1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan dunia, maka perkembangan berbagai
bidang saat ini pun dapat dilihat semakin dinamis dan cepat. Tidak hanya pada
bidang ekonomi, kondisi demikian juga terjadi pada bidang yang lain, seperti
pendidikan, politik, dan budaya. Persoalannya, tidak semua masyarakat dapat
menerima keadaan dunia yang semakin cepat berubah sehingga memicu
berbagai reaksi sosial hampir di seluruh lapisan masyarakat. Terdapat
masyarakat yang dapat menerima keadaan dan tetap menjalankan kehidupan
sehari-harinya dengan normal. Pada sisi lain, ada pula pihak-pihak yang
berusaha memberontak atas kondisi perubahan tersebut yang terkadang pada
akhirnya justru mengganggu kondisi mental orang tersebut. Dalam hal ini, tidak
semua orang mampu untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan
tersebut, sehingga kemudian justru dapat membuat yang bersangkutan jatuh
sakit, atau mengalami kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri (adjustment
disorder) (Hawari, 2001). Misalnya dapat dilihat dari krisis ekonomi yang tidak
kunjung selesai di Indonesia. Fenomena tersebut memberikan dampak cukup
serius di luar dampak bidang ekonomi, yaitu meningkatnya jumlah penderita
gangguan mental, terutama jenis anxietas (gangguan kecemasan) dan hanya 8%
saja dari penderitanya yang telah mendapatkan pengobatan memadai. Masalah
gangguan mental ini ternyata terjadi di hampir seluruh negara di dunia.
Saat ini sekitar 400 juta orang di dunia diperkirakan mengalami gangguan
mental sehingga WHO sebagai organisasi kesehatan dunia memandang perlu
1
2
mengangkat masalah gangguan mental sebagai tema peringatan Hari Kesehatan
Sedunia. Terdapat enam jenis gangguan mental yang diangkat sebagai isu
global
oleh
WHO,
yaitu
epilepsi,
Depresi,
Skizofrenia,
Alzheimer,
Keterbelakangan Mental, dan Ketergantungan Alkohol (Pusat Data & InformasiPerhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia/PERSI, 2001).
Penyebab depresi dan cemas yang dialami masyarakat sangat kompleks,
mulai dari persoalan sosial ekonomi hingga kebijakan pemerintah yang menekan
rakyat. Tekanan tersebut di antaranya berupa sulitnya mencari penghasilan
memadai, kehidupan kota yang kian memberi tekanan akibat terbatasnya ruang
publik, perubahan drastis nilai-nilai kehidupan di pedesaan, atau masuknya nilainilai baru yang mempengaruhi keluarga. Selain itu, kebijakan perburuhan
pemerintah yang menggaji rendah buruh serta kebijakan pendidikan yang
menekan siswa dan orang tua juga dinilai turut berkontribusi dalam penciptaan
tekanan hidup bagi masyarakat (Anna, 2012).
Saat ini terdapat kecenderungan peningkatan jumlah penderita gangguan
mental. Menurut WHO, gangguan mental di seluruh dunia telah menjadi masalah
yang sangat serius. Hal demikian dikarenakan setidaknya satu dari empat orang
di dunia mengalami gangguan mental dan terdapat sekitar 450 juta orang di
dunia yang mengalami gangguan mental (WHO, 2011). Dengan mengacu pada
data tersebut, maka diperkirakan jumlah penderita gangguan mental saat ini
telah meningkat dan akan terus cenderung mengalami peningkatan. Tingginya
masalah tersebut menunjukkan bahwa masalah kesehatan mental merupakan
salah satu masalah kesehatan masyarakat yang besar.
Salah satu jenis gangguan mental yang banyak dialami adalah
Skizofrenia. Studi epidemiologi menyebutkan bahwa perkiraan angka prevalensi
3
Skizofrenia secara umum berkisar antara 0,2% - 2% tergantung di daerah atau
negara mana studi dilakukan. Selanjutnya dikemukakan bahwa life time
prevalensi Skizofrenia diperkirakan antara 0,5%-1%. Angka tersebut cukup
rendah mengingat Skizofrenia cenderung menjadi penyakit yang menahun
(kronis) maka angka insiden penyakit ini dianggap lebih rendah dari angka
prevalensi. Di Indonesia angka penderita Skizofrenia 25 tahun yang lalu (PJPT I)
diperkirakan 1/1000 penduduk dan proyeksi 25 tahun mendatang mencapai
3/1000 penduduk. Pada tahun 2003 di ruang mental C RSU Dr Soetomo terdapat
351 pasien yang melakukan rawat inap dan 202 di antaranya menderita
Skizofrenia di mana 70% berusia antara 15–24 tahun (Catatan Medik, 2003).
Menkes dan Kesos Achmad Sujudi mengatakan bahwa di Indonesia
diperkirakan 6 juta penduduknya mengalami anxietas dan 5,5 juta di antaranya
tidak berobat atau tidak mendapat pengobatan yang memadai. Lebih lanjut, hasil
penelitian yang dilakukan Direktorat Kesehatan Mental tahun 1996 menemukan
setiap 20 orang per 1000 anggota keluarga menderita kecemasan (Pusat Data &
Informasi- PERSI, 2001). Data-data tersebut menunjukkan bahwa jumlah
penderita gangguan mental mengalami kecenderungan peningkatan. Sedikitnya
20% penduduk dewasa di Indonesia saat ini menderita gangguan mental,
dengan empat jenis penyakit langsung yang ditimbulkannya yaitu depresi,
penggunaan alkohol, gangguan bipolar, dan skizofrenia. Menurut Ketua
Departemen Psikiatri FKUI/RSCM Irmansyah, satu dari lima orang dewasa
pernah mengalami gangguan mental dari jenis biasa sampai yang serius (Forum,
2009).
Sementara berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, disebutkan
bahwa rata-rata nasional gangguan mental berat adalah 0,5%, rata-rata nasional
4
gangguan mental emosional ringan, seperti cemas dan depresi pada penduduk
berusia 15 tahun ke atas mencapai 11,6%, dengan angka tertinggi terjadi di Jawa
Barat sebesar 20% dan angka terendah terjadi di Provinsi Kep. Riau yaitu 5,1%.
Sedangkan
yang
mengalami gangguan
mental
berat,
seperti psikosis,
skizofrenia, dan gangguan depresi berat, sebesar 0,46%. Untuk gangguan
mental ringan banyak diderita kaum perempuan, yaitu dua kali lebih banyak
dibanding laki-laki, sedangkan gangguan mental berat pada perempuan lebih
ringan dibanding laki-laki. Hasil penelitian tersebut menyebutkan gangguan
mental ringan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi.
Prevalensi gangguan mental emosional meningkat sejalan dengan
pertambahan usia. Berdasarkan umur, prevalensi tertinggi pada kelompok umur
75 tahun ke atas (33,7%). Kelompok yang rentan mengalami gangguan mental
emosional adalah kelompok dengan jenis kelamin perempuan (14,0%), kelompok
yang memiliki pendidikan rendah (paling tinggi pada kelompok tidak sekolah,
yaitu 21,6%), kelompok yang tidak bekerja (19,6%), tinggal di perdesaan
(12,3%), serta pada kelompok tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita
terendah (12,1%). Survei Kesehatan Depkes RI menyatakan bahwa gangguan
mental pada usia 55-64 tahun mencapai 7,9%, sedangkan yang berusia di atas
65 tahun 12,3%. Angka tersebut diperkirakan akan semakin meningkat pada
tahun-tahun mendatang.
Riset Kesehatan Dasar (2007) menyebutkan bahwa prevalensi gangguan
mental emosional berupa depresi dan cemas pada masyarakat berumur di atas
15 tahun mencapai 11,6%. Jika jumlah penduduk pada kelompok umur tersebut
tahun 2010 adalah 169 juta jiwa, maka jumlah penderita gangguan mental
diperkirakan sekitar 19,6 juta orang. Jumlah tersebut lebih banyak dialami
5
masyarakat yang berpendidikan rendah, yaitu yang tidak tamat sekolah dasar
(Naskah Akademik RUU Keswa, 2012).
Data jumlah pasien gangguan mental di Indonesia juga terus bertambah.
Data dari 33 Rumah Sakit Jiwa (RSJ) di seluruh Indonesia menyebutkan hingga
kini jumlah penderita gangguan mental berat mencapai 2,5 juta orang. Kenaikan
jumlah penderita gangguan mental terjadi di sejumlah kota besar. Di RS Jiwa
Pusat Jakarta, misalnya, tercatat 10.074 kunjungan pasien gangguan mental
pada tahun 2006, meningkat menjadi 17.124 pasien pada 2007 (Harian
Waspada, 11 Oktober 2009). Di RSJ Dadi Makassar, pada tahun 2006 paling
tidak ada 563 pasien, kemudian tahun 2007 naik menjadi 592 orang. Pengelola
RSJ Dadi, dr. Dwijoko Purnomo menjelaskan bahwa pasien terus bertambah,
rata-rata per bulan terdapat 20 pasien baru, namun karena daya tampung rumah
sakit terbatas maka yang tergolong parah saja yang ditampung. (Lintas Berita,
2011).
Sementara itu, tingginya prevalensi gangguan mental pada kenyataannya
tidak diikuti dengan ketersediaan fasilitas pengobatan medisnya. Saat ini belum
semua provinsi di Indonesia memiliki rumah sakit jiwa. Selain itu, fasilitas dan
tenaga kesehatan jiwa di Indonesia masih sangat terbatas. Saat ini hanya
terdapat 32 rumah sakit jiwa milik pemerintah dan 16 rumah sakit jiwa swasta.
Dari 1.678 rumah sakit umum yang terdata, hanya sekitar 2% yang memiliki
layanan kesehatan jiwa. Sementara hanya 15 rumah sakit dari 441 rumah sakit
umum daerah milik pemerintah kabupaten/kota yang memiliki layanan psikiatri.
Kondisi yang sama terjadi pada puskesmas di Indonesia sebab hanya 1.235
puskesmas yang memberikan layanan kesehatan jiwa dari sekitar 9.000
puskesmas (Anna, 2012).
6
Indonesia pernah memiliki Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1966 tentang
Kesehatan Jiwa, namun UU tersebut telah dinyatakan tidak berlaku lagi dengan
hadirnya UU Nomor 23 Tahun 1992. Seiring berjalannya waktu UU Nomor 23
Tahun 1992 juga dicabut dengan adanya UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. Pengaturan mengenai kesehatan jiwa hanya diatur dengan tujuh
pasal pada UU Nomor 36 Tahun 2009 Bab IX. Salah satu kelemahannya adalah
tidak idealnya proporsi perhatian yang yang diberikan antara kesehatan fisik
dengan kesehatan psikis pada undang-undang tersebut. Pengaturan yang ada
masih sangat berorientasi pada kesehatan fisik dan masih kurang memberikan
porsi pada kesehatan psikis (Naskah Akademik RUU Keswa, 2012).
Majalah Time edisi 10 November 2003 (dalam Naskah Akademik RUU
Keswa, 2012) melaporkan bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki
peringkat terendah dalam penyediaan layanan kesehatan mental di Asia. Hal ini
diindikasikan oleh rendahnya rasio psikiater dibanding dengan jumlah penduduk
Indonesia, yaitu sebesar 1:500.000. Rasio jumlah sarana perawatan terhadap
jumlah penduduk bahkan lebih rendah, yaitu 1:30.000. Indikator lain adalah
rendahnya jumlah pekerja kesehatan mental. Sementara berdasarkan data tahun
2011, jumlah psikiater yang ada hanya sekitar 600 orang. Dengan jumlah
penduduk nasional mencapai 241 juta jiwa maka perbandingannya adalah 2,49
psikiater untuk 1 juta penduduk, sedangkan untuk tenaga psikolog klinis hanya
berkisar 365 orang, yang berarti 1,51 psikolog klinis untuk satu juta penduduk.
Gambaran mengenai meningkatnya gangguan mental terlihat dari
fenomena calon legislatif (caleg) yang gagal pada pemilu 2009 yang berdampak
pada terjadinya gangguan mental pada caleg tersebut. Ketua PDSKJI DKI
Jakarta menyatakan bahwa dari sudut pandang kesehatan mental, sorotan
7
media massa terhadap caleg yang gagal dikaitkan dengan gangguan mental
telah terjadi distorsi. Hal ini dapat memunculkan stigma terhadap individu yang
menderita gangguan mental, dan memang salah satu masalah terbesar yang
dihadapi dalam gangguan mental adalah masalah stigma. Stigma berarti suatu
tanda atau identifikasi dari tanda yang terdiri dari rasa malu, noda atau
kecemaran. Stigma erat kaitannya dengan ketidak-mengertian atau salah
pengertian tentang gangguan mental termasuk pengobatannya dan profesi
psikiater dan tenaga medis yang terlibat di dalamnya (Carol, Tummala dan
Roberts, 2008). Tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa individu
yang mengalami gangguan mental adalah aib dan memalukan. Stigma ini sangat
merugikan bagi individu dan institusi yang berwenang di dunia kesehatan mental.
Oleh karena itu, tidak jarang hak asasi individu dengan gangguan mental juga
terlanggar akibat stigma dan sikap diskriminatif tersebut.
Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Mental Depkes mengakui bahwa
media massa sangat berpengaruh terhadap sikap masyarakat atau opini tentang
berbagai masalah kesehatan mental. Banyak liputan media yang disampaikan
justru merupakan hal negatif dan memperkuat stigma terhadap masalah
kesehatan mental. Media massa sangat berpengaruh terhadap pengetahuan,
pemikiran, dan pendapat tentang berbagai masalah psikososial di masyarakat
seperti gangguan mental. Liputan media yang cenderung menampilkan hal-hal
negatif akan memperkuat stigma terhadap permasalahan kesehatan mental
dalam masyarakat. Pemberitaan caleg yang gagal menjadi terganggu mentalnya
pada sisi lain juga mencerminkan bahwa seakan-akan orang Indonesia sangat
rentan terhadap gangguan mental.
8
Secara epidemiologi, dengan semakin meningkatnya usia harapan hidup
penderita gangguan mental maka jumlah penderita gangguan mental yang
berusia lanjut akan semakin meningkat. Di lain pihak, hal ini akan menimbulkan
penderitaan yang semakin mendalam bagi individu dan menjadi beban yang
semakin berat bagi keluarga, baik mental maupun materi karena penderita
menjadi kronis dan tidak lagi produktif. Sebagaimana telah disinggung
sebelumnya bahwa prevalensi gangguan mental pada perempuan tiga kali lebih
banyak dibandingkan laki-laki. Hal ini mungkin refleksi dari usia harapan hidup
perempuan lebih lama dibandingkan laki-laki (Fratiglioni, 1992). Umur harapan
hidup berdasarkan sensus BPS 2004 adalah 63 tahun untuk laki-laki dan 67
tahun untuk perempuan. Menurut kajian WHO (1999), usia harapan hidup orang
Indonesia rata-rata adalah 59,7 tahun dan menempati urutan ke 103 dunia.
Menurut Ketua Departemen Psikiatri FKUI/RSCM Irmansyah, masalah
kesehatan mental tidak semata-mata berhubungan dengan aspek klinis, namun
lebih banyak menyangkut masalah psikososial seperti stigma masyarakat,
kekerasan, dan upaya bunuh diri. Selama ini penderita banyak yang menolak
untuk dibawa ke Rumah Sakit Jiwa dengan berbagai alasan. Hal ini disebabkan
banyak penderita yang mengganggap dirinya tidak “sakit” dan disertai pula
dengan kesan Rumah Sakit Jiwa yang mempunyai konotasi negatif di
masyarakat (Forum, 2009).
Masyarakat
cenderung
untuk
mempersepsikan
dan
memandang
gangguan mental sebagai rasa takut; takut akan penyakitnya, takut dari
ketidaktahuan, dan takut akan kekerasannya. Beberapa kultur masyarakat masih
mempercayai bahwa gangguan mental adalah pekerjaan makhluk halus, darah
yang kotor, racun, dan integritas moral yang rendah. Di dalam masyarakat sendiri
9
terdapat diskriminasi dalam bidang pekerjaan, pelayanan masyarakat, pelayanan
asuransi, dan hak untuk menerima pendidikan pada individu yang mengalami
gangguan mental (Andriyanti, 2004).
Penelitian oleh Lai, Hong, dan Chee (2000) menemukan bahwa terdapat
dampak stigma terhadap pasien psikiatri, yaitu percaya diri yang rendah, rasa
malu akan penyakitnya, dan penolakan sosial yang disertai kesulitan mendapat
pekerjaan dan hak atas layanan kesehatan. Bahkan seperti yang dinyatakan oleh
Carol, Tummala, dan Roberts (2008), stigma dapat memengaruhi keluarga dari
penderita, serta dapat memengaruhi secara psikologis pada kesehatan mental
penderita.
Pernyataan ini juga didukung oleh Corrigan dan Watson (2007) yang
menyatakan bahwa stigma merupakan hambatan dalam meningkatkan kualitas
pelayanan terhadap pasien gangguan mental. Menurut Corrigan dan Watson
(2007) pendidikan psikiatri dan kepaniteraan klinik dapat menurunkan hambatan
emosional terhadap pasien psikiatri, namun gagal dalam menghilangkan
pandangan stereotip, kecuali mitos tentang penderita sakit mental yang
berbahaya. Oleh karena itu, program edukasi kesehatan yang baik dengan
memberikan informasi yang benar tentang gangguan mental, psikiatri, dan peran
psikiater diharapkan dapat membantu penghilangan stigma.
Penelitian Corrigan dan Watson (2007) menjelaskan bahwa demografi
para perseptor mempengaruhi stigmanya terhadap gangguan mental atau
ketergantungan obat. Sebuah sampel diminta untuk merespon sebuah gambaran
singkat yang menggambarkan seseorang atau anggota keluarganya dengan
sebuah kondisi kesehatan (Skizofrenia dan ketergantungan obat). Konsisten
dengan hipotesis Corrigan dan Watson (2007), hasil penelitian tersebut
10
menunjukkan bahwa perempuan lebih sedikit mempunyai stigma daripada lakilaki. Para partisipan dengan pendidikan yang lebih tinggi juga memiliki stigma
yang lebih rendah daripada para partisipan dengan tingkat pendidikan yang
rendah. Berbeda dari yang diharapkan sebelumnya, para partisipan penelitian
yang berkulit gelap lebih memiliki stigma daripada partisipan kulit putih.
Stigma yang terkait dengan gangguan mental telah diidentifikasi sebagai
hambatan utama dalam pencegahan gangguan mental, pengobatan, dan
penelitian.
Masyarakat
Afrika-Amerika
dipercaya
memegang
keyakinan
stigmatisasi tentang individu dengan gangguan mental dan stigma yang terkait
dengan perawatan kesehatan mental dibandingkan dengan ras Kaukasia.
Penelitian Barksdale dan Molock (2009) menunjukkan bahwa orang Amerika
Afrika mempertimbangkan sebuah stigma penghalang untuk mencari pengobatan
profesional pada gangguan mental. Kelompok ras Amerika-Afrika cenderung
untuk menolak gangguan mental dan berusaha untuk mengatasi masalah
kesehatan mental melalui kemandirian dan tekad. Barksdale dan Molock (2009)
menambahkan bahwa mekanisme koping adalah metode budaya untuk
menghindari peran stigma dalam masyarakat dan peran stigmatisasi dalam
komunitas etnis, keluarga, dan di antara teman sebaya.
Individu yang memperhatikan stigma mungkin tidak memiliki keinginan
untuk mencari pertolongan secara terbuka. Individu tersebut cenderung
menggunakan
strategi-strategi
tidak
langsung
dikarenakan
ketakutannya
terhadap terjadinya penolakan. Ironisnya, pencarian secara tidak langsung juga
mengarah kepada respon-respon jaringan yang tidak mendukung seperti
misalnya terjadi penolakan. Pada penelitian Williams dan Mickelson (2008)
dengan sampel para perempuan miskin di Amerika menunjukkan bahwa
11
kemiskinan terkait stigma berhubungan dengan meningkatnya ketakutan
terhadap penolakan yang menghubungkan stigma dengan pencarian pertolongan
secara tidak langsung. Dengan menggunakan sampel perempuan yang
dilecehkan terungkap bahwa pelecehan yang terkait dengan stigma dapat
meningkatkan pencarian pertolongan secara langsung, juga untuk meningkatkan
respon yang tidak mendukung. Sebaliknya, pencarian pertolongan secara
langsung dapat meningkatkan respon yang mendukung dan menurunkan respon
yang tidak mendukung (Williams dan Mickelson, 2008).
Untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan untuk
pencarian pertolongan (help seeking) dapat dijelaskan melalui proses yang
mendasari
profesional.
individu
mencari
Keputusan untuk
atau
tidak
pencarian
mencari
pertolongan
pertolongan
psikologis
lebih lanjut dapat
membedakan berbagai jenis layanan dan penyedia layanan yang lebih disukai.
Sebagai contoh, terdapat literatur yang menjelaskan faktor-faktor sosiodemografis dan terkait dengan hambatan pencarian pertolongan pada kesehatan
mental, termasuk jenis kelamin, status etnis minoritas, dan umur (Brinson dan
Kottler, 1995; Swartz, Wagner dan Swanson, 1998; Addis dan Mahalik, 2003).
Selain itu, hambatan sosial ekonomi seperti kurangnya asuransi kesehatan dapat
menjelaskan untuk memahami pencarian pertolongan dan pemanfaatan
pelayanan.
Guna memahami kerumitan perilaku pencarian pertolongan pada
gangguan mental penting untuk menerapkan model teoretis dari perubahan
perilaku. Salah satu model tersebut adalah Teori Tindakan Beralasan (Theory of
Reasoned Action). Teori ini telah banyak digunakan untuk memprediksi perilaku
perlindungan kesehatan dalam populasi yang luas dan telah digunakan untuk
12
memprediksi niat mencari pengobatan dari layanan profesional kesehatan
mental. Menurut teori tersebut, niat individu untuk terlibat dalam perilaku tertentu
(misalnya, pencarian pertolongan gangguan mental) ditentukan oleh sikapnya
terhadap hasil perilaku itu dan oleh pendapat dari setiap individu dalam
lingkungan sosial seseorang (Bayer dan Peay, 1997).
Terdapat banyak dukungan empiris untuk penggunaan Theory of
Reasoned Action (TRA) dalam memprediksi perilaku perlindungan kesehatan,
namun studi meta-analisis telah menyarankan bahwa identitas diri atau bagian
menonjol dari diri seorang terkait dengan perilaku untuk memprediksi niat
individu (Conner dan Armitage, 1998). Temuan tersebut menggambarkan
pentingnya konteks budaya dalam proses pengambilan keputusan pencarian
pertolongan.
Setelah TRA tersebut direvisi beberapa kali dan diberi masukan baru,
akhirnya muncul model yang diberi nama Theory of Planned Behavior (TPB).
TPB atau Teori Perilaku Terencana (dalam bahasa Indonesia) juga merupakan
model paling banyak diselidiki. TPB menunjukkan bahwa proksi penentu perilaku
adalah niat untuk terlibat dalam perilaku. Tiga komponen kognitif, yaitu, sikap,
norma subjektif, dan kontrol perilaku dirasakan penting dalam menjelaskan niat
perilaku dan konsekuensi dari perilaku tersebut. Menurut TPB, individu lebih
cenderung terlibat dalam perilaku jika memiliki sikap yang menguntungkan ke
arah tersebut. Selain itu, keterlibatan pada suatu perilaku juga terjadi apabila
percaya bahwa orang-orang memiliki pandangan harus melakukan perilaku
tersebut maupun jika merasa memiliki sumber daya yang diperlukan dan peluang
untuk terlibat dalam perilaku tersebut (Mo dan Mak, 2009).
13
Banyak literatur menekankan kegunaan TPB dalam memahami berbagai
perilaku kesehatan, termasuk penggunaan kondom (Albarracin, Johnson,
Fishbein dan Muellerleile, 2001), latihan fisik (Hagger, Chatzisarantis, Barkoukis,
Wang, Hein dan Pihu, 2007), deteksi gejala kanker (Hunter, Grunfeld, dan
Ramirez, 2003), dan penghentian merokok (Higgins dan Conner, 2003).
Beberapa penelitian telah menggunakan TPB untuk memprediksi niat pencarian
pertolongan dari para profesional kesehatan mental di antara pasien umum
praktek medis dan mahasiswa (Codd dan Cohen, 2003). Penelitian lain juga
menggunakan
TPB
untuk
memprediksi
niat
narapidana
untuk
mencari
pertolongan untuk masalah pribadi-emosional. Hanya saja, masih diperlukan
penelitian lebih mendalam untuk menerapkan TPB pada pencarian pertolongan
terkait masalah gangguan mental di masyarakat umum.
Untuk menguji faktor-faktor sosial-kognitif yang dapat mempengaruhi niat
pencarian pertolongan, penelitian ini menggunakan kerangka berpikir menurut
TPB untuk memahami perilaku pencarian pertolongan pada gangguan mental.
Meskipun kebanyakan studi telah menguji faktor-faktor budaya mempengaruhi
pencarian
pertolongan
untuk
masalah
gangguan
mental,
studi
yang
menggunakan model berbasis teori untuk menyelidiki subjek tetap langka.
Penerapan model kesehatan dalam memahami pencarian pertolongan adalah
penting bagi para peneliti untuk mengidentifikasi mekanisme yang mungkin
melalui niat pencarian pertolongan.
Status sosial ekonomi dalam penelitian Padgett, Patrick, dan Burns
(1994) menunjukkan bahwa individu-individu dari latar belakang status sosial
ekonomi rendah cenderung mencari dan menerima pertolongan gangguan
mental. Penelitian lain menunjukkan bahwa tingkat status sosial ekonomi yang
14
berbeda menunjukkan tingkat penerimaan yang sama dalam hal perawatan
kesehatan mental (Snowden dan Thomas, 2000). Selain faktor eksternal,
terdapat lebih banyak faktor intrinsik lain yang mencegah orang untuk mencari
bantuan psikologis, seperti kebutuhan untuk menyembunyikan informasi pribadi,
ketakutan pengobatan, ketakutan mengungkapkan emosi, ketakutan mengakui
kerentanan emosional, dan sikap yang kurang baik terhadap pemberi
pertolongan (Komiya, Good, dan Sherrod, 2000).
Pencarian pertolongan telah mendapat banyak perhatian dalam beberapa
penelitian sebelumnya. Peneliti sebelumnya mencoba menemukan jawaban atas
pertanyaan tentang apa pengaruh pencarian pertolongan individu. Peneliti
sebelumnya juga banyak meneliti hubungan antara jenis kelamin, kepribadian,
keterbukaan, gangguan emosi, kerahasiaan diri, dan pengungkapan diri, perilaku
dan sikap pencarian pertolongan (Kakhnovets, 2011). Hasil penelitian Nam et al.
(2010) menunjukkan bahwa jenis kelamin adalah prediktor signifikan pada sikap
terhadap pencarian pertolongan psikologis profesional. Selain itu, latar belakang
budaya individu (etnis misalnya, Barat dibandingkan non-Barat) dimoderasi oleh
perbedaan gender pada sikap terhadap pencarian pertolongan psikologis
profesional.
Penelitian Farooqi (2006) pula terkait dengan tipe praktek penyembuhan
secara tradisional yang dicari para pasien muslim yang menderita masalah psikis
dan dirawat di rumah sakit umum, di Lahore, Pakistan. Pasien penderita psikis
yang dewasa telah mencari metode-metode pengobatan tradisional yang
berbeda-beda, termasuk Homeopathy, Naturopathy (Tibb), Islamic Faith Healing
(Penyembuhan secara Islami) dan Sorcery (ilmu sihir atau jampi-jampi).
Penelitian tersebut mengidentifikasi gangguan psikis sebelum perawatan dari ahli
15
psikis berlisensi dengan memastikan bahwa pasien telah mencari lebih dari satu
praktek penyembuhan secara tradisional.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa secara proporsional lebih
banyak pasien laki-laki daripada pasien perempuan yang menggunakan praktek
penyembuhan secara tradisional. Pasien laki-laki menunjukkan jumlah kunjungan
lebih banyak ke tabib tradisional daripada pasien perempuan. Perbedaan ini
mungkin berdampak pada diskriminasi gender terkait mobilitas dan ketabuan
bagi perempuan untuk berkonsultasi kepada para tabib tradisional laki-laki. Studi
ini mendemonstrasikan tradisi religius secara Islami dan norma-norma budaya
Pakistan yang berpengaruh terhadap pilihan pelayanan kesehatan pada para
pasien penderita psikis di Pakistan.
Penelitian lain yang menunjukkan bahwa cara orang melihat gangguan
mental lebih besar dari sikap pencarian pertolongan yang dilakukan (Leong dan
Zachar, 1999). Khususnya bagi yang memiliki pandangan lebih bersahabat
dengan gangguan mental. Individu yang tidak melihat orang lain memiliki
gangguan mental cenderung bersikap lebih positif terhadap bantuan psikologis
profesional terkait dengan pencarian konseling (Vogel, Wade, dan Hackler,
2007). Individu yang memiliki banyak risiko terkait dengan pengungkapan diri
memiliki hubungan lebih negatif dengan sikap pencarian pertolongan seorang
konselor. Meskipun demikian, orang-orang yang memiliki pengalaman konseling
sebelumnya juga cenderung memiliki sikap yang lebih positif terhadap pencarian
pertolongan (Vogel dan Wester, 2003).
Walaupun
gangguan mental
merupakan
masalah
serius,
namun
gangguan mental masih tidak diterima secara luas sebagai masalah kesehatan
yang penting dan seringkali tidak didiagnosis dengan benar oleh para ahli
16
kesehatan. Asian Federal Psychiatrist and Mental Health (AFPMH) beranggapan
bahwa fenomena ini sebagian besar terjadi karena dua faktor. Pertama,
kurangnya pengetahuan atau pemahaman dalam mendiagnosis dan merawat
penderitanya. Faktor kedua berhubungan dengan persepsi negatif atau stigma
gangguan mental di masyarakat. Eisenberg, Downs, Golberstein, dan Zivin
(2009) telah melaksanakan penelitian untuk melihat hubungan antara perilaku
mendapatkan pertolongan dengan stigma masyarakat dan stigma pribadi.
Penelitian tersebut menemukan bahwa stigma masyarakat lebih tinggi daripada
stigma pribadi. Stigma pribadi lebih tinggi di kalangan mahasiswa dengan ciri-ciri
demografi seperti lelaki, usia muda, dari negara Asia, religiusitas yang tinggi, dan
dari keluarga miskin.
Eisenberg, Downs, Golberstein dan Zivin (2009) juga menemukan bahwa
stigma pribadi memiliki hubungan negatif dan signifikan dengan usaha untuk
mendapatkan pertolongan, yaitu persepsi terhadap kebutuhan dan penggunaan
medikasi psikotropik, terapi dan pertolongan bukan klinis. Konsultan Psikiater di
Departemen Pengobatan Psikologi, Pusat Pengobatan Universiti Malaya
Malaysia, menambahkan bahwa diagnosis awal yang wajar mengharuskan
pasien menerima perawatan yang sesuai (Hoe, 2011). Hal ini dapat mencegah
gangguan mental ke tahap yang lebih buruk lagi sehingga pasien dapat
meneruskan kehidupannya dengan normal bersama masyarakat. Menurut Hoe
(2011), stigma dan perasaan malu adalah salah satu faktor penyebab
terlambatnya pasien mendapat perawatan. Selain itu, dipercaya bahwa
masyarakat di desa lebih mudah mengaitkan gangguan mental dengan masalah
spiritual, dan memilih mendapatkan pertolongan dari dukun atau alim ulama
daripada mengakuinya sebagai gangguan mental.
17
Selain masalah stigma, keyakinan masyarakat terhadap gangguan mental
juga berbeda-beda. Terdapat masyarakat yang meyakini bahwa gangguan
mental karena terkena guna-guna. Terdapat pula yang menganggap bahwa
gangguan mental disebabkan mengabaikan pantangan dan larangan, dan
adapula yang mengaitkannya dengan kemasukan jin. Masih banyak orang
melihat gangguan mental bukan dari sudut ilmiah dan klinis serta masih banyak
orang yang keliru dengan konsep gangguan mental. Sebagai contoh, terdapat
orang yang menganggap gangguan mental sebagai sikap yang dibuat-buat,
bukannya akibat dari gangguan mental (Matsumoto, 1994). Sistem keyakinan
yang berbeda-beda akan membawa implikasi pada cara mendapatkan
pertolongan untuk merawat penderitanya.
Individu yang sehat biasanya dinilai dari struktur sistem keyakinan
masyarakatnya. Sistem keyakinan sebagai salah satu manifestasi budaya inilah
yang memainkan peran penting dalam menentukan apakah individu itu sehat
atau sakit secara mental (Fromm, 1995; Hidajat, 2005). Persoalan budaya ini
berdampak pada sulitnya upaya diagnosis dari aspek psikopatologi karena
adanya fenomena perilaku tertentu yang dianggap bukan perilaku gangguan
mental oleh masyarakat setempat (American Psychiatric Association, 2000).
Terdapat gangguan mental khas terjadi pada orang Batak Tapanuli seperti
hapintasan dan tarsapo. Sebagian besar gangguan mental ini dianggap berakibat
dari pengaruh mistik atau alam ghaib (Hidajat, 2005).
Berdasarkan jenis perilaku masyarakat dalam mendapatkan pertolongan
berakibat pula pada perbedaan cara merawat gangguan mental tersebut. DSM
IV-TR biasanya menggunakan pendekatan klinis dan medis untuk mendiagnosis
sesuatu gangguan mental yang diderita pasien dan setelah itu pasien akan
18
dirawat dengan obat atau pendekatan psikoterapi dan konseling. Berdasarkan
cara pengobatan alternatif atau tradisional, masyarakat dan pasien yang
mempersepsikan gangguan mental sebagai gangguan makhluk gaib, hantu,
pengaruh iblis dan lain-lain akan menggunakan pendekatan yang bukan klinis
dan medis untuk merawatnya.
Masyarakat berbudaya barat seperti Mexico juga meyakini adanya
pengaruh alam ghaib dan ruh (Zacharias, 2006). Trend globalisasi, ideologi,
konsep, dan pendapat yang beragam memungkinkan gabungan di antara sistem
pengobatan tradisional dengan pendekatan ilmiah. Mayoritas masyarakat desa
Mexico
menggunakan
penyembuhan
pendekatan
berdasarkan
yang
keyakinan
disebut
pada
Curanderismo,
spiritualitas
yaitu
nenek-moyang
(Zacharias, 2006). Pendekatan Curanderismo ini mengandung teknik terapeutik
yang dilakukan oleh tabib-tabib atau ahli-ahli terapi yang mirip psikospiritual.
Tabib-tabib disebut sebagai Curanderos.
Selain itu, diagnosis gangguan mental pada orang Mexico dilakukan
dengan menggunakan bahan-bahan khusus seperti telur ayam dan lilin. Bahanbahan ini akan dijadikan alat pemujaan dan persembahan. Pasien dikatakan
sakit jika diagnosis itu berhasil menunjukkan adanya kemasukan roh jahat atau
jin ke dalam
tubuh pasien tersebut.
Proses
merawatnya nanti akan
menggunakan pengaruh spiritual dan hipnotisme. Ini termasuk pengadaan
upacara penyembahan dan hipnosis pasien. Zacharias (2006) menyebutkan
bahwa metode penyembuhan curanderismo biasanya sukses bagi sebagian kecil
masyarakat Mexico yang benar-benar percaya dengan pengaruh alam ghaib
tersebut.
19
Gangguan mental seperti skizofrenia kurang berhasil jika dirawat dengan
pendekatan ini. Mayoritas orang Mexico desa menggunakan bantuan tabib ini
karena tidak mampu membayar biaya perawatan psikoterapi modern serta tidak
banyak pula pelayanan psikoterapi modern disediakan di tempat tinggalnya
(Zacharias, 2006). Selain itu, budaya juga merupakan faktor yang menghambat
dalam mendapatkan perawatan modern itu. Sebagian besar masyarakat yang
tinggal di desa masih mempraktekkan nilai, adat, dan keyakinan tradisi orang
Mexico (Ramos-Sánchez dan Atkinson, 2009). Berbeda dengan orang Mexico
yang tinggal di kota, kelompok ini kurang meyakini keberhasilan curanderismo.
Hal demikian cuma diakui sebagai warisan budaya nenek moyang sendiri
(Zacharias, 2006).
Selain Mexico, mayoritas masyarakat Afrika desa, khususnya di Afrika
Selatan juga masih menggunakan pelayanan pengobatan tradisional untuk
mengobati psikosis (tipe gangguan mental pada tahap akut). Sebanyak 80% dari
masyarakat Afrika Selatan menggunakan pelayanan ini (Bodibe, 1993; Freeman,
1992; Mabunda, 2001; Mazimkulu dan Simbayi, 2006). Tabib-tabib percaya
bahwa gangguan mental akut seperti psikosis disebabkan oleh kemasukan rohroh jahat nenek moyang pasien dan makhluk halus (Mazimkulu dan Simbayi,
2006). Faktor-faktor supernatural seperti sihir dan kemasukan roh dikatakan
diundang masuk oleh saudara keluarga terdekat karena iri hati atau dendam.
Gangguan mental juga dapat terjadi jika penjaga dari nenek-moyang marah pada
keluarga tertentu akibat mengabaikan upacara persembahan atau berperilaku
tidak bermoral.
Jenis gangguan mental masing-masing mempunyai istilah tersendiri.
Dalam bahasa Xhosa Afrika, misalnya gangguan skizofrenia disebut sebagai
20
amafufunyana
(maksudnya
semut-semut
di
dalam
kuburan).
Gangguan
somatoform disebut sebagai moriti wa le tswele (the shadow of the breast).
Teknik perawatan yang dilakukan oleh tabib pada pasien dengan membersihkan
kepala, perut, dan seluruh tubuh pasien atau kaum keluarganya dan diusahakan
agar muntah lewat mulut dan hidung setelah diberi obat herbal (Mazimkulu dan
Simbayi, 2006). Selanjutnya, sekelompok tabib akan melaksanakan upacara
intlombe, yaitu menyanyi dan menari untuk mengusir roh-roh jahat dari rumah
pasien dan keluarganya.
Selain keyakinan aetiologi, terdapat juga penganut agama Kristen dan
Islam di Afrika Selatan yang mempercayai gangguan mental karena pengaruh
agama (Mazimkulu dan Simbayi, 2006). Orang Kristen Afrika percaya bahwa
gangguan mental disebabkan oleh pengaruh iblis dan tugas uskup adalah untuk
mengobatinya. Sementara itu, orang Islam meyakini bahwa gangguan mental
disebabkan oleh makhluk jahat yang diutus Allah sebagai balasan atas orangorang yang tidak beriman.
Negeri Brazil dan Puerto Rico juga melaksanakan pengobatan alternatif
terhadap pasien-pasien yang menderita skizofrenia (Moreira-Almeida dan KossChioino, 2009). Tabibnya adalah orang yang ahli spritual. Masyarakat Brazil dan
Puerto Rico menganut aliran filsafat spiritualisme, yaitu mempercayai bahwa
orang yang masih hidup mampu berkomunikasi dengan alam ruh. Biasanya tabib
spiritual ini akan pergi ke rumah pasien atau pasien akan ke tempat pengobatan
mereka. Ketika seseorang mengalami gangguan mental, tabib spiritual
menggelar upacara spiritualist yaitu upacara pemujaan ruh dan berkomunikasi
dengan ruh untuk mendeteksi kemasukan ruh jahat dalam tubuh pasien.
Kemudian, tabib akan berusaha mengeluarkan ruh jahat dari tubuh pasien
21
dengan teknik memegang tangan pasien untuk menarik keluar ruh jahat dari
tubuh pasien di samping tabib membacakan doa-doa tertentu. Pengobatan
alternatif ini menjadi begitu popular di kalangan masyarakat desa dan kota Brazil
serta Puerto Rico tanpa membedakan status kaya atau miskin (Almeida dan
Chioino, 2009).
Penelitian Almeida dan Chioino (2009) membahas perspektif psikososial
pada simtom psikotis dan skizofrenia dengan mengeksplorasi bagaimana aliran
mengenai spritisme, sebuah agama populer di Amerika Latin, menyediakan
penyembuhan untuk orang yang mengalami sakit mental. Keyakinan dan
perlakuan oleh para tabib spiritual pada orang yang mengalami gejala psikotis,
dan beberapa yang didiagnosis mengidap skizofrenia dikaji dalam penelitian
tersebut. Reaksi yang ditunjukkan oleh para profesional kesehatan mental
(psikolog, ahli kesehatan mental dan psikiater) terhadap perlakuan ini juga dikaji
dalam penelitian tersebut.
Sebagian masyarakat Indonesia juga banyak menggunakan pengobatan
alternatif yang bersifat non-profesional untuk mengobati gangguan mental.
Misalnya, menurut Subandi (2006), sebagian masyarakat Jawa yang selalu
mendapatkan pertolongan dari praktek pengobatan alternatif atau tradisional
untuk menyembuhkan skizofrenia. Pihak yang mempunyai pengetahuan untuk
mengobati masalah batin itu biasanya dikenal sebagai dukun. Dukun santet dan
dukun prewangan dikatakan dapat memulihkan gangguan mental pasien yang
dianggap terkena guna-guna atau kemasukan ruh jahat (Subandi, 2006).
Dipojono (dalam Hidajat, 2005) menyatakan bahwa budaya pada tempat tertentu
mendorong terbentuknya tipe-tipe personalitas yang lebih rentan terhadap
gangguan-gangguan tertentu. Kesimpulan dari berbagai jenis pengobatan
22
terhadap gangguan mental tersebut adalah persepsi mengenai ciri-ciri dan sebab
terjadinya gangguan mental dapat mempengaruhi cara individu dan masyarakat
dalam mengobati gangguan mental.
Kemiskinan dan himpitan ekonomi yang melanda menimbulkan banyak
penderita gangguan kesehatan mental. Sekitar 14,1% penduduk Indonesia
mengalami gangguan mental ringan hingga berat. Minimnya kesadaran
masyarakat mengobati anggota keluarganya yang menderita gangguan mental,
juga membuat kasus gangguan mental tidak tercatat secara resmi dan makin
menumpuk. Beberapa waktu terakhir ini sering diberitakan, baik di media cetak
maupun elektronik mengenai pemasungan terhadap penderita gangguan mental.
Hal demikian seharusnya tidak boleh terjadi mengingat Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1966 tentang Kesehatan Mental menyatakan bahwa pasien dengan
gangguan mental yang terlantar mendapatkan perawatan dan pengobatan pada
suatu tempat perawatan. Ketentuan tersebut dikuatkan dengan Surat Menteri
Dalam Negeri Nomer PEM.29/6/15, tertanggal 11 November 1977 yang ditujukan
kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia yang meminta
kepada masyarakat untuk tidak melakukan pemasungan terhadap penderita
gangguan mental dan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menyerahkan
perawatan penderita di Rumah Sakit Jiwa. Surat tersebut juga berisi instruksi
untuk para Camat dan Kepala Desa agar secara aktif mengambil prakarsa dan
langkah-langkah dalam penanggulangan pasien yang ada di daerahnya
(Depkes.go.id).
Orang Dengan Masalah Kementalan (ODMK), terutama yang berat dan
kronis seperti skizofrenia dan gangguan bipolar adalah termasuk kelompok yang
rentan mengalami pengabaian hak-haknya. WHO dalam pernyataannya
23
mengenai
kesehatan
mental,
menyatakan
bahwa,
gangguan
mental
memengaruhi cara berpikir dan berperilaku, kemampuan untuk melindungi
kepentingan diri, dan kemampuan untuk mengambil keputusan. Seseorang
dengan gangguan mental berhadapan dengan stigma, diskriminasi, dan
marginalisasi. Stigma menyebabkan terhambatnya pencarian pengobatan yang
sangat dibutuhkan, atau hanya diperolehnya pelayanan yang bermutu rendah;
marginalisasi dan diskriminasi juga meningkatkan risiko kekerasan pada hak-hak
individu, hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya (Depkes.go.id).
Jumlah
penderita
gangguan
mental
berat
di
Indonesia
sudah
memprihatinkan, yaitu enam juta orang atau sekitar 2,5 % dari total penduduk
Indonesia. Dari jumlah tersebut ternyata hanya 8,3% penderita yang bersedia
berobat dan sebagian besar lainnya tidak bersedia atau tidak punya biaya.
Sayangnya, pemerintah justru seolah tidak menaruh perhatian pada gangguan
mental. Pemerintah seolah lepas tangan terhadap para penderita gangguan
mental (Kompas, 19 April 2001). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan menyebutkan bahwa kesehatan mental meliputi pemeliharaan dan
peningkatan kesehatan mental, pencegahan dan penanggulangan masalah
psikososial dan gangguan mental, penyembuhan dan pemulihan penderita
gangguan
mental.
Upaya
mencapai
kesehatan
mental
dilakukan
oleh
perorangan, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan pekerjaan,
lingkungan masyarakat, didukung sarana pelayanan kesehatan mental dan
sarana lainnya. Pengobatan dan perawatan penderita gangguan mental dapat
dilakukan atas permintaan suami atau istri atau wali atau anggota keluarga
penderita atau atas prakarsa pejabat yang bertanggung jawab atas keamanan
dan ketertiban di wilayah setempat atau hakim pengadilan bilamana dalam suatu
24
perkara timbul persangkaan bahwa yang bersangkutan adalah penderita
gangguan mental.
Hambatan intrinsik yang sangat menonjol dalam pencarian pertolongan di
antaranya ketakutan dianggap negatif oleh teman-teman dan keluarga, ketakutan
masuk
rumah
sakit
atau
klinik
kesehatan,
dan
terpengaruh
budaya
ketidakpercayaan terhadap bantuan ahli kesehatan mental (Nickerson, Helms,
dan Terrell, 1994). Kurangnya penelitian yang berhubungan khusus untuk orang
Indonesia membuat sulit untuk mengetahui apakah faktor-faktor yang sama juga
berkaitan pencarian pertolongan pada gangguan kesehatan mental pada
umumnya. Penelitian yang telah dilakukan di daerah lain menunjukkan bahwa
kesehatan mental membantu pencarian pertolongan akan dipengaruhi oleh
hubungan yang kompleks antara individu, konteks budaya dan sosial misalnya,
ras, latar belakang masyarakat dan etnis (Cauce, Domenech-Rodriguez dan
Paradise, 2002). Namun sangat sedikit penelitian yang mengeksplorasi
hubungan yang kompleks dan bagaimana faktor-faktor kontekstual berbeda
dalam bentuk perilaku pencarian pertolongan di antara populasi tertentu.
Masalah kesehatan mental menjadi penting untuk ditangani secara
komprehensif karena diperkirakan satu dari empat orang Indonesia menderita
gangguan mental. Itulah sebabnya terdapat paradigma baru yang menggeser
pengobatan gangguan mental dari basis rumah sakit ke basis komunitas atau
basis rawat inap menjadi rawat jalan. Dengan pergeseran paradigma dari basis
rumah sakit ke basis komunitas, masyarakat diberdayakan untuk ikut mengobati
penderita gangguan mental. Pelayanan kesehatan mental juga bukan hanya
berada di rumah-rumah sakit namun disediakan pula di puskesmas. (Neraca, 10
25
April 2001). Peran puskesmas sangat besar dalam melakukan penapisan atau
deteksi dini terhadap pasien gangguan mental sebelum dirujuk ke RSJ.
Penelitian ini memilih Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai
lokasi penelitian. Jumlah penderita gangguan mental di Yogyakarta menunjukkan
tren peningkatan selama tahun 2007-2009. Kecenderungan itu tampak dari
banyaknya pasien yang menjalani rawat inap maupun rawat jalan di RS Grhasia
Yogyakarta dan RS Sardjito Yogyakarta. Pada dua rumah sakit tersebut
penderita gangguan mental terus bertambah sejak tahun 2002 lalu. Pada tahun
2003 saja jumlahnya mencapai 7.000 orang, sedangkan pada tahun 2004 naik
menjadi 10.610 orang. Sebagian dari penderita menjalani rawat jalan dan
penderita yang menjalani rawat inap mencapai 678 orang pada tahun 2003 dan
meningkat menjadi 1.314 orang pada tahun 2004. Pada tahun 2008 penderita
gangguan mental tidak lagi didominasi kalangan bawah, tetapi kalangan
mahasiswa, pegawai negeri sipil, pegawai swasta, dan kalangan profesional.
Kepala staf medik fungsional mental RS Sardjito Yogyakarta menjelaskan, pada
tahun 2003 jumlah penderita gangguan mental yang dirawat inap sebanyak 371
pasien. Tahun 2004 jumlahnya meningkat menjadi 433 pasien. Jumlah tersebut
belum termasuk penderita rawat jalan di poliklinik yang sehari-hari rata-rata 25
pasien. Beban hidup yang semakin berat, diperkirakan menjadi salah satu
penyebab bertambahnya penderita gangguan mental (www.warmasif.co.id).
Peningkatan ini ditunjukkan dari peningkatan jumlah kunjungan penderita
gangguan mental di Rumah Sakit Jiwa DIY, yaitu sebanyak 28.365 kunjungan
pada tahun 2007, 53.794 kunjungan pada tahun 2008, dan 61.688 kunjungan
pada tahun 2009 (Dinas Kesehatan Provinsi DIY, 2010).
26
Fenomena penderita gangguan mental juga banyak terungkap di daerah
pedesaan. Harian Kompas 22 Juli 2010 melaporkan bahwa dua desa di Kota
Banjar, Jawa Barat memiliki warga dengan jumlah penderita gangguan mental
yang cukup tinggi. Total jumlah penderita gangguan mental itu mencapai 67
orang. Kepala Puskesmas Langensari memperkirakan masih banyak orang yang
mengidap gangguan mental di desa-desa lainnya. Dari jumlah tersebut baru
delapan warga yang berhasil diketahui kondisinya mengalami gangguan mental
berat. Fenomena gangguan mental juga banyak terlihat di masyarakat perkotaan
seperti dilaporkan TEMPO 12 Mei 2007 bahwa di Yogyakarta lebih dari 10 orang
pegawai negeri sipil (PNS) di Provinsi DIY dirawat di Rumah Sakit Khusus
Grhasia Yogyakarta karena mengalami gangguan mental. PNS tersebut
mengalami gangguan mental karena tidak mampu menanggung beban hidup
yang berat dalam keluarganya.
Perkembangan terakhir saat ini menunjukkan bahwa penderita gangguan
mental mengalami peningkatan yang cukup tajam. Hal ini disebabkan karena
adanya bencana erupsi Gunung Merapi. Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman
DIY mencatat sebanyak 756 korban bencana erupsi Gunung Merapi mengalami
gangguan mental sehingga harus berkelanjutan mendapatkan pendampingan.
Dari hasil pemeriksaan dan pendampingan gangguan mental yang dialami
korban Merapi tidak semuanya merupakan gangguan mental berat. Sebagian
besar gangguan mental yang menimpa korban Merapi adalah gangguan mental
ringan namun cukup mengganggu. Jika tidak ditangani gangguan mental yang
ringan dapat menumpuk dan menjadi berat.
Dari 756 orang yang alami gangguan mental, 52 orang mengalami
gangguan mental berat. Gangguan mental ringan yang dialami korban Merapi
27
tersebut seperti kecemasan, psycosomatic, depresi, dan post traumatic syndrom.
Gangguan mental ringan dapat dilihat dari ciri-cirinya yaitu mengalami susah
makan, susah tidur, atau selalu cemas. Gangguan mental rentan menyerang
para korban Merapi karena banyak faktor yang menjadi pemicunya seperti
hilangnya rumah dan harta benda yang habis akibat awan panas dan lahar
Merapi. Kenyataan ini dapat membuat putus asa dalam memikirkan hidup ke
depan yang harus dimulai dari awal lagi (www.arsipberita.com, diunduh tanggal
29 Januari 2011).
Selain itu, berdasarkan profil kesehatan hasil Riset Kesehatan Dasar
yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, dapat diketahui bahwa secara
nasional DIY termasuk salah satu provinsi yang memiliki prevalensi gangguan
mental emosional tertinggi di Indonesia (Balitbangkes KemenkesRI, 2013). Hasil
peneltiian tersebut bahkan menunjukkan bahwa wilayah DIY memiliki prevalensi
gangguan jiwa berat 2,7 permil. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan
provinsi lainnya di Indonesia, dan rata-rata prevalensi gangguan jiwa berat di
tingkat nasional adalah 1,7 permil. Hal tersebut menunjukan bahwa prevalensi
gangguan jiwa berat di DIY bahkan lebih tinggi daripada rata-rata angka
prevalensinya di tingkat nasional.
Temuan tersebut sejalan dengan data yang dipublikasikan Dinas
Kesehatan Provinsi DIY dalam profil kesehatan DIY tahun 2012. Berdasarkan
data yang dipublikasikan dalam dokumen tersebut, dapat diketahui bahwa
gangguan mental termasuk dalam sepuluh besar kasus penyakit yang
didiagnosis pada pasien rawat jalan Puskesmas (Dinas Kesehatan DIY, 2013).
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dilihat bahwa provinsi DIY merupakan salah
28
satu daerah di Indonesia yang tingkat kerentanan atas gangguan mentalnya
cukup tinggi.
Sebenarnya kondisi di banyak negara berkembang termasuk Indonesia
lebih menguntungkan dibandingkan negara maju karena dukungan keluarga
(primary support groups) yang diperlukan dalam pengobatan gangguan mental
berat lebih baik dibandingkan di negara maju (Priyanto, 2009). Stigma terhadap
gangguan mental berat tidak hanya menimbulkan konsekuensi negatif terhadap
penderitanya tetapi juga bagi anggota keluarga, meliputi sikap-sikap penolakan,
penyangkalan, disisihkan, dan diisolasi. Penderita gangguan mental mempunyai
risiko tinggi terhadap pelanggaran hak asasi manusia (Priyanto, 2009).
Banyaknya fenomena gangguan mental karena faktor lingkungan tersebut sesuai
dengan pendapat sebagian ahli yang menyatakan bahwa faktor lingkunganlah
yang menjadi penyebab utama skizofrenia bukan faktor genetik. Faktor-faktor
lingkungan yang mempengaruhi atau menimbulkan ini antara lain kebudayaan,
ekonomi, pendidikan, faktor sosial, penggunaan obat-obatan, stres karena
pemerkosaan, penganiayaan, dan perceraian (Simanjuntak, 2008).
Pendekatan tradisional terhadap penyakit umumnya lebih menekankan
pada sumber-sumber penyakit yang perlu diatasi. Salah satu keyakinan
masyarakat Yogyakarta yang masih ada pada sebagian masyarakat adalah
keyakinan akan adanya makhluk halus. Salah satu di antaranya adalah lelembut
yang dianggap sebagai penyebab penyakit gangguan mental. Masyarakat
Yogyakarta
umumnya
percaya
bahwa
hanya
orang-orang
yang
lemah
mentalnya, atau orang-orang yang kosong pikirannya saja yang dapat dimasuki
roh jahat. Menurut Dananjaya (1986) keyakinan seperti ini di Indonesia bukan
hanya sekedar keyakinan tetapi sudah menjadi perilaku dan pengalaman hidup.
29
Maksudnya adalah bagaimanapun tingginya pendidikan seseorang tidak ada
yang dapat melepaskan diri dari keyakinan rakyat ini.
Faktor pengetahuan penting dalam hal pengobatan gangguan mental.
Pendekatan tradisional yang selama ini digunakan masih dibutuhkan oleh
masyarakat tertentu terutama masyarakat yang belum banyak bersentuhan
dengan ilmu pengetahuan modern. Hanya saja, pada beberapa kasus
pendekatan ini tidak mendidik karena pandangannya lebih menekankan bahwa
penyakit berasal dari luar individu. Konsekuensinya pemahaman ini cenderung
membuat individu tidak bertanggungjawab. Keluarga dapat menghindar dari
tanggung jawab jika ada anggota keluarganya yang mengalami gangguan mental
dengan dalih hal tersebut karena gangguan roh jahat. Demikian pula keluarga
dapat menghindar dari tanggung jawab moral dan hukum jika terjadi kejahatan
akibat gangguan mental (Simanjuntak, 2008).
Selain itu, ada hubungan yang nyata antara kondisi ekonomi keluarga,
sikap keluarga terhadap pemeliharaan kesehatan, kekhawatiran terhadap
penyakit, dukungan lingkungan sosial, dan umur penderita dengan perilaku
pemanfaatan fasilitas kesehatan. Pada sisi lain, tidak terdapat hubungan nyata
antara pendidikan kepala keluarga, jenis kelamin penderita, jenis penyakit
penderita dan kondisi daya tahan tubuh penderita dengan perilaku pemanfaatan
fasilitas kesehatan. Penentuan perilaku pemanfaatan fasilitas kesehatan,
sebagian dari aspek keluarga cenderung mendominasi jika dibandingkan dengan
aspek karakteristik individu penderita. Hal ini menunjukkan bahwa peran
keluarga terutama dalam “kondisi berisiko” memberikan perlindungan dan upaya
penyembuhan
bagi
anggota
keluarganya.
Perilaku
masyarakat
dalam
memanfaatkan fasilitas kesehatan ditunjukkan dengan adanya variasi perilaku.
30
Tidak ada pemanfaatan fasilitas kesehatan sendiri saja, medis saja atau non
medis saja dalam upaya penyembuhan penderita. Perilaku masyarakat dalam
memanfaatkan fasilitas kesehatan ditunjukkan dengan perilaku berganti atau
terus menggunakan lebih dari satu fasilitas. Fasilitas kesehatan yang
dimanfaatkan pertama kali pada umumnya dilakukan secara sendiri lebih dahulu
(Redjeki, 2009).
Mayoritas di Indonesia masyarakat masih memanfaatkan RS Pemerintah
(3,1%), kemudian disusul RS Swasta (2,0%). Puskesmas secara nasional
menempati urutan ketiga setelah RS Pemerintah dan RS Swasta. Pemanfaatan
RS Swasta terbesar di Provinsi DI Yogyakarta yaitu sebesar 5,9%. Menurut tipe
daerah, RS Pemerintah, RS Swasta, dan tempat praktek tenaga kesehatan lebih
banyak dimanfaatkan oleh masyarakat perkotaan, sedangkan puskesmas dan
pengobatan tradisional lebih banyak dimanfaatkan masyarakat pedesaan.
Menurut Menkes, terdapat hubungan timbal balik antara gangguan mental,
gangguan fisik dengan kemiskinan. Adanya permasalahan kesenjangan
pengobatan dalam penanggulangan masalah kesehatan mental, mengakibatkan
banyak penderita yang tidak tertangani, sehingga menjadi kronik dan seringkali
diobati
secara
tradisional
dipertanggungjawabkan,
atau
dengan
cara-cara
menggunakan
yang
pemasungan
kurang
dapat
(Depkes.go.id).
Berlanjutnya krisis ekonomi di Indonesia meningkatkan jumlah penduduk yang
berada di bawah garis kemiskinan dan menurunkan pemanfaatan pelayanan
kesehatan terutama pada fakir miskin.
Berdasarkan data penduduk menurut status ekonomi dan tempat tinggal
dari SUSENAS 2001, 32% dari penduduk berada di bawah garis kemiskinan dan
57% tinggal di daerah pedesaan. Sejak tahun 1998, jaringan pengaman sosial
31
(JPS) bagi kesehatan telah disiapkan untuk mengatasi masalah pelayanan
kesehatan terutama bagi fakir miskin. Walaupun telah diperkenalkan jaringan
pengaman sosial (JPS), sejak tahun 2001, pemanfaatan pelayanan kesehatan
masih rendah, terutama di antara para fakir miskin di Indonesia (Prayoga,
Senewe dan Cahyadi, 2002).
Saat ini, kondisi dan penggunaan fasilitas kesehatan publik di Indonesia
mengalami penurunan. Penyedia utama fasilitas kesehatan cenderung beralih ke
pihak swasta. Di sebagian besar wilayah Indonesia, sektor swasta mendominasi
penyediaan fasilitas kesehatan dan saat ini terhitung lebih dari dua pertiga
fasilitas ambulans yang ada disediakan oleh pihak swasta. Juga lebih dari
separuh jumlah rumah sakit yang tersedia merupakan rumah sakit swasta, dan
sekitar 30-50% segala bentuk pelayanan kesehatan diberikan oleh pihak swasta
(satu dekade yang lalu hanya sekitar 10%). Dalam masalah kesehatan, kaum
miskin cenderung lebih banyak menggunakan staf kesehatan non-medis,
sehingga angka pemanfaatan rumah sakit oleh kaum miskin masih amat rendah.
Kelompok miskin di Indonesia mendapatkan akses kesehatan yang paling
buruk. Sebanyak 20% penduduk termiskin dari total penduduk menerima kurang
dari 10% total subsidi kesehatan pemerintah sementara 1/5 penduduk terkaya
menikmati lebih dari 40%. Masyarakat perdesaan yang sering diidentikkan
dengan kelompok miskin tidak memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan
dengan alasan ‘letaknya jauh’, ‘jenis layanan tidak lengkap’, ‘tidak ada sarana
pelayanan kesehatan di desa’. Jarak fasilitas pelayanan yang jauh disertai
distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata dan pelayanan kesehatan yang
mahal menyebabkan rendahnya aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan (Sistem Kesehatan Nasional.com).
32
Saat ini, pemerintah daerah merupakan pihak utama dalam penyediaan
fasilitas kesehatan. Hal ini dapat berdampak pada meningkatnya ketimpangan
pembiayaan kesehatan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain.
Daerah dengan pendapatan rendah akan mengalami kendala dalam alokasi
pembiayaan untuk kesehatan. Hal ini mengakibatkan tersedianya fasilitasfasilitas pelayanan kesehatan di daerah tersebut masih belum mencukupi
(Imeinar Anggita, 2011). Selain itu, akses layanan dan sumber daya kesehatan
juga masih kurang. Indonesia masih dihadapkan pada rendahnya rasio dokter
dan tenaga kesehatan lainnya untuk memberikan pelayanan kesehatan. Dari
sejumlah rumah sakit umum yang ada, baru sekitar 2% yang memiliki layanan
psikiatri dan baru 10% dari seluruh puskesmas yang memiliki layanan kesehatan
mental. Jumlah psikiater di seluruh Indonesia baru berjumlah 600 orang dan
belum terdistribusi secara merata (Depkes.go.id).
Sebagaimana telah dipaparkan di muka, jumlah penderita gangguan
mental di Indonesia cenderung mengalami peningkatan dan angkanya sudah
cukup mengkhawatirkan. Dengan demikian, masalah gangguan mental menjadi
penting untuk ditangani secara komprehensif. Di lain pihak, aksesibilitas
masyarakat terhadap layanan kesehatan mental masih rendah dan ketersediaan
fasilitas-fasilitas layanan kesehatan mental masih belum mencukupi. Dari sini
tampak adanya kesenjangan yang lebar antara jumlah penderita gangguan
mental yang semakin meningkat dengan layanan pengobatan kesehatan mental
yang belum memadai.
33
B. Rumusan Permasalahan
Seseorang yang telah diberi label sebagai penderita sakit mental atau
pernah dirawat inap di rumah sakit jiwa, bukan saja mendapat malu, tetapi juga
berisiko tinggi untuk dipecat dari pekerjaannya dan disingkirkan oleh temanteman dan masyarakat. Individu-individu tersebut dianggap sudah tidak berguna
lagi karena hak dan keistimewaan yang pernah dimiliki itu sudah hilang. Misalnya
yaitu hilang status kerjanya dan sudah tidak punya uang. Oleh karena itu, akan
dicemooh dan dihina oleh teman-teman sekerja, tetangga serta masyarakat
lingkungan.
Stigma terhadap masalah itu masih terjadi dalam masyarakat, terutama
golongan yang tinggal di desa (Lee Lam Thye, 2009). Selain itu, faktor
lingkungan dan perspektif budaya yang negatif terhadap gangguan mental telah
membatasi banyak pasien dari mendapatkan pertolongan yang sewajarnya.
Konsep gangguan mental dan cara mengobatinya sangat terkait dengan
keyakinan serta stigma yang ada dalam masyarakat. Perasaan negatif atas
antara keluarga pasien dengan psikiater atau ahli psikologi dan akan
menyebabkan terputusnya intervensi klinis dan rangkaian terapeutik (Sciortino
dalam Hidajat, 2005).
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya
peneltiian ini berusaha untuk mencari jawaban atas berbagai faktor yang
mempengaruhi niat pencarian pertolongan pada gangguan mental secara
langsung maupun melalui variabel intervening. Faktor-faktor tersebut didasarkan
pada kerangka teori TPB (Theory of Planned Behavior). Penggunaan TPB dalam
hal ini didasarkan oleh alasan bahwa TPB memiliki keunggulan dibandingkan
teori keperilakuan yang lain, karena TPB merupakan teori perilaku yang dapat
34
mengidentifikasikan keyakinan seseorang terhadap pengendalian atas sesuatu
yang akan terjadi dari hasil perilaku, sehingga membedakan antara perilaku
seseorang yang berkehendak dan yang tidak berkehendak (Ajzen dan Fishbein
(1975). TPB menunjukkan bahwa proksi penentu perilaku adalah niat untuk
terlibat dalam perilaku, sesuai dengan fokus kajian ini yaitu niat keluarga dalam
mencari pertolongan untuk anggota keluarga yang rentan mengalami gangguan
mental di Yogyakarta.
Selain itu, teori tersebut juga merupakan pengembangan dari teori-teori
sebelumnya sehingga menjadi suatu teori yang lebih komprehensif dalam
menjelaskan suatu perilaku tertentu. Pada TRA (Ajzen, 1991) misalnya, tidak
dikaji pengaruh keyakinan kontrol dan kontrol perilaku dalam memprediksi intensi
maupun suatu tindakan tertentu. Hanya saja, dari berbagai hasil penelitian yang
dilakukan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, penggunaan TPB untuk
memprediksi
perilaku
yang
satu
dengan
lainnya
masih
menunjukkan
ketidakkonsistenan hasil. Dengan demikian dirumuskan pertanyaan bahwa
Mengapa penggunaan TPB untuk memprediksi perilaku tidak menunjukkan hasil
yang konsisten untuk satu kasus dengan kasus lainnya? Apakah terdapat suatu
model hubungan yang dapat digeneralisasikan sehingga dapat menjelaskan
perilaku secara umum?
Secara khususnya, perumusan masalah dirincikan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh keyakinan penyebab gangguan mental melalui variabel
intervening sikap pada pencarian pertolongan, pengaruh keyakinan normatif
melalui variabel intervening norma subjektif, dan pengaruh keyakinan kontrol
melalui variabel intervening kontrol perilaku terhadap niat pencarian
pertolongan?
35
2. Bagaimana pengaruh keyakinan penyebab gangguan mental, keyakinan
normatif, dan keyakinan kontrol secara langsung terhadap niat pencarian
pertolongan?
3. Apakah
terdapat
perbedaan
niat
untuk
pencarian
pertolongan
jika
menggunakan pertolongan psikiater, kiai, dan dukun?
4. Apakah terdapat perbedaan niat untuk pencarian pertolongan pada
masyarakat desa dengan kota?
C. Tujuan dan Manfaat
1.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari rumusan masalah yang telah disebutkan, maka tujuan
dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Menganalisis pengaruh keyakinan penyebab gangguan mental melalui
variabel intervening sikap pada pencarian pertolongan, pengaruh keyakinan
normatif melalui variabel intervening norma subjektif, dan pengaruh
keyakinan kontrol melalui variabel intervening kontrol perilaku terhadap niat
pencarian pertolongan.
b. Menganalisis pengaruh keyakinan penyebab gangguan mental, keyakinan
normatif, dan keyakinan kontrol secara langsung terhadap niat pencarian
pertolongan.
c. Menganalisis perbedaan niat untuk pencarian pertolongan jika menggunakan
pertolongan psikiater, kiai, dan dukun.
d. Menganalisis perbedaan niat pencarian pertolongan pada masyarakat desa
dengan kota.
36
2.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian dapat menolong banyak pihak seperti dinas kesehatan,
pembuat hukum, pihak penelitian lanjutan, pengamal pengobatan modern,
praktek pengobatan tradisional, kepala desa atau kepala rukun warga,
masyarakat, diri pasien dan keluarga mereka dalam usaha menyelesaikan isu
dan masalah gangguan mental dengan lebih baik.
Model penelitian yang memuat faktor-faktor yang memengaruhi sikap dan
niat masyarakat dalam pencarian pertolongan pada gangguan mental dapat
digunakan untuk merumuskan kebijakan yang optimal dalam penanganan kasus
gangguan mental. Dengan diketahuinya faktor-faktor yang memengaruhi sikap,
keyakinan, dan niat masyarakat dalam pencarian pertolongan tersebut dapat
dirumuskan dalam bentuk kebijakan, program, ataupun perlakuan.
D. Keaslian
Dari sudut perkembangan penelitian, fenomena ini memang sudah
banyak dilakukan penelitian untuk meneliti stigma, sistem keyakinan masyarakat
desa terhadap gangguan mental, dan perilaku mereka untuk mendapatkan
pertolongan.
Misalnya,
penelitian
terhadap
masyarakat
desa
Mexico
menggunakan pendekatan alternatif untuk merawat gangguan mental yang
disebut Curanderismo, yaitu penyembuhan yang berdasarkan keyakinan pada
semangat nenek-moyang atau spiritual (Zacharias, 2006).
Selain Zacharias (2006); Mazimkulu dan Simbayi (2006) yang meneliti
perspektif masyarakat pengobatan tradisional dari Afrika dalam merawat
psikosis; Ramos-Sánchez dan Atkinson (2009) yang mengkaji perbedaan jenis
kelamin dan nilai keyakinan masyarakat Mexico Amerika terhadap gangguan
37
mental. Selain itu, terdapat peneliti yang meneliti cara merawat gangguan mental
dengan menggunakan pendekatan agama (Farooqi, 2006) dan ada pula yang
membuat perbandingan implikasi pengaruh pendekatan spriritual ini dengan
pendekatan tradisional yang menggunakan jampi (Moreira-Almeida dan KossChioino, 2009).
Meskipun demikian, penelitian-penelitian di atas tidak membahas dari
sudut niat keluarga pasien mencari pertolongan, aspek geografi masyarakat desa
dan kota yang mengalami permasalahan gangguan mental. Persoalan niat
keluarga ini sangat penting dalam menentukan cara penyembuhannya.
Persoalan ini juga penting dari perspektif silang budaya dan relevan untuk dikaji
karena persepsi orang yang tinggal di desa tidak sama dengan persepsi orang
kota dalam menghadapi penderita gangguan mental.
Penelitian dari perspektif ini dapat ditinjau secara lebih rinci, berawal
dengan stigma masyarakat di kota dan di desa terhadap gangguan mental dan
pengaruhnya; selain keterkaitan di antara sistem keyakinan penduduk; atau
budaya mereka terhadap sebab gangguan mental dan cara mengobatinya. Bagi
keluarga pasien di Indonesia misalnya, aspek nilai mereka yang memberi makna
sehat, sakit dan gangguan mental memang berbeda dengan konsep yang
berlaku di barat.
Ada fenomena yang dianggap sakit oleh masyarakat barat tidak pula
dianggap demikian oleh masyarakat Indonesia. Misalnya latah tidak dianggap
penyakit oleh sebagian orang Indonesia. Di samping itu, ada keluarga yang
masih
berpegang
dengan
amalan
nenek
moyang
dan
tradisi
akan
menyembuhkan pasien dengan jampi dan mentera untuk mengusir makhluk
halus dari tubuh pasien (Subandi, 2006).
38
Penelitian ini didasarkan pada topik-topik pembahasan penelitian
sebelumnya.
Secara
operasional
pengembangan
dalam
penelitian
ini
disesuaikan dengan keadaan pada wilayah penelitian (Yogyakarta) dengan
melakukan studi kasus. Hasil studi kasus ini kemudian dikembangkan untuk
survei. Selanjutnya, hasil survei dikembangkan untuk pengujian model penelitian.
Dengan demikian, keaslian penelitian ini dapat dijamin.
Download