BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

advertisement
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4. 1. Sejarah Musik Rock (pattern of resistance)
Tidak ada sumber tulisan yang menyebutkan usia musik rock dengan pasti.
Sejarah rock dalam literatur memiliki versinya sendiri-sendiri. Beberapa sumber
menyebutkan rock’n’roll lahir di akhir 1951, saat penyanyi Johnny Ray tampil
atraktif di atas panggung atau ketika Elvis Presley pada bulan Juli 1954 muncul. Atau
pada Maret 1955 saat film Blackboard Jungle melesatkan ”Rock Around the Clocknya” Bill Haley. Oleh karena itu, sering terjadi perdebatan mengenai asal muasal
rock’n’roll di awal 1950-an, serta lagu apa yang pertama kali benar-benar rock.
Rock dibentuk dari hibridisasi berbagai macam roots menjadi suatu identitas
yang orang-orang menyebutnya sebuah genre baru (lihat lampiran). Hal tersebut
dieksplorasi dan dikembangkan oleh banyak orang. Lagu Bill Haley ini tercatat
sebagai lagu rock pertama yang menjadi hit serta mengejutkan kesadaran nasional.
Elvis, Carl Perkins, Jerry Lee Lewis, dan Roy Orbison, para bintang rock kala itu,
pertama kali muncul di bawah bendera Sun Records, satu dari sekian banyak record
label yang memproduksi musik rock serta musik blues Howlin’ Wolf dan juga musik
country Johny Cash.
Musik rock sendiri mengalami perkembangan pesat pada awal tahun 60-an di
Amerika. Pada masa ini, rock menjadi agen resistensi situasi dalam negeri tentang
hak-hak rakyat sipil Amerika terlihat sampai pertengahan tahun 1960. Aktivis-aktivis
Amerika keturunan Afrika (Afro-Amerika) menggambarkan tradisi menyanyi mereka
sebagai objektivasi dalam memperoleh keadilan dan kebebasan. Melalui lagulagunya, mereka menyuarakan protes, membangun komunitas, menjadikan model
sebuah demokrasi, dan memfasilitasi sebuah pandangan akan sebuah dunia yang lebih
baik. Di era ini, sound yang muncul mulai diperkeras dengan adanya organ, dan
pemakaian tamborin. Selain itu, ditandai juga dengan munculnya warna surf rock dan
folk rock. Surf rock lahir di kawasan pantai Amerika (terutama di pantai barat)
sebagai musiknya para peselancar. Kelompok Beach Boys tercatat sebagai pengusung
surf rock yang paling berkibar. Sementara folk rock merupakan perpanjangan tangan
dari musik folk. Mengangkat isu politik dan sosial dalam lirik sekaligus balutan
musik elektrik, folk rock melesatkan penyanyi seperti Bob Dylan dan Joan Baez.
Pertengahan tahun 1960-an sampai dengan awal tahun 1970-an, tema anti
perang Vietnam muncul ke permukaan. Ini merupakan ilustrasi akan kekuatan musik
yang paling tidak diharapkan sebagai agen resistensi. Masyarakat Amerika terluka
oleh keterlibatan permusuhan di Vietnam, gerakan menuntut hak-hak rakyat sipil,
credibility gap dan generation gap, masalah keprihatinan kaum feminis,
meningkatnya penggunaan obat-obat terlarang di kalangan generasi muda kelas
menengah ke atas, pembunuhan atas beberapa pemimpin negara yang sangat
karismatik dan kesadaran baru akan pentingnya isu lingkungan. Era ini ditandai
dengan sound gitar elektrik dan grup berformasi empat serta melahirkan beberapa
subgenre musik rock juga musisi maupun band seperti Jimi Hendrix, Eric Clapton,
Alvin Lee, Grateful Dead, Jefferson Airplane, Quicksilver Messenger Service sampai
dengan Big Brother and Holding Company.
Ketika perang Vietnam usai, industri musik dan radio kembali normal. Musik
politis jarang ditemukan. Inilah era berakhirnya booming musik rock. Lahirnya
subgenre heavy metal lebih mengarah pada jalur pelarian hedonis dari masalahmasalah personal atau murni hiburan. Industri musik sempat mengalami destabilisasi
ketika Sex Pistols, The Clash, dan band punk lainnya muncul di London, Inggris. Era
1980-an ini, dari punk juga lahir genre new wave yang oleh Rick Carroll, program
director radio KROQ-FM di Los Angeles, Amerika Serikat, disebut dengan “rock of
the eighties”. Beberapa stasiun radio mengalami polemik apakah perlu memutar
musik dari B 52’s, Talking Heads, dan The Police. Banyak kolaborasi antara musik
rock dan pop pada masa ini, salah satunya adalah Usa for Africa yang menghasilkan
50 juta dollar untuk mengurangi kelaparan di Etiopia. Rock of eighties ini dikenal
dengan sound yang serba elektronik–komputer, keyboard, dan synthesizer.
Mulai akhir tahun 1980-an sampai saat ini, musik rock begitu beragam. Pada
era informasi ini tidak ada lagi yang mendominasi. Jika ada yang muncul dengan
sound yang serba ”industrial” itu bukan varian baru. Rock kemudian menjadi payung
besar yang menaungi berbagai macam genre musik, mulai dari hard rock, heavy
metal, speedmetal, acid rock, psychedelic rock, glam rock, punk rock, art rock, jazz
rock, trashmetal, grindcore, hipmetal, hingga nu metal. Apa pun sebutannya, semua
jenis musik itu akan merujuk pada satu kata: rock.
Di Era ini, dikarakterisasi dengan fenomena berakhirnya perang dingin yang
mengakibatkan perubahan struktur sosial dalam skala global. Disintegrasi Uni Soviet
sebagai salah satu kekuatan akibat globalisasi menjadikan Amerika Serikat sebagai
satu-satunya kekuatan adidaya di dunia baik secara ekonomi maupun politik. Tidak
ada lagi ancaman militer yang signifikan bagi Amerika Serikat di dunia sehingga
pemerintah Amerika lebih fokus pada industri budaya. Peranan CIA termarjinalisasi
dan digantikan oleh perwakilan dagang (trade representatives) sebagai representasi
dari kepentingan pemerintah Amerika Serikat mulai dari para ahli ekonomi, investor,
dan berbagai komunitas bisnis.
Selama Amerika Serikat masih melakukan intervensi secara intens di wilayah
Timur Tengah, Amerika Tengah, dan berbagai wilayah lainnya di dunia, para musisi
rock underground akan terus menghasilkan musik protes terhadap kebijakan luar
negeri pemerintahan negara tersebut. Salah satu suara protes tersebut muncul dari
band subkultur asal Amerika Serikat sendiri yaitu Dead Kennedy’s band. Berikut lirik
yang merefleksikan kekecewaan mereka terhadap kebijakan pemerintahan Amerika
Serikat:
In the name of world peace,
in the name of world profits
America pumps up our secret police,
America wants fuel
To get it, it need puppets,
So what’s ten million dead
If it’s keeping out the Russians?
When cowboy Ronnie comes to town,
forks out his tounge at human rights...
Smile at the mirror as cameras click,
and make big business happy
C’mon bleed...bleed for me
Perkembangan tema musik rock era permulaan sampai tema terakhir, dapat
dilihat pada matriks 6 berikut ini:
Matriks 6. Perkembangan Musik Rock
Era
Tema
1950-1965
Protes akan situasi nasional dalam negeri tentang hak-hak rakyat sipil Amerika
1965-1975
Anti perang Vietnam dan kesadaran baru akan pentingnya isu lingkungan
1975-1986
Kebebasan berekspresi (katarsis dan hiburan)
1986-2011
Resistensi terhadap intervensi pemerintah Amerika Serikat
Dari matriks di atas terlihat bahwa musik rock dari tahun ke tahun mengalami
perubahan tema. Meski tidak selalu terjadi dalam kurun waktu tertentu, perubahan
tema yang disuarakan secara tidak langsung merefleksikan situasi sosial pada masa
tersebut serta perasaan masyarakat dimana musik rock tersebut disuarakan. Dengan
demikian, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir mayoritas terlihat resistensi
masyarakat dunia mengarah kepada satu kekuatan negara adidaya yaitu Amerika
Serikat.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa musik memiliki peranan
penting dalam komunikasi antarmanusia. Sebagai manifestasi pergerakan sosial
musik rock underground merupakan bentuk ekspresi manusia yang potensial dalam
memobilisasi hati dan pikiran. Musik rock underground merupakan komunikasi
simbolik yang dapat menjadi tema sebuah protes tentang kondisi sosial seperti yang
terlihat pada era 1950-1965, era 1965-1975, dan era 1986-2011. Musik rock
underground merupakan sebuah refleksi dan respons terhadap situasi kehidupan yang
mengkonfirmasi identitas budaya penciptanya.
4. 2. Perkembangan Musik Rock di Indonesia
Genre musik Indonesia selalu sinkretis dan menyerap pengaruh dari luar.
Usaha mempribumikan musik asing dimulai jauh sebelum derasnya pembicaraan
tentang ”musik dunia” atau ”globalisasi” saat ini, dan jauh sebelum munculnya minat
dalam pemasaran musik rekaman secara internasional.
Pada abad 20, perubahan dalam teknologi rekaman dan praktik pemasaran
barat juga mempengaruhi pola produksi dan konsumsi musik di Indonesia. Alat
musik gramofon Columbia buatan AS diimpor ke Hindia Belanda pada awal 1900-an.
Pada awal tahun-tahun sebelum perang, ada tiga perusahaan rekaman milik Cina di
wilayah jajahan ini, dua di Batavia dan satu di Surabaya dengan pasar kecil di
kalangan elit perkotaan.
Musik populer di Indonesia mulai berkembang sejak 1950-an. Saat itu festival
musik, pergelaran musik, dan misi kesenian (yang mencakup musik) mulai banyak
diadakan. Di tahun 1951, untuk pertama kali Radio Republik Indonesia (RRI)
mengadakan pemilihan ”bintang radio”. Di tahun 1959 berdiri Persatuan Warga
Musik Indonesia (PWMI), suatu organisasi yang bertujuan menyatukan semua tenaga
musik yang masih berpencaran.
Pada 1951, sebuah perusahaan pribumi, Irama, mulai memproduksi rekamanrekaman piringan hitam, diikuti pada oleh Remaco dan Dimita. Lokananta,
perusahaan rekaman milik negara yang didirikan di Solo tahun 1955, segera
mendominasi industri rekaman dalam negeri, berkonsentrasi hampir secara eksklusif
pada musik-musik Jawa (Philip Yampolsky. Lokananta: A Discography of the
National Recording Company of Indonesia 1957-1985, Center for South-East Asian
Studies, University of Wiscounsin, Madison, 1987). Dominasinya berlangsung
singkat, karena perubahan teknologi di tahun 1960-an mengakibatkan masuknya
perusahaan serta teknik produksi yang baru ke dalam industri ini.
Pada pertengahan dasawarsa 1950-an itu berkembang jenis musik rock’n’roll
yang diperkenalkan Bill Halley and The Comets dan kemudian dipopulerkan oleh
Elvis Presley. Bahkan, di Amerika Serikat, musik ini mendapatkan sorotan keras dari
para “pengawal budaya” karena dianggap mengancam nilai-nilai budaya dominan.
Lewat medium piringan hitam, rock’n’roll masuk Indonesia dan menjadi populer di
kalangan anak-anak muda golongan menengah kota besar yang jumlahnya sangat
terbatas. Pada 1960-an, pengaruh musik rock’n’roll diperkuat dengan masuknya
jaringan hitam kelompok-kelompok musik Inggris seperti The Shadows dan The
Beatles.
Dalam perkembangan sejarah musik Indonesia belum pernah terjadi bahwa
kaum muda total gandrung kepada musik asing seperti terjadi pada tahun-tahun itu.
Suatu situasi yang secara kultural-politis sangat memprihatinkan penguasa pada satu
pihak, akan tetapi juga sekaligus merisaukan para orang tua dan para pejuang
kebangsaan yang sedang mencari bentuk jati diri budayanya sebagai sebuah bangsa.
Di satu sisi ada upaya memberi bentuk, watak, dan cara-cara baru pengucapan musik
yang dapat mencitrakan cita rasa ke-Indonesiaan. Namun, pada sisi lain, kuatnya
pengaruh budaya musik bebas nilai yang datang dari luar melanda begitu kuat kaum
mudanya seperti tidak pernah dapat dibendung.
Presiden Sukarno, dalam pidatonya 17 Agustus 1959 (ketika memaparkan
suatu ‘manifesto politik’ atau ‘manipol’) mendesak anak-anak muda untuk melawan
kebudayaan dari yang disebutnya sebagai negara-negara nekolim (neo-kolonialis dan
imperialisme) barat:
“dan engkau, hai pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi, engkau yang
tentunya anti imperialisme ekonomi dan menentang imperialisme
ekonomi, engkau yang menentang imperialisme politik, kenapa di
kalangan engkau banyak yang tidak menentang imperialisme
kebudayaan? Kenapa di kalangan engkau banyak yang masih
rock’n’roll-rock’n’roll-an, dansi-dansian ala cha-cha-cha, musikmusikan ala ngak-ngik-ngek gila-gilaan, dan lain sebagainya lagi?”.
Kritik tersebut menjadi dorongan bagi tumbuhnya musik pop Indonesia yang
lebih nasionalistis. Band-band menghidupkan kembali lagu-lagu lama dengan gaya
baru. Lagu standar keroncong yan terkenal, ”Bengawan Solo”, dibawakan dalam gaya
musik rock dan cara menyanyi gaya Elvis. Setelah keputusan September 1959 oleh
DPA untuk mengadopsi prinsip-prinsip manipol presiden sebagai GBHN, terjadi
pelarangan atas lagu-lagu barat yang dianggap ngak-ngik-ngok. Musik rock barat
populer oleh artis-artis seperti Elvis Presley dan The Beatles dikeluarkan dari radio
Pemerintah. Rekaman-rekaman musik rock dikumpulkan dan dibakar di depan
umum. Namun, kecaman resmi dari pemerintah malah mengubah rock menjadi
simbol perlawanan terhadap otoritas negara: album-album asing diselundupkan dan
anak-anak muda Jakarta menyetel siaran gelombang pendek dari luar negeri.
Periode tahun 1960-an banyak dianggap memunculkan musik-musik murahan
yang bersifat kedaerahan atau berbau agitasi politik, serta kurang memenuhi selera
baik musik. Banyak orang tak profesional yang hanya berbekal berani tampil muncul
sebagai idola-idola baru musik yang semata-mata telah menjadi pentas dunia hiburan.
Musik modern Indonesia yang sedang tumbuh semakin kehilangan basis orientasi
keseniannya lalu berbalik menjadi semata-mata komoditi kesenangan yang tak jelas
arah perkembangannya dan tak jarang menjadi alat pencari kuasa politik.
Di awal dasawarsa 1960-an tersebut, anak-anak dari golongan kaya, yang
mampu membeli peralatan musik seperti gitar, mulai membentuk kelompok band.
Mereka ini memainkan lagu-lagu barat populer dari kelompok yang baru mereka
dengar seperti Everly Brothers atau pun irama jenis baru (rock’n’roll), The Beatles
dari piringan hitam yang mereka dengar. Los Suitama, Eka Djaja Combo, The
Shadow, Koes Bersaudara adalah beberapa dari yang melakukan hal ini. Menjelang
pertengahan dasawarsa 1960-an, kelompok-kelompok seperti ini mulai menyanyikan
lagu sendiri yang jelas terpengaruh lagu-lagu asing yang sering mereka bawakan.
Pada masa ini di berbagai kota mulai dikenal festival band.
Perubahan politik pada 1965-1966 membuka kembali pasar Indonesia bagi
produk musik barat serta mendorong tumbuhnya kelompok band pop baru. Mereka
menggabungkan yang sebelumnya dilarang sebagai rock barat ke dalam lagulagunya. Lagu-lagu dari kelompok-kelompok rock barat seperti The Rolling Stones,
Deep Purple, maupun lagu-lagu dari kelompok Indonesia seperti Rollies serta
Godbless, terus menerus diputar di stasiun-stasiun radio amatir, begitu pula d
lam
pertunjukkan konser-konser rock yang digelar di kota-kota besar di Indonesia.
Penyanyi utama Rolling Stones, Mick Jagger, memiliki pengaruh yang luar biasa
terutama pada band-band di Bandung. Nama, kebiasaan maupun judul lagu Rolling
Stones, telah menjadi semacam standar ”kebudayaan” kaum muda Indonesia.
Politik ”pintu terbuka” membawa konsekuensi terjadinya arus penyatuan
dengan budaya populer dunia. Berbagai macam produk budaya yang berasal dari
negeri-negeri kapitalis maju memasuki Indonesia. Gaya hidup kaum muda barat
masuk ke Indonesia melalui media massa, di masa itu kebanyakan majalah hiburan
menyadur tulisan dari majalah luar negeri. Majalah-majalah hiburan Indonesia
mayoritas menyajikan tulisan-tulisan mengenai gaya hidup pemuda negara-negara
Eropa/Amerika, salah satunya adalah kaum hippies. Mereka bagian dari youth
counter-culture yang menggugat kemapanan masyarakat kapitalisme industri maju
yang tidak memberikan kebahagiaan kepada mereka, sebaliknya justru bersifat
menindas. Rock juga merupakan bagian dari counter-culture ini. Akan tetapi di tahun
1970-an rock mengalami masalah. Musik yang oleh para pendukungnya pada 1960an dianggap bisa mengubah dunia menjadi lebih baik itu, di awal 1970-an mulai
terserap dalam dunia bisnis dan berubah menjadi industri hiburan. Saat rock
mengalami kondisi seperti inilah, musik ini dengan segala perniknya membanjiri
Indonesia.
Kaum muda perkotaan Indonesia mulai meniru gaya hidup kaum muda barat,
meski untuk alasan yang tidak sama. Anak-anak muda perkotaan mulai muncul
dengan rambut panjang dengan celana jeans yang lebar di bagian bawahnya. Lakilaki dan perempuan pun menghisap ganja dan tak jarang mempraktekkan seks bebas.
Guruh Soekarnoputra misalnya, mengikuti flower generation (hippies) di barat, tahun
1970-an membentuk band yang dinamakan Flower Poetman yang anggotanya
berambut gondrong, menyanyi dengan pakaian bunga-bunga, dan menyelipkan bunga
di telinga. Mereka kemudian juga ikut yoga dan menghisap ganja.
Di tahun 1970-an, konser musik rock sangat sering diadakan di kota-kota
besar seperti Bandung, Jakarta, Medan, Malang, dan Surabaya. Menurut Sawung
Jabo dan Suzan Piper, musik ini ”menggusur musik populer yang lembut dan
menggantikannya dengan lagu-lagu dari band Black Sabbath, Led Zeppelin, dan
Deep Purple.” Keributan berupa perkelahian atau pelemparan ke atas panggung oleh
penonton yang tidak puas, banyak mewarnai pertunjukkan musik rock. Begitu pun
halnya dengan minuman keras.
Musik rock dalam dasawarsa 1970-an adalah musik panggung. Frekuensi
panggung musik rock pada tahun 70-an ini cukup tinggi. Pada masa ini mulai banyak
pihak yang melihat pertunjukkan musik sebagai usaha yang bisa menarik untung. Di
bidang rekaman, pada awal sampai dengan medio 1970-an, para produser rekaman
tak berani menjual musik rock Indonesia. Album God Bless, Huma di Atas Bukit
(1976) merupakan album rock pertama di Indonesia. Satu tahun kemudian, rock
”berhasil” masuk TVRI lewat iklan ”Mana Suka Siaran Niaga”.
Sejak 1978 banyak musisi rock yang terlibat dalam musik pop yang menandai
kemunduran dalam dunia rock. Sampai mendekati pertengahan 1980-an, musik rock
suasananya masih lesu, walaupun ada banyak usaha yang dilakukan anak-anak muda
penggemar rock untuk menggairahkan kembali. Kebanyakan pentas sifatnya masih
seperti mayoritas pentas di tahun 1970-an, tidak diselenggarakan secara profesional
dengan pendekatan bisnis. Grup yang tampil adalah grup dari dasawarsa 1970-an
yang masih bertahan seperti God Bless, Superkidd, dan grup-grup baru yang
membawakan warna musik lama maupun baru (misalnya new wave-nya The Police).
Di tahun 1984, tampak semacam kegairahan baru di beberapa kota digelar
kembali festival musik rock. Dalam festival ini, tampil grup-grup baru membawa
warna musik heavy metal yang jenis baru yang sedang melanda dunia rock. Festival
yang sifatnya kompetitif ini berakhir dengan babak final yang diselenggarakan di
Malang (kota yang pernah menjadi barometer musik rock Indonesia) dan Surabaya.
Festival ini diselenggarakan tiap tahun, yang semakin lama semakin besar dengan
melibatkan semakin banyak grup dan kota.
Kembali populernya jenis musik rock di akhir 1980-an berkaitan dengan
perkembangan di berbagai bidang lain. Di sekitar tahun 1986, di Jakarta muncul
RCTI, televisi swasta pertama di Indonesia, setahun kemudian di Surabaya berdiri
SCTV. Bersaing dengan televisi negara, TVRI, televisi swasta itu menampilkan halhal yang tidak ada di TVRI. Mereka pun membuat acara musik yang diambil dari
videoklip musisi dunia. Hadirnya televisi swasta, memungkinkan para perekam kaset
lagu asing, yang sekarang menggandakannya dengan ijin pemegang hak ciptanya,
mempromosikan kasetnya di televisi dengan cara memutar videoklipnya. Akibatnya,
audiens dapat lebih mudah mengakses atau menyaksikan musisi heavy metal seperti
Europe, Extreme, Scorpions, dan sebagainya.
Pada tahun 1990-an musik rock underground berkembang dengan pesat di
Indonesia yang ditandai dengan munculnya berbagai band rock underground lokal di
berbagai daerah mulai dari Jakarta (Tengkorak band), Bandung (Jasad band),
Yogyakarta (Death Vomit band), Malang (Rotten Corpse), Surabaya (Slow Death)
sampai dengan Bali (Eternal Madness). Arus musik rock underground mengalir
semakin deras ke dalam negeri setelah pemerintah Indonesia menghapus paket
deregulasi November 1988 tentang kemitraan asing-lokal. Sebagai gantinya,
pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1994 yang
memungkinkan lima perusahaan rekaman transnasional yaitu Warner Music Group
(Amerika), Sony Music Entertainment (Jepang), EMI (Inggris), Universal Music
Group (Perancis), dan Bertelsmann Music Group (BMG, Jerman) mengoperasikan
bisnisnya secara penuh di Indonesia tanpa memerlukan kemitraan dengan perusahaan
rekaman lokal. Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2004 ini tidak lepas
dari regulasi tata dunia mengenai perdagangan bebas yang direkomendasikan di
Uruguay pada tahun 1994. Industri budaya ini menjadi perdebatan beberapa negara
karena terdapat ketidakseimbangan perdagangan yang sangat signifikan antara
Amerika Serikat dengan negara-negara lain dalam produk budaya populer (popular
culture). Fakta menunjukkan bahwa industri budaya adalah area surplus ekspor
terbesar untuk Amerika Serikat (Chloridiany, 2004). Oleh karena itu, pemerintah
Indonesia sempat melarang pertunjukan band-band rock asing setelah terjadi
peristiwa kerusuhan konser pertunjukan Metallica band pada April 1993 di stadion
Lebak Bulus, Jakarta Selatan yang mengakibatkan kerusakan parah di sekitar wilayah
tersebut. Menurut pemerintah di Jakarta, musik ini memungkinkan ekspresi spontan
dari kemerdekaan yang instan dan berbahaya bagi daerah yang berbeda iklim
budayanya dengan London atau Los Angeles (Christie, 2004)
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa berbagai budaya di
dunia tidaklah sempit. Adanya perkembangan berbagai teknologi komunikasi serta
praktik-praktik bisnis internasional menunjukkan bahwa budaya di dunia, termasuk
Indonesia, telah terpengaruh oleh ”budaya luar”. Konsekuensi dari penetrasi ”budaya
luar” ini adalah terdapatnya kekhawatiran akan dampak ”flow of information” dari
negara maju, terutama Amerika Serikat sebagai negara yang mendominasi produk
budaya, kepada negara yang masih berkembang di dunia.
Pengaruh internasional melalui musik bukan fenomena saat ini saja, begitu
pula dengan globalisasi musik rock undergound di Indonesia. Kekhawatiran
pemerintah Indonesia akan munculnya imperialisme budaya modern melalui musik
tersebut pada dasarnya telah direfleksikan melalui pidato Presiden Sukarno tahun
1959 dan larangan terhadap pertunjukan musik rock underground dari pemerintah
Orde Baru pada tahun 1993. Jika homogenisasi ini terjadi akibat globalisasi budaya
musik rock underground, sebuah ”identitas anak muda rock underground
internasional” akan muncul. Selain itu, homogenisasi budaya ini dikhawatirkan juga
akan mengarah kepada erosi musik lokal secara gradual dan semakin melebarnya
kesenjangan budaya serta sikap mereka terhadap generasi yang lebih tua.
4. 3. Tengkorak band dan Sosialisasi Audiens
4. 3. 1. Biografi Tengkorak band
Tengkorak merupakan sebuah kelompok musik (band) yang dibentuk pada
akhir 1993 di wilayah Ciledug, Tangerang, Provinsi Banten. Lahirnya band ini
berawal dari bertemunya empat anak muda yang memiliki hobi dan kesamaan visi
dalam bermusik yaitu Muhammad Hariadi Nasution atau biasa dipanggil Ombat
(vocalist), Danang Budhiarto (bassist), Haryo Radianto (guitarist), dan Deni Julianto
(drummer). Saat itu, mereka baru saja menyelesaikan pendidikan menengah pada
institusi pendidikannya masing-masing. Danang dan Haryo adalah lulusan SMAN 28
Jakarta, sedangkan Ombat dan Deny adalah keluaran SMA Islamic Village
Tangerang. Hijrahnya domisili Danang dari wilayah Pejaten Timur, Pasar Minggu,
Jakarta Selatan ke wilayah Perumahan Taman Asri Larangan Selatan, Ciledug,
Tangerang inilah yang akhirnya mempertemukan keempat anak muda tersebut. Pada
awalnya mereka sepakat untuk memainkan lagu-lagu dari band asal Inggris, Napalm
Death, sebagai ekspresi rasa suka keempat anak muda terhadap grup idolanya itu.
Kemudian, nama Tengkorak sengaja dipilih dengan harapan agar dapat mengingatkan
orang lain pada kematian, sehingga dengan mengingat kematian yang tidak dapat
diprediksi kepastiannya, orang tersebut akan selalu melakukan kebaikan selama
hidupnya.
Band ini memiliki markas di Jalan Baru, Cipondoh Tangerang, kediaman
Ombat Nasution beserta orang tuanya, H.M. Lian Nasution. Akan tetapi, krisis
finansial yang terjadi di keluarga Nasution mengakibatkan mereka terpaksa menjual
tempat tinggalnya. Sehingga, markas Tengkorak kemudian dialihkan ke Komplek
Taman Asri Blok I3 No.14 yang merupakan kediaman orang tua Danang, yaitu F.
Sunardi dan istrinya yang pensiunan seorang guru sekolah menengah pertama.
Rumah ini terletak di jalan utama perumahan yang cukup ramai dilalui kendaraan
bermotor yang melintas di depan tempat berkumpulnya para personil Tengkorak.
Dengan pindahnya markas Tengkorak dari Cipondoh ke Ciledug tersebut, maka
alamat korespondensi pun ditetapkan di alamat kediaman basist Tengkorak, Danang.
Sejak didirikan, formasi Tengkorak telah mengalami beberapa kali pergantian.
Awalnya formasi band underground ini terdiri dari empat orang, dengan formasi ini
Tengkorak mengawali aksi panggung mereka lewat jalur festival di kampus
Universitas Mercu Buana. Meski tidak berhasil memperoleh predikat apa pun, aksi
panggung mereka cukup menarik perhatian audiens yang menyaksikan saat itu.
Namun, di tahun 1994, seorang gitaris dari band Retaliator, Adam Mustofa yang
akrab disapa Adhonx, ikut bergabung memperkuat posisi gitar sehingga formasi band
ini pun menjadi lima orang. Dengan formasi ini, Tengkorak meneruskan
perjalanannya dari satu panggung ke panggung lainnya.
Selanjutnya, mereka pun mulai mencoba untuk menciptakan lagu-lagu karya
mereka sendiri. Langkah awal ini dilakukan para personil Tengkorak dengan sedikit
banyak meniru pola musik band asing favorit mereka yang pada masa itu sedang
banyak diminati oleh anak muda akibat semakin derasnya arus globalisasi. Mulai dari
suara vokal, chords gitar sampai dengan kecepatan drum lagu-lagu yang mereka
ciptakan memang mengingatkan pendengarnya akan nuansa musik band grindcore
asal Birmingham, Inggris, Napalm Death. Oleh karena itu, Tengkorak pun kerap
dijuluki sebagai Napalm Death-nya Indonesia oleh para penggemar musik rock
independen.
Setahun kemudian, tepatnya 12 September 1995, personil Tengkorak band
akhirnya menjejakkan kakinya ke dapur rekaman. Dengan materi lagu, bekal finansial
dan pengetahuan akan dunia rekaman yang serba terbatas, mereka merekam lagu-lagu
hasil karya sendiri dengan judul Primitive Jokes, Aggression, The Grave Torment,
serta Bencana Moral di studio Triple M, Jakarta Pusat. Tidak lebih dari satu minggu
mereka menyelesaikan proses rekaman. Selanjutnya, mereka berusaha menawarkan
hasil rekaman kepada beberapa perusahaan rekaman lokal seperti Aquarius Records,
Musica Records sampai Java Musikindo. Akan tetapi, setelah menunggu dalam waktu
yang cukup lama, jawaban yang dikeluarkan pihak perusahaan rekaman tidak sesuai
harapan. Artinya, untuk dapat memperoleh kontrak rekaman, Tengkorak harus
menyesuaikan musiknya dengan arus bisnis mainstream industri musik. Mereka
menolak untuk memproduksi lagu-lagu hasil karya Tengkorak karena dianggap tidak
komersil. Perusahaan rekaman lokal lebih memberikan prioritas kepada band-band
musik pop mainstream yang memenuhi selera pasar, yaitu vokal yang nyaman
didengar, minimalisasi distorsi gitar, beat drum yang sudah umum serta isi lirik lagu
yang berpihak pada status quo atau apolitis. Hal ini jelas tidak konvergen dengan
karakter musik Tengkorak band yang merupakan representasi musik subkultur politis.
Kondisi tersebut tidak mematahkan semangat personil Tengkorak band untuk
coba memproduksi hasil karyanya. Tanpa melakukan kompromi dengan perusahaan
rekaman, mereka justru memutuskan untuk menempuh jalur “indie label” dalam
memproduksi mini album yang diberi judul It’s a Proud to Vomit Him di tahun 1995
tersebut. Tengkorak band memproduksi lagu-lagu hasil karya mereka tanpa
keterlibatan perusahaan rekaman major sedikit pun. Mulai dari proses rekaman,
penggandaan kaset, desain sampul album, pencetakan, promosi, distribusi sampai
dengan proses penjualan, Tengkorak band melakukannya sendiri atau lebih dikenal
dengan istilah do it yourself di bawah naungan label yang dibentuk oleh sang vokalis
yaitu Sebelas April Record sebagai respon dari tekanan budaya dominan industri
musik nasional yang mereka hadapi. Berikut penuturan vokalis Tengkorak, ON,
ketika menyiasati hegemoni budaya mainstream industri musik nasional yang
dihadapinya saat itu:
“Gue bentuk Sebelas April Record gunanya untuk memproduksi dan
mendistribusikan mini album Tengkorak. Sebab, kalo nggak begini,
mana bisa gue bikin musik yang sesuai idealisme”
Dengan membentuk Sebelas April Record, artinya Tengkorak band memilih
strategi bermusik do it yourself atau indie label. Mereka tanggung bersama biaya
rekaman atau swadana, sama halnya ketika mereka melakukan duplikasi kaset hasil
rekaman. Pada awalnya, karena keterbatasan finansial, Tengkorak menggandakan
mini album “It’s a Proud to Vomit Him” hanya seratus keping saja. Namun, di luar
dugaan permintaan akan mini album tersebut semakin meningkat. Sehingga, sebagian
kaset terpaksa diperbanyak dengan cara yang sangat tradisional, yaitu direkam
dengan menggunakan tape recorder milik personilnya. Kaset kosong beserta boksnya mereka dapatkan dengan membelinya di kawasan Glodok, Jakarta Barat.
Sementara itu, urusan desain dan mencetak cover kaset sang vokalis mendesainnya
sendiri dibantu beberapa teman yang bersedia melakukan cetak sablon cover album
tersebut secara manual tanpa menggunakan mesin cetak. Dengan demikian, predikat
band independen semakin melekat di tubuh Tengkorak band.
Dalam hal strategi promosi dan penjualan hasil karyanya, baik itu berupa
kaset, t-shirt, sampai dengan stiker, personil Tengkorak band menciptakan sistem
penjualan
sendiri.
Mereka
tidak
saja
di
dalam
negeri,
namun
juga
mendistribusikannya sampai ke luar negeri. Tengkorak menjualnya secara langsung
(direct selling) pada saat mereka tampil di berbagai event atau sebaliknya melalui
jalur pos (mail order) dan bekerja sama membentuk jaringan distribusi bersama
rekan-rekan penggemar musik rock underground lain yang memiliki distribution
outlet (distro) di berbagai kota besar dan kecil di negeri ini. Sistem jaringan distribusi
ini bagi yang sudah kenal baik biasanya Tengkorak band menerapkan sistem
kosinyasi atau titip jual. Sedangkan bagi yang belum dikenal baik atau yang berlokasi
cukup jauh biasanya harus membayar kontan atau jual putus. Sistem jual putus ini
juga berlaku pula untuk distro-distro yang ada di luar negeri sehingga distribusi hasil
karya Tengkorak band juga tersebar ke berbagai negara di benua Amerika, Asia, dan
Eropa. Mulai dari Malaysia, Jepang, Republik Ceko, Polandia, Spanyol sampai
dengan Amerika. Namun, selain jual putus, untuk distribusi luar negeri personil
Tengkorak juga melakukan sistem barter, yaitu saling bertukar merchandise seperti
kaset, compact disc, atau t-shirt sebagai strategi alternatif dari sistem titip jual di luar
negeri.
Strategi yang dijalani ternyata berdampak positif. Secara perlahan, nama
Tengkorak band mulai dikenal kalangan audiens musik rock independen tidak saja di
dalam negeri namun juga di luar negeri berkat diseminasi mini album It’s a Proud to
Vomit Him melalui aktivitas tukar-menukar kaset yang melibatkan penggemar musik
rock independen antarnegara di dunia (tape trader circuit). Di dalam negeri,
Tengkorak band pun mulai sering diminta tampil dalam sebuah event, baik itu di
sekolah-sekolah, perguruan tinggi, sampai dengan kafe atau kelab-kelab kecil.
Minimal dua kali dalam satu bulan mereka memiliki jadwal untuk tampil di venuevenue tersebut. Di luar negeri, Tengkorak ikut ambil bagian dalam proyek kompilasi
rock underground yang dirilis oleh label independen dari berbagai negara seperti
kompilasi “Till Your Ears Bleed Compilation” yang dirilis oleh Hibernia Records
(Portugal), dan kompilasi “Grind the Faces of Rockstar” oleh Bloodbath Records
(Jepang).
Akan tetapi, setelah beberapa kali tampil bersama Tengkorak di tahun 1995,
Adam Mustofa terpaksa mengundurkan diri. Diterimanya gitaris Tengkorak tersebut
sebagai calon pegawai negeri sipil pada Departemen Kehutanan membuatnya harus
menetap di Denpasar, Bali. Sehingga, aktivitasnya sebagai gitaris Tengkorak band
terpaksa ia tinggalkan. Meski demikian, dengan seorang gitaris tidak menjadi
halangan bagi Tengkorak band untuk melanjutkan kiprahnya di dunia musik.
Salah satu hasil yang cukup signifikan dari aktifitas tape trader
adalah
tertariknya Bloodbath Records, satu label independen asal Jepang, untuk merilis lagulagu Tengkorak band dalam format piringan hitam. Album yang dirilis pada akhir
tahun 1996 itu diberi judul Dying Poor dimana Tengkorak bersanding dengan band
rock underground asal Republik Ceko, Cerebral Turbulency. Dengan demikian,
Tengkorak menjadi band rock underground pertama di tanah air yang merilis lagu
dalam format piringan hitam dan semakin diakui eksistensinya di komunitas musik
indie international.
Munculnya Tengkorak, band rock underground asal Indonesia semakin
membuka mata komunitas penggemar musik rock independen dan media massa
independen luar negeri seperti Malaysia, Jepang, Thailand, Belarusia, Spanyol, Rusia,
Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru, Republik Ceko, Polandia, Belgia, Latvia,
Perancis, dan Portugal. Banyak yang tidak menduga bahwa di Indonesia juga eksis
sebuah band rock underground. Tengkorak pun mulai mengisi kolom interview serta
review di media massa independen luar negeri tersebut. Sedangkan, munculnya profil
Tengkorak band di Majalah Hai, salah satu majalah lokal yang seringkali
menampilkan profil band pendatang baru, semakin meningkatkan popularitas band
rock underground tersebut di dalam negeri.
Publikasi media massa ini mau tidak mau pada akhirnya membuat beberapa
produser major label lokal mulai memusatkan perhatiannya pada jenis musik rock
underground. Salah satunya adalah produser dari Warner Musik Indonesia, Pak
Handi. Dengan Anang Hermansyah dan Irfan Sembiring sebagai mediator, akhirnya
keempat personil Tengkorak band dipertemukan dengan pemilik Warner Musik
Indonesia di kantornya di wilayah Mangga Besar, Jakarta Utara. Pertemuan ini
menghasilkan kesepakatan bahwa sebelum merilis album penuh, Tengkorak band
akan merilis album kompilasi Metalik Klinik 1 terlebih dulu sebagai pilot project.
Proyek ini sengaja dilakukan pihak perusahaan rekaman sebagai strategi untuk
melihat sejauhmana tingkat penjualan genre musik rock underground di tanah air
sebelum mereka merilis album Tengkorak band.
Akhir Desember 1997, Album kompilasi yang berisikan 23 band underground
dari dalam negeri dengan berbagai genre tersebut akhirnya dirilis oleh Rotorcorp,
sublabel dari perusahaan rekaman Musica Records yang mengkhususkan diri pada
genre musik indie mulai dari punk, hardcore sampai dengan ska. Hanya dalam waktu
satu bulan angka penjualannya sudah melebihi angka 60.000 keping. Sebuah angka
penjualan yang cukup mengejutkan untuk jenis musik baru yang mereka usung. Di
album kompilasi ini, Tengkorak band menyumbangkan satu lagu berdurasi sekitar
tiga menit dengan judul “Konflik”. Lagu yang bercerita mengenai kegelisahan
Tengkorak band akan menurunnya dedikasi para pelajar tanah air dalam berbakti
kepada orang tuanya dimana mereka merasa lebih bangga dengan melibatkan diri
dalam perkelahian antarpelajar ketimbang menuntut ilmu ini semakin mengangkat
nama mereka di kalangan audiens musik rock underground. Dari angket yang
dikeluarkan oleh pihak Musica Records, Tengkorak band menjadi band favorit para
pembeli album kompilasi pertama musik underground tersebut. Gaya vokal
menggeram yang seakan mewakili kegelisahan mereka, distorsi gitar yang meliukliuk serta beat drum super cepat yang memompa semangat menjadi pengantar lirik
lagu “Konflik” yang ampuh untuk lebih dekat dengan audiensnya. Singkat kata,
Tengkorak band sukses menembus hegemoni major label lewat warna musik
grindcore dan berbagi kegelisahan bersama audiensnya.
Meski berhasil merilis Metalik Klinik 1, Tengkorak band tidak lepas dari
kritik sesama band rock underground lokal asal Malang, Bandung, dan Yogya.
Mereka menganggap bahwa Tengkorak band telah melanggar dari norma-norma indie
label yaitu dengan melakukan kerja sama merilis Metalik Klinik 1 di bawah
perusahaan rekaman major atau major label sehingga band-band yang ikut
berpartisipasi dalam kompilasi tersebut diboikot. Namun, para personil Tengkorak
band tidak ambil pusing dengan ancaman boikot tersebut. Mereka berpendapat bahwa
sebagai produk sosial, budaya indie label lokal tidak perlu mengikuti pola indie label
luar negeri begitu saja, karena kondisi sosial yang dihadapi Tengkorak band berbeda
dengan kondisi sosial band-band indie label asal luar negeri. Tengkorak band pun
bergeming dan terus mempromosikan single “Konflik” ke berbagai stasiun radio serta
media cetak di dalam negeri dengan donasi minim dari label mereka.
Di saat masa promosi album kompilasi Metalik Klinik 1 bersama Rotorcop
sedang berjalan, di tubuh Tengkorak band justru terjadi perubahan formasi. Mereka
terpaksa menghentikan drummer lama Denny Julianto karena pola hidupnya tidak
lagi sejalan dengan personil lainnya. Donnirimata, drummer band Suffering, rekan
lama gitaris Tengkorak band, segera dihubungi untuk sementara waktu mengisi posisi
drummer yang kosong. Setelah tampil dua kali bersama Tengkorak, Donni pun
diangkat menjadi personil tetap dan tidak lagi berstatus drummer Suffering band.
Selain memiliki drummer baru, Tengkorak band juga menambah seorang gitaris
bernama Heilla Tanissan, mantan gitaris Trauma band, yang tinggal tidak jauh dari
base camp Tengkorak band untuk mengisi posisi gitar yang sudah lama ditinggalkan
oleh Adam Mustofa. Dengan demikian, setelah merilis single “Konflik” dalam album
kompilasi Metalik Klinik 1, Tengkorak band memiliki formasi Ombat Nasution
(vocal), Danang Budhiarto (bass), Haryo Radianto (guitar 1), Heilla Tanissan (guitar
2), dan Donnirimata (drummer).
Pada tahun 1998, dengan formasi tersebut Tengkorak kembali diikutsertakan
oleh pihak Rotorcorp dalam lanjutan proyek album kompilasi musik indie Metalik
Klinik 2. Ini dilakukan pihak Rotorcorp atas dasar hasil angket yang diedarkan
sebelumnya oleh perusahaan rekaman yang menunjukkan tingginya animo audiens
pembeli kaset tersebut akan lagu hasil karya Tengkorak band. Dalam album
kompilasi Metalik Klinik 2 ini, Tengkorak band menyumbangkan satu single baru
mereka yang diberi judul “Rusuh”. Lagu yang menggambarkan sikap represif Polri
terhadap aksi unjuk rasa mahasiswa ini menuai sukses pula mengikuti jejak single
terdahulu di Metalik Klinik 1.
Di bulan Maret 1999, akhirnya Tengkorak band kembali masuk dapur
rekaman untuk menggarap debut album mereka di Magenta Studio, Jakarta Selatan.
Album yang diberi judul “Konsentrasi Massa” ini memuat 20 lagu dimana sebagian
besar lagu-lagu tersebut memiliki tema kritik sosial yang merefleksikan kondisi sosial
di Indonesia pada masa itu. seperti Oknum, Gawean Reget, Asap Tebal, Kemelut,
Primitive Jokes, Prestasi Gila, Buruh, Propaganda, Spekulasi Bisnis, Bisnis
Ejakulasi, Dosa Keluarga, Bencana Moral, dan Konsentrasi Massa. Album perdana
ini dirilis dalam format kaset di bawah label Rotorcorps dan didistribusikan secara
nasional melalui jaringan distribusi yag dimiliki Musica Records, sebagai label induk
dari Rotorcorps.
Akan tetapi, setahun lebih tampil bersama Tengkorak band mempromosikan
lagu-lagu album perdana di berbagai kota mulai dari Medan, Surabaya, Jakarta
sampai Lombok, Heilla Tanisan (gitar 2), mengundurkan diri untuk kembali
bergabung bersama band lamanya, Trauma. Musik Tengkorak band ternyata kurang
sejalan dengan pola permainan yang dimiliki Heilla, sehingga ia pun memutuskan
untuk kembali bergabung dengan rekan-rekan lamanya. Posisi Heilla sebagai gitaris 2
digantikan oleh Muhammad Taufik yang lebih akrab dipanggil dengan nama Opick,
seorang mahasiswa Universitas Mercu Buana asal Palembang yang juga seorang
penggemar Tengkorak band dan gitaris dari band rock underground bernama
Sarcastic band. Sampai dengan Mei 1999, Tengkorak band, memiliki formasi M.
Hariadi Nasution (vokal), Haryo Radianto (gitar 1), Muhammad Taufik (gitar 2),
Danang Budhiarto (Bass), dan Donnirimata (drum). Bersama formasi baru tersebut
Tengkorak band melakukan berbagai pertunjukan di berbagai lokasi. Mereka juga
kerap berlatih hampir setiap akhir pekan untuk memperbanyak materi lagu baru.
Pada April 2001, Yutaka Kimura, rekan tape trader dari Bloodbath Records
Jepang, menginformasikan bahwa album “Konsentrasi Massa” telah dirilis oleh label
Jepang tersebut. Berbeda dengan rilisan Rotorcorp Records, album Tengkorak band
versi Bloodbath Records ini dirilis dalam format compact disc dan memasukkan dua
single Tengkorak dari album kompilasi Metalik Klinik 1 dan 2 sebagai bonus tracks.
Oleh Bloodbath Records, album ini didistribusikan secara internasional mulai dari
Jepang, Jerman, Belarusia, Republik Ceko sampai dengan Malaysia.
Bulan Mei 2002, Tengkorak band kembali masuk Magenta studio bersama
formasi terakhirnya untuk ikut berpartisipasi dalam proyek kompilasi yang berjudul
“Tribute to Rotor”. Kompilasi ini diikuti oleh 12 band rock underground Indonesia
serta 1 band asal Malaysia, Sil Khannaz. Proyek ini merupakan kerja sama antara
Rotorcorps dengan Sebelas April Records untuk mengenang salah satu band pionir
musik rock underground, Rotor. Di sini, Tengkorak band menyumbangkan satu lagu
diambil dari album perdana Rotor yang berjudul “Pluit Phobia”. Di saat proses
rekaman akan dimulai, Deni, drummer lama Tengkorak sempat mencoba mengisi
permainan drum, namun tidak berjalan dengan baik. Sehingga, Donnirimata kembali
dipercaya oleh para personil Tengkorak band untuk melakukan proses rekaman lagu
“Pluit Phobia” sampai selesai. Proses rekaman lagu Pluit Phobia tersebut akhirnya
berjalan lancar sesuai harapan.
Begitu selesai dengan Album kompilasi “Tribute to Rotor”, para personil
Tengkorak harus menghadapi dilema dalam menentukan label untuk produksi album
berikutnya. Di satu sisi, Rotorcorp Records sebagai label sebelumnya dan telah
berganti nama menjadi Krossover Records, tetap ingin bekerjasama dan siap merilis
album Tengkorak band selanjutnya, sedangkan pada sisi lain Ombat, sang vokalis
sekaligus motor penggerak dan juga pendiri sebelas April Records, ingin melakukan
produksi album di bawah label miliknya sendiri. Dalam kondisi yang demikian,
sempat terjadi perdebatan diantara para personil Tengkorak band dalam menyikapi
hal tersebut. Akan tetapi, akhirnya kelima personil sepakat untuk kembali bekerja
sama dengan pihak Krossover Records hanya sampai produksi album ini saja.
Selanjutnya, mereka berencana memproduksi album di bawah label Sebelas April
Records.
Akhirnya, pertengahan September 2002 para personil Tengkorak kembali
masuk studio Magenta yang berlokasi di wilayah Pondok Pinang, Jakarta Selatan
untuk menggarap album kedua Tengkorak band yang diberi judul “Darurat Sipil”.
Sebanyak empat belas lagu mereka kemas di dalam album tersebut di bawah naungan
label Krossover Record/Hemaswara/Sebelas April Records. Dua belas lagu bertempo
cepat dengan tema yang merefleksikan fenomena sosial Indonesia sampai dunia,
sedangkan dua lagu sisanya bertempo cenderung lambat. Untuk lebih memperkaya
warna musik, Tengkorak band juga melibatkan beberapa musisi tamu yaitu Rockmor
dari band rock underground Bromo serta Iwan Hassan, gitaris band rock progresif,
Discuss. Rockmor mengisi backing vocal pada lagu Pemimpin Gila sedangkat Iwan
Hassan mengisi harpa pada intro lagu Diskriminasi Harta. Proses rekaman sendiri
berlangsung kurang dari satu minggu atau sebanyak 7 shift jadwal studio mereka
habiskan untuk menyelesaikan album “Darurat Sipil”. Pada Oktober 2002, album ini
pun dirilis oleh pihak label.
Selain itu, album ini juga dirilis oleh Bloodbath Records Jepang dalam format
compact disc pada akhir tahun 2002. Album versi compact dics ini memuat video clip
Pemimpin Gila sebagai bonus track dalam format mpeg 4 serta didistribusikan ke
seluruh dunia oleh pihak label.
Namun demikian, di pertengahan tahun 2003, formasi Tengkorak band
kembali mengalami perubahan. Opick, yang biasanya bertugas sebagai gitaris kedua
terpaksa mengundurkan diri dari posisinya. Kedua orang tuanya meminta gitaris
Tengkorak band itu kembali ke Palembang, Sumatera Selatan untuk meneruskan
bisnis rempah-rempah yang telah lama mereka jalani. Hal ini sempat menimbulkan
polemik di Tengkorak band, dimana Ombat menginginkan Opick untuk bertahan
sementara personil lainnya dengan berat hati merelakan Opick untuk kembali ke
Palembang. Situasi ini menjadi dilema bagi Opick, ia pun tidak dapat mengambil
keputusan. Guna mencari solusi, Ombat dan para personil lainnya segera
bermusyawarah dan menghasilkan kesepakatan untuk menganjurkan Opick kembali
ke Palembang untuk memenuhi keinginan kedua orang tuanya.
Dengan mundurnya Opick, Tengkorak band kembali memerlukan seorang gitaris lagi
untuk menggantikan posisinya sebagai gitaris kedua. Namun demikian, tidak perlu
menunggu lama, posisi Opick akhirnya digantikan oleh Samir, gitaris dari band rock
underground asal Surabaya, Slow Death. Dalam waktu singkat, Samir mampu
beradaptasi dengan lagu-lagu Tengkorak band.
Panggung perdana Tengkorak band dengan gitaris baru adalah saat mereka tampil di
acara peringatan 10 tahun berdirinya Tengkorak band yang digelar oleh Lian Mipro
Organizer di Nirvana Café, Jakarta Selatan. Sebanyak 21 lagu mereka bawakan pada
momen tersebut. Mulai dari Oknum, Primitive Joke, Rusuh, sampai Pemimpin Gila
mereka bawakan. Sekitar 500 audiens lebih memadati kafe yang berlokasi di bagian
bawah Hotel Maharaja, Jakarta Selatan tersebut. Selain ber-slamdancing, ada juga
audiens yang memberikan kue tart beserta lilin saat Tengkorak jeda membawakan
lagu-lagu. Ritual tiup lilin bersama Tengkorak band akhirnya terlaksana di atas
panggung.
Dengan formasi ini, Tengkorak band ikut ambil bagian dalam beberapa
proyek kompilasi independen yang bertema perjuangan HAM yang bertitel “Strip
Hitam”. Dalam album kompilasi ini, Tengkorak band menyumbangkan satu lagunya
yang berjudul Rusuh. Selain itu, mereka juga merilis mini album Lunatic Leader
yang berisi empat lagu dari cikal bakal album Darurat Sipil.
Pertengahan tahun 2004, perubahan formasi kembali terjadi di tubuh
Tengkorak band. Setelah tampil di satu event di Gelanggang Olah Raga Bekasi,
Danang Budhiarto, bassist sekaligus salah satu pendiri Tengkorak band,
mengundurkan diri. Statusnya sebagai pegawai negeri pada Pusat Pendidikan dan
Pelatihan Kejaksaan menuntut perhatian yang lebih. Ia memutuskan untuk lebih
konsentrasi pada pekerjaannya. Sehingga, Tengkorak band untuk sementara waktu
tampil minus pemain bass. Posisinya kemudian digantikan oleh Bonny Sidharta,
mantan pemain bass Thrashline band. Bersama bassist baru, Tengkorak band ikut
ambil bagian dalam proyek kompilasi Tribute to Death, sebuah kompilasi yang berisi
lagu-lagu dari band rock underground legendaris asal Amerika, Death. Mereka
merekam lagu klasik dari band tersebut yang berjudul “Back from the Dead”. Album
kompilasi ini diproduseri oleh sebuah label independen lokal, yaitu Amon-Ra
Records.
Setahun kemudian, Donnirimata, sang drummer, mengundurkan diri dari
Tengkorak band. Aktivitasnya di beberapa band lain serta kesibukan bekerja di
perusahaan swasta membuatnya kesulitan untuk dapat lebih fokus di Tengkorak
band. Sehingga, posisinya untuk sementara digantikan oleh Roni Yuska, drummer
band rock underground Bekasi, Panic Disorder. Setelah berlatih dan tampil bersama
di beberapa event, akhirnya Roni diresmikan sebagai drummer tetap.
Di bulan April 2005, Tengkorak band mencatat sejarah dengan menjadi grup
pembuka band pionir rock underground Inggris, Napalm Death, di Pantai Festival
Ancol, Jakarta Utara. Tengkorak band membawakan 10 lagu selama satu jam, mulai
dari Primitive Jokes, Konsentrasi Massa, Teroris, Buruh sampai single mereka yang
berjudul Konflik. Sekitar 7000 audiens musik rock underground dengan antusias
menyaksikan event tersebut. Penampilan Tengkorak band saat itu tidak saja mendapat
apresiasi dari audiens, namun juga para personil Napalm Death yang menyaksikan
langsung dari sisi panggung. Mereka tidak menduga, bahwa Tengkorak band
mempelajari jenis musik tersebut cukup detail dan memainkan musiknya di atas
panggung dengan baik. Event yang bertema Grinding Indonesia 2005 ini kembali
meningkatkan popularitas Tengkorak band baik di khasanah musik rock dalam dan
luar negeri. Inilah event besar musik rock underground pertama sejak pemerintah
Orde Baru mengeluarkan larangan tampil bagi grup-grup musik rock asing setelah
insiden konser Metallica tahun 1993 di stadion Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Setelah Napalm Death, pada 23 september 2005 Tengkorak band kembali
mendampingi Kreator, band rock underground Jerman, yang didatangkan oleh Lian
Mipro Event Organizer untuk tampil di dua kota, Surabaya dan Jakarta. Namun,
Tengkorak band hanya tampil di satu event sebagai grup pembuka yaitu di Kenjeran,
Surabaya. Terbatasnya waktu yang diberikan, membuat Tengkorak band hanya
membawakan 5 lagu di depan 1000-an audiens yang hadir di Kenjeran, Surabaya.
Secara keseluruhan, event di Surabaya ini berjalan kurang berhasil karena masalah
sponsor, promosi, dan lokasi yang tidak representatif.
Memasuki pertengahan tahun 2006, para personil Tengkorak band kembali
merekam materi-materi baru untuk album berikutnya. Dengan dana terbatas, mereka
terpaksa menyelesaikan proses rekaman album baru di tiga studio berbeda. Enam
lagu pertama mereka rekam di studio milik Piyu, gitaris band Padi, yang berlokasi di
wilayah Cinere, Jakarta Selatan. Sedangkan materi lainnya mereka selesaikan di Bee
Sound studio Condet, Jakarta Timur dan Buana Sound studio, Tanah Kusir, Jakarta
Selatan.
Setelah menyelesaikan proses produksi rekaman, Tengkorak band akhirnya
merilis album baru di bawah naungan label independen Sebelas April Records, pada
14 Juli 2007 dengan judul Agenda Suram. Terdiri dari 20 lagu rock underground,
sebagian besar lagu di album ini merefleksikan sikap Tengkorak band yang
mengkritisi kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan kelompok Zionist Israel.
Adapun lagu-lagu tersebut antara lain berjudul Jihad, Boycott Israel, United state of
Asu, Zionist Exaggeration, dan Hisbullah. Sementara itu, materi lagu lainnya,
menyuarakan kondisi sosial politik dalam negeri seperti, Trias Politica, Buruh,
Disgusting Agenda, Celebrity Syndrome, dan lainnya.
Namun, sebelum tampil sebagai pembuka Suffocation band, satu rock
underground Amerika Serikat, di Ancol, Jakarta Utara, pada 12 Agustus 2007,
formasi Tengkorak band kembali mengalami perubahan pada posisi pemain bass.
Bonnie, bassist yang bergabung pada Maret 2004, terpaksa mengundurkan diri karena
tidak sependapat dengan sikap bermusik Tengkorak band yang militan terhadap
kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan Zionist Israel. Ia merasa tidak nyaman lagi
untuk bertahan di Tengkorak band karena tema lagu yang disuarakan oleh Tengkorak
band menurutnya sama dengan cara pandang seorang teroris. Posisi Bonnie untuk
sementara diambil alih oleh Opick, mantan gitaris Tengkorak.
Sikap bermusik Tengkorak band yang kritis terhadap zionisme Israel ini
menarik perhatian Sam Dunn, seorang antropolog Kanada, dan Scott McFadyen,
produser dari Universal Music Canada. Selain telah tertarik dengan lagu Tengkorak
band di album Darurat Sipil yang berjudul Destroy Zionist, mereka melihat apa yang
dilakukan Tengkorak band adalah sebuah kontradiksi sosial, berbeda dengan bandband rock underground lain di Indonesia. Oleh karena itu, kedua warga Kanada
tersebut rela melakukan perjalanan jauh agar dapat mewawancarai Tengkorak band
secara langsung untuk sebuah film dokumenter mengenai globalisasi musik rock
underground yang berjudul Global Metal. Film dokumenter ini akhirnya dirilis pada
awal tahun 2008 di bawah naungan Universal Music Canada dalam format dvd.
Selain itu, Universal Music Canada juga merilis cd soundtrack film Global Metal
dimana satu lagu Tengkorak band yang berjudul Jihad Soldiers ikut terpilih masuk.
Hasilnya, kedua produk dari Universal Music Kanada tersebut kembali meningkatkan
popularitas Tengkorak band di kalangan audiens musik rock underground.
Setelah dvd dan cd soundtrack Global Metal beredar secara resmi, Tengkorak
band kembali mengejutkan audiens musik rock underground di Indonesia. Mereka
mengubah “salam metal tiga jari” yang merupakan salah satu simbol signifikan
audiens musik rock underground menjadi “salam satu jari” pada saat tampil di event
Urban Garage Festival 27 Maret 2010 di Rossi Music, Fatmawati Jakarta Selatan.
Tengkorak band melakukan ini setelah personilnya mendapat tambahan stock of
knowledge dari berbagai media massa nonmainstream serta berdiskusi dengan sesama
rekan-rekan. Napalm Death tidak lagi menjadi reference group Tengkorak band.
Mereka melihat adanya kontradiksi, dimana salam metal tiga jari yang terdiri dari
jempol, telunjuk dan kelingking memiliki makna yang merujuk pada simbol setan
dengan dua tanduknya dan anti Tuhan. Sedangkan salam satu jari, yang hanya terdiri
dari jari telunjuk memiliki makna ketauhidan Allah SWT.
Mulai saat itu mereka memandang musik rock underground dengan perspektif
yang berbeda. Tengkorak band melihat budaya musik rock underground yang datang
dari luar nusantara mengarah pada imperialisme budaya modern dan berpotensi
mengambil alih nilai-nilai budaya lokal secara gradual dari pikiran audiens musik
tersebut. Tengkorak band mengkhawatirkan terjadinya homogenisasi budaya anak
muda internasional yang dengan mudah akan dikendalikan pola pikirnya oleh rezim
pemaknaan yang berada di balik industri musik dunia.
Salam satu jari sebagai simbol signifikan hasil reproduksi Tengkorak band
menimbulkan reaksi yang beragam dari berbagai pihak. Mulai dari audiensnya, bandband rock underground lain sampai dengan para produser musik rock independen.
Sebagian dari mereka sependapat dengan salam satu jari, namun ada juga yang tidak
sependapat.
Wendy Putranto, wartawan majalah Rolling Stone dan pemerhati musik rock
underground, tidak sependapat dengan pemikiran Tengkorak band mengenai simbol
signifikan satu jari. Menurutnya salam metal tiga jari adalah simbol produksi seorang
vokalis rock senior bernama Ronie James Dio. Hal yang sama diutarakan oleh Bonny
Sidarta, mantan pemain bass Tengkorak band yang kini aktif bersama band rock
underground Dead Squad. Bonie mengutarakan pendapatnya,“Masak tengkorak yang
udah puluhan tahun main musik metal nggak tau siapa Ronie James Dio sih. Salam
tiga jari bukan simbol zionis.” Sedangkan Azis, pengelola Dapurletter webzine,
sebuah majalah elektronik khusus musik independen yang sudah lama eksis di
kalangan rock underground, lebih memilih netral dalam memandang simbol
signifikan tersebut. Ia mengemukakan,“Sebagai pihak media, selama itu masih rock
underground
saya tetap akan memberikan ruang di media saya dan tidak
mempermasalahkan apakah itu salam satu jari atau salam metal tiga dan dua jari.”
Kondisi tersebut tidak menggoyahkan Tengkorak band untuk membawa visi
dan misi mereka yaitu menjadi band rock underground tanpa melupakan aspek-aspek
penting dari budaya bangsa Indonesia dan mengajak audiensnya berpikir kritis
terhadap pesan-pesan media massa, khususnya simbol-simbol signifikan dalam musik
rock underground.
Matriks 7. Perubahan identitas Tengkorak Band
Kurun waktu
Perubahan yang dialami Tengkorak band
perubahan
1993-1995
1993-1995
1995-1998
1998-2006
2006-2008
2008-2009
2009-2011
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Memandang musik sebagai hiburan dan katarsis
Membentuk formasi band 4 orang
Memainkan lagu-lagu karya band asing (spesialis ND)
Mendapat label sebagai Napalm Death-nya Indonesia
Mulai berlomba-lomba mengumpulkan dan mengenakan artefak-artefak
musik rock underground impor tanpa memahami makna dari simbolsimbol signifikan yang ada di dalamnya.
ï‚· Menyatakan diri sebagai band rock underground namun berharap
mendapatkan kontrak dengan perusahaan rekaman mainstream lokal agar
dapat memiliki album rekaman
ï‚· Memandang musik sebagai kompetisi
ï‚· Mulai menghasilkan lagu-lagu karya sendiri dengan tema beragam
ï‚· Merilis mini album melalui jalur indie label krn ditolak oleh perusahaan
rekaman mainstream lokal
ï‚· Memutuskan untuk bekerja sama dengan perusahaan rekaman mainstream
lokal, Musica Records, dengan merilis album kompilasi Metalik Klinik 1
ï‚· Mendapat kritik dan boikot dari komunitas rock underground di beberapa
wilayah Indonesia, karena bekerja sama merilis kompilasi tersebut dengan
Musica Records
ï‚· Merilis album Konsentrasi Massa dan Darurat Sipil di bawah Musica
ï‚· Menghentikan kerja sama dengan Musica Records
ï‚· Merilis Album Agenda Suram di bawah Sebelas April Records
ï‚· Turning point melepaskan diri dari imitator band asing
ï‚· Mulai memahami realitas subyektif dari musik rock underground
sehingga lebih kritis dalam memandang simbol-simbol signifikan yang
ada di dalamnya
ï‚· Menciptakan lagu Boycott Israel yang bertema resistensi terhadap
kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan sekutunya
ï‚· Mulai mengenakan artefak-artefak musik rock underground lokal
ï‚· Mengalami vakum akibat conflict of interest dalam diri personilnya
ï‚· Memutuskan kembali aktif di dunia musik rock underground karena rasa
tanggungjawab untuk mengungkapkan introyeksi gerakan zionisme lewat
simbol-simbolnya dalam musik rock underground kepada audiens
ï‚· Membentuk simbol baru dalam budaya rock underground yaitu salam satu
jari sebagai strategi membuka pikiran audiens dan respon terhadap
simbol-simbol zionisme
ï‚· Tidak lagi memandang musik sebagai sebuah kompetisi
Dari matriks di atas terlihat bahwa Tengkorak band telah mengalami
pergeseran pola pemikiran dari penerima pasif sebuah budaya rock underground
barat menjadi sebuah kelompok musik yang lebih kritis dalam menyikapi budaya
tersebut. Perubahan tidak dalam waktu singkat, namun cukup lama. Dengan
demikian, hal tersebut menunjukkan bahwa proses sosialisasi yang membentuk
kesadaran kritis personil Tengkorak band juga memerlukan waktu yang panjang.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat suatu pola dimana
pada awalnya Tengkorak band sebagai sebuah band rock underground mencoba
untuk melakukan imitasi dengan detail terhadap musik “rock underground asing”
yang menjadi role model-nya. Kemudian, setelah melewati fase imitasi tersebut,
kecenderungan yang terlihat adalah Tengkorak band menggabungkan materi budaya
baru tersebut ke dalam pengalaman budaya mereka sendiri daripada mencoba untuk
menciptakan suatu budaya yang kurang sesuai dengan nilai-nilai budaya lokal. Hal
ini menunjukkan tumbuhnya kembali satu rasa nasionalisme dan harga diri dalam
tubuh Tengkorak band, yang juga berarti menyatakan identitas budaya mereka
sendiri dalam menghadapi budaya internasional.
Nasionalisme dan harga diri yang tumbuh dalam tubuh Tengkorak band
tidak muncul dalam waktu singkat. Kesadaran nasionalisme dan harga diri tersebut
muncul pada saat sistem politik di Indonesia mengalami perubahan dari sistem
politik pemerintahan orde baru yang otoriter menjadi sistem politik pemerintahan
reformasi yang lebih demokratis.
4. 3. 2. Konstruksi Realitas Simbol-simbol Signifikan Tengkorak Band
Sebagai agen sosialisasi dalam tahap sosialisasi sekunder, Tengkorak band
memiliki simbol-simbol signifikan dalam melakukan interaksi dengan audiensnya.
1. Lirik
Lirik merupakan refleksi atau obyektivasi dari stock of knowledge vokalis
Tengkorak band. Ditemukan bahwa lirik lagu hasil karya Tengkorak band
menunjukkan bagaimana memandang dunia. Tabel berikut menyajikan beberapa lirik
yang merepresentasikan visi dan misi Tengkorak band.
Matriks 8. Lirik, makna dan ideologi Tengkorak band
Signifier
Makna
Ideologi
BENCANA MORAL
Seks bebas tradisi barat mencoba
hancurkan moral…
Lirik Tengkorak band
Bahaya pengaruh
budaya barat
Berpikir kritis dan
menjaga budaya lokal
KONFLIK
Pegang pena bukan belati, orang
tua maunya nanti, jadi anak yang
berbakti…
Lirik Tengkorak band
Keprihatinan akan
identitas generasi
muda
Berpikir kritis dan
menjaga budaya lokal
RUSUH
Kerusuhan yang berlarut-larut
harus segera kita hentikan…
Aparat serta mahasiswa samasama orang Indonesia
Lirik Tengkorak
Keprihatinan akan
reformasi 98 yang
menimbulkan gejolak
sosial
Berpikir kritis
BOYCOTT ISRAEL
Boycott Israel and all their allied
products…..boycott america
They want to take over and control
the world
Lirik Tengkorak band
Resistensi atas
kebijakan luar negeri
Amerika & gerakan
zionisme Israel
Berpikir kritis
ZIONIST EXAGGERATION
Aren’t what Israel done is the real
terrorism?....
Lirik Tengkorak band
Bahaya gerakan
Zionisme Israel
Berpikir kritis
JIHAD SOLDIERS
Lets fight in the name of Allah
Lirik Tengkorak band
Solidaritas sesama
muslim
Berpikir kritis dan
menjaga budaya lokal
Lagu “Bencana Moral” merupakan salah satu lagu dari empat lagu awal yang
ditulis oleh personil Tengkorak. Lagu ini merefleksikan kekhawatiran Tengkorak
band akan pengaruh infiltrasi budaya barat khususnya seks bebas. Selain narkotika,
pada masa itu, musik rock underground juga identik dengan budaya seks bebas yang
dapat membawa penyakit HIV serta merusak moralitas generasi muda. Sebagai
generasi muda muslim, melalui lagu ini, Tengkorak band coba menyampaikan pesan
kepada audiensnya untuk tetap berpegang pada norma-norma religi yang ada
sehingga dapat terhindar dari demoralisasi.
Lagu “Konflik” merupakan lagu yang populer di kalangan audiens Tengkorak
band. Audiens selalu menunggu lagu ini dan seringkali menjadi lagu penutup
pertunjukan. Lagu “Konflik”, merefleksikan keprihatinan Tengkorak band akan
penyakit sosial tawuran yang terjadi di kalangan para pelajar sekolah menengah. Ikut
tawuran seakan menjadi tren, sedangkan, menuruti keinginan orang tua merupakan
hal yang tidak sesuai tren di kalangan pelajar. Bertindak sesuai norma-norma adalah
hal tabu atau menjadi sesuatu sikap yang memalukan terutama bagi pelajar yang
menyukai musik rock underground. Ikut tawuran seolah menjadi suatu prestasi yang
membanggakan. Melalui lagu ini, Tengkorak band berusaha menyampaikan bahwa
tidak perlu malu dan ragu bersikap sesuai norma-norma agama dengan tetap fokus
menuntut ilmu serta berbakti pada kedua orang tua. Dengan demikian, implikasi lagu
ini adalah ajakan kepada generasi muda untuk selalu berpikir kritis dengan tetap
memegang teguh nilai-nilai budaya lokal sehingga kita tetap berada di jalur yang
benar.
Pada lagu “Rusuh”, Tengkorak band memotret situasi ibukota Negara
Indonesia saat terjadi aksi reformasi mahasiswa yang berakhir dengan kerusuhan.
Keprihatinan atas tindakan represif aparat kepolisian yang merespons aksi reformasi,
perusakan fasilitas umum dan aksi penjarahan berbagai oleh masyarakat yang frustasi
akan kondisi sosial, seakan mencerminkan hilangnya nilai-nilai budaya lokal yang
tercermin dalam sila-sila Pancasila. Semua pihak terlibat, tidak lagi berpikir jernih
bahwa mereka satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa, Indonesia. Melalui lagu ini,
Tengkorak band mengingatkan seluruh pihak agar dapat berpikir kritis dan
memegang teguh norma-norma budaya lokal sebagai jati diri bangsa Indonesia.
Lagu “Boycott Israel”, “Zionist Exaggeration”, dan “Jihad Soldiers” memiliki
makna yang berkaitan. “Boycott Israel” merefleksikan sikap protes Tengkorak band
terhadap kebijakan luar negeri Amerika yang cenderung berpihak kepada Israel
dalam krisis di Palestina dan Timur Tengah. Tengkorak band melihat bahwa
kebijakan luar negeri pemerintahan Amerika Serikat selalu menguntungkan Israel.
Bagi Tengkorak band, di antara kedua negara tersebut terdapat “kerja sama
mutualisme”. Ketika perang dingin berakhir dan Uni Soviet runtuh pada tahun 90-an,
di era informasi ini tidak ada lagi ancaman militer bagi Amerika Serikat. Mereka
coba mengendalikan dunia dengan ekspor industri budaya seperti musik, film, bukubuku, periklanan, dan internet. Tengkorak band mengkhawatirkan ekspor produk
budaya tersebut, khususnya musik, mengarah pada electronic colonialism yang
sasarannya adalah pikiran individu. Menurut McPhail (2002), electronic colonialism
bertujuan mempengaruhi sikap, keinginan (hawa nafsu), keyakinan, gaya hidup, dan
perilaku konsumerisme yang berakibat pada hilangnya budaya lokal, kebiasaan, nilai-
nilai termasuk proses sosialisasi itu sendiri. Hal ini sejalan dengan apa yang
diutarakan Robinson dalam Lull (1989) bahwa distribusi musik akan menimbulkan
kekhawatiran akan modern cultural imperialism yang dapat membawa pada
homogenisasi sebuah “international youth culture” dan mengakibatkan erosi gradual
budaya lokal. Implikasi lagu ini adalah Tengkorak band menghimbau audiensnya
untuk berpikir kritis dan tetap berpegang pada norma-norma budaya lokal Indonesia
agar tidak terjebak pada electronic colonialism dalam menghadapi era informasi ini.
Pada lagu “Zionist Exaggeration” Tengkorak band menggambarkan bahwa
electronic colonialism merupakan hasil kerja rahasia gerakan Zionis internasional.
Sebagai rezim pemaknaan (regime of significance) yang berada di balik lahirnya
politik luar negeri Amerika Serikat, mereka dapat melakukan apa yang disebut
Marcuse (1964) dalam Nugroho (1999) sebagai desublimasi represif, yaitu
memproduksi realitas sosial yang diterima masyarakat dengan puas walaupun
implikasi makna-makna tersebut menindas secara intelektual dan kultural. Mereka
mempengaruhi pikiran masyarakat internasional melalui dominasi dan hegemoni
makna atas berbagai peristiwa, pengetahuan, kesadaran dan wacana. Oleh karena itu,
Tengkorak band berargumen bahwa tindakan zionis internasional sebagai regime of
significance inilah teroris yang sebenarnya. Melalui lagu ini, Tengkorak band
membangkitkan kesadaran audiensnya untuk berpikir secara kritis dengan
mengingatkan bahaya gerakan zionis ini.
“Jihad Soldiers” menjadi lagu Tengkorak band yang merefleksikan semangat
juang dalam menghadapi penindasan dan solidaritas sesama muslim di dunia. Lagu
ini memiliki makna yang luas. Di satu sisi, dengan melihat agresi militer Israel di
wilayah Palestina yang dilakukan pada Desember 2008, Tengkorak band berusaha
mengajak audiensnya untuk mendoakan saudara-saudaranya sesama muslim di
wilayah tersebut untuk tetap kuat. Sebagai generasi muda muslim, Tengkorak band
mengajak audiensnya berpikir kritis untuk berjuang mengendalikan hawa nafsu yang
ada dalam diri sendiri sebagai bentuk jihad di era electronic colonialism ini. Karena,
berjuang melawan hawa nafsu merupakan pertempuran terbesar yang harus dihadapi
oleh kita yang tidak berada di Timur Tengah.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa lirik lagu merupakan
ekspresi pandangan dunia dalam kaca mata penyanyi dan penciptanya. Pesan yang
disampaikan melalui lirik lagu Bencana Moral, Konflik, Rusuh, Boycott Israel,
Rusuh, Zionist Exaggeration, dan Jihad Soldiers tidak hanya merupakan reaksi
perasaan mereka atas kondisi lingkungan skala lokal namun juga dalam skala global.
Selain menjadi elemen yang penting, lirik lagu-lagu tersebut juga menjadi sumber
komunikasi untuk membantu konstruksi identitas audiens Tengkorak band. Bahkan,
lirik lagu-lagu Tengkorak band dapat juga menggambarkan kesadaran masyarakat
umum.
2. Ilustrasi
Ilustrasi bagi Tengkorak band adalah sesuatu yang dapat berbentuk foto atau
gambar garis, ungkapan dan lain-lain untuk memperjelas pemikiran mereka. Ilustrasi
merefleksikan realitas sosial, sehingga dapat mengungkapkan sesuatu dengan lebih
cepat dari pada hanya berupa teks. Dari hasil observasi, penulis memperoleh data
bahwa Tengkorak band banyak menggunakan ilustrasi pada media komunikasi cetak
seperti T-shirt dan sampul album (kaset maupun compact disk). Berikut matriks
ilustrasi yang terdapat dalam sampul album dan t-shirt Tengkorak band:
Matriks 9. Ilustrasi sampul album, t-shirt, makna dan ideologi Tengkorak band
Signifier
Makna
Gambar mumi
Firaun pada cover
demo kaset
Tengkorak band
Pelajaran bagi
mereka yang mau
mengambil pelajaran
dan peringatan bagi
mereka yang
bersikap keras
kepala, arogan dan
tidak beriman pada
Allah SWT
Ideologi
Berpikir kritis
Signifier
Makna
Ideologi
Ilustrasi pada cover
album “Konsentrasi
Massa”
Peristiwa kerusuhan
yang terjadi tahun
1998 di Indonesia
mengindikasikan
adanya konspirasi
kelompok elit
tertentu
Berpikir kritis
Ilustrasi pada cover
album “Darurat
Sipil”
Nusantara tidak
lepas dari pengaruh
gerakan zionisme
internasional
Berpikir kritis
Ilustrasi pada cover
album “Agenda
Suram”
Resistensi/keprihatin
an atas kebijakan
militer Israel atas
Palestina
Berpikir kritis
Ilustrasi Tshirt
Tengkorak band
(United State of
ASU): Gambar kiri
tampak depan.
Gambar kanan
tampak belakang
Keprihatinan atas
kebijakan luar negeri
Amerika Serikat
yang bersifat
desublimasi represif
Berpikir kritis
Ilustrasi album
“Agenda Suram”
pada tshirt
Tengkorak band.
Gambar kiri
tampak depan.
Gambar kanan
tampak belakang.
Resistensi/keprihatin
an atas kebijakan
militer Israel atas
Palestina
Berpikir kritis
Ilustrasi pada cover album “It’s a Proud to Vomit Him” mencerminkan
banyak pelajaran yang dapat diambil dari kisah seorang Firaun. Mulai dari
pertandingan antara Nabi Musa dengan para tukang sihir pengikut Firaun yang
dimenangkan oleh Nabi Musa berkat bantuan Allah SWT sampai dengan
tenggelamnya Firaun dan bala tentaranya di tengah-tengah laut pada saat mengejar
Nabi Musa. Sebagai generasi muda muslim, pesan yang ingin disampaikan oleh
Tengkorak band melalui cover album ini adalah agar kita dapat mengambil pelajaran
dari kisah Firaun dengan menghindari sikap keras kepala, arogan serta tidak beriman
kepada Allah SWT mengingat budaya negatif musik rock underground dapat
menjauhkan kita dari Sang Pencipta.
Situasi kerusuhan pada saat reformasi pemerintahan tahun 1998 merupakan
refleksi dari ilustrasi cover album perdana Tengkorak band yang berjudul
“Konsentrasi Massa”. Kepada penulis, Ombat Nasution, vokalis Tengkorak band
menyatakan bahwa sengaja mendesain gambar dua pria berdasi yang sedang
berdiskusi pada posisi sentral di cover tersebut untuk menggambarkan adanya aktor
intelektual dari tragedi tersebut. Sehingga, cover album tersebut memiliki makna
adanya permainan politik atau konspirasi di tingkat elite politisi terkait kerusuhan
1998 di Indonesia.
Menurut Ombat Nasution, vokalis Tengkorak band, ilustrasi gambar mata satu
(all seing eyed) dengan bendera Israel disilang yang terletak di atas gambar
kepulauan nusantara pada cover album Darurat Sipil yang didesain olehnya memiliki
makna besarnya pengaruh gerakan zionis internasional dalam berbagai aspek
kehidupan sosial di Indonesia. Ridyasmara (2006) mengungkapkan bahwa gambar
mata satu ini merupakan gambar mata dewa horus (dewa matahari kaum paganisme).
Simbol ini menjadi simbol paling terkenal di dunia yang digunakan oleh Freemason,
salah satu fungsionaris kelembagaan zionisme yang berada di balik pemerintahan
Amerika Serikat. Mereka merupakan representasi dari negara adidaya tersebut yang
melakukan intervensi terhadap pemerintah Indonesia sehingga memiliki kemampuan
untuk membentuk wacana publik yang diterima apa adanya oleh individu meskipun
pada dasarnya implikasi wacana yang diciptakan itu menindas intelektual dan kultural
masyarakat. Sementara itu, Ombat mengaku bahwa makna dari ilustrasi bendera
Israel disilang yang dimuat olehnya adalah sikap resistensi Tengkorak band terhadap
gerakan zionis Israel tersebut.
Untuk ilustrasi pada cover album “Agenda Suram”, Ombat Nasution
mengatakan bahwa gambar sepatu tentara tanpa terlihat bagian atas memiliki makna
ekspansi yang dilakukan negara-negara maju terutama Amerika Serikat terhadap
negara-negara dunia ketiga. Ekspansi dilakukan berdasarkan agenda-agenda yang
dimiliki, dimana salah satu agenda tersebut adalah homogenisasi budaya anak muda
melalui musik. Sementara itu, untuk ilustrasi United State of ASU pada t-shirt
produksi Tengkorak band, Ombat menjelaskan bahwa ilustrasi tersebut ia desain
untuk merefleksikan keprihatinan Tengkorak band terhadap intervensi Amerika
Serikat mulai dari bidang politik, ekonomi, sampai budaya di berbagai wilayah di
dunia. Menurutnya, negara Amerika Serikat sengaja dilustrasikan sedemikian rupa
menjadi seekor hewan yang identik setia dengan tuannya, dimana tuan yang
dimaksud di sini adalah negara Israel. Dengan demikian, ilustrasi tersebut
berimplikasi bahwa Israel memiliki posisi kuat dalam menentukan kebijakan
pemerintah Amerika Serikat.
Berbagai ilustrasi yang didesain oleh Tengkorak band pada sampul album
maupun t-shirt mereka merupakan elemen penting dalam membentuk realitas dalam
pikiran audiensnya. Ilustrasi pada sampul album Its a Proud to Vomit Him,
Konsentrasi Massa, Darurat Sipil, Agenda Suram, dan A.S.U membantu Tengkorak
band dalam memvisualisasikan dan memperjelas lirik-lirik lagu sebagai pesan yang
bersifat abstrak yang ingin mereka sampaikan kepada audiensnya.
3. Salam satu jari.
Berdasarkan temuan lapang penulis, simbol salam satu jari merupakan
reinterpretasi Tengkorak band terhadap simbol salam metal tiga jari melalui proses
bricolage. Claude Levi-Strauss (1982) mengemukakan bahwa bricolage merupakan
proses dimana elemen simbolik dikombinasikan menjadi sebuah format budaya baru.
Tengkorak band merelokasi dan mentransformasikan budaya salam metal tiga jari
menjadi sebuah budaya baru yang memiliki makna berbeda dari sebelumnya
disesuaikan dengan budaya lokal yang ada. Makna dari salam satu jari dapat dilihat
pada matriks 10 di bawah ini:
Matriks 10. Salam satu jari, makna, dan ideologi Tengkorak band
Signifier
Salam satu jari
Makna
Ideologi
Keesaan Allah SWT
Berpikir
Kritis
Menurut vokalis Tengkorak band, salam satu jari memiliki makna pengakuan
atas ketauhidan atau keesaan Allah SWT. Pada sisi lain, peneliti melihat bahwa selain
merefleksikan kesadaran religius, salam satu jari juga berimplikasi pada nasionalisme
Tengkorak band. Oleh karena itu, salam satu jari menunjukkan posisi Tengkorak
band yang tidak mau ikut dan tunduk terhadap hegemoni salam metal tiga jari sebagai
produk sosial yang memiliki makna negatif, yaitu tanduk iblis, dan sudah lama
diterima begitu saja oleh mayoritas audiens musik rock underground. Tengkorak
band memandang bahwa budaya musik rock undergound yang identik dengan
penggunaan
obat-obatan
terlarang
dan
minuman
keras,
seks
bebas
dan
pemberontakan terhadap orang tua cenderung mengarah pada desublimasi represif
hasil produksi rezim pemaknaan di balik industri musik internasional. Karena pada
dasarnya budaya musik rock underground barat tersebut bertentangan dengan nilainilai budaya lokal di Indonesia.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa simbol salam satu jari tidak saja
menjadi strategi Tengkorak band dalam menyebarkan makna positif di audiensnya
namun juga merupakan respons mereka terhadap hegemoni salam metal tiga jari. Hal
ini sejalan dengan pendapat Hebdige (1979) yang mengatakan bahwa bricolage
merupakan strategi dan respon atas situasi sosial yang spesifik. Melalui salam satu
jari, Tengkorak band memberikan pilihan kepada audiensnya untuk berpikir kritis
dengan menggunakan akal pikirannya dalam memandang signifikan simbol yang ada
dalam musik rock underground barat agar tidak terlena dalam pengaruh negatif musik
tersebut. Sehingga, pada akhirnya audiens tidak lagi menjadi obyek namun
memposisikan diri mereka sebagai subyek dalam menyikapi implikasi ideologi
budaya musik rock underground barat.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa simbol-simbol signifikan
Tengkorak band mulai dari lirik, ilustrasi, sampai dengan salam satu jari merupakan
objektivasi pengetahuan personil Tengkorak band. Simbol-simbol signifikan
Tengkorak band di atas merefleksikan sebuah “perang gerilya semiotik” (semiotic
guerilla warfare). Menurut Eco dalam Hebdige (1999), perang gerilya semiotik
merupakan sebuah istilah yang dipakai dalam menggambarkan strategi bersifat
resisten yang digunakan oleh kelompok subkultur dalam mengkonstruksi kontra
hegemoni makna-makna di media. Hal ini berarti bahwa simbol-simbol signifikan
yang dihasilkan Tengkorak band tidak saja menjadi sebuah kekuatan sosial dalam
proses
konstruksi
identitas
namun
juga
menjadi
kekuatan
sosial
dalam
mendekonstruksi simbol-simbol signifikan musik rock underground barat.
4. 3. 3. Konstruksi Identitas Audiens Tengkorak band
1. Audiens 1 (Audiens dengan identitas abu-abu)
Aries Zona Febrian atau biasa dipanggil dengan nama Gomes adalah seorang
penggemar Tengkorak band yang lahir pada tahun 1989. Ia merupakan lulusan
sebuah sekolah menengah kejuruan di wilayah Karawang, Jawa Barat. Saat ini,
Gomes terpaksa kehilangan pekerjaan dari tempatnya bekerja akibat dampak krisis
global yang melanda tempatnya bekerja dua tahun lalu. Kegiatannya sehari-hari lebih
banyak membantu orang tuanya dengan menjaga adik perempuannya di rumahnya di
Ciranggon, Karawang, Jawa Barat.
Sebagai produk sosial, pada dasarnya musik rock underground telah hadir di
wilayah penghasil beras tersebut sebelum Gomes memasuki pendidikan sekolah
menengah pertama (SMP). Menurut Gomes, anak-anak muda di lingkungannya yang
tergabung dalam komunitas Ciranggon Bergerak Gerakan Bawah (CBGB) sering
berkumpul setiap Jumat malam di warung tidak jauh dari rumah tetangganya yang
bernama Ewok, seorang anak muda yang menjadi pusat informasi karena banyak
memiliki pengetahuan tentang musik rock underground. Mereka
menghabiskan
waktu sambil memutar musik rock underground melalui perangkat elektronik yang
tersedia. Gomes mengatakan bahwa musik rock underground menjadi pelumas sosial
dalam interaksi tersebut dimana Tengkorak band adalah salah satu wacana utama
dalam interaksi sosial ini karena memiliki audiens yang besar di kalangan penggemar
musik rock underground.
Gomes sendiri mengaku bahwa pada awalnya ia hanya ikut kumpul bersama temanteman sekitar rumahnya dan tidak mengerti sama sekali tentang jenis musik rock
underground yang dimainkan oleh Tengkorak band. Berikut penuturannya:
”Yah..biasa-biasa aja gitu waktu pertama denger om. Saya tanya sama
si Ewok, ini musik apa sih wok? Lu mah gak bakalan ngerti deh ceuna
dengerin musik ginian mah. Ya udah dengerin aja. Ya, nggak sempet
langsung suka gitu om. Nggak ngerti dan belum paham banget.”
Memasuki bangku kelas 3 SMP tahun 2003, interaksi Gomes dengan EW dan
teman-teman lainnya dalam komunitas CBGB semakin intensif. Rasa ketertarikannya
akan musik rock underground juga semakin tinggi, sementara waktu menyaksikan
televisi bersama keluarga mulai kurang menarik bagi dirinya. Setiap lepas sholat
Maghrib, ia sering berkunjung ke rumah Ewok untuk mendengarkan musik rock
underground. Di sinilah momen pertama Gomes mendengar lagu ”Konflik” milik
Tengkorak band yang ada dalam kaset kompilasi Metalik Klinik 1 produksi Musica
Records. Dari sekian banyak lagu rock underground yang diputar kaset kompilasi
tersebut, ia tertarik dengan Tengkorak band. Sejak itu, Gomes mulai mengenal
Tengkorak band dan menemukan dunia lain selain keluarganya, sub dunia musik rock
underground mulai masuk dalam kehidupan sehari-harinya.
Adanya fenomena peer pressure dalam interaksi Gomes dengan komunitasnya
semakin mendorong Gomes untuk mengetahui lebih jauh musik rock underground
yang dimainkan Tengkorak band. Berikut pengakuan Gomes mengenai peer
pressure:
”Heeh..sering dengerin terus sering kumpul bareng sama temen gitu.
Didoktrin sama temen. Wah, pokoknya gitu...apa....pamer-pamer
melulu lah, musik kita nih laki banget gitu macho banget.”
Dari hubungan informal peer group ini, Gomes juga mempelajari berbagai
hal yang berkaitan dengan musik rock underground dari Ewok dan teman-teman
lainnya. Mulai dari ideologi sampai simbol-simbol signifikan yang terdapat dalam
rock underground. Akan tetapi, Gomes menyatakan bahwa dalam hal cara berpakaian
ia lebih banyak mempelajarinya dari foto-foto personil band yang ada cover kaset
dan majalah khusus musik, bukan melalui interaksi dengan sesama teman dalam peer
group. Sedangkan aktivitas slamming, yang biasa dilakukan saat pertunjukan
berlangsung, dipelajari secara langsung dalam sebuah pertunjukan musik rock
underground yang diselenggarakan di Gelanggang Olah Raga Karawang.
Turning point Gomes semakin menyukai Tengkorak band adalah pada saat
menyaksikan pertunjukan Tengkorak band tahun 2003 di Senayan, Jakarta.
Keingintahuan, kekaguman serta keinginan untuk mereduksi tekanan emosinya yang
terpendam melatarbelakangi ia menghadiri pertunjukan Tengkorak band. Berikut
pernyataan Gomes:
“Waktu nonton di Senayan. Wah, chaos banget nih Tengkorak
manggungnya. Di situ sukanya oom, jadi ah…gila banget. Liriknya
juga pemberontakan-pemberontakan gitu, resis sama pemerintahan.
Nggak mau tertindas gitu.”
Gomes menyukai Tengkorak band karena musik, isi lirik, dan orasi vokalis
Tengkorak band di atas panggung cocok dengan jiwanya. Ia mengungkapkan bahwa
ketiga elemen tersebut dapat merefleksikan realitas sosial yang ia lihat dan rasakan
selama ini. Musik yang dihasilkan serta orasi vokalis Tengkorak band sebelum
tampil, menjadi pengantar kepada dirinya dalam mengirimkan pesan dalam lirik
lagu. Gomes melegitimasi makna pesan dari Tengkorak band, sehingga terjadi
konvergensi ideologi antara Tengkorak band dengan dirinya. Ia menangkap bahwa
inilah dunia musik dimana sesuai dengan pemikirannya.
Sebagai perwujudan bahwa dirinya merupakan penggemar Tengkorak band,
Gomes mengekspresikan kekagumannya dengan mengoleksi hasil karya Tengkorak
band mulai dari album Tengkorak band baik dalam format kaset maupun cd, serta tshirt, sampai dengan stiker. Artefak-artefak ini menjadi penting bagi Gomes bukan
saja karena menjadi tanda bahwa ia merupakan bagian dari audiens Tengkorak band
namun juga di dalamnya terdapat simbol-simbol signifikan yang memiliki makna
subyektif baginya maupun produsennya.
Ketika ditanya simbol-simbol signifikan apa saja yang bermakna, Gomes
menyebutkan simbol-simbol tersebut antara lain lagu dan lirik, ilustrasi pada t-shirt
dan cover kaset serta aktivitas slamming dan orasi sang vokalis. Lagu Konflik yang
terdapat dalam salah satu koleksi kasetnya dan juga menjadi lagu favoritnya
memiliki makna kritik terhadap para pelajar yang terlibat dalam tawuran. Bagi
Gomes, lagu ini seolah merepresentasikan fenomena tawuran antarpelajar yang
sering terjadi di Karawang. Sedangkan aktivitas slamming yang dilakukannya pada
saat pertunjukan baginya memiliki makna luapan emosi dirinya. Sementara itu,
Gomes menyetujui orasi vokalis Tengkorak band sebelum membawakan lagu
”Boycott Israel”, orasi tersebut menunjukkan arogansi politik luar negeri Amerika
dan Israel di wilayah Timur Tengah, terutama di wilayah Palestina.
Gomes menyadari bahwa semua simbol-simbol signifikan yang terdapat
dalam hasil karya Tengkorak band merupakan bentuk komunikasi simbolik. Simbolsimbol signifikan yang dimaksud di sini adalah lagu dan liriknya, orasi, aktivitas
slamming serta ilustrasi pada t-shirt Tengkorak band. Simbol-simbol tersebut
merupakan suatu produksi makna dari proses-proses subyektif para personil
Tengkorak band. Sebagai penggemar, Gomes mengidentifikasikan dirinya dengan
Tengkorak band. Ia secara aktif menyerap makna-makna yang terkandung dalam
lagu dan lirik, orasi, serta ilustrasi yang ada sehingga makna-makna yang
dilegitimasinya mengkonstruksi pemikiran atau cara pandangnya terhadap dunia.
Ia memahami identitas dirinya sebagai penggemar Tengkorak band yang
mencoba untuk berpikir kritis dan tidak terpengaruh budaya negatif musik rock
underground seperti mengkonsumsi narkoba, menghiasi tubuhnya dengan tato,
memberontak terhadap orang tua maupun melakukan seks sebelum nikah. Meski
demikian, Gomes tidak selalu melegitimasi simbol-simbol signifikan yang
diproduksi Tengkorak band.
Berikut pernyataannya mengenai simbol signifikan
salam satu jari:
“Yang saya rasain, metal itu satu kesatuan. Semuanya sama rata dan
nggak ada yang dibedain.”
Untuk simbol signifikan salam satu jari, Gomes mengaku sama sekali tidak
memahami makna simbol signifikan tersebut. Menurutnya, salam dua, tiga, atau pun
satu jari di dalam rock underground tidak memiliki perbedaan makna yang
signifikan. Akan tetapi, Gomes menegaskan bahwa hal tersebut tidak mengurangi
rasa kagumnya terhadap Tengkorak band. Ia menegaskan salah satu alasan ia
mengidentifikasi dirinya dengan Tengkorak band adalah karena keinginan untuk
memiliki band seperti Tengkorak band dan mereproduksi kembali simbol-simbol
signifikan tersebut di Karawang, Jawa Barat. Secara skematis, proses konstruksi
identitas Gomes dapat dilihat pada gambar berikut ini:
PROSES SOSIALISASI
Keluarga (-)
Sekolah (+)
Peer group (+)
Media massa (+)
Tengkorak band
Audiens 1
Lirik (+)
Ilustrasi (+)
Orasi (+)
Salam satu jari (-)
Audiens identitas
“abu-abu”
Ketidakpuasan (+)
Katarsis (+)
Eksternalisasi------------------------------Obyektivasi----------------------------Internalisasi
Gambar 10. Skema Proses Konstruksi Identitas Audiens 1
2. Audiens 2 (Audiens berpikiran kritis)
Maraja Saimima, atau biasa dipanggil dengan Aja, adalah seorang penggemar
Tengkorak band yang berstatus sebagai pelajar kelas 2 bekasi SMAN 5 Bekasi. Ia
lahir di Jakarta 16 tahun lalu dan saat ini masih tinggal bersama kedua orang tuanya
di wilayah Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur. Menurut Aja, keluarganya
belum memiliki tempat tinggal yang tetap, sehingga mereka harus mengontrak rumah
untuk berdiam diri. Mulai dari wilayah Ciputat, Kalibata, sampai dengan area
Ciranggon, Karawang, Jawa Barat pernah menjadi tempat tinggalnya.
Aja mengatakan bahwa perkenalannya dengan musik rock underground
pertama kali dimulai pada tahun 2001 saat ia masih duduk di bangku kelas 4 Sekolah
Dasar (SD). Saat itu ia masih tinggal bersama orang tuanya di salah satu wilayah
Ciranggon, Karawang, Jawa Barat. Di sinilah ia mendengar musik rock underground
dari kaset kompilasi musik underground Metalik Klinik 1 produksi Musica Records
milik kakak kandungnya yang bernama Abdul. Menurut Aja, Abdul cukup sering
memutar kaset kompilasi Metalik Klinik 1 ketika berada di rumah dan pada saat
berkumpul dengan teman-temannya di lingkungan rumahnya. Aja mengatakan bahwa
sejak ia tinggal di Ciranggon, lingkungan sekitarnya sudah dipenuhi oleh anak-anak
muda yang menyukai musik rock underground. Namun, saat pertama kali
mendengarkan musik tersebut Aja belum dapat menikmatinya. Pada waktu itu, ia
lebih dapat menikmati lagu-lagu dari musik rock mainstream. Berikut pengakuan Aja:
”Ya pertamanya dengar gak jelas gitu....apaan nih? Waktu itu
dengerinnya Jamrud band melulu sih...he-he-he.”
Ketika memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP), Aja mengatakan mulai
lebih sering mendengarkan Metalik Klinik 1 karena lingkungan pergaulan di sekolah
juga dipenuhi para pelajar yang menggemari musik rock undergound. Ia mengaku
dari kaset kompilasi tersebut mulai mengetahui Tengkorak band dengan lagunya
”Konflik”. Namun, ia belum memperhatikan secara detail lagu Tengkorak band itu,
hanya mendengar secara sepintas saja tanpa ada kesan sedikit pun.
Uniknya, Aja menyatakan bahwa turning point ia menyukai Tengkorak band
itu terjadi bukan dari Tengkorak band sendiri, melainkan ketika ia menyaksikan
Gomes dan teman-temannya tampil menyanyikan lagu ”Konflik” milik Tengkorak
band di suatu pertunjukan musik di Karawang. Aja sangat terkesan dengan musik,
lirik, serta gaya vokal dari lagu tersebut. Bagi Aja, musik Tengkorak band, gaya
vokal dan lirik yang diproduksi terasa pas di jiwanya yang sedang dalam masa
peralihan dari sosialisasi primer ke arah sosialisasi sekunder. Aja mengatakan bahwa
alasan dirinya menyukai Tengkorak band disebabkan karena musik, lirik, suara vokal
& sikap personilnya. Berikut penuturan Aja:
“Musiknya enak & liriknya sosial politik banget, beda sama yang lain.
Vokalnya bagus & personilnya jg baik-baik.”
Situasi ini menunjang terjadinya peningkatan interaksi antara dirinya dengan
peer group serta mobilitas dalam rutinitas sehari-hari. Sedangkan waktu bersama
kedua orang tuanya mulai berkurang begitu pula dengan kebiasaannya menggunakan
media. Ia pun semakin intens mendengarkan Tengkorak band dan berinteraksi dengan
Gomes dan teman-temannya. Dari Gomes, ia banyak belajar dari tentang musik rock
underground dan pengalaman dalam bermusik seperti aktivitas slamming dan cara
berpakaian. Selain itu, Musik rock underground menjadi bagian penting dalam
rutinitas sehari-harinya. Aja mulai menemukan sebuah subdunia di luar dunia orang
tuanya dengan melegitimasi makna simbol-simbol signifikan produksi Tengkorak
band.
Sebagai penggemar Tengkorak band, Aja mewujudkan rasa kagumnya dengan
mengumpulkan berbagai artefak yang berkaitan dengan Tengkorak band, mulai dari
cd, kaset, t-shirt, poster, sampai dengan stiker. Untuk kaset, Aja memiliki album
Metalik Klinik 1 dan Its a Proud to Vomit Him. Sedangkan dalam format cd ia
memiliki album Konsentrasi Massa, Darurat Sipil, dan Agenda Suram. Selain itu, Aja
juga memiliki vcd Release from Suffering dari Tengkorak band. Baginya, semua
artefak tersebut menjadi simbol-simbol signifikan yang menjadi tanda bahwa dirinya
merupakan bagian dari audiens Tengkorak band dan mengantarnya pada tindakan
tertentu.
Aja mengaku bahwa ia tidak begitu memahami makna dari lirik lagu Agenda
Suram meskipun lagu tersebut merupakan lagu favoritnya. Begitu juga dengan
ilustrasi pada t-shirt dan cover kaset Agenda Suram, meskipun ia memiliki kedua
artefak itu, kepada penulis Aja mengaku belum dapat memahami maknanya. Namun
ia juga menyukai lagu lainnya yang sesuai dengan jiwanya seperti Jihad Soldiers,
Konflik, Rusuh, Pemimpin Gila, dan United State of ASU. Menurut Aja, orasi vokalis
Tengkorak band sebelum membawakan sebuah lagu yang dapat memudahkan dirinya
untuk memahami isi lirik lagu. Aja mengakui orasi yang sangat sesuai dengan
pemikirannya adalah orasi vokalis Tengkorak band yang mengkritik kebijakan luar
negeri Amerika Serikat. Sementara itu, ia menyatakan bahwa makna stiker dan poster
agar menunjukkan bahwa dirinya adalah salah seorang penggemar Tengkorak band.
Berikut penuturannya:
”Stiker ditempelin di gitar. Ya kalo bukti nge-fans aja gitu....masak
nge-fans nggak punya atributnya. Poster tengkorak band album
”Konsentrasi Massa” saya pasang di tembok kamar. Harus
punyalah....nge-fans masak nggak ada!...he-he.”
Aja menambahkan bahwa pada saat menyaksikan Tengkorak, ia juga sering
melakukan aktivitas slamming sebagai bentuk apresiasi kepada Tengkorak band.
Kepada penulis ia mengaku bahwa makna aktivitas slamming adalah menghilangkan
stress atau membebaskan beban pikiran dari tekanan pelajaran sekolah yang tinggi.
Menurutnya, setelah melakukan aktivitas slamming, pikirannya terasa bebas.
Singkatnya aktivitas slamming menjadi sebuah katarsis. Satu lagi simbol signifikan
produksi Tengkorak band yang memiliki makna bagi Aja adalah salam satu jari.
Simbol ini muncul paling akhir dalam kehidupannya, namun memiliki makna paling
signifikan karena bagi Aja salam satu jari memiliki makna ketaatan kepada sang
Pencipta yaitu Ketuhanan yang maha esa.
Aja menyadari bahwa simbol-simbol signifikan tersebut merupakan suatu
produksi makna dari proses-proses subyektif para personil Tengkorak band. Oleh
karena itu, sebagai penggemar, Aja mengidentifikasikan dirinya dengan Tengkorak
band. Ia secara aktif menyerap makna-makna yang terkandung dalam lagu dan lirik,
serta orasi yang sering disuarakan vokalis Tengkorak. Makna-makna yang
dilegitimasi olehnya secara tidak langsung ikut mengkonstruksi pemikiran atau cara
pandangnya terhadap dunia sehari-hari. Oleh karena itu, ia sangat menyetujui
pemikiran Tengkorak band yang disimbolisasi melalui salam satu jari. Berikut
penuturan Aja.
“Saya setuju, Dengan adanya salam satu jari bisa menimbulkan halhal positif om buat para penikmat musik underground. InsyaAllah
mereka bisa berubah, dari yang sesat kembali ke jalan yang benar om.
Tp itu tergantung individunya, karena dengan adanya salam satu jari
menimbulkan berbagai opini tuh om. Ada yg setuju ada yang enggak.
Bagi yg gak setuju, mungkin yg sejak awal suka band-band metal tiga
jari jd membenci band-band metal satu jari setelah muncul salam satu
jari. Tapi saya mah setuju om dgn adanya salam satu jari.”
Menurut Aja, pengetahuan yang ia serap dari simbol-simbol signifikan
Tengkorak band sedikit banyak mempengaruhi sikapnya dalam mengambil tindakan.
Sebagai pelajar, ia memang tidak setuju dengan aktivitas tawuran, lebih dari itu, ia
juga berusaha tidak melakukan korupsi nantinya jika ia bekerja. Sedangkan , sebagai
penggemar Tengkorak band, simbol satu jari menjadikannya lebih kritis dalam
memandang simbol-simbol signifikan yang ada dalam musik rock underground itu
sendiri. Aja mengaku tidak merokok, menggunakan obat-obatan terlarang dan
minuman keras, terlibat tawuran serta seks bebas karena tidak tertarik. Selain itu,
agama masih menjadi filter baginya dalam menjauhkan hal-hal negatif tersebut
darinya.
Ia pun mengaku bahwa dirinya ingin sekali dapat memiliki kelompok musik
seperti Tengkorak band yang menyuarakan pesan-pesan positif melalui penampilan
di atas panggung sehingga ia berharap dapat menyebarluaskan kepada temantemannya. Untuk lebih mudahnya, secara skematis proses konstruksi identitas Maraja
Saimima dapat dilihat pada gambar berikut ini:
PROSES SOSIALISASI
Keluarga (+)
Sekolah (+)
Peer group (+)
Media massa (+)
Tengkorak band
Audiens 2
Lirik (+)
Ilustrasi (-)
Orasi (+)
Salam satu jari (+)
Audiens
berpikiran kritis
Ketidakpuasan (+)
Katarsis (+)
Eksternalisasi------------------------------Obyektivasi----------------------------Internalisasi
Gambar 11. Skema Proses Konstruksi Identitas Audiens 2
3. Audiens 3 (Audiens berpikiran kritis)
Handy Hariyanto atau biasa dipanggil Andy merupakan penggemar
Tengkorak band yang lahir di Tangerang 23 tahun yang lalu. Sehari-hari Andy
bekerja pada sebuah pabrik produksi gitar yang terkemuka di Jakarta. Sampai saat ini,
Andy belum berkeluarga dan saat ini ia masih tinggal bersama orang tuanya di daerah
Rawa Lumbu, Bekasi. Ayah Andy adalah seorang Slankers sementara ibunya
mengurus rumah tangga. Andy memiliki band rock underground bernama Vagintor
dan seringkali membawakan lagu Konflik dari Tengkorak band pada berlatih
bersama.
Andy mengutarakan bahwa pada dasarnya musik, terutama rock underground,
sudah ia dengar sejak ia masih duduk di kelas 6 Sekolah Dasar (SD). Menurutnya, hal
ini disebabkan oleh banyaknya anak-anak muda sering berkumpul sambil
mendengarkan musik rock underground yang diputar melalui perangkat pemutar
musik portabel di lingkungan sekitar rumahnya. Selain memiliki band, menurut
Andy, anak-anak muda tersebut adalah teman-teman kakak kandungnya dan berusia
lebih tua dari dirinya. Akan tetapi, Andy mengaku bahwa pada saat itu belum
memahami jenis musik yang sering diputar kakak kandung dan teman-temannya, ia
hanya sebatas mendengar & mengetahui eksistensi musik tersebut.
Memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP), Andy mengatakan bahwa ia
mulai banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman sepergaulannya, terutama
teman satu meja di sekolahnya. Interaksi mereka tidak hanya berlangsung di sekolah
saja, namun juga di luar sekolah. Tidak hanya pelajaran sekolah, mereka juga sering
berdiskusi masalah musik sehingga ia mulai menyukai Tengkorak band saat
mendengar teman satu mejanya memutar lagu ”Konflik” Tengkorak band dari kaset
kompilasi Metalik Klinik 1. Menurut Andy saat mendengar lagu Konflik, ia merasa
tersentuh oleh isi liriknya. Berikut penuturan Andy:
”Pertama kali kenal musik underground dan gue jatuh hati sama
Tengkorak band pas gue dengerin kaset Metalik Klinik 1 yang
judulnya Konflik, kepunyaan temen sebangku kelas 1 SMP. Waktu pas
gue suka itu pas lagu Konflik deh. Kalo menurut gue itu masalah
tawuran kan? Jadi, gue dalam-dalamin kayaknya kalo kayak gitu-gitu
orang yang gak punya nyali. Kayaknya lagu walaupun keras...cadas
kayak gini, jadi ada masukan buat orang gitu lho. Diri gue sendiri, gue
ngaca sendiri lho.”
Sebagai pelajar yang sering ikut dalam aksi tawuran antarsekolah, Andy
merasa mendapat kritik dan masukan dari Tengkorak band melalui lagu Konflik.
Akan tetapi, ia tidak menolak kritik tersebut. Sebaliknya ia merasa menemukan musik
rock underground yang sejalan dengan pemikirannya. Andy melegitimasi makna
yang ada dalam lagu tersebut sehingga mulai saat itu ia pun merasa menemukan
sebuah dunia audiens Tengkorak band.
Setelah menyukai Tengkorak band, Andy mengaku mulai mempelajari
berbagai hal yang berkaitan dengan Tengkorak band. Mulai dari cara berpakaian,
sampai aktivitas slamming yang biasa dilakukan audiens pada saat pertunjukan
Tengkorak band. Menurutnya penampilannya sebelum menjadi
penggemar
Tengkorak band tidak seperti sekarang. Andy mengatakan bahwa cara berpakaian
seperti personil Tengkorak band ia pelajari dari foto yang ada di cover kaset, pamfletpamflet pertunjukan musik rock underground serta meniru teman-teman sesama
audien
musik
tersebut.
Sementara
itu,
untuk
informasi
pertunjukan
dan
perkembangan Tengkorak band Andy memperolehnya dari , majalah musik
independen, teman-teman dan sebuah distro (distribution outlet) yang ada di
wilayahnya.
Andy mengemukakan bahwa pada awalnya sang ibu kurang menyukai dirinya
mendengarkan musik rock underground. Menurutnya, ibu kandungnya lebih terbiasa
mendengarkan musik campur sari sehingga merasa terlalu bising dengan musik
Andy. Selain itu, sang ibu khawatir dengan citra musik rock underground yang
identik dengan narkoba dan hal negatif lainnya. Namun, Andy berhasil meyakinkan
ibu kandungnya untuk tidak terlalu khawatir bahwa ia masih memiliki agama sebagai
filter.
Untuk mewujudkan kekagumannya terhadap Tengkorak band, Andy mulai
mengumpulkan hasil karya Tengkorak band seperti album Tengkorak band dalam
format kaset dan cd, poster, pamflet, t-shirt, dan stiker. Bagi dirinya, artefak-artefak
hasil reproduksi Tengkorak band ini memiliki simbol-simbol signifikan di dalamnya.
Sehingga, dengan mengumpulkan berbagai artefak tersebut, secara tidak langsung ia
mengekspresikan bahwa dirinya adalah bagian dari audiens Tengkorak band.
Kepada penulis Andy mengaku bahwa lagu favoritnya adalah lagu Tengkorak
band yang berjudul Konflik. Ia menyatakan bahwa lagu tersebut merupakan cerminan
dirinya. Andy memaknai lirik lagu tersebut sebagai sebuah nasihat bagi para pelajar,
begitu juga dirinya, agar tidak melakukan aktivitas tawuran yang dapat merugikan
banyak pihak. Sementara itu, t-shirt Tengkorak band yang dimiliki bagi Andy
memiliki makna aktualisasi dirinya sebagai penggemar Tengkorak band.
Pada saat menyaksikan pertunjukan Tengkorak band Andy juga mengatakan
bahwa ia selalu memperhatikan orasi vokalis Tengkorak band, melakukan salam satu
jari, dan aktivitas slamming. Andy, memaknai orasi sebagai gambaran dari isi lagu
yang akan dibawakan oleh Tengkorak band, sedangkan untuk salam satu jari ia
memaknainya sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Sementara itu, ia
memaknai aktivitas slamming sebagai bentuk apresiasi terhadap musik Tengkorak
band.
Menurut Andy, vokalis Tengkorak band merupakan inspirasi dirinya. Oleh
karena itu, ia menyadari bahwa simbol-simbol signifikan tersebut merupakan suatu
produksi makna dari proses-proses subyektif para personil Tengkorak band. Andy
mengidentifikasikan
dirinya
dengan
Tengkorak
band
terutama
vokalisnya.
Menurutnya, apa yang disampaikan vokalis Tengkorak band sebelum menyanyikan
sebuah lagu pada saat pertunjukan merefleksikan realitas kehidupan sehari-hari yang
sesuai dengan apa yang ada dalam benak pikirannya. Andy menyerap makna-makna
yang terkandung dalam lagu dan lirik, serta orasi yang sering disuarakan vokalis
Tengkorak band.
Berikut penuturannya:
”Kalo nonton Tengkorak band seperti nonton Abang sendiri. Soalnya,
Tengkorak band udah mendarah daging di otak gue. Ibarat organ
tubuh gue sendiri. Ombat Nasution, vokalis tengkorak band itu
influence gue bang.”
Andy sangat kecewa saat mendengar vokalis Tengkorak band menyatakan
bahwa Tengkorak band akan vakum. Ia mengaku langsung meneteskan air mata dan
melaksanakan sholat sangat. Andy tidak setuju karena menurutnya tidak ada band
rock underground yang memiliki karakter seperti Tengkorak band yang sering
menyuarakan kritik terhadap kebijakan Amerika Serikat dan Israel di Timur Tengah
dan wilayah lainnya.
Meskipun Andy memiliki band rock underground belum sebesar Tengkorak
band, ia berharap dapat mengikuti jejak idolanya tersebut. Jika ada kesempatan,
setidaknya ia ingin tampil bersama Tengkorak band dalam sebuah pertunjukan.
Secara skematis, proses konstruksi identitas Andy seperti telah diuraikan
sebelumnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
PROSES SOSIALISASI
Keluarga (+)
Sekolah (+)
Peer group (+)
Media massa (+)
Tengkorak band
Audiens 3
Lirik (+)
Ilustrasi (-)
Orasi (+)
Salam satu jari (+)
Audiens
berpikiran kritis
Ketidakpuasan (+)
Katarsis (+)
Eksternalisasi------------------------------Obyektivasi----------------------------Internalisasi
Gambar 12. Skema Proses Konstruksi Identitas Audiens 3
4. Audiens 4 (Audiens apolitis)
Trias Sari atau lebih akrab dipanggil dengan Nia adalah pengemar Tengkorak
band wanita yang lahir 40 tahun lalu di Surabaya. Pada saat masih di perguruan
tinggi, ia sempat menjadi vokalis band rock underground, Retry Beauty, yang semua
personilnya adalah wanita. Saat ini ia sibuk bekerja pada sebuah biro perjalanan
swasta dan berstatus single parent dalam mengurus putri semata wayangnya.
Sebelum mengenal Tengkorak band, Nia mengaku bahwa ia sudah
mendengarkan musik rock underground sejak duduk di bangku terakhir Sekolah
Menengah Pertama (SMP) tahun 1988. Awalnya, seorang teman sekolahnya
meminjamkan kaset-kaset band rock underground asing seperti Slayer band dan
sebagainya. Begitu mendengarnya ia merasa cocok, karena irama yang dihasilkan
sesuai dengan jiwanya saat itu. Setelah itu, Nia mengaku mulai banyak
mendengarkan berbagai band-band rock underground asing lainnya karena
keingintahuannya yang besar akan jenis musik tersebut. Berikut penuturannya:
”Terus terang menyukai musik ini karena penasaran dengan musik
yang cepat”
Namun
demikian,
kedua
orang
tuanya
kurang
menyukai
jika
ia
mendengarkan musik rock underground karena musik tersebut identik dengan kaum
adam serta hal-hal negatif seperti narkoba dan seks bebas. Oleh karena itu, Nia
mengaku bahwa ia lebih sering mendengarkan musik rock underground saat bersama
teman-temannya di luar rumah. Nia juga mengatakan bahwa ia lebih banyak
memperoleh pengetahuan mengenai budaya musik rock underground dari temanteman sepergaulan dan cover kaset, misalnya saja cara berpakaian.
Nia mengungkapkan bahwa ia mulai menyukai Tengkorak band pada saat ia
duduk di bangku perguruan tinggi. Saat itu ia mendengar lagu Tengkorak band yang
berjudul Konflik dari kaset kompilasi Metalik Klinik 1 milik seorang temannya dan
langsung menyukai lagu tersebut karena mengingatkan dirinya akan band rock
underground asal Birmingham, Inggris yaitu Napalm Death.
Akan tetapi, untuk mewujudkan kekagumannya Nia tidak mengkoleksi semua
album Tengkorak band seperti halnya audiens pria. Tidak semua simbol-simbol
signifikan hasil reproduksi Tengkorak band bermakna bagi dirinya. Selain sulit
diperoleh, sebagai wanita ia merasa cukup dengan mengunduh lagu-lagu dalam
format mp3 melalui internet serta menyimpan t-shirt dan stiker Tengkorak band.
Berikut penuturannya:
”Kalo stiker, aku merasa bangga aja kalau ada yang nanya–nanya…
suka atau tau sama band Tengkorak nggak?”
Nia mengaku dengan memiliki stiker dan menempelkannya pada motor dan
helm yang dimilikinya menjadi sebuah cara bagi Nia untuk mengekspresikan diri
sebagai bagian dari penggemar Tengkorak band. Ia memang lebih sering
mengendarai motor dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari di Surabaya.
Sebagai seorang ibu dari seorang putri, saat ini Nia tidak dapat menyaksikan
pertunjukan Tengkorak band yang digelar di luar kota Surabaya. Menurutnya, ia
tidak mungkin meninggalkan putrinya hanya untuk menyaksikan penampilan
Tengkorak band. Nia mengaku bahwa pada saat menyaksikan pertunjukan
Tengkorak band ia tidak melakukan aktivitas slamming karena menurutnya aktivitas
tersebut hanya untuk kaum pria saja, tidak untuk dirinya.
Sementara itu, Nia juga mengatakan bahwa selain lagu Konflik, lagu yang
ditunggu saat Tengkorak band tampil adalah lagu yang berjudul Pemimpin Gila dan
Konsentrasi Massa. Akan tetapi, kepada penulis ia berterus terang bahwa dirinya
tidak memperhatikan isi lirik dari kedua lagu Tengkorak band tersebut. Baginya
ketiga lagu tersebut memberi kesan lucu untuk dirinya. Nia mengaku bahwa pada
dasarnya ia menyukai Tengkorak band bukan karena isi liriknya, namun karena
musik yang dihasilkan Tengkorak band dan penampilan mereka di atas panggung
yang berbeda dengan band rock underground lainnya. Menurut Nia, Tengkorak band
memainkan musik yang keras, namun sang vokalis sering menyampaikan orasinya
dengan santai dan penuh humor.
Namun demikian, Nia mengaku bahwa ia tidak mengidentifikasi dirinya
dengan Tengkorak band sepenuhnya. Tidak semua simbol-simbol signifikan dan
orasi yang disampaikan oleh vokalis Tengkorak band diserap olehnya. Ia belum
dapat menentukan pendapatnya terhadap orasi yang bersifat politis seperti masalah
intervensi Amerika Serikat dan Israel di Timur Tengah dan wilayah lain di dunia
karena ia sendiri belum memiliki kepastian mengenai kebenarannya. Baginya, musik
sebaiknya dipisahkan dari unsur politik. Begitu pula halnya dengan simbol salam
satu jari yang dihasilkan Tengkorak band pada awal tahun 2010 sebagai bentuk
bricolage. Nia belum sependapat dengan Tengkorak band karena menurut
pendapatnya musik rock underground tidak memiliki hubungan dengan zionisme.
Uniknya, Nia mengakui bahwa ia tetap merupakan fans berat Tengkorak
band meskipun di satu sisi pemikiran Tengkorak band bertentangan dengan cara
pandang dirinya terhadap realitas kehidupan sehari-hari. Ia bahkan mengakui jika
musik yang dimainkan Tengkorak band berperan menaikkan semangat dan rasa
percaya dirinya. Oleh karena itu, kepada penulis ia berharap agar Tengkorak band
tidak berhenti di tengah jalan dalam bermusik.
Proses konstruksi identitas yang telah dilalui oleh Nia seperti yang telah
diuraikan di atas dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
PROSES SOSIALISASI
Keluarga (-)
Sekolah (+)
Peer group (+)
Media massa (+)
Tengkorak band
Audiens 4
Lirik (-)
Ilustrasi (-)
Orasi (-)
Salam satu jari (-)
Audiens Apolitis
Ketidakpuasan (-)
Katarsis (+)
Eksternalisasi------------------------------Obyektivasi----------------------------Internalisasi
Gambar 13. Skema Proses Konstruksi Identitas Audiens 4
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa konstruksi identitas audiens
Tengkorak band melalui proses sosialisasi menghasilkan identitas yang berbeda. Dua
audiens memiliki kesadaran kritis yaitu audiens 2 dan 3, satu audiens memiliki
identitas abu-abu yaitu audiens 1, dan satu audiens memiliki identitas apolitis yaitu
audiens 4.
Keberagaman identitas ini disebabkan oleh adanya perbedaan lingkungan
komunikasi dari keempat audiens Tengkorak band. Tidak ada seorang audiens
tersebut yang memiliki kesempatan yang sama untuk membaca berbagai materi-
materi dan tidak ada seorang audiens pun yang berinteraksi secara akurat dengan
agen sosialisasi yang sama pula. Selain itu, perbedaan aspek sosiodemografik (jenis
kelamin, usia, lokasi, tingkat pendidikan, bahasa, agama, pekerjaan, ideologi, dan
kepemilikan media), aspek psikologis (emosi dan kebutuhan), dan aspek karakteristik
perilaku (nilai dan norma serta mobilitas sosial) di antara satu audiens dengan yang
lainnya juga secara tidak langsung ikut mempengaruhi proses sosialisasi yang
menghasilkan keberagaman identitas audiens Tengkorak band. Artinya proses
konstruksi identitas audiens yang berlangsung dalam masa sosialisasi sekunder ini
tidak semudah pada masa sosialisasi primer. Dalam masa sosialisasi sekunder,
konstruksi identitas audiens tidak berlangsung dalam kondisi yang nihil, namun di
dalam audiens sudah terbentuk sebuah dunia beserta nilai-nilai yang dibawa pada
masa sosialisasi primer. Sehingga, untuk menghasilkan audiens dengan identitas
kesadaran kritis memerlukan strategi yang tepat dan waktu yang lama.
4. 3. 4. Konstruksi Identitas Audiens Hasil Penetrasi Simbol-simbol Signifikan
Tengkorak band
Tengkorak band merupakan sebuah kelompok musik yang memainkan jenis
musik rock underground. Menurut James Lull (1989), musik jenis ini termasuk dalam
kategori musik oppositional subculture. Hal ini disebabkan karena ideologi bermusik
Tengkorak band tidak mementingkan masalah finansial serta memanfaatkan industri
lebih untuk menyatakan orientasi alternatif dan subkultur yang dinyatakan dalam
ruang publik melalui simbol-simbol signifikan yang bersifat politis. Simbol-simbol
signifikan yang dihasilkan oleh Tengkorak band disebut sebagai manifestasi dari
gerakan sosial baru yang memiliki potensi terjadinya difusi ideologi di antara mereka
dengan audiensnya.
Musik Tengkorak band yang berirama cepat, lirik yang eksplisit dan kritis
yang mengangkat tema kritik sosial dimana mayoritas anak muda tidak berani
menyuarakannya serta sikap personil yang bersahabat menjadi daya tarik sebagian
generasi muda yang memiliki kegelisahan terhadap situasi sosial sehingga membuat
Tengkorak band memiliki audiens yang cukup banyak di Indonesia.
Audiens Tengkorak band adalah individu-individu yang memperlihatkan
selera musik mereka terhadap musik Tengkorak band. Keempat subyek penelitian
menunjukkan keterlibatan mereka terhadap musik Tengkorak band melalui proses
sosialisasi. Berger (1990) mengatakan bahwa sosialisasi adalah suatu proses interaksi
individu dengan lingkungannya dimulai dari momen eksternalisasi (penyesuaian diri
dengan dunia sosiokultural), objektivasi (interaksi sosial yang terjadi dalam dunia
intersubjektif yang mengalami proses institusionalisasi), dan internalisasi (proses
dimana individu mengindentifikasi dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau
organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya).
Menurut peneliti, empat audiens Tengkorak band yang menjadi subyek
penelitian ini membentuk identitas dengan melakukan pemaknaan terhadap simbolsimbol signifikan yang terdapat pada budaya musik Tengkorak band melalui proses
sosialisasi. Pada awalnya, keempat audiens mulai mengenal Tengkorak band pada
masa sosialisasi sekunder. Mereka mengalami eksposur dan menyukai musik
Tengkorak band pada saat berinteraksi dengan peer group yang dekat dengan
lingkungan sehari-hari. Kemudian, audiens mulai mengekspresikan kekaguman
dengan mengumpulkan kaset, cd, t-shirt, menghadiri konser yang sesuai dengan
selera mereka. Setelah itu, mereka mulai mengintegrasikan nilai-nilai yang ada ke
dalam substansi kehidupan sehari-hari dan berusaha menjadi identik dengan
Tengkorak band.
Berbeda dengan apa yang teori Berger jelaskan sebelumnya, hasil penelitian
menunjukkan bahwa konstruksi identitas audiens Tengkorak band tidak hanya
terbentuk oleh teman sebaya yang berfungsi sebagai significant others mereka, akan
tetapi di dalam proses konstruksi identitas ini juga melibatkan media massa seperti
yang dinyatakan oleh Bungin (2007). Audiens Tengkorak band melakukan
pemaknaan terhadap simbol-simbol signifikan Tengkorak band yang tersedia di
media massa (majalah underground serta cover kaset dan cd), media format kecil
(stiker dan pamflet) serta media lini bawah (t-shirt dan stiker). Menurut Laswell
(1964), salah satu fungsi media massa adalah mentransmisikan nilai dan kultur dari
satu generasi ke generasi lainnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa media
massa, media format kecil dan media lini bawah, secara tidak langsung ikut
memperkuat konstruksi identitas audiens Tengkorak band.
Salah satu temuan peneliti menunjukkan bahwa audiens Tengkorak band
banyak melakukan pemaknaan terhadap simbol-simbol signifikan gaya berpakaian
melalui media cover kaset, cd, dan majalah underground. Audiens Tengkorak
memaknai gaya berpakaian Tengkorak band sebagai gaya berpakaian yang sederhana,
apa adanya, namun kritis. Gaya ini kemudian menjadi identitas audiens Tengkorak
band yang dapat dilihat secara kasat mata. Menurut Barnard (1996), di dalam gaya
berbusana terdapat muatan budaya dan ideologi. Melalui gaya yang sederhana dan
kritis, karena ilustrasi yang terdapat di dalamnya menunjukkan sikap politis
Tengkorak band, audiens Tengkorak mengekspresikan ideologinya sebagai individuindividu yang berpikiran kritis. Individu-individu ini menampilkan gaya berpakaian
tersebut dengan tujuan menunjukkan identitasnya kepada orang lain dan gaya yang
demikian itu membuat mereka merasa sebagai bagian dari audiens Tengkorak band
yang tersebar di berbagai wilayah meskipun tidak saling mengenal.
Simbol signifikan Tengkorak band berikutnya yang berpotensi menimbulkan
terjadinya difusi ideologi adalah ilustrasi yang terdapat pada cover kaset, cd, dan tshirt produksi Tengkorak band. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat
audiens melakukan pemaknaan terhadap ilustrasi tersebut secara beragam. Pada satu
sisi, Gomes dan Aja melakukan pemaknaan bahwa ilustrasi merupakan ekspresi
pemikiran dari Tengkorak band, sehingga keduanya menjadikan ilustrasi sebagai
bagian dari identitas diri mereka sebagai audiens Tengkorak band yang berpikiran
kritis. Di sisi lain, Andy dan Trias memberi makna bahwa ilustrasi tersebut tidak
memiliki implikasi yang mendalam.
Lagu-lagu Tengkorak band yang memiliki beat yang enerjik dan lirik yang
kritis juga menjadi salah satu simbol signifikan yang dimaknai oleh audiens
Tengkorak band dalam membentuk cara pandang terhadap dunia. Menurut Lull
(1989) jelas bahwa lirik dan beat sebuah lagu tidak dapat dipisahkan, keduanya
memiliki dampak yang mendalam. Beat lagu dipandang sebagai suatu media untuk
mengirimkan lirik masuk jauh ke dalam pikiran audiensnya secara ritmik. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa keempat audiens Tengkorak band memiliki lagu
kesukaan yang beragam dan dimaknai secara beragam pula oleh mereka. Bagi ketiga
subyek penelitian pria, lirik lagu-lagu Tengkorak band yang mereka sukai memberi
kontribusi dalam membentuk cara pandang mereka terhadap dunia, terutama dalam
menyikapi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Amerika Serikat dan Israel.
Sehingga, tiga subyek penelitian berpotensi untuk menjadi audiens yang berpikiran
kritis seperti yang diharapkan Tengkorak band. Akan tetapi, satu-satunya audiens
wanita mengaku lebih menikmati beat lagu Tengkorak band
daripada
memperhatikan isi liriknya. Ia memaknai beat tersebut sebagai sebuah reduksi
ketegangan atau hiburan semata yang mampu menaikkan situasi mood-nya. Baginya
lirik-lirik politis yang ditulis Tengkorak band belum dapat mengkonstruksi identitas
dirinya sebagai audiens Tengkorak band yang berpikiran kritis. Dengan demikian,
temuan peneliti menunjukkan bahwa terdapat dua kategori audiens dalam Tengkorak
band yaitu mereka yang memanfaatkan lirik dan beat dan mereka yang hanya lebih
mengutamakan beat saja. Kategori audiens Tengkorak band yang pertama memiliki
kecenderungan untuk menjadi identitas audiens yang berpikir kritis sedangkan
kategori kedua lebih mengarah pada identitas audiens yang apolitis.
Simbol signifikan Tengkorak band lainnya yang peneliti temukan selama
pengamatan
lapang
adalah
orasi
vokalis
Tengkorak
band.
Orasi
yang
menggambarkan isi lagu dilakukan pada saat berinteraksi dengan audiens ketika
sedang konser. Komunikasi antara vokalis dengan audiensnya pada saat konser ini
memperkuat pemaknaan yang dilakukan audiens terhadap pesan yang terkandung
dalam isi lagu Tengkorak band. Sehingga, dapat dikatakan bahwa orasi vokalis
tersebut juga berperan memberikan acuan di dalam proses konstruksi identitas
audiens tengkorak band. Temuan peneliti menunjukkan bahwa tiga audiens pria
memiliki pemaknaan yang sama sedangkan satu audiens wanita menyatakan
keraguannya dalam melegitimasi makna yang terdapat dalam orasi vokalis Tengkorak
band. Gejala ini disebabkan oleh adanya pertentangan
antara isi orasi vokalis
Tengkorak band dengan nilai-nilai yang sudah terinternalisasi sebelumnya pada
audiens tersebut.
Aktivitas slamming merupakan sebuah simbol signifikan yang peneliti
temukan sering terlihat pada saat Tengkorak band melakukan pertunjukan. Pada
dasarnya simbol ini bukan hasil produksi Tengkorak band, melainkan produksi
budaya musik rock underground pada umumnya. Menurut Lull (1989) aktifitas
slamming merupakan simbolisasi kesadaran pada setiap orang yang tidak
menginginkan adanya perbedaan-perbedaan kelas di antara kedua pihak yang
berinteraksi atau hilangnya jarak baik fisik maupun psikis antara musisi dan
audiensnya. Berbeda dengan Lull, dari hasil penelitian mengungkapkan bahwa tiga
audiens pria memaknai aktifitas slamming ini sebagai bentuk pelepasan emosi mereka
serta apresiasi mereka terhadap band idolanya. Melalui aktifitas ini audiens juga
berusaha menunjukkan identitas mereka sebagai penggemar Tengkorak band.
Sementara itu, satu orang audiens wanita tidak melakukan aktifitas tersebut karena
aktifitas tersebut tidak sesuai jika dilakukan oleh seorang wanita.
Simbol signifikan yang paling akhir muncul di dalam tubuh Tengkorak band
adalah salam satu jari. Simbol ini muncul di awal tahun 2010, namun sangat
membantu audiens Tengkorak band dalam proses konstruksi identitas mereka sebagai
audiens yang kritis. Simbol salam satu jari berpotensi menjadi refensi simbol yang
membangkitkan kesadaran mereka agar tetap ingat kepada sang pencipta serta belajar
memahami kontradiksi sosial dan berpikir kritis terhadap budaya musik rock
underground yang lebih identik dengan nilai-nilai negatif seperti yang disebut dalam
Lull (1989) yaitu memberontak dari orang tua, menggunakan narkoba, dan
radikalisasi penampilan. Hadirnya simbol salam satu jari dengan nilai dan gaya yang
meninggalkan budaya mapan musik rock underground membuktikan bahwa ideologi
Tengkorak band menjadi kekuatan untuk menggeser posisi salam metal dua dan tiga
jari dalam konteks yang tepat. Dari temuan peneliti, keempat audiens memaknai
salam satu jari secara beragam. Dua audiens melegitimasi makna tersebut dengan
mulai mengubah pola salam sebagai bentuk konvergensi ideologi mereka dengan
Tengkorak band. Sedangkan dua audiens lainnya masih tetap bertahan dengan pola
salam budaya musik rock underground lama. Satu audiens pria tidak mengubah pola
salam lebih disebabkan oleh karena distribusi pengetahuan yang tidak merata seperti
yang dikatakan oleh Berger (1990). Sementara itu, satu audiens wanita belum
melegitimasi salam satu jari karena memiliki kecenderungan adanya konflik
intrapersonal. Widgery dalam Hamidi (2007) menyebut konflik intrapersonal tersebut
dengan istilah disonansi kognitif, yaitu suatu ketegangan keadaan psikologis yang
terjadi, sehingga seseorang menjadi sadar akan adanya hubungan yang tidak serasi
antara kognisi-kognisinya, perasaan-perasaannya, nilai-nilainya, dan perilakuperilakunya.
Sejumlah audiens yang tergabung dalam komunitas salam satu jari bekerja
sama dengan personil Tengkorak band memanfaatkan media jejaring sosial di internet
dengan membuka akun facebook untuk Tengkorak band yaitu “Tengkorak (The
Greatest Indonesian Metal Legend)” untuk menyebarluaskan informasi terkini serta
berinteraksi dengan audiens lainnya di berbagai wilayah. Melalui media ini,
komunikasi antara Tengkorak band dan 33.176 audiensnya dapat tetap terjaga.
Umumnya, para audiens mengakses facebook Tengkorak band ini untuk mengetahui
karya-karya terbaru, jadwal pertunjukan, kehidupan personil, serta mengajukan
berbagai pertanyaan mulai dari visi-misi Tengkorak band sampai dengan dukungan
terhadap Tengkorak band.
Pada dasarnya, Tengkorak band yang diharapkan identitas audiens adalah
anak muda yang berpenampilan sederhana, sesuai dengan norma-norma budaya lokal
dan berpikiran kritis. Ideologi ini berusaha ditularkan kepada audiens Tengkorak
band melalui penetrasi simbol-simbol signifikan yang diproduksi oleh para personil
Tengkorak band seperti lagu-lagu beserta liriknya, ilustrasi pada cover kaset, cd, dan
t-shirt, orasi vokalis pada saat pertunjukan serta salam satu jari. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa semua audiens berusaha membangun identitasnya sesuai dengan
ideologi Tengkorak band, namun hanya dua audiens pria yang telah melakukan
identifikasi dirinya dengan Tengkorak band. Kedua audiens ini adalah individuindividu yang telah masuk dalam kategori audiens berpikiran kritis dengan mengikuti
perubahan pola dari salam tiga dan dua jari menjadi salam satu jari yang diproduksi
Tengkorak band setahun yang lalu. Sedangkan satu audiens pria masuk dalam
kategori identitas audiens “abu-abu”. Kategori identitas “abu-abu” ini adalah individu
yang melegitimasi ideologi politik Tengkorak band akan tetapi belum mengikuti
perubahan pola salam satu jari. Munculnya audiens dengan identitas “abu-abu” ini
diduga karena distribusi pengetahuan yang tidak merata dalam proses sosialisasi.
Sementara itu, satu audiens wanita masuk dalam kategori identitas audiens yang
apolitis karena ia belum melegitimasi makna simbol-simbol signifikan Tengkorak
band yang berimplikasi politis dan juga belum mengikuti pola salam satu jari.
Dengan demikian, pemaknaan yang telah dilakukan keempat audiens
Tengkorak band melalui proses sosialisasi yang melibatkan Tengkorak band sebagai
agen sosialisasi membentuk identitas mereka yang beragam. Belum adanya
keseragaman identitas audiens yang diharapkan Tengkorak band melalui sosialisasi
ini diduga karena distribusi pengetahuan yang tidak merata serta adanya pertentangan
nilai-nilai yang sudah diinternalisasi sebelumnya dengan nilai-nilai baru yang
dipenetrasi melalui simbol-simbol signifikan Tengkorak band.
4. 4. Penelitian Gerakan Sosial Baru untuk Komunikasi Pembangunan
Pada bagian awal telah dikemukakan bahwa untuk mengatasi titik kritis yang
dialami bidang komunikasi pembangunan akibat perubahan struktur sosial, ekonomi,
dan politik dalam skala global, maka bidang komunikasi pembangunan dianjurkan
untuk mengalihkan perhatian pada bidang gerakan sosial baru.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa manifestasi gerakan sosial baru yang
dilakukan Tengkorak band melalui penetrasi simbol-simbol signifikan mereka dalam
proses konstruksi identitas atau sosialisasi keempat audiens telah menghasilkan
identitas audiens yang beragam. Terkait dengan komunikasi partisipatif, keberagaman
identitas audiens yang dihasilkan ini merupakan sebuah konsep yang akan
mendorong pemberdayaan disebut oleh Rahim (2004) dengan istilah heteroglasia.
Heteroglasia merupakan konsep yang menunjukkan fakta bahwa sistem
pembangunan selalu dilandasi oleh berbagai kelompok dan komunitas yang berbedabeda dengan berbagai variasi ekonomi sosial, dan faktor budaya yang saling mengisi
satu sama lain. Perbedaan berikutnya adalah pada level aktivitas pembangunan baik
di
tingkat
nasional-lokal,
makro-mikro,
publik-privat,
teknis-ideologis,dan
informasional-emosional. Terkait dengan berbagai perbedaan tersebut, terdapat pula
berbagai macam perbedaan bahasa dan pesan atau komunikasi yang melibatkan
beragam peserta. Sebagai contoh, dalam level nasional pembangunan ekonomi dan
politik akan menggunakan bahasa yang berbeda dalam mengkomunikasikannya
kepada orang lain karena mereka melihat pembangunan dari perspektif yang berbeda.
Sementara itu, petani subsisten di level pedesaan juga akan menggunakan kosakata
yang berbeda dengan mereka yang bekerja di sektor industri meskipun mereka
memiliki bahasa nasional yang sama. Mereka mungkin membicarakan permasalahan
yang sama akan tetapi mereka bisa saja tidak mengerti satu dengan yang lainnya.
Tantangan bagi komunikasi pembangunan adalah bagaimana memanfaatkan
kekuatan heteroglasia. Bagaimana menempatkan konsep tersebut untuk kepentingan
publik, bagaimana menghubungkan ideologi-ideologi, dan kelompok yang berbedabeda atau variasi pandangan tentang pembangunan tanpa menekan satu pandangan
atas pandangan yang lain. Inilah yang menjadi problem dari komunikasi partisipasif.
Artinya, hal ini juga menjadi problema bagi Tengkorak band bagaimana
memanfaatkan keberagaman identitas audiensnya dalam menghadapi hegemoni
budaya musik rock barat.
Menghadapai situasi yang demikian, seperti halnya sebuah negara yang
memiliki berbagai perbedaan budaya, Tengkorak band tidak memaksakan ideologi
kesadaran kritis yang terdapat dalam simbol-simbol signifikan mereka. Keberagaman
identitas audiens ini dipandang sebagai kekayaan budaya. Audiens dibiarkan bebas
mengkonstruksi makna simbol-simbol signifikan tersebut sesuai dengan pengetahuan
yang mereka miliki dalam konteks pendewasaan bersama. Seperti yang diungkapkan
oleh Dervin dan Huesca (1997) bahwa komunikasi partisipatoris sebagai “kata kerja”
untuk menegaskan bahwa tidak ada teori yang final. Begitu pula dengan identitas
audiens yang tidak bersifat statis, proses sosialisasi audiens atau konstruksi identitas
terus berjalan mulai individu lahir sampai akhir hayat. Ia tidak berhenti dalam satu
kurun waktu. Sehingga, proses pembentukan kesadaran kritis memerlukan waktu
yang dialog pengetahuan yang berkelanjutan, tidak dapat tercapai dalam waktu
singkat.
Apa yang dilakukan Tengkorak band di dalam penelitian ini sejalan dengan
yang dikemukakan oleh Servaes dalam White (2004) bahwa pembangunan harus
berdasarkan pada inisiatif lokal dan mengandalkan pada diri sendiri, dimana setiap
unit dari pembangunan akan memiliki modelnya masing-masing dan terdapat banyak
jalan untuk melakukan pembangunan. Semua ini berimplikasi pada penolakan
terhadap tesis modernisasi yang mengartikan pembangunan dengan implantasi
rasionalitas dan nilai-nilai bisnis budaya barat. Berikut perbandingan budaya musik
rock underground barat dengan budaya Tengkorak band:
Matriks 11. Budaya Rock underground Barat vs Tengkorak band
Rock underground Barat
Tengkorak band
Penggunaan minuman keras
Menghindari minuman keras
Memberontak dari orang tua
Hormat kepada orang tua
Seks bebas
Menghindari seks bebas
Menuntut ilmu bukan prioritas
Menuntut ilmu adalah prioritas
Penggunaan salam dua dan tiga jari
Penggunaan salam satu jari
Untuk itu, komunikasi pembangunan perlu mempertimbangkan bahwa
memiliki sebuah kesadaran kritis akan keunikan nilai-nilai kultural sebagai sebuah
tujuan utama dari pembangunan sama pentingnya dengan produktivitas ekonomi.
Semakin kuatnya rasa identitas budaya lokal dan regional akan menyediakan sebuah
basis untuk mendekonstruksi hegemoni ideologi. Bricolage simbol signifikan salam
satu jari Tengkorak band yang dilegitimasi oleh dua audiensnya dalam penelitian ini
merupakan bukti otentik dari kekuatan pemberdayaan dalam mendekonstruksi
hegemoni nilai-nilai bisnis budaya barat serta menolak homogenisasi budaya.
Servaes dalam White (2004) menambahkan bahwa model pembangunan
seperti ini merupakan multiplicity model, yaitu pembangunan harus diterjemahkan
terutama dalam terminologi budaya daripada terminologi ekonomi dan politik. Hal ini
disebabkan karena budaya merupakan arena dari perjuangan memperoleh
pemberdayaan serta gerakan-gerakan pemberdayaan itu sendiri menegaskan bahwa
identitas budaya yang independen merupakan inti permasalahan.
Download