BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Jacques Ranciere adalah seorang pemikir sosial-politik yang pemikirannya membentang dari Filsafat, Sosiologi, Politik, Budaya, Pendidikan, Sastra, sampai Estetika. Bagi Sosiologi, kontribusi pemikirannya cukup signifikan. Sebab, Ranciere mengkritik sekaligus mengevaluasi pemikiran serta teori dari sosiolog sebelumnya yang mengeluarkan gagasan-gagasan terkait isu kesetaraan, misalnya Karl Marx dan Pierre Bourdieu. Ranciere mengkritik konsep lumpenproletariat Marx yang membuat golongan tersebut tersingkir dari politik, menjadi le part sans-part. Sedang, Bourdieu dikritik Ranciere berkaitan dengan gagasannya soal pendidikan anak-anak kaum buruh. Bagi Ranciere, pemikiran Bourdieu berangkat dari ketidaksetaraan dan justru mengafirmasi ketidaksetaraan itu, tanpa memberi peluang bagi kesetaraan. Ranciere, selain memberi alternatif baru untuk mazhab post-stukturalisme, juga menyumbang satu teori sosial baru bagi Sosiologi, yakni teori disensus. 2. Pemikiran kesetaraan Ranciere dapat disebut “kesetaraan radikal” karena ia melampaui segala partisi dan hierarki yang menekankan pada “perbedaan” ketimbang kesetaraan. Selama semua orang mampu berpikir dan berbahasa, maka semua orang setara. Hanya saja, cara tiap orang mengejawantahkan kesetaraannya berbeda-beda. Maka, ada dua jenis kesetaraan, sebagaimana Ranciere sebut, yakni: a. Kesetaraan aktif (active equality) Sebentuk perjuangan untuk merampas kesetaraan. Para pejuang kesetaraan itu (yang politis) ingin setiap subjek dapat berpikir aktif dan kreatif dalam memandang kesetaraan hingga mampu mematahkan rezim yang ada (politik). Ranciere menyarankan agar setiap orang melakukan tindakan sebagai subjek politik dalam masyarakat untuk dapat merampas kesetaraan. Subjek berpartisipasi aktif melakukan 71 tindakan politik dalam sistem. Berpartisipasi aktif tak mesti dilakukan secara sadar, tapi mungkin pula dilakukan secara tak sadar. b. Kesetaraan pasif (passive equality) Kesetaraan pasif bukan yang politis, tapi bentuk ketersingkiran dari politik. Kesetaraan pasif berarti subjek tidak berpartisipasi dalam merebut kesetaraan, yang menjadi haknya. Kesetaraan pasif adalah kesetaraan yang diberikan oleh sistem (politik). Pemerintah memang mengakui adanya keragaman, namun tetap saja mengklasifikasikan subjek, mengatur peran serta posisi mereka. Etnis, peran dan posisi memiliki tempatnya sendiri. 3. Sejauh ini, pemikiran kesetaraan Ranciere belum banyak dipelajari oleh mahasiswa Sosiologi di Indonesia. Inilah hal yang sebetulnya menyulitkan pemikiran Ranciere dipakai dalam konteks Indonesia. Bagaimana mungkin menggunakan suatu teori tanpa terlebih dahulu memahami teori itu sendiri? Namun, kalaupun Ranciere sudah banyak dipelajari, tantangan tetaplah ada. Sebab, musuh kesetaraan radikal, merujuk Ranciere, adalah totalitarianisme dan fundamentalisme, yang masih marak di negeri ini. Jadi, di Indonesia, kemungkinan penerapan pemikiran kesetaraan Ranciere masih tersendatsendat. Terutama karena masih besarnya afirmasi terhadap musuh-musuh “yang politis”, sekaligus musuh-musuh kesetaraan sebagaimana disebutkan sebelumnya. Maka, selain menggiatkan studi ihwal kesetaraan, kesadaran bahwa semua orang adalah setara mesti pula ditegaskan. B. Implikasi 1. Implikasi metodologis Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah hermeneutika, yang mana masih agak asing dalam studi Sosiologi. Selain mengenalkan hal baru, implikasi pemakaian metode hermeneutika dalam penelitian ini adalah cara pandang baru. Penelitian sosial bukan lagi sebagai “pengujian” sebagaimana penelitian kuantitatif, atau “penjelasan” sebagaimana penelitian deskriptif 72 kualitatif saja, tapi juga “pemaknaan” dengan hermeneutika sebagai pisau bedahnya. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah hermeneutical circle, yang dimaksudkan sebagai kelindan antara satu elemen pemaknaan dengan elemen lainnya. Kelindan tersebut melibatkan teori (dalam hal ini pemikiran Ranciere) dengan pemaknaan individu (peneliti). Selain itu, hermeneutical circle juga memungkinkan peneliti melihat kelindan antara teks (pemikiran Ranciere), konteks (kesetaraan pra-Ranciere), dan kontekstualisasi (wacana Ranciere untuk masyarakat multikultural Indonesia). 2. Implikasi teoretis Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori disensus cetusan Ranciere. Dalam teori tersebut ada sepuluh proposisi yang masyhur dikenal sebagai sepuluh tesis yang politis. Proposisi pertama Ranciere yang utama untuk membuka jalan menuju teori disensus. Ranciere mengatakan bahwa politik bukanlah penghikmatan kekuasaan. Politik semestinya didefinisikan dalam terminologinya sendiri sebagai cara tindak spesifik yang dijelma oleh subjek spesifik dan punya rasionalitas tersendiri, yakni relasi politik yang memungkinkan pemahaman subjek politik, bukan dengan jalan lain. Oleh karena politik tidak sekadar menghikmati kekuasaan, yang pada gilirannya menjelma rezim, namun suatu relasi sosial antara subjek politik, maka teori disensus dapat menjadi pisau bedah untuk memahami diskursus kesetaraan, bahkan dalam masyarakat multikultural. Melalui disensus pula, dikenal konsep “politik” dan “yang politis”. Ranciere menulis bahwa yang politis berdiri dalam distingsi untuk mengoposisi politik. Politik merupakan distribusi sensibilitas (partage du sensible) yang mana berprinsip absennya kehampaan sekaligus tambahan. Dalam penelitian ini ditemukan beberapa subjek politik yang memiliki kecenderungan “yang politis”, yakni Sedulur Sikep dan Komunitas ketjilbergerak. 3. Implikasi empiris Setidaknya hingga penelitian ini dilakukan, belum ada satu pun buku Ranciere yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Padahal pemikir 73 lain yang sezaman dengan Ranciere, katakanlah Amartya Sen, sudah dapat ditemukan karya terjemahannya yang diterbitkan oleh penerbit Indonesia. Artinya, Ranciere belum banyak dilirik, kecuali oleh para pengkaji filsafat dan politik tekun, yang nekat mengatasi problem kebahasaan dengan cara membaca teks dalam bahasa aslinya, semisal dosen dan mahasiswa STF Driyarkara. Namun, di kemudian hari, pemikiran Ranciere akan mulai akrab bagi pembaca Indonesia. Pasalnya, meskipun pemikiran Ranciere belum terlalu digiati oleh para pembelajar di kampus-kampus, di komunitas-komunitas seni kontemporer sudah banyak diperbincangkan. Misalnya lewat program yang diadakan KUNCI Cultural Studies, yakni Rabbit Hole Theory. Dengan kata lain, diskusi ilmu sosial di kampus-kampus, bila mau mengikuti arus di komunitas-komunitas tersebut, akan semakin berkembang. Bukan Ranciere saja, tokoh lain pun sudah semestinya dipelajari, dikaji, dan dikembangkan pemikirannya. C. Saran 1. Ranciere perlu dikontekstualisasikan bagi masyarakat Indonesia, dengan mempelajari dan menerapkan pemikiran Ranciere sebagai salah satu cara mengatasi berbagai macam klaim ketaksetaraan di negeri ini, baik bermotif ekonomi, agama, etnisitas, atau rasial. Dengan mengkaji Ranciere pula, sosiolog Indonesia dapat merumuskan solusi mengatasi musuh-musuh “yang politis”, musuh-musuh kesetaraan, yakni totalitarianisme dan fundamentalisme. 2. Ranciere dan pemikir mutakhir lainnya perlu semakin tekun dikaji oleh para akademisi Indonesia. 3. Sosiolog Indonesia perlu segera memperkaya perspektif agar masyarakat Indonesia dapat bersikap lebih baik dalam menghadapi multikulturalisme di negeri ini. 74