Data jumlah kasus perang suku di Wamena tahun 2011-2014

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia (selanjutnya disingkat dengan UUD NKRI 1945) dalam
pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Indonesia adalah Negara Hukum”.
Konsekuensi sebagai Negara Hukum adalah bahwa setiap kebijakan
atau keputusan harus mempunyai landasan hukum. dalam
semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri adalah
“Bhineka Tunggal Ika” yang artinya “beraneka satu itu”, yang
bermakna meski pun berbeda-beda tetapi tetap pada hakekatnya
bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan ini
digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa
dan Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam
budaya,
bahasa
daerah,
ras,
suku
bangsa,
agama,
dan
kepercayaan.
Tetapi dalam kenyataanya, semboyan di atas hanya
merupakan harfiah belaka, yang hanya sekedar terpampang di
dalam lambang Negara. Keadilan hanyalah untuk sebagian orang
saja.
Dalam praktek pemidanaan, ada yang kita kenal dengan
istilah Hukum Pidana Barat (HPB) dan Hukum Pidana Adat (HPA).
1
Sifat dari HPB adalah bersifat tertulis dimana diatur tentang
asas legalitas, Artinya adalah segala sesuatu tidak dapat dihukum
perbuatan itu bila tidak diatur sebelumnya dalam undang-undang
hukum pidana barat (KUHP).
Dalam HPA itu sendiri sangat berbanding terbalik dengan
HPB tersebut. Adapun sifat dari HPA itu sendiri diantaranya adalah
bersifat tidak tertulis tetapi tetap hidup dan mengikat didalam
masyarakat;
HPA
hanya
bersifat
lokal;
persekutuan
yang
berdasarkan hubungan darah (keluarga, marga) dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana yang dilakukan warganya; pidana adat
masih mengenal perbedaan tingkat/kasta dan ini masih digunakan
di beberapa daerah; dan dalam pidana adat yang menjadi korban
dapat melakukan tindakan menghakimi sendiri terhadap pelaku.
Indonesia adalah salah satu negara yang masih kental
dengan adat-istiadatnya. Masyarakatnya masih mempercayai
bahwa segala sesuatu untuk menyelesaikan suatu masalah yang
paling baik adalah dengan sistem adat. Mungkin salah satu yang
menyebabkan masyarakat indonesia lebih mempercayai sistem
pidana adat adalah efektifitas dari sistem pidana adat itu sendiri
dibandingkan dengan sistem pidana barat. Sistem pidana adat lebih
membuat pelaku jera dan tidak akan mengulanginya lagi ketimbang
dengan hukum pidana barat.
2
Salah satu daerah yang masih kental dengan sistem adatnya
adalah Papua. Provinsi paling timur negara Indonesia ini adalah
provinsi yang memiliki banyak suku, budaya dan adat-istiadat,
dimana adat-istiadat mereka masih kental dan masih melekat erat
dalam
kehidupan
sehari-hari
mereka.
salah
satu
sistem
penyelesaian suatu tindak pidana adalah dengan perang.
Menurut Letjen TNI (purn) Sayidiman Suryohadiprojo dalam
bukunya “pengantar ilmu perang” perang adalah sebuah aksi fisik
dan non fisik (dalam arti sempit, adalah kondisi permusuhan dengan
menggunakan kekerasan) antara dua atau kelompok manusia untuk
melakukan dominasi di wilayah yang di pertentangkan. Perang
secara purba dimaknai sebagai pertikaian bersenjata. Di era
modern, perang lebih mengarah pada superioritas teknologi industri.
Di Papua itu sendiri perang sering dilakukan antar suku atau
disebut juga perang suku, perang ini boleh dikatakan adalah perang
secara purba karena perang ini tidak mengarah pada superioritas
teknologi industri.
Dalam perang suku alat perang yang sering digunakan oleh
pihak yang berperang bisanya mengunakan panah, tombak, parang,
dan kapak. Inilah yang memperjelas bahwa perang suku merupakan
perang secara purba.
Perang
suku
merupakan
salah
satu
bentuk
proses
penyelesain yang digunakan untuk menyelesaikan suatu perkara
3
tindak pidana secara adat. Di Papua terkhususnya di Wamena yang
merupakan
tempat
kelahiran
penulis,
Masyarakatnya
biasa
menyebutnya dengan Wim (merupakan Bahasa asli dari suku
wamena).
Di papua, perang suku merupakan hal yang sudah lumrah
dan sering dijumpai di berbagai daerah misalnya Timika, Sorong,
dan khususnya di Wamena.
Di wamena sendiri penyelesaian tindak pidana dengan suatu
proses penyelesaian berupa perang suku sering sekali dilakukan.
Inilah yang mengakibatkan keresahan bagi seluruh masyarakat yang
bermukim di sekitar tempat terjadinya perang suku tersebut, baik
masyarakat asli Papua itu sendiri maupun masyarkat dari luar Papua
yang biasa disebut dengan masyarakat pendatang. Bukan hanya itu
terkadang juga masyarakat yang jauh pemukimannya dari tempat
kejadian tersebut merasakan kepanikan.
Para aparat keamanan baik TNI maupun Polri yang turun
langsung seringkali tidak mampu untuk menghentikan perang suku
tersebut . Aparat keamanan cenderung menyaksikan perang yang
sedang berlangsung itu berakhir dengan sendirinya walaupun
perang tersebut mengakibatkan adanya korban jiwa. Aparat
keamanan hanya sering mengamankan agar perang suku tidak
mengakibatkan adanya korban dari luar pihak yang bertikai, artinya
4
tidak melukai atau mencederai masyrakat yang tidak terlibat dalam
perang tersebut.
Terkadang para petinggi dari pihak TNI maupun Polri harus
turun langsung untuk menghentikan / melerai perang suku. Akan
tetapi usaha tersebut terkadang tidak mampu menghentikan-nya,
dan juga pihak aparat keamanan yang turun langsung sering kali
menjadi korban akibat terkena alat yang digunakan para pelaku
perang suku tersebut.
Adapun kasus yang mengakibatkan seorang petinggi aparat
keamanan yang bermaksud untuk mengatasi konflik perang suku ini
menjadi korban, yaitu “Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Kota
Wamena, Kompol Matius Mabel terkena panah di punggungnya saat
menjadi penengah dua kelompok masyarakat yang hendak
melakukan perang suku, Senin (13/10) siang pukul 12.00 WIT.
Peristiwa itu sendiri terjadi di Kampung Pikey, Distrik Wamena,
Kabupaten Jayawijaya.” (dikutip dari harian JPNN.Com yang
merupakan jaringan berita terluas di Indonesia).
Di dalam suatu perang suku tidak mengenal batas usia dan
juga jenis kelamin. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa baik
laki-laki maupun perempuan dapat turut serta dalam perang suku ini.
Inilah yang sering kita saksikan bahwa penyelesaian suatu
tindak pidana secara adat yang dilakukan oleh masyarakat Papua
terkhususnya di kota wamena secara perang suku ini sangat
5
berbahaya dan mengancam keselamatan segala pihak, baik pihak
keamanan hingga masyarakat itu sendiri.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka
penulis mengangkat masalah tersebut sebagai Tugas Akhir (skripsi)
yaitu: TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP PERANG SUKU DI
WAMENA
B. Rumusan Masalah
1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya perang suku
di wamena ?
2. Bagaimanakah upaya yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum dalam menanggulangi terjadinya perang suku di
wamena?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Faktor-faktor apakah yang menyebabkan
terjadinya perang suku di wamena.
2. upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam
menanggulangi terjadinya perang suku di wamena
D. Manfaat Penulisan
Dalam penelitian tentunya sangat diharapkan adanya manfaat
dan kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian tersebut.
6
Adapun manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah :
a.) Manfaat Teoritis
1. Merupakan salah satu sarana bagi penulis untuk mengumpulkan
data sebagai bahan penyusunan skripsi guna melengkapi
persyaratan untuk mencapai gelar kesarjanaan dibidang ilmu
hukum pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
2. Untuk sedikit memberi sumbang pengetahuan dan pikiran dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu
hukum pada khusunya.
3. Untuk mendalami teori-teori yang telah penulis peroleh selama
manjalani kuliah strata satudi Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin serta memberikan landasan untuk penelitian lebih
lanjut.
b.) Manfaat Praktis
1. Dengan penulisan hukum ini diharapkan dapat meningkatkan
dan mengembankan kemampuan penulis dalam bidang hukum
sebagai bekal untuk masuk ke dalam instansi atau instansi
penegak hukum maupun untuk praktisi hukum yang senantiasa
memperjuangkan hukum di negeri ini agar dapat ditegakkan.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi
masukan serta tambahan pengetahuan bagi pihak-pihak yang
terkait dengan masalah yang diteliti.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kriminologi
1. Pengertian Kriminologi
Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari
kejahatan
dari
berbagai
aspek.
Nama
kriminologi
pertama
kali
dikemukakan oleh P. Toponard (1830-1911), seorang ahli antropologi
Prancis. Kriminologi terdiri dari dua suku kata yakni kata crime yang berarti
kejahatan dan logos yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat
berarti ilmu tentang kejahatan. (A.S Alam. 2010:1)
Kriminologi dilahirkan pada pertengahan abad ke-19 yang lampau
sejak dikemukakannya hasil penyelidikan Casare Lambroso (1879) tentang
teori tentang atvisme dan tipe penjahat serta munculnya teori mengenai
hubungan sebab-akibat bersama-sama dengan Enrico Ferri sebagai tokoh
aliran lingkungan dari kejahatan. Kriminologi pertegahan abad XX telah
membawa perubahan pandangan dari semula kriminologi menyelidiki
kausa kejahatan dalam masyarakat kemudian mulai mengalihkan
pandangannya kepada proses pembentukan perundang-undangan yang
berasal dari kekuasaan (Negara) sebagai penyebab munculnya kejahatan
dan dari penjahat baru dalam msyarakat.
Kriminologi termasuk matakuliah / cabang ilmu yang baru. Berbeda
dengan hukum pidana yang muncul begitu manusia bermasyarakat.
8
Kriminologi baru berkembang tahun 1850 bersama-sama sosiologi,
antropologi dan psikologi, cabang-cabang ilmu yang mempelajari
gejala/tingkah laku manusia dalam masyarakat. Harus diingat pula manusia
adalah makhluk yang paing berkembang di antara makhluk lain.
Bonger menguraikan kriminologi merupakan kumpulan dari banyak
ilmu pengetahuan (Topo Santoso. 2012:9) yang terdiri dari :
a. Antropologi Kriminal, ialah ilmu pengetahuan tentang manusia
yang jahat (somatis) suatu bagian dari ilmu alam.
b. Sosiologi kriminal, ialah ilmu pengetahuan tentang kejahatan
sebagai suatu gejala masyarakat.
c. Psikologi kriminal, ialah ilmu pengetahuan tentang kejehatan
dipandang dari ilmu jiwa.
d. Psiko dan Neuro-patologi Kriminal, ialah ilmu pengetahuan
tentang penjahat yang sakit jiwanya atau ada kelainan pada urat
syarafnya.
e. Poenologi,
ialah
ilmu
pengetahuan
tentang
timbul
dan
pertumbuhannya hukum arti dan faedahnya.
Disamping itu terdapat kriminologi terapan yang berupa :
a. Higine criminal : usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya
kejahatan misalnya usaha-usaha yang dilakukan pemerintah untuk
menerapkan
undang-undang,
sistem
jaminan
hidup
dan
9
kesejahteraan yang dilakukan semata-mata untuk mencegah
terjadinya kejahtan.
b. Politik kriminal : usaha penaggulangan kejahatan dimana suatu
kejahatan. Bila disebabkan oleh factor ekonomi maka usaha yang
dilakukan adalah meningkatkan keterampilan atau membuka
lapangan kerja. Jadi tidak semata-mata penjatuhan sanksi.
c. Kriminalistik
pelaksanaan
(police
scientific)
penyidikan
teknik
:
merupakan
kejahatan
ilmu
dan
tentang
pengusutan
kejahatan..
Wolfgang, Saviitz dan Johnston dalam the sociology of crime and
Deliquency (Topo Santoso et al. 2001:12) memberikan definisi
kriminologi sebagai :
Kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan
untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian tentang gejala
kejahatan dengan mempelajari dan menganalisa secara ilmiah
keterangan-keterangan, keseragaman-keseragaman, pola-pola dan
faktor-faktor kausal yang berhubungan dengan kejahatan, pelaku
kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap keduanya.
Ada juga beberapa sarjana terkemuka memberikan definisi
kriminologi (A.S. Alam. 2010:1) sebagai berikut :
1. Edwin H. Sutherland : criminology is the body of knowledge regaring
delinquency and crime as social phenomena kriminologi adalah
10
kumpulan pengetahuan yang membahas kenakakalan remaja dan
kejahatan sebagai kejahatan sosial).
2. W.A. Bonger : Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yag bertujuan
menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya.
3. J. Constant : Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan
menentukan factor-faktor yang menjadi sebab-musabab terjadinya
kejahatan dan penjahat.
4. WME. Noach : Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang
menyelidiki gejala-gejala kejahatan dan tingkah laku yang senonoh,
sebab-musabab serta akibatnya.
2. Objek Kriminologi
Perkembangan kriminologi terpusat dalam dua kutup yaitu
negara eropa kontinental dan negara anglo saxon. Akan tetapi
perkembangan tersebut bersebrangan dengan yang lainnya. Terkecuali
dengan objek yang diterakapnya.
1. Kejahatan
Berbicara tentang kejahatan, maka sesuatu yang dapat
diketahui secara spontan adalah tindakan yang merugikan orang lain
atau masyarakat umum, atau lebih sederhana lagi kejahatan
merupakan suatu pengertian yang relatif, suatu konotasi yang
tergantung pada nilai-nilai dan skala sosial.
11
Kejahatan yang dimaksud dalam hal ini adalah kejahatan dalam
arti pelanggaran terhadap undang-undang pidana. Disinilah letak
berkembangnya kriminologi dan sebagai salah satu pemicu dalam
perkembangan kriminologi. Perlu dicatat bahwa kejahatan didefinisikan
secara luas, dan bentuk kejahatan tidak sama menurut tempat dan
waktu.
Kriminologi dituntut sebagai salah satu bidang ilmu yang bisa
memberikan sumbangan pemikiran terhadap kebijakan hukum pidana.
Dengan
mempelajari
kejahatan
dan
jenis-jenis
yang
telah
dikualifikasikan, diharapkan kriminologi dapat mempelajari pula tingkat
kesadaran hukum masyarakat terhadap kejahatan yang dicantumkan
dalam undang-undang pidana.
2. Pelaku
Objek penelitian kriminoligi tentang pelaku adalah orang-orang
yang telah melakukan kejahatan dan dengan penelitian tersebut
diharapkan dapat mengukur tingkat kesadaran masyarakat terhadap
hukum yang berlaku dengan muaranya adalah kebijakan hukum pidana
baru.
3. Reaksi Masyarakat Terhadap Perbuatan Melanggar Hukum Dan
Pelaku Kejahatan
Tidak salah kiranya, bahwa pada akhirnya masyarakatlah yang
menentukan tingkah laku yang tidak dapat dibenarkan serta perlu
mandapat sanksi pidana, sedangkan sedemikian dalam hal ini
12
keinginan-keinginan dan harapan-harapan masyarakat inilah yang
mendapat perhatian dari kajian-kajian kriminologi.
3. Manfaat Mempelajari Kriminologi
Sejak awal kelahirannya, tidak ada satupun disiplin ilmu yang
tidak memiliki arti dan tujuan, bahkan juga keguanaannya; di samping
ilmu pengetahuan lainnya. Hal yang sam berlaku bagi kriminologi;
meskipun pernah dilontarkan kritik sebagai “a king without a country”
(sellin,
dikutip
dari
Mannheim,
1970)
hanya
karena
dalam
perkembangannya kriminologi (mau-tidak-mau, pen.)harus bergantug
pada penemuan-penemuan disiplin ilmu lainnya, seperti antropologi,
kedokteran, psikologi, sosiologi, hukum, ekonomi, dan statistic
(Mannheim, 1970). (Romli Atmasari. 2010:15)
Untuk memahami arti dan tujuan mempelajari kriminologi, perlu
ditelusuri kembali awal studi tentang kejahatan sebagai lapangan
penyelidikan baru para ilmuan pada sekitar abad le-19. Penyelidikan
awal dilakukan oleh Adolphe Quatelet (1769-1874) yang menghasilkan
suatu statistik kesusilaan atau “moral statistics”(1842).penyelidikan
berikutnya dilakukan Lambroso (1835-1909) yang kemudian disusun
dalam sebuah buku dengan judul L’Uomodelinquente (1876).
Menurut
A.S
Alam
(2010:15)
kriminologi
memberikan
sumbangannya dalam peyusunan perundang-undangan baru (proses
kriminalisasi), menjelaskan sebab-sebab terjadinya kejahatan (etiologic
13
criminal) yang pada akhirnya menciptakan upaya-upaya pencegahan
terjadinya kejahatan (criminal prevention).
Tidak dapat disangkal kriminologi telah membawa manfaat yang
tak terhingga dalam mengurangi penderitaan umat manusia, dan inilah
yang merupakan tujuan utama mempelajari kriminologi.
4. Aliran-Aliran Dalam Kriminologi
(A.S Alam. 2010:31) Aliran-aliran atau sering dikenal sebagai
schools dalam kriminologi menunjukkan pada proses perkembangan
pemikiran dasar dan konsep-konsep tentang kejahatan.
a.) Spiritualisme
Dalam penjelasan tentang kejahatan, spiritualisme memiliki
perbedaan mendasar dengan metode penjelasan kriminologi yang
ada saat ini. Berbeda dengan teori-teori saat ini spiritualisme
memfokuskan perhatiannya pada perbedaan antara kebaikan yang
datang dari Tuhan atau Dewa, dan keburukan yang datang dari
setan. Seseorang yang telah melakukan kejahatan dipandang
sebagai orang yang terkena bujukan setan (evil/demon).
Landasan pemikiran yang paling rasional dari perkembangan
ini adalah bahwa pada periode sebelumnya kejahatan dianggap ini
adalah pada periode sebelumnya kejahatan dianggap sebagai
permasalahan antara korban dan keluarga korban dengan pelaku
dan keluarganya. Akibatnya adalah konflik berkepanjangan antara
14
keluarga yang dapat mengakibatkan musnahnya keluarga tersebut.
Juga menjadi masalah adalah bahwa pelaku kejahatan yang bersal
dari keluarga yang memiliki posisi kuat dalam masyarakat yang
akan dapat dihukum.
b.) Naturalisme
Perkembangan paham naturalisme yang muncul dari
perkembangan ilmu dari alam menyebabkan manusia mencari
model penjelasan lain yang lebih rasional dan mampu dibuktikan
secara ilmiah. Lahirnya rasionalisme di eropa menjadikan
pendekatan ini mendominasi pemikiran tentang penyebab kejahtan.
Dalam perkembangan lahirnya teori-teori tentang kejahatan,
dapat dibagi beberapa aliran :
1. Aliran Klasik
Landasan pemikiran aliran klasik adalah sebagai berikut :
1.) Individu dilahirkan dengan kehendak bebas (free will) hidup
menentuka pilahnnya sendiri.
2.) Dalam bertingkah laku, manusia memiliki kemampuan untuk
memperhitungkan
segala
tindakan
berdasarkan
keinginannya sendiri (hedonism).
3.) Individu memiliki hak asasi di antaranya hak untuk hidup,
kebebasan, dan memiliki kekayaan.
15
4.) Pemerintahan Negara dibentuk untuk melindungi hak-hak
tersebut dan muncul sebagai hasil perjanjian social antara
yang diperintahkan dan yang memerintah.
5.) Setiap warga Negara hanya menyerahkan sebagian dari hak
asasinya kepada Negara sepanjang diperlukan oleh Negara
untuk mengatur masyarakat dan demi kepentingan bagian
terbesar dari masyarakat.
6.) Kejahatan merupakan pelanggaran terhadap perjanjian
sosial, oleh karena itu kejahatan merupakan kejahatan
moral.
7.) Hukuman hanya dibenarkan selama hukuman itu ditujukan
untuk memelihara perjanjian sosial. Oleh karena itu, tujuan
hukuman adalah untuk mencegah kejahatan dikemudian
hari.
8.) Setiap orang dianggap sama dimuka hukum, oleh karena itu
seharusnya setiap orang diperlukan sama.
penganut aliran ini adalah Cesare Beccaria dan Jeremy
Bentham.
2. Aliran Positivis
Aliran positivis terbagi atas dua bagian besar yakni :
pertama determinasi biologis (biologicat determinasi) perilaku
manusia sepenuhnya tergantung pada pengaruh biologis yang
ada dalam dirinya. Kedua determinasi kultural (cultural
16
determinism) mendasari pemikiran mereka pada pengeruh
sosial, budaya, dan lingkungan di mana seseorang itu hidup.
3. Aliran Social Defence
Arti social defence berbeda dengan yag dimaksud oleh tokoh
aliran positif :
1.) Social Defence tidak bersifat deterministik
2.) Social Defence menolak tipologi yang bersifat kaku tetang
penjahat dan mentikberatakan pada keunikan kepribadian
manusia.
3.) Social Defence meyakini sepenuhnya nilai-nilai moral.
4.) Social
Defence
menghargai
sepenuhnya
kewajiban-
kewajiban masyarakat terhadap penjahat. Dan mencoba
menciptakan kesimbangan antara masyarakat dan penjahat
serta menolak mempergunakan pendekatan yang bersifat
security sebagai suatu alat administratif.
5.) Sekalipun
mempergunakan
penemuan-penemuan
ilmu
pengetahuan namun Social Defence menolak dikuasai
olehnya dan menggantikannya dengan sistem yang modern
“politik kriminal”
(Romli Atmasamita 2010:13) perkembangan kriminologi untuk
menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri :
17
1. Kriminologi merupakan studi tentang tingka laku manusia
tidaklah berbeda dengan studi tentang tingkah laku lainnya yang
bersifat noncriminal.
2. Kriminologi merupakan ilmu yang bersifat inter dan multidisiplin,
bukan ilmu yang bersifat monodisiplin.
3. Kriminologi
berkemag
sejalan
degan
perkemangan
ilmu
pengetahuan lainnya.
4. Perkembangan suatu kejahatan telah membedakan antara
kejahatan sebagai suatu tingkah laku dan pelaku kejahatan
sebagai subjek perlakuan sarana peradilan pidana.
5. Kriminologi telah menempatkan dirinya sejajar dengan ilmu
pengetahuan lainnya, tidak lagi merupakan bagian daripadanya.
B. Kejahatan
1. Pengertian Kejahatan
Kejahatan merupakan masalah sosial yang tidak hanya dihadapi
oleh Indonesia atau masyarakat dan Negara tertentu, tetapi merupakan
masalah yang dihadapi oleh seluruh masyarakat di dunia.
Istilah kriminal sudah lazim digunakan dalam ilmu hukum. kata
kriminal berasal dari kata crimen yang berarti kejahatan. Di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diadakan perbedaan antara
kejahatan
dan
pelanggaran,
namun
dewasa
ini
sudah
susah
18
dipertahankan lagi. Contohnya adalah Rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana baru yang tidak mengenal istilah pelanggaran.
Menurut W.J.S Poerwardarminta (1996:349), kejahatan yang
berasal dari kata dasar jahat berarti “sangat tidak baik, buruk, jelek,atau
sifat yang jahat, perbuatan yang jahat seperti pencuri, membunuh, dan
sebagainya”.
Kejahatan Menurut R.Soesilo (1982:19), memberikan pengertian
kejahatan secara yuridis dan sosiologis. Ditinjau dari segi yuridis,
kejahatan adalah suatu perbuatan atau tingkah laku yang bertentangan
dengan undang-undang sedangkan ditinjau dari sesiologis, kejahatan
merupakan perbuatan yang selain merugikan masyarakat yaitu hilangnya
keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.
Terlepas dari berbagai pendapat yang ada maka hakikatnya
pegertian kejahatan (Arif Gosita 2004:100) dapat diklasifikasikan atas 3
peegrtian :
1. Pengertian kejahatan dari sudut pandang yuridis : secara yuridis
formal kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan
dengan moral kemanusiaan, merugikan masyarakat, asocial sifatnya
dan melanggar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Di
dalam KUHP sendiri tak ditentukan pengertian kejahatan, tapi dapat
dirumuskan bahwa kejahatan adalah bentuk perbuatan yang
memenuhi perumusan ketentuan KUHP.
19
2. Pengertian kejahatan dari sudut pandang sosiologis : secara
sosiologis kejahatan merupakan suatu perilaku manusia yang
diciptakan oleh masyarakat atau dengan kata lain kejahatan adalah
semua bentuk ucapan, perbuatan tingkah laku yang secara
ekonomis, politis dan sosio-psikis sangat merugikan masyarakat,
melanggar norma-norma susila, dan menyerang keselamatan warga
masyarakat (baik yang telah tercakup dalam undang-undang
maupun yang belum tercantum).
3. Pengertian kejahatan dari sudut pandang kriminologi : secara
kriminologis adalah segala perbuatan manusia dalam bidang politis,
ekonomi dan sosial yang sangat merugikan dan berakibat jatuhnya
korban-korban baik individual maupun korban kelompok atau
golongan-golongn masyarakat.
Menurut A.S Alam (2010:16) kejahatan didefinisikan atas dua,
yakni : Pertama dari sudut pandang hukum (a crime from the legal point
of view). Batasan kejahatan dari sudut pandang ini adalah setiap tingkah
laku yang melanggar hukum pidana. Bagaimanapun jeleknya suatu
perbuatan sepanjang perbuata itu tidak dilarang di dalam perundangundanagan pidana perbuatan itu tetap sebagai perbuatan yang bukan
kejahatan.
20
Kedua Dari sudut pandang masyarakat (a crime from the
sociological point of view). Batasan kejahatan dari sudut pandang ini
adalah : setiap perbutan yang melanggar norma-norma yang masih hidup
dalam masyarakat.
Adapun untuk menyebut suatu perbuatan sebagai kejahatan ada
tujuh unsur pokok yang saling berkaitan yang harus dipenuhi. Ketujuh
unsur tersebut adalah :
1. Ada perbuatan yang menimbulkan kerugian (harm).
2. Kerugian yang ada tersebut telah diatur didalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP).
3. Harus ada perbuatan (criminal act).
4. Harus ada maksud jahat (criminal intent = mens rea).
5. Ada peleburan antara maksud jahat dan perbuatan jahat.
6. Harus ada perbauran antara kerugian yang telah diatur di dalam
KUHP dengan perbuatan.
Harus ada sanksi pidana yang mengancam perbuatan tersebut.
Ketakuatan masyarakat akan kejahatan itu tidak hanya karena
derasnya arus informasi tetapi juga karena banyaknya kejadian dihampir
semua tempat tanpa memandang waktu, tidak jarang terjadi dengan cara
yang sadis sampai hilangnya nyawa sekeluarga seperti yang menimpa
pengusaha (grosser) mas dikota semarang pada bulan juni 2008 (Moh.
Hatta, 2009:34)
21
Empat alur penelitian psikologis yang berbeda telah menguji
hubungan antara kepribadian dengan kejahatan. Pertama, melihat pada
perbedaan-perbedaan antra struktur kepribadian dari penjahat dan bukan
penjahat; kedua, memprediksi tingkah laku; ketiga, menguji tingkatan
dimana dinamika-dinamika kepribadian normal beroperasi dalam diri
penjahat; dan keempat, mencoba menghitung perbedaan-perbedaan
individual antar tipe-tipe dan kelompok-kelompok pelaku kejahatan. (Topo
Santoso, Zulfa. 2012:49)
Dari beberapa pengertian dan penjelasan diatas dapat disimpukan
oleh penulis adalah kejahatan kejahatan adalah hal yang dapat terjadi
dimana-mana dan tidak dapat ditentukan waktunya. Dan bisa terjadi
kapanpun dan dimanapun.
2. Faktor Penyebab Kejahatan
Separovic (Made Dharma Weda, 1996:76) mengemukakan bahwa:
Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan yaitu faktor
personal, termasuk di dalamnya faktor biologis (umur, jenis kelamin,
keadaan mental dan lain-lain) dan psikologis (agresivitas, kecerobohan dan
lain-lain) dan faktor situasional, seperti situasi konflik, faktor tempat dan
waktu.
(A.S. Alam 2010:35) Adapun Faktor-faktor penyebab terjadinya
kejahatan dalam teori-teori dan pendapat para ahli sebagai berikut:
22
a. Perspektif Biologis
1. Lahir Sebagai Penjahat (Born Criminal)
Lahir Sebagai Penjahat (Born Criminal) teori born criminal dari
Cesare Lombroso (1835-1909) lahir dari ide yang diilhami oleh teori
Darwin tentang evolusi manusia. Di sini Lombroso membantah
tentang Sifat free will
yang dimiliki manusia. Doktrin atavisme
menururtnya membuktikan adanya sifat hewani yang di turunkan oleh
nenek moyang manusia. Gen ini dapat muncul sewaktu-waktu dari
turunannya yang memunculkan sifat jahat pada manusia modern.
Lombrosso menggabungkan positivism Comnte, evolusi dari
Darwin, serta pioner-pioner lain dalam studi tentang hubungan
kejahatan dan tubuh manusia. Bersama-sama pengikutnya Enrico
Ferri dan Rafaele Gorofalo, Lombroso membangun suatu orientasi
baru, Mazhab Italia atau mahzab positif, yang mencari penjelasan
atas tingkah laku kriminal melalu eksperimen dan penelitian ilmiah.
Ajaran inti dalam penjelasan awal Lombroso tentang kejahatan
adalah bahwa penjahat mewakili suatu tipe keanehan/keganjilan fisik,
yang berbeda dengan non-kriminal. Lombroso mengklaim bahwa para
penjahat mewakili suatu bentuk kemerosotan yang termanifestasikan
dalam karakter fisik yang mereflesikan suatu bentuk awal dari evolusi.
23
2. Tipe Fisik
William H. Sheldon berpendapat bahwa ada korelasi yang tinggi antara
fisik dan tempramen seseorang. Sheldon memformulasikan sendiri
kelompok somatoypes, yaitu:
a. The endomorph (tubuh gemuk).
b. The mesomorph (berotot dan bertubuh atletis).
c. The ectomporph (tinggi, kurus, fisik yang rapuh).
Menurut Sheldon, orang yang didominasi sifat bawaan mesomorph
cenderung lebih dari orang lainnya untuk terlibat dalam periaku illegal,
Dengan mengandalkan pada pengukian fisik dan psikologis, Sheldon
menghasilkan suatu ‘index to delinquency’ yang dapat digunakan untuk
memberi profil dari tiap problem pria secara mudah dan cepat.
Sheldon Glueck dan Eleanor Glueck
Sheldon Glueck dan Eleanor Glueck melakukan studi komporatif
antara pria delinquent dengan non delinquent. Pria delinquent didapati
memiliki wajah yang lebih sempit, dada yang lebih besar, pinggang yang
lebih besar, lengan bwah dan lengan atas lebih besar dibandingkan dengan
non delinquent. Penelitian mereka juga mendapati bahwa 60% derlinquent
didominasi oleh yang mesomorphic.
24
3. Difungsi Otak (Learning Disabilities)
Difungsi otak dan cacat neurologist secara umum ditemukan pada
mereka yang menggunakan kekerasan secara berlebihan dibanding orang
pada umumnya. Banyak pelaku kejahatan kekerasan kelihatannya memiliki
cacat didalam otaknya dan berhubungan dengan terganggunya self-control
(pengendalian diri)
Delinquency berhubungan dengan learning disabilities, yaitu
kerusakan pada fungsi sensor dan motorik yang merupakan hasil dari
beberapa kondisi fisik abnormal.
4. Faktor Genetik
-Twin Studies
Karl Cristiansen dan Sanoff A. Mednick melakukan suatu studi
terhadap 3.586 pasangan kembar di suatu kawasan Denmark yang
dikaitkan dengan kejahatan serius. Mereka menemukan bahwa pada
identical twins (kembar yang dihasilkan dalam satu telur yang dibuahi yang
membela menjadi dua embrio) jika pasangannya melakukan kejahatan,
maka 50% pasangannya juga melakukan. Sedangkan pada fraternal twins
(kembar yang di hasilkan dari dua telur yang terpisah, keduanya dibuahi
pada saat bersamaan, angka tersebut hanya 20%. Hasil dari temuan ini
mendukung hipotesis bahwa pengaruh genetika meningkatkan resiko
kriminalitas.
25
-Adoption Studies
Studi tentang adopsi ini dilakukan terhadap 14.427 anak yang
diadopsi di Denmark menemukan data:
a. Dari anak-anak orang tua angkat dan orang tua aslinya tidak
tersangkut kejahatan, 13,5% terbukti melakukan kejahatan.
b. Dari anak-anak yang memiliki orang tua angkat kriminal, tapi
orang tua aslinya tdak, 14,7% terbukti melakukan kejahatan.
c. Dari anak-anak yang orang tua angkatnya tidak kriminal, tetapi
memiliki orang tua asli kriminal, 20% terbukti melakukan
kejahatan.
d. Dari anak-anak yang orang tua angkat dan orang tua aslinya
kriminal, 24,5% terbukti melakukan kejahatan.
Temuan diatas mendukung klaim bahwa kriminalitas dari orang tua
asli (orang tua biologis) memiliki pengaruh lebih besar terhadap anak
disbanding kriminalitas dari orang tua angkat.
-The XYY Syndrome
Setiap orang memiliki 23 pasang kromoson yang diwariskan. Satu
pasangan kromosom menentukan gende (jenis kelamin). Seorang
perempuan mendapat satu X kromosom dari ayah dan ibunya seorang lakilaki mendapat satu kromosom X dari ibunya dan satu Y kromosom
ayahnya.
Kadang-kadang kesalahan dalam memproduksi sperma atau sel
telur menghasilkan abnormalitas genetic. Satu tipe abnormalitas tersebut
26
adalah “the XYY chromosome male” atau laki-laki dengan XYY kromosom.
Orang tersebut menerima dua Y kromosom (dan bukan satu) dari ayahnya.
Kurang lebih dari satu dari tiap 1000 genetika semacam ini. Mereka yang
memiliki kromosom XYY cenderung bertubuh tinggi, secara fisik agresif,
sering melakukan kekerasan.
b. Perspektif Psikologis
1. Teori Psikoanalisis
Teori Psikoanalisis tentang kriminalitas menghubungkan delinquent
dan perilaku kriminal dengan suatu “conscience” (hati nurani) yang baik, dia
begitu kuat sehingga menimbulkan perasaan bersalah atau ia begitu lemah
sehinga tidak dapat mengontrol dorongan-dorongan dirinya bagi suatu
kebutuhan yang harus dipenuhi segera.
Sigmund
Freud
(1856-1939),
penemu
dari
psychoanalysis,
berpendapat bahwa kriminalitas mungkin hasil dari “an overactive
conscience” yang menghasilkan perasaan bersalah yang tidak tertahankan
untuk melakukan kejahatan dengan tujuan agar di tangkap dan dihukum.
Begitu dihukum maka perasaan bersalah mereka akan mereda.
5. Kekacauan Mental (Mental Disorder)
Mental disorder sebagian besar dialami oleh penghuni lembaga
permasyarakatan, oleh Phillipe Pinel seorang dokter Perancis sebagai
manie sans delire (madness without confusion) atau oleh dokter inggris
27
bernama James C. Prichard sebagai ‘moral incanity’ oleh dan oleh Gina
Lombroso-Ferrero sebagai ‘iresistible atavistic impluses’.
Pada dewasa ini penyakit mental tadi disebut dibuat anti sosial
personality atau psychopathy sebagai suatu kepribadian yang ditandai oleh
suatu ketidakmampuan belajar dari pengalaman, kurang ramah, bersifat
cuek, dan tidak pernah merasa bersalah.
6. Pengembangan Moral (Development Theory)
Lawrence Kohlberg menemukan bahwa pemikiran moral tumbuh
dalam tahap preconventional stage atau tahap pra-konvensional, di mana
aturan moral dan nilai-nilai moral terdiri atas “lakukan” dan “jangan
lakukan” untuk menghindari hukuman. Psikolog Jhon Bowl mempelajari
kebutuhan akan kehangatan dan kasih sayang sejak lahir dan
konsekuensinya jika tidak mendapatkan hal itu.
7. Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory)
Bahwa perilaku delinquent dipelajari melalui proses psikologis yang
sama sebagaimana semua perilaku non-deliquent. Tingkah laku
dipelajari jika diperbuat atau diberi ganjaran, dn tidak dipelajari jika ia
diperkuat.
c. Perspektif Sosiologis
Teori-Teori sosiologis mencari alasan-alasan perbedaan dalam hal
angka kejahatan di dalam lingkungan sosial. Teori-teori ini dapat
dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu : (A.S. Alam. 2010:45)
28
a. Anomie (ketiadaan norma) atau Strain (ketegangan)
b. Cultural Deviance (penyimpangan budaya)
c. Social Control (control sosial)
-
Teori-Teori Penyimpangan Budaya (Cultural Deviance Theories)
Cultural deviance theories terbentuk antara 1925 dan 1940. Teori
penyimpangan budaya ini memusatkan perhatian kepada kekuatankekuatan sosial (sosial forces) yang menyebabkan orang melakukan
aktivitas kriminal.
(A.S. Alam. 2010:54) Cultural deviance theories memandang
kejahatan sebagai seperangkat nilai-nilai yang khas pada lower class.
Proses penyesuaian diri dengan sistem nilai kelas bawah yang menentukan
tingkah laku di daerah-daerah kumuh, menyebabkan benturan dengan
hukum-hukum masyarakat.
Tiga teori utama dari cultural deviance theories, adalah :
1. Social Disorganization Theory
Social
Disorganization
theory
memfokuskan
diri
pada
perkembangan area-area yang angka kejahatannya tinggi yang berkaitan
dengan disintegrasi nilai-nilai konvensional yang disebabkan oleh
industrialisasi yang cepat, peningkatan imigrasi, dan urbanisasi.
Thomas dan Znaniecky mengaitkan hal ini dengan social
disorganization (disorganisasi sosial), yaitu : The breakdown of effective
social bonds, family and neighborthood asbsociation, and social controls in
neighborhoods and communities (tidak berlangsungnya ikatan sosial,
29
hubungan kekeluargaan, lingkungan dan kontrol-kontrol sosial di dalam
lingkungan yang disorganized secara sosial, di mana nilai-nilai dan tradisi
konvensional tidak ditransmisikan dari satu generasi ke generasi
berikutnya.
Park dan Burgess mengembangkan lebih lanjut studi tentang sosial
disorganization dari Thomas dan Znaniecky dengan mengintroduksi
analisis ekologis dari masyarakat manusia. Pendekatan yang kurang lebih
sama digunakan para sarjana yang mengkaji human ecology
(ekologi
manusia), yaitu interelasi antara manusia dengan lingkungannya.
Dalam studinya, Park dan Burgess meneliti karakteristik daerah
yang terdiri atas zona-zona konsentrasi. Setiap zona memiliki struktur dan
organisasinya sendiri, karakteristik budaya serta penghuni yang unik.
Cliford Shaw dan Henry Mckdey, menggunakan penduduk yang
tersebar di ruang-ruang yang berbeda untuk meneliti secara empiris
hubungan antara angka kejahatan dengan ruang-ruang yang berbeda,
misalnya, daerah kumuh pusat kota, daerah perdagangan, dan sebagainya.
Penemuan
ini
berkesimpulan
bahwa
faktor
paling
krusial
(menentukan) bukanlah etnisitasi, melainkan posisi kelompok di dalam
penyebaran status ekonomi dan nilai-nilai budaya. Yang selanjutnya
menunjukkan bahwa cultural transmition adalah : “delinquiency was socially
learned behavior, transmitted from one generation to the next generation in
disorganized urban areas”. (deliquensi adalah perilaku sosial yang
30
dipelajari, yang dipindahkan dari generasi ke generasi berikutnya pada
lingkungan kota yang tidak teratur.
2. Differential Association
E.H. Shuterland mencetuskan teori yang disebut Differential
Association Theory sebagai teori penyebab kejahatan. Ada 9 proporsi
dalam menjelaskan teori tersebut, sebagai berikut:
1) Criminal behavior is learned (tingkah laku kriminal dipelajari)
2) Criminal behavior is learned in interaction with other person in a
process of communication (tingkah laku criminal dipelajari dalam
interaksi dengan orang lain dalam proses komunikasi).
3) The principle part of the learning of criminal behavior occurs within
intimate personal groups (bagian terpenting dalam mempelajari
tingkah laku kriminal itu terjadi di dalam kelompok-kelompok orang
yang intim/dekat).
4) When Criminal behavior is learned, the learning includes techniques
of commiting the crime, which are sometimes very complicated,
sometimes
very
simple,
and
the
specific
direction
of
motives,drives,rationalization, and attitude (ketika tingkah laku
kriminal dipelajari, pelajaran itu termasuk teknik-teknik melakukan
kejahatan, yang kadang-kadang sangat mudah dan arah khusus dari
motif-motif, dorongan-dorongan, rasionalisasi-rasionalisasi, dan
sikap-sikap).
31
5) The specific direction of motives and drives is learned from
definitions of the legal codes as favorable or unfavorable (arah
khusus dari motif-motif dan dorongan-dorongan itu dipelajari melalui
definisi-definisi dari aturan-aturan hukum apakah ia menguntungkan
atau tidak).
6) A person becomes delinquent because of an excess of definitions
favorable to violation of law over definitions unfavorable to volation
of law (seseorang yang menjadi delinquent karena definisi-definisi
yang menguntungkan untuk melanggar hukum lebih kuat dari
definisi-definisi yang tidak menguntungkan untuk melanggar
hukum).
7) Differential association may vary in frequency,duration,priority, and
intencity (asosiasi differential itu mungkin berbeda-beda dalam
frekuensi/kekerapannya, lamanya, prioritasnya, dan intensitasinya).
8) The process of learning criminal behavior by association with
criminal and anticiminal patterns involes all of the mechanism that
are involed in any other learning (proses mempelajari tingkah laku
kriminal melalui pergaulan dengan pola-pola kriminal dan anti
kriminal melibatkan semua mekanisme yang berlaku dalam setiap
proses belajar).
9) While criminal behavior is an expression of general needs and
values, it is not explaines by those general needs and values, since
noncriminal behavior is an expression of the same needs and values
32
(walaupun tingkah laku kriminal merupakan ungkapanm dari
kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum, tingkah laku kriminal itu
tidak dapat dijelaskan melalui kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai
umum tersebut, karena tingkah laku nonkriminal juga merupakan
ungkapan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai yang sama).
Makna teori Sutherland merupakan pendekatan individu mengenai
seseorang
dalam
kehidupan
masyarakatnya,
karena
pengalaman-
pengalamannya tumbuh menjadi penjahat. Dan bahwa ada individu atau
kelompok individu yang secara yakin dan sadar melakukan perbuatannya
yang melanggar hukum. Hal ini disebabkan karena adanya dorongan kreatif
yang untuk dia melakukan pelanggaran hukum dalam memenuhi
posesifnya.
3. Culture Conflict Theory
(A.S. Alam. 2010:59) Culture conflict theory menjelaskan keadaan
masyarakat dengan cirri-ciri sebagai berikut :
a. Kurangnya ketetapan dalam pergaulan hidup.
b. Sering terjadi pertemuan norma-norma dari berbagai daerah yang
satu sama lain berbeda bahkan ada yang saling bertentangan.
Pendapat Thorsten Sellin , setiap kelompok masyarakat memiliki
conduct norms dari satu kelompok mungkin bertentangan dengan conduct
norms kelompok lain.
33
Sellin membedakan antara konflik primer dan konflik sekunder.
Konflik primer terjadi ketika norma-norma dari dua budaya bertentangan
(clash). Konflik sekunder muncul jika suatu budaya berkembang menjadi
budaya yang berbeda-beda, masing-masing memiliki perangkat conduct
norms-nya sendiri. Konflik jenis ini terjadi ketika satu masyarakat homogen
atau sederhana menjadi masyarakat yang kompleks dimana sejumlah
kelompok-kelompok sosial berkembang secara konstan dan norma-norma
seringkali tertinggal.
d. Perspektif Lainnya
(Topo Santoso. 2003.98) Perspektif lainnya di bagi menjadi 2 teori,
yaitu:
a) Labeling Theory
Para penganut labeling theory memandang para kriminal bukan
sebagai orang yang bersifat jahat (evil) yang terlibat dalam perbuatanperbuatan bersifat salah tetapi mereka adalah individu-individu yang
sebelumnya pernah berstatus jahat sebagai pemberian sistem peradilan
pidana maupun masyarakat secara luas.
Dipandang dari prespektif ini, perbuatan kriminal tidak sendirinya
signifikan,
justru
reaksi sosial atasnya-lah
yang signifikan. Jadi,
penyimpangan dan control atasnya terlibat dalam suatu proses definisi
sosial dimana tanggapan dari pihak lain terhadap tingkah laku seorang
34
individu merupakan pengaruh kunci terhadap tingkah laku berikutnya dan
juga pada pandangan individu pada diri mereka sendiri.
b) Conflict Theories
Teori Konflik lebih jauh mempertanyakan proses pembuatan hukum
itu sendiri. Menurut mereka pertarungan (struggle) untuk kekuasaan
merupakan suatu gambaran dasar ekstitensi manusia. Dalam arti
pertarungan kekuasaan itulah bahwa berbagai kelompok kepentingan
berusaha
mengontrol
pembuatan
dan
penegakan
hukum.
Untuk
memahami pendekatan atau teori konflik ini, kita perlu secara singkat
melihat traditional model yang memandang kejahatan dan peradilan pidana
sebagai lahir dari konsensus masyarakat (communal consensus).
Beberapa aspek sosial yang oleh kongres ke-8 PBB Tahun 1990 di
Havana, kuba, diidentifikasikan sebagai faktor kondusif penyebab
terjadinya kejahatan antara lain :
1. Kemiskinan,
pengangguran,
kebutahurufan
(kebodohan),
ketiadaan atau kekurangan perumahan yang layak dan sistem
pendidikan serta latihan yang tidak cocok atau serasi.
2. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek
(harapan) karena 81 proses integrasi sosial, juga karena
memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial.
3. Mengendurnya ikatan sosial dan keluarga.
4. Keadaan-keadaan/kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang
yang beremigrasi ke kota-kota atau ke Negara-negara lain.
35
5. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan
dengan
adanya
rasisme
kerugian/kelemahan
dan
dibidang
diskriminasi
sosial,
menyebabkan
kesejahteraan
dan
lingkungan pekerjaan.
6. Menurun atau mundurnya kualitas lingkungan perkotaan yang
mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya pelayanan
bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan/bertetangga.
7. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern
untuk berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan
masyarakatnya, keluarganya, tempat kerjanya atau lingkungan
sekolahnya.
8. Penyalahgunaan
alcohol,
obat
bius
dan
lain-lain
yang
pemakaiannya juga diperlukan karena faktor-faktor yang disebut
diatas
-
Teori Kontrol Sosial (Control Social Theory)
Pengertian teori control atau control theory merujuk pada setiap
perspektif yang membahas ihwal pengendalian tingkah laku manusia.
Semetara itu, pengertian teori control sosial merujuk kepada pembahasan
delicuency dan kejahatan yang dikaitkan dengan variabel-variabel yang
bersifat sosiologis, antara lain struktur keluarga, pendidikan, dan kelompok
dominan.
3. Upaya Penanggulangan Kejahatan
36
(A.S Alam, 2010 : 79) Penanggulangan Kejahatan Empirik terdiri
atas tiga bagian pokok, yaitu:
1. Pre-Emtif
Yang di maksud dengan upaya Pre-Emtif disini adalah upayaupaya awal yang di lakukan oleh pihak kepolisian untuk
mencegah
terjadinya
tindak
pidana.
Usaha-usaha
yang
dilakukan dalam penanggulangan kejahatan secara pre-entif
adalah
menanamkan
nilai-nilai
/
norma-norma
tersebut
terinteralisasi dalam diri seseorang.
Meskipun ada kesempatan untuk melakukan pelanggaran /
kejahatan tapi tidak ada niatnya untuk melakukan hal tersebut
maka tidak akan terjadi kejahatan. Jadi dalam usaha pre-emtif
faktor niat menjadi hilang meskipun ada kesempatan.
2. Preventif
Upaya-Upaya preventif ini adalah merupakan tindak lanjut dari
upaya Pre-Emtif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum
terjadinya kejahatan. Dalam upaya Preventif yang di tekankan
adalah menghilangkan
kesempatan untuk di lakukannya
kejahatan.
3. Represif
Upaya
ini
dilakukan
pada
saat
terlah
terjadi
tindak
pidana/kejahatan yang tindakannya berupa penegakan hukum
(law enforcemenet) dengan menjatuhkan hukum.
37
C. Pengertian Perang Suku
Menurut Kamus Besar Bahas Indonesia (KBBI) Perang adalah
permusuhan antara dua Negara (bangsa, agama, suku, dsb.) kedua
negara itu dalam keadaan pertempuran. Bisa juga dikatakan
perkelahian ; konflik.
Perang adalah sebuah aksi fisik dan non fisik (dalam arti sempit,
adalah kondisi permusuhan dengan menggunakan kekerasan) antara
dua atau lebih kelompok manusia untuk melakukan dominasi di wilayah
yang dipertentangkan. Perang secara purba di maknai sebagai
pertikaian bersenjata. Di era modern, perang lebih mengarah pada
superioritas teknologi dan industri. Hal ini tercermin dari doktrin
angkatan perangnya seperti "Barang siapa menguasai ketinggian maka
menguasai dunia". Hal ini menunjukkan bahwa penguasaan atas
ketinggian harus dicapai oleh teknologi. Namun kata perang tidak lagi
berperan sebagai kata kerja, namun sudah bergeser pada kata sifat.
Yang memopulerkan hal ini adalah para jurnalis, sehingga lambat laun
pergeseran ini mendapatkan posisinya, namun secara umum perang
berarti "pertentangan".
38
Suku bangsa atau kelompok etnis adalah suatu golongan
manusia
yang
anggota-anggotanya
mengidentifikasikan
dirinya
dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang
dianggap sama. Identitas suku ditandai oleh pengakuan dari orang lain
akan ciri khas kelompok tersebut seperti kesamaan budaya, bahasa,
agama, perilaku, dan ciri-ciri biologis.
Menurut
pertemuan
internasional tentang tantangan-tantangan dalam mengukur dunia etnis
pada tahun 1992, "Etnisitas adalah sebuah faktor fundamental dalam
kehidupan manusia. Ini adalah sebuah gejala yang terkandung dalam
pengalaman manusia" meskipun definisi ini seringkali mudah diubahubah. Yang lain, seperti antropolog Fredrik Barth dan Eric Wolf,
menganggap etnisitas sebagai hasil interaksi, dan bukan sifat-sifat
hakiki sebuah kelompok. Proses-proses yang melahirkan identifikasi
seperti itu disebut etnogenesis. Secara keseluruhan, para anggota dari
sebuah kelompok suku bangsa mengklaim kesinambungan budaya
melintasi waktu, meskipun para sejarawan dan antropolog telah
mendokumentasikan bahwa banyak dari nilai-nilai, praktik-praktik, dan
norma-norma yang dianggap menunjukkan kesinambungan dengan
masa lalu itu pada dasarnya adalah temuan yang relative baru.
Menurut KBBI suku bangas atau etnik adalah bertalian dengan
kelompok sosial di dala sistem sosial atau kebudayaan yang
mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat,
agama, Bahasa, dsb.
39
Jadi yang bisa disimpulkan oleh penulis atas uraian mengenai
perang dengan suku diatas adalah perang suku merupakan suatu aksi
fisik maupun non-fisik berupa pertempuran yang dilakukan oleh antar
kelompok yang mana kelompok tersebut memiliki kesamaan budaya,
Bahasa, adat, dsb. Dalam satu garis keturunan. Yang dilakukan antar
kelompok etnis atau antar suku.
40
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Penelitian yang digunakan oleh penulis nantinya adalah penelitian
secara empiris dimana penulis nantinya akan turun langsung ke lapangan
untuk mengumpulkan data.
B. Lokasi Penelitian
Lokasi yang nantinya dijadikan tempat penelitian oleh penulis adalah
daerah Provinsi Papua, Kabupaten Jayawijaya, Kota Wamena. Lokasi
tersebut menajadi pilihan penulis sebab kota wamena merupakan salah
satu wilayah yang sering tejadi perang suku. Tempat-tempat yang nantinya
untuk mencari bahan penelitian antara lain adalah kantor kepolisian kota
wamena, pengadilan negeri wamena, kantor Bupati, dan wilayah-wilayah
yang sering menjadi tempat terjadinya perang suku.
C. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh dari berbagai sumber, data
yang diperoleh langsung dari penelitian, termasuk apa yang
didengar dan disaksikan sendiri oleh penulis.
41
2. Data sekunder, yaitu data yang di peroleh dari sumber lain, hasil
kajian buku-buku, karya ilmiah, majalah harian, serta peraturan
perundang-undangan.
D. Teknik Pengumpulan Data
Dalam teknik pengumulan data penulis menggunakan dua metode,
yakni :
1. Interview / Wawancara
Dalam teknik Interview / Wawancara penulis melakukan teknik
wawancara / interview terhadap narasumber secara langsung sebagai
sumber informasi agar dapat diketahui tanggapan, pendapat,
keyakinan, perasaan, motivasi, serta cita-cita dari narasumber yang
berkaitan dengan perang suku. Metode pengumpulan data dengan
teknik wawancara / interview dilakukan penulis dalam hal meminta
pandangan narasumber terkait dengan permasalahan yang telah
dirumuskan.
2. Penelitian Pustaka
Penulis melakukan proses pengumpulan data untuk menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan dengan cara menganalisis
bahan-bahan pustaka yang terkait dengan permasalahan yang dikaji,
baik itu narasumber dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier
42
E. Teknik Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan adalah untuk mengolah dan
menganalisa data yang diperoleh selama penelitian adalah anilisis
kualitatif yang dilakukan dengan cara menguraikan data yang telah
dikumpulkan secara sistematis dengan menggunakan ukuran kualitatif,
kemudian
dideskripsikan
sehinggah
diperoleh
pengertian
atau
pemahaman, persamaan, pendapat, dan perbedaan pendapat mengenai
perbandingan bahan hukum primer dengan bahan hukum sekunder dari
penelitian yang dilakukan oleh penulis. Metode berpikir dalam mengambil
kesimpulan adalah metode deduktif yang menyimpulkan dari pengetahuan
yang bersifat umum, kemudian digunakan untuk menilai suatu peristiwa
yang bersifat khusus.
43
BAB IV
PENELITIAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Wamena adalah salah satu distrik di Kabupaten Jayawijaya, Provinsi
Papua, Indonesia, sekaligus merupakan ibukota kabupaten tersebut.
Wamena merupakan kota yang terletak di sebuah lembah yang dinamakan
Lembah Baliem. Di Wamena terletak lapangan terbang yang satu-satunya
mampu menghubungkan wilayah Wamena dengan Jayapura dan kota
besar lainnya di Papua. Wamena merupakan satu-satunya kota terbesar
yang terletak di pedalaman tengah Papua. Wamena berasal dari bahasa
Dani yang mempunyai arti yaitu ”Wam” dan “Ena” yang artinya Babi yang
Jinak.
Berbeda dengan kota-kota besar lainnya di Papua, seperti Timika,
Jayapura, Sorong, dan Merauke, Wamena merupakan surga dan mutiara
yang belum banyak tersentuh di pedalaman pegunungan tengah Papua.
Kota ini terletak di Lembah Baliem dan dialiri oleh sungai Baliem, diapit
pegunungan Jayawijaya diselatannya dengan ketinggian 1600 Mdpl (meter
di atas permukaan laut), luas wilayah 249,31 Km 2, dan jumlah penduduk
48.640. Kota Wamena masih memiliki udara yang sangat segar dan jauh
dari polusi udara dibandingkan kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Sebagaimana halnya kebanyakan kota-kota di pedalaman Papua,
kota ini berkembang sesuai dengan pola perkembangan sekitar bandara
44
udara. Kota yang banyak dikunjungi oleh wisatawan lokal dan
mancanegara ini sangatlah indah dan alamnya masih asli. Terutama pada
musim penyelenggaraan di Distrik Wosilimo, kota ini dibanjiri oleh para
wisatawan, baik lokal maupun mancanegara.
Masyarakat di Lembah Baliem ini merupakan masyarakat agraris
yang bercocok tanam secara tradisional dan berpindah-pindah untuk
memperoleh tanah subur atau humus pada lahan baru. Sedangkan rumah
adat di Wamena dinamakan “HONAI”. Honai juga sering dijadikan rumah
adat khas Papua. Hewan babi merupakan ternak yang banyak dijumpai di
Wamena, babi seolah sudah menyatu dengan kehidupan masyarakat.
Umumnya, acara pernikahan maskawinnya dengan minimal 5 (lima) ekor
babi dan satu buah Noken (tas tradisional yang terbuat dari kulit pohon).
Suku asal masyarakat Wamena adalah suku Dhani yang amat
terkenal di seluruh Papua karena kebiasaan berperang, yang konon
katanya suku Dhani dan suku Asmat merupakan suku asli bumi
Cendrawasih Papua. Mereka sangat lihai menggunakan panah dan
katapel. Selain panah dan katapel, dahulu kala mereka menggunakan
parang yang terbuat dari batu dan pisau tusuk yang terbuat dari tulangbelulang. Tulang yang biasa digunakan adalah tulang kaki burung kasuari
(kotekacity.blogspot.com/2010/06/gambaran-umum-kota-wamena.html?).
45
Polsek Wamena merupakan polsek yang berada dalam wilayah hukum
Polres Jayawijaya Kota (jarak tempuh melalui transportasi darat sepanjang
2 Km ) meliputi 14 Desa dan terdapat 4 (empat) Pospol yaitu:
-
Pospol Jibama
-
Pospol Sinakma
-
Pospol Walelagama
-
Pospol Wouma
B. Data Kejahatan dan Perang suku di Wamena
Dalam usaha untuk mengetahui apakah suatu kejahatan mengalami
peningkatan dan penurunan, dapat dilihat pada angka-angka statistik yang
dibuat oleh pihak kepolisian maupun pihak-pihak yang terkait (dalam hal ini
TNI). Pihak kepolisian merupakan instansi pertama tempat melaporkan
tentang terjadinya suatu tindak pidana dalam masyarakat. Disamping itu,
sebagaimana
yang
terjadi
dalam
penyusunan
statistik
kriminal,
peningkatan atau penurunan angka-angka dalam statistik tersebut sangat
dipengaruhi oleh kejadian yang terjadi di daerah Wamena.
Statistik kejahatan merupakan statistik tentang kejahatan yang
terjadi dalam masyarakat. Penyusunan statistik sangat sulit jika diharapkan
secara menyeluruh merangkum data kejahatan yang terjadi dalam kurun
waktu tertentu. Sehubungan dengan penelitian mengenai Perang Suku di
Wamena untuk mengetahui jumlah Perang suku di Wamena 4 tahun
terakhir, penulis telah menguraikan beberapa data mengenai kejahatan,
46
data kasus kejahatan yang di selesaikan secara adat, dan data perang suku
dalam bentuk tabel sebagai berikut (data diambil pada 15-19 Januari 2015).
Table 1
Data jumlah kejahatan Polres Jayawijaya kota Wamena tahun 20112014
No.
Tahun
Kasus
Lapor
Selesai
1.
2011
264
191
2.
2012
382
229
3.
2013
425
205
4.
2014
408
158
1479
783
Jumlah
Sumber : (Data dari Polres Jayawijaya kota Wamena) bulan januari 2015
Berdasarkan tabel di atas,
jumlah kejahatan di Kabupaten
Jayawijaya selama 4 tahun terakhir yaitu dari tahun 2011-2014, terdapat
1479 kasus kejahatan, dimana yang terselesaikan terdapat 783 kasus.
Kejahatan dari tahun ke tahun di Kabupaten Jayawijaya selalu mengalami
peningkatan dan penurunan. Perincian kasus kejahatan dari tahun ke tahun
yaitu: pada tahun 2011 terjadi 264 kasus kejahatan, kemudian pada tahun
2012 terjadi 382 kasus, pada tahun 2013 terjadi 425 kasus, dan pada tahun
2014 terjadi peningkatan kembali 408.
Dari hasil yang diperoleh bahwa setiap tahun jumlah kasus yang
dilaporkan kepada pihak kepolisian selalu mengalami peningkatan.
47
Sedangkan dalam penyelesaian kasus tersebut mengalami peningkatan
dan penurunan (berfluktuasi). Adapun rincian data yang menunjukkan
adanya fluktuasi yaitu: pada tahun 2011 kasus yang dapat diselesaikan 191
kasus, pada tahun 2012 terjadi peningkatan dimana kasus yang dapat
diselesaikan
229 kasus, dan pada tahun 2013 terjadi penurunan
penyelesaian kasus sebanyak 205 kasus, dan pada tahun 2014 mengalami
lagi
penerunan
penyelesaian
kasus
dimana
jumlah
kasus
yang
terselesaikan pada tahun tersebut 158 kasus.
Tabel 2
Data jumlah kasus yang harus diselesaikan secara adat di Wamena
tahun 2011-2014
No.
Tahun
Kasus
1.
2011
65
2.
2012
71
3.
2013
59
4.
2014
55
Jumlah
250
Sumber : (Data dari Polres Jayawijaya kota Wamena) bulan januari 2015
Berdasarkan tabel di atas, jumlah kasus yang harus diselesaikan
secara adat di Kota Wamena dari tahun 2011-2014 berjumlah 250 kasus.
Pada tahun 2011 tercatat 65 kasus dan pada tahun 2012 meningkat
menjadi 71 kasus. Lalu pada tahun 2013 mengalami penurunan menjadi 59
kasus dan pada tahun 2014 kembali mengalami penurunan menjadi 55
kasus. Dari data di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa kasus yang
48
diselesaikan secara adat mengalami fluktuasi pula. Jika dilihat dari jumlah
yang tertera diatas itu dapat pula disimpulkan oleh penulis bahwa tingkat
kasus yang diselesaikan secara adat cukup banyak.
Tabel 3
Data jumlah kasus perang suku di Wamena tahun 2011-2014
No.
Tahun
Perang
suku
1.
2011
4
2.
2012
4
3.
2013
5
4.
2014
6
Jumlah
18
Sumber : (Data dari Polres Jayawijaya dan Kodim 1702 Jayawijaya kota Wamena) bulan januari 2015
Dari tabel 3 diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa perang suku
di
Wamena
selalu
mengalami
peningkatan.
Pernyataan
tersebut
berdasarkan data dimana pada tahun 2011 terjadi 4 kasus, pada tahun
2012 terjadi 4 kasus, kemudian pada tahun 2013 terjadi 5 kasus, dan pada
tahun 2014 terjadi 6 kasus. Dari tahun ke tahun terlihat adanya peningkatan
kasus.
Berdasarkan wawancara dengan Kasat Reskrim IPTU Goerge
Wattimena (wawancara pada tanggal 6 Januari 2015 pukul 10.00 WIT)
bahwa perang suku yang terjadi pada tahun 2011-2014 seperti yang tertera
diatas adalah akibat kejahatan pembunuhan, pencurian ternak (pencurian
49
babi), minuman keras (minuman yang memabokkan) baik minuman local
dan tradisional, dan karena penganiayaan. Dimana ketika terjadi suatu
perang suku maka akan menimbulkan korban-korban baru. Kemudian
pernyataan dari Kasat Reskrim IPTU Goerge Wattimena di tambahkan oleh
Kasat Binmas IPTU D. Hilapok (wawancara tanggal 10 Januari 2015 pukul
11.00 WIT) bahwa perang suku tersebut bukan hanya terjadi akibat suatu
kejahatan yang berhubungan dengan unsur-unsur pemidanaan atau masuk
rana pidana, melainkan juga terjadi akibat sengketa tanah dan karena
perempuan yang juga mengarah pada rana Perdata.
C. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perang Suku di Wamena
Perang suku bukanlah hal baru yang terjadi di masyarakat
pegunungan tengah, khususnya di Wamena. Karena berdasarkan data
pada pembahasan sebelumnya bahwa perang suku ini sering sekali terjadi
dan proses perang maupun penyelesaiannya yang sangat berkepanjangan.
Perang tersebut juga memakan waktu yang cukup lama dan menjadi
pemandangan yang sering disaksikan oleh masyarakat di Wamena.
Berdasarkan hasil penelitian langsung oleh penulis tentang perang
suku di Wamena, ditemukan fakta penting yang menjadi penyebab
terjadinya Perang Suku tersebut, yaitu:
a. Faktor Kebiasaan (Budaya)
50
Masyarakat lokal sebelum mengenal adanya agama, perang
suku ini sudah sering dilakukan oleh mereka. Maka terjadinya suatu
Perang Suku tidak terlepas dari faktor kebiasaan masyarakat di
Wamena itu sendiri. Kebiasaan ini merupakan suatu tindakan
masyarakat Wamena dalam menyelesaikan masalah ketika terjadi
suatu konflik, yang mengakibatkan adanya korban jiwa ataupun
korban harta (Marthen Yadlogon Medlana 2009:92).
Berdasarkan wawancara dengan Kur Mabel, salah satu
kepala suku besar di Wamena (wawancara pada tanggal 18 januari
2015 pukul 14.00 WIT), kebiasaan ini telah dilakukan dari zaman
nenek moyang. Dalam hal ini, beliau mengungkapkan bahwa perang
suku adalah suatu warisan yang diturunkan kepada mereka, dimana
mereka meneruskan tradisi ini ke anak cucu mereka. Mereka juga
meyakini bahwa ketika salah seorang dari suku mereka menjadi
korban dan mereka tidak membalas, maka suku mereka diremehkan
oleh suku lain. Mereka juga beranggapan jika tidak membalas
kepada suku si pelaku maka akan terjadi ketidakseimbangan atau
rusaknya keseimbangan dalam suku mereka
b. Faktor Dendam
Faktor dendam adalah faktor yang paling berpengaruh. Hal
tersebut terjadi secara turun temurun, diwariskan beban-beban
balas dendam dan tanggung jawab yang harus dibalaskan melalui
51
perang suku. Dendam yang paling besar dan tidak bisa dilupakan
adalah dendam atas korban perang suku yang tidak dibalas. Istilah
yang dipakai dalam perang suku adalah “belum potong kepala”
artinya belum dibayar kepala atas korban tersebut.
Contoh balas dendam ialah marga A mendapatkan pesan dari
orang tua mereka bahwa nenek moyang mereka pernah menjadi
korban karena diserang oleh marga B dan belum bayar kepala. Maka
marga A menyimpan dendam dan menunggu kapan akan terjadi
konflik perang suku. Hingga suatu saat terjadi konflik perang suku
antara marga tertentu atau suku tertentu, maka marga A mencuri
kesempatan untuk balas dendam kepada marga B. Sebaliknya
nenek moyang marga A pernah dibantu oleh nenek moyang marga
B, maka marga A harus menunggu sampai ketika terjadi perang, lalu
marga A ikut bergabung membantu marga B berperang menyerang
marga atau suku tertentu (salah satu faktor yang mengakibatkan
kasus perang suku pada tanggal 20 Desember antara suku Kurima
dan Assolokobal yang di bantu oleh suku Wouma yang di saksikan
langsung oleh penulis).
c. Faktor pendidikan
Faktor pendidikan merupkan faktor penting terjadinya suatu
perang suku di Wamena (Kosay Paskalis 2011:144). Pembangunan
Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan kunci dari kemajuan
52
peradaban suatu bangsa. Menyadari akan hal itu, pemerintah
melalui Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua telah menetapkan sektor pendidikan,
kesehatan, dan gizi menjadi program unggulan dalam pelaksanaan
Otonomi Khusus.
Suksesnya pelaksanaan otonomi khusus Provinsi Papua
sangat di tentukan oleh mutu SDM Papua. Salah satu faktor penentu
SDM yang bermutu adalah kualitas pendidikan yang baik. Oleh
sebab itu, pembangunan dibidang pendidikan ditempatkan sebagai
prioritas utama.
Kosay Paskalis (2011:144) menuliskan bahwa banyak
bertambah sekolah-sekolah dasar kampung-kampung, Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di ibukota kabupaten dan Sekolah
Menengah Atas (SMA) atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di
ibukota kabupaten, namun belum menunjukkan mutu pendidikan
yang signifikan. Hal ini terbukti banyak lulusan sekolah-sekolah dari
daerah pedalaman dan terpencil ternyata memiliki kemampuan
membaca dan menghitung masih rendah. Penulis juga menyadari
dan merasakan bahwa mutu pendidkan di Wamena itu sendiri masih
kurang.
Penulis sering melihat dan mendengar bahwa tingkat
perkelahian anak sekolah di Wamena itu sendiri sering sekali terjadi,
53
baik itu antar sekolah dengan sekolah, ataupun dalam satu sekolah
itu sendiri. Maka penulis juga dapat menyimpulkan bahwa kurang
pengawasan dari para guru dan kurangnya mutu pendidikan
tersebut mengenai perkelahian anak sekolah ini juga mampu
menimbulkan suatu perang suku. Ini disadari pula oleh penulis ketika
penulis mengikuti salah satu proses penyelesaian perang suku,
penulis melihat adanya anak-anak dan remaja berumur sekitar 1217 tahun dalam barisan suku yang berperang tersebut (penyelesaian
perang suku pada tanggal 6 januari 2015 pukul 15.00 di halaman
Polres Jayawijaya kota Wamena).
d. Faktor Perempuan
Faktor perempuan adalah salah satu faktor penting mengapa
sering terjadi perang suku. Berdasarkan wawancara penulis dengan
Ketua Lembaga Masyarakat Adat Wamena (LMA Wamena), Bapak
Kayok Hubi (wawancara tanggal 15 januari 2015 pukul 10.00 WIT),
masyarakat kota Wamena menganggap bahwa harta yang paling
berharga adalah perempuan. dikatakan harta yang paling berharga
karena sosok perempuan dalam masyarakat adat di Wamena
merupakan sosok yang penting salah satunya menjadi tulang
punggung keluarga dimana yang menggarap ladang bercocok
tanam adalah perempuan. Jadi ketika harta mereka tersebut direbut
ataupun dilecehkan, maka akan membuat reaksi besar kepada
keluarga perempuan tersebut. Di Wamena sendiri kasus-kasus yang
54
bersangkutan dengan perempuan seperti halnya perzinahan,
membawa lari perempuan, pemerkosaan, hingga memperkosa
gadis di bawah umur ini sering sekali terjadi. Berdasarkan data yang
didapat dari pihak kepolisian, data kasus-kasus tersebut berjumlah
29 kasus (data tahun 2011-2014) dan pada tahun 2014 terjadi salah
satu kasus mengenai perempuan yang mengakibatkan perang suku.
Maka faktor perempuan ini merupakan salah satu pemicu besar
terjadinya perang suku.
Berdasarkan
wawancara
dengan
yang
berinisial
(wawancara tanggal 8 januari 2015,pukul 13.00 WIT)
EK
yang
merupakan salah satu dari keluarga dari korban kasus pelecehan
gadis di bawah umur, menyatakan bahwa perang suku merupakan
tindakan yang nantinya akan diambil ketika hasil dari penyelesaian
yang dilakukan oleh kepolisian tidak dapat memberikan keadilan
bagi pihak korban. Lalu, berdasarkan wawancara dengan Kepala
Suku Kutikape Haluk, (wawancara pada tanggal 19 Januari 2015
pukul 13.00 WIT) bahwa perempuan adalah hal yang sangat dijaga
dan tidak dapat dipermainkan, maka ketika hal tersebut telah
dilanggar maka akan mengganggu keluarga mereka. Inilah salah
satu yang dapat membuat penulis menyimpulkan bahwa faktor
perempuan merupakan salah satu faktor penting terjadinya perang
suku.
e. Faktor Pencurian Ternak (pencurian babi)
55
Ternak dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
pasal 101 adalah semua binatang yang berkuku satu, binatang yang
memamah biak dan babi (R.Soesilo 1995:105). Faktor pencurian
ternak merupakan salah satu faktor pemicu perang suku. Menurut
ketua LMA, Bapak Kayok Hubi (wawancara tanggal 15 januari 2015
pukul 10.00 WIT), selain perempuan, babi merupakan harta mereka
yang paling berharga. Setelah penulis melakukan penelitian dan
melihat langsung kehidupan masyarakat di Wamena, tak jarang
masyarakat
di
wamena
lebih
memperhatikan
babi
mereka
dibandingkan anak mereka sendiri.
Bukan hanya sekedar mencuri babi, tetapi ketika babi mereka
di tabrak atau membuat babi tersebut mati, maka disini juga dapat
menimbulkan konflik yang mampu menyebabkan perang suku.
Dimana budaya denda berlaku didalamnya. Inilah yang tak jarang
menjadi pemicu terjadinya perang suku karena ketidak sanggupan
membayar denda yang diminta oleh pihak pemilik babi tersebut.
f. Faktor Sengketa Tanah
Faktor sengketa tanah dikatakan salah satu penyebab
terjadinya perang suku. Hal tersebut berdasarkan wawancara
dengan Kasat Binmas IPTU D. Hilapok, (wawancara tanggal 10
Januari 2015 pukul 11.00 WIT) dan berdasarkan pula kasus pada
tanggal 19 April 2013 yang dipicu akibat perebutan batas
56
perkebunan (data kasus yang di ambil di Kodim 1702 Jayawijaya
pada tanggal 22 januari 2015 WIT). Berkat data tersebut, maka
penulis dapat menyimpulkan bahwa sengketa tanah mampu
menimbulkan pula konflik perang suku. Dimana beberapa teori
sangat jelas menyatakan bahwa yang memicu konflik peperangan
tidak lepas dari perebutan wilayah dan sengketa Tanah. Inilah yang
meyakinkan penulis mengenai perang suku di Wamena tak terlepas
dari sengketa tanah.
g. Faktor ketidaksadaran Hukum
Faktor ini merupakan faktor yang kerap dijumpai yang
menyebabkan perang suku. Salah satu ketidaksadaran hukum yang
menyebabkan perang suku adalah karena minuman keras (miras)
yang menjadi konsumsi bagi sebagian besar masyarakat
di
Wamena baik inuman modern dan tradisional (balo’). Akibat dari
maraknya peredaran miras di Wamena, ketika miras tersebut
dikonsumsi, akan membuat peminumnya bersifat ugal-ugalan dalam
berkendara, anarkis, dan juga berani untuk melakukan kejahatan
lainnya
seperti
merampok,
menodong,
bahkan
sampai
menghilangkan nyawa orang lain. Hal ini sangat meresahkan
masyarakat di Wamena.
Ketidaksadaran
menyebabkan
konflik
hukum
perang
berikutnya
suku
adalah
yang
mampu
ketidaksadaran
57
masyarakat di Wamena
dalam berkendara, seperti tidak
mengenakan helm, tidak memiliki surat-surat, dan sebagainya. Hal
ini juga sangat berkaitan dengan miras tersebut, dimana ketika
mereka
telah
mengkonsumsi
miras
mereka
nekat
untuk
menggunakan kendaraan, dan inilah yang menyebabkan terjadinya
kecelakaan lalu lintas (LAKA LANTAS), lalu akibat kecelakaan
tersebut akan menyebabkan perang suku. Salah satu kasus yang
disebabkan karena LAKA LANTAS adalah kasus perang suku antara
suku Walani dengan suku Maplima yang dikarenakan LAKA
LANTAS di bandara yang menimbulkan adanya korban jiwa. (data
diambil dari kepolisian)
Adapun
salah
satu
hal
yang
sangat
mempengaruhi
ketidaksaran hukum diatas yang mengakibatkan perang suku ialah
kurangnya kesadaran masyarakat yang melihat suatu kejahatan
ataupun suatu LAKA LANTAS tidak segera melaporkan kepada
pihak yang berwajib
(kepolisian).
Masyarakat
justru
hanya
menjadikan kejadian tersebut sebagai bahan tontonan. Inilah yang
biasanya menyebabkan pertikaian antar keluarga terlebih dahulu
dan akan membesar menjadi suatu perang suku.
h. Faktor Saling Menuntut Bayar Kepala dan Denda atas Korban
Perang Suku
Faktor ini merupakan faktor yang dapat memperpanjang
suatu konflik perang suku, dimana masyarakat di Wamena percaya
58
bahwa darah manusia merupakan hidup dan panas, sama dengan
hewan, sehingga darah tersebut saling menuntut dan mendorong
manusia untuk perang. Fakta menunjukkan bahwa setiap kali terjadi
perang suku, maka yang banyak korban adalah marga-marga
tertentu yang pernah makan harta atas korban perang suku. Karena
dorongan dan tuntutan darah manusia sehingga marga tersebut
sering tidak menyadari dampak terburuk yang mungkin akan terjadi,
justru mempunyai keinginan yang kuat untuk menuntut bayar
kepala/harta atas korban perang suku. Kadang juga menuntut
kepala pihak pelaku perang untuk membayar kepala atas korban,
tetapi karena tidak memenuhi maka menyatakan perang baru.
Salah satu kasus perang suku yang sedang berlangsung di
Kampung Pikey, distrik Wamena, yang ditengahi oleh Kepala
Kepolisian Sektor (Kapolsek) Kota Wamena, Kompol Matius Mabel.
Naas bagi beliau karena ketika sedang menengahi, beliau terkena
anak panah dari insiden ini. Hal tersebut menimbulkan perang suku
baru, dimana suku dari Kapolsek tersebut merasa tidak terima atas
meninggalnya salah satu anggota dari sukunya, maka terjadilah
perang suku baru. Karena merasa tidak puas dengan denda yg
ditawarkan maka perang suku tersebut berlanjut kambali.
i.
Faktor Politik
Ketika penulis mengambil data (data diambil tanggal 22
Januari 2015), perang suku juga terjadi akibat suatu perselisihan
59
politik yang melibatkan langsung para pendukung kubuh-kubuh yang
saling memperebutkan kekuasaan ataupun mereka dari berbagai
suku yang dapat menimbulkan perang suku dalam skala besar.
Kasus tersebut terjadi pada tahun 2012 antara Suku Nduga Atas
beperang dengan Suku Nduga Bawah. Kasus tersebut juga
mengakibatkan perang yang sangat berkepanjangan yang mencapai
1 tahun lamanya untuk dapat di selesaikan pada tahun 2013. Hal
mengenai kasus politik ini sering di jumpai bahkan didaerah-daerah
terpencil di pegunungan jayawijaya, bukan hanya kasus diatas saja
yang menerangkan terjadinya perang suku, tetapi berdasarkan
wawancara langsung penulis dengan berbagai masayarakat di
wamena dengan mengenai perselisihan politik ini tak jarang
memang menimbulkan suatu reaksi negatif yang mengakibatkan
suatu perang suku.
j.
Faktor Kurang Tegas Aparat Penegak Hukum
Faktor kurang tegasnya penerapan hukum yang berlaku di
Wamena oleh aparat penegak hukum merupakan salah satu faktor
penting yang menyebabkan beberapa faktor diatas terjadi, faktor ini
apabila tidak diperdulikan oleh aparat penegak hukum akan
menimbulkan akar permasalahan yang dapat membesar hingga
perselisihan antar suku. Dimana dari seringnya masyarakat
diresahkan oleh orang-orang yang telah mengkonsumsi minuman
keras, dan juga seringnya terjadi pencurian, dan lain-lain.
60
Dikarenakan
kurangnya
pengawasan
dan
ketegasan
dalam
penjatuhan hukuman, yang tidak menimbulkan efek jera bagi para
pelaku.
D. Upaya yang Dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum dalam
Menanggulangi Terjadinya Perang Suku di Wamena
Dalam menyelesaikan suatu kasus yang berhubungan dengan adat
telah diatur dalam Undang-Undang No.21 tahun 2001 Tentang Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Papua:
Pasal 50
1) Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh
Badan
Peradilan
sesuai
dengan
peraturan
perundang-
undangan.
2) Di samping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat
hukum adat tertentu.
Pasal 51
1) Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan
masyarakat
hukum
adat,
yang
mempunyai
kewenangan
memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara
pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang
bersangkutan.
61
2) Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat
masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
3) Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata
adat dan perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang
bersangkutan.
4) Dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau yang
berperkara berkeberatan atas putusan yang telah diambil oleh
pengadilan adat yang memeriksanya sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), pihak yang berkeberatan tersebut berhak meminta
kepada pengadilan tingkat bersangkutan.
5) Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana
penjara atau kurungan.
6) Putusan
pengadilan
adat
mengenai
delik
pidana
yang
perkaranya tidak dimintakan pemeriksaan ulang sebagaimana
yang dimaksud pada ayat (4), menjadi putusan akhir dan
berkekuatan hukum tetap.
7) Untuk membebaskan pelaku pidana dari tuntutan pidana
menurut ketentuan hukum pidana yang berlaku, diperlukan
pernyataan
persetujuan
untuk
dilaksanakan
dari
Ketua
Pengadilan Negeri yang mewilayahinya yang diperoleh melalui
Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan dengan tempat
62
terjadinya peristiwa pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(3).
8) Dalam
hal
permintaan
pernyataan
persetujuan
untuk
dilaksanakan bagi putusan pengadilan adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) ditolak oleh Pengadilan Negeri, maka
putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
menjadi bahan pertimbangan hukum Pengadilan Negeri dalam
memutuskan perkara yang bersangkutan.
Sangat jelas dalam Undang-undang Otonomi Khusus (Otsus)
mengenai penyelesaian perkara yang berhubungan dengan adat termasuk
perang suku itu harus pada peradilan adat. Tetapi dalam kenyataannya
menyelesaikan suatu perang suku tidak dapat diselesaikan pada peradilan
adat. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya peradilan adat di Wamena.
Berdasarkan penelitian penulis di Kepolisian dan wawancara
dengan Kasat Binmas IPTU D. Hilapok, (wawancara pada tanggal 10
januari 2015 pukul 11.00 WIT) upaya yang diambil oleh aparat penegak
hukum adalah dengan cara memediasi para pelaku perang suku. Disini
polisi berperan menjadi mediator. Dikarenakan dalam undang-undang
otonomi khusus tersebut mengatur bahwa permasalahan tersebut
diselesaikan di peradilan adat maka inisiatif yang digunakan adalah
kepolisian didampingi oleh para tetua-tetua adat, para tokoh-tokoh agama,
tokoh-tokoh pemuda, tokoh-tokoh masyarakat, perwakilan LMA, dan di
back up (menyokong) dari pihak TNI (Tentara Nasional Indonesia).
63
Langkah-langkah yang dilakukan dalam menangani masalah
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dengan memfasilitasi kedua belah pihak yang bertikai dengan
cara mengundang untuk dipertemukan dan ditengahi langsung
oleh para penegak hukum yang terkait.
2. Mencari akar masalah kenapa terjadi konflik tersebut.
3. Memberikan solusi penyelesaian dengan mempertimbangkan
hukum adat yang berlaku. Berdasarkan penglihatan langsung
dan berbagai wawancara oleh penulis, solusi yang diberikan
adalah dengan membayar denda adat. Denda adat ditentukan
oleh pihak-pihak terkait. Dikarenakan tidak ada aturan khusus
yang mangatur tentang perang suku, maka dendanya tidak ada
batasan, namum para penegak hukum akan menawar jika denda
terlalu besar bagi pihak yang dimintai denda. Jadi, ketika denda
adat telah ditentukan dengan kesepakatan bersama maka pihakpihak tersebut dapat berdamai, sebaliknya jika denda tidak
terpenuhi maka perang akan berkelanjutan.
4. Apabila hasil dari poin (3) tidak bisa diputuskan maka akan
diberikan instruksi khusus oleh pihak LMA untuk memberikan
pemahaman tentang budaya/adat yang berlaku di masingmasing suku.
64
5. Apabila telah menemakan titik terang dan telah memilki
kesepakatan maka akan dibuatkan surat pernyataan sebagai
bukti penyelesaian masalah.
Berdasarkan wawancara dengan IPTU Goerge Wittimena dalam hal
penindakan hukum adalah memprioritaskan keberlakuan hukum adat,
tetapi dengan adanya hukum adat tidak menghapus hukum positif dimana
hukum positif akan menindak tegas pelaku-pelaku yang menyebabkan
sehingga terjadinya perang suku.
Berdasarkan penelitian penulis Upaya dari pemerintahan untuk
menangani konflik perang suku dan ini berhubungan ketika poin 3 diatas
mengenai langkah-langkah penyelesaian tersebut adalah, ketika para pihak
yang melakukan perang suku dimana suku yang menjadi korban meminta
denda kepada suku yang menjadi pelaku, dan suku pelaku tidak dapat
memenuhi denda tersebut, kemudian pihak yang menjadi mediator tidak
mampu meminimalisir denda tersebut, maka disini pemerintah akan
memberikan bantuan dana langsung kepada pihak yang dimintai denda
tersebut. Menurut penulis upaya yang dilakukan oleh pemerintahan di kota
Wamena ini adalah salah, dikarenakan ini akan memanjakan masyarakat
kota wamena, dimana masyarakat yang melakukan perang suku akan
berfikir ketika mereka tidak mampu membayar, maka nantinya yang akan
membantu mereka adalah pemerintah. Inilah yang nantinya akan menjadi
pergeseran kebiasaan, dimana dulunya perang suku terjadi akibat
mempertahankan kehormatan marga dan perlindungan terhadap harta
65
yang berharga. Akan beralih menjadi kebiasaan untuk mendapatkan uang
bagi masyarakat wamena.
Adapun upaya-upaya penyelesaian perang suku secara empirik
adalah sebagai berikut:
1. Pre-Emtif
Berdasarkan wawancara dengan Kasat Binmas IPTU D.
Hilapok, (wawancara tanggal 10 Januari 2015 pukul 11.00) adalah
upaya-upaya penegak hukum secara pre-emtif dengan cara
melakukan berbagai macam sosialisasi kepada masayarakat dan
sekolah-sekolah, baik itu sosialisasi tentang Lalu Lintas yang dapat
mengakibatkan LAKA LANTAS, perkelahian anak sekolah, dan
pentingnya melaporkan kepada kepolisian jika melihat atau
mengetahui terjadinya suatu tindak kejahatan. Beliau melihat bahwa
usaha tersebut masih kurang, dikarenakan kurangnya kesadaran
hukum bagi masyarakat Wamena. Akan tetapi, beliau meyakini
bahwa kepolisian akan terus berusaha untuk dapat menyadarkan
masyarakat akan pentingnya Hukum.
2. Preventif
Berdasarkan wawancara dengan Kasat Reskrim IPTU
Goerge Wattimena, (wawancara tanggal 6 januari 2015 pukul 10.00)
bahwa kepolisian melakukan berbagai macam patroli baik di siang
hari maupun malam hari. Dan ketika kepolisian mendapat laporan
jika terjadi suatu tindak kejahatan, maka kepolisian akan bergerak
66
menuju tempat terjadinya kejadian tersebut dan melakukan
pendekatan dengan tokoh-tokoh. Ketika akan terjadi suatu eskalasi
perang suku kepolisian akan langsung datang ke tempat kejadian
untuk menyelesaikannya, dimana hal yang dilakukan kepolisian
pertama kali adalah melakukan sosialisasi bahwa tidak perlu
dilakukannya perang suku untuk menyelesaikan masalah mereka
tersebut, karna masih banyak solusi untuk menyelesaikannya. Dan
kepolisian juga melakukan pendakatan-pendekatan dengan parapara tokoh-tokoh masyarakat baik itu tokoh adat, tokoh pemuda,
tokoh perempuan, dan tokoh agama yang ada di tempat kejadian
perkara,
dikarenakan
melalui
suara-suara
mereka
dapat
menghentikan perang suku. Tetapi terkadang tindakan tersebut tidak
dapat mencegah terjadinya perang suku.
3. Represif
Upaya represif yang akan dilakukan oleh pihak kepolisian
telah diatur dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Papua. Berdasarkan wawancara dengan Kasat
Reskrim IPTU Goerge Wattimena, (wawancara tanggal 6 januari
2015 pukul 10.00) bahwa dalam menangani suatu perang suku,
67
kepolisian akan menahan dengan membuat brikade (pertahanan)
agar perang tersebut tidak menimbulkan korban lain dari pihak yang
bertikai. Sebelum kepolisian turun untuk melakukan operasi
penyelesain perang suku yang sedang berlangsung, jika merasa
kurang mampu untuk menyelesaikan masalah tersebut maka
kepolisian meminta di back up oleh pihak TNI. Jika situasi tidak
terkontrol maka kepolisian akan turun langsung ketengah-tengah
pertikaian dan menyampaikan agar mereka bernegosiasi ataupun
dengan cara mediasi agar mereka menemukan titik terang.
68
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab pembahasan maka dapat disimpulkan
bahwa:
1. faktor-faktor penyebab terjadinya perang suku ada 9, yaitu:
1. Faktor Kebiasaan (adat istiadat)
2. Faktor Dendam
3. Faktor pendidikan
4. Faktor Perempuan
5. Faktor pencurian ternak (pencurian babi)
6. Faktor sengketa tanah
7. Faktor ketidak patuhan hukum
8. Faktor saling menuntut bayar kepala dan denda atas korban perang
suku
9. Faktor Politik
10. Faktor Kurang Tegas Aparat Penegak Hukum.
2. upaya-upaya
yang
dilakukan
aparat
penegak
hukum
dalam
menanggulangi perang suku adalah dengan cara Pre-Emtif, dimana
usaha pencegahan kejahatan yang dilakukan oleh kepolisian berupa
berbagai macam sosialisasi untuk menghimbau agar masyarakat sadar
akan hukum. Dapat pula dengan cara preventif, dimana kepolisian
69
melakukan patroli baik siang hari maupun malam hari. Dan secara
represif, dimana kepolisian mencegah timbulnya korban dari luar perang
suku.
B. Saran
Adapun saran yang akan diberikan oleh penulis adalah sebagai
berikut:
1. Saran penulis yang ditujukan kepada pemerintahan Kabupaten
Jayawijaya Khususnya pemerintahan Kota Wamena adalah untuk
segera membuat aturan khusus mengenai perang suku agar
proses penyelesain perang suku ini dapat diselesaikan dengan
mudah berdasarkan aturan tersebut.
Kemudian pemerintah diharapkan lebih mendekatkan dirinya
kepada masyarakat agar terjalin ikatan emosional yang nantinya
dapat membantu memahami kebutuhan masyarakat Wamena,
dalam bidang pendidikan, kesehatan, keamanan dan lain-lain. Baik
itu masyarakat asli daerah maupun pendatang yang bermukim di di
Wamena, dengan pendekatan langsung maupun secara tidak
langsung.
Yang tidak kalah pentingnya diperhatikan oleh pemerintah adalah
bukti kerja nyata dalam membangun Wamena bukan sekedar janjijanji sebelum dipilih oleh rakyat untuk membangun Wamena, mulai
dari segi aturan yang perlu pengawasan ekstra oleh pemerintah
70
bagaimana aturan tersebut telah terlaksana dan terealisasi dengan
baik.
2. Saran penulis yang ditujukan kepada aparat penegak hukum adalah
agar lebih gencar dalam melakukan sosialisasi-sosialisasi, baik itu di
kota maupun daerah-daerah terpencil di Wamena, tetapi bukan
hanya memberikan sosialisasi tetapi para penegak hukum harus
menjadi contoh bagi masyarakatnya. Kepolisian kedepannya
diharapkan mampu lebih memperketat pengawasannya dalam
peredaran miras baik itu konsumen dan terutamanya terhadap para
produsen dan pemasok bahan pembuatan minuman keras tersebut,
harus lebih tegas terhadap pelaku tindak kejahatan maupun
pelanggaran sekecil apapun (pelanggaran lalu lintas,dll.), dan dalam
upaya patrolinya dan ketanggapannya ketika mendapat laporan
kejahatan.
3. Saran penulis yang ditujukan kepada anggota masyarakat adalah
bahwa diperlukannya kesadaran hukum untuk lebih menaati aturanaturan yang berlaku, dan juga dibutuhkannya kesadarannya untuk
melaporkan
kepada
kepolisian
ketika
anggota
masyarakat
menemukan atau melihat suatu tindak kejahatan.
71
Daftar Pustaka
Abdullah Marlang DKK. 2011. Pengantar Hukum Indonesia. Grafika
Utama:Jakarta
Arif Gosita. 2004. Masalah Korban Kejahatan. Buana Ilmu. Jakarta
A.S. Alam. 2010. Pengantar Kriminologi. Refleksi. Makassar
Barda Nawawi Arief. 2010. Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan
Hukum
Pidana
Dalam
Penanggulangan
Kejahatan.
Kencana:Jakarta
Made Dharma Weda. 1996. Kriminologi. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
Moh. Hatta. 2009. Beberapa Masalah Penegak Hukum PIdana Umum &
Pidana Khusus. Liberti:Yogyakarta
Muhadar DKK. 2012. Mata Kuliah Kriminologi. Fakutas Hukum
------------------. 2014. Mata Kuliah Hukum Pidana Adat. Fakultas Hukum
Poerwardarminta. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai
Pustaka
Romli Atmasasmita. 2010. Teori Dan Kapita Selekta Kriminologi. Reflika
Aditama:Bandung
Topo Santoso. Eva Achjani Zulfa. 2012. Kriminologi. Rajagrafindo
Persada:Jakarta
R. Soesilo. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Politea:Bogor
72
Kosay Paskalis. 2011. Konflik Papua Akar Masalah Dan Solusi. Tollelegi.
Jakarta
Medalama Marthen Yadlogon. 2009. Welcome To The Baliem Valley
Regency Papua. Galangpress. Yogyakarta
Undang-undang
Undang-undang No.21 tahun 2001 Tentang otonomi khusus provinsi papua
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2013 Tentang
Pengendalian Dan Pengawasan Minuman Beralkohol
Peraturan Daerah Khusus Papua Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Peradilan
Adat Di Papua
Jurnal-jurnal:
Muh. Taufik Silayar. 2013. Tinjauan Kriminologis Terhadap Perkelahian
Antara Warga Di Kabupate Kepulauan Sula Provinsi Maluku Utara.
Skripsi
Website:
http://www.culturalsurvival.org/ourpublications/csq/article/west-papuaforgotten-war-unwanted-people (di buka pada tanggal 6 Januari
2015. Pukul 20.50 WIT)
kotekacity.blogspot.com/2010/06/gambaran-umum-kota-wamena.html (di
buka pada tanggal 6 Januari 2015. Pukul 20.30 WIT)
73
Download