perspektif gender dalam kumpulan cerpen karya djenar maesa ayu

advertisement
WACANA : Jurnal Bahasa, Seni, dan Pengajaran,
Oktober 2016, Volume 1, Nomor 1.
email: [email protected]
PERSPEKTIF GENDER DALAM KUMPULAN CERPEN
KARYA DJENAR MAESA AYU
Siwi Tri Purnani
Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia
Universitas Negeri Malang
[email protected]
Abstrak: Gender merupakan piranti yang lebih dikonstruksikan secara sosial daripada biologis.
Seseorang bisa menjadi kurang atau lebih ‘feminim’ dan kurang atau lebih ‘maskulin’. Seorang
laki-laki dapat menampilkan karakteristik-karakteristik ‘feminim’, sama halnya perempuan juga
bisa menampilkan sifat ‘maskulin’. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mendeskripsikan
analisis karya sastra dalam kumpulan
cerpen “Jangan Main-Main dengan Kelaminmu”
karya Djenar Maesa Ayu dan bentuk-bentuk ketidakadilan gender dalam kumpulan cerpen
“Mereka Bilang, Saya Monyet!” karya Djenar Maesa Ayu. Pada kumpulan cerpen “Jangan
Main-Main dengan Kelaminmu” karya penulis wanita Djenar Maesa Ayu terdapat beberapa
perbedaan karakter antara laki-laki dan perempuan, atau perbedaan pandangan disisipkan dalam
beberapa cuplikan cerita di dalam kumpulan cerpen tersebut. Pada kumpulan cerpen “Mereka
Bilang, Saya Monyet!” pun kerap memerlihatkan ketidakadilan gender terhadap perempuan.
Kata Kunci: gender, feminim, maskulin.
Abstract: Gender is a device that is more socially constructed rather than biological. Someone
could be less or more 'feminine' and less or more 'masculine'. A man can display the
characteristics of 'feminine', as well as women can also display the properties of 'masculine'. The
purpose of this analysis is to describe the analysis of literary works in the collection of short
stories "Jangan Main-Main dengan Kelaminmu" by Djenar Maesa Ayu and other forms of gender
inequality in the collection of short stories "Mereka Bilang Saya Monyet!” by Djenar Maesa Ayu.
In the short story collection "Jangan Main-Main dengan Kelaminmu" by Djenar Maesa Ayu there
are several character differences between men and women, or differences in views pasted in
several excerpts of stories in the collection of short stories. In a collection of short stories
“Mereka Bilang Saya Monyet” too often showing gender inequality against women from its
immediate environment.
Keywords: gender, feminine, masculine.
72
sehingga dalam pengertian ini, gender
dapat dibedakan dari jenis kelamin yang
terkait dengan pembagian biologis dan
secara umum pembedaan biner antara lakilaki dan perempuan. Perbedaan gender
dalam masyarakat telah melahirkan
berbagai
pola
dan
aturan
yang
berhubungan dengan peran dan relasi
gender. Konsep gender dibedakan dengan
seks yang mengacu pada perbedaan jenis
kelamin yang bersifat biologis, walaupun
jenis kelamin laki-laki sering dikaitkan
dengan gender maskulin dan jenis kelamin
perem-puan berhubungan dengan gender
feminin.
Masyarakat dengan sendirinya sudah
menentukan dan membentuk sifat-sifat
individu yang mencakup penampilan,
pakaian, sikap, dan kepribadian. Jiika
gender laki-laki maka ia harus terlihat
maskulin ditunjukkan dengan karakter
yang gagah berani, kuat, tangguh, pantang
menyerah, egois, dan berpikir rasional, dan
apabila ia perempuan maka ia harus
feminim. Feminimitas seorang perempuan
ditunjukkan dengan karakter yang lembut,
rendah hati, anggun, suka mengalah,
keibuan, lemah, dan dapat memahami
kondisi orang lain. Di Indonesia, masalah
perbedaan gender sebenarnya sudah
banyak dibicarakan bahkan sejak zaman
Raden Ajeng Kartini yang berusaha
memper-juangkan hak-haknya sebagai
seorang wanita, sehingga ada tuntutan
kesetaraan gender. Hal itu dilakukan
karena diskrimasi gender yang dirasa tanpa
dasar merugikan kaum wanita kebanyakan.
Relasi gender adalah pola hubungan
antara laki-laki dan perempuan yang
dikonstruksi secara sosial. Dalam relasi
gender kelompok gender tertentu dianggap
memiliki kedudukan yang lebih tinggi
(mendominasi), yang didominasi, dan yang
setara. Irigaray (2005:88) menyatakan
bahwa sudah berabad-abad lamanya yang
bernilai
adalah
gender
maskulin,
sedangkan yang tidak bernilai adalah
gender feminim. Relasi yang tidak setara
dan lebih bersifat dominasi-sub-ordinasi
akhirnya memberi peluang munculnya
PENDAHULUAN
Ada banyak sekali perbedaan tuturan
perempuan dan laki-laki dan agaknya
memiliki riwayat yang amat panjang.
Graddol & Swan (2003:2) menyatakan
bahwa salah satu ciri dari perbedaanperbedaan tersebut adalah bagaimana
stereotipe itu jarang berpihak pada
perempuan yang secara terus menerus
digambarkan dengan kecerewetan, tak
habis-habisnya menggosip atau omelan
melengking yang dengan sabar diterima
atau diperhatikan oleh kaum laki-laki yang
perkasa dan tanpa berkata apa-apa.
Gender merupakan piranti yang lebih
dikonstruksikan secara sosial daripada
bersifat biologis. Seseorang bisa menjadi
kurang atau lebih ‘feminim’ dan kurang
atau lebih ‘maskulin’. Selanjutnya, seorang
laki-laki dapat menampilkan karakteristikkarakteristik ‘feminim’, sama halnya
perempuan juga bisa menampilkan sifat
‘maskulin’.
Bahasa dan gender merupakan sebuah
bidang penelitian yang mengalami suatu
perkembangan
fenomenal
dalam
dasawarsa
terakhir.
Pada
aktifitas
akademis, terdapat banyak kegiatan yang
dilakukan oleh para peneliti, wartawan,
feminis, maupun penulis artikel untuk
media yang lebih berorientasi yang
membawa
suatu
perubahan
dalam
penggunaan bahasa laki-laki dan perempuan, dan dalam bahasa itu sendiri.
Kata gender juga dapat menimbulkan
kesalahpahaman,
terutama
ketika
digunakan dalam kaitannya dengan bahasa,
yakni sebagai istilah teknis dalam
kaitannya
dengan
kategori-kategori
gramatikal kata-kata dalam bahasa-bahasa
tertentu. Graddol dan Swan (2003:10)
menjelaskan bahwa di tempat lain, gender
lebih banyak digunakan dalam pengertian
sehari-hari untuk me-nyebut pembedaan
sosial antara maskulin dan feminism,
73
berbagai kekerasan terhadap perempuan
baik di dalam wilayah rumah tangga
seperti kekerasan fisik, psikis, dan
ekonomi.
Peran gender berhubungan dengan
pembagian peran laki-laki dan perempuan
yang secara sosial dirumuskan berdasarkan
polarisasi stereotipe seksual maskulinitasfeminitas. Contoh peran gender, misalnya
laki-laki ditempatkan sebagai pemimpin
dan pencari nafkah karena dikaitkan
dengan anggapan bahwa laki-laki adalah
makhluk yang lebih rasional, lebih kuat
serta identik dengan sifat-sifat superior
yang lainnya dibandingkan dengan
perempuan,
semen-tara
perempuan
dianggap memiliki tugas utama melayani
suami, kalau perempuan bekerja, maka
dianggap sebagai pekerjaan sambilan atau
membantu suami, karena nafkah dianggap
sebagai tugas suami. Selanjutnya, relasi
gender yang tidak setara menimbulkan
persoalan dalam hubungan-nya dengan
seksualitas dan perkawinan, hingga
menimbulkan kekerasan seksual.
Permasalahan yang sering terjadi
sekarang adalah penguasaan laki-laki atas
seksualitas perempuan, berulang kali
muncul di kehidupan sekarang. Kaum
perempuan tidak mampu menggunakan
kekuasaan mereka karena tidak bisa
melepaskan diri dari dominasi kaum pria.
Ini menyebabkan perempuan tertindas
baik secara fisik maupun mental. Mitos
seorang perempuan secara emosional
maupun seksual akan tetap menjadi milik
laki-laki berkembang sampai sekarang,
seperti terjadinya kekerasan seksual yang
dilakukan laki-laki terhadap perempuan.
Membahas dua insan yang berbeda ini,
karya sastra dikemas pengarang menjadi
sesuatu yang unik dan menarik.
Perbedaan gender sehingga akhirnya
muncul pendeskriminasian gender masih
berlangsung di berbagai aspek kehidupan
di seluruh dunia, walaupun juga ditemukan
banyak sekali kemajuan dalam kesetaraan
gender pada saat ini. Tak ada satu kawasan
pun di negara-negara berkembang berlaku
kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam
hak-hak hukum, sosial, dan ekonomi.
Ketimpangan gender terjadi begitu intens
dalam beberapa hal akses dalam kesempatan ekonomi, dalam kekuasaan, dan dalam
hak bersuara politik. Korban dari ketimpangan gender adalah perempuan dan
anak perempuan yang akhirnya menjadi
pemikul
beban
terberat
dari
ketidaksetaraan ini, beban itu diderita juga
oleh masyarakat, dan pada akhirnya akan
merugikan banyak orang.
Ketika isu gender digambarkan
dalam
novel,
diasumsikan
adanya
perbedaan perspektif antara pengarang
perempuan dengan laki-laki, sehingga
perlu dilihat perbedaan perspektif tersebut.
Tujuan pe-nulisan artikel ini adalah untuk
mendeskrip-sikan analisis karya sastra
kumpulan cerpen “Jangan Main-Main
dengan Kelaminmu” karya Djenar Maesa
Ayu dan bentuk-bentuk ketidakadilan
gender dalam kumpulan cerpen “Mereka
Bilang, Saya Monyet!” karya Djenar
Maesa Ayu. Seperti dinyatakan oleh
Luxemburg (1989:21) bahwa kebanyakan
teks sastra ditandai oleh fiksionalitas atau
rekaan, namun ada juga teks sastra yang
bukan rekaan. Pada dua judul karyanya
tersebut, Djenar Maesa Ayu mencoba
menunjukkan bagaimana realita yang
banyak terjadi dalam kehidupan sosial
yang berkaitan dengan gender.
.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Karya Sastra Kumpulan
Cerpen “Jangan Main-Main dengan
Kelamin-mu” karya Djenar Maesa Ayu
Pada kumpulan cerpen “Jangan MainMain dengan Kelaminmu” karya penulis
wanita Djenar Maesa Ayu terdapat
beberapa pendekatan sastra dengan
menggunakan sastra gender. Djenar Maesa
Ayu adalah seorang penulis wanita yang
juga banyak melahirkan karya berdasarkan
realita hidupnya. Wellek dan Werren
(2014:32) menjelaskan bahwa salah satu
fungsi sastra adalah untuk membebaskan
pembaca dan penulisnya dari tekanan
emosi. Fungi sastra tersebut yang mungkin
menjadi dasar dari seorang Djenar
74
sehingga melahirkan karya dengan dua
judul tersebut. Perbedaan karakter antara
laki-laki dan perempuan, atau perbedaan
pandangan disisipkan dalam beberapa
cuplikan cerita di dalam kumpulan cerpen
tersebut.
(2) Saya rasa saya sudah melangkah terlalu dalam. Sudah begitu
banyak waktu terbuang hanya
untuk
urusan
gombalgombalan. Sudah saatnya saya
bertindak tegas. Tidak seperti
dirinya yang hanya dapat
bergumam
saya
akan
menentukan
dan
memilih
kebahagiaan saya sendiri.
Analisis Cerpen “Jangan Main-Main
dengan Kelaminmu”
Contoh kutipan adalah seperti
berikut:
Kutipan (2) memberikan gambaran
bahwa karakter gender perempuan
merupakan sosok yang lemah dibanding
laki-laki. Hal ini dibuktikan dengan adanya
penegasan karakter ‘tegas’ dalam kutipan
(2). Hal tersebut dapat dilihat dari cuplikan
kalimat Sudah saatnya saya bertindak
tegas. Kalimat tersebut menggambarkan
karakter awal perempuan sebagai sosok
yang lemah, berbeda dengan karakter lakilaki yang berkarakter tegas.
(1) Dan ada lagi, ia mengatakan
kalau suara saya bagai kaleng
rombeng! Saya sadar, saya
memang cerewet. Tapi sudah
menjadi kewajiban saya untuk
cerewet. Tanpa saya cereweti,
pembantu-pembantu pasti kerjaannya
hanya
ongkangongkang kaki. Saya ingin
rumah selalu terjaga rapi,
bersih, supaya ia senantiasa
betah di rumah. Supaya
perasaannya tenang sebelum
dan sesudah meninggalkan
rumah. Saya juga sudah bosan
cerewet. Cerewet itu lelah.
Mengatur
dan
meng-urus
pekerjaan
rumah
tidaklah
mudah. Bahkan untuk urusan
rumah inilah kulit saya keriput,
tubuh saya gembrot, karena
saya sudah tak punya waktu
lagi selain mengurus rumah,
rumah, dan rumah.
(3) Saya tidak berlebihan. Ia lebih
jarang ada di rumah sekarang.
Mungkin saya sudah terlalu
lama merendahkan diri saya
sendiri dengan membiarkannya
menginjak-injak harga diri
saya selama pernikahan kami.
Tapi jangan harap ia bisa
melakukan hal yang sama
kepada anak saya. Sudah
saatnya saya bertindak tegas.
Saya berhak menentukan dan
memilih kebahagiaan saya
sendiri.
Pada kutipan (1) terlihat adanya
gambaran perbedaan karakter pada salah
satu gender. Hal tersebut sebenarnya
disadari oleh tokoh dalam cerpen di atas.
Kutipan tersebut menggambarkan adanya
penghakiman karakter gender perempuan
sebagai sosok yang cerewet dan selalu saja
cerewet. Anggapan ini biasanya dianggap
benar oleh kebanyakan laki-laki yang
memiliki anggapan bahwa kaumnya (lakilaki) bukan kaum yang memiliki karakter
cerewet seperti perempuan.
Kutipan (3) menggambarkan secara
tersurat adanya ketimpangan gender yang
mengakibatkan adanya pelecehan gender.
Kutipan tersebut menceritakan kesedihan
seorang istri selalu berusaha merendahkan
dirinya sendiri sehingga membuat sang
suami terus menginjak-injak dirinya.
Adanya perbedaan gender, ter-kadang
membuat salah satu kelompok gender
merasa berada di atas dan kelompok
lainnya berada di bawah.
Analisis Cerpen “Mandi Sabun Mandi”
75
(6) Habis... mau bagaimana lagi?
Saya tidak punya pekerjaan.
Mau sekolah tinggi-tinggi,
orangtua melarang. Kata mereka, “tak usah kamu sekolah
tinggi-tinggi. Yang penting buat
perempuan cuma pintar-pintar
rawat diri dan pintar-pintar
rawat suami. Lebih baik kamu
belajar masak. Cinta dimulai
dari mata turun ke perut dan
dari perut turun ke hati.”
(4) Lihat saja buktinya nanti,
taruhan pria tua itu orgasme di
luar. Aduh... masak tak ngerti,
sih...? Orgasme di luar karena
takut perempuannya hamil.
Kondom? Gila, kamu memang
ketinggalan jaman, kamu memang barang antik. Jaman
sekarang laki-laki lebih takut
bikin bunting perempuan ketimbang kena penyakit!
Penggambaran karakter gender lakilaki dalam kutipan (4) memberikan
gambaran karakter ketakutan seorang lakilaki pada jaman modern seperti sekarang
ini. Kutipan tersebut menggambarkan
bagaimana seorang lelaki yang lebih takut
membuat seorang perempuan hamil
daripada terkena penyakit. Hal ini
dikarenakan laki-laki tersebut mungkin
bukanlah suami dari perempuan tersebut.
Masyarakat memiliki konvensi tersendiri dalam kaitannya dengan pemahamannya tentang batas-batas dalam masingmasing gender. Seperti dalam kutipan (6)
digambarkan bahwa seorang perempuan
tidak perlu sekolah terlalu tinggi, namun
yang terpenting adalah seorang perempuan
hanya harus pintar merawat diri, pintar
merawat suami, dan juga harus belajar
memasak. Kalimat tersebut menggambarkan adanya perbedaan antara kodrat dan
hak antara laki-laki dan perempuan, yaitu
kodrat seorang perempuan dianggap hanya
boleh berdiam diri di rumah menjadi ibu
rumah tangga saja, sedangkan laki-laki
yang harus mencari nafkah untuk
keluarganya.
(5) Aku sudah selesai kok disuruh
mandi lagi?” “Cinta memang
tak masuk akal, Mas, tak pakai
rasio. Ayo buktikan atas nama
cinta!” “Sudahlah Sayang,
jangan kekanak-kanakan begitu...” Si Mas buru-buru
keluar
kamar
mandi
menghindari per-tengkaran dan
resiko tertangkap basah oleh
kekasih indonya.
(7) Saya pun menghubungi teman
untuk sama-sama datang ke
pesta. Tentunya bukan perempuan. Ia laki-laki tapi banci.
Kalau sama-sama perempuan,
selain nanti saingan pasti akan
kelihatan sekali tidak lakunya.
Walaupun dengan banci bukan
berarti bebas dari urusan persaingan loh... sudah banyak
laki-laki zaman sekarang yang
lebih senang pada laki-laki.
Tapi kesannya lebih enak saja
dilihat
dengan
laki-laki
daripada ber-gerombol dengan
perempuan yang kelihatan
sekali seperti sedang mencari
mangsa. Apalagi dengan banci
yang
pura-pura
laki-laki,
sayang
yang
perempuan
Kutipan (5) terdapat kalimat Sudahlah
sayang, jangan kekanak-kanakan yang
menggambarkan
adanya
perbedaan
karakter gender. Laki-laki dalam cuplikan
tersebut menganggap kekasih gelapnya
yang seorang indo itu bersifat kekanakkanakan. Karakter tersebut mendapat
pertentangan dari pihak laki-laki dalam
cuplikan tersebut, sehingga itu artinya lakilaki tersebut bukan lah seseorang yang
memiliki karakter kekanak-kanakan.
Analisis Cerpen “MORAL”
76
walaupun bukan banci, punya
kebutuhan yang seimbang.
Pada kutipan (9) terlihat jelas
gambaran perspektif gender. Penulis
menggambarkan bahwa tokoh perempuan
adalah sosok yang kuat. Konsep awal yang
masyarakat miliki tentang perbedaan
karakter gender laki-laki dan perempuan
adalah
bertentangan,
jika
laki-laki
dipandang memiliki karakter yang tegas
dan seharusnya perempuan itu memiliki
karakter lemah lembut. Namun, dalam
kutipan tersebut karakter dari dua gender
tersebut bertentangan. Melalui karakter
Nayla, penulis meng-gambarkan bahwa
perempuan tidak lebih lemah daripada
laki-laki.
Kutipan itu menggambarkan adanya
perkembangan sosial dalam gender. Digambarkan bahwa saat ini sudah banyak
laki-laki yang lebih menyukai sesamanya,
sehingga sudah pasti hal tersebut
menyalahi kodrat gender yang sebenarnya
yakni penyuka lawan jenis.
(8) Sesampainya ia di rumah saya,
masih saja ia merasa kurang
dengan penampilannya. Pilihpilih minyak wangi, patut
mematut di kaca supaya jangan
sampai benar-benar terlihat
banci, dan walaupun saya memaklumi karena beban yang
ditanggungnya jauh lebih berat
ketimbang perempuan tak laku
seperti saya, tetap saja hal ini
sering mengganggu.
(10) Saya mengenakan celana
pendek atau celana panjang.
Saya bermain kelereng dan
mobil-mobilan. Saya memanjat pohon dan berkelahi. Saya
kencing berdiri. Saya melakukan
segala
hal
yang
dilakukan anak laki-laki.
Potongan
ram-but
saya
pendek. Kulit saya hitam.
Wajah saya tidak cantik.
Perbedaan
gender
lelaki
dan
perempuan
terkadang
menyebabkan
beberapa individu merasa tidak puas
dengan status gendernya ketika mereka
melihat cross gender dari dirinya memiliki
pola hidup lebih baik atau lebih nyaman
dari diri atau kelompok sesama gendernya.
Terlihat dalam kutipan (8) bahwa seorang
lelaki akhirnya menjadi banci yang
merubah karakter kodrat yang seharusnya
berkarakter maskulin layaknya lelaki
menjadi berkarakter feminim, bahkan lebih
feminim dari perempuan biasa. Hal ini
dikarenakan adanya rasa ketidakpuasan
sehingga menyebabkan adanya cross
gender.
Kutipan (10) menggambarkan bahwa
saat ini gender tidak lagi menjadi batasan
seseorang
dalam
melakukan
atau
menggunakan sesuatu. Tokoh perempuan
dalam cerpen digambarkan sebagai sosok
yang bukan seperti perempuan pada
umumnya pada umumnya. Jika perempuan
pada umumnya mengenakan rok ataupun
pakaian wanita pada umumnya, tokoh
tersebut mengenakan celana. Hal-hal lain
yang menyalahi kewajaran lainnya adalah
ketika tokoh perempuan tersebut memanjat
pohon, berlari, bahkan kencing berdiri.
Hal-hal tersebut bukanlah hal-hal yang
umumnya dilakukan oleh perempuan pada
umumnya.
(9) Nama saya Nayla. Saya
perempuan, tapi saya tidak
lebih lemah daripada laki-laki.
Saya-lah yang membantu Ibu
melahir-kan, bukan dokter
kandungan.
Ketika
Ibu
kehabisan napas dan sudah
tidak dapat lagi me-ngejan,
saya menggigiti dinding vagina
Ibu.
Bentuk-bentuk Ketidakadilan Gender
dalam kumpulan cerpen “Mereka
Bilang, Saya Monyet!” Karya Djenar
Maesa Ayu
Kumpulan cerpen Mereka Bilang,
Saya Monyet! karya Djenar Maesa Ayu
77
memperlihatkan ketidakadilan gender terhadap perempuan. Perempuan kerap kali
mendapat perlakuan yang tidak wajar dari
lingkungan atau sosok terdekatnya seperti
kakak laki-laki tertua ayahnya (cerpen
“Durian”), pacar ibunya (cerpen “Lintah”),
teman-teman prianya (cerpen “Melukis
Jendela”), pacar gelapnya (cerpen “Menepis Harapan”), dari anaknya (cerpen
“Wong Asu”). Perlakuan yang didapat
adalah kekerasan seksual meliputi pemerkosaan dan pelecehan seksual menyebabkan perempuan menderita konflik
batin hingga pada akhirnya dia menjadi
wanita yang tidak lagi punya harga diri
yaitu terjebak pada pergaulan bebas. Halhal ini yang coba diungkapkan Djenar
Maesa Ayu dalam kumpulan cerpen Mereka
Bilang Saya Monyet!
tergambar pada kutipan berikut.
Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual sebagai salah satu
jenis kekerasan terselubung (molestation),
menurut Fakih (1996:19-20) adalah jika
laki-laki memegang tubuh perempuan
dengan berbagai cara dan kesempatan tanpa
kerelaan si pemilik tubuh. Ada beberapa
bentuk yang bisa dikategorikan sebagai
pelecehan
seksual.
Pertama,
menyampaikan lelucon vulgar dengan
cara sangat ofensif. Kedua, membuat malu
seseorang dengan omongan kotor. Ketiga,
mengintrogasi
seseorang
tentang
kegiatan seksualnya. Keempat, meminta
imbalan seksual untuk mendapat sesuatu.
Kelima, menyentuh bagian tubuh tanpa
izin. Sesuai dengan pendapat tersebut,
pelecehan seksual yang terjadi pada
cerpen “Lintah” dan “Melukis Jendela”
adalah masuk pada kategori yang kelima.
Pelecehan seksual memang sering sekali
terjadi sejak dahulu hingga sekarang dan
selalu menjadi hal yang sangat menakutkan
oleh perempuan sehingga hal itu
merupakan salah satu hambatan bagi
perempuan untuk maju. Sesuai dengan
pendapat di atas, dalam kumpulan
cerpen Mereka Bilang Saya Monyet!
terdapat pelecehan seksual yaitu dalam
cerpen yang berjudul “Lintah”, seperti yang
Pelecehan seksual cerpen “Lintah”,
dilakukan
oleh
seorang
laki-laki
terhadap anak perempuan pacarnya.
Seorang laki-laki dewasa yang seharusnya
melindungi anak perempuan malah
menghancurkan kehidupannya. Telah
banyak terjadi pergeseran moral bahkan
jika dilihat pada cuplikan di atas,
dilakukan oleh orang tua pada buah
hatinya sendiri.
Pelecehan seksual juga terdapat pada
cerpen “Melukis Jendela”, yang terdapat
dalam kutipan berikut.
(11) Beberapa kali berhasil membelah
diri
tanpa
sepengetahuan ibu. Lintah
makin menjadi-jadi. Ia lalu
membelah dirinya men-jadi
tiga, empat bahkan lima. Dan
kali ini sudah lagi tidak
menyelinap dalam kantung
saya. Ia menyelinap ke bawah
baju saya. Yang satu menyelinap ke pinggang saya. Yang
satunya lagi menyelinap ke
perut saya dan mereka berputar-putar sesuka hati menjelajahi tubuh saya sambil
mengisapi darah saya. Saya
semakin membenci lintah. Dan
saya mulai membenci ibu.
(12) Ia berkeluh kesah tentang
teman-teman prianya di sekolah yang kerap meraba-raba
payudara dan kemaluannya
sehingga menyebabkan teror
dalam dirinya setiap berangkat
ke sekolah.
Pada cerpen “Melukis Jendela” ini,
pelecehan seksual dilakukan oleh temanteman pria tokoh perempuan di
sekolahnya.
Teman-teman
yang
seharusnya
melindungi
teman
perempuannya sendiri. Oleh karena itu,
ada perasaan cemas dalam diri tokoh
perempuan di atas setiap berangkat ke
78
sekolah karena ketakutan akan mendapat
pelecehan seksual dari teman-teman
prianya lagi.
pacar ibunya tetapi dia tidak bisa
menghindar karena dia sangat lemah dan
tidak kuasa melepaskan diri dari laki-laki
tersebut.
Pemerkosaan
Pemerkosaan terjadi jika seseorang
melakukan paksaan untuk mendapatkan
pelayanan seksual tanpa kerelaan yang
bersangkutan.
Ketidakrelaan
ini
disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya
ketakutan, malu, keterpaksaan baik
ekonomi, sosial maupun kultural dan
karena tidak ada pilihan lain (Fakih,
1996:17-18). Sesuai pendapat Fakih
tersebut, pemerkosaan juga terdapat pada
cerpen “Lintah”.
Cerpen “Lintah”, anak perempuan
diperkosa oleh pacar ibunya, seperti pada
kutipan berikut.
PENUTUP
Kesimpulan
Gender merupakan piranti yang lebih
dikonstruksikan secara sosial daripada
bersifat biologis. Seseorang bisa menjadi
kurang atau lebih ‘feminim’ dan kurang
atau lebih ‘maskulin’. Selanjutnya, seorang
laki-laki dapat menampilkan karakteristikkarakteristik ‘feminim’, sama halnya
perempuan juga bisa menampilkan sifat
‘maskulin’.
Kata gender juga dapat menimbulkan
kesalahpahaman,
terutama
ketika
digunakan dalam kaitannya dengan bahasa,
yakni sebagai istilah teknis dalam
kaitannya
dengan
kategori-kategori
gramatikal kata-kata dalam bahasa-bahasa
tertentu. Graddol dan Swan (2003:10)
menjelaskan bahwa di tempat lain, gender
lebih banyak digunakan dalam pengertian
sehari-hari untuk menyebut pembedaan
sosial antara maskulin dan feminism,
sehingga dalam pengertian ini, gender
dapat dibedakan dari jenis kelamin yang
terkait dengan pembagian biologis dan
secara umum pembedaan biner antara lakilaki dan perempuan. Perbedaan gender
dalam masyarakat telah melahirkan
berbagai
pola
dan
aturan
yang
berhubungan dengan peran dan relasi
gender. Konsep gender dibedakan dengan
seks yang mengacu pada perbedaan jenis
kelamin yang bersifat biologis, walaupun
jenis kelamin laki-laki sering dikaitkan
dengan gender maskulin dan jenis kelamin
perempuan berhubungan dengan gender
feminin.
Perbedaan gender dalam masyarakat
telah melahirkan berbagai pola dan aturan
yang berhubungan dengan peran dan relasi
gender. Konsep gender dibedakan dengan
seks yang mengacu pada perbedaan jenis
kelamin yang bersifat biologis, walaupun
jenis kelamin laki-laki sering dikaitkan
dengan gender maskulin dan jenis kelamin
(13) Tiba-tiba tercium bau yang
sangat saya kenal dan begitu
saya benci. Tanpa dapat saya
hindari Lintah sudah berdiri
tepat di depan saya. Lintah
itu sudah berubah menjadi
ular kobra yang siap mematuk
mangsanya. Matanya warna
merah saga menyala. Jiwa saya
gemetar. Raga saya lumpuh.
Ular itu menyergap, melucuti
pakaian saya, menjalari satu
persatu lekuk tubuh saya.
Melumat tubuh saya yang
belum berbulu dan bersusu, dan
menari-nari di atasnya memuntahkan liur yang setiap
tetesnya berubah menjadi
Lintah. Lintah-lintah yang
te-rus mengisap hingga tubuh
mere-ka menjadi merah.
Cerpen “Lintah”, pemerkosaan
terjadi disebabkan karena tokoh sangat
menga-lami ketakutan dan keterpaksaan
baik ekonomi, sosial maupun kultural
serta tidak ada pilihan lain. Tokoh
perempuan yang bernama Maha ini
diperkosa oleh pacar ibunya sehingga
membuat dia sangat ketakutan. Dia sangat
terpaksa dan tidak rela disetubuhi oleh
79
perempuan berhubungan dengan gender
feminin.
Relasi gender adalah pola hubungan
antara laki-laki dan perempuan yang
dikonstruksi secara sosial. Dalam relasi
gender kelompok gender tertentu dianggap
memiliki kedudukan yang lebih tinggi
(mendominasi), yang didominasi, dan yang
setara. Peran gender berhubungan dengan
pembagian peran laki-laki dan perempuan
yang secara sosial dirumuskan berdasarkan
polarisasi stereotipe seksual maskulinitasfeminitas. Contoh peran gender, misalnya
laki-laki ditempatkan sebagai pemimpin
dan pencari nafkah karena dikaitkan
dengan anggapan bahwa laki-laki adalah
makhluk yang lebih rasional, lebih kuat
serta identik dengan sifat-sifat superior
lainnya—dibandingkan
dengan
perempuan,
semen-tara
perempuan
dianggap memiliki tugas utama untuk
melayani suami, kalau perempuan bekerja,
maka dianggap sebagai pekerjaan sambilan
atau membantu suami, karena nafkah
dianggap sebagai tugas suami. Selanjutnya,
relasi gender yang tidak setara juga
menimbulkan
persoalan
dalam
hubungannya dengan seksualitas dan perkawinan, hingga menimbulkan kekerasan
seksual.
Permasalahan sering terjadi adalah
penguasaan laki-laki atas seksualitas
perempuan, berulang kali muncul di
kehidupan sekarang. Kaum perempuan
tidak mampu menggunakan kekuasaan
mereka karena tidak bisa melepaskan diri
dari
dominasi
kaum
pria.
Ini
menyebabkan perempuan tertindas baik
secara fisik maupun mental. Mitos
bahwa
seorang
perempuan
secara
emosional maupun seksual akan tetap
menjadi milik laki-laki tetap berkembang
sampai sekarang, seperti terjadinya
kekerasan seksual dilakukan laki-laki
terhadap
perempuan. Perempuan
mempunyai banyak permasalahan yang
sering tidak dipedulikan oleh kaum lakilaki seperti masalah perlakuan yang tidak
setara dalam kehidupan. Karya sastra yang
membahas perbedaan dua gender ini yang
terkadang membuat karya sastra tersebut
menjadi menarik dan unik untuk dibaca.
Djenar Maesa Ayu adalah seorang
penulis wanita yang banyak melahirkan
karya berdasarkan realita hidupnya.
Wellek dan Werren (2014:32) menjelaskan
bahwa salah satu fungsi sastra adalah
untuk membebaskan pembaca dan
penulisnya dari tekanan emosi. Fungi
sastra tersebut yang mungkin menjadi
dasar dari seorang Djenar sehingga
melahirkan karya dengan dua judul
tersebut. Pada kumpulan cerpen “Jangan
Main-Main dengan Kelaminmu” karya
penulis wanita Djenar Maesa Ayu terdapat
beberapa pendekatan sastra dengan
menggunakan sastra gender. Perbedaan
karakter antara laki-laki dan perempuan,
atau perbedaan pandangan disisipkan
dalam beberapa cuplikan cerita di dalam
kumpulan cerpen tersebut, seperti dalam
cerpen “Jangan Main-Main dengan
Kelaminmu”, “Mandi Sabun Mandi”, dan
“MORAL”.
Pada kumpulan cerpen Mereka Bilang,
Saya
Monyet!
memerlihatkan
ketidakadilan gender terhadap perempuan.
Perempuan kerap kali mendapat perlakuan
yang tidak wajar dari lingkungan
terdekatnya seperti kakak laki-laki tertua
ayahnya (dalam cerpen “Durian”), pacar
ibunya (dalam cerpen “Lintah”), temanteman prianya (dalam cerpen “Melukis
Jendela”), pacar gelapnya (cerpen
“Menepis Harapan”), dari anaknya
(cerpen “Wong Asu”). Perlakuan itu
adalah
kekerasan seksual meliputi
pemerkosaan dan pelecehan seksual yang
menyebabkan
perempuan
menderita
konflik batin hingga pada akhirnya dia
menjadi wanita yang tidak lagi punya harga
diri yaitu terjebak pada pergaulan bebas.
80
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ayu, Djenar Maesa. 2004. Jangan MainMain dengan Kelaminmu. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
-------------------------. 2007. Kumpulan
Cerpen Mereka Bilang, Saya
Monyet!. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan
Tranformasi Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Irigaray, Luce. 2005. Aku, Kamu, Kita:
Belajar
Berbeda.
Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Buku Terjemahan:
Graddol, David & Swann, Joan. 2003.
Gender
Voices.
Terjemahan
(Editor)
Muhith.
Pasuruan:
Penerbit Pedati.
Luxemburg, Jan Van. 1989. Tentang
Sastra.
Terjemahan
(Editor)
Akhadiati
Ikram.
Jakarta:
Intermasa.
Wellek, Rene & Warren, Austin. 2014.
Teori Kesusastraan. Terjemahan
(Editor) Melani Budianta. Jakarta:
PT Gramedia.
81
Download