Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru (Footprints of Gautama the Buddha) oleh: Marie Beuzeville Byles Penerbit Pundarika Perpustakaan Vihara Borobudur Medan 1995 Untuk Kalangan Sendiri dibagi cuma-cuma Marie Beuzeville Byles, Footprints of Gautama the Buddha. Wheaton: Theosophical Publishing House, 1972 Buku keempat Pustaka Pundarika, Maret 1995 Alih Bahasa : Editor : Setting : Layout & Cover : Upi. Vimala Devi Lim Chai Cu Lei Suang Yoga Putra Ardy P. Kusuma Muliana Wibawa Taruna ( Edisi Elektronik Pustaka Pundarika — 2007 ) ii Pengantar Editor Tentang perjalanan suci Sang Buddha Gautama, yang bermula dari Benares dan berakhir di Kusinara; tentang berbagai kejadian yang terjadi sepanjang perjalanan-Nya tersebut; tentang siswa-siswa-Nya yang utama, seperti Ananda, Sariputta atau Moggallana; tentang umat awam yang terkemuka, seperti Anathapindika, Visakha atau Bhadda; atau tentang Devadatta juga Angulimala, mungkin bukanlah sesuatu yang baru bagi sebagian besar umat Buddha, bahkan boleh jadi sebagian orang sudah menganggapnya semacam legenda. Namun Marie Beuzeville Byles memberi sesuatu yang baru dalam buku ini, dengan mempersilahkan Yasa, siswa keenam Sang Bhagava, menuturkan perjalanan panjang mereka bersama Sang Guru selama empat puluh lima tahun tersebut. Hal yang membuat buku ini berbeda dari buku-buku yang mengisahkan perjalanan suci Sang Buddha adalah mungkin tentang konflik-konflik batin yang terjadi pada orang-orang yang bertemu dengan beliau saat itu dan juga konflik-konflik batin yang dialami para siswa-Nya, seperti Yasa sendiri atau Ananda, yang terkadang sangat manusiawi dan menyentuh hati. Hal lain yang menonjol dalam buku ini adalah kemampuan Marie menjalin bagian terpenting dari sejarah panjang kehidupan Sang Buddha tersebut dengan menggunakan bahasa sastra yang sederhana, tetapi menarik dan indah, dan kami berusaha semaksimal mungkin membuat kalimat-kalimat dalam buku ini tidak kalah indahnya dengan buku aslinya dengan tidak mengurangi isinya, paling tidak itulah alasannya mengapa kami memilih judul dengan memakai istilah 'Sang Guru' daripada 'Sang Buddha'. Sumber buku ini sendiri sebenarnya adalah dari kitab-kitab suci Agama Buddha sehingga walaupun sekilas tampak berupa 'cerita', namun sebenarnya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dalam buku aslinya, si penulis jarang menggunakan istilah-istilah Pali, seperti nama-nama tempat ataupun istilah-istilah dalam Dhamma, kami mencoba membantu pembaca dengan menambahkan atau menggantinya dengan istilah Pali. Selain itu pada bagian Appendiks, isinya berbeda dari aslinya dengan pertimbangan bahwa Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru adalah untuk umat Buddha Indonesia sedangkan sasaran utama Footprints of Gautama The Buddha adalah orang-orang Barat yang sekarang memang sangat tertarik akan kebijaksanaan Timur. Banyak yang dapat dipelajari dan diambil 'hikmah'nya dari kejadian-kejadian selama pengembaraan-Nya, sebagiannya adalah bagaimana cara Sang Pelita Dunia, dengan cinta kasih-Nya, membuka iii wawasan mereka yang picik, menaklukkan mereka yang angkuh, melembutkan mereka yang kasar, menguatkan mereka yang lemah, atau menerangi mereka yang berada dalam kegelapan, yang mungkin pun sedang menyelimuti kita saat ini. Memang, Dhamma yang dibabarkan-Nya ribuan tahun yang lalu, aplikasinya tak pernah lekang oleh waktu. Editor iv Daftar Isi Pengantar Editor............................................................................................................. iii Daftar Isi............................................................................................................................ v Siswa-Siswa Pertama ..................................................................................................... 1 Berdirinya Kerajaan Kebenaran.................................................................................... 6 Dua Siswa Utama .......................................................................................................... 14 Kembali Pada Keluarga................................................................................................ 22 Kunjungan Kedua ke Rajagaha................................................................................... 33 Bangsawan-Bangsawan Suku Sakya Menjadi Anggota Sangha ............................. 42 Savatthi dan Hutan Jeta................................................................................................ 51 Meditasi dan Ketenangan Bathin ................................................................................ 56 Bhaddiya dan Anuruddha ............................................................................................ 63 Vesali dan Sangha Bhikkhuni ...................................................................................... 69 Dukkha: Kesunyataan Utama...................................................................................... 76 Keajaiban dan Penyembuhan ..................................................................................... 86 Sona dan Usaha yang Berlebihan ............................................................................... 92 Siha dan Makanan Berdaging...................................................................................... 97 Asal Usul Tersusunnya Vinaya................................................................................... 102 Kekuatan Gaib Sang Buddha..................................................................................... 110 Sang Buddha dan Umat Biasa ................................................................................... 119 Perubahan Sang Perampok....................................................................................... 130 Devadatta...................................................................................................................... 138 Kematian dan Nirvana................................................................................................ 150 Saccaka Sang Pendebat ............................................................................................. 157 Kedamaian di Hutan Mangga .................................................................................... 165 Tahun-Tahun Terakhir Kehidupan Sang Buddha ................................................... 171 Wafatnya Sang Buddha .............................................................................................. 180 Epilog: Setelah Wafatnya Sang Buddha................................................................... 189 Appendiks-1: Persamuan Sangha............................................................................. 200 Appendiks-2: Meditasi dan Pandangan Theravada ................................................ 204 Appendiks-3: Sutra dan Pandangan Mahayana ...................................................... 219 v vi Siswa-Siswa Pertama Aku, Yasa adalah siswa keenam dari Sang Bhagava Buddha Gautama, yang terpanggil untuk mengikuti jejaknya, mengerti dan memahami ajaran-ajarannya. Aku adalah putra seorang bangsawan di Benares dan seperti Sang Bhagava, aku pernah hidup bergelimang kemewahan. Beberapa minggu sebelum saat yang kuceritakan ini, aku gelisah dan tidak dapat istirahat, seperti pada saat kita mendengar alunan nada yang samar-samar dari kejauhan, kita berusaha untuk menggapainya namun tidak mampu. Demikianlah yang terjadi padaku, sepertinya aku mendengar nada yang bukan berasal dari dunia ini, tetapi ketika kucoba untuk menjangkaunya, musik tersebut telah terbang dan hilang. Kini kutahu bahwa semua kesenangan-kesenangan duniawi yang ada di sekelilingku tidak akan lama memuaskan. Semuanya hampa dan tak berguna, bagaikan sawah tanpa ada yang mengairinya. Kemudian pada suatu malam aku terjaga, dan terus terjaga, akhirnya aku keluar menuju ruang depan di mana kelihatan dayang-dayang yang sedang tertidur nyenyak. Mereka yang seperti bunga-bunga cantik di siang hari kini terbaring kacau-balau di atas balai-balai dengan baju yang kusut dan kotor. Rasa duka yang teramat dalam menyelimutiku. Apa yang biasanya kelihatan sangat indah bisa menjadi sesuatu yang demikian menjijikkan. Aku tidak dapat beristirahat lebih lama, kupakai sandal sepuhanku dan keluar menembus gelapnya malam. Sesuatu yang tak kuketahui benar membawaku ke Taman Rusa di Isipatana. Saat aku berjalan di malam itu, aku merasa tidak pernah dapat beristirahat lagi. Apa arti kehidupan bagiku jika di balik semua kemegahan ternyata yang ada hanyalah kekotoran-kekotoran seperti yang melekat pada tubuh-tubuh itu? Tidak ada ketenangan! Tidak ada kedamaian! Rantai kesengsaraan yang tak putus-putusnya! Kubuang sandal sepuhanku dengan jijik. Tetapi kemudian tiba-tiba aku merasakan udara yang sejuk penuh damai menyelusup ke dalam sanubariku, seperti saat aku sedang kepanasan, aku menyelam dalam sebuah danau yang sejuk dan jernih. Aku mendengar sebuah suara lembut sebagai jawaban pikiran-pikiranku, "Nirvana penuh kedamaian, sejuk dan bebas dari penderitaan." Seperti terjaga dari sebuah mimpi aku menemukan diriku sendiri duduk di samping seseorang yang tak pernah kukenal sebelumnya namun kelihatannya dia mengetahui seluruh kehidupanku bagaikan guruku. Dia lebih tua dariku, tetapi seberapa tuanya tidak dapat kuperkirakan, kelihatannya dia sudah hidup dalam waktu yang lama 1 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru namun terlihat masih muda. Aku tidak dapat mengingat apa yang telah dikatakannya. Bahkan barangkali di saat itu memang dia tidak pernah berbicara. Tetapi kesedihanku melesat keluar seperti kulit tua yang terkelupas dari seekor ular. Aku melihat jalan yang terbentang luas menuju kedamaian sejati. Kemudian kuperhatikan pakaianku yang penuh dengan permata-permata berkilauan di bawah cahaya bintang. Aku merasa malu, tapi setidak-tidaknya ada perasaan senang dan lega karena telah membuang sandal sepuhanku tadi. Sang Guru membaca pikiran-pikiranku dan berkata: "Hiasan-hiasan dengan permata-permata itu tidak perlu menjadi beban perasaan. Seorang tidaklah dapat dipandang melalui pakaiannya melainkan dari dalam hatinya. Seseorang bisa saja mempunyai pakaian-pakaian seperti seorang pengemis dan tinggal di tempattempat yang sunyi, namun di dalam hatinya mungkin masih penuh dengan keinginan-keinginan dan pikiran-pikiran duniawi. Jika kamu melihat segala sesuatu dengan mata yang sama, tidak memilih antara permata-permata atau kain-kain buruk, maka walaupun kamu hidup di dunia ini, kamu telah terbebas dari semua ikatan-ikatan." Banyak lagi yang dikatakan Sang Guru, dan ketika dia bangkit, kuikuti langkahnya seperti seekor anak sapi yang mengikuti ibunya. Pohon-pohon palem yang tinggi terbayangi oleh fajar yang berwarna jingga tua; tiga ekor bangau dari paya-paya berdiri dengan tenang di atas lumpur di tepi kolam sedang menanti mangsanya; dan di sekitarnya terbentang sawah-sawah yang terlihat bagaikan tambalan kain dari jubah orang yang kuikuti ini. Beliau membimbingku menuju hutan mangga yang tidak jauh dari Taman Rusa, dan di sana aku bertemu dengan kelima siswa pertama, Kondanna, Vappa, Bhaddiya, Mahanama dan Assaji. Mereka semua jauh lebih tua dari aku yang baru berumur dua puluh tahun saat itu, tetapi tiba-tiba aku merasa telah menjadi bagian dari mereka, seolaholah aku telah lama selalu berada dalam tali persaudaraan mereka. Kondanna adalah saudara yang tertua. Ia termasuk salah satu dari delapan Brahmana yang diundang raja Suddhodana pada hari kelahiran anaknya untuk meramal masa depan bayi tersebut. Dengan mata batinnya Kondanna dapat melihat bahwa anak tersebut akan menjadi Buddha. Dua puluh sembilan tahun kemudian, ketika dia mendengar bahwa pangeran Siddharta Gautama telah meninggalkan kehidupan duniawi, dia juga meninggalkan rumah, dan bergabung dengan Vappa dan tiga orang lainnya, mengikuti pangeran bertapa di dalam hutan untuk mencari penerangan dan kebenaran. Mereka berpikir bahwa penerangan dan kebenaran dapat ditemukan jika 2 Siswa-Siswa Pertama mereka mengikat dan menyiksa diri mereka sendiri, hingga jiwanya dapat mencapai surga. Dalam waktu yang lama Sang Guru menjadi contoh bagi mereka, mengunguli mereka dalam berpuasa dan melakukan penyiksaan diri, dan mereka sangat menghormatinya. Ketika Sang Guru menjadi sadar bahwa cara yang ditempuhnya salah dan melepaskan diri dan kemudian hidup seperti manusia-manusia lain, mereka menjadi marah dan meninggalkannya. Kini mereka bercerita bagaimana kejadiannya hingga mereka menjadi siswa-siswaNya. Ketika mereka saat itu melihat kedatangan Sang Guru, mereka telah bersepakat dan memutuskan bahwa Sang Gautama, telah mengambil makanan seperti manusia-manusia yang hidup di dunia; bukanlah kebiasaan yang ramah bagi seorang samana untuk mengulurkan tangan pada orang lain. Sejauh itu mereka tidak peduli akan kedatangan Sang Guru, mereka tidak membuat perjamuan sebagai tanda kehormatan. Mereka tidak menawarkan tempat duduk untuknya. Tetapi ketika Sang Guru mendekat, ada kekuatan perasaan lembut dan kedamaian yang meliputi diri mereka. Sebelum mereka menyadari apa yang sedang mereka perbuat, seseorang telah bergerak mengambil jubahnya, yang lainnya menyediakan sebuah tempat duduk, dan seorang lagi mengambil air untuk mencuci kaki Sang Guru. Kemudian mereka semua duduk dengan sopan untuk mendengar sabda Sang Guru sebagai seorang guru yang mereka hormati. Tiba-tiba rasa kagum mereka terhenti; mereka ingat akan sumpah mereka untuk tidak menghormati Sang Guru. Dengan lemah, dengan hati yang berat mereka mulai berbicara seramah mungkin pada Sang Guru, mengungkapkan betapa kecewanya mereka terhadap Sang Guru, yang melanggar cita-cita mereka yang tinggi. Tetapi satu persatu protes mereka hilang berkat ketenangan dan wajah yang bersinar terang dari Sang Guru. Untuk sementara mereka berdiam diri dan Sang Guru berkata: "Ada dua hal yang ekstrim. Pertama, adalah mereka yang memuaskan hawa nafsu mereka dan hidup mewah untuk kepuasan sendiri, orang-orang demikian bahkan tidak mengerti Syair-Syair Suci mereka; betapa sedikitnya mereka memahami jalan yang bebas dari penderitaan dan menuju pintu hidup yang abadi. Kedua, adalah mereka yang mengadakan penyiksaan diri dengan jalan mati kelaparan atau dengan cara lain. Orang-orang seperti itu tidak dapat berpikir tentang masalah-masalah duniawi, betapa sedikitnya mereka memahami kebijaksanaan surgawi! Seorang bhikkhu yang kurus kering 3 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru adalah seperti seorang wanita yang berusaha menyalakan lampu dengan air sebagai pengganti minyak, atau seorang pria yang mencoba membuat api yang baik dari kayu rotan. "Kedua hal tersebut bukanlah jalan menuju kebenaran. Tetapi ada Jalan Tengah, sebuah jalan yang terletak di antara kedua jalan tersebut. Pada satu sisi, kemewahan dan kepuasan disingkirkan. Hidup sederhana adalah hidup dengan tubuh yang sehat dan kuat, tidak lebih dari itu. Jalan Tengah adalah Jalan Kebenaran." Mereka memberitahuku bahwa Sang Guru berbicara pada mereka dengan begitu bijaksana, sesuatu yang tidak pernah mereka dengar dari guru-guru lainnya. Hal yang juga tidak dipelajari Sang Guru dari orang lain, juga tidak didengar dari guru-guru lain atau dari Syair-Syair Suci. Sang Guru berkata dari apa yang diketahuinya berdasarkan pengalamannya sendiri. Sang Guru telah mencoba kedua jalan tersebut dan gagal. Kemudian dia mencoba jalan tengah dan berhasil. Tetapi ada sesuatu di samping pengalaman dalam apa yang telah dikatakannya, atau barangkali itu adalah cara beliau mengemukakannya. Ada suatu kelembutan dan pengertian yang sulit dilukiskan, juga suatu rasa di luar jangkauan waktu. Mereka mencoba menerangkan hasil-hasil yang mereka peroleh, tetapi tidak mampu. Semua yang mereka ketahui adalah bahwa keinginan jahat yang memenuhi hati mereka telah mencair dan mereka menjadi muridmurid Sang Guru. Mereka adalah lima orang pertama dari beribu-ribu orang lainnya yang mendengar Empat Kesunyataan Mulia dan Delapan Jalan Utama yang dapat merubah kehidupan dari pria-pria dan wanitawanita yang mendengar dan mengikutinya, dan bagi siapa saja yang membuka jalan cinta kasih menuju kedamaian abadi; Nirvana. Ketika aku tidak pulang ke rumah, ibuku sangat rindu dan menyuruh ayahku untuk melihat apa yang terjadi padaku. Ayah menemukan sandal sepuhan yang kubuang, kemudian dia mengikuti jejak-jejak kakiku sampai akhirnya datang menyaksikan aku sedang duduk dengan kelima siswa pertama yang sedang mendengarkan khotbah tentang pelepasan diri dari duniawi. Ketika aku memberitahukan padanya bahwa adalah niatku sendiri untuk meninggalkan rumah dan menjadi pengembara sebagai siswa Sang Guru, ayah tidak terkejut, sebab ayah melihat guru yang kuikuti telah menemukan kebenaran. Ayah memberitahu bahwa ibuku selalu menangis karena aku tidak mau kembali ke rumah, tetapi ayah tidak memaksaku untuk kembali. Sebaliknya, ayah menjamu Sang Guru dan kelima pertapa untuk makan di rumahnya. 4 Siswa-Siswa Pertama Pada hari berikutnya, begitu ibuku melihat Sang Guru, mendung yang terukir di wajahnya menjadi lenyap dan ia tak lagi sedih melihatku. Juga istriku, gembira akan pilihanku untuk mengembara. Dalam keluarga kami, kami menghormati panggilan itu sebagai panggilan yang tertinggi. Adalah benar bahwa aku meninggalkan rumah lebih cepat dari biasanya, aku tidak sempat menegakkan sebuah rumah tangga, tetapi yang lainnya dapat menjalankan kewajiban-kewajibanku sebagai kepala rumah tangga, dan beberapa tahun kemudian istriku mengikuti jejakku dan bergabung dalam persaudaraan Bhikkhuni. Sesudah perjamuan, Sang Guru berkhotbah kepada seluruh keluarga tentang kebenaran, kemudian ibu dan ayahku beserta keluarga-keluarga lainnya menjadi pengikut awam pertama dari Sang Guru. Sebagian karena keahlianku memainkan musik, aku menjadi pemimpin para remaja dari Banares. Ketika sahabat-sahabatku melihat aku memakai jubah kuning dan berkepala gundul, mereka sangat heran. Untuk mengetahui alasannya, mereka datang pada Sang Guru yang telah membawa perubahan dalam hidupku, dan setelah mendengar khotbah Sang Guru lenyaplah keheranan mereka, dan banyak di antara mereka yang mencukur rambutnya dan meninggalkan rumah. Sang Guru bercerita kepada kami, bahwa di saat beliau mencapai penerangan sempurna, Mara menggoda beliau untuk pergi saja mengucilkan diri ke hutan belantara sebagai seorang pertapa menikmati sendiri kebahagiaan yang telah dicapainya, karena tidak seorang pun yang akan mengerti kebenaran yang telah ia temukan. Tetapi Mara terbukti salah, karena dari sejak semula Sang Guru telah berhasil mengumpulkan siswa-siswanya, baik yang awam maupun yang telah ditabhiskan; yang mengerti akan ajaran-ajaran-Nya. 5 Berdirinya Kerajaan Kebenaran Setelah sejumlah laki-laki ditabhiskan menjadi siswa dan bergabung dengan persaudaraan para bhikkhu, Sang Buddha mengumpulkan kami di Taman Rusa dekat Benares dan berkata: "Sekarang pergilah mengembara sebagai guru-guru yang penuh belas kasih untuk dunia yang penuh penderitaan ini. Jangan ada dua orang menuju jalan yang sama. Sebarkan Dhamma di mana pun kamu berada, Dhamma yang agung pada permulaan, juga agung pada akhirnya, baik dalam hidup maupun dalam jiwa. Tunjukkan kehidupan yang baik, mulia dan bahagia. Ada sebagian orang yang matanya hanya tertutup sedikit debu, dan bila mereka mendengar Dhamma, mereka akan mengerti." Sang Buddha selalu melihat dengan mata batin siapa-siapa yang matanya hanya tertutup sedikit debu, dan sejauh manapun Sang Buddha akan pergi memberikan khotbah Dhamma pada mereka. Kini Sang Buddha memberitahu kami bahwa pertama-tama beliau akan pergi ke Uruvela, dekat Gaya, tempat di mana Beliau mencapai penerangan sempurna, kemudian ke Rajagaha, di mana kami dapat bergabung dengannya bila musim dingin tiba, kami tahu bahwa beliau telah melihat dengan mata batin bahwa orang-orang di Uruvela dan Rajagaha telah siap sedia menerima Dhamma. Apa yang terjadi dengannya setelah beliau meninggalkan Benares, aku dengar kemudian dari yang lain, inilah yang aku dengar: Ketika Sang Buddha tiba di Uruvela, Sang Buddha masuk ke sebuah hutan dan duduk di bawah sebuah pohon untuk meditasi. Ada sekelompok orang kaya beserta istri-istri mereka sedang menikmati liburan di hutan tersebut. Salah seorang dari mereka belum menikah, jadi kelompok tersebut mengundang seorang pelacur yang sangat cantik dan kalem. Ketika kelompok ini berjalan-jalan menikmati indahnya bunga lily di kolam dan cantiknya kibasan ekor burung merak, pelacur tersebut mengambil barang-barang milik mereka dan melarikan diri. Setelah mengetahui apa yang telah terjadi, mereka sangat marah, segera mereka berpencar ke berbagai penjuru mencoba menemukan pelacur tersebut dan barang-barang milik mereka. Mereka berkeliaran kian kemari sampai akhirnya tiba di tempat Sang Buddha bermeditasi, dan salah satu di antara mereka menghadap Sang Buddha dan berkata: "Tuan yang terhormat, adakah Anda melihat seorang wanita yang melewati jalan ini?" 6 Berdirinya Kerajaan Kebenaran "Seorang wanita?" tanya Sang Buddha, bangun dari meditasinya. "Apa yang telah kamu lakukan dengan wanita tersebut hingga kamu mencarinya?" Kemudian pemuda tersebut menjelaskan kenapa mereka mencari pelacur tersebut. Sang Buddha berkata, "Sekarang apa yang menjadi pertimbanganmu? Mana yang lebih baik dan lebih menguntungkan bagimu, pergi mencari seorang wanita dan barang-barang milikmu, liburan yang telah dinikmati berjam-jam tadi yang telah menimbulkan kesusahan-kesusahan bagimu, atau pergi mencari Dirimu Yang Sejati, yang akan membawa kebahagiaan yang abadi?" Pemuda yang pertama kali berbicara pada Sang Buddha ini, yang kemudian menjadi anggota Sangha, memberitahu aku bahwa jika yang berkata demikian adalah seorang pertapa biasa, mereka pasti akan menertawakannya, tetapi ada sesuatu pada diri Sang Buddha yang menyebabkan mereka sadar bahwa masih ada sesuatu yang lebih berharga daripada barang-barang milik mereka yang hilang. Kemudian pemuda ini menjawab, "Tuan yang terhormat, yang lebih baik adalah mencari Diri Sejati kami." "Tetapi apakah itu Diri Sejati itu?" tanya pemuda lainnya. Kemudian Sang Buddha meminta mereka beserta istri-istri mereka untuk mengambil tempat duduk, dan Sang Buddha menerangkan bagaimana caranya memenuhi keinginan-keinginan yang merusak diri sendiri yang menyebabkan penderitaan, dan bahwa dalam menahan keinginan-keinginan dan menghilangkannya sama sekali, akan ditemukan diri yang sejati dan kebahagiaan yang sempurna. Ketika Sang Buddha selesai berkhotbah, pemuda-pemuda tersebut beserta istri-istri mereka merasa bahagia dan kemudian hidup sesuai dengan pedoman yang diberikan Sang Buddha. Mereka masih muda, tetapi mata-mata mereka juga bisa tertutup oleh hanya sedikit debu. Dari hutan Sang Buddha melanjutkan perjalanan menuju Gua Uruvela tempat orang-orang yang memuja api suci, yang dijaga oleh pertapa-pertapa yang menderita, yang menganut adat-istiadat lama dengan melakukan penyiksaan diri. Pemimpin mereka bernama Kassapa, dan berkat penembusan dosanya yang besar dia dihormati sebagai orang yang termulia oleh penduduk setempat. Hari sudah malam ketika Sang Buddha mendekati Kassapa dan berkata, "Jika saudara tidak berkeberatan, saya akan menginap di gua, tempat pemujaan api suci." 7 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru "Saudara tidak tahu apa yang saudara ucapkan; Dewa Api adalah seekor ular yang besar dan berbisa. Saya tidak ingin dia melukaimu. Bahkan saya, orang yang dianggap paling mulia, juga tidak berani mengembara di Gua Suci bila malam tiba." "Saya jamin tidak akan terjadi apa-apa," mohon Sang Buddha. "Saya tidak suka perdebatan," jawab Kassapa. "Kematian Anda terletak pada keputusan Anda. Itu adalah permintaan Anda sendiri." Sang Buddha mengucapkan terima kasih dan menuju gua, duduk bersila melakukan meditasi hingga jam dua tengah malam. Ketika Dewa Api menyemburkan segumpalan asap dan api, Sang Buddha membalasnya dengan menyemburkan api cinta kasih dan niat baik dan asap serta api semburan dari Dewa Api dapat dipadamkan. Kassapa, bangun dari tidurnya dan menyaksikan pancaran sinar api yang besar dalam Gua, bergumam sendiri, "Pancaran cinta kasih pendatang ini sungguh sangat indah, tetapi Dewa Api tetap akan melukainya." Pada pagi harinya, Kassapa merasa heran melihat Sang Buddha tidak terluka, dan Sang Buddha yang dapat membaca pikirannya, berkata padanya, "Api yang disemburkan Dewa Api telah dipadamkan dengan pancaran sinar cinta kasih dan niat yang baik." Dan Sang Buddha memperlihatkan mangkuknya di mana tampak sang ular terbaring tidur dengan penuh kedamaian. Kassapa semakin heran dan berkata sendiri, "Pendatang ini benarbenar memiliki kekuatan gaib, dan dia tidak kenal rasa takut, namun bagaimanapun dia tidak semulia saya." Pada malam kedua, dengan tidak gentar sedikit pun Sang Buddha memasuki tempat suci dari Dewa Api dan untuk kedua kalinya kobaran api dari Dewa Api dipadamkan dengan kobaran cinta kasih dan niat baik Sang Buddha. Dan sebagai penghormatan Kassapa berkata, "Tinggallah di rumah saya dan saya akan menjamu Anda makan, seperti halnya orang-orang desa yang dermawan akan memberi makan pada seseorang yang mereka anggap mulia." Sang Buddha setuju, dan malam-malam berikutnya dewa-dewa datang menyinari seluruh hutan dengan pancaran sinar yang sangat indah. Kassapa semakin terheran-heran, namun dalam hatinya ia tetap menganggap Sang Buddha tidak semulia dirinya. Kemudian, pada suatu hari Kassapa mengadakan suatu upacara pengorbanan besar-besaran yang memang sudah menjadi kebiasaannya. Seluruh penduduk Anga dan Magadha datang dan membawa makanan yang berlimpah-limpah. Kini Kassapa takut kalaukalau Sang Buddha menarik perhatian orang-orang dengan kekuatan magisnya dalam upacara tersebut dan dengan sendirinya semua 8 Berdirinya Kerajaan Kebenaran kehormatan akan tertuju pada Sang Buddha sehingga kehormatan padanya akan menjadi berkurang. Sang Buddha yang mengetahui pikirannya kemudian berkata: "Saudaraku, besok jika waktu mengizinkan, saya akan membawa bekal makanan dan pergi ke tepi danau untuk bermeditasi seharian." "Waktu yang tepat sekali," sambut Kassapa lega, dan ketika Sang Buddha berlalu, dia berguman pada dirinya sendiri, "Saudara ini adalah orang yang baik dengan pandangan yang tajam tetapi tentu saja dia tidak semulia saya." Selama berhari-hari Sang Buddha mengerjakan pekerjaanpekerjaan rendah untuk melayani Kassapa. Sang Buddha membuat pemandian yang menyenangkan yakni sebuah kolam yang dialiri air sungai dengan sebuah batu yang diletakkan di tengah kolam hingga pembersihan kolam dapat dilakukan dengan mudah. Sang Buddha memetik sejumlah buah-buahan yang harum dan segar, membelah kayu bakar untuk api suci sebanyak lima ratus potong. Kassapa sangat senang dan berkata dalam hati, "Saudara ini benar-benar sangat baik dan bijaksana tetapi tentu saja dia tidak semulia saya." Pada saat itu turun hujan lebat, sebagian tanah berpasir di hutan mangga tempat Sang Buddha bermeditasi digenangi air. Kassapa takut bahwa air yang kian menaik akan menenggelamkan tamunya. Dia, yang hingga saat itu, tidak pernah mengenal kelembutan dan perhatian kepada orang lain, tiba-tiba merasa hatinya berat saat berpikir bahwa orang yang semulia itu mati tenggelam. Kemudian buru-buru dia pergi ke desa untuk memperoleh perahu dan membawa Sang Buddha dengan selamat sampai di tempat yang kering. Dia sangat senang dengan kebaikan yang dapat diperbuatnya, walaupun dia masih menggumam dalam hati bahwa tamunya ini tidaklah semulia dirinya. Sang Buddha, tahu bahwa sekarang hati Kassapa telah lembut dan dapat ditundukkan, berkata padanya, "Kassapa, kamu selalu berkata pada dirimu sendiri bahwa saya tidaklah semulia kamu. Tetapi dapatkah kamu dalam upacara kebenaran memberitahu saya bahwa kamu penuh penerangan dan tidak mengenal arti sebuah ketakutan?" Kassapa terhenyak, seketika hatinya menjadi lunak berkat pancaran cinta kasih persahabatan Sang Buddha, dan dia bersujud sebelum berkata, "Tidak, Guru, saya tidak penuh penerangan, saya masih penuh ketakutan, saya tidak lebih mulia daripada Mu." Segera dia bangkit menuju Gua Suci, mengambil benda-benda untuk pemujaan dan membuangnya ke sungai, dan kembali bersujud di kaki Sang Buddha dan memohon Sang Buddha menunjukkan jalan di mana dia dapat bebas dari ketakutan dan menemukan kebijaksanaan. 9 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru Pertapa-pertapa yang menderita, begitu melihat benda-benda pengorbanan yang dibuang ke dalam sungai, menjadi takut kalau terjadi malapetaka yang menimpa pemimpin mereka. Buru-buru mereka menuju Gua Suci, di mana mereka menyaksikan Kassapa sedang bersujud di bawah kaki Sang Buddha dan sedang mendengarkan ajarannya. Dan mereka pun juga duduk mendengarkan. "Hantu Api yang kalian takutkan," kata Sang Buddha, "adalah di dalam dirimu sendiri, Hantu Api dalam bentuk keinginan-keinginan, kesombongan dan kepentingan diri sendiri. Itu adalah api hawa nafsu yang menyala-nyala. Ketika perasaan menyentuh obyek perasaan dan pikiran menyentuh obyek pikiran, berarti api hawa nafsu dan keinginan dinyalakan. Telingamu mendengar doamu sendiri, dan kemudian pikiranmu hanya memikirkan kepentinganmu sendiri dan kamu takut akan kehilangannya. Kamu tidak menyadari bahwa diri ini bukanlah diri yang sebenarnya dan tidaklah abadi." Pada saat itu juga Kassapa merasa lega dan memiliki pandangan benar, dan berkat sabda Sang Buddha, rasa damai menyelimutinya. Sang Buddha melanjutkan, "Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, kamu akan jemu pada api-api yang dinyalakan oleh perasaan dan pikiranmu, dengan demikian api-api itu akan padam. Pengorbanan yang benar adalah pengorbanan keinginan, baranya adalah keinginan yang terkendali dan altar yang benar adalah altar kerendahan hati." Setelah pertapa-pertapa menderita ini mendengar ajaran Sang Buddha, mereka memohon untuk ditahbiskan menjadi siswa, dan Sang Buddha menyetujui, mereka pun memotong rambut mereka masingmasing. Kemudian Sang Buddha bersama-sama mereka mengadakan perjalanan dari Uruvela menuju Rajagaha. Alasan Sang Buddha untuk melanjutkan perjalanan ke Rajagaha adalah sebagai berikut: Ketika Sang Buddha yang saat itu masih sebagai Pangeran Siddharta meninggalkan rumah untuk mencari kebenaran, Sang Buddha berkesempatan mengunjungi Rajagaha di mana Raja Bimbisara sedang merencanakan untuk mengadakan upacara pengorbanan secara besar-besaran dengan menyembelih binatangbinatang. Pangeran Siddharta memberikan khotbah pada raja beserta menteri-menterinya tentang kesatuan dari seluruh makhluk hidup, dan raja terenyuh oleh belas kasihan Sang Buddha dan kemudian membebaskan binatang-binatang tersebut. Raja menilai bertapa mulianya karakter pangeran muda ini dan dia menginginkan pangeran ini tinggal dan menjalankan roda kerajaan bersamanya. Tetapi Pangeran Siddharta menjawab: 10 Berdirinya Kerajaan Kebenaran "Yang Mulia, saya mencari kerajaan yang lebih besar dari kerajaanmu, yang lebih besar dari kerajaan-kerajaan yang ada di dunia ini. Saya mencari kerajaan yang tidak ada di dunia ini, yakni kerajaan kebenaran. Bila saya telah menemukan kerajaan itu saya akan kembali memberitahukanmu." Raja sedih mendengar kata-kata itu, tapi dia sadar bahwa perkataan pangeran muda ini adalah benar dan dia sama sekali tidak ingin menghalangi tujuannya. Kini Sang Buddha telah menemukan kerajaan kebenaran, untuk memenuhi janjinya, Sang Buddha berangkat menuju Rajagaha beserta Kassapa dari Uruvela dan pertapa-pertapa yang menderita. Sang Buddha menginap dekat tempat suci Supatittha, kira-kira enam mil jauhnya dari kota Rajagaha, sebuah kota yang menyenangkan dengan dikelilingi bukit-bukit yang puncaknya didiami burung-burung nasar atau burung bering yang besar: bukit Gijjhakuta atau lereng burung bering. Ada penginapan untuk pertapa-pertapa yang mengembara yang di dirikan di pinggiran kota dan desa, dan saat itu tidak ada yang begitu memperhatikan kedatangan rombongan Sang Buddha kecuali hanya sekedar memberi penghormatan pada mereka. Tetapi ketika Raja Bimbisara mendengar bahwa Gautama, seorang pertapa dari suku Sakya telah tiba di Supatittha, ia segera mengunjunginya karena mengingat janji Pangeran Siddharta yang akan memberitahukannya bila telah menemukan kerajaan kebenaran, dan kini dia yakin bahwa Pangeran Siddharta telah menemukannya dan datang untuk memberitahukannya. Sekarang, Raja dan rombongan besar yang terdiri dari negarawannegarawan dan kepala-kepala rumah tangga mendekati Supatittha, mereka melihat Kassapa dari Uruvela duduk di samping Sang Buddha. Ada beberapa orang yang berpendapat bahwa pertapa ini, Gautama, pasti adalah siswa Kassapa yang dianggap sebagai orang yang paling suci. Tetapi yang lainnya; yang telah mendengar kesucian dari Sang Tathagata, berpendapat bahwa Kassapa lah yang seharusnya menjadi siswa Sang Buddha. Mereka masih memperdebatkan persoalan ini sampai pada acara memperkenalkan dirinya masing-masing. Ketika mereka sudah mengambil tempat duduk, Sang Buddha memandang Kassapa sambil berkata, "Dalam rapat ini maukah kamu menerangkan pengetahuan apa yang kamu dapati hingga menyebabkan kamu meninggalkan penebusan dosa dan pemujaan api ini?" "Pengorbanan dan penebusan dosa yang saya lakukan," jawab Kassapa, "Adalah berkenaan dengan benda-benda berwujud dan 11 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru mencari pamrih dalam dunia ini atau dunia dewa, dunia-dunia penglihatan, suara dan pikiran. Imbalan-imbalan yang diberikan pada pengorbanan-pengorbanan dan penebusan dosa yang demikian, tidak akan jauh dari dunia kesombongan dan egoisme, yang terikat selamanya di atas roda penderitaan. Itulah sebabnya saya meninggalkan semua penebusan dosa dan pengorbanan api ini." "Dan jika pikiranmu tidak terang dengan benda-benda ini, Kassapa, apa yang menyebabkan pikiranmu terang dalam dunia manusia dan dewa ?" tanya Sang Buddha. Dan Kassapa kembali menjawab, "Saya telah melihat kedamaian yang abadi, Nirvana, hal ini dapat dicapai bila kepentingan diri sendiri dan semua pikiran-pikiran tentang 'aku' disingkirkan, dan tidaklah bijaksana terikat pada hawa nafsu atau benda-benda yang ada baik di dunia ini maupun dunia lain. Kedamaian ini tidak mengenal pembentukan atau perubahan, juga kematian. Lalu, untuk apa saya bertahan pada pengorbanan dan penebusan dosa ini baik di bumi maupun di surga, yang selamanya mengalami pembentukkan, berubah dan musnah?" Sambil berkata demikian Kassapa lalu bangkit dan bersujud di bawah telapak kaki Sang Buddha dan berkata, "Guru saya adalah satu-satunya orang yang termulia. Saya adalah siswanya." Raja Bimbisara memberitahu aku betapa terkesannya orang-orang yang mendengarkannya, dan dengan sendirinya dia maju ke depan, bersujud memberi hormat pada Sang Buddha, dan rakyat pun tahu bahwa dia menghormati seseorang yang telah menemukan kebenaran. Sebelum Kassapa duduk kembali mereka kembali berbisik antara yang satu dengan lainnya, "Kassapa yang termulia dari Uruvela, telah dibimbing oleh pertapa Gautama. Pastilah Gautama telah menunjukkan padanya berkat termulia." Kemudian Sang Buddha memberikan khotbah Dhamma pada rombongan tersebut, tentang kebenaran-kebenaran yang telah dicapai Kassapa dan jalan untuk menemukan kerajaan kebenaran. Selesai Sang Buddha berkhotbah, Raja Bimbisara bersujud memberi hormat dan mengucapkan terima kasih pada Sang Buddha sambil berkata bahwa ketika dia masih muda, dia mempunyai lima keinginan yang kini semuanya telah tercapai. Yang pertama adalah bahwa dia ingin menjadi raja, kedua dia ingin seorang Buddha yang suci datang ke kerajaannya, ketiga dia ingin bersujud memberi penghormatan pada Buddha tersebut, keempat dia ingin Sang Buddha memberikan khotbah Dhamma padanya dan kelima dia dapat mengerti Dhamma tersebut. 12 Berdirinya Kerajaan Kebenaran Kemudian raja Bimbisara menjamu Sang Buddha beserta para pertapa. Selesai acara makan, raja mengambil kendi emas yang berisi air, dan menuangkan air tersebut ke tangan Sang Buddha sambil berkata, "Saya serahkan Hutan Bambu, Taman Veluvana di sebelah utara kota kepada Sang Buddha yang termulia sebagai tanda persaudaraan. Saya mohon ini diterima." Dan Sang Buddha menerimanya, dan taman ini merupakan taman pertama yang diberikan kepada persaudaraan Sangha. Seringkali Sang Buddha tinggal di Hutan Bambu tersebut, dan penduduk datang ke sana dengan masalah-masalah dan penderitaan mereka. 13 Dua Siswa Utama Singkatnya, setelah Raja Bimbisara menghadiahkan Taman Veluvana kepada persaudaraan Sangha, banyak siswa-siswa Sang Buddha yang dikirim menyebar dari Benares mengadakan perjalanan menuju Rajagaha untuk bergabung dengan Sang Buddha. Ada suatu dataran yang merupakan daerah yang mengelilingi tanah leluhurku dekat Benares, di mana terdapat tebing berpasir dekat sungai Gangga suci dengan sawah-sawah yang terbentang luas hingga ke taman rusa Isipatana. Kebanyakan penduduknya bekerja sebagai penambal kain. Tetapi ketika kami mendekati kota Gaya dari perjalanan kami menuju Rajagaha, tampak bukit-bukit terbentang di hadapan kami. Assaji menunjuk sesuatu dan berkata bahwa di dalam salah satu gua dari bukit-bukit ini Sang Buddha beserta kelima siswa pertama pernah mengadakan penyiksaan diri yang keras. Sebelumnya aku tidak pernah ke dataran yang setinggi ini, maka aku membujuk Assaji untuk bersama-sama memanjat melalui tanaman berduri untuk sampai di puncak. Ketika kami memandang ke bawah, tampak hamparan pasir yang luas yang merupakan dasar sungai yang berlikuliku yang mengelilingi hutan yang ditumbuhi pohon-pohon mangga. Di bagian yang lain, Assaji memberitahuku, bahwa ada satu dari dua puluh empat tempat dekat Gaya, yang dikhususkan sebagai tempat melakukan upacara bagi keselamatan leluhur. "Di bawah sebuah pohon Bodhi yang di sebelah sana," dia berkata sambil menunjuk ke seberang sungai, "Sang Buddha mencapai penerangan sempurna." Aku ingin menyeberangi pasir tandus untuk melihat pohon itu, tetapi Assaji mengingatkan aku bahwa obyek ini tidak termasuk tujuan perjalanan kami. Kemudian kami turun dan berjalan terus sejauh dua puluh mil, sampai kami melihat bukit-bukit indah yang mengelilingi kota Rajagaha dari segala penjuru yang tampak seperti perbentengan yang alamiah. Kami berjalan melalui sebuah terowongan menuju selatan. Kota Rajagaha lebih megah dan berseri daripada Benares. Pada seluruh bagian kota tampak para pedagang yang menjual periuk belanga, dan banyak yang belum pernah aku lihat sebelumnya seperti permata, sulaman-sulaman niha yang maha indah dan kulit-kulit pelana yang dikerjakan dengan corak yang sangat indah. Kami berjalan terus melalui kota menuju ke utara di mana terdapat sumber air panas; Taman Veluvana yang menyenangkan dengan bambu-bambu raksasanya yang tumbuh melingkupi danau kecil yang indah. Melalui lengkungan bambu-bambu ini, kami melihat lapangan-lapangan dan 14 Dua Siswa Utama tempat-tempat galian pembuatan batu bata yang diletakkan di bawah terik matahari untuk dikeringkan. Pada saat itu, di Rajagaha ada seorang pertapa pengembara bernama Sanjaya yang mempunyai banyak siswa, termasuk Sariputta dan Moggallana. Kedua siswanya ini sangat serius dalam menyelidiki sesuatu yang terletak di luar jangkauan waktu dan ruang di dalam dunia ini, sehingga seringkali mereka membicarakan masalah ini. Suatu hari mereka memanjat puncak bukit di mana mereka dapat melihat kota dan dataran di sebelah utara. Mereka melihat penduduk berlalu lalang di sawah-sawah dan jalan-jalan, hingga di saat itu timbul dalam pemikiran mereka bahwa dalam seratus tahun, semua orangorang ini akan dimangsa oleh kematian. Mereka sangat terharu bila memikirkan hal ini dan berjalan terus dalam kebisuan. Kemudian salah seorang dari mereka berkata, "Jika ada prinsip umum tentang kematian dan kemusnahan ini, pasti ada juga prinsip yang berlawanan yakni kekekalan yang tidak mengalami kematian dan bisa menghindari kemusnahan." "Ya," jawab yang lainnya, "marilah dengan teguh kita selidiki rahasia dari jalan yang harus ditempuh untuk mencapai kehidupan abadi ini." "Dan, sampai sejauh ini," kata pembicara pertama, biarkanlah seseorang yang untuk pertama kalinya menemukan jalan ini, menceritakannya pada yang lain." Demikianlah janji yang dibuat antara mereka. Pertama-tama mereka pergi menemui guru mereka, Sanjaya, tetapi Sanjaya telah mengajarkan mereka seluruh pengetahuannya dan dia tidak dapat menjabarkan pada mereka rahasia jalan yang harus ditempuh untuk menghindari kematian. Kemudian pada suatu hari, ketika Sariputta keluar meminta sedekah, dia berjumpa dengan Assaji yang juga akan meminta sedekah. Assaji berjalan dengan kepala tertunduk menunjukkan kerendahan hati, wajahnya yang terang menandakan kedamain batinnya dan Sariputta yakin bahwa bhikkhu ini telah menemukan jalan yang dia dan Moggallana selidiki selama ini. Sariputta mengikutinya hingga dia kembali dari sedekahnya, dan menunggu dengan hormat hingga dia menghabiskan makanannya dan mencuci tangan. Setelah itu, Sariputta mendekatinya sambil berkata: "Wajahmu sangat terang, sahabat, siapa Gurumu? Dan apa saja yang diajarkannya padamu?" Wajah Assaji berseri-seri penuh cinta-kasih dan agung saat dia menjawab, "Sang Buddha Gautama, adalah guru saya. Tidak pernahkah kamu mendengar ketenaran Sang Buddha?" 15 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru "Dia yang baru-baru ini datang di Rajagaha? Ajaran apa yang dia miliki? Ajaran apa yang diajarkannya padamu?" Assaji tidak pernah dapat mengungkapkannya dengan kata-kata. Assaji mengerti semua yang diajarkan Sang Buddha, tetapi itu adalah pengalaman batin, yang tidak dapat diutarakan dengan kata-kata. Beberapa lama kemudian dia menjawab, "Saya hanya seorang siswa yang baru saja ditahbiskan. Saya tahu bahwa ajaran Sang Buddha adalah benar, tapi saya tidak dapat menerangkannya secara lengkap." Sariputta menjadi lebih yakin bahwa guru Assaji dapat menerangkan padanya tentang kehidupan abadi, dan dia melanjutkan pertanyaannya. "Dapatkah kamu menjelaskan kepada saya walaupun sedikit saja? Saya perlu isinya, kata-kata tidaklah menjadi masalah." Assaji berpikir beberapa saat dan kemudian berkata, "Sang Buddha mengajarkan bahwa segala sesuatu yang memiliki awal juga memiliki akhir." Itu bukanlah suatu jawaban yang akan diyakini orang-orang bijaksana yang mengembara di pinggiran desa, yang sedang mencari pedang-pedang tajam dengan siapa saja yang akan menentang mereka, tetapi Sariputta tidak termasuk salah seorang dari mereka. Dia terdiam beberapa saat dan melalui kekuatan batinnya dia memahami penjelasan Assaji, tiba-tiba cahaya terang membias di wajahnya seraya berkata, "Berarti seseorang yang dilahirkan suatu saat akan mengalami kematian?" "Ya," jawab Assaji. "Berarti semua makhluk hidup selalu mengalami kelahiran dan berakhir dengan kematian?" "Ya," jawab Assaji. "Dan di balik keberadaan dan ketidakberadaan, di balik kelahiran dan kematian berada kehidupan yang abadi?" "Ya," jawab Assaji kembali. "Akhir dari siklus kelahiran dan kematian," sambung Sariputra yang lebih ditujukan pada dirinya sendiri, "dan penemuan dari Keabadian—kelahiran dan kematian serta semua yang ada dan berhenti untuk menjadi ada—beriak pada kolam waktu—muncul untuk kemudian menjadi padam—dan di bawah kedalamannya, Keabadian! Sahabat, kamu telah menjelaskan pada saya rahasia hal-hal yang abadi, rahasia pembebasan dari penderitaan." "Bukan aku!" protes Assaji, "tetapi Sang Buddha. Ikutilah saya dan saya akan membawamu untuk bertemu dengan beliau." 16 Dua Siswa Utama "Dengan segala senang hati," sambut Sariputta, "tetapi saya harus menemui sahabat saya dulu, Moggallana dan mengajaknya ikut serta. Kami berdua telah membuat perjanjian bahwa bila salah satu di antara kami telah melihat cahaya dari kehidupan abadi, akan segera memberi kabar pada yang lain." Assaji memberitahu Sariputta di mana Sang Buddha berada, Sariputta segera mencari Moggallana dan menceritakan pertemuannya dengan Assaji, Moggallana berteriak kegirangan,"Mari kita berangkat kawan, dan bergabung dengan Sang Gautama yang mulia, mungkin dia bersedia menjadi guru kita." Tetapi Sariputta menjawab, "Kita harus mempertimbangkan kawan, bahwa masih banyak teman-teman kita di kota ini sebagai pendeta pengembara yang mengikuti Sanjaya. Mari kita beri informasi dulu pada mereka tentang niat kita ini, mungkin mereka juga akan melakukan apa yang mereka rasa baik untuk dilakukan." Moggallana setuju dan keduanya segera memberitahu pendetapendeta pengembara bahwa ada seorang guru yang akan mengajarkan rahasia dari kehidupan abadi. Mereka menyambutnya dengan gembira, kemudian pertapa-pertapa tersebut memutuskan bahwa mereka juga akan belajar pada Sang Buddha. Kemudian, kedua sahabat tersebut menemui Sanjaya dan memberitahu tentang niat mereka. Sanjaya meminta mereka untuk tidak meninggalkan dirinya dan membujuk mereka untuk tetap tinggal dan bergabung dengannya dalam mengambil bagian kepemimpinan di antara pendeta-pendeta pengembara tersebut. Tetapi mereka menolak dengan halus, dan meninggalkan dirinya diikuti seluruh pendeta pengembara tersebut. Melihat itu, tak lama kemudian kemarahan Sanjaya memuncak, wajahnya menjadi merah padam dan muntah darah. Ketika Sang Buddha melihat kedatangan Sariputta dan Moggallana, Sang Buddha berkata pada kami, "Lihatkah kalian kedatangan kedua orang itu? Tandailah mereka. Mereka akan menjadi siswa-siswaku yang hebat dan agung." Sebagaimana yang diucapkan Sang Buddha, mereka menjadi siswa yang kemampuannya melebihi yang lain di dalam Sangha kecuali jika dibandingkan dengan Sang Buddha sendiri. Sejak Sang Buddha tiba di Rajagaha, beliau telah diikuti oleh para pertapa yang menderita, pengikut Kassapa dari Uruvella dan para pertapa pengembara, pengikut Sanjaya, dan juga sejumlah besar bangsawan-bangsawan muda. Dan kini penduduk mulai bersungutsungut dan dengan marah mengatakan bahwa Sang Buddha telah merebut siswa-siswa orang lain dan menyebabkan orang-orang 17 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru meninggalkan kehidupan keluarga atau tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin keluarga. Ketika kami memberitahu Guru tentang hal ini, Sang Buddha berkata, "Keributan ini tidak akan bertahan lama. Jangan pikirkan hal itu. Sang Tathagata memimpin manusia-manusia dengan kekuatan kebenaran. Siapa yang tahan bersungut-sungut sepanjang hari pada kekuatan kebenaran?" Kembali, apa yang dikatakan Sang Buddha menjadi kenyataan. Pada akhir hari ketujuh, orang-orang yang terlibat dalam kemarahan ini menjadi diam dan keributan-keributan pun padam. Sekarang sebelum aku ceritakan tentang berdirinya kerajaan kebenaran secara lebih mendalam, izinkanlah aku menceritakan sesuatu tentang kedua siswa yang terkenal ini, yakni Sariputta dan Moggallana. Sariputta mempunyai kebijaksanaan dan pengertian yang dalam, mempunyai mata batin yang melebihi setiap orang kecuali Sang Buddha. Dia dapat mengalahkan setiap orang dalam perdebatan jika dia mau, tetapi dia tidak suka terlibat dalam perdebatan yang tidak berguna, kecuali terhadap beberapa pertanyaan yang memang seharusnya dilayani, karena dia dan begitu juga Assaji mengetahui bahwa hal-hal yang mempunyai arti terdalam tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, melainkan hanya terungkap dengan pikiran. Seseorang dapat menemukan rahasia dari kehidupan abadi dengan memikirkan hal-hal yang fana dari semua benda-benda yang ada di dunia. Walaupun berpengetahuan luas, Sariputta tetap rendah hati dan wajahnya mirip seorang bayi yang tak berdosa. Dia mengagumi Sang Buddha seperti seorang anak kecil yang mengagumi pahlawan besar. Suatu ketika, di saat kami berada di Nalanda dan suaranya memecah kesunyian: "Guru, dengan sepenuh hati saya katakan bahwa saya pikir pada saat ini, tidak pernah ada dan tidak akan pernah ada seseorang yang lebih mulia dan bijaksana daripada dirimu." Dengan tersenyum Sang Buddha menjawab, "Betapa agung dan beraninya kata-katamu Sariputta. Apa yang kamu katakan ini benarbenar seperti raungan seekor singa. Tentu saja, karena kamu telah mengetahui mereka yang telah mencapai penerangan, semua yang suci dan bijaksana pada masa lampau dan telah kamu ketahui juga pikiran-pikiran mereka yang terdalam, sikap-sikap mereka, ajaranajaran mereka dan juga kebebasan yang telah mereka capai, bukan?" "Bukan begitu, Guru," jawab Sariputta merendah. Sang Buddha berkata dengan ironi yang halus, "Kalau demikian, tentu saja kamu telah mengetahui semua yang telah mencapai 18 Dua Siswa Utama penerangan, yang kelak di masa mendatang akan menjadi seorang suci dan bijaksana, terkenal, juga mengetahui apa yang akan ada dalam pikiran-pikiran mereka yang terdalam, sikap-sikap mereka, ajaranajaran mereka dan juga kebebasan yang akan mereka capai, bukan?" "Bukan begitu, Guru," ulang Sariputta sekali lagi seraya tersenyum. "Tetapi setidak-tidaknya, Sariputta, kamu mengetahui pikiranpikiran saya yang terdalam, sikap-sikap, ajaran-ajaran dan kebebasan yang telah saya capai, bukan?" Kami semua tertawa ketika Sariputta kembali terpaksa secara jujur menjawab, tidak! "Sariputta, berarti tidak ada pengetahuanmu mengenai penerangan, kesucian dan kebijaksanaan seseorang pada masa lalu, masa yang akan datang, atau pada masa kini. Jadi mengapa katakatamu begitu agung dan berani? Mengapa kamu meraung seperti raungan seekor singa?" "Guru," kata Sariputta, "Saya mengaku tidak mempunyai pengetahuan mengenai pikiran-pikiran seorang suci yang telah mencapai penerangan pada masa lalu, masa yang akan datang atau masa kini. Saya hanya mengetahui apa yang terkandung dalam Dhamma." "Dan itu sudah cukup untuk diketahui," jawab Sang Buddha membenarkan. "Tetapi aku juga tahu," kata Sariputta dengan berani, "Bahwa pintu gerbang untuk memasuki kota Dhamma adalah sukar untuk ditemukan, bahwa mereka yang telah mencapai penerangan, suci dan bijaksana masa lalu telah menemukannya dan begitu juga yang akan datang akan menemukannya dan saya juga tahu," dengan suara keras dia berseru, "Bahwa Sang Buddha Gautama juga telah menemukannya!" Kami tertawa dan Sang Buddha tersenyum gembira di saat gurauan ini kembali tertuju padanya. Sesudah wafatnya Sang Buddha, orang-orang yang tidak mengenalnya kadang menyatakan bahwa Sang Buddha senantiasa dihormati sehingga terkesan mengambil jarak dan jauh dari siswanya. Orang-orang yang menyatakan demikian tidak pernah menyaksikan dekatnya Sang Buddha dengan siswa-siswanya seperti saat ini. Adalah benar, terhadap yang tertawa keras dan tak terkontrol Sang Buddha berkata, "Adalah cukup menunjukkan kegembiraan dengan senyuman." Tetapi tidak ada kekakuan dalam sikap-Nya dan beliau merasa senang dengan Sariputta yang dapat membalikkan kata-kata beliau dalam senda gurau yang menyenangkan. 19 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru Kerendahan hati Sariputta terlihat dalam kesempatan ini, juga terlihat ketika untuk pertama kalinya dia bertemu dengan Punna, yang merupakan seorang budak sebelum bergabung dengan Sangha. Setelah mendengar Sang Buddha berkata bahwa Punna telah mencapai kehidupan tertinggi, Sariputta sebagai seorang brahmin mengikuti budak ini masuk ke dalam hutan, dengan sabar menunggu hingga Punna selesai bermeditasi, kemudian baru memberikan pertanyaan-pertanyaannya. Sariputta tertarik dan menunjukkan kekagumannya pada pelajaran-pelajaran yang diterangkan oleh Punna. "Dan siapa namamu, tuan yang mulia?" tanya Punna. Ketika Sariputta memberitahu Punna siapa dirinya, Punna berkata, "Ternyata saya telah berbicara dengan Sariputta tanpa tahu bahwa ia adalah Sariputta, siswa yang agung. Bila saya tahu dia adalah Sariputta, saya tentu tidak memberanikan diri untuk menerangkan pelajaranpelajaran. Namun bagaimanapun, adalah kesempatan yang berharga buat saya karena dapat berbicara dengan Sariputta, yang patut diteladani kerendahan hatinya." Sungguh, kerendahan hati Sariputta membuatnya mudah didekati, hal ini jarang didapati dari orang-orang yang berpengetahuan luas. Aku tidak ragu-ragu menceritakan masalah-masalahku dan meminta nasehatnya, dan dia selalu diikuti oleh orang-orang yang baru mulai belajar, bahkan sebelum dia dipilih untuk menjadi guru mereka. Sahabat Sariputta, Moggallana, sangat berbeda dengannya. Dia mempunyai mata batin, penglihatan kedua yang dapat mengetahui isi hati seseorang, mengetahui sesuatu yang jauh, mengunjungi alam surga dan dewa-dewa, dan aku merasa agak takut dengan kekuatan supranormalnya. Bila dia mulai tersenyum aneh berarti dari jauh dia telah melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat orang lain; aku akan menggigil bila dia menceritakan pada kami tentang penglihatannya, seperti misalnya sebuah kerangka berjalan di udara sementara burung gagak dan elang mematukinya dan ia berteriak kesakitan. Dan aku tidak merasa gembira sedikit pun ketika dari penglihatannya dia menjelaskan seorang penjual daging lembu yang menderita karena makhluk-makhluk bisu yang telah dibunuhnya itu. Kadang-kadang Moggallana digoda oleh Mara yang mengetahui minatnya tentang halhal yang berhubungan dengan alam gaib, dan sekali Sang Buddha pernah menegurnya secara tak langsung dengan menyuruh kami untuk ulet melatih meditasi dalam keheningan Arya. Mereka yang berpenglihatan kedua sering melupakan bahwa berhubungan dengan malaikat dan para dewa yang kehidupannya juga sementara seperti kita bukanlah tujuan yang sebenarnya, yakni Nirvana dan Keabadian. 20 Dua Siswa Utama Nirvana hanya dapat dicapai melalui kekosongan pikiran dari segala aspek keinginan. Kemampuan Moggallana terletak pada kekuatan penglihatan supranormalnya, tetapi dia tidak membiarkan penglihatannya menjadi gelap dari tujuan untuk mencapai Nirvana. Sering juga kekuatan-kekuatan ini besar faedahnya, seperti ketika dia menemukan ketidaksucian seseorang dalam suatu pertemuan walaupun orang tersebut telah mengenakan jubah kuning, dan dia akan membimbingnya keluar. Kadang-kadang aku merasa takut, bahwa kekaguman atas kekuatan-kekuatan Moggallana yang supranormal lah yang menarik pemuda-pemuda untuk bergabung dalam Sangha, tetapi mungkin aku salah menimbang mengingat sinar wajahnya yang agung. Moggallana bukanlah seorang pemimpin seperti Sariputta dan karenanya beliau lebih sedikit diceritakan. Selanjutnya akan aku ceritakan terlebih jauh mengenai mereka seperti yang telah aku ceritakan sebelumnya. 21 Kembali Pada Keluarga Suddhodana, ayahanda Sang Buddha, adalah raja Suku Sakya yang beribukota Kapilavatthu, beliau merasa sangat sedih ketika Pangeran Siddharta meninggalkan istana, istri dan anaknya yang masih kecil untuk pergi ke hutan dan hidup sebagai seorang pertapa; untuk mencari sesuatu yang tidak diketahui oleh raja. Suddhodana sangat sakit hatinya mendengar kabar tentang penyiksaan diri yang keras yang dilakukan putranya. Suatu hari dia mengirim seorang pengawal untuk membujuk putranya kembali dan meninggalkan perbuatan bodohnya, tetapi putranya dengan tegas menolak, terpaksa pengawalnya kembali sendirian. Beberapa tahun kemudian terdengar kabar bahwa putranya mulai menyebarkan Dhamma dan memiliki banyak pengikut. Kemudian dia mendengar bahwa putranya sedang berada di Rajagaha, ibukota kerajaan Magadha. Walaupun sangat berjauhan dari Kapilavatthu yang dipisahkan oleh sungai Gangga, rasa rindu yang besar menyelimuti dirinya untuk melihat putranya sebelum dia meninggal, kemudian dia panggil seorang menteri kepercayaannya sambil berkata, "Pergilah ke kota Rajagaha dengan beberapa pengawalmu. Beritahu putraku tentang keadaanku dalam tahun-tahun belakangan ini, dan aku sangat ingin melihatnya sebelum meninggal dunia. Mohon padanya untuk kembali ke Kapilavatthu bersamamu." Sesuai dengan perintah, menteri tersebut mengadakan perjalanan menuju Hutan Bambu di luar Rajagaha di mana banyak orang sedang mendengarkan ajaran-ajaran Sang Buddha. Untuk tidak mengganggu para pendengar, menteri tersebut berada di luar kerumunan orang dan turut mendengarkan. Segera saja dia lupa pada tujuannya begitu mendengar kata-kata kebenaran yang disabdakan Sang Buddha. Sang Buddha berbicara tidak seperti orang mulia atau brahmin lainnya. Ia bersabda dengan pernyataan yang jelas, dengan kekuatan yang tak dapat dijelaskan. Kedamaian dan kebahagiaan menyelimuti hati orangorang yang mendengarnya, dan dunia beserta kekayaan menjadi benda-benda yang tidak berharga. Menteri tersebut lupa akan pesan Suddhodana, dan ketika Sang Buddha selesai berkhotbah, dia berjalan menyeruak kerumunan tersebut dan memohon pada Sang Buddha untuk menerimanya sebagai siswa. Ketika menteri tersebut tidak kembali, Suddhodana mengirim menteri yang lain, tetapi menteri ini juga tidak pernah kembali. Kemudian Suddhodana mengirim Kaludayin yang hari kelahirannya sama dengan putranya yang juga merupakan sahabatnya. Raja memberitahu padanya tentang kedua orang menteri yang pergi dan 22 Kembali Pada Keluarga tidak kembali, dan mohon padanya untuk kembali memberi kabar walaupun kabar tersebut menyatakan bahwa putranya tidak akan pernah mau kembali. Kaludayin berjanji akan memberi kabar walaupun mungkin dia juga akan bergabung dengan Sangha. Kaludayin kemudian memang tertarik pada ajaran tersebut, tetapi dia masih tetap ingat pesan Suddhodana dan merasa kasihan padanya sebagai seorang ayah yang telah lanjut usia. Beberapa hari kemudian, dia mendekati Sang Buddha untuk menyampaikan pesan ini. Kini telah dua bulan lamanya Sang Buddha berada di Rajagaha, sejak lima bulan lalu meninggalkan Taman Rusa dekat Benares, di mana dia memberikan khotbah dhamma pada kelima siswanya yang pertama. Kaludayin menghadap Sang Buddha sambil berkata: "Musim dingin hampir berlalu. Musim panas mulai tiba. Ini adalah waktu yang tepat untuk mengadakan perjalanan melalui pinggiran desa. Alam hijau yang segar, pohon-pohon di hutan dihiasi bungabunga, jalan-jalan dipenuhi oleh wewangian bunga-bunga yang bermekaran, burung merak dengan bangga mengembangkan ekornya, burung-burung mengisi udara dengan nyanyiannya." "Untuk apa kamu memberikan gambaran yang indah tentang desa di musim semi?" tanya Sang Buddha. "Ayahandamu, Guru, sangat rindu untuk melihat Guru sebelum beliau mangkat, dan seluruh keluarga akan senang bila Guru berada di tengah-tengah mereka dan memberikan khotbah dhamma." "Baiklah kalau begitu." jawab Sang Buddha. Buru-buru Kaludayin kembali untuk menyampaikan berita baik ini pada Suddhodana. Bagi kami, memerlukan waktu enam puluh hari untuk mengadakan perjalanan dari Rajagaha di sebelah selatan ke Kapilavatthu yang terletak di kaki Gunung Himalaya. Aku akan selalu mengingat perjalanan dengan Sang Buddha dari Rajagaha menuju kota kelahirannya. Hari-hari itu adalah hari-hari yang paling menyenangkan yang pernah kualami dan lebih menyenangkan lagi bila aku mengingat dan membandingkan tahun-tahun panjang yang berlalu dengan menjemukan, yang pernah kulalui dengan perasaan dan pikiran yang buntu. Hampir pada setiap desa Sang Buddha menginap sementara di bawah naungan hutan-hutan mangga yang dingin, dan penduduk desa selalu datang mengelilinginya. Mereka berkumpul di alam terbuka, dan Hutan Mangga ini menjadi tempat yang suci. Desa-desa tampak seindah yang dilukiskan oleh Kaludayin, dan di mana saja Sang Buddha lewat di dalam perjalanannya, penduduk desa dengan bahagia berbicara padanya sambil menyalakan 23 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru dupa wangi yang aromanya bagaikan wanginya bunga-bunga pagar hidup. Terkadang petani yang dibebani dengan pekerjaan berat dan kemiskinan, datang berbicara dengan Sang Buddha dan setelah itu kekhawatiran dan kelelahan segera lenyap dari wajah-wajah mereka, dan mereka menemukan bahwa hal-hal yang mereka cemaskan tidaklah seharusnya menjadi beban pikiran, dan bahwa sebenarnya ada jalan pemecahan dari kesulitan-kesulitan mereka yang tidak mereka ketahui. Adalah menyenangkan melihat kecemasan yang lenyap dari wajah mereka begitu bertemu dengan Sang Buddha. Tetapi kebahagiaan yang terbesar dari semuanya adalah di saat berada di dekat Sang Buddha. Tibalah kami di sungai Gangga. Perahu-perahu yang biasanya digunakan untuk menyeberangkan orang telah hanyut oleh badai yang beberapa waktu yang lalu datang dengan tiba-tiba, tetapi orang-orang tersebut segera membuat rakit. Mereka menebang pohon-pohon dan ketika kami tiba mereka sedang mengikat kayu-kayu tersebut dan menutupnya dengan daun-daun dan rerumputan. Segera kami naik ke atas rakit dan menyeberangi sungai. Orang-orang tersebut mendayung dengan tangan dan kaki mereka dan memakan waktu yang lama untuk menyeberangi sungai yang luas itu. Ketika kami sampai di seberang sungai, perakit-perakit itu segera menarik rakitnya keluar dari air, meninggalkannya di tepi sungai dan melanjutkan perjalanannya. Setelah menyeberangi sungai, kami berkesempatan bertemu dengan seorang pertapa pengembara. Salah seorang siswa baru dari persaudaraan kami memulai pembicaraan dengannya, dan dari pembicaraan mereka timbul perdebatan, siswa baru tersebut dengan keras mempertahankan ajaran Dhamma yang diberikan Sang Buddha padanya dan tidak menyakini yang lainnya hingga dia kehilangan ketenangannya, akhirnya kami lega ketika pertapa pengembara itu berbalik menuju jalan kecil yang lain dan berlalu. Kedamaian pada sore hari itu menjadi lenyap akibat perdebatan mereka. Pada malam hari ketika kami mengelilingi Sang Buddha untuk mendengar Dhamma, Sang Buddha bercerita dan mengambil rakit sebagai perumpamaan. "Mungkin orang yang membuat rakit dalam usahanya mencapai pantai seberang berkata, 'Rakit ini sangat bermanfaat bagi saya. Duduk di atas rakit dan mendayung dengan kaki dan tangan, saya telah menyeberangi sungai. Sekarang saya harus menyimpannya, mengangkutnya di atas bahuku dan membawanya bersamaku.' Apa pendapat kalian tentang orang yang seperti ini?" 24 Kembali Pada Keluarga Sebagai jawabannya kami tertawa dan Sang Buddha melanjutkan, "Demikianlah saudara-saudara, Dhamma yang saya ajarkan ini. Inilah alat untukmu untuk menyeberang menuju pantai yang terjauh yakni Nirvana, alat yang membawamu menemukan kedamaian batin. Jangan terikat padanya. Bila telah kamu gunakan alat itu untuk menyeberang menuju pantai terjauh ini, tinggalkanlah dia di belakang. Jika kamu menghargainya dengan berlebihan, ia akan menjadi beban yang menghancurkan, sama halnya dengan rakit yang akan menjadi beban bagi perakit yang membawanya serta dengan meletakkannya di atas kepalanya." "Berarti kita tidak boleh meyakinkan orang lain tentang Dhamma, Guru?" tanya siswa baru tersebut. "Dhamma bukanlah ajaran yang mesti diperdebatkan," jawab Sang Buddha. "Dhamma adalah jalan kehidupan yang bebas dari kepalsuan dan penderitaan; menuju pencapaian kedamaian batin dan ketenangan. Seseorang yang telah mencapai kebebasan dan ketenangan batin tidak mempunyai teori untuk menentang teori-teori lain, tidak ada ide-ide untuk menentang ide-ide lain. Dia menyadari semua kesatuan benda-benda di dunia ini. Dia telah meninggalkan rakitnya di belakang." Kini sungai Gangga telah hilang dari pandangan dan perjalanan kami lanjutkan menuju arah utara melalui Vesali, ibukota persekutuan Suku-suku Vajji dan merupakan pulau milik bangsawan Licchavi. Kami tidak lama berada di sana, kemudian kami menuju arah barat laut melewati Devadha, pusat kota suku Koliya, suku ibunda Sang Buddha. Di sini untuk pertama kalinya kami menikmati keagungan Pegunungan Himalaya. Aku tidak pernah mengadakan perjalanan ke utara sejauh ini sebelumnya dan belum pernah melihat gunung-gunung yang penuh dengan salju abadi. Kegembiraan yang besar mengalir dalam relung-relung hatiku menikmati pemandangan ini. Begitu murni dan sempurna—benar-benar di luar jangkauanku, semurni dan sesempurna Nirvana—apakah hal ini berarti Nirvana juga di luar jangkauanku? Untuk pertama kalinya keraguan ini menyelimuti pikiranku. Keraguan yang kian mendalam. Kini kami melewati Taman Lumbini yang indah, tempat di mana Sang Buddha dilahirkan, kelahiran yang tiba sebelum ibunya mencapai kota kelahirannya, Devadha. Ada sebuah kolam bening di dekat pohon Bodhi suci. Tidak seberapa jauh tampak sekawanan lembu putih yang sedang makan rumput di padang, juga salju-salju putih Pegunungan Himalaya tampak jernih berkilauan ditimpa sinar mentari bulan April yang masih bebas dari debu musim panas yang segera akan menutupinya. Akhirnya kami sampai di Kapilavatthu, sebuah kota yang 25 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru dibentengi oleh tembok yang kokoh, dengan Sungai Rohini yang mengalir di sisinya melalui sebuah taman yang indah tempat di mana Sang Buddha bermain ketika masih remaja. Pada saat kami tiba di kota itu, sebuah kota yang jauh lebih kecil dari Rajagaha, ada laporan pada seorang raja pengemis berjubah kuning yang tidak lain adalah Pangeran Siddharta, telah memasuki kota dengan murid-muridnya yang masing-masing memegang sebuah mangkuk di antara orang-orang miskin yang tinggal di gubuk-gubuk bambu. Suddhodana menyadari kehidupan yang telah dipilih oleh Sang Buddha, yakni meminta sedekah untuk secuil makanan, tetapi bagaimanapun perasaannya tersinggung melihat putranya sedang mengemis di wilayah kerajaanya sendiri. Kemudian Kaludayin memberitahu aku bahwa raja pernah berkeinginan untuk tidak mau mengakui Sang Buddha sebagai putranya, tetapi kekuatan cinta terlalu besar. Akhirnya dia berkeputusan menemui putranya. Ketika mereka bertemu, kemarahannya menyala kembali. "Apakah perlu untuk mengemis makanan dari satu rumah ke rumah lainnya? Tidak adakah cara lain yang lebih pantas untuk memenuhi kebutuhanmu?" Sang Buddha menjawab lembut, "Ayah yang mulia, adalah layak bagi penemu kebenaran untuk menerima makanan yang diberikan padanya." Kemarahan raja agak sedikit mereda berkat kelembutan Sang Buddha, tapi dengan masih berang dia melanjutkan, "Bukankah kita tidak digariskan untuk hidup demikian sebagai pangeran Suku Sakya? Apakah pernah ada seseorang penerus marga kita yang melakukan perbuatan yang kurang terhormat ini?" "Baiklah, ayahku yang mulia," jawab Sang Buddha lebih lembut, "Tetapi saya juga digariskan sebagai bangsawan penemu kebenaran, dan jalan kehidupan dari penemu kebenaran adalah menerima makanan yang tersisa walaupun bagai seorang pengemis. Kemarahan raja luluh dan dia berkata, "Baiklah anakku, jika ini pendirianmu, biarkanlah saya memberimu makanan seperti yang lainnya." "Dengan senang hati, ayah yang mulia. Besok saya dan saudarasaudara saya akan datang ke rumah Ayah," Suddhodana sudah puas dengan pertemuan yang sesaat ini, dan kemudian mereka berpisah. Pada hari selanjutnya seluruh keluarga raja berhias diri dan mengenakan pakaian yang berkilau-kilauan dalam upacara menyambut bekas pangeran mereka dan menyiapkan makanan. Selesai acara makan raja duduk di samping putranya, tetapi tidak 26 Kembali Pada Keluarga meminta putranya untuk memberikan khotbah sebagai balasan seperti yang dilakukan oleh orang lain ketika menjamu Sang Buddha. Dia cuma duduk memandangi Sang Buddha. Sebelumnya aku tidak pernah memperhatikan betapa banyaknya kerutan di keningnya. Untuk sementara waktu aku terpana bahwa tidak ada penyesalan sedikit pun pada Sang Buddha, tetapi keterpanaanku segera lenyap ketika aku merasakan belas kasihan Sang Buddha melihat kerutan di kening ayahnya. Perlahan-lahan keheningan menyelimuti orang-orang yang ada. Kelihatannya kebahagiaan yang tidak didapatkan dari dunia ini menyelinap dalam diri mereka masing-masing. Aku dapat merasakan bahwa kepicikan dan kesulitan-kesulitan mereka menjadi lenyap. Hal ini tidak akan berlangsung lama. Di lain hari mungkin mereka dapat memecahkan persoalan-persoalan mereka, tetapi sekarang biarkanlah mereka menikmati sejenak ketenangan dan kegembiraan yang tidak didapatkan di dunia ini. Tak lama kemudian suara raja memecah keheningan ini. Ini bukanlah kata-kata yang telah dipersiapkan sebelumnya; kesombongan dan kebenciannya telah lenyap. Hanya saja masih tersirat duka dalam suaranya yang memelas. "Oh, anakku, betapa teganya dirimu membiarkan semua ini? Betapa teganya kamu meninggalkan saya sendirian untuk menanggung beban memegang kekuasaan ini? Ketika saya mendengar kedatanganmu, saya segera menemuimu. Bagaikan seorang pengembara lelah di padang pasir yang mencari mata air, lalu ia terburu-buru menuju sumber mata air, namun setibanya di sana mata air itu ternyata telah kering dan lenyap. Saya melihat putra saya memiliki gambaran yang baik di masa tuanya. Tetapi hatinya—" Suaranya melemah. "Ke mana perginya hatimu? Saya adalah orang yang kehausan akan mata air yang kering itu." Orang tua itu tidak menangis, kekecewaan dan rasa sedihnya yang dalam tak lagi dapat dilukiskan dengan air mata. Sang Buddha tidak berkata apa-apa. Semua orang tertunduk diam. Aku tahu mereka bukan sedang memikirkan raja, mereka cuma berharap bahwa kehadiran Sang Buddha yang membahagiakan ini akan berlangsung selamanya. Tak lama kemudian Sang Buddha berbicara. "Ayah, saya membawa air kehidupan yang abadi untukmu. Tetapi sebelum Ayah meminum air keabadian ini, cinta pribadi dan cinta yang bersifat memiliki harus disingkirkan. Semua keinginan harus dilenyapkan." Kesengsaraan yang terlukis di wajah tua sang raja kian mendalam. Aku mengerti bahwa dia tahu Sang Buddha berbicara tentang kebenaran, tetapi dia juga tahu bahwa Sang Buddha memintanya untuk 27 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru merelakan putranya, untuk melepaskan pikiran kolotnya tentang cinta pribadi terhadap keluarga, dan tugas-tugas seorang pangeran. Dia tidak dapat membalas pandangan Sang Buddha. Dia harus mempunyai waktu untuk memikirkan hal ini. Lalu dia bangkit meninggalkan ruangan di tengah-tengah keheningan ini. Sang Buddha juga segera bangkit dan meninggalkan ruangan. Pertemuan pun berakhir. Ketika kami melewati pintu keluar, aku mendengar orang-orang sedang berdiskusi tentang apa yang telah mereka saksikan. Bagaimana Pangeran Siddharta berada dalam suasana yang luar biasa ini? Apa maksudnya tentang air kehidupan yang abadi? Mengapa raja tidak memintanya untuk memberikan khotbah sebagaimana biasanya? Suatu hal yang penting adalah mereka semua berpendapat bahwa apa yang mereka alami ini, akan terulang lagi. Kaludayin yang selalu berada di dekat raja, memberitahu aku bahwa Sang Raja tidak dapat tidur pada malam harinya. Semua argumen-argumen tersebut selalu berputar-putar dalam pikirannya. Tentang putra yang dilatih untuk memimpin dunia, tentang kewajibankewajiban yang harus dijalankannya sejak dia dilahirkan, dan kewajiban-kewajiban tersebut telah diabaikannya. Tetapi di balik semua argumen-argumen yang bertujuan membenarkan dirinya sendiri tersebut, timbul suatu pengertian di dalam dirinya, dan esok paginya dia menyuruh Kaludayin untuk meminta Sang Buddha memberikan khotbah di kerajaan pada semua orang yang mau mendengarkan. Orang-orang telah datang berkumpul untuk mendengar khotbah Sang Buddha sebelum siang hari tiba. Mereka mengetahui sedikit sekali mengenai Pangeran Siddharta yang mengasingkan diri. Mereka mendengar bahwa dia telah menjadi seorang Buddha yang maha sempurna. Dan sekarang mereka mendengar tentang pengaruhnya yang sangat kuat pada seluruh anggota keluarga. Ketika Sang Buddha masuk, dengan serentak mereka bangkit dan menyambutnya dengan salam. Namun demikian mata Sang Buddha tetap tertunduk menunjukkan sikapnya yang rendah hati. Ketika Sang Buddha membuka suara, pengharapan menyelimuti diri mereka seperti angin yang bertiup pada hamparan padi di sawah. Suara Sang Buddha terdengar jelas seperti suara genta yang terdengar dari kejauhan, bahkan orang-orang yang berada di luar kerumunan tersebut dapat mendengar setiap kata yang diucapkannya, seolah-olah Sang Buddha berbicara langsung pada mereka. "Ini adalah rumah saya di mana saya pernah hidup penuh dengan kemewahan. Tetapi kebahagiaan tidak saya dapatkan dari kemewahan ini." Kerumunan tersebut mulai berdengung. Selama ini mereka yakin 28 Kembali Pada Keluarga bahwa jika seseorang berbuat baik dan mengabdikan diri, pada kehidupan yang akan datang akan dilahirkan di dunia ini penuh dengan benda-benda yang bagus dan mewah yang dapat membuatnya bahagia! Sekarang mereka diberitahu bahwa kebahagiaan tidak didapati dari kemewahan ini! Aku melihat mereka kembali bertanya antara satu dengan lainnya. "Tidak," Sang Buddha melanjutkan setelah membaca pikiran-pikiran mereka. "Karena perbuatan baikmu, kamu akan dilahirkan pada tingkat kehidupan yang lebih tinggi daripada kehidupanmu sekarang ini. Tetapi tidak berarti berakhirnya penderitaan, karena semua adalah dukkha. Seorang pangeran dan bangsawan juga bisa menderita sama halnya dengan seorang budak. Jika seorang pangeran menderita karena kematian anaknya, tidakkah sama penderitaannya dengan penderitaan seorang pelayan yang juga kehilangan anaknya? Semua keturunan memiliki darah dan air mata yang sama." Aku berpaling pada raja. Seperti yang lainnya dia juga merasakan bahwa pembicaraan Sang Buddha lebih ditujukan pada dirinya. Setelah beristirahat sebentar Sang Buddha melanjutkan, "Penderitaan terikat pada kelahiran dan kehidupan di dunia. Usia tua, penyakit dan kematian senantiasa mengikuti setiap kelahiran. Semuanya akan musnah. Sebagai orang muda saya melihat semua penderitaan di sekeliling saya, dan air mata saya meleleh melihat penderitaan saudara-saudara saya. Saya yakin ada jalan keluar dari penderitaan dunia yang fana ini. Jika tidak ada, maka hidup ini dipandang sebagai sesuatu yang sangat mengerikan, dan perselisihan-perselisihan tidak akan pernah dapat didamaikan. Tetapi saya telah menemukan bahwa perselisihan-perselisihan ini tidak akan pernah ada, jika jiwa kita bersih dan hati kita semua penuh dengan kebahagiaan dan kedamaian." Saat Sang Buddha mengucapkan kata "Kedamaian", pertanyaanpertanyaan mereka menjadi lenyap, suasana menjadi hening. Mereka menghayati ajaran baru ini dan merasakan dalam dirinya masingmasing rasa damai yang disampaikan oleh Sang Buddha. Beberapa lamanya Sang Buddha terdiam. "Inilah Dhamma, hukum kehidupan yang menguasai semuanya. Memerangkap diri di dalam nafsu keinginan berarti memenjarakan diri dalam duka yang berkepanjangan. Tidak terikat pada keinginankeinginan berarti bebas dari penderitaan. Hasilnya akan membawa kita ke dalam kedamaian dan kebahagiaan. Dan jalan menuju inti dari Dhamma adalah dengan memancarkan cinta kasih pada semua makhluk hidup tanpa meminta balasan dari siapapun. Bila tidak ada lagi pikiran tentang "Aku" dan "Milikku" maka telah tercipta kebaha29 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru giaan yang sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata, dan penderitaan pun telah ditinggal berakhir.... Itulah air kehidupan yang saya bawakan untuk kalian." Kemudian Sang Buddha mengajarkan mereka Empat Kesunyataan Mulia dan Delapan Jalan Utama. Sang Buddha berbicara cukup lama, tetapi tidak seorang pun merasa jemu dan menyadari waktu yang berlalu. Matahari mulai tenggelam ketika Sang Buddha mengakhiri khotbahnya dan kebahagiaan yang besar terpancar dari wajah orang-orang tersebut bagaikan sebuah lampu yang menerangi ruangan yang gelap. Suddhodana menangis terharu. Semua kesombongan, kekecewaan dan cinta pribadinya telah lenyap. Sekarang dia bagaikan seorang anak kecil yang dibimbing oleh putranya sendiri menuju jalan yang terbuka untuknya. "Dapatkah seorang raja melangkah di atas jalan itu?" tanyanya. "Semua orang dapat mengikuti jalan itu," jawab Sang Buddha. Wajah sang raja berseri penuh kebahagiaan; matanya telah terbuka dan dia telah maju selangkah, di mana dapat kita sebutkan memasuki sebuah aliran yang menuju Nirvana. ********************** Yasodara, istri Sang Buddha sebelum beliau meninggalkan keduniawian, tidak bergabung dalam keramaian tersebut untuk mendengar khotbah. Harga diri dan rasa terluka masih terasa saat dia berkata, "Dia adalah suamiku, biar dia yang datang sendiri menemuiku." Ketika untuk pertama kalinya dia mendengar suaminya memotong rambut dan mengenakan pakaian seperti seorang pengemis, tidur di atas tanah dan hanya makan sekali dalam sehari, dia juga segera menjalankan kehidupan yang sama. Tetapi hal itu mungkin dilakukan bukan karena keinginannya sendiri, mungkin di saat itu dia hanya ingin menunjukkan kesetiaannya dengan merasakan penderitaan yang dirasakan oleh suaminya, dengan demikian dia berharap suaminya akan meninggalkan pengembaraannya dan kembali padanya. Sekarang suaminya telah kembali, tetapi dia tetap belum rela merendah diri untuk menemuinya. Sang Buddha yang mengetahui apa yang ada di dalam pikiran Yasodara, berkata pada kami, "Bila bekas istri saya menemui saya dan memeluk saya sebagai tanda cinta seorang istri terhadap suaminya, maka biarkanlah dia melakukan apa yang diinginkannya." Bila Sang Buddha tidak berkata demikian, kami pasti akan mencegah dia agar 30 Kembali Pada Keluarga tidak mengganggu beliau, karena seorang wanita tidak pantas menyentuh seorang suci yang telah mengenakan jubah kuning. Hal itu terjadi seperti yang telah diduga Sang Buddha. Selesai berbicara dengan ayahnya, Sang Buddha menuju tempat tinggal Yasodara, dan Yasodara dengan kerinduan yang menyala-nyala segera menghambur memeluk Sang Buddha, dan pecahlah tangis dan tawa yang tidak dapat dibendungnya lagi. Sang Buddha berdiri mematung menunggu sampai Yasodara tenang kembali. Sekarang dia merasa menyesal tidak hadir dalam mendengarkan khotbah Sang Buddha dan dia berkata dengan perlahan: "Suamiku, berilah pelajaran untukku seperti yang telah kamu berikan pada yang lain." Lalu Sang Buddha mengajar dia seperti yang lainnya. Selesai mendengar Sang Buddha dia berkata, "Guruku yang mulia, saya akan mengikuti ajaranmu." Kemudian Yasodara melanjutkan hidup sederhananya, tetapi bukan dikarenakan harga diri seperti sebelumnya, melainkan karena rasa bahagianya, mengetahui bahwa dengan berkeinginan sedikit, dia semakin dekat dengan akhir penderitaan. Sesudah Sang Buddha menemui Yasodara, beliau bertemu dengan Nanda, putra dari ibu pengasuhnya, Pajapati. Tak lama lagi Nanda akan menikah dan telah diumumkan akan menjadi raja. Sang Buddha memintanya untuk mengambil sebuah mangkuk. Dia melakukannya. Ketika mereka keluar mereka berjumpa dengan putri bangsawan, calon istri Nanda. Dia sedang menyisir rambutnya yang panjang berkilauan. Seketika dia berhenti menyisir dan aku melihat kecemasan yang terukir di wajahnya. Suatu hari kemudian Nanda memberitahu aku bahwa ketika dia mengambil mangkuk Sang Buddha, tidak ada niatnya untuk bergabung dalam persaudaraan kami, tetapi ketika dia sampai di rumah, kedamaian mengisi hatinya. Kehidupan sebagai seorang raja tidak lagi menarik perhatiannya. Dia tinggal bersama Guru dan pada hari ketiga memohon untuk ditabhiskan menjadi siswa. Yasodara, yang mendengar pentabhisan Nanda, segera mengenakan baju kebesaran pada putranya Rahula dan menunjuk Sang Buddha sambil berkata, "Anakku, orang suci yang ada di sana adalah ayahmu. Temuilah dia dan mintalah warisan padanya." Saat itu Rahula hanya berumur delapan tahun dan tidak mengerti arti ucapan ibunya yang begitu dalam, dan ucapan ini bukan karena untuk membalas sakit hatinya karena ditinggalkan suaminya yang paling dicintainya ini. Bahkan dia mengikuti jalan hidup suaminya, 31 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru sekarang dia mengirim putranya dengan harapan akan menerima sesuatu yang paling berharga daripada pemberian lainnya. Rahula menghadap Sang Buddha dengan ketenangan dan kepolosannya sebagai seorang anak kecil dan menyampaikan apa yang telah diucapkan Sang Ibu padanya. Sang Buddha memandangnya lama tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Rahula masih terlalu kecil untuk meninggalkan kehidupan duniawi. Kemudian Rahula dengan penuh keyakinan dan cinta kasih menatap ayahnya sambil berkata, "Sudah merupakan kebahagiaan yang tiada taranya bila dapat menjadi bayanganmu, yang termulia." Keraguan Sang Buddha menjadi lenyap dan beliau berkata, "Baiklah anakku, saya akan memberikan warisan kepadamu, kamu mendapat bagian-bagian yang baik yang saya dapatkan di bawah Pohon Bodhi ketika saya mencapai penerangan sempurna." Sang Buddha berpaling pada Sariputta dan berkata, "Biarkan dia ditabhiskan." Kemudian Rahula menjadi murid Sariputta yang mengajarkan Dhamma yang dapat diterima sesuai dengan umurnya. Ketika Suddhodana mendengar Nanda dan Rahula telah mengenakan jubah kuning dan meninggalkan kehidupan duniawi, dia benar-benar sedih. Lalu dia menjumpai Sang Buddha dan berkata, "Ketika saya mendengar Nanda telah pergi, saya masih bisa menghibur diri sendiri walaupun telah kehilangan dua putra, mengingat saya masih mempunyai seorang cucu. Tetapi dia kini juga telah meninggalkan saya dan garis keturunan sebagai pangeran telah putus. Cintaku terhadap seorang anak menggerogoti kulitku, daging bahkan ke dalam tulang sumsumku. Aku tahu bahwa perkataanmu tentang cinta pribadi adalah benar, tetapi itu adalah perjanjian yang sukar untuk dipenuhi, dan saya mohon padamu, anakku, yang kini menjadi Guruku, seharusnya mulai sekarang engkau mengumumkan bahwa pentabhisan tidak akan dilakukan tanpa persetujuan orang tuanya." Sang Buddha setuju dan kemudian benar-benar membuat peraturan seperti yang diajukan oleh ayahnya. Raja mengucapkan terima kasih dan berlalu. Tiba saatnya diadakan rapat keluarga untuk memilih pengganti Raja. Dalam perundingan diputuskan bahwa Bhaddiya, saudara sepupu Sang Buddha, yang menggantikan kedudukan Suddhodana sebagai pemimpin Suku Sakya. Kemudian Suddhodana menjalankan Dhamma dengan sungguh-sungguh seperti yang telah diajarkan Sang Buddha kepadanya. 32 Kunjungan Kedua ke Rajagaha Maha Kassapa-Anathapindika-Khema Setelah merasa cukup lama tinggal di Kapilavatthu, Sang Buddha kemudian melanjutkan perjalanannya kembali ke Rajagaha. Aku tidak bergabung dengan Sang Buddha dan menjadi sedih karenanya. Aku tahu bahwa setiap orang harus bisa berdiri sendiri dan tidak bergantung pada siapa pun untuk menyelamatkan dirinya. Tetapi aku kini jauh dari Sang Buddha, sungguh, ini bukanlah hal yang mudah. Setelah Sang Buddha wafat, dikhabarkan bahwa semua siswa pertamanya mencapai penerangan sempurna dalam selang waktu beberapa bulan. Tetapi pernyataan itu tidaklah mutlak benar. Sebagaimana yang sering disabdakan Sang Buddha, "Kemajuan itu dicapai secara perlahan-lahan. Dhamma ibarat sebuah samudera yang luas. Kedalamannya terbentuk secara perlahan-lahan, kelandaiannya terbentuk oleh satu cekungan diikuti cekungan berikutnya, bukan terbentuk secara tiba-tiba oleh jatuhnya sebuah karang yang tajam. Demikian juga Dhamma ini, tidak ada penembusan akan kebijaksanaan secara tiba-tiba." Saat rintangan dan kesulitan mulai mengelilingiku, aku benarbenar menyadari kebenaran akan sabda Sang Buddha di atas. Walaupun demikian, di sini, aku tidak bermaksud untuk menceritakan apa yang kulakukan, kecuali telah sejauh mana mereka menyebarkan Dhamma, dan aku juga bukan akan menceritakan salah satu dari mereka. Yang ingin kuceritakan adalah tentang apa yang terjadi pada Sang Buddha setelah beliau meninggalkan Kapilavatthu, dan juga mengenai tiga orang termasyur yang menjadi siswa-Nya pada saat kunjungan kedua Sang Buddha ke Rajagaha. Sebelum tiba di Rajagaha, Sang Buddha melewati kota Nalanda, di mana dapat dilihat bukit-bukit yang mengelilingi Rajagaha, Sang Buddha keluar dari jalan besar dan berjalan menuju tempat suci di tepi jalan untuk bermeditasi. Di sinilah Kassapa, yang kemudian dikenal sebagai Maha Kassapa, atau Kassapa Agung, datang menghadap Sang Buddha. Maha Kassapa, yang mengadakan Sidang Sangha setelah wafatnya Sang Buddha, tidaklah sama dengan Kassapa dari Uruvela, yang pernah menyatakan dirinya sebagai orang yang paling mulia. Kehidupan Maha Kassapa di masa lalu berjalan tidak sebagaimana lazimnya. Dia adalah putra sebuah keluarga Brahmin. Sebelumnya dia menganut ajaran lain, yang dianggapnya baik. Namun dia selalu menegaskan bahwa setelah memotong rambut dan janggutnya, dia hanya mengenal Sang Buddha Gautama sebagai gurunya. Dia 33 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru memberitahu kami bahwa, bahkan sebelum menjadi seorang yang berkeluarga, dia telah mempunyai pandangan bahwa hidup berkeluarga bakal dipenuhi oleh hal-hal yang jauh dari kesucian, dan tidaklah mudah bagi seseorang yang berkeluarga untuk tetap hidup suci dan bercahaya, sebagaimana kehidupan seorang Brahma, tinggal di alam terbuka adalah jalan terbaik untuk mencapai pembebasan dari hal-hal yang bersifat duniawi. Oleh karena itu dia kemudian memutuskan untuk tidak menikah dan meninggalkan kehidupan duniawi. Ibunya, berpendapat sebaliknya, dengan agak bermuslihat, dia mengharuskan Kassapa menikah dengan seorang gadis bernama Bhadda dari Kapila. Rupanya Bhadda juga sudah memutuskan untuk tidak menikah dan meninggalkan kehidupan duniawi. Karena mempunyai tujuan yang sama, mereka kemudian tidur dengan dipisahkan oleh sebuah untaian bunga, sehingga perkawinan mereka tidak pernah sempurna. Setelah ibu Kassapa meninggal, mereka segera memotong rambutnya masingmasing, dan bersama-sama berangkat untuk meninggalkan kehidupan duniawi, mereka kemudian berpisah di persimpangan jalan. Lima tahun lamanya Bhadda mencari kebijaksanaan sebelum kemudian ditabhiskan menjadi siswa, tetapi Kassapa langsung menjadi siswa tak lama setelah meninggalkan rumah. Kassapa berulang kali menceritakan saat pertemuannya dengan Sang Buddha di antara Nalanda dan Rajagaha. Dia menghadap Sang Buddha yang sedang duduk di sebuah tempat suci di tepi jalan. Segera dia bersujud dan menyatakan keinginannya untuk menjadi siswa. Sang Buddha menerimanya. Kemudian, seperti yang telah ditetapkan, selama tujuh hari Kassapa hidup dengan meminta sedekah. Pada hari ke delapan, dia berkata telah memiliki kebijaksanaan. Pada hari selanjutnya, ketika dia melihat Sang Buddha melintasi jalan untuk bermeditasi di bawah pohon, segera dia menebarkan jubahnya dan mempersilahkan Sang Buddha duduk di atasnya agar terasa lebih lembut dan menyenangkan. Sang Buddha menyambut keramahannya sambil berkata, "Sungguh nyaman, Kassapa, duduk di atas jubahmu." Kassapa tidak menyadari bahwa perkataan ini adalah sebuah teguran halus dan dengan riang dia berkata, "Guru, berkenankah Guru menerima jubah lembut ini sebagai hadiah?" Kegembiraan Kassapa tak terkirakan ketika Sang Buddha menjawab bahwa beliau menerimanya dan menambahkan, "Kassapa, bersediakah engkau memakai jubah tambalan saya yang kasar ini?" Kassapa menjawab, "Saya sangat mendambakannya, Yang Mulia, memakai jubah tambalan orang suci." 34 Kunjungan Kedua ke Rajagaha Lalu dia memberi jubahnya yang lembut pada Sang Buddha dan dengan penuh kegembiraan dia menerima jubah tambalan Sang Buddha. Seterusnya Kassapa tidak memakai jubah lain selain jubah yang terbuat dari kain yang kasar ini. Kami tahu bahwa Sang Buddha pasti tersenyum melihat kegembiraan Kassapa, tetapi Kassapa adalah orang yang tidak mempunyai rasa humor sehingga ia selalu menceritakan masalah ini, menyombongkan bagaimana kejadiannya hingga Sang Tathagata telah bertukar jubah dengannya, dan bagaimana dia menjadi putranya yang sebenarnya, dan merupakan pewaris Dhamma. Kassapa juga menyombongkan bagaimana dia dapat mencapai jhana keempat dari meditasi dan mempunyai kekuatan supranormal, bahwa dia dapat bebas dari Asava kehidupan duniawi, bahwa dia tidak dapat menyembunyikan semua pencapaian melebihi seekor gajah yang tingginya sembilan kubit yang dapat disembunyikan oleh sepucuk daun palem. Kassapa kurang disenangi dalam persaudaraan, tetapi tidak seorang pun yang mengingkari kesempurnaan pertapaannya dan ketidakpeduliannya terhadap kesenangan fisik. Suatu hari dia memperoleh makanan dari seorang yang berpenyakit kusta dan memakan makanan yang diberikannya, walaupun dia melihat jari tangan si pemberi makanan rusak dan putus sewaktu menuangkan makanan ke dalam mangkuknya. Tetapi praktek penyiksaan diri sebenarnya memang tidak pernah menjadi tujuan utamanya walaupun ia sering berkata bahwa ia tidak lagi perduli dengan segala kesenangan duniawi, dan ada sedikit sifat keras kepalanya yang khas akan pandangannya itu. Kassapa tidak pernah mau mengakui kekasarannya, dan ada garis kekejaman dalam sikapnya menghadapi semua ini. Dia telah sangat meremehkan godaan-godaan yang biasanya selalu menyerang manusia-manusia dan tidak ada rasa simpatinya sedikitpun terhadap orang-orang yang lemah terhadap godaan-godaan itu. Tidak ada sedikit pun rasa belas kasihannya terhadap umat manusia yang dianggap awam itu. Namun demikian secara alamiah, dia memang memiliki pengertian-pengertian yang mendalam kecuali dalam hal mengendalikan dirinya sendiri. Dia paling senang tinggal sendirian di dalam hutan atau memanjat karang curam dengan lincah seperti seekor rusa untuk bermeditasi di tempat yang tinggi dan sunyi. Otot-ototnya menjadi kencang seperti lembaran kulit dan dia tidak pernah mengenal lelah dalam perjalanan dan pendakiannya. Semua makhluk-makhluk yang buas dikenalnya; lolongan binatang-binatang yang tinggal di puncak bukit, rumah-rumah penggembala, tingkah laku kera berwajah putih dan rusa yang pemalu. Dia tahu kapan pohon apel akan berbunga dan kapan bunga-bunga iris 35 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru akan bermekaran di sepanjang aliran sungai. Jeritan anjing-anjing hutan pada malam hari bukanlah suatu pertanda kemuraman baginya. Dia hidup bersama makhluk hidup di alam ini. Tetapi dia tidak tinggal bersama manusia. Bila dia berada di lingkungan manusia, kebisuannya yang panjang terasa mengerikan, dan bila diberi kesempatan berbicara, dia akan berbicara terutama mengenai dirinya sendiri dan kesempurnaannya. Tetapi pembicaraannya tetap didengar dan dihormati mengingat perjuangannya yang keras dan kesuciannya seperti apa yang telah dibicarakannya secara panjang lebar. Setelah pertemuannya dengan Sang Buddha, Maha Kassapa mengikuti Sang Buddha kembali ke Rajagaha di mana dia menginap di Veluvana atau Hutan Bambu yang diberikan oleh Raja Bimbisara pada Sangha pada kunjungan yang terdahulu. Banyak orang yang menunggu kedatangan Sang Buddha di sana, baik yang kaya maupun yang miskin. Di antara sekian banyak orang kaya tersebut terdapat seorang pedagang besar dari Rajagaha yang menikah dengan adik perempuan Anathapindhika, seorang pedagang besar dari kota Savatthi, yang terletak di sebelah barat tempat kelahiran Sang Buddha. Anathapindika dari Savatthi terkenal sebagai penolong anak yatim piatu dan orangorang yang melarat, karena itu orang-orang yang memerlukan bantuan selalu datang padanya. Hatinya sebesar kekayaannya dan tidak terbatas kemurahan hatinya. Semua orang mendoakannya dan memberitahukan padanya bahwa dia akan dilahirkan kembali di alam sorga. Tetapi dia sendiri tidak merasa puas. Suatu saat ia pernah memberitahu aku bahwa di masa jayanya dulu dia pernah merasa telah kehilangan sesuatu. Pada waktu itu, dia datang menjenguk adik dan iparnya untuk urusan bisnis atau untuk keperluan lainnya, dan tiba di Rajagaha bersamaan waktunya dengan kehadiran Sang Buddha yang tinggal di hutan Bambu. Ke manapun Anathapindika pergi, biasanya orang-orang segera menghentikan pekerjaan yang sedang dilakukan dan menyambutnya sebagai tamu terhormat, tetapi pada saat itu adik iparnya hampir tidak melihat kedatangannya, ia tetap melanjutkan memberikan petunjuk-petunjuk pada pelayannya dan kelihatannya seperti akan diadakan pesta besar. Di ruangan utama tampak pelayanpelayannya sedang menuang cairan rabuk sapi yang segar di lantai supaya kelihatan bersih mengkilat. Di dapur adik iparnya berkata pada pelayan-pelayannya, "Sekarang, beras dicuci sebersih mungkin sampai tidak ada sebutir pun yang kotor, memasaknya jangan terlalu basah atau kering, gulainya jangan terlalu pedas dan rasa dagingnya harus seperti yang dihidangkan pada Raja." 36 Kunjungan Kedua ke Rajagaha Anathapindika berkata dalam hatinya sendiri, "Sungguh aneh tingkah laku iparku ini! Biasanya dia akan menghentikan semua pekerjaannya dan menyambutku dengan ramah tamah, tetapi sekarang dia tampak acuh dan begitu sibuk memberikan petunjuk-petunjuk pada pelayannya. Apa artinya semua ini? Apakah dia sedang menyiapkan sebuah pesta perkawinan untukku, atau sedang mempersiapkan sebuah upacara pengorbanan yang besar, atau mungkin dia mengundang Raja Bimbisara dan semua negarawan untuk pesta perjamuan besok." Anathapindika menunggu sampai adik iparnya ini selesai memberi petunjuk-petunjuknya dan kemudian mendekatinya sambil menceritakan pikiran-pikiran apa yang tadi timbul dalam benaknya. "Tidak," jawab adik iparnya, "Itu semua bukan merupakan tujuanku menyiapkan pesta besar ini. Tetapi ini mungkin bisa dianggap sebagai perjamuan yang besar, aku mengundang Sang Buddha dan siswa-siswanya untuk perjamuan besok." "Apa! seorang Buddha! Seorang Maha Sempurna, Maha Suci, katamu?" Anathapindika kurang percaya pada pendengarannya sendiri. "Ya, Sang Buddha kataku," ulang adik iparnya. Anathapindika masih tidak percaya. Dia mengulang pertanyaannya untuk kedua kalinya dan mendapat jawaban yang sama. Kemudian dia berkata: "Seorang Buddha! mendengar kata ini saja jarang sekali, tetapi sekarang seorang Buddha benar-benar ada di kota ini! Apakah mungkin aku dapat menemui orang yang telah mencapai penerangan sempurna itu?" "Ya, bisa saja, tetapi sekarang bukan waktu yang tepat. Tunggulah sampai besok." "Anathapindika tidur pada malam itu dengan pikiran-pikiran akan esok pagi, di mana ia akan benar-benar melihat seorang Buddha dengan mata kepalanya sendiri. Dia tidak dapat tidur membayangkan keajaiban ini. Dua kali ia terbangun dan dikiranya hari telah fajar, ternyata belum. Ketika ia terbangun untuk ketiga kalinya, dia melihat cahaya remang-remang, dan dengan segera ia menuju Hutan Bambu. Ketika ia memasuki hutan, cahaya itu menjadi hilang, mungkin karena cahaya rembulan tertutup awan, tetapi pada saat itu ia tak dapat lagi mencari penjelasan seperti itu. Cahaya yang hilang baginya berarti akan terjadi bencana besar. Dia harap pikiran buruknya ini dapat segera lenyap. Dia mulai takut dan gemetar, dia sudah hampir berbalik, tetapi tiba-tiba terdengar suatu suara yang seakan-akan berkata: 37 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru "Maju terus, tuan, maju terus. Lebih baik maju terus daripada kembali. Beratus-ratus gajah, kuda, kereta perang dan beratus ribu kotak permata adalah kekayaan yang tidak ada harganya dibanding langkah menuju tujuan akhir." Kemudian fajar menyingsing dan ketakutannya pun lenyap. Dia meneruskan langkahnya tanpa takut menuju hutan bambu di mana Sang Buddha sedang berjalan-jalan menikmati udara pagi yang segar. Sang Buddha melihat kedatangan Anathapindika dari jauh, dan segera duduk, ketika Anathapindika mendekat Sang Buddha memanggilnya "Sudatta," nama panggilannya yang hanya diketahui beberapa orang. Kegembiraan Anathapindika jauh lebih besar daripada yang diperkirakannya. Dia bersujud di kaki Sang Buddha dan membersihkan debu-debu yang melekat di kaki-Nya. Ketika dia bangkit, Sang Buddha berkata padanya: "Apa tujuanmu datang sepagi ini, saat kebanyakan orang-orang yang aktif sepertimu masih terlelap?" "Pembebasan!" jawab Anathapindika. Sepanjang hidupku aku memberikan derma pada orang lain. Kini aku meminta derma untuk diriku sendiri. Aku mencari berkah dari Nirvana, kedamaian abadi." "Apakah engkau belum puas dilahirkan d alam surga yang tertinggi berkat perbuatan-perbuatan baikmu ini?" "Itulah yang saya tidak mengerti, Guru. Untuk mengetahuinyalah maka saya datang pada Guru." "Kebimbanganmu adalah benar, Sudatta," kata Sang Buddha. "Semua jalan kehidupan dapat dijadikan alat menuju kebebasan dan kedamaian. Tetapi hanya jika dipenuhi satu kondisi." Sang Buddha berhenti sejenak. "Kondisi apa, Guru?" tanya Anthapindika tidak sabar. "Mereka tidak dinodai oleh pikiran akan diri sendiri. Itu bukanlah hanya sekedar menyingkirkan semua kekayaanmu. Jika masih ada pikiran tentang diri sendiri, maka itu akan menghancurkan cita-citamu. Pikiran-pikiran akan diri sendiri merupakan penghalang tujuan yang tertinggi sekalipun, seperti abu yang menyembunyikan api, kaki akan terbakar bila menginjaknya." "Tetapi Guru, saya telah membuang pikiran tentang kebutuhan, kesenangan dan hartaku." "Tidak adakah dalam pikiranmu, Sudatta, keinginan untuk dilahirkan di alam sorga yang bahagia?" Anathapindika terdiam seketika. Dia berpikir sejenak, dan kemudian melanjutkan: "Saya mempunyai pikiran-pikiran seperti itu, Guru." 38 Kunjungan Kedua ke Rajagaha "Perbuatan yang baik akan membawamu lahir di alam surga," kata Sang Buddha lembut, "Tetapi alam surga dan kehidupan di antara dewa-dewa bukanlah Nirvana. Orang-orang yang hidup di surga hanya sementara. Mereka adalah subyek yang bisa berubah, sakit dan mati, ya, berarti penderitaan juga. Nirvana, kedamaian yang tidak dapat dilukiskan, tidak akan pernah berubah, lapuk dan mati, dan itu dapat ditemukan di sini baik sekarang maupun nanti." "Bagaimana, Guru, bagaimana?" tanya Anathapindika tidak sabar seperti ketidak sabarannya menunggu fajar yang menyingsing, tetapi dia jauh lebih tidak sabar lagi untuk segera mempelajari sinar fajar dari Nirvana. "Ketidakpentingan akan diri sendiri yang akan membawamu ke sana," jawab Sang Buddha. "Jika kamu berlindung pada Dhamma, kamu harus melenyapkan semua keinginan-keinginan untuk hidup bahagia baik di alam ini maupun sesudah meninggal, bahkan juga melenyapkan keinginan untuk berbuat baik." "Tetapi bagaimana mungkin saya melepaskan diri dari keinginankeinginan tersebut, terutama keinginan untuk berbuat baik?" tanya Anathapindika bertubi-tubi. "Berhentilah mendengar doa-doa yang dipanjatkan orang-orang untukmu, Sudatta. Berhenti berpikir bahwa perbuatan-perbuatan baikmu akan membawa pahala yang baik, dan lakukanlah perbuatan-perbuatan baik dikarenakan engkau merasa itu adalah tugasmu seperti misalnya membersihkan jalan, itu adalah salah satu pekerjaan yang mulia. Engkau harus memulainya dengan tidak terlalu banyak melakukan perbuatan-perbuatan baik; lakukan dalam proporsi yang kecil sebagai pengabdian pada Dhamma." "Sangat sukar untuk dilakukan," jawab Anathapindika. "Adalah sukar untuk mendengar kata-kata orang lain bila aku memberi sedikit daripada yang biasanya aku berikan." "Itu tidak menjadi masalah," jawab Sang Buddha. "Hanya perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan dengan tidak mengharap imbalan yang akan bertahan lama, karena hanya perbuatan tanpa mementingkan diri sendiri yang dapat menyebarkan berkah Dhamma, dan berkah Dhamma adalah berkah termulia." "Saya masih belum mengerti, Guru, bagaimana saya dapat memberikan berkah Dhamma pada orang miskin yang kelaparan." "Memang tidak dapat," jawab Sang Buddha. "Lapar adalah penderitaan yang menyedihkan, dan otak seseorang yang kelaparan tidak dapat menerima apa pun kecuali makanan. Tetapi apa gunanya makanan yang membuat hidupnya bertahan terus di dunia yang penuh dengan penderitaan yang tidak putus-putusnya? Makanan saja tidak 39 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru akan dapat melepaskan penderitaannya yang terikat dalam siklus kehidupan dan kematian. Makanan akan membuatnya bertahan selamanya hanya jika diberikan oleh seseorang yang sama sekali tidak mementingkan diri sendiri. Kemudian, baik mengajar dengan kata-kata maupun tidak, dia akan tampak bercahaya dalam sinar Dhamma dan melalui dirinya seseorang ditolong untuk memperoleh seberkas penglihatan akan Bukan-Diri, yang merupakan Diri yang sebenarnya, dalam pengetahuan akan keabadian, dan akhir dari segala penderitaan." Anathapindika terdiam beberapa lama, menghayati kata-kata Sang Buddha. Kemudian dia bangkit dan mengibaskan debu-debu yang melekat di telapak kakinya, sambil berkata: "Saya akan melakukan apa yang Guru katakan. Tetapi maukah Guru dan saudara-saudara makan bersamaku besok dan mengajarkan jalan kebenaran padaku?" Sang Buddha tersenyum dan mengangguk setuju, dan Anathapindika pun berlalu. Ketika adik iparnya mendengar bahwa Anthapindika akan menjamu Sang Buddha besok, ia segera menawarkan jasanya untuk mempersiapkan segala sesuatu, mengingat Anathapindika adalah tamu di kota tersebut. Raja Bimbisara dan pejabat-pejabat lainnya juga menawarkan hal yang sama. Tetapi Anathapindika tidak ingin merepotkan orang lain. Dia sendiri yang mempersiapkan makanan, dan ketika Sang Buddha dan murid-muridnya tiba, dia melayani mereka dengan tangannya sendiri. Selesai acara makan, dia meminta Sang Buddha untuk menghabiskan musim hujan di Savatthi. "Savatthi adalah kota besar," jawab Sang Buddha, "dan untuk mencapai jalan kebenaran lebih tepat di tempat yang sunyi." "Aku mengerti, Guru, semuanya itu akan diatur secara tepat." Kini Anathapindika mempunyai banyak teman dan kenalan di Rajagaha dan mereka sangat senang berkenalan dengannya, tapi kadang-kadang sebelum dia menyelesaikan bisnisnya di sana, dia kembali ke Savatthi di mana dia dapat belajar dalam kesunyian tentang arti pengorbanan, bukan tentang kekayaan, melainkan tentang dirinya sendiri dan keinginannya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Bila dia menderma, dia berikan dengan penghormatan, yakni membuat dirinya lebih rendah dari orang yang ditolongnya, dengan demikian, secara tidak langsung di samping makanan, dia juga memberikan berkah Dhamma, pemberian yang termulia. Dia juga tahu bahwa hanya karena rasa cintanya maka orang-orang yang kelaparan akan memaafkannya atas nasi yang ia berikan. 40 Kunjungan Kedua ke Rajagaha Orang terkemuka lain yang berubah tabiatnya pada kunjungan Sang Buddha yang kedua di Rajagaha adalah Ratu Khema, istri Raja Bimbisara. Dia Sangat suka menonjolkan kecantikannya, dan takut bahwa Sang Buddha akan menghukumnya karena kesombongannnya, jadi dia tidak mau menemui Sang Buddha. Aku tidak tahu pasti bagaimana raja membujuknya hingga secara tidak sadar dia mau menemui Sang Buddha. Ketika dia duduk di dekat Sang Buddha, datang suatu bayangan wanita tua berkeriput dan jelek padanya dan dia sadar itu adalah dirinya sendiri yang akan berubah seperti itu kelak. Melihat bayangan tersebut, dia merasa bahwa segala sesuatu adalah tidak kekal dan akan mati. Kemudian dia mendengarkan ajaran Sang Buddha, melihat dengan mata kebenaran yang suci dan tak ternoda, dan memasuki arus yang mengalir menuju Nirvana. Pada saat itu, persaudaraan bhikkhuni belum terbentuk, tetapi Khema memperoleh izin dari suaminya untuk meninggalkan istana dan dia menjadi guru pengembara dan penyebar Dhamma seperti yang lainnya, terutama terhadap kaum Nigantha, dengan penuh kebijaksanaan dan kepandaiannya berbicara dia menyebarkan Dharma. Tepat pada waktunya, sendirian berada di tempat yang sunyi dia mencapai penerangan sempurna dan terkenal sebagai seorang suci yang bijaksana. Sang Buddha tidak langsung menuju Savatthi ketika meninggalkan Rajagaha setelah melakukan pembicaraan dengan Ratu Khema. Sebelum memenuhi undangan Anathapindika, Sang Buddha memutuskan untuk kembali ke Kapilavatthu, untuk menemui ayahnya yang sudah mendekati ajalnya, di samping juga untuk menguatkan Kerajaan Kebenaran pada orang-orangnya sendiri, suku Sakya. Maha Kassapa tetap tinggal di Rajagaha dan melakukan perjalanan melalui Magadha. Ada rentang waktu yang cukup lama sebelum aku bertemu dengan seseorang yang kelak menjadi pemimpin persaudaraan para bhikkhu setelah wafatnya Sang Buddha. 41 Bangsawan-Bangsawan Suku Sakya Menjadi Anggota Sangha Ketika Sang Buddha kembali ke Kapilavatthu untuk kedua kalinya, desa-desa sedang dilanda kekeringan. Air Sungai Rohini yang mengairi sawah-sawah tidak mencukupi, hingga banyak padi yang baru tumbuh menjadi mati. Kini sungai Rohini memisahkan daerah Suku Sakya dengan daerah Suku Koliya, suku ibunda Sang Buddha. Masing-masing suku mengumumkan haknya untuk memiliki air sungai sepenuhnya dan hanya untuk mengairi sawahnya sendiri. Amarah mereka membludak bagaikan nyala api hutan yang terbakar dan raja mereka masing-masing menyatakan angkat senjata dan siap perang. Ketika Sang Buddha mendekat, tampak olehnya kilatan senjata mereka, dan dengan mata batin Sang Buddha sudah tahu apa penyebab pertengkaran tersebut. Sang Buddha merasa kasihan dengan kebutaan dan kebodohan mereka, lantas beliau mempercepat langkahnya untuk sampai ke tujuan, sebelum mereka membunuh satu sama lainnya. Kedua pihak yang bermusuhan pada saat yang bersamaan melihat kedatangan Sang Buddha, ini mungkin dikarenakan pancaran cahaya kedamaian Sang Buddha. Mereka menunda pertempuran sampai Sang Buddha tiba, berdiri di tepi sungai Rohini, berkata pada pemimpin mereka. "Pangeran-pangeran dan prajurit-prajurit! Mana yang lebih berharga, setetes air atau nyawa orang banyak—nyawa para pangeran dan orang mulia?" "Nyawa orang banyak," jawab mereka, "Terutama nyawa para pangeran dan orang-orang mulia !" "Maka dari itu," jawab Sang Buddha, "Singkirkan semua kemarahanmu; buang senjata-senjatamu yang dapat mengakibatkan pembinasaan; taklukkan kemarahanmu; kembangkanlah cinta kasih sesama. Maka kalian akan menemukan cara terbaik untuk membagi air ini sama rata, dan hiduplah dalam damai." Selalu saja kebencian dan kemarahan menjadi lenyap berkat kehadiran Sang Buddha dan nasehat-nasehatnya yang bijaksana. Sungguh mereka heran bahwa sebelumnya mereka tidak berpikir tentang masalah ini. Mereka menyingkirkan senjata-senjata dan para pemimpin mereka mengadakan perundingan satu sama lain bagaimana air sungai Rohini dapat digunakan secara bersama-sama mengairi sawah mereka. 42 Bangsawan-Bangsawan Sakya Selesai pencegahan perang ini, Sang Buddha berangkat menemui ayahnya, Suddhodana yang sudah mendekati ajalnya. Sang Buddha berbicara padanya tentang hal-hal yang fana di dunia ini dan jalan menuju kehidupan abadi. Dan Raja meninggal dengan mencapai kebahagiaan abadi. Pajapati, istri Raja yang merupakan pengasuh Sang Buddha setelah kematian ibu kandungnya, meminta izin Sang Buddha agar ia dapat memotong rambutnya dan meninggalkan kehidupan berkeluarga. Tetapi Sang Buddha menolak permintaannya mengingat sudah tiga orang dari keluarganya yang meninggalkan rumah. Mengenai Pajapati, akan aku ceritakan lebih lanjut nantinya. Pangeran Bhaddiya yang sekarang menjadi Raja Suku Sakya, menganjurkan rakyatnya untuk mendengar ajaran Sang Buddha, sehingga kabar baik tentang jalan mengakhiri penderitaan tersebar jauh dan luas pada saat kunjungan Sang Buddha ke tempat asalnya yang kedua kalinya. Sungguh, sampai-sampai ada anggapan bahwa adalah sesuatu yang memalukan jika pada suatu keluarga besar tidak ada seorang pun yang memakai jubah kuning. Hal itu terlihat ketika kami dijamu oleh keluarga-keluarga bangsawan di kerajaan tersebut. Kini aku tak tahu apakah karena perputaran waktu atau karena berhubungan kembali pada bentuk kehidupanku yang lalu, aku menemukan bahwa jalan menuju kebebasan tak lagi membawa kebahagiaan sebagaimana yang kuketahui sebelum Sang Buddha mengadakan perjalanan ke Rajagaha untuk yang kedua kalinya, yang mana ketika itu aku tetap tinggal di Kapilavatthu. Tahun pertama masa itu, adalah saat yang penuh siraman cahaya mentari dan kebahagiaan. Sang Buddha membuka suatu pandangan padaku tentang cinta kasih yang tidak terikat oleh diri, dan kasih persahabatan adalah suatu kekuatan gaib yang dapat mengubah benda-benda menjadi emas murni. Segala sesuatu tampak hidup dalam suatu kehidupan baru yang penuh kebahagiaan. Jika terkadang aku keluar dari jalan tersebut maka dengan segera suatu pandangan atau isyarat Sang Buddha akan memanggilku kembali, dalam hidup tanpa berkeluarga dan lepas-lepas dari keterikatan duniawi, aku menemukan kebahagiaan yang tak terkira, kebahagiaanku sulit terlukiskan, di luar kehidupan dan keterikatan duniawi. Tetapi kini aku menyadari bahwa walaupun dari luar kelihatannya kehidupan duniawi telah kulepaskan, namun sebenarnya dalam hatiku pelepasan itu masihlah belum sepenuhnya dan bahwa cinta kasih dan pengertian yang sempurna hanya dapat ditemukan jika ada pelepasan yang menyeluruh akan diri dan tak terpengaruh oleh semua benda di 43 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru dunia ini. Pada waktu yang sama, kerinduan akan kesenangan duniawi yang paling aku sukai begitu hebat menggerogoti jiwaku. Ini bukanlah nafsu birahi, yang sering menyerang anggota persaudaraan yang muda. Aku menikah pada usia muda karena mengikuti adat istiadat, tetapi mengenai nafsu ini aku hampir tidak tahu apa-apa. Nafsuku, kerinduanku hanya pada musik. Aku teringat saat seorang sahabatku kehilangan pendengarannya, aku berpikir sendiri bahwa aku tidak akan pernah dapat memikul penderitaan atas kekejaman takdir itu. Setelah menjadi siswa Sang Buddha, tentu saja aku berhenti menghadiri acara dansa, drama dan pertunjukan-pertunjukan lainnya yang diringi musik. Tetapi walaupun aku berhenti menikmati musik, musik tersebut selalu mengelilingiku di mana-mana, dan aku masih senang menikmatinya dan bersenandung sendiri. Aku menganggap bahwa kekaguman akan musik mengalir dari dhamma itu sendiri dan tidak menyadari bahwa keterikatan pada musik tersebut telah membuatku bertentangan dengan Dhamma. Suatu hari aku dijamu oleh Anuruddha, anak bungsu dari sebuah keluarga besar. Aku memasuki halaman yang terbuka yang dikelilingi sebuah serambi. Anuruddha sedang duduk pada sebuah kursi santai bersandarkan bantal sambil menikmati nyanyian yang diiringi musik yang indah dan tari-tarian yang dibawakan oleh gadis-gadis cantik. Dia bangkit menyambutku, kemudian memerintahkan pelayannya untuk mengambil kursi santai dan bantal lainnya untukku, dan ketika pelayannya sudah mengerjakan perintahnya, kembali dia bersandar dan menikmati musik. Aku segera merasa diperbudak oleh keindahan yang dibawakan penari-penari dan musisinya dan lupa bahwa Persaudaraan Bhikkhu tidaklah pantas mengunjungi pertunjukkanpertunjukkan mewah atau sandiwara-sandiwara supaya tidak terjerumus oleh godaan yang membawa kesenangan hawa nafsu. Mahanama, si Putra Sulung masuk ketika penari-penari beristirahat. Dia menyambutku dengan hormat, dan mulai mengadakan pembicaraan dengan Anuruddha sebelum pertunjukan dimulai kembali. "Anuruddha, adikku yang terkasih," katanya, "Dengan kehadiran saudara yang suci ini, aku rasa inilah waktu yang tepat untuk menceritakan masalah yang menghantuiku selama beberapa purnama." "Katakanlah, saudaraku yang terkasih," suasana hati Anuruddha masih riang berkat musik yang barusan dinikmatinya, dan tidak ada rasa curiga sedikit pun terhadap maksud Mahanama. 44 Bangsawan-Bangsawan Sakya Mahanama melanjutkan, "Beberapa purnama lamanya aku berpikir, bahwa adalah suatu hal yang memalukan pada keluarga kita karena tak satu pun dari keluarga kita yang mengenakan jubah kuning dan meninggalkan kehidupan duniawi untuk menjadi siswa Sang Buddha. Memang benar kita banyak menderma, tapi itu tidaklah cukup. Kita harus menyebarkan dhamma ke seluruh penjuru dunia." "Lalu, kamu ingin memakai jubah kuning?" tanya Anuruddha yang tidak tertarik sama sekali pada masalah ini. "Aku sangat ingin," jawab saudaranya. "Tetapi waktuku tersita untuk mengelola ladang dan mengatur keluarga. Aku tidak punya waktu luang. Semua itu jelas merupakan kewajibanku." "Kamu tidak mengusulkan aku untuk melakukan hal itu, bukan?" tanya Anuruddha, untuk yang pertama kali dia merasa tertarik sekaligus terganggu. "Itulah yang ada dalam benakku," suara Mahanama terdengar keras. "Merupakan suatu kehormatan bila salah seorang dari keluarga kita melakukan hal itu dan aku yakin kamu jauh lebih dapat melakukannya daripada aku." Anuruddha bangkit dengan penuh ketakutan. "Tetapi selama ini aku sudah terbiasa dengan makanan yang lezat-lezat, aku mempunyai tempat peristirahatan yang berbeda untuk musim panas dan dingin, dan pada musim dingin aku tidak pernah keluar kemana-mana. Aku dilayani para pelayan dan pakaianku selalu disediakan. Bagaimana mungkin aku bisa bertahan dengan kehidupan tanpa rumah? Perutku akan mual jika aku harus hidup dengan memakan makanan sisa, menambal baju dari kain-kain buruk dan tidur di luar rumah — oh tidak! Mahanama, itu tidak mungkin aku lakukan," dia kembali bersandar pada bantal-bantalnya. "Baiklah, Anuruddha, jika demikian maukah kamu mengambil alih perananku sebagai pemimpin keluarga dan membiarkanku meninggalkan rumah?" "Apa pekerjaan seorang pemimpin keluarga?" tanya Anuruddha. "Aku rasa hal itu mungkin akan sesuai dengan sifatku dan mendidik." "Pekerjaan seorang pemimpin keluarga adalah sebagai berikut: Pertama-tama kamu harus membajak sawah. Setelah itu, menyebarkan benih, kemudian kamu harus mengairinya. Setelah itu, kamu jangan mengairinya kembali lagi. Setelah semua ini selesai dikerjakan, kamu harus mencabut rumput atau semak belukar. Kemudian mengupah seseorang menjaga padi dari serangan-serangan binatang tiap malam. Akhirnya tibalah saat panen. Tetapi bukan berarti pekerjaan telah selesai! Hasil panen harus diikat, ditumbuk dan di 45 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru simpan di lumbung," suara Mahanama terdengar letih. "Dedak harus dipindahkan. Kemudian kamu harus menyaring dan mengumpulkannya di gudang." Dengan lemah Mahanama menunjuk sebuah peti besar bulat yang terletak di ujung ladang. "Selesai mengerjakan ini semua, kamu harus melakukan hal yang sama pada tahun depan dan pada tahun berikutnya, begitulah seterusnya. Pekerjaan ini takkan pernah selesai. Pekerjaan seseorang takkan pernah berakhir. Adalah tak berguna bagi seorang pemimpin keluarga untuk bertanya kapan dia dapat menikmati kesenangan-kesenangan duniawi mendengar musik atau melihat tarian, karena dia tidak akan pernah punya waktu. Anuruddha adikku yang terkasih, pekerjaannya tidak akan pernah selesai. Walaupun dia telah meninggal, pekerjaannya masih belum selesai. Tetapi jika kamu lebih menyukai itu...." Anuruddha bangkit dan berjalan ke sana kemari, "Kamu membuatku melihat bahwa kehidupan sebagai seorang pemimpin keluarga bukanlah untukku. Dan kamu juga tahu bahwa ibu telah memanjakan aku secara berlebihan sehingga aku tidak pernah menanggung beban keluarga kita. Tetapi meninggalkan kehidupan berkeluarga sudah tentu merupakan tanggung jawab yang besar dan jauh di luar kemampuanku. Tidak dapatkah kamu menawarkan hal lain untuk memenuhi tanggung jawabku kepada keluarga kita?" "Tidak, Anuruddha." kata Mahanama secara tegas. "Hanya ada dua jalan, tidak lebih; tinggal di rumah sebagai pemimpin keluarga atau meninggalkan rumah menjadi siswa Sang Buddha yang maha sempurna; yang memberi kebahagiaan sempurna." "Mungkin pilihan kedua yang dapat kujalankan, seperti yang telah kamu katakan. Aku akan meninggalkan kehidupan keluarga dan menjadi siswa Sang Gautama." "Terima kasih, Anuruddha yang terkasih. Aku sangat senang. Aku akan merasa terhormat dengan kesediaanmu memakai jubah kuning, Saudara yang mulia ini akan menbawamu menemui Sang Buddha, bukankah begitu?" Mahanama melirikku dan aku mengangguk setuju. Aku setuju karena tidak dapat melakukan hal yang lain. Tetapi sebenarnya hatiku terasa berat. Ketika aku dijerat musik, tiba-tiba timbul kesadaran bahwa setengah dari diriku masih terikat musik, berarti aku masih terikat pada kesenangan hawa nafsu yang menjauhkanku dari pengertian Dhamma. Timbul juga kerinduan untuk kembali menikmati kehidupan duniawi, dan aku menjadi bingung dan ragu-ragu, apakah aku memang benar-benar telah meninggalkan kehidupan duniawi. 46 Bangsawan-Bangsawan Sakya Dan sekarang, Anuruddha mencoba melakukan hal yang sama, dan aku sedang menolongnya. Namun, bagaimana aku dapat bertindak yang berbeda? Sebagai seorang yang telah mengenakan jubah kuning, semua orang beranggapan bahwa aku telah bebas dari kesenangankesenangan duniawi dan mengharapkan orang lain juga dapat berbuat seperti itu. Oleh sebab itu, kini di dalam hatiku timbul konflik baru, karena aku tidak dapat bertindak semulia itu. Aku menerima makanan dan memakannya dengan kepala tertunduk seolah menunjukkan kerendahan hati, namun sebenarnya aku malu akan ketidaksucian yang timbul dalam diriku saat itu. Ketika aku hendak pulang, Anuruddha berkata padaku, "Sebelum aku meninggalkan rumah, tentu saja aku harus mendapat izin dari ibu. Saudara yang termulia, datanglah pada waktu yang sama besok, dan bila semuanya berjalan lancar, aku akan siap sedia mengikutimu untuk menemui Sang Buddha." Aku membungkuk setuju dan berlalu, kemudian menuruni lembah yang gelap. Selama beberapa hari kemudian bahkan bertahuntahun kemudian, aku mengalami pertentangan dalam diriku sendiri yang tidak pernah berhenti. Pada satu waktu aku bisa melepaskan diri dari ikatan musik; pada waktu lain aku berpendapat bahwa aku dapat menggunakan musik ke dalam pengertian Dhamma. Cahaya dari jalan telah lenyap dan aku berjalan sendirian di dalam kegelapan hutan yang kelihatannya tak pernah berakhir. Pada esok harinya, aku kembali menemui Anuruddha, dan dia memberitahu aku bahwa ibunya tidak memberi izin mengingat dia adalah anak kesayangannya, tetapi setelah dia membujuk ibunya, akhirnya ibunya menyetujui jika pangeran Bhaddiya, pemimpin suku juga menjadi siswa. "Apakah kamu pikir dia mau?", tanyaku. "Aku yakin dia mau," jawab Anuruddha dengan penuh semangat, sungguh sukar mempercayai perubahannya, baru kemarin kulihat dia berbaris malas bersandarkan bantal sambil menikmati musik. "Apakah kamu sudah yakin bahwa keputusanmu ini benar?" tanyaku gundah, tetapi dia tidak mencurigai badai yang sedang bergemuruh di dalam hatiku, membuat aku mulai mempertimbangkan apakah tidak akan lebih baik jika aku tinggal di rumah saja dan menanggalkan jubah kuningku. "Tentu saja aku yakin, Saudara Yang Mulia, mengapa anda bertanya begitu?" 47 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru "Tidak apa-apa," kataku, sekali lagi penipuan yang sungguh memuakkan ini timbul. "Tetapi sungguh sulit dipercaya melihat perubahanmu pada saat aku hadir kemarin." "Ah, mataku telah terbuka, Saudaraku Yang Mulia, Marilah kita menemui Raja Bhaddiya, dan anda akan melihat bagaimana berpengaruhnya aku." Aku menemaninya menemui Raja, dan dalam keadaan sedih yang amat dalam dan depresi, aku tak dapat tersenyum mendukung cara pendekatannya. Dia memberi hormat pada Raja sambil berkata "Baginda menghalangi saya untuk mengenakan jubah kuning dan menjadi siswa Sang Gautama." "Saya?" tanya Raja dengan heran. "Baginda dan bukan orang lain!" "Oh Tuhan!" teriak Raja. "Jangankan menghalangi orang lain, sedangkan saya sendiri ingin menjadi siswa Sang Gautama." "Sangat bagus kalau begitu," sorak Anuruddha. "Sekarang bila Baginda ingin menjadi siswa, ibuku akan memberi izin padaku untuk menjadi siswa juga." "Oh!" Raja menjadi malu atas ucapannya barusan. "Saya tidak begitu serius. Masih banyak tugas yang harus saya selesaikan. Tujuh tahun mendatang baru saya akan menjadi siswa, bila tugas sebagai pemimpin telah selesai." "Tidak, itu waktu yang sangat lama," kata Anuruddha. "Berarti Baginda akan menghalangiku untuk menjadi siswa sampai tujuh tahun, Baginda tidak akan tega melakukannya bukan?" "Saya tidak mau menghalangi keinginanmu yang baik dan layak bagimu untuk dilaksanakan, kawan. Tetapi saya tidak mungkin menjadi siswa pada saat ini, itu berarti pelanggaran terhadap kewajibankewajibanku sebagai pemimpin suku, mungkin tujuh bulan mendatang baru saya akan menjadi siswa." "Mungkin itu merupakan gagasan yang baik", kata Anuruddha. "Tetapi tujuh bulan juga merupakan waktu yang sangat lama. Itu berarti Baginda menghalangi saya menjadi siswa sampai waktu itu berlalu, dan siapa yang tahu apa yang terjadi kemudian. Baginda dipilih untuk menggantikan kedudukan Suddhodana, dan pemimpin lain akan dipilih untuk menggantikan kedudukanmu dan bereslah masalah ini. Apakah Baginda setuju menundanya tidak lebih dari tujuh hari?" Dengan enggan Pangeran Bhaddiya menyetujui dan dia setuju hanya karena tidak ada Suku Sakya yang menarik kembali ucapannya. Seluruh Suku Sakya terkenal dengan kebenaran dan kesetiaan kata48 Bangsawan-Bangsawan Sakya katanya. Inilah alasannya dan bukan karena masalah persetujuan Ibu Anuruddha, yang sekarang telah memberikan persetujuan untuk anaknya. Karena Pangeran Bhaddiya bersedia menjadi siswa, tujuh hari sebelumnya Anuruddha sudah siap berangkat dan ketika kami bertemu untuk yang terakhir kalinya, aku melihat dia berhasil membujuk empat orang bangsawan muda lainnya, di antaranya Ananda dan Devadatta, saudara sepupu Sang Buddha, mereka juga mengajak seorang tukang pangkas miskin yang bernama Upali, agar Upali bisa mengembalikan pakaian-pakaian dan perhiasan-perhiasan mereka setelah mereka ditahbiskan. Bangsawan-bangsawan muda itu mempunyai semangat yang tinggi, sebagaimana yang sering terjadi, ketika orang-orang mempunyai tujuan untuk menyelamatkan umat manusia, tetapi aku masih terperosok dalam kegelapan yang tak pernah berakhir, yang jauh berlawanan dengan semangat mereka yang mengebu-gebu. Upali sangat menarik perhatianku ketika kami bersama-sama mengadakan perjalanan ke Anukiya, sebuah kota yang didiami Suku Malla, di mana Sang Buddha sedang tinggal sekarang. Dia bertanya tentang persaudaraan para bhikkhu, apa tujuannya, apakah persaudaraan ini terbuka untuk semua orang, bahkan untuk seorang tukang pangkas yang miskin dan hina sekalipun. Aku menjawab bahwa dalam Persaudaraan Para Bhikkhu, tidak ada perbedaan kelas atau kasta, dan sebagaimana yang sering disabdakan Sang Buddha, ibarat sungai-sungai besar dalam perjalanan ke samudera luas, bentuk asal sungai-sungai tersebut akan ditinggalkan dan akhirnya bergabung menjadi satu di samudera luas. Demikian juga dengan orang-orang yang berasal dari berbagai kasta yang pergi dari rumah dan menjalankan disiplin Dhamma, semuanya menanggalkan kastanya dan bergabung menjadi satu. Aku juga memberitahukannya bahwa siapa pun dapat bergabung, asalkan mendapat izin dari orang yang bertanggung jawab atas dirinya. Upali menjadi semakin tertarik akan kehidupan sebagai seorang anggota Persaudaraan sebagaimana yang kulukiskan, walaupun entah mengapa, aku tak mengerti. Sesungguhnya aku tidak dapat membuatnya menjadi sebuah kehidupan yang dicari-cari saat kehidupan itu menenggelamkanku ke dalam kesedihan yang dalam. Tetapi mungkin Dhamma menyinari kami sehingga hal itu takkan pernah terjadi. Upali rupanya sangat terkesan akan ide kehidupan tak berkeluarga itu sehingga sebelum kami tiba di tempat Sang Buddha, dia berkata pada para bangsawan muda tersebut bahwa dia juga ingin menjadi siswa. Mereka gembira mendengar keputusannya dan mengusulkan agar aku memperkenalkan Upali terlebih dahulu untuk 49 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru ditabhiskan sebelum memperkenalkan mereka, untuk menunjukkan bahwa para pangeran Suku Sakya rendah hati dan juga adanya kesamaan derajat dalam persaudaraan. Seperti yang sudah direncanakan, maka kemudian ditahbiskanlah tujuh orang siswa baru, termasuk tukang pangkas yang miskin, Upali yang kemudian menjadi sesepuh dan termasyhur dengan kedalaman dhammanya. Ketika para siswa baru tersebut menuju ke tempat tinggalnya masing-masing, aku tinggal bersama Sang Buddha. Aku tahu Sang Buddha pasti dapat membaca isi hatiku sehingga tidaklah perlu menceritakan pada beliau tentang kesengsaraan atau konflik-konflik yang ada dalam batinku. Sang Buddha menatapku dengan penuh pengertian, dan ketika aku menatapnya, konflik-konflik yang ada lenyap sesaat karena aku melihat keabadian dalam dirinya. Kemudian Sang Buddha berkata: "Seorang Buddha hanya menunjukkan jalan. Saya tidak dapat menenangkan konflik-konflik yang ada dalam hatimu, Yasa. Kamu sendiri yang dapat mengatasinya. Cari jalan yang terbaik yang dapat melenyapkan konflik-konflik tersebut. Kamu akan menemukan bahwa ada suatu kebahagiaan dalam ketidakterikatan akan diri yang tidak pernah kamu temukan di dalam musik." Setelah aku berlalu dari tempat Sang Buddha, hatiku menemukan kedamaian itu kembali, dan jalan yang penuh cinta kasih itu terbuka kembali untukku, bukit-bukit pelepasan keduniawian kelihatan jelas dan mudah digapai. Tapi itu tidak berlangsung lama, kegelapan segera menyelimuti diriku kembali bulan-bulan berikutnya, tidak ada setitik cahaya pun yang tampak. Kemudian aku berkenalan dengan Ananda, saudara sepupu Sang Buddha, siswa yang baik hati sehingga ia disenangi siswa-siswa lain dalam persaudaraan kami dan juga umat awam lainnya. Sebelum dan sesudah wafatnya Sang Buddha, dia telah mampu melenyapkan semua keinginan-keinginan, dan tidak merasa sedih sedikit pun bila kehilangan sesuatu yang sangat berharga baginya. Dia pancarkan sinar cinta kasih pada semua makhluk hidup, dan ketika aku melewati sinar yang terang nan indah itu melalui mata batin yang gelap, Ananda mengingatkan aku untuk kembali pada cahaya terang yang pernah aku lihat. 50 Savatthi dan Hutan Jeta Anathapindika, penolong para yatim piatu dan anak-anak melarat telah kembali ke kota kelahirannya Savatthi yang terletak di barat laut, ibukota negara Kosala yang dikuasai Raja Pasenadi. Dia mempertimbangkan kata-kata Sang Buddha mengenai tempat yang tenang dan sunyi. Ratu Mallika telah menyediakan sebuah tempat di samping taman untuk para pengembara, tetapi ada sebuah ruangan di dalamnya yang selalu dijadikan pusat pertemuan atau rapat. Tidaklah sukar menemukan tempat sunyi di dalam hutan yang terbentang luas hingga ke Himalaya dekat Savatthi, tetapi masih harus dipertimbangkan beberapa hal lagi. Tempat untuk Sang Buddha sebaiknya tidak terlalu jauh dari desa dan juga tidak terlalu dekat, tempat yang mudah dijangkau oleh penduduk yang ingin menemui Sang Buddha, tidak terlalu ramai pada siang hari dan tidak ribut pada malam hari. Tempat itu juga harus terlindung dari hembusan angin dingin Himalaya. Sesudah berkeliling-keliling, akhirnya Anathapindika menemukan sebuah tempat yang memenuhi syarat yakni Taman Jeta milik pangeran, yang berada kurang satu mil dari kota. Kemudian dia menemui Pangeran dan berkata: "Pangeran muda, saya mohon untuk diizinkan memiliki taman pangeran untuk tempat peristirahatan Sang Buddha dan anggota Sangha." "Tidak, taman saya tidak untuk dijual," kemudian dia menambahkan sembari tertawa, "Saya ingin seluruh taman ini ditutupi uang jika ingin memilikinya." "Jika itu permintaan pangeran, baiklah, saya terima, seluruh taman ini akan saya tutupi dengan uang." "Tidak, tidak," teriak pangeran, "Itu bukan kontrak, saya cuma bercanda." Tetapi Anathapindika tidak dapat menerimanya, dan setelah lama bersitegang kemudian mereka sepakat untuk menyerahkan masalah ini pada dewan kota agar mereka saja yang memutuskan apakah itu suatu kontrak atau bukan. Akhirnya dewan kota menyatakan bahwa pangeran telah menyebutkan harga dan Anathapindika telah menerimanya, dengan demikian telah terjadi kontrak antara mereka. Anathapindika membawa segerobak uang logam dan menyebarkannya di seluruh permukaan tanah taman tersebut, kecuali sepetak tanah kecil dekat pintu masuk. Anathapindika menyuruh pelayannya pulang dan mengambil uang lagi untuk menutupi sepetak tanah tersebut. Tetapi pangeran Jeta yang melihat kejadian ini menjadi yakin bahwa 51 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru orang suci yang dimaksudkan Anathapindika bukanlah orang suci biasa sehingga Anathapindika mau membelanjakan uangnya sedemikian banyak, dan dia berkata "Tunggu, Tuan, sepetak tanah ini tidak usah ditutup dengan uang lagi. Anggap saja ini sebagai hadiah dariku." Anathapindika setuju, dan dalam hatinya dia berpikir bahwa sang pangeran adalah orang yang sangat berpengaruh dan terkenal, seandainya dia menjadi murid Sang Buddha tentu dia mempunyai kesempatan yang baik untuk menyebarkan Dhamma. Kemudian Anathapindika membangun tempat tinggal yang layak untuk Sangha yang dilengkapi dengan gudang bawah tanah, ruangan untuk menyimpan makanan, ruangan untuk melatih diri dan berbakti, ruangan penghangat, sumur, kamar cuci, kamar mandi dan ruanganruangan lainnya. Ketika Sang Buddha tiba untuk pertama kalinya di kota Savatthi, biara yang besar tersebut telah selesai dibangun, dan penduduk baik dari tempat yang jauh maupun dekat secara beramairamai datang ke Taman Jeta untuk mendengar ajaran Sang Buddha. Pangeran Jeta membawa Ratu Mallika, istri utama Raja. Ratu Mallika selalu menghormati semua pendeta pengembara dan memberikan sumbangan pada mereka, tetapi setelah bertemu Sang Buddha, dengan segera ia menjadi pengikutnya. Kemudian ada suatu kejadian yang menimpa raja Pasenadi, ketika berkeliling kota, dia memandang dengan tatapan tidak sopan kepada seorang wanita cantik. Pada malam hari dia diburu oleh mimpi yang menakutkan dan bangun dengan takut dan gemetar mendengar suarasuara yang menakutkan. Dia tidak dapat tidur memikirkan pekikan hantu-hantu ini. Pada pagi harinya dia menanyakan arti mimpinya pada seorang brahmin istana, apakah itu suatu pertanda bahwa kerajaannya akan runtuh, atau malapetaka akan menimpa ratu atau dirinya sendiri. Sang Brahmin tidak mengerti arti mimpi tersebut, tetapi dia mengatakan bahwa itu berarti sang raja akan mati bila tidak mengadakan upacara pengorbanan segala jenis mahluk hidup termasuk manusia. Raja yang dalam ketakutan segera memerintahkan pengawal-pengawalnya untuk mengumpulkan berbagai mahluk hidupgajah, kuda, sapi jantan, sapi betina, keledai, domba jantan, unggas, babi, anak laki-laki dan anak perempuan. Penduduk sangat menderita mendengar pengorbanan yang akan diadakan ini, yang juga mengorbankan manusia, hal yang tak pernah didengar sebelumnya. Ratu Mallika, mendengar keributan-keributan itu dan setelah mengetahui duduk persoalannya, segera menemui raja dan berkata padanya bahwa walaupun dia seorang raja besar tapi dia tidak mempunyai perasaan sedikit pun. Ratu berkata: 52 Savatthi dan Hutan Jeta "Pernahkah engkau mendengar ada orang yang untuk menyelamatkan hidupnya sendiri dengan menyebabkan orang lain terbunuh? Hanya karena seorang Brahmin bodoh menyuruhmu untuk melakukan hal tersebut, lantas kamu melimpahkan penderitaanmu pada rakyatmu? Sekarang ini ada seorang Guru yang sangat bijaksana di Taman Jeta. Ceritakan padanya mengenai mimpimu dan dia akan menasehatimu." Kemudian raja Pasenadi menemui Sang Buddha. Sang Buddha setelah mendengar mimpinya mengatakan bahwa penderitaanpenderitaan itu timbul karena nafsu-nafsu pikiran, dan raja mengerti bahwa mimpinya timbul oleh karena konflik yang ada dalam pikirannya yakni antara pikiran untuk melakukan perzinahan dan keinginannya untuk memerintah dengan benar dan bijaksana. Akhirnya Raja memerintahkan pengawalnya untuk melepaskan semua makhluk hidup yang akan dikorbankan tersebut, dan penduduk pun menjadi sangat gembira dan berteriak kegirangan, "Semoga Ratu Mallika kami yang bijaksana selamat sejahtera." Tetapi Anathapindika lebih gembira karena setiap kata Sang Buddha menjadi berkembang luas dan Raja dan Ratu menjadi terkemuka di antara murid-murid lainnya. Dia yang secara boros memberikan bantuan pada orang lain kini merasa bahwa pemberiannya selama ini hanyalah bagaikan seonggok jerami. Pemberiannya mungkin dapat menghentikan penderitaan mereka untuk sementara waktu, tetapi Sang Buddha memberi mereka sesuatu yang dapat menghentikan penderitaan mereka untuk selamanya. Pada suatu hari aku mendengar dia bertanya pada Sang Buddha apakah pemberiannya akan menimbulkan pahala. Sang Buddha bertanya apakah dia memberikan bantuan pada setiap orang yang datang padanya, dan dia menjawab iya, tetapi kadang-kadang dia hanya memberikan pakaian, beras yang kasar dan bubur. "Berpahala atau tidaknya suatu pemberian bukan ditentukan oleh berharga tidaknya pemberian itu," Jawab Sang Buddha, "Yang menentukan adalah pikiran pada saat pemberian, apakah kamu mempunyai pertimbangan-pertimbangan mengenai orang yang kamu berikan tersebut, apakah kamu memberikan dengan tanganmu sendiri disertai rasa cinta kasih dan dengan pengetahuan bahwa semua ini adalah tidak abadi. Hanya ada kebajikan dalam pemberian jika kamu tahu bahwa tidak ada kebajikan di dalamnya, karena segala sesuatu tidak abadi, baik si pemberi, barang yang diberi maupun si penerima. Anathapindika menyimpan ajaran-ajaran Sang Buddha dalam lubuk hatinya, dan sering aku pikir bahwa dia sebenarnya lebih dekat 53 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru dengan Sang Buddha daripada siswa-siswa lainnya. Dia tidak membunuh makhluk hidup, tidak minum minuman keras dan tidak menyeleweng dalam perkawinannya. Lagipula, dia sering menyendiri dalam keheningan dan dapat menenangkan pikirannya serta menemukan kedamaian Nirvana, kedamaian dan ketenangan terpancar dari wajahnya seperti Sang Buddha, dan orang-orang akan menghentikan perdebatan mereka bila dia mendekat. Suatu hari ada beberapa golongan yang berbeda pandangan hidup terlibat dalam suatu pertengkaran, ketika Anathapindika menghampiri mereka, aku dengar salah satu dari mereka berkata, "Yang memakai jubah putih ini adalah Anathapindika pengikut Sang Gautama. Dia suka ketenangan, jika kita diam, mungkin dia mau bergabung dan menerangkan ajaran-ajaran Sang Gautama pada kita." Perdebatan mereka terhenti, dan ketika Anathapindika mendekat, mereka memohon padanya untuk menerangkan ajaran Sang Buddha. Anathapindika menjawab dengan rendah hati, "Sesungguhnya tidak semua ajaran-ajaran Sang Buddha saya ketahui." "Kalau begitu maukah anda menerangkan pada kami dengan pandanganmu sendiri?" "Saudara-saudara, ini bukanlah hal yang berat," jawabnya, "Tetapi maukah kalian yang terlebih dahulu memberitahu saya tentang pandangan kalian?" Kemudian pengembara-pengembara ini mulai bertengkar dengan suara yang keras mengenai apakah dunia ini ada permulaannya atau tidak, dan setiap orang mengemukakan pendapat yang berbeda. Tak lama kemudian salah seorang dari mereka berkata pada Anathapindika. "Demikianlah saudara, kami telah mengemukakan pandangan kami masing-masing, sekarang menurutmu pandangan mana yang lebih baik?" Kemudian Anathapindika menjawab, "Saya melihat semua bendabenda yang kita kenal adalah sebagai bentuk perpaduan dari bendabenda yang lain, partikel-partikel yang terpisah dan bentuk-bentuk pikiran, dan segala sesuatu yang merupakan perpaduan, haruslah berpisah. Dengan demikian segala sesuatu adalah subyek yang bisa berubah, lapuk dan mati. Tetapi saya telah menemukan jalan untuk menghindari benda-benda yang tidak kekal itu dan dapat melepaskan diri dari ikatan mereka. Saya telah menemukan sesuatu yang tidak mengalami kematian, yang kekal dan abadi, subyek yang tidak akan mengalami perubahan, pelapukan dan kematian." 54 Savatthi dan Hutan Jeta Anathapindika menerangkan dengan tenang dan pancaran sinar cinta kasihnya membuat pendengar-pendengar ini terdiam. Dia berbicara tidak seperti mereka, tetapi dengan menggunakan kata-kata yang tepat, masuk akal, singkat dan jelas. Tidak seorang pun membantah ucapannya. Tetapi sesudah dia meninggalkan mereka dia menjadi bimbang apakah kata-katanya tadi sesuai dengan ajaran-ajaran Sang Buddha, jadi segera dia menemui Sang Buddha, dan Sang Buddha menghargai apa yang telah dia ungkapkan tadi. Kemudian Anathapindika bertanya pada Sang Buddha masalah yang sering membebani dan menyulitkan dirinya sejak pertama kali dia bertemu dengan beliau. "Tidakkah kemakmuran dan kekayaan di kehidupan ini menjadi noda untuk mencapai kehidupan yang lebih tinggi?" "Jangan berkata demikian, kekayaan dan juga kehidupan di dunia dengan kesenangannya bukanlah sesuatu yang baik juga bukan sesuatu yang jahat. Ini bergantung pada bagaimana ia diperoleh, dan apa yang dilakukan padanya serta cara mengendalikannya. Seseorang dapat saja memperoleh kekayaan dengan jalan yang salah dan hanya memanfaatkannya untuk diri sendiri. Sungguh, keadaan seperti itu tidak akan membuat orang tersebut bahagia. Tetapi jika seseorang memperoleh kekayaan secara halal, tidak merugikan orang lain, dan menggunakannya tanpa perasaan serakah, dan memperhatikan bahaya keterikatan pada kekayaan, jika dia membantu orang lain dan menggunakannya untuk perbuatan-perbuatan baik, dan pada akhirnya, jika dia senantiasa menyadari bahwa bukan kekayaannya, ataupun perbuatan-perbuatannya yang baik yang menjadi tujuannya melainkan kebebasan dari nafsu dan keinginan, maka kekayaan akan membuatnya gembira dan bahagia. Dia tidak memiliki kekayaannya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk sesamanya. Orang seperti ini penuh cahaya penerangan sempurna dan akan berada di dalam Inti Keabadian. 55 Meditasi dan Ketenangan Bathin Selama Sang Buddha tinggal sementara di Savatthi, aku juga berada di sana baik pada musim hujan maupun sesudahnya. Beberapa minggu lamanya, pagi-pagi sekali aku sudah berangkat meminta sedekah dan kembali dengan terlambat, karena aku memperhatikan pekerjaan para penduduk desa, pembuat keranjang bambu dengan kulit-kulit bambunya yang terhampar serta pot kecil yang berisi air; penenun yang dengan sabar mengikat benang yang timbul diikuti oleh benang yang berikutnya; pembuat tikar yang sedang mengayam akarakar bambu dengan membentuk lingkaran di puncaknya; tukang besi yang sedang meruncingkan tembaga. Dan juga menikmati musik yang ada di desa—terdengar suara lembut para penduduk yang memulai kehidupan pada waktu fajar, tampak nyala api untuk memasak dan kemudian secara perlahan-lahan terdengar suara pria, wanita dan anak-anak yang memulai tugas mereka sehari-hari; juga nyanyiannyanyian sewaktu mereka bekerja, mereka memainkan musik dari sebuah alat atau pot yang antik. Ada suara seruling yang merdu yang dimainkan oleh seorang wanita yang mencuri waktu beberapa saat di tengah-tengah kesibukan menumbuk padi. Aku menyukai semua ini, dan aku ingin meleburkan diri bersama penduduk desa dengan kehidupan dunia ini yang tentu saja tidak lebih hanyalah sebuah bayangan yang tak abadi. Ketika aku kembali dari meminta sedekah, segera aku memulai sejumlah pekerjaan yang diberikan pada kami terutama membuat jubah kuning. Aku mahir menggunakan jari-jariku dalam pembuatan jubah dari kain bekas yang telah dipilih, hari-hariku penuh dengan kegiatan tersebut selama berada di sana. Pada saat ketakutan muncul kembali, aku akan mudah tersinggung dengan apa yang dilakukan oleh sahabat-sahabatku, dan kadang-kadang aku menyesal terhadap kebingunganku terhadap Dhamma yang mengelilingiku di mana-mana selama dua tahun pertama. Tetapi kesukaran utama yangg aku hadapi adalah tergelincir ke dalam kehidupan duniawi walaupun masih mengenakan jubah kuning. Pada suatu pagi yang dingin, aku lewat di depan Sang Buddha ketika hendak berangkat meminta makanan. Sang Buddha memanggilku. Ekspresi matanya yang selalu menembus ke dalam hati seseorang memberikan cahaya kedamaian yang dalam yang pernah beliau pancarkan sebelumnya. Kerinduan akan kedamaian kembali melanda diriku, aku melihat bahwa bayangan kehidupan bagaikan 56 Meditasi dan Ketenangan Batin awan gelap yang tidak dapat aku tembus walaupun hanya untuk sekejap waktu. "Ah! Yasa, kamu disibukkan oleh berbagai hal," kata Sang Buddha dengan suara yang seperti menyiratkan sedikit rasa sedih. "Ya," jawabku. Sang Buddha berjalan perlahan, "Ada seseorang yang selalu sibuk, yang pintar menangani pekerjaannya. Dia membiarkan waktunya berlalu, dan dalam dirinya sendiri tidak ada ketenangan. Ini adalah kondisi pertama yang mengganggu seseorang yang sedang melatih diri dalam kehidupan sebagai seorang bhikkhu. Itu sama halnya dengan seseorang yang menghabiskan waktunya dengan mengerjakan hal-hal yang kecil, atau menghabiskan waktunya berkumpul dengan orang lain, pagi-pagi sekali berangkat untuk meminta makanan dan kembali dengan terlambat, berarti dia membiarkan waktunya berlalu begitu saja dan tidak ada ketenangan di dalam hatinya." Aku terdiam. Aku tahu bahwa perkataan Sang Buddha adalah benar. Aku telah berusaha melepaskan konflik-konflikku bukan dalam Keabadian, tetapi dalam kehidupan duniawi. Aku tahu bahwa aku telah kehilangan cahaya terang dan pandangan batin yang dapat melihat Nirvana. Beberapa saat kemudian Sang Buddha melanjutkan, "Yasa, jangan biarkan waktu berlalu begitu saja, jangan gagal mendapatkan ketenangan di dalam hati." Aku merasa malu; aku tertunduk melihat ke bawah tanah. Tampak seekor induk ayam yang malang sedang meratap di sangkarnya yang terletak di semak belukar. Seekor anak ayam yang berumur tidak lebih dari satu hari melompat-lompat di sampingnya. Dalam sangkar ada sepuluh butir telur dan tidak ada tanda-tanda akan menetas. Induk ayam menggerakkan sebutir telur dengan cakarnya berharap telur tersebut akan menetas dan tampak paruh kecil dari dalam. Tetapi selama ini induk ayam tersebut lebih suka berkeliaran ke desa daripada duduk di atas telur-telurnya. Aku sering melihatnya. Telur-telur tersebut menjadi dingin dan anak-anak ayam mati sebelum dierami. Ini adalah pemandangan yang menyedihkan; aku turut merasakan kesedihan induk ayam tersebut. Sang Buddha mengikuti pandanganku dan mengetahui pikiranku. "Ya," Sang Buddha berkata. "Induk ayam itu berharap banyak pada anak-anaknya, tetapi dia tidak melakukan sesuatu untuk menghidupkan mereka, karena dia tidak mengerami telur-telurnya. Seorang bhikkhu berharap banyak untuk melepaskan diri dari keinginan dan mencapai kehidupan abadi, tetapi mereka tidak akan menemukan hal57 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru hal ini hanya dengan berharap. Dia harus melatih diri menjalankan delapan jalan utama dan meditasi. Sesuatu tidak akan tercapai hanya dengan pengharapan, kita harus melakukan sesuatu." Aku mengalihkan pandangan dari induk ayam kepada Sang Buddha. Sang Buddha tersenyum ramah penuh cinta kasih yang senantiasa menarik seseorang kembali padanya. Sang Buddha membentangkan tangannya ke arah hutan. "Di sana ada akar-akar pohon. Ada tempat kosong untuk bermeditasi." "Guru," kataku, "Mulai sekarang aku akan duduk di atas telur-telur ini sampai aku dapat melihat anak ayam yang berada di dalam menetas." Sang Buddha tersenyum setuju dan aku melanjutkan dengan raguragu. "Tetapi berilah penjelasan padaku tentang orang biasa yang mempunyai waktu sedikit untuk melakukan meditasi. Dapatkah mereka memperoleh kedamaian dalam dirinya?" "Dapat," jawab Sang Buddha. "Contohnya ibu Nanda. Suaminya telah meninggal dan putranya dibunuh oleh raja, namun demikian dia tetap bernyanyi dengan gembira sambil bekerja, lagu kebahagiaan menuju Nirvana. Ketika Sariputta dan Moggallana hendak berkunjung ke rumahnya, dia telah mengetahui hal ini melalui penglihatan supranormalnya dan segera menyiapkan makanan untuk mereka. Mereka sangat terkejut dan bertanya padanya. Ibu Nanda belajar menghadapi kematian orang-orang yang sangat disayanginya dengan tenang dan telah melepaskan diri dari hawa nafsu dan keinginankeinginan, oleh karena itu dia telah mencapai jhana keempat. Dia benar-benar terang dan bahagia, dia memperolehnya bukan dari dunia fana ini, melainkan dalam Keabadian." "Sedangkan seorang wanita biasa dapat mencapai semua ini di tengah-tengah kesibukannya sebagai seorang ibu rumah tangga, mengapa kita meninggalkan rumah dan mengenakan jubah kuning?" tanyaku. "Apakah kamu merasa terpanggil, Yasa, untuk kembali pada kehidupan sebagai seorang pemimpin keluarga?" "Tidak, guru." Aku sadar pertanyaan ini seharusnya tidak dipertanyakan. Bukankah kita semuanya tahu bahwa sudah merupakan karma seseorang menjadi bhikkhu, dan merupakan sesuatu yang bodoh bila mempertanyakan mengapa seseorang bisa mencapai penerangan walaupun hidup sebagai seorang yang berkeluarga, sedangkan bagi orang lain harus meninggalkan kehidupan berkeluarga. 58 Meditasi dan Ketenangan Batin Setelah itu Sang Buddha duduk di sampingku dalam melaksanakan meditasi, ketenangan menyelusup dalam hatiku; untuk sementara waktu aku terlepas dari ikatan-ikatan yang mengakibatkan penderitaanku dan aku memperoleh kebahagiaan Nirvana yang damai. Matahari semakin meninggi ketika aku dan Sang Buddha berangkat melalui jalan yang berbeda untuk menerima makanan dari penduduk. Pada hari itu aku tidak lebih lama di sana daripada monyetmonyet berwajah putih yang berlari kian kemari di ladang dengan padi curian di mulutnya. Pada perjalanan kembali menuju hutan untuk meditasi, aku melihat pemasang perangkap rusa dan teman-temannya membunuh rusa yang terperangkap. Pemasang perangkap rusa biasanya menanam padi. Waktu padi tumbuh mereka membuka pintu pagar dan kawanan rusa segera menyerbu masuk untuk memakan padi. Ketika rusa-rusa tersebut lagi asyik menikmati makanan, pemasang perangkap dan teman-temannya mengelilingi mereka dari berbagai jurusan dan kemudian dengan memberikan isyarat, mereka menyerang dan menyembelih rusa-rusa tersebut. Itu adalah pemandangan yang mengerikan, menyembelih makhluk hidup yang indah dengan tanduk megah dan matanya yang jernih. Aku tahu bahwa rusa harus dibinasakan jika padi petani ingin diselamatkan. Aku berbalik sambil mengharap tidak akan ada daging binatang buruan yang dituangkan dalam mangkukku pada hari-hari selanjutnya. Makan daging hewan yang sengaja disembelih untuk kami, menjadi penjual daging atau pemburu adalah terlarang bagi seseorang yang menjadi siswa Sang Buddha. Tetapi kami yang meninggalkan kehidupan keluarga harus menerima apapun yang dituangkan ke dalam mangkuk kami, dan kadang-kadang pemberi yang belum mengerti mungkin menuangkan daging ke dalam mangkuk kami. Selalu mengerikan bagiku jika hewan disembelih buat makan. Hewan mirip kita sendiri, dan setelah menyaksikan rusa-rusa itu, hal ini terasa lebih mengerikan daripada sebelumnya. Seorang yang berjubah kuning tidaklah boleh terpengaruh oleh kemewahan maupun perubahan yang tiba-tiba. Aku berjanji pada diri untuk melenyapkan kesedihan dengan jalan mencapai ketenangan pikiran melalui meditasi. Sang Buddha juga menyaksikan rusa-rusa yang sedang disembelih, dan ketika kami mengelilingi Sang Buddha untuk mendengarkan Dhamma, Sang Buddha memberi perumpamaan tentang rusa setelah satu jam kami berjalan menembus jalan berdebu yang penuh kotoran sapi, ketika sapi-sapi tersebut dihela pulang untuk pengambilan susu setelah melewati jalanan berlumpur. 59 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru "Apakah pemasang perangkap memang benar-benar menanam tanaman untuk memelihara rusa?" pertanyaan Sang Buddha membuat kami tersenyum. "Mengapa mereka menanamnya?" Sang Buddha memandang saudara-saudara yang termuda dan salah seorang dari mereka menjawab: "Pemasang perangkap tahu bahwa rusa tersebut akan memilih tanaman mereka yang jauh lebih menarik daripada yang tumbuh dalam hutan, dan akan menyerbu ke dalam untuk memakannya, sehingga pemasang perangkap dapat membunuh mereka dengan mudah." "Bagaimana jika," jawab Sang Buddha, "kawanan rusa yang kedua, begitu melihat nasib kawanan pertama, akan menghindari tanaman tersebut dan menunggu dalam waktu yang lama sampai musim panas tiba, dan saat itu tidak ada lagi makanan dan minuman di dalam hutan, lalu bagaimana?" Saudara muda tadi yakni anak dari pemasangan perangkap kembali menjawab, "Tidak, pada akhirnya kawanan kedua juga akan menyerbu ke dalam dan memakan tanaman tersebut hingga mereka terbunuh juga." "Mungkin lain pada kawanan ketiga, jika menyaksikan nasib kawanan pertama dan kedua, mereka akan berada di luar ladang saja?" "Tidak satu pun dari kawanan itu yang berakal budi, Guru." "Sekarang, mari kita bayangkan kawanan keempat yang lebih bijaksana daripada kawanan lainnya. Kawanan ini membuat tempat tinggalnya di dalam hutan, dan penuh mawas diri dari waktu ke waktu menghadapi bahaya-bahaya yang mengancam, mereka memakan tanaman yang biasanya tumbuh di dalam hutan secukupnya saja, kemudian pulang kembali ke sarangnya masing-masing di dalam hutan. Apakah kawanan ini terhindar dari pemasang perangkap?" "Ya, Guru, mereka akan selamat, tetapi hanyalah manusia yang dapat bersikap demikian, sedemikian bijaksana sehingga tidak menyerbu makanan tersebut dengan rakus, sangat bijaksana sehingga dengan penuh pengertian kembali ke sarangnya sesudah makan secukupnya." "Rusa yang saya ceritakan pada kalian ini," lanjut Sang Buddha, kenyataannya sama dengan manusia. Rusa-rusa tersebut adalah para pendeta dan brahmin. Pemasang perangkap adalah Mara, sang penggoda yang mementingkan diri sendiri dan terikat pada keinginankeinginan. Tanaman adalah kesenangan-kesenangan yang ada di dunia. Hutan adalah ketenangan hati dalam meditasi. Kawanan pendeta dan brahmin pertama berpikir bahwa mereka dapat 60 Meditasi dan Ketenangan Batin menikmati kesenangan-kesenangan dunia yang tidak merugikan. Tetapi tidak seorang pun yang dapat mencapai dua tujuan. Bagi yang suka menikmati kesenangan panca indera tidak dapat memperoleh kehidupan abadi. Segera saja hawa nafsu dan keinginan-keinginan akan melimpahi mereka, dengan sendirinya kehidupannya sebagai seorang brahmin akan lenyap." "Kawanan pendeta dan brahmin kedua berpikir mereka dapat menghindari kesenangan indriya dan hal lain secara bersamaan, dan menindas kodrat serta melawan keinginan mereka dengan kekuatan dirinya sendiri. Tetapi tidak selamanya seseorang dapat hidup terpisah dari dunia fana di sekelilingnya. Lambat laun keinginan-keinginan dan kerinduan akan datang melanda dirinya; dia akan menyerbu ke dalam dan tenggelam seperti kawanan pertama." "Kawanan pendeta dan brahmin ketiga, berpikir bahwa mereka dapat membuat tempat tinggal di luar kehidupan obyek-obyek pencerapan indera; berakal budi, mempunyai renungan yang tajam, kelihatannya mereka termasuk orang yang ucapannya dalam tetapi sebenarnya kosong, yang berdebat dalam pertanyaan-pertanyaan abstrak seperti apakah jiwa dan badan adalah terpisah atau sama, apakah dunia bisa kiamat atau bertahan selamanya. Lambat laun, mereka juga dilanda oleh godaan hawa nafsu dan keinginan, akhirnya nasib mereka juga sama seperti kawanan lainnya." "Kawanan keempat adalah orang-orang yang mencari kedamaian dalam dirinya. Hanya di tempat inilah godaan dan keinginan-keinginan tidak dapat beraksi, dan berkat ketenangan hati dalam meditasi, semua kesedihan dan keinginan lenyap, inilah yang menjadi pusat kekekalan dan keabadian. Inilah tempat tinggalmu yang sebenarnya, dengan rumahmu ini kamu mendapatkan pengertian dan tidak melakukan perbuatan jahat walau sedang dikelilingi oleh obyek-obyek indera." Aku merenungkan kata-kata Sang Buddha. Jika ibu Nanda dapat membuat rumah yang tenang dan damai dalam hatinya, bukankah suatu kebodohan bagiku yang mempunyai kesempatan besar bila tidak melakukannya. Betapa bodohnya membiarkan kehidupan suci lenyap dalam diriku, betapa tidak jujurnya aku menerima makanan dari penduduk yang murah hati tanpa menjalankan kehidupan suci! Kemudian aku mendengar salah seorang saudara kami bertanya: "Menurut Guru, tidak cukuplah syair-syair suci, kekuatan gaib dan ajaran Dhamma?" "Tidak cukup," jawab Sang Buddha, "Seseorang mungkin menguasai syair-syair suci, lagu suci, ajaran agama, kekuatan dan tulisan gaib, tetapi jika dia tidak melakukan meditasi, dalam dirinya 61 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru tidak akan menemukan kedamaian seperti seseorang yang hanya mendengar Dhamma melalui desas-desus, dia hidup tidak berpedoman pada Dhamma dan tidak mengetahui kehidupan abadi melalui pengalaman-pengalamannya sendiri. Sama halnya dengan seseorang yang mengajar Dhamma pada orang lain atau mempertimbangkan Dhamma sepanjang hari. Jika seseorang tidak melakukan meditasi tidak akan mengalami hal-hal nyata dan tidak memiliki mata batin, mereka hidup dengan tidak berpedoman pada Dhamma dan tidak dapat memperoleh penerangan." Sang Buddha berbicara seolah-olah membawa penerangan di tengah-tengah keberadaan kami. Tetapi aku tahu itu tidaklah cukup. Aku harus berusaha sendiri dengan melatih ketenangan batin melalui meditasi. 62 Bhaddiya dan Anuruddha Setelah tinggal di Savatthi untuk beberapa waktu lamanya, Sang Guru meminta kesediaanku untuk menemaninya menuju Kosambi, dekat Sungai Jumna. Pertama-tama kami menuju Anupiya, dekat Kapilavatthu di mana Bhaddiya, yang dulunya Raja suku Sakya dan tinggal di dekat hutan, sering terdengar berseru berulang-ulang: "Inilah kebahagiaan! Inilah kebahagiaan!" Sang Guru mendekatinya dan menanyakan apa yang terjadi. Dia menjawab, "Saya teringat kecemasan yang mengelilingi saya ketika saya menjadi raja saat itu. Saya pikir saya mempunyai kekayaan dan kedudukan yang tinggi. Tetapi kini saya mengerti, semakin banyak yang dimiliki seseorang dan semakin tinggi kedudukannya, semakin banyak yang ditakutinya, takut kehilangan semua yang telah dimilikinya. Bahkan seorang pangeran yang dijaga ketat oleh pengawalpengawalnya pun, tak terlepas dari rasa takut. Tetapi sekarang saya tidak memiliki apa-apa lagi, dan tidak mempunyai kedudukan lagi, saya tidak akan kehilangan apa pun juga sehingga tidak ada lagi rasa takut. Apakah itu bukan suatu kebahagiaan?" Sang Guru dengan gembira menambahkan, "Ya, jika seseorang tidak perduli apakah benda-benda itu ada atau tiada, maka dia tidak akan mempunyai pikiran-pikiran jahat dan benar-benar memperoleh kebahagiaan. Dia pasti bebas dari rasa takut dan cemas. Sebenarnya, dia telah mengatasi dunia." Pertemuan dengan Bhaddiya menyakinkan aku bahwa keterikatanku akan musik tidak dapat dilenyapkan dengan mendengar ataupun tidak mendengar musik yang merdu, tetapi hanya dapat dilenyapkan dengan berlindung kepada dharma, sebagaimana yang dilakukannya. Ketika kami tiba di Kosambi, rupanya telah banyak yang mengetahui akan kedatangan Sang Guru, jadi banyak yang sedang menunggu beliau, termasuk raja muda Udena. Walaupun Udena bukanlah siswa awam yang taat seperti raja Bimbisara dan raja Pasenadi, dia meminta Sang Guru untuk mengirimkan salah seorang muridnya untuk mengajarkan Dhamma pada para wanita di istana. Sang Guru memilih Ananda sebagai guru dalam istana tersebut dan mengunjungi mereka sesering mungkin pada tahun-tahun berikutnya. Setelah sang Raja berlalu, berbagai orang suci menunggu Sang Guru, berharap bahwa Sang Guru akan menjabarkan pada mereka rahasia-rahasia alam semesta yang tidak dapat dijabarkan oleh orang 63 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru lain. Ketika Sang Guru hanya mengajarkan tentang berakhirnya penderitaan melalui kehidupan Brahmana, mereka tidak puas dan bertanya lebih jauh lagi. Saya ingat pada suatu malam bulan purnama, ketika kami berkumpul mengelilingi Sang Guru di hutan Simsapa, bagian luar dari Kosambi, salah seorang dari mereka bertanya pada Sang Guru mengenai penciptaan alam semesta. Sang Guru memungut segenggam daun Simsapa dan beberapa lamanya duduk terdiam sambil memandangi mereka kemudian Sang Guru berkata, "Menurut kalian, mana yang lebih banyak daun-daun Simsapa yang saya genggam ini atau daun-daun yang bergantung di seluruh pohon Simsapa yang ada di hutan ini?" "Daun yang ada dalam genggaman Anda lebih sedikit, daun yang bergantung di seluruh pohon yang ada di hutan ini lebih banyak," jawab salah seorang. "Demikianlah," lanjut Sang Guru, "Ajaran yang saya berikan padamu hanya sedikit. Ajaran dalam alam semesta banyak sekali. Dan mengapa Saya tidak memberitahu kamu ajaran lainnya? Karena ajaranajaran itu tidak berguna untuk kamu. Itu tidaklah penting bagi kehidupan seorang Brahmana, ajaran-ajaran itu tidak dapat membimbing kita untuk melepaskan diri dari ikatan hawa nafsu dan keinginan, juga penderitaan." "Guru," kata yang lainnya, "beritahu kami secara tepat hal-hal yang penting untuk kami ketahui." "Hanya Empat Kesunyataan Mulia yang telah saya terangkan tadi," jawab Sang Guru, "Bahwa penderitaan muncul dari keinginan, kehausan, hawa nafsu dan perasaan dari "aku" dan "milikku", bahwa kita dapat menghindari beban penderitaan jika terbebas dari diri kita sendiri dan keinginan-keinginannya, dan ini dapat dilaksanakan dengan menjalankan Delapan Jalan Utama yang telah saya jelaskan." Apa yang dikatakan Sang Guru sangat jelas, tapi saya takut orangorang tersebut juga para siswanya tidak mengerti. Mereka mempelajari ajaran Sang Guru sebagai sebuah doktrin, bukan sebagai jalan kehidupan. Sebagian mempelajari Dhamma seperti mempelajari aturan-aturan bagi Brahmin, dan sebagian mempelajari peraturan Vinaya seperti mempelajari Veda dan mereka melanjutkan perdebatan antara yang satu dengan lainnya seperti kejadian sebelumnya. Saya heran mengapa begitu banyak terjadi perselisihan di Kosambi seakanakan para dewa perselisihan berdiam di kota ini. Apakah karena semua yang menjadi siswa di sana berasal dari aliran yang berbeda sehingga saling bersaing dan berdebat antara satu dengan yang lainnya? Atau karena Kosambi merupakan daerah subur dan penduduknya terlalu 64 Bhaddiya dan Anuruddha makmur, seperti yang dialami Bhaddiya, kedamaian pikiran tidak mudah dicapai bila memiliki kekayaan yang melimpah. Namun apapun alasannya, tindakan-tindakan para bhikkhu di Kosambi adalah terlalu mengenaskan untuk dibicarakan secara panjang lebar. Tetapi, hal-hal yang saya sebutkan tadi tidaklah berlangsung selama beberapa tahun. Kini Sang Guru meninggalkan Kosambi dan kami mengadakan perjalanan menyelusuri sungai Gangga menuju ke Vesali. Sungai Gangga kelihatan dangkal pada musim ini dan pasir putih berkilauan di bawah sinar mentari, beriak-riak bila pengembala menghalau sapi ke air dan sekelompok nelayan menarik jala mereka. Pada perjalanan ini pertama Sang Guru menyeberangi sungai dengan sebuah perahu. Sejumlah besar pengembara suci menaiki perahu tanpa membayar adalah merupakan beban bagi pengemudi kapal dan Sang Guru kasihan pada mereka mengingat mereka harus memperoleh uang yang cukup untuk memelihara anak dan istri. Karena alasan itu jugalah maka Sang Guru juga tidak pernah mengadakan perjalanan dengan naik dokar atau kuda tetapi selalu berjalan kaki. Sang Guru berjalan kira-kira 15 mil setiap hari, istirahat di tepi desa pada malam hari dan tidur di bawah pohon jika tidak ada tikar yang terhampar untuk para pengembara. Sebelum memasuki Vesali, kami menuju utara ke Hutan Gosinga, di mana tumbuh pohon-pohon Sal dengan bunga-bunganya yang harum bermekaran pada malam purnama, dan juga di mana Anuruddha, Nadiya dan Kimbila bertempat tinggal. Beberapa waktu yang lalu saya agak keberatan menjadi penolong bagi Mahanama untuk membujuk adiknya, Anuruddha, meninggalkan kehidupan berkeluarga. Sering saya bertanya dalam hati apakah Anuruddha juga merasakan pertentangan yang berlanjut seperti yang aku alami, pertentangan antara sinar Dhamma, dan Mara selalu menggoda untuk kembali kepada kehidupan lampau dan mendengar musik. Saya mendapat kabar sedikit bahwa Anuruddha kelihatannya telah memperoleh kedamaian. Kami tiba di Hutan Gosinga pada malam hari, dan penjaga hutan datang menemui kami sambil berkata, "Jangan memasuki hutan ini, tuan-tuan yang terhormat, tiga orang pemuda yang tinggal di hutan ini sedang menjalani kehidupan brahmana. Jangan ganggu mereka." Tetapi Anuruddha yang kebetulan mendengar hal ini mungkin melalui telinga batin segera datang dan berkata, "Penjaga yang baik, yang datang ini adalah guru kami, jangan menghalanginya." Dua orang lainnya mengikuti Anuruddha, dan sekarang bertiga mereka menyambut kedatangan Sang Guru, membawakan mangkuk 65 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru dan jubahnya dan juga air untuk kami mencuci kaki. Kemudian Sang Guru menanyakan keadaan mereka. Mereka berkata pada Sang Guru bahwa mereka dilayani secara baik dalam meminta makanan dan mereka hidup bersama berdasarkan tali persudaraan yang erat. Setiap orang saling menasehati satu sama lainnya dan saling menolong secara tulus mengenai tugas-tugas tertentu seperti menimba air untuk minum dan mencuci. Kelihatannya mereka mempunyai satu pikiran dalam segala hal. "Sungguh berbeda dengan para bhikkhu di Kosambi," pikirku dalam hati. Kemudian Sang Guru bertanya lebih jauh pada mereka apakah mereka memperoleh konsentrasi pikiran hingga mereka dapat mencapai empat tingkat kesadaran jhana dan kekuatan gaib, Anuruddha menjawab bahwa mereka semua dapat melakukannya, dia sendiri mempunyai kepandaian melihat apa yang akan terjadi dan mengetahui pengalaman-pengalaman mereka sama seperti pengalamannya sendiri. Saya mempunyai kesan yang dalam dari pertemuan dengan pemuda-pemuda ini yang biasanya hidup mewah seperti saya. Hal ini memberi petunjuk padaku bahwa perselisihan dalam hatiku akan berakhir dan aku akan menemukan makna dengan mengisi Dhamma dalam seluruh hati dan pikiran. Tetapi kemudian kegelapan yang menyelimuti diriku saya dari waktu ke waktu membentuk sesuatu yang baru. Kini ada kemarahan pada diri saya sendiri bahwa Asava, delusidelusi dan kehausan akan terus muncul tanpa diinginkan, walaupun aku sudah memutuskan, tidak ada tempat bagi mereka; dan saya kuatir karena pada suatu waktu suatu jika kebenaran menunjukkan jalan terang untukku, dan tak lama kemudian, ketika aku lengah Mara yang ada dalam diri akan menghantui diriku kembali. Kekhawatiran itu menyebabkan aku menemui Anuruddha. Wajahnya tampak bercahaya dan bahagia, saya heran akan perubahan pada diri seseorang yang telah berhasil hidup tenang. Saya bertanya padanya tentang hal-hal yang sering mengganggu pikiran saya. "Saudara, saya heran bagaimana kamu bisa berubah begitu banyak sejak pertama kali saya melihatmu bersandar sambil menikmati musik yang merdu." Dia menjawab, "Aku rasa ibuku yang membuat aku berubah, walaupun mungkin dia tidak bermaksud demikian waktu itu. Waktu aku enggan menuruti keinginan Mahanama dan pergi meminta izin pada ibu untuk menjadi anggota sangha, Ibu menuntunku ke sebuah balai-balai sutra, menyuapkan daging manis sembari membelai rambutku dan memanggilku anak kesayangannya. Dia mengatakan 66 Bhaddiya dan Anuruddha bahwa semua kemewahan ini akan menjadi milikku jika aku tetap tinggal bersamanya. Saya merasa dia memperlakukan saya seperti anak kecil, lalu saya menyentak dengan berang, dan memutuskan untuk tidak lagi menerima perlakuan yang demikian memanjakan, walaupun saya tidak akan pernah mendapat izin dari dia untuk meninggalkan rumah. Sungguh, aku berpikir karena ketidaksetujuan ibulah yang membuat aku memutuskan untuk mengubah kehidupanku." "Begitu cepat kamu mencapai kedamaian batin, Saudara," aku menambahkan, "Kelihatannya dalam dirimu semua Asava, keinginan rendah, penipuan diri sendiri dan kebodohan, sama sekali telah musnah." "Tidak, saudara," dia menjawab sambil tersenyum, "Baru beberapa minggu yang lalu saya menangis pada Sariputta bahwa saya masih terikat pada Asava." "Tetapi," protes saya, "Bukankah kamu dikenal secara luas sebagai seorang yang memiliki kepandaian untuk melihat apa yang akan terjadi." "Kepandaian melihat apa yang akan terjadi bukanlah apa-apa dibandingkan dengan kebebasan dari hawa nafsu," katanya sedih. "Saya membanggakan kemampuan ini pada Sariputta, juga mengenai penglihatan dewa yang dapat memandang dengan teliti beribu-ribu sistim dunia. Dia menjawab dengan jujur bahwa pernyataan saya ini hanyalah kesombongan belaka. Saya juga memberitahu padanya bahwa saya sangat tekun berusaha untuk memusatkan pikiran dalam bermeditasi. Sekali lagi dengan jujur ia berkata bahwa pernyataanku hanyalah keangkuhan belaka." "Sahabatku Anuruddha, kamu mengejutkanku," kataku. "Walaupun begitu, saya mengaku bahwa saya sering kagum dan bertanya-tanya apakah engkau masih merasa adanya konflik batin yang disebabkan oleh kehausan akan hal-hal duniawi; musik, irama atau tarian." "Saya mempunyai keterikatan akan hal-hal tersebut." Dia menjawab dengan sungguh-sungguh. "Tidak akan hal-hal seperti itu, tapi akan makanan yang layak dan bersih dari dapur ibuku. Berkali-kali saya merasa jijik pada sisa makanan, kadang-kadang makanan yang tidak bersih dituangkan ke dalam mangkuk saya. Kadang-kadang saya juga merindukan tempat tidur yang bersih dan lembut. Saya mengeluh pada Sariputta bahwa saya tidak bisa melepaskan diri dari Asava dan saya masih terikat pada keinginan dan hawa nafsu." 67 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru "Lalu apa yang dikatakan Sariputta?" tanya saya. " Saya, saudara, masih mempunyai keinginan yang lebih daripada hal-hal yang ada dalam rumah ibu saya." Anuruddha memandang dalam kehampaan dan menjawab dengan lembut "Dia memberitahu saya bahwa keluhanku adalah penderitaan, penderitaan yang tidak berguna, dan daripada menderita lebih baik saya memusatkan pikiran pada hal-hal yang kekal dan abadi, yang tidak akan pernah musnah." Kata-kata ini membangkitkan semangat baru. Sariputta lebih bijaksana dari siapapun kecuali Sang Guru. Jika kita dapat memusatkan pikiran-pikiran pada hal-hal yang tidak dapat musnah, kita tidak akan disusahkan dan tidak akan kehilangan apapun. 68 Vesali dan Sangha Bhikkhuni Sang Buddha singgah di Vesali pada perjalanannya yang kedua ke Kapilavatthu, tetapi tidak lama berada di sana. Beliau singgah hanya untuk melewati musim hujan. Vesali adalah pusat kota bagi suku Licchavi dari persekutuan suku-suku Vajji. Kabar bahwa Raja Pasenadi dan juga Raja Bimbisara menjadi siswa Sang Buddha telah didengar oleh para bangsawan Licchavi dan begitu Sang Buddha tiba, mereka segera menjamu Sang Buddha dan memohon Sang Buddha untuk memberikan khotbah Dhamma. Sang Buddha mengabulkan permintaan mereka dengan memberikan khotbah Dhamma tentang kebijaksanaan dan pemerintahan yang stabil. "Selama engkau bertanggung jawab atas pemerintahanmu, senantiasa mengadakan pertemuan dan berkumpul dengan damai, selama itu pula engkau tetap diharapkan untuk memerintah dan tidak akan mengalami kemunduran. Selama tidak berusaha menjatuhkan hal-hal yang telah ditetapkan sebelumnya, menyesuaikan diri pada hukum dan adat kebiasaan Vajji, menghormati orang-orang yang lebih tua, selama itu pula engkau tetap diharapkan memerintah dan tidak akan mengalami kemunduran. Sepanjang engkau tetap menghormati para wanita dan gadis-gadis sukumu, tempat-tempat suci, orang-orang suci dan bijaksana, selama itu kemakmuran dan kekekuatan tetap ada dalam persekutuan Vajji." Sementara Sang Buddha sedang berbicara dengan para bangsawan ini, Persaudaraan Bhikkhu melihat kedatangan serombongan wanita yang mengenakan jubah kuning dengan kepala gundul dan tanpa alas kaki, tampak lusuh karena mengadakan perjalanan yang jauh. Mereka semula heran siapa gerangan wanitawanita itu. Memang benar ada pengembara-pengembara wanita, terutama dari orang-orang Nigantha, sementara juga ada siswa dari Sang Buddha, yang terkenal adalah Khema, bekas istri Raja Bimbisara yang telah aku ceritakan dan juga Bhadda yang berambut ikal, yang berasal dari suku Nigantha. Bhadda mempelajari seni berdebat hingga tidak ada yang dapat menandinginya. Kemudian dia berkelana dari suatu kota ke kota lainnya dan dari suatu desa ke desa lainnya. Di setiap tempat dia akan menanam tunas mawar merah di atas timbunan pasir dan memberitahu anak-anak dan penduduk lainnya, bahwa siapa saja yang ingin bertemu dan berdebat dengannya harus menginjak timbunan mawar merah itu. Selalu saja dia menjadi pemenang sampai suatu hari Sariputta datang. Sebelumnya Bhadda belum pernah berdebat dengan 69 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru seorang siswa besar Sang Buddha, lalu dia mengumpulkan sejumlah besar pengikut untuk menyaksikan perdebatan tersebut. Setelah beramah-tamah, Sariputta mempersilahkan Bhadda mengajukan pertanyaan terlebih dahulu. Sariputta menjawab semua pertanyaanpertanyaannya hingga dia kelelahan untuk bertanya lagi. Kemudian Sariputta melontarkan satu pertanyaan saja, "Apa itu yang disebut satu?" Bhadda, si Rambut Ikal tidak menjawab, padahal banyak jawabanjawaban terkenal dari pengetahuan kaum Veda, mungkin karena dia telah mengetahui bahwa Sariputta akan memberi sebuah jawaban sehingga dia dikalahkan oleh hal yang tidak diperhitungkan. Akhirnya dia meminta Sariputta untuk memberikan jawaban dan Sariputta memberitahu dia tentang Keabadian dan Delapan Jalan Utama. Bhadda mendengar dan menjadi yakin, kemudian dia meminta untuk menjadi murid Sariputta. Sariputta menolak tetapi mengajaknya menemui Sang Buddha dan Sang Buddha mentahbiskannya menjadi murid. Pentahbisan Bhadda berpengaruh besar pada saat itu dan masih banyak yang dibicarakan. Tetapi bukanlah Bhadda atau Khema atau para siswa wanita Sang Buddha lainnya ataupun para rahib wanita Nigantha yang mengadakan perjalanan dengan rombongan besar seperti yang kami saksikan sekarang memasuki Vesali. Sebelum aku bercerita tentang para wanita yang datang ke Vesali yang menandai masa penting bagi perkembangan Sangha, terlebih dahulu aku akan menceritakan apa yang dikatakan Sang Buddha pada kami, yakni ketika Sang Buddha telah mencapai penerangan dan mara mempengaruhi agar pergi mengasingkan diri sebagai pertapa menikmati sendiri berkah atau kebahagiaan yang ditemukan. Sang Buddha berjanji tidak akan pernah berhenti dari tugasnya di dunia hingga adanya persaudaraan para bhikkhu dan bhikkhuni dan umat awam pria atau wanita yang taat yang mampu menyebarkan Dharma. Sampai saat ini masih sedikit jumlah siswa wanita yang menjalankan kehidupan di dalam pengembaraan, hanya beberapa wanita yang mampu meninggalkan kehidupan duniawi seperti Khema dan Bhadda si Rambut Ikal yang mempunyai kemampuan yang menonjol untuk itu. Maksud Sang Buddha belumlah terwujud seluruhnya sampai saat ini. Lebih jauh aku menjelaskan, ketika Persamuan Agung diselenggarakan di Rajagaha setelah wafatnya Sang Buddha, tak seorang pun bhikkhuni yang diundang, oleh karena itu semua hal yang diuraikan adalah merupakan laporan dari para bhikkhu yang dengan tak sengaja melupakan para bhikkhuni pertama tersebut dan juga janji Sang Buddha. Cuma sedikit diceritakan tentang betapa Sang Buddha tidak membuat perbedaan antara pria dan wanita dalam mencapai 70 Vesali dan Sangha Bhikkhuni penerangan sempurna. Kebanyakan dari para bhikkhu yang pernah suatu saat digoda oleh nafsu, menganggap wanita sebagai perangkap yang dipasang oleh Mara, oleh karena itu mereka selalu memberi perhatian sekecil mungkin pada wanita dan merendahkan mereka. Mereka lupa bahwa Mara adalah berasal dari diri mereka sendiri, dari hawa nafsu sendiri dan mereka selalu menyalahkan kaum wanita, bukan diri mereka sendiri bila mereka tergoda oleh nafsu. Oleh karena hal-hal demikian, setelah kematian Sang Buddha, dalam Persamuan Agung tidak diikutsertakan para bhikkhuni dan tidak diperhitungkan, dengan demikian semua kejadian yang aku ceritakan oleh karenanya kekurangan bukti-bukti. Setelah menerangkan panjang lebar, kini biarkanlah aku kembali bercerita tentang rombongan wanita berjubah kuning yang mendekati Vesali. Perlu diingat bahwa, setelah kematian ayah Sang Buddha, Suddhodana, putri Pajapati, bibi Sang Buddha bermaksud untuk menjadi bhikkhuni. Sang Buddha tidak mengizinkan mungkin karena mengingat Rahula dan Nanda telah meninggalkan rumah, juga karena kini putri Pajapati adalah kepala keluarga yang besar. Dengan sedih Pajapati kembali melakukan tugasnya. Tetapi dia terus menerus merenungi jalan pembebasan yang diajarkan Sang Buddha. Dia mengerti pembebasan itu bukanlah pembebasan dari hal-hal yang ada di dunia tetapi dari keinginan-keinginan yang ada dalam hati. Dia pikir melenyapkan keinginan-keinginan dalam hati akan lebih mudah jika godaan hidup sebagai kepala keluarga disingkirkan. Berdasarkan halhal inilah dia kemudian mengatur para kepala keluarga dan tanggungjawabnya diberikan pada yang lain, lalu dia mengumpulkan para wanita dari Suku Sakya dan memberitahu mereka apa yang ada dalam benaknya yakni menjalankan kehidupan suci. Apa yang dikatakannya dianggap bijaksana oleh mereka. Mereka bersepakat memotong rambut dan mengenakan jubah kuning, tanpa alas kaki berjalan menuju Vesali, tempat di mana Sang Buddha berada. Ketika tiba di Vesali, mereka berlutut di hadapan Ananda, dan Pajapati mengatakan tentang tujuan dan keinginan mereka untuk menjalankan kehidupan suci sebagai murid Sang Buddha. Mengingat penolakkan Sang Buddha dahulu terhadap permintaan Pajapati, Ananda kemudian mengumumkan kedatangan mereka dan memberitahu Sang Buddha tentang ketulusan hati mereka, terbukti dari perjalanan mereka, bukan sebagai wanita bangsawan, melainkan sebagai orang yang rendah hati yang hidup dari secuil makanan yang diberikan orang lain. Sang Buddha menyuruh Ananda membawa mereka menjumpainya dan 71 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru kemudian Sang Buddha mentahbiskan mereka sebagai Sangha Bhikkhuni. Kemudian Pajapati memohon Sang Buddha membabarkan Dharma pada mereka sebelum mereka pergi bertapa. Dan kini, ketika aku dengan beberapa anggota persaudaraan para bhikkhu berusaha menyusun ajaran Sang Buddha ke berbagai peraturan-peraturan dan kategori, aku teringat kembali apa yang dikatakan Sang Buddha pada Pajapati. "Kamu dapat menentukan sendiri Dharma itu apa. Terhadap ajaran-ajaran apapun, kamu harus sadar bahwa mereka membawa kedamaian, bukan nafsu, melepaskan dan bukan mengikat, mengharap sedikit dan tidak mengharap terlalu banyak, menyepikan diri dan tidak condong pada keramaian, berusaha melatih diri dan tidak malas, merasa puas dan tidak mengeluh, sungguh, tanamkan dalam pikiranmu bahwa inilah Dhamma, inilah Vinaya, inilah ajaran dari Penemu Kebenaran." Pajapati yang merupakan pemimpin keluarga besar sejak dia masih muda, kini kembali pada tugasnya untuk mengorganisasi persaudaraan bhikkhuni dan mengusulkan untuk menerima peraturan Vinaya yang diberikan Sang Buddha supaya di luar semua kelihatannya sama atau seragam. Para bhikkhu yang lebih tua dan cakap menjadi instruktur mereka dan di dalam Persaudaraan (Sangha), sebagaimana di dunia ini, diputuskan bahwa para bhikkhuni harus menghargai para bhikkhu, yang lebih berpengalaman, sebagimana mereka memandang saudara laki-laki mereka yang lebih tua. Namun dalam memahami atau mempelajari Dhamma, tidak ada perbedaan jenis kelamin. Jika seorang wanita atau pria memikirkan bahwa dia seorang wanita atau pria maka Mara mempunyai kekuatan untuk mengodanya, tetapi jika seseorang tidak mempunyai pikiran demikian lagi, Mara akan pergi dengan sendirinya, dalam memahami dengan menjalankan Dhamma tidak ada perbedaan wanita atau pria, beberapa siswa Sang Buddha yang cakap dan bijaksana adalah wanita seperti Khema dan Uppalavanna. Lebih jauh lagi, Pajapati begitu keras memeriksa keuntungan-keuntungan yang didapatkan oleh persaudaraan bhikkhu atas status mereka yang dianggap lebih tua dan terhormat. Suatu ketika dia menemukan enam orang bhikkhu yang menyuruh beberapa bhikkhuni untuk memcuci, memberi warna dan menyisir bulu domba untuk bahan baju mereka hingga para bhikkhuni ini melalaikan latihan meditasinya. Pada saat itu juga Pajapati melaporkan hal ini pada Sang Buddha dan Sang Buddha membuat suatu peraturan bahwa para bhikkhu tidak boleh meminta para bhikkhuni mengerjakan suatu 72 Vesali dan Sangha Bhikkhuni pekerjaan untuk kepentingan mereka. Pada hari berikutnya, beberapa bhikkhu yang mempunyai keahlian dalam pekerjaan tangan diizinkan untuk membantu para bhikkhuni di dalam vihara. Tetapi setiap pekerjaan dilakukan secara bersama dan tidak ada pekerjaan yang menyita waktu meditasi mereka. Pajapati yang diberi kebebasan oleh Sang Buddha, mengorganisir para bhikkhuni sehingga terpisah dari persaudaraan (para bhikkhu), kemudian jumlah para bhikkhuni bertambah dengan cepat karena para wanita yang karakternya tidak semenonjol Khema atau Bhadda dimungkinkan untuk memakai jubah kuning. Banyak para wanita memanfaatkan kesempatan ini, dengan latihan yang sungguh-sungguh mereka menjadi salah satu dari sekian orang-orang suci. Kini izinkanlah aku bercerita tentang salah seorang di antaranya, yaitu Patacara. Sebelum Patacara menjadi murid Sang Buddha, Patacara berkeliaran di sepanjang jalan kota Savatthi tanpa pakaian yang layak dan terkenal sebagai seorang wanita gila. Penduduk memberitahuku bahwa dia berasal dari keluarga baik-baik, kemudian menikah dengan seorang pelayan dan mempunyai dua orang anak, tetapi sekarang suami, anak-anaknya dan sanak saudaranya semua telah meninggal. Keadaannya sungguh menyedihkan, tetapi hanya sedikit orang yang kasihan padanya dan memberinya secuil makanan, lebih banyak orang mengusirnya bila ia mendekati mereka. Hal itu juga terjadi ketika Sang Buddha tiba di Savatthi. Sang Buddha sedang berkhotbah di Hutan Jeta ketika Patacara datang mendekati Beliau. Melihat kedatangannya, beberapa pendengar khotbah berkata, "Jangan hiraukan si gila yang datang ke sini," dan beberapa orang bangkit hendak mengusirnya. Tetapi Sang Buddha segera mencegah, "Jangan mengusir dia," Sang Buddha berhenti berkhotbah dan bangkit, menunggu Patacara mendekatinya. Kemudian Sang Buddha merentangkan tangan dan cahaya belas kasih-Nya bagaikan sebuah mantel yang melindungi Patacara. Dia berhenti seketika dan menatap Sang Buddha. "Saudaraku, ceritakanlah penderitaanmu," suara Sang Buddha penuh kelembutan yang tak terlukiskan. Seketika itu juga ekspresi ketidakwarasannya menjadi hilang, wajahnya menjadi tenang dan damai. Suasana menjadi demikian hening karena semua terpana akan keajaiban yang terjadi, suara sehelai daun yang gugur pun sampai kedengaran. Perlahan-lahan dia menjadi sadar akan keadaan tubuhnya, wajahnya menjadi merah dan dia segera meringkuk di tanah sampai seseorang di sampingnya mengansurkan sebuah mantel untuknya, dan secepatnya dia menutupi 73 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru badannya dengan penuh rasa syukur. Kemudian dia bersujud di kaki Sang Buddha sambil berkata: "Guru, tolonglah saya. Suami saya meninggal digigit ular berbisa, salah satu anakku disambar rajawali dan satu lagi mati tenggelam. Orang tua saya dan saudara saya meninggal tertimpa rumah yang roboh, tidak ada lagi orang tempat saya berlindung." Sang Buddha duduk dan Patacara bersujud di depan kaki Sang Buddha. Ketika dia sudah tenang, Sang Buddha berkata, "Memang demikianlah adanya perlindungan itu, tidak ada pada suami, anakanak, orang tua dan saudara-saudara maupun famili. Kematian pasti datang menjemput mereka dan airmatamu pasti jatuh bila kamu kehilangan seseorang yang dicintai. Airmata tidak akan menghentikan perputaran roda kelahiran dan kematian. Saya dapat menunjukkan padamu sebuah perlindungan yang abadi." Patacara mendengar dengan sungguh-sungguh tetapi hatinya tetap sedih. Kini dia duduk tegak dan menatap mata Sang Buddha dalam-dalam sambil berkata: "Adakah perlindungan yang demikian? Beritahukanlah saya apa itu." "Perlindungan itu adalah Nirvana. Berlindunglah pada Dhamma, jalan yang membimbingmu menuju Nirvana. Dengan melaksanakan jalan itu, tidak ada yang akan melukaimu." kemudian Sang Buddha memberitahu Patacara tentang Delapan Jalan Utama dan dia mendengar dengan hikmad. Sebelum Sang Buddha selesai berkhotbah, sebuah cahaya yang bersinar terang telah menerangi wajah Patacara, dan kami tahu bahwa dia telah melihat Mata Kebenaran dan telah memasuki aura yang membimbingnya menuju Nirvana. Ketika Sang Buddha berhenti berkhotbah, dia memohon untuk menjadi murid dan Sang Buddha membawanya pada persaudaraan bhikkhuni untuk ditahbiskan. Beberapa tahun kemudian, aku kembali bertemu Patacara di sebuah tempat yang jauh. Dia telah mencapai Pembebasan dan dihormati sebagai seorang suci. Dia memberi khotbah pada orang banyak dan pergi ke desa berkhotbah kepada penduduk sekitarnya dan secara perlahan sejumlah wanita menjadi pengikutnya. Para bhikkhuni ini tidak pernah bertemu dengan Sang Buddha dan bagi mereka Patacara adalah Sang Buddha yang maha sempurna. Sungguh, ketika saya melihat cahaya belas kasih yang terpancar di wajahnya saat memberikan khotbah, seolah-olah saya merasakan kehadiran Sang Buddha. 74 Vesali dan Sangha Bhikkhuni Sebagian besar yang mendengar khotbahnya adalah orang-orang yang telah kehilangan anak-anaknya, dan mereka tahu bahwa Patacara berbicara sebagai orang yang pernah merasakan penderitaan serupa ketika dia menerangkan bahwa memang demikianlah hidup, sesuatu muncul untuk kemudian lenyap, terikat pada hal-hal yang tidak kekal adalah seperti terikat pada roda yang terus berputar, sumber dari penderitaan yang tidak pernah padam. Mereka juga mengetahui, ketika dia berbicara tentang perlindungan Dharma, dia sendiri telah mendapatkan ketenangan di bawah naungan Dharma, dengan demikian dia akan dapat menunjukkan jalan bagi siapa pun yang mencari perlindungan itu. 75 Dukkha: Kesunyataan Utama Setelah Sang Buddha meninggalkan Vesali, Sang Buddha berjalan menuju Benares dan berkelana di antara orang-orang Kasi. Tetapi apa yang terjadi kemudian pada beliau tidak pernah aku dengar langsung, karena aku tidak menemani beliau dalam perjalanannya. Begitu beliau berangkat aku menderita sakit yang berat, aku tidak pernah sakit sebelumnya, masa muda dan tubuh yang sehat bagi aku merupakan suatu yang alamiah. Memang merupakan kenyataan bahwa di saat aku melakukan perjalanan aku sering melihat orang sakit, orang tua dan orang mati. Ada satu hal yang dapat diketahui berdasarkan intelektual seseorang yakni bahwa penderitaan adalah kebenaran utama dalam hidup, namun untuk menerima penderitaan itu ketika ia datang padamu, adalah hal yang lain lagi. Dan sekarang aku kasihan pada diriku sendiri dan benci akan rasa sakit, hari-hari berikutnya aku didera oleh gelisah yang berkepanjangan dan ketika derita itu berlalu, ia meninggalkan kelemahan dan keletihan serta rasa putus asa yang lebih parah dari rasa sakit. Suatu hari aku terbaring dalam kesengsaraan yang dalam, dalam bayang-bayang, aku merasa Sang Buddha datang dan berdiri di sampingku, memandang dengan matanya yang bijaksana, mata terlembut di dunia. Beliau mengingatkan aku tentang perjalanan yang menyenangkan dari Rajagaha ke Kapilavatthu saat mengunjungi ayahNya. Ketika kami berdiri memandangi perahu besar di sungai Gangga sementara rakit sedang dibuat, beliau berkata, "Hari-hari sebelum saya menemukan penerangan, saya mengunjungi samudera timur. Di pelabuhan, sebuah kapal laut yang diperlengkapi dengan tiang kapal dan korset terdampar di pantai. Seorang pelaut tua mengatakan kepada saya bahwa perahu itu sudah berada di sana selama enam bulan ditempa terik mentari dan hujan silih berganti, menyebabkan ia menjadi rapuh dan hancur. Demikian juga halnya dengan seorang bhikkhu yang menjalani Jalan Tengah, dia akan melemahkan serta melepaskan belenggu itu dengan sendirinya; jangan resah, jangan merasa tertekan, dan jangan gelisah." Bayang-bayang itu kemudian berlalu, tetapi hal itu seolah-olah bagaikan seorang yang kuat mengulurkan tangan menolong yang lemah. Setelah itu aku pun tertidur dengan tenang. Kejadian itu mengingatkanku pada penderitaan Sang Buddha sebelum mencapai Penerangan Sempurna, saat kekuatanku pulih kembali, aku merenungkan dalam-dalam penderitaan-penderitaan yang kualami itu. Akhirnya aku mampu bangkit dari dipan dan pergi menuju ke desa meminta 76 Dukkha: Kesunyataan Utama makanan. Hidup dan kekuatan baru datang kepadaku, dan aku dipenuhi rasa bahagia dan cinta kasih kepada seluruh dunia. Aku bahagia karena mampu melimpahkan perasaan belas kasih. Suatu hari ketika sedang mengumpulkan makanan, aku mendengar nyanyian sekelompok gadis petani yang sedang bekerja. Lagu itu sangat terkenal dan dulu lagu itu selalu menggugah perasaaanku yang terdalam. Walaupun lagu itu tetap sebagus yang dulu, namun aku menjadi sadar bahwa lagu itu tidak lagi memiliki kekuatan yang dapat menggugah emosi dan keinginanku. Aku mendengarkannya seperti angin yang berlalu di padang rumput. Akhirnya aku menyadari bahwa belenggu, kehausan dan keserakahan akan indera telah lenyap dari diriku seperti tiang yang lepas dari kapal. Demikian bahagianya aku seakan-akan aku merasa bagaikan telah mencapai penerangan sempurna. Aku mengingat kembali akan pikiran-pikiran yang penuh nafsu keinginan dan rasa dengki yang pernah mengendalikanku, dan aku menyadari bahwa hal-hal itu telah lenyap bagaikan tak pernah ada sebelumnya. Aku merasa begitu damai dan penderitaan pada hari-hari yang lalu telah berganti menjadi semangat hidup dan kebahagiaan. Aku berjalan pulang dengan langkah yang bebas, ringan sambil merenungkan semuanya. Tiba-tiba aku tersandung sebuah batu dan terjatuh. Aku berusaha bangkit dengan rasa sakit dan nyeri di punggung. Aku tidak menghiraukannya dan segera bermeditasi di bawah pohon palem dekat gubukku. Tetapi malam itu punggungku terasa sakit sekali, dan minggu-minggu berikutnya menjadi lebih parah, sehingga kadang membuat aku tidak bisa tidur. Aku berpikir lebih baik beristirahat selama beberapa hari dan meminta salah satu bhikkhu untuk mengambil makananku. Aku masih bahagia karena kecelakaan kecil ini tidak mengurangi kegembiraan dan cinta kasihku terhadap semua makhluk. Tetapi ketika hari-hari telah berlalu dan aku harus meminta makanan sendiri, rasa sakit masih belum hilang dan kadang lebih hebat lagi. Aku hanya mampu berjalan sedikit saja dan itu pun dengan susah payah. Perasaan gembira yang semula ada mulai lenyap berangsurangsur, dan aku kembali dilanda kesedihan yang dalam dan putus asa. Aku berusaha menarik nafas dalam-dalam dan menggabungkannya dengan upayaku berkonsentrasi dalam meditasi, tapi sakitnya tidak kunjung reda, semakin berusaha bermeditasi, semakin terasa sakitnya. Semuanya terasa sia-sia dan lebih sia-sia lagi karena perasaan gembira yang ada telah lenyap. "Jika saja Sang Buddha berada di sisiku," pikirku, tetapi beliau dikabarkan telah 77 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru meninggalkan Benares dan sedang menuju Savatthi yang memerlukan perjalanan berminggu-minggu, itu pun jika aku sanggup berjalan sejauh itu, dan aku tidak yakin dapat melakukannya. Ketika aku teringat Sang Bhagava, terkenang juga kata-kata mengenai terbentuknya diri. Ada diri jasmani saat kita terikat akan nafsu dan keinginan akan bentuk jasmani dan ada 'diri dalam bentuk pikiran' saat kita terikat pada kesempurnaan dan ide-ide. Tetapi ada diri yang halus dan tak berbentuk saat kita menikmati kegembiraan dari kebajikan yang kita perbuat. Aku telah menjauhkan diri dari inti keabadian seperti seorang yang menurut kehendak keinginankeinginan rendahnya. Demikian cerdiknya Mara menggoda bahkan dalam kebajikan yang kita perbuat dan membentuk diri yang lain pada tempat di mana bentuk-bentuk diri yang lebih kasar telah kita musnahkan! Sambil merenungkan dan mengakui kebenaran itu, aku bermeditasi lagi, berusaha keras di antara kesuraman dan keputusasaan untuk membuang diri tak berbentuk dan menemukan kedamaian. Tetapi semakin aku berusaha, bertambah rumit pula persoalan dan semakin terasa penderitaan yang tidak akan pernah berakhir. "Ketika pikiran buntu", teringat lagi kata-kata Sang Buddha, "Atau merasa tertekan dan lelah, maka saat itu tidak mungkin akan ada ketenangan dan meditasi. Seperti hendak membuat api dari tumpukan rumput basah." Aku kemudian bangkit dan melakukan sedikit tugas merapikan biara dan membantu orang baru yang tiba. Keadaan memburuk tetapi aku tidak lagi menghabiskan energi untuk berkonsentrasi dan mencari kedamaian. Aku biarkan sakit di punggung dan kesedihan berjalan sebagaimana adanya. Keesokan paginya sewaktu meminta makanan, aku bertemu seorang gadis kecil bermain dengan anak-anak dari kampung lain. Aku telah sering berjumpa dengan gadis kecil itu dan tidak begitu memperhatikannya. Dia hanya memiliki satu kaki dan berjalan pincang dengan tongkatnya, tetapi dia tertawa ceria dan berteriak seperti anak-anak lain sambil bermain lumpur. Aku menjadi sangat malu bila dibandingkan gadis kecil itu yang keadaannya lebih menderita tetapi tetap ceria dan bahagia. Aku demikian bodoh dan mudah putus asa. Sesuatu memasuki benakku dan membuatku agak tenang. Aku harus belajar seperti dia. Aku telah mengidentikkan diriku dengan jasmaniku, menciptakan 'diri-jasmani'. Sambil merenungkan bahwa sebenarnya jasmani ini bukanlah 'Aku', aku teringat si tukang pangkas, Upali yang menceritakan penemuannya berdasarkan pengalamannya sendiri bahwa kepandaiannya bukanlah dirinya yang 78 Dukkha: Kesunyataan Utama sebenarnya. Menurutnya, "Ini adalah suatu hal yang istimewa tetapi sulit dipahami. Lihatlah monyet yang mengguncang-guncang pohon seperti gempa bumi itu. Lihat, sekarang ia berpindah-pindah ke pohon-pohon lain, dan berbuat serupa tanpa mendapat apa-apa. Dia berpikir bahwa dia dapat melakukan segala sesuatu dengan otaknya yang demikian tak berarti, padahal itu hanya menimbulkan kesulitan bagi dirinya sendiri." Sekarang aku menemukan hikmah dari rasa sakit itu, dan aku ingin segera bertemu dengan Sang Buddha serta mendengarkan penderitaannya sebelum mencapai penerangan sempurna. Perjalanan pada musim hujan itu ke Savatthi memerlukan waktu hanya dua bulan, aku berjalan pelan sekali. Bagaimanapun, aku rasa masih dapat tiba tepat pada waktunya, jadi sewaktu fajar mulai menyingsing aku berangkat sambil membawa mangkuk, walaupun anggota Sangha ke mana-mana selalu berjalan kaki, namun aku yakin Sang Buddha akan mengijinkan bagi yang pincang untuk memakai kereta lembu jika ditawarkan. Tetapi aku dapat berjalan secepat kereta itu. Biasanya perjalanan ke Savatthi akan melewati Kapilavatthu dan aku merasa Sang Buddha tinggal agak lama di sana. Ketika hampir mencapai kota ini aku bertemu Sariputta yang mengatakan Sang Buddha menetap di sana sebelumnya, dan sekarang telah berada di Savatthi. Sewaktu aku menceritakan tentang rasa sakitku, beliau pun mengulang kembali kata-kata Sang Buddha kepada pesakit Nakulapilar yang tua di luar Kapilavatthu. Nakulapilar sakit dan sangat resah dan sering menyesali dirinya sendiri. Ketika Sang Buddha menjenguknya, Nakulapilar berkata, "Saya orang tua renta yang selalu sakit-sakitan dalam hidup yang sudah akan berakhir ini. Saya selalu menderita dan merana. Jika anda atau bhikkhu tua lain menjenguk saya, saya akan merasa lebih baik. Tetapi tidak ada seorang pun yang mengunjungi saya. Saya sangat sedih dan menderita." Sang Buddha memandangnya dengan belas kasih dan berkata, "Benar, tubuhmu lemah dan merana, tetapi siapa yang kebahagiannya selalu tergantung pada kesehatan dan kondisi tubuhnya, akan kecewa. Kita tidak dapat menggantungkan keseharian kita pada kesehatan, biarpun hanya untuk sehari." "Tidak, saya rasa tidak," keluh orang tua itu. Sang Buddha melanjutkan, "Tubuh tidak akan luput dari celaka dan penyakit, dan seandainyapun luput dari hal itu pada akhirnya akan hancur dan mati. Mengharapkan jasmanimu sebagai penolong, sama saja mengharap sesuatu yang telah menyusahkanmu, yang selalu berubah, yang selalu 79 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru akan hancur. Tetapi ada pertolongan abadi dan kamu dapat menemukannya sekarang." "Saya tidak melihat apapun yang tersisa bila kekuatan dan kesehatan telah buruk," Orang tua itu kembali mengeluh, "jadi kita harus bergantung kepada apa?" Sang Buddha memandangnya dengan penuh cinta kasih sambil berkata, "Jika kamu memiliki Diri Sejati, berlindung kepada Dhamma, yang menguasai segalanya; kelemahan dan sakit tidak berpengaruh lagi kepadamu. Walaupun tubuhmu sakit tapi Dirimu yang sejati itu tidak akan sakit, dan kamu dapat berlindung padanya, sebuah pulau yang melindungimu dari badai penderitaan hidup." Nakulapilar mendengar semua nasehat Sang Tathagata dan sepenuhnya paham. Kini ia bebas dari segala sakit dan penderitaan batin. Dia berlindung kepada Hukum Kesunyataan dan Dirinya yang sejati. Wajahnya sejernih Sang Buddha ketika dia pergi meninggalkan beliau. Dalam perjalanannya dari daerah tersebut dia bertemu dengan Sariputta yang segera mengenali wajahnya yang damai. Dia berkata, "Nakulapilar, kamu tentu baru saja bertemu dengan Bhagava." "Ya, saya bagaikan diberi makanan dewa-dewi." "Ceritakan kepada saya apa yang terjadi dan apa yang beliau katakan sehingga wajahmu begitu bersinar." Dan Nakulapilar menceritakan kembali kepada Sariputta mengenai pertemuannya dengan Sang Buddha dan suaranya penuh dengan kegembiraan, tetapi Sariputta tidak puas, baginya wejangan Sang Buddha belum sempurna, jadi ketika Nakulapilar berhenti, dia berkata: "Apakah kamu menanyakan kepada Sang Sugata bagaimana tubuh dan pikiran menjadi sakit dan bagaimana tubuh menjadi sakit tetapi pikiran tetap sehat?" "Tidak, tapi tuan yang terhormat, maukah anda menjelaskan kepada saya demi kesejahteraan saya?" "Marilah kita duduk sebentar," seru Sariputta, "Dan saya akan menjelaskan kepadamu." Mereka duduk di bawah pohon dan Sariputta melanjutkan: "Mereka yang kurang mengerti akan menganggap tubuh adalah pribadi sebenarnya, dan jika tubuh sakit mereka akan berkata, 'Saya menderita' bukan 'tubuh saya menderita.' Atau menganggap emosi dan perasaan adalah pribadi sebenarnya dan berkata 'Saya kurang enak.' Padahal hanya perasaan mereka yang kurang enak mereka selalu 80 Dukkha: Kesunyataan Utama menyebut 'aku' dan 'milikku'. Ini bukan cara yang benar. Kamu bukan tubuhmu, bukankah demikian?" "Tidak," jawab Nakulapilar yang masih teringat kata-kata Sang Buddha, "Tidak, saya bukanlah pribadi sebenarnya; saya hanya membawa serta tubuh ini." "Benar," Sariputta mengiyakan sambil berusaha memperjelas dan menambah pengertian kepada Nakulapilar. Sariputta kemudian melanjutkan, "Jika seseorang mengatakan tubuh adalah diri sebenarnya maka bila tubuh sakit, pikiran akan sakit juga. Tetapi jika seseorang menjalani delapan jalan tengah dia akan berkata kepada dirinya, "Aku bukanlah milikku". Dia tidak akan terikat pada tubuhnya dan bila tubuhnya rusak, sakit, dia tidak akan menderita, serta putus asa. Jadi biar pun orang itu sakit, tetapi pikirannya jernih. Apakah kamu mengerti?" "Ya, saya mengerti sekali", jawab Nakulapilar tanpa terpaku pada logika Sariputta, melainkan pada pandangan Sang Buddha mengenai penderitaan hidup dan Dhamma, Hukum Kesunyataan dan berlindung pada semuanya. Dia masih diliputi kegembiraan dan dia hampir tidak mendengar Sariputta mengakhiri; "Jika kamu menyadari bahwa tubuh dan perasaanmu bukan dirimu yang sebenarnya, maka kamu tidak akan terikat pada kekuatan dan masa mudamu. Bila kamu tidak melekat pada tubuh dan keinginan maka kamu akan bahagia." "Ya, dan kamu telah membuat pulau dari diri yang sebenarnya." tambah Nakulapilar, "Tubuh adalah laut yang penuh badai yang memecah pulau dan pulau itu tidak akan terpengaruh. Terima kasih, tuan yang terhormat. Kamu telah menjelaskannya segala sesuatunya dengan baik." Sariputta bangun dan memberkahi Nakulapilar, sadar bahwa sebenarnya Sang Buddha telah membawa orang tua itu ke realita tertinggi yang tidak dapat ditelaah hanya dengan logika atau pengetahuan. Sariputta menceritakan ini bertentangan dengan dirinya sendiri. Dia seorang yang rendah hati dan tersenyum bila mengingat bagaimana ia masih berusaha menolong Nakulapilar padahal Sang Buddha telah dapat melakukannya hanya dengan beberapa kata. Namun bagaimanapun Sariputta telah menolong aku, sehingga aku menjadi lebih tegar dan bersemangat menuju Savatthi. Dalam perjalanan menuju Hutan Jeta di Savatthi, aku bertemu dengan seorang Brahmana gemuk yang periang dan baik hati, berpakaian putih dengan menunggang kuda betina. Dia tersenyum ramah dan demikian juga aku, walaupun masih teringat Nakulapilar. Kami saling memberi salam padahal kami tidak saling mengenal. 81 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru "Nama saya Janussoni", sapanya. "Saya mau pulang ke rumah setelah mengunjungi Yang Agung Gautama," dan senyumnya pun merekah. "Gautama, yang meninggalkan jejak kaki bagaikan jejak seekor gajah besar," Dia pun tertawa dan melanjutkan bahwa sewaktu ia meninggalkan kota, ia bertemu Pilotika. Ini adalah cerita tentang pertemuannya yang kebetulan itu, sebagaimana yang kuingat: "Apa maksud Anda mengunjungi kota ini pada pagi-pagi buta, Pilotika yang mulia?" "Saya baru saja mengunjungi Yang Maha Sempurna, Sang Buddha." "Maksudmu Gautama?" tanya Janussoni. "Saya pernah mendengar tentang beliau dan bagaimana Anathapindika membeli taman Pangeran Jeta untuk Beliau dengan menutupi seluruh permukaan tanah taman dengan uang emas. Bagaimana pendapatmu tentang beliau? Apakah pemikirannya luas? Apakah dia orang terpelajar? "Saya terlalu rendah untuk memahami ajaran pertapa Gautama," jawabnya dengan semangat, "Hanya orang suci yang dapat melakukannya. Saya hanya debu bila dibandingkan dengan beliau." "Kamu sangat membanggakan beliau." "Semua makhluk tak terkecuali saya sangat menghormatinya," sambung Pilotika dengan semangat, "Beliau dipuja para dewa dan manusia." Janussoni menunggu informasi selanjutnya dan berniat menunggu dengan sabar sampai dia berkeinginan untuk menjelaskannya. Akhirnya dia bertanya. "Lalu apa yang kamu peroleh dengan begitu setia kepada ajaran-Nya?" Pilotika melanjutkan, "Sebagaimana pemburu yang mengikuti bekas jejak kaki gajah hutan, demikian juga aku yang mengikuti empat jejak kaki Sang Buddha, yang seketika kukenali sebagai Yang Maha Sempurna." "Dan Pilotika, apakah itu empat jejak kaki beliau?" "Saya telah melihatnya," jawab Pilotika sungguh-sungguh. "Para bijaksana datang kepada pertapa Gautama, membahas segala masalah dan berbagai hal lainnya, mereka berusaha menjatuhkan beliau dengan berbagai pertanyaan yang menyulitkan, tetapi akhirnya mereka sadar setelah mendengarkan khotbah beliau kemudian menjadi muridnya. Bukankah ini bagaikan mengikuti jejak kaki dari sebuah gajah raksasa?" Akhirnya Janussoni percaya. Dia turun dari kereta kuda putihnya, membungkuk hingga jubahnya mengenai tanah dan berkata, "Semoga 82 Dukkha: Kesunyataan Utama suatu hari saya dapat bertemu dengan pertapa Gautama dan berbicara dengan Beliau." "Yakinlah, Brahmin Janussoni dan anda akan menemukan apa yang saya katakan." Janussoni tidak usah menunggu terlalu lama. Begitu Pilotika hilang dari pandangannya, dia segera berniat mengunjungi Sang Buddha segera karena urusannya dapat ditunda. Dia mengatakan bahwa dia dan Sang Buddha langsung segera saling menyukai ketika baru bertemu. Dia menyebut Sang Buddha dengan nama keluarga beliau sepertinya ia sudah sederajad dengan Sang Buddha. Dia tidak pernah menjadi murid dalam arti sebenarnya, karena ia tak dapat lepas dari upacara kurban, hidup senang dan bersuka ria dengan temantemannya. Dia suka medengarkan gosip di sudut-sudut jalanan. Dia kenal banyak orang penting di Savatthi. Tetapi dia sering mencari Sang Buddha, mendengarkan khotbahnya, dan bertanya kepada-Nya. Dan Sang Buddha menjawab semua pertanyaannya dan menceritakan kehidupan masa lalunya yang tidak disebutkan Janussoni lagi. Setelah berpisah dengan Janussoni, saya menuju Taman Jeta. Saya berniat menanyakan kepada Sang Buddha mengenai penderitaanNya sewaktu sendirian di hutan setelah meninggalkan istananya pada usia dua puluh sembinan tahun. Tetapi sewaktu berjumpa dengan beliau, saya merasa tidak perlu menanyakan lagi. Bibirku terasa kaku. Sudah lebih dari cukup jika dapat berdekatan dengan beliau. Beberapa minggu kemudian Janussoni mengunjungi Sang Buddha, aku mendengar apa yang aku renungkan selama terbaring sakit. Kita semua tahu, Sang Gautama meninggalkan keduniawian, istri dan anak, dan bertapa selama enam tahun untuk mencari jalan menolong semua makhluk. Namun hanya sedikit dari kita yang mengetahui lebih jauh apa yang terjadi pada beliau selama enam tahun itu. Janussoni, yang lebih suka keramaian bertanya kepada Sang Buddha: "Tentunya sangat sulit dan berbahaya hidup di pedalaman jauh dari manusia, Gautama. Hidup sendiri bagaikan mati. Sebelum Anda mencapai penerangan tidakkah Anda merasakan kesunyian yang teramat sangat? Dan bagaimana dengan bahaya binatang liar, perampok dan bencana alam lainnya?" "Anda benar, Brahmin, saya pernah merasa kesunyian. Tetapi saya kemudian malu karena teringat pertapa-pertapa lain yang mencari penerangan untuk dirinya sendiri saja tidak kesunyian, mengapa saya yang mencari pembebasan bukan untuk diri sendiri melainkan untuk semua makhluk harus merasa kesunyian?" "Kemudian apakah Anda merasa takut, Gautama?" 83 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru "Pada saat tertentu, ya, Brahmin, misalnya saat seekor binatang lewat atau angin keras menjatuhkan dedaunan atau burung merak mematahkan ranting. Kemudian saya berpikir betapa bodohnya bila saya dikuasai ketakutan dan apa yang kita pikirkan bisa menjadi ada. Lalu saya akan berkata pada diri sendiri: 'Biarkan mereka sesukanya dan aku akan menyambut mereka tanpa merubah posisi saya.' Saya akan tetap berjalan bila sedang berjalan, saya akan tetap tidur atau berbaring bila sedang tidur atau berbaring. Rasa takut akan segera hilang." "Dan mengapa Anda tetap bertahan di hutan, Gautama?" "Karena saya ingin menolong semua makhluk." Aku berharap Janussoni akan melanjutkan pertanyaan mengenai penderitaan beliau setelah mengatasi ketakutan. Tetapi pada saat itu datang seorang wanita muda dengan seorang bayi mati di pangkuannya. Aku pernah melihatnya sewaktu terakhir kali di Savatthi. Namanya Kisa Gotami. Tubuhnya kurus, penampilannya sederhana, berasal dari keluarga miskin. Dia selalu diperlakukan dengan buruk, terutama oleh keluarga suaminya. Setelah dia melahirkan anak lakilaki, orang mulai menghargainya, itulah saat terakhir aku bertemu dengannya. Sekarang wajahnya sangat berduka. Dia mengatakan kepada Sang Buddha bahwa ia sudah meminta obat dari rumah ke rumah untuk menghidupkan kembali anaknya, tetapi mereka menertawakannya. Kemudian dia bertemu dengan seorang yang baik hati yang menyarankannya untuk mencari Sang Buddha. Kesedihan membuat ia seperti orang gila. Beliau memandangnya dengan lembut dan berkata: "Saudari, pergilah dan bawalah kemari sedikit biji mostar yang harus berasal dari keluarga yang anggotanya belum pernah meninggal dunia." Wanita itu beranjak dari tempatnya setelah membersihkan kaki Sang Buddha dengan gembira. Sore itu dia kembali. "Gotami, apakah kamu sudah menemukan biji mostar itu?" tanya Sang Bhagava. "Biji mostar itu seharusnya sudah saya dapatkan," jawabnya dan dia melanjutkan bahwa sewaktu ia meminta pada rumah pertama yang dikunjunginya, tuan rumah dengan senang hati memberikan biji itu karena kasihan kepadanya. Kemudian Kisa Gotami menambahkan, "Tetapi biji ini harus berasal dari keluarga yang belum pernah ditimpa kematian." 84 Dukkha: Kesunyataan Utama Kemudian si pemilik rumah menjawab dengan halus, "Anggota keluarga kami telah banyak yang meninggal. Minggu lalu ibu saya meninggal. Yang meninggal lebih banyak dari pada yang hidup." "Biji mostar ini tidak bisa dipakai," jawabnya sedih sambil menuju rumah berikutnya untuk meminta biji mostar tersebut, tetapi jawaban mereka semua sama, hingga sore dia baru sadar bahwa usahanya tak akan berhasil, sementara bayinya semakin terasa berat di pangkuannya. Seketika dia menyadari bahwa dengan belas kasih Sang Buddha menyuruhnya melakukan hal ini agar ia dapat menyadari sendiri kebenaran hidup yang utama bahwa semua adalah penderitaan. Dia menangis karena Sang Bhagava masih mau menolongnya walaupun ia seorang yang buruk dan hina. Dia membawa mayat bayinya ke padang rumput dan menguburkannya di sana karena dia tidak punya uang untuk kremasi. Sampai larut malam Sang Buddha baru selesai memberi penjelasan kepada Kisa Gotami. Beliau memandang kerlap-kerlip lampu di kota yang satu per satu padam saat penghuninya beranjak tidur dan beliau berkata, "Bagaikan kerlip lampu itulah hidup manusia, hidup untuk waktu tertentu dan akan padam pada suatu saat." Lampu terakhir dari kota itu telah padam, tinggal cahaya bintang. Dalam kegelapan aku mendengar sekali lagi ikrar Sang Buddha dan juga semua yang telah mencapai pencerahan dan mengasihi semua makhluk, "Karena telah menemukan kebebasan dari penderitaan, maka saya akan menolong mereka yang belum terbebas dari ikatan. Karena telah menemukan kedamaian, saya akan membawa kedamaian untuk semuanya. Karena telah menemukan penerangan, saya akan menerangi jalan untuk memutuskan siklus kelahiran dan kematian bagi semua makhluk." Semoga Ia menjadi cahaya bagi kita semua, tetapi kita menderita karena diri kita sendiri, tiap-tiap orang harus menggunakan cahaya itu dan menerangi hati masing-masing jika ingin menapaki jalan menuju akhir penderitaan. 85 Keajaiban dan Penyembuhan Sang Buddha meninggalkan Savatthi menuju Magadha Selatan kemudian menyeberang ke utara menuju Rajagaha dan melewati Nalanda. Di Nalanda beliau disapa seorang muda: "Semua penduduk Nalanda hidup makmur berkat ajaran Sang Bhagava. Alangkah baiknya bila Yang Mulia Gautama memerintahkan salah seorang bhikkhu menunjukkan keajaiban sehingga penduduk Nalanda lebih berbakti kepada Yang Mulia Gautama". Sang Buddha menjawab, "Bukan kebiasaan saya untuk memerintahkan bhikkhu menunjukkan keajaiban." Begitu Sang Buddha hendak meninggalkannya, orang muda itu mengulangi permintaannya. Kemudian Sang Buddha menjawab "Ada tiga jenis keajaiban, yang pertama yaitu terbang di udara, menembus dinding dan yang sejenisnya. Kamu pernah mendengarnya?" "Ya, Guru Gautama". Akan timbul bahaya besar bila sembarangan menunjukkan keajaiban itu," suara Sang Buddha agak meninggi, "Sehingga saya tidak suka dan malu melakukannya." "Oh !," anak muda itu berseru terkejut sambil mundur. Ini pertama kalinya ia mendengar orang suci mengatakan demikian. Biasanya peramal dan orang bijaksana lainnya selalu memamerkan kebolehannya. Sang Buddha melanjutkan, "Kemudian keajaiban yang kedua yaitu membaca pikiran orang lain. Ini juga berbahaya, oleh sebab itu saya tidak menyukainya." "Apakah kamu membenci semua keajaiban itu, Bhagava?" "Tidak," jawab Sang Buddha, "Keajaiban yang ketiga saya suka, keajaiban yang ditunjukkan oleh orang yang terpelajar, yang mempraktekkan kehidupan Brahma. Orang terpelajar mengerti Empat Kesunyataan Mulia; dia mengetahui jalan menghancurkan nafsu dan keinginan; dia dipastikan mencapai pembebasan dan kesucian. Keajaiban itu ditunjukkan dalam diri sendiri; ia tidak butuh jimat, mantera atau dewa. Itu adalah keajaiban dalam menaklukan dunia, tidak ada kekuatan yang mampu melebihinya, keajaiban inilah yang termulia dan yang saya senangi serta agungkan." Lalu orang muda ini memberitahu semua orang bahwa Sang Gautama tidak akan menunjukkan keajaiban, tapi akan menunjukkan jalan untuk menjadi orang suci dan itu adalah keajaiban yang terbaik dibandingkan yang lain. 86 Keajaiban dan Penyembuhan Sekarang, aku tidak dapat memastikan apakah kabar tentang percakapan Sang Buddha dengan orang muda ini tiba lebih dulu di Rajagaha sebelum Sang Buddha atau tidak. Kalaupun ya, berarti bendahara di Rajagaha tidak dapat mengambil makna dari percakapan itu, karena ia sangat ingin melihat suatu keajaiban dipertontonkan. Dia kemudian meletakkan kayu cendana yang harum dalam sebuah mangkuk. Mangkuk ini dipasang pada ujung pohon bambu yang tidak dapat dijangkau tangan. Kemudian dia mengumumkan bahwa bagi siapa saja baik Brahmin ataupun orang suci, yang mampu menurunkan mangkuk tersebut, maka mangkuk tersebut akan menjadi miliknya. Banyak pengembara dan pertapa datang menyaksikannya, tetapi tidak ada seorang pun yang sanggup menurunkannya, walaupun itu hanya salah satu keajaiban biasa yang dapat diperoleh dengan latihan pemusatan pikiran. Pada saat itu Moggallana dan Pindola sedang meminta makanan di Rajagaha, mereka juga menyaksikan hal itu. Pindola berkata pada Moggallana: "Engkau mempunyai kekuatan supranormal, saudara Moggallana, turunkan ia dan mangkuk itu akan menjadi milikmu." "Saya tidak berniat melakukannya," jawab Moggallana, walaupun ia tidak dapat memberikan alasannya. "Tetapi", tambahnya, "Kamu juga mempunyai kekuatan itu, turunkan jika kamu merasa layak untuk melakukannya." Kemudian Pindola mempraktekkan kekuatan supranormalnya, terbang di udara dan menurunkan mangkuk itu. Orang-orang riuh bertepuk tangan melihatnya. Bendahara itu keluar dari rumahnya disertai istri dan anaknya, bertepuk tangan sambil berseru kagum, "Sudi kiranya Yang Mulia singgah ke tempat kami." Pindola membawa mangkuk itu masuk ke rumah laki-laki itu, lalu laki-laki itu mengambil kembali mangkuk tersebut, mengisinya dengan makanan mahal dan memberikannya dengan penuh hormat. Pindola kemudian kembali ke gubuknya diiringi tepukan, teriakan pujian dan arak-arakan kemenangan. Sang Buddha yang baru memasuki kota pada waktu itu bertanya mengenai teriakan dan arak-arakan yang sedang terjadi, setelah mendapat jawabannya Sang Buddha menyuruh Pindola menghadap dan menceritakan kejadian tersebut. Sang Buddha berkata, "Kejadian ini tidak berharga bagi orang yang bijaksana, Pindola. Mengapa demi sebuah mangkuk kamu memamerkan kemampuanmu dihadapan orang-orang? Hal ini bagaikan seorang wanita yang memamerkan tubuhnya untuk sekeping uang perak. Pertunjukkan ini tidak akan 87 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru mengubah mereka yang belum mengenal Dharma, malah memuakkan, dan mereka yang telah berubah akan pergi menjauh." Kemudian Sang Buddha mengumpulkan semua bhikkhu dan melarang mempertunjukkan kekuatan bila tidak terpaksa. Beliau memerintahkan untuk memecahkan mangkuk itu, kayu cendana itu lalu digunakan sebagi obat mata. Setelah mencapai Parinirvana, berbagai keajaiban dihubungkan dengan Sang Buddha. Padahal, beliau tidak pernah mempertunjukkan kebolehannya bila tidak terpaksa. Bertahun-tahun aku mengenal beliau, hanya sekali beliau mempertunjukkan kekuatannya yaitu ketika seorang wanita tua yang menjaga seorang bhikkhu yang sakit terpaksa memotong daging pahanya karena ia tidak sanggup membelikan daging bagi bhikkhu yang sangat membutuhkannya. Sang Buddha meminta wanita tua itu segera dibawakan kepadanya dan wanita itu segera disembuhkannya. Mungkin masih ada keajaiban lain yang dilakukan Sang Buddha tapi aku tidak pernah mendengar ataupun menyaksikannya. Penderitaan tidak berakhir hanya dengan mengobati tubuh yang sakit ataupun terbang di udara, tetapi penderitaan hanya dapat diakhiri dengan mengobati pikiran yang sakit. Sang Buddha dikenal sebagai seorang penyembuh yang tak tertandingi, tetapi hanya hati dan pikiran mereka yang disembuhkan, bukan tubuhnya. Walaupun demikian, karena semua adalah satu, beliau tetap mengajarkan untuk belas kasih terhadap mereka yang tubuhnya sakit. Umat awam yang sudah tua dan sakit harus dijaga oleh sanak keluarga, dan seseorang tidak diizinkan memakai jubah kuning jika karena kebhikkhuannya membuat ia mengabaikan mereka yang membutuhkan perhatiannya. Anggota Persaudaraan yang sakit harus dijaga oleh yang lain, dan harus mendahulukan menjaga si sakit daripada latihan meditasi. Sang Buddha sendiri memberi contoh. Suatu kali saya sedang bersama-Nya berkunjung ke biara yang berbau tak enak. Beliau diberi keterangan bahwa salah satu bhikkhu menderita penyakit yang demikian menjijikkan sehingga tak seorang pun yang mau mendekatinya. Sang Buddha segera memerintahkan untuk membawakan air, pakaian bersih dan makanan kepadanya, dan dia sendiri mengunjungi si sakit, membersihkan tubuhnya, memakaikan pakaian dan memberinya makan. Kemudian beliau sendiri yang mencuci pakaian kotor bhikkhu tersebut. Karena malu, bhikkhu lain pun membantu, tetapi bau yang sangat menjijikkan membuat mereka tak tahan dan salah satu dari mereka pun muntah. 88 Keajaiban dan Penyembuhan Ketika si pesakit sudah dibenahi, salah satu bhikkhu bertanya, "Bagaimana Guru mampu menyentuh hal yang sangat kotor dengan tangan-Mu yang suci?" Sang Buddha menjawab, "Dia yang melihat segala sesuatu dengan benar, tidak akan terpengaruh apakah itu menjijikkan atau menyenangkan. Dia tidak akan suka ataupun benci. Perawat yang baik tidak akan dipengaruhi oleh hal yang kotor ataupun harum dalam menolong orang yang sakit." Tetapi perawat yang terbaik, Sang Buddha menyebut lebih dari satu kali, adalah seorang yang mampu menghibur pasien dengan bahasa Dharma, dan dalam hal ini Sang Guru adalah seorang perawat dan juga seorang penyembuh yang tak tertandingi. Suatu waktu beliau mendengar seorang samanera muda yang tak punya reputasi terbaring sakit. Mendengar kata "Samanera," "sakit," "tak punya reputasi," beliau segera mengunjunginya. Begitu melihat Sang Buddha si pesakit langsung berusaha bangkit untuk memberikan tempat duduk pada Sang Buddha, tetapi Sang Buddha berkata, "Cukup, anakku, tidak usah bangkit dari tempat tidurmu, saya akan duduk di sini. Semoga kamu dapat bertahan." "Saya tidak tahan lagi", jawabnya menyesali diri sendiri. "Saya menderita sekali dan kepala saya terasa berputar, sakitnya tak kunjung berkurang." Sang Buddha segera mengetahui penyebabnya dan berkata, "Apakah kamu ragu-ragu atau menyesali diri sendiri? Apakah kamu menyalahkan diri sendiri?" "Ya, saya telah ragu-ragu dan menyesali diri, saya menyalahkan diri sendiri." "Apakah menyalahkan diri sendiri itu perbuatan yang benar?" "Tidak, Guru, itu tidak benar." "Lalu apa penyebab keraguan dan penyesalanmu itu?" "Saya tidak mengerti kebenaran hidup yang Guru ajarkan, saya tidak mengerti bagaimana mengakhiri nafsu keinginan," jawab anak muda itu. "Dengan demikian kamu mengerti Dhamma yang saya ajarkan." Sang Buddha tersenyum. "Hanya dalam pikiranku," sambungnya dengan putus asa. "Tetapi saya keji dan tidak suci". "Tetapi apakah kamu mengerti bahwa perasaan dan emosi bukan Dirimu sebenarnya?" "Saya tahu bahwa hal-hal itu bersifat sementara dan merupakan sumber kesedihan." 89 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru "Sama halnya dengan penyesalan diri dan keraguan-keraguanmu itu," Suara Sang Buddha agak meninggi. "Kamu pernah mendengar saya menasehati orang-orang untuk bermeditasi tentang kebajikan mereka. Kamu belum pernah mendengar saya menasehati mereka bermeditasi tentang kesalahan mereka, mengapa?" Anak muda itu berpikir sebentar dan menjawab, "Kita cenderungan mewujudkan apa yang kita pikirkan." Anak muda yang menceritakan sendiri hal ini pada saya, berkata bahwa Sang Buddha kemudian mengalihkan pandangannya ke perkarangan yang ditumbuhi pohon Bodhi. Seekor tupai kecil dengan belang-belang pada punggungnya berlari secepat kilat di bawah pohon itu, angin sepoi-sepoi menggerakkan ranting dan menjatuhkan daunnya ke permukaan tanah. Tiba-tiba ia merasakan sebuah kedamaian yang ia tidak mengerti, dia menutup mata dan tertidur. Ketika ia terbangun, Sang Buddha sedang berdiri di pintu. Beliau berkata: "Sekarang, tinggalkan tempat tidurmu, pergilah ke hutan dan berlindunglah kepada Dhamma." Anak muda itu bangkit dengan semangat, "Ajarilah saya Dhamma, Guru." "Tidak", jawab Sang Buddha. "Seorang Buddha hanya menunjukkan jalan. Kamu sendiri yang dapat menemukan dan menjalankannya." Sebelum ia berkata lebih lanjut, Sang Buddha telah pergi. Tiba-tiba dia baru menyadari sakitnya telah hilang. Dia pun mengenakan jubah luarnya dan menuju hutan. Umumnya orang sakit selalu mengunjungi Sang Buddha, yang dapat meringankan beban penderitaan, walaupun kadang beliau tidak selalu mengobati mereka seperti beliau mengobati anak muda itu. Vakkali adalah salah satunya. Tetapi dia tidak malu-malu seperti anak muda itu, dia menyuruh salah seorang Bhikkhu untuk menemui Sang Buddha dan memohon belas kasihnya untuk mengunjunginnya. Sang Buddha mengunjungi dan menanyainya seperti anak muda itu. Tetapi ketika ditanya penyebab depresinya, Vakkali menjawab: "Sudah lama saya ingin langsung bertemu dengan Guru." Sang Buddha tidak menertawakannya tetapi menjawab dengan bijaksana, "Cukup, Vakkali! Apa yang kamu dapat dengan melihat tubuh yang akan hancur ini? Cukuplah jika dapat melihat Dhamma. Dia yang telah melihat Dhamma, telah melihat saya. Tubuh saya ini, seperti juga apapun, akan lapuk hancur." Kemudian Beliau menerangkan 90 Keajaiban dan Penyembuhan tentang ketidakkekalan semua benda dalam ruang dan waktu dan yang berada di luar ruang dan waktu. Memang benar bahwa melihat Dhamma berarti melihat Sang Buddha, tetapi, sebagaimana yang kita ketahui, melihat Sang Buddha secara langsung, memberikan suatu rasa damai, suatu pengertian akan Dhamma dan sebuah visi dari kesunyataan, yang mana dengan meditasi berbulan-bulan pun belum tentu dapat kita peroleh, lebih jauh lagi, jika ada kedamaian di hati, maka jasmanimu pun akan damai pula, dan sakit pun bisa menjadi sembuh. Sampai tahun terakhir hidupnya, sepengatahuan aku, tubuh Sang Buddha hanya menderita sakit tiga kali dan itu pun cuma penyakit ringan yang dengan cepat menjadi sembuh kembali. 91 Sona dan Usaha yang Berlebihan Sewaktu Sang Buddha berada di Magadha Selatan, aku berkelana di antara orang-orang Kosala. Suatu hari aku ditawari untuk berkelana dengan kereta lembu. Jalanan penuh bekas roda dan begitu kereta terjerembab pada lobang yang dalam, aku pun terlempar keluar. Ketika aku bangkit, seketika aku merasakan sakit di punggung yang rasanya sudah akrab denganku telah hilang. Aku hampir tidak mempercayainya, dan mengharapkan kejadian tersebut terulang tetapi kenyataannya tidak. Mula-mula aku sangat gembira, tetapi kemudian aku segera menyingkirkan pikiran itu, tak akan pernah lagi aku buat pulau akan kegembiraan duniawi. Tidak ada tempat untuk mengeluh ataupun bersyukur karena tidak satu hal pun yang menjadi milik kita, tidak ada pribadi yang kekal yang dapat memiliki segalanya. Kalaupun sekarang kesehatan pulih kembali, itu hanyalah untuk memulihkan kesehatan jasmani yang biasa terjadi pada semua makhluk hidup. Dari Kosala aku menuju ke arah selatan dan menyeberangi sungai Gangga memasuki Magadha. Aku ingin menemui Sang Buddha sekali lagi di Rajagaha karena aku dengar Beliau sedang berada di sana. Aku juga mendengar cerita aneh mengenai Sona Kolivisa, putera keluarga Campa yang kaya raya. Ada yang mengatakan bahwa telapak kakinya ditumbuhi bulu, dan Raja Bimbisara mengundangnya ke Rajagaha agar ia dapat melihat sendiri bulu tersebut. Aku diberitahu bahwa ketika Sona berada di Rajagaha, Sang Buddha tiba di sana, ia kemudian mendengarkan ajaran Sang Buddha, seketika ia berubah dan segera menjadi siswa beliau, dan sekarang bersama-sama Sang Buddha menuju utara. Aku kemudian bertemu Sang Bhagava di Hutan Dingin dan diperkenalkan kepada Sona. Kami segera akrab, mungkin karena kami sama-sama menyukai musik. Karena melihat pengalamanku yang lalu yang telah berhasil membebaskan diri dari keterikatan akan musik, membuat aku merasa sebagai seorang kakaknya dalam perjalanan suci ke Nirvana, dan aku sangat berharap dapat membantunya dalam menempuh perjalanan itu. Matanya memancarkan kegembiraan ketika ia mengatakan kepadaku mengenai keinginannya untuk bermeditasi sendirian di hutan sampai dia berhasil menyelidiki dan memahami Kesunyataan. Aku menasehatinya untuk mencari seorang guru sebagai pembimbing, walaupun pada waktu itu bukanlah merupakan suatu keharusan. Sona tidak setuju, dia lebih suka bekerja sendirian. Dia segera bersiap-siap ke hutan dan aku menawarkan diri untuk menemaninya. Sewaktu kami berjalan bersama, aku mengingatkan 92 Sona dan Usaha yang Berlebihan bahwa di hutan terdapat binatang buas seperti singa, harimau, macan dan suara-suara yang mengerikan. Dia mendengarkan dengan tidak sabar sampai aku berhenti berbicara dan giliran dia yang mengingatkan aku bahwa tidak ada binatang buas yang akan menyerang jika kita tetap tenang dan tidak takut serta memancarkan cinta-kasih. Kemudian aku menambahkan untuk itu kita harus melatihnya bertahun-tahun. Perdebatan pun berlanjut. Aku mulai terdesak dan Sona menjadi gelisah. Akhirnya dia berkata: "Tidakkah engkau ingat kebahagiaan yang engkau peroleh dalam menjalani kehidupan rohani?" "Ya, aku ingat, awalnya mungkin menyenangkan, namun bertahun-tahun kemudian mungkin sangat menderita, sebelum ia benar-benar bebas dari nafsu dan keinginan." Aku berbicara bagaikan orang yang memenangkan penuntutan hak. Aku merasa lebih superior daripada Sona, dia tahu dan merasa tersinggung. Suasana di antara kami sebenarnya tidak cocok lagi untuk bermeditasi. Kami mencapai hutan yang dituju untuk bermeditasi. Suasana tenang dan damai. Sona dan aku memilih pohon yang berbeda untuk duduk bermeditasi, dia yakin dia telah hampir mencapai Penerangan dan aku sendiri yakin dia akan gagal dalam usahanya, tetapi aku masih berusaha menolong dan melindunginya. Kadang-kadang Sona duduk seperti apa yang disarankan, bernafas dengan teratur, matanya dipusatkan sampai berangsur-angsur setengah tertutup. Aku sendiri tidak dapat memusatkan pikiran, tak lama kemudian aku mendengar ia mengeluh. Kira-kira satu jam kemudian dia bangkit dan mulai berjalan mondar-mandir tanpa berhenti, kelihatan bingung dan putus asa. Akhirnya dia melemparkan sepatunya, mungkin karena kesal pada dirinya sendiri ataupun dikarenakan dia merasa bahwa rasa sakit pada tubuhnya membuyarkan konsentrasinya. Aku mendekatinya dan berusaha menasehatinya, menjelaskan padanya bahwa dia berlatih terlalu keras sedangkan Sang Buddha sendiri mengatakan bahwa kemajuan akan diperoleh secara perlahan-lahan. Sebaliknya dia malah gusar. Sebenarnya lebih bijaksana untuk membiarkan dia dengan caranya sampai dia sadar dengan sendirinya, tetapi saat itu hal ini tak kusadari. Aku terlalu mengkhawatirkan keadaannya, menyendiri di hutan bagi yang belum terbebas dari Asava, nafsu dan delusi akan membuatnya cepat mundur sebelum benar-benar memulai. Bagaimanapun, dia tidak mau mendengarkannya, aku meninggalkannya dan kembali bermeditasi, aku menjadi lebih sulit memusatkan pikiran. Lalu aku mendengar ia berguman mengenai 93 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru kekayaan dan pekerjaan baiknya. Aku melihat batu yang semula dipijaknya tanpa sakit kini dinodai darah yang berasal dari kakinya. Kemudian Sang Buddha datang, bagaikan orang kuat yang menolong si lemah, beliau menolong Sona yang terduduk lesu pinggir sungai, dia berusaha bangkit tetapi kakinya yang sakit membuatnya tak bisa bergerak. Sang Buddha duduk disampingnya dan tersenyum, senyum lembut yang menyadarkan kesalahannya tanpa rasa sakit hati. "Sona, saat kau menyendiri, bukankah kamu berpikir, 'Inilah aku, salah seorang siswa Sang Buddha, sedang berusaha keras dengan semangat menyala, namun hatiku belum juga terbebas dari Asava'. Kemudian kamu akan berusaha lebih keras lagi, bukan?" " Ya, Guru," jawab Sona. "Dan ketika kerja kerasmu itu tidak membawa hasil, tidakkah kemudian kamu berpikir, 'Hartaku yang melimpah menantiku di rumah. Dengan kekayaan itu aku dapat berbuat hal-hal yang baik. Bagaimana jika sekarang aku kembali ke kehidupan biasa, dan menggunakan kekayaanku untuk berbuat kebajikan?" "Benar, Guru," Jawab Sona sedih. "Sekarang, Sona," sambung Sang Buddha, "Sewaktu kamu di rumah, bukankah kamu mahir bermain musik dengan rebab?" "Ya, aku mahir, Sugata", Sona tersenyum kesenangan seperti anak kecil. "Sekarang, bagaimana pendapatmu jika senar rebabmu ditarik terlalu kuat apakah dapat menghasilkan musik yang enak didengar?" "Tidak, suaranya akan kacau. Tetapi aku dapat membetulkannya kembali sehingga sebenarnya tidak terlalu kuat juga tidak terlalu lemah, dan saudara-saudaraku akan menari sambil mendengarkan musik saya?" "Demikian juga, Sona, perjuangan yang terlampau keras akan mengakibatkan kegagalan, dan tanpa perjuangan, membuat kita menjadi melempem tanpa memperoleh hasil. Tetapi ada jalan tengah seperti senarmu yang tidak ditarik terlampau kuat ataupun lemah, sehingga Irama Kesunyataan akan terdengar." "Ya, Sang Bhagava," jawab Sona. Sang Buddha bukan hanya menjelaskan kepada Sona, tetapi juga ditujukan untukku. Aku berpikir aku lebih superior daripada Sona dan dapat menjadi penolongnya. Tidakkah aku juga seorang siswa Sang Buddha, yang berusaha keras dengan semangat menyala, yang belum terbebas dari Asava? Sang Buddha memperhatikan kaki Sona yang luka dan batu-batu yang dinodai darah, dan kemudian berkata: 94 Sona dan Usaha yang Berlebihan "Sona, dalam latihan sorang bhikkhu, kita tidak mencari kesenangan, tidak juga penderitaan. Kamu akan menemui banyak kesusahan dalam latihan ini, panas, dingin, lapar, haus, digigit serangga dan diganggu oleh kata-kata kasar. Namun melukai diri sendiri adalah suatu kebodohan. Pakailah sepatumu dan karena kakimu terjaga sehingga halus, sebaiknya memakai sepatu dengan tapak yang lembut." Sona melakukan seperti apa yang dinasehati dan pendarahan di kakinya pun berhenti. Sang Buddha bangkit dan dengan tanpa suara kami pun mengikuti dari belakang. Sejak itu Sona menghindar dariku dan aku kembali ke gubuk beristirahat dengan hati yang sakit. Aku telah berusaha membantunya sampai ketenanganku sendiri terganggu. Aku hampir marah. Harga diriku terinjak. Aku memikirkan berbagai alasan lainnya mengapa aku tidak dapat melakukan segala sesuatu lebih baik, dan merenungkan bagaimana nasehat Sang Buddha telah menunjukkan bahwa aku benar. Tetapi kenyataannya, Sona yang aku anggap sebagai saudara sendiri telah melawanku, dan yang lebih buruk lagi, aku bahkan tidak dapat memusatkan pikiran, dan kedamaian di hatiku pun menjadi hilang. Sambil berbaring, aku mengingat kembali percakapan Sang Buddha dengan seorang Licchavi yang telah menyombongkan diri bahwa dia telah bebas dari nafsu duniawi. Sang Buddha mengatakan jika seseorang menyombongkan keberhasilannya, dia akan melakukan sesuatu yang belum tentu baik bagi seseorang yang ingin mencapai kebebasan tertinggi. Seperti halnya Licchavi, aku juga telah menyombongkan keberhasilanku mengatasi keterikatan akan musik, usia muda dan kesehatan. Dengan demikian aku pikir aku mampu membimbing yang lain, lupa bahwa Sang Buddha saja hanya dapat menunjukkan jalan dan setiap orang harus dapat menemukan jalan itu sendiri. Sekali lagi aku merasa Mara begitu lihai menguasai manusia, setelah segala bentuk nafsu dapat diatasi, jiwa jahat yang ada dalam diri kita mencari jalan untuk memaksakan kepentingan diri dan keinginan diri, dan kebanggan akan kemajuan yang dicapai dalam perjalanan suci ke Nirvana adalah godaan Mara yang terhebat. Aku masih ingat, Sang Buddha pernah mengibaratkan seseorang yang menyombongkan keberhasilannya dalam menaklukkan nafsu sebagai seseorang yang terluka oleh panah beracun, dokter telah menyingkirkan racun panah tersebut, dan kemudian dibalut. Kelihatannya tidak ada lagi setitik racun pun yang tertinggal. Tetapi orang ini bukan berarti telah terbebas dari bahaya, sehingga dokter menyarankan untuk menjaga makanannya, membersihkan dan membalut lukanya, dan melindunginya dari sinar matahari dan angin, 95 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru sehingga tidak dimasuki kotoran. Jika ia tidak menghiraukan nasehat dokter, luka itu akan infeksi lagi. Demikian juga halnya dengan seseorang yang ingin mencapai Nirvana. Bahaya selalu mengintainya. Janganlah ia menganggap racun diri dan segala nafsu keinginannya telah lenyap. Hendaklah ia senantiasa waspada. Hari-hari selanjutnya, Sona tetap menghindar diri saya. Pikiranku masih terombang-ambing antara harga diri dan kebenaran yang diajarkan Sang Buddha dalam perumpamaan panah beracun tersebut. Sesungguhnya, semakin jauh seseorang menempuh perjalanan ke Nirvana, semakin sedikit kesalahan-kesalahan yang menimbulkan kesusahan, tetapi kesusahan yang diakibatkannya itu justeru semakin dalam. Saya terus berusaha menenangkan pikiran, tetapi selalu gagal. Kami mencapai sungai Gangga. Hari itu aku hanya duduk di bawah pohon, bukan untuk bermeditasi, melainkan untuk memperhatikan para penduduk desa. Di tepi sungai, banyak pencuci pakaian sedang mencuci di batu-batu dan menjemurnya di bawah panas matahari. Dua orang nelayan sedang menebarkan jalanya sementara seekor bangau putih memperhatikan mereka. Aku dapat mendengar desingan roda pembuat pot sementara ia duduk berteduh di bawah pohon banyan membuat pot dari lumpur tepi kali. Seorang laki-laki mengangkat potpot besar yang sudah selesai dibuat dengan sebuah keranjang bambu di atas kepala. Padi hasil panen yang lalu disebarkan di atas tikar bambu di tepi jalan yang melewati desa itu, seorang bayi merangkak ke sana dan hampir saja menyerakkan padi ke tanah jika ibunya tidak melihatnya, dan kemudian menggendongnya. Ketika aku sedang memperhatikan kehidupan penduduk kampung kecil di tepi sungai itu, seketika pikiranku jernih dan tenang bagaikan sebuah danau yang jernih hingga dasarnya kelihatan. Aku mulai menyadari kesalahankesalahanku, kini timbul perasaan belas kasih kepada Sona, tetapi bukan untuk berusaha keras merubahnya. Perasaan cinta kasih melingkupiku dan hatiku begitu damai. Sona mungkin menyadari perubahanku, dan malam itu dia tidak lagi menghindariku dan kedamaian pun hadir di antara kami. 96 Siha dan Makanan Berdaging Engkau akan bertemu dengan pertapa ke mana pun engkau pergi, tua, muda dan beberapa di antaranya wanita. Ada yang mengenakan jubah kuning, putih, ada yang telanjang. Kebanyakan hanya ingin berdiskusi tentang pertanyaan metafisika abstrak, tetapi ada juga yang bersungguh-sungguh mencari kehidupan Brahmana dan jalan menuju keabadian. Ada yang mengikuti seorang guru dan ada yang sendirian. Mereka memperoleh makanan dan pakaian dengan meminta-minta, kadang-kadang mereka menemukan tempat berteduh, kadang tidak. Pada zaman itu juga ada aliran lain yaitu Kaum Nigantha yang diketuai oleh Nataputta. Doktrin utamanya adalah tidak membunuh dan tanpa kekerasan atau ahimsa, tetapi beberapa pengikutnya lebih cenderung kepada teori daripada pelaksanaannya. Seorang pengikutnya tidak makan karena mendapat makanan yang ada sekerat dagingnya, mereka harus hati-hati memilih rumah untuk meminta makanan. Di Vesali, Jenderal Siha adalah pengikut Nigantha yang setia, bagaimana bisa seorang jenderal pasukan 'mendamaikan' profesi membunuh yang memang kewajiban seorang prajurit dengan doktrin tanpa kekerasan, tidak melukai, atau ahimsa, aku tidak pernah mengerti. Sang Buddha sedang berdiam di Kutagara-sala, Balai Beratap Runcing, yang terletak di pinggiran hutan yang membentang ke utara dari Vesali selama musim hujan setelah Sona menjadi anggota Sangha. Tempat ini tidak jauh dari desa dengan gubuk-gubuk bambu yang berlumpur dan ditutupi jerami, tetapi pohon palem, pohon pisang, dan pohon mangga tumbuh subur di sekitarnya, sementara para penduduk sangat akrab dengan gajah-gajah yang digunakan untuk menarik batang pohon dari hutan untuk dijadikan bangunan-bangunan besar seperti Kutagara-sala ini. Sejak persinggahan beliau yang agak lama di Vesali dulu, Sang Buddha menjadi terkenal di daerah tersebut dan ketika beliau kembali ke Vesali, para pengikut Nigantha yang masih muda menganggap beliau sebagai seorang pemimpin sebuah sekte yang merupakan saingan sekte mereka, yang dianggap lebih tua, sehingga mereka mencegah para anggota mereka untuk mengunjungi Guru baru tersebut. Jenderal Siha yang rajin dan selalu bekerja keras ingin menjumpai Sang Buddha setelah mendapat berita tentang beliau. Dia mendengar ajaran Sang Buddha mengenai pelepasan diri dari ikatan duniawi, melepaskan diri dari segala aktifitas kehidupan ini. Bagi dia yang selalu 97 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru mengutamakan kerja, tentu saja hal ini tidak mungkin. Baginya manusia lahir untuk bekerja. Suatu hari ketika bangsawan-bangsawan Licchavi berkumpul membicarakan Sang Buddha, mereka semuanya mengagungkan ajaran-Nya. Hal ini membuat ia semakin ingin tahu tentang orang suci yang dipanggil sebagai Buddha ini, yang senantiasa tinggal di pinggir kota, di antara gubuk-gubuk bambu dan kebun sayuran karena dia menyenangi ketenangan. Dia berpikir walaupun ajaran Sang Gautama bersifat heretikal, tidak ada salahnya untuk bertemu dan mendengarkan ajarannya. Kemudian ia menemui gurunya dan mengutarakan hasratnya untuk bertemu dengan Sang Gautama. "Bagaimana bisa kamu, yang percaya akan 'tindakan', pergi mengunjungi dan mendengarkan Sang Gautama, yang percaya akan 'tanpa tindakan'?" Pertanyaan gurunya membuat keinginannya lenyap seketika, ia berkata pada dirinya sendiri bahwa adalah suatu kebodohan mengunjungi orang suci yang menganjarkan hal yang tak masuk akal. Tetapi kemudian dia mendengar tentang sifat cinta kasih pertapa Gautama, ketenangan dan kebijaksanaannya. Dia menghadap gurunya untuk kedua kali dan kali ini pun dia dicegah dan keinginannya pun padam. Ketika ingin bertemu dengan Sang Buddha untuk ketiga kalinya, dia tidak lagi bertanya kepada gurunya. Dia mengendarai kereta kebesarannya dan dengan pembantunya menuju tempat Sang Buddha, kami sering melihatnya di jalanan Vesali, tetapi kami tidak pernah menyadari kekuatan dan kegagahannya. Dalam sifatnya yang blakblakan, dia mengemukakan sesuatu selalu langsung pada sasaran. "Saya telah mendengar teori 'tanpa tindakan' dan penerapannya dalam kehidupan para pengikut Anda. Saya yakin orang-orang tidak sembarangan berbicara mengenai Anda. Saya tidak menuduh Anda salah, saya hanya ingin langsung mengetahui darimu apakah berita itu memang benar." "Pada satu sisi saya mengajarkan 'tanpa tindakan'," jawab Sang Buddha tenang, "Dan pada sisi lain saya mengajarkan 'tindakan'." "Bagaimana Anda bisa mengajarkan keduanya?" tanya Siha. "Saya mengajarkan 'tanpa tindakan' dalam hal perbuatan, perkataan dan pikiran yang salah. Saya mengajarkan 'tindakan' dalam hal perbuatan benar, perkataan benar dan pikiran benar." Siha senang dengan jawaban itu, tetapi dia tidak segera puas. "Bagaimana dengan pembinasaan atau anihilasi? Orang-orang mengatakan Anda seorang annihilasionis." 98 Siha dan Makanan Berdaging "Mereka benar," jawab Sang Buddha sambil tersenyum. "Saya mengajarkan pembinasaan nafsu rendah, kebencian dan kemelekatan." Siha tertawa. Dia tidak akan mengunjungi Sang Buddha bila tidak ada perasaan ingin tahu, kemudian dia pun memohon agar diterima sebagai seorang pengikut. "Jangan terlalu tergesa-gesa, Jenderal Siha. Jangan tinggalkan sekte Anda tanpa alasan kuat. Saya tidak bermaksud untuk menarik pengikut aliran lain, tetapi hanya untuk menunjukkan pada mereka cara membebaskan diri dari penderitaan. Introspeksi diri Anda dan ajaran saya sebelum Anda memutuskan untuk menjadi pengikut saya." "Saya sudah memikirkannya matang-matang." "Walaupun demikian, kembalilah, pertimbangkan sekali lagi. Penyelidikan sangat penting bagi orang penting seperti Anda." Siha kembali protes bahwa keputusannya sudah bulat. Tetapi Sang Bhagava berkata, "Tidak, pertimbangkanlah lagi. Dan saya harap apapun keputusanmu, kamu tidak akan berhenti membagikan makanan kepada Kaum Nigantha, karena makanan mereka tergantung pada kemurahan hatimu." Kata-kata ini menyadarkan Siha untuk memikirkannya kembali. "Tetapi apakah Sang Bhagava bersedia bersantap di rumah saya besok?" Dia bertanya. Sang Guru mengiyakan dan Siha meninggalkan beliau dengan sangat bersemangat. Dia bagaikan anak muda yang baru jatuh cinta dan dia memberitahukan kepada siapa saja tentang kunjungannya itu dan juga memberitahukan bahwa dia bukan lagi seorang Nigantha. Dia menyediakan makanan yang sama sekali berbeda dengan makanan yang disediakan untuk Nigantha. Dia memperhatikan bahwa anggota Sangha berbeda dengan Nigantha, sama sekali tidak menanyakan makanan apa yang diberikan di dalam mangkuk, tetapi menyatap semuanya walaupun mungkin ada daging di dalamnya, dan jamuan makan mewah yang ia sediakan untuk Sang Buddha mengandung daging. Beberapa kaum Nigantha mengetahui hal ini dan sewaktu kami sedang makan, seorang kurir masuk dan berbisik ke telinga Siha bahwa mereka akan mengelilingi jalan Vesali sambil berteriak, "Hari ini Jenderal Siha menyembelih hewan besar untuk dipersembahkan pada Sang Gautama dan Sang Gautama pun makan daging yang khusus disediakan untuknya." Siha bangkit dengan marah. "Ini tidak benar," dia berteriak. "Sudah lama kaum Nigantha ingin menghina Sang Buddha tetapi mereka tidak dapat menyakitinya dan ini adalah fitnahan yang sia-sia." 99 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru Namun bagaimanapun, sebenarnya Siha memang menyediakan daging di dalam jamuan makan itu dan banyak di antara kami merasa tidak enak karena menerima makanan yang diberikan tanpa banyak bertanya, selama ini belum pernah ada pengikut Sang Buddha yang sengaja menyuguhkan daging. Agak mengherankan juga mengapa Siha marah, mungkin ia menyadari kebodohannya dalam perbuatannya yang salah itu. Setelah selesai makan, Sang Bhagava memberikan khotbah Dhamma tentang menghindari pembunuhan. Aura belas kasihnya memancar bagaikan gelombang cahaya hingga segala sesuatu di sekelilingnya seperti menyatu pada cahayanya yang agung. Tidak mungkin melukai segala sesuatu bahkan yang kecil pun karena semua adalah satu. Siapa yang membunuh hewan berkaki empat untuk makanan, hari-harinya akan menjadi suram dan dunia yang jauh kini akan semakin menjauh darinya. "Semua makhluk hidup adalah satu kesatuan, dalam penderitaan maupun dalam ikatan darah. Belas kasih adalah rantai yang menyatukannya. Bagaimana seseorang mempunyai perasaan belas kasih jika dia dengan sengaja menyembelih hewan atau burung untuk dimakan? Dia bukan siswa saya, ia mengikuti cara seorang tukang daging atau pemburu, dan orang yang membeli dari tukang daging atau pemburu daging hewan yang mereka bunuh, adalah sama artinya dengan ia yang membunuh. Jangan dikarenakan kepentingan hidup, kita menghilangkan nyawa makluk lain. Tetapi jika seseorang memakan daging tanpa mengetahui bahwa hewan itu disembelih khusus untuknya, maka ia tidak bersalah. Karena ada jalan tengah antara pembunuhan hewan untuk dimakan dengan untuk dijadikan pakaian, dan penolakan makanan berdaging dalam mangkuk seorang bhikkhu. Namun bukan berarti dengan berpantang makan makanan berdaging maka hati menjadi suci, karena hal itu hanya dapat dilakukan dengan pengendalian hawa nafsu. Bukan berarti dengan menolak makanan berdaging maka perasaan belas kasih akan timbul, karena hal itu hanya dapat dilakukan dengan memadamkan semua pertengkaran di dunia ini dengan rasa cinta kasih dan persahabatan. Pancarkan cinta kasih pada semua makhluk, maka nafsu untuk menyantap makanan berdaging akan lenyap dari dirimu." Setelah kejadian ini, Sang Buddha membuat peraturan bahwa anggota Sangha tidak boleh makan daging yang khusus yang disediakan untuknya. Kabar ini pun menyebar ke seluruh kota, sehingga tidak ada lagi umat yang meyediakan makanan berdaging bagi anggota Sangha. Dalam kenyataannya, pada saat Sang Buddha 100 Siha dan Makanan Berdaging mulai memutar roda Dhamma pada usia tiga puluh lima tahun, pembunuhan binatang untuk dimakan adalah merupakan suatu kebiasaan, dan Sang Buddha selalu menyamakan orang yang dibebani oleh nafsu seperti seekor lembu yang berjalan mendekati pisau tukang daging. Tetapi sewaktu beliau memasuki Parinirvana pada usia delapan puluh tahun, pengaruh belas kasih-Nya sudah demikian besar sehingga semakin sedikit hewan yang dibunuh dan semakin banyak orang-orang yang tidak makan daging. 101 Asal Usul Tersusunnya Vinaya Sebelum aku melanjutkan tentang persinggahan Sang Buddha yang berikutnya di Savatthi, aku terlebih dahulu akan menceritakan tentang disusunnya peraturan Vinaya, yang merupakan peraturan untuk para bhikkhu-bhikkhuni, di sebabkan jumlah anggota Sangha yang telah semakin banyak. Sang Buddha mengijinkan perubahanperubahan kecil. Sebagian berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dan ada yang menetap di gubuk, ada yang mengajarkan Dhamma, ada yang menjalani Dhamma, ada yang ingin hanya menyendiri di hutan, ada yang tinggal di gubuk dekat rumah para dermawan. Jika semuanya mengerti dan memahami untuk tidak mengambil yang tidak diberikan; tidak serakah, maka hanya dibutuhkan beberapa peraturan. Tetapi karena pertambahan jumlah anggota Sangha yang semakin banyak maka tidak dapat disangkal bahwa ada yang belum mengerti. Sejak semula Sang Buddha telah mengharuskan anggota baru mempunyai seorang pembimbing dalam masa percobaan. Peristiwa penting lainnya yaitu pada saat bulan baru dan bulan penuh dijadikan sebagai Hari Suci. Raja Pasenadi menyarankan ini karena sekte lain juga mempunyai hari-hari suci. Orang awam akan mengunjungi vihara pada hari-hari tersebut untuk bermeditasi dan mendengarkan khotbah Dhamma. Tetapi bagi Sangha, tujuan utama dari hari-hari ini adalah untuk mengingatkan pentingnya kesucian dari kehidupan; tidak menyakiti semua makhluk, bersikap benar dan sopan, serta tidak mengambil barang yang tidak diberikan oleh umat. Dibuat suatu aturan bahwa semua bhikkhu harus berkumpul pada saat itu dan pertemuan itu tidak lengkap bila ada satu yang tidak hadir. Jika ada yang tidak dapat hadir karena sakit maka seseorang harus membawa kepastian darinya bahwa ia tidak melakukan pelanggaran. Dengan demikian kesalahan anggota Sangha akan dapat segera diluruskan. Peraturan lain yaitu selama musim hujan, para bhikkhu harus menetap di suatu tempat dan tidak boleh melakukan perjalanan. Ini disebabkan banyak mahluk kecil yang sedang berkeliaran di tanah dan juga tumbuhan yang mulai berkembang akan mati terinjak dan Sang Buddha tidak ingin kerja orang awam diganggu. Pada akhir musim hujan para anggota Sangha akan membagikan bahan jubah yang telah mereka terima dan mengganti yang rusak selama musim hujan. Juga sebelum berakhirnya musim hujan, mereka akan berkumpul dan membicarakan pelanggaran yang telah terjadi, sehingga berbagai pelanggaran akan segera jernih setelah diselidiki ataupun diakui, dan 102 Asal Usul Tersusunnya Vinaya pada kasus yang berat maka si pelanggar akan dikeluarkan dari Sangha. Kemudian peraturan-peraturan baru pun bermunculan sebagai akibat munculnya pelanggaran-pelanggaran. Misalnya ada bhikkhu yang serakah dan meminta lebih banyak dari yang diberikan, Sang Buddha menegaskan bahwa seorang bhikkhu hanya membutuhkan empat keperluan, tidak lebih yaitu: - makanan, menerima yang diberikan umat. - tempat tinggal, di bawah pohon - jubah dikumpulkan dari kain sisa - obat-obatan, amonia Keperluan yang lain sekedar tambahan dan tidak boleh diharapkan. Peraturan ini tetap berjalan dari waktu ke waktu dan dimaksudkan untuk dijadikan pertimbangan atau contoh bagi yang lain terutama umat awam, serta untuk melatih enam indera. Tetapi Sang Buddha mengerti bahwa cobaan bagi seseorang belum tentu merupakan cobaan bagi yang lain, keadaan tiap tempat juga berbedabeda. Maka peraturan bagi tiap orang dan tiap tempat tentulah berbeda. Misalnya di daerah beriklim dingin tidak perlu sering mandi, sebaliknya di daerah panas frekuensinya harus banyak. Kebanyakan bhikkhu hidup dengan baik dan suci, jadi buat mereka hanya sedikit peraturan yang diperlukan. Jika aku menghitung kembali kesalahan yang menyebabkan peraturan dibuat, memang tidak pantas berprasangka bahwa kesalahan-kesalahan tersebut sering terjadi. Suatu ketika pada musim hujan, bhikkhu-bhikkhu dari Rajagaha membangun gubuk dari rumput di pegunungan Isigili. Di antara mereka adalah Dhaniya, putera seorang pembuat tembikar. Ketika musim hujan sudah berlalu, semua bhikkhu kecuali Dhaniya membongkar gubuk mereka dan memgembara ke kota. Dhaniya tidak suka berkelana. Dia menyukai sebuah rumah miliknya sendiri, sehingga ia tetap di gubuk setelah musim hujan. Suatu hari sewaktu dia sedang meminta makanan di desa, beberapa orang wanita mengangkat bahanbahan gubuknya pergi untuk dijadikan kayu bakar. Dia membangunnya kembali. Kembali mereka merusaknya, karena mereka tidak menyangka seorang bhikkhu punya rumah untuk dirinya sendiri. Dhaniya kembali teringat pada keahliannya membuat tembikar dan dia membangun gubuk kecil dari tanah liat sehingga dari kejauhan kelihatannya seperti burung dara merah kecil di atas bukit. Ketika Sang Buddha lewat dan melihatnya, beliau pun mendengar laporan-laporan mengenai Dhaniya, ternyata Sang Buddha tidak setuju. Beliau mengirim 103 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru dua orang bhikkhu untuk menasehati Dhaniya agar membongkar gubuknya dan mengingatkan dia bahwa banyak serangga yang mati akibat dibangunnya gubuk itu. Tetapi bhikkhu-bhikkhu ini tidak menemukan Dhaniya sehingga mereka sendiri yang membongkar gubuk itu. Ketika Dhaniya kembali ia menemukan burung kecilnya sudah tidak ada lagi. Dia kaget tetapi tidak berkecil hati. Dia teringat pada tempat penyimpanan kayu milik Raja. Dia pun menemui penjaganya dan meminta batangan-batangan kayu tersebut, penjaga terkejut atas permintaan itu, dia berkata, "Kayukayu ini milik Raja dan disimpan sebagai cadangan perbaikan." "Tak mengapa, penjaga yang baik. Raja telah memberikan kayukayu ini untuk anggota Sangha." Si penjaga ragu-ragu, tetapi karena Dhaniya seorang bhikkhu yang tentu saja pikirnya tidak mungkin berbohong, ia kemudian ia membiarkan Dhaniya mengambilnya. Dhaniya pun kembali membangun gubuk. Kemudian Vassakara, kepala menteri di Magadha, karena melihat banyak bangunan yang perlu diperbaiki, ia pergi ke tempat penyimpanan kayu tersebut untuk mengambil kayu yang dibutuhkan, tetapi dia tidak menemukan apa-apa di sana. Setelah mendengar apa yang telah terjadi dia menemui Raja untuk menanyakan apakah raja memberikan kayu-kayu itu untuk anggota Sangha. Tentu saja si penjaga ditangkap karena Raja menyatakan tidak pernah memberikannya. Dhaniya melihatnya, hati kecilnya merasa bersalah sehingga dia mengikuti penjaga itu. Raja menemuinya di luar istana dan bertanya apakah benar potongan kayu itu digunakan untuk kepentingan Sangha. "Benar, Yang Mulia," jawab Dhaniya tanpa ragu. "Saya sebagai Raja sangat sibuk dan tidak mengingat semuanya. Tolong beritahukan saya, kapan saya memberikan kayu-kayu itu." "Apakah Yang Mulia masih ingat, bahwa Yang Mulia pernah mengatakan bahwa para pertapa dan kaum Brahmana bebas menggunakan rumput, kayu dan air?" Raja sangat terkejut dan menjawab, "Saya memang mengatakan begitu, tetapi yang saya maksudkan hanya rumput, kayu, air di hutan rimba, dan bukan barang yang sudah ada pemiliknya, dan ini Anda tentu tahu. Tindakanmu ini sangat licik, jika Anda rakyat biasa, tentu sudah dihukum atau dipenjarakan. Tetapi bagaimana saya menghukum anggota Sangha? Kamu dibebaskan karena statusmu. Tetapi saya sangat sedih, karena Anda telah membuat malu anggota Sangha. 104 Asal Usul Tersusunnya Vinaya Ketika rakyat mendengar penipuan ini, mereka marah dan berkata, "Bhikkhu-bhikkhu ini pembohong dan tidak tahu malu. Mereka berpura-pura menjadi pengikut Dhamma dan penyebar kebenaran. Tetapi sebenarnya mereka berlawanan dengan kenyataan. Kebaikan dan kesucian tidak ada lagi dalam Sangha. Raja saja dapat ditipu apalagi rakyat jelata." Para bhikkhu pemula tentu saja marah kepada Dhaniya. Akhirnya masalah ini dilaporkan kepada Sang Buddha, dan setelah memeriksa kebenarannya, beliau membuat peraturan bahwa anggota Sangha yang berbuat kesalahan yang pada rakyat biasa dapat dihukum atau dipenjarakan, akan dikeluarkan dari anggota Sangha. Tetapi Sang Buddha sedih dengan peraturan itu karena pembuatan peraturan itu bukanlah dapat menjadikan orang menjadi lebih murni dan suci. Di lain pihak ada beberapa bhikkhu yang melewati musim hujan di tepi sungai Vaggamuda, suatu daerah yang dilanda kelaparan. Persediaan makanan sedikit dan makan dijatah, dan para bhikkhu menjadi sulit memperoleh makanan. Kemudian beberapa di antaranya bermusyawarah bagaimana memperoleh makanan yang sewajarnya. Mereka memutuskan untuk bekerja pada pemilik rumah dengan cara menyanyikan lagu pujian dan mengatakan mereka mempunyai kekuatan supranormal. Pemilik-pemilik rumah ini sangat percaya dan mengambil makanan anak istrinya untuk bhikkhu ini. Akibatnya setelah musim hujan, bhikkhu ini mempunyai tubuh yang sehat dan kuat dan wajah yang cerah sedangkan yang lain kurus kering. Ketika musim hujan sudah berakhir, bhikkhu-bhikkhu ini membawa mangkuk dan jubah mereka menuju Vesali untuk menemui Sang Buddha. Semua bhikkhu-bhikkhu sudah berkumpul, mereka semua pada kurus. Sedangkan bhikkhu-bhikkhu ini gemuk dan cukup makan. Sang Buddha bertanya kepada seorang bhikkhu yang gemuk mengenai kegiatan mereka selama musim hujan. Tentu saja mereka takut mengatakan yang sebenarnya. Sang Buddha menatap mereka dengan pandangan yang bagaikan sanggup menembus dan membaca isi hati, akhirnya cerita yang sebenarnya pun terungkap dari mereka. Setelah mereka berhenti semuanya menjadi tenang dan hening sekali. Walaupun Sang Buddha belum mengatakan sesuatu, saya merasa bhikkhu yang gemuk itu mulai malu. Ketika Sang Buddha membuka suaranya, kedengarannya seperti guntur yang tanpa nafsu dan emosi di baliknya, namun demikian kata-kata Sang Buddha tepat mengenai sasarannya. Beliau berkata, "Ketika kamu menjadi bhikkhu, kamu meninggalkan semuanya, rumahmu, kesenangan duniawi dan 105 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru kenikmatan lainnya sehingga dengan demikian kamu akan sanggup memberikan persembahan yang paling berharga yaitu Dhamma. Sebaliknya umat akan memberikan kebutuhan hidup yang kamu butuhkan. Sekarang demi perut, kebutuhan jasmani dan kesenangan duniawi kamu telah berkata yang tidak benar dan mengambil makanan yang tidak layak diperoleh." Suara Sang Buddha meninggi tetapi tetap tenang tanpa emosi. "Menurut saya lebih baik perutmu terbelah oleh pisau pemotong daging daripada melakukan perbuatan demikian. Luka di tubuhmu hanya menimbulkan rasa sakit dan kematian tubuh, sedangkan penipuanmu akan mengantar kamu ke neraka yang dalam. Perampok kota jauh lebih baik daripada perampok yang memperoleh sedekah dengan menjilat dan menggunakan kekuatan gaibnya. Melakukan hal demikian di negara yang makmur dan hasil panennya melimpah ruah juga merupakan kesalahan, apalagi di tempat yang dilanda kelaparan. Lebih baik kamu menelan bola api panas daripada menelan makanan yang diperoleh dari umat yang kelaparan." Suara Sang Buddha demikian tegas sehingga bhikkhu-bhikkhu yang bersalah itu gemetar. Kemudian suara beliau menjadi lebih lembut, "Saya tahu bahwa saya telah menyakiti kalian, tetapi kadangkadang seorang dokter perlu menggunakan pisau." Suara-Nya melemah. "Sudah merupakan tugasmu untuk memberi contoh yang baik. Tindakanmu yang memalukan ini akan menyesatkan para pemula, dan mencegah yang lain untuk memulainya." Saya memperhatikan wajah para bhikkhu itu. Sebagian menangis. Semuanya menyadari kesalahan mereka. Kata-kata tajam Sang Buddha berbeda dengan orang lain. Beliau begitu tenang saat berbicara dan pisaunya melukai sekaligus menyembuhkan, karena beliau dengan belas kasihnya, mampu menembus hati dan pikiran manusia dan belas kasihnya selalu menyentuh hati nurani, beliau meninggalkan mereka dengan wajah yang penuh cinta kasih. Bhikkhu-bhikkhu yang bersalah itu pun bangkit dan menuju gubuk mereka, dan saya perhatikan hanya satu di antara mereka masih meminta sedekah pada keesokan harinya. Mereka sangat malu. Mungkin itu adalah akhir sebuah episode, tetapi beberapa tetua meminta dibuat peraturan untuk mencegah terulangnya peristiwa yang memalukan itu lagi, dan Sang Buddha membuat peraturan bahwa anggota Sangha yang menyalahgunakan kekuatan gaibnya harus dikeluarkan dari anggota Sangha. Di Alavi terjadi peristiwa yang hampir mirip dengan yang terjadi di sungai Vaggamuda. Beberapa orang bhikkhu merencanakan membangun tempat tinggal untuk mereka sendiri. Sedangkan di Alavi 106 Asal Usul Tersusunnya Vinaya tidak ada dana yang cukup buat mereka. Bhikkhu-bhikkhu ini meminta pembantu, kereta, lembu, pisau dan sebagainya kepada umat. Umat menjadi ketakutan dan selalu lari menghindar bila menjumpai bhikkhu. Bahkan mereka pernah segera lari begitu melihat beberapa lembu yang dikira para bhikkhu berjubah kuning. Kassapa sendiri yang mengetahui kejadian ini. Ketika beliau meminta makanan di Alavi, orang-orang pada lari dan tidak ada makanan yang diberikan padanya. Dia heran karena biasanya penduduk Alavi selalu siap memberikan sedekah. Beliau sangat terkejut ketika diberitahu penyebabnya, dan hal ini segera dilaporkan pada Sang Buddha yang kemudian tiba di Alavi. Sang Buddha tertawa dan berkata, "Ternyata umat awam bisa menjadi hakim kebenaran bagi para bhikkhu. Perintahkan bhikkhubhikkhu itu menghadap saya." Ketika bertemu dengan bhikkhu-bhikkhu itu, Kassapa menegur mereka dengan kasar. Berbeda dengan Sang Buddha yang senantiasa lembut sambil menanyakan kebenaran berita yang diperoleh. Beliau berkata, "Cukup sulit bagi kepala-kepala keluarga itu untuk menghidupi keluarganya, apalagi harus menyediakan kereta lembu dan tenaga kerja untuk kalian. Ketika kamu masuk anggota Sangha, kamu sudah diingatkan untuk tinggal di bawah pohon dan tidak mengambil barang jika tidak diberikan dengan ikhlas." Kami merasa bhikkhu-bhikkhu itu merasa sangat malu dan peristiwa seperti itu tidak akan mungkin terulang lagi. Tetapi Kassapa tidak puas. "Sang Buddha," katanya "Maukah Sang Buddha membuat peraturan bahwa bhikkhu tidak boleh mempunyai tempat tinggal kecuali ada donatur yang menyumbang?" "Peraturan itu terlalu keras, Kassapa. Pada waktu tertentu, terutama musim hujan, para bhikkhu harus membangun gubuk sendiri jika tidak ada gubuk atau vihara yang tersedia atau mungkin tidak ada dermawan yang mampu atau mau menyumbang." "Lalu maukah Sang Buddha membuat peraturan bahwa hanya gubuk dari rumput yang boleh dibangun?" "Ah, Kassapa, kamu ingin sekali membuat peraturan. Tetapi manusia selalu cenderung melanggar peraturan, kecuali jika dalam hati memang ingin menaatinya, sehingga akhirnya tidak ada peraturanperaturan yang dibuat, karena manusia akan merubahnya. Tetapi baiklah, para bhikkhu dilarang membangun tempat tinggal melebihi gubuk tanpa dermawan dan harus disetujui bhikkhu-bhikkhu lain yang ada di sana, serta pada tempat yang lapang sehingga tidak menebang pohon." 107 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru Jika Kassapa ingin membuat peraturan keras bagi yang lainnya, dia malah lebih keras terhadap dirinya sendiri. Dia tidak menyakiti tubuhnya, tetapi dia tidak pernah memanjakannya. Beliau lebih muda dari Sang Buddha, tetapi ketika Sang Buddha sudah tua, Kassapa juga kelihatan tua. Suatu sore, di Hutan Bambu, Sang Buddha mengamati jubah kumal Kassapa dan berkata, "Engkau sudah cukup tua sekarang, Kassapa, dan jubah yang sudah rapuh itu tidak sesuai untuk tubuh yang sudah tua dan lemah. Mengapa kau tidak mengambil jubah yang disumbangkan untukmu? dan maukah kau di samping saya dan menerima makanan yang disumbangkan selain meminta sedekah dengan mangkukmu?" Kassapa menjawab, "Saya sudah lama hidup sebagai pengembara hutan dan saya mengajurkan pengasingan diri pada yang lain. Saya selalu mengatakan lebih baik meminta sedekah dengan mangkuk daripada menerima sumbangan dan mengenai pakaian, seorang bhikkhu tidak mementingkan penutup tubuhnya. Saya selalu mengenakan jubah kumal dan hanya tiga pasang, usia saya yang semakin bertambah bukan alasan untuk mengubahnya." Setelah Sang Buddha mencapai Parinirvana, Kassapa yang menyelenggarakan Persamuan Agung pertama yang mengumpulkan kembali sabda-sabda Sang Buddha. Banyak peraturan yang terkumpul dalam pertemuan tersebut karena Kassapa memang menyukai peraturan dan sangat menaatinya. Tetapi peraturan yang ada kebanyakan bukan dibuat oleh Sang Buddha, melainkan oleh kejadiankejadian yang baru timbul, misalnya, saya pernah menyinggung bahwa Sang Buddha telah menyarankan Sona untuk memakai sepatu dari kulit karena kakinya terluka. Setelah wafatnya Sang Buddha, hal ini menjadi satu bentuk peraturan yakni para bhikkhu diizinkan memakai sepatu dengan hanya satu lapisan. Kemudian, sebagian bhikkhu menahan diri untuk mengambil buah yang jatuh dari pohon walaupun mereka dalam keadaan lapar dan lelah karena hal itu dianggap mengambil tanpa diberi, sebagian menganggap sah-sah saja karena bukan diambil dari pohon. Persepsi lain yang dibuat adalah bahwa seorang lelaki muda dapat ditahbiskan bila ia telah dapat mengusir burung. Hal ini dibuat disebabkan laporan Ananda saat beliau mentahbiskan seorang anak laki-laki, Ananda mengatakan pada Sang Buddha, walaupun anak itu masih muda, tapi ia sudah mampu bertanggung jawab, hal ini dibuktikan dengan mampunya ia menjaga tanaman dari serbuan burung, dan jadilah itu kemudian sebagai suatu peraturan. Buat aku sendiri, aku lebih senang mengingat apa yang disabdakan Sang Buddha: 108 Asal Usul Tersusunnya Vinaya "Pada awalnya cuma ada sedikit aturan dan banyak bhikkhubhikkhu yang mencapai kesucian. Saat orang-orang berhenti menghidupkan ajaran yang benar, berbagai peraturan dibuat. Tetapi tidak ada aturan yang dapat membentuk kehidupan manusia, itu cuma ajaran palsu. Hanya jika manusia menghormati Dhamma, dan mencari bentuk hidup mereka di dalamnya, maka ajaran yang sesungguhnya akan dapat hidup dan berkembang." 109 Kekuatan Gaib Sang Buddha Ke manapun kami pergi, kami selalu menemukan seperti apa yang dikatakan Janussoni, "Bagaikan bekas jejak kaki gajah besar", semua wanita dan pria yang bertemu dengan Sang Buddha akan berubah seluruh jalan hidupnya, mereka tidak lagi mengenal kemarahan dan menghindari semua perbuatan jahat. Namun sejauh itu beliau tidak pernah memaksa orang lain untuk mengubah agama dan kepercayaannya. Bagi beliau, semua kepercayaan atau bentuk kehidupan adalah baik sejauh tidak berusaha menyakiti yang lain. Dhamma akan dikenal dan Delapan Jalan Utama akan dijalankan siapa saja, walau apapun kepercayaannya. Melalui kepercayaan mereka masing-masing Sang Buddha menunjukkan jalan untuk mengakhiri penderitaan. Jika seseorang percaya akan kehidupan pertapa, Sang Buddha tidak akan membantah kebaikan kehidupan seorang pertapa, tetapi akan menunjukkan bahwa kehidupan pertapa yang terbaik adalah dengan menjalankan Delapan Jalan Utama; jika ia percaya akan pengorbanan, maka pengorbanan yang terbaik adalah pengorbanan diri. Jika seseorang sebelumnya ingin menjadi seorang Brahmana, maka beliau akan menunjukkan bahwa semuanya itu dapat diperoleh dengan memancarkan sinar cinta kasih kepada semua makhluk. Jika beliau ditanyakan apakah ada kehidupan setelah kematian, beliau akan berkata bahwa lebih baik mengenal kehidupan ini; tetapi jika seseorang yang bertanya pada-Nya mempercayai surga, neraka dan kelahiran kembali, mahluk-mahluk agung serta dewa, Sang Buddha akan menunjukkan jalan kebenaran melalui kepercayaannya itu. Ajaran Sang Buddha sama sekali berbeda dengan sekte mana pun, karena ajaran-Nya dapat dibuktikan dalam kehidupan ini dan di dalamnya kepercayaan seseorang tidak pernah diperdebatkan. Sebagian dari kami sedang di Savatthi meminta makanan ketika kami bertemu dengan sekte-sekte yang selalu memperdebatkan kepercayaan masing-masing, saling menyalahkan dengan mengeluarkan kata-kata kasar. Ketika kami melaporkan apa yang kami lihat dan dengar kepada Sang Buddha, beliau mengibaratkan mereka seperti orang buta yang menjelaskan bentuk seekor gajah dengan hanya berpedoman pada bagian-bagian yang terpegang olehnya saja, kemudian marah karena orang buta yang lain mempunyai pendapat yang berbeda dengannya. Sang Buddha menjelaskan bahwa orang-orang tidak hanya memandang segala sesuatu berbeda karena masalah kepercayaan, tetapi mereka bahkan mempunyai pandangan yang berbeda terhadap 110 Kekuatan Gaib Sang Buddha Dhamma. Seorang pemula memberitahukan aku bagaimana dia bertanya kepada mereka yang lebih tua mengenai jalan menemukan Kesucian dan Kebenaran Sejati. Ada yang mengatakan Kesucian dan Kebenaran itu akan diperoleh bilamana seseorang tidak mengumbar keenam nafsu indera, yang lain mengatakan bila seseorang telah menggenggam Empat Kesunyataan Mulia, sedangkan Moggallana dan Sariputta mengatakan dengan memahami ketidakkekalan dari segala sesuatu. Si pemula bingung akan jawaban-jawaban yang berbeda dan menemui Sang Buddha. Beliau mengatakan bahwa semuanya benar, karena masing-masing menjawab apa yang benar menurutnya. "Bagaikan seseorang yang mencoba untuk menjelaskan pohon Judas. Setiap orang akan menjelaskan apa yang dia lihat. Yang melihatnya kehitam-hitaman akan mengatakan pohon itu seperti batang pohon yang terbakar; yang melihatnya kemerah-merahan pada musim semi akan mengatakannya seperti gumpalan-gumpalan daging; sedangkan yang lain karena melihat kulit batangnya terkelupas menyamakannya dengan pohon Akasia; sisanya lagi yang berteduh di bawah kerimbunannya pada musim panas akan berpikir bahwa itu adalah pohon Banyan." Sikap yang benar dalam hal tidak mencampuri masalah keyakinan dan pengetahuan Dhamma orang lain adalah juga berarti menghormati sikap hidupnya sendiri. Hanya lima usaha yang dikatakan oleh Sang Buddha tidak boleh dilakukan karena kelima usaha itu melukai yang lain, yaitu dengan sengaja membuat senjata untuk membunuh manusia, membuat racun dan minuman yang memabukkan, berjualan daging, pemburu, penjebak dan tentara. Bagi siapa yang menjalankan ajarannya maka segala usaha selain usaha-usaha di atas adalah baik dan diizinkan, begitu juga dengan berbagai macam cara kehidupan. Ananda menceritakan padaku bahwa Migasala, seorang ibu rumah tangga dari Savatthi, pernah menanyakan bagaimana Sang Buddha dapat mengatakan bahwa ayahnya, Purana dan pamannya, Isidatta, keduanya telah memahami Keabadian, "Keduanya adalah pengikut Raja Pasenadi," katanya, "Tetapi ayah saya, Purana, menjalani kehidupan dengan saleh, menghindari kesenangan duniawi, sedangkan paman saya, Isidatta, senantiasa bergembira dengan istrinya dan tidak menghindari kesenangan duniawi." Ananda tidak dapat menjawab pertanyaannya sehingga beliau mencari Sang Buddha yang berkata, "Hal ini cukup rumit, Ananda, menilai 'nilai' seseorang. Hanya yang telah mencapai Penerangan Sempurna yang mampu melakukannya. Seorang ibu rumah tangga 111 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru seperti Migasala, yang mempunyai pengetahuan yang sederhana, tidak dapat mengerti. Seseorang tak dapat dinilai dari penampilan luarnya saja, tetapi dari ketulusan hatinya, dan hanya yang telah mencapai Penerangan Sempurna yang dapat mengetahuinya. Dua orang yang saleh dan keduanya mampu mengendalikan diri, mendengarkan Dhamma. Yang satu mengerti dan menjalankannya. Yang satunya lagi tidak menghiraukannya. Orang pertama akan terbawa arus Dhamma, yang kedua tidak. Tetapi siapa selain yang telah mencapai penerangan sempurna yang mampu mengetahuinya? Dari luar mereka kelihatannya sama. Ataupun mungkin ada dua orang lain yang telah mampu menaklukkan keangkuhan dan kemarahan, tetapi pada keduanya kadang-kadang timbul serakah. Siapa yang benar-benar mengerti Dhamma akan maju, sedangkan yang sebaliknya tidak. Orang-orang menilai dari penampilan luar; mereka tidak mengetahui yang sebenarnya. Dia yang menilai 'nilai' seseorang berarti menggali lubang untuk dirinya sendiri. Purana mungkin memperoleh kebaikan-kebaikan Isidatta, tetapi bukan dengan cara Isidatta, atau Isidatta akan memperoleh kebaikan Purana, tetapi bukan dengan cara Purana. Setiap manusia menempuh caranya masing-masing dan tidak dapat dibandingkan dengan yang lain. Guru-guru lain berkelana ke tepi kota untuk menarik umat, tetapi Sang Buddha tidak pernah melakukannya. Sang Buddha tidak pernah menginginkan untuk memenangkan jumlah umat, dan menyebabkan mereka meninggalkan guru-guru mereka ataupun menghianati agamanya terdahulu. Sang Buddha hanya berusaha menunjukkan jalan untuk mengakhiri penderitaan. Namun bagaimanapun, hanya dengan nasehat yang singkat, orang-orang menjadi yakin dan meminta diterima sebagai siswa. Beliau selalu membawa suatu atmosfir yang menarik orang-orang untuk mendekatinya, atmosfir kedamaian dan cinta kasih, yang mengelilingi-Nya bagaikan sebuah aura. Engkau akan merasakan kedatangan-Nya dari jarak yang jauh, perasaan tenang dan damai akan menyentuh hati mereka yang membuka pintu hatinya. Brahminbrahmin yang angkuh, yang melangkah seperti penderita kaku kuduk, tanpa ragu-ragu segera tunduk dan memuji Sang Buddha. Sang Buddha senantiasa memperingati mereka untuk mengingat kembali diri mereka, tapi itu semua tidak mengubah keadaan. Dikatakan bahwa satu-satunya cara untuk menemui beliau dan pergi tanpa terpengaruh oleh-Nya adalah dengan menutup telinga, tetapi orang-orang yang melakukan demikian pun akan tetap merasakan kekuatan aura-Nya walaupun mereka telah mencoba menghindari kekuatan kata-kataNya. Maka tak mengherankan jika sekte-sekte lain menfitnah bahwa 112 Kekuatan Gaib Sang Buddha beliau telah menggunakan kekuatan sihir dan memberikan janji muluk untuk menarik siswa mereka. Bhaddiya dari kaum Licchavi mendengar berita bahwa Sang Buddha menggunakan jampi-jampi untuk menarik umat, tetapi karena dia tertarik dengan kekuatan gaib, maka dia pergi menemui Sang Buddha untuk mengetahui kebenarannya. "Orang-orang mengatakan Anda adalah seorang pemain sulap," katanya begitu bertemu Sang Buddha, "Anda mempunyai tipuan untuk menarik umat dengan menguasai pandangan mereka. Apakah ini benar?" Sang Buddha tersenyum dan anggota Sangha yang melihat senyuman Sang Buddha yakin bahwa Bhaddiya sendiri akan tunduk pada kekuatan Sang Buddha. "Desas-desus bukanlah keterangan yang dapat dipercaya." Sang Buddha berkata, "Jangan percaya desas-desus dan jangan menerima ajaran yang bersumber dari desas-desus." "Tidak," Bhaddiya menjawab, "Justru karena itulah sekarang saya datang ke sini." "Dan juga," lanjut Sang Buddha, "Jangan menerima suatu ajaran karena rasa hormat kepada guru atau pun kata-kata suci." "Tidak," Bhaddiya memotong, "Saya hanya menerima suatu ajaran bila ajaran itu masuk akal dan mempunyai alasan kuat." "Tidak," Sang Buddha melanjutkan. "Janganlah menerima suatu ajaran hanya karena masuk akal, atau karena gurunya memenangkan perdebatan dengan orang yang berpandangan lain." "Oh," Bhaddiya berteriak terkejut. "Lalu seseorang harus menerima suatu ajaran dengan alasan apa?" "Bhaddiya, kamu harus menerimanya hanya bila kamu telah dapat membuktikan dengan pengalaman sendiri bahwa ajaran itu membawa kebahagiaan dan kesejahteraan." "Saya belum pernah mendengar guru lain yang pernah mengatakan demikian. Dapatkah Anda menjelaskan lebih lanjut?" Tentu saja, semakin jauh Sang Buddha memberikan penjelasan, semakin berpengaruh pula kekuatan Sang Buddha. "Jika seseorang berbicara kasar padamu dan kamu membalasnya dengan kasar, tahukah kamu apa akibatnya?" "Kami akan marah dan mungkin akan terjadi perkelahian," jawab Bhaddiya. "Penilaianmu benar, Bhaddiya. Apakah menurut kamu, perdebatan ini berguna atau memalukan?" "Tentunya memalukan, Guru. Kata-kata demikian sama sekali tidak ada manfaatnya." 113 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru "Sekarang, jika kamu membalasnya dengan lemah lembut dan cinta kasih, kamu tahu apa hasilnya?" "Di antara kami akan timbul rasa damai dan bahkan mungkin kami akan berteman. Perbuatan demikian akan berguna bagi siapa saja." "Kamu menjawab dengan benar lagi, Bhaddiya. Jadi di luar pengetahuanmu, kamu telah menunjukkan bahwa kata-kata lembut dan penuh cinta kasih adalah ajaran yang baik. Sekarang, Bhaddiya semua guru yang bijaksana akan mengajarkan siswa-siswanya demikian." Pada saat ini Bhaddiya berseru, "Bolehkah saya menjadi siswa Anda?" Sang Buddha tersenyum "Hati-hati, teman, bagaimana kamu dapat mengatakan demikian, apakah saya meminta kamu untuk menjadi siswaku?" "Tidak, Guru, tidak." "Tidak ingatkah kamu bahwa saya dikatakan sebagai pemain sulap, yang memainkan tipuan-tipuan muslihat. Berhati-hatilah." "Orang-orang mengatakan yang sebenarnya." Anak muda itu tertawa. "Anda adalah pemain sulap yang ahli, tetapi tipu muslihat Anda sangatlah baik. Saya ingin semua teman-teman saya mendapat ajaran yang sama." Walaupun Sang Buddha mengatakan tidak ada ajaran yang diterima hanya karena bersifat logika, tetapi beliau sangat mahir menjawab perdebatan demi perdebatan dengan argumen yang logis. Namun bagaimanapun seseorang tidak akan memenangkan perdebatan kecuali ia memang mempunyai kebijaksanaan terhadap perdebatan itu. Sekte-sekte lain, tanpa mereka sadari, sebenarnya berkata yang benar saat mereka mengatakan bahwa Sang Buddha menggunakan suatu 'pesona' atau 'jampi-jampi' untuk menarik umat. Pesona Sang Buddha adalah pesona persahabatan dan cinta kasih, yang hanya mencari suatu semangat dari orang-orang tanpa meminta balasannya, adalah karena kekuatan dari ketenangannya yang menentramkan konflik-konflik bathin mereka dan membawa kedamaian dan kesejahteraan bagi yang mendengarnya. Selain itu, suatu kegaiban yang timbul dari pengetahuan seseorang akan segala sesuatu biasanya menyusahkan dirinya sendiri. Jangan berpikir bahwa Sang Buddha telah terbebas dari Mara, setan penggoda, yang merupakan personifikasi dari diri dengan keinginan-keinginan dan 'tanha'nya. Sejak mencapai penerangan sempurna sampai tiga bulan sebelum beliau wafat, Mara terus-menerus menggoda-Nya. Walaupun 114 Kekuatan Gaib Sang Buddha pikiran-pikiran Mara tidak pernah mampu mendapatkan tempat berpijak pada pikiran Sang Buddha, sebagaimana yang mereka lakukan pada yang belum mencapai penerangan sempurna, namun pikiranpikiran tersebut tetap muncul, karena pikiran mempunyai kehidupan sendiri; tumbuh dari semua keberadaan, dan padanya tidak ada diri individu yang permanen yang berdiri sendiri dan tidak mengetahui pengalaman dari pikiran dan perasaan yang lainnya. Jadi bahkan seorang Buddha, yang telah terbebas dari perbudakan pikiran-pikiran tersebut dan tidak disusahkan olehnya, belumlah terbebas dari kemunculannya. Sewaktu Sang Buddha mencapai penerangan sempurna, pikiranpikiran buruk selalu muncul. Beliau duduk dengan tenang, tak tergoyahkan dan pikiran itu pun menghilang, bagaikan putri Mara yang mencoba membelah gunung dengan setangkai bunga lily. Kemudian setelah mencapai penerangan sempurna, godaan untuk menikmati sendiri kebahagiaan yang diperolehnya pun muncul, tetapi Sang Buddha menyadari dan mampu menguasai pikiran, sehingga Mara pun lenyap. Dan beliau yang telah mampu menaklukkan rasa takut, bagaimanapun akan mengetahui makna dari pikiran akan rasa takut. Misalnya ketika seekor ular sanca muncul di sebelahnya sewaktu beliau sedang bermeditasi pada waktu hujan di hutan, ataupun gajah mengamuk yang merusak dan menghancurkan semua isi hutan. Tetapi seperti sebelumnya pikiran takut akan segera hilang. Pikiran demikian muncul untuk kemudian menghilang saat yang telah mencapai penerangan sempurna mengenalinya sebagai Mara, alat diri yang semu, tetapi bagi yang belum mencapai penerangan sempurna, walaupun dapat mengenali Mara, namun padanya pikiran-pikiran tersebut baru menghilang setelah melalui perjuangan yang lama. Pada yang belum mencapai penerangan sempurna, Mara tidaklah seketika muncul dan kemudian menghilang. Dan pikiran-pikiran kekhawatiran dan kegelisahan — Sang Buddha akan menolong mereka yang tertekan, karena berdasarkan pengalamannya beliau mengetahui arti pikiran demikian — seperti ketika keragu-raguan muncul saat beliau hendak menentukan siapa yang pantas dan sesuai menerima ajaran-Nya. Dan janganlah berpikir bahwa disebabkan Sang Buddha sanggup berkonsentrasi dan melenyapkan rasa sakit maka beliau tidak mengenal rasa sakit, ketika batu karang yang runcing jatuh dan melukai kakinya, beliau mengetahui sepenuhnya arti dari rasa sakit itu. Pikiran-pikiran yang beragam ini, yang pada orang lain merupakan sumber penderitaan, akan juga muncul pada-Nya untuk kemudian lenyap, karena tidak ada 115 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru tempat bagi mereka untuk bersandar. Namun mereka tetap muncul, dan melalui pengalaman-Nya, Sang Buddha mengetahui arti keberadaan mereka walaupun beliau telah berada dalam kedamaian Nirvana. Karena Sang Buddha menyatu dengan dunia kita yang menderita, dan mencari jalan untuk mengakhiri penderitaan, maka pernah sekali beliau digoda untuk menjadi Raja yang memerintah dengan bijaksana. Pada saat itu seorang raja sedang merencanakan untuk menyerang negara lain dan Sang Buddha sedang menginap di sebuah gubuk gembala di bukit Himalaya; pohon Oak bersemi dengan warna gading dan karang, burung-burung bercumbu dengan temannya di antara tetumbuhan hijau dilatarbelakangi langit biru yang bertabur megamega putih; semua tampak indah dan bahagia. Sang Buddha yakin dapat menghentikan perang ini; mengembalikan kemakmuran, memegang tampuk pemerintahan daerah-daerah ini; beliau tahu bahwa Ia dapat memerintah tanpa pembunuhan atau sebab untuk dibunuh; tanpa penaklukkan ataupun sebab untuk ditaklukkan — sebagaimana yang pernah dilakukan raja yang lain dulu. Dan seperti mereka, beliau juga mampu memerintah dengan baik dan bijaksana, semua rakyat akan hidup berkecukupan sehingga anak kecil dapat meninggalkan sekeranjang emas di jalan tanpa ada yang menyentuhnya. Tetapi saat pikiran-pikiran itu timbul, Sang Buddha menyadari bahwa mereka adalah Mara, walaupun gunung Himalaya berubah menjadi emas, manusia pun tak akan pernah puas. Sang Buddha akan menunjukkan jalan bagi umat manusia, bukan jalan untuk memuaskan keinginan-keinginan, tetapi jalan untuk mengakhiri keinginan itu sendiri. Sang Buddha mengakui munculnya pikiran-pikiran Mara pada-Nya yang sebelumnya tak pernah disangka siapa pun. Apakah beliau melakukannya untuk memberi contoh pada kami pentingnya suatu pengakuan bahkan pada orang yang telah mencapai penerangan sempurna, atau untuk menunjukkan bahwa beliau adalah satu dengan kami bahkan dalam kelemahan kami sekalipun? Aku tak tahu. Aku hanya menceritakan apa yang kudengar dan setahuku begitu Sang Buddha menjelaskan godaan-godaan ini, orang-orang malah menjadi semakin menghormatinya. Semakin rendah hati Sang Buddha, semakin besar pula penghormatan para umat kepada-Nya. Nigata menceritakan saat Sang Buddha mengunjungi perkampungan Brahmana di Icchanangala orang-orang berkumpul di pintu masuk tempat Sang Buddha menginap, menyanyikan pujian dan memohon beliau untuk muncul 116 Kekuatan Gaib Sang Buddha dan menerima persembahan makanan yang mereka bawa; Nigata menganjurkan beliau untuk memenuhi permintaan mereka, tetapi Sang Buddha menjawab: "Tidak, saya tidak ada hubungannya dengan penghormatan dan penghormatan tidak ada hubungannya dengan saya—juga tidak dengan siapa pun yang menemukan kebahagiaan dalam perenungan dan ketenangan batin. Jika ada yang menginginkan pujian biarkan mereka menerimanya, tetapi pujian hanya memberikan kebahagiaan yang sementara dan ketenangan bathin adalah kebahagiaan sebenarnya. Kesedihan, penderitaan dan keputusasaan merupakan komponen dari apa yang dikatakan sebagai kebahagiaan." Sang Buddha tidak menginginkan pujian-pujian yang berlebihan. Aku pernah diberitahu bagaimana beliau menggoda Sariputta, ketika Sariputta menegaskan bahwa beliau yang paling bijaksana di antara semua orang suci yang telah atau akan hidup di dunia ini. Beliau juga tidak menanggapi pujian dari Raja Pasenadi. Suatu hari raja pergi menikmati keindahan suatu taman. Sehari sebelumnya telah turun hujan, daun-daunan bersih dari debu; udara dipenuhi aroma buah mangga; burung-burung hijau bersinar seperti mutiara di antara cabang-cabang pepohonan. Raja sangat terkesan dengan suasana hutan dan seolah-olah suatu perasaan damai menyelimutinya, ia segera teringat kepada Sang Buddha dan ingin menemui-Nya sebelum kembali ke istana. Karena hari masih pagi maka raja segera menuju Hutan Jeta, melepaskan serban dan pedangnya kemudian masuk menemui Sang Buddha sendirian. Begitu berjumpa Sang Buddha, Raja segera berlutut dan mencium kaki Sang Buddha. Sang Buddha tersenyum dan menanyakan mengapa raja begitu menghormati tubuh yang akan hancur ini. Tetapi tentu saja bukan tubuh yang dihormati raja dan yang lainnya, melainkan Dhamma yang diajarkan tanpa pikiran 'Aku' dan 'Milikku', Dhamma yang merupakan mujizat Sang Tathagatha, mujizat yang membebaskan raja dari kehendak diri, dari keserakahan, dari keterikatan akan uang dan kesenangan, yang telah menunjukkan cara untuk memerintah kerajaannya seperti seorang ayah yang bijaksana dan penuh cinta kasih. Dalam membalas berkah Dhamma tersebut, perbuatan raja mencium kaki Sang Buddha mungkin sepertinya kekanak-kanakan, tetapi aku mengakui, ketika baru ditabhiskan, kadang-kadang aku mempunyai keinginan yang demikian juga, terutama saat beliau menunjukkan kelemahan sebagai umat manusia, seperti saat beliau mengatakan punggungnya letih dan ingin beristirahat. Tidak ada kata117 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru kata yang dapat melukiskan keagungan Sang Buddha, demikian juga kekuatan yang dimiliki-Nya, yang dapat menarik semua orang untuk mendekati-Nya, yang membuka suatu pandangan kebahagiaan bagi mereka, di samping kebahagiaan duniawi yang muncul bagaikan kertas emas yang kehilangan cahaya. 118 Sang Buddha dan Umat Biasa Seperti yang pernah aku katakan, janji suci Sang Buddha sewaktu mencapai penerangan sempurna adalah untuk menolong semua makhluk, para umat awam, baik wanita maupun pria, para bhikkhu dan bhikkhuni. Jadi perlu disesali bahwa pada saat Persamuan Agung yang diselenggarakan setelah Sang Buddha mencapai Parinirvana, tidak ada seorang pun bhikkhuni maupun umat biasa yang hadir sehingga sabda-sabda Sang Buddha yang dicatat hanyalah yang bersumber dari para bhikkhu. Memang benar banyak laporan mengenai Anathapindika dan Visakha, umat biasa yang kaya, tetapi hal itu terutama disebabkan karena jasa-jasa mereka kepada Sangha. Bila anda mendengarkan pembicaraan beberapa orang anggota Sangha, anda akan berpikir bahwa semua umat awam hadir di dunia hanya untuk membantu atau menderma bagi para anggota Sangha. Tetapi bagi Sang Buddha, umat biasa juga punya kelebihan, dan setiap langkah dalam Delapan Jalan Utama adalah sesuai bagi mereka. Aku pernah mendengar Sang Buddha memberitahukan Anathapindika bahwa umat yang berkeluarga jangan segera merasa puas karena bisa memberikan sesuatu bagi anggota Sangha, tetapi secara perlahan mereka juga harus mengasingkan diri seperti para bhikkhu dan menemukan ketenangan batin dengan melaksanakan meditasi. Umat biasa yang terkenal selain Anathapindhika, adalah Visakha yang juga berasal dari Savatthi. Cerita dimulai saat dia berumur tujuh tahun, Sang Buddha mengunjungi kampung halamannya, Saketa, dan ayahnya memintanya untuk membawa sejumlah pelayan menemui Sang Buddha dan mengundang-Nya makan. Walaupun masih anakanak Visakha langsung mengutarakan maksudnya dan kemudian memohon agar diterima sebagai siswa. Pada usia enam belas tahun dia dinikahkan dengan putra Migara, seorang jutawan dari Savatthi. Ketika pesta pernikahan usai, Visakha menuju Savatthi, berdiri di atas kereta pernikahannya dan mengenakan baju yang dihiasi permata pemberian ayahnya, yang menunjukkan bahwa menantu Migara berasal dari golongan atas. Iringan sejumlah pelayan dan kereta-kereta yang penuh dengan harta benda pemberian ayahnya sebagai mas kawin mengikuti di belakangnya. Walaupun masih berusia enam belas tahun, Visakha mempunyai kebijaksanaan seterang permata. Tetapi ada satu hal yang tidak ia ketahui, yaitu apakah ayah mertuanya merupakan pengikut Sang Buddha. Sejak Raja Pasenadi menjadi pengikut Sang Buddha, dia yakin semua orang-orang penting di kerajaannya juga menghormati Sang 119 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru Buddha. Visakha sangat terkejut ketika dia mengetahui bahwa Sang Buddha tidak pernah diundang oleh mertuanya walaupun Hutan Jeta sangat dekat dengan kediaman Migara dan ia jarang bertemu dengan seorang bhikkhu di sana. Jadi tidaklah mengherankan bila dia sangat gembira ketika suatu hari ayah mertuanya mengirimkan pesan padanya bahwa 'Orang Suci' telah tiba dan ia harus segera pergi memberi hormat pada mereka. Tetapi ketika Visakha memasuki ruangan, dia sangat terkejut karena semua yang hadir adalah pertapa telanjang yang dijamu dengan perlengkapan mewah. Dia memprotes ayah mertuanya karena telah memanggil mereka orang suci karena mereka sama sekali tidak hidup sederhana. Para pertapa itu menanyakan mengapa Migara mengizinkan pengikut Sang Buddha menjadi anggota keluarganya dan mendesak agar Visakha diusir. Migara mengatakan ia tidak dapat melakukannya, karena Visakha adalah putri keluarga terhormat dan dia diberi pengecualian. Walaupun demikian, Migara tidak senang dengan perkataan Visakha. Ketika pertapa-pertapa telanjang itu semua sudah pulang, Migara duduk sendirian menikmati bubur nasi bermadu dengan mangkuk emas sambil dikipasi Visakha. Pada saat itu kebetulan seorang bhikkhu lewat dan meminta sedekah makanan, Visakha pun bergeser ke samping supaya mertuanya melihat bhikkhu tersebut dan memberinya makanan. Tetapi walaupun Migara melihat bhikkhu tersebut, dia tidak memberi komentar dan melanjutkan makanannya dengan kepala dibalik mangkuk emasnya. Ketika bhikkhu itu masuk dan menunggu, Visakha berkata kepada bhikkhu itu, "Pergilah, Yang Mulia, ayah mertua saya sedang makan makanan basi." Walaupun semula Migara tidak menghiraukan desakan para pertapa terlanjang, tetapi ketika mendengar Visakha mengatakan ia memakan makanan basi, dia marah karena tidak sadar dan tidak mengerti kata-kata Visakha. Dia berdiri dengan sangat marah dan memanggil pelayannya sambil berkata, "Usir wanita ini dari rumah saya." Visakha menjawab dengan sopan, "Ayah yang terhormat, Ayah salah paham atas kata-kata saya. Lagipula Ayah tidak boleh mengusir seorang menantu dengan cara demikian." Visakha bersikeras meminta Migara memanggil delapan orang anggota keluarga terpilih sebagai pemihaknya. Setelah mereka hadir Visakha pun menjelaskan kepada mereka arti kata-katanya sebagai suatu peribahasa yang berarti seseorang tidak perlu mengharapkan pahala yang seketika dari berdana. Ketika Visakha sudah memberikan penjelasan kepada ayah 120 Sang Buddha dan Umat Biasa mertuanya, dia berkata sekarang dia sudah pantas untuk meninggalkan rumah itu, dan dia akan kembali ke rumah ayahnya. Namun ketika Migara melihat Visakha benar-benar hendak pergi, dia menyesali kata-katanya dan memintanya untuk tetap tinggal. Visakha menjawab dia tetap akan tinggal hanya bila ia diizinkan untuk melayani Sang Buddha dan pengikutnya, serta mendengarkan dhamma. Migara pun menyetujuinya. Pertama kali dia mengundang Sang Buddha, para pertapa telanjang melarang Migara menemui beliau. Akhirnya mereka setuju jika ia hanya mendengarkan dari balik kain jendela. Sebenarnya jika Migara itu tidak punya kesadaran, maka para pertapa itu lebih parah, karena tidak mengetahui bahwa Aura Sang Buddha bahkan dapat menembus dinding dan mencapai jarak yang jauh sekali, sehingga setiap orang akan merasakan bahwa beliau berbicara khusus padanya. Di balik kain jendela Migara mempertimbangkan ajaran Sang Buddha dan merasakan Sang Buddha hanya khusus bicara dengannya. Dia segera keluar dari balik jendela dan membungkuk pada menantunya sambil berkata, "Mulai saat ini kamu adalah ibu saya," dan sejak itu Visakha dipanggil "Ibu Migara". Kemudian dia bersujud pada kaki Sang Buddha dan menciumnya, berkata bahwa Visakha datang ke rumahnya membawa keselamatan dan kedamaian. Banyak yang dapat aku ceritakan mengenai Visakha, mengenai perhatiannya terhadap kesejahteraan Sangha, kritikannya terhadap kesalahan yang ia temukan dalam Sangha dan juga kebijaksanaannya. Izinkan aku melanjutkan tentang umat lainnya, dimulai dari anakanak yang tidak akan segan-segan menghampiri Sang Buddha, sedangkan orang-orang yang lebih tua sering ragu-ragu karena gelar Sang Buddha sebagai guru dunia yang paling dihormati. Suatu hari ketika Sang Buddha menguraikan khotbah dhamma kepada kami, sementara di luar vihara ada beberapa orang anak bermain-main. Kami dapat mendengar gelak tawa mereka, ucapan mereka dan derap kaki berlarian ke sana-sini. Pada waktu itu cuaca sangat panas dan berdebu, seorang anak berkata bahwa ia haus, yang lain berkata, "Tetapi di sini tidak ada sumur." "Di dalam vihara pasti ada," kata si anak yang haus. "Tetapi vihara ini milik si kafir, Gautama, dan kamu tahu orang tua kita melarang kita bermain-main dengan anak-anak orang kafir." Dan anak yang haus menjawab, "Tetapi Gautama bukan anak orang kafir, dia tidak akan melukai saya; saya hanya masuk dan mengambil minuman kemudian keluar lagi." Anak ketiga mengatakan dia juga ingin masuk mengambil minuman. Kemudian kami melihat dua anak 121 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru dengan wajah kotor masuk dan menuju taman. Ketika mereka melihat begitu banyak orang yang berjubah kuning, mereka segera mundur, tetapi hanya sebentar saja. Salah satu dari mereka bertemu pandang dengan Sang Buddha. Mereka tidak takut lagi. Mereka menuju Sang Buddha tanpa menghiraukan kami. "Yang Mulia, bolehkah kami mengambil minuman?" salah satu anak berkata. "Ikuti saya," Sang Buddha berkata sambil bangkit dan menunjukan jalan ke sumur yang dikelilingi papan bulat yang rendah, di mana air diangkat dengan bantuan ember dan tali yang diikat di sebatang kayu yang berfungsi sebagai pengungkit. Sang Buddha mengungkit kayu itu dan anak-anak itu menurunkan ember. Mereka membutuhkan waktu yang lama untuk menghilangkan dahaga dan kelihatannya segan untuk pergi lagi. Lalu salah satu dari mereka berkata, "Saya pikir teman main kami yang lain juga mau minum juga." "Bawa saja mereka masuk," jawab Sang Buddha. Anak-anak itu keluar dan kembali lagi dengan membawa temantemannya. Sewaktu mereka minum, Sang Buddha bercerita mengenai beberapa orang anak yang kehausan di gurun pasir dan bagaimana mereka menemukan air. Tanpa ada yang menyadari apa yang terjadi, anak-anak itu semua duduk mengelilingi Sang Buddha sambil mendengarkan cerita. Salah satu cerita yang aku ingat dengan baik yaitu mengenai dewa pohon. Kita semua tahu mengenai penghuni pohon, dan sebagian telah melihat dewa-dewa itu. Tetapi anak-anak lebih mengetahui cerita-cerita ini daripada orang dewasa. Sang Buddha menceritakan bagaimana kemarahan dewa pohon karena beberapa orang bhikkhu bermeditasi di hutan mereka dan pada malam hari mereka menakut-nakuti para bhikkhu dengan penjelmaan berbagai bentuk yang mengerikan, tubuh tanpa kepala dan kepala tanpa tubuh serta suara-suara melengking. Sang Buddha menceritakan dengan seru sehingga anak-anak itu merinding ketakutan seperti benar-benar melihat langsung hantu-hantu itu dan kemudian menarik nafas lega ketika beliau menceritakan bagaimana bhikkhu-bhikkhu itu pergi dan kembali lagi dengan membawa senjata yaitu keinginan baik dan cinta kasih, dan akhirnya dewa-dewa itu senang mereka tinggal di hutan, sejak itu mereka tinggal bersama dengan damai dan bahagia. Banyak lagi cerita lainnya dan saya rasa anak-anak itu akan menginap semalaman di sana jika Sang Buddha tidak berkata: "Anak-anak, sekarang waktunya bagi kalian untuk pulang dan makan malam, kalian boleh datang lagi kapan saja kalian mau. Tetapi sebelumnya beritahukan kepada orang tuamu kemana kalian pergi." 122 Sang Buddha dan Umat Biasa Anak-anak itu pulang dan keesokan harinya ketika kami meminta sedekah makanan, kami mendengar bahwa kelakuan anak-anak itu berubah menjadi baik, sehingga orang tua mereka pun heran akan perubahan mereka. Ketika mendengar ke mana anak-anak mereka pada sore itu, orang tua mereka benar-benar terkejut, kemudian mereka mencari tahu lebih jauh dan akhirnya mereka mempercayakan anak-anak mereka untuk dibimbing Sang Gautama. Anak-anak itu masih kecil. Yang lebih dewasa adalah puteri-puteri Uggaha. Beberapa tahun kemudian aku bertemu dengan yang sulung dan dialah yang menceritakan tentang kunjungan Sang Buddha. Di wajahnya tercermin ketenangan dan cinta kasih walaupun rupanya sederhana. Aku meninggalkannya dengan perasaan bagaikan telah melihat wanita yang sangat cantik. Ketika dia menceritakan kunjungan Sang Buddha ke rumah ayahnya, matanya berbinar-binar gembira. Inilah ceritera yang disampaikannya kepadaku. *************************** "Ketika saya hampir mencapai usia tujuh belas dan akan dinikahkan, ayah saya meminta Sang Buddha untuk memberikan nasehat kepada kami mengenai kehidupan baru yang akan kami jalani karena ayah tidak mungkin selamanya mengawasi kami. Mendengar kata-kata ayah kami segera menuju taman di mana Sang Buddha sedang berjalan-jalan. Bunga-bunga berwarna jingga bermekaran, dinding baru dicat putih, buah-buahan bergantungan pada pohonpohon dan di sudut, seorang pelayan dan anaknya sedang memetik buah. Saya sedih karena akan segera meninggalkan rumah yang damai ini, tetapi ketika saya melihat Sang Buddha, kesedihan saya pun lenyap. Beliau menanyakan bagaimana pendapat kami tentang pernikahan. Adik saya yang bungsu, yang hanya berumur tiga belas tahun dan suka bertualang, berkata bahwa sangatlah menarik untuk masuk ke sebuah rumah asing dan karena dia suka kerja maka ia mengharapkan banyak pekerjaan. Sang Buddha berkata, 'Jika kamu bangun cepat dan tidur lambat, pandai serta cekatan dalam pekerjaan rumah, kamu tentunya akan menemukan kehidupan baru yang bahagia'." "Tetapi saya yang pernah mendengar mengenai suami yang memukul istri dan yang akan menikah dengan orang yang tak pernah saya lihat tentu saja merasa ketakutan. Ketika saya menceritakan kepada Sang Buddha, beliau berkata: 'Jika kamu mengatur segala sesuatu yang ada di dalam rumah dengan suara yang lemah lembut dan halus serta menghormati apa 123 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru yang dihormati suamimu, maka kamu tak perlu takut. Kata-kata kasar dan jahat akan padam oleh kelembutan.' Karena saya tidak pernah berkata kasar di rumah sendiri, maka saya yakin tidak akan menemui kesulitan melakukan seperti apa yang dikatakan Sang Buddha." "Kemudian Sang Buddha beralih kepada adik saya yang nomor dua, yang tidak berbicara sedikit pun; menanyakan apa yang sedang dipikirkan. Adik saya berkata: 'Kalau kakak saya menikah nanti saya harus mulai melatih diri bagaimana mengatur rumah. Agar saya lebih mengerti arti sebuah pernikahan. Saat ini saya sulit memikirkannya. Apakah ada sesuatu dalam mengatur sebuah keluarga yang harus saya perhatikan?' 'Ya,' jawab Sang Buddha. 'Kamu harus mengerti kerja kamu sendiri dan kerja orang-orang dalam rumah, memperbaiki yang salah, membagi makanan dengan adil, menjaga barang-barang dalam rumah, menjaga jagung sebaik menjaga emas dan perak.' Kemudian Sang Buddha mengatakan kebahagiaan akan timbul bila kita tidak hanya memikirkan kemauan dan kepentingan diri sendiri. Dan kata-kata beliau tetap bertahta di hati saya sampai selama-lamanya. Kehidupan akan membawa penderitaan dan kematian dalam rumahku, tetapi saya menemukan sebuah kebahagiaan yang belum pernah saya temui sebelumnya." **************************** Aku dapat membayangkan raut wajah putri Uggaha saat menceritakan kembali apa yang dikatakannya. Dia memiliki kebahagiaan seorang wanita setengah baya, karena ia tidak menginginkan apapun untuk dirinya sendiri maka ia merasa telah menemukan segala yang diinginkan dalam hidupnya. Aku tidak begitu mengenal suaminya, tetapi aku tahu sebelum menjadi siswa Sang Buddha suaminya adalah pedagang senjata. Tetapi kemudian ia menghentikan usaha tersebut walaupun berarti kehilangan keuntungan yang besar. Anaknya, Nakula menceritakan kepadaku bahwa ketenangan ibunya menjadi kekuatan seluruh keluarga saat ayahnya sakit parah. Ayahnya menanyakan dengan sedih: "Apa yang akan terjadi pada dirimu dan anak-anak bila saya telah tiada? Tidak akan ada lagi yang menjaga mereka." Isterinya tersenyum manis dengan tenang menjawab: "Jangan takut, suamiku. Saya dapat menghidupi anak-anak kita dan menjaga keutuhan keluarga. Ketika Sang Buddha memberikan nasehat kepada saya dan adik-adik sebelum kami menikah, beliau menyarankan kami agar dapat lebih terampil dalam pekerjaan tangan. Dan seperti yang 124 Sang Buddha dan Umat Biasa kamu ketahui saya mahir dalam menenun dan memintal wol, saya dapat menghidupi anak-anak kita dengan ketrampilan saya ini. Jangan khawatir, sayang, jangan pergi dengan gelisah. Berlindunglah pada Dhamma." Mendengar kata-katanya, suaminya menjadi tenang. Nakula yang masih berumur lima belas tahun berada di samping ibunya dan berjanji di dalam hati akan membantu ibunya jika ayahnya meninggal. Ayahnya pun menyadari kehadirannya dan membuka mata sekali lagi dan kekhawatiran kembali melandanya. Isterinya dapat membaca pikirannya dan berkata: "Suamiku, jangan takut; saya tidak akan menikah lagi dan tidak akan mencarikan ayah tiri untuk anak-anakmu. Enam belas tahun kita hidup bersama, dan tidak pernah akan ada suami kedua yang menggantikan tempatmu." Tetapi kekhawatiran masih belum meninggalkan wajahnya. "Tenanglah, sayang. Saya tidak akan melanggar ajaran Sang Buddha. Lagipula, setelah kepergianmu saya akan lebih mendalami Dhamma. Jangan pergi dengan kegundahan, suamiku; dalam kehidupan Dhamma, semua akan hidup bahagia." Kali ini, suaminya berkata, "Kamu adalah isteri dan ibu yang baik. Saya tahu, kalau Sang Gautama menerima siswa wanita berjubah putih, kamu pasti akan menjadi salah satu dari mereka, salah seorang yang tetap memelihara kebajikan, mempunyai keyakinan yang teguh dan hidup sesuai dengan ajaran Sang Buddha." "Ya, suamiku, dan saya akan memperoleh ketenangan batin dengan Dhamma." "Ya, saya tahu isteriku," dan dia kembali tenang. Isterinya yakin dia tidak akan meninggal dalam kekhawatiran. Ketenangannya memberikan hal yang sama pada Nakula. Nakula segera keluar dan bergabung dengan adik-adiknya bekerja di ladang. Ketika dia kembali, ibunya sedang menyuapi ayahnya yang dalam posisi setengah duduk. Kelihatannya ketenangan dan keyakinan ibunya memberi semangat hidup pada ayahnya. Akhirnya kesehatan ayah Nakula berangsur pulih kembali. Setelah merasa cukup kuat ia pergi menemui Sang Buddha, memberi penghormatan pada beliau dengan berjalan mengelilingi-Nya seperti orang desa yang lain. Sang Buddha sedang duduk di bawah pohon Bodhi yang diatapi dengan sepotong papan untuk menghindari terik matahari. Beberapa wanita desa duduk mengelilingi-Nya. Ketika ayah Nakula datang, 125 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru mereka memberinya tempat. Dia pun menceritakan mengenai isterinya. Sang Buddha berkata, "Anda sangat beruntung memiliki seorang isteri yang begitu penuh pengertian dan dapat berfungsi sebagai penasehat dan guru. Sebenarnya jika ada siswa wanita yang menjalani Dhamma, maka dia akan termasuk di antaranya dan kamu akan memperoleh kebijaksanaan darinya." Orang tua Nakula tetap hidup bahagia bersama selama beberapa tahun. Mereka hidup dengan damai dan berbuat banyak kebajikan. Uggaha dan orang tua Nakula adalah siswa yang beriman yang berusaha melepaskan diri dari hal-hal keduniawian. Tetapi masih ada juga yang tidak dapat melepaskan diri dari kesenangan duniawi, Sang Buddha mempunyai nasehat untuk mereka juga. Beliau tidak meminta mereka untuk meninggalkan hal-hal duniawi, tetapi menjelaskan bahwa kemelekatan itu hanya membawa kesedihan dan penderitaan. Aku bersama Sang Buddha saat beliau mengunjungi desa Brahma yang disebut Pagar Bambu di Kosala. Sungguh, tidak pernah kutemui orangorang yang demikian berpikiran duniawi seperti mereka. Mereka mempunyai banyak isteri dan anak, menyukai kayu cendana Benares dan minyak wangi, emas, perak dan segala barang yang dibeli dengan emas dan perak. Ketika mereka mendengar Sang Tathagata menuju kampung mereka, mereka datang menyambut, setelah menyebut nama dan keluarga mereka, mereka meminta diajarkan sesuatu yang dapat menjadi penolong dan pedoman bagi mereka. Dan Sang Buddha mengajarkan, "Dhamma berlaku untuk semua orang, dan untuk umat berkeluarga ada suatu peraturan dalam memperlakukan orang lain seperti yang engkau harapkan orang memperlakukan engkau. Engkau akan berkata pada diri sendiri, 'Inilah aku, menikmati hidup dan tidak ingin mati, menikmati kesenangan dan bebas dari rasa sakit. Jika seseorang berusaha mengambil hidupku atau menyakitiku, itu bukanlah hal yang menyenangkan bagiku, demikian juga bila aku mengambil kehidupan dan menyakiti orang lain akan tidak menyenangkan orang itu juga', sehingga kemudian engkau akan berkata pada dirimu sendiri, 'Lalu bagaimana caranya agar aku tidak membuat orang lain menderita?' Sebagai hasil dari refleksi diri seperti itu adalah engkau akan menghindari pembunuhan, atau menyakiti makhluk hidup. Dan engkau juga tidak akan mencuri, berbohong, memfitnah, berzinah, mengeluarkan kata-kata kasar kepada orang lain, sebab engkau tidak boleh menyakiti orang lain jika engkau tidak mau disakiti." 126 Sang Buddha dan Umat Biasa Masih banyak lagi umat awam lainnya, tetapi izinkan aku menceritakan tentang Citta, yang paling banyak disebut oleh Sang Buddha saat menyebarkan Dhamma. Dia adalah mandor bangunan, tetapi dia lebih suka mengikuti pembabaran Dhamma dan membantu anggota Sangha. Dia sangat gembira ketika suatu waktu seorang bhikkhu bertapa di dekat rumahnya. Bhikkhu tersebut adalah Sudhamma, Citta sangat menghormatinya sehingga bila ia ingin mengundang bhikkhu lain untuk makan, maka ia selalu berunding dengan bhikkhu Sudhamma terlebih dahulu untuk meminta pendapatnya. Pada saat itu sekelompok besar bhikkhu termasuk Sariputta, Moggallana dan aku—yang pada saat itu dianggap sebagai yang tertua—berkesempatan mengunjungi kampung Citta; Citta segera mengundang kami makan di rumahnya. Citta kemudian pergi menemui Sudhamma dan mengundangnya juga. Tetapi Sudhamma menolak karena Citta tidak meminta izin kepadanya terlebih dahulu sebelum mengundang para bhikkhu, dan dia menjawab dengan kasar: "Tidak, saya tidak mau menghadirinya!" Citta mengulang undangannya dua-tiga kali, tetapi Sudhamma tetap menolak, sehingga Citta pun menyerah, ketenangannya tidak tergoyahkan oleh kekasaran Sudhamma. Tetapi Sudhamma datang juga akhirnya untuk melihat jenis makanan yang disediakan untuk kami. Citta gembira melihat dia dan duduk di dekatnya dan mengharapkan Sudhamma melupakan kesalahannya. Tetapi Sudhamma berkata kepada Citta, "Sebenarnya makanan yang disediakan ini sudah cukup banyak, tetapi kamu melupakan suatu hal yaitu Kue Kecambah." Citta melihat kepadanya dengan sedih dan menjawab dengan sopan, "Kata-kata yang keluar dari bibir Sang Bhagava adalah sangat berharga dan Yang Arya bhikkhu Sudhamma adalah murid beliau, tetapi hanya satu kata yang dapat dikatakan bhikkhu Sudhamma yaitu Kue Kecambah. Ada suatu cerita mengenai beberapa orang pedagang yang pergi ke distrik timur untuk berdagang dan mereka kembali ke kampung halamannya dengan membawa seekor ayam betina yang kawin dengan burung gagak dan menetaskan anak ayam, ketika anak ayam ini ingin berkokok, ia hanya bisa mengatakan "Kukuruyuu..." dan ketika ia ingin menangis, ia berkokok pula. Ia hanya bisa mengatakan yang tidak tepat, seperti halnya kata 'Kue Kecambah' di antara semua kata-kata bijaksana yang pernah diucapkan seorang yang mengajarkan Dhamma." 127 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru "Kamu telah menghina saya," Sudhamma menjawab dengan marah. "Ini rumahmu dan kamu boleh melakukan apa yang kamu inginkan, tetapi saya akan pergi dari sini." Aku kagum dengan ketenangan Citta dan kesabarannya ketika dia menjawab dengan sopan, "Yang Arya Sudhamma, saya tidak mempermalukan dan menghina Anda. Saya akan mempersembahkan Hutan Mangga dan Anda boleh bertapa di sana. Saya akan memenuhi segala keperluan Anda dan menjaga bila Anda sakit." "Tidak," Sudhamma bangkit dan menjawab, "Kamu telah mempermalukan saya. Saya pergi." "Dan Anda akan ke mana, Yang Arya?" "Saya akan ke Savatthi, menemui Sang Buddha." "Bagus sekali, Yang Mulia, ceritakanlah kepada beliau apa yang saya katakan kepada Anda dan apa yang Anda katakan kepada saya dan saya tidak akan terkejut bila Anda kembali lagi." Kemudian Sudhamma segera membungkus bawaannya, membawa jubah dan mangkuknya kemudian berangkat menuju Savatthi. Selanjutnya aku mendengar berita bahwa ia menceritakan seluruhnya kepada Sang Buddha, tanpa menyembunyikan sesuatu pun dan mengeluh bahwa tidak sepantasnya orang awam mencari kesalahan anggota Sangha. Sang Buddha tidak setuju dengannya dan menyuruhnya kembali ke tempat Citta dan meminta maaf karena telah bertindak tidak pantas sebagi seorang pertapa. Tetapi Sudhamma tidak menuruti kata Sang Buddha, dengan segan dia mengambil mangkuk dan jubahnya untuk kembali ke rumah Citta. Ketika hampir sampai ke rumah Citta, kemarahan timbul kembali dan ia merasa malu karena sebagai seorang bhikkhu ia harus meminta maaf kepada seorang umat awam. Dia kembali ke Savatthi tanpa sempat berbicara dengan Citta. Pada waktu itu rombongan para bhikkhu juga sudah kembali ke Savatthi, Sang Buddha memilihku untuk memberikan dukungan moral dan menemani Sudhamma menemui Citta. Begitu melihat Sudhamma, Citta sangat gembira dan mengundangnya untuk tinggal di tempatnya dan aku juga diundang. Selanjutnya, Sudhamma menjadi sangat mengagumi Citta dan kebijaksanaannya, dan dia yang menceritakan bagaimana Sudhamma menghapus keraguan-keraguan beberapa orang bhikkhu yang berdiskusi tentang sumber penderitaan, ada yang berpendapat bahwa indera dan organ indera sebagai penyebabnya, ada yang mengatakan keenam indera yang membelenggu manusia sehingga manusia menderita, sedangkan yang lain mengatakan penyebab penderitaan adalah obyek yang ditangkap oleh keenam indera. 128 Sang Buddha dan Umat Biasa Lalu Citta membuka suara, "Bukan kedua-duanya, Yang Arya para bhikkhu. Jika seekor lembu jantan hitam dan lembu jantan putih diikat dengan sebuah rantai, kita tidak bisa mengatakan lembu jantan putih dibelenggu lembu jantan hitam, ataupun sebaliknya; rantai yang mengikat mereka itulah yang menjadi belenggu. Sama halnya dengan kita, bukan mata atau telinga yang mengikat kita dalam roda samsara, juga bukan obyek yang ditangkap oleh mata atau telinga, tetapi keinginan satu sama lain yang merupakan belenggu. Jika mata dan telinga tidak terikat oleh apa yang dilihat dan didengar, maka tidak akan ada penderitaan." Penjelasan Citta diterima oleh semua bhikkhu dan selanjutnya mereka sering mengulang perumpamaan Citta tentang lembu jantan hitam dan putih. 129 Perubahan Sang Perampok Suatu kesempatan yang tidak dapat dilupakan adalah ketika aku bertemu dengan Sang Buddha pada masa pertengahan kebhikkhuanNya dalam perjalanan menuju Savatthi. Ketika mendekati kota, kami bertemu dengan para serdadu yang berjaga-jaga di tempat-tempat penting; di sepanjang benteng-benteng juga pada beberapa tempat di luar kota. Perisai-perisai serdadu itu memantulkan sinar berkilat bagaikan pancaran sinar mentari dan masing-masing dilengkapi pedang di sisi badan, busur, dan anak panah di tangan. Ketika kami tiba di Hutan Jeta, Sang Buddha bertanya mengapa Raja Pasenadi mengerahkan pengawalan demikian ketat. "Apakah dia sedang menanti serangan dari Raja Bimbisara atau bangsawan Licchavi?" "Tidak, Guru," jawab salah satu bhikkhu, "Semua raja dan bangsawan tetangga berhubungan baik dengan Raja Pasenadi. Tetapi ada seorang perampok yang membuat kerusuhan, namanya Angulimala." "Angulimala?" tanya Sang Buddha. "Siapakah perampok ini, bukankah Angulimala berarti kalung dari jari tangan?" "Perampok ini sangat ganas dan mengerikan serta sama sekali tidak punya perasaan belas kasihan. Tangannya penuh dengan darah. Desa-desa dan kota-kota sunyi sepi karena dia membunuh para penduduk dan mengambil jari-jari mereka, setelah itu jari-jari tersebut dikalungkan di lehernya. Karena sekarang ia sedang berada dekat perbatasan, tidak ada yang berani berkeliaran di sana walaupun dikawal sebatalyon tentara bersenjata." "Apakah perampok ini mempunyai segerombolan perampok lain bersamanya sehingga begitu menakutkan orang-orang?" "Tidak, Guru, dia sendirian." "Sendirian! Sekarang dia ada di mana?" Salah satu bhikkhu menunjuk di seberang kota, sambil berkata, "Dia mungkin ada di sebelah sana, karena dari sanalah dia mulai menyerang desa-desa dan membunuh penduduknya." "Saya akan ke sana dan berbicara dengannya." Sang Buddha berkata dengan tenang. "Jangan Guru, jangan pergi." Bhikkhu itu berkata dengan kekhawatiran yang teramat sangat. "Tidak ada yang pulang dengan selamat, setelah bertemu dengan Angulimala, walaupun mereka sebatalyon tentara bersenjata." "Guru!" yang lain berteriak dengan ketakutan, "Jangan pergi ke sana, tinggallah di sini dan ajarkan Dhamma kepada kami." 130 Perubahan Sang Perampok Sang Buddha tersenyum bijaksana. "Tetapi mungkin Angulimala juga memerlukan Dhamma." Salah seorang bhikkhu yang sejak awal hanya diam berkata, "Dia mungkin memerlukannya tetapi lebih mungkin lagi dia akan menolaknya." Lalu dia merubah nada suaranya dan menjadi lebih serius, "Lihatlah, Guru, di sini tempat dudukmu telah tersedia, dan penduduk setiap saat menanti untuk mendengarkan Dhamma dari Guru. Walaupun Guru tidak mementingkan keselamatan sendiri, tapi begitu banyak yang memerlukan Guru di sini, Guru tak perlu pergi untuk membabarkan Dhamma bagi seorang perampok, bagus seandainya ia dapat berubah, tapi kami kira ia tidak akan dapat berubah." "Sahabat," jawab Sang Buddha dengan nada yang sama pula. "Angulimala sangat membutuhkan Dhamma dan untuk itulah saya harus ke sana." Bhikkhu yang lain masih berusaha mencegah, "Kalau demikian, Guru, bawalah tentara bersenjata yang telah disediakan Raja Pasenadi untuk melindungi Guru." Sang Buddha tersenyum, "Angulimala hanya membutuhkan Dhamma, ia tidak memerlukan tentara bersenjata." Bhikkhu yang terakhir berbicara dengan pasrah, "Oh! Guru, tidakkah Guru mengerti bahwa tidak pernah ada yang kembali hiduphidup setelah bertemu Angulimala?" Sang Buddha menjawab dengan serius: "Para Bhikkhu, apakah ada di antara mereka yang bertemu Angulimala dengan membawa cinta kasih bersamanya dan menanggalkan ketakutannya?" "Saya rasa tidak ada," bhikkhu itu mengakui. "Jadi kamu belum mengetahui hasil pertemuan Angulimala dengan orang yang akan membawa cinta kasih bersamanya, bukan? Sekarang, hilangkan rasa takutmu dan pancarkan cinta kasih kepada Angulimala dan beritahukan kepada semua bhikkhu-bhikkhuni dan umat awam lainnya ke mana saya pergi, dan dalam waktu singkat saya akan kembali dengan membawa Angulimala. Katakan kepada mereka untuk memperlakukannya dengan baik nanti." Bhikkhu itu menjawab, "Kami akan melakukannya Sang Buddha, tetapi kami sangat khawatir. Guru mempunyai kebijaksanaan dari segala Buddha tetapi Guru tidak mengenal perampok itu." Aku menyaksikan semua ini dengan tenang. Bhikkhu-bhikkhu ini semua masih muda dan belum mengetahui kekuatan Sang Buddha dan juga cinta kasihnya yang mungkin saja sekarang pun telah terpancar kepada Angulimala. 131 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru Apa yang terjadi pada Sang Buddha saat beliau berjalan mendekati sarang perampok itu, aku dengar kemudian dari Angulimala sendiri. Dia telah merencanakan akan mengacau di Savatthi dan mengambil jari Raja Pasenadi. Dia sudah membayangkan para pengawal akan ketakutan dan jatuh di ujung pedangnya bagaikan domba di ujung golok penjual daging. "Petualangan!" dia berteriak dengan kegembiraan yang meluapluap. "Petualangan! raja-raja menaklukan dunia! Saya menaklukan rajaraja! Besok saya menyerang Savatthi!" Kemudian dia bertemu pandang dengan Sang Buddha yang kebetulan lewat. Ini adalah pemandangan yang aneh,— seorang bhikkhu berjubah kuning berjalan tepat melewati tempat persembunyiannya. Dia menghunus pedangnya dan berteriak: "Berhenti, bhikkhu!" Sang Buddha memandangnya dan menjawab dengan tenang "Saya telah berhenti. Andalah yang belum berhenti." Dan beliau kembali melanjutkan perjalanannya. "Aku bilang berhenti!" Angulimala berteriak lagi dan berlari mengejar dengan pedang terhunus. Sang Buddha menatap matanya dan pedangnya pun terlempar ke tanah. Dia tidak ingat apa yang terjadi lagi, kecuali berdiri tegak dan memandang sang bhikkhu aneh dengan senyumnya yang luar biasa ramah dengan sorot mata yang tenang dan membawa kedamaian. Ingatannya kembali ke masa kanak-kanaknya dan teringat akan seorang wanita suci yang biasanya meminta makanan di rumah ayahnya. Untuk selanjutnya, dia tidak pernah melihat apapun yang demikian tenang seperti wajah bhikkhu ini. Dia selalu diliputi kebencian, kemarahan, dan segala bentuk kekerasan. Kedamaian dan ketenangan adalah sesuatu yang baru baginya. Ketegangan urat dan otot-ototnya mereda. Tanpa berpikir panjang lagi, ia pun duduk. Sang Buddha juga duduk. Untuk beberapa waktu Angulimala masih tetap memandang orang asing yang tenang itu. Dia sangat terpesona, akhirnya dia berkata dengan lemah, "Apa yang menyebabkan Anda ke sini?" "Anda memerlukan saya, Sahabat!" Angulimala bingung, "Aku memerlukan Anda?" "Ya." Angulimala berusaha memecahkan suasana di sekelilingnya, sambil tertawa ia melanjutkan, "Hanya memerlukan jari-jari Anda, mungkin, karena Anda tidak punya barang berharga." 132 Perubahan Sang Perampok Sang Buddha mengeluarkan tangannya dan berkata, "Anda boleh mengambil jari-jari saya sesuka hati, tetapi ada sesuatu yang lebih Anda butuhkan dari pada itu." "Bagaimana mungkin?" Sang Buddha berbicara dengan serius, "Anda ingin mencari petualangan yang lebih berarti, suatu penaklukan yang melebihi apa yang pernah Anda lakukan, maka saya datang untuk menunjukkan jalannya." Angulimala mulai tertarik kepada Sang Buddha. Dia berkata dengan penuh nafsu, "Maksud Anda ilmu sihir? Dapatkah Anda mengajariku ilmu itu? Petualangan apa yang lebih menarik daripada menyerbu Savatthi dan apa yang lebih berarti daripada pemotongan jari penguasa Savatthi?" Sang Buddha menjawab dengan lemah lembut: "Tuan, itu hanyalah permainan anak kecil bagi Anda, karena para tentara dan raja mendengar nama Anda saja sudah gemetar." "Aku tahu," jawab Angulimala dengan bangga. "Saya datang untuk menunjukan jalan menaklukan orang yang pantas, pantas dan layak karena ia tidak mengenal rasa takut." Untuk sementara Angulimala mempertimbangkan, dan kemudian berkata, "Andalah yang tidak mengenal rasa takut. Anda berbicara bagaikan orang yang mengenal petualangan dan penaklukan. Padahal Anda hanya seorang bhikkhu, tetapi ilmu sihir!" Dia berhenti sebentar, "Ya, ilmu sihir akan memberiku kekuatan yang lebih dari yang pernah ada padaku. Berarti semua yang kulakukan sebelumnya hanya permainan anak kecil. Apakah itu ilmu sihir, oh, bhikkhu?" "Itu adalah ilmu sihir dan juga bukan ilmu sihir." Jawab Sang Buddha. "Aku menguasai segala cara perampokan dan penganiayaan," Angulimala berbicara dengan penuh arti. "Anda memberi ide baru tentang penaklukan. Aku akan mempelajari ilmu sihir. Aku tidak tahu mengapa, tetapi aku rasa aku dapat mempercayai Anda." "Hati-hati Sahabat, bagaimana Anda bisa mempercayai saya," jawab Sang Buddha dengan tegas. "Saya akan menunjukan jalan yang sama sekali tidak Anda kenal." Angulimala bangkit sambil menantang, "Aku tidak takut." Lalu dia menambahkan pada dirinya sendiri, "Anda memanggilku 'Sahabat'. Tidak ada lagi yang pernah memanggilku demikian sejak guruku mengusirku karena murid-murid lain tidak menyukaiku. Aku akan mempunyai seorang teman yang tidak takut kepadaku dan sekarang 133 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru oh, bhikkhu, petualangan apakah yang lebih hebat dari apa yang pernah kulakukan itu?" "Petualangan di dalam Delapan Jalan Utama yang akan membawamu menaklukkan dirimu sendiri." "Diriku sendiri?" Angulimala bertanya dengan kasar. "Tetapi seluruh dunia takut kepadaku kecuali Anda. Mengapa aku harus menaklukkan diri sendiri lagi?" "Karena kamu adalah budak nafsumu, nafsu untuk memperoleh kekuatan dan kekuasaan. Kamu tidak dapat lagi menghentikan keinginan untuk menaklukan seperti menghentikan bulu-bulu putih yang mulai tumbuh pada alismu." "Tetapi semua orang tunduk kepadaku dan akan memenuhi keinginanku," Angulimala memprotes. "Dan kamu sendiri tunduk kepada nafsu yang menguasai pikiranmu dan melakukan keinginannya, bagaikan nasi yang tidak dapat melawan tiupan angin. Kamu menjadikan nafsu sebagai majikanmu. Tetapi saya akan menunjukan jalan pembebasan padamu, jalan untuk menjadi majikan bagi diri sendiri." Angulimala memandang hamparan sawah di depannya dan pohon "neem" yang berfungsi sebagai atap jerami gubuk-gubuk yang tidak berpenghuni akibat ulahnya, dan nun jauh di sana, menara tinggi pada benteng kota milik raja yang kini sedang ketakutan karena dia. Dua ekor monyet merah berayun-ayun pada pohon di depannya dan melihatnya dengan takut-takut, tetapi dia tidak melihatnya sampai mereka berayun menjauh. Dia berbisik kepada dirinya sendiri, "Petualangan! Kekuatan!" "Ya," Sang Buddha menjawab dan menyadarkannya, "Tetapi petualangan ini akan membawa penderitaan." "Aku tidak takut rasa sakit dan penderitaan." Angulimala kembali membantah. "Tetapi ini akan menyulitkanmu." "Aku selalu sabar dan senang kerja keras." "Dan kamu akan merasa takut." "Aku, yang tidak pernah merasa takut?" "Ya, kamu yang tidak pernah merasa takut." "Apa yang mesti saya takuti?" tanya Angulimala tanpa ragu-ragu. "Perbuatan jahat yang telah kamu lakukan," Sang Buddha berkata dengan lembut. "Aku tidak mengerti. Tetapi aku tahu Anda dapat dipercaya, dan Anda menantang aku untuk melakukan petualangan yang terbesar. Guru, saya akan mengikutimu." Dia berhenti dan menambah, "Tetapi 134 Perubahan Sang Perampok jelaskan kepadaku satu hal. Apa maksud Guru saat Guru mengatakan bahwa Guru telah berhenti sedangkan saya belum?" Sang Buddha terrsenyum, "Artinya saya telah berhenti menyakiti makhluk hidup, tetapi kamu belum." "Tetapi, Guru, apakah Guru menunjukkan caranya padaku?" "Ya, apakah kamu telah siap menghadapi petualangan besar ini?" "Ya, saya siap." Sang Buddha bangkit dan Angulimala mengikuti-Nya melewati desa menuju Savatthi. Pintu-pintu terbuka, burung-burung dan kera menghabiskan makanan yang tersedia dan menyisakan mangkuk kosong. Di sawah, lembu betina diperas susunya dan lembu jantan dihela petani membajak sawah. Sementara itu di Hutan Jeta, para bhikkhu menanti dengan cemas. Aku menenangkan mereka dengan menjelaskan kekuatan cinta kasih Sang Buddha. Tetapi mereka tidak menghiraukan kata-kataku. Ketika Raja Pasenadi tiba untuk menunggu Sang Buddha, tanpa segan-segan mereka semua menceritakan kesusahan hati mereka. Aku menjelaskan kepada raja bahwa Sang Buddha mengatakan Angulimala membutuhkan-Nya, tetapi raja tidak percaya dan malah lebih cemas daripada para bhikkhu. Kemudian aku bertanya, "Jika Sang Buddha berhasil membawa Angulimala dengan-Nya, apa yang akan Yang Mulia lakukan?" Raja menjawab dengan emosi, "Saya akan langsung menghukum mati dia." Pada saat itu aku melihat dari kejauhan Sang Buddha kembali dengan seorang laki-laki berjubah kuning, dan aku berkata, "Bagaimana jika misalnya Sang Buddha kembali dan membawa Angulimala yang telah berjubah kuning, yang rendah hati, yang tidak menyakiti makhluk hidup, tidak membunuh, tidak mencuri dan menjalani kehidupan Brahmana yang suci sebagai seorang anggota Sangha?" Raja menjawab dengan sedih bahwa jika demikian halnya ia tidak punya pilihan lain selain melindunginya sebagai seorang anggota Sangha. Kemudian Raja menambahkan, "Tetapi mana mungkin orang yang demikian tak bermoral akan berubah menjadi suci?" Aku menjawab, "Saya tidak tahu, tetapi lihatlah, Yang Mulia!" Dan aku menunjuk ke arah Sang Buddha dan seorang berjubah kuning yang berwajah tenang. Raja mengikuti arah yang kutunjuk, Raja mulai gemetar dan seluruh bulu kuduknya berdiri. Beliau berbisik pelan, "Tidak, tidak mungkin dia." 135 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru Seperti yang saya harapkan, Sang Buddha segera mengenalkan orang yang berjubah kuning itu sebagai Angulimala. Raja berusaha mengontrol dirinya sendiri, tetapi masih tetap gemetar dan Raja meminta bukti bahwa orang tersebut adalah Angulimala. Lalu Angulimala menyebut nama ayah dan ibunya sehingga Raja pun percaya. Dengan segan dan rasa takut yang masih tersisa, Raja memberikan perlindungan padanya dan hal lainnya seperti yang diberikan kepada bhikkhu lainnya. Kemudian Raja menambahkan dengan emosi, "Tetapi adalah suatu keberuntungan jika para penduduk desa dan kota bersedia menghormatimu." Angulimala menjawab dengan lembut dan rendah, "Saya tahu, Baginda, saya tahu. Saya tidak takut akan lemparan batu dan lembing, karena saya mesti menerima buah dari benih yang saya taburkan. Yang saya takutkan justru jika karma burukku tak pernah tertuai habis." Dia bertanya kepada Sang Buddha, "Dapatkah saya menebus kejahatan saya dan menemukan kedamaian seperti apa yang Guru katakan? Sejujurnya, sekarang saya dan kejahatan saya bagaikan segumpal daging busuk yang tidak dapat dipisahkan." Saya Buddha menjawab, "Begitulah si penabur benih akan menuai hasil sesuai dengan benih yang ditaburkan. Kamu harus tetap maju dan menerima buah karma buruk yang pernah kamu perbuat. Tetapi tidak selamanya seseorang menuai dengan tepat apa yang ia taburkan, karena berkah Nirvana adalah tak berhingga. Jika kamu mencari kesucian dan memusatkan pikiran pada Nirvana, maka karma burukmu akan lenyap bagaikan sejumlah garam yang dilempar ke sungai Gangga, sejumlah garam yang dapat mengakibatkan secangkir air tidak dapat diminum." Angulimala membersihkan debu pada kaki Sang Buddha sambil berkata, "Saya berlindung kepada Anda sebagai guru saya. Saya akan menemui para penduduk dan menerima buah karma buruk saya." Raja dan juga kami semua sangat terharu melihat kenyataan yang kami saksikan. Raja berkata kepada Sang Buddha, "Guru sangat menakjubkan, dapat menjinakkan orang yang keji dan jahat, menenangkan yang gusar dan penuh kekerasan, Angulimala adalah seorang yang tidak dapat saya taklukkan dengan pedang dan gada, tetapi Guru dapat menaklukkan tanpa keduanya." "Ah, Yang Mulia, ternyata cinta kasih lebih kuat daripada pedang ataupun gada. Dapatkah Anda lihat bahwa cinta kasih adalah segalanya?" Raja menganggukkan kepala, "Saya akui, saya belum bisa melihatnya, mungkin suatu saat saya akan menemukan rahasia yang 136 Perubahan Sang Perampok Guru kuasai. Tetapi sekarang bukan waktunya, Sang Buddha, masih banyak kewajiban dalam kerajaan yang harus saya laksanakan." "Lakukanlah yang terbaik," Jawab Sang Buddha, dan Raja pun pergi. Aku bingung akan apa yang dikatakan Sang Buddha kepada Angulimala, jadi aku bertanya, "Saya tidak mengerti tentang akibat yang diterima seseorang dari perbuatannya, dan bagaimana pula benih jahat dapat terhapus. Dapatkah Guru menjelaskannya?" "Karma buruk tidak selalu dapat dihapus, dan juga tidak selalu matang dan berubah. Proses karma tersebut tergantung kepada bagaimana keadaan hidup si pembuat karma saat ini. Dia yang mengikuti jalan kesucian, membayar karmanya saat ini juga, walaupun hukumannya kelihatan mengerikan, namun karma buruknya telah terhapus dan tak bersisa lagi karena dia telah menuju kedamaian Nirvana. Berkah Universal adalah manis dan tak berhingga melebihi air sungai Gangga. Sore itu, ketika para bhikkhu kembali mengelilingi Sang Buddha, Angulimala kembali dari desa. Kepalanya penuh darah dan salah satu matanya tercungkil keluar. Para bhikkhu segera menghampirinya ketika ia roboh karena keletihan. "Raja benar," dia berkata, "Penduduk melemparkan batu dan pisau padaku. Aku menerima buah karma burukku." "Dan apakah kamu puas?" tanya Sang Buddha. Angulimala menjawab dengan suara yang tenang dan lembut, "Saya puas. Ya, seribu kali, ya. Walaupun semua penduduk memukulku dan kepalaku seakan hendak dipecahkan, namun rasanya Lautan Keabadian terbentang di hadapanku dan sesaat rasanya aku terbawa arus kedamaian Nirvana." "Semuanya baik untukmu, sahabat," Sang Buddha berkata dengan lembut. "Hadapi penderitaan lain yang akan menimpamu lagi, dan kamu akan menikmati kedamaian lebih dari yang telah kamu rasakan." "Suatu petualangan yang paling menakjubkan," Angulimala berseru menang, dan pada saat ia berbicara, aku baru mengerti bahwa apa yang diterima seseorang tidaklah pasti sesuai dengan perbuatannya. Bila ia telah menjalani kehidupan suci, kejahatan akan lenyap seperti lenyapnya segumpal garam dalam sungai Gangga. Setelah berjuang keras dalam waktu yang lama, Angulimala berhasil mencapai penerangan dan menjadi seorang suci. 137 Devadatta Sebelumnya, aku telah pernah menyinggung tentang Devadatta, saudara sepupu Sang Buddha yang lebih muda lima atau enam tahun dari beliau. Devadatta dianggap sebagai salah seorang tertua Sangha dan dihormati karena kekuatan gaibnya serta kepandaiannya dalam membabarkan Dhamma, sehingga akhirnya dia ditunjuk sebagai pemimpin para bhikkhuni. Aku sangat sulit memahaminya, karena sifatnya yang keras tanpa belas kasihan. Aku dengar pada masa mudanya dia selalu memandang rendah sepupunya, Pangeran Siddharta yang mempelajari olah raga menembak dan memainkan pedang sebagai kewajiban seorang pangeran, bukan sebagai kesenangan. Tetapi setelah Siddharta menjadi seorang Buddha dan dikelilingi umat, Devadatta, seperti yang lainnya, juga datang mendengarkan ajaran-Nya, dan menganggap ajaran Sang Buddha sesuai padanya sehingga ketika Pangeran Bhaddiya bergabung dengan anggota Sangha, Devadatta pun mengikutinya. Dia mempunyai bakat yang baik dan mampu menerima semua yang diajarkan. Dia selalu duduk di sebuah gua di kaki bukit dekat Rajagaha untuk bermeditasi, dan segera memperoleh kesempurnaan dari konsentrasi. Ia mampu mengembarakan pikirannya ke mana dia suka. Tetapi meditasinya ada benar dan ada salahnya. Sang Buddha selalu menganjurkan untuk melatih meditasi dengan pikiran cinta kasih, pertama ditujukan kepada pikiran dan tubuh kita, sehingga kita tidak akan menyakitinya dengan kekhawatiran, kekasaran atau pun kemarahan, kemudian ditujukan kepada sekitar kita, memancarkan cinta kasih seperti cinta seorang ibu kepada putra tunggalnya. Terakhir, kita pancarkan ke seluruh alam, ke atas, ke bawah dan ke sekeliling, kemudian kita mulai sesuaikan dengan subyek yang sesuai dengan sifat kita. Devadatta tidak dapat bermeditasi dengan pikiran cinta kasih. Sang Buddha selalu mengingatkan kami bahwa konsentrasi pikiran akan menimbulkan kekuatan gaib, tetapi latihan itu bisa berbahaya, dan juga tidak menghasilkan pembebasan dan ketenangan. Tetapi Devadatta sangat gembira ketika ia memperoleh kekuatan gaib dan malah memamerkan keahliannya yang dianggap kebanyakan orang sebagai keajaiban, yang sebenarnya hanya aplikasi hukum alam yang memang sedikit diketahui orang. Dia tidak menghiraukan peringatan Sang Buddha dan malah semakin menyombongkannya. Sewaktu Sang Buddha berusia tujuh puluh tahun dan menetap di Hutan Ghosita dekat Kosambi, Devadatta yang sedang bermeditasi tibatiba berpikir, "Saya harus mencari pengikut yang takhluk dan hormat 138 Devadatta kepadaku karena kekuatan yang kumiliki." Kemudian dia teringat Ajatazattu, putera raja Bimbisara, ia segera mengambil mangkuk dan jubahnya menuju Rajagaha. Kelihatannya awan gelap perpecahan masih menggantung di langit Kosambi; daya-daya sesat yang menyelimuti kesadaran para bhikkhu di sana beberapa tahun yang lalu. Kini kesesatan itu tampaknya juga menguasai kesadaran Devadatta. Devadatta menyeberang sungai Gangga dengan sampan dan segera tiba di Rajagaha. Sebaik tiba di sana ia langsung menemui Pangeran Ajatazattu dan memamerkan kekuatan gaibnya. Pangeran itu sangat kagum pada Devadatta. Untuk menunjukkan perasaannya itu, dia selalu menyediakan makanan setiap pagi dan sore kepada Devadatta dan pengikutnya. Devadatta menjadi terkenal seketika dan sangat dihormati. Mungkin hal-hal demikian mengambil bagian dalam memperberat ketidakseimbangan pikirannya, sehingga timbul perasaan baru di dalam dirinya, "Sayalah yang harus memimpin Sangha, bukan Gautama." Saat pikiran itu timbul, kekuatan gaibnya telah berangsur-angsur lenyap. Walaupun demikian, namanya semakin harum, dikenal dan dihormati. Moggallana, yang berada di Kosambi bersama Sang Buddha, dengan kekuatan pandangan supranormalnya mengetahui jalan pikiran Devadatta, dan beliau melaporkan kepada Sang Buddha. Sang Buddha berkata, "Simpan rahasia itu, Moggallana. Jika ia memiliki sedikit kebijaksanaan saja, maka ia akan terselamatkan dari kebodohan. Tetapi sayang! Orang tak bijaksana itu terlampau cepat mengumbar dirinya. Dia berpikir pengikutnya akan melindungi dirinya, sedangkan seorang guru yang berpikiran dan berprilaku suci, tidak membutuhkan perlindungan orang lain." Sang Buddha segera meninggalkan Kosambi menuju Rajagaha dengan berjalan kaki menyusuri pantai utara Sungai Gangga. Tanpa memikirkan usianya beliau berjalan sejauh sepuluh mil atau lebih setiap hari, membabarkan Dhamma dalam setiap perjalanannya. Di Rajagaha beliau singgah di Veluvana, Hutan Bambu, yang dipersembahkan oleh Raja Bimbisara tiga puluh lima tahun yang lalu. Begitu beliau tiba, kami segera melaporkan bagaimana pelayanan Ajatazattu terhadap Devadatta. Sang Buddha berkata, "Jangan iri pada kehormatan yang diperoleh Devadatta. Justru kita prihatin bahwa dengan penghormatan yang diperolehnya itu kebijaksanaannya menjadi sulit berkembang. Pelayanan Ajatazattu akan menurunkan moral Devadatta, seperti kantung empedu yang diserakkan di depan hidung seekor anjing liar, akan membuatnya semakin liar." Suara Sang Buddha terdengar sangat 139 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru sedih. Seperti halnya para penduduk kota, Raja Bimbisara dan rombongannya datang ke Hutan Bambu untuk mendengarkan Sang Buddha mengajarkan Dhamma. Di tengah-tengah khotbah, Devadatta bangkit dari duduknya dan mengatur jubahnya ke satu bahu, merentangkan kedua tangannya sambil berkata kepada Sang Buddha: "Guru, Anda sudah tua dan telah melakukan perjalanan yang melelahkan. Sudah saatnya bagi Guru untuk menikmati kebahagiaan. Serahkan saja Sangha pada saya, saya akan menjadi pemimpinnya." Devadatta sangat mahir berbicara dan mengagumkan semua orang. Walaupun demikian, bisikan-bisikan terdengar juga. Sang Buddha melihatnya dengan sedih dan berkata: "Kamu cukup berbicara saja, Devadatta. Janganlah berkeinginan untuk menjadi ketua Sangha." Tetapi Mara memperkeras hati Devadatta dan dia pun mengulang permintaannya untuk kedua kali. Sang Buddha juga memberi jawaban yang sama. Devadatta kembali mengulang untuk kedua kalinya. Kali ini dengan ketenangan yang sama namun juga tegas, Sang Buddha berkata, "Devadatta, saya tidak akan menyerahkan jabatan ketua Sangha kepada Sariputta ataupun Moggallana. Bagaimana mungkin saya serahkan kepada kamu yang terlalu banyak berbicara dan dengan tergesa-gesa pula?" Dengan perasaan sangat malu, Devadatta bangkit dan berlalu. Ini adalah usaha Devadatta yang pertama untuk menyingkirkan Sang Buddha. Setelah ia berlalu dan orang-orang bubar, Sang Buddha memanggil Sariputta dan berkata, "Umumkan ke seluruh Rajagaha bahwa apapun yang dikatakan dan yang dilakukan Devadatta tak ada hubungannya dengan Buddha dan Dhamma." "Tetapi, Guru," Sariputta memprotes, "Sebelumnya saya telah pernah memuji-muji Devadatta tentang kekuatan supranormalnya. Mana mungkin sekarang saya menentangnya?" "Bukankah yang kamu katakan itu salah, Sariputta?" "Ya, Sang Buddha." "Oleh karena itulah, Sariputta, sekarang katakanlah yang sebenarnya, dan umumkan bahwa Devadatta sudah berubah." "Baiklah, Guru," dengan segan Sariputta mengiyakan. Kami semua sangat setuju dengan keputusan itu. Mencela Sangha adalah suatu pelanggaran yang serius, dan hampir tak pernah terjadi. Hukumannya adalah dikeluarkan dari anggota Sangha dan dilarang mengikuti pertemuan. Tetapi Sang Buddha tidak menjatuhkan hukuman ini kepada Devadatta, mungkin 140 Devadatta disebabkan beliau masih mengharapkan setitik kesucian dalam diri Devadatta yang dapat membimbingnya keluar dari dekapan Mara, sehingga Devadatta tetap dianggap sebagai anggota Sangha dan boleh mengikuti pertemuan. Ketika Sariputta mengumumkannya di Rajagaha, orang-orang yang tidak percaya dan tidak mengerti mengatakan, "Para pengikut Gautama, orang suku Sakya ini cemburu." Tetapi orang-orang yang percaya dan sadar mengatakannya, "Pasti ada suatu sebab sehingga Sang Buddha membuat keputusan demikian terhadap Devadatta." Mendengar pengumuman itu, Devadatta berpikir bahwa satusatunya cara untuk mencapai maksudnya adalah dengan membunuh Sang Buddha. Dia langsung menemui Ajatazattu, Sang Pangeran, dan berkata padanya, "Orang-orang dulu, umumnya berusia panjang, dan ayahmu termasuk kelompok ini. Tetapi orang-orang sekarang, umurnya pendek, dan kamu termasuk kelompok ini, sehingga kamu akan duluan meninggal daripada ayahmu, sebelum kamu sempat menjadi raja." "Benar, Yang Mulia," jawab pangeran sembari mengingat ayahnya masih sehat, sedangkan rambutnya sendiri sudah mulai memutih. "Saya telah menghitung berapa tahun lagi saya baru akan menjadi raja, tetapi apa yang kamu katakan ada benarnya. Mungkin saya meninggal hanya sebagai pangeran saja." "Kamu dapat mengakhiri ayahmu, Tuan," kata Devadatta. "Apakah itu tidak salah, Tuan Yang Mulia?" tanya pangeran raguragu. "Anda mempunyai kekuatan supranormal, tentunya Anda tahu, bukan?" "Itu diizinkan Tuan," jawab Devadatta tanpa ragu-ragu. "Jika seseorang hidup melewati batas waktu, dia tidak cocok lagi untuk memegang kekuasaan, dan jika dia tidak mengundurkan diri, maka hanya akan menyulitkan dirinya sendiri." "Saya sependapat dengan Anda, apa usul Anda, Yang Arya?" Devadatta menjawab dengan yakin bagaikan orang yang sangat berkuasa. "Kamu harus berani, kamu harus menghabisinya dengan tanganmu sendiri." "Saya akan melakukannya sesuai dengan kehendakmu," jawabnya ragu-ragu. "Dan aku," kata Devadatta "Akan mengambil nyawa Gautama yang juga telah melewati batas usia, kemudian giliran aku yang menjadi pimpinan Sangha." Dengan pengaruh Devadatta, Pangeran Ajatazattu mengikat sebuah belati pada pahanya dengan perasaan tidak tenang, takut dan 141 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru gelisah juga gembira bercampur menjadi satu saat ia menuju istana. Menteri yang menunggui Raja di kamar tidur dengan segera mencurigai niat jeleknya. Mereka memeriksanya dan menemukan sebilah belati, lalu menanyakan apa tujuannya membawa belati itu. Ajatazattu bukan orang yang pintar. Dia memang berambisi, tetapi dia sejak semula sudah tidak menyukai rencana itu. Dia pun menceritakan dengan sejujurnya semua percakapannya dengan Devadatta. Para menteri sangat terkejut. Sebagian memutuskan untuk menghukum mati Devadatta, Pangeran Ajatazattu dan semua bhikkhu. Tetapi yang mengerti ajaran Sang Buddha mengatakan tidak ada yang harus disalahkan, bahkan juga Ajatazattu, mereka membawa pangeran Ajatazattu menghadap raja dan melaporkan semuanya. Raja mengamati putranya dan sulit mempercayai apa yang didengarnya, karena dia mencintai putranya dan hubungan mereka selalu akrab. "Mengapa kamu ingin membunuhku ?" tanyanya. "Saya ingin menjadi raja," jawab anaknya. "Ah, anakku," Raja berkata dengan sedih, "Kehidupan seorang Raja bukanlah gampang, tetapi karena kamu ingin menjadi raja, maka akan kuserahkan kerajaan ini kepadamu. Aku akan menjalani kehidupan yang tenang dan bermeditasi di bawah bimbingan Sang Buddha." Salah satu menteri membuka suara, "Apakah Baginda tidak memutuskan sesuatu atas percobaan pembunuhan ini?" kemudian ia menceritakan tentang perdebatan di antara mereka mengenai hukuman mati terhadap Pangeran, Devadatta dan semua bhikkhu. Raja sangat terkejut, "Bukankah Sang Buddha mengajarkan kita untuk membalas kejahatan dengan cinta kasih?" Kemudian Raja memerintahkan untuk menaikkan jabatan bagi menteri-menteri yang semula menentang hukuman mati tersebut. Keesokkan harinya Raja Bimbisara mengumumkan ke seluruh Magadha bahwa Ajatazattu menggantikannya sebagai raja. Begitu mengetahui ia telah menjadi raja, Ajatazattu memerintahkan semua orang untuk mematuhi Devadatta dan Devadatta pun segera menyusun kekuatan untuk membunuh Sang Buddha. Dia memanggil salah satu tentara raja dan berkata: "Buddha Gautama sedang berdiam di Hutan Bambu, pergilah ke sana dan bunuh dia, kemudian pulanglah melalui jalan kecil ini." Kemudian ia memanggil dua tentara lainnya lagi dan berkata, "Bunuhlah siapa saja yang kamu temui di jalan kecil ini, dan kembalilah lewat jalan kecil yang lain." Pada jalan kecil terakhir ini ia menempatkan empat orang tentara dengan instruksi yang sama dan 142 Devadatta demikian selanjutnya sampai akhirnya semua berjumlah lima belas orang untuk saling bunuh-membunuh. Jika aku tidak berada di Rajagaha pada waktu itu, aku tentu tidak percaya dengan apa yang dilakukan Devadatta karena Devadatta mempunyai penampilan yang bijaksana. Tetapi mungkin saja moral seseorang menjadi rendah jika ia terlampau dihormati sedangkan ia belum bebas dari semua pikiran akan diri sendiri dan Asava juga belum musnah dari dirinya. Serdadu pertama mengambil pedang dan sarungnya dan segera menuju tempat Sang Buddha. Sang Buddha melihat ia datang dan merasakan getaran dari niat buruk yang akan dilakukannya, dan beliau pun menyapanya, "Ke sini kawan, jangan takut." Akhirnya serdadu tersebut memberitahu aku bagaimana kata-kata Sang Buddha menenangkannya dan ia bersujud pada kaki Sang Buddha, menangis dengan perasaan bahagia. Dia menceritakan rencananya dan meminta maaf. Sang Buddha segera memaafkannya dan berbicara padanya tentang cinta kasih dan akhirnya ia menjadi pengikutnya, ketika ia hendak kembali, Sang Buddha menganjurkannya melalui jalan lain yang melewati rumpun-rumpun bambu. Sekarang, kedua orang yang diperintahkan untuk membunuh orang pertama, karena tidak menemukan seorang pun di jalan kecil tersebut, akhirnya mereka menyusuri sendiri jalan kecil itu sampai di tempat Sang Buddha. Pada mereka Sang Buddha juga berbicara tentang cinta kasih dan akhirnya mereka menjadi siswanya seperti yang pertama. Saat hendak kembali, Sang Buddha menganjurkan mereka menempuh jalan kecil yang lain dari yang seharusnya mereka lalui. Hal yang sama terjadi pada keempat dan delapan orang berikutnya. Orang pertama yang diperintahkan untuk membunuh Sang Buddha, kembali kepada Devadatta dan berkata, "Saya tidak dapat membunuh nyawa Sang Buddha. Dia mempunyai kekuatan yang tidak terdapat di dunia ini. Sang Buddha benar-benar agung." Devadatta sadar, harus dia sendiri yang turun tangan untuk membunuh Sang Buddha. Dia segera menuju puncak Gijjhakuta dan berdiri pada tepinya. Ketika Sang Buddha bermeditasi di suatu tempat di bawahnya, Devadatta mendorong sebuah batu karang yang keras. Tetapi batu itu menyenggol tepi gunung yang menonjol dan hanya serpihan dari batu tersebut yang melukai kaki Sang Buddha hingga dan berdarah. Sang Buddha memandang ke atas sambil berkata dengan sedih, "Alangkah bodohnya, engkau hanya mencelakakan diri sendiri." 143 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru Ketika para Bhikkhu mengetahui perbuatan Devadatta, mereka pun berusaha melindungi Sang Buddha dengan mengelilingi tempat tinggal beliau sambil membaca paritta suci dengan kuat. Mendengar hal itu dan ditambah keterangan dari Ananda, Sang Buddha memanggil mereka dan berkata, "Seorang Penemu Kebenaran tidak membutuhkan perlindungan dan tidak dapat dihancurkan dengan serangan. Kembalilah ke tempat kalian dan janganlah membuat keributan." Devadatta yang telah gagal untuk ketiga kalinya dalam usaha pembunuhan terhadap Sang Buddha, mencari para penjaga Nalagiri, gajah ganas yang dipelihara seorang pembunuh dan berkata, "Seperti yang kamu ketahui, aku adalah penasehat Raja dan aku dapat mengatur penambahan jatah makanan dan upah bagi mereka yang melaksanakan perintahku." "Ya, Tuan," mereka menjawab, membenarkan apa yang ia katakan. "Kami akan melaksanakan apapun perintah Tuan." Devadatta melanjutkan, "Jika pertapa Gautama melewati jalan ini, lepaskanlah gajah Nalagiri." "Baiklah, Tuan Yang Mulia," mereka menjawab. Keesokan paginya, Sang Buddha dan beberapa orang bhikkhu memasuki Rajagaha untuk meminta makanan dan melewati jalan tersebut. Para penjaga segera melepaskan Nalagiri seperti yang diperintahkan. Ketika para bhikkhu melihat gajah ganas itu dari kejauhan, mereka memohon Sang Buddha untuk kembali, tetapi sekali lagi Sang Buddha mengatakan tidak ada yang perlu ditakuti dan seorang Penemu Kebenaran tidak dapat dihancurkan dengan serangan. Orang-orang yang ada di jalan begitu melihat gajah, pada ketakutan dan memanjat atap rumah dengan panik, akibatnya jalan menjadi sunyi. Karena ingin melindungi Sang Buddha, para bhikkhu tidak mau meninggalkan beliau. Sebagian yang memanjat atap rumah mengatakan kepada yang lain: "Roman muka Sang Tathagata sangat mengagumkan, namun demikian gajah itu tetap dapat melukainya." Sedang yang merupakan pengikut Sang Buddha berkata, "Gajah itu tidak akan melukai Sang Buddha." Semua memperhatikan dengan cemas ketika gajah itu semakin dekat dengan Sang Buddha. Pada saat itu, Sang Buddha memancarkan kekuatan cinta kasihnya dan melingkupi Nalagiri dengan hatinya yang penuh kasih. Setibanya di hadapan Sang Buddha, gajah itu menurunkan belalainya dan berjalan dengan perlahan. Sang Buddha menundukkan kepalanya dan berbicara kepadanya. Kemudian Nalagiri membersihkan debu 144 Devadatta pada kaki Sang Buddha dan kembali ke kandangnya, sambil membalikkan badan berulang kali untuk melihat Sang Buddha. Mereka yang melihat peristiwa itu merasakan bahwa pandangan mata Nalagiri menjadi penuh cinta kasih seperti pandangan mata Sang Buddha. Sejak saat itu Nalagiri berubah menjadi jinak dan orang-orang mengatakan, "Gajah dapat menjadi jinak dengan kayu dan alat pukul lainnya, tetapi Nalagiri dapat dijinakkan Sang Buddha tanpa semua itu." Akibat dilepaskannya Nalagiri, orang-orang menjadi marah dan gusar kepada Devadatta. Mereka yang semula begitu menghormatinya, menjadi berubah dan berbalik menjauhinya. Tetapi keinginan Devadatta untuk membunuh Sang Buddha malah semakin bertambah. Setahuku cinta kasih Sang Buddha selalu mengalahkan segalanya, tetapi tampaknya tidak demikian untuk Devadatta. Devadatta berusaha mencari jalan lain lagi. Jika dia lebih keras menjalani kehidupan pertapa, dia percaya dapat menyebabkan perpecahan dalam Sangha karena bhikkhu-bhikkhu yang tekun dan semangat akan mengikutinya. Dia pun mengutarakan idenya kepada empat orang teman akrabnya. Salah seorang dari mereka mencoba mencegah dan mengatakan Sang Buddha sangat kuat dan semua rencananya akan sia-sia. Tetapi Devadatta tidak menghiraukannya dan akhirnya mereka menemaninya untuk menemui Sang Buddha. Devadatta berkata, "Guru, Anda mengatakan seseorang akan memperoleh kemajuan besar jika ia merasa puas dengan makanan dan kebutuhannya yang sederhana, dan juga telah melenyapkan nafsunafsunya. Sekarang, lima hal berikut ini akan mendukung kondisi seperti itu. Jadikanlah sebagai peraturan: Pertama, bhikkhu harus selalu tinggal di hutan dan tidak boleh tinggal di desa; kedua, bhikkhu harus menerima makanan dari pintu ke pintu dan menolak undangan untuk menikmati santapan di rumahrumah; ketiga, bhikkhu hanya boleh memakai jubah dari sisa-sisa kain dan tidak boleh menerima jubah pemberian umat; keempat, bhikkhu hanya boleh berlindung di bawah pepohonan; kelima, bhikkhu tidak boleh makan ikan dan daging." Kami dapat merasakan cinta kasih Sang Buddha kepada Devadatta, begitu beliau menjawab dengan sabar, "Tidak, Devadatta, siapa yang berkeinginan demikian, biarkanlah dia hidup di hutan, mengambil makanan dari pintu ke pintu, hanya memakai pakaian dari sisa-sisa kain, menolak undangan makan dan pemberian baju. Tetapi tidak ada yang diharuskan untuk melakukan semua ini. Tidur di bawah pohon pada musim kering adalah diizinkan, tetapi 145 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru sewaktu hujan, bhikkhu harus mencari tempat berlindung yang lebih aman. Memakan ikan dan daging yang diberikan ke dalam mangkuk tanpa mempunyai maksud khusus dibunuh dan disediakan kepadanya, adalah diizinkan." Devadatta gembira atas penolakan kelima peraturan ini. Dia menuju Rajagaha dan mengumumkan kepada semua orang bahwa dia dan pengikutnya hidup lebih keras daripada Sang Buddha dan Sang Buddha hanya berdiam di tempat yang mewah dengan makanan dan pakaian yang berlimpah. Beberapa umat biasa dan para bhikkhu muda yang mendengarnya langsung percaya dan mengikuti Devadatta. Ketika Sang Buddha bertemu Devadatta, beliau menanyakan kebenaran berita itu, apakah ia hendak menyebabkan perpecahan dalam Sangha, dan Devadatta mengakuinya. "Kamu telah bertindak terlalu jauh, Devadatta." Sang Buddha berkata dengan sedih. "Dia yang memecah Sangha akan mendapatkan akibat yang sangat buruk dan sulit ditebus, sebaliknya ia yang menciptakan kedamaian dan ketentraman akan memperoleh berkah." Tetapi hati Devadatta sangat keras. Keesokan harinya ketika ia bertemu Ananda, dia mengatakan akan mengeluarkan peraturan Sangha tanpa Sang Buddha. Ketika Sang Buddha mengetahuinya, beliau berkata prihatin, "Seseorang yang bertingkah laku baik akan mudah berbuat baik, tetapi bagi ia yang jahat akan sulit berbuat baik," Sang Buddha tidak melakukan apa-apa untuk mencegah tindakan Devadatta. Ketika hari Uposatha, hari pengakuan dan pemurnian tiba, Devadatta membagikan kertas-kertas suara, bagi siapa saja yang setuju dengan prinsip hidup keras sesuai dengan lima peraturan yang dibuatnya harus menyerahkan kembali kertas tersebut dengan warna tertentu. Sebagian yang baru ditabhiskan tidak mengetahui persoalan yang sebenarnya, mereka berpikir semakin keras hidup yang dijalankan akan semakin menguntungkan pula dan tidak terpikir oleh mereka akibat yang akan timbul. Setelah pemungutan suara selesai, Devadatta mengajak bhikkhu-bhikkhu baru yang setuju dengan prinsipnya dan juga pengikutnya yang lama mengikutinya menuju Bukit Gaya-Sisa. Melihat apa yang dilakukan Devadatta, Sariputta dan Moggallana melaporkannya kepada Sang Buddha. Sang Buddha berkata, "Kalian berdua pergilah dan beri penjelasan kepada bhikkhu-bhikkhu muda tersebut dengan cinta kasih dan itikad yang baik sebelum mereka terjerumus lebih jauh." 146 Devadatta "Baik, Guru," jawab Sariputta dan Moggallana. Mereka segera menuju Gaya-Sisa. Pada saat itu mereka menemukan Devadatta yang sedang berkhotbah dan dikelilingi para bhikkhu muda. Ketika dia melihat Sariputta dan Moggallana mendekat, hatinya bersorak gembira dan berkata, "Lihat, para bhikkhu, betapa mengagumkan doktrin yang kubabarkan. Bahkan dua pengikut utama Gautama, Sariputta dan Moggallana datang bergabung denganku, karena mereka senang dengan ajaranku." Tetapi pengikut utama Devadatta, Kolalika, yang sebelumnya memperingatkan Devadatta untuk tidak memecah Sangha, berkata: "Yang Mulia, jangan percaya pada Sariputta dan Moggallana. Mereka punya niat buruk." Devadatta sedemikian sombongnya sehingga tidak mau mendengar peringatan itu dan menjawab, "Tidak temanku, mereka senang akan ajaranku. Mari kita sambut mereka." Dia mengundang Sariputta duduk di tempat terhormat. Tetapi Sariputta duduk di tempat yang biasa, demikian juga halnya dengan Moggallana, dan mereka ikut mendengarkan khotbah Devadatta hingga malam. Para bhikkhu muda yang masih kuat dan sehat tentu saja tidak letih duduk mendengarkannya. Tetapi begitu malam semakin merangkak, Devadatta yang telah berusia lebih dari enam puluh tahun, mulai merasa letih berkhotbah, ia berpaling kepada Sariputta sambil berkata, "Pertemuan ini masih segar dan semangat, maukah Anda melanjutkannya? Punggungku terasa letih dan aku akan beristirahat sebentar." Sariputta menyanggupinya dan Devadattta melipat jubahnya, berbaring dengan sisi kanan dan segera tertidur. Kemudian Sariputta dan Moggallana mulai menguraikan doktrin yang benar, membabarkan Empat Kesunyataan Mulia dan Delapan Jalan Utama dengan penuh cinta kasih. Pikiran dan mata mereka mulai terbuka. Sariputta dan Moggallana pun menganjurkan mereka kembali pada Sang Buddha. Dengan suara bulat mereka menyetujuinya dan mengikuti Sariputta dan Moggallana turun bukit dan kembali ke Hutan Bambu, tempat Sang Buddha menginap. Seperti halnya Devadatta, Kolalika pun tertidur, tetapi ketika bhikkhu-bhikkhu itu bangkit, dia terbangun dan segera membangunkan Devadatta sembari berkata, "Bangun, teman, Moggallana dan Sariputta telah membawa pergi semua muridmu. Bukankah sejak awal telah kukatakan bahwa mereka mempunyai niat buruk?" 147 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru Devadatta bangun dari tidurnya, tetapi dia tidak dapat langsung mengerti kalimat-kalimat Kolalika. Ketika dia menyadarinya, dia bangkit dengan terburu-buru karena terkejut dengan apa yang terjadi dan dia pun merasa pusing. Setelah agak pulih, ia segera mengejar mereka. Dia merasa letih karena terus-terusan berbuat jahat akhir-akhir ini, dan telah menginginkan segala sesuatu berjalan sesuai kehendaknya. Dia mengatakan tiba-tiba dia merasa sangat tua dan letih, malam pun kelihatan semakin kelam. Ketika mencapai sebuah danau pada kaki bukit, ia jatuh keletihan dan berkata bahwa ia harus duduk dan beristirahat sebentar. Dia telah bekerja sedemikian keras, tetapi semuanya sia-sia dalam sekejap. Dia mengatakan kepada Kolalika bahwa ia ingin minum, lalu ia pun menuju tepi danau. Kolalika memandang langit timur di mana fajar mulai menyingsing, dan ia mulai bertanya kepada dirinya sendiri mengapa Devadatta demikian menentang Sang Buddha yang tak terkalahkan, yang begitu baik dan lembut. Tiba-tiba ia mendengar teriakan yang mengerikan dan tangisan minta pertolongan dari Devadatta. Di bawah danau sana, ia melihat Devadatta sedang bersusah payah mengeluarkan kakinya dari lumpur. Mulanya Kolalika mengira ia digigit ular. Kemudian ia baru menyadari, Devadatta terperangkap dalam lumpur hidup yang di dalamnya orang tidak bisa bergerak, kecuali bila orang tersebut mempunyai kekuatan gaib, sementara kekuatan Devadatta telah lama lenyap. Kolalika berusaha mencari batang kayu untuk menolongnya, tetapi pohon terdekat di danau jaraknya beberapa langkah dari situ, pada saat Kolalika sampai di pohon itu, lutut Devadatta sudah terbenam seluruhnya ke dalam lumpur. Walaupun dalam keadaan yang menegangkan, ia masih berusaha duduk, berbaring dan merangkak, tetapi setiap gerakannya malah mengakibatkan dia semakin terbenam. Begitu mendapatkan batang pohon, tangisan Devadatta tidak terdengar lagi. Kolalika segera menyerbu ke tepi danau, kini hanya dada Devadatta yang terlihat, dia berteriak dengan sedih, "Ajalku telah tiba. Katakan kepada Sang Buddha bahwa aku menyesal. Dia selalu berusaha menolongku dengan penuh cinta kasih, tetapi Mara lebih kuat menguasaiku daripada beliau." Begitu selesai kata terakhir, pasir telah masuk ke dalam mulutnya. Kolalika tidak tahu apakah ia mendengar kata-kata yang hendak diutarakan lagi oleh Devadatta. Selanjutnya hanya tersisa beberapa helai rambut, kemudian tidak ada tanda-tanda yang menunjukkkan di mana Devadatta sebelumnya turun ke danau untuk minum. Ketika orang-orang mendengar kejadian ini, mereka mengatakan ia telah masuk ke neraka yang paling mengerikan dan ia akan menetap 148 Devadatta di sana selama beberapa kalpa. Tetapi sebelum ia meninggal, ia telah menyadari kesalahan, hal baik ini yang kelak akan membantu meringankan keadaannya. 149 Kematian dan Nirvana Usaha perpecahan Devadatta hanyalah salah satu dari sekian banyak hal-hal yang memprihatinkan yang terjadi di tahun-tahun terakhir kehidupan Sang Buddha, namun semua itu tak jua mampu menggoyahkan-Nya. Beliau senantiasa tetap hidup dalam ketenangan dan kebahagiaan. Orang-orang mengatakan bahwa beliau menikmati hidup ini, dan memang demikianlah adanya, beliau menikmatinya dengan suatu semangat yang tidak dapat dimengerti oleh mereka yang masih melekat pada hal-hal yang duniawi. Ketika beliau ditanya mengenai hal ini, beliau mengakui bahwa ia berada dalam kebahagiaan sejati karena telah terbebas dari keduniawian. Beliau berada dalam dunia ini, berbaur dengan beragam kesenangan dan penderitaan umat manusia, dan beliau memahami itu semua seolah beliau pun memilikinya. Namun demikian, beliau bukanlah milik dunia ini, beliau adalah milik Yang Tak Terlahirkan, yang tak dibatasi oleh ruang dan waktu. Sariputta dan Moggallana juga telah mencapai keadaan agung dan bebas dari segala hal yang bersifat duniawi. Suatu hari Ananda bertanya pada Sariputta tentang hal tersebut dan beliau menjawab, "Ini dapat terjadi karena saya tidak terikat pada kesenangan dunawi, dan di mana nafsu terpadamkan, di sana terdapat kebahagiaan. Hari ini, saat sedang bermeditasi, saya bertanya pada diri sendiri, apakah masih ada hal-hal di dunia ini, yang muncul dan berubah, yang dapat menyebabkan saya bersedih, dan saya menyadari ternyata tidak ada lagi sesuatu pun. Jadi secara jujur saya katakan, jika ada sesuatu yang diambil dari saya, saya tidak akan merasa kehilangan atau pun menyesal." Ananda bertanya diiringi keraguan, "Yang Arya tentu tidak bermaksud bahwa meskipun Guru meninggal, Yang Arya juga tidak akan merasa sedih, bukan?" Sariputta menjawab dengan tenang: "Tidak, Ananda. Walaupun Guru meninggal, hal ini tidak akan membawa kesedihan pada saya. Namun demikian, demi dunia ini, saya berharap bahwa Guru tidak meninggalkan kita dan semoga beliau yang demikian pemberi dan mengagumkan dapat hidup lebih lama demi kebahagiaan umat manusia dan para dewa, namun bagi saya pribadi, saya tidak punya harapan seperti itu." Ananda menjawab: "Sahabat Sariputta, telah sekian lama Anda melenyapkan rasa 'aku' dan 'milikku', dan memang sebenarnyalah itu semua telah hilang darimu jika Anda mengatakan bahwa kepergian Sang Buddha tidak akan menimbulkan kesedihan padamu." 150 Kematian dan Nirvana Moggallana mempunyai ketenangan yang sama dengan Sariputta, keduanya selalu saling mendukung. Jika Sariputta memiliki kebijaksanaan, maka Moggallana mempunyai kekuatan mata batin yang luar biasa. Dia dapat bertemu dan berkonsultasi dengan Sang Buddha walau dari jarak yang sangat jauh. Tak lama setelah percakapan dengan Ananda, Sariputta dan sebagian bhikkhu melakukan perjalanan menuju Savatthi dengan Sang Buddha. Sebagian dari mereka berjalan duluan dan memilih tempat tidur yang bagus untuk mereka sendiri. Karena sudah tua, Sariputta tiba terakhir. Semua tempat tidur sudah penuh. Tetapi dia tidak menanggapinya, lalu ia memilih tidur di bawah pohon. Tetapi karena waktu itu lagi musim dingin, saat menjelang pagi dia mulai batuk. Dia bangkit dan Sang Buddha yang juga bangun agak pagi mendengar suara batuknya. Sang Buddha sangat prihatin ketika mengetahui sebab Sariputta tidak mendapat tempat tidur yang layak. Sang Buddha memanggil semua bhikkhu dan menanyakan apakah mereka mengetahui kepada siapa harus diberikan tempat duduk, tempat tidur dan makanan terbaik. Ada yang mengatakan yang terbaik harus diberikan kepada yang termasuk kelas Brahmana atau kaum bangsawan di dunia ini. Ada yang mengatakan yang terbaik harus diberikan kepada yang mampu membabarkan Dhamma dengan baik. Ada yang mengatakan yang terbaik diberikan kepada yang telah mencapai jhana tingkat keempat atau tingkat meditasi, atau pun kepada yang mempunyai kekuatan gaib. "Tidak," Sang Buddha berkata, "Tidak ada satu pun dari semua itu yang harus diberikan hal-hal terbaik, yang paling tualah yang pantas diberikan yang terbaik. Pada waktu lampau, terdapat sebatang pohon banyan yang besar pada lereng pegunungan Himalaya. Di sana tinggal tiga sahabat, seekor ayam hutan, seekor monyet dan seekor gajah. Karena mereka ingin hidup bersama dengan aman dan damai maka mereka memutuskan untuk memberikan penghormatan tertinggi tidak pada yang paling pintar atau paling bijaksana, tetapi kepada yang paling tua. Karena ukuran tubuh gajah yang paling besar, maka mereka menguji daya ingatnya. Dia melihat pada cabang pohon banyan yang besar di atas mereka dan berkata: 'Ketika saya kecil, saya selalu berjalan melewati pohon banyan ini, dan ranting paling tinggi sebatas punggungku.' Kemudian mereka bertanya kepada monyet, dia menjawab: 'Ketika saya masih kecil, saya duduk di atas tanah dan menggerogoti pucuk ranting tertinggi pohon banyan ini.' 151 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru Akhirnya ayam hutan berkata, 'Ketika saya masih kecil, pada tempat ini tidak ada pohon banyan, tetapi di sana tumbuh sebatang pohon. Suatu hari saya memakan buahnya dan membuang bijinya pada tempat ini dan dari biji itulah tumbuh pohon banyan ini.' Kemudian gajah dan monyet berkata pada ayam hutan: 'Engkaulah yang tertua, kami akan melindungi dan patuh pada perintahmu.' Setelah itu ketiganya hidup bersama dengan aman sentosa, saling mempercayai dan saling menghargai. Jika binatang saja mengenal istilah harga-menghargai, maka kalian harus jauh lebih mengenalnya. Yang paling tua harus menerima tempat tidur, makanan dan perlakuan yang terbaik." Pada kesempatan itu, Sariputta sekalian mengunjungi Anathapindika, sahabat para yatim piatu dan kaum papa, yang pada mereka Sang Buddha sering menjelaskan tentang kehidupan dan kematian secara mendalam. Ketika aku mendengar sebagian bhikkhu mengatakan bahwa mereka yang meninggalkan keduniawian mencapai tingkat yang lebih tinggi daripada umat biasa, aku rasa mereka salah. Sebab kebaikan dan kebijaksanaan Anathapindika malah lebih baik daripada bhikkhu yang berpandangan demikian. Kehidupan pertapa dan umat biasa adalah dua jalan yang berbeda, tidak ada yang dapat mengatakan mana yang lebih baik; hanya kehidupan umat biasa lebih banyak cobaan dan godaan sehingga lebih sulit mencapai ketenangan Nirvana, tetapi bukan berarti tidak mungkin untuk mencapainya. Dan para bhikkhu seharusnya lebih merendahkan diri di tengah mereka yang jalannya lebih sulit. Anathapindika sangatlah suka menderma untuk sesama dan sejak bertemu Sang Buddha ia memberi tanpa mengharapkan pujian ataupun ucapan terima kasih, juga tanpa mengharapkan pahala untuk kehidupan berikutnya. Ketika Sariputta mengunjunginya, dia sedang terbaring sakit dan sangat menderita. Sariputta menguraikan Dhamma kepadanya dan hanya yang telah mencapai kebijaksanaan yang dapat mengerti. Anathapindika sangat bahagia dan kemudian meninggal dengan tenang. Legenda menyebutkan bahwa ia dilahirkan di alam dewa tetapi Sang Buddha pernah berkata bahwa dia sebenarnya merupakan salah seorang yang telah bersatu dalam Keabadian. Sebelum ajaran Sang Buddha menyebar luas, ada sebagian kecil orang yang percaya bahwa kebahagiaan tertinggi yang dapat dicapai seseorang setelah meninggal adalah dilahirkan di alam dewa, dan di sana orang-orang hidup dari karma baik yang diperbuatnya sehingga untuk itulah orang-orang berbuat kebaikan. Akan tetapi Sang Buddha 152 Kematian dan Nirvana menunjukkan bahwa dewa itu masih tidak terlepas dari ketidakkekalan, bahkan sama dengan manusia. Ajaran beliau bukan ditujukan agar dapat dilahirkan di alam dewa, tetapi beliau mengajarkan tentang pembebasan dari Asava, dari lingkaran kejahatan, kekerasan dan penderitaan yang disebabkan oleh keterikatan. Jika seseorang telah melepaskan semua ikatan itu maka ia telah terbebas dari lingkaran kelahiran, kelapukan, kematian dan kelahiran kembali, baik sekarang maupun waktu yang akan datang, karena ia telah mencapai pembebasan abadi. Tetapi tak dapat dipungkiri bahwa alam dewa itu memang ada dan siapa yang telah berbuat kebajikan namun belum dapat melepaskan ikatan akan terlahir di sana, dengan demikian ajaran Sang Buddha adalah untuk mereka yang telah dilahirkan kembali (ke alam dewa) dan juga untuk mereka yang masih hidup di dunia ini sehingga beliau disebut sebagai guru manusia dan para dewa. Ada seorang dewa yang ingin berguru kepada Sang Buddha, namanya Rohitassa. Dia datang, untuk menyelidiki apa yang tidak ia temukan ketika hidup sebagai makhluk hidup. Dia berkata, "Apakah mungkin, dengan pengetahuan dan penyelidikan dunia di luar diri kita dapat menembus ruang dan waktu?" "Tidak, tidak mungkin, Rohitassa," jawab Sang Buddha. "Sebelumnya, ketika saya hidup sebagai manusia biasa, saya adalah seorang pertapa agung dengan pengetahuan yang luas. Saya telah mempelajari hukum alam yang hanya sedikit diketahui orang. Saya dapat terbang di angkasa lebih cepat daripada anak panah yang lepas dari busurnya. Saya berusaha melewati akhir dunia dan mencapai ruang tak terbatas. Tetapi saya hanya terbang sampai batas samudera timur dan barat, tanpa dapat melewati kehidupan akhirat dan mencapai ruang tak terbatas. Saya juga dapat hidup tanpa menggunakan tubuh dan saya memperpanjang usia saya sendiri melampaui batas yang memungkinkan. Saya pikir dengan demikian saya dapat melampai batas waktu dan menemukan kekekalan. Tetapi ketika saya mati, saya tidak menemukan kekekalan seperti yang saya pernah bayangkan." "Hal ini akan terus berulang, Rohitassa." jawab Sang Buddha. "Pengetahuan demikian tidak akan menunjukkan jalan ke batas dunia ataupun ke Keabadian. Tanpa menemukan batas dunia, kamu tidak dapat menemukan akhir penderitaan. Dengan tubuh ini, kamu akan menyadari tentang ruang dan waktu, dengan tubuh ini kamu akan dapat melewati batas ruang dan waktu dan menemukan batas dunia 153 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru dan Keabadian. Semua hal-hal ini terdapat dalam dirimu, bukan di luar dirimu. Rohitassa hanya salah satu dari sekian banyak dewa yang berguru pada Sang Buddha mengenai pengetahuan dan perbuatan baik. Aku tidak mempunyai kemampuan untuk memahami para dewa. Jadi aku tidak dapat berbicara lebih banyak, kecuali hanya mengenai siswasiswi Sang Buddha yang berwujud manusia biasa. Setelah Anathapindika meninggal, Sariputta mulai menyadari batas usianya. Saat itu beliau sedang bertapa di luar Savatthi ditemani pembantunya, Cunda, seorang samanera. Beliau meninggal dengan tenang dalam tidurnya pada satu malam dan keesokan harinya Cunda menemukan tubuhnya yang sudah dingin dan kaku. Dengan sedih Cunda mengatur kremasinya kemudian mengambil mangkuk dan jubah Sariputta lalu menuju Jeta untuk melaporkannya kepada Sang Buddha. Mendengar berita itu, Ananda menangis karena miliknya yang paling berharga telah pergi. Sang Buddha menerima mangkuk dan jubah itu dan berkata kepada Ananda: "Apakah Sariputta membawa serta sesuatu dari dunia yang membangun kehidupan Brahma: cinta kasih, kebijaksanaan, kebenaran dan kedamaian?" "Tidak, Guru, tetapi saya tidak dapat mengingat hal-hal itu saat ini karena ia yang telah mengajarkan padaku telah pergi." "Apakah menurutmu dia akan bersama kita selamanya?" "Tidak, Guru, tetapi bagaimanapun saya tetap masih merasakan bahwa sebatang ranting yang besar telah patah." "Tetapi bukankah pohonnya tetap utuh?" Sang Buddha tersenyum, "Sangha tetap berdiri. Semua yang disayangi akan pergi. Hanya satu yang disayangi yang tidak 'kan pergi. Buatlah bagimu perlindungan akan Diri Sejati dan berlindunglah padanya, Ananda." Empat hari setelah meninggalnya Sariputta, Moggallana pun meninggal, tetapi tidak dengan cara damai. Dia dibunuh oleh perampok, kata para pertapa lain. Ada yang mengatakan ia meninggal dengan demikian karena karma buruk dari kehidupannya yang lampau. Ataupun mungkin karena ia masih terlalu bergantung pada kekuatan gaibnya? Dia sendiri pernah mengaku bahwa Sang Buddha pernah menasehatinya untuk lebih giat berlatih ketenangan Kaum Arya saat dia telah memperoleh semua kekuatan. Apakah mungkin ia mengatasi perampok-perampok itu bukan dengan cinta kasih, melainkan hanya dengan kekuatan gaibnya? Bagaimanapun juga Sang Buddha merasa kehilangan siswa-siswa yang sangat berarti baginya, Sariputta dan Moggallana. Aku ingat, saat 154 Kematian dan Nirvana beliau duduk tenang dengan kami di luar desa Suku Vajji, beliau melayangkan pandangan ke seluruh pengikutnya dan berkata, "Para bhikkhu, pertemuan ini terasa kosong karena tidak ada Sariputta dan Moggallana." Beliau diam dan melanjutkan lagi, "Tetapi tidak usah khawatir karena tempat-tempat mereka kelak akan digantikan oleh yang lain." Sejak kejadian itu aku mulai menyadari mengapa Sang Buddha selalu menyarankan kami untuk bermeditasi dengan obyek kematian. Bagi yang masih terikat pada hal-hal yang bersifat duniawi maka kematian adalah sesuatu yang menyedihkan. Bagi yang telah mengerti hukum kesunyataan maka kematian hanyalah merupakan penyempurnaan kehidupan dari mahluk-mahluk yang terlahir di dunia ini. Sekarang aku sudah tua. Aku telah mengerti akan nafsu dan keinginan serta penderitaan yang ditimbulkannya. Aku telah merasakan penderitaan yang datang saat seseorang mencari jalan melepaskan segala bentuk nafsu dan keinginan akan diri, sebongkah rintangan yang menghalangi jalan menuju pembebasan, rintangan yang tak lain adalah diri kita sendiri, atau diri-diri lain yang dibentuk oleh badan jasmani dan pikiran. Aku telah merasakan ketenangan dan kedamaian yang menyusup perlahan saat seseorang semakin mendekati Inti Kebenaran dan merasakan kebebasan seperti seorang tahanan bebas dari penjara— bebas dari kesedihan akan perasaan membenci dan irihati, bebas dari semua tekanan. Namun jangan salah, kebebasan ini bukan berarti melarikan diri dari kehidupan dunia ini. Sebaliknya, kebebasan itu ditemukan dengan menjalankan Delapan Jalan Utama, yang keseluruhan darinya kecuali yang terakhir, berhubungan dengan kehidupan saat ini, di dunia ini. Aku menyadari bahwa kehidupan ini selalu berubah, dari satu bentuk ke bentuk yang lain dan jika kita ingin hidup bahagia, kita tidak dapat berdiam diri dan hanya melekat pada apa yang telah berlalu, tetapi harus berusaha dan berjuang untuk mencapai Nirvana; Keabadian. Apakah Nirvana itu? Sang Buddha jarang membahas Nirvana dengan kami. Beliau tidak perlu melakukannya sebab semua yang bertemu dengan-Nya akan mengetahui bahwa ia telah berada di dalamnya. Membincangkan Nirvana hanyalah sekedar melengkapi suatu keadaan yang telah diketahuinya. Lagi pula bagaimana mungkin dapat diterangkan dengan kata-kata jika Nirvana itu sendiri tidak menyerupai bentuk apapun yang ada di dunia ini. Semua benda-benda di dunia terbentuk dari kombinasi berbagai unsur dan benda yang lain, 155 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru dan ketika unsur-unsur itu dipisahkan, mereka terurai untuk kemudian menyatu kembali membentuk sesuatu yang baru, seperti lingkaran kelahiran, kematian dan kelahiran kembali yang tak pernah berhenti. Pengetahuan kita didapat melalui kelima indera, dan intelektual merupakan indera keenam. Tetapi kesemua ini belumlah mencukupi kebutuhan kita agar bisa memahami Nirvana. Nirvana tidak terbentuk dari unsur-unsur, tidak bergantung pada unsur lain dan bukan subyek kelahiran ataupun kematian, tidak dapat diketahui melalui keenam indria tetapi hanya dapat dikatakan sebagai "bukan ini" dan "bukan itu". Jika seekor kura-kura meninggalkan samudra dan naik ke daratan dan kemudian kembali lagi ke samudera, lalu ia berusaha menjelaskan kepada ikan tentang keadaan di daratan, bagaimana ia harus melakukannya? Dia mengatakan daratan tidak transparan, tidak juga lembab atau asin. Demikian halnya juga dengan Nirvana. Sang Buddha menunjukkan jalan menuju Nirvana kepada kita dan Nirvana ada di sekeliling kita dan segala sesuatu, dan juga di dalam diri kita dan dalam segala apapun, ia ada di dalam tubuh kita ini. Tetapi kita tidak dapat mengalaminya langsung sampai kita bisa mengakhiri segala delusi akan diri-diri yang terpisah. Hanya bila kita telah memadamkan diri-diri tersebut, Diri Sejati akan ditemukan. Dengan demikian, Nirvana, yang melampaui segala sesuatu di dunia ini, Amata, Keabadian, akan ditemukan. 156 Saccaka Sang Pendebat Setelah meninggalnya Sariputta dan Moggallana, Sang Buddha meninggalkan daerah Suku Vajji menuju Vesali dan menetap di Hutan Besar pada Balai Kutagara-sala. Beberapa minggu kemudian aku juga datang ke Vesali. Ketika aku tiba, aku bertemu dengan seorang asing, bernama Saccaka, seorang pendebat ulung yang suka membual bahwa ia dapat berdebat dengan siapa saja bahkan dengan orang yang telah mencapai penerangan sempurna. Aku mendengar dia berkata, "Jika saya berdebat dengan seseorang, pasti dia akan gemetar ketakutan dan berkeringat dingin." Beberapa hari setelah aku tiba, Assaji yang juga tinggal bersama Sang Buddha kembali dari meminta makanan dan mengatakan padaku bahwa Saccaka menghadangnya dan berkata: "Bagaimana, Assaji, apa yang diajarkan gurumu? Apa dasar ajarannya?" Assaji yang semasa muda ragu-ragu untuk mencoba menguraikan ajaran Sang Buddha, bahkan kepada seorang pencari sejati seperti Sariputta, tidak punya keinginan untuk berdebat. Seperti yang pernah dilakukannya kepada Sariputta empat puluh tahun yang lalu, dia menjelaskan dengan singkat kepada Saccaka bahwa semua yang ada di bumi—bentuk, perasaan, pencerapan, kesadaran—adalah tidak kekal dan padanya tidak ada yang disebut sebagai diri yang kekal. Saccaka memotongnya dengan kasar, "Saya kasihan kepada gurumu, Gautama, karena telah berpandangan salah. Suatu waktu nanti mungkin saya bisa bertemu dengan Gautama, guru Anda dan berbicara dengannya." Asssaji tidak berkomentar dan segera meninggalkannya. Pada saat itu sekelompok bangsawan Licchavi yang berkumpul di salah satu rumah terdekat, keluar. Saccaka berkata kepada mereka dan Assaji mendengar dia berkata: "Ikuti saya, Tuan-tuan. Saya akan menemui dan berbicara dengan sang pertapa Gautama. Jika ia memang mengajarkan pengikutnya yang terkenal, Assaji seperti apa yang dikatakannya tadi, saya akan menyudutkannya bagaikan seorang yang bertenaga kuat mendorong peti ke dalam kolam, atau bagaikan seekor gajah yang menyemburkan air untuk membersihkan, demikian saya akan menyibukkan pertapa Gautama. Kalian pasti akan senang jika ikut bersama saya menemuinya." Lalu Assaji mendengar bangsawan Licchavi berdiskusi. Ada yang mengatakan Saccaka pasti akan menang tetapi sebagian mengatakan 157 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru Sang Buddha akan menundukkan orang ini. "Tetapi sepertinya, apapun pendapat bangsawan-bangsawan itu, mereka akan mengikuti Saccaka." Assaji menambahkan dan ia melanjutkan pergi ke hutan bermeditasi. Assaji benar. Dalam waktu singkat Saccaka datang dengan serombongan bangsawan di belakangnya. "Di mana pertapa Gautama?" Dia bertanya kepada seorang bhikkhu muda. "Kami ingin berbicara dengan beliau," tambahnya dengan sopan. Bhikkhu tersebut mengatakan bahwa Sang Buddha sedang bermeditasi di bawah pohon, sambil menunjukkan tempatnya dan menambahkan: "Tetapi lebih baik tunggu waktu yang tepat." Saccaka tidak menghiraukan anjurannya dan menuju ke arah yang ditunjuk diikuti para bangsawan. Bhikkhu tadi, aku dan dua bhikkhu lain yang mendengar percakapan ini pun mengikuti dari belakang. Begitu mereka bertemu Sang Buddha mereka langsung memperkenalkan diri dan duduk. "Ada sedikit masalah yang ingin saya tanyakan," Saccaka memulai dengan nada yang agak kurang sopan. "Tanyalah apa yang Anda suka." Jawab Sang Buddha dengan lembut. "Apa yang Anda katakan kepada pengikutmu? Apa dasar ajaran Anda?" Dengan kekuatan batinnya, Sang Buddha telah mendengar pertanyaan Saccaka pada Assajji sebelumnya dan beliau pun menjawab persis dengan apa yang dilakukan Assaji. Saccaka memotong: "Saya melihat hal yang sebaliknya, Gautama." "Katakanlah, Saccaka," Sang Buddha berkata dengan sopan. "Setiap benih," katanya, "akan tergantung pada tanah. Seperti halnya segala sesuatu tergantung pada materi atau 'diri' individu itu sendiri." Walaupun Sang Buddha menganggap perdebatan metafisika sebagai realisasi yang mendekati Mara, namun kelihatannya di balik ketenangan beliau, masih ada suatu kesenangan tersendiri dalam menyangkal argumen ini—jika saja seorang yang telah bebas dari keduniawian memang masih dapat dikatakan memiliki perasaan senang atau tidak senang. Sang Buddha menjawab sambil tersenyum: 158 Saccaka Sang Pendebat "Apakah kamu yakin, tubuhmu, perasaanmu, kesadaranmu adalah 'Diri'mu yang sebenarnya, yang mengendalikan dan memerintah kamu?" "Ya, saya yakin akan itu dan demikian juga semua yang hadir." Dia mengembangkan tangannya ke arah para bangsawan. Saccaka yang tidak biasa menghadapi lawan bicara yang mempunyai ketenangan dan keyakinan yang luar biasa, mulai kehilangan percaya diri. Sang Buddha tersenyum lebar tetapi keramahannya tidak berkurang ketika beliau menjawab, "Semua yang hadir di sini tidak mempunyai hubungan dengan perdebatan ini. Mari kita pusatkan topik kita." "Silahkan," lanjut Saccaka. "Saya setuju bahwa semua yang Anda sebut adalah 'Diri' yang mengendalikan dan memerintah." "Sekarang," Sang Buddha berkata, "Maukah Anda menjawab pertanyaanku?" "Tentu, Gautama." Saccaka kembali percaya diri. "Mungkinkah seorang Raja seperti Pasenadi atau Ajatazattu mampu menghancurkan dan meniadakan segala kejahatan?" "Tentu, Gautama," jawab Saccaka dengan angkuh, "Bahkan orang awam saja mampu melakukannya. Apalagi seorang raja yang memiliki kekuatan dan seharusnya mampu untuk itu." "Jika materi tubuh ini atau perasaan ataupun kesadaran adalah 'Diri' sebenarnya yang memerintah dan mengendalikan, Saccaka, apakah ia mempunyai kekuatan untuk membuat suatu keadaan tertentu dari kesadaran, misalnya perasaan sakit menjadi hilang?" Sang Buddha mengulang pertanyaannya tiga kali dengan lembut tetapi Saccaka tidak mampu menjawabnya. Sang Buddha melanjutkan: "Dengan demikian, perasaan, tubuh, atau kesadaran itu bukanlah 'Diri' sebenarnya yang mengendalikan dan memerintah. Untuk menemukan diri yang kekal di antara semua ini adalah tidak mungkin, bagaikan seorang pencari kayu yang menebang pohon pisang untuk mencari kayu, dia hanya akan menemukan lembaran-lembaran daun dan pelepah pisang, tanpa sekerat kayu pun, baik yang bagus maupun yang buruk. Maka adalah sia-sia jika kamu mencari diri yang kekal dalam kelima atau keenam inderamu. Organ pemikirmu hanya akan mencari dengan sia-sia." Sang Buddha berhenti sejenak dan hening seketika, Saccaka tidak berusaha menjawab. Akhirnya salah seorang bangsawan Licchavi berkata, "Saccaka bagaikan seekor kepiting yang kulitnya telah dipecahkan anak-anak dan tidak dapat kembali ke sungai." 159 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru Saccaka sangat marah dan mengatakan ia hanya kagum kepada Gautama, lain tidak. Mungkin dia sekarang menyesal telah membawa rombongan bangsawan tersebut. Dia memandang Sang Buddha dan berkata, "Anggaplah saja saya dan yang lainnya telah mengatakan halhal yang tidak berguna. Sekarang katakan padaku apa inti ajaranmu?" Sang Buddha menjelaskan dengan sabar, "Dia yang berhenti mengejar diri yang kekal, tidak lagi menjadi budak nafsu keinginannya. Dia telah menemukan cara mengendalikan tuntutan diri yang selalu berubah. Dia telah mengalahkan semuanya. Dia telah menemukan kedamaian Nirvana." Saccaka telah dikalahkan oleh cinta kasih Sang Buddha. Dia mengaku bahwa ia telah berlaku congkak karena berpikir dapat menyudutkan Gautama. Dia berkata, "Seseorang mungkin akan dapat menghadapi seekor gajah cerdik, tetapi tidaklah demikian bila berhadapan dengan Yang Arya Gautama. Saya memohon kesudian Anda untuk menghadiri jamuan makan besok." Sang Buddha setuju. Kemudian Saccaka berkata sambil menunjuk bangsawan Licchavi, "Bangsawan-bangsawan inilah yang akan menyediakan makanan kita." Beberapa bangsawan itu marah karena menganggap Saccaka menyuruh mereka menderma dan dia yang akan mendapat pahala. Tetapi akhirnya mereka setuju. Keesokan harinya bangsawan-bangsawan itu telah menyediakan makanan istimewa dan Saccaka sendiri yang menunggui Sangha. Setelah selesai makan dia berdiri dan berkata dengan ramah, "Semoga para dermawan yang menyediakan semua makanan ini mendapat berkah," sambil melihat ke arah bangsawan-bangsawan itu. Sang Buddha memandangnya dengan sedih dan berkata, "Saccaka, engkau hanya dapat memberikan sedikit pahala kepada mereka sebagaimana yang berkembang dari diri yang masih terikat dengan nafsu dan kemarahan." Beliau berhenti dan menambahkan "Jika ada kemungkinan engkau bisa menerimanya, saya akan memberimu pahala yang akan tumbuh dari orang yang bebas dari nafsu dan kemarahan." Setelah aku melihat Saccaka demikian rendah hati menjamu kami, aku berpikir ini benar-benar merupakan suatu 'jejak kaki dari seekor gajah besar'. Tetapi hari berikutnya ketika Saccaka datang kembali ke tempat Sang Buddha, dia tetap berusaha menyudutkan Sang Buddha. Dia berkata, "Ada beberapa orang pertapa yang hanya melatih pikiran 160 Saccaka Sang Pendebat mereka, tidak tubuh mereka, dan saya rasa pengikut-pengikut Anda termasuk kelompok demikian." "Apa yang kamu dengar mengenai pertapa yang melatih tubuh mereka?" tanya Sang Buddha. "Sebagian pertapa-pertapa itu telanjang, menjilati tangan mereka selesai makan dan bukan mencucinya, menolak makanan dari wanita hamil, dan dari dua orang yang makan bersama dan sebagainya." "Dan apa yang kamu dengar mengenai pertapa yang melatih pikiran mereka?" Saccaka tidak menjawab, Sang Buddha melanjutkan: "Cara melatih tubuh seperti yang engkau katakan tadi bukan latihan sama sekali. Haruskah saya jelaskan bagaimana tubuh dan pikiran dilatih?" "Jika Anda bersedia," jawab Saccaka, padahal dia sendiri juga tidak menjawabnya. "Jika seseorang demikian melatih dirinya sehingga segala bentuk kesenangan tidak lagi dapat mempengaruhinya, maka tubuh dan pikirannya telah dilatih." Saccaka pun berkata dengan kasar, "Semoga Anda, Gautama juga mempunyai tubuh dan pikiran yang terlatih." Sang Buddha menjawab dengan lembut, "Kata-kata Anda agak kurang sopan, tetapi memang benar sejak saya telah mencukur rambut saya dan memakai jubah ini, pikiran saya sudah tak dipengaruhi lagi oleh hal-hal yang menyenangkan ataupun tidak menyenangkan!" "Mungkin," Saccaka semakin menyudutkan beliau. "Anda tidak pernah merasakan hal-hal yang menyenangkan dan menyedihkan. Mungkin Anda dilahirkan berdarah dingin seperti ikan." Seorang bhikkhu muda yang mendengarkan percakapan itu sangat marah karena Sang Buddha diperlakukan demikian. Lalu ia pun mulai berjalan dan mengepalkan tangan untuk mengurangi kemarahannya. Sang Buddha berusaha menenangkannya dengan pandangan beliau, tetapi dia terlalu gusar sehingga tidak memperhatikannya. Sang Buddha kembali menjawab dengan sabar. "Saat saya belum mencapai penerangan sempurna, dan rambut saya masih hitam tanpa uban, mana mungkin perasaan saya beda dari yang lain? Biarkan saya jelaskan kepadamu Saccaka, bagaimana cara saya melatih pikiran dan tubuh." "Semula saya pikir untuk melatih tubuh maka harus menyiksa diri. Saya menekan langit-langit lembut rongga mulut dengan lidah untuk mengontrol pikiran sendiri. Saya berjuang sedemikian keras, sampai mengeluarkan keringat. Dengan cara demikian pikiran saya memang terkontrol, tetapi tubuh ini tidak; karena terlalu menderita akibat 161 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru tekanan, akhirnya pikiran saya tak terkendalikan. Kemudian saya berusaha bermeditasi dengan menekan pernafasan. Saya menutup jalan udara hidung dan mulut sehingga pada telinga terdengar dengungan kuat. Pikiran saya pun terkendalikan, tetapi sekali lagi saya menderita akibat pemaksaan yang berlebihan. Akhirnya, kembali saya kehilangan kendali. Saya berpikir mungkin saya berlatih kurang keras. Berikutnya saya mulai menutup telinga. Seolah-olah ada seorang kuat yang berpedang tajam hendak memecahkan otakku. Seperti sebelumnya saya pun gagal. Saya mengulang metode itu berkali-kali dan lebih keras lagi, tapi akhirnya sia-sia saja. Lalu saya mencoba mengurangi makan. Dewa-dewa datang dan menawarkan makanan yang lezat, tetapi saya tolak. Saya mengurangi makan dan hanya minum air kacang-kacangan. Tubuh saya benarbenar kehilangan tenaga. Tulang-tulang sendi saya sakit semua, demikian juga anggota badan yang lain, mata saya semakin redup bagaikan sumur yang kekeringan, kulit saya bagaikan buah labu yang berkerut akibat dipetik sebelum matang. Ketika saya berusaha untuk berdiri, saya terjatuh lemas dan seolah-olah telah mati. Lalu saya berpikir tentunya semua penderitaan ini lebih buruk daripada yang pernah dialami pertapa lainnya. Akan tetapi dengan cara yang keras ini saya tidak mendapat apa-apa, tidak dapat mengendalikan tubuh dan pikiran, baik pandangan batin maupun kebijaksanaan." "Saya hampir putus asa, lalu tiba-tiba saya teringat akan ayah saya, raja Suku Sakya, saat membajak sawahnya dan saya yang masih muda duduk di bawah rindangan pohon apel. Nafsu dan keinginanku hilang dan saya mulai bermeditasi dengan pikiran terkonsentrasi. Saya menyadari bahwa saat itu saya lebih mendekati kebijaksanaan dibanding dalam keadaan menderita seperti sekarang. Saya bertanya pada diri saya sendiri mengapa saya begitu takut pada keadaan yang menyenangkan, mengapa saya harus tidak mencicipi makanan? Lalu saya pun mulai makan. Pada waktu itu saya bersama lima orang pengikut, salah satunya adalah Assaji yang sangat mengagumi kekerasan dan keteguhan latihan saya. Tetapi mereka kemudian berubah dan meninggalkan saya ketika saya mulai makan, mereka mengatakan saya mulai bersenang-senang. Kekuatan saya mulai pulih setelah makan, dan saya sendirian di hutan bermeditasi dan mulai menyadari kebahagiaan ketika pikiran terkonsentrasi. Kemudian saya memasuki tingkat meditasi yang lebih tinggi. Tetapi kebahagiaan yang kualami tidak mengekang dan mengendalikan pikiranku. Pada malam itu, di saat jaga terakhir, 162 Saccaka Sang Pendebat pengetahuan dan penerangan muncul, sebagaimana halnya mereka selalu muncul pada mereka yang berusaha keras mencarinya. Demikianlah saya belajar cara melatih pikiran dan tubuh, Saccaka. Dalam kebahagiaan yang saya temukan itulah saya hidup sekarang ini." Bhikkhu muda yang marah kepada Saccaka duduk dan mendengarkan dengan penuh perhatian penjelasan Sang Buddha tentang penderitaan dan jalan mengakhiri dan melenyapkan penderitaan. Mereka semua baru mendengar hal ini untuk pertama kalinya. Kami begitu terpengauh hingga banyak yang mencapai ketenangan bermeditasi. Tetapi kami dikejutkan oleh suara Saccaka yang kasar: "Sang Gautama diakui sebagai yang telah mencapai penerangan sempurna, apakah ia mengaku pernah tidur pada siang hari?" Kata-kata ini bagaikan segerombolan orang-orang kasar yang mengganggu ketenangan hewan-hewan yang sedang menghilangkan dahaga di danau. Sang Buddha memandang Saccaka dan menjawab dengan cinta kasih. "Bulan lalu pada musim panas ketika saya kembali dari meminta makanan, saya melipat jubah dan berbaring kemudian tertidur." "Ada pertapa yang menyebutnya sebagai kelengahan," Saccaka berkata. Dia tidak puas. Sangat sulit untuk memancarkan cinta kasih kepadanya kecuali orang yang telah benar-benar mengerti arti cinta kasih. Bhikkhu muda tersebut mengepalkan tinjunya dan merapatkan giginya kembali untuk menahan emosi. "Kelengahan itu adalah bukan sesuatu yang bisa hadir atau pun tidak hadir," jawab Sang Buddha sambil tersenyum. "Dia yang telah terbebas dari kesenangan duniawi berarti telah bebas dari kelengahan, karena dia telah terbebas dari belenggu diri." Seperti kunjungannya yang pertama, akhirnya Saccaka pun tunduk pada kekuatan cinta kasih Sang Buddha. Tetapi dia masih tetap berpikiran picik yang membuatnya tidak bahagia, seandainya saja ia tahu itu. Mengapa manusia begitu terikat sehingga menjadi budak nafsunya sendiri? Dia kemudian berkata, "Terima kasih, Gautama. Anda telah menunjukkan sesuatu yang berharga untuk direnungkan. Sangat menakjubkan, Gautama. Walaupun Anda gusar, tetapi air muka Anda tidak berubah sama sekali. Saya telah menghadapi berbagai tipe pertapa yang kemudian berubah gusar, marah atau emosi. Anda benarbenar tenang seperti seorang malaikat, yang sempurna. Sekarang saya harus pergi." 163 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru "Silahkan." Sang Buddha tersenyum dan tetap ramah. Kami tidak lagi merasa melihat jejak kaki dari seekor gajah besar. Saccaka terpengaruh, tetapi tidak berubah dan dia tidak pernah menjadi pengikut Sang Buddha. Setelah Saccaka pergi, Sang Buddha beralih pada bhikkhu muda yang marah tadi, dia masih berjalan ke sana ke mari. Saya dapat merasakan apa yang ada di dalam pikirannya, konflik antara kehendak untuk menjatuhkan Saccaka baik dengan kekuatan fisik maupun mental dan ajaran cinta kasih Sang Buddha dalam pikiran maupun kata-kata. Suara Sang Buddha terdengar penuh kegembiraan saat beliau berkata: "Sahabat muda, kamu marah kepada apa? Kepada rambut di kepalanya atau tubuhnya? Atau mungkin giginya? Atau empat unsur dasar yang membentuk, tanah, udara, api dan air? Atau mungkin organ pencerapnya?" Bhikkhu muda itu tertawa. "Jika kamu menganalisa dia," lanjut Sang Buddha, "Dengan membukanya selembar demi selembar seperti membuka lembaran pohon pisang, kamu tidak akan menemukan apapun untuk dimarahi, tidak ada tempat bagi kemarahan sama sekali." "Saya tahu Guru, tetapi itu dalam teori, bagaimana cara saya menerapkannya?" "Jika seseorang memberikan hadiah kepada temannya dan ternyata temannya itu menolak hadiah tersebut. Jadi hadiah itu sekarang milik siapa?" "Milik si pemberi, Guru." "Ya, jika seseorang menyodorkan kemarahan dan kebencian dan kamu menolak untuk menerimanya, lantas kemarahan dan kebencian itu milik siapa?" "Milik yang marah, Guru." Sang Buddha berhenti sampai di situ, bhikkhu muda itu pergi dengan puas dan gembira. Tetapi menurut aku, jika seseorang tidak dapat menyampaikan dengan belas kasih sehingga hati yang mendengarnya tersentuh, maka rasanya akan sulit membuka lembar demi lembar pohon pisang sampai seseorang benar-benar menyadari bahwa sebenarnya tidak ada tempat untuk kemarahan sama sekali. 164 Kedamaian di Hutan Mangga Setelah setahun berada di Vesali, Sang Buddha menyeberangi Sungai Gangga menuju Kerajaan Magadha, di mana Ajatazattu sedang berkuasa. Ajatazattu tidak mengizinkan ayahnya, Bimbisara, untuk mengundurkan diri dan beristirahat dengan tenang seperti keinginannya karena walaupun ayahnya tidak lagi berkuasa sebagai raja, rakyat tetap sangat menghormati dan mencintainya serta senantiasa meminta nasehatnya. Anaknya menjadi cemburu dan tidak mengizinkan siapa pun untuk menemui ayahnya di tempat kediamannya yang dibuat seperti penjara. Lama-kelamaan Bimbisara pun mati kelaparan. Selanjutnya, untuk memperkuat dirinya, Ajatazattu membangun kota bertembok yang berjejer ke bagian utara dan dikelilingi oleh perbukitan. Dengan kejam, dia memusnahkan desa kecil di sana berikut hutan mangganya, dan juga menebang banyak pohon bambu dan palem yang telah menjadikan Veluvana tempat khusus buat Sangha, walaupun karenanya jarak antara kota dan desa menjadi lebih pendek dan mudah dicapai. Karena keadaan Veluvana yang telah menjadi demikian, Sang Buddha tidak menetap di sana pada kunjungan ke Rajagaha kali ini, tetapi langsung menuju bukit Gijjhakuta (lereng Burung Bering) dan tinggal di Hutan Mangga milik tabib Jivaka, putera seorang pelacur, tetapi ia terkenal sebagai seorang Sallakatta (tabib atau dokter). Dia telah menjadi siswa Sang Buddha sejak Ananda mengundangnya mengunjungi Sang Buddha untuk memeriksa kesehatannya, dan dia mengobati Sang Buddha dengan minuman sari buah-buahan. Dari Jivaka aku kemudian mendengar tentang hal ini: ******************************* Pada suatu festival di bulan purnama keempat, Raja Ajatazattu duduk di teras tingkat atas rumahnya, dikelilingi oleh para menterinya. Telah berlalu beberapa tahun sejak ia bersahabat dengan Devadatta yang memperalatnya untuk membunuh Sang Buddha. Dia sangat berambisi saat itu dan tidak mengetahui akibat yang akan diterimanya saat ia merencanakan untuk membunuh ayahnya, Raja Bimbisara yang bijaksana. Sekarang dia telah menjadi raja dan memudarkan keagungan kerajaan, dan penderitaan akan mengikuti karma buruknya bagaikan roda pedati yang mengikuti jejak kaki lembu yang menghelanya. Pengaruh kekejaman Devadatta masih berbekas padanya. Sekarang, pada saat bulan bersinar penuh di atas langit tak 165 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru berawan, seberkas kebajikan mulai meliputi hatinya, dan dia menyenandungkan lagu kebahagiaan dan terima kasih atas keindahan sinar bulan dan hari yang suci itu. Tetapi kemudian perasaan kosong kembali menghantuinya: semua perselisihan, kehausan akan kekuasaan, dan ingatannya akan perlakuannya yang kejam terhadap ayahnya sehingga ia dapat memegang kekuasaan dengan bebas sekarang ini. Sinar bulan membuatnya damai dan tenang untuk sesaat dan kini semuanya kembali hilang. Berbagai perasaan bergejolak dalam dirinya. Dia merindukan kedamaian abadi tanpa perselisihan. Damai! Damai! seperti rembulan yang memancarkan sinarnya ke bumi setelah siang hari yang terik dan panas! Dia mengalihkan pandangannya dari sinar rembulan ke menterinya dan berkata, "Pertapa atau Brahmana mana yang harus dipanggil untuk memberikan kedamaian pada hati dan diri kita semua malam ini?" Salah satu menteri menjawab, "Purana Kassapa, Baginda, dia terkenal sebagai seorang filsuf, dia dapat menjawab semua persoalan yang dilemparkan padanya, Yang Mulia dapat mengunjunginya dan pasti akan menemukan kedamaian karenanya." Raja tidak percaya pertapa ini dapat memberikan kedamaian yang diinginkannya. Sementara menteri lain juga memberikan pendapat berbagai nama pertapa lainnya. Tetapi tak satu pun yang diterima Raja. Dan dia beralih kepada Jivaka sambil bertanya, "Sahabat Jivaka, mengapa Anda tidak berkata apa-apa?" "Baginda," jawab Jivaka, "Sang Buddha, yang agung dengan serombongan besar bhikkhu telah tiba di Rajagaha dan sekarang tinggal di Hutan Mangga kita. Beliau mempunyai kebijaksanaan, kebajikan dan kebahagiaan yang berlimpah-limpah. Baginda dapat mengunjungi-Nya dan hati Baginda akan menjadi damai." Raja ingat akan sinar aura yang lembut dan damai yang terpancar dari Sang Buddha, dan tanpa ragu-ragu raja pun segera memerintahkan Jivaka untuk mempersiapkan kereta untuk permaisuri dan para pembantunya. Hanya pada saat ia mengagumi sesuatu seperti inilah ia melupakan nafsu jahatnya. Jivaka sedih karena raja menginginkan rombongan yang megah, padahal dengan rombongan yang demikian megah, bagaimana mungkin Raja dapat menemukan kedamaian. Tetapi dia mengerti pencarian Raja dan dengan belas kasih ia membantu Sang Raja dan mempersiapkan serombongan gajah. Wanita-wanita duduk di atas gajah betina sedang Raja duduk di atas gajah mewah. Mereka pun berangkat dengan diiringi cahaya obor. Raja memimpin di depan, sinar bulan memantulkan kilauan cahaya pada 166 Kedamaian di Hutan Mangga permata-permata di baju kebesarannya, dia mengangkat kepalanya tinggi-tinggi. Sebelum mencapai Hutan Mangga, tidak ada lagi jalan yang bisa dilalui kereta, sehingga Raja dan Jivaka terpaksa turun dan jalan kaki, sedang para wanita dan pelayan ditinggal. Suara tertawa para wanita segera lenyap diganti sunyinya malam dan keheningan hutan, ia kini sendirian bersama Jivaka. Tidak ada tanda-tanda rombongan bhikkhu yang tinggal di Hutan Mangga. Dalam kegelapan itu Raja mulai ketakutan. Dia berperasaan diintai banyak orang di balik bayang-bayang. Apakah Jivaka menjebaknya? Apakah ada serombongan musuh di balik pepohonan? Sekarang baru dia teringat Sang Buddha adalah teman ayahnya. Dia teringat bahwa ia sendiri yang menyebabkan kematian ayahnya dan ia teringat juga akan semua yang ia sakiti, ia khianati, dan ia bunuh. Semakin dekat dengan Hutan Mangga, perasaan bersalah dan takut semakin menterornya. Seluruh bulu kuduknya berdiri. "Jivaka, kamu membawa saya ke mana?" dia berteriak panik. "Apakah kamu menipu saya? Apakah kamu menghianati saya? Mana mungkin tidak ada suara sama sekali, tidak ada suara bersin atau batuk di antara demikian banyak bhikkhu?" "Jangan takut, Baginda! saya tidak menipu, curang atau menghianatimu. Jalanlah terus, Oh Baginda, lihatlah! Di halaman paviliun, lampu-lampu menyala dan yang duduk menghadap timur adalah Sang Buddha." Raja berdiri terpaku kagum. Tidak ada seraut wajah pun yang melihat ke arah mereka, semua diam, tenang, setenang cahaya bulan, sediam patung, semuanya bersatu secara universal dan kekal. Kedamaian yang tidak dapat dilukiskan seakan-akan terpancar dari mereka yang tenang itu; yang kemudian merangkul sekelilingnya sehingga Raja pun merasa larut di dalamnya, menyatu di dalamnya, merasakan damai yang tak dapat diungkapkan. Raja berdiri mematung lama sekali, sampai melupakan segala kekuasaan dan kekuatan yang pernah diagungkan-agungkannya. Dia terpesona akan pertemuan yang tenang, setenang danau, dan dia tahu inilah yang dicarinya. Akhirnya dia baru mampu menemukan kata-katanya, "Apakah puteraku dapat memiliki ketenangan seperti yang ada pada pertemuan bhikkhu ini?" "Baginda sangat mencintainya?" tanya Jivaka. "Ya" jawab Raja, "Saya mencintai anak itu dan mengharapkan ia dapat menikmati kedamaian yang menakjubkan ini." 167 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru Kemudian, setelah ada kesempatan, Raja bersujud kepada Sang Buddha dan mengutarakan pada-Nya bahwa ia ingin mengajukan beberapa pertanyaan. Sang Buddha mengizinkan dan Raja pun berkata: "Umat yang berasal dari kehidupan biasa," Sang Raja menyebutkan semua pembantunya mulai dari menteri sampai pengurus istana, seperti penjaga kuda, tukang masak, tukang kebun, dan para akuntannya, "menikmati hidup mereka dari apa yang mereka hasilkan. Mereka menghidupi diri mereka sendiri, orang tua dan anakanak mereka. Lalu apakah yang dihasilkan dari kehidupan kebhikkhuan?" Sang Buddha tersenyum dan mengerti bahwa Raja berusaha menghindar dari apa yang telah dilihatnya, yakni kedamaian dari meditasi yang dilakukan para bhikkhu. Beliau bertanya, "Jika seseorang, misalnya penjaga kuda kerajaan ataupun tukang kebun, meninggalkan nafsu duniawinya, hidup dan tinggal sederhana, tidak punya keinginan apapun, apakah orang itu akan menjadi penjaga kuda dan tukang kebun lagi?" "Tidak, Bhagava, karena semua orang kini menghargai dan menghormatinya sedangkan sebelumnya dia tak lebih dari seorang pelayan." "Dan seandainya, Oh, Baginda! Dia bukan seorang pelayan, dia seorang yang bebas, seperti misalnya seorang petani yang mengolah tanahnya sendiri dan hanya membayar pajak kepada Raja. Jika dia kemudian meninggalkan segala hal keduniawian, termasuk kedudukan terhormat, dan sebaliknya menjalankan kehidupan pertapa, akankah ia kembali pada profesinya semula?" "Tidak, Sang Gautama, alasannya sama, karena ia lebih dihargai dan dihormati. Tetapi dapatkah Anda menunjukkan keuntungan lain sebagai bhikkhu, sesuatu yang lebih tinggi dari sekedar rasa hormat," ia melanjutkan dengan ragu-ragu, "kedamaian ini?" "Ya, Baginda! Masih ada buah yang lebih baik lagi. Buah ini adalah buah yang diperoleh jika seseorang itu telah bebas dari kemarahan, nafsu dan kepentingan diri sendiri." "Katakan padaku jalan untuk memperoleh buah karma itu, Bhagava," Raja berkata dengan sangat ingin tahu. "Dengarkan, Baginda! Dia yang hidup dalam kekerasan, pertamatama harus dapat menyingkirkan kekerasan dan pembunuhan. Dia meletakkan pedangnya dan mencintai seluruh makhluk hidup." Kemudian Sang Buddha menjelaskan kepada Raja langkah-langkah dari Jalan serta empat tingkat meditasi dan kebahagiaan. 168 Kedamaian di Hutan Mangga Raja mendengarkan; kehausan akan kekuasaan, kehormatan, dan bayangan-bayangan buruk mulai lenyap. Dia pun mencapai sinar kesunyaan, yang tidak kosong, tetapi dipenuhi oleh segala sesuatu. Ketika Sang Buddha mengakhiri penjelasan, Raja seperti baru sadar dari mimpi, kata-kata Sang Buddha seperti bukan berasal dari dunia ini. "Dia yang bebas," lanjut Sang Buddha, "Bagaikan bunga teratai yang terapung dengan tenang di atas air, jenuh air dari ujung daun sampai ke ujung akarnya, seperti halnya bunga teratai yang beraneka warna, merah, putih dan biru, demikian juga dia yang bebas dari keterikatan, apapun bentuk maupun penampilan luarnya tidak akan mempengaruhi arus hidupnya lagi, dia akan hidup dalam damai di atas air kehidupannya. Dia yang telah melepaskan ikatan, bagaikan genangan air di pegunungan yang bukan berasal dari air sungai ataupun hujan, tetapi bersumber dari mata air di bawahnya yang mengalir tanpa henti. Airnya bersih dan jernih yang selalu diganti oleh mata airnya yang tersembunyi. Begitu pun juga dia yang telah bebas dari ikatan, akan selalu damai dalam arus kebebasan. Oh Baginda, itulah hasil yang diperoleh bagi yang telah melepaskan hawa nafsunya dan telah bebas dari keakuan." Raja mendengar dengan penuh perhatian. Inilah damai yang dicarinya. Dia dapat merasakan perasaan itu, yang meliputinya bagai sinar bulan berbias keperak-perakan pada pohon-pohon mangga. Kemudian ingatan masa lalunya kembali terlintas. "Bhagava, saya ingin menjadi siswa-Mu. Tetapi saya penuh dosa. Saya orang yang lemah, bodoh dan bersalah. Saya membunuh ayah sendiri, raja yang bijaksana. Saya sadar akan dosa-dosa saya dan kelak saya akan mengendalikan diriku sendiri—." Tiba-tiba dia berhenti. Apakah mungkin dia berpikir bahwa hidup dengan melenyapkan nafsu berarti melepaskan semua yang ia sayangi? Sang Buddha mendorongnya untuk melanjutkan, berkata, "Dengan melihat dosa-dosamu dan mengakuinya, maka pengakuanmu akan diterima. Jalan tidak tertutup bagi siapa pun. Dia yang telah sepenuhnya sadar akan dapat mengendalikan dirinya kelak." Sang Buddha memandangnya dengan cinta kasih, tetapi di wajahnya masih terlihat keragu-raguan. Jalan dan Terang belum menyentuh orang yang tidak bahagia ini. Pertanyaan yang diharapharapkan para Bhikkhu tidak kunjung terdengar. Raja menggerakkan kepalanya, menggenggam jubahnya dengan gelisah, beberapa saat kemudian dia berkata dengan lemah bahwa ia harus pergi dengan Jivaka karena sibuk dan banyak lagi yang harus dikerjakan. Sang Buddha berbalik kepada siswa-siswa beliau dan berkata: 169 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru "Raja sebenarnya sudah sangat terpengaruh; hatinya tersentuh. Tetapi padanya masih terdapat kehausan akan kekuasaan yang menyebabkannya membunuh ayahnya yang bijaksana. Jika tidak, Kebenaran akan tumbuh dalam dirinya dan walaupun ia hanya duduk di ujung sana, ia dapat memasuki arus menuju Nirvana. Tetapi ia rupanya masih terperangkap dalam lingkaran karma akibat perbuatannya sendiri." 170 Tahun-Tahun Terakhir Kehidupan Sang Buddha Suatu hari, ketika Sang Buddha hampir mencapai usia delapan puluh tahun, aku berjalan menuju puncak Gijjhakuta, kota tua tampak terhampar di bawahku. Aku dapat melihat 'penjara' tempat Bimbisara menemui ajalnya dan pemisah bukit ke Selatan, tempat yang sangat mengesankanku saat pertama kali aku memasuki Rajagaha. Tetapi sekarang debu di musim kering ini mengaburkan segala sesuatu, sehingga aku hanya dapat melihat lapangan persegi di sekeliling bukit dengan samar-samar dan dinding-dinding yang membatasi kota baru milik Ajatazattu. Aku berusaha membayangkan perubahan pemerintahan di Rajagaha. Kemudian pikiranku melayang ke taman Apel yang luas dan lapang, dan tiba-tiba aku sadar bahwa Sang Buddha telah memberikan perubahan yang drastis kepada semua orang. Beliau lebih sering disapa dengan "Yang Terbahagia", dan bagaikan gelombang air yang ditimbulkan oleh sebuah sampan di atas permukaan danau yang tenang, demikian juga kebahagiaan-Nya menyebar ke seluruh penjuru dibarengi cinta kasih-Nya. Aku ingat sekarang bahwa acara kurban hewan pada upacara kaum tertentu yang pernah kusaksikan telah lama berlalu. Aku juga menyadari bahwa sekarang kaum wanita mulai dihormati, yang tak pernah terjadi pada masa sewaktu aku muda dulu. Perasaan belas kasih rakyat terlihat dari bertambahnya jumlah orang-orang vegetarian yang menghargai lembu yang menghasilkan susu perahan. Dalam hal ini Sang Buddha telah membuka Jalan Ahimsa; jalan hidup tanpa kekerasan, kebenaran yang telah pernah dilupakan. Aku jarang bersama Sang Buddha pada saat-saat terakhir hidup beliau. Selanjutnya Ananda yang lebih tahu apa yang terjadi, karena dialah yang senantiasa melayani Sang Buddha pada saat-saat terakhir hidupnya, jadi lebih baik Ananda yang menceritakan dengan katakatanya sendiri. ************************** Yang kuceritakan kini adalah perjalanan Sang Buddha ke Magadha yang terakhir kali sebelum kemangkatan-Nya. Kami menyeberangi sungai Gangga menuju Utara ke Vesali, ibukota Licchavi. Pada waktu itu, penduduk Vesali yang paling dikagumi adalah Ambapali, nama panggilannya adalah "Gadis Mangga" karena dia adalah putri penjual 171 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru buah-buahan. Dia sangat lembut dan cantik, sehingga banyak bangsawan yang berusaha melamarnya dan karena semuanya tidak dapat memperistrinya, dia dijadikan wanita simpanan sehingga banyak pria-pria yang datang ke Vesali hanya untuk mengunjunginya, akibatnya kota Vesali menjadi sangat ramai dan makmur. Ambapali tidak hanya cantik dan kaya, tetapi juga sangat terkenal, juga pelayan-pelayannya. Dari salah satu pelayannya itulah saya mendengar tentang bagaimana Ambapali sampai mengunjungi Sang Buddha. Kelihatannya Ambapali telah menderita berbulan-bulan dan tak dapat beristirahat. Pelayan yang juga merupakan teman akrabnya, berusaha membantunya dengan mengatakan bahwa ini mungkin dikarenakan dia sakit. Tetapi Ambapali berkata: "Tidak, pelayanku," dia berkata, "Perasaan tidak tenang ini telah selalu menghantuiku, dan bukan dikarenakan saya sakit. Saya sendiri tidak mengerti. Saya merasa bagaikan seorang pesakitan dan sangat merindukan kebebasan." "Tetapi engkau adalah wanita paling cantik dan kaya dari seluruh wanita di kota ini," pelayannya protes, "dan semua laki-laki ingin memilikimu, tidak hanya keindahan tubuhmu, tetapi juga kebijaksanaan dan ketenangan pikiranmu, engkau dicintai semua orang karena kebaikanmu." "Saya tahu," Ambapali menjawab, "tetapi kadang-kadang saya cemburu akan kehidupan seorang istri biasa dengan suami yang sulit diatur dan anak-anak yang ribut dan lincah." "Engkau tidak mengerti apa yang engkau katakan, Nyonya," jawab pelayannya dengan tenang, "nasib wanita memang sulit, kecuali jika ia dikagumi banyak orang. Wanita biasa mulanya menjadi budak di rumah ayahnya, kemudian dia pindah ke rumah suaminya dan juga jadi budak di sana. Tetapi Nyonya bebas dari semua ini." "Benarkah? Kalau begitu berarti saya sedang mencari kebebasan lain, yang tidak dapat diperoleh dari kecantikan, kekayaan, suami dan anak. Oh, pelayanku! Saya akan menyerahkan semua milikku untuk menemukan kebebasan, untuk menemukan akhir dari penderitaan ini, saya betul-betul bingung." Pada saat itu seorang pelayannya membawakan sarapan pagi dan sewaktu dia akan pergi, dia berkata: "Tahukah Nyonya bahwa Yang Arya Gautama, Buddha yang telah mencapai penerangan sempurna, kemarin tiba dengan beberapa orang siswa-Nya, dan sekarang menginap di hutan mangga Nyonya?" "Sang Buddha Gautama!" teriak Ambapali, "Siapkan keretaku segera. Aku harus menemuinya." 172 Tahun-Tahun Terakhir Kehidupan Sang Buddha "Tetapi, Nyonya," dia protes, "Orang-orang mengatakan Beliau tidak tertarik dengan kecantikan wanita, lagipula, sekarang dia sudah tua, sangat tua malah." "Saya tahu. Itulah sebabnya saya harus menemui Beliau. Tidak dapatkan kamu mengerti? Kecantikan dan keindahan akan rusak dan berlalu. Tetapi ada sesuatu yang lain, dan Sang Buddha Gautama mengetahuinya. Saya harus menemukannya. Suruh mereka percepat kerjanya dan persiapan keretaku sementara aku akan melepaskan semua perhiasan yang tak berguna ini dan mengenakan gaun sederhana." Pelayan itu segera mengambil bakinya dan pergi. Ambapali beralih kepada pelayannya, sembari berkata, "Ini adalah jawaban dari keinginanku. Ayo!" Pada saat itu, Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma kepada kami, mengingatkan kami untuk mengendalikan perasaan tubuh dan mental yang timbul, menyadarinya sebagai riak gelombang yang mengikuti riak gelombang lainnya yang dibentuk oleh keadaan sebelumnya, agar kita tidak dikendalikan olehnya. "Seorang bhikkhu harus senantiasa menyadari sepenuhnya apa yang dilakukannya — saat keluar, saat berjalan masuk, saat melihat dengan mata, saat membungkukkan badan atau mengangkat lengan, saat memakai jubah dan membawa mangkuknya. Saat makan, minum, berdiri atau tidur, saat berbicara atau diam—apapun yang ia kerjakan, dia harus benarbenar menyadarinya." Salah satu bhikkhu muda berkata. "Apakah Guru khusus mengatakan hal ini kepada kami karena hutan mangga ini milik Ambapali, wanita tercantik di seluruh dunia sehingga nafsu duniawi tidak sampai mempengaruhi kami?" "Ya, anakku, dan juga karena ini milik bangsawan Licchavi, yang mempunyai dandanan, kuda-kuda dan bawaan mewah dan mahal. Jika kamu tidak mengendalikan pikiran, maka nafsu duniawi akan mempengaruhi kamu." "Guru," si bhikkhu muda melanjutkan, "Selain dari penuh perhatian, kadang kala pikiran selalu mengembara pada hawa nafsu dan ketamakan, dan saya sering putus asa karena tidak dapat bebas dari hal-hal ini." "Anakku, kamu tidak dapat memaksa pikiran dan perasaanmu agar dapat segera mengakhirinya. Dengan tidak berhenti melatih diri dengan menjalankan Vinaya, seperti menghindari godaan penglihatan dan pendengaran, dan juga makanan saat belum waktunya. Dengan menjalankan dan merenungkan Dhamma, dengan meditasi, kamu 173 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru akan dapat mengendalikan pikiran dan perasaanmu." Sang Buddha menunjuk seorang petani yang dapat kami lihat langsung dari tempat kami, dia sedang menanam benih padi di sawahnya. "Kemarin, ketika kita tiba, petani itu membajak dan menggarap sawah dengan giat. Hari ini dia menyemaikan benih dengan cepat. Besok dia akan mengatur air ke saluran irigasi secepat mungkin kemudian menghentikannya. Tetapi petani itu tidak mempunyai kekuatan gaib atau kekuatan untuk mengatakan, 'Biarkanlah tanaman saya tumbuh, besok berbuah dan lusa dapat dituai', Apa yang menyebabkan tanaman itu tumbuh berbuah dan masak?" "Tergantung pada musim, Guru. Jika musimnya tiba, tanaman itu akan tumbuh berbuah dan masak." "Demikian juga halnya dengan bhikkhu yang melatih diri dalam kebijaksanaan dan pikiran serta pandangan batin yang lebih tinggi, dia tidak mempunyai kekuasaan untuk mengatakan. 'Biarkan pikiran saya bebas dari kegelapan batin hari ini; Biarkan ia bebas besok dan lusa.' waktu yang membebaskannya, bukan dirinya sendiri. Dirinya yang melaksanakan latihan itu, tetapi kapan ia dapat terbebas, bukan dia yang menentukan." Pada saat Sang Buddha sedang berbicara, Ambapali dan pelayannya datang mendekat. Dia berpakaian putih sederhana seperti pengikut biasa lainnya dan bersujud kepada Sang Buddha. Bhikkhu muda tadi menunduk untuk mencegah melihat langsung Ambapali. "Tuan yang mulia," Suaranya gemetar karena terdorong emosi. "Saya telah menikmati segala kesenangan duniawi. Saya memperoleh apa yang dikatakan orang lain bagus tetapi ternyata hanya membawa penderitaan dan kehampaan. Saya merasa diri saya tidak berarti sama sekali kecuali seseorang yang hanya memainkan bagian dari babak drama yang bodoh yang penuh dengan nafsu yang akhirnya akan hancur dan mati. Saya ingin bebas dari lingkaran kehidupan yang menyedihkan ini." "Anakku," Sang Buddha berkata dengan penuh kasih dan pengertian yang seakan membukakan pintu Dhamma ke luar jangkauan dunia. "Berlindunglah dalam Dhamma. Jangan berlindung pada yang lain, karena kamu dapat menemukan kebebasan yang kamu cari di dalam Dhamma." "Apakah ada jalan untuk menemukannya, Guru, jalan yang bahkan orang seperti saya pun dapat menempuhnya?" Suaranya penuh kesedihan, sehingga bhikkhu muda tadi menjadi tidak takut akan kecantikan seorang wanita dan kini memandangnya sebagai seorang kakak yang sangat membutuhkan pertolongan. 174 Tahun-Tahun Terakhir Kehidupan Sang Buddha "Ada, anakku, dialah jalan penyucian diri, jalan cinta kasih dan kebenaran sejati." Lalu Sang Buddha mengajarkan Empat Kesunyataan Mulia dan Delapan Jalan Utama. Ambapali mendengarkan dan mengerti; ketika Sang Buddha mengakhiri penjelasannya, dia meminta beliau untuk makan di rumahnya besok dan Sang Buddha pun setuju. Sebelum pergi dia membersihkan debu dari kaki Sang Buddha. Pada hari-hari itu, Sang Buddha sangat dihormati tidak hanya oleh Ambapali, tetapi semua orang di Vesali yang tahu akan kedatangannya segera menemuinya. Ketika bangsawan-bangsawan Licchavi mendengar hal itu, mereka segera memerintahkan untuk menuju ke hutan mangga Ambapali. Mereka berpakaian lebih bagus daripada biasanya, pakaian mereka disesuaikan dengan warna kulit masing-masing. Yang hitam berpakaian warna gelap dan permata berkilauan, yang putih berpakaian warna cerah dan perhiasan, yang warna kulitnya kemerahmerahan berpakaian warna merah dengan permata ruby merah tua. Benar-benar pemandangan yang menakjubkan. Mereka bertemu Ambapali yang baru pulang dari hutan mangga. Dia berdiri dengan bangga di keretanya dan memerintahkan pelayannya untuk tetap melaju di tengah-tengah jalan, jadi ia berada di antara kereta-kereta bangsawan-bangsawan Licchavi. Pemimpin bangsawan-bangsawan itu berkata: "Ambapali, kenapa Anda berjalan melawan kami?" "Tuanku," dia menjawab dengan riang. "Saya telah mengundang Sang Buddha dan siswa-Nya untuk makan di rumah saya besok. Dan beliau akan datang!" Bangsawan itu tidak menghiraukan kalimat Ambapali dan seorang di antaranya berseru sambil tertawa, "Ambapali, biarkan kami yang menjamu Sang Buddha dan kami akan mengganti seratus ribu, beliau lebih cocok dengan tingkat kami, sebab beliau dilahirkan sebagai seorang bangsawan, beliau lebih sesuai makan bersama kami." "Tuanku," dia menjawab dengan gembira, "Walaupun Anda menyerahkan Vesali dan segala isinya, saya tidak akan melepaskan kehormatan yang telah saya peroleh ini." Kemudian bangsawan Licchavi mengembangkan tangannya dan berkata putus asa. "Kita telah dikalahkan gadis mangga ini!" Ambapali langsung pulang untuk mempersiapkan makanan dan bangsawan Licchavi pun memasuki hutan mangga; begitu mereka muncul, Sang Buddha berkata kepada kami: 175 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru "Jika kalian belum pernah melihat pakaian para dewa, maka lihatlah pakaian bangsawan-bangsawan muda itu. Tetapi ingatlah kendalikan pikiranmu, jangan sampai dikuasai nafsu duniawi." Mereka bersujud dengan hormat dan Sang Buddha bertanya apakah mereka mendengarkan nasehat-Nya untuk memimpin pemerintahannya dengan baik. Ternyata mereka semua melaksanakannya dengan baik. Kemudian Sang Buddha pun memberikan khotbah dhamma kepada mereka. Ketika beliau mengakhirinya, mereka mengundang Sang Buddha untuk makan keesokan harinya. "Besok saya sudah janji untuk makan di tempat Ambapali." "Tetapi Yang Mulia," salah satu di antara mereka berseru. "Anda adalah seorang pangeran seperti kami, Anda harus makan bersama kami. Ambapali hanya seorang pelacur." "Dalam dhamma, tidak ada pangeran atau pun pelacur, tidak ada laki-laki atau pun wanita. Besok saya dan para bhikkhu akan makan di tempat Ambapali." Bangsawan Licchavi kembali mengangkat tangannya dan berseru putus asa. "Jadi kami benar-benar dikalahkan oleh gadis mangga ini! Dan gadis mangga ini telah menghambat kami!" Lalu mereka berterima kasih kepada Sang Buddha dan pamit. Kemudian saya mendengar bahwa malam itu Ambapali tidak dapat tidur membayangkan kehormatan yang diperolehnya karena Sang Buddha menerima undangannya, sebelum malam usai, dia telah bangun dan menyiapkan sendiri nasi dan kue-kue. Ketika kami tiba, ia sendiri yang melayani kami dan setelah selesai makan dia mengambil sebuah bangku rendah dan duduk di samping Sang Buddha mendengar uraian beliau tentang segala sesuatu yang tidak kekal dan akan hancur. Sebelum kami pergi, dia menghadiahkan hutan mangganya untuk Sangha dan berkeinginan keras menjalankan Dhamma. Tetapi seperti yang mungkin telah kalian dengar, sebelum Sang Buddha wafat dan setelah mendengarkan khotbah dari putranya sendiri, Ambapali telah menjadi bhikkhuni dan mempelajari tentang hukum ketidakkekalan berobyek pada tubuhnya yang tak kekal, dan kemudian mencapai pandangan terang. ****************************** Yasa, pertemuan dengan Ambapali dan bangsawan Licchavi adalah saat yang menyenangkan sebelum meningggalnya Sang Buddha. 176 Tahun-Tahun Terakhir Kehidupan Sang Buddha ******************************* Dari hutan mangga Ambapali kami menuju Beluva, desa kecil pada kaki bukit dekat Vesali. Musim hujan segera akan tiba, Sang Buddha mengatakan para bhikkhu harus menetap di vihara, masingmasing harus disertai temannya, sedangkan saya dan beliau sendiri tinggal di desa. Ketika musim hujan tiba, beliau jatuh sakit, yang hampir mengakibatkan beliau wafat. Beliau menyadarinya dengan kesadaran penuh tanpa keluhan, sedang saya menjaganya seperti ibu yang menjaga anak tunggalnya, tanpa mengatakan perasaan saya yang sedih. Suatu hari beliau agak sehat dan saya sangat gembira, dan beliau berkata: "Dalam keadaan tubuh yang sakit ini, Ananda, sebenarnya saya sedang memasuki arus Nirvana, kedamaian teragung di saat tubuh akan terurai, besar godaan untuk segera meninggal saja saat ini, tetapi saya pikir tidaklah benar jika saya pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal pada para siswa dan memberikan khotbah mengenai kehidupan seorang Brahmana. Jadi, dengan keinginan yang kuat itu, Ananda, saya mengalahkan rasa sakit dan perasaan itu pun menghilang." Sang Buddha berkata apa adanya. Tetapi Yasa, apakah kamu pernah membayangkan apa yang akan dilakukan bumi ini jika ia tahu bahwa matahari segera akan terbenam dan tidak akan pernah terbit lagi — kegelapan tanpa akhir, kematian. Begitulah perasaan yang timbul pada saya saat Sang Buddha berkata demikian. Keesokan harinya beliau keluar dan saya berusaha melindungiNya. Saya berkata kepada beliau: "Guru, saya tahu keadaan tubuh Guru dan sekarang saya mengetahui betapa besar penderitaan Guru, dan melihat keadaan Guru saya menjadi lemas dan pikiran saya terasa mati. Satu hal yang saya inginkan adalah bahwa Guru tidak akan meninggalkan kami sebelum memberikan petunjuk tentang Sangha." Suara Sang Buddha sangat lemah ketika menjawab: "Apakah Sangha mengharapkan ini dari saya? Jika ada yang berpikir bahwa ia mampu memimpin Sangha atau Sangha bergantung kepadanya, maka dialah yang harus memberikan petunjuk," suara-Nya ditegaskan ketika beliau melanjutkan, "Tetapi saya tidak berpikir bahwa sayalah pemimpin Sangha atau Sangha bergantung kepada saya. Saya mengajarkan kebenaran tanpa membedakan doktrin eksoterik dan 177 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru esoterik. Saya telah mengajarkan semuanya dan tidak ada yang saya sembunyikan. Saya tidak mempunyai rahasia yang harus diturunkan dari seorang guru kepada siswanya. Kebenaran itu terbuka bagi siapa saja yang dapat mengerti. Kamu harus menjadi pelita bagi dirimu sendiri, jangan bergantung kepada hal-hal di luar dirimu, jangan bergantung pada pemimpin atau guru. Lihatlah dirimu, kamu adalah Buddha!" "Oh, Guru, jangan tinggalkan kami." Saya memohon "Ananda," beliau tersenyum seperti biasanya, "saya sudah tua dan cukup berumur. Perjalanan saya sudah hampir berakhir. Saya sudah berusia 80 tahun. Batas usiaku telah tiba, dan seperti kereta pedati itu yang hanya dapat berfungsi bila diberi perhatian ekstra, demikian juga tubuh saya ini," kata beliau sambil menunjuk kereta pedati tua yang terguncang-guncang di jalan, tetapi saya tidak gembira dengan kiasan itu. "Guru, jangan bercanda, jangan tinggalkan kami!" "Ananda," beliau berkata lebih serius, "Tidakkah kamu sadari bahwa hanya pada saat saya tidak larut dalam hal-hal di luar dan tenggelam dalam konsentrasi, tubuh ini terasa baik? Apakah kamu ingin tubuh yang telah sakit ini bertahan lebih lama lagi?" "Tidak, Guru, tetapi siapa yang akan mengajarkan Dhamma kalau Guru pergi?" "Oh, Ananda, bukankah saya telah lama memgajarkan bahwa kamulah yang menjadi pelita bagi Dirimu sendiri? Tidakkah kamu mengerti? Berlindunglah pada Dirimu sendiri, Diri yang ada di dalammu, pada tubuh yang akan rusak ini. Janganlah mencari perlindungan lain. Berpeganglah pada Dhamma; janganlah beralih pada pelita yang lain. Apakah Dhamma itu? Kamu harus menemukannya sendiri." "Tetapi saya yang begitu bodoh, bagaimana dapat menemukan perlindungan, pelita dalam diriku?" Betapa kekanak-kanakan pertanyaan saya,—Saya yang dikenal sebagai pengkhotbah dhamma—, tetapi betapa kekanakan kesalahan yang diperbuat bila seseorang dikuasai keegoisannya! Sang Buddha, tanpa menghiraukan kata-kata saya menjawab, "Ananda, yang kamu perlukan hanyalah kesadaran. Tidak hanya kepadamu, tetapi juga kepada yang lain, saya katakan bahwa kamu memiliki pikiran, kata-kata dan perbuatan yang baik, karena Ananda, kamu belum pernah mengeluarkan kata-kata kasar, pikiran membenci dan kamu selalu berusaha tanpa keegoisan. Tetapi Ananda jika kamu ingin mengatasi kesedihan yang timbul dari perasaan menyayangi, 178 Tahun-Tahun Terakhir Kehidupan Sang Buddha kamu harus belajar untuk tetap sadar, sadar saat pikiran dan perasaan tersebut timbul. Pisahkan diri darinya dan perhatikanlah, maka kamu akan mengerti bahwa pikiran ataupun perasaan itu hanyalah kemelekatan pada diri yang bukan Diri yang sebenarnya. Berlindunglah pada Dirimu yang sejati, Ananda, jangan pada saya ataupun pada tubuh yang akan hancur dan juga pada pikiran saya." "Kematian bukanlah sesuatu yang luar biasa karena semua makhluk hidup akan mengalaminya. Kamu telah sering bertanya kepada saya mengenai kehidupan setelah kematian. Pertanyaanpertanyaan itu sebenarnya tidak berguna, karena saya telah mengajarkan kepadamu jalan untuk mengatasi kematian. Dengan mengerti jalan itu, seseorang akan terbebas dari lingkaran kelahiran yang tak berakhir. Orang yang demikian tidak akan pernah ingin tahu lagi apa yang akan terjadi jika kehidupannya di bumi telah berakhir." "Dapatkah saya mencapai kebahagiaan tertinggi itu dan menemukan Nirvana?" "Dapat Ananda, setiap orang akan mencapainya bila ia menjadi pelita bagi Sang Diri. Jadi apakah saya masih hidup atau mati adalah sama saja. Siapa saja yang menjadi pelita bagi Sang Diri akan dapat tiba di puncak, tetapi ia harus benar-benar berusaha untuk itu." 179 Wafatnya Sang Buddha (Lanjutan Cerita Ananda) Keesokan harinya kami menuju tempat suci di Kapala. Di sana kami duduk sebentar memandang padang luas, di mana terlihat para petani sedang memisahkan hasil panen. Desa kecil itu terletak di antara Hutan Mangga yang hijau. Apabila udara tidak kering, maka sungai kecil akan senantiasa mengalir di kaki pohon palem. Burung-burung pun beterbangan gembira dan hinggap di pepohonan yang buah-buahnya yang masih hijau mulai kelihatan, sementara lembu-lembu memamah biak di bawah pohon bambu raksasa. "Vesali sangat mengagumkan!" Sang Buddha berkata dengan kagum, "dan tempat-tempat suci seperti Vihara Udena dan Gotamaka— sangat indah dunia yang maya ini! Para peramal selalu berusaha untuk memperpanjang hidupnya. Tapi ini adalah suatu kebodohan!" Aku sangat takut dan tidak dapat berpikir jernih karena ajal Sang Buddha telah dekat. Seketika kemudian aku sadar bahwa Sang Buddha telah menyinggung tentang memperpanjang masa hidup dan aku tidak segera memohon beliau untuk melakukannya. Lalu beliau berkata: "Tinggalkan saya sebentar, Ananda, saya ingin bermeditasi." Ketika aku menemui beliau lagi, beliau mengatakan bahwa selama beliau menyendiri tadi, Mara, keinginan terhadap kepuasan diri, yang telah menggodanya selama empat puluh lima tahun, sekarang kembali lagi menggoda-Nya. "Tubuh saya lemah dan sakit, Ananda, dan Mara kembali mengingatkan saya mengenai janji saya sewaktu mencapai penerangan sempurna di bawah pohon Bodhi (Nigrodha) di tepi sungai Neranjara. Dengan mencapai penerangan sempurna berarti saya telah memperoleh suatu kebahagiaan tertinggi, dan mara menggoda saya untuk hidup menyendiri sebagai pertapa dan menikmati sendiri kebahagiaan yang telah saya peroleh. Saya memberitahukan Mara bahwa saya tidak akan menyendiri, ataupun berhenti berusaha menunjukkan jalan kebahagiaan sampai adanya anggota Sangha dan umat biasa yang hidup sesuai dengan Dhamma dan dapat meluruskan ajaran lain yang menyesatkan. Ketika saya bermeditasi tadi Mara mengatakan keadaan saya sekarang sudah cukup memadai untuk meninggalkan dunia ini. Saya mengatakan kepadanya bahwa saya masih akan hidup tiga bulan lagi, jadi dia akan gembira setelah saat itu tiba." Sang Buddha berkata dengan sedikit bercanda dan santai, tetapi bagiku kata-kata beliau adalah harapan terakhir. Aku berkata dengan 180 Wafatnya Sang Buddha kalut: "Guru maukah Guru bertahan lebih lama lagi di dunia ini?", setelah berpikir sejenak aku kemudian menambahkan, "demi kebahagiaan seluruh makhluk hidup dan para dewa?" "Cukup, Ananda," beliau berkata dengan lembut tapi tegas, "permohonan seperti itu adalah kebiasaan yang telah berlalu. Dengan kesadaran penuh tanpa mementingkan keinginan pribadi, saya telah memilih waktu untuk meninggalkan dunia ini." Aku memohon untuk kedua kalinya, lalu beliau berkata: "Apakah kamu yakin pada kebijaksanaan si Penerang Sempurna?" "Oh, Guru! Guru tahu saya sangat yakin." "Lalu kenapa kamu membujuk saya untuk kedua kalinya lagi, Ananda?" "Saya sangat mencintai Guru, dan saya pernah mendengar dari Guru sendiri bahwa mereka yang mempunyai kekuatan gaib dapat memperpanjang usianya sendiri." "Saya selalu mengatakan padamu, Ananda. Seseorang yang telah memperoleh kekuatan gaib dapat saja memperpanjang usianya. Tetapi Ananda, tidakkah saya pernah memberitahukanmu bahwa segala yang kita cintai dan dekat dengan kita kelak akan berpisah? Segala sesuatunya adalah tidak kekal. Bagaimana mungkin suatu makhluk hidup abadi, walaupun usianya diperpanjang? Saya telah memutuskan, Ananda, jangan bertanya lagi. Tiga bulan lagi saya akan meninggal." Aku tidak dapat menerima keputusan Sang Buddha dan terus menyalahkan diri sendiri karena menyia-nyiakan kesempatan ketika Sang Buddha sedang menikmati indahnya tempat-tempat suci di pinggiran kota dan menyinggung mengenai perpanjangan usia. Aku terus menerus memikirkan kesempatan yang aku biarkan berlalu itu dan menyalahkan diri sendiri hingga akhirnya aku rasa Sang Buddha juga memahami rasa bersalahku tersebut. Setelah itu, kami masih mengunjungi banyak tempat dan Sang Buddha mengajarkan Dhamma kepada Sangha serta umat. Kemudian kami tiba di Pava. Cunda, seorang tukang besi tinggal di tempat ini. Sebelumnya dia sendiri adalah seorang pemuja upacara kurban, kemudian akhirnya dia mempelajari Dhamma untuk mencapai kesucian hidup. Sekarang Sang Buddha berdiam di hutan mangga milik Cunda. Cunda pun mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu untuk makan di rumahnya. Aku tidak menemani Sang Buddha ke rumah Cunda karena beliau memerintahkan aku untuk melakukan sesuatu hal, selanjutnya aku hanya mendengar berbagai cerita yang terjadi. Ada yang mengatakan bahwa Cunda telah menangkap dan membunuh babi kecil, ada yang mengatakan dia menyediakan daging babi 181 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru panggang, tetapi keduanya tidak benar karena Cunda menjalani hidup sebagai umat awam dan telah bertahun-tahun tidak pernah makan daging. Ada yang mengatakan dia mempersembahkan sejenis jamur yang seperti daging babi yang sulit dicerna manusia. Aku mendengar mereka berkata bahwa Sang Buddha mengetahui bahwa selain nasi dan kue-kue, makanan lain tidak baik, jadi beliau tidak mengizinkan bhikkhu-bhikkhu lain memakannya, tapi karena ingin menjaga perasaan Cunda, beliau sendiri yang memakannya. Setelah makan Sang Buddha sakit perut. Aku kembali mengobatinya, penyakit beliau sedemikian parah sehingga kelihatannya seperti akan meninggal, tetapi waktu tiga bulan lagi yang diramalkan-Nya masih belum berakhir. Saat mengobati beliau, aku sungguh bahagia, tetapi kebahagiaan itu bercampur dengan kekesalan terhadap karma yang akan segera memisahkan kami, walaupun aku tahu itu berarti akhir penderitaanNya. Setelah kesehatan beliau membaik, kami berangkat menuju Kusinara. Udara sangat panas. Tanah yang berlumpur menjadi tandus dan sungai yang kecil menjadi kering sedang sungai besar hanya mengalirkan air sedikit saja. Sang Buddha membutuhkan banyak istirahat, lalu aku pun mengipas-ngipas beliau untuk mengusir lalat yang banyak sekali beterbangan di sekeliling kami. Seharusnya aku mengharapkan beliau menikmati sejuknya Nirvana dalam cuaca yang demikian panas ini, tetapi tidaklah demikian adanya. Ketika aku menghamparkan jubah agar beliau dapat beristirahat, Sang Buddha diserang kehausan yang teramat sangat dan Beliau menyuruh aku untuk mengambil air. Aku protes. "Sang Buddha, sungai terdekat hanya ada satu dan telah dilewati kereta pedati dan lembu sehingga airnya sangat keruh dan kotor. Tak jauh dari sini ada sungai Kakuttha yang airnya bersih dan segar di mana Guru dapat sekaligus minum, mencuci kaki dan tangan." Tetapi beliau berkata kembali: "Tolong ambilkan air dari sungai ini saja. Aku sudah kehausan." Aku pergi ke sungai dan aneh! Walaupun telah dilewati banyak pedati dan lembu, airnya mengalir tetapi jernih dan bersih, bebas dari lumpur. Ini benar-benar suatu keajaiban. Tetapi, tentu airnya mengalir lebih deras dari apa yang aku duga. Sang Buddha dapat saja menggunakan kekuatan-Nya bila beliau merasa perlu, tetapi jarang sekali beliau mau menggunakannya karena hal ini bukanlah jalan benar ke Nirvana yang telah ditemukan-Nya. Setelah menyeberangi sungai, kami bertemu Pukkusa, seorang Suku Malla, yang mengatakan bahwa dia sangat kagum pada orang 182 Wafatnya Sang Buddha yang mempunyai tingkat tinggi dalam meditasi, yang dapat hidup tenang penuh kebahagiaan walaupun di sekelilingnya penuh ketidaktenangan. "Memang benar," Sang Buddha mengiyakan, "Ia bukan hanya mampu mengatasi suara badai, kilat dan guntur, tetapi lebih dari itu, ia akan mampu hidup damai di tengah badai kesedihan dan penderitaan." Kemudian, Pukkusa yang ingin menghormati Sang Buddha, mempersembahkan jubah-jubah baru yang indah berwarna keemasan dan Sang Buddha juga membaginya untuk aku. Ketika Sang Buddha mengenakan jubah itu, seluruh tubuhnya memancarkan sinar berkilaukilauan sehingga jubah berwarna emas itu sendiri kelihatan pucat. Mata beliau bersinar dan aku tidak tahan menatap-Nya lebih lama, benarbenar pancaran cahaya keagungan. Aku bertanya: "Guru, mengapa seluruh tubuh Guru bersinar demikian agung?" Beliau menjawab: "Malam ini Sang Penerang Sempurna akan memasuki arus nirvana di hutan mangga suku Malla. Sekarang mari kita pergi ke Sungai Kakuttha." Sang Buddha berkata tenang seperti tidak akan terjadi sesuatu hal. Tetapi aku bagaikan disambar petir. Aku menjadi lemas sampai tak mampu melayani beliau. Ketika kami tiba di tepi sungai, kami bertemu bhikkhu-bhikkhu lain dan Kandaka mencari tempat yang sesuai untuk Sang Buddha. Kemudian Sang Buddha minum dan mandi di sungai. Di sisinya adalah Kandaka, bukan aku, yang sedang menghamparkan jubahNya untuk istirahat. Beliau berbaring dengan posisi kanan, dalam posisi singa, dan bermeditasi dengan tenang. Ketika tiba waktunya untuk bangkit, beliau memanggilku dan berkata: "Ananda, orang-orang mungkin akan menyalahkan Cunda, si tukang besi karena setelah makan di rumahnya, saya meninggal. Ananda, setelah saya meninggal, temuilah Cunda dan katakan padanya bahwa dia sangat beruntung karena dia dapat menjamu saya untuk yang terakhir kali sebelum saya wafat. Katakan bahwa kamu mendengar langsung dari saya bahwa ada dua pahala yang terbaik bagi si pemberi persembahan makanan, yakni sebelum saya mencapai penerangan sempurna dan sebelum saya meninggalkan dunia yang tidak kekal ini. Katakan pada Cunda bahwa dia telah menanam suatu karma baik dan akan lahir di alam surga." Aku dihantu kegelisahan, "Saya tidak mampu, Guru, demi Cunda maukah Guru bertahan hidup?" Sang Buddha memandangku dengan kelembutan yang sulit dimengerti. Rasa belas kasih kepada Cunda menyelimutiku. Dan tentu 183 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru saja aku tidak akan menyakiti dia. Aku akhirnya menjawab perlahan: "Baiklah, Guru." Setelah Sang Buddha istirahat, kami menuju Hutan Sala di Kusinara Suku Malla yang terletak pada sepanjang sungai. Aku membuat sebuah dipan untuk Sang Buddha, yang terletak di antara dua pohon Sala kembar dengan menghadap ke utara. Beliau berbaring dengan posisi kanan dan bermeditasi. Para dewa menyebarkan bungabunga dan musik surga terdengar di angkasa. Pohon-pohon sala pun berbunga walaupun bukan pada musimnya; udara hangat dipenuhi dengan bau wewangian. Bunga-bunga berjatuhan dan mengenai Sang Buddha. Salah satu bhikkhu mengatakan pohon-pohon sala pun ingin memberi hormat kepada-Nya. "Mungkin," Sang Buddha berkata: "tetapi bukan dengan cara demikian saya dihormati. Saya dihormati bila para bhikkhu, bhikkhuni dan para umat awam hidup dalam Dhamma." Ketika menyadari Sang Buddha semakin mendekati akhir hidupnya, bhikkhu yang belum mencapai pembebasan menangis sedih sambil berkata: "Terlalu dini, terlalu dini untuk Sang Penerang Dunia meninggalkan kita." Tangisan bhikkhu-bhikkhu itu mengoyahkan aku lagi dan aku berkata seperti anak kecil yang bodoh: "Apa yang harus kami lakukan dengan tubuh Guru setelah Guru meninggal? Bagaimana kami menghormatinya?" Beliau memandang bhikkhu-bhikkhu yang menangis itu dan berkata: "Jangan menyulitkan diri dengan menghormati sisa-sisa tubuh ini. Banyak orang-orang suci yang akan mengatur abu-abu saya." Lalu beliau beralih padaku, "Bersemangatlah, Ananda, laksanakan Dhamma, capailah penerangan dan pembebasan, dengan demikian kamu telah menghormati saya." Tetapi akhirnya aku juga ikut bersedih seperti bhikkhu-bhikkhu yang menangis itu. Aku memisahkan diri dan bersandar pada pintu masuk dan menangis, dan aku mengingatkan diri sendiri bahwa aku masih harus mempelajari jalan menuju Nirvana, tetapi Sang Buddha sudah akan pergi, beliau begitu baik. Beliau menyadari aku menjauhinya, beliau kemudian memanggilku lalu berkata dengan lembut dan sabar: "Jangan menangis, Ananda, bukankah selalu saya katakan bahwa hakekat dari segala sesuatu yang dekat dan kita cintai adalah bahwa suatu saat kita akan berpisah darinya? Kamu dekat dengan saya begitu lama dan tidak pernah bertingkah. Kamu dekat dengan saya dalam kata-kata maupun pikiran yang penuh belas kasih, dan kebaikan yang 184 Wafatnya Sang Buddha tak dapat diukur oleh apapun. Semua perbuatan kamu baik, Ananda. Berjuanglah dengan baik, maka kamu akan segera bebas dari keterikatan." Lalu Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu, "Ananda adalah orang yang bijaksana. Dia mengetahui saat yang tepat untuk bertemu dengan saya dan kesempatan yang tepat bagi orang lain untuk menemui saya. Dia selalu tahu siapa yang siap menerima Dhamma. Tidakkah kalian perhatikan bahwa para bhikkhu, bhikkhuni dan umat sangat bahagia bila Ananda memberikan khotbah dan mereka akan sedih bila dia diam?" Tetapi aku masih belum dapat menghilangkan perasaan sedih dan aku pun memohon, "Guru, janganlah meninggal di hutan kota kecil ini. Masih ada kota-kota besar seperti Rajagaha, Savatthi, Kosambi dan Benares di mana banyak orang-orang suci akan menghormati Guru." Benar-benar bodoh! Bagaimana aku sampai bisa memikirkan hal-hal yang sedemikian tidak bermanfaat? Apakah aku bermaksud untuk memperpanjang usianya jika beliau melakukan perjalanan lebih jauh? Beliau tersenyum sabar dan berkata, "Jangan berkata demikian, Ananda; pada tempo dulu kota ini adalah kota besar, dan pada saat mendatang kota-kota besar sekarang ini sudah seperti debu!" Nada suaranya berubah, aku rasa beliau hendak menghapus kebodohanku sebelum beliau meninggal. Beliau berkata, "Ananda, suku Malla akan sedih jika Sang Penerang Sempurna meninggal di antara mereka tanpa sepengetahuan mereka. Jadi pergilah dan katakan kepada mereka bahwa pada saat jaga yang terakhir malam ini, Sang Penerang Sempurna akan meninggal dan mereka boleh datang menyaksikannya sebelum saat itu berlalu." Ini adalah pelayanan terakhir yang dapat aku lakukan untuk Guru dan berbuat kebaikan untuk suku Malla. Aku menyingkirkan perasaan sedih ini seperti seorang pendaki yang membuang beban yang tak berguna agar meringankan bebannya. Aku berangkat dengan ditemani seorang bhikkhu menuju Kusinara, menyampaikan pesan Sang Buddha. Bulan purnama bersinar dengan indahnya di balik pohon sala ketika mereka tiba dengan anak istri serta pelayan mereka. Aku sadar jika mereka satu persatu menghormati Sang Buddha, malam akan merangkak menuju pagi buta dan beliau akan memasuki kedamaian Nirvana sebelum mereka semua melihatnya, sehingga aku mengatur mereka dalam kelompok-kelompok keluarga, para wanita didahulukan, dan akhirnya mereka semua sempat menemui dan menerima pemberkahan Sang Buddha saat jaga pertama malam itu berlalu. 185 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru Pada waktu itu, ada seorang pengelana yang sedang menetap di Kusinara bernama Subhadda. Dia bukan pengikut Sang Buddha, tetapi ketika dia mendengar Sang Buddha akan meninggal pada malam itu di Hutan Sala, dia datang kepadaku mengatakan bahwa dia mendengar dari pengelana tua bahwa seorang Buddha sangat jarang sekali muncul di dunia. Dia agak ragu apakah Sang Buddha bersedia menerimanya. Oleh karena itu dia meminta kesempatan berbicara dengan Sang Buddha di saat yang sudah agak terlambat ini. "Sang Buddha sedang beristirahat, jangan mengganggu beliau," jawabku. Subhadda memohon dua kali dan dua kali pula aku menolaknya. Tetapi Sang Buddha yang mendengarnya memanggilku dan berkata: "Jangan melarangnya, Ananda. Dia benar-benar ingin mencari tahu. Dia tidak main-main. Dia akan segera mengerti; biarkan ia menemuiku." Aku malu karena hanya memikirkan kesedihan sendiri sedangkan Sang Buddha yang sudah berada di tempat tidur terakhirnya masih memikirkan kebahagiaan orang lain tanpa memikirkan diri sendiri. Aku membawa Subhadda menemui Sang Buddha dan Subhadda berkata: "Para petapa dan brahmana penemu doktrin dan orang bijaksana yang dihargai oleh semua orang seperti Purana Kassapa, Makkhali, Ajita, Nataputta dari Nigantha dan yang lainnya, menurut ajaran mereka, mengerti tentang segala sesuatu. Sekarang saya ingin tahu, apakah mereka atau sebagian dari mereka telah benar-benar mengerti segala sesuatu?" "Subhadda," jawab Sang Buddha, "Apa yang dinyatakan orangorang ini mengenai doktrin mereka bukanlah suatu patokan. Di mana ada doktrin yang mempunyai Delapan Jalan Utama secara keseluruhan, maka di situ akan ditemukan seorang suci yang benarbenar terbebas. Pada doktrin lain yang tidak ditemukan Delapan Jalan Utama secara keseluruhan, tidak akan dapat ditemukan seorang suci yang sejati." "Katakanlah Delapan Jalan Utama kepada saya, Guru." Lalu Sang Buddha mengajarkan jalan itu dan Subhadda pun menyakininya dan Sang Buddha sendiri yang menerimanya sebagi anggota Sangha. Dialah yang terakhir dari beribu-ribu orang yang telah disadarkan langsung oleh Sang Buddha. Setelah Subhadda diterima sebagai anggota Sangha, Sang Buddha berkata: "Ananda, jika Sangha merasa kurang cocok, maka peraturanperaturan kecil boleh diabaikan." Lalu beliau berkata kepada para bhikkhu, "Jika ada yang ragu-ragu, boleh bertanya sekarang." Semuanya diam dan Sang Buddha melanjutkan, "Mungkin kalian segan berbicara 186 Wafatnya Sang Buddha karena saya adalah guru kalian; kalau demikian anggaplah saya sebagai sahabat." Tetapi para bhikkhu masih diam. Aku merasa sedikit gembira dan berkata: "Tidakkah mengagumkan Guru, bahwa di dalam Sangha tidak ada satu pun bhikkhu yang ragu-ragu terhadap Dhamma?" "Terlepas dari keyakinanmu akan kata-katamu, Ananda, tetapi apa yang kamu katakan memang benar, karena saya dapat melihat ke dalam hati kecil mereka walaupun saya sedang memasuki arus Nirvana." Suasana hutan sangat tenang ketika Sang Buddha berbaring di atas dipannya, di antara pohon Sala kembar dengan kepala menghadap ke utara dan bulan purnama bersinar terang di selatan dan langit tak berawan. Hari yang panas telah berlalu, dan malam pun semakin dingin, sesejuk Nirvana. Mata-Nya memandang pengikutnya dengan penuh cinta kasih, matanya bersinar keagungan seperti yang pernah aku rasakan sebelumnya. Kemudian seluruh wajah dan seluruh tubuhnya ikut bersinar, sehingga tidak seorang pun dapat memandangnya langsung, semuanya menundukkan kepala saat cahaya terang yang bukan berasal dari rembulan memenuhi seluruh hutan. Sang Buddha bersuara untuk yang terakhir kali, "Semuanya, berjuanglah untuk mencapai pembebasan." Itulah kata-katanya yang terakhir di antara desiran pohon Sala. Setelah Sang Buddha menutup mata, para bhikkhu masih bersujud penuh keheningan sampai sinar terang mulai menghilang. Kemudian Anuruddha bangkit dan berkata: "Sang Buddha telah pergi. Beliau telah mengalahkan penderitaan dan kematian dan telah memasuki kedamaian dan Nirvana." Para bhikkhu yang belum bebas dari keterikatan duniawi menangis tersedu. Tetapi bhikkhu yang telah mencapai pembebasan tidak menangis. Anuruddha berpaling kepada mereka yang menangis. "Jangan meratap. Bukankah Sang Buddha telah mengajarkan kepada kita bahwa yang lahir pasti akan mati, segala yang dekat dengan kita maupun yang kita cintai kelak akan berpisah dari kita?" Aku tidak termasuk salah satu dari mereka yang menangis. Kedamaian yang aneh menyusup dalam diriku. Tubuh Sang Buddha telah mati, tetapi ajaran-Nya tidak. Bukan tubuhnya, tetapi ajaran-Nya yang membuat-Nya menjadi pelita dunia dan pelita dunia tak akan pernah padam. Aku mengasingkan diri di bayangan pohon. Anuruddha mengikutiku dan kami berdiskusi mengenai hal ini pada malam itu. Jika kita telah melekat pada hal duniawi maka Nirvana akan semakin 187 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru jauh. Jika Sang Buddha hidup lebih lama, aku rasa beliau akan menjauhkan aku dari-Nya agar aku dapat menemukan Nirvana. Ketika pagi tiba, atas usul Anuruddha, aku pergi untuk mengumumkan kepada suku Malla mengenai berita wafatnya Sang Buddha. Mereka datang dan menangis dengan ratapan yang lebih memilukan, serta menghormati jasad Sang Tathagata, Sang Penerang Sempurna, dan mengawetkan jasad Sang Buddha hingga tibanya hari untuk dikremasikan. Karena mereka masih belum menentukan hari kremasi, mereka masih melanjutkan kebaktian dan penghormatan terakhir. Sebelum hari ketujuh, mereka telah membangun kayu bakar untuk kremasi dan menempatkan tubuh Sang Terbahagia di atasnya. 188 Epilog: Setelah Wafatnya Sang Buddha Demikianlah akhir kisah tahun-tahun terakhir kehidupan Sang Buddha yang aku dengar dari Ananda, siswa yang paling dekat denganNya. Apa yang terjadi selanjutnya, aku saksikan sendiri karena sebelum acara pengkremasian, Maha Kassapa dan anggota Sangha lainnya, termasuk aku di dalamnya telah tiba di Kusinara. Setelah kami mengadakan penghormatan terakhir, kayu bakar mulai dinyalakan, membakar jasad Sang Pelita Dunia. Ketika Raja Ajatazattu mendengar berita mengenai mangkatnya Sang Buddha dia segera meminta relik Sang Buddha untuk disimpan dalam suatu tugu khusus. Kemudian banyak lagi yang berdatangan dengan permintaan yang sama, dan suku Malla menjadi marah karena Sang Buddha meninggal di tempat mereka, sehingga semua relik beliau dianggap milik mereka. Kemudian seorang brahmana bernama Dana bangkit dan berkata: "Sang Buddha mengajarkan kita untuk mengendalikan nafsu. Jadi tidak seharusnya kita berselisih memperebutkan jasad-Nya. Mari kita bersatu dan membagi rata semua relik ini." Kata-kata Dana disetujui mereka sehingga dia diberi wewenang untuk membagi relik Sang Buddha. Kemudian mereka semua membangun tugu peringatan khusus untuk menyimpan relik tersebut. Tetapi hanya satu peringatan yang akan membahagiakan Sang Buddha yaitu dengan hidup dalam Dhamma, dan inilah yang akan kuuraikan sebelum aku mengakhirinya. Pertama, bagaimanapun aku harus menceritakan tentang Persamuan Agung yang dipimpin Kassapa dan pengumpulan peraturan-peraturan Vinaya dan prinsip-prinsip dalam Dhamma. Dalam perjalanan menuju Kusinara, setelah mendengar berita mangkatnya Sang Buddha, kami bertemu dengan Subhadda yang diterima sebagai anggota Sangha pada usia tua, dan Subhadda ini tidaklah sama dengan Subhadda, siswa terakhir Sang Buddha. Dia seorang yang tegas, saat dia melihat banyak bhikkhu yang menangisi Sang Buddha, ia menjadi tidak sabar dan berkata: "Saudaraku, jangan menangis. Sang Buddha tidak menyukai kemelekatan dan menangisi kematian orang yang dicintai. Kita telah sering diajarkan Guru mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan, sekarang kita harus bijaksana untuk menentukan apa yang terbaik untuk kita." Subhadda telah membelitkan kata-kata Sang Buddha sehingga sepertinya ia tidak pernah bertemu dengan Sang Buddha. Sang Buddha 189 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru tidaklah senantiasa memberitahukan kami mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan. Sebaliknya, beliau berkata, tidak hanya kepada Pajapati tetapi juga kepada yang lain, bahwa seseorang harus menemukan sendiri Dhamma dan Vinaya itu. Apa yang membimbing seseorang ke ketidakserakahan, kedamaian dan rasa cukup, itulah Dhamma, itulah Vinaya. Contohnya, beberapa orang bhikkhu suatu ketika melihat pelatih gajah yang sedang bekerja. Salah satu bhikkhu dulunya adalah pelatih gajah dan dia melihat ada kesalahan pada teknik latihan tersebut. Dia memberitahukan dan menunjukkan kesalahan tersebut, pelatih gajah itu memperhatikannya dan berhasil melatih gajah itu dengan baik. Ketika Sang Buddha mendengar hal ini, beliau mengatakan bahwa bhikkhu itu tidak seharusnya memberikan perintah terhadap pekerjaan yang sedang dilakukan seseorang. Mengapa? Karena tindakan itu dapat mengganggu jalan suci yang dilatih bhikkhu tersebut menuju pengetahuan dan kebijaksanaan yang abadi. Walaupun Sang Buddha tidak mengatakan hal ini, bhikkhu tersebut akan mengerti sendiri. Jika seseorang hendak belajar bermain kecapi, tangannya tentu tidak akan bermain dengan lincah lagi bila dia menggunakannya juga membuat pot tanah liat. Kerja para bhikkhu sama seperti pekerjaan yang membutuhkan keahlian. Selama berhari-hari, Kassapa memikirkan kata-kata Subhadda yang membuatnya khawatir tentang keberadaan Sangha di masa mendatang. Oleh karenanya, begitu selesai upacara kremasi, Kassapa mengumpulkan seluruh bhikkhu dan menganjurkan untuk mengadakan pertemuan untuk mengumpulkan kembali semua ajaran Sang Buddha, sebelum semua yang bukan Dhamma dan Vinaya tersebar luas. Semua setuju dan mereka meminta Kassapa untuk memilih bhikkhu yang sesuai untuk tujuan tersebut. Kassapa memilih sejumlah bhikkhu dan aku termasuk salah satunya. Tetapi dia tidak memilih Ananda dan ini membuat bhikkhu lain bertanya-tanya, bukankah Ananda yang paling dekat dengan Sang Buddha dan bukankah menjelang kemangkatannya Sang Buddha memuji Ananda di depan para siswa? Lagi pula semua orang menyukai Ananda karena kebaikan, kesederhanaan dan kerendahan hatinya. "Ananda tidak memenuhi syarat," kata Kassapa, "karena sebagaimana diakuinya, dia belum mencapai pembebasan yang sempurna. Bukankah dia menangis saat Sang Buddha Parinirvana? Tidakkah ini berarti bahwa dia masih terikat oleh segala yang dia sayangi dan cintai?" Aku sendiri telah mengetahui bahwa aku telah terbebas dari kemelakatan dari semua yang menyenangkan ataupun tidak 190 Epilog: Setelah Wafatnya Sang Buddha menyenangkan dan mampu menyadari hakekat dari segala sesuatu sejak bertahun-tahun yang lalu. Tetapi saat Kassapa berkata demikian, setitik kegelapan menutupi cahaya kesadaranku itu. Siapa yang dapat mengatakan seorang pria atau wanita telah mencapai pembebasan dan kesucian? Tentu tidak ada yang dapat menjamin dan kalaupun seseorang demikian yakin, orang itu sendiri pasti belum mencapai pembebasan karena orang itu belum terbebas dari "aku" dan "milikku". Ananda sangat rendah hati dan tidak menyombongkan apa yang telah dicapainya. Memang benar bahwa bila seorang telah benar-benar terbebas ia tidak akan menangis tersedu saat memikirkan kepergian Sang Buddha, tetapi seseorang yang tidak menangis tidaklah pasti berarti ia telah benar-benar terbebas dari Asava, itu bisa saja menunjukkan bahwa orang tersebut kurang mempunyai belas kasih. Pikiran keakuan yang timbul dalam diriku berakhir, aku bangkit dan berbicara dengan lembut. "Semuanya tidak benar, Yang Arya," kataku, "Ananda yang paling dekat dengan Sang Buddha dibanding kita semua, dan beliau dengan bijaksana dapat mengatasi kebencian, kebodohan atau ketakutan. Beliau yang paling banyak mempelajari Dhamma dari Sang Buddha sendiri. Dengan demikian Yang Arya, pilihlah Ananda juga." Bisikan-bisikan setuju terdengar dari peserta pertemuan tersebut, dan setelah melihat semua menginginkan Ananda ikut serta dalam pertemuan, dengan bijaksana Kassapa pun mengijinkannya. Kemudian Kassapa mengumumkan bahwa Ananda telah berjuang mencapai penerangan. Tetapi sebenarnya aku berpendapat bahwa Ananda mencapainya setelah dia berdiskusi dengan Anuruddha tak lama setelah Sang Buddha wafat. Sekarang, saat mengingat tentang kebaikan, kebijaksanaan dan kasih sayang Ananda, Mara menggodaku untuk berperasaan tidak enak kepada Kassapa, tetapi tidak ada lagi yang lain selain Kassapa yang dapat mengadakan Persamuan Agung untuk mengulang kembali sabda-sabda Sang Buddha. Peserta pertemuan telah terpilih, hanya tinggal menentukan tempat pelaksanaan. Rajagaha dianggap tempat yang sesuai karena adanya tempat menginap dan sejumlah bantuan makanan. Diputuskan bahwa bhikkhu-bhikkhu yang biasa tinggal di sana agar tidak menetap di sana agar pertemuan dapat terlaksana dengan tenang. Ketika kami tiba di Rajagaha, kami menemukan banyak tempat tinggal dalam keadaan rusak berat. Kassapa mengingatkan kami bahwa Sang Buddha pernah menyarankan untuk memperbaiki yang rusak dan selama bulan pertama kami melakukan beberapa perbaikan dan Raja Ajatazattu memberikan banyak bantuan untuk menghormati 191 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru Sang Buddha, walaupun ia dulunya telah pernah memperlakukan Sang Buddha dengan kasar. Usaha perbaikan telah selesai, kami bertemu kembali pada Gua Besar di bukit sebelah barat dan Kassapa memimpin pertemuan tersebut. Dia memanggil peserta pertemuan satu per satu untuk menyampaikan laporannya. Pertama-tama ia memanggil Upali yang lebih mengetahui Vinaya. Kassapa bertanya, peraturan mana yang perlu disebarluaskan? Upali memberitahukannya. Mengenai apa? Upali kembali memberitahukannya. Kemudian peraturan itu ditetapkan sebagai bagian dari Vinaya yang tidak terpisahkan dan termasuk beberapa peraturan kecil seperti mengenai tempat cuci dan makanan. Prosedur tersebut sedemikian terperinci sehingga aku pun heran karena Kassapa tidak memerintahkan untuk dituliskan seperti pedagang yang menuliskan rekening dan harga. Tetapi Kassapa sebelumnya adalah seorang Brahmana dan kata-kata suci selalu dilisankan, tidak pernah dituliskan sehingga merupakan rahasia. Dan Kassapa meneruskan cara brahma walaupun ia tahu tidak ada ajaran Sang Buddha yang dirahasiakan. Sebagian merasa prosedur itu tidak diperlukan. Salah satu peserta menceritakan mengenai seorang suku Vajji yang menemui Sang Buddha di Vesali, berkata: "Saya telah melafalkan 250 peraturan dua kali sebulan dan saya tidak tahan." Sang Buddha tersenyum dan berkata: "Dapatkah kamu mempraktekkan moralitas, pikiran, dan pandangan yang lebih tinggi?" Anak muda itu mengatakan bahwa ia dapat. "Bagus, dan itulah yang diperlukan. Lakukanlah, dan kamu akan bebas dari kebencian, kekejaman dan nafsu sehingga kamu tidak akan melakukan kejahatan. Peraturan hanya dibuat untuk obyek-obyek ini; jika obyek-obyek ini telah dapat dibebaskan, maka peraturan-peraturan pun tidak diperlukan lagi." Karena tidak ada peraturan pada cerita ini maka Kassapa melewatkannya dan melanjutkan pertanyaan kepada bhikkhu yang lain. Tak lama kemudian tiba giliran Ananda dan ia tanyakan mengenai Dhamma. Ananda pun menjawab, "Tentang ajaran Sang Buddha, sebelum beliau mencapai Parinirvana, beliau berpesan agar Sangha boleh meniadakan peraturan-peraturan kecil bila tidak diperlukan lagi!" "Yang Arya Ananda, apakah Anda menanyakan peraturanperaturan kecil yang manakah itu?" tanya Kassapa. "Tidak, Yang Arya, karena tidaklah terlalu sulit menentukan mana peraturan-peraturan utama dan mana peraturan-peraturan kecil." 192 Epilog: Setelah Wafatnya Sang Buddha Tetapi dalam pertemuan itu hal tersebut sangat sulit diputuskan, sehingga dilanjutkan dengan diskusi panjang. Sebagian mengatakan yang ini sebagian mengatakan yang lain, dan tidak ada satu pun yang ingat, bahwa satu jam sebelum meninggal Sang Buddha telah memberitahu Subhadda bahwa Delapan Jalan Utama adalah yang paling dibutuhkan. Kassapa sangat mampu menguasai pertemuan yang demikian. Dia membiarkan mereka berbicara sampai tidak ada kata sepakat dan kemudian ia berkata: "Ada peraturan-peraturan kita yang berhubungan dengan umat biasa. Sekarang umat tahu apa yang mereka harapkan dari Sangha. Jika kita mengurangi peraturan-peraturan kecil, umat akan mengatakan bahwa kita mematuhi semua peraturan selagi asap pembakaran jasad Sang Buddha masih menyala. Jadi lebih baik kita mempertahankan semua peraturan, baik yang penting maupun yang kurang penting." Dia berhenti sejenak. Tidak ada seorang pun bersuara, aku yakin bahwa banyak yang tidak setuju karena ini bertentangan dengan pesan Sang Buddha kepada Ananda. Kassapa melanjutkan, "Tidak ada yang berpendapat, berarti setuju." Tetapi para bhikkhu tidak setuju dan berkata kepada Ananda, "Sangat disayangkan kenapa Yang Arya tidak menanyakan mana peraturan yang kurang penting." Kassapa menanggapi teguran ini dan berkata, "Akuilah kesalahanmu, Yang Arya Ananda." "Saya tidak melihat adanya kesalahan, meskipun demikian, jika pertemuan ini menganggap saya bersalah, saya mengakuinya," jawab Ananda. Kassapa kemudian membeberkan berbagai kesalahan Ananda, seperti menginjak jubah hujan Sang Buddha ketika menjahitnya, mengizinkan jasad Sang Buddha dihormati oleh kaum wanita terlebih dahulu sebelum kaum pria, gagal memohon Sang Buddha untuk hidup lebih lama di dunia ini, memohon agar wanita diterima sebagai anggota Sangha. Seperti jawaban sebelumnya, Ananda mengaku tidak bersalah, tetapi jika Sangha menganggapnya salah, maka ia akan mengakuinya. Bukankah saat bhikkhu-bhikkhu di Kosambi bertengkar, Sang Buddha berkata bahwa walaupun sesuatu itu bukan merupakan kesalahan, tetapi jika yang lainnya menganggap itu kesalahan, maka hal tersebut harus diakui sebagai suatu kesalahan? Ananda tidak pernah menyebabkan keributan dan perpecahan dalam Sangha, ia membawa kedamaian dan kebahagiaan. Tetapi karena kebesaran hatinya, berbagai peraturan jadinya bertambah, tanpa menghiraukan apa yang pernah dikatakan Sang Buddha mengenainya. Pertemuan itu hendak 193 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru membuat peraturan yang permanen sedangkan segala sesuatu adalah tak permanen dan selalu berubah. Perlu diketahui bahwa peraturan untuk para bhikkhuni sangat keras. Pertemuan itu tidak dihadiri oleh bhikkhuni. Kassapa ragu-ragu akan beberapa peraturan yang terlalu keras karena dia masih ingat bekas istrinya, Bhadda, yang masih merupakan sahabatnya walaupun keduanya telah mengenakan jubah kuning. Tetapi suara yang lain lebih dominan karena mereka umumnya di masa mudanya sangat terikat pada nafsu duniawi sehingga mereka agak takut kepada wanita, beda dengan Kassapa yang pada malam pengantinnya tidur dengan sebuah untaian bunga membatasi dirinya dengan pengantin wanitanya. Ketika pertemuan itu telah selesai mengumpulkan semua peraturan mengenai Vinaya dan Dhamma menurut pengertian mereka, tibalah di Rajagaha seorang bhikkhu tua, Yang Arya Purana, yang telah berkelana di bukit sebelah selatan bersama beberapa bhikkhu. Ketika telah memasuki ruangan, beliau diberi penjelasan tentang Vinaya dan Dhamma yang baru dikumpulkan, beliau mendengarkan dengan penuh perhatian dan mempelajarinya dalam hati. Setelah selesai, beliau kemudian menjawab: "Dhamma dan Vinaya ini telah kalian pelajari dan lafalkan, tetapi tidak sebagaimana yang saya dengarkan dari Sang Buddha, saya akan mengingat apa yang saya dengar dari Sang Buddha sendiri, bukan seperti yang saya dengar dari kalian." Ia bangkit dan kemudian pergi. Aku juga bangkit mengikuti Purana, betapa bodohnya bertahan di tempat yang dibelenggu kata-kata permanen akan kebenaran hidup yang diajarkan Sang Buddha pada dunia yang tak kekal ini, kebenaran yang dengan kedalaman batin-Nya beliau aplikasikan dengan cara yang berubah-ubah terhadap arus kehidupan yang selalu berubah dan sesuai dengan kebutuhan tiap individu yang berbeda! Aku teringat akan Sona, yang diizinkan memakai sepatu yang dilapisi bahan tipis karena kakinya yang lembut. Pernah suatu ketika beliau mengatakan bahwa kebiasaan mencukur rambut jangan menjadi kesempatan membuang energi, rambut boleh dibiarkan hingga panjangnya dua inci, atau ketika lapar para bhikkhu meninggalkan begitu saja buah-buahan yang jatuh ke tanah, beliau mengatakan tindakan tersebut adalah tidak bijaksana walaupun mereka dianjurkan untuk tidak mengambil yang tidak diberikan. Sekarang mengenai topik meditasi yang sedang dicoba didaftarkan dan dikategorikan oleh para bhikkhu. Aku teringat akan kedalaman batin Sang Buddha yang dapat mengetahui topik yang tepat bagi tiap orang. Ada seorang putri pedagang yang beliau tahu ajalnya 194 Epilog: Setelah Wafatnya Sang Buddha sudah dekat, beliau anjurkan untuk bermeditasi dengan topik kematian. Seorang bhikkhu yang masih dipenuhi nafsu duniawi beliau suruh ke tempat pembakaran jenazah untuk merenungkan kelapukan. Siapakah kita, yang tidak dapat mengetahui pikiran orang seperti beliau, hendak memisahkan sesuatu dalam bentuk dan kategori? Bahkan seorang Buddha pun hanya menunjukkan jalan. Pedoman dan kemampuan bersumber dari diri sendiri. Aku telah bangkit untuk mengikuti Purana, tetapi kemudian duduk kembali. Aku hanyalah orang tua. Tentunya ketidakekalan akan mengatasi kesulitan kami dan aku dapat membantu dengan menerangkan cahaya dhamma ke seluruh dunia. Lagi pula, apapun yang dilakukan akan selalu timbul kesalahan. Tanpa sesuatu ketegasan pada suatu peraturan, kehidupan para anggota Sangha akan menjadi tidak disiplin dan timbul skandal. Tanpa keyakinan, dogma, ketentuan dan kategori-kategori maka kata-kata Sang Buddha akan lenyap selamanya. Dan jika seorang laki-laki atau wanita benar-benar ingin mencari pembebasan maka tidak ada peraturan, ketentuan dan dogma yang dapat menghambatnya. Aku keluar menuju hutan dan duduk di bawah sebuah pohon. Bayangan konflik berlalu dariku. Betapa agungnya sebuah kebenaran dan segala sesuatunya akan berjalan dengan baik. Seribu tahun—apa artinya itu dalam jangka waktu kehidupan seorang manusia? Pada akhirnya ketidakkekalan akan menghapus semua peraturan, ketentuan dan dogma, dan cahaya kebenaran akan bersinar kembali. Aku tenggelam dalam kedamaian Arya dan peringatan Purana pun hilang dalam kesunyaan. Agar tidak terjadi salah pengertian, akan kujelaskan bahwa Sang Buddha mengatakan semua yang dibutuhkan untuk bebas dari penderitaan dan mencapai pembebasan ada dalam Delapan Jalan Utama: Pengertian benar, tentang realita dukkha, timbulnya dukkha, berakhirnya dukkha dan jalan untuk mengakhirinya; pikiran benar, pikiran menuju ke ketidakakuan; ucapan benar; perbuatan benar; mata pencaharian benar; daya upaya benar; konsentrasi benar; dan perhatian benar. Tetapi pada akhirnya, apa itu Dhamma dan apa itu Vinaya, setiap orang harus menemukannya sendiri. "Jangan hanya mendengar desas-desus," kata Sang Buddha, "ataupun yang diturunkan oleh tradisi. Seperti emas yang diuji dengan api dan gesekan, demikian juga dengan kata-kataku, setiap orang harus mengujinya sendiri." Sekarang aku akan beralih dari penyusunan peraturan ke penyebaran sinar Dhamma, cara terbaik mengenang Sang Buddha bukanlah dengan membangun tugu atau pagoda yang menyimpan abu 195 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru beliau, tetapi adalah dengan hidup dalam Dhamma, salah seorang di antaranya adalah Anuruddha, tetapi dia kemudian meninggal tidak lama setelah Sang Buddha wafat. Dibandingkan dengan yang masih hidup, Ananda adalah yang paling kuat mengikuti ajaran Sang Buddha. Ketika ia mencapai penerangan pada akhirnya, ia benar-benar telah mengerti keseluruhan Dhamma. Perasaan kebencian dan marah telah lenyap darinya, juga kebanggaan akan 'aku' sehingga ia sangat rendah hati dan mungkin sebenarnya dia pantas menjadi ketua Sangha, tetapi Ananda memilih untuk menjadi pelayan Kassapa dan melayaninya seperti ia melayani Sang Buddha dan ia yang selalu memberi saran mengenai orang-orang yang harus dikunjungi untuk menyebarkan cinta kasih. Dengan tujuan inilah ia meminta Kassapa untuk mengunjungi para bhikkhuni ketika ia melewati Savatthi dan memberikan khotbah dhamma kepada mereka seperti yang biasa dilakukan Sang Buddha. Kassapa tidak berminat mengunjungi para bhikkhuni, tetapi akhirnya ia setuju, keesokan harinya, Ananda ikut di belakangnya sebagai pelayan menuju tempat biara para bhikkhuni dan Kassapa memberikan perintah religius kepada mereka. Bhikkhuni Tissa tidak senang, karena semuanya menyayangi Ananda dan menginginkan ia yang memberikan khotbah. Setelah khotbah berakhir, bhikkhuni Tissa berkata: "Bagaimana Yang Arya Kassapa dapat berkhotbah mengenai ajaran Sang Buddha sementara Yang Arya Ananda hadir? Bagaikan seorang penjual jarum yang menjual jarum kepada pembuat jarum!" Mungkin bhikkhuni Tissa mengatakan yang sebenarnya, tetapi agak kasar dan Kassapa tidak senang, karena sejak awal ia sudah tidak ingin mengunjungi para bhikkhuni. Ananda berusaha menenangkannya tetapi ia gagal. Kassapa menyombongkan bahwa ia telah mencapai jhana keempat dan Sang Buddha telah mengakuinya, dan Ananda yang rendah hati tidak menyinggung sedikit pun tentang apa yang telah dicapainya dan juga tidak mengatakan bahwa Devadatta pun juga telah mencapainya. Sebaliknya ia masih berusaha meredakan Kassapa yang sedang emosi. Kassapa merupakan kontradiksi yang aneh. Waktu panjang yang ia habiskan sendiri di hutan dan kemampuannya dalam bermeditasi memang memberikan kedamaian. Tetapi meditasi hanya satu bagian dari Delapan Jalan Utama, dan ini belumlah tentu "meditasi benar", kecuali tujuh bagian lagi telah dijalankan. Sangat sedikit orang yang mampu menguasai semuanya yang karenanya tidak lagi mempunyai pikiran tentang "aku" dan "milikku" sehingga tidak ada lagi kata-kata kasar yang keluar dari mulutnya. Dan sekarang ini Kassapa tidaklah termasuk salah satu di antara yang sedikit itu. 196 Epilog: Setelah Wafatnya Sang Buddha Bhikkhuni Tissa melupakan kekasarannya sendiri dan terkejut atas kekasaran Kassapa yang menyatakan dirinya sekarang adalah ketua Sangha. Tetapi itu masih belum berakhir. Ananda, yang dicintai semua orang, membimbing sekelompok laki-laki muda yang belum siap menjalani kehidupan pertapa dan ternyata kemudian mereka kembali memasuki kehidupan duniawi. Ananda kembali ke Rajagaha tanpa mereka. Ketika Kassapa kembali bertemu Ananda, ia memarahinya karena telah berkelana dengan serombongan laki-laki muda yang belum dapat mengendalikan nafsu duniawi di tepi kota dan menyebutnya sebagai 'perusak ladang', 'perusak keluarga orang lain' dan 'kekanak-kanakan'. Ananda tersenyum bijaksana dan tanpa kebencian menanyakan apakah ia yang telah beruban pantas disebut kanak-kanak, ketenangan Kassapa lenyap dan ia kembali mengulangi kata-kata kasarnya. Ananda tetap tenang dan tidak membalas perkataannya. Bhikkhuni Tissa kemudian mendengar kejadian ini, karena berita biasanya sangat cepat beredar, biarpun dari Rajagaha ke Savatthi. "Apa lagi berikutnya? Apakah Yang Arya Kassapa, yang pernah menjadi guru di sekte yang lain, mampu menghina Yang Arya Ananda yang lebih mengerti ajaran Sang Buddha dari siapa pun? Bagaimana ia bisa menyebut Yang Arya Ananda kekanak-kanakan?" Setelah kejadian itu, dia mengumpulkan para bhikkhuni dan mengatakan bahwa dengan menjabatnya Kassapa sebagai ketua Sangha, maka kehidupan kebhikkhuan bukan lagi untuknya, dan dia lebih baik menjalani ajaran Sang Buddha dalam kehidupan biasa di mana masih banyak orang yang rendah hati dan penuh kedamaian. Karena kerendahan hatinya, Ananda menahan diri untuk tidak ikut campur dalam masalah kepemimpinan para bhikkhuni di Savatthi walaupun memang lebih baik jika beliau melakukannya. Tetapi kerendahan hatinya tersebut tak dapat menghindarkan beliau dari kesulitan dan ketidaksetujuan saat mengunjungi bhikkhu Khanna di Kosambi. Mulanya bhikkhu Khanna adalah pelayan istana Raja Suddhodana dan ia sangat menyayangi Pangeran Siddharta. Ketika kemudian ia menjadi anggota Sangha, ia tak dapat mengontrol kekaguman pribadinya bahkan pemujaannya kepada Sang Buddha. Dia suka berkelana di pinggiran kota, berdebat tentang ajaran Sang Buddha dan berkata yang berlebihan tentang Dhamma dan Buddha. Ini menunjukkan dia telah salah mengerti terhadap dasar ajaran Sang Buddha yang tidak berselisih dengan sekte mana pun, tetapi hanya menunjukkan bagaimana untuk melenyapkan penderitaan dan perselisihan dan menemukan kebahagiaan serta kedamaian. 197 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru Sang Buddha sedemikian sedih akan kesalahpahaman Khanna terhadap ajarannya, sehingga sebelum meninggal, beliau berpesan bahwa Sangha harus mengeluarkan Khanna dan memberikan hukuman dengan menolak berhubungan dengannya. Ketika Ananda mengatakan kepada Sangha mengenai pesan Sang Buddha tersebut, Kassapa segera menyuruh Ananda menemui Khanna. Ananda menaiki sampan menyeberangi sungai Gangga menuju Kosambi, Kosambi yang menyedihkan, yang sekali lagi menjadi tempat terjadinya perselisihan dan perbuatan yang salah. Beliau mendarat dekat taman Raja Udena ketika Raja sedang bersantai di sana dengan ditemani pelayan-pelayan wanita istana yang segera meminta diizinkan untuk menyambut kedatangan guru mereka. Kemudian mereka mempersembahkan beberapa jubah kepadanya. Mendengar tentang persembahan itu, raja marah. Dia menemui Ananda dan berkata dengan kasar apakah Ananda ingin menjadi pedagang keliling. Ananda menjawab dengan sabar dan sopan bahwa jubah-jubah itu akan diberikan kepada para bhikkhu yang jubahnya telah rusak. "Dan apa yang kalian lakukan terhadap jubah yang telah rusak?" tanya raja. "Dibuat menjadi alas tempat tidur, Baginda," jawab Ananda. "Dan alas tempat tidur yang lama?" tanya raja. Lalu Ananda menjelaskan kepadanya, bagaimana alas tempat tidur yang usang digunakan untuk keperluan lain-lain seperti karpet, karpet usang untuk handuk dan kain lap, sampai akhirnya hancur dan dicampur dengan lumpur untuk dibuat menjadi tanah liat untuk lantai. Raja sangat senang dengan Ananda sehingga dia memberikan lebih banyak jubah dan menjadi lebih hormat kepada Sangha. Setelah berbincang dengan raja, Ananda menemukan Khanna dan menyampaikan keputusan Sang Buddha, bahwa tindakannya keterlaluan sehingga mendapat hukuman dan tidak ada bhikkhu yang mau berbicara dengannya ataupun mengizinkannya mengikuti rapat Sangha. Ananda berbicara dengan lembut sehingga Khanna menyadari kesalahannya, mengakui dirinya sendiri seperti seorang yang bodoh. Dia menyendiri dan berusaha mencapai pembebasan dari nafsu dan keakuan. Akhirnya ia pun berhasil. Lalu ia kembali kepada Ananda dan memintanya untuk menarik kembali hukuman berat itu. Ananda menjawab: "Begitu kamu bebas dari nafsu dan keakuan maka kamu terbebas dengan sendirinya dari hukuman itu." Jika Kassapa telah menyebabkan Tissa lepas jubah, sebaliknya malah banyak contoh di mana Ananda berhasil membimbing mereka kembali ke kehidupan kebhikkhuan. Setelah ia meninggalkan 198 Epilog: Setelah Wafatnya Sang Buddha Kosambi, kami tidak mendengar ada perselisihan lagi. Ke mana pun ia pergi, semua orang yang salah menyadari kesalahannya, tutur bahasa yang lembut dan perbuatan berbudi senantiasa mengikuti jejaknya, seperti pucuk hijau yang tumbuh setelah hujan reda. Ananda merupakan pelita paling terang yang dinyalakan oleh Sang Buddha yang tetap hidup setelah kepergian-Nya. Tetapi saat aku berkeliling sepanjang pinggiran kota, aku bertemu dengan banyak orang rendah hati yang telah disadarkan Sang Buddha sehingga kehidupan mereka berubah, dan mereka kemudian menyadarkan yang lain, menghidupkan pelita kembali, satu kepada yang lain sampai ke ujung dunia. Sang Buddha adalah pelita besar yang bersinar dalam kegelapan dan dari pelita besar itulah pelita-pelita kecil dinyalakan dan mereka menyalakan pula pelita-pelita yang lainnya. 199 Appendiks-1: Persamuan Sangha Penurunan Ajaran Setelah wafatnya Sang Guru dan setelah Persamuan Agung yang diprakarsai oleh Maha Kassapa, ajaran-ajaran beliau diteruskan dan disampaikan turun-temurun secara lisan di setiap Upacara Uposatha oleh para anggota Sangha yang bisa berkumpul di setiap daerah. Latihan diri dan meditasi serta dialog-dialog di antara para anggota Sangha lebih dikhususkan selama Vassa di mana para bhikkhu sementara berhenti mengembara dan menetap di suatu tempat selama musim hujan. Sebenarnya selama empat puluh lima tahun pengembaraannya, Sang Guru senantiasa berkomunikasi dengan penduduk setempat dengan bahasa-bahasa daerah, tetapi karena beliau lebih sering berada di sekitar Rajagaha, maka banyak ajarannya didengar orang-orang dalam Bahasa Magadhi, suatu rumpun bahasa yang umum dipakai di ibukota Kerajaan Magadha tersebut. Pada Persamuan Agung pertama di Rajagaha yang dihadiri sejumlah besar bhikkhu, yang tidak dihadiri oleh para bhikkhuni dan umat biasa, kemungkinan semua Sutta dikumpul dan diulang oleh Ananda dalam berbagai bahasa daerah, demikian pula Vinaya yang dikumpul dan diulang oleh Upali, tetapi mungkin di saat itu ada usaha menyeragamkan bahasa ajaran-ajaran Sang Guru tersebut ke dalam Bahasa Pali, rumpun bahasa yang banyak dipakai di Kosala yang merupakan negeri terbesar dan terkuat di saat itu, tetapi ajaran yang tercatat dalam bentuk tulisan belum ditemukan, dan banyak ajaran yang ditujukan pada umat awam dan yang disampaikan oleh Sang Guru di daerah-daerah tengah dan selatan tidak terkumpul selama persamuan pertama tersebut. Persamuan Kedua dan Perpecahan Sangha Di kota Vesali, kurang-lebih 100-110 tahun setelah wafatnya Sang Guru, kembali diadakan Persamuan Sangha atas prakarsa Yasa, seorang bhikkhu, tetapi bukan Yasa yang menjadi siswa keenam Sang Guru. Pada saat itu bhikkhu-bhikkhu yang berdiam di daerah suku Vajji sering mempraktekkan 'sepuluh kebiasaan' (dasa vatthuni) yang menurut Yasa banyak yang tidak sesuai dengan vinaya. Kebiasaankebiasaan itu antara lain adalah kebiasaan makan berlebih dan masih makan walaupun telah lewat waktunya dan kebiasaan menerima pemberian berupa emas dan perak yang sebenarnya tidak dianjurkan, walaupun juga tidak secara tegas dilarang Sang Guru di masa hidup 200 Appendiks-1: Persamuan Sangha beliau. Untuk menyelesaikan masalah ini, Yasa meminta nasehat Bhikkhu Revata untuk membahas hal ini dalam suatu sidang Sangha. Dalam sidang yang dipimpin oleh Bhikkhu Sabbakami dan Bhikkhu Ajita sebagai moderator, yang dihadiri oleh lebih kurang tujuh ratus bhikkhu, diputuskan bahwa kesepuluh kebiasaan yang bertujuan meringankan atau menghilangkan vinaya-vinaya kecil itu ditolak. Ada kitab yang menyatakan bahwa sidang Sangha ini dilakukan untuk membahas lima dogma yang disebarkan oleh Mahadeva, ketua Sangha di Pataliputta yang berasal dari keluarga brahmana yang antara lain berisi tentang ketidaksempurnaan orang yang mencapai tingkat kesucian arahat; tentang keragu-raguan yang masih timbul dalam diri seorang arahat beserta dorongan bawah sadar yang menimbulkan kesalahan. Apapun alasan diadakan sidang Sangha ini, saat itu merupakan awal mula perpecahan yang jelas di dalam Sangha. Kelompok yang hendak memperingan vinaya dan membuang vinaya-vinaya kecil yang dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman kemudian berkembang dan dinamakan sebagai kelompok Mahasanghika, sedangkan kelompok yang ingin tetap mempertahankan vinaya sebagaimana adanya berkembang sebagai kelompok Sthaviravadin atau Theravadin. Kelompok bhikkhu suku Vajji dan yang menghendaki penyederhanaan vinaya-vinaya kecil kemudian juga mengadakan suatu persamuan yang dihadiri oleh lebih kurang sepuluh ribu bhikkhu beserta sejumlah besar umat awam sehingga pertemuan itu dinamakan Mahasangiti atau Persamuan Besar. Sidang ini mencoba mengumpulkan sutta-sutta yang diturunkan Sang Guru di daerahdaerah dengan berbagai bahasa dan sutta-sutta yang diturunkan pada banyak umat awam atau suku-suku yang tidak dituntut menjalankan hidup kebhikkhuan. Sutta-sutta ini memang banyak yang tidak terkumpul pada sidang Sangha sebelumnya yang tidak dihadiri oleh umat-umat yang bukan bhikkhu, umat wanita dan umat-umat awam maupun bhikkhu dari berbagai daerah tertentu. Sesudah sidang Sangha ini berangsur-angsur timbul 11 sekte kecil cabang dari Sthaviravadin dan 7 sekte kecil cabang dari Mahasangika yang bertahan dalam beberapa ratus tahun sebelum terpecah-pecah lagi menjadi banyak sekte. Lahirnya Abhidhamma Pitaka dan Persamuan Ketiga Sejalan dengan waktu, pengulangan sutta dan diskusi-diskusi di antara kelompok bhikkhu tertentu semakin mengarah kepada hal-hal yang tehnis sehingga kemudian semakin memiliki kecendrungan 201 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru skolastik. Di dalam agama Buddha pada abad-abad pertama setelah wafatnya Sang Guru telah mulai tampak perkembangan ke arah skolastik dengan mulai timbulnya usaha-usaha pengelompokan ajaran ke dalam matika-matika atau ringkasan-ringkasan dhamma, yaitu ringkasan kelompok-kelompok pembahasan yang lebih sistematis. Mulai di saat itu terbentuk sekelompok bhikkhu yang bertugas mengulang matika-matika itu pada saat-saat tertentu (Upacara Uposatha) selain kelompok yang mengulangi sutta dan vinaya. Sejak saat itu ajaran Sang Guru dalam bentuk teori-teori sering didiskusikan dalam bentuk tanya jawab. Abhidhamma yang mula-mula hanya berupa suatu tehnik pengabstrakan topik-topik utama dalam dhamma dalam konteks semula yang sederhana ke dalam bentuk vedallavedalla sehingga mempermudah proses analisa dan sintesa kembali, kemudian berkembang dan menjadi lebih sistematis serta lebih mengarah pada konklusi yang logis. Perkembangan ini semakin matang dan mencapai puncaknya pada Persamuan Sangha yang ketiga. Persamuan Sangha yang ketiga diselenggarakan di kota Pataliputta pada kurang lebih tahun 249 SM dengan bantuan Raja Asoka yang memerintah pada tahun 264 - 237 SM. Sidang ini dipimpin oleh Bhikkhu Tissa Moggaliputta. Sidang ini hanya dihadiri oleh Bhikkhu-bhikkhu Sthaviravadin atau Vibhajjavadin. Dalam sidang ini Tissa Moggaliputta memilih sekitar seribu orang bhikkhu untuk selama sembilan bulan mengulang dan menyusun kembali Vinaya dan Sutta, dan untuk pertama kali dalam periode Asoka ini dikumpulkan kumpulan kitab ketiga yang diberi nama Abhidhamma Pitaka, selain kumpulan kitab yang berisi khotbah-khotbah umum (Sutta Pitaka) dan kumpulan kitab yang berisi aturan kebhikkhuan (Vinaya Pitaka) yang telah ada sebelumnya. Penyebaran Ajaran Tertulis Setelah menyempurnakan Vinaya dan Sutta serta munculnya Abhidhamma, Persamuan Agung memutuskan untuk mulai mengirim duta-duta dhamma secara resmi ke luar negeri. Sutta Pitaka yang berisi khotbah-khotbah Sang Guru yang diberikan pada waktu dan tempat tertentu kepada orang-orang tertentu yang berada dalam keadaan tertentu, yang semula hanya diturunkan secara lisan ini kemudian disusun dalam berbagai bahasa. Sutta-sutta berbahasa Pali dikumpulkan dan diulang turun-temurun oleh sekte Theravadin yang kemudian ditemukan secara utuh dan lengkap di Srilanka, sedangkan kaum Sarvastivadin mengulangi sutta-sutta ini di dalam bahasa Sanskerta yang kini hanya dikenal terjemahannya yang 202 Appendiks-1: Persamuan Sangha lengkap di dalam bahasa Mandarin. Sekte-sekte lain seperti Mahasanghika juga ada mengoleksi sutta-sutta ini di dalam bahasa Prakrit. Sutta Pitaka ini terdiri dari nikaya-nikaya dalam bahasa Pali sekarang terbentuk atas lima kelompok yaitu Digha Nikaya, Majjhima Nikaya, Samyutta Nikaya, Anguttara Nikaya, dan Khuddaka Nikaya. Di dalam bahasa Mandarin yang diterjemahkan dari bahasa Sanskerta hanya dijumpai 4 kelompok dengan nama Dirgha-agama, Madhyama-agama, Samyukta-agama, dan Ekottara-agama. 'Agama-agama' dalam bahasa Mandarin ini isinya sebagian besar sama dengan nikaya-nikaya dalam bahasa Pali tetapi susunannya ada yang berbeda. Khuddaka Nikaya yang disusun dalam bahasa Pali setelah timbul perpecahan sekte-sekte tidak ditemukan di dalam bahasa Sanskrit. Selain nikaya-nikaya Pali dan agama-agama Mandarin yang kurang lebih memiliki susunan dan isi yang sama, kemudian ditemukan pula sutra-sutra Mahayana yang diturunkan oleh sang Buddha dan pengikutnya dalam bahasa-bahasa daerah dan sutra-sutra yang banyak ditujukan pada umat awam yang bukan anggota sangha. Sutra-sutra ini banyak dihafal turun-temurun di India Selatan dan Tengah dan tidak terkumpul di Persamuan Sangha pertama. Sutra-sutra ini mulai ditulis, kebanyakan dalam bahasa Sanskerta, pada abad pertama sebelum masehi. Sutra-sutra yang lebih menekankan sifat bakti dan cinta kasih universil dan semangat berkarya bagi umat awam ini sebagian telah hilang naskah aslinya sehingga banyak yang hanya ditemukan terjemahannya di dalam bahasa Mandarin, Tibet, Turki, Nepal, Persia, bahasa Khotan, dan kemudian malah mengalami perkembangan lebih lanjut dalam aliran-aliran atau sekte yang telah terintergrasi dengan budaya setempat seperti yang ditemukan di Korea, Jepang, dan bahkan di negara-negara barat. 203 Appendiks-2: Meditasi dan Pandangan Theravada Di dalam agama Buddha ada dikenal dua sistem meditasi yaitu Samatha Bhavana dan Vipassana Bhavana. Samatha Bhavana adalah sistem meditasi yang bertujuan mengembangkan konsekuensi kesadaran terhadap obyek yang sedang berkontak dengannya, yaitu melatih agar kesadaran tetap terkonsentrasi dan konsekuen terhadap segala kegiatan yang sedang dikerjakan tanpa terpecah perhatiannya terhadap obyek-obyek lain yang di luar obyek atau kegiatan yang dimaksudkan semula. Vipassana Bhavana merupakan suatu metoda meditasi yang bertujuan membersihkan diri dan mengembangkan kesadaran ke arah lenyapnya segala noda batin dan pandangan yang salah; mengembangkan kesadaran menuju suatu keharmonisan sikap, pandangan, dan perbuatan yang bebas dari segala keterikatan yang bersifat duniawi dan fana. Di dalam praktek dalam kehidupan sehari-hari kedua metoda meditasi ini harus diterapkan secara seimbang. Konsekuensi kesadaran terhadap obyek atau kegiatan yang sedang dikerjakan tidak dapat tercapai tanpa disertai dengan keharmonisan antara sikap dan pandangan yang terlatih dengan metoda vipassana, sebaliknya keharmonisan dan kebijaksanaan di dalam hidup itu sendiri sulit tercapai tanpa disertai dengan kesadaran yang tenang dan terlatih pemusatan perhatiannya. Samatha Bhavana Di dalam teori meditasi Samatha Bhavana dikenal ada tiga tingkat samadhi yaitu parikamma-samadhi, upacara-samadhi, dan appanasamadhi. Tingkat-tingkat samadhi ini dinilai dari nimitta-nimitta, yaitu tanda atau bayangan obyek meditasi yang terbentuk selama melakukan meditasi dengan obyek tertentu, atau dari dalam dan murninya kesadaran terlibat dalam kegiatan yang sedang dilakukan. Ada tiga jenis nimitta yang berhubungan dengan tingkatan samadhi ini yaitu parikamma-nimitta, uggaha-nimitta, dan patibhaga-nimitta. Parikamma-nimitta adalah obyek kasar yang biasanya berupa salah satu dari 40 mata pokok meditasi yang sejak semula dijadikan obyek meditasi. Parikamma-nimitta ini tetap diperlukan sebelum kita dapat membentuk bayangan kasar obyek tersebut (uggaha-nimitta). Di dalam melakukan suatu aktifitas, yang menjadi parikamma-nimitta adalah kegiatan yang sedang dilakukan itu sendiri. 204 Appendiks-2: Meditasi dan Pandangan Theravada Uggaha-nimitta merupakan obyek kasar karena terbentuk berupa jiplakan kasar obyek sebenarnya, yang menampakkan semua sifat luar dari obyek tersebut beserta segala cacat dan keterbatasan yang masih terbawa oleh obyek tersebut. Bayangan obyek ini dapat bertahan dalam kesadaran selama waktu tertentu tergantung dalamnya keadaan samadhi yang tercapai. Dalam keadaan itu kita tidak perlu lagi memperhatikan obyek kasarnya karena bayangan yang terbentuk telah penuh mewakili obyek tersebut. Di dalam meditasi yang aktif (di dalam melakukan aktifitas) uggaha-nimitta timbul sebagai pengetahuan atau kesadaran akan dalam bentuk apa kegiatan itu semestinya dijalankan. Keadaan kesadaran yang telah berhasil menyatukan kedua nimitta itulah yang dinamakan sebagai parikamma-samadhi. Apabila keadaan ini bertahan hingga kelima nivarana1 tertekan oleh faktor-faktor jhana yang timbul selama tingkat samadhi ini2; keadaan di 1 Nivarana adalah rintangan-rintangan di dalam diri seseorang yang menghalangi pengembangan kesadaran dan menutupi mata hati seseorang, yang menghalangi seseorang mencapai tingkat kesadaran upacara-samadhi dan appana samadhi, yang menyebabkan seseorang tidak konsekuen terhadap obyek ataupun kegiatan yang sedang dilakukan, yang menghalangi kemampuan orang-orang memahami kesunyataan. Kelima rintangan atau Niravana itu antara lain: 1. Nafsu keinginan (kamachanda) 2. Kemauan jahat (vyapada) 3. Kemalasan dan kelelahan (thina-middha). 4. Kegelisahan dan kekhawatiran (uddhacca-kukkucca) 5. Keragu-raguan (vicikiccha). 2 Kelima faktor jhana yang timbul selama keadaan menuju Upacara Samadhi adalah: 1. Vitakka, yaitu usaha mengarahkan kesadaran pada suatu obyek. Di dalam kesadaran Jhana vitakka ini dapat secara sementara menekan thinamiddha, sedangkan dalam pengembangan lebih lanjut sebagai sammasankappa (pikiran benar) bisa menghancurkan miccha-vitakka seperti kama (nafsu indriya), kekejaman (vihimsa), dan vyapada. 2. Vicara, meneliti atau menyelidiki obyek yang telah terekat kuat dalam kesadaran. Vicara sementara bisa menekan vicikiccha. 3. Piti, rasa tertarik yang timbul saat / setelah meneliti obyek. Perasaan ini timbul sebelum benar-benar timbul rasa suka terhadap obyek yang bersangkutan. Piti dapat menekan vyapada sementara. 4. Sukha, perasaan senang atau suka yang timbul pada obyek yang semula hanya menimbulkan rasa tertarik. Piti menimbulkan perhatian dan rasa tertarik pada obyek, sedangkan sukha memungkinkan seseorang menikmati kesenangan akan obyek itu, tetapi sukha di dalam hal ini tidak berhubungan dengan kesenangan materi. Sukha ini berfungsi menekan uddhacca dan kukkucca. 205 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru mana semua rintangan dari dalam diri tidak lagi menunjukkan fungsinya, maka keadaan ini dinamakan upacara-samadhi. Di dalam keadaan ini akan bangkit patibhaga-nimitta, bayangan obyek yang telah halus; bayangan yang hanya menunjukkan sifat yang paling mendasar dari eksistensi obyek atau kegiatan itu tanpa disertai lagi oleh segala cacat celanya; obyek yang berupa suatu konsep eksistensi / kebendaan abstrak yang murni beserta segala sifat tilakkhana yang menyertainya. Dalam keadaan samadhi ini kesadaran kita telah berada dekat dengan kesadaran jhana; kesadaran kita telah berada di ambang batas alam kamavacara dengan rupavacara.3 Apabila bayangan obyek yang halus ini tetap terpegang oleh kesadaran dan faktor-faktor jhana mulai menunjukkan peranannya, maka kesadaran akan beralih ke kesadaran yang lebih tinggi; kesadaran jhana; kesadaran di dalam appanasamadhi. Samatha Bhavana di dalam Aktifitas Sehari-hari Di dalam aktifitas kehidupan sehari-hari konsekuensi kesadaran terhadap obyek ataupun kegiatan kita dapat dinilai dengan dasar teori tingkat samadhi ini. Di saat kita memulai suatu kegiatan tanpa ada suatu perhatian apapun (melakukannya sebagai hal sambilan atau dengan setengah hati dan perhatian yang mudah teralih ke berbagai obyek atau keadaan di sekeliling), maka keadaan ini masih belum termasuk dalam tingkatan samadhi apapun. Apabila kesadaran kita telah hanya tepusat pada kegiatan itu tanpa teralih lagi ke obyek-obyek lain dan kita telah mengetahui secara kasar apa yang sebenarnya hendak dilakukan saat itu dan kita melakukannya sesuai dengan apa yang kita ketahui akan dilakukan (uggaha-nimitta), maka di saat itu pertama kita telah mulai memasuki keadaan parikamma samadhi. Di dalam keadaan itu kita telah berada di dalam tingkat samadhi yang pertama, dan mungkin perhatian kita akan kembali menurun atau malah akan semakin erat memegang obyek berupa kegiatan yang sedang dilakukan tersebut. 5. Upekkha-ekaggata, suatu kesadaran yang terpusat penuh pada obyek, memahami obyek secara menyeluruh dan tenang tak tergoncangkan yang timbul apabila perasaan sukha akan obyek pun telah lenyap. Ekaggata ini di dalam jhana dapat secara sementara menekan kamachanda. 3 Kamavacara: lapisan kesadaran di mana nafsu duniawi dan kefanaan masih dominan. Rupavacara: lapisan kesadaran di mana faktor-faktor jhana yang dominan, lapisan kesadaran di mana kesadaran telah konsekuen penuh terhadap obyek atau kegiatan yang sedang dilakukan tanpa ada lagi pertimbanganpertimbangan yang bersifat duniawi dan fana. 206 Appendiks-2: Meditasi dan Pandangan Theravada Di dalam keadaan 'samadhi aktif' itu biasanya akan mulai tertampak halangan-halangan yang timbul berupa nivarana-nivarana. Mungkin segera setelah itu akan timbul perasaan enggan dan malas melanjutkan usaha atau kegiatan kita (thina-middha). Kemalasan dan keengganan ini hanya bisa ditekan apabila kita mengembangkan faktor jhana vitakka, yaitu dengan cara tetap berusaha menangkap obyek (melanjutkan kegiatan yang sedang dilakukan). Ketetapan konsekuensi kita terhadap aktifitas yang sedang dilakukan merupakan tanda telah tertekan thina-middha secara sementara di saat itu. Tetapi di saat berikut mungkin malah akan timbul keragu-raguan untuk meneruskan usaha atau kecenderungan untuk beralih perhatian ke obyek lain (vicikiccha). Keadaan ini hanya bisa teratasi apabila kita mengembangkan faktor jhana vicara, yaitu apabila telah timbul perhatian terhadap rincian kegiatan kita. Di saat kita mulai memperhatikan kegiatan-kegiatan kita secara lebih terperinci maka keragu-raguan dan kecenderungan kita beralih obyek tentu akan tertekan atau terlupakan. Di dalam keadaan itu telah tidak ada lagi keraguan dalam melanjutkan aktifitas yang sama, tetapi mungkin akan timbul kejengkelan dan rasa tidak senang (vyapada) apabila kegiatan itu terganggu oleh apapun, tetapi kejengkelan ini tak akan terjadi apabila telah timbul faktor piti atau rasa tertarik pada kegiatan kita. Di saat kita sedang melakukan kegiatan yang menarik, tentu tidak akan tersisa perasaan jengkel walaupun sedang ada kejadian-kejadian yang biasanya dapat mengganggu kegiatan kita (misalnya suara-suara bising dan sebagainya). Di saat itu kita mungkin hanya akan sekedar menghindari gangguan-gangguan yang ada tanpa disertai perasaan jengkel dan marah. Tetapi walaupun demikian mungkin masih terdapat kegelisahan dan kekhawatiran (uddhacca-kukkucca) kalau kejadian-kejadian tersebut akan cukup kuat untuk menghambat kegiatan kita, atau kegelisahan bahwa kegiatan yang menarik ini akan terganggu atau segera berakhir sebelum tujuan dari kegiatan ini tercapai, tetapi kegelisahan ini juga akan segera tertekan dan terlupakan apabila telah timbul faktor jhana sukha, yaitu apabila kita benar-benar telah suka dan menikmati kegiatan yang sedang dilakukan. Setelah keempat nivarana tadi tertekan masih terdapat sisa satu nivarana yang biasanya tidak akan tertekan dan masih ada sebelum kesadaran benar-benar telah erat menangkap obyek. Nivarana ini dikenal sebagai kamachanda atau nafsu keinginan. Di dalam meditasi yang aktif, kamachanda ini dikenal sebagai suatu motif atau tujuan 207 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru melakukan kegiatan. Kadang-kadang motif ini tersisa sebagai hal yang menghalangi kesadaran tetap konsekuen terhadap apa yang sedang dikerjakan, memecah perhatian dari kesadaran itu (walaupun sedikit) dari perhatian sepenuhnya terhadap apa yang sedang dikerjakan. Nivarana ini hanya bisa tertekan apabila telah timbul faktor Ekagata, perhatian yang telah penuh menangkap dan memahami obyek atau kegiatan yang sedang dilakukan. Di saat ekagata telah timbul itulah baru ada kemungkinan bayangan kasar (uggaha-nimitta) terhadap apa yang sedang dikerjakan beralih menjadi patibhaga-nimitta, yaitu obyek halus yang abstrak berupa konsepsi terhadap hakekat yang hakiki dari aktifitas itu sendiri. Di saat semua nivarana telah tertekan merupakan tanda tercapainya upacara-samadhi, tetapi appana-samadhi baru dikatakan tercapai apabila uggaha-nimitta telah beralih menjadi patibhaga-nimitta, yaitu di saat bentuk bayangan kasar dari aktifitas kita telah beralih menjadi konsep aktifitas yang lebih halus dan hakiki. Di saat itu kita melakukan aktifitas bukan lagi didasari oleh tuntunan bentuk kasar apa yang seharusnya kita lakukan yang terbentuk dalam pikiran kita di saat memulai pekerjaan (uggaha-nimitta). Di saat itu kita hanya melakukan aktifitas itu dengan sewajarnya disertai kesadaran yang penuh terhadap obyek atau aktifitas yang sedang kita lakukan tanpa disertai usaha menilai dan mencocok-cocokkan hasilnya di setiap saat dengan bayangan hasil pekerjaan itu seperti yang dibayangkan sejak semula melainkan hanya melakukan aktifitas itu dengan sepenuh hati. Di saat itu kita bekerja dengan kesadaran terpusat hanya pada pekerjaan itu tanpa mempermasalahkan lagi apakah pekerjaan itu akan terselesaikan atau tidak; tidak mempermasalahkan apakah pekerjaan itu akan berakhir seperti yang dibayangkan semula sebab bayangan yang berupa uggaha-nimitta itu telah lenyap dan kita hanya dituntun oleh ekagata terhadap hanya pekerjaan itu. Patibhaga-nimitta timbul sebagai tuntunan hati dan semangat terhadap hakekat 'melakukan aktifitas' itu sendiri disertai daya reaksi seluruh organ indera dan seluruh alat gerak dan nalar kita yang harmonis dalam melakukan aktifitas itu tanpa dikotori lagi oleh komentar-komentar atau penilaian sesaat ataupun perasaan bangga diri maupun rasa tidak puas terhadap pekerjaan yang sedang dilakukan itu, bahkan tidak juga oleh ingatan bahwa kita sedang melakukan suatu aktifitas. Tingkat-Tingkat Jhana Di dalam keadaan appana-samadhi kesadaran seorang meditator mulai beralih dari kesadaran kamavacara menuju kesadaran rupavacara. Apabila di dalam aktifitas kita telah sama sekali terlarut dan 208 Appendiks-2: Meditasi dan Pandangan Theravada sama sekali tidak memikirkan apakah yang menjadi motif kegiatan kita dan apa yang hendak dicapai; kesadaran kita telah sepenuhnya terkonsentrasi pada apa yang memang sedang kita kerjakan tanpa tersisih setitik kesadaran pun yang memberi komentar terhadap apa yang sedang dikerjakan (kamachanda benar-benar telah tertekan oleh adanya ekagata), maka kesadaran kita telah meninggalkan lapisan kesadaran kamavacara menuju kesadaran rupavacara. Di saat itu apabila kelima faktor jhana masih bekerja maka dikatakan kita telah berada di lapisan kesadaran jhana pertama. Apabila pada suatu saat di mana kesadaran kita telah sangat kuat terlarut di dalam aktifitas sehingga indera kita benar-benar mulai kehilangan kontak dengan segala sesuatu apapun yang di luar obyek atau kegiatan yang sedang dilakukan akibat vitakka dan vicara yang mulai memudar, maka kita di saat itu telah berada di lapisan kesadaran jhana kedua. Di saat itu kita masih melakukan aktifitas dengan sangat baik, tetapi perincian kegiatan kita sama sekali tidak lagi terekam di dalam kesadaran kita. Kita melakukan kegiatan dengan hanya tersisa rasa tertarik, sukha, dan ekagata. Apabila aktifitas kita telah terlarut lebih dalam lagi sehingga rasa tertarik terhadap perincian aktifitas kita pun telah memudar sehingga aktifitas kita hanya tersisa rasa suka secara menyeluruh disertai ekagata, maka kesadaran kita telah berada di lapisan jhana ketiga. Di dalam keadaan ini rasa suka yang terjadi bukan lagi di setiap saat melakukan kegiatan melainkan hanya timbul di sela-sela perhatian yang telah penuh. Kesadaran jhana keempat hanya akan tercapai apabila perasaan sukha pun telah lenyap; perhatian terpusat secara penuh hanya pada obyek atau kegiatan yang sedang dilakukan tanpa disertai perasaan apapun, tersisa hanya ekagata dan upekkha yang timbul, keadaan di mana perasaan puas pun hanya akan timbul apabila aktifitas itu telah terhenti dan kita tersedar dari kesadaran jhana yang timbul selama kita melakukan aktifitas tersebut. Di dalam keadaan jhana keempat ini seluruh energi kesadaran hanya tertuju di dalam aktifitas kita dan tingkat efisiensi pekerjaan kita tentu sedang berada dalam prosentase tertinggi. Kesadaran Arupa Kesadaran Arupa merupakan keadaan atau lapisan kesadaran yang tercapai apabila kesadaran yang telah berada di lapisan jhana keempat terperangkap dan kehilangan identitas obyeknya. Di dalam agama Buddha, pencapaian kesadaran di dalam lapisan ini bukan merupakan hal yang dianjurkan, malah bisa menjadi rintangan bagi seseorang 209 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru untuk membersihkan diri dan mencapai penyucian diri dari belenggubelenggu hidup. Bagi orang-orang yang telah mencapai tingkat kesucian ariya puggala, pencapaian tingkat kesadaran ini hanya dianggap sebagai suatu bonus, bukan merupakan kelebihan yang pantas dibanggakan. Kesadaran Arupa tingkat pertama dikenal dengan nama Tingkat Kesadaran Ruang Tanpa Batas. Di dalam keadaan ini, kesadaran yang semula berada dalam kesadaran jhana keempat mulai dipenuhi oleh obyek yang semula terikat dengannya sehingga tercapai suatu keadaan di mana seakan-akan seluruh ruang kesadarannya dipenuhi oleh obyek tersebut, keadaan di mana batasan ruang antara obyek dengan yang bukan obyek telah kabur sehingga obyek itu sendiri telah mulai kehilangan identitasnya, tetapi dualitas antara kesadaran yang menyadari dengan obyek yang disadari masih jelas. Di dalam melakukan aktifitas kita kadang-kadang bisa terperangkap di dalam keadaan ini. Dalam melakukan suatu aktifitas kita kadang kala bisa kehilangan batas antara apa yang masih menjadi bagian dari pekerjaan kita dan apa yang telah di luar pekerjaan kita dan kita mungkin akan melakukan hal-hal yang sebenarnya telah di luar batasan pekerjaan kita. Apabila keadaan ini berlanjut sehingga batasan antara kesadaran yang menyadari dengan obyek yang disadari juga mulai kabur; dualitas antara subyek dan obyek mulai terbaur, maka kesadaran di saat itu telah terperangkap di dalam lapisan Kesadaran Tanpa Batas. Di dalam keadaan ini seseorang tidak akan lagi menyadari apa yang sedang dia lakukan. Kesadarannya bukan lagi terpusat pada pekerjaannya melainkan telah telah mulai memudar dan tenggelam serta terlarut di dalamnya. Di dalam keadaan itu kita tidak lagi melakukan pekerjaan dengan tuntunan patibhaga-nimitta yang masih ada sebelumnya tetapi terlarut tanpa menyadari lagi apa yang sedang dilakukan. Apabila batas dualitas subyek-obyek benar-benar telah hilang, tidak ada lagi kesadaran subyek bahwa ada obyek yang disadari; subyek benar-benar tidak lagi mencerap apapun, maka terperangkaplah kesadaran itu dalam Lapisan Kekosongan. Seorang meditator di saat itu telah benar-benar kehilangan batas 'dunia'nya; identitas dirinya pun telah larut dalam kekosongan yang timbul akibat dualitas kesadaran subyektif terhadap obyek apapun telah lenyap. Apabila di saat berikut kesadaran tetap terperangkap di dalam kekosongan, tetapi kesadarannya masih mengikuti hukum citta-niyama 210 Appendiks-2: Meditasi dan Pandangan Theravada bahwa di dalam keadaan apapun (kecuali dalam keadaan samapatti)4 suatu proses kesadaran harus diselingi dengan kesadaran Bhavanga5 sebelum berlanjut ke proses kesadaran selanjutnya, maka kesadaran yang terus bergetar antara lapisan kesadaran kekosongan dengan bhavanga dan dikatakan berada di dalam keadaan Bukan Mencerap juga Bukan Tidak Mencerap.6 Di dalam keadaan ini seseorang mungkin akan tampak setengah sadar di dalam melakukan aktiftasnya; tampak masih melakukan suatu aktifitas tetapi tidak jelas batasannya dan daya reaksinya terhadap perubahan di luar dirinya tampak kabur dan tidak wajar. Metoda Vipassana dan Satta Visuddhi Apabila samatha bhavana bertujuan melatih konsekuensi kesadaran terhadap apa yang sedang dikerjakan, maka vipassana bhavana lebih bertujuan melatih dan mengembangkan kesadaran menuju lenyapnya segala noda batin dan pandangan salah, mengharmoniskan pandangan, sikap, dan tingkah laku, serta melenyapkan segala belenggu yang menimbulkan penderitaan di dalam hidup kita. Tidak seperti samatha bhavana yang dapat dilatih hanya dengan melatih konsekuensi kesadaran dalam melakukan setiap aktifitas, latihan vipassana harus dilakukan melalui beberapa tahap secara berulang-ulang. Vipassana Bhavana di dalam praktek sehari-hari harus meliputi suatu pendalaman teori kebijaksanaan (pengetahuan tentang hakekat kehidupan dan hukum-hukum semesta, pengetahuan tentang moralitas dan pengendalian diri; pengetahuan tentang tilakkhana, patticca samuppada, dan karma; pengetahuan tentang dukkha hingga 4 Keadaan di mana proses kesadaran (citta-vithi) terhenti untuk beberapa waktu. 5 Kesadaran yang paling primitif yang telah ada saat suatu mahluk hidup terjelma dalam suatu konsepsi. Dikatakan paling primitif sebab kesadaran itu tidak menangkap obyek indrawi yang khusus. Obyek dari kesadaran ini hanya berupa ruang dan waktu (yang semu) di mana kesadaran itu seakan-akan terjelma. Bhavanga ini tetap timbul di sela-sela peralihan kesadaran antara satu proses atau satu episoda kontak dengan suatu obyek dengan proses atau episoda lain sehingga memberi kesempatan mahluk itu untuk 'sadar diri' di sela-sela menyadari adanya obyek di luar diri. 6 Dikatakan 'bukan mencerap' sebab dalam keadaan 'kekosongan' telah tidak ada lagi kesadaran (tidak ada lagi subyek yang menyadari obyek karena subyek dan obyek itu telah kehilangan batasannya dan terlebur dalam non dualitas). Dikatakan juga 'bukan tidak mencerap' karena di sela kekosongan itu terselip kesadaran bhavanga yang walaupun tidak memiliki obyek khusus tetap tidak bisa dikatakan tidak mencerap obyek maya berupa ruang dan waktu di saat kesadaran itu merasa seakan-akan berada (ada eksistensinya). 211 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru cara melenyapkannya, dan terutama tata cara membersihkan diri; cara hidup yang benar, latihan diri dan pandangan yang benar / delapan jalan utama), mempraktekkan teori kebijaksanaan yang telah dipelajarinya atau menjalankan kehidupan sesuai dengan jalan yang diyakininya, serta mengevaluasi atau menilai diri apakah telah berada di jalan yang benar (introspeksi) untuk kemudian mendalami lagi pengetahuannya sesuai dengan perkembangannya, mempraktekkan lagi, mengevaluasi lagi dan seterusnya. Di dalam agama Buddha salah satu tuntunan vipassana bhavana adalah dengan mempraktekkan satta visuddhi atau tujuh tingkat penyucian diri. Ketujuh tingkat penyucian diri itu antara lain: 1. Sila Visuddhi Sila visuddhi atau penyucian terhadap tingkah laku merupakan segala daya upaya meluruskan sikap hidup yang sesuai dengan patimokkha (bagi anggota sangha), menjalankan sila-sila (bagi umat Buddha biasa), atau secara umum mengikuti segala norma tata susila dan tuntunan budi pekerti yang berlaku secara umum di dalam masyarakat dan keluarga di mana kita hidup dan dibesarkan. Sila visuddhi meliputi pengendalian diri, sikap, dan cara hidup dari dorongan-dorongan nafsu yang tidak sesuai dengan norma atau aturan ideal yang berlaku di dalam masyarakat maupun keluarga. Menjalankan kehidupan bersusila mencakup juga bermata pencaharian yang benar, hidup jujur, dan bersikap konsekuen terhadap apa yang diyakini sebagai hal yang benar. 2. Citta Visuddhi Citta visuddhi atau penyucian terhadap pikiran atau kesadaran merupakan segala usaha melatih kesadaran agar konsekuen terhadap satu obyek atau kegiatan yang sedang dilakukan. Citta visuddhi ini identik dengan melatih kesadaran dalam samatha bhavana hingga mencapai tingkat kesadaran appana samadhi. Citta visuddhi beserta dengan sila visuddhi sebenarnya hanya merupakan bagian persiapan sebelum benar-benar memulai metoda vipassana dan masih merupakan latihan cara bersikap yang masih termasuk dalam kelompok Sila dan Samadhi dari Delapan Jalan Utama, sedangkan bagian Panna baru dimulai saat seseorang telah memulai Ditthi Visuddhi. 212 Appendiks-2: Meditasi dan Pandangan Theravada 3. Ditthi Visuddhi Ditthi visuddhi atau penyucian dari pandangan merupakan langkah awal dalam mempelajari dan mendalami hukum kesunyataan. Pada langkah pertama kita hendaknya memulai dengan mempelajari dan memupuk dasar-dasar pandangan hidup yang benar dan mempelajari hukum-hukum kesunyataan secara umum. Pertama-tama kita harus belajar mengetahui hal-hal apa saja yang tidak benar (belajar membedakan hal-hal yang tidak benar dengan hal-hal yang benar). Kemudian dengan semakin bertambahnya usia, pengalaman dan kebijaksanaan kita, kita mulai mempelajari dan memahami hal-hal apa yang kebenarannya relatif dan halhal apa yang mutlak benar. Dan pada tahap akhir penyucian ini kita telah harus bisa menyadari bahwa tidak ada suatu teoripun yang benar secara absolut dan dapat dijadikan pegangan dalam situasi apapun; bahwa kita tidak boleh terpaku pada suatu pendapat atau pandangan (ditthi) sebagai sesuatu yang memiliki kebenaran mutlak yang bisa diterapkan di setiap saat dan dalam keadaan apapun, dan yang dapat dipaksakan untuk diterapkan juga oleh setiap orang di dalam situasi apapun. Di dalam penyucian pandangan ini pertama-tama kita dilatih untuk membuang pandangan yang salah, kemudian memahami dan bisa membedakan suatu kebenaran yang relatif dari kebenaran yang mutlak untuk kemudian terlepas dari segala ikatan pandangan apapun. Ditthi visuddhi ini berperan di dalam melemahkan dan mematahkan belenggu pertama yaitu sakayaditthi (pandangan salah terhadap perwujudan dari badan jasmani; pandangan salah tentang keberadaan eksistensi yang berjiwa atau yang memiliki kesadaran). Seseorang yang telah berhasil menyucikan pandangannya tidak akan lagi terikat pada pandangan atau teori apapun mengenai 'diri'; ia tidak lagi mempersoalkan apakah 'diri'nya kekal atau tidak kekal, atau apakah 'diri'nya paling berkuasa dalam menentukan arah hidupnya atau sama sekali tidak berdaya di dalam roda samsara, atau apakah kehidupannya sekarang mutlak dipengaruhi oleh karma masa lalunya atau bisa dipengaruhi dengan bantuan mahluk-mahluk suci. Seseorang yang telah menjalankan ditthi visuddhi tidak akan lagi terikat oleh suatu pandangan atau teori apapun. Pandangannya telah lues dan ia bisa bersikap bijaksana dan harmonis di dalam situasi apapun. 213 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru 4. Kankhavitarana Visuddhi Kankhavitarana visuddhi atau penyucian dalam mengatasi keraguan merupakan segala usaha yang kita lakukan untuk membersihkan diri dari keraguan terhadap jalan dan keadaan yang telah kita alami. Langkah penyucian ini berperan di dalam melemahkan dan mematahkan belenggu kedua dan ketiga yaitu vicikiccha (keragu-raguan yang skeptis terhadap dirinya sendiri dan terhadap jalan yang sedang dijalani) dan silabataparamasa (keterikatan atau obsesi terhadap segala tindakan yang bersifat ritual). Seseorang yang telah menjalani kankhavitarana visuddhi tidak akan lagi mempertanyakan apakah pandangan dan cara hidupnya sekarang benar atau tidak. Juga tidak akan lagi terganggu oleh pertanyaan apakah ia masih mampu melanjutkan jalan yang telah dipilihnya itu. Ia akan bersikap praktis di dalam melakukan segala hal tanpa terikat pada suatu tata cara atau ritualitas tertentu. Dan ia tidak akan terganggu oleh pertanyaan tentang apakah segala tindakannya itu harus dilakukan oleh urutan kerja yang bagaimana atau apakah upacara atau tidakan ritual tertentu mempengaruhi segala tindakan dan jalan hidupnya atau tidak. 5. Maggâmagga Ñânadassana Visuddhi Maggâmagga ñânadassana visuddhi atau penyucian di dalam membedakan mana yang merupakan magga (jalan) dan mana yang bukan jalan, adalah segala usaha yang dilakukan untuk menilai dan menyadari keadaan mana dari yang timbul itu yang merupakan jalan yang harus dilanjutkan dan mana yang hanya merupakan kelebihan tambahan yang tidak memiliki nilai dalam penyucian diri menuju pembebasan. Seseorang yang telah berhasil melewati penyucian keempat biasanya telah memiliki kelebihan-kelebihan di dalam menjalani hidup dan di dalam memahami hukumhukum kesunyataan. Mereka biasanya telah memiliki kebijaksanaan di atas orang-orang biasa dan memiliki dayadaya hidup yang lebih harmonis dan adaptif sehingga kehadiran mereka bisa membawa kebahagiaan pada orangorang di sekitarnya. Tetapi kadang-kadang di dalam keadaan seperti inilah belenggu-belenggu hidup seperti vyapada, kamaraga, ruparaga, aruparaga, dan mâna menjadi lebih 214 Appendiks-2: Meditasi dan Pandangan Theravada menampakkan diri. Orang tersebut terkadang bisa dikuasai kejengkelan dan marah (vyapada) bila situasi yang dirasa menyenangkan itu terganggu. Kadang-kadang orang tersebut cenderung menjadi terobsesi dan terikat pada segala kelebihannya dan terobsesi untuk bisa mempertahankan keadaan atau kelebihannya tersebut selamanya. Di saat itu ia mungkin belum menyadari bahwa segala kelebihannya itu, baik kelebihannya dalam kemampuan menikmati kehidupan walaupun di dalam keadaan yang sulit dengan daya adaptasi yang tinggi di kamabhumi, kemampuan menempatkan kesadarannya di dalam kesadaran jhana di rupabhumi maupun arupabhumi, dan kemampuan hidup dan memancarkan keharmonisan kepada keadaan semesta di sekelilingnya, merupakan kelebihan yang sebenarnya hanya menjadi vipassana upakilesa, yaitu kekotoran (kilesa) yang tampak sebagai kelebihan yang timbul sebagai hasil dari vipassana yang telah mencapai tingkat tertentu. Orang tersebut mungkin tidak menyadari bahwa segala kelebihan yang tampak itu sebenarnya bukan merupakan jalan yang bisa membawanya ke arah penyucian diri; bahwa segala kelebihannya itu malah bisa menjadi penghalang vipassana (vipassana upakilesa) bagi kemajuan batinnya. Dengan tidak menyadari hal ini orang tersebut bisa dikuasai oleh suatu perasaan bangga dan perasaan bahwa dirinya memiliki kelebihan di atas orang-orang awam. Perasaan bangga (mâna) ini juga merupakan penghalang yang besar terhadap segala usaha penyucian dirinya. Untuk mematahkan belenggu-belenggu inilah diperlukan usaha-usaha yang khusus untuk menyadari mana yang merupakan jalan dan mana yang hanya merupakan kelebihan tambahan yang harus segera ditinggalkan. Di dalam keadaan ini kita harus mulai mengikis keterikatan kita terhadap apa yang kita rasakan sebagai suatu kelebihan yang pantas dibanggakan. Kita harus bisa menyadari bahwa keadaan atau kelebihan itu hanyalah sesuatu yang timbul secara wajar dan dapat timbul pada setiap orang yang menjalani kehidupan dan latihan tertentu. Dan kita harus menyadari bahwa keadaankeadaan itu pun masih terbelenggu oleh hukum anicca, bersifat tidak kekal dan tidak selamanya dapat dipertahankan. Dengan menyadari hal ini, kita akan terbebas dari kemarahan atau kejengkelan apabila pada suatu saat di dalam keadaan 215 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru tertentu atau apabila sedang menghadapi masalah tertentu pikiran kita terasa buntu. Kita tidak akan merasa jengkel dan marah apabila di suatu saat hal-hal yang kita rasakan sebagai kelebihan kita tidak menampakkan manfaatnya dan tidak bisa segera membebaskan kita dari persoalan hidup sehari-hari yang timbul. Di dalam keadaan sulit seperti ini kita juga tidak akan berputus asa melainkan menyadari bahwa kita sedang terlibat dalam hukum anicca yang secara wajar memang melibat semua orang. Kita mungkin hanya akan tersenyum pahit dan memahami bahwa di dalam keadaan seperti itu kita menghadapi masalah yang sama dengan orang-orang yang sebelumnya dianggap lebih kurang bijaksana dari kita. Dan di dalam keadaan ini pula kita memiliki keyakinan bahwa keadaan sulit itu sendiri pun akan segera berakhir. Dengan memahami hal ini kita mungkin hanya akan duduk beristirahat, memulihkan kelelahan kita dengan memakan makanan yang cukup, berbaring dan tidur, mandi dengan air yang segar segera setelah bangun untuk kemudian menghadapi masalah itu kembali dengan kesadaran yang lebih jernih dan terkendali. Setelah berulang-ulang menghadapi keadaan yang demikian rasa bangga diri yang selama ini mungkin menguasai kita perlahan-lahan juga akan terkikis habis. 6. Patipadâ Ñânadassana Visuddhi Patipadâ ñânadassana visuddhi atau penyucian di dalam peningkatan kebijaksanaan merupakan segala usaha meningkatkan pemahaman kita terhadap hakekat jalan yang telah kita tempuh. Penyucian ini meliputi perenungan dan praktek berulang-ulang terhadap jalan yang telah kita tempuh, merasakan tapak demi tapak hidup yang sedang dijalani sambil menilai kesulitan atau keadaan yang timbul bersamanya, memahami segala perwujudan hukum kesunyataan semesta yang menampakkan wujudnya di setiap langkah yang kita tempuh, menilai dan memahami segala fungsi pengetahuan yang sedang dan telah kita terapkan di setiap saat kita menjalankan hidup kita, memahami bahwa walaupun telah mencoba menerapkan segala kebijaksanaan ariya terkadang kita masih salah langkah dan terjatuh; bahwa sampai di saat tertentu kita masih terikat oleh hukum-hukum semesta dan harus konsekuen terhadap berlakunya hukum216 Appendiks-2: Meditasi dan Pandangan Theravada hukum itu dalam wujud tertentu sesuai dengan jalan yang telah kita pilih. Dengan menjalankan penyucian ini kita secara perlahan dan pasti akan bisa mengikis belenggu kegelisahan (uddhacca) yang kadang-kadang masih timbul di saat kita berjalan di atas jalan kita. Kegelisahan yang semula timbul akibat kewaspadaan kita terhadap adanya dorongan-dorongan di dalam diri kita yang kita rasakan sebagai belenggu penghalang bagi jalan hidup kita, kegelisahan yang timbul akibat kesadaran akan keterbatasan kita di dalam menjalankan jalan ariya, dan kegelisahan yang timbul akibat kita harus menghapus rasa bangga diri yang semula menjadi pendorong utama hidup kita yang kemudian kita sadari hanya sebagai kilesa yang harus ditinggalkan, akan segera terkikis lapis demi lapis pada saat kita menjalankan penyucian ini; terkikis secara perlahan pada saat kita menjalani dan merenungi penghidupan kita saat demi saat berulang-ulang tanpa rasa bosan dan putus asa. Setelah melewati masa penyucian ini segala kegelisahan akan terpupus, hidup kita hanya akan diliputi oleh kedamaian walau di dalam keadaan lingkungan yang bagaimanapun kita hidup dan berada. Di akhir penyucian ini tidak akan pernah lagi timbul pertanyaan mengenai kehidupan ini. Tidak akan ada lagi perasaan tidak puas terhadap segala yang ada. Di dalam keadaan ini kita tidak akan pernah lagi menganggap adanya suatu ketimpangan di dalam kehidupan kita. Kita hanya akan hidup dan terus berjalan di atas alur kehidupan yang terbentang di depan kita. Hidup dengan hanya sebagai media menyelesaikan sisa energi kamma yang masih tertimbun di dalam panca khandha kita. Dengan menjalankan kehidupan kita beserta pandangan hidup seperti ini, tabir pengetahuan (vijja) yang sejati mulai terkuak, kesunyataan di dalam arti yang paling mendasar mulai disadari, dan pembebasan yang mutlak (nibbana) mulai teraih. 7. Ñânadassana Visuddhi Ñânadassana visuddhi atau penyucian dalam penerapan kebijaksanaan sempurna merupakan segala usaha untuk mengharmoniskan pengetahuan dan kebijaksanaan yang telah kita peroleh dengan segala sikap dan tindak tanduk kita di dalam kehidupan kita sehari-hari. Penyucian ini merupakan langkah terakhir dalam usaha melenyapkan avijja. 217 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru Apabila sampai penyucian keenam kita telah berhasil melenyapkan kegelisahan dan telah mencapai titik di mana hidup kita hanya diliputi oleh kedamaian, maka di jalan penyucian ketujuh ini kita akan terbawa oleh kebijaksanaan kita untuk hidup di dalam keharmonisan yang sempurna. Di dalam keadaan itu seluruh bentangan jalan ariya beserta segala aspeknya telah terlihat dengan jelas dan benar-benar telah dipahami. Di dalam keadaan ini seluruh hidup kita akan bergerak harmonis sesuai dengan batasan hukum yang masih berlaku. Kita akan hidup di tengah roda samsara dengan kebijaksanaan yang penuh dan kesadaran yang benar-benar telah terkendali. Di tengah-tengah sisa samsara yang masih berlaku kita hidup dan menjalankan sisa-sisa kewajiban kita, melakukan segala sesuatu yang memang seharusnya dilakukan, menerima segala konsekuensi yang terjadi dengan pikiran damai dan lapang dada, memberikan karya-karya yang harmonis dengan keberadaan semesta dengan setulusnya tanpa disertai lagi dengan kesadaran dan sikap yang tidak perlu. Di dalam keadaan ini pengetahuan (vijja) yang sempurna terterapkan dengan harmonis; lenyaplah kegelapan batin dan pandangan salah yang menjadi belenggu terakhir. Sang meditator di saat ini telah menamatkan predikat kesiswaannya (sekha) mencapai 'kesarjanaannya' (asekha) setelah langkah penyucian ketujuh dari ketujuh tingkat penyucian ini. Dengan selesai ditempuhnya ujian terakhir dari satta visuddhi ini, sang siswa telah menamatkan perjalanannya di jalan ariya magga dan hanya hidup sebagai bagian yang harmonis dari Hukum Semesta tanpa terlahir lagi individualitas yang akan memisahkan diri dari hukum itu; seorang arahat telah terlahir bersamaan dengan lenyapnya suatu eksistensi yang selama ini memisahkan diri dari semestanya. Pembebasan sempurna tercapai dengan terlepasnya belenggu jelmaan 'diri' yang semula terpisah dari hakekat semestanya. Eksistensi yang mendua kini kembali kepada keesaannya, kembali ke dalam kesunyaan ariya; tercapailah nibbana. 218 Appendiks-3: Sutra dan Pandangan Mahayana Menurut beberapa peneliti Barat, sutra-sutra mahayana berasal dari dharma-dharma yang diturunkan secara lisan di antara umat-umat awam dan bhikkhu yang bermukim di antara India Selatan dan Tengah. Sutra-sutra ini kemudian menjadi dasar pandangan yang dianut oleh kaum Mahasanghika. Sutra-sutra ini umumnya menekankan Sifat-sifat Ideal Bodhisatva yang memiliki sifat bakti yang besar terhadap sesama mahluk hidup, yang bercita-cita tidak hanya mencari penerangan sempurna atau pencerahan untuk dirinya sendiri melainkan membawa seluruh mahluk hidup ke dalam penerangan tersebut. Hal lain yang sering ditekankan dalam sutra-sutra mahayana ini adalah dalam upaya-kausalya, suatu kemampuan khusus para Bodhisatva dalam pembabaran dharma dengan cara dan metoda yang tepat untuk mahluk-mahluk sesuai dengan kondisinya. Oleh sebab itu di dalam sutra-sutra ini juga sering ditekankan bahwa seseorang tidak boleh terpaku pada kata-kata atau satu sutra tertentu dan menganggapnya sebagai yang paling benar. Setiap dharma yang diturunkan sang Buddha memang merupakan suatu kesunyataan yang universil, tetapi penekanan-penekanan di dalam sutra-sutra itu secara kata-kata atau tersurat adalah ditujukan pada kelompok orang tertentu yang berada dalam situasi tertentu juga, dan di dalam sutra-sutra mahayana sering ditekankan untuk menerima kesunyataan apa adanya dan tidak mengfragmentasi kebenaran itu dalam penekananpenekanan terhadap hal-hal tertentu sebagai sesuatu yang boleh diterapkan pada semua mahluk dan semua keadaan dengan sama rata. Dari kelompok sutra-sutra mahayana, ditinjau dari bentuk, isi, dan cara penyajiannya, sutra-sutra mahayana bisa diklasifikasi atas beberapa kelompok. 1. Literatur Prajnaparamita Kelompok literatur Prajna-paramita merupakan sekelompok sutra (lebih kurang 40 sutra) yang isinya menekankan konsep sunyata dan ada penekanan tentang penerapan paramita-paramita, yang tersusun dalam periode antara abad I S.M. sampai abad XIII M. Dr. Edward Conze membagi periode perkembangan kelompok literatur ini dalam empat stadium atau fase: 1. Fase I (tahun 100 S.M.-100 M.), merupakan periode penyusunan teks-teks dasar. 2. Fase II (100-300 M.), fase perluasan sutra-sutra. 219 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru 3. Fase III (300-500 M.), fase meringkas dan merangkum kembali sutra-sutra. 4. Fase IV (500-1300 M.), fase masuknya elemen-elemen tantra dan pembentukan komentar-komentar. Kelompok sutra ini merupakan kelompok sutra mahayana yang terbesar, dan mungkin yang paling mencerminkan pandangan dan filsafat mahayana. Sebagian ahli mengelompokkan sutra-sutra ini dalam kelompok sutra biasa, sutra-sutra khusus, dan sutra-sutra tantra, tetapi secara tradisi lebih sering sutra-sutra ini dikelompokkan berdasarkan panjangnya menjadi kelompok sutra panjang yang terdiri dari 18.000, 25.000, dan 100.000 baris, dan kelompok sutra pendek yang dari hanya beberapa baris sampai yang terdiri dari 8000 baris. Sebenarnya penekanan terhadap konsep sunyata ada juga ditemukan di sunnata-vagga dari Majjhima-nikaya, tetapi pembahasan yang lebih mendalam dan transendental ditemukan dalam kelompok literatur ini. Setelah parinibbana, sutra-sutra ini tersisih oleh pandangan yang lebih menekankan kehidupan kebhikkhuan dan kecenderungan memandang dan meneliti kesunyataan secara analisis. Setelah mengalami masa transmisi secara lisan selama 400 tahun, kelompok sutra ini mulai ditulis di Selatan, pada tempat yang jauhnya sekitar 1000 mil dari daerah Tengah dan Utara tempat sang Buddha lebih banyak menurunkan ajarannya. Astasahasrika Prajna-paramita Sutra (Sutra Kebijaksanaan dalam 8000 baris) Sutra ini merupakan salah satu sutra mahayana yang tertua, yang diduga disusun sekitar tahun 100 S.M. Sutra ini diduga telah beredar secara lisan turun-temurun di antara kaum Mahasanghika di sekitar negeri Andhara, antara Godavari dan Kistna, dekat Amaravati. Sutra-sutra ini juga populer di antara kaum Prajnaptivadin di India Selatan. Sutra ini juga berhubungan dengan tokoh filsuf Nagarjuna yang berasal dari India Selatan. Ada legenda menyebutkan bahwa Nagarjuna menerima salinan atau perluasan sutra ini dari Raja Naga (diduga merupakan sekelompok bhikkhu atau umat biasa yang agak terasing di India Selatan, mungkin di sekitar Amaravati), dan sutra yang telah diperluas itu kemudian dikenal dengan Sutra Kebijaksanaan dalam 100.000 baris. Salinan ulang Astasahasrika dalam bahasa Sanskrit yang sekarang ditemukan terdiri dari 32 bab. Salinan ulang ini diduga lebih muda usianya dibandingkan terjemahannya dalam bahasa 220 Appendiks-3: Sutra dan Pandangan Mahayana Mandarin oleh Lokaksema yang tercatat diterjemahkan sekitar tahun 179-180 M. yang hanya terdiri dari 30 bab dan memiliki judul-judul bab yang berbeda. Sedangkan sutra asli di dalam bahasa Sanskerta telah hilang dan tidak ditemukan lagi, dan ada dugaan sutra ini terus mengalami perubahan dan perkembangan saat diturunkan secara lisan maupun selama persalinan ulangnya. Versi-versi terjemahan yang lain juga ditemukan, kebanyakan dalam bahasa Mandarin yang diterjemahkan oleh Dharmapriya pada tahun 382, Chih-ch'ien tahun 225, Kumarajiva pada tahun 408, Hsuan-tsang tahun 660, dan Danapala tahun 985. Bab I kitab ini diberi judul Sarvakara-jnatacarya atau 'Mempraktekkan Pengetahuan dalam Segala Aspek' yang mencerminkan pandangan yang jernih dari seorang Tathagata yang bisa melihat dan memahami Dharma dari segala sisi pandangannya. Sutra ini dimulai dalam bentuk cerita dengan latar kejadian di Bukit Grdhrakuta atau Lereng Burung Bering, dekat Rajagaha di mana sang Buddha memberikan khotbah kepada 1250 bhikkhu yang kecuali Ananda, semuanya merupakan Arahat. Bab II sutra ini menceritakan diskusi antara Subhuti dengan Raja Dewa Sakra mengenai posisi seorang bodhisatva dalam menjalankan prajna-paramita dan pemahamannya terhadap hakekat Sunya. Bab-bab berikut dari sutra ini antara lain menekankan sifat maya dari fakta-fakta yang kelihatannya obyektif; mengenai Arahat, Pratyeka Buddha, dan Tathagata; mengenai khotbah sang Buddha dalam perputaran roda dhamma yang kedua di Jambudyipa yang menekankan paramita-paramita; mengenai konsep Tathata (keberadaan yang apa adanya) dan Upaya-kausalya. Ratnaguna-samcaya-gatha (Kumpulan Syair Keagungan Permata Kebijaksanaan) Sutra ini diduga sama tuanya dengan Astasahasrika, dan terdiri dari 33 bab. 28 bab pertama dari sutra ini penekanan isinya hampir sama dengan Astasahasrika, tetapi sisa 5 bab terakhir menunjukkan gaya penyajian dan penekanan yang berbeda. Kitab asli sutra ini juga tidak ditemukan lagi, tetapi banyak ditemukan versi-versi yang agak berbeda pada salinan-salinan sutra ini di dalam bahasa Prakrit, dan salinan yang diduga paling mendekati tulisan aslinya adalah yang direvisi Haribhadra pada abad VIII masehi. Fase kedua perkembangan kelompok sutra ini ditandai dengan perluasan teks-teks dasar menjadi prajna paramita yang bervolume besar. Sutra-sutra yang terbentuk dalam fase ini antara lain 221 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru Satasahasrika Prajna-paramita sutra (Prajna-paramita dalam 100.000 baris), Pancavimsati-sahasrika (25.000 baris), Astadasa-sahasrika (18.000 baris). Sutra-sutra ini sebagian memang merupakan perluasan sutra-sutra dasar sebelumnya, tetapi beberapa yang ditulis merupakan perwujudan dari sutra-sutra yang ditunkan secara lisan yang sebelumnya memang belum ditulis. Periode ini juga disemarakkan dengan munculnya tokoh filsuf Nagarjuna pada abad II Masehi. Nagarjuna yang banyak meneliti dan menyusun sastra-sastra dan komentar terhadap sutra-sutra mahayana di samping literatur Prajna-paramita khususnya. Fase ketiga perkembangan kelompok literatur ini menunjukkan kecenderungan sistimatisasi sutra-sutra ke dalam bentuk yang mirip dengan Abhidharma misalnya terbitnya kitab Abhisamayalankara (Syair Penyatuan dengan Semesta) yang disusun oleh Maitreyanatha abad IV masehi. Sutra-sutra pendek dan ringkas yang terbentuk dalam fase ini antara lain Vajracchedika Prajna-paramita sutra (Sutra Intan) dan Hrdaya Sutra (Sutra Hati) pada sekitar tahun 400 M. Vajracchedika Prajna-paramita Sutra (Sutra Intan) Kitab Vajracchedika yang dikenal juga sebagai Sutra Kebijaksanaan dalam 300 Baris terdiri dari 2 Bagian dan 32 bab dan jika dibaca sekilas akan terlihat seakan-akan kedua bagian itu tidak saling berhubungan dan perubahan topiknya terasa membingungkan, tetapi Han-shan, seorang Master Zen di zaman Dinasti Ming menjelaskan bahwa sutra tersebut tampak membingungkan karena Ananda yang mengulangi sutra tersebut tidak bisa memahami perubahan topik yang terjadi dalam dialog antara sang Buddha dengan Subhuti. Sutra tersebut sebenarnya berisi dialog antara sang Buddha dan Subhuti mengenai topiktopik Kesunyataan dan Hakekat Semesta yang semakin lama semakin dalam. Dalam diskusi yang semakin dalam itu semakin lama semakin banyak pertanyaan dan keraguan yang timbul dalam diri Subhuti. Sang Buddha yang memahami keadaan Subhuti berusaha mengarahkan topik untuk menjawab keraguan Subhuti yang tidak diutarakan itu. Ananda yang tidak memahami keadaan itu hanya mengingat kata-kata yang diucapkan sang Buddha tanpa menyadari alasannya. Keadaan ini yang menyebabkan orang-orang umumnya juga sulit memahami perubahan topik yang terjadi bila membaca kitab ini. Sebaliknya Han-shan, Vasubandhu, Kamalasila, dan Asangha juga mengalami keadaan seperti Subhuti saat mereka mempelajari Vajracchedika pada zamannya masing-masing, dan Han-shan kemudian menulis sebuah komentar yang memuat urutan keadaan perkembangan 222 Appendiks-3: Sutra dan Pandangan Mahayana batin seseorang yang mungkin dialami Subhuti saat terlibat dalam dialog dengan Sang Buddha sehingga para siswa yang mempelajari kitab itu bisa dengan jelas memahami isinya. Hrdhaya Sutra (Sutra Hati) Hrdaya Sutra berisi sebuah narasi pendek mengenai dialog antara Bodhisatva Avalokiteshvara dengan Sariputra mengenai hakekat yang kosong dari panca-khandha yang kemudian ditutup dengan mantra "Gate-gate paragate parasamgate, bodhi, svaha". Seperti juga vajracchedika, sutra asli dalam bahasa Sanskrit masih ditemukan lengkap, tetapi ditemukan dua versi yang berbeda dari tempat yang berbeda. Selain kedua kitab di atas, pada fase ini juga ditemukan kitab-kitab kelompok literatur prajna-paramita yang lain seperti Prajna-paramita dalam 500 baris, 2500 baris, 700 baris. Kitab-kitab ini antara lain mencerminkan sistematisasi pemaparan ke arah metafisik dan menampakkan pengaruh Yogacara. Fase perkembangan terakhir menampakkan pengaruh Tantra, ditandai dengan seringnya ditemukan bentuk-bentuk dharani atau mantra di dalam sutra. Sutra-sutra yang disusun dalam masa ini di antaranya adalah Svapaksara Prajna-paramita Sutra atau Sutra Kebijaksanaan dalam Beberapa Aksara dan Adhyardhasatika (150 baris). 2. Saddharma Pundarika (Sutra Teratai) Sutra ini diduga pertama kali ditulis sekitar abad I S.M. Ada dua bentuk resensi sutra ini yang bertahan hingga sekarang. Yang pertama terdiri dari 27 bab, ditemukan lengkap di daerah Nepal dengan berbagai versi salinannya yang diduga ditulis dalam jangka waktu abad XI-XVIII. Sebenarnya ada beberapa fragmen resensi ini ditemukan pada abad V di Asia Tengah dan Turki Timur, tetapi kemudian naskahnaskah itu disangsikan berhubungan dengan resensi kedua. Resensi yang kedua terdiri dari 28 bab ditemukan di sekitar Turfan dalam salinan berbahasa Uighur-Turki. Perbedaan jumlah bab itu terjadi karena dalam resensi kedua, bab-bab yang identik dengan bab IX resensi pertama dipecah menjadi dua bab yang terpisah, dan urutan bab-bab kedua resensi ini memang ada yang berbeda. Di dalam bentuk aslinya, setiap bab dari sutra ini dibagi dalam dua bagian yaitu bagian prosa dan bagian syair atau gatha. Bagian prosa dari sutra ini menggunakan bahasa Sanskrit yang murni dengan memperhatikan segala tata bahasanya, sedangkan bagian gatha menggunakan bahasa 'Buddhist Hybrid Sanskrit" yang kurang terikat 223 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru dengan tata bahasa. Banyak ahli berpendapat bahwa sebenarnya selama perkembangannya secara lisan, bentuk gatha yang terlebih tua, sedangkan bentuk prosa dibacakan secara bebas turun-temurun kemudian sebelum ada yang menyusunnya secara lebih teratur dengan memperhatikan tata bahasanya. Kelompok literatur ini, tidak seperti Prajna-paramita yang menyajikan masalah secara intuitif dan intelektual, menyajikan semua topik dharma secara simbolis dan mencoba menggambarkan semua dharma yang diterangkan dalam suatu tayangan drama yang hidup. Sutra ini dimulai dengan latar belakang kejadian di Bukit Grdhrakuta (Lereng Burung Bering) di dekat Rajagrha. Tidak seperti Astasahasrika yang melukiskan keadaan di tempat yang sama dengan sederhana, dalam kitab ini dilukiskan suatu keadaan yang penuh dengan keajaiban; menggunakan simbol-simbol mahluk-mahluk yang hadir sebagai puluhan ribu dewa dan mahluk halus di antara para manusia. Hal-hal yang dibahas dalam sutra ini antara lain mengenai Yanayana. Di dalam sutra ini ditekankan bahwa ketiga jenis 'kenderaan' yang tampak pada waktu itu pada hakekatnya adalah satu. Kenderaan seorang Bodhisatva (Bodhisatva-yana), kenderaan seorang Arahat, dan kenderaan seorang Pratyeka Buddha sebenarnya hanyalah bentukbentuk turunan dari kenderaan tunggal (Ekayana) yang disediakan bagi orang-orang yang bertemperamen berbeda. Ketiga kenderaan itu pada hakekatnya satu dalam suatu kenderaan besar (Maha-yana) yang merupakan kenderaan Buddha (Buddha-yana); Ketiga kenderaan itu semula terpisah untuk membawa orang-orang yang sifatnya berbeda sebelum kemudian menyatukan mereka dalam kenderaan yang universal tersebut. Di dalam kitab ini juga diperkenalkan banyak tokoh bodhisatva seperti Manjusri, Bhaisyajayaguru, Prajnakuta, Avalokiteshvara, Samantabhadra, dan lain-lain. Sutra ini juga melukiskan perjalanan alam semesta selama berkalpa-kalpa dan melukiskan peralihan masa-masa dunia yang melibatkan banyak tokoh bodhisatva dengan berbagai simbolisasi yang semarak, dan berusaha melukiskan realitas itu dalam bentuk mitos dan legenda yang mudah dicerna tetapi sangat dalam intisarinya. 3. Vimalakirti Nirdesa Sutra (Sutra Vimalakirti) Sutra ini diduga lahir di Vaisali, mungkin sekitar Sidang Sangha yang kedua, tetapi tidak jelas kapan sutra ini ditemukan dalam bentuk tertulis. Naskah tertua dari sutra ini adalah terjemahannya di dalam bahasa Mandarin yang diduga ditulis berkisar antara tahun 188-229 masehi. Sutra yang terdiri dari 16 bab ini menceritakan pengalaman 224 Appendiks-3: Sutra dan Pandangan Mahayana Upasaka Vimalakirti yang di dalam kehidupannya menemukan realitas semesta sehingga disegani para bhikkhu, arahat, bahkan oleh para bodhisatva. Sutra ini menekankan sifat-sifat dan perjuangan yang harus dilakukan seorang bodhisatva di dalam dharma baktinya terhadap semua mahluk hidup dan ujian-ujian yang harus dilaluinya. Juga terdapat penekanan terhadap konsep upaya-kausalya yang merupakan aspek positif yang harus menyertai kebijaksanaan (prajna) seorang bodhisatva; penekanan terhadap pentingnya pandangan yang non dualitas dalam diri seorang bodhisatva; dan mengenai Tathata (keberadaan apa adanya). 4. Literatur Sukhavati (Sutra Tanah Agung) Kelompok literatur ini terdiri dari tiga sutra, dua di antaranya memiliki judul yang sama yaitu 'Sukhavati-vyuha', dan Amitayurdhyana Sutra. Kedua Sukhavati-vyuha diduga merupakan hasil resensi dari sumber yang sama. Resensi yang lebih panjang berukuran delapan kali resensi yang lain dan diduga memiliki usia yang lebih tua. Setelah lama dinyatakan hilang, kedua resensi asli ini kemudian ditemukan, sedangkan naskah terjemahannya yang tertua yang tercatat tahun penerbitannya adalah yang diterjemahkan pada tahun 147-186 dalam bahasa Mandarin, oleh sebab itu diduga sutra yang asli disusun sebelum abad I masehi. Sutra ini dimulai dengan latar belakang kejadian di Bukit Grdhrakuta di mana sang Buddha bercerita tentang silsilah dan pengalaman 81 Buddha dimulai dengan Buddha Dipankara hingga menceritakan pengalaman Bodhisatva Dharmakara yang kemudian menjadi Buddha ke 82, Amitabha; tentang Sukhavati, Tanah Agung tempat bersemayam para Buddha. Resensi yang lebih pendek pertama kali tercatat terjemahannya pada tahun 402 masehi oleh Kumarajiva. Sutra dimulai dengan latar kejadian di Taman Jeta di Sravati di mana seperti yang dilukiskan pada resensi yang besar, sang Buddha memberikan khotbah mengenai Sukhuvati. Walaupun jauh lebih ringkas, isi sutra ini hampir sama dengan sutra yang pertama, tetapi lebih menekankan pentingnya keyakinan pada Buddha Amitabha yang siap menolong semua mahluk hidup yang teringat namanya. Amitayur-dhyana Sutra (Sutra Meditasi) hanya ditemukan terjemahannya oleh Kalayasa tahun 424 masehi. Naskah aslinya yang berbahasa Sanskrit tidak pernah ditemukan lagi. Latar cerita sutra ini juga dimulai di Grdhrakuta di mana sang Buddha menghibur ratu 225 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru Vaidehi, ibu pangeran Ajatasatru yang sedih karena anaknya itu berniat membunuh suaminya, raja Bimbisara. Sang Buddha kemudian dengan kekuatan gaibnya menunjukkan pada ratu gambaran suatu alam di mana segala duka dan kegetiran tidak dijumpai, lalu beliau menjelaskan tiga syarat agar suatu mahluk bisa dilahirkan di alam itu; menjelaskan tentang Dharma-kaya yang dimiliki setiap Buddha yang memungkinkan mereka memasuki jiwa setiap mahluk dan membantu meredakan perasaan sedih mereka; dan penekanan bahwa Sukhavati bukanlah suatu alam yang jauh melainkan suatu keadaan yang dapat dicapai saat itu juga melalui meditasi. Sebenarnya selain dari ketiga sutra ini, ada juga sutra-sutra lain yang melukiskan keadaan di Tanah Suci atau Tanah Agung Para Buddha yaitu Aksobhya-vyuha, Karuna-pundarika, Bhaysajyaguru-sutra, Srimaladevi-simhanada Sutra, Manjusri-Buddhaksetra-guna-vyuha, Karanda-vyuha, dan sebagainya. 5. Literatur Ratnakuta (Sutra-sutra Permata) Sebenarnya resensi besar Sukhavati-vyuha, Aksobhya-vyuha, Srimaladevi-simhanada, dan Manjusri-Buddhaksetra-guna-vyuha bisa dimasukkan dalam kelompok literatur Ratnakuta, yang dalam Tripitaka Mandarin terdiri dari 48-49 Sutra yang terpisah (44-45 sutra dalam Tripitaka berbahasa Tibet). Kelompok sutra yang juga dinamakan Maharatnakuta Sutra ini merupakan kelompok sutra yang luas pembahasannya mencakup mulai dari aturan-aturan kehidupan kebhikkhuan (vinaya), penekanan terhadap prajna, upaya, keadaan ilusi atau maya, keadaan hakiki dari kesadaran dan sebagainya. Keluasan topik bahasan dalam kelompok sutra ini menyebabkannya terkadang dianggap sebagai suatu ensiklopedia mini agama Buddha Mahayana. Waktu penulisan sutra-sutra ini juga sangat luas mencakup beberapa abad sehingga ada sejumlah sutra yang menunjukkan transisi pandangan dari Hinayana ke Mahayana, dan beberapa yang mengandung dharani menunjukkan transisi dari Mahayana yang umum ke arah Vajrayana, yaitu peralihan dari bentuk sutra ke dalam bentuk tantra. Karena sutra-sutra awal kelompok literatur ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin pada akhir abad II masehi, maka diduga naskah asli sutra-sutra ini dalam bahasa Sanskerta berusia tidak kurang dari seabad lebih tua dan dianggap merupakan bagian dari Bodhisatva Pitaka, yang bersama dengan Dharani Pitaka dianggap sebagai Pitaka keempat dan kelima yang mewakili pandangan Mahayana dan Tantra. 226 Appendiks-3: Sutra dan Pandangan Mahayana Sutra tertua kelompok literatur ini adalah Kasyapa-parivarta, yang salinan tertuanya ditemukan tidak lengkap di daerah Khotan, Asia Tengah, dan pertama kali tercatat diterjemahkan dalam bahasa Mandarin pada tahun 178-184 masehi. Bila diperhatikan waktu terjemahannya dan bentuk bahasa serta cara penyajiannya, diduga bahwa sutra ini juga termasuk salah satu sutra Mahayana yang tertua. Sutra ini berbentuk semi-dialog (tepatnya monolog) sang Buddha yang memberikan pandangannya pada Kasyapa mengenai sifat-sifat bodhisatva dan hakekat sunyata. Sebagian besar sutra ini bersifat imajinatif, mengandung ratusan parabel dan cerita pendek mengenai dharma-dharma tertentu. Sutra-sutra lain yang ditemukan dalam kelompok sutra ini antara lain Vidyutprapta-pariprccha, Vimaladatta-pariprccha, Susthitamatipariprccha, Asokadatta-vyakarana, Surata Sutra, Upali-pariprccha, dan sebagainya. Kitab-kitab pariprccha ini berisi pertanyaan mendasar yang diajukan oleh beberapa bodhisatva, arahat, bhikkhu dan lain-lain dalam topik-topik tertentu pada sang Buddha dan melukiskan jawaban sang Buddha sesuai dengan kondisi penanya. 6. Kelompok Samadhi Sutra Kelompok literatur Samadhiraja ini semula dikenal sebagai Candrapradipa Sutra. Kelompok sutra ini menjembatani jurang pemisah Mahayana awal di dalam perkembangannya selama enam atau tujuh abad. Terjemahan tertua yang pernah tercatat adalah yang diselesaikan oleh An Shih-kao pada tahun 148 masehi. Salinan ini kemudian hilang hingga kemudian ditemukan terjemahan baru di abad V. Periode berikutnya dari perkembangan kelompok literatur ini adalah periode perluasan sutra dengan tambahan bagian prosa dengan bahasa Sanskrit yang telah disesuaikan tata bahasanya di samping bagian matriks yang sejak semula ditulis dalam Buddhist Hybrid Sanskrit. Periode berikut adalah periode perluasan sutra lebih lanjut ke Tibet dan Nepal dan terbentuknya sutra-sutra baru yang berhubungan dengan itu. Sutra tertua ini semula dikenal sebagai Arya-Candrapradipa-samadhi Sutra, tetapi kemudian lebih dikenal sebagai Samadhiraja Sutra atau Samadhiraja-bhattaraka yang ternyata merupakan sutra yang lebih besar dan luas dari sutra semula. Sutra ini dimulai dengan latar kejadian di Grdhrakuta di mana sang Buddha memulai suatu khotbah mengenai pentingnya sila, dhyana, dan prajna di dalam usaha memahami segala sifat sejati dari segala jelmaan yang bersyarat, memahami segala sifat dharma yang sejati, dan bagaimana cara menerapkan sarvadharma-svabhava-samata-vipancita-samadhi atau 227 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru meditasi penerapan pengetahuan kesamaan hakiki semua dharma. Secara umum kelompok literatur ini menampakkan sifat yang lebih positif dalam meneliti sunyata dibandingkan dengan prajna-paramita. Di dalam literatur ini selain menekankan keberadaan segala dharma sebagai sunya, juga ditekankan adanya sifat abadi segala dharma di dalam suatu kesamaan (samata) yang hanya bisa disadari dalam keadaan kesadaran yang manunggal (samacitta) yang tercapai di dalam samadhi. Apabila prajna-paramita menekankan kesadaran akan sunyata itu melalui kebijaksanaan intuitif (prajna), kitab ini menekankan kemanunggalan kesadaran semesta ini melalui tehnik persiapan menuju samadhi (samadhi-parikarma). Penekanan khusus sutra ini juga dilakukan terhadap Ksanti atau kesabaran yang merupakan paramita ketiga yang tak terpisahkan dalam jalan menuju samadhi. Sutra lain yang termasuk kelompok sutra ini adalah Surangamasamadhi Sutra. Sutra ini juga berlatar kejadian di Grdhakuta di mana sang Buddha memberikan khotbah mengenai keberadaan Tri Ratna dan tehnik surangama-samadhi yang memungkinkan para bodhisatva mencapai keadaan seperti parinirvana tanpa harus benar-benar padam kesadarannya dan memahami keadaan samsara dalam segala aspeknya tanpa benar-benar terperangkap di dalamnya; mengenai dhyana dan samapatti yang bisa dicapai oleh para bodhisatva; mengenai sad paramita, dan sebagainya. Sutra ini tidak sama dengan Surangama Sutra (Sutra Mahkota) yang pernah diduga sebagai terjemahan Paramartha dari bahasa Sanskrit, yang sebenarnya merupakan karya asli berbahasa Mandarin. Sutra ini menceritakan permintaan sang Buddha pada Manjusri untuk menilai metoda meditasi mana yang sesuai untuk Ananda, yang kemudian berkesimpulan bahwa meditasi dengan obyek suara yang diterapkan Avalokiteshvara yang paling sesuai untuknya. Sutra lain yang termasuk golongan ini adalah Vajra-samadhi Sutra yang juga berasal dari karya berbahasa Mandarin yang berkembang di antara sekte-sekte Ch'an atau Zen. 7. Lankavatara Sutra Lankavatara Sutra atau Sutra Tibanya Ajaran Suci ke (Sri) Lanka merupakan salah satu sumber yang menekankan sistim idealisme absolut di dalam agama Buddha. Sutra ini bersama dengan kitab Gandavyuha dari kelompok literatur Avatamsaka menekankan realitas sebagai Nairatmya dan Sunyata. Sutra ini menekankan bahwa segala eksistensi terjadi karena adanya kesadaran. 228 Appendiks-3: Sutra dan Pandangan Mahayana Naskah asli sutra ini di dalam bahasa Sanskrit tidak ditemukan lagi, sedangkan terjemahan tertua sutra ini ke dalam bahasa Mandarin yang tercatat pada tahun 412 oleh Dharmaraksa juga telah hilang pada tahun 433. Terjemahan yang lain dalam bahasa Mandarin yang masih ditemukan adalah yang diterjemahkan oleh Gunabhadra tahun 433 dalam satu bagian tunggal yang diberi judul Sarvabuddha-pravacana atau Inti Ajaran Semua Buddha; Bodhiruci pada tahun 513 dalam 18 Bab, dan Sikshananda antara tahun 700-704. Dalam naskah terjemahan ulang sutra ini ke dalam bahasa Sanskrit sekarang ditemukan terdiri dari 10 bab di mana bab 1, 9, dan 10 naskah ini tidak ditemukan dalam terjemahan terlengkap dalam bahasa Mandarin oleh Gunabhadra sebelumnya, jadi diduga bab-bab ini merupakan bab tambahan yang ditulis antara tahun 433-513 masehi, sedangkan bab 2 sampai bab 8 ditulis sebelum abad IV masehi. Dari 18 bab terjemahan Bodhiruci, 7 bab identik dengan seluruh terjemahan Gunabhadra, sedangkan sisanya merupakan pecahan-pecahan dari sisa 3 bab yang ditemukan dalam naskah baru bahasa Sanskrit. Dari ketujuh bab yang disusun lebih awal, hanya bab 2 dan bab 8 yang berisi inti pembahasan yang khusus, sisa lima bab yang lain banyak merupakan perulangan dan perluasan topik pembahasan. Bab 2 menekankan Kesadaran Semesta atau Alaya Vijnana yang terbebas dari dualisme subyek dan obyek, mengenai non dualitas dari samsara dan nirvana, mengenai tingkat-tingkat samadhi dan paramita, dan menekankan bahwa kehidupan dalam agama Buddha bukan hanya untuk melihat ke dalam kesunyataan melainkan untuk hidup di dalamnya. Sedangkan bab 8 menekankan pentingnya kehidupan vegetarian, bahwa mahluk-mahluk yang menjalankan kehidupan kebodhisatvaan harus menghindari makanan hasil pembunuhan. Bab 1, 9, dan 10 merupakan tambahan yang ditulis beberapa abad kemudian. Bab 1 berisi dialog antara sang Buddha dan Ravana yang menekankan bahwa alam semesta di luar diri kita merupakan sesuatu yang tercipta oleh kesadaran kita sendiri. Bab 9 bercerita tentang dharani atau mantra perlindungan yang diberikan pada bodhisatva Mahamati. Bab ini menunjukkan bahwa saat itu telah mulai ada pengaruh tantra pada literatur Lankavatara ini. Bab 10 berisi 884 syair, 680 di antaranya merupakan yang asli ditemukan dalam bab ini, sedangkan sisanya telah pernah ditemukan dalam ketujuh bab yang ditulis lebih awal. Dari sisi filosofis, bab ini merupakan bab yang paling berkembang dibandingkan dari bab-bab lain. 229 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru Secara keseluruhan, literatur Lankavatara lebih menekankan aplikasi dharma dalam kehidupan aktual daripada hanya pengertian secara intelektual, tetapi pemahaman kehidupan secara filosofis sama sekali tidak diabaikan. 8. Kelompok Literatur Avatamsaka Kelompok literatur Avatamsaka atau Buddhavatamsaka Sutra juga tidak diketahui asal-usulnya dan hingga kini hanya ditemukan secara lengkap terjemahannya di dalam bahasa Mandarin dan Tibet. Kelompok literatur ini ditemukan sebagai divisi ketiga dari Tibetan Tripitaka di mana 45 subdivisinya ditemukan terpisah sebagai bagian dari divisi yang sama pada Tripitaka Mandarin. Ada tiga kelompok terjemahan literatur ini dalam bahasa Mandarin. Yang pertama terdiri dari 60 bagian, diterjemahkan oleh Buddhabadra tahun 418-420. Yang kedua terbagi atas 80 bagian, oleh Siksananda tahun 695-699. Yang ketiga terbagi atas 40 bagian, oleh Prajna tahun 796-797. Selain tiga kelompok besar ini, ada bagian-bagian tertentu yang secara terpisah malah diterjemahkan lebih awal lagi. Menurut beberapa sumber berbahasa Mandarin, ada 6 versi literatur Avatamsaka, yang terpanjang terdiri dari 100.000 syair. Yang terpendek, yang terdiri dari 36.000 syair. Kelompok terpendek inilah yang kemudian diterjemahkan oleh Buddhabhadra. Terjemahan dari Siksananda terdiri dari 45.000 syair di mana bab 15 merupakan Dasabhumika Sutra yang ada ditemukan naskah aslinya dalam bahasa Sanskrit. Terjemahan terpendek oleh Prajna merupakan perluasan dari bab terakhir dari kedua kelompok sebelumnya, yaitu bab 34 dari versi pertama dan bab 39 versi kedua. Bab ini yang berjudul 'Memasuki Dharmadhatu' mengisi seperempat bagian versi terjemahan ini dan berhubungan erat dengan kitab Gandavyuha yang ditemukan naskah aslinya di Nepal. Kitab Dasabhumika dan Gandavyuha merupakan sisa kelompok literatur Avatamsaka yang masih ditemukan naskah aslinya, dan sekarang ini sering dianggap mewakili literatur Avatamsaka secara keseluruhan. Kitab Gandavyuha tersaji mirip dengan Saddharma Pundarika dan disusun dalam bentuk narasi yang penuh dengan imajinasi simbolik. Kitab ini menceritakan pengembaraan Sudhana, seorang putra bangsawan yang atas nasehat Bodhisatva Manjusri mencari kalyana mitra yang akan membimbing kehidupan kebodhisatvaannya hingga akhirnya menemukan Bodhisatva Maitreya di 'Pagoda 230 Appendiks-3: Sutra dan Pandangan Mahayana Vairocana.' Sutra ini menekankan bahwa Alaya-vijnana bukan merupakan anihilasi dari seluruh partikel yang konkrit dari alam semesta, bahwa setiap obyek merupakan refleksi dari keseluruhan obyek semesta yang masing-masing pada saat yang sama juga merupakan refleksi dari alam semesta. Kitab ini secara simbolis membawa kesadaran dalam suatu keadaan imajinatif di mana ruang dan waktu kehilangan kebatasannya, dan alam semesta terlihat sebagai suatu kontinuitas di mana segala eksistensi tidak lagi terpisah satu sama lain dan dengan tanpa kehilangan sifat individualitasnya. Kitab Dasabhumika atau Dasabhumisvara Sutra masih ditemukan naskah aslinya. Terjemahannya yang terpisah dalam bahasa Mandarin dilakukan oleh Dharmaraksa tahun 297 masehi, Kumarajiva tahun 406, Bodhiruci tahun 600-516, Siladharma tahun 789. Dua versi terjemahan yang terakhir ini kini tidak ditemukan lagi. Kitab ini bercerita tentang dialog antara sang Buddha dengan Bodhisatva Vajragarbha atau Matriks Intan tentang pencapaian sepuluh tingkat kesucian bodhisatva dan Dasa Paramita. Topik ini juga ditemukan dalam kitab Lalita-vistara dan Bab 17 dari Prajna Paramita Sutra dalam 25.000 baris, tetapi yang terlengkap dal paling jelas ditemukan di dalam kitab ini. 9. Literatur Tantra Metoda pendekatan Tantra sebenarnya telah timbul pada abad II Masehi, tetapi literatur-literaturnya yang tertulis baru mulai ditemukan pada abad VI. Hanya sedikit dari literatur Tantra, kemungkinan memang yang tertua, yang ditemukan aslinya dalam bahasa Sanskerta, sebagian lagi hanya ditemukan terjemahannya dalam bahasa Tibet dan menjadi bagian dari Tibetan Tri Pitaka. Sebenarnya Tantra lebih menekankan metoda daripada literatur tertulis; lebih menekankan inisiasi fisik dan spiritual yang langsung, personal, dan rahasia daripada penurunan ajaran secara teoritis baik secara lisan maupun tertulis yang bersifat lebih umum. Inilah salah satu alasan mengapa literatur-literatur Tantra jarang bisa ditemukan tersebar luas. Literatur-literatur Tantra masih belum terpelajari secara mendalam bukan hanya karena bahasanya yang samar dan bersifat rahasia, tetapi juga karena mereka banyak menggunakan simbolsimbol yang sulit dimengerti maknanya. Secara filosofis, Tantrayana Buddhis ini berpijak pada dasar-dasar filosofis Mahayana, tetapi di dalam pengembangannya terdapat modifikasi dan perluasan prinsip-prinsip dasar Mahayana ke dalam aplikasi-aplikasi yang lebih bersifat magis, misalnya mereka mentransformasi doktrin Trikaya menjadi Catur-kaya dengan 231 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru menambahkan bahwa ada suatu 'badan' yang berada di balik Dhammakaya. Mereka membagi kaya-kaya yang lain, begitu juga sunyata ke dalam divisi-divisi dan diamati dalam berbagai aspek serta memperkenalkan banyak istilah-istilah psikologis yang baru yang sulit diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Agama Buddha Tantra (Tantrayana) dipengaruhi oleh ajaran Civa, tetapi dalam garis besarnya ada yang berbeda dengan agama Civa Tantra. Ajaran Mahayana Tantra ini menunjukkan jalan-jalan yang dilalui, agar orang dalam waktu dekat (singkat) dapat mencapai tujuan yang tertinggi yakni terhindar dari Samsara. Untuk mencapai cita-cita ini mereka mempergunakan mantera-mantera yang memuat kekuatan gaib, mudra atau sikap tangan dan tubuh yang membawa daya-daya gaib, mandala atau lambang-lambang gaib, dan menjalankan yoga atau menahan diri. Tujuan dari praktek-praktek Tantra ini adalah mencapai tingkat Siddha; seseorang yang telah benar-benar harmonis dengan alam semesta dan mampu memanfaatkan kekuatan semesta di dalam maupun di luar dirinya untuk tujuan-tujuan suci; seseorang yang tidak hanya secara mental melainkan secara fisik pun telah memahami sunyata. Aliran Tantrayana ini berbeda dari Mahayana umumnya dalam hal metode latihan dan perlunya bimbingan seorang guru yang telah mencapai tingkat kesucian itu. Di dalam kitab-kitab Tantra kuno banyak terdapat teori-teori praktek Yoga kuno yang mirip dengan Civa Tantra, tetapi semenjak berkembangnya Sekte Vajrayana-Tantrayana Gelukpa7 di Tibet oleh Tsongkhapa, maka arti dari kitab-kitab itu mulai dipelajari bukan hanya atas dasar kata perkata saja melainkan mulai dimengerti maksud spiritual yang sebenarnya yang lebih mendalam. Praktek-praktek Yoga yang menjurus pada penyiksaan diri dan upacara ritual yang kasar yang seakan-akan dianjurkan oleh kitab suci mulai dipahami maknanya yang sebenarnya; makna yang halus dan benar-benar suci; makna yang benar-benar jauh dari anjuran melakukan praktek-praktek penyiksaan diri dan praktek kasar yang tak bermoral. 7 Ada lima sekte besar di Tibet yang mempengaruhi perkembangan Agama Buddha Tantra yaitu Nyingmapa (Rnyinmapa) yang tertua dan dikembangkan oleh Padmasambhava atau dikenal juga sebagai Guru Rinpoche sekitar tahun 800 masehi, Sakyapa yang berdasarkan ajaran dari Dharmapala, Kargyupa yang berdasarkan atas ajaran Guru Naropa, Kadampa yang berdasarkan ajaran Y.A. Atisha yang menerima petunjuk dari Y.A. Dharmakirti di Sumatera, dan Gelukpa yang dikembangkan oleh Tsongkapa dan Dalai Lhama yang pertama. 232 Appendiks-3: Sutra dan Pandangan Mahayana Ajaran khas di dalam aliran Tantra adalah dikenalnya suatu keadaan Maha Mudra di mana pada tingkatan meditasi (dan kehidupan) yang tertentu seseorang telah dapat menyatukan aspek positif (jantan) dari alam semesta dengan aspek negatif (betina)nya. Ajaran ini sering disalah tafsir secara kata-kata oleh anggota atau pengikut sekte-sekte Tantra yang tua dan sering dihubungkan dengan aspek Shiwa-Shakti di dalam Agama Hindu sehingga kadang-kadang terjadi praktek-praktek yang menyimpang dari ajaran Buddha yang sebenarnya. Yang dimaksud dengan keadaan Maha Mudra sebenarnya adalah keadaan di mana tidak ada lagi dualitas di dalam mahluk hidup tersebut yang ditandai dengan telah bersatunya aspek positif dari alam semesta berupa Upaya dengan aspek negatifnya atau Prajna;8 telah harmonis dengan alam semesta, dan sebenarnya telah satu dengan segala yang ada; telah satu dengan kesunyataan itu sendiri. Di dalam kitab-kitab Tantra itu ada ditemukan: a. Gambar-gambar gaib (Mandala), seperti lingkaran gaib. Segala macam Yoga yang ditujukan kepada Deva-deva, agar mereka diberi kekuatan gaib. b. Mantera-mantera yang berisi kalimat-kalimat yang memuat kekuatan gaib dan dapat disamakan dengan kalimat-kalimat yang berisi sihir. Semenjak berdirinya sekte Gelukpa oleh Tsongkhapa (1354-1419), maka Agama Buddha Tantra lebih menekankan pencapaian kesucian dengan mencapai keseimbangan antara Samatha dan Vipassana di dalam meditasi maupun di dalam hidup sehari-hari. Tata cara yang menggunakan lambang-lambang gaib (Mandala), mantra dan mudra hanyalah merupakan salah satu cara dan alat bantu dalam mencapai keseimbangan dan keharmonisan itu. 8 Di dalam pandangan Mahayana pada umumnya, 'penerangan' atau 'pencerahan' itu mencakup aspek prajna dan karuna sebagai aspek negatif dan positif dari alam semesta yang membentuk Bodhicitta (Jiwa yang telah Terang dan Bijaksana). Hal ini dinilai 'statis' oleh kaum Tantra yang melihat sisi 'dinamis' dari 'penerangan' atau 'pencerahan' itu, maka dalam pandangan Tantra, keadaan Maha Mudra (Samyak-Sambodhi / Samma-Sambodhi menurut pandangan Mahayana dan Theravada) di mana seorang Siddha (mungkin sama dengan Bodhisattva dalam pandangan Mahayana dan Buddha sendiri dalam pandangan Theravada) setelah mendapatkan pencerahannya juga aktif dan dinamis mencari dan menolong mahluk lain untuk mencapai pencerahan yang sama, merupakan penyatuan dari unsur statis Prajna dengan unsur dinamis Upaya. 233 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru Kini di dalam perkembangannya semua aliran ini telah mengharmoniskan ciri khasnya masing-masing dalam satu kesatuan; mengharmoniskan ajaran dan Dharma yang sama kepada beraneka ragam manusia yang dengan beraneka ragam sifatnya pula; dengan cara dan metoda yang berbeda menuntun manusia kepada tujuan yang sama. Untuk orang-orang yang berpikiran praktis dan berjiwa sederhana tersedia ajaran Theravada yang banyak berisi tuntunan moral dan sila yang menghimbau manusia agar bisa menempatkan dirinya dengan harmonis sebagai bagian dari alam semesta; yang pada saatnya juga memaparkan kesunyataan tentang hakekat yang sebenarnya dari alam semesta; hakekat dari hidup yang sebenarnya dan menuntun manusia untuk mencapai keharmonisan dan kesatuan dengan hukum-hukum itu. Untuk orang-orang yang bersemangat dan memiliki keyakinan yang kuat, tersedia pandangan Buddhis Mahayana yang semakin memperkokoh keyakinan, yang mendorong semangat manusia untuk berkarya dalam hidupnya; berkarya terhadap semua mahluk hidup; berkarya terhadap alam semesta untuk kemudian bisa menghimbau dan membantu mahluk-mahluk lainnya dalam melakukan karya yang sama, dan akhirnya bersama-sama satu dengan segala yang ada; satu dengan yang Esa. Untuk orang-orang yang berjiwa kritis dan analitis yang tidak mudah percaya kepada sesuatu yang belum terasa kebenarannya, berkembang aliran Buddha Tantrayana, yang menyediakan jalan bagi manusia untuk lebih mengenali dirinya sendiri dengan segera, mengenali alam semesta beserta hukum-hukumnya, menyediakan jalan singkat agar manusia bisa harmonis hingga suatu saat bersatu dengan hukum-hukum itu. 234 Index Citta......................................... 127 Cunda, samanera ................. 154 Cunda, si tukang besi...181, 183 daun Simsapa.......................... 64 Devadatta 49, 138, 145, 148, 165 Devadha, kota suku Koliya.... 25 Dewa Api ................................... 8 dewa perselisihan .................. 64 Dewa Rohitassa .................... 153 Dhamma ................................ 195 Dhaniya, putera pembuat tembikar............................. 103 Sallakatta; tabib..................... 165 dukkha ..................................... 29 Gadis Mangga, Ambapali..... 171 gajah ganas, Nalagiri ............ 144 Gangga ......14, 24, 65, 76, 92, 96, 137, 198 Gaya...................................... 6, 14 Gaya-Sisa ............................... 146 Gijjhakuta.........11, 143, 165, 171 Gosinga, hutan ........................ 65 hari suci, lihat juga Uposatha ............................................. 102 Himalaya .................................. 51 Hutan Bambu .... 13, 22, 36, 108, 140 Hutan Besar ........................... 157 Hutan Dingin............................ 92 Hutan Ghosita ....................... 138 Hutan Gosinga......................... 65 Hutan Jeta......................117, 135 Hutan Mangga .23, 165, 167, 180 Ibu Migara .............................. 121 ibu Nanda ................................ 58 Icchanangala......................... 116 Isigili, pegunungan ............... 103 Isipatana..................................... 1 janji suci ................................. 119 4 keperluan bhikkhu ............ 103 5 usaha................................... 111 8 Jalan Utama........................ 195 ahimsa...................................... 97 ajaran benar .......................... 113 Ajatazattu .............. 139, 165, 189 Alavi ........................................ 106 amata, keabadian................. 156 Ambapali, Gadis Mangga..... 171 Ananda49, 50, 71, 150, 189, 190 Anathapindika.. 36, 51, 119, 152 Anga, daerah ............................. 8 Angulimala.....................130, 137 annihilasionis .......................... 99 Anukiya, kota........................... 49 Anupiya .................................... 63 Anuruddha..44, 65, 66, 188, 196 Asava ..........................66, 94, 143 Assaji ............................ 2, 14, 157 Balai Beratap Runcing, lihat Kutagara-sala....................... 97 Bangsawan Licchavi, lihat Licchavi .............................. 175 banyan, pohon...................... 151 bayi mati .................................. 84 Beluva, desa kecil................. 177 Benares ................1, 6, 14, 23, 76 Bhadda...............................34, 69 Bhaddiya .............................. 2, 63 Bhaddiya dari kaum Licchavi ............................................. 113 Bhaddiya, pangeran ............... 43 Bhaddiya, raja ......................... 48 bhikkhu-bhikkhu gemuk ..... 105 biji mostar................................ 84 Bimbisara......10, 12, 40, 69, 142, 165, 171 Buddha................................... 114 Bukit Gaya-Sisa ..................... 146 235 Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru Janussoni ......................... 82, 110 jejak kaki gajah besar ... 82, 110, 160, 164 Jenderal Siha........................... 97 Jivaka, tabib........................... 165 Jumna....................................... 63 Kakuttha, sungai ................... 183 Kaludayin ........................... 22, 28 kalung dari jari tangan ......... 130 Kapala .................................... 180 Kapilavatthu................ 22, 42, 69 Karma..................................... 137 Kassapa Agung, lihat Maha Kassapa ................................ 33 Kassapa, pemuja api................ 7 Khanna................................... 197 Khema..........................41, 69, 72 Kimbila..................................... 65 Kisa Gotami ............................. 84 Kolalika, pengikut Devadatta ............................................. 147 Koliya.................................. 25, 42 Kondanna .................................. 2 Kosala................................. 51, 92 Kosambi...63, 64, 138, 193, 197, 199 Kue Kecambah ..................... 127 Kusinara ................................. 182 Kutagara-sala.................. 97, 157 lereng Burung Bering, lihat juga Gijjhakuta........................... 165 Licchavi........25, 69, 95, 157, 175 Lumbini.................................... 25 Magadha ........8, 22, 92, 165, 171 Maha Kassapa 33, 107, 108, 190 Mahanama, si Putra Sulung .. 44 Mahanama, siswa pertama..... 2 makan daging ......................... 99 Malla .........................49, 183, 189 Mallika ...................................... 52 236 Mara.... 5, 20, 60, 66, 72, 95, 114, 115, 116, 180 mata batin................................ 20 Migara..................................... 119 Migasala ................................. 111 Moggallana .. 15, 20, 58, 87, 127, 147, 151, 154, 155 musim hujan, vassa.............. 102 Nadiya ...................................... 65 Naku ......................................... 79 Nalagiri ................................... 144 Nalanda.............................. 33, 86 Nanda ....................................... 31 Nataputta, Nigantha................ 97 Neranjara ............................... 180 Nigantha.......................41, 69, 97 Nigata ..................................... 116 Nirvana ..1, 12, 21, 25, 30, 39, 59, 74, 96, 136, 155, 156, 177, 184 orang buta.............................. 110 Pajapati ........................31, 43, 71 Parinirvana.....................101, 192 Pasenadi .... 51, 53, 69, 102, 130, 135 Patacara ...................................73 Pava ........................................ 181 pegunungan Isigili ................ 103 pendebat ulung, Saccaka .... 157 perangkap rusa ....................... 59 peraturan ...............................103 Persamuan Agung ........119, 189 Pilotika ..................................... 82 Pindola ..................................... 87 pohon Akasia ........................ 111 pohon banyan....................... 151 Pohon Bodhi 14, 25, 32, 90, 125, 180 pohon Judas .......................... 111 pohon sal ................................. 65 Pukkusa ................................. 183 Punna ....................................... 20 Index Purana Kassapa .................... 166 puteri Uggaha........................ 123 Rahula ......................................31 Raja Udena ............................ 198 Rajaga....................................... 22 Rajagaha ....6, 10, 33, 41, 86, 191 Rambut Ikal, lihat Bhadda..... 70 Ratu Mallika............................. 52 Rohini, sungai.......................... 42 Rohitassa, dewa.................... 153 Saccaka.................................. 157 Saketa..................................... 119 Sakya ............................22, 26, 42 Sanjaya..................................... 15 Sariputta...15, 18, 58, 67, 69, 80, 117, 127, 140, 147, 150, 154, 155 Savatthi36, 40, 51, 56, 73, 79, 84, 102, 111, 119 sepatu dengan tapak yang lembut .................................. 95 si Rambut Ikal, lihat Bhadda . 70 Siddharta, pangeran ............... 10 Siha, jendral............................. 97 Simsapa, hutan ....................... 64 Sona..........................92, 108, 194 Sona Kolivisa ........................... 92 Subhadda, bhikkhu tua........ 189 Subhadda, pengelana .......... 186 Suddho..................................... 43 Suddhodana ......................22, 32 Sudhamma ............................ 127 Suku Malla ...............49, 183, 185 Sungai Jumna.......................... 63 Sungai Kakuttha.................... 183 sungai Neranjara................... 180 Sungai Rohini .......................... 42 sungai Vaggamuda ............... 105 Supatittha, tempat suci .......... 11 supranormal ......20, 87, 105, 139 tabib Jivaka............................ 165 Taman Jeta ........................51, 83 Taman Lumbini ...................... 25 Taman Rusa .................... 1, 6, 23 Tissa, bhikkhuni.................... 196 Udena....................................... 63 Udena dan Gotamaka.......... 180 Upali .................................49, 192 Uposatha................................ 146 Uppalavanna ........................... 72 Uruvela....................................... 6 Vaggamuda ........................... 105 Vajji ..................................... 25, 69 Vakkali...................................... 90 Vappa ......................................... 2 Vassakara, kepala menteri.. 104 Veda.................................... 64, 70 Veluvana ......................13, 14, 36 Vesali 25, 65, 69, 70, 71, 97, 157, 171 Vinaya64, 72, 102, 190, 192, 195 Visakha................................... 119 wanita gila, lihat Patacara ..... 73 Yasodara ..................................30 237