71 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Jacques Ranciere adalah

advertisement
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Jacques Ranciere adalah seorang pemikir sosial-politik yang pemikirannya
membentang dari Filsafat, Sosiologi, Politik, Budaya, Pendidikan, Sastra,
sampai Estetika. Bagi Sosiologi, kontribusi pemikirannya cukup signifikan.
Sebab, Ranciere mengkritik sekaligus mengevaluasi pemikiran serta teori
dari sosiolog sebelumnya yang mengeluarkan gagasan-gagasan terkait isu
kesetaraan, misalnya Karl Marx dan Pierre Bourdieu. Ranciere mengkritik
konsep lumpenproletariat Marx yang membuat golongan tersebut tersingkir
dari politik, menjadi le part sans-part. Sedang, Bourdieu dikritik Ranciere
berkaitan dengan gagasannya soal pendidikan anak-anak kaum buruh. Bagi
Ranciere, pemikiran Bourdieu berangkat dari ketidaksetaraan dan justru
mengafirmasi ketidaksetaraan itu, tanpa memberi peluang bagi kesetaraan.
Ranciere, selain memberi alternatif baru untuk mazhab post-stukturalisme,
juga menyumbang satu teori sosial baru bagi Sosiologi, yakni teori disensus.
2. Pemikiran kesetaraan Ranciere dapat disebut “kesetaraan radikal” karena ia
melampaui segala partisi dan hierarki yang menekankan pada “perbedaan”
ketimbang kesetaraan. Selama semua orang mampu berpikir dan berbahasa,
maka semua orang setara. Hanya saja, cara tiap orang mengejawantahkan
kesetaraannya berbeda-beda. Maka, ada dua jenis kesetaraan, sebagaimana
Ranciere sebut, yakni:
a. Kesetaraan aktif (active equality)
Sebentuk perjuangan untuk merampas kesetaraan. Para pejuang
kesetaraan itu (yang politis) ingin setiap subjek dapat berpikir aktif
dan kreatif dalam memandang kesetaraan hingga mampu mematahkan
rezim yang ada (politik). Ranciere menyarankan agar setiap orang
melakukan tindakan sebagai subjek politik dalam masyarakat untuk
dapat merampas kesetaraan. Subjek berpartisipasi aktif melakukan
71
tindakan politik dalam sistem. Berpartisipasi aktif tak mesti dilakukan
secara sadar, tapi mungkin pula dilakukan secara tak sadar.
b. Kesetaraan pasif (passive equality)
Kesetaraan pasif bukan yang politis, tapi bentuk ketersingkiran
dari politik. Kesetaraan pasif berarti subjek tidak berpartisipasi dalam
merebut kesetaraan, yang menjadi haknya. Kesetaraan pasif adalah
kesetaraan yang diberikan oleh sistem (politik). Pemerintah memang
mengakui adanya keragaman, namun tetap saja mengklasifikasikan
subjek, mengatur peran serta posisi mereka. Etnis, peran dan posisi
memiliki tempatnya sendiri.
3. Sejauh ini, pemikiran kesetaraan Ranciere belum banyak dipelajari oleh
mahasiswa Sosiologi di Indonesia. Inilah hal yang sebetulnya menyulitkan
pemikiran Ranciere dipakai dalam konteks Indonesia. Bagaimana mungkin
menggunakan suatu teori tanpa terlebih dahulu memahami teori itu sendiri?
Namun, kalaupun Ranciere sudah banyak dipelajari, tantangan tetaplah ada.
Sebab, musuh kesetaraan radikal, merujuk Ranciere, adalah totalitarianisme
dan fundamentalisme, yang masih marak di negeri ini. Jadi, di Indonesia,
kemungkinan penerapan pemikiran kesetaraan Ranciere masih tersendatsendat. Terutama karena masih besarnya afirmasi terhadap musuh-musuh
“yang politis”, sekaligus musuh-musuh kesetaraan sebagaimana disebutkan
sebelumnya. Maka, selain menggiatkan studi ihwal kesetaraan, kesadaran
bahwa semua orang adalah setara mesti pula ditegaskan.
B. Implikasi
1. Implikasi metodologis
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah hermeneutika, yang
mana masih agak asing dalam studi Sosiologi. Selain mengenalkan hal baru,
implikasi pemakaian metode hermeneutika dalam penelitian ini adalah cara
pandang baru. Penelitian sosial bukan lagi sebagai “pengujian” sebagaimana
penelitian kuantitatif, atau “penjelasan” sebagaimana penelitian deskriptif
72
kualitatif saja, tapi juga “pemaknaan” dengan hermeneutika sebagai pisau
bedahnya.
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah hermeneutical circle,
yang dimaksudkan sebagai kelindan antara satu elemen pemaknaan dengan
elemen lainnya. Kelindan tersebut melibatkan teori (dalam hal ini pemikiran
Ranciere) dengan pemaknaan individu (peneliti). Selain itu, hermeneutical
circle juga memungkinkan peneliti melihat kelindan antara teks (pemikiran
Ranciere), konteks (kesetaraan pra-Ranciere), dan kontekstualisasi (wacana
Ranciere untuk masyarakat multikultural Indonesia).
2. Implikasi teoretis
Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori disensus cetusan
Ranciere. Dalam teori tersebut ada sepuluh proposisi yang masyhur dikenal
sebagai sepuluh tesis yang politis. Proposisi pertama Ranciere yang utama
untuk membuka jalan menuju teori disensus. Ranciere mengatakan bahwa
politik bukanlah penghikmatan kekuasaan. Politik semestinya didefinisikan
dalam terminologinya sendiri sebagai cara tindak spesifik yang dijelma oleh
subjek spesifik dan punya rasionalitas tersendiri, yakni relasi politik yang
memungkinkan pemahaman subjek politik, bukan dengan jalan lain.
Oleh karena politik tidak sekadar menghikmati kekuasaan, yang pada
gilirannya menjelma rezim, namun suatu relasi sosial antara subjek politik,
maka teori disensus dapat menjadi pisau bedah untuk memahami diskursus
kesetaraan, bahkan dalam masyarakat multikultural. Melalui disensus pula,
dikenal konsep “politik” dan “yang politis”. Ranciere menulis bahwa yang
politis berdiri dalam distingsi untuk mengoposisi politik. Politik merupakan
distribusi sensibilitas (partage du sensible) yang mana berprinsip absennya
kehampaan sekaligus tambahan. Dalam penelitian ini ditemukan beberapa
subjek politik yang memiliki kecenderungan “yang politis”, yakni Sedulur
Sikep dan Komunitas ketjilbergerak.
3. Implikasi empiris
Setidaknya hingga penelitian ini dilakukan, belum ada satu pun buku
Ranciere yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Padahal pemikir
73
lain yang sezaman dengan Ranciere, katakanlah Amartya Sen, sudah dapat
ditemukan karya terjemahannya yang diterbitkan oleh penerbit Indonesia.
Artinya, Ranciere belum banyak dilirik, kecuali oleh para pengkaji filsafat
dan politik tekun, yang nekat mengatasi problem kebahasaan dengan cara
membaca teks dalam bahasa aslinya, semisal dosen dan mahasiswa STF
Driyarkara.
Namun, di kemudian hari, pemikiran Ranciere akan mulai akrab bagi
pembaca Indonesia. Pasalnya, meskipun pemikiran Ranciere belum terlalu
digiati oleh para pembelajar di kampus-kampus, di komunitas-komunitas
seni kontemporer sudah banyak diperbincangkan. Misalnya lewat program
yang diadakan KUNCI Cultural Studies, yakni Rabbit Hole Theory. Dengan
kata lain, diskusi ilmu sosial di kampus-kampus, bila mau mengikuti arus di
komunitas-komunitas tersebut, akan semakin berkembang. Bukan Ranciere
saja, tokoh lain pun sudah semestinya dipelajari, dikaji, dan dikembangkan
pemikirannya.
C. Saran
1. Ranciere perlu dikontekstualisasikan bagi masyarakat Indonesia, dengan
mempelajari dan menerapkan pemikiran Ranciere sebagai salah satu cara
mengatasi berbagai macam klaim ketaksetaraan di negeri ini, baik bermotif
ekonomi, agama, etnisitas, atau rasial. Dengan mengkaji Ranciere pula,
sosiolog Indonesia dapat merumuskan solusi mengatasi musuh-musuh
“yang politis”, musuh-musuh kesetaraan, yakni totalitarianisme dan
fundamentalisme.
2. Ranciere dan pemikir mutakhir lainnya perlu semakin tekun dikaji oleh para
akademisi Indonesia.
3. Sosiolog Indonesia perlu segera memperkaya perspektif agar masyarakat
Indonesia dapat bersikap lebih baik dalam menghadapi multikulturalisme di
negeri ini.
74
Download