FILSAFAT AL-QUR`AN - Jurnal STAIN Watampone

advertisement
1
FILSAFAT AL-QUR’AN
(Suatu kajian dari segi pendidikan)
Oleh : H.M. Amir HM.
Abstrac
The Qur’an
is not
a
book
of philosophy,
but
it
is loaded
with
philosophical values that should be explored by anyone who wants to find the
study of the Qur’an philosophically. Thes also proves that the Qur’an the more
it is explored the more it shows it is universality and integrality in the sense thet
all problems are found in the Qur’an, including educational problems that make
the Qur’an as a normative basis. Thus, the philosophy of the Qur’an on
education are; (1) comprehensive, the objects of study are all beings (God,
nature, and man), (2) integrated in the sense of combining the material and
spiritual interests, between this world and the hereafter, (3) contains the
development and change in the sense of inviting people towards a better and
more perfect way in terms of both creativity and morality. Therefore, the
educational referred to in this paper is a study based on ontology, epistemology
and axiology of education in the Qur’an.
Kata kunci: Filsafat, Qur’an dan pendidikan
1. Pendahuluan
Al-Qur’an memperkenalkan dirinya sebagai kitab yang didalamnya tercakup
segala sesuatu (QS. Al-An’am/6: 38, sekalipun pada umumnya hanya bersifat global.
Karena terdapatnya ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat global sehingga memerlukan
sentuhan akal pikiran manusia untuk memahami rinciannya, agar semua ayat dalam alQur’an dapat teraplikasi maknanya dalam kehidupan umat manusia. Karena itu, alQur’an turun untuk berdialog dengan setiap umat manusia yang ditemuinya, sekaligus
memecahkan segala problema yang dihadapinya, kapan pun dan dimana pun mereka
berada.1
Agil Husain al-Munawwar, Al- Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakik i (Cet. III;
Jakarta: Ciputat Pres, 2004, h. XII. Lihat pula M. Qurais h Shihab, Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan
Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat (Cet. VII; Bandung: Mizan, 1994, h. 23.
1 Said
2
Setiap kata dan kalimat dalam al-Qur’an mengandung makna yang amat
mendalam dan tidak terbatas kedalamannya. Boleh jadi setiap orang yang membaca,
meneliti, mengkaji dan menafsirkan suatu ayat dari al-Qur’an itu merasa puas dengan apa
yang dia capai atau dia rasakan, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya orang lain
yang membaca, meneliti, dan menafsirkan ayat yang sama justru menemukan maknamakna lain, dan mungkin lebih mendalam dari apa yang dicapai oleh orang-orang
sebelumnya dan disinilah cara kerja filsafat.
Filsafat hadir sebagai bagian dari ilmu pengetahuan
menjadikan akal sebagai
andalan utamanya untuk menemukan hakikat segala sesuatu, termasuk menyelami
makna-makna ayat-ayat al-Qur’an. Ia tidak berhenti dan tidak puas sebelum menemukan
hakikat sesuatu yang ia yakini sebagai
suatu kebenaran, sekalipun kebenaran yang ia
capai bersifat spekulatif.
Bagi kaum filosof, bahwa akal yang terdapat dalam diri manusia merupakan
suatu daya yang dengannya manusia menjadi makhluk termulia. Karena dengan akal itu,
manusia dapat mengatasi dan memikirkan problema-probelma yang dihadapinya serta
dapat mengetahui apa yang harus dikerjakan dan apa yang harus ditinggalkan.
Al Gazali (1059-1111 M.) mengemukakan bahwa akal adalah suatu potensi diri
manusia
yang
membedakannya
dengan
hewan.
Dengan
Akal,
manusia bersedia
menerima berbagai macam ilmu nadhari (ilmu yang memerlukan pemikiran) dan
memecahkan berbagai masalah pelik yang memerlukan pemikiran. 2 Lebih dipertegas lagi
oleh Ahmad Mahmud Ashbahy, bahwa jika manusia telah sempurna akal pikirannya,
maka wajib atasnya memikirkan sesuatu yang menyebabkan memilki ilmu pengetahuan. 3
2 Al
Gazali, Ihya al Ulumuddin, Juz I (Qairo: Dar al Ihya al Arabiyyah, t,th.), h. 84
3 Ahmad
Muhammad Ashbahy, Al- Falasifah al- Akhlaqiyah fi Fikri al-Islami (Mesir: Dar alMa’arif, t,th), h. 69
3
Dengan
membedakan
demikian,
manusia
hakikat
dengan
akal yang
makhluk
lain
sebenarnya
yang
adalah
menjadikan
sesuatu
manusia
yang
berilmu
pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan itu, ia dapat mengalami perubahan dan kemajuan
dalam hidupnya.
Keinginan manusia
untuk mengalami perubahan dan kemajuan dalam hidupnya,
merupakan potensi dasar yang dibawa sejak lahir, dan terus mengalami perkembangan
seiring
dengan
perkembangan
psikis
dan
psikologi
manusia.
Ketika
manusia
menghendaki kemajuan dalam hidupnya, maka timbulah gagasan untuk melakukan
pengalihan, pelestarian dan pengembangan kebudayaan melalui pendidikan. Karenai itu,
dalam sejarah pertumbuhan masyarakat, pendidikan senantiasa menjadi perhatian utama
dalam rangka memajukan kehidupan generasi
ke generasi sejalan dengan tuntutan
masyarakatnya.4
Dengan demikian,
dalam kehidupan masyarakat yang semakin berbudaya
dengan tuntutan kehidupan yang semakin global, maka pendidikan seharunya menjadi
alat perekat dalam mengatasi segala persoalan kehidupan. Agar pendidikan tidak salah
arah, maka kajian-kajian terhadap dasar normatif sebuah pendidikan menjadi suatu
keharusan yang tidak dapat diabaikan. Pendidikan Islam, adalah salah satu bentuk
pendidikan yang harus tumbuh dan berkembang, khususnya di kalangan umat Islam,
maka yang menjadi dasar normatifnya adalah al-Qur’an al-Hadis. Agar tulisan ini lebih
terarah dan fokus, maka kajiannya lebih dititip beratkan kepada al-Qur’an, sehingga
semakin ditemukan keluasan dan kedalaman makna-makna yang terkandung dalam alQur’an termasuk nilai-nilai filsafat, sekalipun diyakin bahwa al-Qur’an bukanlah kitab
filsafat.
4 M.
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h. 1
4
II. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut, muncul beberapa masalah yang hendak
dijawab dalam tulisan ini; yakni Apa yang dimaksud filsafat al-Qur’an dan bagaimana
hakikat, wujud dan tujuan pendidikan dalam al-Qur’an ?.
III. Metode Penelitian
Penelitian
ini bersifat
deskriftif analisis,
yakni memaparkan apa adanya
berdasarkan sumber-sumber rujukan yang ada disertai analisis yang mendalam atau
analisis filosofis, sehingga memberi pemahaman yang aktual dan akuntabilitas. Karena
itu, sumber datanya berasal dari telaah kepustakaan (library research) yang terdiri atas
data primer yakni kitab-kitab tafsir, buku-buku filsafat dan buku-buku pendidikan.
Sedangkan data skunder berasal dari sumber lain yang ada relevansinya dengan
pembahasan untuk keperluan analisis. Kemudian interpretasi data tersebut diolah dengan
menggunakan metode kualitatif serta di analisis dengan conteks analisis (analisis isi)
dengan menggunakan pendekatan filosofis dan paedagogik.
IV. Kerangka Teori
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dikemukakan bahwa kata filsafat berarti
(1) pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada,
sebab, asal dan hukum-hukumnya; (2) teori yang mendasari alam pikiran atau suatu
kegiatan; (3) ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika dan epistemologi. 5
lebih
lanjut dikemukakan oleh Al-Farabi, seperti yang dikutip oleh Toto Suharto bahwa istilah
filsafat berasal dari bahasa Yunani yakni Philosophia.
Philo berarti cinta, sedangkan
Sophia berarti hikmah.6 Sehingga filsafat berarti cinta kepada kebijaksanaan. Orang yang
5 Departemen
Pendidikan Nasional,
Jakarta: Balai Pustaka, 2012) , h. 317
6 Toto
Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi
III (Cet:
Suharto, Filsafat Pendidikan Islam (Cet. I; Jogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 16
5
mendalami filsafat
atau cinta kepada kebijaksanaan dinamakna filosof. Para filosof
menjadikan akal (berpikir) sebagai landasan utamanya untuk memperoleh kebenaran.
Namun, tidak berarti semua orang yang berpikir dinamakna berfilsafat, karena berpikir
yang dimaksud dalam filsafat adalah berpikir secara radikal, integral, dan universal.
Ketika filsafat dirangkai dengan al-Qur’an, mengandung makna bahwa makna-makna yang tercakup dalam al-Qur’an
akan digali melalui cara kerja filsafat tersebut,
sehingga semakin dirasakan demikian luas dan dalamnya kandungan al-Qur’an yang
harus digali dan diamalkan dalam kehidupan umat manusia.
Term al-Qur'an berasal dari bahasa Arab yakni ‫ قـرأ‬berakar kata dari huruf qaf,
ra dan al-harf mu’tal
menelaah,
membaca,
yang berarti menghimpun atau mengumpulkan, 7 menyampaikan,
mendalami,
meneliti,
mengetahui ciri-cirinya dan sebagainya,
kesemuanya dapat dikembalikan kepada hakikat "menghimpun",8 kemudian diartikan
dengan “membaca” karena semua orang yang membaca berarti menghimpun berbagai
ilmu pengetahuan. Dari segi Terminologi, menurut Muhammad Ali al-Sabuniy, al-Qur’an
adalah; Kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad saw. Dengan perantaraan
malaikat Jibril yang disampaikan kepada umatnya secara mutawatir, dan membacanya
atau mempelajarinya merupakan suatu ibadah, dimulai dengan suarat al-Fatiha dan
diakhiri dengan suarat al-Nass.9
Al-Qur’an yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah sesuatu yang diwahyukan
kepada Muhammad saw. Melalui perantaraan malaikat Jibril QS. An Najm (53): 4-5,
sebagai obat dan rahmat QS. Al Isra' (17): 82, sebagai peringatan QS. Al Qalam (68): 52,
sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang yang beriman QS. Al A'raf (7): 203, sebagai
7 Abiy
8 M.
al Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariyah, op. cit., jilid V, h. 78
Quraish Shihab, "Membumikan", op. cit., h. 167
9 Lihat
Muhammad Ali al-Sabuniy, Al- Tibyan fi 'Ulum al-Qur’an (Bairut-Libanon: Dar
Al Irsyad, 1970), h. 8
6
peraturan yang benar QS. Al Ra'd (13): 37. bagi kehidupan umat manusia untuk
mencapai kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Dengan batasan
al-Qur’an
seperti ini, pembahasan yang dilakukan tidak bermaksud menguji kebenaran yang
terkandung dalam al-Qur’an, tetapi berusaha untuk menemukan dan merumuskan maknamakna filsafat dalam al-Qur’an dikaitkan dengan pendidikan yang berorientasi pada
ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Bila diperhatikan makna dan fungsi al-Qur’an seperti yang telah diuraikan, maka
setidaknya
tulisan ini akan mengungkap benang merah makna dan hakikat pendidikan
yang dikembangkan berdasarkan logika manusia modern dengan petunjuk yang ada
dalam al-Qur’an sebagai pegangan hidup bagi umat Islam.
V. Pembahasan
1. Pengertian filsafat al-Qur’an
Filsafat akan dapat dipertahankan sepanjang diletakkan secara relevan dan
konsisten
meneliti
dan
menilai
sesuatu
berdasarkan
petimbangan
dari
ontologi,
epistemologi dan aksiologi dengan memposisikan akal sebagai alat instrument vital
baginya. Al-Qur’an juga, menghargai akal dan memberi peran yang cukup besar bagi
kehidupan umat manusia. Orang yang tidak berakal, mendekati shalat pun tidak
dibolehkan apalagi mengerjakannya (QS. An-Nisa/4: 43). Term akal dalam al-Qur’an
ditemukan sebanyak 49 kali semuanya dalam bentuk fi’il (kata kerja). Bentuk-bentuk
yang dimaksud adalah aqaluh, 1 kali, ta’qilun 24 kali, na’qilu 1 kali, ya’qiluha 1 kali,
ya’qiluna 24 kali.10
Term akal yang digambarkan al-Qur’an tersebut hanya menggunakan fi’il yakni
fi’il madi dan fi’il mudari’, namun tidak berarti bahwa tidak ada yang mengandung unsur
10 Muhammad
h. 468-469.
Fuad Abdu al-Baqy, Al- Mu’jam Al-Mufahras li al Fadz al-Qur’an (Angkasa, t.th.)
7
perintah dalam penggunaannya. Karena 14 kali dari bentuk fi’il mudari’ tersebut
didahului dengan istifham al-ingkari yakni afala yang berkonotasi perintah. Selain itu,
akal juga mengandung makna al-istimrari (kontinutas). Ini berarti bahwa akal merupakan
aktivitas yang bergerak terus menerus. Apabila akal seseorang tidak berfungsi maka
hilanglah nilai-nilai kemanusiaan pada diri manusia.
Al-Qur’an ketika menunjuk perintah berpikir, selain menggunakan term al-aql,
juga menggunakan al-tafakkur, al-tadabbur dan ulu al-bab.
Bila metode/karakteristik filsafat dikaitkan dengan makna berpikir dalam alQur’an maka posisinya dapat dilihat sebagai berikut;
Filsafat
al-Qur’an
-Universal
=
tafakkur
-Integral
=
tadabbur
-Radikal
=
ulu al bab
=
=
=
aql
aql
aql
Apabila diperhatikan titik temu antara filsafat dengan al-Qur’an tersebut,
semakin bertambahlah keyakinan dan memperkuat ligtimasi bahwa pada dasarnya ayatayat al-Qur’an mengandung makna filsafat, sejauh manusia mampu menggali dan
memahaminya. Tugas filsafat adalah menggali sesuatu sampai keakar-akarnya dan tidak
berhenti sebelum menemukan hakikat sesungguhnya dari suatu permasalahan yang
dihadapinya, tidak terkecuali ayat-ayat al-Qur’an dan itulah dimaksud Filsafat Al-Qur’an,
yang secara umum objek kajiannya Tuhan, alam dan
mausia termasuk di dalamnya
masalah pendidikan.
2. Hakikat Pendidikan dalam al-Qur’an
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pendidikan adalah
“proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan”. 11 Atau “proses
11
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 263
8
bimbingan manusia dari kegelapan, kebodohan, kekecerdasan pengetahuan”. 12 Hasan
Langgulung mengemukakan bahwa pendidikan adalah “suatu proses yang mempunyai
tujuan yang biasanya diusahakan untuk menciptakan pola-pola tingkah laku tertentu pada
murid-murid atau orang yang sedang dididik”.13 Sedangkan menurut Rasyid Ridha
“Pendidikan adalah “bimbingan daya manusia baik jasmani, akhlak maupun jiwa yang
menjadikannya tumbuh dan berkembang serta bergerak
sehingga sampai kepada
kesempurnaan dirinya”.14
Al-Qur’an,
ketika
menginformasikan
tentang
pendidikan
menggunakan
beberapa istilah antara lain:
1. Tarbiyyatun )‫ ( تـريـة‬yang berasal dari kata ‫ يـربـوا‬،‫ ربا‬yang berarti bertambah.15 Atau
berasal dari kata ‫ بـربي‬،‫ ربي‬yang berarti tumbuh dan berkembang, juga boleh jadi berasal
dari kata ‫ يـرب‬،‫ رب‬yang berarti memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga, mengatur
dan memelihara.16 Menurut Abd. Muin Salim, bahwa kata ‫ تـربـية‬berasal dari kata ‫ربي‬
yang berarti tumbuh dan bertambah. Karena itu,
kata ‫ تـربـيـة‬berkonotasi dengan
perkembangan, sedangkan ‫ ربوبـيـة‬berkonotasi pada pemeliharaan.17 Dalam Kamus alMunawwir, kata ‫ تـربـية‬berarti pendidikan, pengasuhan, pemeliharaan. 18
12 Hasan
Shadili (ed) Ensiklopedia Indonesia, jilid V (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoever, 1984), h.
13 Hasan
Langgulung, Manusia dan Pendidikan (Jakarta: Pustaka al Husna, 1986), h. 32
2626
Rasyid Ridha, Al-Tarbiyah al-Islamiah al-Ta’lim al-Islamiyah, XXXIV No. 7 (t.t; alManar, 1939), h. 544-545
14 Lihat
15 Abi al-Husain
Ahmad bin Faris bin Zakariya al-Razy, Mu’jam al-Lugah min al-Ushul (Bairut:
Dar al-Fikr, 1994), h. 314
16 Lihat
ibid., h. 278
17 Abd.
Muin Salim, Jalan Lurus Menuju Hati Sejahtera; Tafsir Surah al -Fatihah (Cet.
I; Jakarta: Yayasan Kalimah, 1999), h. 39
18 Ahmad
Warson
Munawwir, Al-Munawwir
Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1984), h. 505
Kamus
Arab
Indonesia
(Krapyak
9
Salah satu ayat dari al-Qur’an yang sepadan dengan pengertian tarbiyah tersebut
adalah QS. Al-Isra’/17: 24:











 
Terjemahnya:
Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan
ucapkanlah, “Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimanaaaa mereka
keduanya telah mendidik aku pada waktu kecil. 19
Term ‫ ربـياني‬adalah fi’il madi, huruf alif sebagai tanda mutsanna berfungsi
sebagai fa’il, huruf nun adalah nun al-wiqayah, huruf ya adalah ya al-mutakalli wahdah
berfungsi sebagai maf’ul bih.20
Dari term tersebut, terbentuklah term ‫ تـربـيـة‬yang berarti tumbuh dan bertambah
seperti yang dikemukakan oleh Abd. Muin Salim tersebut. Sesuatu yang tumbuh dan
bertamabah memerlukan pendidikan dan pemeliharaan,
kemudian diartikan dengan
pendidikan. M. Quraish Shihab ketika menafsirkan kalimat ‫ كما ربـيـاني صـغـيـرا‬mengatakan
bahwa harus diterjemahkan dengan “karena mereka telah mendidikku waktu kecil, bukan
sebagaimana
telah mendidikku waktu kecil.
“sebagaimana” itu
Karena kalau diterjemahkan dengan
berarti yang dimohonkan oleh si anak
adalah kualitas dan
kuantitasnya, sama dengan yang diperoleh dari kedua orang tua. Sedangkan kalau
19 Departem
Agama
RI.,
Al-Qur’an
dan Terjemahnya
(Semarang: PT. Karya
Toha
Putra, 2002), h. 387
al-Darwisy, I’rab al-Qur’an al-Karim wa Bayanuh, jilid I (Bairut: Dar
Ibnu Katsir, t.th.), h. 339.
20 Muhyiddin
10
diterjemahkan dengan “disebabkan karena”
maka limpahan rahmat yang dimohonkan
oleh seorang anak kepada kedua orang tuanya tidak terbatas diserahkan sepenuhnya
kepada kemurahan Allah swt.21
2. ‘Allama
Term ‘allama berasal dari term ‘alima fi’il madi stulasti yang berarti mengecap,
memberi tanda.22 Kemudian berubah menjadi fi’il madi ruba’iy dengan menambah
tasydid pada lam fi’ilnya menjadilah ‘allama yang berarti mengajar sebagaimana firman
Allah dalam QS. Al-Rahman/55: 1-4
 
 

  

 
Terjemahnya:
(1) (Tuhan) Yang Maha Pemurah
(2) Yang telah mengajarkan Al-Qur’an.
(3) Dia menciptakan manusia,
(4) mengajarnya pandai berbicara23
Menurut Thabataba’i seperti yang dikutip oleh M. Quraish Shihab mengatakan
bahwa yang menjadi objek kata allama pada ayat ke 2 adalah manusia dan jin. Namun,
M. Quraish Shihab berpendapat bahwa selain jin dan manusia, juga yang menjadi objek
adalah malaikat Jibril yang menerima langsung al-Qur’an dari Allah
dan Jibril manpu
mengajarkan Firman Allah itu kepada Muhammad saw. karena telah memperoleh
pengajaran dari Allah swt. Sedangkan kata ‘Allama pada ayat keempat, menunjukkan
21 M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Peran, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol 5
(Cet. II, Jakarta: Lentera Hati, 2004), h, 447.
22 Ahmad
Warson Munawwir, op. cit., h. 1036
23 Departemen
Agama RI., op. cit., h. 773
11
bahwa mengajar tidak selamanya dalam bentuk penyampaian kata-kata atau ide, tetapi
boleh jadi dalam bentuk mengasah potensi sesorang sehingga pada akhirnya potensi itu
terasah dan dapat melahirkan berbagai ilmu pengetahuan. 24
Dari keterangan tersebut, dipahami bahwa yang menjadi pendidik pertama
dalam Islam adalah Allah swt. Bahkan pada dasarny semua ilmu yang dimiliki oleh umat
manusia pada dasarnya bersumber dari Allah swt.
Karena itu, pendidikan dalam Islam pada hakikatnya tidak hanya pencapaian
pengetahuan dalam wilayah kognisi semata, tetapi juga menjangkau wilayah psikomotor
dan afeksi.25 Sebagaimana Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah/2: 151




   


  
    
Terjemahnya:
Sebagaimana kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul (Muhammad dari
(kalangan) kamu yang membaca ayat-ayat kami, menyucikan kamu, dan
mengajarkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dan hikmah (sunnah), serta mengajarkan
apa yang belum kamu ketahui.26
Dari ayat tersebut dipahami bahwa, Rasulullah mendapat amanah untuk
mengajar umatnya, tidak hanya berorientasi pada kemampuan membaca ayat-ayat Allah
(al-Qur’an dan alam semesta), tetapi juga bagaimana umatnya membersihkan dirinya
dengan tidak melakukan dosa, baik
dosa terhadap Allah swt. maupun terhadap umat
manusia. Hal ini lebih dipertegas lagi oleh Abd. Fattah Jalal, bahwa pendidikan membaca
24 Lihat
M. Quraish Shihab, “Tafsir Al Misbah” op. cit., vol. 7, h. 494
25 Hery
Nur Aly, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 8
26 Departemen
Agama RI., op. cit., h. 29
12
ayat al-Qur’an tidak hanya berorientasi pada kemampuan membaca hurufnya semata,
tetapi juga mereka harus memahami, menghayatinya dan mengamalkannya.
Melalui
pendidikan seperti ini, Rasulullah telah mengangkat derajat para sahabatnya kepada
tingkat penyucian diri (tazkiyah). Dengan begitu, mereka mampu mengaplikasikan
makna al-Qur’an dan sunnah Nabi (hikmah)27
Karena itu,
hakikat pendidikan menurut
al-Qur’an
adalah pengintegrasian
antara ilmu, ucapan dan perbuatan. Untuk mewujudkan hal itu,
diperlukan pendidikan
yang berkesinambungan melalui pengembangan potensi dasar yang dimiliki manusia
sejak lahir yakni pendengaran, penglihatan dan hati, sekali pun manusia lahir tampa
pengetahuan sedikit pun dan kemudian mereka berpengetahuan lalu bersyukur kepada
Allah swt. ( QS. An-Nahl/16: 78
3. Wujud Pendidikan Dalam al-Qur’an
Wujud pendidikan yang dimaksudkan dalam tulisan ini terdiri dari; subjek
pendidikan, objek pendidikan dan metode pendidikan.
a. Subjek pendidikan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indoensia Subjek berarti
antara lain pokok
pembicaraan, pokok bahasan, bagian klausa yang mamadai apa yang dikatakan oleh
pembicara serta pelaku dalam pengkajian itu. 28 Subjek yang dimkasuk dalam tulisan ini
adalah pelaku pendidikan, sebagai yang dicontohkan oleh
Malaikat Jebril ketika
mengajarkan al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw. Jibril memiliki kekuatan fisik,
27 Abd.
Fattah Jalal, Ushul Tarbiyah fi al-Islam diterjemahkan oleh
dengan judul “Azas-Azas Pendidikan Islam” (Bandung: Diponegoro, 1988), h. 28.
28 Departemen
Pendidikan Nasional, op.cit., h. 1095
Hery Noer Aly
13
kecerdasan, keteguhan dalam melaksanakan tugasnya serta menampakkan dirinya dalam
bentuk aslinya (rupa yang bagus dan perkasa), sebagaimana firman Allah dalam QS. AnNajm/53: 5-6


  
  
Terjemahnya:
(5) Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat
(6) Yang mempunyai akal yang cerdas. 29
Karena itu, setiap orang yang menjadi subjek atau pelaku pendidikan harus
memiliki kemampuan fisik,
kecerdasan serta
wawasan yang luas dibandingkan dengan
peserta didiknya. M. Quraish Shihab ketika menafsirkan ayat tersebut menjelaskan bahwa
bukanlah berarti wahyu tersebut bersumber dari malaikata Jibril. Akan tetapi Jibril
menerima wahyu dari Allah dengan tugas menyampaikan secara baik dan benar kepada
Muhammad saw., dan itulah yang dimaksud sebagai pengajar. Seperti halnya seseorang
yang mengajar anaknya membaca, tetapi sesungguhnya bacaan yang diajarkan itu bukan
karyanya.30 Namun,
boleh jadi penulis sendiri yang menjadi pengajarnya atau
pendidiknya. Seperti halnya Allah swt. Yang mengajarkan langsung
al-Qur’an kepada
Muhammad saw. (QS. Ar-Rahman/55:1-2)
b. Objek Pendidikan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Objek berarti antara lain; (1) hal, perkara
atau orang yang menjadi pokok pembicaraan; (2) benda, hal dsb. yang menjadi sasaran
29 Departemen
30 M.
Agama Ri., op. cit., h.
Quraish Shihab, “Tafsir al-Misbah” op. cit., Vol. 13, h. 410-111
14
untuk diteliti, diperhatikan dsb.31 Karena itu, yang dimaksud objek pendidikan dalam
tulisan ini adalah yang menjadi sasaran pendidikan berdasarkan isyarat al-Qur’an. Salah
satu firman Allah yang membahas tentang hal tersebut adalah QS. Asy-Syu’araa/26: 214




Terjemahnya;
Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.32
Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa yang menjadi sasaran pendidikan adalah
keluarga. Karena ayat tersebut diawalai dengan fi’il amr (Perintah) memberi kesan bahwa
membina
dan
mendidik
keluarga
wajib
hukumnya.
Itulah sebabnya Allah swt.
memerintahkan kepada Muhammad saw., dan juga kepada umatnya agar selalu
mengingatkan keluarganya tentang azab yang menanti mereka sekiranya
mengingkari
atau mempersekutukan Allah dengan yang lain-Nya ataupun melakukan kegiatan yang
bertentangan dengan ajaran agama Islam.
c. Metode Pendidikan
Metode, dalam bahasa Arab, dikenal dengan istilah thariqah yang berarti
langkah-langkah strategis dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan. 33 Metode
Pendidikan yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah cara yang digunakan oleh
pendidik
dalam
berlangsungnya
mengadakan
proses
hubungan
pembelajaran.
dengan
Al-Qur’an
31 Departemen
Pendidikan RI. op., cit., 793
32 Departemen
Agama RI., op. cit., h. 528
peserta
ketika
didiknya
pada
menginformasikan
saat
tentang
Abd. Aziz, Al-Tarbiyah al-Haditsah Maddatuha, Mubadi’uha,Tatliiqatuha al-Amaliyah
(al-Tarbiyah wa Thuruqu al-Tadris), Qairo: Dar al-Maarif, t.th.), h, 196
33 Shalih
15
pendidikan, juga ditemukan berbagai metode pendidikan antara lain metode keteladanan.
Allah swt. menjadikan Muhammad saw. sebagai ikutan yang baik (uswatun hasanatun).
Karena itu, semua ucapan dan perbutannya mencerminkan nilai-nilai kebenaran yang
patut diikuti oleh umatnya. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Ahzab/33: 21






    
   
 
Terjemahnya:
Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari akhirat dan yang banyak
mengingat Allah.34
Dalam al-Qur’an
keteladanan
diistilahkan
dengan
(uswah).35
Allah swt.
mengutus Nabi Muhammad saw. agar menjadi teladan bagi seluruh manusia. Ibnu Kastir,
mengemukakan bahwa ayat ini merupkan dasar atau petunjuk
untuk
mengikuti
Rasulullah dari segala perbuatanya, ucapannya, dan tingkah lakunya. 36
Karena itu, kepribadian,
Rasulullah
benar-benar
merupakan
tingkah laku dan pergaulannya sesama manusia,
interpretasi
praktis
yang
manusiawi
dalam
menghidupkan hakikat, ajaran, adab tasyri’ al-Qur’an yang melandasi pendidikan Islam.
Dengan begitu, sikap
keteladanan Rasulullah seperti itu,
seyogianya
diikuti oleh
umatnya, karena pada dasarnya makna keteladanan adalah hal-hal yang dapat ditiru atau
dicontoh oleh seseorang dari orang lain. Namun, keteladanan yang dimaksudkan di sini
34 Departemen
Agama RI., op. cit., h. 595
uswatun di dalam al-Qur’an terulang sebanyak 3 (tiga) kali yakni QS. Al-Ahzab/33: 21,
QS. Al- Mumtahanah/60: 4 dan 6. Lihat Muhammad Fuwad Abdul Bagy, op. cit , h. 34.
35 Term
al-Din Abi al-Fidai Ismai’il Ibn Katsir al-Qurasyi al-Dimisyqy, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim
, juz III (t.t; Dar al-Fikr, t.th.,), h. 474.
36 Imad
16
adalah keteladanan yang dapat dijadikan sebagai metode pendidikan Islam, seperti yang
dicontohkan oleh Rasulullah saw. Karena itu, kepribadian,
tingkah laku dan pergaulan
seorang guru akan dicontoh atau diikuti oleh muridnya, dan itulah makna hakiat uswah
yang dimaksudkan dalam al-Qur’an dalam kaitannya dengan pendidikan.
4. Tujuan Pendidikan Dalam al-Qur’an
Tujuan berarti arah, haluan (jurusan), yang dituju, maksud dan tuntutan. 37 Yang
dimaksud
tujuan dalam tulisan ini adalah kualifikasi yang diharapkan dimiliki murid
setelah dia menerima atau menyelesaikan program pendidikan pada lembaga pendidikan
tertentu.38 Karena itu, yang dimaksud tujuan pendidikan
Islam, menurut M. Arifin,
“membentuk manusia yang prilakunya didasari dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada
Allah, yaitu nanusia yang dapat merealisasikan idealitas Islami, yang menghambakan
dirinya sepenuhnya kepada Allah.39 Lebih diperjelas lagi oleh M. Nasir bahwa tujuan
pendidikan
Islam
adalah
untuk
merealisasikan
tujuan
hidup
umat
Islam,
yaitu
menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah swt. Sebagaimana firman Allah dalam QS.
Al-Dzariyat/51: 56


  
 
Terjemahnya;
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaKu.40
37 Departemen
38 Lihat
39 M.
Pendidikan Nasional, op. cit., h. 1216
ibid.,
Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 119
40 Departemen
Agama RI., op. cit., h. 756.
17
Menurut al-Maragy, bahwa Allah swt. menciptakan jin dan manusia agar mereka
merendahkan diri, tunduk
atas segala putusan-Nya, patuh kepada kehendak-Nya
menuruti apa yang ditakdirkan kepadanya. Bahkan
mengenal Allah.41
mereka diciptakan
dan
agar mereka
Melalui pelaksanaan ibadah, mereka mengenal Allah yang pantas
disembah. “Ibadah yang dimaksudkan pada ayat di atas, bukan sekedar ketaatan dan
ketundukan, tetapi harus ada rasa keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa yang
dia tempati mengabdi”.42 Karena itu, segala prsoses yang berkaitan dengan pendidikan
apabila dilakukan sebagai bagian dari pengabdian kepada Yang Maha Agung (Allah swt.)
maka itu akan menjadi bagian dari ibadah dan sekaligus menjadi tali penghubung antara
seorang hamba dengan khaliknya. Menurut Muhammad Qutub pendidikan Islam harus
bertujuan membimbing atau mengarahkan manusia agar selalu merasa dekat dan
sekaligus memiliki hubungan dengan Tuhan-Nya.43
Sejalan dengan hal tersebut, Abu al-‘Ainain mengemukakan bahwa tujuan akhir
dari pendidikan Islam harus terpenuhi dua hal, yakni nilai spiritual (ruhiyyah) dan nilai
ibadah (ubudiyyah).44 Nilai spritual adalah berkaitan dengan Allah swt. sebagai pemilik
sifat yang sempurna, karena itu manusia sebagai pelaku pendidikan harus memiliki
hubungan spritual dengan-Nya, sedangkan ibadah berkaitan dengan kemaslahatan umat
41 Ahmad
Musthafa al-Maragy, Tafsir al-Maragy, juz 27 (Cet. I;
maktabatun wa matba’atun Musthafa al-bab al-Halaby, 1946 M./1365 H.), h. 13
42 M.
Mesir: Syarikatun
Quraish Shihab, op. cit., vol. 13, h. 356
43 Muhammad
Qutub, Manhaj al-Tarbiyah al-Islamiyah (Qairo: Dar al-Kutub, 1967), h. 13
Ali Khalik Abu al-‘Ainain, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qur’an al-Karim (Cet.
I; t.t: Dar al-Fikr al-Arabiyah, 1980), h. 149
44 Lihat
18
manusia, dalam arti setiap orang yang terlibat dalam suatu proses pendidikan dengan niat
ibadah akan memperoleh paha dari Allah swt.
VI. Penutup
Dari uraian terdahulu dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Filsafat al-Qur’an
mendalam
adalah upaya
manusia untuk
memahami al-Qur’an
secara
dan sungguh-sungguh dengan menggunakan metode berpikir secara
radika, integral dan universal atau dalam bahasa la-Quran dikenal dengan tafakkur,
tadabbur dan ulul al-bab.
Sekalipun apa yang mereka capai senantiasa berbeda,
karena memang al-Qur’an tidak dapat dijangkau kedalamannya secara pasti, termasuk
kajian tentang pendidikan yang meliputi hakikat, wujud maupun tujuannya.
2. Hakikat pendidikan dalam filsafat al-Qur’an adalah pengintegrasian antara ilmu,
ucapan dan perbuatan. tidak hanya pencapaian pengetahuan dalam wilayah kognisi
semata, tetapi juga dalam wilayah psikomotorik dan afeksi
3. Wujud pendidikan
yang dimaksudkan dalam tulisan ini meliputi ;(1) subjek
pendidikan, yakni pelaku pendidikan termasuk Allah swt. Karena itu dalam Islam
pendidik pertama adalah Allah swt,
(2) Objek pendidikan yakni seluruh yang
menjadi sasaran pendidikan, (3) metode pendidikan yakni cara yang ditempuh oleh
seorang pendidik untuk memperoleh pengajaran yang maksimal, bahkan metode lebih
penting dari sekedar hanya menguasai materi.
4. Tujuan pendidikan dalam filsafat al-Qur’an adalah upayah yang dilakukan secara
sistimatis dan bersungguh-sungguh untuk membentuk manusia yang
beriman dan
19
bertakwa kepada Allah, yaitu nanusia yang dapat merealisasikan idealitas Islami,
yang menghambakan dirinya sepenuhnya kepada Allah swt.
DAFTAR PUSTAKA
Ashbahy, Ahmad Muhammad, Al- Falasifah al- Akhlaqiyah fi Fikri al-Islamy. Mesir:
Dar al Ma’arif, t,th.
Arifin, M., Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bumi Aksara, 1997
--------, Filsafat Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Abdu al-Baqy, Muhammad Fuad, Al- Mu’jam Al-Mufahras li al- Fadz al-Qur’an.
Angkasa, t.th.
Abd. Aziz, Shalih, Al-Tarbiyah al-Haditsah Maddatuha, Mubadi’uha,Tatliiqatuha alAmaliyah (al-Tarbiyah wa Thuruqu al-Tadris). Qairo: Dar al-Ma’arif, t.th.
Abu al-‘Ainain, Ali Khalik, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qur’an al-Karim.
Cet. I; t.t: Dar al-Fikr al-Arabiyah, 1980.
Departemen Pendidikan Nasional,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi
III.
Cet: Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Departem Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: PT. Karya Toha Putra,
2002
al-Darwisy, Muhyiddin, I’rab al-Qur’an al-Karim wa Bayanuh, jilid I. Bairut: Dar Ibnu
Katsir, t.th.
al-Dimisyqy, Imad al-Din Abi al-Fidai Ismai’il ibn Katsir al-Qurasyi, Tafsir al-Qur’an
al-‘Adhim , juz III. t.t; Dar al-Fikr, t.th.
al Gazali, Ihya al Ulumuddin, Juz I. Qairo: Dar al Ihya al Arabiyyah, t,th.
Jalal, Abd. Fattah, Ushul Tarbiyah fi al-Islam diterjemahkan oleh Hery Noer Aly dengan
judul “Azaz-Azaz Pendidikan Islam’. Bandung: Diponegoro, 1988.
Langgulung , Hasan, Manusia dan Pendidikan. Jakarta: Pustaka al Husna, 1986
al-Munawwar, Said Agil Husain, , Al- Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki.
Cet. III; Jakarta: Ciputat Pres, 2004
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia. Krapyak Yogyakarta:
Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1984
al-Maragy, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maragy, juz 27. Cet. I; Mesir: Syarikatun
maktabatun wa matba’atun Mustafa al-bab al-Halaby, 1946 M./1365 H.
Nur Aly, Hery, Ilmu Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999
Ridha, Rasyid, Al-Tarbiyah al-Islamiah al-Ta’lim al-Islamiah, XXXIV No. 7. t.t; alManar, 1939.
al-Razy, Abi al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam al-Lugah. Bairut: Dar alFikr, 1994
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat. Cet. VII; Bandung: Mizan, 1994
20
--------
Tafsir Al-Misbah Peran, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol 7. Cet. II,
Jakarta: Lentera Hati, 2004
Suharto, Toto, Filsafat Pendidikan Islam. Cet. I; Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Al-Sabuniy, Muhammad Ali, Al Tibyan fi 'Ulum al-Qur’an. Bairut-Libanon: Dar Al
Irsyad, 1970.
Shadili, Hasan, (ed) Ensiklopedia Indonesia, jilid V. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoever,
1984
Salim, Abd. Muin, Jalan Lurus Menuju Hati Sejahtera; Tafsir Surah al-Fatihah. Cet. I;
Jakarta: Yayasan Kalimah, 1999
Qutub, Muhammad, Manhaj al-Tarbiyah al-Islamiyah. Qairo: Dar al-Kutub, 1967.
Download