Referat NECK PAIN (NYERI LEHER) Oleh: Dr. Huldani UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM BANJARMASIN PEBRUARI, 2013 DAFTAR GAMBAR Halaman DAFTAR GAMBAR BAB II Gambar 1. Etiologi dari Servikal Radikulopati 7 Gambar 2. Dermatom saraf servikal 8 Gambar 3. Foto servikal pada penderita RA 15 Gambar 4. Letak tender points di tubuh 28 Gambar 5. Proses perjalanan sel kanker 21 Gambar 6. Gambaran massa tulang pada X-ray 34 DAFTAR TABEL Halaman DAFTAR TABEL BAB II Tabel 1. Dosis rekomendasi OAT pada anak (dibawah 12 tahun) dan dewasa 24 Tabel 2. Klasifikasi Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA) untuk spondilitis TB BAB IV TABEL KOMPARASI 25 42 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Nyeri leher adalah nyeri yang dirasakan pada bagian atas tulang belakang. Ini merupakan tanda bahwa sendi, otot, atau bagian lain dari leher terluka, tegang, atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Nyeri leher adalah masalah yang umum ditemukan. Dua dari tiga orang akan mengalaminya selama hidup (1,2). Leher manusia adalah struktur yang kompleks dan sangat rentan terhadap iritasi. Bahkan, 10% dari semua orang akan mengalami nyeri leher dalam 1 bulan. Potensi pembangkit nyeri termasuk tulang, otot, ligament, sendi, dan diskus intervertebralis. Hampir setiap cedera atau proses penyakit pada struktur leher atau yang berdekatan akan menghasilkan spasme otot dan hilangnya gerak (3). Sebuah studi menunjukkan prevalensi nyeri muskuloskeletal pada leher di masyarakat selama 1 tahun besarnya 40% dan prevalensi ini lebih tinggi pada wanita. Selama 1 tahun, prevalensi nyeri muskuloskelatal di daerah leher pada pekerja besarnya berkisar antara 6-76% dan wanita ternyata juga lebih tinggi dibandingkan pria. Di Kanada, sebanyak 54% dari total penduduk pernah mengalami nyeri di daerah leher dalam 6 bulan yang lalu. Pada perawat, prevalensi nyeri di daerah leher selama 1 tahun besarnya 45,8% (4). Diagnosis diferensial dari nyeri leher sangat luas. Sebagian besar gejala bersumber dari biomekanik, seperti nyeri leher aksial, whiplash-associated disorder (WAD), dan radikulopati. Suatu akar saraf mungkin diiritasi atau dikompresi oleh : 1. Penonjolan tulang atau osteofit yang tumbuh keluar melalui jalur saraf, 2. Penonjolan bagian dari diskus yang terletak di depan saraf, 3. Herniasi nukleus pulposus melalui bagian luar annulus, 4. Fraktur atau cedera yang menyebabkan fragmen tulang yang yang mempersempit atau menekan saluran saraf (3,5). Dari banyaknya penyebab nyeri leher ini maka diperlukan diagnosis dan tatalaksana yang tepat untuk mencegah progresifitas maupun komplikasi dari penyakit tersebut. Inilah uraian singkat dari penyaji yang lebih lengkapnya dapat dibaca di uraian selanjutnya. 1.2.Rumusan masalah Tingginya insidensi jenis penyakit ini di belahan dunia mengharuskan perlunya pemahaman yang tinggi bagi tenaga medis sehingga diperlukan pembelajaran agar kasus seperti ini dapat ditangani dengan tepat sebagaimana penanganan penyakit lainnya yang sering ditemui. Dengan demikian, rumusan masalah pada tinjauan pustaka ini adalah: 1. Apa saja penyebab nyeri leher tersering? 2. Bagaimana algoritma diagnosis dan penatalaksanaan pada kasus nyeri leher? 1.3.Tujuan Tinjauan kepustakaan ini bertujuan menjelaskan definisi, klasifikasi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, diagnosis, tatalaksana dari nyeri leher. 1.4.Manfaat Tinjauan pustaka ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada peserta kepaniteraan klinik RSUD Ulin Banjarmasin agar dapat menegakkan diagnosis secara dini dan memberikan penanganan yang tepat sehingga dapat mencegah progresivitas dan komplikasi pada kasus nyeri leher (neck pain). BAB II ISI 2.1. Definisi Nyeri Leher (Neck Pain) Nyeri leher (Neck Pain) yang mengganggu aktivitas seseorang, telah diketahui sejak abad pertengahan, yang ditemukan tertulis dalam Papyrus 4600 tahun yang lalu. Tulisan ini mengandung uraian berbagai kondisi tulang di spina servikal, antara lain dislokasi vertebra dan sprain. Tutankhamen di zaman purba telah menjelaskan tentang laminektomi servikal yang pertama dan pada tahun 460 SM Hippocrates mempostulasi kejadian paralisis akibat cedera servikal, serta menjadi salah satu penemu terapi traksi servikal. Ambrose Pare (1559) telah melakukan reduksi pada dislokasi spina servikal dengan traksi dan melakukan bedah membuang osteofit yang menyebabkan kompresi medulla spinalis. Pada tahun 1928 Crowe memberi istilah whiplash untuk cedera kepala-leher sebagai akibat hiperekstensi melewati batas fisiologik gerakan kepala-leher (6). Menurut Douglass dan Bope (2004) nyeri leher adalah nyeri yang dihasilkan dari interaksi yang kompleks antara otot dan ligamen serta faktor yang berhubungan dengan postur, kebiasaan tidur, posisi kerja, stress, kelelahan otot kronis, adaptasi postural dari nyeri primer lain (bahu, sendi temporo mandibular, kranioservikal), atau perubahan degeneratif dari diskus servikalis dan sendinya (3). Menurut Finkelstein (2012) nyeri leher adalah nyeri ujung saraf yang terletak di berbagai ligament dan otot leher, serta sendi unco-vertebral dan lapisan luar diskus (annulus fibrosus) (5). Menurut American College of Rheumatology (2012) nyeri leher adalah rasa sakit di leher yang bisa dilokalisasi pada tulang belakang leher atau dapat menyebar ke lengan bawah (radikulopati) (7). 2.2. Klasifikasi Neck Pain 2.2.1. Menurut Onset Menurut Spine-Health (2013) nyeri leher dapat dibedakan atas (8) : 2.2.1.1. Akut. Nyeri berlangsung kurang dari 3 sampai 6 bulan atau nyeri yang secara langsung berkaitan dengan kerusakan jaringan. 2.2.1.2. Kronik Setidaknya ada dua jenis masalah nyeri kronis yaitu akibat pembangkit nyeri yang dapat diidentifikasi (misalnya cedera, penyakit diskus degeneratif, stenosis tulang, dan spondilosthesis) dan nyeri kronis akibat pembangkit nyeri yang tidak dapat diidentifikasi (misalnya cedera yang telah sembuh, fibromialgia). 2.2.1.3. Neuropatik Nyeri neuropatik telah diselidiki dan relatif baru. Saraf tertentu terus mengirim pesan rasa sakit ke otak meskipun tidak ada kerusakan jaringan yang sedang berlangsung. Nyeri neuropatik dirasakan berupa rasa berat, tajam, pedih, menusuk, terbakar, dingin, dan atau mati rasa, kesemutan atau kelemahan 2.2.2. Menurut ICD-10 dan ICF Adapun beberapa jenis dari nyeri leher menurut ICD-10 dan ICF (9): 2.2.2.1. Nyeri leher disertai defisit mobilitas Cervicalgia Nyeri pada tulang thorakal 2.2.2.2. Nyeri leher disertai nyeri kepala Nyeri kepala (Headache) Cervicocranial syndrome 2.2.2.3. Nyeri leher disertai gangguan koordinasi gerak Sprain atau strain pada tulang servikal 2.2.2.4. Nyeri leher dengan penjalaran Spondilosis dengan radikulopati Kerusakan diskus servikal dengan radikulopati 2.2.3. Menurut Penyebab Nyeri Leher 2.2.3.1. Penyebab Biomekanik Spondilosis servikalis (Axial Neck Pain, Radikulopati, Mielopati) Infeksi Neoplasma 2.2.3.2. Penyebab Rematik (Rheumatoid Arthritis) 2.2.3.3. Distonia servikal (Tortikolis spasmodik) 2.2.3.4. Trauma (Whiplash Associated Dissorders) 2.2.3.5. Fibromialgia (3,10). 2.2.3.1. Spondilosis Servikalis A. Definisi Spondilosis Servikalis Tulang belakang berisi sekumpulan saraf yang memberikan kekuatan dan sensasi pada lengan dan kaki, dan memberikan kontrol usus serta kandung kemih. Seiring dengan bertambahnya usia, diskus intervertebralis menjadi kurang lunak dan mulai kehilangan kadar air. Hal ini dapat menyebabkan penonjolan bagian keras diskus ke kanalis spinal. Tulang dan ligamen dari sendi tulang belakang menebal dan bertambah besar. Biasanya disebut juga sebagai spondilosis servikal atau stenosis servikal. Dapat terjadi sangat lambat atau sangat cepat. Perubahan ini menyebabkan penyempitan dari kanalis spinalis dan menjepit serabut dan akar saraf (11). Spondilosis terdiri atas 3 tipe sindrom yaitu: servikal radikulopati (sindrom tipe I), servikal mielopati (sindrom tipe II), dan axial joint pain (sindrom tipe III). Servikal radikulopati adalah sindrom dengan manifestasi klinis nyeri leher dengan nyeri yang menjalar di ekstermitas atas, kelemahan, atau mati rasa. Servikal mielopati adalah manifestasi yang dihasilkan dari penurunan ruang yang tersedia dari kanalis servikalis medulla spinalis. Sejumlah faktor yang berkontribusi terhadap tekanan ekstrinsik, termasuk diameter dari korda spinalis, osteofit, penonjolan diskus, perubahan dinamik dari diameter kanal, serta vaskularisasi (3,10). Nyeri leher aksial (Axial Neck Pain) dikenal juga sebagai uncomplicated neck pain dan ketegangan ligamen leher. Merupakan interaksi yang kompleks antara ligamen serta faktor yang berhubungan dengan postur, kebiasaan tidur, posisi duduk di depan komputer, stres, kelelahan kronis, adaptasi postural dari sumber nyeri lain (bahu, sendi temporomandibular,dan kranioservikal), atau perubahan degeneratif dari diskus servikal atau sendi facet (3). B. Epidemiologi Spondilosis Servikalis Data berbasis populasi dari Rochester, Minnesota, menunjukkan bahwa servikal radikulopati memiliki tingkat kejadian tahunan 107,3 per 100.000 untuk laki-laki dan 63,5 per 100.000 untuk perempuan dengan puncaknya pada usia 50 sampai dengan 54 tahun. Riwayat dari kerja fisik atau trauma mendahulu timbulnya gejala hanya pada 15% kasus. Sebuah studi dari Sisilia melaporkan prevalensi sekitar 3,5 kasus per 1000 penduduk. Sekitar 26% dari 561 pasien dengan servikal radikulopati menjalani operasi dalam waktu 3 bulan. Kekambuhan yang didefinisikan sebagai munculnya gejala setelah interval bebas gejala minimal 6 bulan terjadi pada sekitar 32% pasien. Pada 90% pasien memiliki temuan normal atau hanya sedikit kelemahan karena radikulopati servikal. Nyeri leher aksial adalah penyebab paling umum dari nyeri leher dan mempunyai angka kesembuhan yang tinggi. Dalam suatu studi, setelah 3 bulan perawatan non-operatif, 70% penderita mendapatkan kesembuhan lengkap (12). C. Etiologi Spondilosis Servikalis Penonjolan tulang atau osteofit yang tumbuh keluar melalui jalur saraf. Penonjolan bagian dari diskus yang terletak di depan saraf. Herniasi nukleus pulposus melalui bagian luar annulus. Faktur atau cedera yang menyebabkan fragmen tulang yang yang mempersempit atau menekan saluran saraf (5). Gambar 1. Etiologi dari Servikal Radikulopati (12) D. Patofisiologi Spondilosis Servikalis Mekanisme yang mendasari nyeri radikuler masih kurang dipahami. Kompresi akar saraf tidak selalu menyebabkan rasa sakit kecuali ganglion akar dorsal juga ikut terkompresi. Hipoksia dari akar saraf dan ganglion dorsal dapat memperburuk keadaan kompresi. Bukti terakhir menunjukkan bahwa mediator inflamasi termasuk matriks metalloproteinase, prostaglandin E2, interleukin-6, dan nirit oksida yang dirilis oleh herniasi diskus intervertebralis servikalis (12). E. Manifestasi Klinis Spondilosis Servikalis Stenosis tidak selalu menimbulkan gejala, jika gejala muncul biasanya dikarenakan adanya radikulopati atau meilopati. Sekitar setengah dari pasien dengan mielopati servikalis mengalami nyeri di leher atau lengan. Sebagian besar mempunyai keluhan disfungsi lengan dan kaki. Gejala termasuk kelemahan lengan, kekakuan tangan, seperti tidak mampu memegang kancing kemeja, membuka gagang pintu dan toples. Gejala kelemahan kaki, seperti kesulitan berjalan, sering jatuh. Urgensi saat kencing juga merupakan keluhan uang umumnya dirasakan. Dalam beberapa kasus, inkontinensia uri dan alvi dapat terjadi. Tanda pertama sering timbul adalah peningkatan refleks lutut dan tendo achiles (11). Gambar 2. Dermatom saraf servikal (13) F. Diagnosis Spondilosis Servikalis Tentunya dimulai dari anamnesis kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik dengan beberapa tes. Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan : Peningkatan refleks lutut dan achiles (hiperrefleks) atau kadang-kadang ditemukan penurunan refleks pada lengan. Perubahan gaya berjalan seperti kehilangan keseimbangan Hilangnya sensitivitas pada tangan atau kaki Dapat ditemukan adanya klonus Refleks Babinsky dan Hoffman dapat positif Rentang gerak atau fleksibilitas leher menurun (11). Pemeriksaan X-ray servikal tidak memberikan cukup informasi untuk stenosis tetapi mungkin mengesampingkan kondisi lain. Magnetic Resonance Imaging (MRI) sering digunakan untuk diagnosis. MRI memberikan gambaran yang sangat rinci dan menunjukkan bagian kanalis spinalis yang menjepit saraf. CT-scan dapat memberikan informasi jelas tentang invasi tulang dari kanalis dan dapat dikombinasikan dengan kontras yang disuntikkan di sekitar saraf tulang belakang (mielografi). Elektromiografi (EMG) dan Nerve Conduction Velocity (NCV) dapat membantu dalam masalah saraf perifer seperti terjepitnya saraf di leher atau lengan yang dapat menyebabkan gejala mielopati. Somatosensory Evoked Potentials (SSEP) dapat menunjukkan perlambatan sinyal menuju ke otak yang mengindikasikan adanya kompresi medulla spinalis (11). G. Penatalaksanaan Spondilosis Servikalis Pada kasus ringan stenosis servikal dengan atau tanpa mielopati dapat diatasi dengan terapi non-operatif. Namun, pada kasus dengan kelemahan, nyeri hebat atau ketidakmampuan berjalan, pembedahan biasanya direkomendasikan (11). Terapi non-operatif dapat terdiri dari terapi non-medikamentosa dan medikamentosa. Sebuah terapi fisik dan olahraga biasanya dimulai dengan peregangan untuk mengembalikan fleksibilitas otot leher, tubuh, lengan atau kaki. Obat-obatan pada mielopati servikal bertujuan untuk mengurangi rasa sakit, kejang otot dan gejala lainnya. Pemberian NSAID untuk mengurangi pembengkakan dan inflamasi. NSAID seperti aspirin, ibuprofen, naproxen, dan yang lainnya. Efek samping NSAID seperti gangguan perut dan perdarahan harus dimonitor. Kortikosteroid sebagai antiinflamasi yang kuat baik oral atau suntikan dapat digunakan (11). Injeksi steroid epidural mungkin dianjrukan. Kortikosteorid disuntikkan ke dalam ruang epidural. Tujuan dari injeksi ini adalah untuk mengurangi inflamasi. Antidepresan juga mungkin diberikan apabila obat-obat analgesik kurang memberi efek. Injeksi trigger point dengan anastesi lokal atau bias dikombinasikan dengan steroid dapat diberikan langsung pada jaringan lunak atau otot yang nyeri. Suntikan pada sendi facet juga mungkin diberikan (11). Jika pengobatan non-operatif dirasa gagal, dapat disarankan untuk terapi operatif. Pembedahan dapat dilakukan pada bagian anterior atau posterior. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan apabila mengambil jalan operasi adalah lokasi kompresi, kualitas tulang, jumlah tingkat diskus yang terlibat dan kesehatan secara umum (11). 2.2.3.2. Whiplash Associated Disorder (WAD) A. Definisi WAD WAD adalah kasus nyeri leher yang khusus terjadi akut atau subakut diakibatkan oleh akselerasi dan deselerasi energi pada leher. Biasanya melibatkan beberapa pembangkit nyeri seperti miofasial, ligamen, diskogenik, dan facet (3). B. Epidemiologi WAD Sekitar 1 juta kasus WAD terjadi setiap tahunnya di Amerika Serikat sebagai akibat kecelakaan bermotor. 19%-60% (rata-rata 33%) pasien dengan WAD menjadi kronis secara keseluruhan, 7 % yang tidak menunjukkan gejala 3 bulan setelah 3 bulan akan memiliki gejala setelah 2 tahun, sedangkan 85% yang bergejala setelah 3 bulan kecelakaan akan tetap bertahan setelah 2 tahun (3). C. Etiologi WAD Paling umum disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor dapat pula disebabkan oleh hal lain seperti menyelam (3). D. Manifestasi Klinis WAD Manifestasi klinis pada WAD biasanya muncul sebagai nyeri di otot leher paramedian posterior, dengan radiasi ke tengkuk, bahu, atau daerah periskapular. Kekakuan pada satu atau lebih gerak leher disertai sakit kepala yang umum. pada WAD terbagi atas 4 kategori (14) : Kelas I terdiri dari keluan leher tidak spesifik seperti nyeri, kaku nyeri tanpa temuan fisik yang objektif. Kelas II keluhan leher disertai tanda yang terbatas pada struktur muskuloskeletal. Kelas III keluhan leher ditambah disertai tanda-tanda neurologis. Kelas IV terdiri dari nyeri leher, ditambah fraktur atau dislokasi. E. Diagnosis WAD Anamnesis dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik yang setidaknya meliputi : Inspeksi Palpasi pada titik nyeri ROM pada fleksi-ekstensi, rotasi dan lateral fleksi Pemeriksaan neurologis untuk memeriksa fungsi sensorimotor dan refleks tendon dari ekstermitas atas dan bawah Giniometer universal dapat dipakai untuk mengukur ROM leher atau dengan dinamometer digunakan untuk mengukur kekuatan otot (12). Pemeriksaan radiologi direkomendasikan pada pasien dengan WAD kelas III atau kelas IV yang dicurigai dan pasien dengan riwayat trauma. (3). F. Penatalaksanaan WAD Memberikan pasien latihan mobilitas umum untuk leher dan tulang belakang. Latihan stabilisasi harus dilakukan dengan target fleksor leher dan stabilisasi skapula. Penting pada tahap awal memberitahu pasien agar beraktivitas seperti biasa. Pada WAD kelas II dan III dapat diberikan analgetik non-opioid dan NSAID untuk mengurangi nyeri. Diberikan tidak lebih dari 3 minggu dan perhatikan kemungkinan efek samping. Analgetik opiod tidak direkomendasikan pada WAD kelas I dan II. Mungkin diberikan pada WAD kelas III akut yang berat. Pada WAD kelas IV gunakan metilprednisolon dosis tinggi (14,15). 2.2.3.3. Rheumatoid Arthritis (RA) A. Definisi RA Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang menyebabkan peradangan pada sendi, misalnya: jari-jari tangan, pergelangan tangan, sendi bahu, sendi lutut, dan panggul termasuk sendi leher. Umumnya selalu simetris, yang artinya mengenai sendi kanan dan kiri secara bersamaan (16). B. Epidemiologi RA Prevalensi penyakit RA di Indonesia saat ini belum diketahui secara pasti. Dalam penelitiannya, Darmawan et al pada tahun 1993 menyebutkan prevalensi RA di Indonesia 0,2% untuk penduduk di daerah pedesaan dan 0,3% untuk penduduk di daerah kota. RA pada vertebra servikal bukan merupakan arthritis degeneratif yang umumnya ditemukan. Namun, 90% pasien dengan RA mempunyai perubahan radiografi pada vertebra servikalnya (16,17) C. Etiologi RA Etiologi dari RA tidak diketahui secara pasti. Terdapat interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik yang berperan terhadap kejadian RA adalah gen HLA-DRB1 . Gen ini berperan penting dalam resopsi tulang. Prevalensi RA lebih tinggi pada perempuan sehingga diduga hormon seks berperan dalam perkembangan penyakit ini. Faktor infeksi juga berperan dalam terjadinya RA. Mikroorganisme merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga mencetuskan timbulnya penyakit (18). D. Patofisiologi RA RA adalah penyakit sistemik yang ditandai dengan peradangan dan penghancuran pada sendi sinovial. Vertebra servikal mempunyai 22 sendi sinovial dan proses inflamasi dapat menjadi cerminan tentang apa yang terjadi pada sendi sinovial di selurruh tubuh. RA pada vertebra servikal dapat menyebabkan ketidakstabilan, subluksasi dan kompresi tulang belakang. Terdapat tiga pola ketidakstabilan yang dijelaskan. Yang paling umum adalah keterlibatan atlantoaksial atau setingkat C1-C2. Sinovitis menghasilkan penghancuran ligamentum transversal. Subluksasi atlanto-aksial terjadi pada lebih dari 49% pasien. Subluksasi sub-aksial adalah jenis kedua yang paling umum dikarenakan kerusakan sendi facet di bawah tingkat C2. Terjadi deformitas pada sekitar 30% pasien. Jenis ketiga yang umunya ditemukan adalah impaksi atlanto-aksial dengan subluksasi vertikal pada aksis. Pada 12-30% pasien dapat terjadi kompresi batang otak karena odontoid yang memasuki foramen magnum (17). E. Manifestasi Klinis RA Nyeri leher merupakan gejala yang paling umum. Dapat ditemukan pada 80% pasien. Beberapa pasein dengan subluksasi atlanto-axial dapat merasakan sensasi yang berbunyi selama ekstensi leher. Selain itu, pasien mungkin mengeluh kaku, krepitasi dan nyeri pada penggerakan. Tergantung pada lokasi dari proses patologis, pasien juga dapat merasakan parestesia pada ekstermitas atas serta kelemahan yang melibatkan ekstermitas bawah (17). Tanda-tanda neurologis didapatkan pada 7-34% pasein. Jika kompresi secara signifikan pada vertebra terjadi mielopati akan menyebabkan kelemahan. Subluksasi mungkin menyebabkan oklusi arteri vertebra dan insufisiensi vaskular ke vertebra, batang otak serta serebellum. Kelumpuhan saraf kranial, paraplegi bahkan kematian dapat terjadi (17). Klasifikasi Ranawat untuk RA pada vertebra servikal (17) : Grade I : Tidak ada defisit neurologis Grade II : Kelemahan, hiperrefleks, disethesia Grade III : Kelemahan dan long tract signs (ambulatory dan quadriparetic non-ambulatory). F. Diagnosis RA Pasien dengan gejala sistemik RA harus memiliki radiografi periodik dengan view fleksi atau ekstensi. Jika ada kekhawatiran erosi vertebra servikal bisa dilakukan CT-scan. Jika terdapat deficit neurolgis maka MRI servikal adalah diagnostik pilihan. Indikasi pemeriksaan radiografi servikal untuk pasien RA (17) : 1. Gejala leher yang berkepanjangan lebih dari 6 bulan. 2. Tanda atau gejala neurologis. 3. Dijadwalkan prosedur operasi yang membutuhkan intubasi endotrakeal. 4. Kerusakan cepat dan progresif dari tulang karpal atau tarsal. 5. Kerusakan fungsional cepat secara keseluruhan. Gambar 3. Foto servikal pada penderita RA (17) G. Penatalaksanaan RA Terapi non-bedah Pengobatan dengan NSAID dan disease modifying anti-rhematic drugs (DMARD). Penggunaan collars neck juga memberikan keuntungan yang besar. Terapi fisik dengan penguatan isometric leher serta latihan postural (17). Terapi bedah Pertimbangan serius harus diberikan pada pasien dengan defisit neurologis sebagai akibat dari kompresi dan subluksasi tulang belakang. Pasien yang mengalami nyeri parah yang tidak berespon dengan pengobatan merupakan salah satu indikasi. Tujuan dari terapi pembedahan adalah untuk dekompresi saraf tulang belakang, mencapai stabilitas tulang belakang melalui fusi segmen yang tidak stabil dan untuk mencegah defisit neurologis irreversibel (17). 2.2.3.4. Spondilitis Tuberkulosa A. Definisi Spondilitis Tuberkulosa Spondilitis tuberkulosis adalah infeksi Mycobacterium tuberculosis pada tulang belakang. Spondilitis tuberkulosis memiliki perjalanan penyakit yang relatif indolen, sehingga sulit untuk didiagnosis secara dini. Seringkali penderita mendapatkan pengobatan pada keadaan lanjut dimana deformitas kifosis dan kecacatan neurologis sudah relatif ireversibel (19). B. Epidemiologi Spondilitis Tuberkulosa Pada tahun 2005, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa jumlah kasus TB baru terbesar terdapat di Asia Tenggara (34 persen insiden TB secara global) termasuk Indonesia. Jumlah penderita diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penderita acquired immunodefi ciency syndrome (AIDS) oleh infeksi human immunodefi ciency virus (HIV). Satu hingga lima persen penderita TB mengalami TB osteoartikular. Separuh dari TB osteoartikular adalah spondilitis TB (19). Di negara berkembang, penderita TB usia muda diketahui lebih rentan terhadap spondilitis TB daripada usia tua. Sedangkan di negara maju, usia munculnya spondilitis TB biasanya pada dekade kelima hingga keenam. TB osteoartikular banyak ditemukan pada penderita dengan HIV positif, imigran dari negara dengan prevalensi TB yang tinggi, usia tua, anak usia dibawah 15 tahun dan kondisi-kondisi defisiensi imun lainnya. Pada pasien-pasien HIV positif, insiden TB diketahui 500 kali lebih tinggi dibanding populasi orang HIV negatif. Di sisi lain, sekitar 25 – 50 persen kasus baru TB di Amerika Serikat adalah HIV positif (19). C. Etiologi Spondilitis Tuberkulosa Penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis yang merupakan bakteri berbentuk basil dan tahan asam (19). D. Patofisiologi Spondilitis Tuberkulosa Spondilitis TB dapat terjadi akibat penyebaran secara hematogen/limfogen melalui nodus limfatikus para-aorta dari fokus tuberkulosis di luar tulang belakang yang sebelumnya sudah ada. Pada anak, sumber infeksi biasanya berasal dari fokus primer di paru, sedangkan pada orang dewasa berasal dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil). Dari paru-paru, kuman dapat sampai ke tulang belakang melalui pleksus venosus paravertebral Batson (19). Lesi tuberkulosis pada tulang belakang dimulai dengan inflamasi paradiskus. Setelah tulang mengalami infeksi, hiperemia, edema sumsum tulang belakang dan osteoporosis terjadi pada tulang. Destruksi tulang terjadi akibat lisis jaringan tulang, sehingga tulang menjadi lunak dan gepeng terjadi akibat gaya gravitasi dan tarikan otot torakolumbal. Selanjutnya, destruksi tulang diperberat oleh iskemi sekunder akibat tromboemboli, periarteritis, endarteritis. Karena transmisi beban gravitasi pada vertebra torakal lebih terletak pada setengah bagian anterior badan vertebra, maka lesi kompresi lebih banyak ditemukan pada bagian anterior badan vertebra sehingga badan vertebra bagian anterior menjadi lebih pipih daripada bagian posterior. Resultan dari hal-hal tersebut mengakibatkan deformitas kifotik. Deformitas kifotik inilah yang sering disebut sebagai gibbus (19). Beratnya kifosis tergantung pada jumlah vertebra yang terlibat, banyaknya ketinggian dari badan vertebra yang hilang, dan segmen tulang belakang yang terlibat. Vertebra torakal lebih sering mengalami deformitas kifotik. Pada vertebra servikal dan lumbal, transmisi beban lebih terletak pada setengah bagian posterior badan vertebra sehingga bila segmen ini terinfeksi, maka bentuk lordosis fisiologis dari vertebra servikal dan lumbal perlahan-lahan akan menghilang dan mulai menjadi kifosis. Menurut penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, lesi vertebra torakal terlapor pada 71 persen kasus spondilitis TB, diikuti dengan vertebra lumbal, dan yang terakhir vertebra servikal. Lima hingga tujuh persen penderita mengalami lesi di dua hingga empat badan vertebra dengan ratarata 2.51. Jika pada orang dewasa spondilitis TB banyak terjadi pada vertebra torakal bagian bawah dan lumbal bagian atas, khususnya torakal 12 dan lumbal 1, pada anak-anak spondilitis TB lebih banyak terjadi pada vertebra torakal bagian atas (19). Cold abscess terbentuk jika infeksi spinal telah menyebar ke otot psoas (disebut juga absespsoas) atau jaringan ikat sekitar. Cold abscess dibentuk dari akumulasi produk likuefaksi dan eksudasi reaktif proses infeksi. Abses ini sebagian besar dibentuk dari leukosit, materi kaseosa, debris tulang, dan tuberkel basil. Abses di daerah lumbar akan mencari daerah dengan tekanan terendah hingga kemudian membentuk traktus sinus/fistel di kulit hingga di bawah ligamentum inguinal atau region gluteal (19). Adakalanya lesi tuberkulosis terdiri dari lebih dari satu fokus infeksi vertebra. Hal ini disebut sebagai spondilitis TB non-contiguous, atau “skipping lesion”. Peristiwa ini dianggap merupakan penyebaran dari lesi secara hematogen melalui pleksus venosus Batson dari satu fokus infeksi vertebra. Insidens spondilitis TB non-contiguous dijumpai pada 16 persen kasus spondilitis TB. Defisit neurologis oleh kompresi ekstradural medula spinalis dan radiks terjadi akibat banyak proses, yaitu: 1) penyempitan kanalis spinalis oleh abses paravertebral, 2) subluksasio sendi faset patologis, 3) jaringan granulasi, 4) vaskulitis, trombosis arteri/ vena spinalis, 5) kolaps vertebra, 6) abses epidural atau 7) invasi duramater secara langsung. Selain itu, invasi medula spinalis dapat juga terjadi secara intradural melalui meningitis dan tuberkulomata sebagai space occupying lesion (19). Bila dibandingkan antara pasien spondilitis TB dengan defisit neurologis dan tanpa defisit neurologis, maka defisit biasanya terjadi jika lesi TB pada vertebra torakal. Defi sit neurologis dan deformitas kifotik lebih jarang ditemukan apabila lesi terdapat pada vertebra lumbalis. Penjelasan yang mungkin mengenai hal ini antara lain: 1) Arteri Adamkiewicz yang merupakan arteri utama yang mendarahi medula spinalis segmen torakolumbal paling sering terdapat pada vertebra torakal 10 dari sisi kiri. Obliterasi arteri ini akibat trombosis akan menyebabkan kerusakan saraf dan paraplegia. 2) Diameter relatif antara medula spinalis dengan foramen vertebralisnya. Intumesensia lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra torakal 10, sedangkan foramen vertebrale di daerah tersebut relatif kecil. Pada vertebra lumbalis, foramen vertebralenya lebih besar dan lebih memberikan ruang gerak bila ada kompresi dari bagian anterior (19). E. Manifestasi Klinis Spondilitis Tuberkulosa Manifestasi klinis spondilitis TB relatif indolen (tanpa nyeri). Pasien biasanya mengeluhkan nyeri lokal tidak spesifik pada daerah vertebra yang terinfeksi. Demam subfebril, menggigil, malaise, berkurangnya berat badan atau berat badan tidak sesuai umur pada anak yang merupakan gejala klasik TB paru juga terjadi pada pasien dengan spondilitis TB. Pada pasien dengan serologi HIV positif, rata-rata durasi dari munculnya gejala awal hingga diagnosis ditegakkan adalah selama 28 minggu. Apabila sudah ditemukan deformitas berupa kifosis, maka patogenesis TB umumnya spinal sudah berjalan selama kurang lebih tiga sampai empat bulan (19). Defisit neurologis terjadi pada 12 – 50 persen penderita. Defisit yang mungkin antara lain: paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radikular dan/ atau sindrom kauda equina. Nyeri radikuler menandakan adanya gangguan pada radiks (radikulopati). Spondilitis TB servikal jarang terjadi, namun manifestasinya lebih berbahaya karena dapat menyebabkan disfagia dan stridor, tortikollis, suara serak akibat gangguan n. laringeus. Jika n. frenikus terganggu, pernapasan terganggu dan timbul sesak napas (disebut juga Millar asthma) (19). Umumnya gejala awal spondilitis servikal adalah kaku leher atau nyeri leher yang tidak spesifik. Nyeri lokal dan nyeri radikular disertai gangguan motorik, sensorik dan sfingter distal dari lesi vertebra akan memburuk jika penyakit tidak segera ditangani. Menurut salah satu sumber, insiden paraplegia pada spondilitis TB (Pott’s paraplegia), sebagai komplikasi yang paling berbahaya, hanya terjadi pada 4 – 38 persen penderita. Pott’s paraplegia dibagi menjadi dua jenis: paraplegia onset cepat (early-onset) dan paraplegia onset lambat (late-onset). Paraplegia onset cepat terjadi saat akut, biasanya dalam dua tahun pertama. Paraplegia onset cepat disebabkan oleh kompresi medula spinalis oleh abses atau proses infeksi. Sedangkan paraplegia onset lambat terjadi saat penyakit sedang tenang, tanpa adanya tanda-tanda reaktifasi spondilitis, umumnya disebabkan oleh tekanan jaringan fibrosa/parut atau tonjolan-tonjolan tulang akibat destruksi tulang sebelumnya (19). Gejala motorik biasanya yang lebih dahulu muncul karena patologi terjadi dari anterior, sesuai dengan posisi motoneuron di kornu anterior medula spinalis, kecuali jika ada keterlibatan bagian posterior medula spinalis, keluhan sensorik bisa lebih dahulu muncul. Penelitian di Nigeria melaporkan bahwa paraplegia terjadi pada 54 persen pasien yang mengalami gangguan kekuatan motorik. Sedangkan deformitas tulang belakang hanya terjadi pada 21 persen pasien-pasien tersebut. Tingginya angka paraplegia mungkin disebabkan tingkat sosioekonomi dan pendidikan yang masih rendah sehingga pasien baru datang ke layanan kesehatan jika penyakit sudah melanjut dengan gejala yang berat (19). F. Diagnosis Spondilitis Tuberkulosa Nyeri punggung belakang adalah keluhan yang paling awal, sering tidak spesifik dan membuat diagnosis yang dini menjadi sulit. Maka dari itu, setiap pasien TB paru dengan keluhan nyeri punggung harus dicurigai mengidap spondilitis TB sebelum terbukti sebaliknya. Selain itu, dari anamnesis bisa didapatkan adanya riwayat TB paru, atau riwayat gejala-gejala klasik (demam lama, diaforesis nokturnal, batuk lama, penurunan berat badan) jika TB paru belum ditegakkan sebelumnya. Demam lama merupakan keluhan yang paling sering ditemukan namun cepat menghilang (satu hingga empat hari) jika diobati secara adekuat (19). Paraparesis adalah gejala yang biasanya menjadi keluhan utama yang membawa pasien datang mencari pengobatan. Gejala neurologis lainnya yang mungkin: rasa kebas, baal, gangguan defekasi dan miksi. Pemeriksaan fisik umum dapat menunjukkan adanya fokus infeksi TB di paru atau di tempat lain, meskipun pernah dilaporkan banyak spondilitis TB yang tidak menunjukkan tandatanda infeksi TB ekstraspinal (19). Pernapasan cepat dapat diakibatkan oleh hambatan pengembangan volume paru oleh tulang belakang yang kifosis atau infeksi paru oleh kuman TB. Infiltrat paru akan terdengar sebagai ronkhi, kavitas akan terdengar sebagai suara amforik atau bronkial dengan predileksi di apeks paru. Kesegarisan (alignment) tulang belakang harus diperiksa secara seksama. Infeksi TB spinal dapat menyebar membentuk abses paravertebra yang dapat teraba, bahkan terlihat dari luar punggung berupa pembengkakan. Permukaan kulit juga harus diperiksa secara teliti untuk mencari muara sinus/fistel hingga regio gluteal dan di bawah inguinal (trigonum femorale). Tidak tertutup kemungkinan abses terbentuk di anterior rongga dada atau abdomen (19). Terjadinya gangguan neurologis menandakan bahwa penyakit telah lanjut, meski masih dapat ditangani. Pemeriksaan fisik neurologis yang teliti sangat penting untuk menunjang diagnosis dini spondilitis TB. Pada pemeriksaan neurologis bisa didapatkan gangguan fungsi motorik, sensorik, dan autonom. Kelumpuhan berupa kelumpuhan upper motor neuron (UMN), namun pada presentasi awal akan didapatkan paralisis flaksid, baru setelahnya akan muncul spastisitas dan refleks patologis yang positif. Kelumpuhan lower motor neuron (LMN) mononeuropati mungkin saja terjadi jika radiks spinalis anterior ikut terkompresi. Jika kelumpuhan sudah lama, otot akan atrofi , yang biasanya bilateral. Sensibilitas dapat diperiksa pada tiap dermatom untuk protopatis (raba, nyeri, suhu), dibandingkan ekstremitas atas dan bawah untuk proprioseptif (gerak, arah, rasa getar, diskriminasi 2 titik). Evaluasi sekresi keringat rutin dikerjakan untuk menilai fungsi saraf autonom (19). Radiologi hingga saat ini merupakan pemeriksaan yang paling menunjang untuk diagnosis dini spondilitis TB karena memvisualisasi langsung kelainan fisik pada tulang belakang. Terdapat beberapa pemeriksaan radiologis yang dapat digunakan seperti sinar-X, Computed Tomography Scan (CTscan), dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Pada infeksi TB spinal, klinisi dapat menemukan penyempitan jarak antar diskus intervertebralis, erosi dan iregularitas dari badan vertebra, sekuestrasi, serta massa para vertebra. Pada keadaan lanjut, vertebra akan kolaps ke arah anterior sehingga menyerupai akordion (concertina), sehingga disebut juga concertina collapse (19). G. Penatalaksanaan Spondilitis Tuberkulosa Medikamentosa Spondilitis TB dapat diobati secara sempurna hanya dengan OAT saja hanya jika diagnosis ditegakkan awal, dimana destruksi tulang dan deformitas masih minimal. Seperti pada terapi TB pada umumnya, terapi infeksi spondilitis TB adalah multidrug therapy. Secara umum, regimen OAT yang digunakan pada TB paru dapat pula digunakan pada TB ekstraparu, namun rekomendasi durasi pemberian OAT pada TB ekstraparu hingga saat ini masih belum konsisten antarahli. World Health Organization (WHO) menyarankan kemoterapi diberikan setidaknya selama 6 bulan. British Medical Research Council menyarankan bahwa spondilitis TB torakolumbal harus diberikan kemoterapi OAT selama 6 – 9 bulan.2 Untuk pasien dengan lesi vertebra multipel, tingkat servikal, dan dengan defi sit neurologis belum dapat dievaluasi, namun beberapaahli menyarankan durasi kemoterapi selama 9–12 bulan (19). The Medical Research Council Committee for Research for Tuberculosis in the Tropics menyatakan bahwa isoniazid dan rifampisin harus selalu diberikan selama masa pengobatan. Selama dua bulan pertama (fase inisial), obat-obat tersebut dapat dikombinasikan dengan pirazinamid, etambutol dan streptomisin sebagai obat lini pertama. Hal ini senada dengan penelitian Karaeminogullari dkk yang mengobati pasien spondilitis TB lumbal dengan rifampisin dan insoniazid saja selama 9 bulan, dengan hasil yang memuaskan. Obat lini kedua diberikan hanya pada kasus resisten pengobatan. Yang termasuk sebagai OAT lini kedua antara lain: levofl oksasin, moksifl oksasin, etionamid, tiasetazon, kanamisin, kapreomisin, amikasin, sikloserin, klaritomisin dan lain-lain. Adakalanya kuman TB kebal terhadap berbagai macam OAT (19). Multidrug resistance TB (MDR-TB) didefinisikan sebagai basil TB yang resisten terhadap isoniazid dan rifampisin. Spondilitis MDR-TB adalah penyakit yang agresif karena tidak dapat hanya diterapi dengan pengobatan OAT baku. Regimen untuk MDR-TB harus disesuaikan dengan hasil kultur abses. Perbaikan klinis umumnya bisa didapatkan dalam 3 bulan jika terapi berhasil. Adapula rekomendasi terbaru untuk penganganan MDR-TB, yaitu dengan kombinasi 5 obat, antara lain: 1) salah satu dari OAT lini pertama yang diketahui sensitif melalui hasil kultur resistensi, 2) OAT injeksi untuk periode minimal selama 6 bulan, 3) kuinolon, 4) sikloserin atau etionamid, 5) antibiotik lainnya seperti amoksisilin klavulanat dan klofazimin. Durasi pemberian OAT setidaknya selama 18–24 bulan (19). The United States Centers for Disease Control merekomendasikan pengobatan spondilitis TB pada bayi dan anak-anak setidaknya harus selama 12 bulan. Durasi kemoterapi pada pasien imunodefisiensi sama pada pasien tanpa imunodefi siensi. Namun, adapula sumber yang mengatakan durasinya harus diperpanjang. Kemoterapi pada pasien dengan HIV positif harus disesuaikan dan memerhatikan interaksi OAT dan obat antiretroviral. Zidovudin dapat meningkatkan efek toksik OAT. Didanosin harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat penyanggah antasida. Perhimpuna Dokter Paru Indonesia telah merumuskan regimen terapi OAT untuk pasien TB. Untuk kategori I, yaitu kasus baru TB paru kasus baru dengan TB ekstraparu, termasuk TB spinal, diberikan 2 HRZE (HRZS) fase inisial dilanjutkan 4HR fase lanjutan, atau 2HRZE(HRZS) fase inisial dilanjutkan 4H3R3 fase lanjutan, atau 2RHZE(HRZS) fase inisial dilanjutkan 6HE fase lanjutan. Pemberian regimen bisa diperpanjang sesuai dengan respons klinis penderita. Sedangkan untuk kategori II, yaitu kasus gagal pengobatan, relaps, drop-out, diberikan 2RHZES fase inisial dilanjutkan 5HRE fase lanjutan, atau 2HRZES fase inisial dilanjutkan 5H3R3E3 fase lanjutan (19). Deksametason jangka pendek dapat digunakan pada kasus dengan defisit neurologis yang akut untuk mencegah syok spinal. Namun, belum ada studi yang menguji efektivitasnya pada kasus spondilitis TB. Pemberian bisfosfonat intravena bersamaan dengan kemoterapi OAT telah dicoba pada beberapa pasien dan dikatakan dapat meningkatkan proses perbaikan tulang. Nerindronat 100 mg pada pemberian pertama, dan 25 mg setiap bulan berikutnya selama 2 tahun telah diujicobakan dengan hasil yang memuaskan. Nerindronat disebutkan dapat menghambat aktivitas resorpsi osteoklas dan menstimulasi aktivitas osteoblas. Namun, studi ini masih terbatas pada satu pasien dan perlu dievaluasi lebih lanjut. Terapi medikamentosa dikatakan gagal jika dalam 3–4 minggu, nyeri dan atau defisit neurologis masih belum menunjukkan perbaikan setelah pemberian OAT yang sesuai, dengan atau tanpa imobilisasi atau tirah baring (19). Tabel 1. Dosis rekomendasi OAT pada anak (dibawah 12 tahun) dan dewasa (19) Pemdedahan Dengan berkembangnya penggunaan OAT yang efektif, terapi pembedahan relative ditinggalkan sebagai penatalaksanaan utama pada spondilitis TB. Pilihan teknik bedah tulang belakang pada spondilitis sangat bervariasi, tapi pendekatan tindakan bedah yang baku dan empiris masih belum ada. Setiap kasus harus dinilai keadaanya secara individual. Pada pasien yang direncanakan dioperasi, kemoterapi tetap harus diberikan, minimal 10 hari sebelum operasi OAT harus sudah diberikan. Kategori regimen OAT yang diberikan disesuaikan jenis kasus yang ada dan dilanjutkan sesuai kategori masing-masing (19). Tindakan bedah yang dapat dilakukan pada spondilitis TB meliputi drainase abses, debridemen radikal, penyisipan tandur tulang, artrodesis/fusi, penyisipan tandur tulang, dengan atau tanpa instrumentasi/fiksasi, baik secara anterior maupun posterior; dan osteotomi. Indikasi pembedahan pada spondilitis TB secara umum sebagai berikut: 1) defisit neurologis akut, paraparesis, atau paraplegia. 2) deformitas tulang belakang yang tidak stabil atau disertai nyeri, dalam hal ini kifosis progresif (30º untuk dewasa, 15º untuk anak-anak). 3) tidak responsif kemoterapi selama 4 minggu. 4) abses luas. 5) biopsi perkutan gagal untuk memberikan diagnosis. 6) nyeri berat karena kompresi abses (19). Jika lesi di servikal, intervensi bedah dilakukan lebih awal mengingat potensi kecacatan yang akan terjadi. Jika mengikuti klasifi kasi GATA , maka intervensi bedah dilakukan pada pasien dengan GATA IB hingga GATA III. Sementara itu, satu-satunya kontraindikasi pembedahan pada pasien spondilitis TB adalah kegagalan jantung dan paru. Pada keadaan ini kegagalan jantung dan paru harus ditangani terlebih dahulu untuk menyelamatkan jiwa pasien (19). Tabel 2. Klasifikasi Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA) untuk spondilitis TB (19) 2.2.3.5. Fibromialgia A. Definisi Fibromialgia Fibromialgia adalah kelainan yang sering ditemui, dicirikan oleh adanya nyeri muskuloskeletal yang menyebar dengan penyebaran yang simetris, kekakuan, mudah lelah, parestesi, dan gangguan tidur. Istilah fibromialgia baru muncul belum terlalu lama, meskipun gejalanya telah banyak dibahas dalam literatur kedokteran sejak awal tahun 1900-an. Baru pada tahun 1989, fibromialgia muncul pada salah satu buku teks reumatologi dengan istilah fibrositis yang pada tahun 1990 diubah oleh American College of Rheumatology (ACR) menjadi sindrom fibromialgia, mengingat istilah fibrositis yang kurang tepat (20). B.Epidemiologi Fibromialgia Berdasarkan data di Amerika Serikat, kira-kira 20% pasien klinik rheumatologi adalah pasien fibromialgia, yang kebanyakan berusia 30-50 tahun. Dari data tersebut dapat dikatakan 1 dari 5 pasien yang berobat adalah fibromialgia. Thompson melaporkan fibromialgia sebagai penyakit terbanyak kedua yang ditemui dalam praktek rheumatologis. Fibromialgia lebih banyak menyerang perempuan dibandingkan laki-laki, dengan rasio 9:1. Prevalensi fibromialgia pada populasi umum di Amerika Serikat untuk perempuan ialah 3,4%, sedangkan untuk laki-laki 0,5%. Fibromialgia juga lebih sering ditemukan pada perempuan di atas 50 tahun (20). C. Etiologi Fibromialgia Hingga kini, penyebab pasti fibromialgia belum dapat ditemukan, tapi telah diketahui bahwa fibromialgia dapat dipicu oleh stres emosional, infeksi, pembedahan, hipotiroidisme, dan trauma. Fibromialgia juga telah ditemukan pada pasien yang terinfeksi hepatitis C, HIV, parvovirus B19, dan lyme disease. Pendapat lain menyebutkan kurangnya latihan, penggunaan otot secara berlebihan, dan perubahan metabolisme otot sebagai kemungkinan penyebab fibromialgia (20). D. Patogenesis Fibromialgia Meskipun penyebab pasti fibromialgia masih menjadi misteri, secara umum para ahli sepakat mengenai adanya mekanisme pengolahan input yang tidak normal, khususnya input nyeri (nosiseptif), pada sistem saraf pusat. Pada studi dolorimetri dan pemberian stimuli seperti panas, dingin dan elektrik, ditemukan ambang rangsang yang rendah pada pasien fibromialgia. Pasien fibromialgia mempersepsikan stimuli non-nosiseptif sebagai stimuli nosiseptif serta kurang mampu mentoleransi nyeri yang seharusnya dapat ditoleransi oleh orang normal. Beberapa kelainan fisiologik dan biokimia telah ditemukan pada susunan saraf pusat pasien fibromialgia sehingga fibromialgia tidak lagi dapat disebut sebagai keluhan subjektif. Kelainan tersebut adalah kadar serotonin yang rendah, disfungsi poros hipotalamus hipofisis, kadar hormon pertumbuhan yang rendah, kadar substansi P yang meningkat dan faktor pertumbuhan saraf yang meningkat (20). E. Manifestasi Klinis Fibromialgia Gejala yang biasa ditemukan pada pasien fibromialgia antara lain nyeri muskuloskeletal yang menyebar, kekakuan, dan kelelahan. Gejala lain juga dapat muncul, di antaranya parestesi, gangguan tidur, titik nyeri, dan lain-lain. Pada fibromialgia, nyeri bersifat menyebar dan di-rasakan selama minimal 3 bulan, di atas dan bawah pinggang pada kedua sisi tubuh, bersamaan dengan nyeri aksial. Nyeri punggung bawah (berasal dari bawah pinggang) dapat menyebar hingga ke bokong dan tungkai. Nyeri lain dapat meliputi nyeri leher, bahu atas-belakang, dan nyeri sendi. Nyeri tersebut timbul setelah olahraga ringan, dan dirasakan seperti nyeri terbakar yang persisten dan mengganggu, atau nyeri tumpul yang konstan (20). Pada 75-90% penderita fibromialgia, ditemukan kekakuan yang biasanya terjadi di pagi hari kemudian membaik di siang hari atau bertahan sepanjang hari. Gejala lain yang mungkin ditemukan adalah kelelahan, mati rasa pada kaki dan tangan, sering terbangun di malam hari dan sulit tidur kembali, bangun pagi dengan rasa letih, merasa lebih kedinginan daripada orang-orang di sekitarnya, fenomena Raynaud atau gejala mirip fenomena Raynaud, gangguan kognitif dengan kesulitan berpikir dan kehilangan ingatan jangka pendek (loss of shortterm memory), sakit kepala tipe migrain, pusing, cemas, dan depresi. Gejala tersebut diperparah oleh stress atau cemas, kedinginan, cuaca lembab, dan kerja terlalu keras. Sebaliknya, pasien merasa lebih baik saat cuaca hangat dan liburan (20). Gambaran khas pemeriksaan fisik pasien fibromyalgia ialah ditemukannya titik-titik yang dirasakan lebih nyeri oleh pasien dibandingkan orang lain. Titiktitik itu disebut tender points. Berdasarkan kriteria American College of Rheumatology (ACR) 1990, terdapat 18 tender points pada pasien fibomialgia. Titik-titik itu ditemukan dengan melakukan palpasi dengan jari, dan memberikan tekanan kira-kira seberat 4 kg, yaitu setara dengan gaya yang dibutuhkan untuk membuat jari pemeriksa menjadi pucat. Pemeriksaan juga dapat dilakukan dengan dolorimeter. Di wilayah yang nyeri, juga dapat ditemukan nodul subkutan yang bila ditemukan pada orang normal tidak menimbulkan nyeri (20). Gejala fibromialgia dapat hilang dan timbul pada beberapa pasien, sedangkan pasien lain mengalami gejala persisten meskipun telah diterapi. Studi di pusat kesehatan memperlihatkan prognosis buruk untuk sebagian besar pasien, tapi membaik pada community treated patients. Studi lain memperlihatkan, setelah 2 tahun perawatan, 24% pasien masuk ke dalam kriteria remisi dan 47% tidak lagi termasuk dalam kriteria ACR untuk fibromyalgia (20). Gambar 4. Letak tender points di tubuh (20) F. Diagnosis Fibromialgia Diagnosis fibromialgia dilakukan dengan mengacu pada kriteria ACR 1990, yaitu sebagai berikut (20) : 1. Riwayat nyeri yang menyebar Definisi: Nyeri dianggap menyebar jika ada di seluruh lokasi berikut-nyeri di sisi kiri tubuh, nyeri di sisi kanan tubuh, nyeri di atas pinggang, dan nyeri di bawah pinggang. Selain itu, nyeri rangka aksial (nyeri servikal, dada depan, spina thorakalis, atau punggung bawah) harus ada. Menurut definisi ini, nyeri bahu dan bokong dianggap sebagai nyeri untuk setiap sisi yang terkena. Nyeri punggung bawah dianggap sebagai nyeri segmen bawah. 2. Nyeri di 11 dari 18 tender points pada palpasi dengan jari Definisi: Pada palpasi dengan jari, nyeri harus terdapat pada minimal 11 dari 18 situs tender points di bawah ini. a. Oksiput – bilateral, di insersi otot suboksipital b. Servikal bawah – bilateral, di aspek anterior spasium intertransversum di C5 hingga C7 c. Trapezius – bilateral, di titik tengah batas atas d. Supraspinatus – bilateral, di origo, di atas spina scapula dekat batas medial e. Iga kedua – bilateral, di junctio kostokondral kedua, lateral dari persambungan permukaan atas f. Epikondilus lateral – bilateral, 2 cm distal dari epikondilus g. Gluteal – bilateral, di kuadran atas luar dari bokong di lipatan anterior otot h. Trochanter mayor – bilateral, posterior dari prominensia trochanter i. Lutut – bilateral, pada bantalan lemak medial, proksimal dari garis sendi j. Palpasi dengan jari dilakukan dengan gaya + 4 kg. Untuk menyebut sebuah tender point positif, subjek harus mengatakan bahwa palpasi terasa nyeri Diagnosis fibromialgia dapat ditegakkan apabila pasien memenuhi kedua kriteria ACR 1990, yaitu riwayat nyeri muskuloskeletal yang menyebar minimal 3 bulan dan nyeri yang signifikan pada minimal 11 dari 18 tender points jika dilakukan palpasi dengan jari.1,2,7 Kriteria ACR sangat bermanfaat dalam menegakkan diagnosis, meskipun beberapa pasien memiliki jumlah tender sites yang lebih sedikit dan nyeri regional yang lebih, sehingga didiagnosis fibromialgia. Pemeriksaan neurologis muskuloskeletal dan laboratorium tetap normal pada fibromyalgia (20). G. Penatalaksanaan Fibromialgia Non-farmakologis Untuk mengurangi nyeri, dapat dilakukan aplikasi panas dan dingin ke otot secara bergantian masing-masing 15-20 menit diselingi waktu untuk kembali ke suhu normal. Pemijatan dan peregangan juga dapat dilakukan untuk mengurangi nyeri. Terapi lain dapat membantu dengan derajat yang berbeda-beda, misalnya injeksi, modifikasi perilaku, hipnoterapi, kompresi iskemik, olahraga dan pengaturan stress. Namun, yang tidak boleh dilupakan ialah perbaikan postur dan mekanika tubuh. Pelatihan biofeedback yang intens (misalnya dua kali sehari untuk seminggu) seringkali penting untuk nyeri otot yang kronik dan menyebar. Teknik tersebut terutama berguna untuk otot-otot postural yang biasanya berfungsi tanpa disadari. Elektroda permukaan ditempelkan ke atas otot untuk mendeteksi aktivitasnya. Pelatihan biofeedback dilakukan untuk menolong pasien mengembalikan otot ke keadaan istirahat normal setelah kontraksi (20). Teknik lain untuk mengurangi nyeri ialah spray and stretch. Vapocoolant spray disemprotkan dengan pola menyapu searah serat otot untuk melemaskan otot, sambil dilakukan peregangan otot secara pasif oleh pasien atau klinisi. Peregangan adalah elemen kunci dari pengurangan nyeri, meskipun mekanismenya belum diketahui. Hal lain yang perlu diatasi pada pasien fibromialgia adalah gangguan yang terjadi pada otot. Untuk itu, olahraga dapat menjadi solusi dan penting untuk disarankan. Selain meregangkan dan memperkuat otot, olahraga juga dapat meningkatkan kebugaran kardiovaskular. Pada pasien fibromalgia, mungkin terdapat keengganan berolahraga akibat rasa nyeri atau kelelahan. Apabila tidak berolahraga, akan terjadi inaktivitas dan dekondisi otot, sehingga otot mulai kehilangan fungsinya. Hal tersebut selanjutnya dapat menyebabkan depresi, menurunnya rasa percaya diri, dan stres yang memicu nyeri lebih lanjut (20). Olahraga aerobik juga baik untuk pasien dan dimulai setelah terjadi perbaikan tidur serta berkurangnya nyeri serta kelelahan. Olahraga dilakukan mula-mula pada level rendah dan pasien sebaiknya berolahraga 20-30 menit, 3-4 hari seminggu. Seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya, konsultasi psikiatrik memiliki peran yang sangat penting dalam tatalaksana depresi dan cemas pada pasien fibromialgia. Stres dalam kehidupan harus diidentifikasi dan didiskusikan dengan pasien, dan pasien harus diberikan pertolongan mengenai bagaimana menghadapi stres. Secara keseluruhan tim multidisiplin diperlukan untuk tatalaksana fibromialgia secara optimal. Tim multidisiplin tersebut terdiri atas spesialis rehabilitasi medik, psikiater, terapis fisik, dan ahli lainnya (20). Farmakologis Untuk mengobati nyeri, salisilat atau obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) lainnya dapat digunakan, namun hanya mengurangi sebagian gejala. Glukokortikoid memberikan manfaat yang kecil dan sebaiknya tidak diberikan. Opiat dan analgesik harus dihindari. Untuk nyeri, asetaminofen, tramadol, atau gabapentin (300-1200 mg/d dengan dosis yang dibagi) dapat bermanfaat. Tindakan lokal seperti pemanasan, pijatan, suntikan steroid atau lidokain, dan akupunktur hanya meredakan gejala sementara (20). Untuk memperbaiki kualitas tidur, digunakan trisiklik seperti amitriptilin (10-50 mg), nortriptilin (10-75 mg), dan doksepin (10-25 mg) atau obat lain seperti siklobenzaprin (10-40 mg), 1-2 jam sebelum tidur. Pemberian obat tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki tahap 4 dari tidur pasien, sehingga terjadi perbaikan klinis. Pengobatan diberikan mulai dari dosis rendah, dan ditingkatkan bila perlu. Efek samping seperti konstipasi, mulut kering, peningkatan berat badan, dan kesulitan berpikir juga perlu dipertimbangkan. Selain obat di atas, trazodon atau zolpidem juga dapat memperbaiki kualitas tidur. Depresi dan cemas dengan obat yang tepat atau konseling psikiatrik. Fluoksetin, sertralin, paroksetin, sitalopram, atau inhibitor reuptake serotonin lain dapat diberikan untuk mengatasi depresi. Tradozon dan venlafaksin bekerja sebagai antidepresan, sedangkan alprazolam dan lorazepam efektif untuk mengatasi kecemasan (20). 2.2.3.6. Neoplasma Vertebra A. Definisi Neoplasma Vertebra Massa pada tulang belakang dapat jinak ataupun ganas yang dapat berasal dari tulang belakang sendiri (primer) atau dari proses metastase (sekunder) (21). B. Epidemiologi Neoplasma Vertebra Sekitar 2.000 kasus baru kanker tulang dan 6.000 kasus baru tumor jaringan lunak telah didiagnosis di Amerika Serikat setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 5% yang melibatkan tulang belakang. Insidensi tumor tulang belakang diperkirakan 2,5-8,5 per 100.000 orang pertahun. Tumor dari sistem limfoid misalnya plasmocytoma adalah tumor dari sistem limforetikular yang umumnya ditemukan pada tulang belakang. Tumor tulang belakang dapat dilihat dari usia dan lokasi. Pada anak-anak dibawah 6 tahun tumor tulang belakang yang umunya didapatkan adalah neuroblastoma, astrocitoma, dan sarcoma. Pada orang tua di atas 35 tahun yang umunya ditemukan adalah adenokarsinoma metastase, multiple myeloma, osteosarkoma. Dilihat dari lokasi tumor, pada korpus anterior yang biasa ditemukan adalah multiple myeloma, histiocitosis, chordoma, hemangioma. Pada korpus posterior yang biasa ditemukan adalah anuerysmal bone cycts, osteblastoma, dan osteoid osteoma (21). C. Etiologi Neoplasma Vertebra Sampai saat ini, penyebab dari terjadinya neoplasma masih berupa hipotesis. Sel-sel kanker dapat mengaktifkan protein komponen dari telomerase yang menyebabkan sel-sel tersebut membelah tanpa batas dan tidak terjadi apoptosis (21). D. Patogenesis Neoplasma Vertebra Setiap kali sel membelah, telomer akan sampai pada point of return dan mengalami kematian. Sel-sel kanker mempunyai kemampuan mengaktifkan protein komponen telomerase yang memungkinkan sel-sel tersebut membelah tanpa batas tanpa adanya apoptosis. Kemudian sel-sel itu mengaktifkan proses angiogenik dengan merekrut sel endotel, tumbuh, membelah, dan membentuk pembuluh darah untuk neoplasma tersebut. Kemudian sel-sel tersebut menyebar melalui matriks ekstraseluler ke dalam pembuluh darah atau saluran limfatik yang menyebabkan kekambuhan dan metastase (21). Gambar 5. Proses perjalanan sel kanker (21) E. Manifestasi Klinis Neoplasma Vertebra Umumnya ditemukan keluhan nyeri pada vertebra yang terkena, deformitas tulang belakang, dan defisit neurologis. Nyeri tulang belakang juga biasanya ditemukan bersifat persisten, tidak terkait aktivitas, memburuk selama istirahat dan malam hari. Fraktur patologis pada korpus vertebra dapat meningkatkan nyeri. Kompresi pada akar serabut saraf spinal dapat menghasilkan nyeri lokal, nyeri radikuler dan mielopati. Gejala lain seperti penurunan berat badan, demam, kelelahanjuga dapat ditemukan (21). F. Diagnosis Neoplasma Vertebra Gejala yang ditemukan pada anamnesis dapat ditemukan seperti di atas. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan massa yang terpalpasi. Dapat menimbulkan gejala saluran cerna dan kencing apabila tumor berada di anterior. Skoliosis, spasme otot paraspinal serta kekakuan dapat ditemukan. Pada pemeriksaan neurologis juga dapat ditemukan kelainan. Penunjang yang biasa dilakukan adalah foto polos (X-ray), bone scan, CT-scan, MRI, angiografi, biopsy, dll (21). Gambar 6. Gambaran massa tulang pada X-ray (21) G. Penatalaksanaan Neoplasma Vertebra Non-operatif Terdiri dari manajemen nyeri, kemoterapi, dan radioterapi. NSAID diberikan pada nyeri sedang, sedangkan pada nyeri berat diberikan opioid. Injeksi anastesi lokal epidural atau intratekal dapat diberikan. Kemoterapi dapat diberikan pada neoplasma seperti sarcoma Ewing’s, osteosarkoma, dan multiple myeloma. Radioterapi biasanya diberikan pada sarcoma Ewing’s dan metastase (21). Operatif Indikasi terapi pembedahan antara lain (21) : - Instabilitas spinal diakibatkan oleh destruksi tulang - Defisit neurologi progresif - Tumor yang radioresisten - Membutuhkan open biopsy - Nyeri yang intraktabel yang tidak berespon dengan terapi non-operatif. Teknik operasi berupa kuretase, reseksi intralesi, dan reseksi en blok (21). 2.2.3.7. Tortikolis Spasmodik A. Definisi Tortikolis Spasmodik Tortikolis spasmodik adalah kekakuan dari pada otot-otot leher, yang disebabkan oleh kontraksi klonik atau tonik dari otot-otot servikal pada leher dengan gejala terjadi kekakuan pada sistem saraf dan terdapatnya histeria. Juga merupakan bentuk dari distonia dengan karakteristik intermitten dan gerakan involunter dari kepala yang rekuren bersamaan dengan terjadinya kontraksi dari otot leher (22). B. Epidemiologi Tortikolis Spasmodik Tortikolis terjadi pada 1 dari 10.000 orang dan sekitar 1,5 kali lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan pria. Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur tetapi paling sering ditemukan pada usia antara 30-60 tahun (22). C. Etiologi Tortikolid Spasmodik - Hipertiroidisme - Infeksi sistem saraf - Diskinesia tardiv (gerakan wajah abnormal akibat obat anti-psikosa) - Tumor leher (22). D. Patogenesis Tortikolis Spasmodik Pada masa lalu terjadinya tortikolis adalah kegagalan pada otot leher dimana timbul histeria yang berlebihan. Dimana gejalanya sama dengan kelainan yang disebabkan secara organik. Ketika tortikolis diketahui berhubungan dengan efek voluter bentuk dari gejala yang ada adalah hysteria, dimana bentuk awal dari gejala ini adalah tic. Bentuk histeria berasal dari gejala yang merupakan respon dari pengobatan dari terjadinya kelainan emosional yang utama (22). Spasme tortikolis ini disebabkan oleh keadaan keturunan dimana terjadinya dari gen autosomal dominan atau autosomal resesif. Hal lain yang dapat menyebabkan ialah kelainan kongenital dari m.sternocleidomastoideus, kelainan dari servikal tulang belakang, hipoplasi dari tulang hemi atlas atau atlas. Kelainan neurovaskuler yaitu kompresi dari N.XI (nervus aksesorius) oleh arteri vertebrae. Atau arteri serebral posterior inferior, adanya lesi unilateral pada mesencephalon atau diencephalon yang diakibatkan oleh encephalitis virus. Dan ketidakseimbangan/gangguan keseimbangan metabolik antara thalamus dan basal ganglia. Penyebab lain yang tersering adalah kelainan fungsional dari mekanisme kontrol yang mengakibatkan gangguan reflek secara bilateral yang terjadi pada basal ganglia atau keseluruhan dari struktur yang meliputinya (22). Cassierer melaporkan pada kasus tortikolis terdapat perubahan degeneratif pada korpus striatum dan berhubungan dengan sirosis pada hati, dan Foester (1933) melaporkan terdapat satu atau bilateral fokal lesi pada korpus striatum. Tarlof (1970) tidak dapat menunjukkan kelainan yang signifikan pada pemeriksaan patologis dari otak atas kelainan ini (22). Secara fisiologis tortikolis adalah kelainan bentuk atau posisi dari kepala. Perputaran posisi dari kepala diikuti dengan perubahan secara unilateral pada bagian leher dan terjadi aktivasi pada N.VIII (N.Vestibulokohlearis) yang gunanya untuk mempertahankan posisi dari kepala dan tortikolis kemungkinan disebabkan dari kelainan fungsi-fungsi diatas termasuk kalainan yang terjadi pada korpus striatum. Kelainan ini dapat terjadi pada laki-laki dan wanita dan onset terjadinya kelainan biasanya pada usia dewasa (22). E. Manifestasi Klinis Tortikolis Spasmodik Perkembangan terjadinya tortikolis biasanya secara perlahan tapi bisa saja secara mendadak. Hal ini terjadi ketika terjadinya serangan histeria. Perputaran pada kepala diikuti dengan kontraksi pada otot servikal, kontraksi terjadinya pada bagian superfisial dan bagian dalam dari otot leher, kontraksi dari otot yang terjadi yaitu sternocleidomastoideus, trapezius dan splenikus (22). Spasmodik tortikolis dapat saja terjadi pada remaja atau dewasa. Selalu didahului dengan adanya riwayat trauma pada leher. Onset terjadinya spasmodik tortikolis ialah intermiten terjadi saat rotasi dan fleksi pada kepala pada satu sisi. Pada kebanyakan kasus gerakan dari kepala terjadi secara intermiten dan berhubungan dengan kontraksi dari otot leher yang terjadi secara periodik irregular. Terjadinya gerakan bilateral sangat jarang terjadi. Gerakan-gerakan tersebut dapat direduksi dengan cara menempelkan tangan ke salah satu sisi kepala yang berlawanan atau dengan menempelkan sisi kepala yang berlawanan ke tembok (22). Kontraksi dari m.sternocleidomastoideus menyebabkan rotasi yang berlawanan arah, ketika leher dilakukan fleksi bagian tepi dari otot leher mengalami kontraksi. Rotasi pada leher dapat saja terjadi tanpa terjadinya fleksi lateral. Atau kepala dapat saja difleksikan ke salah satu sisi dimana dapat dilakukan rotasi setelah dilakukan fleksi tersebut. Hal ini terjadi pada kontraksi dari m.sternocleidomatoideus pada salah satu sisi dimana m.splenius dan m.trapezius pada sisi yang berlawanan juga terjadi kontraksi. Otot-otot yang ikut berkontraksi menjadi hipertropi. Kelainan awal yang terdapat pada tortikolis adalah tonik. Kemudian didikuti dengan perubahan posisi atau dapat saja terjadi pengulangan gerakan secara klonik, hal tersebut biasanya terjadi pada serangan histeria. Pasien sering menyadari tidak dapat melawan atau mengahambat dari terjadinya tortikolis. Rasa sakit terdapat pada otot servikal yang terjadi bersamaan arthritis dimana terjadi kompresi pada radix yang mengakibatkan adanya gerakan kepala secara involunter. Reflek dan sensasi masih normal. Terjadinya tortikolis yang lama dapat menyebabkan spondilosis servikal (22). Spasmodik tortikolis biasanya disertai komplikasi bleparospasme atau distonia mandibular dan writers cramp. Sepertiga penderita juga mengalami kejang di daerah lainnya, yaitu biasanya di kelopak mata, wajah, rahang atau tangan. Kejang terjadi secara mendadak dan jarang timbul pada waktu tidur. Tortikolis bisa menetap sepanjang hidup penderita dan menyebabkan nyeri berkepanjangan, terbatasnya gerakan leher serta kelainan bentuk sikap tubuh (22). F. Diagnosis Tortikolis Spasmodik Perbedaan antara tortikolis histeria dan tortikolis organik sangat sulit dibedakan. Histeria dapat saja dicurigai jika terjadi secara mendadak yang merupakan efek dari stres mental dan dapat dikontrol dengan melakukan relaksasi dan motivasi. Melalui penyebab diatas dapat saja terjadi kelainan organik dimana hal tersebut paling sering ditemukan. Kjellin dan Stibler (1974) mengklaim fraksi alkalin di dalam isoelektrik pada sampel cairan serebrospinal dapat menentukan apakah kelainan ini organik yang berasal dari kasus hysteria, namun hasil penelitian ini harus dikonfirmasi lebih lanjut (22). Kekakuan akibat tortikolis onsetnya juga dapat ditemukan pada kongenital dimana pada hal ini terjadi fibrosis pada salah satu m.sternocleidomastoideus yang diikuti terjadinya hematom pada otot atau pada kelainan congenital terjadi kelainan pertumbuhan pada vertebrae servikal. Sangat penting untuk mengetahui penyebab dari tortikolis miositis pada otot servikal, karier pada servikal tulang belakang dan adenitis pada kelenjar limfe servikal (22). Pemeriksaan diagnosis (22) : 1. Elektromiografi (EMG) menunjukkan adanya kontraksi otot yang persisten pada otot leher termasuk m.sternokleidomastoideus, m.splenius capitus dan m.trapezius. 2. Pemeriksaan fungsi tiroid, hal ini harus dilakukan karena dapat saja terjadi perubahan pada tiroid yaitu hipertiroidisme. Beberapa pasien dapat saja memperlihatkan keadaan eutiroid. 3. Pemeriksaan MRI/CT-Scan pada servikal vertebrae harus dilakukan bila ada nyeri pada leher. G. Penatalaksanaan Tortikolis Spasmodik 1. Kasus ringan menunjukkan respon yang baik terhadap benzodiazepine sama halnya pada diazepam 10-40 mg 4 hari. Atau lorazepam 3-6 mg selama 4 hari dalam 2-3 kali pemberian. Pada kasus yang sama terapi bisa dimulai dengan dosis rendah kemudian ditingkatkan, hal ini dilakuakn untuk menghindari kekeringan pada mulut. 2. Dosis tinggi diberikan untuk Triheksilpenidil 20-40 mg/hari. Biasanya dosis ini diberikan kepada pasien yang menderita secara kronik. 3. Haloperidol 0,5 mg 2 kali sehari ditingkatkan hingga 5 mg selama 4 hari. 4. Baklofen dengan dosis tertinggi 120 mg/ hari menunjukkan hasil yang baik pada beberapa kasus. 5. Dengan melakukan pelatihan sensorik pada beberapa kasus menunjukkan hasil yang baik. 6. Injeksi pada 2 atau lebih otot leher dengan menggunakan toksin botulinum dibawah control EMG. Terapi sangat efektif terhadap gejala yang telah ada selama beberapa minggu atau bulan. Penggunaan terapi diatas memiliki efek samping disfagia. Injeksi diatas dapat diulang bila gejala kembali muncul. 7. Stimulasi pada bagian sensorik tertentu dapat dilakukan pada bagian anatomi tertentu. Stimulasi dilakukan berulangkali (22). BAB III ALGORITMA Terapi Neck pain Gr. III atau Suspek Gr. IV WAD Inisial evaluasi 1-2 mg 4-6 mg X-ray(-) Gr. IV Radikulopati Gr. I atau II Riwayat penyakit & pemeriksaan fisik Asetaminofen atau NSAID atau neck COX-2 Axial pain+ muscle relaksan + memulai aktivitas biasa lebih awal Jika tidak teratasi Pertimbangkan opioid, antikonvulsan, atau antidepresan jika diindikasikan + modalitas fisik Jika tidak teratasi nyeri Nyeri disebabkan oleh Pertimbangkan antidepresan Axial neck pain atau WAD atau antikonvulsan & pertimbangkan MRI, lab Jika tidak teratasi & Mobilisasi & nyeri disebabkan immediate oleh radikulopati konsolidasi (-) Labora Suspek dan pen atau neo Konf Kon Pertimban X-ray, l BAB IV TABEL KOMPARASI Spondilosis Servikaslis Penyebab WAD Rheumatoi Spondilitis Fibromialg d Arthritis TB ia Osteofit, penonjolan Trauma diskus, akselerasi HNP, dan fraktur/cede deselerasi Infeksi M. tuberculosi Imunologis tulang trauma Kualitas Nyeri (+/-) (+) (-) Tajam Tajam Tajam Lokasi Leher atau lengan Parestesia Area (+) Tidak spesifik Leher n posterior Indolen/tid ak spesifik vertebra yang terkena diketahui (+/-) Tajam Sesuai tender points (+/-) (+/-) (+/-) (+) Luas Luas Luas Luas Tergantung Keparaha n (-) Tergantung Otot leher paramedia Belum belakang ra Riwayat s pada Leher Leher Leher vertebra Tender yang points terkena Pola Mengikuti Tengkuk, Mengikuti Tergantung Simetris, penyebara distribusi bahu, atau distribusi vertebra bahu atas n radix saraf daerah radix saraf yang belakang Gangguan fungsi sensorik biasanya periskapul lengan atas ar Biasanya terjadi terkena Mungkin Mungkin Mungkin Mungkin Mungkin Kelemaha Biasanya n motorik terjadi Gangguan Biasanya Mungkin Mungkin Mungkin ada ada ada ada (-) (-) (+/-) reflex Gangguan fungsi otonom Dapat ditemukan Bunyi yang Keluhan penyerta Kelemahan terdengar kaki, saat perubahan ekstensi gaya leher, kaku, Kaku leher berjalan, kelemahan fleksibilitas tungkai, leher kelumpuha berkurang n saraf kranial terjadi Tidak ada (-) Demam subfebril, malaise, Kaku, lelah, menggigil, gangguan penurunan tidur, BB, gejala pusing, kelumpuha cemas n N. rekurens Ct-scan, untuk MRI, EMG, WAD NCV, SSEP kelas III X-ray, CT- X-ray, Ct- Tidak scan, MRI scan, MRI spesifik atau IV Penyebab Tidak ada Radiologi Penunjan g Biasanya Mungkin Neoplasma Tortikolis spasmodik Gangguan proses Kontraksi tonik dan apoptosis klonik otot leher berhubungan dengan hipertiroid, infeksi SSP, diskinesia tardiv, dan tumor leher Riwayat trauma Kualitas Nyeri Lokasi (-) (-) Tajam Tajam Leher atau vertebra lain yang terkena Parestesia Area Keparahan Otot sternokleidomastoideus, trapezius, dan splenius (+) (-) Tidak spesifik Luas Tergantung vertebra yang Otot leher yang terkena terkena Pola penyebaran Mengikuti distribusi radix Tidak menyebar saraf Gangguan fungsi Mungkin terjadi Tidak ada Mungkin terjadi Tidak ada Gangguan reflex Mungkin ada Tidak ada Gangguan fungsi Mungkin otonom ditemukan sensorik Kelemahan motorik Keluhan penyerta Penurunan BB, demam, lelah Penunjang (-) Histeria, kejang pada kelopak mata, wajah, rahang, atau tangan X-ray, bone scan, EMG, fungsi tiroid, Ct- CT-scan, MRI, scan, MRI biopsi (3) BAB V RESUME DAN KESIMPULAN 5.1. Rangkuman/ Resume Nyeri leher adalah nyeri yang dihasilkan dari interaksi yang kompleks antara otot dan ligamen serta faktor yang berhubungan dengan postur, kebiasaan tidur, posisi kerja, stress, kelelahan otot kronis, adaptasi postural dari nyeri primer lain (bahu, sendi temporo mandibular, kranioservikal), atau perubahan degeneratif dari diskus servikalis dan sendinya. Nyeri leher dapat disebabkan oleh berbagai macam kelainan seperti spondilosis servikalis, infeksi, neoplasma, rheumatoid arthritis, tortikolis spasmodik, trauma (WAD), dan fibromialgia. Sebuah studi menunjukkan prevalensi nyeri muskuloskeletal pada leher di masyarakat selama 1 tahun besarnya 40% dan prevalensi ini lebih tinggi pada wanita. Selama 1 tahun, prevalensi nyeri muskuloskelatal di daerah leher pada pekerja besarnya berkisar antara 6-76% dan wanita ternyata juga lebih tinggi dibandingkan pria. Di Kanada, sebanyak 54% dari total penduduk pernah mengalami nyeri di daerah leher dalam 6 bulan yang lalu. Pada perawat, prevalensi nyeri di daerah leher selama 1 tahun besarnya 45,8% Spondilosis terdiri atas 3 tipe sindrom yaitu: servikal radikulopati (sindrom tipe I), servikal mielopati (sindrom tipe II), dan axial joint pain (sindrom tipe III). Servikal radikulopati adalah sindrom dengan manifestasi klinis nyeri leher dengan nyeri yang menjalar di ekstermitas atas, kelemahan, atau mati rasa. Servikal mielopati adalah manifestasi yang dihasilkan dari penurunan ruang yang tersedia dari kanalis servikalis medulla spinalis. Nyeri leher aksial (Axial Neck Pain) dikenal juga sebagai uncomplicated neck pain dan ketegangan ligamen leher. Merupakan interaksi yang kompleks antara ligamen serta faktor yang berhubungan dengan postur, kebiasaan tidur, posisi duduk di depan komputer, stres, kelelahan kronis, adaptasi postural dari sumber nyeri lain (bahu, sendi temporomandibular,dan kranioservikal), atau perubahan degeneratif dari diskus servikal atau sendi facet. Tingkat kejadian tahunan 107,3 per 100.000 untuk laki-laki dan 63,5 per 100.000 untuk perempuan dengan puncaknya pada usia 50 sampai dengan 54 tahun. Penyebabnya seperti penonjolan tulang atau osteofit yang tumbuh keluar melalui jalur saraf, penonjolan bagian dari diskus yang terletak di depan saraf, herniasi nukleus pulposus melalui bagian luar annulus, fraktur atau cedera yang menyebabkan fragmen tulang yang yang mempersempit atau menekan saluran saraf. Nyeri leher dan lengan biasanya menjadi keluhan utama. Dapat terjadi kelemahan atau kekakuan lengan. Kelemahan kaki, keluhan otonom juga dapat ditemukan. Tanda pertama yang sering ditemukan adalag peningkatan refleks lutut dan tendon achiles. Gangguan sensoris, keseimbangan, klonus, dan reflekspatologis juga dapat ditemukan. Pemeriksaan penunjang yang bias dilakukan seperti CT-scan, MRI, EMG, NCV, dan SSEP. Terapi non-operatif seperti manajemen nyeri dan terapi fisik dapat mengurangi keluhan. Terapi operatif dilakukan jika terapi non-operatif dirasa gagal mengurangi keluhan. WAD adalah kasus nyeri leher yang khusus terjadi akut atau subakut diakibatkan oleh akselerasi dan deselerasi energi pada leher. Biasanya melibatkan beberapa pembangkit nyeri seperti miofasial, ligamen, diskogenik, dan facet. Sekitar 1 juta kasus WAD terjadi setiap tahunnya di Amerika Serikat sebagai akibat kecelakaan bermotor. Paling umum disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor dapat pula disebabkan oleh hal lain seperti menyelam. Manifestasi klinis pada WAD biasanya muncul sebagai nyeri di otot leher paramedian posterior, dengan radiasi ke tengkuk, bahu, atau daerah periskapular. Kekakuan pada satu atau lebih gerak leher disertai sakit kepala yang umum. Pemeriksaan radiologi bias dilakukan pada WAD kelas III atau IV. Penatalaksaan seperti latihan mobilitas umum dan stabilisasi otot dapat dilakukan, Pada WAD kelas II dan III dapat diberikan analgetik dan pada kelas IV dapat diberikan metilprednisolon dosis tinggi. Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang menyebabkan peradangan pada sendi, misalnya: jari-jari tangan, pergelangan tangan, sendi bahu, sendi lutut, dan panggul termasuk sendi leher. Prevalensi RA di Indonesia 0,2% untuk penduduk di daerah pedesaan dan 0,3% untuk penduduk di daerah kota. Penyebab RA adalah proses autoimun. Nyeri leher merupakan gejala yang paling umum. Kaku dan krepitasi juga dapat dirasakan. Parestesia pada ekstermitas atas dan kelemahan ekstermitas bawah dapat ditemukan. Gejala neurologis didapatkan pada 7-34% pasien. Pemeriksaan penunjang berupa X-ray, serta MRI yang merupakan diagnosis pilihan. Penatalaksaan non-bedah seperti pemberian NSAID dan DMARD serta pemakaian collar neck dapat dilakukan. Tata laksana bedah dapat dilakukan pada pasien dengan defisit neurologis, nyeri parah yang tidak berespon terhadap terapi medikamentosa. Spondilitis tuberkulosis adalah infeksi Mycobacterium tuberculosis pada tulang belakang. Pada tahun 2005, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa jumlah kasus TB baru terbesar terdapat di Asia Tenggara (34 persen insiden TB secara global) termasuk Indonesia. Manifestasi spondilitis TB relative indolen. Biasanya keluhan nyeri tidaks pesifik. Defisit neurologis dapat ditemukan pada 12-50% pasien. Keluhan klasik TB juga dapat ditemukan. Penunjang yang dapat dilakukan seperti X-ray, CTscan, MRI. Tatalaksana medikamentosa terutama pemberian OAT dan kemoterapi. Terapi pembedahan juga dapat dilakukan. Tatalaksana biasanya merujuk klasifikasi spondilitis TB menurut GATA. Fibromialgia adalah kelainan yang sering ditemui, dicirikan oleh adanya nyeri muskuloskeletal yang menyebar dengan penyebaran yang simetris, kekakuan, mudah lelah, parestesi, dan gangguan tidur. Berdasarkan data di Amerika Serikat, kira-kira 20% pasien klinik rheumatologi adalah pasien fibromialgia, yang kebanyakan berusia 30-50 tahun. Dari data tersebut dapat dikatakan 1 dari 5 pasien yang berobat adalah fibromialgia. Hingga kini, penyebab pasti fibromialgia belum dapat ditemukan, tapi telah diketahui bahwa fibromialgia dapat dipicu oleh stres emosional, infeksi, pembedahan, hipotiroidisme, dan trauma. Gejala yang biasa ditemukan pada pasien fibromialgia antara lain nyeri muskuloskeletal yang menyebar, kekakuan, dan kelelahan. Gejala lain juga dapat muncul, di antaranya parestesi, gangguan tidur, titik nyeri, dan lain-lain. Pada 7590% penderita fibromialgia, ditemukan kekakuan yang biasanya terjadi di pagi hari kemudian membaik di siang hari atau bertahan sepanjang hari. Gejala khas adalah nyeri pada tender points pada titik-titik tertentu. Tatalaksana nonfarmakologis seperti modisikasi perilaku, pengaturan stres, aplikasi panas dingin ke otot serta pemijatan dapat dilakukan. Olahraga aerobic juga terbukti mengurangi keluhan. Pemberian analgetik baik antiinflamasi nonsteroid maupun opioid dapat diberikan sesuai derajat nyeri yang dirasakan. Neoplasma tulang belakang adalah Massa pada tulang belakang dapat jinak ataupun ganas yang dapat berasal dari tulang belakang sendiri (primer) atau dari proses metastase (sekunder). Sekitar 2.000 kasus baru kanker tulang dan 6.000 kasus baru tumor jaringan lunak telah didiagnosis di Amerika Serikat setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 5% yang melibatkan tulang belakang. Insidensi tumor tulang belakang diperkirakan 2,5-8,5 per 100.000 orang pertahun. Sampai saat ini, penyebab dari terjadinya neoplasma masih berupa hipotesis. Sel-sel kanker dapat mengaktifkan protein komponen dari telomerase yang menyebabkan sel-sel tersebut membelah tanpa batas dan tidak terjadi apoptosis. Umumnya ditemukan keluhan nyeri pada vertebra yang terkena, deformitas tulang belakang, dan defisit neurologis. Nyeri tulang belakang juga biasanya ditemukan bersifat persisten, tidak terkait aktivitas, memburuk selama istirahat dan malam hari. Fraktur patologis pada korpus vertebra dapat meningkatkan nyeri. Kompresi pada akar serabut saraf spinal dapat menghasilkan nyeri lokal, nyeri radikuler dan mielopati. Gejala lain seperti penurunan berat badan, demam, kelelahanjuga dapat ditemukan. Penunjang lain seperti X-ray, CTscan, bone scan, MRI, serta biopsy dapat dilakukan. - Tatalaksana non-bedah seperti kemoterapi, radioterapi, analgetik biasanya diberikan. Tatalaksana bedah dapat menjadi pilihan jika terjadi instabilitas spinal diakibatkan oleh destruksi tulang, defisit neurologi progresif, tumor yang radioresisten, membutuhkan open biopsi, nyeri yang intraktabel yang tidak berespon dengan terapi non-operatif. Spasmodik tortikolis adalah kekakuan dari pada otot-otot leher, yang disebabkan oleh kontraksi klonik atau tonik dari otot-otot servikal pada leher dengan gejala terjadi kekakuan pada sistem saraf dan terdapatnya histeria. Tortikolis terjadi pada 1 dari 10.000 orang dan sekitar 1,5 kali lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan pria. Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur tetapi paling sering ditemukan pada usia antara 30-60 tahun. Penyebabnya seperti hipertiroidisme, infeksi sistem saraf, diskinesia tardiv (gerakan wajah abnormal akibat obat anti-psikosa), dan tumor leher. Nyeri leher dan kontraksi dari otot sternokelidomatoideus, trapezius, serta splenikus dapat ditemukan. Rotasi pada leher dapat terjadi tanpa lateral fleksi. Otot yang berkontraksi dapat terjadi hipertrofi. Kejang pada otot juga dapat ditemukan. Penunjang yang dapat dilakukan seperti EMG, pemeriksaan fungsi steroid, MRI, CT-scan dapat dilakukan. 5.2. Kesimpulan Nyeri leher adalah nyeri yang dihasilkan dari interaksi yang kompleks antara otot dan ligamen serta faktor yang berhubungan dengan postur, kebiasaan tidur, posisi kerja, stress, kelelahan otot kronis, adaptasi postural dari nyeri primer lain (bahu, sendi temporo mandibular, kranioservikal), atau perubahan degeneratif dari diskus servikalis dan sendinya. Nyeri muskuloskeletal pada leher di masyarakat selama 1 tahun besarnya 40% dan prevalensi ini lebih tinggi pada wanita. Selama 1 tahun, prevalensi nyeri muskuloskelatal di daerah leher pada pekerja besarnya berkisar antara 6-76% dan wanita ternyata juga lebih tinggi dibandingkan pria. Nyeri leher dapat disebabkan oleh berbagai macam kelainan seperti spondilosis servikalis, infeksi, neoplasma, rheumatoid arthritis, tortikolis spasmodik, trauma (WAD), dan fibromialgia. Nyeri leher dapat diatasi dengan diagnosis dan tatalaksana yang tepat. Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang baik. Tatalaksana nyeri leher meliputi terapi non-farmakologis, farmakologis, serta pembedahan. 5.2. Saran Nyeri leher merupakan masalah di bidang neurologi yang memiliki angka kejadian yang cukup sering. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang lebih mendalam dari praktisi kesehatan terutama yang berada di lini terdepan untuk mengenali dan menyaring kasus yang ditemukan di masyarakat agar penanganan tepat dan cepat dapat segera dilaksanakan. Masih diperlukan pembahasan lebih lanjut dan mendalam mengenai berbagai kasus neurologi lainnya. BAB VI PENUTUP Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam referat ini, Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya referat ini dan dan penulisan referat di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga referat ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya. DAFTAR PUSTAKA 1. Anonymous. Neck pain. Arthritis Australia, 2012. 2. Thompson P, Morris D, Saynor M, Hill J. Neck pain, Arthritis Research UK, 2013. 3. Douglas AB, Bope ET. Evaluation and treatment of posterior neck pain in family practice. JABFP 2004; 17: 13-22. 4. Samara D. Nyeri musculoskeletal pada leher pekerja dengan posisi pekerjaan yang statis. Universa Medicina 2007; 26: 137-142. 5. Finkelstein J. Neck and arm painrelated symptoms: cervical disc disease. Department of Surgery University of Toronto, 2012. 6. Tulaar ABM. Nyeri leher dan punggung. Maj Kedokt Indon 2008; 58(5): 169-180. 7. Borenstein D. Neck pain. American College of Rheumatology, 2012. 8. Deardoff WW. Types of back pain: acute pain, chronic pain, and neuropathic pain. Spine-health. Accessed on Desember 2013. Available at : http://www.spine-health.com/conditions/chronic-pain/types-back-painacute-pain-chronic-pain-and-neuropathic-pain. 9. Childs JD, Cleland JA, Elliot JM, et al. Neck pain: clinical practice guidelines linked to the international classification of functioning, disability, and health from ortopaedic section of the American physical therapy association. J Orthop Sports Phys Ther 2008; 38(9): 1-34. 10. Voorhies RM. Cervical spondylosis: recognition, differential diagnosis, and management. The Ochsner Journal 2001; 3: 78-84. 11. Schaffer J. Cervical stenosis & myelopathy. North American Spine Society Public Education Series, 2006. 12. Carette S, Phil M, Fehlings MG. Cervical radiculopathy. N Eng J Med 2005; 353: 392-399. 13. Neal SL, Fields KB. Peripheral nerve entrapment and injury in the upper extremity. Am Fam Physician 2010; 81(2): 147-155. 14. Bidese T, Buckley S, Cameron I, et al. Guidelines for the management of whiplash-associated disorders. Motor Accidents Authority, 2001. 15. Pastakia K, Kumar S. Acute whiplash associated disorders (WAD). Open Access Emergency Medicine 2011; 3: 29-32. 16. Darmawan J, Muirden KD, Valkenburg, Wigley RD. Rheumatoid arthritis. Buletin Rasional 2011; 9(1): 1. 17. McDonnell M, Lucas P. Cervical spondylosis, stenosis, and rheumatoid arthritis. Medicine and Health/Rhode Island 2012; 95(4). 105-109. 18. Suarjana IN. Artritis Reumatoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. PB PAPDI. Jakarta, 2009. 19. Zuwanda, Janitra R. Diagnosis dan penatalaksanaan spondilitis tuberkulosis. CDK 2013; 40(9): 661-673. 20. Olam SJ, Soewito F, Nuhonni SA, Sungkar A. Diagnosis dan tata laksana fibromyalgia. Maj Kedokt Indon 2008; 58(5): 158-163. 21. Fuchs B, Boos N. Primary tumors of the spine. Springer, 2008. 22. Anonymous. Spasmodik tortikolis. FK YARSI, 2009. Accessed on December 2013. Available http://idmgarut.wordpress.com/2009/01/29/spasmodik-tortikolis/ at: