sekali
tidak ada manfaatnya."
113
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
"Sekarang, jika kamu membalasnya dengan lemah lembut dan
cinta kasih, kamu tahu apa hasilnya?"
"Di antara kami akan timbul rasa damai dan bahkan mungkin
kami akan berteman. Perbuatan demikian akan berguna bagi siapa
saja."
"Kamu menjawab dengan benar lagi, Bhaddiya. Jadi di luar
pengetahuanmu, kamu telah menunjukkan bahwa kata-kata lembut
dan penuh cinta kasih adalah ajaran yang baik. Sekarang, Bhaddiya
semua guru yang bijaksana akan mengajarkan siswa-siswanya
demikian."
Pada saat ini Bhaddiya berseru, "Bolehkah saya menjadi siswa
Anda?"
Sang Buddha tersenyum "Hati-hati, teman, bagaimana kamu dapat
mengatakan demikian, apakah saya meminta kamu untuk menjadi
siswaku?"
"Tidak, Guru, tidak."
"Tidak ingatkah kamu bahwa saya dikatakan sebagai pemain
sulap, yang memainkan tipuan-tipuan muslihat. Berhati-hatilah."
"Orang-orang mengatakan yang sebenarnya." Anak muda itu
tertawa. "Anda adalah pemain sulap yang ahli, tetapi tipu muslihat Anda
sangatlah baik. Saya ingin semua teman-teman saya mendapat ajaran
yang sama."
Walaupun Sang Buddha mengatakan tidak ada ajaran yang
diterima hanya karena bersifat logika, tetapi beliau sangat mahir
menjawab perdebatan demi perdebatan dengan argumen yang logis.
Namun bagaimanapun seseorang tidak akan memenangkan
perdebatan kecuali ia memang mempunyai kebijaksanaan terhadap
perdebatan itu. Sekte-sekte lain, tanpa mereka sadari, sebenarnya
berkata yang benar saat mereka mengatakan bahwa Sang Buddha
menggunakan suatu 'pesona' atau 'jampi-jampi' untuk menarik umat.
Pesona Sang Buddha adalah pesona persahabatan dan cinta kasih,
yang hanya mencari suatu semangat dari orang-orang tanpa meminta
balasannya, adalah karena kekuatan dari ketenangannya yang
menentramkan konflik-konflik bathin mereka dan membawa
kedamaian dan kesejahteraan bagi yang mendengarnya.
Selain itu, suatu kegaiban yang timbul dari pengetahuan seseorang
akan segala sesuatu biasanya menyusahkan dirinya sendiri. Jangan
berpikir bahwa Sang Buddha telah terbebas dari Mara, setan penggoda,
yang merupakan personifikasi dari diri dengan keinginan-keinginan dan
'tanha'nya. Sejak mencapai penerangan sempurna sampai tiga bulan
sebelum beliau wafat, Mara terus-menerus menggoda-Nya. Walaupun
114
Kekuatan Gaib Sang Buddha
pikiran-pikiran Mara tidak pernah mampu mendapatkan tempat
berpijak pada pikiran Sang Buddha, sebagaimana yang mereka lakukan
pada yang belum mencapai penerangan sempurna, namun pikiranpikiran tersebut tetap muncul, karena pikiran mempunyai kehidupan
sendiri; tumbuh dari semua keberadaan, dan padanya tidak ada diri
individu yang permanen yang berdiri sendiri dan tidak mengetahui
pengalaman dari pikiran dan perasaan yang lainnya. Jadi bahkan
seorang Buddha, yang telah terbebas dari perbudakan pikiran-pikiran
tersebut dan tidak disusahkan olehnya, belumlah terbebas dari
kemunculannya.
Sewaktu Sang Buddha mencapai penerangan sempurna, pikiranpikiran buruk selalu muncul. Beliau duduk dengan tenang, tak
tergoyahkan dan pikiran itu pun menghilang, bagaikan putri Mara yang
mencoba membelah gunung dengan setangkai bunga lily.
Kemudian setelah mencapai penerangan sempurna, godaan
untuk menikmati sendiri kebahagiaan yang diperolehnya pun muncul,
tetapi Sang Buddha menyadari dan mampu menguasai pikiran,
sehingga Mara pun lenyap. Dan beliau yang telah mampu menaklukkan
rasa takut, bagaimanapun akan mengetahui makna dari pikiran akan
rasa takut. Misalnya ketika seekor ular sanca muncul di sebelahnya
sewaktu beliau sedang bermeditasi pada waktu hujan di hutan,
ataupun gajah mengamuk yang merusak dan menghancurkan semua
isi hutan. Tetapi seperti sebelumnya pikiran takut akan segera hilang.
Pikiran demikian muncul untuk kemudian menghilang saat yang telah
mencapai penerangan sempurna mengenalinya sebagai Mara, alat diri
yang semu, tetapi bagi yang belum mencapai penerangan sempurna,
walaupun dapat mengenali Mara, namun padanya pikiran-pikiran
tersebut baru menghilang setelah melalui perjuangan yang lama. Pada
yang belum mencapai penerangan sempurna, Mara tidaklah seketika
muncul dan kemudian menghilang.
Dan pikiran-pikiran kekhawatiran dan kegelisahan — Sang
Buddha akan menolong mereka yang tertekan, karena berdasarkan
pengalamannya beliau mengetahui arti pikiran demikian — seperti
ketika keragu-raguan muncul saat beliau hendak menentukan siapa
yang pantas dan sesuai menerima ajaran-Nya. Dan janganlah berpikir
bahwa disebabkan Sang Buddha sanggup berkonsentrasi dan
melenyapkan rasa sakit maka beliau tidak mengenal rasa sakit, ketika
batu karang yang runcing jatuh dan melukai kakinya, beliau
mengetahui sepenuhnya arti dari rasa sakit itu. Pikiran-pikiran yang
beragam ini, yang pada orang lain merupakan sumber penderitaan,
akan juga muncul pada-Nya untuk kemudian lenyap, karena tidak ada
115
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
tempat bagi mereka untuk bersandar. Namun mereka tetap muncul,
dan melalui pengalaman-Nya, Sang Buddha mengetahui arti
keberadaan mereka walaupun beliau telah berada dalam kedamaian
Nirvana.
Karena Sang Buddha menyatu dengan dunia kita yang menderita,
dan mencari jalan untuk mengakhiri penderitaan, maka pernah sekali
beliau digoda untuk menjadi Raja yang memerintah dengan bijaksana.
Pada saat itu seorang raja sedang merencanakan untuk menyerang
negara lain dan Sang Buddha sedang menginap di sebuah gubuk
gembala di bukit Himalaya; pohon Oak bersemi dengan warna gading
dan karang, burung-burung bercumbu dengan temannya di antara
tetumbuhan hijau dilatarbelakangi langit biru yang bertabur megamega putih; semua tampak indah dan bahagia.
Sang Buddha yakin dapat menghentikan perang ini;
mengembalikan kemakmuran, memegang tampuk pemerintahan
daerah-daerah ini; beliau tahu bahwa Ia dapat memerintah tanpa
pembunuhan atau sebab untuk dibunuh; tanpa penaklukkan ataupun
sebab untuk ditaklukkan — sebagaimana yang pernah dilakukan raja
yang lain dulu. Dan seperti mereka, beliau juga mampu memerintah
dengan baik dan bijaksana, semua rakyat akan hidup berkecukupan
sehingga anak kecil dapat meninggalkan sekeranjang emas di jalan
tanpa ada yang menyentuhnya. Tetapi saat pikiran-pikiran itu timbul,
Sang Buddha menyadari bahwa mereka adalah Mara, walaupun
gunung Himalaya berubah menjadi emas, manusia pun tak akan
pernah puas. Sang Buddha akan menunjukkan jalan bagi umat
manusia, bukan jalan untuk memuaskan keinginan-keinginan, tetapi
jalan untuk mengakhiri keinginan itu sendiri.
Sang Buddha mengakui munculnya pikiran-pikiran Mara pada-Nya
yang sebelumnya tak pernah disangka siapa pun. Apakah beliau
melakukannya untuk memberi contoh pada kami pentingnya suatu
pengakuan bahkan pada orang yang telah mencapai penerangan
sempurna, atau untuk menunjukkan bahwa beliau adalah satu dengan
kami bahkan dalam kelemahan kami sekalipun? Aku tak tahu. Aku
hanya menceritakan apa yang kudengar dan setahuku begitu Sang
Buddha menjelaskan godaan-godaan ini, orang-orang malah menjadi
semakin menghormatinya.
Semakin rendah hati Sang Buddha, semakin besar pula
penghormatan para umat kepada-Nya. Nigata menceritakan saat Sang
Buddha mengunjungi perkampungan Brahmana di Icchanangala
orang-orang berkumpul di pintu masuk tempat Sang Buddha
menginap, menyanyikan pujian dan memohon beliau untuk muncul
116
Kekuatan Gaib Sang Buddha
dan menerima persembahan makanan yang mereka bawa; Nigata
menganjurkan beliau untuk memenuhi permintaan mereka, tetapi
Sang Buddha menjawab:
"Tidak, saya tidak ada hubungannya dengan penghormatan dan
penghormatan tidak ada hubungannya dengan saya—juga tidak
dengan siapa pun yang menemukan kebahagiaan dalam perenungan
dan ketenangan batin. Jika ada yang menginginkan pujian biarkan
mereka menerimanya, tetapi pujian hanya memberikan kebahagiaan
yang sementara dan ketenangan bathin adalah kebahagiaan
sebenarnya. Kesedihan, penderitaan dan keputusasaan merupakan
komponen dari apa yang dikatakan sebagai kebahagiaan."
Sang Buddha tidak menginginkan pujian-pujian yang berlebihan.
Aku pernah diberitahu bagaimana beliau menggoda Sariputta, ketika
Sariputta menegaskan bahwa beliau yang paling bijaksana di antara
semua orang suci yang telah atau akan hidup di dunia ini. Beliau juga
tidak menanggapi pujian dari Raja Pasenadi. Suatu hari raja pergi
menikmati keindahan suatu taman. Sehari sebelumnya telah turun
hujan, daun-daunan bersih dari debu; udara dipenuhi aroma buah
mangga; burung-burung hijau bersinar seperti mutiara di antara
cabang-cabang pepohonan.
Raja sangat terkesan dengan suasana hutan dan seolah-olah suatu
perasaan damai menyelimutinya, ia segera teringat kepada Sang
Buddha dan ingin menemui-Nya sebelum kembali ke istana. Karena
hari masih pagi maka raja segera menuju Hutan Jeta, melepaskan
serban dan pedangnya kemudian masuk menemui Sang Buddha
sendirian. Begitu berjumpa Sang Buddha, Raja segera berlutut dan
mencium kaki Sang Buddha. Sang Buddha tersenyum dan
menanyakan mengapa raja begitu menghormati tubuh yang akan
hancur ini. Tetapi tentu saja bukan tubuh yang dihormati raja dan yang
lainnya, melainkan Dhamma yang diajarkan tanpa pikiran 'Aku' dan
'Milikku', Dhamma yang merupakan mujizat Sang Tathagatha, mujizat
yang membebaskan raja dari kehendak diri, dari keserakahan, dari
keterikatan akan uang dan kesenangan, yang telah menunjukkan cara
untuk memerintah kerajaannya seperti seorang ayah yang bijaksana
dan penuh cinta kasih.
Dalam membalas berkah Dhamma tersebut, perbuatan raja
mencium kaki Sang Buddha mungkin sepertinya kekanak-kanakan,
tetapi aku mengakui, ketika baru ditabhiskan, kadang-kadang aku
mempunyai keinginan yang demikian juga, terutama saat beliau
menunjukkan kelemahan sebagai umat manusia, seperti saat beliau
mengatakan punggungnya letih dan ingin beristirahat. Tidak ada kata117
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
kata yang dapat melukiskan keagungan Sang Buddha, demikian juga
kekuatan yang dimiliki-Nya, yang dapat menarik semua orang untuk
mendekati-Nya, yang membuka suatu pandangan kebahagiaan bagi
mereka, di samping kebahagiaan duniawi yang muncul bagaikan
kertas emas yang kehilangan cahaya.
118
Sang Buddha dan Umat Biasa
Seperti yang pernah aku katakan, janji suci Sang Buddha sewaktu
mencapai penerangan sempurna adalah untuk menolong semua
makhluk, para umat awam, baik wanita maupun pria, para bhikkhu
dan bhikkhuni. Jadi perlu disesali bahwa pada saat Persamuan Agung
yang diselenggarakan setelah Sang Buddha mencapai Parinirvana, tidak
ada seorang pun bhikkhuni maupun umat biasa yang hadir sehingga
sabda-sabda Sang Buddha yang dicatat hanyalah yang bersumber dari
para bhikkhu. Memang benar banyak laporan mengenai Anathapindika
dan Visakha, umat biasa yang kaya, tetapi hal itu terutama disebabkan
karena jasa-jasa mereka kepada Sangha. Bila anda mendengarkan
pembicaraan beberapa orang anggota Sangha, anda akan berpikir
bahwa semua umat awam hadir di dunia hanya untuk membantu atau
menderma bagi para anggota Sangha. Tetapi bagi Sang Buddha, umat
biasa juga punya kelebihan, dan setiap langkah dalam Delapan Jalan
Utama adalah sesuai bagi mereka. Aku pernah mendengar Sang
Buddha memberitahukan Anathapindika bahwa umat yang
berkeluarga jangan segera merasa puas karena bisa memberikan
sesuatu bagi anggota Sangha, tetapi secara perlahan mereka juga harus
mengasingkan diri seperti para bhikkhu dan menemukan ketenangan
batin dengan melaksanakan meditasi.
Umat biasa yang terkenal selain Anathapindhika, adalah Visakha
yang juga berasal dari Savatthi. Cerita dimulai saat dia berumur tujuh
tahun, Sang Buddha mengunjungi kampung halamannya, Saketa, dan
ayahnya memintanya untuk membawa sejumlah pelayan menemui
Sang Buddha dan mengundang-Nya makan. Walaupun masih anakanak Visakha langsung mengutarakan maksudnya dan kemudian
memohon agar diterima sebagai siswa. Pada usia enam belas tahun dia
dinikahkan dengan putra Migara, seorang jutawan dari Savatthi. Ketika
pesta pernikahan usai, Visakha menuju Savatthi, berdiri di atas kereta
pernikahannya dan mengenakan baju yang dihiasi permata pemberian
ayahnya, yang menunjukkan bahwa menantu Migara berasal dari
golongan atas. Iringan sejumlah pelayan dan kereta-kereta yang penuh
dengan harta benda pemberian ayahnya sebagai mas kawin mengikuti
di belakangnya.
Walaupun masih berusia enam belas tahun, Visakha mempunyai
kebijaksanaan seterang permata. Tetapi ada satu hal yang tidak ia
ketahui, yaitu apakah ayah mertuanya merupakan pengikut Sang
Buddha. Sejak Raja Pasenadi menjadi pengikut Sang Buddha, dia yakin
semua orang-orang penting di kerajaannya juga menghormati Sang
119
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
Buddha. Visakha sangat terkejut ketika dia mengetahui bahwa Sang
Buddha tidak pernah diundang oleh mertuanya walaupun Hutan Jeta
sangat dekat dengan kediaman Migara dan ia jarang bertemu dengan
seorang bhikkhu di sana. Jadi tidaklah mengherankan bila dia sangat
gembira ketika suatu hari ayah mertuanya mengirimkan pesan padanya
bahwa 'Orang Suci' telah tiba dan ia harus segera pergi memberi
hormat pada mereka. Tetapi ketika Visakha memasuki ruangan, dia
sangat terkejut karena semua yang hadir adalah pertapa telanjang yang
dijamu dengan perlengkapan mewah. Dia memprotes ayah mertuanya
karena telah memanggil mereka orang suci karena mereka sama sekali
tidak hidup sederhana. Para pertapa itu menanyakan mengapa Migara
mengizinkan pengikut Sang Buddha menjadi anggota keluarganya dan
mendesak agar Visakha diusir. Migara mengatakan ia tidak dapat
melakukannya, karena Visakha adalah putri keluarga terhormat dan dia
diberi pengecualian. Walaupun demikian, Migara tidak senang dengan
perkataan Visakha.
Ketika pertapa-pertapa telanjang itu semua sudah pulang, Migara
duduk sendirian menikmati bubur nasi bermadu dengan mangkuk
emas sambil dikipasi Visakha. Pada saat itu kebetulan seorang bhikkhu
lewat dan meminta sedekah makanan, Visakha pun bergeser ke
samping supaya mertuanya melihat bhikkhu tersebut dan memberinya
makanan. Tetapi walaupun Migara melihat bhikkhu tersebut, dia tidak
memberi komentar dan melanjutkan makanannya dengan kepala
dibalik mangkuk emasnya. Ketika bhikkhu itu masuk dan menunggu,
Visakha berkata kepada bhikkhu itu, "Pergilah, Yang Mulia, ayah mertua
saya sedang makan makanan basi."
Walaupun semula Migara tidak menghiraukan desakan para
pertapa terlanjang, tetapi ketika mendengar Visakha mengatakan ia
memakan makanan basi, dia marah karena tidak sadar dan tidak
mengerti kata-kata Visakha. Dia berdiri dengan sangat marah dan
memanggil pelayannya sambil berkata, "Usir wanita ini dari rumah
saya."
Visakha menjawab dengan sopan, "Ayah yang terhormat, Ayah
salah paham atas kata-kata saya. Lagipula Ayah tidak boleh mengusir
seorang menantu dengan cara demikian." Visakha bersikeras meminta
Migara memanggil delapan orang anggota keluarga terpilih sebagai
pemihaknya. Setelah mereka hadir Visakha pun menjelaskan kepada
mereka arti kata-katanya sebagai suatu peribahasa yang berarti
seseorang tidak perlu mengharapkan pahala yang seketika dari
berdana. Ketika Visakha sudah memberikan penjelasan kepada ayah
120
Sang Buddha dan Umat Biasa
mertuanya, dia berkata sekarang dia sudah pantas untuk meninggalkan
rumah itu, dan dia akan kembali ke rumah ayahnya.
Namun ketika Migara melihat Visakha benar-benar hendak pergi,
dia menyesali kata-katanya dan memintanya untuk tetap tinggal.
Visakha menjawab dia tetap akan tinggal hanya bila ia diizinkan untuk
melayani Sang Buddha dan pengikutnya, serta mendengarkan
dhamma. Migara pun menyetujuinya.
Pertama kali dia mengundang Sang Buddha, para pertapa
telanjang melarang Migara menemui beliau. Akhirnya mereka setuju
jika ia hanya mendengarkan dari balik kain jendela. Sebenarnya jika
Migara itu tidak punya kesadaran, maka para pertapa itu lebih parah,
karena tidak mengetahui bahwa Aura Sang Buddha bahkan dapat
menembus dinding dan mencapai jarak yang jauh sekali, sehingga
setiap orang akan merasakan bahwa beliau berbicara khusus padanya.
Di balik kain jendela Migara mempertimbangkan ajaran Sang
Buddha dan merasakan Sang Buddha hanya khusus bicara dengannya.
Dia segera keluar dari balik jendela dan membungkuk pada
menantunya sambil berkata, "Mulai saat ini kamu adalah ibu saya," dan
sejak itu Visakha dipanggil "Ibu Migara". Kemudian dia bersujud pada
kaki Sang Buddha dan menciumnya, berkata bahwa Visakha datang ke
rumahnya membawa keselamatan dan kedamaian.
Banyak yang dapat aku ceritakan mengenai Visakha, mengenai
perhatiannya terhadap kesejahteraan Sangha, kritikannya terhadap
kesalahan yang ia temukan dalam Sangha dan juga kebijaksanaannya.
Izinkan aku melanjutkan tentang umat lainnya, dimulai dari anakanak yang tidak akan segan-segan menghampiri Sang Buddha,
sedangkan orang-orang yang lebih tua sering ragu-ragu karena gelar
Sang Buddha sebagai guru dunia yang paling dihormati.
Suatu hari ketika Sang Buddha menguraikan khotbah dhamma
kepada kami, sementara di luar vihara ada beberapa orang anak
bermain-main. Kami dapat mendengar gelak tawa mereka, ucapan
mereka dan derap kaki berlarian ke sana-sini. Pada waktu itu cuaca
sangat panas dan berdebu, seorang anak berkata bahwa ia haus, yang
lain berkata, "Tetapi di sini tidak ada sumur."
"Di dalam vihara pasti ada," kata si anak yang haus.
"Tetapi vihara ini milik si kafir, Gautama, dan kamu tahu orang tua
kita melarang kita bermain-main dengan anak-anak orang kafir." Dan
anak yang haus menjawab, "Tetapi Gautama bukan anak orang kafir,
dia tidak akan melukai saya; saya hanya masuk dan mengambil
minuman kemudian keluar lagi." Anak ketiga mengatakan dia juga
ingin masuk mengambil minuman. Kemudian kami melihat dua anak
121
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
dengan wajah kotor masuk dan menuju taman. Ketika mereka melihat
begitu banyak orang yang berjubah kuning, mereka segera mundur,
tetapi hanya sebentar saja. Salah satu dari mereka bertemu pandang
dengan Sang Buddha. Mereka tidak takut lagi. Mereka menuju Sang
Buddha tanpa menghiraukan kami.
"Yang Mulia, bolehkah kami mengambil minuman?" salah satu
anak berkata. "Ikuti saya," Sang Buddha berkata sambil bangkit dan
menunjukan jalan ke sumur yang dikelilingi papan bulat yang rendah,
di mana air diangkat dengan bantuan ember dan tali yang diikat di
sebatang kayu yang berfungsi sebagai pengungkit. Sang Buddha
mengungkit kayu itu dan anak-anak itu menurunkan ember. Mereka
membutuhkan waktu yang lama untuk menghilangkan dahaga dan
kelihatannya segan untuk pergi lagi. Lalu salah satu dari mereka
berkata,
"Saya pikir teman main kami yang lain juga mau minum juga."
"Bawa saja mereka masuk," jawab Sang Buddha.
Anak-anak itu keluar dan kembali lagi dengan membawa temantemannya. Sewaktu mereka minum, Sang Buddha bercerita mengenai
beberapa orang anak yang kehausan di gurun pasir dan bagaimana
mereka menemukan air. Tanpa ada yang menyadari apa yang terjadi,
anak-anak itu semua duduk mengelilingi Sang Buddha sambil
mendengarkan cerita. Salah satu cerita yang aku ingat dengan baik
yaitu mengenai dewa pohon. Kita semua tahu mengenai penghuni
pohon, dan sebagian telah melihat dewa-dewa itu. Tetapi anak-anak
lebih mengetahui cerita-cerita ini daripada orang dewasa. Sang Buddha
menceritakan bagaimana kemarahan dewa pohon karena beberapa
orang bhikkhu bermeditasi di hutan mereka dan pada malam hari
mereka menakut-nakuti para bhikkhu dengan penjelmaan berbagai
bentuk yang mengerikan, tubuh tanpa kepala dan kepala tanpa tubuh
serta suara-suara melengking. Sang Buddha menceritakan dengan seru
sehingga anak-anak itu merinding ketakutan seperti benar-benar
melihat langsung hantu-hantu itu dan kemudian menarik nafas lega
ketika beliau menceritakan bagaimana bhikkhu-bhikkhu itu pergi dan
kembali lagi dengan membawa senjata yaitu keinginan baik dan cinta
kasih, dan akhirnya dewa-dewa itu senang mereka tinggal di hutan,
sejak itu mereka tinggal bersama dengan damai dan bahagia. Banyak
lagi cerita lainnya dan saya rasa anak-anak itu akan menginap
semalaman di sana jika Sang Buddha tidak berkata:
"Anak-anak, sekarang waktunya bagi kalian untuk pulang dan
makan malam, kalian boleh datang lagi kapan saja kalian mau. Tetapi
sebelumnya beritahukan kepada orang tuamu kemana kalian pergi."
122
Sang Buddha dan Umat Biasa
Anak-anak itu pulang dan keesokan harinya ketika kami meminta
sedekah makanan, kami mendengar bahwa kelakuan anak-anak itu
berubah menjadi baik, sehingga orang tua mereka pun heran akan
perubahan mereka. Ketika mendengar ke mana anak-anak mereka
pada sore itu, orang tua mereka benar-benar terkejut, kemudian
mereka mencari tahu lebih jauh dan akhirnya mereka mempercayakan
anak-anak mereka untuk dibimbing Sang Gautama.
Anak-anak itu masih kecil. Yang lebih dewasa adalah puteri-puteri
Uggaha. Beberapa tahun kemudian aku bertemu dengan yang sulung
dan dialah yang menceritakan tentang kunjungan Sang Buddha. Di
wajahnya tercermin ketenangan dan cinta kasih walaupun rupanya
sederhana. Aku meninggalkannya dengan perasaan bagaikan telah
melihat wanita yang sangat cantik. Ketika dia menceritakan kunjungan
Sang Buddha ke rumah ayahnya, matanya berbinar-binar gembira.
Inilah ceritera yang disampaikannya kepadaku.
***************************
"Ketika saya hampir mencapai usia tujuh belas dan akan
dinikahkan, ayah saya meminta Sang Buddha untuk memberikan
nasehat kepada kami mengenai kehidupan baru yang akan kami jalani
karena ayah tidak mungkin selamanya mengawasi kami. Mendengar
kata-kata ayah kami segera menuju taman di mana Sang Buddha
sedang berjalan-jalan. Bunga-bunga berwarna jingga bermekaran,
dinding baru dicat putih, buah-buahan bergantungan pada pohonpohon dan di sudut, seorang pelayan dan anaknya sedang memetik
buah. Saya sedih karena akan segera meninggalkan rumah yang damai
ini, tetapi ketika saya melihat Sang Buddha, kesedihan saya pun lenyap.
Beliau menanyakan bagaimana pendapat kami tentang pernikahan.
Adik saya yang bungsu, yang hanya berumur tiga belas tahun dan suka
bertualang, berkata bahwa sangatlah menarik untuk masuk ke sebuah
rumah asing dan karena dia suka kerja maka ia mengharapkan banyak
pekerjaan. Sang Buddha berkata, 'Jika kamu bangun cepat dan tidur
lambat, pandai serta cekatan dalam pekerjaan rumah, kamu tentunya
akan menemukan kehidupan baru yang bahagia'."
"Tetapi saya yang pernah mendengar mengenai suami yang
memukul istri dan yang akan menikah dengan orang yang tak pernah
saya lihat tentu saja merasa ketakutan. Ketika saya menceritakan
kepada Sang Buddha, beliau berkata:
'Jika kamu mengatur segala sesuatu yang ada di dalam rumah
dengan suara yang lemah lembut dan halus serta menghormati apa
123
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
yang dihormati suamimu, maka kamu tak perlu takut. Kata-kata kasar
dan jahat akan padam oleh kelembutan.' Karena saya tidak pernah
berkata kasar di rumah sendiri, maka saya yakin tidak akan menemui
kesulitan melakukan seperti apa yang dikatakan Sang Buddha."
"Kemudian Sang Buddha beralih kepada adik saya yang nomor
dua, yang tidak berbicara sedikit pun; menanyakan apa yang sedang
dipikirkan. Adik saya berkata: 'Kalau kakak saya menikah nanti saya
harus mulai melatih diri bagaimana mengatur rumah. Agar saya lebih
mengerti arti sebuah pernikahan. Saat ini saya sulit memikirkannya.
Apakah ada sesuatu dalam mengatur sebuah keluarga yang harus saya
perhatikan?'
'Ya,' jawab Sang Buddha. 'Kamu harus mengerti kerja kamu
sendiri dan kerja orang-orang dalam rumah, memperbaiki yang salah,
membagi makanan dengan adil, menjaga barang-barang dalam rumah,
menjaga jagung sebaik menjaga emas dan perak.' Kemudian Sang
Buddha mengatakan kebahagiaan akan timbul bila kita tidak hanya
memikirkan kemauan dan kepentingan diri sendiri. Dan kata-kata
beliau tetap bertahta di hati saya sampai selama-lamanya. Kehidupan
akan membawa penderitaan dan kematian dalam rumahku, tetapi saya
menemukan sebuah kebahagiaan yang belum pernah saya temui
sebelumnya."
****************************
Aku dapat membayangkan raut wajah putri Uggaha saat
menceritakan kembali apa yang dikatakannya. Dia memiliki
kebahagiaan seorang wanita setengah baya, karena ia tidak
menginginkan apapun untuk dirinya sendiri maka ia merasa telah
menemukan segala yang diinginkan dalam hidupnya. Aku tidak begitu
mengenal suaminya, tetapi aku tahu sebelum menjadi siswa Sang
Buddha suaminya adalah pedagang senjata. Tetapi kemudian ia
menghentikan usaha tersebut walaupun berarti kehilangan keuntungan
yang besar. Anaknya, Nakula menceritakan kepadaku bahwa
ketenangan ibunya menjadi kekuatan seluruh keluarga saat ayahnya
sakit parah. Ayahnya menanyakan dengan sedih:
"Apa yang akan terjadi pada dirimu dan anak-anak bila saya telah
tiada? Tidak akan ada lagi yang menjaga mereka."
Isterinya tersenyum manis dengan tenang menjawab: "Jangan
takut, suamiku. Saya dapat menghidupi anak-anak kita dan menjaga
keutuhan keluarga. Ketika Sang Buddha memberikan nasehat kepada
saya dan adik-adik sebelum kami menikah, beliau menyarankan kami
agar dapat lebih terampil dalam pekerjaan tangan. Dan seperti yang
124
Sang Buddha dan Umat Biasa
kamu ketahui saya mahir dalam menenun dan memintal wol, saya
dapat menghidupi anak-anak kita dengan ketrampilan saya ini. Jangan
khawatir, sayang, jangan pergi dengan gelisah. Berlindunglah pada
Dhamma."
Mendengar kata-katanya, suaminya menjadi tenang. Nakula yang
masih berumur lima belas tahun berada di samping ibunya dan berjanji
di dalam hati akan membantu ibunya jika ayahnya meninggal. Ayahnya
pun menyadari kehadirannya dan membuka mata sekali lagi dan
kekhawatiran kembali melandanya. Isterinya dapat membaca
pikirannya dan berkata:
"Suamiku, jangan takut; saya tidak akan menikah lagi dan tidak
akan mencarikan ayah tiri untuk anak-anakmu. Enam belas tahun kita
hidup bersama, dan tidak pernah akan ada suami kedua yang
menggantikan tempatmu."
Tetapi kekhawatiran masih belum meninggalkan wajahnya.
"Tenanglah, sayang. Saya tidak akan melanggar ajaran Sang
Buddha. Lagipula, setelah kepergianmu saya akan lebih mendalami
Dhamma. Jangan pergi dengan kegundahan, suamiku; dalam
kehidupan Dhamma, semua akan hidup bahagia."
Kali ini, suaminya berkata, "Kamu adalah isteri dan ibu yang baik.
Saya tahu, kalau Sang Gautama menerima siswa wanita berjubah putih,
kamu pasti akan menjadi salah satu dari mereka, salah seorang yang
tetap memelihara kebajikan, mempunyai keyakinan yang teguh dan
hidup sesuai dengan ajaran Sang Buddha."
"Ya, suamiku, dan saya akan memperoleh ketenangan batin
dengan Dhamma."
"Ya, saya tahu isteriku," dan dia kembali tenang. Isterinya yakin dia
tidak akan meninggal dalam kekhawatiran. Ketenangannya
memberikan hal yang sama pada Nakula. Nakula segera keluar dan
bergabung dengan adik-adiknya bekerja di ladang. Ketika dia kembali,
ibunya sedang menyuapi ayahnya yang dalam posisi setengah duduk.
Kelihatannya ketenangan dan keyakinan ibunya memberi semangat
hidup pada ayahnya.
Akhirnya kesehatan ayah Nakula berangsur pulih kembali. Setelah
merasa cukup kuat ia pergi menemui Sang Buddha, memberi
penghormatan pada beliau dengan berjalan mengelilingi-Nya seperti
orang desa yang lain.
Sang Buddha sedang duduk di bawah pohon Bodhi yang diatapi
dengan sepotong papan untuk menghindari terik matahari. Beberapa
wanita desa duduk mengelilingi-Nya. Ketika ayah Nakula datang,
125
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
mereka memberinya tempat. Dia pun menceritakan mengenai
isterinya.
Sang Buddha berkata, "Anda sangat beruntung memiliki seorang
isteri yang begitu penuh pengertian dan dapat berfungsi sebagai
penasehat dan guru. Sebenarnya jika ada siswa wanita yang menjalani
Dhamma, maka dia akan termasuk di antaranya dan kamu akan
memperoleh kebijaksanaan darinya."
Orang tua Nakula tetap hidup bahagia bersama selama beberapa
tahun. Mereka hidup dengan damai dan berbuat banyak kebajikan.
Uggaha dan orang tua Nakula adalah siswa yang beriman yang
berusaha melepaskan diri dari hal-hal keduniawian. Tetapi masih ada
juga yang tidak dapat melepaskan diri dari kesenangan duniawi, Sang
Buddha mempunyai nasehat untuk mereka juga. Beliau tidak meminta
mereka untuk meninggalkan hal-hal duniawi, tetapi menjelaskan
bahwa kemelekatan itu hanya membawa kesedihan dan penderitaan.
Aku bersama Sang Buddha saat beliau mengunjungi desa Brahma yang
disebut Pagar Bambu di Kosala. Sungguh, tidak pernah kutemui orangorang yang demikian berpikiran duniawi seperti mereka.
Mereka mempunyai banyak isteri dan anak, menyukai kayu
cendana Benares dan minyak wangi, emas, perak dan segala barang
yang dibeli dengan emas dan perak. Ketika mereka mendengar Sang
Tathagata menuju kampung mereka, mereka datang menyambut,
setelah menyebut nama dan keluarga mereka, mereka meminta
diajarkan sesuatu yang dapat menjadi penolong dan pedoman bagi
mereka.
Dan Sang Buddha mengajarkan, "Dhamma berlaku untuk semua
orang, dan untuk umat berkeluarga ada suatu peraturan dalam
memperlakukan orang lain seperti yang engkau harapkan orang
memperlakukan engkau. Engkau akan berkata pada diri sendiri, 'Inilah
aku, menikmati hidup dan tidak ingin mati, menikmati kesenangan dan
bebas dari rasa sakit. Jika seseorang berusaha mengambil hidupku atau
menyakitiku, itu bukanlah hal yang menyenangkan bagiku, demikian
juga bila aku mengambil kehidupan dan menyakiti orang lain akan
tidak menyenangkan orang itu juga', sehingga kemudian engkau akan
berkata pada dirimu sendiri, 'Lalu bagaimana caranya agar aku tidak
membuat orang lain menderita?' Sebagai hasil dari refleksi diri seperti
itu adalah engkau akan menghindari pembunuhan, atau menyakiti
makhluk hidup. Dan engkau juga tidak akan mencuri, berbohong,
memfitnah, berzinah, mengeluarkan kata-kata kasar kepada orang lain,
sebab engkau tidak boleh menyakiti orang lain jika engkau tidak mau
disakiti."
126
Sang Buddha dan Umat Biasa
Masih banyak lagi umat awam lainnya, tetapi izinkan aku
menceritakan tentang Citta, yang paling banyak disebut oleh Sang
Buddha saat menyebarkan Dhamma. Dia adalah mandor bangunan,
tetapi dia lebih suka mengikuti pembabaran Dhamma dan membantu
anggota Sangha. Dia sangat gembira ketika suatu waktu seorang
bhikkhu bertapa di dekat rumahnya. Bhikkhu tersebut adalah
Sudhamma, Citta sangat menghormatinya sehingga bila ia ingin
mengundang bhikkhu lain untuk makan, maka ia selalu berunding
dengan bhikkhu Sudhamma terlebih dahulu untuk meminta
pendapatnya. Pada saat itu sekelompok besar bhikkhu termasuk
Sariputta, Moggallana dan aku—yang pada saat itu dianggap sebagai
yang tertua—berkesempatan mengunjungi kampung Citta; Citta segera
mengundang kami makan di rumahnya. Citta kemudian pergi
menemui Sudhamma dan mengundangnya juga. Tetapi Sudhamma
menolak karena Citta tidak meminta izin kepadanya terlebih dahulu
sebelum mengundang para bhikkhu, dan dia menjawab dengan kasar:
"Tidak, saya tidak mau menghadirinya!"
Citta mengulang undangannya dua-tiga kali, tetapi Sudhamma
tetap menolak, sehingga Citta pun menyerah, ketenangannya tidak
tergoyahkan oleh kekasaran Sudhamma.
Tetapi Sudhamma datang juga akhirnya untuk melihat jenis
makanan yang disediakan untuk kami. Citta gembira melihat dia dan
duduk di dekatnya dan mengharapkan Sudhamma melupakan
kesalahannya. Tetapi Sudhamma berkata kepada Citta, "Sebenarnya
makanan yang disediakan ini sudah cukup banyak, tetapi kamu
melupakan suatu hal yaitu Kue Kecambah."
Citta melihat kepadanya dengan sedih dan menjawab dengan
sopan, "Kata-kata yang keluar dari bibir Sang Bhagava adalah sangat
berharga dan Yang Arya bhikkhu Sudhamma adalah murid beliau,
tetapi hanya satu kata yang dapat dikatakan bhikkhu Sudhamma yaitu
Kue Kecambah. Ada suatu cerita mengenai beberapa orang pedagang
yang pergi ke distrik timur untuk berdagang dan mereka kembali ke
kampung halamannya dengan membawa seekor ayam betina yang
kawin dengan burung gagak dan menetaskan anak ayam, ketika anak
ayam ini ingin berkokok, ia hanya bisa mengatakan "Kukuruyuu..." dan
ketika ia ingin menangis, ia berkokok pula. Ia hanya bisa mengatakan
yang tidak tepat, seperti halnya kata 'Kue Kecambah' di antara semua
kata-kata bijaksana yang pernah diucapkan seorang yang mengajarkan
Dhamma."
127
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
"Kamu telah menghina saya," Sudhamma menjawab dengan
marah. "Ini rumahmu dan kamu boleh melakukan apa yang kamu
inginkan, tetapi saya akan pergi dari sini."
Aku kagum dengan ketenangan Citta dan kesabarannya ketika dia
menjawab dengan sopan, "Yang Arya Sudhamma, saya tidak
mempermalukan dan menghina Anda. Saya akan mempersembahkan
Hutan Mangga dan Anda boleh bertapa di sana. Saya akan memenuhi
segala keperluan Anda dan menjaga bila Anda sakit."
"Tidak," Sudhamma bangkit dan menjawab, "Kamu telah
mempermalukan saya. Saya pergi."
"Dan Anda akan ke mana, Yang Arya?"
"Saya akan ke Savatthi, menemui Sang Buddha."
"Bagus sekali, Yang Mulia, ceritakanlah kepada beliau apa yang
saya katakan kepada Anda dan apa yang Anda katakan kepada saya
dan saya tidak akan terkejut bila Anda kembali lagi."
Kemudian Sudhamma segera membungkus bawaannya,
membawa jubah dan mangkuknya kemudian berangkat menuju
Savatthi. Selanjutnya aku mendengar berita bahwa ia menceritakan
seluruhnya kepada Sang Buddha, tanpa menyembunyikan sesuatu pun
dan mengeluh bahwa tidak sepantasnya orang awam mencari
kesalahan anggota Sangha. Sang Buddha tidak setuju dengannya dan
menyuruhnya kembali ke tempat Citta dan meminta maaf karena telah
bertindak tidak pantas sebagi seorang pertapa. Tetapi Sudhamma tidak
menuruti kata Sang Buddha, dengan segan dia mengambil mangkuk
dan jubahnya untuk kembali ke rumah Citta. Ketika hampir sampai ke
rumah Citta, kemarahan timbul kembali dan ia merasa malu karena
sebagai seorang bhikkhu ia harus meminta maaf kepada seorang umat
awam. Dia kembali ke Savatthi tanpa sempat berbicara dengan Citta.
Pada waktu itu rombongan para bhikkhu juga sudah kembali ke
Savatthi, Sang Buddha memilihku untuk memberikan dukungan moral
dan menemani Sudhamma menemui Citta. Begitu melihat Sudhamma,
Citta sangat gembira dan mengundangnya untuk tinggal di tempatnya
dan aku juga diundang.
Selanjutnya, Sudhamma menjadi sangat mengagumi Citta dan
kebijaksanaannya, dan dia yang menceritakan bagaimana Sudhamma
menghapus keraguan-keraguan beberapa orang bhikkhu yang
berdiskusi tentang sumber penderitaan, ada yang berpendapat bahwa
indera dan organ indera sebagai penyebabnya, ada yang mengatakan
keenam indera yang membelenggu manusia sehingga manusia
menderita, sedangkan yang lain mengatakan penyebab penderitaan
adalah obyek yang ditangkap oleh keenam indera.
128
Sang Buddha dan Umat Biasa
Lalu Citta membuka suara, "Bukan kedua-duanya, Yang Arya
para bhikkhu. Jika seekor lembu jantan hitam dan lembu jantan putih
diikat dengan sebuah rantai, kita tidak bisa mengatakan lembu jantan
putih dibelenggu lembu jantan hitam, ataupun sebaliknya; rantai yang
mengikat mereka itulah yang menjadi belenggu. Sama halnya dengan
kita, bukan mata atau telinga yang mengikat kita dalam roda samsara,
juga bukan obyek yang ditangkap oleh mata atau telinga, tetapi
keinginan satu sama lain yang merupakan belenggu. Jika mata dan
telinga tidak terikat oleh apa yang dilihat dan didengar, maka tidak akan
ada penderitaan."
Penjelasan Citta diterima oleh semua bhikkhu dan selanjutnya
mereka sering mengulang perumpamaan Citta tentang lembu jantan
hitam dan putih.
129
Perubahan Sang Perampok
Suatu kesempatan yang tidak dapat dilupakan adalah ketika aku
bertemu dengan Sang Buddha pada masa pertengahan kebhikkhuanNya dalam perjalanan menuju Savatthi. Ketika mendekati kota, kami
bertemu dengan para serdadu yang berjaga-jaga di tempat-tempat
penting; di sepanjang benteng-benteng juga pada beberapa tempat di
luar kota. Perisai-perisai serdadu itu memantulkan sinar berkilat
bagaikan pancaran sinar mentari dan masing-masing dilengkapi
pedang di sisi badan, busur, dan anak panah di tangan. Ketika kami tiba
di Hutan Jeta, Sang Buddha bertanya mengapa Raja Pasenadi
mengerahkan pengawalan demikian ketat. "Apakah dia sedang
menanti serangan dari Raja Bimbisara atau bangsawan Licchavi?"
"Tidak, Guru," jawab salah satu bhikkhu, "Semua raja dan
bangsawan tetangga berhubungan baik dengan Raja Pasenadi. Tetapi
ada seorang perampok yang membuat kerusuhan, namanya
Angulimala."
"Angulimala?" tanya Sang Buddha. "Siapakah perampok ini,
bukankah Angulimala berarti kalung dari jari tangan?"
"Perampok ini sangat ganas dan mengerikan serta sama sekali
tidak punya perasaan belas kasihan. Tangannya penuh dengan darah.
Desa-desa dan kota-kota sunyi sepi karena dia membunuh para
penduduk dan mengambil jari-jari mereka, setelah itu jari-jari tersebut
dikalungkan di lehernya. Karena sekarang ia sedang berada dekat
perbatasan, tidak ada yang berani berkeliaran di sana walaupun
dikawal sebatalyon tentara bersenjata."
"Apakah perampok ini mempunyai segerombolan perampok lain
bersamanya sehingga begitu menakutkan orang-orang?"
"Tidak, Guru, dia sendirian."
"Sendirian! Sekarang dia ada di mana?"
Salah satu bhikkhu menunjuk di seberang kota, sambil berkata,
"Dia mungkin ada di sebelah sana, karena dari sanalah dia mulai
menyerang desa-desa dan membunuh penduduknya."
"Saya akan ke sana dan berbicara dengannya." Sang Buddha
berkata dengan tenang.
"Jangan Guru, jangan pergi." Bhikkhu itu berkata dengan
kekhawatiran yang teramat sangat. "Tidak ada yang pulang dengan
selamat, setelah bertemu dengan Angulimala, walaupun mereka
sebatalyon tentara bersenjata."
"Guru!" yang lain berteriak dengan ketakutan, "Jangan pergi ke
sana, tinggallah di sini dan ajarkan Dhamma kepada kami."
130
Perubahan Sang Perampok
Sang Buddha tersenyum bijaksana. "Tetapi mungkin Angulimala
juga memerlukan Dhamma."
Salah seorang bhikkhu yang sejak awal hanya diam berkata, "Dia
mungkin memerlukannya tetapi lebih mungkin lagi dia akan
menolaknya." Lalu dia merubah nada suaranya dan menjadi lebih
serius, "Lihatlah, Guru, di sini tempat dudukmu telah tersedia, dan
penduduk setiap saat menanti untuk mendengarkan Dhamma dari
Guru. Walaupun Guru tidak mementingkan keselamatan sendiri, tapi
begitu banyak yang memerlukan Guru di sini, Guru tak perlu pergi
untuk membabarkan Dhamma bagi seorang perampok, bagus
seandainya ia dapat berubah, tapi kami kira ia tidak akan dapat
berubah."
"Sahabat," jawab Sang Buddha dengan nada yang sama pula.
"Angulimala sangat membutuhkan Dhamma dan untuk itulah saya
harus ke sana."
Bhikkhu yang lain masih berusaha mencegah, "Kalau demikian,
Guru, bawalah tentara bersenjata yang telah disediakan Raja Pasenadi
untuk melindungi Guru."
Sang Buddha tersenyum, "Angulimala hanya membutuhkan
Dhamma, ia tidak memerlukan tentara bersenjata."
Bhikkhu yang terakhir berbicara dengan pasrah, "Oh! Guru,
tidakkah Guru mengerti bahwa tidak pernah ada yang kembali hiduphidup setelah bertemu Angulimala?"
Sang Buddha menjawab dengan serius: "Para Bhikkhu, apakah
ada di antara mereka yang bertemu Angulimala dengan membawa
cinta kasih bersamanya dan menanggalkan ketakutannya?"
"Saya rasa tidak ada," bhikkhu itu mengakui.
"Jadi kamu belum mengetahui hasil pertemuan Angulimala
dengan orang yang akan membawa cinta kasih bersamanya, bukan?
Sekarang, hilangkan rasa takutmu dan pancarkan cinta kasih kepada
Angulimala dan beritahukan kepada semua bhikkhu-bhikkhuni dan
umat awam lainnya ke mana saya pergi, dan dalam waktu singkat saya
akan kembali dengan membawa Angulimala. Katakan kepada mereka
untuk memperlakukannya dengan baik nanti."
Bhikkhu itu menjawab, "Kami akan melakukannya Sang Buddha,
tetapi kami sangat khawatir. Guru mempunyai kebijaksanaan dari
segala Buddha tetapi Guru tidak mengenal perampok itu."
Aku menyaksikan semua ini dengan tenang. Bhikkhu-bhikkhu ini
semua masih muda dan belum mengetahui kekuatan Sang Buddha
dan juga cinta kasihnya yang mungkin saja sekarang pun telah
terpancar kepada Angulimala.
131
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
Apa yang terjadi pada Sang Buddha saat beliau berjalan
mendekati sarang perampok itu, aku dengar kemudian dari Angulimala
sendiri. Dia telah merencanakan akan mengacau di Savatthi dan
mengambil jari Raja Pasenadi. Dia sudah membayangkan para
pengawal akan ketakutan dan jatuh di ujung pedangnya bagaikan
domba di ujung golok penjual daging.
"Petualangan!" dia berteriak dengan kegembiraan yang meluapluap. "Petualangan! raja-raja menaklukan dunia! Saya menaklukan rajaraja! Besok saya menyerang Savatthi!"
Kemudian dia bertemu pandang dengan Sang Buddha yang
kebetulan lewat. Ini adalah pemandangan yang aneh,— seorang
bhikkhu berjubah kuning berjalan tepat melewati tempat
persembunyiannya. Dia menghunus pedangnya dan berteriak:
"Berhenti, bhikkhu!"
Sang Buddha memandangnya dan menjawab dengan tenang
"Saya telah berhenti. Andalah yang belum berhenti." Dan beliau
kembali melanjutkan perjalanannya.
"Aku bilang berhenti!" Angulimala berteriak lagi dan berlari
mengejar dengan pedang terhunus.
Sang Buddha menatap matanya dan pedangnya pun terlempar ke
tanah. Dia tidak ingat apa yang terjadi lagi, kecuali berdiri tegak dan
memandang sang bhikkhu aneh dengan senyumnya yang luar biasa
ramah dengan sorot mata yang tenang dan membawa kedamaian.
Ingatannya kembali ke masa kanak-kanaknya dan teringat akan
seorang wanita suci yang biasanya meminta makanan di rumah
ayahnya. Untuk selanjutnya, dia tidak pernah melihat apapun yang
demikian tenang seperti wajah bhikkhu ini. Dia selalu diliputi
kebencian, kemarahan, dan segala bentuk kekerasan. Kedamaian dan
ketenangan adalah sesuatu yang baru baginya. Ketegangan urat dan
otot-ototnya mereda. Tanpa berpikir panjang lagi, ia pun duduk. Sang
Buddha juga duduk. Untuk beberapa waktu Angulimala masih tetap
memandang orang asing yang tenang itu. Dia sangat terpesona,
akhirnya dia berkata dengan lemah, "Apa yang menyebabkan Anda ke
sini?"
"Anda memerlukan saya, Sahabat!"
Angulimala bingung, "Aku memerlukan Anda?"
"Ya."
Angulimala berusaha memecahkan suasana di sekelilingnya,
sambil tertawa ia melanjutkan, "Hanya memerlukan jari-jari Anda,
mungkin, karena Anda tidak punya barang berharga."
132
Perubahan Sang Perampok
Sang Buddha mengeluarkan tangannya dan berkata, "Anda boleh
mengambil jari-jari saya sesuka hati, tetapi ada sesuatu yang lebih Anda
butuhkan dari pada itu."
"Bagaimana mungkin?"
Sang Buddha berbicara dengan serius, "Anda ingin mencari
petualangan yang lebih berarti, suatu penaklukan yang melebihi apa
yang pernah Anda lakukan, maka saya datang untuk menunjukkan
jalannya."
Angulimala mulai tertarik kepada Sang Buddha. Dia berkata
dengan penuh nafsu, "Maksud Anda ilmu sihir? Dapatkah Anda
mengajariku ilmu itu? Petualangan apa yang lebih menarik daripada
menyerbu Savatthi dan apa yang lebih berarti daripada pemotongan jari
penguasa Savatthi?"
Sang Buddha menjawab dengan lemah lembut: "Tuan, itu
hanyalah permainan anak kecil bagi Anda, karena para tentara dan raja
mendengar nama Anda saja sudah gemetar."
"Aku tahu," jawab Angulimala dengan bangga.
"Saya datang untuk menunjukan jalan menaklukan orang yang
pantas, pantas dan layak karena ia tidak mengenal rasa takut."
Untuk sementara Angulimala mempertimbangkan, dan kemudian
berkata, "Andalah yang tidak mengenal rasa takut. Anda berbicara
bagaikan orang yang mengenal petualangan dan penaklukan. Padahal
Anda hanya seorang bhikkhu, tetapi ilmu sihir!" Dia berhenti sebentar,
"Ya, ilmu sihir akan memberiku kekuatan yang lebih dari yang pernah
ada padaku. Berarti semua yang kulakukan sebelumnya hanya
permainan anak kecil. Apakah itu ilmu sihir, oh, bhikkhu?"
"Itu adalah ilmu sihir dan juga bukan ilmu sihir." Jawab Sang
Buddha.
"Aku menguasai segala cara perampokan dan penganiayaan,"
Angulimala berbicara dengan penuh arti. "Anda memberi ide baru
tentang penaklukan. Aku akan mempelajari ilmu sihir. Aku tidak tahu
mengapa, tetapi aku rasa aku dapat mempercayai Anda."
"Hati-hati Sahabat, bagaimana Anda bisa mempercayai saya,"
jawab Sang Buddha dengan tegas. "Saya akan menunjukan jalan yang
sama sekali tidak Anda kenal."
Angulimala bangkit sambil menantang, "Aku tidak takut." Lalu dia
menambahkan pada dirinya sendiri, "Anda memanggilku 'Sahabat'.
Tidak ada lagi yang pernah memanggilku demikian sejak guruku
mengusirku karena murid-murid lain tidak menyukaiku. Aku akan
mempunyai seorang teman yang tidak takut kepadaku dan sekarang
133
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
oh, bhikkhu, petualangan apakah yang lebih hebat dari apa yang
pernah kulakukan itu?"
"Petualangan di dalam Delapan Jalan Utama yang akan
membawamu menaklukkan dirimu sendiri."
"Diriku sendiri?" Angulimala bertanya dengan kasar. "Tetapi
seluruh dunia takut kepadaku kecuali Anda. Mengapa aku harus
menaklukkan diri sendiri lagi?"
"Karena kamu adalah budak nafsumu, nafsu untuk memperoleh
kekuatan dan kekuasaan. Kamu tidak dapat lagi menghentikan
keinginan untuk menaklukan seperti menghentikan bulu-bulu putih
yang mulai tumbuh pada alismu."
"Tetapi semua orang tunduk kepadaku dan akan memenuhi
keinginanku," Angulimala memprotes.
"Dan kamu sendiri tunduk kepada nafsu yang menguasai
pikiranmu dan melakukan keinginannya, bagaikan nasi yang tidak
dapat melawan tiupan angin. Kamu menjadikan nafsu sebagai
majikanmu. Tetapi saya akan menunjukan jalan pembebasan padamu,
jalan untuk menjadi majikan bagi diri sendiri."
Angulimala memandang hamparan sawah di depannya dan
pohon "neem" yang berfungsi sebagai atap jerami gubuk-gubuk yang
tidak berpenghuni akibat ulahnya, dan nun jauh di sana, menara tinggi
pada benteng kota milik raja yang kini sedang ketakutan karena dia.
Dua ekor monyet merah berayun-ayun pada pohon di depannya dan
melihatnya dengan takut-takut, tetapi dia tidak melihatnya sampai
mereka berayun menjauh. Dia berbisik kepada dirinya sendiri,
"Petualangan! Kekuatan!"
"Ya," Sang Buddha menjawab dan menyadarkannya, "Tetapi
petualangan ini akan membawa penderitaan."
"Aku tidak takut rasa sakit dan penderitaan." Angulimala kembali
membantah.
"Tetapi ini akan menyulitkanmu."
"Aku selalu sabar dan senang kerja keras."
"Dan kamu akan merasa takut."
"Aku, yang tidak pernah merasa takut?"
"Ya,
kamu
yang
tidak
pernah
merasa
takut."
"Apa yang mesti saya takuti?" tanya Angulimala tanpa ragu-ragu.
"Perbuatan jahat yang telah kamu lakukan," Sang Buddha berkata
dengan lembut.
"Aku tidak mengerti. Tetapi aku tahu Anda dapat dipercaya, dan
Anda menantang aku untuk melakukan petualangan yang terbesar.
Guru, saya akan mengikutimu." Dia berhenti dan menambah, "Tetapi
134
Perubahan Sang Perampok
jelaskan kepadaku satu hal. Apa maksud Guru saat Guru mengatakan
bahwa Guru telah berhenti sedangkan saya belum?"
Sang Buddha terrsenyum, "Artinya saya telah berhenti menyakiti
makhluk hidup, tetapi kamu belum."
"Tetapi, Guru, apakah Guru menunjukkan caranya padaku?"
"Ya, apakah kamu telah siap menghadapi petualangan besar ini?"
"Ya, saya siap."
Sang Buddha bangkit dan Angulimala mengikuti-Nya melewati
desa menuju Savatthi. Pintu-pintu terbuka, burung-burung dan kera
menghabiskan makanan yang tersedia dan menyisakan mangkuk
kosong. Di sawah, lembu betina diperas susunya dan lembu jantan
dihela petani membajak sawah.
Sementara itu di Hutan Jeta, para bhikkhu menanti dengan cemas.
Aku menenangkan mereka dengan menjelaskan kekuatan cinta kasih
Sang Buddha. Tetapi mereka tidak menghiraukan kata-kataku. Ketika
Raja Pasenadi tiba untuk menunggu Sang Buddha, tanpa segan-segan
mereka semua menceritakan kesusahan hati mereka. Aku
menjelaskan kepada raja bahwa Sang Buddha mengatakan Angulimala
membutuhkan-Nya, tetapi raja tidak percaya dan malah lebih cemas
daripada para bhikkhu.
Kemudian aku bertanya, "Jika Sang Buddha berhasil membawa
Angulimala dengan-Nya, apa yang akan Yang Mulia lakukan?"
Raja menjawab dengan emosi, "Saya akan langsung menghukum
mati dia."
Pada saat itu aku melihat dari kejauhan Sang Buddha kembali
dengan seorang laki-laki berjubah kuning, dan aku berkata,
"Bagaimana jika misalnya Sang Buddha kembali dan membawa
Angulimala yang telah berjubah kuning, yang rendah hati, yang tidak
menyakiti makhluk hidup, tidak membunuh, tidak mencuri dan
menjalani kehidupan Brahmana yang suci sebagai seorang anggota
Sangha?"
Raja menjawab dengan sedih bahwa jika demikian halnya ia tidak
punya pilihan lain selain melindunginya sebagai seorang anggota
Sangha. Kemudian Raja menambahkan, "Tetapi mana mungkin orang
yang demikian tak bermoral akan berubah menjadi suci?"
Aku menjawab, "Saya tidak tahu, tetapi lihatlah, Yang Mulia!" Dan
aku menunjuk ke arah Sang Buddha dan seorang berjubah kuning yang
berwajah tenang. Raja mengikuti arah yang kutunjuk, Raja mulai
gemetar dan seluruh bulu kuduknya berdiri. Beliau berbisik pelan,
"Tidak, tidak mungkin dia."
135
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
Seperti yang saya harapkan, Sang Buddha segera mengenalkan
orang yang berjubah kuning itu sebagai Angulimala.
Raja berusaha mengontrol dirinya sendiri, tetapi masih tetap
gemetar dan Raja meminta bukti bahwa orang tersebut adalah
Angulimala. Lalu Angulimala menyebut nama ayah dan ibunya
sehingga Raja pun percaya. Dengan segan dan rasa takut yang masih
tersisa, Raja memberikan perlindungan padanya dan hal lainnya seperti
yang diberikan kepada bhikkhu lainnya. Kemudian Raja menambahkan
dengan emosi, "Tetapi adalah suatu keberuntungan jika para penduduk
desa dan kota bersedia menghormatimu."
Angulimala menjawab dengan lembut dan rendah, "Saya tahu,
Baginda, saya tahu. Saya tidak takut akan lemparan batu dan lembing,
karena saya mesti menerima buah dari benih yang saya taburkan. Yang
saya takutkan justru jika karma burukku tak pernah tertuai habis." Dia
bertanya kepada Sang Buddha, "Dapatkah saya menebus kejahatan
saya dan menemukan kedamaian seperti apa yang Guru katakan?
Sejujurnya, sekarang saya dan kejahatan saya bagaikan segumpal
daging busuk yang tidak dapat dipisahkan."
Saya Buddha menjawab, "Begitulah si penabur benih akan menuai
hasil sesuai dengan benih yang ditaburkan. Kamu harus tetap maju dan
menerima buah karma buruk yang pernah kamu perbuat. Tetapi tidak
selamanya seseorang menuai dengan tepat apa yang ia taburkan,
karena berkah Nirvana adalah tak berhingga. Jika kamu mencari
kesucian dan memusatkan pikiran pada Nirvana, maka karma
burukmu akan lenyap bagaikan sejumlah garam yang dilempar ke
sungai Gangga, sejumlah garam yang dapat mengakibatkan secangkir
air tidak dapat diminum."
Angulimala membersihkan debu pada kaki Sang Buddha sambil
berkata, "Saya berlindung kepada Anda sebagai guru saya. Saya akan
menemui para penduduk dan menerima buah karma buruk saya."
Raja dan juga kami semua sangat terharu melihat kenyataan yang
kami saksikan. Raja berkata kepada Sang Buddha, "Guru sangat
menakjubkan, dapat menjinakkan orang yang keji dan jahat,
menenangkan yang gusar dan penuh kekerasan, Angulimala adalah
seorang yang tidak dapat saya taklukkan dengan pedang dan gada,
tetapi Guru dapat menaklukkan tanpa keduanya."
"Ah, Yang Mulia, ternyata cinta kasih lebih kuat daripada pedang
ataupun gada. Dapatkah Anda lihat bahwa cinta kasih adalah
segalanya?"
Raja menganggukkan kepala, "Saya akui, saya belum bisa
melihatnya, mungkin suatu saat saya akan menemukan rahasia yang
136
Perubahan Sang Perampok
Guru kuasai. Tetapi sekarang bukan waktunya, Sang Buddha, masih
banyak kewajiban dalam kerajaan yang harus saya laksanakan."
"Lakukanlah yang terbaik," Jawab Sang Buddha, dan Raja pun
pergi.
Aku bingung akan apa yang dikatakan Sang Buddha kepada
Angulimala, jadi aku bertanya, "Saya tidak mengerti tentang akibat yang
diterima seseorang dari perbuatannya, dan bagaimana pula benih jahat
dapat terhapus. Dapatkah Guru menjelaskannya?"
"Karma buruk tidak selalu dapat dihapus, dan juga tidak selalu
matang dan berubah. Proses karma tersebut tergantung kepada
bagaimana keadaan hidup si pembuat karma saat ini. Dia yang
mengikuti jalan kesucian, membayar karmanya saat ini juga, walaupun
hukumannya kelihatan mengerikan, namun karma buruknya telah
terhapus dan tak bersisa lagi karena dia telah menuju kedamaian
Nirvana. Berkah Universal adalah manis dan tak berhingga melebihi air
sungai Gangga.
Sore itu, ketika para bhikkhu kembali mengelilingi Sang Buddha,
Angulimala kembali dari desa. Kepalanya penuh darah dan salah satu
matanya tercungkil keluar. Para bhikkhu segera menghampirinya
ketika ia roboh karena keletihan.
"Raja benar," dia berkata, "Penduduk melemparkan batu dan
pisau padaku. Aku menerima buah karma burukku."
"Dan apakah kamu puas?" tanya Sang Buddha.
Angulimala menjawab dengan suara yang tenang dan lembut,
"Saya puas. Ya, seribu kali, ya. Walaupun semua penduduk memukulku
dan kepalaku seakan hendak dipecahkan, namun rasanya Lautan
Keabadian terbentang di hadapanku dan sesaat rasanya aku terbawa
arus kedamaian Nirvana."
"Semuanya baik untukmu, sahabat," Sang Buddha berkata dengan
lembut. "Hadapi penderitaan lain yang akan menimpamu lagi, dan
kamu akan menikmati kedamaian lebih dari yang telah kamu rasakan."
"Suatu petualangan yang paling menakjubkan," Angulimala
berseru menang, dan pada saat ia berbicara, aku baru mengerti bahwa
apa yang diterima seseorang tidaklah pasti sesuai dengan
perbuatannya. Bila ia telah menjalani kehidupan suci, kejahatan akan
lenyap seperti lenyapnya segumpal garam dalam sungai Gangga.
Setelah berjuang keras dalam waktu yang lama, Angulimala
berhasil mencapai penerangan dan menjadi seorang suci.
137
Devadatta
Sebelumnya, aku telah pernah menyinggung tentang Devadatta,
saudara sepupu Sang Buddha yang lebih muda lima atau enam tahun
dari beliau. Devadatta dianggap sebagai salah seorang tertua Sangha
dan dihormati karena kekuatan gaibnya serta kepandaiannya dalam
membabarkan Dhamma, sehingga akhirnya dia ditunjuk sebagai
pemimpin para bhikkhuni. Aku sangat sulit memahaminya, karena
sifatnya yang keras tanpa belas kasihan. Aku dengar pada masa
mudanya dia selalu memandang rendah sepupunya, Pangeran
Siddharta yang mempelajari olah raga menembak dan memainkan
pedang sebagai kewajiban seorang pangeran, bukan sebagai
kesenangan. Tetapi setelah Siddharta menjadi seorang Buddha dan
dikelilingi umat, Devadatta, seperti yang lainnya, juga datang
mendengarkan ajaran-Nya, dan menganggap ajaran Sang Buddha
sesuai padanya sehingga ketika Pangeran Bhaddiya bergabung dengan
anggota Sangha, Devadatta pun mengikutinya.
Dia mempunyai bakat yang baik dan mampu menerima semua
yang diajarkan. Dia selalu duduk di sebuah gua di kaki bukit dekat
Rajagaha untuk bermeditasi, dan segera memperoleh kesempurnaan
dari konsentrasi. Ia mampu mengembarakan pikirannya ke mana dia
suka. Tetapi meditasinya ada benar dan ada salahnya. Sang Buddha
selalu menganjurkan untuk melatih meditasi dengan pikiran cinta
kasih, pertama ditujukan kepada pikiran dan tubuh kita, sehingga kita
tidak akan menyakitinya dengan kekhawatiran, kekasaran atau pun
kemarahan, kemudian ditujukan kepada sekitar kita, memancarkan
cinta kasih seperti cinta seorang ibu kepada putra tunggalnya. Terakhir,
kita pancarkan ke seluruh alam, ke atas, ke bawah dan ke sekeliling,
kemudian kita mulai sesuaikan dengan subyek yang sesuai dengan sifat
kita. Devadatta tidak dapat bermeditasi dengan pikiran cinta kasih. Sang
Buddha selalu mengingatkan kami bahwa konsentrasi pikiran akan
menimbulkan kekuatan gaib, tetapi latihan itu bisa berbahaya, dan juga
tidak menghasilkan pembebasan dan ketenangan. Tetapi Devadatta
sangat gembira ketika ia memperoleh kekuatan gaib dan malah
memamerkan keahliannya yang dianggap kebanyakan orang sebagai
keajaiban, yang sebenarnya hanya aplikasi hukum alam yang memang
sedikit diketahui orang. Dia tidak menghiraukan peringatan Sang
Buddha dan malah semakin menyombongkannya.
Sewaktu Sang Buddha berusia tujuh puluh tahun dan menetap di
Hutan Ghosita dekat Kosambi, Devadatta yang sedang bermeditasi tibatiba berpikir, "Saya harus mencari pengikut yang takhluk dan hormat
138
Devadatta
kepadaku karena kekuatan yang kumiliki." Kemudian dia teringat
Ajatazattu, putera raja Bimbisara, ia segera mengambil mangkuk dan
jubahnya menuju Rajagaha. Kelihatannya awan gelap perpecahan
masih menggantung di langit Kosambi; daya-daya sesat yang
menyelimuti kesadaran para bhikkhu di sana beberapa tahun yang lalu.
Kini kesesatan itu tampaknya juga menguasai kesadaran Devadatta.
Devadatta menyeberang sungai Gangga dengan sampan dan
segera tiba di Rajagaha. Sebaik tiba di sana ia langsung menemui
Pangeran Ajatazattu dan memamerkan kekuatan gaibnya. Pangeran itu
sangat kagum pada Devadatta. Untuk menunjukkan perasaannya itu,
dia selalu menyediakan makanan setiap pagi dan sore kepada
Devadatta dan pengikutnya. Devadatta menjadi terkenal seketika dan
sangat dihormati. Mungkin hal-hal demikian mengambil bagian dalam
memperberat ketidakseimbangan pikirannya, sehingga timbul
perasaan baru di dalam dirinya, "Sayalah yang harus memimpin
Sangha, bukan Gautama." Saat pikiran itu timbul, kekuatan gaibnya
telah berangsur-angsur lenyap. Walaupun demikian, namanya semakin
harum, dikenal dan dihormati.
Moggallana, yang berada di Kosambi bersama Sang Buddha,
dengan kekuatan pandangan supranormalnya mengetahui jalan pikiran
Devadatta, dan beliau melaporkan kepada Sang Buddha. Sang Buddha
berkata, "Simpan rahasia itu, Moggallana. Jika ia memiliki sedikit
kebijaksanaan saja, maka ia akan terselamatkan dari kebodohan.
Tetapi sayang! Orang tak bijaksana itu terlampau cepat mengumbar
dirinya. Dia berpikir pengikutnya akan melindungi dirinya, sedangkan
seorang guru yang berpikiran dan berprilaku suci, tidak membutuhkan
perlindungan orang lain."
Sang Buddha segera meninggalkan Kosambi menuju Rajagaha
dengan berjalan kaki menyusuri pantai utara Sungai Gangga. Tanpa
memikirkan usianya beliau berjalan sejauh sepuluh mil atau lebih
setiap hari, membabarkan Dhamma dalam setiap perjalanannya. Di
Rajagaha beliau singgah di Veluvana, Hutan Bambu, yang
dipersembahkan oleh Raja Bimbisara tiga puluh lima tahun yang lalu.
Begitu beliau tiba, kami segera melaporkan bagaimana pelayanan
Ajatazattu terhadap Devadatta.
Sang Buddha berkata, "Jangan iri pada kehormatan yang diperoleh
Devadatta. Justru kita prihatin bahwa dengan penghormatan yang
diperolehnya itu kebijaksanaannya menjadi sulit berkembang.
Pelayanan Ajatazattu akan menurunkan moral Devadatta, seperti
kantung empedu yang diserakkan di depan hidung seekor anjing liar,
akan membuatnya semakin liar." Suara Sang Buddha terdengar sangat
139
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
sedih. Seperti halnya para penduduk kota, Raja Bimbisara dan
rombongannya datang ke Hutan Bambu untuk mendengarkan Sang
Buddha mengajarkan Dhamma. Di tengah-tengah khotbah, Devadatta
bangkit dari duduknya dan mengatur jubahnya ke satu bahu,
merentangkan kedua tangannya sambil berkata kepada Sang Buddha:
"Guru, Anda sudah tua dan telah melakukan perjalanan yang
melelahkan. Sudah saatnya bagi Guru untuk menikmati kebahagiaan.
Serahkan saja Sangha pada saya, saya akan menjadi pemimpinnya."
Devadatta sangat mahir berbicara dan mengagumkan semua orang.
Walaupun demikian, bisikan-bisikan terdengar juga.
Sang Buddha melihatnya dengan sedih dan berkata: "Kamu cukup
berbicara saja, Devadatta. Janganlah berkeinginan untuk menjadi ketua
Sangha."
Tetapi Mara memperkeras hati Devadatta dan dia pun mengulang
permintaannya untuk kedua kali. Sang Buddha juga memberi jawaban
yang sama. Devadatta kembali mengulang untuk kedua kalinya. Kali ini
dengan ketenangan yang sama namun juga tegas, Sang Buddha
berkata, "Devadatta, saya tidak akan menyerahkan jabatan ketua
Sangha kepada Sariputta ataupun Moggallana. Bagaimana mungkin
saya serahkan kepada kamu yang terlalu banyak berbicara dan dengan
tergesa-gesa pula?"
Dengan perasaan sangat malu, Devadatta bangkit dan berlalu. Ini
adalah usaha Devadatta yang pertama untuk menyingkirkan Sang
Buddha.
Setelah ia berlalu dan orang-orang bubar, Sang Buddha
memanggil Sariputta dan berkata, "Umumkan ke seluruh Rajagaha
bahwa apapun yang dikatakan dan yang dilakukan Devadatta tak ada
hubungannya dengan Buddha dan Dhamma."
"Tetapi, Guru," Sariputta memprotes, "Sebelumnya saya telah
pernah memuji-muji Devadatta tentang kekuatan supranormalnya.
Mana mungkin sekarang saya menentangnya?"
"Bukankah yang kamu katakan itu salah, Sariputta?"
"Ya, Sang Buddha."
"Oleh karena itulah, Sariputta, sekarang katakanlah yang
sebenarnya, dan umumkan bahwa Devadatta sudah berubah."
"Baiklah, Guru," dengan segan Sariputta mengiyakan. Kami semua
sangat setuju dengan keputusan itu.
Mencela Sangha adalah suatu pelanggaran yang serius, dan
hampir tak pernah terjadi. Hukumannya adalah dikeluarkan dari
anggota Sangha dan dilarang mengikuti pertemuan. Tetapi Sang
Buddha tidak menjatuhkan hukuman ini kepada Devadatta, mungkin
140
Devadatta
disebabkan beliau masih mengharapkan setitik kesucian dalam diri
Devadatta yang dapat membimbingnya keluar dari dekapan Mara,
sehingga Devadatta tetap dianggap sebagai anggota Sangha dan boleh
mengikuti pertemuan.
Ketika Sariputta mengumumkannya di Rajagaha, orang-orang
yang tidak percaya dan tidak mengerti mengatakan, "Para pengikut
Gautama, orang suku Sakya ini cemburu." Tetapi orang-orang yang
percaya dan sadar mengatakannya, "Pasti ada suatu sebab sehingga
Sang Buddha membuat keputusan demikian terhadap Devadatta."
Mendengar pengumuman itu, Devadatta berpikir bahwa satusatunya cara untuk mencapai maksudnya adalah dengan membunuh
Sang Buddha. Dia langsung menemui Ajatazattu, Sang Pangeran, dan
berkata padanya, "Orang-orang dulu, umumnya berusia panjang, dan
ayahmu termasuk kelompok ini. Tetapi orang-orang sekarang, umurnya
pendek, dan kamu termasuk kelompok ini, sehingga kamu akan
duluan meninggal daripada ayahmu, sebelum kamu sempat menjadi
raja."
"Benar, Yang Mulia," jawab pangeran sembari mengingat ayahnya
masih sehat, sedangkan rambutnya sendiri sudah mulai memutih.
"Saya telah menghitung berapa tahun lagi saya baru akan menjadi raja,
tetapi apa yang kamu katakan ada benarnya. Mungkin saya meninggal
hanya sebagai pangeran saja."
"Kamu dapat mengakhiri ayahmu, Tuan," kata Devadatta.
"Apakah itu tidak salah, Tuan Yang Mulia?" tanya pangeran raguragu. "Anda mempunyai kekuatan supranormal, tentunya Anda tahu,
bukan?"
"Itu diizinkan Tuan," jawab Devadatta tanpa ragu-ragu. "Jika
seseorang hidup melewati batas waktu, dia tidak cocok lagi untuk
memegang kekuasaan, dan jika dia tidak mengundurkan diri, maka
hanya akan menyulitkan dirinya sendiri."
"Saya sependapat dengan Anda, apa usul Anda, Yang Arya?"
Devadatta menjawab dengan yakin bagaikan orang yang sangat
berkuasa. "Kamu harus berani, kamu harus menghabisinya dengan
tanganmu sendiri."
"Saya akan melakukannya sesuai dengan kehendakmu," jawabnya
ragu-ragu.
"Dan aku," kata Devadatta "Akan mengambil nyawa Gautama yang
juga telah melewati batas usia, kemudian giliran aku yang menjadi
pimpinan Sangha."
Dengan pengaruh Devadatta, Pangeran Ajatazattu mengikat
sebuah belati pada pahanya dengan perasaan tidak tenang, takut dan
141
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
gelisah juga gembira bercampur menjadi satu saat ia menuju istana.
Menteri yang menunggui Raja di kamar tidur dengan segera mencurigai
niat jeleknya. Mereka memeriksanya dan menemukan sebilah belati,
lalu menanyakan apa tujuannya membawa belati itu. Ajatazattu bukan
orang yang pintar. Dia memang berambisi, tetapi dia sejak semula
sudah tidak menyukai rencana itu. Dia pun menceritakan dengan
sejujurnya semua percakapannya dengan Devadatta.
Para menteri sangat terkejut. Sebagian memutuskan untuk
menghukum mati Devadatta, Pangeran Ajatazattu dan semua bhikkhu.
Tetapi yang mengerti ajaran Sang Buddha mengatakan tidak ada yang
harus disalahkan, bahkan juga Ajatazattu, mereka membawa pangeran
Ajatazattu menghadap raja dan melaporkan semuanya. Raja
mengamati putranya dan sulit mempercayai apa yang didengarnya,
karena dia mencintai putranya dan hubungan mereka selalu akrab.
"Mengapa kamu ingin membunuhku ?" tanyanya.
"Saya ingin menjadi raja," jawab anaknya.
"Ah, anakku," Raja berkata dengan sedih, "Kehidupan seorang
Raja bukanlah gampang, tetapi karena kamu ingin menjadi raja, maka
akan kuserahkan kerajaan ini kepadamu. Aku akan menjalani
kehidupan yang tenang dan bermeditasi di bawah bimbingan Sang
Buddha."
Salah satu menteri membuka suara, "Apakah Baginda tidak
memutuskan sesuatu atas percobaan pembunuhan ini?" kemudian ia
menceritakan tentang perdebatan di antara mereka mengenai
hukuman mati terhadap Pangeran, Devadatta dan semua bhikkhu.
Raja sangat terkejut, "Bukankah Sang Buddha mengajarkan kita
untuk membalas kejahatan dengan cinta kasih?" Kemudian Raja
memerintahkan untuk menaikkan jabatan bagi menteri-menteri yang
semula menentang hukuman mati tersebut.
Keesokkan harinya Raja Bimbisara mengumumkan ke seluruh
Magadha bahwa Ajatazattu menggantikannya sebagai raja.
Begitu mengetahui ia telah menjadi raja, Ajatazattu
memerintahkan semua orang untuk mematuhi Devadatta dan
Devadatta pun segera menyusun kekuatan untuk membunuh Sang
Buddha. Dia memanggil salah satu tentara raja dan berkata:
"Buddha Gautama sedang berdiam di Hutan Bambu, pergilah ke
sana dan bunuh dia, kemudian pulanglah melalui jalan kecil ini."
Kemudian ia memanggil dua tentara lainnya lagi dan berkata,
"Bunuhlah siapa saja yang kamu temui di jalan kecil ini, dan kembalilah
lewat jalan kecil yang lain." Pada jalan kecil terakhir ini ia
menempatkan empat orang tentara dengan instruksi yang sama dan
142
Devadatta
demikian selanjutnya sampai akhirnya semua berjumlah lima belas
orang untuk saling bunuh-membunuh.
Jika aku tidak berada di Rajagaha pada waktu itu, aku tentu tidak
percaya dengan apa yang dilakukan Devadatta karena Devadatta
mempunyai penampilan yang bijaksana. Tetapi mungkin saja moral
seseorang menjadi rendah jika ia terlampau dihormati sedangkan ia
belum bebas dari semua pikiran akan diri sendiri dan Asava juga belum
musnah dari dirinya.
Serdadu pertama mengambil pedang dan sarungnya dan segera
menuju tempat Sang Buddha. Sang Buddha melihat ia datang dan
merasakan getaran dari niat buruk yang akan dilakukannya, dan beliau
pun menyapanya, "Ke sini kawan, jangan takut." Akhirnya serdadu
tersebut memberitahu aku bagaimana kata-kata Sang Buddha
menenangkannya dan ia bersujud pada kaki Sang Buddha, menangis
dengan perasaan bahagia. Dia menceritakan rencananya dan meminta
maaf. Sang Buddha segera memaafkannya dan berbicara padanya
tentang cinta kasih dan akhirnya ia menjadi pengikutnya, ketika ia
hendak kembali, Sang Buddha menganjurkannya melalui jalan lain
yang melewati rumpun-rumpun bambu.
Sekarang, kedua orang yang diperintahkan untuk membunuh
orang pertama, karena tidak menemukan seorang pun di jalan kecil
tersebut, akhirnya mereka menyusuri sendiri jalan kecil itu sampai di
tempat Sang Buddha. Pada mereka Sang Buddha juga berbicara
tentang cinta kasih dan akhirnya mereka menjadi siswanya seperti yang
pertama. Saat hendak kembali, Sang Buddha menganjurkan mereka
menempuh jalan kecil yang lain dari yang seharusnya mereka lalui.
Hal yang sama terjadi pada keempat dan delapan orang
berikutnya.
Orang pertama yang diperintahkan untuk membunuh Sang
Buddha, kembali kepada Devadatta dan berkata, "Saya tidak dapat
membunuh nyawa Sang Buddha. Dia mempunyai kekuatan yang tidak
terdapat di dunia ini. Sang Buddha benar-benar agung."
Devadatta sadar, harus dia sendiri yang turun tangan untuk
membunuh Sang Buddha. Dia segera menuju puncak Gijjhakuta dan
berdiri pada tepinya. Ketika Sang Buddha bermeditasi di suatu tempat
di bawahnya, Devadatta mendorong sebuah batu karang yang keras.
Tetapi batu itu menyenggol tepi gunung yang menonjol dan hanya
serpihan dari batu tersebut yang melukai kaki Sang Buddha hingga dan
berdarah. Sang Buddha memandang ke atas sambil berkata dengan
sedih, "Alangkah bodohnya, engkau hanya mencelakakan diri sendiri."
143
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
Ketika para Bhikkhu mengetahui perbuatan Devadatta, mereka
pun berusaha melindungi Sang Buddha dengan mengelilingi tempat
tinggal beliau sambil membaca paritta suci dengan kuat. Mendengar
hal itu dan ditambah keterangan dari Ananda, Sang Buddha memanggil
mereka dan berkata, "Seorang Penemu Kebenaran tidak
membutuhkan perlindungan dan tidak dapat dihancurkan dengan
serangan. Kembalilah ke tempat kalian dan janganlah membuat
keributan."
Devadatta yang telah gagal untuk ketiga kalinya dalam usaha
pembunuhan terhadap Sang Buddha, mencari para penjaga Nalagiri,
gajah ganas yang dipelihara seorang pembunuh dan berkata, "Seperti
yang kamu ketahui, aku adalah penasehat Raja dan aku dapat
mengatur penambahan jatah makanan dan upah bagi mereka yang
melaksanakan perintahku."
"Ya, Tuan," mereka menjawab, membenarkan apa yang ia
katakan. "Kami akan melaksanakan apapun perintah Tuan."
Devadatta melanjutkan, "Jika pertapa Gautama melewati jalan ini,
lepaskanlah gajah Nalagiri."
"Baiklah, Tuan Yang Mulia," mereka menjawab.
Keesokan paginya, Sang Buddha dan beberapa orang bhikkhu
memasuki Rajagaha untuk meminta makanan dan melewati jalan
tersebut. Para penjaga segera melepaskan Nalagiri seperti yang
diperintahkan. Ketika para bhikkhu melihat gajah ganas itu dari
kejauhan, mereka memohon Sang Buddha untuk kembali, tetapi sekali
lagi Sang Buddha mengatakan tidak ada yang perlu ditakuti dan
seorang Penemu Kebenaran tidak dapat dihancurkan dengan
serangan. Orang-orang yang ada di jalan begitu melihat gajah, pada
ketakutan dan memanjat atap rumah dengan panik, akibatnya jalan
menjadi sunyi. Karena ingin melindungi Sang Buddha, para bhikkhu
tidak mau meninggalkan beliau. Sebagian yang memanjat atap rumah
mengatakan kepada yang lain:
"Roman muka Sang Tathagata sangat mengagumkan, namun
demikian gajah itu tetap dapat melukainya." Sedang yang merupakan
pengikut Sang Buddha berkata, "Gajah itu tidak akan melukai Sang
Buddha." Semua memperhatikan dengan cemas ketika gajah itu
semakin dekat dengan Sang Buddha.
Pada saat itu, Sang Buddha memancarkan kekuatan cinta
kasihnya dan melingkupi Nalagiri dengan hatinya yang penuh kasih.
Setibanya di hadapan Sang Buddha, gajah itu menurunkan belalainya
dan berjalan dengan perlahan. Sang Buddha menundukkan kepalanya
dan berbicara kepadanya. Kemudian Nalagiri membersihkan debu
144
Devadatta
pada kaki Sang Buddha dan kembali ke kandangnya, sambil
membalikkan badan berulang kali untuk melihat Sang Buddha. Mereka
yang melihat peristiwa itu merasakan bahwa pandangan mata Nalagiri
menjadi penuh cinta kasih seperti pandangan mata Sang Buddha.
Sejak saat itu Nalagiri berubah menjadi jinak dan orang-orang
mengatakan, "Gajah dapat menjadi jinak dengan kayu dan alat pukul
lainnya, tetapi Nalagiri dapat dijinakkan Sang Buddha tanpa semua itu."
Akibat dilepaskannya Nalagiri, orang-orang menjadi marah dan
gusar kepada Devadatta. Mereka yang semula begitu menghormatinya,
menjadi berubah dan berbalik menjauhinya. Tetapi keinginan
Devadatta untuk membunuh Sang Buddha malah semakin bertambah.
Setahuku cinta kasih Sang Buddha selalu mengalahkan segalanya,
tetapi tampaknya tidak demikian untuk Devadatta.
Devadatta berusaha mencari jalan lain lagi. Jika dia lebih keras
menjalani kehidupan pertapa, dia percaya dapat menyebabkan
perpecahan dalam Sangha karena bhikkhu-bhikkhu yang tekun dan
semangat akan mengikutinya. Dia pun mengutarakan idenya kepada
empat orang teman akrabnya. Salah seorang dari mereka mencoba
mencegah dan mengatakan Sang Buddha sangat kuat dan semua
rencananya akan sia-sia. Tetapi Devadatta tidak menghiraukannya dan
akhirnya mereka menemaninya untuk menemui Sang Buddha.
Devadatta berkata, "Guru, Anda mengatakan seseorang akan
memperoleh kemajuan besar jika ia merasa puas dengan makanan
dan kebutuhannya yang sederhana, dan juga telah melenyapkan nafsunafsunya. Sekarang, lima hal berikut ini akan mendukung kondisi
seperti itu. Jadikanlah sebagai peraturan:
Pertama, bhikkhu harus selalu tinggal di hutan dan tidak boleh
tinggal di desa; kedua, bhikkhu harus menerima makanan dari pintu ke
pintu dan menolak undangan untuk menikmati santapan di rumahrumah; ketiga, bhikkhu hanya boleh memakai jubah dari sisa-sisa kain
dan tidak boleh menerima jubah pemberian umat; keempat, bhikkhu
hanya boleh berlindung di bawah pepohonan; kelima, bhikkhu tidak
boleh makan ikan dan daging."
Kami dapat merasakan cinta kasih Sang Buddha kepada
Devadatta, begitu beliau menjawab dengan sabar, "Tidak, Devadatta,
siapa yang berkeinginan demikian, biarkanlah dia hidup di hutan,
mengambil makanan dari pintu ke pintu, hanya memakai pakaian dari
sisa-sisa kain, menolak undangan makan dan pemberian baju.
Tetapi tidak ada yang diharuskan untuk melakukan semua ini.
Tidur di bawah pohon pada musim kering adalah diizinkan, tetapi
145
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
sewaktu hujan, bhikkhu harus mencari tempat berlindung yang lebih
aman.
Memakan ikan dan daging yang diberikan ke dalam mangkuk
tanpa mempunyai maksud khusus dibunuh dan disediakan kepadanya,
adalah diizinkan."
Devadatta gembira atas penolakan kelima peraturan ini. Dia
menuju Rajagaha dan mengumumkan kepada semua orang bahwa dia
dan pengikutnya hidup lebih keras daripada Sang Buddha dan Sang
Buddha hanya berdiam di tempat yang mewah dengan makanan dan
pakaian yang berlimpah. Beberapa umat biasa dan para bhikkhu muda
yang mendengarnya langsung percaya dan mengikuti Devadatta.
Ketika Sang Buddha bertemu Devadatta, beliau menanyakan
kebenaran berita itu, apakah ia hendak menyebabkan perpecahan
dalam Sangha, dan Devadatta mengakuinya.
"Kamu telah bertindak terlalu jauh, Devadatta." Sang Buddha
berkata dengan sedih. "Dia yang memecah Sangha akan mendapatkan
akibat yang sangat buruk dan sulit ditebus, sebaliknya ia yang
menciptakan kedamaian dan ketentraman akan memperoleh berkah."
Tetapi hati Devadatta sangat keras. Keesokan harinya ketika ia
bertemu Ananda, dia mengatakan akan mengeluarkan peraturan
Sangha tanpa Sang Buddha. Ketika Sang Buddha mengetahuinya,
beliau berkata prihatin, "Seseorang yang bertingkah laku baik akan
mudah berbuat baik, tetapi bagi ia yang jahat akan sulit berbuat baik,"
Sang Buddha tidak melakukan apa-apa untuk mencegah tindakan
Devadatta.
Ketika hari Uposatha, hari pengakuan dan pemurnian tiba,
Devadatta membagikan kertas-kertas suara, bagi siapa saja yang setuju
dengan prinsip hidup keras sesuai dengan lima peraturan yang
dibuatnya harus menyerahkan kembali kertas tersebut dengan warna
tertentu. Sebagian yang baru ditabhiskan tidak mengetahui persoalan
yang sebenarnya, mereka berpikir semakin keras hidup yang dijalankan
akan semakin menguntungkan pula dan tidak terpikir oleh mereka
akibat yang akan timbul. Setelah pemungutan suara selesai, Devadatta
mengajak bhikkhu-bhikkhu baru yang setuju dengan prinsipnya dan
juga pengikutnya yang lama mengikutinya menuju Bukit Gaya-Sisa.
Melihat apa yang dilakukan Devadatta, Sariputta dan Moggallana
melaporkannya kepada Sang Buddha. Sang Buddha berkata, "Kalian
berdua pergilah dan beri penjelasan kepada bhikkhu-bhikkhu muda
tersebut dengan cinta kasih dan itikad yang baik sebelum mereka
terjerumus lebih jauh."
146
Devadatta
"Baik, Guru," jawab Sariputta dan Moggallana. Mereka segera
menuju Gaya-Sisa. Pada saat itu mereka menemukan Devadatta yang
sedang berkhotbah dan dikelilingi para bhikkhu muda. Ketika dia
melihat Sariputta dan Moggallana mendekat, hatinya bersorak gembira
dan berkata, "Lihat, para bhikkhu, betapa mengagumkan doktrin yang
kubabarkan. Bahkan dua pengikut utama Gautama, Sariputta dan
Moggallana datang bergabung denganku, karena mereka senang
dengan ajaranku."
Tetapi pengikut utama Devadatta, Kolalika, yang sebelumnya
memperingatkan Devadatta untuk tidak memecah Sangha, berkata:
"Yang Mulia, jangan percaya pada Sariputta dan Moggallana. Mereka
punya niat buruk."
Devadatta sedemikian sombongnya sehingga tidak mau
mendengar peringatan itu dan menjawab, "Tidak temanku, mereka
senang akan ajaranku. Mari kita sambut mereka." Dia mengundang
Sariputta duduk di tempat terhormat. Tetapi Sariputta duduk di tempat
yang biasa, demikian juga halnya dengan Moggallana, dan mereka ikut
mendengarkan khotbah Devadatta hingga malam.
Para bhikkhu muda yang masih kuat dan sehat tentu saja tidak
letih duduk mendengarkannya. Tetapi begitu malam semakin
merangkak, Devadatta yang telah berusia lebih dari enam puluh tahun,
mulai merasa letih berkhotbah, ia berpaling kepada Sariputta sambil
berkata, "Pertemuan ini masih segar dan semangat, maukah Anda
melanjutkannya? Punggungku terasa letih dan aku akan beristirahat
sebentar."
Sariputta menyanggupinya dan Devadattta melipat jubahnya,
berbaring dengan sisi kanan dan segera tertidur.
Kemudian Sariputta dan Moggallana mulai menguraikan doktrin
yang benar, membabarkan Empat Kesunyataan Mulia dan Delapan
Jalan Utama dengan penuh cinta kasih. Pikiran dan mata mereka mulai
terbuka. Sariputta dan Moggallana pun menganjurkan mereka kembali
pada Sang Buddha. Dengan suara bulat mereka menyetujuinya dan
mengikuti Sariputta dan Moggallana turun bukit dan kembali ke Hutan
Bambu, tempat Sang Buddha menginap.
Seperti halnya Devadatta, Kolalika pun tertidur, tetapi ketika
bhikkhu-bhikkhu
itu
bangkit,
dia
terbangun
dan
segera
membangunkan Devadatta sembari berkata, "Bangun, teman,
Moggallana dan Sariputta telah membawa pergi semua muridmu.
Bukankah sejak awal telah kukatakan bahwa mereka mempunyai niat
buruk?"
147
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
Devadatta bangun dari tidurnya, tetapi dia tidak dapat langsung
mengerti kalimat-kalimat Kolalika. Ketika dia menyadarinya, dia bangkit
dengan terburu-buru karena terkejut dengan apa yang terjadi dan dia
pun merasa pusing. Setelah agak pulih, ia segera mengejar mereka. Dia
merasa letih karena terus-terusan berbuat jahat akhir-akhir ini, dan
telah menginginkan segala sesuatu berjalan sesuai kehendaknya. Dia
mengatakan tiba-tiba dia merasa sangat tua dan letih, malam pun
kelihatan semakin kelam. Ketika mencapai sebuah danau pada kaki
bukit, ia jatuh keletihan dan berkata bahwa ia harus duduk dan
beristirahat sebentar. Dia telah bekerja sedemikian keras, tetapi
semuanya sia-sia dalam sekejap. Dia mengatakan kepada Kolalika
bahwa ia ingin minum, lalu ia pun menuju tepi danau. Kolalika
memandang langit timur di mana fajar mulai menyingsing, dan ia mulai
bertanya kepada dirinya sendiri mengapa Devadatta demikian
menentang Sang Buddha yang tak terkalahkan, yang begitu baik dan
lembut. Tiba-tiba ia mendengar teriakan yang mengerikan dan tangisan
minta pertolongan dari Devadatta. Di bawah danau sana, ia melihat
Devadatta sedang bersusah payah mengeluarkan kakinya dari lumpur.
Mulanya Kolalika mengira ia digigit ular. Kemudian ia baru menyadari,
Devadatta terperangkap dalam lumpur hidup yang di dalamnya orang
tidak bisa bergerak, kecuali bila orang tersebut mempunyai kekuatan
gaib, sementara kekuatan Devadatta telah lama lenyap. Kolalika
berusaha mencari batang kayu untuk menolongnya, tetapi pohon
terdekat di danau jaraknya beberapa langkah dari situ, pada saat
Kolalika sampai di pohon itu, lutut Devadatta sudah terbenam
seluruhnya ke dalam lumpur. Walaupun dalam keadaan yang
menegangkan, ia masih berusaha duduk, berbaring dan merangkak,
tetapi setiap gerakannya malah mengakibatkan dia semakin terbenam.
Begitu mendapatkan batang pohon, tangisan Devadatta tidak terdengar
lagi. Kolalika segera menyerbu ke tepi danau, kini hanya dada
Devadatta yang terlihat, dia berteriak dengan sedih, "Ajalku telah tiba.
Katakan kepada Sang Buddha bahwa aku menyesal. Dia selalu
berusaha menolongku dengan penuh cinta kasih, tetapi Mara lebih kuat
menguasaiku daripada beliau." Begitu selesai kata terakhir, pasir telah
masuk ke dalam mulutnya. Kolalika tidak tahu apakah ia mendengar
kata-kata yang hendak diutarakan lagi oleh Devadatta. Selanjutnya
hanya tersisa beberapa helai rambut, kemudian tidak ada tanda-tanda
yang menunjukkkan di mana Devadatta sebelumnya turun ke danau
untuk minum.
Ketika orang-orang mendengar kejadian ini, mereka mengatakan
ia telah masuk ke neraka yang paling mengerikan dan ia akan menetap
148
Devadatta
di sana selama beberapa kalpa. Tetapi sebelum ia meninggal, ia telah
menyadari kesalahan, hal baik ini yang kelak akan membantu
meringankan keadaannya.
149
Kematian dan Nirvana
Usaha perpecahan Devadatta hanyalah salah satu dari sekian
banyak hal-hal yang memprihatinkan yang terjadi di tahun-tahun
terakhir kehidupan Sang Buddha, namun semua itu tak jua mampu
menggoyahkan-Nya. Beliau senantiasa tetap hidup dalam ketenangan
dan kebahagiaan. Orang-orang mengatakan bahwa beliau menikmati
hidup ini, dan memang demikianlah adanya, beliau menikmatinya
dengan suatu semangat yang tidak dapat dimengerti oleh mereka yang
masih melekat pada hal-hal yang duniawi. Ketika beliau ditanya
mengenai hal ini, beliau mengakui bahwa ia berada dalam
kebahagiaan sejati karena telah terbebas dari keduniawian. Beliau
berada dalam dunia ini, berbaur dengan beragam kesenangan dan
penderitaan umat manusia, dan beliau memahami itu semua seolah
beliau pun memilikinya. Namun demikian, beliau bukanlah milik dunia
ini, beliau adalah milik Yang Tak Terlahirkan, yang tak dibatasi oleh
ruang dan waktu.
Sariputta dan Moggallana juga telah mencapai keadaan agung dan
bebas dari segala hal yang bersifat duniawi. Suatu hari Ananda bertanya
pada Sariputta tentang hal tersebut dan beliau menjawab, "Ini dapat
terjadi karena saya tidak terikat pada kesenangan dunawi, dan di mana
nafsu terpadamkan, di sana terdapat kebahagiaan. Hari ini, saat sedang
bermeditasi, saya bertanya pada diri sendiri, apakah masih ada hal-hal
di dunia ini, yang muncul dan berubah, yang dapat menyebabkan saya
bersedih, dan saya menyadari ternyata tidak ada lagi sesuatu pun. Jadi
secara jujur saya katakan, jika ada sesuatu yang diambil dari saya, saya
tidak akan merasa kehilangan atau pun menyesal."
Ananda bertanya diiringi keraguan, "Yang Arya tentu tidak
bermaksud bahwa meskipun Guru meninggal, Yang Arya juga tidak
akan merasa sedih, bukan?"
Sariputta menjawab dengan tenang: "Tidak, Ananda. Walaupun
Guru meninggal, hal ini tidak akan membawa kesedihan pada saya.
Namun demikian, demi dunia ini, saya berharap bahwa Guru tidak
meninggalkan kita dan semoga beliau yang demikian pemberi dan
mengagumkan dapat hidup lebih lama demi kebahagiaan umat
manusia dan para dewa, namun bagi saya pribadi, saya tidak punya
harapan seperti itu."
Ananda menjawab: "Sahabat Sariputta, telah sekian lama Anda
melenyapkan rasa 'aku' dan 'milikku', dan memang sebenarnyalah itu
semua telah hilang darimu jika Anda mengatakan bahwa kepergian
Sang Buddha tidak akan menimbulkan kesedihan padamu."
150
Kematian dan Nirvana
Moggallana mempunyai ketenangan yang sama dengan Sariputta,
keduanya selalu saling mendukung. Jika Sariputta memiliki
kebijaksanaan, maka Moggallana mempunyai kekuatan mata batin
yang luar biasa. Dia dapat bertemu dan berkonsultasi dengan Sang
Buddha walau dari jarak yang sangat jauh.
Tak lama setelah percakapan dengan Ananda, Sariputta dan
sebagian bhikkhu melakukan perjalanan menuju Savatthi dengan Sang
Buddha. Sebagian dari mereka berjalan duluan dan memilih tempat
tidur yang bagus untuk mereka sendiri. Karena sudah tua, Sariputta tiba
terakhir. Semua tempat tidur sudah penuh. Tetapi dia tidak
menanggapinya, lalu ia memilih tidur di bawah pohon. Tetapi karena
waktu itu lagi musim dingin, saat menjelang pagi dia mulai batuk. Dia
bangkit dan Sang Buddha yang juga bangun agak pagi mendengar
suara batuknya. Sang Buddha sangat prihatin ketika mengetahui sebab
Sariputta tidak mendapat tempat tidur yang layak. Sang Buddha
memanggil semua bhikkhu dan menanyakan apakah mereka
mengetahui kepada siapa harus diberikan tempat duduk, tempat tidur
dan makanan terbaik. Ada yang mengatakan yang terbaik harus
diberikan kepada yang termasuk kelas Brahmana atau kaum
bangsawan di dunia ini. Ada yang mengatakan yang terbaik harus
diberikan kepada yang mampu membabarkan Dhamma dengan baik.
Ada yang mengatakan yang terbaik diberikan kepada yang telah
mencapai jhana tingkat keempat atau tingkat meditasi, atau pun
kepada yang mempunyai kekuatan gaib.
"Tidak," Sang Buddha berkata, "Tidak ada satu pun dari semua itu
yang harus diberikan hal-hal terbaik, yang paling tualah yang pantas
diberikan yang terbaik. Pada waktu lampau, terdapat sebatang pohon
banyan yang besar pada lereng pegunungan Himalaya. Di sana tinggal
tiga sahabat, seekor ayam hutan, seekor monyet dan seekor gajah.
Karena mereka ingin hidup bersama dengan aman dan damai maka
mereka memutuskan untuk memberikan penghormatan tertinggi tidak
pada yang paling pintar atau paling bijaksana, tetapi kepada yang paling
tua. Karena ukuran tubuh gajah yang paling besar, maka mereka
menguji daya ingatnya. Dia melihat pada cabang pohon banyan yang
besar di atas mereka dan berkata:
'Ketika saya kecil, saya selalu berjalan melewati pohon banyan ini,
dan ranting paling tinggi sebatas punggungku.'
Kemudian mereka bertanya kepada monyet, dia menjawab:
'Ketika saya masih kecil, saya duduk di atas tanah dan menggerogoti
pucuk ranting tertinggi pohon banyan ini.'
151
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
Akhirnya ayam hutan berkata, 'Ketika saya masih kecil, pada
tempat ini tidak ada pohon banyan, tetapi di sana tumbuh sebatang
pohon. Suatu hari saya memakan buahnya dan membuang bijinya
pada tempat ini dan dari biji itulah tumbuh pohon banyan ini.'
Kemudian gajah dan monyet berkata pada ayam hutan:
'Engkaulah yang tertua, kami akan melindungi dan patuh pada
perintahmu.'
Setelah itu ketiganya hidup bersama dengan aman sentosa, saling
mempercayai dan saling menghargai. Jika binatang saja mengenal
istilah harga-menghargai, maka kalian harus jauh lebih mengenalnya.
Yang paling tua harus menerima tempat tidur, makanan dan perlakuan
yang terbaik."
Pada kesempatan itu, Sariputta sekalian mengunjungi
Anathapindika, sahabat para yatim piatu dan kaum papa, yang pada
mereka Sang Buddha sering menjelaskan tentang kehidupan dan
kematian secara mendalam. Ketika aku mendengar sebagian bhikkhu
mengatakan bahwa mereka yang meninggalkan keduniawian
mencapai tingkat yang lebih tinggi daripada umat biasa, aku rasa
mereka salah. Sebab kebaikan dan kebijaksanaan Anathapindika
malah lebih baik daripada bhikkhu yang berpandangan demikian.
Kehidupan pertapa dan umat biasa adalah dua jalan yang berbeda,
tidak ada yang dapat mengatakan mana yang lebih baik; hanya
kehidupan umat biasa lebih banyak cobaan dan godaan sehingga lebih
sulit mencapai ketenangan Nirvana, tetapi bukan berarti tidak mungkin
untuk mencapainya. Dan para bhikkhu seharusnya lebih merendahkan
diri di tengah mereka yang jalannya lebih sulit. Anathapindika sangatlah
suka menderma untuk sesama dan sejak bertemu Sang Buddha ia
memberi tanpa mengharapkan pujian ataupun ucapan terima kasih,
juga tanpa mengharapkan pahala untuk kehidupan berikutnya.
Ketika Sariputta mengunjunginya, dia sedang terbaring sakit dan
sangat menderita. Sariputta menguraikan Dhamma kepadanya dan
hanya yang telah mencapai kebijaksanaan yang dapat mengerti.
Anathapindika sangat bahagia dan kemudian meninggal dengan
tenang. Legenda menyebutkan bahwa ia dilahirkan di alam dewa tetapi
Sang Buddha pernah berkata bahwa dia sebenarnya merupakan salah
seorang yang telah bersatu dalam Keabadian.
Sebelum ajaran Sang Buddha menyebar luas, ada sebagian kecil
orang yang percaya bahwa kebahagiaan tertinggi yang dapat dicapai
seseorang setelah meninggal adalah dilahirkan di alam dewa, dan di
sana orang-orang hidup dari karma baik yang diperbuatnya sehingga
untuk itulah orang-orang berbuat kebaikan. Akan tetapi Sang Buddha
152
Kematian dan Nirvana
menunjukkan bahwa dewa itu masih tidak terlepas dari
ketidakkekalan, bahkan sama dengan manusia. Ajaran beliau bukan
ditujukan agar dapat dilahirkan di alam dewa, tetapi beliau
mengajarkan tentang pembebasan dari Asava, dari lingkaran kejahatan,
kekerasan dan penderitaan yang disebabkan oleh keterikatan. Jika
seseorang telah melepaskan semua ikatan itu maka ia telah terbebas
dari lingkaran kelahiran, kelapukan, kematian dan kelahiran kembali,
baik sekarang maupun waktu yang akan datang, karena ia telah
mencapai pembebasan abadi.
Tetapi tak dapat dipungkiri bahwa alam dewa itu memang ada
dan siapa yang telah berbuat kebajikan namun belum dapat
melepaskan ikatan akan terlahir di sana, dengan demikian ajaran Sang
Buddha adalah untuk mereka yang telah dilahirkan kembali (ke alam
dewa) dan juga untuk mereka yang masih hidup di dunia ini sehingga
beliau disebut sebagai guru manusia dan para dewa.
Ada seorang dewa yang ingin berguru kepada Sang Buddha,
namanya Rohitassa. Dia datang, untuk menyelidiki apa yang tidak ia
temukan ketika hidup sebagai makhluk hidup.
Dia berkata, "Apakah mungkin, dengan pengetahuan dan
penyelidikan dunia di luar diri kita dapat menembus ruang dan waktu?"
"Tidak, tidak mungkin, Rohitassa," jawab Sang Buddha.
"Sebelumnya, ketika saya hidup sebagai manusia biasa, saya
adalah seorang pertapa agung dengan pengetahuan yang luas. Saya
telah mempelajari hukum alam yang hanya sedikit diketahui orang.
Saya dapat terbang di angkasa lebih cepat daripada anak panah yang
lepas dari busurnya. Saya berusaha melewati akhir dunia dan
mencapai ruang tak terbatas. Tetapi saya hanya terbang sampai batas
samudera timur dan barat, tanpa dapat melewati kehidupan akhirat
dan mencapai ruang tak terbatas. Saya juga dapat hidup tanpa
menggunakan tubuh dan saya memperpanjang usia saya sendiri
melampaui batas yang memungkinkan. Saya pikir dengan demikian
saya dapat melampai batas waktu dan menemukan kekekalan. Tetapi
ketika saya mati, saya tidak menemukan kekekalan seperti yang saya
pernah bayangkan."
"Hal ini akan terus berulang, Rohitassa." jawab Sang Buddha.
"Pengetahuan demikian tidak akan menunjukkan jalan ke batas dunia
ataupun ke Keabadian. Tanpa menemukan batas dunia, kamu tidak
dapat menemukan akhir penderitaan. Dengan tubuh ini, kamu akan
menyadari tentang ruang dan waktu, dengan tubuh ini kamu akan
dapat melewati batas ruang dan waktu dan menemukan batas dunia
153
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
dan Keabadian. Semua hal-hal ini terdapat dalam dirimu, bukan di luar
dirimu.
Rohitassa hanya salah satu dari sekian banyak dewa yang berguru
pada Sang Buddha mengenai pengetahuan dan perbuatan baik. Aku
tidak mempunyai kemampuan untuk memahami para dewa. Jadi aku
tidak dapat berbicara lebih banyak, kecuali hanya mengenai siswasiswi Sang Buddha yang berwujud manusia biasa.
Setelah Anathapindika meninggal, Sariputta mulai menyadari
batas usianya. Saat itu beliau sedang bertapa di luar Savatthi ditemani
pembantunya, Cunda, seorang samanera. Beliau meninggal dengan
tenang dalam tidurnya pada satu malam dan keesokan harinya Cunda
menemukan tubuhnya yang sudah dingin dan kaku. Dengan sedih
Cunda mengatur kremasinya kemudian mengambil mangkuk dan
jubah Sariputta lalu menuju Jeta untuk melaporkannya kepada Sang
Buddha. Mendengar berita itu, Ananda menangis karena miliknya yang
paling berharga telah pergi. Sang Buddha menerima mangkuk dan
jubah itu dan berkata kepada Ananda:
"Apakah Sariputta membawa serta sesuatu dari dunia yang
membangun kehidupan Brahma: cinta kasih, kebijaksanaan,
kebenaran dan kedamaian?"
"Tidak, Guru, tetapi saya tidak dapat mengingat hal-hal itu saat ini
karena ia yang telah mengajarkan padaku telah pergi."
"Apakah menurutmu dia akan bersama kita selamanya?"
"Tidak, Guru, tetapi bagaimanapun saya tetap masih merasakan
bahwa sebatang ranting yang besar telah patah."
"Tetapi bukankah pohonnya tetap utuh?" Sang Buddha tersenyum,
"Sangha tetap berdiri. Semua yang disayangi akan pergi. Hanya satu
yang disayangi yang tidak 'kan pergi. Buatlah bagimu perlindungan
akan Diri Sejati dan berlindunglah padanya, Ananda."
Empat hari setelah meninggalnya Sariputta, Moggallana pun
meninggal, tetapi tidak dengan cara damai. Dia dibunuh oleh
perampok, kata para pertapa lain. Ada yang mengatakan ia meninggal
dengan demikian karena karma buruk dari kehidupannya yang lampau.
Ataupun mungkin karena ia masih terlalu bergantung pada kekuatan
gaibnya? Dia sendiri pernah mengaku bahwa Sang Buddha pernah
menasehatinya untuk lebih giat berlatih ketenangan Kaum Arya saat dia
telah memperoleh semua kekuatan. Apakah mungkin ia mengatasi
perampok-perampok itu bukan dengan cinta kasih, melainkan hanya
dengan kekuatan gaibnya?
Bagaimanapun juga Sang Buddha merasa kehilangan siswa-siswa
yang sangat berarti baginya, Sariputta dan Moggallana. Aku ingat, saat
154
Kematian dan Nirvana
beliau duduk tenang dengan kami di luar desa Suku Vajji, beliau
melayangkan pandangan ke seluruh pengikutnya dan berkata, "Para
bhikkhu, pertemuan ini terasa kosong karena tidak ada Sariputta dan
Moggallana." Beliau diam dan melanjutkan lagi, "Tetapi tidak usah
khawatir karena tempat-tempat mereka kelak akan digantikan oleh
yang lain."
Sejak kejadian itu aku mulai menyadari mengapa Sang Buddha
selalu menyarankan kami untuk bermeditasi dengan obyek kematian.
Bagi yang masih terikat pada hal-hal yang bersifat duniawi maka
kematian adalah sesuatu yang menyedihkan. Bagi yang telah mengerti
hukum kesunyataan maka kematian hanyalah merupakan
penyempurnaan kehidupan dari mahluk-mahluk yang terlahir di dunia
ini.
Sekarang aku sudah tua. Aku telah mengerti akan nafsu dan
keinginan serta penderitaan yang ditimbulkannya. Aku telah merasakan
penderitaan yang datang saat seseorang mencari jalan melepaskan
segala bentuk nafsu dan keinginan akan diri, sebongkah rintangan yang
menghalangi jalan menuju pembebasan, rintangan yang tak lain adalah
diri kita sendiri, atau diri-diri lain yang dibentuk oleh badan jasmani dan
pikiran. Aku telah merasakan ketenangan dan kedamaian yang menyusup perlahan saat seseorang semakin mendekati Inti Kebenaran dan
merasakan kebebasan seperti seorang tahanan bebas dari penjara—
bebas dari kesedihan akan perasaan membenci dan irihati, bebas dari
semua tekanan. Namun jangan salah, kebebasan ini bukan berarti
melarikan diri dari kehidupan dunia ini. Sebaliknya, kebebasan itu
ditemukan dengan menjalankan Delapan Jalan Utama, yang
keseluruhan darinya kecuali yang terakhir, berhubungan dengan
kehidupan saat ini, di dunia ini.
Aku menyadari bahwa kehidupan ini selalu berubah, dari satu
bentuk ke bentuk yang lain dan jika kita ingin hidup bahagia, kita tidak
dapat berdiam diri dan hanya melekat pada apa yang telah berlalu,
tetapi harus berusaha dan berjuang untuk mencapai Nirvana;
Keabadian.
Apakah Nirvana itu? Sang Buddha jarang membahas Nirvana
dengan kami. Beliau tidak perlu melakukannya sebab semua yang
bertemu dengan-Nya akan mengetahui bahwa ia telah berada di
dalamnya. Membincangkan Nirvana hanyalah sekedar melengkapi
suatu keadaan yang telah diketahuinya. Lagi pula bagaimana mungkin
dapat diterangkan dengan kata-kata jika Nirvana itu sendiri tidak
menyerupai bentuk apapun yang ada di dunia ini. Semua benda-benda
di dunia terbentuk dari kombinasi berbagai unsur dan benda yang lain,
155
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
dan ketika unsur-unsur itu dipisahkan, mereka terurai untuk kemudian
menyatu kembali membentuk sesuatu yang baru, seperti lingkaran
kelahiran, kematian dan kelahiran kembali yang tak pernah berhenti.
Pengetahuan kita didapat melalui kelima indera, dan intelektual
merupakan indera keenam. Tetapi kesemua ini belumlah mencukupi
kebutuhan kita agar bisa memahami Nirvana.
Nirvana tidak terbentuk dari unsur-unsur, tidak bergantung pada
unsur lain dan bukan subyek kelahiran ataupun kematian, tidak dapat
diketahui melalui keenam indria tetapi hanya dapat dikatakan sebagai
"bukan ini" dan "bukan itu".
Jika seekor kura-kura meninggalkan samudra dan naik ke daratan
dan kemudian kembali lagi ke samudera, lalu ia berusaha menjelaskan
kepada ikan tentang keadaan di daratan, bagaimana ia harus
melakukannya? Dia mengatakan daratan tidak transparan, tidak juga
lembab atau asin. Demikian halnya juga dengan Nirvana. Sang Buddha
menunjukkan jalan menuju Nirvana kepada kita dan Nirvana ada di
sekeliling kita dan segala sesuatu, dan juga di dalam diri kita dan dalam
segala apapun, ia ada di dalam tubuh kita ini. Tetapi kita tidak dapat
mengalaminya langsung sampai kita bisa mengakhiri segala delusi
akan diri-diri yang terpisah. Hanya bila kita telah memadamkan diri-diri
tersebut, Diri Sejati akan ditemukan. Dengan demikian, Nirvana, yang
melampaui segala sesuatu di dunia ini, Amata, Keabadian, akan
ditemukan.
156
Saccaka Sang Pendebat
Setelah meninggalnya Sariputta dan Moggallana, Sang Buddha
meninggalkan daerah Suku Vajji menuju Vesali dan menetap di Hutan
Besar pada Balai Kutagara-sala. Beberapa minggu kemudian aku juga
datang ke Vesali. Ketika aku tiba, aku bertemu dengan seorang asing,
bernama Saccaka, seorang pendebat ulung yang suka membual bahwa
ia dapat berdebat dengan siapa saja bahkan dengan orang yang telah
mencapai penerangan sempurna. Aku mendengar dia berkata, "Jika
saya berdebat dengan seseorang, pasti dia akan gemetar ketakutan dan
berkeringat dingin."
Beberapa hari setelah aku tiba, Assaji yang juga tinggal bersama
Sang Buddha kembali dari meminta makanan dan mengatakan padaku
bahwa Saccaka menghadangnya dan berkata:
"Bagaimana, Assaji, apa yang diajarkan gurumu? Apa dasar
ajarannya?"
Assaji yang semasa muda ragu-ragu untuk mencoba menguraikan
ajaran Sang Buddha, bahkan kepada seorang pencari sejati seperti
Sariputta, tidak punya keinginan untuk berdebat. Seperti yang pernah
dilakukannya kepada Sariputta empat puluh tahun yang lalu, dia
menjelaskan dengan singkat kepada Saccaka bahwa semua yang ada
di bumi—bentuk, perasaan, pencerapan, kesadaran—adalah tidak
kekal dan padanya tidak ada yang disebut sebagai diri yang kekal.
Saccaka memotongnya dengan kasar, "Saya kasihan kepada
gurumu, Gautama, karena telah berpandangan salah. Suatu waktu
nanti mungkin saya bisa bertemu dengan Gautama, guru Anda dan
berbicara dengannya."
Asssaji tidak berkomentar dan segera meninggalkannya. Pada saat
itu sekelompok bangsawan Licchavi yang berkumpul di salah satu
rumah terdekat, keluar. Saccaka berkata kepada mereka dan Assaji
mendengar dia berkata:
"Ikuti saya, Tuan-tuan. Saya akan menemui dan berbicara dengan
sang pertapa Gautama. Jika ia memang mengajarkan pengikutnya yang
terkenal, Assaji seperti apa yang dikatakannya tadi, saya akan
menyudutkannya bagaikan seorang yang bertenaga kuat mendorong
peti ke dalam kolam, atau bagaikan seekor gajah yang menyemburkan
air untuk membersihkan, demikian saya akan menyibukkan pertapa
Gautama. Kalian pasti akan senang jika ikut bersama saya
menemuinya."
Lalu Assaji mendengar bangsawan Licchavi berdiskusi. Ada yang
mengatakan Saccaka pasti akan menang tetapi sebagian mengatakan
157
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
Sang Buddha akan menundukkan orang ini. "Tetapi sepertinya, apapun
pendapat bangsawan-bangsawan itu, mereka akan mengikuti
Saccaka." Assaji menambahkan dan ia melanjutkan pergi ke hutan
bermeditasi.
Assaji benar. Dalam waktu singkat Saccaka datang dengan
serombongan bangsawan di belakangnya.
"Di mana pertapa Gautama?" Dia bertanya kepada seorang
bhikkhu muda. "Kami ingin berbicara dengan beliau," tambahnya
dengan sopan.
Bhikkhu tersebut mengatakan bahwa Sang Buddha sedang
bermeditasi di bawah pohon, sambil menunjukkan tempatnya dan
menambahkan: "Tetapi lebih baik tunggu waktu yang tepat."
Saccaka tidak menghiraukan anjurannya dan menuju ke arah
yang ditunjuk diikuti para bangsawan. Bhikkhu tadi, aku dan dua
bhikkhu lain yang mendengar percakapan ini pun mengikuti dari
belakang. Begitu mereka bertemu Sang Buddha mereka langsung
memperkenalkan diri dan duduk.
"Ada sedikit masalah yang ingin saya tanyakan," Saccaka memulai
dengan nada yang agak kurang sopan.
"Tanyalah apa yang Anda suka." Jawab Sang Buddha dengan
lembut.
"Apa yang Anda katakan kepada pengikutmu? Apa dasar ajaran
Anda?"
Dengan kekuatan batinnya, Sang Buddha telah mendengar
pertanyaan Saccaka pada Assajji sebelumnya dan beliau pun
menjawab persis dengan apa yang dilakukan Assaji. Saccaka
memotong:
"Saya melihat hal yang sebaliknya, Gautama."
"Katakanlah, Saccaka," Sang Buddha berkata dengan sopan.
"Setiap benih," katanya, "akan tergantung pada tanah. Seperti
halnya segala sesuatu tergantung pada materi atau 'diri' individu itu
sendiri."
Walaupun Sang Buddha menganggap perdebatan metafisika
sebagai realisasi yang mendekati Mara, namun kelihatannya di balik
ketenangan beliau, masih ada suatu kesenangan tersendiri dalam
menyangkal argumen ini—jika saja seorang yang telah bebas dari
keduniawian memang masih dapat dikatakan memiliki perasaan
senang atau tidak senang.
Sang Buddha menjawab sambil tersenyum:
158
Saccaka Sang Pendebat
"Apakah kamu yakin, tubuhmu, perasaanmu, kesadaranmu
adalah 'Diri'mu yang sebenarnya, yang mengendalikan dan memerintah
kamu?"
"Ya, saya yakin akan itu dan demikian juga semua yang hadir." Dia
mengembangkan tangannya ke arah para bangsawan. Saccaka yang
tidak biasa menghadapi lawan bicara yang mempunyai ketenangan
dan keyakinan yang luar biasa, mulai kehilangan percaya diri.
Sang Buddha tersenyum lebar tetapi keramahannya tidak
berkurang ketika beliau menjawab, "Semua yang hadir di sini tidak
mempunyai hubungan dengan perdebatan ini. Mari kita pusatkan topik
kita."
"Silahkan," lanjut Saccaka. "Saya setuju bahwa semua yang Anda
sebut adalah 'Diri' yang mengendalikan dan memerintah."
"Sekarang," Sang Buddha berkata, "Maukah Anda menjawab
pertanyaanku?"
"Tentu, Gautama." Saccaka kembali percaya diri.
"Mungkinkah seorang Raja seperti Pasenadi atau Ajatazattu
mampu menghancurkan dan meniadakan segala kejahatan?"
"Tentu, Gautama," jawab Saccaka dengan angkuh, "Bahkan orang
awam saja mampu melakukannya. Apalagi seorang raja yang memiliki
kekuatan dan seharusnya mampu untuk itu."
"Jika materi tubuh ini atau perasaan ataupun kesadaran adalah
'Diri' sebenarnya yang memerintah dan mengendalikan, Saccaka,
apakah ia mempunyai kekuatan untuk membuat suatu keadaan
tertentu dari kesadaran, misalnya perasaan sakit menjadi hilang?"
Sang Buddha mengulang pertanyaannya tiga kali dengan lembut
tetapi Saccaka tidak mampu menjawabnya.
Sang Buddha melanjutkan: "Dengan demikian, perasaan, tubuh,
atau kesadaran itu bukanlah 'Diri' sebenarnya yang mengendalikan dan
memerintah. Untuk menemukan diri yang kekal di antara semua ini
adalah tidak mungkin, bagaikan seorang pencari kayu yang menebang
pohon pisang untuk mencari kayu, dia hanya akan menemukan
lembaran-lembaran daun dan pelepah pisang, tanpa sekerat kayu pun,
baik yang bagus maupun yang buruk. Maka adalah sia-sia jika kamu
mencari diri yang kekal dalam kelima atau keenam inderamu. Organ
pemikirmu hanya akan mencari dengan sia-sia."
Sang Buddha berhenti sejenak dan hening seketika, Saccaka tidak
berusaha menjawab. Akhirnya salah seorang bangsawan Licchavi
berkata, "Saccaka bagaikan seekor kepiting yang kulitnya telah
dipecahkan anak-anak dan tidak dapat kembali ke sungai."
159
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
Saccaka sangat marah dan mengatakan ia hanya kagum kepada
Gautama, lain tidak. Mungkin dia sekarang menyesal telah membawa
rombongan bangsawan tersebut. Dia memandang Sang Buddha dan
berkata, "Anggaplah saja saya dan yang lainnya telah mengatakan halhal yang tidak berguna. Sekarang katakan padaku apa inti ajaranmu?"
Sang Buddha menjelaskan dengan sabar, "Dia yang berhenti
mengejar diri yang kekal, tidak lagi menjadi budak nafsu keinginannya.
Dia telah menemukan cara mengendalikan tuntutan diri yang selalu
berubah. Dia telah mengalahkan semuanya. Dia telah menemukan
kedamaian Nirvana."
Saccaka telah dikalahkan oleh cinta kasih Sang Buddha. Dia
mengaku bahwa ia telah berlaku congkak karena berpikir dapat
menyudutkan Gautama. Dia berkata, "Seseorang mungkin akan dapat
menghadapi seekor gajah cerdik, tetapi tidaklah demikian bila
berhadapan dengan Yang Arya Gautama. Saya memohon kesudian
Anda untuk menghadiri jamuan makan besok."
Sang Buddha setuju. Kemudian Saccaka berkata sambil menunjuk
bangsawan Licchavi, "Bangsawan-bangsawan inilah yang akan
menyediakan makanan kita."
Beberapa bangsawan itu marah karena menganggap Saccaka
menyuruh mereka menderma dan dia yang akan mendapat pahala.
Tetapi akhirnya mereka setuju.
Keesokan harinya bangsawan-bangsawan itu telah menyediakan
makanan istimewa dan Saccaka sendiri yang menunggui Sangha.
Setelah selesai makan dia berdiri dan berkata dengan ramah, "Semoga
para dermawan yang menyediakan semua makanan ini mendapat
berkah," sambil melihat ke arah bangsawan-bangsawan itu.
Sang Buddha memandangnya dengan sedih dan berkata,
"Saccaka, engkau hanya dapat memberikan sedikit pahala kepada
mereka sebagaimana yang berkembang dari diri yang masih terikat
dengan nafsu dan kemarahan." Beliau berhenti dan menambahkan
"Jika ada kemungkinan engkau bisa menerimanya, saya akan
memberimu pahala yang akan tumbuh dari orang yang bebas dari
nafsu dan kemarahan."
Setelah aku melihat Saccaka demikian rendah hati menjamu
kami, aku berpikir ini benar-benar merupakan suatu 'jejak kaki dari
seekor gajah besar'.
Tetapi hari berikutnya ketika Saccaka datang kembali ke tempat
Sang Buddha, dia tetap berusaha menyudutkan Sang Buddha. Dia
berkata, "Ada beberapa orang pertapa yang hanya melatih pikiran
160
Saccaka Sang Pendebat
mereka, tidak tubuh mereka, dan saya rasa pengikut-pengikut Anda
termasuk kelompok demikian."
"Apa yang kamu dengar mengenai pertapa yang melatih tubuh
mereka?" tanya Sang Buddha.
"Sebagian pertapa-pertapa itu telanjang, menjilati tangan mereka
selesai makan dan bukan mencucinya, menolak makanan dari wanita
hamil, dan dari dua orang yang makan bersama dan sebagainya."
"Dan apa yang kamu dengar mengenai pertapa yang melatih
pikiran mereka?"
Saccaka tidak menjawab, Sang Buddha melanjutkan: "Cara
melatih tubuh seperti yang engkau katakan tadi bukan latihan sama
sekali. Haruskah saya jelaskan bagaimana tubuh dan pikiran dilatih?"
"Jika Anda bersedia," jawab Saccaka, padahal dia sendiri juga
tidak menjawabnya.
"Jika seseorang demikian melatih dirinya sehingga segala bentuk
kesenangan tidak lagi dapat mempengaruhinya, maka tubuh dan
pikirannya telah dilatih."
Saccaka pun berkata dengan kasar, "Semoga Anda, Gautama juga
mempunyai tubuh dan pikiran yang terlatih."
Sang Buddha menjawab dengan lembut, "Kata-kata Anda agak
kurang sopan, tetapi memang benar sejak saya telah mencukur rambut
saya dan memakai jubah ini, pikiran saya sudah tak dipengaruhi lagi
oleh hal-hal yang menyenangkan ataupun tidak menyenangkan!"
"Mungkin," Saccaka semakin menyudutkan beliau. "Anda tidak
pernah merasakan hal-hal yang menyenangkan dan menyedihkan.
Mungkin Anda dilahirkan berdarah dingin seperti ikan."
Seorang bhikkhu muda yang mendengarkan percakapan itu
sangat marah karena Sang Buddha diperlakukan demikian. Lalu ia pun
mulai berjalan dan mengepalkan tangan untuk mengurangi
kemarahannya. Sang Buddha berusaha menenangkannya dengan
pandangan beliau, tetapi dia terlalu gusar sehingga tidak memperhatikannya. Sang Buddha kembali menjawab dengan sabar.
"Saat saya belum mencapai penerangan sempurna, dan rambut
saya masih hitam tanpa uban, mana mungkin perasaan saya beda dari
yang lain? Biarkan saya jelaskan kepadamu Saccaka, bagaimana cara
saya melatih pikiran dan tubuh."
"Semula saya pikir untuk melatih tubuh maka harus menyiksa diri.
Saya menekan langit-langit lembut rongga mulut dengan lidah untuk
mengontrol pikiran sendiri. Saya berjuang sedemikian keras, sampai
mengeluarkan keringat. Dengan cara demikian pikiran saya memang
terkontrol, tetapi tubuh ini tidak; karena terlalu menderita akibat
161
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
tekanan, akhirnya pikiran saya tak terkendalikan. Kemudian saya
berusaha bermeditasi dengan menekan pernafasan. Saya menutup
jalan udara hidung dan mulut sehingga pada telinga terdengar
dengungan kuat. Pikiran saya pun terkendalikan, tetapi sekali lagi saya
menderita akibat pemaksaan yang berlebihan. Akhirnya, kembali saya
kehilangan kendali. Saya berpikir mungkin saya berlatih kurang keras.
Berikutnya saya mulai menutup telinga. Seolah-olah ada seorang kuat
yang berpedang tajam hendak memecahkan otakku. Seperti
sebelumnya saya pun gagal. Saya mengulang metode itu berkali-kali
dan lebih keras lagi, tapi akhirnya sia-sia saja.
Lalu saya mencoba mengurangi makan. Dewa-dewa datang dan
menawarkan makanan yang lezat, tetapi saya tolak. Saya mengurangi
makan dan hanya minum air kacang-kacangan. Tubuh saya benarbenar kehilangan tenaga. Tulang-tulang sendi saya sakit semua,
demikian juga anggota badan yang lain, mata saya semakin redup
bagaikan sumur yang kekeringan, kulit saya bagaikan buah labu yang
berkerut akibat dipetik sebelum matang. Ketika saya berusaha untuk
berdiri, saya terjatuh lemas dan seolah-olah telah mati.
Lalu saya berpikir tentunya semua penderitaan ini lebih buruk
daripada yang pernah dialami pertapa lainnya. Akan tetapi dengan cara
yang keras ini saya tidak mendapat apa-apa, tidak dapat
mengendalikan tubuh dan pikiran, baik pandangan batin maupun
kebijaksanaan."
"Saya hampir putus asa, lalu tiba-tiba saya teringat akan ayah saya,
raja Suku Sakya, saat membajak sawahnya dan saya yang masih muda
duduk di bawah rindangan pohon apel. Nafsu dan keinginanku hilang
dan saya mulai bermeditasi dengan pikiran terkonsentrasi. Saya
menyadari bahwa saat itu saya lebih mendekati kebijaksanaan
dibanding dalam keadaan menderita seperti sekarang. Saya bertanya
pada diri saya sendiri mengapa saya begitu takut pada keadaan yang
menyenangkan, mengapa saya harus tidak mencicipi makanan? Lalu
saya pun mulai makan. Pada waktu itu saya bersama lima orang
pengikut, salah satunya adalah Assaji yang sangat mengagumi
kekerasan dan keteguhan latihan saya. Tetapi mereka kemudian
berubah dan meninggalkan saya ketika saya mulai makan, mereka
mengatakan saya mulai bersenang-senang.
Kekuatan saya mulai pulih setelah makan, dan saya sendirian di
hutan bermeditasi dan mulai menyadari kebahagiaan ketika pikiran
terkonsentrasi. Kemudian saya memasuki tingkat meditasi yang lebih
tinggi. Tetapi kebahagiaan yang kualami tidak mengekang dan
mengendalikan pikiranku. Pada malam itu, di saat jaga terakhir,
162
Saccaka Sang Pendebat
pengetahuan dan penerangan muncul, sebagaimana halnya mereka
selalu muncul pada mereka yang berusaha keras mencarinya.
Demikianlah saya belajar cara melatih pikiran dan tubuh, Saccaka.
Dalam kebahagiaan yang saya temukan itulah saya hidup sekarang ini."
Bhikkhu muda yang marah kepada Saccaka duduk dan
mendengarkan dengan penuh perhatian penjelasan Sang Buddha
tentang penderitaan dan jalan mengakhiri dan melenyapkan
penderitaan. Mereka semua baru mendengar hal ini untuk pertama
kalinya. Kami begitu terpengauh hingga banyak yang mencapai
ketenangan bermeditasi. Tetapi kami dikejutkan oleh suara Saccaka
yang kasar:
"Sang Gautama diakui sebagai yang telah mencapai penerangan
sempurna, apakah ia mengaku pernah tidur pada siang hari?" Kata-kata
ini bagaikan segerombolan orang-orang kasar yang mengganggu
ketenangan hewan-hewan yang sedang menghilangkan dahaga di
danau. Sang Buddha memandang Saccaka dan menjawab dengan
cinta kasih.
"Bulan lalu pada musim panas ketika saya kembali dari meminta
makanan, saya melipat jubah dan berbaring kemudian tertidur."
"Ada pertapa yang menyebutnya sebagai kelengahan," Saccaka
berkata. Dia tidak puas. Sangat sulit untuk memancarkan cinta kasih
kepadanya kecuali orang yang telah benar-benar mengerti arti cinta
kasih. Bhikkhu muda tersebut mengepalkan tinjunya dan merapatkan
giginya kembali untuk menahan emosi.
"Kelengahan itu adalah bukan sesuatu yang bisa hadir atau pun
tidak hadir," jawab Sang Buddha sambil tersenyum. "Dia yang telah
terbebas dari kesenangan duniawi berarti telah bebas dari kelengahan,
karena dia telah terbebas dari belenggu diri."
Seperti kunjungannya yang pertama, akhirnya Saccaka pun
tunduk pada kekuatan cinta kasih Sang Buddha. Tetapi dia masih tetap
berpikiran picik yang membuatnya tidak bahagia, seandainya saja ia
tahu itu. Mengapa manusia begitu terikat sehingga menjadi budak
nafsunya sendiri?
Dia kemudian berkata, "Terima kasih, Gautama. Anda telah
menunjukkan sesuatu yang berharga untuk direnungkan. Sangat
menakjubkan, Gautama. Walaupun Anda gusar, tetapi air muka Anda
tidak berubah sama sekali. Saya telah menghadapi berbagai tipe
pertapa yang kemudian berubah gusar, marah atau emosi. Anda benarbenar tenang seperti seorang malaikat, yang sempurna. Sekarang saya
harus pergi."
163
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
"Silahkan." Sang Buddha tersenyum dan tetap ramah. Kami tidak
lagi merasa melihat jejak kaki dari seekor gajah besar. Saccaka
terpengaruh, tetapi tidak berubah dan dia tidak pernah menjadi
pengikut Sang Buddha.
Setelah Saccaka pergi, Sang Buddha beralih pada bhikkhu muda
yang marah tadi, dia masih berjalan ke sana ke mari. Saya dapat
merasakan apa yang ada di dalam pikirannya, konflik antara kehendak
untuk menjatuhkan Saccaka baik dengan kekuatan fisik maupun
mental dan ajaran cinta kasih Sang Buddha dalam pikiran maupun
kata-kata. Suara Sang Buddha terdengar penuh kegembiraan saat
beliau berkata:
"Sahabat muda, kamu marah kepada apa? Kepada rambut di
kepalanya atau tubuhnya? Atau mungkin giginya? Atau empat unsur
dasar yang membentuk, tanah, udara, api dan air? Atau mungkin organ
pencerapnya?"
Bhikkhu muda itu tertawa.
"Jika kamu menganalisa dia," lanjut Sang Buddha, "Dengan
membukanya selembar demi selembar seperti membuka lembaran
pohon pisang, kamu tidak akan menemukan apapun untuk dimarahi,
tidak ada tempat bagi kemarahan sama sekali."
"Saya tahu Guru, tetapi itu dalam teori, bagaimana cara saya
menerapkannya?"
"Jika seseorang memberikan hadiah kepada temannya dan
ternyata temannya itu menolak hadiah tersebut. Jadi hadiah itu
sekarang milik siapa?"
"Milik si pemberi, Guru."
"Ya, jika seseorang menyodorkan kemarahan dan kebencian dan
kamu menolak untuk menerimanya, lantas kemarahan dan kebencian
itu milik siapa?"
"Milik yang marah, Guru."
Sang Buddha berhenti sampai di situ, bhikkhu muda itu pergi
dengan puas dan gembira. Tetapi menurut aku, jika seseorang tidak
dapat menyampaikan dengan belas kasih sehingga hati yang
mendengarnya tersentuh, maka rasanya akan sulit membuka lembar
demi lembar pohon pisang sampai seseorang benar-benar menyadari
bahwa sebenarnya tidak ada tempat untuk kemarahan sama sekali.
164
Kedamaian di Hutan Mangga
Setelah setahun berada di Vesali, Sang Buddha menyeberangi
Sungai Gangga menuju Kerajaan Magadha, di mana Ajatazattu sedang
berkuasa. Ajatazattu tidak mengizinkan ayahnya, Bimbisara, untuk
mengundurkan diri dan beristirahat dengan tenang seperti keinginannya karena walaupun ayahnya tidak lagi berkuasa sebagai raja,
rakyat tetap sangat menghormati dan mencintainya serta senantiasa
meminta nasehatnya. Anaknya menjadi cemburu dan tidak
mengizinkan siapa pun untuk menemui ayahnya di tempat
kediamannya yang dibuat seperti penjara. Lama-kelamaan Bimbisara
pun mati kelaparan. Selanjutnya, untuk memperkuat dirinya, Ajatazattu
membangun kota bertembok yang berjejer ke bagian utara dan
dikelilingi oleh perbukitan. Dengan kejam, dia memusnahkan desa
kecil di sana berikut hutan mangganya, dan juga menebang banyak
pohon bambu dan palem yang telah menjadikan Veluvana tempat
khusus buat Sangha, walaupun karenanya jarak antara kota dan desa
menjadi lebih pendek dan mudah dicapai.
Karena keadaan Veluvana yang telah menjadi demikian, Sang
Buddha tidak menetap di sana pada kunjungan ke Rajagaha kali ini,
tetapi langsung menuju bukit Gijjhakuta (lereng Burung Bering) dan
tinggal di Hutan Mangga milik tabib Jivaka, putera seorang pelacur,
tetapi ia terkenal sebagai seorang Sallakatta (tabib atau dokter). Dia
telah menjadi siswa Sang Buddha sejak Ananda mengundangnya
mengunjungi Sang Buddha untuk memeriksa kesehatannya, dan dia
mengobati Sang Buddha dengan minuman sari buah-buahan. Dari
Jivaka aku kemudian mendengar tentang hal ini:
*******************************
Pada suatu festival di bulan purnama keempat, Raja Ajatazattu
duduk di teras tingkat atas rumahnya, dikelilingi oleh para menterinya.
Telah berlalu beberapa tahun sejak ia bersahabat dengan Devadatta
yang memperalatnya untuk membunuh Sang Buddha. Dia sangat
berambisi saat itu dan tidak mengetahui akibat yang akan diterimanya
saat ia merencanakan untuk membunuh ayahnya, Raja Bimbisara yang
bijaksana. Sekarang dia telah menjadi raja dan memudarkan
keagungan kerajaan, dan penderitaan akan mengikuti karma buruknya
bagaikan roda pedati yang mengikuti jejak kaki lembu yang
menghelanya. Pengaruh kekejaman Devadatta masih berbekas
padanya. Sekarang, pada saat bulan bersinar penuh di atas langit tak
165
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
berawan, seberkas kebajikan mulai meliputi hatinya, dan dia
menyenandungkan lagu kebahagiaan dan terima kasih atas keindahan
sinar bulan dan hari yang suci itu. Tetapi kemudian perasaan kosong
kembali menghantuinya: semua perselisihan, kehausan akan
kekuasaan, dan ingatannya akan perlakuannya yang kejam terhadap
ayahnya sehingga ia dapat memegang kekuasaan dengan bebas
sekarang ini. Sinar bulan membuatnya damai dan tenang untuk sesaat
dan kini semuanya kembali hilang. Berbagai perasaan bergejolak
dalam dirinya. Dia merindukan kedamaian abadi tanpa perselisihan.
Damai! Damai! seperti rembulan yang memancarkan sinarnya ke bumi
setelah siang hari yang terik dan panas!
Dia mengalihkan pandangannya dari sinar rembulan ke
menterinya dan berkata, "Pertapa atau Brahmana mana yang harus
dipanggil untuk memberikan kedamaian pada hati dan diri kita semua
malam ini?"
Salah satu menteri menjawab, "Purana Kassapa, Baginda, dia
terkenal sebagai seorang filsuf, dia dapat menjawab semua persoalan
yang dilemparkan padanya, Yang Mulia dapat mengunjunginya dan
pasti akan menemukan kedamaian karenanya."
Raja tidak percaya pertapa ini dapat memberikan kedamaian yang
diinginkannya. Sementara menteri lain juga memberikan pendapat
berbagai nama pertapa lainnya. Tetapi tak satu pun yang diterima Raja.
Dan dia beralih kepada Jivaka sambil bertanya, "Sahabat Jivaka,
mengapa Anda tidak berkata apa-apa?"
"Baginda," jawab Jivaka, "Sang Buddha, yang agung dengan
serombongan besar bhikkhu telah tiba di Rajagaha dan sekarang
tinggal di Hutan Mangga kita. Beliau mempunyai kebijaksanaan,
kebajikan dan kebahagiaan yang berlimpah-limpah. Baginda dapat
mengunjungi-Nya dan hati Baginda akan menjadi damai."
Raja ingat akan sinar aura yang lembut dan damai yang terpancar
dari Sang Buddha, dan tanpa ragu-ragu raja pun segera memerintahkan
Jivaka untuk mempersiapkan kereta untuk permaisuri dan para
pembantunya. Hanya pada saat ia mengagumi sesuatu seperti inilah ia
melupakan nafsu jahatnya. Jivaka sedih karena raja menginginkan
rombongan yang megah, padahal dengan rombongan yang demikian
megah, bagaimana mungkin Raja dapat menemukan kedamaian.
Tetapi dia mengerti pencarian Raja dan dengan belas kasih ia
membantu Sang Raja dan mempersiapkan serombongan gajah.
Wanita-wanita duduk di atas gajah betina sedang Raja duduk di atas
gajah mewah. Mereka pun berangkat dengan diiringi cahaya obor. Raja
memimpin di depan, sinar bulan memantulkan kilauan cahaya pada
166
Kedamaian di Hutan Mangga
permata-permata di baju kebesarannya, dia mengangkat kepalanya
tinggi-tinggi. Sebelum mencapai Hutan Mangga, tidak ada lagi jalan
yang bisa dilalui kereta, sehingga Raja dan Jivaka terpaksa turun dan
jalan kaki, sedang para wanita dan pelayan ditinggal.
Suara tertawa para wanita segera lenyap diganti sunyinya malam
dan keheningan hutan, ia kini sendirian bersama Jivaka. Tidak ada
tanda-tanda rombongan bhikkhu yang tinggal di Hutan Mangga. Dalam
kegelapan itu Raja mulai ketakutan. Dia berperasaan diintai banyak
orang di balik bayang-bayang. Apakah Jivaka menjebaknya? Apakah
ada serombongan musuh di balik pepohonan? Sekarang baru dia
teringat Sang Buddha adalah teman ayahnya. Dia teringat bahwa ia
sendiri yang menyebabkan kematian ayahnya dan ia teringat juga akan
semua yang ia sakiti, ia khianati, dan ia bunuh. Semakin dekat dengan
Hutan Mangga, perasaan bersalah dan takut semakin menterornya.
Seluruh bulu kuduknya berdiri. "Jivaka, kamu membawa saya ke
mana?" dia berteriak panik. "Apakah kamu menipu saya? Apakah kamu
menghianati saya? Mana mungkin tidak ada suara sama sekali, tidak
ada suara bersin atau batuk di antara demikian banyak bhikkhu?"
"Jangan takut, Baginda! saya tidak menipu, curang atau
menghianatimu. Jalanlah terus, Oh Baginda, lihatlah! Di halaman
paviliun, lampu-lampu menyala dan yang duduk menghadap timur
adalah Sang Buddha."
Raja berdiri terpaku kagum. Tidak ada seraut wajah pun yang
melihat ke arah mereka, semua diam, tenang, setenang cahaya bulan,
sediam patung, semuanya bersatu secara universal dan kekal.
Kedamaian yang tidak dapat dilukiskan seakan-akan terpancar dari
mereka yang tenang itu; yang kemudian merangkul sekelilingnya
sehingga Raja pun merasa larut di dalamnya, menyatu di dalamnya,
merasakan damai yang tak dapat diungkapkan.
Raja berdiri mematung lama sekali, sampai melupakan segala
kekuasaan dan kekuatan yang pernah diagungkan-agungkannya. Dia
terpesona akan pertemuan yang tenang, setenang danau, dan dia tahu
inilah yang dicarinya.
Akhirnya dia baru mampu menemukan kata-katanya, "Apakah
puteraku dapat memiliki ketenangan seperti yang ada pada pertemuan
bhikkhu ini?"
"Baginda sangat mencintainya?" tanya Jivaka.
"Ya" jawab Raja, "Saya mencintai anak itu dan mengharapkan ia
dapat menikmati kedamaian yang menakjubkan ini."
167
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
Kemudian, setelah ada kesempatan, Raja bersujud kepada Sang
Buddha dan mengutarakan pada-Nya bahwa ia ingin mengajukan
beberapa pertanyaan. Sang Buddha mengizinkan dan Raja pun berkata:
"Umat yang berasal dari kehidupan biasa," Sang Raja
menyebutkan semua pembantunya mulai dari menteri sampai
pengurus istana, seperti penjaga kuda, tukang masak, tukang kebun,
dan para akuntannya, "menikmati hidup mereka dari apa yang mereka
hasilkan. Mereka menghidupi diri mereka sendiri, orang tua dan anakanak mereka. Lalu apakah yang dihasilkan dari kehidupan
kebhikkhuan?"
Sang Buddha tersenyum dan mengerti bahwa Raja berusaha
menghindar dari apa yang telah dilihatnya, yakni kedamaian dari
meditasi yang dilakukan para bhikkhu. Beliau bertanya, "Jika
seseorang, misalnya penjaga kuda kerajaan ataupun tukang kebun,
meninggalkan nafsu duniawinya, hidup dan tinggal sederhana, tidak
punya keinginan apapun, apakah orang itu akan menjadi penjaga kuda
dan tukang kebun lagi?"
"Tidak, Bhagava, karena semua orang kini menghargai dan
menghormatinya sedangkan sebelumnya dia tak lebih dari seorang
pelayan."
"Dan seandainya, Oh, Baginda! Dia bukan seorang pelayan, dia
seorang yang bebas, seperti misalnya seorang petani yang mengolah
tanahnya sendiri dan hanya membayar pajak kepada Raja. Jika dia
kemudian meninggalkan segala hal keduniawian, termasuk kedudukan
terhormat, dan sebaliknya menjalankan kehidupan pertapa, akankah ia
kembali pada profesinya semula?"
"Tidak, Sang Gautama, alasannya sama, karena ia lebih dihargai
dan dihormati. Tetapi dapatkah Anda menunjukkan keuntungan lain
sebagai bhikkhu, sesuatu yang lebih tinggi dari sekedar rasa hormat," ia
melanjutkan dengan ragu-ragu, "kedamaian ini?"
"Ya, Baginda! Masih ada buah yang lebih baik lagi. Buah ini adalah
buah yang diperoleh jika seseorang itu telah bebas dari kemarahan,
nafsu dan kepentingan diri sendiri."
"Katakan padaku jalan untuk memperoleh buah karma itu,
Bhagava," Raja berkata dengan sangat ingin tahu.
"Dengarkan, Baginda! Dia yang hidup dalam kekerasan, pertamatama harus dapat menyingkirkan kekerasan dan pembunuhan. Dia
meletakkan pedangnya dan mencintai seluruh makhluk hidup."
Kemudian Sang Buddha menjelaskan kepada Raja langkah-langkah
dari Jalan serta empat tingkat meditasi dan kebahagiaan.
168
Kedamaian di Hutan Mangga
Raja mendengarkan; kehausan akan kekuasaan, kehormatan, dan
bayangan-bayangan buruk mulai lenyap. Dia pun mencapai sinar
kesunyaan, yang tidak kosong, tetapi dipenuhi oleh segala sesuatu.
Ketika Sang Buddha mengakhiri penjelasan, Raja seperti baru sadar
dari mimpi, kata-kata Sang Buddha seperti bukan berasal dari dunia ini.
"Dia yang bebas," lanjut Sang Buddha, "Bagaikan bunga teratai
yang terapung dengan tenang di atas air, jenuh air dari ujung daun
sampai ke ujung akarnya, seperti halnya bunga teratai yang beraneka
warna, merah, putih dan biru, demikian juga dia yang bebas dari
keterikatan, apapun bentuk maupun penampilan luarnya tidak akan
mempengaruhi arus hidupnya lagi, dia akan hidup dalam damai di atas
air kehidupannya. Dia yang telah melepaskan ikatan, bagaikan
genangan air di pegunungan yang bukan berasal dari air sungai
ataupun hujan, tetapi bersumber dari mata air di bawahnya yang
mengalir tanpa henti. Airnya bersih dan jernih yang selalu diganti oleh
mata airnya yang tersembunyi. Begitu pun juga dia yang telah bebas
dari ikatan, akan selalu damai dalam arus kebebasan. Oh Baginda,
itulah hasil yang diperoleh bagi yang telah melepaskan hawa nafsunya
dan telah bebas dari keakuan."
Raja mendengar dengan penuh perhatian. Inilah damai yang
dicarinya. Dia dapat merasakan perasaan itu, yang meliputinya bagai
sinar bulan berbias keperak-perakan pada pohon-pohon mangga.
Kemudian ingatan masa lalunya kembali terlintas.
"Bhagava, saya ingin menjadi siswa-Mu. Tetapi saya penuh dosa.
Saya orang yang lemah, bodoh dan bersalah. Saya membunuh ayah
sendiri, raja yang bijaksana. Saya sadar akan dosa-dosa saya dan kelak
saya akan mengendalikan diriku sendiri—." Tiba-tiba dia berhenti.
Apakah mungkin dia berpikir bahwa hidup dengan melenyapkan nafsu
berarti melepaskan semua yang ia sayangi?
Sang Buddha mendorongnya untuk melanjutkan, berkata,
"Dengan melihat dosa-dosamu dan mengakuinya, maka pengakuanmu
akan diterima. Jalan tidak tertutup bagi siapa pun. Dia yang telah
sepenuhnya sadar akan dapat mengendalikan dirinya kelak."
Sang Buddha memandangnya dengan cinta kasih, tetapi di
wajahnya masih terlihat keragu-raguan. Jalan dan Terang belum
menyentuh orang yang tidak bahagia ini. Pertanyaan yang diharapharapkan para Bhikkhu tidak kunjung terdengar. Raja menggerakkan
kepalanya, menggenggam jubahnya dengan gelisah, beberapa saat
kemudian dia berkata dengan lemah bahwa ia harus pergi dengan
Jivaka karena sibuk dan banyak lagi yang harus dikerjakan.
Sang Buddha berbalik kepada siswa-siswa beliau dan berkata:
169
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
"Raja sebenarnya sudah sangat terpengaruh; hatinya tersentuh.
Tetapi padanya masih terdapat kehausan akan kekuasaan yang
menyebabkannya membunuh ayahnya yang bijaksana. Jika tidak,
Kebenaran akan tumbuh dalam dirinya dan walaupun ia hanya duduk
di ujung sana, ia dapat memasuki arus menuju Nirvana. Tetapi ia
rupanya masih terperangkap dalam lingkaran karma akibat
perbuatannya sendiri."
170
Tahun-Tahun Terakhir Kehidupan
Sang Buddha
Suatu hari, ketika Sang Buddha hampir mencapai usia delapan
puluh tahun, aku berjalan menuju puncak Gijjhakuta, kota tua tampak
terhampar di bawahku. Aku dapat melihat 'penjara' tempat Bimbisara
menemui ajalnya dan pemisah bukit ke Selatan, tempat yang sangat
mengesankanku saat pertama kali aku memasuki Rajagaha. Tetapi
sekarang debu di musim kering ini mengaburkan segala sesuatu,
sehingga aku hanya dapat melihat lapangan persegi di sekeliling bukit
dengan samar-samar dan dinding-dinding yang membatasi kota baru
milik Ajatazattu. Aku berusaha membayangkan perubahan
pemerintahan di Rajagaha. Kemudian pikiranku melayang ke taman
Apel yang luas dan lapang, dan tiba-tiba aku sadar bahwa Sang Buddha
telah memberikan perubahan yang drastis kepada semua orang. Beliau
lebih sering disapa dengan "Yang Terbahagia", dan bagaikan
gelombang air yang ditimbulkan oleh sebuah sampan di atas
permukaan danau yang tenang, demikian juga kebahagiaan-Nya
menyebar ke seluruh penjuru dibarengi cinta kasih-Nya. Aku ingat
sekarang bahwa acara kurban hewan pada upacara kaum tertentu
yang pernah kusaksikan telah lama berlalu. Aku juga menyadari bahwa
sekarang kaum wanita mulai dihormati, yang tak pernah terjadi pada
masa sewaktu aku muda dulu. Perasaan belas kasih rakyat terlihat dari
bertambahnya jumlah orang-orang vegetarian yang menghargai lembu
yang menghasilkan susu perahan. Dalam hal ini Sang Buddha telah
membuka Jalan Ahimsa; jalan hidup tanpa kekerasan, kebenaran yang
telah pernah dilupakan.
Aku jarang bersama Sang Buddha pada saat-saat terakhir hidup
beliau. Selanjutnya Ananda yang lebih tahu apa yang terjadi, karena
dialah yang senantiasa melayani Sang Buddha pada saat-saat terakhir
hidupnya, jadi lebih baik Ananda yang menceritakan dengan katakatanya sendiri.
**************************
Yang kuceritakan kini adalah perjalanan Sang Buddha ke Magadha
yang terakhir kali sebelum kemangkatan-Nya. Kami menyeberangi
sungai Gangga menuju Utara ke Vesali, ibukota Licchavi. Pada waktu
itu, penduduk Vesali yang paling dikagumi adalah Ambapali, nama
panggilannya adalah "Gadis Mangga" karena dia adalah putri penjual
171
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
buah-buahan. Dia sangat lembut dan cantik, sehingga banyak
bangsawan yang berusaha melamarnya dan karena semuanya tidak
dapat memperistrinya, dia dijadikan wanita simpanan sehingga banyak
pria-pria yang datang ke Vesali hanya untuk mengunjunginya, akibatnya
kota Vesali menjadi sangat ramai dan makmur. Ambapali tidak hanya
cantik dan kaya, tetapi juga sangat terkenal, juga pelayan-pelayannya.
Dari salah satu pelayannya itulah saya mendengar tentang bagaimana
Ambapali sampai mengunjungi Sang Buddha.
Kelihatannya Ambapali telah menderita berbulan-bulan dan tak
dapat beristirahat. Pelayan yang juga merupakan teman akrabnya,
berusaha membantunya dengan mengatakan bahwa ini mungkin
dikarenakan dia sakit. Tetapi Ambapali berkata:
"Tidak, pelayanku," dia berkata, "Perasaan tidak tenang ini telah
selalu menghantuiku, dan bukan dikarenakan saya sakit. Saya sendiri
tidak mengerti. Saya merasa bagaikan seorang pesakitan dan sangat
merindukan kebebasan."
"Tetapi engkau adalah wanita paling cantik dan kaya dari seluruh
wanita di kota ini," pelayannya protes, "dan semua laki-laki ingin
memilikimu, tidak hanya keindahan tubuhmu, tetapi juga
kebijaksanaan dan ketenangan pikiranmu, engkau dicintai semua
orang karena kebaikanmu."
"Saya tahu," Ambapali menjawab, "tetapi kadang-kadang saya
cemburu akan kehidupan seorang istri biasa dengan suami yang sulit
diatur dan anak-anak yang ribut dan lincah."
"Engkau tidak mengerti apa yang engkau katakan, Nyonya," jawab
pelayannya dengan tenang, "nasib wanita memang sulit, kecuali jika ia
dikagumi banyak orang. Wanita biasa mulanya menjadi budak di
rumah ayahnya, kemudian dia pindah ke rumah suaminya dan juga jadi
budak di sana. Tetapi Nyonya bebas dari semua ini."
"Benarkah? Kalau begitu berarti saya sedang mencari kebebasan
lain, yang tidak dapat diperoleh dari kecantikan, kekayaan, suami dan
anak. Oh, pelayanku! Saya akan menyerahkan semua milikku untuk
menemukan kebebasan, untuk menemukan akhir dari penderitaan ini,
saya betul-betul bingung."
Pada saat itu seorang pelayannya membawakan sarapan pagi dan
sewaktu dia akan pergi, dia berkata:
"Tahukah Nyonya bahwa Yang Arya Gautama, Buddha yang telah
mencapai penerangan sempurna, kemarin tiba dengan beberapa orang
siswa-Nya, dan sekarang menginap di hutan mangga Nyonya?"
"Sang Buddha Gautama!" teriak Ambapali, "Siapkan keretaku
segera. Aku harus menemuinya."
172
Tahun-Tahun Terakhir Kehidupan Sang Buddha
"Tetapi, Nyonya," dia protes, "Orang-orang mengatakan Beliau
tidak tertarik dengan kecantikan wanita, lagipula, sekarang dia sudah
tua, sangat tua malah."
"Saya tahu. Itulah sebabnya saya harus menemui Beliau. Tidak
dapatkan kamu mengerti? Kecantikan dan keindahan akan rusak dan
berlalu. Tetapi ada sesuatu yang lain, dan Sang Buddha Gautama
mengetahuinya. Saya harus menemukannya. Suruh mereka percepat
kerjanya dan persiapan keretaku sementara aku akan melepaskan
semua perhiasan yang tak berguna ini dan mengenakan gaun sederhana."
Pelayan itu segera mengambil bakinya dan pergi. Ambapali
beralih kepada pelayannya, sembari berkata, "Ini adalah jawaban dari
keinginanku. Ayo!"
Pada saat itu, Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma
kepada kami, mengingatkan kami untuk mengendalikan perasaan
tubuh dan mental yang timbul, menyadarinya sebagai riak gelombang
yang mengikuti riak gelombang lainnya yang dibentuk oleh keadaan
sebelumnya, agar kita tidak dikendalikan olehnya. "Seorang bhikkhu
harus senantiasa menyadari sepenuhnya apa yang dilakukannya — saat
keluar, saat berjalan masuk, saat melihat dengan mata, saat
membungkukkan badan atau mengangkat lengan, saat memakai jubah
dan membawa mangkuknya. Saat makan, minum, berdiri atau tidur,
saat berbicara atau diam—apapun yang ia kerjakan, dia harus benarbenar menyadarinya."
Salah satu bhikkhu muda berkata. "Apakah Guru khusus
mengatakan hal ini kepada kami karena hutan mangga ini milik
Ambapali, wanita tercantik di seluruh dunia sehingga nafsu duniawi
tidak sampai mempengaruhi kami?"
"Ya, anakku, dan juga karena ini milik bangsawan Licchavi, yang
mempunyai dandanan, kuda-kuda dan bawaan mewah dan mahal.
Jika kamu tidak mengendalikan pikiran, maka nafsu duniawi akan
mempengaruhi kamu."
"Guru," si bhikkhu muda melanjutkan, "Selain dari penuh
perhatian, kadang kala pikiran selalu mengembara pada hawa nafsu
dan ketamakan, dan saya sering putus asa karena tidak dapat bebas
dari hal-hal ini."
"Anakku, kamu tidak dapat memaksa pikiran dan perasaanmu
agar dapat segera mengakhirinya. Dengan tidak berhenti melatih diri
dengan menjalankan Vinaya, seperti menghindari godaan penglihatan
dan pendengaran, dan juga makanan saat belum waktunya. Dengan
menjalankan dan merenungkan Dhamma, dengan meditasi, kamu
173
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
akan dapat mengendalikan pikiran dan perasaanmu." Sang Buddha
menunjuk seorang petani yang dapat kami lihat langsung dari tempat
kami, dia sedang menanam benih padi di sawahnya. "Kemarin, ketika
kita tiba, petani itu membajak dan menggarap sawah dengan giat. Hari
ini dia menyemaikan benih dengan cepat. Besok dia akan mengatur air
ke saluran irigasi secepat mungkin kemudian menghentikannya. Tetapi
petani itu tidak mempunyai kekuatan gaib atau kekuatan untuk
mengatakan, 'Biarkanlah tanaman saya tumbuh, besok berbuah dan
lusa dapat dituai', Apa yang menyebabkan tanaman itu tumbuh
berbuah dan masak?"
"Tergantung pada musim, Guru. Jika musimnya tiba, tanaman itu
akan tumbuh berbuah dan masak."
"Demikian juga halnya dengan bhikkhu yang melatih diri dalam
kebijaksanaan dan pikiran serta pandangan batin yang lebih tinggi, dia
tidak mempunyai kekuasaan untuk mengatakan. 'Biarkan pikiran saya
bebas dari kegelapan batin hari ini; Biarkan ia bebas besok dan lusa.'
waktu yang membebaskannya, bukan dirinya sendiri. Dirinya yang
melaksanakan latihan itu, tetapi kapan ia dapat terbebas, bukan dia
yang menentukan."
Pada saat Sang Buddha sedang berbicara, Ambapali dan
pelayannya datang mendekat. Dia berpakaian putih sederhana seperti
pengikut biasa lainnya dan bersujud kepada Sang Buddha. Bhikkhu
muda tadi menunduk untuk mencegah melihat langsung Ambapali.
"Tuan yang mulia," Suaranya gemetar karena terdorong emosi.
"Saya telah menikmati segala kesenangan duniawi. Saya memperoleh
apa yang dikatakan orang lain bagus tetapi ternyata hanya membawa
penderitaan dan kehampaan. Saya merasa diri saya tidak berarti sama
sekali kecuali seseorang yang hanya memainkan bagian dari babak
drama yang bodoh yang penuh dengan nafsu yang akhirnya akan
hancur dan mati. Saya ingin bebas dari lingkaran kehidupan yang
menyedihkan ini."
"Anakku," Sang Buddha berkata dengan penuh kasih dan
pengertian yang seakan membukakan pintu Dhamma ke luar
jangkauan dunia. "Berlindunglah dalam Dhamma. Jangan berlindung
pada yang lain, karena kamu dapat menemukan kebebasan yang kamu
cari di dalam Dhamma."
"Apakah ada jalan untuk menemukannya, Guru, jalan yang
bahkan orang seperti saya pun dapat menempuhnya?" Suaranya penuh
kesedihan, sehingga bhikkhu muda tadi menjadi tidak takut akan
kecantikan seorang wanita dan kini memandangnya sebagai seorang
kakak yang sangat membutuhkan pertolongan.
174
Tahun-Tahun Terakhir Kehidupan Sang Buddha
"Ada, anakku, dialah jalan penyucian diri, jalan cinta kasih dan
kebenaran sejati." Lalu Sang Buddha mengajarkan Empat Kesunyataan
Mulia dan Delapan Jalan Utama. Ambapali mendengarkan dan
mengerti; ketika Sang Buddha mengakhiri penjelasannya, dia meminta
beliau untuk makan di rumahnya besok dan Sang Buddha pun setuju.
Sebelum pergi dia membersihkan debu dari kaki Sang Buddha.
Pada hari-hari itu, Sang Buddha sangat dihormati tidak hanya oleh
Ambapali, tetapi semua orang di Vesali yang tahu akan kedatangannya
segera menemuinya. Ketika bangsawan-bangsawan Licchavi
mendengar hal itu, mereka segera memerintahkan untuk menuju ke
hutan mangga Ambapali.
Mereka berpakaian lebih bagus daripada biasanya, pakaian
mereka disesuaikan dengan warna kulit masing-masing. Yang hitam
berpakaian warna gelap dan permata berkilauan, yang putih
berpakaian warna cerah dan perhiasan, yang warna kulitnya kemerahmerahan berpakaian warna merah dengan permata ruby merah tua.
Benar-benar pemandangan yang menakjubkan.
Mereka bertemu Ambapali yang baru pulang dari hutan mangga.
Dia berdiri dengan bangga di keretanya dan memerintahkan
pelayannya untuk tetap melaju di tengah-tengah jalan, jadi ia berada di
antara kereta-kereta bangsawan-bangsawan Licchavi. Pemimpin
bangsawan-bangsawan itu berkata:
"Ambapali, kenapa Anda berjalan melawan kami?"
"Tuanku," dia menjawab dengan riang. "Saya telah mengundang
Sang Buddha dan siswa-Nya untuk makan di rumah saya besok. Dan
beliau akan datang!"
Bangsawan itu tidak menghiraukan kalimat Ambapali dan seorang
di antaranya berseru sambil tertawa, "Ambapali, biarkan kami yang
menjamu Sang Buddha dan kami akan mengganti seratus ribu, beliau
lebih cocok dengan tingkat kami, sebab beliau dilahirkan sebagai
seorang bangsawan, beliau lebih sesuai makan bersama kami."
"Tuanku," dia menjawab dengan gembira, "Walaupun Anda
menyerahkan Vesali dan segala isinya, saya tidak akan melepaskan
kehormatan yang telah saya peroleh ini."
Kemudian bangsawan Licchavi mengembangkan tangannya dan
berkata putus asa. "Kita telah dikalahkan gadis mangga ini!"
Ambapali langsung pulang untuk mempersiapkan makanan dan
bangsawan Licchavi pun memasuki hutan mangga; begitu mereka
muncul, Sang Buddha berkata kepada kami:
175
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
"Jika kalian belum pernah melihat pakaian para dewa, maka
lihatlah pakaian bangsawan-bangsawan muda itu. Tetapi ingatlah
kendalikan pikiranmu, jangan sampai dikuasai nafsu duniawi."
Mereka bersujud dengan hormat dan Sang Buddha bertanya
apakah mereka mendengarkan nasehat-Nya untuk memimpin
pemerintahannya
dengan
baik.
Ternyata
mereka
semua
melaksanakannya dengan baik. Kemudian Sang Buddha pun
memberikan khotbah dhamma kepada mereka. Ketika beliau
mengakhirinya, mereka mengundang Sang Buddha untuk makan
keesokan harinya.
"Besok saya sudah janji untuk makan di tempat Ambapali."
"Tetapi Yang Mulia," salah satu di antara mereka berseru. "Anda
adalah seorang pangeran seperti kami, Anda harus makan bersama
kami. Ambapali hanya seorang pelacur."
"Dalam dhamma, tidak ada pangeran atau pun pelacur, tidak ada
laki-laki atau pun wanita. Besok saya dan para bhikkhu akan makan di
tempat Ambapali."
Bangsawan Licchavi kembali mengangkat tangannya dan berseru
putus asa. "Jadi kami benar-benar dikalahkan oleh gadis mangga ini!
Dan gadis mangga ini telah menghambat kami!" Lalu mereka berterima
kasih kepada Sang Buddha dan pamit.
Kemudian saya mendengar bahwa malam itu Ambapali tidak
dapat tidur membayangkan kehormatan yang diperolehnya karena
Sang Buddha menerima undangannya, sebelum malam usai, dia telah
bangun dan menyiapkan sendiri nasi dan kue-kue. Ketika kami tiba, ia
sendiri yang melayani kami dan setelah selesai makan dia mengambil
sebuah bangku rendah dan duduk di samping Sang Buddha
mendengar uraian beliau tentang segala sesuatu yang tidak kekal dan
akan hancur. Sebelum kami pergi, dia menghadiahkan hutan
mangganya untuk Sangha dan berkeinginan keras menjalankan
Dhamma. Tetapi seperti yang mungkin telah kalian dengar, sebelum
Sang Buddha wafat dan setelah mendengarkan khotbah dari putranya
sendiri, Ambapali telah menjadi bhikkhuni dan mempelajari tentang
hukum ketidakkekalan berobyek pada tubuhnya yang tak kekal, dan
kemudian mencapai pandangan terang.
******************************
Yasa, pertemuan dengan Ambapali dan bangsawan Licchavi
adalah saat yang menyenangkan sebelum meningggalnya Sang
Buddha.
176
Tahun-Tahun Terakhir Kehidupan Sang Buddha
*******************************
Dari hutan mangga Ambapali kami menuju Beluva, desa kecil
pada kaki bukit dekat Vesali. Musim hujan segera akan tiba, Sang
Buddha mengatakan para bhikkhu harus menetap di vihara, masingmasing harus disertai temannya, sedangkan saya dan beliau sendiri
tinggal di desa.
Ketika musim hujan tiba, beliau jatuh sakit, yang hampir
mengakibatkan beliau wafat. Beliau menyadarinya dengan kesadaran
penuh tanpa keluhan, sedang saya menjaganya seperti ibu yang
menjaga anak tunggalnya, tanpa mengatakan perasaan saya yang
sedih. Suatu hari beliau agak sehat dan saya sangat gembira, dan beliau
berkata:
"Dalam keadaan tubuh yang sakit ini, Ananda, sebenarnya saya
sedang memasuki arus Nirvana, kedamaian teragung di saat tubuh
akan terurai, besar godaan untuk segera meninggal saja saat ini, tetapi
saya pikir tidaklah benar jika saya pergi tanpa mengucapkan selamat
tinggal pada para siswa dan memberikan khotbah mengenai
kehidupan seorang Brahmana. Jadi, dengan keinginan yang kuat itu,
Ananda, saya mengalahkan rasa sakit dan perasaan itu pun
menghilang."
Sang Buddha berkata apa adanya. Tetapi Yasa, apakah kamu
pernah membayangkan apa yang akan dilakukan bumi ini jika ia tahu
bahwa matahari segera akan terbenam dan tidak akan pernah terbit
lagi — kegelapan tanpa akhir, kematian. Begitulah perasaan yang
timbul pada saya saat Sang Buddha berkata demikian.
Keesokan harinya beliau keluar dan saya berusaha melindungiNya. Saya berkata kepada beliau:
"Guru, saya tahu keadaan tubuh Guru dan sekarang saya
mengetahui betapa besar penderitaan Guru, dan melihat keadaan Guru
saya menjadi lemas dan pikiran saya terasa mati. Satu hal yang saya
inginkan adalah bahwa Guru tidak akan meninggalkan kami sebelum
memberikan petunjuk tentang Sangha."
Suara Sang Buddha sangat lemah ketika menjawab: "Apakah
Sangha mengharapkan ini dari saya? Jika ada yang berpikir bahwa ia
mampu memimpin Sangha atau Sangha bergantung kepadanya, maka
dialah yang harus memberikan petunjuk," suara-Nya ditegaskan ketika
beliau melanjutkan, "Tetapi saya tidak berpikir bahwa sayalah
pemimpin Sangha atau Sangha bergantung kepada saya. Saya
mengajarkan kebenaran tanpa membedakan doktrin eksoterik dan
177
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
esoterik. Saya telah mengajarkan semuanya dan tidak ada yang saya
sembunyikan. Saya tidak mempunyai rahasia yang harus diturunkan
dari seorang guru kepada siswanya. Kebenaran itu terbuka bagi siapa
saja yang dapat mengerti. Kamu harus menjadi pelita bagi dirimu
sendiri, jangan bergantung kepada hal-hal di luar dirimu, jangan
bergantung pada pemimpin atau guru. Lihatlah dirimu, kamu adalah
Buddha!"
"Oh, Guru, jangan tinggalkan kami." Saya memohon
"Ananda," beliau tersenyum seperti biasanya, "saya sudah tua dan
cukup berumur. Perjalanan saya sudah hampir berakhir. Saya sudah
berusia 80 tahun. Batas usiaku telah tiba, dan seperti kereta pedati itu
yang hanya dapat berfungsi bila diberi perhatian ekstra, demikian juga
tubuh saya ini," kata beliau sambil menunjuk kereta pedati tua yang
terguncang-guncang di jalan, tetapi saya tidak gembira dengan kiasan
itu.
"Guru, jangan bercanda, jangan tinggalkan kami!"
"Ananda," beliau berkata lebih serius, "Tidakkah kamu sadari
bahwa hanya pada saat saya tidak larut dalam hal-hal di luar dan
tenggelam dalam konsentrasi, tubuh ini terasa baik? Apakah kamu
ingin tubuh yang telah sakit ini bertahan lebih lama lagi?"
"Tidak, Guru, tetapi siapa yang akan mengajarkan Dhamma kalau
Guru pergi?"
"Oh, Ananda, bukankah saya telah lama memgajarkan bahwa
kamulah yang menjadi pelita bagi Dirimu sendiri? Tidakkah kamu
mengerti? Berlindunglah pada Dirimu sendiri, Diri yang ada di
dalammu, pada tubuh yang akan rusak ini. Janganlah mencari
perlindungan lain. Berpeganglah pada Dhamma; janganlah beralih
pada pelita yang lain. Apakah Dhamma itu? Kamu harus
menemukannya sendiri."
"Tetapi saya yang begitu bodoh, bagaimana dapat menemukan
perlindungan, pelita dalam diriku?" Betapa kekanak-kanakan
pertanyaan saya,—Saya yang dikenal sebagai pengkhotbah dhamma—,
tetapi betapa kekanakan kesalahan yang diperbuat bila seseorang
dikuasai keegoisannya!
Sang Buddha, tanpa menghiraukan kata-kata saya menjawab,
"Ananda, yang kamu perlukan hanyalah kesadaran. Tidak hanya
kepadamu, tetapi juga kepada yang lain, saya katakan bahwa kamu
memiliki pikiran, kata-kata dan perbuatan yang baik, karena Ananda,
kamu belum pernah mengeluarkan kata-kata kasar, pikiran membenci
dan kamu selalu berusaha tanpa keegoisan. Tetapi Ananda jika kamu
ingin mengatasi kesedihan yang timbul dari perasaan menyayangi,
178
Tahun-Tahun Terakhir Kehidupan Sang Buddha
kamu harus belajar untuk tetap sadar, sadar saat pikiran dan perasaan
tersebut timbul. Pisahkan diri darinya dan perhatikanlah, maka kamu
akan mengerti bahwa pikiran ataupun perasaan itu hanyalah
kemelekatan pada diri yang bukan Diri yang sebenarnya. Berlindunglah
pada Dirimu yang sejati, Ananda, jangan pada saya ataupun pada tubuh
yang akan hancur dan juga pada pikiran saya."
"Kematian bukanlah sesuatu yang luar biasa karena semua
makhluk hidup akan mengalaminya. Kamu telah sering bertanya
kepada saya mengenai kehidupan setelah kematian. Pertanyaanpertanyaan itu sebenarnya tidak berguna, karena saya telah
mengajarkan kepadamu jalan untuk mengatasi kematian. Dengan
mengerti jalan itu, seseorang akan terbebas dari lingkaran kelahiran
yang tak berakhir. Orang yang demikian tidak akan pernah ingin tahu
lagi apa yang akan terjadi jika kehidupannya di bumi telah berakhir."
"Dapatkah saya mencapai kebahagiaan tertinggi itu dan
menemukan Nirvana?"
"Dapat Ananda, setiap orang akan mencapainya bila ia menjadi
pelita bagi Sang Diri. Jadi apakah saya masih hidup atau mati adalah
sama saja. Siapa saja yang menjadi pelita bagi Sang Diri akan dapat tiba
di puncak, tetapi ia harus benar-benar berusaha untuk itu."
179
Wafatnya Sang Buddha
(Lanjutan Cerita Ananda)
Keesokan harinya kami menuju tempat suci di Kapala. Di sana
kami duduk sebentar memandang padang luas, di mana terlihat para
petani sedang memisahkan hasil panen. Desa kecil itu terletak di antara
Hutan Mangga yang hijau. Apabila udara tidak kering, maka sungai kecil
akan senantiasa mengalir di kaki pohon palem. Burung-burung pun
beterbangan gembira dan hinggap di pepohonan yang buah-buahnya
yang masih hijau mulai kelihatan, sementara lembu-lembu memamah
biak di bawah pohon bambu raksasa.
"Vesali sangat mengagumkan!" Sang Buddha berkata dengan
kagum, "dan tempat-tempat suci seperti Vihara Udena dan Gotamaka—
sangat indah dunia yang maya ini! Para peramal selalu berusaha untuk
memperpanjang hidupnya. Tapi ini adalah suatu kebodohan!"
Aku sangat takut dan tidak dapat berpikir jernih karena ajal Sang
Buddha telah dekat. Seketika kemudian aku sadar bahwa Sang Buddha
telah menyinggung tentang memperpanjang masa hidup dan aku tidak
segera memohon beliau untuk melakukannya. Lalu beliau berkata:
"Tinggalkan saya sebentar, Ananda, saya ingin bermeditasi."
Ketika aku menemui beliau lagi, beliau mengatakan bahwa
selama beliau menyendiri tadi, Mara, keinginan terhadap kepuasan diri,
yang telah menggodanya selama empat puluh lima tahun, sekarang
kembali lagi menggoda-Nya.
"Tubuh saya lemah dan sakit, Ananda, dan Mara kembali
mengingatkan saya mengenai janji saya sewaktu mencapai
penerangan sempurna di bawah pohon Bodhi (Nigrodha) di tepi sungai
Neranjara. Dengan mencapai penerangan sempurna berarti saya telah
memperoleh suatu kebahagiaan tertinggi, dan mara menggoda saya
untuk hidup menyendiri sebagai pertapa dan menikmati sendiri
kebahagiaan yang telah saya peroleh. Saya memberitahukan Mara
bahwa saya tidak akan menyendiri, ataupun berhenti berusaha
menunjukkan jalan kebahagiaan sampai adanya anggota Sangha dan
umat biasa yang hidup sesuai dengan Dhamma dan dapat meluruskan
ajaran lain yang menyesatkan. Ketika saya bermeditasi tadi Mara
mengatakan keadaan saya sekarang sudah cukup memadai untuk
meninggalkan dunia ini. Saya mengatakan kepadanya bahwa saya
masih akan hidup tiga bulan lagi, jadi dia akan gembira setelah saat itu
tiba."
Sang Buddha berkata dengan sedikit bercanda dan santai, tetapi
bagiku kata-kata beliau adalah harapan terakhir. Aku berkata dengan
180
Wafatnya Sang Buddha
kalut: "Guru maukah Guru bertahan lebih lama lagi di dunia ini?",
setelah berpikir sejenak aku kemudian menambahkan, "demi
kebahagiaan seluruh makhluk hidup dan para dewa?"
"Cukup, Ananda," beliau berkata dengan lembut tapi tegas,
"permohonan seperti itu adalah kebiasaan yang telah berlalu. Dengan
kesadaran penuh tanpa mementingkan keinginan pribadi, saya telah
memilih waktu untuk meninggalkan dunia ini."
Aku memohon untuk kedua kalinya, lalu beliau berkata: "Apakah
kamu yakin pada kebijaksanaan si Penerang Sempurna?"
"Oh, Guru! Guru tahu saya sangat yakin."
"Lalu kenapa kamu membujuk saya untuk kedua kalinya lagi,
Ananda?"
"Saya sangat mencintai Guru, dan saya pernah mendengar dari
Guru sendiri bahwa mereka yang mempunyai kekuatan gaib dapat
memperpanjang usianya sendiri."
"Saya selalu mengatakan padamu, Ananda. Seseorang yang telah
memperoleh kekuatan gaib dapat saja memperpanjang usianya. Tetapi
Ananda, tidakkah saya pernah memberitahukanmu bahwa segala yang
kita cintai dan dekat dengan kita kelak akan berpisah? Segala
sesuatunya adalah tidak kekal. Bagaimana mungkin suatu makhluk
hidup abadi, walaupun usianya diperpanjang? Saya telah memutuskan,
Ananda, jangan bertanya lagi. Tiga bulan lagi saya akan meninggal."
Aku tidak dapat menerima keputusan Sang Buddha dan terus
menyalahkan diri sendiri karena menyia-nyiakan kesempatan ketika
Sang Buddha sedang menikmati indahnya tempat-tempat suci di
pinggiran kota dan menyinggung mengenai perpanjangan usia. Aku
terus menerus memikirkan kesempatan yang aku biarkan berlalu itu
dan menyalahkan diri sendiri hingga akhirnya aku rasa Sang Buddha
juga memahami rasa bersalahku tersebut.
Setelah itu, kami masih mengunjungi banyak tempat dan Sang
Buddha mengajarkan Dhamma kepada Sangha serta umat. Kemudian
kami tiba di Pava. Cunda, seorang tukang besi tinggal di tempat ini.
Sebelumnya dia sendiri adalah seorang pemuja upacara kurban,
kemudian akhirnya dia mempelajari Dhamma untuk mencapai
kesucian hidup. Sekarang Sang Buddha berdiam di hutan mangga milik
Cunda. Cunda pun mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu untuk
makan di rumahnya. Aku tidak menemani Sang Buddha ke rumah
Cunda karena beliau memerintahkan aku untuk melakukan sesuatu
hal, selanjutnya aku hanya mendengar berbagai cerita yang terjadi. Ada
yang mengatakan bahwa Cunda telah menangkap dan membunuh
babi kecil, ada yang mengatakan dia menyediakan daging babi
181
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
panggang, tetapi keduanya tidak benar karena Cunda menjalani hidup
sebagai umat awam dan telah bertahun-tahun tidak pernah makan
daging. Ada yang mengatakan dia mempersembahkan sejenis jamur
yang seperti daging babi yang sulit dicerna manusia. Aku mendengar
mereka berkata bahwa Sang Buddha mengetahui bahwa selain nasi
dan kue-kue, makanan lain tidak baik, jadi beliau tidak mengizinkan
bhikkhu-bhikkhu lain memakannya, tapi karena ingin menjaga
perasaan Cunda, beliau sendiri yang memakannya. Setelah makan
Sang Buddha sakit perut. Aku kembali mengobatinya, penyakit beliau
sedemikian parah sehingga kelihatannya seperti akan meninggal, tetapi
waktu tiga bulan lagi yang diramalkan-Nya masih belum berakhir. Saat
mengobati beliau, aku sungguh bahagia, tetapi kebahagiaan itu
bercampur dengan kekesalan terhadap karma yang akan segera
memisahkan kami, walaupun aku tahu itu berarti akhir penderitaanNya.
Setelah kesehatan beliau membaik, kami berangkat menuju
Kusinara. Udara sangat panas. Tanah yang berlumpur menjadi tandus
dan sungai yang kecil menjadi kering sedang sungai besar hanya
mengalirkan air sedikit saja. Sang Buddha membutuhkan banyak
istirahat, lalu aku pun mengipas-ngipas beliau untuk mengusir lalat
yang banyak sekali beterbangan di sekeliling kami. Seharusnya aku
mengharapkan beliau menikmati sejuknya Nirvana dalam cuaca yang
demikian panas ini, tetapi tidaklah demikian adanya. Ketika aku
menghamparkan jubah agar beliau dapat beristirahat, Sang Buddha
diserang kehausan yang teramat sangat dan Beliau menyuruh aku
untuk mengambil air. Aku protes.
"Sang Buddha, sungai terdekat hanya ada satu dan telah dilewati
kereta pedati dan lembu sehingga airnya sangat keruh dan kotor. Tak
jauh dari sini ada sungai Kakuttha yang airnya bersih dan segar di mana
Guru dapat sekaligus minum, mencuci kaki dan tangan."
Tetapi beliau berkata kembali: "Tolong ambilkan air dari sungai ini
saja. Aku sudah kehausan."
Aku pergi ke sungai dan aneh! Walaupun telah dilewati banyak
pedati dan lembu, airnya mengalir tetapi jernih dan bersih, bebas dari
lumpur. Ini benar-benar suatu keajaiban. Tetapi, tentu airnya mengalir
lebih deras dari apa yang aku duga. Sang Buddha dapat saja
menggunakan kekuatan-Nya bila beliau merasa perlu, tetapi jarang
sekali beliau mau menggunakannya karena hal ini bukanlah jalan
benar ke Nirvana yang telah ditemukan-Nya.
Setelah menyeberangi sungai, kami bertemu Pukkusa, seorang
Suku Malla, yang mengatakan bahwa dia sangat kagum pada orang
182
Wafatnya Sang Buddha
yang mempunyai tingkat tinggi dalam meditasi, yang dapat hidup
tenang penuh kebahagiaan walaupun di sekelilingnya penuh
ketidaktenangan.
"Memang benar," Sang Buddha mengiyakan, "Ia bukan hanya
mampu mengatasi suara badai, kilat dan guntur, tetapi lebih dari itu, ia
akan mampu hidup damai di tengah badai kesedihan dan penderitaan."
Kemudian, Pukkusa yang ingin menghormati Sang Buddha,
mempersembahkan jubah-jubah baru yang indah berwarna keemasan
dan Sang Buddha juga membaginya untuk aku. Ketika Sang Buddha
mengenakan jubah itu, seluruh tubuhnya memancarkan sinar berkilaukilauan sehingga jubah berwarna emas itu sendiri kelihatan pucat. Mata
beliau bersinar dan aku tidak tahan menatap-Nya lebih lama, benarbenar pancaran cahaya keagungan.
Aku bertanya: "Guru, mengapa seluruh tubuh Guru bersinar
demikian agung?" Beliau menjawab: "Malam ini Sang Penerang
Sempurna akan memasuki arus nirvana di hutan mangga suku Malla.
Sekarang mari kita pergi ke Sungai Kakuttha."
Sang Buddha berkata tenang seperti tidak akan terjadi sesuatu hal.
Tetapi aku bagaikan disambar petir. Aku menjadi lemas sampai tak
mampu melayani beliau. Ketika kami tiba di tepi sungai, kami bertemu
bhikkhu-bhikkhu lain dan Kandaka mencari tempat yang sesuai untuk
Sang Buddha. Kemudian Sang Buddha minum dan mandi di sungai. Di
sisinya adalah Kandaka, bukan aku, yang sedang menghamparkan
jubahNya untuk istirahat. Beliau berbaring dengan posisi kanan, dalam
posisi singa, dan bermeditasi dengan tenang. Ketika tiba waktunya
untuk bangkit, beliau memanggilku dan berkata:
"Ananda, orang-orang mungkin akan menyalahkan Cunda, si
tukang besi karena setelah makan di rumahnya, saya meninggal.
Ananda, setelah saya meninggal, temuilah Cunda dan katakan padanya
bahwa dia sangat beruntung karena dia dapat menjamu saya untuk
yang terakhir kali sebelum saya wafat. Katakan bahwa kamu
mendengar langsung dari saya bahwa ada dua pahala yang terbaik bagi
si pemberi persembahan makanan, yakni sebelum saya mencapai
penerangan sempurna dan sebelum saya meninggalkan dunia yang
tidak kekal ini. Katakan pada Cunda bahwa dia telah menanam suatu
karma baik dan akan lahir di alam surga."
Aku dihantu kegelisahan, "Saya tidak mampu, Guru, demi Cunda
maukah Guru bertahan hidup?"
Sang Buddha memandangku dengan kelembutan yang sulit
dimengerti. Rasa belas kasih kepada Cunda menyelimutiku. Dan tentu
183
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
saja aku tidak akan menyakiti dia. Aku akhirnya menjawab perlahan:
"Baiklah, Guru."
Setelah Sang Buddha istirahat, kami menuju Hutan Sala di
Kusinara Suku Malla yang terletak pada sepanjang sungai. Aku
membuat sebuah dipan untuk Sang Buddha, yang terletak di antara dua
pohon Sala kembar dengan menghadap ke utara. Beliau berbaring
dengan posisi kanan dan bermeditasi. Para dewa menyebarkan bungabunga dan musik surga terdengar di angkasa. Pohon-pohon sala pun
berbunga walaupun bukan pada musimnya; udara hangat dipenuhi
dengan bau wewangian. Bunga-bunga berjatuhan dan mengenai Sang
Buddha. Salah satu bhikkhu mengatakan pohon-pohon sala pun ingin
memberi hormat kepada-Nya.
"Mungkin," Sang Buddha berkata: "tetapi bukan dengan cara
demikian saya dihormati. Saya dihormati bila para bhikkhu, bhikkhuni
dan para umat awam hidup dalam Dhamma."
Ketika menyadari Sang Buddha semakin mendekati akhir
hidupnya, bhikkhu yang belum mencapai pembebasan menangis sedih
sambil berkata: "Terlalu dini, terlalu dini untuk Sang Penerang Dunia
meninggalkan kita."
Tangisan bhikkhu-bhikkhu itu mengoyahkan aku lagi dan aku
berkata seperti anak kecil yang bodoh: "Apa yang harus kami lakukan
dengan tubuh Guru setelah Guru meninggal? Bagaimana kami
menghormatinya?"
Beliau memandang bhikkhu-bhikkhu yang menangis itu dan
berkata: "Jangan menyulitkan diri dengan menghormati sisa-sisa tubuh
ini. Banyak orang-orang suci yang akan mengatur abu-abu saya." Lalu
beliau beralih padaku, "Bersemangatlah, Ananda, laksanakan Dhamma,
capailah penerangan dan pembebasan, dengan demikian kamu telah
menghormati saya."
Tetapi akhirnya aku juga ikut bersedih seperti bhikkhu-bhikkhu
yang menangis itu. Aku memisahkan diri dan bersandar pada pintu
masuk dan menangis, dan aku mengingatkan diri sendiri bahwa aku
masih harus mempelajari jalan menuju Nirvana, tetapi Sang Buddha
sudah akan pergi, beliau begitu baik. Beliau menyadari aku
menjauhinya, beliau kemudian memanggilku lalu berkata dengan
lembut dan sabar:
"Jangan menangis, Ananda, bukankah selalu saya katakan bahwa
hakekat dari segala sesuatu yang dekat dan kita cintai adalah bahwa
suatu saat kita akan berpisah darinya? Kamu dekat dengan saya begitu
lama dan tidak pernah bertingkah. Kamu dekat dengan saya dalam
kata-kata maupun pikiran yang penuh belas kasih, dan kebaikan yang
184
Wafatnya Sang Buddha
tak dapat diukur oleh apapun. Semua perbuatan kamu baik, Ananda.
Berjuanglah dengan baik, maka kamu akan segera bebas dari
keterikatan."
Lalu Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu, "Ananda adalah
orang yang bijaksana. Dia mengetahui saat yang tepat untuk bertemu
dengan saya dan kesempatan yang tepat bagi orang lain untuk
menemui saya. Dia selalu tahu siapa yang siap menerima Dhamma.
Tidakkah kalian perhatikan bahwa para bhikkhu, bhikkhuni dan umat
sangat bahagia bila Ananda memberikan khotbah dan mereka akan
sedih bila dia diam?"
Tetapi aku masih belum dapat menghilangkan perasaan sedih dan
aku pun memohon, "Guru, janganlah meninggal di hutan kota kecil ini.
Masih ada kota-kota besar seperti Rajagaha, Savatthi, Kosambi dan
Benares di mana banyak orang-orang suci akan menghormati Guru."
Benar-benar bodoh! Bagaimana aku sampai bisa memikirkan hal-hal
yang sedemikian tidak bermanfaat? Apakah aku bermaksud untuk
memperpanjang usianya jika beliau melakukan perjalanan lebih jauh?
Beliau tersenyum sabar dan berkata, "Jangan berkata demikian,
Ananda; pada tempo dulu kota ini adalah kota besar, dan pada saat
mendatang kota-kota besar sekarang ini sudah seperti debu!" Nada
suaranya berubah, aku rasa beliau hendak menghapus kebodohanku
sebelum beliau meninggal. Beliau berkata, "Ananda, suku Malla akan
sedih jika Sang Penerang Sempurna meninggal di antara mereka tanpa
sepengetahuan mereka. Jadi pergilah dan katakan kepada mereka
bahwa pada saat jaga yang terakhir malam ini, Sang Penerang
Sempurna akan meninggal dan mereka boleh datang menyaksikannya
sebelum saat itu berlalu."
Ini adalah pelayanan terakhir yang dapat aku lakukan untuk Guru
dan berbuat kebaikan untuk suku Malla. Aku menyingkirkan perasaan
sedih ini seperti seorang pendaki yang membuang beban yang tak
berguna agar meringankan bebannya. Aku berangkat dengan ditemani
seorang bhikkhu menuju Kusinara, menyampaikan pesan Sang
Buddha. Bulan purnama bersinar dengan indahnya di balik pohon sala
ketika mereka tiba dengan anak istri serta pelayan mereka. Aku sadar
jika mereka satu persatu menghormati Sang Buddha, malam akan
merangkak menuju pagi buta dan beliau akan memasuki kedamaian
Nirvana sebelum mereka semua melihatnya, sehingga aku mengatur
mereka dalam kelompok-kelompok keluarga, para wanita
didahulukan, dan akhirnya mereka semua sempat menemui dan
menerima pemberkahan Sang Buddha saat jaga pertama malam itu
berlalu.
185
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
Pada waktu itu, ada seorang pengelana yang sedang menetap di
Kusinara bernama Subhadda. Dia bukan pengikut Sang Buddha, tetapi
ketika dia mendengar Sang Buddha akan meninggal pada malam itu di
Hutan Sala, dia datang kepadaku mengatakan bahwa dia mendengar
dari pengelana tua bahwa seorang Buddha sangat jarang sekali muncul
di dunia. Dia agak ragu apakah Sang Buddha bersedia menerimanya.
Oleh karena itu dia meminta kesempatan berbicara dengan Sang
Buddha di saat yang sudah agak terlambat ini.
"Sang Buddha sedang beristirahat, jangan mengganggu beliau,"
jawabku.
Subhadda memohon dua kali dan dua kali pula aku menolaknya.
Tetapi Sang Buddha yang mendengarnya memanggilku dan berkata:
"Jangan melarangnya, Ananda. Dia benar-benar ingin mencari tahu. Dia
tidak main-main. Dia akan segera mengerti; biarkan ia menemuiku."
Aku malu karena hanya memikirkan kesedihan sendiri sedangkan
Sang Buddha yang sudah berada di tempat tidur terakhirnya masih
memikirkan kebahagiaan orang lain tanpa memikirkan diri sendiri.
Aku membawa Subhadda menemui Sang Buddha dan Subhadda
berkata: "Para petapa dan brahmana penemu doktrin dan orang
bijaksana yang dihargai oleh semua orang seperti Purana Kassapa,
Makkhali, Ajita, Nataputta dari Nigantha dan yang lainnya, menurut
ajaran mereka, mengerti tentang segala sesuatu. Sekarang saya ingin
tahu, apakah mereka atau sebagian dari mereka telah benar-benar
mengerti segala sesuatu?"
"Subhadda," jawab Sang Buddha, "Apa yang dinyatakan orangorang ini mengenai doktrin mereka bukanlah suatu patokan. Di mana
ada doktrin yang mempunyai Delapan Jalan Utama secara
keseluruhan, maka di situ akan ditemukan seorang suci yang benarbenar terbebas. Pada doktrin lain yang tidak ditemukan Delapan Jalan
Utama secara keseluruhan, tidak akan dapat ditemukan seorang suci
yang sejati."
"Katakanlah Delapan Jalan Utama kepada saya, Guru."
Lalu Sang Buddha mengajarkan jalan itu dan Subhadda pun
menyakininya dan Sang Buddha sendiri yang menerimanya sebagi
anggota Sangha. Dialah yang terakhir dari beribu-ribu orang yang telah
disadarkan langsung oleh Sang Buddha.
Setelah Subhadda diterima sebagai anggota Sangha, Sang Buddha
berkata: "Ananda, jika Sangha merasa kurang cocok, maka peraturanperaturan kecil boleh diabaikan." Lalu beliau berkata kepada para
bhikkhu, "Jika ada yang ragu-ragu, boleh bertanya sekarang." Semuanya
diam dan Sang Buddha melanjutkan, "Mungkin kalian segan berbicara
186
Wafatnya Sang Buddha
karena saya adalah guru kalian; kalau demikian anggaplah saya sebagai
sahabat." Tetapi para bhikkhu masih diam.
Aku merasa sedikit gembira dan berkata: "Tidakkah
mengagumkan Guru, bahwa di dalam Sangha tidak ada satu pun
bhikkhu yang ragu-ragu terhadap Dhamma?"
"Terlepas dari keyakinanmu akan kata-katamu, Ananda, tetapi apa
yang kamu katakan memang benar, karena saya dapat melihat ke
dalam hati kecil mereka walaupun saya sedang memasuki arus
Nirvana."
Suasana hutan sangat tenang ketika Sang Buddha berbaring di
atas dipannya, di antara pohon Sala kembar dengan kepala menghadap
ke utara dan bulan purnama bersinar terang di selatan dan langit tak
berawan. Hari yang panas telah berlalu, dan malam pun semakin
dingin, sesejuk Nirvana. Mata-Nya memandang pengikutnya dengan
penuh cinta kasih, matanya bersinar keagungan seperti yang pernah
aku rasakan sebelumnya. Kemudian seluruh wajah dan seluruh
tubuhnya ikut bersinar, sehingga tidak seorang pun dapat
memandangnya langsung, semuanya menundukkan kepala saat
cahaya terang yang bukan berasal dari rembulan memenuhi seluruh
hutan. Sang Buddha bersuara untuk yang terakhir kali, "Semuanya,
berjuanglah untuk mencapai pembebasan." Itulah kata-katanya yang
terakhir di antara desiran pohon Sala.
Setelah Sang Buddha menutup mata, para bhikkhu masih
bersujud penuh keheningan sampai sinar terang mulai menghilang.
Kemudian Anuruddha bangkit dan berkata: "Sang Buddha telah pergi.
Beliau telah mengalahkan penderitaan dan kematian dan telah
memasuki kedamaian dan Nirvana."
Para bhikkhu yang belum bebas dari keterikatan duniawi
menangis tersedu. Tetapi bhikkhu yang telah mencapai pembebasan
tidak menangis. Anuruddha berpaling kepada mereka yang menangis.
"Jangan meratap. Bukankah Sang Buddha telah mengajarkan kepada
kita bahwa yang lahir pasti akan mati, segala yang dekat dengan kita
maupun yang kita cintai kelak akan berpisah dari kita?"
Aku tidak termasuk salah satu dari mereka yang menangis.
Kedamaian yang aneh menyusup dalam diriku. Tubuh Sang Buddha
telah mati, tetapi ajaran-Nya tidak. Bukan tubuhnya, tetapi ajaran-Nya
yang membuat-Nya menjadi pelita dunia dan pelita dunia tak akan
pernah padam. Aku mengasingkan diri di bayangan pohon. Anuruddha
mengikutiku dan kami berdiskusi mengenai hal ini pada malam itu.
Jika kita telah melekat pada hal duniawi maka Nirvana akan semakin
187
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
jauh. Jika Sang Buddha hidup lebih lama, aku rasa beliau akan
menjauhkan aku dari-Nya agar aku dapat menemukan Nirvana.
Ketika pagi tiba, atas usul Anuruddha, aku pergi untuk
mengumumkan kepada suku Malla mengenai berita wafatnya Sang
Buddha. Mereka datang dan menangis dengan ratapan yang lebih
memilukan, serta menghormati jasad Sang Tathagata, Sang Penerang
Sempurna, dan mengawetkan jasad Sang Buddha hingga tibanya hari
untuk dikremasikan. Karena mereka masih belum menentukan hari
kremasi, mereka masih melanjutkan kebaktian dan penghormatan
terakhir. Sebelum hari ketujuh, mereka telah membangun kayu bakar
untuk kremasi dan menempatkan tubuh Sang Terbahagia di atasnya.
188
Epilog: Setelah Wafatnya Sang Buddha
Demikianlah akhir kisah tahun-tahun terakhir kehidupan Sang
Buddha yang aku dengar dari Ananda, siswa yang paling dekat denganNya. Apa yang terjadi selanjutnya, aku saksikan sendiri karena sebelum
acara pengkremasian, Maha Kassapa dan anggota Sangha lainnya,
termasuk aku di dalamnya telah tiba di Kusinara. Setelah kami
mengadakan penghormatan terakhir, kayu bakar mulai dinyalakan,
membakar jasad Sang Pelita Dunia.
Ketika Raja Ajatazattu mendengar berita mengenai mangkatnya
Sang Buddha dia segera meminta relik Sang Buddha untuk disimpan
dalam suatu tugu khusus. Kemudian banyak lagi yang berdatangan
dengan permintaan yang sama, dan suku Malla menjadi marah karena
Sang Buddha meninggal di tempat mereka, sehingga semua relik
beliau dianggap milik mereka. Kemudian seorang brahmana bernama
Dana bangkit dan berkata: "Sang Buddha mengajarkan kita untuk
mengendalikan nafsu. Jadi tidak seharusnya kita berselisih
memperebutkan jasad-Nya. Mari kita bersatu dan membagi rata semua
relik ini."
Kata-kata Dana disetujui mereka sehingga dia diberi wewenang
untuk membagi relik Sang Buddha. Kemudian mereka semua
membangun tugu peringatan khusus untuk menyimpan relik tersebut.
Tetapi hanya satu peringatan yang akan membahagiakan Sang Buddha
yaitu dengan hidup dalam Dhamma, dan inilah yang akan kuuraikan
sebelum aku mengakhirinya. Pertama, bagaimanapun aku harus
menceritakan tentang Persamuan Agung yang dipimpin Kassapa dan
pengumpulan peraturan-peraturan Vinaya dan prinsip-prinsip dalam
Dhamma.
Dalam perjalanan menuju Kusinara, setelah mendengar berita
mangkatnya Sang Buddha, kami bertemu dengan Subhadda yang
diterima sebagai anggota Sangha pada usia tua, dan Subhadda ini
tidaklah sama dengan Subhadda, siswa terakhir Sang Buddha. Dia
seorang yang tegas, saat dia melihat banyak bhikkhu yang menangisi
Sang Buddha, ia menjadi tidak sabar dan berkata:
"Saudaraku, jangan menangis. Sang Buddha tidak menyukai
kemelekatan dan menangisi kematian orang yang dicintai. Kita telah
sering diajarkan Guru mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan,
sekarang kita harus bijaksana untuk menentukan apa yang terbaik
untuk kita."
Subhadda telah membelitkan kata-kata Sang Buddha sehingga
sepertinya ia tidak pernah bertemu dengan Sang Buddha. Sang Buddha
189
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
tidaklah senantiasa memberitahukan kami mana yang diperbolehkan
dan mana yang tidak diperbolehkan. Sebaliknya, beliau berkata, tidak
hanya kepada Pajapati tetapi juga kepada yang lain, bahwa seseorang
harus menemukan sendiri Dhamma dan Vinaya itu. Apa yang
membimbing seseorang ke ketidakserakahan, kedamaian dan rasa
cukup, itulah Dhamma, itulah Vinaya. Contohnya, beberapa orang
bhikkhu suatu ketika melihat pelatih gajah yang sedang bekerja. Salah
satu bhikkhu dulunya adalah pelatih gajah dan dia melihat ada
kesalahan pada teknik latihan tersebut. Dia memberitahukan dan
menunjukkan kesalahan tersebut, pelatih gajah itu memperhatikannya
dan berhasil melatih gajah itu dengan baik. Ketika Sang Buddha
mendengar hal ini, beliau mengatakan bahwa bhikkhu itu tidak
seharusnya memberikan perintah terhadap pekerjaan yang sedang
dilakukan seseorang. Mengapa? Karena tindakan itu dapat mengganggu
jalan suci yang dilatih bhikkhu tersebut menuju pengetahuan dan
kebijaksanaan yang abadi. Walaupun Sang Buddha tidak mengatakan
hal ini, bhikkhu tersebut akan mengerti sendiri. Jika seseorang hendak
belajar bermain kecapi, tangannya tentu tidak akan bermain dengan
lincah lagi bila dia menggunakannya juga membuat pot tanah liat. Kerja
para bhikkhu sama seperti pekerjaan yang membutuhkan keahlian.
Selama berhari-hari, Kassapa memikirkan kata-kata Subhadda
yang membuatnya khawatir tentang keberadaan Sangha di masa
mendatang. Oleh karenanya, begitu selesai upacara kremasi, Kassapa
mengumpulkan seluruh bhikkhu dan menganjurkan untuk
mengadakan pertemuan untuk mengumpulkan kembali semua ajaran
Sang Buddha, sebelum semua yang bukan Dhamma dan Vinaya
tersebar luas. Semua setuju dan mereka meminta Kassapa untuk
memilih bhikkhu yang sesuai untuk tujuan tersebut. Kassapa memilih
sejumlah bhikkhu dan aku termasuk salah satunya. Tetapi dia tidak
memilih Ananda dan ini membuat bhikkhu lain bertanya-tanya,
bukankah Ananda yang paling dekat dengan Sang Buddha dan
bukankah menjelang kemangkatannya Sang Buddha memuji Ananda
di depan para siswa? Lagi pula semua orang menyukai Ananda karena
kebaikan, kesederhanaan dan kerendahan hatinya.
"Ananda tidak memenuhi syarat," kata Kassapa, "karena
sebagaimana diakuinya, dia belum mencapai pembebasan yang
sempurna. Bukankah dia menangis saat Sang Buddha Parinirvana?
Tidakkah ini berarti bahwa dia masih terikat oleh segala yang dia
sayangi dan cintai?"
Aku sendiri telah mengetahui bahwa aku telah terbebas dari
kemelakatan dari semua yang menyenangkan ataupun tidak
190
Epilog: Setelah Wafatnya Sang Buddha
menyenangkan dan mampu menyadari hakekat dari segala sesuatu
sejak bertahun-tahun yang lalu. Tetapi saat Kassapa berkata demikian,
setitik kegelapan menutupi cahaya kesadaranku itu. Siapa yang dapat
mengatakan seorang pria atau wanita telah mencapai pembebasan
dan kesucian? Tentu tidak ada yang dapat menjamin dan kalaupun
seseorang demikian yakin, orang itu sendiri pasti belum mencapai
pembebasan karena orang itu belum terbebas dari "aku" dan "milikku".
Ananda sangat rendah hati dan tidak menyombongkan apa yang telah
dicapainya. Memang benar bahwa bila seorang telah benar-benar
terbebas ia tidak akan menangis tersedu saat memikirkan kepergian
Sang Buddha, tetapi seseorang yang tidak menangis tidaklah pasti
berarti ia telah benar-benar terbebas dari Asava, itu bisa saja
menunjukkan bahwa orang tersebut kurang mempunyai belas kasih.
Pikiran keakuan yang timbul dalam diriku berakhir, aku bangkit
dan berbicara dengan lembut. "Semuanya tidak benar, Yang Arya,"
kataku, "Ananda yang paling dekat dengan Sang Buddha dibanding kita
semua, dan beliau dengan bijaksana dapat mengatasi kebencian,
kebodohan atau ketakutan. Beliau yang paling banyak mempelajari
Dhamma dari Sang Buddha sendiri. Dengan demikian Yang Arya,
pilihlah Ananda juga."
Bisikan-bisikan setuju terdengar dari peserta pertemuan tersebut,
dan setelah melihat semua menginginkan Ananda ikut serta dalam
pertemuan, dengan bijaksana Kassapa pun mengijinkannya.
Kemudian Kassapa mengumumkan bahwa Ananda telah berjuang
mencapai penerangan. Tetapi sebenarnya aku berpendapat bahwa
Ananda mencapainya setelah dia berdiskusi dengan Anuruddha tak
lama setelah Sang Buddha wafat. Sekarang, saat mengingat tentang
kebaikan, kebijaksanaan dan kasih sayang Ananda, Mara menggodaku
untuk berperasaan tidak enak kepada Kassapa, tetapi tidak ada lagi
yang lain selain Kassapa yang dapat mengadakan Persamuan Agung
untuk mengulang kembali sabda-sabda Sang Buddha.
Peserta pertemuan telah terpilih, hanya tinggal menentukan
tempat pelaksanaan. Rajagaha dianggap tempat yang sesuai karena
adanya tempat menginap dan sejumlah bantuan makanan. Diputuskan
bahwa bhikkhu-bhikkhu yang biasa tinggal di sana agar tidak menetap
di sana agar pertemuan dapat terlaksana dengan tenang.
Ketika kami tiba di Rajagaha, kami menemukan banyak tempat
tinggal dalam keadaan rusak berat. Kassapa mengingatkan kami
bahwa Sang Buddha pernah menyarankan untuk memperbaiki yang
rusak dan selama bulan pertama kami melakukan beberapa perbaikan
dan Raja Ajatazattu memberikan banyak bantuan untuk menghormati
191
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
Sang Buddha, walaupun ia dulunya telah pernah memperlakukan Sang
Buddha dengan kasar.
Usaha perbaikan telah selesai, kami bertemu kembali pada Gua
Besar di bukit sebelah barat dan Kassapa memimpin pertemuan
tersebut. Dia memanggil peserta pertemuan satu per satu untuk
menyampaikan laporannya. Pertama-tama ia memanggil Upali yang
lebih mengetahui Vinaya. Kassapa bertanya, peraturan mana yang perlu
disebarluaskan? Upali memberitahukannya. Mengenai apa? Upali
kembali memberitahukannya. Kemudian peraturan itu ditetapkan
sebagai bagian dari Vinaya yang tidak terpisahkan dan termasuk
beberapa peraturan kecil seperti mengenai tempat cuci dan makanan.
Prosedur tersebut sedemikian terperinci sehingga aku pun heran
karena Kassapa tidak memerintahkan untuk dituliskan seperti
pedagang yang menuliskan rekening dan harga. Tetapi Kassapa
sebelumnya adalah seorang Brahmana dan kata-kata suci selalu
dilisankan, tidak pernah dituliskan sehingga merupakan rahasia. Dan
Kassapa meneruskan cara brahma walaupun ia tahu tidak ada ajaran
Sang Buddha yang dirahasiakan. Sebagian merasa prosedur itu tidak
diperlukan. Salah satu peserta menceritakan mengenai seorang suku
Vajji yang menemui Sang Buddha di Vesali, berkata:
"Saya telah melafalkan 250 peraturan dua kali sebulan dan saya
tidak tahan."
Sang Buddha tersenyum dan berkata: "Dapatkah kamu
mempraktekkan moralitas, pikiran, dan pandangan yang lebih tinggi?"
Anak muda itu mengatakan bahwa ia dapat. "Bagus, dan itulah yang
diperlukan. Lakukanlah, dan kamu akan bebas dari kebencian,
kekejaman dan nafsu sehingga kamu tidak akan melakukan kejahatan.
Peraturan hanya dibuat untuk obyek-obyek ini; jika obyek-obyek ini
telah dapat dibebaskan, maka peraturan-peraturan pun tidak
diperlukan lagi."
Karena tidak ada peraturan pada cerita ini maka Kassapa
melewatkannya dan melanjutkan pertanyaan kepada bhikkhu yang
lain. Tak lama kemudian tiba giliran Ananda dan ia tanyakan mengenai
Dhamma. Ananda pun menjawab, "Tentang ajaran Sang Buddha,
sebelum beliau mencapai Parinirvana, beliau berpesan agar Sangha
boleh meniadakan peraturan-peraturan kecil bila tidak diperlukan lagi!"
"Yang Arya Ananda, apakah Anda menanyakan peraturanperaturan kecil yang manakah itu?" tanya Kassapa.
"Tidak, Yang Arya, karena tidaklah terlalu sulit menentukan mana
peraturan-peraturan utama dan mana peraturan-peraturan kecil."
192
Epilog: Setelah Wafatnya Sang Buddha
Tetapi dalam pertemuan itu hal tersebut sangat sulit diputuskan,
sehingga dilanjutkan dengan diskusi panjang. Sebagian mengatakan
yang ini sebagian mengatakan yang lain, dan tidak ada satu pun yang
ingat, bahwa satu jam sebelum meninggal Sang Buddha telah
memberitahu Subhadda bahwa Delapan Jalan Utama adalah yang
paling dibutuhkan. Kassapa sangat mampu menguasai pertemuan yang
demikian. Dia membiarkan mereka berbicara sampai tidak ada kata
sepakat dan kemudian ia berkata:
"Ada peraturan-peraturan kita yang berhubungan dengan umat
biasa. Sekarang umat tahu apa yang mereka harapkan dari Sangha. Jika
kita mengurangi peraturan-peraturan kecil, umat akan mengatakan
bahwa kita mematuhi semua peraturan selagi asap pembakaran jasad
Sang Buddha masih menyala. Jadi lebih baik kita mempertahankan
semua peraturan, baik yang penting maupun yang kurang penting." Dia
berhenti sejenak. Tidak ada seorang pun bersuara, aku yakin bahwa
banyak yang tidak setuju karena ini bertentangan dengan pesan Sang
Buddha kepada Ananda. Kassapa melanjutkan, "Tidak ada yang
berpendapat, berarti setuju."
Tetapi para bhikkhu tidak setuju dan berkata kepada Ananda,
"Sangat disayangkan kenapa Yang Arya tidak menanyakan mana
peraturan yang kurang penting."
Kassapa menanggapi teguran ini dan berkata, "Akuilah
kesalahanmu, Yang Arya Ananda."
"Saya tidak melihat adanya kesalahan, meskipun demikian, jika
pertemuan ini menganggap saya bersalah, saya mengakuinya," jawab
Ananda.
Kassapa kemudian membeberkan berbagai kesalahan Ananda,
seperti menginjak jubah hujan Sang Buddha ketika menjahitnya,
mengizinkan jasad Sang Buddha dihormati oleh kaum wanita terlebih
dahulu sebelum kaum pria, gagal memohon Sang Buddha untuk hidup
lebih lama di dunia ini, memohon agar wanita diterima sebagai anggota
Sangha. Seperti jawaban sebelumnya, Ananda mengaku tidak bersalah,
tetapi jika Sangha menganggapnya salah, maka ia akan mengakuinya.
Bukankah saat bhikkhu-bhikkhu di Kosambi bertengkar, Sang Buddha
berkata bahwa walaupun sesuatu itu bukan merupakan kesalahan,
tetapi jika yang lainnya menganggap itu kesalahan, maka hal tersebut
harus diakui sebagai suatu kesalahan? Ananda tidak pernah
menyebabkan keributan dan perpecahan dalam Sangha, ia membawa
kedamaian dan kebahagiaan. Tetapi karena kebesaran hatinya,
berbagai peraturan jadinya bertambah, tanpa menghiraukan apa yang
pernah dikatakan Sang Buddha mengenainya. Pertemuan itu hendak
193
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
membuat peraturan yang permanen sedangkan segala sesuatu adalah
tak permanen dan selalu berubah. Perlu diketahui bahwa peraturan
untuk para bhikkhuni sangat keras. Pertemuan itu tidak dihadiri oleh
bhikkhuni. Kassapa ragu-ragu akan beberapa peraturan yang terlalu
keras karena dia masih ingat bekas istrinya, Bhadda, yang masih
merupakan sahabatnya walaupun keduanya telah mengenakan jubah
kuning. Tetapi suara yang lain lebih dominan karena mereka umumnya
di masa mudanya sangat terikat pada nafsu duniawi sehingga mereka
agak takut kepada wanita, beda dengan Kassapa yang pada malam
pengantinnya tidur dengan sebuah untaian bunga membatasi dirinya
dengan pengantin wanitanya.
Ketika pertemuan itu telah selesai mengumpulkan semua
peraturan mengenai Vinaya dan Dhamma menurut pengertian mereka,
tibalah di Rajagaha seorang bhikkhu tua, Yang Arya Purana, yang telah
berkelana di bukit sebelah selatan bersama beberapa bhikkhu. Ketika
telah memasuki ruangan, beliau diberi penjelasan tentang Vinaya dan
Dhamma yang baru dikumpulkan, beliau mendengarkan dengan
penuh perhatian dan mempelajarinya dalam hati. Setelah selesai,
beliau kemudian menjawab:
"Dhamma dan Vinaya ini telah kalian pelajari dan lafalkan, tetapi
tidak sebagaimana yang saya dengarkan dari Sang Buddha, saya akan
mengingat apa yang saya dengar dari Sang Buddha sendiri, bukan
seperti yang saya dengar dari kalian." Ia bangkit dan kemudian pergi.
Aku juga bangkit mengikuti Purana, betapa bodohnya bertahan di
tempat yang dibelenggu kata-kata permanen akan kebenaran hidup
yang diajarkan Sang Buddha pada dunia yang tak kekal ini, kebenaran
yang dengan kedalaman batin-Nya beliau aplikasikan dengan cara yang
berubah-ubah terhadap arus kehidupan yang selalu berubah dan sesuai
dengan kebutuhan tiap individu yang berbeda! Aku teringat akan Sona,
yang diizinkan memakai sepatu yang dilapisi bahan tipis karena kakinya
yang lembut. Pernah suatu ketika beliau mengatakan bahwa kebiasaan
mencukur rambut jangan menjadi kesempatan membuang energi,
rambut boleh dibiarkan hingga panjangnya dua inci, atau ketika lapar
para bhikkhu meninggalkan begitu saja buah-buahan yang jatuh ke
tanah, beliau mengatakan tindakan tersebut adalah tidak bijaksana
walaupun mereka dianjurkan untuk tidak mengambil yang tidak
diberikan.
Sekarang mengenai topik meditasi yang sedang dicoba
didaftarkan dan dikategorikan oleh para bhikkhu. Aku teringat akan
kedalaman batin Sang Buddha yang dapat mengetahui topik yang tepat
bagi tiap orang. Ada seorang putri pedagang yang beliau tahu ajalnya
194
Epilog: Setelah Wafatnya Sang Buddha
sudah dekat, beliau anjurkan untuk bermeditasi dengan topik
kematian. Seorang bhikkhu yang masih dipenuhi nafsu duniawi beliau
suruh ke tempat pembakaran jenazah untuk merenungkan kelapukan.
Siapakah kita, yang tidak dapat mengetahui pikiran orang seperti
beliau, hendak memisahkan sesuatu dalam bentuk dan kategori?
Bahkan seorang Buddha pun hanya menunjukkan jalan. Pedoman dan
kemampuan bersumber dari diri sendiri.
Aku telah bangkit untuk mengikuti Purana, tetapi kemudian duduk
kembali. Aku hanyalah orang tua. Tentunya ketidakekalan akan
mengatasi kesulitan kami dan aku dapat membantu dengan
menerangkan cahaya dhamma ke seluruh dunia. Lagi pula, apapun
yang dilakukan akan selalu timbul kesalahan. Tanpa sesuatu ketegasan
pada suatu peraturan, kehidupan para anggota Sangha akan menjadi
tidak disiplin dan timbul skandal. Tanpa keyakinan, dogma, ketentuan
dan kategori-kategori maka kata-kata Sang Buddha akan lenyap
selamanya. Dan jika seorang laki-laki atau wanita benar-benar ingin
mencari pembebasan maka tidak ada peraturan, ketentuan dan dogma
yang dapat menghambatnya.
Aku keluar menuju hutan dan duduk di bawah sebuah pohon.
Bayangan konflik berlalu dariku. Betapa agungnya sebuah kebenaran
dan segala sesuatunya akan berjalan dengan baik. Seribu tahun—apa
artinya itu dalam jangka waktu kehidupan seorang manusia? Pada
akhirnya ketidakkekalan akan menghapus semua peraturan, ketentuan
dan dogma, dan cahaya kebenaran akan bersinar kembali. Aku
tenggelam dalam kedamaian Arya dan peringatan Purana pun hilang
dalam kesunyaan.
Agar tidak terjadi salah pengertian, akan kujelaskan bahwa Sang
Buddha mengatakan semua yang dibutuhkan untuk bebas dari
penderitaan dan mencapai pembebasan ada dalam Delapan Jalan
Utama: Pengertian benar, tentang realita dukkha, timbulnya dukkha,
berakhirnya dukkha dan jalan untuk mengakhirinya; pikiran benar,
pikiran menuju ke ketidakakuan; ucapan benar; perbuatan benar; mata
pencaharian benar; daya upaya benar; konsentrasi benar; dan
perhatian benar. Tetapi pada akhirnya, apa itu Dhamma dan apa itu
Vinaya, setiap orang harus menemukannya sendiri. "Jangan hanya
mendengar desas-desus," kata Sang Buddha, "ataupun yang diturunkan
oleh tradisi. Seperti emas yang diuji dengan api dan gesekan, demikian
juga dengan kata-kataku, setiap orang harus mengujinya sendiri."
Sekarang aku akan beralih dari penyusunan peraturan ke
penyebaran sinar Dhamma, cara terbaik mengenang Sang Buddha
bukanlah dengan membangun tugu atau pagoda yang menyimpan abu
195
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
beliau, tetapi adalah dengan hidup dalam Dhamma, salah seorang di
antaranya adalah Anuruddha, tetapi dia kemudian meninggal tidak
lama setelah Sang Buddha wafat. Dibandingkan dengan yang masih
hidup, Ananda adalah yang paling kuat mengikuti ajaran Sang Buddha.
Ketika ia mencapai penerangan pada akhirnya, ia benar-benar telah
mengerti keseluruhan Dhamma. Perasaan kebencian dan marah telah
lenyap darinya, juga kebanggaan akan 'aku' sehingga ia sangat rendah
hati dan mungkin sebenarnya dia pantas menjadi ketua Sangha, tetapi
Ananda memilih untuk menjadi pelayan Kassapa dan melayaninya
seperti ia melayani Sang Buddha dan ia yang selalu memberi saran
mengenai orang-orang yang harus dikunjungi untuk menyebarkan cinta
kasih.
Dengan tujuan inilah ia meminta Kassapa untuk mengunjungi para
bhikkhuni ketika ia melewati Savatthi dan memberikan khotbah
dhamma kepada mereka seperti yang biasa dilakukan Sang Buddha.
Kassapa tidak berminat mengunjungi para bhikkhuni, tetapi akhirnya ia
setuju, keesokan harinya, Ananda ikut di belakangnya sebagai pelayan
menuju tempat biara para bhikkhuni dan Kassapa memberikan
perintah religius kepada mereka. Bhikkhuni Tissa tidak senang, karena
semuanya menyayangi Ananda dan menginginkan ia yang memberikan
khotbah. Setelah khotbah berakhir, bhikkhuni Tissa berkata:
"Bagaimana Yang Arya Kassapa dapat berkhotbah mengenai
ajaran Sang Buddha sementara Yang Arya Ananda hadir? Bagaikan
seorang penjual jarum yang menjual jarum kepada pembuat jarum!"
Mungkin bhikkhuni Tissa mengatakan yang sebenarnya, tetapi
agak kasar dan Kassapa tidak senang, karena sejak awal ia sudah tidak
ingin mengunjungi para bhikkhuni. Ananda berusaha menenangkannya
tetapi ia gagal. Kassapa menyombongkan bahwa ia telah mencapai
jhana keempat dan Sang Buddha telah mengakuinya, dan Ananda yang
rendah hati tidak menyinggung sedikit pun tentang apa yang telah
dicapainya dan juga tidak mengatakan bahwa Devadatta pun juga telah
mencapainya. Sebaliknya ia masih berusaha meredakan Kassapa yang
sedang emosi. Kassapa merupakan kontradiksi yang aneh. Waktu
panjang yang ia habiskan sendiri di hutan dan kemampuannya dalam
bermeditasi memang memberikan kedamaian. Tetapi meditasi hanya
satu bagian dari Delapan Jalan Utama, dan ini belumlah tentu "meditasi
benar", kecuali tujuh bagian lagi telah dijalankan. Sangat sedikit orang
yang mampu menguasai semuanya yang karenanya tidak lagi
mempunyai pikiran tentang "aku" dan "milikku" sehingga tidak ada lagi
kata-kata kasar yang keluar dari mulutnya. Dan sekarang ini Kassapa
tidaklah termasuk salah satu di antara yang sedikit itu.
196
Epilog: Setelah Wafatnya Sang Buddha
Bhikkhuni Tissa melupakan kekasarannya sendiri dan terkejut atas
kekasaran Kassapa yang menyatakan dirinya sekarang adalah ketua
Sangha. Tetapi itu masih belum berakhir.
Ananda, yang dicintai semua orang, membimbing sekelompok
laki-laki muda yang belum siap menjalani kehidupan pertapa dan
ternyata kemudian mereka kembali memasuki kehidupan duniawi.
Ananda kembali ke Rajagaha tanpa mereka. Ketika Kassapa kembali
bertemu Ananda, ia memarahinya karena telah berkelana dengan
serombongan laki-laki muda yang belum dapat mengendalikan nafsu
duniawi di tepi kota dan menyebutnya sebagai 'perusak ladang',
'perusak keluarga orang lain' dan 'kekanak-kanakan'.
Ananda tersenyum bijaksana dan tanpa kebencian menanyakan
apakah ia yang telah beruban pantas disebut kanak-kanak, ketenangan
Kassapa lenyap dan ia kembali mengulangi kata-kata kasarnya. Ananda
tetap tenang dan tidak membalas perkataannya.
Bhikkhuni Tissa kemudian mendengar kejadian ini, karena berita
biasanya sangat cepat beredar, biarpun dari Rajagaha ke Savatthi.
"Apa lagi berikutnya? Apakah Yang Arya Kassapa, yang pernah
menjadi guru di sekte yang lain, mampu menghina Yang Arya Ananda
yang lebih mengerti ajaran Sang Buddha dari siapa pun? Bagaimana ia
bisa menyebut Yang Arya Ananda kekanak-kanakan?"
Setelah kejadian itu, dia mengumpulkan para bhikkhuni dan
mengatakan bahwa dengan menjabatnya Kassapa sebagai ketua
Sangha, maka kehidupan kebhikkhuan bukan lagi untuknya, dan dia
lebih baik menjalani ajaran Sang Buddha dalam kehidupan biasa di
mana masih banyak orang yang rendah hati dan penuh kedamaian.
Karena kerendahan hatinya, Ananda menahan diri untuk tidak ikut
campur dalam masalah kepemimpinan para bhikkhuni di Savatthi
walaupun memang lebih baik jika beliau melakukannya. Tetapi
kerendahan hatinya tersebut tak dapat menghindarkan beliau dari
kesulitan dan ketidaksetujuan saat mengunjungi bhikkhu Khanna di
Kosambi. Mulanya bhikkhu Khanna adalah pelayan istana Raja
Suddhodana dan ia sangat menyayangi Pangeran Siddharta. Ketika
kemudian ia menjadi anggota Sangha, ia tak dapat mengontrol
kekaguman pribadinya bahkan pemujaannya kepada Sang Buddha. Dia
suka berkelana di pinggiran kota, berdebat tentang ajaran Sang Buddha
dan berkata yang berlebihan tentang Dhamma dan Buddha. Ini
menunjukkan dia telah salah mengerti terhadap dasar ajaran Sang
Buddha yang tidak berselisih dengan sekte mana pun, tetapi hanya
menunjukkan bagaimana untuk melenyapkan penderitaan dan
perselisihan dan menemukan kebahagiaan serta kedamaian.
197
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
Sang Buddha sedemikian sedih akan kesalahpahaman Khanna
terhadap ajarannya, sehingga sebelum meninggal, beliau berpesan
bahwa Sangha harus mengeluarkan Khanna dan memberikan
hukuman dengan menolak berhubungan dengannya. Ketika Ananda
mengatakan kepada Sangha mengenai pesan Sang Buddha tersebut,
Kassapa segera menyuruh Ananda menemui Khanna. Ananda menaiki
sampan menyeberangi sungai Gangga menuju Kosambi, Kosambi yang
menyedihkan, yang sekali lagi menjadi tempat terjadinya perselisihan
dan perbuatan yang salah.
Beliau mendarat dekat taman Raja Udena ketika Raja sedang
bersantai di sana dengan ditemani pelayan-pelayan wanita istana yang
segera meminta diizinkan untuk menyambut kedatangan guru mereka.
Kemudian mereka mempersembahkan beberapa jubah kepadanya.
Mendengar tentang persembahan itu, raja marah. Dia menemui
Ananda dan berkata dengan kasar apakah Ananda ingin menjadi
pedagang keliling. Ananda menjawab dengan sabar dan sopan bahwa
jubah-jubah itu akan diberikan kepada para bhikkhu yang jubahnya
telah rusak. "Dan apa yang kalian lakukan terhadap jubah yang telah
rusak?" tanya raja. "Dibuat menjadi alas tempat tidur, Baginda," jawab
Ananda. "Dan alas tempat tidur yang lama?" tanya raja. Lalu Ananda
menjelaskan kepadanya, bagaimana alas tempat tidur yang usang
digunakan untuk keperluan lain-lain seperti karpet, karpet usang untuk
handuk dan kain lap, sampai akhirnya hancur dan dicampur dengan
lumpur untuk dibuat menjadi tanah liat untuk lantai. Raja sangat senang
dengan Ananda sehingga dia memberikan lebih banyak jubah dan
menjadi lebih hormat kepada Sangha.
Setelah berbincang dengan raja, Ananda menemukan Khanna dan
menyampaikan keputusan Sang Buddha, bahwa tindakannya
keterlaluan sehingga mendapat hukuman dan tidak ada bhikkhu yang
mau berbicara dengannya ataupun mengizinkannya mengikuti rapat
Sangha. Ananda berbicara dengan lembut sehingga Khanna menyadari
kesalahannya, mengakui dirinya sendiri seperti seorang yang bodoh.
Dia menyendiri dan berusaha mencapai pembebasan dari nafsu dan
keakuan. Akhirnya ia pun berhasil. Lalu ia kembali kepada Ananda dan
memintanya untuk menarik kembali hukuman berat itu. Ananda
menjawab:
"Begitu kamu bebas dari nafsu dan keakuan maka kamu terbebas
dengan sendirinya dari hukuman itu."
Jika Kassapa telah menyebabkan Tissa lepas jubah, sebaliknya
malah banyak contoh di mana Ananda berhasil membimbing mereka
kembali ke kehidupan kebhikkhuan. Setelah ia meninggalkan
198
Epilog: Setelah Wafatnya Sang Buddha
Kosambi, kami tidak mendengar ada perselisihan lagi. Ke mana pun ia
pergi, semua orang yang salah menyadari kesalahannya, tutur bahasa
yang lembut dan perbuatan berbudi senantiasa mengikuti jejaknya,
seperti pucuk hijau yang tumbuh setelah hujan reda.
Ananda merupakan pelita paling terang yang dinyalakan oleh Sang
Buddha yang tetap hidup setelah kepergian-Nya. Tetapi saat aku
berkeliling sepanjang pinggiran kota, aku bertemu dengan banyak
orang rendah hati yang telah disadarkan Sang Buddha sehingga
kehidupan mereka berubah, dan mereka kemudian menyadarkan yang
lain, menghidupkan pelita kembali, satu kepada yang lain sampai ke
ujung dunia. Sang Buddha adalah pelita besar yang bersinar dalam
kegelapan dan dari pelita besar itulah pelita-pelita kecil dinyalakan dan
mereka menyalakan pula pelita-pelita yang lainnya.
199
Appendiks-1: Persamuan Sangha
Penurunan Ajaran
Setelah wafatnya Sang Guru dan setelah Persamuan Agung yang
diprakarsai oleh Maha Kassapa, ajaran-ajaran beliau diteruskan dan
disampaikan turun-temurun secara lisan di setiap Upacara Uposatha
oleh para anggota Sangha yang bisa berkumpul di setiap daerah.
Latihan diri dan meditasi serta dialog-dialog di antara para anggota
Sangha lebih dikhususkan selama Vassa di mana para bhikkhu
sementara berhenti mengembara dan menetap di suatu tempat selama
musim hujan. Sebenarnya selama empat puluh lima tahun
pengembaraannya, Sang Guru senantiasa berkomunikasi dengan
penduduk setempat dengan bahasa-bahasa daerah, tetapi karena
beliau lebih sering berada di sekitar Rajagaha, maka banyak ajarannya
didengar orang-orang dalam Bahasa Magadhi, suatu rumpun bahasa
yang umum dipakai di ibukota Kerajaan Magadha tersebut.
Pada Persamuan Agung pertama di Rajagaha yang dihadiri
sejumlah besar bhikkhu, yang tidak dihadiri oleh para bhikkhuni dan
umat biasa, kemungkinan semua Sutta dikumpul dan diulang oleh
Ananda dalam berbagai bahasa daerah, demikian pula Vinaya yang
dikumpul dan diulang oleh Upali, tetapi mungkin di saat itu ada usaha
menyeragamkan bahasa ajaran-ajaran Sang Guru tersebut ke dalam
Bahasa Pali, rumpun bahasa yang banyak dipakai di Kosala yang
merupakan negeri terbesar dan terkuat di saat itu, tetapi ajaran yang
tercatat dalam bentuk tulisan belum ditemukan, dan banyak ajaran
yang ditujukan pada umat awam dan yang disampaikan oleh Sang
Guru di daerah-daerah tengah dan selatan tidak terkumpul selama
persamuan pertama tersebut.
Persamuan Kedua dan Perpecahan Sangha
Di kota Vesali, kurang-lebih 100-110 tahun setelah wafatnya Sang
Guru, kembali diadakan Persamuan Sangha atas prakarsa Yasa,
seorang bhikkhu, tetapi bukan Yasa yang menjadi siswa keenam Sang
Guru. Pada saat itu bhikkhu-bhikkhu yang berdiam di daerah suku Vajji
sering mempraktekkan 'sepuluh kebiasaan' (dasa vatthuni) yang
menurut Yasa banyak yang tidak sesuai dengan vinaya. Kebiasaankebiasaan itu antara lain adalah kebiasaan makan berlebih dan masih
makan walaupun telah lewat waktunya dan kebiasaan menerima
pemberian berupa emas dan perak yang sebenarnya tidak dianjurkan,
walaupun juga tidak secara tegas dilarang Sang Guru di masa hidup
200
Appendiks-1: Persamuan Sangha
beliau. Untuk menyelesaikan masalah ini, Yasa meminta nasehat
Bhikkhu Revata untuk membahas hal ini dalam suatu sidang Sangha.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Bhikkhu Sabbakami dan
Bhikkhu Ajita sebagai moderator, yang dihadiri oleh lebih kurang tujuh
ratus bhikkhu, diputuskan bahwa kesepuluh kebiasaan yang bertujuan
meringankan atau menghilangkan vinaya-vinaya kecil itu ditolak.
Ada kitab yang menyatakan bahwa sidang Sangha ini dilakukan
untuk membahas lima dogma yang disebarkan oleh Mahadeva, ketua
Sangha di Pataliputta yang berasal dari keluarga brahmana yang antara
lain berisi tentang ketidaksempurnaan orang yang mencapai tingkat
kesucian arahat; tentang keragu-raguan yang masih timbul dalam diri
seorang arahat beserta dorongan bawah sadar yang menimbulkan
kesalahan.
Apapun alasan diadakan sidang Sangha ini, saat itu merupakan
awal mula perpecahan yang jelas di dalam Sangha. Kelompok yang
hendak memperingan vinaya dan membuang vinaya-vinaya kecil yang
dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman kemudian
berkembang dan dinamakan sebagai kelompok Mahasanghika,
sedangkan kelompok yang ingin tetap mempertahankan vinaya
sebagaimana adanya berkembang sebagai kelompok Sthaviravadin
atau Theravadin.
Kelompok bhikkhu suku Vajji dan yang menghendaki
penyederhanaan vinaya-vinaya kecil kemudian juga mengadakan suatu
persamuan yang dihadiri oleh lebih kurang sepuluh ribu bhikkhu
beserta sejumlah besar umat awam sehingga pertemuan itu
dinamakan Mahasangiti atau Persamuan Besar. Sidang ini mencoba
mengumpulkan sutta-sutta yang diturunkan Sang Guru di daerahdaerah dengan berbagai bahasa dan sutta-sutta yang diturunkan pada
banyak umat awam atau suku-suku yang tidak dituntut menjalankan
hidup kebhikkhuan. Sutta-sutta ini memang banyak yang tidak
terkumpul pada sidang Sangha sebelumnya yang tidak dihadiri oleh
umat-umat yang bukan bhikkhu, umat wanita dan umat-umat awam
maupun bhikkhu dari berbagai daerah tertentu. Sesudah sidang Sangha
ini berangsur-angsur timbul 11 sekte kecil cabang dari Sthaviravadin
dan 7 sekte kecil cabang dari Mahasangika yang bertahan dalam
beberapa ratus tahun sebelum terpecah-pecah lagi menjadi banyak
sekte.
Lahirnya Abhidhamma Pitaka dan Persamuan Ketiga
Sejalan dengan waktu, pengulangan sutta dan diskusi-diskusi di
antara kelompok bhikkhu tertentu semakin mengarah kepada hal-hal
yang tehnis sehingga kemudian semakin memiliki kecendrungan
201
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
skolastik. Di dalam agama Buddha pada abad-abad pertama setelah
wafatnya Sang Guru telah mulai tampak perkembangan ke arah
skolastik dengan mulai timbulnya usaha-usaha pengelompokan ajaran
ke dalam matika-matika atau ringkasan-ringkasan dhamma, yaitu
ringkasan kelompok-kelompok pembahasan yang lebih sistematis.
Mulai di saat itu terbentuk sekelompok bhikkhu yang bertugas
mengulang matika-matika itu pada saat-saat tertentu (Upacara
Uposatha) selain kelompok yang mengulangi sutta dan vinaya. Sejak
saat itu ajaran Sang Guru dalam bentuk teori-teori sering didiskusikan
dalam bentuk tanya jawab. Abhidhamma yang mula-mula hanya
berupa suatu tehnik pengabstrakan topik-topik utama dalam dhamma
dalam konteks semula yang sederhana ke dalam bentuk vedallavedalla sehingga mempermudah proses analisa dan sintesa kembali,
kemudian berkembang dan menjadi lebih sistematis serta lebih
mengarah pada konklusi yang logis. Perkembangan ini semakin
matang dan mencapai puncaknya pada Persamuan Sangha yang
ketiga.
Persamuan Sangha yang ketiga diselenggarakan di kota Pataliputta
pada kurang lebih tahun 249 SM dengan bantuan Raja Asoka yang
memerintah pada tahun 264 - 237 SM. Sidang ini dipimpin oleh Bhikkhu
Tissa Moggaliputta. Sidang ini hanya dihadiri oleh Bhikkhu-bhikkhu
Sthaviravadin atau Vibhajjavadin.
Dalam sidang ini Tissa Moggaliputta memilih sekitar seribu orang
bhikkhu untuk selama sembilan bulan mengulang dan menyusun
kembali Vinaya dan Sutta, dan untuk pertama kali dalam periode Asoka
ini dikumpulkan kumpulan kitab ketiga yang diberi nama Abhidhamma
Pitaka, selain kumpulan kitab yang berisi khotbah-khotbah umum
(Sutta Pitaka) dan kumpulan kitab yang berisi aturan kebhikkhuan
(Vinaya Pitaka) yang telah ada sebelumnya.
Penyebaran Ajaran Tertulis
Setelah menyempurnakan Vinaya dan Sutta serta munculnya
Abhidhamma, Persamuan Agung memutuskan untuk mulai mengirim
duta-duta dhamma secara resmi ke luar negeri.
Sutta Pitaka yang berisi khotbah-khotbah Sang Guru yang diberikan
pada waktu dan tempat tertentu kepada orang-orang tertentu yang
berada dalam keadaan tertentu, yang semula hanya diturunkan secara
lisan ini kemudian disusun dalam berbagai bahasa. Sutta-sutta
berbahasa Pali dikumpulkan dan diulang turun-temurun oleh sekte
Theravadin yang kemudian ditemukan secara utuh dan lengkap di
Srilanka, sedangkan kaum Sarvastivadin mengulangi sutta-sutta ini di
dalam bahasa Sanskerta yang kini hanya dikenal terjemahannya yang
202
Appendiks-1: Persamuan Sangha
lengkap di dalam bahasa Mandarin. Sekte-sekte lain seperti
Mahasanghika juga ada mengoleksi sutta-sutta ini di dalam bahasa
Prakrit.
Sutta Pitaka ini terdiri dari nikaya-nikaya dalam bahasa Pali sekarang
terbentuk atas lima kelompok yaitu Digha Nikaya, Majjhima Nikaya,
Samyutta Nikaya, Anguttara Nikaya, dan Khuddaka Nikaya. Di dalam
bahasa Mandarin yang diterjemahkan dari bahasa Sanskerta hanya
dijumpai 4 kelompok dengan nama Dirgha-agama, Madhyama-agama,
Samyukta-agama, dan Ekottara-agama. 'Agama-agama' dalam bahasa
Mandarin ini isinya sebagian besar sama dengan nikaya-nikaya dalam
bahasa Pali tetapi susunannya ada yang berbeda. Khuddaka Nikaya
yang disusun dalam bahasa Pali setelah timbul perpecahan sekte-sekte
tidak ditemukan di dalam bahasa Sanskrit.
Selain nikaya-nikaya Pali dan agama-agama Mandarin yang kurang
lebih memiliki susunan dan isi yang sama, kemudian ditemukan pula
sutra-sutra Mahayana yang diturunkan oleh sang Buddha dan
pengikutnya dalam bahasa-bahasa daerah dan sutra-sutra yang banyak
ditujukan pada umat awam yang bukan anggota sangha. Sutra-sutra ini
banyak dihafal turun-temurun di India Selatan dan Tengah dan tidak
terkumpul di Persamuan Sangha pertama. Sutra-sutra ini mulai ditulis,
kebanyakan dalam bahasa Sanskerta, pada abad pertama sebelum
masehi. Sutra-sutra yang lebih menekankan sifat bakti dan cinta kasih
universil dan semangat berkarya bagi umat awam ini sebagian telah
hilang naskah aslinya sehingga banyak yang hanya ditemukan
terjemahannya di dalam bahasa Mandarin, Tibet, Turki, Nepal, Persia,
bahasa Khotan, dan kemudian malah mengalami perkembangan lebih
lanjut dalam aliran-aliran atau sekte yang telah terintergrasi dengan
budaya setempat seperti yang ditemukan di Korea, Jepang, dan bahkan
di negara-negara barat.
203
Appendiks-2: Meditasi dan Pandangan
Theravada
Di dalam agama Buddha ada dikenal dua sistem meditasi yaitu
Samatha Bhavana dan Vipassana Bhavana.
Samatha Bhavana adalah sistem meditasi yang bertujuan
mengembangkan konsekuensi kesadaran terhadap obyek yang sedang
berkontak dengannya, yaitu melatih agar kesadaran tetap
terkonsentrasi dan konsekuen terhadap segala kegiatan yang sedang
dikerjakan tanpa terpecah perhatiannya terhadap obyek-obyek lain
yang di luar obyek atau kegiatan yang dimaksudkan semula.
Vipassana Bhavana merupakan suatu metoda meditasi yang
bertujuan membersihkan diri dan mengembangkan kesadaran ke arah
lenyapnya segala noda batin dan pandangan yang salah;
mengembangkan kesadaran menuju suatu keharmonisan sikap,
pandangan, dan perbuatan yang bebas dari segala keterikatan yang
bersifat duniawi dan fana.
Di dalam praktek dalam kehidupan sehari-hari kedua metoda
meditasi ini harus diterapkan secara seimbang. Konsekuensi kesadaran
terhadap obyek atau kegiatan yang sedang dikerjakan tidak dapat
tercapai tanpa disertai dengan keharmonisan antara sikap dan
pandangan yang terlatih dengan metoda vipassana, sebaliknya
keharmonisan dan kebijaksanaan di dalam hidup itu sendiri sulit
tercapai tanpa disertai dengan kesadaran yang tenang dan terlatih
pemusatan perhatiannya.
Samatha Bhavana
Di dalam teori meditasi Samatha Bhavana dikenal ada tiga tingkat
samadhi yaitu parikamma-samadhi, upacara-samadhi, dan appanasamadhi. Tingkat-tingkat samadhi ini dinilai dari nimitta-nimitta, yaitu
tanda atau bayangan obyek meditasi yang terbentuk selama melakukan
meditasi dengan obyek tertentu, atau dari dalam dan murninya
kesadaran terlibat dalam kegiatan yang sedang dilakukan.
Ada tiga jenis nimitta yang berhubungan dengan tingkatan samadhi
ini yaitu parikamma-nimitta, uggaha-nimitta, dan patibhaga-nimitta.
Parikamma-nimitta adalah obyek kasar yang biasanya berupa salah
satu dari 40 mata pokok meditasi yang sejak semula dijadikan obyek
meditasi. Parikamma-nimitta ini tetap diperlukan sebelum kita dapat
membentuk bayangan kasar obyek tersebut (uggaha-nimitta). Di dalam
melakukan suatu aktifitas, yang menjadi parikamma-nimitta adalah
kegiatan yang sedang dilakukan itu sendiri.
204
Appendiks-2: Meditasi dan Pandangan Theravada
Uggaha-nimitta merupakan obyek kasar karena terbentuk berupa
jiplakan kasar obyek sebenarnya, yang menampakkan semua sifat luar
dari obyek tersebut beserta segala cacat dan keterbatasan yang masih
terbawa oleh obyek tersebut. Bayangan obyek ini dapat bertahan
dalam kesadaran selama waktu tertentu tergantung dalamnya keadaan
samadhi yang tercapai. Dalam keadaan itu kita tidak perlu lagi
memperhatikan obyek kasarnya karena bayangan yang terbentuk telah
penuh mewakili obyek tersebut. Di dalam meditasi yang aktif (di dalam
melakukan aktifitas) uggaha-nimitta timbul sebagai pengetahuan atau
kesadaran akan dalam bentuk apa kegiatan itu semestinya dijalankan.
Keadaan kesadaran yang telah berhasil menyatukan kedua nimitta
itulah yang dinamakan sebagai parikamma-samadhi.
Apabila keadaan ini bertahan hingga kelima nivarana1 tertekan oleh
faktor-faktor jhana yang timbul selama tingkat samadhi ini2; keadaan di
1 Nivarana adalah rintangan-rintangan di dalam diri seseorang yang menghalangi
pengembangan kesadaran dan menutupi mata hati seseorang, yang menghalangi
seseorang mencapai tingkat kesadaran upacara-samadhi dan appana samadhi,
yang menyebabkan seseorang tidak konsekuen terhadap obyek ataupun kegiatan
yang sedang dilakukan, yang menghalangi kemampuan orang-orang memahami
kesunyataan. Kelima rintangan atau Niravana itu antara lain:
1. Nafsu keinginan (kamachanda)
2. Kemauan jahat (vyapada)
3. Kemalasan dan kelelahan (thina-middha).
4. Kegelisahan dan kekhawatiran (uddhacca-kukkucca)
5. Keragu-raguan (vicikiccha).
2 Kelima faktor jhana yang timbul selama keadaan menuju Upacara Samadhi
adalah:
1. Vitakka, yaitu usaha mengarahkan kesadaran pada suatu obyek. Di dalam
kesadaran Jhana vitakka ini dapat secara sementara menekan thinamiddha, sedangkan dalam pengembangan lebih lanjut sebagai sammasankappa (pikiran benar) bisa menghancurkan miccha-vitakka seperti kama
(nafsu indriya), kekejaman (vihimsa), dan vyapada.
2. Vicara, meneliti atau menyelidiki obyek yang telah terekat kuat dalam
kesadaran. Vicara sementara bisa menekan vicikiccha.
3. Piti, rasa tertarik yang timbul saat / setelah meneliti obyek. Perasaan ini
timbul sebelum benar-benar timbul rasa suka terhadap obyek yang
bersangkutan. Piti dapat menekan vyapada sementara.
4. Sukha, perasaan senang atau suka yang timbul pada obyek yang semula
hanya menimbulkan rasa tertarik. Piti menimbulkan perhatian dan rasa
tertarik pada obyek, sedangkan sukha memungkinkan seseorang menikmati
kesenangan akan obyek itu, tetapi sukha di dalam hal ini tidak berhubungan
dengan kesenangan materi. Sukha ini berfungsi menekan uddhacca dan
kukkucca.
205
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
mana semua rintangan dari dalam diri tidak lagi menunjukkan
fungsinya, maka keadaan ini dinamakan upacara-samadhi. Di dalam
keadaan ini akan bangkit patibhaga-nimitta, bayangan obyek yang telah
halus; bayangan yang hanya menunjukkan sifat yang paling mendasar
dari eksistensi obyek atau kegiatan itu tanpa disertai lagi oleh segala
cacat celanya; obyek yang berupa suatu konsep eksistensi / kebendaan
abstrak yang murni beserta segala sifat tilakkhana yang menyertainya.
Dalam keadaan samadhi ini kesadaran kita telah berada dekat dengan
kesadaran jhana; kesadaran kita telah berada di ambang batas alam
kamavacara dengan rupavacara.3 Apabila bayangan obyek yang halus
ini tetap terpegang oleh kesadaran dan faktor-faktor jhana mulai
menunjukkan peranannya, maka kesadaran akan beralih ke kesadaran
yang lebih tinggi; kesadaran jhana; kesadaran di dalam appanasamadhi.
Samatha Bhavana di dalam Aktifitas Sehari-hari
Di dalam aktifitas kehidupan sehari-hari konsekuensi kesadaran
terhadap obyek ataupun kegiatan kita dapat dinilai dengan dasar teori
tingkat samadhi ini. Di saat kita memulai suatu kegiatan tanpa ada
suatu perhatian apapun (melakukannya sebagai hal sambilan atau
dengan setengah hati dan perhatian yang mudah teralih ke berbagai
obyek atau keadaan di sekeliling), maka keadaan ini masih belum
termasuk dalam tingkatan samadhi apapun. Apabila kesadaran kita
telah hanya tepusat pada kegiatan itu tanpa teralih lagi ke obyek-obyek
lain dan kita telah mengetahui secara kasar apa yang sebenarnya
hendak dilakukan saat itu dan kita melakukannya sesuai dengan apa
yang kita ketahui akan dilakukan (uggaha-nimitta), maka di saat itu
pertama kita telah mulai memasuki keadaan parikamma samadhi. Di
dalam keadaan itu kita telah berada di dalam tingkat samadhi yang
pertama, dan mungkin perhatian kita akan kembali menurun atau
malah akan semakin erat memegang obyek berupa kegiatan yang
sedang dilakukan tersebut.
5. Upekkha-ekaggata, suatu kesadaran yang terpusat penuh pada obyek,
memahami obyek secara menyeluruh dan tenang tak tergoncangkan yang
timbul apabila perasaan sukha akan obyek pun telah lenyap. Ekaggata ini di
dalam jhana dapat secara sementara menekan kamachanda.
3 Kamavacara: lapisan kesadaran di mana nafsu duniawi dan kefanaan masih
dominan. Rupavacara: lapisan kesadaran di mana faktor-faktor jhana yang
dominan, lapisan kesadaran di mana kesadaran telah konsekuen penuh terhadap
obyek atau kegiatan yang sedang dilakukan tanpa ada lagi pertimbanganpertimbangan yang bersifat duniawi dan fana.
206
Appendiks-2: Meditasi dan Pandangan Theravada
Di dalam keadaan 'samadhi aktif' itu biasanya akan mulai tertampak
halangan-halangan yang timbul berupa nivarana-nivarana. Mungkin
segera setelah itu akan timbul perasaan enggan dan malas melanjutkan
usaha atau kegiatan kita (thina-middha). Kemalasan dan keengganan
ini hanya bisa ditekan apabila kita mengembangkan faktor jhana
vitakka, yaitu dengan cara tetap berusaha menangkap obyek
(melanjutkan kegiatan yang sedang dilakukan). Ketetapan konsekuensi
kita terhadap aktifitas yang sedang dilakukan merupakan tanda telah
tertekan thina-middha secara sementara di saat itu. Tetapi di saat
berikut mungkin malah akan timbul keragu-raguan untuk meneruskan
usaha atau kecenderungan untuk beralih perhatian ke obyek lain
(vicikiccha). Keadaan ini hanya bisa teratasi apabila kita
mengembangkan faktor jhana vicara, yaitu apabila telah timbul
perhatian terhadap rincian kegiatan kita. Di saat kita mulai
memperhatikan kegiatan-kegiatan kita secara lebih terperinci maka
keragu-raguan dan kecenderungan kita beralih obyek tentu akan
tertekan atau terlupakan.
Di dalam keadaan itu telah tidak ada lagi keraguan dalam
melanjutkan aktifitas yang sama, tetapi mungkin akan timbul
kejengkelan dan rasa tidak senang (vyapada) apabila kegiatan itu
terganggu oleh apapun, tetapi kejengkelan ini tak akan terjadi apabila
telah timbul faktor piti atau rasa tertarik pada kegiatan kita. Di saat kita
sedang melakukan kegiatan yang menarik, tentu tidak akan tersisa
perasaan jengkel walaupun sedang ada kejadian-kejadian yang
biasanya dapat mengganggu kegiatan kita (misalnya suara-suara bising
dan sebagainya). Di saat itu kita mungkin hanya akan sekedar
menghindari gangguan-gangguan yang ada tanpa disertai perasaan
jengkel dan marah.
Tetapi walaupun demikian mungkin masih terdapat kegelisahan
dan kekhawatiran (uddhacca-kukkucca) kalau kejadian-kejadian
tersebut akan cukup kuat untuk menghambat kegiatan kita, atau
kegelisahan bahwa kegiatan yang menarik ini akan terganggu atau
segera berakhir sebelum tujuan dari kegiatan ini tercapai, tetapi
kegelisahan ini juga akan segera tertekan dan terlupakan apabila telah
timbul faktor jhana sukha, yaitu apabila kita benar-benar telah suka dan
menikmati kegiatan yang sedang dilakukan.
Setelah keempat nivarana tadi tertekan masih terdapat sisa satu
nivarana yang biasanya tidak akan tertekan dan masih ada sebelum
kesadaran benar-benar telah erat menangkap obyek. Nivarana ini
dikenal sebagai kamachanda atau nafsu keinginan. Di dalam meditasi
yang aktif, kamachanda ini dikenal sebagai suatu motif atau tujuan
207
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
melakukan kegiatan. Kadang-kadang motif ini tersisa sebagai hal yang
menghalangi kesadaran tetap konsekuen terhadap apa yang sedang
dikerjakan, memecah perhatian dari kesadaran itu (walaupun sedikit)
dari perhatian sepenuhnya terhadap apa yang sedang dikerjakan.
Nivarana ini hanya bisa tertekan apabila telah timbul faktor Ekagata,
perhatian yang telah penuh menangkap dan memahami obyek atau
kegiatan yang sedang dilakukan. Di saat ekagata telah timbul itulah
baru ada kemungkinan bayangan kasar (uggaha-nimitta) terhadap apa
yang sedang dikerjakan beralih menjadi patibhaga-nimitta, yaitu obyek
halus yang abstrak berupa konsepsi terhadap hakekat yang hakiki dari
aktifitas itu sendiri.
Di saat semua nivarana telah tertekan merupakan tanda tercapainya
upacara-samadhi, tetapi appana-samadhi baru dikatakan tercapai
apabila uggaha-nimitta telah beralih menjadi patibhaga-nimitta, yaitu di
saat bentuk bayangan kasar dari aktifitas kita telah beralih menjadi
konsep aktifitas yang lebih halus dan hakiki. Di saat itu kita melakukan
aktifitas bukan lagi didasari oleh tuntunan bentuk kasar apa yang
seharusnya kita lakukan yang terbentuk dalam pikiran kita di saat
memulai pekerjaan (uggaha-nimitta). Di saat itu kita hanya melakukan
aktifitas itu dengan sewajarnya disertai kesadaran yang penuh terhadap
obyek atau aktifitas yang sedang kita lakukan tanpa disertai usaha
menilai dan mencocok-cocokkan hasilnya di setiap saat dengan
bayangan hasil pekerjaan itu seperti yang dibayangkan sejak semula
melainkan hanya melakukan aktifitas itu dengan sepenuh hati. Di saat
itu kita bekerja dengan kesadaran terpusat hanya pada pekerjaan itu
tanpa mempermasalahkan lagi apakah pekerjaan itu akan
terselesaikan atau tidak; tidak mempermasalahkan apakah pekerjaan
itu akan berakhir seperti yang dibayangkan semula sebab bayangan
yang berupa uggaha-nimitta itu telah lenyap dan kita hanya dituntun
oleh ekagata terhadap hanya pekerjaan itu. Patibhaga-nimitta timbul
sebagai tuntunan hati dan semangat terhadap hakekat 'melakukan
aktifitas' itu sendiri disertai daya reaksi seluruh organ indera dan
seluruh alat gerak dan nalar kita yang harmonis dalam melakukan
aktifitas itu tanpa dikotori lagi oleh komentar-komentar atau penilaian
sesaat ataupun perasaan bangga diri maupun rasa tidak puas terhadap
pekerjaan yang sedang dilakukan itu, bahkan tidak juga oleh ingatan
bahwa kita sedang melakukan suatu aktifitas.
Tingkat-Tingkat Jhana
Di dalam keadaan appana-samadhi kesadaran seorang meditator
mulai beralih dari kesadaran kamavacara menuju kesadaran
rupavacara. Apabila di dalam aktifitas kita telah sama sekali terlarut dan
208
Appendiks-2: Meditasi dan Pandangan Theravada
sama sekali tidak memikirkan apakah yang menjadi motif kegiatan kita
dan apa yang hendak dicapai; kesadaran kita telah sepenuhnya
terkonsentrasi pada apa yang memang sedang kita kerjakan tanpa
tersisih setitik kesadaran pun yang memberi komentar terhadap apa
yang sedang dikerjakan (kamachanda benar-benar telah tertekan oleh
adanya ekagata), maka kesadaran kita telah meninggalkan lapisan
kesadaran kamavacara menuju kesadaran rupavacara. Di saat itu
apabila kelima faktor jhana masih bekerja maka dikatakan kita telah
berada di lapisan kesadaran jhana pertama.
Apabila pada suatu saat di mana kesadaran kita telah sangat kuat
terlarut di dalam aktifitas sehingga indera kita benar-benar mulai
kehilangan kontak dengan segala sesuatu apapun yang di luar obyek
atau kegiatan yang sedang dilakukan akibat vitakka dan vicara yang
mulai memudar, maka kita di saat itu telah berada di lapisan kesadaran
jhana kedua. Di saat itu kita masih melakukan aktifitas dengan sangat
baik, tetapi perincian kegiatan kita sama sekali tidak lagi terekam di
dalam kesadaran kita. Kita melakukan kegiatan dengan hanya tersisa
rasa tertarik, sukha, dan ekagata.
Apabila aktifitas kita telah terlarut lebih dalam lagi sehingga rasa
tertarik terhadap perincian aktifitas kita pun telah memudar sehingga
aktifitas kita hanya tersisa rasa suka secara menyeluruh disertai
ekagata, maka kesadaran kita telah berada di lapisan jhana ketiga. Di
dalam keadaan ini rasa suka yang terjadi bukan lagi di setiap saat
melakukan kegiatan melainkan hanya timbul di sela-sela perhatian
yang telah penuh.
Kesadaran jhana keempat hanya akan tercapai apabila perasaan
sukha pun telah lenyap; perhatian terpusat secara penuh hanya pada
obyek atau kegiatan yang sedang dilakukan tanpa disertai perasaan
apapun, tersisa hanya ekagata dan upekkha yang timbul, keadaan di
mana perasaan puas pun hanya akan timbul apabila aktifitas itu telah
terhenti dan kita tersedar dari kesadaran jhana yang timbul selama kita
melakukan aktifitas tersebut. Di dalam keadaan jhana keempat ini
seluruh energi kesadaran hanya tertuju di dalam aktifitas kita dan
tingkat efisiensi pekerjaan kita tentu sedang berada dalam prosentase
tertinggi.
Kesadaran Arupa
Kesadaran Arupa merupakan keadaan atau lapisan kesadaran yang
tercapai apabila kesadaran yang telah berada di lapisan jhana keempat
terperangkap dan kehilangan identitas obyeknya. Di dalam agama
Buddha, pencapaian kesadaran di dalam lapisan ini bukan merupakan
hal yang dianjurkan, malah bisa menjadi rintangan bagi seseorang
209
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
untuk membersihkan diri dan mencapai penyucian diri dari belenggubelenggu hidup. Bagi orang-orang yang telah mencapai tingkat
kesucian ariya puggala, pencapaian tingkat kesadaran ini hanya
dianggap sebagai suatu bonus, bukan merupakan kelebihan yang
pantas dibanggakan.
Kesadaran Arupa tingkat pertama dikenal dengan nama Tingkat
Kesadaran Ruang Tanpa Batas. Di dalam keadaan ini, kesadaran yang
semula berada dalam kesadaran jhana keempat mulai dipenuhi oleh
obyek yang semula terikat dengannya sehingga tercapai suatu keadaan
di mana seakan-akan seluruh ruang kesadarannya dipenuhi oleh obyek
tersebut, keadaan di mana batasan ruang antara obyek dengan yang
bukan obyek telah kabur sehingga obyek itu sendiri telah mulai
kehilangan identitasnya, tetapi dualitas antara kesadaran yang
menyadari dengan obyek yang disadari masih jelas. Di dalam
melakukan aktifitas kita kadang-kadang bisa terperangkap di dalam
keadaan ini. Dalam melakukan suatu aktifitas kita kadang kala bisa
kehilangan batas antara apa yang masih menjadi bagian dari pekerjaan
kita dan apa yang telah di luar pekerjaan kita dan kita mungkin akan
melakukan hal-hal yang sebenarnya telah di luar batasan pekerjaan
kita.
Apabila keadaan ini berlanjut sehingga batasan antara kesadaran
yang menyadari dengan obyek yang disadari juga mulai kabur; dualitas
antara subyek dan obyek mulai terbaur, maka kesadaran di saat itu
telah terperangkap di dalam lapisan Kesadaran Tanpa Batas. Di dalam
keadaan ini seseorang tidak akan lagi menyadari apa yang sedang dia
lakukan. Kesadarannya bukan lagi terpusat pada pekerjaannya
melainkan telah telah mulai memudar dan tenggelam serta terlarut di
dalamnya. Di dalam keadaan itu kita tidak lagi melakukan pekerjaan
dengan tuntunan patibhaga-nimitta yang masih ada sebelumnya tetapi
terlarut tanpa menyadari lagi apa yang sedang dilakukan.
Apabila batas dualitas subyek-obyek benar-benar telah hilang, tidak
ada lagi kesadaran subyek bahwa ada obyek yang disadari; subyek
benar-benar tidak lagi mencerap apapun, maka terperangkaplah
kesadaran itu dalam Lapisan Kekosongan. Seorang meditator di saat itu
telah benar-benar kehilangan batas 'dunia'nya; identitas dirinya pun
telah larut dalam kekosongan yang timbul akibat dualitas kesadaran
subyektif terhadap obyek apapun telah lenyap.
Apabila di saat berikut kesadaran tetap terperangkap di dalam
kekosongan, tetapi kesadarannya masih mengikuti hukum citta-niyama
210
Appendiks-2: Meditasi dan Pandangan Theravada
bahwa di dalam keadaan apapun (kecuali dalam keadaan samapatti)4
suatu proses kesadaran harus diselingi dengan kesadaran Bhavanga5
sebelum berlanjut ke proses kesadaran selanjutnya, maka kesadaran
yang terus bergetar antara lapisan kesadaran kekosongan dengan
bhavanga dan dikatakan berada di dalam keadaan Bukan Mencerap
juga Bukan Tidak Mencerap.6 Di dalam keadaan ini seseorang mungkin
akan tampak setengah sadar di dalam melakukan aktiftasnya; tampak
masih melakukan suatu aktifitas tetapi tidak jelas batasannya dan daya
reaksinya terhadap perubahan di luar dirinya tampak kabur dan tidak
wajar.
Metoda Vipassana dan Satta Visuddhi
Apabila samatha bhavana bertujuan melatih konsekuensi kesadaran
terhadap apa yang sedang dikerjakan, maka vipassana bhavana lebih
bertujuan melatih dan mengembangkan kesadaran menuju lenyapnya
segala noda batin dan pandangan salah, mengharmoniskan
pandangan, sikap, dan tingkah laku, serta melenyapkan segala
belenggu yang menimbulkan penderitaan di dalam hidup kita.
Tidak seperti samatha bhavana yang dapat dilatih hanya dengan
melatih konsekuensi kesadaran dalam melakukan setiap aktifitas,
latihan vipassana harus dilakukan melalui beberapa tahap secara
berulang-ulang. Vipassana Bhavana di dalam praktek sehari-hari harus
meliputi suatu pendalaman teori kebijaksanaan (pengetahuan tentang
hakekat kehidupan dan hukum-hukum semesta, pengetahuan tentang
moralitas dan pengendalian diri; pengetahuan tentang tilakkhana,
patticca samuppada, dan karma; pengetahuan tentang dukkha hingga
4 Keadaan di mana proses kesadaran (citta-vithi) terhenti untuk beberapa waktu.
5 Kesadaran yang paling primitif yang telah ada saat suatu mahluk hidup terjelma
dalam suatu konsepsi. Dikatakan paling primitif sebab kesadaran itu tidak
menangkap obyek indrawi yang khusus. Obyek dari kesadaran ini hanya berupa
ruang dan waktu (yang semu) di mana kesadaran itu seakan-akan terjelma.
Bhavanga ini tetap timbul di sela-sela peralihan kesadaran antara satu proses atau
satu episoda kontak dengan suatu obyek dengan proses atau episoda lain
sehingga memberi kesempatan mahluk itu untuk 'sadar diri' di sela-sela
menyadari adanya obyek di luar diri.
6 Dikatakan 'bukan mencerap' sebab dalam keadaan 'kekosongan' telah tidak ada
lagi kesadaran (tidak ada lagi subyek yang menyadari obyek karena subyek dan
obyek itu telah kehilangan batasannya dan terlebur dalam non dualitas).
Dikatakan juga 'bukan tidak mencerap' karena di sela kekosongan itu terselip
kesadaran bhavanga yang walaupun tidak memiliki obyek khusus tetap tidak bisa
dikatakan tidak mencerap obyek maya berupa ruang dan waktu di saat
kesadaran itu merasa seakan-akan berada (ada eksistensinya).
211
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
cara melenyapkannya, dan terutama tata cara membersihkan diri; cara
hidup yang benar, latihan diri dan pandangan yang benar / delapan
jalan utama), mempraktekkan teori kebijaksanaan yang telah
dipelajarinya atau menjalankan kehidupan sesuai dengan jalan yang
diyakininya, serta mengevaluasi atau menilai diri apakah telah berada
di jalan yang benar (introspeksi) untuk kemudian mendalami lagi
pengetahuannya sesuai dengan perkembangannya, mempraktekkan
lagi, mengevaluasi lagi dan seterusnya.
Di dalam agama Buddha salah satu tuntunan vipassana bhavana
adalah dengan mempraktekkan satta visuddhi atau tujuh tingkat
penyucian diri.
Ketujuh tingkat penyucian diri itu antara lain:
1. Sila Visuddhi
Sila visuddhi atau penyucian terhadap tingkah laku
merupakan segala daya upaya meluruskan sikap hidup yang
sesuai dengan patimokkha (bagi anggota sangha),
menjalankan sila-sila (bagi umat Buddha biasa), atau secara
umum mengikuti segala norma tata susila dan tuntunan budi
pekerti yang berlaku secara umum di dalam masyarakat dan
keluarga di mana kita hidup dan dibesarkan. Sila visuddhi
meliputi pengendalian diri, sikap, dan cara hidup dari
dorongan-dorongan nafsu yang tidak sesuai dengan norma
atau aturan ideal yang berlaku di dalam masyarakat maupun
keluarga. Menjalankan kehidupan bersusila mencakup juga
bermata pencaharian yang benar, hidup jujur, dan bersikap
konsekuen terhadap apa yang diyakini sebagai hal yang benar.
2. Citta Visuddhi
Citta visuddhi atau penyucian terhadap pikiran atau
kesadaran merupakan segala usaha melatih kesadaran agar
konsekuen terhadap satu obyek atau kegiatan yang sedang
dilakukan. Citta visuddhi ini identik dengan melatih kesadaran
dalam samatha bhavana hingga mencapai tingkat kesadaran
appana samadhi. Citta visuddhi beserta dengan sila visuddhi
sebenarnya hanya merupakan bagian persiapan sebelum
benar-benar memulai metoda vipassana dan masih
merupakan latihan cara bersikap yang masih termasuk dalam
kelompok Sila dan Samadhi dari Delapan Jalan Utama,
sedangkan bagian Panna baru dimulai saat seseorang telah
memulai Ditthi Visuddhi.
212
Appendiks-2: Meditasi dan Pandangan Theravada
3. Ditthi Visuddhi
Ditthi visuddhi atau penyucian dari pandangan
merupakan langkah awal dalam mempelajari dan mendalami
hukum kesunyataan. Pada langkah pertama kita hendaknya
memulai dengan mempelajari dan memupuk dasar-dasar
pandangan hidup yang benar dan mempelajari hukum-hukum
kesunyataan secara umum. Pertama-tama kita harus belajar
mengetahui hal-hal apa saja yang tidak benar (belajar
membedakan hal-hal yang tidak benar dengan hal-hal yang
benar). Kemudian dengan semakin bertambahnya usia,
pengalaman dan kebijaksanaan kita, kita mulai mempelajari
dan memahami hal-hal apa yang kebenarannya relatif dan halhal apa yang mutlak benar. Dan pada tahap akhir penyucian ini
kita telah harus bisa menyadari bahwa tidak ada suatu teoripun
yang benar secara absolut dan dapat dijadikan pegangan
dalam situasi apapun; bahwa kita tidak boleh terpaku pada
suatu pendapat atau pandangan (ditthi) sebagai sesuatu yang
memiliki kebenaran mutlak yang bisa diterapkan di setiap saat
dan dalam keadaan apapun, dan yang dapat dipaksakan untuk
diterapkan juga oleh setiap orang di dalam situasi apapun. Di
dalam penyucian pandangan ini pertama-tama kita dilatih
untuk membuang pandangan yang salah, kemudian
memahami dan bisa membedakan suatu kebenaran yang
relatif dari kebenaran yang mutlak untuk kemudian terlepas
dari segala ikatan pandangan apapun.
Ditthi visuddhi ini berperan di dalam melemahkan dan
mematahkan belenggu pertama yaitu sakayaditthi (pandangan
salah terhadap perwujudan dari badan jasmani; pandangan
salah tentang keberadaan eksistensi yang berjiwa atau yang
memiliki kesadaran). Seseorang yang telah berhasil
menyucikan pandangannya tidak akan lagi terikat pada
pandangan atau teori apapun mengenai 'diri'; ia tidak lagi
mempersoalkan apakah 'diri'nya kekal atau tidak kekal, atau
apakah 'diri'nya paling berkuasa dalam menentukan arah
hidupnya atau sama sekali tidak berdaya di dalam roda
samsara, atau apakah kehidupannya sekarang mutlak
dipengaruhi oleh karma masa lalunya atau bisa dipengaruhi
dengan bantuan mahluk-mahluk suci. Seseorang yang telah
menjalankan ditthi visuddhi tidak akan lagi terikat oleh suatu
pandangan atau teori apapun. Pandangannya telah lues dan ia
bisa bersikap bijaksana dan harmonis di dalam situasi apapun.
213
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
4. Kankhavitarana Visuddhi
Kankhavitarana visuddhi atau penyucian dalam
mengatasi keraguan merupakan segala usaha yang kita
lakukan untuk membersihkan diri dari keraguan terhadap jalan
dan keadaan yang telah kita alami. Langkah penyucian ini
berperan di dalam melemahkan dan mematahkan belenggu
kedua dan ketiga yaitu vicikiccha (keragu-raguan yang skeptis
terhadap dirinya sendiri dan terhadap jalan yang sedang
dijalani) dan silabataparamasa (keterikatan atau obsesi
terhadap segala tindakan yang bersifat ritual). Seseorang yang
telah menjalani kankhavitarana visuddhi tidak akan lagi
mempertanyakan apakah pandangan dan cara hidupnya
sekarang benar atau tidak. Juga tidak akan lagi terganggu oleh
pertanyaan apakah ia masih mampu melanjutkan jalan yang
telah dipilihnya itu. Ia akan bersikap praktis di dalam
melakukan segala hal tanpa terikat pada suatu tata cara atau
ritualitas tertentu. Dan ia tidak akan terganggu oleh pertanyaan
tentang apakah segala tindakannya itu harus dilakukan oleh
urutan kerja yang bagaimana atau apakah upacara atau
tidakan ritual tertentu mempengaruhi segala tindakan dan
jalan hidupnya atau tidak.
5. Maggâmagga Ñânadassana Visuddhi
Maggâmagga ñânadassana visuddhi atau penyucian di
dalam membedakan mana yang merupakan magga (jalan)
dan mana yang bukan jalan, adalah segala usaha yang
dilakukan untuk menilai dan menyadari keadaan mana dari
yang timbul itu yang merupakan jalan yang harus dilanjutkan
dan mana yang hanya merupakan kelebihan tambahan yang
tidak memiliki nilai dalam penyucian diri menuju
pembebasan.
Seseorang yang telah berhasil melewati penyucian
keempat biasanya telah memiliki kelebihan-kelebihan di
dalam menjalani hidup dan di dalam memahami hukumhukum kesunyataan. Mereka biasanya telah memiliki
kebijaksanaan di atas orang-orang biasa dan memiliki dayadaya hidup yang lebih harmonis dan adaptif sehingga
kehadiran mereka bisa membawa kebahagiaan pada orangorang di sekitarnya. Tetapi kadang-kadang di dalam keadaan
seperti inilah belenggu-belenggu hidup seperti vyapada,
kamaraga, ruparaga, aruparaga, dan mâna menjadi lebih
214
Appendiks-2: Meditasi dan Pandangan Theravada
menampakkan diri. Orang tersebut terkadang bisa dikuasai
kejengkelan dan marah (vyapada) bila situasi yang dirasa
menyenangkan itu terganggu. Kadang-kadang orang tersebut
cenderung menjadi terobsesi dan terikat pada segala
kelebihannya dan terobsesi untuk bisa mempertahankan
keadaan atau kelebihannya tersebut selamanya. Di saat itu ia
mungkin belum menyadari bahwa segala kelebihannya itu,
baik kelebihannya dalam kemampuan menikmati kehidupan
walaupun di dalam keadaan yang sulit dengan daya adaptasi
yang tinggi di kamabhumi, kemampuan menempatkan
kesadarannya di dalam kesadaran jhana di rupabhumi
maupun arupabhumi, dan kemampuan hidup dan
memancarkan keharmonisan kepada keadaan semesta di
sekelilingnya, merupakan kelebihan yang sebenarnya hanya
menjadi vipassana upakilesa, yaitu kekotoran (kilesa) yang
tampak sebagai kelebihan yang timbul sebagai hasil dari
vipassana yang telah mencapai tingkat tertentu. Orang tersebut
mungkin tidak menyadari bahwa segala kelebihan yang
tampak itu sebenarnya bukan merupakan jalan yang bisa
membawanya ke arah penyucian diri; bahwa segala
kelebihannya itu malah bisa menjadi penghalang vipassana
(vipassana upakilesa) bagi kemajuan batinnya. Dengan tidak
menyadari hal ini orang tersebut bisa dikuasai oleh suatu
perasaan bangga dan perasaan bahwa dirinya memiliki
kelebihan di atas orang-orang awam. Perasaan bangga (mâna)
ini juga merupakan penghalang yang besar terhadap segala
usaha penyucian dirinya.
Untuk mematahkan belenggu-belenggu inilah diperlukan
usaha-usaha yang khusus untuk menyadari mana yang
merupakan jalan dan mana yang hanya merupakan kelebihan
tambahan yang harus segera ditinggalkan. Di dalam keadaan
ini kita harus mulai mengikis keterikatan kita terhadap apa
yang kita rasakan sebagai suatu kelebihan yang pantas
dibanggakan. Kita harus bisa menyadari bahwa keadaan atau
kelebihan itu hanyalah sesuatu yang timbul secara wajar dan
dapat timbul pada setiap orang yang menjalani kehidupan dan
latihan tertentu. Dan kita harus menyadari bahwa keadaankeadaan itu pun masih terbelenggu oleh hukum anicca,
bersifat tidak kekal dan tidak selamanya dapat dipertahankan.
Dengan menyadari hal ini, kita akan terbebas dari kemarahan
atau kejengkelan apabila pada suatu saat di dalam keadaan
215
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
tertentu atau apabila sedang menghadapi masalah tertentu
pikiran kita terasa buntu. Kita tidak akan merasa jengkel dan
marah apabila di suatu saat hal-hal yang kita rasakan sebagai
kelebihan kita tidak menampakkan manfaatnya dan tidak bisa
segera membebaskan kita dari persoalan hidup sehari-hari
yang timbul. Di dalam keadaan sulit seperti ini kita juga tidak
akan berputus asa melainkan menyadari bahwa kita sedang
terlibat dalam hukum anicca yang secara wajar memang
melibat semua orang. Kita mungkin hanya akan tersenyum
pahit dan memahami bahwa di dalam keadaan seperti itu kita
menghadapi masalah yang sama dengan orang-orang yang
sebelumnya dianggap lebih kurang bijaksana dari kita. Dan di
dalam keadaan ini pula kita memiliki keyakinan bahwa
keadaan sulit itu sendiri pun akan segera berakhir. Dengan
memahami hal ini kita mungkin hanya akan duduk
beristirahat, memulihkan kelelahan kita dengan memakan
makanan yang cukup, berbaring dan tidur, mandi dengan air
yang segar segera setelah bangun untuk kemudian
menghadapi masalah itu kembali dengan kesadaran yang lebih
jernih dan terkendali. Setelah berulang-ulang menghadapi
keadaan yang demikian rasa bangga diri yang selama ini
mungkin menguasai kita perlahan-lahan juga akan terkikis
habis.
6. Patipadâ Ñânadassana Visuddhi
Patipadâ ñânadassana visuddhi atau penyucian di dalam
peningkatan kebijaksanaan merupakan segala usaha
meningkatkan pemahaman kita terhadap hakekat jalan yang
telah kita tempuh. Penyucian ini meliputi perenungan dan
praktek berulang-ulang terhadap jalan yang telah kita tempuh,
merasakan tapak demi tapak hidup yang sedang dijalani
sambil menilai kesulitan atau keadaan yang timbul
bersamanya, memahami segala perwujudan hukum
kesunyataan semesta yang menampakkan wujudnya di setiap
langkah yang kita tempuh, menilai dan memahami segala
fungsi pengetahuan yang sedang dan telah kita terapkan di
setiap saat kita menjalankan hidup kita, memahami bahwa
walaupun telah mencoba menerapkan segala kebijaksanaan
ariya terkadang kita masih salah langkah dan terjatuh; bahwa
sampai di saat tertentu kita masih terikat oleh hukum-hukum
semesta dan harus konsekuen terhadap berlakunya hukum216
Appendiks-2: Meditasi dan Pandangan Theravada
hukum itu dalam wujud tertentu sesuai dengan jalan yang
telah kita pilih. Dengan menjalankan penyucian ini kita secara
perlahan dan pasti akan bisa mengikis belenggu kegelisahan
(uddhacca) yang kadang-kadang masih timbul di saat kita
berjalan di atas jalan kita.
Kegelisahan yang semula timbul akibat kewaspadaan kita
terhadap adanya dorongan-dorongan di dalam diri kita yang
kita rasakan sebagai belenggu penghalang bagi jalan hidup
kita, kegelisahan yang timbul akibat kesadaran akan
keterbatasan kita di dalam menjalankan jalan ariya, dan
kegelisahan yang timbul akibat kita harus menghapus rasa
bangga diri yang semula menjadi pendorong utama hidup kita
yang kemudian kita sadari hanya sebagai kilesa yang harus
ditinggalkan, akan segera terkikis lapis demi lapis pada saat
kita menjalankan penyucian ini; terkikis secara perlahan pada
saat kita menjalani dan merenungi penghidupan kita saat demi
saat berulang-ulang tanpa rasa bosan dan putus asa. Setelah
melewati masa penyucian ini segala kegelisahan akan
terpupus, hidup kita hanya akan diliputi oleh kedamaian walau
di dalam keadaan lingkungan yang bagaimanapun kita hidup
dan berada. Di akhir penyucian ini tidak akan pernah lagi
timbul pertanyaan mengenai kehidupan ini. Tidak akan ada
lagi perasaan tidak puas terhadap segala yang ada. Di dalam
keadaan ini kita tidak akan pernah lagi menganggap adanya
suatu ketimpangan di dalam kehidupan kita. Kita hanya akan
hidup dan terus berjalan di atas alur kehidupan yang
terbentang di depan kita. Hidup dengan hanya sebagai media
menyelesaikan sisa energi kamma yang masih tertimbun di
dalam panca khandha kita. Dengan menjalankan kehidupan
kita beserta pandangan hidup seperti ini, tabir pengetahuan
(vijja) yang sejati mulai terkuak, kesunyataan di dalam arti yang
paling mendasar mulai disadari, dan pembebasan yang mutlak
(nibbana) mulai teraih.
7. Ñânadassana Visuddhi
Ñânadassana visuddhi atau penyucian dalam penerapan
kebijaksanaan sempurna merupakan segala usaha untuk
mengharmoniskan pengetahuan dan kebijaksanaan yang telah
kita peroleh dengan segala sikap dan tindak tanduk kita di
dalam kehidupan kita sehari-hari. Penyucian ini merupakan
langkah terakhir dalam usaha melenyapkan avijja.
217
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
Apabila sampai penyucian keenam kita telah berhasil
melenyapkan kegelisahan dan telah mencapai titik di mana
hidup kita hanya diliputi oleh kedamaian, maka di jalan
penyucian ketujuh ini kita akan terbawa oleh kebijaksanaan
kita untuk hidup di dalam keharmonisan yang sempurna. Di
dalam keadaan itu seluruh bentangan jalan ariya beserta
segala aspeknya telah terlihat dengan jelas dan benar-benar
telah dipahami. Di dalam keadaan ini seluruh hidup kita akan
bergerak harmonis sesuai dengan batasan hukum yang masih
berlaku. Kita akan hidup di tengah roda samsara dengan
kebijaksanaan yang penuh dan kesadaran yang benar-benar
telah terkendali. Di tengah-tengah sisa samsara yang masih
berlaku kita hidup dan menjalankan sisa-sisa kewajiban kita,
melakukan segala sesuatu yang memang seharusnya
dilakukan, menerima segala konsekuensi yang terjadi dengan
pikiran damai dan lapang dada, memberikan karya-karya yang
harmonis dengan keberadaan semesta dengan setulusnya
tanpa disertai lagi dengan kesadaran dan sikap yang tidak
perlu. Di dalam keadaan ini pengetahuan (vijja) yang
sempurna terterapkan dengan harmonis; lenyaplah kegelapan
batin dan pandangan salah yang menjadi belenggu terakhir.
Sang meditator di saat ini telah menamatkan predikat
kesiswaannya (sekha) mencapai 'kesarjanaannya' (asekha) setelah
langkah penyucian ketujuh dari ketujuh tingkat penyucian ini. Dengan
selesai ditempuhnya ujian terakhir dari satta visuddhi ini, sang siswa
telah menamatkan perjalanannya di jalan ariya magga dan hanya
hidup sebagai bagian yang harmonis dari Hukum Semesta tanpa
terlahir lagi individualitas yang akan memisahkan diri dari hukum itu;
seorang arahat telah terlahir bersamaan dengan lenyapnya suatu
eksistensi yang selama ini memisahkan diri dari semestanya.
Pembebasan sempurna tercapai dengan terlepasnya belenggu jelmaan
'diri' yang semula terpisah dari hakekat semestanya. Eksistensi yang
mendua kini kembali kepada keesaannya, kembali ke dalam
kesunyaan ariya; tercapailah nibbana.
218
Appendiks-3: Sutra dan Pandangan Mahayana
Menurut beberapa peneliti Barat, sutra-sutra mahayana berasal
dari dharma-dharma yang diturunkan secara lisan di antara umat-umat
awam dan bhikkhu yang bermukim di antara India Selatan dan Tengah.
Sutra-sutra ini kemudian menjadi dasar pandangan yang dianut oleh
kaum Mahasanghika. Sutra-sutra ini umumnya menekankan Sifat-sifat
Ideal Bodhisatva yang memiliki sifat bakti yang besar terhadap sesama
mahluk hidup, yang bercita-cita tidak hanya mencari penerangan
sempurna atau pencerahan untuk dirinya sendiri melainkan membawa
seluruh mahluk hidup ke dalam penerangan tersebut.
Hal lain yang sering ditekankan dalam sutra-sutra mahayana ini
adalah dalam upaya-kausalya, suatu kemampuan khusus para
Bodhisatva dalam pembabaran dharma dengan cara dan metoda yang
tepat untuk mahluk-mahluk sesuai dengan kondisinya. Oleh sebab itu
di dalam sutra-sutra ini juga sering ditekankan bahwa seseorang tidak
boleh terpaku pada kata-kata atau satu sutra tertentu dan
menganggapnya sebagai yang paling benar. Setiap dharma yang
diturunkan sang Buddha memang merupakan suatu kesunyataan yang
universil, tetapi penekanan-penekanan di dalam sutra-sutra itu secara
kata-kata atau tersurat adalah ditujukan pada kelompok orang tertentu
yang berada dalam situasi tertentu juga, dan di dalam sutra-sutra
mahayana sering ditekankan untuk menerima kesunyataan apa adanya
dan tidak mengfragmentasi kebenaran itu dalam penekananpenekanan terhadap hal-hal tertentu sebagai sesuatu yang boleh
diterapkan pada semua mahluk dan semua keadaan dengan sama rata.
Dari kelompok sutra-sutra mahayana, ditinjau dari bentuk, isi, dan
cara penyajiannya, sutra-sutra mahayana bisa diklasifikasi atas
beberapa kelompok.
1.
Literatur Prajnaparamita
Kelompok literatur Prajna-paramita merupakan sekelompok sutra
(lebih kurang 40 sutra) yang isinya menekankan konsep sunyata dan
ada penekanan tentang penerapan paramita-paramita, yang tersusun
dalam periode antara abad I S.M. sampai abad XIII M.
Dr. Edward Conze membagi periode perkembangan kelompok
literatur ini dalam empat stadium atau fase:
1. Fase I (tahun 100 S.M.-100 M.), merupakan periode penyusunan
teks-teks dasar.
2. Fase II (100-300 M.), fase perluasan sutra-sutra.
219
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
3. Fase III (300-500 M.), fase meringkas dan merangkum kembali
sutra-sutra.
4. Fase IV (500-1300 M.), fase masuknya elemen-elemen tantra dan
pembentukan komentar-komentar.
Kelompok sutra ini merupakan kelompok sutra mahayana yang
terbesar, dan mungkin yang paling mencerminkan pandangan dan
filsafat mahayana. Sebagian ahli mengelompokkan sutra-sutra ini
dalam kelompok sutra biasa, sutra-sutra khusus, dan sutra-sutra tantra,
tetapi secara tradisi lebih sering sutra-sutra ini dikelompokkan
berdasarkan panjangnya menjadi kelompok sutra panjang yang terdiri
dari 18.000, 25.000, dan 100.000 baris, dan kelompok sutra pendek yang
dari hanya beberapa baris sampai yang terdiri dari 8000 baris.
Sebenarnya penekanan terhadap konsep sunyata ada juga
ditemukan di sunnata-vagga dari Majjhima-nikaya, tetapi pembahasan
yang lebih mendalam dan transendental ditemukan dalam kelompok
literatur ini.
Setelah parinibbana, sutra-sutra ini tersisih oleh pandangan yang
lebih menekankan kehidupan kebhikkhuan dan kecenderungan
memandang dan meneliti kesunyataan secara analisis. Setelah
mengalami masa transmisi secara lisan selama 400 tahun, kelompok
sutra ini mulai ditulis di Selatan, pada tempat yang jauhnya sekitar 1000
mil dari daerah Tengah dan Utara tempat sang Buddha lebih banyak
menurunkan ajarannya.
Astasahasrika Prajna-paramita Sutra (Sutra Kebijaksanaan
dalam 8000 baris)
Sutra ini merupakan salah satu sutra mahayana yang tertua,
yang diduga disusun sekitar tahun 100 S.M. Sutra ini diduga telah
beredar secara lisan turun-temurun di antara kaum
Mahasanghika di sekitar negeri Andhara, antara Godavari dan
Kistna, dekat Amaravati. Sutra-sutra ini juga populer di antara
kaum Prajnaptivadin di India Selatan. Sutra ini juga berhubungan
dengan tokoh filsuf Nagarjuna yang berasal dari India Selatan. Ada
legenda menyebutkan bahwa Nagarjuna menerima salinan atau
perluasan sutra ini dari Raja Naga (diduga merupakan
sekelompok bhikkhu atau umat biasa yang agak terasing di India
Selatan, mungkin di sekitar Amaravati), dan sutra yang telah
diperluas itu kemudian dikenal dengan Sutra Kebijaksanaan
dalam 100.000 baris.
Salinan ulang Astasahasrika dalam bahasa Sanskrit yang
sekarang ditemukan terdiri dari 32 bab. Salinan ulang ini diduga
lebih muda usianya dibandingkan terjemahannya dalam bahasa
220
Appendiks-3: Sutra dan Pandangan Mahayana
Mandarin oleh Lokaksema yang tercatat diterjemahkan sekitar
tahun 179-180 M. yang hanya terdiri dari 30 bab dan memiliki
judul-judul bab yang berbeda. Sedangkan sutra asli di dalam
bahasa Sanskerta telah hilang dan tidak ditemukan lagi, dan ada
dugaan sutra ini terus mengalami perubahan dan perkembangan
saat diturunkan secara lisan maupun selama persalinan ulangnya.
Versi-versi terjemahan yang lain juga ditemukan,
kebanyakan dalam bahasa Mandarin yang diterjemahkan oleh
Dharmapriya pada tahun 382, Chih-ch'ien tahun 225, Kumarajiva
pada tahun 408, Hsuan-tsang tahun 660, dan Danapala tahun 985.
Bab I kitab ini diberi judul Sarvakara-jnatacarya atau
'Mempraktekkan Pengetahuan dalam Segala Aspek' yang
mencerminkan pandangan yang jernih dari seorang Tathagata
yang bisa melihat dan memahami Dharma dari segala sisi
pandangannya. Sutra ini dimulai dalam bentuk cerita dengan latar
kejadian di Bukit Grdhrakuta atau Lereng Burung Bering, dekat
Rajagaha di mana sang Buddha memberikan khotbah kepada
1250 bhikkhu yang kecuali Ananda, semuanya merupakan Arahat.
Bab II sutra ini menceritakan diskusi antara Subhuti dengan
Raja Dewa Sakra mengenai posisi seorang bodhisatva dalam
menjalankan prajna-paramita dan pemahamannya terhadap
hakekat Sunya. Bab-bab berikut dari sutra ini antara lain
menekankan sifat maya dari fakta-fakta yang kelihatannya
obyektif; mengenai Arahat, Pratyeka Buddha, dan Tathagata;
mengenai khotbah sang Buddha dalam perputaran roda dhamma
yang kedua di Jambudyipa yang menekankan paramita-paramita;
mengenai konsep Tathata (keberadaan yang apa adanya) dan
Upaya-kausalya.
Ratnaguna-samcaya-gatha (Kumpulan Syair Keagungan
Permata Kebijaksanaan)
Sutra ini diduga sama tuanya dengan Astasahasrika, dan
terdiri dari 33 bab. 28 bab pertama dari sutra ini penekanan isinya
hampir sama dengan Astasahasrika, tetapi sisa 5 bab terakhir
menunjukkan gaya penyajian dan penekanan yang berbeda. Kitab
asli sutra ini juga tidak ditemukan lagi, tetapi banyak ditemukan
versi-versi yang agak berbeda pada salinan-salinan sutra ini di
dalam bahasa Prakrit, dan salinan yang diduga paling mendekati
tulisan aslinya adalah yang direvisi Haribhadra pada abad VIII
masehi.
Fase kedua perkembangan kelompok sutra ini ditandai dengan
perluasan teks-teks dasar menjadi prajna paramita yang bervolume
besar. Sutra-sutra yang terbentuk dalam fase ini antara lain
221
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
Satasahasrika Prajna-paramita sutra (Prajna-paramita dalam 100.000
baris), Pancavimsati-sahasrika (25.000 baris), Astadasa-sahasrika
(18.000 baris). Sutra-sutra ini sebagian memang merupakan perluasan
sutra-sutra dasar sebelumnya, tetapi beberapa yang ditulis merupakan
perwujudan dari sutra-sutra yang ditunkan secara lisan yang
sebelumnya memang belum ditulis.
Periode ini juga disemarakkan dengan munculnya tokoh filsuf
Nagarjuna pada abad II Masehi. Nagarjuna yang banyak meneliti dan
menyusun sastra-sastra dan komentar terhadap sutra-sutra mahayana
di samping literatur Prajna-paramita khususnya.
Fase ketiga perkembangan kelompok literatur ini menunjukkan
kecenderungan sistimatisasi sutra-sutra ke dalam bentuk yang mirip
dengan Abhidharma misalnya terbitnya kitab Abhisamayalankara
(Syair Penyatuan dengan Semesta) yang disusun oleh Maitreyanatha
abad IV masehi. Sutra-sutra pendek dan ringkas yang terbentuk dalam
fase ini antara lain Vajracchedika Prajna-paramita sutra (Sutra Intan)
dan Hrdaya Sutra (Sutra Hati) pada sekitar tahun 400 M.
Vajracchedika Prajna-paramita Sutra (Sutra Intan)
Kitab Vajracchedika yang dikenal juga sebagai Sutra
Kebijaksanaan dalam 300 Baris terdiri dari 2 Bagian dan 32 bab
dan jika dibaca sekilas akan terlihat seakan-akan kedua bagian itu
tidak saling berhubungan dan perubahan topiknya terasa
membingungkan, tetapi Han-shan, seorang Master Zen di zaman
Dinasti Ming menjelaskan bahwa sutra tersebut tampak
membingungkan karena Ananda yang mengulangi sutra tersebut
tidak bisa memahami perubahan topik yang terjadi dalam dialog
antara sang Buddha dengan Subhuti. Sutra tersebut sebenarnya
berisi dialog antara sang Buddha dan Subhuti mengenai topiktopik Kesunyataan dan Hakekat Semesta yang semakin lama
semakin dalam. Dalam diskusi yang semakin dalam itu semakin
lama semakin banyak pertanyaan dan keraguan yang timbul
dalam diri Subhuti. Sang Buddha yang memahami keadaan
Subhuti berusaha mengarahkan topik untuk menjawab keraguan
Subhuti yang tidak diutarakan itu. Ananda yang tidak memahami
keadaan itu hanya mengingat kata-kata yang diucapkan sang
Buddha tanpa menyadari alasannya. Keadaan ini yang
menyebabkan orang-orang umumnya juga sulit memahami
perubahan topik yang terjadi bila membaca kitab ini. Sebaliknya
Han-shan, Vasubandhu, Kamalasila, dan Asangha juga mengalami
keadaan seperti Subhuti saat mereka mempelajari Vajracchedika
pada zamannya masing-masing, dan Han-shan kemudian menulis
sebuah komentar yang memuat urutan keadaan perkembangan
222
Appendiks-3: Sutra dan Pandangan Mahayana
batin seseorang yang mungkin dialami Subhuti saat terlibat dalam
dialog dengan Sang Buddha sehingga para siswa yang
mempelajari kitab itu bisa dengan jelas memahami isinya.
Hrdhaya Sutra (Sutra Hati)
Hrdaya Sutra berisi sebuah narasi pendek mengenai dialog
antara Bodhisatva Avalokiteshvara dengan Sariputra mengenai
hakekat yang kosong dari panca-khandha yang kemudian ditutup
dengan mantra "Gate-gate paragate parasamgate, bodhi, svaha".
Seperti juga vajracchedika, sutra asli dalam bahasa Sanskrit masih
ditemukan lengkap, tetapi ditemukan dua versi yang berbeda dari
tempat yang berbeda.
Selain kedua kitab di atas, pada fase ini juga ditemukan kitab-kitab
kelompok literatur prajna-paramita yang lain seperti Prajna-paramita
dalam 500 baris, 2500 baris, 700 baris. Kitab-kitab ini antara lain
mencerminkan sistematisasi pemaparan ke arah metafisik dan
menampakkan pengaruh Yogacara.
Fase perkembangan terakhir menampakkan pengaruh Tantra,
ditandai dengan seringnya ditemukan bentuk-bentuk dharani atau
mantra di dalam sutra. Sutra-sutra yang disusun dalam masa ini di
antaranya adalah Svapaksara Prajna-paramita Sutra atau Sutra
Kebijaksanaan dalam Beberapa Aksara dan Adhyardhasatika (150
baris).
2.
Saddharma Pundarika (Sutra Teratai)
Sutra ini diduga pertama kali ditulis sekitar abad I S.M. Ada dua
bentuk resensi sutra ini yang bertahan hingga sekarang. Yang pertama
terdiri dari 27 bab, ditemukan lengkap di daerah Nepal dengan
berbagai versi salinannya yang diduga ditulis dalam jangka waktu abad
XI-XVIII. Sebenarnya ada beberapa fragmen resensi ini ditemukan pada
abad V di Asia Tengah dan Turki Timur, tetapi kemudian naskahnaskah itu disangsikan berhubungan dengan resensi kedua. Resensi
yang kedua terdiri dari 28 bab ditemukan di sekitar Turfan dalam
salinan berbahasa Uighur-Turki. Perbedaan jumlah bab itu terjadi
karena dalam resensi kedua, bab-bab yang identik dengan bab IX
resensi pertama dipecah menjadi dua bab yang terpisah, dan urutan
bab-bab kedua resensi ini memang ada yang berbeda.
Di dalam bentuk aslinya, setiap bab dari sutra ini dibagi dalam dua
bagian yaitu bagian prosa dan bagian syair atau gatha. Bagian prosa dari
sutra ini menggunakan bahasa Sanskrit yang murni dengan
memperhatikan segala tata bahasanya, sedangkan bagian gatha
menggunakan bahasa 'Buddhist Hybrid Sanskrit" yang kurang terikat
223
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
dengan tata bahasa. Banyak ahli berpendapat bahwa sebenarnya
selama perkembangannya secara lisan, bentuk gatha yang terlebih tua,
sedangkan bentuk prosa dibacakan secara bebas turun-temurun
kemudian sebelum ada yang menyusunnya secara lebih teratur dengan
memperhatikan tata bahasanya.
Kelompok literatur ini, tidak seperti Prajna-paramita yang
menyajikan masalah secara intuitif dan intelektual, menyajikan semua
topik dharma secara simbolis dan mencoba menggambarkan semua
dharma yang diterangkan dalam suatu tayangan drama yang hidup.
Sutra ini dimulai dengan latar belakang kejadian di Bukit Grdhrakuta
(Lereng Burung Bering) di dekat Rajagrha. Tidak seperti Astasahasrika
yang melukiskan keadaan di tempat yang sama dengan sederhana,
dalam kitab ini dilukiskan suatu keadaan yang penuh dengan
keajaiban; menggunakan simbol-simbol mahluk-mahluk yang hadir
sebagai puluhan ribu dewa dan mahluk halus di antara para manusia.
Hal-hal yang dibahas dalam sutra ini antara lain mengenai Yanayana. Di dalam sutra ini ditekankan bahwa ketiga jenis 'kenderaan' yang
tampak pada waktu itu pada hakekatnya adalah satu. Kenderaan
seorang Bodhisatva (Bodhisatva-yana), kenderaan seorang Arahat, dan
kenderaan seorang Pratyeka Buddha sebenarnya hanyalah bentukbentuk turunan dari kenderaan tunggal (Ekayana) yang disediakan bagi
orang-orang yang bertemperamen berbeda. Ketiga kenderaan itu pada
hakekatnya satu dalam suatu kenderaan besar (Maha-yana) yang
merupakan kenderaan Buddha (Buddha-yana); Ketiga kenderaan itu
semula terpisah untuk membawa orang-orang yang sifatnya berbeda
sebelum kemudian menyatukan mereka dalam kenderaan yang
universal tersebut. Di dalam kitab ini juga diperkenalkan banyak tokoh
bodhisatva
seperti
Manjusri,
Bhaisyajayaguru,
Prajnakuta,
Avalokiteshvara, Samantabhadra, dan lain-lain. Sutra ini juga
melukiskan perjalanan alam semesta selama berkalpa-kalpa dan
melukiskan peralihan masa-masa dunia yang melibatkan banyak tokoh
bodhisatva dengan berbagai simbolisasi yang semarak, dan berusaha
melukiskan realitas itu dalam bentuk mitos dan legenda yang mudah
dicerna tetapi sangat dalam intisarinya.
3.
Vimalakirti Nirdesa Sutra (Sutra Vimalakirti)
Sutra ini diduga lahir di Vaisali, mungkin sekitar Sidang Sangha
yang kedua, tetapi tidak jelas kapan sutra ini ditemukan dalam bentuk
tertulis. Naskah tertua dari sutra ini adalah terjemahannya di dalam
bahasa Mandarin yang diduga ditulis berkisar antara tahun 188-229
masehi. Sutra yang terdiri dari 16 bab ini menceritakan pengalaman
224
Appendiks-3: Sutra dan Pandangan Mahayana
Upasaka Vimalakirti yang di dalam kehidupannya menemukan realitas
semesta sehingga disegani para bhikkhu, arahat, bahkan oleh para
bodhisatva. Sutra ini menekankan sifat-sifat dan perjuangan yang harus
dilakukan seorang bodhisatva di dalam dharma baktinya terhadap
semua mahluk hidup dan ujian-ujian yang harus dilaluinya. Juga
terdapat penekanan terhadap konsep upaya-kausalya yang merupakan
aspek positif yang harus menyertai kebijaksanaan (prajna) seorang
bodhisatva; penekanan terhadap pentingnya pandangan yang non
dualitas dalam diri seorang bodhisatva; dan mengenai Tathata
(keberadaan apa adanya).
4.
Literatur Sukhavati (Sutra Tanah Agung)
Kelompok literatur ini terdiri dari tiga sutra, dua di antaranya
memiliki judul yang sama yaitu 'Sukhavati-vyuha', dan Amitayurdhyana Sutra.
Kedua Sukhavati-vyuha diduga merupakan hasil resensi dari
sumber yang sama. Resensi yang lebih panjang berukuran delapan kali
resensi yang lain dan diduga memiliki usia yang lebih tua. Setelah lama
dinyatakan hilang, kedua resensi asli ini kemudian ditemukan,
sedangkan naskah terjemahannya yang tertua yang tercatat tahun
penerbitannya adalah yang diterjemahkan pada tahun 147-186 dalam
bahasa Mandarin, oleh sebab itu diduga sutra yang asli disusun
sebelum abad I masehi.
Sutra ini dimulai dengan latar belakang kejadian di Bukit
Grdhrakuta di mana sang Buddha bercerita tentang silsilah dan
pengalaman 81 Buddha dimulai dengan Buddha Dipankara hingga
menceritakan pengalaman Bodhisatva Dharmakara yang kemudian
menjadi Buddha ke 82, Amitabha; tentang Sukhavati, Tanah Agung
tempat bersemayam para Buddha.
Resensi yang lebih pendek pertama kali tercatat terjemahannya
pada tahun 402 masehi oleh Kumarajiva. Sutra dimulai dengan latar
kejadian di Taman Jeta di Sravati di mana seperti yang dilukiskan pada
resensi yang besar, sang Buddha memberikan khotbah mengenai
Sukhuvati. Walaupun jauh lebih ringkas, isi sutra ini hampir sama
dengan sutra yang pertama, tetapi lebih menekankan pentingnya
keyakinan pada Buddha Amitabha yang siap menolong semua mahluk
hidup yang teringat namanya.
Amitayur-dhyana Sutra (Sutra Meditasi) hanya ditemukan
terjemahannya oleh Kalayasa tahun 424 masehi. Naskah aslinya yang
berbahasa Sanskrit tidak pernah ditemukan lagi. Latar cerita sutra ini
juga dimulai di Grdhrakuta di mana sang Buddha menghibur ratu
225
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
Vaidehi, ibu pangeran Ajatasatru yang sedih karena anaknya itu berniat
membunuh suaminya, raja Bimbisara. Sang Buddha kemudian dengan
kekuatan gaibnya menunjukkan pada ratu gambaran suatu alam di
mana segala duka dan kegetiran tidak dijumpai, lalu beliau
menjelaskan tiga syarat agar suatu mahluk bisa dilahirkan di alam itu;
menjelaskan tentang Dharma-kaya yang dimiliki setiap Buddha yang
memungkinkan mereka memasuki jiwa setiap mahluk dan membantu
meredakan perasaan sedih mereka; dan penekanan bahwa Sukhavati
bukanlah suatu alam yang jauh melainkan suatu keadaan yang dapat
dicapai saat itu juga melalui meditasi.
Sebenarnya selain dari ketiga sutra ini, ada juga sutra-sutra lain
yang melukiskan keadaan di Tanah Suci atau Tanah Agung Para
Buddha yaitu Aksobhya-vyuha, Karuna-pundarika, Bhaysajyaguru-sutra,
Srimaladevi-simhanada Sutra, Manjusri-Buddhaksetra-guna-vyuha,
Karanda-vyuha, dan sebagainya.
5.
Literatur Ratnakuta (Sutra-sutra Permata)
Sebenarnya resensi besar Sukhavati-vyuha, Aksobhya-vyuha,
Srimaladevi-simhanada, dan Manjusri-Buddhaksetra-guna-vyuha bisa
dimasukkan dalam kelompok literatur Ratnakuta, yang dalam Tripitaka
Mandarin terdiri dari 48-49 Sutra yang terpisah (44-45 sutra dalam
Tripitaka berbahasa Tibet). Kelompok sutra yang juga dinamakan
Maharatnakuta Sutra ini merupakan kelompok sutra yang luas
pembahasannya mencakup mulai dari aturan-aturan kehidupan
kebhikkhuan (vinaya), penekanan terhadap prajna, upaya, keadaan
ilusi atau maya, keadaan hakiki dari kesadaran dan sebagainya.
Keluasan topik bahasan dalam kelompok sutra ini menyebabkannya
terkadang dianggap sebagai suatu ensiklopedia mini agama Buddha
Mahayana. Waktu penulisan sutra-sutra ini juga sangat luas mencakup
beberapa abad sehingga ada sejumlah sutra yang menunjukkan transisi
pandangan dari Hinayana ke Mahayana, dan beberapa yang
mengandung dharani menunjukkan transisi dari Mahayana yang umum
ke arah Vajrayana, yaitu peralihan dari bentuk sutra ke dalam bentuk
tantra.
Karena sutra-sutra awal kelompok literatur ini telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Mandarin pada akhir abad II masehi, maka diduga
naskah asli sutra-sutra ini dalam bahasa Sanskerta berusia tidak kurang
dari seabad lebih tua dan dianggap merupakan bagian dari Bodhisatva
Pitaka, yang bersama dengan Dharani Pitaka dianggap sebagai Pitaka
keempat dan kelima yang mewakili pandangan Mahayana dan Tantra.
226
Appendiks-3: Sutra dan Pandangan Mahayana
Sutra tertua kelompok literatur ini adalah Kasyapa-parivarta, yang
salinan tertuanya ditemukan tidak lengkap di daerah Khotan, Asia
Tengah, dan pertama kali tercatat diterjemahkan dalam bahasa
Mandarin pada tahun 178-184 masehi. Bila diperhatikan waktu
terjemahannya dan bentuk bahasa serta cara penyajiannya, diduga
bahwa sutra ini juga termasuk salah satu sutra Mahayana yang tertua.
Sutra ini berbentuk semi-dialog (tepatnya monolog) sang Buddha yang
memberikan pandangannya pada Kasyapa mengenai sifat-sifat
bodhisatva dan hakekat sunyata. Sebagian besar sutra ini bersifat
imajinatif, mengandung ratusan parabel dan cerita pendek mengenai
dharma-dharma tertentu.
Sutra-sutra lain yang ditemukan dalam kelompok sutra ini antara
lain Vidyutprapta-pariprccha, Vimaladatta-pariprccha, Susthitamatipariprccha, Asokadatta-vyakarana, Surata Sutra, Upali-pariprccha, dan
sebagainya. Kitab-kitab pariprccha ini berisi pertanyaan mendasar yang
diajukan oleh beberapa bodhisatva, arahat, bhikkhu dan lain-lain dalam
topik-topik tertentu pada sang Buddha dan melukiskan jawaban sang
Buddha sesuai dengan kondisi penanya.
6.
Kelompok Samadhi Sutra
Kelompok literatur Samadhiraja ini semula dikenal sebagai
Candrapradipa Sutra. Kelompok sutra ini menjembatani jurang
pemisah Mahayana awal di dalam perkembangannya selama enam
atau tujuh abad. Terjemahan tertua yang pernah tercatat adalah yang
diselesaikan oleh An Shih-kao pada tahun 148 masehi. Salinan ini
kemudian hilang hingga kemudian ditemukan terjemahan baru di abad
V. Periode berikutnya dari perkembangan kelompok literatur ini adalah
periode perluasan sutra dengan tambahan bagian prosa dengan bahasa
Sanskrit yang telah disesuaikan tata bahasanya di samping bagian
matriks yang sejak semula ditulis dalam Buddhist Hybrid Sanskrit.
Periode berikut adalah periode perluasan sutra lebih lanjut ke Tibet dan
Nepal dan terbentuknya sutra-sutra baru yang berhubungan dengan itu.
Sutra tertua ini semula dikenal sebagai Arya-Candrapradipa-samadhi
Sutra, tetapi kemudian lebih dikenal sebagai Samadhiraja Sutra atau
Samadhiraja-bhattaraka yang ternyata merupakan sutra yang lebih
besar dan luas dari sutra semula. Sutra ini dimulai dengan latar
kejadian di Grdhrakuta di mana sang Buddha memulai suatu khotbah
mengenai pentingnya sila, dhyana, dan prajna di dalam usaha
memahami segala sifat sejati dari segala jelmaan yang bersyarat,
memahami segala sifat dharma yang sejati, dan bagaimana cara
menerapkan sarvadharma-svabhava-samata-vipancita-samadhi atau
227
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
meditasi penerapan pengetahuan kesamaan hakiki semua dharma.
Secara umum kelompok literatur ini menampakkan sifat yang lebih
positif dalam meneliti sunyata dibandingkan dengan prajna-paramita.
Di dalam literatur ini selain menekankan keberadaan segala dharma
sebagai sunya, juga ditekankan adanya sifat abadi segala dharma di
dalam suatu kesamaan (samata) yang hanya bisa disadari dalam
keadaan kesadaran yang manunggal (samacitta) yang tercapai di
dalam samadhi. Apabila prajna-paramita menekankan kesadaran akan
sunyata itu melalui kebijaksanaan intuitif (prajna), kitab ini
menekankan kemanunggalan kesadaran semesta ini melalui tehnik
persiapan menuju samadhi (samadhi-parikarma). Penekanan khusus
sutra ini juga dilakukan terhadap Ksanti atau kesabaran yang
merupakan paramita ketiga yang tak terpisahkan dalam jalan menuju
samadhi.
Sutra lain yang termasuk kelompok sutra ini adalah Surangamasamadhi Sutra. Sutra ini juga berlatar kejadian di Grdhakuta di mana
sang Buddha memberikan khotbah mengenai keberadaan Tri Ratna
dan tehnik surangama-samadhi yang memungkinkan para bodhisatva
mencapai keadaan seperti parinirvana tanpa harus benar-benar padam
kesadarannya dan memahami keadaan samsara dalam segala
aspeknya tanpa benar-benar terperangkap di dalamnya; mengenai
dhyana dan samapatti yang bisa dicapai oleh para bodhisatva;
mengenai sad paramita, dan sebagainya. Sutra ini tidak sama dengan
Surangama Sutra (Sutra Mahkota) yang pernah diduga sebagai
terjemahan Paramartha dari bahasa Sanskrit, yang sebenarnya
merupakan karya asli berbahasa Mandarin. Sutra ini menceritakan
permintaan sang Buddha pada Manjusri untuk menilai metoda meditasi
mana yang sesuai untuk Ananda, yang kemudian berkesimpulan
bahwa meditasi dengan obyek suara yang diterapkan Avalokiteshvara
yang paling sesuai untuknya.
Sutra lain yang termasuk golongan ini adalah Vajra-samadhi Sutra
yang juga berasal dari karya berbahasa Mandarin yang berkembang di
antara sekte-sekte Ch'an atau Zen.
7.
Lankavatara Sutra
Lankavatara Sutra atau Sutra Tibanya Ajaran Suci ke (Sri) Lanka
merupakan salah satu sumber yang menekankan sistim idealisme
absolut di dalam agama Buddha. Sutra ini bersama dengan kitab
Gandavyuha dari kelompok literatur Avatamsaka menekankan realitas
sebagai Nairatmya dan Sunyata. Sutra ini menekankan bahwa segala
eksistensi terjadi karena adanya kesadaran.
228
Appendiks-3: Sutra dan Pandangan Mahayana
Naskah asli sutra ini di dalam bahasa Sanskrit tidak ditemukan
lagi, sedangkan terjemahan tertua sutra ini ke dalam bahasa Mandarin
yang tercatat pada tahun 412 oleh Dharmaraksa juga telah hilang pada
tahun 433. Terjemahan yang lain dalam bahasa Mandarin yang masih
ditemukan adalah yang diterjemahkan oleh Gunabhadra tahun 433
dalam satu bagian tunggal yang diberi judul Sarvabuddha-pravacana
atau Inti Ajaran Semua Buddha; Bodhiruci pada tahun 513 dalam 18
Bab, dan Sikshananda antara tahun 700-704.
Dalam naskah terjemahan ulang sutra ini ke dalam bahasa
Sanskrit sekarang ditemukan terdiri dari 10 bab di mana bab 1, 9, dan
10 naskah ini tidak ditemukan dalam terjemahan terlengkap dalam
bahasa Mandarin oleh Gunabhadra sebelumnya, jadi diduga bab-bab
ini merupakan bab tambahan yang ditulis antara tahun 433-513 masehi,
sedangkan bab 2 sampai bab 8 ditulis sebelum abad IV masehi. Dari 18
bab terjemahan Bodhiruci, 7 bab identik dengan seluruh terjemahan
Gunabhadra, sedangkan sisanya merupakan pecahan-pecahan dari
sisa 3 bab yang ditemukan dalam naskah baru bahasa Sanskrit.
Dari ketujuh bab yang disusun lebih awal, hanya bab 2 dan bab 8
yang berisi inti pembahasan yang khusus, sisa lima bab yang lain
banyak merupakan perulangan dan perluasan topik pembahasan. Bab
2 menekankan Kesadaran Semesta atau Alaya Vijnana yang terbebas
dari dualisme subyek dan obyek, mengenai non dualitas dari samsara
dan nirvana, mengenai tingkat-tingkat samadhi dan paramita, dan
menekankan bahwa kehidupan dalam agama Buddha bukan hanya
untuk melihat ke dalam kesunyataan melainkan untuk hidup di
dalamnya. Sedangkan bab 8 menekankan pentingnya kehidupan
vegetarian, bahwa mahluk-mahluk yang menjalankan kehidupan
kebodhisatvaan harus menghindari makanan hasil pembunuhan.
Bab 1, 9, dan 10 merupakan tambahan yang ditulis beberapa abad
kemudian. Bab 1 berisi dialog antara sang Buddha dan Ravana yang
menekankan bahwa alam semesta di luar diri kita merupakan sesuatu
yang tercipta oleh kesadaran kita sendiri.
Bab 9 bercerita tentang dharani atau mantra perlindungan yang
diberikan pada bodhisatva Mahamati. Bab ini menunjukkan bahwa saat
itu telah mulai ada pengaruh tantra pada literatur Lankavatara ini.
Bab 10 berisi 884 syair, 680 di antaranya merupakan yang asli
ditemukan dalam bab ini, sedangkan sisanya telah pernah ditemukan
dalam ketujuh bab yang ditulis lebih awal. Dari sisi filosofis, bab ini
merupakan bab yang paling berkembang dibandingkan dari bab-bab
lain.
229
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
Secara keseluruhan, literatur Lankavatara lebih menekankan
aplikasi dharma dalam kehidupan aktual daripada hanya pengertian
secara intelektual, tetapi pemahaman kehidupan secara filosofis sama
sekali tidak diabaikan.
8.
Kelompok Literatur Avatamsaka
Kelompok literatur Avatamsaka atau Buddhavatamsaka Sutra juga
tidak diketahui asal-usulnya dan hingga kini hanya ditemukan secara
lengkap terjemahannya di dalam bahasa Mandarin dan Tibet.
Kelompok literatur ini ditemukan sebagai divisi ketiga dari Tibetan
Tripitaka di mana 45 subdivisinya ditemukan terpisah sebagai bagian
dari divisi yang sama pada Tripitaka Mandarin.
Ada tiga kelompok terjemahan literatur ini dalam bahasa
Mandarin. Yang pertama terdiri dari 60 bagian, diterjemahkan oleh
Buddhabadra tahun 418-420. Yang kedua terbagi atas 80 bagian, oleh
Siksananda tahun 695-699. Yang ketiga terbagi atas 40 bagian, oleh
Prajna tahun 796-797. Selain tiga kelompok besar ini, ada bagian-bagian
tertentu yang secara terpisah malah diterjemahkan lebih awal lagi.
Menurut beberapa sumber berbahasa Mandarin, ada 6 versi
literatur Avatamsaka, yang terpanjang terdiri dari 100.000 syair. Yang
terpendek, yang terdiri dari 36.000 syair. Kelompok terpendek inilah
yang kemudian diterjemahkan oleh Buddhabhadra.
Terjemahan dari Siksananda terdiri dari 45.000 syair di mana bab
15 merupakan Dasabhumika Sutra yang ada ditemukan naskah aslinya
dalam bahasa Sanskrit.
Terjemahan terpendek oleh Prajna merupakan perluasan dari bab
terakhir dari kedua kelompok sebelumnya, yaitu bab 34 dari versi
pertama dan bab 39 versi kedua. Bab ini yang berjudul 'Memasuki
Dharmadhatu' mengisi seperempat bagian versi terjemahan ini dan
berhubungan erat dengan kitab Gandavyuha yang ditemukan naskah
aslinya di Nepal.
Kitab Dasabhumika dan Gandavyuha merupakan sisa kelompok
literatur Avatamsaka yang masih ditemukan naskah aslinya, dan
sekarang ini sering dianggap mewakili literatur Avatamsaka secara
keseluruhan.
Kitab Gandavyuha tersaji mirip dengan Saddharma Pundarika
dan disusun dalam bentuk narasi yang penuh dengan imajinasi
simbolik. Kitab ini menceritakan pengembaraan Sudhana, seorang
putra bangsawan yang atas nasehat Bodhisatva Manjusri mencari
kalyana mitra yang akan membimbing kehidupan kebodhisatvaannya
hingga akhirnya menemukan Bodhisatva Maitreya di 'Pagoda
230
Appendiks-3: Sutra dan Pandangan Mahayana
Vairocana.' Sutra ini menekankan bahwa Alaya-vijnana bukan
merupakan anihilasi dari seluruh partikel yang konkrit dari alam
semesta, bahwa setiap obyek merupakan refleksi dari keseluruhan
obyek semesta yang masing-masing pada saat yang sama juga
merupakan refleksi dari alam semesta. Kitab ini secara simbolis
membawa kesadaran dalam suatu keadaan imajinatif di mana ruang
dan waktu kehilangan kebatasannya, dan alam semesta terlihat sebagai
suatu kontinuitas di mana segala eksistensi tidak lagi terpisah satu
sama lain dan dengan tanpa kehilangan sifat individualitasnya.
Kitab Dasabhumika atau Dasabhumisvara Sutra masih ditemukan
naskah aslinya. Terjemahannya yang terpisah dalam bahasa Mandarin
dilakukan oleh Dharmaraksa tahun 297 masehi, Kumarajiva tahun 406,
Bodhiruci tahun 600-516, Siladharma tahun 789. Dua versi terjemahan
yang terakhir ini kini tidak ditemukan lagi. Kitab ini bercerita tentang
dialog antara sang Buddha dengan Bodhisatva Vajragarbha atau Matriks
Intan tentang pencapaian sepuluh tingkat kesucian bodhisatva dan
Dasa Paramita. Topik ini juga ditemukan dalam kitab Lalita-vistara dan
Bab 17 dari Prajna Paramita Sutra dalam 25.000 baris, tetapi yang
terlengkap dal paling jelas ditemukan di dalam kitab ini.
9. Literatur Tantra
Metoda pendekatan Tantra sebenarnya telah timbul pada abad II
Masehi, tetapi literatur-literaturnya yang tertulis baru mulai ditemukan
pada abad VI. Hanya sedikit dari literatur Tantra, kemungkinan
memang yang tertua, yang ditemukan aslinya dalam bahasa Sanskerta,
sebagian lagi hanya ditemukan terjemahannya dalam bahasa Tibet dan
menjadi bagian dari Tibetan Tri Pitaka.
Sebenarnya Tantra lebih menekankan metoda daripada literatur
tertulis; lebih menekankan inisiasi fisik dan spiritual yang langsung,
personal, dan rahasia daripada penurunan ajaran secara teoritis baik
secara lisan maupun tertulis yang bersifat lebih umum. Inilah salah satu
alasan mengapa literatur-literatur Tantra jarang bisa ditemukan tersebar
luas. Literatur-literatur Tantra masih belum terpelajari secara
mendalam bukan hanya karena bahasanya yang samar dan bersifat
rahasia, tetapi juga karena mereka banyak menggunakan simbolsimbol yang sulit dimengerti maknanya.
Secara filosofis, Tantrayana Buddhis ini berpijak pada dasar-dasar
filosofis Mahayana, tetapi di dalam pengembangannya terdapat
modifikasi dan perluasan prinsip-prinsip dasar Mahayana ke dalam
aplikasi-aplikasi yang lebih bersifat magis, misalnya mereka
mentransformasi doktrin Trikaya menjadi Catur-kaya dengan
231
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
menambahkan bahwa ada suatu 'badan' yang berada di balik
Dhammakaya. Mereka membagi kaya-kaya yang lain, begitu juga
sunyata ke dalam divisi-divisi dan diamati dalam berbagai aspek serta
memperkenalkan banyak istilah-istilah psikologis yang baru yang sulit
diterjemahkan ke dalam bahasa lain.
Agama Buddha Tantra (Tantrayana) dipengaruhi oleh ajaran Civa,
tetapi dalam garis besarnya ada yang berbeda dengan agama Civa
Tantra. Ajaran Mahayana Tantra ini menunjukkan jalan-jalan yang
dilalui, agar orang dalam waktu dekat (singkat) dapat mencapai tujuan
yang tertinggi yakni terhindar dari Samsara. Untuk mencapai cita-cita ini
mereka mempergunakan mantera-mantera yang memuat kekuatan
gaib, mudra atau sikap tangan dan tubuh yang membawa daya-daya
gaib, mandala atau lambang-lambang gaib, dan menjalankan yoga atau
menahan diri. Tujuan dari praktek-praktek Tantra ini adalah mencapai
tingkat Siddha; seseorang yang telah benar-benar harmonis dengan
alam semesta dan mampu memanfaatkan kekuatan semesta di dalam
maupun di luar dirinya untuk tujuan-tujuan suci; seseorang yang tidak
hanya secara mental melainkan secara fisik pun telah memahami
sunyata. Aliran Tantrayana ini berbeda dari Mahayana umumnya dalam
hal metode latihan dan perlunya bimbingan seorang guru yang telah
mencapai tingkat kesucian itu.
Di dalam kitab-kitab Tantra kuno banyak terdapat teori-teori
praktek Yoga kuno yang mirip dengan Civa Tantra, tetapi semenjak
berkembangnya Sekte Vajrayana-Tantrayana Gelukpa7 di Tibet oleh
Tsongkhapa, maka arti dari kitab-kitab itu mulai dipelajari bukan hanya
atas dasar kata perkata saja melainkan mulai dimengerti maksud
spiritual yang sebenarnya yang lebih mendalam. Praktek-praktek Yoga
yang menjurus pada penyiksaan diri dan upacara ritual yang kasar yang
seakan-akan dianjurkan oleh kitab suci mulai dipahami maknanya yang
sebenarnya; makna yang halus dan benar-benar suci; makna yang
benar-benar jauh dari anjuran melakukan praktek-praktek penyiksaan
diri dan praktek kasar yang tak bermoral.
7 Ada lima sekte besar di Tibet yang mempengaruhi perkembangan Agama
Buddha Tantra yaitu Nyingmapa (Rnyinmapa) yang tertua dan dikembangkan
oleh Padmasambhava atau dikenal juga sebagai Guru Rinpoche sekitar tahun 800
masehi, Sakyapa yang berdasarkan ajaran dari Dharmapala, Kargyupa yang
berdasarkan atas ajaran Guru Naropa, Kadampa yang berdasarkan ajaran Y.A.
Atisha yang menerima petunjuk dari Y.A. Dharmakirti di Sumatera, dan Gelukpa
yang dikembangkan oleh Tsongkapa dan Dalai Lhama yang pertama.
232
Appendiks-3: Sutra dan Pandangan Mahayana
Ajaran khas di dalam aliran Tantra adalah dikenalnya suatu
keadaan Maha Mudra di mana pada tingkatan meditasi (dan
kehidupan) yang tertentu seseorang telah dapat menyatukan aspek
positif (jantan) dari alam semesta dengan aspek negatif (betina)nya.
Ajaran ini sering disalah tafsir secara kata-kata oleh anggota atau
pengikut sekte-sekte Tantra yang tua dan sering dihubungkan dengan
aspek Shiwa-Shakti di dalam Agama Hindu sehingga kadang-kadang
terjadi praktek-praktek yang menyimpang dari ajaran Buddha yang
sebenarnya. Yang dimaksud dengan keadaan Maha Mudra sebenarnya
adalah keadaan di mana tidak ada lagi dualitas di dalam mahluk hidup
tersebut yang ditandai dengan telah bersatunya aspek positif dari alam
semesta berupa Upaya dengan aspek negatifnya atau Prajna;8 telah
harmonis dengan alam semesta, dan sebenarnya telah satu dengan
segala yang ada; telah satu dengan kesunyataan itu sendiri.
Di dalam kitab-kitab Tantra itu ada ditemukan:
a. Gambar-gambar gaib (Mandala), seperti lingkaran gaib. Segala
macam Yoga yang ditujukan kepada Deva-deva, agar mereka
diberi kekuatan gaib.
b. Mantera-mantera yang berisi kalimat-kalimat yang memuat
kekuatan gaib dan dapat disamakan dengan kalimat-kalimat
yang berisi sihir.
Semenjak berdirinya sekte Gelukpa oleh Tsongkhapa (1354-1419),
maka Agama Buddha Tantra lebih menekankan pencapaian kesucian
dengan mencapai keseimbangan antara Samatha dan Vipassana di
dalam meditasi maupun di dalam hidup sehari-hari. Tata cara yang
menggunakan lambang-lambang gaib (Mandala), mantra dan mudra
hanyalah merupakan salah satu cara dan alat bantu dalam mencapai
keseimbangan dan keharmonisan itu.
8 Di dalam pandangan Mahayana pada umumnya, 'penerangan' atau 'pencerahan'
itu mencakup aspek prajna dan karuna sebagai aspek negatif dan positif dari
alam semesta yang membentuk Bodhicitta (Jiwa yang telah Terang dan
Bijaksana). Hal ini dinilai 'statis' oleh kaum Tantra yang melihat sisi 'dinamis' dari
'penerangan' atau 'pencerahan' itu, maka dalam pandangan Tantra, keadaan
Maha Mudra (Samyak-Sambodhi / Samma-Sambodhi menurut pandangan
Mahayana dan Theravada) di mana seorang Siddha (mungkin sama dengan
Bodhisattva dalam pandangan Mahayana dan Buddha sendiri dalam pandangan
Theravada) setelah mendapatkan pencerahannya juga aktif dan dinamis mencari
dan menolong mahluk lain untuk mencapai pencerahan yang sama, merupakan
penyatuan dari unsur statis Prajna dengan unsur dinamis Upaya.
233
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
Kini di dalam perkembangannya semua aliran ini telah
mengharmoniskan ciri khasnya masing-masing dalam satu kesatuan;
mengharmoniskan ajaran dan Dharma yang sama kepada beraneka
ragam manusia yang dengan beraneka ragam sifatnya pula; dengan
cara dan metoda yang berbeda menuntun manusia kepada tujuan yang
sama.
Untuk orang-orang yang berpikiran praktis dan berjiwa sederhana
tersedia ajaran Theravada yang banyak berisi tuntunan moral dan sila
yang menghimbau manusia agar bisa menempatkan dirinya dengan
harmonis sebagai bagian dari alam semesta; yang pada saatnya juga
memaparkan kesunyataan tentang hakekat yang sebenarnya dari alam
semesta; hakekat dari hidup yang sebenarnya dan menuntun manusia
untuk mencapai keharmonisan dan kesatuan dengan hukum-hukum
itu.
Untuk orang-orang yang bersemangat dan memiliki keyakinan
yang kuat, tersedia pandangan Buddhis Mahayana yang semakin
memperkokoh keyakinan, yang mendorong semangat manusia untuk
berkarya dalam hidupnya; berkarya terhadap semua mahluk hidup;
berkarya terhadap alam semesta untuk kemudian bisa menghimbau
dan membantu mahluk-mahluk lainnya dalam melakukan karya yang
sama, dan akhirnya bersama-sama satu dengan segala yang ada; satu
dengan yang Esa.
Untuk orang-orang yang berjiwa kritis dan analitis yang tidak
mudah percaya kepada sesuatu yang belum terasa kebenarannya,
berkembang aliran Buddha Tantrayana, yang menyediakan jalan bagi
manusia untuk lebih mengenali dirinya sendiri dengan segera,
mengenali alam semesta beserta hukum-hukumnya, menyediakan
jalan singkat agar manusia bisa harmonis hingga suatu saat bersatu
dengan hukum-hukum itu.
234
Index
Citta......................................... 127
Cunda, samanera ................. 154
Cunda, si tukang besi...181, 183
daun Simsapa.......................... 64
Devadatta 49, 138, 145, 148, 165
Devadha, kota suku Koliya.... 25
Dewa Api ................................... 8
dewa perselisihan .................. 64
Dewa Rohitassa .................... 153
Dhamma ................................ 195
Dhaniya, putera pembuat
tembikar............................. 103
Sallakatta; tabib..................... 165
dukkha ..................................... 29
Gadis Mangga, Ambapali..... 171
gajah ganas, Nalagiri ............ 144
Gangga ......14, 24, 65, 76, 92, 96,
137, 198
Gaya...................................... 6, 14
Gaya-Sisa ............................... 146
Gijjhakuta.........11, 143, 165, 171
Gosinga, hutan ........................ 65
hari suci, lihat juga Uposatha
............................................. 102
Himalaya .................................. 51
Hutan Bambu .... 13, 22, 36, 108,
140
Hutan Besar ........................... 157
Hutan Dingin............................ 92
Hutan Ghosita ....................... 138
Hutan Gosinga......................... 65
Hutan Jeta......................117, 135
Hutan Mangga .23, 165, 167, 180
Ibu Migara .............................. 121
ibu Nanda ................................ 58
Icchanangala......................... 116
Isigili, pegunungan ............... 103
Isipatana..................................... 1
janji suci ................................. 119
4 keperluan bhikkhu ............ 103
5 usaha................................... 111
8 Jalan Utama........................ 195
ahimsa...................................... 97
ajaran benar .......................... 113
Ajatazattu .............. 139, 165, 189
Alavi ........................................ 106
amata, keabadian................. 156
Ambapali, Gadis Mangga..... 171
Ananda49, 50, 71, 150, 189, 190
Anathapindika.. 36, 51, 119, 152
Anga, daerah ............................. 8
Angulimala.....................130, 137
annihilasionis .......................... 99
Anukiya, kota........................... 49
Anupiya .................................... 63
Anuruddha..44, 65, 66, 188, 196
Asava ..........................66, 94, 143
Assaji ............................ 2, 14, 157
Balai Beratap Runcing, lihat
Kutagara-sala....................... 97
Bangsawan Licchavi, lihat
Licchavi .............................. 175
banyan, pohon...................... 151
bayi mati .................................. 84
Beluva, desa kecil................. 177
Benares ................1, 6, 14, 23, 76
Bhadda...............................34, 69
Bhaddiya .............................. 2, 63
Bhaddiya dari kaum Licchavi
............................................. 113
Bhaddiya, pangeran ............... 43
Bhaddiya, raja ......................... 48
bhikkhu-bhikkhu gemuk ..... 105
biji mostar................................ 84
Bimbisara......10, 12, 40, 69, 142,
165, 171
Buddha................................... 114
Bukit Gaya-Sisa ..................... 146
235
Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru
Janussoni ......................... 82, 110
jejak kaki gajah besar ... 82, 110,
160, 164
Jenderal Siha........................... 97
Jivaka, tabib........................... 165
Jumna....................................... 63
Kakuttha, sungai ................... 183
Kaludayin ........................... 22, 28
kalung dari jari tangan ......... 130
Kapala .................................... 180
Kapilavatthu................ 22, 42, 69
Karma..................................... 137
Kassapa Agung, lihat Maha
Kassapa ................................ 33
Kassapa, pemuja api................ 7
Khanna................................... 197
Khema..........................41, 69, 72
Kimbila..................................... 65
Kisa Gotami ............................. 84
Kolalika, pengikut Devadatta
............................................. 147
Koliya.................................. 25, 42
Kondanna .................................. 2
Kosala................................. 51, 92
Kosambi...63, 64, 138, 193, 197,
199
Kue Kecambah ..................... 127
Kusinara ................................. 182
Kutagara-sala.................. 97, 157
lereng Burung Bering, lihat juga
Gijjhakuta........................... 165
Licchavi........25, 69, 95, 157, 175
Lumbini.................................... 25
Magadha ........8, 22, 92, 165, 171
Maha Kassapa 33, 107, 108, 190
Mahanama, si Putra Sulung .. 44
Mahanama, siswa pertama..... 2
makan daging ......................... 99
Malla .........................49, 183, 189
Mallika ...................................... 52
236
Mara.... 5, 20, 60, 66, 72, 95, 114,
115, 116, 180
mata batin................................ 20
Migara..................................... 119
Migasala ................................. 111
Moggallana .. 15, 20, 58, 87, 127,
147, 151, 154, 155
musim hujan, vassa.............. 102
Nadiya ...................................... 65
Naku ......................................... 79
Nalagiri ................................... 144
Nalanda.............................. 33, 86
Nanda ....................................... 31
Nataputta, Nigantha................ 97
Neranjara ............................... 180
Nigantha.......................41, 69, 97
Nigata ..................................... 116
Nirvana ..1, 12, 21, 25, 30, 39, 59,
74, 96, 136, 155, 156, 177, 184
orang buta.............................. 110
Pajapati ........................31, 43, 71
Parinirvana.....................101, 192
Pasenadi .... 51, 53, 69, 102, 130,
135
Patacara ...................................73
Pava ........................................ 181
pegunungan Isigili ................ 103
pendebat ulung, Saccaka .... 157
perangkap rusa ....................... 59
peraturan ...............................103
Persamuan Agung ........119, 189
Pilotika ..................................... 82
Pindola ..................................... 87
pohon Akasia ........................ 111
pohon banyan....................... 151
Pohon Bodhi 14, 25, 32, 90, 125,
180
pohon Judas .......................... 111
pohon sal ................................. 65
Pukkusa ................................. 183
Punna ....................................... 20
Index
Purana Kassapa .................... 166
puteri Uggaha........................ 123
Rahula ......................................31
Raja Udena ............................ 198
Rajaga....................................... 22
Rajagaha ....6, 10, 33, 41, 86, 191
Rambut Ikal, lihat Bhadda..... 70
Ratu Mallika............................. 52
Rohini, sungai.......................... 42
Rohitassa, dewa.................... 153
Saccaka.................................. 157
Saketa..................................... 119
Sakya ............................22, 26, 42
Sanjaya..................................... 15
Sariputta...15, 18, 58, 67, 69, 80,
117, 127, 140, 147, 150, 154,
155
Savatthi36, 40, 51, 56, 73, 79, 84,
102, 111, 119
sepatu dengan tapak yang
lembut .................................. 95
si Rambut Ikal, lihat Bhadda . 70
Siddharta, pangeran ............... 10
Siha, jendral............................. 97
Simsapa, hutan ....................... 64
Sona..........................92, 108, 194
Sona Kolivisa ........................... 92
Subhadda, bhikkhu tua........ 189
Subhadda, pengelana .......... 186
Suddho..................................... 43
Suddhodana ......................22, 32
Sudhamma ............................ 127
Suku Malla ...............49, 183, 185
Sungai Jumna.......................... 63
Sungai Kakuttha.................... 183
sungai Neranjara................... 180
Sungai Rohini .......................... 42
sungai Vaggamuda ............... 105
Supatittha, tempat suci .......... 11
supranormal ......20, 87, 105, 139
tabib Jivaka............................ 165
Taman Jeta ........................51, 83
Taman Lumbini ...................... 25
Taman Rusa .................... 1, 6, 23
Tissa, bhikkhuni.................... 196
Udena....................................... 63
Udena dan Gotamaka.......... 180
Upali .................................49, 192
Uposatha................................ 146
Uppalavanna ........................... 72
Uruvela....................................... 6
Vaggamuda ........................... 105
Vajji ..................................... 25, 69
Vakkali...................................... 90
Vappa ......................................... 2
Vassakara, kepala menteri.. 104
Veda.................................... 64, 70
Veluvana ......................13, 14, 36
Vesali 25, 65, 69, 70, 71, 97, 157,
171
Vinaya64, 72, 102, 190, 192, 195
Visakha................................... 119
wanita gila, lihat Patacara ..... 73
Yasodara ..................................30
237
Download