neck pain (nyeri leher) - Universitas Lambung Mangkurat

advertisement
Referat
NECK PAIN (NYERI LEHER)
Oleh:
Dr. Huldani
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM
BANJARMASIN
PEBRUARI, 2013
DAFTAR GAMBAR
Halaman
DAFTAR GAMBAR
BAB II Gambar 1. Etiologi dari Servikal Radikulopati
7
Gambar 2. Dermatom saraf servikal
8
Gambar 3. Foto servikal pada penderita RA
15
Gambar 4. Letak tender points di tubuh
28
Gambar 5. Proses perjalanan sel kanker
21
Gambar 6. Gambaran massa tulang pada X-ray
34
DAFTAR TABEL
Halaman
DAFTAR TABEL
BAB II
Tabel 1. Dosis rekomendasi OAT pada anak (dibawah 12 tahun)
dan dewasa
24
Tabel 2. Klasifikasi Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA)
untuk spondilitis TB
BAB IV TABEL KOMPARASI
25
42
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Nyeri leher adalah nyeri yang dirasakan pada bagian atas tulang belakang.
Ini merupakan tanda bahwa sendi, otot, atau bagian lain dari leher terluka, tegang,
atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Nyeri leher adalah masalah yang
umum ditemukan. Dua dari tiga orang akan mengalaminya selama hidup (1,2).
Leher manusia adalah struktur yang kompleks dan sangat rentan terhadap
iritasi. Bahkan, 10% dari semua orang akan mengalami nyeri leher dalam 1 bulan.
Potensi pembangkit nyeri termasuk tulang, otot, ligament, sendi, dan diskus
intervertebralis. Hampir setiap cedera atau proses penyakit pada struktur leher
atau yang berdekatan akan menghasilkan spasme otot dan hilangnya gerak (3).
Sebuah studi menunjukkan prevalensi nyeri muskuloskeletal pada leher di
masyarakat selama 1 tahun besarnya 40% dan prevalensi ini lebih tinggi pada
wanita. Selama 1 tahun, prevalensi nyeri muskuloskelatal di daerah leher pada
pekerja besarnya berkisar antara 6-76% dan wanita ternyata juga lebih tinggi
dibandingkan pria. Di Kanada, sebanyak 54% dari total penduduk pernah
mengalami nyeri di daerah leher dalam 6 bulan yang lalu. Pada perawat,
prevalensi nyeri di daerah leher selama 1 tahun besarnya 45,8% (4).
Diagnosis diferensial dari nyeri leher sangat luas. Sebagian besar gejala
bersumber dari biomekanik, seperti nyeri leher aksial, whiplash-associated
disorder (WAD), dan radikulopati. Suatu akar saraf mungkin diiritasi atau
dikompresi oleh : 1. Penonjolan tulang atau osteofit yang tumbuh keluar melalui
jalur saraf, 2. Penonjolan bagian dari diskus yang terletak di depan saraf, 3.
Herniasi nukleus pulposus melalui bagian luar annulus, 4. Fraktur atau cedera
yang menyebabkan fragmen tulang yang yang mempersempit atau menekan
saluran saraf (3,5).
Dari banyaknya penyebab nyeri leher ini maka diperlukan diagnosis
dan tatalaksana yang tepat untuk mencegah progresifitas maupun komplikasi dari
penyakit tersebut. Inilah uraian singkat dari penyaji yang lebih lengkapnya dapat
dibaca di uraian selanjutnya.
1.2.Rumusan masalah
Tingginya insidensi jenis penyakit ini di belahan dunia mengharuskan
perlunya pemahaman yang tinggi bagi tenaga medis sehingga diperlukan
pembelajaran agar kasus seperti ini dapat ditangani dengan tepat sebagaimana
penanganan penyakit lainnya yang sering ditemui. Dengan demikian, rumusan
masalah pada tinjauan pustaka ini adalah:
1. Apa saja penyebab nyeri leher tersering?
2. Bagaimana algoritma diagnosis dan penatalaksanaan pada kasus nyeri
leher?
1.3.Tujuan
Tinjauan kepustakaan ini bertujuan menjelaskan definisi, klasifikasi,
etiologi, epidemiologi, patofisiologi, diagnosis, tatalaksana dari nyeri leher.
1.4.Manfaat
Tinjauan pustaka ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada
peserta kepaniteraan klinik RSUD Ulin Banjarmasin agar dapat menegakkan
diagnosis secara dini dan memberikan penanganan yang tepat sehingga dapat
mencegah progresivitas dan komplikasi pada kasus nyeri leher (neck pain).
BAB II
ISI
2.1. Definisi Nyeri Leher (Neck Pain)
Nyeri leher (Neck Pain) yang mengganggu aktivitas seseorang, telah
diketahui sejak abad pertengahan, yang ditemukan tertulis dalam Papyrus 4600
tahun yang lalu. Tulisan ini mengandung uraian berbagai kondisi tulang di spina
servikal, antara lain dislokasi vertebra dan sprain. Tutankhamen di zaman purba
telah menjelaskan tentang laminektomi servikal yang pertama dan pada tahun 460
SM Hippocrates mempostulasi kejadian paralisis akibat cedera servikal, serta
menjadi salah satu penemu terapi traksi servikal. Ambrose Pare (1559) telah
melakukan reduksi pada dislokasi spina servikal dengan traksi dan melakukan
bedah membuang osteofit yang menyebabkan kompresi medulla spinalis. Pada
tahun 1928 Crowe memberi istilah whiplash untuk cedera kepala-leher sebagai
akibat hiperekstensi melewati batas fisiologik gerakan kepala-leher (6).
Menurut Douglass dan Bope (2004) nyeri leher adalah nyeri yang dihasilkan
dari interaksi yang kompleks antara otot dan ligamen serta faktor yang
berhubungan dengan postur, kebiasaan tidur, posisi kerja, stress, kelelahan otot
kronis, adaptasi postural dari nyeri primer lain (bahu, sendi temporo mandibular,
kranioservikal), atau perubahan degeneratif dari diskus servikalis dan sendinya
(3).
Menurut Finkelstein (2012) nyeri leher adalah nyeri ujung saraf yang
terletak di berbagai ligament dan otot leher, serta sendi unco-vertebral dan lapisan
luar diskus (annulus fibrosus) (5).
Menurut American College of Rheumatology (2012) nyeri leher adalah rasa
sakit di leher yang bisa dilokalisasi pada tulang belakang leher atau dapat
menyebar ke lengan bawah (radikulopati) (7).
2.2. Klasifikasi Neck Pain
2.2.1. Menurut Onset
Menurut Spine-Health (2013) nyeri leher dapat dibedakan atas (8) :
2.2.1.1. Akut.
Nyeri berlangsung kurang dari 3 sampai 6 bulan atau nyeri yang secara
langsung berkaitan dengan kerusakan jaringan.
2.2.1.2. Kronik
Setidaknya ada dua jenis masalah nyeri kronis yaitu akibat pembangkit
nyeri yang dapat diidentifikasi (misalnya cedera, penyakit diskus
degeneratif, stenosis tulang, dan spondilosthesis) dan nyeri kronis akibat
pembangkit nyeri yang tidak dapat diidentifikasi (misalnya cedera yang
telah sembuh, fibromialgia).
2.2.1.3. Neuropatik
Nyeri neuropatik telah diselidiki dan relatif baru. Saraf tertentu terus
mengirim pesan rasa sakit ke otak meskipun tidak ada kerusakan jaringan
yang sedang berlangsung. Nyeri neuropatik dirasakan berupa rasa berat,
tajam, pedih, menusuk, terbakar, dingin, dan atau mati rasa, kesemutan
atau kelemahan
2.2.2. Menurut ICD-10 dan ICF
Adapun beberapa jenis dari nyeri leher menurut ICD-10 dan ICF (9):
2.2.2.1. Nyeri leher disertai defisit mobilitas

Cervicalgia

Nyeri pada tulang thorakal
2.2.2.2. Nyeri leher disertai nyeri kepala

Nyeri kepala (Headache)

Cervicocranial syndrome
2.2.2.3. Nyeri leher disertai gangguan koordinasi gerak
 Sprain atau strain pada tulang servikal
2.2.2.4. Nyeri leher dengan penjalaran
 Spondilosis dengan radikulopati

Kerusakan diskus servikal dengan radikulopati
2.2.3. Menurut Penyebab Nyeri Leher
2.2.3.1. Penyebab Biomekanik

Spondilosis
servikalis
(Axial
Neck
Pain,
Radikulopati,
Mielopati)

Infeksi

Neoplasma
2.2.3.2. Penyebab Rematik (Rheumatoid Arthritis)
2.2.3.3. Distonia servikal (Tortikolis spasmodik)
2.2.3.4. Trauma (Whiplash Associated Dissorders)
2.2.3.5. Fibromialgia (3,10).
2.2.3.1. Spondilosis Servikalis
A. Definisi Spondilosis Servikalis
Tulang belakang berisi sekumpulan saraf yang memberikan kekuatan dan
sensasi pada lengan dan kaki, dan memberikan kontrol usus serta kandung kemih.
Seiring dengan bertambahnya usia, diskus intervertebralis menjadi kurang lunak
dan mulai kehilangan kadar air. Hal ini dapat menyebabkan penonjolan bagian
keras diskus ke kanalis spinal. Tulang dan ligamen dari sendi tulang belakang
menebal dan bertambah besar. Biasanya disebut juga sebagai spondilosis servikal
atau stenosis servikal. Dapat terjadi sangat lambat atau sangat cepat. Perubahan ini
menyebabkan penyempitan dari kanalis spinalis dan menjepit serabut dan akar
saraf (11).
Spondilosis terdiri atas 3 tipe sindrom yaitu: servikal radikulopati (sindrom
tipe I), servikal mielopati (sindrom tipe II), dan axial joint pain (sindrom tipe III).
Servikal radikulopati adalah sindrom dengan manifestasi klinis nyeri leher dengan
nyeri yang menjalar di ekstermitas atas, kelemahan, atau mati rasa. Servikal
mielopati adalah manifestasi yang dihasilkan dari penurunan ruang yang tersedia
dari kanalis servikalis medulla spinalis. Sejumlah faktor yang berkontribusi
terhadap tekanan ekstrinsik, termasuk diameter dari korda spinalis, osteofit,
penonjolan diskus, perubahan dinamik dari diameter kanal, serta vaskularisasi
(3,10).
Nyeri leher aksial (Axial Neck Pain) dikenal juga sebagai uncomplicated
neck pain dan ketegangan ligamen leher. Merupakan interaksi yang kompleks
antara ligamen serta faktor yang berhubungan dengan postur, kebiasaan tidur,
posisi duduk di depan komputer, stres, kelelahan kronis, adaptasi postural dari
sumber nyeri lain (bahu, sendi temporomandibular,dan kranioservikal), atau
perubahan degeneratif dari diskus servikal atau sendi facet (3).
B. Epidemiologi Spondilosis Servikalis
Data berbasis populasi dari Rochester, Minnesota, menunjukkan bahwa
servikal radikulopati memiliki tingkat kejadian tahunan 107,3 per 100.000 untuk
laki-laki dan 63,5 per 100.000 untuk perempuan dengan puncaknya pada usia 50
sampai dengan 54 tahun. Riwayat dari kerja fisik atau trauma mendahulu
timbulnya gejala hanya pada 15% kasus. Sebuah studi dari Sisilia melaporkan
prevalensi sekitar 3,5 kasus per 1000 penduduk. Sekitar 26% dari 561 pasien
dengan servikal radikulopati menjalani operasi dalam waktu 3 bulan.
Kekambuhan yang didefinisikan sebagai munculnya gejala setelah interval bebas
gejala minimal 6 bulan terjadi pada sekitar 32% pasien. Pada 90% pasien
memiliki temuan normal atau hanya sedikit kelemahan karena radikulopati
servikal. Nyeri leher aksial adalah penyebab paling umum dari nyeri leher dan
mempunyai angka kesembuhan yang tinggi. Dalam suatu studi, setelah 3 bulan
perawatan non-operatif, 70% penderita mendapatkan kesembuhan lengkap (12).
C. Etiologi Spondilosis Servikalis

Penonjolan tulang atau osteofit yang tumbuh keluar melalui jalur saraf.
 Penonjolan bagian dari diskus yang terletak di depan saraf.
 Herniasi nukleus pulposus melalui bagian luar annulus.
 Faktur atau cedera yang menyebabkan fragmen tulang yang yang
mempersempit atau menekan saluran saraf (5).
Gambar 1. Etiologi dari Servikal Radikulopati (12)
D. Patofisiologi Spondilosis Servikalis
Mekanisme yang mendasari nyeri radikuler masih kurang dipahami.
Kompresi akar saraf tidak selalu menyebabkan rasa sakit kecuali ganglion akar
dorsal juga ikut terkompresi. Hipoksia dari akar saraf dan ganglion dorsal dapat
memperburuk keadaan kompresi. Bukti terakhir menunjukkan bahwa mediator
inflamasi termasuk matriks metalloproteinase, prostaglandin E2, interleukin-6,
dan nirit oksida yang dirilis oleh herniasi diskus intervertebralis servikalis (12).
E. Manifestasi Klinis Spondilosis Servikalis
Stenosis tidak selalu menimbulkan gejala, jika gejala muncul biasanya
dikarenakan adanya radikulopati atau meilopati. Sekitar setengah dari pasien
dengan mielopati servikalis mengalami nyeri di leher atau lengan. Sebagian besar
mempunyai keluhan disfungsi lengan dan kaki. Gejala termasuk kelemahan
lengan, kekakuan tangan, seperti tidak mampu memegang kancing kemeja,
membuka gagang pintu dan toples. Gejala kelemahan kaki, seperti kesulitan
berjalan, sering jatuh. Urgensi saat kencing juga merupakan keluhan uang
umumnya dirasakan. Dalam beberapa kasus, inkontinensia uri dan alvi dapat
terjadi. Tanda pertama sering timbul adalah peningkatan refleks lutut dan tendo
achiles (11).
Gambar 2. Dermatom saraf servikal (13)
F. Diagnosis Spondilosis Servikalis
Tentunya dimulai dari anamnesis kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan
fisik dengan beberapa tes. Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan :
 Peningkatan refleks lutut dan achiles (hiperrefleks) atau kadang-kadang
ditemukan penurunan refleks pada lengan.
 Perubahan gaya berjalan seperti kehilangan keseimbangan
 Hilangnya sensitivitas pada tangan atau kaki
 Dapat ditemukan adanya klonus
 Refleks Babinsky dan Hoffman dapat positif
 Rentang gerak atau fleksibilitas leher menurun (11).
Pemeriksaan X-ray servikal tidak memberikan cukup informasi untuk
stenosis tetapi mungkin mengesampingkan kondisi lain. Magnetic Resonance
Imaging (MRI) sering digunakan untuk diagnosis. MRI memberikan gambaran
yang sangat rinci dan menunjukkan bagian kanalis spinalis yang menjepit saraf.
CT-scan dapat memberikan informasi jelas tentang invasi tulang dari kanalis dan
dapat dikombinasikan dengan kontras yang disuntikkan di sekitar saraf tulang
belakang (mielografi). Elektromiografi (EMG) dan Nerve Conduction Velocity
(NCV) dapat membantu dalam masalah saraf perifer seperti terjepitnya saraf di
leher atau lengan yang dapat menyebabkan gejala mielopati. Somatosensory
Evoked Potentials (SSEP) dapat menunjukkan perlambatan sinyal menuju ke otak
yang mengindikasikan adanya kompresi medulla spinalis (11).
G. Penatalaksanaan Spondilosis Servikalis
Pada kasus ringan stenosis servikal dengan atau tanpa mielopati dapat
diatasi dengan terapi non-operatif. Namun, pada kasus dengan kelemahan, nyeri
hebat atau ketidakmampuan berjalan, pembedahan biasanya direkomendasikan
(11).
Terapi non-operatif dapat terdiri dari terapi non-medikamentosa dan
medikamentosa. Sebuah terapi fisik dan olahraga biasanya dimulai dengan
peregangan untuk mengembalikan fleksibilitas otot leher, tubuh, lengan atau kaki.
Obat-obatan pada mielopati servikal bertujuan untuk mengurangi rasa sakit,
kejang otot dan gejala lainnya. Pemberian NSAID untuk mengurangi
pembengkakan dan inflamasi. NSAID seperti aspirin, ibuprofen, naproxen, dan
yang lainnya. Efek samping NSAID seperti gangguan perut dan perdarahan harus
dimonitor. Kortikosteroid sebagai antiinflamasi yang kuat baik oral atau suntikan
dapat digunakan (11).
Injeksi steroid epidural mungkin dianjrukan. Kortikosteorid disuntikkan ke
dalam ruang epidural. Tujuan dari injeksi ini adalah untuk mengurangi inflamasi.
Antidepresan juga mungkin diberikan apabila obat-obat analgesik kurang
memberi efek. Injeksi trigger point dengan anastesi lokal atau bias
dikombinasikan dengan steroid dapat diberikan langsung pada jaringan lunak atau
otot yang nyeri. Suntikan pada sendi facet juga mungkin diberikan (11).
Jika pengobatan non-operatif dirasa gagal, dapat disarankan untuk terapi
operatif. Pembedahan dapat dilakukan pada bagian anterior atau posterior.
Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan apabila mengambil jalan operasi
adalah lokasi kompresi, kualitas tulang, jumlah tingkat diskus yang terlibat dan
kesehatan secara umum (11).
2.2.3.2. Whiplash Associated Disorder (WAD)
A. Definisi WAD
WAD adalah kasus nyeri leher yang khusus terjadi akut atau subakut
diakibatkan oleh akselerasi dan deselerasi energi pada leher. Biasanya melibatkan
beberapa pembangkit nyeri seperti miofasial, ligamen, diskogenik, dan facet (3).
B. Epidemiologi WAD
Sekitar 1 juta kasus WAD terjadi setiap tahunnya di Amerika Serikat
sebagai akibat kecelakaan bermotor. 19%-60% (rata-rata 33%) pasien dengan
WAD menjadi kronis secara keseluruhan, 7 % yang tidak menunjukkan gejala 3
bulan setelah 3 bulan akan memiliki gejala setelah 2 tahun, sedangkan 85% yang
bergejala setelah 3 bulan kecelakaan akan tetap bertahan setelah 2 tahun (3).
C. Etiologi WAD
Paling umum disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor dapat
pula disebabkan oleh hal lain seperti menyelam (3).
D. Manifestasi Klinis WAD
Manifestasi klinis pada WAD biasanya muncul sebagai nyeri di otot leher
paramedian posterior, dengan radiasi ke tengkuk, bahu, atau daerah periskapular.
Kekakuan pada satu atau lebih gerak leher disertai sakit kepala yang umum. pada
WAD terbagi atas 4 kategori (14) :

Kelas I terdiri dari keluan leher tidak spesifik seperti nyeri, kaku
nyeri tanpa temuan fisik yang objektif.

Kelas II keluhan leher disertai tanda yang terbatas pada struktur
muskuloskeletal.

Kelas III keluhan leher ditambah disertai tanda-tanda neurologis.

Kelas IV terdiri dari nyeri leher, ditambah fraktur atau dislokasi.
E. Diagnosis WAD
Anamnesis dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik yang setidaknya meliputi
:

Inspeksi

Palpasi pada titik nyeri

ROM pada fleksi-ekstensi, rotasi dan lateral fleksi

Pemeriksaan neurologis untuk memeriksa fungsi sensorimotor dan
refleks tendon dari ekstermitas atas dan bawah

Giniometer universal dapat dipakai untuk mengukur ROM leher
atau dengan dinamometer digunakan untuk mengukur kekuatan
otot (12).
Pemeriksaan radiologi direkomendasikan pada pasien dengan WAD kelas III atau
kelas IV yang dicurigai dan pasien dengan riwayat trauma. (3).
F. Penatalaksanaan WAD

Memberikan pasien latihan mobilitas umum untuk leher dan tulang
belakang.

Latihan stabilisasi harus dilakukan dengan target fleksor leher dan
stabilisasi skapula.

Penting pada tahap awal memberitahu pasien agar beraktivitas
seperti biasa.

Pada WAD kelas II dan III dapat diberikan analgetik non-opioid
dan NSAID untuk mengurangi nyeri. Diberikan tidak lebih dari 3
minggu dan perhatikan kemungkinan efek samping.

Analgetik opiod tidak direkomendasikan pada WAD kelas I dan II.
Mungkin diberikan pada WAD kelas III akut yang berat. Pada
WAD kelas IV gunakan metilprednisolon dosis tinggi (14,15).
2.2.3.3. Rheumatoid Arthritis (RA)
A. Definisi RA
Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang menyebabkan
peradangan pada sendi, misalnya: jari-jari tangan, pergelangan tangan, sendi bahu,
sendi lutut, dan panggul termasuk sendi leher. Umumnya selalu simetris, yang
artinya mengenai sendi kanan dan kiri secara bersamaan (16).
B. Epidemiologi RA
Prevalensi penyakit RA di Indonesia saat ini belum diketahui secara pasti.
Dalam penelitiannya, Darmawan et al pada tahun 1993 menyebutkan prevalensi
RA di Indonesia 0,2% untuk penduduk di daerah pedesaan dan 0,3% untuk
penduduk di daerah kota. RA pada vertebra servikal bukan merupakan arthritis
degeneratif yang umumnya ditemukan. Namun, 90% pasien dengan RA
mempunyai perubahan radiografi pada vertebra servikalnya (16,17)
C. Etiologi RA
Etiologi dari RA tidak diketahui secara pasti. Terdapat interaksi yang
kompleks antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik yang
berperan terhadap kejadian RA adalah gen HLA-DRB1 . Gen ini berperan penting
dalam resopsi tulang. Prevalensi RA lebih tinggi pada perempuan sehingga diduga
hormon seks berperan dalam perkembangan penyakit ini. Faktor infeksi juga
berperan dalam terjadinya RA. Mikroorganisme merubah reaktivitas atau respon
sel T sehingga mencetuskan timbulnya penyakit (18).
D. Patofisiologi RA
RA adalah penyakit sistemik yang ditandai dengan peradangan dan
penghancuran pada sendi sinovial. Vertebra servikal mempunyai 22 sendi sinovial
dan proses inflamasi dapat menjadi cerminan tentang apa yang terjadi pada sendi
sinovial di selurruh tubuh. RA pada vertebra servikal dapat menyebabkan
ketidakstabilan, subluksasi dan kompresi tulang belakang. Terdapat tiga pola
ketidakstabilan yang dijelaskan. Yang paling umum adalah keterlibatan atlantoaksial atau setingkat C1-C2. Sinovitis menghasilkan penghancuran ligamentum
transversal. Subluksasi atlanto-aksial terjadi pada lebih dari 49% pasien.
Subluksasi sub-aksial adalah jenis kedua yang paling umum dikarenakan
kerusakan sendi facet di bawah tingkat C2. Terjadi deformitas pada sekitar 30%
pasien. Jenis ketiga yang umunya ditemukan adalah impaksi atlanto-aksial dengan
subluksasi vertikal pada aksis. Pada 12-30% pasien dapat terjadi kompresi batang
otak karena odontoid yang memasuki foramen magnum (17).
E. Manifestasi Klinis RA
Nyeri leher merupakan gejala yang paling umum. Dapat ditemukan pada
80% pasien. Beberapa pasein dengan subluksasi atlanto-axial dapat merasakan
sensasi yang berbunyi selama ekstensi leher. Selain itu, pasien mungkin mengeluh
kaku, krepitasi dan nyeri pada penggerakan. Tergantung pada lokasi dari proses
patologis, pasien juga dapat merasakan parestesia pada ekstermitas atas serta
kelemahan yang melibatkan ekstermitas bawah (17).
Tanda-tanda neurologis didapatkan pada 7-34% pasein. Jika kompresi
secara signifikan pada vertebra terjadi mielopati akan menyebabkan kelemahan.
Subluksasi mungkin menyebabkan oklusi arteri vertebra dan insufisiensi vaskular
ke vertebra, batang otak serta serebellum. Kelumpuhan saraf kranial, paraplegi
bahkan kematian dapat terjadi (17).
Klasifikasi Ranawat untuk RA pada vertebra servikal (17) :
Grade I
: Tidak ada defisit neurologis
Grade II
: Kelemahan, hiperrefleks, disethesia
Grade III
: Kelemahan dan long tract signs (ambulatory dan quadriparetic
non-ambulatory).
F. Diagnosis RA
Pasien dengan gejala sistemik RA harus memiliki radiografi periodik
dengan view fleksi atau ekstensi. Jika ada kekhawatiran erosi vertebra servikal
bisa dilakukan CT-scan. Jika terdapat deficit neurolgis maka MRI servikal adalah
diagnostik pilihan.
Indikasi pemeriksaan radiografi servikal untuk pasien RA (17) :
1. Gejala leher yang berkepanjangan lebih dari 6 bulan.
2. Tanda atau gejala neurologis.
3. Dijadwalkan prosedur operasi yang membutuhkan intubasi endotrakeal.
4. Kerusakan cepat dan progresif dari tulang karpal atau tarsal.
5. Kerusakan fungsional cepat secara keseluruhan.
Gambar 3. Foto servikal pada penderita RA (17)
G. Penatalaksanaan RA
Terapi non-bedah
Pengobatan dengan NSAID dan disease modifying anti-rhematic drugs
(DMARD). Penggunaan collars neck juga memberikan keuntungan yang besar.
Terapi fisik dengan penguatan isometric leher serta latihan postural (17).
Terapi bedah
Pertimbangan serius harus diberikan pada pasien dengan defisit neurologis
sebagai akibat dari kompresi dan subluksasi tulang belakang. Pasien yang
mengalami nyeri parah yang tidak berespon dengan pengobatan merupakan salah
satu indikasi. Tujuan dari terapi pembedahan adalah untuk dekompresi saraf
tulang belakang, mencapai stabilitas tulang belakang melalui fusi segmen yang
tidak stabil dan untuk mencegah defisit neurologis irreversibel (17).
2.2.3.4. Spondilitis Tuberkulosa
A. Definisi Spondilitis Tuberkulosa
Spondilitis tuberkulosis adalah infeksi Mycobacterium tuberculosis pada
tulang belakang. Spondilitis tuberkulosis memiliki perjalanan penyakit yang
relatif indolen, sehingga sulit untuk didiagnosis secara dini. Seringkali penderita
mendapatkan pengobatan pada keadaan lanjut dimana deformitas kifosis dan
kecacatan neurologis sudah relatif ireversibel (19).
B. Epidemiologi Spondilitis Tuberkulosa
Pada tahun 2005, World Health Organization (WHO) memperkirakan
bahwa jumlah kasus TB baru terbesar terdapat di Asia Tenggara (34 persen
insiden TB secara global) termasuk Indonesia. Jumlah penderita diperkirakan
akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penderita acquired
immunodefi ciency syndrome (AIDS) oleh infeksi human immunodefi ciency virus
(HIV). Satu hingga lima persen penderita TB mengalami TB osteoartikular.
Separuh dari TB osteoartikular adalah spondilitis TB (19).
Di negara berkembang, penderita TB usia muda diketahui lebih rentan
terhadap spondilitis TB daripada usia tua. Sedangkan di negara maju, usia
munculnya spondilitis TB biasanya pada dekade kelima hingga keenam. TB
osteoartikular banyak ditemukan pada penderita dengan HIV positif, imigran dari
negara dengan prevalensi TB yang tinggi, usia tua, anak usia dibawah 15 tahun
dan kondisi-kondisi defisiensi imun lainnya. Pada pasien-pasien HIV positif,
insiden TB diketahui 500 kali lebih tinggi dibanding populasi orang HIV negatif.
Di sisi lain, sekitar 25 – 50 persen kasus baru TB di Amerika Serikat adalah HIV
positif (19).
C. Etiologi Spondilitis Tuberkulosa
Penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis yang merupakan bakteri
berbentuk basil dan tahan asam (19).
D. Patofisiologi Spondilitis Tuberkulosa
Spondilitis TB dapat terjadi akibat penyebaran secara hematogen/limfogen
melalui nodus limfatikus para-aorta dari fokus tuberkulosis di luar tulang
belakang yang sebelumnya sudah ada. Pada anak, sumber infeksi biasanya berasal
dari fokus primer di paru, sedangkan pada orang dewasa berasal dari fokus
ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil). Dari paru-paru, kuman dapat sampai ke
tulang belakang melalui pleksus venosus paravertebral Batson (19).
Lesi tuberkulosis pada tulang belakang dimulai dengan inflamasi
paradiskus. Setelah tulang mengalami infeksi, hiperemia, edema sumsum tulang
belakang dan osteoporosis terjadi pada tulang. Destruksi tulang terjadi akibat lisis
jaringan tulang, sehingga tulang menjadi lunak dan gepeng terjadi akibat gaya
gravitasi dan tarikan otot torakolumbal. Selanjutnya, destruksi tulang diperberat
oleh iskemi sekunder akibat tromboemboli, periarteritis, endarteritis. Karena
transmisi beban gravitasi pada vertebra torakal lebih terletak pada setengah bagian
anterior badan vertebra, maka lesi kompresi lebih banyak ditemukan pada bagian
anterior badan vertebra sehingga badan vertebra bagian anterior menjadi lebih
pipih daripada bagian posterior. Resultan dari hal-hal tersebut mengakibatkan
deformitas kifotik. Deformitas kifotik inilah yang sering disebut sebagai gibbus
(19).
Beratnya kifosis tergantung pada jumlah vertebra yang terlibat, banyaknya
ketinggian dari badan vertebra yang hilang, dan segmen tulang belakang yang
terlibat. Vertebra torakal lebih sering mengalami deformitas kifotik. Pada vertebra
servikal dan lumbal, transmisi beban lebih terletak pada setengah bagian posterior
badan vertebra sehingga bila segmen ini terinfeksi, maka bentuk lordosis
fisiologis dari vertebra servikal dan lumbal perlahan-lahan akan menghilang dan
mulai menjadi kifosis. Menurut penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Jakarta, lesi vertebra torakal terlapor pada 71 persen kasus spondilitis TB, diikuti
dengan vertebra lumbal, dan yang terakhir vertebra servikal. Lima hingga tujuh
persen penderita mengalami lesi di dua hingga empat badan vertebra dengan ratarata 2.51. Jika pada orang dewasa spondilitis TB banyak terjadi pada vertebra
torakal bagian bawah dan lumbal bagian atas, khususnya torakal 12 dan lumbal 1,
pada anak-anak spondilitis TB lebih banyak terjadi pada vertebra torakal bagian
atas (19).
Cold abscess terbentuk jika infeksi spinal telah menyebar ke otot psoas
(disebut juga absespsoas) atau jaringan ikat sekitar. Cold abscess dibentuk dari
akumulasi produk likuefaksi dan eksudasi reaktif proses infeksi. Abses ini
sebagian besar dibentuk dari leukosit, materi kaseosa, debris tulang, dan tuberkel
basil. Abses di daerah lumbar akan mencari daerah dengan tekanan terendah
hingga kemudian membentuk traktus sinus/fistel di kulit hingga di bawah
ligamentum inguinal atau region gluteal (19).
Adakalanya lesi tuberkulosis terdiri dari lebih dari satu fokus infeksi
vertebra. Hal ini disebut sebagai spondilitis TB non-contiguous, atau “skipping
lesion”. Peristiwa ini dianggap merupakan penyebaran dari lesi secara hematogen
melalui pleksus venosus Batson dari satu fokus infeksi vertebra. Insidens
spondilitis TB non-contiguous dijumpai pada 16 persen kasus spondilitis TB.
Defisit neurologis oleh kompresi ekstradural medula spinalis dan radiks terjadi
akibat banyak proses, yaitu: 1) penyempitan kanalis spinalis oleh abses
paravertebral, 2) subluksasio sendi faset patologis, 3) jaringan granulasi, 4)
vaskulitis, trombosis arteri/ vena spinalis, 5) kolaps vertebra, 6) abses epidural
atau 7) invasi duramater secara langsung. Selain itu, invasi medula spinalis dapat
juga terjadi secara intradural melalui meningitis dan tuberkulomata sebagai space
occupying lesion (19).
Bila dibandingkan antara pasien spondilitis TB dengan defisit neurologis
dan tanpa defisit neurologis, maka defisit biasanya terjadi jika lesi TB pada
vertebra torakal. Defi sit neurologis dan deformitas kifotik lebih jarang ditemukan
apabila lesi terdapat pada vertebra lumbalis. Penjelasan yang mungkin mengenai
hal ini antara lain: 1) Arteri Adamkiewicz yang merupakan arteri utama yang
mendarahi medula spinalis segmen torakolumbal paling sering terdapat pada
vertebra torakal 10 dari sisi kiri. Obliterasi arteri ini akibat trombosis akan
menyebabkan kerusakan saraf dan paraplegia. 2) Diameter relatif antara medula
spinalis dengan foramen vertebralisnya. Intumesensia lumbalis mulai melebar
kira-kira setinggi vertebra torakal 10, sedangkan foramen vertebrale di daerah
tersebut relatif kecil. Pada vertebra lumbalis, foramen vertebralenya lebih besar
dan lebih memberikan ruang gerak bila ada kompresi dari bagian anterior (19).
E. Manifestasi Klinis Spondilitis Tuberkulosa
Manifestasi klinis spondilitis TB relatif indolen (tanpa nyeri). Pasien
biasanya mengeluhkan nyeri lokal tidak spesifik pada daerah vertebra yang
terinfeksi. Demam subfebril, menggigil, malaise, berkurangnya berat badan atau
berat badan tidak sesuai umur pada anak yang merupakan gejala klasik TB paru
juga terjadi pada pasien dengan spondilitis TB. Pada pasien dengan serologi HIV
positif, rata-rata durasi dari munculnya gejala awal hingga diagnosis ditegakkan
adalah selama 28 minggu. Apabila sudah ditemukan deformitas berupa kifosis,
maka patogenesis TB umumnya spinal sudah berjalan selama kurang lebih tiga
sampai empat bulan (19).
Defisit neurologis terjadi pada 12 – 50 persen penderita. Defisit yang
mungkin antara lain: paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radikular dan/ atau
sindrom kauda equina. Nyeri radikuler menandakan adanya gangguan pada radiks
(radikulopati). Spondilitis TB servikal jarang terjadi, namun manifestasinya lebih
berbahaya karena dapat menyebabkan disfagia dan stridor, tortikollis, suara serak
akibat gangguan n. laringeus. Jika n. frenikus terganggu, pernapasan terganggu
dan timbul sesak napas (disebut juga Millar asthma) (19).
Umumnya gejala awal spondilitis servikal adalah kaku leher atau nyeri leher
yang tidak spesifik. Nyeri lokal dan nyeri radikular disertai gangguan motorik,
sensorik dan sfingter distal dari lesi vertebra akan memburuk jika penyakit tidak
segera ditangani. Menurut salah satu sumber, insiden paraplegia pada spondilitis
TB (Pott’s paraplegia), sebagai komplikasi yang paling berbahaya, hanya terjadi
pada 4 – 38 persen penderita. Pott’s paraplegia dibagi menjadi dua jenis:
paraplegia onset cepat (early-onset) dan paraplegia onset lambat (late-onset).
Paraplegia onset cepat terjadi saat akut, biasanya dalam dua tahun pertama.
Paraplegia onset cepat disebabkan oleh kompresi medula spinalis oleh abses atau
proses infeksi. Sedangkan paraplegia onset lambat terjadi saat penyakit sedang
tenang, tanpa adanya tanda-tanda reaktifasi spondilitis, umumnya disebabkan oleh
tekanan jaringan fibrosa/parut atau tonjolan-tonjolan tulang akibat destruksi
tulang sebelumnya (19).
Gejala motorik biasanya yang lebih dahulu muncul karena patologi terjadi
dari anterior, sesuai dengan posisi motoneuron di kornu anterior medula spinalis,
kecuali jika ada keterlibatan bagian posterior medula spinalis, keluhan sensorik
bisa lebih dahulu muncul. Penelitian di Nigeria melaporkan bahwa paraplegia
terjadi pada 54 persen pasien yang mengalami gangguan kekuatan motorik.
Sedangkan deformitas tulang belakang hanya terjadi pada 21 persen pasien-pasien
tersebut. Tingginya angka paraplegia mungkin disebabkan tingkat sosioekonomi
dan pendidikan yang masih rendah sehingga pasien baru datang ke layanan
kesehatan jika penyakit sudah melanjut dengan gejala yang berat (19).
F. Diagnosis Spondilitis Tuberkulosa
Nyeri punggung belakang adalah keluhan yang paling awal, sering tidak
spesifik dan membuat diagnosis yang dini menjadi sulit. Maka dari itu, setiap
pasien TB paru dengan keluhan nyeri punggung harus dicurigai mengidap
spondilitis TB sebelum terbukti sebaliknya. Selain itu, dari anamnesis bisa
didapatkan adanya riwayat TB paru, atau riwayat gejala-gejala klasik (demam
lama, diaforesis nokturnal, batuk lama, penurunan berat badan) jika TB paru
belum ditegakkan sebelumnya. Demam lama merupakan keluhan yang paling
sering ditemukan namun cepat menghilang (satu hingga empat hari) jika diobati
secara adekuat (19).
Paraparesis adalah gejala yang biasanya menjadi keluhan utama yang
membawa pasien datang mencari pengobatan. Gejala neurologis lainnya yang
mungkin: rasa kebas, baal, gangguan defekasi dan miksi. Pemeriksaan fisik umum
dapat menunjukkan adanya fokus infeksi TB di paru atau di tempat lain, meskipun
pernah dilaporkan banyak spondilitis TB yang tidak menunjukkan tandatanda
infeksi TB ekstraspinal (19).
Pernapasan cepat dapat diakibatkan oleh hambatan pengembangan volume
paru oleh tulang belakang yang kifosis atau infeksi paru oleh kuman TB. Infiltrat
paru akan terdengar sebagai ronkhi, kavitas akan terdengar sebagai suara amforik
atau bronkial dengan predileksi di apeks paru. Kesegarisan (alignment) tulang
belakang harus diperiksa secara seksama. Infeksi TB spinal dapat menyebar
membentuk abses paravertebra yang dapat teraba, bahkan terlihat dari luar
punggung berupa pembengkakan. Permukaan kulit juga harus diperiksa secara
teliti untuk mencari muara sinus/fistel hingga regio gluteal dan di bawah inguinal
(trigonum femorale). Tidak tertutup kemungkinan abses terbentuk di anterior
rongga dada atau abdomen (19).
Terjadinya gangguan neurologis menandakan bahwa penyakit telah lanjut,
meski masih dapat ditangani. Pemeriksaan fisik neurologis yang teliti sangat
penting untuk menunjang diagnosis dini spondilitis TB. Pada pemeriksaan
neurologis bisa didapatkan gangguan fungsi motorik, sensorik, dan autonom.
Kelumpuhan berupa kelumpuhan upper motor neuron (UMN), namun pada
presentasi awal akan didapatkan paralisis flaksid, baru setelahnya akan muncul
spastisitas dan refleks patologis yang positif. Kelumpuhan lower motor neuron
(LMN) mononeuropati mungkin saja terjadi jika radiks spinalis anterior ikut
terkompresi. Jika kelumpuhan sudah lama, otot akan atrofi , yang biasanya
bilateral. Sensibilitas dapat diperiksa pada tiap dermatom untuk protopatis (raba,
nyeri, suhu), dibandingkan ekstremitas atas dan bawah untuk proprioseptif (gerak,
arah, rasa getar, diskriminasi 2 titik). Evaluasi sekresi keringat rutin dikerjakan
untuk menilai fungsi saraf autonom (19).
Radiologi hingga saat ini merupakan pemeriksaan yang paling menunjang
untuk diagnosis dini spondilitis TB karena memvisualisasi langsung kelainan fisik
pada tulang belakang. Terdapat beberapa pemeriksaan radiologis yang dapat
digunakan seperti sinar-X, Computed Tomography Scan (CTscan), dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI). Pada infeksi TB spinal, klinisi dapat menemukan
penyempitan jarak antar diskus intervertebralis, erosi dan iregularitas dari badan
vertebra, sekuestrasi, serta massa para vertebra. Pada keadaan lanjut, vertebra
akan kolaps ke arah anterior sehingga menyerupai akordion (concertina),
sehingga disebut juga concertina collapse (19).
G. Penatalaksanaan Spondilitis Tuberkulosa
Medikamentosa
Spondilitis TB dapat diobati secara sempurna hanya dengan OAT saja
hanya jika diagnosis ditegakkan awal, dimana destruksi tulang dan deformitas
masih minimal. Seperti pada terapi TB pada umumnya, terapi infeksi spondilitis
TB adalah multidrug therapy. Secara umum, regimen OAT yang digunakan pada
TB paru dapat pula digunakan pada TB ekstraparu, namun rekomendasi durasi
pemberian OAT pada TB ekstraparu hingga saat ini masih belum konsisten
antarahli. World Health Organization (WHO) menyarankan kemoterapi diberikan
setidaknya selama 6 bulan. British Medical Research Council menyarankan
bahwa spondilitis TB torakolumbal harus diberikan kemoterapi OAT selama 6 – 9
bulan.2 Untuk pasien dengan lesi vertebra multipel, tingkat servikal, dan dengan
defi sit neurologis belum dapat dievaluasi, namun beberapaahli menyarankan
durasi kemoterapi selama 9–12 bulan (19).
The Medical Research Council Committee for Research for Tuberculosis
in the Tropics menyatakan bahwa isoniazid dan rifampisin harus selalu diberikan
selama masa pengobatan. Selama dua bulan pertama (fase inisial), obat-obat
tersebut dapat dikombinasikan dengan pirazinamid, etambutol dan streptomisin
sebagai obat lini pertama. Hal ini senada dengan penelitian Karaeminogullari dkk
yang mengobati pasien spondilitis TB lumbal dengan rifampisin dan insoniazid
saja selama 9 bulan, dengan hasil yang memuaskan. Obat lini kedua diberikan
hanya pada kasus resisten pengobatan. Yang termasuk sebagai OAT lini kedua
antara lain: levofl oksasin, moksifl oksasin, etionamid, tiasetazon, kanamisin,
kapreomisin, amikasin, sikloserin, klaritomisin dan lain-lain. Adakalanya kuman
TB kebal terhadap berbagai macam OAT (19).
Multidrug resistance TB (MDR-TB) didefinisikan sebagai basil TB yang
resisten terhadap isoniazid dan rifampisin. Spondilitis MDR-TB adalah penyakit
yang agresif karena tidak dapat hanya diterapi dengan pengobatan OAT baku.
Regimen untuk MDR-TB harus disesuaikan dengan hasil kultur abses. Perbaikan
klinis umumnya bisa didapatkan dalam 3 bulan jika terapi berhasil. Adapula
rekomendasi terbaru untuk penganganan MDR-TB, yaitu dengan kombinasi 5
obat, antara lain: 1) salah satu dari OAT lini pertama yang diketahui sensitif
melalui hasil kultur resistensi, 2) OAT injeksi untuk periode minimal selama 6
bulan, 3) kuinolon, 4) sikloserin atau etionamid, 5) antibiotik lainnya seperti
amoksisilin klavulanat dan klofazimin. Durasi pemberian OAT setidaknya selama
18–24 bulan (19).
The United States Centers for Disease Control merekomendasikan
pengobatan spondilitis TB pada bayi dan anak-anak setidaknya harus selama 12
bulan. Durasi kemoterapi pada pasien imunodefisiensi sama pada pasien tanpa
imunodefi siensi. Namun, adapula sumber yang mengatakan durasinya harus
diperpanjang. Kemoterapi pada pasien dengan HIV positif harus disesuaikan dan
memerhatikan interaksi OAT dan obat antiretroviral.
Zidovudin dapat
meningkatkan efek toksik OAT. Didanosin harus diberikan selang 1 jam dengan
OAT karena bersifat penyanggah antasida. Perhimpuna Dokter Paru Indonesia
telah merumuskan regimen terapi OAT untuk pasien TB. Untuk kategori I, yaitu
kasus baru TB paru kasus baru dengan TB ekstraparu, termasuk TB spinal,
diberikan 2 HRZE (HRZS) fase inisial dilanjutkan 4HR fase lanjutan, atau
2HRZE(HRZS) fase inisial dilanjutkan 4H3R3 fase lanjutan, atau 2RHZE(HRZS)
fase inisial dilanjutkan 6HE fase lanjutan. Pemberian regimen bisa diperpanjang
sesuai dengan respons klinis penderita. Sedangkan untuk kategori II, yaitu kasus
gagal pengobatan, relaps, drop-out, diberikan 2RHZES fase inisial dilanjutkan
5HRE fase lanjutan, atau 2HRZES fase inisial dilanjutkan 5H3R3E3 fase lanjutan
(19).
Deksametason jangka pendek dapat digunakan pada kasus dengan defisit
neurologis yang akut untuk mencegah syok spinal. Namun, belum ada studi yang
menguji efektivitasnya pada kasus spondilitis TB. Pemberian bisfosfonat
intravena bersamaan dengan kemoterapi OAT telah dicoba pada beberapa pasien
dan dikatakan dapat meningkatkan proses perbaikan tulang. Nerindronat 100 mg
pada pemberian pertama, dan 25 mg setiap bulan berikutnya selama 2 tahun telah
diujicobakan dengan hasil yang memuaskan. Nerindronat disebutkan dapat
menghambat aktivitas resorpsi osteoklas dan menstimulasi aktivitas osteoblas.
Namun, studi ini masih terbatas pada satu pasien dan perlu dievaluasi lebih lanjut.
Terapi medikamentosa dikatakan gagal jika dalam 3–4 minggu, nyeri dan atau
defisit neurologis masih belum menunjukkan perbaikan setelah pemberian OAT
yang sesuai, dengan atau tanpa imobilisasi atau tirah baring (19).
Tabel 1. Dosis rekomendasi OAT pada anak (dibawah 12 tahun) dan dewasa
(19)
Pemdedahan
Dengan
berkembangnya
penggunaan
OAT
yang
efektif,
terapi
pembedahan relative ditinggalkan sebagai penatalaksanaan utama pada spondilitis
TB. Pilihan teknik bedah tulang belakang pada spondilitis sangat bervariasi, tapi
pendekatan tindakan bedah yang baku dan empiris masih belum ada. Setiap kasus
harus dinilai keadaanya secara individual. Pada pasien yang direncanakan
dioperasi, kemoterapi tetap harus diberikan, minimal 10 hari sebelum operasi
OAT harus sudah diberikan. Kategori regimen OAT yang diberikan disesuaikan
jenis kasus yang ada dan dilanjutkan sesuai kategori masing-masing (19).
Tindakan bedah yang dapat dilakukan pada spondilitis TB meliputi
drainase abses, debridemen radikal, penyisipan tandur tulang, artrodesis/fusi,
penyisipan tandur tulang, dengan atau tanpa instrumentasi/fiksasi, baik secara
anterior maupun posterior; dan osteotomi. Indikasi pembedahan pada spondilitis
TB secara umum sebagai berikut: 1) defisit neurologis akut, paraparesis, atau
paraplegia. 2) deformitas tulang belakang yang tidak stabil atau disertai nyeri,
dalam hal ini kifosis progresif (30º untuk dewasa, 15º untuk anak-anak). 3) tidak
responsif kemoterapi selama 4 minggu. 4) abses luas. 5) biopsi perkutan gagal
untuk memberikan diagnosis. 6) nyeri berat karena kompresi abses (19).
Jika lesi di servikal, intervensi bedah dilakukan lebih awal mengingat
potensi kecacatan yang akan terjadi. Jika mengikuti klasifi kasi GATA , maka
intervensi bedah dilakukan pada pasien dengan GATA IB hingga GATA III.
Sementara itu, satu-satunya kontraindikasi pembedahan pada pasien spondilitis
TB adalah kegagalan jantung dan paru. Pada keadaan ini kegagalan jantung dan
paru harus ditangani terlebih dahulu untuk menyelamatkan jiwa pasien (19).
Tabel 2. Klasifikasi Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA) untuk spondilitis
TB (19)
2.2.3.5. Fibromialgia
A. Definisi Fibromialgia
Fibromialgia adalah kelainan yang sering ditemui, dicirikan oleh adanya
nyeri muskuloskeletal yang menyebar dengan penyebaran yang simetris,
kekakuan, mudah lelah, parestesi, dan gangguan tidur. Istilah fibromialgia baru
muncul belum terlalu lama, meskipun gejalanya telah banyak dibahas dalam
literatur kedokteran sejak awal tahun 1900-an. Baru pada tahun 1989, fibromialgia
muncul pada salah satu buku teks reumatologi dengan istilah fibrositis yang pada
tahun 1990 diubah oleh American College of Rheumatology (ACR) menjadi
sindrom fibromialgia, mengingat istilah fibrositis yang kurang tepat (20).
B.Epidemiologi Fibromialgia
Berdasarkan data di Amerika Serikat, kira-kira 20% pasien klinik
rheumatologi adalah pasien fibromialgia, yang kebanyakan berusia 30-50 tahun.
Dari data tersebut dapat dikatakan 1 dari 5 pasien yang berobat adalah
fibromialgia. Thompson melaporkan fibromialgia sebagai penyakit terbanyak
kedua yang ditemui dalam praktek rheumatologis. Fibromialgia lebih banyak
menyerang perempuan dibandingkan laki-laki, dengan rasio 9:1. Prevalensi
fibromialgia pada populasi umum di Amerika Serikat untuk perempuan ialah
3,4%, sedangkan untuk laki-laki 0,5%. Fibromialgia juga lebih sering ditemukan
pada perempuan di atas 50 tahun (20).
C. Etiologi Fibromialgia
Hingga kini, penyebab pasti fibromialgia belum dapat ditemukan, tapi
telah diketahui bahwa fibromialgia dapat dipicu oleh stres emosional, infeksi,
pembedahan, hipotiroidisme, dan trauma. Fibromialgia juga telah ditemukan pada
pasien yang terinfeksi hepatitis C, HIV, parvovirus B19, dan lyme disease.
Pendapat lain menyebutkan kurangnya latihan, penggunaan otot secara
berlebihan, dan perubahan metabolisme otot sebagai kemungkinan penyebab
fibromialgia (20).
D. Patogenesis Fibromialgia
Meskipun penyebab pasti fibromialgia masih menjadi misteri, secara
umum para ahli sepakat mengenai adanya mekanisme pengolahan input yang
tidak normal, khususnya input nyeri (nosiseptif), pada sistem saraf pusat. Pada
studi dolorimetri dan pemberian stimuli seperti panas, dingin dan elektrik,
ditemukan ambang rangsang yang rendah pada pasien fibromialgia. Pasien
fibromialgia mempersepsikan stimuli non-nosiseptif sebagai stimuli nosiseptif
serta kurang mampu mentoleransi nyeri yang seharusnya dapat ditoleransi oleh
orang normal. Beberapa kelainan fisiologik dan biokimia telah ditemukan pada
susunan saraf pusat pasien fibromialgia sehingga fibromialgia tidak lagi dapat
disebut sebagai keluhan subjektif. Kelainan tersebut adalah kadar serotonin yang
rendah, disfungsi poros hipotalamus hipofisis, kadar hormon pertumbuhan yang
rendah, kadar substansi P yang meningkat dan faktor pertumbuhan saraf yang
meningkat (20).
E. Manifestasi Klinis Fibromialgia
Gejala yang biasa ditemukan pada pasien fibromialgia antara lain nyeri
muskuloskeletal yang menyebar, kekakuan, dan kelelahan. Gejala lain juga dapat
muncul, di antaranya parestesi, gangguan tidur, titik nyeri, dan lain-lain. Pada
fibromialgia, nyeri bersifat menyebar dan di-rasakan selama minimal 3 bulan, di
atas dan bawah pinggang pada kedua sisi tubuh, bersamaan dengan nyeri aksial.
Nyeri punggung bawah (berasal dari bawah pinggang) dapat menyebar hingga ke
bokong dan tungkai. Nyeri lain dapat meliputi nyeri leher, bahu atas-belakang,
dan nyeri sendi. Nyeri tersebut timbul setelah olahraga ringan, dan dirasakan
seperti nyeri terbakar yang persisten dan mengganggu, atau nyeri tumpul yang
konstan (20).
Pada 75-90% penderita fibromialgia, ditemukan kekakuan yang biasanya
terjadi di pagi hari kemudian membaik di siang hari atau bertahan sepanjang hari.
Gejala lain yang mungkin ditemukan adalah kelelahan, mati rasa pada kaki dan
tangan, sering terbangun di malam hari dan sulit tidur kembali, bangun pagi
dengan rasa letih, merasa lebih kedinginan daripada orang-orang di sekitarnya,
fenomena Raynaud atau gejala mirip fenomena Raynaud, gangguan kognitif
dengan kesulitan berpikir dan kehilangan ingatan jangka pendek (loss of shortterm memory), sakit kepala tipe migrain, pusing, cemas, dan depresi. Gejala
tersebut diperparah oleh stress atau cemas, kedinginan, cuaca lembab, dan kerja
terlalu keras. Sebaliknya, pasien merasa lebih baik saat cuaca hangat dan liburan
(20).
Gambaran khas pemeriksaan fisik pasien fibromyalgia ialah ditemukannya
titik-titik yang dirasakan lebih nyeri oleh pasien dibandingkan orang lain. Titiktitik itu disebut tender points. Berdasarkan kriteria American College of
Rheumatology (ACR) 1990, terdapat 18 tender points pada pasien fibomialgia.
Titik-titik itu ditemukan dengan melakukan palpasi dengan jari, dan memberikan
tekanan kira-kira seberat 4 kg, yaitu setara dengan gaya yang dibutuhkan untuk
membuat jari pemeriksa menjadi pucat. Pemeriksaan juga dapat dilakukan dengan
dolorimeter. Di wilayah yang nyeri, juga dapat ditemukan nodul subkutan yang
bila ditemukan pada orang normal tidak menimbulkan nyeri (20).
Gejala fibromialgia dapat hilang dan timbul pada beberapa pasien,
sedangkan pasien lain mengalami gejala persisten meskipun telah diterapi. Studi
di pusat kesehatan memperlihatkan prognosis buruk untuk sebagian besar pasien,
tapi membaik pada community treated patients. Studi lain memperlihatkan,
setelah 2 tahun perawatan, 24% pasien masuk ke dalam kriteria remisi dan 47%
tidak lagi termasuk dalam kriteria ACR untuk fibromyalgia (20).
Gambar 4. Letak tender points di tubuh (20)
F. Diagnosis Fibromialgia
Diagnosis fibromialgia dilakukan dengan mengacu pada kriteria ACR
1990, yaitu sebagai berikut (20) :
1. Riwayat nyeri yang menyebar
Definisi: Nyeri dianggap menyebar jika ada di seluruh lokasi berikut-nyeri di sisi
kiri tubuh, nyeri di sisi kanan tubuh, nyeri di atas pinggang, dan nyeri di bawah
pinggang. Selain itu, nyeri rangka aksial (nyeri servikal, dada depan, spina
thorakalis, atau punggung bawah) harus ada. Menurut definisi ini, nyeri bahu dan
bokong dianggap sebagai nyeri untuk setiap sisi yang terkena. Nyeri punggung
bawah dianggap sebagai nyeri segmen bawah.
2. Nyeri di 11 dari 18 tender points pada palpasi dengan jari
Definisi: Pada palpasi dengan jari, nyeri harus terdapat pada minimal 11 dari 18
situs tender points di bawah ini.
a. Oksiput – bilateral, di insersi otot suboksipital
b. Servikal bawah – bilateral, di aspek anterior spasium intertransversum di C5
hingga C7
c. Trapezius – bilateral, di titik tengah batas atas
d. Supraspinatus – bilateral, di origo, di atas spina scapula dekat batas medial
e. Iga kedua – bilateral, di junctio kostokondral kedua, lateral dari persambungan
permukaan atas
f. Epikondilus lateral – bilateral, 2 cm distal dari epikondilus
g. Gluteal – bilateral, di kuadran atas luar dari bokong di lipatan anterior otot
h. Trochanter mayor – bilateral, posterior dari prominensia trochanter
i. Lutut – bilateral, pada bantalan lemak medial, proksimal dari garis sendi
j. Palpasi dengan jari dilakukan dengan gaya + 4 kg. Untuk menyebut sebuah
tender point positif, subjek harus mengatakan bahwa palpasi terasa nyeri
Diagnosis fibromialgia dapat ditegakkan apabila pasien memenuhi kedua
kriteria ACR 1990, yaitu riwayat nyeri muskuloskeletal yang menyebar minimal 3
bulan dan nyeri yang signifikan pada minimal 11 dari 18 tender points jika
dilakukan palpasi dengan jari.1,2,7 Kriteria ACR sangat bermanfaat dalam
menegakkan diagnosis, meskipun beberapa pasien memiliki jumlah tender sites
yang lebih sedikit dan nyeri regional yang lebih, sehingga didiagnosis
fibromialgia. Pemeriksaan neurologis muskuloskeletal dan laboratorium tetap
normal pada fibromyalgia (20).
G. Penatalaksanaan Fibromialgia
Non-farmakologis
Untuk mengurangi nyeri, dapat dilakukan aplikasi panas dan dingin ke otot
secara bergantian masing-masing 15-20 menit diselingi waktu untuk kembali ke
suhu normal. Pemijatan dan peregangan juga dapat dilakukan untuk mengurangi
nyeri. Terapi lain dapat membantu dengan derajat yang berbeda-beda, misalnya
injeksi, modifikasi perilaku, hipnoterapi, kompresi iskemik, olahraga dan
pengaturan stress. Namun, yang tidak boleh dilupakan ialah perbaikan postur dan
mekanika tubuh. Pelatihan biofeedback yang intens (misalnya dua kali sehari
untuk seminggu) seringkali penting untuk nyeri otot yang kronik dan menyebar.
Teknik tersebut terutama berguna untuk otot-otot postural yang biasanya
berfungsi tanpa disadari. Elektroda permukaan ditempelkan ke atas otot untuk
mendeteksi aktivitasnya. Pelatihan biofeedback dilakukan untuk menolong pasien
mengembalikan otot ke keadaan istirahat normal setelah kontraksi (20).
Teknik lain untuk mengurangi nyeri ialah spray and stretch. Vapocoolant
spray disemprotkan dengan pola menyapu searah serat otot untuk melemaskan
otot, sambil dilakukan peregangan otot secara pasif oleh pasien atau klinisi.
Peregangan
adalah
elemen
kunci
dari
pengurangan
nyeri,
meskipun
mekanismenya belum diketahui. Hal lain yang perlu diatasi pada pasien
fibromialgia adalah gangguan yang terjadi pada otot. Untuk itu, olahraga dapat
menjadi solusi dan penting untuk disarankan. Selain meregangkan dan
memperkuat otot, olahraga juga dapat meningkatkan kebugaran kardiovaskular.
Pada pasien fibromalgia, mungkin terdapat keengganan berolahraga akibat rasa
nyeri atau kelelahan. Apabila tidak berolahraga, akan terjadi inaktivitas dan
dekondisi otot, sehingga otot mulai kehilangan fungsinya. Hal tersebut
selanjutnya dapat menyebabkan depresi, menurunnya rasa percaya diri, dan stres
yang memicu nyeri lebih lanjut (20).
Olahraga aerobik juga baik untuk pasien dan dimulai setelah terjadi
perbaikan tidur serta berkurangnya nyeri serta kelelahan. Olahraga dilakukan
mula-mula pada level rendah dan pasien sebaiknya berolahraga 20-30 menit, 3-4
hari seminggu. Seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya, konsultasi psikiatrik
memiliki peran yang sangat penting dalam tatalaksana depresi dan cemas pada
pasien fibromialgia. Stres dalam kehidupan harus diidentifikasi dan didiskusikan
dengan pasien, dan pasien harus diberikan pertolongan mengenai bagaimana
menghadapi stres. Secara keseluruhan tim multidisiplin diperlukan untuk
tatalaksana fibromialgia secara optimal. Tim multidisiplin tersebut terdiri atas
spesialis rehabilitasi medik, psikiater, terapis fisik, dan ahli lainnya (20).
Farmakologis
Untuk mengobati nyeri, salisilat atau obat antiinflamasi nonsteroid
(OAINS) lainnya dapat digunakan, namun hanya mengurangi sebagian gejala.
Glukokortikoid memberikan manfaat yang kecil dan sebaiknya tidak diberikan.
Opiat dan analgesik harus dihindari. Untuk nyeri, asetaminofen, tramadol, atau
gabapentin (300-1200 mg/d dengan dosis yang dibagi) dapat bermanfaat.
Tindakan lokal seperti pemanasan, pijatan, suntikan steroid atau lidokain, dan
akupunktur hanya meredakan gejala sementara (20).
Untuk memperbaiki kualitas tidur, digunakan trisiklik seperti amitriptilin
(10-50 mg), nortriptilin (10-75 mg), dan doksepin (10-25 mg) atau obat lain
seperti siklobenzaprin (10-40 mg), 1-2 jam sebelum tidur. Pemberian obat tersebut
dimaksudkan untuk memperbaiki tahap 4 dari tidur pasien, sehingga terjadi
perbaikan klinis. Pengobatan diberikan mulai dari dosis rendah, dan ditingkatkan
bila perlu. Efek samping seperti konstipasi, mulut kering, peningkatan berat
badan, dan kesulitan berpikir juga perlu dipertimbangkan. Selain obat di atas,
trazodon atau zolpidem juga dapat memperbaiki kualitas tidur. Depresi dan cemas
dengan obat yang tepat atau konseling psikiatrik. Fluoksetin, sertralin, paroksetin,
sitalopram, atau inhibitor reuptake serotonin lain dapat diberikan untuk mengatasi
depresi. Tradozon dan venlafaksin bekerja sebagai antidepresan, sedangkan
alprazolam dan lorazepam efektif untuk mengatasi kecemasan (20).
2.2.3.6. Neoplasma Vertebra
A. Definisi Neoplasma Vertebra
Massa pada tulang belakang dapat jinak ataupun ganas yang dapat berasal
dari tulang belakang sendiri (primer) atau dari proses metastase (sekunder) (21).
B. Epidemiologi Neoplasma Vertebra
Sekitar 2.000 kasus baru kanker tulang dan 6.000 kasus baru tumor
jaringan lunak telah didiagnosis di Amerika Serikat setiap tahunnya. Dari jumlah
tersebut, hanya sekitar 5% yang melibatkan tulang belakang. Insidensi tumor
tulang belakang diperkirakan 2,5-8,5 per 100.000 orang pertahun. Tumor dari
sistem limfoid misalnya plasmocytoma adalah tumor dari sistem limforetikular
yang umumnya ditemukan pada tulang belakang. Tumor tulang belakang dapat
dilihat dari usia dan lokasi. Pada anak-anak dibawah 6 tahun tumor tulang
belakang yang umunya didapatkan adalah neuroblastoma, astrocitoma, dan
sarcoma. Pada orang tua di atas 35 tahun yang umunya ditemukan adalah
adenokarsinoma metastase, multiple myeloma, osteosarkoma. Dilihat dari lokasi
tumor, pada korpus anterior yang biasa ditemukan adalah multiple myeloma,
histiocitosis, chordoma, hemangioma. Pada korpus posterior yang biasa
ditemukan adalah anuerysmal bone cycts, osteblastoma, dan osteoid osteoma (21).
C. Etiologi Neoplasma Vertebra
Sampai saat ini, penyebab dari terjadinya neoplasma masih berupa
hipotesis. Sel-sel kanker dapat mengaktifkan protein komponen dari telomerase
yang menyebabkan sel-sel tersebut membelah tanpa batas dan tidak terjadi
apoptosis (21).
D. Patogenesis Neoplasma Vertebra
Setiap kali sel membelah, telomer akan sampai pada point of return dan
mengalami kematian. Sel-sel kanker mempunyai kemampuan mengaktifkan
protein komponen telomerase yang memungkinkan sel-sel tersebut membelah
tanpa batas tanpa adanya apoptosis. Kemudian sel-sel itu mengaktifkan proses
angiogenik dengan merekrut sel endotel, tumbuh, membelah, dan membentuk
pembuluh darah untuk neoplasma tersebut. Kemudian sel-sel tersebut menyebar
melalui matriks ekstraseluler ke dalam pembuluh darah atau saluran limfatik yang
menyebabkan kekambuhan dan metastase (21).
Gambar 5. Proses perjalanan sel kanker (21)
E. Manifestasi Klinis Neoplasma Vertebra
Umumnya ditemukan keluhan nyeri pada vertebra yang terkena,
deformitas tulang belakang, dan defisit neurologis. Nyeri tulang belakang juga
biasanya ditemukan bersifat persisten, tidak terkait aktivitas, memburuk selama
istirahat dan malam hari. Fraktur patologis pada korpus vertebra dapat
meningkatkan nyeri. Kompresi pada akar serabut saraf spinal dapat menghasilkan
nyeri lokal, nyeri radikuler dan mielopati. Gejala lain seperti penurunan berat
badan, demam, kelelahanjuga dapat ditemukan (21).
F. Diagnosis Neoplasma Vertebra
Gejala yang ditemukan pada anamnesis dapat ditemukan seperti di atas.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan massa yang terpalpasi. Dapat
menimbulkan gejala saluran cerna dan kencing apabila tumor berada di anterior.
Skoliosis, spasme otot paraspinal serta kekakuan dapat ditemukan. Pada
pemeriksaan neurologis juga dapat ditemukan kelainan. Penunjang yang biasa
dilakukan adalah foto polos (X-ray), bone scan, CT-scan, MRI, angiografi,
biopsy, dll (21).
Gambar 6. Gambaran massa tulang pada X-ray (21)
G. Penatalaksanaan Neoplasma Vertebra
Non-operatif
Terdiri dari manajemen nyeri, kemoterapi, dan radioterapi. NSAID
diberikan pada nyeri sedang, sedangkan pada nyeri berat diberikan opioid. Injeksi
anastesi lokal epidural atau intratekal dapat diberikan. Kemoterapi dapat diberikan
pada neoplasma seperti sarcoma Ewing’s, osteosarkoma, dan multiple myeloma.
Radioterapi biasanya diberikan pada sarcoma Ewing’s dan metastase (21).
Operatif
Indikasi terapi pembedahan antara lain (21) :
-
Instabilitas spinal diakibatkan oleh destruksi tulang
-
Defisit neurologi progresif
-
Tumor yang radioresisten
-
Membutuhkan open biopsy
-
Nyeri yang intraktabel yang tidak berespon dengan terapi non-operatif.
Teknik operasi berupa kuretase, reseksi intralesi, dan reseksi en blok (21).
2.2.3.7. Tortikolis Spasmodik
A. Definisi Tortikolis Spasmodik
Tortikolis spasmodik adalah kekakuan dari pada otot-otot leher, yang
disebabkan oleh kontraksi klonik atau tonik dari otot-otot servikal pada leher
dengan gejala terjadi kekakuan pada sistem saraf dan terdapatnya histeria. Juga
merupakan bentuk dari distonia dengan karakteristik intermitten dan gerakan
involunter dari kepala yang rekuren bersamaan dengan terjadinya kontraksi dari
otot leher (22).
B. Epidemiologi Tortikolis Spasmodik
Tortikolis terjadi pada 1 dari 10.000 orang dan sekitar 1,5 kali lebih sering
terjadi pada wanita dibandingkan dengan pria. Penyakit ini dapat terjadi pada
semua umur tetapi paling sering ditemukan pada usia antara 30-60 tahun (22).
C. Etiologi Tortikolid Spasmodik
- Hipertiroidisme
- Infeksi sistem saraf
- Diskinesia tardiv (gerakan wajah abnormal akibat obat anti-psikosa)
- Tumor leher (22).
D. Patogenesis Tortikolis Spasmodik
Pada masa lalu terjadinya tortikolis adalah kegagalan pada otot leher
dimana timbul histeria yang berlebihan. Dimana gejalanya sama dengan kelainan
yang disebabkan secara organik. Ketika tortikolis diketahui berhubungan dengan
efek voluter bentuk dari gejala yang ada adalah hysteria, dimana bentuk awal dari
gejala ini adalah tic. Bentuk histeria berasal dari gejala yang merupakan respon
dari pengobatan dari terjadinya kelainan emosional yang utama (22).
Spasme tortikolis ini disebabkan oleh keadaan keturunan dimana terjadinya
dari gen autosomal dominan atau autosomal resesif. Hal lain yang dapat
menyebabkan ialah kelainan kongenital dari m.sternocleidomastoideus, kelainan
dari servikal tulang belakang, hipoplasi dari tulang hemi atlas atau atlas. Kelainan
neurovaskuler yaitu kompresi dari N.XI (nervus aksesorius) oleh arteri vertebrae.
Atau arteri serebral posterior inferior, adanya lesi unilateral pada mesencephalon
atau
diencephalon
yang
diakibatkan
oleh
encephalitis
virus.
Dan
ketidakseimbangan/gangguan keseimbangan metabolik antara thalamus dan basal
ganglia. Penyebab lain yang tersering adalah kelainan fungsional dari mekanisme
kontrol yang mengakibatkan gangguan reflek secara bilateral yang terjadi pada
basal ganglia atau keseluruhan dari struktur yang meliputinya (22).
Cassierer melaporkan pada kasus tortikolis terdapat perubahan degeneratif
pada korpus striatum dan berhubungan dengan sirosis pada hati, dan Foester
(1933) melaporkan terdapat satu atau bilateral fokal lesi pada korpus striatum.
Tarlof (1970) tidak dapat menunjukkan kelainan yang signifikan pada
pemeriksaan patologis dari otak atas kelainan ini (22).
Secara fisiologis tortikolis adalah kelainan bentuk atau posisi dari kepala.
Perputaran posisi dari kepala diikuti dengan perubahan secara unilateral pada
bagian leher dan terjadi aktivasi pada N.VIII (N.Vestibulokohlearis) yang
gunanya untuk mempertahankan posisi dari kepala dan tortikolis kemungkinan
disebabkan dari kelainan fungsi-fungsi diatas termasuk kalainan yang terjadi pada
korpus striatum. Kelainan ini dapat terjadi pada laki-laki dan wanita dan onset
terjadinya kelainan biasanya pada usia dewasa (22).
E. Manifestasi Klinis Tortikolis Spasmodik
Perkembangan terjadinya tortikolis biasanya secara perlahan tapi bisa saja
secara mendadak. Hal ini terjadi ketika terjadinya serangan histeria. Perputaran
pada kepala diikuti dengan kontraksi pada otot servikal, kontraksi terjadinya pada
bagian superfisial dan bagian dalam dari otot leher, kontraksi dari otot yang terjadi
yaitu sternocleidomastoideus, trapezius dan splenikus (22).
Spasmodik tortikolis dapat saja terjadi pada remaja atau dewasa. Selalu
didahului dengan adanya riwayat trauma pada leher. Onset terjadinya spasmodik
tortikolis ialah intermiten terjadi saat rotasi dan fleksi pada kepala pada satu sisi.
Pada kebanyakan kasus gerakan dari kepala terjadi secara intermiten dan
berhubungan dengan kontraksi dari otot leher yang terjadi secara periodik
irregular. Terjadinya gerakan bilateral sangat jarang terjadi. Gerakan-gerakan
tersebut dapat direduksi dengan cara menempelkan tangan ke salah satu sisi
kepala yang berlawanan atau dengan menempelkan sisi kepala yang berlawanan
ke tembok (22).
Kontraksi dari m.sternocleidomastoideus menyebabkan rotasi yang
berlawanan arah, ketika leher dilakukan fleksi bagian tepi dari otot leher
mengalami kontraksi. Rotasi pada leher dapat saja terjadi tanpa terjadinya fleksi
lateral. Atau kepala dapat saja difleksikan ke salah satu sisi dimana dapat
dilakukan rotasi setelah dilakukan fleksi tersebut. Hal ini terjadi pada kontraksi
dari m.sternocleidomatoideus pada salah satu sisi dimana m.splenius dan
m.trapezius pada sisi yang berlawanan juga terjadi kontraksi. Otot-otot yang ikut
berkontraksi menjadi hipertropi. Kelainan awal yang terdapat pada tortikolis
adalah tonik. Kemudian didikuti dengan perubahan posisi atau dapat saja terjadi
pengulangan gerakan secara klonik, hal tersebut biasanya terjadi pada serangan
histeria. Pasien sering menyadari tidak dapat melawan atau mengahambat dari
terjadinya tortikolis. Rasa sakit terdapat pada otot servikal yang terjadi bersamaan
arthritis dimana terjadi kompresi pada radix yang mengakibatkan adanya gerakan
kepala secara involunter. Reflek dan sensasi masih normal. Terjadinya tortikolis
yang lama dapat menyebabkan spondilosis servikal (22).
Spasmodik tortikolis biasanya disertai komplikasi bleparospasme atau
distonia mandibular dan writers cramp. Sepertiga penderita juga mengalami
kejang di daerah lainnya, yaitu biasanya di kelopak mata, wajah, rahang atau
tangan. Kejang terjadi secara mendadak dan jarang timbul pada waktu tidur.
Tortikolis bisa menetap sepanjang hidup penderita dan menyebabkan nyeri
berkepanjangan, terbatasnya gerakan leher serta kelainan bentuk sikap tubuh (22).
F. Diagnosis Tortikolis Spasmodik
Perbedaan antara tortikolis histeria dan tortikolis organik sangat sulit
dibedakan. Histeria dapat saja dicurigai jika terjadi secara mendadak yang
merupakan efek dari stres mental dan dapat dikontrol dengan melakukan relaksasi
dan motivasi. Melalui penyebab diatas dapat saja terjadi kelainan organik dimana
hal tersebut paling sering ditemukan. Kjellin dan Stibler (1974) mengklaim fraksi
alkalin di dalam isoelektrik pada sampel cairan serebrospinal dapat menentukan
apakah kelainan ini organik yang berasal dari kasus hysteria, namun hasil
penelitian ini harus dikonfirmasi lebih lanjut (22).
Kekakuan akibat tortikolis onsetnya juga dapat ditemukan pada kongenital
dimana pada hal ini terjadi fibrosis pada salah satu m.sternocleidomastoideus yang
diikuti terjadinya hematom pada otot atau pada kelainan congenital terjadi
kelainan pertumbuhan pada vertebrae servikal. Sangat penting untuk mengetahui
penyebab dari tortikolis miositis pada otot servikal, karier pada servikal tulang
belakang dan adenitis pada kelenjar limfe servikal (22).
Pemeriksaan diagnosis (22) :
1. Elektromiografi (EMG) menunjukkan adanya kontraksi otot yang persisten
pada otot leher termasuk m.sternokleidomastoideus, m.splenius capitus dan
m.trapezius.
2. Pemeriksaan fungsi tiroid, hal ini harus dilakukan karena dapat saja terjadi
perubahan pada tiroid yaitu hipertiroidisme. Beberapa pasien dapat saja
memperlihatkan keadaan eutiroid.
3. Pemeriksaan MRI/CT-Scan pada servikal vertebrae harus dilakukan bila ada
nyeri pada leher.
G. Penatalaksanaan Tortikolis Spasmodik
1. Kasus ringan menunjukkan respon yang baik terhadap benzodiazepine sama
halnya pada diazepam 10-40 mg 4 hari. Atau lorazepam 3-6 mg selama 4 hari
dalam 2-3 kali pemberian. Pada kasus yang sama terapi bisa dimulai dengan
dosis rendah kemudian ditingkatkan, hal ini dilakuakn untuk menghindari
kekeringan pada mulut.
2. Dosis tinggi diberikan untuk Triheksilpenidil 20-40 mg/hari. Biasanya dosis ini
diberikan kepada pasien yang menderita secara kronik.
3. Haloperidol 0,5 mg 2 kali sehari ditingkatkan hingga 5 mg selama 4 hari.
4. Baklofen dengan dosis tertinggi 120 mg/ hari menunjukkan hasil yang baik
pada beberapa kasus.
5. Dengan melakukan pelatihan sensorik pada beberapa kasus menunjukkan hasil
yang baik.
6. Injeksi pada 2 atau lebih otot leher dengan menggunakan toksin botulinum
dibawah control EMG. Terapi sangat efektif terhadap gejala yang telah ada
selama beberapa minggu atau bulan. Penggunaan terapi diatas memiliki efek
samping disfagia. Injeksi diatas dapat diulang bila gejala kembali muncul.
7. Stimulasi pada bagian sensorik tertentu dapat dilakukan pada bagian anatomi
tertentu. Stimulasi dilakukan berulangkali (22).
BAB III
ALGORITMA
Terapi
Neck pain
Gr. III atau
Suspek Gr. IV
WAD
Inisial evaluasi 1-2 mg 4-6 mg
X-ray(-)
Gr. IV
Radikulopati
Gr. I atau II
Riwayat penyakit
& pemeriksaan
fisik
Asetaminofen atau NSAID
atau neck
COX-2
Axial
pain+
muscle relaksan + memulai aktivitas biasa
lebih
awal
Jika
tidak
teratasi
Pertimbangkan opioid, antikonvulsan,
atau antidepresan jika diindikasikan +
modalitas fisik
Jika tidak teratasi nyeri
Nyeri disebabkan oleh
Pertimbangkan
antidepresan
Axial
neck pain atau WAD
atau antikonvulsan &
pertimbangkan MRI, lab
Jika tidak teratasi
&
Mobilisasi
&
nyeri disebabkan
immediate
oleh radikulopati
konsolidasi
(-)
Labora
Suspek
dan
pen
atau neo
Konf
Kon
Pertimban
X-ray, l
BAB IV
TABEL KOMPARASI
Spondilosis
Servikaslis
Penyebab
WAD
Rheumatoi
Spondilitis
Fibromialg
d Arthritis
TB
ia
Osteofit,
penonjolan
Trauma
diskus,
akselerasi
HNP,
dan
fraktur/cede
deselerasi
Infeksi M.
tuberculosi
Imunologis
tulang
trauma
Kualitas
Nyeri
(+/-)
(+)
(-)
Tajam
Tajam
Tajam
Lokasi
Leher atau
lengan
Parestesia
Area
(+)
Tidak
spesifik
Leher
n posterior
Indolen/tid
ak spesifik
vertebra
yang
terkena
diketahui
(+/-)
Tajam
Sesuai
tender
points
(+/-)
(+/-)
(+/-)
(+)
Luas
Luas
Luas
Luas
Tergantung
Keparaha
n
(-)
Tergantung
Otot leher
paramedia
Belum
belakang
ra
Riwayat
s pada
Leher
Leher
Leher
vertebra
Tender
yang
points
terkena
Pola
Mengikuti
Tengkuk,
Mengikuti
Tergantung
Simetris,
penyebara
distribusi
bahu, atau
distribusi
vertebra
bahu atas
n
radix saraf
daerah
radix saraf
yang
belakang
Gangguan
fungsi
sensorik
biasanya
periskapul
lengan atas
ar
Biasanya
terjadi
terkena
Mungkin
Mungkin
Mungkin
Mungkin
Mungkin
Kelemaha
Biasanya
n motorik
terjadi
Gangguan
Biasanya
Mungkin
Mungkin
Mungkin
ada
ada
ada
ada
(-)
(-)
(+/-)
reflex
Gangguan
fungsi
otonom
Dapat
ditemukan
Bunyi yang
Keluhan
penyerta
Kelemahan
terdengar
kaki,
saat
perubahan
ekstensi
gaya
leher, kaku,
Kaku leher
berjalan,
kelemahan
fleksibilitas
tungkai,
leher
kelumpuha
berkurang
n saraf
kranial
terjadi
Tidak ada
(-)
Demam
subfebril,
malaise,
Kaku, lelah,
menggigil,
gangguan
penurunan
tidur,
BB, gejala
pusing,
kelumpuha
cemas
n N.
rekurens
Ct-scan,
untuk
MRI, EMG,
WAD
NCV, SSEP
kelas III
X-ray, CT-
X-ray, Ct-
Tidak
scan, MRI
scan, MRI
spesifik
atau IV
Penyebab
Tidak ada
Radiologi
Penunjan
g
Biasanya
Mungkin
Neoplasma
Tortikolis spasmodik
Gangguan proses
Kontraksi tonik dan
apoptosis
klonik otot leher
berhubungan dengan
hipertiroid, infeksi SSP,
diskinesia tardiv, dan
tumor leher
Riwayat trauma
Kualitas Nyeri
Lokasi
(-)
(-)
Tajam
Tajam
Leher atau vertebra
lain yang terkena
Parestesia
Area
Keparahan
Otot
sternokleidomastoideus,
trapezius, dan splenius
(+)
(-)
Tidak spesifik
Luas
Tergantung
vertebra yang
Otot leher yang terkena
terkena
Pola penyebaran
Mengikuti
distribusi radix
Tidak menyebar
saraf
Gangguan fungsi
Mungkin terjadi
Tidak ada
Mungkin terjadi
Tidak ada
Gangguan reflex
Mungkin ada
Tidak ada
Gangguan fungsi
Mungkin
otonom
ditemukan
sensorik
Kelemahan
motorik
Keluhan penyerta
Penurunan BB,
demam, lelah
Penunjang
(-)
Histeria, kejang pada
kelopak mata, wajah,
rahang, atau tangan
X-ray, bone scan,
EMG, fungsi tiroid, Ct-
CT-scan, MRI,
scan, MRI
biopsi
(3)
BAB V
RESUME DAN KESIMPULAN
5.1. Rangkuman/ Resume
Nyeri leher adalah nyeri yang dihasilkan dari interaksi yang kompleks
antara otot dan ligamen serta faktor yang berhubungan dengan postur, kebiasaan
tidur, posisi kerja, stress, kelelahan otot kronis, adaptasi postural dari nyeri primer
lain (bahu, sendi temporo mandibular, kranioservikal), atau perubahan degeneratif
dari diskus servikalis dan sendinya. Nyeri leher dapat disebabkan oleh berbagai
macam kelainan seperti spondilosis servikalis, infeksi, neoplasma, rheumatoid
arthritis, tortikolis spasmodik, trauma (WAD), dan fibromialgia.
Sebuah studi menunjukkan prevalensi nyeri muskuloskeletal pada leher di
masyarakat selama 1 tahun besarnya 40% dan prevalensi ini lebih tinggi pada
wanita. Selama 1 tahun, prevalensi nyeri muskuloskelatal di daerah leher pada
pekerja besarnya berkisar antara 6-76% dan wanita ternyata juga lebih tinggi
dibandingkan pria. Di Kanada, sebanyak 54% dari total penduduk pernah
mengalami nyeri di daerah leher dalam 6 bulan yang lalu. Pada perawat,
prevalensi nyeri di daerah leher selama 1 tahun besarnya 45,8%
Spondilosis terdiri atas 3 tipe sindrom yaitu: servikal radikulopati (sindrom
tipe I), servikal mielopati (sindrom tipe II), dan axial joint pain (sindrom tipe III).
Servikal radikulopati adalah sindrom dengan manifestasi klinis nyeri leher dengan
nyeri yang menjalar di ekstermitas atas, kelemahan, atau mati rasa. Servikal
mielopati adalah manifestasi yang dihasilkan dari penurunan ruang yang tersedia
dari kanalis servikalis medulla spinalis. Nyeri leher aksial (Axial Neck Pain)
dikenal juga sebagai uncomplicated neck pain dan ketegangan ligamen leher.
Merupakan interaksi yang kompleks antara ligamen serta faktor yang
berhubungan dengan postur, kebiasaan tidur, posisi duduk di depan komputer,
stres, kelelahan kronis, adaptasi postural dari sumber nyeri lain (bahu, sendi
temporomandibular,dan kranioservikal), atau perubahan degeneratif dari diskus
servikal atau sendi facet.
Tingkat kejadian tahunan 107,3 per 100.000 untuk laki-laki dan 63,5 per
100.000 untuk perempuan dengan puncaknya pada usia 50 sampai dengan 54
tahun. Penyebabnya seperti penonjolan tulang atau osteofit yang tumbuh keluar
melalui jalur saraf, penonjolan bagian dari diskus yang terletak di depan saraf,
herniasi nukleus pulposus melalui bagian luar annulus, fraktur atau cedera yang
menyebabkan fragmen tulang yang yang mempersempit atau menekan saluran
saraf.
Nyeri leher dan lengan biasanya menjadi keluhan utama. Dapat terjadi
kelemahan atau kekakuan lengan. Kelemahan kaki, keluhan otonom juga dapat
ditemukan. Tanda pertama yang sering ditemukan adalag peningkatan refleks
lutut dan tendon achiles. Gangguan sensoris, keseimbangan, klonus, dan
reflekspatologis juga dapat ditemukan. Pemeriksaan penunjang yang bias
dilakukan seperti CT-scan, MRI, EMG, NCV, dan SSEP.
Terapi non-operatif seperti manajemen nyeri dan terapi fisik dapat
mengurangi keluhan. Terapi operatif dilakukan jika terapi non-operatif dirasa
gagal mengurangi keluhan.
WAD adalah kasus nyeri leher yang khusus terjadi akut atau subakut
diakibatkan oleh akselerasi dan deselerasi energi pada leher. Biasanya melibatkan
beberapa pembangkit nyeri seperti miofasial, ligamen, diskogenik, dan facet.
Sekitar 1 juta kasus WAD terjadi setiap tahunnya di Amerika Serikat sebagai
akibat kecelakaan bermotor. Paling umum disebabkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor dapat pula disebabkan oleh hal lain seperti menyelam.
Manifestasi klinis pada WAD biasanya muncul sebagai nyeri di otot leher
paramedian posterior, dengan radiasi ke tengkuk, bahu, atau daerah periskapular.
Kekakuan pada satu atau lebih gerak leher disertai sakit kepala yang umum.
Pemeriksaan radiologi bias dilakukan pada WAD kelas III atau IV. Penatalaksaan
seperti latihan mobilitas umum dan stabilisasi otot dapat dilakukan, Pada WAD
kelas II dan III dapat diberikan analgetik dan pada kelas IV dapat diberikan
metilprednisolon dosis tinggi.
Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang menyebabkan
peradangan pada sendi, misalnya: jari-jari tangan, pergelangan tangan, sendi bahu,
sendi lutut, dan panggul termasuk sendi leher. Prevalensi RA di Indonesia 0,2%
untuk penduduk di daerah pedesaan dan 0,3% untuk penduduk di daerah kota.
Penyebab RA adalah proses autoimun.
Nyeri leher merupakan gejala yang paling umum. Kaku dan krepitasi juga
dapat dirasakan. Parestesia pada ekstermitas atas dan kelemahan ekstermitas
bawah dapat ditemukan. Gejala neurologis didapatkan pada 7-34% pasien.
Pemeriksaan penunjang berupa X-ray, serta MRI yang merupakan diagnosis
pilihan.
Penatalaksaan non-bedah seperti pemberian NSAID dan DMARD serta
pemakaian collar neck dapat dilakukan. Tata laksana bedah dapat dilakukan pada
pasien dengan defisit neurologis, nyeri parah yang tidak berespon terhadap terapi
medikamentosa.
Spondilitis tuberkulosis adalah infeksi Mycobacterium tuberculosis pada
tulang belakang. Pada tahun 2005, World Health Organization (WHO)
memperkirakan bahwa jumlah kasus TB baru terbesar terdapat di Asia Tenggara
(34 persen insiden TB secara global) termasuk Indonesia.
Manifestasi spondilitis TB relative indolen. Biasanya keluhan nyeri tidaks
pesifik. Defisit neurologis dapat ditemukan pada 12-50% pasien. Keluhan klasik
TB juga dapat ditemukan. Penunjang yang dapat dilakukan seperti X-ray, CTscan, MRI.
Tatalaksana medikamentosa terutama pemberian OAT dan kemoterapi.
Terapi pembedahan juga dapat dilakukan. Tatalaksana biasanya merujuk
klasifikasi spondilitis TB menurut GATA.
Fibromialgia adalah kelainan yang sering ditemui, dicirikan oleh adanya
nyeri muskuloskeletal yang menyebar dengan penyebaran yang simetris,
kekakuan, mudah lelah, parestesi, dan gangguan tidur. Berdasarkan data di
Amerika Serikat, kira-kira 20% pasien klinik rheumatologi adalah pasien
fibromialgia, yang kebanyakan berusia 30-50 tahun. Dari data tersebut dapat
dikatakan 1 dari 5 pasien yang berobat adalah fibromialgia. Hingga kini, penyebab
pasti fibromialgia belum dapat ditemukan, tapi telah diketahui bahwa fibromialgia
dapat dipicu oleh stres emosional, infeksi, pembedahan, hipotiroidisme, dan
trauma.
Gejala yang biasa ditemukan pada pasien fibromialgia antara lain nyeri
muskuloskeletal yang menyebar, kekakuan, dan kelelahan. Gejala lain juga dapat
muncul, di antaranya parestesi, gangguan tidur, titik nyeri, dan lain-lain. Pada 7590% penderita fibromialgia, ditemukan kekakuan yang biasanya terjadi di pagi
hari kemudian membaik di siang hari atau bertahan sepanjang hari. Gejala khas
adalah nyeri pada tender points pada titik-titik tertentu.
Tatalaksana nonfarmakologis seperti modisikasi perilaku, pengaturan stres,
aplikasi panas dingin ke otot serta pemijatan dapat dilakukan. Olahraga aerobic
juga terbukti mengurangi keluhan. Pemberian analgetik baik antiinflamasi
nonsteroid maupun opioid dapat diberikan sesuai derajat nyeri yang dirasakan.
Neoplasma tulang belakang adalah Massa pada tulang belakang dapat
jinak ataupun ganas yang dapat berasal dari tulang belakang sendiri (primer) atau
dari proses metastase (sekunder). Sekitar 2.000 kasus baru kanker tulang dan
6.000 kasus baru tumor jaringan lunak telah didiagnosis di Amerika Serikat setiap
tahunnya. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 5% yang melibatkan tulang
belakang. Insidensi tumor tulang belakang diperkirakan 2,5-8,5 per 100.000 orang
pertahun. Sampai saat ini, penyebab dari terjadinya neoplasma masih berupa
hipotesis. Sel-sel kanker dapat mengaktifkan protein komponen dari telomerase
yang menyebabkan sel-sel tersebut membelah tanpa batas dan tidak terjadi
apoptosis.
Umumnya ditemukan keluhan nyeri pada vertebra yang terkena,
deformitas tulang belakang, dan defisit neurologis. Nyeri tulang belakang juga
biasanya ditemukan bersifat persisten, tidak terkait aktivitas, memburuk selama
istirahat dan malam hari. Fraktur patologis pada korpus vertebra dapat
meningkatkan nyeri. Kompresi pada akar serabut saraf spinal dapat menghasilkan
nyeri lokal, nyeri radikuler dan mielopati. Gejala lain seperti penurunan berat
badan, demam, kelelahanjuga dapat ditemukan. Penunjang lain seperti X-ray, CTscan, bone scan, MRI, serta biopsy dapat dilakukan.
-
Tatalaksana non-bedah seperti kemoterapi, radioterapi, analgetik biasanya
diberikan. Tatalaksana bedah dapat menjadi pilihan jika terjadi instabilitas
spinal diakibatkan oleh destruksi tulang, defisit neurologi progresif, tumor
yang radioresisten, membutuhkan open biopsi, nyeri yang intraktabel yang
tidak berespon dengan terapi non-operatif.
Spasmodik tortikolis adalah kekakuan dari pada otot-otot leher, yang
disebabkan oleh kontraksi klonik atau tonik dari otot-otot servikal pada leher
dengan gejala terjadi kekakuan pada sistem saraf dan terdapatnya histeria.
Tortikolis terjadi pada 1 dari 10.000 orang dan sekitar 1,5 kali lebih sering terjadi
pada wanita dibandingkan dengan pria. Penyakit ini dapat terjadi pada semua
umur tetapi paling sering ditemukan pada usia antara 30-60 tahun. Penyebabnya
seperti hipertiroidisme, infeksi sistem saraf, diskinesia tardiv (gerakan wajah
abnormal akibat obat anti-psikosa), dan tumor leher.
Nyeri leher dan kontraksi dari otot sternokelidomatoideus, trapezius, serta
splenikus dapat ditemukan. Rotasi pada leher dapat terjadi tanpa lateral fleksi.
Otot yang berkontraksi dapat terjadi hipertrofi. Kejang pada otot juga dapat
ditemukan. Penunjang yang dapat dilakukan seperti EMG, pemeriksaan fungsi
steroid, MRI, CT-scan dapat dilakukan.
5.2. Kesimpulan

Nyeri leher adalah nyeri yang dihasilkan dari interaksi yang kompleks antara
otot dan ligamen serta faktor yang berhubungan dengan postur, kebiasaan
tidur, posisi kerja, stress, kelelahan otot kronis, adaptasi postural dari nyeri
primer lain (bahu, sendi temporo mandibular, kranioservikal), atau perubahan
degeneratif dari diskus servikalis dan sendinya.

Nyeri muskuloskeletal pada leher di masyarakat selama 1 tahun besarnya 40%
dan prevalensi ini lebih tinggi pada wanita. Selama 1 tahun, prevalensi nyeri
muskuloskelatal di daerah leher pada pekerja besarnya berkisar antara 6-76%
dan wanita ternyata juga lebih tinggi dibandingkan pria.

Nyeri leher dapat disebabkan oleh berbagai macam kelainan seperti
spondilosis servikalis, infeksi, neoplasma, rheumatoid arthritis, tortikolis
spasmodik, trauma (WAD), dan fibromialgia.

Nyeri leher dapat diatasi dengan diagnosis dan tatalaksana yang tepat.
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang yang baik. Tatalaksana nyeri leher meliputi terapi
non-farmakologis, farmakologis, serta pembedahan.
5.2. Saran
Nyeri leher merupakan masalah di bidang neurologi yang memiliki angka
kejadian yang cukup sering. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang lebih
mendalam dari praktisi kesehatan terutama yang berada di lini terdepan untuk
mengenali dan menyaring kasus yang ditemukan di masyarakat agar penanganan
tepat dan cepat dapat segera dilaksanakan. Masih diperlukan pembahasan lebih
lanjut dan mendalam mengenai berbagai kasus neurologi lainnya.
BAB VI
PENUTUP
Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai materi yang menjadi
pokok bahasan dalam referat ini, Penulis banyak berharap para pembaca yang
budiman sudi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi
sempurnanya referat ini dan dan penulisan referat di kesempatan-kesempatan
berikutnya. Semoga referat ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para
pembaca yang budiman pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Anonymous. Neck pain. Arthritis Australia, 2012.
2.
Thompson P, Morris D, Saynor M, Hill J. Neck pain, Arthritis Research
UK, 2013.
3.
Douglas AB, Bope ET. Evaluation and treatment of posterior neck pain in
family practice. JABFP 2004; 17: 13-22.
4.
Samara D. Nyeri musculoskeletal pada leher pekerja dengan posisi
pekerjaan yang statis. Universa Medicina 2007; 26: 137-142.
5.
Finkelstein J. Neck and arm painrelated symptoms: cervical disc disease.
Department of Surgery University of Toronto, 2012.
6.
Tulaar ABM. Nyeri leher dan punggung. Maj Kedokt Indon 2008; 58(5):
169-180.
7.
Borenstein D. Neck pain. American College of Rheumatology, 2012.
8.
Deardoff WW. Types of back pain: acute pain, chronic pain, and
neuropathic pain. Spine-health. Accessed on Desember 2013. Available at :
http://www.spine-health.com/conditions/chronic-pain/types-back-painacute-pain-chronic-pain-and-neuropathic-pain.
9.
Childs JD, Cleland JA, Elliot JM, et al. Neck pain: clinical practice
guidelines linked to the international classification of functioning, disability,
and health from ortopaedic section of the American physical therapy
association. J Orthop Sports Phys Ther 2008; 38(9): 1-34.
10.
Voorhies RM. Cervical spondylosis: recognition, differential diagnosis, and
management. The Ochsner Journal 2001; 3: 78-84.
11.
Schaffer J. Cervical stenosis & myelopathy. North American Spine Society
Public Education Series, 2006.
12.
Carette S, Phil M, Fehlings MG. Cervical radiculopathy. N Eng J Med
2005; 353: 392-399.
13.
Neal SL, Fields KB. Peripheral nerve entrapment and injury in the upper
extremity. Am Fam Physician 2010; 81(2): 147-155.
14.
Bidese T, Buckley S, Cameron I, et al. Guidelines for the management of
whiplash-associated disorders. Motor Accidents Authority, 2001.
15.
Pastakia K, Kumar S. Acute whiplash associated disorders (WAD). Open
Access Emergency Medicine 2011; 3: 29-32.
16.
Darmawan J, Muirden KD, Valkenburg, Wigley RD. Rheumatoid arthritis.
Buletin Rasional 2011; 9(1): 1.
17.
McDonnell M, Lucas P. Cervical spondylosis, stenosis, and rheumatoid
arthritis. Medicine and Health/Rhode Island 2012; 95(4). 105-109.
18.
Suarjana IN. Artritis Reumatoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. PB
PAPDI. Jakarta, 2009.
19.
Zuwanda, Janitra R. Diagnosis dan penatalaksanaan spondilitis tuberkulosis.
CDK 2013; 40(9): 661-673.
20.
Olam SJ, Soewito F, Nuhonni SA, Sungkar A. Diagnosis dan tata laksana
fibromyalgia. Maj Kedokt Indon 2008; 58(5): 158-163.
21.
Fuchs B, Boos N. Primary tumors of the spine. Springer, 2008.
22.
Anonymous. Spasmodik tortikolis. FK YARSI, 2009. Accessed on
December
2013.
Available
http://idmgarut.wordpress.com/2009/01/29/spasmodik-tortikolis/
at:
Download