BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (selanjutnya disingkat dengan UUD NKRI 1945) dalam pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Indonesia adalah Negara Hukum”. Konsekuensi sebagai Negara Hukum adalah bahwa setiap kebijakan atau keputusan harus mempunyai landasan hukum. dalam semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri adalah “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya “beraneka satu itu”, yang bermakna meski pun berbeda-beda tetapi tetap pada hakekatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama, dan kepercayaan. Tetapi dalam kenyataanya, semboyan di atas hanya merupakan harfiah belaka, yang hanya sekedar terpampang di dalam lambang Negara. Keadilan hanyalah untuk sebagian orang saja. Dalam praktek pemidanaan, ada yang kita kenal dengan istilah Hukum Pidana Barat (HPB) dan Hukum Pidana Adat (HPA). 1 Sifat dari HPB adalah bersifat tertulis dimana diatur tentang asas legalitas, Artinya adalah segala sesuatu tidak dapat dihukum perbuatan itu bila tidak diatur sebelumnya dalam undang-undang hukum pidana barat (KUHP). Dalam HPA itu sendiri sangat berbanding terbalik dengan HPB tersebut. Adapun sifat dari HPA itu sendiri diantaranya adalah bersifat tidak tertulis tetapi tetap hidup dan mengikat didalam masyarakat; HPA hanya bersifat lokal; persekutuan yang berdasarkan hubungan darah (keluarga, marga) dapat dimintai pertanggungjawaban pidana yang dilakukan warganya; pidana adat masih mengenal perbedaan tingkat/kasta dan ini masih digunakan di beberapa daerah; dan dalam pidana adat yang menjadi korban dapat melakukan tindakan menghakimi sendiri terhadap pelaku. Indonesia adalah salah satu negara yang masih kental dengan adat-istiadatnya. Masyarakatnya masih mempercayai bahwa segala sesuatu untuk menyelesaikan suatu masalah yang paling baik adalah dengan sistem adat. Mungkin salah satu yang menyebabkan masyarakat indonesia lebih mempercayai sistem pidana adat adalah efektifitas dari sistem pidana adat itu sendiri dibandingkan dengan sistem pidana barat. Sistem pidana adat lebih membuat pelaku jera dan tidak akan mengulanginya lagi ketimbang dengan hukum pidana barat. 2 Salah satu daerah yang masih kental dengan sistem adatnya adalah Papua. Provinsi paling timur negara Indonesia ini adalah provinsi yang memiliki banyak suku, budaya dan adat-istiadat, dimana adat-istiadat mereka masih kental dan masih melekat erat dalam kehidupan sehari-hari mereka. salah satu sistem penyelesaian suatu tindak pidana adalah dengan perang. Menurut Letjen TNI (purn) Sayidiman Suryohadiprojo dalam bukunya “pengantar ilmu perang” perang adalah sebuah aksi fisik dan non fisik (dalam arti sempit, adalah kondisi permusuhan dengan menggunakan kekerasan) antara dua atau kelompok manusia untuk melakukan dominasi di wilayah yang di pertentangkan. Perang secara purba dimaknai sebagai pertikaian bersenjata. Di era modern, perang lebih mengarah pada superioritas teknologi industri. Di Papua itu sendiri perang sering dilakukan antar suku atau disebut juga perang suku, perang ini boleh dikatakan adalah perang secara purba karena perang ini tidak mengarah pada superioritas teknologi industri. Dalam perang suku alat perang yang sering digunakan oleh pihak yang berperang bisanya mengunakan panah, tombak, parang, dan kapak. Inilah yang memperjelas bahwa perang suku merupakan perang secara purba. Perang suku merupakan salah satu bentuk proses penyelesain yang digunakan untuk menyelesaikan suatu perkara 3 tindak pidana secara adat. Di Papua terkhususnya di Wamena yang merupakan tempat kelahiran penulis, Masyarakatnya biasa menyebutnya dengan Wim (merupakan Bahasa asli dari suku wamena). Di papua, perang suku merupakan hal yang sudah lumrah dan sering dijumpai di berbagai daerah misalnya Timika, Sorong, dan khususnya di Wamena. Di wamena sendiri penyelesaian tindak pidana dengan suatu proses penyelesaian berupa perang suku sering sekali dilakukan. Inilah yang mengakibatkan keresahan bagi seluruh masyarakat yang bermukim di sekitar tempat terjadinya perang suku tersebut, baik masyarakat asli Papua itu sendiri maupun masyarkat dari luar Papua yang biasa disebut dengan masyarakat pendatang. Bukan hanya itu terkadang juga masyarakat yang jauh pemukimannya dari tempat kejadian tersebut merasakan kepanikan. Para aparat keamanan baik TNI maupun Polri yang turun langsung seringkali tidak mampu untuk menghentikan perang suku tersebut . Aparat keamanan cenderung menyaksikan perang yang sedang berlangsung itu berakhir dengan sendirinya walaupun perang tersebut mengakibatkan adanya korban jiwa. Aparat keamanan hanya sering mengamankan agar perang suku tidak mengakibatkan adanya korban dari luar pihak yang bertikai, artinya 4 tidak melukai atau mencederai masyrakat yang tidak terlibat dalam perang tersebut. Terkadang para petinggi dari pihak TNI maupun Polri harus turun langsung untuk menghentikan / melerai perang suku. Akan tetapi usaha tersebut terkadang tidak mampu menghentikan-nya, dan juga pihak aparat keamanan yang turun langsung sering kali menjadi korban akibat terkena alat yang digunakan para pelaku perang suku tersebut. Adapun kasus yang mengakibatkan seorang petinggi aparat keamanan yang bermaksud untuk mengatasi konflik perang suku ini menjadi korban, yaitu “Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Kota Wamena, Kompol Matius Mabel terkena panah di punggungnya saat menjadi penengah dua kelompok masyarakat yang hendak melakukan perang suku, Senin (13/10) siang pukul 12.00 WIT. Peristiwa itu sendiri terjadi di Kampung Pikey, Distrik Wamena, Kabupaten Jayawijaya.” (dikutip dari harian JPNN.Com yang merupakan jaringan berita terluas di Indonesia). Di dalam suatu perang suku tidak mengenal batas usia dan juga jenis kelamin. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa baik laki-laki maupun perempuan dapat turut serta dalam perang suku ini. Inilah yang sering kita saksikan bahwa penyelesaian suatu tindak pidana secara adat yang dilakukan oleh masyarakat Papua terkhususnya di kota wamena secara perang suku ini sangat 5 berbahaya dan mengancam keselamatan segala pihak, baik pihak keamanan hingga masyarakat itu sendiri. Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis mengangkat masalah tersebut sebagai Tugas Akhir (skripsi) yaitu: TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP PERANG SUKU DI WAMENA B. Rumusan Masalah 1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya perang suku di wamena ? 2. Bagaimanakah upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam menanggulangi terjadinya perang suku di wamena? C. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya perang suku di wamena. 2. upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam menanggulangi terjadinya perang suku di wamena D. Manfaat Penulisan Dalam penelitian tentunya sangat diharapkan adanya manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian tersebut. 6 Adapun manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah : a.) Manfaat Teoritis 1. Merupakan salah satu sarana bagi penulis untuk mengumpulkan data sebagai bahan penyusunan skripsi guna melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar kesarjanaan dibidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. 2. Untuk sedikit memberi sumbang pengetahuan dan pikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khusunya. 3. Untuk mendalami teori-teori yang telah penulis peroleh selama manjalani kuliah strata satudi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin serta memberikan landasan untuk penelitian lebih lanjut. b.) Manfaat Praktis 1. Dengan penulisan hukum ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembankan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai bekal untuk masuk ke dalam instansi atau instansi penegak hukum maupun untuk praktisi hukum yang senantiasa memperjuangkan hukum di negeri ini agar dapat ditegakkan. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan serta tambahan pengetahuan bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti. 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kriminologi 1. Pengertian Kriminologi Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan dari berbagai aspek. Nama kriminologi pertama kali dikemukakan oleh P. Toponard (1830-1911), seorang ahli antropologi Prancis. Kriminologi terdiri dari dua suku kata yakni kata crime yang berarti kejahatan dan logos yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan. (A.S Alam. 2010:1) Kriminologi dilahirkan pada pertengahan abad ke-19 yang lampau sejak dikemukakannya hasil penyelidikan Casare Lambroso (1879) tentang teori tentang atvisme dan tipe penjahat serta munculnya teori mengenai hubungan sebab-akibat bersama-sama dengan Enrico Ferri sebagai tokoh aliran lingkungan dari kejahatan. Kriminologi pertegahan abad XX telah membawa perubahan pandangan dari semula kriminologi menyelidiki kausa kejahatan dalam masyarakat kemudian mulai mengalihkan pandangannya kepada proses pembentukan perundang-undangan yang berasal dari kekuasaan (Negara) sebagai penyebab munculnya kejahatan dan dari penjahat baru dalam msyarakat. Kriminologi termasuk matakuliah / cabang ilmu yang baru. Berbeda dengan hukum pidana yang muncul begitu manusia bermasyarakat. 8 Kriminologi baru berkembang tahun 1850 bersama-sama sosiologi, antropologi dan psikologi, cabang-cabang ilmu yang mempelajari gejala/tingkah laku manusia dalam masyarakat. Harus diingat pula manusia adalah makhluk yang paing berkembang di antara makhluk lain. Bonger menguraikan kriminologi merupakan kumpulan dari banyak ilmu pengetahuan (Topo Santoso. 2012:9) yang terdiri dari : a. Antropologi Kriminal, ialah ilmu pengetahuan tentang manusia yang jahat (somatis) suatu bagian dari ilmu alam. b. Sosiologi kriminal, ialah ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat. c. Psikologi kriminal, ialah ilmu pengetahuan tentang kejehatan dipandang dari ilmu jiwa. d. Psiko dan Neuro-patologi Kriminal, ialah ilmu pengetahuan tentang penjahat yang sakit jiwanya atau ada kelainan pada urat syarafnya. e. Poenologi, ialah ilmu pengetahuan tentang timbul dan pertumbuhannya hukum arti dan faedahnya. Disamping itu terdapat kriminologi terapan yang berupa : a. Higine criminal : usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan misalnya usaha-usaha yang dilakukan pemerintah untuk menerapkan undang-undang, sistem jaminan hidup dan 9 kesejahteraan yang dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya kejahtan. b. Politik kriminal : usaha penaggulangan kejahatan dimana suatu kejahatan. Bila disebabkan oleh factor ekonomi maka usaha yang dilakukan adalah meningkatkan keterampilan atau membuka lapangan kerja. Jadi tidak semata-mata penjatuhan sanksi. c. Kriminalistik pelaksanaan (police scientific) penyidikan teknik : merupakan kejahatan ilmu dan tentang pengusutan kejahatan.. Wolfgang, Saviitz dan Johnston dalam the sociology of crime and Deliquency (Topo Santoso et al. 2001:12) memberikan definisi kriminologi sebagai : Kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian tentang gejala kejahatan dengan mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan, keseragaman-keseragaman, pola-pola dan faktor-faktor kausal yang berhubungan dengan kejahatan, pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap keduanya. Ada juga beberapa sarjana terkemuka memberikan definisi kriminologi (A.S. Alam. 2010:1) sebagai berikut : 1. Edwin H. Sutherland : criminology is the body of knowledge regaring delinquency and crime as social phenomena kriminologi adalah 10 kumpulan pengetahuan yang membahas kenakakalan remaja dan kejahatan sebagai kejahatan sosial). 2. W.A. Bonger : Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yag bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya. 3. J. Constant : Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menentukan factor-faktor yang menjadi sebab-musabab terjadinya kejahatan dan penjahat. 4. WME. Noach : Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki gejala-gejala kejahatan dan tingkah laku yang senonoh, sebab-musabab serta akibatnya. 2. Objek Kriminologi Perkembangan kriminologi terpusat dalam dua kutup yaitu negara eropa kontinental dan negara anglo saxon. Akan tetapi perkembangan tersebut bersebrangan dengan yang lainnya. Terkecuali dengan objek yang diterakapnya. 1. Kejahatan Berbicara tentang kejahatan, maka sesuatu yang dapat diketahui secara spontan adalah tindakan yang merugikan orang lain atau masyarakat umum, atau lebih sederhana lagi kejahatan merupakan suatu pengertian yang relatif, suatu konotasi yang tergantung pada nilai-nilai dan skala sosial. 11 Kejahatan yang dimaksud dalam hal ini adalah kejahatan dalam arti pelanggaran terhadap undang-undang pidana. Disinilah letak berkembangnya kriminologi dan sebagai salah satu pemicu dalam perkembangan kriminologi. Perlu dicatat bahwa kejahatan didefinisikan secara luas, dan bentuk kejahatan tidak sama menurut tempat dan waktu. Kriminologi dituntut sebagai salah satu bidang ilmu yang bisa memberikan sumbangan pemikiran terhadap kebijakan hukum pidana. Dengan mempelajari kejahatan dan jenis-jenis yang telah dikualifikasikan, diharapkan kriminologi dapat mempelajari pula tingkat kesadaran hukum masyarakat terhadap kejahatan yang dicantumkan dalam undang-undang pidana. 2. Pelaku Objek penelitian kriminoligi tentang pelaku adalah orang-orang yang telah melakukan kejahatan dan dengan penelitian tersebut diharapkan dapat mengukur tingkat kesadaran masyarakat terhadap hukum yang berlaku dengan muaranya adalah kebijakan hukum pidana baru. 3. Reaksi Masyarakat Terhadap Perbuatan Melanggar Hukum Dan Pelaku Kejahatan Tidak salah kiranya, bahwa pada akhirnya masyarakatlah yang menentukan tingkah laku yang tidak dapat dibenarkan serta perlu mandapat sanksi pidana, sedangkan sedemikian dalam hal ini 12 keinginan-keinginan dan harapan-harapan masyarakat inilah yang mendapat perhatian dari kajian-kajian kriminologi. 3. Manfaat Mempelajari Kriminologi Sejak awal kelahirannya, tidak ada satupun disiplin ilmu yang tidak memiliki arti dan tujuan, bahkan juga keguanaannya; di samping ilmu pengetahuan lainnya. Hal yang sam berlaku bagi kriminologi; meskipun pernah dilontarkan kritik sebagai “a king without a country” (sellin, dikutip dari Mannheim, 1970) hanya karena dalam perkembangannya kriminologi (mau-tidak-mau, pen.)harus bergantug pada penemuan-penemuan disiplin ilmu lainnya, seperti antropologi, kedokteran, psikologi, sosiologi, hukum, ekonomi, dan statistic (Mannheim, 1970). (Romli Atmasari. 2010:15) Untuk memahami arti dan tujuan mempelajari kriminologi, perlu ditelusuri kembali awal studi tentang kejahatan sebagai lapangan penyelidikan baru para ilmuan pada sekitar abad le-19. Penyelidikan awal dilakukan oleh Adolphe Quatelet (1769-1874) yang menghasilkan suatu statistik kesusilaan atau “moral statistics”(1842).penyelidikan berikutnya dilakukan Lambroso (1835-1909) yang kemudian disusun dalam sebuah buku dengan judul L’Uomodelinquente (1876). Menurut A.S Alam (2010:15) kriminologi memberikan sumbangannya dalam peyusunan perundang-undangan baru (proses kriminalisasi), menjelaskan sebab-sebab terjadinya kejahatan (etiologic 13 criminal) yang pada akhirnya menciptakan upaya-upaya pencegahan terjadinya kejahatan (criminal prevention). Tidak dapat disangkal kriminologi telah membawa manfaat yang tak terhingga dalam mengurangi penderitaan umat manusia, dan inilah yang merupakan tujuan utama mempelajari kriminologi. 4. Aliran-Aliran Dalam Kriminologi (A.S Alam. 2010:31) Aliran-aliran atau sering dikenal sebagai schools dalam kriminologi menunjukkan pada proses perkembangan pemikiran dasar dan konsep-konsep tentang kejahatan. a.) Spiritualisme Dalam penjelasan tentang kejahatan, spiritualisme memiliki perbedaan mendasar dengan metode penjelasan kriminologi yang ada saat ini. Berbeda dengan teori-teori saat ini spiritualisme memfokuskan perhatiannya pada perbedaan antara kebaikan yang datang dari Tuhan atau Dewa, dan keburukan yang datang dari setan. Seseorang yang telah melakukan kejahatan dipandang sebagai orang yang terkena bujukan setan (evil/demon). Landasan pemikiran yang paling rasional dari perkembangan ini adalah bahwa pada periode sebelumnya kejahatan dianggap ini adalah pada periode sebelumnya kejahatan dianggap sebagai permasalahan antara korban dan keluarga korban dengan pelaku dan keluarganya. Akibatnya adalah konflik berkepanjangan antara 14 keluarga yang dapat mengakibatkan musnahnya keluarga tersebut. Juga menjadi masalah adalah bahwa pelaku kejahatan yang bersal dari keluarga yang memiliki posisi kuat dalam masyarakat yang akan dapat dihukum. b.) Naturalisme Perkembangan paham naturalisme yang muncul dari perkembangan ilmu dari alam menyebabkan manusia mencari model penjelasan lain yang lebih rasional dan mampu dibuktikan secara ilmiah. Lahirnya rasionalisme di eropa menjadikan pendekatan ini mendominasi pemikiran tentang penyebab kejahtan. Dalam perkembangan lahirnya teori-teori tentang kejahatan, dapat dibagi beberapa aliran : 1. Aliran Klasik Landasan pemikiran aliran klasik adalah sebagai berikut : 1.) Individu dilahirkan dengan kehendak bebas (free will) hidup menentuka pilahnnya sendiri. 2.) Dalam bertingkah laku, manusia memiliki kemampuan untuk memperhitungkan segala tindakan berdasarkan keinginannya sendiri (hedonism). 3.) Individu memiliki hak asasi di antaranya hak untuk hidup, kebebasan, dan memiliki kekayaan. 15 4.) Pemerintahan Negara dibentuk untuk melindungi hak-hak tersebut dan muncul sebagai hasil perjanjian social antara yang diperintahkan dan yang memerintah. 5.) Setiap warga Negara hanya menyerahkan sebagian dari hak asasinya kepada Negara sepanjang diperlukan oleh Negara untuk mengatur masyarakat dan demi kepentingan bagian terbesar dari masyarakat. 6.) Kejahatan merupakan pelanggaran terhadap perjanjian sosial, oleh karena itu kejahatan merupakan kejahatan moral. 7.) Hukuman hanya dibenarkan selama hukuman itu ditujukan untuk memelihara perjanjian sosial. Oleh karena itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah kejahatan dikemudian hari. 8.) Setiap orang dianggap sama dimuka hukum, oleh karena itu seharusnya setiap orang diperlukan sama. penganut aliran ini adalah Cesare Beccaria dan Jeremy Bentham. 2. Aliran Positivis Aliran positivis terbagi atas dua bagian besar yakni : pertama determinasi biologis (biologicat determinasi) perilaku manusia sepenuhnya tergantung pada pengaruh biologis yang ada dalam dirinya. Kedua determinasi kultural (cultural 16 determinism) mendasari pemikiran mereka pada pengeruh sosial, budaya, dan lingkungan di mana seseorang itu hidup. 3. Aliran Social Defence Arti social defence berbeda dengan yag dimaksud oleh tokoh aliran positif : 1.) Social Defence tidak bersifat deterministik 2.) Social Defence menolak tipologi yang bersifat kaku tetang penjahat dan mentikberatakan pada keunikan kepribadian manusia. 3.) Social Defence meyakini sepenuhnya nilai-nilai moral. 4.) Social Defence menghargai sepenuhnya kewajiban- kewajiban masyarakat terhadap penjahat. Dan mencoba menciptakan kesimbangan antara masyarakat dan penjahat serta menolak mempergunakan pendekatan yang bersifat security sebagai suatu alat administratif. 5.) Sekalipun mempergunakan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan namun Social Defence menolak dikuasai olehnya dan menggantikannya dengan sistem yang modern “politik kriminal” (Romli Atmasamita 2010:13) perkembangan kriminologi untuk menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri : 17 1. Kriminologi merupakan studi tentang tingka laku manusia tidaklah berbeda dengan studi tentang tingkah laku lainnya yang bersifat noncriminal. 2. Kriminologi merupakan ilmu yang bersifat inter dan multidisiplin, bukan ilmu yang bersifat monodisiplin. 3. Kriminologi berkemag sejalan degan perkemangan ilmu pengetahuan lainnya. 4. Perkembangan suatu kejahatan telah membedakan antara kejahatan sebagai suatu tingkah laku dan pelaku kejahatan sebagai subjek perlakuan sarana peradilan pidana. 5. Kriminologi telah menempatkan dirinya sejajar dengan ilmu pengetahuan lainnya, tidak lagi merupakan bagian daripadanya. B. Kejahatan 1. Pengertian Kejahatan Kejahatan merupakan masalah sosial yang tidak hanya dihadapi oleh Indonesia atau masyarakat dan Negara tertentu, tetapi merupakan masalah yang dihadapi oleh seluruh masyarakat di dunia. Istilah kriminal sudah lazim digunakan dalam ilmu hukum. kata kriminal berasal dari kata crimen yang berarti kejahatan. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diadakan perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran, namun dewasa ini sudah susah 18 dipertahankan lagi. Contohnya adalah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru yang tidak mengenal istilah pelanggaran. Menurut W.J.S Poerwardarminta (1996:349), kejahatan yang berasal dari kata dasar jahat berarti “sangat tidak baik, buruk, jelek,atau sifat yang jahat, perbuatan yang jahat seperti pencuri, membunuh, dan sebagainya”. Kejahatan Menurut R.Soesilo (1982:19), memberikan pengertian kejahatan secara yuridis dan sosiologis. Ditinjau dari segi yuridis, kejahatan adalah suatu perbuatan atau tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang sedangkan ditinjau dari sesiologis, kejahatan merupakan perbuatan yang selain merugikan masyarakat yaitu hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban. Terlepas dari berbagai pendapat yang ada maka hakikatnya pegertian kejahatan (Arif Gosita 2004:100) dapat diklasifikasikan atas 3 peegrtian : 1. Pengertian kejahatan dari sudut pandang yuridis : secara yuridis formal kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan, merugikan masyarakat, asocial sifatnya dan melanggar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Di dalam KUHP sendiri tak ditentukan pengertian kejahatan, tapi dapat dirumuskan bahwa kejahatan adalah bentuk perbuatan yang memenuhi perumusan ketentuan KUHP. 19 2. Pengertian kejahatan dari sudut pandang sosiologis : secara sosiologis kejahatan merupakan suatu perilaku manusia yang diciptakan oleh masyarakat atau dengan kata lain kejahatan adalah semua bentuk ucapan, perbuatan tingkah laku yang secara ekonomis, politis dan sosio-psikis sangat merugikan masyarakat, melanggar norma-norma susila, dan menyerang keselamatan warga masyarakat (baik yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum). 3. Pengertian kejahatan dari sudut pandang kriminologi : secara kriminologis adalah segala perbuatan manusia dalam bidang politis, ekonomi dan sosial yang sangat merugikan dan berakibat jatuhnya korban-korban baik individual maupun korban kelompok atau golongan-golongn masyarakat. Menurut A.S Alam (2010:16) kejahatan didefinisikan atas dua, yakni : Pertama dari sudut pandang hukum (a crime from the legal point of view). Batasan kejahatan dari sudut pandang ini adalah setiap tingkah laku yang melanggar hukum pidana. Bagaimanapun jeleknya suatu perbuatan sepanjang perbuata itu tidak dilarang di dalam perundangundanagan pidana perbuatan itu tetap sebagai perbuatan yang bukan kejahatan. 20 Kedua Dari sudut pandang masyarakat (a crime from the sociological point of view). Batasan kejahatan dari sudut pandang ini adalah : setiap perbutan yang melanggar norma-norma yang masih hidup dalam masyarakat. Adapun untuk menyebut suatu perbuatan sebagai kejahatan ada tujuh unsur pokok yang saling berkaitan yang harus dipenuhi. Ketujuh unsur tersebut adalah : 1. Ada perbuatan yang menimbulkan kerugian (harm). 2. Kerugian yang ada tersebut telah diatur didalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP). 3. Harus ada perbuatan (criminal act). 4. Harus ada maksud jahat (criminal intent = mens rea). 5. Ada peleburan antara maksud jahat dan perbuatan jahat. 6. Harus ada perbauran antara kerugian yang telah diatur di dalam KUHP dengan perbuatan. Harus ada sanksi pidana yang mengancam perbuatan tersebut. Ketakuatan masyarakat akan kejahatan itu tidak hanya karena derasnya arus informasi tetapi juga karena banyaknya kejadian dihampir semua tempat tanpa memandang waktu, tidak jarang terjadi dengan cara yang sadis sampai hilangnya nyawa sekeluarga seperti yang menimpa pengusaha (grosser) mas dikota semarang pada bulan juni 2008 (Moh. Hatta, 2009:34) 21 Empat alur penelitian psikologis yang berbeda telah menguji hubungan antara kepribadian dengan kejahatan. Pertama, melihat pada perbedaan-perbedaan antra struktur kepribadian dari penjahat dan bukan penjahat; kedua, memprediksi tingkah laku; ketiga, menguji tingkatan dimana dinamika-dinamika kepribadian normal beroperasi dalam diri penjahat; dan keempat, mencoba menghitung perbedaan-perbedaan individual antar tipe-tipe dan kelompok-kelompok pelaku kejahatan. (Topo Santoso, Zulfa. 2012:49) Dari beberapa pengertian dan penjelasan diatas dapat disimpukan oleh penulis adalah kejahatan kejahatan adalah hal yang dapat terjadi dimana-mana dan tidak dapat ditentukan waktunya. Dan bisa terjadi kapanpun dan dimanapun. 2. Faktor Penyebab Kejahatan Separovic (Made Dharma Weda, 1996:76) mengemukakan bahwa: Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan yaitu faktor personal, termasuk di dalamnya faktor biologis (umur, jenis kelamin, keadaan mental dan lain-lain) dan psikologis (agresivitas, kecerobohan dan lain-lain) dan faktor situasional, seperti situasi konflik, faktor tempat dan waktu. (A.S. Alam 2010:35) Adapun Faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan dalam teori-teori dan pendapat para ahli sebagai berikut: 22 a. Perspektif Biologis 1. Lahir Sebagai Penjahat (Born Criminal) Lahir Sebagai Penjahat (Born Criminal) teori born criminal dari Cesare Lombroso (1835-1909) lahir dari ide yang diilhami oleh teori Darwin tentang evolusi manusia. Di sini Lombroso membantah tentang Sifat free will yang dimiliki manusia. Doktrin atavisme menururtnya membuktikan adanya sifat hewani yang di turunkan oleh nenek moyang manusia. Gen ini dapat muncul sewaktu-waktu dari turunannya yang memunculkan sifat jahat pada manusia modern. Lombrosso menggabungkan positivism Comnte, evolusi dari Darwin, serta pioner-pioner lain dalam studi tentang hubungan kejahatan dan tubuh manusia. Bersama-sama pengikutnya Enrico Ferri dan Rafaele Gorofalo, Lombroso membangun suatu orientasi baru, Mazhab Italia atau mahzab positif, yang mencari penjelasan atas tingkah laku kriminal melalu eksperimen dan penelitian ilmiah. Ajaran inti dalam penjelasan awal Lombroso tentang kejahatan adalah bahwa penjahat mewakili suatu tipe keanehan/keganjilan fisik, yang berbeda dengan non-kriminal. Lombroso mengklaim bahwa para penjahat mewakili suatu bentuk kemerosotan yang termanifestasikan dalam karakter fisik yang mereflesikan suatu bentuk awal dari evolusi. 23 2. Tipe Fisik William H. Sheldon berpendapat bahwa ada korelasi yang tinggi antara fisik dan tempramen seseorang. Sheldon memformulasikan sendiri kelompok somatoypes, yaitu: a. The endomorph (tubuh gemuk). b. The mesomorph (berotot dan bertubuh atletis). c. The ectomporph (tinggi, kurus, fisik yang rapuh). Menurut Sheldon, orang yang didominasi sifat bawaan mesomorph cenderung lebih dari orang lainnya untuk terlibat dalam periaku illegal, Dengan mengandalkan pada pengukian fisik dan psikologis, Sheldon menghasilkan suatu ‘index to delinquency’ yang dapat digunakan untuk memberi profil dari tiap problem pria secara mudah dan cepat. Sheldon Glueck dan Eleanor Glueck Sheldon Glueck dan Eleanor Glueck melakukan studi komporatif antara pria delinquent dengan non delinquent. Pria delinquent didapati memiliki wajah yang lebih sempit, dada yang lebih besar, pinggang yang lebih besar, lengan bwah dan lengan atas lebih besar dibandingkan dengan non delinquent. Penelitian mereka juga mendapati bahwa 60% derlinquent didominasi oleh yang mesomorphic. 24 3. Difungsi Otak (Learning Disabilities) Difungsi otak dan cacat neurologist secara umum ditemukan pada mereka yang menggunakan kekerasan secara berlebihan dibanding orang pada umumnya. Banyak pelaku kejahatan kekerasan kelihatannya memiliki cacat didalam otaknya dan berhubungan dengan terganggunya self-control (pengendalian diri) Delinquency berhubungan dengan learning disabilities, yaitu kerusakan pada fungsi sensor dan motorik yang merupakan hasil dari beberapa kondisi fisik abnormal. 4. Faktor Genetik -Twin Studies Karl Cristiansen dan Sanoff A. Mednick melakukan suatu studi terhadap 3.586 pasangan kembar di suatu kawasan Denmark yang dikaitkan dengan kejahatan serius. Mereka menemukan bahwa pada identical twins (kembar yang dihasilkan dalam satu telur yang dibuahi yang membela menjadi dua embrio) jika pasangannya melakukan kejahatan, maka 50% pasangannya juga melakukan. Sedangkan pada fraternal twins (kembar yang di hasilkan dari dua telur yang terpisah, keduanya dibuahi pada saat bersamaan, angka tersebut hanya 20%. Hasil dari temuan ini mendukung hipotesis bahwa pengaruh genetika meningkatkan resiko kriminalitas. 25 -Adoption Studies Studi tentang adopsi ini dilakukan terhadap 14.427 anak yang diadopsi di Denmark menemukan data: a. Dari anak-anak orang tua angkat dan orang tua aslinya tidak tersangkut kejahatan, 13,5% terbukti melakukan kejahatan. b. Dari anak-anak yang memiliki orang tua angkat kriminal, tapi orang tua aslinya tdak, 14,7% terbukti melakukan kejahatan. c. Dari anak-anak yang orang tua angkatnya tidak kriminal, tetapi memiliki orang tua asli kriminal, 20% terbukti melakukan kejahatan. d. Dari anak-anak yang orang tua angkat dan orang tua aslinya kriminal, 24,5% terbukti melakukan kejahatan. Temuan diatas mendukung klaim bahwa kriminalitas dari orang tua asli (orang tua biologis) memiliki pengaruh lebih besar terhadap anak disbanding kriminalitas dari orang tua angkat. -The XYY Syndrome Setiap orang memiliki 23 pasang kromoson yang diwariskan. Satu pasangan kromosom menentukan gende (jenis kelamin). Seorang perempuan mendapat satu X kromosom dari ayah dan ibunya seorang lakilaki mendapat satu kromosom X dari ibunya dan satu Y kromosom ayahnya. Kadang-kadang kesalahan dalam memproduksi sperma atau sel telur menghasilkan abnormalitas genetic. Satu tipe abnormalitas tersebut 26 adalah “the XYY chromosome male” atau laki-laki dengan XYY kromosom. Orang tersebut menerima dua Y kromosom (dan bukan satu) dari ayahnya. Kurang lebih dari satu dari tiap 1000 genetika semacam ini. Mereka yang memiliki kromosom XYY cenderung bertubuh tinggi, secara fisik agresif, sering melakukan kekerasan. b. Perspektif Psikologis 1. Teori Psikoanalisis Teori Psikoanalisis tentang kriminalitas menghubungkan delinquent dan perilaku kriminal dengan suatu “conscience” (hati nurani) yang baik, dia begitu kuat sehingga menimbulkan perasaan bersalah atau ia begitu lemah sehinga tidak dapat mengontrol dorongan-dorongan dirinya bagi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi segera. Sigmund Freud (1856-1939), penemu dari psychoanalysis, berpendapat bahwa kriminalitas mungkin hasil dari “an overactive conscience” yang menghasilkan perasaan bersalah yang tidak tertahankan untuk melakukan kejahatan dengan tujuan agar di tangkap dan dihukum. Begitu dihukum maka perasaan bersalah mereka akan mereda. 5. Kekacauan Mental (Mental Disorder) Mental disorder sebagian besar dialami oleh penghuni lembaga permasyarakatan, oleh Phillipe Pinel seorang dokter Perancis sebagai manie sans delire (madness without confusion) atau oleh dokter inggris 27 bernama James C. Prichard sebagai ‘moral incanity’ oleh dan oleh Gina Lombroso-Ferrero sebagai ‘iresistible atavistic impluses’. Pada dewasa ini penyakit mental tadi disebut dibuat anti sosial personality atau psychopathy sebagai suatu kepribadian yang ditandai oleh suatu ketidakmampuan belajar dari pengalaman, kurang ramah, bersifat cuek, dan tidak pernah merasa bersalah. 6. Pengembangan Moral (Development Theory) Lawrence Kohlberg menemukan bahwa pemikiran moral tumbuh dalam tahap preconventional stage atau tahap pra-konvensional, di mana aturan moral dan nilai-nilai moral terdiri atas “lakukan” dan “jangan lakukan” untuk menghindari hukuman. Psikolog Jhon Bowl mempelajari kebutuhan akan kehangatan dan kasih sayang sejak lahir dan konsekuensinya jika tidak mendapatkan hal itu. 7. Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory) Bahwa perilaku delinquent dipelajari melalui proses psikologis yang sama sebagaimana semua perilaku non-deliquent. Tingkah laku dipelajari jika diperbuat atau diberi ganjaran, dn tidak dipelajari jika ia diperkuat. c. Perspektif Sosiologis Teori-Teori sosiologis mencari alasan-alasan perbedaan dalam hal angka kejahatan di dalam lingkungan sosial. Teori-teori ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu : (A.S. Alam. 2010:45) 28 a. Anomie (ketiadaan norma) atau Strain (ketegangan) b. Cultural Deviance (penyimpangan budaya) c. Social Control (control sosial) - Teori-Teori Penyimpangan Budaya (Cultural Deviance Theories) Cultural deviance theories terbentuk antara 1925 dan 1940. Teori penyimpangan budaya ini memusatkan perhatian kepada kekuatankekuatan sosial (sosial forces) yang menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal. (A.S. Alam. 2010:54) Cultural deviance theories memandang kejahatan sebagai seperangkat nilai-nilai yang khas pada lower class. Proses penyesuaian diri dengan sistem nilai kelas bawah yang menentukan tingkah laku di daerah-daerah kumuh, menyebabkan benturan dengan hukum-hukum masyarakat. Tiga teori utama dari cultural deviance theories, adalah : 1. Social Disorganization Theory Social Disorganization theory memfokuskan diri pada perkembangan area-area yang angka kejahatannya tinggi yang berkaitan dengan disintegrasi nilai-nilai konvensional yang disebabkan oleh industrialisasi yang cepat, peningkatan imigrasi, dan urbanisasi. Thomas dan Znaniecky mengaitkan hal ini dengan social disorganization (disorganisasi sosial), yaitu : The breakdown of effective social bonds, family and neighborthood asbsociation, and social controls in neighborhoods and communities (tidak berlangsungnya ikatan sosial, 29 hubungan kekeluargaan, lingkungan dan kontrol-kontrol sosial di dalam lingkungan yang disorganized secara sosial, di mana nilai-nilai dan tradisi konvensional tidak ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Park dan Burgess mengembangkan lebih lanjut studi tentang sosial disorganization dari Thomas dan Znaniecky dengan mengintroduksi analisis ekologis dari masyarakat manusia. Pendekatan yang kurang lebih sama digunakan para sarjana yang mengkaji human ecology (ekologi manusia), yaitu interelasi antara manusia dengan lingkungannya. Dalam studinya, Park dan Burgess meneliti karakteristik daerah yang terdiri atas zona-zona konsentrasi. Setiap zona memiliki struktur dan organisasinya sendiri, karakteristik budaya serta penghuni yang unik. Cliford Shaw dan Henry Mckdey, menggunakan penduduk yang tersebar di ruang-ruang yang berbeda untuk meneliti secara empiris hubungan antara angka kejahatan dengan ruang-ruang yang berbeda, misalnya, daerah kumuh pusat kota, daerah perdagangan, dan sebagainya. Penemuan ini berkesimpulan bahwa faktor paling krusial (menentukan) bukanlah etnisitasi, melainkan posisi kelompok di dalam penyebaran status ekonomi dan nilai-nilai budaya. Yang selanjutnya menunjukkan bahwa cultural transmition adalah : “delinquiency was socially learned behavior, transmitted from one generation to the next generation in disorganized urban areas”. (deliquensi adalah perilaku sosial yang 30 dipelajari, yang dipindahkan dari generasi ke generasi berikutnya pada lingkungan kota yang tidak teratur. 2. Differential Association E.H. Shuterland mencetuskan teori yang disebut Differential Association Theory sebagai teori penyebab kejahatan. Ada 9 proporsi dalam menjelaskan teori tersebut, sebagai berikut: 1) Criminal behavior is learned (tingkah laku kriminal dipelajari) 2) Criminal behavior is learned in interaction with other person in a process of communication (tingkah laku criminal dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam proses komunikasi). 3) The principle part of the learning of criminal behavior occurs within intimate personal groups (bagian terpenting dalam mempelajari tingkah laku kriminal itu terjadi di dalam kelompok-kelompok orang yang intim/dekat). 4) When Criminal behavior is learned, the learning includes techniques of commiting the crime, which are sometimes very complicated, sometimes very simple, and the specific direction of motives,drives,rationalization, and attitude (ketika tingkah laku kriminal dipelajari, pelajaran itu termasuk teknik-teknik melakukan kejahatan, yang kadang-kadang sangat mudah dan arah khusus dari motif-motif, dorongan-dorongan, rasionalisasi-rasionalisasi, dan sikap-sikap). 31 5) The specific direction of motives and drives is learned from definitions of the legal codes as favorable or unfavorable (arah khusus dari motif-motif dan dorongan-dorongan itu dipelajari melalui definisi-definisi dari aturan-aturan hukum apakah ia menguntungkan atau tidak). 6) A person becomes delinquent because of an excess of definitions favorable to violation of law over definitions unfavorable to volation of law (seseorang yang menjadi delinquent karena definisi-definisi yang menguntungkan untuk melanggar hukum lebih kuat dari definisi-definisi yang tidak menguntungkan untuk melanggar hukum). 7) Differential association may vary in frequency,duration,priority, and intencity (asosiasi differential itu mungkin berbeda-beda dalam frekuensi/kekerapannya, lamanya, prioritasnya, dan intensitasinya). 8) The process of learning criminal behavior by association with criminal and anticiminal patterns involes all of the mechanism that are involed in any other learning (proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui pergaulan dengan pola-pola kriminal dan anti kriminal melibatkan semua mekanisme yang berlaku dalam setiap proses belajar). 9) While criminal behavior is an expression of general needs and values, it is not explaines by those general needs and values, since noncriminal behavior is an expression of the same needs and values 32 (walaupun tingkah laku kriminal merupakan ungkapanm dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum, tingkah laku kriminal itu tidak dapat dijelaskan melalui kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut, karena tingkah laku nonkriminal juga merupakan ungkapan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai yang sama). Makna teori Sutherland merupakan pendekatan individu mengenai seseorang dalam kehidupan masyarakatnya, karena pengalaman- pengalamannya tumbuh menjadi penjahat. Dan bahwa ada individu atau kelompok individu yang secara yakin dan sadar melakukan perbuatannya yang melanggar hukum. Hal ini disebabkan karena adanya dorongan kreatif yang untuk dia melakukan pelanggaran hukum dalam memenuhi posesifnya. 3. Culture Conflict Theory (A.S. Alam. 2010:59) Culture conflict theory menjelaskan keadaan masyarakat dengan cirri-ciri sebagai berikut : a. Kurangnya ketetapan dalam pergaulan hidup. b. Sering terjadi pertemuan norma-norma dari berbagai daerah yang satu sama lain berbeda bahkan ada yang saling bertentangan. Pendapat Thorsten Sellin , setiap kelompok masyarakat memiliki conduct norms dari satu kelompok mungkin bertentangan dengan conduct norms kelompok lain. 33 Sellin membedakan antara konflik primer dan konflik sekunder. Konflik primer terjadi ketika norma-norma dari dua budaya bertentangan (clash). Konflik sekunder muncul jika suatu budaya berkembang menjadi budaya yang berbeda-beda, masing-masing memiliki perangkat conduct norms-nya sendiri. Konflik jenis ini terjadi ketika satu masyarakat homogen atau sederhana menjadi masyarakat yang kompleks dimana sejumlah kelompok-kelompok sosial berkembang secara konstan dan norma-norma seringkali tertinggal. d. Perspektif Lainnya (Topo Santoso. 2003.98) Perspektif lainnya di bagi menjadi 2 teori, yaitu: a) Labeling Theory Para penganut labeling theory memandang para kriminal bukan sebagai orang yang bersifat jahat (evil) yang terlibat dalam perbuatanperbuatan bersifat salah tetapi mereka adalah individu-individu yang sebelumnya pernah berstatus jahat sebagai pemberian sistem peradilan pidana maupun masyarakat secara luas. Dipandang dari prespektif ini, perbuatan kriminal tidak sendirinya signifikan, justru reaksi sosial atasnya-lah yang signifikan. Jadi, penyimpangan dan control atasnya terlibat dalam suatu proses definisi sosial dimana tanggapan dari pihak lain terhadap tingkah laku seorang 34 individu merupakan pengaruh kunci terhadap tingkah laku berikutnya dan juga pada pandangan individu pada diri mereka sendiri. b) Conflict Theories Teori Konflik lebih jauh mempertanyakan proses pembuatan hukum itu sendiri. Menurut mereka pertarungan (struggle) untuk kekuasaan merupakan suatu gambaran dasar ekstitensi manusia. Dalam arti pertarungan kekuasaan itulah bahwa berbagai kelompok kepentingan berusaha mengontrol pembuatan dan penegakan hukum. Untuk memahami pendekatan atau teori konflik ini, kita perlu secara singkat melihat traditional model yang memandang kejahatan dan peradilan pidana sebagai lahir dari konsensus masyarakat (communal consensus). Beberapa aspek sosial yang oleh kongres ke-8 PBB Tahun 1990 di Havana, kuba, diidentifikasikan sebagai faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan antara lain : 1. Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan (kebodohan), ketiadaan atau kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang tidak cocok atau serasi. 2. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena 81 proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial. 3. Mengendurnya ikatan sosial dan keluarga. 4. Keadaan-keadaan/kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang beremigrasi ke kota-kota atau ke Negara-negara lain. 35 5. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme kerugian/kelemahan dan dibidang diskriminasi sosial, menyebabkan kesejahteraan dan lingkungan pekerjaan. 6. Menurun atau mundurnya kualitas lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan/bertetangga. 7. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, keluarganya, tempat kerjanya atau lingkungan sekolahnya. 8. Penyalahgunaan alcohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperlukan karena faktor-faktor yang disebut diatas - Teori Kontrol Sosial (Control Social Theory) Pengertian teori control atau control theory merujuk pada setiap perspektif yang membahas ihwal pengendalian tingkah laku manusia. Semetara itu, pengertian teori control sosial merujuk kepada pembahasan delicuency dan kejahatan yang dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis, antara lain struktur keluarga, pendidikan, dan kelompok dominan. 3. Upaya Penanggulangan Kejahatan 36 (A.S Alam, 2010 : 79) Penanggulangan Kejahatan Empirik terdiri atas tiga bagian pokok, yaitu: 1. Pre-Emtif Yang di maksud dengan upaya Pre-Emtif disini adalah upayaupaya awal yang di lakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Usaha-usaha yang dilakukan dalam penanggulangan kejahatan secara pre-entif adalah menanamkan nilai-nilai / norma-norma tersebut terinteralisasi dalam diri seseorang. Meskipun ada kesempatan untuk melakukan pelanggaran / kejahatan tapi tidak ada niatnya untuk melakukan hal tersebut maka tidak akan terjadi kejahatan. Jadi dalam usaha pre-emtif faktor niat menjadi hilang meskipun ada kesempatan. 2. Preventif Upaya-Upaya preventif ini adalah merupakan tindak lanjut dari upaya Pre-Emtif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Dalam upaya Preventif yang di tekankan adalah menghilangkan kesempatan untuk di lakukannya kejahatan. 3. Represif Upaya ini dilakukan pada saat terlah terjadi tindak pidana/kejahatan yang tindakannya berupa penegakan hukum (law enforcemenet) dengan menjatuhkan hukum. 37 C. Pengertian Perang Suku Menurut Kamus Besar Bahas Indonesia (KBBI) Perang adalah permusuhan antara dua Negara (bangsa, agama, suku, dsb.) kedua negara itu dalam keadaan pertempuran. Bisa juga dikatakan perkelahian ; konflik. Perang adalah sebuah aksi fisik dan non fisik (dalam arti sempit, adalah kondisi permusuhan dengan menggunakan kekerasan) antara dua atau lebih kelompok manusia untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan. Perang secara purba di maknai sebagai pertikaian bersenjata. Di era modern, perang lebih mengarah pada superioritas teknologi dan industri. Hal ini tercermin dari doktrin angkatan perangnya seperti "Barang siapa menguasai ketinggian maka menguasai dunia". Hal ini menunjukkan bahwa penguasaan atas ketinggian harus dicapai oleh teknologi. Namun kata perang tidak lagi berperan sebagai kata kerja, namun sudah bergeser pada kata sifat. Yang memopulerkan hal ini adalah para jurnalis, sehingga lambat laun pergeseran ini mendapatkan posisinya, namun secara umum perang berarti "pertentangan". 38 Suku bangsa atau kelompok etnis adalah suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Identitas suku ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut seperti kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku, dan ciri-ciri biologis. Menurut pertemuan internasional tentang tantangan-tantangan dalam mengukur dunia etnis pada tahun 1992, "Etnisitas adalah sebuah faktor fundamental dalam kehidupan manusia. Ini adalah sebuah gejala yang terkandung dalam pengalaman manusia" meskipun definisi ini seringkali mudah diubahubah. Yang lain, seperti antropolog Fredrik Barth dan Eric Wolf, menganggap etnisitas sebagai hasil interaksi, dan bukan sifat-sifat hakiki sebuah kelompok. Proses-proses yang melahirkan identifikasi seperti itu disebut etnogenesis. Secara keseluruhan, para anggota dari sebuah kelompok suku bangsa mengklaim kesinambungan budaya melintasi waktu, meskipun para sejarawan dan antropolog telah mendokumentasikan bahwa banyak dari nilai-nilai, praktik-praktik, dan norma-norma yang dianggap menunjukkan kesinambungan dengan masa lalu itu pada dasarnya adalah temuan yang relative baru. Menurut KBBI suku bangas atau etnik adalah bertalian dengan kelompok sosial di dala sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, Bahasa, dsb. 39 Jadi yang bisa disimpulkan oleh penulis atas uraian mengenai perang dengan suku diatas adalah perang suku merupakan suatu aksi fisik maupun non-fisik berupa pertempuran yang dilakukan oleh antar kelompok yang mana kelompok tersebut memiliki kesamaan budaya, Bahasa, adat, dsb. Dalam satu garis keturunan. Yang dilakukan antar kelompok etnis atau antar suku. 40 BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Penelitian yang digunakan oleh penulis nantinya adalah penelitian secara empiris dimana penulis nantinya akan turun langsung ke lapangan untuk mengumpulkan data. B. Lokasi Penelitian Lokasi yang nantinya dijadikan tempat penelitian oleh penulis adalah daerah Provinsi Papua, Kabupaten Jayawijaya, Kota Wamena. Lokasi tersebut menajadi pilihan penulis sebab kota wamena merupakan salah satu wilayah yang sering tejadi perang suku. Tempat-tempat yang nantinya untuk mencari bahan penelitian antara lain adalah kantor kepolisian kota wamena, pengadilan negeri wamena, kantor Bupati, dan wilayah-wilayah yang sering menjadi tempat terjadinya perang suku. C. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Data primer, yaitu data yang diperoleh dari berbagai sumber, data yang diperoleh langsung dari penelitian, termasuk apa yang didengar dan disaksikan sendiri oleh penulis. 41 2. Data sekunder, yaitu data yang di peroleh dari sumber lain, hasil kajian buku-buku, karya ilmiah, majalah harian, serta peraturan perundang-undangan. D. Teknik Pengumpulan Data Dalam teknik pengumulan data penulis menggunakan dua metode, yakni : 1. Interview / Wawancara Dalam teknik Interview / Wawancara penulis melakukan teknik wawancara / interview terhadap narasumber secara langsung sebagai sumber informasi agar dapat diketahui tanggapan, pendapat, keyakinan, perasaan, motivasi, serta cita-cita dari narasumber yang berkaitan dengan perang suku. Metode pengumpulan data dengan teknik wawancara / interview dilakukan penulis dalam hal meminta pandangan narasumber terkait dengan permasalahan yang telah dirumuskan. 2. Penelitian Pustaka Penulis melakukan proses pengumpulan data untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dengan cara menganalisis bahan-bahan pustaka yang terkait dengan permasalahan yang dikaji, baik itu narasumber dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier 42 E. Teknik Analisis Data Metode analisis data yang digunakan adalah untuk mengolah dan menganalisa data yang diperoleh selama penelitian adalah anilisis kualitatif yang dilakukan dengan cara menguraikan data yang telah dikumpulkan secara sistematis dengan menggunakan ukuran kualitatif, kemudian dideskripsikan sehinggah diperoleh pengertian atau pemahaman, persamaan, pendapat, dan perbedaan pendapat mengenai perbandingan bahan hukum primer dengan bahan hukum sekunder dari penelitian yang dilakukan oleh penulis. Metode berpikir dalam mengambil kesimpulan adalah metode deduktif yang menyimpulkan dari pengetahuan yang bersifat umum, kemudian digunakan untuk menilai suatu peristiwa yang bersifat khusus. 43 BAB IV PENELITIAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Wamena adalah salah satu distrik di Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua, Indonesia, sekaligus merupakan ibukota kabupaten tersebut. Wamena merupakan kota yang terletak di sebuah lembah yang dinamakan Lembah Baliem. Di Wamena terletak lapangan terbang yang satu-satunya mampu menghubungkan wilayah Wamena dengan Jayapura dan kota besar lainnya di Papua. Wamena merupakan satu-satunya kota terbesar yang terletak di pedalaman tengah Papua. Wamena berasal dari bahasa Dani yang mempunyai arti yaitu ”Wam” dan “Ena” yang artinya Babi yang Jinak. Berbeda dengan kota-kota besar lainnya di Papua, seperti Timika, Jayapura, Sorong, dan Merauke, Wamena merupakan surga dan mutiara yang belum banyak tersentuh di pedalaman pegunungan tengah Papua. Kota ini terletak di Lembah Baliem dan dialiri oleh sungai Baliem, diapit pegunungan Jayawijaya diselatannya dengan ketinggian 1600 Mdpl (meter di atas permukaan laut), luas wilayah 249,31 Km 2, dan jumlah penduduk 48.640. Kota Wamena masih memiliki udara yang sangat segar dan jauh dari polusi udara dibandingkan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Sebagaimana halnya kebanyakan kota-kota di pedalaman Papua, kota ini berkembang sesuai dengan pola perkembangan sekitar bandara 44 udara. Kota yang banyak dikunjungi oleh wisatawan lokal dan mancanegara ini sangatlah indah dan alamnya masih asli. Terutama pada musim penyelenggaraan di Distrik Wosilimo, kota ini dibanjiri oleh para wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Masyarakat di Lembah Baliem ini merupakan masyarakat agraris yang bercocok tanam secara tradisional dan berpindah-pindah untuk memperoleh tanah subur atau humus pada lahan baru. Sedangkan rumah adat di Wamena dinamakan “HONAI”. Honai juga sering dijadikan rumah adat khas Papua. Hewan babi merupakan ternak yang banyak dijumpai di Wamena, babi seolah sudah menyatu dengan kehidupan masyarakat. Umumnya, acara pernikahan maskawinnya dengan minimal 5 (lima) ekor babi dan satu buah Noken (tas tradisional yang terbuat dari kulit pohon). Suku asal masyarakat Wamena adalah suku Dhani yang amat terkenal di seluruh Papua karena kebiasaan berperang, yang konon katanya suku Dhani dan suku Asmat merupakan suku asli bumi Cendrawasih Papua. Mereka sangat lihai menggunakan panah dan katapel. Selain panah dan katapel, dahulu kala mereka menggunakan parang yang terbuat dari batu dan pisau tusuk yang terbuat dari tulangbelulang. Tulang yang biasa digunakan adalah tulang kaki burung kasuari (kotekacity.blogspot.com/2010/06/gambaran-umum-kota-wamena.html?). 45 Polsek Wamena merupakan polsek yang berada dalam wilayah hukum Polres Jayawijaya Kota (jarak tempuh melalui transportasi darat sepanjang 2 Km ) meliputi 14 Desa dan terdapat 4 (empat) Pospol yaitu: - Pospol Jibama - Pospol Sinakma - Pospol Walelagama - Pospol Wouma B. Data Kejahatan dan Perang suku di Wamena Dalam usaha untuk mengetahui apakah suatu kejahatan mengalami peningkatan dan penurunan, dapat dilihat pada angka-angka statistik yang dibuat oleh pihak kepolisian maupun pihak-pihak yang terkait (dalam hal ini TNI). Pihak kepolisian merupakan instansi pertama tempat melaporkan tentang terjadinya suatu tindak pidana dalam masyarakat. Disamping itu, sebagaimana yang terjadi dalam penyusunan statistik kriminal, peningkatan atau penurunan angka-angka dalam statistik tersebut sangat dipengaruhi oleh kejadian yang terjadi di daerah Wamena. Statistik kejahatan merupakan statistik tentang kejahatan yang terjadi dalam masyarakat. Penyusunan statistik sangat sulit jika diharapkan secara menyeluruh merangkum data kejahatan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Sehubungan dengan penelitian mengenai Perang Suku di Wamena untuk mengetahui jumlah Perang suku di Wamena 4 tahun terakhir, penulis telah menguraikan beberapa data mengenai kejahatan, 46 data kasus kejahatan yang di selesaikan secara adat, dan data perang suku dalam bentuk tabel sebagai berikut (data diambil pada 15-19 Januari 2015). Table 1 Data jumlah kejahatan Polres Jayawijaya kota Wamena tahun 20112014 No. Tahun Kasus Lapor Selesai 1. 2011 264 191 2. 2012 382 229 3. 2013 425 205 4. 2014 408 158 1479 783 Jumlah Sumber : (Data dari Polres Jayawijaya kota Wamena) bulan januari 2015 Berdasarkan tabel di atas, jumlah kejahatan di Kabupaten Jayawijaya selama 4 tahun terakhir yaitu dari tahun 2011-2014, terdapat 1479 kasus kejahatan, dimana yang terselesaikan terdapat 783 kasus. Kejahatan dari tahun ke tahun di Kabupaten Jayawijaya selalu mengalami peningkatan dan penurunan. Perincian kasus kejahatan dari tahun ke tahun yaitu: pada tahun 2011 terjadi 264 kasus kejahatan, kemudian pada tahun 2012 terjadi 382 kasus, pada tahun 2013 terjadi 425 kasus, dan pada tahun 2014 terjadi peningkatan kembali 408. Dari hasil yang diperoleh bahwa setiap tahun jumlah kasus yang dilaporkan kepada pihak kepolisian selalu mengalami peningkatan. 47 Sedangkan dalam penyelesaian kasus tersebut mengalami peningkatan dan penurunan (berfluktuasi). Adapun rincian data yang menunjukkan adanya fluktuasi yaitu: pada tahun 2011 kasus yang dapat diselesaikan 191 kasus, pada tahun 2012 terjadi peningkatan dimana kasus yang dapat diselesaikan 229 kasus, dan pada tahun 2013 terjadi penurunan penyelesaian kasus sebanyak 205 kasus, dan pada tahun 2014 mengalami lagi penerunan penyelesaian kasus dimana jumlah kasus yang terselesaikan pada tahun tersebut 158 kasus. Tabel 2 Data jumlah kasus yang harus diselesaikan secara adat di Wamena tahun 2011-2014 No. Tahun Kasus 1. 2011 65 2. 2012 71 3. 2013 59 4. 2014 55 Jumlah 250 Sumber : (Data dari Polres Jayawijaya kota Wamena) bulan januari 2015 Berdasarkan tabel di atas, jumlah kasus yang harus diselesaikan secara adat di Kota Wamena dari tahun 2011-2014 berjumlah 250 kasus. Pada tahun 2011 tercatat 65 kasus dan pada tahun 2012 meningkat menjadi 71 kasus. Lalu pada tahun 2013 mengalami penurunan menjadi 59 kasus dan pada tahun 2014 kembali mengalami penurunan menjadi 55 kasus. Dari data di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa kasus yang 48 diselesaikan secara adat mengalami fluktuasi pula. Jika dilihat dari jumlah yang tertera diatas itu dapat pula disimpulkan oleh penulis bahwa tingkat kasus yang diselesaikan secara adat cukup banyak. Tabel 3 Data jumlah kasus perang suku di Wamena tahun 2011-2014 No. Tahun Perang suku 1. 2011 4 2. 2012 4 3. 2013 5 4. 2014 6 Jumlah 18 Sumber : (Data dari Polres Jayawijaya dan Kodim 1702 Jayawijaya kota Wamena) bulan januari 2015 Dari tabel 3 diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa perang suku di Wamena selalu mengalami peningkatan. Pernyataan tersebut berdasarkan data dimana pada tahun 2011 terjadi 4 kasus, pada tahun 2012 terjadi 4 kasus, kemudian pada tahun 2013 terjadi 5 kasus, dan pada tahun 2014 terjadi 6 kasus. Dari tahun ke tahun terlihat adanya peningkatan kasus. Berdasarkan wawancara dengan Kasat Reskrim IPTU Goerge Wattimena (wawancara pada tanggal 6 Januari 2015 pukul 10.00 WIT) bahwa perang suku yang terjadi pada tahun 2011-2014 seperti yang tertera diatas adalah akibat kejahatan pembunuhan, pencurian ternak (pencurian 49 babi), minuman keras (minuman yang memabokkan) baik minuman local dan tradisional, dan karena penganiayaan. Dimana ketika terjadi suatu perang suku maka akan menimbulkan korban-korban baru. Kemudian pernyataan dari Kasat Reskrim IPTU Goerge Wattimena di tambahkan oleh Kasat Binmas IPTU D. Hilapok (wawancara tanggal 10 Januari 2015 pukul 11.00 WIT) bahwa perang suku tersebut bukan hanya terjadi akibat suatu kejahatan yang berhubungan dengan unsur-unsur pemidanaan atau masuk rana pidana, melainkan juga terjadi akibat sengketa tanah dan karena perempuan yang juga mengarah pada rana Perdata. C. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perang Suku di Wamena Perang suku bukanlah hal baru yang terjadi di masyarakat pegunungan tengah, khususnya di Wamena. Karena berdasarkan data pada pembahasan sebelumnya bahwa perang suku ini sering sekali terjadi dan proses perang maupun penyelesaiannya yang sangat berkepanjangan. Perang tersebut juga memakan waktu yang cukup lama dan menjadi pemandangan yang sering disaksikan oleh masyarakat di Wamena. Berdasarkan hasil penelitian langsung oleh penulis tentang perang suku di Wamena, ditemukan fakta penting yang menjadi penyebab terjadinya Perang Suku tersebut, yaitu: a. Faktor Kebiasaan (Budaya) 50 Masyarakat lokal sebelum mengenal adanya agama, perang suku ini sudah sering dilakukan oleh mereka. Maka terjadinya suatu Perang Suku tidak terlepas dari faktor kebiasaan masyarakat di Wamena itu sendiri. Kebiasaan ini merupakan suatu tindakan masyarakat Wamena dalam menyelesaikan masalah ketika terjadi suatu konflik, yang mengakibatkan adanya korban jiwa ataupun korban harta (Marthen Yadlogon Medlana 2009:92). Berdasarkan wawancara dengan Kur Mabel, salah satu kepala suku besar di Wamena (wawancara pada tanggal 18 januari 2015 pukul 14.00 WIT), kebiasaan ini telah dilakukan dari zaman nenek moyang. Dalam hal ini, beliau mengungkapkan bahwa perang suku adalah suatu warisan yang diturunkan kepada mereka, dimana mereka meneruskan tradisi ini ke anak cucu mereka. Mereka juga meyakini bahwa ketika salah seorang dari suku mereka menjadi korban dan mereka tidak membalas, maka suku mereka diremehkan oleh suku lain. Mereka juga beranggapan jika tidak membalas kepada suku si pelaku maka akan terjadi ketidakseimbangan atau rusaknya keseimbangan dalam suku mereka b. Faktor Dendam Faktor dendam adalah faktor yang paling berpengaruh. Hal tersebut terjadi secara turun temurun, diwariskan beban-beban balas dendam dan tanggung jawab yang harus dibalaskan melalui 51 perang suku. Dendam yang paling besar dan tidak bisa dilupakan adalah dendam atas korban perang suku yang tidak dibalas. Istilah yang dipakai dalam perang suku adalah “belum potong kepala” artinya belum dibayar kepala atas korban tersebut. Contoh balas dendam ialah marga A mendapatkan pesan dari orang tua mereka bahwa nenek moyang mereka pernah menjadi korban karena diserang oleh marga B dan belum bayar kepala. Maka marga A menyimpan dendam dan menunggu kapan akan terjadi konflik perang suku. Hingga suatu saat terjadi konflik perang suku antara marga tertentu atau suku tertentu, maka marga A mencuri kesempatan untuk balas dendam kepada marga B. Sebaliknya nenek moyang marga A pernah dibantu oleh nenek moyang marga B, maka marga A harus menunggu sampai ketika terjadi perang, lalu marga A ikut bergabung membantu marga B berperang menyerang marga atau suku tertentu (salah satu faktor yang mengakibatkan kasus perang suku pada tanggal 20 Desember antara suku Kurima dan Assolokobal yang di bantu oleh suku Wouma yang di saksikan langsung oleh penulis). c. Faktor pendidikan Faktor pendidikan merupkan faktor penting terjadinya suatu perang suku di Wamena (Kosay Paskalis 2011:144). Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan kunci dari kemajuan 52 peradaban suatu bangsa. Menyadari akan hal itu, pemerintah melalui Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua telah menetapkan sektor pendidikan, kesehatan, dan gizi menjadi program unggulan dalam pelaksanaan Otonomi Khusus. Suksesnya pelaksanaan otonomi khusus Provinsi Papua sangat di tentukan oleh mutu SDM Papua. Salah satu faktor penentu SDM yang bermutu adalah kualitas pendidikan yang baik. Oleh sebab itu, pembangunan dibidang pendidikan ditempatkan sebagai prioritas utama. Kosay Paskalis (2011:144) menuliskan bahwa banyak bertambah sekolah-sekolah dasar kampung-kampung, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di ibukota kabupaten dan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di ibukota kabupaten, namun belum menunjukkan mutu pendidikan yang signifikan. Hal ini terbukti banyak lulusan sekolah-sekolah dari daerah pedalaman dan terpencil ternyata memiliki kemampuan membaca dan menghitung masih rendah. Penulis juga menyadari dan merasakan bahwa mutu pendidkan di Wamena itu sendiri masih kurang. Penulis sering melihat dan mendengar bahwa tingkat perkelahian anak sekolah di Wamena itu sendiri sering sekali terjadi, 53 baik itu antar sekolah dengan sekolah, ataupun dalam satu sekolah itu sendiri. Maka penulis juga dapat menyimpulkan bahwa kurang pengawasan dari para guru dan kurangnya mutu pendidikan tersebut mengenai perkelahian anak sekolah ini juga mampu menimbulkan suatu perang suku. Ini disadari pula oleh penulis ketika penulis mengikuti salah satu proses penyelesaian perang suku, penulis melihat adanya anak-anak dan remaja berumur sekitar 1217 tahun dalam barisan suku yang berperang tersebut (penyelesaian perang suku pada tanggal 6 januari 2015 pukul 15.00 di halaman Polres Jayawijaya kota Wamena). d. Faktor Perempuan Faktor perempuan adalah salah satu faktor penting mengapa sering terjadi perang suku. Berdasarkan wawancara penulis dengan Ketua Lembaga Masyarakat Adat Wamena (LMA Wamena), Bapak Kayok Hubi (wawancara tanggal 15 januari 2015 pukul 10.00 WIT), masyarakat kota Wamena menganggap bahwa harta yang paling berharga adalah perempuan. dikatakan harta yang paling berharga karena sosok perempuan dalam masyarakat adat di Wamena merupakan sosok yang penting salah satunya menjadi tulang punggung keluarga dimana yang menggarap ladang bercocok tanam adalah perempuan. Jadi ketika harta mereka tersebut direbut ataupun dilecehkan, maka akan membuat reaksi besar kepada keluarga perempuan tersebut. Di Wamena sendiri kasus-kasus yang 54 bersangkutan dengan perempuan seperti halnya perzinahan, membawa lari perempuan, pemerkosaan, hingga memperkosa gadis di bawah umur ini sering sekali terjadi. Berdasarkan data yang didapat dari pihak kepolisian, data kasus-kasus tersebut berjumlah 29 kasus (data tahun 2011-2014) dan pada tahun 2014 terjadi salah satu kasus mengenai perempuan yang mengakibatkan perang suku. Maka faktor perempuan ini merupakan salah satu pemicu besar terjadinya perang suku. Berdasarkan wawancara dengan yang berinisial (wawancara tanggal 8 januari 2015,pukul 13.00 WIT) EK yang merupakan salah satu dari keluarga dari korban kasus pelecehan gadis di bawah umur, menyatakan bahwa perang suku merupakan tindakan yang nantinya akan diambil ketika hasil dari penyelesaian yang dilakukan oleh kepolisian tidak dapat memberikan keadilan bagi pihak korban. Lalu, berdasarkan wawancara dengan Kepala Suku Kutikape Haluk, (wawancara pada tanggal 19 Januari 2015 pukul 13.00 WIT) bahwa perempuan adalah hal yang sangat dijaga dan tidak dapat dipermainkan, maka ketika hal tersebut telah dilanggar maka akan mengganggu keluarga mereka. Inilah salah satu yang dapat membuat penulis menyimpulkan bahwa faktor perempuan merupakan salah satu faktor penting terjadinya perang suku. e. Faktor Pencurian Ternak (pencurian babi) 55 Ternak dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) pasal 101 adalah semua binatang yang berkuku satu, binatang yang memamah biak dan babi (R.Soesilo 1995:105). Faktor pencurian ternak merupakan salah satu faktor pemicu perang suku. Menurut ketua LMA, Bapak Kayok Hubi (wawancara tanggal 15 januari 2015 pukul 10.00 WIT), selain perempuan, babi merupakan harta mereka yang paling berharga. Setelah penulis melakukan penelitian dan melihat langsung kehidupan masyarakat di Wamena, tak jarang masyarakat di wamena lebih memperhatikan babi mereka dibandingkan anak mereka sendiri. Bukan hanya sekedar mencuri babi, tetapi ketika babi mereka di tabrak atau membuat babi tersebut mati, maka disini juga dapat menimbulkan konflik yang mampu menyebabkan perang suku. Dimana budaya denda berlaku didalamnya. Inilah yang tak jarang menjadi pemicu terjadinya perang suku karena ketidak sanggupan membayar denda yang diminta oleh pihak pemilik babi tersebut. f. Faktor Sengketa Tanah Faktor sengketa tanah dikatakan salah satu penyebab terjadinya perang suku. Hal tersebut berdasarkan wawancara dengan Kasat Binmas IPTU D. Hilapok, (wawancara tanggal 10 Januari 2015 pukul 11.00 WIT) dan berdasarkan pula kasus pada tanggal 19 April 2013 yang dipicu akibat perebutan batas 56 perkebunan (data kasus yang di ambil di Kodim 1702 Jayawijaya pada tanggal 22 januari 2015 WIT). Berkat data tersebut, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa sengketa tanah mampu menimbulkan pula konflik perang suku. Dimana beberapa teori sangat jelas menyatakan bahwa yang memicu konflik peperangan tidak lepas dari perebutan wilayah dan sengketa Tanah. Inilah yang meyakinkan penulis mengenai perang suku di Wamena tak terlepas dari sengketa tanah. g. Faktor ketidaksadaran Hukum Faktor ini merupakan faktor yang kerap dijumpai yang menyebabkan perang suku. Salah satu ketidaksadaran hukum yang menyebabkan perang suku adalah karena minuman keras (miras) yang menjadi konsumsi bagi sebagian besar masyarakat di Wamena baik inuman modern dan tradisional (balo’). Akibat dari maraknya peredaran miras di Wamena, ketika miras tersebut dikonsumsi, akan membuat peminumnya bersifat ugal-ugalan dalam berkendara, anarkis, dan juga berani untuk melakukan kejahatan lainnya seperti merampok, menodong, bahkan sampai menghilangkan nyawa orang lain. Hal ini sangat meresahkan masyarakat di Wamena. Ketidaksadaran menyebabkan konflik hukum perang berikutnya suku adalah yang mampu ketidaksadaran 57 masyarakat di Wamena dalam berkendara, seperti tidak mengenakan helm, tidak memiliki surat-surat, dan sebagainya. Hal ini juga sangat berkaitan dengan miras tersebut, dimana ketika mereka telah mengkonsumsi miras mereka nekat untuk menggunakan kendaraan, dan inilah yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas (LAKA LANTAS), lalu akibat kecelakaan tersebut akan menyebabkan perang suku. Salah satu kasus yang disebabkan karena LAKA LANTAS adalah kasus perang suku antara suku Walani dengan suku Maplima yang dikarenakan LAKA LANTAS di bandara yang menimbulkan adanya korban jiwa. (data diambil dari kepolisian) Adapun salah satu hal yang sangat mempengaruhi ketidaksaran hukum diatas yang mengakibatkan perang suku ialah kurangnya kesadaran masyarakat yang melihat suatu kejahatan ataupun suatu LAKA LANTAS tidak segera melaporkan kepada pihak yang berwajib (kepolisian). Masyarakat justru hanya menjadikan kejadian tersebut sebagai bahan tontonan. Inilah yang biasanya menyebabkan pertikaian antar keluarga terlebih dahulu dan akan membesar menjadi suatu perang suku. h. Faktor Saling Menuntut Bayar Kepala dan Denda atas Korban Perang Suku Faktor ini merupakan faktor yang dapat memperpanjang suatu konflik perang suku, dimana masyarakat di Wamena percaya 58 bahwa darah manusia merupakan hidup dan panas, sama dengan hewan, sehingga darah tersebut saling menuntut dan mendorong manusia untuk perang. Fakta menunjukkan bahwa setiap kali terjadi perang suku, maka yang banyak korban adalah marga-marga tertentu yang pernah makan harta atas korban perang suku. Karena dorongan dan tuntutan darah manusia sehingga marga tersebut sering tidak menyadari dampak terburuk yang mungkin akan terjadi, justru mempunyai keinginan yang kuat untuk menuntut bayar kepala/harta atas korban perang suku. Kadang juga menuntut kepala pihak pelaku perang untuk membayar kepala atas korban, tetapi karena tidak memenuhi maka menyatakan perang baru. Salah satu kasus perang suku yang sedang berlangsung di Kampung Pikey, distrik Wamena, yang ditengahi oleh Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Kota Wamena, Kompol Matius Mabel. Naas bagi beliau karena ketika sedang menengahi, beliau terkena anak panah dari insiden ini. Hal tersebut menimbulkan perang suku baru, dimana suku dari Kapolsek tersebut merasa tidak terima atas meninggalnya salah satu anggota dari sukunya, maka terjadilah perang suku baru. Karena merasa tidak puas dengan denda yg ditawarkan maka perang suku tersebut berlanjut kambali. i. Faktor Politik Ketika penulis mengambil data (data diambil tanggal 22 Januari 2015), perang suku juga terjadi akibat suatu perselisihan 59 politik yang melibatkan langsung para pendukung kubuh-kubuh yang saling memperebutkan kekuasaan ataupun mereka dari berbagai suku yang dapat menimbulkan perang suku dalam skala besar. Kasus tersebut terjadi pada tahun 2012 antara Suku Nduga Atas beperang dengan Suku Nduga Bawah. Kasus tersebut juga mengakibatkan perang yang sangat berkepanjangan yang mencapai 1 tahun lamanya untuk dapat di selesaikan pada tahun 2013. Hal mengenai kasus politik ini sering di jumpai bahkan didaerah-daerah terpencil di pegunungan jayawijaya, bukan hanya kasus diatas saja yang menerangkan terjadinya perang suku, tetapi berdasarkan wawancara langsung penulis dengan berbagai masayarakat di wamena dengan mengenai perselisihan politik ini tak jarang memang menimbulkan suatu reaksi negatif yang mengakibatkan suatu perang suku. j. Faktor Kurang Tegas Aparat Penegak Hukum Faktor kurang tegasnya penerapan hukum yang berlaku di Wamena oleh aparat penegak hukum merupakan salah satu faktor penting yang menyebabkan beberapa faktor diatas terjadi, faktor ini apabila tidak diperdulikan oleh aparat penegak hukum akan menimbulkan akar permasalahan yang dapat membesar hingga perselisihan antar suku. Dimana dari seringnya masyarakat diresahkan oleh orang-orang yang telah mengkonsumsi minuman keras, dan juga seringnya terjadi pencurian, dan lain-lain. 60 Dikarenakan kurangnya pengawasan dan ketegasan dalam penjatuhan hukuman, yang tidak menimbulkan efek jera bagi para pelaku. D. Upaya yang Dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum dalam Menanggulangi Terjadinya Perang Suku di Wamena Dalam menyelesaikan suatu kasus yang berhubungan dengan adat telah diatur dalam Undang-Undang No.21 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua: Pasal 50 1) Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai dengan peraturan perundang- undangan. 2) Di samping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu. Pasal 51 1) Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. 61 2) Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. 3) Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. 4) Dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau yang berperkara berkeberatan atas putusan yang telah diambil oleh pengadilan adat yang memeriksanya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pihak yang berkeberatan tersebut berhak meminta kepada pengadilan tingkat bersangkutan. 5) Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau kurungan. 6) Putusan pengadilan adat mengenai delik pidana yang perkaranya tidak dimintakan pemeriksaan ulang sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4), menjadi putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap. 7) Untuk membebaskan pelaku pidana dari tuntutan pidana menurut ketentuan hukum pidana yang berlaku, diperlukan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan dari Ketua Pengadilan Negeri yang mewilayahinya yang diperoleh melalui Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan dengan tempat 62 terjadinya peristiwa pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3). 8) Dalam hal permintaan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan bagi putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditolak oleh Pengadilan Negeri, maka putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi bahan pertimbangan hukum Pengadilan Negeri dalam memutuskan perkara yang bersangkutan. Sangat jelas dalam Undang-undang Otonomi Khusus (Otsus) mengenai penyelesaian perkara yang berhubungan dengan adat termasuk perang suku itu harus pada peradilan adat. Tetapi dalam kenyataannya menyelesaikan suatu perang suku tidak dapat diselesaikan pada peradilan adat. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya peradilan adat di Wamena. Berdasarkan penelitian penulis di Kepolisian dan wawancara dengan Kasat Binmas IPTU D. Hilapok, (wawancara pada tanggal 10 januari 2015 pukul 11.00 WIT) upaya yang diambil oleh aparat penegak hukum adalah dengan cara memediasi para pelaku perang suku. Disini polisi berperan menjadi mediator. Dikarenakan dalam undang-undang otonomi khusus tersebut mengatur bahwa permasalahan tersebut diselesaikan di peradilan adat maka inisiatif yang digunakan adalah kepolisian didampingi oleh para tetua-tetua adat, para tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh pemuda, tokoh-tokoh masyarakat, perwakilan LMA, dan di back up (menyokong) dari pihak TNI (Tentara Nasional Indonesia). 63 Langkah-langkah yang dilakukan dalam menangani masalah tersebut adalah sebagai berikut: 1. Dengan memfasilitasi kedua belah pihak yang bertikai dengan cara mengundang untuk dipertemukan dan ditengahi langsung oleh para penegak hukum yang terkait. 2. Mencari akar masalah kenapa terjadi konflik tersebut. 3. Memberikan solusi penyelesaian dengan mempertimbangkan hukum adat yang berlaku. Berdasarkan penglihatan langsung dan berbagai wawancara oleh penulis, solusi yang diberikan adalah dengan membayar denda adat. Denda adat ditentukan oleh pihak-pihak terkait. Dikarenakan tidak ada aturan khusus yang mangatur tentang perang suku, maka dendanya tidak ada batasan, namum para penegak hukum akan menawar jika denda terlalu besar bagi pihak yang dimintai denda. Jadi, ketika denda adat telah ditentukan dengan kesepakatan bersama maka pihakpihak tersebut dapat berdamai, sebaliknya jika denda tidak terpenuhi maka perang akan berkelanjutan. 4. Apabila hasil dari poin (3) tidak bisa diputuskan maka akan diberikan instruksi khusus oleh pihak LMA untuk memberikan pemahaman tentang budaya/adat yang berlaku di masingmasing suku. 64 5. Apabila telah menemakan titik terang dan telah memilki kesepakatan maka akan dibuatkan surat pernyataan sebagai bukti penyelesaian masalah. Berdasarkan wawancara dengan IPTU Goerge Wittimena dalam hal penindakan hukum adalah memprioritaskan keberlakuan hukum adat, tetapi dengan adanya hukum adat tidak menghapus hukum positif dimana hukum positif akan menindak tegas pelaku-pelaku yang menyebabkan sehingga terjadinya perang suku. Berdasarkan penelitian penulis Upaya dari pemerintahan untuk menangani konflik perang suku dan ini berhubungan ketika poin 3 diatas mengenai langkah-langkah penyelesaian tersebut adalah, ketika para pihak yang melakukan perang suku dimana suku yang menjadi korban meminta denda kepada suku yang menjadi pelaku, dan suku pelaku tidak dapat memenuhi denda tersebut, kemudian pihak yang menjadi mediator tidak mampu meminimalisir denda tersebut, maka disini pemerintah akan memberikan bantuan dana langsung kepada pihak yang dimintai denda tersebut. Menurut penulis upaya yang dilakukan oleh pemerintahan di kota Wamena ini adalah salah, dikarenakan ini akan memanjakan masyarakat kota wamena, dimana masyarakat yang melakukan perang suku akan berfikir ketika mereka tidak mampu membayar, maka nantinya yang akan membantu mereka adalah pemerintah. Inilah yang nantinya akan menjadi pergeseran kebiasaan, dimana dulunya perang suku terjadi akibat mempertahankan kehormatan marga dan perlindungan terhadap harta 65 yang berharga. Akan beralih menjadi kebiasaan untuk mendapatkan uang bagi masyarakat wamena. Adapun upaya-upaya penyelesaian perang suku secara empirik adalah sebagai berikut: 1. Pre-Emtif Berdasarkan wawancara dengan Kasat Binmas IPTU D. Hilapok, (wawancara tanggal 10 Januari 2015 pukul 11.00) adalah upaya-upaya penegak hukum secara pre-emtif dengan cara melakukan berbagai macam sosialisasi kepada masayarakat dan sekolah-sekolah, baik itu sosialisasi tentang Lalu Lintas yang dapat mengakibatkan LAKA LANTAS, perkelahian anak sekolah, dan pentingnya melaporkan kepada kepolisian jika melihat atau mengetahui terjadinya suatu tindak kejahatan. Beliau melihat bahwa usaha tersebut masih kurang, dikarenakan kurangnya kesadaran hukum bagi masyarakat Wamena. Akan tetapi, beliau meyakini bahwa kepolisian akan terus berusaha untuk dapat menyadarkan masyarakat akan pentingnya Hukum. 2. Preventif Berdasarkan wawancara dengan Kasat Reskrim IPTU Goerge Wattimena, (wawancara tanggal 6 januari 2015 pukul 10.00) bahwa kepolisian melakukan berbagai macam patroli baik di siang hari maupun malam hari. Dan ketika kepolisian mendapat laporan jika terjadi suatu tindak kejahatan, maka kepolisian akan bergerak 66 menuju tempat terjadinya kejadian tersebut dan melakukan pendekatan dengan tokoh-tokoh. Ketika akan terjadi suatu eskalasi perang suku kepolisian akan langsung datang ke tempat kejadian untuk menyelesaikannya, dimana hal yang dilakukan kepolisian pertama kali adalah melakukan sosialisasi bahwa tidak perlu dilakukannya perang suku untuk menyelesaikan masalah mereka tersebut, karna masih banyak solusi untuk menyelesaikannya. Dan kepolisian juga melakukan pendakatan-pendekatan dengan parapara tokoh-tokoh masyarakat baik itu tokoh adat, tokoh pemuda, tokoh perempuan, dan tokoh agama yang ada di tempat kejadian perkara, dikarenakan melalui suara-suara mereka dapat menghentikan perang suku. Tetapi terkadang tindakan tersebut tidak dapat mencegah terjadinya perang suku. 3. Represif Upaya represif yang akan dilakukan oleh pihak kepolisian telah diatur dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Berdasarkan wawancara dengan Kasat Reskrim IPTU Goerge Wattimena, (wawancara tanggal 6 januari 2015 pukul 10.00) bahwa dalam menangani suatu perang suku, 67 kepolisian akan menahan dengan membuat brikade (pertahanan) agar perang tersebut tidak menimbulkan korban lain dari pihak yang bertikai. Sebelum kepolisian turun untuk melakukan operasi penyelesain perang suku yang sedang berlangsung, jika merasa kurang mampu untuk menyelesaikan masalah tersebut maka kepolisian meminta di back up oleh pihak TNI. Jika situasi tidak terkontrol maka kepolisian akan turun langsung ketengah-tengah pertikaian dan menyampaikan agar mereka bernegosiasi ataupun dengan cara mediasi agar mereka menemukan titik terang. 68 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian pada bab pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa: 1. faktor-faktor penyebab terjadinya perang suku ada 9, yaitu: 1. Faktor Kebiasaan (adat istiadat) 2. Faktor Dendam 3. Faktor pendidikan 4. Faktor Perempuan 5. Faktor pencurian ternak (pencurian babi) 6. Faktor sengketa tanah 7. Faktor ketidak patuhan hukum 8. Faktor saling menuntut bayar kepala dan denda atas korban perang suku 9. Faktor Politik 10. Faktor Kurang Tegas Aparat Penegak Hukum. 2. upaya-upaya yang dilakukan aparat penegak hukum dalam menanggulangi perang suku adalah dengan cara Pre-Emtif, dimana usaha pencegahan kejahatan yang dilakukan oleh kepolisian berupa berbagai macam sosialisasi untuk menghimbau agar masyarakat sadar akan hukum. Dapat pula dengan cara preventif, dimana kepolisian 69 melakukan patroli baik siang hari maupun malam hari. Dan secara represif, dimana kepolisian mencegah timbulnya korban dari luar perang suku. B. Saran Adapun saran yang akan diberikan oleh penulis adalah sebagai berikut: 1. Saran penulis yang ditujukan kepada pemerintahan Kabupaten Jayawijaya Khususnya pemerintahan Kota Wamena adalah untuk segera membuat aturan khusus mengenai perang suku agar proses penyelesain perang suku ini dapat diselesaikan dengan mudah berdasarkan aturan tersebut. Kemudian pemerintah diharapkan lebih mendekatkan dirinya kepada masyarakat agar terjalin ikatan emosional yang nantinya dapat membantu memahami kebutuhan masyarakat Wamena, dalam bidang pendidikan, kesehatan, keamanan dan lain-lain. Baik itu masyarakat asli daerah maupun pendatang yang bermukim di di Wamena, dengan pendekatan langsung maupun secara tidak langsung. Yang tidak kalah pentingnya diperhatikan oleh pemerintah adalah bukti kerja nyata dalam membangun Wamena bukan sekedar janjijanji sebelum dipilih oleh rakyat untuk membangun Wamena, mulai dari segi aturan yang perlu pengawasan ekstra oleh pemerintah 70 bagaimana aturan tersebut telah terlaksana dan terealisasi dengan baik. 2. Saran penulis yang ditujukan kepada aparat penegak hukum adalah agar lebih gencar dalam melakukan sosialisasi-sosialisasi, baik itu di kota maupun daerah-daerah terpencil di Wamena, tetapi bukan hanya memberikan sosialisasi tetapi para penegak hukum harus menjadi contoh bagi masyarakatnya. Kepolisian kedepannya diharapkan mampu lebih memperketat pengawasannya dalam peredaran miras baik itu konsumen dan terutamanya terhadap para produsen dan pemasok bahan pembuatan minuman keras tersebut, harus lebih tegas terhadap pelaku tindak kejahatan maupun pelanggaran sekecil apapun (pelanggaran lalu lintas,dll.), dan dalam upaya patrolinya dan ketanggapannya ketika mendapat laporan kejahatan. 3. Saran penulis yang ditujukan kepada anggota masyarakat adalah bahwa diperlukannya kesadaran hukum untuk lebih menaati aturanaturan yang berlaku, dan juga dibutuhkannya kesadarannya untuk melaporkan kepada kepolisian ketika anggota masyarakat menemukan atau melihat suatu tindak kejahatan. 71 Daftar Pustaka Abdullah Marlang DKK. 2011. Pengantar Hukum Indonesia. Grafika Utama:Jakarta Arif Gosita. 2004. Masalah Korban Kejahatan. Buana Ilmu. Jakarta A.S. Alam. 2010. Pengantar Kriminologi. Refleksi. Makassar Barda Nawawi Arief. 2010. Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan. Kencana:Jakarta Made Dharma Weda. 1996. Kriminologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Moh. Hatta. 2009. Beberapa Masalah Penegak Hukum PIdana Umum & Pidana Khusus. Liberti:Yogyakarta Muhadar DKK. 2012. Mata Kuliah Kriminologi. Fakutas Hukum ------------------. 2014. Mata Kuliah Hukum Pidana Adat. Fakultas Hukum Poerwardarminta. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka Romli Atmasasmita. 2010. Teori Dan Kapita Selekta Kriminologi. Reflika Aditama:Bandung Topo Santoso. Eva Achjani Zulfa. 2012. Kriminologi. Rajagrafindo Persada:Jakarta R. Soesilo. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Politea:Bogor 72 Kosay Paskalis. 2011. Konflik Papua Akar Masalah Dan Solusi. Tollelegi. Jakarta Medalama Marthen Yadlogon. 2009. Welcome To The Baliem Valley Regency Papua. Galangpress. Yogyakarta Undang-undang Undang-undang No.21 tahun 2001 Tentang otonomi khusus provinsi papua Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2013 Tentang Pengendalian Dan Pengawasan Minuman Beralkohol Peraturan Daerah Khusus Papua Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Peradilan Adat Di Papua Jurnal-jurnal: Muh. Taufik Silayar. 2013. Tinjauan Kriminologis Terhadap Perkelahian Antara Warga Di Kabupate Kepulauan Sula Provinsi Maluku Utara. Skripsi Website: http://www.culturalsurvival.org/ourpublications/csq/article/west-papuaforgotten-war-unwanted-people (di buka pada tanggal 6 Januari 2015. Pukul 20.50 WIT) kotekacity.blogspot.com/2010/06/gambaran-umum-kota-wamena.html (di buka pada tanggal 6 Januari 2015. Pukul 20.30 WIT) 73